Makalah batu empedu

Page 1

Makalah Kolitiasis Discovery Learning Modul KMB II

Oleh: PSIK 2013

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta April/2015

Daftar Isi

1


2


KATA PENGANTAR Kata Pengantar Puji syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya kepada kami, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah hasil diskusi pembelajaran kami mengenai “Batu Empedu.� Makalah

hasil

diskusi

ini

disusun

sebagai

pelengkap

untuk

menyempurnakan diskusi yang telah dilaksanakan yang terdapat dalam modul keperawatan medikal bedah 2. kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya. Hal ini disebabkan karena terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini di waktu yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami pada khusunya dan pembaca pada umumnya. Ciputat, April 2015

PSIK 2013

3


BAB I PENDAHULUAN Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Mutaqqin & Sari, 2011). Biasanya dibentuk didalam kandung empedu dari bahan-bahan padat empedu dan sangat bervariasi dalam hal bentuk, ukuran dan komposisinya. Faktor-faktor resiko pada batu empedu termasuk sirosis, hemolisis, dan percabangan saluran empedu. Batu ini tidak dapat dihancurkan dan harus diangkat dengan pembedahan. Faktor-faktor untuk batu kolesterol termasuk kontrasepsi oral, esterogen, dan klofibrat. Batu empedu merupakan endapan satu atau lebih kompenen empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan fosfolipid. Kolesterol hampir tidak dapat larut dalam air dan bilirubin sukar larut dalam air

4


BAB II PEMBAHASAN

A.

Definisi Dua penyakkit saluran empedu yang paling menonjol, dilihat dari frekuensinya adalah pembentuka nbatu (kolelitiasis) dan radang kronis penyerta (kolesistitis) (Sylvia, 2012). Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Mutaqqin & Sari, 2011). Biasanya dibentuk didalam kandung empedu dari bahan-bahan padat empedu dan sangat bervariasi dalam hal bentuk, ukuran dan komposisinya. Ada dua jenis batu empedu yaitu batu pigmen yang terdiri atas pigmen empedu tak jenuh yang jumlahnya berlebihan, dan batu kolesterol, yang merupakan bentuk paling umum. Bila terletak didalam kantung empedu saja disebut kolesistolitiasis, dan yang terletak didalam saluran empedu ektra hepatik (duktus koleduktus) disebut koledokolitiasis, sedangkan bila terdapat di dalam saluran empedu intra hepatik disebalah proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan koledokolitiasis disebut kolelitiasis. Faktor-faktor resiko pada batu empedu termasuk sirosis, hemolisis, dan percabangan saluran empedu. Batu ini tidak dapat dihancurkan dan harus diangkat dengan pembedahan. Faktor-faktor untuk batu kolesterol termasuk kontrasepsi oral, esterogen, dan klofibrat. Wanita mengalami batu kolesterol dan penyakit kandung empedu empat kali lebih sering dibandingkan pria, biasanya diatas usia 40 tahun, multipara, dan obesitas. (Smeltzer&Bare, 2002).

B.

Etiologi Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko. Namun, semakin

5


banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain : 1.

Jenis kelamin Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini di karenakan oleh hormon esterogen berpengaruh peningkatan kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang meningkatan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung emprdu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.

2.

Usia Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia orang dengan usia >60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang dengan usia muda.

3.

Obesitas Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolisme umum, resisten

insulin,

diabetes

m

elitus

tipe

II,

hipertensi,

dan

hyperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama untuk pengembangan abtu empedu kolesterol. 4.

Statis Bilier Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi yang bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakang (medulla spinalis), puasa berkepanjangan, atau pemebrian diet nutrisi total parental penurunan berat badan yang berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah lemak, operasi baypass lambung). Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam empedu, serta meningkatkan kehilangan garam empedu ke intestinal.

5.

Obat-obat

6


Esterogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat meningkatkan risiko batu empedu kolesterol.Clofibratte dan obat fibrat hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier dan tampaknya meningkatnya resiko batu empedu kolesterol. 6.

Diet Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik.

7.

Keturunan Sekitar

25%

daribatuempedukolesterol,

faktorpredisposisitampaknyaadalahturuntemurun. 8.

