Edukasi edisi XII

Page 1

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

1


2

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008


pangapora pangapora

EDUKASI Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Dinas Pendidikan Kab. Sumenep

JURNAL ini diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Sumenep untuk menampung setiap gagasan yang konstruktif dan inovatif tentang dunia pendidikan, khususnya dalam lingkup pengembangan pendidikan lokal, guna mewujudkan tujuan luhur pendidikan nasional. Penanggung Jawab: Kepala Dinas Pendidikan Sumenep (H. Moh. Rais, S.Pd. M. Si) Pengarah: Drs. KH.Abdullah Khalil M.Hum Pemimpin Redaksi: M. Faizi M.Hum Dewan Redaksi: Rusly, M.Pd. A. Dardiri Zubairi, S.Pd, Drs. Akhmad Nurhadi, S.Pd, M.Si, Drs. Moh. Arif Imron, Staf Redaksi: Mohammad Suhaidi RB, S.Th.I Design Grafis: Zeinul Ubbadi Distribusi & Keuangan: Drs. H. Moh. Kadarisman, M.Si. Alamat Redaksi: Jl. Trunojoyo 295 Gedungan Sumenep Telp.(0328) 664829, Fax (0328) 666089 e-mail : nusumenep@telkom.net REDAKSI menerima kiriman naskah berupa artikel, kolom dan resensi buku tentang pendidikan dari pembaca. Redaksi berhak mengedit naskah sejauh tidak mengubah substansi dan maksud tulisan. Panjang tulisan antara 15-20 halaman kwarto spasi ganda (untuk Artikel)dan 3 halaman (untuk kolom), sertakan pas foto terbaru, Identitas lengkap yang disertai pengalaman pendidikan, organisasi dan profesi. Naskah yang dimuat akan diberi imbalan.

Pembaca yang budiman, Edisi ke XII kali ini, Jurnal Edukasi mengangakat isu kemungkinan lebih lanjut dikembangkannya media pembelajaran. Dengan harapan, tukar gagasan antarpenulis dapat diserap dan dibaca oleh civitas pendidikan, terutama guru, agar lebih kreatif dalam melangsungkan proses pembelajaran di dalam dunia pendidikan. Orientasi pembelajaran kita masih sangat bergantung pada model ceramah di dalam ruang kelas. Padahal, banyak cara lain yang dapat dikembangkan melalui beragam media; baik dengan perangkat audio, video, multimedia, hingga barang bekas (daur ulang), sehingga media pembelajaran tidak selalu identik dengan biaya mahal. Pengenalan, untuk selanjutnya pengakraban/pembiasaan, penggunaan perangkat media kepada siswa diharapakan dapat menciptakan suasana belajar semakin hidup dan bergairah. Untuk mendukung tema yang dimaksud, kali ini redaksi menurunkan laporan tentang curhat siswa dari 30 sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) yang berada di Kabupaten Sumenep. Laporan ini didasarkan atas focus group discussion (FGD) yang mendiskusikan hal-hal yang diinginkan/tidak disukai siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Acara ini dilaksanakan pada hari Kamis, 7 Agustus 2008, di aula PCNU Sumenep. Di samping itu, dalam edisi kali ini pula, Jurnal Edukasi menerima sumbangan tulisan dari rekan penulis/peneliti dari Thailand, H. Abdulhalim Dinaa al-Bar, MA. Beliau adalah president Kelab Ijazah Tinggi, Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universiti Sains Malaysia (USM), yang juga sedang melakukan penelitian untuk meraih gelar Ph.D di bidang Tamaddun Islam dan Asia, Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universiti Sains Malaysia. Sumbangan tulisan ini semoga menjadi awal pertanda baik, bahwa jurnal ini tidak saja dibaca oleh masyarakat Sumenep secara khusus, melaiankan juga oleh pembaca di negeri tetangga. Selamat membaca! g e Daftar Isi Pangapora Pandhepa 04 Pamator 05 Artikel Tamu Ragam Model Media untuk Pembelajaran [Anggiearanidipta S.M, S.Pd] 06 Artikel Utama 1. Televisi Sebagai Media Pembelajaran [Musaheri] 13 2. Mengembangkan Media Internet dalam Pendidikan Sumenep [H. Ridl’ie] 22 3. Konstruksi Humor dalam Pembelajaran [Imam Suhairi] 28 4. Pendekatan “Salingtemas” dalam Pembelajaran [H. Suriyanto] 35 5. Pembelajaran Berbasis Siswa [Susdiana H.] 41 6. Memanfaatkan Fungsi Media Pembelajaran dalam Pembelajaran IPAFisika [Rusdi] 54

cover by obbath

Wawancara 1. Siswa Butuh Media Pembelajaran yang Menyenangkan [44]

Lensa Siswa Siswi (Belajar) Menggugat Pembelajaran di Sekolah [46] Artikel Lepas 1.Sejarah Penumbuhan dan Perkembangan Institusi Pengajian Pondok di Serantau Nusantara [Dul Halim] 62 2.Problema Pendidikan di Era Globalisasi Dunia Datar [Jamilah] 74 3.Problema Dunia Pendidikan Nasional [A. Khudlori] 79 Kolom 1. Belajar Melalui What If [Habiburrahman Salman] 84 2. Media Pendidikan yang Terlupakan [Zeinul Ubbadi] 85 Resensi Ketika Musik Bikin Cerdas [M. Hasan Ma’rup] 82

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008 JURNAL EDUKASI. NO.XI.2008

33


pandhapa pandhapa

Kompeni Memang Sudah Angkat Kaki, Konon jaman VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagni=Kompeni Serikat Hindia Timur) alian jaman Kompeni aparat birokratnya termasuk guru bisa disebut guru Kompeni, sedang aparat keamanannya biasa disebut serdadu Kompeni atau Kompeni saja. Jadi, Kompeni adalah serdadu Belanda, walaupun kata ‘kompeni’ merupakan naturalisasi dari kosa kata Belanda ‘compagnie’ yang berarti sejenis badan usaha. Pada jaman guru dicomot dari : pendeta, kelasi, serdadu, dan penghibur orang sakit. Dengan rekrutmen guru model begitu, wajar kalau hasilnya adalah guru yang Kompeni. Guru Kompeni mempunyai karakteristik penjajah pada umumnya, yaitu Oleh merasa paling pandai, paling berkuasa, paling dipertuan, paling benar, paling berhak, paling hebat, dan sekian idiom superlatif lainnya. Jaman VOC sudah jauh berlalu dan kini kita berada di jaman reformasi. Guru dijabat oleh ahlinya, bukan asal comot lagi, walau di sekolahH. A. Nurhadi M. sekolah tertentu masih terdapat guru belum berkelayakan, tapi ini fi dloruratin. Guru sudah menjadi jabatan profesionalkayak dokter, pengacara, bankir dan sebagainya – yang dikukuhkan bukan oleh sekedar organisasi profesi, tetapi undang-undang, tepatnya jabatan profesional guru dipayungi oleh Undang-Undang NO. 14 Tahun 2005 tentang guru. Guru lebih tua umurnya dari jurid adalah fakta, karena sekolah adalah jenis pendidikan formal. Guru lebih pintar dari murid menjadi asumsi atau hipotesis saja, karena bisa terjadi siswa lebih pintar dari guru kalau saja siswa cukup cerdas, piawai, dan terfasilitasi dalam memanfaatkan sumber belajar. Sumber belajar sudah bukan hanya guru, tapi juga lingkungan baik dunia nyata, maupun dunia maya. Kalau sudah begini model guru Kompeni sudah menjadi barang rongsokan. Guru profesional ikut andil dalam mengukir watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Guru profesional dengan sengaja mengantarkan siswanya menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, taqwallah ; berakhlak mulia, al-akhlakul karimah ; sehat ; berilmu ; cakap, kreatif ;mandiri ; dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab yang berujung pada rahmatan lil alamin. Guru kompeni berpotensi mewariskan nilai-nilai kolonialis yang berujung pada penghisapan manusia atas manusia, dan penghisapan manusia atas alam. Guru profesional (baca : tidak harus yang sudah bersertifikasi atau lebih tepat tersertifikasi) adalah guru yang mampu menampilkan diri sebagai pribadi : pendidik, pengajar, pembimbing pelatih, penasehat, uswatun hasanah, inovator, motivator, aktor, emansipator,

4

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

Tapi..... fasilitator, evaluator, supervisor, dan sebagainya. Guru kompeni cukup bermodal berani. Guru profesional menuntut dikuasainya sederet panjang kompetensi. Sebuah -syarat-rukun siswa aktif, tahu apa yang bisa menjadikan belajar aktif, tahu kapan kegiatan belajar perlu dibuat aktif, tahu bagaimana cara kita menggalakkan belajar aktif. Bahkan bukan sekedar hanya kenal dan tahu. Jelasnya telaah sendiri Active Learning : 101 Strategies Any Subyect by Mellvin L. Siberman. Guru kompeni biasanya ceramah melulu. Bayangkan kalau pelajaran olah raga, sepakbola misalnya, disajikan dengan ceramah, maka jangan mimpi mampu menendang bola. Syahdan, seorang guru muda-atau bisa juga tuamengajar renang siswa kelas 1 SD/MI di ruang kelas, setelah salam Pak Guru dengan bersemangat (entah semangat empat lima atau semangat reformasi) memberikan penjelasan bagaimana cara berenang. “Anak-anak! Berenang itu mudah. Kita tinggal menggerakgerakkan tangan dan kaki di dalam air” Setelah jeda sejenak, sambil memperhatikan respon para siswa Pak Guru bermaksud mengevaluasi : “Mengerti anak-anak?!” “Mengerti, pak!”, jawab sebagian besar siswa dengan suara koor. Pak Guru merasa puas. Siswa-siswi sudah bisa berenang, demikian anggapannya. “Besok hari sabtu, kita semua berenang ke pantai!” Para siswa gembira. Pak Guru gembira. Ketika acara berenang benar-benar dilakukan, akibatnya tentu saja dapat dibayangkan. Ini hanya sebuah kasus yang bisa saja tidak terjadi. Kali ini saya tidak berminat menyebut guru di atas adalah guru kompeni, guru tidak profesional atau stigma lain. Saya hanya ingin mengatakan, bahwa sesuatu telah menjadi korban. Sesuatu itu bernama siswa. Penyebabnya adalah kesalahan metode pembelajaran. Lagi-lagi saya tidk berminat mengatakan : kesalahan guru. Kayaknya seperti juga yang lain, saya lebih gampang mengatakan : siswa bebal, nakal, tidak nyantol, malas belajar, goblok, telmi (telat mikir), budhuh, bodoh, beling, dan lain sebagainya. Kasihan para siswa. Mereka menjadi korban dua kali. Sudah dipaksa menelan materi pelajaran yang tidak mencerdaskan masih juga diberi predikat yang jelas-jelas tidak merangsang daya nalar. g e

H. Akhmad Nurhadi Anggota Dewan Redaksi Edukasi Jurnal Pendidikan & Kebudayaan Diknas Sumenep


pamator pamator KIRIM TULISAN TIDAK DIMUAT-MUAT EDUKASI telah menjadi salah satu jurnal yang di kenal banyak kalangan. Penulisnya tentu saja sudah tidak lagi berasal dari kalangan penulis dan intelektual lokal Sumenep dan Madura, tetapi beberapa Edisi yang saya baca, banyak penulis berasal dari luar Madura, seperti Surabaya, Jember, Malang, Yogjakarta, dan bahkan Jakarta. Kenyataan itu membuktikan bahwa EDUKASI tidak hanya menjadi media penyalur gagasan bagi warga Sumenep, tetapi juga masyarakat Indonesia secara umum. Selain itu, saya juga termasuk orang yang sering mengirim tulisan ke EDUKASI, tetapi tidak pernah dimuat. Mungkin ada cara-cara khusus agar tulisan saya bisa dimuat EDUKASI? Saya mohon komentar. Ahmad Zakiyuddin Sumenep Red. Terima kasih atas masukannya. Redaksi tetap berharap partisipasi gagasan dari pembaca. Setiap tulisan yang masuk ke redaksi, tetap dipertimbangkan. Tulisan akan dimuat apabila sesuai dengan visi dan misi, serta ketentuan penulisan yang telah ditentukan oleh redaksi. Bobot tulisan sangat menentukan pemuatan tulisan.

EDUKASI HARUS MENJADI CAMBUK Banjir gagasan kependidikan di jurnal EDUKASI telah cukup memenuhi dahaga intelektual pemikir, praktisi, dan pengamat. Sejak penerbitannya, EDUKASI telah mampu menunjukkan diri sebagai “ladang ilmu” yang layak dikonsumsi tak hanya masyarakat lokal tetapi juga Nasional. Namun sayang, banjir gagasan itu belum sepenuhnya mampu mengubah wajah pendidikan kita. Dunia pendidikan belum mampu menjadi tujuan ideal yang harus tercipta untuk membangun peradaban, karena fenomena bisnis pendidikan --diakui ataupun tidak-- tengah menjadi bagian dalam dunia pendidikan. Berbagai gagasan yang tertuang dalam EDUKASI, seharusnya dapat dijadikan sebagai cambuk bagi semua stakholder pendidikan untuk bersamasama singsingkan lengan baju: membangun pendidikan ke arah yang lebih baik.

p

a m a t o r

Abd. Salam Wasik Staf Pengajar di MA. At-Taufiqiyah Bluto EDUKASI JANGAN TERLALU MELANGIT Edukasi adalah jurnal pendidikan dan kebudayaan. Setiap komunitas masyarakat memiliki kebudayaan unik yang berusaha dipertahankan oleh pemiliknya. Edukasi lahir di tengah-tengah masyarakat madura yang tentu saja juga memiliki budaya dan peradaban yang unik tersebut. Keunikan itu merupakan kekayaan khazanah budaya Madura. Oleh karena itu, sudah seharusnya Edukasi menjadi media yang concern mengangkat budaya setempat. Tentu saja dari sisi pendidikannya. Ini dimaksudkan pendidikan yang disuarakan oleh Edukasi tidak tercerabut dari lingkungan dan budaya setempat, sehingga Edukasi tidak menjadi media yang asing bagi masyarakatnya sendiri. Selama ini, tulisan yang dimuat di Edukasi banyak yang mengangkat tematema melangit, tidak ada kaitannya dengan permasalahan dan budaya masyarakat setempat. Terlalu jauh jika Edukasi berpretensi merambah permasalahan-permasalahan pendidikan secara global. Permasalahan pendidikan masyarakat setempat sudah cukup rumit untuk diselesaikan. Makanya, Edukasi sudah waktunya turun dari “langit” ke “bumi”.

Rubrik ini kami sediakan untuk sidang pembaca yang ingin menyampaikan saran, ide-ide kreatif dan bahkan kritik terhadap redaksi maupun terhadap bentuk-bentuk pemikiran para penulis di jurnal ini. Bisa langsung dikirimkan ke alamat kami /e-mail nusumenep@telkom. net maksimal 1 ½ halaman kwarto dengan spasi e ganda. g

Fathor Rahman Jm Pemerhati sosial-budaya Sumenep

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

5


artikel artikel tamu tamu

Ragam Model Media untuk Pembelajaran

Anggiearanidipta

Anggiearanidipta S.M S.M, S.Pd. lahir di Jakarta, 31 Maret 1985. Alumnus program studi Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta ini bekerja sebagai tenaga lepas Pusbindiklat Peneliti LIPI, Cibinong dan staf Digital Library & Distance Learning Lab, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia. Karya tulisnya antara lain dipublikasikan di “Mozaik Teknologi Pendidikan” dan Buku Kerja pada “Prinsip Disain Pembelajaran”.

Mengkaji media pembelajaran memang tidak akan pernah ada habisnya. Hal ini terjadi karena perguliran waktu juga semakin memperkaya model-model media pembelajaran yang ada. Saat ini, konsep media pembelajaran semakin meluas seiring perkembangan teknologi yang kian marak. Media pembelajaran semakin erat melibatkan komponen teknologi. Kajian di bawah ini menguraikan beberapa model media pembelajaran yang marak muncul sejak tahun 1990-an hingga saat ini. Selain disajikan beberapa model pembelajaran, terdapat pula kajian singkat mengenai proses pemilihan media pembelajaran yang sesuai digunakan untuk mengoptimalkan proses pembelajaran yang berlangsung. Media Pembelajaran Heinich (1993) mengungkapkan bahwa media merupakan alat saluran komunikasi. Media sendiri berasal dari bahasa latin dalam bentuk jamak dari kata ‘medium’, yang secara harfiah berarti perantara, yaitu perantara sumber pesan (a source) dengan penerima pesan (a receiver). Jika ditempatkan sebagai sarana pembelajaran maka media tersebut hendaknya menyampaikan pesan-pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Melengkapi pemahaman tentang media pembelajaran, ada baiknya kita melihat beberapa pengertian media pembelajaran yang diberikan oleh beberapa ahli. Miarso

6

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

(1989) mengungkapkan bahwa media merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa untuk belajar. Sedangkan Briggs (1977) secara gamblang menguraikan bahwa media pembelajaran sebagai sarana fisik untuk menyampaikan isi atau materi pembelajaran seperti buku, film, video, slide. dan sebagainya. Dari sekian banyak pemaparan mengenai media pembelajaran di atas, kita tentu sudah memahami konsep media pembelajaran itu sendiri. Media pembelajaran tersebut juga tentunya sudah dapat dengan mudah ditemui disekitar kita. Selanjutnya kita akan mengkaji lebih jauh perkembangan media pembelajaran tersebut. Perkembangan Media Pembelajaran Media pembelajaran, pada awalnya, disebut sebagai alat bantu pengajaran yang dipergunakan oleh pengajar untuk menerangkan pelajaran. Sebagai alat bantu pengajaran, media juga berperan dalam memunculkannya berbagai pengalaman belajar seorang peserta didik. Di awal penggunannya, media pembelajaran hanya memberikan pengalaman-pengalaman visual. Siswa mendapatkan gambaran konkret dari hal-hal baru yang dipelajarinya. Media pembelajaran semacam ini masih berupa grafis sederhana yang mengaplikasikan peralatan-peralatan sederhana dalam pembuatan media.


Setelah perkembangan visual tersebut, lalu mulai bergeser pada pemanfaatan audio untuk mempertajam pengalaman visual peserta didik tersebut. Tidak hanya berdiri sendiri, audio juga mulai digabungkan dengan media visual lainnya sebagai alat bantu pengajaran yang terbilang menarik saat itu. Rentetan pengalaman ini digambarkan oleh Edgar Dale dalam bentuk kerucut pengalaman pada tahun 1946.1 Edgar Dale mengungkapkan pengalaman-pengalaman belajar yang konkret menuju konsep abstrak tersebut melibatkan metode dan media seperti yang terlihat pada gambar 1. Kemampuan yang terkait dengan kognitif yang berisi informasi pada dasarnya bersifat abstrak, namun, semakin ditampilkan dalam bentuk gambar gerak, media tersebut menuju pada tingkatan yang lebih konkret. Media-media yang dimaksud di sini berupa media-media seperti teks (simbol verbal), gambar (simbol visual), audio, dan gambar bergerak. Seiring perkembangan zaman dan waktu, konsep media pembelajaran mulai meluas. Tidak hanya terbatas pada gambar bergerak (still picture), media pembelajaran mulai memanfaatkan format televisi yang lebih optimal dalam menyampaikan pesan dalam bentuk proses. Seperti yang diungkapkan oleh Molenda dalam Kovalchick & Dawson (2003) 2, Dale membuat perubahan kecil pada bagian pengalaman dramatized experience. Dale (1954) menambahkan komponen televisi di dalamnya. Televisi sebagai Media Pembelajaran Setelah masuknya komponen televisi pada kerucut pengalaman ini, perkembangan media pembelajaran semakin meluas. Televisi sebagai sarana yang memfasilitasi proses belajar memang sejak dulu dikaji oleh berbagai ahli pendidikan, dan dampaknya mulai pula

dirasakan di Indonesia. Hal ini ditandai dengan munculnya Televisi Pendidikan Indonesia (TPI)3 pada tanggal 23 Januari 1991. PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia sebagai pendiri awalnya bekerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdiknas saat ini) mengedepankan misi edukasi pada siaran-siaran yang ditampilkan oleh televisi ini. Materi-materi pelajaran pendidikan menengah ditayangkan secara rutin. Akan tetapi, seiring

akhirnya saat ini mulai kembali dimunculkan televisi edukasi lainnya dengan misi dan semangat pendidikan yang sama. Saat ini kita mulai mengenal kembali televisi pendidikan lainnya yaitu Televisi Edukasi atau yang akrab disebut TVE.4 Siaran pendidikan ini diresmikan oleh Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Dr. Malik Fajar, dan sampai saat ini berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional. Selanjutnya TVE ini dikelola oleh

Gambar 1. Cone of Experience perkembangan waktu, siaran-siaran edukatif tersebut mulai tergantikan dengan siaran-siaran yang bersifat komersil seperti kuis, sinetron-sinetron, dan tayangan yang jauh dari misi edukatif. Setelah sekian lama beralihnya keberfungsian televisi pendidikan tersebut,

Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom Depdiknas). TVE mulai mengudara dan dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia pada tanggal 12 Oktober 2004. Program yang disiarkan oleh TVE adalah progran formal, pro-

1 Dr. Joseph B. Morton. 2003. Selecting and Using Instructional Resources to Enhance Instruction. Diakses tanggal 17 Juli 2008. http://web.utk.edu/~mccay/apdm/selusing/selusing_d.htm. Alabama Dept. Of Education, Alabama. 2 Michael Molenda. Submitted for publication in A. Kovalchick & K. Dawson, Ed’s, 2003. Educational Technology: AnEncyclopedia. Copyright ABC-Clio, Santa Barbara, CA. 3 Wikipedia. Diakses tanggal 28 Juli 2008. http://id.wikipedia.org/wiki/TPI 4 Situs Resmi TVE. Diakses tanggal 28 Juli 2008. http://www.tvedukasi.org/frame.php

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

7


gram nonformal, program informal serta informasi kebijakan-kebijakan pendidikan dan informasi lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, agar siaran TVE dapat menjangkau siswa dan masyarakat yang lebih luas. TVE melakukan perluasan daya jangkau melalui kerjasama siaran dengan stasiun TV lokal swasta. Kerja sama ini mendapatkan sambutan posistif oleh TV lokal di berbagai daerah. Salah satu kerjasama yang dilakukan adalah dengan siaran TVRI Nasional (setiap hari Senin— Kamis, setiap pukul 07.15–09.30 dan 14.15– 6.30 WIB). Perkembangannya saat ini mulai pada taraf ujicoba siaran 24 jam penuh. Siaran yang disajikan juga cukup bervariatif, namun tetap mengedepankan unsur pendidikan. Siaran yang berisi materimateri pelajaran untuk siswa/i sekolah cukup banyak ditemui. Misalnya materi pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan materi pengetahuan lainnya. Televisi Edukasi ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan para siswa sekolah akan media pembelajaran yang mendukung proses pembelajaran di sekolahnya. Selain TV-E (TV-Edukasi) yang telah berlangsung tersebut, banyak bermunculan pula televisi-televisi bernuansa edukasi yang sama. Sebut saja School TV 5 yang merupakan hasil kerjasama Balai Teknologi Komunikasi Pendidikan Dinas Pendidikan Yogyakarta dan Jogja Medianet. School TV merupakan TV Kabel yang menyajikan siaran-siaran edukasi, baik untuk siswa sekolah formal maupun nonformal, di lingkungan daerah Jogjakarta. Sesuai dengan misinya, televisi ini menyiarkan semua mata pelajaran yang dipelajari pada jenjang pendidikan taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah hingga sekolah luar biasa.

8

Televisi sebagai media pembelajaran memang tidak terlepas pada perkembangan teknologi yang ada saat ini. Seluruh komponen teknologi yang berkembang dan dapat dimanfaatkan kemungkinan-kemungkinannya mulai dikaji untuk selanjutnya diadopsi sebagai sarana pembelajaran. Tidak hanya melalui televisi, media pembelajaran juga mulai mengaplikasikan temuan-temuan teknologi terbaru lainnya. Aplikasi Teknologi dalam Media Pembelajaran Maraknya berbagai peralatan teknologi dengan tingkat mobilitas tinggi mulai membantu sendisendi kehidupan manusia. Seperti keberfungsiannya dalam kehidupan sehari-hari, teknologi juga menjadi salah satu pilihan ketika semua hal ingin bertaut dengan efektivitas dan efisiensi. Mungkin saat ini perkembangan teknologi yang kian pesat dapat dikatakan sebagai angin segar dalam perkembangan media pembelajaran. Saat ini mungkin marak dikenal berbagai media seperti CAI atau CBI (Computer Based Instruction/Computer Based Learning), mobile learning, e-learning, dan atau media-media lainnya yang sedang dan telah dikembangkan. Media-media ini memiliki berbagai kelebihan untuk diimplementasikan dalam pembelajaran. CAI (Computer Assissted Instruction) seperti diungkapkan oleh Bright (1983)6, sangatlah efektif dan efisien. Lebih lanjut, Bright mengungkapkan bahwa bila dibandingkan dengan pembelajaran tradisional, pembelajaran dengan CAI membuat peserta didik

lebih cepat belajar, menguasai dan mengingat materi pelajaran telah dipelajari. Penelitian lain yang dilakukan untuk mengungkapkan efektivitas pembelajaran dengan CAI juga cukup banyak menguatkan apa yang diungkapkan oleh Bright. Kulik, dkk (1980) menyimpulkan beberapa hal penting dari hasil penelitian meta-analisisnya. Kulik, dkk, menyimpulkan antara lain7: Pertama, Siswa belajar lebih banyak materi dari komputer (melalui CAI); Kedua, siswa mengingat apa yang telah dipelajari melalui CAI lebih lama; Ketiga siswa membutuhkan waktu lebih sedikit untuk belajar; Keempat, siswa lebih senang belajar di kelas; dan, Kelima, siswa memiliki lebih positif terhadap komputer. Seperti media lainnya yang memiliki kelebihan dan kekurangan, begitu pula dengan media pembelajaran CAI ini. Kekurangan yang ditemui CAI, seperti dirangkum dari berbagai sumber, antara lain jika terdapat kesalahan dalam perumusan atau perencanaan penyusunan program, maka besar kemungkinan media pembelajaran ini justeru membuat tujuan pembelajaran tidak tercapai dengan baik. Untuk itu, Alessi (1985) mengungkapkan pentingnya beberapa hal diperhatikan dalam sebuah media pembelajaran CAI, antara lain8: Pertam, informasi mengenai materi pembelajaran harus diberikan (misalnya untuk materi keterampilan ditambahkan model sebagai contoh); kedua, siswa harus diarahkan dalam proses pembelajaran melalui CAI; ketiga, siswa harus diberikan latihan-latihan;

5 Kompas (Yogyakarta), 26 Januari 2006 dalam Arsip Televisiana. Diakses tanggal 28 Juli 2008. http://arsip.televisiana.net/?p=7#more-7 6 Bright, G.W.. 1983. “Explaining the Effeciency of Computer Assisted Instruction”. AEDS Journal, 16(3), Hal. 144-152. 7 Kulik, J., Kulik, C.dan Cohen, P.. 1980. “Effectiveness of computer-based college teaching: A meta-analysis of findings”. Review of Educational Research. 50(1), Hal. 525-544. 8 Alessi, S.M. dan Trollip, S.R. 1985. Computer-based Instruction: Method and Development. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008


dan, keempat, pencapaian belajar siswa harus langsung dinilai. Untuk itu, diperlukan komponen-komponen inti yang harus dipersiapkan secara matang dan dimasukkan ke dalam progeam media pembelajaran e-learning, antara lain seperti: (a) Uraian tujuan pembelajaran yang terukur; (b) Contoh dan demonstrasi mengenai keterampilan tertentu (jika ada); (c) Petunjuk pembelajaran; (d) Latihan atau tugas terkait dengan materi; (e) Umpan balik yang secara langsung diberikan kepada peserta didik; serta (f) Interaksi antara siswa dengan program. Selain CAI, atau yang juga kita kenal dengan sebutan pembelajaran elektronik atau melalui perangkat komputer saat ini, kita juga mengenal media pembelajaran berbasis teknologi lainnya, yaitu internet. Memanfaatkan internet sebagai media pembelajaran membuka kesempatan kepada para peserta didik untuk mengeksplorasi pengetahuan-pengetahuan baru melalui dunia maya. Jika dulu belajar hanya dibatasi ruangan kelas dan jumlah waktu pembelajaran yang terbatas, saat ini peserta didik dapat menembus ruang dan waktu tersebut untuk memperkaya informasinya akan berbagai hal. Sebagai media pembelajaran internet dikatakan sebagai media elektronik berbasis teknologi informasi, atau sering dikenal masyarakat sebagai “pembelajaran elektronik�. Pada dasarnya, pembelajaran elektronik (electronic learning/e-learning) ini merupakan jenis pembelajan yang menjadikan teknologi komputer sebagai medianya 9. Konteks penggunaannya juga cukup luas. Hampir serupa dengan CAI yang telah dijelaskan sebelumnya, pembelajaran elektronik ini lebih mengedepankan unsur teknologi informasi yang saat ini menjadi basis hampir di segala bidang kehidupan. Internet, seperti diungkapkan oleh LaQuery (1997) merupakan

jaringan dari ribuan komputer yang menjangkau orang di seluruh dunia. 10 Dengan daya jangkau yang cukup luas ini, memungkinkan internet memiliki berbagai fasilitas seperti e-mail, World Wide Web (www), File Transfer Protocol (FTP), newsgroup atau mailing list, Chat dan sebagainya. Fasilitas-fasilitas di internet inilah yang dimanfaatkan sebagai media pembelajaran oleh peserta didik dan para pengajar untuk mengoptimalkan proses pembelajaran. Fasilitasfasilitas ini pula yang memungkinkan seorang peserta didik menjadikan teknologi komputer sebagai media pembelajarannya, atau yang sering kita sebut sebagai e-learning. Jika menilik lebih jauh lagi pengertian tentang e-learning itu sendiri, kita dapat melihatnya dengan pengertian-pengertian lainnya. Jika secara umum disebutkan di atas bahwa e-learning merupakan pembelajaran yang menjadikan teknologi komputer sebagai medianya, maka dalam konteks yang lebih khusus lagi diuraikan bahwa e-learning merupakan pembelajaran yang menggunakan media berbasis teknologi informasi telekomunikasi maupun digital baik secara synchronous maupun asynchronous.11 Dari pengertian ini, perkembangan e-learning bisa dilihat dari berbagai penggunaannya. E-learning dulunya digunakan untuk pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh perusahaan-perusahaan yang ingin menghemat ongkos pelatihan mereka. Belakangan, metode pembelajaran ini mulai dikembangkan untuk tujuan pembelajaran jarak jauh oleh universitas-universitas terbuka yang ada. Kedudukan e-learning itu sendiri dapat digambarkan melalui ilustrasi di bawah ini.

Gambar 2. Kedudukan E-Learning 12 Seperti yang digambarkan dari ilustrasi di atas, Computer Based Learning atau yang telah kita bahas sebelumnya sebagai CAI, merupakan salah satu komponen yang saat ini mulai diintegrasikan dalam elearning. E-Learning itu sendiri seperti yang diuraikan sebelumnya, dapat dilaksanakan secara langsung (synchronous) atau secara tidak langsung (asynchronous). Media pembelajaran seperti CAI merupakan mediamedia yang mendukung pembelajaran secara tidak langsung. Dalam penerapannya, internet sebagai media pembelajaran ini memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari pembelajaran berbasis teknologi informasi ini antara lain seperti: a. Hilangnya kendala ruang dan waktu dalam pembelajaran; jika dulu konteks pembelajaran hanya dapat berjalan di dalam ruang tertentu dan pada waktu yang bersamaan, saat ini semuanya bisa dihadapi dengan menggunakan media pembelajaran seperti internet. b. Interaksi; walaupun tidak secara langsung, interaksi menggunakan media ini juga masih tetap berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dengan berbagai fasilitas pendukung yang sudah sangat kita kenal seperti email, mailing list, ataupun jaringan sosial lainnya

9

Wikipedia. Diakses tanggal 28 Juli 2008. http://en.wikipedia.org/wiki/Elearning Tracy LaQuey, Wospakrik, Hans J. [Penerjemah]. 1997. Sahabat Internet; Pedoman bagi Pemula untuk Memasuki Jaringan-jaringan Global. Penerbit ITB, Bandung. 11 Elang Krisnadi. 2008. Konsep e-Learning. Disampaikan pada Pelatihan Tutor Online. Jakarta, 19-21 Juni 2008. 12 Ibid. 10

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

9


(MySpace, Friendster, dll). c. Informasi; internet memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya. Karena seperti kita ketahui internet merupakan salah satu alat komunikasi yang menyediakan begitu banyak informasi dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai bidang, salah satunya untuk pembelajaran. d. Materi multimedia; dengan penggunaan internet, maka memungkinkan pengguna untuk mendapatkan materi-materi dengan konten multimedia yang cukup beragam. Tidak hanya dalam bentuk visual atau animasi, akan tetapi bisa juga dengan konten materi dalam bentuk audio. e. Fleksibel; internet memberikan kemudahan fleksibilitas yang tinggi, menyesuaikan dengan kebutuhan, waktu dan situasi penggunanya. Akan tetapi, disamping kelebihan yang dimiliki tersebut, kita juga masih dapat menemui kekurangan dari media ini, antara lain: a. Ongkos yang cukup mahal; hal ini dikarenakan jaringan telekomunikasi di Indonesia yang masih dalam tahap pengembangan, maka beban yang harus ditanggung bagi para pengguna juga masih cukup besar. b. Pengetahuan penggunaan komputer; karena internet ini merupakan teknologi berbasis komputer, maka sangat diperlukan pengetahuan mengenai penggunaan komputer itu sendiri. Teknologi memang menawarkan cukup banyak kemudahan, akan tetapi kemudahan ini tentu saja tidak dapat disamaratakan untuk tiap individu. Kemudahan penggunaan internet bagi individu yang satu belum tentu bagi individu yang lain. c. Keterbatasan teknis; kendala-kendala teknis seperti jaringan, bandwidth, atau kendala-kendala lain memang sering ditemui dalam penggunaan internet, dan hal ini sangat dimungkinkan terjadi. Dari uraian mengenai beberapa model media pembelajaran yang ada

10

di atas, saat ini muncul berbagai pertanyaan mengenai bagaimana penerapan media-media tersebut dalam pembelajaran. Jika kita berhasil melihat berbagai kemungkinan mediamedia tersebut digunakan dalam pembelajaran, saat ini kita akan mengkaji lebih jauh mengenai pemilihan media yang tepat untuk menyampaikan materi tertentu. Memilih Media yang Tepat Pada dasarnya, metode dan media pembelajaran merupakan output yang disusun dari strategi pembelajaran. Strategi pembelajaran itu sendiri merupakan titik tolak yang menentukan segala upaya yang dilakukan dalam mengoptimalkan proses pembelajaran yang akan berlangsung. Strategi pembelajaran disusun berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah dibuat diawal perancangan pembelajaran. Tujuan pembelajaran menuntun strategi selanjutnya yang sesuai untuk dijalankan.

Pemilihan sebagai Langkah Aplikasi Media pada Pembelajaran Ada berbagai pendekatan yang dilakukan dalam memilih media misalnya. Pendekatan yang diperkenalkan oleh Gagne dan Reiser (dalam Arif Sadiman, 2004). Model ini bertitik tolak dari upaya pencapaian tujuan pembelajaran dengan mengkajinya berdasarkan flowchart yang dapat terlihat pada gambar 3 di bawah ini. Selain pendekatan tersebut di atas, secara umum terdapat pula beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam memilih media, antara lain seperti tujuanpembelajaran, karakteristik siswa, gaya belajar, dan fasilitas yang ada. a. Tujuan Pembelajaran. Analisis dengan tujuan pembelajaran yang ada dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang termudah adalah melihat klasifikasi tujuan pembelajaran seperti yang telah dirumuskan oleh Bloom, dkk. melalui taksonomi ranah kognitif. Untuk tujuan pembelajaran

Gambar 3. Pemilihan Media untuk Pembelajaran (Gagne dan Reiser)13 Tiap tujuan pembelajaran pada akhirnya akan memiliki pola metode dan medianya masing-masing. Untuk menghasilkan strategi yang tepat, maka tujuan pembelajaran itu sendiri haruslah disusun sebaik mungkin.

yang lebih kompleks, kita dapat pula melakukan analisis materi dengan menentukan jenis ilmu pengetahuan dan jenjang belajar dari tiap materi tersebut. Setelah melakukan analisis materi, baru dapat ditentukan me-

13 Arief Sadiman, 1990. Media Pendidikan, Pengertian Pengembangan dan Pemanfaatan. Rajawali , Jakarta.

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008


Tabel 1. Taksonomi Ranah Kognitif Bloom, dkk.14

tode dan media apa yang sesuai dengan ragam pengetahuan tersebut. Bloom membuat taksonomi setiap ranah pembelajaran, baik kognitif, afektif, dan psikomotrik. Setiap ranah pembelajaran memiliki tingkatannya masing-masing. Untuk ranah pembelajaran yang paling sering diperhatikan pada proses pembelajaran terdapat enam level yang diungkapkan oleh Bloom, dkk (1956), antara lain level pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Definisi lengkap beserta contoh bentuk kata kerja operasionalnya dapat dilihat pada tabel 1 di atas. Taksonomi yang diungkapkan oleh Bloom, dkk. ini dapat dijadikan sebagai pedoman analisis tujuan dan selanjutnya dapat membantu menentukan strategi pembelajaran yang tepat. b. Materi Pembelajaran. Dalam pemilihan media pembelajaran yang digunakan, kita juga perlu mempertimbangkan materi pem-

belajaran. Materi pembelajaran dapat dianalisis dengan memperhatikan jenis ilmu pengetahuan dan jenjang belajar dari tiap materi. Hal ini dapat dilakukan dengan analisis materi atau yang kerap kali disebut sebagai content analysis. Untuk mempermudah proses analisis materi pembelajaran, kita dapat menggunakan teori yang diungkapkan oleh Merril (1983), atau yang lebih dikenal dengan model Component Display Theory. Dalam disain instruksional, model ini lazim

dikelompokkan dalam jenis contentbased atau biasa disebut juga model materi ajar atau pengetahuan. Disain ini menitikberatkan bagaimana suatu topik yang menjadi bagian dari suatu materi atau mata ajaran disampaikan kepada peserta didik. Model ini mengembangkan strategi pembelajaran tertentu seperti menggunakan media tertentu atau metode tertentu agar materi dapat dikuasai oleh pebelajar dengan baik. Menemukan, menggunakan, dan mengingat merupakan jenjang

Menemukan Menggunakan Mengingat Fakta

Konsep

Prinsip

Prosedur

Gambar 4. Component Display Theory 15 14 Huitt, W.. 2004. Bloom et al.’s taxonomy of the cognitive domain. Educational Psychology Interactive. Valdosta, GA: Valdosta State University. Diakses 23 Juli 2008, from http:// chiron.valdosta.edu/whuitt/col/cogsys/bloom.html 15 Dewi S. Prawiradilaga. 2007. Prinsip Desain Pembelajaran. Kencana, Jakarta. Hal 45

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

11


belajar yang secara ditemui dalam proses pembelajaran. Lazimnya jenjang pembelajaran ini dapat mempengaruhi metode pembelajaran yang sesuai untuk tiap materi pembelajaran. Sedangkan fakta, konsep, prinsip dan prosedur merupakan jenis ilmu yang pada akhirnya mempengaruhi format pemilihan media. Dengan berbekal model CDT dari Merril ini kita dapat menentukan metode pembelajaran dan media pembelajaran yang tepat untuk tiap materi. Dengan memfokuskan pada jenis ilmu pengetahuan, kita dapat menentukan media-media apa yang sesuai untuk tiap jenis. Penerapannya dapat dilihat pada tabel seperti di bawah ini. c. Karakteristik Peserta Didik.Karakteristik tiap peserta didik biasanya ditentukan oleh lingkungan geografis, sosial ekonomi, dan kebudayaan. Hal-hal tersebut merupakan fokus yang dijadikan bahan pertimbangan ketika akan memilih media. Lingkungan geografis peserta didik yang berada di perkotaan pasti akan berbeda dengan mereka yang berada di pedesaan. Selain itu, sosial ekonomi juga mempengaruhi pola adaptasi peserta didik dalam menggunakan sebuah media pembelajaran. Dan yang jauh lebih penting adalah terkait budaya yang mereka anut. Ragamnya budaya yang dimiliki juga mempengaruhi peserta didik dalam menggunakan sebuah media. Semua hal yang dipertimbangkan di atas merupakan hal-hal penting yang mempengaruhi penggunaan media pembelajaran oleh peserta didik. Pada akhirnya, hal-hal

tersebut pula yang menjadi pokok pertimbangan utama dalam menentukan media pembelajaran yang sesuai untuk tiap peserta didik. d. Gaya Belajar . Gaya belajar pada dasarnya hingga saat ini masih terus mengalami perkembangan. Berdasarkan data terakhir yang dikumpulkan oleh penulis, setidaknya ditemukan 80 jenis gaya belajar. Sebagai bahan pertimbangan yang sering pula digunakan oleh para ahli, biasanya kita berpatokan pada tiga jenis gaya belajar yang diperkenalkan oleh Dunn, dkk. (1984) 16. Dunn, dkk. memperkenalkan gaya belajar auditori, visual, dan kinestetik. Ketiga gaya belajar ini dapat kita jadikan sebagai patokan penentuan media yang sesuai untuk tiap peserta didik. Dalam hal ini, media pembelajaran menjadi salah satu bahan yang dipersiapkan secara personal sesuai dengan gaya bealajar masing-masing peserta didik. Jika peserta didik memiliki gaya belajar visual misalnya, maka media pembelajaran yang dipilih merupakan media pembelajaran yang banyak menggunakan iconicon visual yang menarik bagi peserta didik tersebut. Begitu pula dengan peserta didik yang memiliki gaya belajar auditori. Media pembelajaran yang dipilih dapat berupa kaset audio, compact disc (CD), atau media-media lain yang banyak melibatkan unsur naratif. Lain visual dan audio, lain pula dengan gaya belajar kinestetik. Gaya belajar yang satu ini biasanya terpenuhi dengan pemilihan media pembelajaran yang melibatkan banyak unsur gerak. Seperti video, anima-

Tabel 2. Kesesuaian Jenis Ilmu dengan Format Media JENIS ILMU

Fakta Konsep Prinsip

12

FORMAT MEDIA

PDF atau dokumen teks lainnya PDF atau dokumen teks lainnya, skema, gambar, flowchart, bagan. Bagan, flowchart

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

si, atau jenis-jenis lain yang dapat memperlihatkan gerak dan dapat menstimulasi peserta didik tersebut untuk mempraktekannya. e. Fasilitas. Butir terakhir yang tidak kalah penting adalah fasilitas. Media pembelajaran yang digunakan hendaknya juga mempertimbangkan fasilitas yang telah ada. Karena pada dasarnya, keberhasilan sebuah media pembelajaran terletak pada penggunaan dan aplikasinya di lapangan. Jika pada penggunaannya mengalami kendala, seperti tidak tersedianya fasilitas pendukung, tentu saja media pembelajaran yang dipilih tidak akan berguna mengoptimalkan proses pembelajaran seperti yang dicita-citakan. Kesimpulan Perkembangan media pembelajaran dapat dikatakan selalu beriringan dengan perkembangan teknologi. Dengan demikian, cepatnya perkembangan teknologi juga mempengaruhi model-model media pembelajaran yang ada. Dari sekedar teknologi sederhana melalui media pembelajaran grafis sederhana, hingga teknologi internet yang dapat ditemui saat ini. Beragamnya model media pembelajaran memberikan keleluasaan kepada kita untuk digunakan dalam membantu optimalisasi proses pembelajaran. Akan tetapi selain keleluasaan tersebut, beragamnya model media pembelajaran ini juga menuntut kita untuk lebih jeli memilih format model yang sesuai untuk pembelajaran tertentu. Terkadang kita juga lalai mendeteksi faktor-faktor penting lain yang patut dipertimbangkan saat memilih media pembelajaran. Dengan mempertimbangkan hal-hal penting yang telah diuraikan diatas, diharapkan media pembelajaran yang dipilih merupakan media pembelajaran yang memang benar-benar sesuai dengan kebutuhan pembelajaran dan bukan hanya sekedar sae jian pelengkap dalam pengajaran. g 16 Dunn, R., Dunn, K., & Price, G. E. (1984). Learning style inventory. Lawrence, KS, USA: Price Systems


artikel artikel utama utama

Televisi Sebagai Media Pembelajaran: Mengungkap Efek Positif-Negatif Media Televisi dalam Pendidikan

Musaheri

Musaheri lahir 1 Juni 1963 di Kabupaten Sumenep. Dosen STKIP PGRI Sumenep ini menulis buku Pengantar Pendidikan terbitan I tahun 2006; dan Perkembangan Peserta Didik tahun 2006. Keduanya diterbitkan Pustaka Pelajar Yogyakarta; dan Ke-PGRI-an terbitan Diva Pers Yogyakarta. Pekerjaan sehariharinya sebagai Staf Dikmen Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep. Kini sebagai Peserta Program Doktor Untag Surabaya.

