Poetry Prairie Literature Journal Cinta adalah getaran perasaan yang membuat hati dan angan
kita
penuh
kebahagiaan
dan
harapan.
Penuh
keindahan.
harapan
Dengan
pada segala
kekompleksitasan manusia, cinta layaknya misteri yang berselimut kisah-kisah bahagia, haru ataupun duka. Semua rasa yang meramu cinta mungkin tak akan sama untuk semua orang. Awal dan akhirnya pun tak semua sama. Namun selama ada cinta, maka akan selalu ada harapan bagi manusia. Dalam Poetry Prairie Literature Journal edisi Bulan Maret 2016 bertajuk “Perayaan Cinta� ini terkumpul 36 puisi pilihan
menampilkan
menggemuruh
dalam
berbagai
wajah
perasaan
cinta
yang
masing-masing
penulisnya. Mari turut larut dalam pusaran cinta yang mencari ujung perjalanan. Baca dan resapilah cinta, Poetry Prairie
Poetry Prairie & Authors
Abd. Khaliq Alek Brawijaya Anjia Mutiara Bagas Anjar Nugroho Boy Boangmanalu Daviatul Umam Dewi Rizqi Maulidah Dita Aditya
Malika Sabrina Megadea M. Husein Heikal M. Ilham Fauzi Muksin Kota Murniati Demong Nuril S. Zaini Rayhanah Azzahra
Farida Ardiyah
Riduan Hamsah
Fitri Anggarsari
Rini Hardiyantini
Fransisca Thelly Ruban
Rofiqi Ar-Rombenny
Halimard
Selendang Sulaiman
Hamzah Firmansah Hayatun Nufus Irna Novia Damayanti Julia Hartini Kharis Dwi Irpan Lupy Agustina Dewy
Shella Wani Siti Fadhila Zanaria Surya Gemilang Wiladatika Ananda Yulianti Zainul Andong
Walk With Me
- Poetry Prairie –
WALK WITH ME Come walk with me Through many roads Gravels or dirt Mountain summit or seaside Natural tunnel or underwater But I want you to know that it's okay 'Cause we are walking together And I'll never get far Right next to you We may cannot count How many miles we've been through How many strain muscles we've endured How many detours we've taken To fix our journey To complete the adventure Of being on the same road With the person with different heartbeat Can you imagine, Looking at the most clear sky When we are lost at the prairie A pure silence opens the night sky Then stars, hundreds of them looking at us We are the travellers of space On that perfect moment Can you imagine, Seeing the wind's pattern on the desert When the heat is sailing by the the wind, and let the water runs dry in our body
Then from the midst of silence A desert hyacinth blooms by your tears Soften the roughness of dense dunes We are becoming believers That a beauty is not always easy to see Yes, there will be times like this Then would you come walk with me? Not to remember how many steps, how many laughter, tears and flowers, how many days you breathe in and out, but to feel alive together Come walk with me now And let us learn to find our way Trough so many roads Like a deer on a lush forest Like a tiger on vast steppe-tundra Being blessfull Being strong Being forward together Poetry Prairie, January 2016
Endorfin
- Abd. Khaliq –
ENDORFIN Aroma tubuhmu telah lama aku simpan dalam bisik nadi Perahlah, ia begitu suci selayak air yang mengalir dalam pelukku. Sesekali aku pernah bermimpi menjadi keringat dalam perjalananmu Mejadi derak nafas yang pasang surut Seketika engkau mempercepat langkahmu sepanjang kemarau, sepanjang ephemrida yang engkau tulis kembali. Mandikankanlah rasa enunsiasi ini dari kembang kamboja Hidupkan kemenyan, bungkuslah dari kafan, sampai kenangan dan luka-luka tidak lagi tersisa di keranda Lalu, zikirkan aku dari aroma tubuhmu yang sempat terpadamkan dalam bayang. Perahlah, sesekali urat-urat masih mampu menyanyikan lagu kematian di penghujung kalbu. Maka, inilah kesunyian yang aku pilih dalam jarak Di antara menghapus aroma tubuhmu, membunuh kenangan yang pernah basa dalam mimpiku di ambang kuburan.
