JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
1
2
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
EDUKASI Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Dinas Pendidikan Kab. Sumenep
JURNAL ini diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Sumenep untuk menampung setiap gagasan yang konstruktif dan inovatif tentang dunia pendidikan, khususnya dalam lingkup pengembangan pendidikan lokal, guna mewujudkan tujuan luhur pendidikan nasional. Penanggung Jawab: Drs. KH.Abdullah Khalil M.Hum Pengarah: Kepala Dinas Pendidikan Sumenep (H. Moh. Rais, S.Pd. M. Si) Pemimpin Redaksi: M. Faizi M.Hum Dewan Redaksi: Rusly, M.Pd. A. Dardiri Zubairi, S.Pd, Drs. Akhmad Nurhadi, S.Pd, M.Si, Drs. Moh. Arif Imron, Staf Redaksi: Mohammad Suhaidi RB, S.Th.I Design Grafis: Zeinul Ubbadi Distribusi & Keuangan: Drs. H. Moh. Kadarisman, M.Si. Alamat Redaksi: Jl. Trunojoyo 295 Gedungan Sumenep Telp.(0328) 664829, Fax (0328) 666089 e-mail : nusumenep@telkom.net REDAKSI menerima kiriman naskah berupa artikel, kolom dan resensi buku tentang pendidikan dari pembaca. Redaksi berhak mengedit naskah sejauh tidak mengubah substansi dan maksud tulisan. Panjang tulisan antara 15-20 halaman kwarto spasi ganda (untuk Artikel) dan 3 halaman (untuk kolom), sertakan pas foto terbaru, Identitas lengkap yang disertai pengalaman pendidikan, organisasi dan profesi. Naskah yang dimuat akan diberi imbalan.
Salam............ Sejak Jurnal Edukasi edisi XIII terbit pada pertengahan tahun 2009, banyak pertanyaan yang datang dari para pembaca atas keterlambatan penerbitan. Kacaunya jadwal penerbitan ini sulit sekali dijelaskan mengingat faktor utama berada pada persoalan pendanaan. Di samping itu, hal ini juga berpengaruh pada pencantuman masa tenggat naskah yang masuk ke meja redaksi, serta sulitnya mencari naskah yang layak untuk standar jurnal. Akan tetapi, bagaimana pun, jadwal tenggat harus dicantumkan dalam setiap edisi penerbitan agar jurnal ini tidak terkesan mengadaada. Namun begitu, pendaanaan yang tersendat membuat kami memilih ini sebagai alasan utama untuk dijawabkan mengingat Jurnal Edukasi dibagi cuma-cuma dan tidak diperjualbelikan. Tema kali ini, “Mempertanyakan Ulang Profesionalisme Guru”, pun terasa terlambat diangkat. Tema ini sedianya akan didedah bersama isu sertifikasi guru yang belakangan menjadi banyak dipersoalakan. Kasus 1800-an guru di Riau yang terlibat kasus pemalsuan untuk mendapatkan sertifikasi PAK menjadi bukti bahwa isu ini sejatinya tidak begitu basi. Mengapa guru yang notabene menjadi teladan dalam semua sisinya masih dapat rela melakukan tindakan buruk yang berkebalikan dengan citacita yang gambarkan dalam, misalnya, lirik lagu “Himne Guru”? Kali ini, artikel Edi Subkhan, “Memikirkan Kembali Profesionalitas Guru” diharapakan dapat memberikan gambaran umum mengenai realitas yang tergambar di atas. Di samping itu, wawancara dengan salah seorang pengamat pendidakan, Ahmad Rizali (Mas Nanang), juga menjadi sajian kami kali ini. Kami berharap, dengan adanya tulisan-tulisan tajam dari para penyumbang dapat kembali membuka wawasan kita untuk mempertanyakan ulang, sejatinya seperti apakah guru itu seharusnya “menjadi”? dari jawaban itu, diharap terdapat jawaban untuk pertanyaan: mengapa pemerintah perlu mengubah lirik lagu Himne Guru yang lama (“Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa”) menjadi “pembangun insan cendekia”? Secara berkelakar, kita bisa memastikan, bahwa lirik inipun berhubungan dengan masalah tunjangan profesional, gaji, dan tentu saja sertifikasi guru yang berada dalam bingkai “profesionalisme” yang sejauh ini masih terkesan abu-abu. Selamat membaca! Daftar Isi PANDHAPA • Umar Bakri Telah Profesional? (4) ARTIKL TAMU • Memikirkan Kembali Profesionalitas Guru (6) ARTIKEL UTAMA • Tantangan Profesionalisme Standar Kertas (14) • Mempertegas Profesionalisme Guru (20) • Profesionalisme Guru dan Realitas Pembelajaran (26) • Silangsengkarut Profesionalisme Guru (31) • Guru Profesional atau Guru Kompeten (40) • Mempertajam Kreativitas Guru Profesional (50) WAWANCARA • Profesi Guru, Setingkat di Bawah Para Nabi (46)
ARTIKEL LEPAS • Politik Pendidikan dan Dilematika Penyelenggaraan Pendidikan (56) • Pendidikan Islam dalam Keluarga Bagi Anak Usia 6-12 Tahun (61) • Demaskulinisasi Pendidikan Pesantren (70) • Pendidikan Tahan Banting (77) KOLOM SISWA • Menggugat Penerapan Ujian Nasional (84) • Sentralisasi Semester (86) KOLOM • Guru Profesional atau Guru Profetik? (88) • Guru Bertunjangan, Guru (Layak) Profesional (89) RESENSI • Pendidikan Berbasis Kasih Sayang (90)
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010 Design obbath/ foto: andy irawan santosa (fotografer.net)
33
pandhapa pandhapa
Umar Bakri Kata profesional selalu disandingkan pada seseorang atau kelompok yang memiliki keahlian. Dokter misalnya, dikategorikan sebagai tenaga profesional, karena keahliannya di bidang medis. Tenaga teknisi diklasifikasikan pula sebagai tenaga profesional, karena memiliki keahlian di bidang teknik. Di kalangan “Umar Bakri”—sebutan yang dipopulerkan Iwan Fals untuk guru atau tenaga pendidik—kata profesional lahir dan dilekatkan pada kata “guru” sekitar awal tahun 2005. Proses kelahiran kata ini juga cukup dramatis. Diawali dari usulan berbagai pihak terutama organisasi profesi PGRI pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Habibi, Gus Dur, sampai pemerintahan Ibu Megawati, namun selalu kandas. Umar Bakri masih tetap Umar Bakri, bersepeda onthel, dengan label pahlawan tanpa tanda jasa. Desakan dan keinginan menyandingkan kata profesional pada guru terus bergulir. Forum-forum dialog dan forum-forum terbuka, maupun demonstrasi massa yang dimotori PGRI dan organisasi profesi pendidik lainnya menjadi sarana penyampai aspirasi mereka. Sampai akhirnya cita-cita mulia itu bak gayung bersambut pada era pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Dibantu organisasi profesi Perguruan Tinggi, seperti Forum Rektor, sejumlah guru melalu PGRI kembali menyuarakan keinginan menjadi guru profesional sebagaimana tenaga profesional lainnya. Sambutan Pak SBY cukup menggembirakan dan memberi angin segar bagi pahlawan tanpa tanda jasa Rusly KM itu. Hal itu diwujudkan dengan lahirnya UU RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Beberapa misi dan tujuan peningkatan profesionalisme guru diformulasikan dalam pasal 10 UU RI Nomor 14 Tahun 2005 yang mempersyaratkan guru profesional memliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Target yang dipersyaratkan tersebut merupakan target maksimal yang dicitacitakan oleh pemerintah. Dan dalam bayangan siapapun diakui bahwa cita-cita tersebut merupakan cita-cita ideal peningkatan profesionalisme guru yang diharapakan pemerintah dan masyarakat. Kalau kita baca undang-undang tersebut secara tuntas dan dipahami pula secara komprehensif betapa telah tergambar pendidikan berkualitas yang sebenarnya di negeri ini. Kiblat pendidikan seakan-akan bukan lagi di negara barat, melainkan di negeri atau di rumah kita sendiri. Profil tenaga pendidik— sebagai motor dunia pendidikan—yang dicita-citakan dalam undang-undang itu terasa ideal dan memberi gambaran bahwa pendidikan kita sebagai avant-garde. Namun dalam realitas, implementasi cita-cita yang ideal itu baru sebatas keinginan, hanya sebatas bayangan semu, sebuah fantasi, atau bahkan hanya sebuah mimpi setiap hari. Implementasi cita-cita mulia itu banyak dihambat oleh kebijakan yang serba instan, baik dalam bentuk paruh instan, maupun full instan yang akhirnya melahirkan predikat profesionalisme instan pula. Ke-instan-an ini mengakibatkan barometer profesionalisme guru semakin tidak jelas. Kita coba tengok terlebih dahulu rumusan Dedi Supriyadi (1998) tentang ciri-ciri profesionalime. Pertama, pekerjaan itu mempunyai signifikansi sosial dan mendapatkan pengakuan atau apresiasi yang tinggi dari masyarakat. Kedua, profesi menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh lewat pendidikan dan latihan yang “lama” dan intensif serta dilakukan dalam lembaga tertentu yang secara sosial dapat dipertanggungjawabkan. Dalam suatu profesi, independent judgment berperanan dalam mengambil putusan, bukan sekedar menjalankan tugas. Ketuga, profesi didukung oleh suatu disiplin ilmu (a systematic body of knowledge), bukan sekedar serpihan atau hanya common sense. Keempat, ada kode etik yang menjadi pedoman perilaku anggotanya beserta sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik. Kelima, sebagai konsekuensi
Oleh
4
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
Telah Profesional? dari layanan yang diberikan kepada masyarakat, maka anggota profesi secara perseorangan ataupun kelompok memperoleh imbalan finansial atau materiil. Tuntutan dan barometer profesionalisme guru di atas dalam realitas kehidupan kita saat ini menjadi muspro. Hingar-bingar profesionalisme sekarang seakan-akan terbatas pada pemberian tunjangan satu kali gaji pokok sebagaimana karakteristik kelima yang digambarkan Dedi Supriyadi. Karakteristik yang lain terabaikan. Keahlian guru dalam mendidik dan berkehidupan sosial hanya dicermati dari jumlah jam mengajar (yang dipersyaratkan 24 jam seminggu), dinilai berdasarkan tumpukan kertas portofolio, dan diklat jangka waktu pendek yang endingnya dipastikan lulus. Tahun berikutnya dipastikan menerima tunjangan satu kali gaji pokok (dalam bentuk rapelan) yang rencana peruntukannya untuk membeli rumah, beli mobil, umroh, atau bahkan naik haji—bukan dalam rangka menata dan meningkatkan mutu pembelajaran yang selama ini dilaksanakan. Kondisi ini diperparah dengan aksi-aksi pragmatis. Ketika guru saat ini dianggap pilihan pekerjaan yang bergengsi, sebagian di antara mereka berduyun-duyun meningkatkan kualifikasi pendidikannya untuk mencapai predikat tenaga pendidik yang profesional, walaupun itu dilakukan secara instan. Mereka pilih level pendidikan berkualifikasi S1/S2 berdurasi pendek (kurang lebih satu tahun) di warung-warung kopi, di jalan-jalan tol, di kelas-kelas jauh, di Perguruan Tinggi instan, di hotel-hotel, di gedung-gedung organisasi, di emperan rumah; dan ketika lulus berlabel guru profesional. Duh, benarkah “Umar Bakri” yang bermobil itu telah profesional? Kondisi ini diperparah dengan aksi-aksi pragmatis. Ketika guru saat ini dianggap pilihan pekerjaan yang bergengsi, sebagian di antara mereka berduyun-duyun meningkatkan kualifikasi pendidikannya untuk mencapai predikat tenaga pendidik yang profesional, walaupun itu dilakukan secara instan. Mereka pilih level pendidikan berkualifikasi S1/S2 berdurasi pendek (kurang lebih satu tahun) di warung-warung kopi, di jalan-jalan tol, di kelas-kelas jauh, di Perguruan Tinggi instan, di hotel-hotel, di gedung-gedung organisasi, di emperan rumah; dan ketika lulus berlabel guru profesional. Duh, benarkah “Umar Bakri” yang bermobil itu telah profesional? Tuntutan dan barometer profesionalisme guru di atas dalam realitas kehidupan kita saat ini menjadi muspro. Hingar-bingar profesionalisme sekarang seakan-akan terbatas pada pemberian tunjangan satu kali gaji pokok sebagaimana karakteristik kelima yang digambarkan Dedi Supriyadi. Karakteristik yang lain terabaikan. Keahlian guru dalam mendidik dan berkehidupan sosial hanya dicermati dari tumpukan kertas portofolio dan diklat jangka waktu pendek yang endingnya dipastikan lulus. Tahun berikutnya dipastikan menerima tunjangan satu kali gaji pokok (dalam bentuk rapelan) yang rencana peruntukannya untuk membeli rumah, beli mobil, umroh, atau bahkan naik haji—bukan dalam rangka menata dan meningkatkan mutu pembelajaran yang selama ini dilaksanakan. Kondisi ini diperparah dengan aksi-aksi pragmatis. Ketika guru saat ini dianggap pilihan pekerjaan yang bergengsi, sebagian di antara mereka berduyun-duyun meningkatkan kualifikasi pendidikannya untuk mencapai predikat tenaga pendidik yang profesional, walaupun itu dilakukan secara instan. Mereka pilih level pendidikan berkualifikasi S1/S2 berdurasi pendek (kurang lebih satu tahun) di warung-warung kopi, di jalan-jalan tol, di kelas-kelas jauh, di Perguruan Tinggi instan, di hotel-hotel, di gedung-gedung organisasi, di emperan rumah; dan ketika lulus berlabel guru profesional. Duh, benarkah “Umar Bakri” yang bere mobil itu telah profesional? g
*Penulis Redaktur Edukasi, mahasiswa S3 Unesa Surabaya
pamator pamator EDUKASI, TERUSLAH TERBIT ! Jujur, sebagai warga Sumenep, saya sangat bangga bisa membaca jurnal pendidikan Edukasi. Banyak hal yang saya dapatkan setelah membaca jurnal yang dibiayai dari APBD itu. Banyak ide dan wawasan tentang dunia pendidikan, yang bisa dipelajari dan dijadikan sebagai bahan untuk mendalami dan memahami seputar dunia pendidikan dalam berbagai perspektif. Atas dasar itu, saya berharap jurnal Edukasi tetap bisa terbit dan terus menyajikan informasi keilmuan tentang pendidikan secara dinamis, karena menurut saya, informasi yang disajikan oleh Edukasi, tidak hanya sekedar menjadi bahan bacaan, tetapi dalam derajat tertentu telah menjadi kebutuhan mendasar di kalangan insan pendidikan, terutama kalangan mahasiswa jurusan pendidikan. Rahman Alif Tinggal di Sumenep UNAS SEBAGAI PROBLEM PENDIDIKAN Kebijakan menjadikan UN (Ujian Nasional) sebagai penentu kelulusan siswa merupakan kebijakan yang cenderung dipaksakan. Proses dan pelaksanaan UN tidak hanya mengerdilkan potensi dan kreatifitas siswa, tetapi banyak persoalan lain yang pada gilirannya tercipta. Pertama, tekanan psikologis terhadap siswa, karena UN berarti pertarungan matian-matian untuk bisa lolos (menjadai siswa yang lulus). Kedua, yang perlu dikritisi adalah pada saat UN, siswa menjadi pihak yang diawasi secara ketat. Beberapa elememen kerapkali diterjunkan untuk mengawasi pelaksanaan UN, bukan hanya pihak independen, tetapi seringkali masih melibatkan pengawasan dan pengamanan dari pihak kepolisian. Kondisi pengawasan yang super ketat semacam itu, menunjukkan tentang begitu tidak bebasnya siswa dalam melaksanakan UN, yang secara langsung ataupun tidak, tidak hanya sekedar menggambarkan tentang betapa pentingnya UN sehingga harus mendapatkan pengawasan yang cukup ketat, tetapi juga menjadi beban psikologis yang cukup berat. Sebab, di satu sisi, para siswa harus berjuang keras untuk bisa menjawab soal dengan beban tinggi, juga berhadapan dengan situasi yang bisaja “ketat” alias tidak enjoi. Akibatnya, siswa terposisikan layaknya sebagai terdakwa dengan beban tuntutan yang cukup berat. Semoga, ke depan pemerintah mampu mencarikan solusi yang baik, agar masalah standar kelulusan yang saat ini direpresentasi oleh UN dan telah mendapatkan kritik yang beragam, dapat dijadikan sebagai pengalaman untuk terus dicarikan solusi yang terbaik, terutama bagi masa depan siswa.
p
a m a t o r
Achmad Sama’on Mahasiswa STITA, Semester IV IRONI PENDIDIKAN KEPULAUAN Sudah menjadi rahasia umum, para tenaga pengajar (PNS) yang ditugaskan di kepuluan rata-rata sering mangkir dari tugas. Mereka sering pulang ke daratan dengan tenggat waktu yang terkadang tidak masuk di akal. Dalam taraf sangat parah, serorang guru PNS bisa satu bulan di pulau dan tiga bulan di daratan. Ada yang menyewa orang untuk menggantikan tugasnya mengajar, dan ada yang membiarkannya begitu saja. Oleh karenanya lewat media ini, saya sangat berharap penugasan PNS ke kepulaun harus dipertimbangkan dengan matang. Selama ini pemerintah sepertinya hanya punya pemikiran “pokoknya PNS baru, ya harus di Pulau”. Ini mengesankan bahwa pendidikan di kepulauan adalah bahan kelinci percobaan. Selain itu pemerintah juga sering menjadikan kepulauan sebagai “penjara” atau tempat seorang penjabat atau guru yang berbuat kesalahan di daratan. Alhasil, pendidikan di kepulauan bukan hanya dianaktirikan, namun memang dikerdilkan; dengan dijadikan kelinci percobaan dan dijadikan penjara. ini harus segera disudahi !!! Zeinul Ubbadi Pemerhati Pendidikan di Sumenep
Rubrik ini kami sediakan untuk sidang pembaca yang ingin menyampaikan saran, ide-ide kreatif dan bahkan kritik terhadap redaksi maupun terhadap bentuk-bentuk pemikiran para penulis di jurnal ini. Bisa langsung dikirimkan ke alamat kami /e-mail nusumenep@telkom. net maksimal 1 ½ halaman kwarto dengan spasi e ganda. g
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
5
artikel artikel tamu tamu
Memikirkan Kembali
Profesionalitas Guru Edi Subkhan
Edi Subkhan Subkhan, mahasiswa S2 Teknologi Pendidikan, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pegiat di Sekolah Tanpa Batas (STB) dan Darmaningtyas Institut of Globalization and Education Studies (Digest). Korespondensi email: edi_subkhan@yahoo.com.
“[…] we should always be mindful of our obligation not to run away from authority but to exercise it in the name of self- and social formation. That means always reminding ourselves that power must be exercised within a framework that allows students to inform us and to be more critical about their own voices, as well as aware of the codes and cultural representations of others outside the immediacy of their experience. As cultural workers we must be aware of the partial nature of our own views.” -Henry Giroux (2005: 132) Pendahuluan Selain masalah kesejahteraan guru, profesionalisme kerapkali menjadi isu yang cukup seksi dalam dunia guru. Namun sebelum telanjur jauh menggunakan istilah “profesionalisme” dan juga “profesionalitas” dalam kalimat-kalimat seperti “guru harus profesional,” mari kita telusuri dan pertanyakan: apakah yang dimaksud dengan “profesionalisme” dan “profesionalitas” itu? Kemudian setelah itu kita pertanyakan apakah guru memang mesti profesional, atau profesional seperti apakah yang harus dipenuhi oleh guru. Jika mendasarkan pada Undang-Undang (UU) No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, pada pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa, “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
6
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.” Pada ayat (4) dinyatakan bahwa, “Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.” Pada ayat (7) dan (8) membicarakan tentang perjanjian kerja dan pemutusan hubungan kerja. Sekilas begitu jelas bahwa unsur “kerja” dan “pekerjaan” begitu dominan dalam undangundang tersebut. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa guru dituntut untuk profesional dalam menjalankan tugasnya, dan ternyata “profesional” tersebut dimaknai sebagai “pekerjaan” itu sendiri, yang sebenarnya mungkin akan lebih tepat ketika “profesional” dimaknai sebagai kemampuan, sifat dan karakter yang harus ada dalam “profesi,” bukannya memaknai “profesional” sebagai “pekerjaan” itu sendiri. Dengan demikian, “pekerjaan” dapat disama artikan sebagai “profesi.” Dalam pengertian profesi sebagai pekerjaan itulah pemerintah melalui UU No. 14/2005 tersebut menyatakan bahwa pekerjaan ditujukan untuk menjadi “sumber penghasilan kehidupan.” Dengan begitu, guru yang dituntut profesionalitasnya adalah pekerjaan yang “dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan...” Ayat (7) dan (8) makin menguatkan bahwa pengertian guru sebagai sebuah pekerjaan adalah sama dengan peker-
jaan lain yang terdapat surat perjanjian kerja dan putus hubungan kerja. Jika kita mau lebih jeli dan jauh menelaah ayat (7) dan (8) dari UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen tersebut, maka akan terlihat bahwa keduanya tampak sesuai dan selaras tata aturan mengenai guru dan dosen yang baru disahkan dalam bentuk Undang-Undang No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang kontroversial itu. Sebenarnya tidak aneh jika dilihat dari perspektif bahwa banyak kebijakan yang pada akhirnya bermuara pada UU BHP, dalam arti bermuara untuk menguatkan dan menyesuaikan dengan UU BHP, walaupun undang-undang atau kebijakan lain tersebut disahkan lebih dulu sebelum UU BHP disahkan tahun 2009. Tujuannya sebenarnya cukup jelas, yakni menjadikan sekolah dan kampus sebagai perusahaan (korporatisasi), dan dengan demikian guru dan dosen dianggap sebagai pekerja biasa, seperti buruh pabrik dan pekerjaan lain yang tujuannya untuk mencari duit (lihat Darmaningtyas et al, 2009). Intinya, pengertian guru sebagai pekerjaan yang sama dengan jenis pekerjaan lain tersebut adalah dari pemerintah, karena jelas terdapat dalam UU No. 14/2005 pasal 1 ayat (1), (4), (7), dan (8). Sekarang mari kita tinjau secara sosiologis, bahwa profesionalitas adalah sikap yang ditunjukkan oleh sebuah profesi tertentu. Dalam pengertian sederhana “profesi” dapat diartikan sebagai “pekerjaan,” dengan begitu profesionalitas adalah sifat, sikap, kemampuan, kompetensi yang mesti dimiliki oleh seseorang yang memiliki pekerjaan atau profesi tertentu. Jika wirausahawan adalah sebuah profesi, maka seorang wirausahawan dikatakan sebagai profesional ketika ia memiliki serangkaian sifat yang mesti dimiliki oleh seorang wirausahawan, misalnya ulet, kreatif, cer-
mat membaca peluang usaha, kemampuan manajemen organisasi bagus, dan sejenisnya. Ketika istilah “profesi,” “profesionalitas,” dan “profesionalisme” tersebut disematkan pada guru, maka pekerjaan macam apakah guru tersebut, samakah dengan pengertian dari pemerintah dalam UU No. 14/2005 di depan? Itu pertanyaan yang penting mengingat sebenarnya tidak hanya pemerintah melalui UU No. 14/ 2005 yang berupaya menjadikan guru sebagai sebuah pekerjaan seperti pekerjaan mencari duit lainnya, masyarakat pun ternyata banyak yang menginginkan hal tersebut. Ada banyak rumor yang menyatakan bahwa para guru iri dengan profesi lain seperti dokter, insinyur, jaksa, pengacara, dan lainnya yang mungkin dianggap lebih prestise, sejahtera secara ekonomi, terjamin, terdapat standar kualitas yang jelas, ada ikatan profesi yang jelas, dan cukup terorganisasi. Hal itulah yang mendorong para guru berpikiran untuk menuntut “kesetaraan” dengan profesi lain tersebut, namun pertanyaannya adalah “setara” dalam hal apa? Hal dimaksud yang paling mungkin adalah setara dalam kesejahteraan dan jaminan karier, sedangkan setara dalam profesi jelas tidak bisa. Karena pada dasarnya memang bidang garapan, aktivitas dan fungsinya masingmasing profesi tidak sama. Namun juga tidak dapat dikatakan dalam istilah setara atau tidak setara, guru dan insinyur jelas berbeda, namun bukan berarti tidak setara, kalau tidak setara dalam soal kesejahteraan (baca: gaji) mungkin saja. Guru Lebih dari Sekedar Profesi Biasa Masalahnya adalah, kalau yang dituntut adalah keterjaminan karier dan peningkatan kesejahteraan guru, kenapa kemudian pemerintah melalui UU No. 14/2005 menjadikan guru sama dan setara dengan jenis pekerjaan lain yang
tujuannya adalah mencari duit? Padahal jelas bahwa bidang garapan, aktivitas dan fungsi guru dalam ranah sosial berbeda dari jenis pekerjaan lainnya. Guru dapat dikatakan relatif setara dengan profesi seperti Polisi dan Tentara yang tujuan utamanya bukan untuk mencari dan mengakumulasi kekayaan, jika Polisi dan Tentara tujuan utamanya adalah menjaga keamanan dan pertahanan nasional, maka guru adalah mendidik manusia. Dengan demikian, guru sebagai sebuah profesi tujuan utamanya bukan untuk mencari dan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, melainkan memanusiakan manusia. Oleh karena itu, kalau ada orang yang niat jadi gurunya adalah semata-mata dan terutama untuk mencari uang, mestinya ia tidak jadi guru, melainkan menjadi pengusaha, pedagang, kontraktor dan lainnya yang memang tujuan utamanya adalah mencari untung setinggi-tingginya. Sekali lagi, hakikat guru adalah tidak sama dengan profesi lainnya. Guru adalah profesi kenabian (prophetic profession). Harusnya, menjadi guru dan menjalani laku kependidikan tidak terutama diniatkan untuk mencari duit, melainkan untuk mendidik manusia, memanusiakannya dengan membudayakannya. Kalau niat utama menjadi guru adalah untuk mencari duit, ya sebaiknya tidak kuliah di perguruan tinggi keguruan, melainkan di kampus yang berorientasi ekonomi dan dunia industri saja. Bagi Giroux (2005) guru adalah pekerja budaya, pekerja sosial, dan aktivitas pengabdian pada kemanusiaan. Namun bukan berati kemudian guru tidak boleh menuntut gaji tinggi, justru sebaliknya, karena mendidik adalah mengolah manusia dan “menghidupkannya,” maka gaji guru harusnya lebih besar dari profesi lainnya. Justru tiap aktivitas dan kerja yang berhubungan dan bertujuan untuk memuliakan manusia, memperjuangkan fitrah
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
7
kemanusiaan, membebaskan manusia dari ketertindasan, ketidakadilan, diskriminasi, memajukan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, maka ia harus digaji tinggi oleh negara. Dalam struktur anatomi nilai sebuah masyarakat yang kacau dan tidak sehat, memang menjadi kacau pula tentang mana kulit dan mana isi, mana yang utama dan mana yang tidak utama, mana yang indah dan mana yang buruk, mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang mulia dan mana yang hina, mana kepala dan mana kaki. Di sinilah kemudian juga kacau pemahaman apakah kira-kira guru itu aktivitas yang lebih mulia ketimbang blantik sapi? Kalau iya, lalu mengapa penghasilannya (berupa keuntungan finansial) lebih besar blantik sapi ketimbang guru. Memang jelas bahwa blantik sapi tujuan utamanya mencari untung finanial dan hasilnya nyatanya adalah duit, sedangkan guru hasil nyatanya adalah kepintaran siswa, bukan duit secara langsung. Namun, kalau memang betul pemerintah memahami bahwa aktivitas memanusiakan manusia oleh guru lebih mulia dari blantik sapi, kenapa gaji guru yang kira-kira dapat
8
dikatakan sebagai penghargaan atas kerja memuliakan kemanusiaannya tersebut tidak dibuat atau dinaikkan lebih tinggi dari blantik sapi? Pemerintah adalah pihak utama yang harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan guru, karena memang kontrak sosial antara rakyat dan elit pemerintah adalah kesediaan aparat pemerintah republik Indonesia untuk menjadi penjaga cita-cita bangsa dalam “mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (sila kelima Pancasila). Selain itu juga jelas terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945, bahwa tujuan bernegara Indonesia salah satunya adalah untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Kalau memang pemerintah memahami hakikat kemuliaan tersebut, maka sudah seharunya guru digaji tinggi. Guru sudah tidak perlu lagi sanjungan dari pemerintah sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, yang dibutuhkan guru adalah riil gaji tinggi dan peningkatan kualitas diri mereka. Guru tidak usah diajari dan dikasih tahu mengenai betapa mulia dan hebatnya pekerjaan mereka, guru sudah tahu itu sejak mula memutuskan untuk menjadi
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
guru. Jangan jadikan sanjungan pada guru tersebut menjadi dalih dan legitimasi dari praktik untuk tidak memberikan gaji tinggi pada guru, karena alasan yang salah bahwa sebagai pengabdian kepada kemanusiaan, gaji bukan hal yang utama (lihat Winarno Surakhmad, 2009). Memang gaji bukan hal yang utama bagi guru, namun kalau pemerintah paham hakikat kemuliaan guru, maka gaji adalah hak guru yang mesti dipenuhi, bahkan terus dinaikkan. Mendudukkan Guru dalam Aksi Politik Politik adalah arus deras dan pusaran yang melibatkan apa dan siapa saja untuk terseret di dalamnya, semua masyarakat terlibat dalam politik, termasuk guru. Kita dapat melihat bahwa banyak kebijakan pendidikan yang pada dasarnya tidak sekadar merujuk pada pertimbangan intelektual-akademis belaka, melainkan juga kesepakatan politik di antara elit penguasa pemerintahan. Di lapangan, guru sebagai pihak yang “harus” melaksanakan kebijakan pendidikan dengan demikian adalah ujung tombak pelaksanaan dari produk kesepakatan politik elit
penguasa tersebut. Namun, dalam pelaksanaannya ternyata banyak produk kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan hakikat pendidikan, tidak cocok dengan rekomendasi dari banyak hasil penelitian akademik, dan bahkan begitu menyulitkan guru untuk melaksanakannya karena berbenturan dengan banyak hal di lapangan. Di inilah, guru mestinya harus dapat memosisikan dirinya sebagai subjek aktif yang juga memiliki hak dan kekuasaan politik untuk mengkritik dan berpartisipasi dalam memperbaiki kebijakan yang tidak sesuai tersebut. Dengan kata lain, guru harus dapat memberi kontribusi dalam memperbaiki kondisi pendidikan, terutama yang disebabkan oleh kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan idealisme dan hakikat pendidikan sebenarnya. Misalnya adalah kebijakan Ujian Nasional (UN). Terang bahwa dengan adanya UN ternyata banyak aktivitas pembelajaran yang dapat lebih mengasah ranah afektif dan psikomotorik serta kognitif tingkat tinggi tidak mendapat tempat. Satu-satunya model aktivitas pembelajaran yang dianggap efektif dan efisien untuk mendukung program lulus UN adalah drill and practice, bukan diskusi kritis, pendekatan problem solving, contextual learning and teaching, nalar kreatif dipangkas, dan semuanya ditujukan untuk UN (lihat Irsyad Ridho [ed.]. 2007). Banyak guru sudah menyadari hal itu, namun apa yang mereka lakukan? Sebagian besar tetap saja mengikuti ketentuan kebijakan pemerintah tentang UN, entah karena ketidaktahuan mereka terhadap efek negatif UN, atau pura-pura tidak tahu dan cuek aja, atau mungkin saja tahu namun merasa tidak berdaya karena berada di dalam sistem itu sendiri. Di situlah sebetulnya guru mesti dapat menyadari bahwa mereka memiliki kekuatan untuk dapat mengoreksi kebijakan yang tidak sesuai dengan hakikat pendidikan
itu sendiri dengan aksi menentang UN dan lainnya. Dalam lingkup yang lebih luas lagi, guru pun mestinya dapat memosisikan dirinya sebagai aktor politik, tentu tidak dalam arti politik praktis, melainkan politik kebudayaan (Giroux, 2000). Dalam pengertian ini, guru harus berani membincangkan masalah-masalah politik yang berkaitan dengan pendidikan, ataupun politik dalam arti luas dan bentuknya yang paling pragmatis sekalipun. Setelah itu, guru juga harus berani menyikapi kebijakan pendidikan yang dibuat antara lain berdasarkan pertimbangan politis, dan sikap ini tentu merupakan sikap politik guru terhadap kebijakan tersebut, juga otomatis terhadap pemerintah elit berkuasa. Pemerintah menggunakan pendidikan sebagai perangkat politik untuk tujuan politik (misal status quo, stabilitas rezim) dengan mekanisme politik, dalam logika menang-kalah secara politik. Gerakan penyikapan terhadap mekanisme politik tersebut, termasuk gerakan guru ini, dengan demikian juga gerakan politik, karena meniscayakan mekanisme politik dalam logika menang-kalah untuk memperjuangkan kebijakan pendidikan secara politik (Apple, 2003). Selama ini guru merasa tidak patut bicara politik karena secara struktural guru—terutama yang Pegawai Negeri Sipil (PNS)—berada di dalam struktur pemerintah, yakni di bawah Kementrian Pendidikan Nasional (sekarang) dan Departemen Agama. Mereka pun digaji oleh pemerintah hingga merasa sebagai bagian dari pemerintah, dan oleh karena itu kemudian menjadi tabu dan aneh kalau kemudian berani mengkritik pemerintah. Namun yang haru dipahami adalah: soal pemerintah menggaji guru dan guru sebagai pendidik adalah soal lain. Dalam arti, guru tidak digaji oleh pemerintah karena ketundukan mereka kepada pemerintah atau sebagai staf pemer-
intah, melainkan karena memang kewajiban pemerintah—sebagai representasi negara—untuk menggaji para aktivis dan pahlawan (baca: guru) yang telah bekerja dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan gaji tersebut adalah hak guru bukan karena sebagai aparatur negara, melainkan karena telah melaksanakan aktivitas mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi cita-cita Indonesia tersebut. Logika inilah yang harus dibangun dan pahami oleh guru, yang pada akhirnya secara kolektif akan terbangun guru sebagai sebuah gerakan politik kebudayaan. Dalam menghadapi kebijakan pendidikan yang seringkali tidak sesuai dengan hakikat dan tujuan pendidikan, maka guru harus melakukan aksi politik: menentang kebijakan tersebut. Guru sebagai Intelektual Organik Pada masa lampau, guru bukanlah sebuah pekerjaan yang hanya mengajar di sekolah atau kelas saja, melain guru adalah sebuah posisi sosial di masyarakat. Bahkan guru sama sekali bukan pekerjaan untuk mencari uang darinya. Guru adalah rujukan dan konsultasi ketika masyarakat sekitar punya masalah. Guru memberi nasehat dan fatwa-fatwa kebijaksanaan hidup pada masyarakat. Guru-guru masa lampau itulah guru-guru yang hidup di tengahtengah masyarakat (lived in), gurunya masyarakat. Sekarang konsep guru dengan munculnya sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan formal memang sedikit bergeser. Guru dalam pengertian yang lebih sempit dimaknai sebagai pekerjaan mengajar dan mendidik siswa di sekolah, itu saja. Kalaupun di jalan atau lingkungan masyarakat ia disapa sebagai guru, itu sekadar sebagai bentuk penghormatan, namun di lingkungan masyarakat ia tidak dimintai nasehat dan fatwa kebijaksanaan hidup lagi se-
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
9
bagaimana guru-guru masa lampau. Di satu pihak, sekolah memang menjadikan praksis pendidikan lebih “efektif dan efisien,” namun di sisi lain juga mereduksi hakikat pendidikan itu sendiri, termasuk konsep dan jangkauan pengertian dan ranah dari guru. Sebagaimana dijelaskan, guru dengan adanya sekolah sekadar dimaknai sebagai pengajar atau pendidik di sekolah, tidak lebih. Di titik inilah seharusnya guru dapat kembali merengkuh totalitas definisi dan jangkauan ranah aksi dan aktivitas dirinya, dengan menjadi guru yang tidak sekadar dalam arti pendidikan dan pengajar di sekolah. Lebih dari itu adalah juga menjadi guru di masyarakat. Memang tidak mudah dan tidak semua guru dapat melakukannya. Namun dengan melihat fitrah kejadian guru dan juga potensi yang dimilikinya, maka guru memang harus kembali berada di tengah-tengah masyarakat dan kemudian menjadi salah satu aktor perubahan di masyarakat. Menjadi agen transformasi intelektual dan sosial di masyarakat (Giroux, 2005: 141). Lalu apakah nilai lebih yang dimiliki guru hingga ia harus kembali berada di tengah-tengah masyarakat dan dapat menjadi aktor perubahan dan juga agen transformasi sosial dan intelektual di masyarakat? Tiada lain adalah karena memang guru dibutuhkan oleh masyarakat untuk turut memberikan kontribusinya dalam membangun masyarakat. Guru memiliki kesempatan dan modal intelektual lebih besar ketimbang anggota masyarakat lain yang tidak mengenyam pendidikan formal sampai perguruan tinggi. Dengan kata lain, “intelektual” adalah nilai lebih yang dimiliki oleh guru di masyarakatnya. Hal itu sesuai dengan aktivitas guru dalam mendidik dan mencerdaskan siswanya di sekolah yang secara otomatis mengharuskan guru tersebut untuk juga
10
selalu bergelut dalam intelektualitas. Guru dengan demikian selalu dituntut untuk memperbarui pengetahuan dan wawasan intelektualnya, di sinilah dalam wacana pendidikan kontemporer secara lebih spesifik, banyak yang berpendapat bahwa guru juga harus meneliti dan menjadi peneliti. Tentu jika kita cermati sebenarnya guru sudah menjadi peneliti sejak awal ia mulai mendampingi siswa belajar di kelas, karena ia harus mengamati siswa, menganalisisnya dan kemudian mengambil simpulan mengenai apa yang sebaiknya ia lakukan untuk memperbaiki pendekatan pembelajarannya. Oleh karenanya dikenal pula yang disebut sebagai classroom action research atau penelitian tindakan kelas, yakni penelitian dalam lingkup kelas untuk meningkatkan kualitas dan hasil pembelajaran oleh guru. Tidak sebatas itu, guru seiring dengan peningkatan kualitas intelektualnya juga mestinya dapat meneliti dalam bidang dan jangkauan yang lebih luas, misal mengkaji buku teks, kurikulum sekolah, relasi antara sekolah dan masyarakat dan sejenisnya. Di sinilah, guru memang dituntut untuk betul-betul memahami teori, konsep, dan paradigma keilmuan dalam pendidikan. Atau bahkan kalau memang mampu, guru dapat merumuskan gagasan konseptual, teoritik atau paradigmatik baru berdasarkan dari pengalaman dan observasi yang ia lakukan selama mendidik siswa-siswinya. Namun, apakah itu cukup? Rasanya tidak. Guru harus dapat membumikan teori-teori dan paradigma keilmuan yang ia kuasai tersebut, yakni betul-betul dapat menerapkan, mengelaborasi dan bahkan melakukan kontekstualisasi gagasan di kelas dan sekolah tempat ia mendidik tersebut. Guru harus dapat membuat perubahan kultur pedagogis di kelas dan sekolah menjadi lebih baik. Upaya membumikan intelektualitas terse-
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
but pun mestinya dapat diperluas lingkup dan jangkauannya, yakni ketika kembali melihat dan menempatkan guru sebagai bagian masyarakat. Meminjam istilah dari Gramsci (1971: 3-13), intelektual organik kiranya adalah istilah yang tepat untuk mendefinisikan guru yang tidak sekadar cakap dalam berteori saja, namun juga berani terjun di tengah masyarakat untuk turut serta membuat sebuah perubahan sosial dan intelektual ke arah yang lebih baik. Dalam pengertian yang sama, Giroux (2005: 194) menyebut guru juga sebagai intelektual transformatif, yakni intelektual yang harus mentransformasikan intelektualitasnya juga kepada masyarakat. Guru sebagai Pembuka Jalan Masa Depan Selain relasi dengan politik dan masyarakat, guru juga jelas memiliki relasi dengan siswa-siswinya. Ki Hadjar Dewantara telah merumuskan tiga prinsip utama relasi guru dan siswa yang sudah begitu terkela itu, yakni: Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Kira-kira terjemahan bebasnya adalah: seorang guru suatu ketika harus dapat berdiri di depan sebagai pemimpin yang menjadi teladan, ketika berada di samping siswa harus dapat membangun dan membimbing kehendak siswa, dan ketika berada di belakang harus dapat mendorong dan memberi motivasi. Sejalan dengan itu adalah pandangan M. Sjafei dari Indonesich Nederlansche School (INS) Kayutanam: “[...] perlu sekali kita mempunyai sekolah yang berdasar nasional untuk mendidik bangsa yang berhati kuat. Inilah dasar yang dipakai dalam pendidikan INS’ (hlm. 172). [...] ‘Apakah diploma yang sebagus-bagusnya? Tidak lain adalah daripada ‘budi yang dididik supaya berjiwa kuat’. Itulah buah pengajaran yang besar harganya bagi bangsa kita. hanya dengan itu kita dapat merasakan kekayaan alam yang diberikan Tuhan’ (hlm. 154). […] ‘Pendidikan yang mestinya kita beri-
kan kepada anak-anak ktia, yaitu pendidikan yang tidak diberikan alam kepada kita, yaitu pendidikan sikap pribadi yang kuat. Supaya anak-anak itu boleh hidup beruntung dari buah kemampuannya sendiri. Bukanlah pendidikan yang mengejar ‘diploma’ dan lalu bergantung kepadanya’ (hlm. 155).” (M. Sjafei dalam A.A. Navis, 1996)
Namun mungkin karena keegoisan diri guru sebagai orang dewasa dan kemalasan sebagian guru dalam membaca dan mengembangkan intelektualitas, maka posisi dan relasi guru tidaklah dalam posisi dan relasi yang indah dan tepat. Walaupun sudah klasik, namun prinsip-prinsip pembelajaran Ki Hadjar Dewantara tersebut masih terasa relevan, namun tentu harus dibaca kembali dalam konteks kekinian, demikian juga dengan prinip-prinsip pendidikan Sjafei dari INS Kayutanam. Namun sayang agaknya karena sistem pendidikan formal di Indonesia lebih merupakan warisan atau mewarisi model pendidikan Belanda pada masa kolonial—bukan mewarisi dan mengimpementasikan pemikiran pendidikan Ki Hadjar dan Sjafei, kecuali dalam jargon Tut Wuri Handayani—maka paradigma yang terwariskan dan digunakan juga paradigma kolonial berbaju baru (neo-kolonialisme). Dalam warisan pendidikan kolonial Belanda tersebut, termasuk dalam tujuan dan kurikulumnya, tujuan utamanya adalah untuk menciptakan pegawai negara, yang pada waktu kolonial disebut sebagai ambtenar atau pegawai negara di birokrasi pemerintahan Belanda. Dalam banyak hal, tujuan tersebut masih terwarikan sampai saat ini, sebagaimana terlihat dari betapa banyak anak-anak dan mahasiswa berkeinginan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Berbeda dengan tujuan pendidikan Ki Hadjar, Sjafei, atau bahkan Tan Malaka sebelumnya, yakni untuk membangun anak didik yang mandiri, berbudaya, dan memiliki semangat
juang tinggi (nasionalisme). Relasi antara guru dan siswa adalah seperti “penguasa” dan “yang dikuasai,” guru sebagai pusat dan anak sebagai pinggirannya, guru sebagai teko air dan anak adalah cangkircangkir yang akan diisi oleh apapun yang keluar dari teko air itu. Paradigma pendidikan itulah yang harus diubah, atau kalau tidak, dalam skala mikro paradigma tersebut dapat disebut sebagai sebuah bentuk neo-kolonialisme pendidikan. Oleh karenanya, harus terdapat upaya untuk memaknai dan memosisikan ulang antara guru dan siswa secara ideal dan tepat. Berkebalikan dengan paradigma pendidikan masa kolonial yang sekadar menjadikan siswa menjadi pegawai, maka sekarang siswa harus diberikan kebebasan dan arahan untuk dapat menentukan masa depannya sendiri. Berkebalikan dengan pendekatan behavioristik dalam pendidikan awalawal kemerdekaan—yang sebenarnya sekarang juga masih kental pada pelajara-pelajaran yang mestinya tidak perlu—harus diubah menjadi yang lebih memberikan kepercayaan pada siswa. Guru harus diposisikan tidak sebagai penentu masa depan siswanya, di mana kemudian guru merasa sok tahu mengenai apa yang terbaik bagi siswa seluruhnya. Masa depan yang dipaksakan kemudian juga masa depan dalam bayangan dan perspektif orang dewasa, bukan dari perspektif dan keinginan siswa sendiri. Padahal terang bahwa masa depan bukan milik guru tersebut, tapi milik siswanya. Kalau siswa selalu diarahkan dan dipaksa untuk memiliki masa depan sebagaimana keinginan guru—dan juga orangtua— maka kelak si anak tidak akan dapat membangun masa depannya sendiri. Harapan yang terlalu berlebihan pada anak untuk dapat nantinya memiliki peran sosial tertentu dalam masyarakat dan masa depan yang diinginkan oleh guru,
telah mewujud di antaranya dalam kurikulum yang sarat dengan materi yang tidak bermakna bagi diri siswa itu sendiri. Materi-materi tersebut adalah nilai-nilai ideologis yang diindoktrinasikan pada siswa agar mereka turut mengikuti alu pikir dan cita-cita ideologis orangorang dewasa tersebut. Kesadaran mengenai ruang, waktu, konteks sosial dan perkembangan intelektual serta psikologis menjadi berkurang. Posisi ideal guru adalah sebagai pintu pembuka bagi masa depan siswa-siswinya. Memberikan semua pengetahuan dengan mengarahkan yang baik, juga berdasarkan pada keunikan, bakat, minat dan potensi siswa akhirnya mempersilakan siswa-siswinya untuk memilih masa depannya sendiri. Guru sekadar mengantarkan pada pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan para siswasiswinya, dan setelah itu biarlah mereka memilih diri mereka sendiri untuk menjadi apa dan bagaimana. Gibran mengingatkan dalam penggalan bait-bait permenungannya: Anakmu bukan milikmu Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri Lewat Engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu Sebab pada mereka ada pikiran tersendiri Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan Yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam mimpi (Kahlil Gibran, “Anak-anakmu,” 1983)
Reformulasi Pendidikan Guru Langkah awal yang mau tidak mau haru ditempuh adalah dengan mereformulasi pendidikan guru, terutama di kampus-kampus eksIKIP yang sekarang telah menjadi universitas-universitas. Minimal
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
11
tiga hal di depan, yakni guru sebagai gerakan politik kebudayaan, guru sebagai intelektual organik, dan guru sebagai pembuka masa depan siswa adalah gagasan awal dalam memikirkan kembali guru dalam konteks masyarakat riil. Karena dalam aktivitas mendidiknya, guru tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pendidikan buah dari kesepakatan politik, tidak dapat juga lepas dari masyarakat, konteks sosial di mana ia berada, dan jelas tidak dapat lepas dari berhadapan dengan siswa-siswinya. Satu hal utama ketika berniat untuk memulai reformulasi posisi, fungsi, peran, dan ideal guru melalui pendidikan guru pun tidak dapat tidak harus dimulai dari kajian-kajian intelektual yang serius. Baru setelah itu kmeudian adalah dengan mereformulasi tujuan pendidikan guru agar minimal sesuai dengan tiga hal yang dikemukakan di depan. Sekarang ini tampaknya untuk menggagas guru sebagai bagian dan berpotensi sebagai gerakan politik kebudayaan sama sekali tidak disentuh di perkuliahan para calon guru. Padahal terang bahwa politik selalu mengitari aktivitas dan kehidupan guru. Setelah itu baru reformulasi dosen dan lingkungan kampus, dengan cara didesain sedemikian rupa untuk membangkitkan nalar
12
intelektual calon guru, untuk menjadikan mereka sadar dan sensitif terhadap berbagai praktik politik dan hegemoni politik terhadap pendidikan, dan menumbuhkan kesadaran sebagai guru yang tidak mengkebiri kreativitas dan membunuh masa depan siswa. Reformulasi dosen di perguruan tinggi keguruan menjadi begitu penting, karena kemudian ia menjadi model yang akan ditiru oleh mahasiswa para calon guru tersebut. Kalau sekadar mengandalkan reformulasi kurikulum yang sebenarnya lebih bersifat tekstual— dalam pengertian official curriculum—maka tidak akan dapat secara signifikan menginternalisasi nilai-nilai keadaran kritis, motivasi intelektual dan lainnya pada guru. Desain lingkungan belajar di kampus dan termasuk juga gaya dan stereotype dari dosen sendiri dengan begitu adalah merupakan hidden curriculum yang sebenarnya dapat lebih signifikan mengena pada ranah afektif dan perilaku dan bahkan dimeni ideologis nalar pikir mahasiswa calon guru (Margolis [ed.], )2001. Baru setelah itu adalah kurikulum resmi (official curriculum) yang diberikan pada mahasiswa calon guru juga direformulasi sesuai dengan tujuan dari pendidikan guru tersebut. Materi perkuliahan dan jenis mata kuliah
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
pun juga perlu dikaji ulang untuk memberikan pemahaman yang baik mengenai hak guru dalam politik, mengenai praktik atau mekanisme politik dalam pendidikan, mengenai posisi guru di tengah masyarakat, di samping juga dalam lingkup sekolah guru perlu mengetahui perkembangan dari berbagai pendekatan pembelajaran terkini, termasuk perkembangan paradigmatik pendidikan terkini. Masalah yang juga perlu dikaji ulang adalah mengenai keberadaan Pendidikan Profesi Guru (PPG) di tengah belum bagusnya kondisi perguruan tinggi keguruan itu sendiri, juga di tengah masalah ternyata masih banyak mahasiswa lulusan perguruan tinggi keguruan yang menganggur. Memang, tidak ada hak untuk melarang semua orang menjadi guru, termasuk mereka yang berasal dari latar belakang pendidikan non-keguruan (misal dari Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bogor, Institut Pertanian Bogor yang ternyata lebih diminati oleh sekolah-sekolah untuk menjadi guru ditempat mereka ketimbang mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Jakarta dan perguruan tinggi keguruan lainnya). Meniadakan PPG juga terlihat sebagai langkah gegabah, namun mungkin yang lebih kongkrit adalah dengan lebih memperhatikan pada kondisi perguruan tinggi keguruan itu sendiri, terutama dari sisi kualitas, kebutuhan guru juga dilihat tidak sekadar kuantitas, melainkan kualitas. Dengan demikian, yang masuk ke PPG juga harus yang berkualitas dan berniat menjadi guru, bukan berniat sekadar untuk memperlebar kesempatan mencari kerja—yang ujungujungnya adalah duit—dan kemudian mematikan peluang kerja para mahasiswa lulusan perguruan tinggi keguruan itu sendiri. Reformulasi selanjutnya adalah pada bentuk pelatihan dan pendidikan dalam jabatan bagi
guru-guru yang udah aktif mengajar di sekolah. Saya pikir sudah bukan rahasia lagi bahwa kualitas pendidikan, pelatihan, workshop, atau seminar guru patut dipertanyakan, karena kebanyakan adalah untuk sekadar formalitas belaka. Peserta pelatihan pun juga mesti diseleksi yang sekiranya ikut tidak sekadar berniat “wisata intelektual” aja, melainkan yang betul-betul berpotensi untuk melakukan diseminasi dan transformasi ilmunya pada lingkungan sekolahnya. Pelatihan-pelatihan dan workshop tersebut jangan sampai kembali menjadi sekadar berorientasi penataran, sosialisasi, indoktrinasi idoelogis atau bahkan politisasi penguasa dan oknum politisi lainnya. Melainkan harus dapat betulbetul membuka nalar kritis dan membangkitkan intelektualitas guru. Sampai di sini, harus dimulai sebuah jejaring yang kuat antara kampus, guru dan sekolah dalam penguatan kualitas guru. Ikatan alumni dari kampus perguruan tinggi keguruan sebenarnya patut dilirik sebagai potensi untuk membangun jejaring intelektual tersebut. Penutup Pada akhirnya intelektualitas adalah ruh dari guru. Maka membangun kualitas guru, termasuk dalam kerangka “profesionalitas” guru pun juga mesti dimulai dan difokuskan pada aktivitas intelektual guru itu sendiri. Dalam hal ini membangun komunitas intelektual (epistemic community) oleh guru itu sendiri adalah penting. Sebagai aktivitas yang berpusat pada upaya untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa,” mendidik dan mengajar siswa-siswinya, guru memang diciptakan untuk selalu terlibat dan menjadi bagian dari aktivitas intelektual, tidak bisa tidak. Intelektualitas adalah ruh dari guru, juga ruh dari guru sebagai sebuah gerakan sosial dan politik kebudayaan. Membaca, berdiskusi, meneliti dan menulis adalah aktiv-
itas yang mestinya tidak boleh ditinggalkan oleh guru. Intelektualitas adalah harga mati yang tidak dapat ditawar oleh guru. Dalam satu sindirannya Prof. Winarno Surakhmad (2009) mengenai para guru yang tidak berminat atas intelektualitas, atau tidak sadar bahwa dirinya dan aktivitas mendidiknya adalah aktivitas intelektual, salah satunya ditunjukkan oleh kedangkalan pemahaman guru bahwa mereka tidak memerlukan filsafat pendidikan. Padahal sebenarnya filsafat dan ideologi pendidikan adalah mula dari bertumbuhnya kesadaran kriti, yang juga merupakan akar fundamental dari aktivitas intelektual. Prof. Winarno menyatakan: “Guru merasa sudah tidak memerlukan filosofi pendidikan karena sejak dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan, mereka temukan bahwa lembaga pendidikan itu sendiri telah lama “steril,” menjadi lembaga tanpa filosofi. Mata kuliah yang bernama filosofi pendidikan dan yang berfungsi sebagai landasan ilmu pendidikan, telah lama dibuang dari program kurikuler lembaga.”(Winarno Surakhmad, 2009: 39) Kembali pada bahasan awal dalam tulisan pendek ini, guru memang harus “profesional” dalam arti tidak sebagaimana profesionalitas pekerjaan lain, karena peker-
jaan dan aktivitas guru memang lain dan sama sekali berbeda dari pekerjaan lain yang tujuan utamanya adalah mencari duit. Guru utamanya adalah memanusiakan manusia, memuliakan manusia, memperjuangkan manusia. Dalam tulisan ini, profesionalitas tersebut dicoba pikirkan dan tafsirkan kembali dengan melihat relasi dan konteks sosial sekitar guru, yakni politik-kekuasaan, masyarakat dalam konteks sosio-kultural, dan siswa sebagai subjek yang berkuasa atas diri dan masa depannya sendiri. Di situlah muncul sebuah interpretasi ideal guru sebagai aktor dan agensi (agency bukan agent) politik kebudayaa, sebagai intelektual organik atau intelektual transformatif, juga sebagai pembuka masa depan siswa. Di pundak guru seribu satu harapan bertumpu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Satu penggalan sajak dari Prof. Winarno setidaknya menunjukkan sebuah harapan, semangat itu. Bangkitlah, bangkitlah guruku Kehadiranmu tidak tergantikan Biarlah dunia ini menjadi saksi: Kau bukan guru negeri Kau bukan guru swasta Kau guru bangsa!!! (Winarno Surakhmad, “Melahirkan Kembali Indonee sia Raya,” 2005) g
Daftar Pustaka Apple, Michael W. (2003). The State and the Politics of Knowledge. New York & London: RoutledgeFalmer. Darmaningtyas, Edi Subkhan dan I. Fahmi-Panimbang. (2009). “Tirani Kapital dalam Pendidikan: Menolak Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Jakarta: Pustaka Yashiba & Damar Press. Giroux, Henry A. (2000). “Public Pedagogy as Cutural Politics: Stuart Hall and the ‘Crisis’ of Culture.” Cultural Studies. 14 (2). pp. 341-360. Giroux, Henry A. (2005). Border Crossing: Cultural Workers and the Politics of Education. 2nd Edition. New York & London: Routledge. Gramsci, Antonio. (1971). Selections from The Prison Notebooks of Antonio Gramsci. Edited and translated by Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith. New York: International Publishers. Margolis, Eric (ed.). (2001). The Hidden Curriculum in Higher Education. New York & London: Routledge. Navis, A.A. (1996). Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei. Jakarta: Grasindo. Ridho, Irsyad (ed.). (2007). Meng gugat Ujian Nasional: Memperbaiki Kualitas Pendidikan. Jakarta: Teraju & Education Forum. Surakhmad, Winarno. (2009). Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi. Jakarta: Kompas.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
13
artikel artikel utama utama
Tantangan
Profesionalisme Standar Kertas Maimun Sy.
