MISI YANG
TERABAIKAN? Menjadi Murid Kristus di Era Serba Nyaman
Danny Franks
ANDA DAPAT DAPAT MEMBERI MEMBERI ANDA DAMPAK YANG YANG BERARTI! BERARTI! DAMPAK Materi kami kami tidak tidak dikenakan dikenakan biaya. Pelayanan kami didukung Materi oleh persembahan kasih dari dari para para pembaca pembaca kami. kami. oleh persembahan kasih Jika Anda Anda ingin ingin mendukung mendukung pelayanan pelayanan kami, kami, Anda Anda dapat Jika dapat mengirimkan persembahan kasih melalui rekening mengirimkan persembahan kasih melalui rekening “Yayasan ODB Indonesia” “Yayasan ODB Indonesia” BCA Green GreenGarden GardenA/C A/C253-300-2510 253-300-2510 BCA BNI Daan DaanMogot MogotA/C A/C0000-570-195 0000-570-195 BNI MandiriTaman TamanSemanan SemananA/C A/C118-000-6070-162 118-000-6070-162 Mandiri QRCode Code Standar Standar QR Pembayaran Nasional Nasional Pembayaran
Scan QR QR code codeini iniuntuk untukdonasi donasidengan denganaplikasi aplikasi Scan e-wallet berikut: e-wallet berikut: Yayasan Yayasan ODBIndonesia Indonesia ODB
Silakan konfirmasi kasih Anda melalui: Silakan konfirmasipersembahan persembahan kasih Anda WhatsApp: 0878.7878.9978 melalui nomor kontak kami di halaman belakang buklet ini. E-mail: indonesia@odb.org SMS: 081586111002
Anda juga dapat mendukung kami dengan meng-klik tautan ini.
pengantar
Misi yang Terabaikan? Menjadi Murid Kristus di Era Serba Nyaman
J
ujur saja, sikap kita terhadap gereja sama seperti sikap kita dalam menghadapi hidup ini. Kita suka bertanya: Apa yang akan kuperoleh? Apa untungnya bagiku? Penulis Danny Franks menganggap itu normal. Memang tabiat kita adalah penerima.
Namun, adakah yang salah dengan hal itu? Tidak, menurut Danny Franks. Ia mengingatkan kita bahwa hasrat atau keinginan bukanlah sesuatu yang jahat. Namun ia juga menyatakan bahwa hasrat kita sebenarnya “merujuk pada sesuatu yang lebih berarti”. Kita sedang kehilangan sesuatu, dan sebenarnya kita menyadarinya. Saat menanyakan apa yang dapat diberikan gereja kepada kita, kita sedang memperlakukan gereja bagaikan sebuah perkumpulan eksklusif, dan itu membuat kita mengabaikan misi yang telah Allah berikan kepada kita.
1
Interaksi kita dengan gereja—dan dengan Allah— menjadi semacam transaksi. Kita mendapati bahwa ketika kita menuntut, kita justru kehilangan. Namun sebaliknya, kita menerima ketika kita memberi. Ketika kita berhenti memandang diri kita sebagai anggota dari perkumpulan yang eksklusif dan belajar menjadi bagian dari keluarga Allah, pola pikir kita pun berubah dan misi yang dipercayakan kepada kita pun mendapatkan perhatian yang seharusnya. Allah mengundang setiap orang untuk menjadi anggota keluarga-Nya. Ketika kita melayani sesuai dengan misi-Nya, kita mulai menjalani hidup sesuai dengan cara yang dikehendaki Allah. Sukacita dan kepuasan sejati pun diperoleh ketika kita tahu panggilan dan peran kita di dalam keluarga Allah. Our Daily Bread Ministries
2
MISI YANG TERABAIKAN?
daftar isi satu
Konsumerisme: Pedang Bermata Dua ������������������������ 5 dua
Kita Telah Bertemu dengan Si Musuh (yaitu Kita Sendiri) �������������������������������������������������������������� 11 tiga
Menangkal Eksklusivisme ����������������������������������������������� 17 empat
Jangan Abaikan Misi ����������������������������������������������������������23 lima
Cara Pandang Baru untuk Melangkah Maju ����������� 31
EDITOR: Tim Gustafson, J. R. Hudberg, Alyson Kieda, Peggy Willison GAMBAR SAMPUL: © iStock.com / MHJ PERANCANG SAMPUL: Stan Myers PERANCANG INTERIOR: Steve Gier PENERJEMAH: Linda Sumayku EDITOR TERJEMAHAN: Dwiyanto, Natalia Endah PENYELARAS BAHASA: Bungaran Gultom, Indrawan PENATA LETAK: Mary Chang GAMBAR ISI: © iStock.com / MHJ (hlm.1); Alexas_Fotos via Pixabay.com (hlm.5); Gerd Altmann via Pixabay.com (hlm.11); Paul Brennan via Pixabay.com (hlm.17); Unsplash via Pixabay.com (hlm.23); Henryk Niestrój via Pixabay.com (hlm.31) Kutipan ayat diambil dari teks Alkitab Terjemahan Baru Indonesia, LAI © 1974 © 2018 Our Daily Bread Ministries, Grand Rapids, MI Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dicetak di Indonesia. Indonesian Discovery Series “Missing the Mission?—Discipleship in an Age of Abundance”
satu
Konsumerisme: Pedang Bermata Dua
B
eberapa tahun yang lalu saya dan istri merayakan dua dekade pernikahan kami. Selama 20 tahun sukacita pernikahan kami, ada dua peristiwa yang membuat saya merasakan kegalauan yang pernah dialami Santo Fransiskus dari Asisi. Santo Fransiskus adalah biarawan abad ke-13 yang dibesarkan sebagai orang kaya, anak seorang saudagar yang sukses. Pencerahan yang dialami Fransiskus di usia 20-an telah mendorongnya untuk meninggalkan semua kekayaan duniawi dan hidup bersama para pengemis miskin di Italia. Ia memilih hidup sederhana sebagai salah seorang dari kaum papa. Pengalaman saya memang sama sekali tidak seperti kehidupan Santo Fransiskus itu. Sebaliknya, kami sempat merasakan hidup dalam kemewahan. Beberapa tahun sebelum ulang tahun pernikahan kami yang ke-20, saya 5
Di masa mudanya, Santo Fransiskus dari Asisi (1181–1226) menyukai pesta pora. Tidak jelas seperti apa kisah pertobatannya, tetapi teman-temannya dapat melihat perubahan besar dalam hidupnya. Ia akhirnya meninggalkan kekayaan ayahnya dan bernazar untuk hidup miskin demi mengikut Kristus dan menolong kaum miskin. Fransiskus tidak pernah ditahbiskan menjadi imam, tetapi ia biasa memberikan khotbah yang didasarkan dari ayat-ayat Alkitab, suatu praktik yang tidak lazim dilakukan pada masa itu.