Gangguan intestinal Pasienpascareseksiususdanpenyakitcrohnmemilikirisikopenuru nanataukehilangangaramempedudari intestinal.Garamempedumerupkanagenpengikatkolesterol, penurunangaramempedujelasakanmeningkatkankonsentrasikolesterold anmeningkatkanresikobatuempedu.

9.

Aktivitasfisik Kurangnyaaktivitasfisikberhubungandenganpeningkatanresikot erjadinyakolelitiasis.Inimungkindisebabkanolehkandungempedulebihs edikitberkontraksi(Cahyono, 2009).

C.

Patologi koletiasis Batu empedu merupakan endapan satu atau lebih kompenen empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan fosfolipid. Kolesterol hampir tidak dapat larut dalam air dan bilirubin sukar larut dalam air. Batu empedu memiliki komposisi yang terutama terbagi atas tiga jenis: 1. Batu pigmen terdiri atas garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini: bilirubinat, karbonat, fosfat atau asam lemak rantai panjang. Batu-batu ini cenderung berukuran kecil, multipel dan berwarna hitam kecoklatan. Batu pigmen berwarna hitam berkaitan dengan hemolisis

7


kronis. Batu berwarna coklat berkaitan dengan infeksi empedu kronis (batu semacam ini lebih jarang dijumpai). 2. Batu kolesterol “murni� biasanya berukuran besar, soliter, berstruktur bulat atau oval, berwarna kuning pucat dan sering mengandung kalsium dan pigmen. 3. Batu kolesterol campuran paling sering ditemukan. Batu ini memiliki gambaran batu pigmen maupun batu kolestreol, majemuk dan berwarna coklat tua. Batu empedu campuran sering dapat terlihat dengan pemeriksaan radiografi, sedangkan batu komposisi murni tidak terlihat (price, 2012).

D.

Patofisiologi kolelitiasis Ada 2 tipe utama batu empedu: batu yang terutama tesusun dari pigmen dan batu yang terutama tersusun dari kolesterol. 1. Batu pigmen kemungkinan akan terbentuk bila pigmen yang takterkonyugasi dalam empedu mengadakan presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu. Batu ini bertanggung jawab atas sepertiga dari pasien-pasien batu empedu di Amerika Serikat. Risiko terbentuknya batu semacam ini semakin besar pada pasien sirosis, hemolisis dan infeksi percabangan bilier. Batu ini tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi. 2. Batu kolestrerol bertanggung jawab atas sebagian besar kasus batu empedu lainnya di Amerika Serikat. Kolesterol yang unsur normal pembentuk empedu bersifat tidak larut dalam air. Kelarutannya tergantung pada asam-asam empedu dan lesitin (fosfolipid) dalam empedu. Pada pasien yang cenderung menderita batu empedu akan terjadi penurunan siistesis asam emmpedu dan peningkatan sintesis kolesterol dalam hati, keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah empedu yang jenuh oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah empedu mengendap dan membentuk batu. Getah empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan predisposisi untuk timbulnya batu empedu

8


dan berperan sebagai iritan yang menyebabkan peradangan dalam kandung empedu. Jumlah wanita yang menderita batu kolesterol dan penyakit kandung empedu adalah empat kali lebih banyak daripada laki-laki. Biasanya wanita tersebut berusia lebih dari 40 tahun, multipara dan obesitas. Insiden pembentukan batu empedumeningkat pada para pengguna pil kontrasepsi, estrogen dan klofibrat yang diketahui meningkatkan kolesterol bilier. Insiden pembentukan batu empedu meningkat bersamaan dengan pertabahan umur, peningkatan ini terjadi akibat bertambahnya sekresi kolesterol oleh hati dan menurunnya sintesis asam empedu. Disamping itu, resiko meningkatnya batu empedu juga meningkat akibat malabsorpsi garam-garam empedu pada pasien dengan penyakit gastrointestinal atau fistula T-tube atau pada pasien yang telah menjalani operasi pintasanatau reseksi ileum. Insiden penyakit ini juga meningkat pada para penyandang penyakit diabetes (Smeltzer, 2002).

E.

