KAJIAN EKONOMI
KOMODITAS SAPI KABUPATEN BOMBANA
BAB 1. PENDAHULUAN
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
KAJIAN EKONOMI KOMODITAS SAPI KABUPATEN BOMBANA
Š 2018 National Support for Local Investment Climates/ National Support for Enhancing Local and Regional Economic Development (NSLIC/NSELRED) World Trade Center (WTC) 5 Building, 10th Floor Jl. Jenderal Sudirman Kav. 29-31 Jakarta 12920, Indonesia Telephone: +62 21 5262282, +62 21 5268668 www.nslic.or.id Proyek Dukungan Nasional untuk Peningkatan Iklim Investasi Daerah/Dukungan Nasional untuk Pengembangan Ekonomi Lokal dan Regional atau National Support for Local Investment Climates/National Support for Enhancing Local and Regional Economic Development (NSLIC/NSELRED) adalah kemitraan antara Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas dan Pemerintah Kanada melalui Global Affairs Canada (GAC). Proyek yang didanai oleh GAC dan dikelola oleh CowaterSogema International Inc. ini dilaksanakan di 10 kota/kabupaten di Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Tenggara mulai 2016 hingga 2022. Melalui program Responsive Innovation Fund (RIF), NSLIC/NSELRED juga mendukung pemerintah pusat dan daerah untuk menciptakan inovasi pembangunan ekonomi daerah di 18 kabupaten dari 39 Kawasan Perdesaan Prioritas Nasional (KPPN) yang menjadi wilayah target nasional untuk Pusat Pertumbuhan Peningkatan Keterkaitan Kota-Desa sesuai dengan RPJMN 2015-2019.
Daftar Singkatan BAPPEDA
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BAPPENAS
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BPS
Badan Pusat Statistik
FGD
Focus Group Discussion Inseminasi Buatan Kepala Keluarga Lembaga Swadaya Masyarakat
IB KK LSM
NSLIC/NSELRED National Support for Local Investment Climates/National Support for
Enhancing Local and Regional Economic Development PAD
Pendapatan Asli Daerah
PDRB
Pendapatan Domestik Regional Bruto
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
5
Daftar Isi DAFTAR SINGKATAN KATA PENGANTAR EXECUTIVE SUMMARY
5 9 11
BAB I PENDAHULUAN
15
1.1. Latar Belakang
16
1.2. Tujuan Kajian
17
1.3. Metodologi
17
BAB II GAMBARAN INDUSTRI KOMODITAS SAPI
21
2.1. Profil Komoditas Sapi
22
2.2. Konteks Internasional
22
2.2.1. Produksi komoditas Sapi
22
2.2.2. Konsumsi Daging Sapi Dunia
23
2.2.3. Perdagangan Komoditas Daging Sapi Dunia
24
2.3. Konteks Indonesia
25
2.3.1. Produksi Komoditas Indonesia
25
2.3.2. Konsumsi Produk Nasional
26
2.4. Konteks Sulawesi Tenggara
6
26
BAB III RANTAI NILAI SAPI POTONG DI KABUPATEN BOMBANA
29
3.1. Gambaran Umum
30
3.2. Rantai Nilai Inti
31
3.2.1. Peternak sapi potong
31
3.2.2. Pedagang Pengumpul
32
3.2.3. Pedagang pengumpul antarpulau
32
3.2.4. Pedagang Pemotong
32
3.2.5. Tempat pemotongan hewan
32
3.2.6. Pengusaha warung makan
32
3.3. Rantai Pendukung
32
3.3.1. Jasa transportasi
32
3.3.2. Jasa keuangan
32
3.4. Aturan dan Regulasi yang Mendukung (Enabling Environment)
33
3.4.1. Program Pemerintah Terkait
33
3.4.2. Kebijakan dan Perizinan
34
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
BAB IV ANALISIS DAN STRATEGI PENGEMBANGAN
37
4.1. Potensi Pasar
38
4.2. Akar Masalah Untuk Pengembangan
38
4.3. Visi Perubahan
41
4.4. Pilihan Intervensi
42
DAFTAR PUSTAKA
49
DAFTAR TABEL Tabel 1.1.
Distribusi Responden Aktor Utama di Rantai Nilai Komoditas Sapi
18
di Kabupaten Bombana
Tabel 1.2.
Tahapan dan Hasil Kegiatan
19
Tabel 4.1.
Estimasi Perhitungan Kerugian Peternak Akibat brucellosis
39
Untuk Setiap 100 Ekor Sapi
Tabel 4.2.
Estimasi Perhitungan Kerugian peternak akibat brucellosis
di Kabupaten Bombana
Tabel 4.2.
Estimasi Perhitungan Kerugian Pemerintah akibat Pendapatan
Restribusi yang Hilang
Tabel 4.3.
Analisis SWOT Layanan Pemeriksaan Hewan Ternak
42
Tabel 4.4.
Analisis SWOT Layanan IB
43
Tabel 4.5.
Analisis SWOT Pemelihaan Hewan Ternak
45
40 40
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Rantai Nilai dan Iklim Usaha
18
Gambar 2.1. Kontribusi populasi sapi potong dunia tahun 2014 – 2018
23
(Sumber: Outlook Daging Sapi, 2017)
Gambar 2.2. Kontribusi konsumsi daging sapi dunia tahun 2014 – 2018
Gambar 2.3. Kontribusi negara pengekspor daging sapi dunia tahun 2014 – 2018
25
(Sumber: Outlook Daging Sapi, 2017)
Gambar 2.4. Sentra produksi daging sapi di indonesia tahun 2013 – 2017
24
(Sumber: Outlook Daging Sapi, 2017).
26
(Sumber: Outlook Daging Sapi, 2017)
Gambar 3.1. Rantai Nilai Komoditas Sapi di Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara
30
Gambar 4.1. Perbandingan volume ekspor dan impor daging sapi Indonesia,
38
2014 – 2017 (Sumber: Outlook Daging Sapi, 2017)
Gambar 4.2. Pohon Masalah
39
Gambar 4.3. Bisnis Model Penyedia Layanan Pemeriksanaan dan Vaksinisasi
43
Gambar 4.4. Bisnis Model Penyedia Layanan IB
44
Gambar 4.5. Bisnis Model Penyedia Jasa Padang Pengembalaan
46
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
7
Kata Pengantar Kajian Ekonomi terhadap potensi pengembangan sapi di Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara ini merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh proyek National Support for Local Investment Climates/National Support for Enhancing Local and Regional Economic Development (NSLIC/NSELRED) untuk mengidentifikasi sejauh mana potensi komoditas sapi di Provinsi Sulawesi Tenggara dalam mendukung pengembangan ekonomi di provinsi tersebut. Kajian Ekonomi ini merupakan hasil survei yang dilakukan pada Juli sampai Oktober 2018 dan menunjukkan kondisi awal atau baseline komoditas sapi di Kabupaten Bombana. Hasil survei ini juga merupakan fondasi bagi proyek untuk menentukan langkah selanjutnya guna meningkatkan potensi komoditas sapi di Kabupaten Bombana. Selaku pimpinan proyek, Kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada tim konsultan, para pihak dan semua kontributor yang telah berhasil memberikan informasi dasar mengenai potensi komoditas sapi di Kabupaten Bombana. Besar harapan Kami bahwa hasil survei ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan pemberdayaan komoditas sapi, baik yang berada di Indonesia maupun di luar negeri.
Dr. Rino A. Sa’danoer Direktur Proyek
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
9
Executive Summary Secara global, perkembangan sapi potong dunia sejak tahun 1980 sampai 2018 berfluktuasi. Dalam kurun waktu tersebut, populasi sapi potong dunia mengalami sedikit penurunan rata-rata 0,11% per tahun. Selama kurun waktu 2014 – 2018, populasi sapi potong dunia cenderung mengalami penurunan 0,01% per tahun. Meskipun demikian, diperkirakan pada tahun 2018 populasi sapi potong meningkat 0,89% dari tahun 2017, mencapai 1.004 juta ekor. Volume ekspor daging sapi dunia dalam kurun waktu 1980 – 2018 mengalami peningkatan rata-rata 2,44% per tahun. Setiap tahun rata-rata ekspor daging sapi dunia mencapai 6,85 juta ton setara karkas. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, pertumbuhan volume ekspor lebih rendah, yaitu sebesar 1,80% per tahun dengan rata-rata ekspor sebesar 9,76 juta ton setara karkas per tahun. Pasar nasional menunjukkan bahwa produksi daging sapi Indonesia mengalami peningkatan sebesar 1,74% per tahun. Sementara itu, nilai konsumsi daging sapi nasional mengalami penurunan 1,86% per tahun. Meskipun demikian, perbedaan antara volume ekspor dan impor daging sapi terus bertambah. Tahun 2016, Indonesia mengalami defisit daging sapi dan melakukan impor mencapai 132,74 ribu ton. Sejauh ini, kebutuhan daging sapi nasional belum dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Tahun 2016, tercatat bahwa Indonesia memproduksi daging sapi potong sebesar 518.484,00 ton, sementara konsumsi daging nasional pada tahun yang sama adalah 597.608,55 ton. Dengan kata lain, terdapat kekurangan 79.124,55 ton daging sapi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional (Kementan, 2017). Dapat disimpulkan bahwa peternakan sapi potong sampai saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan daging nasional. Secara umum, rantai nilai usaha sapi potong di Kabupaten Bombana cukup sederhana. Rantai nilai melibatkan peternak sebagai produsen, pedagang perantara, tempat pemotongan hewan (TPH), usaha warung makan dan konsumen. Selain pihak tersebut, terdapat beberapa pihak yang memiliki peranan dalam mendukung rantai nilai inti, yaitu penyedia jasa transportasi, penyedia jasa keuangan, dan instansi pemerintah terkait. Rantai nilai ini memberikan gambaran utama supply-demand dari peternak hingga ke konsumen .
