Bimiki vol 4 no 1 revision punya PENPEL ILMIKI

Page 1


SUSUNAN PENGURUS Penasehat

Tim Public Relations

Nuning Khurotul Af’ida

Muhammad Imam M.

Tiara Dea Ananda Sifak Nikmatul F.

STIKES Kepanjen Malang

Rafita Ramdan Nurul Fuadah Universitas Gajah Mada

Faizah Wahyuningprianti Universitas Jember

Pimpinan Umum Ryharti Amaliatus S.

Fajar Rizki Rahayu

Universitas Lambung Mangkurat

Universitas Brawijaya

Tim Layouting Sekretaris Isnawati

Universitas Lambung Mangkurat

Sandy Dwi Aryanto Universitas Gajah Mada

Galih Adi Pratama Universitas Gajah Mada

Bendahara Cindy Safitri Utami Universitas Gajah Mada

Fatika Maulidyah Yuwanto Universitas Brawijaya

Aris Septia Putra STIKES Kepanjen Malang

Pimpinan Redaksi Petrisia Ristantini Universitas Brawijaya

Dewan Redaksi Vivi Leona Amelia Universitas Indonesia

Bernadetta Germia Aridamayanti Universitas Lambung Mangkurat

Kadek Dewi Cahyani Universitas Gajah Mada

Siti Fatmawati Universitas Brawijaya

Neneng Dwi Saputri Universitas Jember

Annisa Ryan Susilaningrum Universitas Gajah Mada

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│i


PENYUNTING AHLI UNIVERSITAS GAJAH MADA Dr. Ibrahim Rahmat, S.Kp., S.Pd., M.Kes Sri Warsini, S.Kep., Ns., M.Kes., Ph.D Widyawati, S.Kp., M.Kes

UNIVERSITAS BRAWIJAYA Ns. Tina Handayani Nasution, S.Kep., M.Kep Ns. Nuning Khurotul Af’ida, S.Kep

UNIVERSITAS INDONESIA Ayyu Sandhi, S.Kep., Ns

UNIVERSITAS JEMBER Ns. Muhammad Zulfatul A’la, S.Kep., M.Kep Ns. Retno Purwandari, S.Kep., M.Kep

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT Fauzie Rahman, SKM., MPH

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│ii


ISSN : 2338-4700

DAFTAR ISI

Susunan Pengurus . ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... Penyunting Ahli ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... Daftar Isi ...... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... Petunjuk Penulisan ........ ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ...... Sambutan Pimpinan Umum ...... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ......

i ii iii v xi

Penelitian Perbedaan Efektivitas Penggunaan Media Video dan Media Flipchart Kartun dalam Meningkatkan Pengetahuan dan Sikap Cuci Tangan Pakai Sabun Siswa Sekolah Dasar Negeri 01 Krenceng Ahmad Riva’i, Kumboyon, Rinik Eko Kapti ............................................................................................................................................................................................

1

Studi Kualitatif : Identifikasi Penanganan Konflk Transkultural dalam Asuhan Keperawatan di Bangsal Perawatan RSUP Sanglah Denpasar, Berdasarkan Sunrise Model Oleh Leininger Ni Komang Ari S , Ni Luh Putu E Y, Ida Arimurti S ............................................................................................................................................................................................

12

Kader Sebaya : Agar Remaja Lebih Memahami Mengenai Kesehatan Reproduksi Vivi Leona Amelia ............................................................................................................................................................................................

22

The Effect of Drawing and Coloring Therapy to Decrease Anxiety Level for Pre School for Pre School Age at Ar Rahman Pediatric Ward in PKU Muhammadiyah Bantul Hospital Widiyono ............................................................................................................................................................................................

30

Tinjauan Pustaka Dengue Fever Scoring System (DeringS), Strategi Mandiri Deteksi Dini Demam Dengue Nuzul Sri Hertanti, S.Kep., Ns., Erawati Werdiningsih, S.Kep., Ns., Haryani, S.Kp., M.Kes ............................................................................................................................................................................................

36

Rancangan Inovasi Kesehatan Kardiovasculer Berbasis Android : DINAMIKABLE (Deteksi Dini AMI dengan EKG Portable) Rainy Tri K, Mustika Suci S, Nurul Inayati, Dody S ............................................................................................................................................................................................

Spiritually-Integrated Counseling pada (Bereavement) Keluarga Korban Bencana Alam

Proses

Berduka

Nabila Chairani, Fadillah Ulfa Pulungan ............................................................................................................................................................................................

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

43

52

│iii


Strategi Peningkatan Perilaku Hemodialisis : A Critical Review

Self-Management

pada

Pasien

Raisa Farida Kafil ............................................................................................................................................................................................

63

Implementasi Art Therapy untuk Mengatasi PTSD pada Anak Pascabencana Maufiroh, Vika Rachma Sari ............................................................................................................................................................................................

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

71

│iv


PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) Indonesian Nursing Student Journal 1. BIMIKI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, lugas, dan ringkas. Naskah diketik dalam Microsoft Word, ukuran kertas A4 dengan margin kanan, kiri, atas, bawah berukuran 3433 cm. Naskah menggunakan 1 spasi dengan spacing after before 0 cm, jarak antarbab atau antarsubbab yaitu 1 spasi (1x enter). Font Arial, size 10, sentence case, justify. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman terhitung mulai dari judul hingga daftar pustaka. 3. Naskah dikirim melalui email ke alamat redaksi.bimiki@bimkes.org atau bimiki.ilmiki.gmail.com dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: -

Pendahuluan

-

Metode

-

Hasil

-

Pembahasan

-

Kesimpulan

-

Saran

5. Daftar Rujukan 5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan Pustaka dan Advertorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│v


2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: -

Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas)

-

Pembahasan

-

Kesimpulan

-

Saran

5. Daftar Rujukan 6. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Artikel Penyegar dan Artikel Editorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Pendahuluan 2. Isi 3. Kesimpulan (Penutup) 7. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Laporan Kasus harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: -

Pendahuluan

-

Laporan kasus

-

Pembahasan

-

Kesimpulan

5. Daftar Rujukan 8. Judul ditulis secara singkat, jelas, dan padat yang akan menggambarkan isi naskah. Ditulis dengan Font Arial 14 pt dicetak tebal di bagian tengah atas dengan uppercase (semua huruf ditulis kapital), tidak digaris bawahi, tidak ditulis di antara tanda kutip, tidak diakhiri tanda titik(.), tanpa singkatan, kecuali singkatan yang lazim. Penulisan judul diperbolehkan menggunakan titik dua tapi tidak diperbolehkan menggunakan titik koma. Penggunaan subjudul diperbolehkan dengan ketentuan ditulis dengan titlecase, Font Arial 12, center, dan dicetak tebal.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│vi


9. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis diketik titlecase, Font Arial 10, center, dan bold yang dimulai dari pengarang yang memiliki peran terbesar dalam pembuatan artikel. Penulisan asal instansi dimulai dari terkecil. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email. 10. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata dan tidak menuliskan kutipan pustaka. Abstrak Bahasa Indonesia dan kata kunci ditulis tegak.

Abstrak Bahasa Inggris dan keyword ditulis italic

(dimiringkan). 11. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Kata kunci sebanyak maksimal 8 kata benda yang ditulis dari umum ke khusus. 12. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 13. Setiap tabel gambar dan metode statistika diberi judul dan nomor pemunculan. 14. Ucapan terima kasih 15. Penulisan

sitasi

menggunakan

sistem

Vancouver

dengan

penomoran yang runtut. Diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat sebagai berikut: 1. BUKU i. Penulis Tunggal Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh : Frye, Northrop. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton: Princeton UP, 1957. ii. Dua atau tiga orang penulis Nama penulis 1 (dibalik), Nama penulis 2, dan nama penulis selanjutnya. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│vii


terbit. Contoh : Howe, Russell Warren, dan Sarah Hays Trott. The Power Peddlers. Garden City: Doubleday, 1977. Marquart, James W., Sheldon Ekland Olson, dan Jonathan R. Sorensen. The Rope, the Chair, and the Needle: Capital Punishment in Texas, 1923-1990. Austin: Univ. of Texas, 1994. iii. Lebih dari tiga penulis Nama penulis 1 (dibalik), et al. judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh : Edens, alter, et al. Teaching Shakespeare. Princeton. Princeton UP, 1997. iv. Editor sebagai penulis Nama editor (dibalik), editor. Judul Buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh : Harari, Josue, editor. Textual Strategies. Ithaca: Cornell UP, 1979. v. Penulis dan editor Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor. Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh : Malory, Thomas. King Arthur and his Knights. Editor. Eugene Vinaver. London: Oxford UP, 1956. vi. Penulis berupa tim atau lembaga Nama tim atau lembaga. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh : National Institute for Dispute Resolution. Dispute Resolution Resource Directory. Washington, D.C.: Natl. Inst. for Dispute Res., 1984. vii. Karya multi jilid/buku berseri Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Jilid ke- / edisi ke-. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│viii


Contoh : Freedberg, S. J. Andrea del Sarto. Jilid kedua. Cambridge: Harvard UP, 1963. viii. Terjemahan Nama penulis (dibalik). Judul buku hasil terjemahan (italic). Penerjemah Nama penerjemah. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Terjemahan dari Judul buku yang diterjemah (italic), Tahun terbit buku yang diterjemah. Contoh : Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Penerjemah A. M. Sheridan Smith. London: Tavistock Publications, 1972. Terjemahan dari L’Archéologie du savoir, 1969. ix. Artikel atau bab dalam buku Nama penulis (dibalik). “judul buku”. Judul bab atau artikel (italic). Editor Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Halaman bab atau artikel dalam buku. Contoh : Magny, Claude-Edmonde. “Faulkner or Theological Inversion.” Faulkner: A Collection of Critical Essays. Editor Robert Penn Warren. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966. 66-78. x. Brosur, pamflet dan sejenisnya Nama brosur/pamflet/sejenisnya. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur, 1999. 2. SERIAL Artikel jurnal dengan volume dan edisi Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). Volume : Edisi (tahun terbit) : halaman. Contoh : Dabundo, Laura. “The Voice of the Mute: Wordsworth and the Ideology of Romantic Silences.” Christiantity and Literature 43:1(1995): 21-35.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│ix


3. PUBLIKASI ELEKTRONIK i. Buku Online Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor Nama editor. Tahun terbit buku. Tanggal dan tahun akses <link online buku> Contoh : Austen, Jane. Pride and Prejudice. Editor Henry Churchyard. 1996.

10

September

1998

<http://viiiwww.pemberley.com/janeinfo/prideprej.html>. ii. Artikel jurnal online Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). (tahun terbit artikel). Tanggal dan tahun akses jurnal <link online jurnal>. Contoh : Calabrese, Michael. “Between Despair and Ecstacy: Marco Polo’s Life of the Buddha.” Exemplaria 9.1 (1997). 22 June 1998 <http://web.english.ufl.edu/english/exemplaria/calax.htm> iii. Artikel di website “judul artikel.” Nama website (italic). Tahun terbit artikel. Tanggal dan tahun akses. <link online artikel>. Contoh : “Using Modern Language Association (MLA) Format.” Purdue Online Writing Lab. 2003. Purdue University. 6 Februari 2003.

<http://owl.english.purdue.

edu/handouts/research/r_mla.html>. iv. Publikasi lembaga Nama lembaga. Judul artikel (italic). Oleh nama pemulis 1, nama penulis 2, dan seterusnya. Tanggal publikasi. Tanggal dan tahun akses <link online artikel>. Contoh: United States. Dept. of Justice. Natl. Inst. Of Justice. Prosecuting Gangs: A National Assessment. By Claire Johnson, Barbara Webster, dan Edward Connors. Feb 1996. 29 June 1998 <http://www.ncjrs.org/txtfiles/pgang.txt>

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│x


SAMBUTAN PIMPINAN UMUM Ucap syukur, saya ucapkan atas keberhasilan diterbitkannya Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) Volume Keempat Edisi Pertama ini, setelah melalui perjalanan panjang dan dukungan oleh berbagai pihak yakni MITBES Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia, seluruh pengurus BIMIKI periode tahun 2015-2016, aktivis Berkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Indonesia (BIMKES) dan rekan-rekan yang turut andil. BIMIKI merupakan salah satu berkala ilmiah keperawatan di Indonesia yang bertujuan untuk memberikan peluang bagi mahasiswa dalam publikasi ilmiah berbasis teknologi. Sehubungan dengan tujuan tersebut, maka diperlukan sebuah tempat yang mampu menampung dan menyebarluaskan hasil kreativitas mahasiswa, khususnya terkait publikasi artikel ilmiah. Penerbitan berkala ini membuktikan perjuangan tiada akhir dalam meningkatkan profesionalisme keperawatan. Kami menorehkan harapan pada berkala ilmiah ini agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi dunia keperawatan di Indonesia. Semoga BIMIKI dapat mempermudah mahasiswa Ilmu Keperawatan dalam mengakses perkembangan informasi-informasi ilmiah terbaru, baik dalam bentuk penelitian asli, tinjauan pustaka, dan jenis artikel lainnya. Akhir kata, saya mohon maaf bila terdapat kesalahan penulisan pada BIMIKI Volume Keempat Edisi Pertama ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangatdiharapkan demi perbaikan pada edisi selanjutnya. Akhirnya semoga kajian ini mampu memberikan khasanah tersendiri dalam ranah penelitian. Sesuatu dan seseorang dikenang karna memiliki sejarah. Mulailah berkarya, agar sejarah mengenang nama dan karyamu. Hidup mahasiswa! dan Salam Ilmiah! “Hal yang besar berawal dari yang kecil.”

Ryharti Amaliatus Sholeha

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│xi


Penelitian

PERBEDAAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA VIDEO DAN MEDIA FLIPCHART KARTUN DALAM MENINGKATKAN PENGETAHUAN DAN SIKAP CUCI TANGAN PAKAI SABUN SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI 01 KRENCENG Ahmad Riva’i1, Kumboyono2, Rinik Eko Kapti2 1Mahasiswa

Program Studi Ilmu Keperawatan, Falkultas Kedokteran Universitas Brawijaya 2DosenProgram Studi Ilmu Keperawatan, Falkultas Kedokteran Universitas Brawijaya ABSTRAK Cuci tangan pakai sabun (CTPS) adalah kegiatan membersihkan bagian telapak dan jari agar bersih dan membunuh kuman penyebab penyakit yang merugikan kesehatan. Kebiasaan cuci tangan diperlukan agar kita tetap sehat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat efektivitas penggunaan media video dan flip chart kartun dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap CTPS di Sekolah Dasar Negeri 01 Krenceng kabupaten Blitar. Desain penelitian ini menggunakan quasi eksperimental dengan pendekatan randomized pretest-posttest control group design. Sampel diambil dengan metode simple random sampling, jumlah total 36 siswa terdiri dari 18 siswa kelompok video dan 18 siswa kelompok flip chart kartun. Pengumpulan data menggunakan lembar kerja tertulis siswa. Analisis data dengan uji statistik Wilcoxon pada kelompok video didapatkan p value pengetahuan=0,00 dan p value sikap 0,00 yang artinya terdapat perbedaan pengetahuan dan sikap CTPS sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan menggunakan media video. pada kelompok flip chart kartun didapatkan p value pengetahuan =0,00 dan p value sikap 0,14 yang artinya artinya terdapat perbedaan pengetahuan dan sikap CTPS sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan menggunakan media flip chart kartun. Untuk mengetahui perbedaan efektivitas penggunaan media video dan flip chart kartun dilakukan dengan Uji Statistik Mann Whitney didapatkan hasil p value=0,196 yaitu tidak terdapat perbedaan efektivitas yang signifikan antara penggunaan media video dan flip chart kartun. Hasil penelitian menyimpulkan tidak ada perbedaan efektivitas antara penggunaan media video dan flip chart kartun dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap CTPS siswa di SDN 01 krenceng. Kata kunci : cuci tangan pakai sabun, pengetahuan dan sikap, video dan flip chart kartun ABSTRACT Wash hands with soap (CTPS) is the activity of cleaning the palms and fingers to clean and kill germs that cause disease. Purpose of this study is to Know the differences in effectiveness of using video media and cartoon flip chart in increasing knowledge and attitudes of CTPS at 01 Krenceng Elementary School Students, Blitar. The design of This study using a quasi experimental study with randomized pretest-posttest control group. Samples were taken by simple random sampling method, number of sample are 36 made up of 18 student in each group. Collecting data using lembar kerja tertulis siswa. Analysis of data using Wilcoxon statistical test on video group obtained p value of knowledge =0.00 and attitude =0.00 which means there are differences in knowledge and attitudes

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│1


before and after health education using video media. On the flip chart cartoon group, p value of knowledge gained 0.00 and attitude =0.14 which means there are differences in knowledge and attitudes before and after the health education using the media cartoon flip chart. To determine differences in the effectiveness of the use of the two media are done by Mann- Whitney Test Statistics and showed p value =0.196 which the mean is no significantly difference of effectiveness between the use of flip charts and video media cartoons. The results concluded there was no difference in effectiveness between the use of video media and flip chart cartoon in increasing knowledge and attitudes of CTPS at SDN 01 Krenceng students. Keywords: hand washing with soap, knowledge and attitudes, video and cartoon flip chart

1. PENDAHULUAN Kebiasaan cuci tangan pakai sabun atau disingkat CTPS adalah salah satu kegiatan menjaga kesehatan, karena kegiatan ini telah terbukti secara ilmiah dapat mencegah penyebaran penyakit menular seperti diare, ISPA dan flu burung.[3] Di Indonesia, pencanangan kegiatan CTPS telah dimasukkan sebagai salah satu dari sepuluh indikator dalam tindakan PHBS atau perilaku hidup bersih dan sehat yang dilakukan dalam berbagai tatanan, utamanya dalam tatanan institusi pendidikan. Sekolah Dasar Negeri 01 Krenceng merupakan salah satu institusi pendidikan dasar yang terletak di wilayah Desa Krenceng Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar. Berdasarkan hasil wawancara singkat tentang kebiasaan cuci tangan pakai sabun dengan sumber 10 siswa, didapatkan hasil bahwa 2 siswa menyatakan jarang melakukan cuci tangan dengan sabun, 4 siswa mengatakan mencuci tangan pakai sabun hanya saat sebelum makan dan sehabis dari buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB), dan 4 siswa sisanya mengatakan melakukan cuci tangan sebelum makan, sehabis makan, keluar dari kamar mandi (BAB dan BAK) tetapi tidak memakai sabun dalam mencuci tangannya. Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa kebiasaan CTPS siswa kelas 4 dan 5 SDN 01 krenceng masih sangat kurang. Dari data di atas, dapat disimpulkan bahwa kebiasaan CTPS siswa di SDN 01 Krenceng masih kurang. Hal inilah yangmendasari gagasan melakukan penyuluhan di SDN 01 Krenceng, pendidikan kesehatan (penyuluhan) yang akan dilaksanakan hanya pada ranah

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

pengetahuan dan sikap saja, karena apabila dilakukan pada semua ranah perilaku (pengetahuan, sikap dan praktik) akan memakan waktu yang lama. [6] Dalam usaha untuk melaksanakan kegiatan tersebut diatas pasti diperlukan adanya perangkat media yang digunakan untuk mendukung kegiatan tersebut. Kriteria pemilihan media yang akan digunakan biasanya tergantung dari keefektifan dan kesesuaian media dengan tujuan yang diharapkan oleh pelaksana penyuluhan, selain itu juga harus memperhatikan kesesuaian media dengan kemampuan menangkap (segi kognitif) sasaran penyuluhan. Sebagai contoh media yang dapat digunakan adalah media video dan flip chart kartun. Alasan pemilihan video (media berbasis audio-visual) dan media flip chart kartun (media yang berbasis visual) sebagai media penyuluhan diambil berdasarkan beberapa pertimbangan, diantaranya yang pertama adalah kedua media tersebut merupakan media yang sering digunakan dalam penelitian di sekolah dasar atau sederajat dengan alasan lebih efektif dalam merangsang pemahaman (segi kognitif) dan dapat memancing imajinasi anak dalam mengartikan pesan dalam media yang digunakan. Alasan yang kedua adalah kedua media dapat digunakan untuk menjelaskan alur urutan atau langkahlangkah (standart operasional praktik atau SOP) suatu kegiatan atau proses, hal ini berkaitan dengan langkah-langkah CTPS yang benar, dan alasan ketiga adalah keduanya dapat digunakan berulang-ulang atau tidak rusak sekali pakai. Pemilihan media video berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Faizatul laila pada tahun 2010 di SDN 02

│2


pakunden, kecamatan Sukorejo kota Blitar, hasil yang dicapai adalah media video dapat meningkatkan hasil belajar siswa sekolah dasar didasarkan pada nilai koefisien korelasi sebesar 0,725 dengan signifikansi sebesar 0,000 terhadap hasil belajar siswa. [5] Pemilihan media flip chart berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Oki Nurhidayati, dkk, di SD Negeri Sukorejo 02 dan 03 Gunungpati, Semarang pada tahun 2012 didapatkan hasil terjadi peningkatan skor pre test dibanding post test dengan selisih skor 9,54 (nilai rata-rata pre test 78,80 dan skor rata-rata post test 84,40), tema penelitian adalah tersebut tentang kesehatan gigi dan mulut. [7] Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat efektivitas penggunaan media video dan media flip chart kartun dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap CTPS di Sekolah Dasar Negeri 01 Krenceng. Manfaat dari penelitian ini dari segi akademis diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan mahasiswa jurusan Ilmu Keperawatan terkait perbedaan tingkat efektivitas penggunaan media video dengan media flip chart kartun sebagai media penyuluhan pada anak usia sekolah. Manfaat Praktis dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang akan melaksanakan kegiatan penyuluhan terutama penyuluhan kesehatan dengan sasaran utama anak usia sekolah terkait tingkat efektivitas yang dicapai antara penggunaan media video dibandingkan dengan media flip chart kartun. Penelitian ini menggunakan rancangan Quasi Experimental jenis Randomized pretest-posttest control group design dengan tujuan untuk mencari perbedaan efektivitas penggunaan media video dibandingkan dengan media flip chart kartun dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap CTPS pada anak sekolah Dasar Negeri 01 Krenceng Desa Krenceng Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar.

2. METODE PENELITIAN Desain penelitin ini adalah Quasi Experimental jenis Randomized pretest-

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

posttest control group design. Sampel dalam penelitian ini adalah 36 siswa. Teknik sampling menggunakan simple random sampling. Variabel independen berupa media video dan flip chart kartun dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan materi HCTPS (hari Cuci Tangan Sedunia) terbitan DEPKES, 2010 dan variable dependen (pengetahuan dan sikap) di ukur dengan lembar kerja tertulis siswa, masing-masing 30 soal ranah pengetahuan dan 10 soal ranah sikap yang telah dilakukan uji validitas menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment dan uji reliabilitas menggunakan koefisien alpha cronbach. Untuk mengetahui adanya peningkatan pengetahuan dan sikap digunakan uji Wilcoxon pada media video dan flip chart kartun. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan efektivitas antar kedua media, digunakan uji Mann-Witney.

3. HASIL PENELITIAN Dari penelitian ini diantaranya : 3.1 Karakteristik usia siswa. Komposisi usia pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3.1 karakteristik usia siswa Usia Kelompok Kelompok flip video chart kartun 10 tahun 3 siswa 4 siswa 11 tahun 8 siswa 4 siswa 12 tahun 6 siswa 8 siswa 13 tahun 1 siswa 1 siswa 14 tahun 0 siswa 1 siswa 3.2 Karakteristik jenis kelamin. Komposisi jenis kelamin pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3.2 karakteristik usia siswa Jenis Kelompok Kelompok flip kelamin video chart kartun Laki-laki 11 siswa 12 siswa perempuan 7 siswa 6 siswa 3.3 Karakteristik pendidikan terakhir orang tua/wali. Karakteristik siswa berdasarkan pendidikan terakhir orang tua (disini hanya ayah saja, karena data pendidikan terakhir ibu tidak

│3


tercantum di sumber data, yaitu raport) pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.3 karakteristik berdasarkan pendidikan terakhir orang tua siswa Pendidikan Kelompok Kelompok flip terakhir video chart kartun SD 6 orang 4 orang SMP 4 orang 5 orang SMA 6 orang 9 orang Perguruan 2 orang 0 orang tinggi 3.4 Karakteristik pekerjaan orang tua/wali. Data pekerjaan orang tua siswa pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 3.4 karakteristik pekerjaan ayah orang tua siswa Pekerjaan Kelompok Kelompok flip orang tua video chart kartun swasta 12 orang 10 orang PNS 1 orang 2 orang petani 5 orang 6 orang

4. ANALISA UNIVARIAT 4.1 Pengetahuan kelompok media video Data analisa ranah pengetahuan pada kelompok video dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.1 data hasil pretestposttest pengetahuan kelompok video Perlakuan Median Min Max Pretest 23.00 18.00 24.00 Posttest 30.00 28.00 30.00 Pada tabel diatas didapatkan keterangan diantaranya skor pretest pada nilai median adalah 23.00, skor terendah 18.00, dan skor tertinggi 24.00, sedangkan data posttest didapatkan keterangan skor median 30.00, skor terendah 28.00, dan skor tertinggi 30.00. 4.2 Sikap kelompok media video Tabel 4.2 data hasil pretestposttest sikap kelompok video

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

Perlakuan Median Min Max Pretest 10.00 8.00 10.00 Posttest 10.00 10.00 10.00 Dari tabel diatas didapatkan keterangan bahwa pada pretest didapatkan skor median 10.00, skor terendah 8.00, dan skor tertinggi 10.00. sedangkan pada posttest menunjukkan skor median, skor yang diperoleh siswa sama yaitu 10.00 atau konstan 4.3 Pengetahuan kelompok flip chart kartun Tabel 4.3 data hasil pretestposttest pengetahuan kelompok flip chart kartun Perlakuan Median Min Max Pretest 21.00 20.00 23.00 Posttest 30.00 28.00 30.00 Pada tabel diatas didapatkan keterangan bahwa hasil skor pretest didapatkan skor median 21.00, skor terendah 20.00, dan skor tertinggi 23.00. Sedangkan Data posttest menunjukkan skor median 30.00, skor terendah 28.00, dan skor tertinggi 30.00. 4.4 Sikap kelompok flip chart kartun Tabel 4.4 data hasil pretestposttest sikap kelompok flip chart kartun Perlakuan Median Min Max Pretest 10.00 9.00 10.00 Posttest 10.00 10.00 10.00 Dari tabel diatas didapatkan keterangan bahwa skor pretest didapatkan skor median 10.00, skor terendah 9.00, dan skor tertinggi 10.00. Sedangkan data posttest menunjukkan skor median, skor siswa adalah konstan yaitu 10.00.

5. ANALISA BIVARIAT 5.1 Analisa Pretest-Posttest Pengetahuan Pada Kelompok Media Media Video Tabel 5.1 Uji Wilcoxon pengetahuan kelompok video Wilcoxon test Z -3.750 Asymp. sig. (2-tailed) .000

│4


Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa nilai signifikansi pengetahuan adalah 0.00 (P<0.05), yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai pretest dibanding posttest pengetahuan CTPS pada kelompok media video. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian pendidikan kesehatan menggunakan media video berpengaruh positif pada pengetahuan siswa tentang CTPS, dimana skor median posttest cenderung lebih tinggi (30.00) daripada skor median pretest (23.00). 5.2 Analisa pretest-Posttest Sikap Pada Kelompok Media Media video Tabel 5.2 Uji Wilcoxon sikap kelompok video Wilcoxon test Z -2.640 Asymp. sig. (2-tailed) .008 Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa nilai signifikan adalah 0.00 (P<0.05), yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai pretest dibanding posttest sikap CTPS pada kelompok video. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian pendidikan kesehatan menggunakan media video berpengaruh positif pada sikap siswa tentang CTPS, dimana skor minimum posttest lebih tinggi (10.00) daripada skor minimum pretest (8.00). 5.3 Analisa Pretest-Posttest Pengetahuan Pada Kelompok Media flip chart kartun Tabel 5.3 Uji Wilcoxon pengetahuan kelompok flip chart kartun Wilcoxon test Z -3.753 Asymp. sig. (2-tailed) .000 Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa nilai signifikan 0.00 (P<0.05), yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai pretest dibanding posttest pengetahuan CTPS pada kelompok

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

flip chart kartun. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian pendidikan kesehatan menggunakan media flip chart kartun berpengaruh positif pada pengetahuan siswa tentang CTPS, dimana skor median posttest cenderung lebih tinggi (30.00) daripada skor median pretest (21.00). 5.4 Analisa Pretest-posttest Sikap Pada Kelompok Media Media Flip chart kartun Tabel 5.4 Uji Wilcoxon sikap kelompok flip chart kartun Wilcoxon test Z -2.44 Asymp. sig. (2-tailed) .014 Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa nilai signifikan (P) Asymp. Sig (2-tailed) adalah 0.01 (P<0.05), yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai pretest dibanding posttest pada kelompok flip chart kartun. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian pendidikan kesehatan menggunakan media flip chart kartun berpengaruh positif pada sikap siswa tentang CTPS, dimana skor minimum posttest cenderung lebih tinggi (10.00) daripada skor minimum pretest (9.00). 5.5 Analisa Data Pretest dan Posttest Pengetahuan Kelompok Media Video dan Flip Chart Kartun Tabel 5.5 Hasil Uji Mann-Withney pengetahuan kelompok video dan flip chart kartun Mann-Withney test Z -2.068 Asymp. sig. (2-tailed) .039 Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa nilai signifikansinya 0.03, P < Îą (0.03 < 0.05), hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara efektitas antara penggunaan media video dan flip chart kartun dalam meningkatkan pengetahuan CTPS, bila dilihat dari nilai median data antara media video dengan flip chart kartun dapat disimpulkan bahwa penggunaan media flip chart kartun dalam meningkatkan

│5


pengetahuan tentang CTPS mempunyai efektifitas yang lebih tinggi dibanding penggunaan media video. 5.6 Analisa Data Pretest dan Posttest Sikap Kelompok Media Video dan Flip Chart Kartun Tabel 5.6 Hasil Uji Mann-Withney sikap kelompok video dan flip chart kartun Mann-Withney test Z -.563 Asymp. sig. (2-tailed) .574 Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa nilai signifikansinya 0.574, P > α (0,574 > 0,05), hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara efektitas antara penggunaan media video dan flip chart kartun dalam meningkatkan sikap CTPS, artinya penggunaan media video dalam meningkatkan sikap tentang CTPS mempunyai efektifitas yang sama dibanding penggunaan media video. 5.7 Analisa Pretest dan Posttest (Skor Pengetahuan dan Sikap) Kelompok Media Video dan Flip Chart Kartun Tabel 5.7 Hasil Uji Mann-Withney sikap kelompok video Mann-Withney test Z -1.293 Asymp. sig. (2-tailed) .196 Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa nilai signifikansinya adalah 0.196, P > α (0,196 > 0,05), hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari efektitas antara penggunaan media video dan flip chart kartun dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap CTPS, kemudian bila dilihat dari median data antar kedua media, didapatkan kesimpulan bahwa penggunaan media flip chart kartun dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang CTPS mempunyai efektifitas lebih tinggi namun tidak signifikan dibanding penggunaan media video.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

6. PEMBAHASAN 6.1 Pengetahuan Siswa Sebelum dan Sesudah Diberi Pendidikan kesehatan (Pretest Dan Posttest) Menggunakan Media video Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, skor median pengetahuan siswa yang diberikan pendidikan kesehatan menggunakan media video pada pretest adalah 23.00 dan pada posttest adalah 30.00. Dari hasil uji wilcoxon menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.000 (p<0.05), yang berarti ada perbedaan yang signifikan pada pengetahuan siswa yang diberi pendidikan kesehatan menggunakan media video. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Faizatul laela pada tahun 2010 di Sekolah Dasar Negeri 02 pakunden, kecamatan Sukorejo kota Blitar, hasil dari penelitian tersebut diantaranya adalah media video dapat meningkatkan hasil belajar siswa sekolah dasar.[5] Penelitian kedua yang sejalan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Retna ika wijayanti pada tahun 2010 di Puskesmas Kedungkandang Malang. Hasil dari penelitian ini diantaranya penggunaan media video dapat meningkatkan pengetahuan pasien tuberculosis.[11] Pengetahuan adalah suatu domain dari hal yang dapat membentuk perilaku. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia. [6] Peningkatan ranah pengetahuan (kognitif) terjadi karena siswa mendapat masukan informasi melalui dua indra sekaligus, yakni penglihatan dan pendengaran Perpaduan saluran informasi melalui mata mencapai 75% dan telinga 13% akan memberikan rangsangan yang cukup baik sehingga dapat memberikan hasil yang optimal.[1] Berdasarkan teori “segitiga pengalaman” Edgar Dale (1969) seperti yang dikutip oleh Nurseto, 2011 menyatakan bahwa semakin konkrit media yang digunakan akan

│6


semakin banyak perubahan kognitif yang didapat.[8] Pada saat berlangsungnya kegiatan pendidikan kesehatan, para siswa memperhatikan dengan seksama, hal ini menjadi nilai tambah dalam penelitian ini. Ketertarika siswa selain karena berdasarkan teori bahwa media video itu menarik untuk digunakan sebagai media penyampaian informasi, berdasarkan keterangan dari kepala sekolah bahwa di SD ini memang belum pernah dilakukan penyuluhan seperti ini, setidaknya dalam kurun 2 tahun, sehingga hal ini mendorong siswa untuk benarbenar memperhatikan materi yang disampaikan. 6.2 Sikap Siswa Sebelum dan Sesudah Diberi Pendidikan kesehatan (Pretest Dan Posttest) Menggunakan Media video Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, median skor sikap siswa sebelum diberi pendidikan kesehatan dengan menggunakan media video adalah 10.00 dan setelah diberikan pendidikan kesehatan adalah 10.00, namun skor ini meningkat antara skor minimal pretest dengan potsttest yaitu dari 8.00 ke 10.00 (nilai maksimal sikap dalam instrumen). Dari hasil uji wilcoxon menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.008 (p<0.05), yang berarti ada perbedaan yang signifikan pada sikap siswa yang diberi pendidikan kesehatan menggunakan media video saat pretest dan posttest. Sikap adalah adalah suatu respon tertutup seseorang terhadap stimulus tertentu yang melibatkan faktor pendapat dan emosi orang yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baiktidak baik, dan lain sebagainya).[6] Alasan terjadinya peningkatan skor sikap pada kelompok video disini adalah karena terjadi peningkatan aspek afektif (sikap) siswa yang diberi pendidikan kesehatan menggunakan media video. Faizatul laela, pada tahun 2010 dalam penelitiannya di Sekolah