Manifestasi Klinis Sebagianbesargejalatimbulbilabatumenyumbatalranempedu, seringkaliterjadikarenabatu

yang yang

kecilmelewatikedalamduktuskoledokus.Penderitabatuempeduseringmemili kigejalakolesistitisakutataukronis. 1. Gejalaakutditandaidengan : a) Nyerihebatmendadakpada

epigastrium

atau

abdomen

kuadrankananatas b) Nyeridapatmenyebarkepunggungdanbahu c) Berkeringatbanyak d) Berjalanmondar-mandirataubergulinggulingkekananataukekiridiatastempattidur. e) Distensi abdomen f) Nausea danmuntahseringterjadi

9


g) Nyeridapatberlangsungberjam-jam ataudapatkambuhsetelahremisiparsial(Sylvia, 2012). 2. Gejalakronisditandaidengan : a) Jikasaluranempedutersumbat, makakandungempedumengalamidistensidanakhirnyainfeksi, mungkinterjadidemamdanterabamassa

abdomen.

Kolikbilierdengannyeri

kananatas,

abdomen

menajalarkepungguangataubahukanan b) Mualdanmuntah c) Ikterikterjadidengantersumbatnyaduktuskomunisempedu d) Urine berwarnasangatgelap, fesesberwarnapucat e) Defisiensi

vitamin

A,D,E,

K

(vitamin-vitamin

yang

larutdalamlemak) f) Abses,

nekrosis,

danperforasidengan

peritonitis

dapatterjadijikabatuempeduterusmenyumbatsaluranempedu (Smeltzer& Bare, 2002). Dalam buku Widiastuty (2010) dijelaskan bahwasebagian besar penderita batu empedu tidak menunjukkan gejala klinis (asimtomatik) yang dalam perjalanan penyakitnya dapat tetap asimtomatik selama bertahun-tahun dan sebagian kecil (2-3% per tahun) dapat berkembang menjadi simtomatik. Manifestasi klinis yang sering terjadi di antaranya kolik biliaris, kolesistitis akut dan kronik serta batu duktus koledokus. 1. Kolik biliaris 60-70% pasien dengan batu empedu simtomatik mengalami episode kolik biliaris, yaitu nyeri yang terutama dirasakan di daerah epigastrium setelah makan atau di daerah kuadran atas kanan perut, kadang menjalar ke belakang (interskapula) atau sampai ke bahu kanan. Nyeri dapat dirasakan beberapa menit sampai beberapa jam. Nyeri yang hebat sering disertai rasa mual dan muntah sehingga menyebabkan penderita dirawat di RS.

10


Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri epigastrium pada palpasi atau nyeri di daerah kuadran atas kanan tetapi sebagian besar pasien tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan fisik. 2. Kolesistitis akut Kolesistitis akut merupakan komplikasi paling sering, yaitu sekitar 15-20% dari pasien dengan batu empedu simtomatik. Pasien mengalami nyeri hebat yang dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, sehingga pasien merasa membutuhkan pertolongan emergensi. Obstruksi duktus sistikus yang menetap oleh batu, disertai iritasi kimia oleh empedu menyebabkan inflamasi dan edema dari dinding kandung empedu, biasanya pasien mengalami mual dan muntah. Pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan nyeri dan rasa penuh di daerah kuadran atas kanan. Pada palpasi di daerah kuadran atas kanan selama inspirasi sering menyebabkan rasa nyeri sehingga pasien menghentikan napas sejenak (Murphy’s sign positif). Tanda peritonitis local dan demam sering ditemukan. 3. Batu pada duktus koledokus (Koledokolitiasis) Koledokolitiasis dapat terjadi bila batu berpindah tempat dari kandung empedu dan menyumbat duktus koledokus. Sumbatan batu ini dapat menyebabkan kolangitis atau pankreatitis akut. Pasien dengan batu pada duktus koledokus sering menunjukkan gejala jaundice dan demam, selain rasa nyeri (Widiastuty, 2010).

F.

Komplikasi 1. Kolesistisis Kolesistisis adalah peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung empedu. 2. Kolangitis

11


Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi yang menyebar malalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-saluran menjadi terhalang oleh sebuah batu empedu. 3. Hidrops Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan simdrom yang berkaitan dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu yang normal. Kolesistektomi bersifat kuratif. 4. Empiema Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.

G.

Pemeriksaan Fisik Pasien dengan stadium litogenik atau batu asimptomatik tidak memiliki kelainan dalam pemeriksaan fisik. Selama serangan kolik bilier, terutama pada saat kolelitiasis akut, pasien akan mengalami nyeri palpasi/nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Diketahui dengan adanya tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. Riwayat ikterik maupun ikterik cutaneous dan sclera dan bisa teraba hepar.

