JERAT PAPUA (Edisi 3 April 2014)

Page 1

EDISI III

www.jeratpapua.org

TOP NEWS JALAN TERJAL MENUJU DIALOG JAKARTA - PAPUA MENCARI HUTAN SENEGI WAROPEN; RISET PERIJINAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN LAHAN SUKU MOMUNA, BUTUH LEMBAGA ADAT SAYA BERJUANG DAN MATI UNTUK MEREKA


E D IS I I I I 

Jalan Terjal Menuju Dialog Jakarta - Papua

Mencari Hutan Senegi

Waropen : Riset Perijinan, Pemanfaatan Hutan dan Lahan

Suku Momuna Butuh Lembaga Adat

Yang Unik Dari Suku Asmat Meninjau Hak Masyarakat Adat Saya Berjuang dan Mati Untuk Mereka Taman Nasional Wasur, Serengeti Papua Kuliner Waropen, : Ikan Namu dan Udang Asar Mengenal Tradisi Bakar Batu di Papua

    

JARINGAN KERJA RAKYAT www.jeratpapua.org

S

udah sejak 2010, ide dan upaya realisasi „dialog Jakarta-Papua‟ diwacanakan. Namun, hingga kini, dialog yang dianggap sebagai jalan terbaik mengakhiri kekerasan dan membangun kepercayaan antara pemerintah pusat dan warga Papua, belum juga terwujud. Melihat mandegnya hal ini, sebuah buku berjudul, “Angkat Pena Demi Dialog Papua”, yang ditulis para akademisi, aktivis dan tokoh agama, menggemakan lagi tuntutan yang sama: segera lakukan dialog ! Foto : www.aldp-papua.com

Mientje Roembiak seperti dirilis ucanews.com, salah satu penulis buku tersebut mengatakan, dialog adalah hal mendesak, mengingat, kekerasan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga Papua sejak bergabung bersama Indonesia tahun 1969. Josie Susilo Hardianto, wartawan senior Indonesia, yang beberapa tahun terakhir bekerja di Papua, menggambarkan ironi situasi di Papua dalam buku ini. Mengutip Amandus Giay, seorang tua adat dari kampung Bomomani di Dogiyai, Josie menulis, warga Papua mengalami kehadiran pemerintah lewat aparat keamanan, entah itu polisi atau tentara. “Mereka dengan mudah ditemui hingga di berbagai pelosok wilayah Papua, berseragam atau tidak. Sementara itu, dokter, perawat, guru, pejabat kecamatan hingga bupati justru lebih sulit ditemukan,” tulis Hardianto. Foto : Istimenwa

S.MANUFANDU Sekretaris Eksekutif DESSY ITAAR Manager Office ENI RUSMAWATI Manager Keuangan ASMIRAH Keuangan WIRYA.S Manager PSDA & EKOSOB SABATA.RUMADAS PSDA & EKOSOB E. DIMARA Manager PPM ESRA MANDOSIR Manager JKL ANDRIO. NGAMEL Unit Studio MARKUS IMBIRI Unit DIP JERRY OMONA Unit DIP

EDISI III

Laporan sejumlah lembaga HAM yang tergabung dalam Human Rights and Peace for Papua juga menunjukkan bahwa antara Oktober 2011 dan Maret 2013, telah terjadi peningkatan eskalasi kekerasan, dimana pelakunya yang merupakan polisi dan militer dalam banyak kasus, tidak mau bertanggung jawab. Bentuk kekerasan ini berupa pembunuhan, penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang, dengan korban warga sipil, jurnalis, juga aktivis HAM.

Tahun 2011, Presiden SBY pernah menyampaikan pernyataan untuk membangun Papua dengan hati, termasuk mengusulkan wacana komunikasi konstruktif. Faktanya hingga kini, Jakarta tidak pernah mengambil langkah yang jelas untuk memasuki proses dialog dan terlihat terus menaruh curiga bahwa dialog hanya akan menjadi jalan bagi pemisahan Papua dari Indonesia. Brigjen TNI Sumardi, Sekertaris Desk Papua Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) misalnya, mengatakan, pemerintah menolak istilah dialog Jakarta-Papua. “Tidak ada istilah dialog JakartaPapua,” tegasnya. Meski demikian, ia menolak tuduhan bahwa Jakarta tidak bersedia menggelar dialog dengan orang Papua. Selama ini, katanya, dialog sudah berjalan. “Dialog yang dimaksud adalah dialog interaktif yang bertujuan membicarakan pembangunan Papua ke depan,” ujarnya.

JERAT NEWSLETTER| EDISI III APRIL 2014

PILIHAN REDAKSI HAL. 2


JARINGAN KERJA RAKYAT

P

EDISI III

www.jeratpapua.org

ihak Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kini masih bergerilya di hutan tampaknya juga masih tegas menolak dialog ini. Lambert Pekikir, koordinator OPM di perbatasan Papua dan Papua Nugini mengatakan, dialog hanya membuang-buang waktu. Menurut dia, dalam konsep OPM, bukan dialog yang utama, namun sebuah perundingan dengan di dalamnya hadir pemerintah Indonesia, Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta negaranegara anggota PBB. “Di sini Resolusi PBB No. 2504 yang dikeluarkan Majelis Umum PBB tanggal 19 November 1969 harus diubah. Bahwa Pepera dulu tidak sah, cacat hukum, dan manipulasi sejarah, itu fakta,” ucapnya. Viktor Yeimo, pimpinan Komite Nasional Papua Barat, menegaskan dialog bukan jalan keluar menuju Papua yang adil dan sejahtera. “KNPB tetap pada prinsip referendum, bukan dialog.”

Foto : Jerry Omona

dangan mewujudkan Papua yang adil dan sejahtera.