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

Dasar Negeri 02 pakunden, kecamatan Sukorejo, kota Blitar, menyebutkan bahwa media video dapat meningkatkan aspek sikap siswa sekolah dasar dalam hal motivasi untuk belajar.[5] Peningkatan ini menurut Nurseto, 2011 terjadi karena semakin konkrit media yang digunakan selain dapat meningkatkan kognitif tapi juga dapat meningkatkan aspek afektif (disini adalah ranah sikap), karena setelah penjelasan media tersebut dilakukan, akan meninggalkan pengalaman tertentu yang dapat mengubah afektif seseorang.[8] Media video memiliki tingkat kekonkritan yang lebih tinggi dibandingkan ceramah saja dan media gambar atau simbol saja. 6.3 Pengetahuan Siswa Sebelum dan Sesudah Diberi Pendidikan kesehatan (Pretest Dan Posttest) Menggunakan Media Flip Chart kartun Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, skor median pengetahuan siswa sebelum diberi pendidikan kesehatan menggunakan flip chart kartun adalah 21.00 dan setelah diberikan pendidikan kesehatan adalah 30.00. Dari hasil uji wilcoxon menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.000 (p<0.05), yang berarti ada perbedaan yang signifikan pada pengetahuan siswa yang diberi pendidikan kesehatan menggunakan flip chart kartun. Pengertian flipchart adalah media cetak berisikan lembaran gambar dan poster yang dibolakbalik sehingga praktis, bisa dibuat dengan mudah dan murah.[7] Penelitian yang sejalan dengan penelitian ini diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Oki Nurhidayat dkk pada tahun 2012 di SDN Sukorejo 02 dan 03 Gunungpati Semarang. Hasil yang dicapai dalam penelitian tersebut ialah flip chart dapat meningkatkan pengetahuan siswa tentang kesehatan gigi dan mulut. [7] Penelitian kedua yang sejalan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh andhika yoga P., Triono, dan Imam

│7


Sutanto pada tahun 2012 di SDN 02 Wonosari, Kebumen. Jenis penlitian ini adalaj PTK atau Penelitian Tindakan Kelas dengan hasil yang dicapai adalah 75% siswa mendapat niali diatas KKM (Kriteria Kelulusan Minimal). Peningkatan pengetahuan pada kelompok flip chart kartun terjadi karena media flip chart itu sendiri adalah media yang menarik minat anak-anak usia sekolah karena paduan gambar dan gradasi warna yang tersaji. Selain itu faktor penyuluh itu sendiri juga mempengaruhi, semakin interaktif dan mahir penyuluh dalam memimpin kegiatan penyuluhan maka semakin banyak yang dapat diserap siswa, terutama memang mereka masih dalam tahap operasional kontrit, yang artinya kognitif mereka masih dalam tahap perkembangan, jadi mereka belum bisa menyerap materi secara sempurna bila tidak disertai adanya penjelasan yang interaktif dari penyampai pendidikan kesehatan (penyuluh) (Yoga, P, dkk 2012). 6.4 Sikap Siswa Sebelum dan Sesudah Diberi Pendidikan kesehatan (Pretest Dan Posttest) Menggunakan Media Flip Chart Kartun Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, skor median sikap siswa sebelum diberi pendidikan kesehatan menggunakan flip chart kartun adalah 10.00 dan setelah diberikan pendidikan kesehatan madalah 10.00, namun terjadi peningkatan nilai minimal dari skor 9 (6 siswa) menjadi 10 (skor semua siswa mencapai skor maksimal instrumen). Dari hasil uji wilcixon menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.014 (p<0.05), yang berarti ada perbedaan yang signifikan pada sikap siswa yang diberi pendidikan kesehatan menggunakan flip chart kartun saat pretest dan posttest. Yoga dkk pada tahun 2012 melakukan penelitian menggunakan flip chart sebagai media pembelajaran IPA (ilmu pengetahuan alam) di SDN 2 Wonosari, salah satu

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

dari hasil penelitian tersebut adalah flip chart dapat meningkatkan aspek motivasi belajar siswa dalam pelajaran IPA. Peningkatan sikap disini dapat dihubungkan dengan kerucut pengalaman edgar dale, dimana disebutkan bahwa semakin konkrit media yang digunakan, maka semakin nyata pengalaman yang dibentuk dan akan semakin berefek pada aspek kognitif dan afektif (disini adalah ranah pengetahuan dan sikap).[8] Meskipun flip chart merupakan media yang lebih rendah tingkat konkritnya, namun dengan adanya penyuluh (pelaksana pendidikan kesehatan) yang interaktif maka ke konkritan media flip chart dapat bertambah, sehingga akan terbentuk pengalaman konkrit yang membekas pada siswa. 6.5 Perbedaan Efektivitas Pendidikan kesehatan Menggunakan Media Video Dan Media Flip Chart Kartun Terhadap Peningkatan Pengetahuan Dan Sikap Siswa Tentang CTPS Nilai efektivitas media video dan media flip chart kartun didapatkan dengan menjumlahkan selisih pretest-posttest dari skor pengetahuan dan sikap. Dari uji Mann-Withney antara selisih pengetahuan dan sikap dari pretestposttest media flip chart kartun dan video didapatkan hasil signifikansi 0.196, nilai ini lebih besar dari α (α = 0,05) , sehingga karena P> α (0,196 > 0,05), dari nilai ini dapat disimpulkan bahwa efektivitas antara media video dan flip chart kartun tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dalam meningkatkan pengetahauan dan sikap siswa tentang CTPS. Bila melihat hasil uji Wilcoxon pada ranah pengetahuan dan sikap dari media video dan flip chart kartun dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan media video dan flip chart dalam meningkatkan ranah pengetahuan dan sikap tentang CTPS siswa mempunyai efektivitas yang sama, yaitu kedua media dapat meningkatkan pengetahuan dan

│8


sikap CTPS, sehingga tidak terjadi perbedaan tingkat efektivitas pada kedua media tersebut dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap CTPS siswa. Berdasarkan Nurseto (2011) dalam jurnalnya yang berjudul Membuat Media Pembelajaran Yang Menarik, didapatkan keterangan bahwa tingkat ke-konkritan media yang digunakan dalam pembelajaran dapat membentuk pengalaman yang nyata pada sasaran pembelajaran.[8] Beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah yang pertama adalah bentuk media, media baca cetak (misal poster) tingkat konkritnya lebih rendah dari audiovisual (misal video atau televisi), media audio-visual tingkat konkritnya lebih rendah dari praktikum terpimpin (praktik langsung) dan lain sebagainya. Faktor yang kedua adalah metode pemaparan atau penyajian media, cara penyajian video adalah memutarkan video tersebut mulai dari awal sampai selesai dengan tidak ada interupsi (kecuali video interaktif), karena interupsi ditengah pemutaran video akan mengganggu sasaran pembelajaran dalam memahami materi. Media flip chart kartun dalam penyajiannya adalah harus menggunakan metode ceramah interaktif sehingga materi dapat terserap. Bila dilihat dari faktor penyajian ini, penggunaan media video dan flip chart kartun dapat dikatakan sama-sama audio-visual, media video dari pengertiannya sendiri memang merupakan integrasi audio-visual, sedangkan media flip chart katun input audio adalah dari penyaji media dan visualnya adalah flip chart itu sendiri. 6.6 Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini banyak sekali keterbatasan yang dihadapi oleh peneliti, diantaranya adalah : 1. Variabel pengganggu dalam penelitian ini belum dapat dikontrol, misalnya karaktreristik responden antara dua kelompok belum dapat dihomogenkan. Sehingga dapat mempengaruhi

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

hasil dari penelitian dan kurang representatif. 2. Kurangnya kontrol penerapan penekanan materi tertentu pada salah satu kelompok, hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan pemahaman antar kedua kelompok, dimana pada kelompok flip chart kartun mendapatkan penekanan materi yang mengarah pada jawaban instrumen, hal ini terjadi karena pertanyaan dari siswa sudah mengarah pada jawaban instrumen.

7. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, bisa diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai pretest dibanding posttest pengetahuan CTPS pada kelompok video. 2. Terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai pretest dibanding posttestsikap CTPS pada kelompok video. 3. Terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai pretest dibanding posttest pengetahuan CTPS pada kelompok flip chart kartun. 4. Terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai pretest dibanding posttest pada kelompok flip chart kartun. 5. Terdapat perbedaan efektitas yang signifikan antara antara penggunaan media video dan flip chart kartun dalam meningkatkan pengetahuan CTPS. Penggunaan media flip chart kartun mempunyai efektifitas yang lebih tinggi dalam meningkatkan pengetahuan tentang CTPS dibanding penggunaan media video . 6. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara efektitas antara penggunaan media video dan flip chart kartun dalam meningkatkan sikap CTPS. 7. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari efektitas antara penggunaan media video dan flip chart kartun dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap CTPS.

│9


8. SARAN Untuk Keperawatan : 1. Segi akademik: perlu diadakannya kegiatan pelatihan pembuatan media atau kegiatan sejenis, yang dapat digunakan mahasiswa keperawatan sebagai bekal untuk melaksanakan penyuluhan kesehatan,mengingat salah satu tugas perawat adalah sebagai edukator kesehatan. 2. Segi praktik: pemilihan media untuk kegiatan penyuluhan seperti media video atau flip chart patut diperhitungkan, walaupun dalam penelitian ini memiliki hasil yang tidak memuaskan dalam menilai perbedaan efektivitas kedua media tersebut, namun penggunaan kedua media tersebut etrbukti dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap sasaran penyuluhan. Untuk Peneliti Selanjutnya : 1. Perlu penelitian lebih lanjut dengan mengendalikan variabel pengganggu, sehingga hasil penelitian bisa lebih representatif. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan multimedia sebagai media pendidikan kesehatan untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa tentang CTPS. 3. Melakukan pengontrolan tentang penekanan materi saat pendidikan kesehatan berlangsung agar dicapai keseimbangan pemahaman materi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol Untuk Institusi Terkait Institusi terkait disini adalah sekolah dasar. Di sekolah penggunaan media pembelajaran yang lebih menarik dan mempercepat perubahan kognitif, afektif dan psikomotor bagi siswa seperti penggunaan media video dan flip chart perlu diperhitungkan, hal ini dapat dilihat dari ke efektifan kedua media tersebut bila digunakan sebagai media pembelajaran, tentunya harus melihat juga pada kemampuan finansial sekolah dan kemampuan guru dalam menggunakannya.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

DAFTAR PUSTAKA 1. Kapti, Rinik Eko. Efektifitas Audiovisual Sebagai Media Penyuluhan kesehatan Terhadap Peningkatan Pengetahuan Dan Sikap Ibu Dalam Tatalaksana Balita Dengan Diare Di Dua Rumah Sakit Kota Malang. Tesis. Tidak diterbitkan, Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Program Magister Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia; 2010. 2. KEMENKES RI. Buku Panduan Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia (HCTPS) kedua. 2009. Available from: http://pamsimas.org/index.php?option =com_ phocadownload&view=category&id=4 8:pedum-strategi-clts&download=207 :panduan-hctps-sedunia&Itemid=12. diakses tanggal 02 November 2012. 3. KEMENKES RI. Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun (Ctps) Dapat Menurunkan Insiden Diare. 2009. Available from: http://www.depkes.go.id/index.php/be rita/press-release/1243-perilaku-cucitangan-pakai-sabun-ctps-dapatmenurunkan-insiden-diare.html. diakses tanggal 26 November 2012. 4. Kurniawan, Fredi, A. Dakir, Sularmi. Penerapan Metode Course Review Horay (Crh) dan Media Video Untuk Meningkatkan Pemahaman Materi Persiapan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. jurnal.fkip.uns, 2012, 3(1):1-7. 5. Laela, Fauzatul. Korelasi Antara Pemanfaatan Video Sebagai Media Pembelajaran, Motivasi Belajar Dengan Hasil Belajar Siswa Mata Pelajaran Sains Kelas V Di SDN Pakunden 2 Kota Blitar. 2010. Available from: http://library.um.ac.id . diakses tanggal 30 Desember 2012. 6. Notoatmodjo, Soekidjo. Ilmu perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta;2010. 7. Nurhidayat, Oki, Eram Tunggul P, Bambang W. Perbandingan Media Power Point Dengan Flip Chart Dalam Meningkatkan Pengetahuankesehatan Gigi dan Mulut. Unnes Journal of Public Health, 2012, 1 (1):31-35.

│10


8. Nurseto, Tejo. Membuat Media Pembelajaran Yang Menarik. Jurnal Ekonomi dan Pendidikan, Volume 8 Nomor 1, 2011, 4 (1):19-35. 9. Potter, P.A, dan Perry, A.G. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Dan Praktik. Edisi 4.Volume 1. Alih Bahasa: Yasmin Asih, dkk. Jakarta: EGC. 2005. 10. Prasetyo, Andhika Y. dkk. Penggunaan Media Flip Chart Dalam Peningkatan Pembelajaran IPA Di Sekolah Dasar. 2014. Available from: http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

/pgsdkebumen/article/download/241/1 49. Diakses tanggal 12 Desember 2012. 11. Wijayanti, Retna Eka. Perbedaan Efek Penyuluhan Kesehatan Menggunakan Media Cetak Dengan Media Audio Visual Terhadap Peningkatan pengetahuan Pasien Tuberkulosis. Tugas Akhir. Tidak diterbitkan, Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya; 2010.

│11


Penelitian

STUDI KUALITATIF: IDENTIFIKASI PENANGANAN KONFLIK TRANSKULTURAL DALAM ASUHAN KEPERAWATAN DI BANGSAL PERAWATAN RSUP SANGLAH DENPASAR, BERDASARKAN SUNRISE MODEL OLEH LEININGER Ni Komang Ari S1, Ni Luh Putu E Y1, Ida Arimurti S1 1 Program

Studi Ilmu Keperawatan Universitas Udayana

ABSTRAK Indonesia sebagai negara multikultural memiliki beragam budaya yang tanpa disadari merupakan suatu keuntungan dan sekaligus merupakan tantangan.. Perawatan terapeutik tidak dapat dilaksanakan dengan baik apabila perawat mengabaikan keragaman budaya ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi penatalaksaan budaya yang berbeda di bangsal perawatan berdasarkan Sunrise Model oleh Leininger. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode wawancara yang dilakukan pada 10 perawat bangsal. Hasil penelitian diperoleh bahwa komunikasi dan keyakinan yang berbeda menjadi kendala perawatan di rumah sakit. Namun perawat selalu membuat rencana dalam penyelesaian perbedaan budaya tersebut dengan mempertimbangkan siapa saja dari pihak klien yang akan terlibat dalam pengambilan keputusan dan tindakan apa yang akan dilakukan untuk menangani perbedaan budaya. Penyelesaian masalah mengaplikasikan 3 cara dalam Sunrise model, yaitu dipertahankan, dinegosiasi dan diubah. Perawat bekerjasama dengan teman sejawat maupun tenaga kesehatan lain serta menggunakan fasilitas yang disediakan oleh rumah sakit, menyelesaikan permasalahan dengan tujuan akhir adalah mengutamakan kesehatan pasien. Kata kunci : budaya, sunrise model, transkultural ABSTRACT Indonesia as a multicultural country has a diverse culture which is an advantage and a challenge at the same time. Therapeutic treatments will not be executed properly if the nurse ignores cultural diversity. The purpose of this study is to identify how nurses resolve the different cultural containment procedures in the ward using Sunrise Model by Leininger. This is a qualitative study and 10 nurses were interviewed in Sanglah hospital wards. The result showed that communication and believe diversities are the main issues between nurses and patients. However, the nurses always make plans in resolving the cultural diversity considering parties that will be involved and what activities will be done. To resolve the issues nurses applied the nursing care decision and actions include to maintain, negotiate and restructure the cultural care diversity. Nurses in cooperation with other health care staff using the hospital facilities resolving the issues to reach the paramount goal of care, the patient`s health. Keywords : culture, sunrise models, transcultural

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│12


1. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara multikultural memiliki beragam budaya yang tanpa disadari merupakan suatu keuntungan dan sekaligus merupakan tantangan. Dianggap sebagai keuntungan karena memperkaya budaya bangsa, di sisi lain bergamnya budaya merupakan tantangan dalam mewujudkan kehidupan berbangsa yang harmonis dan selaras. Budaya tidak hanya mengenai bahasa, tarian dan pakaian tradisional, budaya juga terkait dengan bagaimana seseorang berekspresi dalam mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, menghadapi kondisi sakit dan kematian. Praktik perawatan kesehatan dilakukan secara profesional, terutama oleh tenaga kesehatan, dan juga tradisional yang masyarakat peroleh dari nilai-nilai budaya yang ditanamkan melalui agama, hubungan keluarga serta, perbedaan status ekonomi, politk serta pendidikan. Praktik ini apabila dapat terlaksana secara harmonis akan mampu meningkatkan kesejahteraan klien. Perawatan terapeutik tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila perawat mengabaikan kergaman budaya ini. Diabaikannya nilai budaya klien akan mempengaruhi hasil perawatan dan berpotensi memperlambat kesembuhan klien karena terjadinya konflik yang membuat semua pihak tidak puas yang akhirnya diabaikannya nilai-nilai budaya dapat juga menimbulkan konflik antar staf yang juga berdampak pada pemberian pelayanan keperawatan pada klien menimbulkan resistan dari klien dan sangat mungkin juga dari tenaga kesehatan. Leininger seorang theorist dalam keperawatan menciptakan suatu model yang digunakan dalam memberi perawatan lintas budaya. Dalam teorinya tentang keperawatan transkultural, dibentuklah suatu model yang disebut dengan Sunrise Model, yang mampu memberi gambaran konseptual yang komprehensif mengenai persamaan dan perbedaan budaya dalam merawat kesehatan individu. Model ini juga menjadi pedoman dalam melaksanakan pengkajian terutama apabila terjadi konflik yang terkait dengan nilai-nilai budaya dalam perawatan kesehatan.[1]

Rumah Sakit UmumPusat Sanglah merupakan Rumah Sakit rujukan untuk daerah timur Indonesia. Sebagai Rumah Sakit rujuan tentu saja banyak klien yang berasal dari luar daerah Bali yang memiliki nilai-nilai budaya dan kepercayaan yang berbeda. Selain itu, warga Bali sendiri, yang merupakan mayoritas klien yang ditangani di RSUP Sanglah, tetap saja memiliki keragaman budaya tersendiri. Adanya keberagaman budaya tersebut maka tenaga kesehatan dalam hal ini perawat diharapkan memiliki kompetensi dalam keperawatan trankultural sehingga mampu memberikan perawatan secara kongruen dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan baik oleh perawat maupun klien.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│13

2. METODE Rancangan penelitian ini dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Pengumpulan data menggunakan tehnik wawancara semi terstruktur. Pendekatan kualitatif digunakan karena peneliti ingin mengetahui lebih dalam mengenai bagaimana perawat menangani konflik transkultural, dan kurang tepat bila diukur menggunakanangka.[2] Tehnik sampling yang digunakan adalah purposive karena peneliti ingin memperoleh data mengenai bagaimana perawat menanangani konflik transcultural. Sampel adalah sepuluh orang perawat yang bekerja di bangsal perawatan yangmemungkinakan adanya interaksi yang lebih lama dengan klien dibandingkan dengan perawat di unit lainnya yang memungkinkan perawat terpapar dengan praktik, keyakinan dan nilai-nilai budaya dari klien. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara. Pedoman wawancara disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian terkait yang sudah dilaksanakan sebelumnya serta berdasarkan pada konsep sunrise model dari Leininger. Wawancara dilaksanakan selama 30–60 menit untuk setiap informan dan kegiatan wawancara akandirekam dengan menggunakan voice recorder.Analisa dilakukan dengan analisa konten, melalui enam tahap yaitu mendengarkan dan membaca hasil wawancara secara berulang, mengorganisasi dan menggolongkan data, koding, analisis koding, serta


melakukan pengecekan pada informan untuk memvalidasi data.

3. HASIL 3.1 Hasil Wawancara Pengalaman Hasil wawancara mengenai pengalaman merawat klien yang memiliki budaya yang berbeda serta bentuk dari perbedaan budaya yang sering ditemui oleh perawat diperoleh tema kendala dalam berkomunikasi dan keyakinan yang berbeda. a. Tema 1: Kendala dalam berkomunikasi Teridentifikasi dari dua sub tema yaitu sub tema 1 teridentifikasi dari kategori kemampuan bahasa kurang, seperti yang disampaikan oleh empat partisipan. Salah satu partisipan menyampaikan adalah P1 “Ternyata di RS sini kebanyakan yang dirawat adalah masyarakat Bali, yang berbahasa Bali, dan banyak masyarakatnya yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Yang kedua adalah masyarakat Lombok juga kesulitan bahasa yang hanya bisa bahasa lokal dan tidak bisa berbahasa Indonesia” Selain itu sub tema 1 juga teridentifikasi dari kategori nada bicara, yang dipaparkan oleh 3 partisipan. Salah satunya seperti yang disampaikan oleh P2, “…keluarga pasien bahkan pasiennya itu, yang memiliki karakteristik yang, ketika dia ingin mengungkapkan sesuatu, menanyakan sesuatu seperti agak marah.” Sub tema 2 teridentifikasi dari kategori bahasa tubuh. Satu orang partisipan (P4) menyampaikan seperti berikut: “Pasien mengacak pinggang, saya merasa ditantang.......” b.

Tema 2: keyakinan yang berbeda Tema kedua terjawab dari tiga sub tema yaitu. 1) Sub tema 1 teridentifikasi dari kategori berdoa, yaitu cara

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

berdoa yang berbeda antara agama, seperti yang disampaikan oleh P5 “beda agama Kristen dan Hindu, biasanya dia minta ijin untuk doa bersama…” Selain itu sub tema 1 juga teridentifikasi dari kategori perilaku khusus, seperti yang disampaikan oleh P4 “Pada pasien dengan agama tertentu memilih posisi tidur tertentu yang bisa mengganggu pelayanan keperawatan. Pasien tidak boleh disentuh oleh perawat yang berbeda jenis kelamin. 2) Sub tema 2 dapat diidentifikasi dari kategori percaya akan mitos, hal ini disampaikan oleh 2 partisipan. Salah satu contoh adalah pernyataan P3, “…mitospotong kuku... Alasannya kepercayaanya, karena orang sakit tidak boleh melakukan hal tersebut….ya orang sakit tidak boleh menghilangkan bagian tubuhnya” 3) Sub tema 3 teridentifikasi dari kategori kepercayaan pada mistis, hal ini disampaikan oleh P1, “…..ada juga yang percaya bahwa penyakitnya itu ….walaupun sudah didiagnosa medis sudah sakit tapi dia masih percaya bahwa dia tidak sakit tapi penyakitnya adalah kiriman …,maksudnya penyakitnya karena ilmu hitam atau non medis” 3.2 Hasil Wawancara Pendapat Ketika budaya pasien tersebut berbeda dengan kebudayaan perawat ataupun berbeda dengan apa yang dipelajari dari bangku kuliah bervariasi Seperti yang teridentifikasi untuk tema ke 3 dan 4. a. Tema 3: menerima perbedaan budaya 1) Sub tema 1 teridentifikasi dari kategori tidak membedakan, seperti yang disampaikan oleh

│14


lima orang partisipan, salah satunya adalah P9, “Pendapat saya sih kalau saya sih saya pribadi tidak apa-apa, kan di Bali ini bermacam-macam agama ada” 2) Sub tema 2 teridentifikasi dari kategori yang disampaikan oleh seorang partisipan yaitu P1, “….mengajak pasien kita untuk sehat adalah sebenarnya sebagai motivasi untuk saya” b. Tema 4: Kurang menerima perbedaan Tema ke 4 teridentifikasi dari 1 sub tema yaitu dapat merugikan pasien. Sub tema 1 ini dapat dijawab dari 2 kategori. Kategori pertama adalah tidak percaya mitos, seperti yang disampaikan P3, “…sesuatu yang memang jelas-jelas keliatan dari akal sehat bahwa itu memang tidak sehat pasti kita keperacayaan itu akan menurun terhadap mitos tersebut, pasti kita akan lebih mencari sesuatu yang lebih menguntungkan kita, misalnya mencari lebih sehatnya, daripada percaya mitos yang tidak benar.” Kategori kedua digunakan untuk mengidentifikasi sub tema 1 adalah mengikuti aturan, seperti yang disampaikan oleh P10,“…yang penting mereka ikut dengan aturan RS, dan memberikan penjelasan…” 3.3 Wawancara Rencana Perawat a. Tema 5: perencanaan perawat dalam menyelesaikan konflik 1) Sub tema 1 terjawab dari 4 kategori. Kategori pertama adalah pasien, seperti yang disebutkan oleh 6 orang partisipan. Salah satunya disampaikan oleh P3,“…kita tetep beri pengertian ke pasien tapi itupun tidak bisa dengan waktu yang cepat.” Kategori kedua adalah keluarga, seperti yang disampaikan oleh dua orang partisipan. Salah satunya

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

adalah P1,“…cari dulu keluarga yang bisa berkomunikasi dengan kita, …Keluarga yang menjalaskan akan lebih diterima oleh pasien” Kategori ketiga adalah teman sejawat. Seperti yang disampaikan oleh seorang partisipan (P8), “….ada pihak istilahnya ada kepala ruangan teman-teman juga perlu kompak” Kategori kempat adalah tenaga kesehatan lain. Seorang partisipan menyampaikan bahwa sangat penting adanya kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain, “….keadaan sangat urjen sekali maka kita akan berkolaborasi, kolaborasi banyak sekali, antara dokter, psikolog, kita tetap ambil psikolog, perawat, kita akan berkolaborasi menjadi satu” 2) Sub tema 2 adalah rencana kegiatan. Sub tema 2 diidentifikasi dari 5 kategori. Kategori pertama adalah mengedukasi keluarga. Tiga orang partisipan menyampaikan bahwa rencana tindakan mereka adalah mengedukasi ataupun mengajak diskusi keluarga pasien. Salah satunya adalah P1, “kita akan cari keluarga biasanya sih kalau saya memberikan edukasi.” Kategori kedua yaitu mengkaji masalah, seorang partisipan (P8) menyampaikan sebagai berikut, “….kita harus mengkaji dulu, kenapa dia melakukan hal itu, apakah itu kebiasaan atau budaya yang sudah melekat pada dirinya…” Sub tema 2 diidentifikasi dari kategori komunikasi efektif, seperti disampaikan oleh 4 partisipan. Salah satu contoh adalah seperti yang disampaiakn P4, “Yang penting pendekatan, dalam

│15


komunikasi lakukan kontak mata”. Kategori berikutnya adalah menegakkana aturan. Seperti yang disampaikan oleh P10, “…disini ada peraturan merawat pasien sama dengan pasien lain biar dari manapun. Kita tidak ada perbedaan cara merawat. Sesuai dengan prosedur” Kategori selanjutnya yang mengidentifikasi sub tema 2 adalah, ide kreatif. Seorang partisipan mngatakan bahkan dia mencari ide di internet dalam hal merencanakan tindakan pada pasien seperti yang disampaiakn oleh P6, “…mencari sumber dan informasi edukatif dari internet misalnya dengan bahasa yang gampang.” 3.4 Latar Belakang Tindakan yang Diambil Teridentifikasi sebuah tema yakni a. Tema 6: latar belakang penyelesaian konflik. 1) Sub tema 1 terjawab dari identifikasi kategori hubungan keluarga, mencegah bahaya dan menghormati hak pasien. Untuk kategori hubungan keluarga seorang partisipan (P1) menyampaikan ”...kita cari keluarga yang bisa mempengaruhi pasien / keluarga pasien tersebut supaya persepsi tentang kesehatan bisa meningkat.” Kategori mencegah bahaya disampaikan oleh seorang partisipan. P10 menyampaikan bahwa tindakan terapi yang sudah diprogramkan sebaiknya diutamakan. “….kalau obat alternativekankita tidak tahu reaksinya kaya apa. Makanya obat apa yang dapat di sini silahkan itu dipake dulu.” Sub tema 1 juga teridentifikasi dari kategori menghormati hak pasien. Ada 3 orang partisipan yang

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

menyampaikan bahwa pasien memiliki hak untuk memilih perawatan yang diinginkan. Seperti yang disampaikan oleh P3, “…pasien itu kan memiliki hak sendiri, dia boleh memilih, apapun yang kita lakukan, dia boleh memilih ya dan tidak itu haknya pasien” 2) Sub tema 2 teridentifikasi dari kategori tidak melanggar aturan dan sesuai asuhan keperawatan. Kategori pertama yaitu tidak melanggar aturan disampaikan oleh P6, “alasannya karena itu merupakan aturan dan RSUP memiliki lembar pelaksanaan KIE…” Kategori kedua seorang parstisipan menyampaikan alasannya karena disesuaikan dengan asuhan keperawatan, seperti yang disampaikan oleh P8, “Saya kembalikan aja ke ilmu keperawatan, asuhan keperawatan, step-stepnya itu. Karena tehnik keperawatan juga bagus” 3.5 Pengimplementasian rencana dan hasilnya Tema 7: pelaksanaan penyelesaian konflik. 1) Sub tema 1 dapat diidentifikasi dari kategori dibiarkan dan menganggap sebagai hiburan. Pernyataan partisipan untuk kategori pertama disampaikan oleh P4. “Kalau tidak mau dibiarkan saja…” Kategori ke 2 partisipan menyampaikan bahwa tindakan yang dilakukan pasien dapat menjadi suatu hiburan bagi perawat. Seperti yang disampaikan oleh P10, “…karena saya tidak masalah dengan yang ditemui. Malah itu menjadi semacam hiburan, kami tertawa bersama sama ibu kepala ruangan juga sering ikut”

│16


2) Sub tema kedua teridentifikasi dari kategori melibatkan keluarga dan melibatkan sejawat. Kategori melibatkan keluarga disampaikan oleh 3 orang partisipan. Seperti yang disampaikan oleh P3, “….tapi sebelumnya kita lakukan pendekatan ke pasien ke keluarga” Kategori selanjutnya adalah melibatkan sejawat, seperti yangdisampaikan oleh 2 partisipan, salah satunya adalah P1, “Kalau dari segi bahasa kita tidak bisa meredam dia, maka kita bawa orang lain yang bisa membantu kita misalnya kepala ruang atau atasan kita yang lain yang bisa membantu kita menyelesaikan konflik” 3) Sub tema ke tiga teridentifikasi dari 3 kategori. Kategori personal hygiene disampaikan oleh partisipan P9 sebagai berikut “Kita beri dia pengertian “bapak kalau kuku bapak tidak dipotong keliatan kotor sekali, dan tidak enak keliatan. Trus kalau dulu memang mungkin kepercayaan bapak itu, kuku panjang tidak boleh dipotong apalagi pas lagi sakit. Tapi karena bapak dirawat di sini, dirawat di RS untuk kebersihan ini perlu dipotong” Kategori selanjutnya adalah utamakan program pengobatan, seperti yang disampaikan oleh P9, “Supaya dia mengerti betapa pentingnya obat yang diberikan di sini supaya tidak tercampur nanti. Kan kita tidak tau efeknya bagaimana kalau memang satusatu dulu kan kita tahu. Kalau dia di rumah ya terserah nanti, kalau di sini kita sarankan seperti itu”

kurang dukungan pihak manajerial. Kategori keluarga pasien disampaikan oleh 3 partisipan. Salah satunya adalah P3, “…kadang-kadang keluarga yang kita sudah kita kasi penjelasan dia sudah mengerti, kadang-kadang ada keluarga yang baru lagi datang yang tidak mengerti permasalahan..” Kategori pasien disampaikan oleh P7, “…tantangan terbesarnya bila pasien dari timur itu mengaku mengerti tapi tetap kekeh dengan pendapatnya sendiri, seolah-olah tidak mau menerima penjelasan kita…” Kategori beban kerja perawat dan kurang dukungan manajerial disampaikan oleh P4, “Kebanyakan kerjaan. Kerjaan terlalu banyak membuat lebih emosi. Kurang dukungan manajerial” 2) Sub tema 2 teridentifikasi dari kategori bahasa dan budaya perawat. Kategori bahasa, dalam kategori ini perawat memiliki pemahaman yang kurang dalam hal bahasa daerah pasien. Salah satu partisipan (P9) menyampaikan sebagai berikut, “tapi kalau masalah budaya berbeda, kalau bahasa, kalau dia pake bahasa daerah itu aja” Kategori kedua adalah budaya perawat yang berbeda dengan klien. Seperti yang disampaikan oleh P6, “saya sebagai orang non Bali dengan kebudayaan yang beda menjadi tantangn besar untuk penyampain dengan pemahamandan kepercayaan yang berbeda takutnya bisa ada ketersinggungan”

3.6 Tantangan Tema 8: tantangan terbesar dalam menangani masalah budaya dalam perawatan pasien. 1) Sub tema 1 teridentifikasi dari kategori keluarga pasien, pasien,beban kerja perawat dan

3.7 Hal-hal mendukung penanganan konflik. Tema 9 tentang faktor pendukung penyelesaian konflikteridentifikasi dari sub tema yakni: 1) Sub tema 1 kategori teman sejawat, tenaga kesehatan lain dan mahasiswa praktik.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│17