H.

Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium Hasil pemeriksaan berikut dapat memberikan informasi adnya komplikasi akibat empedu. Pemeriksaan sinar X untuk mengetahui adanya batu kandung empedu memiliki nilai diagnostik yang rendah. Sekali lagi hanya batu empedu yang bersifat radiopaque yang dapat terlihat melalui pemeriksaan radiologi menggunakan sinar X.

12


2. Pemeriksaan ultrasonografi Ultrasonografi (USG) adalah suatu alat yang menggunakan prinsip gelombang suara, yang di pancarkan dari alat USG dan dikirimkan ke irgan tubuh yang akan di periksa. Organ akan memantulkan kembali gelombang suara tersebut dan oleh alat USG akan di terjemahkan menjadi sebuah gambar hitam putih yang dapay dilihat melalui layar monitor. Pemeriksaan USG pada pasien yang menderita batu empedu

13


berjumlah dua buah dengan diameter batu sebesar 2,4 cm dan 1,8 cm (suharjo, 2009). Pemeriksaan USG saat ini dianggap sebagai pemeriksaan standar untuk mengetahui adanya batu. Untuk batu yang berukuran lebih dari 2mm, pemeriksaan USG memilki nilai akurasi diagnositik yang tinggi. Pemeriksaan USG relatif aman, murah dan tidk memancarkan radiasi. Selain untuk mengetahui adanya batu kandung empedu, pemeriksaan USG juga dapat digunakan untuk mengetahui adanya komplikasi yang muncul akibat batu empedu (suharjo, 2009). Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa. (Sudoyo,2006) Ultrasonografi sangat bermanfaat pada pasien ikterus. Sebagai teknik penyaring, tidak hanya dilatasi duktus biliaris ekstra dan intra hepatik yang bisa diketahui secara meyakinkan, tetapi kelainan lain dalam parenkim hati atau pankreas (seperti massa atau kista) juga bisa terbukti. Pada tahun belakangan ini, ultrasonografi jelas telah ditetapkan sebagai tes penyaring awal untuk memulai evaluasi diagnostik bagi ikterus. Bila telah diketahui duktus intrahepatik berdilatasi, maka bisa ditegakkan diagnosis kolestatis ekstrahepatik. Jika tidak didapatkan dilatasi duktus, maka ini menggambarkan kolestatis intrahepatik. Ketepatan ultrasonografi dalam membedakan antara kolestatis intra dan ekstrahepatik tergantung pada derajat dan lama obstruksi saluran empedu, tetapi jelas melebihi 90% .Distensi usus oleh gas mengganggu pemeriksaan ini. (Sabiston,1994). 3. Pemeriksaan hepatobilliary scan (HIDA scan)

14


Hepatpbilliay scan atau HIDA scan (hepatobilliary imino diacetic acid scan ) merupakan pemeriksaan pencitraan medis dengan memanfaatkan zat nuklir untuk mengetahui fungsi eksresi hati dan kandung empedu. Melalui pemeriksaan ini di ketahui appakah ada gangguan dakamfungsi pengeluaran garam empedu. Pasien akan diinjeksi dengan zat radioaktif. Dngan kamera gamma, radiasi yang dipancarkan akan ditangkap sehinga akan tergambar hasil pengukuran yang dapat mencefrminkan ada tidaknya gangguan fungsi eksresi. Pemeriksaan jenis ini tidak banyak memberikan informasi berkaitan dengan batu empedu. Maanfaat pemeriksaan ini sebenarnya adalah untuk mengetahui apakah ada sumbatan batundi uktus sistikus. 4. Pemeriksaan CT scan Ct scan tidak banyak digunakan untuk menegakkan adanya batu empedu. Selain kaena harganya bisa 10 kali lebih mahal dibandingkan USG, kemampuan USG tidak kalah dengan CT scan dalam rangka mendeteksi adanya komplikasi akibat batu empedu. CT scan juga berguna untuk menunjukkan pelebaran saluran empedu (duktus koledokus) yang di duga di sebabkan oleh penekanan tumor pankreas. 5. Endoscopic Retrodgrade cholangiopancreatography (ERCP) Endoscopic Retrodgrade cholangiopancreatography (ERCP). Kolangio pankreatografi retrograde endoskopi merupakan metode pemeriksaan invasif yang digunakan untuk tujuan doagnostik maupun terap batu saluran empedu, terutama batu yang berada diduktus koledokus. teknik pemeriksaan ERCP sama dengan apa yang dilakukan oleh dokter yang melakukan pemeriksaan endoskopi lambung dan usus dua jelas (duodenum). Pipa lentur (scope) dimasukkan kedalam mulut- lambung- dudenum dengan bantuan kamera dan layar monitor TV. Setelah sampai di duodenum maka pipa kecil atau kanula di masukan melalaui papila vateri sebagai pintu masuk menuju duktus koledokus. setelah pipa masuk ke pepila vateri zt kontras iodium (urografin 60%) disemprotkan . dengan foto sinar X