Ia mengatakan, sejarah mencatat Penentuan Pendapat Rakyat di Papua tidak dilakukan sebagaimana mestinya. “Ada kesalahan, referendum menjadi jalan Ia mengatakan perlu ada mekanisme untuk berdialog. Dialog tidak harus formal. “Dialog harus ada satu kesamaan pankeluar ke mana nanti Papua, bukan dialog,” ungkapnya lagi. dangan, format dialog itu juga seperti apa, dialog itu bukan daPepera 1969 dilaksanakan sebagai bagian dari perjanjian New York. Pepera lam bentuk besar-besar, tapi penting ada komunikasi kondigelar dalam tiga tahap. Pertama dilangsungkan konsultasi dengan dewan ka- struktif,” tukasnya. bupaten di Jayapura mengenai tata cara penyelenggaraan Pepera. Kedua, pemilihan Dewan Musyawarah Pepera dan ketiga, pelaksanaan Pepera dari Merauke Djoko menuturkan, kerap dialog sulit diwujudkan karena beragamnya suku dan segmentasi di Papua. “Kalau mau hingga Jayapura. mengumpulkan segmentasi masyarakat, itu juga tidak mudah, Hasil Pepera ketika itu menunjukkan warga Papua menghendaki bergabung sehingga di sini perlu adanya agenda.” dengan NKRI. Hasil Pepera kemudian dibawa ke sidang umum PBB dan disetuDirektur Eksekutif The Indonesian Human Rights Monitor jui pada tanggal 19 November 1969. (Imparsial) Poengky Indarti menegaskan, menjadi PR bagi Sementara itu, Cypri Jehan Paju Dale, peneliti isu-isu pembangunan, HAM dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mempergerakan sosial yang pada 2012 menulis buku „Paradoks Papua‟ bersama Romo siapkan dialog antara Jakarta dan Papua. John Djonga, imam aktivis Papua, mengingatkan semua pihak agar tidak terlena Win-Win Solution menanti realisasi dialog. Dialog Jakarta Papua merupakan salah satu solusi bagi Menurutnya, memang dialog itu penting dan perlu segera dilakukan. Namun kata penyelesaian persoalan di Bumi Cenderawasih. “Ini merupakan dia, ada banyak sekali agenda konkret dan mendesak yang menjadi tanggung win win solution, seperti dulu ketika kita menerima otonomi khujawab bersama pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, LSM serta lembaga- sus, meski dalam banyak hal, otsus lebih menguntungkan Jalembaga agama. “Apakah (kita perlu) menunggu dulu dialog baru dapat memen- karta,” kata Beatus Tambaip, pembicara dalam peluncuran buuhi hak-hak orang Papua di pedalaman, akan guru dan sekolah berkualitas, dok- ku „Angkat Pena demi Dialog Papua‟ di Aula Sekolah Tinggi ter-dokter dan rumah sakit? Apakah tunggu dulu dialog untuk bisa memberhenti- Fajar Timur, Abepura, tahun lalu. Baginya, Dialog Jakarta Papua sebagai langkah menyampaikan aspirasi secara bermartakan kebrutalan militer?” kata Cypri. bat. Bagi alumnus Institute of Social Studies, Erasmus University, Belanda ini, hal yang urgen adalah kebijakan pembangunan yang tepat, komprehensif dan benar Anum Siregar, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua menam-benar adil bagi orang Papua. “Contohnya, guru dan sekolah-sekolah berkualitas bahkan, dialog menjadi alternatif dari banyak solusi yang ditauntuk orang Papua di pedalaman. Dokter dan pelayanan kesehatan yang prima. warkan bagi Papua. “Dan semua itu sudah dikerjakan, kita tidak Hentikan pembabatan hutan dan pencaplokan tanah, karena itu lumbung pangan lihat hasilnya, dialog hadir memberi peluang untuk Papua mengemukakan keinginannya,” kata Anum. orang Papua”. Ditempat terpisah, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia Peluncuran buku itu dihadiri puluhan aktivis dengan sejumlah Djoko Suyanto mengatakan, dialog Papua akan melibatkan Organisasi Papua penanggap dan pembicara. Buku „Angkat Pena demi Dialog Merdeka dan mereka yang tinggal di pedalaman. Dialog untuk menyatukan pan- Papua‟ sebelumnya diluncurkan di Jogjakarta dibuka Gubernur JERAT NEWSLETTER| EDISI III APRIL 2014

PILIHAN REDAKSI HAL. 3


JARINGAN KERJA RAKYAT

EDISI III

www.jeratpapua.org

DIY Sri Sultan HB X. Sultan sekaligus menjadi pembicara dalam diskusi di Gedung Teatrikal Dakwah, UIN Sunan Kalijaga. Buku ini merupakan kumpulan opini tentang dialog Jakarta – Papua selama kurun tahun 2001 – 2011.

Ya Tuhan, Pertama, ilhami Presiden SBY agar menunjuk utusan khusus yang tepat dan amanah untuk memulai tahap pra-dialog antara Jakarta dan Papua Kedua, berkati para pemimpin Papua di berbagai belahan bumi agar semakin bersatu, memilih wakilnya dengan ikhlas, dan bersungguh-sungguh mempersiapkan dialog dengan pemerintah pusat

Sri Sultan optimis, sekelumit permasalahan di Papua harus dilaksanakan melalui paradigma baru komunikasi dialogis. DiaKetiga, berikan kami JDP dan semua pekerja perdamaian log, menurutnya bukan semata – mata NKRI, atau bahkan Papua merdeka. Almarhum . Dr. Muridan Satrio Widjojo M.Si Papua kekuatan agar dapat terus membangun jembatan yang Melainkan, kerelaan untuk mau duduk menghubungkan Jakarta dan Papua hingga terbangun bersama dan setara membicarakan semua permasalahan. “Komunikasi antara Papua kesungguhan bagi kedua belah pihak untuk berdialog . dan Jakarta, merupakan rekomendasi yang paling mungkin untuk menyelesaikan masalah – masalah non fisik,” katanya ketika itu. (JERAT/dari berbagai sumber) Almarhum . Dr. Muridan Satrio Widjojo M.Si

S

ebundel berkas terlihat kusut berserak diatas meja. Lembaran-lembaran penuh coretan itu telah berusia tiga tahun. “Sebagian lainnya sudah hilang,” kata Ernest Kaize, Kepala Kampung Senegi, Distrik Anim Ha, Merauke. Sembari mengapit rokok gulung, ia merapikan satu demi satu kertas terpisah.

Foto : JERAT PAPUA/JO

Surat itu menjadi bukti ketika perusahaan pertama kali menginjakkan kaki di Bumi Anim Ha. Proyek raksasa didorong hingga meludeskan tanah ulayat Kampung Senegi. Sepanjang dua tahun terakhir, Ernest orang yang paling getol menolak investasi di lahan adat Malind Anim. Kini, dengan daya tersisa, ia hanya bisa memandang bagaimana pohon di dusunnya roboh oleh mesin besar. Kampung Senegi dikuasai oleh perusahaan swasta nasional, PT Medcopapua Industri Lestari, milik Arifin Panigoro. Medco menguasai hampir sebagian Merauke dalam proyek yang disebut Merauke Integrated Food and Energy Estate. Proyek ini beroperasi di Kota Rusa di wilayah kurang lebih 1.6 juta hektar Lokasi MIFEE merupakan tempat tumbuhnya kayu alam, binatang dan sumber makanan bagi suku setempat. Kabupaten Merauke sendiri memiliki luas 4,7 juta hektar dengan 95,3 persen terdiri dari kawasan hutan. Awalnya, konsep MIFEE merupakan usaha korporasi yang juga menaungi petani lokal. Lahan satu juta hektar dimanfaatkan dalam lima kluster. Tiap kluster sekitar 200 ribu ha terdiri dari 40 subkluster. Kurang lebih 8.000 hingga 10.000 hektar lahan disiapkan untuk pertanian beras. Sementara 30.000 hektar lainnya untuk pertanian Tebu. Pengembangan kawasan pangan dalam skala luas ini diperkirakan menelan investasi sekitar Rp 50 hingga Rp 60 triliun. “Kalau lahan ini semua dipakai, kaJERAT NEWSLETTER| EDISI III APRIL 2014

mi sudah tidak bisa mencari makan, saya tidak tahu bagaimana nasib anak cucu saya nanti,” katanya lagi. Di Senegi, kampung kecil, empat jam jauhnya dari Kota Merauke, PT Selaras Inti Semesta, anak Medco, beroperasi. Perusahaan yang bergerak dibidang Hutan Tanaman Industri itu memulai geraknya sejak 15 Februari 2010 di lahan seluas 301.600 hektar. PT SIS akan berada di Senegi hingga 60 tahun ke depan sebagaimana diatur dalam keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.18/Menhut-II/2009. Kampung Senegi berada dalam kawasan konsensi. Sebelum memasuki kampung tersebut, pengunjung harus melewati pos jaga milik Selaras Inti Semesta. Dua satpam berjaga berseragam biru. Dari kejauhan, mesin pemotong dan pembersih meraung-raung. Beberapa alat berat menggusur pepohonan untuk membuka jalan. CERITA DARI KAMPUNG HAL. 4


JARINGAN KERJA RAKYAT

EDISI III

www.jeratpapua.org

Ernest mengatakan, warga kampung telah dibohongi. Mereka dibayar hanya dengan 300 juta, sementara perusahaan „menginvasi‟ lebih dari 300 hektar lahan. Uang yang diterima dibagi rata per keluarga 3 juta rupiah. Jumlah jiwa di Senegi sekitar 546. Jumlah Kepala Keluarga, 110. “Uang itu kami anggap sebagai ketuk pintu, bukan kontrak, tapi perusahaan menganggap itu sebagai pelunasan, kami tidak mengerti,” katanya dengan nada tinggi.

