Poetry Prairie Literature Journal #7
PETUALANGAN Edisi Maret 2018
Petualangan Poetry Prairie Literature Journal #7 Kumpulan Puisi
Editor: Poetry Prairie
ŠPoetry Prairie, 2018
Poetry Prairie Literature Journal #7
Daftar Puisi PUISI PILIHAN Sajak-Sajak Perjalanan ………………………………………………………………. [ 1 ] Nur Ahmad Fauzi FM Pengelanaan Kaum Futuris …………………………………………………………. [ 5 ] M. Husein Heikal Rumah: Kata Paling Asing Yang Pernah Kudengar …….………………………. [ 8 ] Zahra Rahma Larasati -----
PUISI FAVORIT Di Kotamu ………………………………………………………………………………. [ 10 ] Abd. Khaliq Maskumambang: Dari Langit ………………………………………………………. [ 12 ] Abizar Purnama Mijil: Selamat Datang …………………………………………………………..……. [ 15 ] Abizar Purnama Menuju Ketapang ……………………………………………………………………. [ 18 ] Achmad Fathoni Rihlah Rembulan ……………………………………………………………………... [ 20 ] Ahmad Nyabeer Mencari Hening ………………………………………………………………………. [ 22 ] Asep S. Azhar
Mencari Jalan Pulang ………………………………………………………………. [ 24 ] Asep S. Azhar Yang Tak Akan Karam Dimakan Tanah …………………………………………. [ 26 ] F, Yusuf Biru Laut Sesasmi VI ………………………………………………………………….. [ 28 ] Faiz Adittian Biru Laut Sesasmi VII …………………………………………………………………. [ 31 ] Faiz Adittian Kereta Api …………………………………………………………………………..…. [ 34 ] Fridz Embu Sebuah Perjalanan Emosi ………………………………………………………..…. [ 37 ] Frisca Balqis‘tya Dharma Semedi-Nya Senja ……………………………………………………………..……. [ 40 ] Habib Safillah Akbariski Jogja Malam Hari ……………………………………………………………………. [ 43 ] Habib Safillah Akbariski Selama Perjalanan …………………………………………………………….……. [ 46 ] Hikmatul Jannah Di Stasiun Jogjakarta …………………………………………………………….…. [ 48 ] Ilhamdi Putra Mengarungi Musim-Musim Kesunyian ….………………………………………. [ 50 ] Irzal Amin Petualangan Api ………………………………………………………………….…. [ 52 ] Lia Sylvia Dewi Petualangan Ilusi ……………………………………………………………………. [ 55 ] M. Husein Heikal
Ritus Sore …………………………………………………………………………….... [ 57 ] M. Mahfudz Fairuzi Kelana Kata ………………………..…………………………………………………. [ 59 ] Maftuhul ‗Aqli Rinjani dan Rasa Lelah …………………………………………………………..…. [ 61 ] Maman Empun Pada Cahaya dan Air, Kutabur Engkau …..……………………………………. [ 64 ] Maria Wiedyaningsih Monolog Diri ………………………………………………………………………….. [ 66 ] Marnarita Yarsi Pada Langit Berbintang ……………………………………………………………. [ 68 ] Marnarita Yarsi Sabda Alam ……………………………………………………………………….…. [ 70 ] Nur Ahmad Fauzi FM Mencari Kabar Angin ………………………………………………………………. [ 72 ] Ogie Munaya Puncak Bukit …………………………………………………………………………. [ 74 ] Ogie Munaya Purnama Ketigabelas ………………………………………………………………. [ 76 ] Putri Habibah Abidin Sebuah Pencarian ……………………………………………………………….…. [ 78 ] Rizki Ramdani Kisah Yang Menghuni Gelisahmu …….…………………………………………. [ 81 ] Rudiana Ade Ginanjar Qasidah Rindu …………………….…………………………………………………. [ 84 ] Sami‘an Adib
Petualangan Kita ……………………………………………………………….…. [ 87 ] Sausan Nuwayyar Tragedi ………………………………………………………………………………. [ 89 ] Sukamto Ziarah …………………………………………………………………………..……. [ 91 ] Sukamto Petualangan …………………………………………………………………….…. [ 93 ] Syachwaldan RFV Perjalanan ke Puncak Salak ……………………………………………………. [ 95 ] Taufiq Sudjana Terpatri Hati di Gumati ………….……………………………………………..…. [ 98 ] Taufiq Sudjana Brifing Para Petualang ……………………………………………………………. [ 100 ] Yana Risdiana Rerimbun Hutan ……………………………………………………………………. [ 103 ] Zhee Lalune
SAJAK-SAJAK PERJALANAN
Nur Ahmad Fauzi FM
Puisi Pilihan I SAJAK-SAJAK PERJALANAN Hadiah Ulang Tahun ke-17 untuk Diriku Sendiri
I di atas gelombang berkarang # bidukku masih berlayar kencang bertolak dari perut taufan # bergerak menuju pelabuhan kuakrabi angin, buih dan ombak # kuhirup anyir kabut bergolak bidukku melaju berderak-derak # kian melapuk menempuh jarak nanar mataku linangkan bimbang # gagap membaca rasi gemintang II di atas tanah tergelar sejarah # di dalam sejarah tersurat arah muasal kembara kelak terdedah # usai tersamar di belukar kisah dalam peta yang dirangkum batin # runyam jalan berjalin-jalin kuucap doa di mula langkah # agar terurai jejak yang resah mengenang petuah-petuah lama # yang diwariskan berabad lamanya : anakku, hiduplah dalam cahaya # meski nafasmu memeram prahara o, jalan jauh menanjak tebing # biar kutikam jejak yang runcing
[2]
kudaki cadas di tanah miring # mencari cahaya yang paling bening III ibu, masih kusimpan doamu # sebagai peta labirin waktu ayah, masih kusimpan doamu # sebagai kompas di jalan berliku dalam denyut angin kemarau # suara doa tak akan parau meski dedaunan tak lagi hijau # hatiku teduh bak bilik surau tertegun memandang langit biru # di puncak, topan tak menderu ibu, di situ kelak kutemu wajahmu # ayah, di situ kelak kutemu wajahmu IV dari desa ke jantung negeri # dari gurun ke teduh perigi dahaga rindu menjelma api # membara dalam sekam hati ronta angin menjelma badai # geliat musim muram dan masai hendak istirah tersebab lunglai # namun angan belum tercapai usai kelokan ke berapa # letih rebah di padang sabana V jauh jalanku selebar sejarah # terbentang dalam belia gairah sedang diriku setitik zarah # tertatih lemah di langkah resah kulalui seribu alur # kutapaki seribu jalur sejauh apa jarak terukur # lidah dahaga panjang terjulur
[3]
sedang cahaya belum tergamit # bukan dari timur ia terbit VI ibu, dari mana arwahku bertolak # ayah, saat apa mayatku tergeletak begitu panjang silsilah jejak # sambung-menyambung serupa sajak telah kutempuh terjalnya cadas # meskipun hanya di jalan pintas jadi musafir di kelam alam # Cuma doa kalian yang kugenggam doa petuah mestika hati # bongkah kata sewujud baiduri di musim kemarau kujadikan perigi # di musim hujan kujadikan matahari VII pengap nasib di jeruji dosa # ungkap aib sepanjang usia gelap waktu rabunkan mata # silap laku lumpuhkan raga selagi surga belum tersua # tak kunjung henti kubaca peta semoga tersibak rimba rahasia # lapangkan tualang di ruas semesta sebuah gapura kembang melati # menyimpan cahaya di balik jeruji sebagai lelaki aku pun mencari # segala jawaban di jalan ini Banjarmasin, 2016 – 2017
[4]
PENGELANAAN KAUM FUTURIS
M. Husein Heikal
Puisi Pilihan II PENGELANAAN KAUM FUTURIS
[titimangsa menjadikanmu pengelana bagi kota demi kota dan puisi menjadikanmu petarung menakluk kata demi kata] ketika di tepian Djibouti kau teringat gadis-gadis kecil berkerudung letih berlarian untuk pergi mengaji ke surau tapi di Palestina mereka memanggul luka sedang ayahnya menjadi mortir dan senjata darah menyemerbakkan amisnya sampai ke Tanah Suci tanah damai yang riuh makhluk pemuja Tuhan ayat-ayat suci dilantun mendengung hingga ke Selatan tempat hewan berbulu tebal mendekap lembut anaknya seperti orang Eropa yang cinta pada tanah airnya setelah merdeka dari berbagai nestapa kau menyadari ketika mentari menyapa pagi perang adalah kodrat bagi manusia agar bumi tidak terlalu sempit dan pedang Izrail tak perlu ditebaskan seperti orang Prancis yang menebang tiang bendera negara dan kaum sendiri sebangsanya
[6]
airmata menumpah di layar televisi seorang anak berkulit hitam berumur lima tahun melemparkan topinya hingga menemui Nebukadnezar untuk bercerita tentang Ratu Balqis yang fana tentang Spinx, patung fenomenal melegenda dan kau terlanjur meyakini perkataan ilmuwan bahwa dunia itu berputar, sedang jiwamu bergetar ketika mengangkat telepon dari ibumu Tanah Air, tanah tempat kau mengais masa kecil bersama sekumpulan anak bugil menceburkan diri pada kedalaman makna kehidupan yang kini kau saksikan di seberang samudera memisahkan berbagai pengetahuan meski di Berlin kau baru menyadari hidup terlalu penuh kekesalan dan kekejaman nyawa bisa kehilangan arti bahkan kata bisa kehilangan makna dan barangkali kau telah kehilangan Dia seperti grizzly buta kau memutuskan terjun ke dasar lembah
2017
[7]
RUMAH: KATA PALING ASING YANG PERNAH KUDENGAR
Zahra Rahma Larasati
Puisi Pilihan III RUMAH: KATA PALING ASING YANG PERNAH KUDENGAR
Aku akan berlari Ke hutan terdalam di tempat yang tak pernah ada aku untuk ditemukan Ke laut yang luas tempat dimana tak ada yang bisa aku sapa Aku akan pergi dan mencari-cari makna yang terpatri Mengenggam keyakinan di antara orang-orang yang gusar dan pertanyaan atas apa yang telah hilang 'Pulanglah' kata ibu di ujung malam Namun aku sudah lupa bagaimana rasanya kembali ke pangkuan sang bunda Di hutan ini tempat aku mencari nafas Bersama daun kering dan angin yang ribut di batas kesunyian Aku mencari-cari apa yang ada di hati Tanda tanya yang tak pernah bertanya sendiri Bisu, namun menusuk kalbu hingga meringis Aku bak inang yang mencari cahaya di antara gelap Bak angin yang berhembus mencari arah Aku kan ke samudra kemudian ke savana Bersama gelombang yang akan membawaku entah kemana Mungkin ke rumah: kata paling asing yang pernah aku dengar Terakhir yang aku ingat tentang sebuat tempat adalah kereta Yang membawa sang petualang pergi ke selatan Akukah itu yang meninggalkanmu dengan air mata, ibu?