Televisi sebagai sebuah produk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi diakui banyak memberikan pengaruh pada kemajuan manusia dan kebudayaannya. Televisi dapat mempercepat arus komunikasi audio-visual (suara gambar); peristiwa dan kejadian-kejadian penting di suatu bagian bumi lainnya. Keadaan semacam ini, membuat dunia terasa semakin mengecil dan hampir tidak dikenal lagi batas waktu dan tempat. Televisi, menurut Azra (1998), telah mampu berperan dalam upaya perubahan nilai-nilai dalam masyarakat. Dengan televisi, ide-ide modernisasi dan pembangunan dengan cepat disebarkan ke seluruh pelosok. Televisi merupakan media komunikasi massa paling ampuh dalam menyebarkan pesan-pesan modernisasi dan pembangunan. Melalui televisi dapat dikenalkan nilai-nilai baru yang mendukung keberhasilan pembangunan guna kemajuan kebudayaan dan peradaban manusia. Televisi memberi andil besar dalam proses sinkronisasi budaya. Seperti dikatakan Nugroho (1996), televisi merupakan metamedium, instrumen yang tidak hanya mengarahkan pengetahuan tentang dunia, tetapi mengarahkan bagaimana mendapatkan pengetahuan. TV menawarkan ideologinya sendiri secara khas. Dengan tayangan-tayangannya yang batasbatasnya begitu cair: berita, fiksi, propaganda, bujukan (iklan), hiburan, dan pendidikan, TV

mencampuradukkan berbagai realitas pengalaman yang berlainan. Mimpi, khayalan, histeria, kegilaan, halusinasi, ritual, kenyataan, harapan, dan angan-angan terjelma melalui TV. Televisi pada hakikatnya melakukan penetrasi lebih besar terhadap kehidupan dari ideologi-ideologi konvensional. Hanya saja caranya begitu halus sehingga sulit terdeteksi. Apresiasi terhadap prestasi dan prestise mengalami pergeseran dengan semaraknya televisi. Dulu, pahlawan pejuang, yang berjasa bagi bangsa dan negara dalam berbagai bidang kehidupan sangat dihargai. Akan tetapi, kini pahlawan-pahlawan model lama yang melakukan tindakan-tindakan berani, luar biasa, mengabdi tanpa penuh pamrih bagi masyarakatnya dan dikenang sejarah, digantikan pahlawan-pahlawan media yang dimunculkan TV. Dengan penampilannya sebagai aktor film atau sinetron, penyanyi, model iklan, olahragawan, penyiar TV, dan selebritis lainnya lebih tenar dikenal, khususnya oleh pelajar berkat TV (Mulyana,1997). Di antara media informasi yang ada, televisi tampaknya adalah pihak yang paling banyak memperoleh sorotan dan menuai protes. Televisi menjadi bulan-bulanan agenda publik, khususnya yang menyangkut isi siaran. Sebab, pada bangsa-bangsa yang tengah berkembang, TV merupakan sumber informa-

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

13


si dan hiburan yang utama (Merrill, 1991). Televisi merupakan agen sosialisasi yang dianggap sudah menjadi ‘pengganti’ orang tua bagi jutaan anak. Karena itu, “There can be no doubt that as instrument of communication and information, television is of the utmost potensial value,” seperti diungkap Martin Esslin (1982). Dalam pandangan Unesco, “information is the basic of culture. The greater the foreign information, the greater the threat to a native or a domestic culture in the future” (McPhall, vol. 126, 1988). Makin tingginya sergapan informasi hiburan lewat film televisi, dilihat Unesco sebagai menjelmanya kolonialisme berwajah baru yang hadir karena keperkasaan teknologi elektronika. Tak heran kalau George Gerbner, pakar komunikasi dan televisi yang kondang itu, pernah sesumbar bahwa televisi adalah agama masyarakat industri. Sebagai ‘agama baru’, televisi telah menggeser agama-agama tradisional. Khotbahnya didengar dengan penuh keharuan dan disaksikan penuh hikmat oleh jemaah yang lebih besar daripada jemaah mana pun. Rumah ibadatnya tersebar di pelbagai pelosok bumi; ritus-ritusnya diikuti dengan penuh kekhidmatan dan boleh jadi lebih banyak menggetarkan hati dan mempengaruhi bawah sadar manusia daripada ibadat agama-agama yang pernah ada (Rakhmat,

14

1991). Penelitian ilmiah pun menunjukkan bahwa frekuensi dan lama menonton televisi pada anak-anak, jauh lebih tinggi dibandingkan frekuensi belajar atau mengaji. Hal itu berarti bahwa proses sosialisasi anak lebih banyak dipengaruhi isi siaran televisi daripada petuah guru atau orangtua. Karena itu, tak heran bila televisi kini dianggap sebagai New parent for a million children (Halloran, 1980), atau bahkan dinobatkan sebagai ‘Tuhan Kedua’. Penggunaan waktu menonton televisi (television exposure) diduga semakin tinggi, ketika diserbu banyak televisi swasta yang bersaing keras untuk meraup penonton sebanyak-banyaknya. Bila semua stasiun televisi menyuguhkan siaran dan tayangan menarik, maka yang dilakukan pemirsa adalah sebisa mungkin menikmati semua siaran televisi yang menarik tersebut terutama dari kalangan pelajar sebagai kelompok masyarakat yang mulai menginjak dewasa (Malik, 1997). Mudah diprediksi situasi semacam demikian, memberi dampak positif sekaligus negatif, khususnya kepada pelajar. Beberapa Masalah Kehadiran televisi dalam konteks perubahan nilai-nilai dibutuhkan pengamatan lebih mendalam terutama tentang pengaruhpengaruh yang ditimbulkannya. Dengan semakin memasyarakatnya televisi, dampak negatif televisi perlu diperhatikan agar dapat dicari pemecahannya. Dengan melihat televisi tanpa kendali, mampu menghentikan kegiatan dan aktivitas manusia, tanpa disadari. Dengan kebiasaan duduk dan berkhayal di depan televisi timbullah sikap mental pasif, malas, berat mengerjakan sesuatu. Segalanya ingin serba gampang seper-

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

ti yang disaksikan dalam kebanyakan film-film di layar televisi. Televisi telah mendatangkan kesenangan pasif. Keadaan ini menjadi lebih buruk lagi apabila pihak penyelenggara siaran televisi tidak menyadari hal ini, dengan tetap menyiarkan acara-acara yang dapat menambah subur sikap mental semacam di atas. Tahun-tahun terakhir ini, mulai disadari pengaruh buruk yang ditimbulkan televisi terhadap perkembangan jiwa pelajar. Mereka mempunyai kecenderungan kuat untuk meniru segala sesuatu, terlepas dari persoalan apakah yang ditiru itu baik atau buruk. Kesan-kesan yang ditangkap pada usia anak-anak pendidikan dasar sangat sulit untuk terlupakan sampai usia dewasa, bahkan sampai mati sekalipun. Perilaku yang ditiru remaja dan anak-anak tidak sekedar bersifat fisik dan verbal, melainkan justru nilai-nilai yang dianut tokoh-tokoh yang dilukiskan acara tersebut. Pengaruh TV tidak langsung terlihat, namun terpaan berulang-ulang pada akhirnya mempengaruhi sikap dan tindakan pemirsa. Dampak dari pengaruh TV boleh jadi bersifat jangka-panjang, subtil, dan sulit dibuktikan lewat penelitian-penelitian (DeFleur dan Dennis, 1985). Meminjam kata-kata Prof. Chiam Heng Keng dari Universitas Malaya, dalam Mulyana (1997) impak kepercayaan moral dan sikap lebih halus, bergerak pelahan-lahan, dan diam-diam, pemirsa menyadarinya, dan perubahan tersebut cukup signifikan untuk teramati. Selain itu, acara-acara televisi dapat menimbulkan ketergantungan, manakala penggemarnya, khususnya dari kalangan anak muda terkena kecanduan tontonan tv. Dampak negatif dari acara tersebut dapat muncul manakala pihak pemirsa yang umumnya anak-anak remaja yang bukan sekedar untuk dinikmati dalam waktu senggang sebagai aktivitas rekreasional; dan


jika benar terjadi, bencana mulai menghadang terhadap dugaan mundurnya prestasi belajar. Pengaruh Televisi terhadap Perilaku Manusia adalah makhluk peniru, imitatif, dan banyak perilakunya terbentuk melalui proses peniruan. Ada perilaku yang ditiru apa adanya, ada yang diubah secara kreatif menurut keinginan, atau dengan menggunakan kerangka acuan seseorang. Perilaku imitatif sangat menonjol pada anakanak dan remaja. Film, sebagai media pandang-dengar (audio-visual), yang ditayangkan TV banyak sekali menawarkan model untuk diimitasi atau dijadikan objek identifikasi oleh pemirsanya (Supriadi, 1997). Perilaku menurut Supriadi (1997), dipahami sebagai manifestasi dari proses psikologis yang merentang dari persepsi sampai sikap. Suatu rangsangan dalam bentuk film, dipersepsi, kemudian diberi makna berdasarkan struktur kognitif yang dimiliki seseorang. Jika cocok, rangsangan itu dihayati, dan terbentuklah sikap. Sikap itulah yang secara kuat memberikan bobot dan warna kepada perilaku. Sikap diartikan sebagai kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan. Studi yang dilakukan di Amerika Serikat diberi judul Television and Growing Up: The Impact of televised Violence (1972), ditemukan korelasi dengan taraf signifikansi 0,20 sampai 0,30 antara ekspose televisi dengan perilaku pemirsa yang umumnya anak-anak muda. Korelasi itu mengisyaratkan juga bahwa ekpose di layar televisi dapat saja mengundang munculnya perilaku agresif pada sebagian orang, dan dapat juga netral atau tidak berpengaruh apa-apa pada sebagian orang yang lain. Riset itu sendiri tidak mampu menjelaskan secara spesifik bagaimana keduanya berhubungan, meskipun dugaan umum menyatakan bahwa keduan-

www.forumkamera.com

ya ada hubungan yang positif. Menurut Coles (1996), anakanak dari keluarga yang kualitas kehidupannya rendah sangat rawan dan peka oleh pengaruh yang ditimbulkan siaran televisi. Kerawanan emosional dan moral itu dinyatakan dalam perilaku-perilaku aneh dan menyimpang. Dengan penemuan itu, Coles menunjuk bahwa memasalahkan kualitas mata acara televisi saja tidak cukup tanpa mempertimbangkan kualitas kehidupan keluarga. Kehidupan keluarga yang berkualitas diartikan sebagai adanya pegangan nilai etik-moral dalam keluarga yang sepenuhnya dijunjung tinggi. Dalam hal ini, orangtua menjadi model atau panutan bagi anak sehingga anak tidak rawan oleh apa yang Coles namakan, the corruption of television screen. Agak berbeda dengan Coles, Grant Noble (Children of small Screen, 1975) menemukan bahwa justru jenis kekerasan dan penghayatan pemirsa terhadap apa yang ditontonnya memberikan pengaruh terhadap timbulnya perilaku agresif. Namun, pengaruh itu kecil sekali, yaitu sekitar 10%; sedangkan 90% lainnya tidak dapat dideteksi. Kalaupun ada pengaruh dari ekspose

hiburan di televisi terhadap perilaku, menurut Noble, hal itu bukan karena terjadinya peniruan, melainkan akibat adanya kecemasan (anxiety) pada pemirsa. Noble (1878) mencatat bahwa hubungan antara apa yang dilihat oleh anak pada layar televisi dengan bagaimana ia berperilaku sangatlah kompleks, tidak jelas, dan tidak langsung. Ia melihat segi lain yang positif dari ekspose tindak kekerasan di televisi itu. Menurut Noble, melihat tindak kekerasan di televisi dapat memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menyalurkan impuls-impuls agresivitasnya yang tidak dapat ia salurkan secara langsung karena dibatasi oleh nilai-nilai etis-moral yang diyakininya. Pengaruh Buruk Televisi Seperti dikatakan Palmer (1980), bahwa televisi pada hakikatnya telah menimbulkan masalahmasalah kesehatan mental dan lingkungan. Film-film seri seperti yang banyak dimunculkan di layar televisi, umumnya menceritakan kejahatan kriminal, pembunuhan, kekerasan dan lain-lain. Hal ini menimbulkan sikap permissivenes (melonggarnya nilai-nilai) yang

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

15


berpengaruh terhadap penilaian harkat kemanusiaan. Secara tidak sadar anak dibimbing untuk membunuh dan membalas dendam terhadap suatu pembunuhan atau kejahatan orang lain atas mereka. Image ideal anak-anak pun bergeser dari keharusan menghormati hak-hak orang lain kepada prinsip siapa yang kuat dialah yang menang (survival of the fttest). Akibat buruk menonton TV, menurut Azra (1998), timbulnya kerenggangan timbal balik antara orang tua dengan anaknya. Hubungan anak dengan orang tua semakin tidak akrab karena munculnya “orang ketiga� yaitu televisi. Orang tua yang sibuk bekerja siang hari, hanya mempunyai waktu untuk bercengkrama dan bertukar pikiran dengan anaknya pada sore atau malam hari. Akan tetapi, waktu-waktu tersebut lebih banyak tersita untuk menonton si Monster mata satu ini. Anak-anak lebih tertarik menyaksikan acara televisi daripada ngobrol dengan orang tuanya, apalagi kalau orang tuanya dianggap nyinyir dan sebagainya. Akibat samping lain adalah kesehatan mata anak dapat terganggu. Anak-anak saking tertariknya pada acara yang tengah berlangsung, cepat mengambil tempat paling dekat dengan pesawat.

16

Begitu terpakunya, sehingga tidak mengerdipkan mata untuk beberapa lama. Akibatnya bola mata mereka kering dan seusai acara mata mereka sakit; dan kalau hal ini berlangsung terus menerus dapat dibayangkan betapa rusaknya mata mereka nantinya; serta timbulnya kecederungan untuk meniru gaya hidup mewah seperti yang sering diperlihatkan para artis televisi. Penampilan dan gaya serta mode yang ditampilkanhnya para artis televisi tetap dapat mendorong tumbuhnya selera konsumtif di dalam diri anak-anak (Azra,1998). Kerusakan moral anak dapat terjadi, akibat menonton acara yang sebenarnya belum pantas untuk disaksikan. Acara untuk anak-anak biasanya disuguhkan sore hari. Akan tetapi, orang tua yang tidak disiplin membiarkan saja anaknya menonton sampai larut malam, dan banyak acara-acara yang tidak cocok bagi anak-anak. Apalagi film akhir pekan, yang umumnya dikhususkan untuk anak usia 17 tahun ke atas. Pelajar ikut menikmati tontonan yang sebenarnya tidak pantas untuk mereka, baik dari segi cerita maupun dari segi temanya. Mereka hanya bisa menangkap adegan-adegan yang menyeramkan, menakutkan atau merangsang. Secara psikologis ini jelas tidak baik bagi mereka (Ibra-

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

him,197). Televisi pada hakikatnya merampas waktu anak-anak; dan tidak semua sajian TV baik untuk ditonton. Anak-anak terlalu cepat dikenai budaya orang dewasa. Lebih jauh lagi model-model masyarakat, peran, dan jabatan pria dan wanita yang digambarkan dalam TV, yang dipelajari anakanak, sesungguhnya merupakan penyederhanaan (simlied model) yang disesuaikan dengan kebutuhan prosedur program untuk memberikan hiburan. Menonton TV secara berlebihan, apabila acara-acara hiburannya, kurang baik dampaknya bagi pemirsa. Karena terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk menonton TV, berdampak buruk pada konteks sosial. Terisolasi dari diri sendiri, dari tetangga, para pendidik, penghibur, wakilwakil rakyat, dan para pemimpin. Merasa berat untuk bertamu ke tetangga atau berkumpul untuk memusyawarakan mengatasi persoalan-persoalan dalam masyarakat. Bahkan, ketika dapat berhubungan dengan orang lain pun, hubungan relatif dangkal. Orang mudah tersinggung atau kesal ketika keasikannya menonton TV terganggu (Mulyana, 1997) Meskipun pengaruh televisi terhadap anak bukan ditentukan oleh isi siaran yang ditayangkan, melainkan bagaimana kualitas kehidupan keluarga mereka; maka anak dibesarkan dalam keluarga yang tidak stabil lebih mudah terpengaruh siaran televisi. Sebaliknya, bila anak dibesarkan dalam keluarga yang stabil dan penuh kasih sayang, pengaruh televisi agak lemah (Coles, 1996) dan (Malik, 1997). Tidak terkeculi, kesan yang ditangkap anak-anak dari siaran televisi pun sangat kuat pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak. Sehingga tidak heran kalau masalah ini mendapat perhatian terutama dari para ahli jiwa dan ahli pendidikan. Sementara itu, dari pihak petugas televisi keliha-


tannya tidak mau tahu terhadap pengaruh-pengaruh buruk yang meracuni jiwa anak-anak. Anak-anak yang biasanya mudah melakukan peniruan, rentan terhadap pengaruh, selfnsorship rendah, dan belum memiliki kerangka rujukan (frame of reference) yang mantap, selama anak berinteraksi dengan TV akan berdampak terhadap sikap kritis anak. Anak menonton TV dengan sikap pasif, membisu, dan reseptif. Rangsangan untuk bersikap kritis, dalam arti memberikan umpan balik dan kontra pendapat terhadap tayangan-tayangan TV, hampir tak pernah dimunculkan (Khadiz, 1997). Boleh jadi, terjadi benturan nilai antara anak-anak muda dan orangtua, dengan dahsyadnya perkembangan televisi. Kontrol orangtua terhadap anak akan makin sukar. Revolusi informasi juga menyebabkan massa sangat rapuh untuk persuasi massa. Mereka yang menguasai media akan menjadi agen-agen sosialisasi, pendidik, dan pengatur tingkah laku (Rakhmad, 1988) dan (Karim & Ridjal, 1992). Melalui tayangan-tayangan acara yang dibuat, televisi dapat menggiring publik untuk berada dalam posisi menerima semua sensasi mimpi dalam dunia sinetron, kekerasan, dan erotisme yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Kesimpulan ini mengemuka dari jajak pendapat Kompas dalam rangka memperingati hari ulang tahun beberapa stasiun televisi di negeri ini. Hasil jajak pendapat mengungkapkan, dua pertiga bagian (77 persen) responden membenarkan bahwa televisi saat ini cenderung mementingkan aspek komersial. Berdasarkan hasil penelitian: teori yang menyatakan bahwa makin lama anak menonton TV, makin sedikit waktu untuk membaca, tidak terbukti di sini. Anakanak yang sedikit menonton TV, prestasi membacanya justru tinggi, meskipun jika berlebihan (lebih dari

17

5 jam) pengaruhnya menjadi negatif terhadap membaca (Supriadi, 1997: 133 – 135). Menurut Azra (1998: 170), televisi dapat mengancam prestasi belajar anak. Disinyalir, acara-acara TV dapat membuyarkan konsentrasi dan minat belajar anak. Dari siang hari mereka yang telah menunggu dan membaca susunan acara yang muncul; dengan perasaan tak sabar mereka menunggu; dan apalagi kalau yang muncul itu artis-artis cilik idolanya; sehingga ketika waktu belajar datang, mereka tidak mau atau enggan belajar. Walaupun dipaksa belajar, pikirannya tidak lagi pada pelajaran. Akibatnya dapat dibayangkan, pelajaran anaknya jadi berantakan dan nilai yang dicapai di sekolah pun jadi menurun. Dalam dunia pendidikan, bapak dan ibu guru mengeluhkan anak-anak didiknya mengalami ketergantungan pada televisi, sehingga tidak mengerjakan tugas rumah yang diwajibkan. Bahkan, di antara mereka prestasi belajarnya menurun karena kurang mampu berkonsentrasi. Sejak anak-anak masih berusia muda, unsur-unsur kekerasan dan romantisme telah ditanamkan di dalam kepribadian mereka melalui televisi, sehingga mempengaruhi dan merwarnai bentuk kepribadiannya dikemudian hari (Basri, 1995). Menu informasi yang mengisi benak pelajar, sehingga tidak terperanjat, dibutuhkan kehatihatian. Anak-anak terpikat pada televisi karena umumnya tersedia di rumah. Mereka dapat menonton dengan nyaman kapan saja. Televisi menghidangkan hiburan yang mudah dicerna, memungkinkan orang melihat tempat-tempat dan orang berikut kehidupannya yang tidak dapat dilihat secara langsung, dan dinikmati oleh penonton walau berpendidikan rendah, yang tidak jarang belum sesuai dengan tingkat perkembangan dan kedewasaannya. Besarnya rasa in-

JURNAL EDUKASI. NO.VII.2007

gin tahu–karena yang sudah diketahui masih sedikit–pada diri anak membuat segala isi informasi televisi yang serasi dengan keinginankeinginan akan dilahap begitu saja bulat-bulat, tanpa banyak pikir. Dalam pandangan psikologi anak-anak yang terus-menerus menyaksikan film-film keras, horror ataupun yang romantis di televisi, maka kognisis mereka terbentuk sedikit demi sedikit seperti apa yang biasa disaksikannya. Keadaan tersebut sangat membahayakan dalam pembentukan kepribadiannya. Sebab tanpa disadari anakanak akan terbentuk suatu kepribadian yang keras, kasar, kejam, atau penuh romantis yang tidak mengindahkan norma-norma kehidupan. Dengan televisi yang tidak terkendali, maka penonton mendapatkan atau mencapai sesuatu selekas mungkin (instantly). Di layar TV, segala sesuatu berlangsung cepat. Gaya televisi memang mengharuskan kecepatan itu. Segalanya serba seketika. Hitungan yng berlaku dalam penayangan televisi adalah detik. Jadi, semua tampak cepat; kurang menghargai proses. Sebagai lanjutan dari ingin cepat mencapai sesuatu, anak-anak menjadi kurang menghargai, bahkan di sana sini ingin mengabaikan ––kalau bisa– – bahwa segala sesuatu ada jalannya. Ada awal, ada proses, baru kemudian ada hasil. Akibat kurang menghargai proses ini, timbul kecenderungan ingin mendapatkan sesuatu lewat jalan pintas. Dengan televisi juga kurang dapat membedakan khayalan dengan kenyataan. Dengan kemampuan berpikir yang masih amat sederhana, dapat dimaklumi jika anakanak cenderung menganggap apa saja yang tampil di layar televisi adalah suatu hal yang nyata. Dengan televisi juga dapat meniru perbuatan kekerasan. Sudah sejak lama hal ini menjadi keprihatinan, bahkan dapat dikatakan yang paling menonjol di kalangan para pen-

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

17


didik, psikolog, dan pemimpin agama. Dikhawatirkan, dengan melahap secara rutin aneka bentuk kekerasan yang tampil dalam berbagai format acara teevisi, terutama film, anak-anak tadi ––yang memang punya kemungkinan besar untuk itu–– akan menirunya dalam keseharian mereka. Dengan televisi dapat menyita waktu. Banyaknya waktu yang dihabiskan anak untuk menonton televisi, berarti pengurangan terhadap waktu yang seyogianya diperuntukkan bagi aktivitas lain. Anak-anak yang asyik menonton televisi berlama-lama, akan berkurang waktunya untuk bermain dengan sesamanya, mengerjakan tugas rumah, membantu orang tua, dan mengurangi perhatian dan minat pelajaran. Dengan sendirinya keasyikan pada televisi akan berpengaruh pada minat dan perhatian anak pada pelajarannya di sekolah. Pengaruh itu antara lain dapat mengganggu konsentrasi. Menonton televisi dapat mengurangi minat membaca dan terhadap media lain. Baik secara fisik (kelelahan mata) maupun mental (tuntutan untuk memproses informasi), keasyikan kepada televisi berpengaruh terhadap minat membaca; sekaligus mengaburkan nilainilai agama dan sosial dalam aspek hal respek, kesopanan, susila. Karena banyak sajian televisi berasal dari negara yang menganut nilainilai dan norma yang berbeda dengan kita, isi yang ditayangkan sering kali tidak cocok atau bahkan bertentangan dengan yang berlaku di tengah kita. Tontonan televisi dapat mengorbankan semangat keduniaan. Sudah menjadi sifat televisi sebagai suatu medium, menuntut penampilan tokoh dan watak yang umumnya mencerminkan hal-hal yang menjadi obesesi pemirsa (yang indah rupawan, ganteng, bahagia, dan sebagainya). Perangkat dan aksesori lain yang ditampilkan pun, terutama untuk sajian berben-

18

tuk iklan, umumnya mencerminkan kesempatan duniawi; dan mendorong kekaguman yang berlebih pada kebudayaan Barat. Karena yang menjadi sumber utama isi siaran televisi adalah program yang dihasilkan di negara-negara Barat, tidak heran jika timul kekaguman kepada apa saja yang tampil di layar kaca. Meskipun tidak semua yang disajikan itu hal yang buruk, perlu upaya untuk mencegah kekaguman yang bersifat membabi buta. Pada gilirannya, dengan televisi dapat mengurangi perhatian terhadap identitas nasional. konsekuensi dari hal di atas tadi, membuat minat dan perhatian, bahkan ––lebih penting lagi–– penghargaan atau apresiasi terhadap warisan budaya sendiri, atau sesuatu yang menjadi jati diri bangsa, menjadi berkurang (Mulyana dan Ibrahim, 1997: 205208). Pengaruh Positif Televisi Menonton televisi bukanlah hal yang jelek bagi anak-anak. Asalkan pandai memilih acara yang sesuai dengan usia dan kebutuhannya, serta terampil dalam mencerna apa yang ditangkap dari sajian di layar kaca, televisi sebenarnya bisa menyumbang berbagai hal yang positif untuk pertumbuhan anak. Masa kanak-kanak merupakan periode khusus yang menentukan tahap perkembangan selanjutnya. Segala sesuatu yang diketahui, diperoleh, dan dialami pada masa tersebut ikut mempengaruhi perkembangan diri si anak. Televisi, jika dikonsumsi menurut cara-cara yang benar, menghasilkan sejumlah manfaat bagi anak. Membantu memahami dunia sekitar. Anak-anak akan tertolong dalam memenuhi keingintahuan mereka tentang segala sesuatu yang ada di seputar kehidupan ini; terutama yang menjadi lingkungan sekitar, baik yang dekat maupun yang jauh. Tanpa secara khusus menunjuk pada tindak

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

kekerasan dalam televisi, Himmelweit (Television and the Child, 1985) memandang bahwa siaran televisi mengajari anak untuk mengenal kehidupan masyarakatnya dan masyarakat lain. Siaran televisi berfungsi sebagai wahana proses sosialisasi. Anak-anak diajari mengenal nilai-nilai luhur masyarakatnya, tetapi juga disuguhi hal-hal lain (Supriadi, 1997). Selaku penerima informasi, sikap seseorang bergeser dari yang tadinya haus informasi, menjadi yang sikap orang yang kebanjiran informasi. Ia perlu punya kesanggupan untuk menyaring sendiri informasi yang baik, informasi yang bermanfaat, informasi yang mendidik bagi dirinya sendiri. Kebebasan memilih di antara segudang informasi yang ada terletak pada pundaknya sendiri. Pada zaman teknologi radio dan kemudian teknologi televisi, proses melatih diri seperti itu sebenarnya sudah berlangsung. Revolusi teknologi juga menimbulkan saluran-saluran komunikasi yang kian canggih. Televisi lewat satelit yang dapat menangkap siaran luar negeri, video kaset and video disk, komputer yang disambung dengan pusat informasi dan lain-lain telah menjadi nyata. Melebarnya perluasan dan intensitas jaringan-jaringan informasi mengubah jaringan informasi. Secara individual media televisi digunakan sebagai perangkat memperoleh informasi spesifik dan hiburan guna mengisi waktu luang, mengatasi kejenuhan karena desakan kehidupan serta memperoleh tambahan ilmu pengetahuan, moral, dan agama. Bisa juga sebagai upaya membandingkan berbagai norma dan nilai. Dalam rangka kepentingan sosial di lingkungannya, media televisi digunakan sebagai perangkat untuk kontrol mengawasi lingkungan serta secara bersama mengatasi berbagai silang pendapat terhadap sesuatu yang ingin diputuskan secara bersama dalam lingkungan kepentingan ekonomi,


sosial, budaya, maupun keamanan (Schramm, 1949. Blumler. JG, 1991 dan McQuall. D, 1992) Televisi, jika dikonsumsi menurut cara-cara yang benar, akan menghasilkan sejumlah manfaat bagi anak. Televisi membantu memahami dunia sekitar. Anak-anak akan tertolong dalam memenuhi keingintahuan mereka tentang segala sesuatu yang ada di seputar kehidupan ini, terutama yang menjadi lingkungan sekitar, baik yang dekat maupun yang jauh. Itulah sebabnya televisi dijuluki sebagai ‘jendela dunia’; dan membantu proses belajar baca tulis dan melek visual (visual literacy). Kemampuan televisi menyajikan segala hal dalam bentuk visual pada dasarnya telah mempermudah anak-anak untuk mengenal dan menguasai huruf. Selain itu, televisi mengakrabkan anak dengan penampilan visual dari benda-benda yang telah dan belum mereka kenal. Dengan televisi pula dapat memberikan ‘sambungan’ dengan dunia global. Melalui televisi anak dapat merasakan ketersambungannya dengan bagian yang lebih luas dari lingkungan sekitar tempat mereka berada. Ketersambungan ini membuat mereka dapat merasakan dunia yang lain dari dunianya. Pengaruh Televisi terhadap Belajar Televisi juga membantu proses belajar baca tulis dan melek visual (visual literacy). Kemampuan televisi menyajikan segala hal dalam bentuk visual pada dasarnya telah mempermudah anak-anak untuk mengenal dan menguasai huruf. Selain itu, televisi mengakrabkan anak dengan penampilan visual dari benda-benda yang telah dan belum dikenalnya; memperluas wawasan/membukakan cakrawala; memperkaya pengalaman hidup; menunjag pelajaran sekolah terutama dalam pengetahuan umum; dan memberikan ‘sambun-

www.forumkamera.com

gan pengetahuan’ dengan dunia global (Nasution, 1997: 202). Medium televisi tergolong sebagai media massa yang sering digunakan dalam proses pembelajaran, khususnya pada proses belajar jarak jauh (distance learning). Hal ini dimungkinkan karena penyiaran program televisi dapat menjangkau khalayak yang berada dalam jangkauan wilayah geografis sangat luas. Sama seperti film yang tergolong sebagai motion pictures, televisi mampu menayangkan informasi dengan cara yang realistik. Gabungan unsur gambar, suara dan warna dalam medium televisi dapat memberikan gambaran tentang objek dan peristiwa secara rinci (Suparman, 1999). Berdasarkan temuan penelitian tahun 1999, bahwa 80% anak menonton TV, dan hanya 40% anak yang mengaku punya TV di rumah-

nya. Jadi, sekitar 40% anak dipastikan menonton di rumah tetangga, teman, atau di tempat-tempat umum. Korelasi antara frekuensi menonton TV dengan perilaku membaca cuma 0,07 yang berarti hampir-hampir tidak ada hubungan. Yang lebih besar korelasinya justru variabel-variabel keluarga, misalnya status ekonomi dan iklim keluarga korelasinya di atas 0,20. Sifat televisi yang pokok adalah bisa didengar dan dilihat, di samping sifat-sifat lainnya: langsung, simultan, intim, dan nyata. Sifat audio-visual televisi mampu memberi daya ingat yang lama kepada pemirsa. Menurut R. Benschofter, pelajaran yang bisa diingat lewat media pandang-dengar ini, setelah tiga hari, bisa 65%, sedangkan lewat media dengar saja 10 persen dan lewat media pandang saja 20% (Mulyana, 1997: 169).

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

19


Klapper melalui studi eksperimental menunjukkan, bahwa, terbukti kontak tatap muka lebih efisien untuk komunikasi persuasif dibanding dengan radio. Pada gilirannya radio lebih efisien daripada media cetak. Film dan televisi mungkin berada pada peringkat di antara tatap muka dan radio, meskipun hal terakhir ini belum dibuktikan secara empiris (Ishadi, 1997). Fungsi televisi secara universal adalah mendifusikan informasi (to in form), mendidik (to educate), menghibur (to entertain), dan mempengaruhi (to influence), yang pada kenyataannya sudah dipenuhi oleh semua stasiun televisi, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta. Difusi informasi bersifat komunikatif dan diterima oleh sebagian besar khalayak dalam dua tahap, yakni diterima secara inderawi (received), yang pada gilirannya diterima secara rohani (accepted). Perubahan-perubahan akibat kemajuan teknologi elektronika televisi tidak hanya merubah pilihan informasi yang ingin dibekalkan, serta jenisjenis pelatihan keterampilan disajikan dalam proses pendidikan tetapi juga memberikan pengaruh positif dalam menanamkan sikap dan perilaku peserta didik. Televisi bukanlah sebuah ruang kosong yag hampa makna, tetapi merupakan sederet penanda (signifieds), menyangkut gaya hidup, karakter manusia, nilai kepemimpinan, hingga wajah realitas sosial-politik masyarakat-bangsa ini. Ada makna politik di dunia realitas, tetapi ada ‘makna’ politik di dunia televisi yang keduanya saling berkaitan. Keadaan demikian, menunjukkan, bahwa TV memberi nilai positif dalam pembelajaran masyarakat. Dengan televisi memperluas wawasan/membukakan cakrawala. Begitu luas dan rumitnya kehidupan ini sehingga tanpa bantuan orang lain rasanya amat sukar bagi anak untuk dapat mencernanya sendiri. Televisi datang mengisi sebagian fungsi ini terutama untuk

20

hal-hal yang bersifat kompleks, yang sekiranya dijelaskan secara biasa hampir tidak mungkin; dan televisi memperkaya pengalaman hidup. Televisi telah memungkinkan anak untuk ‘mengalami’ berbagai hal tanpa merasakannya sendiri. Mereka tahu tempat-tempat lain tanpa mengunjunginya sendiri. Mereka bahkan dapat menyaksikan kesenangan atau pun penderitaan orang lain di layar kaca. Menonton televisi juga menunjang pelajaran sekolah terutama dalam pengetahuan umum. Jika pandai memilih informasi yang disajikan televisi, sebenarnya terdapat banyak muatan yang dapat berfungsi sebagai penunjang dan pengayaan (erichment) bagi pengetahuan yang diperoleh di ruang kelas. Dalam tontonan televisi pada acara bermutu, TV dapat dijadikan sebagai salah satu sumber belajar. Acara-acara yag bersifat informatif, seperti berita, dokumenter, wawancara, diskusi, dan features dapat dimanfaatkan untuk menunjang dan memperkaya belajar anak. Dari acara-acara itu banyak sekali butir pengetahuan ––terutama pengetahuan umum–– yang berfaedah. Jenis acara tersebut juga dapat dijadikan pendorong untuk menghaluskan perasaan anak agar memahami dunia sekitar, memperkaya pengalaman hidup, meningkatkan iman dan takwa serta budi pekerti. Di tahun 1985, Himmelweit melaporkan dari studinya bahwa siaran TV sangat besar peranannya sebagai sarana sosialisasi anak. Melalui layar TV, anak-anak mengenal lingkungan masyarakatnya, masyarakat lain, dan belajar halhal yang tidak diperoleh dari keluarga atau sekolah. Menonton Televisi Secara Bermutu Biarpun penonton televisi menjadi obyek dari stasiun televisi, mereka dididik dan diberi alternatif tontonan bermutu. Sebagai media pandang-dengar, telivisi meru-

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

pakan media iinformasi yang paling digemari oleh masyarakat saat ini. Media index 2001 AC Nielsen Indonesia memperlihatkan 80,4 persen dari total penduduk dewasa (di atas 15 tahun) memilih televisi sebagai media untuk mendapatkan informasi ketimbang surat kabar dan radio. Jangan sampai daya kritis masyarakat menjadi tumpul lantaran informasi-informasi yang didapat dari televisi membingungkan (Kompas, 25 Agustus 2003). Membentuk kebiasaan menonton TV yang baik merupakan cara tepat dalam membangun penonton bermutu. Anak-anak dibiasakan menonton televisi secara selektif. Caranya dengan melatih mereka membuat jadwal, dan merencanakannya dengan melihat jadwal acara TV di surat kabar. Penjadwalan ini bertujuan agar kebiasaan menonton TV si anak tidak menyita waktu atau pun mengganggu kegiatan lain yang juga harus dilaksanakannya, seperti balajar, bermain, membantu orang tua, dan sebagainya. Memberikan penjelasan kepada anak bahwa masih banyak hal ini yang menarik selain televisi; dan dapat pula dilakukan dengan langsung mengajak anak melakukan aktivitas yang diminati, seperti bersepeda, lomba lukis, dan lain-lain. Di samping itu, doronglah anak untuk mengikuti aktivitas sosial, seperti klub-klub olahraga, pramuka, dan sebagainya. Cara menonton dan waktu menonton yang cocok untuk anakanak dapat dibiasakan sebagai berikut: mengajarkan bagaimana memilih program; cara memahami program; mengajarkan cara mengambil manfaat; mengajarkan cara menghindari pengaruh negatif (memilih program sesuai dengan perkembangan usia anak); mengajarkan cara menonton TV yang baik dan benar (jarak, pencahayaan, sikap, suara, tata letak); mengajarkan waktu yang baik/tepat untuk menonton TV (tidak mengganggu


belajar, bermain, istirahat, ibadah); serta Orang tua menonton tayangan TV bersama anak; dan bertindak sebagai pendamping menonton televisi serta melindungi anak

dari dampak negatif TV ( Mulyana dan Ibrahim, 1997: 210-212). Segalanya menuntut upaya dan kerja keras, bila menginginkan televisi sebagai media pendidikan penting;

serta pada aras pembelajaran di sekolah, guru berperan menentukan untuk mensosialisasikannya cara menonton televisi secara benar e dan bermutu. g

Daftar Pustaka Azra, Azyumardi (1998) Esai-esai Intelektual Muslim Pendidikan Islam. PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta. Azra, Azyumardi (2002) Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi. Buku Kompas, Jakarta. Basri, Hasan (1995) Remaja Berkualitas: Problematika Remaja dan Solusinya. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Brotosiswojo, B. Suprapto (2000) Pendidikan, Ilmu Pengetahun dan Teknologi, serta Globalisasi. Dalam Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi (ed. Sindhunata), hlmn., 100– 101. Kanisius, Yogyakarta. Buchori, Mochtar (2001) Pendidikan Antisipatoris. Kanisius, Yogyakarta. Depari, Eduard (2000) “Video Games” dan Pendidikan. Dalam Menggagas Pendidikan Rakyat: Otosentrisitas Pendidikan dalam Wacana Poltiik Pembangunan (ed. Dadang S. Anshori), hlm., 245. Alqaprint, Bandung. Effendy, Onong Cahjana (1997) Etika dan Norma Jurnalistik Televisi. Dalam Bercinta dengan Televisi: Ilusi, Impresi, dan Imaji Sebuah Kotak Ajaib (ed. Deddy Mulyana dan Idi Subandy Ibrahim) , hlmn., 96–97. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Karim, M. Rusli dkk. (1992) Dinamika Ekonomi dan Iptek dalam Pembangunan. Tiara Wacana, Yogyakarya. Khadiz, Antar Venus (1997) Berinteraksi dengan TV dalam Sikap Pasif. Dalam Bercinta dengan Televisi: Ilusi, Impresi, dan Imaji Sebuah Kotak Ajaib (ed. Deddy Mulyana dan Idi Subandy Ibrahim), hlmn., 178. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Malik, Deddy Djamaluddin (1997) Sketsa Pertumbuhan Industri Televisi: Antara Peluang Bisnis dan Tantangan Masyarakat. Dalam Bercinta dengan Televisi: Ilusi, Impresi, dan Imaji Sebuah Kotak Ajaib (ed. Deddy Mulyana dan Idi Subandy Ibrahim), hlmn., 42–45. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Malik, Deddy Djamaluddin (1997) Industri Televisi dan Tantangan Etika Komunikasi. Dalam Bercinta dengan Televisi: Ilusi, Impresi, dan Imaji Sebuah Kotak Ajaib (ed. Deddy Mulyana dan Idi Subandy Ibrahim) , hlmn., 109–110. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Mulyana, Deddy (1997) Merindukan Televisi Pengajaran. Dalam Bercinta dengan Televisi: Ilusi, Impresi, dan Imaji Sebuah Kotak Ajaib (ed. Deddy Mulyana dan Idi Subandy Ibrahim) , hlmn., 169. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Mulyana, Deddy (1997) Prolog: Bercinta dengan Televisi. Dalam Bercinta dengan Televisi: Ilusi, Impresi, dan Imaji Sebuah Kotak Ajaib (ed. Deddy Mulyana dan Idi Subandy Ibrahim) , hlmn., 3–8. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Nugroho, A. Alois (1982) Manusia dan Perubahan Sejarah: Berfilsafat Bersama Jose Ortega. Dalam Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat (ed. M. Sastrapratedja), hlm., 158–159 Gramedia, Jakarta. Quthub, Muhammad (1991) Integritas Individu dan Sosial. Pustaka Mantiq, Solo. Rakhmat, Jalaluddin (1986) Psikologi Komunikasi. Remadja Karya, Bandung. Sindhunata (1983) Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Max. Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt. PT. Gramedia, Jakarta. Storey, John (2003) Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. CV. Kalam, Yogyakarta. Suparman, Atwi dkk. (1999) Teknologi Pendidikan: Hakikat, Desain, Media, dan Strategi Penyampaian. Dalam Cakrawala Pendidikan (ed. Paulina Pannen), hlm.,105. Universitas Terbuka, Jakarta. Supriadi, Deddi (1997) Kontroversi tentang Dampak Kekerasan Siaran Televisi terhadap Perilaku Pemirsanya. Dalam Bercinta dengan Televisi: Ilusi, Impresi, dan Imaji Sebuah Kotak Ajaib (ed. Deddy Mulyana dan Idi Subandy Ibrahim) , hlmn., 126–129. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Supriadi, Deddi (1997) TV, Tindak Kekerasan, dan Minat Baca Anak. Dalam Bercinta dengan Televisi: Ilusi, Impresi, dan Imaji Sebuah Kotak Ajaib (ed. Deddy Mulyana dan Idi Subandy Ibrahim) , hlmn., 133–135. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Sudjarwo (2000) Interaksi Sosial antara Guru dengan Murid dalam Kegiatan Kurikuler dan Kaitannya dengan Peningkatan Prestasi Belajar. Dalam Jurnal Pendidikan (ed. Durri Andriyani), hlm; 109–111. Universitas Terbuka, Jakarta. Tasmara, Toto (1999) Dimensi Doa dan Zikir: Menyelami Samudera Qolbu Mengisi Makna Hidup. PT. Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta.

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

21


artikel artikel utama utama

Mengembangkan Media Internet dalam Pendidikan Sumenep

H. Rida’i

H. Rida ’i, lahir di Sumenep, 17 Agustus 1960. Alumni Ponpes Mathaliul Rida’i, Anwar Al Islami. Pengawas TK – SD kecamatan Dungkek (2007-sekarang), Kepala Sekolah SDN I Jadung (1984-2007). Pernah menjadi Guru Teladan Kabupaten Sumenep (1994).

Pengantar Pembelajaran merupakan upaya untuk menciptakan kondisi di mana kesengajaan diciptakan, agar tujuan pembelajaran bisa mudah dalam mencapai tujuan akhir pembelajaran. Selain itu, dalam setiap kegiatan pembelajaran perlu dipilih strategi yang tepat agar tujuan pembelajaran tersebut dapat dicapai. Untuk itu, dalam setiap pelaksanaan pembelajaran, para pendidik seharusnya lebih dulu merumuskan tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran di sini, haruslah yang bersifat “behavioral”, tingkah laku peserta didik yang bisa diamati, dan diukur. Diukur memiliki pengertian dapat dengan tepat dinilai : apakah tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan oleh pendidik dapat dicapai atau belum. Di sinilah letak pentingnya strategi pembelajaran, sehingga akan dapat membantu para peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Jadi, strategi pembelajaran merupakan keputusan pendidik dalam menetapkan berbagai bentuk kegiatan yang akan dilaksanakan. Sarana dan prasarana yang dipakai, termasuk di dalamnya adalah media yang akan digunakan, materi yang diberikan, dan metode yang dipakai dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.

22 22

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

Sejarah Singkat Media Pembelajaran dalam Dunia Pendidikan. Pada awalnya, media pembelajaran dalam dunia pendidikan diilhami oleh aliran realisme, yang terjadi pada sekitar tahun 1920-an, dengan tokoh utama Johan Amos Comenius. Ia menulis buku yang cukp dikenal, yaitu Orbis Pictus (Dunia dalam Gambar). Comenius mengarang buku ini, karena factor problem peserta anak didik di Eropa mendapatkan kesulitan dalam mepelajari bahasa Latin (seperti, Jerman, Perancis, Rusia, dan sebagainya). Bagi mereka, bahasa Latin sangat abstrak, Comenius di dalam bukunya memberikan gambar ke setiap kata Latin yang dipelajari peserta didiknya, sehingga peserta didik menganggap bahwa bahasa Latin bersifat nyata atau konkrit, yang pada akhirnya akan mempermudah peserta didik untuk menghafal. Media pembelajaran ini kemudian dikenal dengan istilah “Visual Educational”. Selanjutnya, sejak ditemukannya radio pada tahun 1930-an, maka muncul gerakan “Audiovisual Education” yang lebih menekankan akan makna penting pemakaian audiovisual sebagai media pembelajaran, yang dikenal dengan nama


AVA (Audiovisual Aids), yaitu sebuah alat peraga yang menyajikan bahan-bahan visual dan audio untuk lebih memperjelas dan mempermudah pelaksanaan pembelajaran antara pendidik dan peserta didik. Oleh karena itu, AVA sering disebut juga “Teaching Aids”; alat untuk pendidik dalam memberikan pelajaran kepada peserta didik. Perkembangan berikutnya adalah “Audiovisual Communication”, yang terjadi pada tahun 1944. Pelopor dari utama dalam penemuan ini adalah Thomas dan Weaver. Ia menciptakan model media pembelajaran dengan sistem komunikasi untuk kegiatan elektronika dalam kawasan matematika. Media pembelajaram dikenal dengan istilah “Educational Communication” dan kemudian berubah lagi menjadi “Educational Media”, yang kesemuanya ingin berupaya untuk menampilkan fungsi baru sebagai media pembelajaran, yakni komunikasi dengan menggunakan media elektronika.1 Pada perkembangan saat ini, banyak sekali tuntutan dari berbagai pihak, salah satunya adalah dorongan gerakan globalisasi di semua faktor, yang menuntut masyarakat agar mampu menghadapi tantangan yang akan muncul. Salah satunya adalah pertumbuhan informasi yang sangat luar biasa sebagai akibat dari penguasaan teknologi informasi negaranegara maju. Ledakan informasi tersebut menyebabkan banyak perusahaan berpacu untuk melakukan perubahan sesuai dengan permintaan pasar, produk, teknologi baru, yang pada akhirnya akan mendongkrak perekonomian, efisiensi, dan dominasi global. Pada awalnya, gerakan ini bertujuan untuk menciptakan pendapatan perekonomian negara maju dan negara berkembang agar merata, namun pada perkembangannya, terjadi kesenjangan luar biasa antara negara maju dan negara berkembang dari segala bidang, baik ekonomi, informasi, teknologi, ataupun pendidikan.

Untuk itu, diperlukan sebuah program yang bisa menanggulangi kesenjangan tersebut. Para ahli telah membicarakan dalam rangka mengatasi persoalam tersebut. Pertama, akses yang merupakan satusatunya parameter untuk persamaan. Kedua, basic skill atau kemampuan dasar, training dan keahlian teknologi yang sangat dibutuhkan pada era sekarang ini. Dan ketiga, content atau isi yang harus bermanfaat, kaya akan media, multi bahasa, dan berkualitas tinggi. Menghadapi situasi dan kondisi seperti ini, pemerintah membuat kebijakan dengan memberi penday-

agunaan teknologi komunikasi informasi untuk meningkatkan kualitas SDM, melalui peningkatan kualitas pendidikan. Salah satu kebijakannya adalah pendayagunaan ICT untuk pendidikan, yakni Action Plan for The Development and Implementation of Information and Communication Technologies (ICT) in Indonesia. Action plan tersebut berisi tentang agenda pelaksanaan pendayagunaan telematika dalam bidang

pendidikan selama lima tahun (2001-2005) yang antara lain menekankan pada: Pertama, pengembangan dan pengimplementasian kurikulum Kedua, pendayagunaan ICT sebagai bagian dari kurikulum dan sebagai media pembelajaran di Sekolah atau Perguruan Tinggi dan Diklat. Ketiga, mewujudkan program pendidikan jarak jauh termasuk berpartisipasi dan bekerja sama dengan lembaga penyelenggaraan pendidikan jarak jauh di dunia. Kempat, memfasilitasi pendayagunaan internet untuk meningkatkan efisiensi proses pembelajaran.2 Selain itu, pemerintah melalui Menteri Teknologi Komunikasi dan Informasi mencanangkan program pemasangan internet sebanyak 150 juta di seluruh Indonesia sampai tahun 20015. Dengan demikian, pendayagunaan ICT untuk dunia pendidikan kita merupakan suatu keharusan untuk menutupi kesenjangan pendidikan dengan negara maju, yang pada akhirnya akan menutupi kesenjangan di aspek lainnya, terutama aspek ekonomi. Internet Sebagai Media Pembelajaran Awalnya internet lahir untuk suatu keperluan militer Amerika Serikat. Pada awal tahun 1969 Advanced Research Project Agency (ARPA) dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat, membuat suatu eksperimen jaringan yang diberi nama ARPAnet untuk mendukung keperluan riset kalangan militer. Akan tetapi, pada perkembangannya jaringan ini dipergunakan untuk riset perguruan tinggi, yang dimulai dari University of California, Stanford Research Institute, dan University of

1 Disarikan dari Sudarsono Sudirdjo dan Eveline Siregar, “Media Pembelajaran Sebagai Pilihan Dalam Strategi Pembelajaran”, di dalam Dewi Salma Prawiradilaga dan Eveline Siregar, Mozaik Teknologi Pendidikan, Jakarta: Kencana dan UNJ, 2004, hlm. 5-6 2 Harina Yuhetty (dkk), “Edukasi Net Pembelajaran Berbasis Internet: Tantangan Dan Peluangnya”, dalam Dewi Salma Prawiradilaga dan Eveline Siregar, Mozaik………., hlm. 306307

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

23


Utah.3 Internet adalah jaringan global yang menghubungkan beribu bahkan berjuta jaringan komputer (local/wide areal net work) dan komputer pribadi (stand alone), yang memungkinkan setiap komputer yang terhubung kepadanya bisa melakukan komunikasi satu sama lain, bahkan internet dianggap sebagai otak luar seluruh manusia di muka bumi, yang pada akhirnya akan mempercepat proses selebrasi bumi, serta mendorong manusia untuk menjadi kesatuan organis yang besar.4 Aplikasi internet yang begitu banyak sehingga mampu memberikan berbagai kebutuhan untuk berbagai kepentingan manusia di berbagai aspek, militer, pendidikan, media massa, maupun ekonomi. Fasilitas tersebut di antaranya adalah Telnet, Gopher, Wais, e-mail, Mailing List (milis), Newsgroup, File Transfer Protocol (FTP), Internet Relay Chat, World Wide Web (WWW). Di antara fasilitas tersebut terdapat lima aplikasi standar di Internet

24

yang bisa dipakai untuk dunia pendidikan, yakni e-mail, milis, Newsgroup, FTP, dan WWW.5 Internet yang diharapkan sebagai media pembelajaran di sekolah untuk memberikan dorongan bagi terselenggaranya proses yang komunikatif dan interaktif antara pendidik dan peserta didik, sebagaimana yang dipersyaratkan dalam suatu kegiatan pembelajaran. Menurut E. Mulyasa,6 ada beberapa peran pendidik (guru) dalam melaksanakan pembelajaran; pertama, guru sebagai pendidik. Kedua, guru sebagai pengajar. Ketiga, guru sebagai pembimbing. Keempat, guru sebagai pelatih. Kelima, guru sebagai penasehat. Keenam, guru sebagai innovator.

Ketujuh, guru sebagai model dan teladan. Kedelapan, guru sebagai pribadi. Kesembilan, guru sebagai peneliti. Kesepuluh, guru sebagai pendorong kreativitas. Kesebelas, guru sebagai pembangkit pandangan. Kedua belas, guru sebagai pekerja rutin. Ketiga belas, guru sebagai pemindah kemah. Keempat belas, guru sebagai pembawa ceritera. Kelima belas, guru sebagai aktor, Keenam belas, guru sebagai emancipator. Ketujuh belas, guru sebagai evaluator. Kedelapan belas, guru sebagai pengawet, dan kesembilan belas, guru sebagai kulminator. Dengan kesembilan belas peran pendidik dalam kegiatan pembelajaran, internet diharapkan menjadi pendukungan terhadap strate-

3 Mary J. Cronin., The Internet Strategy Handbook: Lessons from the New Frontier Business, USA: Library of Congress, 1996, hlm. 3-10 4 Jeff Zaleski., Spiritualitas Cyber Space: Bagaimana Teknologi Komputer Mempengaruhi Kehidupan Keberagamaan Manusia, terj. Zulfahmi Andri, Bandung: Mizan, 1999, hlm. 12 5 Onno W. Purbo., “Internet untuk Dunia Pendidikan�, Bandung: Institut Teknologi Bandung, 1996, makalah. 6 E. Mulyasa., Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: Rosdakarya, 2005, hlm. 37-68

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008


gi pembelajaran yang akan dikembangkan, atau bisa diartikan sebagai kegiatan untuk melakukan komunikasi yang dilakukan untuk mengajak peserta didik mengerjakan tugas-tugas dan membantu siswa dalam memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan dalam rangka mengerjakan tugas-tugas tersebut.7 Dari berbagai studi yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa penggunaan media internet untuk dunia pendidikan terutama untuk pembelajaran memang sangat diperlukan.8 Seperti yang dilakukan oleh Center for Applied Special Technology (CAST) pada tahun 1996, yang dilakukan kepada sekitar 500 peserta didik kelas lima dan kelas enam Sekolah Dasar. Ke 500 peserta didik tersebut di pisah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, kelompok eksperimen yang dalam kegiatan belajarnya dilengkapi dengan akses ke internet. Kelopok kedua, kelompok kontrol, yang dalam kegiatan belajarnya dilakukan secara manual (seperti kegiatan mengajar dalam keseharian). Setelah dua bulan, menunjukkan bahwa kelompok pertama mendapatkan nilai yang lebih tinggi berdasarkan hasil tes akhir. Studi eksperimen yang dilakukan oleh Anne L. Rantie dalam menjadikan media pembelajaran internet dalam mata pelajaran Bahasa Inggris di SMU 1 BPK Penabur Jakarta, pada tahun 1999, menunjukkan bahwa murid yang terlibat dalam eksperimen tersebut memperlihatkan peningkatan yang sangat pesat, terutama dalam menulis dan membuat karangan Bahasa Inggris. Dengan demikian, terlihat dengan jelas bahwa media pembelajaran internet merupakan salah satu media yang bisa digunakan dalam kegiatan pembelajaran, bahkan mungkin untuk ke depan, media inilah satu-satunya media yang akan dipakai untuk melakukan kegiatan pembelaja-

ran. Sebagai sarana atau prasarana penyetaraan kualitas pendidikan antara negara maju dan negara berkembang. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai negara-negara maju, penggunaan internet untuk dunia pendidikan atau pembelajaran bisa digunakan dalam tiga bentuk menurut Haughey;9 pertama, Web Course; penggunaan internet untuk keperluan kegiatan pembelajaran, dimana seluruh bahan ajar, diskusi, konsultasi, penugasan, latihan dan ujian semuanya dilakukan melalui internet. Pendidik dan peserta didik terpisah sepenuhnya, namun interaksi keduanya bisa dilakukan setiap saat, fasilitas yang digunakan biasanya meliputi e-mail, chat rooms, bulletin bord dan online conference. Selain itu, biasanya disediakan berbagai sumber pembelajaran seperti database, statistik, berita dan informasi, e-book, perpustakaan elektronik, dan lain sebagainya. Model seperti ini biasanya digunakan untuk pendidikan jarak jauh. Kedua, Web Centric Course, dimana sebagian bahan pembelajaran, diskusi, konsultasi, penugasan, dan latihan disampaikan melalui internet, sedangkan ujian dan sebagian konsultasi, diskusi, dan ujian dilakukan tatap muka. Pada model ini persentase tatap muka sangat sedikit dibandingkan proses pembelajaran di internet. Ketiga, Web Enhanced Course, pemanfaatan internet untuk pendidikan, untuk menunjang peningkatan kualitas kegiatan belajar mengajar di kelas. Bentuk ini juga dikenal dengan istilah Web lite Course, karena kegiatan pembelajaran utamanya dilakukan dengan tatap muka di kelas.