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
11
Executive Summary Masalah yang dihadapi di komoditas sapi di Bombana setidaknya dapat dilihat dari 2 faktor: faktor produksi dan faktor pemasaran. Dari sisi produksi, masalah yang dihadapi keguguran sapi bunting karena terkena penyakit brucella. Munculnya penyakit brucellosis setidaknya disebabkan oleh dua sebab yaitu karena pengendalian penyakit yang kurang berjalan optimal dan sistem kawin alami. Sementara dari sisi pasar, meskipun peternak relatif tidak mengalami kesulitan untuk menjual ternak mereka. Namun demikian, peternak tidak mendapatkan informasi harga pasar ternak sapi. Salah satunya karena tiadanya informasi pasar ternak dan belum adanya pasar komoditas sapi di Kabupaten Bombana. Kerugian ekonomi yang timbul akibat serangan brucellosis tidak hanya dialami oleh peternak, tetapi juga oleh pihak pemerintah daerah. Peternak kehilangan kesempatan menjual anak sapi akibat abortus. Sementara itu pemerintah mengalami kerugian dari anggaran program IB dan retribusi daerah dari perdagangan anak sapi. Visi Perubahan. Dengan demikian visi perubahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: Pada fungsi utama: meningkatkan kemampuan pernak untuk mendapatkan pengetahuan dan layanan terkait dengan pengendalian penyakit, pemeliharaan hewan ternak dan mendapatkan informasi pasar. Pada fungsi pendukung: (1) Layanan teknis jasa pemeriksaan dan pencegahan penyakit brucellosis; (2) Layanan jasa IB (inseminasi buatan) (3) Pengelolaan padang pengembalaan (4) Layanan akses informasi pasar alternatif. Pada fungsi regulasi/lingkungan yang mendukung: (1) Pengendalian lalu lintas ternak (2) Dukungan untuk pengendalian penyakit brucellosis ; Pilihan Intervensi yang dapat dilakukan adalah INTERVENSI I program pengendalian penyakit; INTERVENSI II Program Inseminasi Buatan (IB); INTERVENSI III Pola Pemeliharaan Ternak. Ada dua pilihan model yang dapat dikembangkan yaitu, Pertama, intervensi untuk mengembangkan padang penggembalaan. Kedua, intervensi melalui program sosialisasi dan pendampingan tentang pentingnya mengandangkan dan mengontrol pola perkawinan ; INTERVENSI IV Program Pengendalian Lalu Lintas Ternak.
12
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
Photo: NSLIC/NSELRED
BAB 1. Pendahuluan
Bab 1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Proyek National Support for Local Investment Climates/National Support for Enhancing Local and Regional Economic Development (NSLIC/NSELRED) adalah proyek kerjasama antara Pemerintah Indonesia melalui Kementerian PPN/Bappenas dan Pemerintah Kanada melalui Global Affairs Canada (GAC) dengan fokus pada perbaikan iklim usaha bagi Koperasi dan UMKM dan memperkuat kapasitas Pemerintah Daerah dalam pembangunan ekonomi lokal dan regional. Proyek ini bertujuan memberikan penguatan kepada para pihak di 5 kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Tenggara untuk penguatan pengembangan ekonomi khususnya usaha mikro, kecil dan menengah dan koperasi yang pada akhirnya diharapkan dapat memberikan peningkatan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat baik perempuan maupun laki-laki. Pada tahapan awal telah dilakukan assessment penentuan komoditi unggulan dengan melibatkan para pihak yang terkait pengembangan ekonomi di Kabupaten Bombana. Berdasarkan penentuan komoditi unggulan di Kabuten Bombana adalah sapi. Pilihan komoditas ini adalah hasil workshop yang dilaksanakan oleh NSLIC/NSELRED dan Pemerintah Kabupaten Bombana Dipilihnya komoditas sapi sebagai komoditas unggulan Kabupaten Bombana dengan pertimbangan bahwa Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah yang ditetapkan sebagai kawasan pengembangan sapi potong. Melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 803/Kpts/PK.030/12/2016, pemerintah Republik Indonesia menetapkan Kabupaten Konawe Selatan, sebagai wilayah sumber bibit sapi Bali. Konawe Selatan hingga tahun 2017 tercatat sebagai daerah dengan jumlah populasi sapi potong tertinggi di Sulawesi Tenggara. Selain daerah tersebut, Sulawesi Tenggara masih memiliki beberapa daerah sentra sapi potong. Salah satu daerah yang memiliki populasi sapi potong dalam jumlah besar adalah KabupaÂten Bombana. Daerah ini tercatat sebagai daerah dengan jumlah populasi sapi potong tertinggi kedua di Sulawesi Tenggara. Tahun 2016, Kabupaten Bombana tercatat memiliki 57.099 ekor sapi potong (BPS, 2017) dan pada tahun 2017 jumlah tersebut mengalami peningkatan menjadi 60.121 ekor (BPS, 2018). Laporan penelitian ini adalah hasil kajian pada komoditas tersebut dengan menggunakan analisis rantai nilai (value chain analysis). Rantai Nilai di sini meliputi serangkaian kegiatan yang diperlukan guna membawa sebuah produk/komoditas sejak dari konsep awal, proses produksi, sampai kepada konsumen akhirnya. Pendekatan rantai nilai membantu mengembangkan produktivitas dari sebuah sektor/subsektor, di mana semua pelaku rantai nilai bisa mendapatkan manfaat dari penguatan sektor/subsektor tersebut. Sehingga, pendekatan ini akan memberikan kontribusi bagi pengurangan kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja dan nilai tambah . Laporan ini memuat hasil analisis rantai nilai Komoditas sapi di Kabupaten Bombana Propinsi Sutra, yang secara rinci menguraikan potensi, peluang, hambatan, pelaku utama dan pendukung, lingkungan pendukung serta rekomendasi strategi intervensi untuk pengembangannya ke depan. 1.2. Tujuan Kajian Secara umum, tujuan kajian adalah memfasilitasi kajian rantai nilai produk unggulan daerah Kabupaten Bombana, yaitu peternakan sapi, serta mengembangkan perencanaan bisnis bagi UMKM dan koperasi
16
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
yang ramah lingkungan, berkelanjutan dan berbasis pasar. Secara khusus, tujuan kajian adalah: 1. Pemetaan para pelaku yang terlibat dalam rantai nilai; 2. Menganalisis pasar dan pesaing; 3. Identifikasi hambatan/tantangan; 4. Identifikasi mitra potensial; 5. Identifikasi dan penilaian solusi berbasis pasar; 6. Identifikasi intervensi program yang sesuai. 1.3. Metodologi Pendekatan yang digunakan dalam kajian rantai nilai dan iklim usaha untuk komoditas Sapi di Kabupaten Bombana menggunakan kerangka pemikiran sebagaimana Gambar 1.1. yang memperlihatkan secara jelas bagaimana rantai nilai sebuah komoditas serta faktor-faktor yang mempengaruhi dari fungsi pendukung, regulasi dan stakeholders. Kajian ini dilakukan dengan pendekatan rantai nilai (value chain). Sementara desain kajian dikembangkan melalui tahapan: a. Pemilihan rantai nilai; b. Analisis rantai nilai; c. Mengidentifikasi solusi berbasis pasar; d. Mengembangkan penilaian solusi berbasis pasar; e. Melakukan identifikasi program intervensi; f. Melakukan pengukuran kinerja program. Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa untuk melakukan penguatan rantai nilai sebuah komoditas diperlukan gambaran menyeluruh mengenai: Kegiatan kunci dan para pelaku utama rantai nilai. Hambatan dan peluang yang dihadapi para pelaku utama dalam menciptakan nilai tambah Lembaga dan pihak-pihak pendukung pengembangan komoditas Alternatif sumber daya yang potensial guna mendukung penciptaan efisiensi bagi pelaku usaha yang terlibat dalam rantai nilai suatu komoditas. Selain itu, kegiatan dunia usaha selalu dipengaruhi oleh: Regulasi dan perundang-undangan umum maupun sektoral; Ketersediaan dan effisiensi pelayanan umum dan pembangunan oleh pemerintah; Efektivitas organisasi perusahaan dan asosiasi dunia usaha.