[8]
Kering sudah peluh untuk kubagi berdua Mati sudah hati untuk kembali bersama Aku hilang di puncak gunung yang tak pernah aku tahu namanya Bisakah tunjukkan aku cara untuk kembali tidur nyenyak? Karna aku lupa, aku sibuk mencari arti Aku muak mendengar kata-kata penguat hati Aku tenggelam dalam perjalanan yang membuatku keras kepala Aku mengenggam apa-apa yang aku kira akan menemukanku Ibu dan ayah adalah foto yang masih terbenam di saku celana Aku akan terus berlari hingga tak akan mencari apa-apa lagi Namun di sela-sela jari yang tak sanggup lagi mengepal Dan mata yang tertuju tajam pada kerinduan Aku akan kembali dengan menemukan banyak-banyak Hal yang akan membawaku menuju tepi pantai dimana ada rumah Dan keinginan kembali untuk pulang Maaf ibu, tapi aku masih berlari Bersama puluhan burung yang terbang menuju barat Untuk melihat bunga bermekaran di padang rumput yang rindang Dan matahari terbit di balik tebing kuasa-Nya Untuk menemukan laut mana yang bisa aku seberangi lagi, Gunung apa yang bisa aku namai sendiri Dan makna apa yang bisa aku genggam kembali
[9]
DI KOTAMU
Abd. Khaliq
DI KOTAMU :Perjalanan menuju kerumahmu
Di kotamu aku bermimpi. Menjadi segenggam pasir. Di ruas tebu dan bambu. Di kotamu hujan kembali basah. Jatuh pada daun talas. Menjadi cerita, mengalir sedemikian rupa. Ini, seperti laut. dilanda gelombang. Menyemai salam di putih lambai dan karang. Akan kuikat saja hatimu pada jala. Supaya mimpi-mimpiku menjadi indah, Anisaga. Merah berduri, bermatang senja. Mimpiku padamu berkeluaga. Penat raga lelah jiwa. Tubuh bangun dari tidur dan jaga. Maka di perjalanan ke rumahku aku menjadi majas dan makna.
30 Agustus 2017
[ 11 ]
MASKUMAMBANG: DARI LANGIT
Abizar Purnama
MASKUMAMBANG: DARI LANGIT
Dari langit, di pancaran mata api Diantar kereta Di arakan mega putih Aku sembunyi pada-Nya Zonder cahaya, melingkar ganggang mimpi Yang rebah melemah Namun ke sana kemari Dinaungi kolam kalam Lalu dinding siapa yang lebih bening Yang basah perkasa Jika kerut buluh nadi Tak kuasa aku tolak? Angkuhku datang dari alam abadi Dicipta pertama Dititah sekali jadi Maka jadilah bianglala Ku diayun-ayun mesra penuh bakti Diagungi doa Dilantunkan rapal syair Dan kidung satu semesta
[ 13 ]
Dari langit, wulan tiga, dasa hari Di sela purnama Disiutkan angin gaib Pada cemas yang lekang Duh, Duli Penggenggam bintang terurai Pada silsilah siapa Khidmat darahnya kuraih Dan citanya kuteruskan?
[ 14 ]
MIJIL: SELAMAT DATANG
Abizar Purnama
MIJIL: SELAMAT DATANG
Selamat datang, penatah saksi Yang dipuji elok Berambut mayang selendang sore Bermata mega alis gerimis Merintik, mengalir Di celah pipimu Selamat sua, penata hari Muasalmu konon Dari langit yang berhias anggrek Dan sublim dari cangkang sendiri Dihinakan dari Telaga firdaus Salam terilham, pematah sepi Di hati yang kosong Kelak sejarahmu kau toreh Di pelepah dan pena yang kupilih Untuk kisah diri Dan legit empedu
[ 16 ]
Salam terdalam, permata hati Di gerigi pohon Sulur air doaku menetes Menukik dan melesap ke langit Agar engkau nanti Tak dikekang waktu Takzim teralim, persada suci Hidup penuh kelok Maka janganlah menoleh Pada dusta, sangka, riak batin, Dan picik yang anyir Di punggung jalanmu
[ 17 ]
MENUJU KETAPANG
Achmad Fathoni
MENUJU KETAPANG - Alra
Telah kutulis pada lembar-lembar kosong Rute dan arah angin yang menuju ujung Mata roda siap menatap panas aspal Di sepanjang jalan berliku penuh kelokan tajam Mendung baru telah datang Membawa dingin di alas Situbondo Di jam gelap pukul 3 pagi Sunyi adalah alasan sepi menyerang kekosongan Lolong malam berdatangan, berpura-pura menjadi pahlawan Pada sepasang kaki yang telah kelam tergerus jalan Mata roda tak tahan menatap aspal Panasnya menyilaukan Kini ia terkapar di subuh yang enggan datang Rute ini, arah angin menunjukan jalan Kepada ujung yang entah
[ 19 ]
RIHLAH REMBULAN
Ahmad Nyabeer
RIHLAH REMBULAN
Aku sulung tak bersaudara sejuk wajahku sakral kuduskan terang bayang-bayangku adalah isyarat bagi gelombang agar mencipta geletar pada samudera Akulah tasbih alam yang tak henti berputar aku tak gentar pada hujan dan petir yang menyambar aku tetap berjalan melewati gunung-gunung, kota-kota dan hutan-hutan namun bila aku sampai di puncak langit aku gemetar menunggu takdir ; purnama atau gerhana Dulu, Ibrahim mengejar Tuhan dalam tubuhku dan Muhammad sang utusan membelah dadaku sebagai bukti risalah Dan kini, detak waktu bersimpuh di tanganku Bila pagi datang, diam-diam aku padam bukan aku malu pada matahari tapi aku selalu tahu sebenarnya diri bahwa cahayaku bukan milikku sendiri dan hanya nyala pada malam hari
Annuqayah, 08 Maret 2016
[ 21 ]
MENCARI HENING
Asep S. Azhar
MENCARI HENING
apa sebab kegundahan tiba juga dilalu-lalang orang di jalan-jalan panjang juga di lingkar pusara waktu ketika hendak pulang dan pergi menitih berdiam diri untuk sejenak menghela desak sesak yang kemarin lusa menjadi rumit ingin segera melepas-renggut berhibernasi mengelupaskan beban di pundak mencari hening adalah suatu metamorfosa diri menjadi jiwa-jiwa baru di esok pagi berkelana melangkahkan kaki memantik dahaga usang yang kemarin luluh juga merapuh tentang makna hidup gunung tentu menjadi tempat tuju bersentuh pepohonan yang menjulang sayupan desir angin lembah juga jiwa sepinya yang mengikut serta mendamba Gn. Puntang, suatu ketika.
[ 23 ]
MENCARI JALAN PULANG
Asep S. Azhar
MENCARI JALAN PULANG
tempuh kelana mengunci waktu terjal jalan tanpa petunjuk arah lima pendaki tersesat mencari jalan pulang kabar teman seakan hilang arah hingga jangan putus harap rautnya debar kami pun sama di alam rimba yang tiada seorang pun tahu takdirnya tetapi ada satu pelita yang terang di hati kami yang mulai gulana Ya, keyakinan. Hinga pulang benar Kami bersujud syukur. Suatu ketika berpetualang menuju Danau Ciharus
[ 25 ]
YANG TAK AKAN KARAM DIMAKAN TANAH
F. Yusuf
YANG TAK AKAN KARAM DIMAKAN TANAH
Yang kutahu tinggi puncak itu, yang mengerumuninya jiwa-jiwa terbuas. Dia tatap, dia pilih, dia bungkam walau terjatuh. Siap hati meski jurang di kaki sebelah lepas. Jiwa bukan bara namanya, bila kalah tertunduk malu. Jiwa berlumur janji tak akan karam dimakan tanah. Petualangan ini takkan terlupakan. Mengikat delapan serdadu berjalan semenanjung impian. Bak pedang berderet, akan melawan. Usapan angin serasa menguliti di pelukan. Menyalakan tatapan berapi bengis melirik di bawah bulan. Tak ada yang membayangkan kekalahan, tak ada yang mencari-cari alasan kesudahan Semua tersihir, menuju paling atas tanah singgahan. Langkah-langkah kaki tak sabar mulai senada Bercak-bercak cahaya mulai dipanah Menandakan puncak tak akan lama. Langit yang tak dapat menyembunyikan surya merekah, menganga merah menunjukkan ronanya. Serdadu merebah takjub kelu, kehilangan mantra yang sedari tadi terpaku Ada yang bisa meramu syahdu yang terpancar dari lukisan Tuhanku. Yang berwajah bukanlah bukti dari hidup. Bergejolak, bercita, berjuang, menyala, merekah, yang menentukan itu mati atau hidup.
