Poetry Prairie Literature Journal #5 - Perjalanan Sunyi

Page 1

EDISI MEI 2017

PERJALANAN SUNYI

Poetry Prairie Literature Journal #5


Poetry Prairie Literature Journal #5

PERJALANAN SUNYI


Puisi Pilihan Sisa Perjalanan – Dwi Fikriyah Sebuah Pertemuan – Samian Adib Kasidah Kematian – Aharys Koeartz Daftar Penulis Aan Handian Ade Ega Vernanda Aharys Koeartz Ahmad Fauzi Ali Husein Assegaf Amalina Dwi P. Ayu Qonita Chandra Krisnawan Dananil Qayyum Dian Nastiti Dwi Mahanani Dwi Fikriyah Dyah Ekawati Noor Elsa Febrina Hamiruddin Hutabarat Hari Setiawan Ilmi Abdullah Inas Pramoda Iwan Vidianto


Jihan Az Zahrah M. Husnul Huda M. Lutfi M. Mahfud M. Ridlo Myla Vabrilla Pemppy Ceissar S. Rachel Chinthia Rakai Lukman Sabrina Mulia Ramadanty Saiful Hasan Samian Adib Sania Savanny Soekoso DM Suci Budiyanti Tanjung Awan Wilfridus Z. Kolo Zainul Andong


PUISI PILIHAN 1 “SISA PERJALANAN”


DWI FIKRIYAH Sisa Perjalanan Di balik senja, yang merangkak letih pada punggung langit Kau mengulum jingga dalam diam tak disisakan seberkas, sebait, sebaris saja Untuk kukenang, di malam-malam yang mengemis bintang. Sepi dan sunyi, menjelma malaikat yang menduduki pundak Memilihkan pematang, lembah, bukit, dan belukar sebagai jalan mendekati tuju, sebidang maya, yang tak akan pernah mengecup nyata. Kamu. Sendiri aku Menaklukkan sisa perjalanan ini tanpa lampu. entah itu lilin, api, maupun wajahmu. Sepanjang mata menautkan pandang, Hanya ada gelap! terpaksa kupeluk seolah rindu terpaksa kucumbu seolah nafsu sedangkan ia, diam-diam menghunuskan tusuk, pada relung yang kusebut rusuk.


Sedetik menetes darah, sejalan menggores luka Malam berubah jadi musim yang haus nyawa, suram mencipta iklim pembunuh cinta Dan di sisa perjalanan ini, kalah pada cadasnya pertarungan antara dingin dan seikat gulita yang bersandiwara di balik batang pohon patahnya ranting pipihnya daun dan sebutir biji-bijian Hati telah sekarat mengharap belas kasih dari hewan malam yang terjaga. Alpa. Pengembaraan ini, tak akan pernah menemui akhir Sebab jalanan terlampau sunyi Dan malam terlampau dengki untuk berbagi arah. Sebelum pagi menjelang, Kuseduh lagi mimpi. Aku, kamu, janji, dan harapan, kembali bercengkrama. rupanya semua baik-baik saja atau aku? yang terlanjur meregang nyawa. Mati.


PUISI PILIHAN 2 “SEBUAH PERTEMUAN”


SAMIAN ADIB Sebuah Pertemuan pada garba perempuan yang sama kita pernah menilasi misteri perjalanan paling ilahi tanpa peta tapi tak pernah tersesat ke alamat asing di kota lain kita kembali berjumpa berbagi kisah lembut suaramu mengingatkanku pada kenangan masa kanak-kanak dahulu: damai ini telah lama kurindu sejak di pangkuan ibu ketika lidah keluku tak fasih-fasih mengeja alif lam ra dan langkah goyahku masih tertatih menyibak debu meretas lorong rindu menuju keanggunan-Nya aku hanya tersenyum hambar menyembunyikan parau suara yang terkoyak oleh busa-busa dosa pesta pora


sebelum berpisah biarkan bisikan lirihku menjadi rubaiat pengantar perjalanan pulangmu: ajari aku cara bercumbu agar aku bisa mereguk candu Cinta-Nya Yang Paling Sempurna

Jember, 2016


PUISI PILIHAN 3 “KASIDAH KEMATIAN”


AHARYS KOEARTZ Kasidah Kematian bersama malam aku terus mengayuh sampan kekekalan melewati pelayaran demi pelayaran melampaui pendakian demi pendakian mengimani sembahyang demi sembahyang kata-kata mengalir dari setiap desah napas tahajudku zikir bibir hanyut dalam rukuk dan sujudku mataku buta oleh tangis seratus tahun darah dan airmata dalam gairah musim keheningan fajar lukisanku menggali cahaya menyulut sumbu waktu warna-warna yang disemburkan kedalaman batu dan tarianmu adalah keheningan subuh yang dipadatkan dekapan rindu membusuk


sungguh ingin kulekatkan gairahku pada perangkap kesementaraan seperti adegan-adegan pertobatan sepanjang dinding kekekalan mungkin tak akan pernah mengubah arah sunyi hingga aku kembali menjadi debu tak perlu cemas pada hari-hari yang menyusut kematian hanyalah bagian dari waktu dalam gairah waktu akan kusembahyangkan kematian batu batu

Kediri, 20 Juni 2016



AAN HANDIAN Atas Nama Sunyi Atas nama sunyi Berendam dalam kesendirian Kehilangan kian terasa Memeluk bayangan silam Hanya kosong tak tersentuh Raga itu terpisah jarak Bersandar di pelukan lain Atas nama sunyi Berapa lama seperti ini Memandang setiap kenangan Berpencar senyuman di kepala Mata lahir seolah melihatnya Menyebar di segala sudut Lalu hilang ditelan kesadaran Atas nama sunyi Puisi menjadi tak berisi Langit tak berpelangi Awan menjauh pergi Semua tak lagi di sini Hampa mendalam di hati Sulit menghapus semua ini


Atas nama sunyi Hari baru dimulai lagi Berharap segera terobati Tak secepat itu terganti Senyuman itu tertanam di sini Tumbuh lebat dalam diri Tersadar kini semua menjadi berarti

Malang, 30 Januari 2017



ADE EGA VERNANDA Pinta Untuk Sebuah Akhir Dekatkan kubur itu Dekatkan ke rahim ibu Agar aku anakmu Bisa merasakan Sakit lahir dan sakit mati Aku yang terjerembab Mengukir luka Mengkhayal senyum Hanya mengusap daun kenistaan Sementara bual kemunafikan Terpatri abadi di jiwa Oleh jemari lembut sang peri kecil Dekatkan kubur itu Dekatkan pada rahim ibu Agar aku putramu Selamanya tahu Kasih orang tua dan kasih Tuhanku



AHARYS KOEARTZ Zikir Kesunyian aku bersembunyi di balik kabut baris-baris puisi zikirku seribu sunyi mengejarmu dalam gelap ruang semadi di antara erangan dan jeritanku yang terpendam aku hanya ingin memahami isyarat kegelapan yang telah mengiringi langkahku namun mataku selalu perih setiap melafazkan namamu adakah yang salah dari penglihatanku yang nanar dan tumbuh menjadi nyanyian kelakar musim panas membakar kata-kataku yang menjadikannya abu dan lelatu lalu menyeretku ke wilayah tak dikenal dunia tak terjangkau lidahku hingga teriakanku lenyap dalam regukan besar waktu seperti embun yang terserap cahaya pagi


dunia di luar kata-kata dan nyanyian tak menyuarakan apapun tapi zikirku terus mengalir padamu menjenguk setiap puing-puing kesunyian di bukit kotamu. menyusuri terowongan-terowongan panjang waktu yang menelanku hingga tenggorokanku terbakar sunyi aku memintal lagu sepanjang lorong rahasiamu untuk kunyalakan dalam jiwa tanganku meraba ayat-ayat tapi setiap kunaiki tangga ke langit terjauh aku selalu ditenggelamkan cahayamu aku letih menjengkal kesamaranmu dan zikirku adalah zikir kesunyian

- Kediri, 12 Mei 2016 -



AHMAD FAUZI Dalam Asing Perjalanan malam penaka jaring laba-laba yang dirajut angin gerimis begitu pekat memeram pengap lentera-lentera telah padam kini hanya liku-liku jalan tanpa tanda langkahku kian patah dililit belukar dan ular belum kudengar jua mazmur pantingmu* yang padanya tersirat petuah arah serupa sabda cahaya yang melesat dari doa ibu sedang di ruas rimba malam kian gelita penaka jaring laba-laba, tubuhku terjerat pengap embun dan kabut memberat dalam asing perjalanan kuraba kesunyian gigil angin hanya meniupkan resah cuaca mengusap letihku tanpa dawai nyanyian - Banjarmasin, 21 September 2016 *Panting: alat musik tradisional dari suku Banjar di Kalimantan Selatan. Bentuknya seperti gambus Arab namun berukuran lebih kecil.