Kategori teman sejawat disampaikan oleh 3 partisipan. Seperti yang disampaikan oleh P6, “….yang mendukung jika belum bisa sendiri saya minta tolong orang teman-teman Bali misalnya agar tidak terjadi salah persepsi. Kategori tenaga kesehatan lain, disampaikan oleh 2 partisipan. Seperti yang disampaikan oleh P2. “Sebenarnya yang mendukung ternyata adalah kalau duduk bersama. Kalau kolaborasi bersama, dokter, perawat, psikolog, pihak manajemen dan pihak –pihak terkait itu duduk bersama”, Kategori mahasiswa disampaikan oleh seorang partisipan (P7), “Kebetulan RSUP Sanglah merupakan RS pendidikan, jadi orang-orang dari berbagai daerah banyak yang bersekolah dan praktik di Sanglah, kalau pas ada dokter yang juga berasal dari timur saya minta bantuan mereka” 2) Sub tema 2 kategori peraturan rumah sakit, fasilitas keagamaan. Kategori pertama yaitu peraturan rumah sakit disampaikan oleh P8. “Yang mendukung tentu peraturan di sini, pimpinan, standard-standar kita, SOP, itu yang mendukung menurut saya” Kategori kedua adalah adanya tempat suci di rumah sakit, seperti disampaikan oleh P5, “Fasilitas jelas sudah mendukung, rohaniawan sudah ada, tempat bersembahyang di pura sudah ada” 3.8 Perasaan setelah menyelesaikan konflik budaya dalam perawatan pasien. Tema ke 10 adalah perasaan perawat setelah menyelesaikan konflikteridentifikasi dari sebuah sub tema yaitu merasa bahagia. a. Tema: 10 Perasaan perawat setelah menyelesaikan konflik. 1) Merasa bahagia

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

Sub tema 1 teridentifikasi dari kategori senang, bahagia dan puas. Kategori senang disampaikan oleh sebagian besar partisipan. Seperti yang dinyatakan oleh P5, “Ya di situ kankita merasa senang, kalau pasiennya puas”. Untuk kategori bangga, partisipan menyampaikan hal sebagai berikut (P6), Perasaannya bangga karena bisa kasi info dan KIE yang bagus kepada pasien” Untuk kategori puas, partisipan menyampaikan hal sebagai berikut , “Puas dengan apa yang dicapai, bisa membuat orang merasa senang, sembuh”

4. PEMBAHASAN Pengalaman perawat dalam merawat klien yang memiliki budaya yang berbeda serta bentuk perbedaan tersebut ditunjukkan dengan adanya kendala dalam berkomunikasi dan juga adanya perbedaan keyakinan. Pasien tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik sehingga perawat mengalami kesulitan dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Selain itu komunikasi non verbal yang disampaikan pasien maupun keluarganya juga menimbulkan suatu ketidaknyamanan pada diri perawat. Selain kendala bahasa, perawat juga menghadapi pasien dengan keyakinan yang berbeda-beda serta memiliki praktik keagamaan serta keyakinan terhadap sesuatu yang menurut perawat terkadang tidak logis. Perawat terkadang dihadapkan pada praktik keyakinan yang juga dilaksanakan selama perawatan, yang merupakan sesuatu yang baru bagi perawat. Beberapa perawat juga menyampaikan masih adanya kepercayaan terhadap mitos-mitos yang bila dibiarkan dapat merugikan pasien. Selain itu pasien dan keluarga juga masih percaya bahwa sakitnya diakibatkan oleh hal-hal mistis walaupun secara medis sudah ada penegakaan diagnosa. Sesuai dengan sunrise model perawat seharusnya tetap mewaspadai berbagai bentuk komunikasi dari pasien baik verbal maupun non verbal1. Tetap

│18


membuka pikiran dan memepelajari perilaku pasien sangat penting untuk mengetahui apa yang menjadi kebutuhan maupun pemikiran pasien. Perawat menerima perbedaan budaya yang dihadapi ketika merawat pasien. Perawat terbiasa dengan kondisi di Bali yang masyarakatnya majemuk sehingga mengganggap wajar jika ada perbedaan budaya. Selain itu denganadanya variasi budaya dapat membuat sesorang termotivasi untuk dapat memberikan perawatan secara komprehensif, sehingga dapat dikatakan bahwa perawat sudah menerima perbedaan tersebut. Prinsip pertama penggunaan sunrise model dalam mengkaji budaya dikatakan bahwa perawat dapat menunjukan keingintahuan yang tulus tentang pasien, perawat juga mampu mendengarkan dan belajar dari pasien.[1] Tetapi ada perawat yang kurang menerima adanya perbedaan budaya yang dimilki oleh pasien. Selain karena dapat merugikan pasien perawat menganggap bahwa aturan di rumah sakit perlu ditegakkan, sehingga sebisa mungkin pasien harus patuh pada aturan yang ada. Di satu sisi adalah tugas semua tenaga kesehatan untuk menjaga keamanan pasien, namun perawat yang tidak mengenal nilai dan pentingnya perawatan yang sesuai bagi pasien dengan budaya yang berbeda sangat mustahil bisa menjadi perawat yang efektif dimana kita ketahui bahwa demografi social mengalami perubahan yang sangat pesat.[3] Sebagai tambahan, di dalam sunrise model disebutkan bahwa dapat terjadi suatu ketidakedulian terhadapbudaya jika perawat salah paham terhadap budaya yang dianut pasien, dampaknya adalah praktik keperawatan menjadi terbatas dan keesembuhan pasien tidak akan tercapai. Perawat membuat perencanaan mengenai siapa saja pihak yang terlibat dalam penyelesaian permasalahan terkait budaya. Pihak yang terlibat adalah keluarga, pasien itu sendiri dan juga tenaga kesehatan lainnya. Melibatkan keluarga dalam mencapai suatu tujuan terkait budaya pasien yang berebda sangat pennting. Sunrise mode l disebutkan bahwa keluarga berpotensi mempengaruhi perawatan seseorang. Ini karena, keluarga dapat menjadi

pengambil keputusan untuk pasien, terutama pada pasien anak-anak mapun yang dalam kondisi tidak sadar maupun pasien lainnya yang memiki ikatan keluarga sangat erat.[1] Selain itu pasien sendiri sebagai target utama pencapaian tujuan harus dilibatkan, karena dia memiliki hak untuk menentukan perawatannya sendiri. Melibatkan tenaga kesehatan lainnya juga sangat penting karena mereka juga harus tahu mengenai variasi budaya yang dimiliki oleh pasien sehingga mereka bisa lebih menghormati keputusan pasien. Kegiatan yang direncanakan dimulai dari mengkaji permasalahan. Kemudian perawat juga memberikan edukasi, melakukan komunikasi secara efektif hinggga mencari ide kreatif untuk menyampaikan pesan kepada pasien dan keluarganya sehingga dapat tercapai tujuan perawatan pasien. Perawat merencanakannya sedemikian rupa demi kebaikan pasien, dalam hal ini mereka mencegah hal-hal berbahaya yang dapat terjadi pada pasien, menghormati hakhak pasien serta hubungan pasien dan keluarga yang dekat sehingga akan lebih mudah mengintervensi jika ada persetujuan dari keluarga. Sedangkan perawat lain ingin supaya aturan di rumah sakit tetap ditegakan dan juga dapat melaksanakan asuhan keperawatan secara secara efektif. Di dalam Sunrise model disebutkan ada tiga model tindakan dan keputusan perawat untuk membantu, memfasilitasi dan meningkatkan perawatan yang kongruen secara budaya. Pertama adalah mempertahankan budaya pasien bila dianggap budaya pasien sesuai secara dari aspek etik, legal dan moral dengan pandangan para tenaga kesehatan. Dalam penelitian ini perawat membiarkan pasien melakukan perawatan sesuai dengan kebudayaan yang dianut karena menganggap hal tersebut tidak membahayakan dan bahkan tidak melarang sama sekali dengan bukti menganggap tindakan tersebut sebagai suatu hal yang dapat memberikan hiburan. Namun sebaiknya perawat menghormati perbedaan budaya yang dimiliki oleh pasien dengan tidak mengnggap hal tersebut sebagai sesuatu yang dapat ditertawakan.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│19


Tindakan kedua adalah dengan menegosiasi dengan melibatkan keluarga untuk menyesuaikan kebudayaan yang merek anut dengan rencana pengobatan dan perawatan dari rumah sakit. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penolakan dari pasien dan keluarga yang dapat memperburuk kondisi pasien. Negosiasi juga dilaksanakan dengan melibatkan teman sejawat, terutama yang memiliki latar belakang budaya yang sama dengan pasien dan keluarganya, sehingga tidak terjadi kesalah pahaman terutama dalam berkomunikasi. Tindakan ketiga adalah merubah perilaku pasien terkait perawatan karena tindakan yang dilakukan sangat tidak sesuai dengan tujuan perawatan. Mengubah perilaku klien terutama yang dapat menimbulkan suatu masalah kesehatan lain bagi pasien. Perawat mendapat tantangan dari dalam yakni perawat itu sendiri, termasuk di dalamnya kemampuan yang terbatas dari perawat dalam mengenal kebudayaan pasien yang berbeda. Kemampuan bahasa yang terbatas bila berkomunikasi dengan pasien yang tidak mampu berbahasa Indonesia. Satu hal yang perlu ditingkatkan dalam diri perawat adalah pentingnya mengkaji diri terkait budaya yang dimiliki perawat, pemahaman terkait budaya dan kebiasaan perawat serta pengalaman merawat.[4] Tantangan dari luar adalah beban kerja perawat terlalu besar serta kurangnya dukungan dari manajerial sehingga tidak memiliki waktu lebih banyak dengan pasien sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya pengabaian terhadap budaya pasien. Tentu saja hal itu memberi berdampak kurang baik terhadap outcome perawatan. Tantangan dari luar lainnya adalah keluarga pasien.Hal ini dapat dikarenakan keluarga merupakan bagian penting bagi individu. Penanganan konflik terkait budaya yang berbeda dalam perawatan pasien sangat didukung hal lain yakni teman sejawat yang memiliki latar belakang budaya yang sama dengan pasien akan sangat membantu perawat yang berbeda budaya dalam mempelajari kebudayaan pasien. Tenaga kesehatan lain juga menjadi faktor pendukung, kolaborasi antara perawat dengan tenaga

kesehatan lain sangat efektif dalam menangani isu yang mungkin berhubungan dengan latar belakang budaya yang berbeda.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│20

5. KESIMPULAN Ada beberapa hal yang menjadi poin utama dalam pemberian asuhan pada latar belakang budaya yang berbeda, yang paling utama yang dirasakan perawat adalah kendala dalam berkomunikasi, baik verbal maupun nonverbal, kemudian adanya keyakinan berupa mitos yang mungkin dapat menghambat tujuan perawatan dan pengobatan. Ketidakmampuan klien dan anggota keluarga dalam berbahasa Indonesia dapat menjadi penghambat dalam pemberian asuhan keperawatan. Selain itu perbedaan persepsi dalam berkomunikasi non verbal juga terkadang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman pada perawat. Namun secara umum perawat telah mengaplikasikan ketiga bentuk penanganan permasalahan budaya dalam merawat pasien sesuai dengan model Sunrise oleh Leininger. Untuk yang pertama perawat tetap mempertahankan budaya atau keyakinan yang dimiliki oleh klien dengan syarat hal tersebut tidak berpotensi mengganggu tujuan perawatan dan pengobatan. Kemudian, untuk model yang kedua, perawat melaksanakan negosiasi dengan melibatkan keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. Sehingga konflik yang dapat menghambat tercapainya tujuan perawatan dan pengobatan dapat dikurangi seminimal mungkin. Bentuk intervensi yang ketiga yang dilaksanakan perawat adalah dengan mengubah secara keseluruhan tindakan yang dapat mengganggu perawatan dan pengobatan. Hal yang dilakukan oleh perawat terutama dengan kembali mengingatkan klien dan keluarga bahwa ada aturan–aturan yang berlaku di rumah sakit yang tidak mengijinkan dilakukannya tindakan-tindakan yang dapat mengganggu perawatan dan pengobatan pasien. Perawat telah berusaha dengan baik melaksanakan ketiga bentuk intervensi yang dirumuskan oleh Leininger dalam Sunrise model. Namun, perbedaan latar belakang budaya terkadang masih diabaikan


karena hal tersebut tidak ada kaitannya dengan perawatan dan pengobatan. Dalam hal ini, beban kerja perawat berpotensi sebagai penyebab mereka tidak terlalu pedul dengan latar belakang budaya yang berbeda. Hal ini dapat menjadi tantangan dalam merawat klien karena sangat berpotensi menghambat tercapainya tujuan perawatan dan pengobatan.

6. SARAN Perawat telah menangani isu budaya dalam asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan apa yang tertuang dalam Sunrise Model. Namun, mungkin sangat penting juga untuk mengetahui apakah menangani konflik karena adanya perbedaan budaya dalam pemberian asuhan keperawatn merupakan hal yang penting bagi perawat. Kemudian, beberapa kendala yang dialami perawat ketika harus berhadapan dengan pasien dari latar belakang budaya yang berbeda juga menjadi hal yang menarik. Tentu hal ini dapat menjadi suatu masukan bagi penyedia pelayanan kesehatan seperti rumah sakit untuk mempertimbangkan membekali perawat dan tenaga kesehatan dengan kemampuan yang memadai dalam menghadapi pasien dengan berbagai latar belakang budaya. Selain itu penelitian ini berusaha mengeksplorasi tindakan perawat dalam menangani isu perbedaan budaya saat pemberian asuhan keperawatan. Beberapa informasi penting dapat di ketahui melalui wawancara dengan perawat, dan mereka menyampaikan bahwa tindakan yang mereka lakukan semua untuk melindungi pasien dan mencapai tujuan perawatn dan pengobatan. Namun hal ini perlu juga kita lihat dari pandangan klien yang secara langsung mengalami atau menerima tindakan keperawatan. Seperti yang disampaikan oleh Leininger bahwa kita tidak dapat membuat sebuah konsep etnocare yang universal atau seragam namun ada konsep-konsep lain yang sering terjadi dan seharusnya kita laksanakan dalam memberi perawatan yaitu, peduli, perhatian, menghormati dan membantu[4].

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

DAFTAR PUSTAKA 1. Leininger, M & McFarland, M.R. (2002) Transcultural nursing, concepts, theories, research and practice. Ed. 3. USA: McGraw-Hill Company. 2. Polit, D.F. & Beck, C.T. (2004) Nursing research, principles and methods Ed. 7. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins. 3. Giger, J.N. (2013) Transcultural nursing assessment & intervention. Ed. 6. Missouri: Elsevier. 4. McQuiston, M. C., Webb, A.A. (1995) Foundations of nursing theory, contribution of 12 key theoriest. California: The SAGE Publications. Inc. 5. Divers, C.J. (2008) ‘Transcultural nursing: its importance in nursing practice’. Journal of Cultural Diversity, 15 (1), pp.37-43, PUBMED [Online]. Tersedia di: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 19172978. Diakses: 21 Februari 2013). 6. Philis-Tsimikas, A., Walker. C., Rivard, L., Talavera, G., Reimann ,J. O. F., Salmon, M., Araujo. R. (2004) ‘Improvement in Diabetes Care of Underinsured Patients Enrolled in Project Dulce A community-based, culturally appropriate, nurse case management and peer education diabetes care model’ Diabetes Care. 27 (1), pp. 110-115, American Diabetes Association [Online]. Tersedia: http://care.diabetesjournals.org/conte nt/27/1/110.full. Diakses: 21 Februari 2013. 7. Sagar, P.L. (2012) Transcultural nursing theory and models. New York: Springer Publishing Company. 8. Weissman, J.S. Betancourt J., Campbell E.G., Park E.R., Kim, M., Clarridge, B., Blumenthal, D., Lee,K.C., Maina,A.W., (2005) ’Resident Physicians’ Preparedness to Provide Cross-Cultural Care’Journal Of American Medical Association, 294 (9), pp.1058-1067, The JAMA Network [Online]. Tersedia di: http://jama.jamanetwork.com/article.a spx?articleid=201476. Diakses: 21 Februari 2013.

│21


Penelitian

KADER SEBAYA: AGAR REMAJA LEBIH MEMAHAMI MENGENAI KESEHATAN REPRODUKSI Vivi Leona Amelia1 1Program

Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ABSTRAK Pendahuluan : Kesehatan reproduksi masih menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan di Indonesia termasuk di daerah pedesaan. Sejak beberapa tahun yang lalu program keluarga berencana tidak tersedia bagi remaja walaupun mereka telah aktif secara seksual. Banyak remaja yang sedikit memiliki informasi dan merasa tidak nyaman untuk mengakses pelayanan kesehatan reproduksi yang ada dilingkungannya. Tidak adanya informasi mengenai kesehatan reproduksi dari lingkungan terdekat, membuat remaja mencari informasi sendiri yang dibutuhkan mengenai perubahan yang ada pada dirinya. Mereka lebih mudah membicarakannya pada teman dari pada ke orang tua. Metode : penelitian ini bertujuan untuk melihat peningkatan pengetahuan dan perilaku remaja setelah adanya intervensi dengan kader sebaya. Penelitian diawali dengan pembentukan kader sebanyak 5 orang dari Dusun Ngentak, Yogyakarta, kemudian sampel penelitian sebanyak 23 responden dari remaja yang juga berada di Dusun tersebut. Analisa data menggunakan analisa univariat dan bivariat yaitu T-test untuk melihat pengaruh dari intervensi yang diberikan. Hasil : setelah dilakukan intervensi dengan kader sebaya didapatkan peningkatan pengetahuan dari responden secara signifikan yaitu pengetahuan tentang organ reproduksi pria (p=0.025), organ reproduksi wanita , kontrasepsi yang dapat mencegah kehamilan yaitu IUD, tubektomi), vasektomi dengan nilai p yaitu 0.00, dan penanggalan kalender berdasarkan masa subur (p=0.043). Pada perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan (p=0.001) dan melakukan kunjungan ke pelayanan kesehatan (p=0.022) secara statistik meningkat signifikan setelah adanya intervensi kader sebaya. Kesimpulan : terjadinya peningkatan pengetahuan, perilaku pencarian informasi dan pemanfaatan pelayanan kesehatan reproduksi oleh remaja setelah adanya intervensi kader sebaya. Kata kunci : kader sebaya, remaja, kesehatan reproduksi ABSTRACT Introduction : In Indonesia, reproductive health education is still be a "sacred' conversation to discuss, especially in rural area. A few years ago, family planning program is not widely available for adolesence. Many of them have not enough information about reproductive health and uncomfortable to accessing the reproductive health service, and also they prefer to discuss about it with their friend to their parent. Method : This study aims to know the increasing of knowledge and behaviour of the adolesence after peer educator intervention. It started with the formation of peer educator consist of 5 persons from Ngentak Distrik, Yogyakarta, afterward, the research sample are 23 respondents from the same distrik. For data analysis use univariate and for bivariate is T-test analysis to know effect of the intervention. Result : After peer educator intervention there is an increasing number of the respondents knowledge significantly which are male reproductive organ (p=0.025), female reproductive organ, IUD contraseption, vasektomi with p value is 0.00, and calendar contraseption method (p=0.043). For using the health service behaviour also

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│22


have an increasing number with P value 0.0001 and also increasing for visiting the health service with P value is 0.022. Conclusion : there is an increasing number of the respondents knowledge, seeking for information behaviour and utilization of reproductive health service after the peer educator intervention. Keywords : peer educator, adolescent, reproductive health

1. PENDAHULUAN Kesehatan reproduksi masih menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan di Indonesia termasuk di daerah pedesaan, hal ini disebabkan oleh budaya Indonesia yang masih menganggap bahwa membicarakan hal tentang reproduksi masih dianggap sebagai tindakan yang belum dapat diterima di masyarakat.[1] Pelayanan kesehatan reproduksi yang ada disekitar lingkungan juga masih belum tersedia bagi remaja baik itu hanya sebagai pelayanan untuk konseling kesehatan reproduksi.[3] Banyak remaja yang sedikit memiliki informasi dan merasa tidak nyaman untuk mengakses pelayanan kesehatan reproduksi yang ada dilingkungannya.[2] Tidak adanya informasi mengenai kesehatan reproduksi dari lingkungan terdekat, membuat remaja mencari informasi sendiri yang dibutuhkan mengenai perubahan yang ada pada dirinya. remaja merasa tidak nyaman berdiskusi mengenai kesehatan reproduksi kepada orang tuanya.[3] Pendidikan kesehatan reproduksi sangat penting diberikan kepada remaja untuk membantu remaja memulai hidup sehat.[4] Remaja merupakan masa peralihan ke masa dewasa, dengan adanya program kesehatan reproduksi yang tepat dengan tenaga yang terlatih maka dapat membantu untuk mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, kematian maternal, dan menurunkan resiko terjadinya infeksi menular seksual(4). Indonesia sendiri pada tahun 1996 telah menjalankan program edukasi kesehatan reproduksi kepada remaja dengan pelibatan orang tua yang disebut dengan "family-centred approach", pada hasilnya didapatkan bahwa orang tua merasa tidak nyaman membicarakan tentang seksualitas kepada anaknya[1], masalah yang paling dirasakan tidak nyaman oleh orang tua adalah membicarakan mengenai menstruasi dan

masturbasi.[1] Beberapa penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan bahwa remaja lebih senang dalam mencari informasi dengan teman sebayanya[5,6] dibandingkan bertanya dengan orang tuanya[1], sehingga perlunya ada sebuah program yang sesuai dengan karateristik remaja berupa edukator sebaya yang terlatih dan telah mengerti mengenai kesehatan reproduksi.[1,5,6] Edukator sebaya akan diberi pelatihan mengenai kesehatan reproduksi secara intensif dan diberikan pendampingan untuk memberikan penyuluhan kepada remaja yang lain, cara ini terbukti efektif untuk menurunkan angka kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan remaja.[4] Angka kejadian infeksi menular seksual di kalangan remaja, pad atahun 2012 Yogyakarta menduduki peringkat ke delapan, untuk wilayah Sleman merupakan wilayah dengan urutan tertinggi dibandingkan dengan yang kabupaten yang lainnya.[5] Dusun Ngentak merupakan salah satu wilayah yang terdapat di Kabupaten Sleman, data yang didapatkan Puskesmas Mlati 2 yaitu pelayanan kesehatan yang berwenang pada daerah tersebut bahwa angka kejadian kehamilan pada remaja cukup tinggi di tahun 2012, masih sedikit remaja yang memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi yang disediakan oleh Puskesmas. Dari hal itu semua sehingga perlu upaya agar remaja dapat mendapatkan edukasi kesehatan reproduksi dengan cara yang menyenangkan dan sesuai dengan karakternya, kader sebaya dipandang mampu sebagai upaya untuk peningkatan pengetahuan dan perilaku mengenai kesehatan reproduksi.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│23

2. METODE Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental untuk melihat peningkatan pengetahuan dan perilaku


remaja mengenai kesehatan reproduksi dengan intervensi dengan kader sebaya. Penelitian ini dilakukan di Dusun Ngentak, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Ini dilakukan pada tanggal 3 September hingga 28 November 2013. Penelitian ini merupakan hasil riset praktik pada program komunitas Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, telah mendapatkan ijin dari Dinas Kesehatan Sleman, Bappeda Sleman, Kepala Desa Sumberadi, Kepala Dukuh Ngentak, dan Puskesmas Mlati 2. Penelitian ini memiliki beberapa tahap yaitu pembentukan kader sebaya, pelatihan untuk kader sebaya, pendampingan kader sebaya untuk memberikan penyuluhan kepada remaja yang lain, kemudian didakan evaluasi dan up-grading kader sebaya dalam memberikan penyuluhan. 2.1 Pembentukan kader sebaya Pemilihan kader sebaya dimulai dengan pencarian data kader remaja yang telah ada di Puskesmas Mlati 2 Sleman, Yogyakarta, pihak Puskesmas mengatakan bahwa kader remaja yang paling aktif untuk mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Puskesmas adalah kader remaja yang ada di Dusun Ngentak sebanyak 17 orang. Pemilihan kader ini disesuaikan dengan Puskesmas Mlati 2 karena merupakan pihak yang mengetahui keadaan di wilayah binaannya. Penulis kemudian mendatangi ke 17 orang tersebut dengan cara door to door dibantu dengan ketua RT setempat, dan meminta kesediaan untuk dijadikan sebagai kader sebaya kesehatan reproduksi. Kegiatan ini dilakukan pada tangga 3 hingga 6 September 2013. 2.2 Pelatihan kader sebaya Pelatihan dilakukan sebanyak 3 kali, jenis pelatihan yang diberikan: Pelatihan I : materi mengenai organ reproduksi wanita, pria dan personal hygiene Pelatihan II : materi mengenai infeksi menular seksual Pelatihan III : latihan memberikan penyuluhan

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

Materi diberikan dengan metode ceramah dan tanya jawab, difasilitasi dengan viewer dan buku panduan yang dibagikan per-kader. 2.3 Pendampingan remaja Pendampingan remaja diawali dengan pencarian remaja sebagai responden, jumlah responden disesuaikan dengan kemampuan kader sebaya, pada penelitian sebelumnya dikatakan bahwa masing-masing kader dapat dengan efektif memberikan penyuluhan secara personal pada 1 hingga 2 orang temannya.[8] Penulis melakukan evaluasi kemampuan kader dengan melakukan wawancara pada masing-masing kader mengenai kemampuan melakukan pendampingan penyuluhan pada temannya, terdapat 5 orang kader yang mengatakan belum siap untuk memberikan penyuluhan dan pendampingan remaja, kader yang siap yaitu berjumlah 12 orang dan 5 orang yang lainnya dijadikan pendamping, masing-masing kader yang siap memberikan penyuluhan dan pendampingan mendapatkan 2 orang remaja yang didampingi dan 1 orang yang lainnya hanya 1 orang karena merasa hanya siap untuk 1 orang, jadi jumlah respondennya yaitu 23 orang. Pemilihan sampel dilakukan secara accidental sample sesuai dengan yang dapat ditemui pada hari kader melakukan pendampingan. Kriteria inklusi sebagai responden yaitu: berusia 1120 tahun, dan mau mengikuti penyuluhan yang diberikan oleh kader sebaya. Tahap ini dilakukan selama 1 bulan. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk melihat pengetahuan dan perilaku dalam pencarian informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi.[6] Hasil pengambilan data kemudian dianalisis menggunakan analisis deskriptif untuk mengetahui pengetahuan perilaku dan sikap sebelum dan setelah diberi penyuluhan oleh kader sebaya. Analisa data menggunakan analisa univariat dan bivariat yaitu t-test

│24


untuk melihat pengaruh intervensi yang diberikan.

dari

2.4 Evaluasi dan up-grading kader sebaya Evaluasi dilakukan untuk mengetahui pengalaman yang dialami oleh kader sebaya, dan sebagai usaha untuk melanjutkan program ini untuk kedepannya. Up grading dilakukan dengan mengundang psikolog beserta dengan mengundang orang tua remaja yang menjadi responden untuk dilakukan penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi remaja dan peran orang tua.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Peningkatan pengetahuan kader sebaya Pengukuran peningkatan pengetahuan kader sebelum dan sesudah diberikan pelatihan diperlukan untuk melihat bagaimana mereka menyerap materi yang diberikan. Pelatihan dengan cara pemberian materi dilakukan 2 kali pertemuan, pertemuan berikutnya merupakan evaluasi dan pelatihan mengenai kecapakan untuk memberikan penyuluhan.

Tabel 1. Peningkatan Pengetahuan Kader Sebaya Dusun Ngentak, Sleman, Yogyakarta (n=17) Aitem pertanyaan Pelatihan 1 Organ reproduksi wanita Organ reproduksi pria Personal hygiene Pelatihan 2 Infeksi menular seksual

Pre test 45.88 41.17 90.58

Post test 88.23 85.88 100

40.71

85

Sumber: data primer Terdapat peningkatan pengetahuan pada kader, namun peningkatan pengetahuan belum 100%, hal ini dikarenakan bahasa yang tidak familiar bagi mereka, untuk selanjutnya diharapkan untuk membuat istilah-istilah untuk lebih familiar bagi tahapan usia remaja. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan bahwa remaja masih bingung dengan beberapa istilah kedokteran dan mereka tidak mau mencari tahu apa yang dimaksud dari istilah tersebut.[1]

usia 15-17 tahun (43.47%), wanita (56.52%), seluruh responden belum menikah, dan pekerjaan responden masih berada pada tahap sekolah (91.30%). Tingkat pendidikan yang paling banyak adalah SMA (43.47%) dan tidak ada yang pada pendidikan SD, tingkat pendidikan yang ditempuh berbanding lurus dengan tingkat kemampuan untuk menyerap materi yang disampaikan, sehingga jika responden banyak pada tahap pendidikan menengah, maka materi dapat juga mudah diterima oleh responden.[1]

3.2 Karakteristik responden Karakteristik responden pada penelitian kali ini paling banyak pada

3.3 Pengetahuan remaja kesehatan reproduksi

mengenai

Tabel 2. Pengetahuan Responden Remaja Dusun Ngentak, Sleman, Yogyakarta Mengenai Kesehatan Reproduksi (n=23) Aitem Organ reproduksi wanita Organ reproduksi pria

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

Sebelum intervensi 41.3 51.72

Sesudah intervensi 64.36 64.36

P 0.00* 0.025*

│25


Aitem

Sebelum intervensi 21.83 95.6

Infeksi menular seksual Terjadinya kehamilan melalui kegiatan seksual Kontrasepsi yang dapat mencegah terjadinya kehamilan 82.60 Kondom 86.95 Pil kb 4.34 IUD 8.69 Tubektomi 0 Vasektomi 39.13 Penanggalan kalender berdasarkan masa 4.34 subur dan tidak Onani/masturbasi Sumber: data primer Pada data diatas didapatkan beberapa pengaruh yang signifikan dari intervensi yang diberikan dari sebelum adanya intervensi dan setelah adanya intervensi. Beberapa yang signifikan secara statistik adalah pengetahuan tentang organ reproduksi wanita, pria, pengetahuan mengenai kontrasepsi yang dapat mencegah kehamilan yaitu IUD, tubektomi, vasektomi, dan penanggalan kalender berdasarkan masa subur dan tidak. Masih banyak remaja yang menganggap bahwa terjadinya konsepsi juga karena oral sex,[9] dengan adanya kader sebaya membuat mereka lebih dapat mengungkapkan pertanyaan yang masih banyak ingin mereka ketahui.[6] Terjadinya penurunan pada penanggalan kalender berdasarkan

Sesudah intervensi 24.13 100

P

86.95 95.65 82.60 86.95 86.95 21.73 17.39

0.328 0.162 0.00* 0.00* 0.00* 0.043* 0.083

0.083 0.328

masa subur karena responden mengakui bahwa mereka menjadi kebingungan dengan konsep tersebut, karena diharuskan untuk melakukan perhitungan-perhitungan berdasarkan masa menstruasi, banyak responden yang pria tidak paham dengan maksud ini, hal ini sejalan dengan penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan di Ethiopia bahwa anak lelaki tidak mengetahui adanya kontrasespsi dengan cara penanggalan kalender.[8] Rendahnya pengetahuan remaja mengenai infeksi menular seksual merupakan suatu awal bahwa remaja akan mulai mencoba melakukan hubungan seks pra-nikah dan awal terjadinya HIV-AIDS.[6] 3.4 Sumber informasi kesehatan reproduksi

mengenai

Tabel 3. Sumber Informasi Responden Remaja Dusun Ngentak, Sleman, Yogyakarta Mengenai Kesehatan Reproduksi (n=23) Aitem Buku, majalah, koran TV, video, CD Edukator sebaya Petugas kesehatan Teman Internet Orang tua Pacar Tokoh masyarakat

Sebelum intervensi 60.86 56,52 26.08 47.82 34.78 69.56 39.13 26.08 21.73 Sumber: data primer

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

Sesudah intervensi 65.21 52.17 91.30 56.52 43.47 91.30 39.13 34.78 21.73

P 0.328 0.328 0.00* 0.162 0.162 0.022* 0.162 -

│26


Pencarian informasi sangat berhubungan dengan bagaimana cara remaja tersebut mendapatkan informasi dan berasal darimana(10), intervensi yang diberikan yaitu berupa informasi mengenai sumber darimana saja yang dapat diakses oleh remaja untuk mendapatkan informasi dan mengakses informasi dengan cara yang benar. Intervensi kader sebaya dijadikan sebagai bagian dari sumber informasi sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan bahwa hal ini berkaitan dengan edukasi pada remaja bahwa ada yang disebut dengan kader sebaya dan mereka dapat mengakses informasi tersebut.[7] Hasil signifikan meningkat yaitu pada kader sebaya dan juga

pencarian internet. Kader sebaya sebagai intervensi yang digunakan disini berhasil membuat remaja merasa nyaman untuk mencari informasi kepada peer-groupnya[7], remaja mengatakan bahwa merasa tidak nyaman berbicara dengan orang tua[7] dan juga sebaliknya, orang tua juga merasa tidak nyaman berbicara pada anaknya mengenai masalah masturbasi dan menstrusi[1], sehingga untuk penelitian berikutnya dapat dilakukan untuk mengetahui sejauh apa peran orang tua terhadap edukasi pada remaja. 3.5 Pelayanan

kesehatan

reproduksi

Tabel 4. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Responden Remaja Dusun Ngentak, Sleman, Yogyakarta Mengenai Kesehatan Reproduksi (n=23) Aitem

Sebelum intervensi 26.08 4.34

Terdapatnya fasilitas pelayanan kesehatan Kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan Alasan berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan 34.78 Edukasi 4.34 Pemeriksaan HIV 4.34 KK 4.34 Pemeriksaaan kehamilan 0 Vaksinasi 21.73 Kontrasepsi 0 Dukungan mental 52.17 Keinginan untuk kembali ke fasilitas pelayanan 65.21 kesehatan Kenyamanan di fasilitas pelayanan kesehatan Sumber: data primer

Sesudah intervensi 65.21 21.73

P

34.78 4.34 4.34 4.34 0 21.73 0 56.52 73.91

0.328 0.162

0.001* 0.022*

Pada hasil perilaku remaja dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan yaitu di lihat pada aitem melakukan kunjungan, keinginan untuk kembali dan kenyaman di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut.[1] Hasil signifikan pada kunjungan ke dasilitas pelayanan kesehatan karena banyak responden yang masih belum memanfaatkan dan penasaran untuk datang ke pelayanan kesehatan, hal ini juga dijelaskan pada penelitian sebelumnya bahwa remaja memiliki keinginan untuk melakukan kunjungan ke fasilitas kesehatan

untuk bertanya mengenai kesehatan reproduksi tetapi karena pelayanan yang tidak baik dan jam kerjanya sama seperti jam remaja masuk sekolah sehingga mereka enggan untuk memanfaatkan pelayanan tersebut.[11] Pada hasil juga diperlihatkan bahwa keinginan untuk kembali ke fasilitas pelayanan kesehatan juga masih rendah, hal ini karena jam pelayanan dan pelayanan yang tidak nyaman[11], sehingga diperlukan pembenahan bagi pelayanan kesehatan untuk lebih serius menangani edukasi

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│27


kesehatan remaja.

reproduksi

kepada

4. KESIMPULAN 1. Terjadi peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi setelah adanya intervensi kader sebaya dengan signifikan yaitu pengetahuan tentang organ reproduksi wanita (p=0.00), organ reproduksi laki-laki (p=0.025), kontrasepsi yang dapat mencegah kehamilan yaitu IUD (p=0.00), tubektomi (p=0.00), vasektomi (p=0.00), dan penanggalan kalender berdasarkan masa subur (p=0.043). 2. Terjadi peningkatan perilaku pencarian sumber informasi setelah adanya intervensi kader sebaya dengan signifikan yaitu edukator sebaya (p=0.00) dan internet (p=0.022). 3. Terjadi peningkatan perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan reproduksi setelah adanya intervensi kader sebaya dengan signifikan yaitu tahu akan adanya pelayanan kesehatan reproduksi (p=0.001) dan melakukan kunjungan ke pelayanan kesehatan reproduksi (p=0.022).