Foto : JERAT PAPUA/JO

Awalnya, kata dia, pemilik tanah meminta dibayar Rp 2 miliar. Namun melorot menjadi 300 juta. Saat transaksi, wakil pemerintah dan kepala distrik ikut hadir. Selain dana tersebut, pemilik tanah juga mendapat kompensasi dari kayu yang ditebang, per kubik Rp 2000. Sayang, perusahaan tak jarang memanipulasi harga kayu. “Kita minta 10 ribu, tapi perusahaan maunya hanya dua ribu,” kata Bonafasius, bekas Kepala Kampung. Kompensasi dibayar per tiga bulan kepada marga pemilik tanah. Tiap marga memperoleh angka berbeda, tergantung hasil atau jumlah kayu yang ditebang di dusun mereka. Bona menilai, masuknya investasi tak berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mereka masih tetap miskin dan berharap nya akan dibangun sekolah, pusat pelayanan dari hasil hutan. “Perusahaan tidak bawa keuntungan, kami tidak tahu kesehatan, termasuk mendirikan pabrik penyulin- “” Kami diajak untungnya dimana.” gan minyak kayu putih. “Kami masih punya sedikit supaya mau rawa untuk mencari ikan, masih ada beberapa Sebelum PT Selaras Inti Semesta memulai proyek raksasa, dilakukan dusun sagu untuk bertahan,” katanya melanjut- menerima pepertemuan dengan warga Senegi. Awalnya adalah sosialisasi pada kan. rusahaan, setahun 2008. Selanjutnya ada lagi sejumlah pertemuan tapi kadang tidak menemui kata sepakat. “Dalam tiap kesempatan, perusahaan ber- Kampung Senegi memiliki luas 100 hektar bagai jaminan janji akan membangun sarana umum, mereka juga berjanji akan me- persegi. Profesi warga rata-rata petani dan pemkita bisa hidup nyekolahkan anak kami menjadi pintar, tapi itu bohong,” kata Bona. buru. Bila lagi rehat, mereka berkumpul dan menghabiskan waktu dibawah pohon. Saat baik, nyatanya Suatu ketika, mantan Bupati Merauke, Johanes Gluba Gebze pernah makan tiba, seorang dari para wanita akan memengumpulkan warga pemilik tanah di rumah adat Kampung Senegi. masak dengan lauk seadanya. Di waktu tertentu, tidak terbukti, “ “Kami diajak supaya mau menerima perusahaan, dia (Gluba Gebze) ada makan besar jika seorang pemuda pulang katanya sebagai jaminan kita bisa hidup baik, nyatanya tidak terbukti,” dengan hasil buruan berlimpah. Kehidupan warga Senegi begitu sederkata Ernest Kaize. hana. Para Tetua yang tidak bekerja, memanfaatkan waktu menghisap tembakau. Kampung asri penuh dengan pepohonan itu aman dan jauh Linus Gebze, ketua adat Senegi menuturkan, presentase Medco di dari perselisihan besar. bulan April tahun 2008, tampaknya pula tak berujung baik. PT SIS (Jerry Omona/Bersambung) memberikan segudang janji namun enggan merealisasikannya. MisalFoto : JERAT PAPUA/JO

Foto : JERAT PAPUA/JO

JERAT NEWSLETTER| EDISI III APRIL 2014

CERITA DARI KAMPUNG HAL. 5


JARINGAN KERJA RAKYAT

EDISI III

www.jeratpapua.org

K

abupaten Waropen beribukota di Botawa. Motto Waropen: NDI SOWOSIO NDI KARAKO yang artinya “Bersatu untuk Maju/Lebih Baik�. Kabupaten Waropen memiliki 11 distrik (kecamatan) dan 110 kampung. Jumlah penduduknya 24.639 jiwa. Terdiri dari 13.137 laki-laki dan 11.502 perempuan. Kabupaten ini berada di wilayah pesisir yang memiliki potensi hutan bakau, hutan primer dan potensi kelautan serta perikanan. Menurut istilahnya, Waropen berhubungan erat dengan kata Oropong yang mula-mula dipakai oleh Jacob Weyland (tahun 1705). Sedangkan kata Waropen menurut penduduk asli artinya orang yang berasal dari pedalaman; dari Gunung Tonater Wamusopedai. Apabila dihubungkan dengan mite-mite yang Tim Riset : hidup di masyarakat adat, orang Waropen Markus Imbiri adalah mereka yang bermigrasi ke pantai akibat adanya air ampuhan, dan selanjutnya meJhon Imbiri nyebar ke Ambumi, Roon di Kabupaten NabiWirya Supriyadi re, Manokwari bagian barat, Waropen Ronari bagian timur dan pesisir Waropen Kai. Dikaji dari perspektif sejarah sosial budaya, Held (tahun 1974), membagi wilayah Waropen atas 3 wilayah hukum adat berdasarkan perbedaan penggunaan bahasa yaitu Wilayah Waropen Ambumi, Wilayah Waropen Kai dan Wilayah Waropen Ronari. Masyarakat Hukum Adat Waropen Ambumi terbagi lagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok yang masuk ke Wilayah Kabupaten Nabire yang mendiami kampung-kampung Napan, Wenami, Masipawa, Makimi, Moor, Mambor dan Ambumi, serta kelompok yang masuk Wilayah Kabupaten Wondama dan mendiami kampung-kampung Yendeman, Syabes, War, Kayob dan Menarbu. Wilayah Adat Waropen Kai, terdiri dari masyarakat yang mendiami pesisir di wilayah Paradoi, Sanggei, Nubuai, Mambui di Distrik Urei Faisei; Kampung Koweda Distrik Masirei; dan Kampung Waren. Selanjutnya, Distrik Waropen Bawah terdiri atas, Kampung Wapoga Distrik Wapoga dan di wilayah pedalaman seperti Barapasi, Sosora, Sorabi, Kerema, Tamakuri, Teba, Janke dan Baitanisa, yakni penduduk yang mendiami daerah pedalaman Waropen sebelah Timur sampai Pegunungan Van Ress. Perijinan Pemanfaatan Lahan dan Hutan di Kabupaten Waropen Kabupaten Waropen memiliki potensi hutan dengan hamparan hutan primer, mangrove serta hutan rawa yang menjadi incaran para investor, baik dalam dan luar negeri. Dari data yang diperoleh, pada tahun 2003, jumlah luas tutupan lahan berdasarkan penafsiran citra satelit landsat di Waropen seluas 1.407.644 Ha. Pada tahun 2006, luas penutupan lahan ini JERAT NEWSLETTER| EDISI III APRIL 2014

menjadi 488.708 Ha, dan berubah lagi menjadi 536.216 Ha pada 2009. Hal ini disebabkan oleh adanya pemekaran Kabupaten Mamberamo Raya, atau terdapat 3 distrik seperti Distrik Benuki, Sawai, dan Waropen Atas yang menjadi bagian dari Kabupaten Mamberamo Raya. Artinya bahwa jumlah luasan 3 distrik tersebut berpengaruh signifikan terhadap luasan tutupan lahan di Kabupaten Waropen. Sementara Luas Kawasan Hutan dan Perairan Berdasarkan RTRW di Kabupaten Waropen, Tahun 2010 sampai 2030 yang diolah dari Dokumen Statistik Kehutanan Propinsi Papua, berdasarkan fungsinya seluas 560.213 Ha, terdiri dari hutan lindung, hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, hutan produksi konversi dan Areal penggunaan lain. Selanjutnya, berdasarkan data perkembangan Izin Usaha Pemanfaaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di Kabupaten Waropen hingga Tahun 2011, tercatat terdapat 5 perusahaan yang pernah terdata sesuai Dokumen Statistik Kehutanan Propinsi Papua, 2012 dan Dinas Kehutanan Kabupaten Waropen, 2010. Diantaranya PT. Wapoga Mutiara Timber Unit III (PT.WMT) yang memulai aktivitasnya sejak tahun 2008 di Kabupaten Waropen, Paniai dan Mamberamo Raya dengan luas konsesi 407.350 Ha, serta PT. WMT yang telah beroperasi sejak tahun 1997 dan stagnan pada tahun 2008. Lalu ada tiga perusahaan yang ijinnya dicabut oleh Menteri Kehutanan sejak tahun 2002, yakni PT. Persada Papua Hijau, PT. Sauri Mowari Rimba I dan PT Sauri Mowari Rimba II. Ketiga perusahaan ini beroperasi di Kabupaten Nabire dan Waropen. Sementara PT. Irmasulindo belum beroperasi walau ijinnya telah terbit sejak tahun 2001 lantaran masih harus mengurus Rencana Kerja Usaha (RKU) berbasis Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB). AKTIFITAS HAL. 6