AHMAD FAUZI Melankolia Sunyi I malam meranumkan bintang; mengutus pijar cahaya menjelma kabut — mendekapku: sebagai aura rindu yang gigil Banjarmasin, 1 Oktober 2015 II selalu, menunggu waktu mendermagakan tubuhmu di perempatan ini aku gariskan resah di atas trotoar beku sementara portal jalan masih tertutup dan jumper yang kini kukenakan serupa dingin malam; malam yang menghembuskan sunyi rembulan pada halte penantianku Banjarmasin, Lupa - November 2015


III sehelai karcis melayang dalam asap knalpot — di situ tertera airmataku yang kadaluarsa di balik jendela bus kota gerimis begitu tekun menghapus jengkal dahaga dan jejak-jejak sepatu yang kian usang menyinggahi kenangan dalam gps doaku bayangmu masih teralamat pada hamparan kabut pada purnama kalut di cakrawala — ah, kan kudekap pendar sunyimu 1.000.000 km/jam bus ini melaju! - Banjarmasin, 4 Agustus 2016 -



ALI HUSEIN ASSEGAF Labirin Sukma Nyanyian langit menderu Bersama derai air mata rindu Perlahan menapaki padang nan gersang Berjalan mengitari ladang nan usang Sungai pun mengalir Bersama semilir nafas berdesir Jamuan hilir menyambut tetes-tetes suci Seiring malam panjang mencari pusara Ilahi Air luapkan sejuta emosi Menyulut ombak kian menari-nari Aku, menghempas segala Doa antara pekatnya temaram Memaksa Sang Maha panahkan cinta yang mendalam Aku berjalan sendiri dipandu pendar mentari dan purnama Jelajahi pusara cinta kasih Sang Maha Hingga mataku sayu mencari-cari rindu Terlelap diantara lubuk Dosa dan segala penat kalbu Dinginnya rindu mulai melaba Bagai jiwa yang dicampakkan oleh rasa Takut, harap mengitari seluk-beluk jiwaku Sunyi, berlari dari waktu ke waktu



AMALINA DWI P. Laguna Barat Aku tetapkan tasbihku di laguna barat berhadapan bias cakrawala Puisi yang kulukis makin terasa sepi, digulung harapan yang tak puas diharap Perjalanan hidup yang melaksa jiwa tak pernah usai bahkan lebih menjadi-jadi Hingga terngiang, terkapar rautku menatap tubuh yang kian asing disentuh Tubuh yang dulu menemani berjalan hingga ujung lembah lain tertuntaskan Tubuh yang terbalut dengan jingganya senja, terpantulkan bintang-bintang galaksi Andromeda Menjadikan hari-hari di jalanku kian terasa sendiri, sampai detak waktu arloji menggaung keras melebihi hati Dari lembah hari ini, aku hanya dapat menerka hujan datang, menghitung setiap butir, menyentuh dan menggenggam Apakah di setiap tikunganku noda dan rindu selalu sama? Laguna tepian barat terlihat tertawa dengan sorbannya berlembayung senja Senyuman indah kubuat lekat-lekat terpampang di urat wajah, bersembunyi dalam duka kesendirian


Namun, jika hujan tak basah digenggam, bintang tak indah dipandang, tubuh pun akhirnya tak lagi merasakan artinya kehadiran Seakan-akan sudah bakatnya membuat tangis yang tak bisa diajak berbincang Pada waktunya, tanpa ucap tubuh pergi menyisakan jejak berpaut aroma basah hujan Laguna sebelah barat mengisyaratkan perjuangan Dalam hentakan setiap perjalanan atau hitungan hirup udara yang dihempas hembuskan Selayaknya, memaklumi tubuh yang meninggalkan, menguatkan hati yang ditinggalkan Hingga perjalanan itu semakin sunyi, dan laguna barat tinggallah mimpi

- 13 Februari 2017 (Something Left Unspoken)



AYU QONITA Semesta Sunyi Tak cukup tangis iba ‘tuk tutup nganga luka Tak butuh cecar kata ‘tuk ungkap duka lara Karena perpisahan selalu tinggalkan cenderamata Kesunyian yang meluapluap Senjamu t’lah hadir di tengah derasnya hujan Lalu kau pergi sisakan bayangan punggung yang kian pudar Cukup sampai di sini Aku kan mendiam Dan memeluk sunyi Bukanlah apa dirimu yang bergiat di garisgaris hujan lebat Meneriakiku tuk terus berkejaran waktu Ah badai masih terus berdatangan Dan kau sambil terisak layu, meninggalkan kesunyian yang dalam Jurang gelap t’lah tergali lama di dadaku Kau tak kan bisa menggalinya lebih dalam lagi Tidak! Kau bahkan tak pernah mencapai dasarnya Dan dirimu hanya berikan gaung dalam ruang hampa Menajamkan indera, membutakan rasa Mewariskan sunyi yang begitu mendera - Maret 2017 -



CHANDRA KRISNAWAN Nyala Obor Saat-saat sunyi perjalanan. Kunyalakan obor di tangan. Apinya dari kepundan keramat puncak Kelud di musim pancaroba, yang menembangkan kutukan Lembu Sura. Anak-anak zaman limbung. Bermain dalam gelap perbendaharaan bahasa. Kubawa api penerangan di atas jalan berbatu. Apa kabar hari ini petani tebu, petani yang dulu memasok bahan baku primadona perdagangan kolonial; kini lahan penanaman tebu diperluas agar lahan yang ada berkurang daya tawarnya. Apa kabar hari ini penduduk negeri yang dicekoki hasil produksi, lupa tanahnya berkisah pilu Mpu Sedah yang tak rampung menggarap parwa-parwa baratayuda. Sementara biji mata kita disilaukan gaya hidup negeri asing.


Nyala obor tinggal setengah ons, ketika jalan berbatu kian renggang. Longsor mengintip dari balik gelap. Aku berkata, sejarah bukan untuk dijadikan teror bukan pula jari telunjuk yang ditudingkan dari arah masa lalu. Sejarah adalah lakon manusia agar saling memahami. Bukan menghakimi. Lalu, apa kabar buruh hari ini oposan tetap sejak zaman kolonial; suaranya di jalan disejajarkan dengan kemacetan dan dijawab dengan kabar pemindahan pabrik ketika menuntut upah diperbaik. Amboi, selain tanah yang subur negeri ini kaya pula angkatan kerja! Nyala obor kian redup. Langkah kian bergetar. Kulihat obor-obor lain bagai titik bintang di kedalaman semesta. Jauh dan kecil, namun bertahan. - Surabaya, Januari 2017 -


CHANDRA KRISNAWAN Balada Seorang Bocah Udara yang menggelepar Dilumat pecahan-pecahan timbal Tersadap dalam dada Seorang bocah lelaki Tanpa daya Siang naik di atas kota Riuh pikuk jalan nan lebar Persimpangan empat jurusan Lalu-lalang banyak tujuan Jalan-jalan tanpa nama Tak sesatkan arah Seorang bocah lelaki Di sana di bawah lindung akasia Tuntun ibunya Di tangan sebelah kanan Dan adik perempuan di sebelah kiri Seorang bocah lelaki Bak nahkoda yang melangkahi gelombang Dengan kumal kaki kecilnya Meski ingus meleleh dari Batang hidung


Udara kembali menggelepar Dilindas derum truk tua Ketika tatapan Seorang bocah lelaki, Sambil sandarkan punggung Ke dada sang ibu Dan luruskan kaki Untuk tidur sang adik, Sodorkan kaleng Kepada yang melintas pejalan kaki - Surabaya, Februari 2017 -



DANANIL QAYYUM Luka Sehabis Subuh Belum sempat tasbih berbaring pada daun-daun yang masih basah lelah serta penat menjadi juara mengosongkan detik-menit, menit-detik yang ada melupakan setumpuk darah yang mesti menengok usia dengan sisa sujud dan rindu dalam dada hingga luka mengukir luka di jendela-jendela kupikir untuk berlari menetralisir mataku yang amat perih lantaran cerita kian berkali namun lorong-lorong adalah kumpulan sepi mengiris kaki dan hati menjadi-jadi entah, pada apa hendak kutanggalkan nyeri atau dengan apa mesti kupermak jalanan sebelum mentari supaya negeri subuh tak demikian sunyi tiap kali.

- 14 Maret 2017 -



DIAN NASTITI DWI MAHANANI Perpisahan Berkali-kali aku mati, berkali-kali juga aku hidup Ketika datang kesedihan, kebahagiaan itu datang menyerbu Menahanku dari kematian, menghidupkanku dari kepedihan Namun bagai angin yang berhembus, dia pergi dengan kejamnya Akankah dia akan kembali? Aku selalu memainkan simfoni kematian di jalan kesepian Bunga-bunga layu, pohon-pohon terbakar Air mata menetes, darah bersimbah di pusaran Tak ada suara, tak ada warna Angin pergi tanpa kata perpisahan Aku berjalan sendiri dalam gelapnya malam Akankah pagi akan segera datang?