Penggunaan Media Internet di Indonesia Indonesia sebagai negara berkembang, mulai bergerak untuk mengejar ketertinggalannya dari negara-negara maju dalam segala bidang dengan mulai mengagendakan program internetisasi di segala bidang. Di dunia pendidikan, dikenal dengan istilah Five Years Action Plan10, yakni sebuah program lima tahun dari pemerintah untuk menciptakan sebuah situs pembelajaran yang nantinya akan mampu berperan sebagai sebuah jaringan sekolah (schoolnet) yang dapat memberikan dorongan bagi dunia pendidikan atau pelatihan jarak jauh, khususnya untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru. Sebagai suatu jaringan sekolah, dalam perkembangan selanjutnya, EdukasiNet diharapkan akan memiliki atau menjadi bagian dari komunitas jaringan berskala nasional, regional, dan bahkan internasional. Situs utama yang bersifat nasional akan memuat fitur yang sifatnya nasional, dengan artian bisa dimanfaatkan atau diakses secara terbuka oleh semua pengguna baik peserta didik pada sekolah-sekolah yang memanfaatkan EdukasiNet, maupun peserta didik secara perorangan yang sekolahnya belum menggunakan EdukasiNet sebagai satu kesatuan media pembelajaran di sekolah. Diharapkan sekolahsekolah yang menggunakan EdukasiNet, menggunakan sumber-sumber belajar yang ada pada situs EdukasiNet nasional sebagai bagian dari sebuah upaya peningkatan mutu atau kualitas pembelajaran di sekolah. Kemudian, secara perorangan peserta didik akan dibimbing

7 Judith V. Boettcher., Faculty Guide for Moving Teaching and Learning to the Web, USA: League for Innovation in the Community College, 1999, hlm. 51-69 8 Harina Yuhetty (dkk), “Edukasi Net Pembelajaran Berbasis Internet: Tantangan Dan Peluangnya”, dalam Dewi Salma Prawiradilaga dan Eveline Siregar, Mozaik………., hlm. 309 9 Ibid., hlm. 309-311 10 Bard William., Five Years Action Plan for Development and Implementation of Information and Communication Technology (ICT) in Indonesia, Information and Communication Technologies in Indonesia under Presidential Instruction No. 6/2001, Government of Indonesia’s Action Plan to Overcome the Digital Divide.

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

25


obbath/edukasi

belajar, tutorial, dan konseling secara nasional yang diasuh oleh para pakar yang berkompetensi dalam bidangnya. Selain itu, secara perorangan juga peserta didik bisa melakukan uji kemampuan dengan memanfaatkan bank soal yang tersedia dengan menggunakan fasilitas virtual lab untuk meningkatkan kemampuannya. Pada saat ini, EdukasiNet baru menyediakan sumber pembelajaran untuk SMU yang mencakup mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan Bahasa Inggris. Untuk tahap awal sampai dengan akhir tahun 2003, dikembangkan sekitar 50 topik pengetahuan populer yang mencakup teknologi tepat guna, elektronik, otomotif, fotografi, dan sejumlah 48 topik untuk 4 mata pelajaran SMU, yaitu Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. Pada tahun 2004, sedang dikembangkan 60 topik program untuk 5 mata pelajaran SMU yaitu, Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan Bahasa Inggris. Di samping itu, untuk program pengetahuan populer sedang dikembangkan sebanyak 40 topik program. Pada tahapan selanjutnya akan dikembangkan mata pelajaran lainnya, seperti Bahasa Inggris, Bahasa

26

Indonesia, Sejarah, Geografi, dan lain-lain. Yang pada akhirnya akan mengembangkan seluruh mata pelajaran di SMU, SMP, dan SD. Berbeda dengan situs nasional yang sifatnya terbuka, situs lokal sekolah dibuat untuk melayani keperluan sekolah yang bersangkutan, baik aspek manajemen sekolah, seperti informasi umum, persyaratan dan tata cara mengikuti pelajaran, jadwal pelajaran, staf pengajar, pengumuman, kemajuan atau prestasi peserta didik, dan lain-lain. Selain itu, aspek yang berhubungan dengan pembelajaran, seperti penyediaan bahan ajar (yang dikembangkan oleh pendidik setempat), study guide, tutorial atau pengajaran, diskusi, kolaborasi, presentasi, konferensi, kuis, latihan, penugasan, tes, nilai, dan lain-lain. Internetisasi Pendidikan Sumenep: Peluang & Tantangannya 1. Peluang Dengan adanya program otonomisasi daerah, harusnya setiap daerah memiliki peluang atau potensi yang sangat besar untuk mendayagunakan ICT, terutama untuk dunia pendidikan, karena pemerintahan daerah memiliki we-

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

wenang untuk mengatur kebijakan dalam bidang pendidikan. Dengan memperhatikan berbagai hal yang berkenaan dengan pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi untuk pendidikan dalam rangka otonomisasi daerah dan otonomisasi pendidikan, merupakan tugas pemerintah daerah untuk mendorong agar setiap lembaga yang terkait dengan pelaksanaan dan pengelolaan pendidikan supaya dapat bekerja sama untuk mengembangkan program-program ICT, agar dunia pendidikan di Sumenep mampu atau diperhatikan mempunyai kualitas yang bagus di antara wilayah-wilayah yang maju di Indonesia. Karena Sumenep pada dasarnya merupakan wilayah dengan SDA yang sangat melimpah, sehingga kebijakan pemerintah untuk menambah anggaran pendidikan akan sangat membantu bagi pelaksanaan program ICT, yang pada akhirnya akan mensejajarkan pendidikan Sumenep dengan pendidikan di dearah lain. Selain itu, sejak munculnya prestasi peserta didik kita yang mampu menang olimpiade internasional, setidaknya dapat memmotivasi pemerintah daerah untuk meningkatkan mutu pendidikan Sumenep dari segala segi, baik dari segi pendidik yang profesional, perpustakaan daerah yang memadai, perpustakaan sekolah yang memadai, laboratorium yang mendukung, bangunan sekolah yang indah untuk ditempati belajar mengajar, komputerisasi sekolah, dan pada akhirnya perlu dibentuknya internetisasi sekolah di Sumenep, dan lain-lain. Selanjutnya, banyaknya lembaga pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi yang ada di Sumenep, semakin menyadarkan kita bahwa masyarakat Sumenep sangat mendambakan kemajuan pendidikan Sumenep kearah yang terus berkembang. Hal ini terbukti dengan eksisnya enam perguruan tinggi “resmi� yang ada di Sumenep, yakni Universitas


Wiraraja, STKIP PGRI Sumenep, STIKA An-Nuqayah, STIDA AlAmien, STITA Aqidah Usymuni, dan STIT Al-Karimiyyah. Warnetwarnet di Sumenep juga semakin banyak, bahkan sampai sekarang sudah ada sekitar lima sampai enam warnet yang akan memudahkan pendidik dan peserta didik untuk menggunakan media ini sebagai media pembelajarannya jikalau di sekolah-sekolahnya belum ada program internet. 2. Tantangannya 1. Pemerintahan daerah Sumenep yang kurang memperhatikan dunia pendidikan. Hal ini terbukti dari anggaran daerah untuk pendidikan Sumenep, meskipun cukup besar yakni 30,7%,11 (pendapat asli daerah sebesar Rp 611.546.402.816, untuk pendidikan Rp 219.531.978.820). Namun penggunaan dana yang sangat besar ini, banyak yang tidak tepat sasaran, bahkan cenderung disalahgunakan. 2. Infrastruktur merupakan tantangan yang tidak kalah penting dalam menunjang fasilitas pendayagunaan ICT di Sumenep. Karena sangat sedikit lembaga pendidikan “terutama yang swasta” yang memiliki infrastruktur yang cukup memadai untuk mempergunakan media internet dalam pembelajarannya, seperti telepon, komputer, ruang internet, dan lain-lain. 3. SDM pendidik dan peserta didik. Tantangan yang ketiga ini merupakan tantangan yang sangat menentukan : apakah kelak atau seterusnya kita akan mampu atau hanya mendengar bahwa ada program media pembelajaran lewat internet. Karena saya sangat yakin bahwa sangat sedikit para pendidik yang mampu mengoperasikan internet, atau sekitar 10%, meskipun sudah ada beberapa program pelatihan internet untuk para guru (salah satunya di STKIP PGRI Sumenep), namun ketika penulis tanya kepada salah satu peserta, mereka menjawab bahwa mereka tidak mungkin

bisa mengoperasikan internet, karena setelah mengikuti kursus, mereka tidak mengoperasikan lagi, apalagi bagi pendidik yang tidak memiliki komputer. Dengan demikian, penulis berkesimpulan bahwa pendidikpendidik di Sumenep perlu lagi diberikan pengajaran untuk mengoperasikan internet, karena kalau pendidiknya saja tidak bisa bagaimana peserta didiknya? Penulis sering menjumpai para peserta didik yang diberi tugas oleh pendidik untuk mencari topik dalam mata pelajaran tertentu di internet, tetapi yang perlu pendidik ketahui bahwa kebanyakan dari mereka (yang penulis jumpai) tidak mencarinya sendiri, tetapi memintah bantaun penjaga warnet untuk mencari sesuai dengan yang dipesankan. 4. Kurikulum, tantangan ini juga penting untuk segera diperbaiki, karena kalau tidak ada kurikulum yang memayungi internetisasi di sekolah maka banyak sekolahsekolah yang tidak akan peduli

dengan media pembelajaran ini, meskipun menghasilkan peserta didik yang berkualitas secara nasional maupun internasional. Sehingga program ICT mampu atau betul-betul terintegrasi dalam sistem pembelajaran di sekolah, tidak lagi bersifat ekstrakulikuler. Penutup Dari berbagai tantangan tersebut, penulis tetap yakin bahwa internetisasi pendidikan di Sumenep tinggal menunggu waktu. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya pendidik dan lembaga-lembaga pendidikan yang menyediakan sarana dan prasarana untuk pembelajaran internet. Selain itu, tuntutan globalisasi pada akhirnya akan menuntut setiap penyelenggara pendidikan untuk mengikuti arusnya. Jadi menurut penulis, bersikapsiaplah hai pendidik dan peserta didik untuk menjelajahi dunia pendidikan secara maya, karena kemayaan tersebutlah yang akan menjadikan diri kita semakin nyata see bagai manusia yang berkualitas. g

11 Persentase ini merupakan persentase yang ada di RAPBD Kabupaten Sumenep tahun 2007, yang didapat dari Bahtsul Masail “Mempertanyakan Prioritas APBD untuk Pelayanan Publik dan Pemberdayaan Masyarakat”, Lakpesdam Sumenep dan P3M Jakarta, PCNU Sumenep 4-5 April 2007

Daftar Pustaka Bahtsul Masail “Mempertanyakan Prioritas APBD untuk Pelayanan Publik dan Pemberdayaan Masyarakat”, Lakpesdam Sumenep dan P3M Jakarta, PCNU Sumenep 4-5 April 2007 Boettcher. Judith V.., Faculty Guide for Moving Teaching and Learning to the Web, USA: League for Innovation in the Community College, 1999 Cronin. Mary J.., The Internet Strategy Handbook: Lessons from the New Frontier Business, USA: Library of Congress, 1996 Mulyasa. E., Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: Rosdakarya, 2005 Purbo. Onno W.., “Internet untuk Dunia Pendidikan”, Bandung: Institut Teknologi Bandung, 1996, makalah. Sudirdjo. Sudarsono dan Eveline Siregar, “Media Pembelajaran Sebagai Pilihan Dalam Strategi Pembelajaran”, di dalam Dewi Salma Prawiradilaga dan Eveline Siregar, Mozaik Teknologi Pendidikan, Jakarta: Kencana dan UNJ, 2004 William. Bard., Five Years Action Plan for Development and Implementation of Information and Communication Technology (ICT) in Indonesia, Information and Communication Technologies in Indonesia under Presidential Instruction No. 6/2001, Government of Indonesia’s Action Plan to Overcome the Digital Divide. Yuhetty. Harina (dkk), “Edukasi Net Pembelajaran Berbasis Internet: Tantangan Dan Peluangnya”, dalam Dewi Salma Prawiradilaga dan Eveline Siregar, Mozaik Teknologi Pendidikan, Jakarta: Kencana dan UNJ, 2004 Zaleski. Jeff., Spiritualitas Cyber Space: Bagaimana Teknologi Komputer Mempengaruhi Kehidupan Keberagamaan Manusia, terj. Zulfahmi Andri, Bandung: Mizan, 1999

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

27


artikel artikel utama utama

Konstruksi Humor dalam Pembelajaran (Metode Alternartif Mewujudkan Demokratisasi, Motivasi, dan Prestasi Belajar)

Imam Suhairi

Imam Suhairi, S.Pd, adalah staf pengajar di SMA Negeri 1 Arjasa Kangean. Nyambi ngajar di SMK Negeri 1 Kalianget Jurusan budidaya laut di PP. Al-Hidayah-Arjasa. Aktif menulis artikel lepas di beberapa media. Mantan Aktivis PMII Sumenep era 2000-2005. Sekarang Direktur Lembaga kajian dan pengembangan masyarakat “ Madura Society Development (MaSDev)�. Email : i_suhair@yahoo.com.

Pengantar Perubahan paradigma menggema di seluruh aspek kehidupan, termasuk di bidang pendidikan dan pembelajaran. Pendidikan lebih diorientasikan untuk menghasilkan pribadi yang mandiri, memiliki harga diri, tumbuh dan berkembang untuk menggapai masa depan. Hal tersebut sinergis secara maknawi seperti yang tertuang pada pasal 1 ayat 1 Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) bahwa: “Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulai, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara� (UU RI No. 20 Tahun 2003).

Selanjutnya, proses pendidikan di semua lini dan jenjang pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (Pasal 4 UU No.20 Tahun 2003).

28

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

Tentu dalam konteks selanjutnya, pendidikan harus diselenggarakan dalam upaya memberdayakan semua komponen bangsa secara berkualitas. Berkualitas dalam arti mampu bersikat adaptif terhadap kemajuan dan perkembangan zaman. Pendidikan akan dituntut lebih mengarah pada penguasaan informasi dan teknologi yang semakin mengglobal. Pendidikan pada penyelenggaraannya akan bersifat humanis dan plural, jauh dari diskriminasi ras, golongan, kesukuan, dan sektarianisme. Semua elemen anak bangsa dituntut untuk dapat berkesempatan yang sama dalam memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Pendidikan dari semua jenis dan tingkatan, meminjam konsep KH. Idris Jauhari (dalam Jurnal Edukasi Edisi 08, 2007) harus mampu bertindak sebagai agen pembebasan peserta didik dari berbagai belenggu, agen pemberdayaan, dan pembudayaan. Selanjutnya, pendidikan semestinya mencakup upaya pewarisan nilainilai, transformasi ilmu pengetahuan dan


keterampilan. Mencakup ranah afektif, ranah kognitif,dan psikomotorik, mengarah pada terciptanya kecerdasan intelektual, spiritual,dan emosional. Pendidikan harus mencakup seluruh aspek kemanusian (humanis), dan akhirnya sebagai landasan utama, pendidikan semestinya dibangun berdasarkan pada ayat-ayat Allah SWT dan tauladan nabi. Untuk itulah diperlukan strategi pembelajaran yang mengarah pada pembentukan kompetensi. Kompetensi yang dimaksud adalah bagaimana dapat berpikir kreatif, produktif, bagaimana dalam pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan upaya pengelolaan diri dan pengendaliannya. Siswa sebagai pembelajar tengah memasuki kawasan pengetahuan maupun penerapan pengetahuan yang didapatkan melalui pembelajaran. Kompetensi siswa menyangkut ability, skill, knowledge akan terbangun dan berkembang melalui proses pembelajaran. Meskipun telah dilakukan pembenahan sistem pendidikan dari semua lini, mulai dari pembaharuan dalam bidang kurikulum, baik dari CBSA, KBK, dan terakhir KTSP. Kemudian sistem pengelolaan sekolah yang lebih terbuka dan aspiratif dengan penerapan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Manajemen pembelajaran yang lebih inovatif sampai pada upaya mendongkrak profesionalisme guru dan pengelolaan pendidikan melalui sertifikasi guru. Tetapi, sampai hari ini masih banyak problem di lapangan yang menghadang dunia pendidikan dan pembelajaran. Problem Pembelajaran; Sebuah Realitas Problem yang sering terjadi dalam aktifitas pembelajaran adalah jenuhnya siswa dalam keterjebakan rutinitas yang mereka jalani setiap hari. Bayangkan, setiap hari mereka (siswa, edit) harus

dipaksa untuk menelan materi pelajaran tanpa terukur berapa kuat kemampuan mengingat, menyimpan, dan menganalisa materi pelajaran. Bisa jadi tiap hari sampai 4 (empat) sampai 5 (lima) materi, mulai dari pagi jam 07.00 sampai siang atau sore. Siswa akan terasa sedikit fresh ketika hanya pada awal-awal pelajaran, setelah itu mereka akan kehilangan semangat belajar karena otak dan memori mereka telah penuh. Hal lain yang sering terjadi adalah motivasi belajar siswa yang semakin cenderung menurun. Hal ini diakibatkan oleh banyak faktor, internal maupun eksternal. Rendahnya motivasi ini, bisa terlihat dalam proses pembelajaran di kelas dan prestasi belajar mereka. Siswa lalai dalam melaksanakan tugas – tugas kompetensi yang diberikan guru, terkesan apa adanya, atau menunaikan tugas pelajaran dengan cara praktis, yakni mencontek milik teman di kelas lain. Siswa sudah kurang termotivasi untuk berfikir sendiri, yang penting praktis dan instan. Kalau lebih jauh kita cermati, tidak bersemangatnya dalam proses pembelajaran lebih diakibatkan belum maksimalnya niat baik (good will) para pendidik untuk secara serius mengelola pembelajaran yang ideal. Selama ini, guru tampaknya masih memiliki keyakinan bahwa tugasnya hanyalah mentransfer ilmu pengetahuan yang tertuang dalam kurikulum dan buku pelajaran. Dalam praktiknya, siswa harus melalap habis materi pelajaran yang ada dalam buku, tanpa memperhatikan apakah ia senang atau tidak, mencapai tingkat pemahaman maksimal atau kurang. Siswa tidak boleh keluar dari rel (aturan main) yang telah ada dalam kurikulum dan yang dibuat guru. Kondisi semacam ini, membuat siswa terbelenggu dan sangat membingungkan kreatifitas siswa (Topatimasang, 2002). Fenomena di atas diperparah

oleh “performance� guru yang acuh tak acuh dan sengaja membiarkan proses pembelajaran apa adanya atau asal mengajar. Tidak jarang, guru yang hanya masuk kelas untuk memberi tugas mengerjakan LKS (Lembar Kerja Siswa) selama jam pelajaran berlangsung. Guru juga dalam interaksi dengan siswa, hanya diawali dengan ceramah dan ditutup dengan penugasan atau pertanyaan, begitu seterusnya. Tidak ada sapaan akrab yang mampu membangkitkan semangat peserta didik dalam belajar mereka. Kurangnya gairah guru sebagai agen pembelajaran akan berimplikasi terhadap siswa yang juga tidak “ connect� dalam mengikuti proses pembelajaran. Kompleksitas persoalan yang terkait dengan belajar inilah yang menjadi penyebab sulitnya menuntaskan strategi belajar. Ada banyak faktor yang mesti dipertimbangkan dalam belajar, baik yang bersifat internal maupun yang eksternal. Diantara sekian banyak faktor eksternal terdapat guru yang sangat berpengaruh terhadap siswa. Sukses tidaknya para siswa dalam belajar di sekolah, sebagai penyebab tergantung pada guru. Ketika berada di rumah, para siswa berada dalam tanggung jawab orang tua, tetapi di sekolah tanggung jawab itu diambil oleh guru. Sementara itu, masyarakat menaruh harapan yang besar agar anak-anak mengalami perubahan-perubahan positifkonstruktif, akibat mereka telah berinteraksi dengan guru. Tanpa kita sadari, pembelajaran sekolah bukan membuat siswa riang, kreatif dan terbebaskan. Tetapi justru menjadi momok yang cukup menakutkan, menegangkan dan menciptakan kelesuan dan kebosanan. Ketidakbergairahan panjang dalam interaksi belajar-mengajar akan terjadi setiap jam pelajaran berlangsung. Kelas tidak lagi kondusif, kegaduhan akan menjadi sesuatu yang tidak bias ditolak, kelas lesu, tidak ada sharing yang

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

29


segar, akibat komunikasi guru dan siswa yang tidak dibingkai dalam suasana kebersamaan. Suasana kaku dan serba prosedural ini akan berbahaya bagi bangunan pendidikan. Siswa mengalami posisi “subordinat’ dengan guru sebagai agen pembelajaran. Siswa dianggap manusia tidak tahu segala hal dan tidak pantas untuk melebihi sang guru dalam segala aspek. Informasi dari guru dianggap sebagai kebenaran mutlak tanpa adanya diskusi lebih lanjut. Pernyataan yang barangkali harus mendapat respon kita semua dari Emille Durkheim (dalam http://www.infoskripsi.com/Article/Profesionalisme-Guru.htm) tentang 2 (dua) fungsi pendidikan yang saling bertentangan, yaitu pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individu. Letak daya tarik dari pernyataan ini, terdapat pada fungsi pendidikan sebagai pembelenggu. Selama ini, kebanyakan masyarakat hanya memahami fungsi pendidikan sebagai pembebas individu. Ternyata pendidikan bisa berfungsi sebaliknya, yakni sebagai pembelenggu. Hal ini memberi pemahaman berikutnya bahwa pendidikan bisa juga “berbahaya” bagi kemandirian, kreativitas dan kebebasan siswa sebagai individu. Dalam pengertian selanjutnya bahwa fungsi negatif pendidikan sebagai pembelenggu ini agaknya dapat dilacak dari tingkah laku guru dan strategi serta model-model pembelajaran yang dilaksanakan guru di dalam proses pembelajaran. Kalau dicermati, memang terdapat gejala-gejala perilaku guru dalam pembelajaran di kelas yang tidak kondusif mengakibatkan daya kritis siswa, bahkan dalam batas-batas tertentu membahayakan masa depan siswa seperti sikap guru yang sinis terhadap jawaban yang salah. Hal ini sangat berbahaya bagi sikap murid selanjutnya yang memungkinkan murid akan takut

30

untuk mengemukakan pendapatnya karena takut salah di depan gurunya dan orang banyak. Guru telah bertindak lebih jauh, yakni sebagai pemeran utama dan siwa sebagai obyek yang diperankan. Kedudukan guru dan siswa yang dibingkai dalam “otoriterisme” ini akan semakin menjauh dari asas keseimbangan, egaliterianisme dan kebersamaan. Bahkan Freire (2001) setidaknya telah mengungkapkan peran yang kontras itu sebagai berikut: • guru mengajar, murid diajar, guru mengethui segala sesuatu, murid tidak tahu apaapa. • guru berfikir, murid dipikirkan. • guru bercerita, murid patuh mendengarkan. • guru menentukan peraturan, murid diatur. • guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuinya. • guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melaui perbuatan gurunya. • guru memiliki bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu. • guru mencampur adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid. • guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka. Sebagai implikasi dari realitas di atas, jangan heran apabila yang terjadi “output” proses pembelajaran juga apa adanya dan jauh dari harapan ideal pendidikan. Kondisi psikologi siswa akan terpasung, karena hanya dijejali setumpuk materi pelajaran yang membingungkan. Siswa akan mudah stres,

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

karena tidak kuat lagi memikirkan sejumlah materi pelajaran yang menumpuk, ditambah dengan aktifitas di luar sekolah yang kemungkinan sangat padat. Tidak ada lagi nilai-nilai positif yang bisa membahagiakan. Kondisi ini akan berdampak serius pada capaian prestasi siswa dalam belajarnya yang akan terhambat dan cenderung asal-asalan tanpa melihat aspek kompetensi yang dicapai sesungguhnya oleh siswa. Demokrasi Pembelajaran; Praktik Menyenangkan Sebagai pendidik, guru harus profesional sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Sitem Pendidikan Nasional bab IX pasal 39 ayat 2 bahwa Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada mayarakat, terutama bagi pendidikan pada perguruan tinggi. Tentu dengan ketentuan ini, ada beberapa hal yang harus dilaksanakan oleh guru, yaitu pengajaran, penelitan, dan pengabdian masyarakat. Beban ini tidak ada bedanya dengan beban bagi dosen. Tiga macam kegiatan tersebut secara menyeluruh melambangkan tiga upaya berjenjang dan meluas gerakannya. Pengajaran melambangkan pelaksanaan tugas rutin, penelitian melambangkan upaya pengembangan profesi, sedang pengabdian melambangkan pemberian kontribusi sosial kepada masyarakat akibat prestasi yang dicapai tersebut. Dari ketiga kegiatan tersebut, terutama penelitian menuntut sikap guru untuk selalu dinamis sebagai seorang profesional. Profesional dalam arti secara terus menerus berkembang atau trainable. Guru sebagai agen pembelajaran harus mampu membekali untuk kreatif, rasional, keterlatihan me-


mecahkan masalah, dan kematangan emosionalnya. Kematangan untuk selalu mencermati fenomena siswa dan kelas serta proses pembelajaran yang kemudian berusaha mengaitkannya dengan strategi jitu bagi terciptanya pembelajaran yang ideal (demokratis dan menyenangkan) Pembelajaran yang tidak diliputi oleh suasana demokratis akan mengakibatkan saluran komunikasi antara guru dan murid menjadi buntu. Tidak akan ada kesepahaman antar warga belajar. Guru hanya bertindak sesuai kemauan dirinya, tanpa memahami harapan-harapan siswa. Dalam hal pemilihan dan pemilahan materi, metode pembelajaran, situasi pembelajaran, seluruhnya tergantung dalam benak guru. Siswa dalam konteks ini, tidak dapat berbuat banyak untuk ikut serta secara partisipatif mengkonstruksi pembelajaran. Jelas dalam hal ini, pembelajaran yang terkonstruk “otoriter� hampir kehilangan ruh toleransi dan kebersamaan. Kebuntuan realitas di atas, ditambah lagi dengan hadirnya ‘performa’ guru yang kurang bersahabat. Bayangkan, bila pada awal pembelajaran seorang guru memasuki ruang belajar dengan wajah merengut dan suram. Proses pembelajaran akan melelahkan dan menegangkan. Siswa tidak akan bergairah mengikuti pembelajaran, apalagi sampai pada tahap eksplorasi problem pembelajaran. Upaya untuk keluar dari pembelajaran yang cenderung membungkam kreatifitas siswa semacam itu, menuju pada pembelajaran yang membebaskan dibutuhkan keterbukaan dan sikap lapang dada guru untuk mengubah paradigma pola pikirnya dengan memberikan akses seluasluasnya kepada siswa dalam menuangkan dan berekspresi. Freire (2002) memaparkan pendekatan yang membebaskan merupakan proses dimana pendid-

ikan mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkapkan kehidupan yang senyata secara kritis. Dalam pendidikan yang membebaskan ini, tidak ada subjek yang membebaskan atau objek yang dibebaskan, karena tidak ada dikotomi antara subjek dan objek. Guru dan siswa sama-sama menjadi subjek dan objek sekaligus. Keduanya dimungkinkan saling take and give (menerima dan memberi). Hanya saja, jika guru sebagai pembelajar senior, maka siswa sebagai pembelajar junior. Jadi tetap ada perbedaan pengalaman dan karena perbedaan inilah, guru tetap lebih banyak memberi kepada siswa dari pada siswa memberi kepada guru. Tetapi, pemberian guru kepada siswa lebih sifatnya dorongan, rangsangan atau pancingan agar siswa berkreasi sendiri, bukan sebagai stimulus. Seiring dengan tuntutan demokrasi dalam segala aspek kehidupan, termasuk pula demokrasi pendidikan yang dalam praktiknya akan berimplikasi pada demokrasi pembelajaran. Tentu sejumlah nilai-nilai demokrasi yang kita sepakati bersama yang meliputi nilai musyawarah dan keadilan, nilai persamaan (egaliter), nilai kritis dan dialogis (menghargai pendapat orang lain), nilai kerjasama atau gotong royong dan lain-lain (Abdussami, 2006) sangat tepat dan sinergis untuk diterapkan dalam praktik pembelajaran. Pembelajaran demokratis terbangun dari penerapan nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai demokrasi dalam pembelajaran dapat dibangun dengan prinsip toleransi dalam pembelajaran, keterbukaan (transparansi), kesamaan hak (egaliter), kebebasan berpendapat dan akhirnya terbukanya ruang partisipasi warga belajar. Diyakini dengan terealisasinya konsepsi di atas, akan efektif dalam penciptaan proses pembelajaran yang ideal. Pembelajaran yang dibingkai

dalam suasana penuh toleransi, akan membuka public sphare bagi keaktifan siswa dalam proses belajar, tanpa budaya sungkan, takut, malu, dan merasa bersalah dalam mengemukakan pendapatnya. Toleransi dalam pembelajaran menuntut adanya kesamaan hak dalam berpendapat tanpa, melihat perbedaan struktur dan latar belakang siswa. Selanjutnya, siswa dan guru sebagai warga belajar, akan dapat menciptakan suasana dialogis yang penuh gairah tanpa ada rasa saling menyalahkan dan menindas. Proses belajar semacam ini, belakangan ini telaj menjadi sesuatu yang tidak terelakkan lagi dalam kehidupan pendidikan demokratis, sekaligus membuktikan adanya pergeseran posisi siswa dari posisi objek ke posisi subjek dalam berbagai kesempatan. Demikian pula, pergantian istilah anak didik, terdidik maupun objek didik menjadi peserta didik bahkan pembelajar bukan hanya sekedar persoalan semantik, melainkan perubahan paradigma pembelajaran yang banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran pendidikan yang berorientasi pada kondisi demokratis dan emansipatoris, dengan memerankan siswa, agar lebih produktif, progresif dan proaktif dibandingkan peran masa lampaunya. Bagaimana istilah peserta didik apalagi pembelajar akan selalu mengesankan kondisi aktif pada istilah anak didik, terdidik maupun objek didik. Pada akhirnya akan terbuka ruang keterbukaan antar warga belajar dengan suasana yang saling menghargai. Motivasi Belajar; Menepis Kecemasan Guru dapat secara optimal diharapkan memahami lingkungan dan psikologi belajar siswa. Telah nyata dilapangan bahwa situasi belajar sebagian siswa yang masih dalam kondisi mencemaskan, ketika guru hadir. Guru belum secara

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

31


maksimal tampil sebagai bagian dari hidup mereka, belum secara ‘egaliter’ mau bersama-sama mereka untuk saling berbagi. Guru tidak dapat tampil dalam memikat dan mempunyai daya pikat bagi kebanyakan siswanya. Akibatnya, siswa belum secara bebas berani menyampaikan gagasannya, karena kurangnya rasa empati seorang guru. Tidak jarang, dalam situasi pembelajaran, siswa merasa lesu, tidak bergairah, dan cenderung hanya untuk mengisi absensi, karena kwatir masuk dalam kategori siswa malas dan berakibat fatal pada proses penilaian, semester, dan kenaikan kelas. Ada beberapa kondisi yang sering dijumpai pada siswa dalam pembelajaran berdasarkan hasil pengamatan penulis : 1) siswa kebanyakan ramai di kelas pada waktu pembelajaran dan cenderung tidak mengindahkan materi pelajaran yang disampaikan guru, 2) siswa diam pada waktu pembelajaran, tapi proses penyerapan materi pelajaran sangat rendah, 3) siswa kelihatan sibuk dengan urusan masing-masing waktu pembelajaran, ada yang ngerjakan tugas PR materi pelajaran lain, ada yang bicara dengan teman sebangkunya, ada yang berpangku pada meja belajar, bahkan ada yang tidur. Pengalaman penulis misalnya, ketika masuk kelas XII IPA pada jam-jam pelajaran terakhir, seringkali mencerna tampilan suasana kelas yang tidak bergairah, penuh kelesuan, dan kurang bersahabat. Penulis mencoba mengeksplorasi masalah yang sebenarnya dari fenomena yang terjadi sebelumnya. Celotehan beberapa siswa yang mengatakan ; capek, pusing, ngantuk, lapar, mauistirahat dulu. Hal ini karena pikiran mereka telah terserap habis mengikuti pelajaran sebelumnya, disamping karena mereka tegang beberapa dalam mengikuti materi pelajaran jam sebelumnya.

32

Kalau kondisi semacam ini dipaksakan, yang terjadi kemudian adalah banyak siswa yang asal mengikuti pelajaran tanpa paham makna apa yang mereka lakukan. Banyak siswa yang dengan mata terbuka tetapi pikiran meraka tidur. Tidak jarang mereka tidak kuat lagi menahan kantuk dan kepayahan dengan menelungkupkan kepalanya pada bangku. Motivasi belajar siswa perlu segera dibangkitkan kembali seperti awal jam pelajaran pagi hari ketika masuk bel pertama. Tentu berbagai cara dan teknik telah banyak dilakukan guru dalam mengatasi situasi kecemasan pembelajaran. Mulai dari variasi metode, variasi media pembelajaran yang tepat dan lebih membuat siswa nyaman, sampai pada bentuk reward dan punishman. Tiada lain tujuannya, agar guru berupaya dengan maksimal untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. Upaya meningkatkan motivasi dalam belajar, menurut De Decce dan Grawford dalam Djamarah (2002: 135), yaitu guru harus dapat menggairahkan anak didik, memberikan harapan realistis, memberikan insentif, dan mengarahkan perilaku anak didik ke arah yang menunjang tercapainya tujuan pengajaran. Kelas yang tidak bergairah selayaknya untuk di-reorganisasi secara besar-besaran. Hal itu dapat dilakukan oleh guru dengan beberapa cara ; (1) pergunakan pujian verbal. Kata-kata seperti “bagus�, baik�, pekerjaanmu baik�, yang diucapkan segera setelah anak didik selesai mengerjakan pekerjaan, merupakan pembangkit motivasi yang besar. (2) Pergunakan tes dan nilai secara bijaksana tanpa rekayasa. (3) Membangkitkan rasa ingin tahu dan hasrat eksplorasi. Dengan melontarkan pertanyaan atau masalah-masalah, guru dapat menimbulkan suatu konflik konseptual yang merangsang anak

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

didik untuk bekerja. Motivasi, justru akan berakhir apabila konflik itu terpecahkan atau bosan untuk memecahkannya. (4) Melakukan hal yang luar biasa, misalnya meminta anak didik melakukan penyusunan soal-soal tes, menceritakan problem guru dalam belajar di masa lalu dan lain-lain. (5) Memanfaatkan persepsi anak didik. Pengalaman anak didik, baik yang di dapat di lingkungan sekolah maupun luar sekolah, harus dapat dimanfaatkan oleh guru ketika sedang menjelaskan materi pelajaran. Dengan cara asosiasi ini, anak didik berusaha menghubungkan materi pelajaran yang diserap dengan pengalaman yang telah dialaminya.(6) Pergunakan simulasi dan permainan (Gage dan Berliner dalam Djamarah, 2002 : 136). Apabila motivasi telah tercipta kembali dengan sejumlah rangkaian penerapan strategi guru yang bersifat variatif, situasi cemas dalam pembelajaran akan diminimalisir. Kelas akan kembali hidup dalam kondisi yang pernuh gairah. Bagi penulis, yang melakukan aktivitas pembelajaran di sekolah yang jauh dari pusat kota (kepulauan), dengan peserta didik ratarata berada dalam kehidupan yang keras dan serba terbatas pada fasilitas, seringkali mendapatkan siswa “apatis� (untuk berontak) pada keadaan, akibat siswa tidak dapat mengembangkan diri, karena kesulitan fasilitas belajar yang terbatas. Di samping berbagai fenomena siswa lain yang menuntut guru lebih mempunyai kemampuan teknik yang strategis. Humor dalam Pembelajaran; Strategi Mencengangkan Humor sering dimaknai oleh banyak orang sebagai lawakan yang kemudian mengundang tawa dan canda. Orang akan semakin mengaitkan humor dengan sejumlah acara di media televis yang be-


lakangan ini marak mengisi acara intertainment. Terakhir yang telah tinggal nama adalah acara kebudayaan yang dikemas dengan banyolan segar yakni “ketoprak humor”. Ketoprak bukan sekedar menyajikan banyolan belaka yang kemudian mengundang selera pemirsa untuk tertawa. Acara tersebut, tetap acara budaya (karena latar cerita yang dikembangkan memang cerita tradisional) meskipun kadang diselingi lelucon. Tentu pemirsa terhipnotis (terbawa) untuk mengikutinya dengan senang. Kondisi psikologis emosional mereka akan hidup dan sehat serta segar kembali diakibatkan rangsangan rasa lucu dan senang. Rata-rata orang selalu menonton dan mencari hal-hal yang dianggap lucu bagi dirinya untuk membuat mereka tertawa dan senang setiap saat. Bahkan menurut riset disebutkan bahwa anak-anak merespon humor jauh sebelum mereka dapat memahami bahasa atau membangun memori jangka panjang. Humor ada sebagai salah satu proses kognitif mendasar awal. Alastair Clarke menjelaskan: “Permainan anak-anak yang menarik, seperti peek-a-boo dan kap-kap udang semua menunjukkan mekanisme yang tepat untuk humor, seperti bagaimana ia muncul dalam bentuk dewasa. Peek-a-boo dapat memicu respon humor pada bayi paling awal pada usia 4 bulan, dan secara efektif, sebuah proses pengulangan sederhana kejutan, membentuk pola dasar yang jelas. Saat bayi berkembang, pola dalam humor anak menjadi lebih rumit dan bersenyawa serta mendapat unsur spasial dan temporal, sehingg anak mulai mampu menangkap pola yang terlibat dalam humor linguistik.”(http:// faktaevolusi.blogspot.com/2008/ 06/) Begitu pula dengan proses pembelajaran, kehadiran humor diyakini dapat kembali me-refresh

kondisi siswa yang penat, loyo, dan tidak bergairah untuk kembali bersemangat dalam pembelajaran. Tetapi tidak mudah dalam mengaplikasikan, dikarenakan proses pembelajaran merupakan proses yang kompleks dengan keterlibatan banyak faktor. Tidak hanya berangkat dari imajinasi, tetapi lebih pada pengalaman, bahwa kepemilikan ‘sence of humor’ yang kuat akan sangat membantu menciptakan suasanan kelas yang kondusif. Dalam artian, memungkinkan siswa belajar lebih baik dalam suasana yang fun (menyenangkan). Humor tidak sekedar mengajak kita berhenti hanya sebatas ketawa. Humor yang bermutu, sesudah terbahak-bahak yang sangat melegakan jiwa, nalar kita berkembang menuju pemahaman lebih dalam lagi (Mohammad Sobary, 2000). Humor yang bagus adalah membuat orang (public) terpancing untuk tertawa atas materi humor tersebut, tetapi tidak kemudian selesai setelah itu, ada pemaknaan yang barangkali menyangkut filosofi hidup, keberagamaan, fenomena politik yang mengalami kebuntuan dapat dicairkan dengan humor. Humor tidak sama dengan tertawa murahan, ia lebih kaya dan lebih menuntut dibandingkan bercanda (Ira Shor, 2001). Menurut Adrew How, penulis buku best seller “Highway to Success” dengan artikelnya “Humor bagi kehidupan” (2005) bahwa humor yang sehat mampu mengurangi stress, memberi perspektif baru dan perasaan lebih baik. Humor yang negatif bisa menyinggung perasaaan orang lain, meningkatkan ketegangan dan perasaan lebih buruk. Kenapa harus dengan humor? Ira Shor (2001) menjelaskan bahwa kehidupan pembelajar di luar sekolah adalah penuh humor dan komedi merupakan salah satu cara merasakan subjektivitas mereka. Ketika pembelajaran berlangsung

tanpa humor tanpa emosi, hal tersebut telah mengabaikan dua nilai subjektif. Mereka (siswa) akan berpikir bahwa kehidupan intelektual adalah menyeret, siswa umumnya senang berhubungan dengan guru yang menghibur (yang mampu membanyol untuk menarik perhatian). Pada sisi lain, humor dan kesehatan telah banyak diperbincangkan dan dibuktikan, karena tertawa berarti melakukan peregangan otot-otot halus tidak hanya di sekitar wajah tapi seluruh tubuh sehingga kita menjadi santai. Humor juga berkhasiat memacu kreativitas, karenanya sangat dianjurkan dalam ruang kelas maupun ruang keluarga. Pendekatan komunikasi dan interaksi antara orangtua dan anak, pengajar dan anak didik dapat mendorong kreativitas serta kemampuan berpikir, mengenalkan nilai-nilai, mengajarkan perilaku positif dan tanggung jawab pada lingkungan sekitar, menanamkan rasa percaya dan kepercayaan diri anak-anak dengan mengenalkan satu mekanisme untuk menghadapi kesedihan, kekecewaan atau perasaan duka (Lovorn dalam Pitaloka,2008). Konsepsi di atas, sinergis dengan hasil angket yang disebar oleh penulis kepada siswa kelas XII IPA, dari 85 respoonden, ketika pembelajaran awal tahun ajaran baru. Jawaban: sungguh mencengangkan, hampir 95% situasi pembelajaran yang disukai adalah santai. Hanya 3% saja yang menjawab situasi yang disukai adalah serius. Kemudian 68% mereka suka pembelajaran diselingi humor dan game, 31% dengan cerita, dan sisanya hanya 1% tanpa diselingi apapun. Dengan demikian, kita menyadari kehadiran humor dalam proses pembelajaran sangat bermanfaat. Kemampuan kita menciptakan humor, akan lebih mudah berkomunikasi secara intensif dan membangun suatu hubungan sosial yang

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

33


kuat. Ketika guru menstimulan dengan humor, suasana kelas akan berubah ceria, penuh bersahabat dan akrab. Saat inilah, guru membangun kembali kegairahan dan kebebasan setelah sebelumnya penuh ketegangan dan ketakutan atau cemas. Karena menurut Sultanof dalam Andrew How (2005) berbagai bukti telah menyebutkan tekanan emosi dan humor tidak dapat terjadi dalam satu suasana psikologis. Dengan humor, akan tercipta suasana keterbukaan antar warga belajar, siswa dengan siswa, siswa dan guru. Ketika proses pembelajaran berlangsung, aspek jiwa siswa dan guru terlibat. Performa guru yang sejak awal tampil ceria, penuh canda akan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, tidak kaku, siswa akan tidak sungkan lagi menyampaikan gagasan-gagasan dan pendapatnya. Guru juga dapa merespon dengan penuh empati dan motivasi serta menghargai semua gagasan dan jawaban siswa dalam bingkai toleransi. Efek humor dalam mendemokrasikan pembelajaran, ternyata tidak hanya terhenti pada penciptaan kelas yang menyenangkan, penuh keakraban, keterbukaan, dan toleransi serta mampu membangkitkan kembali motivasi siswa. Semangat humor yang menciptakan kegairahan kembali (remotivasi) siswa akan berdampak jelas pada prestasi. Kelas yang penuh keterbukaan, akrab, dan gairah akan lebih berprestasi dibanding kelas yang kurang bergairah, lesu dan tertekan. Hasil analisis penulis, yang mencoba menerapkan rangsangan humor kepada kelas B (XII IPA) setiap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, hasilnya 82,5% siswa tuntas dalam belajarnya, sedangkan kelas A (XII IPA) yang tiap kali pembelajaran tanpa rangsangan humor yang intensif, hasil hanya 54,2% yang tuntas.

34

Mengaplikasikan humor dalam proses pembelajaran sebenarnya dapat dilakukan dalam beberapa cara. Pertama, pada saat awal pembelajaran, untuk melemaskan kembali ketegangan dan menegaskan bahwa kita mau terbuka dan akrab dengan siswa. Kedua, sebagai selingan dalam pembelajaran. Hal ini dimungkinkan untuk menghindari kelesuan, monoton, dan mengurangi stress, akibat penyampaian materi pelajaran. Ketiga, pada saat akhir pembelajaran. Untuk menyegarkan kembali, setelah menerima pembelajaran, dan akan memasuki pembelajaran berikutnya. Guru juga bisa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekplorasi humor bagi temantemannya. Sumber dan bentuk yang da-pat dieksplorasi dalam pembelajaran, misalnya dengan memberi nama lucu pada benda-benda yang ada, suara-suara dan wajah yang lucu. Bentuknya bisa berupa cerita humor, anekdot, sindiran, dan aksi dalam pembelajaran, atau dengan pantun jenaka atau pengalaman hidup siswa. Guru secara kreatif dapat menciptakan humor sesuai dengan kondisi dan situasi lingkungan pembelajaran agar lebih kontekstual.

Penutup Keberhasilan dalam pembelajaran, ternyata tidak hanya disebabkan oleh kesiapan seorang guru dalam hal akademis dan materi pelajaran yang harus dikuasai, tetapi juga oleh keterampilan guru dalam mengelola kelas yang menyenangkan dan penuh motivasi ke arah prestasi yang meyakinkan. Pembelajaran yang dibingkai dengan kehadiran humor di dalamnya akan penuh dengan keriangan, kesetiaan, motivasi dan demokrasi serta prestasi belajar. Situasi kelas dan siswa yang bermasalah tidak harus diselesaikan dengan kemarahan guru dan pengelola pendidikan atau memberikan hukuman keras, tetapi dapat diselesaikan dengan elegan melalui rangkaian humor dalam pembelajaran. Tentu kita masih teringat kata-kata Gus Dur pada suatu kesempatan “ kalau suatu masalah dapat diselesaikan dengan tertawa (humor), kenapa harus dengan serius (mengerutkan dahi�. Oleh karena itu, humor yang dibingkai dengan tepat dan sesuai dengan kondisi kultur, emosional pembelajar akan menjadi alternatif strategis belajar yang jitu dan sangat mencengangkan dan sekaligus e menyenangkan semua pihak. g

Daftar Pustaka Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Depdiknas RI Jauhari,Muhammad Idris. 2007. Memfungsikan Pendidikan Informal dan Nonformal; Upaya Mengembalikan Pendidikan pada Jalur-jalur yang Semestinya. Dalam Jurnal Edukasi. Sumenep, Edisi 08 Topatimasang,Roem. 2002. Sekolah itu Candu.Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan dan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ira Shor dan Paulo Freire. 2001. Menjadi Guru Merdeka. Yogyakarta: LKis http://www.infoskripsi.com/Article/Profesionalisme-Guru.htm, diakses 01 Agustus 2008) Abdussami, Humaidi.2006. Budaya Banjar dan Nilai-Nilai Demokrasi. Makalah disampaikan dalam seminar tradisi dan demokrasi, Juni 2006 http://faktaevolusi.blogspot.com/2008/06/humor-terbukti-mendasarbagi.htmlpentingnya ia dalam perkembangan kognitif bayi. Sobary, Muhammad.(pengatar) 2000. Presiden Dur Yang Gus Itu; Anekdot-anekdot KH Abdurrahman Wahid. Risalah Gusti Adrew How.2005. http://www.pembelajar.com/humor. wmview.php?ArtID=379 Pitaloka, Ardiningtiyas.2008 . Humor Dalam Bingkai Psikologi. (http:// kesehatan.detail.asp,diakses Juli 2008)

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008


artikel utama artikel utama

Pendekatan “Salingtemas� dalam Pembelajaran: Strategi Mempermudah Siswa dalam Pelajaran Kimia

H. A. Suriyanto

Drs. H H.. Ahmad Suriyanto Suriyanto, lahir di Sumenep pada 3 Pebruari 1963. Gelar Sarjana Pendidikan Kimia diperoleh melalui Universitas Terbuka. Pernah menjadi pemakalah pada seminar Nasional Himpunan Kimia Indonesia di UNESA pada tahun 2006. Dan sebagai juara I Lomba Penulisan Karya Tulis IlmiahPTK se Kabupaten Sumenep pada Tahun 2006.

