Studi Kebijakan Pemerintah Daerah Atas Sektor Ekonomi Terpilih

Page 1

Program undertaken with the financial support of the Government of Canada provided through Global Affairs Canada

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah Atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

A Project implemented by



Studi Kebijakan Pemerintah Daerah Atas Sektor Ekonomi Terpilih



Daftar Isi Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar dan Kotak Daftar Istilah 1. Pendahuluan

1.1 1.2 1.3

Latar Belakang Pertanyaan Penelitian Tujuan Penelitian

1 2 2

2. Tinjauan

2.1. 2.2. 2.3. 2.4.

Making Market Works for the Poor (M4P) Analisis Kebijakan Publik Indikator Analisis Regulasi Batasan Studi

3 4 4 5

3.1. 3.2. 3.3.

Analisis Regulasi Studi Kualitatif Alur Penelitian

10 12 18

4.1. 4.2.

Pemetaan Regulasi Analisis Masalah Regulasi Nasional

30 30

5.1. 5.2. 5.3. 5.4.

Kota Gorontalo Kabupaten Gorontalo Utara Kota Kendari Kota Baubau

36 36 39 45

6.1. 6.2. 6.3. 6.4.

Regulasi tentang Pangan Industri Rumah Tangga Regulasi tentang Resi Gudang Regulasi tentang Rumah Potong Hewan Regulasi tentang Larangan Pemotongan Sapi Betina Produktif

36 36 39 45

Pustaka

3. Metode Penelitian

4. Analisis Regulasi 5. Implementasi Kebijakan pada Sektor Ekonomi Terpilih 6. Hambatan Regulasi Nasional di Daerah 7. Penutup

7.1. Kesimpulan 7.2. Rekomendasi

30 30


Daftar Tabel Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15. Tabel 16. Tabel 17. Tabel 18. Tabel 19. Tabel 20. Tabel 21. Tabel 22. Tabel 23. Tabel 24. Tabel 25.

Tahapan Supply and Demand Fungsi Pendukung Kriteria Analisis Regulasi Lokasi Studi Daftar Kebermasalahan Regulasi Nasional Temuan Inti Core Komoditas Sapi Kota Gorontalo Populasi Ternak Menurut Kabupaten/Kota (Ekor) Sapi Potong Temuan Faktor Pendukung Komoditas Sapi Kota Gorontalo Temuan Inti Core Komoditas Jagung Kota Gorontalo Luas Panen Kabupaten/Kota (Hektar) Jagung Temuan Faktor Pendukung Komoditas Jagung Kota Gorontalo Temuan Inti Core Komoditas Sapi Kabupaten Gorontalo Utara Temuan Faktor Pendukung Komoditas Sapi Kabupaten Gorontalo Utara Temuan Inti Core Komoditas Jagung Kabupaten Gorontalo Utara Temuan Faktor Pendukung Komoditas Jagung Kabupaten Gorontalo Utara Temuan Inti Core Komoditas Sapi Kota Kendari Populasi Ternak Provinsi Sulawesi Selatan Temuan Faktor Pendukung Komoditas Sapi Kota Kendari Temuan Inti Core Komoditas Rumput Laut Kota Kendari Produksi Rumput Laut Provinsi Sulawesi Selatan Temuan Faktor Pendukung Komoditas Rumput Laut Kota Kendari Temuan Inti Core Komoditas Rumput Laut Kota Baubau Temuan Faktor Pendukung Komoditas Rumput Laut Kota Baubau Temuan Komoditas Tenun di Kota Baubau Rekomendasi Studi

07 09 12 13 15 23 24 25 26 27 28 30 32 33 34 35 36 37 39 40 41 43 45 47 51

Daftar Gambar Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4.

Ruang Intervensi M4P (Sumber: DCED) Konsep M4P (Sumber: DCED) Alur Penelitian Hasil Pemetaan Regulasi Nasional terhadap Sektor Pilihan

4 5 13 14

Daftar Kotak Kotak 1.

Kota Gorontalo memiliki ketentuan insentif dan kemudahan berusaha

15


Daftar Istilah KTI : Kawasan Timur Indonesia M4P : Making Market Works for the Poor DCED : The Donor Committee for Enterprise Development Dinkes : Dinas Kesehatan RIA : Regulatory Impact Analysis OECD : Organisation for Economic Co-operation and Development RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah RegMap : Regulatory Mapping FGD : Focus Group Discussion UU : Undang-Undang PP : Peraturan Pemerintah Perpres : Peraturan Presiden Permen : Peraturan Menteri Perkaban : Peraturan Kepala Badan Kepmen : Keputusan Menteri RPH : Rumah Potong Hewan SIUP : Surat Izin Usaha Perdagangan NKV : Nomor Kontrol Verteriner BPOM : Badan Pengawas Obat dan Makanan Bappebti : Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi SITU : Surat Izin Tempat Usaha SKDU : Surat Keterangan Domisili Usaha HO : Izin Gangguan IUP : Izin Usaha Perindustrian IUI : Izin Usaha Industri TDU : Tanda Daftar Usaha TDI : Tanda Daftar Industri PTSP : Pelayanan Terpadu Satu Pintu SKA : Surat Keterangan Asal Barang BUMD : Badan Usaha Milik Daerah BUMN : Badan Usaha Milik Negara PT : Perseroan Terbatas PIRT : Pangan Industri Rumah Tangga IKM : Industri Kecil Menengah TDG : Tanda Daftar Gudang SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah IUI : Izin Usaha Industri UMKM : Usaha Mikro Kecil Menengah IUMK : Izin Usaha Mikro Kecil Perda : Peraturan Daerah


Kata Pengantar Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih ini merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh proyek National Support for Local Investment Climates/National Support for Enhancing Local and Regional Economic Development (NSLIC/NSELRED) untuk membantu mengidentifikasi hambatanhambatan regulasi sektor ekonomi terpilih, terutama di Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo serta Kota Kendari dan Kota Baubau di Provinsi Sulawesi Tenggara. Studi ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif dan menggunakan dua alat analisis yaitu Regulatory Mapping (RegMap) untuk memetakan regulasi nasional yang menghambat pengembangan sektor terpilih; dan Regulatory Impact Assesment (RIA) yang digunakan untuk menilai kualitas isi regulasi dan mutu proses saat regulasi tersebut dibuat. Berdasarkan hasil studi, terdapat 19 regulasi yang menghambat pengembangan komoditas unggulan daerah seperti sapi, jagung, rumput laut dan tenun. Regulasi tersebut bermasalah secara prinsip, aspek yuridis dan aspek substansi. Jenis produk hukum dimaksud terdiri dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Peraturan Kepala Badan. Secara khusus, regulasi-regulasi tersebut memuat persyaratan yang tidak relevan, prosedur yang rumit dan memiliki ketentuan biaya serta bertentangan dengan UU No. 23/2014 tentang pemerintah daerah, khususnya pembagian kewenangan (pusat-provinsikabupaten/kota). Selanjutnya masih terdapat ketentuan perizinan yang belum dilimpahkan kepada DPM-PTSP, merujuk pada Perpres No. 97 Tahun 2014. Selaku pimpinan proyek, Kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada tim konsultan yang telah berhasil memberikan informasi dasar mengenai studi kebijakan pemerintah daerah atas sektor ekonomi terpilih di wilayah kerja proyek. Besar harapan Kami agar hasil studi ini dapat memberikan manfaat bagi proyek dan pihak-pihak terkait, baik yang berada di Indonesia maupun di luar negeri.

Dr. Rino A. Sa’danoer Direktur Proyek



1. Pendahuluan 1.1

Latar Belakang

Akselerasi pembangunan daerah pinggiran (Nawacita #3: “Membangun dari Pinggiran�) menjadi salah satu agenda penting pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo saat ini. Melalui instrumen kebijakan (regulasi dan fiskal), pemerintah mendorong pembangunan sektor ekonomi terpilih yang berbasis strategi-fokus pada keunggulan wilayah. Strategifokus tersebut hendak menggerakan dukungan dan sinergi lintas sektor/aktor untuk mengarahkan segala program kerja terkait kepada dukungan pengembangan sektor terpilih yang ada. Suatu wujud kongkrit dalam rangkaian kerja tersebut adalah keterlibatan swasta, atau kemitraan pemerintah-swasta, lewat kegiatan ekonomi/ investasi lokal pada sektor-sektor terpilih berdaya saing tinggi. Motor utama penggerak ekonomi adalah para pelaku usaha (terutama skala UMKM), sementara pemerintah/pemda memberikan dukungan berupa kemudahan berusaha, instrumen insentif investasi, dan belanja pemerintah (fiskal) sebagai stimulans pertumbuhan. Tanpa jaminan dan dukungan nyata pemda berupa perbaikan iklim usaha kondusif dan fasilitas insentif fiskal maka produktivitas pelaku usaha swasta akan sulit bergerak dalam kekuatan optimal.

juga permasalahan pada sisi hulu terkait hambatan struktural dalam berusaha. Di sini, dukungan faktor perizinan, program pengembangan usaha dan akses infrastruktur ke sentra-sentra produksi belum tampak optimal guna meleverasi kinerja ekonomi berbasis komoditas atau sektor-sektor terpilih yang menjadi unggulan daerah. Bertujuan untuk memetakan kebijakan dan mendalami masalah riil sebagai langkah awal bagi pengembangan strategi intervensi (program) ke depan, National Support for Local Investment Climates/National Support for Enhancing Local and Regional Economic Development (NSLIC/ NSELRED) dan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) melakukan studi tentang kebijakan nasional maupun daerah yang mendorong sektor ekonomi terpilih. Studi ini dilakukan di empat daerah di wilayah Indonesia bagian timur, yaitu Kota Gorontalo, Kota Kendari, Kota Baubau dan Kabupaten Gorontalo Utara. Berdasarkan hasil pemetaan awal, dalam sektor ekonomi terpilih yang disasar sebagai obyek analisis penelitian ini terdiri dari komoditas jagung, sapi dan rumput laut2.

Ketertinggalan dan ketimpangan pembangunan, khususnya daerah-daerah pinggiran di Kawasan Timur Indonesia (KTI), tentu mesti ditingkatkan melalui pengembangan sektor ekonomi terpilih. Perhatian tidak saja berfokuvs kepada upaya hilirisasi komoditas ekspor utama yang memang dapat meningkatkan nilai dari produk unggulan1, namun

Bank Indonesia. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional: Laporan Nusantara. Jakarta: Agustus 2017.

1

Sejumlah komoditas dalam sektor ekonomi terpilih ini bersumber dari hasil olahan data/informasi NSLIC/NSELRED

2

01

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


1.2

Pertanyaan Penelitian

Mengalir dari permasalahan di atas, pertanyaan penelitian ini disusun dalam dua point berikut: 1. Bagaimana kebijakan nasional/daerah mengatur pengelolaan sejumlah komoditas dalam sektor ekonomi terpilih di daerah di daerah lokasi studi? 2. Bagaimana implementasi kebijakan nasional/daerah ihwal pengembangan sektor ekonomi terpilih bagi dunia usaha?

1.3

Tujuan Penelitian

Dalam rangka menjawab kedua pertanyaan penelitian tadi, studi ini diarahkan kepada pencapaian dua tujuan berikut: 1. Menganalisis kebijakan nasional/daerah yang mengatur pengelolaan sejumlah komoditas dalam sektor ekonomi terpilih di daerah lokasi studi. 2. Menilai efektivitas pelaksanaan kebijakan nasional/daerah di daerah lokasi studi perihal pengembangan sektor ekonomi terpilih bagi dunia usaha.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

02


2. Tinjauan Pustaka 2.1

Making Market Works for the Poor (M4P)3

Dari sisi proses, pembangunan ekonomi (investasi) daerah seharusnya merupakan kegiatan yang melibatkan seluruh pihak (investment for all), tidak hanya orang/kelompok masyarakat tertentu. Sementara dari sisi substansi, akselerasi pertumbuhan berkualitas bagi pengurangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja melalui investasi swasta merupakan tujuan fundamental dari perbaikan perekonomian lokal tersebut. Dengan merujuk pada konsep tersebut, pendekatan M4P dipilih sebagai kerangka pikir bagi pengembangan konsep dan operasional studi ini. Kerangka pikir M4P ini hendak mengawinkan kebijakan yang bertujuan untuk pengurangan angka kemiskinan melalui intervensi pada perkembangan pasar. Kemunculan M4P tak terlepas dari catatan pengalaman kurang menggembirakan para agen pembangunan dimana banyak intervensi belum berhasil memasukkan atau menarik orang miskin ke dalam arus utama kegiatan ekonomi. Alihalih, hasil-hasil intervensi yang ada tak jarang justru melanggengkan eksklusi, kerentanan dan ketergantungan di kalangan lapisan masyarakat miskin, yang pada gilirannya pasar tidak bekerja bahkan melempar mereka ke luar dari sistem interkasi para aktor ekonomi dominan. Mengalir dari refleksi kritis tersebut, banyak bukti menunjukkan pendekatan M4P dapat diandalkan sebagai kerangka kerja yang dapat digunakan secara fleksibel dan berbasis pada pengalaman di lapangan.

Strategi utama dalam M4P berpegangan teguh pada sejumlah point berikut: • Masyarakat miskin mesti berada di dalam sistem pasar yang lebih luas dan bahwa tujuan intervensi pembangunan adalah untuk merangsang sistem pasar tersebut agar bekerja secara lebih adil bagi kelompokkelompok yang kurang beruntung. • Perlunya pemahaman komprehensif tentang sistem pasar sebagai dasar semua intervensi, seperti pertanyaan soal mengapa pasar tersebut saat ini tidak bekerja untuk orang miskin dan bagaimana bisa kembali bekerja lebih efektif di masa depan. • Komitmen eksplisit terhadap keberlanjutan, yang berfokus kepada upaya merangsang dan menyelaraskan insentif dan kapasitas institusi lokal sehingga masyarakat memainkan peran yang lebih efektif dalam sistem pasar. • Para agen pembangunan tak melakukan peran dalam mengintervensi pasar secara langsung, namun mencoba untuk memfasilitasi pelaku pasar dan masyarakat untuk memainkan peran yang lebih efektif dalam sistem pasar. • Pendekatan intervensi yang digunakan harus sensitif terhadap kondisi pasar lokal dan sesuai dengan tujuan keberlanjutan proses pembangunan.

Marieke de Ruijter de Wildt, et.all. Making Markets Work for the Poor Comparative Approaches to Private Sector

3

Development. The Springfield Centre. 2006.

03

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


Terdapat tiga irisan intervensi yang disasar M4P dalam upaya pengurangan angka kemiskinan yang didekati lewat pengajuan sejumlah pertanyaan ini: di mana ada sejumlah besar kelompok yang kurang beruntung (baik sebagai produsen, pekerja atau konsumen)?; apakah ada peluang yang belum dimanfaatkan untuk kelompok-kelompok yang dapat melihat mereka tergabung secara lebih adil dalam arus utama ekonomi?; apakah mungkin untuk merangsang perubahan sistemik yang akan membawa penggabungan ini secara berkelanjutan?

Pro-poor potential High numbers of poor or disadvantaged groups (poor close to markets: producers, workers consumers)

Pro-poor growth potential “stepping up” (productivity/ market share) “Stepping out” (new markets, jobs, opportunities)

M4P intervention potential Feasibility of stimulating systemic market change

Gambar 1. Ruang Intervensi M4P (Sumber: DCED)

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

04


Tinjauan Pustaka

Dalam konsep M4P terdapat sejumlah komponen sebagai berikut:

Fungsi Pendukung Pelaku Pasar Sektor swasta Pemerintah Organisasi Keanggotaan

S

G

• • • • •

Infrastruktur R&D Finance Informasi Fungsi Lainya

• • •

Kebijakan Norma Standard

D

Lembaga Perwakilan Masyarakat sipil Regulasi

Gambar 2. Konsep M4P (Sumber: DCED) Berdasarkan kerangka kerja M4P, ruang lingkup pembahasan yang menjadi dasar analisis studi mencakup tiga ruang atau arena: supply and demand, regulasi, serta fungsi pendukung. Berikut penjelasan terkait ketiga hal tersebut: • Supply dan demand diartikan sebagai strategi inti dari kegiatan dalam rantai nilai. Sebuah rantai nilai usaha tentunya beroperasi dalam sistem pasar untuk input dan output (tanah, tenaga kerja, bahan baku, modal, jasa dll). Secara konvensional, pasar dipandang memiliki satu fungsi inti, pengiriman dan konsumsi barang atau jasa, struktur atau organisasi yang biasanya digambarkan dalam kaitannya dengan rantai nilai, sub-sektor atau cluster tertentu. • Regulasi diartikan sebagai aturan formal atau informal yang menjadi landasan dan kerangka bertindak untuk membentuk hasil pasar dan mengatur/mengendalikan arus keluar-masuk, operasi dan perilaku bisnis. Dengan memperhatikan bidang lingkungan yang mendukung, sebuah kebijakan atau peraturan khusus dapat memulai dan menentukan sifat pemberian layanan publik tertentu atau tindakan publik lainnya. Aturan meliputi norma informal, produk hukum formal, standar dan kode praktik lainnya, dst. • Fungsi pendukung mencakup aneka fungsi lainnya yang bersama-sama dengan regulasi dapat menentukan dan mendukung cara spesifik bekerjanya sistem pasar. Fungsi pendukung tentu bertujuan mendukung fungsi inti dari pasar, dan juga mendukung cara-cara di mana peraturan dirumuskan, diterapkan, ditafsirkan dan ditegakkan.

2.2

Analisis Kebijakan Publik

Dalam analisis kebijakan dan bentuk produk hukum yang mewadahi pengaturannya (regulasi), beberapa negara maju telah menggunakan alat bantu Regulatory Impact Analysis (RIA) secara konsisten dan berlaku di berbagai instansi. Melalui RIA, pemerintah dapat mengidentifikasi dampak dan ekspektasi masyarakat terhadap kebijakan regulasi. RIA merupakan alat analisis yang direkomendasikan oleh OECD untuk digunakan pemerintah dalam menyusun ataupun mengevaluasi kebijakan4.