DWI FIKRIYAH Sunyi ; Kau Rindu Kau rindu, berjalan berpaling dari temu Sebait merupa menyiksa menyisa kelu Dendam berakar bertubi datang mengetuk Sebaris mewujud menepis teluk. Segala hampa, adalah wajah menjelma kita Belulang mengikat, daging membalut Sedarah setanah kita menangis Setubuh senyawa kita tertawa Air dan debu adalah asal Nafsu dan ego adalah tumbal Menepi semua, menimpa segala bebal Kita jatuh terjungkal bangkit berdiri tegar Kau rindu, berjalan berpaling dari terjal Langkah meliuk tumbang di persimpangan Dusta tertuang berdalih menyecap hambar Tersisa angin meniup mengecup Jatuh menggelepar di desak hujan Kau rindu, basah mengering dari kenyataan.


Segera semua menusuk membunuh kita Tumpah meluap api dan bara Rahasia menyebar menebar aroma cinta Bisu mengaku memilih kamu Diam menyata menunjuk aku Gelap menerang menyamarkan gulita Terang meredup memburamkan cahaya Gilas menghapus menghilangkan jejak kita Tersisa nama. Sejarah melewatkannya. Aku, kamu, kita dalam pengembaraan Sunyi adalah rumah Dan ramai sebagai persembunyian. Aku berlindung dari cinta, merebah lunak pada angkara. Kau rindu, mengatup membuka hati. Sekali tiba, campak kau tuang di depan mata. Kau rindu, mengirim sunyi dan luka Abadi aku, dalam hening yang nyata. Tanpa apa-apa. Bukan siapa-siapa.



DYAH EKAWATI NOOR FITRI Kau Di Mana? aku sedang di perjalanan pulang saat kembali kuingat ejaan namamu tanpa pernah kutelisik maknanya aku membayangkan hari lalu di saat tak penting siapa namaku aku jatuh tertidur dan ejaan namamu menjadi mimpi panjang yang tak kunjung tuntas aku ingin bangun tetapi alunan musik memenangkan mataku di saat kau tak lagi ingat namaku aku sudah bangun dan namamu adalah awan pertama yang nampak di langit aku menangkapnya meski tak pernah ada yang jatuh dari sana jalanan masih panjang dan padat sesak oleh kenangan di tiap sudut lampu merah orang-orang menjajakan pertanyaan "kau di mana" sementara aku enggan membuka jendela kau di mana?


kesedihan adalah topeng terbaik saat kehilangan sebab namamu tak kunjung kembali menjawab kerisauan dan namaku lebih dulu ditandai di seluruh pertigaan makna kedinginan di atas jarum jam gusar tak punya pekerjaan aku berhenti menulis sebab kulihat sepi telah dijajakan sepanjang rute kepulangan dan kesendirian berlari memasuki rumah kenangan tak ada lagi kata meruah di dasar pena setiap rima telah dikubur dalam dingin yang mencekat dan larik-larik puisi yang pernah kau bacakan kini menjadi selimut gadis lain selamat jalan dari aku nama yang disematkan angin di dahan lupamu salam terakhir sebelum kau jemu lekaslah ingat saat tak penting siapa namamu

- Jakarta, 12 Maret 2017 -



ELSA FEBRINA Purnama dari Matanya ia selalu melewati jalan itu dalam sunyi meluruhkan paksa syak wasangka hingga berdarah hatinya melihat ke langit sambil menjulurkan tangan tinggitinggi purnama yang coba ia genggam malam itu, adalah upaya menggapai untuk melepaskan melepas amarah di genggaman dari sudut-sudut jarinya jilat-jilat api menyala kini, menatap bulat purnama yang teduh itu tak pernah cukup lagi sampai-sampai ia sempat putuskan untuk kembali saja tapi tidak bukan karena ia takut, tapi hatinya bertarung dengan hati sendiri tak pernah mudah kini dari matanya, purnama adalah awal dari kehancuran harapan yang semu indah yang menipu purnama adalah juga kematian yang hanya lahir dari kebohongan baginya kini purnama selalu mati, bukanlah sebuah kelahiran jika cahaya itu adalah milik matahari


lalu ia bernyanyi dalam sunyi, lirih melagukan tangisan yang setiap kali coba ia sembunyikan ia juga berbaring, menatap lagi purnama dalam hatinya berdoa agar besok pagi tangannya tak lagi terkepal agar dapat dilihatnya lagi purnama dengan damai hingga suatu hari ia akan bisa kembali tanpa patah hati

- Jambi, Maret 2017 -



HAMIRUDDIN HUTABARAT Perempuan Bermata Saga Oleh karenamu perempuan bermata saga Titian kematian ini kulintasi Rahim Februari ini kutapaki Wanita segala di atas segala Entah sudah beberapa pagi yang telah kau nikahi Dengan nyerimu pedih Membadung keranjang kehidupan yang tak kau pinta Di bibir muara yang lama Sayu matamu pasi tak menawan lagi Karena tubuhmu lebih mencintai ceracau matahari Dengannya nyeri sendimu terobati Demi sang asa yang sedang mengembala cita dan pituah Sebenarnya ia tahu bahwa kau senantiasa mereguk lelah Menyimpan pedih dan gigil kaki Ketika mengayunkan keranjang ikan yang basah itu Di atas pembaringannya


Namun, di sisi lain ia kagum akanmu Karena tak semua wanita Yang mampu melakukan hal itu untuk darah Yang keluar dari celah kakinya Sungguh, dikau segala di atas segala Surga ananda di negeri lama Dan sampan yang kau titip ini takkan pernah berbalik arah Sebelum bersua dengan pelanginya

- Bay Pass, 28 Februari 2017 -



HARI SETIAWAN Moksa Kala sepatah kata tak terucap dalam keseriusan Berarti sebaliknya, cerita itu ada Tersusun atas ludah yang membasah tutur bahasa Terpaut angka-angka yang kian mengecil Terkucilkan akan tingkah laku Tidak ada benteng nan kokoh tuk sembunyi Menyendiri dalam hampa penyesalan Berdiri layu di tengah penghitungan Nafsu fana dan kepedihan Manusia sebatas raga, saling menghujat bertatap muka Meski terlalu tinggi untuk kuturunkan dan kuraih, kesabaran Kujadikan topeng tuk membentengi sukmaku Tak kuredam, tak kusangkal Janji akan waktu hanyalah pengalihan Karna mimpi kian memikat Lihatlah.. Kebanggaan pada raga yang perlahan membusuk Ingin hati merengkuh raga lagi Masalah waktu dan titah yang tak terelak Terapit dinding dingin menunggu penghakiman - Solo, 04 April 2016 -



ILMI ABDULLAH Musim Gugur Ketiga Daun-daun maple kering menari di udara Meninggalkan genggamannya pada ranting renta Ranting renta beradu dengan tanah basah Berakhir remuk, dan patah Lirih desir angin mengalun lembut Air mata yang mengering tersapu hawa dingin Kasihku, telah kutulis beribu kidung untukmu Apakah kau masih mengingat parasku Binar matamu serupa daun maple jingga Gelak tawa, dan dekapan yang terlupa Sendirian aku meracau tentang kerinduan Dulu kita bersua, dulu kita menyapa Kau dan aku didekap sunyi, didekap keterasingan Mengulum manis yang terasa pahit untuk dikecap Dalam perjalanan kita menyusuri gedung Old Montreal Kau racuni aku dengan kerinduan Kasihku, aku tak mampu meraihmu sepenuh hati Hingga musim gugur ketiga menyapaku Punggungmu perlahan menjauh Samar-samar ditelan guguran daun maple.


ILMI ABDULLAH Hikayat Usang Pernah engkau tuturkan hikayat usangmu Tentang….. Kenyataan hidup dalam mimpi Mimpi mati dalam kenyataan Meliuk-liuk jiwa-jiwa yang gamang Dalam hingar-bingar musik berdendang. Pernah engkau tuturkan hikayat usangmu Tentang….. orang-orang yang tertawa orang-orang yang menangis orang-orang bersolek dalam parade musim kemarau Nak, dunia ini dipenuhi orang-orang malang katamu. kujawab kau salah satunya. Kau menelan dirimu sendiri. Menjelma jadi kayu bakar untuk menghangatkan Menjelma jadi lilin yang menerangi. Kau mengembara ke negeri asing Menceritakan hikayat-hikayat usang itu. Menghibur jiwa-jiwa yang terbelenggu. Kala belum kutemukan jua, engkau. Aku tersesat dalam belantara kecongkakan manusia. Dalam perjalanan sunyi… Kurindukan engkau… Ceritakan hikayat-hikayat usangmu.