Ilmu kimia merupakan salah satu ilmu dasar bagi ilmu-ilmu pengetahuan yang lain, seperti kedokteran, geologi, teknik, dan lain-lainnya. Mempelajari kimia tidak hanya bertujuan menemukan zat-zat kimia yang langsung bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia belaka, tetapi dapat pula memenuhi keinginan seseorang yang ingin memahami berbagai peristiwa alam yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, mengetahui hakikat materi serta perubahannya, menanamkan metode ilmiah, mengembangkan kemampuan dalam mengajukan gagasan-gagasan, dan memupuk ketekunan serta ketelitian bekerja (DepdiknasRI). Pelajaran Paling Ditakuti Siswa Beberapa waktu lalu, Harian Jawa Pos melalui Tim Deteksi melakukan reportase dengan sejumlah siswa SMA di kota Surabaya. Reportase tersebut dimaksudkan untuk menanyakan mata pelajaran apa yang paling ditakuti di sekolah. Dari jawaban yang diperoleh kemudian dibuat susunan peringkat mata pelajaran paling ditakuti oleh siswa SMA di Kota Surabaya. Hasil yang didapat, mata pelajaran Kimia menduduki peringkat pertama, kemudian disusul pelajaran matematika dan fisika. Kenyataan tersebut, memunculkan pertanyaan : mengapa Kimia paling ditakuti? Atau apa yang salah pada guru kimia, sehingga pelajaran yang diajarkannya tidak disukai siswa? Jangan sampai kita sebagai guru underestimate dengan mengatakan ini salah siswa, karena siswa tidak mau yang sulit-sulit. Atau mengatakan memang sum-

ber daya manusianya (siswanya) berkualitas rendah. Siswa mendapatkan nilai rendah ketika proses evaluasi bukan semata mencerminkan batas maksimal kemampuan siswa, tetapi barangkali pendekatan yang digunakan untuk menyampaikan materi kurang tepat. Atau diperlukan media pembelajaran sehingga siswa bisa lebih mudah memahaminya. Dan yang paling penting lagi, siswa harus mengetahui untuk apa mereka belajar materi itu. Apa manfaat dan kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Guru harus menjelaskan itu sebelum pelajaran dimulai, sehingga timbul motivasi pada diri siswa untuk bersungguhsungguh mempelajarinya. Materi kimia menjadi kurang berarti di depan siswa dan bahkan cenderung menakutkan, menurut Rosbiono (dalam Shen,

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

35


1993), antara lain disebabkan karena Ilmu kimia dianggap sebagai ilmu yang sulit dan dipandang sebagai ilmu yang keras; ilmu kimia memiliki banyak aturan; adanya chemophobia dari masyarakat yang menganggap zat kimia sebagai racun dan biang keladi timbulnya polusi lingkungan; serta siswa mengalami frustrasi, karena miskonsepsi yang sering terjadi. Padahal, tujuan dunia pendidikan, terutama pendidikan sains adalah melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas dan responsif terhadap berbagai kemajuan di berbagai bidang. Tugas pendidik tidak hanya membantu siswa memahami konsep-konsep ilmiah, tetapi juga harus mampu menggugah minatnya terutama terhadap pelajaran yang diberikan dan mengajaknya melihat keterkaitan bidang yang di pelajari dengan bidang-bidang kehidupan lainnya. Artinya, dalam pembelajaran di kelas, peran aktif harus selalu distimulasi. Hal ini hanya terjadi jika siswa memiliki kesiapan yang memadai. Banyak cara yang dapat dilakukan agar kondisi tersebut tercapai, antara lain dengan menggunakan metode/pendekatan yang sesuai dengan materi yang diajarkan. Terkait dengan tantangan pengembangan pembelajaran kimia, perlu dilakukan terobosan-terobosan agar pengajaran menjadi tidak monoton dan membosankan. Shen (1993) memberikan alternatif agar pendidikan kimia menjadi lebih menyenangkan dengan beberapa cara, antara lain: pemberian motivasi langsung kepada siswa, mempertemukan kebutuhan siswa yang sangat beragam, melakukan eksperimen yang menarik, membawa persoalan kimia ke dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan teknologi modern, memberikan pertanyaan yang menyemangatkan, menghidupkan diskusi kelas, melakukan kontes kimia, dan melakukan kegiatan kimia yang bersifat rekreatif.

36

Belajar Kimia dengan Pendekatan Salingtemas Ilmu Kimia merupakan ilmu yang diperoleh dan dikembangkan berdasarkan eksperimen yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam, khususnya yang berkaitan dengan komposisi, struktur, dan sifat, transformasi, dinamika dan energi zat (Depdiknas, 2003a). Mata pelajaran kimia di SMA mempelajari segala sesuatu tentang zat yang meliputi komposisi, struktur dan sifat, transformasi, dinamika dan energi zat yang melibatkan keterampilan dan penalaran. Ilmu kimia merupakan produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, teori, prinsip, hukum) temuan saintis dan proses (kerja ilmiah). Oleh sebab itu, dalam penilaian dan pembelajaran kimia harus memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai produk dan proses. Ilmu kimia dibangun melalui pengembangan keterampilan-keterampilan proses sains, yaitu mengamati, menyusun hipotesis, merencanakan eksperimen, mengendalikan variabel, menafsirkan data, menyusun kesimpulan sementara, meramalkan, menerapkan, dan mengkomunikasikan. Keterampilan-keterampilan proses sains ini harus ditumbuhkan dalam diri siswa SMA sesuai dengan taraf perkembangan pemikirannya. Keterampilan-keterampilan ini akan menjadi roda penggerak penemuan dan pengembangan sikap, wawasan, dan nilai. Salingtemas (Sains, Lingkungan, Teknologi dan Masyarakat) adalah sebuah ide besar (grand concept). Kebesaran konsep ini dapat dilihat dengan mudah dari lingkup referensinya yang begitu luas. Sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat sebagai komponen yang dicakup di dalam konsep salingtemas itu, secara sendiri-sendiri sudah merupakan konsep-konsep besar sebagai produk akal budi manusia yang berakar pada sejarah yang amat panjang dan telah mela-

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

lui berbagai bentuk validasi. Dalam ilmu Kimia, sosok konsep salingtemas yang paling menonjol adalah expose realita kerusakan kualitas lingkungan sebagai akibat eksploitasi ilmu dan teknologi kimia yang kurang memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkannya. Juga cara-cara untuk mengatasi dampak negatif tersebut (Cajas, 1999:770). Namun pembelajaran Salingtemas saat ini menjadi lemah dan amat kecil pengaruhnya karena tidak didukung oleh sistem pendidikan yang ada dan perumusan konsep yang memiliki relevansi personal dan sosial bagi siswa. Bertolak dari kenyataan ini, direkomendasikan pengembangan (materi) pembelajaran lintas kurikulum (cross-curriculum themes) sehingga isu-isu sosial dan lingkungan yang relevan mendapatkan perhatian yang memadai. Perlunya dirumuskan kurikulum atau ranah kajian yang elegant untuk grand concept salingtemas-Nasional, sehingga makna, keefektifan, dan manfaat dari gerakan ini benar-benar dapat dirasakan. Isuisu provokatif terkait dengan hal ini cukup banyak akhir-akhir ini.Termasuk yang paling gres adalah penggunaan formalin, boraks, dan zat warna terlarang di dalam makanan, dampak SUTET terhadap kesehatan orang yang hidup di bawahnya, pencemaran lingkungan karena industri kimia yang kurang memperhatikan kaidah AMDAL, dan (jika masing-masing dianggap relevan) penggundulan hutan (illegal logging) yang menyebabkan banjir dan tanah longsor. Fakta-fakta ini perlu dikemas menjadi konsep yang utuh, bermakna sosial jelas, relevan, dan dirancang untuk digarap secara lintas bidang agar dapat dikembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan untuk menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Kampanye gerakan salingtemas tidak berhenti pada perumu-


san kajian saja. Pengembangan paradigma pembelajaran yang tepat, efektif dan efisien sangat diperlukan apabila diinginkan hasil pembelaran tidak sebatas knowledge saja, tetapi juga sikap dan kemampuan bertindak. Jelas bahwa pembelajaran conventional yang bertumpu pada pendekatan ekspositori dan diskusi saja tidak akan cukup. Diperlukan model-model pembelajaran yang dapat mengoptimalkan peran siswa baik dalam tahap information processing, maupun attitude building dan (academic) skill training. Sementara itu Kurikulum 2006 untuk semua mata pelajaran, dan semua jenjang pendidikan, secara eksplisit merumuskan bahwa kompetensi yang dicapai siswa mencakup dua aspek penting, yaitu kerja ilmiah dan pemahaman konsep dan penerapannya. Kedua hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa keterlibatan aktif siswa di dalam proses pembelajaran merupakan suatu yang esensial. Selain itu, juga dirasa penting perlunya dikuasai keterampilan proses sains secara memadai oleh siswa apabila diinginkan hasil belajar berupa pemahaman yang benar, lengkap dan dalam, serta memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sikap dan kemampuan bertindak. Pengembangan kurikulum sains termasuk di dalamnya kimia, merespon secara proaktif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi, serta tuntutan desentralisasi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Kompetensi sains menjamin pertumbuhan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penguasaan kecakapan hidup, penguasaan prinsip-prisip alam, kemampuan bekerja ilmiah dan bersikap ilmiah sekaligus pengembangan kepribadian yang kuat dan berakhlak mulia (Depdiknas, 2003a). Penerapan kurikulum 2006 yang berbasis kompetensi masih

banyak menemui kendala. Guruguru sebagai pelaksananya masih banyak yang belum paham dan bingung dengan perubahan yang dituntut ini. Banyaknya istilah-istilah baru dan gambaran tugas yang makin menumpuk membuat mereka bertambah bingung apalagi sistem penilaian yang juga menuntut format baru. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka perencanaan pendekatan pembelajaran yang sesuai dalam proses belajar mengajar perlu dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada. Pendekatan salingtemas adalah salah satu pendekatan yang memungkinkan untuk diterapkan dalam menjawab tuntutan kompetensi mata pelajaran Kimia khususnya terkait kerja ilmiah siswa, selain kompetensi pemahaman konsep dan penerapannya. Pendekatan salingtemas adalah pendekatan dalam proses belajar mengajar yang menunjang pengembangan anak didik yang berorientasi pada permasalahan yang terjadi di lingkungan dan di dalam masyarakat pada umumnya (Arifin, dkk , 2000). Sejak lama para pendidik mengingatkan tentang pentingnya pendidikan yang menunjang pengembangan anak didik yang berorientasi pada permasalahan yang terjadi di lingkungan dan di dalam masyarakat pada umumnya. Wellington (1984) mengemukakan tentang pentingnya pembelajaran IPA yang menggaris bawahi tiga aspek, yakni konsep, proses dan konteks. Sesuai dengan pandangan tersebut, salah satu pembaruan dalam pembelajaran IPA yang telah berlangsung dan terus dikembangkan selama ini adalah pembelajaran IPA dengan pendekatan salingtemas. Pembelajaran dengan pendekatan salingtemas mengembangkan materi dalam lingkup bahwa materi tidak terlepas dari ciri sains yang berorientasi pada proses dan produk saja, tetapi juga berorienta-

si pada teknologi yang ada dan yang diperlukan dalam lingkungan masyarakat sekitar (Arifin, dkk, 2000). Sains dan teknologi mewarnai kehidupan kita sehari-hari. Keduanya dapat meningkatkan kehidupan manusia, tetapi juga sebaliknya dapat pula memusnahkan segala yang telah dicapainya. Pembelajaran dengan pendekatan salingtemas mempunyai karakteristik antara lain : Pertama, materi yang dikembangkan berkaitan dengan: kurikulum IPA yang berlaku, memiliki keterkaitan antara sains, teknologi dan masyarakat; mendorong pengembangan inkuiri skill; berkaitan dengan kebutuhan siswa; dam menunjukkan falsafah IPA, Kedua, pembelajaran dikembangkan dengan landasan teori belajar konstruktivitas, yaitu ada usaha mengaitkan informasi baru dalam pengetahuan yang telah ada. Ketiga, ada kegiatan kelompok, untuk membuat solusi bersama, mengintegrasikan solusi dalam pengetahuan yang telah ada. Keempat, pembelajaran dikembangkan melalui tiga tahapan, yaitu tahap eksplorasi, tahap pengenalan konsep, dan tahap aplikasi, dan Kelima, ada masalah yang sesuai dengan materi dan perkembangan anak. Berdasarkan gambaran di atas, maka tahapan dan kegiatan pembelajaran dengan pendekatan salingtemas dapat dibagi menjadi lima. Pertama, tahap invitasi, yang bertujuan untuk merumuskan masalah dan mengetahui hubungan dengan pengetahuan sebelumnya. Kedua, tahap eksplorasi yang berisi tentang eksperimen/aktivitas fisik, melakukan observasi yang melibatkan kelima pancaindra, interaksi sosial sampai pengambilan keputusan. Ketiga, tahap pengenalan konsep berisi diskusi yang dipandu oleh guru dengan memberikan suasana, sehingga siswa aktif bertanya dengan tujuan meluruskan pengetahuan yang diperoleh secara ilmiah. Keempat, tahap

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

37


aplikasi, yaitu berupa aktivitas tambahan untuk mengaplikasikan konsep yang diperoleh dalam konteks yang berbeda. Dan, kelima adalah tahap evaluasi, yaitu penilaian terhadap hasil yang telah dilakukan selama pendekatan pembelajaran diterapkan. Permasalahan yang Perlu Diteliti Salah satu kompetensi yang harus dimiliki siswa pada mata pelajaran kimia adalah kerja ilmiah dengan mengacu pada materi yang disesuaikan dengan konsepkonsep yang ditawarkan. Pendekatan yang dilakukan oleh seorang guru dalam melaksanakan pembelajaran untuk menilai kerja ilmiah masih perlu dikembangkan dalam mencapai kompetensi yang diharapkan sesuai kondisi yang ada. Pendekatan salingtemas ini diduga akan meningkatkan peran aktif siswa dalam proses belajar mengajar dan memudahkan guru dalam penilaian serta pencapaian kompetensi yang diharapkan. Masalahnya adalah apakah penggunaan pendekatan salingtemas dapat meningkatkan kinerja ilmiah siswa dan pemahamannya terhadap materi pelajaran kimia. Dan apakah penggunaan pendekatan salingtemas dapat meningkatkan hasil belajar siswa khususnya materi pokok perhitungan sifat koligatif larutan? Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian dirancang dalam bentuk siklus tindakan. Dalam siklus tindakan terdiri atas empat kegiatan, yakni rencana tindakan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus, pra siklus 1 dilaksanakan pada tanggal 13 Agustus 2007, siklus 1 dilaksanakan pada tang-

38

gal 18 Agustus 2007, siklus 2 dilaksanakan pada 22 Agustus 2007. Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 2 Sumenep Kelas XII IPA 2 Semester 1 Tahun Pelajaran 2007/2008. Subyek penelitian adalah seluruh siswa kelas XII IPA 2 sebanyak 40 siswa. Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah : Pertama, siswa, tentang aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran kimia melalui pendekatan salingtemas pada materi pokok perhitungan sifat koligatif larutan kelas XII IPA 2 Semester 1 Tahun Pelajaran 2007/ 2008 SMA Negeri 2 Sumenep. Kedua, guru, tentang aktivitas guru dalam pengelolaan pembelajaran kimia melalui pendekatan salingtemas pada materi pokok perhitungan sifat koligatif larutan kelas XII IPA 2 Semester 1 Tahun Pelajaran 2007/2008 SMA Negeri 2 Sumenep. Ketiga, dokumen tentang nilai hasil belajar siswa. Kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen penelitian: pengamatan (observasi), catatan lapangan, dan dokumentasi. Pengamatan difokuskan pada pelaksanaan pembelajaran kimia melalui pendekatan salingtemas pada materi pokok perhitungan sifat koligatif larutan. Catatan lapangan dilakukan dengan mencatat peristiwa nyata yang terjadi dalam kegiatan belajar mengajar, baik secara deskriptif maupun reflektif. Dokumentasi berupa kegiatan mendokumen data verbal tertulis dan foto. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif yang bersifat linear (mengalir) yang didalamnya melibatkan kegiatan penelaahan seluruh data yang telah dikumpulkan, reduksi data (di dalamnya terdapat kegiatan pengkatagorian dan pengklasifikasian) dan verifikasi serta penyimpulan data. Penentuan keberhasilan tindakan didasarkan pada dua tinjauan, yakni proses belajar dan hasil belajar. Penen-

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

tuan keberhasilan proses didasarkan pada diskriptor kualifikasi terhadap aktivitas belajar siswa, sedangkan penentuan keberhasilan hasil belajar ditemukan melalui ulangan harian. Pelaksanaa Penelitian a. Siklus Pertama Pertama, perencanaan, eneliti merencanakan tindakan berdasarkan kompetensi dasar (1.1 Mendeskripsikan penurunan tekanan uap, kenaikan titik didih, penurunan titik beku larutan dan tekanan osmotik termasuk sifat koligatif larutan) pada materi pokok Perhitungan Sifat Koligatif Larutan. Tindakan diarahkan untuk pencapaian indikator yang dirumuskan, antara lain menjelaskan arti kemolalan dan fraksi mol serta penggunaannya, menjelaskan pengaruh zat terlarut yang sukar menguap terhadap tekanan uap pelarut, menjelaskan hubungan penurunan tekanan uap dengan fraksi mol zat terlarut, mengamati penurunan titik beku dan kenaikan titik didih suatu zat cair akibat penambahan zat terlarut, menjelaskan pengertian osmosis dan tekanan osmotik serta terapannya. Kedua, pelaksanaan, a) Peneliti/guru menyiapkan rumusan masalah tentang materi perhitungan sifat koligatif larutan yang diajarkan, melakukan pretest untuk penjajakan kemampuan siswa; b) Guru menerapkan tahapan pendekatan salingtemas, yaitu tahap invitasi, eksplorasi, pengenalan konsep, aplikasi, dan evaluasi; c) Siswa melaksanakan eksplorasi/ penyelidikan ilmiah melalui kelompok-kelompok sesuai urutan pendekatan salingtemas dengan arahan dari guru; d) Pengenalan konsep diberikan melalui diskusi terhadap hasil eksplorasi siswa. Peran guru adalah meluruskan konsep yang diperoleh siswa; e) Tes tulis materi perhitungan sifat koligatif larutan yang telah diajarkan


sebagai penilaian ranah pemahaman konsep. Ketiga, pengamatan, melakukan observasi terhadap keaktifan siswa, respon terhadap penerapan pendekatan salingtemas serta hasil tes tulis materi perhitungan sifat koligatif larutan. Keempat, prfleksi, a) Analisis hasil pengamatan dalam bentuk keaktifan di kelas, hasil kerja ilmiah siswa, hasil belajar serta respon terhadap penerapan pendekatan salingtemas dalam pembelajaran perhitungan sifat koligatif larutan; b) Analisis kelemahan-kelamahan pada langkah a sampai pada langkah c; c)Perbaikan skenario pembelajaran dan instrumen penelitian yang digunakan. Hasil analisis pada tahap refleksi dari hasil proses pembelajaran selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk perencanaan pelaksanaan perlakuan pada siklus kedua. b. Siklus Kedua Siklus kedua merupakan implementasi tindakan pembelajaran hasil perbaikan siklus pertama pada materi perhitungan sifat koligatif larutan, sehingga diperoleh hasil yang optimal dengan meningkatkan aktivitas belajar dan kinerja ilmiah siswa dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Pengumpulan data dilakukan dengan lembar observasi dan evaluasi. Lembar observasi yaitu digunakan untuk mengumpulkan data yang diperoleh pada saat dilakukan tindakan dan merupakan data informasi tentang aktivitas belajar siswa di kelas. Data hasil belajar diperoleh dengan memberikan tes tertulis kepada siswa setelah selesai materi. Data tanggapan siswa terhadap penerapan Pendekatan salingtemas diperoleh dari quesioner yang diberikan kepada siswa. Data-data tersebut selanjutnya diolah untuk mengetahui efektifitas penerapan pendekatan yang dilakukan dalam pembelajaran tersebut.

Hasil Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan 2 siklus karena pada siklus pertama belum mencapai hasil yang diinginkan. Pada siklus pertama penerapan pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran belum memberikan hasil yang memuaskan sebagaimana yang diharapkan baik dari faktor guru maupun siswa. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat pencapaian ketuntasan belajar individual yang mencapai 33 orang (82,50%) dengan prosentase daya serap klasikal sebesar 83,15% dari sebelum tindakan dengan ketuntasan belajar individual 10% dan daya serap klasikal 42,72%. Hal ini diduga disebabkan penggunaan pendekatan yang dilaksanakan oleh guru masih ada kelemahan dalam penerapan, yaitu memerlukan persiapan yang lebih matang lagi terutama dari segi peralatan dan penguasaan pendekatan. Penggunaan pendekatan pembelajaran ini menuntut guru untuk lebih terampil dalam menyiapkan maupun menerapkan materi yang akan diajarkan. Peraga dan sarana lainnya belum sepenuhnya dimiliki sehingga perlu kesiapan dan kemampuan yang memadai, sehingga berpengaruh besar terhadap parameter-parameter yang berhubungan dengan faktor siswa. Berdasarkan hasil belajar yang diperoleh selama siklus pertama, dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Partisipasi siswa dalam merancang kegiatan belajarnya sangat kurang; b) Minat siswa mengikuti kegiatan belajar-mengajar relatif rendah; c) Perhatian siswa dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar relatif rendah; d) Aktifitas siswa dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru masih kurang aktif; e) Aktifitas bertanya dan menjawab pertanyaan peneliti sangat kurang walaupun guru sudah memberikan dorongan; f) Tingkat pemahaman siswa terhadap penjelasan-penjelasan yang telah diberikan oleh guru belum mencapai tolok ukur yang te-

lah ditetapkan; g) Tingkat penguasaan konsep secara utuh masih rendah, hal ini disebabkan karena tingkat penguasaan siswa dalam menghubungkan topik materi pelajaran sebelumnya masih rendah; h) Terdapat kesulitan bagi siswa mengenai pola yang diterapkan guru, terutama dalam menghubungkan materi yang telah diperoleh sebelumnya dengan materi yang telah dipelajari; i) Evaluasi hasil belajar siswa masih sangat rendah. Pembelajaran pada siklus pertama ini belum tuntas, bukan hanya dipengaruhi oleh faktor siswa tapi juga guru. Guru aktivitasnya masih kaku dan belum mampu menerapkan model pembelajaran yang diujicobakan karena masih terpengaruh dengan model pembelajaran yang biasa dipakai sebelumnya, sehingga pembelajaran belum berhasil. Selanjutnya maka perlu dirumuskan perbaikan-perbaikan seperlunya guna memenuhi harapan yang diinginkan dalam penerapan pendekatan salingtemas sebagai salah satu alternatif dalam upaya meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. Perbaikan-perbaikan yang terutama dilakukan adalah penyiapan materi dan proses pembelajaran, yang selanjutnya diterapkan pada siklus dua. Mengamati pelaksanaan tindakan pada siklus pertama, maka pada siklus kedua dilakukan refleksi dan dilakukan perubahan terutama bagaimana menciptakan suasana kelas yang kondusif agar interaksi antara siswa dan siswa serta siswa dengan guru lebih besar dalam upaya memaksimalkan penguasaan terhadap suatu konsep. Berdasarkan hasil observasi terhadap aktivitas siswa pada siklus kedua, dapat digambarkan sebagai berikut: a) Partisipasi siswa dalam merancang kegiatan belajarnya sudah meningkat; b) Minat siswa mengikuti kegiatan be-

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

39


lajar-mengajar menggunakan pendekatan salingtemas sudah meningkat; c) Perhatian siswa dalam mengikuti kegiatan belajarmengajar sudah sangat meningkat; d) Aktifitas siswa dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru sudah meningkat; e) Siswa sudah aktif bertanya dan menjawab pertanyaan guru; f) Tingkat pemahaman siswa terhadap penjelasan-penjelasan yang telah diberikan oleh guru sudah mencapai tolak ukur yang telah ditetapkan; g) Tingkat penguasaan materi secara utuh sudah meningkat dimana tingkat penguasaan siswa dalam menghubungan topik pelajaran sebelumnya sudah meningkat; h) Kesulitan siswa mengikuti pola yang diterapkan guru, terutama dalam menghubungkan materi yang telah diperoleh sebelumnya dengan materi yang sedang dipelajari sudah mulai berkurang dan menemukan cara unruk menghubungkan materi yang telah diperoleh sebelumnya; i) Evaluasi hasil belajar siswa secara klasikal sudah tuntas. Pada siklus kedua aktivitas guru dan siswa dalam menerapkan pola pendekatan sudah meningkat serta pengaruh dengan model pembelajaran yang sering digunakan sebelumnya sudah mulai berkurang. Perlu tetap diperhatikan juga agar pada saat yang tepat pendekatan ini dapat dikombinasikan dengan pendekatan-pendekatan lain yang sering digunakan sebelumnya. Berdasarkan hasil tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa penggunaan peta konsep dalam proses pembelajaran pada siklus kedua telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dan sudah memberikan hasil yang memadai sebagaimana yang diharapkan baik bagi faktor siswa maupun faktor guru. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat pencapaian prestasi hasil belajar siswa yang berhasil berdasarkan kriteria keberhasilan

40

sudah melebihi tolak ukur keberhasilan penelitian ini. Hasil penelitian pada siklus kedua menunjukkan siswa yang berhasil dalam studi berdasarkan kriteria keberhasilan sebanyak 40 orang (100%) dengan daya serap klasikal sebesar 94,35%. Sehubungan dengan tingkat keberhasilan siswa yang telah dicapai pada siklus kedua, dapat dijelaskan bahwa pelaksanaan proses pembelajaran materi pokok Perhitungan Sifat Koligatif Larutan dengan menggunakan salingtemas memberikan hasil yang optimal, dan merupakan salah satu alternatif pendekatan proses pembelajaran kimia yang sangat efektif dan dapat dikembangkan untuk masa-masa mendatang. Simpulan dan Saran Penggunaan pendekatan salingtemas dalam pembelajaran kimia merupakan salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang efektif untuk mengatasi kelemahan

proses pembelajaran kimia. Penggunaan pendekatan salingtemas dapat meningkatkan kinerja ilmiah dan pemahamannya terhadap materi pelajaran kimia khususnya materi pokok perhitungan sifat koligatif larutan pada siswa kelas XII IPA 2 SMA Negeri 2 Sumenep sebanyak 100 %. Penggunaan pendekatan salingtemas dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas XII IPA 2 SMA Negeri 2 Sumenep terhadap mata pelajaran kimia khususnya materi pokok perhitungan sifat koligatif larutan. Untuk itulah, penulis menyarankan agar kita sebagai guru, khususnya guru Kimia, mampu melihat perkembangan belajar siswa serta memotivasinya bila siswa mengalami masalah dalam belajar. Dan jika perlu menggunakan terobosan-terobosan baru dalam kegiatan pembelajaran. Salah satunya dengan menggunakan pendekatan salingtemas e pada pembelajaran kimia. g

DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu dan Supriyono, 1991, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta. Arifin, M., dkk, 2000, Strategi Belajar Mengajar, Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia. Burhanuddin Tola, 2002, Penilaian Berbasis Kompetensi, Jakarta : Pusat Penelitian Balitbang Depdiknas, Makalah Seminar Nasional Kimia, Makassar 7 – 8 Oktober 2002. Cajas, F, (1999), Public Understanding of Science : Using Technology to Echance School Science in Everyday Life, International Jurnal of Science Education 21, (7), 765 – 773. Depdiknas, 2003a, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia Kurikulum 2004, Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah Negeri, Jakarta : Depdiknas. Depdiknas, 2003b, Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Kimia, Jakarta : Depdiknas Dirjendikdasmen Dikmenum. Entang, M., 1981, Diagnostik Kesulitan Belajar dan Pengajaran Remidial, P3G Depdikbud, Jakarta. Kemmis, S., dan Mc. Taggart, R., 1998, The Action Resarch Planner, Deakin University, Victoria. Partowisastro, K., dan Hadisuparto, 1978, Diagnosa dan Pemecahan Kesulitan Belajar, Jakarta : Erlangga. Rosbiono, M., 1992, “Orientasi Pendidikan Kimia Sebagai Alternatif Dalam Mewujudkan Kimia Untuk Semua”, Seminar Nasional Kimia dan Pembangunan, Bandung : 25 – 26 Nopember 1992. Shen, K., 1993, “Happy Chemical Education (HCE)”, J. Chen Educ., 70 (9) : 816 – 818. Sudarmo, Unggul. 2004. “Kimia Untuk SMA Kelas XII”. Jakarta : Erlangga. Suhadi Ibnu, 2006, “Strategi Pembelajaran Kimia Berorientassi Salingtemas”, Seminar Nasional Kimia, Surabaya, 4 Februari 2006. Silverius, S., 1991, Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik, Jakarta : Grazindo. Tim Pelatih Proyek PGSM, 1999, Penelitian Tindakan Kelas, PGSM, Dirjen Dikti, Depdikbud – RI, Jakarta. Wahid, Anang Muh.Diah, 2006, “Pendekatan Sains, Lingkungan, Teknologi dan Masyarakat Dalam Pembelajaran Sistem Periodik dan Struktur Atom”, Seminar Nasional Kimia, Surabaya, 4 Februari 2006.

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008


artikel artikel utama utama

Pembelajaran

Berbasis Siswa Menggagas Metode Pembelajaran Berdasar Tipologi Belajar Siswa

Susdiana H.

Susdiana Herawati, S.Pd, lahir di Sumenep, 12 September 1984. Alumni STAIN Pamekasan, program studi Pendidikan Agama Islam. Selain menulis di beberapa media, seperti Tabloid Info Sumenep dan beberapa media yang lain, ia juga aktif sebagai guru di Madrasah Aliyah Nurul Hikmah Kecer-Dasuk Sumenep

Sekolah pada hakikatnya sebagai tempat membebaskan diri dari belenggu kebodohan. Sekolah seperti yang diungkapkan aktivis pendidikan, salah satunya seperti Paulo Friere merupakan simbol pembebasan yang strategis. Artinya, sekolah memiliki peran yang sangat besar dalam membebaskan belenggu anak didik agar mampu menjadi dirinya sendiri, yaitu menjadi diri yang bebas dan merdeka, terutama bebas dari belenggu kebodohan dan kejumudan. Dalam kenyataanya, posisi sekolah sebagai agen pembebasan, acapkali tidak sejalan dengan visi awalnya, karena sekolah dalam prakteknya lebih memposisikan sebagai penjara yang dengan ketat membelenggu kreatifitas anak didik. Akibatnya, anak didik tidak bisa belajar sesuai kehendak dirinya, tetapi malah “terkesan� dipaksa untuk belajar. Bahkan sekolah yang berkelas sekalipun, seringkali memposisikan diri sebagai penjara bagi anak didik. Sebab, sekolah seringkali memperlakukan siswa dengan perlakuan layaknya penjara, sehingga membuat siswa dipaksa berhadapan dengan sistem dan proses pembelajaran yang cerderung mengikat. Siswa pada gilirannya dihadapkan pada satu kondisi berhadapan langsung dengan otoritas dan kebijakan sekolah yang sangat kuat. Sebagian besar siswa saat ini, menghadapi

kondisi pendidikan yang tidak menyenangkan. Berbagai kebijakan pengelola pendidikan dengan terobosan baru, tetapi di sisi yang lain malah membuat siswa terkarantina, sehingga pembelajaran menjadi tidak menyenangkan. Beban ujian yang dihadapi oleh para siswa sekarang, merupakan salah satu contoh tentang beban berat yang harus ditanggung oleh para siswa. Apalagi, ada penambahan ujian kelulusan. Dari tiga mata pelajaran yang diujikan, saat ini telah menjadi enam mata pelajaran yang diujikan. Telaah atas 40 tahun reformasi pendidikan mengungkapkan bahwa sistem pengujian terhadap para pelajar telah mengalami peningkatan yang luar biasa dari 10% menjadi 15% pertahun. Negara kita adalah Negara super tes. Ketika pendidikan kita gagal atau segala sesuatu bertambah buruk, kita malah terus menambah tes lainnya- seolah mereka beranggapan bahwa dengan mengukur suhu tubuh lebih sering akan menyembuhkan pasien. Profesor Inggris, William A. Reinsmiyh1, berpendapat bahwa tes-tes adalah indikator paling lemah untuk mengukur apakah seseorang telah betul-betul mempelajari sesuatu. Alasan utamanya adalah bahwa kec1 Lihat, Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelereted Learning For The 21st Century, (Bandung : Nuansa, 2002), hal. 326.

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

41


uali disiplin yang hampir mutlak abstrak dan teoritis, karena tes-tes yang dilaksanakan hanya menyediakan suatu konteks yang artifisial untuk menunjukkan pengetahuan seseorang. Ujian jarang ditujukan pada realitas nyata dan realitas yang sebenarnya. Tribus2 dalam artikel yang ditulisnya menambahkan, bahwa : “Memang kita memerlukan pengalaman yang berkualitas dalam pendidikan untuk menciptakan pembelajaran sepanjang hayat. Pengalaman yang bermutu bervariasi menuntut usia pembelajar. Selain itu, dibutuhkan pula keterlibatan dan usaha terus-menerus untuk menciptakan suatu pendidikan yang berkualitas� Perlu di ketahui, dalam proses belajar mengajar (PBM) akan terjadi interaksi antara peserta didik dan pendidik. Peserta didik adalah seseorang atau sekelompok orang

42

sebagai pencari, penerima pelajaran yang dibutuhkannya, sedang pendidik adalah seseorang atau sekelompok orang yang memiliki profesi sebagai pengolah kegiatan belajar mengajar dan seperangkat peranan lainnya yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kegiatan belajar mengajar melibatkan beberapa komponen, yaitu peserta didik, guru (pendidik), tujuan pembelajaran, isi pelajaran, metode mengajar, media dan evaluasi. Tujuan pembelajaran adalah perubahan prilaku dan tingkah laku yang positif dari peserta didik setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar, seperti : perubahan yang secara psikologis akan tampil dalam tingkah laku (over behaviour) yang dapat diamati melalui alat indera oleh orang lain baik tutur 2

Ibid, hal. 327.

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

kata, motorik dan gaya hidupnya.Tujuan pembelajaran yang diinginkan tentu saja mengacu pada proses dan hasil pembelajaran yang optimal. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pendidik, salah satu diantaranya yang menurut penulis penting adalah metodologi mengajar. Mengajar merupakan istilah kunci yang hampir tak pernah luput dari pembahasan mengenai pendidikan karena keeratan hubungan antara keduanya. Metodologi mengajar dalam dunia pendidikan perlu dimiliki oleh pendidik, karena keberhasilan proses belajar mengajar (PBM) bergantung pada cara mengajar guru dan memberikan bagaimana cara belajar pada peserta didik. Jika cara mengajar guru cocok menurut siswa, maka siswa


akan tekun, rajin, antusias menerima pelajaran yang diberikan dan memberikan bagaimana cara belajar yang baik untuk peserta didik, sehingga diharapkan akan terjadi perubahan dan tingkah laku pada siswa baik tutur kata, sopan santun, motorik dan gaya hidupnya. Banyak ragam metodologi mengajar, kita sebagai pendidik harus memiliki metode mengajar yang beraneka ragam, agar dalam proses belajar mengajar tidak menggunakan hanya satu metode saja, tetapi harus divariasikan, yaitu disesuaikan dengan tipe belajar siswa dan kondisi serta situasi yang ada pada saat itu, sehingga tujuan pengajaran yang telah dirumuskan oleh pendidik dapat terwujud atau tercapai. Menurut Mauliya 3 , dalam memberikan pelajaran seorang pendidik mampu memfasilitasi dan menyesuaikan pendidik dengan karakter anak. Karena dapat memberikan ruang pengembangan imajinasi kepada mereka. Proses belajar menjadi aktivitas renyah dan mengasyikkan. Tentunya dengan melakukan metode pengajaran yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Ada sejumlah pendidik inovatif di banyak negara yang menerapkan teknik-teknik CBC (cara belajar cepat) untuk merangsang pikiran anak didik mereka. Para pendidik sebenarnya sama-sama mempunyai filosofi sebagaimana kami bahwa: Ă˜ Para siswa pertama-tama dan terutama harus belajar bagaimana belajar dan belajar bagaimana berpikir kritis. Ă˜ Pembelajaran harus disampaikan dengan pendekatan multisensori dan multi-metode Pendidik dan Metode Pembelajaran Seorang pendidik perlu metode untuk melangsungkan proses belajar-mengajar. Metode tersebut merupakan langkah, cara, dan teknik

untuk memberikan pemahaman dan pengertian, sehingga dengan mudah dapat diserap oleh peserta didik. Metode tersebut perlu diketahui oleh segenap pendidik, sebab seorang pendidik dihadapkan pada peserta didik yang notabene terdiri dari berbagai macam karakter maupun tipologi yang berbedabeda. Beberapa motode mengajar yang dapat divariasikan oleh pendidik diantaranya : 1. Motode Ceramah (Preaching Method). Metode ceramah, yaitu teori mengajar dengan menyampaikan informasi dan pengetahuan secara lisan kepada sejumlah siswa yang pada umumnya mengikuti secara pasif. Metode ceramah dapat dikatakan sebagai satu-satunya metode yang paling ekonomis untuk menyampaikan informasi, dan paling efektif dalam mengatasi kelangkaan literatur atau rujukan yang sesuai dengan jangkauan daya beli dan paham siswa. Beberapa kelemahan model ceramah adalah : a. Membuat siswa pasif . b. Mengandung unsur paksaan kepada siswa. c. Mengandung daya kritis siswa d. Anak didik yang lebih tanggap dari visi visual akan menjadi rugi dan anak didik yang lebih tanggap auditifnya dapat lebih besar menerimanya. e. Sukar mengontrol sejauh mana proses dan hasil pembelajaran anak didik. f. Kegiatan pengajaran menjadi verbalisme (pengertian kata-kata). g. Bila terlalu lama membosankan.

Beberapa kelebihan metode ceramah adalah: a.Guru mudah menguasai kelas. b. Guru mudah menerangkan bahan pelajaran berjumlah besar. c. Dapat diikuti anak didik dalam jumlah besar. d. Mudah dilaksanakan. 2. Metode diskusi (Discussion method). Metode diskusi adalah metode mengajar yang sangat erat hubungannya dengan memecahkan masalah (problem solving). Metode ini lazim juga disebut sebagai diskusi kelompok (group discussion) dan resitasi bersama (socialized recitation). Metode diskusi diaplikasikan dalam proses belajar mengajar untuk: a.Mendorong siswa berpikir kritis. b. Mendorong siswa mengekspresikan pendapatnya secara bebas. c. Mendorong siswa menyumbangkan buah pikirnya untuk memcahkan masalah bersama. d. Mengambil satu alternatif jawaban atau beberapa alternatif jawaban untuk memecahkan masalah berdsarkan pertimbangan yang seksama. Kelebihan metode diskusi adalah menyadarkan anak didik bahwa masalah dapat dipecahkan dengan berbagai jalan, menyadarkan anak didik bahwa dengan berdiskusi mereka saling mengemukakan pendapat secara konstruktif, sehingga dapat diperoleh keputusan yang lebih baik, membiasakan anak didik untuk mendengarkan pendapat orang lain sekalipun berbeda dengan pendapatnya dan membiasakan bersikap toleransi. .......berlanjut di halaman 51

3 Maulia D. Kembara, M.Pd., Home Schooling, (Bandung : Progresio, 2007), hal. 6. Pendidikan besar yang berputar di benak setiap orang tua kemudian adalah: pendidikan semacam apa yang paling cocok untuk menjadi bekal baik bagi anak-anak kita?. Idealnya, pendidikan yang mendukung masa depan seorang anak tentu harus sesuai dengan karakter anak tersebut. Titik temu yang ingin dicapai adalah kenyamanan si anak saat menjalani proses pendidikannya. Aktivitas apa pun akan bernilai lebih ketika orang menjalaninya benar-benar menikmati. Hal yang sama juga berlaku pada pilihan pendidikan. Faktor kenyamanan selama menjalani proses belajar tentu sangat menentukan efektifitas tidaknya aktivitas tersebut. Percuma saja jika anak dilibatkan dalam sebuah aktivitas belajar yang padat, namun tidak bisa meraka nikmati. Anakanak cenderung merasa terjebak dalam situasi tampa pililhan ketika mereka harus mengikuti konsep belajar standar tanpa bisa berimprovisasi. Faktanya, setiap anak memiliki karakter khas yang memungkinkan mereka berimajenasi secara spesifik. Albert Einstein menganggap imajenasi sebagai kekayaan paling tak ternilai pada diri manusia, maka pengerdilan imajenasi anak dalam proses belajar tidak beda dengan pengrogotan kekayaan hidupnya. Jika hal itu terjadi, lantas apa yang akan kita sisakan untuk masa depan anak itu nantinya?

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

43


Siswa Butuh Media Pembelajaran yang Menyenangkan Wawancara Drs. Nursaid Sani, M.Pd

Perkembangan dunia pendidikan terus meningkat tajam. Perkembangan zaman yang terus berpacu, telah menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan untuk berbenah. Pendidikan diarahkan untuk bisa memberikan jawaban strategis terhadap kebutuhan zaman saat ini yang telah berorientasi pada skill dan kompetensi. Pendidikan memiliki tugas berat untuk menjadi penentu akhir lahirnya anak didik yang memiliki kompetensi dan skil yang jelas. Disinilah pembelajaran yang efektif serta dapat menopang kebutuhan anak-anak harus diwujudkan oleh dunia pendidikan. Berikut hasil perbincangan Mohammad Suhaidi RB dengan Drs. Nursaid Sani, M.Pd, Kepala SMA 1 Sumenep dan anggota Dewan Pendidikan Sumenep. Geliat untuk terus memajukan kualitas pendidikan terus digalakkan oleh pemerintah, salah satunya dengan cara merubah kurikulum, mulai KBK sampai KTSP, yang telah diberlakukan mulai jenjang SMP sampai SMA. Bagaimana Menurut Anda? Sebenarnya, KTSP itu merupakan penyempurnaan dari KBK. Sementara KBK sendiri, telah disosialisasikan oleh pemerintah sejak awal tahun 2002, kemudian ditetapkan menjadi kurikulum pada tahun 2004. Karena sudah semestinya, kurikulum harus dirubah. Walaupun, banyak orang yang selalu mempertanyakan terkait dengan perubahan kurikulum ini. Secara alamiah, kurikulum memang harus berubah, karena kurikulum harus mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. Hanya saja, mungkin karena masyarakat kurang mengerti terhadap perubahan kurikulum, mereka cenderung mempertanyakan perubahan-perubahan kurikulum yang terjadi. Tetapi, bisa jadi pertanyaan tentang perubahan

44 44

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008


kurikulum (dari KBK ke KTSP, edit) yang muncul di tengah-tengah masyarakat, akibat belum sempurnanya penguasaan terhadap kurikulum lama, kemudian muncul kurikulum baru, sehingga menyebabkan masyarakat tidak terlalu siap dengan perubahan yang tiba-tiba tersebut. Sebab, dalam siklus perubahan kurikulum, seharusnya kurikulum bisa berubah dalam setiap 10 tahunan.

senang, guru harus melakukan apa yang telah ditetapkan, yaitu mendesain dan merancang sendiri proses pembelajarannya, karena wewenang guru akan diperbesar, sehingga diharapkan akan banyak guru yang inovatif. Apa langkah-langkah yang harus dilakukan apabila banyak guru yang secara SDM tidak bisa melaksanakan amanat tersebut?

Terkait dengan penerapan KBK di lapangan? KBK sebenarnya masih mengalami banyak kendala, sehingga sempat muncul plesetan bahwa KBK menjadi Kurikulum Berbasis Kebingungan. Sehingga harus ada penyempurnaan lagi, maka pada tahun 2006, dibentuk kurikulum baru yang dikenal dengan KTSP. Kurikulum ini, pada dasarnya sama dengan KBK (Kurikulum versi 2004, edit), karena sama—sama menekankan pada kompetensi., sesuai dengan amanat Sisdiknas, yang menekankan bahwa pendidikan anak-anak harus berbasis kompetensi. Yang membedakan antara KBK dengan KTSP terletak pada silabus. Dalam KBK, ada beberapa silabus yang ditentukan oleh pusat, sementara dalam KTSP di dibuat oleh tingkat satuan di sekolah. Jadi sekolah yang menentukan dan mengatur silabusnya.

Pada awalnya, kurikulum ini oleh pusat diberi contoh dulu sebagai pertimbangan, sehingga guru bisa mengadopsi kurikulum yang ada tersebut, setelah itu secara perlahan guru akan bisa membuat dan merancangnya sendiri Bagaimana media pembelajaran di sekolah yang Bapak pimpin, guna menyambut realisasi dari kurikulum berbasis kompetensi ini? Kalau Lab-nya sudah lengkap. Kita (SMA 1 Sumenep, edit) sudah punya Lab Fisika, Kimia, Lab Biologi, Lab Komputer, seni, dan bahasa. Semua lengkap, termasuk juga ruang media, juga sangat lengkap. Walaupun, memang masih jauh dari kesempurnaan. Kurang sempurna, maksud Anda?

KTSP seperti yang Anda sebutkan barusan berbasis kompetensi. Dalam proses pembelajarannya, apa memungkinkan digunakan media pembelajaran yang spesifik?

Masih banyak hal yang harus dibenahi, salah satunya masalah ruangan serta media dan alat-alat yang lain, tampaknya masih harus dilengkapi selengkap mungkin

Ya, tentu saja bisa. Karena kurikulum ini bernama tingkat satuan, secara otomatis wewenang berada di sekolah, sehingga wewenang tersebut berada di tangan kepala sekolah dan guru. Memamg silabusnya sudah ada, tetapi RPP dan yang lain harus disiapkan oleh guru, baik pendekatan maupun metodenya sesuai dengan dasar kompetensi mereka.

Dengan fasilitas yang sudah lengkap, bagaimana dengan SDM guru untuk memanfaatkan fasilitas tersebut dalam pembelajaran?

Dalam pengamatan Anda, bagaimana realisasi dan dampak dari KTSP di lapangan? Memang masih agak tertatih-tatih, karena selama ini, guru terkesan langsung menerima jadinya. Guru-guru kurang terbiasa melakukan sesuatu dengan caranya sendiri. Mereka sudah terbiasa menerima (mengerjakan, edit) apa yang telah disusun oleh atasan atau pusat, tetapi pada saat para guru diberikan hak untuk merancang dan mendesain kurikulum sendiri, tampaknya mereka belum begitu siap. Namun demikian, untuk masa-masa yang akan datang, suka atau tidak suka, senang atau tidak

Sekarang, proses pembelajaram sudah diarahkan dengan model dan paradigma yang lain. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru harus dilakukan dengan cara yang tidak lagi tradisional. Misalnya, saat ini guru sudah bisa menggunakan teknologi ICT, yang lebih gampang mungkin menggunakan komputer, dan masih banyak juga guru yang harus didorong untuk memahami hal itu. Saat ini, di SMA I Sumenep ada kelas unggulan. Pola dan model pengajaran yang dilakukan di kelas ini, sangat berbeda dengan yang dilakukan di kelaskelas lain. Yang membedakan dengan kelas yang lain, terletak pada pengajaran. Di kelas unggulan ini, cara pengajaran dilakukan dengan cara yang modern, yaitu guru selain menerangkan dengan ceramah dan tanya jawab, guru juga bisa memanfaatkan IT, misalnya melalui power point. .... lihat di halaman 52

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

45


Guru dan Siswa(i) merupakan dua elemen penting dalam dunia pendidikan. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Guru dan siswa bisa ditamtsilkan antara siang dan malam. Dalam proses pembelajaran, guru sebagai pendamping bagi siswa(i) dalam rangka mencapai target pembelajaran. Sukses dan tidaknya proses pembelajaran sangat ditentukan oleh posisi seorang guru dalam mengawal pembelajaran. Mampukah seorang guru menjalankan tugas idealnya sebagai pendidik dan fasilitator yang baik bagi siswa(i) dengan karakter dan kemampuannya yang beragam? Mampukah seorang guru memposisikan dirinya sebagai pengayom dan pendamping belajar bagi siswa(i), sehingga tidak melahirkan asumsi bahwa pembelajaran terkesan “ hegemonik”, karena guru yang senantiasa menganggap siswa sebagai obyek dalam setiap proses pembelajaran. Akibatnya, pembelajaran hanya dilaksanakan dengan cara pandang seorang guru, tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan keinginan siswa (i). Problem itulah yang menjadi salah satu alasan redaksi Jurnal EDUKASI meng-agendakan kegiatan FGD dengan tema “Pembelajaran dalam Pandangan Siswa(i)” di Aula PC NU Sumenep, 7 Agustus 2008, yang dihadiri oleh 22 siswa(i) dari 40 lembaga SMA/sederajat se-Kabupaten Sumenep. Ada beberapa catatan menarik yang mengemuka dalam FGD ini. Pertama, tentang proses pembelajaran yang selama ini dilaksanakan masih belum berpihak terhadap siswa. Kedua, proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh para guru, masih menjadikan siswa sebagai elemen marjinal yang tidak terfikirkan. Artinya, guru masih menjadi dirinya sendiri pada saat mengajar, bukan menjadi fasilitator yang akrab dengan keinginan dan kebutuhan siswa(i). FGD : Siswa Belajar dengan Pola Baru Focus Group Discusion (FGD) memiliki paradigma membebaskan, dengan model pembelajaran ala orang dewasa, yaitu model pembelajaran yang memposisikan siswa sebagai subyek pembelajaran. Seluruh elemen yang hadir dalam forum ini, baik siswa maupun fasilitator memiliki posisi yang sama. Tidak ada yang harus diposisikan sebagai orang yang paling tahu. Tidak ada yang harus diajdikan sebagai “raja informa-

46 46

JURNAL EDUKASI. EDUKASI. NO.XII.2008 NO.XII.2008 JURNAL


si�, tidak ada pemilik tuggal yang memiliki forum ini. Forum FGD merupakan hak dan milik bersama dan harus dihidupkan secara bersama. Paradigma semacam itu, merupakan salah satu bentuk perwujudan adanya nuansa baru dalam belajar. Siswa(i) sama sekali tidak dipersepsikan sebagai makhluk bernyawa yang tanpa gerak dan kosong gagasan, tetapi sebagai makhluk kreatif yang sama-sama memiliki isi (gagasan atau informasi), sehingga bisa saling mengisi dan memberikan informasi. Oleh karena itu, siswa dan siswipun yang terlibat di forum ini, memiliki kebebasan mengemukakan pikiran dan pendapat, dengan difasilitasi oleh seorang fasilitator untuk memandu jalannya diskusi. Para siswa diajak untuk belajar mengekspresikan dan bahkan mengkritisi proses pembelajaran yang tengah dijalani, baik dari segi proses pembelajaran, metode pembelajaran, dan kurikulum. Bahkan, para perilaku mengajar para guru juga menjadi obyek diskusi mereka. Perilaku Guru yang Membosankan Siswa Proses pembelajaran seharusnya dapat dilakukan dengan cara yang ideal, yaitu memadukan antara tujuan pendidikan dengan kondisi dan kebutuhan siswa. Sebab, pendidikan memiliki arah untuk mencerdaskan bangsa, yang berarti peserta didik yang menjadi inti dalam proses pendidikan. Namun demikian, peserta didik dalam proses pembelajaran, ternyata masih cenderung dijadikan sebagai berhala yang harus mendengarkan dan mematuhi keinginan sistem pendidikan. Akibatnya, pendidikan hanya berjalan sendirian, tanpa menghiraukan posisi peserta didik. Keluhan yang muncul dalam FGD merupakan cerminan utuh tentang pembelajaran yang selama

ini dilakukan. Para siswa menganggap proses pembelajaran hanya dilakukan dengan cara pandang guru oriented, bukan siswa oriented, sehingga menghasilkan proses pembelajaran yang tidak kondusif bagi para siswa. Ada beberapa hal yang membuat siswa kurang simpati terhadap guru pada saat melakukan pembelajaran ; (1) Guru yang doyan memberi tugas, lalu pergi meninggalkan siswa menyelesaikan tugasnya, tanpa ada pendampingan, (2) Guru memberi tugas, lalu membaca buku, (3) Guru yanga otoriter di kelas, (4) Guru tidak taat waktu istirahat (sudah sampai jam istirahat, tetap melanjutkan pelajaran), (5) Guru tidak menguasai materi, (6) Guru suka mengancam siswa dengan cara memberikan nilai rendah, (7) Guru sering mengulang-ulang materi pelajaran yang telah diajarkan, (8) Guru yang terjebak dengan nilai oriented, yaitu guru yang selalu menekankan pada angka, bukan pada kualitas siswa, sehingga mendidik siswa hanya untuk mengejar raport, (9) Guru cuek saat menerangkan mata pelajaran, atau guru yang nulis terus tanpa memberikan penjelasan yang bisa memuaskan siswa, (10) Guru yang apatis dengan pertanyaan siswa. Biasanya membentak atau meng-down-kan siswa, (11) Guru yang tempremental, anti kritik, dan bermuka masam (marongo’), (12) Jam mata pelajaran terlalu panjang, sehingga melelahkan, (13) Tidak ada postes (setelah menyelesaikan KBM, guru yang bersangkutan tidak melaksanakan tes / evaluasi), (14) Guru merokok, pada saat berlangsung proses belajar mengajar, (15) Guru yang meng-anak emaskan salah satu siswa, misalnya bentuk penganakemasan itu, salah satu bentuknya ialah pada saat guru menerangkan selalu memandang ke arah siswa yang di-emaskan, (16) Guru kardi (karebbeh dhibi’), dan (17) Guru yang suka mengaktifkan HP pada saat jam belajar berlangsung.