[ 27 ]
BIRU LAUT SESASMI VI
Faiz Adittian
BIRU LAUT SESASMI VI
Tertinggal bercak pasir Di baju putihku Mengalir asin Matamu mengerling Kucecap malam Dari rindunya bulan Tatkala kau menjauh Dari haribaan ibumu jauh Supaya kita saling Percaya akan malam purnama Datanglah ke lautmu itu Sudah kusiapkan dingin angin Dan megah samudra Untukmu Kulayarkan malam Serupa Cheng Ho Beratus nahkoda perkasa Aku akan Memimpinmu di pelayaran malam itu
[ 29 ]
Jika sudah kita belajar Kepada hidup Lautmu kupinjam Agar kita paham Mencintai di atas puisi Berlayar kita ke hati Biru laut Sesasmi
Pangandaran, 2017
[ 30 ]
BIRU LAUT SESASMI VII
Faiz Adittian
BIRU LAUT SESASMI VII
Jika pagimu setenang laut Ke Pananjung menemuimu Di sebuah pelabuhan rumahku Berkayu mangrove Serupa ombak Aku mandi Dengan dingin air Lautmu yang kadang gelombang Ke mana akan kulabuh Sedekap cinta Dengan pernyataan Camar-camar Di atas laut beterbangan Menjulanglah kau mercusuar Mencahayaiku di laut gelombang Malam-malamku akan Karam sebab tak paham Jalan pulang
[ 32 ]
Sebelum pagimu pergi Dari tongkang pembawa batubara Hangatkanlah tubuhku Dari geladak kapal Sebuah dekapan Akan lebih bermakna Dari pelayaran yang kukira Berhari-hari akan sampai Di ujung dermaga Mangrove-mangrove itu
Pangandaran, 2017
[ 33 ]
KERETA API
Fridz Embu
KERETA API
Bunyi bel dan nostalgia Yang mengejar-ngejar di jendela, katakanlah itu wajahmu Terbit dari langit, musim, senja, dan taman yang sudah kulupa Uap dan gambar tangan pada kaca membentuk pola ganjil yang tak akan mungkin kukenal, meski sejak lima belas menit lalu, aku bertanya-tanya adakah aku pernah melihatnya dulu? Keramaian, dan lagu keroncong Mungkinkan kita hidup tanpa benar-benar sadar? Masa lalu seperti putih pada seragam yang begitu cepat dihisap lupa dan usia. Segera yang tersisa dari kemarin cuma daftar belanja dan memo ucapan selamat ulang tahun di pintu kulkas. Kenangan adalah tempat semua kemungkinan beradu nasib. Separuh ditendang, separuh dicadangkan, separuh gagal sebelum masuk ke tempat pertarungan. Kenangan adalah tempat semua wajah diberi harga: si molek boleh menyanyi lebih lama, si mancung boleh duduk lebih dekat, si buruk rupa boleh turut serta, tapi dibiarkan duduk di belakang.
[ 35 ]
Yang mengetuk di kaca sebenarnya jemari siapa? Perjalanan adalah waktu memberi harga pada kenangan Tak ada yang pernah berhasil selesai Tiap bel berbunyi Kita mendengar ketukan Lalu bertanya, lalu bertanya lagi Adakah itu jari atau wajah? Tiap bel berbunyi Tiap kaca diketuk Kita bertanya dan percaya pada kenangan Meski tahu, Yang paling jago dan paling kenang adalah lupa
2017
[ 36 ]
SEBUAH PERJALANAN EMOSI
Frisca Balqis’tya Dharma
SEBUAH PERJALANAN EMOSI
Jalan ini terlalu rapuh Setitik perasaan ambigu yang membuatku mencari jawaban dari sebuah kalimat retoris Tetapi semua hilang dalam sekejap bersama sang senja Karena hari baru, membuat hari ini menjadi kepingan masa lalu Dinding ini yang membentengi antara ego dan nurani Dengan sepercik bara api yang cahayanya tak padam walau didera goda dan masa Hingga menimbulkan setitik harapan dari hati yang telah mati Hei, katakanlah ke mana kaki ini harus berpijak Di saat tangan terlalu rapuh untuk menggenggam Tetapi jiwa ini siap menerima apa yang takdir putuskan Meski dengan hunusan sebilah belati tajam di setiap langkahnya Hawa dingin kini menyeruak merasuki raga ini Membuatku tanpa sadar berjalan dengan kaki telanjang bersimbah darah Hingga desiran pasir kini terasa menyakitkan Tetapi aku sanggup bertahan dengan harapan kebahagiaan di akhir perjalanan
[ 38 ]
Goresan tinta perlahan menjadi catatan yang sempurna Dilengkapi dengan alasan klasik yang tampak berkelas Sehingga menimbulkan makna ideomatis yang indah Kutuliskan sebuah jurnal Hasil petualangan bersama sang alter ego Yang membuat cerita ini menggunakan sudut pandang ketiga dalam alurnya Dengan kalimat tersirat yang disisipkan di dalamnya Keheningan yang menyesakkan dada Perangkap yang siap menerkam kapanpun Benteng besar sebagai penghalang Kastil emas yang menjadi ujian Tetapi semua itu bukan hal besar yang harus kutakutkan Karena tanpa sadar aku tengah tersesat di jalan yang bernama kehidupan
[ 39 ]
SEMEDI-NYA SENJA
Habib Safillah Akbariski
SEMEDI-NYA SENJA termangu, di bawah langit, dari Candi Ijo
di sudut mata ada senja pelan-pelan merangkak ke pusar bumi. menumpahkan miliaran binar cahaya di atas sini aku mencakar langit dari tinggi bukit Candi Ijo senja telah membakar dinding-dinding candi dan mengabukan sejarah yang lampau tersimpan dalam lorong-lorong gelap, maka carikanlah lampu bagi perjalanan sunyi menemukan sisa-sisa dirinya pada bebatuan kering yang haus dipuja kita menari-nari di bawah langit tengadah. merayakan pentas setelah lelah berkelana: perbukitan cadas jalanan berliku dan udara membeku jiwa terbang menembus langit dan mencari istana di atas sana. makin temaram makin merdu nyanyian alam di atas sini ribuan meter dari kerumunan orang di jalanan yang habis melahap petang dan beberapa pesawat yang sibuk melintasi langit membawa nyawa ratusan orang. azan sudah berkumandang. langit bertakzim. candi-candi meredupkan cahaya. menyerap gelap dan hilang dalam temaram. bulan yang sempurna bulatnya berdiri di atas kepala siap mengarak kita menuju pulang. kerumunan ini sebentar lagi lenyap ditelan malam
[ 41 ]
waktu yang lalu bahkan sejarahpun memiliki batasan kunjungan dan senja berhenti masuk lalu bersemedi dalam dada setelah usai menggantinya pada malam
-Jurnal Jogjakarta, 010917 menakzimkan yang Esa)
05.47
pm
(pada
langit
[ 42 ]
JOGJA MALAM HARI
Habib Safillah Akbariski
JOGJA MALAM HARI
Malam merekah Kota ini masih hidup saja Ada hentak kuda dan asap dari knalpot-knalpot membuka dua rasa beda Dan tugu tua Serta plang jalan seakan terus disembah "Malioboro" Batu-batu di sini terlalu lama bersemedi Kursi-kursi punya cerita sendiri Dan selintas jalan seakan punya sejarah Inilah kisah Antara kotak-kotak bakpia Atau berpak-pak getuk Jogja Adakah yg lebih menawan dari aksara-aksara purba di bawah nama tiap jalan Malam merekah Ruko-ruko itu masih terbuka saja Menjaja segala bau tanah ini Sebagai kado kepulangan nanti Batik-batik atau hanya sekadar gantungan kunci Bersulang untuk kesederhanaan negeri ini Orang-orang duduk bersila Berbincang untuk seporsi nasi dan gudeg Menghirup malam dari segelas wedang jahe
[ 44 ]
Musisi jalanan beraksi Hidup mengalun dari ketukan-ketukan bambu Atau nada-nada dari gitar sederhana Lalu menampung recehan dalam sebuah topi Untuk tetesan lampu jalan Biarkan malam senantiasa Yang masih mau benar-benar merekah Biarkan hidup saja!
