Poetry Prairie Literature Journal #6 - Pengampunan

Page 1



Poetry Prairie

PENGAMPUNAN


Poetry Prairie Literature Journal #6 Tidak ada manusia yang sempurna, karena itu akan ada berbagai kesalahan yang mungkin dilakukan oleh manusia baik terhadap sesama manusia maupun kepada yang kuasa. Namun jauh di dalam hati, bagi mereka yang tak pernah berhenti mencari jalan kebaikan, pengampunan adalah seberkas cahaya di tengah kegelapan. Poetry Prairie Literature Journal edisi ke-6 yang terbit di bulan September 2017 ini mengambil tema Pengampunan, untuk menangkap berbagai polemik manusia tentang bagaimana memaafkan atau dimaafkan. Ada berbagai ironi dan kesedihan, namun juga harapan di tengah cahaya pengampunan itu. Semoga 35 puisi dalam jurnal puisi ini dapat menjadi bacaan bagi kita untuk memaknai kekuatan sebuah pengampunan.

Poetry Prairie Novia (Founder)


Pengampunan Poetry Prairie Literature Journal #6 Kumpulan 35 puisi ŠPoetry Prairie, 2017

Pictures: Pixabay Editor & interior layout: Novia


Puisi Pilihan Malam Pengampunan – Daviatul Umam Unnamed Hollows – Panji Sadewo Menuju Taman Maharanum – Sami‟an Adib

Daftar Penulis Aditya Aji Novtara Agnes Melati LW Ahmad K Angga Kusumadinata Army Iswandini Daviatul Umam Dini Duanasari Elif Fertia Wahyu Estu Ismoyo Aji Faris Al Faisal I Gede Wikania Wira Wiguna Iswadi Bahardur Khusnul Khotimah Marthilda Magdaleni Naru Maulidan Rahman Siregar


MeezaA Mia Nurholisa Novitasari Ogie Munaya Olia Girindra Sakti Panji Sadewo Putri Barita Qatrunnada Mochlis Rama Adi Rizky Pradipta Anomsari Salsabila Fitriana Samiâ€&#x;an Adib Shella Anggreni Siska Aliatuliyah Cica Siti Lilatus Saâ€&#x;adah Yaizha Zannuba Fatimah


Puisi Pilihan I MALAM PENGAMPUNAN (Daviatul Umam)


MALAM PENGAMPUNAN di kaki maghrib sepakat kita terbangkan yasin tiga kali kepakan sebelum memanah hidung purnama dengan tiga semburat doa pertama kita ingin diulur-ulur garis umur di mana dapat kita warnai sepanjang bentang garis itu melalui tinta ketakwaan selalu ingat bahwa menyia-nyiakan hakikat sehat-sempat adalah kerugian yang mengabadi selalu ingat bahwa sakit tak ubahnya kefakiran paling terjal dan maut umpama ini malam dicabut seluruh udara segala cahaya sedang di gelap di pengap nanti kita menangis serupa bayi tanpa seorangpun peduli menyusui kedua mengharap rinai rezeki nan jernih agar dideraskan menggenangi sepasang ceruk tangan supaya senantiasa meluap-luap gejolak ibadah sekalipun dalam himpitan lubang berdarah namun terkadang kita terlalu dungu menata waktu


menyempitkan ruang sujud atau menggusurnya demi gemerlap rupiah cara terampuh merengkuh penderitaan buta jiwa buta arah jasad lupa lahad ke mana ruh hendak berlabuh ketiga mohon akar-akar keimanan dikekarkan batang hayat yang semakin pucat tak mudah goyah diterjang gulungan badai tak mudah patah rerantingnya tak mudah lurut daun-daunnya karena musuh yang menyamar kekasih kita tidak akan pernah luluh menyerbu dari berbagai penjuru membawa racun dalam seribu cangkir madu sementara kita selalu merasa berjalan di padang gersang dan tandus merasa haus tiada putus Sumenep 2017


Puisi Pilihan II UNNAMED HOLLOWS (Panji Sadewo)


UNNAMED HOLLOWS (puisi dua bagian, dedicated for my beloved Mother) ~I~ Dahulu ... Kita selalu mendamba nampan perak, Gelas anggur, bunga di dalam vas pualam Di atas meja marmer dan lantai putih Dan telah kita dapati hari-hari itu : Dengan melodi yang berayun-ayun Dari lagu di antara cahaya lampu keemasan Di dalam ruang luas dimana angin tak berhembus Dan hujan tertahan di luar sana Hanya mampu mengintip lewat jendela lebar Betapa telah kita peroleh kulit kaca yang lekang dari usia Mungkin memang inilah impian : Menatap bayang rupa kita Pada kaca safir arloji mewah Seakan kita kekal, jauh di luar jangkauan keluguan jarum jam Namun pada kekal itu, Pada langkah dansa penghabisan Ketika solo biola menyeret decrescendo dengan alegato


Sampai habis nadanya, sampai diam langkah kita Baru kita sadari, jika di ruang ini Tak ada sepasang tapak kaki perempuan tua Yang semestinya kita baluri dengan air mata Lebih dari betapa kita menaburi lantai ruang ini Dengan bunga-bunga mawar dan kamboja ~ II ~ Kita ingin gema seperti jika Misa di Gereja Kita ingin wangi dupa dari Biara, Adzan menyentuh sampai jauh, Surat yang telah terbaca, Kecipak air hujan ... Kita gelora sepanjang derap kaki-kaki kuda sabana Kita telah bermetamorfosa, dari kata-kata dari gerah dan jengah yang binal Nafas bersambung senggama Genangan sisa hujan ... Ahh, kita ... Kita menyisihkan Kita disisihkan Kita terbuang di kejauhan Ibu ... Aku ingin, Kita begitu ingin, Mencium kedua telapak kakimu ... Juni-Juli 2017


Puisi Pilihan III MENUJU TAMAN MAHARANUM (Sami’an Adib)


MENUJU TAMAN MAHARANUM Tuhan! Engkau Penyantun Aku ini memang fakir. Nyaris terempas ke tubir kafir Bila kuterbiar sesat pikir. Tentu dari kasih-Mu aku tersingkir Tuhan, santuni aku agar bisa menjalani hidup dalam koridor syukur! Tuhan! Engkau Pengampun Karat dosaku tak berkadar. Kilau jiwa pun terus memudar Bila kemungkaran terus tergelar. Ke dalam azab pedih-Mu aku terlempar Tuhan, ampuni dosaku sebelum raga ini terasing di kesunyian liang kubur! Tuhan! Engkau Penuntun Telah lama diri ini tercemar. Seluruh jiwa-raga serasa memar Bila dosa-dosa terus mencecar. Sungguh aku tergolong orang yang kesasar Tuhan, tuntun aku agar di jalan lempang-Mu langkahku tak pernah keluar jalur!