Photo: NSLIC/NSELRED Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
17
Bab 1. Pendahuluan
PARA PELAKU/ AKTOR
FUNGSI PENDUKUNG Informasi
Litbang
Keterampilan & Kapasitas
Koordinasi
Menginformasikan & Mengkomunikasikan
Infrastruktur
Layanan Terkait
Pemerintah
Pelaku Swasta
DEMAND - SUPPLY Jejaring Informasi
Aturan Informasi & Normanorma
Menetapkan & Menegakkan aturan
Regulasi
Kadin, Asosiasi
Undangundang
Standard ATURAN
LSM atau lembaga nonprofit lainnya
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Rantai Nilai dan Iklim Usaha Guna mencapai tujuan di atas, serangkaian kegiatan Kajian dilaksanakan di Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara, dalam kurun waktu empat bulan, yaitu sejak Juli sampai dengan Oktober 2018. Kegiatan yang dilakukan meliputi tahap persiapan, pengumpulan data, analisis, dan penyusunan laporan. Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil kuesioner dan wawancara dengan berbagai pihak yang terkait dalam rantai nilai komoditas sapi di Kabupaten Bombana. Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai dokumen tertulis yang berhubungan dengan kajian sapi. Wawancara dilakukan kepada aktor utama yang terlibat dalam rantai nilai sapi dari para peternak, pedagang pengumpul, pedagang antar pulau, TPH,. Selain itu juga dilakukan wawancara kepada penyedia pendukung di rantai nilai seperti penyedia jasa transportasi, dokter hewan Selain itu, wawancara dilakukan kepada lembaga/ instansi yang terlibat langsung atau pun tidak langsung dalam rantai nilai komoditas sapi yakni terdiri dari; Dinas pertanian, Bepada, Deperindagkop (tabel 1.1). Tabel 1.1. Distribusi Responden Aktor Utama di Rantai Nilai Komoditas Sapi di Kabupaten Bombana No
Responden Jumlah
1.
Kelompok Ternak Sapi
20 orang
2.
Pedagang Pengumpul/Makelar
4 orang
3.
Pedagang Antar Pulau
2 orang
4.
Penyedia Jasa Transportasi
2 orang
5.
Pedagang Lokal
2 orang
6.
Tempat Pemotongan Hewan (TPH)
2 orang
7.
Warung Makan (Usaha Pengolahan)
2 orang
8.
Tenaga PPL/Jasa IB
5 orang
9.
Dokter Hewan/Asosiasi Dokter Hewan
2 orang
10.
Dinas Terkait (Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Perindagkop)
3 orang
Jumlah Responden
18
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
44 orang
Adapun tahapan dan hasil kegiatan disajikan pada Tabel 1.2. berikut: Tabel 1.2. Tahapan dan Hasil Kegiatan No
Kegiatan
Hasil
1
Pertemuan Tim Riset/ Kajian
Penentuan komoditas unggulan Peserta paham instrumen kajian Peserta menyepakati pembagian tugas dan waktu penyelesaian kajian
2
Pengumpulan Data
Terkumpulnya informasi hasil survei dengan menggunakan kuesioner Adanya hasil pemetaan Rantai Nilai dengan Pelaku melalui FGD
3
FGD Identifikasi dan Perumusan Hambatan Bersama Para Pelaku
Adanya klarifikasi dan masukan dari pelbagai pihak/pelaku terhadap identifikasi dan perumusan hambatan
4
Pertemuan Penyusunan Draf Desain Program
Penyusunan draf desain program berdasarkan hasil kajian rantai sapi.
5
Workshop Hasil Desain Program
Workshop desain program pengembangan komoditas sapi kepada para pihak terkait;
6
Penyusunan Laporan Akhir Rantai Nilai Komoditas Sapi
Tersusunnya Laporan akhir Rantai Nilai komoditas sapi
Photo: NSLIC/NSELRED Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
19
BAB 2. GAMBARAN INDUSTRI KOMODITAS SAPI
Bab 2. Gambaran Industri Komoditas Sapi
2.1. Profil Komoditas Sapi Peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia akan protein hewani berdampak kepada peningkatan konsumsi daging nasional. Konsumsi daging nasional mengalami peningkatan dari 5,431 kg/kapita pada tahun 2014 menjadi 6,778 /kapita pada tahun 2016. Dengan kata lain, terjadi peningkatan konsumsi daging nasional per kapita sekitar 6% per tahun.. Dari rata-rata konsumsi daging tersebut, konsumsi daging sapi nasional menyumbang sebesar 0,261 kg/ kapita pada tahun 2014 dan meningkat 0,417 kg/ kapita pada tahun 2016 (Ditjen PKH, 2016; Ditjen PKH 2017). Untuk memenuhi kebutuhan daging nasional, Pemerintah mencanangkan program swasembada daging sapi hingga tahun 2026. Upaya pemerintah mewujudkan swasembada daging antara lain dilakukan melalui percepatan peningkatan populasi sapi di Indonesia. Tahun 2016, pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak Ruminansia Besar ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, dan pada tahun 2017, pemerintah melakukan Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB) dengan target 4 juta ekor akseptor dan 3 juta ekor sapi bunting. Sejauh ini, kebutuhan daging sapi nasional belum dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Tahun 2016, tercatat bahwa Indonesia memproduksi daging sapi potong sebesar 518.484,00 ton, sementara konsumsi daging nasional pada tahun yang sama adalah 597.608,55 ton. Dengan kata lain, terdapat kekurangan 79.124,55 ton daging sapi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional (Kementan, 2017). Dapat disimpulkan bahwa peternakan sapi potong sampai saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan daging nasional. Rendahnya produktivitas sapi potong antara lain disebabkan oleh pola pemeliharaan yang diterapkan masyarakat masih bersifat ekstensif dan semi-intensif. Pada kondisi pemeliharaan ini, produktivitas sapi potong tidak seoptimal pada sistem pemeliharaan intensif. Selain itu, peternakan sapi potong kebanyakan dilakukan oleh masyarakat dalam skala kecil dan sebagai usaha sampingan (subsisten). Hal ini menyebabkan perhatian masyarakat tidak sepenuhnya tertuju pada usaha peternakan sapi potong. Faktor lain yang juga turut mempengaruhi adalah faktor genetik bibit sapi yang dikembangkan. Kebanyakan sapi potong yang dikembangkan adalah bangsa sapi Bali (Bos sondaicus) yang memiliki postur tubuh kecil sehingga rataan produksi daging per ekor sapi juga kecil bila dibandingkan bangsa sapi Eropa (Bos taurus) dan sapi India (Bos indicus). 2.2. Konteks Internasional 2.2.1. Produksi komoditas Sapi Secara global, perkembangan sapi potong dunia sejak tahun 1980 sampai 2018 berfluktuasi. Dalam kurun waktu tersebut, populasi sapi potong dunia mengalami sedikit penurunan rata-rata 0,11% per tahun. Selama kurun waktu 2014 – 2018, populasi sapi potong dunia cenderung mengalami penurunan 0,01% per tahun. Meskipun demikian, diperkirakan pada tahun 2018 populasi sapi potong meningkat 0,89% dari tahun 2017, mencapai 1.004 juta ekor. Dari distribusi sapi yang ada, 85,56% populasi sapi potong dunia hanya terkonsentrasi di 10 negara. Populasi sapi potong paling tinggi berada di India dengan rata-rata populasi 30,40% dari populasi dunia, atau sekitar 302,58 juta ekor. Disusul oleh Brazil, dengan jumlah populasi sapi potong 13,91% dari
22
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
populasi dunia atau sekitar 138,44 juta ekor. China menempati urutan ketiga dengan kontribusi sebesar 10,07% terhadap populasi sapi potong dunia atau sekitar 100,20 juta ekor. Sementara itu, China, USA dan Uni Eropa menempati urutan keempat dan kelima dengan populasi sapi potong masing-masing 10,07% dan 9,20% dari populasi sapi potong dunia.
Lainnya
India
27.51%
30.40%
Uni Eropa
8.91%
Brazil
USA
13.91%
9.20% China
10.07% Gambar 2.1. Kontribusi populasi sapi potong dunia tahun 2014 – 2018 (Sumber: Outlook Daging Sapi, 2017).