telah menyisihkan uang untuk liburan impian ke daerah tropis. Kami sudah membayangkan laut, pasir pantai, dan minuman dingin yang menyegarkan. Namun, pada Natal tahun itu, mertua saya mengajak seluruh keluarga besar berlayar di musim semi, tepat sebulan sebelum rencana liburan ulang tahun pernikahan kami. Jadi kalau dihitunghitung, kami akan berlayar dengan kapal pesiar selama seminggu, dilanjutkan dengan liburan seminggu di resor eksklusif di Karibia—dua liburan dalam satu bulan. Seru sekali, bukan? Tidak bagi saya. Jangan salah paham; saya menikmati liburan itu. Ada pelayan yang membawakan koper kami ke kamar dan selalu siap sedia di dekat meja kami untuk memastikan perut kami dimanjakan. Di area pantai, seluruh staf memastikan kursi santai kami diatur dengan sempurna dan gelas kami selalu terisi minuman. Ketika kami kembali ke kamar, bantal-bantal sudah ditata, tempat tidur sudah rapi, dan handuk dilipat dengan indah. Mestinya perjalanan itu menjadi pengalaman yang paling mengesankan seumur hidup. Itu tidak salah sama sekali. Namun, perjalanan berturut-turut itu membawa saya pada pencerahan seperti yang dialami Santo Fransiskus: rasanya ada yang tidak beres. Anda mungkin pernah merasakan menjadi wisatawan kaya yang segala keperluannya dilayani oleh orangorang yang diupah harian. Atau Anda melihat deretan 6
MISI YANG TERABAIKAN?
pemukiman kumuh dalam perjalanan Anda menuju ke kompleks rumah Anda yang eksklusif dan dijaga ketat dengan fasilitas serba lengkap. Di lubuk hati yang terdalam, Anda merasa . . . ada sesuatu yang tidak beres. Ini bukan cuma soal liburan mewah dan tabungan bank yang berlimpah. Kita menyadari adanya hasrat membahayakan yang merasuk perlahan-lahan dalam tiap bidang kehidupan kita. Baik ketika kita lebih memilih makan di restoran daripada memasak (yang menghemat biaya) di rumah, membeli secangkir kopi di kafe, atau hanya ingin bersantai di rumah sambil menonton TV, kita sadar bahwa kita selalu ingin diri kita nyaman. Hasrat itu tersamar dan mengakar begitu dalam. Namun, adakalanya hasrat itu terasa tidak beres, sama seperti saat memanjakan diri di suatu lokasi yang eksotis. Itulah inti dari konsumerisme. Pengalamanpengalaman yang kita kejar dan nanti-nantikan ternyata selalu membuat kita ingin lagi dan lagi. Pada akhirnya semua itu membuat kita merasa hampa. Jika kita memikirkan sungguh-sungguh, kita merasa agak bersalah atas semua yang kita nikmati jika dibandingkan dengan apa yang tidak dimiliki orang lain. Sebenarnya tanpa membelanjakan uang untuk hal-hal yang mahal, seperti liburan yang mewah, kebanyakan dari warga Amerika Serikat sudah termasuk sangat kaya jika dibandingkan dengan penduduk dunia pada umumnya. Studi yang dilakukan Bank Dunia baru-baru ini menunjukkan bahwa jika Anda berpenghasilan 5.000 dolar AS (± Rp69.000.000) atau lebih per tahun, Anda termasuk dalam 20% orang dengan penghasilan terbesar di planet ini. Jika penghasilan Anda 12.000 dolar AS (± Rp165.000.000) per tahun, Anda akan termasuk dalam kelompok 10% peringkat teratas. Semewah atau sesederhana apa pun tempat tinggal, kendaraan, dan harta milik kita, kita sudah tergolong sangat kaya. Konsumerisme: Pedang Bermata Dua
7
Namun, apa yang terjadi jika sikap konsumtif yang ingin lebih dan lebih lagi serta berpusat pada diri sendiri itu kita bawa dalam dunia rohani? Apa dampaknya jika gaya hidup mewah dan semau gue masuk ke dalam gereja? Mungkin reaksi awal kita adalah muak. Kita mungkin sepakat bahwa gereja bukan tempat para konsumen. Jika kita membayangkan tentang suatu komunitas iman, yang terbayang adalah komunitas yang mengutamakan kepentingan orang lain dan rela berkorban untuk melayani kaum yang tak berdaya, bukan sebaliknya. Namun, sebelum melakukan perubahan drastis seperti yang dilakukan Santo Fransiskus, kita perlu mengakui bahwa konsumen yang menyukai kemewahan juga memiliki pertimbangan tertentu saat memilih gereja baginya. Di tempat Anda, mungkin ada banyak pilihan gereja sehingga Anda memahami maksud saya. Kita secara alami tertarik pada tempat-tempat yang dapat membuat hidup kita lebih nyaman. Mungkin karena situs web gereja yang mudah diakses, tempat parkir yang strategis di dekat gedung gereja, pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan masa hidup kita, atau bahkan kopi yang enak dari kafe di lobi gereja, kita tertarik pada hal-hal yang memberi kita pengalaman yang menyenangkan. Mungkin sebagian dari kita mempunyai pengalaman yang bertolak belakang. Kita merasa telah memberikan yang terbaik bagi gereja kita, tetapi kita kecewa melihat orang-orang yang beribadah di gereja. Kita melihat para konsumen datang dan pergi dari minggu ke minggu, karena mereka mencari kesenangan sesaat daripada kepuasan batin. Hal itu membuat frustrasi, karena kita tahu ada yang jauh lebih berarti dalam hidup ini daripada menjadikan hubungan dengan Allah sebagai transaksi. Mark Waltz telah membahas panjang lebar tentang kutukan konsumerisme di gereja lokal. Dalam bukunya First Impressions (Kesan Pertama), ia mengatakan: 8
MISI YANG TERABAIKAN?
Pada akhirnya, cara tepat untuk mengatasi konsumerisme di gereja adalah dengan melihat sesama bukan sebagai konsumen, tetapi manusia yang berarti bagi Allah. Motivasi kita dalam memberikan kesan bukanlah untuk mengalahkan orang, meninggikan diri, atau membanggakan kehebatan kita . . . . Kesan itu berarti karena setiap orang berarti. Pikiran mereka berarti. Keyakinan mereka berarti. Keinginan mereka berarti. Kebutuhan mereka pun berarti. Mark Waltz juga menulis buku berjudul Lasting Impressions (Kesan yang Menetap). Di buku tersebut, ia menekankan pentingnya membuat orang tahu bahwa kita benar-benar peduli kepada mereka.