Tuhan! Engkau Mahaanggun Bukan surga yang kudambakan Bukan pula neraka yang kutakutkan Surga dan neraka semata pilihan hunian Sedangkan muara utama arung tujuan Memetik maharanum senyum keabadian Yang Tuhan siapkan di taman keridaan Tuhan, limburkan cinta-Mu di cawan kerinduan Agar bersama kasih-Mu selamanya aku berkelindan! Jember, 2017


MENCOBA MENGERTI SEBUAH TITIK (Aditya Aji Novtara)


MENCOBA MENGERTI SEBUAH TITIK Hitungan kian menguatkan dahaga Gonggongan di telinga mengigit nyawa Ukiran khayalan tidak akan istirahat di kala Sisi putih tercurahkan Cahaya suci selalu menemani Memastikan tubuh tetap bercanda Sosialisasi kehidupan terhalang kuatnya pikiran burung memudar Tidak mampu terbang apalagi mengepakkan khayalan Imajinasi spontanitas redup, karena sumber harapan terbendung nada minor Relakan saja jika terbagi menjadi butiran cinta Ikhlaskan saja jika nyawa tak berbentuk raga Tuliskan apa sebenarnya yang terbang dalam pikiran manusia? Terompet berbunyi menghantui seperti teman lama bangkit dalam mimpi Gitar memetik senarnya yang berjumlah enam Menandakan kuatnya jiwa tidak tentram Haus kalau tidak berkata Ribuan bahkan jutaan bintang bibir menusuk pesona prahara Berikan beberapa detik butiran debu tadi meracuni jiwa yang tidak penuh Mengingatkan akan kuasa tidak terbatas


Mengaku jeda sudah lama Tapi kian hari kian cepat Kilat tebal aroma kemaksiatan Tidak terbendung karena tipisnya benteng takdir Mata tertutup jiwa mengendus jalan samping Melewati nadi busuk yang dibenci manusia Sakit adalah akhirnya Menyerukan permohonan untuk berkelana dunia Tidak semudah itu, Pusat saja tidak mungkin berhenti Raga meminta untuk berhenti Nyatanya cermin dunia kian kejam Dipastikan yang terdalam Bahwa awan mampu mencoba memudarkan rintihan pemukul dunia Tapi apakah cahaya mampu mengizinkan? Pertanyaan sederhana mampu mengosongkan hati raga Jika pisau saja bermata dua, apakah pemukul dunia seperti itu juga? Ingatlah sekali lagi, bahwa sakitlah kelak yang kau dapat Sakit besar dirasakan, sungguh aneh jika menginginkan rasa sakit itu Mudah berkata pada awal, beratlah merasakan rintihan batu Namun, mencoba bukankah tidak ada salahnya? Dari pada diam menerima jutaan sakit dunia dalam waktu yang hina


SETETES CINTA UNTUKKU (Agnes Melati Amelia LW)


SETETES CINTA UNTUKKU Benci menodai hati, sehingga lautan api membara seluas hutan Masih memerlukan bukti, bahwa aturan menjadi fondasi dari jembatan Aku memejamkan mata, dan membutakan diri dari kebenaran yang ada Mengabaikan kata-kata, sehingga tidak mampu mendengarkan alunan nada Berlari menuju alam, dalam kegelapan aku bermimpi buruk yang kelam Seperti kapal tenggelam, aku terhanyut dalam penderitaan yang terdalam Rasa penuh penyesalan, terhadap segala pilihan yang telah kutentukan Tak seperti permainan, andai aku bisa mengubah apa yang kulakukan Ingin menghapus kenangan, yang menghantui dan menghalangiku untuk kembali Memiliki angan-angan, untuk menuju pulang dengan mental yang penuh nyali Aku beranikan diri, menghadap orang yang menatapku dengan hati beku Selama ini dicari, dan ternyata tersisa setetes cinta kepadaku


Ucapan maaf untukmu, atas segala ungkapan dan juga perbuatanku Merasa senang bertemu, setelah kuberhadapan dengan jalan yang berliku Aku tak lagi tersesat, karena aku diberikan kesempatan kedua Waktu lewat dengan pesat, memori tentang diriku yang lama menjadi tua


BANGUNLAH (Ahmad K)


BANGUNLAH Atas nama pemilik kematian dan kehidupan sekaligus Untuk Matahari, yang terus terjaga Yang tak lelah merawat langit dan tanah Yang tak kalah walau harus mengarahkan malam Yang tak ingkar sebab menahkodai siang Bangunlah, dan temui keberadaan dalam keadaan tiada Sebelum pemilik ada memberimu warisan Jangan beranjak dari pencarian, dari pengampunan


BENTANG MAAF (Alma Fitri Steviana)


BENTANG MAAF

Bersimpuh ia dalam lagu-lagu sendu Mungkin amarahku sudah terlalu begitu Ah, biar saja nanti juga ia terhibur waktu Kukatakan saja tak ada maaf bagimu Kemudian ia berlari Melepas gumpalan sesal dalam dadanya Menghembuskan rasa bersalahnya Lalu dibentangkan berkilo-kilo meter jauhnya Bersimpuh ia di ujung jalan yang terbentang itu Kau boleh membuat jalan itu, sungguh Tapi aku pilih lumpuh Daripada menapakkan kaki di situ


SEGELAS CAHAYA SANG PENGAMPUN (Ammar)


SEGELAS CAHAYA SANG PENGAMPUN jemari senja akan merengkuh berapapun luka agar Sang Penjual Harapan merangkumku dalam celupannya seluas gemerlap gelap yang pasti datang akan kuikat dengan seutas sunyi, menghamba jendela ruang kesadaran biarlah terbentang biarlah tercekik dingin pengharapan sayuku albatros-albatros melayangi imajinasi begitulah mataku menatap syahdu taman-taman berbunga duri aku akan menyiangi setiap inchinya tanpa ampun! tanpa ampun! atas belas kasih Sang Pengampun malam ini, malam ini.... amin segelas cahaya bukan untukku saja akan kulagukan penyucian ini, kresendo demi bermekarannya semilyar aster esok pagi amin Magelang, Juli 2017


AMPUNANMU AMPUNAN-NYA (Angga Kusumadinata)


AMPUNANMU AMPUNAN-NYA

Ayah, Ibu Janganlah kau tanyakan aku tentang apa yang kuberi Dan yakinku, untuk itu kau takkan sampai hati Karena yang telah kuberi hanyalah tikaman belati Atau paling tidak ribuan duri yang menghujam nadi Tidakkah usang jiwa lucah ini meludahi wajahmu berulangkali? Tidakkah usang jiwa kotor ini melumurimu dengan jutaan dosa yang menadi? Dengan kemurahan durhaka yang terlontar di setiap kata Aku menunjukan jutaan luka-lukamu dengan bangga Anak macam apa aku ini? Tahun ke tahun, hanyalah kerumunan aib yang berduyun-duyun Mengantarkan mayatku, mayat hatiku Namun marahmu tak pernah kau jual murah Dan kau masih menantiku di penghujung jalan Di pintu terakhir yang terbuka lebar, selebar ampunanNya Walau aku sudah tak berwujud manusia. Aku malu. Aku malu akan senyummu yang begitu ramah Ayah, Ibu... maafkanlah aku yang tak berwujud ini. Gubuk Lapuk, 15 Juli 2017


MAAF, TERLALU LAMA (Army Iswandini)


MAAF, TERLALU LAMA Hambar di sorot matanya Ribuan bekas sayatan entah di mana Pengembaraan yang tak berujung Kelam yang menghanyutkan Menyeret-nyeret dalam arus kehampaan Sebongkah potret dalam bingkai Sepasang cincin tak genap sepasang Seutas lagu lama dalam kenangan Ribuan tawa yang tak lagi diingat bunyinya Rentetan cerita yang sedang dalam usahanya menghilang Kursi taman di samping kolam Rumput hijau di bawah langit Harum tulip di rongga hidung Kibasan angin dingin menembus sweater Dan memori akan seseorang, yang menguap Walau hujan menjadi salju Walau salju menjadi embun Kata maaf yang berujung dalam penantian panjang Kata maaf yang berakhir dalam penyesalan Mengambang di lautan, bagai surat dalam botol Dan raganya telah di kursi taman yang sama Menunggu ... Wanita dengan jaket merah berbunga Yang 30 tahun lalu dikenakan terakhir


PENJAHAT (Dini Duanasari)