05

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


Dalam studi ini, penggunaan alat bantu RIA bertujuan untuk menggali masalah kebijakan dan implementasi yang mempengaruhi kegiatan ekonomi lokal, merumuskan lagi tujuan yang ingin dicapai, rekomendasi kebijakan bagi pengembangan ekonomi berbasis sektor terpilih ke depan, dll. Dalam rangka peningkatan kinerja ekonomi dan daya saing daerah, segi-segi permasalahan yang harus mendapatkan perhatian adalah: • Kegagalan pasar (seperti kurangnya ketersediaan dan mutu informasi, beredarnya informasi yang menyesatkan, adanya eksternalitas atau barang publik, dan penggunaan kekuatan pasar yang berlebihan); • Kegagalan peraturan (seperti pemerintah memberlakukan pembatasan persaingan yang tidak untuk kepentingan umum); • Bahaya/risiko yang tak dapat diterima (seperti bahaya kesehatan dan keselamatan manusia, orang atau entitas yang memiliki risiko tidak dilengkapi untuk melakukan hal tersebut, atau ancaman kerusakan pada lingkungan fisik); atau • Masalah keadilan akses (seperti individu atau kelompok yang tidak dapat mengakses informasi pasar, barang atau jasa pasar yang tersedia)

2.3

Indikator Analisis Regulasi

Good Regulatory Quality5 Indikator analisis regulasi mengadopsi indikator kualitas regulasi yang dikembangkan OECD. Secara konseptual terdapat 8 prinsip yang menjadi ukuran derajat kualitas suatu regulasi: 1. Regulasi harus memiliki tujuan kebijakan yang jelas 2. Memiliki landasan hukum dan landasan empiris 3. Memiliki manfaat dengan mempertimbangkan distribusi dampak lintas stakeholder, dampak ekonomi, lingkungan dan sosial yang diperhitungkan 4. Mengurangi biaya dan distorsi pasar 5. Mempromosikan inovasi melalui insentif pasar yang berdasar pada tujuan 6. Jelas, sederhana, dan dapat diimplementasikan oleh masyarakat 7. Konsisten dengan kebijakan dan regulasi lainnya 8. Dapat menyesuaikan dengan iklim investasi dan perdagangan

Dalam penggunaannya, RIA dipakai untuk menganalisa secara sistematis dampak potensial dari tindakan pemerintah

4

berdasarkan kalkulasi biaya dan manfaat: mengukur efektivitas dari tindakan pemerintah dalam tujuan kebijakan dengan memyediakan pilihan alternatif tindakan bagi pemerintah. Lihat Laporan OECD. Regulatory Impact Analysis: A Tool For Policy Coherence. OECD: 2009 (p. 12) Claudio Radaelli and Oliver Fritsch. Measuring Regulatory Performance Evaluating Regulatory Management Tools And

5

Programmes. OECD: 2012

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

06


Tinjauan Pustaka

Review Regulasi KPPOD6 Selain menggunakan indikator kualitas regulasi yang baik, studi ini juga mengadopsi tiga aspek penilaian regulasi (kategori kebermasalahan) KPPOD yang menjadi kerangka analisis: a. Aspek yuridis merupakan aspek penilaian yang menitikberatkan kepada ketentuan regulasi dan komponen acuan hirarkis dalam peraturan perundangan yang menjadi konsideran. b. Aspek substansi merupakan aspek penilaian yang berfokus kepada substansi di dalam regulasi (konflik antara pasal, kualitas isi pengaturan, dll) c. Aspek prinsip ekonomi yang hendak menilai isi suatu regulasi perihal perkiraan dampak yang ditimbulkannya kepada masyarakat dan juga pelaku usaha. Berbagai indikator tersebut diterjemahkan dalam suatu instrumen review regulasi yang disiapkan khusus bagi keperluan studi ini. Selain itu, dari segi isi, analisa regulasi menimbang secara serius pula perspektif gender, lingkungan dan tata kelola pemerintahan yang baik sebagai dasar bagi penilaian kualitas isi kebijakan dimaksud. 2.4

Batasan Studi

Studi ini berfokus kepada analisis rantai nilai sektor terpilih (komoditas sapi, jagung dan rumput laut) di Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Terhadap ketiga komoditas tersebut dilakukan analisis isi regulasi (desk review) dan pendalaman situasi di lapangan (field research) melalui studi kualitatif sebagaimana terlihat dalam tabel 1 dan tabel 2 berikut ini: Tabel 1. Tahapan Supply and Demand Rata Nilai

Input

Teknologi

SDM

Komoditas: Sapi Sarana produksi

• •

Bibit/paket semen Induk produktif

Inseminasi

Inseminator

Budidaya

• •

Vaksinasi Pakan

Kapasitas kandang Peralatan kesehatan

Pengetahuan peternak Ketersediaan dokter hewan PPL

• •

Pemotongan

• • •

Kualitas sapi (standarisasi sapi siap potong) Sertifikasi halal Izin usaha Rumah Pemotongan Hewan

Teknologi pemotongan

KPPOD. Regulasi Usaha di Daerah: Kajian Perda Pungutan dan Perizinan. Jakarta: 2017

6

07

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

Keterampilan pemotong


Pemasaran

• • •

Rata Nilai

Kualitas daging (sertifikasi daging) Harga daging Export-import (harga, kuota)

• •

Input

Tempat penyimpanan Sistem pemantau stok

Teknologi

Pengecer yang terpercaya

SDM

Komoditas: Jagung Sarana produksi

• • • •

Budidaya

• • •

Bibit Kualitas, kuota dan distribusi pupuk Ketersediaan lahan Ketersediaan alat produksi

Teknologi hibrida/ pemilihan varietas bibit jagung unggul

Kualitas lembaga peneliti/produsen bibit

Pestisida Kualitas, kuota dan distribusi pupuk Izin Usaha Budidaya Tanaman Pangan

Teknologi pengairan

Kualitas dan tingkat upah Tenaga kerja/ buruh

Panen

Kualitas jagung (standarisasi kualitas jagung siap panen)

Teknologi panen

Kualitas dan tingkat upah Tenaga kerja/ buruh

Pemasaran

• • • •

Kualitas jagung (sertifikasi jagung) Harga jagung Export-import (harga) Retribusi jagung hibrida

Tempat penyimpanan (cek sistem resi gudang)

Pengecer yang terpercaya

Sistem pemantau stok

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

08


Tinjauan Pustaka

Rata Nilai

Input

Teknologi

SDM

Komoditas: Rumput Laut Sarana produksi

• •

Bibit Ketersediaan alat produksi (kapal, jala)

Teknologi hibrida/ pemilihan

Kualitas lembaga peneliti/produsen bibit

varietas bibit rumput laut unggul Budidaya

Peralatan budidaya

Peralatan budidaya

Kualitas dan tingkat upah Tenaga kerja/ buruh

Panen

Kualitas rumput laut (standarisasi kualitas rumput laut siap panen)

Teknologi panen

Kualitas dan tingkat upah Tenaga kerja/ buruh

Pengeringan

Kualitas rumput laut kering (standarisasi kualitas rumput laut kering)

Teknologi pengeringan

Kualitas dan tingkat upah Tenaga kerja/ buruh

Pemasaran

Kualitas rumput laut (sertifikasi rumput laut) Harga rumput laut Export-import (harga)

Tempat penyimpanan Sistem pemantau stok

Pengecer yang terpercaya

• •

Tabel 2. Fungsi Pendukung

Infrastruktur • • • •

09

Kondisi Jalan Kondisi pelabuhan Listrik Telekomunikasi

Logistik

Akses Modal

RTRW

Sarana transportasi (kualitas dan kapasitas truk, kapal dll)

Program pemerintah dan kemudahan dalam mengakses modal di lembaga keuangan (CU atau Bank)

Informasi wilayah/ tata ruang dengan peruntukan bagi pengembangan usaha peternakan sapi, pertanian jagung ataupun budidaya rumput laut

Pajak dan Retribusi Pajak dan retribusi yang terdapat dalam rantai nilai usaha di ketiga sektor terpilih tersebut

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

Kemitraan dengan swasta Jaringan kerja pelaku usaha


3. Metode Penelitian 3.1

Analisis Regulasi

Sebagai tahapan awal dalam studi ini dilakukan review produk hukum (desk study) untuk melihat masalah atau hambatan yang datang dari ranah kebijakan/regulasi (policy problem) terhadap kegiatan sektor ekonomi terpilih di daerah. Analisa ini dilakukan secara yuridis normatif7. Sumber data adalah dokumen (data) sekunder, terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier:8 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: a. Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; b. Peraturan Dasar c. Peraturan Perundang-undangan d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan (hukum adat) e. Yurisprudensi. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian atau pendapat pakar hukum. 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum/ensiklopedia. Penelitian yang berpendekatan hukum normatif ini dilakukan dalam dua tahapan, yakni: 1. Inventarisasi hukum positif sebagai suatu kegiatan pendahuluan yang mendasar, untuk mengetahui ketentuan norma hukum positif yang berlaku. Terdapat tiga kegiatan pokok dalam inventarisasi hukum: a.

Penetapan kriteria identifikasi norma hukum positif, yakni:

Regulasi Sektor Ekonomi Terpilih • Regulasi yang berkaitan dengan inti rantai nilai (supply-demand) pengembangan usaha sapi, jagung dan rumput laut • Regulasi berkaitan dengan fungsi pendukung rantai nilai yang terdiri dari: infrastruktur, logistik, akses modal, rencana tata ruang wilayah (RTRW), pajak dan retribusi, kemitraan dengan swasta dan tata kelola lahan. Ruang Lingkup Regulasi: • Regulasi Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota

b.

Mengoleksi norma-norma yang telah diidentifikasi sebagai norma hukum

c.

Melakukan pengorganisasian norma-norma yang telah diidentifikasi ke dalam satu sistem yang komperhensif.

Di sini penelitian hukum dilakukna atas aturan hukum tertulis berkenan sejumlah aspek: teori, sejarah, filosofi,

7

perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan. Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian hukum, Bandung: Citra A. Bakti, 2004, hlm.101-102. Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 118-119.

8

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

10


Metode Penelitian

2. Analisis regulasi memakai indikator kualitas regulasi KPPOD, dengan memasukan perspektif gender, lingkungan dan tata pemerintahan yang baik. Sebagaimana sudah disampaikan di atas, dalam review regulasi usaha (khususnya regulasi pungutan dan perizinan), KPPOD memiliki tiga kategori kebermasalahan: yuridis, substansi dan prinsip. Tiga kelompok masalah tersebut kemudian dikembangkan dengan memasukkan analisis terkait isu gender dan lingkungan, serta tahapan prosedural kegiatan usaha.

Regulasi Sektor Pilihan

Filter I Permasalahan Aspek Prinsip

Filter II Masalah Yuridis & Substansi

Setelah melakukan revisi dokumen, pada tahapan berikutnya dilakukan pemetaan regulasi yang dinilai paling menghambat kegiatan usaha sektor pilihan. Pemetaan tersebut dilakukan dengan menggunakan instrumen Regulatory Mapping (RegMap). Instrumen RegMap akan dilakukan dengan proses filterisasi dua tahap, yakni filter I (masalah aspek prinsip) dan filter II (masalah yuridis dan substansi).

11

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


Tabel 3. Kriteria Analisis Regulasi Aspek

Prinsip

Yuridis

Substansi

Kriteria

Keterangan

1.

Pelanggaran terhadap prinsip keutuhan wilayah ekonomi nasional

Sebuah regulasi menghambat pergerakan modal, tenaga kerja atau produk barang/jasa dari satu daerah ke daerah lain dalam wilayah NKRI.

2.

Persaingan usaha tidak sehat

Sebuah regulasi menghambat pelaku usaha untuk berkompetisi secara sehat atau sebaliknya justru membuka peluang monopoli.

3.

Beban biaya

Sebuah regulasi memiliki beban biaya atau penetapan tarif tidak sesuai ketentuan regulasi yang lebih tinggi

4.

Beban persyaratan

Sebuah regulasi memiliki daftar persyaratan yang cukup banyak untuk dipenuhi. Persyaratan tersebut berpotensi tumpang tindih dengan regulasi lainnya.

5.

Hambatan Akses Masyarakat dan Kepentingan Umum

Regulasi membedakan pemanfaatan akses pribadi, badan atau masyarakat dalam memanfaakan obyek bagi kepentingan umum (potensi hambatan bagi masyarakat atas akses terhadap lingkungan dan diskriminasi gender)

6.

Konflik peraturan perundang-undangan

Sebuah regulasi tidak memiliki kelengkapan landasan hukum yang sesuai dengan isi regulasi (konflik vertikal-horizontal)

7.

Inkonsistensi ketentuan yuridis

Sebuah regulasi memiliki inkonsistensi norma yang satu dengan norma lainnya pada satu regulasi yang sama.

8.

Ketentuan yuridis yang tidak lengkap

Sebuah regulasi tidak memiliki kelengkapan muatan sebagaimana syarat minimum yang telah ditetapkan oleh regulasi yang lebih tinggi

9.

Ketidaksesuaian tujuan dengan isi

Regulasi tak memiliki kesesuaian antara tujuan yang hendak dicapai dengan materi yang diatur perda tersebut.

10. Ketidakjelasan subjek dan objek yang diatur

Regulasi tidak menjelaskan secara spesifik dan eksplisit atas subjek dan objek yang dimaksud oleh regulasi sehingga tidak menimbulkan penyimpangan atau multitafsir dalam implementasi.

11. Ketidakjelasan hak dan kewajiban masyarakat atau pihak ketiga

Regulasi tidak menyebutkan secara jelas dan terperinci perihal apa saja yang menjadi hak dan kewajiban bagi masyarakat/pihak ketiga yang berkepentingan.

12. Ketidakjelasan hak dan kewajiban pemda

Regulasi tidak menyebutkan secara jelas dan terperinci perihal apa saja yang menjadi hak dan kewajiban bagi Pemda yang berkepentingan.

13. Ketidakjelasan standard waktu, biaya dan prosedur, atau struktur dan standar tarif

Regulasi tidak menggambarkan standard waktu, biaya dan prosedur; penetapan struktur dan standar tarif yang jelas agar terhindar multitafsir dan peluang praktik pungli

14. Ketidaksesuaian kewenangan pemerintah

Regulasi dan ketentuan yang diatur tidak sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing level dan jurisdiksi suatu entitas pemerintahan.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

12


Metode Penelitian

3.2

Studi Kualitatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Tujuan dari pemakaian jenis penelitian tersebut adalah memberikan gambaran situasi dan lingkungan kebijakan yang mempengaruhi kejadian di wilayah studi. Teknik pengambilan data menggunakan wawancara mendalam (in-depth interview) dan juga diskusi terfokus (FGD) terhadap stakeholder yang memiliki keterkaitan dengan topik studi. Studi ini dilakukan di empat kabupaten/kota dalam yurisdiksi dua propinsi berbeda, yakni Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo Utara di Provinsi Gorontalo serta Kota Kendari dan Kota Baubau di Provinsi Sulawesi Tenggara. Mengingat masing-masing daerah memiliki keunikan dan jenis komoditi pilihan yang berbeda, studi ini membuat klasifikasi sebagaimana terlihat pada tabel 4 berikut ini: Tabel 4. Lokasi Studi Kabupaten/Kota Provinsi Gorontalo

Provinsi Sulawesi Tenggara

3.3

Jenis Komoditas

1. Kota Gorontalo

Komoditas sapi dan jagung

2. Kabupaten Gorontalo Utara

Komoditas sapi dan jagung

1. Kota Kendari

Komoditas sapi dan rumput laut

2. Kota Baubau

Komoditas tenun dan rumput laut

Alur Penelitian

Regmap

Output

Analisis Regulasi

Rekomendasi kebijakan (policy brief) Wawancara dan FGD Studi Kualitatif

Gambar 3. Alur Penelitian

13

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


4. Analisis Regulasi

Dalam pembahasan ini hendak dijelaskan beberapa temuan perihal hambatan yang datang dari regulasi nasional terhadap bagi pengembangan komoditas sektor pilihan yakni jagung, rumput laut dan sapi di lapangan (tingkat lokal). Regulasi yang dianalisis pada bab ini merupakan produk hukum yang berlaku umum berupa peraturan perundang-undangan (regeling) dan peraturan kebijakan (beleidsregel) yang masih berlaku: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri/Kepala Badan, dll. Analisis dilakukan dari tahapan inventarisasi regulasi yang berkaitan dengen sektor pilihan, kemudian review regulasi dengan menggunakan tools Regulatory Mapping (RegMap) untuk melihat hambatan pada aspek yuridis, substansi dan prinsip. 4.1

Pemetaan Regulasi

Inventarisasi regulasi merupakan langkah pemetaan profil jumlah dan jenis regulasi nasional yang mengatur aktivitas usaha di sektor atau komoditas terpilih. Studi ini menemukan 111 regulasi dari tingkat Undang-Undang hingga Peraturan Kepala Badan yang dinilai memiliki pengaruh ke kegiatan usaha di daerah. Selanjutnya dilakukan analisis permasalahan yang terbagi dalam dua fase penyaringan: filter I mengenai hambatan pada aspek prinsip dan filter II berkenaan masalah atau hambatan pada aspek yuridis dan substansi. Pada filter I ditemukan sebanyak 50 regulasi yang memiliki permasalahan pada aspek prinsip. Kemudian dilakukan filterisasi lebih lanjut pada filter II di mana ditemukan sejumlah 19 regulasi yang memiliki permasalahan pada aspek prinsip, yuridis dan substansi. Berikut adalah hasil filterisasi regulasi yang telah dilakukan.

112 Regulasi Nasional 50 Regulasi Nasional

UU (11) PP (17) Perpres (3) Permen (61) Perkaban (13) Kepmen (5)

Filter I Hambatan Aspek Prinsip

UU (3) PP (5) Permen (32) Perkaban (6)

Filter II Hambatan Aspek Yuridis dan Substansi

Kepmen (4)

19 Regulasi Nasional PP (2) Permen (12) Perkaban (5)

Gambar 4. Hasil Pemetaan Regulasi Nasional terhadap Sektor Pilihan Hasil penyaringan pada filter II menemukan adanya sejumlah regulasi yang paling menghambat terhadap pengembangan sektor pilihan. Peraturan tersebut terdiri dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan Peraturan Kepala Badan.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

14


Analisis Regulasi

Berikut daftar regulasi yang paling menghambat pada pengembangan sektor terpilih: Tabel 5. Daftar Kebermasalahan Regulasi Nasional

No.

Regulasi

Substansi Regulasi

Jagung 1.

Permen Perdagangan No. 15/M-DAG/PER/4/2013 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor

Distributor pupuk subsidi

Pertanian Permen Pertanian No. 05/Permentan/OT. 140/1/2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pengujian Dan Pemberian Sertifikat Alat dan Mesin Budidaya Tanaman

Sertifikasi Alat dan Mesin Budidaya

2.

3.

Permen Pertanian No. 39/Permentan/OT.140/6/2010 tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan

Izin Usaha Budidaya Tanaman Pangan Rekomendasi Teknis Izin Usaha Pertanian

4.

Permen Pertanian No. 26/Permentan/HK.140/4/2015 tentang Syarat, Tata Cara dan Standard Operasional Prosedur Pemberian Rekomendasi Teknis Izin Usaha di Bidang Pertanian Dalam Rangka Penanaman Modal Sapi Permen Pertanian No. 49/Permentan/PK.440/10/2016 tentang Pemasukan Ternak Ruminansia Besar Ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia

Pemasukan Ternak Ruminansia Besar

1.

Permen Pertanian No. 381/Kpts/OT.140/10/2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan

Nomor Kontrol Verteriner (NKV)

2.

Permen Pertanian No. 13/Permentan.OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant)

Rumah Potong Hewan (RPH)

3.

Rumput Laut 1.

2.

15

Permen Kelautan dan Perikanan No. 49/PERMEN-KP/2014 Tentang Usaha Pembudidayaan Ikan

SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan) dan RPIPM (Rekomendasi Pembudidayaan Ikan Penanaman Modal)

Permen Kelautan dan Perikanan No. 7/PERMEN-KP/2013 tentang Sertifikat Asal Rumput Laut

Sertifikat Asal Rumput Laut

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


No.

Regulasi

Substansi Regulasi

Jagung dan Rumput Laut 1.

PP No. 36 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang

2.

PP No. 70 Tahun 2013 tentang perubahan atas PP No. 36 Tahun 2007

3.

Permen Perdagangan 66/M-DAG/PER/12/2009 tentang Pelaksanaan Skema Subsidi Resi Gudang

4.