Ketika orang-orang yang datang ke gereja kita menyadari bahwa mereka berarti, kita telah terhubung dengan mereka secara manusiawi. Itulah satu-satunya cara menjalin hubungan dengan sesama kita. Cara itulah yang dipakai Yesus untuk menjalin hubungan dengan kita.1 Sayangnya, kini kita hidup di antara apa yang kita inginkan dan apa yang kita tahu sebagai kebenaran. Itu terjadi dalam sebagian besar hidup kita, tetapi terasa lebih parah ketika itu terjadi di gereja. Gereja yang “memenuhi kebutuhan kita” itu penting, karena kita ingin bertumbuh secara rohani. Untuk bertumbuh, kita perlu dimuridkan. Pemuridan harus dilakukan secara sengaja, dan itu berarti gereja harus memiliki rencana. Namun, upaya kita mencari-cari gereja sedemikian rupa membuat kita merasa seperti konsumen daripada umat yang ingin beribadah. Apakah hal itu selalu buruk? Bukankah Yesus ingin para pengikut-Nya bertumbuh secara rohani? Ketika Yesus mengutus rasul-rasul-Nya pada hari kenaikan-Nya, Dia menugaskan mereka untuk memuridkan, membaptis, dan mengajar . . . semua hal yang membutuhkan semacam Konsumerisme: Pedang Bermata Dua
9
perencanaan. Mungkinkah—2000 tahun kemudian—kita, sebagai pengikut Yesus, hanya menyempurnakan rencana itu dan menyesuaikannya untuk komunitas lokal kita? Kenaikan Kristus terjadi 40 hari setelah kebangkitan-Nya. Disaksikan murid-murid-Nya, Yesus terangkat ke surga dari atas Bukit Zaitun hingga awan menutupi-Nya. Gambaran singkat tentang kenaikan Yesus tertulis dalam Markus 16:19, Lukas 24:50-51, dan Kisah Para Rasul 1:9-11.
Mungkin ya. Mungkin juga tidak. Mungkin kita telah menganut prinsip akan melakukan “apa saja yang diperlukan” demi menjangkau lebih banyak orang. Mungkin juga penyesuaian yang kita lakukan sebenarnya hanya cara untuk tetap merasa nyaman. Mungkin saja kita memasang embel-embel demi menutup-nutupi kenyataan. Mungkin itu semua bukan menjadi masalah bagi Anda. Bisa jadi Anda telah berjemaat di gereja yang memang menjawab kebutuhan Anda dan memberi Anda kesempatan untuk membangun komunitas maupun pelayanan. Meski demikian, ada orang-orang di sekitar Anda yang sedang mencari-cari gereja. Sebagai salah seorang jemaat gereja, mungkin Anda harus menghadapi orang-orang seperti itu yang bertanya, “Apa yang akan kuperoleh dari gereja ini? Apa untungnya bagiku? ” Ide-ide dalam buklet ini mungkin akan menjadi pembahasan yang tidak mudah, karena banyaknya hambatan sebelum kita mencapai kesepakatan bersama. Namun, pembahasan ini tetap penting bagi mereka yang masih belum bergereja. Ini juga penting bagi kita yang rindu memiliki komunitas, tetapi yang merasa seperti konsumen. Kiranya pembahasan ini menunjukkan kepada kita suatu cara baru untuk melangkah maju. 1
Mark Waltz, First Impressions: Creating Wow Experiences in Your Church (Loveland, CO: Group Publishing, 2005). 10
MISI YANG TERABAIKAN?
dua
Kita Telah Bertemu dengan Si Musuh (yaitu Kita Sendiri) . . . demikian kata kartunis terkenal Walt Kelly, pengarang komik “Pogo” di pertengahan abad ke-20. Sentilan halus Kelly ditujukan pada paradoks dari kondisi manusia: segala sesuatu yang kita benci, justru cenderung kita wujudkan. Apa yang kita tentang, justru adakalanya kita dukung. Kita semua memiliki kecenderungan untuk mencari kenyamanan diri. Jika harus memilih antara jalan yang sulit dan jalan yang mudah, hampir pasti kita akan selalu memilih yang mudah. Memilih gereja pun demikian. Meski mudah untuk mempertanyakan alasan gereja-gereja yang menyediakan kafe dan layanan antarjemput ke tempat parkir untuk menarik jemaat baru, kita juga terlalu mudah terbuai dengan kenyamanan yang kita rasakan lewat fasilitas tersebut. Sikap kita begitu cepat berubah dari “aku tak menyukainya” menjadi “aku pantas mendapatkannya”. 11
Ingat film Wall-E dari Pixar? Saya coba ringkaskan di sini. Film itu berpusat pada sebuah robot lucu dan berperasaan yang menjadi satu-satunya penghuni bumi yang tersisa. Wall-E adalah salah satu dari ribuan robot yang diproduksi oleh Buy n Large, konglomerasi global yang menguasai pasar di semua industri. Setelah seluruh penghuni bumi mengonsumsi semua produk Buy n Large, mereka meninggalkan sampah-sampah yang menggunung. Karena sampah-sampah itu mengganggu kenyamanan mereka, sebuah pesawat luar angkasa bernama Axiom (juga produksi Buy n Large) membawa mereka dari planet bumi, sembari masalah mereka dibereskan oleh si robot kecil, Wall-E. Sementara itu, generasi-generasi manusia berikutnya dibesarkan di atas pesawat Axiom, hingga mereka menyerap budaya konsumerisme yang menjawab setiap kebutuhan mereka. Benar, bukan? Apa yang kita tentang, justru adakalanya kita dukung. Sebelum kita berubah, kita perlu memahami keadaan kita saat ini. Jika kita ingin memerangi konsumerisme di dunia rohani, kita harus lebih dahulu memeranginya di dalam diri kita. Saya yakin kita dapat melakukannya ketika kita jujur mengakui empat kebenaran berikut:
1. Kita memang menyukai harta benda.
Sebelum mengkritik konsumerisme yang mulai marak di gereja, kita perlu mengenali kecenderungan itu dalam diri kita. Di satu sisi, kitalah yang menciptakan konsumerisme itu, karena sebagai orang percaya, kita adalah gereja itu sendiri. Kita menciptakannya dalam gereja, karena— bagaimanapun kita menyangkalnya—kita memang menyukai harta benda. Entah itu makanan enak, mobil bagus, tempat eksotis, atau bantal yang empuk, kita suka mengutamakan kenyamanan. 12
MISI YANG TERABAIKAN?
Terkadang saya coba menyebut diri saya sebagai seorang minimalis, yakni orang yang tidak suka mengumpulkan banyak harta atau menikmati segudang pengalaman seru, dan lebih memilih untuk menjalani gaya hidup sederhana. Saya tidak mengaku sebagai seorang konsumen karena saya tidak terlalu konsumtif. Namun, konsumerisme tidak hanya terkait dengan produk-produk yang kita konsumsi, tetapi juga terkait dengan sikap kita. Meski secara batin saya merasa sebagai minimalis, tetapi saya tetap merasa kesal jika antrean terlalu panjang, dilayani dengan buruk, sinyal wifi terlalu lemah, atau makanan yang disajikan sudah dingin. Ternyata saya pun menyukai hal-hal yang memberikan kenyamanan bagi jiwa saya.