INAS PRAMODA Jalan Berlubang menilik lewat jendela jalan penuh lubang dan ikan yang entah dari mana berenang lalu mati tanpa tahu jalan pulang di simpang jalan lampu merah rusak dan sepasang pengantin baru menyeberang lalu mati tanpa bulan madu lagi halte di depan sepi penumpang bis tak kunjung berhenti aku duduk di bangku belakang menatap wajah-wajah pucat bibir yang terus terkatup dan mulut tanpa suara mata tanpa cahaya senyum tanpa rasa wajah tanpa hiasan tak bernafas


dan kematian yang perlahan menyusup lewat jendela datang menghampiri membelai mesra berbisik lirih, “Kita sudah sampai di halte terakhir.�

- Rabat, 2016 -


INAS PRAMODA Orang Hilang Sunyi dan jalan yang terlampau kosong Lampu-lampu redup, menyisakan siluet kesombongan Dari tiang-tiang listrik yang kabelnya dipatuk burung Dan penunjuk jalan yang tak jelas arahnya kemana Hanya membuatku tersesat dan berputar-putar Iklan-iklan dan lowongan kerja sepi pelamar Orang-orang sudah sibuk dengan kerjanya masingmasing Dan di sudut kota, masyarakat terlena mimpi tanpa akhir Tanpa jeda di sela tenang malam dan riuh pagi Terowongan di depan terlampau panjang Banyak orang yang masuk entah berapa yang keluar Di dalam, hanya maju atau mundur Antara keyakinan untuk pulang ke rumah Atau kebimbangan untuk kembali ke jalan Banyak yang dirundung harap bersua Dan bertaut pupus di ambang nestapa Orang-orang menghilang tiap hari Menunggu mati atau kembali tanpa jati diri

- Rabat, 2016 -



IWAN VIDIANTO Sinar Damar di Sebuah Surau Di sebuah Surau bambu. Aku terdampar di ceruk masa kecil silam. Dengan kopyah lusuh, sandal japit dan dekapan kitab di dada. Aku masih bisa mendengar lengking suara santri-santri mengeja kitab suci. Alif, ba’ ta’, murojaah, lantun tartil mendengung, Lafadz-Mu berkumandang, berdebam dalam dada, denyut dan detak jantung. / Cahaya seperempat bulan, angin berayun, sinar kelip damar sesekali mengaburkan dhomah menjadi sukun, mengubah alif bersayap, mengepak seperti malaikat, yang mendekap malam dan menjaga angin tetap berhembus landai. / Semua bertafakur, tasbih, tahmid, tahlil, dan sholawat. Masing-masing berderap berduyun-duyun. Mewujud segerombolan angin. Dan doa adalah tangis yang mempunyai cawan bersayap yang dilesakkan segerombolan angin melesat jauh ke langit. Lalu meruap, menempel ke dinding-dinding cakrawala. Kemudian Subuh, merupa embun, jernih suci. Membasuhi bumi.



JIHAN AZ ZAHRAH Percuma Butiran salju kesepian Selimuti hidupmu Menebal di dinding jiwamu Yang sebeku kristal Walau arungi benua Walau jelajahi pegunungan Walau selami samudera Takkan berarti bila kau sunyi

- Tarakan, 2 Maret 2017 -



M. HUSNUL HUDA Perjalanan Sunyi sunyi tak pernah diam. Namun ia mendiami gerak agar terus berjalan, mencari singgah yang tiada mencari kealpaan yang terus ada sunyi mencari kubangan. Dipilihnya hatiku waktu berputar dalam denting yang dipacu dalam detak jantung, sunyi menjelma denyutku sunyi adalah udara yang dihirup ditungganginya nasib-nasib manusia direnggutnya jiwa para pendosa seperti penyair yang berumah di balik gelap mencari lalu mengubur sunyinya sendiri di dalam batinnya, di dalam bait-bait puisi. tapi entah, sunyi senantiasa mengembara sebab tujuannya tiadalah akhir bahkan pada maut sekalipun!

- Probolinggo, 2016 -



MUHAMMAD LUTFI Asing Aku sendirian merengguk waktu, Menenggak hari, menyapa kekosongan. Di antara bangkai hewan yang berserakan, Sumur kering kerontang, Air sungai mengalir tanpa air. Pohon-pohon tumbang tanpa anak, Seluruh daun menjadi debu. Biarkanlah kakiku berkarat, Melewati pintasan debu, panas dan dingin. Sedangkan hujan sekalipun mengacuhkanku. Biarkan aku tertatih mengenangkan desa rimbun berekor kambing Dengan kucing-kucingnya sebagai lagu dolanan. Aku sendirian, Berjalan melewati aspal yang berlumpur, Melewati tanah yang retak, Dan batuan yang tumpul. Di setiap ingatan pikiran, Perihku memuncak. Ketakutan menjadi pemburu tanpa bayang. Kegelisahan tertuang dari sorot mataku yang memudar.


Dimanakah aku menemukan ilalang liar, Dimana kambing dan sapi bisa menghirup udara. Kicauan burung yang menjadi arloji peringatan Sewaktu camar hinggap di bibir pantai. Di angkasa, kain-kain berterbangan Celana pendek anak bayi menjadi tisu Membersihkan kaca dan jendela yang rapuh Tanpa kayu dan pintu. Di dalam lampu neon, Ingatku menjelma menjadi pijar cahaya, Menyalakan kunang-kunang, Ribuan kunang-kunang menjadi mangga, manggis, dan pisang Di sekujur pagar rumah. Pengembaraanku berhenti sewaktu pagi, Saat matahari mulai menepuk bahu anak-anak sekolah, Kesadaranku kembali di depan televisi dan sebuah buku dongeng.

Pati, 24 Januari 2017



M. MAHFUD Epitaf Bukit Pada sketsa bukit sejadah yang kudekap dalam doadoa Seperti air mata menyimpan kepulan istijabah Di getar sujudku. Rokaat kemarau Dan udara kita yang coklat Merangkum nyeri hutan-hutan Meratus. Seperti Mahakam mengalirkan doa-doa nelayan. * Kita pernah menatap puncak Mandiangin Seribu malam menebar kidung kemenyan setiap tembang senja. Lalu, kita menjulurkan tangan-tangan kita ke langit menghitung ladang-ladang mimpi kita yang pekat “Jukung yang sebagiannya terbakar bulan, saat embun-embun mengalir dari batang ingatan kita (tentang seribu sungai dan bukit-bukit yang mengapung pada puncak Mandiangin), Langit kita tetap sama dan kecemasan seperti perlombaan yang harus dimenangkan melulu� ** Pekat langit di bukit cemas Seperti doa yang baru saja dipahat Di setiap sujud kita yang cair.


Ranting-ranting kemarau Seperti epitaf waktu Terseret dalam marifat dzikir kita.

- Banjarmasin, Juni 2016 -



M. RIDLO Arlojiku Padam Sebelum Sempat Kupakaikan Pada Kenangan Setelah kusimpan pintu rumah dalam jendela Kutemukan suara-suara hilang dan tenggelam Seperti aku sedang berada dalam rumah Yang pulang menuju ketiadaan. Sunyi dan tak punya tujuan Ingin kubangun sebuah rumah kembali Untuk kuhuni dan aku dapat melenggang Pergi tanpa takut barangku angkat kaki Diambil oleh pencuri dan membuat Mulutku kaku kehabisan suara Kutemukan pintu-pintu berdecit Dan tiada apapun di dalamnya. Ingin kubangun setiap yang tiada Dan membuat arlojiku dalam tubuhku Bangun dan berdetak mendekapku

- 2017 -


M. RIDLO Setelah Sekian Lama Tak Kunantikan Waktu yang Tanggal Ini Kucuri pandang yang resah dalam matamu untuk kusimpan dalam saku celana dan berharap kau akan menemukannya usai pertemuan kita dalam lamunan yang sedikit canggung dan membingungkan Besok, atau suatu saat nanti akan kucuri rindu dalam kacamatamu dan kusimpan baik-baik dalam mataku Agar dapat sekali saja kauterima kakiku melangkah ke berandamu menyisakan jejak di bangku taman itu Saat ini, kutemui hari-hariku di belakangmu yang kutemukan tinggal punggung dan gerai rambut yang kauikat lembut Tanpa kutemukan kembali matamu

- 2017 -



MYLA VABRILLA Sajak Bisu Tentang apa aku meneteskan tinta-tinta hitam di sudut kertas yang membisu Padahal huruf-huruf menuntut untuk terlahir dari rahim yang sama Dari ribuan pertanyaan yang menjadi teka-teki kehidupan Tanpa makna kata pun ada Tanpa huruf kata pun ada Dia ada dengan cara yang tak biasa Dia hidup, bahkan terpahat di atas prasasti jiwa Namun, hadirnya tak disadari oleh kehidupan Karena tak nampak pada bola mata yang angkuh Dia ada dalam kepungan baris cahaya Yang menjadi sajak-sajak membisu Dalam senandung malam yang bersyahadat bersama bintang Terkadang cahayanya merekam nyanyian burung hitam Melagukan irama kematian yang membungkam Entah sampai kapan sajak-sajakku tetap bersemedi dalam kebisuan Sedang suaranya telah membungkam detik-detik yang bersandiwara Di atas tarian tinta yang mengalir pada sendi-sendi sajak


Sajak-sajak yang hidup dengan separuh nafas Jangan lagi kau bunuh, dengan tikaman kata-katamu Supaya aku tak mati, Dengan membiarkanmu terus berpijak di atas bumi dusta Sajak-sajakku adalah cahaya bintang, cahaya bulan, irama angin, tangisan malam dan persaksianku pada Tuhan Semua bersatu dalam hikayat aksara yang nyata Sajak-sajak adalah aku Aku adalah jelmaan dari setetes air mani Jadilah aku yang amat hina Dan diri akan tetap hina Sampai aku tersungkur di keharibaan Tuhan