Permen Keuangan No. 171/PMK.05/2009 tentang Skema Subsidi Resi Gudang

5.

Perka Bappebti Nomor 15/BAPPEBTI/PER-SRG/07/2012 tentang Persyaratan dan Tata Cara Untuk Memperoleh Persetujuan Sebagai Pengelola Gudang

6.

Perka Bappebti 21/BAPPEBTI/PER-SRG/07/2015 tentang perubahan atas Perka Bappebti Nomor 15/BAPPEBTI/PERSRG/07/2012 Perka BPOM HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga

Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan

7.

8.

Perka BPOM HK.03.1.23.04.12.2207 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan Industri Rumah Tangga

Pengawasan PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga)

9.

Perka BPOM No. 12 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Pangan Olahan

Pendaftaran Pangan Olahan

Resi Gudang

Jagung dan Sapi 1.

Permen Perdagangan No. 24 Tahun 2018 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Asal Barang Asal Indonesia

Surat Keterangan Asal Barang

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

16


Analisis Regulasi

4.2

Analisis Masalah Regulasi Nasional

Berdasarkan pemetaan permasalahan tersebut, terdapat 19 regulasi yang menghambat pengembangan komoditas terpilih. Adapun permasalahan yang terjadi pada aspek prinsip, yuridis dan substansi. Pembahasan lebih rinci akan disampaikan pada bagian berikut ini. a.

Komoditas Jagung

Terdapat persyaratan yang tidak relevan pada persyaratan distributor pupuk subsidi, Sertifikasi Alat dan Mesin Budidaya dan Rekomendasi Teknis Izin Usaha Pertanian. Eksistensi SITU (Surat Izin Tempat Usaha) dan SKDU (Surat Keterangan Domisili Usaha) muncul dalam beberapa persyaratan. Ketentuan ini termaktub di dalam Permendag 15/M-DAG/ PER/4/2013, Permentan 26/2015 dan Permentan 5/2007. SITU dan SKDU pada dasarnya merupakan jenis dokumen dan izin yang tidak memiliki dasar hukum dan tujuan manfaatnya yang jelas. Lebih lanjut ketentuan tersebut berbenturan dengan ketentuan mengenai syarat kesesuaian dengan RTRW/RDTR yang dibentuk daerah dalam penataan lokasi/tempat/domisili usaha. Dengan demikian, ketentuan tersebut berpotensi menambah beban persyaratan bagi pemohon dan menambah beban biaya yang tidak diperlukan. Rekomendasi teknis izin usaha bidang pertanian, mengandung persyaratan yang sudah tidak lagi relevan yakni Izin Gangguan (HO) dan Izin Usaha Perindustrian (IUP). Sebagaimana diatur di dalam Permentan 26/2015, untuk mendapatkan rekomendasi izin usaha pertanian membutuhkan syarat dokumen izin gangguan. Ketentuan ini bertentangan dengan Permendagri 19/2017 yang telah mencabut izin gangguan. Izin gangguan sudah tidak relevan lagi diterbitkan sebagai bagian dari

17

dokumen izin (ketidakjelasan manfaat dan mengandung beban biaya bagi pemohon). Selain itu, persyaratan Izin Usaha Perindustrian (IUP) sudah tidak relevan lagi, karena berdasarkan UU 3/2014 tentang Industri, mengenal istilah Izin Usaha Industri (IUI) bukan Izin Usaha Perindustrian (IUP). Dalam pengurusan izin usaha budidaya tanaman pangan, Permentan 39/2010 mengatur ketentuan yang tidak lengkap dan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Berikut terdapat beberapa permasalahan tersebut, yakni: • Terkait dengan prosedur pengurusan Tanda Daftar Usaha Proses Produksi (TDU-P), Tanda Daftar Usaha Penanganan Pasca Panen (TDU-PP) dan Tanda Daftar Usaha Budidaya Tanaman Pangan (TDU) tidak menyebutkan secara eksplisit persyaratan yang jelas seperti halnya izin usaha budidaya tanaman (sudah dengan jelas menyebutkan persyaratan secara rinci di dalam regulasi). Ketentuan demikian berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum atas proses prosedur TDU-P, TDU-PP dan TDU. Dengan demikian perlu dipertegas apakah mengandung persyaratan atau hanya mengajukan formulir permohonan semata. • Syarat IUTP-P, IUTP-PP dan IUTP mengandung syarat-syarat tertentu yang tidak relevan, seperti adanya izin lokasi (tidak ada landasan hukum) padahal syaratnya yang lain sudah terdapat syarat kesesuaian dengan RTRW/RDTR. Lebih lanjut bahkan SKDU (tidak ada landasan hukum) juga dipersyaratkan untuk memperoleh IUTP-PP.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


•

•

b.

Izin Usaha Tanaman Pangan Proses Produksi (IUTP-P), Izin Usaha Tanaman Pangan Pasca Panen (IUTP-PP) dan Izin Usaha Budidaya Tanaman Pangan (IUTP) diatur secara eksplisit mengandung beban biaya. Namun dalam peraturan ini dan peraturan lainnya belum diatur lebih lanjut mengenai besaran biaya yang dimaksud (kekosongan hukum). Peraturan menteri ini masih mengamanatkan kewenangan penerbitan izin kepada dinas pangan daerah. Ketentuan ini bertentangan dengan UU 23/2014 yang telah mengamanatkan seluruh kewenangan penerbitan izin diterbitkan oleh Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di daerah. Komoditas Sapi

Terdapat persyaratan Surat Keterangan Domisili dalam proses pengurusan administrasi untuk pemasukan ternak ruminansia besar. Ketentuan demikian diatur di dalam Permentan 49/2016 yang menyebutkan bahwa syarat administrasi untuk memasukkan ternak ruminansia besar salah satunya adalah Surat Keterangan Domisili. Surat Keterangan Domisili merupakan bentuk dokumen yang hampir sama dengan SKDU, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, yakni tidak memiliki dasar hukum dan tidak memiliki fungsi dan tujuan yang jelas. Hal ini berpotensi menimbulkan beban tambahan dalam pengurusan administrasi pemasukan ternak ruminansia besar.

Ketentuan waktu dan syarat yang memberatkan dalam pengajuan Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Setiap Rumah Potong Hewan (RPH) wajib memiliki NKV sebagai bagian dari sertifikasi hygiene dan sanitasi, sebagaimana diatur di dalam Permentan 381/2005. Namun terdapat hambatan persyaratan yang masih mensyaratkan SKDU (tidak memiliki dasar hukum dan fungsi yang jelas) dan HO (sudah dicabut melalui Permendagri 19/2017). Selain itu, waktu tunggu pemeriksaan dokumen membutuhkan waktu yang terlalu lama. Untuk pemeriksaan persyaratan administrasi dilakukan selambatlambatnya 30 hari dan persetujuan paling lambat 14 hari. Batasan waktu tersebut terlalu lama sehingga berpotensi menimbulkan panjangnya beban waktu tunggu bagi pemohon. Syarat teknis RPH sangat rigid dan cukup berat. Berdasarkan Permentan 13/2010 terkait dengan RPH harus memenuhi standar yang telah ditetapkan berdasarkan SNI RPH (SNI 01-61591999). Standard RPH tersebut cukup rumit yang terdiri dari detail syarat lokasi, sarana pendukung, konstruksi dasar dan desain bangunan dan peralatan. Bahkan termasuk setiap tenaga kerja harus memiliki keahlian (sertifikasi), diantaranya dokter hewan, tenaga pemeriksa daging, juru sembelih dan tenaga ahli pemotong. RPH yang dibangun di suatu daerah harus memenuhi persyaratan detail tersebut.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

18


Analisis Regulasi

c.

Komoditas Rumput Laut

Proses pengurusan usaha budidaya ikan memiliki permasalahan pada persyaratan dan ketidaksesuaian kewenangan. Ketentuan mengenai usaha budidaya ikan diatur di dalam Permen Kelautan dan Perikanan 49/2014. Di dalam ketentuan tersebut mengatur mengenai persyaratan SKDU (tidak memiliki dasar hukum dan manfaat yang jelas) dalam pengurusan SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan) dan RPIPM (Rekomendasi Pembudidayaan Ikan Penanaman Modal). Selain itu, pembagian kewenangan penerbitan izin kapal pengangkut ikan masih belum sesuai dengan UU 23/2014 yang telah membagi kewenangan antara pemerintah pusat dan provinsi. Sedangkan di dalam Permen KP 49/2014, kewenangan tersebut hanya dimiliki pemerintah pusat. Terdapat perpanjangan SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan) yang berpotensi menimbulkan beban waktu dan biaya. Ketentuan tersebut diatur di dalam Permen KP 49/2014, yang menyebutkan SIUP wajib melakukan registrasi ulang setiap lima tahun. Selain itu keberadaan SIUP juga dilengkapi dengan retribusi izin usaha perikanan yang berpotensi menambah waktu dan biaya bagi pelaku usaha di bidang perikanan karena harus melakukan perpanjangan. Padahal di satu sisi, izin usaha perikanan merupakan termasuk retribusi perizinan tertentu yang mengandung biaya. Jika dibandingkan dengan SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) yang sudah tidak lagi perlu diperpanjang (Permendag 7/2017) selama tidak ada perubahan usaha, maka sepatutnya usaha di bidang perikanan pun dapat diberlakukan demikian.

Sertifikat Asal Rumput Laut memiliki fungsi yang tumpang tindih dengan Surat Keterangan Asal Barang. Sertifikat asal rumput laut merupakan dokumen yang dibutuhkan dalam kepentingan impor rumput laut yang dimohonkan oleh Negara pengimpor. Tetapi ketentuan yang diatur berdasarkan Permen KP 7/2013 ini memiliki fungsi yang sama dengan SKA yang telah diatur di dalam Permendag 24/2018. Sepatutnya dua dokumen ini dapat disatukan dengan menambah komoditas rumput laut sebagai bagian dari SKA. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum serta kejelasan prosedur dalam pengurusan sertifikasi komoditas rumput laut. d.

Komoditas Jagung dan Rumput Laut (Pengolahan dan Resi Gudang)

Resi gudang hanya dapat berjalan selama pemerintah pusat telah menerbitkan persetujuan bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan resi gudang. PP 36/2007 sebagaimana diubah dengan PP 70/2013 mengatur bahwa terdapat beberapa hal terkait resi gudang yakni, gudang untuk resi gudang, pengelola gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian, Pusat Registrasi dan penerbit Derivatif Resi Gudang. Seluruhnya diserahkan kepada pelaku usaha maupun BUMD untuk membentuknya tetapi harus dengan persetujuan dari pemerintah pusat (Kemendag/ Bappebti). Kondisi demikian, menekankan pentingnya partisipasi dari berbagai pihak untuk menjalankan sistem resi gudang serta membutuhkan pelayanan yang maksimal oleh pemerintah pusat (Bappebti)9 . Kewenangan ini belum didelegasikan kepada daerah sehingga harus melalui pemerintah pusat.

Terdapat kemudahan berdasarkan Perka Bappebti 2/2017 bahwa pengurusan dapat dilakukan secara manual maupun

9

online (Sistem Layanan Persetujuan Lembaga Sistem Resi Gudang/SRG (http://srg.kemendag.go.id))

19

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


Terdapat beban waktu dan biaya yang ditentukan oleh PP 70/2013 dalam memperoleh persetujuan di dalam sistem resi gudang. Dalam rangka memperoleh persetujuan gudang, pengelola gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian, Pusat Registrasi dan penerbit Derivatif Resi Gudang, PP 36/2007 menentukan standar waktu memperoleh persetujuan yang terlalu panjang/lama, yakni 45 hari (Pasal 49 ayat (1) PP 36/2007). Ketentuan ini memperpanjang waktu tunggu bagi pemohon yang hendak berpartisipasi dalam sistem resi gudang. Selain itu, pemohon juga dibebankan biaya yang harus ditanggung. pengelola resi gudang dibebani biaya untuk memperoleh persetujuan pengelola resi gudang (Pasal 49 ayat (4) PP 36/2007). Namun beban biaya ini tidak disebutkan secara rinci berapa besarannya (belum ada landasan hukum besaran biaya persetujuan resi gudang)10. Terdapat persyaratan modal minimum yang wajib disetorkan sampai dengan 40% dari modal dasar untuk permohonan persetujuan sebagai pengelola resi gudang untuk PT, BUMN dan BUMD. Ketentuan ini diatur di dalam Perka Bappebti 15/2012 yang telah diubah dengan Perka Bappebti 21/2015. Terkait dengan pemohon dalam bentuk PT, BUMN dan BUMD harus dengan modal minimum sebesar Rp 1,5 Milyar dan wajib setor sebesar Rp 600 Juta. Ketentuan ini berpotensi dapat membebani pemohon ketika akan baru memulai usahanya yang sudah diwajibkan menyetor sampai dengan 40% dari modal dasar. Padahal jika dibandingkan dengan Pasal 33 ayat (1) UU 40/2007 tentang PT, Modal dasar yang wajib disetor hanyalah sebesar 25% dari modal dasar.

Pemilik resi gudang telah dibebankan beberapa ketentuan biaya yang harus ditanggung berdasarkan PP 36/2007. Di dalam regulasi tersebut pemilik resi gudang, dikenakan banyak beban biaya penyimpanan/pengelolaan, pengujian mutu, asuransi dan biaya lainnya (pengeringan dan bunga bank jika diperlukan). Beberapa ketentuan biaya ini harus diperjelas maksud dan arah tujuannya. Ketentuan ini tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya pedoman sehingga dapat berpotensi membebani pemilik resi gudang. Persyaratan untuk mendapatkan subsidi resi gudang, petani harus melalui proses persyaratan yang panjang. Hal demikian diatur di dalam Permendag 66/M-DAG/PER/12/2009 dan PMK 171/PMK.05/2009. Di dalam ketentuan tersebut petani atau kelompok tani harus memenuhi berbagai persyaratan standar yang diajukan serta harus memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Bank. Dengant tidak diaturnya persyaratan dari Bank untuk pengajuan pinjaman resi gudang menimbulkan ketidakpastian bagi petani, dan memicu persyaratan-persyaratan yang dapat memberatkan petani. Selain itu, alur proses yang panjang dari petani melalui bank kemudian menuju Kementerian Keuangan untuk menurunkan subsidi, akan memperpanjang waktu tunggu.

Meskipun demikian, Perka Bappebti 2/2017 telah menyederhanakan waktu dan biaya, yakni dengan tidak adanya biaya

10

persetujuan dalam sistem resi gudang serta persetujuan/penolakan permohonan dapat dilakukan dalam waktu 20 hari.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

20


Analisis Regulasi

Pelatihan untuk sertifikat penyuluhan keamanan pangan masih terbatas hanya dapat dilakukan oleh Pemda. Ketentuan demikian, diatur di dalam Perka BPOM HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 yang hanya dapat dilakukan oleh PNS yang tersertifikasi. Ketentuan demikian membatasi penyelenggaraan penyuluhan keamanan pangan bagi Industri Rumah Tangga di daerah. Sepatutnya ketentuan demikian dapat dilakukan juga oleh pihak swasta ataupun lembaga pelatihan. Pengawasan terhadap sarana produksi Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) memiliki ruang lingkup yang cukup banyak. Hal ini sebagaimana diatur di dalam Perka BPOM HK.03.1.23.04.12.2207 Tahun 2012, yang meliputi ketidaksesuaian beberapa kondisi elemen tertentu, di antaranya: a) Lokasi dan Lingkungan Produksi; b) Bangunan dan Fasilitas ; c) Peralatan Produksi; d) Suplai Air atau Sarana Penyediaan Air; e) Fasilitas dan Kegiatan Higiene dan Sanitasi; f) Kesehatan dan Higiene Karyawan; g) Pemeliharaan dan Program Higiene Sanitasi; h) Penyimpanan; i) Pengendalian Proses; j) Pelabelan Pangan; k) Pengawasan oleh Penanggungjawab; l) Penarikan Produk; m) Pencatatan dan Dokumentasi; n) Pelatihan Karyawan. Ketentuan tersebut terlalu memberatkan dan berpotensi membebani PIRT dalam melakukan kegiatan usaha. Proses persetujuan pendaftaran pangan olahan di BPOM masih memakan waktu yang cukup lama. Ketentuan ini diatur di dalam Perka BPOM 12/2016, meskipun sudah dapat dilakukan dalam prosedur online (http://e-reg.pom.go.id), namun masih terdapat proses persetujuan yang cukup panjang, yakni: • Hasil evaluasi permintaan kelengkapan atau klarifikasi data (30 hari) • Keputusan hasil verifikasi dan validasi (rekomendasi persetujuan) (35 hari)

21

• •

Penerbitan Izin Edar (10 hari), dan Persetujuan Pendaftaran atau Penolakan Pendaftaran pangan olahan secara manual: a. Pangan Olahan Tertentu diterbitkan paling lama 150 (seratus lima puluh) Hari; b. Pangan Fungsional/Pangan berklaim, Pangan dengan herbal diterbitkan paling lama 120 (seratus dua puluh) Hari; c. Pangan Iradiasi, Pangan Hasil Rekayasa Genetika, BTP perisa, Pangan Organik, susu dan hasil olahnya, daging dan hasil olahnya, ikan dan hasil olahnya, serta minuman beralkohol diterbitkan paling lama 100 (seratus) Hari; dan d. BTP selain perisa dan pangan lainnya diterbitkan paling lama 60 (enam puluh) Hari.

e.

Komoditas Jagung dan Sapi (Surat Keterangan Asal Barang)

Dalam rangka mendapatkan hak akses SKA, pemohon harus memenuhi beberapa persyaratan di antaranya adalah surat keterangan domisili. Ketentuan demikian sebagaimana diatur di dalam Pasal 8 Permendag 24/2018 yang berpotensi membebani persyaratan hak akses SKA. Pemohon harus memenuhi surat keterangan domisili yang dapat menambah jenis syarat baru yang tidak relevan. Padahal di dalam persyaratan lainnya sudah memuat persyaratan SIUP dan TDP yang memuat mengenai lokasi dan data perusahaan.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


Meskipun sudah menggunakan sistem e-SKA (media daring), namun pemohon tetap diwajibkan menyampaikan dokumen asli kepada IPSKA (Instansi Penerbit SKA) untuk memperoleh hak akses SKA. Ketentuan ini secara eksplisit diatur di dalam Pasal 9 Permendag 24/2018 yang dapat menghilangkan manfaat dari sistem e-SKA. Sistem e-SKA sepatutnya dapat mempermudah pemohon dengan hanya mengajukan dokumen hasil pindai/scan saja tetapi ternyata terdapat ketentuan yang tetap mewajibkan menyampaikan dokumen asli persyaratan hak akses SKA. Masa waktu verifikasi SKA tentang kebenaran SKA kepada negara tujuan memiliki batas waktu yang terlalu panjang. Masa waktu verifikasi SKA sebagaimana diatur di dalam Pasal 17 ayat (6) Permendag 24/2018 adalah paling lambat 30 hari. Ketentuan demikian memperpanjang proses ekspor pelaku usaha, terlebih lagi dapat berpotensi menurunkan kualitas barang ekspor jika harus memakan waktu panjang. Menteri Perdagangan sepatutnya perlu mengkaji kembali batas waktu penerbitan verifikasi SKA.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

22


5. Implementasi Kebijakan pada Sektor Ekonomi Terpilih 5.1

Kota Gorontalo

Kota Gorontalo memiliki karakteristik ekonomi yang berfokus pada sektor jasa dan pariwisata. Tenaga kerja di Kota Gorontalo berjumlah 65.578 orang dan sebagian besar (35%) bekerja di sektor perdagangan besar dan eceran; reparasi dan perawatan mobil dan sepeda motor. Adapun sektor yang memiliki kontribusi terbesar atas perekonomian di Kota Gorontalo adalah kontruksi (14%) dan perdagangan besar dan eceran; Reparasi dan perawatan mobil dan sepeda motor (14%). A.