5. SARAN 1. Perlu adanya kesadaran bahwa remaja sangat membutuhkan informasi yang benar dan teapt mengenai kesehatan reproduksi. 2. Perlu adanya pengembangan program kader sebaya di daerah yang lainnya, dan keberlanjutan program di daerah tersebut. 3. Perlu adanya pembenahan pelayanan kesehatan reproduksi di daerah agar remaja lebih mudah dalam memanfaatkan pelayanan tersebut. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam terwujudnya penelitian ini: 1. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Gadjah Mada, terutama pada segenap personel Departemen Keperawatan Komunitas.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

2.

Galih Putri, S.Kep.,Ns dan Ria Nur Fadhillah, S.Kep., Ns sebagai tim dalam peminatan Profesi Komunitas.

DAFTAR PUSTAKA 1. Hull, Terence, Eddy H, Ninuk W. ‘‘Peer’’ Educator Initiatives for Adolescent Reproductive Health Projects in Indonesia. Australia: Reproductive Health Matters 2004; 12(23):29–39. 2. Noble J. et al. The World's Youth. Washington, DC: Population Reference Bureau, Inc; 2006. 3. Blum RW, Mmari Kristin Nelson. Risk and Protective Factors Affecting Adolescent Reproductive Health in Developing Countries. Department of Population and Family Health Sciences Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health and Department of Child and Adolescent Health and Development (CAH) World Health Organizatio; 2005. 4. Laski, L and Sylvia W. Addressing Diversity in Adolescent Sexual and Reproductive Health Service. International Journal of Gynecology and Obstetrics 110 (2010) S10-S12. 5. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasioan Penanganan Infeksi Menular Seksual. 2013: Jakarta. 6. International Planned Parenthood Federation. Peer to Peer: Creating Successful Peer Education Program. Western Hemisphre Region; 2004. 7. Ming, Xiao, Zhou, Yan, Yin, Mao, Huang Bo Tao.. Study of Peer-led Intervention Reproductive Health Education and AIDS Prevention in Joint Venture Factories in Kunshan Country. China: Journal of Reproduction & Contraception 2007; 18(2):133-144. 8. Tegegn, Ayalew, Meseret Y, Yeshigeta G. Reproductive Health Knowledge and Attitude among Adolescents: A community based study in Jimma Town, Southwest Ethiopia. Ethiop. J. Health Dev. 2008; 22(3). 9. Wynn L, Angel MF, James T. Can I Get Pregnant from Oral Sex? Sexual Health Misconceptions in E-mails to a Reproductive Health Website. Contraseption 79 (2009) 91-97.

│28


10. Coleman, L and Adrienne T. Sexual Health Knowledge, Attitudes and Behaviours among an Ethically Diverse Sample of Young People in The UK. Health Education Journal 2007 66:68.

11. Decat P, Erica N, Sarah DM, et al. Community Embedded Reproductive Health Interventions for Adolescents in Latin America: Development and Evaluation of a Complex Multi-Centre Intervention. BMC Public Health 2013, 13:31.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│29


Penelitian

THE EFFECT OF DRAWING AND COLORING THERAPY TO DECREASE ANXIETY LEVEL FOR PRE SCHOOL AGE AT AR RAHMAN PEDIATRIC WARD IN PKU MUHAMMADIYAH BANTUL HOSPITAL Widiyono1 1Magister

Keperawatan peminatan Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Kedokteran UGM ABSTRAK Pendahuluan : Hospitalisasi adalah proses yang mengharuskan anak untuk dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan terapi hingga sembuh dan kembali ke rumah dengan alasan direncanakan ataupun darurat. Hospitalisasi dapat menyebabkan kecemasan. Reaksi kecemasan tersebut dapat ditunjukkan dengan cara seperti : menangis, takut, agresive, selalu bertanya, kehilangan kendali, bingung, menolak untuk makan dan menolak tindakan invasif. Pelaksanaan perawatan bagi anak tidak lepas dari pemberian terapi bermain sebagai upaya menurunkan kecemasan, meningkatkan perilaku kooperatif dan merangsang pertumbuhan dan perkembangan anak selama menjalani perawatan di rumah sakit. Salah satu intervensi yang dianjurkan adalah terapi bermain dengan menggambar dan mewarnai. Tujuan : Penelitian ini untuk mengetahui gambaran mengenai pengaruh terapi bermain dengan menggambar dan mewarnai terhadap tingkat kecemasan pada anak usia pra sekolah di Ruang Anak Ar Rahman RS PKU Muhammadiyah Bantul. Metode : Merupakan jenis penelitian pre eksperimental dengan rancangan pra-pasca test dalam satu kelompok tanpa kelompok kontrol. Total sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 anak usia pra sekolah dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan sebelum dan sesudah terapi bermain menggunakan lembar kecemasan dan dianalisa dengan uji wilcoxon signed rank test dengan α = 0.05. Hasil : Analisa wilcoxon signed rank test menunjukkan signifikansi p= 0.00. Ini berarti ada pengaruh pemberian terapi bermain dengan menggambar dan mewarnai terhadap tingkat kecemasan pada anak usia pra sekolah di Ruang Anak Ar Rahman RS PKU Muhammadiyah Bantul. Kesimpulan : Terjadi penurunan kecemasan pada anak usia pra sekolah yang mengalami hospitalisasi setelah diberi terapi bermain daripada sebelum diberi terapi bermain. Kata kunci : terapi bermain, kecemasan, usia pra sekolah ABSTRACT Introduction : Hospitalization is a process due to an arranged or emergency reason where children should stay at hospital, get therapy, and care until they may go home. During the process, children could have traumatic experience and heavy anxiety. The reaction of anxiety due to hospitalization are : crying, fear, agressive, often ask, lost control, confuse, reject to eat and reject on invasive procedure. Execution of nursing treatment to child couldn’t be quit of give playing therapy as effort to decrease anxiety, increase co-operative behavior to child and as stimulasi for growth and development of child during experiencing treatment in hospital. One of the recommended interventions was play therapy use drawing and coloring.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│30


Aim : The objective of the study was to get illustration influence of drawing and coloring therapy to anxiety level for pre school age at Ar Rahman Pediatric Ward in PKU Muhammadiyah Bantul Hospital. Method : The study was a pre experiment using one group pre-post test study design. A total 30 respondents were selected by means of purposive sampling. Data were collected using pre school anxiety cause hospitalization observation guidance before and after drawing and coloring therapy, then anaylized used Wilcoxon signed ranks with significant value < α=0,05. Results : Results of analysis with Wilcoxon signed ranks test showed that significant value was < α=0,05. Indicated that there was significant influence of drawing and coloring therapy on anxiety level for pre school age was hospitalization at Ar Rahman pediatric ward in PKU Muhammadiyah Hospital. Conclution : There was effect of drawing and coloring therapy to decrease anxiety level in pre school age at Ar Rahman Pediatric Ward in PKU Muhammadiyah Bantul Hospital. Keyword : play therapy, anxiety, pre school age

1.

PENDAHULUAN Hospitalisasi merupakan krisis utama pada anak usia pra sekolah (usia 3-5 tahun) karena stress akibat perubahan pada status kesehatan maupun lingkungan dalam kebiasaan sehari-hari.[1] Bagi anak usia pra sekolah, menjalani hospitalisasi dapat menimbulkan kecemasan karena anak merasa kehilangan lingkungan yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang dan menyenangkan.[2] Pada masa pra sekolah reaksi anak terhadap hospitalisasi adalah menolak makan, sering bertanya, menangis perlahan, adanya perasaan malu dan takut, reaksi agresif, marah, berontak, tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan dan tidak mau bekerja sama dengan perawat.[3] Oleh karena itu sangat diperlukan intervensi untuk mengurangi kecemasan akibat hospitalisasi, sehingga anak menjadi kooperatif dan dapat menunjang proses penyembuhan.[4] Intervensi yang penting dilakukan perawat terhadap anak berprinsip untuk meminimalkan stressor, mencegah perasaan kehilangan, meminimalkan perasaan rasa takut dan nyeri terhadap perlukaan, serta memaksimalkan perawatan di rumah sakit melalui terapi bermain.[2] Terapi bermain mempunyai manfaat untuk anak yang dirawat di rumah sakit sebagai fasilitas penguasaan situasi yang tidak familiar, membantu anak untuk mengurangi stress terhadap perpisahan, memberi kesempatan bagi anak untuk mempelajari bagian-bagian tubuh dan fungsinya serta penyakitnya sendiri, memperbaiki pemahaman yang

salah tentang tujuan penggunaan peralatan dan prosedur medis serta memberi peralihan dan relaksasi.[5] Penelitian yang berhubungan dengan terapi bermain pernah dilakukan oleh Herliana[6] yang menunjukkan ada pengaruh pemberian terapi bermain terhadap peningkatan perilaku kooperatif anak pra sekolah di IRNA RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Selain itu penelitian Lisyorini[7] juga menunjukkan ada pengaruh terapi bermain terhadap kemampuan sosialisasi anak selama menjalani perawatan di IRNA RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Penelitian yang lain adalah tentang “Terapi Bermain; Strategi Manajemen Nyeri dan Menstabilkan Tekanan Darah Selama Menjalani Penggantian Balutan Luka Pada Anak” oleh Kiche dan Almeida.[8] Bentuk permainan yang sesuai dengan anak usia pra sekolah salah satunya adalah menggambar dan mewarnai gambar.[9] Menggambar dan mewarnai merupakan salah satu permainan terapeutik yang biasanya dilaksanakan sebelum melakukan prosedur keperawatan pada anak, hal ini bertujuan untuk mengurangi rasa tegang dan emosi yang dirasakan anak selama prosedur keperawatan.[10] Berdasarkan penelusuran literatur dan hasil dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Ruang Anak Ar Rahman RS PKU Muhammadiyah Bantul melalui observasi, sejumlah anak usia pra sekolah menolak tindakan keperawatan yang diberikan. Hal ini disebabkan oleh kecemasan yang dialami mereka akibat prosedur

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│31


keperawatan. Perawat di sini jarang bahkan tidak pernah memberikan terapi bermain. Dari uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh terapi bermain dengan menggambar dan mewarnai terhadap tingkat kecemasan pada anak usia pra sekolah di Ruang Anak Ar Rahman RS PKU Muhammadiyah Bantul.

2. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian pre eksperimental design dengan menggunakan rancangan prapasca test dalam satu kelompok atau One Group Pretest–Postest design without control.[11] Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Perawatan Anak Ar Rahman Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bantul Yogyakarta selama 6 minggu pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei 2012. Populasi pada penelitian ini adalah anak usia pra sekolah dengan umur 3-5 tahun. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara non probability sampling dengan teknik purposive sampling.[12] Jumlah sampel sebanyak 30 anak usia pra sekolah. Adapun kriteria inklusi adalah anak usia 3-5 tahun yang beraktifitas di Ruang Perawatan Anak tersebut, anak dapat diajak berkomunikasi, bersedia menjadi responden, pasien anak dari kelas perawatan II dan III dirawat oleh dokter dan perawat yang sama, anak yang dirawat selama > 3 hari dan anak yang bebas dari tingkat ketergantungan orang lain. Sedangkan kriteria eksklusi adalah anak dengan retardasi mental atau anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (GPPH), pasca operasi 24 jam pertama, anak dengan fraktur, anak dengan bedrest total. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah terapi bermain dengan menggambar dan mewarnai sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat kecemasan pada anak usia pra sekolah karena hospitalisasi. Instrument yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah lembar pedoman observasi tingkat kecemasan anak usia pra sekolah selama hospitalisasi yang disusun oleh Hikmawati.[13] Data dalam penelitian ini akan dianalisis dengan uji statistik

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

Nonparametric Wilcoxon signed rank test.[14] Dikatakan ada pengaruh sesudah perlakuan atau H0 ditolak dan H1 diterima bila signifikansi p value < 0.05.[15]

3. HASIL PENELITIAN 3.1 Karakteristik Responden 1. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin: perempuan (56,7%) dan laki-laki (43,3%). 2. Karakteristik responden berdasarkan usia anak: usia 3-4 tahun (63,3%), 5 tahun (16,7%). 3. Karakteristik responden berdasarkan berapa kali pernah menjalani rawat inap: pertama kali (60%), kedua kali (40%). 4. Karakteristik responden berdasarkan lama perawatan: selama 4 hari (50,0%) dan 6 hari (3,3%). 5. Karakteristik responden berdasarkan diagnosa medis: Gastroenteritis akut (GEA) dan Kejang Demam (20%); Typus, Bronchopneumonia dan Disentri (3,3%) 3.2 Tingkat Kecemasan Anak Usia Pra Sekolah Sebelum dan Sesudah pemberian Terapi Bermain Tabel 1. Tingkat Kecemasan Sebelum diberikan Terapi Bermain Tingkat Persentase Frekuensi kecemasan (%) Ringan 1 3,3 Sedang 14 46,7% Berat 15 50,0% Total 30 100% Dari 30 anak yang menjadi subyek penelitian, sebelum diberikan terapi bermain oleh perawat sebanyak 50,0 % anak menunjukkan kecemasan berat dan sebanyak 3,3% mengalami kecemasan ringan. Tabel 2. Tingkat Kecemasan Sesudah diberikan Terapi Bermain Tingkat Persentase Frekuensi kecemasan (%) Ringan

18

60,0%

│32


4. PEMBAHASAN Mayoritas anak yang menjadi responden dalam penelitian ini berusia adalah 3-4 tahun yaitu sebesar 63,3%. Masa usia pra sekolah adalah masa bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan dan cenderung lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah untuk bersosialisasi sehingga anak akan beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Santrock(16) mengatakan bahwa anak usia pra sekolah merupakan tahap inisiatif sesuai teori psikososial Erikson dimana anak memasuki dunia sosial yang lebih luas, belajar mencari pengalaman baru secara aktif. Anak usia 3 tahun memiliki tingkat aktivitas tertinggi dalam rentang usia kehidupan manusia.[17] Sementara sistem imun anak usia 3 tahun lebih lemah jika dibandingkan dengan anak usia 4 atau 5 tahun. Ketahanan fisik pada tahap perkembangan anak masih rentan, jika anak aktif bermain pada lingkungan yang baru sementara daya tahan tubuhnya masih lemah maka anak akan cenderung lebih rentan untuk terkena penyakit.[17]

Rata-rata perawatan anak usia pra sekolah pada penelitian kali ini adalah 4 hari (50%). Hal ini dikarenakan kebiasaan masyarakat bahwa keluarga akan membawa anak yang sakit ke tempat pelayanan kesehatan setelah kurang lebih 2-3 hari karena ketika anak jatuh sakit maka akan dilakukan tindakan keperawatan di rumah terlebih dahulu. Wong[5] mengatakan keterlibatan keluarga secara langsung kepada anak yang sakit merupakan bagian dari peran keluarga sebagai sistem terbuka yang berfungsi sebagai pelindung anak, memenuhi kebutuhan anak dan mempertahankan kelangsungan hidup anak. Jenis penyakit yang banyak diderita oleh anak adalah GEA dan Kejang Demam yakni sekitar 20,0 % untuk masing-masing jenis penyakit tersebut. Banyaknya anak yang menderita diare disebabkan oleh anak yang mengeksplorasi lingkugan. Bertambahnya umur tentunya akan mencoba merasakan dan memakan jenis makanan yang baru, tapi apabila makanan tersebut tidak ada kecocokan (alergi) dengan pencernaanya akan menyebabkan anak diare, selain itu pola makan anak yang tidak baik, morfologi gigi belum matang untuk mengunyah suatu jenis makanan tertentu.[17] Kejang Demam juga penyakit yang paling banyak diderita oleh anak. Anak yang suhu badannya tinggi akan mencetuskan kejang, saat kejang sudah terjadi, barulah anak dibawa ke tempat pelayanan kesehatan. Ngastiah[18] mengatakan kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3% anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Dari tabel 1 didapat bahwa tingkat kecemasan berat mendominasi kategori kecemasan hasil penelitian ini yakni sebesar 50,0 % anak. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : Pertama, anak mengalami trauma pada tindakan keperawatan seperti pemasangan jarum infus, pemberian obat melalui vena dan pengambilan sampel darah. Tindakan keperawatan yang seperti itu merupakan tindakan yang menyebabkan perlukaan pada anak, menyebabkan rasa nyeri dan rasa

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│33

Tingkat kecemasan

Frekuensi

Persentase (%)

Sedang

11

36,7%

Berat

1

3,3%

Total

30

100%

3.3 Hasil Uji Hipotesis dengan Uji Statistik Nonparametric Wilcoxon Signed Rank Test Tabel 3. Uji Statistik Wilcoxon Signed Rank Test A. Sig. Test Statistic Z (2-t) Kecemasan (sebelum) – -4.767 .000 (sesudah) Berdasarkan tabel 3. di atas diperoleh nilai p value = 0.000 < ι = 0.05, maka H0 ditolak yang berarti ada pengaruh terapi bermain dengan menggambar dan mewarnai terhadap tingkat kecemasan pada anak usia pra sekolah di Ruang Perawatan Anak Ar Rahman RS PKU Muhammmadiyah Bantul.


sakit pada anak. Menurut Supartini[2] kecemasan meningkat ketika anak kehilangan kendali akibat adanya kelemahan fisik, rasa nyeri dan perasaan takut akan mati. Kedua, sebagian besar anak yang dirawat yaitu 60% anak baru pertama kali dirawat di rumah sakit. Kecemasan anak yang dialami disini juga disebabkan oleh anak sebelumnya tidak diorientasikan terlebih dahulu dengan lingkungan rumah sakit tempat anak dirawat dan tidak diperkenalkan dengan orang-orang yang berada di rumah sakit sehingga tingkat kecemasannya semakin meningkat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Supartini[2] bahwa pengalaman sebelumnya dan lingkungan asing merupakan penyebab kecemasan baik lingkungan fisik rumah sakit seperti bangunan atau ruang rawat, alat-alat rumah sakit, bau yang khas, pakaian putih petugas kesehatan maupun lingkungan sosial seperti sesama pasien anak maupun interaksi dan sikap petugas kesehatan itu sendiri.Ketiga adalah pembatasan aktivitas, anak lebih banyak menghabiskan waktu aktivitasnya di tempat tidur. Sesuai pernyataan Wong[5] bahwa keterbatasan fisik dan hospitalisasi merupakan stressor yang besar bagi anak. Berdasarkan tabel 2 setelah dilakukan terapi bermain terjadi penurunan kecemasan, pada responden dengan kecemasan berat sebelum intervensi sebanyak 50% setelah adanya intervensi menjadi 3.3%. Terapi bermain yang dilakukan peneliti merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi anak sehinga tercipta perasaan senang. Sesuai dengan penelitian Wong[5] bahwa terapi bermain efektif dan berfungsi untuk menfamiliarkan lingkungan rumah sakit, sehingga anak mengenal lingkungannya saat ini berada, dengan ini akan menurunkan kecemasan anak dalam hospitalisasi. Peran orang tua dalam pelaksanaan terapi bermain sangat besar. Dari 30 anak yang peneliti observasi, anak yang orang tua yang aktif ikut dalam permainan, dekat dengan anak dan selalu berusaha menghibur, penurunan reaksi kecemasan anak lebih cepat dibandingkan anak yang orang tuanya pasif. Hal ini sesuai dengan penelitian Rodhiantho[19] yang menyebutkan bahwa

semakin tinggi tingkat dukungan keluarga maka tingkat kecemasan perpisahan anak usia pra sekolah yang sedang menjalani perawatan dirumah sakit akan semakin turun. Hasil uji hipotesis menggunakan analisis uji statistik Nonparametric Wilcoxon Signed Rank Test menunjukkan ada pengaruh terapi bermain dengan menggambar dan mewarnai terhadap tingkat kecemasan anak usia pra sekolah di Ruang Perawatan Anak Ar Rahman RS PKU Muhammadiyah Bantul. Sesuai dengan Lisyorini[7] bahwa terapi bermain ternyata memberikan pengaruh terhadap kemampuan sosialisasi anak, dimana akan meningkat setelah diberikan terapi bermain. Bermain memang sangat efektif dan berfungsi untuk menbuat lingkungan rumah sakit lebih familiar untuk anak. Menurut Wong[5] dengan menggambar dan mewarnai di rumah sakit, anak akan belajar mengenal tentang sistem tubuh dengan melihat gambar, menggambar organ-organ tubuh, mewarnai dan menjelaskan pada anak organ mana yang sakit. Hasil dari observasi peneliti dan perawat pada saat perawat masuk ke ruangan dan mendekati anak, reaksi paling sering muncul sebelum terapi bermain yaitu ekspresi wajah tenang, memegangi atau mendekati orang tua atau saudaranya. Sedangkan pada saat perawat melakukan pemeriksaan, melakukan tindakan yang menyakitkan (menyuntik, mengambil darah, merawat luka, memasang infus) reaksi yang paling sering muncul pada anak yaitu ekspresi wajah tegang, anak menangis, memegang erat atau memanggil-manggil jika orang tuanya jauh dan merontaronta. Setelah diberikan terapi bermain pada saat perawat masuk ke ruangan dan mendekati anak, reaksi anak tidak lagi menunjukkan lagi respon seperti wajah tenang, memegangi atau mendekati orang tua atau saudaranya. Sedangkan pada saat perawat melakukan pemeriksaan, melakukan tindakan yang menyakitkan (menyuntik, mengambil darah, merawat luka, memasang infus) ekspresi wajah tegang, anak menangis, memegang erat atau memanggil-manggil jika orang tuanya jauh dan meronta-ronta dari selalu

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│34


menjadi sering muncul. Sementara ketika perawat memberi makan, obat dan mengajak bercakap-cakap anak tidak lagi diam dan lebih kooperatif. Dengan adanya terapi bermain reaksi kecemasan yang muncul pada anak dapat berkurang dan meminimalkan efek hospitalisasi.

5. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian diketahui ada pengaruh terapi bermain terhadap penurunan tingkat kecemasan anak usia pra sekolah yang dirawat di Ruang Perawatan Anak Ar Rahman RS PKU Muhammadiyah Bantul. Hendaknya disediakan fasilitas permainan bagi pasien anak yang dirawat di rumah sakit dan perawat lebih banyak memperhatikan pelaksanan terapi bermain sebagai salah satu intervensi penting yang tidak boleh diabaikan dalam pemberian asuhan keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA 1. Rudolp, A. M. Rudopl Pediatric. Edisi 21. New York: McGraw-Hill; 2002. 2. Supartini, Y. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC; 2004. 3. Jovan. Hospitalisasi. Diambil pada tanggal 30 Desember 2011. Available: http://jovandc.multiply.com ; 2007. 4. Adriana, D. Tumbuh Kembang dan Terapi Bermain Pada Anak. Jakarta: Salemba Medika; 2011. 5. Wong, D.L. Pedoman Keperawatan Pediatrik. Editor Sari Kurnianingsih. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2004. 6. Herliana, L. Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Tingkat Kooperatif Selama Menjalani perawatan pada Anak Pra Sekolah di IRNA RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. FK UGM Yogyakarta: Tidak Dipublikasikan; 2001. 7. Lisyorini, D. Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Kemampuan Sosialisasi Anak Selama Menjalani Perawatan IRNA RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Perpustakaan FK UGM Yogyakarta. Jurnal Ilmu Keperawatan. 2006; 02:111-115.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

8. Kiche, M.T. and Almeida, F.A. Therapeutic toy: strategy for pain management and tension relief during dressing change in children. Acta Paul Esferm. 2007; 22: 125130. 9. Wong, D.L. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC; 2009. 10. Suparto, H. Mewarnai Gambar Sebagai Metode Penyuluhan Untuk Anak; Study Pendahuluan Pada Program Pemulihan Anak Sakit Irna Rsup Dr Soetomo Surabaya. at http://pediatrik.com/indonesia-jawa timur surabaya; 2003. 11. Hidayat, A. A. A. Metode Penelitian Keperawatan Dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika; 2007. 12. Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis. Jakarta: Salemba Medika; 2003. 13. Hikmawati, U. Pengaruh Terapi Bermain terhadap Kecemasan Anak Usia Pra Sekolah Selama Perawatan Pada Anak Usia Pra Sekolah di IRNA II Bangsal Perawatan Anak RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta. FK UGM Yogyakarta: Tidak Dipublikasikan; 2000. 14. Riwidikdo, H. Statistik kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendekia Press; 2006. 15. Dahlan, M. S. (2008). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. 16. Santrock, J. W. (2011). Masa Perkembangan Anak (Children). Jilid 2. Edisi 11. Jakarta: Salemba Humanika. 17. Hidayat, A. A. A. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika. 18. Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta: EGC. 19. Rondhianto. (2004). Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kecemasan Perpisahan Akibat Hospitalisasi Pada Anak Usia Pra Sekolah Di Bangsal Anak RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. FK UGM Yogyakarta: Tidak Dipublikasikan.

│35


Tinjauan Pustaka

DENGUE FEVER SCORING SYSTEM (DERINGS), STRATEGI MANDIRI DETEKSI DINI DEMAM DENGUE Nuzul Sri Hertanti, S.Kep., Ns.1, Erawati Werdiningsih, S.Kep., Ns.1, Haryani, S.Kp., M.Kes2 1Program

Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK Pendahuluan : Demam Dengue (DD) merupakan infeksi yang umum terjadi di Asia dan seringkali ditandai dengan penyakit demam akut yang tidak jelas etiologinya. Keluarga sering mengabaikan gejala demam yang muncul. Biasanya pasien dibawa ke layanan kesehatan dalam kondisi yang sudah buruk, sehingga diperlukan pencegahan dan deteksi dini yang berfokus pada masyarakat. Tujuan : memberikan gagasan deteksi dini DD agar mendapatkan penanganan yang tepat dan segera. Metode : literatur review digunakan dalam mengembangkan gagasan terkait program DeringS. Pembahasan : DeringS merupakan suatu program alternatif sebagai usaha deteksi dini terjadinya DD. Program DeringS mencakup deteksi dini dengan lembar skoring dan pemberian edukasi oleh perawat atau kader posyandu. Saat ada anggota keluarga yang demam (biasanya anak-anak), anggota keluarga yang lain dapat melakukan penilaian/skoring sesuai petunjuk. Jika total skor mencapai ≥ 6 maka klien diminta untuk segera mengunjungi puskesmas yang terdaftar pada clinician listed di leaflet untuk mendapatkan pemeriksaan lanjutan. Klien dengan skor ≥ 6 merupakan klien yang dicurigai mengalami DD. Kesimpulan : Program ini dapat menjadi suatu inovasi solutif yang mudah, murah dan mandiri untuk mendeteksi dini DD. Kata kunci : Demam Dengue, deteksi dini, pemeriksaan mandiri, infeksi tropis. ABSTRACT Introduction : Dengue Fever (DF) is an infection generally happened in Asia and it has signed by unidentified acute fever. People ignore the fever. The patient usually brought to health center in bad condition, so that needed prevention and early detection program that focused to people. Aim : to implement DF early detection so that the patient gets right and fast intervention. Methods : The literature review used in developing ideas of DeringS program. Discussion : DeringS is an alternative program to DF early detection. The program included early detection with scoring sheet and education given by nurse or kader posyandu. When one of family member get fever, the family gives scoring depend on guideline. If the total score of DeringS is ≥ 6, the family brings the patient to the primary health center (puskesmas) to get advance examination soon. Patient with score ≥ 6 is suspicious DF. Conclusion : This program can be an innovative solution which simple, inexpensive and independent for early detection of DF. Keywords : Dengue Fever, early detection, independent examination, tropical infection.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│36


1. PENDAHULUAN Demam Dengue (DD) pada dasarnya kurang berbahaya daripada Demam Berdarah Dengue (DBD). Akan tetapi DD berulang dapat mengakibatkan terjadinya DBD. Demam dengue dan bentuk seriusnya, seperti DBD dan sindroma syok dengue, merupakan penyakit yang telah merugikan manusia pada lebih dari 100 negara wilayah tropis dan subtropis di seluruh dunia, termasuk Indonesia.[1] Pada tahun 2013, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa kasus DBD di dunia semakin meningkat.[2] Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya.[3] Ditinjau dari sektor kesehatan, DD dapat berkembang menjadi DBD yang menyebabkan pendarahan luar biasa dan dapat menyebabkan syok bahkan kematian. Diperkirakan 500.000 orang dengan dengue berat membutuhkan hospitalisasi setiap tahunnya, proporsi terbanyak adalah anak-anak, dan sekitar 2.5% diantaranya meninggal.[4] Kendala utama dalam pelayanan penderita DBD adalah keterlambatan keluarga membawa penderita ke sarana pelayanan kesehatan, sehingga memperbesar risiko terjadinya kematian.[5] Menurut WHO[6], dilaporkan bahwa case fatality rate di Indonesia terutama di daerah perkotaan masih tinggi hingga mencapai 3-5%. Pada dasarnya tidak ada penanganan spesifik untuk DD, tetapi deteksi dini dan akses pada pelayanan kesehatan yang tepat dapat menurunkan fatality rates di bawah 1%.[4] Demam Dengue merupakan infeksi yang umum terjadi di Asia dan seringkali ditandai dengan penyakit demam akut yang tidak jelas etiologinya.[7] Banyak manifestasi klinis dan keabnormalan hasil laboratorium pada DD yang juga ditemukan pada penyakit infeksi lain, sehingga terkadang keluarga mengabaikan gejala demam yang muncul dan dibawa ke layanan kesehatan dalam kondisi yang sudah buruk.[8] Oleh karena itu, perlu diidentifikasi perbedaan karakteristik DD dengan penyakit endemis tropis yang lain sehingga dapat dilakukan tindakan deteksi dini dan penanganan segera.[9] Pemberantasan dengue harus melibatkan peran serta masyarakat

bukan hanya mendesak peran tunggal tenaga kesehatan. Semakin tidak menentunya keadaan cuaca juga turut mempersulit prediksi lonjakan kasus sehingga salah satu upaya terpenting ialah pencegahan dan deteksi dini yang berfokus pada masyarakat.[3] Dengue Fever Scoring System (DeringS) merupakan suatu program alternatif sebagai usaha deteksi dini terjadinya DD. Program ini diharapkan mampu mendukung program pemerintah untuk menurunkan kejadian luar biasa (KLB) DBD. Selain itu, program ini juga akan lebih melibatkan masyarakat untuk peduli dan mampu mengenali tanda dan gejala terjadinya DD. Melalui program DeringS, masyarakat yang berisiko dilatih untuk peka dan mampu mengontrol risiko sehingga tidak berujung pada komplikasi, peningkatan beban ekonomi, serta kematian.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│37

2. METODE Metode penulisan yang digunakan dalam mengembangkan gagasan Pemeriksaan Mandiri Dengue Fever Scoring System (DeringS) adalah menggunakan literature review. Literatur yang digunakan sebagai landasan teori didapatkan dari text book maupun jurnal. Jurnal yang mendukung penulisan ini antara lain berjudul Dengue Fever Scoring System : New Strategy for the Early Detection of Acute Dengue Virus Infection in Taiwan (Chang et al, 2009); Distinguishing dengue fever from other infections on the basis of simple clinical and laboratory features: application of logistic regression analysis (Chadwick, 2006); dan Sensitivity and specificity of immunocytochemical assay for detection of Dengue virus 3 infection in mosquito (Widiastuti, 2011).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Analisis Kondisi Terkini Saat ini pemeriksaan laboratorium dipercaya sebagai alat pendeteksi pasti yang cepat untuk mengetahui infeksi virus Dengue. Pemeriksaan laboratorium tersebut dapat dikelompokkan dalam 3


golongan pemeriksaan, yaitu isolasi dan identifikasi virus, deteksi antigen, dan tes serologi. Metode reverse transcription polymerase chain reaction (PCR) dinyatakan sebagai pemeriksaan yang sangat sensitif dan spesifik serta dapat mendeteksi viremia oleh virus Dengue pada hari kedua demam, namun hanya laboratorium tertentu saja yang dapat melakukan metode diagnosis molekular ini.[10,11] Selain itu, masyarakat melakukan pemeriksaan tersebut saat kondisi sudah parah dan pemeriksaan dilakukan sebagai prosedur indikasi anjuran dokter. Jika dianalisis dari segi keekonomisan, biaya untuk melakukan pemeriksaan dengan metode reverse transcription PCR sangat mahal, sehingga sulit untuk dijadikan sebagai metode pendeteksi dini infeksi Dengue untuk semua lapisan masyarakat. Diperlukan suatu metode pendeteksi infeksi Dengue yang dapat digunakan oleh semua lapisan masyarakat. 3.2 Program Dengue Fever Scoring System (DeringS) Program Dengue Fever Scoring System (DeringS) merupakan suatu strategi yang mudah, murah, dan mandiri guna deteksi dini DD pada masyarakat. Program ini sebagai bentuk kombinasi health promotion dan community empowerment terhadap DD pada masyarakat yang berisiko. Tujuan dari program ini adalah untuk melaksanakan deteksi dini DD agar mendapatkan penanganan yang tepat dan segera. 3.3 Sasaran Program Dengue Fever Scoring System (DeringS) Sasaran program ini adalah seluruh masyarakat yang berada di daerah berisiko terjadinya DD maupun DBD. Masyarakat dapat mengakses layanan ini melalui puskesmas maupun kader kesehatan setempat.

oleh masyarakat secara mandiri di rumah masing-masing. Pihak utama yang terlibat dalam pelaksanan program ini antara lain masyarakat, kader kesehatan, perawat, dan dokter. Masyarakat diharapkan mampu melakukan pemeriksaan mandiri untuk deteksi dini DD pada anggota keluarganya sehingga tidak terjadi keterlambatan penanganan. Jadi ketika ada salah seorang anggota keluarga yang mengalami demam maka anggota keluarga yang lain diharapkan mampu untuk melakukan tindakan deteksi dini. Tujuan dari deteksi dini mandiri ini adalah untuk mengetahui apakah demam yang dialami merupakan DD atau demam akibat gejala dari penyakit yang lainnya. Kader kesehatan dalam program ini berperan sebagai 1) penyalur informasi dari puskesmas ke masyarakat sasaran; 2) mengikuti sosialisasi program DeringS; 3) melakukan pencatatan dan evaluasi terkait hasil program DeringS yang kemudian akan dilaporkan kepada pihak puskesmas khususnya perawat komunitas. Tugas perawat dalam program ini antara lain sebagai edukator yaitu 1) pemberi informasi/sosialisasi terkait program DeringS baik kepada kader maupun masyarakat; 2) perawat memberikan pendidikan kesehatan mengenai dengue; 3) perawat memberikan klarifikasi terkait hasil interpretasi skoring; 4) perawat bersama-sama dengan dokter dalam pendampingan perawatan, pemeriksaan lanjutan dan atau pengobatan yang dijalani pasien. Dalam program ini, dokter bertugas untuk 1) melakukan pemeriksaan lanjutan terkait kondisi pasien; 2) memberikan rujukan untuk pemeriksaan diagnostik atau pemeriksaan laboratorium yang lengkap jika diperlukan; 3) memberikan pengobatan yang sesuai dengan kondisi peserta program.