JARINGAN KERJA RAKYAT www.jeratpapua.org

Laju deforestasi dan degradasi kawasan hutan, berdasarkan data Lab. GIS BPKH X Jayapura untuk Kabupaten Waropen antara tahun 2003-2006 seluas 12,12 Ha. Pada tahun 2006-2009, laju deforestasi meningkat menjadi 39.535 Ha. Naiknya angka ini berkaitan dengan pinjam pakai kawasan untuk aktivitas pembangunan, dan juga aktivitas penebangan hutan yang dilakukan oleh PT. WMT Unit III sebelum mengalami stagnasi pada tahun 2008.

EDISI III

tahun 1996 seluas 4.223 Ha. Kawasan transmigrasi tersebut berlokasi di Soimiangga sesuai dengan SK Pelepasan 291/Kpts – II/1996 tanggal 14 Juni 1996. Dimana pelepasan kawasan ini, terjadi sebelum Waropen dimekarkan menjadi wilayah administrasi pemerintahan baru.

Pandangan Masyarakat Adat Terhadap Tanah dan Hutan Hutan merupakan tempat implementasi nilai-nilai adat dan sumber kehidupan masyarakat adat secara turun temurun. Praktisnya, Berikutnya, berdasarkan data Bidang Program dan Perencanaan dapat dikatakan bahwa hutan merupakan tempat memperoleh Kehutanan, 2011, ada terdapat 2 (dua) unit Kesatuan Pengel- berbagai kebutuhan gizi dan nutrisi (protein hewani dan Nabati), olaan Hutan Produksi (KPHP) dengan areal kerja meliputi Kabu- air bersih dan sumber obat-obatan serta aksesoris kebudayaan. paten Waropen, Paniai, Nabire dan Mamberamo Raya. Total luas wilayah kerja KPHP hingga tahun 2011 adalah 910.661 Ha, terdiri Sebagai implementasi nilai-nilai dan sistem adat, hutan merupadari Hutan Lindung 306.970 Ha, Hutan Produksi 585.207 Ha dan kan manisfestasi antara manusia dengan alamnya yang lestari. Hutan Produksi terbatas 18.484 Ha. Pada prakteknya, hutan dipercaya memiliki tempat-tempat sakral yang mengandung mitologi asal usul manusia. Tempat-tempat ini JERAT juga memperoleh data bahwa pinjam pakai kawasan un- biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat adat sebagai areal untuk tuk kepentingan pembangunan di Kabupaten Waropen pada ta- inisiasi adat, penyembuhan dan ketenangan batin. hun 2006 hingga 2011 adalah seluas 9.341,80 Ha. Pinjam pakai (Tim Riset JERAT, 2013) kawasan tersebut, diperuntukan untuk membangun infrastuktur Kabupaten Waropen, yang pada saat itu dimekarkan dari Kabupaten Yapen, dan untuk pencanangan program transmigrasi pada

JERAT NEWSLETTER| EDISI III APRIL 2014

AKTIFITAS HAL. 7


JARINGAN KERJA RAKYAT

EDISI III

www.jeratpapua.org

Foto : JERAT PAPUA

“Kami lihat bahwa kegiatan pada hari ini sangat membantu masyarakat. Apalagi saat ini kami tidak punya lembaga adat” ujar Ayub Keikye

M

embangun kesadaran dan pengenalan akan masalah yang sedang dihadapi masyarakat merupakan pekerjaan yang sangat penting untuk dilakukan oleh lembaga-lembaga yang bekerja untuk dan bersama masyarakat. Hal ini merupakan dasar utama dalam penguatan dan pemberdayaan rakyat dalam membangun kemandirian. Hal ini dapat dijadikan modal dasar analisis dalam menyusun agenda-agenda penyelesaian masalah yang sedang dihadapi dan dasar untuk pengambil kebijakan dalam upaya penyusunan program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang berbasis realitas kehidupan. Kegiatan Pelatihan Pengorganisasian Masyarakat Adat di bertempat Gereja GIDI Anugerah, pada tanggal 26-29 Maret 2014 di Dekai, Kabupaten Yahukimo. Dimana peserta dari 10 kampung yang diundang 40 orang tetapi berkembang menjadi 150 orang, baik laki-laki, perempuan bahkan anak-anak. Dengan antusias mengikuti kegiatan pelatihan umum yang berlangsung selama 4 hari yang difasilitasi oleh Septer Manufandu dan asisten fasilitator Wirya Supriyadi serta Esra Mandosir. Kegiatan yang dilaksanakan selain memberikan informasi juga terdapat proses diskusi dan pemutaran film serta kunjungan lapangan ke Kampung Sokamu dan Kokamu. Dalam kegiatan pelatihan ini terungkap bahwa masyarakat adat Suku Moumuna selama ini tidak mendapatkan pendampingan dan pemberdayaan yang memadai serta tidak mempunyai lembaga adat yang representative mewakili komunitas adat mereka. “Kami baru mendapatkan pelatihan dan pengetahuan seperti ini, karena belum ada lembaga yang membuat pelatihan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan kita” ucap Berthol Kubu salah peserta pelatihan dan juga tokoh pemuda suku moumuna. Bagi dirinya hal ini merupakan se-

buah langkah yang baik, karena saat ini kondisi Suku Moumuna pada persimpangan jalan untuk kedepannya. Dengan adanya pelatihan ini menambah informasi bagi masyarakat Moumuna. Karena harus diakui bahwa Suku Moumuna membutuhkan banyak informasi dan pemberdayaan dalam upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk kehidupan mereka dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.Hal senada disampaikan oleh Gembala Gereja Anugerah Ayub Keikye bahwa mereka sangat terbantu dengan adanya pelatihan ataupun sosialisasi mengenai hak-hak masyarakat adat. “Kami lihat bahwa kegiatan pada hari ini sangat membantu masyarakat. Apalagi saat ini kami tidak punya lembaga adat” ujar Ayub Keikye. Sehingga kedepannya JERAT Papua dapat memfasilitasi pendirian lembaga adat. Ditengarai karena tidaknya lembaga adat yang mempersatukan masyarakat adat, sehingga proses pembangunan yang diduga tidak melibatkan masyarakat Suku Moumuna seperti proses pelepasan hak ulayat tanah seluas 7×8 Km, tidak adanya promosi kesehatan lingkungan, pentingnya pendidikan dan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat Moumuna. Sementara Sekretaris Eksekutif JERAT mengatakan bahwa JERAT Papua siap membantu dan memfasilitatsi proses pembentukan lembaga adat suku Moumuna. Harus diingat adalah Lembaga Adat sebagai payung untuk menyuarakan aspirasi Masyarakat Adat. “Menjadi corong komunikasi masyarakat adat Moumuna” ujar Septer Manufandu dihadapan ratusan orang Suku Moumuna. Ditambahkannya kalau mau dibentuk itu jauh lebih baik karena dirinya bersama teman-teman bisa membantu memfasilitasinya. Lembaga adat inilah yang akan selalu berdiri didepan atas nama masyarakat adat, berbicara untuk masalahmasalah yang dihadapi oleh masyarakat adat Moumuna seperti Hak atas kesehatan, pendidikan, perumahan, dan hak atas tanah dan sumber daya alam serta aspirasi lainnya.