MYLA VABRILLA Lelaki Tanpa Nama Merupa rindu Dalam tubuhmu kau biarkan aku terbakar oleh gema tak kunjung usai Mencari jejak arah seperti yang kau janjikan Kau dimana atau aku yang kemana Malam begini dingin menitik aroma rindu, Meraba asa yang hampir tenggelam di kolam rembulan Aku masih sendiri Lelakiku, Tak puaskah kau mengembara di atas tanah sandiwara Sementara senja semakin cepat melalap lentera Pulanglah, Aku ingin memecahkan luka ini, Membiarkan senyummu terlelap di pangkuan jiwa Lelakiku, Letakkanlah namamu di sini, supaya aku dapat mengenalkanmu pada umurku

- Nurul Jadid, 17 November 2015 -



PEMPPY CEISSAR S. Kembali ke Rumah Diri Di pangku malam yang diam Sehikmat jari-jemari mengusap mata Menuntaskan rindu yang tak bisa tenang dalam dada Ohh aku telah berada di rumah diri Mengenang jajaran dosa yang purba dan rimba Ke palung telinga yang kian celaka Aku mendengar datangnya suara Tuhan Seperti kejauhan yang termaafkan Entah candu apa yang layak menjamah Aku ingin kesana Berjalan sendiri di antara doa-doa sepi



RACHEL CHINTHIA Tangisan Sang Malaikat Maut Fajar yang menanti di ujung senja dan Angin yang mengganas ketika aku datang Membawaku pada ukiran senyumanmu Yang terakhir kalinya di hari itu dan selamanya Sedu ombak berbisik lembut dan menyapaku Membawa tetesan asin dari mataku yang jatuh Ketika kupandangi samudra luas dan Wajahmu yang hilang dari sebuah mimpi Sia-sia semuanya tapi tak kusesali Karena aku tahu bahwa aku tak dapat tersakiti Aku cuma sang kurir dari satu tempat ke tempat lain Hanya seorang pengantar Sebuah tiupan angin membawa sayapku pergi Bersama seseorang yang harus kuantar pulang Bersama dengan tangisan alam Aku membawa dirinya ke atas dan bertemu sang Penguasa



RAKAI LUKMAN Kedai Kopi Pesisir dan Kartu Domino karang-karang mencoklat, ombak laut abu-abu berkejaran, impian yang hanyut diterpa angin tenggara, mengeja langit mendung udara yang pengap jatuh di kerut keningku, bercampur debu siang aku tenggelam di rima ombak dan deru keinginan matahari yang ngengat mengolah laut surut, detak jantungku letih menunggu para petarung domino canda tawanya menebas buih-buih pantai, aku terpaku di timangan waktu direguk desiran gelombang jenuh, aku tulis apa saja yang lintas dipandang, jemari jelajah ke mana saja aku meniada langit yang lusa kutepis dengan pisau gundah kutahu keasyikanmu meniada kedatangan dari jauh laut yang tak berhitung untung rugi, meniada sesuatu selalu gagal kau baca setangkup perlambang yang pendar pesiar ke negeri atas angin, bangsa atas ingin


aku menunggu perbincangan bersamamu kau asyik masyuk membelai kartu-kartu pun kata-kataku tak berarah, cukup membias di cangkir kopi mulai kerontang menunggu tegur sapamu awan-awan menggurat langit, birunya berguguran pagi tadi lintasan mataku nyalang, melahap perahu-perahu yang sandar mengibarkan getir nelayan, tak beroleh tangkapan, tak beroleh subsidi solar di lincak kedai pesisir aku terlempar dalam cangkir kopi panas juga di lipat-lipat gulungan ombak mungil gerai tawamu

- Panceng-Bungah, Desember 2016-Februari 2017 -



SABRINA MULIA R. Yang Tidak Terdengar, Sunyi dan Hilang

Dia meminta untuk menjadi tuli Atau menyumpal telinganya dengan duri-duri sebab suara-suara tak berperi Menyayat tempurung mata kaki hingga ke hati Namun ternyata, desir gerhana tengah membisiki angin untuk menghasut Membungkus para pencari mimpi yang ketakutan setengah mati Dengan selongsong peluru yang tersembunyi di sepanjang jalan angan, ketika berbunyi menimbulkan benci Dia telah menulis jutaan sajak yang berduet dengan kolot jiwanya Perjalanan ini sudah diputarinya hingga muak Dan kemuakannya telah digerus lapukan kayu Yang menahan, yang menahan, ketika digerogoti rayap, dikencingi musang


Dia berhenti memohon untuk menjadi tuli Ketika jubah kelam disingkap layar hitam di sudut kepalanya yang kaku Dia sadar bahwa selama ini perjalanannya sudah sepi Tanpa suara, tanpa ia harus menutup telinganya Tidak ada jiwa yang mendampinginya, menghangatkannya Benarkah keramaian itu muncul dari dalam tanah setapak yang kaku? Jawaban itu datang dari suara kepakan perutnya Yang kelaparan dengan dendam pembalasan atas kelakar penghinaan Yang kelaparan dengan ambisi pembuktian cinta bertepuk sebelah tangan Jalan ini tidak benar-benar sepi rupanya Dia masih bersama ego dan harga dirinya Karena doanya dikabulkan, bukan untuk menjadi tuli, hanya hampa


SABRINA MULIA R. Musim Menikah, Musim Meninggalkan Akhir yang indah, pada akhirnya menikahi ilusi Menata pesta mereka dengan ironi, kelabu, air mata dan kelabu lagi Janji yang mereka ucap tertanam di tanah benalu bernama alibi Dan anak mereka yang terlahir mengangkat sejuta relikui Sepasang tangan yang menunggu sambut dan pelukan Mulai rapuh dan retak pada tulangnya Sepasang kaki yang berdiri, melangkah dari sebuah panti, mengiris asa belati Mulai gaduh, mulai kecewa Pada akhirnya dia membakar semua rasa cinta, mengelabui dengan duka Teriakannya menggema dalam kalam kelelahan Dia hanya sendiri, tidak berdua, tidak bertiga Jejak pudar keyakinan menghunus rusuknya, mengelabui dengan duka


Akhir yang indah pada akhirnya tidak menikahinya Hanya menaruh undangan pada pintu bobroknya Atau cincin karatan dari kawat tetanus Dia menyadari bahwa sendiri yang menyakitkan adalah mati Dan sunyi yang menyakitkan adalah sunyi itu sendiri

Bandar Lampung, 12 Maret 2017 SMR



SAIFUL HASAN Perjalanan Sunyi Aku berjalan di malam yang sunyi Mendengar suara angin menumbuhkan rindu Seolah-olah memecahkan kesunyian angin malam Aku menangis bagaikan orang musafir Yang menangis di antara sepi dan bisu Seberapapun keinginanku Mungkin kedua tanganku tak akan mampu Menarik dirimu untuk kembali Hanya tinggal setitik harapan yang Membuatku hitam di dalam makam jiwaku Dirimu indah dan lebih mulia Dari suara lidah dan kedua bibirku Namun, aku risau karena dirimu Telah berbaur dalam kerajaan yang fana Suaranya lebih bergetar dari suara maut kematian Serta lebih lembut dari suara pesan ombak kediaman Hampir aku mati menahan rasa rindu Karena yang aku bisa sekarang Adalah menarik nafas dalam-dalam Serta mencoba tersenyum indah Walau separuh hati telah hilang bersamamu



SANIA SAVANNY Tanda Centang di Akhirat Gundukan tanah abadimu sudah tak basah lagi Namun airmataku belum kering jua Saat terpikir bahwa Tuhan telah salah Menuliskan namamu dalam daftar pencarian-Nya Bunga krisan putih ini menjadi saksi Bahwa aku telah melakukan sebuah perjalanan panjang Untuk singgah di setiap tempat yang dulu menjadi cita-cita Cita-cita yang kita tulis dalam sebuah kertas usang Meski kini penuh dengan tanda silang Karena tak ada tempat yang bisa kita datangi berdua Kecuali tanda centang untuk akhirat

- Sania, 2017 -



SOEKOSO DM Di Balik Selisik Angin Sebisik Sunyi dari hari ke hari kau dengar selisik angin menyusupi celah jendela rumahmu tetapi nyaris tak kau sangka diam-diam ia telah bisikkan nafas semesta ke dalam rabu kalbumu rawan barangkali sesekali sebisik sepi menguak kamar tidurmu mengirimkan mimpi perihal tetesan air di wajah batubatu yang kau tangkap sebagai dentuman-dentuman meriam di ketiak-ketiak benua yang sarat sengketa saling dendam dari abad ke abad dari zaman ke zaman antara selisik angin ada luka terkuak di balik tabir sunyi malam tanpa bintang yang kabarkan duka berjuta pengungsi yang tak henti berlari antara sabana sangsi dan prairi tak pasti angin hanya berkabar cemas gelisah zaman tak juga tuntas bersama semilir angin perjalanan sunyi tak hentihenti dari pintu malam ke gerbang hari mencari jawab atas tandatanya kenapa amarah alam terus merajalela adakah sebab nyala api angkara murka manusia yang terus merebak membarahkan luka raga luka jiwa kala salah menerjemahkan hakikat hidup ini?