Rasa yang pernah aku abadikan dalam pelukmu Memillih sepi bersama keabadian di tubuh puisi. Rumah Kata, 2015
Abd. Khaliq. Lahir di Tamansare Dungkek Alumni nasy-mut Candi II lalu hijrah ke Annuqayah. Aktif di kom. PERSI, SANGGAR ANDALAS, KOMPOLAN SASTRA, MSP. Belajar menulis sejak masuk kelas 1 SMA ANNUQAYAH. Puisinya dimuat di berbagai media: Buletin Jejak Bekasi, Buletin Kompak, Horison Kaki Langit, dll. Antologi bersama di Bandara Tangisan Penyair 2013, Suatu Ketika Mereka Membunuh Musim (Gambam 2015). Puisinya pernah mendapat penghargaan Juara II di Bulan Bahasa UGM 2015. Penulis juga penggerak Rumah Kata, Ketua Sanggar Andalas. Email: asholikgunawan.@yahoo.co.id.
Kujarat Malam di Bantara Dempo
- Alek Brawijaya -
KUJARAT MALAM DI BANTARA DEMPO Aroma harummu terbawa angin malam Berhembus menerpa gumpalan awan Yang menyembunyikan bulan di balik dempo itu Dan kau taburkan segelintir cahaya yang menerangi langkahku Agar kelak aku bisa melihat kembali jejak-jejak yang tak bersuara Aku berjalan menafsirkan bayang-bayang Sebagai isyarat bahwa semburat rona akan menjadi cahaya sempurna Seperti tanda-tanda yang kau berikan aroma yang harum, daun yang jatuh, atau kelopak yang beterbangan adalah arah untuk menemukanmu Kau adalah pelepas malam Ketika penat menyelimuti pandanganku Membuatku terbangun dari tidur yang panjang Setelah pesan kuhirup bersama kabut pagi Yang perlahan menghilang dan menjadi terik fajar yang mekar Kujaratku, kaulah cahaya pelita dalam temaramku. Palembang, Maret 2015 Dempo adalah gunung tertinggi di Sumatera Selatan dan terletak di daerah Pagaralam
Alek Brawijaya. Lahir di Teluk Kijing Sumatera Selatan, tahun 1992. Tulisannya pernah dimuat di Koran lokal dan beberapa media lainnya serta tergabung dalam Antologi puisi “Perauh Kelebu (2011), Munajat Tugu Bundaran (2013) dan Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia III”. “Puisi tidak sekedar hobi melainkan sahabat sejati seperti malam saat kesunyian sebagai cermin dari ketenangan dan kedamaian. Karena ketika malam serasa segelas aksara tertuang di dalam kertas putih dan saat itulah aku bercerita tentang segalanya.”
Rindu Tak Berujung
- Anjia Mutiara -
RINDU TAK BERUJUNG Desir bayu menyayat hati Menoreh waktu bisikkan rindu Berseloka sama dedaunan kering Menguak rasa terhempas layu Ruang waktu dinding pemisah Pembuncah asa bergelayut sepi Bagai jasad bicara tanpa makna Andai jarak mengerti Satu sisi di ruang rindu Menerka secercah cahaya Menembus relung hati Rindu tak berujung ini Merayu resah, membisu Dalam setitik angan Namun tiada pasti Kebumen, 4 Februari 2016
Anjia Mutiara. Lahir di Kebumen, 09 Juni 1987. Bisa dihubungi melalui fb Anjia Mutiara dan email ratini1987@gmail.com.
If You Asked Me To
- Bagas Anjar Nugroho –
IF YOU ASKED ME TO I would run and precede the dawn Even when I don‟t have your promise to hold on When it is dark you are the pink in my night With you I would dance under the moon even when it isn‟t bright I would cut my unmade bridge to heaven Even when you make me leave my dreams so I can talk to you at seven When we wish and cry to God in different path For you I would swallow this painful, shredding wrath Because your glance worth million warm kisses You broke my heart once, now you pick it up by pieces No matter if in the end you‟d leave me with the growling wolves For you I would die lonely, with you I would let my romance unsolved I wouldn‟t mind bleeding while loving you Oh dear, if you asked me to
Bagas Anjar Nugroho. Lahir di Jakarta tahun 1997. Berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Jakarta. “Alasan saya suka menulis puisi adalah karena dalam puisi, saya dapat menjadi diri saya yang sebenarnya, saya dapat menggali perasaan saya untuk dituangkan dengan tak terbatas, tentu tanpa melupakan esensi dan estetika.”