Komoditas Sapi

Tabel 6. Temuan Inti Core Komoditas Sapi Kota Gorontalo Indikator

Temuan Lapangan

Regulasi

Sarana Produksi

Sapi subsidi yang diberikan kepada masyarakat pada akhirnya tidak dibudidayakan, tetapi langsung dijual kembali

Tidak ada regulasi untuk kegiatan sarana produksi

Budidaya

Di Kota Gorontalo tidak tersedia tempat penggemukan sapi. Pemerintah merencanakan untuk membuat kandang penggemukan di RPH dengan standard yang baik.

Tidak ada regulasi untuk kegiatan budidaya

•

Tidak ada regulasi untuk kegiatan pengolahan

• Pengolahan

Pemasaran

Pemahaman peternak tentang manfaat RPH masih minim Masyarakat lebih memilih tempat pemotongan sendiri/lokal, karena sudah diketahui pembeli dan sudah terbiasa di tempat tersebut (permasalahan perilaku pedagang daging sapi)

Belum ada peraturan khusus mengenai kewajiban sertifikasi pemotongan hewan, diharapkan daging sertifikasi RPH dapat diwajibkan bagi usahausaha tertentu (meningkatkan kualitas produk dan pendapatan peternak)

Tidak ada regulasi untuk kegiatan pemasaran

Kota Gorontalo memiliki kontribusi produksi sapi paling sedikit (hanya sekitar 2%) di antara enam daerah lainnya di Provinsi Gorontalo. Produksi sapi yang sedikit ini digunakan untuk menutup kebutuhan konsumsi daging sapi di dalam Kota Gorontalo sendiri. Sebagai penyokong tambahan atas konsumsi daging sapi, Kota Gorontalo juga mendatangkan sapi dari daerah sekitar, seperti Bone Bolango dan Pohuwatu.

23

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


Tabel 7. Populasi Ternak Menurut Kab/Kota (Ekor) Sapi Potong Populasi Ternak Menurut Kab/Kota (Ekor) Wilayah

Sapi Potong 2010

2011

2012

252.747

189.316

202.974

174.858

192.226

199.743

211.954

Boalemo

23.579

32.796

36.394

29.504

33.560

34.881

37.643

18%

Gorontalo

71.245

77.851

81.327

70.924

75.487

78.451

81.586

38%

Pohuwato

63.786

27.589

29.804

25.748

27.994

28.265

29.266

14%

Bone Bolango

41.103

20.718

23.261

22.042

26.243

27.714

30.368

14%

Gorontalo Utara

49.145

27.687

29.405

23.750

25.825

27.278

29.893

14%

Kota Gorontalo

3.889

2.675

2.783

2.890

3.117

3.154

3.198

2%

Provinsi Gorontalo

2013

2014

2015

2016

%

Sumber: Badan Pusat Statistik Meskipun sapi bukan merupakan komoditas utama Kota Gorontalo, namun Pemerintah Kota tetap melaksanakan program-program reguler yang mendukung komoditas sapi tersebut. Salah satunya adalah dengan memberikan sapi subsidi kepada para peternak. Namun sayangnya, para peternak jarang yang membudidayakan sapi subsidi tersebut. Peternak lebih memilih untuk menjual sapi-sapi tersebut karena dianggap dapat menghasilkan uang lebih cepat. Belum tersedianya tempat penggemukan sapi khusus yang dapat membantu peternak meningkatkan volume sapi. Kebanyakan sapi hanya digembalakan dan dibiarkan untuk mencari makan sendiri. Namun demikian Dinas Peternakan Pemerintah Kota Gorontalo sedang dalam upaya pembangunan Rumah Potong Hewan (RPH) yang nantinya akan berfungsi pula sebagai tempat penggemukan sapi. Peternak/Pedagang daging enggan membawa sapi ke RPH milik Pemerintah Daerah. Para peternak/ pedagang daging cenderung memilih memotong sapi di tempat penjagalan sendiri/lokal yang sudah biasa dikunjungi oleh pedagang sapi yang lain ataupun pembeli daging sapi. Peternak/pedagang daging menganggap memotong sapi di RPH tidak efisien karena harus membawa sapi dari peternakan ke RPH terlebih dahulu sebelum didistribusikan ke pasar. Pemahaman peternak ataupun pedagang daging tentang manfaat RPH masih minim. Para peternak ataupun pedagang daging cenderung memilih cara yang paling cepat tanpa memperhatikan standard nasional pemotongan yang baik. Belum ada peraturan khusus mengenai kewajiban sertifikasi pemotongan hewan. Pada tahun 2016 sempat ditemukan daging sapi yang terinfeksi antraks di Kota Gorontalo. Pedagang daging sapi tidak diwajibkan pemerintah kota untuk memotong sapi di RPH ataupun tempat yang sudah tersertifikasi sehingga tidak ada yang menjamin kualitasa daging yang diperdagangkan. Dengan adanya kewajiban melakukan pemotongan sapi di tempat yang sudah tersertifikasi diharapkan daging yang dihasilkan terjaga kualitasnya sehingga pihak konsumen merasa aman mengkonsumsi daging dalam negeri. Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

24


Implementasi Kebijakan Pada Sektor Ekonomi Terpilih

Tabel 8. Temuan Faktor Pendukung Komoditas Sapi Kota Gorontalo Indikator

Temuan Lapangan

Infrastruktur

RPH masih belum sesuai standard nasional (tetapi sedang diusahakan oleh Pemkot untuk memenuhi standar tersebut

Tidak ada regulasi tentang infastruktur

Logistik

Belum ada sarana tarnsportasi untuk membawa sapi ke RPH

Tidak ada regulasi tentang logistik

Akses modal

Bantuan modal KUR untuk peternak sudah tersedia, tetapi bantuan modal dari Pemda masih sangat terbatas. Sebagian besar bantuan pemda berupa sapi subsidi

Tidak ada regulasi tentang akses modal

Keterbatasan lahan peternakan di Kota Gorontalo (Perda RTRW dalam perencanaan hanya sekitar 4 ha)

Perda No. 40 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah kota Gorontalo Tahun 2010-2030

Biaya Retribusi RPH tergolong murah dan sudah digratiskan untuk proses di awal penggunaannya

Perda No. 28 Tahun 2011 Tentang Retribusi Rumah Potong Hewan

Belum ada kerjasama kemitraan dengan pelaku usaha untuk sertifikasi daging (hotel dan restoran)

Tidak ada regulasi tentang kemitraan dengan swasta

Akses lahan

Pungutan Kemitraan dengan swasta

Regulasi

Keberadaan RPH yang higienis dan terstandarisasi nasional sangat dibutuhkan di Kota Gorontalo. Kota memiliki dua RPH dengan kapasitas minim dan kualitas pemotongan yang belum sepenuhnya sesuai standard nasional. RPH lainnya memiliki kapasitas yang lebih besar dan kualitas berstandard nasional sedang dibangun dan rencananya akan digunakan tahun 2018. Dengan kondisi dua RPH yang ada, para peternak ataupun pedagang daging sapi enggan memotongkan sapi mereka ke RPH tersebut dan lebih memilih untuk melakukan pemotongan sendiri ataupun ke tempat penjagalan yang tidak terjamin kebersihanya. Padahal pemerintah kota hanya menerapkan retribusi sebesar Rp. 14.000,- per sapi. Selain itu kualitas dan higienitas RPH dinilai lebih baik dibandingkan dengan tempat penjagalan biasa. Dokter di RPH akan memeriksa sapi terlebih dahulu sebelum dilakukan proses pemotongan. Hal ini akan mengurangi risiko daging sapi yang didistribusikan mengandunng penyakit berbahaya. Sarana transportasi merupakan salah satu alasan utama mengapa para peternak ataupun pedagang daging enggan memotongkan sapi mereka ke RPH. Peternak/pedagang daging menilai menganggkut sapi dari peternakan ke RPH dan dilanjutkan ke pasar cukup memberatkan jika tidak ada sarana transportasi yang disediakan oleh pemerintah daerah. Belum adanya kerjasaama antara pemerintah kota dengan hotel dan restoran sebagai salah satu konsumen besar daging sapi) untuk membeli daging yang sudah tersertifikasi. Dengan adanya kerjasama tersebut, diharapkan para penjual daging sapi di Kota Gorontalo menjadi aware terhadap pentingnya melakukan pemotongan daging di tempat yang sudah tersertifikasi.

25

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


Terbatasnya lahan peternakan di Kota Gorontalo. Dikarenakan fokus sektor ekonomi unggulan Kota Gorontalo adalah sektor jasa dan pariwisata, maka sebagian besar rencana tata ruang dan wilayah kota berfokus untuk mendukung sektor-sektor tersebut. Berdasarkan Perda No. 40 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah kota Gorontalo Tahun 2010-2030, perencanaan lahan peternakan Kota Gorontalo hanya sebesar 4 Hektar. B.

Komoditas Jagung

Tabel 9. Temuan Inti Core Komoditas Jagung Kota Gorontalo Indikator

Temuan Lapangan •

Pemanenan komoditas jagung di Kota Gorontalo dilakukan panen muda (Permintaan tinggi dan lahan jagung sudah terbatas)

Tidak ada regulasi dalam kegiatan sarana produksi

Terbatasnya pemahaman IKM dalam pengelolaan pengemasan produk olahan jagung (minimnya pelatihan dan sulitnya mendapatkan PIRT di Dinkes) Belum tersedianya industri pengolahan di Kota Gorontalo (meskipun telah tersedianya lahan untuk industri di Kota)

Tidak ada regulasi dalam kegiatan pengolahan

Rumah Kemasan yang berada di Kota Gorontalo memiliki peralatan yang kurang memadai dan cenderung tidak bermanfaat, karena rumah kemasan hanya memiliki alat standar yang dimiliki oleh IKM Rumah kemasan masih dikelola Pemprov (penyerahan ke Kota masih lama dan sudah ada kesepakatan selama 10 tahun, hingga 2022) Biaya pengemasan terbilang mahal karena bahan harus dikirim dari Luar pulau, misal Bandung, sehingga pengemasan kurang berkualitas (meskipun sudah diketahui)

Tidak ada regulasi dalam kegiatan pengolahan

Pemanenan komoditas jagung di Kota Gorontalo dilakukan panen muda (Permintaan tinggi dan lahan jagung sudah terbatas)

Tidak ada regulasi dalam kegiatan pemasan

Sarana Produksi

Budidaya •

• Pengolahan

• Pemasaran

Regulasi

Seperti halnya sapi, komoditas jagung juga bukan merupakan komoditas utama Kota Gorontalo. Luas panen jagung Kota Gorontalo hanya sebesar 59 hektar pada tahun 2016 atau sebesar 0,03% dari total luas panen jagung Provinsi Gorontalo. Hal ini menjadikan Kota Gorontalo sebagai kota konsumsi jagung dan hanya berfungsi sebagai pengepul dari daerah-daerah sekitarnya.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

26


Implementasi Kebijakan Pada Sektor Ekonomi Terpilih

Tabel 10. Luas Panen Kab/Kota (Hektar) Jagung Luas Panen Kabupaten/Kota (Hektar) Wilayah

Jagung 2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

%

Provinsi Gorontalo

143,833

135,754

135,543

140,423

148,816

129,131

195,606

Boalemo

32,454

39,727

37,258

35,823

42,251

29,282

28,554

14.60%

Gorontalo

30,350

20,127

25,138

24,479

25,086

26,817

60,897

31.13%

Pohuwato

68,004

63,806

64,760

68,896

69,592

57,349

67,469

34.49%

Bone Bolango

3,252

4,456

2,008

2,317

2,809

2,801

10,021

5.12%

Gorontalo Utara

9,720

7,570

6,348

8,897

9,054

12,845

28,607

14.62%

Kota Gorontalo

53

68

31

11

24

37

59

0.03%

Sumber: Badan Pusat Statistik Komoditas jagung sendiri akan lebih memiliki nilai tambah jika dijual dalam bentuk produk olahan. Namun sayangnya, petani jagung di Kota Gorontalo lebih memilih melakukan panen muda karena permintaan akan jagung muda untuk bahan makanan tradisional cukup tinggi. Pemahaman IKM (Industri Kecil Menengah) dalam pengelolaan pengemasan produk olahan jagung masih terbatas sehingga produk olahan menjadi kurang diminati dan pedagang lebih memilih untuk menjual jagung dalam bentuk pipilan. Selain itu, Pelatihan packing produk olahan yang diadakan pemerintah kota dinilai masih kurang. Padahal salah satu syarat untuk mendapatkan perizinan PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga) IKM harus pernah mengikuti pelatihan pengolahan packing produk olahan. Namun sayangnya jumlah pelatihan yang diadakan pemerintah kota belum mencukupi kebutuhan para IKM. Terbatasnya pelatihan yang diadakan oleh pemerintah kota ini menghambat pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan PIRT yang diwajibkan oleh Dinas Kesehatan bagi pelaku usaha pengeolahan. Dengan adanya kerjasama dengan pihak swasta dalam penyelenggaraan pelatihan pengolahan packing, diharapkan para pelaku usaha pengolahan tidak perlu antri untuk mendapatkan pelatihan dari pemerintah kota. Untuk mendukung kualitas kemasan produk olahan yang berasal dari komoditas jagung ataupun komoditas lainnya, pemerintah Provinsi Gorontalo telah membangun “Rumah Kemasan” di Kota Gorontalo yang berfungsi untuk membantu IKM dalam mengemas produk mereka agar lebih menarik sehingga lebih laku untuk dijual. Namun Rumah Kemasan yang ada memiliki peralatan yang kurang memadai dan cenderung kurang bermanfaat bagi para IKM. Karena peralatan yang dimiliki Rumah Kemasan hanya berupa peralatan pengepakan basic yang sudah dimiliki oleh para IKM, seperti printer dan air compressor standard. Selain masalah peralatan pengemasan, Bahan-bahan yang digunakan untuk mengemas kurang berkualitas karena bahan-bahan berkualitas harus diimpor dari Pulau Jawa dan harganya mahal. Pemerintah Kota Gorontalo juga tidak dapat melakukan perbaikan atas “Rumah Kemasan” yang sudah ada karena saat ini “Rumah Kemasan” tersebut masih dikelola Pemerintah Provinsi Gorontalo dan baru akan diserahkan ke Pemerintah Kota Gorontalo pada tahun 2022.

27

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


Tabel 11. Temuan Faktor Pendukung Komoditas Jagung Kota Gorontalo Indikator

Temuan Lapangan •

Infrastruktur

• • Logistik

Akses modal •

• • Akses lahan

• Kemitraan dengan swasta

Regulasi

Rumah Kemasan hanya memiliki peralaatan standard yang sudah dimiliki oleh IKM-IKM di Kota Infrastruktur jalan pada dasarnya telah memadai akses kepada pelabuhan dan jalan antar daerah

Tidak ada regulasi tentang infastruktur

Pergeseran fungsi pelabuhan Kota dari angkutan barang menjadi orang Ketentuan pembatasan jam-jam tertentu melalui surat edaran gubernur bagi truk kontainer jagung untuk masuk ke Kota Gorontalo (menyulitkan pengusaha pengumpul)

Surat Edaran Gubernur Gorontalo No. 551/HUBPARKOMINFO/140/I/2014 tentang Lintasan Kendaraan Pengangkut Kontainer dan Kendaraan Tangki serta Larangan Parkir dan Bongkar Muat Barang di Provinsi Gorontalo

Bantuan modal KUR untuk IKM sudah tersedia, tetapi bantuan modal dari Pemda masih sangat terbatas bagi pengembangan IKM IKM sulit berkembang menjadi usaha menengah karena keterbatasan modal untuk pengembangan usaha

Tidak ada regulasi tentang akses modal

RTRW tidak mempertimbangkan gudang eksisting Belum ada solusi bagi gudang eksisting untuk memperpanjang TDG Pandangan yang berbeda antar SKPD terutama Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan yang lebih ingin mempertahankan lahan pertanian

Perda No. 40 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah kota Gorontalo Tahun 2010-2030

Pelatihan pengolahan packing produk olahan jagung bagi IKM terbatas (syarat sertifikat Perizinan PIRT Dinkes) Belum memanfaatkan kerjasama antara pengusaha IKM dengan bisnis ritel untuk pemasaran produk (Alfamart dan Indomaret)

Tidak ada regulasi tentang kemitraan dengan swasta

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

28


Implementasi Kebijakan Pada Sektor Ekonomi Terpilih

Pengepul-pengepul jagung yang ada di Kota Gorontalo awalnya mendistribusikan jagung ke luar pulau melalui pelabuhan Kota Gorontalo. Namun sejak dibangunnya pelabuhan di Kabupaten Gorontalo Utara, fungsi pelabuhan Kota Gorontalo bergeser menjadi pelabuhan penumpang sedangkan pelabuhan komoditas sudah diarahkan ke pelabuhan Kabupaten Gorontalo Utara. Pergeseran fungsi pelabuhan Kota Gorontalo ini diikuti oleh perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota atas keberadaan gudang-gudang milik pengepul jagung dimana wilayah pergudangan ditetapkan di pinggiran Kota Gorontalo. Namun sayangnya RTRW Kota Gorontalo ini tidak memperhatikan zona pergudangan yang telah ada di tengah kota. Padahal pemilik gudang-gudang pengepulan jagung di tengah kota merupakan pelaku usaha besar yang telah lama beroperasi. Dampaknya gudang-gudang yang sudah lama berdiri ini tidak dapat memperpanjang TDG (Tanda Daftar Gudang) sehingga beroperasi tanpa izin. Pembatasan jam masuk dan keluar Kota Gorontalo bagi truk kontainer. Berdasarkan SE Gubernur Gorontalo No. 551/HUBPARKOMINFO/140/I/2014 tentang Lintasan Kendaraan Pengangkut Kontainer dan Kendaraan Tangki serta Larangan Parkir dan Bongkar Muat Barang terdapat pembatasan jam-jam tertentu bagi truk kontainer jagung untuk masuk ke Kota Gorontalo. Kontainer hanya boleh beroperasional mulai pukul 23.00 s/d 05.00 wita. Pembatasan ini tentunya menyulitkan kegiatan operasional bagi para pelaku usaha pengumpul jagung. IKM di Kota Gorontalo sulit berkembang menjadi industri yang lebih besar dikarenakan keterbatasan modal untuk pengembangan usaha. Bantuan modal KUR (Kredit Usaha Rakyat) untuk IKM sudah tersedia, tetapi bantuan modal dari Pemerintah Kota masih sangat terbatas bagi pengembangan IKM. Bank penyedia KUR memang sudah menjanjikan proses pengajuan kredit yang mudah dan bebas agunan tetap. Namun IKM tetap kesulitan mendapatkan kredit jika usahanya belum memenuhi standard administrasi perbankan. IKM mengalami kesulitan untuk memasarkan produknya. IKM pengolahan jagung sebagian besar merupakan pengusaha mikro yang memiliki kesulitan terhadap akses pasar. Dengan adanya kerjasama dengan Alfamart dan Indomart tentunya akan mempermudah IKM untuk memperluas pasar produk. Dukungan pemerintah kota untuk menjembatani kerjasama antara IKM dengan bisnis ritel yang lebih besar tentunya akan sangat membantu peningkatan penjualan IKM. Kotak 1. Kota Gorontalo memiliki ketentuan insentif dan kemudahan berusaha Pemkot Gorontalo telah mengatur ketentuan untuk menunjang iklilm investasi di daerah melalui Perda insentif dan kemudahan berusaha. Berdasarkan Perda Kota Gorontalo No. 2/2016, Pemkot memberikan insentif berupa pemotongan pajak dan retribusi serta bantuan dana simultan dan bantuan modal. Selain itu, terdapat ketentuan kemudahan berusaha berupa penyediaan data dan informasi penanaman modal, sarana-prasarana, lahan/lokasi, bantuan teknis dan percepatan perizinan. Insentif dan kemudahan tersebut dilakukan ketika investor telah memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Namun meskipun demikian, peraturan tersebut belum diimplementasikan di daerah, rendahnya pemahaman jajaran Pemkot dan kegiatan sosialisasi menyebabkan Perda tersebut belum berjalan.