-Malioboro, 13 Mei 2017 11.30 pm
[ 45 ]
SELAMA PERJALANAN
Hikmatul Jannah
SELAMA PERJALANAN
Selamat jalan, Petualang... Persilahkan rindu ini dikecup sang pagi Bila telah pulas mimpi-mimpi yang kita buai Kau berlari pada lembah, memungut harap di rerumputan Lalu beristirahat di padang bunga Lekatkan namaku di sana, petualang. Sebagai penunggumu di dalam guci setia menetap diri dengan perihal apa yang terjadi Kau berkeliar di hilir sungai, menetap bebas di lautan Bahkan pulau kau lipat di saku bagian kiri Tinggallah aku menyepi dengan ransel birumu di beranda Kau teramat jauh untuk kubuntuti Sebab nyatanya, aku tak mampu diam di sini saja Pesanmu hanyalah ilusi yang merobek-robek ketahananku Wajarlah, bila aku takut hadirmu tak lagi kembali. Pulanglah, petualang. Sajakku telah basah dengan air mata Izinkan aku menuai adamu secara pasti Karena keadaanmu adalah obat dari segala rasa.
Neorhizoma Class, 28 Okt. 17
[ 47 ]
DI STASIUN JOGJAKARTA
Ilhamdi Putra
DI STASIUN JOGJAKARTA
Kau menanyakan sesuatu yang tiada di antara kelebat hujan, rel kereta yang seakan menyatu di kejauhan dan awan gelap yang sebenarnya tidak hitam sedang aku menawarkan hari yang baik bagi sebuah ingatan. Kita tahu itu hanya pembunuh waktu. Kau juga tidak memiliki alamat untuk sebuah tujuan, waktu yang tepat untuk keberangkatan dan tempat bagi kalimat selamat tinggal. Kau bilang alamat adalah sebuah ruang yang dapat dibangun ulang, tidak ada waktu bagi keberangkatan, sebab kau pergi untuk menempuh kedatangan. Aku lihat kemuning di tepi bola matamu; ladang-ladang hijau muda yang renung. Kain berwarna tosca melingkar di lehermu, sweater hijau muda dan suara letupan kembang api di jantung. Kau bilang selamat tinggal adalah dua kata yang tepat bagi penutup puisi ini di akhir kalimat. ―Kukirimi kau kartu pos dari kejauhan, lewat ingatan‖.
Yogyakarta, Mei 2017
[ 49 ]
MENGARUNGI MUSIM-MUSIM KESUNYIAN
Irzal Amin
MENGARUNGI MUSIM-MUSIM KESUNYIAN
Ini langkah, telah patah pada sepersekian perjalanan mencari musim Tertatih membawa manuskrip dari lembar kesunyian yang telah gugur satu satu Kau bukalah halaman merah jambu pada pucuk yang mengeringkan hujan di atas atap Bersama asap menyan para tetua, yang terus mengasapi jejak Agar disapu ombak di bibirmu yang selalu merekah Membiarkan aku hanyut dalam pencarian yang tak tahu bernama apa Pada petualangan sunyi, mencari yang telah lama hilang dari alamat yang kau berikan Tak ada tanda, kau menunggu pada suatu waktu agar aku berhenti berharap pada musim musim sunyi Aku terus saja bergelut tanya, pada ragu yang setia menunggu Dan kau, adalah sunyi abadi dalam kambium masa yang membatu
[ 51 ]
PETUALANGAN API
Lia Sylvia Dewi
PETUALANGAN API
Rekaman jejak yang hangus; retak kaki yang mematah-melemah; denting darah yang mengucur di jeda perjalanan kita waktu itu, aku masih mengenangnya; sebagai sebuah entah yang berkilah. Demi sebuah pembalasan atas ajakanku yang kurang ajar Atas kamu yang ikut terseret ke sebuah danau Di sana Ada setan Juga malaikat yang beringas melemparkan kita pada sebuah petualangan Kita duduk menikmati api Mencari mana jalan keluar dan mana jalan yang memasukkan kita Ke sini Sepi Dan Api Kita buncah pada perjalanan Meneriaki Tuhan Untuk pertama kali sejak kita sama-sama hanya meneriaki cinta dan asmara Petualangan kita berubah, berongga mencari Tuhan dan kasih sayang-Nya Mungkinkah ikut hangus?
[ 53 ]
Kamu menggigil dalam api Tapi kita tetap terbakar dalam kepik Sempurna, entah jalan mana yang terbuka dan tertutup secara semena-mena. Perahu hidup kita kehilangan noktah dan nahkoda; petualangan cinta yang berakhir sia-sia. Petualangan api
[ 54 ]
PETUALANGAN ILUSI
M. Husein Heikal
PETUALANGAN ILUSI
benua__ asia || afrika awan-awan memberi aba-aba akan ada burung besi bersayap api pada suatu pagi. angin utara kembali menuju selatan meneruskan taifun yang akan singgah sebentar di tengah gurun. kutub__ utara || selatan kembali ke alaska, bercengkrama dengan beruang-beruang kutub, bulunya setebal rimbun begitu anggun. di balik itu cakarnya mengintai! hai, grizzly hari sudah pagi, tidurkan kembali mimpi. samudera__ pasifik || hindia menyelam dalam lautan untuk menguyah rumput laut dan cumi-cumi. Hati-hati ada hiu di sini, taringnya dapat melumatkan jari-jari. jadikan insang pada tubuhmu, menyatu air tanpa udara.
––– dari petualangan Winnetou dan Old Shatterhand 2015-2017
[ 56 ]
RITUS SORE
M. Mahfudz Fairuzi
RITUS SORE
Menatapmu sungguh perpisahan tiada lara. sebab mencarimu seperti mencari jejak yang memburam di ujung pangkuan. Maka sebentar lagi pesisir memaksaku untuk mencumbui setitik ketenangan setelah ombak sesekali tumpas oleh hanyut angin pada buih-buih sejuk yang merangkul renta. Dan gemetar cinta memercik dedaunan ketika sunyi menyertakan senyap bagi beburung di dasar pantai. akankah sepi mengenalkanku lewat tarian gema yang menutup serabut mendung dengan cerita diam, selagi matahari mencoba meredamnya dari ratapan. menjelang petang menghilang. Sebelum para nelayan siap-siap pulang untuk memberi suapan. Lesu yang menerkamnya kadang lawan untuk mereka tahan. Sebab kepastian hanya ada pada dua jalan, Tuhan dan harapan.
Karduluk, 06 Agustus 2017
[ 58 ]
KELANA KATA
Maftuhul ‘Aqli
KELANA KATA
Aku mengembara di ribuan kilo kota. Menelusuri persembunyian kata-kata. Mengatasi lapar dahaga yang terus merengek Untuk memenuhi perjalanan penyair Aku mencari bekal Mengoleksi bongkahan abjad Lalu kudiktekan di tiap selangkah kaki Merancang bingkisan di jeda peristirahatan. Jadilah sebungkus oleh-oleh petualang Yang kutulisnya "teruntukmu, kasih" Lalu, kau bertanya "benarkah kau bersajak nyata?" Aku terdiam, tapi sekumpulan kata bertanya balik, "adakah kata-kata bualan yang indah?" "adakah dari mereka yang mempunyai makna?" Kau membisu luluh. Tapi aku sudah memelukmu sedari tadi, Sejak aku terdiam, Benar. Sejak hatimu membaca sajakku.
Bantul, 15 Agustus 2016
[ 60 ]
RINJANI DAN RASA LELAH
Maman Empun
RINJANI DAN RASA LELAH
Kuhirup aroma edelweis dalam nafas terengah di sisi bukit terjal menghujam sambil kurebahkan badanku menatap ujung cemara dan mataku mulai menguntit tebalnya kabut yang terbawa angin tanah yang sedikit lapang menyambut hadirku dengan dingin yang mulai merasuki setiap inci tubuhku aku telah sampai di pelawangan setelah jutaan jejak kaki kulekatkan pada tanah, kerikil dan batu cadas aku yang tengadah, lelah mengiringi matahari yang tenggelam di balik Sangkareang gunung yang berdiri angkuh di hadapanku bintang-bintang menyembul dari balik pepohonan seperti merangkul aliran darahku yang mulai membeku dan kubiarkan ia menyelimutiku bersama hitamnya malam
[ 62 ]
seperti itulah kubebaskan hasratku ketika langkah membelah savana ketika jantung memompa rindu dan lantang suaraku menyebut nama Tuhan di puncak tertinggi Rinjani lalu kubersujud dalam keakuanku menyadari diri seringan debu di atas kuasa Maha Hebat
Rinjani, Oktober 2017
[ 63 ]
PADA CAHAYA DAN AIR, KUTABUR ENGKAU
Maria Wiedyaningsih
PADA CAHAYA DAN AIR, KUTABUR ENGKAU
Aku dan debur ombak, menanti mentari memberi kecupan pertama pada bumi Engkau gulitaku, pada cahaya engkau bertekuk Dan kutabur engkau pada cahaya Tapi engkaukah itu? Bersama cahaya engkau menyaru Aku dan curah air yang bersenang-senang, meliuk di tebing sembunyi pada bayang daun dari mentari yang menghunjam lurus ke bumi Engkau gurunku, pada air engkau bertekuk Biar kutabur engkau pada tetes-tetes air Tapi, engkaukah itu? Dalam limpahan air ini engkau sembunyi Telah kurangkum limapuluh purnama agar bisa kutisik robekan waktu yang tertoreh karena kehilanganmu Di bukit ini kunanti kembali kecupan pertama mentari pada bumi telah kutabur engkau pada bintang-bintang juga pada dingin, saat bukit ini merindu pagi Satu putaran bumi, bisakah kutisik robekan waktu yang tertoreh karenamu? Dan mentari memberikan kecupan pertama pada bumi dan warna emas yang begitu kukenali dan bersama cahaya engkau menyaru
[ 65 ]
PADA LANGIT BERBINTANG
Marnarita Yarsi
PADA LANGIT BERBINTANG
Pada suatu mimpi, yang menggantung tinggi‌ meng-arah setiap langkah tanpa lelah, di jalan setapak, yang membekas jejak, meretas ambisi yang mengaliri naluri, bagi angin dan angan, yang setia menghembuskan dukungan, menerbangkanmu memburu masa depan, meskipun bayang! Inikah langit yang kau katakan bintang? Kerlip cemerlang, bila kau sanggup mencumbui kegelapan. Bila tidak? Semua tinggal harapan, hanya tersisa kepekatan yang membelit malam, Pada petualanganmu yang lengang, berseberangan dengan banyak orang, yang lebih suka berdansa di keramaian. Biarlah hatimu kini, menyusuri kesendirian, karena mimpi ini, milikmu! Untukmu!