2. Kita diciptakan dengan hasrat diri.
Ketika menciptakan Adam dan Hawa, Allah menempatkan mereka di dalam taman, memberi mereka otoritas atas bumi, dan memerintahkan mereka untuk “taklukkanlah [dan] berkuasalah” (KEJADIAN 1:28). Kata Ibrani untuk menaklukkan adalah kabash, yang berarti “menguasai” dan mengandung pengertian bahwa Adam dan Hawa harus mengolah bumi agar membawa manfaat bagi mereka. Setiap pohon anggur, setiap aliran air, setiap tumbuhan merupakan karunia dari Sang Pencipta untuk dinikmati. Masalahnya bukanlah Adam dan Hawa menginginkan kenyamanan (lagipula Allah telah memerintahkan mereka untuk kabash). Namun, mereka mulai menginginkannya dari sumber-sumber yang salah. Kejadian 3 menceritakan tentang ular yang licik dengan janji kosongnya: Kau akan mendapatkan lebih. Kau akan menjadi seperti Sang Pencipta, daripada hanya menikmati ciptaan-Nya. Alih-alih mengasihi Allah, kau akan menjadi seperti Allah. Daripada mengurus ciptaan-Nya, kau dapat mengurus dirimu sendiri. Kita Telah Bertemu dengan Si Musuh (yaitu Kita Sendiri)
13
Kita semua tahu akhir dari kisah itu. Adam dan Hawa dikuasai dan akhirnya dihancurkan oleh hasrat mereka. Pekerjaan yang semula membawa sukacita menjadi sesuatu yang harus dilakukan dengan susah payah. Dosa, keserakahan, dan sikap konsumtif yang tak terkendali pun menguasai seluruh umat manusia.
3. Hasrat merujuk pada hal yang lebih dari itu. Saya ingin menegaskan: hasrat bukanlah hal yang buruk. Sebagai manusia yang diciptakan dengan kehendak dan emosi, kita memiliki dorongan yang kuat untuk menikmati kesenangan. Kita mendambakannya. Namun, hasrat kita bukanlah tujuan akhir. Hasrat itu harus mengarahkan kita pada hal lain. Saat mencium aroma kue yang baru dipanggang, saya tak hanya ingin menghirup aromanya. Saya ingin memakannya. Demikian juga, aroma dari hasrat kita pun menyadarkan kita bahwa ada sesuatu yang lebih daripada hal itu. Begitu mudah kita menjadikan penghasilan dan kemewahan sebagai ilah dan gagal memandangnya sebagai pemberian Tuhan. Sama halnya saat kita cenderung lebih menginginkan apa yang Allah berikan daripada menginginkan Allah, Sang Pemberi itu sendiri. Kita tidak akan pernah puas dengan apa yang kita konsumsi. Itulah inti dari konsumsi. Sesuatu yang kita konsumsi akan habis. Daging panggang akan habis. Kenangan indah memudar. Pengalaman yang tadinya menarik jadi membosankan. Namun, jika kita memandang ciptaan sebagai lampu penanda yang mengarahkan kita kembali kepada Pencipta kita, di situlah kita akan menemukan kepuasan jiwa.
14
MISI YANG TERABAIKAN?
4. Kepuasan hanya ada di dalam Kristus.
Filipi 4 adalah materi yang kaya tentang kekayaan dan materialisme. Di sana, Paulus membahas tentang kekhawatiran (emosi yang sering dikaitkan langsung dengan harta yang kita miliki), kesabaran, kelimpahan, kebutuhan, kemurahan hati, dan berkat. Namun, inti dari pasal ini tertulis di ayat 11 dan 13, di mana Paulus mengatakan, “Aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. . . . Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (FILIPI 4:11,13). Sebelum kita menyadari bahwa Yesus sudah ada terlebih dahulu dari segala sesuatu, dan segala sesuatu ada di dalam Dia, dan di dalam Dia telah diciptakan segala sesuatu, kita tidak akan pernah menyadari keutamaan dan keagungan-Nya (KOLOSE 1:16-18). Oleh karena itu pula, kita tidak akan pernah menyadari bahwa ketergantungan kita seharusnya bukanlah pada harta benda, melainkan pada Sang Juruselamat. Sebagai pengikut Yesus, kita harus terlebih dahulu menunjukkan ketergantungan kita kepada-Nya. Kita perlu meyakini bahwa Yesus segala-galanya bagi kita. Dia segala-galanya bagi gereja kita. Sebelum kita menemukan kepuasan total di dalam Dia, kita tidak akan pernah menemukan kepuasan dalam apa pun yang kita miliki atau alami.
Kita Telah Bertemu dengan Si Musuh (yaitu Kita Sendiri)
15
tiga
Menangkal Eksklusivisme
B
eberapa tahun silam keluarga kami sedang mencari rumah yang lebih besar, karena rumah dengan 3 kamar tidur yang saat itu kami tempati mulai terasa sesak bagi keenam anggota keluarga kami. Jadi mulailah kami mencari tempat yang sempurna, di lingkungan yang sempurna, dengan harga yang sempurna. Pencarian itu membawa kami pada beberapa rumah sitaan yang begitu buruk kondisinya sehingga tampak seperti bekas lokasi pembunuhan, rumah-rumah lama yang akan memakan waktu yang panjang dan dana yang sangat besar untuk renovasi, dan rumah-rumah yang harganya cocok, tetapi batal di saat-saat terakhir. Akhirnya, kami pun menemukan rumah di sebuah kompleks kecil yang lumayan tenang dan menyandang istilah “country club”2 pada namanya. 2
Dalam bahasa Indonesia disebut klub janapada, yakni klub atau perkumpulan yang menyelenggarakan kehidupan sosial dan rekreasi yang biasanya terletak di pinggir kota. 17
Masalahnya hanya satu: tidak ada country club apa pun di dalam kompleks kami. Memang ada sebuah country club yang letaknya tidak jauh di luar kompleks. Klub itu dilengkapi dengan restoran eksklusif, lapangan tenis, kolam renang ukuran Olimpiade, dan lapangan golf yang mewah. Namun, klub itu bukan milik kompleks kami. Letaknya di luar batas kompleks. Kami bisa melihat para anggota klub keluar-masuk di sana, tetapi kami tak dapat menjadi bagian dari mereka. Meskipun nama kompleks kami mencantumkan istilah “country club”, tidak ada keistimewaan apa pun yang kami terima dari klub itu. Gereja-gereja masa kini menghadapi masalah yang serupa, tetapi kebalikannya. Nama gerejanya memang tidak mencantumkan istilah “country club”, tetapi sering kali gereja menawarkan keuntungan-keuntungan seperti yang diberikan oleh klub semacam itu. Ingin berstatus sebagai anggota? Gereja bisa memberikannya. Programprogram yang kita sukai? Tentu saja ada. Fasilitas rekreasi? Tempat penitipan anak? Parkir yang nyaman? Semua ada. Bahkan sejumlah gereja akan siap mengantar kita berkeliling dengan mobil golf saat kita lelah berjalan. Jadi apa masalahnya dengan country club? Pada dasarnya klub itu bersifat eksklusif. Kita harus membayar untuk bisa menggunakan fasilitasnya. Iuran keanggotaan yang sangat mahal dan sejumlah biaya tambahan sengaja ditetapkan agar kelompok tertentu saja yang bisa menjadi anggotanya. Dengan membayar untuk menjadi anggota sebuah klub eksklusif, kita seakan-akan memperoleh pertemanan, arti, status, dan tujuan bagi hidup kita. Namun, bagi orangorang yang tidak mampu membayar, seperti saya, mereka hanya bisa memandang dari luar dan bertanya-tanya bagaimana rasanya menjadi anggota sebuah klub eksklusif. Yesus tidak pernah memanggil gereja untuk menjadi klub eksklusif. Dia bahkan memerintahkan murid-muridNya untuk pergi sampai ke ujung bumi dan membawa 18
MISI YANG TERABAIKAN?