29

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


5.2

Kabupaten Gorontalo Utara

Kabupaten Gorontalo Utara memiliki visi untuk menjadi kekuatan perekonomian di Pantai Utara Laut Sulawesi. Untuk menwujudkan visi tersebut, salah satu misi yang dijalankan adalah mengembangkan sektor-sektor unggulan berbasis sumberdaya alam lokal yang didukung oleh upaya penciptaan nilai tambah melalui pengembangan kegiatan industri serta jasa-jasa penunjangnya, sehingga memiliki dampak yang besar bagi perekonomian wilayah secara keseluruhan. Kabupaten Gorontalo Utara memiliki sejumlah sektor unggulan antara lain Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, Usaha Konstruksi, dan Perdagangan Besar dan Eceran. Dari ketiga sektor ini, pengembangan komoditas sapi dan jagung menjadi salah fokus program. Pada tahun 2016, populasi sapi mencapai 25.825, mengungguli kuda (23), kambing (4.625), dan Babi (901). Sementara populasi jagung mencapai 40.108 ton (2014). B.

Komoditas Sapi

Tabel 12. Temuan Inti Core Komoditas Sapi Kabupaten Gorontalo Utara Indikator

Temuan Lapangan •

Sarana Produksi

• • • •

Budidaya • • • Pengolahan

• •

• • Pemasaran •

Regulasi

Ketersediaan pakan ternak masih kurang. Lahan terpilih untuk menanam jagung atau padi (sawah). Masyarakat/kelompok tani terbiasa memelihara ternak di alam terbuka. Minimnya teknologi pengolahan limbah jagung untuk pakan ternak.

Tidak ada regulasi dalam kegiatan sarana produksi

Bibit ternak biasanya berasal dari Makassar Gorut terbebas dari penyakit hewan Anthrax; program pengobatan gratis dari Dinas Peternakan Terdapat program asuransi ternak yang difasilitasi oleh JASINDO

Tidak ada regulasi dalam kegiatan budidaya

Peternak enggan membawa sapi ke RPH karena terkendala biaya transportasi yang tinggi Kebutuhan konsumsi daging tidak selaras dengan pendapatan masyarakat Daging potong hanya memenuhi kebutuhan dalam kabupaten Belum ada pengendalian izin kepada tempat pemotongan hewan; banyak pedagang tidak memperpanjang izin sebab tidak ada penindakan

Tidak ada regulasi dalam kegiatan pengolahan

Pola pikir masyarakat masih tradisional pemasaran daging masih dalam bentuk hidup, belum diolah. Pelabuhan Kwandang menerapkan kebijakan kuota dalam proses pemuatan sapi ke kapal minimal 100 ekor Pemasaran keluar pulau harus mengurus izin pemuatan hewan setiap melakukan karantina biaya karantina cukup tinggi

Tidak ada regulasi dalam kegiatan pemasan

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

30


Implementasi Kebijakan Pada Sektor Ekonomi Terpilih

Kapasitas sumber daya manusia (peternak) merupakan salah faktor determinan pengembangan komoditas sapi. Pada rantai sarana produksi, minimnya ketersediaan pakan sapi tidak semata bersumber pada keterbatasan lahan dan alat pengolahan pakan, tetapi juga faktor kapasitas masyarakat (peternak) dalam memanfaatkan bahan baku dan alat pengolahan yang ada. Pemerintah Kabupaten Gorontalo Utara sudah memberikan bantuan alat pengolahan limbah jagung menjadi pakan ternak, namun peternak belum menggunakannya secara optimal. Kondisi ini terjadi, karena baik kekurangan pengetahuan (informasi) tentang keberadaan alat ini maupun kemauan dan kemampuan masyarakat sendiri dalam memanfaatkannya. Lebih dari itu, pola pikir (mindset) dan kebiasaaan peternak dalam budidaya, pengolahan, dan pemasaran sapi juga berperan signifikan. Peternak belum memiliki orientasi pasar. Sapi dipelihara dan dijual hanya kepada masyarakat atau orang yang membutuhkan, bukan kepada pasar yang notabene membutuhkan sapi dalam kuantitas yang besar dan berkualitas baik. Pembinaan Perizinan RPH Kabupaten Gorontalo Utara belum maksimal. Para pelaku usaha pemotongan hewan di Gorontalo Utara mengeluh terkait ketidaktegasan Pemda dalam menindak tempat-tempat pemotongan hewan yang tidak berizin. Kondisi ini membuat para pelaku usah tidak memperpanjang izin. Keberadaan tempat-tempat pemotongan hewan ini juga membuat para peternak enggan memotong ternak di RPH milik Pemda di Anggrek. Faktor jarak yang jauh dan membutuhkan biaya transportasi membuat peternak memilih untuk memotong sapi di tempat-tempat pemotongan terdekat.

31

Tingkat kebutuhan daging sapi masyarakat Gorontalo Utara rendah. Kebutuhan daging sapi meningkat hanya pada hari-hari besar keagamaan. Pada hari-hari biasa, kebutuhan daging sapi hanya muncul dari rumah makan atau restoran. Kondisi ini berdampak pada rendahnya tingkat pemotongan daging sapi. Tingkat kebutuhan daging yang rendah ini juga membuat para peternak lebih memilih menjual sapi hidup daripada dalam bentuk daging atau olahan. Pemda tidak memiliki regulasi yang mengikat atau tidak memiliki mekanisme sanksi dalam pelaksanaan program terkait sapi. Kondisi ini berdampak pada kebijakan dan program yang tidak dijalankan secara maksimal. Pemda Gorontalo Utara sudah mencanangkan program kandangisasi sapi dan bantuan sapi bergulir. Kedua program tidak berjalan baik karena Pemda cenderung “tunduk� pada pola pikir masyarakat. Kandangisasi sapi gagal karena masyarakat lebih memilih untuk memelihara sapi di ruang terbuka daripada di dalam kandang. Program sapi bergulir juga mandek karena para peternak tidak menggulirkan bibit sapi yang telah dibagikan pemda, bahkan dijual untuk kebutuhan rumah tangga.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


Tabel 13. Temuan Faktor Pendukung Komoditas Sapi Kabupaten Gorontalo Utara Indikator

Temuan Lapangan •

Infrastruktur

Logistik Akses modal Akses lahan Pungutan

Kemitraan dengan swasta

Regulasi Tidak ada regulasi tentang Infrastruktur

Terdapat 2 pelabuhan di Gorontalo Utara pelabuhan Kwandang dan Pelabuhan Anggrek Terdapat 1 RPH milik pemerintah namun penggunaannya kurang optimal Keterbukaan akses informasi

Belum ada ketersediaan gudang hasil pemotongan

Tidak ada regulasi tentang logistik

Perluasan akses modal dalam bentuk KUR. Sudah ada 431 KK yang memanfaatkan KUR.

Tidak ada regulasi tentang akses modal

• •

Belum ada zonasi peternakan Sapi (lahan khusus)

Tidak ada regulasi tentang akses lahan

Tahap sosialisasi Perda pemanfaatan RPH

Tidak ada regulasi tentang pungutan

Belum optimalnya pemanfaatan kemitraan dengan swasta Sudah ada kerjasama antar daerah untuk mengembangkan usaha sapi Kawasan Utara-Utara)

Tidak ada regulasi tentang kemitraan dengan swasta

Pemda Gorontalo Utara belum memilik regulasi terkait pemasaran sapi. Hal ini terungkap dalam keterbatasan ketersediaan kapal pengangkut sapi yang menjadi kendala pemasaran sapi Gorontalo Utara. Saat ini, perusahaan (kapal) pengangkut sapi di Pelabuhan Kwandang dan Anggrek menetapkan kuota minimal 100 ekor sapi untuk setiap kali pengangkutan. Kondisi ini membuat arus keluar sapi Gorontalo Utara tersendat karena harus memenuhi kuota tersebut. Waktu tunggu untuk memenuhi kuota tersebut menimbulkan biaya baru bagi pelaku usaha karena harus menyiapkan pakan dan tempat penampungan sapi. Lebih itu, tempat karantina hewan juga harus memiliki izin. Kondisi ini perlu mendapat intervensi kebijakan Pemda untuk memudahkan para pelaku usaha memasarkan sapi ke luar Gorontalo Utara. Ketiadaan regulasi pemasaran juga tampak dalam keterbatasan ketersediaan gudang penampungan daging. Kondisi ini pun membuat peternak atau pedagang sapi memilih untuk menjual sapi hidup daripada dalam bentuk daging atau olahan. Kondisi ini tentu diperparah minimnya infrastruktur RPH di Gorontalo Utara. Kemitraaan Pemda dan swasta belum berjalan optimal. Kondisi keterbatasan kapal pengangkut dan ketersediaan gudang menunjukkan kemitraan pemda-swasta belum berjalan dengan baik. Padahal kemitraan menjadi strategi penting dalam memudahkan arus pemasaran sapi ke luar Gorontalo Utara. Sementara pada sisi kebijakan, Pemda Gorontalo Utara belum memiliki kebijakan investasi bagi para pelaku usaha khususnya yang bergerak di sektor perdagangan sapi. Ketidaklancaran arus pemasaran tentu berdampak pada antusiasme pelaku usaha dan para peternak dalam membudidayakan sapi di Gorontalo Utara. Pemda Gorontalo Utara belum memiliki regulasi dan zonasi peternakan (sapi). Ketiadaan zonasi peternakan ini membuat Pemda kehilangan fokus dalam mengimplementasikan program-program terkait pengembangan sapi. Zonasi sesungguhnya menjadi alat bantu Pemda dalam mengarahkan seluruh program dan kegiatan ke zonasi yang telah ditentukan. Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

32


Implementasi Kebijakan Pada Sektor Ekonomi Terpilih

B.

Komoditas Jagung

Tabel 14. Temuan Inti Core Komoditas Jagung Kabupaten Gorontalo Utara Indikator

Temuan Lapangan •

Sarana Produksi

• •

Pendistribusian pupuk belum efektif;sudah memasuki masa tanam, namun pupuk belum tersedia. Jumlah pengecer pupuk kurang sehingga terjadi monopoli RDKK tidak disusun oleh kelompok tani, melainkan

Regulasi Tidak ada regulasi dalam kegiatan sarana produksi

pedagang sehingga tidak tepat sasaran •

Pengolahan jagung hanya sebatas dalam bentuk pipilan. Faktor budaya mempengaruhi produksi jagung; tradisi panggoba Belum ada upaya pemerintah untuk perlindungan tanaman jagungasuransi hanya terbatas pada tanaman padi

Tidak ada regulasi dalam kegiatan budidaya

• •

Teknologi pemanenan masih kurang Sarana prasarana minim; minimnya alat pengering jagung

Tidak ada regulasi dalam kegiatan pengolahan

Pola pemasaran hasil panen melalui 2 jalur, yakni jalur pengepul dan melalui gudang Minimya peran BUMD; tidak ada jaminan kepada petani untuk menampung hasil panen Ketidakjelasan ketentuan kadar air yang ideal; pemda maupun pemilik gudang menentukan kualitas jagung dengan kadar air yang berbeda

Tidak ada regulasi dalam kegiatan pemasan

• Budidaya •

Pengolahan

• Pemasaran •

Pengawasan Pemda terhadap distribusi pupuk bersubsidi tidak berjalan optimal. Pengawasan yang lemah ini berimbas pada munculnya praktik yang membebani para petani dalam pendistribusian pupuk bersubsidi. Di Gorontalo Utara, ada pengecer yang berperan rangkap sebagai pedagang jagung. Oknum pengecer ini menjual pupuk bersubsidi hanya kepada para petani yang bersedia menjual jagung ke tempat penampungannya. Lebih dari itu, Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) sering tidak mencerminkan kebutuhan petani jagung. Kondisi ini terjadi karena petani tidak dilibatkan dalam penyusunan RDKK. Kapasitas sumber daya manusia (petani) dan teknologi merupakan kendala dalam budidaya dan pengolahan hasil. Para petani hanya menjual hasil dalam bentuk “pipilan”. Kondisi ini terjadi karena tingkat pengetahuan dan keterampilan petani rendah dan teknologi pengolahan hasil yang minim. Petani juga tidak memiliki fasilitas penjemuran. Petani sangat kesulitan untuk menjemur jagung setelah panen. Ada desa yang memfasilitasi bak penjemuran yang dibiayai dari dana desa. Namun, bak penjemuran ini sangat terbatas dan harus dipakai bergantian dengan petani lainnya. Sebagian petani justru memilih untuk menjemur di aspal karena membutuhkan waktu yang lebih singkat, yakni 1,5 hari. Sedangkan menjemur di bak membutuhkan waktu sampai 4 hari.

33

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


Ketidakjelasan standard pengukuran kadar air jagung menjadi persoalan bagi petani. Setiap stakeholder memiliki standard yang berbeda-beda. Pemda dan pemilik gudang (swasta) menentukan kadar air yang berbeda-beda. Kondisi ini menimbulkan kebingungan di kalangan petani jagung. Hal ini juga berimbas pada ketidakpastian harga jagung. Tabel 15. Temuan Faktor Pendukung Komoditas Jagung Kabupaten Gorontalo Utara Indikator

Infrastruktur

Logistik Akses modal Akses lahan Pungutan Kemitraan dengan swasta

Temuan Lapangan

Regulasi

• •

Perbaikan infrastruktur ada tapi belum optimal. Akses jalan ke pusat produksi masih kurang

Tidak ada regulasi tentang infastruktur

• •

Tata kelola sumber daya air masih buruk Kurangnya lantai penjemuran

Kapasitas gudang belum memadai

Tidak ada regulasi tentang logistik

Perluasan akses modal dalam bentuk KUR

Tidak ada regulasi tentang akses modal

Ketersediaan lahan untuk tanaman jagung sangat luas

Tidak ada regulasi tentang akses lahan

Tidak ada

Tidak ada regulasi tentang pungutan

Prospek kerjasama dengan HTI > untuk tanaman tumpangsari dan potensi lahan untuk area peternakan

Tidak ada regulasi tentang kemitraan dengan swasta

Kualitas infrastruktur jalan dari dan ke pusat produksi belum memadai. Petani mengalami kesulitan dalam akses jalan tani (ladang). Jalannya belum diaspal dan ketika hujan sulit dilalui karena licin. Petani biasanya menggunakan jasa ojek untuk mengantar hasil panen dari ladang ke sentra pengolahan. Pemda belum memiliki regulasi dan fasilitas pemasaran jagung. Hal ini tampak dalam ketiadaan gudang milik Pemda untuk menampung hasil panen. Petani Gorut pun memasarkan hasil panen melalui dua jalur: pengepul (kontainer dari luar daerah) dan gudang milik swasta. Beberapa petani lebih memilih melalui jalur pengepul karena tidak ada potongan dan menerima kondisi jagung apa adanya. Sedangkan jika dimasukkan ke gudang, walaupun jagung dalam kondisi bagus, tetap dikenakan potongan oleh pemilik gudang. Kemitraaan Pemda dan swasta belum berjalan optimal. Selama ini Pemda belum melakukan kerja dengan pihak swasta dalam pengembangan jagung di Gorut. Pemda masih fokus pada kebijakan yang langsung menyentuh petani tetapi belum mengandeng swasta mulai dari tahapan saprodi sampai pemasaran. Saat ini Pemda Gorut mulai menjajaki kerja sama dengan pihak swasta terkait budidaya dan pemasaran jagung. 5.3

Kota Kendari

Daerah berstatus sebagai ibukota propinsi Sulawesi Tenggara ini merupakan daerah dengan karakteristik perekonomian yang didominasi oleh usaha konstruksi, perdagangan besar dan eceran serta pertanian, kehutanan dan perikanan. Namun, jika ditinjau dari lapangan pekerjaan selain menjadi karyawan/ pegawai/ buruh (78.486 orang), penduduk Kota Kendari memilih untuk berusaha sendiri (24.591 orang).

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

34


Implementasi Kebijakan Pada Sektor Ekonomi Terpilih

Peluang berwirausaha di Kota Kendari terbuka lebar untuk dimanfaatkan. Salah satunya adalah dengan beternak ataupun membuka industri olahan. Kota Kendari sendiri memiliki populasi ternak sapi potong dengan jumlah yang cukup besar (3.037 ekor) dengan jumlah ternak sapi yang dipotong sebesar 6.571 ekor pada tahun 2016 (BPS, 2017). Selain itu, Kota Kendari memiliki komoditas rumput laut. A.

Komoditas Sapi

Sesuai dengan konteks yang disinggung pada tinjauan pustaka, bahwa analisis komoditas menggunakan konsep M4P, berikut adalah hasil temuan lapangan inti core (supply and demand) untuk komoditas sapi di Kota Kendari. Tabel 16. Temuan Inti Core Komoditas Sapi Kota Kendari Indikator

Temuan Lapangan •

Sarana Produksi

• •

Budidaya •

Pengolahan

• Pemasaran

35

Regulasi

Kendari memiliki potensi untuk mengembangkan bibit sapi, mengingat di kota ini banyak sapi betina produktif yang populasinya cukup besar. Namun, hal tersebut sulit diwujudkan karena sebagain besar sapi kendari berasal dari Kabupaten Konawe Selatan dan Bombana Bibit bantuan pemerintah diberikan langsung kepada masyarakat dan tidak dikelola secara komunal

Tidak ada regulasi untuk kegiatan sarana produksi

Kendari menggunakan mekanisme budidaya breeding (penggemukan). Peternak biasanya mendapatkan sapi yang sudah dewasa dan kemudian langsung dipotong/ dijual. Sehingga tidak banyak kegiatan budidaya peternakan. PPL sulit untuk memberikan pemahaman kepada peternak tentang penggunaan teknologi dalam budidaya sapi.