15


maka dapat dideteksi adnya batu di duktus koledokus. ERCP dapat di gunakan untuk mengetahui adanya batu di duktus koledokus. 6. MRCP (Magnetic Resonance Cholangio Pancreatography) Merupakan emeriksaan non vasif untuk mengetahui adanya batu di duktus koledokus, dengan skurasi mencapai 90%. Pemeriksaan ini relatif aman karena tidak menggunakan kontras dan tidak menambah penderita pasien, tetapi memerlukan baya tinggi (suharjo, 2009). 7. Pemeriksaan laboratorium Darah Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut. (Sjamsuhidajat,2005) Penyaringan bagi penyakit saluran empedu melibatkan penggunaan banyak tes biokimia yang menunjukkan disfungsi sel hati yaitu yang dinamai tes fungsi hati. Bilirubin serum yang difraksionasi sebagai komponen tak langsung dan langsung dari reaksi Van den bergh, dengan sendirinya sangat tak spesifik. Walaupun sering peningkatan bilirubin serum menunjukkan kelainan hepatobiliaris, bilirubin serum bisa meningkat tanpa penyakit hepatobiliaris pada banyak jenis kelainan yang mencakup episode bermakna hemolisis intravaskular dan sepsis sistemik. Tetapi lebih lazim peningkatan bilirubin serum timbul sekunder terhadap kolestatis intrahepatik, yang menunjukkan disfungsi parenkim hati atau kolestatis ekstrahepatik sekunder terhadap obstruksi saluran empedu akibat batu empedu, keganasan, atau pankreas jinak. (Sabiston,1994)

16


Bila obstruksi saluran empedu lengkap, maka bilirubin serum memuncak 25 sampai 30 mg per 100 ml, yang pada waktu itu eksresi bilirubin sama dengan produksi harian. Nilai >30 mg per 100 ml berarti terjadi bersamaan dengan hemolisis atau disfungsi ginjal atau sel hati. Keganasan ekstrahepatik paling sering menyebabkan obstruksi lengkap (bilirubin serum 20 mg per 100 ml), sedangkan batu empedu biasanya menyebabkan obstruksi sebagian, dengan bilirubin serum jarang melebihi 10 sampai 15 mg per 100 ml. (Sabiston,1994) Alanin aminotransferase (dulu dinamai SGOT, serum glutamatoksalat transaminase) dan Aspartat aminotransferase (dulu SGPT, serum

glutamat-piruvat

transaminase)

merupakan

enzim

yang

disintesisi dalam konstelasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan dalam aktivitas serum sering menunjukkan kelainan sel hati, tetapi peningkatan enzim ini ( 1-3 kali normal atau kadang-kadang cukup tinggi tetapi sepintas) bisa timbul bersamaan dengan penyakit saluran empedu, terutama obstruksi saluran empedu. (Sabiston,1994) Fosfatase alkali merupakan enzim yang disintesisi dalam sel epitel saluran empedu. Pada obstruksi saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel duktus meningkatkan sintesis enzim ini. Kadar yang sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu. Tetapi fosfatasi alkali juga ditemukan di dalam tulang dan dapat meningkat pada kerusakan tulang. Juga meningkat selama kehamilan karena sintesis plasenta. (Sabiston,1994) 8. Pemeriksaan Radiologis Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika. (Sjamsuhidajat,2005)

17


9. Kolesistografi Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu. (Sjamsuhidajat,2005)

I.

