Makalah HIV dengan Komplikasi

Page 1

MAKALAH DISKUSI KELOMPOK HIV DENGAN KOMPLIKASI


MAKALAH DISKUSI KELOMPOK Keperawatan Medikal Bedah 1

Disusun Oleh : PSIK 2015

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017


KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta karunianya. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ilmiah dalam bentuk makalah tanpa suatu halangan yang amat berarti hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya dalam pembuatan makalah ini. Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen penanggung jawab mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah (KMB) 1 yang telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Demikian yang dapat penulis sampaikan, apabila terdapat kata di dalam makalah ini yang kurang berkenan mohon maaf yang sebesar-besarnya. Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran bagi yang membacanya. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan laporan kami dimasa yang akan datang dan kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................... 2 DAFTAR ISI .................................................................................... 4 BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 5 1.1 Latar Belakang ....................................................................... 5 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................6 1.3 Tujuan .................................................................................... 7 BAB II PEMBAHASAN ................................................................ 8 2.1 TBC ........................................................................................ 8 2.2 HIV (Human immunodefisiensi virus) ................................ 20 2.3 MENINGITIS TUBERCULOSIS ....................................... 33 2.4 ASUHAN KEPERAWATAN ............................................. 41 BAB III PENUTUP ...................................................................... 57 3.1 Kesimpulan .......................................................................... 57 DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 58


BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia, insidensi meningitis tuberkulosis lebih tinggi terutama pada orang dengan HIV/AIDS. Meningitis tuberculosis merupakan penyakit yang mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat karena mortalitas mencapai 30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB (Principi, 2012). Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan (Rahajoe, 2005). Pada laporan kasus meningitis tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis merupakan faktor penyebab paling utama dalam terjadinya penyakit meningitis. Pada kasus meningitis secara umum disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus, bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak (Kahan, 2005). Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yaitu suatu kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006). AIDS atau disebut juga dengan Sindrom Cacat Kekebalan Tubuh Dapatan, merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunya system kekebalan tubuh oleh karena virus yang disebut HIV. (Djoerban dan Djauzi, 2006)


1.2 Rumusan Masalah

1.

Mengetahui pengertian, etiologi, patofisiologi, tanda gejala, klasifikasi, disgnosis, pemeriksaan penunang, dan pengobatan TBC.

2.

Mengetahui Struktur HIV, Pengertian, Etiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, Pencegahan Penularan HIV, Pengobatan, Penatalaksanaan, Fase Klinik HIV, Penularan (Transmisi), Pemeriksaan Penunjang

3.

Mengetahui pengertian, patofisiologi, pemeriksaan penunjang Meningitis.

4.

Bagaimana Asuhan Keperawatan dari : a.

Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d eksudat dalam alveoli, hiperplasia pada dinding bronkus, mukus berlebihan

b.

Ketidakefektifan pola napas b/d Hiperventilasi

c.

Hipertermi b/d Penyakit (proses infeksi)

d.

Keidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d Kurang asupan makanan

e.

Defisiensi pengetahuan b/d Kurang informasi, kurang sumber pengetahuan

f.

Kekurangan volume cairan b/d Kegagalan mekanisme regulasi

g.

Kerusakan integritas kulit b/d Imunodefisiensi

h.

Risiko Infeksi

i.

Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak

j.

Risiko trauma

k.

Nyeri akut b/d Agen cidera biologis (infeksi bakteri TB-Meningen)

l.

Intoleransi aktivitas

b/d Ketidakseimbangan anatara suplai dan kebutuhan

oksigen m.

Ansietas b/d Penurunan interpersonal

1.3 Tujuan 1.

Untuk mengetahui pengertian, etiologi, patofisiologi, tanda gejala, klasifikasi, disgnosis, pemeriksaan penunang, dan pengobatan TBC.


2.

Untuk mengetahui pengertian, etiologi, patofisiologi, tanda gejala, klasifikasi, disgnosis, pemeriksaan penunang, dan pengobatan TBC.

3.

Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan dari a.

Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d eksudat dalam alveoli, hiperplasia pada dinding bronkus, mukus berlebihan

b.

Ketidakefektifan pola napas b/d Hiperventilasi

c.

Hipertermi b/d Penyakit (proses infeksi)

d.

Keidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d Kurang asupan makanan

e.

Defisiensi pengetahuan b/d Kurang informasi, kurang sumber pengetahuan

f.

Kekurangan volume cairan b/d Kegagalan mekanisme regulasi

g.

Kerusakan integritas kulit b/d Imunodefisiensi

h.

Risiko Infeksi

i.

Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak

j.

Risiko trauma

k.

Nyeri akut b/d Agen cidera biologis (infeksi bakteri TB-Meningen)

l.

Intoleransi aktivitas

b/d Ketidakseimbangan anatara suplai dan kebutuhan

oksigen m.

Ansietas b/d Penurunan interpersonal .


BAB II PEMBAHASAN

2.1 TBC 2.1.1 Pengertian Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis.Sebagian besar basil tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya.Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang diketahui banyak menginfeksi manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis kompleks.Penyakit ini biasanya menginfeksi paru. Transmisi penyakit biasanya melalaui saluran nafas yaitu melalui droplet yang dihasilkan oleh pasien yang terinfeksi TB paru (Depkes RI, 2007).

2.1.2 Etiologi Penyebab tuberkolosis adalah Mycobakterium tuberkolosis. Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Ada dua macam mikobakteria tuberkolosis yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkolosis usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) dan di udara yang berasal dari penderita TBC, dan orang yang terkena rentan terinfeksi bila menghirupnya. Setelah organisme terinhalasi dan masuk paru paru bakteri dapat bertahan hidup dan menyebar ke nodus limfatikus local. Penyebaran melalui aliran darah ini dapat menyebabkan TB pada organ lain, dimana infeksi laten dapat bertahan sampai bertahun tahun.

2.1.3 Patofisiologi Mycobacterium tuberculosis Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis. Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Basil


ini sukar diwarnai, tetapi berbeda dengan basil lain, setelah diwarnai tidak dapat dibersihkan lagi dari fuchsin atau metileenblauw oleh cairan asam sehingga biasanya disebut basil tahan asam (BTA). Pewarnaan Ziehl Neelsen biasanya digunakan untuk menampakkan basil ini (Karnadihardja, 2004).M. tuberculosis umumnya ditularkan dari seseorang dengan infeksi TB paru atau TB laringeal kepada orang lain melalui droplet nuclei, yang ter-aerosolisasi oleh batuk, bersin atau berbicara. Ada sebanyak 3000 nuclei infeksius perbatukan. Droplet yang terkecil (<5-10mm dalam diameter) dapat bertahan tersuspensi di udara selama beberapa jam dan mencapai aliran udara terminal ketika terinhalasi. Ada dua pengecualian lain yang dilaporkan adalah prosector's wart (kutil pada orang yang mendiseksi mayat) disebabkan inokulasi pada kulitdari instrumen tajam yang terkontaminasi dan penularan orang-ke-orang melalui bronkoskop

yang

terkontaminasi. Resiko penularan dari pasien sumber infeksi kepejamu dihubungkan dengan konsentrasi potensial dari basil yang hidup terus diruang udara. Resiko penularan menjadi lebih besar pada ruangan yang kekurangan volume udara, udara segar, dan cahaya alami atau cahaya ultraviolet (Fitzpatrick & Braden, 2000; Raviglione & O’Brien, 2005). Sedangkan menurut Karnadihardja (2004), ada dua macam mikobakteria penyebab TB, yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosa, dan bila diminum, dapat menyebabkan TB usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TB terbuka. Orang yang rentan dapat terinfeksi TB bila menghirup bercak ini, ini merupakan cara penularan terbanyak. Selanjutnya, dikenal empat fase dalam perjalanan penyakitnya. Pertama adalah fase TB primer. Setelah masuk ke paru, basil berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi pertahanan tubuh. Sarang pertama ini disebut afek primer. Basil kemudian masuk ke kelenjar limfe di hilus paru dan menyebabkan limfadenitis regionalis. Reaksi yang khas adalah terjadinya granuloma sel epiteloid dan nekrosis pengejuan di lesi primer dan di kelenjar limfe hilus. Afek primer dan limfadenitis regionalis ini disebut kompleks primer yang bisa mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, atau membentuk fibrosis dan kalsifikasi (95%) (Karnadihardja,