Tidak ada regulasi untuk kegiatan budidaya

70% populasi sapi di Kota Kendari adalah sapi betina. Namun regulasi nasional melarang sapi betina dipotong. Padahal sapi ini menjadi salah satu suplai konsumsi sapi di Kota Kendari Fasilitas Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Kendari perlu renovasi, penanganan limbah, storage tidak berfungsi karena daya dukung listrik dan mayoritas peternak langsung melakukan potong-jual

Pemkot sedang membahas Ranperda tentang pelarangan pemotongan sapi betina produktif

Sapi potong hanya untuk konsumsi lokal sedangkan sapi utuh untuk pengiriman keluar pulau Penjualan daging di hotel membutuhkan membutuhkan standarisasi dan pembayaran dilakukan menggunakan giro sehingga tidak dapat langsung diterima peternak

Tidak ada regulasi untuk kegiatan pemasaran

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


Kendari memiliki peran kuat dari sisi pengolahan dan pemasaran. Kota Kendari menjadi tujuan bagi kabupaten lainnya sebagai tempat pemotongan sapi. Sedangkan, jumlah populasi sapi berasal dari kawasan sentra pengembangan sapi di Sultra yang berada di tujuh kabupaten kota yakni Kabupaten Konawe Selatan, Muna, Bombana, Konawe, Kolaka, Kolaka Timur dan Muna Barat. Berdasarkan data BPS 2017 terlihat bahwa jumlah sapi yang dipotong memiliki jumlah lebih besar (6.571 ekor) daripada jumlah peternak sapi (3.037 ekor). Namun, tantangan ke depan adalah bagaimana menambah populasi sapi di Kota Kendari, mengingat Kendari bukan menjadi sentra produksi sapi potong. Tabel 17. Populasi Ternak Provinsi Sulawesi Tenggara Populasi Ternak Menurut Kab/Kota (Ekor) Sapi Potong

Wilayah 2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

Provinsi Sultra

268.138

239.683

236.511

230.363

265.370

296.788

331.958

Kab. Konawe Selatan

69.069

55.129

56.803

56.556

60.251

62.616

65.434

Kab. Muna

58.835

49.075

53.203

48.290

56.726

66.777

47.701

Kab. Konawe

43.127

47.688

33.113

30.520

37.339

43.285

45.692

Kab. Kolaka

42.481

22.327

23.177

23.848

20.400

22.031

26.075

Kab. Bombana

26.047

41.709

44.249

43.268

50.690

54.029

57.055

Kab. Konawe Utara

11.403

4.894

4.934

6.135

7.308

8.609

9.330

Kab. Buton

7.823

10.258

11.736

11.804

14.327

16.181

9.449

Kab. Buton Utara

4.148

3.037

3.282

3.628

4.227

4.694

4.137

Kota Bau-Bau

2.255

1.556

1.542

1.624

1.785

1.901

1.975

Kota Kendari

1.615

1.819

1.972

2.215

2.661

272

3.037

Kab. Kolaka Utara

808

1.333

1.570

1.562

2.058

2.339

2.633

Kab. Wakatobi

527

858

930

913

1.005

1.061

1.094

-

-

-

-

5.920

12.199

12.307

Kab. Kolaka Timur

Ketersediaan RPH yang cukup besar, juga menjadi rujukan tempat pemotongan oleh peternak yang berada di luar Kota Kendari. Kabupaten Bombana dan Konawe Selatan yang menjadi pelanggan RPH Kota Kendari. Namun, kondisi RPH perlu untuk dilakukan renovasi. Beberapa permasalahan yang muncul seperti penanganan limbah dan kebersihan belum maksimal. Perbaikan RPH dibutuhkan karena dalam pelaksanaan kegiatan pemotongan hewan terdapat retribusi RPH. Biaya retribusi untuk pemotongan sapi sebesar Rp 60.000 per ekor terdiri dari pemeriksaan ante mortem (Rp 10.000), Pemeriksaan Post mortem (Rp 10.000), pemakaian kandang (Rp 20.000) dan pemakaian tempat pemotongan (Rp 20.000).

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

36


Implementasi Kebijakan Pada Sektor Ekonomi Terpilih

Kendari memiliki pasar yang cukup besar. Sebanyak 359.371 orang tinggal di Kendari, selain itu kota ini memegang peringkat pertama dengan jumlah penduduk terbanyak di Provinsi Sulawesi Tenggara. Jumlah yang cukup besar tersebut merupakan pangsa pasar produk daging sapi. Dengan makanan khas berupa Coto dan Konro menjadi daya tarik bagi pelaku usaha untuk beternak di Kota Kendari. Melihat potensi tersebut, maka upaya untuk memperkuat produksi sapi potong di Kendari menjadi potensial. Namun, sejauh ini belum ada kebijakan dari pemerintah untuk mengarusutamakan daging sapi Kendari untuk mengkases kemitraan dengan pelaku usaha. Hotel dan restoran merupakan target yang bisa disasar. Berdasarkan dari permasalahan tersebut, forum diskusi antar stakeholder menyepakati bahwa pemda perlu untuk menerbitkan regulasi dan menjadi kerjasama untuk pembelian daging lokal. Hal tersebut akan memperkuat rantai nilai pemasaran daging sapi dan juga mempermudah peternak untuk melakukan penjualan. Penjualan sapi utuh lebih lebih banyak daripada daging sapi. Kendala lain, penjualan sapi utuh lebih sering dilakukan oleh para peternak. Penjualan sapi hidup ini akan merugikan pihak peternak karena harga jual sapi menjadi lebih murah daripada daging sapi. Namun, banyak dari mereka justru mempraktikkan hal ini. Alih-alih dipotong mereka lebih sering menjualnya secara utuh ke Kota Surabaya maupun Kota Makassar. Kebijakan tentang larangan pemotongan sapi betina produktif menjadi topik menarik di Kota Kendari. Sebanyak 70 sampai 80 persen sapi di Kendari adalah betina produktif. Hal ini menjadi hambatan tersendiri, mengingat dalam Undang-undang 41/2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan yang menyatakan pelarangan pemotongan sapi betina produktif. Menindaklanjuti regulasi tersebut Pemda Kendari pun telah membuat rumusan peraturan daerah yang mengatur hal serupa. Pelarangan pemotongan tersebut akan menjadi kontraproduktif dengan kondisi di lapangan, hal ini ditakutkan akan membuat kelangkaan suplai daging sapi di Kendari. Untuk itu pemerintah pusat perlu untuk membuat kebijakan yang komplementer terhadap regulasi tersebut. Selain kondisi supply and demand, pada indikator M4P juga melihat faktor-faktor pendukung rantai nilai komditas. Berikut pada tabel 2 disampaikan temuan terkait faktor-faktor pendukung. Tabel 18. Temuan Faktor Pendukung Komoditas Sapi Kota Kendari Indikator

Temuan Lapangan •

Kendari memiliki rumah potong hewan dengan kapasitas cukup besar. Bahkan RPH dilengkapi dengan 3 unit cold storage. Kota Kendari juga memiliki pelabuhan yang beroperasi untuk pengiriman barang dari Kabupaten di sekitarnya

Tidak ada regulasi untuk infrastruktur

•

Pengiriman logistik biasanya lebih sering sapi hidup, tidak pernah berupa daging sapi. Pengiriman tersebut lebih menguntungkan

Perda Retribusi Jalan ke Pelabuhan, Tahun 2005

•

Kebanyakan modal yang diberikan oleh pemerintah langsung dalam bentuk bibit, jadi bentuk bibit 1-2 tahun baru punya anak jadi 1 bantuan bibit.

Tidak ada regulasi untuk infrastruktur

Infrastruktur •

Logistik

Akses modal

37

Regulasi

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


Indikator

Temuan Lapangan •

Akses lahan

Pungutan

Regulasi

RTRW Kota Kendari belum dapat memenuhi ekspektasi pelaku usaha untuk beternak sapi. Kapasitas lahan harus cukup banyak untuk usaha tsb

Rencananya melalui revisi Perda RTRW akan dimasukkan kawasan budidaya peternakan dan perikanan

• •

Retribusi RPH Rp 60.000/ekor sapi Retribusi jalan ke pelabuhan

• •

Perda 3/2011 tentang Retribusi RPH Perda Retribusi Jalan ke Pelabuhan, Tahun 2005

• Kemitraan dengan swasta

Belum ada format kemitraan dengan swasta/ kerjasama antar daerah untuk mengembangkan usaha tata niaga sapi

• •

Ranperda tentang kerjasama antar daerah Perwali 50/2015 tentang rencana umum penanaman modal Kota Kendari 2015-2025

RPH dan pelabuhan menjadi daya dukung yang tinggi bagi Kota Kendari sebagai hub perdagangan. Sebagai karateristik kota, Kendari memiliki keunggulan dari segi infrastruktur. Pelabuhan yang sering digunakan sebagai jalur perdagangan. Selain itu, juga terdapat Fasilitas RPH yang cukup besar dan selalu menjadi rujukan daerah di sekitarnya untuk pemotongan hewan ternak. Namun, kondisi RPH saat ini membutuhkan perbaikan, seperti saluran limbah, proses pemotongan dan juga pengolahan limbah. Fasilitas seperti cold storage juga belum termanfaatkan secara maksimal karena daya dukung listrik dan tidak banyak peternak yang membekukan daging sapi. Sumber daya manusia di RPH harus bersertifikat standard nasional. Dalam regulasi tentang RPH terdapat beberapa standard yang harus dipenuhi, yakni sertifikasi bagi sumber daya manusia di dalam lingkungan RPH. Ketentuan tentang sertifikasi SDM tersebut dirasakan cukup memberatkan. Untuk mendapatkan sertifikat standard nasional, mereka harus melakukan serangkaian pelatihan. Di Kendari, juru sembelih dan juru potong ketika memotong hewan ternak masih belum sesuai dengan SOP yang tersedia di RPH. Walaupun beberapa di antara mereka telah mendapatkan pelatihan, namun mereka tidak terbiasa menggunakan metode tersebut. Pengelolaan RPH khususnya untuk limbah belum maksimal. Pemerintah merasa selama ini pengelolaan limbah kotoran sapi dan kulit masih belum maksimal. Selama ini limbah hanya diberikan kepada yang membutuhkan, padahal nilai ekonomis limbah kotoran sapi cukup mahal jika diolah menjadi pupuk. Berbeda dengan limbah kulit yang biasa dijual kepada pelaku usaha. Jumlah limbah kotoran sapi yang dihasilkan. Modal usaha untuk peternakan sapi dalam bentuk bibit. Pemerintah kerap kali membantu peternak dengan memberikan bibit daripada modal berupa pinjaman lunak. Pemberian bibit harapannya dapat mengembangbiakkan peternakan sapi. Namun, ternyata dalam satu hingga dua tahun bibit tersebut juga sulit untuk berkembang, rata-rata dalam kurun waktu tersebut bibit yang diberikan hanya menghasilkan satu ekor anak.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

38


Implementasi Kebijakan Pada Sektor Ekonomi Terpilih

Belum ada format kemitraan dengan swasta namum pemda sudah memiliki peraturan tentang rencana umum penanaman modal. Pola kemitraan dengan swasta di Kota Kendari memang belum terbentuk hal ini terjadi karena dari sisi peternak juga sulit untuk melakukan kemitraan. Pemasok daging sapi dari pemasar (pedagang daging sapi) maupun RPH tidak tertarik untuk berbisnis dengan pihak hotel karena transaksi yang diberlakukan menggunakan giro. Pembayaran dengan menggunakan giro dirasakan tidak menguntungkan oleh pemasar daging sapi, karena perputaran bisnis menjadi lambat. Untuk mengurai permasalahan tersebut dibutuhkan bantuan pemerintah sebagai aktor yang dapat menyelesaikan kesulitan dari peternak dan pelaku usaha. Di sisi lain, Kendari telah memiliki kebijakan rencana penanaman modal yang harapannya dapat memberikan gambaran kepada pelaku usaha untuk berinvestasi. Selain itu, Pemkot Kendari saat ini sedang menyusun rencana peraturan tentang kerjasama antar daerah. Kedua kebijakan tersebut harapannya dapat mendorong kemitraan antar daerah maupun swasta untuk meningkatkan perekonomian daerah. B.

Komoditas Rumput Laut

Selain peternakan, Kota Kendari juga memiliki komoditas rumput laut. Komoditas ini menjadi salah satu komoditas perdagangan yang juga menjadi mayoritas potensi di Provinsi Sulawesi Tenggara. Tabel 19. Temuan Inti Core Komoditas Rumput Laut Kota Kendari Indikator Sarana Produksi

Temuan Lapangan •

Adanya kontaminasi limbah industri di daerah-daerah produsen rumput laut

Tidak ada regulasi

Laut tempat untuk budidaya rumput laut sekarang tidak ada. Hal ini karena adanya lalu lintas kapal laut dan aktifitas pelabuhan yang semakin ramai. Sehingga menyebabkan laut di Teluk Kendari tidak dapat digunakan.

Ranperda perlindungan mangrove dan hutan pantai

Usaha pengolahan rumput laut masih bersifat sampingan, belum jadi yang sumber penghasilan utama. Pola pengusahaan pengolahan rumput laut masih subsistence. Keengganan pengusaha pengolah rumput laut dalam mengurus surat-surat atau sertifikat berkaitan dengan produk, seperti sertifikat halal dan hygienis. Surat-surat tersebut tidak diurus karena harganya cukup mahal.

Peraturan Walikota Kendari No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Peraturan Walikota Kendari No. 1546 tahun 2010 ttg SOP Pelayanan Perizinan

Terdapat hambatan untuk kerjasama antara pelaku usaha dengan peritel (Skema pembayaran dan kontrak) Pengusaha pengolah rumput laut tidak ada yang mampu memenuhi kuota yang diinginkan oleh pembeli. Program pendampingan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota perlu koordinasi dan sinkronisasi. Petani rumput laut di daerah penghasil juga menjual hasil panen langsung kepada tengkulak/pengumpul.

Tidak ada regulasi

Budidaya

• Pengolahan

• • Pemasaran

• •

39

Regulasi

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


Menganalisis kembali ekosistem dan dampak lingkungan untuk merehabilitiasi kesehatan rumput laut. Salah satu kendala dari berkurangnya produksi rumput laut di Kota Kendari adalah karena terjadi pencemaran air laut. Tercemarnya air laut pun menyebabkan petani tak lagi menghasilkan pendapatan pada rumput laut. Pada akhirnya rumput laut sudah mulai berkurang dan saat ini Kota Kendari hanya memerankan fungsi pengiriman (logistik) rumput laut. Pemerintah sudah memiliki perencanaan untuk mencoba memperbaiki kerusakan lingkungan tersebut. Saat ini, pemda masih melakukan pembahasan untuk mengatur tentang perlindungan mangrove dan hutan pantai. Tabel 20. Produksi Rumput Laut Provinsi Sulawesi Tenggara Produksi Rumput Laut Menurut Kabupaten/Kota Rumput Laut

Wilayah 2012

2013

2014

2015

2016

Provinsi Sultra

639.192,20

917.362,83

529.979,31

666.224,50

812.879,29

Kab. Kolaka

218.878,80

256.920,00

140.124,89

168.149,87

205.142,84

Kab. Kolaka Utara

7.100,00

45.633,77

45.940,40

55.128,48

67.256,75

Kab. Konawe

8.343,75

45.141,73

27.718,00

33.261,60

40.579,15

Kab. Konawe Utara

6.282,10

11.109,00

33.750,20

40.500,24

49.410,29

Kab. Konawe Selatan

299.244,00

105.072,00

81.083,00

97.229,60

118.705,51

Kab. Buton

21.854,24

184.184,00

89.515,72

107.418,86

131.051,01

Kab. Buton Utara

8.090,87

11.128,39

5.354,91

6.425,89

7.839,59

118,59

21.349,29

1.984,00

2.380,80

2.904,58

Kab. Wakatobi

6.315,00

8.091,37

6.561,00

36.920,38

45.042,86

Kab. Bombana

45.240,00

46.442,08

963,75

1.156,50

1.410,93

Kab. Muna

17.629,85

182.199,68

96.983,44

116.380,13

141.983,76

95,00

91,52

-

1.272,15

1.552,02

Kota Baubau

Kota Kendari

Pemasaran produk rumput laut dengan pihak ketiga belum terlaksana. Seperti halnya dengan sapi, rumput laut juga mengalami kendala terhadap pembayaran dan sistem kontrak pada pihak ketiga. Selama ini kerjasama belum terjalin salah satunya karena sistem pembiayaan terlalu rumit dan kapasitas produksi rumput laut yang semakin berkurang. Di sisi lain, dari pengemasan dan berbagai standard kelayakan produk belum memenuhi kriteria pihak ketiga (peritel). Minimnya informasi harga membuat petani percaya kepada pengumpul. Harga komoditas rumput laut yang fluktuatif serta terbatasnya informasi harga membuat petani enggan untuk membudidayakan rumput laut. Selama ini petani mendapatkan harga dari pada pengumpul, beberapa di antaranya juga menerapkan sistem ijon. Di sisi lain, belum ada aktor yang dapat memberikan referensi harga selain para pengumpul. Sulitnya akses informasi yang benar terkait dengan harga ini akan membuat keberadaan rumput laut akan semakin punah.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

40


Implementasi Kebijakan Pada Sektor Ekonomi Terpilih

Untuk memenuhi legalitas pelaku usaha perlu mengurus Izin Usaha Industri (IUI) kecil dan berbagai sertifikat asal barang. Mendapatkan dokumen perizinan adalah hal yang cukup sulit bagi pada UMKM. Namun, dengan adanya dokumen tersebut pemerintah dapat membuat program untuk memperkuat pelaku usaha. Begitu pula dengan UMKM yang bergerak di industri pengolahan rumput laut, yang masih belum memiliki izin. Berdasarkan data dari Dinas UMKM terdapat 7 UMKM (terdiri dari 3 binaan DKP dan 4 binaan Perindustrian) pelaku usaha yang bergerak teridentifikasi bergerak di bidang industri pengolahan rumput laut. Untuk pelaku usaha lainnya belum teridentifikasi dan belum secara spesifik terdaftar dalam industri pengolahan. Hal tersebut terjadi karena pelaku usaha tidak fokus dan banyaknya prosedur yang harus dilalui oleh pelaku usaha, salah satunya adalah mendapatkan sertifikat asal barang dan PIRT. Selain itu, pelaku usaha yang bergerak di olahan tidak fokus mengolah rumput laut saja dikarenakan ketersediaan bahan utama rumput laut yang terkadang persediaanya tidak tentu. Tabel 21. Temuan Faktor Pendukung Komoditas Rumput Laut Kota Kendari Indikator

Temuan Lapangan •

Kota Kendari memiliki pelabuhan yang cukup memadai untuk melakukan pengiriman. Ada bantuan peralatan yang diberikan pemerintah. Namun, alat industri tidak dapat digunakan karena keterbatan sumber listrik

Tidak ada regulasi tentang logistik

Sulit mengontrol asal barang. Dibutuhkan sistem pendataan untuk mengetahui jumlah pasokan rumput laut dan lokasi pengiriman

Tidak ada regulasi tentang logistik

Perluasan akses modal untuk IUMK

Perluasan akses modal untuk IUMK

Kota Kendari memiliki Perda No. 1/2012 tentang RTRW dan masih dalam proses pembahasan. Selain itu terdapat Perda No. 3/2013 Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Kota Kendari 2011-2031 dan juga Perda No. 18/2013 > belum diimplementasikan

Infrastruktur

Logistik

Akses modal

Regulasi

Akses lahan

• Pungutan

Kemitraan dengan swasta

41

• • •

Perda No. 1/2012 tentang RTRW masih dalam proses pembahasan Perda No. 3/2013 Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Kota Kendari 2011-2031 Perda No. 18/ 2013 tentang kawasan industri Kota Kendari

Tidak ada pungutan karena masih bersifat industri rumahan Terdapat pungutan retribusi jalan pelabuhan Terdapat retribusi untuk izin usaha perikanan.