2.2.2. Konsumsi Daging Sapi Dunia Konsumsi daging sapi dunia dalam kurun waktu 5 tahun terakhir meningkat sebesar 0,62% per tahun. Diperkirakan total konsumsi daging sapi dunia tahun 2018 mencapai 60,55 juta ton. Negara dengan nilai konsumsi daging sapi paling besar di dunia adalah USA dengan nilai konsumsi rata-rata 11,78 juta ton (19,96%) per tahun, disusul Brazil sebesar 7,80 juta ton (13,21%) dan Uni Eropa dengan nilai konsumsi rata-rata per tahun 7,76 juta ton (13,16%). China dan Argentina masing-masing menempati urutan keempat dan kelima dengan nilai konsumsi daging sapi 7,70 juta ton (13,05%) dan 2,50 juta ton (4,23%).
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
23
Bab 2. Gambaran Industri Komoditas Sapi
USA
19.96%
Lainnya
40.62%
Brazil
13.21% Uni Eropa
China
13.05%
13.16%
Gambar 2.2. Kontribusi konsumsi daging sapi dunia tahun 2014 – 2018 (Sumber: Outlook Daging Sapi, 2017).
2.2.3. Perdagangan Komoditas Daging Sapi Dunia Volume ekspor daging sapi dunia dalam kurun waktu 1980 – 2018 mengalami peningkatan rata-rata 2,44% per tahun. Setiap tahun rata-rata ekspor daging sapi dunia mencapai 6,85 juta ton setara karkas. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, pertumbuhan volume ekspor lebih rendah, yaitu sebesar 1,80% per tahun dengan rata-rata ekspor sebesar 9,76 juta ton setara karkas per tahun. Tercatat 72,30% ekspor daging sapi dunia hanya terkonsentrasi pada 5 negara, yaitu India, Brazil, Australia, USA, dan Selandia Baru. India merupakan negara kontributor terbesar dengan nilai ekspor daging sapi per tahun, mencapai 1.865 ribu ton setara karkas (19,11%). Brazil dan Australia masingmasing mengekspor 1.779 ribu ton (18,23%) dan 1.632 ribu ton (16,72%) daging sapi setara karkas per tahun. Sementara itu, USA berkontribusi sebesar 1.192 ribu ton (12,21%) dan Selandia Baru berkontribusi sebesar 589 ribu ton (6,03%) daging sapi setara karkas per tahunnya.
Photo: NSLIC/NSELRED
24
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
Lainnya
27.70%
India
19.11% Brazil
18.23% Selandia Baru
6.03%
USA
12.21%
Australia
16.72%
Gambar 2.3. Kontribusi negara pengekspor daging sapi dunia tahun 2014 – 2018 (Sumber: Outlook Daging Sapi, 2017).
2.3. Konteks Indonesia 2.3.1. Produksi Komoditas Indonesia Sejak tahun 1984 hingga 2017, produksi daging sapi nasional menunjukkan trend peningkatan rata-rata 2,85% per tahun. Dalam kurun waktu 2014 – 2018, produksi daging sapi nasional cenderung meningkat 1,74% per tahun. Selama kurun waktu tersebut, produksi daging sapi di Pulau Jawa meningkat tipis 0,94% per tahun, sementara di luar Jawa mengalami peningkatan sebesar 2,89% per tahun. Tahun 2017, produksi daging sapi nasional mencapai 531,76 ribu ton, atau mengalami kenaikan sebesar 4,95% dari tahun sebelumnya (2016) sebesar 518,48 ribu ton. Selama periode tahun 2013 – 2017, sentra produksi daging sapi di Indonesia berpusat di 9 provinsi dengan total kontribusi mencapai 72,3%. Provinsi Jawa Timur memberikan kontribusi 19,51% (99,88 ribu ton), Jawa Barat 14,18% (72,57 ribu ton), Jawa Tengah 11,34% (58,07 ribu ton), Banten 7,01%, Sumatera Barat 4,57%, DKI Jakarta 4,10%, Sulawesi Selatan 3,47%, dan Sumatera Selatan 3,23%.
Sejak tahun 1984 hingga 2017, produksi daging sapi nasional menunjukkan trend peningkatan rata-rata 2,85% per tahun. Dalam kurun waktu 2014 – 2018, produksi daging sapi nasional cenderung meningkat 1,74% per tahun.
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
25
Bab 2. Gambaran Industri Komoditas Sapi
Jawa Timur
21%
Lainnya
45%
Jawa Barat
15%
Jawa Tengah Banten
7%
12%
Gambar 2.4. Sentra produksi daging sapi di indonesia tahun 2013 – 2017 (Sumber: Outlook Daging Sapi, 2017).
2.3.2. Konsumsi Produk Nasional Konsumsi daging sapi nasional tahun 2017 adalah 2,40 kg/kapita/tahun. Dalam kurun 2012 – 2016 konsumsi daging sapi cenderung turun 1,86% per tahun. Lonjakan harga daging sapi pada tahun 2013 menyebabkan terjadinya penurunan konsumsi daging segar secara signifikan dari tahun 2012, yaitu 2,81 kg/kapita/tahun menjadi 2,30 kg/kapita per tahun. Harga jual daging sapi tahun 2012 adalah Rp 76.925/kg, mengalami kenaikan 17,52% menjadi Rp 90.401/kg pada tahun 2013. 2.4. Konteks Sulawesi Tenggara Sapi potong merupakan komoditas nomor dua setelah unggas yang memberikan sumbangsih pada produksi daging di Provinsi Sulawesi Tenggara. Komoditas ini tersebar di 17 daerah kabupaten/kota dengan total produksi daging sapi potong di tahun 2017 sebesar 5.103.796 kg. Lima daerah yang memberikan kontribusi terbesar terhadap produksi daging sapi di Provinsi Sulawesi Tenggara adalah Kabupaten Konawe Selatan (873.345 kg), Konawe (743.533 kg), Kolaka (539.518 kg), Bombana (280.396 kg), dan Muna Barat (203.680 kg). Sapi potong di Sulawesi Tenggara kebanyakan diusahakan sebagai usaha sampingan dalam skala kecil. Sistem pemeliharaan yang diterapkan masih berupa sistem pemeliharaan ekstensif dan semi intensif. Dalam pengusahannya, karena merupakan usaha kecil dengan skala rumah tangga, peternakan sapi potong melibatkan anggota keluarga yaitu suami, istri, dan anak. Perempuan memiliki peranan yang cukup besar dalam proses pemeliharaan, terutama saat penggembalaan ternak di padang penggembalaan.
26
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
Photo: NSLIC/NSELRED
BAB 3. RANTAI NILAI SAPI POTONG DI KABUPATEN BOMBANA
Bab 3. Rantai Nilai Sapi Potong di Kabupaten Bombana
3.1. Gambaran Umum Secara umum, rantai nilai usaha sapi potong di Kabupaten Bombana cukup sederhana. Rantai nilai melibatkan peternak sebagai produsen, pedagang perantara, tempat pemotongan hewan (TPH), usaha warung makan dan konsumen. Selain pihak tersebut, terdapat beberapa pihak yang memiliki peranan dalam mendukung rantai nilai inti, yaitu penyedia jasa transportasi, penyedia jasa keuangan, dan instansi pemerintah terkait. Rantai nilai ini memberikan gambaran utama supply-demand dari peternak hingga ke konsumen (gambar 3.1).