Ach. Maimun Syamsuddin Syamsuddin, lahir di Sumenep 34 tahun lalu, telah menerjemahkan belasan buku dari Bahasa Arab dan Inggris, menulis di berbagai jurnal ilmiah seperti Taswirul Afkar (Lakpesdam NU Jakarta), Millah (UII Yogyakarta), Tsaqafah (ISID Gontor), ‘Anil Islam (STIK Annuqayah), Jurnal Filsafat Potensia (Ushuluddin UIN Yogyakarta) dan Edukasi (Diknas Sumenep). Sekarang sedang menunggu jadwal ujian akhir program doktor bidang Islamic Studies di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sehari-hari mengajar di STIK Annuqayah
Nikmat Tuhan Itu Bernama Sertifikasi Saya belum melakukan survei formal tentang respon masyarakat terhadap sertifikasi, apalagi dampaknya terhadap kualitas tenaga pendidik, bahkan dampaknya terhadap kualitas lulusan. Tapi kira-kira responnya positif. Setidaknya ada tanda-tanda yang dapat diinterpretasi sebagai respon positif. Lihat saja, betapa sertifikasi telah menjadi pembicaraan positif para tenaga pendidik, tidak hanya di lembaga pendidikan, tapi hingga ke forum-forum tahlilan. Bahkan tema sertifikasi bersaing dengan topik gelontoran uang negara yang lain: BOS, Tunjangan Fungsional dan entah apa lagi. Bisa jadi tema sertifikasi lebih heboh karena menyangkut setiap individu guru dan usaha mencapainya harus melibatkan banyak orang dan institusi: teman-teman sejawat, atasan, lembaga-lembaga baik siluman atau beneran, hingga rental-rental komputer mulai dari pengetikan hingga cetak sertifikat bodong. Sementara orang sempat miris dengan hebohnya topik pembicaraan tentang sertifikasi, karena telah mengalahkan tema tentang upaya-upaya kreatif dan inovatif untuk meningkatkan mutu lulusan. Di beberapa sekolah, para guru kehabisan energi jika diajak rapat tentang selain sertfikasi. Antusiasme untuk tersertifikasi merupakan fenomena lanjutan yang memperkuat interpretasi respon positif itu. Seseorang bisa bekerja
14
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
keras, bahkan lembur karena berkas-berkas harus segera dikirim. Bahkan antusiasme itu memasuki ranah ekstrim, mulai dari “mencarakan segala yang halal” hingga “menghalalkan segala cara” seperti menjiplak, membuatbuat hingga melampirkan seluruh SK (bahkan surat undangan) dan sertifikat. Teman guru Bahasa Indonesia saya berseloroh, “Inilah salah satu bentuk karya fiksi saya.” Sekretaris Kopertais Wilayah IV Surabaya pernah menceritakan bahwa salah satu asesornya mendapatkan fotokopi sertifikat tanah (!?) dalam berkas sertifikasi, ketika saat itu sertifikat cukup fotokopinya saja. Saya memahaminya, semua itu adalah wujud nyata antusiasme yang (hanya) lupa telah melampaui garis yang semestinya. Saya tidak akan berbicara tentang faktor antusiasme itu. Karena cukup complicated dan tidak terlihat kasat mata sehingga memerlukan kehati-hatian dan ketekunan untuk mengungkapnya. Yang jelas, responnya positif, para tenaga pendidik kebanyakan antusias mengupayakannya. Karena sertifikasi itu begitu penting. Mengapa? Berdasar yang saya tahu, karena pemerintah sudah menyadari— walaupun sangat terlambat—peran penting tenaga pendidik bagi kemajuan bangsa ini. Selama ini, paradigma pembangunannya hanyalah pergeseran dan persaingan dari “politik sebagai panglima” ke “ekonomi sebagai
panglima”. Mungkin lupa, siapa pelaku politik dan ekonomi itu. Mereka adalah manusia-manusia yang harus melalui proses pendidikan. Tidak berlebihan jika dikatakan education is all bahkan education is life, kata Proopert Lodge.1 Tenaga pendidik penting, karena dalam proses pendidikan untuk mencetak generasi masa depan, mereka merupakan episentrum lingkaran proses pendidikan. Mereka adalah brainware yang berada di titik tengah dengan dikelilingi oleh brainware lain seperti kepala sekolah, murid, wali dan semua yang terlibat dalam proses pendidikan. Brainware bagian luar ini didukung oleh lingkaran di luarnya lagi untuk bisa “berputar” cepat, yaitu software, hardware, netware dan datawere pendidikan.2 Untuk menghasilkan lulusan yang bermutu, episentrumnya itu yang mula-mula harus bermutu. Good education requires good teachers, kata jargon International Conference on Education di Jenewa,Swiss. Dalam konteks ini, kebijakan yang melahirkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mewajibkan seorang pendidik memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi adalah wujud nyata dari kesadaran terhadap peran penting tenaga pendidik. Jika merujuk pada pedoman yang dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sertifikasi merupakan upaya peningkatan kualitas tenaga pendidik. Diharapkan, program itu meningkatkan mutu pembelajaran dan pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan.3 Tentu saja ini adalah langkah strategis dengan tujuan luhur. Jika dalam pelaksanaannya tidak sesuai tujuan, sangat mungkin karena persoalan di tingkat pelaksanaan yang bersifat teknis. Sejatinya, kebijakan ini mengharapkan pendidikan ditangani oleh tenaga pendidik yang profesional, yakni menjadikan pendidikan sebagai profesi. Hanya saja
pengertian profesional sering hanya dibatasi dengan keahlian yang dibuktikan dengan bukti-bukti fisik. Bahwa tenaga pendidik harus ahli, tidak salah. Tapi selain itu, profesionalisme juga meliputi kriteria lain, misalnya menjadikan suatu kegiatan sebagai panggilan hidup yang dikerjakan sepenuh hati dan sepenuh waktu, bukan dilaksanakan asal-asalan dan part time.4 Karena keahlian dan kesungguhan dengan mengerahkan seluruh tenaga dan waktunya itulah negara harus menjamin kesejahteraannya. Itu diwujudkan dalam pemberian tunjangan profesi (TP) satu kali gaji pokok, bagi PNS dan non-PNS, sebagaimana petunjuk yang dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Dari sini tegas bahwa tujuan sertifikasi adalah profesionalisme dengan langkah peningkatan kualifikasi dan kompetensi tenaga pendidik, sedang tunjangan profesi diberikan sebagai penghargaan atas kualifikasi dan kompetensi serta jaminan kesejahteraan karena telah menjadikan pendidikan sebagai panggilan tugas sepenuh hati dan waktu. Kesadaran pemerintah yang dilanjutkan dengan kebijakan sertifikasi inilah yang saya sebut sebagai nikmat Tuhan, bukan seke-
dar tunjangannya. Karena dengan ini kita bisa berharap ada perbaikan signifikan di dunia pendidikan Indonesia yang selalu disebut-sebut berada di urutan buncit di antara negara-negara lain di dunia. Dalam kaca mata agama, kita yang kemudian menentukan, apakah akan menyukuri nikmat dengan melaksanakan sebaik-baiknya atau justru mencampakkannya dengan tidak melaksanakan sebagaimana mestinya. Toh, Allah sudah tegas dengan masing-masing konsekuensi dari menyukuri atau mengingkarinya (Q.S.) Dalam menyikapi sertifiksai sebagai nikmat, doktrin kewajiban syukur sudah cukup mewakili untuk melaksanakannya sebagaimana mestinya. Karena syukur itu sendiri memiliki tiga dimensi: syukur lisan, hati dan tindakan.5 Kekerasan Simbolik terhadap Proses Banyak pihak yang telah memberikan catatan kritis terhadap kebijakan ini. Saya tidak akan membicarakan semuanya. Di samping keterbatasan tempat dan kapasitasitas, saya juga tidak tahu semuanya. Persoalannya merentang dari teoritis hingga teknis, mencakup akurasi data, keterbatasan alat ukur, rekayasa dokumen portofolio
1 Seperti dikutip Suparlan dalam “Penilaian Portofolio: Sertifikasi Guru dalam Jabatan”, http://www.suparlan.com/pages/posts/penilaian-portofolio-sertifikasi-gur u-dalamjabatan171.php?p=40, diakses pada 02/02/2010. 2 Berbagai istilah ini saya pinjam dari Tony D Widiastono. Hardwere pendidikan berupa gedung, kelas, kantor, laboratorium, perpustakaan, alat-alat praktikum dan lainnya; software pendidikan antara lain kurikulum, sistem pembelajaran, program pengajaran dan sejenisnya; netwere pendidikan adalah jaringan dan kerja sama antar guru, antar sekolah, dengan lembaga pemerintahan dan institusi lainnya; datawere pendidikan meliputi berbagai data seperti jumlah murid, guru, perkembangan prestasi dan lain sebagainya. Lihat Tony D. Widiastono, “Guru dan Lonceng Kematian Pendidikan”, Basis, No. 07-08, tahun ke-51, Juli Agustus 2002. 3 Yudha Cahyawati, “Mengkritisi Kinerja Guru Pascasertifikasi”, http://www.jawapos.co.id/ metropolis/index.php?act=detail&nid=105462, diakses pada 15 Desember 2009. 4 Menurut catatan Ahmad Tafsir dengan mengutip Muchtar Lutfi, suatu kegiatan disebut profesi jika memenuhi delapan kriteria, termasuk keahlian dan kesungguhan dengan mengerahkan seluruh jiwa raga untuk suatu kegiatan. Selain itu, kliennya harus jelas, bukan untuk diri sendiri, memiliki otonomi untuk melakukan profesinya, kecakapan diagnostik, memiliki kode etik khusus serta memiliki teori baku. Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 107-112. 5 Wa al-syukr huwa al-tsanâ’ bi al-lisân aw bi ghairihi min al-qalb wa sâ’ir al-arkân ‘ala al-mun’im bi sabab mâ asdâ ila al-syâkir. Demikian Muhammad al-Dasuki menegaskan dimensi-dimensi syukur yang saya kira perlu uraian lebih lanjut. Lihat Muhammad al-Dasuqi, Syarh al-Dasûqî (Surabaya: Dar al-Nasyr al-Mishriyyah, t.t.), hlm. 28.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
15
lah menerima sertifikat pendidik, baik bagi guru PNS yang diangkat oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah atau non-
dan lain sebagainya.6 Saya hanya akan berbicara salah satu kemungkinan yang bisa muncul sehingga ia lebih tepat disebut tantangan. Tantangannya terletak pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 tahun 2007, pasal 6, ayat 1-4, yaitu tunjangan profesi pendidik sebesar satu kali gaji pokok yang dibayarkan pada Bulan Januari tahun berikutnya sete-
16
PNS yang diangkat oleh badan hukum penyelenggara pendidikan. Tunjangan profesi bukan tujuan utama sertifikasi. Ia adalah konsekuensi yang harus ditanggung negara untuk menghargai kualifikasi dan kompetensi serta menjamin kesejahteraan tenaga pendidik profesional. Tapi tunjangan yang berupa uang itu memberi peluang yang sangat besar untuk “memotong” proses langsung menuju ke tunjangan. Itu dapat dilakukan dengan berbagai rekayasa atau penyimpangan dalam bentuk berkas fiktif. Dan rekayasa itu bisa dilakukan oleh orang-orang: (1) yang memang tidak memiliki kompetensi, atau (2) memiliki kompetensi, tapi tidak memiliki arsip bukti fisik. Bisa juga berkas tidak fiktif, tapi setelah memperoleh sertifikat tidak lagi menjalankan praktik pendidikan sesuai kompetensinya. Karena tujuan memperoleh tunjangan telah tercapai.7 Dalam kasus lain, pola memotong proses ini lumrah dilakukan. Dan sepertinya memang telah menjadi mode of thought kebanyakan masyarakat. Kebanyakan masyarakat Indonesia telah “terdidik dengan baik” melalui pemberian peluang, pengarahan dan contoh dari kehidupan birokrasi untuk berpikir “asal mendapatkan yang diinginkan” (dalam logika disebut final logic).8 Cara berpikir seperti ini menghalalkan segala cara dan tidak peduli proses. Karena proses dianggap tidak penting dan murni instrumen yang bisa dijalani atau
6 Beberapa tulisan memperlihatkan persoalan ini, antara lain Budhi AM. Syachrun, “Problematika Sertifikasi Guru”, http://www.duaberita.com/main/artikel-dua/pendidikan/ 167-problematika-sertifikasi-guru.html; Ardan Sirajuddin, “Sertifikasi Guru Tidak Akurat”, http://re-searchengines.com/ardan0608.html; Suparlan, “Penilaian Portofolio: Sertifikasi Guru dalam Jabatan”; Yuda Cahyawati, seperti dikutip di atas. Semuanya diakses pada 02/02/2010. 7 Rekayasa-rekayasa di atas, baik berkas fiktif atau tidak lagi melaksanakan lagi apa yang tertulis, sudah dilakukan banyak orang, tidak hanya di sekitar kita, tapi juga di tempat lain, seperti dalam beberapa laporan, misalnya dalam tulisan Suparlan, Ardan Sirajuddin, Yuda Cahyawati yang dikutip di atas. Sebagai evaluasi, Depdiknas berencana mengevaluasi secara ketat program tersebut. Tahun ini Depdiknas bakal mengeluarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang digunakan untuk memantau kinerja guru seiring dengan dilaksanakannya sertifikasi. 8 Istilah ini meminjam istilah yang digunakan Ignas Kleden dalam menganalisis kekerasan di Indonesia. Lihat lebih lanjut Ignas Kleden, “Epistemologi Kekerasan di Indonesia”, Kompas, 20 Desember 2000.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
tidak, bukan suatu keharusan yang tidak bisa ditinggalkan. Maka segala detail-detail dalam proses yang secara sistemik membangun ketangguhan tujuan diabaikan. Hakikatnya, pola pikir ini adalah bentuk kekerasan terhadap proses dan sistem yang bekerja untuk mencapai suatu tujuan. Kekerasan yang dimaksud adalah reduksi proses dengan memberlakukannya tidak sebagaimana mestinya. Proses dipaksa bekerja dengan tidak semestinya karena reduksi-reduksi tersebut. Dalam reduksi ini, yang dipakai adalah bagian-bagian permukaan yang sering bersifat kongkrit-fisik, formal, simbolik, dan bagian-bagian pelengkap lainnya. Sementara bagian-bagian yang bersifat substantif, abstrak-non fisik, maknawi dan isi yang esensialnya diabaikan. Itu tentu akan berakibat sistemik pada hasil atau tujuan. Hasil dan tujuan yang dicapai juga akan bersifat permukaan, fisik, formal, simbolik, pura-pura dan menipu, sama sekali tidak substantif, esensial dan tidak menyentuh hakikatnya. Kualifikasi akademik dan kompetensi tenaga pendidik yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional (Bab IV Bagian Kesatu UU Nomor 14 Tahun 2005, khususnya pasal 8-10) dinilai berdasarkan dokumen portofolio untuk dinilai. Penilaian atas dokumen yang terdiri dari sepuluh poin itu sebenarnya sudah lebih dari cukup. Artinya jika dokumen itu memang riil, tentu seorang tenaga pendidik memang profesional. Tapi penilaian yang “hanya” berdasarkan dokumen itulah yang membuka peluang sangat besar untuk dimanipulasi. Manipulasi dokumen itu yang tergolong kekerasan terhadap proses, sehingga proses tidak berjalan sebagaimana mestinya. Jika dengan dokumen fiktif itu seseorang tersertifikasi dan diakui negara sebagai tenaga pendidik profesional, hak-
ikatnyan ia adalah tenaga pendidik “profesional fiktif” atau “seolaholah profesional”, sesuai dengan dokumennya. Demikian juga jika dokumennya tidak fiktif tapi setelah tersertifikasi tidak melaksanakan tugas secara profesional, hakikatnya adalah kekerasan simbolik terhadap sistem dan proses. Peluang manipulasi dan rekayasa yang sebenarnya adalah sejenis reduksi dan kekerasan itu dapat dimanfaatkan oleh seseorang karena biasa berpikir final logic.
Jika dengan dokumen fiktif itu seseorang tersertifikasi dan diakui negara sebagai tenaga pendidik profesional, hakikatnyan ia adalah tenaga pendidik “profesional fiktif” atau “seolah-olah profesional”, sesuai dengan dokumennya Yang penting lulus, yang penting dapat tunjangan. Proses seleksi, penyusunan dokumen dan berkasberkas (dianggap) hanya alat yang tidak harus selalu benar. Karena ia hanya alat dan bisa dipakai semestinya atau tidak. Terbiasa dengan logika instrumental seperti di atas akan merusak sistem dan tatanan yang akhirnya akan melahirkan diskriminasi, korupsi, kekerasan dan kedzaliman kepada orang lain hingga hasil yang tidak seperti yang diharapkan. Betapa biasanya kita berpola pikir demikian. Dan ingat, ketika terbiasa, kita cenderung menganggap benar dan yang muncul kemudian adalah pembenaran sesuatu yang salah karena kebiasaan. Apapun bisa benar jika terbiasa. Ketika benar maka
ia baik. Salah, benar, baik dan biasa menjadi tumpang tindih dan tidak jelas batasannya. Orang yang melawan kebiasaan akan disebut kontroversial dan salah. Karena kebenaran yang tidak biasa bisa “dikalahkan” oleh kesalahan yang terbiasa. Dengan reduksi karena manipulasi terhadap proses maka akan terjadi reduksi juga kepada hasil. Ia bukan sekedar masalah baik-buruk secara etik. Karena proses itu bekerja secara sistemik walaupun tidak sepasti fenomena alam. Artinya, jika proses peningkatan kualitas guru itu dilakukan sekedar formalitas ditambah dengan manipulasi, sangat besar kemungkinan hasil berupa perjalanan pendidikan dan lulusan akan bersifat formal bahkan fiktif juga. Kebanyakan lulusan yang dicetak adalah lulusan yang berdasar formalitas (tidak substantial), lulusan yang hanya bersimbol (tanpa makna), mengedepankan bungkus (tanpa isi) dan citra (tanpa kualitas), “lulusan yang [seolah-olah] bermutu” dari “guru yang [seolah-olah] profesional”. Semuanya adalah pura-pura, seakanakan, menipu dan rapuh. Ringkasnya, proses manipulatif akan melahirkan hasil manipulatif. Proses yang tidak sungguh-sungguh akan melahirkan hasil yang tidak sungguh-sungguh juga. Jika proses pendidikan dilaksanakan secara manipulatif, mutu lulusannya juga cenderung manipulatif. Formalitas akan melahirkan formalitas juga. Saya berbicara tentang kemungkinan berdasar logika. Walaupun demikian, gejala-gejalanya sudah terlihat di beberapa tempat. Tentu kemungkinan negatif ini merupakan tantangan bagi kita semua. Pendangkalan dan Sekularisasi Pendidikan Selain tantangan di atas, tunjangan itu juga membuka tantangan lain, yakni pendangkalan makna proses pendidikan. Di dalam ajaran Islam, mencari ilmu (thalab al-‘ilm),
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
17
termasuk proses belajar mengajar, adalah kegiatan sakral, sehingga diilustrasikan “malaikat membentangkan sayapnya karena menghormati pencari ilmu” dan “ikan-ikan di laut mendoakan mereka.” Dengan demikian pendidikan adalah kegiatan suci dan penuh makna yang mendalam. Tunjangan profesi memberi peluang kepada para tenaga pendidik untuk menjadikan uang sebagai tujuan utama. Tujuan memperoleh keuntungan material dapat (ingat: tidak pasti!) mengganggu ketulusan, kesungguhan dan kesakralan. Karena ketika tujuan material menjadi prioritas, sangat mungkin yang lain hanya menjadi alat. Apalagi masyarakat terbiasa dengan final logic yang hanya mementingkan tujuan itu, sebagai lawan dari efficient logic yang mementingkan proses. Mengajar lalu menjadi kegiatan untuk memperoleh uang semata. Jika demikian, profesi guru sama saja dengan profesi yang lain seperti buruh bangunan, peramu niaga dan profesi lainnya, sama-sama bertu-
18
juan mendapat keuntungan: uang. Jika hanya bertujuan memperoleh keuntungan material, sangat mungkin dalam pelaksanaan tugasnya, para tenaga pendidik lebih mementingkan formalitas: asal mengajar, asal beban 24 jam seminggu terpenuhi dan asal-asal lainnya. Jebakan formalitas dengan tujuan utama uang ini yang dapat mendangkalkan makna mengajar sebagai proses mendidik untuk mencetak generasi bermutu. Jebakan formalitas itu juga yang memungkinkan pemberangusan makna spritual mengajar sebagai kewajiban dari Tuhan untuk menyampaikan kebenaran walau satu ayat (baik ayat qur’âniyyah atau ayat kauniyyah). Jebakan formalitas ini pula yang dapat membuang makna pendidikan sebagai bagian dari ibadah. Dengan uang para tenaga pendidik bisa lupa kedalaman makna pendidikan
dan energi spiritual untuk mendidik. Sampai akhirnya para tenaga pendidik tidak sempat lagi mendoakan para anak didiknya, karena pendidikan tidak ada hubungannya lagi dengan Tuhan dan doa. Inilah fenomena sekularisasi dalam ranah pendidikan. Dan sebenarnya ini adalah bagian dari jebakan banalitas karena lemahnya kemampuan/kemauan refleksi menuju ke kedalaman makna, karena kedalaman makna tidak laku lagi di pasaran kehidupan.9 Di sisi lain para peserta didik atau para walinya dapat juga menilai profesi sebagai pendidik sama seperti profesi lain, yang hanya dihubungkan dengan uang. Dengan banyaknya peluang untuk memperoleh uang, mereka semua dapat menilai guru sama saja dengan pejabat dan pekerja lain: profesi biasa yang sama-sama hanya dilakukan untuk
9 Selain lemahnya refleksi, kultus selebritis dan kultus gaya hidup adalah dua hal yang juga dapat menjebak orang pada kedangkalan, atau yang disebut Vaclav Havel dengan the aesthetics of banality. Lihat B. Herry Priyono, “Sebuah Pengantar, Gerilya Melawan Klise”, dalam JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka (ed.), Bentara—Essei-Essei 2002 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hlm. xiv.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
mendapat bayaran, sama-sama sekedar mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup. Saya takut orang bilang: sama saja dengan pembantu, samasama penyedia jasa lain dan ujungujungnya bayaran. Jika peserta didik dan tenaga pendidik sama-sama berpikir tentang formalitas dan uang, hubungan kedua belah pihak ini tereduksi sedemikian rupa sehingga menjadi sekedar hubungan bisnis, penyedia jasa dan penerima jasa, pembayar dan penerima bayaran, bos dan karyawan, juragan dan pembantu. Sejauh itukah? Tidak menutup kemungkinan. Karena kedua belah pihak sama-sama berpikir formalitas dan keuntungan sehingga relasi keduanya hanya terjembatani dengan uang. Maka pendidikan adalah transaksi, pendidikan adalah perdagangan, lembaga pendidikan adalah “pasar” yang hanya berisi “barang”, “jasa” dan “uang”. Relasi yang dijembatani dengan uang itu dapat mereduksi relasi antara manusia. Karena uang dapat membuang kehangatan interaksi, mencampakkan sentuhan kemanusiaan (human touching), jalinan rasa, saling berbagi dari hati ke hati, emosi dan empati. Yang satu hanya berpikir: “yang penting saya dibayar”. Yang lainnya berpikir: “yang penting saya bayar”. Relasi menjadi serba formal, dangkal dan kering, sehingga berhubungan dengan manusia sama saja dengan berhubungan dengan selain manusia. Inilah bagian dari dehumanisasi, karena telah banyak membuang aspek kemanusiaan yang sangat khas, yaitu emosi dan empati, perasaan dan hati nurani. Karena hakikatnya interaksi antar manusia, termasuk dalam pendidikan, adalah interaksi antar hati. Jika interaksi antara pendidik dan peserta didik hanya dijembatani dengan uang, kita sebagai manusia telah kehilangan banyak sisi kemanusiaan. Kita akan menjadi sangat “miskin” sebagai manusia sebenarnya dan seutuhnya. Hubungan kemanusiaan yang
mengerikan itu dapat terjadi jika semuanya hanya berpikir uang karena adanya tunjangan profesi dan bayaran-bayaran lainnya. Jika demikian yang terjadi, kita bukan hanya tidak bisa berharap, tapi justru kita menjadi takut dengan pendidikan. Guru akan kehilangan naluri keguruan sejati yang sayang sepenuh hati kepada anak didiknya, menganggapnya seperti anaknya sendiri, yang bukan saja membimbing dengan sungguh-sungguh dan penuh kreativitas, tapi juga selalu mendoakan secara sungguh, bahkan pada munajatnya di tengah malam. Sedang anak didiknya dapat kehilangan naluri murid sejati, yang sangat menghormati dengan penuh ketulusan dan menganggap guru sebagai orang tuanya sendiri, yang tidak hanya mematuhi nasehat, belajar sungguh-sungguh, mencontoh kepribadiannya, bahkan juga mendoakannya di antara untaian doa-doanya sendiri. Dalam hal memulai dari guru, kebijakan pemerintah sudah pada jalan yang benar. Kita sendiri yang harus melaksanakan dengan sungguh-sungguh dan terus menyempurnakannya. Karena bagaimanapun, Good education requires good teachers (pendidikan yang baik memerlukan guru yang baik). Kita tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah untuk persoalan ini. Education is too important to be left only to government (pendidikan terlalu penting untuk hanya dipasrahkan kepada pemerintah) kata sekretariat pendidikan Amerika Serikat. Karena kemampuan pemerintah juga terbatas. Pemerintah hanya bisa melakukan hal-hal yang bersifat formal. Tegasnya, pemerintah hanya minta “kertas”. Untuk hal-hal substansial dan makna dari kertas itu, kita perlu kembali
kepada diri kita sendiri karena tidak bisa dijangkau negara. Saya yakin, kebijakan ini adalah bagian dari karunia Tuhan yang harus disyukuri dengan menyikapinya secara serius. Tentu kita takut Tuhan menimpakan siksaNya jika kita tidak menyukurinya. Kita sendiri yang harus berupaya menjadi “guru sejati”, minimal seperti kata Friedrich Nietzsche, yaitu orang yang tidak serius dalam segala hal, termasuk terhadap dirinya, kecuali untuk yang terkait dengan muridnya.10 Kita sendiri juga yang harus terus berusaha menjadi “murid sejati”, yaitu seperti kata Ali bin Abi Thalib “ana ‘abdu man ‘allamanî harfan wâhidan, in syâ’a bâ’a wa in syâ’a a’taqa wa in syâ’a istaraqqa” (saya adalah siapa saja yang mengajari saya satu huruf [pun], jika mau dia dapat menjual, memerdekakan atau menjadikan budak),11 penghormatan puncak yang membuat seseorang diapakan saja. Sebagai orang yang pernah merasakan berbagai bentuk pendidikan dan tentu guru yang bermacam-macam, saya takut sekali guru-guru kehilangan naluri keguruannya, apalagi kehabisan kemanusiaannya. Saya ngeri jika guru saya hanya memandang saya sebagai sarana mendapatkan uang. Seperti juga saya tidak terima jika ada murid menilai gurunya sekedar pencari uang dan menganggapnya seperti tukang, yang semuanya selesai dengan uang. Untuk menghindari ini, kita harus memulai sendiri dari nurani yang paling tulus, tidak selalu harus melibatkan negara. Let students be students and teachers be teachers totally.12 Ajakan sebuah tulisan bisa dipakai di sini sekalipun berbeda konteks. Karena selain anugerah, e sertifikasi adalah juga tantangan. g
10 Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. Basuki Heri Winarno (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002), hlm. 75. 11 Dikutip dari al-Zarnuji dalam Syeikh Ibrahim bin Isma’il, Syarh Ta’lîm al-Muta’allim fi Tharîq al-Ta’allum (Surabaya: Al-Hidayah, t.t.), hlm. 16. 12 JC Tukiman Taruna, “Dari Instruksioal ke Motivasional, Terjadilah Transformasi Pendidikan”, Kompas, 20 Desember 2000.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
19
artikel artikel utama utama
Mempertegas
Profesionalisme Guru H. Rida’i
Dr Dr.. Suparji, M.Pd, lahir di Ngawi 2 Juni 1969. Lulus Sarjana tahun 1993 di Jurusan Pendidikan Teknik Bangunan FPTK IKIP Surabaya. Melanjutkan S-2(1998) di Jurusan Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Program Pascasarjana IKIP Yogyakarta, dan S-3 di Jurusan Penelitian dan Evaluasi Pendidikan di PPs Universitas Yogyakarta (2008). Mengajar di FT Unesa, Universitas Terbuka, dan STIK Annuqayah (STIKA) Sumenep.
Abstrak Keprofesionalan seorang guru diukur dari empat kompetensi yang harus dikuasai oleh guru, yaitu kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Kompetensi profesional adalah kemampuan berkaitan dengan penguasaan bidang studi, kompetensi pedagogik berkaitan dengan penguasaan pembelajaran, kompetensi kepribadian bekaitan dengan perilaku dalam lingkungan sekolah dan luar sekolah, dan kompetensi sosial berkatian dengan kemampuan bersosialisasi dengan masyarakat luas.
Pendahuluan Profesi guru pada saat ini, masih banyak dibicarakan orang, atau masih saja dipertanyakan orang, baik di kalangan para pakar pendidikan maupun di luar pakar pendidikan. Bahkan empat atau lima tahun terakhir, hampir setiap hari media massa cetak utamanya koran, memuat berita tentang guru. Ironisnya, berita-berita tersebut banyak yang cenderung meragukan keprofesionalan guru. Masyarakat/orang tua murid pun kadangkadang mencemoohkan dan menuding guru yang tidak kompeten, tidak berkualitas dan sebagainya, manakala putra/putrinya tidak bisa menyelesaikan persoalan yang ia hadapi sendiri atau memiliki kemampuan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
20 20
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
Sikap dan perilaku masyarakat tersebut memang bukan tanpa alasan, karena memang ada sebagian kecil oknum guru yang melanggar/menyimpang kode etiknya. Kesalahan yang kecil dari seorang guru mengundang reaksi yang begitu hebat di masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi karena begitu besarnya harapan masyarakat kepada kompetensi seorang guru. Selain itu, memang guru seyogyanya menjadi anutan bagi masyarakat di sekitarnya. Lebih dari sekedar anutan, hal inipun menunjukkan bahwa sampai saat ini, masih dianggap eksis. Sebab, sampai kapanpun posisi/peran guru tidak akan dapat digantikan sekalipun dengan mesin yang canggih. Karena tugas guru menyangkut pembinaan sifat mental manusia yang menyangkut aspek-aspek yang bersifat manusiawi yang unik dalam arti berbeda satu dengan lainnya. Masalahnya sekarang adalah sebatas manakah pengakuan masyarakat terhadap profesi guru? Sebab kenyataannya, masyarakat masih tetap mengakui profesi dokter atau hakim dianggap lebih tinggi dibandingkan dengan profesi guru. Seandainya yang dijadikan ukuran adalah
keahlian dan tingkat pendidikan yang ditempuhnya, gurupun ada yang setingkat dengan jenis profesi lainnya bahkan lebih tinggi. Rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (a) adanya pandangan sebagian masyarakat, bahwa siapapun dapat menjadi seorang guru asalkan ia mempunyai pengetahuan, (b) kekurangan guru di daerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru, dan (c) banyak guru yang belum menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkannya. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadinya sehingga wibawa guru semakin merosot. Faktor lain yang mengakibatkan rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru, yakni kelemahan yang terdapat pada diri guru itu sendiri, diantaranya, rendahnya tingkat kompetensi profesionalisme guru. Penguasaan guru terhadap materi dan metode pembelajaran masih di bawah standar. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Nasrun (2001:137-150) menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam bidang pembelajaran khususnya pengeloaan kelas masih harus ditingkatkan. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Alif (2002:10) dan Sugiarto (2003:121-136) yang menemukan bahwa pengelolaan proses belajar-mengajar masih sangat kurang. Kompetensi Guru Cooper (1986:4) menyatakan bahwa wilayah umum kompetensi seorang guru meliputi pengetahuan dan keterampilan tentang pembelajaran (kompetensi pedagogik), sikap (kompetensi kepribadian), dan penguasaan bidang studinya (kompetensi profesional). Competency-Based Teacher Education (CBTE) dan proyek Pengembangan Pendidikan Guru
(P3G) Tahun 1978 yang dikutib oleh Tilaar dkk (2000, 35-37) menyatakan bahwa kompetensi guru ada tiga macam, yaitu kompetensi personal, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjelaskan bahwa dikatakan guru yang profesional jika seorang guru memiliki kompetensi profesional, pedagogik, sosial, dan kepribadian. Kompetensi Pedagogik Kompetensi pedagogik, menurut Cooper (1986:4) adalah pengetahuan dan keterampilan tentang pembelajaran. Hal ini dapat mengandung makna bahwa kompetensi pedagogik adalah kemampuan untuk mengelola proses belajar mengajar mulai dari perencanaan sampai pada evaluasi. Agar dapat merencanakan dan melaksanakan pembelajaran dengan baik, maka seorang mahasiswa guru harus mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam hal memahami potensi peserta didik, memahami cara belajar peserta didik, menyusun rencana pembelajaran dan melaksanakannya, menyusun evaluasi dan melaksanakannya. Peserta didik dalam proses belajarmengajar harus dijadikan sebagai subjek bukan lagi objek. Potensi peserta didik harus dikembangkan dalam rangka membentuk kepribadian, sehingga proses belajar mengajar harus terjadi dalam situasi yang menyenangkan. Situasi yang menyenangkan ini bukan saja situasi guru saja tetapi juga situasi psikologis dari siswa. Pemahaman guru terhadap peserta didik ini meliputi pemahaman berbagai ciri peserta didik, pemahaman tahaptahap perkembangan peserta didik dalam berbagai aspek dan penerapannya dalam optimalisasi perkembangan dan pembelajaran peserta didik. Pendidikan dan pendidik hendaknya berorientasi pada pengembangan anak didik, dalam
rangka memelihara dan meningkatkan martabat manusia dan budayanya. Perkembangan peserta didik merupakan sasaran utama pelayanan pendidikan. Pada dasarnya, orang siap untuk berubah ke arah yang positif, selalu berusaha untuk menjadi yang lebih baik. Kodisi psikologi ini, menuntut guru mempunyai kemampuan dalam mengidentifkasi potensi peserta didik, memahami karakteristik potensi peserta didik, mengenal komitmen antara hak dan kewajiban peserta didik, memahami dan memanfaatkan lingkungan peserta didik, memahami cara belajar peserta didik, bersikap dan berperilaku empati terhadap peserta didik dan membimbing perkembangan karir peserta didik. Karakteristik peserta didik ada tiga hal yang perlu diperhatikan adalah karakteristik kemampuan awal, karakteristik sosial ekonomi dan karakteristik kepribadian. Guru harus mengetahui dan mampu mengelola perbedaan-perbedaan karakteristik peserta didik tersebut. Pengalaman peserta didik dalam mengitrepretasikan karir atau pekerjaan di masa yang akan datang sangat minim maka guru harus mampu membimbingnya. Fry (1999:34) mengatakan bahwa pembelajaran yang baik dalam kaitan dengan kompetensi pemahaman tentang peserta didik adalah mampu membedakan kemampuan peserta didik, mampu membantu peserta didik belajar, mampu sharing dengan peserta didik, mampu memotivasi peserta didik, mampu mengetahui kebutuhan peserta didik, dan mampu meningkatkan kreativitas peserta didik. Semua kemampuan tersebut tentunya harus disesuaikan dengan perkembangan jiwa peserta didik, sebab tanpa disesuaikan dengan perkembangan jiwa peserta didik, maka pembelajaran tidak akan efektif. Dengan begitu, guru harus mengetahui perkembangan peserta didik. Keefektifan pembelajaran
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
21
diukur dari beberapa variabel yaitu hasil belajar, ruangannya, sumber belajar dan masyarakat. Sebuah pembelajaran dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Butir-butir yang direkomendasikan oleh Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia (ALPTKI) Januari 2006 bahwa kompetensi pedagogik untuk seorang guru adalah kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancanagan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kompetensi pedagogik ini mempunyai sembilan sub kompetensi, yaitu ; pertama, memahami karakteristik peserta didik dari aspek fisik, sosial, moral, kultural, emosional, dan intelektual. Kedua, memahami latar belakang keluarga dan masyarakat peserta didik dan kebutuhan belajar dalam konteks budaya. Ketiga, memahami gaya belajar dan kesulitan belajar peserta didik. Kempat, memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik. Kelima, menguasai teori dan prinsip belajar serta pembelajran yang mendidik. Keenam, mengembangkan kurikulum yang mendorong keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran. Ketujuh, merancang pembelajaran yang mendidik. Kedelapan, melaksanakan pembelajaran yang mendidik, dan kesembilan adalah mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran. Kompetensi Kepribadian Kepribadian adalah interaksi kompleks dari beberapa faktor dari seseorang. Dengan berinteraksi ini, maka seseorang akan kelihatan seperti apa kepribadian. Kepribadian dalam psikologi adalah perbedaan keseluruhan individu dengan individu lainnya (Pervin, 1989:3). Kepribadian merupakan represen-
22
tatif dari krakteristik seseorang yang konsisten dilihat dari tingkah lakunya. Pada intinya bahwa kepribadian adalah karakteristik seseorang yang dicerminkan lewat tingkah laku sehari-hari. Kepribadian menurut Murray (Hall & Lindzey,1995:25) terdiri dari beberapa komponen penting, yaitu kepribadian individu adalah abstraksi yang dirumuskan oleh teoritikus dan bukan merupakan gambaran tentang tingkah laku individu belaka, kepribadian individu adalah rangkaian peristiwa yang secara ideal mencakup seluruh rentang hidup sang pribadi, definisi kepribadian harus mencerminkan baik unsur-unsur tingkah laku yang bersifat menetap dan berulang maupun unsur-unsur yang baru dan unik, dan kepribadian adalah fungsi menata atau mengarahkan dalan diri individu. Jadi, Murray merumuskan kepribadian yang berorientasikan pada pandangan yang memberi bobot dan memadai pada sejarah, fungsi kepribadian yang bersifat mengatur, ciri-ciri berulang dan baru pada tingkah laku individu, hakikat kepribadian yang abstrak dan konseptual, dan proses-proses fisiologis yang mendasari prosesproses psikologis. Karateristik kepribadian seseorang dalam berhubungan dengan orang lain ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu sikap, intensitas, dan perubahan perilaku. Jadi, di saat orang sedang berkomunikasi, maka seseorang tersebut harus mengikutinya dengan perilaku yang sama dengan apa yang sedang diperbincangkan. Walaupun hal itu, hanya pada perubahan raut muka. Ini akan dapat dilihat pada kehidupan sehari-hari. Menurut Sumadi (2005:52), dalam kehidupan sehari-hari kepribadian seseorang dicerminkan oleh tiga kepribadian kebajikan, yaitu : kebijaksanaan, keberanian, dan penguasaan diri. Riding & Rayner (1998:12)
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
menyatakan bahwa kepribadian tercermin dalam social behavior yang mencakup tentang penampilan fisik dan sopan santun. Sehingga kedisiplin dalam waktu dan penampilan fisik sangat dibutuhkan oleh seorang guru sebagai teladan bagi peserta didik. Terpenting dari kepribadian seorang guru adalah rasa tanggung jawab. Seperti dikatakan oleh Tanlain (Syaiful, 2000:36) bahwa sesungguhnya guru yang bertanggungjawab memiliki beberapa sifat yaitu taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menerima norma, mematuhi norma, dan nilai-nilai kemanusiaan. Menerima dan mematuhi norma, nilai-nilai kemanusiaan diwujudkan dengan menghargai yang lebih muda, menghargai pendapat orang lain, dan menghormati yang lebih senior dengan bertutur sapa yang santun, baik dalam intonasi, bahasa, dan tentu dibarengi dengan raut muka yang ramah, memikul tugas mendidik dengan bebas, berani, dan gembira, sadar akan nilainilai yang berkaitan dengan perbuatannya serta akibat-akibat yang timbul, menghargai orang lain, termasuk peserta didik, dan bijaksana dan hati-hati (tidak nekat, tidak sembrono, tidak singkat akal). Butir-butir yang direkomendasikan oleh Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia (ALPTKI) Januari 2006 bahwa kompetensi kepribadian adalah memiliki kepribadian yang mantab, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi ini dapat dijabarkan dalam empat sub kompetensi yaitu pertama, menampilkan diri sebagai pribadi yang mantab, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa.Kedua, menampilkan diri sebagai pribadi yang berakhlak mulia dan sebagai teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Ketiga, mengevaluasi kinerja sendiri. Keempat, mengembangkan diri secara berkelanjutan. Dari keempat sub kompetensi terse-
but dijabarkan dalam 15 pengalaman belajar yang harus dimiliki oleh seorang guru. Dengan menguasai ke 15 pengalaman belajar tersebut maka guru bisa dijadikan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Rumusan kode etik kongres Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) XIII tanggal 21 sampai 25 November 1973, salah satu butirnya menyebutkan bahwa guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru, baik berdasarkan lingkungan kerja maupun dalam hubungan keseluruhan. Butir ini menuntut guru memiliki kepribadian dewasa yang meliputi kemampuan menerima kritik, kemampuan dan kemauan memberikan saran dan sabar. Seseorang yang mampu menerima kritik dengan lapang dada memungkinkan seseorang akan semakin baik dan semakin dewasa. Di dalam menerima kritik tentu memerlukan kesabaran dan ketabahan karena bagaimanapun juga kritik merupakan sesuatu yang menyakitkan kalau tidak didasari dengan kesabaran. Dengan kesabaran menerima kritik, maka seorang guru akan semakin dewasa dalam pola berpikir. Seperti diungkapkan oleh Gordon (1989:223) bahwa sikap menerima dengan ikhlas adalah faktor kritis dalam membantu mengembangkan kemudahan pemecahan masalah, mengembangkan perubahan konstruktif dalam mendorong usahausaha menuju sikap produktif. Selain rumusan di atas, kongres PGRI XIII tanggal 21 sampai 25 November 1973, juga merumuskan bahwa guru harus memiliki kejujuran profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai kebutuhan peserta didik masing-masing. Kejujuran dalam memberikan informasi sangat menentukan keberhasilan siswanya. Jika informasi yang disampaikan guru merupakan informasi yang sangat dibutuhkan siswa, maka informasi tersebut dapat merupakan stimulus
yang sangat bermanfaat. Tetapi, kalau guru tidak jujur menyampaikan informasi, maka siswa bisa terjebak dalam informasi yang tidak bermanfaat. Dengan demikian, kejujuran dalam menyampaikan informasi sangat dibutuhkan oleh seorang guru. Seperti yang diungkapkan oleh Tilaar (2000:41) kesalahan dalam mengerti bahan akan menyebabkan peserta didik mengerti secara salah atau terjadi salah konsep. Butir lain dari Rumusan kode etik kongres PGRI XIII tanggal 21
Guru merupakan bagian dari sebuah sistem, yaitu sistem pendidikan dan pembelajaran. Sebagai bagian dari sebuah sistem guru dituntut untuk mampu bekerja sama dengan bagian lain dari sistem tersebut sampai 25 November 1973 itu menyebutkan bahwa guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangunan. Profesi guru merupakan profesi yang mempunyai tugas mencerahkan pengetahuan siswa, sehingga guru mempunyai kewajiban untuk menolong siswa apabila mengalami kesulitan. Bahkan tidak hanya pada kesulitan akademis saja, tetapi kesulitan non akademis guru mempunyai kewajiban memberikan pertolongan. Seperti yang diungkapkan oleh Suparno (2001:25) bersikap menolong tidak berarti selalu membantu secara fisik, tetapi mungkin memberi informasi, menyatakan simpati, dan meringankan beban lahir maupun batin kawan bicara.