orang datang kepada-Nya. Mengertikah Anda? Alihalih membatasi orang, Yesus justru mengutus orang yang telah menjadi anggota keluarga-Nya untuk mengajak mereka yang ada di luar agar masuk menjadi bagian dari keluarga-Nya. Alasannya sederhana. Dahulu, kita berada di luar keluarga-Nya. Orang yang kini sudah mengenal-Nya pun pernah berada di luar keluarga Allah. Dahulu saya hidup jauh dari Yesus, terpisah dari-Nya karena dosa saya, dan terkucil karena saya memusuhi-Nya (KOLOSE 1:21-22). Namun, anugerah Allah dan salib Yesus memungkinkan saya untuk dibawa masuk ke dalam keluarga-Nya. Meski saya pernah memberontak dan menentang Kerajaan Allah, sekarang saya telah menjadi anak-Nya. Karena telah didamaikan dengan Allah, sekarang saya dipercaya untuk mengerjakan pelayanan pendamaian itu (2 KORINTUS 5:18). Kita telah membahas tentang budaya konsumerisme di gereja masa kini. Menurut saya, di satu sisi, budaya itu tak bisa dihindari. Bagaimanapun, kita adalah konsumen. Konsumerisme bukanlah dosa yang tak terampuni. Saya yakin itu merupakan persoalan hidup sebagai murid Kristus, yakni ketidakpercayaan yang harus terus-menerus dilepaskan dari hidup kita, sama seperti hal-hal lainnya. Mungkin Anda bertanya-tanya mengapa konsumerisme disejajarkan dengan ketidakpercayaan, dan itu pertanyaan yang wajar. Ketika kita hidup mengejar harta atau pengalaman, kita cenderung menjunjung hal-hal yang takkan pernah memuaskan kita tersebut. Kita pun menjauh dari Yesus—satu-satunya yang seharusnya mencukupkan kita—dan berpaling kepada ilah-ilah lain yang tak sebanding dengan-Nya. Namun, sebagaimana yang telah kita bahas di atas, sikap konsumtif dapat ditangkal dengan cara menyadari bahwa semua hasrat kita mengarahkan kita kepada sesuatu yang lebih dalam dan Menangkal Ekslusivisme
19
berarti, serta seluruh kepuasan yang kita cari hanya akan ditemukan di dalam Kristus. Ketika kita menyadari hal itu, segalanya akan berubah. Gereja bukan lagi tentang kita dan kebutuhan-kebutuhan kita. Gereja bukan lagi soal mendapatkan kenyamanan yang kita pikir kita butuhkan. Gereja juga bukan lagi tempat bagi kita untuk menutup diri dari dunia luar. Salah satu arti hidup sebagai seorang Kristen—terutama dalam kaitannya dengan gereja lokal—berarti kita rela mengasihi mereka yang dikasihi Yesus dan menjangkau mereka yang dikehendaki Yesus untuk kita jangkau. Saya yakin bahwa orang-orang yang berpola pikir konsumtif dapat diubah menjadi misionarismisionaris ketika mereka menyadari seberapa banyak yang sebenarnya mereka miliki, dan bahwa semua itu berasal dari pengenalan akan Injil (EFESUS 2:1-10). Gereja bukanlah perkumpulan para konsumen, melainkan komunitas para pengikut Kristus. Gereja adalah kumpulan orang percaya dalam satu tubuh—setiap orang berada dalam tahap yang berbeda-beda dalam perjalanan rohaninya—yang menempuh perjalanan untuk semakin dalam mengenal kuasa Injil yang mengubahkan hidup. Ketika kita mengubah pandangan kita dari “anggota klub” menjadi “anggota keluarga”, pola pikir kita pun berubah dan kita dapat berfokus pada misi kita bersama. Anggota keluarga akan saling memperhatikan dan hidup dengan saling menghormati. Idealnya, jika Anda adalah bagian dari keluarga saya, saya akan mengutamakan kebutuhan Anda lebih daripada kebutuhan saya sendiri. Saya akan berusaha untuk mendahului Anda dalam memberi hormat (ROMA 12:10). Saya akan melakukan apa saja yang saya bisa untuk memastikan Anda merasa dikasihi, dilibatkan, dan diperhatikan. Itulah yang dilakukan oleh sebuah keluarga dan yang membuat keluarga itu kuat. 20
MISI YANG TERABAIKAN?
Dengan cara yang sama para anggota keluarga berusaha menyambut orang-orang luar. Saya beruntung dibesarkan dalam keluarga dengan orangtua yang sangat murah hati . Rumah kami selalu terbuka bagi temanteman, tetangga, dan orang asing yang membutuhkan persahabatan, makanan enak, atau tempat tidur yang hangat. Bahkan sekarang, di usianya yang ke-70, ayah saya masih menyediakan kursi cadangan atau kamar kosong di rumahnya bagi seseorang yang membutuhkannya. Kemurahan hati adalah tema yang terus-menerus muncul di Kitab Suci. Sepanjang pelayanan-Nya di bumi, Yesus mengandalkan kemurahan hati orang lain dan beberapa kali mengajarkan muridmurid-Nya untuk melakukan hal yang sama (Matius 10:9-13). Yesus berkata kepada mereka, “Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku,” dan “Barangsiapa memberi air sejuk secangkir sajapun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya” (10:40,42).