Belum ada format kemitraan dengan swasta/ kerjasama antar daerah untuk mengembangkan usaha rumput laut  rencana akan diintervensi Bank Indonesia

Ranperda tentang kerjasama antar daerah

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

Perda Retribusi Jalan ke Pelabuhan, Tahun 2005 Perda 4/2013 tentang retribusi izin usaha perikanan


Perluasan penerimaan Izin Usaha Mikro Kecil (IUMK) menjadi pintu gerbang akses modal dan legalitas berusaha. Pelaku usaha pengelolaan rumput laut merasa bahwa mereka sulit untuk mendapatkan akses modal. Dengan keterbatasan modal dalam pengolahan rumput laut, kemudahan dalam akses modal adalah salah kebutuhan yang harus dipenuhi. Perluasan IUMK akan mengurangi permasalahan pelaku usaha. IUMK merupakan jenis dokumen yang memang di khususkan untuk penguatan usaha bagi pelaku usaha mikro dan kecil. Melalui IUMK pemerintah memberikan beberpa kemudahan yang diperoleh terdiri dari: 1) Mendapatkan kepastian dan perlindungan dalam berusaha dilokasi yang telah ditetapkan; 2) Mendapatkan pendampingan untuk pengembangan usaha; 3) Mendapatkan kemudahan dalam akses pembiayaan ke lembaga keuangan bank dan non-bank; 4) Mendapatkan kemudahan dalam pemberdayaan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan/atau lembaga lainnya. Kebijakan resi gudang belum termanfaatkan secara maksimal. Selain melalui IUMK, untuk mendapatkan modal adalah melalui kebijakan resi gudang. Namun, di Kota Kendari belum memiliki zona pergudangan, sehingga program ini masih belum terimplementasikan. Manfaat dari program resi gudang ini di antaranya adalah: 1) Sebagai salah satu instrument pembiayaan untuk mendukung kelancaran produksi dan distribusi barang; 2) Sebagai pendukung terwujudnya kelancaran produksi dan distribusi barang serta Resi Gudang dapat menjadi salah satu instrumen pembiayaan. Secara khusus resi gudang juga diperuntukkan bagi usaha rumput laut dan jagung.

Kebijakan zonasi wilayah pesisir dan pulau kecil terimplementasikan karena perpindahan kewenangan ke Provinsi Sulawesi Tenggara. Kota Kendari memiliki regulasi tentang zona wilayah yang secara khusus mengatur kegiatan perikanan dan penguatan usaha perikanan. Namun, regulasi tersebut tidak dapat terimplementasikan karena telah ditariknya kewenangan perikanan dari kabupaten/kota ke provinsi (sesuai dengan mandat UU 23/2014). Di sisi lain, terdapat regulasi zonasi kawasan industri yang telah diatur melalui perda, namun regulasi tersebut juga belum diimplementasikan oleh pemkot. Keberadaan regulasi tersebut akan memberikan insentif bagi pelaku usaha dan mendorong tumbuhnya iklim investasi yang kondusif. Regulasi belum menyesuaikan ketentuan pusat. Selain regulasi tentang zonasi wilayah pesisir yang belum dicabut terdapat Perda No. 4/2013 tentang retribusi izin usaha perikanan yang tidak sesuai dengan ketentuan regulasi di nasional. Terkait dengan pandaftaran retribusi izin usaha yang dilakukan setiap 3 tahun sekali, sedangkan Permen KKP No. 49/2014, yang menyebutkan SIUP wajib melakukan registrasi ulang setiap lima tahun. Selain itu Perda tentang retribusi jalan ke pelabuhan juga masuk dalam daftar regulasi yang dibatalkan/direvisi oleh Kemendagri. Insentif untuk izin usaha perikanan belum tersedia. Sejauh ini, pemerintah hanya melakukan upaya business as usual. Padahal di beberapa daerah masih telah menerapkan insentif fiskal dan kemudahan berusaha untuk menarik investor. Hal ini tentunya dapat menjadi referensi dan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengembalikan geliat perekonomian daerah.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

42


Implementasi Kebijakan Pada Sektor Ekonomi Terpilih

5.4

Kota Baubau

Kota Baubau merupakan Kota yang terletak di atas Pulau Buton dengan kekayaan alam bawah laut yang sangat tinggi. Dengan garis pantai sepanjang ± 42 Km, Kota Baubau berpotensi menjadi penghasil rumput laut. Di samping itu, wilayah sekitarnya yaitu perairan Kabupaten Muna, Buton, Buton Utara, dan Bombana juga memiliki potensi sangat besar sebagai produsen berbagai jenis rumput laut. Wilayah pengembangan budidaya rumput laut di Kota Baubau tersebar pada berbagai kelurahan yang terletak di daerah pesisir, yaitu Kelurahan Palabusa, Kalia – lia, Kolese dan Lowu – Lowu (Kecamatan Bungi), Kelurahan Lakologou, Waruruma, Sukanaeyo, dan Liwuto (Kecamatan Kokalukuna), Kelurahan Naganganaumala, Wameo, Tarafu, dan Bone - Bone (Kecamatan Murhun), serta Kelurahan Katobengke, Lipu, dan Sulaa (Kecamatan Betoambari). Luas areal perairan yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan budidaya rumput laut berkisar 960 Ha di sepanjang garis pantai potensial, yaitu sekitar 9 km untuk Kecamatan Murhum dan Betoambari. Namun demikian, hingga tahun 2007 lahan perairan yang termanfaatkan baru sekitar 111,6 Ha. Jenis rumput laut yang dikembangkan terbatas pada Eucheuma Cottoni dan Eucheuma Spinosum. Selain perairan, Kota Baubau berpotensi sebagai jalur perdagangan berskala lokal dan regional. Dengan adanya pelabuhan Murhum Kota Baubau mempunyai peran dan fungsi sebagai pelabuhan utama tersier yang terhubung dengan pelabuhan-pelabuhan besar lainnya. Kemudian, saat ini pemerintah Kota Baubau juga memiliki fokus untuk mengembangkan sektor pariwisata, salah satunya dengan membangkitkan kembali tenun asli Baubau. Kain tenun menjadi ciri khas masyarat Kota Baubau untuk digunakan ketika ada kegiatan adat. Produksi kain tenun ini juga meningkatkan perekonomian masyarakat, pasalnya kain tersebut dibuat oleh mayoritas ibu rumah tangga. Berbagai program dirancang untuk memperkuat produk tenun asli Kota Baubau. A.

Komoditas Rumput Laut

Seperti gambaran umum Kota Baubau pada pengantar, kota ini memiliki potensi yang besar khususnya dalam budidaya rumput laut. Bahkan pemerintah sudah menyiapkan gudang dan juga terdapat pernjanjian Teluk Bone dimana Baubau memiliki peran krusial khususnya dalam jalur perdagangan. Berikut adalah temuan-temuan terkait dengan komoditas rumput laut di Kota Baubau. Tabel 22. Temuan Inti Core Komoditas Rumput Laut Kota Baubau Indikator

Temuan Lapangan •

Tidak ada regulasi tentang logistik

Kebiasaaan masyarakat menggunakan pupuk rumput laut merusak ekosistem Bibit rumput laut cukup mahal (perkilo Rp 50.000)

• •

Budidaya rumput laut dapat dilakukan di teluk Baubau Terdapat kebijakan pemerintah terkait pengembangan

Perda No. 25/2012 tentang retribusi izin usaha perikanan

industri di sektor minapolitan belum berjalan maksimal RTRW belum menyebutkan secara khusus zonasi untuk budidaya rumput laut.

Sarana Produksi

Budidaya

43

Regulasi

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


Indikator

Temuan Lapangan •

Pengolahan

• • •

Pemasaran

• • • •

Regulasi

Belum banyak dilakukan pengolahan lanjutan untuk produk rumput laut Belum ada keterlibatan pelaku usaha untuk melakukan pengolahan dan diversifikasi produk rumput laut Belum ada pelatihan pengolah rumput laut menjadi barang setengah jadi

Perda No. 6/2013 tentang penerbitan dan retribusi izin usaha industri, izin perluasan dan tanda daftar industri

Harga rumput laut yang fluktuatif: informasi harga masih dari pengumpul Penjualan rumput laut hanya dikeringkan Koperasi belum berjalan maksimal Biasanya pengumpul langsung mengirimkan kepada perusahaan di Surabaya Peluang kerjasama yang ditawarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Tidak ada regulasi tentang pemasaran

Pola tanam yang dilakukan selama ini mencemari lingkungan. Petani rumput laut lebih suka menggunakan pupuk urea daripada pupuk organik. Menurut mereka penggunaan pupuk urea dapat mempercepat pertumbuhan rumput laut. Bahkan mereka bisa tiga kali panen dalam setahun. Berbeda halnya dengan penggunaan pupuk organik yang cenderung lama. Pemerintah sudah melakukan edukasi kepada petani namun ternyata hal tersebut tidak berlangsung lama dan petani kembali menggunakan pupuk urea. Fluktuasi harga juga dialami para petani di Kota Baubau. Informasi harga yang didapatkan oleh petani bersumber dari pengumpul. Mereka tidak tahu berapa harga ekspor, mereka hanya tahu bahwa harga rumput laut naik turun saja. Ketidakpastian informasi harga seharusnya dapat dijembatani oleh pemerintah untuk memberikan informasi valid kepada petani dan pelaku usaha. Pengumpul hanya menjual rumput laut kering dan tidak diolah. Mayoritas petani Kota Baubau, hanya menjual rumput laut dalam keadaan kering dan tidak diolah. Begitu pula dengan pengumpul, mereka sudah memiliki pembeli tetap dan siap untuk menampung hasil rumput laut kering tersebut. Alasan mengapa tidak ada pengolahan sebelumnya karena belum ada pelatihan pengolahan rumput laut menjadi barang setengah jadi.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

44


Implementasi Kebijakan Pada Sektor Ekonomi Terpilih

Koperasi yang menjadi harapan untuk dapat menjual rumput laut dan produk olahan rumput laut masih belum berfungsi secara maksimal. Petani rumput laut memiliki koperasi untuk setiap kelompok, namun koperasi tersebut tidak berjalan maksimal mengkoordinir anggotanya. Anggota koperasi cenderung memiliki kepentingan sendiri dan tidak memfungsikan koperasi untuk kemanfaatan anggota. Selain permasalahan dalam inti rantai nilai rumput laut, berikut adalah temuan terkait dengan faktor pendukung komoditas tersebut. Tabel 23. Temuan Faktor Pendukung Komoditas Rumput Laut Kota Baubau Indikator

Temuan Lapangan •

Pelabuhan cukup memadai. Sistem Resi Gudang belum berjalan di Kota Baubau (Petani menyimpan di masingmasing rumah

Tidak ada regulasi tentang infrastruktur

Pengumpul biasanya langsung mengirim rumput laut kepada pembeli di Kota Surabaya. Seluruh biaya dan dokumen pengiriman dikelola oleh pembeli

Perda No. 25/2012 tentang retribusi pelayanan kepelabuhan

Akses modal untuk penanaman dan diversifikasi produk rumput laut masih terbatas Belum ada pemanfaatan secara maksimal kemudahan IUMK

Tidak ada regulasi tentang akses modal

Masih memadai karena Kota Baubau memiliki wilayah teluk yang dapat digunakan untuk budidaya rumput laut. Kompleks pergudangan rumput laut sudah disediakan namun masih belum berjalan maksimal Namun perencanaan pemda lebih diarahkan untuk perdagangan bukan lagi budidaya rumput laut.

Perda RTRW

Tidak ada pungutan karena masih bersifat industri rumahan

Tidak ada regulasi tentang pungutan

Belum ada format kemitraan dengan swasta/ kerjasama antar daerah untuk mengembangkan usaha rumput laut Sudah ada perjanjian kerjasama antar daerah “Teluk Bone” namun saat ini tidak berjalan lagi karena tidak ada yang menindaklanjuti.

Perda No. 7/2012 tentang penanaman modal di kota baubau

Infrastruktur

Logistik

Akses modal

• •

Akses lahan

• •

Pungutan

Kemitraan dengan swasta

Regulasi

Resi gudang tidak termanfaatkan dengan baik. Di dekat pelabuhan Kota Baubau, pemerintah membangun gudang yang dikhususkan untuk menyimpan rumput laut. Namun, gudang tersebut tidak termanfaatkan karena proses legilasisasi berada di tingkat nasional dan petani cenderung memilih untuk menyimpan rumput laut kering di rumah masing-masing. Selain itu, sedikitnya hasil rumput laut membuat petani langsung menjualnya, sehingga tidak perlu menyimpannya dalam gudang. Menurut pemerintah, pembangunan gudang itu juga merupakan program dari pemerintah pusat berupa resi gudang. Namun, karena tidak ada petani maupun pelaku usaha yang menggunakannya kemanfaatan resi gudang menjadi hilang. Keberadaan infrastruktur tersebut akan menjadi aset yang tak berhaga. Bantuan mengaktifkan kembali resi gudang akan berdampak jangka panjang dan dapat menyelesaikan beberapa persoalan yang dihadapi petani.

45

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


Regulasi Izin Usaha Industri (IUI) perlu disesuaikan dengan regulasi tingkat nasional. Untuk melakukan pengelolaan produk rumput laut, pelaku usaha membutuhkan IUI. Namun, jika dilihat dari segi regulasinya, terdapat beberapa poin yang berpotensi menjadi masalah. Berikut adalah temuannya: • Update ketentuan yuridis perlu dilakukan karena masih mengacu pada UU No. 32/2004. Selain itu tidak sesuai dengan perubahan PP 107/2015 tentang IUI. • Dari sisi substansi TDI sudah tidak lagi digunakan sebagai izin karena sudah dihapus dengan IUI kecil. • Tidak terdapat persyaratan izin dan juga waktu penerbitan izin • Terdapat ketentuan daftar ulang setiap 5 tahun sekali untuk IUI, izin perluasan dan TDI. Ketentuan tersebut tidak terdapat dalam PP 107/2015. • Perubahan kewenangan penerbitan IUI berdasarkan ketentuan UU No. 23/2014 bahwa IUI yang berhak untuk diterbitkan kabupaten/ kota terdiri dari: a. Penerbitan IUI kecil dan IUI Menengah. b. Penerbitan IPUI bagi industri kecil dan menengah. c. Penerbitan IUKI dan IPKI yang lokasinya di Daerah kabupaten/kota.

Kerjasama antara “Teluk Bone” yang telah vakum. Kerjasama Teluk Bone terdiri dari beberapa daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Terdapat sembilan daerah yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan (Kabupaten Selayar, Bulukumba, Sinjai, Bone, Wajo, Luwu, Palopo, Luwu Utara dan Luwu Timur), sedangkan Provinsi Sulawesi Tenggara terdapat enam daerah (Kota Baubau, Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, Bombana, Muna dan Buton). Potensi kerjasama yang dikembangkan antara lain perikanan tangkap, perikanan budidaya, lingkungan, pariwisata bahari, dan sosial budaya. Namun, sayangnya desain kerjasama yang cukup apik ternyata tidak banyak diketahui oleh pemerintah Kota Baubau. Bahkan kini kerjasama tersebut menjadi vakum dan belum ada tindak lanjut dari Provinsi maupun Pemkot Baubau akan hal tersebut. Kota Baubau memiliki regulasi tentang insentif fiskal dan kemudahan berusaha untuk menarik investasi. Salah satu upaya kebijakan yang diapresiasi adalah pemkot membuat regulasi dengan mencantumkan insentif bagi pelaku usaha. Dalam Perda No. 25/2012 tentang retribusi pelayanan kepelabuhan dan Perda No. 7/2012 tentang penanaman modal di Kota Baubau mencantumkan tentang insentif fiskal dan kemudahan berusaha. Namun, regulasi tersebut masih belum diimplementasikan dan belum ada peraturan walikota yang mengatur tentang kriteria insentif serta kemudahan yang dimaksudkan.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

46


Implementasi Kebijakan Pada Sektor Ekonomi Terpilih

B.

Komoditas Tenun

Selain perikanan, pemerintah Kota Baubau juga memilih dan mengusulkan komoditas kain tenun. Keseriusan dan komitmen pemerintah telah ditulis dalam dokumen perencanaan lima tahunan. Berikut adalah beberapa permasalahan terkait rantai nilai pada kain tenun Kota Baubau. Tabel 24. Temuan Komoditas Tenun di Baubau Indikator

Temuan Lapangan •

Regulasi

Pengrajin lebih suka menggunakan benang sintesis daripada benang dengan pewarna alami karena benang harus menunggu dari NTB, proses pewarnaan yang cukup panjang dan ada kemungkinan benang mudah putus. Biaya untuk benang pewarna alami lebih murah dari benang biasa.

Tidak ada regulasi tentang sarana produksi

Proses produksi tidak fokus karena dilakukan di sela-sela pekerjaan rumah tangga Produksi tenun dilakukan secara tradisional. Alat tenun tidak dapat digunakan karena keterbatasan aliran listrik Dekranasda berpartisipasi untuk menguatkan kapasitas melalui pelatihan. Sudah ada 70 titik pelatihan

Tidak ada regulasi tentang proses produksi

Pemasaran hanya berdasarkan pada pesanan pembeli kepada pengrajin Sudah ada pengumpul kain (ibu Hj. Hadijjah) Sudah ada kebijakan pengembangan ekonomi kreatif untuk memfasilitasi tenun Peluang pembangunan showroom dari Bank Indonesia tetapi belum ada penyerahan Integrasi program pariwisata dan pemasaran produk tenun

Tidak ada regulasi tentang pemasaran

Pemerintah telah menyediakan sentra tenun (tetapi belum dimanfaatkan)

Tidak ada regulasi tentang infrastruktur

Akses modal

• •

Lemahnya akses modal kepada para pengrajin. Koperasi masih belum mampu untuk menjadi sumber modal dan akses pemasaran

Tidak ada regulasi tentang akses modal

Kemitraan dengan swasta

• •

Kolaborasi program melalui CSR belum kuat Sudah ada kerjasama dengan Dekranasda

Tidak ada regulasi tentang kemitraan dengan swasta

Sarana Produksi • • • Proses Produksi • • • • • Pemasaran • •

Infrastruktur

47

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


Pemasaran produk kain tenun yang masih terbatas. Permasalahan krusial yang dihadapi para pengrajin adalah bagaimana memasarkan kain tenun. Permintaan kain tenun hanya berasal dari penduduk di Kota Baubau. Pemerintah juga sudah berupaya untuk meminta kepada seluruh SKPD untuk memakai kain tenun sebagai salah satu pakaian kantor. Namun, tetap saja permintaan kain tenun belum signifikan. Untuk mengembangkan usaha tersebut, sudah ada pelaku usaha yang lebih stabil. Pelaku usaha ini berperan sebagai pengumpul dan juga mengolah kain tersebut menjadi baju yang siap untuk dipasarkan. Selain itu, beliau juga melakukan beberapa pelatihan kepada para pengrajinnya untuk meningkatkan kualitas dan variasi kain tenun. Namun, sayangnya hanya beberapa pengrajin saja yang kainnya diterima untuk dijual dan dikumpulkan. Pengrajin belum inovatif dalam mengembangkan corak dan model tenun. Para pengrajin kain tenun lebih suka menenun menggunakan benang emas. Benang yang biasa digunakan untuk tenun baubau. Beberapa improvisasi dilakukan seperti tenun warna alami. Namun, metode pewarnaan alami sulit untuk mereka lakukan karena cukup panjang dan memakan banyak waktu. Selain itu untuk membuat tenun pewarna alami mereka harus mendatangkan benang dari Kabupaten Lombok Timur dan itu juga akan menambah biaya produksi. Disisi lain, mereka juga tidak punya cukup modal untuk membeli benang tersebut.