Supporting Services
Jasa IB (dokter/PPL)
Lembaga Keuangan
Informasi Pasar
Sapi hidup
Transportasi
Usaha/warung pengolahan
TPH
Konsumen
Pedagang daging
Core Value Chain Sapi hidup
Peternak
Sapi hidup
Pedagang lokal
Pengumpul/ Sapi hidup makelar
Konsumen
Pedagan besar
Sapi hidup
Sapi hidup
National market
Konsumen
Enabling Environment Bantuan sapi oleh pemerintah (dinas pertanian)
Peraturan bupati terkait larangan menjual sapi petani
Kebijakan pemerintah terkait dengan penggunaan lahan
Gambar 3.1. Rantai Nilai Komoditas Sapi di Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara
30
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
3.2. Rantai Nilai Inti Rantai nilai inti usaha sapi potong di Kabupaten Bombana terdiri atas peternak sebagai produsen, pedagang pengumpul, pedagang pemotong (TPH), usaha warung makan, dan konsumen. 3.2.1. Peternak Sapi Potong Tercatat jumlah sapi di Kabupaten Bombana terus meningkat. Tahun Tahun 2015 sebanyak 38.327 ekor. Meningkat menjadi 60.121 pada tahun 2017 (BPS, 2018). Dari publikasi BPS yang sama, tidak ada catatan berapa jumlah peternak yang ada di Kabupaten Bombana. Namun diperkirakan sebagian besar petani di Kabupaten Bombana memiliki sapi. Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, peternakan sapi potong di Kabupaten Bombana dilanda permasalahan yang cukup serius. Hasil wawancara dengan peternak di daerah ini menunjukkan ternak sapi potong yang dipelihara terkena serangan penyakit brucellosis. Brucellosis merupakan salah satu penyakit yang menyerang saluran reproduksi sapi. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Brucella abortus. Brucellosis ditandai dengan kejadian abortus (keguguran) pada kebuntingan tua (Setiawan, 1991). Laporan hasil pemeriksaan sampel darah sapi potong oleh Balai Besar Veteriner Maros di awal tahun 2018 menunjukkan bahwa serangan brucellosis di Kabupaten Bombana telah mencapai angka 21%. Serangan penyakit brucellosis di Kabupaten Bombana memberikan dampak merugikan bagi peternak sapi potong. Penyakit ini menyebabkan sapi betina mengalami abortus pada trimester III kebuntingan sehingga tidak dapat melahirkan anak. Hal ini tentu saja memberikan kerugian bagi peternak. Pengaruh jangka pendek yang ditimbulkan brucellosis adalah kerugian ekonomi peternak. Terjadi kehilangan pendapatan akibat abortus yang dialami induk sapi sehingga anak sapi tidak lahir. Selain itu, kerugian juga dialami oleh pemerintah, yaitu dari aspek pengeluaran anggaran untuk program inseminasi buatan. Inseminasi buatan yang dilakukan terhadap induk yang terkena brucellosis dipastikan akan mengalami kegagalan. Kondisi ini tentu saja memerlukan perhatian dan penanganan yang serius dan berkelanjutan dari pihak-pihak terkait. Jika tidak ditangani sesegera mungkin, kondisi ini dapat menurunkan produktivitas ternak dan menyebabkan kerugian dalam jumlah besar. Pengaruh jangka panjang yang mungkin timbul adalah terjadi penurunan populasi sapi potong yang dapat menurunkan produksi daging sapi nasional. Lebih jauh, serangan brucellosis berpotensi mengganggu pencapaian program swasembada daging di tahun 2026. Analisis rantai nilai menunjukkan bahwa permasalahan utama rantai nilai usaha sapi potong berada pada pihak produsen (peternak). Saat ini, sapi potong yang dibudidayakan di Kabupaten Bombana terserang penyakit brucellosis. Munculnya penyakit ini disebabkan oleh 3 faktor utama, yaitu (1) pola pemeliharaan ternak dilakukan secara ekstensif dan semi intensif sehingga ternak sulit dikontrol. Sistem perkawinan ternak yang diterapkan mayoritas adalah perkawinan alam, (2) program inseminasi buatan (IB) belum dilaksanakan secara optimal, dan (3) rendahnya pengendalian penyakit dan lalu lintas ternak di Kabupaten Bombana. Peternak menjual sapi umumnya kepada para penumpul atau kaki tangan pengumpul yang datang ke desa-desa dimana para peternak berada. Dalam beberapa kasus, peternak juga menjual kepada peternak lainnya, terutama ketika menjual anakan atau bibit sapi.
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
31
Bab 3. Rantai Nilai Sapi Potong di Kabupaten Bombana
3.2.2. Pedagang Pengumpul Pedagang pengumpul melakukan pembelian sapi potong langsung kepada peternak. Pedagang pengumpul biasanya memiliki kaki tangan yang datang ke peternak di desa-desa. Terlebih di Kabupaten Bombana belum ada pasar hewan yang memungkinkan pembeli dan penjual melakukan transaksi. Karena sistem penjualan yang ada di Kabupaten Bombana lebih banyak diinisiasi oleh para pengumpul, harga jual sapi peternak ditentukan oleh pedagang pengumpul berdasarkan estimasi besar dan bobot karkas sapi. Pedagang pengumpul kemudian menjual sapi kepada pedagang antar pulau atau pedagang pemotong dan dapat langsung kepada konsumen. 3.2.3. Pedagang Pengumpul Antarpulau Pedagang pengumpul antarpulau melakukan aktivitas pembelian sapi potong dari pedagang pengumpul untuk dijual baik kepada peternak, pedagang pengumpul, atau ke konsumen di luar daerah Kabupaten Bombana. Harga jual sapi juga ditentukan berdasarkan estimasi bobot karkas. 3.2.4. Pedagang Pemotong Pedagang pemotong memberikan layanan penjualan daging sapi segar kepada konsumen dan usaha warung makan. Sapi diperoleh langsung dari petani atau melalui pedagang pengumpul, penghubung/ makelar. Sapi yang telah dibeli kemudian dibawa ke TPH untuk dilakukan pemotongan. Daging sapi segar, tulang, dan hasil ikutan lainnya kemudian dijual kepada konsumen. 3.2.5. Tempat Pemotongan Hewan Terdapat 2 unit tempat pemotongan hewan di kabupaten Bombana. Dari 2 TPH yang ada, 1 TPH merupakan TPH milik pemerintah dan 1 TPH milik perorangan. TPH milik perorangan terdapat di Kecamatan Lantari Jaya. TPH tersebut memiliki izin operasi yang dikeluarkan Dinas Perindustrian Kabupaten Bombana. TPH ini menyediakan jasa pemotongan sapi sekaligus menjual daging sapi segar dan daging sapi giling. 3.2.6. Pengusaha warung makan Terdapat 2 jenis warung makan yang menjual olahan daging sapi, yaitu warung coto makassar dan bakso. Kedua jenis usaha ini mendapatkan pasokan daging dari pedagang pemotong. Para pengusaha warung makan di Bombana menyatakan bahwa pasokan daging segar dan daging giling tersedia sepanjang waktu. Tidak terdapat permasalahan yang berarti untuk pasokan daging segar. 3.3. Rantai Pendukung Rantai nilai pendukung sapi potong di Kabupaten Bombana terdiri atas penyedia jasa transportasi, jasa keuangan, dan instansi pemerintah terkait. 3.3.1. Jasa transportasi Jasa transportasi merupakan usaha milik perorangan yang menyediakan sarana angkutan darat untuk memindahkan sapi dari satu lokasi ke lokasi lain. Pengguna jasa transportasi paling banyak adalah pedagang pengumpul, pedagang antar pulau, dan pedagang pemotong. 3.3.2. Jasa keuangan Terdapat beberapa lembaga penyedia jasa keuangan di Kabupaten Bombana. Namun demikian, penyedia
32
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
Photo: NSLIC/NSELRED
jasa keuangan yang paling banyak diminati adalah Bank BRI melalui program kredit usaha rakyat (KUR). KUR banyak diminati peternak karena memiliki bunga rendah (7% per tahun dan agunan 55% dari plafon pinjaman) dan persyaratan pengajuan kredit tergolong mudah. 3.4. Aturan dan Regulasi yang Mendukung (Enabling Environment) 3.4.1. Program Pemerintah Terkait Instansi pemerintah yang terlibat dalam rantai nilai pendukung adalah Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian, Perdagangan, UKM dan Koperasi serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bombana. Dinas Pertanian memberikan bantuan gratis berupa vaksin, obat-obatan, dan semen beku untuk program Inseminasi Buatan (IB). Dinas Pertanian juga menyediakan fasilitas pendampingan dan pelayanan melalui Tenaga Penyuluh Lapangan, dokter hewan, dan fasilitas Pusat Kesehatan Hewan. Dinas Perindustrian memfasilitasi pendirian koperasi peternak, izin usaha tempat pemotongan hewan (TPH), dan izin usaha warung makan. Sementara itu, Bappeda Kabupaten Bombana bekerja sama dengan pihak Perguruan Tinggi di Sulawesi Tenggara melakukan kajian pengembangan sentra kawasan peternakan Kabupaten Bombana.