Metode Pembelajaran Perspektif Siswa Metode pembelajaran yang baik tentu saja metode yang bisa diterima dengan baik oleh siswa, yaitu metode yang bisa mengakrabkan siswa dengan materi pelajaran yang disampaikan, karena berhasil dan tidaknya pembelajaran, sangat ditentukan oleh metode pembelajaran yang digunakan. Selama ini, banyak guru yang apatis dengan metode pembelajaran yang digunakan, sehingga menciptakan mutu pembelajaran tidak sesuai dengan harapan siswa. Padahal, mengajar tidak hanya sekedar keterampilan, tetapi mengajar merupakan seni yang membutuhkan pemikiran dan kecerdasan. Metode menyangkut strategi mengajar yang baik, dan mampu diterima dengan menarik oleh siswa. Dalam mengajar, ratarata guru menggunakan metode konvensional, sehingga membuat siswa menjadi bosan dalam mengikuti pembelajaran. Mengapa? Jawabannya tentu saja, karena metode pembelajaran yang digunakan oleh guru, tidak didasarkan pada kepentingan siswa. Apalagi belajar di ruang kelas, seringkali membuat siswa merasa bosan dan berpengaruh terhadap kondisi belajar siswa. Disinilah, seorang guru dituntut peka dalam menyiapkan strategi pembelajaran dengan metode yang tepat dan mengena. Sebab, tugas seorang guru bukan hanya “sebatas mengajar� dan mentransfer ilmu, tetapi juga harus mampu menciptakan proses pembelajaran bernilai seni dan mampu menarik minat siswa. Dalam proses pembelajaran, ada metode yang tidak disukai siswa, tetapi tetap dipakai oleh guru, dan terdapat metode yang sangat diharapkan oleh siswa, walaupun jarang ada guru yang mau melaksaksanakannya.

JURNAL EDUKASI. EDUKASI. NO.XII.2008 NO.XII.2008 JURNAL

47 47


A. Metode Pembelajaran Kurang Diminati Siswa 1. Metode Ceramah. Metode ceramah merupakan metode lama yang seringkali dipakai oleh guru saat melakukan proses pembelajaran. Metode ini memposisikan siswa sebagai obyek ceramah, karena guru cenderung menjadi pemilik utama ruang kelas. Dengan metode ceramah, seorang guru menyampaikan materi secara monoton dan terkesan menjadikan proses pembelajaran sebatas transfer informasi dari guru kepada siswa. Metode ini meniscayakan adanya hegemoni pengetahuan seorang guru, sehingga melahirkan dominasi atas siswa. Proses pembelajaran berlangsung satu arah, dimana seorang guru menceramahi siswa secara monoton. 2. Metode Hafalan. Metode ini lebih menekankan pada daya hafal. Siswa dituntut untuk menghafal beberapa materi di luar kepala, secara tekstual, walaupun kadang, banyak siswa yang tidak memahami apa yang dihafal. Metode hafalan, hanya mengajak siswa menghafal sebanyak mungkin materi yang diberikan. Akibat selalu menghafal, banyak siswa yang tidak simpati dengan metode ini. Selain, membebani siswa, metode ini juga kurang pas diterapkan karena tidak lebih hanya mementingkan cara belajar “mengingat teks�, daripada memahami substansi materi pelajaran. B. Metode Pembelajaran Diminati Siswa 1. Metode Diskusi Kelompok. Metode ini merupakan metode mendiskusikan satu masalah sesuai dengan materi pelajaran. Siswa diberikan hak untuk mendiskusikan materi pelajaran, sesuai dengan wawasan dan pengetahuan mereka sendiri. Metode ini

48 48

sangat diganderungi oleh siswa, karena selain dapat membangkitkan kompetisi kognitif di kalangan siswa, mengadu wawasan, juga sebagai ajang melatih siswa mengeluarkan pendapat di tengah-tengah teman mereka sendiri. 2. Praktek Langsung. Metode ini lebih menekankan pada prakek, daripada konsep. Guru mengajar dengan praktik langsung di lapangan. Yaitu, guru yang tidak hanya membuat siswa bergantung pada teori, tetapi dapat menerapkannya secara langsung. Setiap teori yang diajarkan, tidak diberikan sebatas penjelasan bil lisan, tetapi diberikan dalam bentuk mempraktekkan langsung materi tersebut di lapangan, sehingga siswa bisa langsung memahami dan mempraktekkan apa yang dipelajarinya secara utuh. 3. Metode Game ( permainan). Game (role play) adalah permainan yang paling disenangi oleh siswa. Apalagi, sesuai dengan tingkat umur mereka, bermain masih menjadi sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan. Metode bermain, berkembang sejak beberap tahun terakhir ini dan cenderung diterapkan dalam beberapa pelatihan (sekolah) dengan paradigma belajar ala orang dewasa. Belajar yang selama ini dikenal sangat serius dan formal, sehingga acapkali menciptakan kebosanan, bisa dipecahkan dengan satu metode bermain ini. Menerapkan metode game, selain mengajak siswa selalu riang gembira, juga memiliki dampak yang baik bagi perkembangan siswa. Dalam metode ini, guru mencoba mengajarka siswa dalam bentuk permainan, yang mudah dicerna. Bila dibandingkan dengan metode konvensional, metode ini tampak fleksibel dan dinamis dalam rangka merangsang minat belajar siswa. 4. Metode Multi Media (Laboratorium). Metode ini mencoba memanfatkan media dalam proses

JURNAL EDUKASI. EDUKASI. NO.XII.2008 NO.XII.2008 JURNAL

pembelajaran, salah satunya melalui media teknologi modern, misalnya komputer maupun internet, maupun CD dan televisi. Dengan metode ini guru langsung memberikan gambaran yang jelas tentang satu masalah sesuai dengan materi yang diajarkan. Misalnya, materi biologi, seorang guru bisa langsung menyediakan CD tentang biologi dan televisi atau bahkan memanfaatkan fasilitas yang telah disediakan dalam LAB sebagai medianya. 5. Metode Study Lapangan. Studi lapangan merupakan proses pembelajaran yang mencoba mengarahkan siswa terlibat langsung di lapangan untuk melakukan studi. Siswa diajarkan bagaimana melakukan studi lapangan terkait dengan materi yang dipelajari, sehingga siswa bisa mencari sendiri, menguraikanya sendiri, dan menyimpulkannya sendiri. 6. Metode Belajar di TempatTempat Out Dor. Belajar di ruang kelas secara terus menerus, bisa menjadi penyebab munculnya rasa jenuh. Sebab, kelas secara tidak langsung menyimbolkan tentang lingkungan belajar yang mengekang. Temboktembok yang mengurung siswa selama berlangsung proses belajar mengajar, tidak menutup kemungkinan membuat siswa stress, sehingga menghilangkan minat belajar. Metode ini merupakan metode belajar yang bisa menyegarkan kondisi siswa, karena belajar di tempat terbuka mengekspresikan tentang adanya kebebasan, sesuai dengan tujuan pendidikan untuk membebaskan siswa. Metode belajar di alam terbuka, bisa melahirkan sesuatu yang baru bagi siswa, karena inspirasi dan motivasi untuk terus belajar bisa lahir dari tempat yang terbuka. Dari Siswa untuk Pengelola Pendidikan Berbagai problem pembelajaran di atas tentu saja merupakan fenom-


ena lama yang terus terjadi dan tidak bisa dipecahkan. Padahal, dalam proses pembelajaran, siswalah yang menjadi fokus pembelajaran. Suara siswa di atas, merupakan suara kejujuran tentang kondisi pembelajaran dalam pendidikan kita saat ini. Berbagai harapan dan mimpi ideal siswa-siswi di atas tidak akan mungkin akan menjadi kenyataan, tanpa adanya kearifan dan kebijaksanaan para pengelola kebijakan pendidikan, baik sekolah maupun pemerintah. Oleh karena itu, problem pembelajaran di atas, menurut para siswa hanya bisa dilakukan dengan cara mengoptimalkan peran sekolah dan pengelola kebijakan untuk secara konsisten melakukan langkah-langkah alternatif dalam rangka memecahkan masalah ini. FGD ini pada akhirnya menyepakati beberapa rekomendasi yang harus dipikirkan oleh pihak pengelola pendidikan di masa-masa yang akan datang. 1. Pihak Sekolah. Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran serta menciptakan pembelajaran yang berpihak terhadap kebutuhan siswa, pihak sekolah perlu melakukan langkah-langkah strategis. Pertama, pihak sekolah harus melakukan kontrol yang intensif terhadap metode pembelajaran yang diterapkan oleh setiap guru, sehingga tetap mengarah pada upaya menciptakan pola dan arah pembelajaran yang menekankan pada kepentingan siswa. Kedua, mengadakan pelatihan tentang pembelajaran yang efektif dan nyaman terhadap para guru. Ketiga, memilih guru yang ahli di bidangnya dan memiliki kemampuan mengajar yang baik. Keempat, sekolah harus menyusun kurikulum yang didasarkan pada kebutuhan dan kemampuan siswa. Kelima, sekolah harus menindak guru yang bertindak sewenang-wenang terhadap siswa. Keenam, sekolah harus melaksanakan sharing dengan siswa sebagai media evaluasi bersama tentang perbelajaran yang telah berlangsung. 2. Pemegang Kebijakan Pendidikan (DIKNAS-DEPAG). Demikian pula halnya dengan pihak DIKNAS-DEPAG, harus menyiapkan kebijakan-kebijakan strategis dalam rangka menyelesaikan berbagai problem pembelajaran di kalangan siswa di lembaga di bawah naungan kedua instansi tersebut. Pertama, pemerintah (DIKNAS-DEPAG) harus melaksanakan pertemuan dengan semua guru untuk membicarakan tentang pembelajaran yang dilakukan, sekaligus mencari solusi yang baik dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran. Kedua, menyiapkan anggaran untuk buku panduan (materi pelajaran) yang gratis kepada siswa. Keempat, menyiapkan anggaran untuk mengembangkan fasilitas belajar di semua lembaga yang ada di Sumenep, tanpa pandang bulu. Kelima, memberikan kebebasan kepada sekolah untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan di sekolah masing-masing. Keenam, pemerintah harus bisa memperlakukan setiap lembaga pendidikan (negeri-swasta) dengan seimbang. Ketujuh, dalam merekrut guru, pemerintah harus menekankan pada kemampuan, bukan pada ijazah, karena ijazah tidak bisa dijadikan sebagai parameter untuk mengukur kualitas mengajar sesee orang. (Muhammad Suhaidi RB) g JURNAL EDUKASI. EDUKASI. NO.XII.2008 NO.XII.2008 JURNAL

49 49


.... dari halaman 47

Cara-cara ini, memang terkesan sangat berat dilakukan oleh guru yang baru, tetapi ke depan semua akan bisa diperbaiki secara bertahap. Pembelajaran sudah harus dilakukan dengan baik, tidak lagi dengan cara-cara lama, tetapi mengacu pada proses pembelajaran yang dibutuhkan saat ini, sehingga para guru harus mampu menerapkannya. Di SMA 1 Sumenep, memang telah memiliki internet, bahkan kemarin telah me-launching hot spot, sehingga akan mempermudah bagi siswa dalam membuka internet. Hal ini tentu saja secara perlahan harus bisa merubah paradigma guru dalam cara mengajar. Misalnya guru bisa menugaskan siswa untuk mencari materi tugas di internet, atau bahkan ada materi-materi yang kalau misalnya guru tidak mau membuka internet, akan kalah saing dengan siswa-siswanya. Apa yang dilakukan Anda ketika SDM guru menjadi faktor mendasar dalam proses pembelajaran yang baru, seperti yang telah Anda katakan? Sejak tahun kemarin, SMA I telah menjadi sekolah dalam katagori sekolah mandiri (KM). Seperti yang Anda ketahui, saat ini telah ada beberapa katagori sekolah untuk SMA, antara lain sekolah dalam katagori standar, katagori mandiri, dan ada katagori sekolah berstandar internasional. Kami merencanakan dua tahun lagi, SMA 1 bisa menjadi SBI (Sekolah Bertaraf Internasional), sehingga dengan adanya kelas unggulan yang ada di SMA I bias menjadi cikal bakal untuk menjadi sekolah bertaraf internasional, di samping para guru harus bisa meningkatkan SDM-nya, sehing-ga pembelajaran yang dilakukan akan dapat memenuhi tujuan dan target yang ingin kami capai, terutama dalam bahasa Ingris dan cara mengajar

50

yang harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan internasional. Selain sebagai kepala sekolah, Anda juga memiliki pengalaman mengajar. Media pembelajaran apa yang Anda gunakan selama ini? Di SMA 1, saya juga mengajar selama enam jam. Banyak sekali (media pembelajaran, edit) yang digunakan, karena saya mengajar bahasa Ingris. Kita bisa memakai komputer, video, dan film, kalau memang siswa sudah tinggi. Artinya, media ini bias diberikan kepada siswa yang tidak lagi belajar tentang dasar-dasar bahasa Ingris, seperti tentang struktur bahasa atau yang lain. Anak-anak langsung diberi contoh, misalnya dengan cara memutar film berbahasa Ingris, kemudian setelah selesai menonot, mereka diminta membuat karangan atau cerita dari apa yang telah dilihat, atau menceritakan kembali dengan menggunakan bahasa Ingris. Selain itu, juga bisa memakai game atau masih banyak sekali yang bisa digunakan. Dari sekian media pembelajaran yang Anda gunakan, media pembelajaran apa yang paling disenangi oleh siswa? Anak-anak sebenarnya senang terhadap pembelajaran yang bisa menyenangkan daripada hanya mengajar dengan ceramah. Apalagi kemampuan anak-anak sangat beragam. Apabila saya mengajar dengan bagus dan lancar, dengan memakai ICT dan diskusi, seperti yang diterapkan di kelas ungggulan, tentu saja akan berjalan dengan lancar. Tetapi, kalau diterapkan di kelas regular, hanya beberapa anak yang bisa aktif. Apalagi, kalau sudah menjadi Sekolah Standar Nasional, mungkin dalam jangka satu tahun atau dua tahun lagi, setiap kelas harus terdiri dari 40 siswa, paling banyak mungkin hanya 32 orang siswa. Sekarang, kondisinya masih

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

belum memungkinkan untuk menerapkan model seperti itu. Insyaallah, satu tahun lagi SMA I, akan mengambil siswa baru maksimal 32 siswa, atau bahkan hanya 25 siswa setiap kelas, sehingga proses pembelajaran bisa kondusif untuk menerapkan model pembelajaran yang modern. Apa yang Anda rasakan pada saat menerapkan pembelajaran dengan media pembelajaran yang baru, terutama di kalangan guru yang lain? Pertama, paradigma guru dalam mengajar masih kesulitan menerima dan menerapkan paradigma pembelajaran yang baru, karena mereka telah biasa sekian lama menerapkan pembelajaran dengan cara-cara yang lama. Kedua, mengajar dengan memakai ICT merupakan paradigma baru, sehingga menuntut para guru bisa menguasai media yang terkait dengan ICT. Ketiga, masalah biaya. Misalnya biaya membuka internet dan biaya yang lain. Terkait dengan beragamnya pembelajaran multi media yang saat ini terus dikembangkan, bagaimana menurut Anda? Pembelajaran dengan cara baru memang harus dilakukan, seperti yang telah dilakukan di beberapa Negara lain. KArena media pembelajaran merupakan alat, sehingga apabila alat tersebut memang baik untuk digunakan dalam pendidikan, tentu saja harus diterapkan dan dilaksanakan. Walaupun, kita tidak boleh mendewakan alat, karena anak bisa belajar dengan sendirinya tanpa bantuan guru, dengan memakai media pembelajaran yang ada saat ini. Tetapi, kalau dilihat dari sisi kematangan emosi, sebenarnya masih tetap membutuhkan seorang guru di dalam pembelajaran.


.... dari halaman 45

Sedangkan kelemahan metode diskusi adalah tidak dapat dipakai dalam kelompok yang besar, peserta diskusi mendapat informasi yang terbatas, Dapat dikuasai oleh orang-orang yang suka berbicara, biasanya orang menghendaki pendekatan yang lebih formal. 3. Metode demontrasi (Demonstration method)4. Metode demonstrasi adalah metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang sedang disajikan. Metode demonstrasi adalah metode yang digunakan untuk memperlihatkan sesuatu proses atau cara kerja suatu benda yang berkenaan dengan bahan pelajaran. Manfaat psikologis pedagogis dari metode demonstrasi adalah perhatian siswa dapat lebih dipusatkan, proses belajar siswa lebih terarah pada materi yang sedang dipelajari, pengalaman dan kesan sebagai hasil pembelajaran lebih melekat dalam diri siswa. Kelebihan metode demonstrasi ialah, membantu anak didik memahami dengan jelas jalannya suatu proses atau kerja suatu benda, memudahkan berbagai jenis penjelasan, kesalahan-kesalahan yang terjadi dari hasil ceramah dapat diperbaiki melalui pengamatan dan contoh konkret, dengan menghadirkan obyek yang sebenarnya. Sedangkan kelemahan metode demonstrasi, yaitu, anak didik terkadang sukar melihat dengan jelas benda yang akan dipertunjukkan, tidak semua benda dapat didemonstrasikan, sukar dimengerti bila didemonstrasikan oleh guru yang kurang menguasai apa yang didemonstrasikan. 4. Metode ceramah plus. Metode ceramah plus5 adalah teori mengajar yang menggunakan lebih dari

satu metode, yakni metode ceramah yang digabungkan dengan metode lainnya. Dalam hal ini, penulis akan menguraikan tiga macam metode ceramah plus yaitu: (a) Metode ceramah plus tanya jawab dan tugas (CPTT). Metode ini merupakan metode mengajar gabungan antara ceramah dengan tanya jawab dan pemberian tugas. Metode campuran ini, idealnya dilakukan secara tertib, meliputi : penyampaian materi oleh guru, pemberian peluang bertanya jawab antara guru dan siswa, pemberian tugas kepada siswa. (b) metode ceramah plus diskusi dan tugas (CPDT). Metode ini dilakukan secara tertib sesuai dengan urutan kombinasinya. Guru menguraikan materi pelajaran, kemudian mengadakan diskusi, dan akhirnya memberi tugas (c) Metode ceramah plus demonstrasi dan latihan (CPDL). Metode ini merupakan kombinasi antara kegiatan menguraikan materi pelajaran dengan kegiatan memperagakan dan latihan (drill). 5. Metode resitasi6 ( recitation method ). Metode resitasi adalah suatu metode mengajar dimana siswa diharuskan membuat resume dengan kalimat sendiri. Kelebihan metode resitasi sebagai berikut: a. Pengetahuan anak didik diperoleh dari hasil belajar sendiri akan dapat diingat lebih lama. b. Anak didik berkesempatan memupuk perkembangan dan keberanian mengambil inisiatif, bertanggung jawab dan berdiri sendiri. Kelemahan metode resitasi sebagai berikut: a. Terkadang anak didik melakukan penipuan dimana anak didik hanya meniru hasil pekerjaan temennya tanpa mau bersusah payah mengerjakan sendiri. b. Terkadang tugas dikerjakan oleh orang lain tanpa pengawasan. c. Sukar memberikan tugas yang memenuhi perbedaan

individual. 6. Metode percobaan ( Experimental method ). Metode percobaan adalah metode pemberian kesempatan kepada anak didik perorangan atau kelompok, untuk dilatih melakukan suatu proses atau percobaan. Metode percobaan adalah suatu metode mengajar yang menggunakan tertentu dan dilakukan lebih dari satu kali. Misalnya di Laboratorium. Kelebihan metode percobaan sebagai berikut: a. Metode ini dapat membuat anak didik lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya sendiri daripada hanya menerima kata guru atau buku. b. Anak didik dapat mengembangkan sikap untuk mengadakan studi eksplorasi (menjelajahi) tentang ilmu dan teknologi. c. Dengan metode ini akan terbina manusia yang dapat membawa terobosan-terobosan baru dengan penemuan sebagai hasil percobaan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kesejahteraan hidup manusia. Kekurangan metode percobaan sebagai berikut: a. Tidak cukupnya alat-alat mengakibatkan tidak setiap anak didik berkesempatan mengadakan ekperimen. b. Jika eksperimen memerlukan jangka waktu yang lama, anak didik harus menanti untuk melanjutkan pelajaran. c. Metode ini lebih sesuai untuk menyajikan bidang-bidang ilmu dan teknologi. 7. Metode Karya Wisata7 ( Study tour method ). Metode karya wisata adalah suatu metode mengajar yang dirancang terlebih dahulu oleh pendidik dan diharapkan siswa membuat laporan dan didiskusikan bersama dengan peserta didik yang lain serta didampingi oleh pendidik, yang kemudian dibukukan. Kelebihan metode karyawisata sebagai berikut: a. Karyawisata menerapkan prinsip

4 Dikutip dari kurikulum SMP Negeri 1 Lenteng 2008 Model-model Pembelajaran Alternatif. Hal 11 5 http:// chim. Voldusta. Edu/ wuitt/ edpsyint. html 6 Ibid 7 Ibid

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

51


pengajaran modern yang memanfaatkan lingkungan nyata dalam pengajaran. b. Membuat bahan yang dipelajari di sekolah menjadi lebih relevan dengan kenyataan dan kebutuhan yang ada di masyarakat. c. Pengajaran dapat lebih merangsang kreativitas anak. Kekurangan metode karyawisata sebagai berikut: a. Memerlukan persiapan yang melibatkan banyak pihak. b. Memerlukan perencanaan dengan persiapan yang matang. c. Dalam karyawisata sering unsur rekreasi menjadi prioritas daripada tujuan utama, sedangkan unsur studinya terabaikan. d. Memerlukan pengawasan yang lebih ketat terhadap setiap gerak-gerik anak didik di lapangan. e. Biayanya cukup mahal. f. Memerlukan tanggung jawab guru dan sekolah atas kelancaran karyawisata dan keselamatan anak didik, terutama karyawisata jangka panjang dan jauh. 8. Metode latihan keterampilan ( drill method ). Metode latihan keterampilan adalah suatu metode mengajar , dimana siswa diajak ke tempat latihan keterampilan untuk melihat bagaimana cara membuat sesuatu, bagaimana cara menggunakannya, untuk apa dibuat, apa manfaatnya dan sebagainya. Contoh latihan keterampilan membuat tas dari mute/pernik-pernik. Kelebihan metode latihan keterampilan sebagai berikut: a. Dapat untuk memperoleh kecakapan motoris, seperti menulis, melafalkan huruf, membuat dan menggunakan alat-alat. b. Dapat untuk memperoleh kecakapan mental, seperti dalam perkalian, penjumlahan, pengurangan, pembagian, tandatanda/simbol, dan sebagainya. c. Dapat membentuk kebiasaan dan menambah ketepatan dan kecepatan pelaksanaan. Kekurangan metode latihan keterampilan sebagai berikut : a. Menghambat bakat dan inisiatif anak didik karena anak didik lebih banyak dibawa kepada penyesuaian dan diarahkan kepada jauh dari pengertian. b. Menim-

52

bulkan penyesuaian secara statis kepada lingkungan. c. Kadangkadang latihan yang dilaksanakan secara berulang-ulang merupakan hal yang monoton dan mudah membosankan. d. Dapat menimbulkan verbalisme. 9. Metode mengajar beregu 8 (team teaching method ). Metode mengajar beregu adalah suatu metode mengajar dimana pendidiknya lebih dari satu orang yang masingmasing mempunyai tugas. Biasanya salah seorang pendidik ditunjuk sebagai kordinator. Cara pengujiannya, setiap pendidik membuat soal, kemudian digabung. Jika ujian lisan maka setiap siswa yang diuji harus langsung berhadapan dengan team pendidik tersebut. 10. Metode mengajar sesama teman ( peer teaching method ). Metode mengajar sesama teman adalah suatu metode mengajar yang dibantu oleh temannya sendiri 11. Metode pemecahan masalah9 ( problem solving method ). Metode ini adalah suatu metode mengajar yang mana siswanya diberi soal-soal, lalu diminta pemecahannya. 12. Metode Global (ganze method ), yaitu suatu metode mengajar dimana siswa disuruh membaca keseluruhan materi, kemudian siswa meresume apa yang dapat mereka serap atau ambil intisari dari materi tersebut. Tipe Belajar Siswa Mengetahui tipe belajar siswa membantu guru untuk dapat mendekati semua atau hampir semua murid hanya dengan menyampaikan informasi dengan gaya yang berbeda-beda yang disesuaikan dengan tipe belajar siswa. Beberapa Tipe Belajar Siswa Sebagai Berikut: 1. Tipe Belajar Visual. Bagi siswa yang bertipe belajar visual, yang mememgang peranan penting adalah mata atau penglihatan ( visual ), dalam hal ini metode pengajaran yang digunakan guru se-

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

baiknya lebih banyak atau dititikberatkan pada peragaan atau media, ajak mereka ke obyek-obyek yang berkaitan dengan pelajaran tersebut, atau dengan cara menunjukkan alat peraganya langsung pada siswa atau menggambarkannya di papan tulis10. Ciri-ciri Tipe Belajar Visual: Bicara agak cepat . Mementingkan penampilan dalam berpakaian/presentasi. Tidak mudah terganggu oleh keributan. Mengingat yang dilihat, dari pada yang didengar. Lebih suka membaca dari pada dibacakan. Pembaca cepat dan tekun. Seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan, tapi tidak pandai memilih kata-kata. Lebih suka melakukan demonstrasi dari pada pidato. Lebih suka musik dari pada seni. Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan seringkali minta bantuan orang untuk mengulanginya. Mengingat dengan Asosiasi Visual 2. Tipe Belajar Auditif. Siswa yang bertipe auditif mengandalakan kesuksesan belajarnya melalui telinga ( alat pendengarannya ), untuk itu maka guru sebaiknya harus memperhatikan siswanya hingga ke alat pendengarannya. Karena akan sia-sialah guru yang menerangkan kepada siswa tuli, walaupun guru tersebut menerangkan dengan lantang , jelas dan dengan intonasi yang tepat. Ciri-ciri Tipe Belajar Auditif: Saat bekerja suka bicaa kepada diri sendiri, Penampilan rapi, Mudah terganggu oleh keributan, Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan dari pada yang dilihat. Senang membaca dengan keras dan mendengarkan, Menggerakkan bibir mereka dan mengu8

Ibid lih, Elaine B. Johnson, PH.D, Contextual Teaching Learning (CTL): Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasikkan dan Bermakna, (Bandung, MLC, 2007), hal 21 10 lih, James Le Fanu, Deteksi Dini Masalah-Masalah Psikologi Anak, (Jogjakarta, Think,2008), hal 320. cetakan ke 4. 9


capkan tulisan di buku ketika membaca, Biasanya ia pembicara yang fasih, Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya, Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik, Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan Visual, seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain, Berbicara dalam irama yang terpola, Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, berirama dan warna suara 3. Tipe Belajar Kinestetik. Siswa yang bertipe belajar ini belajarnya melalui gerak dan sentuhan. Ciri-ciri Tipe Belajar Kinestetik: Berbicara perlahan, Penampilan rapi, Tidak terlalu mudah terganggu dengan situasi keributan, Belajar melalui memanipulasi dan praktek. Menghafal dengan cara berjalan dan melihat , Menggunakan jari sebagai petunjuk ketika membaca, Merasa kesulitan untuk menulis tetapi hebat dalam bercerita, Menyukai bukubuku dan mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca, Menyukai permainan yang menyibukkan, Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang pernah berada di tempat itu. Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi 4. Tipe Belajar Taktil. Taktil artinya rabaan atau sentuhan. Siswa yang seperti ini penyerapan hasil pendidikannya melaui alat peraba yaitu tangan atau kulit. Contoh : mengatur ruang ibadah, menentukan buah-buahan yang rusak (busuk) 5. Tipe Belajar Olfaktoris. Keberhasilan siswa yang bertipe olfaktoris , tergantung pada alat indra pencium, tipe siswa ini akan sangat cepat menyesuaikan dirinya dengan suasana bau lingkungan. Siswa tipe ini akan cocok bila bekerja di : laboratorium 6. Tipe Belajar Gustative.

Siswa yang bertipe gustative ( kemampuan mencicipi ) adalah mereka yang mencirikan belajarnya lebih mengandalkan kecapan lidah. Mereka akan lebih cepat memahami apa yang dipelajarinya melalui indra kecapnya. 7. Tipe Belajar Kombinatif11. Siswa bertipe kombinatif adalah siswa yang dapat dan mampu mengikuti pelajaran dengan menggunakan lebih dari satu alat indra.Ia dapat menerima pelajaran dangan mata dan telinga sekaligus ketika belajar. Karena banyak ragam tipe belajar siswa, maka kita sebagai pendidik hendaknya mengenali betul anak didik kita dan hendaknya pendidik memiliki berbagai metode mengajar, agar siswa dapat menerima atau mengerti apa yang disampaikan oleh gurunya dengan seefektif dan seefisien mungkin. Faktor yang mempengaruhi belajar siswa adalah a. Faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), yaitu kondisi/keadaan jasmani dan rohani siswa b. Faktor ekstenal (faktor dari luar siswa), yaitu kondisi lingkungan disekitar siswa. c. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yaitu jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran. Untuk memperjelas uraian mengenai faktor-faktor yang 11

mempengaruhi belajar siswa, perhatikan bagan di bawah ini: Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Belajar Ragam Faktor dan Elemennya Internal Siswa Eksternal Siswa Pendekatan Belajar Siswa 1. Aspek Fisiologis :- Tonus Jasmani- Mata dan telinga. 2. Aspek Psikologisintelegensi- sikap- minat- bakatmotivasi. Penutup Beberapa metode mengajar sebaiknya dikuasai dan divariasikan oleh pendidik, dengan tujuan pada saat mengajar dipraktekkan langsung, agar siswa yang terdiri dari bebrapa tipe belajar tersebut dapat menyimak, menerima, mencerna dan mengerti, sehingga peserta didik dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti adanya perubahan tingkah laku yang positif yaitu dari tidak tahu menjadi tahu, wawasannya lebih luas, tutur katanya lebih sopan serta gaya hidupnyapun lebih berbobot. Metode mengajar jelas erat hubungannya dengan tipe belajar peserta didik, karena dalam proses belajar mengajar yang baik adalah apabila terjadi interaksi antara peserta didik dengan pendidik. Untuk itu maka pendidik harus dapat menciptakan situasi yang nyaman, membangkitkan semangat belajar, menggairahkan dan membuat e siswa antusias untuk belajar. g

Lop. Cit. hal. 45

Daftar Pustaka Dewey, John. 1996. Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education. New York: Free Press. Fanu, James Le. 2008 Deteksi Dini Masalah-Masalah Psikologi Anak. Jogjakarta: Think. cetakan ke 4. http:// chim. Voldusta. Edu/ wuitt/ edpsyint. html Johnson, B Elaine, PH. D.2007. Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikkan dan Bermakna (terjemahan). Jakarta: Mizan Learning Center (MLC). Kamus Bahasa Indonesia Kembara, Maulia D., M.Pd. 2007. Home Schooling. Bandung: Progresio. Murtadho, Ali S.Pd.I & Siswanto, Muhammad Zuki. 2006. Seni Belajar: Strategi Menggapai Kesuksesan Anak. Jakarta: Kjalifa. Rose, Colin & Malcolm J. Nicholl. 2002. Accelerated Learning For The 21st Century . Bandung: Nuansa. Wahyudin. 2007. A to Z Anak Kreatif. Jakarta: Gema Insani Press.

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

53


artikel artikel utama utama

Memanfaatkan Fungsi Media Pembelajaran dalam Pembelajaran IPA-FISIKA

Rusdi

R usdi, A.Md A.Md, lahir di Sumenep, 14 Oktober 1971. Pengalaman pendidikannya dimulai di SDN Batuputih Kenek 1985, SMP Negeri 1 Batuputih 1988, MA 1 An-Nuqayah Guluk-Guluk 1994, kemudian pendidikan tingginya dilnajutkan di STKIP Universaitas Lambung Mangkurat, Banjarmasih 1997. Mengajar di SMP Ar-Riyadl BAnjarmasin 1997, SMA Ar-Riyadl Banjarmasin 1997, SDN Karangharjo 3 Jember 2004, SMPN 1 Batuputih 2005, dan SMPN 1 Masalembu (sekarang).

Pendahuluan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah sebuah materi yang membahas serta mempelajari alam semesta ini, atau ilmu yang menganalisis peristiwa-peristiwa di alam. Dapat pula dikatakan bahwa IPA adalah pengetahuan tentang alam semesta dan isinya.1 Pembelajaran ilmu pengetahuan alam secara khusus meliputi pengetahuan Fisika, Biologi dan Kimia, seperti yang terakumulasi dalam jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama. Pada kesempatan ini pembahasan terbatas pada mata pelajaaran IPA-fisika. Fisika adalah merupakan salah satu komponen dalam mata pelajaran Ilmu Pengeetahuan Alam di SMP. Fisika dalam bahasa Yunani berasal dari kata physikos yang artinya alamiah atau physis yang artinya alam. Jadi fisika adalah sains atau ilmu tentang alam dalam makna yang terluas. Fisika mempelajari gejala alam yang tidak hidup atau materi dalam lingkup ruang dan waktu. Beberapa sifat yang dipelajari dalam fisika menjelaskan sifat yang ada dalam semua sistem materi yang ada, seperti hukum kekekalan energi. Sifat semacam ini sering disebut sebagai hukum fisika.2 Fisika sering disebut sebagai “ ilmu paling mendasar “ karena setiap ilmu alam lainnya (Biologi, Kimia, Geologi dan sebagainya) mempelajari jenis sitem materi tertentu yang mematuhi hukum fisika. Dalam analis pengertian lain, fisika adalah

54

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

ilmu tentang materi (zat) dan energi. Materi yang memungkinkan dunia industri dan teknologi tinggi terus maju dan berkembang, adalah segala sesuatu yang dapat kamu lihat dan dapat kamu sentuh. Materi dapat berada dalam tida wujud, yaitu : padat, cair dan gas.3 Fisika pada hakikatnya adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena alam baik yang hayati maupun nonhayati berdasarakan prinsip-prinsip yang sederhana dan berlaku universal (Budi Santoso : 1991). Fisika merupakan pelajaran tentang kejadian dalam alam yang memungkinkan penelitian dengan percobaan, pengukuran apa yang didapat, penyajian secara matematis dan berdasarkan peraturan-peraturan umum (Brockhaus : 1972).4 Statement yang lain mengatakan bahwa fisika adalah studi tentang energi dan cara mereka (energi) berinteraksi.5 1 Sutarman dkk, Modul Pendidikan IPA untuk D2 PGSD/MI, makalah tidak diterbitkan. 2 Didit T Chandra, Bagaiman Membuat Pembelajaran Listrik Menjadi Menarik ?, (Pelangi Pendidikan, Buletin, edisi IV/April 2006) hal. 51 3 Suroso AY, Anna Permanasari, Kardiawarman, Ensiklopedi Sains dan Kehidupan, (CV Tarity Samudra Berlian, 2003) hal. 157 4 Trianto, S.Pd, Menghilangkan Image Fisika Sulit dan Tidak Menarik, (Media No. 05 2002) hal. 7 5 Janice VanCleave, Science Through The Ages : Sains Dari Masa Ke Masa, (Bandung : Pakar Raya, 2004) hal. 4


Prinsip prinsip para ilmuan sehubungan dengan fisika secara definitif dapat disimpulkan bahwa fisika adalah ilmu pengetahuan yang berkorelasi dengan bidang alam semesta dengan motodologi yang berdasarkan implikasi ilmiah. Dengan konsep ini dapat dimaknai bahwa fisika harus bersifat universal serta malalui analisis yang obyektif, tidak didasari oleh subyektifitas apalagi yang bersifat tidak transparan alias terdapat image yang bersifat pribadi. Mata pelajaran IPA-fisika merupakan ilmu pengetahuan yang erat keitannya dengan teknologi. Teknologi adalah implikasi dari sebuah ilmu pengetahuan. Aplikasi dari ilmu pengetahuan itulah yang merupakan produk berupa teknologi. Menguasi teknologi merupakan prasyarat dari sebuah kaharusan yang harus dimiliki oleh sebuah bangsa yang ingin berperan aktif dalam kancah dunia global. Fisika adalah salah satu materi pokok yang merupakan landasan diterminan praktis untuk menguasai teknologi. Fisika bukan satu-satunya materi yang mengajak anak didik kepada penguasaan teknologi, akan tetapi materi ini mendominasi praktik aksilerasi parsial yang mungkin lebih mengacu kepada pendekatan konsep teknologi. Dengan konsep terapan pengetahuan guna mencapai penguasaan teknologi yang lebih mumpuni, maka perlu kiranya adanya sebuah analisis khusus berkenaan dengan strategi pembelajaran fisika. Hal ini agar tidak menimbulkan image tidak baik (negatif) sehubungan dengan materi fisika. Strategi pembelajaran diperlukan guna lebih mengedepankan pemahaman konsep, sehingga pembelajaran lebih bermakna dan punya arti yang lebih mencerminkan jiwa keilmiahan, atau metodologi ilmuwan yang semakin terealisasi dalam pemikiran anak didik. Di samping itu, tentu tidak

kalah pentingnya lagi optimalisasi fungsi media yang dalam hal ini sebagai penmyempurna di dalam sebuah teknik pembelajaran. Media adalah alat atau sarana yang sekiranya dapat mendukung terciptanya proses belajar mengajar yang lebih kreatif. Media tidak perlu bersifat komplit materialis, tetapi dengan kreativitas yang sedikit kritis guru diharapkan mampu mempergunakan lingkungan alam sekitar yang sederhana tapi bermakna. Makna Pembelajaran IPA-Fisika Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa fisika dalah mata pelajaran yang bersifat paling mendasar. Jadi materi ini mempunyai makna tersendiri pada diri siswa apabila kita mampu memberikan inisiatif steorotif terhadap peserta didik. Sering tanpa terduga (atau mungkin juga disadari) bahwa kita memberikan kesan sulit kepada anak didik kita sehubungan dengan materi fisika. Rumus-rumus, matematis serta pemahaman konsep yang sedikit jlimet adalah berperan aktif terhadap kecenderungan anak didik untuk mengatakan bahwa fisika memang sulit. Oleh karena itu, maka dituntut adanya farian metode, strategi, dan atau teknik dalam pelaksanaan kegiatan belajaar mengajar. Mata pelajaran ini akan lebih bermakna apabila dikorelasikan serta direaksikan dengan konsep kehidupan sehari-hari, dan juga lebih melibatkan siswa untuk menemukan konsep yang kita inginkan. Fisika adalah mata pelajaran yang produknya melaui metode ilmiah. Oleh karena itu maka makna kejujuran, transparansi, keakuratan observasi, keterbukaan terhadap kritik dan saran adalah merupakan teknik dasar dalam pembelajaran materi ini. Tentu arah tujuan yang

ingin kita capai harus melalui pendekatan keterampilan proses. Pendekatan ini akan memberikan sebuah pemahaman yang lebih bermakna terhadap peserta didik. Untuk lebih memahami makna pembelajaran (fisika), perlu kiranya memahami apa itu arti mengajar. Arifin (1978) mendefinisikan bahwa mengajar adalah suatu rangkaian kegiatan penyampaian bahan pelajaran kepada murid agar dapat menerima, menanggapi, menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran tersebut.6 Tyson dan Caroll (1970) mengemukakan bahwa mengajar adalah “ a way working with student ‌ A process of interaction, the teacher does something to students, the students do something in return.â€? Mengajar adalah sebuah cara atau proses timbal balik antara siswa dan guru yang sama-sama aktif melakukan kegiatan.7 Dari beberapa makna mengajar seperti yang tersebut di atas secara definitif dapat diartikan bahwa pengertian metodologi pengajaran adalah ilmu yang mempelajari cara-cara untuk melakukan aktifitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri-dari pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan sehingga proses belajar berjalan dengan baik dalam arti tujuan pengajaran tercapai. Strategi Pembelajaran IPA-Fisika Secara sederhana strategi dimaknai sebagai salah satu cara yang telah disusun dalam sebuah tatanan yang utuh dengan urutan langkah yang jelas (I Nyoman Sudana Degeng, 1997). Makna yang lain dapat diartikan sebagai seni (art) melaksanakan strategi yakni siasat atau rencana (Mc. Leod, 1989). Pakar psikologi pendidikan

6 Masnur Muslich, KTSP : Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, (Jakarta : Bumi Aksara, 2007) hal. 198 7 Ibid.

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

55


Australia Michel J. Lowson (1994) memaknai strategi sebagai prosedur mental yang berbentuk tatanan langkah yang menggunakan upaya ranah cipta untuk mencapai tujuan tertentu.8 Strategi sering digunakan secara bersamaan dengan metode. Tetapi metode lebih mengacu pada langkah operasional pelaksanaan proses belajar mengajar, sedangkan strategi adalah langkah-langkah sistematis yang bersifat universal. Jadi strategi lebih bersifat umum daripada metode dan atau teknik serta prosedur pembelajaran. Pendekatan pemilihan strategi pembelajaran sekurang-kurangnya ada empat model : a. Ekspositori9, adalah model strategi pembelajaran yang bersifat memberikan pengetahuan terhadap anak didik dengan cara memberitahukan, baik secara lisan maupun demonstrasi personal. Model strategi ini menjadikan siswa lebih pasif dan hanya memahami konsep dengan cara mendengarkan dan atau mencatat. Sehingga model ini lebih menekankan pada ke-jumud-an peserta didik. b. Discovery atau Inquiry 10, adalah model strategi yang mendemonstrasikan penemuan dan pemahaman oleh peserta didik itu sendiri. Model ini lebih menekankan keterlibatan siswa yang lebih aktif. Sehingga pembelajaran terasa lebih bermakna, dan pemahaman lebih terfokus dan lebih baik. c. Pendekatan Konsep11, adalah model strategi pendekatan yang melibatkan aspek pendidik dan peserta didik. Model ini juga melibatkan siswa lebih banyak, tatapi guru juga berperan banyak walaupun tidak mendominasi. Model strategi ini cocok untuk materi-materi pengayaan yang dirasa ada sedikit kerumitan. d. Pebdekatan CBSA 12, adalah model strategi yang siswa secara nyata terlibat langsung dalam sebuah proses. Dalam hal ini guru hanya sebagai fasilitator dan atau

56

mediator untuk medapatkan sebauh konsep yang diharapkan. Dalam strategi pembelajarn fisika, kita dituntut untuk menggunakan metode pembelajaran yang sifatnya lebih oprasional. Ada beberapa metodologi yang perlu kita pahami guna adanya varian prosedur penyampaian agar siswa tidak merasakan kejemuan, atau dapat dipergunakan dalam konsepkonsep tertentu yang sesuai. Metode atau metodologi berasal dari bahasa latin “ Meta “ dan “ Hodos “, meta artinya jauh (melampaui), hodos artinya jalan (cara). Metodologi adalah ilmu mengenai cara-cara mencapai tujuan.13 Strategi, teknik atau prosedur yang kita gunakan untuk mencapai sebuah tujuan (dalam hal ini pemahaman konsep-konsep fisika) adalah merupakan sebuah metode. Beberapa model metode pengajaran dapat kita lihat seperti di bawah ini : 1. Metode Ceramah (Preaching Method)14 Metode ceramah adalah metode yang paling sering digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Kelebihan metode ini adalah mudah diterapkan dan tidak memerlukan persiapan yang kompleks. Tetapi kelemahan dari metode ini adalah siswa lebih cenderung pasif, sehingga pemahaman terhadap konsep pembelajaran kurang optimal. Untuk mata pelajaran fisika sebaiknya metode ini jarang digunakan. 2. Metode Diskusi (Discussion Method)15 Diskusi adalah sebuah metode

dengan teknik saling berinteraksi antara anggota diskusi (peserta didik) guna mendapatkan sebauh pemahaman yang lebih mendalam terhadap sebuah materi pembelajaran. Metode ini lebih melibatkan siswa, siswa lebih aktif berperan dalam sebuah kegiatan pemecahan konsep. Karena siswa berperan aktif, maka proses pembelajaran lebih bermakna, serta pemahaman lebih mantap. Namun metode ini akan sulit terlaksana bila kurang adanya motifasi dan didikasi terhadap siswa, lebih-lebih pada tingkat pendidikan yang lebih rendah. 3. Metode demonstrasi (Demonstration Method)16 Metode demonstrasi adalah sebuah cara yang digunakan oleh seorang guru dengan cara menjelaskan serta memperlihatkan sebuah proses atau konsep statis yang bisa dilihat dengan jelas. Biasanya yang banyak berperan dalam metode ini adalah guru, sementara siswa hanya mendengarkan dan memperhatikan penjelasan visual guru. Namun dalam konsep tertentu metode ini baik kita gunakan sebagai fariasi dari sebuah metode. Metode demonstrasi ini lebih baik bila dikolaborasikan dengan metode tanya jaawab atau diskusi, dan boleh juga sebagai demonstran adalah salah seorang siswa yang terpilih. 4. Metode Ceramah Plus17 Metode ini artinya metode ceramah yang diaktualisasi dengan metode yang lain. Dengan kolaborasi, maka metode ceramah akan membuahkan sebuah farian proses yang menterjemahkan banyak kemungkinan. Dengan metode ini,

8 Hj. Siti Fatimah Soenaryo, Strategi Pembelajaran Model SPLET dan Model Elaborasi, Bunga Rampai : Menggagas Pendidikan Masa Depan, (Jakarta : 9 Ibid. hal. 207-208 10 Ibid. 11 Ibid. 12 Ibid. 13 Masnur Muslich, KTSP : Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, (Jakarta : Bumi Aksara, 2007) hal. 198 14 Ibid. 15 Ibid. 16 Ibid. 17 Ibid.

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008


akan terjadi keseimbangan aktifitas antara guru dan siswa. 5. Metode Resitasi (Recition Method)18 Resitasi adalah sebuah metode pengajaran yang diberikan oleh guru baik dengan cara ceramah murni, ceramah plus atau demonstrasi dan lain-lain, sementara siswa diberi tugas untuk meresum atau merangkum serta menyimpulkan terhadap apa yang disampaikan guru. Dalam hal ini, memang guru lebih brsifat aktif, tetapi dengan cara memberikan tugas kepada siswa untuk meresum, maka perhatian mereka akan lebih terfokus. Akhirnya, pemahaman terhadap konsep akan lebih baik. Metode ini sewaktu-waktu dengan kosndisi tertentu dapat dan baik dipergunkan dalam pembelajaran fisika. 6. Metode Percobaan (Exsperimental Method)19 Metode percobaan atau eksprimen adalah sebuah metode pengajaran yang berdasarkan sebuah uji coba untuk membuktikan sebuah konsep yang sebelumnya telah diketahui dan atau menemukan konsep yang memang belum diketahui. Metode ini memberikan spirit dan semangat kepada peserta didik karena mereka diberi kebebasan untuk berekspresi sendiri serta menemukan sebuah makna yang lebih mendalam terhadap proses kegiatan pembelajaran. Namun yang perlu dapat perhatian khusus terhadap metode ini adalah adanya keselamatan bereksprimen, baik terhadapa diri sendiri maupun terhadap orang lain dan bahkan terhadap sarana dan prasaran yang digunakan. Dengan demikian, perlu adanya pembekalan yang baik terhadap anak didik untuk merancang sebuah eksprimen. 7. Metode Karyawisata (Study Tour Method)20 Metode ini lebih mengarah kepada rekreasi yang bersifat rileks dan santai. Namun, apabila dirancang dengan sedemikian rupa

maka metode ini bisa menjadi sebuah metode yang memberikan dua keuntungan sekaligus. Yang pertama, sebagai sarana rekreatif, yang kedua sebagai bentuk penemuan sebuah konsep pembelajaran, yang dalam hal ini biasanya berafiliasi terhadap karakter sejarah, kejadian fisik alamiah, serta ritme keagamaan sesuai dengan tujuan yang dirancang sebelumnya. 8. Metode Latihan Keterampilan (Drill Method) Model metode ini mengarah kepada sebuah pembelajaran secara langsung (direct teaching) kepada orang dan tempat yang dijadikan sebagai sumber rujukan. Contoh konkrit metode pembelajaran ini seperti belajar cara membuat genting atau batu bata. Dengan cara mendatangi tempat orang yang biasa membuat genting dan batu bata serta mengorek informasi yang berkenaan dengan keterampilan tersebut dari orang-orang yang sedang bekerja memproduksi genting atau batu bata. Dengan cara melihat langsung, anak didik akan mendapatkan sebuah pemahaman yang lebih baik daripada dengan cara membaca dan mendengarkan dari orang lain yang sedang tidak bekerja di tempat. Dan yang lebih baik dalam metode ini adalah adanya pemberitahuan sebelumnya terhadap orang yang akan dijadikan sebagai sumber informasi atau acuan pembelajaran sehingga mereka lebih siap dan tidak merasa terganggu dengan adanya siswa yang ingin belajar secara langsung kepadanya. 9. Metode Mengajar Beregu (Team Teaching Method) Metode mengajar beregu adalah sebuah metode yang dirancang untuk memberikan sebauh pembelajaran oleh dua orang atau lebih dalam satu ruang kelas. Dengan team teaching method ini, ada semacam perhatian yang lebih se18 19 20

rius dari peserta didik karena yang memantau aktivitas mereka lebih dari satu. Biasanya metode ini sering dilakukan di lembaga tingkat taman kanak-kanak, karena dengan demikian pantauannya pun lebih fokus, dan siswa lebih terawasi. Yang penting dalam pelaksanaan metode ini ada kesamaan langkah dari tim pengajar untuk mencapai satu tujuan yang pasti. 10. Metode Mengajar Sesama Teman (Peer Teaching Method) Adalah metode dangan cara mengajar sesama teman. Dalam hal ini biasanya aktivitas mengajar tersebut hanya sebuah pelatihan yang pada akhirnya akan dilaksanakan secara seksama dalam realitas pembelajaran yang formal. Seringkali pelaksanaan peer teaching dilaksanakan dalam sebuah pelatihan, lokakarya, perkuliahan, dan sebagainya. 11. Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving Method) Metode pemecahan masalah adalah sebuah metode yang dirancang untuk memberikan pemahamn kepada anak didik dengan cara memberikan suatu persoalan kepada anak didik baik dengan cara lisan maupun tulisan. Kemudian diberi kesempatan kepada siswa untuk mencari pemecahan soal itu dengan sendirinya. Dengan metode ini diharapkan siswa dapat mencari jawaban persolan dengan sendirinya, dan boleh jadi dengan cara bertanya kepada teman atau oarang lain yang lebih memahami. 12. Metode Perancangan (Project Method) Metode perancangan adalah sebuah metode pembelajaran yang diberikan kepada anak didik guna memahami bagaimana sebuah konsep bisa diketemukan. Dengan metode ini, siswa akan terlibat aktif di dalam sebuah proses pembelajaran. Metode ini sangat baik digunakan di dalam sebuah konsep yang mel-

Ibid. Ibid. Ibid.