JERAT NEWSLETTER| EDISI III APRIL 2014

(JERAT- Wirya)

AKTIFITAS HAL. 8


JARINGAN KERJA RAKYAT

EDISI III

www.jeratpapua.org

S

imbolisasi perempuan dengan flora dan fauna, menunjukkan bagaimana sesungguhnya masyarakat Asmat menempatkan perempuan begitu sangat berharga. Hal ini tersirat juga dalam berbagai seni ukiran dan pahatan mereka.

Dalam hal kepercayaan, orang Asmat yakin bahwa mereka adalah keturunan dewa yang turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari. Menurut keyakinan orang Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu tempat yang jauh di pegunungan. Dalam perjalanannya, turun ke hilir sampai ia tiba di tempat yang kini didiami oleh orang Asmat hilir. Dalam mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, dewa itu namanya Fumeripitsy. Ketika ia berjalan dari hulu sungai ke arah laut, ia diserang oleh seekor buaya raksasa. Perahu lesung yang ditumpanginya tenggelam. Dalam perkelahian sengit yang terjadi, ia dapat membunuh si buaya, tetapi ia sendiri luka parah. Ia terbawa arus yang mendamparkannya di tepi sungai Asewetsy, desa Syuru sekarang. Untung ada seekor burung Flamingo yang merawatnya sampai ia sembuh kembali; kemudian ia membangun rumah Yew dan mengukir dua patung yang sangat indah serta membuat sebuah genderang Em, yang sangat kuat bunyinya. Setelah ia selesai, ia mulai menari terus-menerus tanpa henti, dan kekuatan sakti yang keluar dari gerakannya itu memberi hidup pada kedua patung yang diukirnya. Tak lama kemudian mulailah patungpatung itu bergerak dan menari, dan mereka kemudian menjadi pasangan manusia yang pertama, yaitu nenek-moyang orang Asmat. Upacara Adat Orang Asmat tidak mengenal mengubur mayat orang yang telah meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat mendalam bagi masyarakat Asmat. Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang terlalu tua atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah meninggal. Roh leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan dalam ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir figur manusia.

Foto : Istimewa

na mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari yang dicintainya untuk menemani. Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk patung Mbis, yaitu patung kayu yang tingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir roh-roh. Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian, sedangkan jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat juga tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan, di pinggir sungai atau semaksemak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur, keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.

Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul mendekati si sakit sambil menangis, sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk mengobati atau memberi makan kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani mendekatinya kare-

Ukiran Asmat Asmat selalu diindentikan dengan patung ukiran atau pahatan tradisional. Hal ini disebabkan karena pahatan atau ukiran tradisional telah diekspose keluar oleh berbagai kalangan, baik pemerintah maupun swasta di Indonesia dalam bentuk festival budaya baik di Agast maupun di Jayapura, Bali, Jogja dan Jakarta ataupun di luar negeri, seperti di KBRI Denhag Belanda pada tanggal 28 Agustus – 5 September 2008 dalam rangka mengundang dunia, mempromosikan Trade, Tourism and Investment (TTI) serta mendukung pembangunan Kawasan Timur Indonesia (Laporan Radio Heelvezen, Belanda, Jam 18.30 WIB, 6 September 2008). Terlebih lagi Asmat telah ditetapkan sebagai situs warisan budaya dunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Februari 2004 (Kompas, Februari 2004). Lanjutan, Halaman 11 ASMAT ‌..

JERAT NEWSLETTER| EDISI III APRIL 2014

POJOK INFORMASI HAL. 9

Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota keluarga yang lain di desa tersebut.


JARINGAN KERJA RAKYAT

EDISI III

www.jeratpapua.org

Foto : Istimewa

M

asyarakat adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia, untuk paling tidak merujuk kepada empat jenis masyarakat asli. Dalam ilmu hukum, secara formal dikenal sebagai Masyarakat Hukum Adat. Tetapi dalam perkembangan terakhir, masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan sedemikian mengingat perihal adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan.

pemerintah yang berkepentingan (ILO). Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah meminta Indonesia meratifikasi Konvensi ILO 169 tetapi belum diratifikasi (DtE). Selain dokumen-dokumen penting di atas, CEDAW atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan adalah dokumen yang penting bagi kaum perempuan. Dokumen ini diadopsi pada tahun 1979 oleh PBB. CEDAW menetapkan prinsipprinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Walaupun dokumen ini tidak berbicara tentang hak perempuan adat pada khususnya, dengan meratifikasinya pada tahun 1984, Indonesia mengakui adanya diskriminasi terhadap perempuan, termasuk perempuan adat.

Menurut AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) pada Kongres I tahun 1999 dan masih dipakai sampai saat ini, masyarakat adat adalah Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turuntemurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum adat dan Lembaga adat yang mengelolah keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Kehadiran masyarakat adat merupakan suatu kenyataan sejarah yang tidak dapat dihindari atau bahkan di sangkal oleh Pemerintah Pada tingkat internasional, ada sejumlah hak yang diberikan kepada (Noer Fauzi, 2000). Masyarakat adat merupakan segmen riil di dalam masyarakat adat dalam beberapa dokumen internasional. Pada 2007, masyarakat Indonesia. Secara formal pengakuan atau penerimaan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Deklarasi atau pembenaran adanya masyarakat adat di dalam struktur ketataPBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP). Adopsi ini menjadi titik negaraan baru diatur dalam pasal 18 UUD 1945. puncak dari pembahasan dan negosiasi selama bertahun-tahun antara para pemerintah dan masyarakat adat. Deklarasi ini berisi kerangka yang Masyarakat Adat di Papua sama bagi masyarakat internasional untuk memenuhi hak-hak masyarakat Masyarakat adat di Papua adalah masyarakat asli Papua yang hidup adat (ILO). UNDRIP merupakan penegasan hak-hak kolektif masyarakat dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan adat, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri, persetujuan bebas rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya. tanpa paksaan, didahulukan dan diinformasikan atau FPIC, hukum adat, hak atas tanah dan sumber daya alam, hak-hak budaya, dan hak-hak yang Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat lainnya. Indonesia pada tahun yang sama menandatangani Deklarasi ter- hukum adat dan hak perorangan. Hak Ulayat adalah hak persekutuan sebut. yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilaSementara itu, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) juga menggagas yah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang Konvensi ILO 169 tentang Masyarakat Adat (Konvensi ILO 169). Sejak itu, meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya Konvensi ini telah diratifikasi oleh 20 negara. Di 20 negara itu, badan- sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyediaan tanah badan pengawas ILO telah memantau dan membina proses pelaksanaan ulayat dan tanah perorangan untuk keperluan apapun, dilakukan memelalui pemeriksaan teratur atas berbagai laporan dan dokumen kepada lalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang JERAT NEWSLETTER| EDISI III APRIL 2014

TREND ANALISIS HAL. 10


JARINGAN KERJA RAKYAT www.jeratpapua.org

EDISI III

bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya. Dekasius Sulle, dari Badan Pertanahan Manokwari mengatakan, berdasarkan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (pasal 43, ayat 1 dan 2), Pemerintah wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan hukum yang berlaku. Meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan warga hukum adat. Penyelesaian hak ulayat masyarakat hukum adat kata dia, diatur pemerintah melalui Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999, tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat. Peraturan ini menjelaskan, pemerintah mengakui adanya hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada. Namun dibalik itu, Sulle mengakui jika selama ini implementasi aturan mengenai pengakuan hak adat ternyata belum nampak dalam kinerja pemerintah daerah, apalagi jika dikaitkan dengan masalah investasi. Sulle berpendapat, Papua belum mempunyai Peraturan Daerah tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat. “Itulah sebabnya masyarakat tidak boleh menjual tanah sendiri-sendiri. Diharapkan pemerintah dan investor dapat memperhatikan hak-hak masyarakat ini”. “Harus ada MoU (perjanjian) antara masyarakat dan investor, yang mana mulai dari anak kecil hingga orang dewasa dapat mengolah hasil kekayaan alamnya dan mempunyai hak disitu,” tambahnya. Meskipun Indonesia belum meratifikasi konvensi-konvensi ILO yang berkaitan dengan masyarakat adat dan pribumi, namun substansi yang ada dalam UU No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua membuka peluang besar orang asli Papua dan Masyarakat Adat untuk terlibat secara aktif dalam proses-proses pembangunan di Tanah Papua.