PENJAHAT Penjahat bejat mulai sekarat Terjebak harapan dan keraguan Segala rasa membongkah seperti batu Membeku ditusuk lembab Membisu dibekap pengap Jangan tanya cinta pada tersangka Karena kenang sudah menjadi genang Setelah bekunya lebur dibakar rindu Di dalam ruang penjara Hatinya menuntut pada semesta Apa yang diinginkan seorang tahanan? Ampunan, Atau kesempatan ? Yogyakarta, 2 November 2016


GEMURUH AMPUNAN TUHAN (Elif Fertia Wahyu)


GEMURUH AMPUNAN TUHAN Tak ada raga yang kekal Kekal dalam jeruji kekhilafan Raga berbalut lumpur tak sesuci tasbih Ngiang lafal ucap membunuh diri Oh manusia, tak sempurna tuannya Ia lahir seperti tak tahu arah Tangan kanan genggam arak Lalu tangan kiri lihai hisap ganja Hembusan nafas mendosa raga Tapi ia tak peduli Ini hidupku, bukan hidupmu Lihat! Tangan kekarnya tak ada guna Guna apa untuk mencabut nyawa Lalu, lidah-lidah menjilat ucapan dusta Kaki injak sekelompok semut teraniaya Sungguh lihainya sifat manusia Oh Tuhan, lampau aku kalap Menggertak ribuan nafas suci Hitam semakin kelam Dan putih tak memutih Tapi Engkau tetap disini Mengampuni darah dosa tubuhku


Oh Tuhan, lampau aku kalap Biadab dalam perbuat Dusta bertutur kata Lihai menipu ribuan mata Tapi Engkau tetap disini Menggenggam hati Seakan mengutarakan “Aku mengampunimu �


AKHIR PESTA DI TEPI NERAKA (Estu Ismoyo Aji)


AKHIR PESTA DI TEPI NERAKA Belum habis sisa segelas darah yang bercampur dosa Dari pesta semalam di tepi neraka Di situ yang ditemani setan dan iblis saling bersayembara Memperebutkan tahta yang terpenjara dalam hati manusia Karena sudah lama berkarat tak lagi tersiram oleh iman Hingga luntur warna keemasan yang dulu menjadi tameng kenistaan Kini hanyalah nadi terakhir yang bergegas memompa segenap asa Berusaha keras menjawab teka-teki waktu yang perlahan mengikis nyawa Tapi belum sempat terjawab telah pecah gelas sang penadah dosa Kami hadir dalam wujud manusia Dengan sebujur kerangka yang tak berkulit Namun beruntung kami masih mempunyai tulang beluang Di mana kami mampu mengangkat kedua tangan Membentang melingkari jari-jari bumi Memohon ampun atas segala kesalahan yang mengikat leher kami Seakan menolak apapun yang akan masuk dalam lambung Karena begitu banyak keharaman yang kami telan Mungkin serpihan pecahan gelas tadi menjadi kesempatan terakhir Bagi kami untuk menyusun sebentang sajadah


Sebagai tempat sujud dahi tangan dan kaki kami Satu tanda bukti persembahan penutup wujud pengampunan kami Sebelum kumpulan bambu dan tanah menyelimuti raga kami Dan bunga sebagai peleburan atas busuknya dosadosa kami Purworejo, 09 Juli 2017


MAAFKU (Faris Al Faisal)


MAAFKU Pada banyaknya lumpur di sungai Masih meruah dosaku memuai Pada butiran pasir di pantai Masih berlipat salahku berantai Pada gundukan bukit ngarai Masih bertimbun khilafku berampai Pada linangan santan bergulai Masih berlimpah lengahku berjuntai Pada busuknya bau bangkai Masih berlebih kotorku berbagai Tuhan, maafku minta ampunan Indramayu, 15 Juli 2017


AKU YAKIN (I Gede Wikania Wira Wiguna)


AKU YAKIN

Semangkuk senja lukiskan semburat merah mengangkasa Menemani sang surya yang tengah menarik sinarnya pada dunia Tanpa rembulan yang melemparkan sorot cahaya lembut pada setangkai bunga Menampakkan siluet hitam pekat menyayat hati Menaungi batin yang rapuh dengan tudung-tudung penyesalan Dan jiwa yang tenggelam dalam lempeng-lempeng ketidakpastian Alam mulai tertidur lelap dalam dekapan sayapsayap malam Tidak, ia sengaja menutup matanya Mencoba menghalau cahaya yang membawa cerita menjijikkan Jalinan kisah penuh nista yang telah kurajut di sepanjang nafasku Bibit-bibit nestapa yang kutebar di sepanjang jalan hidupku Sehingga tumbuh besar menjadi pohon kedukaan Berbuah keping-keping penyesalan yang terus memakiku Senyap Dunia tenggelam dalam sunyi yang mencekam Belaian mesra angin musim semi dan tetesan hujan gerimis yang begitu ramah Bahkan remang-remang cahaya bintang pun enggan tersenyum padaku


Kucoba menyapa seekor burung pipit yang bernaung di sebuah dahan Namun ia hanya membisu dan membalasku dengan seonggok kotoran Sehina itukah diriku? Sudah tak pantaskah lagi diriku? Selalu kucoba mencari secercah cahaya pada puingpuing sesal yang menggunung Menyibak belantara dosa demi setapak jalan Untuk bisa kukembali dari maksiat yang menjerat Menuju sebuah tanah lapang yang bertabur embun pagi Dengan bunga-bunga rumput yang tersenyum padaku Menebar aroma kebahagiaan memenuhi sukma Tuhan, apakah semua sudah berakhir untukku? Tidakkah ada lagi tempat tersisa untukku bisa bernaung? Mungkinkah tidak ada lagi pintu yang bersedia aku masuki? Sudah habiskah helai-helai pengampunan untukku? Aku yakin tidak begitu Aku yakin masih tersisa setapak alur untuk kujejaki Aku yakin masih ada setitik cahaya yang bisa aku ikuti Dan aku yakin di balik jubah keagungan-Mu Masih ada sehelai pengampunan untukku


PADA PERTIGA GELAP SEMESTA-MU (Iswadi Bahardur)


PADA PERTIGA GELAP SEMESTA-MU

aku pernah mati bukan pada panggilan kekal-Mu waktu sujud dalam kepalaku tidur buku suci-Mu berdebu pada rak-rak dadaku kelanaku jauh pada negeri tak berlampu sampai pada masa lidahku kelu menyapa nama-Mu kini masih bolehkah aku bertamu? di sepertiga gelap semesta sunyi telah kubungkus dalam sedekap tangan di dada kata telah kuhamparkan pada helai sajadah aku rindu menjatuhkan titik air mata pada haribaanMu apakah pulangku dalam langkah terlambat? masihkah ada kereta menungguku menuju negeri ampunan? telah kubaca, konon di negeri kekal-Mu itu waktu tak pernah malam mata air tak pernah kering pada pertiga gelap semesta kini ada rukuk sujud hendak kutunaikan aku rindu melafal kitab-Mu aku rindu pada wangi air bersuci-Mu aku rindu pulang menempuh rute ibadah-Mu sampai aku tahu, di tanah kekalmu ada titah ampunan untuk celaku Padang, 13 juli 2017


BERBAHAGIALAH PARA PENDOSA (Khusnul Khotimah)


BERBAHAGIALAH PARA PENDOSA Berbahagialah para pendosa Yang mengetuk pintu Tuhannya Membungkam gulita di penghujung malam Tenggelam pada sujud-sujud panjang Berbahagialah jiwa-jiwa tersesat Yang terseok merangkak di jalan taubat Meski bisikan kelam terus menjerat Agar nafsu kian terperangkap Akulah ampunan Diutus pada insan yang tenggelam oleh air mata sesal Aku memeluk mereka Yang gigil tubuhnya, sebab dosa masa silam Berbahagialah hamba yang menyiram dosanya dengan taubat Hingga kering dan gugur pohon-pohon maksiat Ampunan Tuhan disemai pada hatimu Hingga benih keimanan takkan layu