3.4 Pelaksana/Pihak yang Terlibat Pelaksanaan program ini (pemeriksaan mandiri) dilakukan

3.5 Gambaran Program Dengue Fever Scoring System (DeringS) Program yang ditawarkan DeringS antara lain :

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│38


1. Deteksi Dini Klien melaksanakan DeringS di rumah masing-masing secara mandiri setelah mendapatkan informasi mengenai program tersebut. Program DeringS dilakukan untuk menilai apakah demam yang dialami merupakan DD atau bukan sehingga dapat dideteksi secara dini. Skoring dilakukan oleh salah satu anggota keluarga yang dinilai mampu. Sebelum melakukan pemeriksaan mandiri, klien harus sudah membaca leaflet dan memahami prosedur program tersebut. Sehingga klien dapat dengan mudah mengikuti prosedur atau langkah-langkah DeringS sebagai berikut : 1) Klien mendapatkan leaflet melalui puskesmas atau posyandu. Leaflet berisi mengenai pengertian DD dan DBD, cara penyebaran DD dan DBD, gejala yang tampak pada penderita, perawatan yang diperlukan oleh penderita, kolom skoring, serta petunjuk pengisian. 2) Saat ada anggota keluarga yang demam (biasanya anak-anak), anggota keluarga yang lain dapat melakukan penilaian/skoring sesuai petunjuk dengan mengisi kolom yang tertera pada leaflet.

3) Selanjutnya klien menjumlahkan skor pada masing-masing kolom dan membuat total skor. Jika total skor mencapai ≥ 6 maka klien diminta untuk segera mengunjungi puskesmas yang terdaftar pada clinician listed di leaflet untuk mendapatkan pemeriksaan lanjutan. Klien dengan skor ≥ 6 merupakan klien yang dicurigai mengalami DD. 2. Edukasi Masyarakat dapat memanfaatkan layanan edukasi dan konsultasi. Pemberi edukasi adalah perawat atau kader posyandu, sehingga edukasi dapat diperoleh di puskesmas atau posyandu. Edukasi yang diberikan antara lain meliputi pengertian DD dan DBD, cara penyebaran DD dan DBD, gejala yang tampak pada penderita, perawatan yang diperlukan oleh penderita, peningkatan kewaspadaan terutama saat musim hujan, serta penguatan program pemerintah yang lainnya seperti halnya program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M plus.

Masyarakat pengunjung puskesmas/posyandu Mengambil leaflet Mendapat edukasi program Deteksi dini di rumah mengisi kolom skoring Skor DeringS ≥ 6 Berkunjung ke puskesmas Klarifikasi interpretasi skor Pemeriksaan lanjutan

Rujukan cek lab Penanganan medis

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│39


Berdasarkan gambar dijelaskan alur teknis pelaksanaan program DeringS oleh masyarakat dari awal mereka mendapatkan sosialisasi hingga mendapatkan penanganan medis yang sesuai dengan kondisi pasien. Salah satu bentuk sosialisasi program ini dilakukan melalui leaflet yang dibagikan pada pasien saat mereka berkunjung ke puskesmas. Selain itu, sosialisasi program ini juga dapat dilakukan dengan perantara kader-kader kesehatan yang ada di masing-masing daerah melalui kegiatan posyandu. Kader kesehatan akan menghimbau masyarakat untuk datang ke puskesmas guna mengetahui lebih lanjut program DeringS. Leaflet yang dibagikan di puskesmas terdiri atas informasi mengenai pengertian DD dan DBD, cara penyebaran DD dan DBD, gejala yang tampak pada penderita, perawatan yang diperlukan oleh penderita, kolom skoring, serta petunjuk pengisian. Masyarakat mendapatkan edukasi mengenai cara pengisian dan interpretasi skor DeringS. Masyarakat dievaluasi terkait kemampuan penggunaan DeringS, selanjutnya dianjurkan untuk menggunakan DeringS dengan mengisi kolom skoring tersebut sebagai bentuk tindakan deteksi dini DD di rumah. Apabila jumlah skor DeringS ≼6, maka individu tersebut diminta segera mengunjungi puskesmas untuk mendapatkan klarifikasi interpretasi skor dari perawat dan mendapatkan pemeriksaan lanjutan dari dokter. Berdasarkan hasil pemeriksaan lanjutan yang dilakukan dokter, pasien akan mendapatkan rujukan pemeriksaan laboratorium dan penanganan medis sesuai dengan gejala yang muncul. Dengan begitu, penanganan gejala DD dapat dilakukan sejak dini sehingga perburukan gejala bahkan kematian dapat dicegah.

3.6 Analisis Program Dengue Fever Scoring System (DeringS) dengan Program Lainnya Program pemeriksaan untuk mendeteksi DD yang telah ada dapat dikelompokkan dalam tiga golongan pemeriksaan yaitu isolasi dan identifikasi virus, deteksi antigen, dan tes serologi. Isolasi dan identifikasi virus mempunyai nilai ilmiah tertinggi karena penyebab infeksi dapat dipastikan melalui metode ini.[12] Keberhasilan metode isolasi dan identifikasi virus tergantung pada kecepatan, ketepatan, pengolahan dan pengiriman bahan. Pendeteksian DD menggunakan pemeriksaan laboratorium tidak sepenuhnya bisa diaplikasikan untuk semua lapisan masyarakat. Metode laboratorium membutuhkan biaya yang banyak serta waktu yang tidak sebentar. Waktu yang diperlukan untuk isolasi cukup lama yaitu 7-14 hari, sehingga metode ini hanya dapat dilakukan oleh laboratorium tertentu saja.[12. 13. 14] Tidak semua metode laboratorium sensitif dalam mendeteksi DD. program Dengue Fever Scoring System (DeringS) yang ditawarkan peneliti fokus pada deteksi mandiri masyarakat terhadap DD melalui check list sistem skoring yang mencakup komponen epidemiologi, gejala klinis dan diagnosis pembeda (differential diagnosis). Diharapkan dengan adanya DeringS, masyarakat tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk melakukan pemeriksaan laboratorium yang belum pasti manifestasi gejalanya mengarah pada DD. Program DeringS bukanlah sebagai pengganti metode laboratorium dalam mendeteksi DD. Program ini sebagai program early detection sebelum masyarakat perlu dirujuk untuk melakukan pemeriksaan laboratorium. Kelebihan yang diunggulkan program DeringS mencakup 3M yaitu 1) mudah; 2) murah; dan 3) mandiri.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│40


3.7 Sintesis Penerapan Program Dengue Fever Scoring System (DeringS) Analisis yang telah dijabarkan oleh peneliti terkait keunggulan DeringS dibandingkan dengan program deteksi dini lainnya dapat memberikan gambaran kemungkinan program DeringS untuk diterapkan sebagai program deteksi dini DD yang mudah, murah, dan mandiri di semua lapisan masyarakat Indonesia. Program sejenis telah berhasil diterapkan di negara Taiwan. Penelitian Chang et al.[9], menunjukkan bahwa sistem skoring dengan lembar check list sangat membantu dalam deteksi dini DD sebelum individu memeriksakan diri ke tempat pelayanan kesehatan. Lembar skoring DeringS mengadopsi dari Chang et al.[9] yang telah digunakan di kalangan masyarakat Taiwan. Lembar skoring tersebut memiliki nilai sensitifitas sebesar 90.7%, spesifisitas 86.9%, nilai prediktif positif 81.4%, dan nilai prediktif negatif 93.6%, sehingga lembar skoring DeringS tidak hanya lembar skoring sembarangan. Sintesis penerapan program DeringS di kalangan masyarakat Indonesia dapat dilakukan. Hal ini didasari oleh karakteristik masyarakat yang lebih menyukai sesuatu yang mudah dan murah. Kemudahan dan sifat ekonomis menjadi poin penting dalam kehidupan masyarakat karena dengan kemudahan membuat seseorang senang hati dalam melakukan sesuatu dan dengan keekonomisan membuat seseorang semakin yakin dalam melakukan atau menggunakan sesuatu. Program DeringS menjawab keinginan masyarakat sesuai dengan karakteristik unik yang mereka miliki. Melalui prinsip 3M yaitu mudah, murah, dan mandiri peneliti optimis program DeringS dapat diterapkan dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.

4. KESIMPULAN Pemeriksaan Mandiri Dengue Fever Scoring System (DeringS) merupakan salah satu program inovatif yang solutif dalam mendeteksi dini kejadian Demam Dengue pada masyarakat khususnya yang berada di daerah yang berisiko tinggi. Program ini mudah dilakukan, tidak memerlukan biaya yang mahal (murah) dan berguna sebagai upaya preventif, serta mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam melakukan deteksi dini Demam Dengue secara mandiri. Teknik implementasi program ini terwujud dalam pemberian edukasi, pemberian leaflet, pemeriksaan mandiri di rumah, serta pelayanan lanjutan di Puskesmas. Hasil yang diharapkan dari program ini adalah meningkatkan kepekaan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya deteksi dini Demam Dengue agar tidak terjadi perburukan kondisi yang menyebabkan kematian. Penulis optimis dengan adanya intergritas dukungan dari berbagai pihak terkait tersebut, dapat menjadikan DeringS sebagai program inovatif dan solutif dalam deteksi dini DD. Kekonsistenan penerapan program ini mampu menjadi media promotif dan preventif terhadap perburukan kondisi kasus DD, sehingga dapat mengontrol angka kematian akibat penyakit tersebut.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│41

5. SARAN Pemerintah diharapkan dapat mendukung program ini dan menjadikan Pemeriksaan Mandiri Dengue Fever Scoring System (DeringS) sebagai program nasional untuk deteksi dini Demam Dengue. Pihak Puskesmas diharapkan dapat menjadi agen pelayanan dasar masyarakat yang mampu memberikan edukasi terkait DeringS sebagai upaya deteksi dini DD. Kader kesehatan diharapkan dapat mensosialisasikan Program DeringS dengan tepat agar menarik minat masyarakat untuk mengikuti program ini. Masyarakat diharapkan dapat mengikuti dan menerapkan program ini sehingga dapat dipraktekkan oleh setiap keluarga sebagai upaya deteksi dini DD yang mudah, murah dan mandiri.


UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Program Studi Ilmu Keperawatan dan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Ibu Haryani yang senantiasa membimbing kami dan seluruh pihak yang tidak dapat kami sebutkan satupersatu. DAFTAR PUSTAKA 1. Gibbons, R.V., Vaughn, D.W. Dengue: an Escalating Problem. BMJ 2002; 324(29):1563-1566. 2. World Health Organization. Impact of Dengue. [Internet], Diakses dari: <http://www.who.int/csr/disease/deng ue/impact/en/index.html> [Diakses pada 17 April 2013], 2013. 3. Departemen Kesehatan. Indonesia Prakarsai Pengendalian DBD di Asean. [Internet], Diakses dari: <http://www.depkes.go.id/index.php/ berita/press-release/1542-indonesiaprakarsai-pengendalian-dbd-diasean.html. 2012> [Diakses pada 17 April 2013], 2012. 4. World Health Organization. Dengue And Severe Dengue. [Internet], Diakses dari: <http://www.who.int/mediacentre/fact sheets/fs117/en/> [Diakses pada 17 April 2013], 2012. 5. Dinas Kesehatan Jawa Tengah. Hambatan dan Permasalahan. [Internet], Diakses dari: <http://www.dinkesjatengprov.go.id/d okumen/spm/2005/bab4_05.htm> [Diakses pada 17 April 2013], 2005. 6. World Health Organization. Dengue: Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. A joint publication of the World Health Organization (WHO) and the Special Programme for Research and Training in Tropical Diseases (TDR), 2009.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

7. Chadwick, D., Arch, B., Wilder-Smith, A., Paton, N. Distinguishing dengue fever from other infections on the basis of simple clinical and laboratory features: application of logistic regression analysis. J Clin Virol 2006; 35:147–53. 8. Pickard, A.L., McDaniel, P., Miller, R.S., Uthaimongkol, N., Buathong, N., Murray, C.K., Telford, S.R., Parola, P., Wongsrichanalai, C. A study of febrile illnesses on the ThaiMyanmar border: predictive factors of rickettsioses. Southeast Asian J Trop Med Public Health 2004; 35:657–63. 9. Chang K., Lu P., Wen-Chien K, Tsai J, Wu-Hsiung T, Chen C, Yen-Hsu C, Tun-Chieh C, Hsiao-Chen H, ChaoYing P, Ming-Rong H. Dengue Fever Scoring System: New Strategy for the Early Detection of Acute Dengue Virus Infection in Taiwan. J Formos Med Assoc. 2009; 108(11):879–885. 10. Chow, V.T. Molecular diagnosis and epidemiology of Dengue virus infection. Ann Acad Med Singapore 1997; 26(6) 820-826. 11. Vaughn, D.W. Dengue in the early febrile phase: viremia and antibody response. J Infect Dis 1997; 176 (2):322-330. 12. Syahrurachman, A. Pemeriksaan Laboratorium untuk Demam Berdarah Dengue. Mikrobiologi Klinik Indonesia 1988; 3(3):76-80. 13. Soebandrio, A. Perkembangan Pemeriksaan Serologi untuk Konfirmasi Infeksi Dengue di Bagian Mikrobiologi FKUI. Mikrobiologi Klinik Indonesia 1988; 3(3):81-83. 14. Soedarmo, S.S.P. Demam Berdarah Dengue. [Thesis]. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1983.

│42


Tinjauan Pustaka

RANCANGAN INOVASI KESEHATAN KARDIOVASCULER BERBASIS ANDROID : DINAMIKABLE (DETEKSI DINI AMI DENGAN EKG PORTABLE) Rainy Tri K1, Mustika Suci S1, Nurul Inayati1, Dody S2 1Mahasiswa

Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro 2Dosen Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro

ABSTRAK Acute Myocardial Infarction (AMI) merupakan suatu kematian jaringan miokard yang disebabkan karena ketidakadekuatan suplai oksigen ke miokard. Berdasarkan data World Health Organization tahun 2008 AMI merupakan penyebab kematian utama di dunia. Di Indonesia, kasus tertinggi terjadi pada AMI (13,49%), gagal jantung (13,42%) dan penyakit jantung lainnya (13,37%). Tingginya angka mortalitas dan morbiditas komplikasi AMI dipengaruhi beberapa faktor seperti keterlambatan mencari pengobatan karena tidak adanya deteksi dini terhadap keluhan, ketepatan diagnosis dan ketepatan penanganan. Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut yaitu adanya program Posbindu PTM (Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular). Program tersebut merupakan upaya pencegahan penyakit tidak menular salah satunya penyakit jantung melalui deteksi dini dan monitoring secara periodik kondisi klien. Diantara berbagai kegiatan yang ada di Posbindu, hanya pemeriksaan kolestrol dan tekanan darah yang menunjang tanda dan gejala penyakit jantung. Saat ini Posbindu juga belum menyediakan pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) yang dapat menegakkan diagnosis pasti AMI. Melihat fakta yang ada inovasi aplikasi berbasis android “DINAMIKABLE (Deteksi Dini AMI, dengan EKG Portable)” dapat menjadi solusi permasalahan AMI. Aplikasi ini memuat pengkajian AMI yang disertai dengan pemerikasaan EKG menggunakan EKG Portable. Aplikasi ini diharapkan dapat memudahkan perawat dalam pemeriksaan serta pemberian edukasi langsung mengenai AMI. Kata kunci : AMI, EKG, DINAMIKABLE ABSTRACT Acute myocardial Infarction is a death of myocardial tissue because of inadequate supply of oxygen to the myocardium. Based on data from World Health Organization in 2008 AMI is the first cause of the death in the world. In Indonesia the highest cases are AMI (13.49%), heart failure (13.42%) and other heart diseases (13.37%). Mortality and morbidity complications of AMI are influenced by several factors. The factors are retardation to seek treatment because the lack of early detection about complaint, accuracy of diagnosis and accuracy of treatment. One of the government’s efforts to cope the problem is Posbindu PTM (Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular). It is the program to prevent non-infect disease include of heart disease through early detections and periodic monitoring the client conditions. Among of the various activities in Posbindu, It just provides examinations of cholesterol and blood pressure to support signs and symptoms of heart disease. Now, there is not examination of electrocardiography (ECG) to make sure AMI diagnosis. Related of the fact, innovation of

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│43


android application “DINAMIKABLE (Deteksi Dini AMI, dengan EKG Portable)” can be solution of this problem. The application contains of AMI assessment with ECG examination. ECG examination will use ECG portable. This application is expected to facilitate the nurse in examination and giving education about AMI. Key Words : AMI, ECG, DINAMIKABLE

1. PENDAHULUAN Acute Myocardial Infarction (AMI) adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu. Diagnosis AMI dapat ditegakkan berdasarkan dua atau lebih dari tiga kriteria, yaitu adanya nyeri dada, perubahan gambaran elektrokardiografi (EKG) dan peningkatan pertanda.[1] Menurut WHO pada tahun 2008, penyakit infark miokard akut, merupakan penyakit kematian utama di dunia. Sebanyak 7.200.000 (12,2%) orang meninggal akibat penyakit AMI. Dua tahun terakhir ini AMI juga menjadi penyebab kematian nomor dua di negara berpenghasilan rendah, dengan angka mortalitas 2.470.000 (9,4%).[2] Menurut Depkes RI pada tahun 2009 AMI menempati case fatal tertinggi yaitu sebesar 13,49% kemudian diikuti oleh gagal jantung (13,42%) dan penyakit jantung lainnya (13,37%).[3] Laporan Profil Kesehatan Kota Semarang tahun 2010 juga menunjukkan bahwa kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah sebanyak 96.957 kasus sebanyak 1,847 (2%) kasus merupakan infark miokard akut.[4] Tingginya mortalitas dan morbiditas AMI dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu keterlambatan pengobatan karena tidak ada upaya deteksi dini terhadap tanda dan gejala penyakit jantung, nyeri dan ketepatan diagnosis dari dokter yang menangani.[5] Pemerintah telah berusaha untuk mengatasi masalah penyakit jantung. Salah satunya mengadakan program Posbindu PTM (Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular). Program ini bertujuan untuk mengenali sejak awal tanda dan gejala penyakit tidak menular termasuk penyakit jantung. Selain itu program ini akan memonitoring serta menindak lanjuti kasus penyakit tidak menular yang ada di masyarakat. Kegiatan Posbindu ini dilaksanakan secara terpadu, rutin, dan periodik. Posbindu mempunyai 10 kegiatan yang meliputi pemeriksaan yang dimulai dari

pengkajian hingga rujukan ke fasilitas layanan kesehatan. Akan tetapi diantara 10 kegiatan tersebut kegiatan yang menunjang deteksi dini terhadap tanda dan gejala penyakit jantung hanya pemeriksaan kolestrol darah dan tekanan darah. Pemeriksaan penunjang EKG untuk menegakkan diagnosa pasti AMI juga tidak tersedia di layanan Posbindu. Pelayanan-pelayanan yang kurang efektif untuk deteksi dini AMI yang telah dilakukan oleh Posbindu membuat proses rujukan lebih panjang. Sehingga jika menggunakan aplikasi DINAMIKABLE ini akan lebih memudahkan proses rujukan karena pengiriman data yang lebih cepat sehingga mempercepat penanganan. Penggunaan aplikasi yang berbasis software telah dilakukan penelitian oleh Hema Malini (2008) tentang Aplikasi Software Asuhan Keperawatan untuk Menigkatkan Kepuasaan Kerja Perawat. Akan tetapi pada penelitian ini software yang dimaksud tidak berbasis android tetapi menggunakan komputer dengan tujuan memudahkan perawat dalam pendokumentasian sehingga pendokumentasian lebih tertata. Hal tersebut berbeda dan belum menjawab fenomena yang ada di Posbindu. Melihat program pemerintah sebelumnya, maka penggunaan aplikasi DINAMIKABLE (Deteksi Dini AMI dengan EKG Portable) di masyarakat akan memberikan keuntungan tersendiri. Aplikasi DINAMIKABLE memuat pengkajian AMI yang ditunjang dengan pemeriksaan EKG sehingga memudahkan kader kesehatan untuk mendeteksi dini tanda dan gejala penyakit jantung lebih cepat. Aplikasi ini juga memanfaatkan teknologi kekinian yaitu teknologi berbasis andoid dimana masyarakat sudah tidak asing lagi dengan teknologi ini sehingga lebih praktis dalam penggunaannya. Selain itu aplikasi DINAMIKABLE juga akan memudahkan perawat dalam melakukan penanganan berdasarkan data yang

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│44


didapatkan, pertimbangan ataupun rujukan dari dokter sehinga klien mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat.

batre) digunakan sebagai sebagai perekam EKG. Alat ini dimodifikasi dengan penambahan bluetooth yang nantinya digunakan untuk mengirimkan hasil EKG ke aplikasi.

2. METODE 2.1 Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data observasi. Observasi dilakukan dengan cara pendokumentasian dan melakukan tinjauan secara langsung kepada responden. Pendokumentasian yang dilakukan menggunakan aplikasi DINAMIKABLE yang bertujuan untuk memudahkan pengkajian dan deteksi dini AMI. Setelah data diperoleh dari aplikasi, kemudian pihak tim medis mengelompokan data tersebut ke dalam kelompok yang telah ditentukan sebelumnya yaitu kelompok dengan resiko AMI dan kelompok yang tidak berisiko AMI. 2.2 Pengolahan Data Data yang digunakan berasal dari berbagai literatur kepustakaan. Literatur yang digunakan adalah jurnal literatur, textbook dan data sensus yang diterbitkan oleh website terkait dengan akses internet yang relevan dengan karya tulis. 2.2.1

Alat dan Bahan yang Diperlukan a. Hardware 1) Seperangkat komputer sebagai sarana dalam pembuatan aplikasi DINAMIKABLE (Deteksi Dini AMI dengan EKG Portable) 2) Handphone atau TAB dengan sistem operasi android berbasis Jelly Bean 4.3 3) Kabel USB konektor, yang difungsikan untuk sinkronisasi antara komputer dan handphone 4) EKG Holter (terdiri dari 6 sadapan elektroda dada, 4 elektroda ekstremitas, dan sebuah mesih kecil pembaca EKG berdaya

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

b. Software 1) Driver for USB plug and play, digunakan untuk sinkroisasi komputer dan handphone / TAB. 2) NetBeans IDE 5.5 software ini merupakan aplikasi yang digunakan untuk membuat DINAMIKABLE. Aplikasi ini menyediakan button atau menu yang berisis perintah melalui coding. 3) BlueStack v0.9, digunakan sebagai simulasi aplikasi android yag dijalankan di perangkat. 2.2.2

Kerjasama dengan Berbagai Pihak a. Perguruan Tinggi Dan Lembaga Penelitian Menguji validitas aplikasi DINAMIKABLE dengan EKG biasa supaya dapat dimanfaatkan di kalangan masyarakat umum. b. Tenaga Medis (Dokter dan Perawat) 1) Uji coba aplikasi di suatu daerah tertentu 2) Menganalisis kefektifan alat melihat dari manfaat, estimasi waktu dan penanganan kepada klien c. Pemerintah Mempersiapkan regulasi (jaringan, standar layanan dan perizinan) d. Ahli IT Membuat aplikasi DINAMIKABLE, engembangkan sistem operasi aplikasi berbasis android yang mampu menyimpan data secara otomatis.

│45


2.2.3

Tahap- Tahap Pelaksanaan Kegiatan a. Pembuatan desain aplikasi DINAMIKABLE sesuai dengan literatur Didalam aplikasi terdapat pengkajian pada jantung yang mengacu pada pengkajian AMI. Pengkajian berupa pertanyaan yang berkesinambungan. b. Pembuatan desain layout dan button menggunakan NetBeans ide 5.5 Desain layout berupa konten : menu utama, pengisian data diri klien, pengkajian, menu kembali, tombol simpan, menu selanjutnya, tombol EKG, informasi langkah pemasangan EKG, hasil pemeriksaan (tabel dan hasil EKG), tombol share. c. Pemodifikasian EKG Holter Memodifikasi EKG Holter yang sudah ada dengan menambahkan bluetooth sehingga hasil pemeriksaan EKG dapat dikirim ke aplikasi yang ada di android untuk ditampilkan. d. Penginstalan Aplikasi ke Perangkat e. Uji Coba DINAMIKABLE Pada tahap ini dilakukan uji coba DINAMIKABLE dengan mengimplementasikannya secara langsung kepada klien untuk mengetahui apakah DINAMIKABLE dapat bekerja. Sample yang diperoleh merupakan warga yang datang ke posbindu dengan kriteria inklusi yaitu pasien yang mengeluh nyeri dada dengan atau tanpa disertai sesak nafas, mual, muntah, lemas, dan keringat dingin. Sedangkan kriteria eksklusinya yaitu pasien yang sebelumnya sudah terdiagnosa (berdasarkan riwayat analisa dari pasien). Sample diperoleh menggunakan teknik

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

asidental sampling yaitu semua pasien yang memenuhi syarat kriteria inklusi dan eksklusi yang kebetulan ditemukan saat jadwal pemeriksaan Posbindu, sehingga besar sample sesuai dengan jumlah pasien yang ditemukan menggunakan teknik sampling tersebut. Aplikasi ini akan diuji cobakan di Posbindu Tunas Galar, Tlogosari Kulon, Kota Semarang. Alasannya daerah binaaan Posbindu tersebut jauh dari pusat pelayanan primer atau rumah sakit. 2.3.4

Sistematika Penggunaan DINAMIKABLE

3.

ANALISIS DATA Data didapatkan dari hasil pengkajian aplikasi DINAMIKABLE dan pemeriksaan EKG sebagai penunjang. Pemeriksaan akan dilakukan di kalangan masyarakat untuk mengetahui gambaran

│46


presentase masyarakat yang beresiko AMI. Data yang telah terkumpul akan diolah kemudian dianalisis menggunakan analisis data deskriptif kuantitatif. Teknik ini akan memberikan gambaran yang jelas dan terarah mengenai banyaknya penderita AMI di masyarakat sehingga dapat dijadikan acuan pelayanan kesehatan untuk memberikan penanganan yang cepat dan tidak ada keterlambatan penanganan penderita AMI. 3.1 PEMBAHASAN Aplikasi ini masih dalam tahap development, namun telah dipresentasikan dan meraih juara III dalam lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional Nursing Competition (NURSE) Universitas Indonesia tahun 2015. Aplikasi ini telah dikonsultasikan kepada orang yang ahli di bidang keperawatan dan ahli IT walaupun belum diuji dan dibandingkan dengan pemeriksaaan manual. Akan tetapi bisa dipastikan menggunakan aplikasi ini akan lebih memudahkan penggunanya karena aplikasi DINAMIKABLE ini dapat dilakukan kapan saja dan bisa menjangkau masyarakat luas. Aplikasi ini juga memanfaatkan teknologi android dan EKG Holter yang berbentuk kecil sehingga mudah dibawa kemana-mana. Selain itu DINAMIKABLE tidak membutuhkan kertas untuk pendokumentasiannya sehingga lebih praktis ketika diterapkan. Selain itu semua data yang dimasukkan ke DINAMIKABLE yaitu data diri pasien, hasil pengkajian, hasil pemeriksaan EKG secara langsung akan terekam dalam aplikasi. Data tersebut dapat dikirimkan kepada dokter supaya dokter dapat memberikan rekomendasi tindakan apa yang seharusnya dilakukan. Dengan begitu dapat mengurangi akibat fatal keterlambatan penanganan. Sedangkan jika menggunakan pemeriksaan manual pendokumentasian kurang praktis sehingga proses rujukan akan lebih lama.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

a. Kasus Infark Miokard Akut AMI merupakan salah satu jenis Penyakit Jantung Koroner. Penyakit ini tergolong penyakit tidak menular. Dewasa ini, penyakit AMI meningkat setiap tahunnya. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2008 penyakit ini merupakan penyakit yang menempati posisi pertama yang menyebakan mortalitas penduduk dunia. Angka kejadian AMI di Indonesia sendiri juga tergolong tinggi.[2] AMI terjadi ketika aliran darah ke otot jantung terganggu karena pecahnya plak. Plak dapat menyumbat aliran darah karena plak merupakan timbunan lemak. Adanya timbunan lemak tersebut karena tingginya kadar kolesterol LDL dalam darah. Tingginya kadar kolesterol tersebut dapat disebabkan oleh pola makan yang tidak memperhatikan kandungan gizi seimbang. Beberapa faktor resiko lain seperti alkohol, kebiasaaan merokok dan hipertensi juga turut andil dalam penyakit AMI.[7] AMI memang merupakan penyakit tidak menular, akan tetapi dapat berakibat fatal bagi penderitanya jika terlambat diberikan penanganan. Hal tersebut dikarenakan ketika terjadi infark miokard akut maka suplai darah ke jantung menjadi berkurang. Ketika hal tersebut terjadi dalam jangka waktu yang lama maka sel-sel miokardium akan mati. Tahap terakhir dari kematian sel-sel miokardium tersebut yaitu terjadi cardiac arrest. Oleh karena itu penting untuk dilakukan deteksi dini tanda dan gejala penyakit AMI sehingga dapat dilakukan penangan secara cepat dan tepat untuk mencegah akibat fatal yang akan terjadi. b. Penanganan AMI di Masyarakat Pemerintah telah menyediakan pelayanan kesehatan Posbindu sebagai upaya preventif untuk mengurangi resiko Penyakit Tidak

│47


Menular termasuk AMI. Posbindu merupakan pos pembinaan terpadu yang menyelenggarakan kegiatan seperti penyuluhan faktor resiko PTM serta pengecekan kadar kolesterol, kadar glukosa darah untuk mengetahui adanya resiko PTM. Posbindu dilaksanakan secara periodik dalam jangka waktu paling pendek yaitu tiga bulan sekali. Pelaksanaan pemeriksaan 3 bulan sekali dinilai terlalu lama karena kondisi tubuh seseorang dapat berubah setiap saat. Pelaksanaan Posbindu sendiri berada di bawah pengawasan Puskesmas.[6] Kegiatan yang dilakukan di posbindu pada dasarnya usaha promotif dan preventif. Usaha yang dilakukan berupa pengakajian riwayat penyakit melalui wawancara. Selain itu terdapat pula pengecekan kadar gula darah, kadar kolesterol untuk mendeteksi faktor resiko penyakit tertentu. Sedangkan pemeriksaan penunjang kasus AMI menggunakan EKG belum tersedia di pelayananan Posbindu. c. Rancangan Inovasi DINAMIKABLE DINAMIKABLE merupakan inovasi baru untuk mendeteksi dini tanda dan gejala kasus AMI yang ada di masyarakat. DINAMIKABLE menggunakan teknologi masa kini untuk melakukan pengkajian kasus AMI. Alat ini memanfaatkan EKG holter dan HP android atau Tab dalam melakukan pengkajian. HP android akan diberi aplikasi yang memuat pertanyaan-pertanyaan untuk mengetahui resiko AMI. Sebelum klien menjawab pertanyaan yang ada di aplikasi, klien terlebih dahulu mengisi data pribadi yang memuat nama, usia, jenis kelamin dan alamat. Langkah selanjutnya setelah pengisian data pribadi yaitu klien akan menjawab pertanyaan yang ada di aplikasi. Pertanyaan tersebut akan memuat manifestasi klinis penyakit AMI. Berikut merupakan pertanyaan yang akan disajikan dalam pengkajian faktor resiko AMI.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

NO

PENGKAJIAN

1.