Jalan Hidup Kita Satu
- Boy Boangmanalu -
JALAN HIDUP KITA SATU Seusai kutatapi kedua bola matamu, aku ingin kita bersalaman dari mata lurus ke hati hingga erat menanami kita sebutir benih keyakinan yang batu. Seumpamapun kau merawat musim lain, selain hujan dan tanah subur di ladang permulaan ini, aku akan tetap meniti tumbuh hingga cemas yang lumpur berangsur-angsur lebur. Jabatlah raihlah erat yang terjenjang di genggamanku meski tanpa apa-apa yang tertuduh menjadi saksi cukup lemparan sinar dari matamu sebagai ketukan palu pertanda aku sekat dan kau setuju lekat Sebab hamparan yang kita tuju itu adalah sejauh-jauhnya hulu berjarak seperti langit dan palung terhitung dari batas pintu kamar kita yang berhadapan kesanalah perahu kayu dan tekad kita bertaruh demi rahim air yang mengalir sebagai masa depan paling asri, paling murni Pada padam petunjuk jalan yang nanar jalan kita satu
setengah milikku, setengah milikmu sebagaimana kau gagal menafsir akar muasal aku semakin remang mengenali bayang tujuan Maka di perahu itu, pastikan kau duduk searah denganku Sleman, Februari 2016
Boy Boangmanalu. Lahir di Sidikalang, Sumatera Utara pada tahun 1993. Saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Geografi UGM Yogyakarta. Menyukai Filsafat dan Sastra, saat ini sedang mengelola komunitas Sastra Serinai di Sleman, DIY. Email: boangboy@gmail.com. Blog: boangboy.wordpress.com.
Kasmaran
- Daviatul Umam -
KASMARAN : Adisty Handayani Di dekatmu beliung di jantung mengamuk Rindu runtuh iman remuk Darah berdesir-desir keringat saling menyihir Ke hilir jiwaku riak cintamu silir-mengalir Jauh darimu angin merahku semakin mabuk Menyerbu kalbu ingin lebih lubuk dari kecup dan peluk Buta segala-gala gelora merobek takdir Hanya di tubuhmu kemarau dan hujanku „kan berakhir Sumenep, 19 Februari 2016
Daviatul Umam. Lahir di Sumenep tahun 1996. Alumni PP. Annuqayah daerah Lubangsa ini pernah menjabat sebagai Ketua Umum Sanggar Andalas, pernah aktif pula di beberapa Komunitas Teater dan Sastra lainnya. Kini masih terus berpetualang dengan buku-buku serta pena kesayangannya untuk mengembangkan apa yang menjadi talenta hidupnya di tanah kelahirannya sendiri, Poteran Talango Sumenep Madura.
Menyunyikan Cinta
- Dewi Rizqi Maulidah -
MENYUNYIKAN CINTA Kuhitung jauh, yang beramai-ramai kabur dari sepi. Dan sebagian yang sepi, telah ramai oleh sunyi. Bagaimana akan mengabur? Padanya yang terguyur hujan, yang derasnya di dalam dada. Meski kutahu takkan menemukanmu, di samping lelapku. Telah kuruwat rasa yang mengakar dalam jiwa. Kusimponikan di setiap kesunyiannya. Berpukau pada duka yang terlalu indah. Menyimpulkan cinta. Semakin sunyi, yang ramai pada bunyi-bunyi, yang bunyinya berpukau, pada serdadu rasa, yang bercandu. Tanpa menyungkur balasan. Reras kan reras. Reras kan reras. Menyamur-nyamur di setiap gejolaknya. Menyunting semesta dalam buaian.
Karna sungguh, teramat ramai sunyinya cinta. Menian-nian manisnya. Tanpa fana. Malang, 24 Februari 2016
Dewi Rizqi Maulidah. Penulis asal Gresik yang masih menikmati menjadi mahasiwi S1 tingkat akhir di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang. Selain pengalamannya sebagai jurnalis, Dewi sudah suka dengan menulis terlebih pada dunia puisi. Baginya, puisi adalah bentuk untuk mengungkapkan yang tak terungkapkan. Selengkapnya, silakan kunjungi instagram/twitter-nya: dewi_derimah.
Catatan Pertemuan Luka
- Dita Aditya Rahmawati -
CATATAN PERTEMUAN LUKA Air jatuh menyapa tanah Silap mata Tuhan segala ketidakyakinan menjadi mungkin Seribu satu warna rasakan deras detak jantung Bak air mengalir hingga terhenti pada samudera Satu kata lima huruf satu arti memutar dunia hingga beralih tujuan Cinta‌ maha daya zat kuasa manusia Teguh ukiran cerita dibuat hingga meluap Tak sadarkah, perlahan kau tancapkan pisau berkarat yang dulu kau sembuhkan? Darah luka itu bagai lahar panas gunung api mendidih membakar hati Goresan luka yang kering sekejap membiru Cinta, apakah kau Tuhan dari segalanya? Atau penafsiran besar padamu di luar nalar kepala? Air yang kuteguk merapuhkan hidup Kepergian tanpa pamit merasuk luka-luka lama Darah mati mengalir sekujur tubuh menjadi tinta jagat yang semu Hadir batang hidungmu memiliki peran utama Walau kau mengangakan cedera hati yang tersembunyi Dan kelalaian ketika menerima dan menanam benih harapan Tahukah rasa kopi panas yang kau tinggal pergi pagi hari? Itu aku‌
Dita Aditya Rahmawati. Lahir di Bandung tahun 1995. Mahasiswa Telkom University jurusan Administrasi Bisnis. Memiliki hobby menulis puisi dan mengikuti lomba puisi sejak SD. Bagi Dita Puisi merupakan bagian dari cara untuk mengekspresikan diri dalam bentuk kata-kata.