Penatalaksanaan Medis Farmakologik Pengobatan

non-bedah

tidak

menjanjikan

sebagaimana

pengobatan dengan cara pembedahan. Ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum dilakukan pengobatan, agar hasil pengobatan optimal. Paling tidak ada tiga cara menghancurkan batu empedu, extracorpureal shock wave lithotipsy (ESWL) dan terapi pelarutan secara kontak 1. Obat pelarut batu Pada saat ini ada dua jenis obat pelarut batu, yaitu chenodeoxycholic acid (CDCA) (asam kenodoeksikolik) dan ursodeoxycholic (UDCA) (asam ursodeoksikolik). Cara kerja kedua obat tersebut adalah melarutkan batu empedu dengan cara menurunkan kejenuhan kolesterol asam empedu didalam kandung empedu, dengan jalan •

Meningkatkan pengeluaran asam empedu dari hati, dan

•

Mengurangi pengeluaran kolesterol dihati Dengan berkurangnya jumlah kolesterol yang dikeluarkan

dari hati dan meningkatnya pengeluaran asam empedu dari hati maka akan terjadi perubahan komposisi atau rasio kolesterol dan asam empedu. Dalam hal ini, perbandingan kolesterol terhadap asam empedu berkurang sehingga saturasi atau kejenuhan asam

18


empedu dengan sendirinya akan menurunkan pembentukan kristal kolesterol. CDCA atau chenodiol merupakan obat pertama yang digunakan untuk melarutkan batu empedu jenis kolesterol.namun bukan berarti pemebrian obat tersebut dapat menjamin hilangnya batu empedu. Tidak demikian. Ada persyaratan yang harus dipenuhi agar kedua jenis obat tersebut dapat memberikan efek yang menguntungkan, yakni sebagai berikut: •

Harus dapat dipastikan bahwa jenis batu empedu terbentuk dari kolesterol, bahwa jenis batu empedu terbentuk dari kolesterol, bukan dari kalsium (batu pigmen dan batu cokelat). Secara radiologis batu bersifat radiolusen.

Kandung

empedu

tidak

mengalami

disfungsi

(mampu

melakukan kontraksi sebagaimana biasanya) •

Diameter batu tidak lebih dari 15 mm, batu bersifatmengapung didalam kandung empedu, dan jumlah batu kurang dari tiga buah. Untuk mengetahui ukurannya, batu dengan mudah dapat diukur menggunakan alat ustrasonografi.

Pasien yang taat untuk mengkonsumsi obat dalam jangka yang lama

Pasien tidak mempunyai penyakit berat Keberhasilan Pengobatan menggunakan CDCA, UDCA

atau kombinasi keduanya dinilai dengan kolesistografi atau melalui ultrasonografi.

UDCA

lebih

baik

dibandingkan

CDCA,

kelebihannya UDCA dibandingkan dengan CDCA bukan hanya dari efektifitasnya saja, tetapi UDCA memberikan efek samping lebih rendah dibandingkan CDCA. Efek samping CDCA adalah diare dan gangguan fungsi hati. 2. Extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL) ESWL

merupakan

terapinon-invasif

karena

tidak

membutuhkan pembedahan atau memasukan alat kedalam tubuh pasien. Sesuai namanya ektracorpureal berarti diluar dan lithotripsy

19


berarti penghancuran batu. Jadi secara harfiah ESWL memiliki arti penghancuran batu dengan menggunakan gelombang kejut (shock wave)yang ditransmisi dari luar tubuh. Pada umumnya, gelombang kejut yang digunakan berkisar antara 500-1200gelombang kejut dalam jangka waktu antara 30120 menit. Agar batu dapat dihancurkan maka gelombang harus diarahkan kebatu dengan bantuan ultrasonografi. Batu empedu yang diberikan gelombang kejut diharapkan akan pecah menjadi butiran-butiran kecil. Selanjutnya butiran tersebut dengan adanya kontraksi kandung empedu akan didorong keluar keduktus dan akhirnya lepas keusus duabelas jari. Pada prosedur ini pasien dimasukan kedalam bak air. Untuk mengurangi rasa sakit, selain mendapatkan obat anti nyeri, pasien juga dibius, bisa secara epidural atau anastesi umum. ESWL