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
33
Bab 3. Rantai Nilai Sapi Potong di Kabupaten Bombana
Khusus di Dinas Pertanian Kabupaten Bombana, beberapa program yang mendukung pengembangan usaha sapi potong yaitu: 1. Program pemberian obat-obatan dan vaksin secara gratis, termasuk vaksin antrax dan brucella pada tahun 2016 – 2018. 2. Pembangunan 6 unit pos kesehatan hewan di Kec. Kabaena, Lantari Jaya, Poleang Barat, Poleang Selatan, Kabaena Timur, dan Rarowatu Utara. 3. Pembangunan 3 unit pos IB di Kecamatan Lantari Jaya, Rarowatu Utara, dan Poleang Selatan. 4. Program Gerakan Pengembangan Pakan Ternak Berkualitas (Gerbangpatas) meliputi penanaman kebun bibit 25 hektar di desa Karya Jaya dan Kelurahan Poleang Mekar, Kecamatan Poleang Utara. 5. Pelatihan kewirausahaan dan pasca panen pada kelompok ternak. 6. Pembuatan demplot rumput unggul untuk pakan ternak. 3.4.2. Kebijakan dan Perizinan Industri daging sapi di Indonesia diatur dan didukung oleh berbagai kebijakan, peraturan dan program sektor nasional, termasuk Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK). Tujuan PSDSK adalah meningkatkan laju pertumbuhan rata-rata tahunan kawanan sapi potong Indonesia sebesar 12,4% dan meningkatkan produksi daging sapi sebesar 10,4%. Anggaran Rp 10,65 triliun dialokasikan untuk program lima tahun. Presiden Indonesia saat ini Joko Widodo (terpilih pada Juli 2014) juga memprioritaskan pengembangan sektor pertanian di Indonesia, termasuk sektor daging sapi. Visinya mencakup pembentukan koperasi pemuliaan tingkat desa di setiap desa produksi ternak, dan penyediaan teknologi dan informasi untuk meningkatkan pakan ternak dan manajemen pemeliharaan. Sejalan dengan kebijakan nasional, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, menetapkan tiga daerah sebagai kawasan pengembangan ternak sapi yakni Kabupaten Muna, Kabupaten Bombana dan Kabupaten Konawe Selatan. Berbagai bantuan telah dikucurkan kepada peternak yang ada di tiga kabupaten tersebut agar bisa mengembangkan produksi sapi para kelompok peternak. Standard daging sapi nasional (SNI 3932: 2008) telah diberlakukan. Akan tetapi, hanya ada sedikit penegakan standar dan oleh karena itu tidak relevan untuk berdagang. Standar-standar ini menentukan parameter kualitas ternak (usia, jenis kelamin, jenis kelamin), daging sapi (potongan, otot dan warna lemak, marbling), proses (pembekuan), sertifikasi dan pelabelan (halal), dan standar mikrobiologi. Namun, ini tidak secara luas diakui, diterima atau digunakan. Akibatnya, standar kualitas memiliki pengaruh yang sangat kecil terhadap harga sapi atau daging sapi. Kebijakan dan perizinan yang mendukung diimplementasikan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, UKM, dan Koperasi. Dinas tersebut memberikan izin usaha bagi pelaku usaha peternakan seperti TPH dan warung makan (SITU, SIUP). Dinas Perindustrian Kab. Bombana juga memfasilitasi pembentukan 6 lembaga koperasi peternakan di Kabupaten Bombana. Kebijakan yang turut mendukung pengembangan populasi ternak sapi potong adalah larangan pemotongan sapi betina produktif berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 2014 (pasal 18 ayat 4) tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kebijakan tersebut diimplementasikan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Bombana dengan melarang pemotongan betina produktif. Sosialisasi kebijakan tersebut kepada peternak dan TPH dilakukan secara rutin.
34
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
Photo: NSLIC/NSELRED
BAB 4. ANALISIS DAN STRATEGI PENGEMBANGAN
Bab 4. Analisis dan Strategi Pengembangan
4.1. Potensi Pasar Produksi daging sapi di pasar dunia pada tahun 2014 – 2018 mengalami peningkatan dalam jumlah kecil, yaitu 0,67% per tahun. Rata-rata produksi daging sapi dunia dalam rentang waktu tersebut adalah 60,98 juta ton setara karkas. Konsumsi daging sapi dunia dalam waktu yang sama juga mengalami peningkatan 0,62% per tahun, dengan rata-rata konsumsi 60,55 juta ton setara karkas per tahun. Pasar nasional menunjukkan bahwa produksi daging sapi Indonesia mengalami peningkatan sebesar 1,74% per tahun. Sementara itu, nilai konsumsi daging sapi nasional mengalami penurunan 1,86% per tahun. Meskipun demikian, perbedaan antara volume ekspor dan impor daging sapi terus bertambah. Tahun 2016, Indonesia mengalami defisit daging sapi dan melakukan impor mencapai 132,74 ribu ton.
132,736
107,172
150.000
87,196
100.000
51,344
50.000 3
7
150.000 2014
Ekspor
2015
15 2016
Impor
25
2017
Gambar 4.1. Perbandingan volume ekspor dan impor daging sapi Indonesia, 2014 – 2017 (Sumber: Outlook Daging Sapi, 2017)
4.2. Akar Masalah untuk Pengembangan Masalah yang dihadapi di komoditas sapi di Bombana setidaknya dapat dilihat dari 2 faktor: faktor produksi dan faktor pemasaran. Dari sisi produksi, masalah yang dihadapi keguguran sapi bunting karena terkena penyakit Brucella. Munculnya penyakit Brucellosis setidaknya disebabkan oleh pengendalian penyakit yang kurang berjalan optimal dan sistem kawin alami. Akar masalahnya secara detail dapat dilihat pada gambar 4.2. Sementara dari sisi pasar, meskipun peternak relatif tidak mengalami kesulitan untuk menjual ternak mereka. Namun demikian, peternak tidak mendapatkan informasi harga pasar ternak sapi. Salah satunya karena tidak tersedia informasi pasar ternak dan belum adanya pasar komoditas sapi di Kabupaten Bombana.
38
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
Pendapatan Peternak Tidak Optimal
Masalah Utama
Why
Produktivitas ternak rendah karena induk bunting mengalami keguguran
Why
Induk bunting terkena penyakit Brucella
Why
UC
Ternak lebih banyak dipelihara di padang pengembalaan
Padang pengembalaan semakin terbatas dan belum dikelola
Pasar sapi belum ada
Pengendalian penyakit kurang berjalan
Sistem kawin alami
Why
Harga sangat tergantung negosiasi antara pengumpul dan peternak
Kawin IB masih terbatas
Informasi jasa kawin IB masih terbatas
Ternak tidak dikandangkan
Kontrol terkait dengan penyakit sangat tergantung pada subsidi
Pengedalian lalu lintas ternak antar kabupaten tidak berjalan
Insentif untuk pengurus dan anggota rendah
Kelembagaan untuk pengendalian lalu lintas ternak lemah
Informasi harga sapi belum tersedia
Gambar 4.2. Pohon Masalah Kerugian ekonomi yang timbul akibat serangan Brucellosis tidak hanya dialami oleh peternak, tetapi juga oleh pihak pemerintah daerah. Peternak kehilangan kesempatan menjual anak sapi akibat abortus. Sementara itu pemerintah mengalami kerugian dari anggaran program IB dan retribusi daerah dari perdagangan anak sapi.
Tabel 4.1. Estimasi Perhitungan Kerugian Peternak Akibat Brucellosis untuk Setiap 100 Ekor Sapi Kondisi Sapi
Jumlah Induk
CR
Beranak
Jumlah Anak
Harga anak/ ekor
Pendapatan Total
Durasi Waktu (bln)
Pendapatan per bulan
Normal
100
80%
80
80
Rp 4.000.000
Rp 320.000.000
24
Rp 13.333.333
Brucella
100
0%
0
0
Rp 4.000.000
Rp
24
Rp
Kerugian
-
Rp 320.000.000
-
Rp 13.333.333
Sumber: Data olah, 2018
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
39
Bab 4. Analisis dan Strategi Pengembangan
Tabel 4.1. memperlihatkan estimasi perhitungan untuk setiap 100 ekor induk yang terserang Brucellosis. Diestimasikan dari 100 ekor sapi induk terjadi kerugian sebesar Rp 320.000.000 dalam jangka waktu 2 tahun atau sebesar Rp 13.333.333 per bulan. Laporan yang dirilis oleh BBVET Maros menunjukkan bahwa serangan Brucellosis di Kabupaten Bombana telah mencapai angka 21%. Dengan total populasi sapi potong 60.121 ekor, maka jumlah sapi potong terserang Brucellosis mencapai 12.625 ekor. Dengan demikian, estimasi total kerugian yang dialami peternak adalah Rp 40.400.000.000 dalam jangka waktu 2 tahun (tabel 4.2).
Tabel 4.2. Estimasi Perhitungan Kerugian Peternak Akibat Brucellosis di Kabupaten Bombana Kondisi Sapi
Jumlah Induk
CR
Beranak
Jumlah Anak
Harga anak/ ekor
Pendapatan Total
Durasi Waktu (bln)
Jika normal
12.625
80%
10.100
10.100
Rp 4.000.000
Rp 40.400.000.000
24
Rp 1.683.333.333
Brucella
0
0%
0
0
Rp 4.000.000
Rp
24
Rp
Kerugian
-
Rp 40.400.000.000
Pendapatan per bulan
-
Rp 1.683.333.333
Sumber: Data olah, 2018
Selain kerugian yang langsung menimpa peternak, kerugian juga dialami oleh pemerintah. Kerugian pemerintah dapat berasal dari APBD untuk program IB. Tahun 2018, anggaran pengadaan nitrogen cair (N2) Kab. Bombana adalah Rp 18.000.000. Selain itu, pemerintah juga mengalami kerugian akibat hilangnya retribusi perdagangan anak sapi. Diestimasikan kegrian tersebut mendapai 4,2 juta rupiah per bulan, sebagaimana tertera dalam tabel 4.3.