TTV

2.

Sesak Napas , RR : Pucat Anemis Konjuctiva CRT Lebih dari 3 detik Nyeri ≼30 Menit* Nyeri tekan *

3. 4. 5. 6. 7. 8.

9. 10. 11.

YA

TIDAK

Tekanan Darah: (mmHg) Nadi (x/menit)

Nyeri bermula dari dada kiri menyebar ke bahu, leher dan lengan atas sebelah kiri* Mual/muntah Keringat dingin dan lemas Merokok JUMLAH

Keterangan : 1. Ya : Skor 1 2. Tidak : Skor 0 3. Rentang nilai 0-6 : Tidak beresiko AMI 4. Rentang nilai >6 : Beresiko AMI *Apabila klien menjawab YA pada pengkajian yang bertanda bintang minimal 2 pengkajian maka dapat dikatakan klien beresiko AMI. Selesai melakukan pengkajian pada aplikasi DINAMIKABLE maka akan dilakukan pemeriksaan EKG untuk memperkuat hasil pengkajian. EKG yang digunakan ialah EKG Holter yang terdiri dari 6 sadapan elektroda dada dan 4 elektroda ekstremitas dimana masing-masing elektroda akan dihubungkan ke badan klien. EKG Holter ini merupakan mesin pembaca EKG yang berdaya baterai dan berbentuk kecil sehingga mudah dibawa kemana

│48


saja. EKG Holter ini akan aplikasi Dinamikable yang ada di HP Android maupun Tab dapat membaca hasil EKG tersebut. Hasil pemeriksaan EKG dan tabel hasil pengkajian akan langsung terekam dan dapat langsung dianalisis. Ketika hasil analisis tidak menunjukkan adanya resiko AMI maka tidak ada tindak lanjut dari hasil tersebut. Akan tetapi ketika hasil analisis menunjukkan adanya resiko AMI maka akan ada tindak lanjut yaitu mengirimkan data

Tampilan Awal

TTV

Hasil Pengkajian

dipasangi bluetooth sehingga pengkajian dan pemeriksaan EKG kepada dokter melalui media sosial seperti WA, Line maupun

BBM. Hal itu dilakukan supaya dokter dapat memberikan rekomendasi penanganan pada penderita AMI sebelum pasien tersebut dirujuk ke rumah sakit supaya tidak terjadi perluasan infark, sehingga tidak ada keterlambatan dalam penanganan kasus AMI.

Pendaftaran Akun

Home

Masuk

Pengkajian

Pemeriksaan EKG

Hasil EKG

Hasil

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│49


d. Keunggulan DINAMIKABLE Keunggulan aplikasi DINAMIKABLE ketika diterapkan di masyarakat yaitu : 1. Aplikasi DINAMIKABLE dapat dijadikan alternatif untuk pendeteksiaan dini resiko AMI. Dewasa ini layanan yang disediakan pemerintah sebagai cara untuk mengurangi resiko PTM termasuk AMI yaitu adanya pelayanan Posbindu. Waktu pelaksanaan Posbindu ini paling minim 3 bulan sekali. Sedangakan aplikasi DINAMIKABLE ini dapat dilakukan kapan saja dan bisa menjangkau masyarakat luas. 2. Aplikasi DINAMIKABLE memanfaatkan teknologi terkini. Aplikasi ini memanfaatkan teknologi android di mana teknologi ini sudah banyak digunakan di zaman sekarang. Hal tersebut akan lebih menguntungkan dalam pengaplikasiaannya karena sebagian besar masyarakat sudah memanfaatkan teknologi tersebut. 3. Aplikasi DINAMIKABLE lebih praktis. Aplikasi ini memanfaatkan teknologi android dan EKG Holter di mana EKG ini berbentuk kecil sehingga mudah dibawa kemana-mana. Selain itu DINAMIKABLE tidak membutuhkan kertas untuk pendokumentasiannya sehingga lebih praktis ketika diterapkan. 4. Data yang dimasukkan dalam DINAMIKABLE secara langsung dapat tersimpan. Semua data yang dimasukkan ke DINAMIKABLE yang meliputi data diri pasien, hasil pengkajian, hasil pemeriksaan EKG secara langsung akan terekap dalam aplikasi. Data yang telah

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

tersimpan dapat dikirimkan kepada dokter supaya dokter dapat memberikan rekomendasi tindakan apa yang seharusnya dilakukan. Dengan begitu dapat mengurangi akibat fatal keterlambatan penanganan. Keunggulan utama yang akan didapatkan terkait keunggulan yang telah disebutkan di atas yaitu ketika aplikasi ini diterapkan pada masyarakat di daerah tertentu maka akan dapat diketahui gambaran presentase masyarakat yang mengalami AMI.

4. KESIMPULAN & SARAN 4.1 Kesimpulan Angka kematian akibat AMI di Jawa Tengah tinggi, namun tidak ada upaya khusus dari pemerintah untuk menekan tingginya angka kematian akibat AMI. Program dari pemerintah yang ada saat ini hanya sebatas pemeriksaan awal sehingga penyakit jantung terdeteksi saat klien sudah ada di RS. Oleh karena itu penulis memiliki gagasan untuk mendeteksi penyakit jantung khususnya pada kejadian AMI yang diberi nama DINAMIKABLE. Inovasi tersebut merupakan pengkajian jantung yang menggunakan aplikasi android dan modifikasi EKG sehingga dalam pengkajian dan pemeriksaan jantung lebih terstrukur, mudah dan cepat terdeteksi. Aplikasi ini diharapkan dapat menekan jumlah penderita AMI yang ada di masyarakat. 4.2 Saran DINAMIKABLE ini dapat digunakan oleh tenaga medis khususnya perawat dalam melakukan pengkajian jantung dan pemeriksaan EKG pada klien. Di sisi lain DINAMIKABLE ini juga dapat dilakukan secara mandiri oleh masyarakat namun dengan pengkaderan yang tepat dari perawat. Diharapkan Kementrian Komunikasi dan Informasi serta

│50


Kementrian Kesehatan dapat mendukung inovasi ini untuk dapat diimplementasikan di kalangan masyarakat sebagai upaya menangani masalah kesehatan dan pemanfaatan teknologi yang positif oleh anak bangsa.

DAFTAR PUSTAKA 1. Waly, Tegustu Muhammad. (2014). Prevalensi Pasien Infark Miokard Akut yang Menjadi Cardiac Arrest di ICU/HCU RSUP Dr. Kariadi Semarang. [KTI]. Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2. WHO. 2008. World Population Prospect. The United Nation: New York. 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta. 2009 : 62. 4. Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil Kesehatan Kota Semarang tahun 2010 [Internet]. 2010 [updated

Juli 2010; cited 2012 Januari 27]. Available from: http://dinkeskotasemarang.go.id/. 5. Pratiwi, Inne. (2012).Komplikasi Pada Pasien Infark Miokard Akut STElevasi (STEMI) yang Mendapat Maupun Tidak Mendapat Terapi Reperfusi. [KTI]. Semarang.Fakultas Kedoteran Universitas Diponegoro. 6. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Petunjuk Teknis Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (POSBINDU PTM). Available from: http://pptm.depkes.go.id/cms/fronten d/ebook/JUKNIS%20REVISI.pdf. 7. Dewi MR, Haryati DS, Sumardiono. Faktor-Faktor Dominan Sindrom Metabolik yang Berhubungan dengan Kejadian Akut Miokard Infark (Ami) di Ruang Intensive Cardiovaskuler Care Unit (Icvcu) Rsud Dr. Moewardi Tahun 2014. Jurnal Kesmadaska 5(2):105-116.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│51


Tinjauan Pustaka

SPIRITUALLY-INTEGRATED COUNSELING PADA PROSES BERDUKA (BEREAVEMENT) KELUARGA KORBAN BENCANA ALAM Nabila Chairani1, Fadillah Ulfa Pulungan1 1Mahasiswa

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera

Utara ABSTRAK Proses berduka (bereavement) merupakan pengalaman kehilangan seseorang yang sangat berarti akibat kematian yang dipengaruhi oleh intensitas, durasi, dan adaptasi terhadap kehilangan itu sendiri. Peran penting tenaga kesehatan, khususnya perawat adalah membantu menyediakan dukungan yang tepat dan efektif pada keluarga yang mengalami reaksi berduka (bereavement) agar dapat beradaptasi dengan kondisi dan kenyataan yang dihadapi. Spiritually-integrated counseling merupakan intervensi keperawatan yang mengintegrasikan spiritualitas dalam proses konseling. Peran perawat sebagai konselor yaitu membantu mengembangkan perilaku keluarga agar dapat beradaptasi dengan kondisi dan kenyataan terhadap kematian anggota keluarga pada bencana alam. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas spirituallyintegrated counseling pada keluarga korban bencana alam yang mengalami proses berduka (bereavement). Kata kunci : proses berduka (bereavement), keluarga, bencana alam, spirituallyintegrated counseling ABSTRACT Bereavement is the experience of losing significant others as a result of death and influenced by the intensity, duration, and adaptation to lose itself. The important role of health workers, especially nurses is to help provide appropriate and effective support to the bereaved families who have bereavement in order to adapt to the conditions and facing the realities. Spiritually-integrated counseling is a nursing interventions that integrated spirituality in the counseling process. Nurse's role as a counselor is to develop family behavior in order to adapt to the conditions and the fact of the death of family members in natural disasters. Its needed to conduct further research on the effectiveness of spiritually-integrated counseling to the families of the victims of natural disasters who are grieving process (bereavement). Keywords : bereavement, family, natural disaster, spiritually-integrated counseling

1. PENDAHULUAN Bencana alam merupakan serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh gejala-gejala alam yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan, kerugian materi, maupun korban manusia.[14] Peristiwa bencana alam sulit dihindari dan diperkirakan secara tepat. Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 menyebutkan bahwa dampak bencana

dapat berupa korban jiwa, harta benda, kerusakan infrastruktur, lingkungan sosial, dan gangguan terhadap tata kehidupan masyarakat yang telah mapan sebelumnya. Indonesia merupakan daerah rawan bencana alam. Hal ini disebabkan karena kondisi geografis yaitu beriklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi dan kontur tanah yang tidak stabil yang

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│52


berakibat rawan banjir, longsor, dan banjir bandang. Selain itu, Indonesia terletak di sepanjang ring of fire, pertemuan tiga lempeng tektonik besar dan mempunyai lebih 140 gunung aktif mengakibatkan rawan gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi.[28] Korban meninggal dunia dalam jumlah besar akibat bencana alam tidak dapat dihindari, sehingga berkaitan dengan proses berduka dalam jangka waktu yang panjang.[16] Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat sejak tahun 2002 hingga awal 2014 telah terjadi 1.093 bencana alam yang mengakibatkan korban meninggal dunia mencapai 190.375 jiwa.[3] Respon dan reaksi keluarga terhadap bencana alam berbeda pada setiap periode atau fase terjadinya bencana. Pada periode immediate post-disaster, reaksi emosional terhadap stresor pascabencana mulai terlihat. Reaksi berupa penolakan, berduka terhadap kehilangan, marah, sedih, dan putus asa.[24] Kehilangan anggota keluarga khususnya sumber pencari nafkah, seringkali menyebabkan timbulnya perasaan khawatir, ketakutan bahkan trauma yang berkepanjangan.[24] Kematian pasangan merupakan faktor terbesar pencetus depresi pada keluarga.[9] Reaksi berduka (bereavement) akibat kematian mendadak dari pasangan lebih melibatkan respon emosional seseorang berupa perasaan kesepian, tidak berdaya, putus asa, dan syok. Efek psikologis tersebut terjadi karena adanya kondisi objektif dari keluarga atau pasangan setelah kehilangan anggota keluarganya, yang disebut dengan reaksi berduka (bereavement).[10] Reaksi berduka (bereavement) merupakan pengalaman kehilangan seseorang yang sangat berarti akibat kematian[16] dan dipengaruhi oleh intensitas, durasi, dan adaptasi terhadap kehilangan itu sendiri.[20] Sebagai suatu reaksi psikologis, berduka memiliki konsekuensi negatif pada aspek emosional, fisik, sosial, dan fungsi kognitif. Konsekuensi negatif tersebut berupa peningkatan tingkat stres dan cemas, risiko kematian, gejala simptomatis, risiko bunuh diri, penurunan fungsi memori serta terjadinya peningkatan kebutuhan finansial dalam

penanganan akibat respon psikologis yang terjadi.[31] Beberapa contoh respon psikologis terkait bencana alam adalah PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), gangguan kecemasan, depresi, dan gangguan panik.[22] Hal penting yang harus dipahami oleh keluarga yang mengalami reaksi berduka (bereavement) untuk mencegah terjadinya konsekuensi negatif tersebut antara lain meyakini bahwa kehidupan akan kembali lagi ke kondisi normal, rasa penerimaan tentang kematian merupakan bagian dari proses kehidupan yang akan dijalani, dan kemampuan untuk berhenti memikirkan masa lalu yang menyedihkan. Peran penting tenaga kesehatan, khususnya perawat adalah membantu menyediakan dukungan yang tepat dan efektif pada keluarga yang mengalami reaksi berduka (bereavement) agar dapat beradaptasi dengan kondisi dan kenyataan yang dihadapi.[7] Salah satu dukungan yang dapat diberikan pada keluarga yang mengalami reaksi berduka (bereavement) adalah dukungan spiritual yang merupakan area mandiri keperawatan.[6] Spiritualitas berkaitan erat dengan proses berduka pada keluarga (bereavement) dan berperan besar terhadap persepsi seseorang tentang kehidupan dan kematian.[37] Dengan kekuatan spiritual seseorang dapat merasa nyaman dan memaknai kematian seseorang yang dicintainya sebagai bagian dari proses kehidupan yang harus dilewati.[19] Spiritualitas merupakan dimensi yang tidak terpisahkan dari kesehatan individu.[8] Spiritualitas merupakan indikator objektif dari kualitas hidup selain kesehatan fisik, kesehatan jiwa, hubungan sosial dan lingkungan.[34] Dukungan spiritual tidak hanya terbatas dalam praktik keagamaan seperti membaca kitab suci maupun berdoa, tetapi juga mengacu pada aktivitas yang menenangkan, menghibur, mendengarkan, menghormati privasi, serta membantu mencari makna dan tujuan hidup keluarga.[32] Spiritual merupakan salah satu indikator kualitas hidup dan sebagai faktor protektif dalam proses berduka yang tidak efektif.[35] Penurunan ataupun hilangnya spiritualitas dalam diri individu merupakan faktor risiko terjadinya proses

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│53


berduka tidak efektif. Sehingga diperlukan intervensi keperawatan dengan pendekatan spiritualitas pada keluarga yang mengalami reaksi berduka (bereavement). Hal ini merupakan salah satu upaya perawat sebagai konselor untuk mencegah proses berduka yang tidak efektif pada keluarga yang kehilangan anggota keluarganya akibat kematian pada bencana alam. Intervensi ini juga diharapkan dapat membantu keluarga untuk mengembangkan perilaku agar dapat beradaptasi dengan kondisi dan kenyataan yang dihadapi.

2. PEMBAHASAN 2.1 Respon dan Reaksi Keluarga terhadap Bencana Alam Respon dan reaksi keluarga terhadap bencana alam berbeda pada setiap periode atau fase terjadinya bencana, [24] yaitu: a. Preparation and planning (persiapan dan perencanaan) Pada fase ini telah ditemukan kemungkinan terjadinya bencana pada suatu daerah. Sehingga perlu diantisipasi dengan pemberian pengetahuan dan pelatihan tentang tanggap bencana. Respon keluarga pada fase ini yaitu meningkatnya kewaspadaan dan kesadaran terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam. b. Threat and warning (ancaman dan peringatan) Berhubungan dengan waktu sebelum terjadinya bencana atau peringatan khusus akan datangnya bencana alam. Respon keluarga pada fase ini yaitu timbul kecemasan akibat ancaman keamanan diri sendiri dan anggota keluarga, kebingungan, dan mencari sumbersumber informasi untuk memastikan kebenaran peringatan bencana alam tersebut. c. Impact (dampak) Dampak bencana alam bervariasi tergantung pada jenisnya. Dampak yang terjadi pada keluarga yaitu melindungi diri dan anggota keluarga. Timbulnya illusion of centrality (keluarga merasa bencana hanya terjadi pada mereka), syok terhadap dampak bencana, tidak berdaya, putus asa dan

mempertahankan hidup. Stresor yang terjadi selama fase dampak bencana yaitu : - Hidup yang terancam - Merasa cemas dan takut karena terancamnya jiwa anggota keluarga dan dirinya sendiri - Merasa bersalah, putus asa dan tidak berdaya - Kehilangan (seseorang yang dicintai, rumah, pekerjaan) - Dislokasi (berpisah dari orang yang dicintai, rumah, lingkungan dan komunitas). d. Immediate post-disaster period (periode segera pascabencana) Pada periode immediate postdisaster, reaksi emosional terhadap stresor pascabencana mulai terlihat. Reaksi berupa numbness (mati rasa), syok dan penolakan, reaksi stress traumatik termasuk flashbacks atau mimpi buruk, reaksi berduka terhadap kehilangan (marah, sedih, dan putus asa). Individu sebagai anggota keluarga akan mengkhawatirkan pertolongan, keamanan dan keselamatan anggota keluarganya bahkan teman dan orang lain yang tidak dikenal. Individu akan mencari segala jenis sumber bantuan seperti tempat untuk berlindung, dukungan, pengobatan dan sumber lainnya sebagai aspek rehabilitatif jangka panjang. Organisasi formal dan kelompok religius merupakan wadah bagi keluarga untuk meminta pertolongan dan dukungan. Distres yang terjadi pada anggota keluarga mengakibatkan perubahan dinamika dan stabilitas keluarga,[29] yaitu : - Berpisah dengan kepala keluarga karena ayah atau suami memilih untuk tetap tinggal di rumah dengan alasan menjaga rumah, harta benda dan tetap bekerja sebagai petani, berkebun atau peternak. - Terganggunya fungsi dan peran keluarga karena dalam satu tempat pengungsian tinggal beberapa keluarga. Tidak optimalnya pelaksanaan fungsi dan peran keluarga serta kemungkinan hilangnya pengendalian diri pengungsi

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│54


akibat jenuh dan tidak terpenuhinya kebutuhan hidup. - Hilangnya harga diri dan kemampuan baik sebagai individu maupun sebagai keluarga karena di tempat pengungsian menerima bantuan dari pihak lain dan seringkali menjadi tontonan. e. Recovery Fase ini merupakan periode panjang untuk mengembalikan keluarga pada keseimbangan hidup dan beraktivitas kembali secara normal. Fase ini biasanya dimulai seminggu pascabencana. Anggota keluarga saling memberi dukungan untuk mengurangi distres pascabencana (honeymoon phase). Faktor yang mempengaruhi fase rehabilitatif keluarga termasuk proses berduka (bereavement), kehilangan harta benda dan koping individu terhadap stress. 2.2 Proses Berduka (Bereavement) 2.2.1 Definisi Proses Berduka (Bereavement) Kematian merupakan salah satu situasi yang sering dihadapi oleh perawat dan tenaga kesehatan lain. Karena itu, pemahaman akan respon kesedihan dan berduka penting untuk diketahui perawat agar dapat memberikan dukungan yang tepat pada pasien dan anggota keluarga yang mengalaminya.[5] Berduka merupakan proses adaptasi psikologi normal terhadap kematian orang yang dicintai yang terdiri dari beberapa respon kehilangan yakni grief, mourning dan bereavement.[18] Grief merupakan respon emosional individu terhadap kehilangan yang berkaitan dengan emosi, fisik, perilaku, kognitif, sosial dan spiritual.[5] Mourning adalah ekspresi aktif dari grief, termasuk ritual dan perilaku tertentu yang berhubungan kepribadian, budaya dan agama individu. Bereavement merupakan pengalaman akan kehilangan orang yang sangat

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

berarti akibat kematian.[16] Seseorang yang mengalaminya akan timbul perasaan cemas, insomnia, inersia, hiperaktivitas dan perasaan putus asa. Grief, mourning dan bereavement dipengaruhi oleh kepribadian, budaya, agama, dan ikatan atau hubungan dengan seseorang yang meninggal.[5] 2.2.2 Tahapan Proses Berduka (Bereavement) Berduka adalah respon fisik dan psikologis yang terpola spesifik pada individu yang mengalami kehilangan. Respon dan reaksi ini merupakan bentuk koping individu agar mampu memutus ikatan dengan orang yang meninggal dan membentuk ikatan atau hubungan yang baru.[5] Teori KČ•bler-Ross (1969) mengidentifikasi lima tahapan dari proses berduka,[30] yaitu : a. Shock and denial (syok dan penolakan) merupakan respon psikologis (syok, bingung, tidak percaya, menolak dan mengisolasi diri) dan respon fisik (letih, lemah, diare, gelisah, sesak nafas, dan nadi cepat) yang terjadi diawal proses berduka. b. Anger (marah) merupakan fase dimana timbulnya kesadaran seseorang terhadap kehilangan. Seseorang menjadi frustasi dan mudah marah. Kemarahan sering diproyeksikan kepada orang lain, tim kesehatan atau lingkungan. Respon fisik yang timbul berupa nadi cepat, tangan mengepal, susah tidur, muka merah, bicara kasar, dan agresif. c. Bargaining (tawar-menawar) merupakan fase dimana individu bernegosiasi terhadap kehilangan, perasaan bersalah dan memohon kepada Tuhan. Seseorang juga mempunyai keinginan untuk melakukan

│55


apa saja untuk mengubah apa yang telah terjadi. d. Depression (depresi). Pada fase ini individu menunjukkan tanda klinis depresi yaitu menarik diri, retardasi psikomotor, gangguan tidur, perasaan kesepian, tidak mau berbicara dan putus asa. Seseorang dapat melakukan percobaan bunuh diri atau penggunaan obat-obatan berlebihan. Reaksi fisik yang timbul berupa susah tidur, letih, menolak makan dan penurunan libido. e. Acceptance (menerima). Pada fase ini individu mulai menerima proses kehilangan dan tidak terlalu bergantung dengan orang lain dan membuat perencanaan hidup yang baru. Teori KČ•bler-Ross tersebut merupakan mekanisme pertahanan diri yang terlalu linier, kaku dan pasif untuk digunakan dalam proses kesedihan dan berduka akibat kematian.[5] Durasi tahapan proses berduka bervariasi dan tergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kehilangan itu sendiri.[15] Proses berduka normal menunjukkan distres psikologis dan adaptasi fungsional yang progresif selama beberapa bulan pertama[24] namun dapat menimbulkan krisis psikologis.[18] Reaksi yang terus menerus dari proses berduka biasanya reda dalam 6-12 bulan dan proses berduka yang mendalam akan berlanjut sampai 3-5 tahun.[15] Parameter berduka patologis dari segi durasi, intensitas dan perubahan fungsi sosial,[5] yaitu : a. Gangguan somatik, contohnya merasa tegang di tenggorokan, nafas pendek atau tersedak. b. Berpikiran dan mengingat kejadian kematian terusmenerus. c. Merasa bersalah. d. Merasa menolak dan marah. e. Sulit untuk menjalankan aktivitas sehari-hari.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

Keberhasilan dalam melewati proses berduka akan meningkatkan ketahanan psikologis individu jika di masa yang akan datang mengalami stresor yang sama. Namun kegagalan melewati proses ini akan mengakibatkan komplikasi termasuk kesedihan berkepanjangan, insomnia, hilang nafsu makan, kehilangan minat dalam aktivitas sehari-hari, merasa bersalah dan gejala psikomatik.[18] 2.3 Dukungan Spiritualitas 2.3.1 Definisi dan Aspek Spiritualitas Spiritual didefinisikan sebagai dimensi integral dari kesehatan dan kesejahteraan setiap manusia.[37] Spiritualitas merupakan daya semangat, prinsip hidup atau hakikat eksistensi manusia yang ada dalam diri sesorang yang berkaitan dengan hubungan antara diri sendiri, sesama manusia, alam dan Tuhan. Spiritual adalah pengalaman manusia yang universal karena dibentuk melalui pengalaman kultural.[37] Spiritualitas meliputi aspek yang berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan dan menemukan makna dan tujuan hidup. Individu mempunyai perasaan keterikatan dengan dengan Yang Maha Tinggi dan menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri.[11] Faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas seseorang yaitu tahap perkembangan, keluarga, latar belakang etnik dan budaya, pengalaman hidup sebelumnya, krisis dan perubahan. Karena itu, penyembuhan dan spiritualitas saling berkaitan. Spiritualitas merupakan hakikat diri manusia dan penyembuhan merupakan proses spiritual yang bertujuan agar manusia selalu sehat.[37] Sehat secara spiritual berarti terhubung dengan suami atau isteri, rekan, keluarga, teman

│56


dan komunitas, yang berarti seseorang mampu untuk hidup secara utuh.[37] Dengan merawat pasien melalui cara yang menghormati keterkaitan jiwa, tubuh, roh atau spiritual, penyelenggara perawatan kesehatan menghormati seluruh kepribadian manusia.[37] 2.3.2 Dimensi Spiritualitas Spiritualitas merupakan dimensi yang mencakup dan menyatukan seluruh aspek pribadi manusia[27] yang terintegrasi secara dinamis dalam dimensi fisik, psikologis, kultural, perkembangan, sosial dan spiritual.[37] Tiga dimensi spiritualitas,[37] yaitu : a. Dimensi psikologis (jiwa) mencakup kesadaran diri (selfconsciousness) dan identitas diri (self-identity). Aspek ini berhubungan dengan masalah interaksi antar manusia dan berkaitan dengan emosi seperti reaksi berduka dan kehilangan. b. Dimensi fisik merupakan kesadaran terhadap lingkungan (world- consciousness). Aspek ini berhubungan dengan panca indera seperti penglihatan, pendengaran, penghidu, dan peraba. c. Dimensi rohani (spirit) merupakan dimensi yang menyatukan dan mengintegrasikan seluruh aspek pribadi individu yang berkaitan dengan kesadaran akan Tuhan (Godconsciousness) dan nilai-nilai mutlak. Dimensi berhubungan dengan makna hidup, pemahaman manusia terhadap iman dan hubungan pribadi manusia dengan Tuhan. 2.4 Konseling sebagai Terapi Keluarga Terapi keluarga adalah model terapi yang bertujuan mengubah pola interaksi sehingga dapat mengatasi masalah dalam keluarga[27] dan mendampingi

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

keluarga agar lebih produktif.[6] Prinsip terapi keluarga yaitu : a. Keluarga sebagai sistem perilaku yang memiliki sifat dan karakteristik yang unik dari setiap anggota keluarga. b. Hubungan dekat setiap anggota keluarga tercipta karena adaptasi emosional keluarga sebagai sebuah kelompok. Konseling adalah proses komunikasi interpersonal atau dua arah antara konselor dan klien untuk membantu klien mengatasi dan membuat keputusan yang benar dalam mengatasi masalah yang dihadapi.[33] Penerapan konseling tergantung pada jenis, masalah dan sasaran konseling. Konseling keluarga merupakan penerapan konseling pada situasi khusus yang terfokus pada masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga. Empat langkah konseling yaitu membangun hubungan, identifikasi dan penilaian masalah, memfasilitasi perubahan terapeutik, serta evaluasi dan terminasi.[33] Konselor membantu klien dalam memecahkan masalah dan meningkatkan koping yang terfokus pada kebutuhan, masalah dan perasaan klien.[6] Peran dan fungsi perawat sebagai konselor adalah membantu mengembangkan perilaku keluarga agar dapat beradaptasi dengan kondisi dan kenyataan yang dihadapi. 2.5 Diagnosis Keperawatan pada Proses Berduka (Bereavement) Keluarga Korban Bencana Alam Bencana alam yang menyebabkan korban meninggal dalam jumlah besar akan menimbulkan reaksi stres traumatik[24] dan proses berduka dalam jangka waktu yang panjang.[16] Kematian mendadak anggota keluarga lebih menyakitkan dan sulit diterima karena keluarga belum siap menghadapinya.[18]

│57


Keluarga berada dalam periode kritis karena menurunnya koping keluarga dalam menghadapi krisis kehidupan.[18] Ekspresi berduka setiap keluarga berbeda-beda karena dipengaruhi oleh budaya, namun respon terhadap kehilangan dan kesedihan yang muncul relatif sama.[37] Dalam teori psikoanalitik, respon dan reaksi kesedihan terkait dengan upaya untuk memutus dan melepaskan energi dan kedekatan yang telah didapatkan dari anggota keluarga yang meninggal, serta terganggunya ikatan kasih sayang yang kuat.[6] Individu yang mengalami respon tersebut akan berusaha mendapatkan kembali perasaan kedekatan yang pernah ada sebelumnya. Ketika kematian itu terjadi, kedekatan yang diharapkan tadi tidak akan pernah bisa kembali, hal inilah yang dapat menyebabkan perasaan marah dan putus asa.[6] Lima tahapan proses berduka normal mulai dari penolakan, marah, tawar-menawar, depresi hingga penerimaan[30] menunjukkan distres psikologis dan adaptasi fungsional yang progresif selama 612 bulan.[15] Faktor protektif yang dapat mempercepat keluarga menuju fase pemulihan (recovery) pada proses berduka normal yaitu dukungan sosial, pengetahuan dan pengalaman yang baik terhadap bencana dan koping individu yang adaptif.[24] Proses berduka yang mendalam berlanjut hingga 3-5 tahun.[15] Reaksi berduka (bereavement) akibat kematian mendadak dari pasangan lebih melibatkan respon emosional berupa perasaan kesepian, tidak berdaya, putus asa dan syok [10] dan merupakan faktor terbesar pencetus depresi pada keluarga.[9] Kegagalan melewati proses berduka (bereavement) mengakibatkan komplikasi termasuk kesedihan berkepanjangan, insomnia, hilang nafsu makan, kehilangan minat dalam aktivitas sehari-hari, merasa bersalah dan gejala psikomatik.[18] Sehingga pada keluarga muncul

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

diagnosis keperawatan duka cita terganggu.[12] Duka cita terganggu adalah proses berduka berkepanjangan atau ketidakberhasilan keluarga menggunakan respon emosional dan intelektual untuk memodifikasi konsep diri terhadap persepsi kehilangan.[36] Berduka merupakan salah satu tantangan spiritualitas terbesar dalam kehidupan keluarga.[18] Salah satu respon keluarga terhadap terjadinya bencana alam dan kehilangan yaitu berpikir tidak realisitis dan mencari kekuatan supranatural untuk mencegah terjadinya bencana. Kekecewaan spiritual yaitu kecewa pada Tuhan karena diberi ujian atau hukuman bahkan cobaan kepada orang-orang yang merasa dirinya sudah melaksanakan ibadah sesuai ajaran agama.[29] Sehingga pada keluarga muncul diagnosis keperawatan distres spiritual.[12] Distres spiritual adalah gangguan mengintegrasikan makna dan tujuan hidup melalui hubungan dengan Tuhan (kekuatan yang lebih besar dari pada diri individu), hubungan diri sendiri, orang lain, seni, musik, literatur dan alam.[12] 2.6 Spiritually-Integrated Counseling pada Proses Berduka (Bereavement) Keluarga Korban Bencana Alam Diagnosis keperawatan yang muncul pada keluarga yang mengalami proses berduka (bereavement) akibat kematian anggota keluarga karena bencana alam yaitu duka cita terganggu dan distres spiritual. Diagnosis duka cita terganggu (grieving dysfunctional) menggambarkan gangguan yang terjadi setelah kematian orang terdekat ketika pengalaman distres yang menyertai kehilangan gagal memenuhi harapan normatif dan bermanifestasi gangguan emosional.[12] Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada diagnosis duka cita terganggu,[36] yaitu :

│58


a. Meningkatkan koping adalah membantu individu untuk beradaptasi terhadap stresor, perubahan hidup dan ancaman yang mengganggu peran dan pemenuhan kebutuhan hidup. b. Konseling adalah menggunakan proses interaktif untuk membantu individu dalam memecahkan masalah dan meningkatkan koping yang terfokus pada kebutuhan, masalah, dan perasaan klien. c. Terapi keluarga adalah intervensi yang membantu anggota keluarga agar lebih produktif dalam hidup. d. Memfasilitasi proses berduka adalah intervensi yang membantu individu menerima kematian orang yang dicintai. Diagnosis distres spiritual (spiritual distress) menggambarkan gangguan mengintegrasikan makna dan tujuan hidup melalui hubungan dengan Tuhan (kekuatan yang lebih besar dari pada diri individu), hubungan diri sendiri, orang lain, seni, musik, literatur dan alam.[12] Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada diagnosis distres spiritual yaitu dukungan spiritual.[36] Intervensi ini bertujuan untuk membantu individu mencapai keseimbangan dan hubungan dengan kekuatan yang lebih besar.[6] Tindakan keperawatan pada masing-masing intervensi diagnosis duka cita terganggu (meningkatkan koping, konseling, terapi keluarga dan memfasilitasi proses berduka) dan distres spiritual (dukungan spiritual) dianalisis dan dipilih secara spesifik hingga muncul intervensi spiritually-integrated counseling. Spiritually-integrated counseling merupakan intervensi keperawatan yang menintegrasikan spiritualitas dalam proses konseling. Berikut ini merupakan tindakan keperawatan spiritually-integrated counseling : 1. Bina hubungan terapeutik yaitu saling percaya, empati, terbuka, kehangatan, dan perlakukan keluarga dengan

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

2.