[ 67 ]
MONOLOG DIRI
Marnarita Yarsi
MONOLOG DIRI
Kita pun berjabat tangan melepas malam, menemui fajar yang sunyi, menemani matahari yang sendiri. Saat cakrawala nyata di hadapan, Semangat kembali nyala di perasaan, kaki ini tak akan pernah berhenti, menjajaki‌ menguak misteri‌ di balik duri kuntum bunga warna warni. Semua telah dikhabarkan dan diajarkan alam. Di setiap rambu dan liku perjalanan, ketika hening, ketika bening, langit membubung pada ketinggian, bumi menyelam pada kedalaman, hati terlarut pada perasaan, adakah puncak yang disebut segala puncak? pada bumi dan langit yang memiliki lapisan-lapisan. Semakin mendaki akan semakin tunduk, Semakin meninggi akan semakin khusyuk. Semakin diri mengerti, bahwa siapapun tak pernah sanggup, Menyentuh ataupun merengkuh, lapisan tertinggi ataupun terendah. Karena saksikanlah alam yang terus berkembang, pada usia dan kekuatanmu yang terus berkurang.
[ 69 ]
SABDA ALAM
Nur Ahmad Fauzi FM
SABDA ALAM
Akulah alam itu. Rambutku gulungan mega, kakiku kerak batu-batu. Sabdaku angin yang semayup dan menderu-deru. Tak ada lagi peta bagi tenda terpencilmu. Hutan belantarakulah tempat tinggal itu. Akulah alam, tuan rumah yang santun bagi manusia, tamu petualangku. Mandilah di sungai dangkal berbatu-batu, tapi jangan kau tuba ikanikanku. Rayakanlah malammu dengan api unggun, asal jangan kau bakar habis pohon-pohonku. Jelajahilah keluasan tubuhku dari gunung tertinggi sampai lembah terdalam itu. Sambil memotret warna bioma, ingatlah kembali pesanku: jika kau datang kemari, datanglah dengan kerendahhatian hujan pada tanah gersang, dengan kearifan laku suku pribumi, dengan keberanian singa jantan, juga dengan kelembutan kepak kupu-kupu. Sungguh, aku tak membutuhkan keangkuhan pencakar langit, kegaduhan mesin-mesin berasap, kepengapan pemukiman kumuh, apalagi teror-teror dari manusia predator. Akulah alam, yang tak membutuhkan tabiat buruk kota asalmu. Bukankah telah kuutus harimau dan buaya sebagai raja, agar petualang semacam engkau tak bertindak semena-mena? Agar petualang semacam engkau sadar, di keluasan tubuhku engkau hanyalah sebutir nadir yang maha getir!
Banjarmasin, 16 September 2017
[ 71 ]
PUNCAK BUKIT
Ogie Munaya
PUNCAK BUKIT
Terhenga nafas menapaki tangga berbatu Bertemankan suara terngiang penghuni hutan Bersama siraman mentari petang yang tak kunjung teredam Selangkah lagi, sejengkal pasti Puncak di atas menanti diriku untuk menikmati alam hijau Angin membelai, menyapu kucuran keringat di kening Semangat semakin terburu menapak liku-liku jalur terjal Langit biru berlatar hutan damai Surga bagi mata petualang amatir seperti aku Sejauh arah pandang membelah bukit di kejauhan Di atas puncak, tak sabar menanti Di atas puncak, harta bumi Bukan ilusi saat termanja jiwa oleh pesona alam Awan menutup puncak bukit bak selimut putih Surga bagi para petualang Kuteriakkan lantang suka cita yang menggema di udara Memantul di antara bukit-bukit tertidur Akhir petualangan penuh makna Tak akan terlupakan meski tertelan masa
[ 73 ]
MENCARI KABAR ANGIN
Ogie Munaya
MENCARI KABAR ANGIN
Jalur meliku Membawa jejak langkahku menyapu debu Kemana lagi harus melangkah? Kenapa angin tak memberi arah? Petunjuk jalan yang kujumpa hanya segerombol burung bersayap patah Yang terpekik di antara semak berduri Sekejap sunyi kembali Hening... Lembayung senja mantap menenggelamkan diri Tinggalkan seorang petualang tersesat dalam pekat hitam Berteman langit hampa tanpa kilauan cahaya bintang Oh angin... Harus kemana lagi aku? Berikan kabar arah yang harus kutuju Ini lelah, kakiku lemah melangkah Baru kumulai petualangan panjangku untuk goreskan tinta di atas asa tuk torehkan kenangan dalam dekap rasa Tak ingin berhenti Baru kumulai perjalanan ini Biarkan aku lanjut mengembara Meski duri-duri telah menoreh luka
[ 75 ]
PURNAMA KETIGABELAS
Putri Habibah Abidin
PURNAMA KETIGABELAS
Aku bertanya pada gemawan Tapi mereka menggeleng enggan, Berlari ke barat mencari teman Aku bertanya pada angin Tapi ia menatap dingin Karena menjawab bila ingin Aku bertanya pada mahoni Pohon tua itu mengerutkan dahi Ia sudah tak ingat lagi Aku bertanya pada gunung Ia memamerkan punggung, hanya mau mendengar pertanyaan agung Maka aku bertanya pada bulan Karena ia selalu menyaksikan Dan tak pernah melupakan ―Sudah purnama ketigabelas sejak dia meninggalkanmu,‖ jawabnya pelan Aku termenung, ―Lalu, mengapa rasa itu masih tertinggal, wahai rembulan?‖ Bulan tersenyum lembut, ―karena kaulah yang menyimpan.‖
[ 77 ]
SEBUAH PENCARIAN
Rizki Ramdani
SEBUAH PENCARIAN CIKURAY
Ribuan jejak manusia mengukir di atas singgasana Tetesan keringat yang tak tertahan mengucur tak terasa Tekukan kaki yang menahan beban kehidupan dan ratapan doa para dewa Langkah kaki tetap beriringan dengan keinginan yang terus menyala Embun yang terus menyelimuti tubuh yang terkikis usia Hingga membekukan hati yang kian membara Aliran darah yang mengalir Mencoba untuk mencairkan hati Tak pernah dianggap sebelah mata Tak ada masalah bagiku untuk mengukir di atas tubuhnya jejak kaki keringat yang menetes darah dan tangan terus menggaulimu tubuhmu yang gemulai hingga tubuh dan nyawa tak bersama lagi
[ 79 ]
―Tanah dan bebatuan adalah tubuhmu yang indah dan gemulai dedaunan yang menari dalam alunan angin pohon yang tegak melambangkan keteguhan hati para petualang pencari ketenangan‖
Garut, 2015
[ 80 ]
KISAH YANG MENGHUNI GELISAHMU
Rudiana Ade Ginanjar
KISAH YANG MENGHUNI GELISAHMU
Sekiranya kutemukan sebuah gagasan, kisah yang belum jadi rumah; aku telah berunding dengan malam. Ke sana, tanpa bayangan bulan, tanpa naungan pohon —mereka telah ditumbangkan demi kehidupan baru. Tak pernah mendapati diri penuh gaya, ambisi seakan penakluk kegelapan, seorang ksatria dan kuda hitam tunggangan. Berperang dengan keberanian sendiri sebab jauh sarang kata-kata, dalam pembuangan dan kepungan silam. Kota-kota terlupa, dan aku menyalakan suar untuk tanda para bintang —siapakah yang mendengarku untuk pulang?
[ 82 ]
Dan sekiranya tiba, perjalanan yang kemudian merunut jalan sebelumnya: gejolak di tiap kesangsian, dalam hiruk-pikuk lintasan sebuah kesempatan, perjudiannya, menyeberang dan berganti-ganti sunyi dan keramaian. Aku harap sebuah kisah mampu menghuni gelisahmu.