Kemandirian seorang guru merupakan tuntutan sebagian dari keprofesionalan sebagai seorang guru. Kemandirian ini penting dalam mengaktualisasi diri sebagai seorang guru yang baik, seperti dikatakan Mouly (1973:106) bahwa aktualisasi diri sebagian besar ditentukan oleh diri sendiri. Guru merupakan bagian dari sebuah sistem, yaitu sistem pendidikan dan pembelajaran. Sebagai bagian dari sebuah sistem guru dituntut untuk mampu bekerja sama dengan bagian lain dari sistem tersebut. Seperti dijelaskan oleh Slavin (1984:156) bahwa seseorang akan menghargai orang lain yang keberhasilannya mampu dinikmati oleh orang lain juga. Penjelasan ini memberikan pengertian bahwa keberhasilan kelompok akan lebih dihargai daripada keberhasilan individu. Hal ini disebabkan karena keberhasilan kelompok, selain berhasil dalam prestasi juga berhasil dalam bekerjasama. Kemandirian seorang guru akan semakin baik, apabila didukung oleh kemampuan memahami kekurangan diri sendiri. Seseorang yang mampu memahami kekurangan diri sendiri selalu akan belajar untuk menutup kekurangan itu. Kekurangan diri sendiri akan dapat diketahui bila seseorang selalu mengevaluasi kinerjanya. Tanpa evaluasi terhadap diri sendiri sangat sulit untuk mengetahui kekurangan diri sendiri. Kemandirian juga dalam tugas profesionalnya, seorang guru dituntut untuk selalu memperkaya pengetahuan dan keterampilan. Dalam memperkaya pengetahuan dan keterampilan, guru harus mampu memanfaatkan sumbersumber belajar yang ada. Derasnya arus teknologi ini, harus mampu dimanfaatkan oleh guru untuk digunakan sebagai sumber pengetahuan dan sumber keterampilan. Selain teknologi sebagai sumber pengetahuan dan keterampilan, kegiatan seperti seminar, work-
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
23
shop, kursus singkat, dan magang dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan dan keterapilan. Seperti diungkapkan oleh Philipe Perrenoud (Suparno, 2001:29), salah satu kompetensi yang akan menghindarkan orang dari hidup berdasarkan belas kasihan orang lain adalah mampu mengidentifikasi, menilai dan mempertahankan sumber-sumber, keterbatasan, dan hak-hak, serta kebutuhan-kebutuhan secara mandiri. Kajian di atas menunjukkan bahwa guru sebagai agen pembelajaran dan tentunya juga agen pendidikan, maka kepribadian guru tercermin dari kehidupan seharihari dan kompetensi kepribadian guru adalah kemampuan memberikan contoh perbuatan nyata baik untuk siswa maupun untuk masyarakat luas. Kompetensi kepribadian ini meliputi beberapa indikator, yaitu kepribadian mantap, kepribadian dewasa, berakhlak mulia dan kemandirian. Kompetensi Sosial Rayner & Riding (1998:50) menyatakan bahwa proses pembelajaran dipusatkan pada lima unsur utama, yaitu ; hubungan atau interaksi antar individu, minat belajar, pengembangan konstruk tujuan, penekanan pada prestasi, dan konstruk instrumennya. Dari lima unsur tersebut, unsur pertama adalah hubungan antar personal, yaitu ; hubungan antar guru dengan peserta didik, antara peserta didik dengan peserta didik yang lain, dan antar guru dengan guru lain. Dengan demikian, kompetensi untuk berhubungan dengan orang lain sangat dibutuhkan untuk profesi guru. Seperti juga yang dikatakan oleh Suparno (2001:23) menyatakan bahwa dalam belajar dengan orang lain maupun masyarakat luas, seseorang perlu menguasai kecakapankecakapan yang memungkinkan seseorang dapat diterima oleh lingkungannya sekaligus dapat
24
mengembangkan diri secara optimal. Philipe Perrenoud (Suparno, 2001:29) menyatakan bahwa salah satu kompetensi yang akan menghindarkan orang dari hidup berdasarkan belas kasihan orang lain adalah mampu bekerjasama, bertindak sinergis, berpartisipasi, dan berbagi tugas kepemimpinan. Sesuai dengan rumusan kode etik kongres PGRI XIII tanggal 21 sampai 25 November 1973, menyebutkan bahwa guru secara sendiri atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya dan guru secara bersama-sama memelihara, membina, dan meningkatkan mutu organisasi guru profesional sebagai sarana pengabdian. Tugas seorang guru tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik hanya dengan bekerja sendiri. Tanpa bantuan teman, siswa, dan masyarakat umum tidak mungkin guru bisa berhasil dalam mencapai tujuan pembelajaran. Butir-butir yang direkomendasikan oleh Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia (ALPTKI) Januari 2006 bahwa kompetensi sosial adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi ini diuraikan dalam empat sub kompetensi, yaitu ; pertama, berkomunikasi efektif dan empatik dengan peserta didik, orangtua peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, dan masyarakat. Kedua, berkontribusi terhadap pengembangan pendidikan di sekolah dan masyarakat. Ketiga berkontribusi terhadap pengembangan pendidikan di tingkat lokal, regional, nasional, dan global. Keempat, memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri. Keempat sub kompetensi tersebut masih diuraikan lagi ke dalam se-
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
belas pengalaman belajar yang harus dimiliki oleh seorang guru. Tentu sebagai mahasiswa calon guru harus mampu menguasai kompetensi tersebut, walaupun ada bebearapa jabaran yang belum tentu dilakukan oleh mahasiswa calon guru, misalnya adalah berlatih merancang program tingakat global. Ini merupakan kemampuan yang sulit bagi tingkat mahasiswa untuk bisa menguasai dengan baik. Rumusan kode etik kongres PGRI XIII tanggal 21 sampai 25 November 1973, menyebutkan bahwa guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan, guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi tentang peserta didik, tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan, dan guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua perserta didik sebaik-baiknya bagi kepentingan peserta didik. Komunikasi sangat penting dalam mengembangkan kepribadian dan mengembangkan kompetensi seorang guru. Tanpa komunikasi yang baik seorang guru sulit untuk bisa berhasil mengajar dengan baik. Seperti dikatakan Forsdale (1981:15) bahwa komunikasi adalah suatu proses pemberian sinyal atau stimulus dalam pembelajaran. Pemberian stimulus ini akan berhasil jika dikomunikasikan dengan baik, demikian juga dengan stimulus itu sendiri, stimulus yang kurang baik juga tidak akan terjadi proses belajar yang baik dari siswa. Komunikasi mungkin tidak berarti apabila dipandang sepintas lalu, tetapi bila dipandang sebagai suatu proses, maka komunikasi memegang peranan penting dalam penyampaian pesan. Hal ini seperti dikatakan oleh Seiler (1988;25) bahwa komunikasi lebih merupakan cuaca yang terjadi dari bermacam-macam variabel yang ko-
mpleks dan terus berubah. Perubahan inilah yang selalu menjadi sebuah proses sehingga memerlukan komunikasi. Guru sebagai seorang yang profesinya selalu menyampaikan pesan perlu memahami dan mempunyai kemampuan komunikasi yang baik. Komunikasi seorang guru tidak hanya komunikasi dengan siswa, tetapi juga komunikasi dengan guru lain, kepala sekolah ataupun dengan pihak lain yang terkait. Pemilikan ciri warga negara yang religius dan berkepribadian, pemilikan sikap dan kemampuan mengaktualisasi diri, serta pemilikan sikap dan kemampuan mengembangkan profesionalisme kependidikan adalah salah satu kompetensi yang harus dimiliki guru. Dari kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi sosial guru adalah kemampuan seseorang dalam berkomunikasi baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah baik dengan unsur peserta didik, guru lain, kepala sekolah, dan masyarakat luas serta kontribusinya terhadap pendidikan luas. Kompetensi ini meliputi kerjasama dengan teman dan masyarakat luar sekolah, komunikasi dengan peserta didik, guru yang lain, dan masyarakat luar sekoah, dan kontribusi terhadap pengembangan pendidikan. Kompetensi profesional Selain ketiga kompetensi di atas, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial, masih ada satu lagi kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu kompetensi profesional, kompetensi ini berkaitan dengan kemampuan seorang guru akan bidang studi yang ditekuninya. Seorang guru matematika dituntut untuk menguasai kematematika-an dengan sebaikbaiknya. Kompetensi ini penting karena untuk bersaing dengan siswa-siswa lain bahkan siswa dari negara lain, kompetensi profe-
sional seorang guru harus benarbenar mumpuni. Kompetensi profesional ini, bagi guru-guru kita masih harus ditingkatkan lagi. Sebagai gambaran penguasaan bidang studi, penelitian Sukamto (1999) tentang Pengembangan Akreditasi Guru SMU, mendapatkan hasil bahwa pemahaman materi kurikulum 1994 guru untuk mata pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di DIY antara 63% sampai 88% sedang untuk DKI antara 66% sampai 89%. Kondisi tersebut perlu disikapi dengan baik agar kemampuan guru kita khususnya kemampuan bidang studinya lebih baik. Kemampuan bidang studi tersebut tentu saja berkaitan dengan pemahaman guru akan filosofinya, karakteristik, kedalaman materi, dan perkembangan terkini akan bidang studi tersebut. Perkembangan terkini akan bidang studi yang ditekuni oleh seorang guru harus selalu diikuti karena pengetahuan akan
bidang studi tersebut selalu berkembang. Perkembangan ini harus diketahui oleh seorang guru agar tidak ketinggalan dan pengetahuan yang ditransfer ke siswa selalu up to date. Kesimpulan Untuk menjadi seorang guru yang profesional menurut kajian di atas, maka guru harus menguasai empat kompetensi, yaitu ; pedagogik (kompetensi yang berkaitan dengan proses belajar mengajar), kompetensi kepribadian (kompetensi yang berkaitan dengan perilaku dalam lingkungan sekolah dan luar sekolah), kompetensi sosial (kompetensi yang berkatian dengan kemampuan bersosialisasi dengan masyarakat luas), dan kompetensi profesional (kompetensi yang berkaitan dengan penguasaan bidang studi). Jadi, pada saat guru belum dapat menguasai keempat kompetensi tersebut, maka guru belum dapat dikatakan sebagai e guru yang profesional. g
Daftar Pustaka Alif Mudiono, Sunarto Hapsoyo, & Sri Munawaroh. (2002). Kemampuan guru dalam pembelajaran pemahaman membaca di SD Kota Blitar. Jurnal Penelitian Pendidikan, 2, 161-174. Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia. (2006). Butir-butir rekomendasi tentang pelaksanaan program sertifikasi guru. Bandung:ALPTKI. Cooper, J.M. (1986). Clssroom teaching skills (3rd). Stok, Boston:D.C. Heath and Company. Frosdale, L. (1981). Perspectives on communication. New York:random House. Fry, H., Katteridge, S., & Marshall, S. (1999). A hand book for teaching & learning in higher education, enchanching academic practice. London:Kagan Page limited. Mouly, G.J. (1973). Psychology for effective teaching (3rd ed.). New York: Holt, Rinehart & Winston Inc. Nasrun. (2001). Kontribusi motivasi berprestasi, metode mengajar khusus dan pengelolaan kelas terhadap keberhasilan praktik lapangan kependidikan di SMK Sumatera Barat. Jurnal Skolar, 2, 137-150. Pervin, L.A. (1989). Personality:Theory and research. New York:John Wiey & sons Inc. Riding, R.& Rayner, S. (1998). Cognitive styles and learning strategies. London:David Fulton Publishers. Seiler, W.J. (1988). Introduction to speech communication. Glenview:Scott, Foresman and Company. Slavin, R. E. (1984). Educational psychology theory and practice (5thed.). Boston:Allyn and Bacon. Sukamto. (1999). Studi pengembangan akreditasi guru sekolah menengah umum. Laporan penelitian, Lembaga Penelitian UNY. Sumadi Suryabrata.(2005). Psikologi kepribadian. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada. Sugiarto. (2003). Kemampuan guru mengelola pembelajaran fisika di SLTP Kota Banjarmasin. Jurnal Penelitian dan Evaluasi, 6, 116-127. Suparno. (2002). Hubungan minat baca dengan hasil belajar (Studi pada mahasiswa FT UNP). Jurnal Skolar, 1, 99-109. Syaiful Bahri Djamarah. (2000). Guru dan anak didik dalam interaksi edukatif. Jakarta:Rineka Cipta. Tilaar. (2002). Membenahi pendidikan nasional. Jakarta:Rineka Cipta. Tilaar. (2004). Lima puluh mutiara pemikiran. Jakarta:AYUB.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
25
artikel artikel utama utama
Profesionalisme Guru
&
Realitas Pembelajaran
Hidayat R.
Hidayat Raharja adalah guru SMA 1 Sumenep, selain mengajar biologi saat ini diberi tugas untuk mengampu mata pelajaran menulis kreatif di kelas Unggulan (XI IIA 1) dan di kelas X RSBI . Beberapa tulisan dimuat di media cetak baik lokal mau pun nasional. Saat ini mengelola kegiatan menulis “SAVANT” ; anak-anak yang tak bi(A)sa menulis tapi berani menulis, wadah menulis untuk anak dan remaja bertempat di teras rumahnya
Seorang guru, adalah pembuka pintu bagi anak-anaknya yang banyak mencari tahu1 Profesi guru merupakan suatu profesi yang sangat menarik, karena profesi guru berhadapan dengan manusia, sebagai subyek yang unik dan beragam. Unik, karena setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda. Menarik, karena profesi guru dituntut untuk melakukan sesuatu yang mempengaruhi terhadap peserta didik. Profesi guru semakin menarik ketika pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No 14 tahun 2005 “Tentang Guru dan Dosen” memberikan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji, sehingga banyak orang melirik profesi guru karena besarnya tunjangan yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Suatu persepsi yang tidak sepenuhnya benar, karena seharusnya pemberian tambahan tunjangan profesi menuntut adanya peningkatan profesionalisme guru. Profesionalisme, dari kata profesional dalam UUGD (2006) Bab I pasal 1 (4) dijelaskan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang di-
26
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
lakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghidupan yang membutuhkan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.2 Menegaskan pekerjaan guru adalah pekerjaan yang menuntut profesional, dan dapat diperoleh melalui pendidikan profesi. Profesi guru sama seperti profesi dokter, apoteker, notaris, dan semacamnya. Berhadapan dengan profesi guru, maka disitu dituntut beberapa prasyarat supaya memenuhi dan mencapai sikap profesional. Suatu tuntutan yang dilandasi ketulusan dan keikhlasan hati untuk menekuni profesi. Suatu tantangan dan tuntutan mendasar bagi setiap yang ingin menekuni profesi guru. Ketulusan seseorang dalam menekuni setiap pekerjaan atau profesi, akan menjadikan lahan pekerjaan guru sebagai ruang berbakti dan mengabdi untuk memberikan manfaat bagi orang lain. 1 Potongan larik pada sajak hidayat raharja, “Riwayat Seorang Guru
Profesi guru sebagai profesi yang berhadapan langsung dengan peserta didik, memiliki nilai lebih sekaligus mengemban konsekwensi yang membedakannya dengan profesi lainnya. Nilai lebih karena berhadapan dengan manusia, sehingga interaksi antara murid dan guru merupakan sebuah proses yang melibatkan seluruh aspek dalam diri manusia, memberikan respon sebagai hasil dari interaksi tersebut. Lebih jauh respon itu mengacu kepada tujuan yang diinginkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Tuntutan yang membutuhkan kecakapan paedagogi, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.3 Sehingga mampu berinteraksi dan mengembangkan keilmuan secara profesional. Konsekwensi yang menuntut seorang guru tidak hanya dituntut cakap menguasai keilmuan yang diampu, namun juga mampu mengkomunikasikan keilmuannya secara tepat dan baik. Perubahan paradigma profesi guru seiring dengan perkembangan sains dan teknologi, menuntut adanya perubahan-perubahan secara dinamis dan progresif dalam mengembangkan kecakapan guru secara menyeluruh. Guru dituntut mampu menguasai perkembangan teknologi dan seni, sehingga dapat menempatkan diri di tengah perkembangan peserta didik.4 Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi, dan mendominasi dalam pembelajaran tetapi lebih tepat memainkan peran sebagai pengelola pembelajaran untuk memotivasi siswa belajar. Sehingga dengan peran itu, siswa mampu mengembangkan potensi dan kecakapannya. Kenyataannya guru banyak mengalami masalah dalam menjalankan profesinya, tidak dapat menjalankan tugas dengan baik. Akibatnya, ketika mutu proses dan produk pendidikan rendah, guru melemparkan tanggungjawab kepada orangtua dan
masyarakat.5 Di antaranya masih banyak di kalangan internal guru saling tuding dan melempar tanggungjawab antara mereka yang belum menerima tunjangan profesi dan guru penerima tunjangan profesi. Celakanya, rasa cemburu ini tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan pembelajaran beberapa guru yang menerima tunjangan profesi. Memang persoalan kecemburuan ini kian mengemuka ketika setiap daerah memberlakukan aturan yang berbeda, sehingga ada guru di suatu daerah sudah memiliki masa kerja dua puluh tahun, sarjana, tetapi belum diikutkan sertifikasi. Sementara di daerah lain, guru yang memiliki masa kerja 8 tahun sudah bisa mengikuti sertifikasi dan telah menerima tunjangan profesi. Persoalan yang mulai mengemuka, dan perlu dipahami kembali hak-hak dan kewajiban guru, serta tanggngjawab pemerintahan di daerah untuk mensejahterakan guru. Guru Super,Excellent,dan Good Tugas mulia seorang guru memiliki hak, kewajiban dan tanggungjawab yang tidak ringan. Hal ini berkenaan dengan tugas guru yang berhadapan dengan siswa sebagai subyek memerlukan kecakapan dan keahlian tertentu, sehingga mampu mengembangkan potensi setiap siswa berkembang dan berprestasi. Lebih jauh bertu-
juan untuk menopang program pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.6 Beratnya tanggungjawab yang diemban tersebut, maka seorang guru profesional berkewajiban:7 Pertama, merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; Kedua, meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; Ketiga, bertindak obyektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; Keempat, menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama, dan etika; dan Kelima, memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Di samping kewajiban yang harus dipenuhi guru dalam menjalankan tugas profesional memiliki hak:8 Memproleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; Mendapatkan promosi dan peng-
2 Saat ini sertifikasi terhadap guru dilakukan diberlakukan bagi mereka yang memenuhi kualifikasi telah menempuh pendidikan D4/Strata 1 (S1) dengan menyerahkan isian portofolio yang akan dinilai oleh asesor untuk mendapatkan sertifikat. Bagi guru yang kurang memenuhi standar yang telah ditetapkan asesor wajib untuk mengikuti diklat, sementara bagi mereka yang telah memenuhi standar penilaian portofolio berhak untuk mengajukan tunjangan profesi satu kali gaji 3 Lihat PP No.74 Tahun 2008 Bagian Kedua pasal 7 ayat 1 4 Dalam penjelasan atas UU No.20 Tahun 2003, salah satu strategi pembangunan pendidikan ansional yang berhubungan dengan profesi guru, dalah peningkatan keprofesionalan pendididik dan tenaga pendidikan 5 Lihat Sukidin, Basrowi dan Suranto (2008) dalam “ Manajemen Penelitian Tindkaan Kelas� Jakarta: Insan Cendekia.Di dalam Prakata menjelaskan bahwa adanya kewajiban bagi guru untuk mengkaji secara ilmiah permasalahan yang dihadapi dan dilakukan tindakan sehingga tercapai efektifitas pembelajaran 6 Lihat Undang-Undang No.20 tahun 2003 –Departemen Pendidikan Nasional RI, Jakarta 2003 halaman 51-52 7 Lihat UU No. 14 Tahun 2005 Bagian Kedua pasal 20 8 Ibid pasal 14
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
27
hargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; Memperoleh perlindungan dalam melaksanakaan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi; Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan; Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan; Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas; Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi; Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan; Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik, dan kompetensi; dan/atau Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya. Dalam perkembangan teori pendidikan dan kecakapan siswa, banyak perubahan-perubahan yang mentuntut pula perubahan pada pembelajaran yang dilakukan guru. Kecerdasan majemuk salah satu teori yang menjelaskan tentang keberagaman kecakapan yang dimiliki siswa, memberikan implikasi bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Adanya pembelajaran yang mampu mengakokomodir aneka kecakapan siswa, sehingga mampu memotivasi belajar peserta didik dan mengembangkan potensinya. Karenanya tidak berlebihan apabila Carol Weinstein (1979) mengemukakan tidak ada tempat lain (kecuali sekolah), yang ditempat tersebut sejumlah peserta didik dikumpulkan selama beberapa jam, tetapi dituntut dapat mengerjakan tugas-tugas belajar yang sulit, efisien, dan berinteraksi secara harmonis.9 Betapa besar peran guru dalam mengelola pem-
28
belajaran, sehingga bisa mengembangkan kecakapan siswa secara optimal. Maka, tidak berlebihan jika kemudian Louanne Johnson menanyakan apakah anda guru yang baik? Sebuah pertanyaan yang mengakategorikan guru ke dalam tiga rasa dasar; Super, Excellent dan Good!10 Sebuah kategori yang sangat menarik karena tawaran tersebut disesuaikan dengan kapabilitas personal, emosi, fisik, dan mental. Guru Super adalah guru yang membaktikan seluruh energi hidupnya untuk profesi guru. Kondisi yang membutuhkan dukungan fisik, dan mental yang sangat besar, dan sangat memungkinkan menyerap dana yang besar pula untuk melaksanakan tugas pembelajarannya. Guru Excellent atau guru Good! Barangkali di antara dua pilihan ini yang banyak kita dapati dan raih. Excellent, guru yang menikmati pekerjaannya, tetapi mereka membatasi jumlah waktu dan energi yang mereka baktikan untuk mengajar. Mereka peduli dan melakukan yang terbaik untuk peserta didiknya, namun tidak mengorbankan kebutuhan keluarga mereka sendiri. Para guru excellent menyediakan waktu lembur, karena untuk mengajar yang baik membutuhkan persiapan dan perencanaan yang matang, seperti: memeriksa pekerjaan siswa, membuat perencanaan mengajar, atau mengawasi karya wisata yang dilakukan. Semua pekerjaan tanpa dibayar, hanya sebagai tuntutan dan konsekwensi sebuah tanggungjawab sebagai guru. Meski begitu mereka memberi batasan waktu lembur yang akan mereka kerjakan. Guru yang good, mengerjakan pekerjaan dengan baik, tetapi memahami batasan mereka sendiri, membuat batasan yang jelas antara profesionalitas dan waktu pribadi. Mereka memperlakukan murid den9
gan manusiawi, mereka melakukan yang terbaik untuk meningkatkan kemampuan siswanya, sehingga siap untuk menempuh ke jenjang pendidikan berikutnya. Namun, mereka tidak merasa berkewajiban untuk menyelamatkan siswanya satu per satu. Mereka tiba di sekolah cukup awal, menyiapkan diri, namun tidak menawarkan untuk kunjungan ke rumah mereka, tidak mau diganggu jam istirahatnya, dan tidak memanfaatkan waktu istirahat untuk memberikan konseling bagi siswanya. Guru kencing berdiri, nyaring bunyinya11 Adagium “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” seakan lenyap dari pendengaran. Perkembangan sains dan teknologi telah memberikan pengaruhnya dalam berbagai sektor kehidupan manusia, termasuk di dalamnya dunia pendidikan. Profesi guru mencari aktualitasnya di tengah peradaban digital dan teknologis. Guru bukan lagi satu-satunya sumber informasi, dan murid bukanlah gelas kosong yang bisa dituangi isi sesuka hatinya. Benarkah guru kencing berdirimurid kencing berlari (setiap perilaku guru senantiasa ditiru muridnya)? Pada saat ini dengan pengaruh aneka media informasi, guru menjadi salah satu bagian kecil yang memberikan pengaruh dalam perilaku dan kehidupan siswa. Beberapa kasus mencuat ke permukaan oknum guru diperkarakan oleh murid, melakukan perbuatan cabul, tindak penipuan, kriminal, tidak fair dalam memberikan penilaian dan dihubungkan dengan keikutsertaannya dalam kursus atau les privat yang diselenggarakan, dan semacamnya. Berapa banyak di antara guru ketika berjumpa dengan rekan sejawatnya membicarakan tentang upaya-upaya peningkatan presta-
Lihat Thomas Amstring dalam “ Sekolah Para Juara” Bandung: Penerbit Kaifa. Halaman 135 Johnson. 2009.”Pengajaran yang Kreatif dan Menarik”, alih bahasa Dani Dharyani . PT Indeka 11 Sebuah plesetan dari guru kencing berdiri, murid kencing berlari 10
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
si belajar anak didiknya. Sementara dalam beberapa petemuan sesama mereka disibukkan untuk membicarakan bisnis mereka, ganti mobil baru, investasi tanah, dan membicarakan mode pakaian terbaru. Tidak salah apa yang mereka bicarakan, karena itu menjadi penanda tingkat perekonomian guru yang semakin baik. Tetapi, jangan salah jalan menjadikan siswa sebagai obyek bisnisnya. Seberapa banyak di antara mereka yang mendiskusikan sumber refrensi keilmuan terbaru untuk diterapkan dalam pembelajaran yang menjadi profesinya? Seberapa banyak di antara mereka memikirkan persoalan-persoalan yang dihadapi murid yang mengalami hambatan belajar? Seberapa banyak di antara mereka yang selalu berpikir analistis saat pencapainan kompetensi siswanya rendah, tidak selalu menyalahkan murid, tetapi secara obyektif melakukan analisis dan mencari sumber permasalahan untuk segera dilakukan tindakan? Secuil kaca buram yang merekahkan kembali persoalan-persoalan berhubungan profesionalisme. Namun begitu, peristiwa tersebut dapat memberikan sinyal untuk kian menguatkan etika profesi dan profesionalisme guru sebagai ujung tombak dalam pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia, yang akan berimplikasi terhadap martabat warga dan bangsa Indonesia. Penguasaan teknologi informasi adalah sebuah kebutuhan guru untuk mampu menyajikan pembelajaran yang berbasis teknologi informasi. Namun, juga jangan dilupakan bahwa murid membutuhkan perhatian, teguran, bimbingan, terutama dalam perilaku mereka sehingga bisa mandiri dan berko-
mpetisi di tengah lingkungan peradabannya. Peran guru sebagai sahabat siswa adalah benar, namun bukan berarti guru menjadi kekanak-kanakan, karena di saat-saat tertentu guru dibutuhkan pula sebagai orang tua, pembimbing, sekaligus penentu kebijakan, sehingga siswa menjadi lebih terarah. Cukup men-
gagetkan ketika suatu ketika seorang guru BK tidak berani menegur siswa karena si guru BK berperan sebagai sahabat siswa. Benarkah demikian? Neil Postman, pernah menegaskan untuk membangkitkan kembali dunia pendidikan dari kematiannya, maka perlu direvitalisasi peran guru. Guru sebagai sahabat siswa, tidak berarti guru turut menjadi siswa, tetapi guru memasuki dunia siswa untuk kemudian dibawa ke dunia yang mencer-
ahkan, sehingga siswa menjadi lebih dewasa, mandiri,dan bertanggungjawab.12 Betapa banyak hal yang harus direkonstruksi mengenai kerja guru secara profesional. Hasil sebuah polling SMS mengenai profesionalisme guru terhadap 263 responden membuktikan; 25 orang dosen,50 orang guru, 65 mahasiswa, 50 siswa, 40 orang awam menyatakan bahwa kerja guru di Sumenep belum profesional. Sementara 33 responden menyatakan tidak tahu.13 Data tersebut memang perlu dikaji ulang, tetapi realitas kecil tersebut dapat menjadi sinyalemen untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam menjalankan tugasnya. Ada beberapa hal yang patut kita renungkan bersama, bahwa: pertama, saat ini sering ditemui siswa kerap dijadikan tumpuan sumber kesalahan. Misalnya, pada suatu mata pelajaran Biologi dalam suatu kelas yang muridnya berjumlah 40 siswa, yang mencapai kriteria ketuntasan minimal hanya 10 orang, siswa yang belum tuntas 30 orang. Dalam kondisi seperti ini, jelas sumber kelasalahannya tidak bisa ditimpakan kepada siswa. Hasil ini perlu dianalisis, apakah butir soalnya terlalu sulit?, cara penyampaiannya yang kurang bisa diterima siswa, atau karena media dan metode pembelajarannya yang kurang tepat? Sudahkah dilakukan diversivikasi pembelajaran dengan aneka metode dan media, serta memberikan pembelajaran yang menyenangkan? Jika tidak berarti guru belum memenuhi tuntutan permendiknas No. 16 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.14
12
Neil Postman. 2002.� Matinya Pendidikan Redefinisi Nilai-Nilai Sekolah� Yogykarta: Jendela Hasil poling sms yang dilakukan Al Faizin – Ketua Lembaga Kajian Pangestoh – Sumenep yang disampaikan pada penulis pada tanggal 29 //11/2009 pukul 06.38: 55 am 14 Baca kumpulan Permendiknas tentang Standar Nasional Pendidikan dan KTSP , Departemen Pendidikan Nasional Dirjen Manajemen Pendidikan dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan SMA. Dalam salah satu kompetensi inti guru disebutkan antara lain; menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan itelek tual; Memanfaatkan hasil evaluasi untuk kepentingan pembelajaran. 13
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
29
Kedua, diversifikasi pembelajaran ini amat vital dilakukan mengingat masih banyak ditemukan pembelajaran yang berlangsung secara tradisional, dalam artian guru masih mendominasi pembelajaran, dan siswa sebagai obyek yang menerima informasi, tanpa proses komunikasi interaktif dan dialogis. Pemanfaatan lingkungan sekitar sebagai sumber dan media belajar. Keterbatasan fasilitas merupakan sebuah kelebihan yang membuka peluang menciptakan ruang kreativitas guru dalam pembelajaran yang lebih kondusif. Suatu pengalaman yang tidak akan terlupakan, pada suatu pagi di sebuah kelas berlangsung pelajaran menulis. Penulis mengajak para siswa untuk keluar kelas dan mencari sesuatu yang menarik bagi setiap siswa untuk dijadikan sebagai sumber tulisan. Sesuatu yang menakjubkan, ada siswa yang menulis dan berdialog dengan rumput yang tak terawat dan ternyata mengganggu keindahan halaman sekolah. Seorang siswa menuliskan tentang rombongan semut hitam yang tengah bekerja keras bekerjasama di antara mereka, bergotong royong menghadapi kesulitan hidup. Tidak kalah menariknya, seorang siswa mengamati seorang guru yang tengah mengajar di kelas, dengan detail diceritakan aktivitas si guru yang pada akhirnya si anak menyimpulkan dari mulai membuka pelajaran sampai menutup pelajaran guru bersangkutan tak pernah beranjak dari tempat duduknya, sehingga tidak tahu kalau murid-muridnya di belakang tidak memperhatikan apa yang dijelaskannya. Ketiga, kemampuan menulis seorang guru. Ini persoalan yang amat penting bagi guru karena berhubungan dengan kemampuan untuk, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran adalah tugas seorang guru. Namun, sayang aktivitas ini tidak dekembangkan dalam kegiatan
30
menulis, dalam hal ini bisa berupa laporan penelitian tindakan kelas, atau sebentuk artikel sebagai dokumentasi pembelajaran dan sangat bermanfaat bagi rekan kerja sejawat, sekaligus meningkatkan profesionlisme sebagaimana diamanatkan dalam Permendiknas Nomor 16 tahun tahun 2007, Standar Kompetensi Guru Mata Pelajaran SMA/MA. 15 Hal ini sangat menarik karena setiap lokasi atau daerah, setiap kelas memiliki persoalan yang amat spesifik, unik, sehingga dapat menjadi sumber permasalahan sekaligus sumber inspirasi untuk melakukan inovasi pembelajaran secara kreatif. Keempat, reward and punishment. Ketentuan ini sudah dicantumkan dalam perundang-undangan baik dalam UU no.14 Tahun 2005 maupun dalam PP 74 Tahun 2008. Namun yang lebih penting adalah penghargaan perlu diberikan dalam lingkup mikro di tempat kerja (sekolah) bagi guru yang telah bekerja dan menyelesaikan tugasnya dengan baik. Meski, hal itu merupakan sebuah kewajiban tidak akan menghilangkan kemuliaan, jika kemudian pihak sekolah memberikan reward bagi guru bersangkutan. Sebaliknya, bagi guru yang melakukan pelanggaran perlu diberikan peringatan sampai pada tindakan hukuman, sehingga bisa bekerja lebih baik lagi. Cukup menarik kategori guru yang dilakukan oleh LouAnne Johnson untuk diterapkan dalam pemberlakuan reward dan punishment dalam sekolah. Apakah mereka tergolong kepada rasa guru super yang telah benyak mencurahkan waktu, energi dan biaya serta keluarga untuk keberhasilan anak didiknya. Ataukah guru excellent curahan energi dan tenaganya lebih rendah dari guru super, tetapi masih menyediakan waktu bagi siswanya berkunjung ke rumahnya untuk bimbingan belajar secara
gratis. Atau katagori guru good yang berupaya masksimal untuk memberikan yang terbaik bagi siswanya, tetapi membatasi kerja profesionalnya deangan waktu keluarga dan istirahat mereka. Sebab, tentunya semua tidak menginginkan adanya guru rasa bad(not good) yang tidak dikategorisasi oleh Johnson. Tentu semua kita menginginkan guru yang baik, excellent, dan super. Perlakukanlah orang lain sebagaimana mestinya, maka anda membantu mewujudkan berbagai potensi mereka – (Goethe) Guru yang profesional adalah guru yang tahu akan hak dan kewajiban serta tanggungjawabnya sebagai pendidik. Di pundaknya bergelayut beban mencerdaskan anak-anak bangsa, sehingga nantinya dapat membangun masyarakarat yang cerdas, bermartabat sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri, demokratis, dan bertanggungjawab. Tugas yang amat berat, sehingga perlu diimbangi dengan upaya untuk mengembangkan kualifikasi diri, baik personal, sosial, mau pun akademik, sehingga senantiasa bisa mengikuti perkembangan teknologi dan peradaban serta mampu berinteraksi di tengah masyarakat global. Dalam mengemban tugas dan tanggyungjawab, tidak ada guru jelek, karena yang diharapkan adalah guru baik, guru unggul; dan guru super. Di sinilah perlunya saling memotivasi sehingga guru bisa berkembang dan murid bisa mengembangkan potensinya dalam menunjang pada tercapainya tujuan pendidikan nasional. Memperlakukan orang sebagaimana mestinya e bukan sesuai kehendaknya. g
15 Lihat tabel 3 pada kompetensi guru mata pelajaran 23.3 Melakukan Penelitian Tindakan Kelas untuk peningkatan keprofesionalan
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
artikel utama artikel utama
Silangsengkarut Profesionalisme Guru
Rahbini
Rahbini, M.Pd. lahir di Sumenep 18 Mei 1980, Pendidikan Dasar (MI & MTs) diselesaikan di PP. Al-In’am Banjar Timur Gapura, Alumni MAK AnNuqayah Guluk-Guluk, dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah aktif di PMII UIN Suka. S2 di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Konsentrasi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (PEP) (2007). Sekarang Menjadi Kepala SMA-Pesantren Al-In’am Banjar Timur Gapura dan Dosen STIA Beraji Gapura
Guru adalah mediator yang bisa atau tidak, memberi pengalaman mendasar yang memungkinkan siswa menunjukkan potensi luar biasa yang dimilikinya (Asa Hillard III) Ungkapan bahwa guru adalah orang yang paling berjasa dalam proses mencerdaskan anak bangsa mungkin sudah terdengar klise. Akan tetapi, bukan berarti kita mesti berhenti memperbincangkannya. Sebab, ada banyak persoalan yang perlu didialogkan kembali terkait dengan respon masyarakat kita terhadap eksistensi mereka. Kita tahu bahwa belakangan ini posisi dan prestise guru sudah mulai mengalami penurunan dibanding masa-masa sebelumnya, baik di mata masyarakat maupun pemerintah. Kenyataan ini sebenarnya sudah berlangsung cukup lama, namun belum ada upaya untuk memikirkannya apalagi mengantisipasi. Mungkin saja dikarenakan semakin merebaknya cara belajar melalui sistem dunia maya yang tidak lagi terlalu menggantukan diri pada bimbingan seorang guru di ruangan kelas, sehingga sekaligus mempengaruhi pola hubungan sekaligus respon masyarakat terhadap mereka. Guru hanya dianggap sebagai pelengkap saja, karena di rumah sendiri telah disediakan internet di bawah bimbingan orang tua. Atau, bisa
jadi karena memang ada pergeseran paradigmatik dalam diri masyarakat kita tentang guru, menganggap mereka hanya sebagai batu loncatan untuk menggapai cita-cita yang lebih tinggi. Sungguhpun demikian, mengapa prestise mereka mesti mengalami degradasi yang begitu parah seperti sekarang? Ada gejala marginalisasi yang mulai merongrong eksistensi mereka. Kalau pada generasi awal menjadi guru merupakan profesi yang sangat diidamidamkan. Status sosial kemasyarakatan mereka bisa dibilang setara dengan menteri atau anggota DPR sekarang. Tapi sekarang, mereka malah lebih lengket dengan predikat “pahlawan tampa tanda jasa�, suatu predikat yang pada dasarnya dimaksudkan untuk merendahkan. Fenomena semacam itu, meminjam istilah S. Bayu Wahono, mungkin juga disebabkan oleh kesalahan kita sejak awal yang terlalu menempatkan profesi guru pada status yang begitu terhormat dalam pengertian yang sangat abstrak, tetapi sekaligus juga kurang memperhatikannya dari konteks profesionalisme yang realistis dengan kurang memberikan penghargaan yang sepadan dalam bentuk nyata. Profesi guru pada akhirnya menjadi tidak selevel lagi dengan profesi lainnya.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
31
Diakui lebih penting martabatnya, akan tetapi penghargaan terhadapnya justeru paling rendah. Guru dipaksa untuk menjadi panutan, tetapi tidak boleh dijadikan citacita. Semakin jarang orang tua yang mencita-citakan anaknya menjadi seorang guru, tetapi selalu menuntut yang terbaik dari guru. Mungkin inilah yang disebut dengan gejala “eklektisisme oportunistikpragmatik�. Yaitu, suatu gejala yang meniscayakan adanya pertautan antara tuntutan (dari masyarakat atau orang tua siswa terhadap guru) dengan sikap atau responsibilitas terhadap keberadaan para guru itu sendiri yang mengalami ketidakseimbangan. Tuntutan lebih tinggi dibanding kesejahteraan dan penghargaan yang mereka peroleh. Bukan Persoalan Sepele Sepintas persoalan ini memang kurang begitu krusial dibanding persoalan-persoalan kebangsaan lainnya, semisal krisis ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Sebabnya, karena memang kurang disorot publik. Persoalan hukum dianggap lebih penting untuk segera diselesaikan karena menyangkut nama baik birokrasi pemerintahan, sementara masa depan guru hanyalah persoalan personal guru itu sendiri. Padahal, antara satu sama lainnya sangatlah berhubungan, termasuk dengan eksistensi guru. Untuk itu, perlu dilihat faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya apresiasi mansyarakat terhadap profesi guru. Menurut Muchtar Buchori dalam bukunya Ilmu Pendidikan dan Praktik Pendidikan (1994), faktor-faktor tersebut sebenarnya terletak pada tiga hal; yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan, birokrasi sekolah, dan diri mereka sendiri. Pertama; rendahnya apresiasi masyarakat terhadap guru sebenarnya tidak lepas dari penghargaan yang diberikan oleh pemerin-
32
tah terhadap mereka. Penghargaan itu tidak saja menyangkut persoalan kesejahteraan atau kenaikan gaji dan kenaikan pangkat. Akan tetapi, juga menyangkut persoalan hak untuk mendapatkan kebebasan berpikir kreatif yang perlu dikonstitusionalisasikan. Sentralisasi kurikulum sebenarnya merupakan suatu sistem yang sangat mempengaruhi kebuntuan berpikir guru. Sebab, rancangan kurikulum tersebut hanya menjadikan guru sebagai kepanjangan tangan birokrasi pemerintah untuk melakukan kontrol terhadap murid berdasarkan rambu-rambu yang ada. Di satu sisi, memang menguntungkan bagi guru, namun pada dasarnya sangat membodohkan. Itulah yang dinamakan teori stick and carrot; tampak menyenangkan namun di balik semua itu justeru sangat merugikan. Di sinilah awal terjadinya malapetaka yang cukup besar, yaitu menurun bahkan hilangnya profesionalitas seorang guru, sehingga sekaligus mempengaruhi respon dan apresiasi masyarakat terhadap mereka. Kedua; birokrasi pendidikan atau sekolah tempat mereka mengajar tentu saja ikut menentukan eksistensi guru. Hal itu berkaitan dengan masalah kewenangan (authority) yang diberikan kepada guru, kualitas atasan yang mengawasi perilaku dan ruang gerak guru, dan kebebasan yang diberikan kepada guru baik di dalam maupun di luar ruang kelas. Selama ini, posisi mereka masih sangat kaku dalam lingkaran birokrasi pendidikan. Ruang gerak mereka tidak ada bedanya dengan ruang gerak seorang pembantu di hadapan majikannya. Rendahnya kesejahteraan yang mereka peroleh tentu saja mengesankan adanya ketidakseimbangan antara apa yang mereka lakukan dengan apa yang mesti mereka peroleh. Kenyataan semacam ini, telah menjadi rahasia umum di tengah-tengah
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
masyarakat kita. Sehingga, menimbulkan respon yang kurang baik. Bahwa menjadi guru bukan lagi sesuatu yang membanggakan. Ketiga; Selain pengaruh sistem birokrasi kekuasaan dan pendidikan di atas, keberadaan masingmasing guru secara pribadi tentu saja ikut menentukan. Masyarakat kurang responsif terkadang disebabkan oleh kualitas guru itu sendiri yang memang kurang memadai, di samping karena sistem komunikasi yang ia gunakan dalam kelas ketika berhadapan dengan muridnya. Ada kalanya seorang guru bersikap birokratis juga dalam ruang kelas, sehingga menjadikan murid-muridnya merasa tertekan dan terhimpit oleh iklim yang tidak lagi kondusif oleh sistem pengajarannya yang serba militeristik. Namun demikian, faktor yang terakhir ini pada prinsipnya masih bisa diantisipasi selama ada kemauan dan komitmen yang tinggi dari birokrasi pendidikan. Artinya, signifikansi dalam upaya mengembalikan citra guru di mata masyarakat sebenarnya tertolak pada dua faktor pertma di atas. Untuk itu, hal yang perlu dilakukan adalah bagaimana bisa menciptakan sinergisitas antara dua sistem birokrasi di atas dengan kepribadian masing-masing guru. Pemerintah harus memikirkan kembali masa depan mereka sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa�, di samping birokrasi pendidikan atau sekolah itu sendiri yang mesti menciptakan sistem lebih leluasa bagi mereka dalam melakukan inspiring teaching terhadap murid-muridnya. Syahdan dalam catatan sejarah pasca Herosima dan Nagasaki dibombardir habis oleh tentara sekutu dan tak sejengkalpun tanah dan bangunan yang tersisa, langkah pertama yang dilakukan oleh pemerintah adalah mengidentifikasi dan menghitung jumlah guru dan dokter yang menjadi korban dan yang selamat dalam tindakan per-
ang yang menelanjangi nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Dari sini sebenarnya kita dapat melihat dan berfikir secara mendalam bahwa untuk segera bangkit dari segala macam krisis multi dimensi dan keterpurukan ada dua hal pokok yang harus kita pikirkan, yaitu pendidikan dan kesehatan masyarakat. Mereka membangun kembali negaranya yang luluh lantah dan porakporanda tersebut di mulai dari ranah pendidikan dan kesehatan. Hasilnya sangat menakjubkan sungguh luar biasa, dalam waktu yang relatif singkat selama kurang lebih dari 20 tahun, Jepang mampu mensejajarkan negaranya dengan negara-negara maju lainnya di dunia. Dari fakta historis tersebut menunjukkan betapa besar peran guru dalam membangun bangsa. Akan tetapi, hal itu terjadi di Jepang yang pernah menjajah kita selama kurang lebih selama tiga tahun, di Indonesia peran guru kurang diperhitungkan-untuk tidak mengatakan tidak diperhatikan sama sekali. Bahkan cenderung dikesampingkan. Ironisnya, prosefesionalisme guru di Indonesia secara umum masih belum tampak dipermukanaan. Dengan demikian, sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan demi mendongkrak kualitas pendidikan, ujung tombaknya adalah ada pada profesionalisme guru yang sudah dicitrakan sebagai mahluk yang harus digugu dan ditiru. Kritik terhadap pofesionalisme guru sebenarnya bukan sesuatu yang baru, akan tetapi keberanian masyarakat untuk memberi masukan yang konstruktif terhadap para praksitisi pendidikan masih belum menemukan titik labuhnya. Hal ini terjadi karena masyarakat kita sudah terlanjur dihegemoni oleh rezim otoriter selama kurang lebih 32 tahun sehinga kritisisme dalam berfikir terus terpasung, kalau kita sedikit menoleh ke belakang, di era tahun 70 an Indonesia menjadi ida-
man mahasiswa dari negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Pilipina dan lain sebagainya untuk belajar. Namun pada saat ini, justru berbalik 90%, mahasiswa Indonesia sudah bertebaran di negara-negara tetangga, di Malaysia saja mahasiswa Indonesia tercatat sekitar 3000-4000 an. Hal itu terjadi karena masyarakat kita sudah sadar akan pentingnya kualitas pendidikan sebagai investasi pradaban di masa yang akan datang, yang salah satunya diperoleh melalui lembaga pendidikan yang dikelola secara profesional. Potret Buram Profesionalisme Guru Tindakan-tindakan yang tidak manusiawi yang dilakukan oleh banyak guru kita lihat dalam realitas kehidupan kita sehari-hari, bahkan menjadi sajian rutin ketika kita istirahat di depan layar televisi, atau sekedar menghilangkan penat di pojok meja tampat kerja dengan membolak-balik halaman demi halaman dalam media cetak atau surat kabar yang kita baca. Di beberapa sekolah kita kadang menjumpai, guru sering menggunakan peraktek kekerasan (violance), hukuman (punishment), dan yang paling mengenaskan adalah guru tega memukul anak didiknya yang dianggap melawan. Sampai hari ini, masih sering kita mendengar guru yang otoriter, diktator-sepertinya dia membai’at dirinya sebagai Tuhan. Apa yang diinginkan harus dituruti oleh anak didik, bahkan sering kita jumpai mereka sering marah ketika anak didiknya mengajukan gagasan yang progresif yang sama sekali berbeda dengan idenya. Guru adalah elemen penting dalam pendidikan, namun sok menggurui adalah awal sebuah kegagalan dalam pendidikan. Seorang guru adalah figur manusia yang harus digugu dan ditiru, sum1
ber yang menempati posisi strategis dan penting dalam pendidikan. Ketika semua orang membicarakan atau mempersoalkan masalah dunia pendidikan, figur guru pasti terlibat dalam bingkai topik pembicaraannya. Oleh karena itu, dalam eksistensi yang demikian guru merupakan tokoh sentral dalam melakukan proses belajar dan mengajar khususnya di sekolah. Peran yang dilakonkan sangatlah kompleks, diantaranya sebagai korektor, inspirator, informator, organisator, motivator, inisiator, fasilitator, pembimbing, demonstrator, pengelolan kelas, mediator, supervisor, dan evaluator1. Dari sekian banyak peran yang dilakukan, maka tanggung jawab guru terhadap perkembangan anak didiknya semakin menggunung. Namun, dalam perkembangannya sering sekali peran yang harus dilakukan itu terbengkalai karena faktor eksternal yang mengitarinya (sociocultural surrounding). Sedikitnya, ada tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan kualitas sumber daya manusia, diantaranya yaitu: Pertama: sarana gedung yang memenhi standar, kedua, buku dan referensi yang bermutu dan berkualitas, dan ketiga, adalah guru yang profesional. Di Indonesia hanya sekitar 43 % guru yang memenuhi kualifikasi sebagai guru, sedangkan 57 % lainnya belum memenuhi syarat. Artinya, kondisi ril mayoritas guru di Indonesia tidak kompoten dan profesional. Sampai saat ini, masih banyak guru yang menunggu petunjuk pelaksanaan dari atas untuk melakukan sesuatu. Pembaharuan pendidikan banyak tidak terjadi karena guru tidak berani memulai untuk berinisiatif. Tampak dari realiltas tersebut bahwa guru-guru kita berpola sebagai tukang, yang hanya mengerjakan apa yang sudah ada dalam gambar yang dibuat oleh ar-
Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, (Jogjakarta: LkiS, 204), hlm. 148.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
33
sitek tanpa ada perubahan sedikitpun. Padahal, guru tidak sama dengan tukang bangunan, tetapi sorang intelektual dan seniman yang harus selalu menyesuaikan diri dengan situasi dan persoalan yang dihadapinya. Tiap tahun siswa selalu berganti, masalahnyapun pasti berubah. Materi pelajaran yang akan disampaikan juga dimungkinkan berubah, seiring dengan denyut nadi perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Relasi sosial antara guru dan siswa, siswa dengan siswa juga mengalami pergeseran, karena mereka adalah mahluk yang dinamis. Dengan kondisi yang seperti ini guru dituntut aktif, kreatif, banyak ide, dan tidak menunggu atau pasif. Guru juga dituntut banyak ide dan bersikap kritis terhadap situasi yang ada. Maka pendidikan di Indonesia ini ingin maju dan bermutu maka memang para guru yang menjadi ujung tombaknya yang harus bekerja secara profesional, baik dalam bidang keahliannya, dalam bidang pendampingan, dan dalam segala aktifitasnya sehari-hari sebagai contoh bagi para siswanya. Tidak sulit untuk menemukan profesionalisme guru baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta yang masih dipersoalkan dan dipertanyakan, terutama dari penguasaan materi yang diajarkan, metode pembelajaran yang digunakan, pendekatan dan filosofi dalam pembelajaran, tingkah laku dan moral serta style yang diperankan, keteladanan serta etika yang ditunjukkan kepada para siswanya, semuanya digadaikan dan masih ada dalam rumpun warna yang serba abu-abu. Terlepas dari persoalan tersebut, silangsengkarut persoalan prefesionalisme guru benar-benar telah sempurna bahkan telah sampai pada titik nadirnya. Karena profesi guru banyak dijadikan sebagai media untuk menjinakkan anak
34
didik, dengan serta merta memasung segala kreatifitasnya. Ada yang menjadikan profesinya sebagai mesin pencetak uang untuk memperoleh keuntungan pribadi yang sebanyak-banyaknya (komersialisasi) yang sunggung jauh panggang api dari profesi yang semestinya. Ada beberapa kesalahan yang banyak dilakukan oleh para guru di lembaga-lembaga pendidikan2, diantaranya adalah; pertama, banyak guru yang mengambil jalan pintas, tugas guru dalam pembelajaran tidak terbatas pada penyampaian informasi kepada peserta didik. Akan tetapi, juga bagaimana guru mampu menata lingkungan agar terjadi kegiatan belajar terhadap mereka, sesuai dengan kemajuan dan tuntutan zaman, guru harus memiliki kemampuan untuk memahami peserta didik dengan berbagai keunikan dan karakternya sebelum melakukan pembelajaran, agar mampu membantu mereka dalam menghadapai kesulitan belajar. Dengan demikian, guru dituntut untuk memahami brbagai model pembelajaran yang interaktif, efektif agar dapat membimbing peserta didik secara optimal. Kedua, banyak guru yang menunggu prilaku negatif dari peserta didik. Dalam pembelajaran di kelas. Guru berhadpan dengan sejumlah peserta didik yang semuanya ingin diperhatikan. Siswa akan berkembang secara optimal melalui perhatian guru yang positif, sebaliknya perhatian yang negatif akan menghambat perkembangan peserta didik. Mereka senang jika mendapat pujian dari guru, dan merasa kecewa jika merasa tidak diperhatikan. Lazimnya guru baru memberikan perhatian kepada siswa ketika mereka ribut, tidak memperhatikan, atau mengantuk di kelas, sehingga menunggu peserta didik berperilaku buruk.
Ketiga, guru menggunakan destructive dicipline, keempat, guru mengabaikan perbedaan peserta didik, kelima, guru merasa orang yang paling pandai atau super genius, ketujuh, guru sering bersikap deskriminatif, ke delapan, guru sering memaksa peserta didik Dalam kaitannya dengan perencanaan guru dituntut untuk membuat persiapan mengajar yang efektif dan efesien. Namun dalam realitasnya, dengan berbagai alasan, banyak guru yang mengembil jalan pintas dengan tidak membuat persiapan ketika mau melakukan pembelajaran, sehingga guru mengajar tanpa persiapan. Sementara mengajar tanpa persiapan, disamping merugikan guru sebagai tenaga profesional juga sangat mengganggu terhadap perkembangan peserta didik. Harus selalu diingat bahwa mengajar tanpa persiapan merupakan jalan pintas, dan tindakan yang berbahaya, yang dapat merugikan perkembangan peserta didik, dan sekaligus mengancam kenyamanan guru. Faktor lain yang menyebabkan kegagalan dan keterpurukan pendidikan kita adalah lepasnya guru dalam segala proses penyusunan dan kebijakan pendidikan. Kemerosotan mutu pendidikan nasional di Indonesia, seperti ditunjukkan dalam berbagai survei tingkat internasional seperti Indeks Pembagunan Manusia tidak dapat dilepaskan dari rendahnya mutu guru. Ditengarai bahwa salah satu sebab kurangnya minat orang muda berkualitas menjadi guru, adalah minimnya jaminan kesejahteraan guru apalagi jika dilihat dari kacamata revolusi material di era globalisasi ini yang menuntut sikap pragmatisme yang berbihan, sehingga guru selalu dicitrakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang terus selalu kerja bakti tak kenal lelah.