TAHIRKAN KHILAFKU (Marthilda Magdaleni Naru)


TAHIRKAN KHILAFKU

Ada mata yang terbuka Ada jiwa yang berdetak Ada asa dalam sukma Ada tawa dalam canda Ada syukurku pada-Nya Kasih-Nya Ibarat air menyejukkan jiwa Selembut sutera Seindah melodi orkestra Dalam setiap hembusan nafas Mengajarkan arti ketulusan Menghargai sebuah kepercayaan Memberi mahkota keindahan Menyentuh nurani setiap insan Ratusan perjalanan telah kutempuh Ribuan hari telah berlalu Jutaan detik waktu yang berdentang telah pergi Tidak ada yang terlalu lama atau terburu-buru Semuanya berjalan dengan pasti Di tangan-Nya, yang rapuh kuat kembali Satu waktu di penghujung malam Lutut bertelut Dalam nada suara lembut Tangis iringi syahdu Tersadar akan dosa yang kelam


Dalam keheningan Aku berserah Dalam dekap-Nya Aku berbenah Dari pengampunan-Nya Ada senandung lantunan maaf Dalam pengampunan-Nya Kutapaki dunia insaf Oleh pengampunan-Nya Tahirkan aku dari khilaf


NIKMAT TUHAN MANA LAGI YANG KAU DUSTAKAN (Maulidan Rahman Siregar)


NIKMAT TUHAN MANA LAGI YANG KAU DUSTAKAN* Nikmat tuhan mana lagi yang kau dustakan, sekarang paha manusia dijual gratis aurat seharga langit bumi turun harga dosa-dosa dijual murah berulang, bisa diulang nikmat tuhan mana lagi yang kau jauhkan?? nikmat tuhan mana lagi yang kau dustakan prostitusi sudah dekat sudah bisa dari rumah ke rumah bisa juga lewat online, jika tak punya waktu lumayan juga, tak butuh orang banyak lumayan sembunyi, lumayan sepi nikmat tuhan mana lagi yang kau jauhkan?? nikmat tuhan mana lagi yang kau dustakan ayat quran sudah versi mp3 bisa ke rumahmu, bisa ke genggaman tatacara shalat dan penyelenggaraan jenazah banyak di youtube tinggal klik, tinggal lihat nikmat tuhan mana lagi yang kau jauhkan??


nikmat tuhan mana lagi yang kau dustakan kebebasan berpendapat dijunjung tinggi kau boleh sembarang soal, sembarang cara sembarang berkata, sembarang menghakimi nikmat tuhan mana lagi yang kau jauhkan?? kenapa memilih pulang? kau takut, rumahmu dibakar orang? Batam, 28/05/2015 *Ayat Berulang dalam surat ar-Rahman


SEBUAH TITIK BALIK (MeezaA)


SEBUAH TITIK BALIK Bagaimanatah aku mampu berkuasa memburu-buruMu? Sedangkan Engkaulah penggenggam ruas waktu Ketergesaanku akan ketetapan-Mu, kelemahanku Dan tiada sesuatu pun berdaya menuntut-Mu Maka ajarkan aku untuk bersimpuh Dalam segenap ironi aku pernah sangat berbangga Menganggap diri yang teristimewa? Ah, padahal aku bukanlah siapa-siapa atau apa-apa Muda, jemawa, dan ingin selalu bergegas Berusaha beradu cepat dengan masa Berlari, karena tak lagi sabar merangkak atau berjalan Terbang, karena angkasa terasa lebih menantang Kesegeraan adalah suatu keharusan Ketidaklemahan adalah sesuatu yang harus dibuktikan Pada akhirnya pun aku kalah dan patah Masa bukanlah lawan tanding yang seimbang Tersandung oleh kerikil-kerikil kecil Sayap-sayap tertaklukkan oleh badai Arogansi yang sia-sia di hadapan-Mu Perencana sempurna atas takdir dan waktu


Dan seketika kepongahanku tertampar Runtuh dan compang-camping Masih layakkah kupertontonkan keangkuhan? Perenungan mewujud sebuah titik balik Penuh dan sesak, rasaku meluap Langkahku pelan, tertatih-tatih Keakuanku memohon sebuah pengampunan Duhai pemilik semesta Pada logika mana lagi akan sanggup aku meragu? Segala tentang-Mu paripurna Aku menyerah di hadapan-Mu Bersujud dan memohon, aku menghamba Dalam samudera ampunan-Mu yang maha raya Benamkan aku di dasarnya ***


PADA SUATU SORE (Mia Nurholisa)


PADA SUATU SORE

Pada suatu sore Kami duduk di beranda Hidup, Maut dan Ampunan Lalu Hidup berkata; Jangan dahulukan aku Akan kunikmati seluruh aku Aku ingin hidup untuk abadi Lalu bagaimana dengan aku? Kata Maut Jika hidupmu abadi Barangkali itu mimpi Sebab Hidup itu fana Yang abadi itu aku Sedang Ampunan hanya tersenyum Kamu hiduplah sesukamu Sebelum kau beranjak pada maut Ingatlah akan aku Sebab itu yang menjadikanmu abadi


JEJAK PENEMBUS (Novitasari)


JEJAK PENEMBUS

Getaran gelombang berdesir rombongan gemulai Asap padu buaian mengalun membelah ke ubun tanpa gontai Di bawah ada yang menengadah dengan memegang dupa Dan diatas kubah tak hentinya kening beradu dengan sajadah Tak jarang di gereja meminta doâ€&#x;a khusyuk tanpa guyonan pilah Bergeming menyebut nama suci dengan keyakinan pada atmanya Manusia sering terjerembab pada kejahiliyahan dan amalnya lenggang Kerukan dusta menggema tiap sudut menandakan sudah tak terasa apa yang dilakukan Jauh pada ketikan layaran selayang pandang hanya sedikit memerhatikan tentang hisaban Waduk jadi kecaman terbelenggu yang tak terhentaskan Layaknya curah ia ingin bebas turun hinggap tersapu angan Memandang panorama dan menduduki pintu pertobatan Kancahnya kilat karna habis cobaan kemudian datang pembelajaran


Menyeret yang jadi bangkai dan mengubur kehinaan dalam tanah ampunan Pintu masih melonglong sedangkan hati ingin beringsut tetap ke jahanam Merekahkan surut yang hilang terisak perbuatan menyedakkan kerongkongan Kusangga di antara cara melelang kebatilan agar hidup bisa nyaman walau di kubangan Pohon mahoni yang membentang menyuratkan peluklah aku dan jangan jadi sesembahan Sambil melindungi dari terik menyilaukan lewat perantaranya ia memberi kesejukan Kirahan yang mencuat berpolakan air yang jadi penyucian Damai di kelopak hingga tak ada kerjaan ia membuat serdadu Gelagap bila puing origami maaf tak bisa menembus cahaya Arusnya menyengat seperti listrik yang menghantarkan panas ria Daun pintu berkilau menyuarakan silahkan datang kerumahku tuan Nasib jangan kau risaukan karna perjuangan akan membabat yang bermalasan


Bunyinya gemetar duri yang menancap ditumbuk dan dijadikan minuman Bukan agar kuat karna sesaknya kehidupan lebih kejam bagi yang kelaparan Bahan di dasar berserakan dan kembali memunguti kesalahan yang telah tumpah Menggiring biri tuk memafkan dan bersenandung ria di taman para petuah Bersemi dan berguguran dan semoga apa yang telah kembali sudah tak ke jurang Kotak amal jangan hanya jadi dorongan tapi beramallah untuk kemaslahatan membentang Kucuran keringat tercacah pori yang jadi keinginan Bukan gemerlap yang diidamkan tapi tataran iman menjulang yang didambakan