2004). Sekalipun demikian, kompleks primer dapat mengalami komplikasi berupa penyebaran milier melalui pembuluh darah dan penyebaran melalui bronkus. Penyebaran milier menyebabkan TB di seluruh paru-paru, tulang, meningen, dan lain-lain, sedangkan penyebaran bronkogen langsung ke bronkus dan bagian paru, dan menyebabkan bronkopneumonia tuberkulosis. Penyebaran hematogen itu bersamaan dengan perjalanan TB primer ke paru merupakan fase kedua. Infeksi ini dapat berkembang terus, dapat juga mengalami resolusi dengan pembentukan jaringan parut dan basil selanjutnya “tidur� (Karnadihardja, 2004). Fase dengan kuman yang tidur ini yang disebut fase laten, fase 3. Basil yang tidur ini bisa terdapat di tulang panjang, vertebra, tuba fallopii, otak, kelenjar limfe hilus dan leher, serta di ginjal. Kuman ini bisa tetap tidur selama bertahun- tahun, bahkan seumur hidup (infeksi laten), tetapi bisa mengalami reaktivasi bila terjadi perubahan keseimbangan daya tahan tubuh, misalnya pada tindak bedah besar, atau pada infeksi HIV (Karnadihardja, 2004). TB fase keempat dapat terjadi di paru atau di luar paru. Dalam perjalanan selanjutnya, proses ini dapat sembuh tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan fibrosis dan kalsifikasi, membentuk kavitas (kaverne), bahkan dapat menyebabkan bronkiektasis melalui erosi bronkus (Karnadihardja, 2004). Frekuensi penyebaran ke ginjal amat sering. Kuman berhenti dan bersarang pada korteks ginjal, yaitu bagian yang tekanan oksigennya relatif tinggi. Kuman ini dapat langsung menyebabkan penyakit atau “tidur� selama bertahun-tahun. Patologi di ginjal sama dengan patologi di tempat lain, yaitu inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, dan nekrosis pengejuan. Kemudian basil dapat turun dan menyebabkan infeksi di ureter, kandung kemih, prostat, vesikula seminalis, vas deferens, dan epididimis (Karnadihardja, 2004). Penyebaran ke kelenjar limfe paling sering ke kelenjar limfe hilus, baik sebagai penyebaran langsung dari kompleks primer, maupun sebagai TB pascaprimer. TB kelenjar limfe lain (servikal, inguinal, aksial) biasanya merupakan TB pascaprimer (Karnadihardja, 2004).


Penyebaran ke genitalia wanita melalui penyebaran hematogen dimulai dengan berhenti dan berkembang biaknya kuman di tuba fallopii yang sangat vaskuler. Dari sini basil bisa menyebar ke uterus (endometritis), atau ke peritoneum (peritonitis) (Karnadihardja, 2004). Penyebaran ke tulang adalah daerah metafisis tulang panjang dan ke tulang spongiosa yang menyebabkan TB tulang ekstraartikuler. Penyebaran lain dapat juga ke sinovium dan menjalar ke tulang subkondral. Penyebaran ini menyebabkan TB sendi. Penyebaran dari metafisis ke epifisis tidak pernah terjadi karena sifat cakram epifisis yang avaskular (Karnadihardja, 2004). Penyebaran ke otak dan meningen juga melalui penyebaran hematogen setelah kompleks primer. Berbeda dengan penyebaran di atas, penyebaran ke perikardium terjadi melalui saluran limfe atau kontak langsung dari pleura yang tembus ke perikardium (Karnadihardja, 2004).


Kekebalan terhadap TB sebagian besar diperantarai sel limfosit T yang atas rangsangan basil TB dapat mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan basil dengan cara lisis (bakteriolisis) (Karnadihardja, 2004).

Gambar : Bagan Patogenesis TB (Depkes - IDAI, 2008)


2.1.4 Kalsifikasi Berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, TB ekstraparu terbagi atas: a. TB ekstraparu ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativan unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. b. TB ekstraparu berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin (Depkes RI, 2007). Berdasarkan hasil pemerikasaan sputum, TB paru dikategorikan menjadi: 1. TB Paru BTA positif a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan BTA positif. b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif. 2. TB Paru BTA Negatif a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif. b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan menunjukkan tuberkulosis positif (PDPI, 2011). Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: 1. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2. Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).


3. Kasus setelah putus berobat (Default ) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4. Kasus setelah gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5. Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6. Kasus Lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA (+) setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes, 2007).

2.1.5 Gejala Penyakit TBC Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik. Gejala sistemik/umum: a. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah) b. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul c. Penurunan nafsu makan dan berat badan d. Perasaan tidak enak (malaise), lemah Gejala khusus: a. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi�, suara nafas melemah yang disertai sesak. b. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.


c. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit diatasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah. d. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.

2.1.6 Diagnosis TBC Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif artinya penjaringan suspek penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan.Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita.Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif). Selain itu semua yang memiliki kontak dengan penderita TB paru BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut yaitu sewaktu – pagi - sewaktu ( SPS ). Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologis, radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya.Pada


pemeriksaan fisis, kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum (PDPI, 2011). Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal.Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya (Amin dan Bahar, 2009). Pada pemeriksaan radiologi, gambaran yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah : a. Bayangan berawan atau nodular disegmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. c. Bayangan bercak milier. d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Ada beberapa cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB yaitu dengan cara konvensional dan tidak konvensional. Cara konvensional terdiri dari pemeriksaan mikroskopik, biakan kuman, uji kepekaan terhadap obat, dan identifikasi keberadaan kuman isolat serta pemeriksaan histopatologis. Pemeriksaan sputum merupakan hal yang penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis TB sudah bisa ditegakkan.Dikatakan BTA (+) jika ditemukan dua atau lebih dahak BTA (+) atau 1 BTA (+) disertai dengan hasil radiologi yang menunjukkan TB aktif.Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA).Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB


hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru (Depkes, 2007).

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium darah rutin: LED normal/meningkat, limfositisis b. Pemeriksaan sputum BTA: untuk memastikan diagnostic TB paru namun pemeriksaan tidak spesifik karena hanya 30-70% pasien yang dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini c. Tes PAP (peroksidase anti peroksidase) Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen staining untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB d. Tes mantoux/tuberculin e. Teknik polymerase chain reaction Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam meskipun hanya satu mikroorganisme dalam spesimen juga dapat mendeteksi adanya resistensi f. Becton Dickinson diagnostic instrument system (BACTEC) Deteksi growth indeks berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolism asam lemak oleh mikrobakterium tuberkolosis g. Pemeriksaan radiology : rontgen thoraks PA dan lateral

2.1.8 Pengobatan Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Mikobakteri merupakan kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat. Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah dibandingkan dengan kuman yang


lambat membelah. Sifat lambat membelah yang dimiliki mikobakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan penemuan obat antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat dibandingkan antibakteri lain : Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin, Streptomisin, Etambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin , Amikasin dan Kuinolon.

Efek samping obat Sebagian besar pasien Tb paru dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.Efek samping yang terjadi dapat yaitu : a. Isoniazid (INH) Sebagian besar pasien Tb parudapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. b. Rifamisin Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatis ialah: 

Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang



Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadangkadang diare



Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadangkadang diare

Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah : 

Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman Tb paru pada keadaan khusus




Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang



Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir.

c. Pirinizamid Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman Tb paru pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadangkadang dapat menyebabkan serangan arthritis, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain. d. Etambutol Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi. e. Streptomisin Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya

dikurangi

0,25gr.

Jika

pengobatan

diteruskan

maka

kerusakan


alatkeseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.