Jika gereja adalah keluarga, kita akan bersikap sebagai keluarga bagi mereka yang membutuhkan keluarga. Jika kita memahami Injil, kita akan menerapkan Injil itu dalam hidup kita. Injil memberikan mandat kepada kita untuk “pergi dan beritakan” Kabar Baik tentang Yesus. Inilah keindahan dari kemurahan hati yang bersifat kekeluargaan: konsumerisme tidak lagi menguasai kita. Ketika seseorang menunjukkan kemurahan hati yang sejati, hubungan itu tidak lagi menjadi sebuah transaksi (dalam hal apa yang dapat ia lakukan bagi kita) melainkan suatu kedekatan. Keberadaan mereka menjadi lebih mengesankan daripada pemberian mereka. Yesus mengingatkan kita akan hal itu dalam Lukas 14. Di perumpamaan-Nya tentang suatu perjamuan, Yesus Menangkal Ekslusivisme
21
berkata, “Apabila engkau mengadakan perjamuan siang atau perjamuan malam, janganlah engkau mengundang sahabat-sahabatmu atau saudara-saudaramu atau kaum keluargamu atau tetangga-tetanggamu yang kaya, karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau pula dan dengan demikian engkau mendapat balasnya. Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orangorang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu” (14:12-14). Apakah itu menggambarkan gereja kita? Apakah itu menggambarkan hidup kita? Apakah gaya hidup kita lebih berpusat pada apa yang kita dapatkan, ataukah sebaliknya, pada apa yang kita berikan? Apakah orang mengenal kita sebagai orang yang murah hati, selalu memberi diri, dan menjadi berkat kepada sesama, ataukah mereka melihat kita seperti lintah yang menyedot semangat hidup siapa saja yang berada di dekat kita? Ketika menjadi bagian dari sebuah gereja, kita mulai memahami siapa diri kita. Setelah mengenal diri kita, kita mulai tahu siapa yang harus kita jangkau. Ketika kita mulai menyadari kebutuhan orang lain lebih daripada kebutuhan kita sendiri, itulah saatnya kita tidak lagi menjadi konsumen. Dalam persekutuan, kita tidak lagi mencari kenyamanan diri, melainkan mengusahakan kenyamanan orang lain. Ketika kita menjangkau orang lain dengan Injil, menyediakan tempat bagi orang-orang luar, dan menunjukkan kemurahan hati dan keramahan, itulah saatnya kita melihat eksklusivisme sirna dan suatu komunitas baru pun berdiri.
22
MISI YANG TERABAIKAN?
empat
Jangan Abaikan Misi
S
ikhar. Sebuah kota kecil yang sepi dan berdebu. Pada dasarnya sebuah daerah yang luas untuk dilintasi, tetapi hanya sebuah titik tak kasatmata di atas peta. Sikhar bisa menjadi tempat singgah dalam perjalanan orang ke kota lain, tetapi kebanyakan orang tak pernah melakukannya. Orang Yahudi menghindari Sikhar seperti menghindari wabah, karena kota itu terletak di Samaria dan wilayah itu tentu dipenuhi orang Samaria. Mereka disebut “orang luar”, para “keturunan campuran”—tidak sepenuhnya orang Yahudi dan tidak sepenuhnya orang non-Yahudi, tetapi sangat dibenci oleh kedua belah pihak. Sikhar adalah tempat yang tepat bagi seorang Samaria untuk bersembunyi dan menghindari dunia luar. Sampai kemudian Yesus datang.
23
Yesus bisa saja tidak singgah di Sikhar. Kebanyakan orang melakukannya. Dia bisa saja menunda waktu istirahat-Nya. Kebanyakan orang akan melakukannya. Namun, Yesus mempunyai misi—satu misi yang melibatkan Sikhar dan salah seorang warganya yang bereputasi buruk. Kita mengenalnya sebagai Perempuan Samaria di Sumur Yakub. Itulah satu-satunya cara Perjanjian Baru memperkenalkan perempuan itu. Hampir pasti ia punya sebutan lain yang diberikan oleh penduduk di sana: pezina, perusak rumah tangga orang, sampah masyarakat, pelacur. Namun, Yesus mengenalnya lebih dari itu semua: ia dikasihi, berharga, dan disayang sebagai anak Allah. Sebagai orang Yahudi yang baik, para murid pastilah merasa kurang nyaman ketika Kristus mengajak mereka melewati wilayah Samaria. Namun kemudian, ketika Petrus dan Yohanes mendengar bahwa penduduk Samaria telah percaya kepada Yesus, mereka kembali ke daerah tersebut untuk mengabarkan Injil (KISAH PARA RASUL 8:14-17). Yesus meruntuhkan tembok yang memisahkan kita.
Yesus memang sengaja ingin menjangkau perempuan itu. Ketika seorang Yahudi berbicara dengan orang Samaria yang dianggap najis—apalagi laki-laki berbicara dengan seorang perempuan—momen itu tentu sangat mengejutkan dan membuat si perempuan bertanyatanya apakah orang itu benar-benar mengajaknya bicara. Namun, Yesus lebih memikirkan jiwa perempuan itu daripada reputasi-Nya. Yesus melakukan apa yang tak pernah dilakukan orang lain demi menjangkau seseorang yang tak pernah terlayani. Dia berbicara kepada perempuan itu dengan penuh kasih. Dia menatap matanya dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menggugah hatinya. Yesus bersikap hangat, tulus, dan meyakinkan. Lalu Dia mengarahkan perempuan itu kepada sesuatu 24
MISI YANG TERABAIKAN?