betapa gemetar matakalbu menatap senyap merayap di runcing ranting yang mencakar wajah bulan di balik awan seolah mengirim warta perkosaan dan pembantaian sunyi terus menguntit jarum arloji seperti menyeret dendam dengki sunyi terus mengawini cuaca rawan sampai rawan hamil janin kekerasan ketika lahir merobek-robek harapan

- 2017, bumi bagelen -


SOEKOSO DM Sepi Mencatat : Senyap Menggurat lewat berlaksa abad gemuruh sepi mencatat sejarah siapa raja siapa rakyat mana pahlawan mana pengkhianat lewat bertandan zaman geriap sunyi merekam resah mana siang mana malam siapa penyayang siapa pendendam dalam kecipak sepi adalah catatan panjang tentang perjalanan air, uap dan hujan yang berdesar melewati gunung, sungai dan lautan tentang pengembaraan ruh, daging dan tulang yang berpusar dari jagat maya ke jagat kasatmata sampai kembali ke jagat baka menyeret beban misteri betapa sarat sepi! bersama kelam malam sunyi melanglang biru langit dalam semesta batin mencari makna tersembunyi di balik badai, banjir, bencana dan gerhana bersama kepadatan senyap menyusupi kalbu wingit mendedah setiap degup jantung kehidupan fana ini mencari arti cinta, darah dan airmata dengan sejarum senyap sepi mencatat segala peristiwa sejarah luka dalam tawa dan tangis dalam pesta bak mozaik koral berduri di altar upacara memikul rahasia semesta senyap nyaris tak kuasa!

- 2017, bumi bagelen -



SUCI BUDIYANTI Menyulam Sepi Lengang tak hanya datang setiap petang Dengannya aku berkawan bahkan sebelum pagi menjelang Ingin kupunggungi kerak sepi yang menempel pada jejak Namun kuasa diri telah habis terkikis jarak. Di setiap pedih yang tertelan untuk menuju ujung Aku menyulam helaian cerita tentang angan terpasung Di mana pada tualang panjang tak berarah, Juang-juangku justru semakin lemah kehabisan darah. Lalu dalam temaram kering tak berwarna Sunyi menjadi nafas utama raga tak bernyawa Entah nanti setelah kutemu alur untuk ditapaki, Mungkin dalam dengar ini ada suara yang meneriaki. Hingga menggapai titik merangkul arti diri Tak lagi kukenal lembab rasa sepi.

- Maninjau, 1 Maret 2017 -


SUCI BUDIYANTI Aduanku pada Tuhan Lama sudah langkah-langkah ini kuseret paksa mencari arti Kering sudah pucuk ubun-ubun ini membara sendiri di bawah mentari Gersang, Akalku sudah meradang mencari cara pulang. Senyap, Tak kudengar lagi suara-suara berteriak harap. Tak sanggup pulang namun lelah berpetualang Adakah ini sebab imanku tertinggal di belakang. Sendu, Air mataku berubah biru dengan tangan semakin beku. Salahku, Tak menyapa-Mu sedari dulu. Lalu setelah kutemu jalan buntu Pada-Mu aku mengadu. Sepi, Tersesat selama ini aku merasa sendiri Bertanyapun sudah tak didengar nurani Hanya meminta saat bergelimang hina Ingin Kau sentuh aku dengan tangan terbuka. Marah, Aku meledak setelah lelah hilang arah. Terasa rindu jiwaku terjamah hidayah Sebab itu ampunan-Mu akan menjadi anugerah termewah.

- Maninjau, 6 Maret 2017 -



TANJUNG AWAN Lirihan Sunyi Subuh Derai hujan menampar insan Lelah daya melacak gemerlap petang Hancur jiwa retak hati Waktu dini mencerca raga ini. Sendu sepi mencabik rindu Teringat waktu, lenyap sosokmu Angkasa petang tersapa hawamu Tiada menahu raga tukarnya. Aku merangkak sepi di ujung sini Samar ombak kupasti Senyap camar tak hirau Kaki pelabuhan kumengerti. Wahai pemuda pilihanku Nyawamu pasti permai sepeninggalku Acuhilah sendu langit senyap ini Merajut kembali bayangan riwayatku. Oh bundaku Sampai hati dirimu menyisihkanku Rimba belantara tanpa akhir penontonku Sunyi tanpa gemerlap binar subuh.


Aku merayap melangkah kaki Terindu akan sosok hadirmu Kuarungi purnama senyap mencarimu Wahai bundaku dimana dikau? Tak butuh permata bergunduk Habis kikis rindu purnamaku Tak perlu putri kelopak jelita Habis renta ingatku binarmu. Kupanjat dinding langit kelabu Genderang badai tawa menabuh-nabuh Bunga terbang sumringah segala arti Aku terima tiada segala pandumu. Aku iri hati menampaki kawanan semut Lengkap kaki tiada gagal Kuratapi pelupuk binarku Tengok raga dinda tertanam bumi. Wahai penciptaku, jadikan sayap padaku Melayang harapku kabur dari diam ini Tapi binar sosokmu menebas buluku Selalu gugurku pada jeruji sepi ini.


Selendang bulan kulambai Harap aku melayang, bundaku terbang Wujud sepi menampar sadarku Gugur raga, mati jiwa. Wahai roh angkasa Perjalananku tiada berakhir Sesak ini memangsaku Membelenggu sadarku pada batu. Aduhai nyawaku Ragaku bergetar sepi Rindu hati, peluk rupa Rindu raga, peluk jiwa. Hai langit junjunganku Sesak, sakit, sendu, makananku Walau belenggumu merantai diriku Kenapa selalu tidak ucapmu? Kau tahu diriku lara mencarimu? Tetapi, tiada kujumpa jasadmu Hingga kutemukan dirimu dalam diam Renungan tanah, kututup semula.


Segerombol belalang terbahak Ratap ragamu melayang di awang Sadar diri, hina betul diriku Biji padi menyerca berulang. Hutan bambu, cahaya sabit Jalan bumi arah tak jumpa Kaki berlari mencari mentari Menempuh masa diriku sendiri. Sadar aku, masa telah berlalu Berjalan hadir kaki sepi bayangmu Menanti waktu berdentang tungguku Menanti simpangan arah kita menyatu.



WILFRIDUS Z. KOLO Mengayuh Ombak Gelombang bergelora Angin kencang menggertak perahuku Jiwaku bergetar, hati bergeming Sunyi lautan menghukum Sampaikah aku berlabuh? Lautku, kau bisikan mimpi indah siang bolong Kini tanpa tangkapan, kau ambil nyaliku Apakah sepadan? Aku tak takut karam, hanya saja‌ Dia, si beliaku melek menanti Sejenak pasrah. Kukebumikan angkuh Bayangan si di pelupuk mata Kuambil pengayuh Kutikam kuat tubuh ombak Gelombangku, kau akan mengayunku menemui pantai Otot tanganku merintih Bilah jari melepuh gemetar air asin pahit di lidah gugusan pulau menyeruak di balik ombak Anakku tahu, aku pelaut ----



ZAINUL ANDONG Arah-Arah Mata Angin ada kuas yang tak mengenal kanvasnya, tapi keindahan terbilang di ruang-ruang makan, tersisa sendiri dari dunia masa lalu, atau sedang terasing, berapa kala-nya malam melampaui benteng-benteng tua kota gamlamo, menerawang magnitudo yang membeku di langit, memaksa ditafsirkan di bumi, bagaimana pula kita berputus asa, pada lembaran berikut yang belum kita baca, atau tidak sekalipun. sebagian dari kita melalui jalan yang tak mudah, bahkan “sabar�-pun telah menjadi kejenuhan, tersisa hanya “keyakinan�, bukan tentang jauhnya jalan yang telah atau akan ditempuh, tapi tentang jauhnya keyakinan, pada jalan penuh godaan, walau tak semudah itu, setidaknya percayalah pada kesabaran, seumpama tekad tanjung-tanjung kepulauan, yang tak henti ditampar gelombang, setidaknya belajarlah, pada dalamnya teluk-teluk kepulauan, yang meredam amarah samudera.


berapa kala-nya malam mendahului, setapak yang belukar di sini, memandang ratusan kincir tak mengenal anginnya, kertas-kertas dan berbagai kemungkinan berserakan, “menentukan” atau “ditentukan” adalah aubade pangeran bijak, pada perbedaan semakin takdir, bahwasanya ini bukanlah aforisme, tiap-tiap dari kita adalah asing dan terasing, ah...sejarah adalah perjalanan panjang yang sunyi, aku berlindung pada kuasa-Nya. pagi yang cerah, theresia…! menolehlah sekali padaku, saat itu, saat kelaparan meremas rahim perempuan-perempuan yang mati di Syria dan Afrika, bunga-bunga liar di halaman, kasihku…! seperti sastra tak bertuan, tempat kegelisahan berebut kata. Ternate, 28 Februari 2017