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

57


ibatkan urutan langkah serta proses untuk mencapai sebuah tujuan yang kita inginkan. 13. Metode Bagian (Teileren Method) Metode bagian adalah sebuah teknik pembelajaran yang memberikan sebagian konsep telah diketahui sementara bagian konsep yang lain belum diketahui. Contoh, kita memberikan sebuah ayat alQuran yang tidak lengkap, kemudian siswa diberikan kesempatan untuk melengkapinya. Atau juga dengan cara membuat sebuah kalimat yang dipotong kata perkata, kemudian siswa disuruh menyusun kata-kata tersebut menjadi sebuah kalimat utuh. 14. Metode Global (Ganze Method) Metode global adalah sebuah metode yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk membuat semacam resume atau ringkasan dari sebuah bacaan yang diberikan kepada peserta didik. Dengan metode ini siswa diharap lebih aktif, serta mampu mengungkapkan apa yang telah mereka baca dengan bahasa mereka sendiri. Karakteristik Pembelajaran IPAFisika Fisika adalah sebuah materi pelajaran yang unik. Dalam arti bahwa pelajaran ini membutuhkan sebuah perhatian khusus terkait dengan konsep-konsep, materi, teori-teori dan hukum. Karena keunikan tersebut, maka diperlukan adanya pemahaman terhadap kreteria pembelajaran fiska. Beberapa karakteristik atau ciri khusus dalam pembelajaran IPAfisika adalah sebagai berikut : a. Mengacu Pada Pengembangan IPTEK Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang begitu pesat tidak bisa kita elakkan lagi. Saat ini kita tidak lagi dipusingkan oleh jauhnya jarak, karena kendaraan super cepat semisal pe-

58

sawat atau jet sudah tersedia. Kita tidak lagi dibingungkan oleh jauhnya tempat, karena fasilaitas TV, hand phone (HP) dan internet telah tersebar dimana-mana. Jadi, jarak dan waktu bukan lagi sebuah persoalan karena fasilitas yang mempercepat berita atu informasi telah kita miliki. Ilmu Pengetahuan yang merupakan terjemahan dari “ science “21 adalah merupakan fakta, konsepkonsep, teori serta hukum-hukum yang diperoleh dengan konsep metode ilmiah. Dengan metode ilmiah kita dituntut untuk bersikap objektif, jujur, transparan, menerima saran dari orang lain serta mampu memberikan kehidupan yang normatif untuk menuangkan sebuah gagasan pragmatis-efektif. Teknologi adalah terapan. Sebuah pengejawantahan dari ilmu pengetahuan, sehingga kita dapat melakukan sebuah pekerjaan secara lebih baik, efektif dan efesien.22 Dengan teknologi kita bisa berbuat lebih bijak dan lebih sejahtera terhadap individu, masyarakat dan lingkungan. Jadi, telah menjadi sebuah karakteristik yang fundamental bahwa fisika adalah sebuah materi yang mengacu secara totalitas terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Belajar fisika berarti kita belajar untuk memahami secara mendalam terhadap perkembangan teknologi, sehingga kita tidak lagi tergugu dalam gatek (gagap teknologi). b. Aktualisasi Rumus-Rumus Fisika Ketika kita membuka buku paket fisika, maka di dalamnya dapat dipastikan kita mendapatkan beberapa rumus fisika. Jadi rumus adalah salah satu ciri yang terdapat dalam pelajran fisika. Namun perlu dipahami bahwa rumus-rumus yang ada merupakan pendukung setiap konsep fisika, bukan 21

merupakan sebuah tujuan akhir dalam sebuah pembelajaran. Tapi yang sering terjadi justru kita lebih menekankan terhadap penguasaan (hafalan ?) rumus sehingga yang terjadi siswa sering meresa terbebani dengan adanya materi fisika. Rumus-rumus fisika yang ada bukan berarti tidak penting, akan tetapi bagaimana seorang guru mampu memberikan proses pemahaman terhadap rumus yang ada, sehingga rumus itu tidak sekedar dihafal tetapi dipahami dan dimengerti kenapa dan dari mana rumus itu tercipta. Begitu juga dengan penerapan matematisnya, perlu proses penerapan angka-angka yang sederhana, kemudian diikuti dengan nilai angka yang lebih komplit dan rumit. c. Penerapan Matematis yang Sederhana Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa penerapan nilai angka terhadap rumus-rumus fisika harus bersifat sederhana. Kesederhanaan nilai angka tidak akan menjadikan siswa mereasa belajar matematika tetapi tetap dalam jalur materi fisika. Nilai angka yang sederhana adalah tidak menggunakan nilai desimal, tetapi penerapan nilai satuan yang utuh memberikan kesan bahwa fisika tidak begitu sulit. Walapun pada akhirnya nilai rumit dengan angka pecahan tidak boleh tidak akan juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam meteri ini. Tetapi dengan teknik proses yang setahap demi setahap pengusaan rumus-rumus fisika yang lebih komplit akan terbiaskan dan terbiasakan . d. Belajar Untuk Mencintai Pepatah arab mengatakan : “Man ahabba syaian katsura dzikruhu“ barang siapa yang mencintai akan sesuatu, maka ia senantiasa berada dalam ingatan. Dalam istilah kita“ tak kenal maka tak sayang“. Pepatah ini merupakan se-

Sukirman dkk, Modul Ilmu Pengetahuan Alam Untuk PGSD, makalah tidak diterbitkan Lebih jauh baca : Barbara Taylor, Seri Pustaka Sains Penciptaan Teknologi, (Bandung: Pakar Raya, 2005) 22

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008


buah kontribusi yang efektif untuk memberikan motifasi dalam awal pelaksanaan kegiatan pembelajaran fisika. Karena dengan mencintai pelajaran yang disodorkan kepada anak didik, tentu akan memberikan dampak yang signifikan dalam tujuan suatu pembelajaran. Fisika termasuk mata pelajaran yang perlu banyak perhitungan, dalam arti bahwa dalam pembelajaran materi ini harus ada ketelatenan, kesabaran, ketekunan dan yang terpenting memahami varian metodologi dalam menyampaikan suatu ranah padegogik konsteksnya dengan fisika. Memberikan sebuah pembelajaran yang bermakna kepada anak didik merupakan suatu keharusan, sehingga mereka dapat mencerna dan menanggapi setiap problem atau analis kritis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, persolan anak didik merasa bosan dan atau bahkan anti pati terhadap mata pelajaran fisika dengan sendirinya akan tertasi. Pendekatan yang konprehensif, mengenal berbagai karakter anak didik juga perlu dikedepankan, karena hal ini dapat menyelami berbagai karakter yang tersimpan di masing-masing individu dalam tiap-tiap peserta didik. Dengan penguasaan kemajemukan anak didik akan didapat berbagai pendekatan individual yang lebih terarah, terkoordinir, serta relatif efektif dan efisien. Penjelasan di atas merupakan arahan atau teknik untuk menumbuhkan rasa cinta peserta didik kepada mata pelajaran fisika. Karena awal kesuksesan dalam setiap persoalan hidup adalah mencintai apa yang menjadi cita-cita dalam hidup bermasyarakat. Sehubungan dengan masalah ini, Bobbi DePorter dan kawankawan dalam bukunya Quantum Teaching : Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas, mengatakan : “Kuncinya adalah membangun ikatan emosional tersebut, yaitu

dengan menciptakan kesenangan, dan menyingkirkan segala ancaman dari suasana belajar“. Lebih jauh dia memberikan saran-saran dalam membangun hubungn dengan siswa, yaitu : • Perlakukan siswa sebagai manusia sederajat • Ketahuilah apa yang disukai siswa, cara pikir mereka, dan perasaan mereka mengenai hal-hal yang terjadi dalam kehidupan mereka • Bayangkan apa yang mereka katakan kepada diri sendiri, mengenai diri sendiri • Ketahuilah apa yang menghambat mereka untuk memperoleh hal yang benar-benar mereka inginkan. Jika Anda tidak tahu, tanyakanlah !. • Berbicaralah yang jujur kepada mereka, dengan cara yang membuat meeka mendengarnya dengan jelas dan halus. • Bersenang-senanglah bersama mereka.23 Mengoptimalkan Fungsi Media Pembelajaran a. Definisi Media Pembelajaran Media adalah sarana atau alat.24 Media pembelajaran berarti sarana atau alat yang dapat dijadikan penunjang, pendukung, rujukan, pedoman, atau penyempurna di dalam sebuah proses pembelajaran. Sebuah kegitan belajran mengajar tidak akan sempurna atau paling tidak kurang memberikan makna yang bisa melekat pada diri siswa apabila tidak didukung oleh media pembelajaran yang memadai. Oleh karena itu, maka media pembelajaran perlu dioptimalkan dalam setiap proses belajar mengajar. b. Menemukan dan Menciptakan Media Pembelajaran Sebuah media pembelajaran tidak akan datang begitu saja tan-

pa adanya usaha serta kreatifitas dari seorang guru. Oleh karena itu, menemukan dan sekaligus menciptakan media pembelajaran merupakan tugas ekstra bagi seorang guru guna memberikan pembelajaran yang relatif bermakna. Media bisa kita dapatkan dengan cara membaca, menulis serta mengaktualisasikan kinerja karya cipta dalam sistem pembelajaran. Dalam hal ini tentu saja media itu bisa didapat dari berbagai sumber, bahkan tidak menutup kemungkinan siswa itu sendiri sebagai media untuk menemukan atu menciptkan sebuah media pembelajaran. Alam lingkungan sekitar tempat kita mengajar juga tidak kurang dari sarana dan alat pembelajaran. Dengan memperhatikan lingkungan sekitar kita bisa mengangkat objek yang mungkin untuk dijadikan sebagai sebuah media. Analisis terhadap karakter materi pembelajaran merupakan sebuah ide yang mampu untuk menjabarkan sebuah gagasan dalam bentuk media kongruen ekuefalen. c. Kesesuaian Media Dengan Meteri Pembelajaran Media pembelajaran harus diselaraskan dengan materi pembelajaran. Seperti yang telah disinggung di atas bahwa dengan menganalisis karakter materi, maka kita dapat menentukan materi yang bersinergi. Tidak semua materi dalam mata pelajaran fisika sesuai untuk satu media pembelajaran. Di sinilah kekritisan seorang guru terhadap aktifasi media sangat diperlukan. d. Abstraksi Model Pengembangan Media Media yang dapat mendukung terhadap kualitas dan efektifitas pembelajaran seperti, perangkat mengajar (kurikulum, silabus, analisis materi pelajran, rencana pelak-

23 Lebih jauh baca : Bobbi DePorter dkk, Quantum Teaching : Mempraktekkan Kuantum Learning di Ruang-Ruang Kelas (Bandung : Kaifa, 2005) hal. 23 24 Kamus Umum Bahasa Indonesia, Departemem Pendidikan dan Kebudayaan

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

59


sanaan pembelajran), buku paket, lembar kerja siswa dan alat peraga baik yng bersifat khusus maupun alat-alat peraga lain yang terjadi atas kreativitas individual, guna adanya eskalasi pembelajaran yang lebih bermakna. Atau lebih menyeluruh adanya laboratorium, baik yang in-door maupun out-door25 merupakan media yang sangat mumpuni untuk kita jadikan pijakan dasar penerapan sistem pelaksanaan pembelajaran. Untuk menunjang kualitas dan efektifitas yang lebih mengena di sanubari peserta didik, tidak harus menggunakan fasilitas media yang lux dan bernilai mahal. Kan tetapi dengan kecenderungan objektivitas pragmatis, media bisa kita temukan di lingkungan sekitar tempat kita belajar mengajar. Berikut beberapa abstraksi model media pembelajaran yang mungkin diberikan kepada anak didik dengan bahan-bahan (baca : media) yang bisa kita dapatkan di lingkungan sekitar. a.

Mteri : Tata Surya Topik : Peredaran Planet Kebanyakan orang beranggapan bahwa bumi dan plane-planet lain dalam sistem tata surya mengorbit matahari dengan begerak dalam lingkaran sempurna. Namun sebenarnya tidak demikian. Cobalah kegiatan berikut ini untuk mempelajari orbit-orbit planet. BAHAN-BAHAN Isolasi, kertas ketik berukuran 21,25 x 27,5 cm, kertas karton, pensil , penggaris, 2 buah pin, dan benang berukuran 30 cm CARA KERJA 1. Letakkan kertas ke kertas karton dengan menggunakan isolasi 2. Di tengah-tengah kertas tersebut, gambarlah garis horizontal dengan panjang sekitar 7,5 cm. Tancapkan pin di kertas pada masing-masing ujung garis 3. Ikatkan kedua ujung

60

benang membentuk sebuah ikalan 4. kaitkan ikalan benang pada kedua pin tersebut 5. Letakkan ujung pensil yang runcing di dalam ikalan benang 6. Dengan menjaga tali tetap menegang, gerakkanlah pensil melingkar di dalam ikalan benang untuk menggambar sebuah bentuk. Bentuk apakah yang dihasilkan ? PENJELASAN Kamu telah menggambar sebuah bentuk oval yang disebut elips. Planet-planet dalam sistem tata surya kita bergerak mengelilingi matahari dalam orbit elips. Pada tahun 1621, astronom Jerman bernama Johannes Kepler (1571-1630) mendapati bahwa planet-planet tidak mengorbit matahari dalam lingkaran sempurna dan tidak bergerak pada kecepatan tetap. Kepler mendapati bahwa planet-planer mengorbit matahari dalam lintsan elips dan bergerak dengan kecepatan berbeda. Planetplanet tersebut bergerak lebih cepat saat deka dengan matahari dan lebih lambat saat berada jauh dai matahari. Kepler menyusun hukum yang tepat untuk menjelaskan secara akurat bagaiman planet-planet mengorbit matahari. Namun hukum itu tidak berlaku 66 tahun kemudian. Pada tahun 1687, ilmuan Inggris bernama Isaac Newton (1642-1727) menerbitkan teori terkenalnya tentang grafitasi. Dia menjelaskan bahwa planet-planet tetap terjaga dalam orbit-orbitnya karena sebuah gaya (dorongan atau tarikan pada sebuah objek). Gaya tersebut adalah gravitasi, yang merupakan gaya tarik antara dua objek karena massa dari kedua benda tersebut. Gaya gravitasi antara matahari dan planet-planet adalah gaya yang menjaga planet-planet terse-

but tetap mengorbit matahari. Akan tetapi efek gravitasi menurun karena jarak, sehingga planet-planet yang lebih jauh dari matahari bergerak lebih lambat. b.

Materi : Tekanan gas Topik : Tekanan Udara Yang Bergerak Lebih Kecil Daripada Udara Diam CARA KERJA Untuk melihat efek dari fluida yang bergerak (dalam hal ini gasudara), cobalah percobaan ini : 1. Ambil sehelai kertas berukuran 2 x 28 cm 2. Letakkan satu sisi kertas yang pendek di depan dagumu 3. Tiuplah permukaan kertas dengan. Apa yang terjadi ? PENJELASAN Lembaran kertas tersebut naik ketika kamu meniup permukaan kertas. Ini merupakan gambaran sempurna tentang prinsip Bernoulli, berdasar nama seorang ilmuwan Swiss, Daniel Bernoulli, yang menyatakan bahwa ketika semua fluida, seperti udara,mengalir, tekanannya berkurang ketika kecepatannya bertambah. Udara di atas kertas bergerak lebih cepat dari udara di bawah kertas. Ini menciptakan tekanan udara yang lebih rendahdi atas kertas, dn tekanan udara yang lebih tinggi di bawah kertas membuat kertasnya naik. c.

Materi : Gaya Gravitasi Topik : Efek Grafitasi Dalam Kehidupan

BAHAN BAHAN Dua lembar kertas ketik, Buku bersampul tebal, Bolpoin, Pensil, dan dua buah gelang karet CARA KERJA 1. Letakkan selembar kertas di atas buku. Gunkan bolpoin dan

25 Istilah yang dikemukakan oleh Agung Budiyono, dalam artikelnya “ Laboratorium Sebagai Media Belajar, (Media : Pebruari 2001) hal. 17

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008


pensil untuk menulis kata-kata yang berbeda 2. Letakkan selembar kertas lainnya di atas buku. Ikatlah buku tersabut dengan gelang karet agas kertasnya tetap berada di buku. Ambip posisi tidur di sofa atau lantai. Dengan mengulurkan tanganmu, peganglah bukunya di depanmu. 3. sekali lagi gunakan bopoin dan pensil untuk menulis kata-kata yang berbeda. Bagaimana kerja pensil dan bolpoin saat digunakan untuk menulis dengan posisi terbalik ? PENJELASAN Bolpoin bisa digunakan untuk menulis karena adanya gaya gravitasi. Gravitasi menarik tinta dari tempat tinta ke bola penahan di ujungnya. Tinta dikeluarkan dari bola penahan ke kertas. Namun, ketika kamu memegang bolpoin secara terbalik, tintanya tidak bisa mengalir ke bola penahan, dn bolpoin tidak bisa digunakan untuk menulis. Contoh model media di atas hanya sebagai sampel konteksnya dengan media pembelajaran. Hal ini sebagai aktualisasi dengan kehidupan lingkungan sekitar. Abstraksi di atas hanya sebagai motifasi untuk menemukan sekaligus menciptakan media pembelajaran. F. Optimalisasi Media Pada akhirnya kita harus sepakat bahwa optimalisasi media pembelajaran dalam praktek kegiatan belajar mengajar (KBM), merupakan solusi yang tepat, praktis dan efektif. Bagaimana pun eksistensi perwujudan media pembelajaran dalam proses sistematika pengajaran merupakan way of teaching strategic, cara pembelajran yang strategis. Optimalisasi kesempatan untuk menciptakan model media pembelajaran merupakan kreativitas seorang guru, sehingga penggunaan media pembelajaran yang ada ataupun yang diciptakan ada,

akan menjadi sebauh stimolus sistem pengajaran. “ Time is money “, kesempatan adalah uang, atau “ al-waktu kassyaif idza lam taqto` qato`ta “ waktu adalah peang, jika tidak kau pergunakan untuk untuk memotong, maka ia akanmemenggal lehermu.jadikanlah sebuah tantangan menjadi sebuah kesempatan. Tanamkan kesempatan untuk menghasilkan sebuah media pengajaran dan pembelajaran. Sehingga kebermaknaan dalam proses belajar mengajar menjadi optimal, efektif, intensif, komprehensif serta berciri khas sosio-pedagogik. Ada beberapa langkah untuk menciptakan optimalisasi media pembelajaran : 1. Mempersiapkan perangkat pembelajaran 2. Memahami karakter individual siswa 3. Menguasai varian metodologi pengajaran dan pembelajaran 4. Aktualisasi lingkungan sekolah sebagai sarana laboratorium out-door, dan laboratorium sekolah sebagai sarana laboratorium in-door. 5. Jangan pernah berputus asa dalam “ inprovement of teaching “, meningkatkan kualitas pengajaran baik secara internal maupun eksternal. Jujur, terbuka, serta bersedia menerima kritik dan saran dari orang lain.

Penutup Penggunaan media pembelajaran yang simitris, terarah dan sesuai dengan tujuan konsep pembelajaran akan meningkataknn kualitas system pembelajaran. Untuk menerapkan model pembelajaran yang fokus, tentu dibutuhkan keuletan, kesabaran dan keniscayaan di dalam terapan media yang optimal. Media tidak harus bernilai eksklusif dan terkesan mahal, akan tetapi media selayaknya dan seharusnya disesuaikan dengan kondisi dan sitiasi lingkungan sosial, bahan ajar atau meteri serta kondisi guru dan siswa yang terlibat di dalam proses pembelajaran. Media bukan satu-satunya komponen pembelajaran yang menentukan sukses tidaknya sebuah proses, akan tetapi media harus terintegrasi di dalam sebuah proses pembelajaran. Dengan lain kata, media harus relevan dengan kondisi lingkungan sosial di mana sebuah proses berlangsung. Dengan demikian media harus benar-benar dioptimalkan dalam penggunaannya serta menerapkan model kekinian agar sebuah konsep dapat berinteraksi dengan tujuan pembelajaran. Esensi dari sebuah pembelajaran adalah disamping sebagai sarana optima juga diharapakan dapat meningkatkan efisiensi dan efektifasi model sebuah pembelajae ran. g

DAFTAR PUSTAKA Budiyono, Agung, dalam artikelnya “ Laboratorium Sebagai Media Belajar, (Media : Pebruari 2001) Chandra, Didit T, Bagaiman Membuat Pembelajaran Listrik Menjadi Menarik ?, (Pelangi Pendidikan, Buletin, edisi IV/April 2006) DePorter, Bobbi dkk, Quantum Teaching : Mempraktekkan Kuantum Learning di Ruang-Ruang Kelas (Bandung : Kaifa, 2005) Muslich, Masnur, KTSP : Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, (Jakarta : Bumi Aksara, 2007) Permanasari, Suroso AY, Anna, Kardiawarman, Ensiklopedi Sains dan Kehidupan, (CV Tarity Samudra Berlian, 2003) Soenaryo, Siti Fatimah, Hj., Strategi Pembelajaran Model SPLET dan Model Elaborasi, Bunga Rampai : Menggagas Pendidikan Masa Depan, (Jakarta : Sukirman dkk, Modul Ilmu Pengetahuan Alam Untuk PGSD, makalah tidak diterbitkan Taylor, Barbara, Seri Pustaka Sains Penciptaan Teknologi, (Bandung : Pakar Raya, 2005) Trianto, S.Pd, Menghilangkan Image Fisika Sulit dan Tidak Menarik, (Media No. 05 2002) VanCleave, Janice, Science Through The Ages : Sains Dari Masa Ke Masa, (Bandung : Pakar Raya, 2004)

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

61


artikel lepas

Sejarah Penumbuhan dan Perkembangan Institusi Pengajian Pondok di Serantau Nusantara

Dulhalim

H.Abdulhalim Dinaa al-Bar al-Bar,, MA. MA.,, dilahirkan di Songkhla, Selatan Thailand, 24 Oktober 1959. Pendidikan madrasah hingga sekolah lanjutan tingkat atas ia tamatkan di Thailand. Dia menjabat sebagai president Kelab Ijazah Tinggi, Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, USM.

Pengenalan Ada suatu pemikiran yang sama, di antara sebahagian orang-orang Melayu yang berada di daerah perkampungan di serantau Nusantara ini, handak menghantarkan anakanak mereka ke sesuatu sekolah yang tidak berasaskan kepada nilai-nilai keagamaan atau sekolah yang tidak ada mata pelajaran agama sepenuhnya, mereka merasa kurang meyakinkan terhadap pelaksanaan pendidikannya di institusi tersebut. Dengan demikian, mereka tidak ada pilihan lain untuk menghantarkan anak-anak mereka ke institusi pendidikan pondok, kerana anggapan mereka tempat ini, sebagai pusat mengasuh dan membimbing anak-anak mereka menuju kearah pengertian terhadap ajaran agama Islam yang sebenarnya. Bagi mereka, institusi pendidikan pondok adalah sebagai suatu tempat penyerahan tugas kepada para pendidik bagi kewajiban mereka terhadap Allah swt agar anak-anak mereka memahami ajaran agama Islam yang telah diwahyukan oleh Allah swt kepada Rasulullah saw. Selebih pada itu, mereka telah meyakinkan bahawa institusi pendidikan pondok ialah sebagai tempat belajar, menulis,

62

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

membaca al Quran serta menghafalnya dan mendalami kitab-kitab agama agar anakanak mereka menjadi seorang cerdik pandai tentang Islam dan harapan masa hadapan agar anak-anak mereka nanti menjadi seorang ilmuan yang alim dan dapat memimpin terhadap masyarakat di kemudian hari nanti. Pada kenyataan tanggapan tersebut, perlu diselidiki kembali dan menjadikan tugas kepada para pendidik masa kini untuk memikirkan kembali terhadap pendidikan pondok pada masa silam, walaupun pada zaman sekarang pelbagai jenis institusi pendidikan dan sekolah-sekolah yang lebih model serta lebih maju daripada institusi pendidikan pondok. Namun, keperluan masyarakat Melayu di kawasan Nusantara ini, masih memerlukan institusi pondok, sangat tinggi dan tidak dapat diperkecilkan terhadap permasalahan dan harapan ini. Maka, dengan demikian, dapat dibuktikan bahawa institusi pendidikan pondok adalah sebagai pusat kegiatan pengajian Islam bagi mereka yang memainkan suatu peranan yang sangat penting yang berada di tengah-


tengah masyarakatnya dan selalu berkerjasama serta saling membantu antara satu sama lain. Oleh sebab demikian, institusi pendidikan pondok dapat berkembang dan telah menyampaikan nilai-nilai ketamaddunan keilmuan Islam sehingga kini. Dengan adanya suatu perkembangan institusi pendidikan pondok, telah membuktikan pula bahawa peranan institusi ini, dapat menentukan suatu perkembangan budaya keilmuan Islam terhadap pembinaan dan pembangunan kehidupan masyarakat kearah kemajuan ketamaddunan Islam, sama ada melalui kegiatan pengajaran maupun kegiatan kemasyarakatannya. Institusi pendidikan pondok, dapat dibuktikan dalam kenyataannya telah membawa pengaruh kedalam kehidupan mereka sehari-hari, sama ada dalam pola berfikir maupun peri laku dalam pelbagai aspek kehidupannya. Hubungan yang harmonis di antara institusi pendidikan pondok dengan masyarakat setempat dapat menyebabkan kedua-duanya saling memberi dan menerima, sehingga institusi ini dapat berpengaruh terhadap masyarakat dan telah menjadikan institusi pendidikan pondok sebagai pusat pembentukan nilainilai keagamaan Islam yang telah mereka anut. Dengan ada pembahasan tentang institusi ini, maka dalam tulisan ini, akan memperjelaskan apakah sebenarnya, institusi pendidikan pondok dilihat daripada segi pengertian istilahnya, latar belakang penumbuhan istilahnya, perkembangan istilahnya, asal usul model pengajiannya, perkembangan budaya keilmuannya dan kemajuan ulama-ulama pondok. Pengertian Pondok Istilah “pondok”, menurut penggunaan bagi kebanyakan orang-orang Melayu di kawasan serantau Nusantara ini, ialah diartikan dengan “rumah kecil” atau “bangsal”. Biasanya dibangunkan di tepi jalan-

an, di tepi ladang penanaman padi, di dalam sesuatu perkebunan buahbuahan, di dalam perkebunan getah atau karet, di dalam pergunungan atau bukit dan lain-lain sebagainya, supaya tempat tersebut dapat menjadikan suatu tempat untuk beristirahat sementara setelah selesai berkerja atau telah mencapai suatu tujuan tertentu. Perkataan “pondok”, dalam kamus bahasa Melayu, diterangkan artinya kepada pelbagai perkataan yang mengandungi kesamaan maksud pada pengertiannya, seperti; gubuk, teratak, jerubun, sudungsudung sulup, tempat tinggal sementara, sapar, jambar, rompok, jerumun, teratap, surudung, sulu, tempat berteduh, pundung, ran, balai, palampang, rumah sementara, bangsal, lepau, baluh, bumbun dan sebagainya 1. Maka, di antara maksud perkataan “pondok” yang telah dikemukan tersebut, dapat dijelaskan pada satu kesimpulan bahawa pengertian “ Pondok “ ialah dapat dimaksudkan dengan sebuah tempat tinggal yang digunakan untuk sesuatu kepentingan atau sesuatu kegiatan atau sesuatu perkerjaan yang tertentu yang digunakan sebagai tempat tinggal sementara sebelum mencapai sesuatu tujuan yang telah ditentukan oleh penggunaannya. Lebih lanjut, kalau istilah ini dikaitkan dengan sebuah pusat pendidikan, seperti contoh “Ini pondok Tuan Guru Haji Zainal”, berarti tempat ini, digunakan sebagai pusat didikan agama Islam yang dimiliki oleh Tuan Guru Haji Zainal dan kalau istilah pondok ini, dikaitkan pula dengan sebuah tempat tinggal, sebagaimana contoh “Ini pondok Tuan Zainal”, berarti tempat ini, digunakan sebagai tempat penginapan sementara yang dimiliki oleh Tuan Zainal. Istilah “pondok” jika

dikaitkan dengan latar belakang penumbuhan pendidikan Islam di Nusantara, para ilmuan telah memberikan arti sebagai pusat pendidikan agama Islam atau sebuah institusi pengajian Islam yang menggunakan sumber kitab-kitab lama atau kitab kuning sebagai sumber pengajarannya. Pelaksanaan pendidikannya tidak menggunakan sistem kelas, lantaran ada seorang pendidik yang memimpin pengajiannya dalam keadaan duduk bersila dan dikelilingi oleh para pelajar dalam bentuk halaqah. Keadaan ini, berlangsung di sebuah balai, madrasah atau masjid yang ada dilingkungan pondok. Pada umumnya para pelajar menginap di rumah kecil semacam bangsal yang telah disediakan oleh pemimpin pondok atau dibangunkan sendiri oleh para pelajar bersama dengan orang tuanya atau masyarakat setempat ikut bersama membangun. Proses pembelajaran ilmu di pondok berjalan bertahun-tahun, sehingga para pelajar merasa telah cukup sebagai bekal untuk berkhidmat kepada masyarakat. Maka proses pembelajaran bagi pelajar tersebut telah tamat pengajiannya Istilah “pondok” kalau ditinjau dari segi asal usul perkataannya ialah diambil daripada perkataan bahasa Arab, yaitu dari perkataan istilah “Fundug”, yang artinya sebuah hotel atau asrama 2 . Perkataan istilah “fundug” juga dimaksudkan dengan makna “guest house” dan perkataan ini, berasal daripada pinjaman atau pengambilannya dari perkataan Greek, ialah dari perkataan asal usul istilah “pondokeion” yang digunakan sebagai tempat penginapan bagi masyarakat Arab di sebelah barat pada masa silam.3 Dalam hal ini, menurut H.M. Yacup, M.Ed. juga ikut memberikan penda-

1 Zainal Abidin Safarwan, Kamus Besar, Bahasa Melayu Utusan , Selangor Darul Ehsan, 1995, halaman 1095. (setelah ini, disebut Kamus Besar) 2 Zamaksyari Dhofiar, Tradisi Pesantren, Satudi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, 1982.halaman 18. (setelah ini, disebut Tradisi Pesantren) 3 The Concise Encyclopaedia Of Islam, London International, 1989, halaman 134. (setelah ini, disebut Enclopaedia Of Islam)

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

63


pat bahawa perkataan istilah “ Pondok “ berasal daripada perkataan bahasa Arab, yang diberikan arti sama dengan pengertian asrama, yang digunakan sebagai tempat penginapan bagi para pelajar yang datang untuk menuntut ilmu agama di pondok 4 . Latar Belakang Pondok Sejarah ketamadunan budaya keilmuan Islam telah tercatat bahawa proses kemajuan dari segi pendidikan Islam telah berkem-bang maju setelah penghijrahan Rasulullah saw. ke Madinah. Penghijrahan ini, telah membawa suatu kemajuan dari segi penyebaran budaya keilmu Islam. Rasulullah saw. bermula mendirikan masjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan pusat tumpuan kesatuan segala keperluan masyarakat yang berurusan dengan hal ehwal dunia dan akhirat. Pembangunan masjid Nabawi ialah mulai menjadikan asas pertama sebagai pusat kegiatan pendidikan Islam. Pada waktu awal permulaannya, kegiatan pendidikan Islam berlangsung secara tidak formal. Lalu setelah Baginda bersama dengan masyarakat setempat membangunkan sebuah surau yang bersambungan dengan masjid Nabawi dan akhirnya tempat tersebut diberikan nama dengan istilah “al Suffah” sebagai pusat pendidikan Islam pertama dalam dunia pendidikan Islam. Corak pengendalian pendidikan disini lebih bersifat sistematik dan berlangsung secara formal. Lantaran setelah berkembang pada masa kerajaan Ummayyah, pusatpusat kegiatan pendidikan Islam telah mencontohi corak pengendalian pengajian Islam pada zaman Rasulullah s.a.w ialah menggunakan masjid sebagai pusat kegiatannya. Maka, setelah pergantian waktu pada zaman Abasiyyah, merupakan zaman kemajuan dan keemasan dalam dunia keilmuan Islam. Maka, selain menggunakan masjid sebagai pusat pendidikannya, juga dibangunkan institusi-institusi

64

yang lain, sebagai pusat kegiatan pendidikannya. Pada masa tersebut, institusi pendidikan Islam telah dikenal dengan sebutan istilah “Kuttab” yang diasaskan sebagai pusat pertemuan di antara para guru dengan para pelajar 5 . Pengertian “Kuttab” yang telah berkembang di kawasan timur tengah itu, kalau dikaitkan dari segi peranan terhadap kegiatan sebuah institusi pendidikan, maka diartikan dengan sebuah maktab, sekolah, perguruan tinggi, surau, langgar dan pondok 6 . Institusi “Kuttab” juga dimaksudkan dengan Sekolah Al Quran 7. Istilah “Kuttab” yang telah dicontohi oleh para tokoh pendidikan yang terdahulu telah berkembang dan model kegiatannya telah diikuti oleh para tokoh pendidik di kawasan serantau Nusantara ini. Namun istilah tersebut, dalam dunia pendidikan orang Melayu di kawasan ini, mempunyai sebutan tersendiri sebagaimana telah dikenal dengan istilah sebutan sekolah pondok, pesantren, madrasah, sekolah diniyah, sekolah Arab, surau, dayah, meunasah, ponok dan sebagainya. Sebagai contoh di kepulauan Jawa, secara keseluruhannya kawasan tersebut sangat terkenal dengan istilah “pesantren” atau “pondok pesantren” iaitu pada awalnya menjadi sebuah institusi pendidikan Islam yang dilaksanakan pendidikannya dalam model pengajian tradisional yang dipimpin oleh seorang pendidik yang dikenal dengan sebutan istilah “kyai” dan para pelajarnya disebut dengan istilah “santri” . Institusi ini, pada proses awal digunakan masjid sebagai pusat

kegiatan pembelajarannya dan disediakan tempat penginapan bagi para pelajar yang disebut dengan istilah “pondok “.8 Istilah “pondok pesantren” lebih dikenal di kepulauan Jawa. Perkataan istilah “pesantren”, sebenarnya berasal daripada istilah “santri” yang sering digunakan dalam masyarakat Tamil. Istilah ini, diambil atau dipinjam daripada bahasa India yang berasal daripada istilah “shastri” yang mempunyai pengertiannya, ialah seseorang yang mempunyai keilmuan dan kepakaran dalam agama Hindu. Setelah perkataan tersebut, berkembang menjadi sebutan bagi orang-orang Jawa di Indonesia. Maka setelah istilah tersebut ditambah diawal dengan perkataan istilah “pe” dan pada akhir perkataannya ditambah dengan istilah “en”, maka menjadi “pesantren” diartikan dengan tempat penginapan sementara bagi para santri 9 . Manakala di Sumatera Barat, dikenal dengan sebutan istilah “surau” yang digunakan sebagai tempat mempelajari Al Quran. Sedangkan di Aceh disebut dengan istilah “dayah” dan sering juga digunakan dengan istilah “meunasah “ yang diartikan dengan tempat belajar agama Islam 10 . Sementara di Malaysia, sebelah Terangganu, Kelantan dan di sebelah negara jiran, yakni di selatan Thailand, lebih dikenal dengan sebutan “ Ponok “ dengan menghilangkan huruf “ d “ dalam penulisannya dan telah menghilangkan huruf “ n “ dalam sebutannya. Lantaran di bahagian utara Malaysia, institusi pendidikan ini, bagi masyarakat setempat dike-

4 H.M. Yacup M.Ed. Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, Bandung, 1985, halaman 47. (setelah ini, disebut Masyarakat Desa) 5 Hasan Langgulung, Pengenalan Tamadun Islam Dalam Pendidikan, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1997, halaman 48. (setelah ini, disebut Tamadun Islam) 6 Kamus Besar, Ibid. halaman 1095. 7 Surin Pitsuwan, Islam Di Muangthai, Nasionallisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta, 1989. halama 133. (setelah ini, disebut Islam di Muangthai) 8 Hasbullah Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Lembaga-Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK), Jakarta, 2001, halaman 24. 9 Tradisi Pesantren, Ibid. halaman 18. 10 Kamus Besar, Ibid. halaman 1095.

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008


nal dengan sebutan istilah sekolah pondok, madrasah, sekolah diniyah, sekolah Arab, maahad, dan sebagainya. Pemimpin pondok, diberi kehormatan menyebut nama penggantinya dengan gelaran istilah “Tuan Guru”” atau “Tok Guru”. Kemudian, di sebelah selatan Thailand bagi masyarakat setempat lebih dikenal dengan sebutan istilah “Babo” sebagai pengganti para pemimpin pondok. Babo dalam pengertian mereka ialah seorang bapa yang alim dalam keilmuan agama Islam dan juga seorang bapa yang menggantikan tanggung jawab mereka terhadap urusan mendidik anak-anak mereka supaya memahami ajaran agama Islam. Para pelajar dalam institusi ini, disebut dengan istilah “Tok Pake” yang berasal pengambilannya daripada perkataan bahasa Arab yang dimelayukan dengan istilah “Fakir” yang berarti orang yang sangat berhajat kepada keilmuan agama Islam. Penghormatan kepada para pemimpin agama, bukan hanya terdapat dalam masyarakat Melayu saja, tetapi juga terdapat dalam dunia pendidikan awal bagi masyarakat Hindu-Budha. Pertumbuhan dan perkembangan nilainilai pra-Islam dalam masyarakat tersebut, mereka juga mempunyai para pemimpin kerohaniannya. Sebagai contoh yang terdapat dalam masyarakat Thai-Budha, mereka mempunyai istilah sebutan yang memberikan kehormatan kepada para pemimpin mereka dengan sebutan istilah “Khruba” yang artinya seorang guru yang termulia atau seorang “Bapa Guru”” dan satu sebutan lagi yang sering mereka menggunakan dalam dunia pendidikannya ialah dengan menggunakan sebutan istilah “Phrakhru” yang artinya seorang guru yang terhormat atau “Maha Guru” Surin Pistsuwan telah mengemukakan pendapat tersebut, ialah asal usul istilah “Khruba” atau “Phrakhru”” yang berasal dari pada bahasa Melayu daripada perkataan istilah “Guru””.

Kebiasaannya dalam masyarakat Thai-Budha sangat mengambil berat terhadap anak-anak muda mereka supaya mengetahui terhadap pelajaran agamanya. Para ibu bapa mereka akan mengirimkan kepada Phrakhru Budhis yang mempunyai tempat pendidikan kerohaniannya, berada jauh daripada daerah kota dan berasingan dengan masyarakat ramai untuk selama jangka waktu yang tertentu.11 Kemudian anak-anak muda tersebut, akan membangun pondok-pondok kecil di sekitar tempat penginapan Phrakhu Budhis sebagai tempat penginapan sementara dan pada akhirnya tempat penginapan tersebut, dikenal dikalangan masyarakat Budha dengan sebutan istilah “Ashram”” yang artinya asrama. Disini Phrakhru Budhis akan mendidik mereka, sehingga Ashram mengerti dan mempunyai keparan dalam agama Budha. Kemudian istilah “” ini, berkembang menjadi sebutan di kalangan masyarakat mereka sebagai pengganti terhadap sebuah institusi pendidikan keagamaannya. Institusi Ashram berfungsi sebagai pusat penyebaran agama Budha dan juga sebagai tempat perlindungan kerohanian bagi sesiapa yang ingin menjauhkan diri daripada kehidupan duniawi 12. Sehubungan dengan penjelasan tersebut, Ahmad Jelani, memberikan keterangan dalam kajian tesis Ph.D-Nya, bahawa latar belakang istilah “Pondok”” diambil daripada tradisi kegiatan keagamaan Hindu-Budha yang disamakan dengan istilah “Ashram”” dari segi bentuk fizikal dan kegiatan kerohaniannya 13. Pendapat ini, masih perlu dipersoalkan dari segi kebenaran dan latar belakang asal usul pengambilan istilah “Pondok”” dan

satu hal lagi, perlu meneliti dari sejarah perkembangan istilah “Pondok””. Maka, disini perlu membuat satu persoalan yang perlu dikaji secara serius bahawa siapakah yang sebenarnya yang lebih awal menciptakan tradisi tersebut? Hal ini, telah diperjelaskan pada arena sebelumnya bahawa menurut Zamaksyari Dhofier, secara jelas mengemukan asal usul istilah “Pondok”” daripada perkataan Arab daripada istilah “Fundug” yang diartikan sebagai tempat penginapan sementara.14 Kemudian istilah “Fundug”” pula diambil atau dipinjam daripada perkaan Greek ialah dari istilah “Pondokeion” yang diartikan sebagai tempat penginapan sementara bagi masyarakat Arab di sebelah Barat pada masa silam.15 Pendapat tersebut, ikut disokong juga oleh Mustofa Syarif yang mengatakan bahawa proses terjadinya institusi pendidikan pondok, pada awalnya telah mengikuti tradisi perkembangan daripada terjadinya proses sejarah pembentukan dan perkembangan daripada istilah “Zawiyah” yang menurut pengertian secara harfiyah diartikan dengan makna “sudut”” yang dimaksud dengan istilah “sudut” disini ialah makna “Sudut Masjid”, yakni pada zaman sebelumnya orang-orang Arab suka berkumpul di sebelah kawasan sudut-sudut masjid dan setelah itu, mengarahkan para pengikutnya membuat model buatan dengan tujuan untuk melaksanakan pengajian agama Islam. Kegiatan semacam ini, pada masa itu dikendalikan oleh tokoh-tokoh kaum Sufi untuk memberikan pendidikan agama Islam dan ajaran tasawwuf kepada masyarakat setempat yang akhirnya bentuk tersebut dikenal dengan sebutan istilah

11

Islam di Muangthai, Ibid, halaman 135-136.. Islam di Muangthai, Ibid, halaman 135-136. 13 Ahmad Jailani Halimi, Sistem Pendidikan Melayu (Islam ) Tradisional Merujak kepada system Pendidikan di Kedah. Tesis sarjana, Universiti Sains Malaysia, Pulau Pinang, 1989. halaman 112. 14 Kamus Besar, Ibi,. halaman 1095. 15 Encyclopaedia Of Islam,Ibid. halaman 134. 12

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

65


model “Halaqoh”.16 Bentuk ini, selain melaksanakan kegiatan pengajian agama Islam, para pemimpin kaum Sufi, juga mengajar cara kehidupan untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. dengan melalui cara kehidupan yang suhud kepada para anak didiknya. Maka, setelah mereka memiliki ilmu agama yang cukup dan telah membersihkan diri dari segala muksiat dengan melalui masa yang tertentu. Maka, para pemimpin kaum Sufi, akan menilai terhadap seorang anak didiknya melalui pengamalannya. Jika di antara mereka yang sudah cukup alim dan mempunyai imannya sudah cukup mantap. Maka, para pemimpin kaum Sufi bersama dengan para anak didiknya akan mencari tempat lain untuk mendirikan kelompok yang baru. Proses kegiatan daripada kelompok Zawiyah ini pada akhirnya berkembang menjadi sebuah institusi yang dikenal dengan sebutan istilah “Gilda” yang artinya sebuah kawasan perkampungan yang dibangunkan bersama dengan sebuah masjid sebagai pusat kegiatannya. Di dalam perkampungan ini, dibangunkan kawasan penginapan yang disebut dengan istilah “Fundug “ sebagai tempat tinggal sementara bagi para anak didik yang datang untuk menuntut ilmu.17 Asal Usul Model Pengajian Pondok Kesan daripada kemajuan model kegiatan kerohanian institusi “Gilda” tersebut, telah berkembang tradisi kegiatan pengajian dan kerohaniannya menjadi sebuah institusi pondok di serantau Nusantara ini. Walaupun ada sebahagian daripada pondok yang telah berubah bentuk pengajiannya sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, kesan model tersebut masih terdapat sisa-sisa tradisi suasana kehidupan dalam pondok dan suasana pembentukan dari segi fizikal dapat lihat sampai kini. Hal ini,

66

bagi mereka yang pernah berpengalaman menuntut ilmu di pondok akan tergambar kesan-kesan tersebut, ialah sejenis tempat tinggal yang berbentuk rumah kecil semacam bangsal yang ada berderetan dan berbaris dengan rapi serta lokasinya berada tidak jauh dengan rumah pemimpin pondok. Sementara rumah pemimpin pondok dibangunkan berdekatan dengan bangunan balasah, musholla, madrasah atau masjid. Bagi institusi pondok yang menerima para pelajar wanita, tempat penginapannya dibina di belakang atau di samping rumah pemimpin pondok, supaya lebih mudah dijaga dan mudah diawasinya. Pada awalnya sebutan pondok yang dikenal oleh masyarakat Melayu Nusantara ini ialah yang dimaksudkan dengan sebuah institusi pendidikan Islam tradisional yang di dalamnya mempunyai beberapa unsur-unsur yang terpenting, yaitu mempunyai seorang pemimpin institusi untuk menyampaikan ajaran agama Islam serta mempunyai tempat penginapannya dalam pondok, mempunyai para anak didik yang memiliki tempat penginapannya dalam pusat pengajiannya, yang disebut dengan istilah “Pondok” mempunyai bangunan untuk menjadi pusat kegiatan pengajiannya, yang disebut dengan istilah “Madrasah” atau “Masjid” dan yang terakhir adalah isi ajaran agama Islam, bersumber daripada kitab-kitab lama atau lebih dikenal sebutan “Kitab Kuning” Model pengajian pondok dan suasana unsur-unsur pondok, telah lama hidup dan berkembang serta mempertahankan tradisi dan identitinya sampai kini. Ia berada di tengah-tengah masyarakat dan telah tersebar luas di seluruh kawasan Nusantara ini. Sejarah penumbuhan dan perkembangan pengajian pondok merupakan sebahagian daripa16

da pekerjaan dakwah Islamiyah bagi para pemimpin pondok yang terdahulu. Para pemimpin pondok telah menyebarluaskan ajaran agama Islam melalui model pengajian pondok. Berdasarkan dengan keyakinan pada ajaran agama Islam yang telah diajari oleh para alim ulama yang sezaman dengan mereka sehingga model ini, berkembang secara turun temurun dengan membekalkan suatu wasiat yang telah ditanamkan oleh para pemimpin pondok yang terdahulu kepada mereka dengan ajaran agama Islam yang perlu disebar luaskan adalah merupakan suatu amanah “Warasatul Anbiya” yang wajib disampaikan dan disebarluaskan kepada umat manusia. Maka, dengan demikian penumbuhan pengajian pondok yang telah berkembang dari semasa kesemasa sehingga kini, merupakan suatu kebanggaan bagi umat Islam masa kini. Ada pendapat lain yang dikemukakan menurut Mustofa Syarif, bahawa proses perkembangan institusi pondok adalah berasal daripada salah satu teknik yang diciptakan oleh tokoh pemimpin Islam terdahulu dalam bentuk penyampaian pengajian agama Islam dengan melalui hidup bersama dan pergi bersama, di antara Kyai dengan Santri. Pendidikan model ini, telah terujud di pelbagai tempat di kepulauan Jawa, sekitar abad ke 15 masihi. Pertama kalinya diujudkan oleh seorang ulama Jawa yang sangat terkenal dengan nama “ Wali Songo “. Beliau sempat berhasil mendidik sejumlah pelajar yang telah hidup bersama-sama dengan Beliau di rumahnya sendiri yang dikenal dengan sebutan “ Rumah Gresik “. Proses penyampaian pengajian agama Islam dalam model ini, sangat berkesan dikemudian harinya. Para anak didik yang tamat pengajian di rumah tersebut telah mencohi dan membuka model pengajiannya bentuk yang sama

Mustofa Syarif, Administrasi Pesantren, Jakarta, 1980. halaman 5.(setelah ini, disebut Administrasi Pesantren) 17 Administrasi Pesantren, Ibid. halaman 6.