yang akan memuaskan dahaganya yang seakan tak pernah terpuaskan, sekali untuk selamanya. Yesus berkata kepadanya, “Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selamalamanya” (YOHANES 4:13-14). Sesungguhnya, kita melintasi Sikhar setiap hari. Mungkin namanya bukan persis Sikhar dan tempatnya tidak mirip, tetapi itu tetap adalah Sikhar. Sikhar dihindari oleh kaum beragama, karena menjadi lambang dari tempat tinggal orang-orang yang terbuang, yakni mereka yang dianggap tidak layak untuk dikasihi, tidak mungkin lagi diselamatkan, dan layak untuk dibenci. Kaum beragama membenci Sikhar karena Sikhar dipenuhi orang-orang yang mementingkan dirinya sendiri. Orang Sikhar menjalani hidup demi kenikmatan mereka sendiri, dengan mencari makna dan kepuasan hidup di tempat-tempat yang hampa. Mereka beranjak dari satu pengalaman ke pengalaman yang lain, dari jalan buntu ke jalan buntu lainnya, tetapi semua itu pada akhirnya siasia. Merekalah konsumen yang sesungguhnya—mereka merebut dan mengambil, mengumpulkan dan menimbun, dan selalu haus akan sensasi-sensasi baru. Kita melihat penduduk Sikhar dalam kehidupan kita sehari-hari: pria bertato yang penyendiri dan sehari-hari hanya duduk di kedai kopi, wanita tunawisma yang selalu kelihatan mabuk tetapi masih saja mengemis di lampu lalu lintas, atau pria berbadan kekar yang sering sekali menghabiskan waktu di tempat olahraga untuk melatih dirinya sendiri. Bagi sebagian besar dari kita, kehidupan mereka terlihat menyedihkan. Kita sedih saat melihat orang-orang yang hidupnya berantakan. Lagi pula, mengapa mereka tidak menyadari seperti apa akhir hidup mereka nanti? Jangan Abaikan Misi
25
Bagaimana caranya menyadarkan mereka? Mengapa mereka tak bisa mengatur hidupnya seperti saya? Memang menyedihkan, tetapi tidak seperti yang kita bayangkan. Yang perlu dikasihani bukanlah cara hidup mereka, melainkan sikap kita yang menganggap diri lebih benar ketika menghadapi mereka yang “tidak seperti kita”. Ketika kita melihat orang lain sebagai rintangan dalam mencapai misi dan bukannya menjadikan mereka sebagai ladang misi itu sendiri, kita telah gagal sebagai orang percaya dan sebagai gereja. Ketika kita merasa bangga dengan hidup kita yang benar dan bukannya mengingat dosa kita di masa lalu dan kebejatan hati kita, kita sama seperti mereka yang menjauhi para pendosa di Samaria. Namun sesungguhnya, orang berdosalah yang dicari Yesus, dan justru ketika kita masih berdosa, Yesus mencari kita. Dan kepada orang berdosalah Yesus mengutus kita. Dalam perumpamaan tentang Anak yang Hilang, kita langsung teringat pada anak bungsu yang memboroskan harta milik ayahnya dengan hidup berfoya-foya. Namun, si anak sulung tidak dapat melepaskan sikapnya yang merasa lebih benar (LUKAS 15:28-32). Sesungguhnya, kedua anak itu sama-sama terhilang, tetapi hanya si anak bungsu yang bertobat!
Fokus buklet ini adalah soal konsumerisme dan gereja. Pembahasan kita sejauh ini berpusat pada kecenderungan konsumtif dalam kaitannya dengan aktivitas gerejawi, yang terungkap lewat pertanyaan seperti: “Apa yang dapat diberikan gereja ini kepadaku?” “Apa saja kebutuhanku yang dapat terpenuhi di gereja ini?” “Bagaimana gereja ini dapat menjadi tempat yang nyaman bagiku?” Namun sesungguhnya, konsumerisme juga menyusup dalam kehidupan kita sehari-hari. Di luar gereja, kita pun merasakan dorongan yang kuat untuk mencari 26
MISI YANG TERABAIKAN?
kenyamanan dalam konsumerisme, terutama ketika kita dihadapkan pada pilihan untuk melibatkan diri atau mengabaikan saja apa yang terjadi dalam hidup kita. Yesus juga menghadapi pilihan itu. Dia bisa saja tidak menghiraukan perempuan di tepi sumur itu. Orang akan memaklumi hal itu. Terik matahari dan rasa dahaga-Nya bisa menjadi alasan. Dia bisa saja bersikap masa bodoh, untuk sejenak mengistirahatkan pikiran dan tubuh-Nya. Namun, Yesus memilih mengesampingkan kenyamanan diri-Nya sehingga perempuan yang dijauhi masyarakat itu bisa merasakan kasih dan penerimaan dari-Nya. Kita menghadapi pilihan yang sama dalam hidup kita sehari-hari. Baik dengan rekan kerja yang sulit bekerja sama dengan kita atau tetangga yang sepertinya selalu bersikap ketus, kita dapat memilih untuk mengasihi atau menolak mereka. Kita dapat mengizinkan rencana kita yang berharga menentukan prioritas kita, atau sebaliknya kita dapat melepaskan kenyamanan kita demi kehidupan kekal orang-orang yang kita temui. Dari kisah di tepi sumur itu, saya pikir kita bisa menarik empat pelajaran dari cara Yesus menyapa kehidupan perempuan Samaria itu. Kita pun dapat meneladani cara Yesus menjalin hubungan dalam upaya kita memberitakan Injil kepada orang lain. 1. Yesus mempunyai maksud. Percakapan dengan perempuan Samaria itu bukanlah tidak disengaja. Yesus tahu benar apa yang Dia lakukan dan Dia memiliki maksud yang jelas. Yesus melihat seorang perempuan yang menderita, dan tahu bahwa Dia dapat memulihkannya. Tanpa mempedulikan reputasi-Nya, Yesus mulai menjalin relasi. Yesus meluangkan sebagian waktu-Nya yang padat dan mengesampingkan orang banyak yang menunggu-Nya demi menjangkau satu jiwa ini.
Jangan Abaikan Misi
27
Saya sempat menganggap perjumpaan dengan perempuan dari Sikhar itu sebagai interupsi dalam rencana Yesus. Ternyata tidak, karena perempuan itu memang menjadi fokus dari rencana-Nya. Apakah kita sengaja mencari mereka yang perlu mendengar tentang Injil? Apakah interaksi kita ditandai dengan maksud yang disengaja, atau justru berjalan tanpa arah dan tujuan? 2. Yesus mementingkan hubungan. Yesus tidak menganggap perempuan Samaria itu sebagai proyek. Perempuan itu adalah manusia biasa yang memiliki masa lalu, luka hati, dan kebutuhan yang nyata. Yesus meluangkan waktu untuk mengenal perempuan itu sekaligus kisah hidupnya. Dia tidak terburu-buru. Dia tidak memaksa perempuan itu untuk mengikuti arah pembicaraan-Nya. Dia tidak serta-merta mengucapkan pidato standar dengan frasa-frasa penginjilan yang telah dihafalkan. Yesus memilih untuk berbicara saja dengan perempuan yang tertolak dan terlupakan itu. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, Yesus berusaha menjalin hubungan dengannya. Apakah kita memandang pertemuan dengan seseorang sebagai kewajiban atau kesempatan untuk penginjilan? Saat memberitakan Injil, apakah itu demi kesuksesan pribadi atau demi menolong orang untuk beriman? 3. Yesus menyingkapkan cara pandang yang keliru dari perempuan itu. Setelah mengawali dengan berbicara tentang dahaga fisik dan dilanjutkan dengan dahaga emosi dan rohani, pelan-pelan Yesus mulai masuk kepada hal-hal yang selama ini diandalkan perempuan itu untuk memberi identitas pada dirinya. Yesus membukakan matanya bahwa ia tidak akan pernah memperoleh kepuasan dalam segala sesuatu yang dianggapnya dapat memberikan kedamaian. Ketika Yesus menyebut tentang kesesatannya, perempuan 28
MISI YANG TERABAIKAN?