DAFTAR PENULIS Aan Handian. Saat ini ia sedang kuliah di Universitas Islam Raden Rahmat dan mondok di PPAI Nurul Hikmah serta beralamat di Kabupaten Malang. Kegiatan sehari-harinya selain kuliah dan mengaji juga mengajar di TPQ Nurul Hkmah, TK Muslimat AlHidayah, dan beberapa home privat. Hobinya adalah membuat puisi, mengaji, membaca, hiking dan futsal. FB: Aan Handian. Email: buronanmasjid@yahoo.com. Ade Ega Vernanda. Aharys Koeartz. Lahir di Kediri, pernah mampir di Jurusan Sastra Fak. Ilmu Budaya (FIB) UNAIR Surabaya. Beberapa karya esainya tentang teater dan sastra pernah terpublikasikan di berbagai media massa. Menulis berbagai Naskah dan Sutradara Lakon. Pendiri Teater GAPUS FIB UNAIR, Pendiri Teater Sanga Surabaya, Pendiri Forum Seni dan Sastra Luar Pagar (FS3LP) Surabaya. Karyanya pernah dibukukan dalam antologi puisi bersama: “Adakah Hujan Lewat Di Situ” (1996); “Upacara Menjadi Tanah” (1998); “Kudengar Seruan-Mu” (Penerbit Raditeens Publisher, 2017); dan antologi esai bersama: “Provinsi Para Penyair” (FS3LP, 2001). Sampai sekarang masih aktif di penulisan sastra, mengisi workshop teater maupun penulisan di sekolah-sekolah dan kampus serta konseptor Sanggar Bermain Rumah Idea Kediri. Facebook : https://www.facebook.com/aharys. Web Site: http://sanggarbermainrumahideakediri.or.id/ Ahmad Fauzi. Nur Ahmad Fauzi FM, lahir di Banjarmasin pada 28 Juni 1999. Bersekolah di SMA Negeri 1 Banjarmasin. Penggemar lagu-lagu Man With A Mission dan Fear, And Loathing In Las Vegas. Dapat dihubungi via fb: Nur Ahmadfauzifm. Ali Husein Assegaf. Seorang mahasiswa, dapat dihubungi di husainiali534@gmail.com. Amalina Dwi P. Berasal dari Yogyakarta, kelahiran 18 Juni 1997.


Ayu Qonita. Penulis lahir di Lumajang, 14 Juni 1995. Mencintai puisi sebagai sahabat sejati kehidupan, rekam bukti hidup dalam bentuk keindahan. Cermin dari perasaan yang sebenarnya. Penulis bisa dihubungi di ay22qo@gmail.com. Chandra Krisnawan. Lahir 01 November 1983. Menulis puisi, cerpen, dan essai. Saat ini bekerja di sebuah perusahaan logistik dan menjadi penulis lepas di sebuah koran lokal yang terbit dua minggu sekali. Puisi pernah terbit dalam Antologi Puisi Kumpulan Syair-Syair Keindonesiaan (diterbitkan dalam rangka Dies Natalis ke-52 Universitas Negeri Yogyakarta). Saat ini tinggal di Surabaya. Email : chandrakr83@gmail.com. Dananil Qayyum Afdee. Lahir di Sumenep 25 Mei 1999. Seorang anak fantasi Dewi Lestari yang saat ini masih nyantri di PP. Annuqayah Lubangsa Putri. Mahasiswi Instika Jurusan Hukum Guluk-Guluk Sumenep Jawa Timur. Aktif di Komunitas Penyisir Sastra Iksabad (Persi) dan Conglet Paguyuban Karya (CPK). Bisa di hubungi di nanildananil@gmail.com. Dian Nastiti Dwi Mahanani. Kelahiran Bantul, 4 Juni 1991. Saat ini tinggal di Yogyakarta. Dapat dihubungi melalui email dianmahanani@yahoo.com. Dwi Fikriyah. Lahir di Probolinggo, 25 Juli 1992. Bercita-cita menjadi penulis. Tahun 2014, mengikuti program SM-3T di Kabupaten Kepulauan Sitaro, Sulut. Tahun 2016, ia menempuh beasiswa PPG di UM dan berkontribusi dalam penerbitan cerpen bertema pengabdian yang berjudul “Mengeja Titik-Titik Nusantara�. (e-mail: dwifikriyah08@gmail.com). Dyah Ekawati Noor Fitri. Umur 19 tahun, sekarang menempuh pendidikan S1 Teknik Lingkungan di Universitas Pertamina, Jakarta. Ia berasal dari kota kecil, Ngawi, Jawa Timur. Jika ada yang menggelitik pikiranmu, buka saja twitter atau instagramnya di


@dyaha. Semoga keresahanmu lekas sembuh. Biarkan bahagia menuntunmu menemukan dirinya. Sampai jumpa di lain aksara. Elsa Febrina. Berasal dari Jambi, dapat dihubungi melalui email elsa.febrina1210@gmail.com. Hamiruddin Hutabarat. Lahir di pojok kota Sumatera Utara. Pasar Dua Natal. Putera kedua dari empat anak Abdul Wahid dengan Emi Yohanna. Alumni IAIN IB Padang. Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Dapat dihubungi melalui Fb: Hamiedista Senyuman Jiwa, Email: Htb.amir@gmail.com, Alamat Domisili Sekarang: Sarang Gagak, Kelurahan Anduring, Kecamatan Kuranji, Kota Padang. Hari Setiawan. Lahir di Kota Magetan, Jawa Timur, 21 Februari 1995. Suka mendengarkan musik dan menonton film, saat ini sedang menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Email: hari21dc@gmail.com. IG: setiap.hari. Motto: Berbicara tidak harus bersuara. Ilmi Abdullah. Penulis lahir di Provinsi Sulawesi Selatan. Sekarang menetap di Makassar dan belajar di sana. Penulis menyukai puisi, cerpen, dan film. Email : ilmiabdullah10@gmail.com Inas Pramoda. Lahir pada Agustus 1996. Menghabiskan masa kecil sampai lulus SD di Jakarta lalu merantau ke Malang sampai SMA. Sempat aktif di teater Singosari dan jatuh cinta dengan sastra. Kini sedang mengenyam pendidikan sarjana di Maroko untuk jurusan Studi Islam. Menggunakan nama pena: Inas Pramoda dan masih terus berproses untuk menulis. Iwan Vidianto. Lahir di Kota Gresik 28 tahun silam. Sekarang berdomisili di Surabaya. Sebagai pendidik di SMA Muhammadiyah 10 Surabaya, relawan sosial di yayasan Seribu Senyum, serta pegiat literasi di Tinta Emas. Penulis aktif menulis cerpen, puisi, fiksimini dan artikel. Buku pertamanya adalah sekumpulan puisi


yang berjudul "Rumbai-Rumbai Kehidupan�. Beberapa puisinya pernah memenangi sayembara puisi nasional. Di antaranya berjudul: Rekonstruksi Memori dan Padamu Ibu. Beberapa cerpen, fiksimini serta artikelnya berkeliaran di media cetak maupun online lokal dan nasional. Pernah dinobatkan sebagai penyair muda terpopuler 2016 di komunitas Negeri Kertas Surabaya. Selain aktif berkarya penulis aktif di berbagai organisasi. Salah satunya adalah pendiri komunitas literasi di lingkungannya yakni komunitas Tinta Emas. Karya-karya dari komunitasnya bisa dilihat di web: Tintaemas.net. Penulis membakar semangat siswa, guru dan anakanak muda di sekitarnya dalam berkecimpung di dunia literasi. Tahun ini karya mereka akan segera dibukukan. Penulis bisa disapa di akun FB-nya: Iwan Vidianto. Email: Vidianto.iwan@yahoo.com. Jihan Az Zahrah. Lahir 27 Januari di Tarakan, Kalimantan Utara (kota kecil di provinsi muda). Putri sulung yang baru terbebas dari hikikomori akut. M. Husnul Huda. Akrab disapa Onong. Alumnus PP. Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep asal Pamekasan. Puisi-puisinya tersebar di beberapa bunga rampai, media cetak maupun online. Aktif di Komunitas Sastra Titik Koma. Kini sedang nyantri di PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Bisa dihubungi melalui akun Facebook Nong Onong. M. Lutfi. Tinggal di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. E-mail: ajidika69@yahoo.com. Lahir tanggal 15 Oktober 1997. Fb: Muhammad Lutfi. Sekarang berstatus sebagai mahasiswa di Fakultas Ilmu Budaya, Prodi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta. M. Mahfud. Mahasiswa jurusan Perbandingan Madzhab Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari Banjarmasin. Pernah menjabat sebagai Pimpinan Redaksi di Lembaga pers mahasiswa suara kritis mahasiswa (LPM Sukma) peiode 2013/2014. Saat ini sebagai Pimpinan Umum LPM Sukma periode 2015/2016 IAIN