2015
[ 83 ]
QASIDAH RINDU
Sami’an Adib
QASIDAH RINDU :cuk sugrito Mungkin sudah lupa pesawat kertas yang dulu kauayunkan ke angkasa relief ornamennya masih jelas terbaca meski kedua sayapnya lapuk oleh usia kini telah berlabuh di ujung bandara: mimpimu membuka jendela dunia :―terbanglah, terbang ke seluruh penjuru kabarkan pada setiap pemburu di sini aku terus merimbunkan rindu� entah berapa benua yang pernah dilintasi entah berapa kisah yang sudah ditilasi semua terasa asing sarat misteri semua terasa usang dan basi sebab di bumi ini terpendam rekam memori: dongeng klasik para pangeran berebut cinta seorang putri :―sejauh-jauhnya burung terbang kembalinya tetap ke hangatnya sarang pun pemburu akan sampai di batas tualang pada kidung rindu kekasih terbentang jalan pulang�
[ 85 ]
barangkali masih kuat terawat ikatan kasih sesama sanak kerabat seperti tangan penari saman erat berjabat mencipta ritmis qasidah rindu: damai negeriku, tenteram jiwaku tentu masih juga terjaga berbagi damai dengan saling sapa serupa sorai sahutan Mandiling Bawean berbalas pantun, bertutur santun
Jember, 2016
[ 86 ]
PETUALANGAN KITA
Sausan Nuwayyar
PETUALANGAN KITA
Hari pertama aku menghirup udara, aku tahu petualanganku dimulai saat itu juga Aku menggenggam tanganmu Jalan bercabang-cabang, terasa amat memusingkan Kali ini, kita terjebak dalam rintangan Kali ini, kita terperangkap tantangan Apa yang kita lakukan sekarang, menyerah atau tetap berjalan tak tahu arah? Mari kita pergi ke jalan setapak yang becek itu Kamu menggeleng tegas, terlalu licin, berbahaya Mari kita pergi ke jalan raya yang ramai itu Lagi-lagi kamu menggeleng, terlalu banyak kendaraan Mari kita pergi ke jalan sepi yang terjal itu Sekali lagi, kamu menggeleng, terlalu curam Hidup ini penuh risiko, teman Ambil satu kesempatan atau kamu akan terus diam Kita tidak pernah tahu ke mana takdir membawa kita Ikuti saja permainannya, turuti saja segala keinginannya karena kita tidak pernah tahu ke mana takdir membawa kita Genggamlah tanganku juga Mari kita jalani semuanya bersama Kunang-kunang akan menerangi malam kita Tarik napasmu dalam-dalam jika putus asa datang Kemudian, ingatlah bahwa sebentar lagi matahari kembali dan kita akan memulai perjalanan kita lagi
[ 88 ]
TRAGEDI
Sukamto
TRAGEDI
Lewat jalan terjal berkelok itu kita berlalu Terdengar rintihan sendi yang kian menulang-nulang Masih ada ratusan kelokan yang menanti Di puncak sana kita akan menyulam mimpi Hujan dan badai di siang ini Meraung-raung kian mengganas Angin yang dipeluk mendung menampar kita di antara dedaunan Kau dan Aku terpisah jauh Dalam gelap aku terdiam Hembusan nafas jadi irama kebimbangan Sekilas saja kulihat dirimu Tersenyum dibawa angin Masih di jalur berkelok ini Tulangku menolak untuk bangun Tinggal sejengkal menuju akhir Aku sampai saat mentari separuh tua Malam ini angin kembali menyapaku Bernyanyi dalam gelap yang buram Dalam tangis aku merintih Kembalikan ia padaku‖
[ 90 ]
ZIARAH
Sukamto
ZIARAH
Waktu telah mengalir sederas air Riak dan ombaknya menghempaskan bayang-bayang masalalu Semakin ke tepian hatiku dibawanya Terdampar Jauh Hilang Kaki tua ini kupaksa untuk mendaki Setelah lama bernyanyi bersama sepi Debu debu ini aku singkirkan dari hati Kucoba untuk kembali Menemui Mendekap Mencumbu Bayang-bayangmu Di tebing-tebing ini Terakhir kudengar suaramu Hilang bersama angin ganas berselimut mendung Melupakan janji kita untuk bercerita pada awan mahameru Kau pergi bersama angin dan hujan Tiada kabar Tak pernah kembali Selamanya
[ 92 ]
PETUALANGAN
Syachwaldan RFV
PETUALANGAN
Terhempas dalam sebuah cerita semu Bagai bunga yang bermekaran tanpa tangkai Atau matahari yang muncul tanpa sinar megahnya Dan tak tertahan dalam tepian yang tersisir deras Ombak berlabuh tak tahu arah Bergelung deras, lalu hilang Menempuh jarak yang entah hitungannya Menyusuri sebuah alur panjang tak berkepastian Bagai cinta tak bertuan Yang dengan bebasnya siapapun menuani Tapi, apakah si tuan rumah menerimanya? Tentu tidak semudah itu Jejak keringat jadi permata Keras tangis dan tawa jadi bumbu cerita Sampai waktu di mana aku mengerti semua Bahwa aku harus berjalan lebih jauh dari ini Aku akan terus berjalan Menjadi tangkai untuk bunga yang bermekaran Menggantikan sinar mentari yang lenyap Terpaku dalam sebuah perjalanan tanpa ujung yang kusebut petualangan.
[ 94 ]
PERJALANAN KE PUNCAK SALAK
Taufiq Sudjana
PERJALANAN KE PUNCAK SALAK
Jalan berliku tak hendak terpaku Keletihan ini mencabik para pemuja keindahan Ketika langkah melintasi alam pedesaan Menanjak Mendaki Seperti kupu-kupu yang menjelajahi bunga menguncup Sejenak mematung di punggung Salak Aku tercengang menangkap hamparan semesta Bukan pada kabut yang mengepung Tapi pada asap hitam yang mengapung Tidaklah keliru jika Bogor tersaput mega Ketika tiba rintiknya akan jatuh Namun tidak hujan Bukan awan Di puncak Salak ini aku menatap Pada awan hitam yang semakin menyekap Ada jarak antara Mendung bukan di langit Ia mengapung di atas kota Menghembuskan nafas polusi
[ 96 ]
Sejurus lain tertangkap pandangan Pada bongkah-bongkah batu bata yang bertengger di Puncak sana Di puncak Salak ini aku meratap Dan helaan nafasku pun tak bisa membendung air mata yang perlahan merambat
Bogor, 20 Januari 2014
[ 97 ]
TERPATRI HATI DI GUMATI
Taufiq Sudjana
TERPATRI HATI DI GUMATI
Ingatkah kau kali ke berapa kita mengunjungi Gumati? bukan tanpa hitungan meski tanpa direncana Aku selalu ingin mengajakmu kesana menikmati hidangan Sunda Setiap kali kita disana, di celah pandangmu aku menangkap cahaya mata yang berbicara tentang sebuah kisah Gumati menyimpan cerita tentang sebuah sungai pada masanya Mengalir, berdesir, teringat raja kita di peraduan terakhir kedamaian pun hadir
Bogor, 28 Mei 2014 Gumati adalah nama sungai yang dibangun pada masa Raja Jayasingawarman, pendiri kerajaan Tarumanegara. Raja Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati.
[ 99 ]
BRIFING PARA PETUALANG
Yana Risdiana
BRIFING PARA PETUALANG
Mataku, waktumu tidak lama lagi Akan berjumpa puncak terang Jika kau bersitatap dengan sebuah kata Asap kerap menghalangi arah geraknya Kau mungkin ragu saat tiba-tiba Pandanganmu menjadi gelap Apakah itu dari kepekatan asap, bayangan Yang membuatmu terpejam Atau warna hitam matamu. Telingaku, siang seperti lilin yang terbakar, Pelan-pelan lenyap ketinggian cahayanya Apabila kau disapa sebuah kalimat Angin sering mengalirkan suara diamnya Kau barangkali akan terkejut mendengar bisikan Dari beragam arah yang sulit dibedakan Apakah itu berasal dari mulut angin Igauan daun-daun atau bentuk kegelisahan hatimu. Mulutku, saat gelap mendekati terang Atau terang menghampiri gelap Jika kau menemukan tanda tanya dalam sebuah percakapan Hujan tidak sungkan membuat titik-titik diam Dan geraknya sekaligus Kau akan terheran-heran atas asal kesaksian Yang sangat rapuh, apakah itu karena kesangsian berlapis hujan Atau keyakinan dirimu sendiri.
[ 101 ]
Perutku, sampai waktumu menemui tubuhku Di akhir senja yang lindap Jika kau masih mengisi kekosonganmu dengan kekosongan Gelap tidak akan mampu lagi menahan kesendirianmu Dan dibatalkan oleh cahaya.
Bandung, Agustus 2017
[ 102 ]
RERIMBUN HUTAN
Zhee Lalune
RERIMBUN HUTAN
Pak tara... Bunga bakung indah di taman yang kau mekarkan dengan elok, suatu hari kutemukan mati Aku menelusuri tempat yang seindah taman eden, dengan dedaunan segar namun tak jarang gugur. Sekali di hari yang indah aku semakin masuk ke dalam setiap rasa yang kau sebut amarah, bersama secangkir racun yang kau siapkan bersama tawa. Dan kemudian kutemukan mawar dengan duri di tangan. Semakin kusibakkan reranting pohon mencoba untuk menyentuh jantung dari hutan di gatsmani. Kau tak sesunyi kata pelancong hati Senyapmu tandakan bahagia dengan riuh gembira.. Hingga sulit bahkan untuk mendengar camar bernyanyi. Para lumut tiadakan kering yang kutakutkan. Namun sulit untuk menerka dimana aku, dan siapa kamu Bahkan setahun tak pernah cukup untuk peri dan para penghuni menemukan goa yang berseberangan dengan muara. Yang batunya licin juga menusuk kaki. Sejuk dan menyakitkan, sayangnya... Aku suka..