KEKASIH PENDOSA (Ogie Munaya)


KEKASIH PENDOSA Aku kekasih pendosa Yang penuh pengharapan untuk ampunan Kala memulai penuh sadar namun sulit melupakan Pada nada memecah telinga-telinga Saat bersua tinggalkan jejak luka Ingin kulupakan Ampunkan Aku kekasih pendosa Bermulut dengan maki Berhati penuh dengki Bagaikan milik pendosa Derap-derap langkah yang kutinggalkan menyulut api Menyala-nyala ke relung jiwa wajah para kecewa Kusadari penuh pasti Ngeri Sepenggal nyawaku berpeluk dosa Memompa segumpal darah ke setiap denyut nadi Bergerutu, penggerutu Bergejolak memuncak-muncak Penuh ampunan kutadahkan kedua tangan Sejajar, tergegar Menunduk malu dalam derai air mata Pengampunan, pengampunan yang kupintakan Terjeritkan, terpekikkan


Aku memang kekasih pendosa Yang pada setiap detiknya tertegun Yang pada setiap detiknya terpekur Aku kekasih pendosa Setia berdoa dalam getar ketakutan Mengemis dalam pengharapan Berharap untuk pengampunan


DEMI PENGAMPUNAN (Ogie Munaya)


DEMI PENGAMPUNAN

Pada-Mu Ilahi Sungguh hanya Engkau Sang Pengasih Dalam kesunyian dan bisu Tubuh ringkihku bertamu penuh noda Pada setiap biji-biji tasbih di ujung jari Rangkul, peluk aku Topang dan rantai diriku dengan kasih Demi pengampunan Kunadakan, senandungkan, melantunkan Doa-doa memelas dari bibir pucat Untuk dosa yang terus mengantri Dari keburukan yang merentangkan tangan dengan senang, menanti Nafasku tersesak Lidahku tercekak Hatiku kelu saat dosa itu menghantui dari balik mimpi Mengintaiku Menyibakkan udara penat Mencekik


Kupanjatkan pujian-pujian di antara rintihan air mata Ampuni aku dari segala keburukan menuah-nuah Aku menangis kesakitan dalam kalbu Ketakutan penuh malu Raga keringku labil menopang jiwa Masih berlatih Masih tertatih Demi ampunan dari-Mu Ilahi Aku meronta penuh keranaan Culik aku dari yang diam-diam menghalangi asa Sembunyikan diriku dalam balutan cinta Rampas aku dari keburukan Secepatnya! Rebut aku dari belenggu dosa-dosa Sekarang! Segera! Aku memaksa Demi ampunan dari-Mu Kupasrahkan jiwa selembut gelembung menari di Samudra Kuserahkan diri ini seringan kapas terlayang di udara


/// CURATELE /// (Olia Girindra Sakti)


///CURATELE///

Temaram itu tiba dikawal pekatnya langit Sinar semakin sirna nan kian memudar Waktu pun berdetik semakin terburu-buru Bersiap di balik pintu Benarkah? Salahkah? Barisan kata sederhana penggoyah paradigma Pemantik dalam tatanan kaya, elok Kelana pun tak berujung Candu mengintervensi jalan logika Dogma mengunci gerbang nurani arah menuju terminasi Hanya tersisa satu langkah Langkah terakhir menuju benderang Di gerbang usia pengampuan Bernaung dalam putih dan pengampunan


AMPUN DALAM DERITA (Putri Barita)


AMPUN DALAM DERITA Keangkuhanku mendatangkan malapetaka Bisikan ganjil terus mengusik telingaku Mengacaubalaukan pikiranku Bahkan tangan gaib pun mulai merengkuhku Di atas segala penderitaan yang melanda Di ujung kewarasanku Terselip sesal akan hidupku yang keliru Ingin rasanya berbalik, melarikan diri Tapi belenggu ini terasa semakin erat Sakit. Siksa ini semakin sakit Tolong. Tolong aku Perlahan raga ini mulai pasrah Menyerah pada siksa abadi Kemudian terngiang sebuah nama, nama Sang Pencipta Sejenak tebersit hasrat untuk mengadu pada-Nya Namun diri ini begitu malu Bahkan mengucap nama-Nya saja tak berani Aku merasa sangat kotor Manusia yang dicipta-Nya dengan cinta Telah menusukkan jarum di jari-Nya Tekanan keras menyesakkan dada Kerinduan menelusuk hati Bibir yang hilang kendali dan memanggil nama-Nya Berlutut dan merendahkan kepala sampai mencium tanah Seruan lantang keluar dari mulut hinaku


Tuhan, ini aku Aku mengaku salah Tolong ampuni kesalahanku Tolong selamatkan aku Tolong ampuni kesalahanku Tolong selamatkan aku Kehangatan melingkupiku Mengendurkan belenggu yang melilit jiwa raga Kelegaan memenuhi jiwa seiring penglihatan yang memudar Detak jantungku semakin lambat Perlahan dunia menjadi gelap Dan sukmaku melayang bebas.


TERLAMBAT (QATRUNNADA MOCHLIS)


TERLAMBAT

Sepasang tangan penuh luka sayatan Penuh darah bergelimangan Memegang ikatan tali derita Bak sebuah sayap yang enggan lepas dari rantai masa lalu Terlalu lama bersarang Terlalu pekat untuk dibasuh Terlalu sesak menyusup ingatan Terlalu banyak melahirkan air mata Matahari berkilauan di sudut senja Meninggalkan semburat jingga menggelegak Diiringi Air laut yang memantulkan pengharapan Akan sebuah pengampunan Seakan mustahil diterima raga yang bermandikan perih derita Seakan tak sudi telinga itu mendengarnya Suara bising isak tangis penyesalan berhamburan bak bintang di langit malam Penyesalan dalam gemuruh menyeruak memaksa mendiami otak dan hati


Tapi sayang telinga ini telah tertutup darah kepedihan Hati ini telah membisu diam mematikan kalbu Mata ini telah menutup kokoh Nafas ini telah berubah bagai jelaga api yang membakar kertas Kertas yang berisikan kata maaf


DOSA (Rama Adi)


DOSA Kini aku menghitung dosa seakan-akan menghitung titik-titik hujan Namun dosa-dosaku tak akan menguap karena panas Menghilang karena angin Aku membiarkan garis-garis kehidupan Menginjak harga diriku Hari-hari kelam bagai bayanganku Mengejar kemanapun aku berlari Semakin cerah tujuanku Semakin besar bayang-bayangku Mungkin aku lalai dalam berdoa Aku kalap dalam bersyukur Malam ini aku benar-benar menangis Tangan lemahku menengadah terhadap-Mu Aku tak bisa memilih irama dalam doa Yang kutahu hanya Engkau-lah saja Aku harap kau membalas Entah nyawa yang harus kubayar Yang kuinginkan hari ini Doa dan syukurku, menjadi penghantarku Entah dunia kelam atau baik yang kudatangi


HIJRAH SANG PENGHINA (Rizky Pradipta Anomsari)


HIJRAH SANG PENGHINA

Saat semesta tak menganggap Saat olok merendahkan Saat diri tak lagi bertemu bahagia Apakah sang pengatur semesta melupakan? Apakah sang pemberi suara membentak? Apakah sang pemberi bahagia sedang berbahagia? Dia selalu ingat Dia hanya menegur Walau Dia sangat marah Tak pernahkah terbesit khilaf? Tak pernahkah terbesit rindu? Sadarkah? Dia rindu akan rintihmu Dia rindu tangis saat kau ingat diri-Nya Dia rindu hati yang tak pernah menduakan-Nya Bersama sayup-sayup merdu Mencoba tata jiwa yang tlah tak terarah Bersama sapuan air nan segar Mencoba bersihkan masa hitam yang melebur