Persoalan gender masih meliputi pertumbuhan pengrajin tenun. Mayoritas pengrajin tenun di Kota Baubau adalah ibu rumah tangga. Mereka menenun di rumah dan ketika seluruh pekerjaan rumah telah selesai dikerjakan. Alat untuk menenun juga masih tradisional sehingga untuk menenun selembar kain membutuhkan waktu kurang lebih dua minggu. Untuk memcepat hasil produk tenun, pemerintah bersama program CSR Pertamina membangun rumah tenun. Namun karena lokasi rumah tenun di balai desa dan cukup jauh dari rumah membuat pengrajin enggan datang. Alasan mereka tidak menggunakan alat di rumah tenun karena mereka akan dimarahi oleh suami ketika tidak ada di rumah. Selain itu, mereka pun tidak akan mengerjakan tenun ketika suami mereka sedang berada di rumah, karena menurut ibu-ibu tugas utama mereka adalah melayani suami dan anak. Kemitraan dengan swasta masih belum cukup kuat. Selain program pemerintah, pengrajin juga menerima program CSR dari Pertamina dan juga bantuan dari Bank Indonesia. Namun, bantuan kemitraan itu hanya sebatar alat produksi dan tempat untuk menenun. Bantuan alat memang dibutuhkan, namun masalah pengrajin tenun adalah berkaitan dengan pemasaran produk. Untuk itu, kemitraan hanya menyelesaikan masalah di hulu, namun masalah di hilir masih belum terselesaikan dengan adanya kemitraan.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

48


6. Hambatan Regulasi Nasional di Daerah 6.1

Regulasi tentang Pangan Industri Rumah Tangga

Prosedur untuk mendapatkan Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) cukup panjang dan membutuhkan waktu yang lama. Keberadaan PIRT sangat bermanfaat bagi komoditas rumput laut, sapi dan jagung di daerah. PIRT sebagai pihak yang membutuhkan komoditas-komoditas tertentu dan melakukan distribusi perdagangan di daerah. Terlebih, di Kota Gorontalo, terdapat beberapa PIRT yang dikelola oleh kelompok usaha perempuan, bahkan sudah ada beberapa yang cukup dikenal dan memiliki produktivitas yang tinggi. Namun praktiknya, untuk mendapatkan SPP-IRT pelaku usaha harus mengajukan permohonan dari Dinas Kesehatan. Proses mendapatkan sertifikat tersebut harus dilalui dengan mengikuti serangkaian program pembinaan olahan pangan dari pemerintah (Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan). Sayangnya, program penyuluhan keamanan pangan dari Pemda terhadap PIRT di daerah masih terkendala oleh minimnya anggaran, sehingga tidak dapat mengakomodir seluruh PIRT di daerah. Hal ini sebagaimana terjadi di Kota Gorontalo, pelaku UMKM harus menunggu giliran untuk dapat mengikuti pelatihan. Masa tunggu berkisar antara 1-2 tahun. Lamanya masa tunggu untuk PIRT dalam memperoleh penyuluhan pangan dapat dijembatani dengan peran pihak swasta (memberikan penyuluhan dan sertifikat). Namun sayangnya berdasarkan ketentuan regulasi dalam Perka BPOM HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012, pihak swasta tidak dapat memberikan sertifikat. Dengan demikian, pemerintah pusat perlu melakukan peninjauan ulang ketentuan dalam regulasi tersebut untuk memperbanyak pintu kesempatan dalam melakukan pelatihan dan sertifikasi.

49

6.2

Regulasi tentang Resi Gudang

Ketentuan tentang persetujuan Bappebti menyulitkan pelaku usaha. Pemerintah Pusat maupun daerah memiliki program subsidi dan bantuan permodalan bagi pemilik resi gudang. Sistem resi gudang dapat dimanfaatkan oleh petani untuk melancarkan alur produksi dan distribusi. Hal ini dapat terjadi ketika petani memperoleh jaminan akses modal berupa produk barang yang tersimpan pada resi gudang. Jika resi gudang berjalan, petani akan mudah melakukan akses kepada lembaga pembiayaan serta mengendalikan harga barang. Namun selama ini praktik resi gudang di daerah belum berjalan. Dari empat daerah studi, belum ada resi gudang yang berjalan meskipun sudah tersedia wilayah pergudangan. Salah satu permasalahan yang muncul adalah proses kepengurusan resi gudang yang harus mendapatkan persetujuan oleh Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditas) di Kementerian Perdagangan. Ketentuan ini menyulitkan pengelola resi gudang untuk mendapatkan legalisasi kegiatan. Permasalahan tersebut diungkapkan oleh pelaku usaha dan Pemkot Baubau. Selain itu, PP 36/2007 sebagaimana diubah dengan PP 70/2013 memiliki persyaratan yang rigid dan cukup rumit untuk ditindaklanjuti. Panjangnya hirarki pengurusan legalitas ini, seharusnya dapat dilimpahkan kepada pemda.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


6.3

Regulasi tentang Rumah Potong Hewan

Standard nasional Rumah Potong Hewan (RPH) sulit untuk diimplementasikan di daerah. Wilayah perkotaan di dua Provinsi yakni Sulawesi Tenggara dan Gorontalo, memiliki peran yang signifikan di dalam pemanfaatan komoditas sapi. Besarnya jumlah produksi sapi di wilayah Kabupaten dan daerah lainnya, telah menempatkan perkotaan menjadi destinasi pasar/wilayah konsumsi bagi komoditas tersebut. Selain itu, pengolahan produk sapi juga dapat dikembangkan di wilayah perkotaan. Dengan demikian, dibutuhkan dukungan Rumah Potong Hewan di masing-masing kota sebagai wilayah hub. Namun, pada praktiknya, selama ini terdapat permasalahan di daerah mengenai ketersedian RPH. Kota Gorontalo, Kota Kendari dan Kabupaten Gorontalo Utara memiliki hambatan mengenai ketersediaan RPH yang memenuhi standard nasional. Pemda kesulitan untuk memenuhi standar yang ditetapkan oleh ketentuan regulasi nasional. Hal ini menyebabkan Pemda menyediakan RPH dengan standard yang mereka tetapkan sendiri. Permentan No. 381/2005 (NKV) dan Permentan No. 13/2010 RPH, mensyaratkan adanya Nomor Kontrol Verteriner sebelum mendirikan RPH, sedangkan RPH sendiri harus memenuhi standard nasional sebagaimana SNI RPH (SNI 01-6159-1999) dan sertifikasi bagi sumber daya manusia di dalam lingkungan RPH. Upaya pemenuhan standard ini sangat relevan untuk ditegakkan di dalam penerapan RPH namun juga sepatutnya tetap memperhatikan kapasitas daerah dalam menyediakan RPH yang terstandarisasi. Jika RPH dibuat tidak sesuai standar yang baik maka berpotensi menimbulkan dampak kerusakan

lingkungan dan menimbulkan penyebaran penyakit. Seperti yang terjadi di tahun 2017, ditemukan virus anthrax pada Sapi di Kabupaten Gorontalo. Terlebih saat ini, masih banyak pedagang sapi dan masyarakat di Kota Gorontalo dan Kab. Gorontalo Utara yang belum menggunakan RPH milik Pemda. Meskipun limbah pemotongan tergolong limbah organik namun jika tidak ditangani dengan baik akan berdampak negatif terhadap lingkungan. 6.4

Regulasi tentang Larangan Pemotongan Sapi Betina Produktif

Regulasi tentang pelarangan pemotongan sapi betina produktif melalui UU No. 18/2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan serta Permentan No. 48/2016 tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab) berupaya melindungi perkembangbiakan sapi produktif. Berdasarkan sisi yuridis dan substansi memang tidak memiliki permasalahan yang krusial. Namun, pada aspek implementasi regulasi tersebut berdampak pada pelaku usaha di Kota Kendari. Sejauh ini, Upsus Siwab juga berlaku di Kota Kendari yang memiliki populasi sapi betina 70-80%. Saat Upsus Siwab diimplementasikan maka tidak ada sapi betina yang bisa dipotong. Stakeholders menilai pemberlakuan regulasi ini belum memberikan insentif ataupun kemudahan berusaha sehingga mereka berharap ada insentif lain untuk mengganti sapi yang tidak dipotong.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

50


7. Penutup 7.1 Kesimpulan Berdasarkan dari temuan lapangan dan hasil analisis pada bab sebelumnya. Berikut adalah kesimpulan studi ini: • Berdasarkan analisis regulasi nasional menggunakan regulatory mapping untuk komoditas jagung, sapi dan rumput laut ditemukan sebanyak 18 regulasi yang bermasalah. Regulasi tersebut terdiri dari dua peraturan pemerintah, 11 peraturan menteri dan lima peraturan kepala badan. Sebagian besar pemasalahan regulasi nasional berada pada prinsip, substansi dan yuridis. Secara khusus regulasi tersebut memuat persyaratan yang tidak relevan, prosedur yang rumit dan memiliki ketentuan biaya. Lebih jauh lagi masih terdapat regulasi yang bertentangan dengan No. UU 23/2014 tentang pemerintah daerah, khususnya pembagian kewenangan (pusat-provinsi-kabupaten/kota). Selain itu, masih terdapat ketentuan perizinan yang belum dilimpahkan kepada PTSP (merujuk pada Perpres No. 97/2014). • Dari sisi implementasi regulasi nasional dan daerah terdapat regulasi yang juga menghambat tumbuhnya sektor ekonomi terpilih. Tidak semua regulasi nasional diimplementasikan di daerah. Namun, sebanyak tiga regulasi yang diindentifikasi menjadi problematik dalam implementasinya, yaitu regulasi tentang Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT), resi gudang dan Rumah Potong Hewan (RPH). Ketiga regulasi tersebut bermasalah karena memiliki prosedur yang panjang dan memiliki standard yang cukup rumit untuk diimplementasikan. Penyederhanaan ketentuan ketiga regulasi tersebut dibutuhkan dalam rangka mendukung komoditas terpilih.

51

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


7.2 Rekomendasi Berdasarkan simpulan penelitian, maka berikut tabel adalah rekomendasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Harapannya dari rekomendasi studi ini dapat membantu pemerintah untuk mendorong peningkatan kemudahan berusaha dan iklim investasi di daerah. Tabel 25. Rekomendasi Studi Wilayah

Kebijakan dan Rekomendasi •

• Nasional •

•

Wilayah

Provinsi Gorontalo

Pengurusan Persetujuan Pengelola Resi Gudang dan beberapa pihak lainnya di dalam sistem resi gudang, sepatutnya dapat melibatkan Pemda. Hal ini untuk mempermudah proses persetujuan serta pengawasan dan evaluasi yang dapat dilakukan terhadap sistem resi gudang yang berjalan di daerah. Dalam memperoleh sertifikat penyuluhan keamanan pangan, BPOM sepatutnya dapat melibatkan pihak swasta dengan persyaratan tertentu. Penyuluhan yang hanya dapat dilakukan oleh Pemda semata, akan berpotensi menghambat proses pengembangan PIRT di daerah. Selain itu, persyaratan terkait dengan resi gudang, sertifikasi PIRT dan RPH, sepatutnya dapat disederhanakan dengan menghapus persyaratan yang tidak lagi relevan, penyederhanaan waktu, dan menghapus ketentuan biaya (khusus untuk persetujuan pengelola RPH). Mengkaji kembali regulasi tentang upaya khusus percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau bunting agar tidak berpotensi menjadi beban pelaku usaha.

Kebijakan

Program

Menghapus Surat Edaran Gubernur tentang pembatasan jam kontainer memasuki wilayah perkotaan. Pembatasan hanya perlu dilakukan untuk batasan jalan protokol besar bukan waktu yang dapat berpotensi terhambatnya proses penyaluran produk Jagung melalui Kabupaten Gorontalo Utara.

Perlu adanya kerjasama dan perencanaan secara baik untuk mengakomodir rantai produksi, pengolahan hingga pemasaran antar Kabupaten dan Kota di Provinsi Gorontalo. Karakteristik perkotaan berupa kota perdagangan, pengolahan produk serta konsumsi perlu dimaksimalkan dengan baik, serta Kabupaten Gorontalo perlu disediakan infrastruktur yang memadai dalam rangka pemasaran produk jagung melalui pelabuhan.

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

52


Penutup

Kebijakan

Wilayah •

• • Kota Gorontalo

53

Pembentukan Regulasi kewajiban pemanfaatan sertifikasi daging hasil RPH (misalnya Hotel ataupun Restoran) Revisi ketentuan RTRW Daerah, menyesuaikan letak fungsi tanah dan potensi fungsi perubahan tanah pertanian/peternakan Cabut Perwal No. 18/2011 Retribusi HO, Izin Ganguan (HO) sudah dicabut melalui Permendagri No. 19/2017 Revisi Perda No. 8/2016 Lingkungan Mempertegas arah/merevisi Perda No. 8/2015 (kemiskinan), menentukan peran kewajiban pelaku usaha dan masyarakat dalam tanggung jawabnya menanggulangi kemiskinan (misalnya pemanfaatkan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan/CSR) Mempertegas arah kewajiban bangunan gedung yang memiliki nilai adat (Perda No. 10/2016), menentukan ketentuan spesifik bentuk bangunan adat tanpa membebani pelaku usaha dan memudahkan bagi pihak-pihak yang memiliki kekurangan (misalnya disabilitas, ibu hamil dan lainnya.

Program • • •

• • • •

Keterbukaan akses informasi harga komoditas jagung untuk petani Membuka peluang investasi bagi industri pengolahan jagung Perlu pengaturan tegas terkait RTRW pembagian zonasi area peternakan, pertanian dan usaha Meningkatkan kualitas RPH Kota Gorontalo, sebagai RPH unggulan di Provinsi Penyediaan sarana transportasi untuk penjemputan ternak menuju RPH Program pengembangan pengolahan hasil jagung dan sapi Memperkuat pembinaan dan pengawasan Penerapan Perda Insentif dan Kemudahan Berusaha

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau


Wilayah

Kebijakan •

• •

Membuat kebijakan insentif dan kemudahan berusaha (ada pembentukan Satgas kemudahan berusaha) Sudah ada Pergub mengenai penanaman jagung di kemiringan tertentu Pembuatan Perda pengawasan pupuk dan pestisida

Program • • •

Kabupaten Gorontalo Utara

• • • • • •

Provinsi Sulawesi Tenggara

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara berharap dapat mengaktifkan kembali kerjasama Teluk Bone untuk mendorong perdagangan rumput laut. Membuat kebijakan kerjasama antar daerah untuk komoditas sapi. Khususnya terkait perencanaan jalur perdagangan komoditas sapi di wilayah provinsi.

Keterbukaan akses informasi harga komoditas untuk petani Proses penganggaran yang lebih fokus pada bidang pertanian dan peternakan Perlu pengaturan terkait tata kelola lahan, pembagian zonasi area peternakan dan pertanian Pengawasan dan penegakan izin pemotongan hewan dan distributor pupuk Program kemitraan antara Pemda & Swasta dalam pengembangan sapi dan jagung Program pengembangan pengolahan hasil jagung dan sapi Memperkuat pembinaan dan pengawasan Mendorong Kelompok tani ikut dalam penyusunan RDKK Optimalisasi Tim Kemiskinan Peningkatan kapasitas SDM Mengelompokkan karakteristik daerah sentra produksi dan daerah penghubung perdagangan untuk pemerataan pembangunan Membangun kerjasama antara pelaku swasta untuk dapat memperkuat komoditas terpilih Melakukan pembinaan kualitas regulasi khususnya terkait dengan perizinan di kabupaten/kota

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau

54


Penutup

Wilayah

Kebijakan • •

Kota Kendari •

• •

• Kota Baubau

55

Program

Membuat kebijakan insentif dan kemudahan berusaha Revisi Perda No. 2/2002 untuk SIUP; Perda sudah usang perlu ditinjau kembali dan juga bertentangan dengan Permendag No. 7/2017, Permendag No. 8/2017 dan SE Mendag No. 2/2017 Revisi Perda No. 4/2009 tentang AMDAL, UKL/UPL, SOP; pungutan berganda, konflik regulasi dan tidak sesuai dengan tujuan Mencabut ketentuan Perda No. 3/2013 tentang izin gangguan karena tidak sesuai dengan Permendagri No. 19/2017 tentang pencabutan pedoman penerbitan izin gangguan Menerbitkan regulasi/ program dengan panduan industri rumput laut sesuai dengan ketentuan Pemen Kelautan dan Perikanan No. 27/2012

Menerbitkan regulasi tentang resi gudang Merevisi Perda No. 25/2012 tentang retribusi izin usaha perikanan karena memiliki kebermasalahan yuridis dan kewenangan yang ditarik melalui UU No. 23/2014 Merevisi Perda No. 6/2013 tentang penerbitan dan retribusi izin usaha industri, izin perluasan dan tanda daftar industri karena tidak sesuai dengan PP No. 107/2015. Membuat Peraturan Walikota tentang prosedur pemberian insentif fiskal dan kemudahan berusaha. Sebagai bentuk tindak lanjut dari Perda No. 7/2012 tentang penanaman modal di Kota Baubau.

• •

• •

Melakukan kemitraan dengan pelaku retail; untuk repackage dan pemasaran Mendesain kerjasama antar daerah khususnya produsen rumput laut dan sapi Kebijakan untuk mengatur proporsi panen rumput laut sebesar 60% untuk pasar lokal dan 40% untuk pasar luar Kota Kendari dan Sulawesi Tenggara. Melakukan perencanaan investasi, perbaikan infrastruktur dan akses lahan berdasarkan Perda No. 5/ 2013 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Kota Kendari 2011-2031 Membangun database stok produksi rumput laut Renovasi dan revitalisasi RPH Kota Kendari

Menghidupkan kembali program pemanfaatan resi gudang Melakukan pendataan UMKM tenun dan rumput laut untuk diberikan program IUMK Membangun dan mensosialisasikan informasi harga jual komoditas rumput laut yang dekat dengan akses petani Memberikan pelatihan budidaya rumput laut, khususnya pada proses pemupukan agar tidak merusak ekosistem Membangun kerjasama dengan industri pengolahan rumput laut. Memperkuat kelompok petani rumput laut melalui koperasi

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah atas Sektor Ekonomi Terpilih Studi kasus di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Kendari dan Kota Baubau



NSLIC/NSELRED Project: World Trade Center (WTC) 5th Building, 10th Floor Jl. Jenderal Sudirman Kav. 29-31 Jakarta 12920, Indonesia Tel : +62 21 5262282, +62 21 5268668 www.nslic.or.id NSLIC Project @NslicNselred


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.