Tabel 4.2. Estimasi Perhitungan Kerugian Pemerintah Akibat Pendapatan Restribusi yang Hilang Jumlah Induk
CR
Beranak
Jumlah Anak
Jika normal
12.625
80%
10.100
10.100
Rp 10.000
Rp 101.000.000
24
Brucella
0
0%
0
0
Rp 10.000
Rp
24
Kerugian
Harga anak/ ekor
Durasi Waktu (bln)
Kondisi Sapi
Pendapatan Total
Rp 101.000.000
Sumber: Data olah, 2018
40
-
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
Pendapatan per bulan Rp 4.208.333 Rp
Rp 4.208.333
Brucellosis merupakan penyakit yang bersifat zoonosis, atau dapat berpindah dari hewan ke manusia. Oleh karena itu, penyakit ini berpotensi menyerang manusia dan dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar. Total kerugian yang disebabkan Brucellosis mencapai Rp. 40.519.000.000. Nilai tersebut diperoleh dari kerugian peternak sebesar Rp. 40.400.000.000 dan kerugian pemerintah sebesar Rp. 119.000.000. 4.3. Visi Perubahan Pasar daging sapi nasional dalam waktu 5 tahun terakhir menunjukkan gap yang besar antara ekspor dan impor. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan daging sapi nasional belum dapat dipenuhi sendiri sehingga mengharuskan dilakukan impor daging sapi dalam jumlah besar. Menghadapi masalah ini, perlu dilakukan upaya peningkatan produksi daging sapi nasional maupun regional Sulawesi Tenggara. Analisis rantai nilai sapi potong di Kabupaten Bombana menunjukkan bahwa permasalahan terjadi di tingkat produsen, dalam hal ini peternak sapi potong. Ternak sapi yang dipelihara sebagian besar terserang penyakit Brucellosis sehingga produktivitas ternak menghasilkan anak menurun drastis. Sumber utama infeksi adalah keguguran sapi dimana fetus, plasenta, cairan fetus, dan susu sapi terinfeksi parah. Proses menelan pada padang rumput yang terkontaminasi, tempat tidur, makanan atau air, atau menjilati seekor fetus yang keguguran dapat menjadi cara umum penularan Brucellosis. Bahkan, infeksi juga dapat terjadi melalui puting susu oleh susu yang terinfeksi oleh sapi lain. Infeksi juga dapat terjadi melalui vagina oleh semen yang terinfeksi (Noakes, dkk. 2016). Penyebaran Brucellosis semakin dipercepat oleh kebiasaan peternak yang memelihara ternak secara ekstensif dan semi intensif. Pola pemeliharaan ini menjadikan ternak sulit dikontrol dan mudah terserang penyakit. Selain itu, kebiasaan peternak yang menerapkan metode kawin alam dan tidak menggunakan IB juga semakin memudahkan penyebaran Brucellosis dari satu ternak ke ternak lain. Pengendalian terhadap penyakit dan lalu lintas ternak juga menjadikan penyebaran penyakit semakin mudah. Tiga aspek inilah yang menjadi pilihan intervensi dengan fokus utama menghambat penyebaran dan menangani penyakit brucellosis di Kabupaten Bombana. Melalui perbaikan manajemen pengendalian penyakit dan lalu lintas hewan di Kabupaten Bombana, diharapkan potensi penyebaran Brucellosis dapat diminimalkan. Perbaikan sistem pemeliharaan dan perkawinan ternak diharapkan dapat membantu menjaga kondisi kesehatan ternak. Lebih lanjut, perbaikan manajemen pemeliharaan diharapkan dapat menunjang produktivitas ternak yang optimal. Dengan demikian visi perubahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: Pada fungsi utama: meningkatkan kemampuan pernak untuk mendapatkan pengetahuan dan layanan terkait dengan pengendalian penyakit, pemeliharaan hewan ternak dan mendapatkan informasi pasar. Pada fungsi pendukung: (1) Layanan teknis jasa pemeriksaan dan pencegahan penyakit Brucellosis; (2) Layanan jasa inseminasi buatan; (3) Pengelolaan padang penggembalaan; (4) Layanan akses informasi pasar alternatif. Pada fungsi regulasi/lingkungan yang mendukung: (1) Pengendalian lalu lintas ternak; (2) Dukungan untuk pengendalian penyakit Brucellosis.
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
41
Bab 4. Analisis dan Strategi Pengembangan
4.4. Pilihan Intervensi
INTERVENSI I Program Pengendalian Penyakit Untuk pengendalian penyakit Brucellosis dapat dilakukan dengan dua cara: yaitu pemeriksanaan dan vaksinasi ternak. Vaksinasi merupakan upaya meningkatkan kekebalan tubuh ternak terhadap jenis bakteri maupun virus tertentu. Salah satu penyebab munculnya Brucellosis di Kabupaten Bombana adalah karena tidak dilakukannya program vaksinasi Brucellosis secara berkala. Hal ini kemungkinan dipicu oleh rendahnya angka serangan Brucellosis pada tahun-tahun sebelumnya, sehingga peternak merasa tidak perlu melakukan vaksinasi Brucellosis bagi ternaknya. Selain itu, rendahnya tingkat pemahaman peternak tentang pentingnya program vaksinasi juga menjadi salah satu pemicu. Intervensi melalui sosialisasi pentingnya program vaksinasi terhadap ternak diharapkan dapat meningkatkan pemahaman peternak. Selain itu, intervensi berupa penyediaan jasa vaksinasi ternak dapat dijadikan salah satu solusi pencegahan penyebaran penyakit Brucellosis. Hasil analisis:
Tabel 4.3. Analisis SWOT Layanan Pemeriksaan Hewan Ternak Kekuatan (Strength)
Kelemahan (Weakness)
Keinginan peternak agar ternaknya bebas dari Brucellosis.
Pemahaman peternak tentang vaksinasi masih rendah.
Terdapat sarana poskeswan
Hanya terdapat 1 tenaga dokter hewan.
Peluang (Opportunities)
Ancaman (Threats)
Program vaksinasi ternak oleh Dinas Pertanian Kab. Bombana. Program pendampingan kelompok ternak oleh PPL Peternakan.
Penolakan oleh peternak dan pedagang pengumpul antarpulau. Harga vaksin cukup mahal.
Terdapat Asosiasi Dokter Hewan.
Analisis SWOT menunjukkan bahwa intervensi pengendalian kesehatan dan lalu lintas ternak memiliki peluang yang cukup baik dalam mengatasi dan mencegah penyebaran penyakit pada ternak. Kerja sama dengan instansi pemerintah dan pihak-pihak terkait, seperti asosiasi dokter hewan dan tenaga PPL Peternakan dengan memanfaatkan fasilitas yang telah tersedia dapat membantu dalam menangani dan mencegah penyabaran penyakit ternak di Kabupaten Bombana. Metode intervensi ini tidak hanya mencegah penyebaran penyakit, tetapi juga dapat dijadikan sebagai salah satu media untuk mendeteksi ternak yang terserang Brucellosis sekaligus menentukan tindakan penanganan yang tepat. Pemerintah memiliki program untuk pengendalian penyakit Brucellosis. Namun demikian, jika hanya mengandalkan bantuan pemerintah saja, kemungkinan pengendalian ini tidak bisa optimal karena sangat terkait dengan siklus penganggaran. Mekanisme pasar harus diperkenalkan sehingga layanan dapat terus dikembangkan. Model bisnis yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut:
42
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
Jasa Pendukung Penyedia input obat-obatan
Rp Barang
Dokter/Mantri Hewan Jasa Pemeriksaan dan vaksinasi
Rp
Peternak Peningkatan kapasitas layanan Dukungan Pemerintah Untuk Dokter/mantri hewan
Bekerjasama dengan Perhimpunan dokter hewan/ mantri untuk mengembangkan jasa untuk pemeriksanan, vaksiniasi pencegahan penyakit pada hewan ternak. Di satu sisi dukungan dari Dinas Peternakan untuk membantu Perhimpunan dokter hewan/mantri hewan untuk memberikan jasa pemeriksanan, vaksiniasi pencegahan penyakit pada hewan ternak.