dilakukan

apabila

pasien

memenuhi

persyaratan dibawah ini: •

ESWL dilakukan bersama dengan pemberian obat UDCA atau ursodiol

•

Batu empedu berjumlah tunggal, tidak mengalami klasifikasi, dan mengakibtakan timbulnya nyeri bagi pasien. Ada beberpa efek samping yang timbul akibat ESWL, seperti bercak kemerahan pada kulit (14%) kencing darah karena kerusakan ginjal kanan, dan pankreatitis akut akibat menutup saluran duktus pankreatikus. ESWL tidak banyak digunakan karena hasilnya tidak memuaskan. Karena kandung empedunya sendiri masih utuh, risiko terbentuknya batu lagi masih sangat mungkin terjadi. Risiko kekambuhan sekitar 9% dalam setahun.

3. Terapi pelarutan secara kontak Cara ini dilakukan dengan memasukan cairan pelarut langsung kedalam kandung empedu. Bahan pelarut yang dipakai adalah MTBE (metil terbutil etan) yang akan melarutkan batu

20


kolesterol dalam 1-3 hari atau dengan monooctanoin (glicerol-1monoctanoate). Metode pelarutan secara kontak dilakukan dengan cara memasukan kateter yang mirip dengan ekor babi dengan bantuan alat ultrasonografi, menembus kulit-hati-masuk kedalam kandung empedu. Melalui kateter ini, kandung kemih disis dengan 5-10 ml MTBEdalam waktu antar 5-10 menit. Metode ini mempunyai efek samping, seperti perlekukan saat penempatan kateter, cedera diusus duabelas jariatau radang selaput perut (peritonitis) bila MTBE dan cairan empedu bocor keluar dari kandung empedu.

J.

Asuhan keperawatan Pasien Kolelitiasis

1. Dx. Nyeri akut b.d injuri fisik, agen cedera biologis: obstruksi/spasme duktus, proses inflamasi, iskemia jaringan/nekrosis Pengkajian

DS: Nyeri tekan di epigastrium DO: Mengeluh nyeri tekan di epigastrium

Diagnosa

Nyeri akut b.d injuri fisik, agen cedera

biologis:

obstruksi/spasme

duktus, proses inflamasi, iskemia jaringan/nekrosis Definisi: Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual/ potensial. NOC

Patien Goal : Pasien tidak merasa nyeri DISCOMFORT LEVEL -

Pain level

-

Mual

21


NIC

PAIN MANAGEMENT -

Observasi dan catat lokasi, beratnya (skala 0-10) dan karakter nyeri (menetap, hilang timbul, kolik).

-

Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien

melakukan

posisi

yang

nyaman. -

Kolaborasi : Pertahankan status puasa,

masukan

/

pertahankan

penghisapan NG sesuai indikasi. -

Kolaborasi : Berikan obat sesuai indikasi; antikolinergik.

2. Dx. Penurunan volume cairan b.d muntah, distensi dan hipermotilitas gaster. Pengkajian

DS: DO: Pasien lemah Mata cekung

Diagnosa

Turgor kulit buruk Penurunan volume

cairan

b.d

muntah, distensi dan hipermotilitas gaster. Definisi: Penurunan

cairan

intravaskuler,

interstisial dan atau intraseluler. Ini mengacu pada dehidrasi, kehilangan cairan tanpa perubahan natrium Patient Goal : menyeimbangkan cairan NOC

intraseluler dan intravaskuler FLUID BALANCE 22


NIC

-

Tekanan darah

-

Serum elektrolit

-

Hemotokrit

-

Mual

- muntah FLUID MANAGEMENT -

Pertahankan masukan dan haluaran akurat, perhatikan haluaran kurang dari masukan, peningkatan berat jenis

urine.

mukosa/kulit,

Kaji nadi

membrane perifer,

dan

pengisian kapiler. -

Awasi

tanda

/

gejala

peningkatan/berlanjutnya mual/muntah,

kram

abdomen,

kelemahan, kejang, kejang ringan, kecepatan

jantung

tak

teratur,

parestesia, hipoaktif atau tak adanya bising usus, depresi pernapasan. -

Kolaborasi : Pertahankan pasien puasa sesuai keperluan.

-

Kolaborasi : Berikan antimetik.

-

Kolaborasi : Berikan cairan IV, elektrolit, dan vitamin K.