2.2 HIV (Human immunodefisiensi virus) 2.2.1 Pengertian Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. HIV menyebabkan kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang didapat. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab menurunya kekebalan tubuh manusia. Virus ini hanya dapat berkembang biak didalam sel – sel tumbuh-tumbuhan atau hewan/manusia yang hidup. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi.Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel dendritik.

2.2.2 Struktur HIV


Sumber : Abbas AK, Lichtman AH. 2003

Partikel HIV adalah virus RNA yang ber-envelop, berbentuk bulat sferis dengan diameter 80-120 nm. Partikel yang infeksius terdiri dari dua untai single stranded RNA positif yang berada didalam inti protein virus (ribonukleoprotein) dan dikelilingi oleh lapisan envelope fosfolipid yang ditancapi oleh 72 buah tonjolan (spikes) glikoprotein. Envelope polipeptida terdiri dari dua subunit yaitu glikoprotein luar (gp120) yang merupakan tempat ikatan reseptor (receptor binding) CD4+ dan glikoprotein transmembran (gp41) yang akan bergabung dengan envelope lipid virus. Protein-protein pada membrane luar ini terutama berfungsi untuk mediasi terjadinya ikatan dengan sel CD4+ dan reseptor kemokin. Pada permukaan dalam envelope lipid virus dilapisi oleh protein matriks (p17), yang kemungkinan berperan penting dalam menjaga integritas struktural virion. Envelope lipid terbungkus dalam protein kapsid yang berbentuk ikosahedral (p24) dan matriks p17. Protein kapsid mengelilingi inti dalam virion sehingga membentuk 'cangkang' di sekeliling material genetik. Protein nukleokapsid terdapat dalam 'cangkang' tersebut dan berikatan langsung dengan molekul-molekul RNA.

2.2.3 Etiologi


Etiologi AIDS sampai tahun 1994 diketahui ada dua subtipe virus HIV, yaitu HIV 1 dan HIV 2. HIV 1 dan HIV 2 merupakan suatu virus RNA yang termasuk retrovirus dan lentivirus. HIV 1 penyebarannya meluas di hampir seluruh dunia, sedangkan HIV 2 ditemukan pada pasien-pasien dari Afrika Barat dan Portugal. HIV 2 lebih mirip “monkey� virus yang disebut Simian Immuno Deficiency Virus (SIV) (Soekidjo Notoatmodjo, 2007)

2.2.4 Patogenesis Partikel-partikel virus HIV yang akan memulai proses infeksi biasanya terdapat di dalam darah, sperma atau cairan tubuh lainnya dan dapat menyebar melalui sejumlah cara. Cara yang paling umum adalah transmisi seksual melalui mukosa genital. Keberhasilan transmisi virus itu sendiri sangat bergantung pada viral load individu yang terinfeksi. Viral load ialah perkiraan jumlah copy RNA per mililiter serum atau plasma penderita. Apabila virus ditularkan pada inang yang belum terinfeksi, maka akan terjadi viremia transien dengan kadar yang tinggi, virus menyebar luas dalam tubuh inang. Sementara sel yang akan terinfeksi untuk pertama kalinya tergantung pada bagian mana yang terlebih dahulu dikenai oleh virus, bisa CD4+ sel T dan manosit di dalam darah


atauCD4+

sel

T

dan

makrofag

pada

jaringan

mukosa.


Ketika HIV mencapai permukaan mukosa, maka ia akan menempel pada limfositT CD4+ atau makrofag (atau sel dendrit pada kulit). Setelah virus ditransmisikan secara seksual melewati mukosa genital, ditemukan bahwa target selular pertama virus adalah sel dendrite jaringan (dikenal juga sebagai sel Langerhans) yang terdapat pada epitel servikovaginal, dan selanjutnya akan bergerak dan bereplikasi dikelenjar getah bening setempat. Sel dendritik ini kemudian berfusi dengan limfosit CD4+ yang akan bermigrasi kedalam nodus limfatikus melalui jaringan limfatik sekitarnya. Dalam jangka waktu beberapa hari sejak virus ini mencapai nodus limfatikus regional, maka virus akan menyebar secara hematogen dan tinggal pada berbagai kompartemen jaringan. Nodulus limfatikus maupun ekuivalennya (seperti plak Peyer pada usus) pada akhirnya akan mengandung virus. Selain itu, HIV dapat langsung mencapai aliran darah dan tersaring melalui nodulus limfatikus regional. Virus ini bereproduksi dalam nodus limfatikus dan kemudian virus baru akan dilepaskan. Sebagian virus baru ini dapat berikatan dengan limfosit CD4+ yang berdekatan dan menginfeksinya, sedangkan sebagian lainnya dapat berikatan dengan sel dendrit folikuler dalam nodus limfatikus. Fase penyakit HIV berhubungan dengan penyebaran virus dari tempat awal infeksi ke jaringan limfoid di seluruh tubuh. Dalam jangka waktu satu minggu hingga tiga bulan setelah infeksi, terjadi respons imun selular spesifik HIV. Respons ini dihubungkan dengan penurunan kadar viremia plasma yang signifikan dan juga berkaitan dengan awitan gejala infeksi HIV akut. Selama tahap awal, replikasi virus sebagian dihambat oleh respons imun spesifik HIV ini, namun tidak pernah terhenti sepenuhnya dan tetap terdeteksi dalam berbagai kompartemen jaringan, terutama jaringan limfoid. Sitokin yang diproduksi sebagai respons terhadap HIV dan mikroba lain dapat meningkatkan produksi HIV dan berkembang menjadi AIDS. Sementara itu sel dendrit juga melepaskan suatu protein manosa yang berikatan dengan lektin yang sangat penting dalam pengikatan envelope HIV. Sel dendrit juga berperan dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Pada jaringan limfoid sel dendrit akan melepaskan HIV ke CD4+ sel T melalui kontak langsung sel ke sel. Dalam beberapa hari setelah terinfeksi HIV, virus melakukan banyak sekali replikasi sehingga


dapat dideteksi pada nodul limfatik. Replikasi tersebut akan mengakibatkan viremia sehingga dapat ditemui sejumlah besar partikel virus HIV dalam darah penderita. Keadaan ini dapat disertai dengan sindrom HIV akut dengan berbagai macam gejala klinis baik asimtomatis maupun simtomatis. Viremia akan menyebabkan penyebaran virus ke seluruh tubuh dan menyebabkan infeksi sel T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Infeksi ini akan menyebabkan penurunan jumlah sel CD4+ yang disebabkan oleh efek sitopatik virus dan kematian sel. Jumlah sel T yang hilang selama perjalanan dari mulai infeksi hingga AIDS jauh lebih besar disbanding jumlah sel yang terinfeksi, hal ini diduga akibat sel T yang diinfeksi kronik diaktifkan dan rangsang kronik menimbulkan apoptosis. Sel dendritik yang terinfeksi juga akan mati. Penderita yang telah terinfeksi virus HIV memiliki suatu periode asimtomatik yang dikenal sebagai periode laten. Selama periode laten tersebut virus yang dihasilkan sedikit dan umumnya sel T darah perifer tidak mengandung virus, tetapi kerusakan CD4+ sel T di dalam jaringan limfoid terus berlangsung selama periode laten dan jumlah CD4+ sel T tersebut terus menurun di dalam sirkulasi darah. Pada awal perjalanan penyakit, tubuh dapat cepat menghasilkan CD4+ sel T baru untuk menggantikan CD4+ sel T yang rusak. Tetapi pada tahap ini, lebih dari 10% CD4+ sel T di organ limfoid telah terinfeksi. Seiring dengan lamanya perjalanan penyakit, siklus infeksi virus terus berlanjut yang menyebabkan kematian sel T dan penurunan jumlah CD4+ sel T di jaringan limfoid dan sirkulasi. Selama fase lanjutan (kronik) infeksi HIV ini penderita akan rentan terhadap infeksi lain dan respons imun terhadap infeksi ini akan merangsang produksi virus HIV dan kerusakan jaringan limfoid semakin menyebar. Progresivitas penyakit ini akan berakhir pada tahap yang mematikan yang dikenal sebagai AIDS. Pada keadaan ini kerusakan sudah mengenai seluruh jaringan limfoid dan jumlah CD4+ sel T dalam darah turun di bawah 200 sel/mm3 (normal 1.500 sel/mm3). Penderita AIDS dapat mengalami berbagai macam infeksi oportunistik, keganasan, cachexia (HIV wastingsyndrome), gagal ginjal (HIV nefropati), dan degenerasi susunan saraf pusat (AIDS ensefalopati). Oleh karena CD4+ sel T sangat penting dalam respons imun selular dan humoral pada berbagai


macam mikroba, maka kehilangan sel limfosit ini merupakan alas an utama mengapa penderita AIDS sangat rentan terhadap berbagai macam jenis infeksi.