Gambar 4.3. Bisnis Model Penyedia Layanan Pemeriksanaan dan Vaksinisasi
INTERVENSI II Program Inseminasi Buatan (IB) Kebiasaan masyarakat Kabupaten Bombana mengawinkan ternaknya dengan metode kawin alam merupakan salah satu faktor yang mempercepat proses penyebaran Brucellosis. Brucellosis ditularkan dari satu ternak ke ternak lainnya saat terjadi kontak antara ternak jantan dan betina saat perkawinan. Prosentase penularan Brucellosis melalui kawin alam cukup tinggi. Salah satu upaya pencegahan terjadinya penyebaran Brucellosis adalah melalui penerapan program inseminasi buatan. Induk dan sperma pejantan yang digunakan pada program IB dapat dipilih berasal dari induk dan pejantan yang bebas Brucellosis. Selain itu, penyediaan jasa IB juga dapat menjadi juga dapat meningkatkan produktivitas hewan ternak. Analisis SWOT terhadap intervensi ini sebagai berikut:
Tabel 4.4. Analisis SWOT Layanan Inseminasi Buatan (IB) Kelemahan (Weakness)
Kekuatan (Strength)
Pemahaman peternak tentang IB masih rendah
Tersedia bibit sapi Budaya masyarakat beternak sapi sangat tinggi Terdapat poskeswan
Kebiasaan peternak mengawinkan ternak dengan kawin alam Terbatasnya tenaga inseminator Ancaman (Threats)
Peluang (Opportunities) Terdapat asosiasi dokter hewan Program IB oleh Dinas Kab. Bombana Program pendampingan kelompok ternak oleh PPL Peternakan
Penolakan peternak terhadap program IB
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
43
Bab 4. Analisis dan Strategi Pengembangan
Photo: NSLIC/NSELRED Analisis SWOT menunjukkan bahwa intervensi program IB dapat menjadi salah satu alternatif pencegahan penyebaran penyakit ternak. Selain itu, IB juga dapat mengoptimalkan produktivitas ternak melalui pemanfaatan bibit unggul yang tersedia. Namun demikian, proses mengubah persepsi dan kebiasaan masyarakat tentang IB memerlukan pendekatan khusus dan waktu yang cukup lama. Model bisnis yang dapat dikembangkan tidak berbeda dengan layanan jasa pencegahan penyakit seperti pada intervensi I.
Jasa Pendukung Penyedia input untuk IB
Rp Barang
Dokter/Mantri Hewan Jasa IB
Rp
Peternak Peningkatan kapasitas layanan
Bekerjasama dengan Perhimpunan dokter hewan/ mantri untuk mengembangkan jasa IB kepada peternak Di satu sisi dukungan dari Dinas Peternakan untuk membantu Perhimpunan dokter hewan/mantri hewan untuk memberikan jasa IB
Dukungan Pemerintah Untuk Dokter/mantri hewan
Gambar 4.4. Bisnis Model Penyedia Layanan IB
44
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
INTERVENSI III Pola Pemeliharaan Ternak Kebiasaan masyarakat Kab. Bombana yang memelihara ternak secara ekstensif dan semi intensif menjadikan ternak tidak dapat dikendalikan pola perkawinannya. Saat dilepaskan di padang penggembalaan, sapi jantan bebas mengawini sapi betina yang estrus. Hal ini menjadikan penyebaran Brucellosis tidak dapat dikendalikan. Ada dua pilihan model yang dapat dikembangkan yaitu, Pertama, intervensi untuk mengembangkan padang penggembalaan mengingat kebiasaan peternak dan jumlah ternak yang dimiliki cukup banyak kemungkinan sulit untuk mengkandangkan ternak mereka. Kedua, intervensi melalui program sosialisasi dan pendampingan tentang pentingnya mengandangkan dan mengontrol pola perkawinan ternak diharapkan sedikit demi sedikit dapat mengubah persepsi peternak sapi potong di Kabupaten Bombana. Intervensi pola pemeliharaan ternak ini memerlukan waktu yang cukup lama bila dibandingkan dengan intervensi lainnya. Namun demikian, jika pola pemeliharaan ternak dapat diarahkan ke pola pemeliharaan intensif, kondisi kesehatan ternak menjadi lebih mudah dikendalikan. Analisis SWOT intervensi ini sebagai berikut:
Tabel 4.5. Analisis SWOT Pemelihaan Hewan Ternak Kekuatan (Strength)
Kelemahan (Weakness)
Kebiasaan masyarakat untuk beternak sangat kuat
Kebiasaan masyarakat memelihara ternak secara ekstensif
Tersedia fasilitas kandang ternak Tersedia sumber pakan potensial Lahan untuk hijauan makanan ternak tersedia
Peternak tidak mau mengeluarkan biaya tambahan untuk pakan Peternak tidak terbiasa menanam hijauan makanan ternak
Peluang (Opportunities)
Ancaman (Threats)
Program pendampingan kelompok ternak oleh PPL Peternakan
Penolakan peternak terhadap pola pemeliharaan baru Harga pakan ternak berfluktuasi
Analisis SWOT menunjukkan bahwa intervensi pola pemeliharaan ternak menjadi pemeliharaan intensif membutuhkan waktu yang cukup lama, terlebih sebagian besar peternak memiliki jumlah hewan yang cukup banyak. Diperlukan program pendampingan yang berkelanjutan untuk dapat merubah persepsi dan kebiasaan peternak. Namun demikian, jika pola pemeliharaan ternak dapat diubah, maka kondisi kesehatan ternak dapat lebih mudah dikendalikan. Produktivitas ternak juga dapat menjadi lebih optimal. Pilihan lainnya, adalah mengembangkan model bisnis untuk memberikan layanan pemeliharaan hewan ternak melalui padang pengembangaan yang dikelola secara profesional. Selama ini, peternak memelihara hewan ternak pada lahan-lahan tidur atau lahan sawah yang belum ditanami. Dengan mengembangkan padang pengembalaan yang lebih profesional seperti di negara New Zealand. Dengan cara ini diharapkan hewan ternak yang dipelihara lebih terjaga, terawat, dan terkontrol. Model bisnis yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut:
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
45
Bab 4. Analisis dan Strategi Pengembangan
Jasa Pendukung Penyedia input untuk IB
Rp Dokter/Mantri Hewan Barang Jasa
Rp
Peternak Peningkatan kapasitas layanan
Dukungan Pemerintah Untuk Dokter/mantri hewan Gambar 4.5. Bisnis Model Penyedia Jasa Padang Penggembalaan
INTERVENSI IV Program Pengendalian Lalu Lintas Ternak Kabupaten Bombana merupakan salah satu daerah sentra sapi potong di Sulawesi Tenggara. Hal ini menyebabkan arus lalu lintas ternak dari dan keluar Bombana sangat besar. Namun demikian, pengawasan terhadap keluar masuknya ternak sapi potong di Kabupaten Bombana masih belum optimal. Lemahnya pengawasan terhadap lalu lintas ternak di Kab. Bombana menyebabkan penyebaran penyakit ke Kabupaten Bombana sangat terbuka. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit ternak adalah melalui pengendalian lalu lintas ternak. Pemeriksaan kondisi kesehatan ternak hendaknya dilakukan pada setiap ternak yang masuk dan keluar Kabupaten Bombana. Intervensi pengendalian kesehatan dan lalu lintas ternak dapat dilakukan untuk mengatasi dan mencegah penyebaran penyakit pada ternak.
Analisis rantai nilai sapi potong di Kabupaten Bombana menunjukkan bahwa permasalahan terjadi di tingkat produsen, dalam hal ini peternak sapi potong. Ternak sapi yang dipelihara sebagian besar terserang penyakit Brucellosis sehingga produktivitas ternak menghasilkan anak menurun drastis. Sumber utama infeksi adalah keguguran sapi dimana fetus, plasenta, cairan fetus, dan susu sapi terinfeksi parah.
46
Kajian Ekonomi Komoditas Sapi Kabupaten Bombana
Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2017. Provinsi Sulawesi Tenggara
dalam Angka 2017. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2018. Provinsi Sulawesi Tenggara
dalam Angka 2018. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2018. Statistik Daerah Sulawesi
Tenggara 2018. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2016. Buku Statistik Peternakan
dan Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Kementerian Pertanian RI. Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2017. Buku Statistik Peternakan
dan Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Kementerian Pertanian RI. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2016. Atlas Peta Potensi Pengembangan Kawasan Peternakan
Sapi Potong di Sulawesi Tenggara. Kementerian Pertanian RI. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2017. Outlook Daging Sapi. Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian. Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian. Jakarta.
Noakes, D. E., T. J. Parkinson, dan G. C. W. England. 2016. Reproduksi dan Obstetri
Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Setiawan, E. D. 1991. Brucellosis pada sapi. Wartazoa. 2(1): 22 – 25.
NSLIC/NSELRED Project: World Trade Center (WTC) 5, 10th floor Jl. Jenderal Sudirman Kav. 29-31 Jakarta 12920, Indonesia Tel: +62 21 5262282, +62 21 526 8668 www.nslic.or.id
NSLIC Project
@NslicNselred