Foto : Istimewa

Undang-undang ini memberikan dasar hukum yang kuat bukan saja agar memprioritaskan orang asli Papua sebagai subjek sekaligus objek pembangunan, tapi juga pemerintah daerah agar secara aktif mendorong keterlibatan masyarakat adat dalam proses-proses pembangunan. Hanya saja, luas dan jenis hak-hak masyarakat asli yang lebih terperinci tampaknya harus dipersiapkan dan dituangkan dalam peraturan-peraturan yang melengkapi. Apa dan siapa orang asli Papua serta Masyarakat Adat Papua harus diperjelas dalam sebuah peraturan daerah khusus sehingga subjek dan objek peraturan-peraturan daerah berikutnya menjadi jelas. Untuk kepentingan itu, ada baiknya jika uraian tentang apa dan siapa orang asli (pribumi) Papua dan hak-hak masyarakat adat seperti yang tercantum dalam instrument internasional ini bisa menjadi acuan substantif. Dengan begitu, perlindungan hak-hak masyarakat asli tidak sekadar menjadi nilai dasar yang mati, melainkan benar-benar akan menjadi jaminan normatif bagi perlindungan masyarakat adat dan hak-hak mereka. (JERAT/dari berbagai sumber)

Patung pahatan atau ukiran yang diikutkan dalam festival ini selalui dijual dengan cara dilelang. Nilai masing-masing pahatan biasanya mencapai Rp. 40 Juta perbuah dan paling rendah Rp. 1 juta. ASMAT . . .

Suku Asmat adalah salah satu suku dari 315 suku asli/pribumi Tanah Papua yang hidup di dua wilayah, yakni wilayah pesisir Pantai Selatan Papua atau di tepi sungai, dan di wilayah pedalaman yaitu masyarakat Asmat yang hidup di daerah rawa-rawa dan sungai serta danau. Terlepas dari dua perbedaan di atas, suku Asmat sendiri sebenarnya terdiri dari dua belas sub suku, yakni: Joirat, Emari Ducur, Bismam, Becembub, Simai, Kenekap, Unir Siran, Unir Epmak, Safan, Armatak, Brasm dan Yupmakcain. Pembagian sub suku ini terjadi dalam lingkungan masyarakat Asmat akibat tempat tinggal, kiat menyikapi lingkungan serta persebaran masing-masing kelompok masyarakat dalam suku Asmat. Sedangkan kata Asmat sendiri bermakna manusia kayu atau pohon. Masyarakat Asmat meyakini bahwa yang pertama kali muncul di permukaan bumi adalah pohon-pohonan. Pohon-pohon itu adalah Ucu (beringin) dan Pas (kayu besi), yang diyakini sebagai perwujudan dua mama tua yaitu Ucukamaraot (roh beringin) dan Paskomaraot (roh kayu besi). Barang kali keyakinan mistis inilah yang memberikan kesan bahwa ukiran atau pahatan kayu yang dibuat orang Asmat itu sangat „berjiwa‟. (JERAT/dari berbagai sumber) JERAT NEWSLETTER| EDISI III APRIL 2014

T R E N D A N A L I S I SFoto H :AJerry L . Omona 11


JARINGAN KERJA RAKYAT

EDISI III

www.jeratpapua.org

S

ore itu seperti biasa Pastor Yohanes Jonga membersihkan rak buku. Sejumlah laporan penting, termasuk arsip perjalanannya ke wilayah pedalaman Papua, diatur rapi. Tangannya cekatan memilah buku yang akan disimpan dan yang akan dibaca. Beberapa menit berlalu. Diraihnya telepon genggam, menjawab panggilan. Penelepon di seberang, Andreas Harsono, periset Human Rights Wacth menanyakan kabar. “Saya masih melakukan pendampingan korban HAM,” kata Pastor Jhon. Pria kelahiran Nunur, Flores, Nusa Tenggara Timur, 4 November 1958, ini dikenal sebagai pencinta rakyat kecil. Pastor Jhon adalah anak keempat dari delapan bersaudara. Kedua orang tuanya, Arnoldus Lete dan Yuliana Malon, sudah tiada.

Mengabdi tidak hanya untuk Tuhan, Dia yakin gereja bukan hanya batu dan kayu.

Jhon kecil menyelesaikan sekolah dasar di Waekekik, Manggarai mengemban misi memberikan informasi hak asasi manusia kepada mitra Timur, tahun 1975. Di tahun yang sama, Jhon masuk SMPK Rosami- jaringan. Kini Yahamak bergerak di bidang pendampingan untuk berbagai stika Waerana. Antara tahun 1979 hingga 1981 dia melanjutkan suku di Timika. “Di Timika tingkat konflik sangat tinggi,” kata Pastor Jhon. sekolah menengah atas di Ende, Nusa Tenggara Timur. Di wilayah kekuasaan PT Freeport ini Pastor Jhon pernah ditangkap polisi Dia kemudian melanjutkan sekolah ke Seminari Menengah St karena membawa baju bergambar lambang Partai Demokrasi Indonesia. Dominggo Hokeng, Flores Timur, dari 1981 sampai 1982. Pertenga- Dia menjalani diinterogasi panjang dan akhirnya dibebaskan. han 1982 dia mendaftar di Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret, Maumere, namun tak lama kemudian dikeluarkan karena sering sakit. Dalam perjuangannya, Pastor Jhon sempat dicap sebagai “Pastor OPM”. Jhon lalu melanjutkan sekolah gereja di Akademi Pendidikan Kate- Pastor Jhon dinilai mendukung perjuangan Organisasi Papua Merdeka ketik St Paulus, Ruteng, Manggarai, tahun 1983 hingga lulus tahun karena peduli terhadap perjuangan orang tertindas. 1986. Pada tahun 2007 Pastor Jhon melaporkan praktik kekerasan dan intimidasi Sejarah hidupnya dimulai 1 Juli 1986 ketika ditugaskan di Paroki St militer terhadap warga di Papua kepada Gubernur Barnabas Suebu. Stefanus Kimbim, Lembah Baliem, Wamena. “Saya tertarik bidang Aduannya ini mengusik militer dan dia diancam dikubur hidup-hidup. HAM mulai dari Wamena. Waktu itu saat gejolak, banyak orang Namun Pastor Jhon tidak gentar. Dia percaya Tuhan menyertai setiap dibunuh dan dibuang,” tuturnya. langkahnya. “Tiap orang pasti mati. Hanya waktu dan caranya yang berJohn menemukan demikian banyak tindakan kekerasan oleh TNI dan beda. Jangan pernah takut terhadap militer,” ujarnya. polisi di daerah tersebut. “Ini sangat berpengaruh, sehingga saya Pastor Jhon memandang masalah di Papua muncul karena ketidakadilan. sangat reaktif,” ujarnya. Konflik ini dapat reda jika terjadi dialog antara warga Papua dan Sekembali dari Wamena tahun 1990, Jhon melanjutkan pendidikan di pemerintah pusat di Jakarta. Dialog penting untuk menjawab kebuntuan Sekolah Tinggi Filsafat Teologia (STFT), Fajar Timur Abepura. Di selama ini. Dalam dialog, masalah pelanggaran HAM di Papua harus dibictahun yang sama, menjadi relawan lembaga bantuan bukum untuk arakan. Pelaksanaannya harus murni dan tidak dicemari kepentingan polikasus bisnis militer di wilayah Arso dan melayani umat di Koya. “Saya tik. “Dialog memungkinkan orang Papua puas dan tidak lagi menentang.” melihat tentara begitu banyak terlibat dalam bisnis.” Ketika mengetahui akan mendapat penghargaan Yap Thiam Hien Award Menurut dia, personel militer di wilayah ini memiliki karakter keras. 2009, Pastor Johanes Jonga justru khawatir. Dia khawatir penghargaan ini Mereka mudah mengintimidasi warga dan tidak segan menganiaya. mencemari ketulusan perjuangannya. Bahkan militer secara sewenang-wenang merampas landasan pesawat terbang milik gereja untuk dijadikan pos penjagaan. “Warga “Penghargaan ini bukan untuk saya, tapi untuk semua korban pelanggaran Waris sampai saat ini, jika militer minta tanah, mereka akan berikan,” HAM. Saya hanya berjuang dan akan mati untuk mereka,” kata Pastor Jhon. “Saya tetap masih takut. Saya takut pekerjaan saya sia-sia.” ujar Pastor Jhon. “Militer jadi pemicu konflik masalah tanah.” Setelah tamat sekolah teologi, Jhon ditugaskan di Kokonau (kini Keuskupan Timika). Di sana dia bertemu Mama Yosepha dan Tom Beanal, yang sedang berjuang menentang kegiatan pertambangan PT Freeport Indonesia. Tiga serangkai ini kemudian membentuk Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan (Yahamak). Yahamak mulanya berbentuk kelompok Ibu Peduli HAM. Mereka JERAT NEWSLETTER| EDISI III APRIL 2014