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008


di seluruh kepulauan Jawa. Model pengajian ini, sangat terkenal dikalangan masyarakat Jawa Kuno dan pada akhirnya bentuk pendidikan tersebut telah berkembang menjadi pembentukan sebuah pondok pesantren.18 Zamaksyari Dhofier, menjelaskan bahawa proses pembentukan pondok pesantren, telah berkembang daripada model Zawiyah. Model ini, dipimpin oleh kelompok kaum Sufi dengan menggunakan bentuk Halaqah. Bentuk ini, selain daripada memberikan pengajian agama Islam, juga diajarkan cara bertasawwuf dengan melalui cara Suluk (sebagaimana telah dijelaskan pada arena sebelumnya). Di kawasan kepulauan Jawa, model pendidikan pondok pesantren, dilaksanakan dalam bentuk “bandongan” atau cara “wetan” Kedua istilah ini, diambil daripada bahasa Jawa Kuno dan digunakan dalam institusi pondok pesantren. Cara pelaksanaannya ada sekelompok para pelajar di antara lima orang sehingga ratusan orang mendengar pemimpin pondok pesantren sedang membaca, menterjemah, menerangkan dan membahas sebuah kitab agama Islam dalam bahasa Arab. Maka, setiap para pelajar diharuskan untuk mendengar serta memperhatikan sebuah kitab yang dimilikinya dan membuat catatan masing-masing apa saja yang telah didengar daripada pembahasan pemimpin pondok pesantren. Syed Muhammad Dawilah al Edrus, mengemukakan pendapatnya dalam sebuah kertas kerja bahawa bentuk pendidikan pondok mempunyai penekanan dalam pendidikannya kepada ampat konsep, ialah Tarbiyah (mendidik), Ta’lim (menuntut ilmu), Ta’dib (membentuk pribadi) dan Tadris (belajar). Model ini, bercorak kepada menadah kitab-kitab lama atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Kitab Kuning” dan para pelajar dituntut untuk membawa kitab-kitab terse-

but ke hadapan para pemimpin pondok untuk membaca dan mendengar isi syarahannya. Model ini, digunakan semua oleh institusi pondok pada waktu itu.20 Kesan daripada pengajian model Zawiyah dalam bentuk halaqah ini, hingga kini masih berkembang dan berkekalan dalam kehidupan di institusi pendidikan pondok, terutama terdapat di pondok-pondok yang sudah lanjut usia. dan sebagainya. Menurut Nurcholish Madjid, menjelaskan tentang model Zawiyah ialah suatu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melalui kegiatan Wirid dan Suluk. Ia berkembang di sekitar kawasan India dan pada akhirnya berkembang menjadi model Gilda, yang artinya tempat penginapan sementara. Kemudian berkembang lagi menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pendidikan. Pada akhirnya, institusi ini dapat menjadikan tempat tumpuan dan kekuatan politik di kemudian hari. Sementara di kawasan serantau Nusanrata, seperti di kepulauan Jawa, telah berkembang menjadi pusat-pusat dakwah Islamiyah, seperti di daerah Ampel, Giri dan sebagainya. Pada akhirnya pusat-pusat tersebut berkembang menjadi pondok pesantren.21 Pada waktu sebelumnya, sekitar abad ke 12-13 masehi, merupakan zaman kemunduran umat Islam dalam hal ehwal politik, ketenteraan, keilmuan dan sebagainya. Maka, gerakan kaum Sufiah yang menyuburkan jiwa keagamaan di kalangan umat Islam. Gerakan mereka, telah menyambung atau sebagai perantaraan yang menyebabkan ajaran agama Islam

tersebar luas daripada Timur Tengah menuju ke kawasan serantau Nurantara ini. Di dalam kalangan mereka, tergabung daripada ahliahli pedagang, pengembara dan para da’i yang datang menyebarkan ajaran agama di kawasan serantau Nusantara. Kemudian tugas selanjutnya diterus oleh para ulama ahli fiqh dan ahli kalam.22 Ada lagi, sebahagian pendapat dari tokoh pendidikan yang mengatakan bahawa proses pembentukan pondok pesantren telah berkembang dari asal usul proses perkembangan model pendidikan “Guru Kula” ialah sebuah institusi pendidikan yang khusus untuk mengasuh dan membimbing terhadap anak-anak orang bangsawan dari kalangan masyarakat Hindu. Model pendidikan ini, mempunyai riwayat sejarah penumbuhan dan perkembangan dari negeri India. Model pendidikan ini, telah berkembang ke kepulauan Jawa sebelum agama Islam bertapak di sana. Maka, setelah para penda’i berhasil mengislamkan terhadap masyarakat Jawa. Maka, model pendidikan “Guru Kula” oleh para penda’i mengubah bentuknya menjadi sebuah institusi pendidikan pondok pesantren. Namun, perbezaan di antara model tersebut, ialah terbuka untuk sesiapa saja dan dari golongan mana saja yang berhajat untuk mendalami ilmu agama Islam.23 Begitulah asal usul institusi pondok yang menurut dalam catatan sejarah penumbuhan dan perkembangannya berasal daripada proses dan latar belakang pelbagai model pendidikannya. Namun, bagi tokoh pendidikan yang terdahulu telah berusaha

18

Administrasi Pesantren, Ibid. halaman 6. Tradisi Pesantren, Ibid. halaman 28. 20 Syed Muhammad Dawilah al-Edrus, Pendidikan Awal Melayu Pulau Pinang: Wacana Ketamadunan Dan Jati Diri, dalam Noriah Mohamed (Penyelenggara & Penyunting) Melayu Pulau Pinang, Himpunan Kertas Kerja, Kolokium Kebangsaan Melayu Pulau Pinang, 17-18 September 2003, Dewan Budaya, Universiti Sains Malaysia. Halaman 93 (setelah disebut, Melayu Pulau Pinang) 21 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta, 1997.halaman 54-57. 22 Ibid, halaman 54-57. 23 Masyarakat Desa, Ibid., halaman 66. 19

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

67


agar model pendidikan tersebut mengubah menjadi model pendidikan yang lebih islami. Perkembang Budaya Keilmuan Pondok Sejarah telah tercatat bahawa ketika kawasan tanah Melayu dikuasai oleh pendatang dari negeri asing atau para penjajah dari negeri Barat, para tokoh pendidikan Islam selalu memikirkan tentang model institusi pendidikan yang dapat bersaingan dengan model pendidikan yang mereka terapkan terhadap masyarakat Melayu pada waktu itu. Model pendidikan pondok telah memainkan peranan penting dan telah menjadikan model pendidikan umat yang dapat bersaingan dengan model pendidikan yang telah dibawak oleh pendatang asing tersebut. Hal ini, telah terbukti pada abad ke-19, institusi pendidikan pondok telah menjadikan pusat pengajian Islam yang termashor dan ada hubungan erat di antara institusi ini dengan model pengajian yang berlangsung di Makkah pada waktu itu. Kerana para pelajar yang lulusan di Tanah Melayu akan diakui setelah tamat pengajiannya di sana. Para ulama pondok telah mencontohi model pengajian yang digunakan di dalam Masjidil al

68

Haram Makkah dengan menggunakan bentuk halaqah. Maka seorang pelajar yang telah tamat mengikuti pengajiannya sampai alim. Kemudian setelah pulang ke Tanah Melayu, pihak masyarakat setempat akan disediakan sebidang tanah untuk menjadikan tempat penginapan baginya dan disediakan pula sebuah kawasan untuk menjadikan tempat penginapan sementara bagi para pelajar yang akan mengikuti pengajiannya.24 Model pengajian pondok yang masih berkembang sehingga kini, pada waktu sebelumnya telah dicontohi oleh Rasulullah saw. di masjid Madinah. Pada waktu itu, di masjid tersebut telah menjadikan pusat pendidikan Islam dan di majlis pengajiannya telah diikuti oleh para masyarakat setempat, para kabilah yang datang dari jauh sehingga mereka membina tempat penginapan sementara di sekeliling masjid. Tempat penginapan pada masa itu, dikenal oleh masyarakat Arab dengan sebutan “fundug� yang dimaksudkan dengan tempat beramal dan tempat singgah sementara 25 .Pembuktian ini, berlaku pada masa penghijrahan Rasulullah SAW. ke Madinah telah membawa kemajuan dalam dunia pendidikan Islam setelah Baginda membangun sebuah

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

masjid Nabawi, selain menjadi pusat kegiatan ibadah, juga menjadi pusat kegiatan pendidikan Islam. Model pengajian di masjid Nabawi berlangsung secara tidak formal. Lalu setelah Rasulullah saw. membangunkan sebuah surau yang bersambungan dengan masjid Nabawi yang diberikan nama “al Suffah� sebagai pusat kegiatan pendidikan Islam. Maka, model pendidikan disini lebih bersifat sistematik dan formal. Maka, disinilah Baginda adalah menjadi contoh utama sebagai seorang guru dan menconhi cara pelaksanaan pengajiannya. Kemudian Baginda mulai mendidik serta melatih beberapa para sahabatnya untuk menjadikan penggantinya, sebagai seorang guru yang bertugas di surau tersebut 26 .Pada masa sebelumnya proses pertumbuhan model pendidikan Islam tersebut, Rasulullah saw. menyampaikan model pengajiannya melalui dari rumah ke rumah para sahabatnya. Kemudian pada akhirnya Baginda menjadikan rumah al-Arqam bin Abu alArqam sebagai tempat kegiatan pendidikannya, sebelum penumbuhan institusi pendidikan dalam bentuk formal. Rumah al-Arqam sebagai tempat belajar, mengajar dan pusat pertemuan Baginda dengan para sahabat serta pengikutnya. Di rumah ini pula Baginda menyampaikan dasar-dasar risalah Islamiyah dan memberikan pengajaran tentang cara membaca al-Quran serta pemahaman tentang isi kandungnya.27 Proses pertubuhan institusi pendidikan Islam di zaman Rasulullah s.a.w. ini, berkembang setelah penghijrah Baginda ke Madinah. Penghijrahan ini, Baginda membawa pe24 Abdul Latif Hamidung, Institusi Pondok dalam Tradisi Budaya Imu, dalam Ismail Hussein, A.Aziz Deraman, Abd.Rahman alAhmadi (Penyelenggara), Tamadun Melayu Jilid Dua, Kuala Lumpur, 1993, halaman 744. (setelah ini, disebut Budaya Ilmu) 25 Melayu Pulau Pinang, Ibid, 93. 26 Tamadun Islam, Ibid, halaman 48-52 27 Ibid, halaman 48-52


rubahan dan pembaharuan yang sangat penting sebagai seorang tokoh pendidik yang pertama dalam dunia pendidikan. Setelah tiba di Madinah, Rasulullah s.a.w. mulai mendirikan masjid, seperti masjid Quba dan masjid Nabawi. Kemudian Baginda menjadikan masjid Nabawi sebagai pusat pendidikan bagi urusan dunia dan akhirat. Model pengajian di masjid tersebut berupa bentuk tidak formal. Lalu apabila dibangun sebuah surau yang bersambungan dengan masjid Nabawi, maka diberikan nama dengan sebutan al-Suffah. Sebagaimana telah dijelaskan pada arena sebelumnya.28 Model pengurusan pengajian Islam pada masa permulaan ini, diikuti oleh para sahabat, tabi,in dan juga oleh kaum muslimin dikemudian harinya. Pembuktian ini, tercatat dalam sejarah, semasa kerajaan Ummayyah, pusat-pusat pengajian Islam telah menggunakan masjid sebagai pusat kegiatannya, setelah pergantian zaman Abasiyyah, merupakan zaman kemajuan dan keemasan di bidang pendidikan Islam, selain masjid didirikan, juga pusat-pusat yang lain yang didirikan untuk mempelajari mengenai ilmu-ilmu Islam dan akademik yang berkaitan dengan ilmu matematik, fisik, kimia, astrologi, logic, falsafat dan sebagainya. Model pengajian disini, dibagi menjadi tiga peringkat, iaitu peringkat rendah, menengah, dan peringkat kemahiran. Untuk peringkat rendah, pengendalian pendidikannya berkembang menjadi sebuah institusi yang diberi nama “Kuttab”. Institusi ini, diasaskan sebagai tempat pertemuan antara guru dengan pelajar dan juga sebagai tempat proses pembelajaran di peringkat pendidikan asas atau awal.29 Istilah “Kuttab” yang telah dicontohi oleh para pendidik yang terdahulu telah berkembang sampai ke kawasan serantau Nusantara. Namun istilah tersebut di kawasan ini, mempunyai pelbagai istilah sebutan yang sesuai dengan

perkembangan zamannya. Daripada sekian banyaknya, istilah-istilah itu, ialah zawiyah, gilda, dayah, meunasah, bandarsah, sekolah al Qoran, ashram, guru gula, rumah gresik, musholla, langgar, pesantren, surau, pondok, madrasah, sekolah pondok, sekolah diniyah, sekolah arab, maahad, maktab, balasah, ponok dan sebagainya. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya tentang proses penumbuhannya. Istilah-istilah tersebut, sampai kini yang banyak digunakan oleh masyarakat Nusantara adalah Pesantren yang digunakan di kepulauan Jawa dan Indonesia secara keseluruhannya. Istilah Sekolah Pondok, Madrasah, Maahad dan Ponok, banyak pakai dalam sebutannya di Malaysia dan Selatan Thailand. Yang diberikan maksud dengan sebuah institusi pendidikan pondok. Kini institusi ini, ada sebahagian di antaranya menggunakan model pendidikan tradisional yang dalam kegiatan pengajiannya tidak menggunakan kelas dan perencangan pengajiannya tetap menggunakan tradisi serta identiti keasliannya model pengajian pada masa silam, dan sebahagian lagi menggunakan model pendidikan madrasah yang menggunakan bentuk kelas dalam pengajiannya. Model ini, pada akhirakhir ini, ada yang berubah menjadi sekolah agama rakyat yang mendapatkan bantuan daripada pihak kerajaan setempat, ada sebahagian lagi yang berada di bawah pengawasan pihak kerajaan setempat dan majlis agama Islam kawasan setempat. Cara pelaksanan institusi pendidikan pondok yang masih menjaga tradisi dan perancangan pengajiannya mengikuti pondok masa silam, ialah mempunyai rencangan pendidikannya sebanyak tiga tahap. Tahap pertama, dinamakan “ Tahap Asas “, tahap kedua “ Tahap Halaqah “ dan tahap ketiga ialah “ Tahap Takhossus “. Untuk menetu-

kan tamatnya pengajian, hal ini, tergantung kepada para pelajar yang mempunyai kesabaran, ketabahan dan keikhlasan dalam mengikuti pengajiannya.30 Tahap Asas ialah merupakan pengajian yang bersangkutan dengan ilmu-ilmu asas, atau sebagai ilmu alat untuk memahami kitabkitab lama daripada bahasa Arab. Seperti, ilmu Nahu, Sarof, dan sebagainya. Selain mempelajari ilmuilmu alat, juga mempelajari ilmu agama dalam bentuk fardhu ain yang terdapat dalam kitab-kitab kecil daripada bahasa Melayu. Di tahap ini, para pelajar mengikuti pendidikannya dengan seorang pembantu pemimpin pondok atau dalam istilah pondok disebut dengan nama “Kepala Muthola’ah” yang artinya, seorang guru pembantu, sebelum mengikuti pengajiannya dengan pemimpin pondok atau sebelum sampai “Tahap Halaqah”, yakni tahap ini para pelajar sudah dapat memahami ajaran agama secara kesuruhannya dan dapat membaca kitab-kitab lama atau kitab kuning daripada bahasa Arab tanpa baris dan tahap terakhir ialah “Tahap Takhossus”” yang merupakan tahap kepakaran dalam sesuatu ilmu yang tertentu. Biasanya para pelajar harus berpindah atau bermusafir ke pondok yang lain untuk mendalami suatu ilmu yang akan dipelajarinya, juga pemimpin pondok yang mereka sedang menuntut ilmu tidak mahir dalam ilmu yang mereka memerlukannya. Ada sebahagian dari mereka terus berhijrah ke Makkah atau ke Madinah sebagai suatu pengesahan ilmu-ilmu yang sudah dipelajarinya 31 . Kebanyakan kitab-kitab yang dipergunakan dalam institusi pendidikan pondok dalam model pen28

Ibid, halaman 48-52 Ibid, halaman 48-52 30 Dulhalim Dinaa, Kajian Bentuk Pendidikan dan Pengurusan Sistem Pondok di Daerah Chana Selatan Thailand (1918-1995), Tesis Master, Universiti Sains Malaysia, 2000. halaman 163-165. 31 Ibid. halaman 163-165. 29

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

69


gajian tradisional ini, diambil dan berorientasikan dengan ulama-ulama yang dikenal dengan sebutan “Ulama Haramayn� yang dimaksudkan iaitu ulama yang ada di dua negeri yakni Makkah dan Madinah, merupakan tempat yang terpenting dalam penglibatan ulama keilmuan Islam pada abad ke-15 masihi. Pengaliran budaya keilmuan daripada Haramayn ke kawasan Nusantara pada abad ke-19 masihi, terhadap institusi pendidikan pondok di Tanah Melayu merupakan suatu kemajuan yang pesat dan telah melahirkan ulama-ulama yang terkenal di serantau ini. Pengaliran ilmu dari Haramayn pada abad tersebut telah membawa aliran latihan kerohanian atau tarekat serta asas-asas ajaran Islam moden dan juga merangkumi ilmu syariah, mantik, dan fiqh yang selaras dengan kepentingan terekat dan tasawwuf. Maka, sudah tidak heran, para pemimpin pondok pada waktu itu, selain bertindak sebagai pemimpin sebuah institusi pendidikannya, juga bertindak sebagai seorang syeikh sufi atau ketua tarekat terhadap para pelajar dan masyarakat setempat pada masa silam.32 Selanjutnya perkembangan budaya keilmuan institusi pendidikan pondok model pengajian tradisional telah berubah menjadi model pendidikan Madrasah. Ini disebabkan kemunculan para ulama reformis darpada Al Azhar pada awal abad ke-20. Model pendidikan Madrasah yang berorientasi dengan model pengajian Al Azhar yang menggunakan bentuk kelas dalam pengajiannya telah membawa peranan penting, sehingga sebahagian daripada ulama pondok model pengajian tradisional turut menukat bentuk pendidikannya. Ulama di Tanah Melayu yang telah mendapatkan pendidikan Al Azhar telah memiliki beberapa ciri. Antara ciri yang paling menonjol ialah mempunyai sikap keterbukaan kepada pendekatan mazhab. Desakan untuk mengamalkan satu mazhab tertentu, semakin

70

hari semakin berkurang kalau dibandingankan dengan pemikiran ulama yang telah dapat didikan daripada ulama Haramayn 33 . Kesan daripada perpindahan model pengajian daripada Haramayn ke model pengajian Al Azhar ini, bentuk pendidikan pondok telah diatur secara berkelas dan mempunyai jinjang pendidikannya yang sesuai dengan kecerdasan terhadap para pelajar yang sedang mengikuti pendidikannya. Bentuk ini, mempunyai tingkatan pendidikannya selama 10 tahun, ialah daripada tingkat ibtidaiyah berlangsung selama 4 tahun, tingkatan mutawassitah selama 3 tahun dan tingkatan sanawiyah selama 3 tahun. Maka, setelah para pelajar tamat mengikuti pengajiannya, para pemimpin pondok akan mengirimkan mereka untuk melanjutkan ke Mesir atau Timur Tengah 34. Kesempatan untuk mengikuti pengajian di Al Azhar bagi anak-anak Melayu pada waktu itu sangat tinggi. Model pengajian di Al Azhar sangat bermutu kalau dibandingkan di tempat lain. Hal ini, disebabkan model pengajiannya telah merangkumi di antara model pengajian tradisional (umumi) dengan model pengajian nizami 35. Maka, kesan pengajian semacam ini, masih tersisa di beberapa pondok yang ada di kawasan serantau Nusantara ini. Sebagai contoh dapat dilihat di Madrasah Irshad Al Ashrof Al Wataniah, di Sungai Bakap, Pulau Pinang, dan lain sebagainya. Kemajuan Ulama Pondok Ketika negeri-negeri Melayu di kawasan Nusantara, dikuasai dan diperintahkan oleh para Sultan atau Raja Melayu yang beragama Islam, pernah termashor sebagai pusat kemaddunan Islam di serantau ini. Mereka telah memberikan laluan kepada para tokoh keilmuan Islam untuk membina dan membangun terhadap masyarakat setempat agar memahami tentang ajaran Islam yang telah wahyukan

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

kepada Rasulullah saw. Hal ini, telah tercatat bahawa peranan para tokoh ilmuan pada masa silam, terbukti sekitar tahun 1336 masihi, Ibnu Bahtutah dalam perjalannya ke negeri Cina dan sempat singgah di kawasan Pasai. Dalam catatannya, telah menceritakan seorang Sultan Malik al Zahir adalah seorang Raja yang tergabung dalam golongan ulama mazhab Syafi’iy dan telah membangun keilmuan Islam bersama dengan para ulama lain-lain, sehingga kemajuan ini, di catat negeri Aceh sebagai serambi Makkah. Selain negeri Aceh, juga negeri Fatani, Kelantan dan sebagainya. Sumbangan daripada para ulama keilmuan Islam sangat berkesan dan telah berjaya membangunkan kemaddunan Melayu Islam dengan segala keunggulan, menanamkan kefahaman dan penghayatan tentang nilai-nilai Islam terhadap masyarakat Melayu yang terkenal dengan kefahaman tahayul dongeng dan sebagainya.36 Usaha-usaha para ulama keilmuan yang terdahulu, telah berhasil menyebarluaskan ajaran Islam dengan melalui bentuk pendidikan pondok. Institusi ini, mulai berkembang pesat di kawasan Nusantara pada permulaan abad ke19 dan telah diperkenalkan di kawasan Semenanjung Tanah Melayu, bermula di negeri Fatani. Kemudian di negeri Kelantan lebih awal mengikuti bentuk pendidikan ini. Kerana berhampiran dengan kawasan tersebut dan setelah itu, 32

Melayu Pulau Pinang, Ibid, 94. Ibid, halaman 94-95. 34 Dulhalim Dinaa, Institusi Pondok Tradisional : Satu Tinjauan Terhadap Cabaran Budaya Keilmuan dan Sumbangan Serta Perancangan Universiti Sains Malaysia Untuk Masa Hadapan Pondok di Kawasan IMT-GT, Kertas Kerja, Persidangan Antarabangsa IMTGT, Kelab Ijazah Tinggi dan Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, USM, 10-11 Desember 2007. 35 Melayu Pulau Pinang, Ibid, 94. 36 Mustafa Kamal Ayob, (Sunting dan Kata Pengantar),Generasai Pelajar, Pembina Tamadun Abad 21, Selangor, 1991, halaman 73-76. 33


mulai tersebar ke negeri Kedah, Seberang Perai, Utara Perak, dan Perlis. Daripada usaha-usaha mereka pula, pada abad tersebut pelbagai buku-buku dan kitab-kitab agama yang telah dituliskan dengan tulisan Jawi serta dibukukan sama ada karangan mereka sendiri maupun terjemahannya daripada kitabkitab bahasa Arab. Di antara penulis tersebut, ialah Uthman Bin Abdullah Bin Yahya, Syeikh Daud Abdullah al Fatani dan Arshad Bin Abdullah al Banjari.37 Kemajuan pengajian agama Islam di negeri Fatani pada waktu sebelumnya, ketika di dikuasai atau diperintahkan oleh para Sultan dan Raja Melayu yang beragama Islam pernah termashor sebagai pusat penyebaran keilmuan kemaddunan Islam di serantau Nusantara. Namun, data-data yang menunjukan kemajuan di bidang tersebut dalam catatan sejarah telah banyak yang dimusnahkan kerana disebabkan pergolakan politik yang perpanjangan dan perselihan budaya serta saling curiga di antara penduduk asli dengan penguasa tempatannya. Hal ini, sukar untuk mengkaji kembali bagi ahli-ahli sejarah tempatan. Namun, bagi generasi baru telah berusaha mengkaji balik tentang kemajuan tersebut daripada dunia luar yang tersisa dalam catatannya. Seperti, seorang ahli sejarah Azyumardi Azra, telah mengemukakan tentang kemajuan tersebut dengan mengemukan seorang tokoh ilmuan Syeikh Daud Abdullah al Fatani (1740-1847 M) sebagai seorang tokoh ulama yang termasuk dalam jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara yang banyak berjasa terhadap negeri Fatani dan pernah mendapatkan pendidikan awal di negerinya sendiri bersama dengan beberapa orang tokoh ulama daripada al Palimbangi. Beliau juga berpendapat bahawa peralihan keyakinan penduduk Fatani kepada agama Islam terjadi sekitar abad ke-12 masehi sehingga pada abad ke-15 masehi. Selajutnya, Be-

liau juga mengatakan, para ahli sejarah barat, sepert Matheson dan Hooker, memberikan pendapat bahawa pondok di Fatani sangat berprestasi dan para pelajar lanjutan mereka diterima baik sebagai guru di tempat-tempat laiN.38 Selanjutnya, Mohd. Zamberi A. Malik, menjelasakan bahawa pada zaman Langkasuka, telah ada para saudagar Arab yang mengislamkan terhadap penduduk Fatani. Kerana disebabkan ancaman politik atas pengguasa tempatan, menyebabkan kemajuan Tamaddun Islam semakin hari semakin luput sehingga masyarakat setempat telah hilang ingatan sewaktu diislamkan pada kali pertama oleh para saudagar tersebut dan mereka telah menyebarkan Islam di Fatani melalui ulama tasawwuf dan di antara mereka banyak yang menetap di sana, sehingga akhirnya dapat mendekati para raja-raja Fatani dan kaum bangsawan di istana. Kemudian baru mengislamkan mereka dan setelah itu, para sultan dan raja-raja Fatani telah diberikan laluan kepada para saudagar Arab untuk menjadi pusat kegiatan pengajian Islam model menadah kitab di dalam istana. Pembuktian ini, telah tercatat sejak abad ke-14 masihi, ada seorang ula-

ma sufi yang bernama Syeikh Syafiauddin al Abbas, sudah tiba di Fatani bersama dengan Syeikh Said Bersisa dan Syeikh Gombak Abdul Mubin. Maka pada waktu itu, terujudlah pelbagai kegiatan pengajian Islam di Istana, yang merupakan pusat tumpuan para cerdik pandai untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Dengan demikian lahirlah kegiatan penulisan kitab-kitab agama sudah ada di negeri Fatani pada abad ke17 masehi.39 Wan Muhammad Shaghir, menjelaskan negeri Kedah dan Fatani telah dikenal oleh orang Arab sebagai pusat penyebaran keilmuan Islam di kawasan Nusantara, sama pentingnya dengan negeri Aceh. Hubungan di antara para ilmuan di kawasan tersebut sangat erat dan hubungan para ulama Kedah dan Fatani mempunyai keturunan yang sama daripada orang Arab. Hal ini, dapat dibuktikan seorang tokoh ulama yang 37 Amran Kasim, Masalah Sosial dan Hubungan dengan Didikan Agama, Kuala Lumpur, 1993, halaman 22-24. 38 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung, 1994, halaman 258. 39 Mohd.Zamberi A.Malik, Patani dalam Tamaddun Melayu, Kuala Lumpur, 1994, halaman 30-34. (setelah ini, disebut Tamadun Melayu)

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

71


bernama Syeikh Ibrahim Haderamau Bin Abar. Beliau telah mempunyai anak lima orang, ialah Syeikh Wan Abdurahman, Wan Jamilah Assnadaniyah, Syeikh Wan Yahya, Syeikh Wan Muhammad Nur Yasin dan Syeikh Wan Husen. Di antara para ulama negeri Kedah dan Fatani yang ada keturunan yang sama ialah, Syeikh Daud Bin Abdullah al Fatani, Syeikh Zainal Abidin Bin Muhammad al Fatani, Syeikh Ahmad Bin Muhammad Zain al Fatani, Haji Ismail Bin Mushtofa Kedah dan Syeikh Jarum al Fatani.40 Salah seorang ulama keturunan Syeikh Ibrahim Haderamau Bin Abar yang cukup terkenal bagi penduduk masyarakat Pulau Pinang ialah dengan sebutan “ Tuan Minal “. Ketokohan Beliau, selain menjadi seorang pegarang kitab agama, juga sebagai seorang tokoh pemimpin pondok yang pernah menyebarkan ilmu agama Islam terhadap masyarakat di daerah Sungai Dua kawasan Seberang Perai. Pembuktian ini, dikemukakan Ahmad Fathy al-Fatani dalam tulisannya, bahawa Tuan Minal adalah seorang tokoh pengarang yang berasal daripada Fatani yang sangat termashor setelah Syeikh Daud Bin Abdullah alFatani. Sebenarnya, nama beliau ialah Syeikh Zainal Abidin Bin Muhammad al-Fatani. Sebanyak tiga buah karyanya yang terkenal dan menjadi teks utama dalam pengajian kitab-kitab lama di institusi pendidikan pondok di Fatani, Kelantan dan Kedah sehingga kini. Beliau telah mengarang kitab bernama Kasyf al Ghaibiyah, Kasyf al Litham dan Aqidat al Tauhid. Kadungan tiga buah kitab ini, dijelaskan tentang permasalah ilmu Usuluddin dan Fiqh dan sekitar tahun 1860 masehi, beliau telah membuka institusi pendidikan pondok di Fatani yang berada di daerah kampung Bendang Badang. Di antara para murid Beliau ialah Tok Syeikh Jarum al Fatani dan telah membuka pondok di kampung Derga, Kedah. Selanjutnya Syeikh Muhammad Said Ling-

72

gi (negeri Sembilan), Haji Abdullah Bin Penghulu Sulaiman (negeri Kelantan) Haji Ismail Mustafa atau Tok Cik Dol (negeri Kedah), Haji Saman Abdul Rahman (negeri Kelantan), Pak Chu Yen Tok Raja Haji (negeri Fatani), Tok Chaok, Haji Wan Muhammad atau Wan Ahmad Semela (negeri Fatani), Haji Senik Bin Saleh (negeri Kelantan) dan beberpa ulama yang membuka institusi pondok di Fatani yang muncul sekitar tahun 1890 masehi, seperti Haji Muhammad Saleh (pondok Bendang Guchil Fatani) dan menantunya sendiri Haji Abdul Rashid (pondok Bandar Fatani).41 Setelah pengkadiran beberapa orang tokoh pemimpin pondok yang tersebut diatas, Tuan Minal telah berhijrah daripada negeri Fatani menuju ke negeri Pulau Pinang dan telah menyebarkan ilmu agama Islam terhadap masyarakat Pulau Pinang, terutama di Sungai Dua Seberang Perai. Penghijrahan ini, telah melalui atau melangkahi negeri Kedah yang menjadi sempadan dengan negerinya sendiri dan kemungkinan penghijrahan ini, berkaitan dengan langkah-langkah pembekuan kegiatan keagamaan dari penguasa negerinya terhadap para ulama pondok pada waktu itu atau penghijrahan ini, juga berlaku sebagai suatu jemputan atas pihak tertentu atau dengan sebab-sebab lain, seperti perhubungan perkawinan dan persemendaan, sebagaimana berlaku terhadap anak muridnya sendiiri yang bernama Tok Syeikh Jarum al Fatani ke negeri Kedah.42 Pengjihrahan tokoh ulama Fatani ke kawasan utara semenenjung Tanah Melayu, seperti Syeikh Zainal Abidin Bin Muhammad al Fatani (Tuan Minal) dan beberapa orang tokoh ulama Fatani lain lagi, tidak dapat dianggap sebagai suatu pelarian daripada pengguasa di sana, sebagaimana anggapan sebahagian daripada para ahli-ahli sejarah Barat masa kini. Hal ini, perlu pembetulan dalam pemikiran mereka, agar jangan sampai terjadi kesalahfaha-

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

man dan terjadi proses ganguan terhadap kestabilan dari segi persaudaraan di antara kedua negara tetangga ini. Maka, perlu diadakan suatu penilaian dan penyelidikan secara serius tentang sejarah penumbuhan dan perkembangan ulama-ulama Fatani di negeri tersebut. Kerana, kesan perjuangan para ulama Fatani, bukan saja dikenal oleh masyarakat serantau Nusantara ini, di dunia luar pun telah banyak catatan sejarah yang telah mencerita tentang ketokohan mereka dalam pengembangan keilmuan Islam dan ketokohan mereka memimpin masyarakat melalui institusi pendidikan pondok. Dalam catatan sejarah keilmuan dunia Arab, sebahagian daripada ulama Fatani telah diberikan kesempatan untuk dapat mengajar di Masjid al Haram Makkah, kerana kealiman mereka diterima oleh masyarakat Arab pada waktu itu dan telah ramai pula penuntut ilmu daripada Tanah Melayu di kawasan serantau Nusantara ini, yang mengikuti pengajian di sana.43 Maka, kemajuan ini, telah tercatat bahawa sepanjang abad ke-16 masehi, selain dikenal oleh dunia Arab, para alim ulama Fatani, juga telah dikenal oleh dunia Turki dan Utara Afrika. Suatu pengakuan terhadap ulama Fatani, telah mendapatkan suatu pengikhtirafan dan bertauliyah dapat mengajar di dalam Masjid al Haram Makkah. Ketokohan ulama Fatani pada waktu itu telah mendapat gelaran sebagai sebuah negeri yang terkenal dengan sebutan istilah “ Cermin Makkah “ dan telah banyak dikunjunggi oleh para penuntut ilmu daripada pelbagai negeri. Seperti, negeri Sri Lanka, Burma, Kamboja, Vietnam, Filipina, dan negerinegeri Tanah Melayu pada waktu itu, 40 Wan Muhammad Shaghir Abdullah, Hubungan Ulama Patani dengan Kedah, Kekeluargaan Ilmu dan Karya, Majalah Pengasuh no.KDN-MI-1390/R/20, 1997,halaman 6-8. 41 Ahmad Fathy al-Fatani, Ulama Besar Dari Patani, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, 2002, halaman 52-65. 42 Ibid, halaman 66-67. 43 Budaya Ilmu Ibid. hal 748.


seperti Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Jawa dan negeri Brunei. Kesan daripada didikan para ulama Fatani yang terdahulu, terhadap masyarakat negeri Burma dan Kamboja, maka beberapa kawasan di kedua negeri ini, masih menggunakan khutbah Jum’at dalam bahasa Melayu dan kitab-kitab Jawi karangan para ulama Fatani masih dijaga secara baik dan dipelajari oleh masyarakat di sana.44 Kesimpulan Dapat dijelaskan disini bahawa institusi pendidikan pondok merupakan suatu pusat yang melaksanakan proses yang mendalami ilmu agama dan para pelajarnya dituntut untuk menitikberatkan kepada hal ehwal kegiatan ibadat dan perbuatan yang berkaitan dengan masyarakat. Ia juga sebagai pusat pengkadiran dari aspek keimanan dan amalan terhadap pelbagai aspek kehidupan dunia dan akhirat. Para ulama yang terdahulu berusaha agar dapat menjalankan dasardasar pendidikan Islam bersumber kepada al-Qur’an, al-Hadith dan pelbagai pendapat serta petunjuk yang bersandar kepada kitab-kitab lama atau kitab kuning. Tujuannya, untuk membentuk pribadi para pelajar sebagai seorang muslim yang sejati, supaya mengenal Allah dan bertindak sepanjang hidupnya sebagai hamba Allah yang beriman dan bertakwa kepadaNya. Untuk itu, dalam catatan sejarah perkembangan pendidikan Islam di Nusantara ini, telah melalui jalur perkambangan sejarah yang sangat panjang dan sanagat menarik, kalau ditinjau dari institusi pendidikan yang lain. Dilihat daripada segi perkembangan proses istilah pondok yang telah tersebut di atas. Sebagaimana yang telah terbukti di kawasan negeri Fatani, Aceh dan Kedah pada masa silam. Proses pensejarahan ini juga menarik, lebih-lebih lagi ia dilakari dengan wujudnya institusi pendidikan pondok dan para ulama yang termashoor, sehingga berkesan

sampai kini. Maka pondok, kalau dilihat dari segi peranannya, ialah sebagai institusi yang membentuk proses perkembangan sejarah pendidikan Islam di serantau ini. Secara langsung, sistem pondok juga diakui sebagai sebuah institut yang hampir kepada falsafah dan tujuan pendidikan Islam yang telah tersebut pada arena sebelumnya. Sistem pengajian pondok tradisional dikenal pasti lebih berjaya membentuk keperibadian dan disiplin terhadap para pelajar. Para pelajar yang telah mengikuti pengaja-

ran yang diajar di pondok-pondok lebih memberi kesan kerana guru yang mengajar tinggal bersama murid-murid bagi memudahkan setiap pelajar dipantau sepanjang masa. Sistem pendidikan pondok yang sejak berpuluh tahun lalu berjaya melahirkan ramai pendakwah dan pendidik di kawasan Nusantara ini. Kemasyhuran itu menyebabkan lebih dikenali sebagai ‘Serambi Mekah’. Sistem pengajian pondok masih e hidup dengan subur. g 44

Tamadun Melayu Ibid, hala

DAFTAR PUSTAKA Azra, Prof.Dr.Azyumardi, 2001, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Penerbit Kalimah, Jakarta. Andaya Barbara Watson Dan Leonard , Sejarah Malaysia, Kuala Lumpur, 1983 Al-Abrasyi, Moh. Athiyah, (1970). Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang. Buyong Adil, Perjuangan Melayu Menentang Penjajahan Abad 15-19, Dewan Bahasa Dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1983 Beatty, Andrew., 1999, Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account, Cambridge University Press, Cambridge. Bloom, B.5. (1956). Toxomony of Educational Objectives, the Classification of Educational Goals, Hand Book I: Cogniti Domain. New York: Long mans, Green and Co. Borgatta, Edgar.F. (ed), 1992, Encyclopedia of Sociology, V.1., Macmillan Publishing Company, New York. Chelliah D. D. (1960). History of Education Policy of the Straits Settlements. Singapore: G.H.Kiat & Co. Ltd. Dhofier, Z. (1982). Tradisi Pesantren.Jakarta: LP3ES. Dradjat, Z. (1971). Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. Devi, Laxmi., (ed), 1997, Encyclopedia of Social Research, V.2., Anmol Publications PVT.LTD, New Delhi. Dhofier, Zamakhsyari, 1985, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta. Esposito, John (ed), 1995, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, V.3, New York, Oxford, Oxford University Press. Fadjar, M.A. (1998). Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan. Jalaluddin dan Said, U. (1996). Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan. Jakarta: Grafindo Persada. Hakim, Agus., 1996, Perbandingan Agama, CV. Diponegoro, Bandung. Hasbullah, Drs., 1999, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Lofti Ismail, Sejarah Malaysia 1400-1963, Utusan Publications & Distributors, Kuala Lumpur, 1978 Nashir, H. (1999). Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. R. Suntharalingam, Abdul Rahman Ismail, Nasionlisme Satu Tinjauan Sejarah, Penerbit Fajar Bakti, Petaling Jaya, 1985 Radin Soernano, Malay Nationalism, 1900-1945, J S E A H , V. 1 March, 1960 Singelton, R.A. dan Straits, B. C., 1999, Approaches to Social Research, OUP, New York. Sarijo, M. (1980). Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bakti. Sternbrink. K.A. (1986). Pesantren, Madrasah dan Sekolah. Jakarta: LP3ES. Tan Ding Eing, Sejarah Malaysia Dan Singapura, Penerbit Fajar Bakti, 1975/1979 Thoha, Chabib, dan Muth’i, A. (1998). PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Penyeliaan Pendidikan Islam Sekolah Rendah (1992). Kuala Lumpur: Jemaah Nazir Sekolah Wahid, Abdurrahman., 2001, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, LkiS, Yogyakarta.. William R Roof, The Origins Of Malay Nationalism, Universiti Malaya Press, Kuala Lumpur, 1967 Ziemek, Manfred., 1986, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta. Zuhairini, Dra., dll., 1997, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta Ziauddin Sardar. (1981). Sains, Teknologi Dan Pembangunan Di Dunia Islam. Kuala Lumpur: Yayasan Dakwah Islamiah Malaysia.

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

73


artikel artikel lepas lepas

Problema Pendidikan di Era Globalisasi Dunia Datar Jamilah, M.Ag, alumni Ponpes Al Munawir Krapyak Yogyakarta. Dosen STIK Annuqayah, Dosen STIT Alkarimiyyah dan Guru MTs. Tarbiyatus Shibyan. Kandidat Doktor Universitas Negeri Yogyarakarta (UNY) program Penelitian Jamilah

Pengantar Pendidikan merupakan institusi penting bagi proes penyiapan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang benar-benar berkualitas. Kita perlu merenungkan kembali untuk menetapkan agenda pendidikan nasional agar dapat mengisi abad 21 tanpa keraguan akan masa depan anak muda sebagai penerus bangsa ini. Tanpa mempersiapkan masa depan mereka untuk hidup di abad 21 dengan berbagai keunggulan kompetitif yang harus dimiliki, bangsa kita akan tenggelam dalam setiap percaturan dunia yang semakin global.1 Secara makro, era global adalah tantangan untuk merebut keunggulan kompetisi sumber daya manusia antarbangsa. Tantangan ini seharusnya dimanfaatkan oleh penyelenggara pendidikan sebagai peluang untuk menyiapkan kualitas bangsa melalui pendidikan yang terarah. Akan tetapi sampai saat ini, belum tampak adanya strategi reformasi pendidikan yang mengarah kepada masalah itu. Pendidikan belum menggerakkan potensi kecerdasan intelektual, kreativitas dan kecerdasan emosional anak. Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan saat ini, baru berada pada taraf mengembangkan kemampuan kognitif pengetahuan, yang sifatnya lebih mengembangkan fungsi reproduktif. Pendidikan belum mampu membangun etos kerja, jatidiri dan percaya diri untuk menghadapi masalah –

74 74

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

masalah yang nyata.2 Saat ini pemerintah telah memiliki program pendidikan nasional yang amat strategis yaitu peningkatan relevansi, efisiensi dan kualitas pendidikan. Setiap sistem pendidikan yang sehat selalu berusaha memahami zamannya dan berusaha pula memenuhi tuntutan-tuntutannya.3 Apabila dicermati dari berbagai tuntutan baik dasar maupun perkembangannya, maka pendidikan dituntut untuk lebih arif, kreatif dan inovatif. Meskipun tidak mampu mengantisipasi tuntutan tersebut, paling tidak pendidikan diharapkan mampu mengikuti perubahan yang terjadi. Kemajuan teknologi dan informasi menuntut pendidikan tidak lagi menekankaan pada penyampaian lisan (delivery system) guru-siswa secara monotonous. Pola pendidikan yang melaksanakan delivery system akan menghasilkan sistem linear–indoktiner–vertikal.4 Pendidikan system ini justru menghasilkan ketergantungan daripada kemandirian. Pribadi yang tergantung akan menghasilkan beban sos1 Suyanto, dkk., Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Millenium III, Yogyakarta: Adi Cita, 2000, hal. 23 2 Djohar, MS., Pendidikan Strategik, Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, Cet. I, Yogyakarta: LESFI, 2003, hal. 78 3 Muchtar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, Cet I, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hal 25 4 Djohar, MS., Pendidikan Strategik hal 9


ial, berarti keberhasilan membangun sumber daya manusia melalui pendidikan belum dapat diharapkan. Keberhasilan sumber daya manusia sekarang ini tampaknya bukan hasil pendidikan kita tetapi hasil potensi masing-masing individu. Akhirnya mereka yang mampu keluar dari sistem yang selamat adalah yang mampu mandiri. Mereka itulah yang kreatif dan produktif yang berguna bagi masyarakat. Globalisasi Dunia Yang Datar Pada awal dekade 1980-an Indonesia sudah mengenal istilah Revolusi “Triple-T” untuk menjelaskan tentang terjadinya perubahan mendasar dalam perekonomian dunia dan hubungan ekonomi antarbangsa yang dipicu oleh perkembangan pesat di bidang teknologi telekomunikasi, transportasi, dan turisme. Revolusi ini kemudian mengakibatkan terjadinya pergerakan barang dan jasa serta faktofaktor produksi dengan diibaratkan seperti arus air yang mengalir deras ke segala penjuru dunia. Yang kemudian, menjadi istilah globalisasi dengan menggambarkan dunia tanpa batal batas (borderless world). Seiring dengan perkembangan globalisasi, maka muncul problem baru yakni ketegangan antara nasionalisme, identitas, dan globalisasi. Kemudian Thomas L Friedman, menulis buku tentang “ The Lexus and the Olive Tree” tahun 1999, yang menjelaskan persoalan dari ketiga hal tersebut. Lexus adalah globalisasi dan ketegangan antara gaya penyatuan ekonomi dunia secara global dengan gaya nasionalisme dan identitas “Pohon Zaitun”, namun sejak pasca 11 September Pohon Zaitun semakin menghilang dalam era globalisasi dikalahkan dengan ketanggihannya teknologi informatika dan semakin majunya ekonomi India dan China. Berawal dari perjalanan panjangnya ke Bangalore India maka Thomas L Friedman melanjutkan studinya dengan keyakinan tinggi bahwa

dunia datar (world is flat), yang kemudian menginspirasikannya untuk membuat buku “The World Is Flat”.5 Menurutnya, ada tiga wilayah globalisasi: pertama, berlangsung sejak 1492, ketika Columbus berlayar, membuka dunia lama menuju dunia baru, hingga sekitar tahun 1800. Dia menyebutnya era Globalisasi 1.0. Proses ini menyusutkan dunia dari ukuran besar menjadi sedang. Globalisasi ini terkait dengan negara dan otot, atau dengan arti lain pelaku utama perubahan dan kekuatan yang mendorong proses penyatuan global adalah seberapa gigih, seberapa besar otot, seberapa besar tenaga kuda, seberapa besar tenaga angin, seberapa besar tenaga uap yang dimiliki suatu negara serta seberapa besar kreatifitas untuk memanfaatkannya. Pada masa ini, negara dan pemerintah yang biasanya dipicu oleh agama, imprialisme, atau gabungan keduanya mendobrak dinding dan menjalin dunia menjadi satu hingga terjadi penyatuan global. Kedua, masa Globalisasi 2.0. yang besar, berlangsung dari sekitar tahun 1800 hingga 2000 dengan diselingi oleh masa Depresi Besar serta PD I dan PD II. Masa ini menyusutkan dunia dari ukuran sedang ke ukuran kecil. Dalam globalisasi ini pelaku utama perubahan atau kekuatan yang mendorong proses penyatuan global adalah perusahaan-perusahaan multinasional, dengan dipelopori oleh Revolusi Industri. Ketiga, masa Globalisasi 3.0. yang terjadi sekitar tahun 2000 sampai sekarang, menyusutkan dunia dari ukuran kecil menjadi sangat kecil sekaligus mendatarkan lapangan permainan. Motor penggerak globalisasi ini adalah kekuatan baru untuk bekerjasama dan bersaing secara individual dalam kancah global. Tatanan dunia datar adalah konvergensi (penyatuan) antara komputer pribadi yang memungkinkan setiap individu dalam waktu singkat menjadi penulis materi mereka sendiri secara digital, serat optik yang memungkinkan mereka untuk mengakses lebih banyak materi di seluruh dunia dengan

murah juga secara digital, serta work flow software (perangkat lunak alur kerja) yang memungkinkan individuindividu di seluruh dunia untuk bersama-sama mengerjakan suatu materi digital dari manapun tanpa menghiraukan jarak antarmereka. Sepuluh Kekuatan Yang Mendatarkan Globalisasi Menurut Thomas L Friedman dalam bukunya yang termasuk International Bestseller mengungkapkan ada sepuluh hal yang membuat dunia semakin datar.6 Pertama, mulai sejak tanggal 09 November 1989, runtuhnya Tembok Berlin atau dengan kata lain meruntuhkan dan membebaskan semua orang dari belenggu kekaisaran Uni Soviet, yang pada akhirnya mempengaruhi kekuasaan di seluruh dunia ke arah pemerintahan yang demokratis, berlandaskan konsensus, dan berorientasi pasar bebas. Kedua, tanggal 09 Agustus 1995, yakni mulai mendunianya Web dan Netscape yang semakin memasyarakat. Konsep World Wide Web, yakni sebuah sistem untuk menciptakan, menyusun, dan mengaitkan dokumen agar mudah untuk dilacak melalui internet, dikembangkan oleh ahli komputer Inggris Berners-Lee (Website pertamanya adalah http://info.cern.ch) yang ditempatkan pertama kali pada tanggal 6 agustus 1991. Kemudian, lahirlah penciptaan browser komersial untuk memudahkan berselancar di Web, yang pertama kali populer diciptakan oleh Netscape, sebuah perusahaan kecil yang baru berdiri di Mountain View California. Netscape go public pada tanggal 9 Agustus 1995, dan sejak saat itulah dunia berubah drastis. Ketiga, pendatar selanjutnya adalah Perangkat lunak alur kerja. Sekarang kita mencapai titik dalam alur ker5 Thomas L Friedman., The World Is Flat, terj. P. Buntaran, Benyamin Molan dkk, Jakarta: Dian Rakyat, 2007. 6 Ibid., hlm. 54-256

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

75


ja dengan mesin yang dapat berkomunikasi dengan mesin lain melalui internet dengan protokol standar, tanpa ada orang yang terlibat. Keempat, lahirnya Uploading yang mengendalikan kekuatan masyarakat. Yang terdiri dari tiga hal: Uploading: gerakan perangkat lunak buatan komunitas, Wikipedia, dan Blogging/Prodcasting. Kelompok pertama dikenal dengan nama “komunitas intelektual bersama”. Kelompok kedua disebut “komunitas perangkat lunak bebas”. Kelima, Outsourcing Y2K. Mungkin kita masih ingat krisis Y2K atau sering disebut millenium bug, yang membuat penghematan ruang memori dengan mendata tanggal hanya dengan enam digit dua untuk hari, dua untuk bulan, dan dua untuk tahun – sehingga konsekuensinya jam hanya bisa berjalan sampai 31/12/99. Maka ketika kalender menunjukkan 1 Januari 2000, banyak komputer tua akan bertahan dan tidak mencatatnya sebagai 01/01/2000 melainkan sebagai 01/01/00, yang akan dibaca sebagai tahun 1900. Hal ini berarti bahwa sejumlah besar komputer perlu disesuaikan jam internalnya maupun sistem yang terkait dengannya. Jika tidak demikian, maka komputer dikhawatirkan akan mati, sehingga menimbulkan krisis global, mengingat banyaknya sistem kendali – dari air minum sampai lalu lintas udara – dilakukan oleh komputer. Ketika pekerjaan Y2K mereda maka kemudian muncullah pendorong bisnis yang sama sekali baru, yakni e-commerce. Keenam, Offshoring. Sejak awal tahun 1980-an banyak investor, terutama China perantauan, yang memahami cara kerja di China mulai berkata “Kalau kita bisa menjual banyak kepada orang China saat ini mengapa kita tidak menggunakan tenaga kerja China yang disiplin dan murah untuk memproduksi barang di sana dan menjualnya ke luar negeri?” Sikap ini sangat sesuai dengan harapan para

