K ATA L O G PA M E R A N
La Joie de Vivre Pameran Tunggal Dewi Aditia Orbital Dago, 19 Mei – 12 Juni 2022
Tulisan ini perlu diawali dengan sebuah disclaimer demi memenuhi janji kepada Sang Seniman bahwa ia akan berpameran tanpa kuratorial yang rumit dan artist talk. Anggap saja tulisan ini sebagai pengantar untuk mengenal Dewi Aditia -yang dikenal dengan panggilan Ade, sedikit lebih jauh, sambil menikmati karya-karya lukisannya yang dipamerkan saat ini.
P E N G A N TA R
Secara visual, tidak sulit menikmati karya Ade. Semua tanda dan penanda tergambar dengan jelas dengan kode-kode yang mudah dipecahkan, gamblang, dan tanpa pretensi. Jika tulisan dalam karya menuliskan A, memang A itulah yang dimaksud oleh seniman. Gaya Ade berkarya mirip dengan membuat kolase. Ia menangkap imaji dari objek-objek visual di sekitarnya, memenggal kata dari sepotong lagu atau iklan, mencomot tanggal dari kalender, mereproduksi warna yang terekam dalam memorinya, kemudian menata semua hal tersebut ke dalam kanvas. Tak perlu dibanding-banding dengan karya seniman lain karena secara kontekstual karya dan gaya Ade hanya bisa diproduksi oleh Ade sendiri dengan habitusnya yang spesifik. Jadi untuk persoalan karya rupa, sila nikmati saja apa adanya, semoga kausuka. Hal yang menjadi soal adalah: “Pameran ini adalah pameran pertama Ade setelah menjadi ibu-ibu” Demikian saya baca di salah satu postingan instagram. Coba bandingkan jika kalimat itu ditulis : “Pameran ini adalah pameran pertama Ade sejak ia menjadi seorang Ibu”. Kategorisasi seniman perempuan, ibu, dan ibu-ibu seakan menyajikan sekat kesenimanan yang yang berbeda-beda, padahal dalam kasus pameran ini, semuanya adalah Ade. Diksi ‘ibu’ dan ‘ibu-ibu’ bahkan menyiratkan konotasi yang tak sama. Jujur sajalah, pasti kita semua pernah dengar kalimat “Ah, dasar ibu-ibu!” merujuk pada suatu persoalan domestik, tindakan yang irasional atau kurang tangkas. Oleh karenanya, kategorisasi ini sekali-kali perlu diberi perhatian karena seniman perempuan memang memiliki siklus kekaryaan yang khas terutama dikaitkan dengan fungsi biologis dan sosial yang diembannya ketika ia terikat fungsi menjadi ‘ibu’ atau terpapar stigma sebagai ‘ibu-ibu’.
Ade memang lama tak berkarya dan tak ikut rombongan pameran. Ia mengambil jeda antara periode awal 2000-an, setelah lulus dari FSRD ITB tahun 2003 dan menjadi finalis Phillip Morris Art Award di tahun yang sama. Ia baru aktif kembali melukis di akhir 2020 seiring dengan perjalanan personalnya yang membangun usaha, menikah dan memiliki anak. Perubahan kebebasan ruang Ade terlihat pada ukuran kanvasnya yang cenderung mengecil, namun di sisi lain peningkatan kualitas skil dan eksplorasi material menunjukkan konsistensi Ade dalam mengasah kemampuan (ia sempat mendalami teknik lukis lanskap realis) dan kemapanan ekonomi yang dibangun dalam pertapaannya selama bertahun-tahun. Tapi tahukah kamu, susah sekali mengajak Ade pameran karena ngga pede katanya, “terlalu lama ngga gaul kesenian”. Tentu saya tak gentar karena tahu dari dulu dia tukang tipu. Selama kuliah saya sering banget kena tipu termasuk ketika dia mengaku wasir saat ospek supaya ngga kena tugas fisik. Namun meski yakin dia pura-pura ngga siap pameran padahal banyak karyanya yang sudah matang, perlu diakui bahwa jeda yang cukup lama membuka persoalan jarak usia dan kesenjangan akses terhadap jejaring. Dalam essay “Why Have There Been No Great Women Artists?” Linda Nochlin (1971) menyoroti pelanggengan gate keeping dalam lanskap kesenian yang cenderung maskulin dan normatif. Siklus seniman perempuan yang harus bernegosiasi dengan kebutuhan domestik dan biologis