Dia tahu hati yang benar-benar hati Dia sang pemilik hati... Tak pernah terbesit dendam Walau kepada para penghina Yang belum mengenal sadar Lalu apakah kita berpura-pura tidak tahu? Saat sinar dari segala khilaf tlah datang Ingatlah... Sinar kesempatan Tak akan selamanya benderang


AKU AKAN PULANG, TUHAN (Salsabila Fitriana)


AKU AKAN PULANG, TUHAN Senja menyapaku dengan tatapan nanar, layaknya menunggu untuk segera pulang. Sejauh ini, Aku telah menjalani langkah yang terseok-seok sampai hari ini, Aku pernah mencintai dan meletakkan harapan yang tak sejalan dengan kenyataan. Dalam sunyinya malam, semesta selalu saja membuatku lemah tak berdaya. Mengungkap semua rasa, suka duka mencintai dan berharap tanpa balas. Aku menyukai kebersamaan bersamaNya setiap malam. Dengan deruan air mata dalam sujud, kupinta Semesta memaafkanku dan tidak membenciku. Aku memang bersalah, memulai sebuah cinta yang pada akhirnya mengalihkan keutuhan cintaku padaNya. Aku tahu, Tuhan merindukanku. Dia menanggalkan sebuah sayatan bahkan tusukan sebagai peringatan bagiku. Pengingat untuk kembali, dan memohon maaf padaNya. Dia mengingatkan bahwa perkara mencintai bukan berarti memiliki seutuhnya yang bukan miik kita.


Kiranya, Tuhan pasti marah dan mengutukku agar tak berbahagia pada akhirnya. Dia memintaku untuk kembali pulang dan memelukNya, karena hanya cintaNya yang mampu membahagiakanku selamanya. Aku telah alpa akan cintaNya. Aku memohon maaf padaMu, Tuhan. Aku memohon maaf atas kealpaanku mencintainya lebih dari mencintaiMu. Perkenankan aku untuk memperoleh kesempatan terakhir membuka lembaran baru sebelum waktunya aku pulang dalam pelukanMu. Akan aku persembahkan cintaku sepenuhnya padaMu, karena Kau satu-satunya yang mencintaiku lebih dari perluku dan lebih dari yang kutahu. Inilah waktuku kembali. Aku akan pulang, Tuhan. Jakarta, 12 Juli 2017


TERPERANGKAP (Sami’an Adib)


TERPERANGKAP

kudengar debur jantung berdebar menahan denyar renjana liar yang menawarkan rinai kenikmatan kusadar tatapan mata telah berubah nanar memendam gusar diri yang pandir terbujuk oleh jebakan kesesatan kini aku benar-benar terkapar terbius ranum bibir para lacur yang tak jemu melena khayalan sampai kapan hal ini akan terbiar? sedang jiwaku kian menggelepar terkubang dalam lumpur perangkap syetan kini satu asa kuteguhkan wahai Dzat Yang Mahabesar ijinkan aku berenang di kejernihan telaga ampunanMu Jember, 2015


MALAM PANJANG PENGAMPUNAN (Shella Anggreni)


MALAM PANJANG PENGAMPUNAN

Di kota ini pengampunan itu serupa pengemis jalanan Menggigil bertangkup udara munafik menjengkali malam-malam di musim dingin Wajahnya kotor dijelagai kesinisan Pakaiannya compang-camping disobek kebohongan Oh lupakan saja rasa bersalah!!! Malam masih panjang, dia sedang tidur nyenyak Di pelukan hangat perapian di rumah pengerat berdasi Dimana penyesalan??? Ia duduk di belakang meja sibuk memotong pajak dari pajak rumah jelata Kau mesti paham!!! dalam hingar bingar ini metropolitan Kekuasaan adalah palu keadilan uang adalah raja jalanan Siapa itu pengampunan?? Sudi dipeluk bila maut sudah meremas kerongkongan Malam masih panjang, esok pagi belum tentu Pengampunan meringisi kaki telanjangnya yang melepuh Merajah aspal bertuah sisa janji-janji berdebu Dimana lagi di kota ini pintu yang belum ia ketuk agar penebusan bisa diasuh


Di kota ini, pengampunan sebatang kara Tak lagi bersanak saudara, tak ada yang sudi lagi jadi temannya Ia diasingkan dari perindunya, dicampakkan kekasihnya Tapi ia menolak mengemis pada putus asa Ia mencintai kota ini, biar saja ia disapu jalanan Akan ia hangatkan dirinya meringkuk di kursi taman dengan korek apinya di sisa malam, Ia juga masih memiliki kenangan remah roti sisa semalam Agar gemerincing perutnya bisa kenyang dalam impian Selamat malam kotaku, semoga malammu masih panjang‌ Sehingga kau bisa memiliki kesempatan dapat menemui sang pengampunan Yang masih meringkuk di kursi taman dengan kesedihan yang tersedu sedan Selamat malam kotaku, semoga penebusan masih sudi datang sebelum pagi menjelang‌


MENGUKIR TEMBOK BETON (Siska Aliatuliyah Cica)


MENGUKIR TEMBOK BETON Berpaling dari angan Dengan darah hati menanti Menuruti paksaan karena tersakiti Layaknya bulan menandingi matahari Kelopak mawarpun berguguran Karena awan melawan hujan Bak kertas mematahkan goresan hitam Dengan penuh penyesalan Kabut telah menanti Namun, darah putih datang membasahi pipi Dengan menatap buta Menyadari kesalahan yang membara Kurela‌ Meretakkan semua yang berlalu Tuk membuang gumpalan penyesalan Dan kembali pada Tuhanku Yang Satu Kurajut embun yang berlalu Menyulap pelan rintihan terdalam Yang tuli dalam keadaan, dan, Mengubah penyesalan menjadi pengampunan


GELABAH MALAM (Siti Lilatus Sa’adah)


GELABAH MALAM Bumi yang merupa kehidupan profan Seharusnya tidak menjadikan malam pongah dengan menindih siang Begitu juga dengan dua manusia telanjang yang mengupas keduniawian Besar rasanya, seharusnya menghayati alasan penciptaan Perempuan yang yoni dalam rupa lumpang, sabar menjadi sumber kehidupan Disandingkan dengan lelaki yang disangga Tertoteh begitu saja tanpa surat nikah Juga dalam sejarah catatan fana Keduanya, tidak suci lagi sebagai makhluk Tuhan Begitulah, tatanama distorsi manusia Semua sudah pada takarannya Tak perlu meronta kekeringan Tak perlu pula meronta kedinginan Lalu, bagaimana tata cara islah dengan Tuhan? Hanya tata hati yang solak dan ikhlas menyerahkan diri kepada Tuhan Yang akan menggenggam marwahnya surga Tuhan.