Antasari Banjarmasin. Aktif di Himpunan Mahasiswa Jurusan Perbandingan Mazhab (HMJ PM). Juga termasuk perintis berdirinya Lembaga Pers Mahasiswa Anak-anak Lingkar Syariah (LPM ANALISA) Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari Banjarmasin. Ia menulis berupa puisi, cerpen, esai, kolom dan artikel di beberapa media antara lain. Radar Banjarmasin, Radar Madura, Banjarmasin Post, Media Kalimantan. Koran Mata Banua, Buletin Sidogiri, Majalah Kakilangit (Horison), Hijrah, MPA (Mimbar Pembangunan Agama), Majalah Iltizam, Majalah Analisa, Sukmagazine Dan Al-Ikhwan Banyuanyar. Juara harapan 1 lomba cipta puisi (PP. Agung Damar) 2010, juara 3 lomba cipta puisi (Olimpiade MA1 Annuqayah) 2010. Juara 1 lomba cipta puisi hari ibu yang di adakan HMI Fakultas Syariah 2013. Puisinya menjadi nominasi FTD (Forum Tinta Dakwah )FLP Riau 2010. Juara III lomba cipta puisi tingkat nasional di UIN Syarif Hidayatullah 2012. Juara III lomba cipta naskah drama Dewan Kesenian Banjarbaru Desember 2015. Juara III lomba cipta puisi tingkat nasional di Universitas Brawijaya Malang 2015. Organisasi: Rumah Sastra Bersama (RSB 2010-2011). Teater Kotemang (MA 1 Annuqayah 2010-2012). Pondok Huruf Sastra (IAIN Antasari Banjarmasin 2013sekarang). Lembaga Pers Mahasiswa Sukma (Pimpinan Umum, 2014/2015). Lembaga Pers Mahasiswa Sukma (Pimpinan Umum, 2016/2017). Lembaga Pers Mahasiswa Analisa (Pendiri, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam 2013-sekarang). Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (DPW Kalsel 2014-sekarang). KNPI Kalsel (Komite Nasional Pemuda Indonesia). PPMI (Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia tahun 2014-sekarang). Email: Mahfud651@gmail.com. M. Ridlo. Lahir di Kota Bandung pada tahun 1995. Saat ini sedang menempuh studi S1 Sastra Indonesia di salah satu PTN di Bandung. Myla Vibrilla. Berasal dari Sumenep Madura. Merupakan mahasiswa aktif di Institut Agama Islam Nurul Jadid (IAINJ) Paiton Probolinggo, email: MylaVabrilla. Facebook: Myla Vabrilla. Pemppy Ceissar S. Lahir di Jakarta 8 Juni, tinggal di Jakarta Utara. Beberapa karya puisinya sempat dimuat di Oase Kompas, radar


seni, kumpulan fiksi, competer, lini fiksi dan antologi bersama Long Distance Relationship, Tifa nusantara 3. Alamat email,ceizrighthere@yahoo.co.id. Rachel Chinthia, Lahir di Palu, 20 Maret 1991. Penulis memiliki hobi membaca buku dan menonton film. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dan gemar menulis puisi di sela-sela waktu menulis. Penulis merupakan alumni Universitas Kristen Duta Wacana. Email: linea.cantlie@gmail.com. Rakai Lukman. Lahir di Gresik, Jawa Timur. Bergiat di Wisma Poetika dan Sanggar Jepit, wahana penulis dan kesenian di Yogyakarta. Sempat aktif di Teater Eska, Kreseg (Kreasi Seni Arek Gresik), teater HAVARA dan ketua EXIST (MA Assa’adah bungah Gresik) dan Cinemage (Cinema Image Production) yang bergerak dalam film dokumenter, juga LPM Advokasia dan PSKH (Pusat Studi dan Konsultasi Hukum). Juga pernah menjabat sebagai ketua IMAGE (Ikatan Mahasiswa GRESIK di DIY). Sekarang partisipan KOTA SEGER (Komunitas Teater se-Kabupaten Gresik) dan PIMRED bulletin KOTA SEGER News. Pengurus harian LPSM (Lembaga Pendidikan Sosial Masyarakat) di Desa Sekapuk. Sebagian karyanya dalam antalogi bersama “Kitab Puisi I Sanggar Jepit”. Karya puisi dan cerpen dipublikasikan di daerah dan nasional, di antaranya: Majalah Sabili, Balipost, Pers mahasiswa UIN Sunan Kalijaga (Arena dan Advokasia), dll. Sabrina Mulia Rhamadanty. Lahir di Bandarlampung, 10 Januari 1998. Anak pertama dari empat bersaudara. Menempuh pendidikan dasar hingga SMA di Bandar Lampung. Saat ini berstatus sebagai mahasiswi pertanian di Universitas Lampung dengan jurusan Agribisnis. Jatuh cinta untuk pertama kalinya di dunia sastra saat menginjak bangku SMP melalui salah satu perlombaan cipta puisi tingkat nasional, penulis akhirnya terjebak dengan cantiknya sajak dan rima. Penulis beberapa kali memenangkan perlombaan cipta puisi baik dalam tingkat sekolah maupun umum. Saiful Hasan. Berasal ipunkssaiful@gmail.com.

dari

Pulau

Raas.

Email:


Samian Adib. Lahir di Bangkalan, 15 Agustus 1971. Antologi puisi bersama antara lain: Ziarah Batin (Javakarsa Media, Jogjakarta, 2013), Cinta Rindu dan Kematian (Coretan Dinding Kita, Jakarta, 2013), Ensiklopegila Koruptor, Puisi Menolak Korupsi 4 (Forum Sastra Surakarta, 2015), Memo untuk Wakil Rakyat (Forum Sastra Surakarta, 2015), Kata Cookies pada Musim (Rumah Budaya Kalimasada Blitar, 2015), Merupa Tanah di Ujung Timur Jawa (Universitas Jember, Jember, 2015), Kalimantan Rinduku yang Abadi (Disbudparpora Kota Banjarbaru-Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2015), Memo Anti Terorisme (Forum Sastra Surakarta, 2016), Memo Anti Kekerasan pada Anak (Forum Sastra Surakarta, 2016), Arus Puisi Sungai (Tuas Media, 2016), dll. Aktivitas sekarang sebagai tenaga pendidik di sebuah Madrasah di Jember. Sania Savanny. Lahir di Selong, 22 Oktober 1999. Tinggal di Kec. Karang Kelok, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Email: saniasavanny@yahoo.co.id. Hobi menulis dan melihat langit. Motto: “Menulis hanya sebatas hobi, bukan bakat. Menulislah untuk diakui bukan sekedar pamer”. Soekoso DM. Lahir 1949 di Purworejo. Berpuisi sejak 1970-an di media daerah dan nasional seperti Suara Merdeka, Suara Karya, Kedaulatan Rakyat, Krida, Semangat, Horison. Memenangkan beberapa lomba puisi al. Puisi Antikekerasan (KSI Jakarta, 2001). Geguritan (puisi Jawa) – nya tersebar di Djaka Lodang, Mekar Sari dan Panjebar Semangat (1970–2015). Antologi Puisi tunggalnya al. Kutang-kutang (1979), Bidak-bidak Tergusur (1987), Waswaswaswas, Was! (1996), Sajak-sajak Tanah Haram (2004) dan Decak dan Derak (Elmatera Yogya, 2014). Puisi lainnya terserak di lebih 25 antologi campursari, al. Kakilangit Kesumba (Kopisisa, 2009), Antologi Puisi 3 bahasa Equator (Yayasan Cempaka, 2011), juga Antologi Puisi Menolak Korupsi dan Memo Antikekerasan Terhadap Anak (Forum Sastra Surakarta, 2013 / 2016), dan Antologi Puisi Klungkung (Yayasan Nyoman Gunarsa Bali, 2016). Pernah bacakan karyanya di Semarang, Solo, Yogya, Jakarta dan Putrajaya (Malaysia). Sejumlah puisinya dimusikalisasikan Grup


Musik Serambi Bagelen. Sejak 1979 - kini menakhodai Komunitas Sastra KOPISISA Purworejo. Bermukim di Purworejo, Jawa Tengah. E-mail: soekoso.dm@gmail.com. Suci Budiyanti. Lahir di Maninjau, 2 Januari 1993. Email: suci.nur52@gmail.com. Alamat: Jorong Kampung Jambu Kenagarian Bayur Kec. Tanjung Raya, Agam. Website http://sucibyt.weebly.com. Pengalaman: Menulis buku kumpulan puisi bertajuk “Aku dan Cemara� lewat self publishing di nulisbuku.com. Menulis berbagai artikel sejak masa kuliah di Ilmu Komunikasi Universitas Andalas. Aktif menulis puisi dan dipublikasi lewat akun instagram puisi.lingkaran. Tanjung Awan. Lahir 12 Mei 2003. Ia merupakan alumni sebuah SD yang berada di Kalimantan Tengah. Ia sekarang tinggal di Kalimantan Tengah, saat ini duduk di bangku SMP. Ia bisa dihubungi melalui email: tanjungawan1253@gmail.com. Wilfridus Z. Kolo. Penulis merupakan seorang jurnalis di Jakarta, yang lahir di Pulau Timor-NTT. Menghabiskan masa kecil di kampung membuatnya sangat peka dengan kejadian-kejadian kecil yang bisa menjadi catatan kaki dalam mengaruhi setiap kehidupan. Email: wilfridus.kolo@ymail.com. Zainul Abidin Syah Andong. Lahir di Tondano Sulawesi Utara tahun 1986, masa kecil di Kota Ternate Maluku Utara dan tumbuh besar di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Saat ini beralamat di Kota Ternate. Berprofesi sebagai arsitek freelance.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.