(JERAT/Jerry Omona/VHR)

PROFIL

HAL. 12


JARINGAN KERJA RAKYAT

EDISI III

www.jeratpapua.org

Foto : Istimewa

T

aman Nasional Wasur di Merauke merupakan bagian dari lahan kasi ini sangat cocok untuk mengamati atraksi satwa yang menarik basah terbesar di Papua dan masih alami. Biodiversitasnya dan menakjubkan. Beberapa bagian wilayah TN masuk dalam Distrik Sota Merauke. Meski kondisinya masih sederhana, distrik ini memmembuat taman nasional ini dijuluki sebagai "Serengeti Papua" iliki makna tersendiri karena menjadi daratan terakhir Indonesia di Merauke merupakan destinasi yang cukup spesial bagi pelancong. Bukan bagian timur, yang berbatasan langsung dengan Papua New Guinea. karena destinasi lain di Indonesia tidak spesial, tetapi Merauke merupakan Suasana di kawasan perbatasan ini cukup nyaman. Selain tugu perbatasan, di area ini juga terdapat taman yang dilengkapi dengan tujuan impian orang dari Sabang sampai Jayapura. beberapa pondok bergaya Honai (rumah adat Papua yang berbentuk Banyak danau kecil di TN Wasur. Sekitar 70 persen dari luas kawasan kubah dan beratap jerami). Di salah satu sudut taman, pengunjung taman nasional berupa vegetasi savana, sedang lainnya berupa vegetasi juga bisa menemukan sebuah bangunan unik, yakni Musamus. Layhutan rawa, hutan musim, hutan pantai, hutan bambu, padang rumput dan aknya sebuah tugu. Bangunan setinggi sekitar dua meter dan hutan rawa sagu yang cukup luas. Jenis tumbuhan yang mendominasi berwarna cokelat ini adalah sarang semut. Selain di area perbatasan hutan di kawasan TN ini antara lain api-api (Avicennia sp.), tancang tersebut, Musamus juga banyak dijumpai di beberapa spot di Taman (Bruguiera sp.), ketapang (Terminalia sp.), dan kayu putih (Melaleuca sp.). Nasional Wasur dengan ukuran yang beragam, dari mulai beberapa centimeter hingga 3 meter. Jenis satwa yang umum dijumpai antara lain kanguru pohon (Dendrolagus spadix), kesturi raja (Psittrichus fulgidus), kasuari gelambir (Casuarius cas- Untuk menuju ke Perbatasan Sota, pelancong harus melewati Tauarius sclateri), dara mahkota/mambruk (Goura cristata), cendrawasih man Nasional Wasur, selama 1,5 jam perjalanan dari Kota Merauke. kuning besar (Paradisea apoda novaeguineae), cendrawasih raja Wisatawan dapat melihat di kanan kiri, danau kecil yang ditumbuhi (Cicinnurus regius rex), cendrawasih merah (Paradisea rubra), buaya air Teratai dan padang rumput savana yang menghampar luas. tawar (Crocodylus novaeguineae), dan buaya air asin (C. porosus). Bagi Travelers yang berasal dari Ibukota dan ingin mengexplore MeLahan basah di taman nasional ini merupakan ekosistem yang paling rauke, perjalanan dapat dilakukan menggunakan layanan penproduktif dalam menyediakan bahan pakan dan perlindungan bagi ke- erbangan komersil, yang melayani penerbangan ke Merauke setiap hidupan berbagai jenis ikan, udang dan kepiting yang mempunyai nilai hari. Lama perjalanan 8 jam dan biasanya transit terlebih dahulu di Makasar. Untuk transportasi darat, bisa menyewa mobil di bandara ekonomis tinggi. dengan rate Rp 600.000 hingga Rp700.000. di Kota Merauke, juga Berbagai jenis satwa seperti burung migran, walabi dan kasuari sering banyak hotel dan homestay yang terjangkau dan bersih. datang dan menghuni Danau Rawa Biru. Oleh karena itu, Danau Rawa (JERAT/dari berbagai sumber) Biru disebut “Tanah Air� karena ramainya berbagai kehidupan satwa. LoJERAT NEWSLETTER| EDISI II MARET 2014

PROFIL

HAL. 13


JARINGAN KERJA RAKYAT

EDISI EDISI III III

www.jeratpapua.org

W

aropen, - Sinar matahari cerah , saat menyusuri Pasar Distrik Urei Faisei akan terlihat beragam barang dagangan disana. Komplek pasar yang terbagi atas 2 blok , 1 blok tempat berjualan kelontong dan 1 blok terdiri dari kios dan para pedagang sayur, ikan maupun sagu. Diujung blok kedua terdapat 2 perempuan Papua yang berjualan. Dagangan mereka cukup unik yakni Ikan Namu dan Udang yang diasar. Tim JERAT menemui kedua perempuan tersebut Jumat. “Untuk mendapatkan ikan ini, tidak muncul tiap tahun, namun setahun satu kali saja. Untuk menangkapnya kami menggunakan linen atau kain halus yang dibentuk dalam sebuah lingkaran untuk menangkap ikan tersebut” ujar Mina Aronggear. Ikan Namu adalah ikan yang halus sekali, bahkan kalau terkena ikan tersebut maka bisa menempel pada kulit dan untuk mendapatknya biasanya di muara kali Wapoga tambah Mina Aronggear.