9i8o

KESEKIAN KALIKU (Yaizha Zannuba Fatimah)


KESEKIAN KALIKU

Ribuan bahkan milyaran Kecil, bahkan tersering besar sekalipun Napsu yang menguasai raga hina ini Hanya titik hitam, kala itu Terbalut kian hitam, benda mulia itu Saat ini.. Taubat seolah permainan jenaka Yang bisa kuulangi setelah berbuat Berbuat hal, yang Kau jadikan larangan. Sering sekali dosa setelah taubat ku Sehingga, terus sahaja berputar Ya, seperti permainan Yang aku, bisa bermain sesuka hati Dengan taubat dan dosaku. Padahal, Aku tak perlu menunggu, Menunggu tamparan-Mu Tapi anehnya, seolah sengaja Aku lebih menunggu Tamparan, untuk sadarku Sebelumnya padahal, Sinyal peringatan-Mu terlihat Jelas tak berkabut sedikit pun Tapi aku, seolah mengkaburkan Penglihatanku sendiri Agar berpura-pura tak melihat. Lewat aku, yang menjauhkan diri


Dari kebaikan dunia-Mu Mereka, teman teman shalihku. Padahal, Kau menjadikan mereka penerang Di saat, penerang terbesar di dunia pun Tak dapat menerangi jalan gelapku. Pikirku, lenyap sudah kesempatanku Dari ketenanganku yang kurindu Karena, lama tak kurasakan Akibat penyia-nyiaanku. Kasih sayang-Mu, buatku tenang. Nyatanya, Sang Penyayang masih sahaja Memberiku biliunan penenang Bahkan hitungan itu jauh sekali Dengan apa yang aku rasakan. Sehingga kini, Dia membukakan pintu-Nya Yang kala itu sempat aku, Menutupnya rapat rapat. Berlian yang kutahan untuk mengalir Dengan mandiri mengalir Tak dapat terbendung, Tumpah ruahlah sudah Dengan kalimat sederhana Namun mulia luar biasa Keluar dari lisan hina. Rabbighfirlii..


PENULIS PILIHAN Daviatul Umam, Lahir di Sumenep, September 1996. Alumni Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa ini merupakan mantan Ketua Umum Sanggar Andalas, sekaligus aktivis beberapa komunitas teater dan sastra lainnya. Sebagian karyanya dipublikasikan di sejumlah buku antologi bersama serta media cetak dan online. Sesekali juga dinobatkan sebagai pemenang atau nominasi di antara sekian lomba cipta puisi, lokal maupun nasional. Berdomisili di Poteran Talango Sumenep-Madura. Email: petanipuisi@gmail.com. Panji Sadewo. Aktif menulis sajak, beberapa drama dan monolog. Juga melukis lukisan ekspresionism. Tinggal di westauwaras7x@gmail.com. IG : @tembakaugunung. Sami’an Adib, Lahir di Bangkalan tahun 1971. Antologi puisi bersama antara lain: Requiem Buat Gaza (Gempita Biostory, Medan, 2013), Mendekap Langit (Gempita Biostory, Medan, 2013) Menuju Jalan Cahaya (Javakarsa Media, Jogjakarta, 2013), Ziarah Batin (Javakarsa Media, Jogjakarta, 2013), Cinta Rindu dan Kematian (Coretan Dinding Kita, Jakarta, 2013), Ensiklopegila Koruptor, Puisi Menolak Korupsi 4 (Forum Sastra Surakarta, 2015), Memo untuk Wakil Rakyat (Forum Sastra Surakarta, 2015), Kata Cookies pada Musim (Rumah Budaya Kalimasada Blitar, 2015), Merupa Tanah di Ujung Timur Jawa (Universitas Jember, Jember, 2015), Kalimantan Rinduku yang Abadi (Disbudparpora Kota Banjarbaru-Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2015), Ayo Goyang (Ric Karya, Semarang, 2016), Memo Anti Terorisme (Forum Sastra Surakarta, 2016), Arus Puisi Sungai (Tuas Media, 2016), Puisi Peduli Hutan (Tuas Media, 2016), Lumbung Puisi IV: Margasatwa Indonesia (2016), Memo Anti Kekerasan terhadap Anak (Forum Sastra Surakarta, 2016), Ije Jela Tifa Nusantara 3 (2016), Seberkas Cinta (Nittramaya, Magelang, 2016), Malam-malam Seribu Bulan (FAM Publishing, Kediri, 2016), Surabaya Memory (Petra Press, Surabaya, 2016), Baju Baru untuk puisi dan Hal-hal yang Belum Kita Mengerti (Kekata, Surakarta, 2017), Requiem Tiada Henti (Dema IAIN Purwokerto, 2017), Negeri Awan (DNP 7, 2017), Lumbung Puisi V: Rasa Sejati (2017), PMK 6 (2017), Lebih Baik Putih Tulang daripada Putih Mata (2017), dan lain-lain. Aktivitas sekarang sebagai tenaga pendidik di sebuah Madrasah di Jember.


DAFTAR PENULIS Aditya Aji Novtara. Lahir di Gumawang, November 1997. Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Perguruan Tinggi Universitas Brawijaya Angkatan 2016. Email aditnovtara@gmail.com. Agnes Melati Amelia Listyarini Witjaksono. Biasa dipanggil Amel. Saat ini berusia 24 tahun dan sedang melanjutkan studi magister di bidang psikologi, namun memiliki passion juga dalam bidang sastra. Dari kecil sudah senang menulis untuk mengekspresikan diri, termasuk mengungkapkan pikiran dan perasaan yang paling dalam dan terpendam dalam dirinya. Menulis dan musik menjadi dua hal yang bisa membantunya melewati apa saja yang sedang ia hadapi, sehingga ia pun suka mengubah puisinya menjadi sebuah lagu. Ahmad K. Penulis lahir di Parepare, 02 Agustus 1982. Bekerja sebagai staff di UPTD Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Ujung Parepare tidak menyurutkan kecintaannya pada dunia sastra dan hobi tulis menulis. Hingga saat ini, penulis berusaha terlibat dan aktif di berbagai organisasi dan komunitas yang serius membaca gerak zaman. Alma Fitri Steviana. Kelahiran Bandung, Juni 1996. Alamat di Komplek Taman Cibaduyut Indah, Cangkuang Kidul, Kec. Dayeuh Kolot, Kab. Bandung. E-mail: almafitristeviana@yahoo.com / almafsteviana@gmail.com. Ammar. Seorang pemuja alam, pemuja malam. Kini tinggal di lereng Merbabu-Merapi, membaca rutinitasnya sebagai seorang desainer grafis. Menulis adalah bagian hidupnya yang terus ia perjuangkan agar ia tidak binasa. Kunjungi galeri puisinya di: montasetanah.tumblr.com Angga Kusumadinata. Lahir di Ciamis 05 Mei 1991. Beralamat di Dusun Tugu, Desa Sukasenang Kecamatan Sindangkasih, Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Buku pertamanya „Nekropolis‟ telah dilaunching di Kediri dan dalam waktu dekat akan dilaunching pula di Ciamis. Beberapa puisinya yang berjudul “Durma” dan “Pak Tua Kecewa Buta” dimuat di linikini.id (http://linikini.id/linifiksi/3859/linifiksi-puisi-angga-kusumadinata). Puisi bahasa Inggrisnya yang berjudul “Still Standing” menjadi featured poem of the week di https://www.poetrysoup.com/ per tanggal 2 Juli 2017.