3.

4.

5. 6.

7.

8.

9.

bermartabat dan menghargai otonomi keluarga. Tentukan dan diskusikan tujuan, jangka waktu dan rencana konseling. Kaji riwayat keluarga (identifikasi peran normal pada keluarga, nilai dan norma keluarga, budaya dan pengalaman kehilangan sebelumnya) Kaji dampak proses berduka (bereavement) keluarga terhadap perubahan peran dan hubungan antar anggota keluarga. Kaji dan nilai kesejahteraan spiritualitas keluarga Identifikasi dampak proses berduka terhadap kesehatan individu, aktivitas sehari-hari dan hubungan sosial. Gunakan teknik teknik klarifikasi dan refleksi dalam membantu keluarga mengaktualisasikan kehilangan. Anjurkan keluarga mengemukakan perasaan terhadap kehilangan seseorang yang dicintai (menangis, menyalahkan diri, marah, takut, kesepian, penyesalan dan putus asa. Bagi anakanak dapat mengemukakan perasaannya dengan menggambar, bermain dan menulis). Diskusikan mengenai respon alternatif yang dapat digunakan keluarga dalam proses berduka (bereavement). Tawarkan koping adaptif yang dapat membantu keluarga memahami situasi dan menerima kematian anggota keluarganya. Meningkatkan strategi koping keluarga dengan memfasilitasi peningkatan spiritualitas dengan berdoa, ritual agama, membaca buku motivasi dan agama, mendengarkan dan menonton siaran keagamaan dan mendatangi tokoh agama.

│59


10. Bantu keluarga membuat keputusan, menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan hidup yang positif tanpa anggota keluarga yang telah meninggal. 11. Bantu keluarga mencari support system sehingga keluarga mampu membangun relasi dan dukungan sosial (melalui aktivitas sosial dan komunitas, dukungan sosial dengan melibatkan anggota keluarga dan teman). 12. Arahkan keluarga mengingat kehidupan masa lalu yang menguatkan spiritualitas. Bantu keluarga menyatukan pengalaman masa lalu, masa kini dan masa depan dan berusaha mencapai kedamaian hati. Agar keluarga dapat mengembangkan perilaku yang baru dan adaptif setelah kematian anggota keluarganya. 13. Latih keluarga menggunakan teknik mengurangi stress yaitu menggabungkan teknik relaksasi napas dalam dengan berdoa, meditasi dan imajinasi terbimbing. 14. Beri bantuan berkelanjutan pada keluarga dan evaluasi respon patologis akibat proses berduka yang berkepanjangan serta membuat rujukan jika diperlukan. Spiritually-integrated counseling pada keluarga korban bencana alam yang mengalami proses berduka (bereavement) merupakan implementasi hubungan antara penyembuhan dan spiritualitas. Spiritualitas didefinisikan sebagai dimensi integral dari kesehatan dan kesejahteraan setiap individu. Spiritualitas merupakan hakikat diri manusia dan penyembuhan merupakan proses spiritual yang bertujuan agar manusia selalu sehat.[37] The Canadian Nurses Association (2009) menyebutkan bahwa spiritualitas merupakan

dimensi yang tidak terpisahkan dari kesehatan individu. Spiritualitas merupakan indikator objektif dari kualitas hidup selain kesehatan fisik, kesehatan jiwa, hubungan sosial dan lingkungan.[34] Dengan dukungan spiritual individu dapat memaknai kematian seseorang yang dicintainya sebagai bagian dari proses kehidupan yang harus dilewati.[19] Spiritualitas merupakan faktor protektif dalam proses berduka yang tidak efektif.[35] Penurunan ataupun hilangnya spiritualitas dalam diri individu merupakan faktor risiko terjadinya proses berduka tidak efektif karena spiritualitas dapat meningkatkan harga diri dan efikasi diri. Peran perawat sebagai konselor dalam spiritually-integrated counseling adalah membantu keluarga memahami proses berduka. Perawat mengarahkan agar keluarga dapat menerima kematian dan mengembangkan perilaku agar dapat beradaptasi dengan kondisi dan kenyataan terhadap kematian anggota keluarga. Hal penting yang harus dipahami oleh keluarga yang mengalami reaksi berduka (bereavement) adalah meyakini bahwa kehidupan akan kembali lagi ke kondisi normal, rasa penerimaan tentang kematian merupakan bagian dari proses kehidupan yang akan dijalani, dan kemampuan untuk berhenti memikirkan masa lalu yang menyedihkan. Sehingga dengan spiritually-integrated counseling diharapkan keluarga dapat mengembangkan kemampuan untuk membuat keputusan dan pilihan hidup sesuai dengan nilai dan kepercayaan yang mereka miliki.[4]

3. KESIMPULAN Berdasarkan studi literatur yang dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Proses berduka (bereavement) merupakan bagian dari pengalaman keluarga dan proses adaptasi psikologis yang normal terhadap kematian seseorang yang dicintai.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│60


Proses berduka yang berkepanjangan dapat menimbulkan krisis psikologis sehingga perlu dilakukan intervensi keperawatan. 2. Diagnosis keperawatan yang muncul pada pada proses berduka berkepanjangan pada keluarga korban bencan alam yaitu duka cita terganggu (dysfunctional grieving) dan distres spiritual (spiritual distress). 3. Spiritually-integrated counseling merupakan intervensi keperawatan yang mengintegrasikan spiritualitas dalam proses konseling. Peran perawat sebagai konselor yaitu membantu mengembangkan perilaku keluarga agar dapat beradaptasi dengan kondisi dan kenyataan terhadap kematian anggota keluarga pada bencana alam.

4. SARAN 1. Peran penting tenaga kesehatan khususnya perawat yaitu membantu menyediakan dukungan yang tepat dan efektif pada keluarga yang mengalami proses berduka (bereavement) pasca bencana alam. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas spirituallyintegrated counseling pada keluarga korban bencana alam yang mengalami proses berduka (bereavement).

DAFTAR PUSTKA 1. A’la, M. Z et al. Proses Berduka (Bereavement) dan Spiritualitas Keluarga pada Pasien dengan Stroke. BIMIKI 2013; 2(1):51-58. 2. Aldridge, D. Prayer and Spiritual Healing and Medical Setting 2001. Diakses dari http://www.ijhc.org. 3. Antara Sumbar. 2002-2014 Bencana Alam di Indonesia Capai 1093 2014. Diakses dari http://www.antarasumbar.com. 4. Benavides, L. E. Spiritually as Protective Factor For a Adolescents Exposed to Domestic Violence. Arlington University of Texas, 2009. 5. Buglass, E. Grief and Bereavement Theories. Nursing Standard 2010; 24 (41), 44.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

6. Bulechek, G. M., Butcher, H. K., & Dochterman, J. M. Nursing Interventions Classification (NIC). 5th ed. Kidlington: Elsevier Global Right; 2008. 7. Burton, C. R & Payne, S. Integrating Palliative Care Within Acute Stroke Services: Developing a Programm Theory of Patient and Family Needs, Preferences and Staff Perspectives. BMC palliative care 2012. Diakses dari http://www.pubmedcentral.nih.gov. 8. Canadian Nurses Association. Spirituality, Health and Nursing Practice. Canada 2009. 9. DeLaune et al. Fundamental of Nursing: Standard and Practice 2002. Diakses dari http://delaune.delmarnursing.com. 10. Green D. A Shoulder to Cry on: Support Through Bereavement. Nursing & Residential Care 2013; 15(2):68–71. 11. Hamid, A. Y. Buku Ajar Aspek Spiritual dalam Keperawatan. Jakarta: Widya Medika. Jakarta; 2000. 12. Herdman, T. H. NANDA-I Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC; 2012. 13. Hunt, B. Helping Client Deal with Grief and Loss. The Counselor Education Newsletter 2009; 3(2). 14. Kamadhis UGM. Bencana Alam. EkaCitta Bersatu dalam Dharma Buletin Kamadhis UGM 2007. 15. Kozier. Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC; 2004. 16. Kristensen, P. Disaster-Related Bereavement: A Study of Long-term Helath Effect and Interventions. Oslo: Faculty of Medicine University of Oslo; 2012. 17. ___________ et al. Predictors of Complicated Grief after a Natural Disaster: A Population Study Two Years After The 2004 South-East Asian Tsunami. Taylor&Francis Group 2010; 1(34):137-150. 18. Li, S. P et al. Helpfulness of Nursing Actions to Suddenly Bereaved Family Members in an Accident and Emergency Setting in Hong Kong. Journal of Advanced Nursing 2002; 40(2):170-180. 19. Life care Inc. A Life Care Guide to Grief and Bereavement. Los Angeles: Stewart Enterprises Inc; 2001.

│61


20. Lister S, Pushkar D, Connolly K. The Arts in Psychotherapy Current Bereavement Theory: Implications for art therapy practice. The Arts in Psychotherapy 2008; 35. 21. Marjono. Penanganan Dampak Sosial Psikologis Korban Merapi 2010. Diakses dari http://www. jatengprov.go.id. 22. Milligan, G &Teena, M. Mental Health Needs in a Post-Disaster Environment. Journal of Psychosocial Nursing and Mental Health Services 2009; 47(9):23-30. 23. Newell, Robert et al. Mental Health Nursing A n Evidence-Based Approach. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2009. 24. New South Wales Health Centre for Mental Health. Disaster Mental Health Response Handbook. North Sydney: NSW Institute of Psychiatry; 2000. 25. Nurjannah, I. Intan’s Screening Diagnoses Assesment. Yogyakarta: Moco Media; 2010. 26. Parkes, C. M. Bereavement in Adult Life. British Medical Journal 1998; 316(7134):856. 27. Potter, P. A. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2005. 28. Raharjo, S. Alasan Indonesia di Juluki Ring of Fire 2014. Diakses dari http://infopendidikanpendidik.blogspot .com.

29. Rusmiyati, C & Enny, H. Penanganan Dampak Sosial Psikologis Korban Bencana Merapi. Informasi 2012; 17(02): 101-102. 30. Sadock, B. J. Kaplan Sadock Psychiatry. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2003. 31. Shah SN, Meeks S. Late-life Bereavement and Complicated grief: A Proposed Comprehensive Framework. Aging & Mental Health 2012; 16(1):39–56. 32. Strada, R. E. Spirituality as a Protective Factor in Complicated Bereavement; 2006. 33. Supariasa, I. D. W. Pendidikan dan Konsultasi Gizi. Jakarta: EGC; 2012. 34. Velasco, G. L & Rioux, L.. The Spiritual Well-Being of Elderly People: A Study of a French Sample. Journal of religion and health 2013. 35. Walsh K, King M, Jones L, Tookman A, Blizard R. Spiritual Beliefs May Affect Outcome of Bereavement: Prospective Study. BMJ (Clinical research ed) 2002; 29 (324). 36. Wilkinson, M. J. Nursing Diagnosis Handbook with NIC Intervention and NOC Outcome. 8th Edition. New Jersey: Pearson Education; 2005. 37. Young, C et al.. Spiritualitas, Kesehatan, dan Penyembuhan, Penerjemah. Medan: Penerbit Bina Media Perintis. Terjemahan dari: Spirituality, Health and Healing; 2007.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│62


Tinjauan Pustaka

STRATEGI PENINGKATAN PERILAKU SELF-MANAGEMENT PADA PASIEN HEMODIALISIS: A CRITICAL REVIEW Raisa Farida Kafil1 1Student

of Master of Medical Surgical Nursing UNPAD

Bandung ABSTRAK Pendahuluan dan Tujuan : Pasien End Stage Renal Disease (ESRD) membutuhkan pengelolaan jangka panjang untuk mempertahankan hidupnya.Upaya peningkatan manajemen diri pada pasien hemodialisis merupakan cara yang efektif untuk mengurangi prevalensi morbiditas maupun mortalitas serta mampu meningkatkan kualitas hidup pasien. Tujuan dari critical review ini adalah untuk menarik sebuah kesimpulan berdasarkan temuan evidence-based yang membahas tentang strategi peningkatan selfmanagement pasien hemodialisis. Metode : Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah critical review dari original article. Database bibliografi terkomputerisasi dicari mulai tahun 2006-2015 dengan kombinasi kata kunciself-management program, self-management, self-care, hemodialysis, dan adherence. Hasil dan Pembahasan : Lima artikel yang melibatkan 141 responden ini membahas tentang strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan self-management pasien hemodialisis meliputi edukasi self-management, empowering intervention, partnership care model, terapi kognitif dan dukungan sosial danself-monitoring. Seluruh program manajemen diri yang dipaparkan di atas mampu meningkatkan outcome pasien, namun empowering intervention, self-monitoring, dan partnership care model dinilai lebih efektif dalam peningkatan perilaku self-management pasien hemodialisis. Kesimpulan : Review ini menyimpulkan bahwa empowering intervention, self-monitoring, dan partnership care model dinilai lebih efektif dalam peningkatan perilaku selfmanagement pasien hemodialisis karena secara langsung melibatkan pasien dalam tindakan perawatan dirinya sehari-hari. Kata Kunci : Hemodialisis, Intervensi, Kepatuhan, Program manajemen diri. ABSTRACT Introduction and aim : End Stage Renal Disease (ESRD) patients require a long-term management to sustain their life. Self-management in hemodialysis patients is an effective way to reduce the prevalence of morbidity and mortality and associated with the improvement of patients quality of life. The purpose of this critical review is to describe a conclusion based on evidence-based findings about strategies for improving selfmanagement of hemodialysis patients. Method : The method used in this article was critical review of original articles. Computerized bibliographic databases were searched from 2006 to 2015 using the combination of keyword self-management program, self-management, self-care, hemodialysis, andadherence. Result and Discussion : Five articles involving 141 respondents discussed about strategies to improve self-management behaviour in hemodialysis patients, include selfmanagement education, empowering intervention, care partnership models, cognitive therapy, social support, and self-monitoring. All of the intervention can improve patient outcomes, but empowering intervention, self-monitoring, and care partnership models are considered to be more effective in improving self-management behaviour of patients.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│63


Conclusion : This review concluded that empowering intervention, self-monitoring, and care partnership models are considered to be more effective in increasing selfmanagement behaviour of hemodialysis patients because it can directly involving patients in the management of their disease everyday. Keywords : Adherence, Hemodialysis, Intervention, Self-management program

1. PENDAHULUAN End-stage renal disease (ESRD) diklasifikasikan sebagai tahap akhir dari penyakit gagal ginjal kronis yang ditandai dengan adanya penurunan fungsi ginjal (Glomerular filtration rate (GFR) <15ml/menit/1.73m2) sehingga membutuhkan dialisis atau terapi ginjal pengganti untuk mengambil alih fungsi ginjal dalam mengeliminasi toksin tubuh.[18] Pasien ESRD terus mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya prevalensi di tingkat global.[22] Sekitar 26 juta penduduk di Amerika pada tahun 2012 yang berusia dewasa mengalami ESRD, dan lebih dari 1 juta penduduk memiliki peningkatan resiko penyakit ini.[13] Selain itu, PERNEFRI[14] menyatakan bahwa pada tahun 2012, Indonesia merupakan negara dengan prevalensi ESRD cukup tinggi, yaitu sekitar 30,7 juta penduduk. Saat ini, terdapat tiga metode terapi pengganti ginjal yang dapat digunakan pada pasien ESRD yaitu hemodialisis, peritoneal dialisis, dan transplantasi ginjal, namun hemodialisis merupakan terapi yang paling banyak dipilih oleh mayoritas pasien.[7] The United States Renal Data System[22] melaporkan, sekitar 92% pasien ESRD memilih hemodialisis sebagai terapi ginjal yang dijalaninya, dan selama lima tahun terakhir terjadi pertumbuhan jumlah pasien hemodialisis secara signifikan. Pasien hemodialisis kronis memiliki kecenderungan mengalami banyak masalah antara lain retensi air dan garam, retensi fosfat, hiperparatiroidisme sekunder, hipertensi, anemia kronis, hiperlipidemia, dan penyakit jantung. Hampir setengah dari pasien hemodialisis mempunyai riwayat diabetes yang mengarah pada makin kompleksnya komplikasi.[12] Selain itu, peningkatan stresor fisik maupun psikis memberikan tantangan tersendiri bagi pasien maupun tenaga kesehatan. Stresor tersebut misalnya masalah keluarga, perubahan fungsi seksual,

ketergantungan kepada orang lain dalam kehidupan sehari-hari, isolasi sosial, perubahan citra tubuh, tekanan mental dan ketakutan akan kematian.[1] Walaupun telah ditemukan berbagai modalitas dengan pengembangan teknologi maupun obat-obatan untuk menangani hal tersebut, namun kenyataannya angka mortalitas masih tetap tinggi. Dikatakan bahwa, keberhasilan hemodialisis tidak dapat berjalan apabila hanya mengandalkan tim kesehatan. Dibutuhkan partisipasi aktif dari pasien melalui tindakan manajemen perawatan diri secara konsisten sepanjang hidupnya.[21] Pengelolaan ini meliputi kepatuhan dan partisipasi aktif pasien sebagai mitra tim kesehatan dalam pengelolaan penyakit, membuat keputusan tentang perawatan diri yang dibutuhkan, mengidentifikasi masalah, menetapkan tujuan, serta memantau dan mengelola gejala. Upaya peningkatan manajemen diri pada pasien hemodialisis merupakan cara yang efektif untuk mengurangi prevalensi morbiditas maupun mortalitas serta mampu meningkatkan kualitas hidup pasien.[9] Meskipun beberapa studi melaporkan bahwa intervensi manajemen diri dapat meningkatkan outcome pasien, terdapat kelemahan metode penelitian yang signifikan sehingga hasil penelitian sulit untuk digeneralisasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan tinjauan yang lebih mendalam, sehingga tujuan dari review ini adalah untuk membahas efektivitas strategi peningkatan manajemen perawatan diri pada pasien hemodialisis.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│64

2. METODE Beberapa kriteria penelitian yang dilakukan dalam review ini: 2.1 Tipe penelitian: Artikel ini merupakan sebuah critical review dari beberapa original


article. Critical review merupakan sebuah telaah formal menggunakan beberapa metode berfikir kritis seperti logika, ringkasan akurat, analisis, argumen, atau evaluasi informasi dari sebuah artikel.[2] 2.2 Tipe partisipan Penulis melibatkan partisipan dewasa (usia ≼ 18 tahun) dengan diagnosis medis ESRD yang menjalani terapi hemodialisis minimal selama 3 bulan. 2.3 Tipe outcome 2.3.1 Outcome primer Outcome primer yang dinilai adalah tingkat manajemen diri pasien yang digambarkan melalui indikator-indikator tertentu, seperti Interdialytic Weight Gain (IDWG), tekanan darah, serum sodium, potassium, dan fosfor. 2.3.2

Outcome sekunder Outcome sekunder pada artikel ini meliputi pengetahuan mengenai manajemen diri pasien, selfefficacy pasien, dan kualitas hidup pasien. Apabila dalam satu artikel memuat hanya salah satu outcome yang digunakan, penulis tetap mengambil artikel tersebut untuk dimasukkan dalam kriteria inklusi.

2.4 Strategi Pencarian: ScienceDirect, Emerald, ProQuest, dan SpringerLink merupakan database yang digunakan dalam critical review ini. Kata kunci yang digunakan adalah self-management program, selfmanagement, self-care, hemodialysis, dan adherence. Kata kunci tersebut saling dikombinasikan agar tercapai hasil pencarian yang spesifik. Pencarian dilakukan pada bulan September 2015 yang mempertimbangkan batasan publikasi artikel pada tahun 2006 hingga 2015. Penulis juga mencari sumber di luar database yang

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

mampu mendukung hasil temuan artikel tersebut.

3. HASIL 3.1 Deskripsi artikel yang dimasukkan dalam review Total hasil penelusuran artikel dengan kata kunci yang telah ditentukan adalah 2.398 artikel, dengan rincian ScienceDirect sejumlah 1.182 artikel, ProQuest sejumlah 1.090 artikel, SpringerLink sejumlah 108 artikel, Emerald sejumlah 10 artikel, dan sumber lain sebanyak 8artikel. Didapatkan 210 artikel melalui pemilihan judul, dan menjadi 74 artikel melalui skrining kesesuaian dengan tujuan review. Sebanyak 68 artikel dieksklusikan karena tidak memenuhi kriteria yang ditentukan; durasi terapi hemodialisis pada partisipan kurang dari 3 bulan, intervensi yang diberikan tidak mencakup outcome manajemen diri pasien hemodialis, serta penelitian tersebut bukan merupakan sebuah intervensi. Setelah skrining lebih lanjut sesuai desain, sampel dan keterkaitan dengan implikasi keperawatan maka terpilih 5 artikel yang terbagi menjadi 5 sub bahasan; 1 artikel yang membahas tentang edukasi self-management16], 1 artikel yang membahas tentang empowering intervention[17], 1 artikel yang membahas tentang partnership care model[3], 1 artikel yang membahas tentang terapi kognitif dan dukungan sosial[10], dan 1 artikel yang membahas tentang selfmonitoring.[6] 3.2 Edukasi self-management Lingerfort dan Thornton[16] melakukan penelitian yang bertujuan untuk menilai pengaruh edukasi terstruktur pasien ESRD yang menjalani hemodialisis terkait proses penyakit, diet, pengelolaan penyakit, dan anjuran medikasi terhadap perilaku manajemen dirinya. Penelitian ini merupakan penelitian dengan pre-post single group quasiexperimental design yang melibatkan 26 partisipan dan terbagi atas 4 sub kelompok intervensi. Intervensi

│65


dilakukan selama 3 bulan, yaitu berupa pemberian sebuah handbook ESRD dan diskusi mengenai handbook tersebut. Intervensi dilakukan sebanyak 2 sesi per minggu secara bertahap dengan durasi 30 menit selama 4 minggu untuk total 8 sesi yang dipandu oleh peneliti utama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan terhadap skor rata-rata Chronic Hemodialysis Knowledge Survey (CHeKS) dari 66% menjadi 90% (pre=15,27 [SD=4,23], post=20,65 [SD=2,39]; t6,682, p<0.000). Peningkatan signifikan dalam pengetahuan ESRD pasca-intervensi (p<0,000) dapat meningkatkan manajemen diri dan outcome pasien yang lebih baik. Kelemahan dari penelitian ini adalah durasi penelitian yang relatif singkat dan tidak adanya skrining awal mengenai keterpaparan partisipan terhadap edukasi ESRD sebelumnya.

perbedaan yang signifikan antara kelompok intervensi dan kontrol dalam skor keseluruhan yang meliputi peningkatan self-care dan self-efficacy (p<0.001), penurunan tingkat stres (p<0.02), peningkatan kemampuan pengambilan keputusan (p<0.001), peningkatan status dan fungsi kesehatan (p<0.001), serta kualitas hidup secara keseluruhan (p<0.001). Kelemahan dari penelitian ini adalah jumlah sampel yang kurang adekuat untuk dilakukan generalisasi.

3.3 Empowering intervention Moattari, Ebrahimi, Sharifi, dan Rouzbeh[17] melakukan penelitian yang bertujuan untuk menentukan pengaruh program pemberdayaan pada pasien hemodialisis. Penelitian ini merupakan penelitian parallel groupsRandomized Controlled Trial (RCT). Sebanyak 48 pasien hemodialisis kronis dilibatkan dalam penelitian ini, dan dilakukan randomisasi kedalam 2 kelompok, yaitu kelompok intervensi (n=25) dan kelompok kontrol (n=25). Outcome primer yang dievaluasi adalah perilaku self-care, self-efficacy, dan kualitas hidup, sedangkan outcome sekunder meliputi interdialytic weight gain (IDWG), tekanan darah, marker laboratorium yang meliputi kadar sodium (Na+), potassium (K+), creatinine (Cr), blood urea nitrogen (BUN), phosphorous (P), calcium (Ca+), hemoglobin dan hematocrit (H&H). Intervensi ini menekankan pada pentingnya empowerment atau pemberdayaan partisipan dalam mengelola penyakitnya secara mandiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat

3.4 Partnership care model Bahadori, Ghavidel, Mohammadzadeh, dan Ravangard[3] melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh penggunaan model intervensi selfcare pada pasien hemodialisis. Penelitian ini merupakan penelitian quasi-experimental yang melibatkan 32 partisipan. Outcome yang dinilai berupa marker laboratorium sebagai gambaran tingkat self-care partisipan danthe Short Form-36 (SF‑36) standardized questionnaire. Intervensi ini merupakan sebuah program kemitraan antara tenaga kesehatan dan pasien yang terdiri atas 4 fase, yaitu (1) Motivating; (2) Preparing; (3) Involving; dan (4) Evaluating. The partnership care model merupakan program yang berfokus pada interaksi antara pasien, keluarga, perawat, dokter, dan penyedia layanan kesehatan lainnya dalam proses perawatan penyakit pasien berdasarkan pendekatan kemitraan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor mean dan standar deviasi (SD) dari parameter yang telah ditentukan (berat badan dan tekanan darah) mengalami penurunan secara signifikan (P <0,001). Outcome lain seperti dimensi kualitas hidup pasien hemodialisis (p<0,001), fungsi fisik (p<0,001), peran fisik (p<0,001), tingkat nyeri (p<0,001), status kesehatan umum (p<0,001), vitalitas (p<0,001), fungsi sosial (p<0,001), kesehatan mental (p<0,001), dan peran emosional menunjukkan peningkatan yang signifikan

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│66


dibandingkan dengan skor sebelum intervensi (p<0,001). Kelemahan dalam penelitian ini adalah kemampuan belajar dan motivasi partisipan yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti pada saat melakukan rekruitmen partisipan. 3.5 Terapi kognitif dan dukungan sosial Henry[10] melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi kognitif dan dukungan sosial terhadap perilaku manajemen diri pasien hemodialisis. Partisipan yang dilibatkan adalah sebanyak 32 pasien hemodialisis (perempuan, n=15 dan laki-laki, n=17). Outcome yang dinilai meliputi kepatuhan pengelolaan penyakit (berat badan dan tekanan darah) sebagai penanda perilaku selfmanagement, status kesehatan, tingkat dukungan sosial, fungsi kognitif, dan gejala depresif. Partisipan diberikan terapi kognitif selama 3-4 jam yang dilakukan selama partisipan menjalani hemodialisis. Significant other (SO) dilibatkan dalam penelitian untuk memberikan dukungan sosial kepada partisipan terhadap perawatan diri yang dijalaninya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi kognitif dan dukungan sosial yang diberikan oleh SO mampu mencegah paritisipan dalam kelebihan asupan cairan (OR=0.7, 95% CI=0.51-1.0; p=.034) dan diet harian (OR=0.6, 95% CI=0.5-0.8; p=.0002) serta peningkatkan kepatuhan medikasi (OR=0.5, 95% CI=0.2-1.18; p=.004). Selain itu terapi kognitif yang diberikan juga mampu meningkatkan fungsi kognitif sehingga meningkatkan kemampuan partisipan untuk mengontrol perawatan diri sehari-hari (OR=0.6, 95% CI=0.5-0.8; p=.0004).

3.6 Self-monitoring Dowell dan Welch[6] melakukan penelitian pilot study untuk mengevaluasi pengaruh selfmonitoring elektronik terhadap asupan cairan dan diet pada pasien

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

hemodialisis yang melibatkan 3 orang partisipan. Outcome yang dinilai dalam penelitian ini adalah pola asupan cairan, sodium, potassium, phosporus, protein, dan kalori selama 3 bulan yang direkam melalui Personal Digital Assisstant (PDA). Prosedur intervensi dilakukan dengan memberikan penjelasan kepada partisipan mengenai penggunaan PDA termasuk navigasi dan input asupan cairan dan diet, serta interpretasi dari data tersebut. Seluruh partisipan dianjurkan untuk mencatat asupan harian cairan dan dietnya ke dalam PDA yang telah diberikan terhadap kadar sodium, potassium, phosporus, protein, dan kalori. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata asupan nutrient partisipan dalam satu minggu mengalami fluktuasi. Secara keseluruhan, partisipan dalam penelitian ini sudah menunjukkan kepatuhan dalam manajemen penyakitnya berdasarkan evaluasi yang dilakukan melalui PDA pasiens. Penelitian ini tidak dapat dilakukan generalisasi dan membutuhkan studi yang lebih besar dengan desain yang baik untuk menentukan hasil temuan penelitian.

4. PEMBAHASAN Manajemen diri mengacu kepada kemampuan individu untuk mengelola gejala fisik, psikososial, medikasi, dan perubahan gaya hidup yang berkaitan dengan kondisi penyakit yang membutuhkan perawatan jangka panjang[11]. Curtin, Sitter, Schatell, dan Chewning[5] menambahkan, manajemen diri merupakan pelibatan individu dengan penyakit kronis dalam pengelolaan dan peningkatan status kesehatannya, melalui kegiatan pemantauan dan pengelolaan tanda gejala penyakit, dampak penyakit pada fungsi sehari-hari, hubungan interpersonal, dan kepatuhan pengobatan. Melalui manajemen diri, individu didorong untuk membuat pilihan terkait pengelolaan penyakitnya, beradaptasi terhadap perspektif dan keterampilan perawatan dirinya, yang dapat diterapkan untuk pengelolaan gejala baru yang muncul, berlatih menerapkan perilaku kesehatan secara

│67


mandiri, dan berupaya mempertahankan atau meningkatkan status fisik maupun psikisnya. [8] Manajemen diri pada pasien hemodialisis terdiri atas dua domain, yaitu manajemen diri pasien terhadap kesehatannya dan manajemen diri pasien terhadap aktivitas sehari-hari. Beberapa aspek dari hemodialisis seperti pengontrolan cairan harus dikelola secara mandiri oleh pasien yang tercakup dalam aktivitas perawatan diri (self-care). Manajemen diri pasien terhadap kesehatannya meliputi manajemen cairan dan diet, medikasi, perawatan, komunikasi dengan tenaga kesehatan, efikasi diri, serta kepatuhan terhadap program terapi, sedangkan manajemen diri pasien terhadap aktivitas sehari-hari meliputi kegiatan seperti memelihara kapasitas fungsional seharihari dengan optimal. Manajemen diri telah diasosiasikan dengan peningkatan outcome pasien.[19] Program manajemen diri berusaha memberdayakan pasien dengan cara meningkatkan efikasi diri (tingkat keyakinan bahwa seorang individu memiliki kemampuan untuk berhasil dalam pengelolaan penyakitnya). Teori efikasi diri dikembangkan oleh Bandura pada tahun 1997, yang memaparkan bahwa efikasi diri yang tinggi dapat meningkatkan kemampuan individu menjalani tugas kesehatannya dengan lebih baik. Terdapat 4 prediktor yang dapat meningkatkan efikasi diri pasien yang pada akhirnya juga meningkatkan manajemen diri, yaitu performance accomplishment, vicarious experience, social persuassion, dan physiological and emotional status seperti yang dijelaskan pada gambar di bawah ini.[4] Program manajemen diri pasien hemodialisis yang ditawarkan pada kelima jurnal di atas termasuk dalam faktor social persuasion. Bentuk persuasi ini dapat berupa kegiatan edukasi, evaluasi, atau pemberdayaan pasien dalam manajemen diri. Tujuan dari program tersebut adalah untuk menguatkan keyakinan pasien dalam mengelola penyakitnya secara mandiri.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

Jika ditelaah lebih dalam, kelima artikel yang membahas tentang program manajemen diri ini memiliki persamaan, yaitu intervensi yang diberikan samasama bertujuan untuk meningkatkan kemandirian pasien untuk aktif melakukan perawatan dirinya. Perbedaannya adalah pada tingkat keterlibatan pasien terhadap pengelolaan penyakit. Program manajemen diri berupa edukasi dan terapi kognitif yang dikombinasikan dengan dukungan sosial mampu meningkatkan perilaku manajemen diri pasien yang ditunjukkan dengan perbaikan marker biokimia, IDWG, maupun TTV, namun partisipan tidak secara langsung dilibatkan dalam pengelolaan terapinya.[16,10] Sedangkan program empowering, self-monitoring, dan partnership care model secara langsung melibatkan pasien dalam kegiatan seperti pencatatan gejala dan perawatan diri harian dalam sebuah diary.[17,6,3] Pasien secara aktif memegang kontrol terhadap pengelolaan penyakitnya. Persepsi mengenai “feeling in control� memainkan peran penting bagi individu untuk melakukan adaptasi terhadap penyakit kronis yang dideritanya.[19] Bentuk program selanjutnya adalah partnership care model, dimana model ini dapat memfasilitasi pasien untuk berkontribusi dalam pengelolaan penyakitnya karena menekankan pada kemitraan antara pasien, dokter, perawat, serta tim penyedia kesehatan lainnya. Li, Jiang, dan Lin[15] memaparkan beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku manajemen diri pasien hemodialisis antara lain faktor demografis, faktor yang berkaitan dengan penyakitnya, pengetahuan, efikasi diri, status psikologis, dan dukungan sosial. Faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan memiliki korelasi positif terhadap perilaku manajemen diri (p<0.05). Usia dikaitkan langsung

│68


dengan kemampuan pemecahan masalah, dimana kemampuan ini diperlukan dalam proses identifikasi masalah, memilih solusi yang tepat, dan mengevaluasi dampaknya. Pengetahuan yang cukup tentang penyakit dan kemampuan pemecahan masalah sangat penting dalam proses ini. Pasien yang lebih muda cenderung aktif mencari informasi melalui media elektronik seperti internet.[11] Faktor kedua yang mempengaruhi perilaku manajemen diri pasien hemodialisis adalah kondisi penyakit. Faktor ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap manajemen diri, namun jumlah komplikasi penyakit memiliki korelasi negatif dengan kemampuan pemecahan masalah. Hal ini mungkin berkaitan dengan fakta bahwa lebih banyak komplikasi yang dimiliki pasien akan berdampak negatif pada kondisi fisik, perilaku, dan menyebabkan lebih banyak masalah yang perlu dipecahkan.[15] Dikatakan pula bahwa pengetahuan memiliki korelasi positif dengan perilaku manajemen diri pasien hemodialisis karena pengetahuan yang akurat menjadi dasar dari pengambilan keputusan. Ketika pasien menemukan kesulitan dalam pengelolaan penyakitnya (pengelolaan diet, asupan cairan, maupun medikasi), pasien cenderung meminta informasi dari orang lain sebagai solusinya. Lebih lanjut, efikasi diri menjadi faktor dominan yang menentukan perilaku manajemen diri pasien hemodialisis. Pasien dengan tingkat efikasi diri yang tinggi menunjukkan perilaku manajemen diri yang lebih baik, terutama dalam kategori self-care.[21] Faktor terakhir yang menentukan perilaku manajemen diri pasien adalah status psikologis dan tingkat dukungan sosial. Depresi diasosiasikan dapat mempengaruhi manajemen diri, partnership, kemampuan pemecahan masalah, tingkat manajemen emosional, dan kecemasan. Depresi dan kecemasan dapat menghilangkan minat pasien dalam kegiatan perawatan diri yang dijalaninya, mempengaruhi kualitas komunikasi interpersonal, konsentrasi,

kemampuan mengingat, dan pemecahan masalah pada pasien.[15]

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│69

5. KESIMPULAN Program manajemen diri pada pasien hemodialisis berusaha memberdayakan pasien dengan cara meningkatkan efikasi diri terkait pengelolaan penyakitnya. Penting bagi perawat untuk memperhatikan aspekaspek yang mempengaruhi perilaku manajemen diri pasien secara komprehensif agar dapat berjalan optimal. Seluruh program manajemen diri yang dipaparkan diatas mampu meningkatkan outcome pasien, namun empowering intervention, self-monitoring, dan partnership care model dinilai lebih efektif karena secara langsung melibatkan pasien dalam tindakan perawatan dirinya sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA 1. Atashpeikar S, Jalilazar T, Heidarzadeh M. Self-Care Ability in Hemodialysis Patients. JCS 2011; 6:29-33. 2. Aysem. Writing a critical review. [monograph online] 2009 [cited 2015 Nov 10]. Available from: http://www.onsedge.com/wordpress/w p-content/uploads/2012/07/Abbottwhite-paper-final_Web.pdf. 3. Bahadori M, Ghavidel F, Mohammadzadeh S, Ravangard R.The effects of an interventional program based on self-care model on health-related quality of life outcomes in hemodialysis patients. J Edu Health Promot. 2014; 3:110. 4. Bandura A, Ramachaudran VS. Selfefficacy. Encyclopedia of human behaviour. New York: Academic Press; 1998. 5. Curtin RB, Sitter DCB, Schatell D, Chewning BA. Self-Management Knowledge and Functioning and WeilBeing of Patients on Hemodialysis. Nephrol Nurs J 2004; 31(4):378-8. 6. Dowell SA, Welch JL. Use of electronic self-monitoring for food and fluid intake: A pilot study. Nephrol Nurs J 2006; 3(33):271-8. 7. English C.Patients on hemodialysis. United States: UMI Publishing; 2009.