2.2.5 Manifestasi Klinis Menurut WHO terdapat beberapa gejala dan tanda mayor, antara lain (Widoyono, 2008) :

a. Tanda-tanda utama (mayor) meliputi penurunan berat badan lebih dari 10% dalam waktu singkat, demam berkepanjangan selama lebih dari satu bulan, dan diare kronis selama lebih dari satu bulan. b. Tanda-tanda tambahan (minor) meliputi batuk berkepanjangan selama lebih dari satu bulan, kelainan kulit (gatal), herpes simpleks (kulit melepuh dan terasa nyeri) yang melebar dan bertambah parah, infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan (kandidiasis orofaring), dan limfadenopati yang meluas dan teraba di bawah telinga, leher, ketiak, dan lipat paha. c. Beberapa tanda lain yaitu sarkoma kaposi yang meluas dan meningitis kriptokokal.

2.2.6 Pencegahan Penularan HIV Pencegahan penularan HIV pada wanita dilakukan secara primer, yang mencakup mengubah perilaku seksual dengan menetapkan prinsip ABC, yaitu Abstinence (tidak melakukan hubungan seksual), Be faithful (setia pada pasangan), dan Condom (pergunakan kondom jika terpaksa melakukan hubungan dengan pasangan), Donâ€&#x;t Drug, Education. Wanita juga disarankan tidak menggunakan narkoba, terutama narkoba suntik dengan pemakaian jarum bergantian, serta pemakaian alat menoreh kulit dan benda tajam secara bergantian dengan orang lain (misalnya tindik, tato, silet, cukur, dan lain-lain). Petugas kesehatan perlu menetapkan kewaspadaan universal dan menggunakan darah serta produk darah yang bebas dari HIV untuk pasien (Nursalam, 2005). Menurut Depkes RI (2003), WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi dan anak, yaitu dengan mencegah jangan sampai wanita


terinfeksi HIV/AIDS. Apabila sudah dengan HIV/AIDS, dicegah supaya tidak hamil. Apabila sudah hamil, dilakukan pencegahan supaya tidak menular pada bayi dan anaknya, namun bila ibu dan anaknya sudah terinfeksi, maka sebaiknya diberikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan keluarganya (Nursalam, 2007). Area Pencegahan HIV dan AIDS Berdasarkan strategi nasional penganggulangan HIV dan AIDS tahun 2007-2010, penyebaran HIV dipengaruhi oleh perilaku berisiko kelompok-kelompok masyarakat. Pencegahan dilakukan kepada kelompok-kelompok masyarakat sesuai dengan perilaku kelompok dan potensi ancaman yang dihadapi. Kegiatan-kegiatan dari pencegahan dalam bentuk penyuluhan, promosi hidup sehat, pendidikan sampai kepada cara penggunaan alat pencegahan yang efektif dikemas sesuai dengan sasaran upaya pencegahan. Programprogram pencegahan pada kelompok sasaran meliputi:

a. Kelompok Tertular (Infected People) Kelompok tertular adalah mereka yang sudah terinfeksi HIV.Pencegahan ditujukan untuk menghambat lajunya perkembangan HIV, memelihara produktifitas individu dan meningkatkan kualitas hidup. b. Kelompok Berisiko Tertular Atau Rawan Tertular (High-Risk People) Kelompok berisiko tertular adalah mereka yang berperilaku sedemikian rupa sehingga sangat berisiko untuk tertular HIV. Dalam kelompok ini termasuk penjaja seks baik perempuan maupun laki-laki, pelanggan penjaja seks, penyalahguna napza suntik dan pasangannya, waria penjaja seks dan pelanggannya, serta lelaki suka lelaki. Karena kekhususannya, narapidana termasuk dalam kelompok ini. Pencegahan untuk kelompok ini ditujukan untuk mengubah perilaku berisiko menjadi perilaku aman. c. Kelompok Rentan (Vulnerable People) Kelompok rentan adalah kelompok masyarakat yang karena lingkup pekerjaan, lingkungan, ketahanan dan atau kesejahteraan keluarga yang rendah dan status kesehatan yang labil, sehingga rentan terhadap penularan HIV. Termasuk


dalam kelompok rentan adalah orang dengan mobilitas tinggi baik sipil maupun militer, perempuan, remaja, anak jalanan, pengungsi, ibu hamil, penerima transfusi darah dan petugas pelayanan kesehatan. Pencegahan untuk kelompok ini ditujukan agar tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko tertular HIV (menghambat menuju kelompok berisiko). d. Masyarakat Umum (General Population) Masyarakat umum adalah mereka yang tidak termasuk dalam ketiga kelompok terdahulu. Pencegahan ditujukan untuk peningkatkan kewaspadaan, kepedulian dan keterlibatan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di lingkungannya.

2.2.7 Pengobatan Infeksi HIV/AIDS merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang panjang.Sistem imunitas menurun secara progresif sehingga muncul infeksi-infeksi oportunistik yang dapat muncul secara bersamaa dan berakhir pada kematian. Sementara itu belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif, sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok antara lain: a. Pengobatan Suportif adalah pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simtomatik, vitamin, dan dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkim. Pengobatan infeksi oportunistik dilakukan secara empiris. b. Pengobatan Infeksi Oportunistik adalah pengobatan yang ditujukan untuk infeksi oportunistik dan dilakukan secara empiris. c. Pengobatan Antiretroviral (ARV) bekerja langsung menghambat perkembangbiakan HIV. ARV bekerja langsung menghambat enzim reverse transcriptase atau menghambat enzim protease. Kendala dalam pemberian ARV antara lain kesukaran ODHA untuk minum obat secara langsung, dan resistensi HIV terhadap obat ARV (Depkes RI, 2006)


2.2.8 Penatalaksanaan a. Medikamentosa Peningkatan survival pada pasien dengan manifestasi klinis dapat dicapai dengan diagnosis dini, pemberian zidovudin, pengobatan komplikasi, serta penggunaan antibiotik sebagai profilaksis secara luas, khususnya untuk pneumonia karena Pneumoni carinii. b. Infeksi Dini CDC menyarankan pemberian antiretroviral pada keadaan asimtomatik bila CD4<300/mm3, dan CD4<500/mm3 pada keadaan simtomatik. c. Profilaksis Indikasi pemberian profilaksis untuk Pneumocystis Carinii Pneumoniae (PCP) yaitu bila CD4<200/mm3, terdapat kandidiosis oral yang berlangsung lebih dari 2 minggu, atau pernah mengalami infeksi PCP di masa lalu. d. Stadium Lanjut Pada stadium ini banyak yang dapat terjadi, umumnya infeksi oportunistik yang mengancam jiwa.Oleh karena itu diperlukan penanganan multidisipliner.Obat yang dapat diberikan adalah ZDV dengan dosis awal 1.000mg/hari dengan 4-5 kali pemberian dengan berat badan 70 kg. e. Fase Terminal Pada fase terminal yaitu penyakit sudah tak teratasi, pengobatan yang diberikan hanya simtomatik dengan tujuan pasien merasa enak, bebas dari rasa mual dan sesak, mengatasi infeksi yang ada, dan dapat mengurangi rasa cemas. f. Nonmedikamentosa Upaya pencegahan HIV/AIDS yang dapat dilakukan antara lain: 

Pendidikan kepada kelompok berisiko tinggi.