76

pemimpin China. Sehingga pada akhirnya hasil produksi China mampu bersaing dengan produkproduk negara lain dengan harga yang lebih murah. Setelah proses offshoring tersebut dari berbagai produk – tekstil sampai elektronika – maka satu-satunya cara agar perusahaan negara lain bisa bersaing adalah dengan offshoring ke China (memanfaatkan tatanan kualitas tinggi dan harga murah). Dengan bergabungnya China ke WTO semakin memastikan bahwa China memberi kepastian kepada perusahaan asing dengan perlindungan hukum internasional dan aturan bisnis yang standar. Ketujuh, Supply-Chaining, jalan rantai pemasok. Sebagai konsumen, kita akan sangat menyukai rantai pemasok, karena tersedianya berbagai macam barang – dari sepatu, buku sampai komputer laptop – dengan harga yang semakin hari semakin murah, dan sesuai dengan keinginan kita. Wal-Mart salah contoh rantai pemasok yang sekarang menjadi peritel terbesar di dunia. Kedelapan, Insourcing. UPS menciptakan tatanan yang memungkinkan siapapun menjadikan usaha mereka global dengan melakukan efesiensi rantai pemasok global mereka. Meskipun ini masih sebagai jenis usaha yang baru, namun pada tahun 2003 dengan insourcing UPS memperoleh keuntungan sebesar $ 2,4 miliyar. Hal ini semakin membuktikan bahwa insourcing semakin dibutuhkan. Kesembilan, In-Forming. Salah satu pendiri Google kelahiran Rusia Sergey Brin mengatakan “orang yang memiliki jaringan pita lebar, dial-up atau akses ke internet, apakah dia seorang anak, dosen, guru, dan lainnya, semua memiliki akses yang sama atas informasi riset seseorang.” Hal ini merupakan pendataran yang menyeluruh. Ketika Google datang anak-anak memiliki “akses universal” atas informasi di semua perpustakaan seluruh dunia. Dalam perkembangannya penggu-

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

na Google banyak mencari tiga hal: (1) seks, itu merupakan favorit Googler sepanjang waktu, (2) adalah Tuhan, dan (3) adalah pekerjaan. Dan kesepuluh, pendatar terakhir adalah Steroid. Steroid pertama adalah berkaitan dengan computing, satu cara sederhana memandang computing dalam skala apapun adalah dengan melihat tiga hal yang membentuk computing: kemampuan komputasi, kemampuan penyimpanan, dan kemampuan input/output – kecepatan untuk membawa informasi masuk atau keluar komputer/kompleks penyimpanan. Semua ini terus meningkat sejak zaman mainframe pertama yang besar. Kemajuan-kemajuan yang saling menunjang ini membentuk steroid yang penting. Akibatnya dari tahun ke tahun kita bisa melakukan digitasi, membentuk, melahap, dan mengirim semakin banyak kata, musik, data, dan hiburan. Contoh, selama beberapa dekade ini para pembuat chip semakin memperkecil ukuran transistornya, sehingga jarak tempuh elektron semakin kecil, sehingga pemprosesan data bisa lebih cepat” tulis Business Week (20 Juni 2005). Dunia Pendidikan Yang Datar Era globalisasi dengan semakin datarnya dunia telah melanda dunia pendidikan di Barat secara umum. Di Asia kita tidak bisa melepaskan diri dari perkembangan pendidikan China yang sejak beberapa tahun belakangan ini, menghadirkan berbagai universitas asing, baik dari Inggris, Amerika Serikat, dan Australia yang telah membuka kampus di negeri tirai bambu tersebut. Kehadiran universitas-universitas dari Eropa, Amerika, dan Australia di China terlihat dengan jelas dalam “Pameran pendidikan China Internasional ke -6” yang diselenggarakan di Mangga Dua Square Jakarta tanggal 15 dan 16 Desember 2007. Selain itu, kuliah dengan menggunakan bahasa Ing-


gris di China merupakan hal yang biasa. Sama seperti kuliah dengan berbahasa Inggris di Indonesia, “ujar Ketua Beijing Language & Culture Institute Mangga Dua Square, Samuel Wiyono, M.B.A. Universitas-universitas asing yang telah membuka kampus di China antara lain; Liverpool University dan Notthingham University dari Inggris, Missouri University dari Amerika Serikat, Monash College dari Australia, dan Raffles Design Institue dari Singapura. Kehadiran perguruan tinggi asing ini tentunya telah menjadikan warna tersendiri dunia pendidikan di China, dan telah menandai adanya era globalisasi pendidikan yang sudah mulai menjamah Asia. Maka kita tidak perlu heran bila nantinya kita mendapati lulusan dari Notthingham University yang fasih berbahasa Mandarin dan tidak pernah sekalipun ke Inggris. Karena ia mendapat gelar kesarjanaannya dengan kuliah di Notthingham University yang berada di China. Selain menawarkan pendidikan China dari berbagai universitas Eropa, Amerika Serikat, dan Singapura, universitas negeri di China menawarkan pula gelar internasional dari Australia, Kanada, Inggris, Amerika, dan China sendiri. Dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar perkualiahannya. Hal ini akan memurahkan biaya pendidikan dan mempersingkat waktu pendidikan bagi para mahasiswa yang belum menguasai bahasa Inggris tapi mengingikan mendapatkan gelar internasional. Lebih lanjut, pendidikan yang global juga telah menjamah wilayah Asia Tenggara, terutama Singapura, hampir semua lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai perkuliahan menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, semakin banyak lembaga-lembaga asing yang masuk dan membuka pendaftaran bagi mahasiswa Asia Tenggara untuk kuliah di sana. Hal ini membuktikan bahwa jarak, waktu,

dan bahasa tidak menjadi pengahalang utama terjadinya globalisasi pendidikan. Selain itu, murahnya pendidikan yang ditawarkan universitasuniversitas asing dengan berbagai fasilitasnya dibandingkan kita kuliah ke tempat asal universitas tersebut akan semakin mempersempit jarak dan waktu sehingga dunia pendidikan akan semakin datar. Hal ini terbukti dengan mudahnya kita mengakses lembaga-lembaga pendidikan di Eropa, Amerika, China, Singapura, dan lainnya. Bahkan untuk masuk ke perpustakaannya, atau hasil penelitiannya, dan para tenaga edukatifnya. Penawaran-penawaran dan informasi itulah sebagai jalan termudah untuk mengglobalkan dunia pendidikan. Bahkan Amazone.com menawarkan berbagai buku-buku baru dari segala bidang, yang semakin memudahkan kita untuk mengakses hasil karya intelektual Eropa dan Amerika, yang pada akhirnya akan memurahkan harga buku tersebut dengan memesan via internet tanpa harus ke luar negeri untuk membelinya. Semakin cepatnya akses keilmuan akan menjadikannya pendidikan sebagai lahan yang produktif bagi para kapitalis. Satu contoh adalah semakin banyaknya beasiswa yang ditawarkan lembaga-lemabaga pendidikan dengan berbagai kemudahannya, dan memiliki syarat utama TOEFL atau IELTS, yang keduanya tersedia di internet untuk melakukan berbagai pelatihan untuk mengukur kemampuan bahasa Inggris kita. Hal ini semakin menunjukkan bahwa pendidikan telah mengglobal dan semakin datar, sehingga secara otomatis kita harus mengikutinya atau kita akan tersingkir. Datarkah Pendidikan Di Indonesia? Ketika dunia pendidikan telah mengglobal dan menjamah Asia Tenggara, maka Indonesia merupakan salah satu terget utama lemba-

ga-lembaga asing untuk mendatarkan pendidikan Indonesia. Karena Indonesia merupakan pangsa pasar yang sangat potensial, baik dari jumlah penduduk ataupun dari rendahnya kualitas lembaga pendidikan di Indonesia, sehingga dengan mudahnya lembaga-lembaga asing akan berdiri dan maju di Indonesia. Kondisi ini jelas akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia. Sebab, persaingan akan semakin berat, guna memenangkan pasar, lembaga-lembaga pendidikan yang mapan secara finansial jelas akan memilih bermitra dengan pihak asing, seperti Universitas Gadjah Mada yang bermitra membuka CRCS dengan MacGill University, Fakultas Ekonomi dengan double degree dari salah satu universitas asal Australia. UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta bekerjasama dengan MacGill University dengan jurusan Interdisipliner Study, dan lain sebagainya. Atau dengan kata lain, dunia pendidikan Indonesia akan semakin menjadi komuditas yang sangat mahal dan serba ekonomis, ketika globalisasi pendidikan sudah menjamah negara kita. Yang pada akhirnya, kesenjangan antara lembaga yang kuat secara finansial dengan yang tidak akan makin tinggi. Hal ini merupakan konsekuensi yang harus kita hadapi karena telah melibatkan diri dalam WTO sejak awal. Selain berbagai dampak di atas, ada beberapa dampak lainnya yang akan terasa bagi dunia pendidikan kita, seperti kurangnya subsidi pendidikan terutama pendidikan tinggi dari pemerintah sehingga akan memaksa lembaga tersebut mengembangkan sumber pendanaannya sendiri. Selain itu, semakin meningkatnya kebutuhan bagi pengembangan program-program studi yang relevan dan dibutuhkan dunia kerja global. Termasuk semakin mendesaknya

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

77


pengembangan bentuk-bentuk baru dalam pengelolaan dan manajemen lembaga pendidikan yang lebih efesien dan efektif dalam merespon berbagai perkembangan global. Meskipun demikian, terdapat peluang yang harus kita respon dengan adanya globalisasi pendidikan. Contohnya, peluang pengembangan kapasitas perguruan tinggi baik secara kuantitatif ataupun kualitatif. Perguruan tinggi bisa melakukan diversifikasi program yang relevan dengan kebutuhan dan tantangan perkembangan globalisasi. Akan tetapi pada saat yang sama harus juga melakukan proteksi dan affirmative action bagi program-program yang merupakan core bagi ilmu pengetahuan, nation and character building, dan tradisi kultural bangsa. Atau dengan kata lain, bahwa proses pendidikan bukan hanya transfer pengetahuan (delivery system), melainkan pembentukan watak dan moral. Dalam konteks ini, penyelenggaraan pendidikan tidak boleh mengabaikan watak dan moral yang berlandaskan nilainilai ke-Indonesia-an. Selain itu, perlunya pengembangan kurikulum yang sesuai dengan knowledge-based economy, demokratisasi, dan multikulralisme. Pada tingkat nasional, arah pandangan pendidikan juga harus berubah. Pendidikan harus mampu berperan dan menyiapkan peserta didiknya dalam konstelasi masyarakat global, dan pada waktu bersamaan, pendidikan juga memiliki kewajiban untuk melestarikan karakter nasional. Dengan berbagai konsekuensi seperti itu, maka rumusan paradigma baru pendidikan nasional yang mencakup arah seperti desentralisasi (otonomi), kebijakan yang bottom up, orientasi pendidikan holistik untuk mengembangkan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, munjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif dan kesadaran hukum, peningkatan peran masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif, serta pemberdayaan institusi masyarakat yang terkait dengan pendidikan, seperti keluarga, LSM, pe-

78

santren, dan dunia usaha. Meskipun, dalam realitasnya tidak semua yang harus kita adopsi berjalan dengan mulus, namun secara jujur bahwa sejak diperkenalkannya paradigma baru pendidikan nasional itu belum terlihat peningkatan kualitasnya secara berarti, pada saat yang bersamaan infrastruktur pendidikan kita malah terus mengalami kemorosotan.7 Hal inilah yang kemudian menuntut pendidikan untuk menjadikannya informasi sebagai sumber daya percepatan perilaku ekonomi, politik, sosial, dan budaya, yang menyebabkan arus dan daya serap informasi dapat dilakukan melalui media elektronik yang serba cepat. Konteks globalisasi ini juga tidak terhindarkan dalam kebijakan yang terkait dengan tatakelola kelembagaan. Informasi-informasi yang terkait dengan kebijakankebijakan pembangunan pendidikan secara serta merta menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan perubahan masyarakat lokal dalam prospektif global yang serba cepat pula. Kaidah think globally, act locally adalah salah satu cerminan tentang bagaimana informasi di kawasan dunia dan antarnegara memiliki peluang yang sangat cepat untuk merubah perilaku budaya lokal setempat melalui penetrasi informasi. Karenanya objek pembangunan harus memasukkan pendidikan, yang mana masyarakat merupakan

entitas suatu bangsa, oleh karena itu, informasi yang disampaikan juga harus merupakan media komunikasi yang mengandung makna pendidikan dan pembelajaran, sehingga perubahan perilaku yang diakibatkannya merupakan perubahan perilaku kolektif dari suatu bangsa dalam proses pembangunan. Dari berbagai tantangan tersebut, maka Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, dan E-Learning dijadikan salah satu sumber informasi pendidikan dan pembelajaran yang dapat memberikan kontribusi positif dalam merubah perilaku membangun bangsa agar memiliki perilaku membangun yang sarat dengan pengetahuan (knowledge based society) dan dapat bersaing dalam arus globalisasi pendidikan di dunia. Namun satu hal yang mesti diingat oleh pemerintah untuk menjawab tantangan globalisasi pendidikan di Indonesia adalah jangan ditinggalkannya masyarakat miskin. Kemajuan yang ditawarkan dalam globaliasi dunia pendidikan juga harus memikirkan akan pentingnya ekonomi tradisional, seperti sektor pertanian, kelautan, dan industri manufaktur, yang sampai saat ini masih banyak diandalkan masyarakat. Sehingga kesenjangan ekonomi dan pendidikan di Indonesia dengan adanya globalisasi pendidikan e makin menipis. Semoga. g 7

Jawa Pos 5 Mei 2005

Daftar Pustaka Djohar, MS., Pendidikan Strategik, Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, Cet. I, Yogyakarta: LESFI, 2003 Jawa Pos 5 Mei 2005 Muchtar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, Cet I, Yogyakarta: Kanisius, 2001 Thomas L Friedman., The World Is Flat, terj. P. Buntaran, Benyamin Molan dkk, Jakarta: Dian Rakyat, 2007. ________________., The Lexus and The Olive Tree, New York: The New York Times, 1991. Suyanto, dkk., Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Millenium III, Yogyakarta: Adi Cita, 2000 www.edukasi.net www.depdiknas.go.id www.depag.co.id www.e-learning.com www.amazone.com www.google.com

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008


artikel lepas lepas artikel

Problema Dunia Pendidikan Nasional A. Khudori S.

Achmad Khudori Soleh, M.Ag adalah dosen UIN Malang, kandidat ahmawati M.A, doctor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Erik R Rahmawati alumni S2 Studi Agama dan Lintas Budya UGM Yogyakarta, saat aktif di LSM Perempuan Antar Ummat Beragama (PAUB) Malang.

Mengikuti Tilaar, setidaknya ada empat hal yang menjadi tantangan pendidikan kita di masa depan. (1) Kemajuan IPTEK, khususnya dalam bidang informasi. (2) Adanya perdagangan bebas, (3) Munculnya kerja sama bangsa-bangsa tanpa kenal batas-batas negara, (4) Tumbuhnya tingkat kesadaran akan Hak Asasi Manusia (HAM) dan persoalan demokrasi.1 Semua ini berakibat munculnya dunia tanpa batas dan persaingan keras dalam segala bidang, keilmuan, ekonomi, kebudayaan, dan lainnya, yang mengandalkan kualitas dalam segala bidang. Hanya mereka yang berkualitas yang akan bisa tetap hidup. Di sini pendidikan dituntut untuk mampu memberikan atau menelorkan alumnus yang bermutu, yang siap bersaing di segala bidang, dengan alumnus pendidikan lain, bahkan negara lain. Jika tidak, kita hanya akan menjadi bangsa konsumen dan “terjajah”. Realitas Dunia Pendidikan. Realitas dunia pendidikan kita bisa dilihat sebagai berikut. Pertama, berjalan dengan sistem sentralistik.2 Pengelolaan sentralistik cenderung melahirkan sistem yang sangat makro tanpa memperhatikan kebutuhan daerah yang beraneka ragam. Kurikulum nasional menjadi baku, cara penyampaian menjadi mekanistik, sistem ujian nasional menjadi sentralistik dan seterusnya sehingga dunia pendidi-

kan kehilangan relevansinya dengan kebutuhan kehidupan yang nyata. Akibatnya, muncul kesenjangan yang cukup lebar antara “supply” dan “demand”, antara jenis keahlian yang dikeluarkan dunia pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja di lapangan. Kebutuhan tenga kerja yang terbanyak saat ini, dalam rangka memasuki era industri dan pengembangan kelautan, adalah bidang industri, teknik dan kelautan, tetapi yang disenangi mahasiswa, masyarakat dan diproduksi lembaga pendidikan justru untuk bidang-bidang sosial dan keguruan, sehingga terjadi surplus yang cukup besar dalam bidang ini. Menurut data tahun 1986, 62,5% dari lulusan perguruan tingi adalah sarjana ilmu sosial, seperti ekonomi dan hukum, dan sarjana bidang keguruan.3 Kedua, minimnya anggaran dana. Sampai tahun-tahun terakhir, pemerintah menganggarkan tidak lebih dari 10% dari dana APBN untuk sektor pendidikan, meski UUD Amandemen mengamanatkan 20% untuk 1 Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional, (Magelang, Tera Indonesia, 1999), 32-33. 2 Ibid, 17. 3 Bandingkan dengan data pengangguran pada hal. 3. 4 HR. Jawa Pos, 07 Januari 1995; Mutrafin, HR. Surya, 11 Januari 1996. 5 Tilaar, Menagemen Pendidikan Nasional, (Bandung, Rajawali, 1992), 193.

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

79


pendidikan.4 Ini terlalu kecil untuk membiayai pendidikan masyarakat Indenesia yang begitu besar. Sebagai bahan perbandingan, pada tahun 1984, Korea Selatan menganggarkan 23,7% dari APBN mereka untuk sektor pendidikan, Singapura 9,6%, Hong Kong 18,7%, Taiwan 16,3%, Malaysia 14,9%, Philipina 10,4% dan Thailand 20,6%.5 Minimnya anggaran dana ini berpengaruh pada rendahnya kualitas pendidikan kita. Sebab, tanpa dana yang cukup, fasilitas belajar seperti buku-buku teks, perpustakaan, laboratorium dan lainnya tidak bisa disediakan secara memadai. Termasuk disini kualitas dosen atau tenaga pengajar, yang diukur dari tingkat strata pendidikan, S-2 atau S-3, yang untuk itu diperlukan biaya tidak murah. Dalam tabel perbandingan antara jumlah Doktor dengan jumlah penduduk, negara kita adalah paling rendah; 65 orang per 1 juta penduduk.6 Di lingkungan UIN, IAIN dan STAIN sendiri, di seluruh Indonesia yang terdiri atas berbagai fakultas dan terletak di berbagai daerah, jumlah dosen yang berkualifikasi doktor belum mencapai 1000 (berdasarkan asumsi, UIN Yogyakarta mengeluarkan sekitar 200 doktor, UIN Jakarta mengeluarkan sekitar 450, IAIN Sunan Ampel Surabaya sekitar 20 orang, ditambah beberapa doktor lulusan luar negeri). Dengan rasio antara jumlah dosen bermutu –berdasarkan jenjang akademik formal— yang tidak sampai 1000 orang dengan jumlah fakultas dan mahasiswa yang demikian besar, sulit kiranya dikatakan bahwa perguruan tinggi agama kita termasuk lembaga pendidikan yang bermutu. Ketiga, persoalan moralitas. Secara umum, masalah moralitas di lembaga pendidikan kita memang memperihatinkan. Ini tidak hanya di buktikan dengan seringnya muncul perkelaian pelajar dan kasus narkoba,7 penjiplakan skripsi maupun tesis, atau joki dalam

80

ujian,8 tetapi juga pada banyaknya penyelewengan, kolusi, korupsi — yang menurut Sumitro sampai mencapai 30 % dari dana pembangunan— yang dilakukan oleh “orang-orang besar” yang notabene adalah kaum terpelajar. Yang paling parah adalah adanya kecenderungan melakukan pergaulan bebas dikalangan pelajar dan mahasiswa.9 Dalam penelitian pada anak-anak siswa SLTP dan SLTA di Semarang, oleh Harian Jawa Pos, tahun 1995 lalu ditemukan bahwa 5,6% diantara para siswa SLTP dan SLTA di Semarang ternyata telah pernah melakukan hubungan seks.10 Artinya, jika saat itu di Semarang ada 600 ribu orang siswa, maka 35.000 diantaranya telah tidak suci lagi. Suatu kenyataan yang sangat menakutkan. Lebih dari itu, persoalan yang terakhir ini tidak hanya terjadi dikalangan pelajar atau mahasiswa tetapi juga dosen. Maksudnya, tenaga pengajar di PT, tidak semua, ikut terjangkit untuk melakukan tindakan asusila, sehingga tidak jarang terjadi “hubungan sosial” dalam bentuk hubungan seksual di PT. Maksudnya, mahasiswi menyerahkan kehangatan tubuhnya untuk dinikmati sedang sang dosen memberikan nilai tertinggi sebagai imbalannya.11 Demikian parah dan memprihatinkanya persoalan terakhir ini, sehingga Sudarwan,12 seorang pengamat dari IKIP Bandung, pernah mempertanyakan, mungkinkah semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin rendah moralitasnya? Keempat, kurikulum yang ter6

lalu sarat dan tumpang tindih, secara vertikal maupun horisontal,13 sehingga tidak efektif dalam pencapaian tujuan pendidikan. Secara vertikal bisa dilihat pada munculnya materi yang sama yang diulang-ulang disetiap jenjang pendidikan. Materi pendidikan agama Islam di PT umum kenyataannya hanya mengulang apa yang pernah di sampaikan dalam jenjang pendidikan sebelumnya, SMU, SMP dan SD, tanpa ada perubahan yang berarti. Begitu pula materi-materi kuliah tertentu yang di berikan di IAIN, tidak banyak berbeda dengan apa yang pernah disampaikan di MAN. Sedang secara horisontal, bisa dilihat pada berbagai pokok bahasan yang sama pada mata kuliah yang berbeda, seperti antara Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dengan Sejarah Pemikiran Islam (SPI). Inilah, antara lain, beberapa persoalan mendasar dalam dunia pendidikan kita, yang harus dicarikan pemecahannya. Desentralisasi Pendidikan. Menghadapi problem sentralisasi pendidikan, saya sepakat Suyanto, bahwa hal itu perlu dilakukan desentralisasi.14 Namun, ini tidak skala kecil, seperti pengadaan buku ajar, menyediaan fasilitas belajar dan lainnya, melainkan dalam skala luas, dalam kebijakan nasional. Ide sudah banyak dan sering disampaikan para pakar pendidikan dan kiranya akan lebih mudah terealisasi dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, di mana masing-masing daerah diberi we-

Lihat hal. 4. Lihat hal. 186 dan seterusnya. 8 Lihat hal. 102. 9 Wisnuwardhana, “Moralitas Mahasiswa ditengah Arus Modernitas”, (HR. Bernas, 30 Maret, 1996). 10 HR. Jawa Pos, 21 April 1995. 11 Selamet Ginting, “Uang, Seks,dan Virus Mental”, HR. Kedaulatan Rakyat, 20 April 1997. 12 Sudarwan, “Cerminan Moralitas Seksual Mahasiswa Kita memprihatinkan”, HR. Kedaulatan Rakyat, 13 Maret 1996. 13 Lihat Suyanto dan Djihad Hasyim, Pendidikan Di Indonesia Memasuki Melinium III, 62. 14 Lihat hal. 114. 7

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008


wenang dan hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Akan tetapi, tidak semua daerah langsung diwewenang untuk mengatur pendidikan melainkan hanya mereka yang benar-benar siap, sebab ini adalah pengalaman pertama. Mungkin perlu dilakukan pilot project untuk menjajaki kemungkinan tersebut. Juga tidak semua materi pendidikan didesentralisasi, terutama yang mengandung unsur idiologi dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kepentingan nasional. Meski demikian, jelas akan ada perubahan yang sangat mendasar dengan adanya sistem desentralisasi ini, terutama yang berkaitan dengan persoalan kebutuhan dan budaya lingkungan. Dengan pengelolaan yang desentralistik, program-program studi yang dibuka hanya terbatas pada program yang benar-benar sesuai dan relevan dengan kebutuhan dan tuntutan

daerah masing-masing, sehingga tidak akan terjadi surplus yang tidak perlu dari PT. Tidak akan jauh kesenjangan antara “supply” dan “demand”. Bagaimanapun, orang-orang di daerahlah yang tahu dan paham akan kebutuhannya sendiri, bukan orang pusat yang jauh dari masyarakat. Disamping itu, dengan adanya desentralisasi, apa yang disebut sebagai “muatan lokal” yang terdiri atas 20 % dalam kurikulum nasional akan benar-benar bisa terealisasikan. Muatan lokal adalah program-program tertentu yang dimasukkan dalam kurikulum demi memenuhi kepentingan lokal. Selama ini, muatan lokal tidak bisa terlaksana dengan baik karena tidak adanya peluang yang cukup karena terlalu banyaknya tuntutan dari pusat akibat pengelolaan pendidikan yang sentralistik. Walhasil, dengan adanya desentralisasi pendidikan, kesenjangan antara “supply” dan “de-

mand”, antara keluaran pendidikan dengan tuntutan pasar, akan bisa teratasi. Begitu pula tentang kritik bahwa lembaga pendidikan tinggi terlalu elitis, cenderung intelektualistik dan duduk di menara gading, karena lepas dari lingkungan dimana di dibesarkan, bisa kurangi. Swastanisasi dan Modal Asing. Persoalan dana pendidikan adalah sesuatu yang pokok. Di sini kita tidak bisa berharap banyak pada pemerintah, karena tidak ada anggaran APBN yang tersedia. Untuk itu perlu dipikirkan untuk swastanisasi pendidikan atau menarik investor asing dalam bidang pendidikan. Pemikiran ini didasarkan atas kenyataan, pertama, kita perlu dana besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan, baik dari sisi peningkatan mutu dosen, fasilitas yang memadai dan seterusnya, demi menghadapi persaingan global dimasa depan, sementara fihak

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

81


sehingga muncul lembaga pendidikan yang berkualitas dan punya peralatan lengkap, mau tak mau ini akan merangsang lembaga-lembaga pendidikan yang lain untuk lebih meningkatkan kualitasnya. Dengan demikian akan menciptakan kompetisi yang dinamik diantara lembaga-lembaga pendidikan yang ada di tanah air, sehingga akan semakin mempercepat terciptanya keberhasilan pendidikan nasional.15

pemerintah tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Kedua, lembaga pendidikan yang bermutu, yang dikenal pendidikan unggulan, dirasakan masih sangat mahal bagi kebanyakan masyarakat, apalagi untuk perguruan tinggi. Teman kami sendiri menarik mundur anaknya yang sekolah di SMU unggulan di salah satu kota di Jawa Timur, karena tidak mampu soal biaya. Terlalu mahal. Untuk itu, diperlukan lembaga pendidikan yang murah tetapi bermutu, sehingga ia tidak hanya bisa dijangkau oleh orang kaya tetapi juga merata dan bisa dinikmati kalangan masyarakat yang ekonominya paspasan. Sebagai langkah awal dari upaya investir asing ini, kita bisa memperluas kerja sama dengan lembaga pendidikan luar negeri dengan mengundang mereka membuka cabang disini. Setelah itu, baru benar-benar mengundang mereka

82

untuk mengelola lembaga pendidikan disini. Selain untuk mempercepat mutu pendidikan, dengan mengundang investor, kita akan mendapat beberapa keuntungan lain. Antara lain, pertama, bisa menghemat biaya pendidikan bila dibanding dengan mengirimkan pemuda kita sekolah di luar negeri. Minimal biaya hidup. Kedua, bila pendidikan kita bermutu dan bisa membuka kelas internasional, berarti bisa memasukkan devisa bagi negara. Australia, secara sadar “menjual� jasa pendidikannya keluar negeri sehingga ribuan mahasiswa luar negeri datang ke sana, dan Australia sempat meraih devisa ketiga besarnya dari sektor industri jasa pendidikan ini. Ketiga, bisa merangsang perkembangan pendidikan di tanah air. Dengan peran investor 15 16

Pendidikan Berasrama. Baik tidaknya perilaku seseorang sering dipengaruhi lingkungan. Karena itu, untuk menjaga mental dan moralitas siswa, mereka perlu di “karantina�, di asramakan. Namun, disini bukan sekedar asrama, tetapi asrama yang “menyatu� dengan lembaga pendidikannya, dan diatur yang menunjang keberhasilan pendidikan. Dan yang terpenting, asrama tersebut harus di kondisikan sedemikian rupa untuk bisa memberikan nilai positif pesantren pada para siswa/mahasiswa. Pemikiran ini didasarkan, (1) bahwa persoalan moral yang ada dalam lembaga pendidikan kita tidak bisa diatasi hanya dengan pendidikan agama sebanyak 2 SKS/ minggu. Juga tidak bisa dengan bimbingan atau lembaga kolsultasi.16 (2) bahwa lembaga pesantren ternyata mempunyai keunggulan dalam bidang pembinaan moral, sesuatu yang tidak didapat dalam pendidikan lain, yang hanya memberikan 2-8 jam kuliah pendidikan agama per minggu. Lingkungan dan model pesantren yang menyatu antara santri, kediaman ustad dan tempat ibadah atau belajar, memungkinkan pendidikan tidak hanya berlangsung dengan sistem 2 atau 8 jam, melainkan sistem 24 jam, sehingga segala perilaku santri lebih bisa terarah dan

A. Khudori Soleh, “PT Unggulan Bermoral Pesantren�, HR. Suara Merdeka, 03 Maret 1997. Lihat hal. 187 dan seterusnya.

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008


terbimbing. Dengan model asrama pesantren ini, diharapkan siswa dan mahasiswa tidak sekedar memperoleh ilmu pengetahuan (kognetif) melainkan juga kesadaran moral dan mental religius yang baik (afektifpsikhomotor), sehingga bisa memberikan benteng pada dirinya dari melakukan tindakan-tindakan amoral. Minimal bisa mengerem kemungkinan kearah tindakan tersebut.17 Keterbukaan Pendidikan. Pendidikan, pada dasarnya adalah proses “pembebasan diri” atau “pemanusiaan manusia” (humanizing), 18 bukan sekedar penjejalan teori-teori kepada siswa. Dengan demikian, siswa tidak bisa dianggap sebagai objek tetapi juga subjek pendidikan, bukan sekedar sub-ordinat dari guru melainkan juga sebagai mitra guru. Karena itu, dalam rangka mendorong kreatifitas siswa, tidak hanya kurikulum yang harus dirubah, tetapi juga sikap guru. Perlu ada keterbukaan pendidikan, dimana ada kesempatan siswa-guru mendialokkan materi kuliah dan bahwa guru bukan segalanya. Dalam keterbukaan pendidikan, antara lain, misalnya, mahasiswa diberi hak untuk tahu silabi dan materi kuliah, literatur yang digunakan, bagaimana

sistem penilain dilakukan dan kapan tugas-tugas harus diselesaikan. Mahasiswa juga berhak untuk mengkomplain hasil tugastuganya, sehingga ia tahu dimana kesalahannya. Ini penting, karena sampai sekarang, masih ada juga dosen yang bersikap “tertutup”, tidak tersentuh dan tidak terbantahkan, meski mereka adalah orang-orang yang sangat terpelajar. Penutup. Buku Demikian beberapa agenda persoalan dalam pendidikan yang mesti dicari pemecahannya lebih dahulu, sebelum memasuki melenium III. Gambarannya, dari sisi

kebijakan, pendidikan masa depan harus dikelola secara desentralistik, sumber dana dari swasta atau modal asing, pelaksanaannya dengan sistem asrama ala pesantren dan hubungan antara guru-murid adalah keterbukaan dan kemitraan. Meski buku ini belum banyak menyentuh dan berusaha memberikan solusi secara menyeluruh dan utuh atas persoalan-persoalan besar yang ada, namun ia cukup bagus dan berguna, khususnya bagi para praktisi maupun pengkaji persoalan pendidikan, seperti mahasiswa, karena banyak membahas masalah-masalah detail pendidikan, masalah-masalah yang sering sering muncul dalam e kehidupan sehari-hari. g

17 Konsep ini, secara lengkap, lihat Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta, Gema Insani Press, 1997). 18 Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, (Yogya, Pustaka Pelajar, 1999), 83.

Daftar Pustaka A. Khudori Soleh, “PT Unggulan Bermoral Pesantren”, HR. Suara Merdeka, 03 Maret 1997. HR. Jawa Pos, 21 April 1995. HR. Jawa Pos, 07 Januari 1995; Mutrafin, HR. Surya, 11 Januari 1996. Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, (Yogya, Pustaka Pelajar, 1999) Selamet Ginting, “Uang, Seks,dan Virus Mental”, HR. Kedaulatan Rakyat, 20 April 1997. Sudarwan, “Cerminan Moralitas Seksual Mahasiswa Kita memprihatinkan”, HR. Kedaulatan Rakyat, 13 Maret 1996. Suyanto dan Djihad Hasyim, Pendidikan Di Indonesia Memasuki Melinium III, (Yogya, Adicita, 2000) Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional, (Magelang, Tera Indonesia, 1999) Tilaar, Menagemen Pendidikan Nasional, (Bandung, Rajawali, 1992) Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta, Gema Insani Press, 1997). Wisnuwardhana, “Moralitas Mahasiswa ditengah Arus Modernitas”, (HR. Bernas, 30 Maret, 1996).

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

83


Kolom Belajar Melalui

Permainan “What if “ Oleh : Habibullah Salman

Thales, folosuf Yunani, 23 Abad yang lalu berkesimpulan ternyata bumi ini berbahan dasar air. Walaupun, ia sendiri meragukan jawabannya, tetapi Thales tetap bangga, karena telah menciptakaan pertanyaan hebat. Menurutnya “Pertanyaan yang benar adalah separuh dari jawaban yang benar” Apa yang dipercaya oleh Thales tentang elan vital pertanyaan didaur ulang oleh dunia pendidikan di abad ini. Bedanya, kali ini pertanyaan diformat dalam bentuk permainan yang menyenangkan dan menantang. Pertanyaan tersebut tidak dimaksudkan untuk melahirkan para filosuf, melainkan sebagai metode pembelajaran yang mengasikkan dan menjanjikan. Di sekolah-sekolah Barat, permainan yang terbuat dari pertanyaan bernama what if (seandainya). Dalam permainan yang menjadi bagian metode pembelajaran ini, guru hanya membuat beragam pertanyaan pengandaian yang akan diajukan kepada siswa, misalnya, “Andaikata mata kamu ditutup dan dibuka sepuluh tahun lagi, apa yang akan kamu lihat pertama kali?” Pertanyaan itu bisa menyangkut apa saja. Semua bidang mata pelajaran. Pertanyaan itu harus dibuat sebagus mungkin demi menghindari kebosanan dan kesia-sian akibat efek pertanyaan yang kurang menantang dan menggugah. Untuk membuat pertanyaan yang bagus, harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa, kontektual, logis, dan bombastis. Ragam permainan ini, bisa juga berbentuk eksprimen. Misalnya, eksprimen hidup di planet Mars. Pertanyaan yang mungkin diajukan bisa berupa cara menghemat suplai makanan yang terbatas, kegiatan apa yang akan dilakukan di sana, atau bagaimana mendaur ulang oksigen. Ia bisa pula berbentuk skenario. Siswa diminta untuk membuat skenario antisipatif berbagai hal yang mungkin terjadi berdasarkan fakta yang ada saat sekarang. Ia juga bisa di buat role play, ataupun diskusi. Untuk sekolah yang sudah maju, mereka bisa menggunakan kecanggihan program komputer untuk menampilkan ragam permainan yang lebih audibel dan visibel. Sementara, untuk sekolah yang masih berkembang dengan kondisi budget yang pas-pasan (atau kurang-kurangan), permainan ini juga bisa dikondisikan dengan media apa adanya. Tentu saja, semua itu tidak lepas dari kreatifitas guru. Permainan ini pertama kali digagas oleh Alvin Tofler. Sebagai seorang futorolog yang bisa menerawang kejadian yang mungkin terjadi di masa depan. Tofler merasa bahwa generasi yang akan datang akan menghadapi persoalan yang lebih kompleks dengan tingkat perubahan yang sangat masif. Pada gelombang ketiga yang ditandai dengan kecanggihan tekhnologi informasi, dunia berubah menjadi lebih otomat. Masyarakat bergerak begitu cepat dengan

0

berbagai persoalan yang datang tiada henti. Alvin Tofler menyarankan, agar sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, menerapkan future studies dalam bentuk permainan. Ini penting dilakukan agar siswa tidak hanya diajarkan menghadapi persoalan yang ada sekarang, tapi juga diajak berfikir untuk memecahkan persoalan masa depan sedini mungkin. Tofler juga menyarankan agar permainan tersebut dimasukkan ke dalam kurikulum pada tiap tingkatan pendidikan. Dengan demikian, setidaknya ia akan menjadi materi wajib yang juga akan didukung oleh beragam fasilitas. Tofler memberikan sampel materi permainan yang bisa dimasukkan ke dalam kurikulum, diantaranya adalah membuat skenario, think tank thinking, permainan peran ataupun pembentukan klubklub masa depan yang dilengkapi dengan program komputer. Manfaat umum yang dapat diambil dari permaianan semacam ini adalah tertanamnya kesadaran dalam jiwa siswa bahwa masa depan mereka ada di tangan mereka. Ia juga merupakan benih munculnya tanggung jawab yang sangat memungkinkan mereka untuk sadar bahwa pendidikan sangat penting bagi mereka. Tumbuhnya kesadaran demikian dipercaya oleh kaum rekonstruksionis bisa memperbaiki fungsi dan kinerja lembaga pendidikan yang selama ini diduga tidak lebih dari sekedar pabrik. Bagi guru, kondisi demikian juga sangat membantu. Adanya kesadaran dalam jiwa siswa tentang arti masa depan mereka merupakan Motivasi untuk rajin belajar. Apabila kesadaran demikian merata, tidak akan ada lagi cerita siswa yang bolos, bosan sekolah, siswa nakal apalagi main tawuran. Bukankah dengan begitu guru akan tidak perlu menyediakan balok kayu untuk menginsyafkan kelas yang ramai seperti yang biasa terjadi pada sekolah-sekolah konvensioanal. Pada saat sekarang permainan demikian perlu dicoba. Gelombang ketiga yang diperkirakan Alvin Tofler sudah mulai berhembus dahsyat. Apabila gagal menerawang tentang beragam persoalan masa depan, berarti juga gagal mempersiapkan diri menghadapi perubahan. Siswa tidak cukup hanya mengetahui solusi persoalan yang terjadi sekarang. Mengingat, hal itu hanya mengantarkan siswa menjadi manusia masa sekarang, bukan manusia masa depan. Padahal, tatkala siswa lulus kelak, semua yang telah diajarkan sekarang akan usang. Dewey mengatakan “The facts we teach children today maybe out of date by the time they graduate”. *Penulis adalah penikmat buku dan kitab. Saat ini masih tinggal di PP Annuqoyah, Nirmala Habib_Aisyah72@yahoo.com e g

84

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008


Kolom

0

Media Pembelajran

yang Terlupakan

Oleh: Zeinul Ubbadi

“Ngajhi rea Cong, jhe’ gun ajhi chellhengnga maloloh, tapi ajhi ben potenah”. Seperti itulah kita biasa mendengar orangtuaorangtua dan guru alif kita dulu menasehati anaknya sewaktu hendak berangkat sekolah atau mondok di sebuah pesantren. Tak hanya sampai di situ. Biasanya orangtua-orangtua kita akan melanjutkan nasihatnya begini: “Korangi ajhar, patobuk ngakan, ben bhajengi ngeco’”. Kata-kata orang tua tersebut memiliki arti yang cukup mendalam. Dan kepada anak yang mau berangkat sekolah atau mondok, kata-kata “aneh” tersebut tidak hanya diucapkan, tapi juga diungkapkan makna filosofisnya. Sambil mengelus ubun-ubun anak kesayangannya, mereka juga mengucapkan doa dengan lafadz-lafadz berbahasa Arab yang sebenarnya mereka pun tak begitu tahu artinya. Mungkin dalam hati, mereka cuma yakin bahwa sekalipun doa yang mereka ucapkan tak sepenuhnya mereka mengerti artinya, tapi Tuhan cukup tahu apa yang mereka harapkan. Ungkapan di awal tulisan ini berarti bahwa ilmu yang harus dipelajari bukan hanya dari teks yang tertulis saja (cellengnga). Ilmu yang tidak tertulis juga harus dipejari, sebagai ilmu hal, ilmu tingkah laku, ilmu yang mendidik dalam rangka memperbaiki tingkah laku (potena). Korangi ajhar berarti selalu merasa kurang dalam belajar. Meskipun frekuensi belajar telah tinggi, namun rasa kurang untuk belajar harus selalu ditingkatkan. Kata itu juga berarti seruan untuk selalu dahaga akan ilmu, tidak pernah ada puasnya terhadap ilmu yang telah diperoleh, sehingga selalu belajar, belajar, dan belajar. Belajar yang demikian merupakan salah satu sikap yang mengakui terhadap luasnya ilmu Tuhan, tidak terbatas. Sebagaimana sering disebutkan bahwa ilmu Tuhan lebih luas dari tujuh kali lautan dunia. Sedangkan ilmu manusia tidak lebih dari hanya setetes air yang membasahi telunjuk manusia. Patobuk ngakan, merasa sudah terlalu banyak makan, merupakan imbauan yang sebaliknya dengan orang mencari ilmu. Makan tidak boleh terlalu banyak. Meskipun makan hanya sedikit harus dirasa sudah makan banyak. Banyak makan akan menyebabkan bertumpuknya lemak (balgham) yang membikin otak tidak encer. Sedangkan nengenai kata “bhajengi ngeco’” (giatlah mencuri), dalam rati mencuri ilmu. Dalam mencari ilmu, seorang siswa atau santri (pencari ilmu) harus seperti pencuri. Bagaimana pencuri? Pencuri mengambil barang tanpa diketahui oleh orang yang memilikinya. Pencuri juga selalu berusaha untuk mendapatkan barang yang berada dalam gudang yang dalam keadaan digembok. Demikianlah seharusnya seorang pencari ilmu. Dia harus peka menyerap ilmu dari siapa saja, dari orang-orang sekitar

dan lingkungannya; gurunya, temannya, kakak-kakaknya, adikadiknya, bahkan kepada musuhnya. Pencari ilmu sejati tidak hanya tangkas menangkap pelajaran yang diajarkan secara tertulis oleh seorang guru. Tapi dia juga harus cekatan menyerap ilmu yang tak tertulis dari siapapun. Bahkan meskipun ilmu itu sangat sulit untuk diperoleh, dia juga tidak segan berusaha untuk mendapatkannya. Bagi pencari ilmu yang demikian itu, lingkungan dan setiap orang yang ada di sekitarnya akan menjadi media pembelajaran (sebagaimana yang disebutkan di atas, menjadi ilmu yang tidak ada tulisannya) baginya. Karena itu, dia dapat meniru kebijaksanaan gurunya dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, bagaimana cara belajarnya, bagaimana akhlak dalam segala tingkah lakunya. Dia juga akan mampu menyerap pelajaran dari kesalahan teman-temannya yang gagal. Dia juga dapat belajar dari kegigihan teman-temannya yang berhasil. Dia bahkan bisa belajar dari kecerdikan musuhnya dalam menaklukkan dan mempedayanya. Demikianlah bingkai awal yang dipersiapkan para orangtua kita dulu dalam rangka upaya mematangkan anaknya menjadi individu yang tidak hanya bijaksana, melainkan juga bijak sini; menjadikan anak yang tidak hanya cerdas dari segi kognitif, tapi juga dari aspek psikomotorik dan afektifnya dengan mengarahkan anak-anaknya untuk dapat menjadikan lingkungan di sekitarnya menjadi media pembelajaran yang cukup berharga dan tak tergantikan oleh apapun. Namun, wejangan dari orangtua-orangtua kita itu kini telah semakin dilupakan, tergilas dan tertutupi oleh paradigmaparadigma dan media-media pembelajaran yang seakan-akan modern namun kehilangan epistemologisnya ketika dihadapkan dengan persoalan-persoalan pendidikan yang kita hadapi di sini dan saat ini. Atau kita pura-pura tidak paham terhadap pesan yang disampaikan orangtua-orangtua kita. Kemajuan dan pesatnya teknologi media pembelajaran kognitif sungguh sangat baik. Namun kebaikan itu akan segera buram ketika hal itu mengenyampingkan atau menafikan kemajuan media pembelajaran yang dapat mengembangkan psikomotorik dan afektif. Pesatnya kemajuan media pembelajaran yang hanya mengembangkan skill kognitif akan kabur “warnanya” ketika harus mengenyampingkan kemajuan e media pembelajaran untuk mengembangkan moralitas. g * Penulis adalah Peneliti di Lembaga Penelitian Lingkar Institute

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

85


RESENSI

Gangguan emosi (anak) kerap mudah di datidak semua jenis musik mampu merangpatkan di zaman ‘edan’ ini. Konteks masa yang bersang kecerdasan anak. Hanya jenis-jenis beda dan dunia pendidikan yang ‘acak-acakan’ semusik klasik dan doa atau lagu-lagu bagai imbas dari modernitas menyumbang kegreligius saja yang dapat berfungsi etiran. Bagaimana tidak, anak-anak acap lepas meningkatkan kecerdasan anak. Mekontrol, mudah marah, over-agresif, dan mang, sebelum usia 18 minggu berontak. Sifat-sifat itu menunjukkan bahwa kandungan, sang janin tidak mamemosi mereka tidak sehat dan labil. pu mendengar suara-suara yang beBetapa pentingnya kematangan emosi rasal dari luar tubuh ibunya. Tetapi, demi perbaikan akhlak anak dan masa depan detak jantung ibu si janin ibarat simhidupnya. Sebab, tanpa kecerdasan emosional, foni indah di telinga janin. Pasca 18 kekhawatiran, kecemasan, dan rasa gusar akan minggu kandungan, bayi sudah daselalu menghantui hidup. Akibatnya, pendidipat mendengar suara yang berasal kan terkesan hanya mencetak generasi bangsa dari luar tubuh si ibu. Saat itu meruyang rapuh dan keropos. pakan masa paling tepat untuk memDaniel Goleman memaknai kecerdasan berikan stimulus musik (klasik) atau Judul Buku: emosi bukan berarti memberikan kebebasan kerapalan doa dan lagu-lagu religius. Cerdas Emosional pada perasaan untuk berkuasa, melainkan menJohn Flohr, seorang psikolog, mendengan Musik (Tips gelola perasaan sedemikian rupa, sehingga gatakan bahwa alunan musik pada Membangun Kecerterekspresikan secara tepat dan efektif. Selain dasan Emosional Anak) bayi dalam kandungan atau setelah Penulis: itu, Goleman menunjukkan beberapa indikasi ia lahir mampu merangsang aliran Esthi Endah Ayuning anak yang memiliki kecerdasan emosi, yaitu, saraf dalam otak dan meningkatkan Tyas adanya kesadaran diri, motivasi, saling perPenerbit: memori dan spasial anak (hal. 82). Di Arti Bumi Intaran, caya dan empati, serta keterampilan dalam samping dapat meningkatkan kecerJogjakarta bergaul dengan lingkungan sosialnya. (hal. dasan emosional, hasil penelitian itu Tahun Terbit : 79) juga menunjukkan bahwa musik juga Juni, 2008 Percaya atau tidak, ternyata musik Tebal: dapat meningkatkan kecerdasan inxiii + 193 halaman mampu menjadi alat mencerdaskan emosi telektual. Peresensi: manusia? Alunan musik dapat melatih emoCara praktis memanfaatkan M. Hasan Ma’rup, si menuju kestabilan. Selama ini, kita memusik mencerdaskan emosi anak dimandang musik melulu dari sisi entertain paparkan secara gamblang dalam (hiburan). Padahal, musik mampu mendorong buku yang ditulis oleh Esthi Endah perkembangan kecerdasan emosional seorang anak. Ayuning Tyas ini. Di samping itu juga, Buku berjudul “Cerdas Emosional Dengan b e berapa pengalaman riil para orangtua Musik” ini memuat banyak data yang menunjukkan anak dalam mendidik anak-anaknya melalui kebenaran itu. Salah satunya, penelitian menunjuk- musik tak luput diketengahkan sebagai acuan yang— kan, setidaknya dua fungsi utama musik dapat dirasa- mudah-mudahan—akan menuai peneladanan dari pemkan secara nyata. Pertama, menghilangkan rasa baca. tegang. Ketegangan dapat berbentuk mudah marah, Dengan data-data valid yang mengokohkan over-agresif, dan berontak. Dengan musik, penyakit fungsi musik bagi kecerdasan emosional, buku yang ditemosi itu dapat diminimalisir bahkan disembuhkan. ulis oleh alumnus pesantren Lirboyo ini sarat dengan Alunan musik menghadirkan efek tenang pada syaraf referensi Alqur’an dan Al-Hadits. Tentunya hal itu makin otak. Karena itu juga, F. Rene Van de Carr dan Marc menjadikan buku ini menarik untuk dibaca. Terutama Lehrer, sangat menyarankan agar setiap sesi pem- bagi para orangtua, praktisi pendidikan selayaknya mebelajaran ditutup dengan musik, nyanyian, atau nelaah buku ini, guna perbaikan pendidikan anak bangsenandung. Menurut mereka, tindakan yang demiki- sa ke depan. an itu menimbulkan efek relaksasi (hal 83). Namun, penelitian yang telah dilakukan * Praktisi pendidikan berkaitan dengan musik juga menunjukkan bahwa tinggal di Kemisan, Guluk-guluk Sumenep

86 86

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008 JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008


JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008

87


88

JURNAL EDUKASI. NO.XII.2008


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.