2 E.Mulyasa, Menjadi Guru ProfesionalMenciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: Rosdakarya, 2005) hlm.37-64.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
Penghasilan guru tidak ditentukan sesuai dengan prestasi kerja. Sementara ini guru yang berprestasi dan yang tidak berprestasi mendapatkan penghasilan yang sama. Memang benar sekarang terdapat program sertifikasi. Namun, program tersebut tidak memberikan peluang kepada seluruh guru. Sertifikasi hanya dapat diikuti oleh guru-guru yang ditunjuk kepala sekolah yang notabene akan berpotensi subjektif. Kurangnya kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan. Banyak guru yang terjebak pada rutinitas dan kerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Pihak berwenang pun tidak mendorong guru ke arah pengembangan kompetensi diri ataupun karir. Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala. Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan yang digelutinya Menjadi Guru Profesional Dalam kebudayaan Indonesia profesi guru mempunyai tempat yang tinggi, istimewa dan dihormati. Dalam masyarakat Jawa dikenal ungkapan “guru, ratu, wong tuo akaro” artinya taatilah pertamatama gurumu, lalu rajamu, baru kemudian orang tuamu. Hal itu sejalan dengan perbendaharaan pribahasa Madura “bapa’ babhu’ guru rato” yang artinya dalam kultur masyarakat Madura secara hirarkis orang yang harus dihormati yang pertama adalah ayah dan ibu, kemudian guru dan yang terakhir adalah raja atau penguasa3. Betapa agungnya eksistensi seorang
guru, sehingga dapat disejajarkan dengan orang tua dan juga para penguasa. Penghargaan yang demikian secara historis sebenarnya telah terjadi pada masa penjajahan, status guru tetap mempunyai posisi yang terhormat. Pada masa pendudukan militerisme Jepang, guru mendapatkan gelar kehormatan dengan julukan “Sunsei” yang sesuai dengan kebudayaan Jepang mempunyai status sosial yang sangat dihormati4. Hal itu juga berlanjut sampai masa proklamasi kemerdekaan, para guru bukan hanya ikut serta dalam usaha mencerdaskan bangsa, akan tetapi juga banyak diantara mereka yang ikut serta dalam perang kemerdekaan melawan penjajahan. Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional. Mereka harus: a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme, b. Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya, c. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. Di samping itu, mereka juga harus d. Mematuhi kode etik profesi, e. Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas, f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya, g. Memiliki kesempatan untuk
mengembangkan profesinya secara berkelanjutan, h. Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, dan i. Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum. Bila kita mencermati prinsipprinsip profesional di atas, kondisi kerja pada dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki titik lemah pada hal-hal berikut. Pertama, Kualifikasi dan latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan bidang tugas yang diembannya. Di lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Tidak heran ketika kemudian muncul banyak guru yang bergelar M.Pd (Magister Percaya Diri) dan (Magister Serba Iso). Kedua, tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personality atau kepribadian, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model. Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah. Hal-hal yang dapat dilakukan diantaranya : penyelenggaraan pelatihan. Dasar profesionalisme adalah kompetensi sesuai dengan hadis Nabi Muhammad SAW “idza ussidal amru ila ghairi ahlihi fan tadhirissa’ah” ( ketika tugas mendidik itu diberikan kepada orang yang
3 Mohammad Najib dkk, Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, (Jogjakarta: LKPSM, 1996), hlm. 177. 4 H.A.R.Tilaar, 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995, (Jakarta: Grasindo Gramedia Widiasarana Indonesia, 1995), Hlm. 239.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
35
tidak profesional dan tidak memiliki komptensi keilmuan, maka tunggulah masa kehancuran output anak didiknya). Sementara itu, pengembangan kompetensi merupakan sebuah keniscayaan dan mutlak harus berkelanjutan (sustainable). Caranya, tiada lain diantara dengan pelatihan, workshop, penelitian dan pembinaan perilaku kerja secara berkelanjutan. Studi-studi sosiologi pada awal abad ke-20 dan penelitianpenelitian manajemen dua puluh tahun terakhir semuanya bermuara pada satu titik labuh utama, bahwa keberhasilan pada berbagai wilayah kehidupan ternyata ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. Penciptaan waktu luang (leisure time) sudah lama menjadi sebuah bagian proses pembudayaan. Salah satu tujuan pendidikan klasik adalah menjadikan manusia makin menjadi penganggur terhormat, dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas dan kepribadian. Peningkatan kesejahteraan agar seorang guru bermartabat dan mampu membangun manusia muda dengan penuh percaya diri, kritis, progresif dan populis, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup5. Abad ini juga ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat terutama teknologi informasi. Kemajuan itu ditunjukkan dengan makin berkembangnya ilmu pngetahuan dan hasil teknologi. Tiap tahun muncul penemuan baru dalam bidang ilmu pngetahuan. Kemajuan ini semakin cepat disebarkan ke seluruh dunia lewat media informasi komputer yang serba canggih, sehingga hasil kemajuan ilmu pngetahuan dan teknologi tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan begitu cepat. Kemajuan tersebut jelas merupakan tantangan bagi guru agar tidak ketinggalan jaman. Maka bagaimanapun guru dipaksa untuk selalu
36
belajar dan mengikuti perkembangan ilmu pngetahuan dan teknologi. Guru tidak boleh merasa puas dengan ilmu yang dimilikinya, tetapi harus selalu terbuka terhadap kemajuan yang ada dan terus belajar “minal mahdi ilallahdi�. Profesionalisme guru di abad 21 betul-betul menghadapi dilema yang luar biasa, karena di abad ini merupakan abad pengetahuan karena pengetahuan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan dan hanya orang yang berilmulah yang dapat hidup surprise di dunia ini. Menurut John Naisbit sebagai intlektual futuristik ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu; pertama, dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, kedua, dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, ketiga, dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, keempat, dari perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang, kelima, dari sentralisasi ke desentralisasi, keenam, dari bantuan institusional ke bantuan diri, ketujuh, dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, kedelapan, dari hierarki-hierarki ke penjaringan, kesembilan, dari utara ke selatan, dan kesepuluh, dari atau ke pilihan yang majemuk. Berbagai implikasi kecenderungan di atas berdampak terhadap dunia pendidikan yang meliputi aspek kurikulum, manajemen pendidikan, tenaga kependidikan, strategi dan metode pendidikan. Selanjutnya Naisbitt mengemukakan ada 8 kecenderungan besar di Asia yang ikut mempengaruhi dunia yaitu; (1) dari negara bangsa ke jaringan, (2) dari tuntutan eksport ke tuntutan konsumen, (3) dari pengaruh Barat ke cara Asia, (4) dari kontol pemerintah ke tuntutan pasar, (5) dari desa ke metropolitan, (6) dari padat karya ke teknologi canggih, (7) dari dominasi kaum pria ke munculnya kaum wanita, 5
(8) dari Barat ke Timur. Kedelapan kecenderungan itu akan mempengaruhi tata nilai dalam berbagai aspek, pola dan gaya hidup masyarakat baik di desa maupun di kota. Pada gilirannya semua itu akan mempengaruhi pola-pola pendidikan yang lebih disukai dengan tuntutan kecenderungan tersebut. Dalam hubungan dengan ini pendidikan ditantang untuk mampu menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menghadapi tantangan kecenderungan itu tanpa kehilangan nilai-nilai kepribadian dan budaya bangsanya. Dengan memperhatikan pendapat Naisbitt di atas bahwa pendidikan di Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Sebagai Negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa, pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi mempunyai fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan kesatuan nasional; (3) Dengan makin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan mempengaruhi corak pendidikan nasional; (4) Perubahan karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya. Nilainilai keluarga hendaknya tetap dilestarikan dalam berbagai lingkungan pendidikan; (5) Asas belajar sepanjang hayat harus menjadi landasan utama dalam mewujudkan pendidikan untuk mengim-
Rom Topatimasang, Sekolah Itu Candu, (Jogjakarta: Pustaka elajar, 2003), hlm.35
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
bangi tantangan perkembangan jaman; (6) Penggunaan berbagai inovasi Iptek terutama media elektronik, informatika, dan komunikasi dalam berbagai kegiatan pendidikan, (7) Penyediaan perpustakaan dan sumber-sumber belajar sangat diperlukan dalam menunjang upaya pendidikan dalam pendidikan; (8) Publikasi dan penelitian dalam bidang pendidikan dan bidang lain yang terkait, merupakan suatu kebutuhan nyata bagi pendidikan di abad pengetahuan. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan yang modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komu-
nikasi, dan keterlibatan orang tua dan masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah sosok penampilan guru yang ditandai dengan keunggulan ilmu pengetahuan yang tinggi, keimanan dan ketakwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin, profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin, wawasan masa depan, kepastian karir, dan kesejahteraan lahir batin. Pendidikan mempunyai peranan yang amat strategis untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki keberdayaan dan kecerdasan emosional yang tinggi dan menguasai skill dan talenta yang mantap. Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Walaupun pada kenyataannya masih terdap6 7
at hal-hal tersebut di luar bidang kependidikan. Untuk seorang guru, perlu mengetahui dan dapat menerapkan beberapa prinsip mengajar agar ia dapat menerapkan beberapa prinsip mengajar agar ia dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, yaitu sebagai berikut6: 1. Guru harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik pada materi pelajaran yang diberikan serta dapat mengggunakan berbagai media dan sumber belajar yang bervariasi. 2. Guru harus dapat membangkitkan minat peserta didik untuk aktif dalam berfikir serta mencari dan menemukan sendiri pengetahuan. 3. Guru harus dapat membuat urutan (sequence) dalam pemberian pelajaran dan penyesuaian dengan usia dan tahapan tugas perkembangan peserta didik. 4. Guru perlu menghubung-
Paul Suparno, Guru Demokratis di Era Reformasi, (Jakarta: Grasindo, 2005), hlm.25-69 Jasa Ungguh Mulyawan, Epitemologi Pendidikan, (Jogjakarta: UGM Press, 2009), hlm 130.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
37
kan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik (kegiatan apersepsi), agar peserta didik menjadi lebih mudah dalam memahami pelajaran yang diterimanya. 5. Sesuai dengan prinsip repetisi dalam proses pembelajaran, diharapkan guru dapat menjelaskan unit pelajaran secara berulangulang hingga tanggapan peserta didik menjadi jelas. 6. Guru wajib memperhatikan dan memikirkan korelasi antara mata pelajaran dan/atau praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. 7. Guru harus terus menjaga konsentrasi belajar para peserta didik dengan cara memberikan kesempatan berupa pengalaman secara langsung, mengamati/meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatnya. 8. Guru harus dapat mengembangkan sikap peserta didik dalam membina hubungan sosial, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. 9. Guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta secara individual agar dapat melayani siswa sesuai dengan perbedaan tersebut. 10. Guru dapat melaksanakan evaluasi yang efektif serta menggunakan hasilnya untuk mengetahui prestasi dan kemajuan siswa serta dapat melakukan perbaikan dan pengembangan. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat, guru tidak hanya bertindak sebagai penyaji informasi tetapi juga harus mampu bertindak sebagai fasilitator,motivator dan pembimbing yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencari dan mengelola sendiri informasi. Dengan demikian keahlian guru harus terus dikembangkan dan tidak hanya terbatas pada penguasaan prinsip mengajar seperti telah diuraikan. Untuk itu, lembaga pendidikan dalam berbagai jenis dan jenjang memerlukan pencerahan dan pem-
38
berdayaan dalam berbagai aspeknya. Memasuki abad 21 pendidikan akan mengalami pergeseran perubahan paradigma (shifting paradigm) yang meliputi pergeseran paradigma7: (1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, (5) dari kampanye
... peningkatan profesionalisme guru, hal itu merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam mencapai pendidikan yang lebih berkualitas melawan buta aksara ke kampanye melawan buat teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama. Dengan memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif. Gambaran Pembelajaran di Abad Pengetahuan Praktek pembelajaran yang terjadi sekarang masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak dijumpai di abad industri. Pada abad pengetahuan paradigma yang digunakan jauh berbeda 8
dengan pada abad industri. Galbreath mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri. Dalam dunia pendidikan, peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal maupun informal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi guru itu sendiri. Filsofis sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi fungsi. Mereka dituntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan knowledge, values, dan skill, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global. Dalam era reformasi pendidikan, dimana salah satunya isu utamanya adalah peningkatan profesionalisme guru, hal itu merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam mencapai pendidikan yang lebih berkualitas. Selain itu, pendidikan sebagai sebuah proses selalu berdampak pada sebuah upaya untuk senantiasa memperbaiki agar hasil tersebut menjadi baik. Untuk memperbaiki hasil pendidikan kita, tentu kita perlu tahu tentang kondisi pendidikan kita8. Kita sadari bahwa profesionalisme guru merupakan sebuah ke-
BASIS Menembus Fakta: Edisi Keter purukan Guru, (No.07-08 Tahun ke-54, JuliAgustus 2005, hlm.13
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
butuhan yang tidak dapat ditundatunda lagi, seiring dengan semakin meningkatnya persaingan yang semakin ketat dalam era globalisasi seperti sekarang ini. Diperlukan orang-orang yang memang benar benar-benar ahli dibidangnya, sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya agar setiap orang dapat berperan secara maksimal, termasuk guru sebagai sebuah profesi yang menuntut kecakapan dan keahlian tersendiri. Profesionalisme tidak hanya karena faktor tuntutan dari perkembangan jaman, tetapi pada dasarnya juga merupakan suatu keharusan bagi setiap individu dalam kerangka perbaikan kualitas hidup manusia. Profesionalisme menuntut keseriusan dan kompetensi yang memadai, sehingga seseorang dianggap layak untuk melaksanakan sebuah tugas Salah satu upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru adalah melalui sertifikasi sebagai sebuah proses ilmiah yang memerlukan pertanggung jawaban moral dan akademis. Dalam isu sertifikasi tercermin adanya suatu uji kelayakan dan kepatutan yang harus dijalani seseorang, terhadap kriteriakriteria yang secara ideal telah ditetapkan. Sertifikasi bagi para Guru dan Dosen merupakan amanah dari UU Sistem Pendidikan Nasional kita yang mewajibkan setiap tenaga pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar yang dimilikinya. Singkatnya adalah, sertifikasi dibutuhkan untuk mempertegas standar kompetensi yang harus dimiliki para guru sesui dengan bidang ke ilmuannya masing-masing. Faktor lain yang harus dilakukan dalam mencapai profesionalisme guru adalah, perlunya perubahan paradigma dalam proses belajar menajar. Anak didik tidak lagi ditempatkan sekedar sebagai obyek pembelajaran tetapi harus berperan dan diperankan sebagai subyek. Sang guru tidak lagi sebagai instruktur
yang harus memposisikan dirinya lebih tinggi dari anak didik, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator atau konsultator yang bersifat saling melengkapi. Dalam konteks ini, guru dituntut untuk mampu melaksanakan proses pembelajaran yang efektif, kreatif dan inovatif secara dinamis dalam suasana yang demokratis. Dengan demikian proses belajar mengajar akan dilihat sebagai proses pembebasan dan pemberdayaan, sehingga tidak terpaku pada aspek-aspek yang bersifat formal, ideal maupun verbal. Penyelesaian masalah yang aktual berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah harus menjadi orientasi dalam proses belajar mengajar. Oleh sebab itu, out put dari pendidikan tidak hanya sekedar mencapai keilmua dan intlektualitas, tetapi mencakup pula keteladanan serta sikap dan kematangan spiritual. Salah satu faktor yang dapat merangsang profesionalisme guru adalah, jenjang karir yang jelas. Dengan adanya jenjang karir yang jelas akan melahirkan kompetisi yang sehat, terukur dan terbuka, sehingga memacu setiap individu untuk berkarya dan berbuat lebih baik. Kesejahteraan merupakan isu yang utama dalam konteks peran dan fungsi guru sebagai tenaga pendidik dan pengajar. Paradigma professional tidak akan tercapai apabila individu yang bersangkutan, tidak pernah dapat memfokuskan diri pada satu hal yang menjadi tanggungjawab dan tugas pokok dari yang bersangkutan. Oleh sebab itu, untuk mencapai profesionalisme, jaminan kesejahteraan bagi para guru merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan dan dipisahkan. Kesimpulan Keberhasilan seorang guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai sebagai seorang pengajar sangat tegantung pada diri pribadi masing-masing guru dalam lingkungan tempat ia
bertugas. Sedangkan kompetensi guru adalah kemampuan yang dimiliki guruyang diindikasikan dalam tiga kompetensi, yaitu kompetensi yang berhubungan dengan tugas profesionalnya sebagai guru (profesional), kompetensi yang berhubungan dengan keadaan pribadinya, dan kompetensi yang berhubungan dengan masyarakat atau lingkungannya. Pertama, Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan. Kedua, Kemerosotanpendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan. Ketiga Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada tataran kematangan yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun pada kondisi yang prima. Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai pencetak guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas Depag atau Yayasan Swasta), PGRI dan masyarakat, bukankan begitu?. Lust e but no least. g
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
39
artikel artikel utama utama
Guru Profesional atau Guru Kompeten Fathor R
Fathor R achman Utsman, M.Pd., adalah alumnus STIK-An-Nuqayah Rachman Guluk-Guluk Sumenep (2004) dan Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Yogyakarta Program Studi Manajemen/Administrasi Pendidikan (2007). Kini mengajar di Kampus STIK-Annuqayah, UNIRA, UIM, STAIMU Pamekasan dan STKIP Yuniam.
Pengantar Barangkali tidak berlebihan jika penulis menyatakan bahwa “Guru adalah Dosen yang sangat baik”, sedangkan “Dosen adalah Guru yang tidak baik”. Pasalnya, dalam konteks interaksi belajar mengajar, guru memiliki peran, tugas dan fungsi yang lebih sulit dibandingkan dengan dosen, yaitu mendidik, membimbing dan melatih peserta didik. Sedangkan dosen hanya memiliki peran dan tugas yang lebih sederhana, yaitu mengajar dan membantu orang dewasa (mahasiswa) belajar. Perbedaan peran, tugas dan fungsi antara guru dan dosen tersebut karena keduanya menghadapi konteks kegiatan pendidikan yang berbeda. Dalam kegiatan pendidikan, berkembang tiga konsep, yaitu ; kegiatan pendidikan pedagogy, andragogy, dan education. Pedagogy “literally means the art and science of teaching childern” (pedagogi merupakan seni dan ilmu tentang cara mengajar/mendidik anak-anak), sedangkan “andragogy is the art and science of helping adults learn” (andragogi adalah seni dan ilmu tentang cara membantu orang dewasa belajar). Adapun “education is transfer of knowledge and making scientific attitude”1 (pendidikan merupakan proses transfer ilmu pengetahuan dan pembentukan sikap ilmiah). Guru, dalam konteks kegiatan pendidikan di atas, tentu saja melangsungkan proses pen-
40
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
didikan dalam kegiatan pedagogi, sedangkan dosen menghadapi proses kegiatan pendidikan andragogi, dan pengajar/pendidik pada umumnya melangsungkan proses pendidikan pada kegiatan education. Oleh karena itu, salah satu kompetensi yang harus dimiliki guru sesuai dengan amanat Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan PP. No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) mewajibkan guru memiliki kompetensi pedagogik, selain kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional2. Kompetensi pedagogik yang dimaksud adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik. Atau dengan kata lain, kemampuan guru menguasai ilmu dan cara mengajar peserta didik. Kriteria kompetensi pada guru tersebut, tentu saja berimplikasi lebih jauh pada kriteria kompetensi dan kriteria profesionalisme antara guru dan dosen. Sebab, kompetensi 1 Knowles, Malcolm, The Adult Learner A Neglected Species, , (London: Gulf Publishing Company Book Division, 3rd Edition, 1984) p. 49 2 Lihat Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) BAB IV Pasal 10 ayat (1), Lihat juga Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) BAB VI Pasal 28 ayat (3). Lihat juga PP. RI No. 74 Tahun 2008 tentang Guru Bab II Pasal 3 ayat (2).
dosen bukanlah kompetensi pedagogik sebagaimana disyaratkan pada guru dalam UUGD No. 14 Tahun 2005 tersebut. Bahkan dalam UUGD tidak jelas kompetensi seperti apa yang harus dimiliki oleh dosen untuk dikatakan sebagai pendidik profesional. Menyegarkan Pemahaman Profesi Keguruan, Menyoal Istilah “Profesional” Profesi guru mempunyai tugas utama melayani masyarakat dalam dunia pendidikan. Bahkan, profesi guru bersifat pelayanan pada kemanusiaan secara intelektual spesifik yang sangat tinggi, yang didukung penguasaan pengetahuan, keahlian, serta seperangkat sikap dan keterampilan teknik yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan khusus. Dengan demikian, profesi keguruan merupakan peningkatan segala daya dan usaha dalam rangka pencapaian secara optimal layanan yang akan diberikan kepada masyarakat menuju pelayanan profesional3. Akan tetapi, profesi guru yang demikian mulia tersebut, masih menyisakan kontroversi untuk dikatakan sebagai “profesi” atau “pekeja profesional”. Lebih-lebih dalam dunia pendidikan nasional. Hal itu terjadi karena profesionalisasi jabatan guru memiliki ciri-ciri atau kriteria yang sangat susah untuk dipenuhi. Dalam konteks ini, jabatan guru tersebut merupakan: 1) jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual; 2) jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus; 3) jabatan yang memerlukan persiapan latihan yang lama; 4) jabatan yang memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan; 5) jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen; 6) jabatan yang memiliki kode etik profesi dan menentukan baku (standarnya) sendiri; 7) Jabatan yang mementingkan layanan di atas keuntungan priba-
di; 8) jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat; 9) proses pendidikan untuk jabatan itu merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional itu sendiri; 10) guru merupakan jabatan yang mempunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat dan memperoleh imbalan yang tinggi pula; dan 11) dalam prakteknya melayani masyarakat, guru mempunyai hak profesi yang otonom dan bebas dari campur tangan orang luar4. Melihat kriteria profesi guru untuk dapat dikatakan sebagai pekerja profesional sebagaimana diuraikan di atas, maka tentu saja
“terlalu dini” jika dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 39 (2) dan UU RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen BAB II pasal 1 (1) menyatakan bahwa “guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik…” Oleh karena itu, Amitai Etzioni (1969) menyatakan bahwa guru adalah jabatan semi-profesional karena: “...their training (of teachers) is shorter, their status less legitimated (low or moderate), their right to privileged communication less established;
3 Soetjipto & Raflis Kosasi. Profesi Keguruan. (Jakarta: Penerbit Renika Cipta dan Pusat Perbukuan Depdiknas, 1994) hal. 26 4 Lihat Djam’an Satori, dkk. Profesi Keguruan. (Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, 2007) hal. 1.8. Lihat juga Soetjipto & Raflis Kosasi. Profesi Keguruan. (Jakarta: Penerbit Renika Cipta dan Pusat Perbukuan Depdiknas, 1994) hal. 19. Ciri-ciri profesionalisasi jabatan guru tersebut merupakan perpaduan dari kedua buku tersebut yang penulis rangkum sendiri karena banyak memiliki kesamaan.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
41
there is less of a specialized knowledge, and they have less autonomy from supervision or societal control than ‘the professions’...”5 Intinya, jabatan guru belum layak disebut sebagai pendidik profesional karena masih jauh dari jabatan profesional yang sesungguhnya, antara lain karena pendidikan dan pelatihannya sangat singkat, statusnya yang sangat lemah, hak-haknya banyak yang kurang terpenuhi, spesialisasi pengetahuannya yang rendah, dan kurang memiliki kewenangan yang otonom. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa jabatan guru sebagian, tetapi tidak sepenuhnya, adalah jabatan profesional. Akan tetapi, telah ada upayaupaya strategis yang mulai ditunjukkan pemerintah Republik Indonesia ke arah profesionalisme guru tersebut. Misalnya dengan melahirkan berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang mengarah pada pemberdayaan guru, mulai dari proses rekrutmen guru yang transparan dan akuntabel dengan diterbitkannya Kepmendiknas 23/ U/2001, UUGD No.14 Tahun 2005, PP No. 19 Tahun 2005 tentang SNP, Permendiknas No. 16 Tahun 2005 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Pendidik, Fatwa/ Pendapat Hukum Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor I.UM.01.02-253, Permendiknas No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru, Pemilihan Guru Teladan, Lomba Guru Berprestasi, hingga berbagai macam pemberian tunjangan dan penghargaan bagi guru. Ironisnya, upaya-upaya strategis pemerintah tersebut ternyata belum dibarengi dengan komitmen dan konsistensi para guru untuk terus meningkatkan kualifikasi dan kompetensinya yang memudahkan pemerintah mengantarkan mereka menjadi pendidik profesional sebagaimana amanat Undang-Undang dan Peraturan di atas. Sehingga untuk menyesuaikan tingkat kualifikasi pendidikan guru saja,
42
pemerintah harus mengeluarkan biaya trilyunan rupiah, itupun kadang hasilnya tidak sesuai dengan keinginan. Karena yang terjadi meskipun pemerintah telah banyak mengeluarkan biaya, tetap saja kompetensi guru tidak berubah. Menyoal Tanggungjawab Guru Sejatinya, guru merupakan elemen terpenting dalam dunia pendidikan. Keberhasilan dan kebesaran institusi sekolah sangat tergantung bagaimana guru-guru itu melakukan hubungan interkoneksitas dan interpersonal dalam sebuah sistem sekolah. Guru yang humanis, populis dan demokratis, akan melahirkan peserta didik yang humanis dan demokratis pula. Sebaliknya, guru yang arogan, pemarah, elitis, sok borjuis, dan otoriter akan menumbuhkan peserta didik yang demikian pula. Hasil kajian Cole dan Chan (1994) memperkuat pernyataan ini dengan mengatakan bahwa sifat-sifat personal guru menjadi faktor dominan dalam membangun suasana belajar-mengajar yang kondusif, dan dapat memotivasi peserta didik untuk lebih kritis, inklusif dan produktif. Guru dan peserta didik adalah dua sosok manusia yang tidak bisa dipisahkan dalam dunia pendidikan. Mereka adalah satu dalam jiwa, meskipun raga mereka berpisah. Jiwa mereka bagaikan “dwitunggal” yang kokoh bersatu. Oleh karena itu, sosok guru yang mulia adalah guru yang selalu dekat di hati peserta didiknya, yang mengabdikan dirinya berdasarkan penggilan jiwanya, bukan karena pekerjaan sampingan demi material oriented semata6. Wajarlah, jika bangsa Indonesia, lebih-lebih peserta
didik selalu merindukan sosok guru yang dengan rela hati menyisihkan waktunya demi kepentingan anak didik, memikirkan keluh kesahnya, membimbing dan mengarahkan kesulitan belajarnya, mau menasehatinya, dan merasakan kedukaan dan kebahagiaannya, serta bersenda gurau dan mengajaknya berbicara di luar kegiatan interaksi edukatif di kelas. Akankah guru-guru kita demikian adanya? Sulit untuk menjawabnya, mengingat guruguru kita saat ini mayoritas mengajar di sekolah bukan disebabkan karena faktor idealisme dan rasa pengabdian-isme yang tinggi terhadap bangsa. Tetapi lebih banyak faktor ekonomis, karena ‘nasib sial’ yang menjadikan profesi guru sebagai pekerjaan alternatif. Jarang sekali orang yang sejak awal menjadikan profesi guru sebagai citacita mulia untuk sebuah pengabdian demi memperkuat martabat negara dan demi menghasilkan generasi-generasi yang cerdas, bermoral, dengan SDM yang berkualitas7. Motivasi menjadi guru yang seperti itu tentu saja sangat berpengaruh terhadap sikap dan dedikasinya sebagai katalisator pencerahan bangsa dalam dunia pendidikan. Apalagi ditambah kondisi bangsa yang sedang “sakit parah” dan tidak jelas obatnya, sehingga guru pun kehilangan tanggung jawab untuk memperbaiki nasib generasi bangsa. Coba bayangkan saja, data tentang Angka Kelayakan Guru Mengajar dalam Grand Desain Pendidikan Propinsi Jawa Timur Tahun 2025, terdapat fakta yang sangat menyedihkan dan menyakitkan, dimana untuk guru SD/MI jumlah
5 Pernyataan Amitas Etzioni di atas, banyak dikutip dalam buku-buku yang membicarakan mengenai profesi guru. Termasuk dalam kedua buku Profesi Keguruan yang penulis sebutkan di atas. 6 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (Suatu Pendekatan Teoritis dan Psikologis). Edisi Revisi. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005) hal. 3 7 Lihat Artikel Fathor Rachman Utsman, “Guru Vs Kenaikan Harga BBM dan Ketidakadilan” (SOLOPOS, edisi Kamis tanggal 29 September 2005)
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
guru yang layak mengajar hanya 38,36% sendangkan 61,64% lainnya adalah mereka yang tidak layak mengajar. Untuk tingkat SMP/MTs = guru layak mengajar 21,81%, dan guru tidak layak mengajar 78,19%. Sedangkan untuk tingkat SMA/ MA = guru layak mengajar 30,22% dan guru tidak layak mengajar 69,78%. Ini data tentang kondisi guru yang layak mengajar di Provinsi Jawa Timur, bagaimana dengan kondisi guru di Provinsi yang lain? Bagaimana dengan kondisi guru yang layak dan tidak layak di tingkat Kabupaten, khususnya di Kabupaten Sumenep? Bahkan belakangan, seringkali muncul pemberitaan yang mengejutkan tentang sikap para guru yang mulai kehilangan tanggung jawab untuk melahirkan generasi cerdas penerus estafet perjuangan bangsa. Terbukti, sudah mulai banyak guru-guru kita yang mulai kehilangan produktifitas, profesionalitas, SDM yang lemah, kurang kompetensi, tidak kritis, sering bolos, dan se-amblek sikap lain yang sudah tidak layak lagi disebut ‘guru’ yang bisa digugu dan ditiru. Ditambah lagi sejumlah kasus yang menimpa guru dan peserta didik mulai dari pencurian, narkoba, pencabulan/pelecehan seksual, tawuran antar pelajar/ mahasiswa, penipuan, kenakalan dalam berdinas dan korupsi juga seringkali menghiasi dunia pendidikan. Anehnya lagi, semenjak Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) No. 14 Tahun 2005 telah ditetapkan, para guru sebenarnya telah diberikan kebebasan untuk memperbaiki tingkat kualifikasi dan kompetensi demi mendapatkan predikat sebagai “guru profesional”. Sayang sekali, kesempatan ini justru tidak dimanfaatkan dengan baik oleh para guru untuk lebih produktif , kreatif dan memiliki sikap yang kompetitif demi memperbaiki mutu diri dan mutu pem-
belajarannya, sehingga identitas guru profesional cepat melekat dalam dirinya tanpa banyak dipersoalkan lagi, sehingga semua stakeholder tetap memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap dunia pendidikan sekolah. Bahkan otonomi pendidikan yang dibarengi dengan otonomi guru yang sering dituntut guru sejak Orde Baru karena sering dimarginalkan secara politik dan ekonomis, hingga mencapai Orde Reformasi, tidak membuat guru terbelalak untuk lebih kreatif dan profesional dalam mengajar. Mereka tetap tidak peduli dan acuh-tak acuh mengurus pendidikan dengan profesional serta tanggungjawab yang tinggi. Padahal, performa guru dalam proses pembelajaran cukup signifikan dan sangat strategis untuk mendinamisir dan mengorganisir situasi belajar peserta didik yang lebih kreatif dan produktif demi tumbuhnya ‘generasi cerdas’ penerus bangsa sebagaimana amanat Undang-Undang. Tentu saja hal ini akan terwujud jika para guru mampu menunjukkan sikap profesionalisme yang tinggi di dalam maupun di luar lingkungan pendidikan sekolah, agar dengan sendirinya tercipta benih-benih produktifitas dan profesionalitas guru. Kondisi ini menunjukkan bahwa kompetensi pedagodik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional guru sangat rendah. Inilah problem fundamental yang perlu diselesaikan terlebih dahulu, sebelum kita bermimpi mewujudkan guru profesional di tengah-tengah dunia pendidikan nasional kita. Sertifikasi Guru: Mencari “Guru Profesional” Atau “Guru Kompeten”? UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP No. 19 Tahun 2005, Permendiknas No. 16 Tahun 2005 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Pendidik, dan Permendiknas No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru telah mengamanatkan dengan jelas bahwa guru (pendidik) wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi dimaksud tentu saja ditentukan dengan beberapa persyaratan kompetensi, baik yang sifatnya akademis maupun administratif yang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 18 Tahun 2007, dilakukan penilaian dalam bentuk portofolio yang berujung pada pemberian sertifikat pendidik dan tunjangan kesejahteraan sebagai bukti sekaligus pengakuan bahwa guru tersebut telah dinyatakan profesional. Sudah barang tentu tidak semua guru dapat dengan mudah mengikuti sertifikasi dan memperoleh sertifikat pendidik profesional tersebut, karena pemerintah juga menentukan beberapa kriteria guru yang berhak ikut sertifikasi guru. Penentuan guru calon peserta sertifikasi guru dalam jabatan menggunakan sistem ranking bukan berdasarkan seleksi melalui tes. Kriteria penyusunan ranking (setelah memenuhi syarat kualifikasi akademik S1/D-4) adalah: masa kerja/ pengalaman mengajar, usia, pangkat/golongan (bagi PNS), beban mengajar, jabatan/tugas tambahan, dan prestasi kerja8. Sebuah kriteria yang tentu mengundang banyak reaksi dan gugatan karena akan melahirkan ketidakadilan serta membuka peluang adanya kolusi dan penyimpangan-penyimpangan.
8 Depdiknas (2007). Pedoman Penetapan Peserta dan Pelaksanaan Sertifikasi Guru Dalam Jabatan. Jakarta: Ditjen PMPTK Depdiknas
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
43
Sertifikasi bagi guru dalam jabatan merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme guru agar dapat meningkatkan mutu layanan, mutu pembelajaran, dan hasil pendidikan di Indonesia yang tentunya juga dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru berupa tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok bagi guru yang memiliki sertifikat pendidik. Kalau kita berkaca pada negara-negara maju seperti Amerika, di sana telah lebih dulu memberlakukan uji sertifikasi terhadap guru. Melalui badan independent yang disebut The American Association of Colleges for Teacher Education (AACTE). Badan ini berwenang menilai dan menentukan ijazah yang dimiliki calon pendidik, layak atau tidak layak untuk diberi lisensi sebagai pendidik profesional. Sertifikasi guru ini ternyata juga telah dilakukan di beberapa negara Asia. Di negara China telah memberlakukan sertifikasi guru sejak tahun 2001. Begitu juga di Philipina dan Malaysia yang belakangan juga telah mensyaratkan kualifikasi akademik minimum dan standar kompetensi bagi guru. Negara Jepang juga telah memberlakukan sertifikasi guru sudah selama 34 tahun, yaitu sejak tahun 1974. Pemerintah Jepang meyakini bahwa kemajuan bangsanya harus diawali dari dunia pendidikan, syaratnya tentu saja mereka harus memiliki guru-guru yang berkualitas dan sejahtera. Perhatian pemerintah Jepang terhadap para guru sangat besar. Melalui kebijakan program sertifikasi guru ini, seorang guru di negara Matahari ini mendapat penghasilan yang relatif besar. Informasinya seorang guru dapat menabung senilai uang Indonesia Rp 8 juta setiap bulan. Asumsinya, kalau guru menabung saja bisa Rp 8 juta setiap bulan, be-
44
rarti gaji para guru lebih besar dari itu9. Sungguh kesejahteraan yang sangat menjamin masa depan kelangsungan hidup seorang guru. Coba kita bandingkan dengan gaji atau kesejahteraan guru-guru kita? Pertanyaan penulis kemudian, apa sesungguhnya yang mau dicari dengan sertifikasi guru kita? “guru profesional” apa “guru kompeten”? Sebab, kalau kita memahami dengan kritis amanat beberapa Undang-Undang dan Peraturan di atas, Hubungan kewajiban guru memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi dapat digambarkan sebagai berikut:
Dari skema di atas, jelas sekali bahwa “substansi utama” yang mau dicari dengan sertifikasi guru adalah “guru kompeten” atau guru yang memiliki banyak kompetensi yang salah satunya adalah kompetensi profesional. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana skema di atas menggambarkan bahwa setiap “guru profesional” belum tentu bisa dikatakan “guru kompeten” dan layak mendapatkan sertifikat pendidik sebagai bukti administratifnya. Sebaliknya, setiap “guru kompeten” sudah tentu mereka harus profesional dan harus didukung dengan kompetensi yang lain, yaitu kompetensi pedagogik, sosial dan kompetensi kepribadian. Guru kompeten (yang memiliki banyak kompetensi) itulah yang sesungguhnya dicari dari substansi sertifikasi guru.
Ditilik dari istilahnya saja, profesional menunjuk pada dua hal, yaitu: pertama, profesional adalah orang yang menyandang suatu profesi tertentu, misalnya profesi guru “dia adalah seorang profesional”. Kedua, penampilan seseorang yang melakukan pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya. Dalam pengertian kedua ini, istilah profesional seringkali dikontraskan dengan orang yang melakukan pekerjaan “nonprofessional” atau “amatiran”. Dengan kata lain, seorang profesional adalah seseorang yang dalam kegiatan sehari-harinya mengerjakan pekerjaan profesionalnya sesuai dengan ilmu yang telah dimiliknya10. Sedangkan istilah profesionalisme menunjuk pada komitmen para anggota suatu profesi untuk terus meningkatkan kompetensi profesionalnya dan mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan agar sesuai dengan profesinya. Adapun istilah kompetensi merupakan perilaku rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Menurut SK Mendiknas No. 045/U/2002, kompetensi dapat diartikan sebagai seperangkat seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Dengan ciri-ciri: 1) Kompetensi memiliki fokus dan konteks, yaitu kehidupan nyata dan berbagai peranan; 2) Kompetensi dibentuk melalui integrasi dan aplikasi yang kompleks dari berbagai kemampuan; 3) Integrasi dan ap-
9 Informasi ini bisa diakses di http://www.duniaguru.com/index. Lihat tulisan Dra. Fauziyah (2007) Ujian Sertifikasi, Tantangan atau Harapan Bagi Guru. Diambil pada tanggal 4 Februari 2010 10 Lihat Djam’an Satori, dkk. Profesi Keguruan. (Jakarta: Penerbit UT, 2007) hal. 1.4.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
likasi merefleksikan pengetahuan, sikap dan nilai, dan keterampilan secara seimbang; dan 4) Kompetensi ditandai dengan kinerja, bukan hanya penguasaan pengetahuan, sikap dan nilai, keterampilan saja. Dengan demikian, “Professional competence” is the habitual and judicious use of communication, knowledge, technical skills, clinical reasoning, emotions, values, and reflection in daily practice to improve the health of the individual patient and community11. Oleh karena itu, kompetensi guru seringkali diaratikan dengan”the ability of a teacher to responsibibly perform has or her duties appropriately (kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak)12. Alhasil, “profesional” itu adalah sikap seorang guru. Sedangkan “kompeten” adalah perilaku dan kemampuan guru yang memang layak dan pantas untuk melakukan kewajiban dengan penuh tanggung jawab yang tinggi. Berdasarkan pada pandangan argumentatif di atas, jelas sekali kalau cuma mau mencari guru profesional rasanya sangat mudah dan bahkan bisa ditemui di setiap
sudut sekolah kita. Tetapi, pertanyaannya buat apa memiliki guru yang mencapai kompetensi profesional, jika tidak didukung oleh kompetensi yang lain? Buat apa memiliki guru profesional, jika kepribadian dan jiwa sosialnya sangat rendah? Bukankah sudah banyak guru yang melanjutkan kualifikasi pendidikannya (bergelar S1 dan S2) agar bisa bekerja secara profesional? Bukankah sekolah kita selama ini sudah banyak dipenuhi oleh guru yang memiliki kompetensi profesional13, yaitu kemampuan guru menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan. Bukankah problem keguruan yang telah penulis paparkan dalam “menyoal tanggung jawab guru” di atas lahir dari lembaga-lembaga sekolah yang telah memiliki banyak guru yang profesional? Tetapi output-nya tetap tidak bisa meng-
hasilkan pribadi-pribadi yang beriman, berakhlak mulia, berimu, kompeten, kreatif, mandiri dan bertanggung jawab. Bahkan masih banyak guru yang telah profesional dalam arti akademik, tetapi belum memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dapat menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia Intinya, profesional saja tidaklah cukup. Perlu didukung oleh kompetensi yang lain, yaitu kompetensi pedagogik; kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi personal (kepribadian); kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Dan kompetensi sosial; kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk bergaul dan berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Guru kompeten (guru yang memikili keempat kompetensi) itulah yang sesungguhnya selama ini diidam-idamkan oleh pemerintah. Sehingga keempat kompetensi itu diharapkam harus menyatu menjadi “jiwa” dan “raga” para guru agar betul-betul dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan yang selama ini banyak dirindukan oleh masyarakat dan bangsa kita. Guru kompeten inilah yang selama ini diharapkan muncul dalam dunia pendidikan .... bersambung di halaman 49
11 Anik Ghufron. (2005). Kompetensi Hasil Belajar (Hand Out Materi Kuliah Pengembangan Kurikulum). Yogyakarta: FIP UNY Yogyakarta. 12 Lihat Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional. (Bandung: PT Remaja RosdaKarya, Cet. XVII, 2005) hal. 14 13 Lihat penjelasan UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005, lihat juga penjelasan PP. RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
45
Profesi Guru, Setingkat di Bawah Para Nabi Wawancara Ahmad Rizali
Dari hari ke hari dunia pendidikan semakin dituntut untuk melahirkan output yang memenuhi harapan masyarakat. Di samping harus mempunyai keterampilan praktis, siswa yang ditempa di institusi pendidikan juga dintuntut memeliki kepekaan sosial dan mental serta kepribadian mulya. Menjadi terampil, pintar dan kompeten di bidangnya, tapi kemudian menjadi koruptor, makelar kasus, dan penjilat, tentu hanya akan menjadi malapetaka buat bangsa. Oleh kerenanya, akhir-akhir ini santer terwacanakan pendidikan perlu ditangani oleh guru-guru profesional. Salah satu terobosan cukup brilian yang dimunculkan dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru ialah kebijakan sertifikasi guru dan dosen. Sertifikasi pada gilirannya menjadi rebutan kalangan pendidik, baik guru swasta maupun negeri, baik yang ada di kota maupun yang ada di pelosok desa, apalagi lulus sertifikasi – di atas kertas telah layak mendapatkan predikat�guru profesional�. Lalu, apa dan bagaimana sebenarnya pofesionalisme guru itu? Berikut wawancara Jurnal EDUKASI dengan Ahmad Rizali, Ketua Dewan Pembina The Centre for The Betterment of Education (CBE) Jakarta
Definisi guru profesional, secara teoretik sangatlah ideal, yakni memiliki kompetensi profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial. Namun, jika dijelaskan dengan sederhana, seperti apakah gambaran guru profesional itu? Guru professional adalah guru yg menguasai materi yg diajarkan, mampu mengajarkannya
46 46
JURNAL JURNALEDUKASI. EDUKASI.NO.XIV.2010 NO.XIV.2010
dengan menyenangkan dan memiliki pribadi yang mampu memberi inspirasi kepada muridnya (tauladan).
asi serta perbaikan dan diperlukan pula penyeliaan (supervisi) dari yang sudah memiliki kualifikasi tersebut, jadi memerlukan waktu.
Bagaimana bisa menjadi guru (silat misalnya) jika tidak menguasai ilmu (silat)? Ketika guru tidak menguasai ilmunya dan mengajar, sudah pasti dia berbohong kepada murid-muridnya, setidaknya tidak menyampaikan apa yg harus disampaikan. Dia ibarat program komputer, hanya menyampaikan hoac atau spam, atau bahkan virus.
Lalu, apa parameter utama sehingga seseorang bisa disebut “guru profesional”?
Ketika mengusai ilmu (silat), dia juga harus mampu mengajarkannya. Jika tidak, si murid hanya akan kelimpungan karena ilmu tadi tidak berhasil dia kuasai. Ibarat dalam instal program, si guru tidak mampu menginstal dengan benar, sehingga hasilnya program-program (baca-mata pelajaran) tidak terinstal dengan proper/benar dan sering konflik, bahkan “hang”. Ketika menginstal atau mengajar, si guru juga musti mengerti kemampuan dasar sang murid, atau analogi komputernya adalah tahu kapasitas RAM dan ROM-nya, apakah masih 486 atau sudah Intel Core 2 Duo. Jangan memaksa instal program yang membutuhkan kapasitas besar ketika guru tahu kapasitas muridnya terbatas. Jangan heran, ketika gurunya paspasan dan muridnya pas-pasan pula di instal program yg rumit, hasilnya tidak ada. Itu barulah analogi ilmu komputer, manusia lebih rumit lagi. Guru yg tidak mampu memberi insiprasi adalah guru biasa-biasa saja. Cobalah bayangkan, bagaimana murid akan menghormati seorang guru jika pakaiannya kumuh, wajahnya kusam, rambut acak-acakan dan badannya bau. Sudah demikian, suaranya hanya dia sendiri yang mampu dengar saking pelannya. Dan yang juga parah, ketika menulis di papan tulis, tidak terbaca. Ini barulah penampilan guru yang terlihat dan terdengar. Belum lagi jika guru tersebut sangat pemarah dan seringkali menghukum tanpa alasan yang jelas, bahkan seringkali menceritakan masalah pribadi keluarganya kepada para murid di depan kelas. Masih mending jika sang guru pandai dan menguasai mata pelajaran, lha, kalau dia juga tidak menguasai... kiamatlah sebuah kelas yang memiliki guru seperti itu. Saya sarankan, lebih baik seluruh murid diminta untuk belajar mandiri dan dibimbing dari jauh saja. Jadi, ketiganya adalah sebuah keharusan, meskipun ibarat menyetir, untuk sampai menjadi supir dengan SIM B-Umum yang diperbolehkan menyetir trailer atau pilot senior yang diperbolehkan menyetir pesawat Boeing 747 Jumbo, diperlukan praktek dan evalu-
Menurutku, parameter utamanya adalah apakah sang murid menyenangi pelajaran yang diberikan guru tersebut. Jika murid sudah senang, sesulit apapun pelajaran yang diberikan, akan dengan nyaman mereka terima dan mereka cerna serta kuasai. Baik, Mas Nanang (nama panggilan Pak Rizali). Menurut Anda, bagaimana kondisi riil guru di Indonesia hari ini dalam konteks isu “profesionalisme guru”? Kondisi riil saat ini buruk. Dari segi kementrian pendidikan nasional Tahun 2004, sebelum dilaksanakan sertifikasi, secara umum lebih dari 50% guru Sekolah Dasar tidak layak mengajar, tingkat SMP lebih baik sekitar 48%, sedangkan SLTA sekitar hampir 40%. Inipun hanya diukur dari formalitas ijazah yang mereka miliki yang dalam UU Sisdiknas harus S1. Ketika dites kemampuan secara langsung, setahu saya, gambarannya lebih buruk. Saya lupa datanya, sehingga konon, karena kondisi itu, pemerintah dan dewan khawatir sertifikasi melalui tes langsung guru lebih dari 50% tidak lulus, cara portofolio akhirnya diambil, selain biaya tes tersebut jauh lebih murah. Sejatinya, apa masalah utama guru di Indonesia? Dari berbagai pengalaman dan pendapat beberapa teman pakar yg bergelut dengan guru, bahkan ada orang asing yang berkutat urusan guru di Indonesia, mereka mengatakan guru Indonesia sangat rendah kebanggaannya menjadi guru (extreemly low self esteem). Jadi, bagaimana akan bagus dalam mengajar jika tidak bangga. Teman-teman sering mengejek, seorang guru jika mengenalkan diri selalu tidak pede “saya membantu mengajar di sekolah anu..” dengan suara hampir tidak terdengar “ooo Guru..!” ujar yang bertanya “betul pak... “ mereka menjawab sambil tersenyum malu. Lain sekali jika seorang dokter, insinyur atau akuntan, mereka akan mengenalkan diri dan tempat bekerjanya dengan gagah dan pede. Bagaiaman cara membenahinya? Ini masalah dalam diri guru, tidak mudah dan butuh waktu yg panjang. Yang paling mudah adalah dengan cara memuliakan mereka kembali. Mengapa
JURNAL JURNALEDUKASI. EDUKASI.NO.XIV.2010 NO.XIV.2010
47 47
memuliakan, karena kita sendiri sudah memberi konotasi yg selalu buruk kepada guru, apakah kalimat “menggurui� itu baik, buruk bukan? Saya selalu protes jika kalimat ini digunakan. Bagaimana tidak, jika gurunya mulia, bukankah digurui itu menjadi bagus? Nah, itu hal yang kecil tapi penting. Cara lain dan lebih mudah adalah memberi imbalan yang lebih layak kepada guru, sehingga pekerjaan mulia ini menarik minat lulusan SMA terbaik dan bermoral baik. Bagaimana mereka akan tertarik jika gaji guru masih banyak yg di bawah upah minimum regional dalam arti disamakan dengan buruh kasar yg bekerja umumnya hanya menggunakan otot, guru bekerja menggunakan otak dan kepribadiannya. Untuk menjadikan dirinya menjadi profesional, seorang guru harus ditemani, karena perasaan tidak percaya diri itu seringkali menghambat mereka untuk maju. Misalnya, seorang guru yang ingin belajar matematika dan dia tahu ada dosen matematika yang baik di ITB atau UI, sangat sering mereka enggan untuk berkunjung ke perguruan tinggi mapan itu, karena minder. Oleh sebab itu, menemani guru untuk maju diperlukan. Dari sisi kebijakan, apa tanggungjawab negara untuk mendorong guru menjadi profesional itu telah maksimal? Dibilang maksimal sih belum, tetapi sudah sangat bagus. Cobalah tengok, profesi mana yang demikian dibantu oleh pemerintah, paramedik dan dokter saja yang juga penting tidak sehebat itu, tetapi dalam pelaksanaan masih sangat lemah monitoring dan evaluasinya. Saya salut kementrian pendidikan nasional membentuk tim independen monitoring dan evaluasi sertifikasi guru, namun ternyata
48
tim ini hanya berjalan selama dua tahun, sesudah itu saya tidak tahu nasibnya. Meskipun struktur tim ini masuk dalam Kepmendiknas, tetapi setahu saya tidak ada mata anggaran khusus, sehingga kerja tim menjadi setengah-setengah. Jika ada anggaran cukup, kerja menjadi bagus. Jika tidak, ya, bagaimana akan bagus. Lha, seharusnya semua provinsi ditinjau, ternyata akhirnya hanya provinsi sample saja. Keseriusan lain adalah, fungsi yang mengurusi guru yang sebelumnya hanya setingkat kasubdit dengan dipimpin oleh pegawai eselon-3, akhirnya dalam tempo kurang dari 10 tahun berubah menjadi Direktorat Jenderal dengan pimpinan seorang eselon-1. Tetapi setahu saya, kedirjenan ini akan dilikuidasi kembali, entah kenapa dan saya nilai ini adalah sebuah kemunduran, paling tidak dari sisi birokrasi pengurusan guru. Izzah guru kembali melorot, karena konon nanti hanya akan diurus oleh eselon-3. Bagaimana dengan kebijakan sertifikasi guru? Apakah berdampak bagi peningkatan profesionalisme guru? Sertifikasi tentu tidak serta-merta berdampak kepada peningkatan profesionalitas, tetapi sertifikasi itu setidaknya mampu menyaring guru yang paling buruk. Kenapa saya katakan paling buruk, karena sertifikasi portofolio umumnya meluluskan gurunya setelah mengikuti Diklat profesi yang minimal 60 jam itu. Artinya, kurang dari 5% guru yang tidak lulus. Jika kita pake logika linier, artinya sesudah lulus sertifikasi mereka certified teacher, dong, dan profesional dong? Tetapi, faktanya masih tidak. Menurut saya, sulitlah jika sertifikator (LPTK) juga tempat di mana guru itu dididik, kecuali menggunakan metode seperti pendidikan dokter.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
Setahu saya, tahun ini akan dimulai pendidikan profesi guru yang mencontek pola pendidikan dokter tersebut, tetapi yakinkah Sampeyan mereka akan menjadi guru profesional jika yang mengajar bukan guru profesional, tetapi profesorprofesor yang lebih menguasai ilmu kependidikan daripada praktek guru? Di pendidikan dokter (coass) sarjana medis dididik oleh dokter best practice dan mereka masuk semua bagian dan harus lulus bagian tersebut sebelum dilantik sebagai dokter. Terakhir, apa saran Bapak terhadap guru sebagai profesi, terutama bagi mereka para guru yang tinggal di daerah? Saran saya, terimalah profesi ini sebagai amanah dan yakinlah bahwa menjadi guru itu setingkat dibawah para Nabi. Bagaimana tidak, bukankah fisika itu hukum alam? Dan itu adalah firman Tuhan di alam? Nah, jika para Nabi menyampaikan risalah langsung dari langit, guru menyampaikannya secara tidak langsung. Saya sering katakan kepada para guru “Sekali Anda transaksional dalam mengajar, maksudnya berpikir dibayar berapa ketika mengajar, maka akan hilanglah nur dari ilmu yg Anda sampaikan. Murid akan tetap pandai dan hebat, tetapi jangan berharap barokah dari ilmu yang disampaikan itu...�.