Anjuran bagi yang telah terinfeksi HIV untuk tidak menyumbangkan darah, organ atau cairan semen, dan mengubah kebiasaan seksualnya guna mencegah penularannya.



Skrinning darah donor terhadap adanya antibodi HIV.

2.2.9 Fase Klinik HIV a. Fase klinik 1 Tanpa gejala, limfadenopati (gangguan kelenjar/pembuluh limfe) menetap dan menyeluruh b. Fase klinik 2 Penurunan BB (<10%) tanpa sebab. Infeksi saluran pernafasan atas (sinusitis, tonsillitis, otitis media, pharyngitis) berulang. Herpes zoster, infeksi sudut bibir, ulkus mulut berulang, popular pruritic eruptions, seborrhoic dermatitis, infeksi jamur pada kuku c. Fase klinik 3 Penurunan BB (>10%) tanpa sebab. Diare kronik tanpa sebab sampai >1 bulan. Demam menetap (intermiten atau tetap >1 bulan). Kandidiasis oral tetap menetap. Pulmonal(baru), plak putih pada mulut, infeksi bakteri berat misalnya : pneumonia empyema (nanah di rongga tubuh terutama pleura, abses pada otot skelet, infeksi (sendi atau tulang), meningitis, bacteremia, gangguan inflamasi berat pada pelvis acute necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis atau periodinitis anemia yang penyebabnya tidak diketahui (<8 g/dl), neutropenia (< 0,5 x 109/l)) dan atau trombositopenia kronik (<5-0 x 109/l) d. Fase klinik 4 Gejala menjadi kurus (HIV wasting syndrome), pneumocystis pneumonia (pneumonia karena pneumocystis carinii), pneumonia bakteri berulang, infeksi herpes simplex kronik (orabial, genital atau anorektal >1 bulan) oesophageal candidiasis, TBC ekstrapulmonal, cytomegalpvirus, toksoplasma di SSP, HIV


encephalopathy, meningitis, infection progressive multivocal, lymphoma, invasive cervical carcinoma, leukoenceophalopathy Dapat

Antibodi Fase

Lama Fase

yang

ditular

Gejala

kan

terdeteksi 1. Periode jendela

4 minggu-6 Tidak

Tidak ada

Ya

Mungkin

Sakit seperti flu

Ya

Ya

Tidak ada

Ya

bulan infeksi 1. Infeski HIV primer 1-2 minggu akut 2. Infeksi simptomatik

1-15 th/lebih

3. Supresi

imun Sampai

simptomatik

3 Ya

tahun

Demam, keringat pada Ya malam hari, BB turun, diare,neuropatik,keletiha n,

ruam

kulit,

limfadenopati 4. AIDS

1-5 th dari Ya

Infeksi oportunistik berat Ya

pertama

dan tumor, manifestasi

penentuan

neurologik

kondisi AIDS 2.2.10 Penularan (Transmisi) Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu : a. Kontak seksual : HIV terdapat pada cairan mani dan sekret vagina yang akan ditularkan virus ke sel, baik pada pasangan homoseksual atau heteroseksual.


Kerusakan pada mukosa genitalia akibat penyakit menular seksual seperti sifilis dan chancroid akan memudahkan terjadinya infeksi HIV. b. Tranfusi: HIV ditularkan melalui tranfusi darah baik itu tranfusi whole blood, plasma, trombosit, atau fraksi sel darah lainnya. c. Alat-alat untuk menoreh kulit : Penggunaan alat-alat pada pelayanan umum seperti alat cukur, tato, perlengkapan khitan, dan lain-lain juga memiliki risiko menularkan HIV karena alat-alat tersebut digunakan ulang tanpa sterilisasi terlebih dahulu. d. Jarum yang terkontaminasi: transmisi dapat terjadi karena tusukan jarum yang terinfeksi atau bertukar pakai jarum di antara sesama pengguna obat-obatan psikotropika. e. Transmisi vertikal (perinatal): wanita yang teinfeksi HIV sebanyak 15-40% berkemungkinan akan menularkan infeksi kepada bayi yang baru dilahirkannya melalui plasenta atau saat proses persalinan atau melalui air susu ibu.

2.2.11 Pemeriksaan Penunjang a.

Tes ELISA memberikan hasil positif 2-3 bulan sesudah infeksi

b.

Hasil positif dikonfirmasi dengan pemeriksaan western blot

c.

Mendeteksi antigen virus dengan PCR (polymerase chain reaction)

d.

Serologis : skrining HIV dengan ELISA, tes western blot, limfosit T

e.

Pemeriksaan darah rutin

f.

Pemeriksaan neurologist

g.

Tes fungsi paru, broskoscopi

a. ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay) Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay). Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain juga bisa menunjukkan hasil positif sehingga menyebabkan false positif, diantaranya penyakit autoimun


ataupun karena infeksi.16 Sensivitas ELISA antara 98,1%-100% dan dapat mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dalam darah. b. Western Blot Western Blot memiliki spesifisitas (kemampuan test untuk menemukan orang yang tidak mengidap HIV) antara 99,6% - 100%. Namun pemeriksaannya cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.30 Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika test Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka test Western Blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan. c. PCR (Polymerase chain reaction) PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas.

2.3 MENINGITIS TUBERCULOSIS 2.3.1 Pengertian Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak (Whiteley, 2014). Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram positif, berukuran 0,4-3Âľ, mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat intraselular patogen pada hewan dan manusia. Selain Mycobacterium tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium microti (Chan, 2006).


2.3.2 Etilogi Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan atas : 1. Bakteri : a. Pneumococcus Meningococcus b. Haemophilus influenza c. Staphylococcus d. Escherichia coli e. Salmonella f. f. Mycobacterium tuberculosis 2. Virus :Enterovirus 3. Jamur : a. Cryptococcus neoformans b. Coccidioides immitris

2.3.3 Patofisiologi Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang, merupakan struktur halus yang melindungi pembuluh darah dan cairan serebrospinal, dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri dari 3 lapisan, yaitu dura mater, araknoid, dan pia mater (Whiteley, 2014). ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberculosis : a. Araknoiditis Proliferatif Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomeningen ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering


terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen (Frontera, 2008). b. Vaskulitis Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabangcabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin (Schwartz, 2005). c. Hidrosefalus Hidrosefalus Komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis (Albert, 2011).


2.3.4 Manifestasi Klinis Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk masing-masing penderita. Faktorfaktor yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis erat kaitannya dengan perubahan patologi yang ditemukan. Tanda dan gejala klinis meningitis TB muncul perlahan-lahan dalam waktu beberapa minggu (Nofareni, 2003). Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku dan Kaku kuduk disebabkan oleh mengejangnya otototot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi. Kesadaran menurun, tanda Kernig’s dan Brudzinsky positif. Gejala pada bayi yang terkena meningitis, biasanya menjadi sangat rewel muncul bercak pada kulit tangisan lebih keras dan nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa kaku, dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya membuat gerakan tidak beraturan (Cavendish, 2011). Gejala klinis meningitis tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 (tiga) stadium (Anderson, 2010) : a. Stadium I : Prodormal Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam, muntahmuntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan menurun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan keadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah. b. Stadium II : Transisi Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadangkadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tandatanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubunubun menonjol dan muntah yang lebih hebat. c. Stadium III : Terminal


Ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu.

2.3.5 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya adalah pemeriksaan rangsang meningeal (Sidharta, 2009). Yaitu sebagai berikut : 1. Kaku Kuduk Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. 2. Kernig`s sign Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi padas sendi panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mungkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri. 3. Brudzinski I (Brudzinski leher) Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. BrudzinskiI positif (+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi disendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik. 4. Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai) Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter padasendi panggul dan lutut kontralateral. 5. Brudzinski III (Brudzinski Pipi)


Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari pemeriksa tepat dibawah os ozygomaticum. Tanda Brudzinski III positif (+) jika terdapat flexi involunter extremitas superior. 6. Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis) Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari tangan pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi flexi involunter extremitas inferior. 7. Lasegue`s Sign Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya. Salah satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus. Tanda lasegue positif (+) jika terdapat tahanan sebelum mencapai sudut 70° pada dewasa dan kurang dari 60° pada lansia.