[ 104 ]
Tak selamanya... Bahkan sehari janjikan mentari hangat.. Kadang mendung tiba tanpa hujan Tak perlu melihat langit untuk tahu kau yang sedang berduka. Tak perlu pelangi untuk mengerti bahwa duka pun tiada. Karena aku mulai menjadi inti darimu. Jadi kuputuskan untuk tetap berdiam disini. Bersama ribuan misteri baik dan buruk... Menjadi penetap di tempat yang kusebut itu kamu. Mengukir batu nisan yang kelak akan meghidupkan kembali setiap langkah kaki yang sudah kutinggalkan bekasnya..
[ 105 ]
PENULIS PILIHAN UTAMA Nur Ahmad Fauzi FM. Lahir di Banjarmasin, tahun 1999. Mahasiswa Semester 1 PGSD di Universitas Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan. Facebook: Nur Ahmadfauzifm. Instagram: ahmadfauzi_mwam_falilv. Muhammad Husein Heikal. Lahir di Medan, tahun 1997. Menempuh studi mayor ekonomi di Universitas Sumatera Utara. Menulis puisi, cerpen dan esai untuk Horison, The Jakarta Post, Kompas, Utusan Malaysia, Media Indonesia, Republika, Kedaulatan Rakyat, Investor Daily, dll. Selain itu termuat juga dalam Merindu Tunjuk Ajar Melayu (Esai Pilihan Riau Pos, 2015), Perayaan Cinta (Puisi Inggris-Indonesia Poetry Prairie, 2016), Pasie Karam (Temu Penyair Nusantara, 2016), 1550 MDPL (Pesta Penyair Kopi Dunia, 2016), Cinta yang Terus Mengalir (Ta‘aruf Penyair Muda Indonesia, 2016), Matahari Cinta Samudra Kata (Hari Puisi Indonesia 2016), dll Zahra Rahma Larasati. Lahir di Jakarta tahun 1996. Pernah tinggal di Surabaya selama empat tahun untuk meraih gelar sarjana teknik, tepatnya di kampus Instiut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dalam program studi S1 Teknik Geomatika. Banyak hal-hal yang ia sukai seperti menulis, membaca buku, menonton film, fotografi, dan mengunjungi art gallery, namun menulis dan membaca buku puisi, cerpen dan sesekali novel menjadi kegemaran yang utama. Kesukaannya pada mengarang sudah ditunjukkan sejak menduduki bangku sekolah dasar. Selain itu ia juga gemar menghayal di manapun dan kapanpun. Hal ini sangat menunjang cita-citanya untuk menjadi penulis buku yang terkenal sehingga bisa bekerja di rumah saja ataupun menjadi sutradara film Indonesia. Ia memiliki akun media sosial pribadi (www.medium.com/@zahrarl) yang biasa digunakan untuk menuliskan puisipuisinya.
PENULIS FAVORIT Abd.Khaliq. Lahir di Desa Tamansare Dungkek Sumenep. Alumni nasy-mut Candi II dan PP. ANNUQAYAH daerah Lubangsa. Sekarang melanjutkan ke perguruan tinggi STAIN Pamekasan. Belajar menulis sejak masuk kelas 1 SMA ANNUQAYAH. Puisinya dimuat di berbagai media: Buletin Jejak Bekasi, Buletin Kompas, majalah Tafakkur, majalah sastra Horison Kaki Langit, jurnal Poetry Prairie #3 ―Perayaan Cinta‖, Antologi PARMUSI Jakarta 2016, Antologi BUMI 2017, 5 SR ACEH jakarta 2017, Antologi bersama Bandara Tangisan Penyair (Persi, 2013), Suatu Ketika Mereka Membunuh Musim (Gambang, 2015), KELULUS (Centrik, 2017). Puisinya pernah mendapatkan penghargaan Juara II di Bulan Bahasa UGM YOGYAKARTA 2015. Puisinya yang berjudul ―Menempuh Tuhan‖ adalah salah satu pemenang seratus puisi Qur‘ani (PARMUSI, 2016) di Jakarta. Puisinya yang berjudul ―Bumi‖ mendapat juara harapan di Jakarta dan diantologikan. Penulis merupakan penggerak Rumah Kata, pernah menjabat ketua Sanggar Andalas. Penulis juga menulis puisi, naskah teater, esai, artikel dan cerpen. Aktif di kom: MSP dan rumah akar. Email: asholikgunawan.@yahoo.co.id. Fb: Khaliq Khamza. Abizar Purnama. Lahir di Gresik, tahun 1985. Guru SD Muda Ceria, Gresik. Lulusan Sastra Indonesia, Univ. Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Menulis puisi, drama, dan cerpen anak. Pernah diundang untuk mengikuti Anti-Corruption Teacher Supercamp 2016 yang diadakan oleh KPK di Nusa Dua, Bali. Salah satu puisi berjudul "Belantara Gagah Rajabasa" masuk 50 besar Krakatau Award 2017 (Pemprov Lampung). Sepuluh judul puisi juga telah masuk dalam Jurnal Sastra KIDUNg terbitan Dewan Kesenian Jawa Timur. Saat ini bergiat di Kelompok Cager, Komunitas Literasi Bianglala, dan Ruang Sastra Gresik. Melalui Poetry Prairie Lie #7 dengan tema Petualangan ini, penulis menawarkan bentuk puisi berbahasa Indonesia yang mengikuti kaidah penciptaan macapat Jawa (aturan guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan). Yang penulis kirimkan dua judul di antaranya. Achmad Fathoni. Lahir di Bojonegoro. Sedang aktif di Pelangi Sastra Malang. Menulis Puisi dan Prosa. Beberapa karyanya pernah dimuat di media daring maupun luring. Ahmad Nyabeer. Kelahiran Desa Nyabakan Timur kec. Batang-batang. Aktivis Komunitas Penyisir Sastra Iksabad (PERSI). Alumni Mts. Miftahul Ulum dan termasuk siswa akhir MAT Annuqayah. Email : ahmad.nyabeer@yahoo.com
Asep Saeful Azhar. Lahir di Bandung, tahun 1993. Tinggal di Rancaekek-Kab. Bandung. Bekerja sebagai guru. Email: asepsazhar@gmail.com. F. Yusuf. Lahir di Padangsidimpuan, Sumatera Utara, pada tahun 1992. Alumni dari SMA di Padangsidimpuan, Sumatera Utara. Pada tahun 2011 merantau ke Medan, dan masuk kuliah di Universitas Sumatera Utara, Fakultas Ekonomi. Sejak tahun 2015 sampai dengan sekarang ini, masih bekerja sebagai auditor di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Dalam dunia menulis bisa dikatakan saya termasuk "anak kemarin sore", yang masih jauh dari kata layak. Faiz Adittian Ahyar. Lahir di Banyumas, tahun 1994. Tempat tinggal di Pasir Kidul Rt. 02 Rw. 05 Purwokerto Barat 53135. Saat ini sedang menempuh Pendidikan S1 Fakultas Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam di IAIN Purwokerto. Pernah diundang baca puisi oleh Konsulat Jendral Republik Indonesia untuk Songkhla, Thailand Selatan dalam rangka hari kemerdekaan Indonesia tahun 2016. Puisinya terantologikan dalam buku Cahaya Tarbiyah (Forum Mahasiswa Tarbiyah, 2013), Kampus Hijau (Stain Press), Kampus Hijau 2 (Stain Pres), Kampus Hijau 3 (SKSP), Pilar Pusi II (Stain Pres, 2015), lima puisinya termuat di Zine ILIC (Indonesian Literary Collective) pada festival Berlin Book Fair tahun 2014 di Jerman, dua puisinya terantologikan dalam buku Potret Langit (Oase Pustaka, 2015) sekaligus menjadi juara dua dalam lomba cipta puisi remaja jilid I Oase Pustaka 2015, dan meraih juara 1 pada lomba cipta puisi remaja jilid II Oase Pustaka yang terantologikan dalam buku Balada Badut-badut dan Rumput (Oase Pustaka, 2015), Gelombang Puisi Maritim (Dewan Kesenian Banten, 2016). Puisinya pernah dimuat di beberapa media massa seperti Banjarmasin Post, Kedaulatan Rakyat, Radar Mojokerto, Harian Waktu, Suara Merdeka dan Pikiran Rakyat. Cerpennya terantologi dalam buku Misteri Jodoh (LKIs, 2014), Perempuan Lelaki (Oase Pustaka, 2015) dan esai-nya juga terantologikan dalam buku Suara Mahasiswa di Tengah Globalisasi (Obsesi Pres, 2015). Tulisannya juga dimuat di dalam Jurnal YIN YANG Vol. 10 No. 1 Januari-Juni 2015. Email: faiz_adit11@yahoo.com. Fridz Embu. Bernama lengkap Wilfridus Setu Embu. Ia menyelesaikan studi Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Flores, Nusa Tenggara Timur. Aktif menulis di media cetak maupun online, lokal maupun nasional. Ia pernah bergiat komunitas sastra bernama ―Bengkel Teater Tanya Ritapiret‖ dan komunitas ―#KAHE (Sastra Nian Tana) Maumere. Karya-karyanya dapat ditemukan dalam Antologi Puisi-Puisi Terbaik Pilihan Sabana Pustaka yang
berjudul ―Merantau Malam‖, Antologi Puisi ―Penyair NTT‖, Antologi Puisi Kopi Penyair Dunia, dan buku kumpulan puisi yang berjudul 1 Hari Lelaki. Frisca Balqis'tya Dharma. Lahir di Bandung, pada tahun 2002. Ia sekarang duduk di bangku kelas sepuluh di SMA Negeri 1 Cileunyi. Hobinya membaca karya sastra seperti novel, puisi, dll. Puisinya kali ini mengisahkan tentang petualangan dalam sebuah kehidupan dengan banyaknya rintangan yang harus dihadapi. Habib Safillah Akbariski. Kelahiran Bandung, tahun 1999 dari rahim orang yang paling dicintainya, Heniar dan lelaki yang bersedia berpeluh untuknya, Otto Rikintara. Secara teknis dibesarkan di Bangka Belitung sejak umur empat tahun dan belajar merantau sejak umur 15 tahun. Sekarang tengah memulai dunia perkuliahan di Prodi Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta: berharap suka dan lulus secepatnya. Info lebih lanjut bisa dihubungi di FB: Habib Safillah, Ig: Habibsafillah. Beberapa karyanya disemayamkan di habibsafillah.tumblr.com dan di tempat yang ia kehendaki. Hikmatul Jannah. Santri PPA. Lubangsa putri dan termasuk siswi MA 1Annuqayah putri. Bergelut dengan puisi di gubuk kecilnya benama Persi (Penyisir Sastra Iksabad) dan CPK (conglet panguyuban karya). Salah satu kru redaksi Majalah Inspirasi MA 1Annuqayah putri. Ilhamdi Putra. Lahir di Padang, Sumatera Barat. Sementara bekerja sebagai penulis lepas. Beberapa tulisannya pernah dicetak secara self publishing di antologi bersama. Irzal Amin. Tanpa biodata. Lia Sylvia Dewi. Penulis sedang sibuk membahagiakan masa-masa SMAnya dengan mengikuti berbagai kegiatan positif. Tidak suka olahraga dan kadang membaca novel diam-diam di saat jam pelajaran. M. Mahfudz Fairuzi. Santri PP. Annuqayah Latee.