menjadi rintangan umum yang minim interfensi. Akibatnya, tidak hanya di seni rupa namun juga di dunia sastra dan seni pertunjukan, banyak seniman perempuan yang muncul ‘hanya’ sebagai one hit wonder. Meski begitu, kita pun perlu mempertanyakan, apa yang dimaksud Nochlin dengan ‘greatness’. Jika kemapanan dikaitkan dengan pengakuan di medan sosial seni dan nilai ekonomi pada karya yang dihasilkannya, maka makna seni di sini terasa sempit. Bagi Ade misalnya, melukis adalah cara ia menyimpan serpihan memori dan ruang rekam peristiwa yang mampir ke dalam lingkup kesehariannya. Seperti yang dikatakan Susan Sontag (2013) bahwa pemisahan antara tua-muda dan perempuan-laki-laki merupakan dua polarisasi utama yang memenjarakan manusia. Nilai-nilai yang dihubungkan dengan usia dan maskulinitas selalu menjadi alasan untuk hadirnya inferioritas yang arbitrari. Oleh karenanya, mari rayakan sajalah kembalinya Ade ke dalam kancah seni rupa Indonesia sebagai seniman, sebagai seorang perempuan, dan seorang ibu yang memang ibu-ibu. Apa pun embel-embel yang menyertainya, Ade mengajak kita untuk menikmati hidup, la joie de vivre. The Joy of Life. Karena seyogyanya seni itu membebaskan bukan memenjarakan. Keni Soeriaatmadja Kurator
Dewi Aditia
CV
Bandung, Indonesia
1998 - 2003 Studio Seni Lukis FSRD ITB 2003 Pameran bersama [SEDUCTION] Boys Don’t Cry, Ruangrupa, Jakarta, Cemeti - Yogyakarta 2003 Finalis IAAA 2003 (Phillip Morris Art Award) 2004 Pameran tunggal ‘Peppermint Lounge’ - Galeri Expatriart 2004 Pameran bersama Objectivity - NADI Gallery, Jakarta 2005 Pameran tunggal ‘Cherish O’day, Room #1, Bandung 2006 Fashion show IKETERU HARAJUKU, Japan Foundation, Jakarta 2006 Pameran bersama Bandung New Emergence, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung 2006 Pameran bersama “BEYOND”, Jakarta Biennale 2012 Pameran bersama “Book Play”, Unkl347 Bandung, Kedai Kebun Forum, Yogyakarta
___
1. Final Dance, 2021, cat akrilik di atas kanvas, 50 x 100 cm.
2. Lover, 2017, cat akrilik di atas kanvas, 65 x 85 cm.
3. Stay Sweet, 2021, cat akrilik di atas kanvas, 70 x 90 cm.
4. Mourning Coffee, 2021, cat akrilik di atas kanvas, 70 x 90 cm.
5. The Real Reality Bitea, 2017-2021, mix media, 65 x 85 cm.
6. Biru, 2017-2021, cat akrilik di atas kanvas, 65 x 85 cm.
7. Joy of Life, 2021, cat akrilik di atas kanvas, 50 x 60 cm.
8. Bitterly, 2021, cat akrilik di atas kanvas, 50 x 60 cm.
9. Kamu Ga Boleh Gitu, 2022, cat akrilik di atas kanvas, 50 x 60 cm.
10. Happy Saturday, 2022, cat akrilik di atas kanvas, 50 x 60 cm.
11. Bingo, 2022, cat akrilik di atas kanvas, silk screen, 50 x 60 cm.
12. I Disconnected, 2022, cat akrilik di atas kanvas, 50 x 60 cm.
14. Bing!, 2021, cat akrilik di atas kanvas, 50 x 60 cm.
15. Pretty Unlove, 2022, mix media, 50 x 60 cm.
16. Homemade Video, 2021, cat akrilik di atas kanvas, 50 x 60 cm.
17. Goodbye and I Choke, 2021, mix media, 50 x 60 cm.
18. Waste, 2022, cat akrilik di atas kanvas, 50 x 60 cm.
19. Reflection#3, 2021, silk screen printing on canvas, 120 x 150 cm.
20. Life is Beautiful, 2022, cat akrilik di atas kanvas, silk screen, 50 x 60 cm.
21. Never Blame The Giraffe, 2003, cat akrilik di atas kanvas, 145 x 110 cm.
22. Biru, 2006, mix media, 100 x 150 cm.
23. The Everlasting (2003), 2003, cat akrilik di atas kanvas, 125 x 100 cm.
24. La Balade, 2006, mix media, 75 x 75 cm.
25. Orangeish Sky, 2003, cat akrilik di atas kanvas, 100 x 100 cm.
26. Stay You Stay True, 2022, cat akrilik di atas kanvas, 125 x 150 cm.
27. Oh Heart, 2022, mix media, 50 x 60 cm.
28. Refleksi 1 (Flamingo), 2020, kain, benang, 45 x 45 cm.
27. Refleksi 2 (Dog), 2020, kain, benang, 65 x 65 cm.