2.3.6 Pemeriksaan Penunjang (Uji Mantuox/Tuberkulin) Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling bermanfaat. Terdapat beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam dan lebih diutamakan pada 72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi. Reaksi positif yang muncul setelah 96 jam masih dianggap valid. Bila pasien tidak kontrol dalam 96 jam dan hasilnya negative maka tes Mantoux harus diulang. Tes Mantoux dinyatakan positif apabila diameter indurasi > 10 mm (Kliegman, 2011). Hasil Uji Mantoux


a. Pembengkakan (Indurasi) 0-4mm,uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis. b. Pembengkakan (Indurasi) 3-9mm,uji mantoux meragukan. Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypical atau setelah vaksinasi BCG. c. Pembengkakan (Indurasi) ≼ 10mm,uji mantoux positif. Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Sumber : Levin, 2009

Pemeriksaan Laboratorium Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit. 1. Pemeriksaan LED meningkat pada pasien meningitis TB : a. Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit polimorfonuklear dengan shift ke kiri. b. Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi. c. Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap glukosa pada cairan serebrospinal. d. Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi organ dan penyesuaian dosis terapi. e. Tes serum untuk sifilis jika diduga akibat neurosifilis. 2. Lumbal Pungsi Lumbal Pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial. Lumbal pungsi adalah tindakan memasukkan jarum lumbal pungsi ke dalam kandung dura lewat processus spinosus L4-L5 / L5-S1 untuk mengambil cairan serebrospinal (Haldar, 2009). Pemeriksaan Radiologis 1. Foto Toraks Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto toraks, foto kepala, CTScan dan MRI. Foto toraks untuk melihat adanya infeksi sebelumnya pada paru-paru


misalnya pada pneumonia dan tuberkulosis, sementara foto kepala dilakukan karena kemungkinan adanya penyakit pada mastoid dan sinus paranasal. Pada penderita dengan meningitis tuberkulosis umumnya didapatkan gambaran tuberkulosis paru primer pada pemeriksaan rontgen toraks, kadangkadang disertai dengan penyebaran milier dan kalsifikasi. Gambaran rontgen toraks yang normal tidak menyingkirkan diagnosa meningitis tuberkulosis (Kliegman, 2011). 2. Computed Tomography Scan / Magnetic Resonance Imaging Scan Pemeriksaan Computed Tomography Scan (CT- Scan) dan Magnetic Resonance Imaging Scan (MRI). kepala dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI kepala pada pasien meningitis tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit. Seringnya berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda dema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks serebri atau talamus (kliegman, 2011) 2.4 ASUHAN KEPERAWATAN 2.1 Pengkajian a. Anamnesa 1. Identitas Nama

: Tn. SH

Umur

: 65 tahun

JK : Laki-laki

2. Riwayat penyakit 3 bulan yang lalu kulit melepuh terasa gatal kehitaman di bagian muka, tangan, kaki dan alat kelamin, Badan terasa demam kadang tidak, stomatitis (+), diare/ BAB cair


cair (+) sehari > 10 x sedikit sedikit tanpa darah tanpa lendir, batuk (+) tidak berdahak, dispnea (+), keringat dingin malam hari (+), nafsu makan menurun (+).

3. Keluhan sekarang 9 Januari 2013 pukul 10.00 WIB Pasien mengeluh kulit masih terasa gatal kehitaman dan terasa panas, malaise, dispnea (+) saat aktivitas bertambah sesak, batuk berdahak, dada terasa nyeri, kadang keringat pada malam hari, nafsu makan menurun, diare (+), berat badan menurun 9 kg Âą selama 2 bulan, stomatitis sudah berkurang, memiliki riwayat pernah menggunakan narkoba suntik dan terjerat dalam pergaulan bebas.

Pemeriksaan umum CM (GCS 15 : E4, V5, M6), BB : 40 kg, TB : 170 cm, TD : 120/80 mmHg, HR : 90 x pm, RR : 22 x/menit, Suhu : 38,6°

C, Mata konjungtiva anemis (+/+), Sklera

ikterik (+/+)

Pemeriksaan penunjang SGOT : 35 33 Âľ/L, SGPT 39 < 50 Âľ/L, Leukosit 20000/ mm3, Rontgen PA : CTR < 50 %, Corakan vaskuler kasar, terdapat infiltrat. Pemeriksaan BTA : sewaktu (+) positif 1+, pagi (+) positif 1+, sewaktu (+) positif 1+.

Setelah satu minggu di RS Penurunan kesadaran, dikonsultasikan dari bagian paru karena penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelumnya psien sudah mulai mengeluh lemas saat pasien bangun tidur, pasien terlihat lemas dan ingin tidur terus menerus, pasien di panggil oleh keluarganya tidak ada berespon untuk menjawab, tetapi pada malamnya pasien mulai ada respon jika dipanggil, makan atau minum psien masih bisa disuapi.

2 hari terakhir setelah masuk RS


Pasien mengeluh sakit pada kepalanya, sakit yang dirasakan hilang timbul, sakit kepala terasa pada bagian tengkuk/ kepala bagian belakang. Sakit kepala terasa tertusuk-tusuk dan berat pada leher. Pasien dan keluarga belum mengerti mengenai kondisinya , prosedur pengobatan dan pencegahan penyakit yang diderita.

Keadaan umum Tampak sakit berat, kesadaran coma, GCS = 3 (E1, V1, M1), TD : 100/70 mmHg, HR 90 x/menit, RR : 22 x/menit, suhu : 38,6 °C, kaku kuduk (+), tanda kerniq (-), tanda brudzinki I (-) II (-)

2.4 Analisi Data Data

Masalah

DS

Ketidakefektifan bersihan Eksudat dalam alveoli,

Pasien mengeluh

jalan napas

- Batuk berdahak (+)

Etiologi

hiperplasia pada dinding bronkus, mukus berlebihan

- Dispnea (+) - Sesak napas (+) saat aktivitas bertambah sesak - Dada terasa nyeri

DO - RR = 22 x/menit - Terdapat infiltrate - Hasil px BTA (+) SPS DS

Ketidakefektifan pola

Pasien mengeluh

napas

- Dispnea (+)

Hiperventilasi


DO - RR = 22 x/menit DS

Hipertermi

Penyakit (proses infeksi)

DS

Keidakseimbangan

Kurang asupan makanan

Pasien mengeluh

nutrisi kurang dari

- Stomatitis (+)

kebutuhan tubuh

Pasien mengeluh - Kadang demam kadang tidak - Malaise

DO - Suhu = 38,6 °C

- Diare sehari > 10 x - Nafsu makan menurun - Berat badan menurun 9 kg dalam Âą 2 bulan

DO - BB = 40 kg - TB = 170 kg DS Pasien mengeluh - Keluarga dan pasien belum mengerti mengenai kondisinya, proses pengobatan dan pencegahan penyakit

Defisiensi pengetahuan

Kurang informasi, kurang sumber pengetahuan


DS

Kekurangan volume

Kegagalan mekanisme

Pasien mengeluh

cairan

regulasi

Kerusakan integritas kulit

Imunodefisiensi

- Kadang demam kadang tidak - Diare sehari > 10x - Keringat dingin pada malam hari

DO - Suhu = 38,6 °C - TD = 120/80 mmHg DS Pasien mengeluh - Sudah 3 bulan kulit melepuh terasa gatal, kehitaman dibagian muka, tangan, kaki dan kelamin

DO - Dermatitis fesikulata DS Pasien mengeluh - Nafsu makan menurun - HIV - TB - Meningen

DO

Risiko Infeksi


- Lukosit = 20000/mm3 - Dermatitis fesikulata - BTA (+) DS

Risiko ketidakefektifan

Pasien mengeluh

perfusi jaringan otak

- Lemas dan ingin tidur terus menerus

DO - TD = 100/70 DS

Risiko trauma

Pasien mengeluh - Kulit melepuh terasa gatal, kehitaman dibagian muka, tangan, kaki dan alat kelamin - Stomatitis (+) DS