8. Fenlon D, Foster C. Self management support: a review of the evidence[monograph online] 2009 [cited 2015 Nov 3]. Available from: http://www.ncsi.org.uk/wpcontent/uploads/Self-ManagementSupport-A-Review-of-theEvidence.pdf. 9. Griva K, Mooppil N, Seet P, Sarojiuy D, Krishnan P, James, H. The NKFNUS hemodialysis trial protocol-a randomized controlled trial to determine the effectiveness of a self management intervention for hemodialysis patients. BMC Nephrol 2011; 12:1-11. 10. Henry SL.Working for the weekend: The effect of cognitive functioning, social support, and the interdialytic interval on disease self-management among patients on hemodialysis. United States: UMI Dissertation Publishing; 2014. 11. Johnston S, Liddy C, Ives MS, Soto E. Literature review on Chronic Disease Self-Management. Ontario: Elisabeth Bruyere; 2008. 12. Kammerer J, Garry J, Hartigan M, Carter B, Erlich L. Adherence in Patients on Dialysis: Strategies for Success. Nephrol Nurs J 2007; 34 :479-487. 13. National Kidney Foundation. The Facts About Chronic Kidney Disease. [serial online]. 2012. Available from URL: https://www.kidney.org/news/newsroo m/ factsheets/ FastFacts. 14. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI). 5th Report of Indonesian Renal Registry. [serial online]. 2012. Available from URL: http://www.pernefriinasn.org/Laporan/5th%20Annual%20 Report%20Of%20IRR%202012.pdf. 15. Li H, Jiang Y-f, Lin C-C. Factors associated with self-management by people undergoing hemodialysis: A

descriptive study. Int J Nurs Stud 2014; 51:208–16. 16. Lingerfelt K, Thornton K. An educational project for patients on hemodialysis to promote selfmanagement behaviours of end stage renal disease. Nephrol Nurs J 2011; 38:483-8. 17. Moattari M, Ebrahimi M, Sharifi N, Rouzbeh J. The effect of empowerment on the self-efficacy, quality of life and clinical and laboratory indicators of patients treated with hemodialysis: a randomized controlled trial. Health Qual Life Outcomes 2012; 10:1-10. 18. Perhimpunan Nefrologi Indonesia. 5th Report of Indonesian Renal Registry. [monograph online] 2012 [cited 2015 Nov 7]. Available from: http://www.pernefriinasn.org/Laporan/5th%20Annual%20 Report%20Of%20IRR%202012.pdf. 19. Quinan P. Control and coping for individuals with end stage renal disease on hemodialysis: A position paper. J CANNT 2007; 17:77-84. 20. Richard CJ.Self-Care Management in Adults Undergoing Hemodialysis. Nephrol Nurs J 2006; 33:387-95. 21. Smith K, Coston M, Glock K, Elasy TA, Wallston KA, Ikizler TA. Patient perspectives on fluid management in chronic hemodialysis. J Ren Nutr 2010; 20:334–41. 22. The United States Renal Data System. Atlas of Chronic Kidney Disease & End-Stage Renal Disease in the United States. [monograph online] 2010 [cited 2015 Nov 8]. Available from: http://www.usrds.org/2007/pdf/00_intr o_07.pdf. 23. Venkat A, Kaufmann KR, Venkat KK. Care of the end-stage renal disease patient on dialysis in the ED. Am J Emerg Med 2006; 24:847–58.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│70


Tinjauan Pustaka

IMPLEMENTASI ART THERAPY UNTUK MENGATASI PTSD PADA ANAK PASCABENCANA Maufiroh1, Vika Rachma Sari1 1Fakultas

Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok

ABSTRAK Pendahuluan : Selama lima tahun terakhir, angka kejadian bencana alam di Indonesia mengalami peningkatan, diantaranya adalah tanah longsor, banjir, dan puting beliung. Salah satu dampak psikologis yang terjadi adalah trauma pascabencana, salah satunya adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Anak adalah kelompok usia paling sehingga diperlukan terapi yang sesuai. Art therapy ditemukan efektif untuk mengatasi trauma pada anak. Tujuan penelitian ini adalah melakukan sintesis terhadap keefektifan penggunaan Art therapy pada anak dengan PTSD. Metode : Studi literature penelitian ini menggunakan jurnal, buku, dan sumber literatur lain yang diakses dari Proquest, Sciencedirect, JSTOR, yang berfokus pada penggunaan Art therapy dalam mengatasi trauma pada anak. Analisis sitematik digunakan untuk mengidentifikasi implementasi, keefektifan hasil, keterbatasan, dan rekomendasi art therapy. Hasil : Art therapy merupakan salah satu metode untuk mengurangi trauma dan gejala PTSD. Implementasi Art therapy memiliki beragam durasi dan sesi namun menggunakan kombinasi metode verbal dan gambar dengan beragam tema sehingga hasil menjadi efektif untuk mengurangi gejala PTSD. Kesimpulan : Berdasarkan hasil literature ilmiah, art therapy efektif untuk mengatasi trauma dan kejadian PTSD pada anak. Art therapy direkomendasikan untuk diimplementasikan di Indonesia untuk mengatasi trauma pada anak paska bencana dan perlu dikembangkan penerapannya. Kata kunci : art therapy, anak, pascabencana, PTSD ABSTRACT Introduction : Over the past five years, the incidence of natural disasters in Indonesia have increased, such as landslides, floods, and tornados.One of the psychological effects that happened postdisaster is trauma, including Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Children are the most vulnerable age that required appropriate therapy to overcome and prevent trauma. Art therapy found to be effective to cope with trauma in children. Therefore, the purpose of this study was to synthesize the effectiveness of the use of Art therapy in children with PTSD. Methods : The study uses research literature journals, books, and other literature sources are accessed from Proquest, ScienceDirect, JSTOR, which focuses on the use of Art therapy in overcoming trauma in children. Systematically analyzes are used to identify the implementation, effectiveness of results, limitations, and recommendations of art therapy. Results : Art therapy is one method to reduce trauma and PTSD symptoms. Implementation of art therapy have varied duration and session but uses a same combination of methods. They are verbalizing and drawing with various image themes that result to be effective for reducing the symptoms of PTSD. Conclusion : Based on the scientific literature, art therapy is effective for overcoming and preventing the trauma and incidence of PTSD in children. Art therapy is

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│71


recommended to be implemented in Indonesia to cope with post-disaster trauma in children and its implementation should be developed. Keywords : art therapy, children, post-disaster, PTSD 1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu Negara dengan label sangat rawan bencana. Bencana menurut World Health Organization merupakan suatu kejadian yang merusak fungsi masyarakat seperti hilangnya nyawa manusia, kerusakan sarana dan prasarana, terganggunya perekonomian dan gangguan ekologis. Hal tersebut tidak dapat disanggah karena Indonesia secara geografis dan geologi terletak pada pertemuan tiga lempeng raksasa, yaitu Eurasia, IndoAustralia dan Pasifik, serta berada pada Cincin Api (Ring of Fire).[1–3] Literatur lain menambahkan, Indonesia bagian selatan dan Timur terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang terhampar dari Pulau SumateraJawa-Nusa Tenggara-Sulawesi, yang pada sisinya terdapat pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah serta rawa-rawa. Berdasarkan hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi Negara dengan rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, dan bencana lainnya. Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara dengan tingkat kegempaan tinggi dengan 10 kali lipat lebih besar dari tingkat kegempaan di Amerika Serikat. Hampir seluruh kawasan di Indonesia merupakan kawasan potensi gempa bumi di masa mendatang dengan intensitas gempa yang bervariasi dari rendah sampai tinggi. Gempa bumi yang terjadi dapat menimbulkan gelombang pasang seperti tsunami. Sebagian besar wilayah pantai di Indonesia rawan terjadinya tsunami, terutama pada wilayah pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara Irian Jaya dan juga hampir seluruh pantai di Sulawesi.[4] Pada bulan Desember di tahun 2014 menurut info BNPB, tercatat sejumlah 257 kejadian bencana alam yang terjadi di Indonesia. Bulan tersebut merupakan

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

bulan yang paling banyak angka kejadian bencananya dibandingkan bulan-bulan lainnya dan apabila dibandingkan dengan bulan akhir pada tahun sebelumnya, angka kejadian ini tercatat lebih banyak dengan selisih 110 kejadian bencana. Angka rekapitulasi kejadian bencana periode Januari–Desember tahun 2013 tercatat sebanyak 1387. Adapun catatan bencana periode Januari–Desember tahun 2014 meningkat dengan selisih 220 dibanding tahun 2013, yaitu sebanyak 1567. [5,6] Meningkatnya angka kejadian bencana di Indonesia diikuti dengan meningkatnya angka kerugian serta dampak yang ditimbulkan setelah bencana terjadi. Salah satu dampak yang terjadi yaitu trauma pada anak. Anak merupakan salah satu yang paling terpengaruh dari dampak paska bencana. Telah lama diakui bahwa peristiwa kehidupan yang menimbulkan stress atau trauma dapat menyebabkan efek emosional dan perilaku. Pada beberapa hari pertama hingga minggu setelah trauma terjadi, anak dapat berperilaku seperti orang yang gelisah, mudah terkejut, hipersensitif, sulit berkonsentrasi, teringat kembali mengenai bencana yang dialami, serta menghindar dari segala hal seperti situasi, kegiatan atau hal apapun. Ketika reaksi ini berlangsung lebih dari satu bulan dan cukup kuat untuk mempengaruhi fungsi anak maka anak kemungkinan akan didiagnosis memiliki Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD.[7–11] PTSD merupakan suatu sindrom atau gangguan kecemasan yang dialami ketika seseorang atau individu tidak mampu menghilangkan ingatan akan kejadian traumatis dalam pikirannya(3). Diperkirakan sekitar 50% penduduk di daerah bencana mengalami stress bermakna, dan 10-30% dari angka tersebut mengalami PTSD. Anak-anak di Amerika ditemukan mengalami PTSD sebanyak 30%. Kejadian bencana alam, yaitu gunung berapi mengakibatkan 66,1% anak-anak di Jepang mengalami

│72


PTSD(8). Data dari WHO menunjukkan sebanyak 10%-20% angka penderita PTSD. Survey pada tahun 2007, sekitar 14 kabupaten di Aceh paska bencana tsunami ditemukan data sebanyak 35% menderita depresi, 10% menderita PTSD, serta 39% mengalami gejala kecemasan. PTSD ini dapat berpengaruh negatif bagi perkembangan individu seorang anak. Anak dengan PTSD akan menampilkan koping yang maladaptive sehingga diperlukan penanganan PTSD yang tepat agar perilaku maladaptif ini bisa kembali lagi menjadi adaptif.[10] Salah satu penanganan PTSD untuk anak adalah dengan menggunakan art therapy. Art therapy merupakan salah satu metode yang telah terbukti efektif dalam mengurangi trauma dengan melibatkan imajinasi anak-anak. Penelitian secara signifikan menyebutkan bahwa menggambar dapat mengurangi keparahan gejala PTSD.[12, 13, 14]] Art therapy terdiri atas empat tahap dengan masing-masing tahap diberikan tema-tema tersendiri. Penerapan art therapy di Indonesia masih sangat jarang meskipun Indonesia terbilang rawan bencana. Untuk kedepannya diharapkan art therapy dapat diaplikasikan pada kegiatan paska bencana untuk anak-anak agar terhindar dari PTSD.

2. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi literatur review terhadap penelitian ilmiah yang telah dipublikasikan dengan fokus area pada keefektifan implementasi Art therapy untuk mengatasi trauma terkhusus PTSD pada anak. Adapun tujuan studi ini adalah untuk memberikan rangkuman dari jurnal penelitian yang sudah dipublikasikan dan memberikan rekomendasi untuk tujuan penelitian berikutnya. Untuk mencapai hal tersebut, pengumpulan jurnal penelitian pada studi ini meliputi studi kuantitatif dan/atau kualitatif. Sejumlah jurnal penelitian diidentifikasi melalui ProQuest, Sciencedirect, JSTOR, dan EBSCO Host dengan kata kunci “Art therapy”, “children”, ”trauma”, “disaster” dan “PTSD”. Kata kunci tersebut mengarahkan pada hasil beberapa jurnal penelitian yang diperlukan.

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

Jumlah jurnal penelitian yang terkumpul sesuai kata kunci, sebanyak 47. Tahap pertama, jurnal diseleksi adalah dengan diagnosis trauma atau PTSD berdasarkan judul. Kemudian diseleksi kembali sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria inklusi jurnal pada penelitian ini adalah jurnal yang membahas mengenai keefektifan implementasi art therapy, memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang baik, diterbitkan dengan bahasa inggris atau bahasa Indonesia pada tahun 19942015. Kriteria eksklusi pada studi ini adalah jurnal dengan hasil terapi yang tidak berfokus pada anak, dan art therapy dengan kombinasi. 1.

Hasil pencarian jurnal dari ProQuest, Sciencedirect, JSTOR, dan EBSCO Host

2. Review Judul dari 47 Jurnal

Sebanya k 47 jurnal

Jumlah 34 jurnal

Tidak termasuk: 13 jurnal

3. Review berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi

Hasil akhir: 6 jurnal

Tidak termasuk: 28 jurnal

Bagan 1. Proses seleksi jurnal Jurnal yang telah terseleksi akhir akan dianalisis menggunakan analisis sistematik dengan kriteria berikut: gambaran umum studi jurnal penelitian terpilih, identifikasi art therapy dan deskripsi implementasi art therapy, hasil implementasi art therapy, serta keterbatasan dan rekomendasi implementasi art therapy.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Demografi sampel dari jurnal yang terpilih di kelompokkan berdasarkan diagnosis, jumlah sampel, usia, dan jenis kelamin. Hanya 2 dari 7 jurnal yang berkaitan langsung dengan gejala PTSD dan hanya dua jurnal yang membahasa pada kondisi pasca bencana. Rentang usia berkisar antara usia 518 tahun dengan jenis kelamin perempuan dan/atau laki-laki (Tabel 1).

│73


Tabel 1. Gambaran Demografi Jurnal Terpilih (n=6)

Penulis (tahun) Chilcote (2007)

Pretorius & Pfeifer (2010) Roje (1995)

Lyshak, et al (2007) Odell (2010) Stilla (2006)

Diagnosis

Sampel (n)

Usia

Trauma bencana tsunami Trauma kekerasan seksual Trauma bencana gempa bumi PTSD

113

5-13

Jenis Kelamin P/L

25

8-11

P

25

4-11

L

-

remaja

P

Trauma, PTSD Trauma Kekerasan fisik dan/atau seksual

22

8-9

9P/13L

5

14-18

3P/2L

3.2 Pembahasan 3.2.1 Art therapy Art therapy merupakan salah satu pendekatan psikologis untuk mengatasi permasalahan emosi dan trauma melalui penyaluran ekspresi/emosi dengan visualisasi gambar. Menurut Eaton[15], art therapy adalah sebuah metode intervensi yang secara tradisional tergambarkan dari teori psikoanalitik sebagai garis kerja dan prosedurnya. Pada esensinya, art therapy adalah sebuah intervensi klinis yang bertujuan untuk mengorganisasi proses-proses internal (mis. keingintahuan, gambar, perasaan) menjadi sebuah keseluruhan yang koheren, dengan tujuan untuk meningkatkan pandangan, katarsis, dan koping.[16] 3.2.2

Hubungan Art therapy dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan sekumpulan gejala atau sindrom

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

kecemasan, ketidakrentanan emosional, dan ingatan pengalaman yang sangat menyedihkan setelah mengalami stress fisik maupun emosi[17]. Gejala yang muncul pada anak dengan PTSD adalah mengulang pengalaman trauma ditunjukkan dengan selalu teringat akan peristiwa menyedihkan yang dialami, merasa bahwa peristiwa tersebut terulang kembali, mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih atau trauma, reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan peristiwa yang dialami. Kemudian anak juga menunjukkan perilaku menghindari aktivitas, tempat, atau hal yang berhubungan dengan trauma yang pernah dialami. Gejala terakhir, anak sulit untuk tidur, mudah marah, sulit berkonsentrasi, dan memberkan respon berlebihan terhadap sesuatu.[18] Beberapa penelitian mengatakan bahwa anak dapat mengalami PTSD karena mengalami trauma akibat

│74


kekerasan seksual, bencana di sekolah, bencana teknologi, dan bencana alam.[19] Art therapy sebagai intervensi psikologis pada trauma, berkaitan dengan fungsi otak dan berpengaruh terhadap emosi, kognisi, dan perilaku. Berdasarkan hasil observasi Vija Lusebrink (1990), gambargambar adalah jembatan antara tubuh dan pikiran, atau antara tingkat kesadaran dari pemrosesan informasi dan perubahan fisiologis dalam tubuh.[20] Pada bagian otak, secara umum terbagi atas dua fungsi yang berbeda, yaitu otak kanan sebagai pusat kreativitas, intuisi sedangkan otak kiri untuk logika dan bahasa. Pada implementasi art therapy, otak kanan bekerja dan otak kiripun juga bekerja. Gardner (1984), Ramachandran (1999) telah mendemonstrasikan bahwa kedua bagian otak memiliki fungsi yang penting untuk ekspresi seni. Beberapa peneliti juga telah menemukan bahwa terdapat hubungan antara bahasa dan pergerakan tertentu ketika proses menggambar.[20] Pada kejadian PTSD, semua bagian otak memiliki peranan penting, khususnya bagian sistem limbik. Sistem limbik berperan sebagai sensori penyimpan memori terhadap trauma dan kejadian yang membuat stress. Menurut Steele & Raider (2001), seni adalah sebuah model sensori dari ekspresi yang alami karena melibatkan sentuhan, perasaan, dan sensasi-sensasi lainnya terhadap sebuah pengalaman sedangkan melalui cara wawancara dan intervensi verbal tidak memberikan sensasi tersebut.[20] Intervensi art therapy sangat berperan dalam memobilisasi sensori penyimpan pengalaman trauma pada limbik sistem melalui seni. Art therapy juga mampu untuk mengatasi memori eksplisit dan implisit pada pengalaman

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

trauma. Memori dalam otak manusi terdiri atas dua, yaitu eksplisit (kesadaran, fakta, konsep dan ide) dan implisit (sensori dan emosional). Ekspresi seni menjembatani antara memori eksplisit dan implisit melalui narasi dari kreasi yang dibuat, yang mana anak akan menngeksplorasi memorimemori dan alasan kesedihan yang dialami. Aktivitas seni juga membantu anak berpikir dan merasakan yang terjadi saat ini ketika membuat makna dari pengalaman yang dipermasalahkan.[20] 3.2.3

Implementasi Art therapy Teknik implementasi art therapy dilakukan secara berkelompok dengan durasi yang bervariasi. Art therapy pada jurnal penelitian yang direview pada penelitian ini adalah metode menggambar. Chilcote mengelompokkan anak sesuai usia setiap sekali seminggu selama satu jam dengan total 4 sesi/pertemuan.[21] Serupa halnya Chilcote, pada penelitian Stilla, art therapy dilakukan selama 1 jam namun dalam 6 sesi selama 5 minggu dengan pertemuan 1-2 kali seminggu.[22] Berbeda halnya dengan Pretorius & Pfeifer yang juga mengelompokkan anak dalam pelaksanaan art therapy, memiliki total 8 sesi/pertemuan.[23] Implementasi art therapy menggunakan alat dan bahan yang diperlukan untuk menggambar. Peralatan yang dapat disediakan antara lain, kertas, pensil seperangkat cat watercolor, spidol[21], meja, kursi, dan seperangkat alat gambar.[22] Adapun implementasi art therapy juga terdiri atas beberapa tahap. Pertama, anak didorong untuk menggambar sebuah gambar yang mereka inginkan selama berskpresi selama 40 menit dan melakukan pewarnaan. Setelah

│75


menyelesaikan gambar dan pewarnaan, anak duduk diantara penerjemah dan art therapist dan secara verbal menceritakan makna gambar anak bersama kelompok[21] atau berdiri di depan di depan kelompok.[22] Pada akhirnya, gambar anak dikumpulkan dan didokumentasikan. Respon verbal anak direkam selama terapi. Pada awal sesi, anak telah diberi pilihan untuk menyimpan hasil gambar atau memberikannya kepada therapist.[21] Pretorius & Pfeifer menambahkan untuk membangun keterikatan kelompok dan rasa saling percaya terlabih dahulu.[24] Anak juga dapat menempati posisi yang disukai selama tidak menimbulkan konflik dengan anggota kelompok lain.[22] Penugasan gambar kepada anak dengan PTSD memiliki tema khusus yang dapat pula beragam sesuai art therapist. Pada studi ini, jurnal penelitian terpilih menggunakan beragam tema gambar untuk mengeksplorasi perasaan trauma pada anak. Pada penelitian Chilcote, tema pertama anak-anak diberikan kesempatan untuk menggambar atau melukiskan tentang dirinya dan kehidupannya, hal favorit yang mereka suka, serta perasaanya tentang hidupnya. Therapist dapat mengatakan, “Gambar atau lukis sesuatu tentang dirimu dan hidupmu. Apa yang kamu suka? Bagaimana perasaanmu terhadap hidupmu?”. Tugas ini dirancang untuk memahami ketertarikan dan realita masingmasing anak, dan mengkaji tingkat trauma anak.[21] Serupa dengan Odell, tema sesi pertama adalah tentang diri anak dan kehidupannya dengan tujuan refleksi diri.[25] Tema yang kedua, yaitu mengenai hari yang tak pernah dilupakan. Sesi ini bertujuan untuk mendapatkan ekspresi

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

trauma dan kesedihan. Therapist dapat menyatakan, “Gambarlah hari yang tidak pernah kamu lupa. Hari apapun dihidupmu. Gambar apa yang terjadi pada hari itu dan apa yang kamu rasakan”.[21] Tema ketiga adalah tempat yang aman, memori[21], dan hal yang paling anak suka[25]. Anak menggambar mengenai tempat yang merupakan tempat yang aman, serta memori mengenai orang-orang yang telah meninggal dan dicintai oleh anak. Therapist dapat mengatakan, “Hari ini aku ingin kamu menggambar atau melukis tentang tempat di mana kamu merasa aman dan tentram. Dapat berupa apapun yang membuatmu merasa aman (orang, tempat, memori, dll). Gambar apa yang membuatmu merasa nyaman dan tidak takut. Ketika kamu takut, apa yang kamu lakukan untuk merasa aman?”.[21] Tema keempat adalah tiga keinginan. Bertujuan untuk mendorong anak-anak merefleksikan harapan mereka untuk masa depan, impian serta harapan kehidupan mereka pasca bencana. Therapist dapat mengatakan, “Gambar atau lukis tentang tiga hal yang kamu inginkan dihidupmu. Apa mimpi paling besar? Boleh apapun”. Sesi ini mendorong anak untuk berpikir positif dan fokus pada mengembalikan harapan di hidup mereka.[21] Tema lainnya yang juga digunakan oleh therapist adalah menggambarkan sesuatu yang telah hilang yang berarti bagi mereka. Therapist menjelaskan tidak harus objek fisik yang digambar, tetapi boleh gambar realistis atau abstrak yang mewakilkan perasaan anak terkait kehilangan. Tujuannya untuk mendapatkan pemikiran dan perasaan berhubugan dengan apa yang telah diambil dari klien selama hidupnya.[22]

│76


3.3.4

Hasil Implementasi Art therapy Art therapy dapat meningkatkan beberapa kemampuan pada anak dengan PTSD, yaitu kemampuan sensori, kemampuan penerimaan perintah, dan kemampuan beradaptasi. Kemampuan sensori merujuk pada penggunaan seni dan bahan-bahan yang digunakan untuk meningkatkan sensori, visual, motorik, dan bahkan kemampuan berinteraksi dengan terapis dan anak-anak lainnya. Kemampuan penerimaan perintah yaitu pembelajaran aktivitas tertentu melalui proses atau tahapan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan motorik kompleks. Kemampuan adaptasi, yaitu anak mampu beradaptasi dengan peralatan dan bahan seni yang digunakan.[20] Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan hasil yang positif terhadap implementasi Art therapy untuk berbagai kondisi trauma. Chapman et al, pada hasil studi kohortnya mengungkapkan bahwa art therapy mengindikasikan dapat menurunkan gejala PTSD.[26] Kozlowska dan Hanney juga menambahkan bahwa penggunaan art therapy grup membantu anak untuk mengetahui bahwa mereka tidak sendirian.[27] Art therapy menjadi kegunaan bagi anak untuk mengawali penyampaian perasaannya secara verbal. Studi.

4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis literatur ilmiah, art therapy efektif untuk mengatasi trauma dan mampu untuk untuk mengatasi kejadian PTSD pada anak pasca bencana. Art therapy direkomendasikan untuk dapat dilakukan di Indonesia. Berkaitan dengan tujuan untuk mengatasi trauma pada anak pasca bencana, maka perlu dikembangkan penerapannya pada area spesialisasi keperawatan jiwa. Pada

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

pelaksanaannya, Art therapy memiliki berbagai variasi durasi pelaksanaan terapi dan jumlah sesi yang dilakukan juga berbeda. Namun, memiliki persamaan pada metode implementasi dengan menggambarkan fenomena atau kejadian berkaitan dengan trauma anak. Tujuannya adalah untuk mengeksplorasi perasaan anak agar dapat memulihkan trauma yang dimiliki.

5. SARAN Bagi Akademisi, Art therapy dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksaan Art therapy pada anak di setting pasca bencana dengan sampel yang lebih besar. Bagi Instansi Keperawatan, agar dapat menerapkan Art therapy pada anak di setting pasca bencana atau ketika menghadapi klien dengan kecemasan, dan gangguan komunikasi non-verbal.

DAFTAR PUSTAKA 1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Rencana nasional penanggulangan bencana 2015– 2019. 2015. 2. Putra, AP. Penataan Ruang Berbasis Mitigasi Bencana Kabupaten Kepulauan Mentawai. Jurnal penanggulangan bencana. 2011; 2. 3. Erwina, I. Pengaruh Cognitive Behavior Therapy Terhadap PostTraumatic Stress Disorder Pada Penduduk Pasca Gempa Di Kelurahan Air Tawar Barat Tesis Pengaruh Cognitive Behavior Therapy Terhadap Post-Traumatic Stress Disorder Pada Penduduk. [Tesis]. Universitas Indonesia, 2010. 4. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Risiko bencana 20062009. 2009. 5. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Kebencanaan I, Teraktual B. Info bencana. 2013; diakses dari www.bnpb.go.id. 6. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Kebencanaan I, Teraktual B. Info bencana. 2014; 1–4. Diakses dari www.bnpb.go.id.

│77


7. United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA). Buletin Kemanusiaan Indonesia Dampak bencana alam meningkat. Indonesia Humanitarian Buletin. 2014; 1–6. Diakses dari http://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/fi les/resources/Indonesia%20Humanit arian%20Bulletin%20-%20JanMarch%202014_Bahasa%20Indones ia.pdf. 8. Following Natural Disasters : A Systematic Review Of. 2015; 6:111– 33. 9. Bell C, Eth S, Pfefferbaum B. Treatment of Patients With Acute Stress Disorder and Posttraumatic Stress Disorder. 2009. 10. Disorder Ps, Children In. After The Emergency Is Over : Post-Traumatic Stress. 11. Akhter SR, Sarkar RK, Dutta M, Khanom R, Akter N, Chowdhury R, et al. Author ’ s Accepted Manuscript. Int J Disaster Risk Reduct [Internet]. Elsevier; 2015; Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ijdrr.2015.1 0.009. 12. Sitzer DL, Stockwell AB. The Arts in Psychotherapy The art of wellness: A 14-week art therapy program for atrisk youth. Arts Psychother [Internet]. Elsevier Ltd; 2015; 45:69–81. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.aip.2015.0 5.007. 13. Collie K, Backos A, Malchiodi C, Spiege D. Art therapy for combat related PTSD: Recommendations for research and practice. Art therapy: Journal of the American Art therapy Association. 2006: 157-164. 14. Henderson, P., Rosen, D., & Mascaro, N. Empirical study on the healing nature of mandalas. Psychology of Aesthetics, Creativity, and the Arts. 2007: 148–154. 15. Eaton LG, Doherty KL, Widrick RM. A review of research and methods Children With Trauma Histories. Widener University; 2010. 26. Chapman, L., Morabito, D., Ladakakos, C., Schreier, H., & Knudson, M. (2001). The

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

used to establish art therapy as an effective treatment method for traumatized children. Arts Psychother [Internet]. 2007; 34(3): 256–62. Available from: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve /pii/S0197455607000287. Tate FB, Longo D a. Art therapy. Enhancing psychosocial nursing. J Psychosoc Nurs Ment Health Serv. 2002; 40:40–7. Kaplan, H.I., B.J. Sadock. Grebb, Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, 2, Jakarta: Binarupa Aksara, 1997. Wardhani, YF & Lestari, W. Gangguan Stres Paska Trauma pada Korban Pelecehan Seksual dan Perkosaan. (n.d). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistim dan Kebijakan Kesehatan, Surabaya. Chapman, L. Neurobiologically Informed Trauma Therapy with Children and Adolescents: Understanding Mechanisms of Change. 2014. United States of America: W. W. Norton & Company, Inc. Thomas SG. Handbook of Art therapy. Psychiatric Services. 2003. 1294-a-1295 p. Chilcote RL. Art therapy with Child Tsunami Survivors in Sri Lanka. Art Ther. 2007; 24(4):156–62. Stilla JL. Effects of Art therapy as an Adjunct Intervention in Group Therapy for Adolescents Who Have Experienced Trauma. Ursuline College; 2006. Roje, J. LA ’94 earthquake in the eyes of children: Art therapy with elementary school children who were victims of disaster. Art therapy, 1995; 12, 237-243. Pretorius G. Group art therapy with sexually abused girls. South African J Psychol. 2009; 40(1):63–73. Odell DG. A Pre-Post Study of Art therapy for Elementary School-Aged effectiveness of art therapy interventions in reducing postraumatic stress disorder (PTSD) symptoms in pediatric trauma patients. Art therapy, 18, 100-104.

│78


27. Kozlowska, K. & Hanney, L. An art therapy group for children traumatized by parental violence and

│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

separation. Clinical Child Psycology and Psychiatry, 2001; 6,49-78.

│79


│BIMIKI | Volume 4 No 1 | Januari - Juni 2016

│80



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.