itu diingatkan bahwa setiap upayanya untuk menemukan kasih tidak pernah memberinya kepuasan. Apakah kita dapat dengan lembut, sekaligus tegas, menolong orang melihat kesesatan-kesesatan yang mereka andalkan selama ini? Ketika kita melakukannya, apakah mereka merasa kita bersikap sebagai sahabat bagi mereka? Apakah kita cukup peka dengan keadaan orang-orang di sekitar kita untuk mengenali cara pandang mereka yang keliru itu? 4. Yesus memulihkan perempuan itu dengan kebenaran Injil. Yang saya sukai dari kisah itu adalah bahwa Yesus tidak meninggalkan perempuan itu seperti yang dilakukan orang-orang sebelum Dia. Dia tidak membuatnya terusmenerus mencari, terus merasa hampa, dan tetap hancur hati. Yesus menunjukkan kepada perempuan itu sebuah realitas lain yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang dicarinya selama ini dapat ditemukan di dalam Yesus. Yesus tidak akan pernah mengabaikan dan meninggalkannya. Saya membayangkan bahwa pada momen itu dalam hidup perempuan tersebut, Yesuslah satu-satunya orang yang tidak akan memanfaatkannya. Bahkan sebaliknya, Yesus ingin memberkatinya. Yesuslah orang pertama yang mengenali perempuan itu tidak berdasarkan perbuatanperbuatannya, melainkan berdasarkan karya-Nya. Ketika kita menawarkan pengharapan kepada orang lain, apakah kita hanya mendorong mereka untuk berusaha lebih baik? Mencoba lebih keras? Menjadi lebih rohani? Atau sebaliknya, kita benar-benar mengingatkan mereka bahwa sesungguhnya hati manusia takkan pernah cukup baik untuk diselamatkan? Apakah kita mengarahkan mereka kepada pengharapan kekal yang Yesus berikan?
Jangan Abaikan Misi
29
lima
Cara Pandang Baru untuk Melangkah Maju
P
ada dasarnya kita adalah konsumen. Kita mencari pengalaman yang membuat kita merasa lebih baik dan lebih nyaman di dunia yang tak nyaman ini. Namun, ingat bahwa kita takkan pernah merasa nyaman, karena kita diciptakan bukan untuk dunia yang sementara ini, melainkan untuk dunia lain yang kekal. Anda mungkin menghadapi salah satu dari dua godaan ini: menganggap organisasi gereja sebagai tempat yang menciptakan orang konsumtif atau memandang rendah orang yang dianggap sebagai konsumen di gereja. Jangan memilih keduanya. Injil memberikan pengharapan bagi kita yang egois dan yang sinis. Masih ada pengharapan bagi kita, baik yang sadar bahwa kita sebenarnya suka mementingkan diri sendiri atau menganggap orang lain mementingkan diri mereka sendiri. Kita bisa melangkah maju dengan cara pandang baru. Pertimbangkan langkah31
langkah ini untuk memulihkan Anda dari keegoisan dengan pertolongan dari Tuhan Yesus: 1. Kenali hal-hal yang memberi Anda kenyamanan. Dalam hal apa, Anda menjadikan pengalaman di gereja lebih berpusat pada diri Anda dan bukan pada orang yang Anda layani? Bagaimana perhatian yang berlebihan terhadap kebutuhan Anda telah mempengaruhi komunitas gereja mana yang Anda pilih? 2. Jangkaulah mereka yang dapat Anda “jangkau”. Di manakah Anda bisa berbagi Injil dengan orang lain? Cara nyata apakah yang dapat Anda lakukan untuk melayani orang lain? Upaya kita untuk memberkati orang lain akan menolong kita untuk tidak lagi mengejar kepentingan diri. 3. Libatkan orang lain dalam misi Anda. Tuliskan nama orang yang akan berdoa bersama Anda dan bagi Anda. Mereka akan menolong untuk mengenali kelemahan Anda, dan bekerja sama dengan Anda untuk melayani orang lain. 4. Terapkan kekayaan Injil di hati Anda. Kita dapat mengatasi hasrat akan kenyamanan dengan mengejar hal yang memberikan kedamaian sejati. Sediakan waktu tiap hari untuk bersyukur kepada Allah atas bagian kekal yang Anda miliki dalam Yesus. Dalam anugerah-Nya, izinkan Roh Kudus menyingkapkan berhala yang Anda andalkan, menggantinya dengan hal yang memberi kepuasan sejati. Kita mudah terpikat pada konsumerisme, cenderung mengejar kenyamanan dan menghindari ketidaknyamanan. Hati kita mahir memproduksi berhala yang terus menarik kita dari kepuasan dan kenikmatan dalam Allah. Namun, Injil mengingatkan bahwa kita dapat menerima karunia dan belas kasihan Yesus Kristus untuk menemukan identitas, rasa aman, dan damai di dalam Dia. Sebagai umat Tuhan dan gereja Yesus Kristus, kiranya kita tidak meremehkan rahmat-Nya yang luar biasa! Kiranya kita tidak lagi mengabaikan misi-Nya yang mulia. 32
MISI YANG TERABAIKAN?
Ingin lebih mengenal Tuhan? Bacalah firman-Nya dengan bantuan renungan Santapan Rohani Pilihlah media yang sesuai untuk Anda.
CETAK
APLIKASI
Menerima edisi cetak secara triwulan.
Menerima e-mail secara harian.
Our Daily Bread/ Santapan Rohani di Android & iOS.
HUBUNGI KAMI:
+62 21 2902 8950 +62 815 8611 1002 +62 878 7878 9978 Santapan.Rohani indonesia@odb.org santapanrohani.org ourdailybread.org/locations/ Materi kami tidak dikenakan biaya.
Satu-satunya yang Abadi Kehidupan cenderung menyeret kita pada konsumerisme. Kita mengejar pengalaman dan hal-hal yang membuat hidup kita lebih nyaman di tengah dunia yang tidak nyaman ini. Namun sesungguhnya, kebutuhan kita yang terdalam hanya dapat dipuaskan oleh Yesus Kristus. Di dalam Dialah, kita menemukan jati diri, kesejahteraan, dan kedamaian yang sejati. Sebagai umat Tuhan, tidak seharusnya kita hanya berpangku tangan. Kita dipanggil untuk menjangkau jiwajiwa yang sedang mencari-cari dan menunjukkan kepada mereka bahwa Yesus adalah satu-satunya yang memuaskan mereka. Danny Franks telah melayani sebagai gembala di bidang pelayanan jemaat dari Summit Church di Durham, North Carolina, Amerika Serikat sejak 2003. Dalam tanggung jawab itu, ia mengawasi pelayanan pada para pengunjung gereja yang berjumlah hampir 9.000 jiwa setiap minggunya di empat lokasi. Ia dan istrinya, Merriem, mempunyai empat anak, dari yang berusia prasekolah hingga usia kuliah.
Diterbitkan dan didistribusikan oleh PT. Duta Harapan Dunia www.dhdindonesia.com