Nyeri akut

Pasien mengeluh

Agen cidera biologis (infeksi bakteri TB-Meningen)

- Sakit pada kepalanya - Sakit dirasakan hilang timbul - Sakit kepala terasa pada bagian tengkuk atau kepala bagian belakang - Sakit kepala terasa tertusuk-tusuk dan berat pada leher DS

Intoleransi aktivitas

Ketidakseimbangan anatara


Pasien mengeluh

suplai dan kebutuhan oksigen

- Dispnea (+) - Sesak napas (+) saat aktivitas bertambah sesak terus menerus DS

Ansietas

Penurunan interpersonal

Pasien mengeluh - Memiliki riwayat menggunakan narkoba suntik dan terjerat dalam pergaulan bebas - Keringat dingin dimalam hari - Diare sehari > 10x - Nafsu makan menurun - Stomatitis (+)

DO - TD = 120/80 mmHg - Nadi = 90 x/menit

2.5 Rencana Asuhan Keperawatan

Prioritas Diagnosa 1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d eksudat dalam alveoli, hiperplasia pada dinding bronkus, mukus berlebihan 2. Ketidakefektifan pola napas b/d Hiperventilasi 3. Hipertermi b/d Penyakit (proses infeksi)


4. Keidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d Kurang asupan makanan 5. Defisiensi pengetahuan b/d Kurang informasi, kurang sumber pengetahuan 6. Kekurangan volume cairan b/d Kegagalan mekanisme regulasi 7. Kerusakan integritas kulit b/d Imunodefisiensi 8. Risiko Infeksi 9. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak 10. Risiko trauma 11. Nyeri akut b/d Agen cidera biologis (infeksi bakteri TB-Meningen) 12. Intoleransi aktivitas b/d Ketidakseimbangan anatara suplai dan kebutuhan oksigen 13. Ansietas b/d Penurunan interpersonal

No 1.

Diagnosa Ketidakefektifan

NOC

NIC

Respiratory status: Airway patency Airway Management

bersihan jalan nafas Setelah dilakukan askep selama

- Membuka jalan nafas dengan

b/d eksudat dalam

2x24 jam diharapkan pasien

alveoli, hiperplasia

mampu bernafas secara efektif,

pada dinding

dengan kriteria hasil:

bronkus, mukus

- Dyspnea (-), batuk berdahak (-)

berlebihan

- Sesak berkurang

pemasangan alat jalan nafas

- Frekuensi nafas normal (16-24

buatan

x/mnt) - Mampu batuk efektif agar sputum keluar - Jalan nafas paten

tekhnik chin lift/ jaw thrust - Posisikan pasien dengan nyaman (semi fowler/fowler) - Kaji pasien apakah perlu

- Lakukan fisioterapi dada - Keluarkan sekret dengan batuk/ suction - Auskultasi suara nafas dan catat adanya suara tambahan - Atur intake cairan untuk mengoptimalkan keseimbangan - Monitor respirasi dan oksigen


2.

Ketidakefektifan

Respiratory status: Ventilation

pola nafas b/d

Setelah dilakukan askep selama

hiperventilasi

2x24 jam diharapkan pasien

Oxygen Therapy - Pertahankan jalan nafas pasien

mampu bernafas tanpa adanya

- Atur peralatan oksigenasi

suara tambahan, dengan kriteria

- Monitor aliran oksigenasi

hasil:

- Observasi adanya tanda

- Dyspnea (-), batuk berdahak (-)

hipoventilasi

- Suara nafas normal (vaskuler)

- Monitor adanya kecemasan

- Frekuensi nafas normal (16-24

pasien terhadap oksigenasi

x/mnt)

Vital Sign Monitorting - Monitor TD, N, R, dan S - Catat dan kaji adanya peningkatan/penurunan TTV - Identifikasi setiap perubahan yang terjadi

3.

Hipertermi b/d

Thermoregulation

Fever Treatment

penyakit (proses

Setelah dilakukan askep selama

- Monitor IWL

infeksi)

2x24 jam diharapkan suhu pasein

- Monitor warna dan suhu

menurun/menghilang, dengan kriteria hasil: - Suhu tubuh normal (36,50C0

37,5 C) - Nadi normal (60-100 x/mnt) - RR normal (16-24 x/mnt) - Turgor kulit normal (elastis)

kulit - Monit penurunan tingkat kesadaran - Monitor WBC, HB, dan HCT - Kolaborasi dalam pemberian antipiretik dan cairan melalui IV dan obat pencegah menggigil - Instruksikan kepada keluarga dalam memberikan tapid


sponge (kompres) - Tingkatkan sirkulasi udara Temperature Regulation - Monitor suhu minimal tiap 2 jam - Monitor selalu tanda-tanda hipo atau hipertermi - Ajarkan kepada pasien cara mencegah keletihan akibat peningkatan suhu 5.

Ketidakseimbangan Nutritional status: food and fluid nutrisi kurang dari

intake

Nutrition Management - Kolaborasi dengan ahli gizi

kebutuhan tubuh

Setelah dilakukan askep selama

untuk menentukan jumlah

b/d kurang asupan

2x24 jam diharapkan pasien

kalori & nutrisi yang

makanan

mampu meningkatkan asupan

dibutuhkan

makananya, dengan kriteria hasil: - Adanya peningkatan nafsu makan dan BB - BB ideal sesuai dengan TB - Tidak ada tanda-tanda malnutrisi

- Anjurkan pasien minum suplemen (Fe, protein dan Vit C) - Ajarkan pasien bagaiamana membuat catatan makanan harian - Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori - Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi - Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan Nutritonal Monitoring


- BB pasien meningkat dalam rentang yang normal sesuai dengan TB - Monitor penurunan BB - Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan - Monitor turgor kulit, kekeringan, perubahan pigmentasi, rambut kusam, mual, muntah, konjungtiva dan intake cairan 5.

Defisiensi

Knowledge: Disease Process

Teaching: Disease Process

pengetahuan b/d

Setelah dilakukan askep selama

- Berikan penilaian kepada

kurang informasi,

1x24 jam diharapkan pasein dan

pasien tentang tingkat

kurang sumber

keluarga memahamo terkait

pengetahuannya

pengetahuan

penyakit yang diderita, dengan kriteria hasil: - Menyatakan pemahaman perihal penyakit yang diderita - Mampu menjelaskan kembali

- Jelaskan dan gambakan patofisiologi, tanda, gejala penyakit yang muncul dan pencegahannya - Menjelaskan kondisi pasein

apa yang sudah dijelaskan oleh

dengan cara yang tepat dan

timkes perihal penyakit yang

jelas

diderita

- Diskusikan pilihan terapi/ penanganan

6.

Kekurangan

Hydration

Fluid management

volume cairan b/d

Setelah dilakukan askep selama

- Jaga intake dan output cairan

kegagalan

2x24 jam diharapkan pasien

- Monitor dehidrasi dan TTV

mekanisme

mampu memenuhi kebutuhan

- Berikan cairan dengan tepat


regulasi

cairannya, dengan kriteria hasil: - Turgor kulit normal (elastis) - Mukosa bibir normal (Lembab) - TD normal (120-130/ 80-90 mmHg)

- Tingkatkan asupan oral - Distribusikan asupan cairan dalam 24 jam - Konsultasikan dengan dokter jika tanda dan gejala

- Nadi normal (60-100 x/mnt)

kelebihan caran menetap/

- Tidak ada tanda-tanda dehidrasi

memburuk Hypovolemia Management - Monitor tingat Hb dan HCT - Monitor respon pasien terhadap penambahan cairan - Monitor adanya tanda-tanda gagal ginjal

7.