Army Iswandani. Perempuan kelahiran Malang 21 tahun silam di bulan Oktober tahun 1995. Saat ini sedang aktif mengenyam pendidikan sebagai mahasiswa semester 7 di Universitas Negeri Jember. Ia tinggal lama di Pasuruan, sehingga kota tersebut menjadi domisili tempatnya pulang hingga saat ini bersama kedua orangtua dan saudara. Puisi baginya adalah obat. Obat bagi jiwa-jiwa yang merindukan kebebasan dalam berekspresi melalui tulisan. Puisi dan lagu, dua karya yang pas saat hari sedang kosong. Dini Duanasari. Lahir tahun 1997, tinggal di Perumahan Sarimulyo Sleman, Yogyakarta. Email: kebojelekk@gmail.com. Elif Fertia Wahyu. Bertempat tinggal di Singosari Malang. Seorang mahasiswa baru Politeknik Negeri Malang yang memiliki hobi menulis. Email: eliffertia26@gmail.com. Estu Ismoyo Aji. Lahir di Kendal, April 1999. Aktif menggladi penulisan sastra di Sanggar Kalimasada Kutoarjo, Purworejo dan aktif dalam Forum Purworejo Menulis. Saat ini bersekolah di SMKN 1 PURWOREJO. Beralamat rumah di Desa Dukuhrejo, Bayan, Purworejo, Jawa Tengah. E-mail: estuaji170@gmail.com, facebook : Estu Ismoyo Aji, Instagram: estu.ismoyo_ariel. Puisi-puisinya pernah terbit dalam media seperti Vio Publisher, Gema Media Wonosobo, Kaifa Publishing, Stepa Pustaka, Mawar Publisher (juara 2), Ellunar Publisher Sajak-sajak Negeri, Oase Pustaka (Contributor Terbaik), Aria Pustaka. Pecinta Sahabat NOAH BAND. Nama samarannya : “Penyair Berdarah Kendal�. Faris Al Faisal. Lahir dan tinggal di Indramayu. Bergiat menulis fiksi dan non fiksi. Karyanya adalah novella Bunga Narsis dan Kumpulan Puisi Bunga Kata. Dapat dihubungi melalui Email ffarisalffaisal@gmail.com, facebook www.facebook.com/faris.alfaisal.3, twitter @lfaisal_faris. I Gede Wikania Wira Wiguna, Biasa dipanggil Wikania. Lahir di Tuban, November 1999. Tinggal di Perumnas Padangkerta, Amlapura, Bali. Sekarang kelas XII di SMA Negeri 2 Amlapura, Bali. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Iswadi Bahardur. Lahir 16 Maret di Padang. Memiliki kegemaran menulis, musik, travelling, dan membaca buku-buku fiksi. Mulai menulis sejak di bangku pendidikan sekolah dasar. Telah mengikuti dan memenangi beberapa ajang lomba menulis di tingkat lokal dan nasional. Selain menulis fiksi, penulis juga aktif sebagai peneliti bidang humaniora. Saat ini penulis juga berprofesi sebagai pengajar mahasiswa di Padang. Penulis dapat dikontak di iswadi.bahardur@yahoo.co.id.


Khusnul Khotimah. Lahir di Sorong, Papua Barat pada tahun 1996. Penyuka warna ungu yang juga menggeluti dunia literasi ini menempuh pendidikan di STAIN Sorong. Bagi teman-teman yang ingin berkenalan, boleh menghubungi email ukhty.khusnul@gmail.com atau menyapa di akun FB: Husnu Zukhruf. Marthilda Magdaleni Naru. Lahir di Kupang tahun 1990. Agama Kristen Protestan. Tinggal di Oebobo, Nusa Tenggara Timur. Maulidan Rahman Siregar. Lahir di Padang, tahun 1991. Lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang. Menetap dan bekerja di Kabupaten Padangpariaman. Puisi-puisinya tersebar di: Padang Ekspres, Rakyat Sumbar, Haluan, Singgalang, Radar Surabaya, Radar Bojonegoro, Banjarmasin Post, Koran Pantura, DinamikaNews, Metro Riau, Lombok Post, Sumut Pos, Tanjungpinang Pos, Harian Waktu, Koran Pantura, Majalah Puisi, Majalah Kanal, Majalah Lokomoteks, Buletin Jejak, Buletin Tubuh Jendela, dan beberapa media daring yang memuat puisi. MeezaA. Lahir dan tinggal di Jember, sebuah kota kecil di bagian timur Pulau Jawa. Ia seorang perempuan penghobi membaca dan menulis. Meskipun belum memiliki karya resmi yang dibukukan atau dirilis ke publik, ia beraspirasi untuk menghasilkan karya-karya yang bisa menginspirasi. Baginya menulis adalah sarana katarsis dan rekreatif, penyelaman untuk menemukan nilai-nilai diri dan kemanusiaan, sekaligus sarana berbagi untuk menyebarkan nilai-nilai tersebut. Mia Nurholisa. Lahir di Bogor tahun 2000, berzodiak Cancer dan sedang jatuh cinta pada sajak milik Chairil Anwar. Saat ini duduk di bangku SMAN 1 Dramaga, kelas XI dan telah dinyatakan resmi naik ke kelas XII. Memiliki hobi menulis puisi, menjadikan ia berkeinginan untuk belajar lebih lanjut tentang Sastra. Novitasari. Dilahirkan di Bogor, Jawa Barat tahun 1998. Tinggal di Cibinong, Bogor. Lulusan MAN 1 Bogor yang melanjutkan kuliaj di UHAMKA jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kini aktif menjadi anggota Van der Wicjk di kampus. Jika ingin berteman silahkan meng-add facebooknya yang bernama Novitasari yanif dan alamat e-mail aktif yanifnovita@gmail.com. Ogie Munaya. Lahir di kota dengan julukan Kota Khatulistiwa, yaitu Pontianak. Penulis kelahiran tahun 1992 ini mulai tertarik dengan dunia tulis menulis sejak SMP, karena pengaruh dari hobi membaca. Kritik dan saran dapat langsung dituliskan di email: naya.meranti@gmail.com.


Putri Barita Nauli Sitompul. Seorang gadis kelahiran Medan tahun 1999. Ia bertempat tinggal di Medan, Sumatera Utara. Saat ini baru saja menyelesaikan pendidikan di jenjang SMA dan akan melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan. Menulis merupakan kegemarannya sejak kecil dan ia sudah berpartisipasi dalam beberapa lomba. Qatrunnada Mochlis. Berusia 16 tahun, memiliki hobi melukis, membat puisi dan travelling. Bersekolah di SMA Dwiwarna Boarding School. Email: nadaqatrun501@ymail.com. Rama Adi. Lahir di Jakarta tahun 1999. Tinggal di Boyolali, Jawa Tengah dan saat ini berstatus mahasiswa. Rizky Pradipta Anomsari. Kelahiran Serang tahun 2000. Saat ini tinggal di Serang, Banten dan bersekolah di SMA Negeri 1 Ciruas. Salsabila Fitriana. Mahasiswi tingkat akhir di salah satu Universitas di Jakarta. Memiliki hobi menulis puisi sejak kecil memperkenankan dirinya untuk mengikuti berbagai kompetisi puisi hingga sekarang. Beberapa tahun terakhir, ia telah banyak memperoleh juara dari berbagai sayembara penulisan puisi, salah satunya sayembara penulisan puisi Elnisa Publisher pada tahun 2017. Shella Anggreni. Ibu guru ini adalah gadis kelahiran Kabupaten Curup Provinsi Bengkulu tahun 1991. Ia adalah fanatik Cappucino. Lulusan PGSD Universitas Bengkulu tahun 2004 sangat suka bertapa di gramedia dan menghabiskan setiap sennya menghabiskan membeli buku sampai membuat dompet meringis dan maag mengiris. Saking jatuh hati sama puisi, karya tulis akhir untuk sarjana si melodramatis plegmatis ini sangat puitis sekali dari cover sampai daftar pustaka. Siska Aliatuliyah Cica. Hubungi melalui email di siskaaliacica@gmail.com. Siti Lilatus Saadah. Lahir di Jember, Jawa Timur tahun 1992. Ia adalah alumni Universitas Negeri Jember. Pernah mengikuti pengabdian dalam program pendidikan SM3T di daerah pedalaman Boven Digoel, Papua selama satu tahun. Saat ini, ia sedang mengikuti program profesi guru (PPG) di Universitas Negeri Malang. Email: ljoe4691@gmail.com. Yaizha Zannuba Fatimah. Berusia 17 tahun. Berasal dari Lembang, Bandung Barat.


Poetry Prairie www.poetryprairie.com


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.