3. Dx. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d pembatasan BB sesuai aturan : mual/ muntah Pengkajian

DS: Perut tidak enak karena mual dan muntah DO:

23


Diagnosa

Distensi abdomen Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari

kebutuhan

tubuh

b.d

pembatasan BB sesuai aturan : mual/ muntah Definisi: NOC

NIC

NUTRITION STATUS -

Nutrien intake

-

Food intake

- Fluid intake NUTRITION MANAGEMENT •

Kaji

distensi

bertahak,

abdomen,

berhati-hati,

sering menolak

bergerak. • Perkirakan/hitung pemasukan kalori juga komentar tentang napsu makan sampai minimal •

Berikan pada

suasana saat

menyenangkan

makan,

hilangkan

rangsangan berbau. • Kolaborasi : Konsul dengan ahli diet/tim pendukung nutrisi sesuai indikasi. • Tambahkan diet sesuai toleransi, biasanya rendah lemak, tinggi serat, batasi makanan penghasil gas dan makanan/makanan tinggi lemak

24


4. Dx.

Kurangpengetahuanb.dkurang

paparan

dan

keterbatasan

kognitif tentangpenyakit Pengkaj

DS:

ian

Pasienmengatakanketidaktahuanpenyakit DO:

Diagnos

Ketidaktahuantentangpenyakit Kurangpengetahuanb.dkurang paparan dan keterbatasan

a

kognitif tentangpenyakit Definisi: Kurangnyainformasikognitifsehubungandengn topic spesifik Patient

Goal:

Pasiendapatlebihmengetahuitentangpenyebabdanciripenyakit. ⁻

NOC NIC

Pemahamantentangpenyakit

⁻ Melaksanakanprosedurdenganbenar Mengajarkan proses penyakit •

Kajipengetahuanpasiententang proses penyakit

Jelaskantentangpatofisiologipenyakitdantandagejalapenyak it

Berigambarantentaangtandagejalapenyakitkalaumemungki nkan

Identifikasipenyebabpenyakit

Berikaninformasipadakeluargatentangkeadaanpasien, komplikasipenyakit.

Diskusikantentangpilihan therapy padakeluargadanrasional therapy yang diberikan.

Berikandukunganpadakeluargauntukmemilihataumendapat kanpengobatanlain yang lebihbaik.

Jelaskanpadakeluargatentangpersiapan / tindakan yang akandilakukan

25


26


BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Jadi, Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Mutaqqin & Sari, 2011). Biasanya dibentuk didalam kandung empedu dari bahan-bahan padat empedu dan sangat bervariasi dalam hal bentuk, ukuran dan komposisinya. Dari pasien yang mengalami gangguan batu empedu maka diagnose keperawatan yang diberikan adalah Nyeri akut b.d injuri fisik , Penurunan volume cairan b.d muntah, distensi dan hipermotilitas gaster, Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d pembatasan BB sesuai aturan, Kurang pengetahuan b.dkurang paparan dan keterbatasan kognitif tentang penyakit

27


DAFTAR PUSTAKA Smeltzer, Suzanne C. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC Price & Wilson. 2012. Patofisiologi. Jakarta: EGC Ref: J. B. Suharjo B, cahyono 2009. Batu empedu. Yogyakarta: PT KASINIUS Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005.hal: 570-579 Sabiston David C.2004. Buku Ajar Bedah, Bagian 2. Penerbit EGC. Jakarta. Price, Sylvia A. & Lorraine M. Willson. 2012. Patofisiologi: KonsepKlinis, Proses-proses Penyakit. Edisi 6th. Volume 1st. Jakarta: EGC. Smeltzer,

Suzanne

C.

&

Brenda

G.

Bare.

2002.

BukuAjarKeperawatanMedikalBedah. Edisi 8th. Volume 3th. Jakarta: EGC. Cahyono, Suharjo B. 2009. BatuEmpedu. Yogyakarta: Kanisus. Muttaqin,

Arif&

Sari,

Kumala.2011.Gangguan

Gastrointestinal:

AplikasiAsuhanKeperawatanMedikalBedah. Jakarta: SalembaMedika. Widiastuty,

A

Sri.

September

2010.

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Muhammadiyah Patogenesis Batu Empedu Vol.1 Ed.1: 47-48.

28


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.