Nah, jika menjadi penerus para Nabi, mengapa menjadi tidak pede? Lalu bagaimana untuk hidup? Di sinilah pentingnya untuk yakin bahwa, ketika menjadi guru yang benar (baca profesional), rejeki dariNya pasti tersedia, kalau Anda tidak yakin, saya sarankan berubah profesi saja, karena pelan tapi pasti akan mengotori profesi yang sane gat mulia ini. g
.... dari halaman 45
sekolah dan sangat lama dirindukan kehadirannya oleh para peserta didik. Guru kompeten itulah sesungguhnya yang menjadi substansi dari kebijakan adanya sertifikasi guru. Guru kompetenlah sesungguhnya yang layak mendapatkan “sertifikat” sebagai pendidik profesional. Penutup: Bagaimana Solusinya? Kalau pemerintah punya niat baik ingin menciptakan kompetensi guru. Maka tentu saja harus menanggung konsekwensinya, yaitu dengan “menyejahterakan guru”, tanpa harus melalui persyaratan yang rumit. Sebab, penulis yakin guru yang sudah sejahtera akan mampu memberikan performance yang baik dan akan menjalankan proses insruksional yang optimal ketika eksistensinya betulbetul ‘dihargai’ dalam institusi pendidikan. Penghargaan terhadap profesi guru inilah yang selama ini menjadi pemicu utama kemorosotan dunia pendidikan kita. Guru-guru kita selama ini tidak lebih dari hanya sekedar “sopir taksi” yang ketika sudah selesai mengemudi (merencanakan, mengarahkan dan mengendalikan serta mengevaluasi proses pembelajaran) kemudian diberi ongkos (gaji) yang sama sekali jauh dari sebuah jabatan yang dikatakan profesional yang seharusnya mengedepankan imbalan terhadap jasa layanannya dengan adil.14 Profesionalisme guru dalam pendidikan, perlu dimaknai “he does his job well”, artinya pendidik (guru dan dosen) harus dipilih dan diangkat dari; pertama, orang yang memiliki instink pendidik, paling tidak ia care and cure terhadap peserta didik, bukan diangkat dari mereka yang mau membayar 75 juta atau 100 juta ketika proses rekrutmen CPNS; kedua, pendidik harus menguasai secara mendalam seluk beluk pembelajaran dalam bidang
keilmuannya; ketiga, sikap integritas profesional. Dengan integritas (jujur, sabar, manajerial, dan punya motivasi tinggi untuk membangun pendidikan di Indonesia), maka sudah jelas si pendidik tersebut akan menjadi teladan dan role model bagi anak didiknya. Di samping itu diperlukan adanya perubahan sikap dan kultur terhadap profesi keguruan yang selama ini disandangnya. Perubahan sikap dimaksud adalah bentuk kesadaran profesi, sedangkan perubahan kultur dimaksud adalah dalam konteks pengelolaan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang harus siap membangun diri dan kelembagaannya sebagai individu dan institusi yang profesional, tentu dengan pengembangan kompetensi yang berkelanjutan agar “guru kompeten” tersebut dapat diwujudkan. Sebab tidak mungkin seorang guru/dosen menjadi profesional tanpa memili-
ki kompetensi yang unggul secara adaptif, aplikatif, dan prediktif. Terakhir, sebenarnya tanpa harus diiming-imingi oleh tunjangan profesi ataupun harus dibuktikan dengan sertifikat pendidik, jika para guru merasa terpanggil untuk menjadikan guru sebagai pengabdian mulia kepada masyarakat dan Negara, dengan penuh tanggung jawab atas profesinya, penulis yakin kualitas dan mutu pendidikan akan terbangun secara total. Yang terpenting para guru tetap terus berjuang dengan komitmen yang tinggi untuk mendongkrak keterpurukan sistem pendidikan kita. Sebagai penutup barangkali perlu direnungkan kata-kata mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy; “jangan pernah bertanya apa yang Negara berikan kepada kita, tetapi tanyakan apa yang telah kita berikan pada Negara”. Kalau tidak mau seperti itu, lebih baik mundur jadi e guru! g
14 Lihat artikel Fathor Rachman Utsman, “Kado Akhir Tahun Buat Guru dan Dosen’, yang dipublikasikan di Harian Pagi BERNAS Jogja edisi Selasa 27 Desember 2005.
DAFTAR PUSTAKA Anik Ghufron. (2005). Kompetensi Hasil Belajar (Hand Out Materi Kuliah Pengembangan Kurikulum). Yogyakarta: FIP UNY Yogyakarta. Depdiknas (2007). Pedoman Penetapan Peserta dan Pelaksanaan Sertifikasi Guru Dalam Jabatan. Jakarta: Ditjen PMPTK Depdiknas. Djam’an Satori, dkk. (2007). Profesi Keguruan. (Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka). Dra. Fauziyah (2007). Ujian Sertifikasi, Tantangan atau Harapan Bagi Guru. Diambil pada tanggal 4 Februari 2010 dari http://www.duniaguru.com/index. Fathor Rachman Utsman, (2005) Artikel: “Kado Akhir Tahun Buat Guru dan Dosen’, (Harian BERNAS Jogja, edisi Selasa 27 Desember 2005) Fathor Rachman Utsman, (2005) Artikrel: “Guru Vs Kenaikan Harga BBM dan Ketidakadilan” (SOLOPOS, edisi Kamis tanggal 29 September 2005) Knowles, Malcolm, (1984). The Adult Learner A Neglected Species. 3rd Edition (London: Gulf Publishing Company Book Division) Moh. Uzer Usman. (2005). Menjadi Guru Profesional. (Bandung: PT Remaja RosdaKarya) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2005 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Pendidik. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) beserta Penjelasannya. Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru beserta Penjelasannya. Soetjipto & Raflis Kosasi. (1994). Profesi Keguruan. (Jakarta: Penerbit Renika Cipta dan Pusat Perbukuan Depdiknas). Syaiful Bahri Djamarah, (2005). Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (Suatu Pendekatan Teoritis dan Psikologis). edisi revisi. (Jakarta: PT Rineka Cipta) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) beserta Penjelasannya. Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) beserta Penjelasannya.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
49
artikel artikel utama utama
Mempertajam
Kreativitas Guru Profesional
Pengalaman Menarik Mengajar Bahasa Indonesia
Fathurrasyid
Fathurrasyid lahir di Sumenep, 09 maret 1981. S1-nya di selesaikan di IAIN Sunan Kalijaga Yogjakarta 2003. Saat ini sedang menempuh pendidikan Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya (2009-2010). Mengabdi di Pesantren PP. Tegal Al-Amien Prenduan dan PP Hidyatut Thalibin Pragan Daja Sumenep. Beberapa karya tulis pernah dipublikasika di media cetak, antara lain Majalah Mimbar Pembangunan Agama (MPA), Majalah Serambi Pesantren Yogjakarta, , Bernas, dan Radar Madura.
Suatu pagi, penulis menerima SMS (short message send) dari seorang siswa penulis yang membagi pengalaman sukses menata karier di dunia tulis-menulis. “Pesimisme saya bahwa menyelesaikan studi di Madrasah Aliyah Swasta pedesaan tidak banyak memberikan apa-apa, ternyata salah besar. Al-Hamdulillah, berkat support dari berbagai pihak, termasuk variasi metode Bapak dalam mengajar materi bahasa, saya bisa ikut mewarnai dunia tulis-menulis di media cetak”, demikian potongan SMS “mantan” siswanya yang sekarang sedang menempuh studi S-1, semester 3, di Jakarta. Tampak sekilas, paragraf di atas merupakan bagian luapan kegembiraan penulis ketika menyaksikan anak didiknya sukses menata karir. Hal ini sangat alamiah sekali, sebab bukan tidak mungkin guru-guru yang lain juga akan bertindak hal yang sama dalam menghadapi kasus yang sama pula. Karena barometer kesuksesan pendidikan itu, harus bergerak secara sinergis antara sukses dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotorik1, sebagaimana Bung Hatta pernah berkata dalam kesempatan Dies Natalis Universitas Indonesia di tahun 50-an, bahwa cerdas di sekolah formal itu penting, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah cerdas di dalam sekolah kehidupan. Selain itu, paragraf pertama di atas, secara tersirat juga mendeskripsikan tentang suasana pembelajaran di Madrasah swasta pedesaan yang serba terbatas, baik dilihat dari sarana maupun prasarananya. Artinya, mengajar di madrasah
50
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
yang serba terbatas, terkadang –untuk tidak menyatakan menyakitkan- memang menyurutkan gairah profesionalitas sebagai guru. Namun, benturan ambisi serta idealisme sebagai guru profesional untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi siswa, akhirnya dapat dibendung ketika guru betul-betul telah menemukan media pembelajaran yang efektif dan efesien, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal, baik pada tingkat strategi pembelajaran yang meaning full maupun learning enjoy full. Hasil penelitian tokoh pendidikan dari USA, John Goodlad menunjukkan bahwa peran guru amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran.2 Pendapat ini jelas dapat diterima karena ketika para guru telah memasuki ruang kelas dan menutup pintu-pintu kelas, maka kualitas pembelajaran akan lebih banyak ditentukan oleh para guru. Tentu saja, fenomena ini sangat logis karena ketika proses pembelajaran berlangsung, guru dapat melakukan apa saja di kelas. Ia dapat tampil sebagai sosok yang menarik siswa sehingga perannya dapat 1 Fathurrosyid, Humanisasi Pendidikan Agama, Radar Madura, 16 Juli 2006. 2 Trianto, Profesionalitas Guru Masa Depan, Majalah Mimbar Pembangunan Agama. N No. 223, April 2005, h. 36.
menebarkan pesona motivasi prestasi. Begitu pula sebaliknya, ia akan menjadi sosok yang menyeramkan manakala ia ber-performance sebagai kompeni dalam ruang yang bernama kelas. Persoalannya sekarang, siapa dan apa karakteristik guru profesional? Ontologi Guru Profesional Suatu pekerjaan dapat dikategorikan sebagai pekerjaan profesional apabila memiliki cirri-ciri;3 (a) Memiliki landasan pengetahuan yang kuat (b) Berdasar atas kompetensi individual, bukan atas dasar KKN (c) Memiliki sistem seleksi dan sertifikasi (d) Ada kerja sama dan kompetensi yang sehat antar sejawat (e) Adanya kesadaran profesional yang tinggi (f) Memimiliki kode etik (g) Memiliki sistem sanksi profesi (h) Adanya militansi individual, dan (i) Memiliki organisasi profesi. Pada hakikatnya, dalam proses interaksi belajar mengajar, guru adalah sosok yang memegang peranan penting dalam memberikan pelajaran dan siswa adalah anak yang menerima pelajaran. Dalam mentransfer pengetahuan kepada siswa diperlukan pengetahuan atau kecakapan atau keterampilan sebagai guru. Tanpa ini semua, tidak mungkin proses interaksi belajar mengajar dapat berjalan secara kondusif dan profesional. Disinilah posisi idealisme kompetensi (kemampuan) guru mutlak diperlukan dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap pendidikan murid-murid, baik secara individual atau-pun kolektif-klasikal, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Semua ini berarti memberi penegasan bahwa seorang guru minimal memiliki-dasar-dasar kompetensi (kecakapan) sebagai wewenang dan kemampuan dalam menjalankan tugas sehari-hari.4 Berangkat dari realita di atas, seorang guru perlu memiliki kepribadian, menguasai bahan pelajaran dan menguasai cara-cara mengajar
sebagai dasar kompetensi. Namun ketika guru tidak punya bekal kompetensi yang cukup memadai, maka tidak heran jika kemudian harus diklaim telah gagal dalam memobilisasi proses belajar mengajar. Guru adalah sosok arsitektur yang dapat membentuk dan membangun kepribadian anak didik menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Tugas guru tidak hanya berputar dalam skop sebagai tenaga profesi yaitu mendidik (mentransfer nilai-nilai hidup), mengajar (mengembangkan disiplin ilmu pengetahuan) dan melatih (mengembangkan keterampilan), tetapi juga sebagai tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan yang ikut proaktif terhadap kebutuhan masyarakat, bangsa dan agama.5 Kiprah seorang guru merupakan elemen penting dan punya peran yang cukup signifikan dan strategis dalam sebuah sistem pendidikan baik menyangkut metode, karisma, maupun tingkah laku. Hal ini disebabkan sosok yang akan mendidik, mengajar daan melatih siswa adalah tugas dan tanggung jawab guru. Selain kepribadian guru seperti memberi perhatian, hangat, dan suportif diyakini bisa memberi motivasi yang pada gilrannya bisa meningkatkan prestasi siswa. Empati yang tepat seorang guru kepada siswanya juga dapat membantu perkembangan prestasi belajar mereka secara signifikan. Demkian pula, tidak kalah pentingnya guru perlu membangun citra positif tentang dirinya jika ingin agar siswanya memberi respon dan bisa diajak bekerja sama dalam proses pembelajaran.6 Epistemologi Guru Profesional Pada hakikatnya, dalam pro-
ses interaksi belajar mengajar, guru adalah sosok yang memegang peranan penting dalam memberikan pelajaran dan siswa adalah anak yang menerima pelajaran. Dalam mentransfer pengetahuan kepada siswa diperlukan pengetahuan atau kecakapan atau keterampilan sebagai guru. Tanpa ini semua, tidak mungkin proses interaksi belajar mengajar dapat berjalan secara kondusif dan profesional. Disinilah posisi idealisme kompetensi (kemampuan) guru mutlak diperlukan dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Adapun peranan seorang guru yang bisa dikategorikan sebagai guru professional, baik dalam menciptakan iklim edukatif di internal lembaga sekolah maupun di masyarakat dan juga peranan dalam meningkatkan prestasi belajar siswa, maka ia harus tampil sebagai demonstrator, mediator-fasilitator, organisator, dan sebagai evaluator.7 Sementara WF Connel membedakan tujuh peran guru sebagai pendidik, model, pengajar dan pembimbing, pelajar, komunikator, pekerja administrasi, serta kesetiaan terhadap lembag.8 Jika tugas-tugas tersebut betul-betul melekat dan dijalankan secara serius, maka kondisi dan suasana pembelajaran di kelas akan membuahkan hasil secara optimal. Begitu juga sebaliknya. Pada kenyataannya, ketika seorang guru mengajar di depan kelas, ia telah berkiprah sebagai demonstrator yang mendemonstrasikan pengetahuannya pada siswa. Dengan demikian, sebagai demonstrator, guru harus mempunyai skil dan kemampuan untuk memformulasikan dengan cermat tujuan instruksional pelajaran yang ia berikan, juga harus mampu memahami
3 Suyanto, Pendidikan Profesional Guru, Buletin Pusat Perbukuan Depdiknas, Vol. V, tahun 2001, hal. 7. 4 Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 33. 5 Syaiful, Op.Cit., h. 37. 6 Jamaluddin, Pembelajaran Yang Efektif (Jakarta: Depag RI, 2002), hal. 37. 7 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 7. 8 Beni S. Ambarjaya, Model-model Pembelajaran Kreatif (Bandung: Tinta Emas, 2008), hal. 25.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
51
kurikulum dan metode yang akan diaplikasikan pada siswa.9 Disamping itu pula, guru harus selalu waspada untuk selalu terus menerus meningkatkan pengetahuannya sebagai syarat dalam melakukan tugas sebagai guru dan demonstrator. Tiap orang yang memiliki naluri guru yang murni akan lebih senang hidup terus dengan buku-bukunya daripada sibuk memikirkan isi perutnya. Suatu perasaan kemerdekaan intelektual sangat penting artinya bagi pemenuhan yang sesungguhnya dari fungsi-fungsi guru, sebab memang sudah tugasnya untuk menanamkan pengetahuan serta daya nalar (reasonableness) yang dimilikinya ke dalam proses pembentukan pendapat umum.10 Sebagai mediator, guru dituntut untuk mempunyai kapabilitas dan harapan jangkauan waktu terutama tentang persoalan pedagogikal. Demikian pula, tugas guru sebagai mediator adalah harus mempunyai kemampuan untuk memilih, menggunakan dan mengusahakan media pembelajaran yang baik bagi siswa.11 Sedangkan tugas guru sebagai fasilitator adalah dituntut untuk mempunyai kapabilitas dalam mengupayakan fasilitas sumber pelajaran yang akan diterapkan untuk dijadikan bahan motivasi dalam mencapai tujuan proses belajar mengajar yang baik dalam bentuk keynote speaker, buku, majalah, koran dan lain sebagainya.12 Bagaimana seorang fasilitator bisa berperan secara proporsional? Kita masih mempunyai satu perbandingan secara kasat mata dengan mengibaratkan guru atau fasilitator adalah dalang dan siswa adalah wayang dalam suatu pementasan. Artinya, dengan kondisi yang apa saja dan bagaimana pun guru atau fasilitator akan bisa membawa anak didik ke arah suatu tujuan. Syaratnya, fasilitator harus pandai-pandai membawakan diri, pintar melakukan improvisasi, dan memiliki semangat kerja yang utuh
52
dan konsisten. Pandai membawakan diri terutama yang berkaitan dengan kemampuan membangkitkan semangat dan gairah belajar anak dengan kemampuan membangkitkan semangat belajar anak didik. Asumsi bersama, setiap individu siswa dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing mestinya ada nilai positifnya Sementara tugas guru sebagai evaluator, tentunya guru dituntut punya kapabilitas dan keterampilan dalam memberikan nilai. Sebab prestasi belajar yang telah dicapai oleh siswa bisa diketahui dengan nilai yang diberikan oleh gurunya. Informasi prestasi yang diberikan melalui nilai setelah diadakan evaluasi akan mempunyai pengaruh umpan balik (fedd back) untuk dijadikan letak dasar korektif dan peningkatan proses belajar mengajar di masa yang akan datang.13 Guru Profesional = Guru Efektif Guru merupakan tenaga kependidikan yang mempunyai kesempatan yang paling besar untuk mempengaruhi siswa, baik positif maupun negatif. Hal ini mengingat sebagian besar waktu dalam kehidupan siswa di sekolah adalah bersama guru, sehingga dalam konteks ini tidak mengherankan jika tuntutan kapabilitas, profesionalitas, kompotensi dan kemapanan serta kesiapan secara personal (life skill personality) menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk diaplikasikan. Guru yang profesional perlu melakukan pembelajaran di kelas secara efektif. Adapun cirri-ciri efektif adalah14: 1. Memiliki kemampuan yang terkait dengan iklim belajar di kelas: · Memiliki kemampuan interper9
sonal, khususnya untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada siswa dan ketulusan. · Memiliki hubungan baik dengan siswa · Mampu menerima, mengakui dan memperhatikan siswa secara tulus. · Menunjukkan minat dan antusias tinggi dalam mengajar. · Mampu menciptakan atmosfer tumbuhnya kerja sama dan kohesivitas dalam dan antarkelompok. · Mampu melibatkan siswa dalam mengorganisasikan dan merencanakan kegiatan pembelajaran. · Mampu mendengarkan siswa dan menghargai siswa untuk berbicara dalam setiap diskusi. · Mampu meminimalkan friksifriksi di kelas, jika ada. 2. Memiliki kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen pembelajaran: · Memmiliki kemampuan untuk menghadapi dan menangani siswa yang tidak memiliki perhatian, suku menyela, mengalihkan pembicaraan dan memberikan transisi substansi bahan ajar dalam proses pembelajaran · Mampu bertanya atau memberikan tugas yang memerlukan tingkatan berpikir yang berbeda untuk semua siswa. 3. Memiliki kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik (feedback) dan penguatan (reinforcement): · Mampu memberikan umpan balik (feed back) yang positif terhadap respons siswa · Mampu memberikan respons yang bersifat membantu terhadap jawaban siswa yang kurang memuaskan · Mampu memberikan bantuan professional kepada siswa jika diperlukan
Uzer, Op.Cit., hal. 8. Bertrand Russel, Pergolakan Pemikiran (Jakarta: Gramedia, 1988), hal. 5. 11 Uzer, Op.Cit., hal. 9. 12 Ibid., hal. 10. 13 Ibid., hal.11. 14 Suyanto, Pendidikan Profesional Guru, Loc.Cit., 10
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
4. Memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri: ¡ Mampu menerapkan kuri-kkulum dan metode mengajar secara inovatif ¡ Mampu memperluas dan menambah pengetahuan mengenai metode-metode pengajaran ¡ Mampu memanfaatkan perencanaan guru secara berkelompok untuk menciptakan dan mengembangkan metode pengajaran yang relevan. Aksiologi Guru Profesional Pengakuan terhadap guru sebagai tenaga professional, menurut Sugian Noor15 akan diberikan jika guru telah memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik yang dipersyaratkan. Kompetensi yang dimaksud yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan professional. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran. Evaluasi pembelajaran dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasi berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian adalah penguasaan atau pemilikan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, sehingga mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi belajar secara luas dan mendalam, sehingga mampu membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi, sedangkan kompetensi sosial adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua, dan masyarakat. Jika seorang guru belum mempunya kompetensi di atas, maka bukan tidak mungkin pendidikan kita akan gagal. Kalau pendidikan kita gagal, maka masa depan bangsa kita akan sangat menderita, bu-
kan hanya sekadar terbelakang. Demikian pula, pendidikan yang tidak mempunyai misi etika akan menghancurkan kehidupan, sedangkan pendidikan yang tidak mempunyai perencanaan yang bagus akan menggelapkan masa depan. Adapun pendidikan yang tidak menghasilkan anak terdidik yang kreatif dan inovatif, maka dalam waktu yang relatif singkat, peran guru sebenarnya telah menjadi sosok yang telah mencetak penganggur intelektual.16 Pendidikan yang diberikan guru memang tidak secara langsung akan memberikan keuntungan ekonomis dan kemakmuran bagi masyarakat Indonesia. Namun, pendidikan merupakan investasi mahal karena akan memberikan andil besar dalam pembentukan pola pikir, etos kerja, dan tentu saja kemampuan akademis murid-muridnya,17 termasuk di dalamnya kapabilitas kreativitas dunia tulis-menulis, sebagai investasi masa depan mereka. Memang, pada hakikatnya, mendidik siswa agar kreatif menulis merupakan persoalan yang akut manakala gurunya tidak berkompeten dan tidak cerdas menyiasati penggunaan strategi multi metode dan media pembelajaran, sebab kondisi dalam kelas terdapat kecerdasan majemuk, setidaknya menurut penelitian Howard Gardner yaitu berupa kecerdasan verbal, visual, matematis, musikal, kinestetik, interpersonal dan intrapersonal.18 Mempercayai teori-teori yang dikemukakan oleh Howard ini, penulis berinisiatif untuk merealisasikannya ke dalam kelas, tempat tugas penulis mengajar Bahasa Indonesia, sehingga penulis tertuntut untuk
mencari alternatif media pembelajaran yang paling murah dan sederhana, mengingat situasi dan kondisinya sangat tidak memungkinkan. Adapun media pembelajaran yang paling banyak memberi inspirasi dan cukup membantu penulis untuk mentransfer materi, di antaranya adalah dokument pribadi penulis; koran bekas Jawa Post Group. Jujur saja, meskipun koran ini –sampai sekarang- belum masuk ke desa madrasah penulis mengabdi, namun berkat kesenangan disertai atas nama panggilan jiwa sebagai guru, tradisi mengeluarkan uang sebesar 2000 rupiah untuk membeli koran berkas tiap minggu ke pusat kecamatan, sunguh sangat luar biasa sebagai strategi pembelajaran. Dokument koran-koran bekas itu, penulis gunakan, misalnya KD (kompetensi dasar) siswa dapat memahami unsur-unsur pemberitaan yang meliputi 5W+1H. Langkah pertama, penulis menyampaikan materi tersebut secara verbal sebagai bagian dari memperkuat dan mempermudah pemahaman mereka. Kemudian dilanjutkan dengan membagibagikan lembaran pemberitaan koran bekas yang dilansir Jawa Post. Adapun metode yang digunakan penulis adalah metode inquiry19 di mana setiap siswa bertugas untuk menemukan sendiri unsur-unsur berita tersebut dan hasil tiap temuannya diminta agar digunting dan ditempelkan di atas kertas kosong secara individual. Pada konteks ini, penulis tidak perlu menjejalkan seluruh informasi ke dalam benak anak. Sebab siswa pada hakikatnya telah memiliki potensi dalam dirinya untuk menemukan sendiri informasi itu. Informasi
15
Sugian Noor, Pembinaan Profesi Pendidikan, http://banjarmasinpost.co.id/mobile A. Qadri Azizy, Departemen Dikti dan Riset, Harian REPUBLIKA Jakarta Situs : www.republika.co.id Edisi Sabtu, 19 Juni 2004. 17 Uswah Prameswari, Menggugat Komitmen Depdiknas, Harian Pagi Jawa Post, Surabaya Edisi Rabu, 31 Agustus 2005. 18 Beni S. Ambar Jaya, Op.Cit., hal. 92-98. 19 Metode inkuiri adalah suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi obyek dan percobaan lain, sebelum sampai kepada generalisasi. Sebelum sisiwa sadar akan pengertian, guru tidak menjelaskan dengan kata-kata�, Lihat selengkapnya, Suryobroto, Metode Pengajaran di Sekolah (Yogyakarta: Amarta, 1985), hal. 81-82. 16
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
53
yang disampaikan guru hendaknya hanya dibatasi pada informasi yang benar-benar mendasar dan “memancing” siswa untuk “menggali” informasi selanjutnya. Jika kepada siswa diberikan peluang untuk mencari dan menemukan sendiri, maka mereka akan merasakan gerakan pikiran, perasaan dan hati. Gerakan-gerakan dalam diri anak ini akan membuat kegiatan belajar itu tidak akan membosankan tetapi justeru semakin menggairahkan.20 Tentu saja, strategi ini memberikan nuansa tersendiri sehingga suasana kelas berubah 100 derajat dari suasana yang mencekam menjadi menyenangkan. Sebab setiap siswa berada dalam kondisi kompetitif untuk memburu berita sesuai dengan keinginan dan selera masingmasing, bahkan yang mengejutkan sekali dalam monitoring penulis hingga ada sebagian siswa yang geleng-geleng kepala lantaran menemukan berita aksi pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang kakek terhadap cucunya sendiri. Strategi metode dan media di atas menjadi urgen lantaran tugastugas dan contoh-contoh pemberitaan yang terdapat dalam buku paket atau LKS (lembar kerja siswa) belum merepresentasikan tentang unsur-unsur pemberitaan pada tataran praktis. Selain itu, strategi tersebut secara otomatis sudah masuk pada lintas pemebelajaran baik dari sisi religi, budaya, moral dan sosial. Tidak jauh berbeda dengan kondisi di atas, penulis juga memanfaatkan koran bekas Jawa Post, misalnya dalam KD siswa dapat menulis surat lamaran pekerjaan dengan baik. Sekedar perlu diketahui, bahwa contoh-contoh lowongan pekerjaan dalam buku paket atau LKS –lagi-lagi- terkadang tidak membumi pada siswa, -utamanya siswa kelas III yang sebentar lagi ada sebagian dari mereka yang akan masuk pada dunia kerja-, sebab secara visual mereka tidak bisa melihat dan merasakan langsung tentang kompleksitas kolom
54
dunia iklan lowongan pekerjaan yang mirip gaya tulisan “sms”. Karena itu, penulis menyiasati dengan cara memberikan potongan iklan lowongan pekerjaan dan membagi kelas dalam dua kelompok. Kelompok pertama bertugas sebagai pelamar pekerjaan, sedangkan pihak yang bertugas sebagai instansi yang mengeluarkan iklan lowongan adalah kelompok kedua. Proses pembelajaran terus berlangsung, namun penulis yakin bahwa siswa tidak merasa berada dalam ruang kelas yang selama ini dianggap sebagai penjara kecil, sebab suasana kelas di-setting layaknya sebuah instansi yang sedang dibanjiri pelamar kerja. Ada yang mondarmandir mengajukan surat lamaran, ada yang duduk sambil harap-harap cemas menunggu kepastian diterimanya sebagai tenaga karyawan, namun ada pula yang meloncat-loncat kegirangan. Penulis yang bertindak sebagai pemantau dapat memastikan bahwa siswa yang lagi senang itu merupakan siswa yang lolos verifikasi, sesuai dengan kualifikasi dan persyaratan yang dikeluarkan oleh instansi temannya sendiri. Berbeda dengan KD di atas, KD siswa dapat membedakan macammacam paragraf baik narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi dan persuasi misalnya, penulis memanfaatkan dokumen koran-koran bekas Jawa Post tersebut hanya sebagai contoh-contoh konkrit sehingga siswa dapat membedakan paragraf tersebut secara realis. Menunujukkan aneka contoh merupakan starting point dalam mentransimisikan materi pada siswa, sebab semakin banyak contoh yang diberikan, maka pemahaman siswa terhadap materi terkait semakin mantap. Adapun langkah pembelajaran pertama adalah membagikan guntingan foto kopi Show Selebiriti secara kelompok tentang kisah perjalanan 3 Diva atau cerita kronologis berita 20 21 22
aksi pembacokan untuk pemahaman paragraf narasi misalnya, sedangkan guntingan foto kopi feature untuk pemahaman paragraf deskripsi. Metode pembelajaran yang demikian, penulis lakukan karean tugas guru yang sebenarnya adalah memberikan “kunci” atau “kail”,21 bukan terlibat langsung menyodorkan solusi. Setelah diyakini mereka menguasai tugas yang telah penulis berikan, langkah berikutnya, penulis memberikan PR agar setiap siswa bisa me-record dan menceritakan kembali ke dalam suatu karya tulis tentang persitiwa yang pernah dialami selama 24 jam pada hari Rabu, misalnya. Selain itu, penulis juga meminta agar setiap siswa menggambarkan suasana ruang tidur yang ada di rumahnya masing-masing, seperti halnya bentuk-bentuk paragraf yang telah penulis berikan. Langkah ketiga, setiap siswa – keesokan harinya- diminta menukar hasil PR-nya masing-masing dan membacakannya satu-persatu, sekaligus diberi kesempatan untuk memberikan penilaian hasil pekerjaan temannya secara kritis. Ternyata, strategi pembelajaran tersebut, sungguh hasilnya sangat menggairahkan dan menyenangkan. Dalam konteks sistem pembelajaran modern, metode pembelajaran semacam ini tidak lagi menjadikan siswa hanya sebagai komunikan (penerima pesan) an-sich, tetapi lebih jauh mereka telah menjadi komunikator (penyampai pesan).22 Indikasi keberhasilan itu dapat dirasakan ketika hampir semua siswa dapat mengomentari dengan argumentasi logis-obejektif tentang kelebihan dan kekurangan hasil pekerjaan temannya, bahkan perhatian penulis begitu terkesima tatkala ada seorang siswi membeberkan secara kritis-analitis kekurangan unsur-unsur paragraf deskripsi hasil tulisan (PR) seorang siswa yang duduk di
Smiawan Conny, dkk., Pendekatan Keterampilan Proses (Jakarta: Gramedia, 1985), h.13. Abdullah Munir, Spritual Teaching (Jogjakarta: Pustaka Insan Madani, 2007), hal. 59. Rudi Susilana, Medai Pembelajaran (Bandung: Waca Prima, 2007), hal. 4.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
bangku paling depan. “Karya Andri kurang detail, sebab dalam kamarnya masih ada sebuh aquarium mungil di dekat pintu belum dipaparkan”, bantah siswi itu. Ternyata usust-ketemu usut, siswi yang kritis tadi adalah saudara sepupu Andri sendiri. Dari semua fenomena di atas, satu hal yang ingin penulis ketengahkan bahwa sebuah metode dan media pembelajaran merupakan strategi yang sangat artikulatif dalam kelas. Artinya, suatu aktivitas belajar-mengajar tidak akan sempurna atau paling tidak kurang memberikan makna yang bisa melekat pada memori siswa apabila tidak didukung oleh multi metode dan media pembelajaran yang dapat memobilisasi gairah belajar mereka. Sebab esensi dari media pembelajaran merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan motivasi siswa untuk belajar23. Urgensitas multi metode dan media pembelajaran dalam kelas yang visible dan reable, setidaknya berimplikasi pada dua kenyataan; Pertama, dunia guru. Kehadiran guru ke dalam kelas dengan “memanjakan” satu metode –dalam hal ini ceramah-, hanya akan menguras energi. Guru yang demikian jelas tidak tahan banting. Performanya penat dan loyo manakala sudah sampai pada jam terakhir dengan segala suasana kelas yang serba panas. Frekuensi emosinya mudah meledak-ledak ketika siswanya tidak paham. Padahal, yang semestinya patut dipertanyakan dan disalahkan adalah efektivitas metode dan media yang digunakan. Kedua, dunia siswa. Motivasi belajar siswa, intensitas konsentrasi dan suasana kelas yang menyenangkan lainnya adalah tergantung pada kecerdasan seorang guru dalam mengaplikasikan metode dan media. Dalam konteks ini, guru merupakan icon keberhasilan suatu proses pembelajaran dalam kelas. Ketiga, suasana kelas. Dalam
dekade terakhir ini, sekolah dalam titik jenuhnya (saturation of point) telah gagal pula mengaktualisasikan metode Androgoginya, yaitu metode pendidikan yang memposisikan anak didik sebagai orang dewasa yang harus diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk memformulasikan arah futuristiknya, menganalisis dan mengambil manfaat dari pendidikan yang -telah atau sedangditempuhnya. Sementara metode Pedagogi yang -memposisikan siswa secara pasif; guru aktif, siswa dievaluasi; guru mengevaluasi dan siswa digurui; guru menggurui- selalu menjadi lokomotif paling afdol yang tidak pernah hengkang dari dunia pendidikan kita. Sudah jamak kaprah dilakukan oleh para guru yang menganggap siswa sebagai sosok setengah manusia (subhuman) dan jarang memperlakukan mereka sebagai sosok yang benar-benar manusia (human).24 Dari semua paparan di atas, ternyata instrumen antara metode dan media pembelajaran ibarat pelepas dahaga bagi seorang yang sedang berada dalam perjalanan yang melelahkan. Sebab rata-rata, semua siswa merasakan suasana kelas menjadi sebuah “jeruji emas” ketika performa gurunya tidak bersahabat, metodenya
tidak menggairahkan dan medianya tidak menyenangkan. Karena itu, tidak heran jika kemudian seorang Robert T. Kiyosaki dalam bukanya yang berjudul Rich Dad Poor Dad –sebagaimana dikutip oleh Bisri- mengatakan, “Saya suka belajar, tapi saya benci sekolah. Saya bukannya tidak menyukai sekolah. Hanya saja aku membencinya lantaran suasana dalam kelas tidak ubahnya seperti berada dalam penjara. Saya benar-benar benci dipaksa duduk dan mendengarkan selama berbulan-bulan tentang topik yang sama sekali tidak saya minati”. Suasana belajar yang dipaparkan oleh Robert di atas merupakan potret buram pendidikan kita. Realitas tersebut ada di sekitar kita, bahkan ada dalam sistem pendidikan kita, sehingga tidak heran jika kemudian siswa-siswi kita meloncatloncat kegirangan manakala mereka tahu bahwa gurunya sedang berhalangan masuk kelas. Akan tetapi, jika instrumen antara multi metode dan media pembelajaran itu dapat kita manfaatkan dengan baik, maka gagasan kritis yang pernah dilontarkan oleh Robert di atas dengan sendirinya dapat kita tumbangkan, dan suasana kelas berhasil kita pulihkan menjadi “istana kecil” yang e indah dan elegan. g
DAFTAR PUSTAKA Ambarjaya, Beni S. 2008. Model-model Pembelajaran Kreatif. Bandung: Tinta Emas. Azizy, A. Qadri. 2004. Departemen Dikti dan Riset, Harian REPUBLIKA Jakarta Situs : www.republika.co.id Edisi Sabtu, 19 Juni. Conny, Smiawan . dkk. 1985. Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: Gramedia. Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Guru Dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta. Fathurrosyid. 2006. Upaya Humanisasi Pendidikan Agama. Radar Madura. Jamaluddin. 2002. Pembelajaran Yang Efektif . Jakarta: Depag RI. Munir, Abdullah . 2007. Spritual Teaching. Jogjakarta: Pustaka Insan Madani. Noor, Sugian. Pembinaan Profesi Pendidikan, http://banjarmasinpost.co.id/mobile Prameswari, Uswah. 2005. Menggugat Komitmen Depdiknas, Harian Pagi Jawa Post, Surabaya. Edisi Rabu, 31 Agustus. Russel, Bertrand. 1988. Pergolakan Pemikiran. Jakarta: Gramedia. Suyanto. 2001. Pendidikan Profesional Guru. Buletin Pusat Perbukuan Depdiknas, Vol. V. Suryobroto. 1998. Metode Pengajaran di Sekolah. Yogyakarta: Amarta. Susilana, Rudi. 2007. Medai Pembelajaran. Bandung: Waca Prima. Trianto. 2005. Profesionalitas Guru Masa Depan. Majalah Mimbar Pembangunan Agama. N No. 223, April. Usman, Moh. Uzer. 1994. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya. 23 24
Ibid., Fathurrosyid, Lo.Cit.,
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
55
artikel lepas
Politik Pendidikan
&
Dilematika Penyelenggaraan Pendidikan
Halida
Halida Nurmayanti Nurmayanti, lahir di Surabaya, 19 Nopember 1973. Aktifitas sekarang mengajar di SMP negeri 2 sumenep. Anggota ISPI (Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia) dan MSS (Masyarakat Sastra Sumekar). Selain itu, tetap konsisten menulis di beberapa media cetak. Saat ini, ia menetap di Jl. Potre Koneng II Blok GC – 11 Perumahan Bumi Sumekar Asri Kolor Sumenep. Email : adnil gc11@plasa.com.
Sebagian besar orang mungkin pernah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nurani, apalagi bila dihadapkan pada politik. Lalu apakah benar politik harus demikian? Lalu bagaimana dengan dampak politik pendidikan terhadap penyelenggaraan pendidikan? Dalam masyarakat modern pada umumnya, pendidikan adalah komoditi politik yang sangat penting. Proses dan lembaga-lembaga pendidikan memiliki aspek dan wilayah politik yang banyak. Serta memiliki beberapa fungsi penting yang berdampak pada sistem politik, stabilitas dan praktik sehari-harinya. Dalam arti bahwa pendidikan merupakan wilayah tanggung jawab pemerintah yang besar. Karena besarnya nuansa politik dari kebijakan-kebijakan pendidikan, maka berbagai faktor politis yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan turut mempengaruhi bagaimana kebijakan-kebijakan pendidikan dibuat. Sebagai wilayah tanggung jawab pemerintah, pendidikan juga sering dipaksa “ menyesuaikan diri “ dengan pola-pola administratif umum dan norma-norma yang berlaku. Dengan demikian, jika politik dipahami sebagai “ praktik kekuatan, kekuasaan, dan
56
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
otoritatif tentang alokasi sumber daya dan nilai – nilai sosial “ (Harman. 1974 : 9) maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis poltik1. Yang berarti pula bahwa semua lembaga pendidikan, baik pemerintah maupun non pemerintah, dalam batas-batas tertentu tidak terlepas dari bisnis pembuatan keputusan-keputusan yang disertai otoritas dan yang dapat diberlakukan. Sebuah keputusan yang dibuat dalam rapat-rapat guru sekolah untuk mengimplementasikan sebuah program pengajaran baru sama politisnya dengan sebuah keputusan yang dibuat oleh departemen pendidikan dalam rangka mengalokasikan sebuah dana bantuan untuk sekolah – sekolah tertentu. Hal ini menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Dengan kata lain, politik adalah bagian dari paket kehidupan lembaga pendidikan. Bahkan menurut Baldridge (1971) lembaga-lembaga pendidikan dapat dipandang sebagai sistem-sistem politik mikro yang melaksanakan semua fungsi-fungsi utama sistem politik.