Kerusakan

Tissue integrity: skin and mucous

integritas kulit b/d

membranes

imunodefisiensi

Setelah dilakukan askep selama 2x24 jam diharapkan pasien tidak

 Skin survailance - Periksa kulit terkait dengan adanya kemerahan - Amati warna, tekstur,

mengalami kerusakan integritas

bengkak, kehangatan dan

kulit lebih lanjut, dengan kriteria

ulserasi

hasil: - Turgor kulit baik (elastis) - Tidak mengalami lesi/ lesi berkurang - Perfusi jaringan baik

- Gunakan alat pengkajian (skala braden) - Monitor warna, suhu, kulit dan kelembapan - Lakukan langkah untuk mencegah kerusakan lebih lanjut Skin care: topical treatment - Bersihkan dengan sabun antibakteri


- Berikan pembersih topikal untuk daerah yang terkena - Periksa kulit setiap hari bagi pasien yang berisiko mengalami kerusakan kulit 8.

Risiko infeksi

Immune status

Infection Control

Setelah dilakukan askep selama

- Pertahankan tekhnik isolasi

2x24 jam diharapkan pasien

- Tingkatkan intake nutrisi

terhindar dari infeksi berkelanjutan,

- Kolaborasi dalam pemberian

dengan kriteria hasil: - Bebas dari tanda dan gejala infeksi - Mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya

antibiotik - Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik - Pertahankan lingkungan sistemik - Ajarkan pasien dan keluarga cara menghindari infeksi

- Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi - Leukosit normal (50010.000/mm3) - Perilaku hidup sehat 9.

Risiko

Circulation status

Peripheral sensation management

ketidakefektifan

Setelah dilakukan askep selama

- Monitor adanya paretese

perfusi jaringan

2x24 jam diharapkan pasien

- Instruksikan keluarga untuk

otak

terhindar dari kerusakan perfusi

mengobservasi kulit jika ada

jaringan otak, dengan kriteria hasil:

lesi/ laserasi

- TD normal (120-130/ 80-90 mmHg)

- Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung


- Tidak ada tanda ortostatik hipertensi - Mampu berkomunikasi - Kesadaran membaik (CM) - Menunjukkan fungsi sensori

- Monitor kemampuan ADL - Kolaborasi dalam pemberian analgetik - Monitor adanya tromboplebitis

motori cranial yang utuh 10. Risiko trauma

Kontrolrisiko: penggunaanobatterlarang

Perawatanpenggunaanzatterlarang - Pertimbangkanadanyapenyak

Setelahdilakukanaskepselama 2x24

itpenyerta yang

jam

membuatadanyaperubahanda

diharapkanpasientidakmengalami

lamhalperawatan

trauma

- Bantu

akibatpemakaianzatterlarang,

klienmemahamipenyakitseba

dengankriteriahasil:

gai yang

- Mengetahuifaktorrisiko yang

berkaitandenganbanyakfakto

dirimbulkanakibatpemakaianzat

r (genetik, psikologi,

terlarang

situasitertentu)

- Dapatmerubahperilaku - Mengembangkanstrategiefektif

- Informasikankepadaklienbah wafrekuensidan volume

untukmengontrolpenyalahgunaa

penyalahgunaanzatterlarangb

nobat-obatan

isamengakibatkandisfungsi

- Mengenalidanmemonitoriperub ahan status kesehatan Mampumenghilangkanefekdaripen yalahgunaanzatterlarang

yang bervariasiantarasatu orang dengan orang lain - Instruksikanklien.keluargam engenaiobat-obatan yang digunakanselamaperawatan - Diskusikanpentingnyauntukti dakmenggunakanzatterlarang - Ajarkanpasienmengenaitekh


nikmanajemanstres - Pantauadanyapenyakitmenul ar, mengobatidanmemberikanba ntuanuntukmemodifikaisperil aku - Kolaborasidalampemberiano bat yang diindikasikan (disulfiram, acamprosate, methadone, naltrexone, nicotinepatches/ buprenorphine) 11. Nyeri akut b/d

Pain level

Pain management

agens cedera

Setelah dilakukan askep selama

- Lakukan pengkajian nyeri

biologis (infeksi

2x24 jam diharapkan pasien dapat

komprehensif meliputi

bakteri TB-

mengurasi rasa nyeri yang diderita,

lokasi, karakteristik, durasi,

Meningen)

dengan kriteria hasil:

frekuensi, kualitas,

- Nyeri berkurang/ menghilang

intensitas/ berat nyeri dan

- TD normal (120-130/ 80-90

faktor pencetus

mmHg)

- Tentukan akibat dari

- Nadi normal (60-100 x/mnt)

pengalaman nyeri terhadap

- RR normal (16-24 x/mnt)

kualitas hidup pasien

- Frekuensi nyeri berkurang dan sakala juga berkurang

- Ajarkan pasien nafas dalam - Kolaborasi dalam pemberian analgesik - Berikan informasi terkait nyeri

12. Intoleran aktivitas b/d

Activity tolerance Setelah dilakukan askep selama

 Activity therapy - Kolaborasi dengan tim medik


ketidakseimbangan 2x24 jam diharapkan pasien

dalam perencanaan program

antara suplai dan

terapi yang tepat

mampu beraktivitas secara normal,

kebutuhan oksigen dengan kriteria hasil: - Kemudahan dalam melakukan ADL - Tidak merasa sesak saat beraktivitas - TD normal (120-130/ 80-90 mmHg) - Nadi normal (60-100 x/mnt) - RR normal (16-24 x/mnt)

- Bantu klien mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan - Bantu pasien memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan sosial - Instruksikan klien/ keluraga dalam perencanaan jadwal latihan - Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas - Monitor respon fisik, emosi, sosial dan spiritual

13. Ansietas b/d

Anxiety level

Anxiety reduction

penularan

Setelah dilakukan askep selama

interpersonal

1x24 jam diharapkan pasien

memahami kondisi pasien

mampu menurunkan tingkat

- Dengarkan pasien dengan

kecemasannya, dengan kriteria hasil: - Mampu mengidentifikasi/ mengungkapkan gejala kecemasan - Mampu mengontrol kecemasan - TTV normal - Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat

- Dorong keluarga untuk

penuh perhatian - Identifikasi tingkat kecemasan - Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulakn kecemasan - Dorong pasien untuk mengungkapkan kecemasannya


aktivtas menunjukkan berkurangnya kecemasan

- Kolaborasi pemberian obat anticemas Relaxation therapy - Jelaskan alasan untuk relaksasi dan manfaat serta batas dan jenis relaksasi - Ciptakan lingkungan yang tenang dan aman - Ajak pasien untuk bersantai - Menunjukkan dan berlatih tekhnik relaksasi


BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. HIV menyebabkan kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang didapat. Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak (Whiteley, 2014).


DAFTAR PUSTAKA

Amin, Z., Bahar, A. 2009. Tuberkulosis Paru. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Internal Publishing Asti, Retno. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas: Fkui Depkes Ri (2007). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2 Cetakan Pertama. Bulechek, Gloria. Dkk. 2013.Nursing Intervention Clasification (Nic).Singapore: Elsevier. Herdman, T. Heater. 2015. Nanda International Inc. Nursing Diagnoses. Jakarta: Egc. Jhonson, Marion. Dkk. 2012.Noc And Nic Lingkage To Nanda-I Clinical Conditions. Usa: Morby Elsevier. Karnadihardja. 2004. Penyakit Tb Paru Dalam : Buku-Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Egc Moorhed, Sue And Elizabeth Marry. 2016. Nursing Outcome Clasification (Noc). Siangpore: Elsevier. Mutaqin, Arif. 2008. PengantarAsuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.Jakarta: Salemba Medika. Nurarif & Kusuma. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis. Mediaction Publishing : Yogyakarta. Nursalam. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi Hiv. Jakarta: Sebelas Maret Puspita, Irene. 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Tenaga. Jakarta :Salemba Medika. Sanjoyo, Raden. 2007. Obat (Biomedik Farmakologi). Yogyakarta : Fmipa Universitasgajah Mada.


Suhaimi, Donel,Dkk. 2010. Pencegahan Dan Penatalaksanaan Infeksi Keperawatan Perempuan Terhadap Penderita Hiv/Aids. Surakarta: Fk . Yuli, Ika. 2013. Perilaku Berisiko Penyebab Human Immunodeficiency Virus (Hiv) Positif. Semarang: Universitas Negeri Semarang.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.