Maftukhul Ngaqli. Lahir tahun 1997 di Kota/Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Ia adalah anak ke-5 dari 6 bersaudara. Di kabupaten Banjarnegara ini ia tinggal di desa Gelang Kab.Banjarnegara. Saat ini berstatus sebagai mahasiswa di UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo. Pernah belajar menulis di Baitul Kilmah Yogyakarta milik Bapak Aguk Irawan MN. Beberapa karyanya pernah dibukukan dalam sebuah antologi. Ia memiliki account Facebook dengan nama Aqli (young poet). Bisa di hubungi melalui e-mail maftuhulaqlii@gmail.com. Maman Empun. Lahir di Praya tahun 1981. Sekarang bekerja sebagai pengajar di Pondok Pesantren Sa‘adatuddarain Wakan Praya Lombok Tengah NTB. Bertempat tinggal di dalam kompleks Pondok Pesantren Sa‘adatuddarain Wakan Praya Lombok Tengah NTB. Mendaki gunung merupakan hobi yang tidak bisa ditinggalkan hingga saat ini. Maria Wiedyaningsih. Salah satu cerpennya berjudul Hari Ketika Seorang Penyihir Menjadi Naga diterbitkan dalam buku antologi dengan judul sama. Tata Marnarita. Tanpa biodata. Ogie Munaya. Kelahiran kota yang bersimbol Tugu Khatulistiwa, yaitu Pontianak. Sedari duduk di bangku SMP, penulis sudah mulai suka menulis dan hingga kini masih terus ingin berkarya dalam dunia literasi. Dapat dijumpai di facebook-nya : Naya Ma Tochiee, atau email : naya.meranti@gmail.com. Putri Habibah Abidin. Lahir di Bandung tahun 2001. Anak kedua dari Syarif Zainal Abidin dan Ima Yuliati. Bersekolah di SMA Negeri 2 Cimahi. Saat ini tinggal di Citeureup, Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi, Jawa Barat. Alamat Email: ahabibah30@gmail.com.
Rizki Ramdani. Lahir di Majalengka, tahun 1995. Berstatus Mahasiswa Universitas Siliwangi, Fakultas FKIP, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Alamat di Desa Muktisari, Kec. Cingambul, Kab.Majalengka, Prov. Jawa Barat. Alamat E-mail, ramdanirizki965@gmail.com, Akun fb Rizki Ramdani.
Rudiana Ade Ginanjar. Lahir di Cilacap, tahun 1985. Beberapa karyanya dipublikasikan dalam media massa dan antologi bersama, antara lain Blues Mata Hati (Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas, 2008), Pendhapa 5 (Dewan Kesenian Jawa Tengah, 2008) dan Rumahlebah Ruang Puisi #4 (Komunitas Rumah Lebah, 2017) serta surat kabar Suara Merdeka dan Suara NTB. Menetap di Cilacap, Jawa Tengah. Sami’an Adib. Lahir di Bangkalan tanggal tahun 1971. Antologi puisi bersama antara lain: Requiem Buat Gaza (Gempita Biostory, Medan, 2013), Mendekap Langit (Gempita Biostory, Medan, 2013) Menuju Jalan Cahaya (Javakarsa Media, Jogjakarta, 2013), Ziarah Batin (Javakarsa Media, Jogjakarta, 2013), Cinta Rindu dan Kematian (Coretan Dinding Kita, Jakarta, 2013), Ensiklopegila Koruptor, Puisi Menolak Korupsi 4 (Forum Sastra Surakarta, 2015), Memo untuk Wakil Rakyat (Forum Sastra Surakarta, 2015), Kata Cookies pada Musim (Rumah Budaya Kalimasada Blitar, 2015), Merupa Tanah di Ujung Timur Jawa (Universitas Jember, Jember, 2015), Kalimantan Rinduku yang Abadi (Disbudparpora Kota Banjarbaru-Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2015), Ayo Goyang (Ric Karya, Semarang, 2016), Memo Anti Terorisme (Forum Sastra Surakarta, 2016), Arus Puisi Sungai (Tuas Media, 2016), Puisi Peduli Hutan (Tuas Media, 2016), Lumbung Puisi IV: Margasatwa Indonesia (2016), Memo Anti Kekerasan terhadap Anak (Forum Sastra Surakarta, 2016), Ije Jela Tifa Nusantara 3 (2016), Seberkas Cinta (Nittramaya, Magelang, 2016), Malammalam Seribu Bulan (FAM Publishing, Kediri, 2016), Surabaya Memory (Petra Press, Surabaya, 2016), Requiem Tiada Henti (Dema IAIN Purwokerto, 2017), Negeri Awan (DNP 7, 2017), Lumbung Puisi V: Rasa Sejati (2017), PMK 6 (2017), Lebih Baik Putih Tulang daripada Putih Mata (2017), Lumbung Puisi VI (2017), Menderas Sampai Siak (2017), dan lain-lain. Aktivitas sekarang sebagai tenaga pendidik di sebuah Madrasah di Jember. Email : samianadib@ymail.com. FB: Sami‘an Adib. Sausan Nuwayyar. Lahir di Kediri, tahun 2003. Sekarang penulis duduk di bangku kelas IX MTs Negeri 2 Kota Kediri. Penulis dapat dihubungi melalui email di sausannuwayyar@gmail.com.
Sukamto. Lahir di Talang Curup tahun 1994. Memiliki ketertarikan terhadap dunia sastra meski ia menekuni bidang kimia saat kuliah. Meski belum memiliki prestasi di dunia sastra, namun ia percaya menulis bukan hanya tentang penghargaan tetapi juga kebahagiaan. Syachwaldan R. F. V. Kelahiran Bogor tahun 2000, saat ini tinggal di Cipondoh, Tangerang Selatan. Taufiq Sudjana. Penulis yang lahir di sebuah kota kecil di ujung timur wilayah Provinsi Jawa Barat. Penulis hijrah ke tanah Pajajaran, dan hingga kini menetap di Tanah Baru, Bogor Utara, Kota Bogor. Banyak karya tulis telah dia ciptakan. Tulisan-tulisannya terbit dalam bentuk artikel, opini, cerpen, dan puisi di berbagai media massa cetak maupun elektronik. Buku yang sudah terbit antara lain Pesta Keheningan; Sebuah Antologi Keresahan (2004). Peluncuran karyanya ini diselenggarakan dalam kegiatan Bedah Buku bertepatan dengan Bulan Sastra sekaligus memperingati hari wafatnya penyair Chairil Anwar. Buku lain sang penulis, terbit pada tahun 2014 dalam buku Bogor dalam Komposisi; Antologi Puisi Penyair Bogor. Tahun 2017 terbit pula buku Antologi Puisi Penyair Nusantara; Aceh 5:03 6,4 SD. Aktifitasnya sebagai tenaga kependidikan di SD Negeri Sindangsari Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor tidak menghentikan energi kreatifnya untuk terus berkarya. Bahkan beberapa puisinya menjadi karya musikalisasi puisi oleh kelompok musik Komunitas Janari. Saat ini penulis sedang merampungkan beberapa naskah lain yang tertunda. Yana Risdiana. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung (1999) dan Magister Hukum Universitas Airlangga (2015). Bekerja di sebuah perusahaan swasta, selain menulis fiksi dan non fiksi. Puisinya berjudul ―Kapal yang Berlari dari Laut‖ masuk dalam Antologi Hikayat Secangkir Robusta: Antologi Puisi Krakatau Award 2017. Kini tinggal di Bandung. Zhee Lalune. Istri dari Lego Sitinjak. Gadis Batak ini sangat mencintai sastra dan selalu ingin menerbitkan novel. Beberapa puisinya sudah sering dibukukan bersama para penyair lainnya di buku antologi bersama.