Krisis Dunia Pendidikan Dari keterkaitan politik dan pendidikan yang saling memengaruhi tersebut, apakah keduanya mampu sejalan dan seirama di dalam penyelenggaraannya? Mengingat, dari dua perspektif tersebut dapat melahirkan multi orientasi yang saling berbeda bahkan bisa saling bertolak belakang. Salah satu contoh yang dapat kita ambil adalah komplikasi antara bisnis oriented dan education oriented dalam pendidikan. Sebenarnya tidak ada yang salah dari keduanya jika dijalankan secara “manis“. Namun hal tesebut akan terkesan “ dipaksakan “ jika salah satunya terdominasi. Dalam perspektif teori pendidikan mekanistik (mechanistic theories of education) yang diperkenalkannya, Apple (1982 ; viii) mengingatkan : “ kita mesti sensitif terhadap cara-cara sekolah dan institusi lainnya terperangkap dalam berbagai kebutuhan dan kekuatan yang saling bersaing “. Hal yang sama juga bisa dan akan terjadi terhadap guru-guru dan peserta didik yang ada di ruang kelas di sekolahsekolah tersebut “. Persoalannya, ujar Apple (1982 : ix) “ what’s good for business is good for the country and its people maynot be very good educational policy “ (apa yang baik bagi bisnis, baik bagi negara dan rakyatnya mungkin tidak begitu baik bagi kebijakan pendidikan). Meski dasar pandangan Apple tersebut adalah hasil pengamatannya terhadap dunia pendidikan di Amerika Serikat, dimana kapitalisme merajalela, namun dengan cara yang berbeda hal serupa bisa saja terjadi di negara kita. Sebagai contoh adalah sertifikasi guru, merupakan kebijakan yang baik menurut saya untuk mengangkat status sosial ekonomi guru sebagai penyelenggara pendidikan. Namun hal ini menjadi tidak baik manakala seorang guru melupakan esensi utama dari keprofesiannya sebagai
guru. Sehingga para guru bisa jadi tidak lagi bekerja keras untuk pencerahan intelektual dan kematangan emosional, tetapi bekerja keras hanya untuk sekedar meraih prestasi-prestasi ekonomi. Bahkan ada yang sampai rela menggunakan segala cara. Ironinya, ketika dunia pendidikan mulai diperhatikan, kesejahteraan guru mulai mendapat jaminan, keadaan kontras malah terjadi pada hasil dan mutu pendidikan kita yang semakin melemah. Hal ini bisa dilihat dari fenomena krisis budi pekerti yang semakin merajalela. Pertanyaannya adalah apa yang membuat mereka, para peserta didik seolah tidak lagi tertarik dan malah semakin menjauh dari kegiatan pendidikan, lalu kemanakah larinya para penyelenggara pendidikan? Ataukah mereka terlalu sibuk menyesuaikan diri dengan berbagai kebijakan pemerintah? Dan adilkah bila penyelenggara pendidikan disebut sebagai penyebab utama dari krisis tersebut? Dalam konteks Indonesia, Muchtar Buchori 2 berpendapat bahwa“ poor education is one source of the country’s crisis“ (pendidikan yang tidak bermutu adalah salah satu sumber krisis di negara ini). Krisis yang saat ini melanda bangsa ini (Indonesia) bersumber dari akumulasi keputusan-keputusan politik yang tidak tepat yang terjadi di masa lalu. Sedangkan Apple (1993 : 65 berpendapat bahwa retorika tentang sistem terbaik tersebut sedang mengalami kehancuran, bukan karena sekolah gagal meningkatkan kemampuan teknis peserta didik, bukan pula karena sekolah-sekolah telah gagal mengembangkan sistem yang komprehensif untuk mengidentifikasi, kuantifikasi dan serifikasi bakat yang ada, tetapi karena berbagai
faktor yang sejak tahun 1970-an semakin menjadi-jadi, yaitu krisis negara. Sejalan dengan berantakannya kehidupan komunal di bawah tekanan revolusi urban dan industri. Persoalan ini memunculkan pertanyaan, yaitu apakah masih mungkin mengembalikan fungsi sekolah sebagai wisdom of education? Sementara faktor – faktor eksternal terlalu banyak memberikan dampak yang bersifat“ mengganggu“ tujuan asasi pendidikan. Sehingga hal ini memunculkan berbagai dilema yang pada akhirnya membuat sekolah bisa tidak lagi menjadi pusat pencerahan masyarakat, melainkan menjadi pusat problematika masyarakat. Aspek Pendidikan Dan Konflik Era Otoda Pada hakekatnya pendidikan mempunyai jangkauan yang sangat luas. Dalam rangka mencapai kesempurnaannya, memerlukan waktu dan tenaga yang tidak kecil. Sebagaimana dikenal pula pernyataan ilmu kepeda peserta didik: ”berilah aku seluruh yang engkau miliki, maka akan aku berikan sebagian yang aku punyai“.3 Yang pasti ungkapan dan pernyataan itu belum sepenuhnya kita laksanakan. Hanya sedikit waktu yang disediakan oleh peserta didik dan kecil sekali dana, tenaga dan perhatian yang diberikan oleh mereka yang memilikinya untuk pengembangan pendidikan. Walau demikian kita tahu bahwa kebijakan otoda merupakan bagian integral dari program reformasi sistem pemerintah dan pembangunan secara menyeluruh, dan pendidikan adalah salah satu aspek yang mendapat perhatian sangat besar di dalamnya. Kesadaran tersebut tergambar pada rumusan arah dan strategi pembangunan
1
M.Sirozi ( 2005 : 19 ) Muchtar Buchori seorang pembicara dalam seminar tentang Education and The Nation’s Crisis yang rangkumannya dimuat The Jakarta Post 20 maret 2001 dengan judul Politics, Education Inseparable 3 M. Quraish Shihab ( 1994 : 349 ) 2
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
57
nasional sebagaimana termuat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 yang di tetapkan melalui rapat paripurna ke 12 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 19 oktober 1999 dan dijabarkan melalui Undang-Undang RI nomor 25 tahun 2000 tentang pembangunan nasional tahun 2000 – 2004. UU tesebut menegaskan bahwa di tengah krisis multidimensi dan arus globalisasi yang sedang dihadapi, bangsa Indonesia menghadapi 4 masalah utama pendidikan, yaitu rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan, masih lemahnya manajemen pendidikan dan belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademis (Sirozy,2005:203). Sejalan dengan hal itu, kebijakan otoda juga membuka ruang politik yang lebar bagi berbagai kelompok kepentingan untuk mempresentasikan nilai-nilai atau kepentingan-kepentingan pendidikan baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Ruang politik yang lebar tersebut membuat proses kebijakan pendidikan di era otoda menjadi sangat dinamis dan raw-
58
an konflik baik secara horisontal dan vertikal. Konflik horisontal dapat terjadi pada skala besar seperti antara berbagai departemen yang terlibat langsung dalam pengelolaan pendidikan. Dan, dapat juga terjadi dalam skala kecil seperti antar propinsi, antar kabupaten/ kota atau antar sekolah. Sedangkan secara vertikal, konflik pendidikan di era otonomi daerah dapat terjadi antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah; antar pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah propinsi; antar kepala sekolah dan guru – guru; dan antar pihak sekolah dan masyarakat. Selain itu, otonomi daerah yang tak terkendali yang melahirkan rajaraja kecil juga memperparah situasi konflik.4 Sebagaimana apa yang disebut konflik, hal ini dapat dipicu oleh terjadinya benturan-benturan kepentingan (conflik of interest) dalam berbagai aspek penyelenggaraan pendidikan seperti aspek pedagogi, kurikulum, organisasi dan evaluasi. Sehingga semua hal tersebut terkadang harus mempertaruhkan satu hal yang paling prinsip yang dalam aspek pedagogi disebut prinsip kejujuran dalam men4
Baidhawi ( 2002:22 )
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
didik. Kenyataan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor internal tapi juga faktor eksternal yang mungkin merasa tidak harus bertanggung jawab atas pengembangan kualitas pendidikan. Akhirnya, problematika internal muncul bagai bola benang kusut yang bila ditarik semakin membelit. Sebagai salah satu contoh problematika yang paling menjadi buah simalakama bagi penyelenggara pendidikan saat ini adalah tentang kelulusan yang ditentukan oleh standarisasi UNAS dengan dasar pertimbangannya adalah agar mutu pendidikan “ terlihat baik“ bukan “sungguh- sungguh baik“. Dengan kata lain, hal ini bisa disebut sebagai desentralisasi yang sentralisasi yang pada akhirnya memunculkan sesuatu yang dipaksakan. Sehingga sudah menjadi rahasia umum bila akhirnya sekolah harus membantu kelulusan siswa dengan segala cara atau kebohongan nurani pun tak dapat dihindari. Lalu apa dampak bagi peserta didiknya? Tentu saja peserta didik semakin meremehkan proses pembelajaran dalam arti semakin tidak peduli dengan bahan yang diajarkan. Sebaliknya, dari apa yang mereka saksikan, ada satu ilmu “sesat“ yang akhirnya mereka tanam dalam hati mereka seumur hidup bahwa menggunakan “segala cara“ adalah sesuatu yang dihalalkan, dan satu lagi paham yang akan mereka anut bahwa demi sebuah image, manusia tidak harus berbuat jujur. Dari fenomena ini tanpa kita sadari, dunia pendidikan kita telah mencetak dan mempersiapkan generasi yang akan datang sebagai sebuah generasi yang lebih parah dari generasi kita sekarang ini dalam hal men-
tal dan intelektual. Ini menunjukkan bahwa terkadang orientasi politik dan pendidikan tidak saling sejalan dan saling mendukung. Seperti yang telah dikatakan bahwa apa yang baik bagi politik belum tentu baik bagi pendidikan. Standarisasi kelulusan yang dianggap baik bagi kehidupan politik dan masyarakat belum tentu memberikan dampak baik bagi asasi pendidikan bila hal tersebut terlalu dipaksakan. Bukankah hakekat pendidikan adalah penggodokan mental dan intelektual, dan kelulusan hanyalah merupakan sebagai hadiah bagi proses tersebut, bukan sebagai penentu yang dapat dinilai. Lalu bagaimana dengan para pendidik? Mereka tak ubahnya bagai makan buah simalakama, menusuk diri sendiri atau menusuk apa yang sudah menjadi amanah profesi mereka? Sungguh kenyataan yang sangat menyedihkan. Ketidak Berdayaan Profesional Gambaran di atas hanya merupakan salah satu contoh kecil diantara contoh-contoh besar lainnya yang mungkin kurang mendapat perhatian dalam pertimbanganpertimbangan pemberian keputusan dalam kaitannya dengan dampak pendidikan. Dan, ketika seorang profesional pendidikan menilai suatu keputusan bersifat politis, bisa jadi perilaku ini muncul dari rasa frustrasi dan ketidakberdayaan. Sungguh tidak dapat disangkal bahwa banyak para profesional pendidikan merasa terancam. Hal ini bisa terjadi manakala iklim opini publik memberi perlawanan terhadap pendidikan, pemerintah mengurangi anggaran pendidikan dan sekolah-sekolah dipersalahkan atas berbagai kekurangan. Dengan demikian, ketidak berdayaan profesional dapat melahirkan hambatan baru. Para profesional bisa saja menjadi patah semangat, terganggu dan frustrasi. Mereka tidak mampu bekerja se-
bagaimana apa yang menurut mereka harus mereka kerjakan karena seringkali keputusan – keputusan dibuat oleh orang lain dan tidak dibuat oleh para profesional atas landasan teknis. Lalu keputusan – keputusan tersebut dibuat oleh kelompok nonprofesional dengan landasan politis. Reaksi tesebut sungguh dapat dimengerti karena dalam berbagai bidang kehidupan para profesional merasa terancam karena otonomi dan keahlian mereka ditantang dan digerogoti. Namun dalam pandangan Harman ( 1980 : 32 ) bagi para profesional pendidikan, mengisolasi diri dari dunia politik adalah menyesatkan dan tidak menguntungkan. Menyesatkan, karena domain profesionalisme dan politik tidak dapat dipisahkan begitu saja, dan dalam konteks apapun keputusan-keputusan tentang pendidikan jarang dibuat semata-mata atas dasar pertimbangan-pertimbangan teknis. Tidak menguntungan. Karena input dari para profesional dalam proses kebijakan sangat diharapkan. Dari hasil penelitian J. Campbell5 dan kawan-kawan tentang upaya menyusun parameter khusus untuk sisi kondisi dalam berbagai organisasi juga menyebutkan satu hal diantaranya yang sejalan dengan organisasi pada umumnya adalah sentralisasi kebijakan-kebijakan dan konsistensi manajemen terhadap kebijakankebijakan yang penting dapat mempengaruhi kebaikan produktifitas individu. Bila ditarik kesimpulan, hal ini akan memberi sebuah jawaban atas persoalan-persoalan mendasar dalam dunia pendidikan kita bahwa sinkronisasi antara kebijakan, sosialisasi dan dampak yang diharabkan masih belum memberikan solusi pencerahan terhadap persoalan pelik pendidikan
yang kita hadapi sekarang. Sebaliknya, menambah hambatan baru bagi para profesional dalam hal motovasi kerja, produktifitas dan kualitas pendidikan itu sendiri. Tantangan Kedepan Segala bentuk dilema yang dihadapi oleh para profesional pendidikan memperlihatkan bahwa persoalan – persoalan pendidikan sulit dipahami dengan baik tanpa melihat konteks politik dari persoalan – persoalan tersebut. Begitu juga sebaliknya, berbagai persoalan politik sulit dipahami tanpa melihat konteks pendidikan dari persoalan tersebut. Semua itu juga membuktikan bahwa persoalan kependidikan tidak hanya ada di dalam ruang kelas atau di lingkungan sekolah, tetapi juga ada di berbagai sektor kehidupan lainnya. Harman (1980 : 32) menyarankan agar para profesional pendidikan tidak patah semangat karena otonomi yang sangat terbatas dalam penyusunan kebijakan. Tetapi sebaliknya, berupayalah mengenal berbagai saluran yang dapat digunakan untuk turut serta dalam penyusunan dan penerapan – penerapan kebijakan serta perlu juga meningkatkan keterampilan untuk dapat berpartisipasi secara efektif, melakukan studi politik pendidikan dan terus berupaya memahami liku-liku kompleksitas hubungan antara pendidikan dan politik. Namun tidak hanya itu, hal yang paling penting adalah merealisasikan perubahan paradigma, yaitu paradigma baru dalam politik pendidikan. Sebab meski kita telah memiliki paradigma baru, kenyataannya kita masih sering menggunakan paradigma lama dalam berbagai sektor. Sementara negara barat khususnya Amerika Serikat telah lebih dulu meyakini bahwa pendidikan adalah fungsi khusus
5 J. Campbell.et al. The Measurement Of Organization Effectiveness : A Review Of Relevant Research and Opinion (San Diego, California; Naval Personal Research and Development Centre, 1974 )
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
59
pemerintah yang terpisah dari politik dan semata – mata berpijak pada nilai profesional.6 Dalam hal ini, Kirst dan Mosher (1969 : 625) juga menggambarkan keyakinan tersebut sebagai berikut : “ education is a unique of goverment that must have its own separate and politically independent structure. The administration of education should be uninvolved in ‘ poltics’ and professional unity should be norm“ (pendidikan adalah fungsi unik pemerintah yang harus memiliki sruktur tersendiri yang bebas dari politik. Administrasi pendidikan tidak boleh terlibat dalam politik dan norma mereka seharusnya adalah norma profesional). Sedangkan untuk negara kita apapun norma yang berlaku di dalam politik pendidikan seharusnya yang terpenting adalah tidak mengabaikan nilai-nilai esensi dari pendidikan itu sendiri. Paradigma dalam memahami sebuah mutu dan kualitas bukanlah dipahami sebagai kamuflase dan rekayasa semata. Seperti yang diungkapkan munir dalam bukunya bahwa kelemahan bangsa kita yang religius ini ialah ketidaksediaan melakukan kritik terhadap diri sendiri. Hal ini mungkin berkaitan dengan citra diri yang mutlak disandang oleh sebuah kelembagaan, organisasi daerah ataupun bangsa. Maka hal ini menyebabkan bangsa ini sulit memahami akar penyebab dari krisis yang melanda negeri ini 7). Untuk itu, perlu adanya keyakinan bahwa mutu dan kualitas dari sebuah lembaga profesional sangat erat kaitannya dengan kemampuan lembaga memegang amanah dalam melaksanakan tugas-tugas dan fungsinya. Bukankah dalam perspektif Islam sendiri menilai bahwa memenuhi amanah kerja merupakan jenis ibadah yang paling utama, hal ini ditegaskan pula oleh sabda Rasulullah bahwa kedudukan salah satu diantara kaum fisabilillah (melayani ke-
60
pentingan orang lain dengan amal saleh) lebih utama daripada sholat di rumah selama enam puluh tahun. Ini artinya bahwa para profesional dituntut agar senantiasa megikuti dinamika dunia keprofesionalannya. Ia dituntut untuk mencapai profesionalisme kreatifitas dan kualitas dalam bekerja. Para profesional juga dituntut memahami srategi-strategi mutakhir dalam bekerja. Sejalan dengan hal tersebut ada beberapa fokus yang dapat dikembangkan dalam kajian politik pendidikan8 salah satu diantaranya adalah kontrol fiskal sentralistik dan sentralisasi kurikulum; dampak proses hukum; hubungan antara kurikulum dan minat serta pelatihan guru dengan nilai-nilai politik masyarakat. Menurut Eliot (1959 : 1051), berbagai studi tersebut dapat dipayungi oleh suatu kesadaran bahwa kebijakan publik dalam bidang pendidikan adalah produk dari interaksi (terkadang konflik) yang nyata pada dataran profesional di berbagai tingkat pemerintahan. Jika memang valid, konsepsi tersebut dapat memperlihatkan sumber kekuasaan yang sebenarnya dan jalan utama menuju kemajuan. Sedangakan untuk sekedar pemahaman dalam konteks dinamika kerja baiknya kita juga mengingat kembali apa yang diajarkan Rasulullah
SAW. bahwa sedikit bekerja dengan ilmu berarti banyak dan banyak bekerja dengan kebodohan berarti sedikit (HR. As. Suyuuthi). Catatan Akhir Dari kedua aspek (politik dan pendidikan) yang telah diurai, telah menjelaskan bahwa politik sangat dibutuhkan dalam rangka pengembangan pendidikan. Dan tak dapat dipungkiri pula bahwa pendidikan juga sangat dibutuhkan untuk kecerdasan berpolitik dalam sebuah bangsa. Namun, bila aspek politik lebih dikedepankan ketimbang aspek-aspek pendidikan, maka apa yang disebut desentralisasi atau paradigma baru pendidikan hanya akan menjadi sebuah “dagelan politik“ yang tidak mengubah kinerja atau mutu pendidikan. Sebab yang pasti, untuk mengubah sesuatu untuk menjadi lebih baik dibutuhkan sebuah “kejujuran“. Kejujuran dalam mengakui kekurangan dan kesalahan dan kejujuran niat untuk mengubahnya. Namun bila “kejujuran“ dianggap sebagai “kenaifan“ dan politik dipahami sebagai kecerdikan, kecurangan dan kekuasaan dalam sebuah pengelolaan, maka masih bisakah kita berharab bangsa ini akan menjadi bangsa yang cerdas, bermutu dan berkualitas dari segi politik maupun dari segi e pendidikannya? g
6
M. Sirozi ( 2005 ; 129) Munir ( 2003 ) 8 Harman, G. 1980. Reassesing Reseach In The Politics of Education. In Education Reseach and Perspective. ( The Govermennace of Education ). Departement of Education University of Western Australia 7
DAFTAR PUSTAKA Apple, Michael W. 1989. The State and Education Policy. Milton Keynes. UK : Open University Press. Baidhawi, Zakayuddin. 2002. Pendidikan Agama Berwawasan Multi Kultural. Jakarta : Erlangga. Kirst, Michael W dan Wirt, Frederick M. State Influences on Education. Encyclopedia of Educational reseach. Munir, Mulkam Abdul. 2003. Moral Politik Santri. Jakarta : Erlangga. Mursi, Abdul Hamid. 1997. Pendekatan Al – Qur’an dan Saints. Jakarta : Gema Insani Press. Sihab, M. Quraish. 2007. Lentera Hati. Bandung : Mizan. Sirozi, Muhammad. 2005. Politik Pendidikan. Jakarta : Raja Grapindo Persada.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
artikel artikel lepas lepas
Pendidikan Islam dalam Keluarga Bagi Anak Usia 6-12 Tahun
Muhammad
Muhammad, A.Ma Lahir di Sumenep, 12 Pebruari 1974. Aktifitas : sebagai pengajar di SDN Poteran I Kecamatan Ra’as , Ketua BPUPK PNPM-MP Kec. Gapura , Mantan Pengajar dan Mantan PKM Kurikulum pada MTs Al-In’am di Banjar Timur Gapura .
Jika melihat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan adalah: proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan1. Secara umum pendidikan diartikan sebagai proses membimbing manusia yang dilakukan dengan jalan membina potensi-potensi pribadi, yaitu rohani (pikir, karsa, rasa, cipta dan budi) dan jasmani (panca indra dan keterampilan).2 Pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utuh.3 Sedangkan Pendidikan Islam ialah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil), sesuai dengan norma islam.4 Dari definisi di atas dapat dilihat betapa luas ruang lingkup dari Pendidikan Islam, seluas pendidikan umum bahkan melebihinya. Karena Pendidikan Islam disamping mencakup pendidikan umum sebagai upaya membina manusia dalam memenuhi kebutuhan yang bersifat jasmaniah (duniawi), juga membina dan mengembangkan pendidikan rohani yang titik beratnya terletak pada internalisasi keimanan, Islam dan ihsan dalam pribadi manusia yang
berpengalaman luas.5 Dengan kata lain, pendidikan Islam bertujuan untuk membina dan mengembangkan fitrah keagamaan, agar kehidupan anak terlandasi oleh nilai-nilai agama, sehingga mampu mengamalkan syari’at Islam secara benar. Keluarga di sini adalah kesatuan fungsi yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang diikat oleh ikatan darah dan tujuan bersama6 (keluarga batih) dan keluarga yang dimaksud adalah keluarga muslim. 1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesi, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994) Edisi kedua, hlm 232 2 Tim Dosen IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hlm 7 3 Ahmad D Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), cet. IV, hlm. 19. Pendapat ini hampir sama dengan pengertian pendidikan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasional BAB I pasal 1 mengemukakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang 4 Ahmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditia Media, 1992), hlm 20 5 H.M. Arifin, Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat, Suatu Pendekatan Filosofis, Pedagogis, Psikologis, dan Kultural, (Jakarta: Golden Trayon, 1994), hlm 8 6 Buseri Kamrani, Pendidikan Keluarga Dalam Islam, (Yogyakarta: Bina Usaha, 1990), hlm 8
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
61
Definisi Anak Adapun yang dimaksud dengan anak disini adalah: orang yang belum dewasa dan sedang berada dalam masa perkembangan menuju pada kedewasaannya masingmasing.7 Dalam artikel ini yang akan dibahas adalah masalah pendidikan anak usia 6 s/d 12tahun. Secara alamiah manusia tumbuh dan berkembang, baik fisik maupun psikisnya, melalui proses tahap demi tahap sesuai dengan hukum alam yang telah ditetapkan oleh Allah yang dalam Islam disebut dengan sunnatullah.8 Sehingga tidak seorangpun di dunia ini yang lahir dalam keadaan dewasa, semua harus melalui tahapantahapan yang telah ditentukan oleh Allah, yaitu bayi, anak-anak, remaja, dewasa, tua dan kemudian meninggal. Pendidikan Islam dalam upaya membentuk manusia yang mempunyai kepribadian muslim, yakni manusia yang seluruh aspek kepribadiannya baik tingkah laku, kegiatan-kegiatan jiwanya maupun falsafah hidup dan kepercayaannya sesuai dengan nilai-nilai Islam.9 Dan hal ini juga harus melalui proses tahap demi tahap yang dilakukan secara berkesinambungan. Maksud dari proses tahap demi tahap adalah pendidikan Islam yang diajarkan harus sesuai dengan kemampuan dari peserta didik. Secara berkesinambungan (terus menerus) artinya pendidikan Islam tidak hanya diberikan pada tahapan tertentu saja setelah itu selesai. Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, baik fisik maupun psikisnya. Walaupun demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan (fitrah). Potensi yang dimiliki ini harus di kembangkan oleh orang yang lebih dewasa melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap. Sesuai dengan pertumbuhannya. Jalaluddin menjelaskan dalam bukunya “Psikologi Agama” seorang
62
anak yang akan menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikiya, yaitu: 1. Prinsip biologis Secara fisik anak lahir dalam keadaan lemah, dalam segala tingkah laku ia selalu memerlukan bantuan dari orang dewasa yang ada di sekitarnya (ibu, ayah, nenek, kakek dan lain-lain). 2. Prinsip tanpa daya Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya maka anak yang baru lahir hingga menginjak dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang-orang yang ada di sekelilingnya. 3. Prinsip eksplorasi Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir (jasmani dan rohani) memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan, pembinaan dan pelatihan.10 Semua prinsip di atas tidak dapat dipenuhi sekaligus melainkan harus bertahap sesuai dengan tahapannya, begitu juga dengan pendidikan Islam bagi anak. Masa usia 6 s/d 12tahun sebagai salah satu tahap yang harus dilalui oleh manusia sebelum ia menjadi dewasa memiliki potensi yang sangat penting. Hal ini karena pada tahap ini merupakan dasar dalam pembentukan pola kepribadian seseorang, yang mana pola dasar tersebut cenderung akan ter7
bawa terus pada proses kehidupan selanjutnya.11 Sehingga pendidikan yang diberikan pada masa anakanak akan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kelangsungan hidup anak. Baik pada saat itu maupun pada masa-masa selanjutnya. Banyak para ahli psikologi yang sependapat dengan pendapat di atas, seperti Dr. Kolin S Tanm yang mengatakan masa anaklah yang menjadi dasar penting (vital) bagi kelanjutan hidup jasmani dan rohani anak.12 Sedangkan menurut Sigmun Freud “Kesulitan penyesuaian kepribadian seseorang dapat dilacak ke suatu pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa anak-anak” 13 Begitu juga dengan Dollard dan Neal Miller yang mengatakan bahwa “Konflik yang tidak disadari, yang sebagian besar diperoleh selama masa bayi dan anak-anak merupakan pangkal bagi kebanyakan gangguan emosional berat dalam kehidupan dikemudian hari.14 Dr. Zakiah Darajat, berpendapat bahwa: “Pada umumnya agama seseorang di tentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan pada masa kecilnya dulu. Seorang yang pada waktu kecilnya tidak pernah mendapatkan didikan agama, maka pada masa dewasanya nanti, ia tidak akan merasakannya pentingnya agama dalam hidupnya.”15 Syaikh Abu Hamid Al Ghaza-
Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam, (Surabaya; Al-Iklas, 1993), hlm 133. H.M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm 11, Perkembangan dan pertumbuhan manusia berjalan secara evolusi (berjenjang dan bertahap). Melalui penjenjangan dan pertahapan tersebut manusia mengisi dirinya dengan pengalaman dan pengetahuan. Dengan demikian manusia memperoleh pengetahuan secara berproses, serta dari potensi pengembangan dirinya, pengembangan dengan lingkungan serta dari Tuhan (epistimologi). Lihat Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001), hlm 31-32 9 Ahmad D Marimba, Pengantar Filsaft Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1989), hlm 68 10 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998),Cet III, hlm 64 11 Robert W Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Terj. Agus Harjono, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm 10 12 H.M. Arifin, Hubungan Tmbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga sebagai pola pengembangan Metodologi, (Jakarta: Bulan bintang, 1978) hlm 51 13 Elizabeth B Hurluck, Perkembangan Anak, Terj. Meitasari Tjandrasa, Jilid I, (Jakarta: Erlangga, 1997), hlm 26 14 Frank goble, Madhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta: Kanisiu, 1987), hlm 24 15 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm 35 8
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
li ketika membahas tentang peran kedua orangtua dalam pendidikan mengatakan: “Ketahuilah, bahwa anak kecil merupakan amanat bagi kedua orangtuanya. Hatinya yang masih suci merupakan permata alami yang bersih dari pahatan dan bentukan, dia siap diberi pahatan apapun dan condong kepada apa saja yang disodorkan kepadanya Jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan dia akan tumbuh dalam kebaikan dan berbahagialah kedua orang tuanya di dunia dan akherat, juga setiap pendidik dan gurunya. Tapi jika dibiasakan kejelekan dan dibiarkan sebagai mana binatang temak, niscaya akan menjadi jahat dan binasa. Dosanya pun ditanggung oleh guru dan walinya. Maka hendaklah ia memelihara mendidik dan membina serta mengajarinya akhlak yang baik, menjaganya dari teman-teman jahat, tidak membiasakannya bersenang-senang dan tidak pula menjadikannya suka kemewahan, sehingga akan menghabiskan umurnya untuk mencari hal terse-
but bila dewasa.�16 Dari beberapa pendapat di atas, maka sudah jelas bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendidikan yang diterima seseorang pada masa anak-anak dengan perkembangan kepribadian pada masa dewasanya kelak. Begitu pentingnya pendidikan yang diberikan pada masa usia 6 s/d 12tahun , ibarat seorang yang akan membangun sebuah gedung yang mencakar langit, maka yang paling utama dan mendasar adalah pembuatan pondasi yang kuat dan kokoh sehingga akan mempermudah dalam menyelesaikan bangunan tersebut dan mendapatkan hasil seperti yang diinginkan. Begitu juga jika menginginkan anak-anak yang berkualitas dan berahlakul karimah (manusia yang berkepribadi-
an muslim), maka anak harus dididik sedini mungkin. Saat ini banyak para orang tua yang menyadari akan pentingnya pendidikan agama bagi anakanaknya, sehingga pemerintah sendiri telah menetapkan dalam sebuah Undang-undang RI. No.2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional pasal 4 bahwa tujuan pendidikan ialah: “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur....�17 Karena itu, banyak para orang tua yang mempercayakan seratus persen pendidikan agama bagi buah hatinya ke lembaga pendidikan formal, karena di sekolah ada pendidikan agamanya. Ada juga
16
Dikutip dari http://www.alsofwah.or.id/html/kajian_01_01.html tentang Pendidikan Anak Dalam Islam¸ yang disusun oleh Yusuf Muhammad Al-Hasan 17 Perpustakaan Nasional, Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Golden Terayon, 1994), hlm 6
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
63
orang tua yang masih memberikan pendidikan agama tambahan, dengan berbagai cara, yang di antaranya menitipkan putra-putrinya ke pondok pesantren, pesantren kilat dan atau dengan mengundang seorang guru agama (ustadz) ke rumah untuk memberikan tambahan pengetahuan agama bagi keluarganya. Dengan cara seperti ini mereka mengira bahwa buah hatinya akan menjadi seorang yang beriman dan bertaqwa. Tindakan seperti ini merupakan tindakan yang benar, akan tetapi semua ini masih belum cukup, karena sesungguhnya iman berada dalam hati, bukan dalam kepala, sehingga keimanan tidak cukup diajarkan saja, tetapi bagaimana mengamalkannya. Allah berfirman Artinya: “Orang-orang Arab Badui itu berkata: “kami telah beriman” katakanlah (kepada mereka) kamu belum beriman, tetapi katakanlah “kami telah tunduk” karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu…” (QS.AlHujarat ayat 14)18 Firman Allah di atas menegaskan bahwa iman itu adanya di dalam hati. Karena iman adanya di dalam hati maka timbul pertanyaan bagaimana cara menanamkan keimanan pada diri anak? Nabi mengajarkan bahwa pendidikan keimanan itu pada dasarnya dilakukan oleh orang tuanya, yaitu dengan mencontohkan (peneladanan) dan pembiasaan.19 Peneladanan dan pembiasaan ini tidak bisa dilakukan sepenuhnya oleh sekolah atau oleh guru agama yang diundang ke rumah, karena hanya kedua orang tuanya yang mungkin dapat melakukannya, mengingat orang tua yang lebih banyak bergaul dan berkumpul dengan putraputrinya sedangkan sekolah atau guru agama yang didatangkan hanya membantu orang tua saja. Keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama, di mana anak mendapat pengaruh dari anggota keluarganya pada masa yang amat penting dan bah-
64
kan bisa dikatakan paling kritis dalam pendidikannya, yaitu tahuntahun pertama dalam kehidupannya.20 Pendidikan keimanan dalam keluarga khusnya bagi anak balita mengalami dua kendala, yaitu pertama, banyaknya orang tua yang belum menyadari pentingnya pendidikan keimanan bagi anak dalam lingkungan keluarga, dan yang kedua, banyaknya orang tua yang kebingungan dalam mendidik buah hatinya.21 Dengan demikian sebelum anak masuk kependidikan formal maka dari dalam keluarga anak sudah harus dididik dengan pendidikan keimanan. Pendidikan yang dalam istilah al-Qur’an disebut “tarbiyah” itu mengandung arti “penumbuhan” atau “peningkatan”.22 Dari sini peran keluarga dibutuhkan dalam penumbuhan dan peningkatan segi jasmani anak, terutama ibu yang dengan tanpa pamrih dan rasa cinta kasih yang tulus perhatiannya kepada pertumbuhan anaknya. Cinta kasih dari ibu membuat hubungan emosional dengan anak menjadi lebih erat dan bisa di jadikan pegangan dalam memasuki dunia kehidupan. Hubungan ini tidak hanya terjadi ketika anak sudah lahir, melainkan jauh sebelumnya yaitu ketika anak masih berada dalam kandungan. Anak yang lahir ke muka bumi ini tidak tahu dan tidak bisa berbuat apa-apa, ia membutuhkan bantuan dari orang-orang yang ada disekitarnya. Akan tetapi, Allah telah memberikan bekal yang bisa membantu sang anak. Bekal yang diberikan Allah adalah: pendengaran, penglihatan, dan hati nurani. 18
Sebagai mana firman Allah swt: Artinya: “Dan Allah melahirkan kamu dari kandungan ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apapun. Dan Allah membekali kepadamu pendengaran, penglihatan dan hati nurani, agar kamu bersyukur.” (An-Nahl, 78)23 Mendidik anak bisa dibilang sulit untuk dilakukan, kesulitannya adalah dalam menemukan keseimbangan antara dua sisi yang berlawanan. Disatu sisi kita temukan anak dalam keadaan tak berdaya, kemampuannya hanya sebatas menangis, dan gerak naluriah yang tak terarah. Sedang pada sisi lain kita temukan anak berada pada suatu lingkungan yang akan mempengaruhi dalam kehidupan selanjutnya.24 Sebagai orang tua yang baik, sudah tentu yang ditumbuhkan dan ditingkatkan oleh orang tua tidak hanya sebatas jasmani semaata, karena masih banyak yang harus ditumbuhkan dan kembangkan selain jasmani anak, seperti potensi positif yang dimiliki anak. Potensi positif ini harus ditumbuhkan dan dikembangkan oleh kedua orang tua, sehingga anak bisa menjadi manusia berkualitas. Semua ini bisa terwujud dengan memberikan pendidikan yang baik, karena setiap anak yang lahir sudah dibekali dengan fitrah (keyakinan kepada Allah) yang harus di kembangkan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: Artinya: “Setiap anak di lahirkan dalam keadaan fitrah (keyakinan kepada Allah), maka ibu bapaknyalah yang menjadikan ia Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhori)25 Betapa jelasnya sabda Rasulullah di atas, karena tangan-tan-
Departemen Agama RI, Al-Qur’andan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm 848 Ahmad Tafsir, Op. Cit, hlm 6 20 Yusuf Muhammad al-Hasan, Penedidikan Anak Dalam Islam, terj, Muhammad Yusuf Harun, (Jakarta: Akafa Prees, 1997), cet I, hlm 10 21 Op. Cip, Ahmad Tafsir, hlm 6 22 Nurcholis Majid, Masyarakat Relegius, (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet II, hlm 83 23 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 413 24 Aba Firdaus al-Halwani, Melahirkan Anak Sholeh, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), Cet. III, hlm. 63 25 Bukhari ra. Shahih Bukhari, (Mesir: Al-Mathba’ah Al-Ustmaniyahm 1932), Vol.I, hlm. 162 19
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
gan orang tuanyalah, si anak dapat berubah arah; yang tadinya fitrah (yakin kepada Allah), malah menjadi tidak yakin kepada-Nya. Analogi dari hadits tersebut adalah bahwa kenakalan, kemalasan, ketidakpatuhan, serta ketidaksopanan itu, akibat ulah orang tuanya. Dalam teori pendidikan ini dikenal dengan teori Tabularasa, yaitu anak laksana kertas putih bersih yang di atasnya boleh dilukisi apa saja menurut keinginan orang tua dan para pendidik.26 Kewajiban mendidik pada mulanya bersifat personal, yaitu setiap orang bertanggung jawab atas pendidikan dirinya; kemudian bersifat sosial. Setiap orang bertanggung jawab atas pendidikan orang lain. Allah berfirman: Artinya: “Setiap orang di antara kalian adalah pengembala dan masingmasing bertanggung jawab atas yang di gembalakannya, pemimpin (raja) adalah pengembala, suami adalah pengembala terhadap anggota keluarganya, dan istri adalah pengembala di rumah tangga suaminya dan terhadap anak suaminya. Setiap orang diantara kalian adalah pengembala dan masingmasing pengembala bertanggung jawab atas yang digembalakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)27 Dari firman Allah dan sabda Rasulullah di atas sudah jelas, bahwa setiap orang bertanggung jawab menjaga anggota keluarganya dari siksa api neraka di akhirat. Salah satu caranya adalah dengan mendidik, membimbing dan mengajari akhlak yang baik kepada anakanaknya. Selain itu sebagai orang tua juga harus menjaga anaknya dari pergaulan yang buruk, sehingga anak hanya akan terbiasa dengan perbuatan yang baik. Kewajiban mendidik anak juga telah ditegaskan secara khusus oleh Rasulullah dalam sabdanya yaitu: Artinya: “Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anak kamu dan keluarga kamu dan didiklah mereka”. (HR. Abdur Razzaq dan Sa’id bin Mansur)28
Artinya: “Didiklah anak-anakmu pada tiga hal: mencintai Nabimu, mencintai ahli baitnya, dan membaca alQur’an…”. (HR. At-Thabrani)29 Dengan demikian orang tualah yang berkewajiban mendidik anak-anaknya agar potensi yang secara primordial sudah ada pada anak bisa tumbuh dan meningkat. Hal ini sesuai dengan pendidikan Islam, yaitu usaha untuk membimbing dan mengembangkan potensi fitrah manusia hingga ia dapat memerankan diri secara maksimal sebagai hamba Allah yang taat.30 Imam al-Ghazali mengatakan bahwa: “Anak, merupakan amanat Allah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang bersih merupakan permata yang berharga, lugu dan bebas dari segala macam ukiran dan gambaran. Jika sang anak dibiasakan dengan hal-hal yang baik dan diajarkan kebaikan kepadanya, maka dia akan tumbuh dengan baik. Dan apa bila anak dibiasakan pada hal-hal yang buruk, dan diterlantarkan begitu saja seperti memperlakukan hewan ternak, maka niscaya anak akan tumbuh menjadi orang yang celaka dan binasa.”31 Para pemikir pendidikan sependapat bahwa pendidikan di masa anak-anak harus mendapatkan perhatian penuh dari para pendidik khususnya orang tua, karena orang tua yang lebih banyak kumpul dengan anak-anaknya. Pepatah lama mengatakan: “Belajar di waktu kecil bagai mengukir diatas batu, belajar sesudah dewasa bagai mengukir diatas air.” Pepatah ini mengandung arti yang sangat mendalam yaitu bahwa pendidikan yang di laksanakan pada waktu kecil itu tidak akan sia-sia.
Sebagai mana Ibnu Jauzi mengatakan: “Pembentukan utama ialah diwaktu kecil, maka apa bila anak dibiarkan melakukan sesuatu (yang kurang baik), dan kemudian telah menjadi kebiasaannya, akan sukar meluruskannya.”32 Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa, yang amat dibutuhkan dalam mendidik anak, adalah memperhatikan masalah akhlaknya. Anak akan tumbuh sesuai dengan kebiasaan yang dibiasakan kepadanya oleh sang pendidik semasa masih kecil. Di samping itu yang perlu diperhatikan dalam mendidik anak, adalah bakat-bakat yang terpendam dalam dirinya yang sesuai dengan kecenderungan anak.33 Jangan sekali-kali membebani anak dengan hal-hal yang tidak mampu dilakukannya, jika bakat yang ada tidak sesuai dengan hal itu. Selagi bakat itu tidak bertentangan dengan ketentuan syariat agama, maka orang tua patut untuk memberikan semangat dan dorongan. Dari teori-teori di atas yang akan penulis jadikan sebagai rujukan dalam menganalisa artikel ini adalah teori fitrah yaitu sebagai mana yang dijelaskan al-Qur’an surat an-Nahl ayat 78 dan hadits nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah tentang fitrah. Pengertian Keluarga Pembentukan identitas anak menurut Islam, dimulai jauh sebelum anak itu diciptakan. Islam memberikan berbagai syarat dan ketentuan pembentukan keluarga, sebagai wadah yang akan mendidik anak samapai usia tertentu yang
26
Ahamad Tafsir , Op.Cit, hlm. 13 Abi Zakariyya Yahya bin Syarif an-Nuri, Riyadussholihin, (Surabaya: Toko Kitab alHidayah, tt), hlm. 153 28 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Drs. Jamaluddin Miri, LC, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), hlm. xxxiv 29 Ibid 30 Jalaluddin 2001, Op.Cit, hlm. 74 31 Aba Firdaus al-Halwani, Op.Cit, hlm. 64 32 M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. H. Bustami A. Gani, Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Cet.VI, hlm. 106 33 Aba Firdaus al-Halwani, Op.Cit, hlm. 65-66 27
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
65
disebut baligh. Karena itu perlu kiranya penulis singgung sedikit syarat-syarat pembentukan keluarga, diantaranya terdapat dalam alQur’an sebagai berikut: 1. Larangan menikah dengan wanita yang dalam hubungan darah dan kerabat tertentu, seperti firman Allah SWT: Artinya: {22} Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). {23} Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (QS. AnNisaa’:22-23)34 2. Larangan menikah dengan orang yang berbeda agama disebutkan dalam al-Qur’an surat AlBaqarah ayat: 221 Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik
66
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. AlBaqarah: 221)35 3. Larangan menikah dengan orang yang berzina diutarakan dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat: 3 Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu’min. (QS. An-Nur: 3)36 Setelah syarat-syarat bagi kedua calon suami isteri itu dipenuhi, maka dilaksakanlah pernikahan menurut ketentuan yang diwajibkan Allah. Dengan pekawinan yang sah menurut agama, pasangan suami isteri tidak memiliki beban kesalahan/dosa untuk hidup bersama, bahkan memperoleh berkah dan pahala. Dan kelurga yang dibina akan memperoleh pengakuan dan diterima sebagai bagian dari masyarakat. Keluarga yang demikian akan memperoleh perlindungan dari masyarakat untuk hidup berdampingan berdasarkan tata aturan dan norma yang berlaku di masyarakat. Keluarga adalah lembaga yang sangat penting dalam proses pendidikan anak. Meskipun bukan menjadi satu-sataunya faktor, keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, besifat informal, yang pertama dan utama dialami oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati. Orang tua 34
bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi dan mendidik anak agar tumbuh dan berkembang dengan baik.37 Dengan demikian, keluarga merupakan unsur yang sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian dan kemampuan anak, secara teoritis dapat dipastikan bahwa dalam keluarga yang baik, anak memiliki dasar-dasar pertumbuhan dan perkembangan yang cukup kuat untuk menjadi manusia dewasa.38 Pada intinya lembaga keluarga terbentuk melalui pertumbuhan suami dan isteri yang permanen dalam masa yang cukup lama sehingga berlangsung proses reproduksi. Dalam bentuknya yang paling umum dan sederhana, keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak (keluarga batih).39 Dua komponen yang pertama yaitu ibu dan ayah, dapat dikatakan sebagai komponen yang sangat menentukan kehidupan anak, khusunya pada usia 6 s/d 12tahun , baik ayah maupun ibu, keduanya adalah pengasuh utama dan pertama bagi sang anak dalam lingkungan keluarga, baik karena alasan biologis maupun psikologis. Kualitas keluarga dalam Islam ditentukan oleh proses pertemuan yang tejadi antara suami dan isteri. Dalam hal ini Islam mengajarkan konsep perkawinan yang lebih dari sekadar kontrak (aqad), tetapi juga pernyataan kesetiaan pada agama yang dibuktikan dengan ketaatan pada prosedur dan tata cara yang diatur oleh syariat. Perkawinan yang sah dapat dikatakan sebagai syarat mutlak dalam membangun keluarga yang baik , tetapi sebaliknya, keluarga yang dibangun tanpa perkawinan menurut Islam akan
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 120 Ibid, hlm. 53 – 54 36 Ibid, hlm. 543 37 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 33 38 Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakaya, 1995), hlm 47 39 Jalaluddin Rakhmat, Muhtar Gandaatmaja, Keluarga Dalam Masayarakat Modern, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 20 35
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
cenderung rapuh karena lemahnya ikatan, khusunya ikatan moral. Dalam keadaan keluarga yang rapuh ini anak cenderung mengalami perkembangan kurang menguntungkan karena keberhasilan proses pendidikan memerlukan dukungan lingkungan yang positif. Fungsi Keluarga Menurut Dra. Melly Sri Sulastri Rifai, M.Pd. Secara sosiologis ada sembilan fungsi keluarga, yaitu: 1. Fungsi biologis. Kelurga sebagai suatu organisme mempunyai fungsi biologis.fungsi ini memberikan kesempatan hidup pada setiap anggotanya. Keluarga disini menjagi tempat untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan dengan syarat-syarat tertentu sehingga anggota keluarga dapat memungkinkan hidup didalamnya. 2. Fungsi ekonomi. Fungsi ini mempunyai hubungan yang erat dengan fungsi biologis, terutama hubungan memenuhi kebutuhan yang bersifat vegetatif, sperti kebutuhan makan, minum, dan tempat berteduh. 3. Fungsi kasih sayang. Dalam fungsi ini keluarga harus dapat menjalankan tugasnya menjadi lembaga interaksi dalam ikatan batin yang kuat antara anggotanya, sesuai dengan status peranan sosial masing-masing dalam kehidupan keluarga itu. 4. Fungsi pendidikan. Fungsi pendidikan ini mempunyai hubungan yang erat dengan masalah tangung jawab orang tua sebagai pendidik pertama dari anak-anaknya. Di samping itu, keluarga sebagai lembaga pendidikan bertangung jawab pula pada pendidikan orang tua dalam lingkungan pendidikan orang dewasa. 5. Fungsi perlindungan. Fungsi perlindungan ini, sebenarnya mempunyai hubungan yang erat dengan fungsi pendidikan. Kita memberikan pendidikan kepada anak dan anggota kelurga lainnya berarti kita mem-
berikan perlindungan secara mental dan moral, di samping perlindungan yang bersifat fisik bagi kelanjutan hidup orang-orang yang ada dalam keluarga itu. 6.Fungsi memasyarakatkan (sosialisasi) anak. Fungsi ini mempunyai pertautan yang erat dengan fungsi-fungsi diatas. Dalam hal ini, keluarga mempunyai tugas untuk mengantarkan anak ke dalam kehidupan sosial (masyarakat) yang lebih luas. 7. Fungsi rekreasi. Dalam kehidupan manusia, rekreasi adalah penting. Rekreasi dalam hal ini dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang atau anggota keluarga atas dasar kemauan dan pengakuan mereka sendiri. 8. Fungsi status keluarga. Fungsi ini dapat dicapai bila keluarga telah menjalankan fungsinya yang lain. Fungsi keluarga ini menunjuk pada kadar kedudukan (status) keluarga dibandingkan dengan keluarga lainnya. Status ini terungkap dari pernyataan orang tentang status seseorang atau keluarganya. 9. Fungsi beragama. Fungsi ini sangat erak hungungannya dengan fungsi pendidikan, fungsi sosialisasi dan perlindungan. Keluarga mempunyai fungsi sebagai tempat pendidikan agama dan tempat beribadat, yang secara serempak berusaha mengembangkan amal shaleh.40 Sedangkan munurut Dr. H. Djudju Sudjana, M.Ed., berdasarkan pendekatan budaya, keluarga mempunyai tujuh fungsi sebagai berikut: 1. Fungsi Biologis. Bagi pasangan suami-isteri, fungsi ini untuk memenuhi kebutuhan seksual dan mendapatkan keturunan. 2. Fungsi Edukatif. Fungsi pendidikan mengharuskan setiap orang tua untuk mengkondisikan kehidupan keluarga menjadi situasi pendidikan sehingga terdapat proses saling belajar di antara anggota keluarga. 3. Fungsi Relegius. Fungsi relegius berkaitan dengan kewajiban
orang tua untuk mengenalkan, membimbing, memberi teladan dan melibatkan anak serta anggota keluarga lainya mengenai kaidahkaidah agama dan perilaku keagamaan. 4. Fungsi Protektif. Fungsi protektif (perlindungan) dalam keluarga ialah untuk menjaga dan memelihara anak serta anggota keluarga lainnya dari tindakan negatif yang mungkin timbul, baik dari dalam maupun dari luar kehidupan keluarga. 5. Fungsi Sosialisasi Anak. Fungsi sosialisasi berkaitan dengan mempersipakan anak untuk menjadi anggota masyarakat yang baik. 6. Fungsi Rekreatif. Fungsi ini tidak harus berbentuk kemewahan, serba ada, dan pesta pora, melainkan melalui penciptaan susasana kehidupan yang tenang dan harmonis di dalam keluarga. 7. Fungsi Ekonomis. Fungsi ini menunjukkan bahwa keluarga merupakan kesatuan ekonomis. Aktivitas dalam fungsi ekonomis berkaitan dengan pencarian nafkah, pembinaan usaha, dan perencanaan anggaran biaya, baik penerimaan maupun pengeluaran biaya keluarga.41 Sedangkan dalam Islam keluarga mempunyai fungsi sebagai berikut: 1.Memelihara kelangsungan hidup insani. Artinya: Hai sekalian manusia, betaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan lakilaki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.� (QS. An-Nisa’:1)42 2. Memelihara keturunan. Tiap muslim mesti tahu, siapa leluhurn40 41
Ibid, hlm 8-13 Ibid, hlm 20-22
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
67
ya, jika tidak ada perkawinan yang disyariatkan Allah, maka masyarakat akan penuh dengan anak-anak yang tidak memiliki kehormatan dan keturunan.43 3. Memelihara masyarakat dari kemerosotan moral. Sebagai mana sabda Rasulullah SAW: Artinya: “Wahai para pemuda! Barang siapa di antaramu sudah mampu kawin, maka kawinlah karena kawin itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Adapun yang belum mampu kawin hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu dapat menekan rangsangan nafsu.” (HR. Bukhari dan Muslim)44 4. Melindungi masyarakat dari penyakit akibat prilaku seks bebas (free sex). 5. Ketentraman rohani dan ketentraman jiwa. Sebagai mana Allah SWT berfirman: Artinya: “Dan di antara tandatanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan syang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum: 21)45 6. Menumbuhkan tanggung jawab bersama suami isteri dalam membangun keluarga dan mendidik anak. Masyarakat yang baik bisa tewujud dengan mempesiapkan ibu yang baik, karena ibulah yang akan lebih banyak berhungan dengan anak dalam lingkungan keluarga dari pada ayah. 7. Menumbuhkan rasa keibuan dan kebapaan bagi suami-isteri yang sangat diperlukan nanti untuk membina keturunannya.46 Dari uraian diatas, banyak kesamaan atara masing-masing fungsi keluarga. Semua fungsi keluarga yang disebutkan di atas dalam praktek kehidupan sehari-hari satu sama lain saling melengkapi bertaut-tautan dan tumpang tindih di dalam pelaksanaannya. Untuk melaksanakan fungsi
68
pendidikan dalam keluarga, maka orang tua harus belajar memahami perkembangan anak, diantaranya mengetahui tahap-tahap perkembangan psikologis anak serta dapat mengetahui kebutuhan anak sesuai dengan tugas-tugasnya. Peran Keluarga Sebagai Pendidik Keluarga merupakan pusat pendidikan yang paling berpengaruh dibandingkan dengan yang lain, karena dalam keluargalah di-
Tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan tanamkan benih-benih pendidikan pada anak. Demikian pula waktu yang dihabiskan seorang anak di rumah lebih banyak dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di tempat lain, dan kedua orang tua merupakan figur yang paling berpengauh terhadap anak. Tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagian besar diambil dari kedua orang tuanya dan dari anggota yang lain.47 Jadi pendidikan dalam keluarga mempunyai pengaruh yang sangat 42
besar bagi kehidupan anak untuk langkah selanjutnya. Maka dari itu orang tua harus mempersiapkan lingkungan keluarga yang baik untuk kepentingan anak. Apa yang diterima oleh anak di dalam keluarga, berupa kasih sayang, pemeliharaan dan perhatian, apa yang anak rasakan di dalam keluarga berupa sopan santun dan tingkah laku (perlakuan) dari orang-orang yang berada di sekitarnya dalam keluarga, hal tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kecenderungan dan watak pribadinya kelak di masa mendatang. Karenanya suatu keluarga yang didalamnya penuh dengan liputan kasih sayang dan suasana keislaman, maka akan tumbuh dari dalamnya individu-individu yang wajar.48 Para ahli sependapat akan pentingnya pendidikan dalam keluarga, apa-apa yang terjadi dalam pendidikan keluarga, akan membawa pengaruh terhadap kehidupan anak didik. Orang tua yang secara sadar mendidik anak-anaknya akan selalu dituntun oleh tujuan pendidikan, yaitu kearah anak menjadi mandiri, kearah suatu kepribadian yang utuh.49 Islam mengajarkan bahwa orang muslim di wajibkan untuk menjaga diri sendiri dan keluaga dari siksa api neraka, sebagai mana firman Allah SWT: Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. AtTahrim:6)50 Tindakan dan sikap orang tua seperti menerima anak, mencintai anak, mendorong dan membantu anak aktif dalam kehidupan bersa-
Departemen Agama RI,Op.Cit, hlm. 114 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Jamaluddin Miri, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), hlm. 6 44 Shahih Muslim Hadits: 2485, Shahih Bukhari Hadits: 4677 45 Departemen Agama RI,Op.Cit, hlm. 644 46 Jalaluddin Rakhmat, Muhtar Gandaatmaja, Op.Cit, hlm. 123. baca Abdullah Nasih Ulwan, Op.Cit, hlm 5-10 47 Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nsional, 1973), hlm 109 48 Hamid Abdul Khalik Hamid, Bimbinglah Anakmu Mengenal AllahSWT, (tk: Hujaini, tt), hlm 20-21 49 Hasbullah, Op.Cit, hlm. 22 50 Departemen Agama RI,Op.Cit, hlm.951 43
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