Foto : JERAT PAPUA/Markus Imbiri

bungkusan tersebut dijepit menggunakan ruas dari pelepah sagu” ujar Ibu Naomi Imbiri. Harga 1 bungkus udang asar adalah Rp 30 ribu. Saat ditanyakan mana yang lebih sulit dalam pembuatan kedua jenis makanan asar tersebut , disampaikan Mina Arronggear adalah lebih sulit membuat Ikan Namu asar. Karena butuh ketelatenan dari mulai penangkapan , pengeringan hingg mengisi kedalam daun sagu dan kemudian dibungkus. Dilihat dari jualan kedua perempuan tersebut tidak banyak membutuhkan bahan yang harus dibeli. “Kalau yang dibeli hanyalah garam untuk membuat Ikan Namu asar sedangkan bahan yang lainnya berupa Ikan Namu, ruas sagu, daun bobo, jeruk nipis dan kayu bakar bisa didapatkan di alam” ujar Mina sembari tersenyum. Ditambahkannya bahwa Ikan Namu asar jika remas untuk jadi serpihan kecil lalu di jemur maka akan bertahan hingga 1 bulan. Demikian pula dengan udang asar, dengan mematahkan kepalanya lalu dijemur dibawah sinar matahari makan akan bertahan hingga 1 bulan tambah Ibu Naomi Imbiri.

Ikan Namu yang telah didapatkan lalu dihamparkan kemudian dihamburkan garam diatasnya serta air jeruk nipis. Setelah itu dibungkus menggunakan daun bobo sedangkan kedua ujung bungkusan daun bobo tersebut ditusukan “tulang” yang berasal dari pelepash sagu , kemudian diasar. “Untuk asar memerlukan waktu selama 3-4 jam agar kering, bisa juga dibuat lebih kering sekali diasar lebih lama” ujar perempuan yang bersuamikan pria dari Waren ini. Untuk harga satu bungkus Ikan Namu asar seharga Rp 10 ribu dan sekali bikin dirinya Keuntungan dari berjualan Ikan Namu asar dan udang asar ternyata untuk kebubisa membuat 30 bungkus tukasnya. tuhan keluarga terutama biaya pendidikan. Hal ini diungkapkan oleh Naomi Imbiri. “Keuntungannya digunakan untuk biaya pendidikan anak-anak “ ujar Ibu NaoDisamping Naomi Aronggear terdapat perempuan paruh baya mi Imbiri. Hal senada juga disampaikan oleh Mina Aronggear mengakhiri binyang ikut juga berjualan . “Ini udang yang diasar dan bisa cang-bincang bersama Tim JERAT di Pasar Urei Faisei, Disrik Urei Faisei , Kadidapatkan di kali. Setelah mendapatkan udang, maka bupaten Waropen. (Wirya/Markus) udangnya dibungkus daun bobo lalu pada kedua bagian ujung

REDAKSI Penanggungjawab : pt. JERAT Papua Pimpinan Redaksi : Septer Manufandu Editor/Redaktur : Jerry Omona Kontributor : Wirya Supriyadi, Engelbert Dimara Desain/Layout : Markus Imbiri JERAT NEWSLETTER| EDISI III APRIL 2014

Kantor JERAT Papua Jalan : Bosnik Blok.C No. 48 BTN Kamkey Abepura (99351) Kota Jayapura - Papua Email : jeratpapua@gmail.com Telp : (0967) 587836 Website : www.jeratpapua.org HAL. 14


JARINGAN KERJA RAKYAT

EDISI EDISI III III

www.jeratpapua.org

P

apua, pulau paling timur Nusantara ini memiliki potensi yang indah termasuk keunikan tradisinya. Papua menyimpan berbagai warisan kebudayaan yang harus dilestarikan agar tidak punah. Salah satu keunikan budaya Papua adalah adanya upacara tradisional yang dinamakan dengan Bakar Batu. Tradisi ini merupakan salah satu terpenting yang berfungsi sebagai tanda rasa syukur, menyambut kebahagiaan atas kelahiran, kematian, atau untuk mengumpulkan prajurit ketika berperang. Tradisi ini dilakukan oleh suku yang berada di daerah pegunungan yang terkenal cara memasaknya dengan membakar batu. Pada perkembangannya, tradisi ini mempunyai berbagai nama, misalnya masyarakat Paniai menyebutnya Gapiia, masyarakat Wamena menyebutnya Kit Oba Isogoa. Persiapan awal tradisi ini dimulai dengan masingFoto : JERAT PAPUA/ Jerry Omona masing kelompok menyerahkan babi sebagai persembahan, sebagian ada sayuran dan ubi jalar. Setelah makanan matang, semua orang yang menari, lalu ada yang menyiapkan batu dan kayu. Proses membakar berkumpul dengan kelompoknya masing-masing dan mulai makan awalnya dengan cara menumpuk batu sedemikian rupa kemudian mulai bersama. Tradisi ini dipercaya bisa mengangkat solidaritas dan dibakar sampai batu menjadi panas. kebersamaan tiap orang. Kemudian setelah itu, babi yang telah dipersiapkan, lalu dipanah. Biasanya yang memanah babi adalah kepala suku. Ada pandangan yang cukup unik dalam ritual ini. Ketika kepala suku telah memanah dan babi didapati langsung mati, pertanda acara akan sukses. Sedangkan jika babi tidak langsung mati, diyakini acara tersebut bakal tidak akan sukses.

Saat ini tradisi Bakar Batu bukan hanya untuk merayakan kelahiran dan kebahagian. Tradisi ini mulai digunakan untuk menyambut tamu besar yang berkunjung ke Papua, seperti pejabat negara dan lainnya. (JERAT/palingindonesia.com)

Tahap berikutnya adalah memasak babi. Para lelaki mulai menggali lubang yang cukup dalam, kemudian batu panas dimasukan ke dalam galian yang sudah diberi alas daun pisang dan alang-alang sebagai penghalang agar uap panas batu tidak menguap. Di atas batu panas diberikan dedaunan lagi, baru setelah itu disimpan potongan daging babi bersama dengan www.facebook.com/page.jeratpapua SMS GateWay JERAT PAPUA : 0821 9827 1212 Audy Pohan : JERAT PAPUA, aku pribadi sangat berterimakasih pada kalian, karena banyak memposting informasi Papua. Maju terus ya...ku tunggu postingan kalian selalu di Internet (sumber : www.facebook.com/audrypohan) #Bandung Mihram : Relawan TIK Papua, siap membantu penyebaran informasi Papua dari JERAT PAPUA. Selamatkan Hutan Papua ‌.Maju Terus (+628135463xxxx) #Kota-Jayapura

Gunawan Sumadiputra: Apapun namanya selama tujuannya untuk kemajuan Papua seutuhnya..saya siap kapanpun kalau diperlukan karena disana tempat saya dibesarkan...Gbu (www.facebook.com/gunawan.sumadiputra) #Kota-Yogyakarta

Ony Cantiko : Ada-ada saja ni JERAT PAPUA, selalu saja menjerat jemari tangan ku untuk klik dan baca berita www.jeratpapua.org. Tersenyum, haru, semua rasa menjadi satu di jerat oleh JERAT. Tuhan sayangi langkah kalian (www.twitter.com @onycantiko) #Makassar Ferlan Vebianti : Setiap bangun pagi, saya melihat Bintang Fajar dan saat itupula saya selalu membuka www.jeratpapua.org (www.facebook.com/ferlan.vebianti) #Jakarta Lais Wenda : Kalau SMS togel, saya Delete, kalau sms dari JERAT Papua, so pasti saya klik. Salam (+628124813xxxx) #Wamena

JERAT NEWSLETTER| EDISI III APRIL 2014

HAL. 15


Supported by :

N A A ER K J T r te PA

T

DA

t Le bsite .org s a ew i We apu N p d i at is jer d . w E ww


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.