ma, agar anak memiliki nilai hidup jasmani, nilai estetis, nilai kebenaran, nilai moral dan nilai relegius (keagamaan), serta bertindak sesuai dengan nilai-nilai tersebut, merupakan perwujudan dari peran orang tua sebagai pendidik.51 Dengan demikian sudah jelas bahwa orang yang pertama dan utama bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dan pendidikan anak adalah orang tua, karena secara alami anak pada masa-masa awal kehidupannya berada ditengah-tengah keluarganya. Oang tua dapat mengenalkan kepada anak segala hal yang mereka ingin beritahu kepada anak atau yang anak sendiri ingin mengetahuinya. Anak biasanya bertanya kepada orang tuanya, lalu orang tua memberikan jawaban terhadap pertanyaan anak-anaknya. Hubungan yang intim antar anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya, yang didasari kasih sayang serta perasaan tulus ikhlas itu, merupakan faktor utama bagi pendidik dalam membimbing anakanak yang belum dewasa di lingkungan keluarga.52 Orang tua dalam memberikan kasih sayang kepada anak hendaknya sesuai dengan ketentuan agama. Islam mengingatkan agar kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya didahulukan, sebagaimana Allah berfirman: “Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. At-Taubah: 24)53 Pendidikan yang menjadi tanggung jawab orang tua, menurut Zakiah Darajat dan kawankawan, sekurang-kurangnya sebagai berikut:
1. Memelihara dan membesarkan anak. Ini adalah bentuk sederhana dari tanggung jawab orang tua. 2. Melindungi dan menjamin keselamatan, baik jasmani maupun rohani, dari berbagai gangguan penyakit dan berbagai penyelewengan tujuan hidup yang sesuai dengan ajaran agama. 3. Memberi pelajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki
pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin. 4. Membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup muslim.54 Dengan demikian dari uraian di atas, maka jelas sudah bahwa peran keluarga dalam pendidikan amat menentukan sekali, terutama pendidikan anak pada masa-masa e perkembangan awalnya. g
51 Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980), hlm. 58-59 52 Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hlm, 185 53 Departemen Agama RI,Op.Cit, hlm. 280 54 Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 38
Daftar Pustaka Ahmad D Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980 Ahmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditia Media, 1992) H.M. Arifin, Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat, Suatu Pendekatan Filosofis, Pedagogis, Psikologis, dan Kultural, (Jakarta: Golden Trayon, 1994) Buseri Kamrani, Pendidikan Keluarga Dalam Islam, (Yogyakarta: Bina Usaha, 1990) Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam, (Surabaya; Al-Iklas, 1993) H.M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994) Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001) Ahmad D Marimba, Pengantar Filsaft Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1989) Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998) Robert W Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Terj. Agus Harjono, (Yogyakarta: Kanisius, 1994) H.M. Arifin, Hubungan Tmbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga sebagai pola pengembangan Metodologi, (Jakarta: Bulan bintang, 1978) Elizabeth B Hurluck, Perkembangan Anak, Terj. Meitasari Tjandrasa, Jilid I, (Jakarta: Erlangga, 1997) Frank goble, Madhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta: Kanisiu, 1987) Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) Dikutip dari http://www.alsofwah.or.id/html/kajian_01_01.html tentang Pendidikan Anak Dalam Islam¸ yang disusun oleh Yusuf Muhammad Al-Hasan Perpustakaan Nasional, Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Golden Terayon, 1994) Departemen Agama RI, Al-Qur’andan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989) Yusuf Muhammad al-Hasan, Penedidikan Anak Dalam Islam, terj, Muhammad Yusuf Harun, (Jakarta: Akafa Prees, 1997) Nurcholis Majid, Masyarakat Relegius, (Jakarta: Paramadina, 2000) Aba Firdaus al-Halwani, Melahirkan Anak Sholeh, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999) Bukhari ra. Shahih Bukhari, (Mesir: Al-Mathba’ah Al-Ustmaniyahm 1932) Abi Zakariyya Yahya bin Syarif an-Nuri, Riyadussholihin, (Surabaya: Toko Kitab al-Hidayah, tt) Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Drs. Jamaluddin Miri, LC, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995) M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. H. Bustami A. Gani, Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990) .Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989) Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999) Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakaya, 1995) Jalaluddin Rakhmat, Muhtar Gandaatmaja, Keluarga Dalam Masayarakat Modern, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993) Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Jamaluddin Miri, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995) Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nsional, 1973) Hamid Abdul Khalik Hamid, Bimbinglah Anakmu Mengenal AllahSWT, (tk: Hujaini, tt) Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980) Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993)
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
69
artikel lepas artikel lepas
Demaskulinisasi Pendidikan Pesantren : Menggagas Pendidikan Pesantren Berbasis Kesetaraan dan Keadilan Gender
Suhaidi
HAIDI RB, lahir di desa Kaduara Timur Pragaan Sumenep, 27 Juni 1982. Pernah melakukan penelitian tentang gender. Saat ini, sedang berupaya keras menyelesaikan tesis di Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. Email : suhaidi_muhammad@yahoo.co.id
Pendahuluan Sejak beberapa tahun terakhir ini,1 kajian tentang perempuan terus meningkat tajam. Berbagai diskusi, seminar dan pelatihan tentang gender dilakukan oleh berbagai kalangan, terutama para aktifvis gender yang merasa paling dirugikan akibat ketidakadilan gender yang telah lama berlangsung. Berbagai kegiatan dan advokasi gender tersebut, menunjukkan tentang meningkatnya kesadaran untuk mendudukkan perempuan pada posisi yang setara dengan laki-laki. Sebab, munculnya kesadaran memberikan kedudukan dan keterlibatan perempuan dalam proses transformasi masyarakat2 merupakan usaha untuk membuka sejumlah kejanggalan tentang peran dan posisi perempuan yang telah lama dihancurkan oleh hegemoni kelaki-lakian.3 Ungkapan filosofi Jawa dapat dijadikan sebagai referensi tentang ketidakberdayaan perempuan di mata laki-laki : suwarga nunut nereka katut. Ungkapan ini merupakan satu lokus yang menggambarkan manefestasi kebudayaan yang disandang oleh perempuan sebagai entitas sosial yang peran dan fungsi sosialnya lebih banyak didefinisikan oleh laki-laki.4 Perempuan dianggap sebagai elemen kelas dua yang tidak bisa duduk setara dengan laki-laki dalam berbagai dimensi kehidupan sosial, baik budaya, politik, ekonomi, agama dan yang lebih spesifik lagi dalam pendidikan.5
70
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
Diskriminasi dalam sektor pendidikanpun terbentuk sangat kuat, bukan hanya dalam konteks bagaimana perempuan tidak lagi diberi kesempatan untuk menikmati pendidikan, tetapi dalam proses dan sistem pendidikan yang paling mendasarpun, seringkali ditemukan upaya-upaya diskriminasi terhadap perempuan. Yang menarik, semua itu terjadi seakan tanpa beban dosa, padahal perilaku tersebut merupakan praktik keji diskriminasi yang berlawanan dengan nilai-nilai agama dan sosial. Dalam tulisan ini, penulis akan mengurai secara kritis tentang pendidikan pesantren dan gender, sebab pendidikan pesantren merupakan bagian siginifikan dalam wilayah pendidikan Indonesia, dimana proses pendidikan masyarakat berlangsung. Artinya, dalam konteks pendidikan Indonesia, pesantren telah menjadi salah satu penopang kemajuan dan perkembangan peradaban bangsa ini, sehingga pesantren secara faktual menjadi salah satu icon pemberdayaan masyarakat. 1 Wacana gender mulai berkembang di Indonesia pada era 80-an, mulai memasuki isu keagamaan pada 90-an. Bisa dikatakan bahwa selama 10 tahun atau 5 tahun terakhir ini perkembangan isu gender sangat pesat dan sangat produktif, melebihi isu-isu yang lain. Lihat. Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam: Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme (Yogjakarta, IRCiSOD, 2006), hlm.275 2 Farid Wajidi, “Perempuan dan Agama : Sumbangan Riffat Hassan� dalam Fauzi Rijal, dkk, editor Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia (Yogjakarta, Tiara Wacana, 1993), hlm. 11
Namun demikian, proses pendidikan yang berlangsung dalam pesantren, tidak serta merta mengamini paradigma pendidikan yang menekankan pada nilai-nilai kesetaraan, tetapi malah sebaliknya. Pandangan dan perlakuan sepihak terhadap perempuan–menurut hemat penulis–cenderung menjadi fenomena klasik yang tidak terbantahkan. Pendidikan kesetaraan yang memberikan ruang yang sama antara laki-laki dengan perempuan, masih menjadi sesuatu yang tabu terjadi dalam proses dan sistem pendidikan pesantren, sehingga mengaburkan visi kesetaraan gender dalam pendidikan pesantren. Pesantren, Perempuan (Santriwati) dan Ideologi Patriarkhal Posisi pesantren di tengahtengah masyarakat Indonesia, telah menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Keberadaan lembaga pendidikan Islam, tidak hanya memiliki akar historis dengan kemerdekaan bangsa ini, tetapi juga merefleksikan tentang sisi lain warisan budaya Indonesia. Apalagi menurut Nurcholis Majid, secara historis, pesantren tidak hanya mengemban misi dan mengandung nuansa keislaman, tetapi juga menjaga nuansa (indigenous) Indonesia karena lembaga semacam pesantren ini telah berdiri sejak masa Hindu-Budha, sedangkan pesantren tinggal meneruskan dan mengislamkan.6 Tidak heran apabila jumlah pesantren – terutama di pulau Jawa – berkembang sangat pesat. Fakta ini tentu saja menunjukkan bahwa masyarakat lebih akrab dengan lembaga pendidikan Islam yang bernama pesantren, dibandingkan dengan lembaga pendidikan yang lain. Pesantren dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia, menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan, sehingga pesantren diyakini sebagai lembaga pendidikan Islam dengan nuansa yang kental dengan lokalitas keindonesiaan di satu sisi,
sementara nuansa keislaman menjadi identitas tersendiri di sisi yang lain. Inilah ciri unik pesantren yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan yang lain.7 Menurut Zamakhsyari Dhofir, pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan “kiai”.8 Dalam lembaga ini, kiai memiliki otoritas penuh bagi santri yang belajar di dalamnya, sehingga aturan dan petuah yang diucapkan oleh kiai merupakan aturan yang harus dipatuhi. Seperti ditulis oleh Ahmad Qodri A. Azizy bahwa kiai mempunyai wewenang penuh untuk menentukan kebijaksanaan dalam pesantren, baik mengenai tata tertibnya maupun mengenai sistem pendidikannya sekaligus materi dan silabus pendidikan/ pengajaran.9 Santri tidak hanya merefleksikan tentang sekelompok orang dan kiai sebagai pemegang otoritas tunggal di dalamnya, tetapi juga menggambarkan tentang komunitas
yang ditata oleh aturan ketat dan nilai-nilai kepatuhan yang sangat tinggi. Kondisi ini pada gilirannya melahirkan asumsi (ada yang menyebut) bahwa pesantren tidak lebih sebagai kerajaan, dimana kiaikiai menjadi raja-raja kecil yang memiliki kekuasaan mutlak di dalamnya. Kharisma seorang kiai merupakan ciri utama kepemimpinan dalam lingkungan pesantren yang sangat mengental.10 Kiai sebagai raja-raja kecil tersebut, secara tidak langsung juga melahirkan cara pandang yang hegemonik; bahwa sebagai penguasa atasnama raja kecil secara otomatis kiai menjadi pemegang kekuasaan di atas yang lain, bukan hanya atas santri putra, tetapi juga atas kaum perempuan yang berada di lingkungan pesantren. Perempuan diposisikan pada posisi mengikor terhadap laki-laki (kiai), sehingga setiap aktifitas yang terjadi tidak bisa dilakukan, kecuali setelah mendapatkan restu dari kiai (simbol laki-laki). Artinya, kaum perempuan di lingkungan pesantren berada dalam proteksi yang ketat, sehingga tidak mudah mengekspresikan kebebasannya, seperti yang ter-
3 Akibat berbagai pemarjinalan yang terjadi atas perempuan tersebut, pada akhirnya juga menjadi inspirasi para aktivis HAM untuk memunculkan tentang Hak Azazi Perempuan. Lihat Nur Said, Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia (Yogjakarta, Pilar Media, 2005), hlm. 74-75 4 Muh. Hanif Dhakhiri-Zaini Rahman, Post-Tradisionalisme Islam : Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII (Jakarta, ISISINDO MEDIATAMA, 2000)hlm. 76 5 Diskriminasi terhadap perempuan seringkali berujung pada penganiayaan. Hal ini bisa dilihat data-data yang ada. Dua LSM Indonesia mengaku mendapatkan laporan dan pengaduan tentang kekerasan rumah tangga yang terus meningkat dalam setiap tahun. Salah satunya bahkan menyatakan menerima 71,9 persen KDRT dari seluruh kasus yang ditanganinya. Menteri negara Pemberdayaan Perempuan menyatakan 11,4 persen dari 217 penduduk /24 juta mengalami KDRT. Di seluruh dunia sekitar 1500 perempuan dibunuh oleh suami atau pacarnya setiap tahun. BBC 1989 melaporkan 100.000 perempuan dirawat karena kekerasan domestik setiap tahun di Inggris. Lihat. Widyastuti Purbani “Membangun Pendidikan Berspektif Gender di Pesantren” dalam www.rahima.or.id, 8 Agustus 2008 6 Lihat dalam Mahmud Arif, Pendidkan Islam Transformatif (Yogjakarta : LKiS, 2008), hlm. 165-166 7 Mohammad Suhaidi RB, “Revitalisasi Potensi Lembaga Pendidikan Islam : Menuju Pesantren Masa Depan”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan EDUKASI, No. VII.2007, hlm. 70 8 Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta : LP3ES, 1982), hlm. 44 9 Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial : Mencari Jalan Keluar (Yogjakarta : LKiS, 2000), hlm. 102 10 Namun demikian, menurut Abd A’la, model kepemimpina kharismatik yang selama ini dominan di lingkungan pesantren perlu direkonstruksi secara kreatif berdasarkan nilai-nilai modernitas dan nilai-nilai Islam. Abd A’la, Pembaruan Pesantren (Yogjakarta : Pustaka Pesantren, 2006) hlm. 24
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
71
jadi pada kaum laki-laki. Biasanya, dalam aturan pesantren, santriwati mendapatkan perlakuan jauh lebih ketat, dibandingkan dengan santri (laki-laki), yang notabene – bisa dibilang agak longgar. Tidak heran kalau pada gilirannya ada yang menyebut bahwa kondisi perempuan dalam pesantren disebut dengan komunitas yang terpenjara dalam sangkar emas, dimana komunitas di dalamnya tengah menjalani kehidupan yang tidak bebas, kecuali hanya menikmati segala macam aturan yang ketat dan dibatasi oleh tembok, layaknya tembok penjara yang mengungkung akses santriwati ke keluar pesantren. Bertahuntahun lamanya, mereka berada dalam lingkaran tembok pesantren, sehingga membatasi ruang gerak pergaulan sosial santri dengan komunitas di luarnya. Kondisi yang demikian, diakui atau tidak, pada akhirnya membentuk sikap eksklusif bagi santriwati, karena secara langsung ataupun tidak, hal itu berpengaruh terhadap psikologi mereka. Tertutup dan sela-
72
lu memandang orang lain sebagai orang lain (the other), selain komunitasnya menjadi karakter khas santri perempuan. Mereka sulit beradaptasi dengan komunitas di luarnya, karena psikologi mereka telah terdidik menjadi pribadi yang hanya memungkinkan bergaul dengan orangorang yang bernasib sama: samasama berada dalam pesantren. Dalam keterkaitan itu, nasib kaum perempuan pesantren tidak hanya menggambarkan tentang simbolisasi keterkungkungan perempuan, tetapi juga menunjukkan tentang adanya perlakuan yang kurang setara atas perempuan. Padahal, laki-laki dan perempuan pada hakikatnya adalah sama, dan antara satu dengan yang lain tidak bisa diposisikan dengan posisi yang “lebih utama� atau lebih hegemonik, sehingga menafikan pihak yang lain (perempuan). Kondisi ini, pada akhirnya memunculkan spekulasi baru tentang pesantren, baik sebagai lembaga pen-
didikan dan sebagai institusi agama, yaitu sebagai lembaga pendidikan dan sebagai simbol institusi agama tentu saja pesantren sebagai media dan alat pembebasan universal, sehingga apabila terjadi diskriminasi dan hegemonisasi patriarkhis atas yang lain dalam lembaga tersebut, tentu saja hal itu merupakan sesuatu yang berlawanan dengan nilai dan prinsip ideal pendidikan dan agama (Islam) itu sendiri. Karena Islam pada hakikatnya adalah agama dengan gerakan kesetaraan dan keadilan, seperti ditegaskan Yvonne Yazbeck Haddad bahwa al-Qur’an merupakan sumber nilai yang pertama kali menggagas konsep keadilan gender dalam sejarah panjang umat manusia.11 Sebagai lembaga pendidikan, pesantren sejatinya harus mampu memerankan dirinya sebagai pembebas, salah satunya pembebas belenggu kemanusiaan dan pencerah agar tidak terjadi diskriminasi. Sedangkan sebagai lembaga yang dekat dengan nilai agama, maka pe-
11 Ahmad Baidlowi, Tafsir Feminis : Kajian Perempuan dalam al-Qur’an dan Para Mufasir Kontemporer (Bandung : Nuansa, 2005) hlm. 53
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
santren harus bisa menampilkan visi dan spirit kesetaraan yang dibawa oleh agama secara genuine. Akan tetapi, pesantren – menurut hemat penulis - ternyata belum sepenuhnya mampu memerankan dua fungsi ideal tersebut, terutama dalam memandang dan memperlakukan perempuan. Namun demikian, akar problem krusial perempuan pesantren, secara esensial tidak bisa dilepaskan dari akar doktrinal yang diyakini kebenarannya tanpa reserve. Artinya, agama dengan penafsiran yang androsentris notabene dijadikan sebagai kekuatan inti dalam pesantren, sehingga aturan dan cara pandang sepihak terhadap perempuan include dalam kehidupan pesantren. Hal itu telah menjadi salah satu problem dalam pemberdayaan kaum perempuan, seperti ditulis Abdurrahman Mas’ud, bahwa fenomena tersebut mengisyaratkan secara jelas tentang masalah pemberdayaan muslimah, masih menemukan kendala doktrinal.12 Menurutnya, bukan message Islam sebagai agama yang menjadi kendala, tetapi pemahaman dan penyampaian pesan keagamaan yang terlembaga dalam masyarakat muslim, atau religiosity, yang masih berada dalam dunia gelap.13 Dengan kata lain, dominasi dan manipulasi pemahaman keagamaan masih saja selalu merugikan kaum perempuan. Padahal, jika dibandingkan dengan agama lain, Islam lebih egaliter dalam memandang gender.14 Pendidikan (“Misoginis”) Pesantren : Sebuah Kritik Salah satu kritik kaum feminis terhadap masalah ketimpangan gender adalah di sektor pendidikan. Dalam pandangan mereka bahwa bentuk marjinalisasi dan diskriminasi atas kaum perempuan yang sangat memprihatinkan terjadi dalam masalah pendidikan, bukan hanya pada domain bahwa kaum perempuan tidak diberikan ruang berpartisipasi dalam pendid-
ikan, tetapi juga proses dan sistem pendidikan disinyalir belum berpihak terhadap nilai-nilai kesetaraan, antara laki-laki dan perempuan. Pendidikan masih merefleksikan tentang dominasi dan hegemoni kaum maskulin, sehingga pola dan paradigma pendidikan lebih mewakili semangat kaum laki-laki. Dari jumlah penduduk buta aksara berusia di atas 15 tahun ke atas ternyata masih mencapai 9,76 juta orang (5,92 persen). Di antara jumlah yang masih cukup besar tersebut, kaum perempuan masih mendominasi dibandingkan kaum lakilaki. Terdapat 6,3 juta (7,5 persen) orang perempuan dewasa 15 tahun ke atas, dibandingkan dengan lakilaki buta aksara dengan usia yang sama sekitar 3,5 juta (4,2 persen).15 Jumlah tersebut dengan jelas memberikan gambaran sederhana tentang potret ketertinggalan kaum perempuan dibandingkan kaum laki-laki. Buta aksara yang didominasi kaum perempuan sebagaimana data di atas, merupakan gambaran utuh tentang marjinalisasi dan diskriminasi terhadap kaum perempuan yang menjadi icon tersendiri dalam sejarah hidup ketertinggalan kaum perempuan. Padahal, buta aksara menurut Ella Yulaelawati, Direktur Pendidikan Nasional (Depdiknas), merupakan pemicu ketidakberdayaan para perempuan, karena buta aksara berimplikasi pada buta lainnya, baik buta informasi, buta pengetahuan, buta hukum, buta karya, dan buta kuasa.16 Oleh karena itu, pendidikan perempuan secara nasional masih menjadi masalah yang belum tuntas. Perempuan masih tetap menjadi sesuatu yang terbawah di bandingkan laki-laki dalam semua hal, baik pendidikan, budaya, agama, politik,
ekonomi dan lain sebagainya, sehingga masih membutuhkan kerja keras dan kesadaran bersama untuk menuntaskannya ; bahwa sudah waktunya perempuan bangkit dan diberikan peran yang sama, sehingga akan terjadi dinamika yang dinamis dalam kehidupan sosial. Selain itu, dalam pendidikan pesantren, posisi perempuan tidak jauh beda. Paradigma menomorduakan kaum perempuan tampaknya masih menjadi bagian yang tidak terbatahkan. Dalam pendidikan pesantren, laki-laki tetap menjadi primadona sehingga dalam setiap proses pendidikan, baik pembelajaran, kepemimpinan dan kebijakan pendidikan pesantren, lakilakilah yang memegang peran-peran strategis. Bahkan, dalam pendidikan pesantren antara laki-laki dengan perempuan dipisahkan dengan jarak yang demarkatif, sehingga mengesankan bahwa antara laki-laki dengan perempuan memang berbeda dan bahwa laki-laki sepertinya memang lebih berhak mengambil peran-peran dominan dibandingkan kaum perempuan (?). Kondisi tersebut juga pernah diutarakan oleh KH. Husein Muhammad, salah seorang kiai yang getol menyuarakan tentang kesetaraan gender. Menurutnya, sebagai sebuah entitas pendidikan Islam tertua, hingga kini pondok pesantren masih bersifat bias gender dan diskriminatif, baik dalam konsep maupun praktek, pendidikan yang dijalankan masih menganut sistem patrilinial.17 Proses pendidikan misoginis tersebut, bisa dikatagorisasikan menjadi beberapa masalah. Pertama, masalah proses belajar mengajar. Dalam pendidikan pesantren, proses belajar mengajar biasanya dilaku-
12 H. Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan (Semarang : Aneka Ilmu, 2004), hlm. 38 13 Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, hlm. 38 14 Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, hlm. 38 15 Jawa Pos, 19 Januari 2009 16 Jawa Pos, 19 Januari 2009 17 Tempo Interaktif, 11 Pebruari 2005
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
73
kan dengan menekankan pada peran dan partisipasi kaum laki-laki yang dominan. Kaum laki-laki dijadikan sebagai sosok pengajar yang lebih utama, sehingga pengajar dari unsur perempuan porsinya lebih kecil. Demikian pula di pesantren, terjadi pemisahan lokasi antara sekolah untuk putera dengan putri, walaupun hal itu dilakukan dengan alasan yang tidak begitu jelas, tetapi yang jelas tujuannya hanya satu : agar tidak berkumpul antara santri putra dengan santri putri.Sebuah alasan yang tentu saja agak dipaksakan dan tidak memiliki akar teologis yang meyakinkan, karena membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan pada dasarnya hanya mempertegas kuatnya hegemoni dan dominasi laki-laki atas perempuan. Bahkan tidak jarang, terdapat pesantren yang memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk mengajar santri putri, sementara jarang (untuk mengakatakn tidak ada sama sekali), kaum perempuan yang bisa mengajar santri putra. Kondisi semacam itu, tentu saja menggambarkan bahwa proses belajar mengajar yang dilakukan, masih sangat kental dengan paradigma patriakhal dimana laki-laki menjadi simbol utama yang sangat hegemonik, sementara kaum perempuan berada pada posisi yang sangat terbatas, sehingga peran-peran pembelajarannya tidak seleluasa kaum laki-laki, yang notabene bisa mengajar dalam lintas jenis kelamin. Kedua, masalah kepemimpinan. Seperti yang telah penulis gambarkan di awal tulisan ini, bahwa kepemimpinan pesantren pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari cara pandang kelaki-lakian yang sangat kental. Kepemimpinan pesantren identik dengan kepemimpinan maskulin, sehingga struktur kepemimpinannyapun sarat dengan laki-laki. Lembaga pendidikan formal yang berada di bawah naungan pesantren, jarang sekali (untuk mengatakan tidak ada sama sekali) yang dikendalikan oleh seorang
74
perempuan. Laki-laki tetap menjadi pemimpin utama, bahkan dalam jenjang struktur kelembagaannyapun, perempuan tidak mendapatkan jatah posisi yang strategis, paling celaka, kaum perempuan hanya mendapatkan jabatan sebagai TU (Tata Usaha) sekolah. Posisi yang menggambarkan tentang nasib perempuan sebagai pekerja dan pelayan, bagi jabatan di atasnya, sehingga peluang partisipasi bagi perempuan untuk menjadi pemimpin dalam lingkup pendidikan pesantren, nyaris tidak pernah diberikan. Akibatnya, seluruh kebijakan yang dilahirkan – bagaimanapun – tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai yang bias gender, karena tidak adanya keseimbangan gender dalam struktur kepemimpinan di lembaga pendidikan pesantren. Itulah kepemimpinan androsentris yang memandang bahwa perempuan sebagai elemen kelas dua dan dianggap tidak layak berada dalam struktur kepemimpinan, sehingga menjadi pemimpin “selalu� dianggap sebagai sesuatu yang tabu diberikan kepada perempuan. Jadi, dalam kepemimpinan pendidikan pesantren, posisi perempuan telah memberikan jawaban yang utuh tentang proses maskulinisasi di tubuh lembaga pendidikan pesantren yang sangat kuat. Ketiga, masalah kurikulum. Model kurikulum dalam pendidikan pesantren, biasanya terdiri dari kurikulum formal dan kurikulum non formal, karena sistem pendidikan yang dianut di dalamnya, terdiri dari sekolah formal dan non formal (diniyah). Dalam kurikulum formal, pesantren memang masih memakai kurikulum yang ditentukan sebagaimana berlaku dalam pendidikan nasional, tetapi di pesantren juga memiliki kurikulum lokal yang disesuaikan dengan kebutuhan pesantren. Jadi dalam sekolah formal pun, pesantren menganut dua model kurikulum. Kemudian, selain sekolah formal, pesantren juga memiliki sekolah
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
non formal, yaitu diniyah dimana kurikulum di dalamnya disusun oleh pesantren sendiri. Dalam penyusunan kurikulum ini, pada dasarnya nuansa bias gender sangat terasa, apalagi penentu kebijakan pendidikan didominasi oleh laki-laki, sehingga penentuan kurikulumpun tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai yang bias gender. Kurikulum secara otomatis disusun berdasarkan cara pandang dan kedekatan emosional si penyusun. Akhirnya, kurikulum – disadari ataupun tidak - disusun dengan mengedepankan kepentingan kaum laki-laki, tanpa mempertimbangkan kebutuhan kaum perempuan. Materi-materi yang dipelajari lebih didominasi oleh buku-buku yang tidak memperdulikan kesetaraan perempuan, bahkan dipilih kitab-kitab yang kurang simpati terhadap kaum perempuan. Bahkan, kitab-kitab yang menjadi rujukan sama sekali tidak ada yang diambil dari kitab-kitab yang disusun oleh kaum perempuan, baik di bidang fiqh, tauhid, akhlak, dan lain sebagainya, sehingga kurikulum yang dijadikan sebagai pijakan pembelajaran sangat androsentis dan dekat dengan paradigma misoginis dimana semangat kesetaraan dan keadilan atas kaum perempuan tidak pernah ditemukan. Pendidikan Pesantren Berbasis Keteraan Gender Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam memiliki latar belakang yang khas keislaman dan keindonesiaan. Menurut Martin Van Bruinessen, seperti dikutip Mahmud Arif, alasan institusi pesantren didirikan adalah untuk mentransmisikan produk pemikiran skolastik Islam tradisional kepada masyarakat nusantara.18 Asumsi tersebut bisa dibenarkan, tetapi untuk saat ini, keberadaan pesantren tidak hanya sekedar itu, melainkan memiliki tugas dan peran-peran yang uni-
versal, selain peran pendidikan, juga memiliki peran transformasi sosial dimana nilai-nilai Islam menjadi pijakannya yang esensial. Dalam konteks ini, pesantren pada dasarnya merupakan lembaga yang secara kongkrit menjadi institusi transformasi nilai-nilai keislaman guna mencapai kehidupan masyarakat yang maslahah. Pesantren adalah simbol pendidikan yang membebaskan, sesuai dengan visi dan misi kedatangan Islam untuk membebaskan manusia, yaitu untuk membebaskan masyarakat dari buta huruf, buta hati dan akal, serta buta akan nilainilai kemanusiaan, seperti sikap diskriminatif terhadap sesama manusia (baca : kaum perempuan). Artinya, secara substansial pesantren (sebagai simbol pendidikan Islam) memiliki visi yang jelas untuk melakukan pembebasan, sehingga sistem dan segala perangkat yang ada di dalamnya sejatinya harus mencerminkan sebagai pembebas. Pesantren sudah harus menyadari akan posisinya sebagai institusi Islam yang menekankan pada semangat kesetaraan dan keadilan antar sesama, baik pada laki-laki maupun perempuan. Pesantren harus dapat membuktikan bahwa sistem dan segala proses di dalamnya benar-benar menguntungkan bagi semua pihak antara laki-laki dan perempuan. Perlakuan dan cara pandang terhadap laki-laki dan perempuan harus diletakkan dalam kaca mata yang sama dan setara, sehingga segala proses yang terjadi di dalamnya mampu menciptakan keadilan dan kesetaraan gender. Karena keadilan dan kesetaraan gender pada dasarnya menghendaki agar laki-laki maupun perempuan memiliki akses (kesempatan) dan partisipasi (peran serta) yang dalam pembangunan, memiliki kontrol (tanggungjawab) atau wewenang yang seimbang atas sumber daya pembangunan, dan dapat memanfaatkan hasil pembangunan den-
gan setara.19 Dalam konteks ini, yang bisa dilakukan oleh pesantren dalam memperbaiki citra dan orientasi pendidikan yang dilakukan agar sesuai dengan cita-cita kesetaraan dan keadilan, maka pesantren dapat melakukan beberapa hal, antara lain. Pertama, melakukan revolusi paradigmatik di dalam tubuh pesantren dalam memandang posisi perempuan dan laki-laki. Pe-
Pesantren harus dapat membuktikan bahwa sistem dan segala proses di dalamnya benar-benar menguntungkan bagi semua pihak antara laki-laki dan perempuan. rubahan paradigma, dari paradigma misoginis ke paradigma almusawah (kesetaraan) dengan melihat bahwa perempuan dan lakilaki adalah manusia yang setara dan keduanya diciptakan untuk saling melengkapi, bukan untuk saling menghegemoni, terutama perubahan paradigma penafsiran agama atas perempuan yang selama ini dipandang bahwa agama lebih memihak laki-laki.
Paradigma keagamaan pesantren tampaknya terkesan memposisikan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk atas-bawah.20 Nalar keberagamaan pesantren, tidak lagi dikungkung oleh nalar patriarkhis yang merugikan kaum perempuan, sehingga tafsir keagamaan yang dikembangkan pesantren akan mengacu pada semangat kesetaraan dan keadilan sebagaimana menjadi prinsip dasar agama.21 Tugas pesantren adalah menjadi pusat pendidikan masyarakat yang secara universal memandang seluruh elemen manusia sebagai makhluk yang sama dan setara, apalagi dalam perspektif agama bahwa di sisi agama, yang membedakan antara manusia yang satu dengan manusia lain adalah pada aspek ketakwaan dan keimanan, bukan perbedaan tingkat sosial dan jenis kelamin. Kedua, membuka ruang partisipasi yang setara, baik laki-laki maupun perempuan dalam pendidikan pesatren, baik dalam domain kepemimpinan, pembelajaran, maupun manajemen pendidikan pesantren, sehingga dalam proses-proses tersebut dapat memenuhi peran dan partisipasi semua elemen, baik lakilaki maupun perempuan. Ketiga, menyusun kurikulum dan pembelajaran berbasis kesetaraan, yang mampu mengakomodir kebutuhan dan semangat universal. Artinya, kurikulum dan pembelajaran sejatinya dapat diwujudkan dengan memenuhi standar kesetaraan.
18
Mahmud Arif, Pendidikan Transformatif, hlm. 23-24 Yuliati Hotifah “Gender dan Pendidikan”, dalam Umi Sumbulah, dkk, Spektrum Gender Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi (Malang : UIN Malang Press, 2008), hlm. 184 20 Hal ini berimbas pada spritualisme pesantren yang mengarah pada kukuhnya hegemoni laki-laki atas perempuan. Inilah yang disebut dengan spritualitas maskulinisme. Menurut Abraham Silo Wilar bahwa spritualitas maskulinisme ialah suatu spritualitas yang menghayati Allah secara androsentrik, sehingga pengahayatn relijius yang sesungguhnya bersifat Allah sentris khas Islam bergeser menjadi Allah-Androsentris karena ’arsip-arsip’ keagamaan yang menjadi media menghayati persoalan spritualitas berasal dari kaum pria. Lihat. Abraham Silo Wilar, Perempuan Tidak Wajib Shalat Jumat. Mengapa? Menggugat Tabu tidak diwajibkannya Shalat Jum’at bagi Perempuan (Yogjakarta : Pustaka Rihlah, 2007) hlm. xxv 21 Penafsiran atas agama yang bias gender memang menjadi fenomena tersendiri dalam pemikiran keagamaan Islam. Itulah yang saat ini mendapatkan banyak kritikan dari pemikir muslim feminis konteporer. Salah satu buku yang mencoba mengupas tentang masalah ini adalah buku bunga rampai berjudul Bias Jender dalam Pemahaman Islam. Lihat. Sri Suhandjati Sukri, Bias Jender dalam Pemahaman Islam (Yogjakarta : Gema Media, 2002) 19
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
75
Kurikulum misalnya, dapat disusun dengan tidak lagi terjebak pada sesuatu yang bias gender, tetapi diwujudkan dalam kurikulum yang menjunjung kesetaraan. Materi-materi pembelajaran tidak hanya diambil dari karya-karya yang bias gender, tetapi juga kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan kaum perempuan. Demikian juga, pesantren harus menyeleksi materi-materi yang notabene menyudutkan keberadaan kaum perempuan, baik secara tersirat maupun tersurat, karena hal itu yang selama ini menjadi akar pembenaran terhadap hak dominan kalum laki-laki di pesantren. Refleksi : Catatan Penutup Langkah-langkah tersebut merupakan sesuatu yang mendesak dipikirkan oleh pesantren, karena berfikir bias bagi pesantren merupakan cara pandang lama yang seharusnya tidak bisa dibiarkan sampai saat ini. Untuk terus membangun gerakan kesetaraan ini, maka pesantren harus melakukan perombakan total atas paradigma bias gender yang selama ini dianut, sehingga dengan cara itu, pesantren akan dilihat sebagai lembaga pendidikan Islam yang mampu memposisikan kesetaraan sebagai ajaran dan proses luhur di dalamnya. Bahkan bukan hanya itu, pesantren sudah waktunya ikut serta dalam upaya memperjuangkan kesetaraan ini dalam wilayah yang lebih luas, misalnya masalah kesetaraan secara umum, yang terjadi di luar pesantren. Disinilah affimatif action – meminjam istilah Abdurrahman Mas’ud – merupakan sesuatu yang harus menjadi lahan garapan pesantren ke depan. Affirmatif action adalah konsep diskriminasi terbalik, dalam arti kelompok minoritas harus didukung, yang selama ini kelompok ini selalu terpinggirkan oleh kelompok mayoritas, baik dari aspek sosial, ekonomi dan politik22, serta yang paling penting adalah dalam aspek pendidikan.
76
Pesantren setidaknya dapat membuktikan bahwa proses pendidikan memang didasarkan pada satu misi utama, yaitu misi pembebasan dan mampu memandang peserta didik sebagai manusia yang sama dan tidak berbeda antara satu dengan yang lain, sehingga harus diposisikan dengan posisi yang setara, sehingga pesantren mampu mencapai target luhurnya sebagai lembaga pendidikan. Sebab, keberhasilan pendidikan pesantren sebagai lembaga alternatif terletak, antara lain pada kemampuanyannya menyumbangkan pembangunan (mental) spritual melalui pemberian ruang yang cukup untuk emotionalization of religious feeling yang diekspresikan secara intelektual, selain itu juga berpijak pada ketulusan pesantren untuk tetap menyatu dengan masyarakat sekaligus sebagai agen transformasi yang dapat mencerahkan mereka.23 Artinya, ke
depan pesantren dapat menjadi lembaga pendidikan yang mampu mengembangkan nilai-nilai kesetaraan dalam setiap proses pendidikan yang dilakukan di dalamnya, terutama dalam memandang dan memperlakukan perempuan, bahkan harus menjadi pembela bagi pendidikan perempuan yang telah lama tertindas, sehingga pendidikan perempuan dapat berjalan normal. Sebab, perempuan memiliki tanggungjawab besar dalam mendidik anakanak mereka kelak, apabila perempuan tidak memiliki pendidikan yang normal, maka menghasilkan anakanak yang kurang berpendidikan.24 Semoga tulisan ini bisa menjadi pertimbangan untuk terus mendiskusikan tentang pesantren yang rahmatan lil alamin, tidak hanya bersifat keuar, tetapi nilai-nilai rahmatan itu juga dapat digerakkan dalam keseluruhan bagian dalam pesantren see cara total. Wallahu a’lam. g
22
Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, hlm. 43 Abd A’la, Pembaruan Pesantren, hlm. 26 24 Saedah Siraj, “Hukum Syariat dan Pendidikan Perempuan”, dalam Ali Hosein Hakeem, et, al, Membela Perempuan (Jakarta : al-Huda, 2005)hlm. 141 23
Daftar Pustaka Abd A’la, Pembaruan Pesantren. Yogjakarta : Pustaka Pesantren, 2006 Abraham Silo Wilar, Perempuan Tidak Wajib Shalat Jumat. Mengapa? Menggugat Tabu tidak diwajibkannya Shalat Jum’at bagi Perempuan. Yogjakarta : Pustaka Rihlah, 2007 Ahmad Baidlowi, Tafsir Feminis : Kajian Perempuan dalam al-Qur’an dan Para Mufasir Kontemporer. Bandung : Nuansa, 2005 Ali Hosein Hakeem, et, al, Membela Perempuan. Jakarta : al-Huda, 2005 Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial : Mencari Jalan Keluar. Yogjakarta : LKiS, 2000 Mahmud Arif, Pendidkan Islam Transformatif. Yogjakarta : LKiS, 2008 Umi Sumbulah, dkk, Spektrum Gender Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi. Malang : UIN Malang Press, 2008 Dra. Hj. Sri Suhandjati Sukri, Bias Jender dalam Pemahaman Islam. Yogjakarta : Gema Media, 2002 Farid Wajidi, “Perempuan dan Agama : Sumbangan Riffat Hassan” dalam Fauzi Rijal, dkk, editor Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogjakarta: Tiara Wacana, 1993 Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam: Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme. Yogjakarta : IRCiSOD, 2006 Mohammad Suhaidi RB, “Revitalisasi Potensi Lembaga Pendidikan Islam : Menuju Pesantren Masa Depan”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan EDUKASI, No. VII.2007 Muh. Hanif Dhakhiri-Zaini Rahman, Post-Tradisionalisme Islam : Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII. Jakarta : ISISINDO MEDIATAMA, 2000 Nur Said, Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia. Yogjakarta : Pilar Media, 2005 Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan.Semarang : Aneka Ilmu, 2004 Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta : LP3ES, 1982 Jawa Pos, 19 Januari 2009, Tempo Interaktif, 11 Pebruari 2005, www.rahima.or.id, 8 Agustus 2008
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
artikel artikel lepas lepas
Pendidikan Tahan Banting A. Khotib
Ahmad Khotib, kini ngabdi di PP. Annuqayah. Ketua LPM-STIK Annuqayah (2007-2008). Tulisan pernah dipublikasikan di buletin Gerak, jurnal Edukasi, jurnal ’Anil Islam, Jawa Pos, Kompas Jatim. Kontributor buku “Rahasia Politik Kiai Ramdlan” (2008, eLSI Sumenep), buku “Sarung dan Demokrasi: Dari NU untuk Peradaban Keindonesiaan” (2008, KhalistaPW LTN NU).
Tak dapat lagi dielakkan, peran pesantren telah nyata sejak pra kemerdekaan hingga saat ini. Baik peran dalam penyelenggaraan pendidikan maupun peran yang tercermin dalam diri seorang kiai, minimal terhadap masyarakat di sekitarnya. Pesantren merupakan bagian dari pendidikan nasional yang telah ada sebelum kemerdekaan dan bahkan disinyalir sebagai lembaga pendidikan yang memiliki kekhasan, keaslian (indegeneous) Indonesia.1 Pesantren berakar pada kepercayaan masyarakat. Penyelenggaraan pendidikannya pun bergantung pada animo masyarakat. Kebutuhan atau bahkan ketergantungan masyarakat pada pesantren amatlah besar, hingga pada pandangan bahwa pesantren adalah milik mereka sendiri, sehingga eksistensi pesantren tetap terjaga dengan baik-sempurna. Munculnya Pendidikan Islam bersamaan dengan “terbentuknya” masyarakat muslim di Nusantara pada abad ke-13. Karena itu, umur pesantren setua umur agama Islam di Indonesia itu sendiri. Dari panjangnya perjalanan pesantren, menempatkan pesantren sebagai “institusi” yang telah melakukan banyak hal dalam pengembangan sumber daya manusia, ekonomi dan teknologi, serta budaya; baik pengembangan bagi kualitas pesantren itu sendiri atau bagi peningkatan kualitas masyarakat sekitar. Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua, pesantren tak dapat diragukan lagi peranannya bagi
perkembangan Islam di Nusantara.2 Bersimpati Pada Sumbangan Pesantren Peran pesantren di masa lalu dapat dilihat dalam upaya mengusir penjajah. Pesantren telah menggerakkan, memimpin, dan melakukan upaya kongkrit dalam upaya pencapaian kemerdekaan Indonesia. Muhammad Mansur Suryanegara, pakar sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung, menyatakan bahwa sulit menemukan gerakan melawan penjajah di Indonesia yang tidak digerakkan dan dipimpin oleh orang pesantren.3 Tingginya semangat juang orang-orang pesantren berakar dari pemahaman mereka atas syariat Islam yang menolak adanya perbudakan, penjajahan, diskriminasi, dan penindasan dalam bentuk apapun.4 1 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 22. 2 Periksa Thoha Habil, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 41. Bandingkan dengan H.J. De Graaf, Islam di Asia Tenggara sampai Abad ke-18, dalam Azyumardi Azra (penj.), Perspektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), hal. 33-34. 3 Dikutip dalam Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. VI, Januari 2005), hal. 192. 4 Bukti sejarah yang paling menonjol dalam hal ini terdapat pada: pertama, penolakan atas kewajiban pendewaan terhadap K aisar Jepang Tenno Haika dengan cara membungkukkan badan kearah timur pada waktu-waktu tertentu. Oleh KH. Hasyim Asy’ari (orang pesantren), ’kewajiban’ ini dinilai sebagai perbuatan syirik, dan wajib
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
77
Peran pesantren di masa kini juga amat terasa. Misalnya, tetap teguhnya pesantren dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Peran lain adalah betapa sulitnya pemerintah dalam menyosialisasikan beberapa program pembangunannya kepada masyarakat. Dengan mendekati pesantren/kiai pesantren, sosialisasi program pembangunan itu lebih mudah diterima masyarakat. Hampir semua maklum, jalinan komunikasi pemerintah dengan rakyat berjalan dalam ketidakstabilan, kesalingcurigaan. Pesantren mampu menjembatani kebuntuan ini. Selain itu, pesantren telah melahirkan banyak sekali pemimpin bangsa; di masa lalu, kini, dan kemungkinan besar juga di masa datang.5 Kualitas mereka juga dapat dipertanggungjawabkan; baik kualitas keilmuannya, lebih-lebih kualitas moral mereka. Dengan memperhatikan fenomena sosial kebangsaan kita hari ini, integritas moral, tampaknya, menempati urutan pertama yang mesti ada dari pada “sekadar” kecakapan ilmu dan keterampilan. Dalam hal ini, pesantren memiliki jasa yang amat besar bagi perjalanan bangsa kita. Di masa mendatang, menurut
78
hemat penulis, peran pesantren akan tetap besar dan patut diperhitungkan. Pesantren memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh “kelompok lain”, dan sesuatu itu dibutuhkan oleh berbagai pihak hingga batas waktu tak terbatas. Ketergantungan kepada pesantren akan tetap besar. Tetapi dalam hal ini, pesantren tidak mabuk kepayang dengan “meminta” apa saja kepada yang membutuhkannya guna membuat “dapur pesantren” terus mengepul. Pesantren tetap bersahaja dan mandiri. Namun demikian, pesantren masih belum mendapat perlakukan simpatik. Orang-orang pesantren diidentifikasi sebagai kaum terbelakang, anti-modernitas. Ciri-ciri fisik berupa peci, sarung, tasbih, sandal teklek (terompah), juga kitab kuning telah menimbulkan kesan –meminjam istilah M. Faizi– inferioritas yang dilekatkan kepada mereka.6 Tak salah bila banyak kalangan
“menempelkan” istilah klenik, dan kuno/klasik kepada santri. Pesantren pun dikaitkan dengan hal-hal yang berbau takhayul, mistis, serta jauh dari perkembangan zaman. Identifikasi yang inferior ini lebih banyak dialami oleh Pesantren Salaf.7 Padahal, pesantren salaf memiliki keunikan sekaligus keistimewaan tersendiri dalam ikut serta mengambil peran dari modernitas. Namun, keunikan dan keistimewaan itu telah diinklusi. Pada titik ini, upaya mempresentasikan pesantren salaf sebagai “institusi” yang telah ikut mengambil peran dari modernitas, amat urgen dilakukan. Pilihan meng-inklusi pada pesantren salaf akan menempatkan kita bersikap apriori atas segala perkembangan yang telah dicapai oleh pesantren sendiri. Kini, sudah saatnya kita memposisikan setara antara pesantren salaf dengan pesantren modern dan atau dengan lembaga pendidikan non-pesantren. “Penyetaraan” itu bermakna bahwa setiap lembaga pendidikan itu memiliki kekurangan dan kelebihan adalah pasti, tetapi menghilangkan kelebihan lembaga pendidikan lain dengan alasan karena ia berlokasi di desa, memiliki santri yang tidak banyak, dan mengajarkan kitab-kitab klasik/turats adalah sikap yang kurang bijak. Kita perlu melihat seluruh lembaga pendidikan dalam kerangka objektif, memperhatikan sumbangan mereka pada upaya pencerdasan kehidupan bangsa. Pesantren: Sebuah Tinjauan Epistemologis Secara etimologis, pesantren berasal dari kata “santri”, dengan
ditentang. Kedua, keluarnya “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945. Resolusi ini mewajibkan (wajib ’ain, wajib pada setiap Muslim) untuk melakukan Jihad. Jihad merupakan salah satu sendi dalam Islam yang amat besar sekali pahalanya. Lebih jauh periksa Slamet Effendy Yusuf, dkk., Dinamika Kaum Santri: Menelusuri Jejak Dan Pergolakan Internal NU, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), hal. 36-38. 5 Op. Cit., hal. 191. 6 M. Faizi, Pesantren Ikon Pendidikan Nonformal, Majalah Basis, Juli-Agustus 2007. 7 Berbeda dengan Pesantren Modern; yang dengan ke-modern-annya selalu ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari Pesantren Salaf.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri.8 Bagi Nurcholish Madjid, pesantren dapat dilihat dari dua pendapat: pertama, kata “santri” berasal dari kata “sastri”, kata dengan makna melek huruf ini merupakan bahasa sansakerta. Pendapat ini, kata Nurcholish, didasarkan pada pandangan orang Jawa tentang kelompok orang yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertuliskan bahasa Arab. Pendapat kedua, kata “santri” berasal dari bahasa Jawa, yakni kata “cantrik”. Cantrik memiliki makna seseorang yang selalu mengikuti guru ke mana pun guru pergi dan menetap.9 Sementara Clifford Geertz menyatakan bahwa kata “santri” mempunyai arti sempit dan luas. Dalam arti sempit, santri adalah murid sekolah agama yang lazim disebut pondok atau pesantren. Karenanya, sebutan “pesantren” diambil dari kata “santri” ini yang bermakna tempat tinggal bagi mereka (santri). Dalam arti luas, santri adalah bagian dari penduduk Jawa yang memeluk agama Islam secara tekun ; pergi ke masjid, bersembahyang, dan ibadah lain.10 Sedang secara terminologis, dari bentuk dan sisinya, pesantren mengadopsi model atau sistem pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa, lembaga-lembaga pengajaran pra-Muslim. Atau, jika ditarik lebih jauh, pesantren memiliki akar sejarah (mempunyai kesamaan) dengan ashram-ashram (asrama) India.11 Untuk bisa disebut pesantren, lembaga pendidikan sekurangkurangnya harus memiliki lima elemen : ada pondok, masjid, kiai, santri, dan pengajian kitab klasik/ turats.12 Dengan demikian, jika hanya memiliki pondok dan santri; sedang kiai, masjid, dan pengajian kitab tidak ada, maka ia lebih pantas disebut kos-kosan. Atau, jika hanya ada kiai, santri, serta pengajian kitab, maka itu tak lain dari “sekedar” Majlis Taklim; dan bu-
kan pesantren. Berbagai usaha untuk mengidentifikasi pesantren telah dilakukan. Pesantren memang memiliki daya tarik tersendiri bagi para peneliti. Secara kasat mata, pesantren tak lebih dari pedukuhan kecil dengan “seorang” guru, sedikit murid, serta pembelajaran yang tidak memiliki perencanaan kurikulum yang jelas. Tetapi, aura, kekuatan, dukungan masyarakat di lapis bawah, alumni yang memiliki integritas moral kuat, keterikatan emosional lulusanya yang luar biasa, juga kemandirian serta ketidaktergantungannya pada birokrasi telah menjadikan pesantren sebagai fenomena yang mampu menyedot perhatian para peneliti. Dari beberapa upaya mengidentifikasi pesantren itu, antara lain menurut Zamakhsyari Dhofier mengklasifikasi pesantren dari sisi jumlah santri. 13 Bagi Dhofier, pesantren yang jumlah santrinya kurang dari 1000 dan pengaruhnya hanya pada tingkat kebupaten, disebutnya “Pesantren Kecil.” Jika, santri antara 10002000, dengan pengaruh sampai beberapa kabupaten adalah “Pesantren Menengah.” Sedang bila 2000 lebih dengan pengaruh yang tersebar di beberapa kabupaten dan provinsi, maka terkategori “Pesantren Besar.” Klasifikasi Dhofier, tampaknya, didasarkan pada dua hal: jumlah santri dan sempit-luasnya pengaruh pesantren tersebut. Sementara menurut Wardi Bakhtiar, justru mengklasifikasi pesantren dari sudut pengetahuan yang diajarkan. Dari sudut ini,
muncul 2 (dua) golongan pesantren: pertama, pesantren salafi. Kata Wardi, pesantren ini adalah pesantren yang mengajarkan kitabkitab klasik. Sistem madrasah diterapkan guna mempermudah teknik pengajaran sebagai ganti dari sistem sorogan. Pada model pesantren ini, tidak diajarkan pengetahuan umum. Kedua, pesantren khalafi, yaitu pesantren yang selain memberikan pengajaran kitab-kitab klasik juga membuka sekolah-sekolah umum. Sekolah-sekolah umum itu dalam koordinasi dan berada di lingkungan pesantren.14 Dari beberapa hasil penelitian di atas, menunjukkan bahwa pesantren memang menjadi daya tarik tersendiri bagi para peneliti. Meski penelitian pesantren sudah banyak, tetapi masih banyak pula halhal yang tak tersentuh, tak terbaca oleh para peneliti. Misalnya, keberadaan khadam (pelayan) kiai, kemampuan spritual kiai, serta beberapa (yang dianggap) mitos di kalangan santri tetapi justru terbukti adanya. Pijakan Ideologis-Filosofis Penyelenggaraan Pendidikan Pesantren Orang (kemudian disebut santri) yang menuntut ilmu di pesantren mendasarkan pada firman Allah QS. At-Taubah [9]: 122. Penyelenggaraan pendidikan pesantren pun, secara otomatis, didasarkan pada ayat ini. Pada ayat ini, penulis mengambil satu kata Tafaqquh fi al-Dîn sebagai akar pembahasan. Menelusuri istilah Tafaqquh fi al-Dîn, penulis menemukan kenik-
8
Periksa Zamakhsyari Dhofier, Loc. Cit., hal. 18. Dapat dilacak pada Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 19-20. 10 Lebih jauh, periksa Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983), hal. 268. 11 H.J. de Graaf, Loc. Cit., hal. 33. 12 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren..., hal. 44. 13 Ibid., hal. 42 14 Klasifikasi ini tertuang dalam Wardi Bakhtiar, Laporan Penelitian Perkembangan Pesantren di Jawa Barat, (Bandung: Balai Penelitian IAIN Sunan Gunung Djati, 1990), hal. 22. Teks ini penulis kutip dari Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, hal. 194. 9
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
79
matan tersendiri; tersingkapnya sedikit selubung kalimat Allah. Meski, pada batas tertentu, penulis merasakan kegamangan akan hasil “tafsir” ini (baca: bukan takwil apalagi tafsir), tetapi demikianlah hasil itu telah penulis capai. Dalam al-Qur’an disebutkan : Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. Kata kunci (key word)15 ayat ini adalah: 1. li ya tafaqqahû fi al-Dîn (untuk memahami agama) Dalam hal ini, perlu kiranya dibedakan antara “memahami agama” dengan “memahami ilmu agama” (li ya tafaqqahû fi “Ilmi” alDîn). Memahami Agama adalah upaya menjadikan (ajaran) agama sebagai kepribadian atau dalam bahasa yang lain “berkepribadian islami.” Sedang, memahami ilmu Agama tak lebih dari sekadar menjejali dengan pengetahuan agama secara konseptual. Dari perbedaan ini, apa efek yang ditimbulkan? Penjejalan pengetahuan agama tidak memungkinkan seseorang dapat membentuk “dirinya” menjadi berkepribadian islami, ia hanya akan memiliki pengetahuan agama Islam. Jika ada yang mengatakan, bukankah dengan memiliki pengetahuan agama Islam seseorang bisa berkepribadian islami? Itu tidak selamanya benar. Amat banyak kita saksikan orang-orang yang memiliki pengetahuan agama, tetapi justru melanggar aturan agama. Bahkan, karena pintar, ia merasa benar atau membenarkan perbuatannya melawan agama itu. Salah satu contoh, pendidikan Rasulullah. Sampai hari ini, tidak
80
ada yang menyangsikan akan bagus-berkualitasnya pendidikan yang beliau praktekkan kepada para sahabat dan kaum muslim. Apa sebenarnya yang Rasul lakukan hingga pribadi Umar bin Khattab menjadi pibadi yang luar biasa? Demikian pula dengan sahabat yang lain. Salah satunya adalah karena beliau mampu menjadi suri tauladan (uswah hasanah) dalam kehidupan para sahabat. Pribadi Rasul merupakan perwujudan dari al-Qur’ân yang ditafsirkan manusia sebagai aktualisasi ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.16 Lebih jauh Robert L. Gullick dalam Muhammad The Educator menulis: “Muhammad adalah betul-betul seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar serta melahirkan ketertiban dan kestabilan yang mendorong perkembangan budaya Islam, suatu revolusi yang dimiliki tempo yang tidak tertandingi dan gairah yang menantang.”17
2. li yundzirû qaumahun, (guna memperingati masyarakatnya) Bila pengetahuan melekat pada suatu pribadi, maka ia (baca: pengetahuan) menuntut untuk disebarkan kepada khalayak. Maka, kelompok kecil (thâifatun) itu mesti membawa sesuatu kepada kelompok masyarakat (firqatun) yang telah “mengutusnya”. Orang yang telah berpengetahuan itu tidak boleh menciptakan jarak dengan mereka yang mengutusnya. Ia mesti menjadi “bagian dari” dan “hidup bersama” mereka. Jika tidak, maka tugas mentransformasikan (li yundzirû) pengetahuannya amat sulit dilakukan.
Orang yang dididik di pesantren tidak akan mengalami “keterkejutan intelektual” ketika kembali ke komunitasnya. Karena penyelenggaraan pendidikan di pesantren berbasis pada tafaqqahû fi al-dîn, bukan tafaqqahû fi ’ilmi aldîn. Dalam hal ini, pesantren berbeda dengan lembaga pendidikan non pesantren. Darimana dapat diketahui bahwa orang yang dididik pesantren tidak akan mengalami keterkejutan intelektual? Dari kenyataan, bahwa masyarakat menuntut, misalnya pada para da’i18 agar tak sebatas pandai mendakwah, melainkan mampu menjadi panutan umat. Tuntutan ini telah sejak awal dilakukan oleh para santri di pesantren, yaitu dengan belajar meniru perilaku sang kiai. Seluruh peri kehidupan sang kiai diadopsi dalam kehidupannya. Jadi, mereka tidak akan terkejut lagi. H. Abdullah (45 tahun), salah seorang tokoh masyarakat kepada penulis, menyatakan: “Sangat tidak masuk akal jika sekarang masih ada orang/sekelompok orang yang tidak tahu bahwa zina itu haram, narkoba itu jelek, dan mencuri (dalam segala bentuknya, termasuk korupsi, pen.) dilarang; tetapi jumlah orang yang melakukan itu bukan semakin sedikit. Hemat saya, zaman sekarang sedang krisis figur. Panutan umat semakin menipis; umat pun menjadi liar-tak terkendali.”19
Dengan melihat tuntutan masyarakat yang demikian, dan pendidikan pesantren memang menitiktekankan pada pembentukan kepribadian (memahami agama), maka orang yang dididik di pesantren akan dengan mudah menyesuaikan diri, melebur, dan
15 “metode” key word adalah untuk menegaskan stressing penguraian dari ayat ini. Selain itu, kiranya, tidak memungkinkan mengurai kata demi kata sepanjang ayat ini; baik karena soal space atau sebab akan menjadikan tulisan ini layaknya kamus. 16 Temukan dalam Tedi Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam: Ikhtiar Mewujudkan Pendidikan Bernilai Ilahiah dan Insaniah di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal. 33. 17 Dikutip dari Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1991), hal. 56. 18 Da’i tidak dipahami dengan termenologi yang sempit. Da’i adalah semua muslim yang mengajak pada kebaikan. Da’î berasal dari kata Da’â, memanggil, meminta, mengajak. 19 Wawancara pada 30 September 2008 di kediamannya.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
hidup bersama masyarakatnya. Tentang hal ini, penulis ingin menyampaikan ilustrasi sederhana: menganjurkan menyayangi anak yatim itu amat mudah. Ayat-haditsnya mudah didapatkan. Riwayat-riwayat tentang orang-orang terdahulu yang mengayomi anak yatim serta diadzabnya orang yang mengabaikannya, gampang diperoleh. Tetapi, untuk mampu “tinggal bersama”, “hidup bersama”, serta “hidup dengan cara dan pola” anak yatim amat sangat jarang sekali orang yang bisa atau mampu. Bagaimana dengan Rasulullah? Beliau tidak hanya pandai mengajak menyayangi anak yatim, beliau justru “hidup bersama” juga “hidup dengan cara dan pola” anak yatim. Bahkan, beliau sendiri adalah yatim. Pada sumbu ini, arti penting panutan menemukan titik labuhnya. 3. idzâ raja’û ilaihim( ketika kembali kepada komunitasnya) Pada kata kunci (key word) yang ke-3 ini, penulis akan menggunakan pendekatan budaya. Di Madura, utamanya Sumenep, ada tradisi “memberi uang jajan” kepada calon santri baru. Calon santri akan mendapat “subsidi” dana dari para tetangga. Menariknya, tradisi ini tidak hanya dialami oleh calon santri baru, santri lama yang kebetulan pulang kampung dan akan kembali ke pondok juga menjadi objek “salam tempel” ini.20 Hal menarik lainnya adalah hubungan antara santri dengan yang memberi (kadang) tidak ada pertalian kekerabatan. Apakah kenyataan ini menjadi indikator tingginya animo masyarakat kepada ilmu pengetahuan? Dengan menghormati dan memuliakan orang yang mencari ilmu? Bisa saja benar. Nah, dalam konteks kajian tulisan ini, mereka (masyarakat) amat sangat mengharap kehadiran seorang faqih, alim, dan memiliki pemahaman yang dalam tentang agama di kampungnya. Kepada faqih-alim itulah mereka akan mengadukan “sega-
la” persoalan hidup yang mereka hadapi. Jika calon faqih-alim itu adalah generasi kampung mereka sendiri, maka mereka berharap generasi mereka itu dapat “pulang kampung” (raja’û ilaihim). Pendidikan Tahan Banting Pesantren Salaf: Upaya Konfrontasi Seperti telah diurai di atas,
harus “tinggal” di pesantren untuk belajar dan hidup dengan cara hidup agamis. Jika tidak, ia hanya akan mendapatkan ilmu agama! Ilmu agama akan bernilai guna apabila memberi efek pada perubahan di wilayah tingkah laku, cara hidup, tutur sapa, dan pola pikir. Karena santri yang belajar ke pe-
bahwa penyelenggaraan pendidikan di pesantren berbasis pada konsep afaqqahû fi al-dîn, maka pertama, santri yang “datang” ke pesantren tak lain dari ingin belajar cara hidup yang sesuai dengan agama; bukan sekadar belajar ilmu Nahwu, Sharraf, Tafsir, Hadits, dan sebagainya. Karena itu ia
santren salaf bertujuan membentuk tingkah laku islami, maka pendidikan yang diterapkan tidak berhenti pada fase pengalihan pengetahuan (transfer of knowledge) semata, tetapi menerobos jauh pada penanaman sikap hidup yang sesuai dengan pengetahuan yang telah diperolehnya.
20 Inilah salah satu faktor yang membuat santri akan malu untuk selalu pulang kampung; bukan malu kepada keluarga, tapi pada tetangga. Dari ini, memungkinkan santri lebih serius dalam belajar.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
81
Sisi inilah yang banyak dikeluhkan akhir-akhir ini. Orang tua semakin kawatir dengan perkembangan otak dan kecerdasan anaknya, sementara kecerdasan emosi dan spritualnya mampet. Kepintaran dan kecerdasan yang mereka miliki digunakan untuk menyingkirkan “orang tua” mereka ke pojok-pojok kehidupan. Tata nilai yang sedang dijalankan oleh “para orang tua” akan menjadi sasaran kritik dan objek cemoohan generasi muda. Pesantren salaf membuat satu garis lurus antara bertambahnya pengetahuan dengan semakin baiknya pola pikir dan gaya hidup. Di pesantren salaf, pengajaran, dalam arti transfer ilmu pengetahuan, diposisikan sebagai penunjang akan lahirnya individu yang lebih baik. Dan bukan sebaliknya. Ilmu bukan untuk ilmu, tapi ilmu untuk amal. Apalah artinya meriah dari sisi konsep dan teori, tetapi miskin dalam aktualisasi. Pengetahuan yang dimiliki tidak mampu menawarkan solusi. Pada titik ini, wajar jika dikatakan bahwa pengetahuan yang dimiliki hanya menyesakkan kehidupannya sendiri. Konsep li yundzirû qaumahun adalah kata lain dari kewajiban untuk menyebarkan pengetahuan yang melekat pada dirinya kepada umat. Tidak bisa tidak; ia mesti menambah deretan orang yang tahu (sebagaimana dirinya) semakin banyak. Inilah yang oleh Mansour Faqih disebut dengan “Intelektual Organik”. Ia mematrikan pada dirinya akan adanya tanggung jawab sosial dari pengetahuan yang dimilikinya. Sebagai orang yang tahu, kewajibannya memberi tahu kepada khalayak akan berbuah dosa bila tidak dilakukannya. Dan, pesantren salaf telah mendidik para santrinya dengan “pelajaran” cara hidup; tak sekadar penguasaan ilmu pengetahuan. Kedua, di pesantren, belajar se-
82
cara keseluruhan tentang kehidupan. Pengajaran agama diberikan secara utuh. Seorang teman bertutur bahwa pesantren adalah miniatur masyarakat. Belajar “hidup bersama” di pesantren bermakna sedang berlatih hidup di masyarakat, masyarakat yang lebih besar dan sebenarnya. Ilmu-ilmu eksakta atau ilmu pasti memiliki laboratorium percobaan untuk uji coba rumus dan teori atau laboratorium itu berguna untuk menemukan rumus dan teori baru. Kimia, memiliki laboratorium kimia; Biologi, punya laboratorium
Ilmu bukan untuk ilmu, tapi ilmu untuk amal. Apalah artinya meriah dari sisi konsep dan teori, tetapi miskin dalam aktualisasi biologi; demikian pula dengan Fisika, Matematika, dan lain sebagainya. Sedang ilmu-ilmu sosial, laboratoriumnya adalah gerak hidup masyarakat. Karenanya, tidak ada rumus paten dalam ilmu sosial. Gerak hidup masyarakat terus bergerak, berubah, penuh dinamika, dan kadang penuh kejutan. Pada perkembangan selanjutnya, muncullah ilmu Analisis Sosial sebagai upaya memahami gerak sosial secara benar dan holistik. Dalam memahami gerak hidup masyarakat secara benar, “instrumen” yang paling efektif adalah hidup bersama masyarakat yang akan dianalisis. Memilih melibatkan diri dalam kehidupan mereka, sehingga pada seluk beluk yang terkecil sekalipun akan ditemukan-
nya. Ketelitian, kesabaran, dan ketekunan dalam melihat gejala terkecil menjadi kunci “keberhasilan” analisis yang dilakukan. Pesantren, dengan masyarakatnya (santri), merupakan miniatur masyarakat. Gambaran kecil dari kehidupan masyarakat yang sebenarnya. Santri yang bergaul dengan baik selama di pesantren dengan mudah akan bergaul dengan baiksempurna pula ketika pulang ke komunitas asalnya; yaitu masyarakat yang sesungguhnya. Demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini,jargon “ngeco’ jarum e ponduk, mon mole bisa nyeco’ jaran” (mencuri jarum di pondok, kalau pulang ke rumah akan mencuri kuda) menemukan kebenarannya. Karena pesantren sebagai laboratorium ilmu-ilmu sosial atau dalam bahasa lain sebagai miniatur masyarakat, maka santri dapat memulai bermasyarakat sejak di pesantren; tentu, seperti dalam pemahaman di atas, bukan masyarakat yang sesungguhnya. Kesuksesan bermasyarakat di pesantren dapat menjadi tolok ukur potensi kesuksesan yang bersangkutan bergaul di masyarakat yang sesungguhnya. Sekali lagi, pesantren salaf membuktikan kehebatannya! Ketiga, belajar di pesantren salaf adalah berguru kepada “satu orang” dalam seluruh dimensi kehidupannya. “Satu orang” itu adalah Kiai. Misalnya, seorang santri mondok ke pesantren A dengan kiai, Kiai Fulan. Sebenarnya santri tersebut ingin berguru “hanya” kepada sang Kiai, tidak kepada yang lain. Sedang guru-guru (asâtidz) yang lain hanya membantu sang Kiai. Meski hanya “satu orang”, tetapi seluruh dimensi kehidupannyalah yang hendak dipelajari. Oleh karena itu, ia (santri) harus “tinggal bersama” sang Kiai.21 Keempat, pendidikan pesantren
21 Di beberapa pesantren, seperti Annuqayah, Nurul Islam dll. dikenal istilah Santri Mukim dan Santri Kalong. Pada jenis terakhir ini, santri tidak menetap di pesantren; setelah belajar, mengaji, atau sekolah pulang kembali ke rumahnya.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
adalah pendidikan Islam yang diorientasikan pada lahirnya santri yang alim, faqih, dan shalih; bukan guna menjadi pejabat atau pegawai. 22 Lebih jauh, Imam Suprayogo, rektor UIN Malang ini menjelaskan bahwa orientasi yang demikian menyebabkan pesantren bersih dari perilaku santri yang menyontek, apalagi memalsu nilai, tanda tangan, juga ijazah. Pendidikan pesantren penuh dengan nilai keikhlasan, ridla, tawadlu’, karamah, dan barokah. Beberapa waktu yang lalu, publik disajikan fakta yang cukup mencoreng wajah dunia pendidikan, yaitu banyaknya sarjana hingga doktor karbitan, ijazah palsu, jual beli gelar, dan lain sebagainya. Cukup dengan 45 juta, gelar doktor sudah di pundak. Publik kaget bukan kepalang, dunia pendidikan (yang katanya) menjadi tonggak perubahan semua segmen kehidupan suram di negeri ini justru telah tercoreng. Korupsi dapat ditumpas dengan mendidik generasi bangsa; pencemaran budaya dapat diantisipasi melalui pendidikan; pendangkalan agama juga bisa dihilangkan oleh pendidikan; tetapi, kini, dunia pendidikan telah dihancurkan. Habislah semuanya! Pesantren salaf, sekali lagi, telah menyelamatkan bangsa Indonesia dari kehancuran non fisik ini. Banyak kalangan yang ters-
inggung dengan perusakan fisik bangsa kita, tetapi sangat jarang sekali yang risih dengan penghancuran non fisik bangsa ini. Dan, sebagaimana maklum, gerakan penjajahan non fisik ini lebih masif, terstruktur, dan tersistem. Pendidikan, sebagai bagian non fisik dari negeri ini, telah dirusak. Fakta ini sudah lebih dari cukup untuk menyebabkan kita tersinggung. Beberapa hal di atas tidak ditemukan di lembaga pendidikan non pesantren, bahkan pada sistem Full Day School sekalipun. Atau dalam ungkapan lain, itu semua kelebihan sekaligus keistimewaan pesantren salaf. Pada lembaga pendidikan non pesantren, pertama, yang terselenggara hanya transfer ilmu pengetahuan (konseptual). Dengan model seperti itu, yang tersentuh hanya otak. Pendidikan lifing (ilmu yang dijalani dalam kehidupan) tidak terlihat. Alih-alih hendak menjadi nafas hidup, menjiwai pengetahuannya saja tidak mampu. Kedua, lembaga pendidikan non pesantren tidak memiliki guru sentral. Aktivitas memang berjalan, tetapi karena tanpa sentral, maka berjalan terseok-seok. Pada lemba-
ga pendidikan modern, seperti sekolah dan universitas, kepribadian guru dan dosen melebur menjadi kekuatan institusi. Sehingga, mahasiswa berguru kepada lembaga dan institusi, bukan kepada pribadi-pribadi.23 Ketiga, berguru tidak secara total, utuh, komprehensif. Berguru bukan pada seluruh dimensi kehidupan sang guru/dosen, tetapi hanya disesuaikan dengan fakultas, atau bahkan berguru hanya sesuai materi yang diampu saja. Misalnya, guru Biologi. Si murid menganggapnya guru “hanya� pada materi Biologi; (atau bahkan) hanya di saat mengajar materi yang diampunya. Selain itu tidak ada. Tak ada sisi lain dari kehidupan guru yang dipelajarinya. Perbedaan, sekecil apa pun, harus ditampilkan. Demi kepentingan analisis, menampilkan perbedaan meski kecil amat penting adanya. Dari perbedaan inilah kita dapat menemukan titik terang model penyelenggaraan pendidikan tahan banting, pendidikan luar biasa yang ditunjukkan oleh pesantren salaf. Kata orang tua, dari mana pun sumbernya, jika itu baik, pantas diambil, diadopsi, e dan ditiru. g
22 Makalah H. Imam Suprayogo, Pesantren dan Format Pendidikan Islam Masa Depan, pada Seminar Nasional bertema “Pengembangan Pondok Pesantren Modern�, 12-13 September 2008 di Malang, hal. 3. 23 Lebih jauh baca Ibid., hal. 2.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
83
SURAHMAN
Wacana UN (Ujian Nasional) tampaknya tetap menjadi perbincangan yang sangat menarik di tengah-tengah masyarakat. Ujian yang akan menjadi penentu kelulusan siswa tersebut dianggap sebagai hakim yang bisa merugikan masa depan siswa. Kritikan atas UN pun menjadi bagian penting di tengahtengah kebijakan meng-UN-kan siswa. Bahkan, gugatan kritis bernada menyoal kembali tentang kebijakan UN sebagai kebijakan yang kurang mewakili kondisi ideal para siswa. Gugatan tersebut bukanlah suara kosong yang tak bermakna, karena gugatan yang muncul atas satu persoalan merupakan bukti adanya masalah yang harus dicairkan. Kritik atau bahkan gugatan atas kebijakan UN adalah suara masyarakat yang merasa bahwa UN tidak bisa dijadikan sebagai standar baku kelulusan, karena hal itu terlalu dipaksakan serta tidak bisa dijadikan sebagai penentu akhir lulus dan tidaknya siswa. Karena kalau hal itu dipaksakan, negara bukan hanya telah menghegemoni kreatifitas siswa, tetapi juga mengintervensi kelulusan siswa. Keputusan MA yang cukup menakjubkan melalui putusan perkara dan kasasi bahwa pemerintah dilarang melaksanakan UN sebagai standar baku kelulusan. Walaupun, dalam kenyataannya, pemerintah masih akan tetap me-
84
Menggugat Penerapan Ujian Nasional makai UN sebagai salah satu ritual pendidikan tahun ini. MA (Mahkamah Agung) sudah jelas-jelas melarang, tetapi pemerintah tetap saja memaksakan UN berjalan. Kok bisa? Bahkan untuk membenarkan kebijakan UN tersebut, pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional dan BNSP malah akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan MA yang telah jelasjelas mengabulkan agar UN menjadi kebijakan yang terlarang. Aneh bin ajaib sekali! Sudah jelas diputuskan tidak boleh, masih tetap saja mau dipakai. Hanya dengan cara itu, UN yang dianggap sebagai kebijakan paling populer pemerintah itu, akan terus dicarikan pembenarannya. PK adalah salah satu usaha yang akan menjadi media perjuangan agar UN tidak jadi dibubarkan. Semoga tidak jadi UN jadi-jadian pada akhirnya. Yang menarik, di tengah upaya pemerintah menentang keputusan MA, salah satu Wakil Ketua MPR RI, Lukman Hakim Saefuddin, bersikap lain. Kader PPP itu malah meminta pemerintah agar menerima apa yang telah menjadi keputusan MA, yaitu tidak melaksanakan UN (www. Detikcom). Ini adalah salah satu fakta bahwa UN memang layak untuk tidak diterapkan. Ingat, suara Lukman Hakim Saefuddin adalah suara wakil rakyat. Dan, suara wakil rakyat adalah
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
suara rakyat. Kemudian, suara rakyat adalah suara Tuhan (?) Salah satu faktor mengapa UN tidak bisa dijadikan sebagai standarisasi kelulusan siswa secara nasional, adalah karena masih terjadi ketimpangan dalam kehidupan pendidikan kita. Sangat tidak mungkin, standar kelulusan secara nasional dipakai untuk meluluskan dan tidak meluluskan, karena fasilitas dan kondisi pendidikan nyata-nyata tidak merata alias tidak sama. Logika UN tidak bisa dijadikan sebagai vonis umum kelulusan, karena fasilitas dan sarana pendidikan juga kurang merata. *** Sebagai kebijakan yang aneh dalam pendidikan, UN memang harus disoal. Apalagi, materi-materi yang diujikan hanya tertentu kepada materi-materi yang terbatas. Dengan materi yang terbatas, lulus dan tidaknya siswa bisa diputuskan. Artinya, UN hanya menjadi media untuk menguji materi-materi yang sangat terbatas, sehingga bisa jadi siswa yang tidak menguasai terhadap materi-materi yang diUN-kan, akan terancan TIDAK LULUS, walaupun dalam materimateri yang lain sangat menguasai. Selain itu, memaksakan UN sebagai standar kelulusan pada gilirannya melahirkan semakin banyak memunculkan masalah yang krusial. Misalnya, dari sisi pelak-
sanaan dan proses. Kebocoran soal, materi soal yang diragukan kesahihannya, hingga keberanian melakukan upaya menghalalkan banyak cara untuk mendongkrak nilai UN menjadi praktek keji yang kerapkali terjadi. Akibatnya, istilah “mafia kunci jawaban UN� menjadi hantu yang bergentayangan saat UN. Hal itu tentu saja semakin menggambarkan tentang potret buram proses pendidikan kita. Pendidikan yang sejatinya harus dijalankan dengan berdasarkan konsep kejujuran, kemandirian, kebebasan berkreasi dan nilai-nilai moralitas yang tinggi, nyaris ternafikan dalam proses pelaksanaan UN. Bahkan yang lebih parah lagi, UN bisa menjadi sumber munculnya ketidaktenangan, baik di kalangan siswa, orang tua siswa dan guru. Inilah teror baru pendidikan yang benar-benar menakutkan. Padahal, tujuan pendidikan bukan itu, tetapi mampu menciptakan suasana yang tenang dan damai dalam melakukan proses pendidikan. Momentum menjelang UN, menjadi hari-hari yang sangat melelahkan dan menakutkan bagi siswa, karena lulus dan tidaknya mereka, akan ditentukan dengan materi-materi terbatas yang ditetapkan oleh pemegang kebijakan. Ketika ketenangan tercipta dan psikologi siswa terganggu, itulah yang disebut dengan telah terjadi proses teror yang sistematis terhadap para pembelajar. Proses pembelajaran yang dilakukan siswa selama tiga tahun, tidak saja akan menjadi sia-sia, ke-
tika UN yang dilaksanakan selama tiga hari bisa membuat mereka tidak lulus. Tiga tahun belajar, tetapi pada akhirnya divonis tidak lulus hanya dengan tiga hari menjawab soal-soal UN. Tidak lulus adalah bahasa sangat halus dari istilah vonis tentang kegagalan dalam pendidikan. Tidak heran, ketika ada siswa yang gagal UN, masalah yang muncul sangat beragam : siswa menjadi stres, putus asa, bahkan bisa jadi bunuh diri dan lain sebagainya, karena gagal UN sama halnya dengan keg- agalan ber-
proses selama tiga tahun lamanya. Dalam konteks ini, pendidikan yang sejatinya untuk mencetak generasi yang berkualitas, baik moral dan intelektualitasnya, dengan UN malah terbalik. Setidaknya, ada beberapa hal yang bisa dicerna. Pertama, lulus UN tentu saja menjadi target akhir semua siswa, bahkan para guru. Lulus menjadi harga mati yang dengan cara apapun bisa dilakukan. Akibatnya, cara-cara yang salah kaprahpun dilakukan untuk bisa lolos dari “jebakan maut� bernama UN, termasuk tidak jujur dalam menjawab UN. Cara-
cara yang kurang baik, itu tentu saja merupakan bagian dari demoralisasi proses pendidikan. Kedua, UN terkesan hanya menjadi ajang pengajaran kepada siswa untuk bekerja secara instan atau karbitan. Padahal, dalam proses pendidikan, cara-cara instan merupakan sesuatu yang kurang positif. Ketiga, UN mampu mengubah paradigma pembelajaran yang dilakukan guru. Banyak guru yang kemudian mengalami pergeseran paradigma ; dari mengajar dan mendidik ke arah baru, hanya agar siswa menjadi lulus UN. Paradigma yang sempit dan kerdil tentunya. Akhirnya, UN adalah kebijakan yang timpang di tengah kondisi pendidikan kita yang juga sangat timpang. Sehingga, lulus dan tidak lulus tidak bisa diukur hanya sebatas kemampuan dalam menjawab soal-soal yang di UN-kan, tetapi harus melalui proses dan penilaian yang bersifat holistik. Jadi, menjadikan UN sebagai vonis terakhir kelulusan siswa adalah kebijakan yang harus dipertimbangkan dan dianulir. Tiga tahun berproses tidak bisa ditentukan dengan hanya menjawab soal UN selama tiga hari. Tidak mungkin, proses panjang belajar tiga tahun, pada akhirnya harus digagalkan hanya dalam waktu tiga hari. Tulisan ini hanyalah aspirasi dari penulis sebagai siswa atas kebijakan UN. Bisa jadi, tulisan ini hanya sekedar pemikiran seorang siswa yang bisa jadi sangat subyektif, tetapi bukan berarti tulisan ini tidak harus direspon oleh pemegang kebijakan. Penulis tetap berharap, pada tahun-tahun berikutnya, semoga pemerintah dapat mencari solusi model standar kelulusan siswa yang lebih baik lagi. * Surahman, adalah siswa di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Sumenep
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
85
Oleh :
MASDURI. AS
Laiknya UNAS, sentralisasi semester ala KKM (Kelompok Kerja Madrasah) yang dikordinir MAN di bawah DEPAG menjadi momok menakutkan bagi siswa. Untung tidak seketat UNAS, penentuan SKBM (Standar Ketuntasan Belajar Minimal) dan kenaikan kelas masih ditentukan pengajar. Seandainya persis seperti UNAS, maka ancaman demonstrasi menjadi nyata. Karena kerap sekali ditemukan pada soal-soalnya tidak sesuai dengan materi yang diajarkan guru dimasing-masing madrasah. Hal ini menjadi polemik tersendiri bagi siswa dan guru. Alih-alih mencerdaskan bangsa, jika hak guru yang semestinya dimiliki tetapi diambil alih kordinator KKM dengan dukungan DEPAG. Dengan alasan untuk menguji sejauh mana keberhasilan guru atau madrasah dalam proses belajar mengajar (KBM), peningkatan kualitas pendidikan dan out putnya. Mereka melampaui hak guru yang sebenarnya lebih benyak tahu tentang keberadaan siswa. Bagaimana kordinator KKM dan pemerintah akan banyak tahu tentang keberadaan siswa, berkunjung ke Madrasah pun sangat jarang, bahkan kadang tidak sama sekali. Begitu banyak siswa mengeluh atas keberadaan sentralisasi semester tersebut. Kesulitan soalnya begitu runyam dirasakan siswa. Bagaimana tidak jika untuk madrasah se Sumenep yang begitu banyak pembuatan soalnya di sen-
86
Sentralisasi Semester (Penyesatan Kedua Setelah UNAS) tralisir oleh MIN, MTSN dan MAN. Sementara madrasah berada di berbagai daerah dengan kualitas guru dan fasilitas yang berbeda. Apalagi, masih sering ada guru belum begitu paham mengenai konsep evaluasi belajar efektif. Sehingga meski soal dari KKM tidak sesuai dengan materi pelajaran di kelas, namun jawaban siswa dalam soal tersebut manjadi acuan utama untuk kenaikan kelas. Tanpa mengoreksi apakah soal yang diujikan sesuai dengan materi pelajarannya. Dengan terburu-buru, atau lebih sering disebut SKS (Sistem Kebut Semalam), siswa belajar tanpa batas agar dapat menjawab soal-soal itu. Tentu setelah mendapatkan buku acuan yang dikira sesuai dengan pelajaran di MIN, MTSN dan MAN. Meski kadang luput sasaran, karena mereka hanya mengira tidak tahu secara pasti materi apa yang akan diujikan. Tidak cukup sampai di situ, bagi siswa bermental lemah hal itu menuntut dirinya menyontek agar dapat menjawab soal-soalnya. Keterbatasan kemampuan kadang mengharuskan seseorang melakukan apa saja asal bisa terlepas dari jeratan yang mengancam. Ketika seperti ini siapa yang akan disalahkan? Mau menjawab siswa salah besar, karena soal-soalnya tidak sesuai dengan materi pelajaran gurunya. Mau menjawab guru, hak guru untuk mengevaluasi hasil KBM diambil alih. Sasaran paling
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
tepat adalah kordinator KKM dan DEPAG, dengan otoritasnya mereka seakan sudah banyak tahu tentang keberadaan siswa dan madrasah di bawahnya. Lagian tidak ada ketentuan perundang-undangan yang melegalisir kebenaran pemberlakuan sentralisasi semetester ala KKM. Sampai di sini, berarti keberadaan sentralisasi semester ala KKM di tataran aplikasinya tidak seideal tujuan yang ada. Karena masih sering terjadi penyimpangan, soal tidak sesuai dengan materi pelajaran dimasing-masing madrasah, bahkan membingungkan siswa atau lebih tepatnya penyesatan. Sebab ketika siswa tidak bisa menjawab soal, mereka sering nyontek agar mendapatkan nilai baik tanpa tidak peduli didapat dengan cara apa. Tetapi kenapa keberadaan semester tersebut masih dipertahankan? Apakah memiliki manfaat untuk siswa? Madrasah? Atau koordinator KKM dan DEPAG membutuhkan hal itu sebagai ladang bisnis. Kita dapat melihat betapa banyak di Sumenep madrasah anggota KKM yang menjadi korban sentralisasi semester KKM dengan pembiayaan soal begitu mahal. Namun sayangnya, mereka adem ayem tanpa reaksi apa-apa. Saya berinisiatif, keberadaan semester tersebut perlu dikaji lebih lanjut. Apakah benar memberikan manfaat bagi siwa, atau malah
membingungkan, bahkan menyesatan? Faktanya, ketika pelaksanaan semester siswa kebingungan saat dihadapkan dengan soal-soal yang tidak pernah dipelajari gurunya. Dorongan menyontek semakin kuat. Tanpa peduli resiko, siswa saling sikat untuk dapat jawaban dari temannya atau buku pedoman yang dibawa. Ternyata KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) belum terealisai secara utuh. Pengelolahan madrasah di Sumenep masih terjajah pemerintah (DEPAG). Madrasah tidak memiliki wewenang mutlak menetukan model pembelajaran, buku pelajaran, evaluasi dan hal lain yang berhubungan dengan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan. Jika tidak demikian, artinya DEPAG membebaskan madrasah menentukan model pembelajaran dan garapannya untuk peningkatan mutu dan kualitas pendidikan. Kenapa DEPAG membenarkan bahkan mendukung pemberlakuan sentralisasi semester ala KKM. Bahkan UNAS pun untuk tahun ini masih ada. Tapi dengan berbagai pertimbangan mulai tahun mendatang insya Allah akan di hapus. Idealnya pemerintah khususnya DEPAG hanya menentukan target keberhasilan madrasah dan guru dalam mendidik, dan memberikan acuan mendasar mengenai target kurikulum serta out putnya. Bukan malah mengmbil alih hak guru dalam evalusinya. Ada beberapa hal perlu diperhatikan, agar keberadaan sentralisasi semester penyesatan di atas tidak menjadi jamur yang tumbuh subur di Sumenep. Pertama : Setiap madrasah memiliki letak geografis dan sosiokultur berbeda. Tingkah laku dan pola pikir serta karakter siswa dan guru tidak jauh berbeda dengan masyarakat dan lingkungannya. Maka dalam proses belajar pun tentu berbeda antara satu madrasah dangan madrasah lainnya. Metode guru dalam proses KBM (kegiatan
belajar mengajar) harus bisa menarik perhatian siswa agar mudah dipahami. Menyesuaikan diri dengan lingkungan merupakan cara paling efektif. Dan, tentunya untuk mengukur keberhasilan siswa dalam belajar tidak bisa dengan cara dan soal yang sama seperti sentralisasi semester ala KKM tersebut. Karena masing-masing madrasah memiliki ciri-ciri dan karakter berbeda. Kedua : Buku di masing-masing madrasah yang digunakan dalam proses KBM belum tentu sama. Kemampaun siswa didik sejauh proses belajar tidak akan menyimpang dari referensi buku yang dipakai. Perkara siswa memiliki kemampuan lain dari pelajaran guru, itu tergantung pada kreatifitas siswa dalam memperdalam ilmu pengetahuan. Di madrasah asuhan pesantren, untuk pelajaran agama seperti Figih, Aqidah Akhlak, dan Al-Quran Hadis kebanyakan menggunakan kitab-kitab klasik atau kitab-kitab turats yang memang menjadi identitas madrasah pada umumnya. Bukan buku terbitan Depertemen Agama atau buku terjemahan. Karena kitab itu dianggap lebih valid kebenarannya. Bahkan Departemen Agama pun dalam terbitannya mengambil referensi dari kitab-kitab itu. Dan juga kerangka buku dalam perbab di masing-masing semester berbeda-beda, apalagi di madrasah kitab yang dipakai dibahas secara runtun sampai khatam. Bukan di acak seperti terbitan Departemen Agama. Ketiga : Kemapuan siswa, daya serap dan kreatifitasnya berbedabeda. Masing-masing siswa memiliki hobby dan kemampuan di bidang tertentu. Di madrasah biasanya cenderung pada penguasaan ilmu agama. Namun bukan berarti di madrasah tidak dikembangkan pengetahuan umum. Sedangkan di madrasah negeri lebih pada penguasaan ilmu umum. Kontroversi ini tentu berak-
ibat pada proses evaluasinya. Sementara semester dari KKM untuk soal-soal pengetahuan umum sangat jelimet sekali. Sehingga bila dihadapkan pada siswa madrasah mereka sering kewalahan. Di samping kurang ditekankan pada penguasaan umum, soalnya kadang tidak pernah diajarkan. Sekalipun soal agama kadang tidak sesuai dengan materi yang diajarkan guru di madrasah. Catatan penting, kecenderungan madrasah pada penguasaan ilmu agama bukan berarti menjauhkan dirinya dari hiruk-piruk peradaban dunia modern. Tetapi madrasah lebih pada realisasi kongkrit dari pengetahuan yang diajarkan, lebih tepatnya ingin mencetak siswa berakhlakuk karimah. Sebab akhirakhir ini banyak siswa mulai kehilangan jati dirinya. Dari uraian di atas sangat jelas sekali bahwa keberadaan sentralisasi semester ala KKM dengan dukungan DEPAG perlu ditelaah lebih lanjut guna meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan Sumenep. Pemerintah seharusnya benar-benar mengapresiasi kreatifitas madrasah dan kehendak yang diinginkan. Bagaimanapun madrasah tidak akan menjerat dirinya sendiri. Apapun model dan upaya peningkatan kualitas, mutu beserta kreasi masing-masing madrasah sudah dipertimbangkan dengan matang demi kemajuaanya. Mereka lebih tahu terhadap keberadaan siswa dan lembaganya. Sekarang sudah saatnya pendidikan mandiri, terbebas dari jeratan penjajahan, pengekangan, dan belenggu pemerintah dan instansi manapun. Namun bukan berarti pemerintah lepas tangan. Pemerintah harus tetap eksis membantu madrasah, melayani segala kebutuhan demi peningkatan kualitas dan mutunya. * Siswa kelas XII MA. Nasy’atul Muta’allimin (Nasa) Gapura Sumenep.
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
87
Kolom
Guru Profesional atau Guru Profetik? Oleh : A. Dardiri Zubairi
Sering saya mendengar komentar memojokkan terhadap guru madrasah (swasta). Guru madrasah dipandang sebagai “guru tidak profesional”. Komentar ini keluar begitu saja. Tanpa perlu repotrepot si “komentator” menjelaskan, apa makna kata profesional dalam pikiran mereka. Saya berusaha mendalami komentar itu. Mencari tahu apa gerangan penyebab guru madrasah didakwah tidak profesional. Karena menduga-duga, banyak ragam tafsir yang muncul dalam benak saya. Kemungkinan pertama karena guru madrasah tidak “disiplin” seperti guru negeri. Contoh sederhana saja dalam soal pakaian. Mereka tidak memakai seragam, dasi dan sepatu. Banyak malah menggunakan sarung. Bisa dipastikan jika memakai sarung, bawahnya sandal. Lucu kan, jika sarung bawahnya menggunakan sepatu? Mungkin juga karena sebagian guru madrasah tidak memiliki kualifikasi akademik. Mereka bukan lulusan perguruan tinggi dengan deretan gelar di depan atau di belakang namanya. Berbeda dengan negeri. Gelar itu utama. Gelar dipastikan maknanya sebagai penanda kesempurnaan pengetahuan. Gelar = kapabilitas (?) Bisa juga karena guru madrasah “kere”. Digaji pas-pasan. Bahkan tak jarang harus mengeluarkan uang sendiri untuk menunaikan tugas keguruannya. Dalam pikiran komentator yang suka memojokkan itu, analisis berkembang. “Jika gaji ngepas, mana bisa ngajar serius? Bukankah mereka punya tanggungan keluarga?”. Ijinkan di sini –sebagai guru madrasah—saya melakukan strategi balik. Mau membuka selubung di balik “kedisiplinan” guru negeri. Dibalik “kewibawaan” kualifikasi akademik mereka. Di balik “kesejahteraan” mereka (karena) menjadi pegawai negeri. Dan tentu saja di balik “guru profesional” yang dilekatkan pada mereka. Melekat tidak saja karena klaim (sebagian) mereka sendiri. Tetapi juga karena dilekatkan oleh birokrasi pendidikan (DiknasDepag) yang ada di belakang mereka. Usaha membuka selubung ini jangan dimaknai macam-macam. Sekedar interupsi agar guru negeri memiliki jeda untuk refleksi. Ini murni pengalaman saya bergaul, melihat dan mengamati kawan guru negeri. Pasti tidak obyektif, tapi tidak sepenuhnya subyektif. Pengalaman saya juga tidak untuk menarik generalisasi. Karena banyak juga guru negeri yang saya kenal, memedulikan pendidikan secara total. Pertama, pendisiplinan guru negeri ternyata memasung kreativitas mereka. Awalnya sepele. Pendisiplinan melalui tubuh. Misalnya, pakaian mereka di atur. Tetapi pendisiplinan tubuh ini selanjutnya melampaui batas-batas tubuh. Secepat kilat pendisiplinan ini menjalar ke cara pikir (mind set). Cara pikir mereka di atur, didisiplinkan, dan ditertibkan. Sepenuhnya diselaraskan dengan kepentingan birokrasi. Birokratisasi guru sebenarnya petaka. Dalam cengkraman birokrasi, seseorang tidak akan merdeka. Kedua, kualifikasi akademik. Saya yakin semua guru negeri pasti lulusan perguruan tinggi. Minimal S1. Berbeda dengan guru Madrasah. Masih banyak lulusan pesantren. Tapi yakinlah bahwa kualifikasi akademik tidak berbanding lurus dengan mutu mendidik. Banyak lulusan perguruan tinggi yang sudah jadi guru, malah
88
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
0
berhenti menjadi pembelajar. Kualifikasi akademik dalam wujud gelar-gelar itu hanya simulacra. Sering saya menemukan kawan guru negeri yang puas dengan status qou. Atau kalau tidak puas, diam saja. Alasannya: TAKUT ATASAN. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana pendidikan dijalankan dalam situasi “ketertindasan”? Ketiga, kesejahteraan ekonomi guru negeri dibanding guru madrasah bagai langit-bumi. Kesejahteraan sejatinya mendorong mereka untuk terus-menerus meningkatkan kapasitasnya. Sayang dalam pergaulan saya dengan guru negeri, usaha itu belum nampak. Mereka sudah cukup puas dengan yang mereka punya. Barangkali sangat sedikit yang menyisihkan pendapatan mereka untuk beli buku, ikut kegiatan seminar, dan workshop yang menjadikan mereka sebagai pembelajar sepanjang hayat. Kondisi di atas sebenarnya wajar jika dilihat dari latar belakang historisnya. Sebagian menjadi guru negeri karena (diniati) mencari pekerjaan. Bukan karena panggilan hati. Sungguh saya terenyuh menyaksikan pulau yang ditugasi oleh guru negeri. Mereka satu bulan di pulau, satu bulan di daratan. Bahkan banyak juga yang menghabiskan waktu di daratan dengan mengabaikan tugasnya. Jika ditugasi di pulau, mereka menggunakan istilah memojokkan; DIBUANG. Inilah contoh menjadi guru negeri bukan karena panggilan hati. Melihat ilustrasi di atas sebenarnya belum jelas, siapakah guru profesional? Terkadang saya malu melekatkan kata profesionalisme kepada guru. Karena profesionalisme seringkali direduksi maknanya dengan hak secara meteri yang harus diterima guru. Pada hal guru bukan sekedar profesi semacam pengacara dan dokter. Guru mengemban missi profetik. Semacam panggilan jiwa untuk mengemban missi kenabian. Atas dasar panggilan profetik itu saya mendifinisikan guru profesional (kalau pun istilah ini harus dipakai) sebagai orang yang memenuhi panggilan jiwanya untuk mengabdi sepenuh hati dalam pendidikan (bukan sekedar pengajaran). Ia menambatkan aktivitasnya pada panggilan jiwa itu. Karena panggilan jiwa, ia akan memberikan yang terbaik pada tugas yang diembannya. Melampaui dari sekedar materi. Melampaui dari sekedar mengajar. Melampaui dari sekedar birokrasi yang mengekangnya. Atas dasar panggilan jiwa, guru profetik ini juga akan mendidik dengan jiwa. Memerlakukan murid sebagai jiwa. Melebihi dari sekedar transfer of knowledge. Mengubur asumsi bahwa murid hanya sekedar deretan angka-angka. Guru seperti ini tak henti-henti membangunkan mimpi muridnya. Ia berada di tengah ketika mendapati muridnya dirundung masalah. Berada di belakang ketika muridnya kehilangan gairah. Dan berada di depan untuk merangkai laku dan kata. Siapapun saja –guru madrasah swasta atau negeri—yang mendidik berdasar panggilan jiwa, atau mendidik sepenuh hati, meski tidak mengklaim atau diklaim sebagai guru profesional, akan mengidupkan jantung pendidikan. * Penulis Mengabdi di Madrasah Aliyah Nasyatul Mutallimin Gapura Sumenep
Kolom
0
Guru Bertunjangan Guru (Layak) Profesional
Oleh: EN. Hidayat
Anda seorang guru yang telah ikut sertifikasi ? atau sedang ikut sertifikasi ? atau tengah bermimpi-mimpi bisa ikut sertifikasi ? Ya iyalah, siapa sih yang tidak ingin ikut sertifikasi ? karena dengan sertifikasi seorang guru dapat dianggap profesional, setidaknya menurut kacamata undang-undang. Nanti, jika sudah dianggap profesional maka guru tersebut dianggap layak dan pantas untuk menerima tunjangan profesional yang besarannya setara gaji yang diterimanya tiap bulan. Dengan sertifikat profesional ditangan, seorang guru bisa memperoleh bayaran dua kali lipat tiap bulannya. Gampangannya, untuk bisa dapat gaji plus tunjangan , seorang guru wajib ikut sertifikasi untuk disebut seorang profesional. Sebenarnya menyoal profesional tidak sesederhana itu. Secara kaidah jika kita buka undang-undang tentang guru dan dosen akan kita temukan seabreg kaidah tentang prinsip-prinsip profesionalitas seorang guru. Yang jika mau diringkas, guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Sayangnya, prinsip-prinsip profesionalitas itu kemudian direduksi sedemikian rupa jadi sekedar proses sertifikasi, yang ukuran dasarnya berbunyi: tiap guru yang hendak ikut sertifikasi wajib hukumnya memiliki jam mengajar sebanyak 24 jam perminggu. Jika tidak, jangan pernah bermimpi untuk disebut guru profesional, apalagi ingin mendapat tunjangan profesi. Itu dikarenakan ukuran 24 jam itu menjadi pintu masuk pertama seorang guru untuk ikut sertifikasi. Mungkin para pembuat kebijakan itu maunya untuk lebih menyederhanakan proses. Tapi tak pernah dipikirkan ekses yang timbul dari aturan tersebut. Karena, bisa jadi banyak guru di sekolah-sekolah yang berebut jatah mengajar 24 jam ini. Konflik bertaburan. Sesama guru bisa saling sikut untuk berebut porsi jam. Bahkan bisa jadi kepala sekolah yang biasanya enggan untuk mengajar, kini tanpa ragu mengusik jam mengajar anak buahnya. Apalagi jika anda kebetulan seorang guru yang baru
diangkat, siap-siaplah untuk nestapa karena tak mendapat jatah mengajar yang cukup, sebab pasti anda dianggap “yunior� sehingga harus mengalah dan memberikan jam mengajar kepada para “senior� anda (sungguh saya tak habis pikir, bagaimana perilaku penjajah ini masih bisa melekat dalam dunia pendidikan abad 21 saat ini). Prinsip kebersamaan dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan pendidikan nasional di sekolah tercerai-berai oleh conflict of interest yang bernama: sertifikasi. Ini belum lagi soal, untuk apa tunjangan profesi itu digunakan ? apa untuk beli laptop, berbelanja buku-buku, mengikuti berbagai seminar dan workshop yang berkualitas, yang semuanya berkaitan dengan peningkatan kualitas dirinya sebagai seorang guru ? atau sekedar ganti motor, beli mobil, rehab rumah, beli perhiasan, atau ditabung, atau dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan peningkatan kualitas dirinya sebagai seorang guru ? Maka remuk redamlah prinsip-prinsip profesional yang mulia itu. Padahal sejatinya profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus memiliki sikap integritas. Dengan integritas itulah, seorang guru menjadi teladan atau role model. Artinya, sertifikasi dan pemberian tunjangan profesi jangan sekali-kali dijadikan tujuan utama. Ia hanya sekedar akibat dari sebuah proses memprofesionalkan guru. Itu jika kita masih percaya bahwa masa depan generasi muda bangsa Indonesia sepenuhnya ada pada kreativitas dan kecakapan guru. Terlalu muluk? Ya gitu deh, ngomong soal profesionalitas memang gampang, tapi pelaksanaannya e sungguh tidaklah mudah. g
* Penulis adalah Peneliti di Lembaga Penelitian Lingkar Institute
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
89
RESENSI
ak – ketika guru masuk kelas para siswa meraPaolo Freire dan Ivan Illich mengatasa ketakutan, males, emmoh, tidak semangat dan kan, pendidikan yang pada dasarnya merukeringetan. Konon, jika ada guru tidak masuk pakan proses untuk memanusiakan manukelas, para siswa pun sorak-sorai, gembira dan sia, justru sebaliknya (tidak humanis). sambil mengucapkan al-hamdulillah. Mengapa Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikejadian-kejadian ini bisa terjadi? Jawabannya kan seseorang, seharusnya bertambah tentu sangat sederhana, karena metode pempeka terhadap kondisi sosial. Tapi kenbelajaran yang disampaikan guru kepada siswa yataannya tidak demikian. Justru semakin kurang tepat, tidak menyenangkan, melangit, jauh dari interaksi masyarakat. kuno, dan statis (tsabit). Dan, masih memperHal yang semacam ini, kemudian dikritilakukan siswa dalam posisi posisi sebagai si oleh Paolo Freire, bahwa kondisi pendidiobyek di dalam proses pembelajaran. kan sama halnya dengan perusahaan (pabrik), Padahal, sejatinya pembelajaran yang baik hanya mampu mencetak out put yang anti JUDUL BUKU: adalah menunjuk pada proses belajar yang mesosial dan pembuat ijazah. Tidak memCooperative Learning, nempatkan peserta didik sebagai center stage produksi (meminjam istilah perusahaan) out Teori dan Aplikasi performance. Pembelajaran lebih menekankan came yang benar-benar bisa diharapkan dan PAIKEM peserta didik sebagai makhluk yang berkesamenjadi impian banyak orang. PENULIS: daran memahami arti penting interaksi diri Paolo dalam hal ini, melihat ada dua Agus Suprijono dengan lingkungannya dalam mengembangpandangan dunia (world view) yang memkan seluruh potensi yang dimilikinya. persepsikan manusia pada dunianya. PerPENERBIT: Pustak Pelajar, Buku Cooperative Learning; Teori dan Aplikatama, melihat manusia sebagai objek yang Jogjakarta si PAIKEM ini hadir sebagai implikasi keridapat dibentuk dan disesuaikan. Dalam sauan atas sistem pembelajaran yang masih konsep ini, manusia berdiam diri, kalauTAHUN TERBIT : 2009/ xvi + 189 kaku dan masih banyak diterapkan di lembapun melakukan tindakan hanya bersifat Halaman ga pendidikan di Indonesia. Buku ini bermakpasif (patuh) tanpa ada waktu untuk meresud merenovasi pembelajaran bagi peserta fleksikan diri. Pola pendidikan ini, diterPERESENSI: didik untuk menuju pembelajaran yang apkan untuk melanggengkan status quo, Ach. Syaiful A’la* berkualitas, humanis, organis, dinamis, dan karena proses belajar mengajar hanya sekonstruktif dengan pembelajaran aktif, inovatif, batas proses transfer pengetahuan, sehingkreatif, efektif, dan menyenangkan. ga manusia hanya menampung pengePAIKEM adalah filsafat konstruktifisme. Berdasartahuan (gaya bank). Kedua, melihat manusia sebagai subyek, makhluk yang bebas dan mampu melampaui dunia. kan konstruktifisme pembelajaran ini merupakan proses Pendidikan diarahkan agar manusia bisa berpikir untuk konstruksi pengetahuan, bukan duplikasi pengetahuan. diri sendiri dan dapat berintegrasi di dunianya melalui Pengetahuan dikonstruk pada latar kenyataannya, bukan aksi dan refleksi. Pandangan ini melihat manusia sebagai seharusnya. Pengetahuan yang di pelajari dan disetting subjek, pada gilirannya melahirkan pendidikan hadap berdasarkan autentisitasnya, bukan arti fisialnya. PAIKEM masalah, mampu beradaptasi, berintegrasi dengan sebagai proses learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together mendorong terciptanya kelingkungannya dan melakukan perubahan. Selain Paolo, Ivan Illich (1970-an) memberikan keju- bermaknaan belajar bagi peserta didik. Buku setebal 189 ini, disamping menjelaskan kerangka tan terhadap dunia pendidikan dengan idenya yang – kata orang – cukup kontroversial, Deschooling Society teori yang meliputi arti belajar, dukungan teoritis, model (masyarakat tanpa sekolah). Menurutnya, sekolah sebagai pembelajaran, pembelajaran kontekstual, dan mengulas satu-satunya lembaga pendidikan adalah bias dari ke- bagaimana mempraktikkan metode-metode PAIKEM; muhidupan kapitalis yang telah merasuk dalam kesadaran lai dari metode jigsaw hingga metode student teams-achievemasyarakat. Sekolah adalah fenomena modern yang la- ment divisions. Karena itu, dalam proses belajar mengajar, hir seiring dengan perkembangan masyarakat industri apa, mengapa, dan bagaimana PAIKEM merupakan rumukapitalis. Konspirasi terselubung antara pendidikan dan san-rumusan yang harus dijawab guru dan jawaban tersekapitalisme menurutnya juga tak lepas dari kekuasaan but merupakan pengetahuan deklaratif, struktural, dan (pemerintah), sehingga daya hegemonik yang dicipta- prosedural yang hampir semuanya tersaji dalam buku ini. Aspek pengetahuan-pengetahuan tersebut penting sebagai kannya menjadi massif. Pemaparan di atas merupakan potret kondisi umum landasan bagi guru maupun calon guru dalam berpikir lopendidikan yang terjadi saat ini. Belum lagi ketika meli- gis dan bertindak profesional atas profesinya. hat kondisi riil pendidikan di lapangan. Seperti problem * Penulis adalah Kontributor Buku “Jalan Terjal Santri proses kegiatan belajar mengajar oleh guru kepada muMenjadi Penulis” dan Oréng Candi-Dungkek Sumenep. rid/siswa. Tidak sedikit – untuk tidak mengatakan bany-
90 90
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010
91
92
JURNAL EDUKASI. NO.XIV.2010