Jalan Sunyimu
- Farida Ardiyah -
JALAN SUNYIMU pagi adalah kepolosan yang menyeka air mata senja adalah kepulangan jiwa pada diam diam... yang menggetarkan jagad dalam petang kau dudukkan rasa aku digenangi kemarahan elokmu aku dibanjiri rasa bersalah yang dalam sekian lama sesalku menjadikanku tiada sampai yang terbakar menjadi abu jiwaku belum juga dewasa matamu adalah bak telaga ketenangan yang membuatku makin terisak aku bukan siapa-siapa haha... aku tertawa pada diriku sendiri betapa hidup adalah himpunan suka duka dan cinta adalah sesuatu yang tak terjelaskan pada suatu sore... aku tenggelam dalam ingatan tentangmu engkau sudah pulang dengan jiwa kelegaan sedangkan aku, masih seperti anak kecil yang enggan menjemput kedewasaanku lantas, tangisku tak lagi bersuara
cintamu membawaku pada rasa terdalamku seolah engkau ingin mengatakan padaku bahwa "kita datang hanya untuk pulang"
Farida Ardiyah. Berasal dari Cilacap. Sekarang sedang menempuh pendidikan jurusan Psikologi di Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Aku suka nulis puisi karena puisi bagiku adalah perwakilan bahasa hati, rasanya lebih asyik menuangkan pikiran dalam bentuk puisi.
Melawan Ingat
- Fitri Anggarsari -
MELAWAN INGAT Hentakkan kakimu, Hempas dia dalam hatimu, Lihatlah ruang dan waktu, Masihkah ada kamu, Masihkah ada lukisanmu di dia, Cobalah menerka, Rasakan dengan nuranimu, Tatap apa yang ada di pandangannya, Jangan luka, Jangan pernah luka, Kosong yang ada, Senyum itu dari pikirannya, Senyumnya penuh rencana, Tangannya di bawah, Tangannya menengadah, Layunya rasa dalam hatimu, Itu rahasia pencipta dan ciptaan-Nya Parasnya memang silau, Hatinya begitu redup, Pikirannya begitu picik, Logika terlalu sakit, Hidupnya penuh dusta, Topeng kebaikan terpasang, Seluruh hamba Tuhan mengiyakan, Mengiyakan apa yang diperbuat, Mengiyakan adab busuk tak terlihat,
Tawanya terbaca lukaku, Langkahnya tersimpan karma dariku Dia itu sang pengelana, Sang pengembara, Mungkin juga pujangga, Hingga waktu bumi berhenti, Dan nafasnya tak ada lagi, Dia baru mengerti, Dia baru memahami, Arti diciptakan , Arti kasih sayang.
Fitri Anggarsari. Saya suka menuliskan semua cerita tentang hidup saya, karena saya bingung harus bagaimana. Dengan menulis, emosi dan unek-unek bisa terluapkan.
Omega
- Fransisca Thelly Ruban -
OMEGA Kamu jelas bukan yang perdana. Seseorang pernah jadi alfa bagiku. Menjajaki setiap hal baru berdua, yang mungkin jadi pengalaman kesekian denganmu. Tapi aku telah belajar memaafkan masa lalu yang tak sanggup bertahan. Merelakan apa yang kukenal baik dan memilih berkenalan dengan horizon masa depan. Aku siap memulai. Denganmu kini, bisa kurasakan ada yang berbeda. Kamu terlalu nyata untuk disandingkan bersama hari-hari kemarin. Kalau ada yang bilang untuk jangan terlalu berharap hingga lupa pada kenyataan, aku kira kamu hadir jadi antitesisnya. Kamu adalah harapan yang membuatku percaya pada kenyataan. Bagiku, kamu adalah harapan dan kenyataan dalam satu paket. Kenyataan yang menggenapi harapan hingga apa yang kumiliki sekarang jauh melampaui harapan. Aku telah siap percaya. Jadi, hanya perlu satu ketukanmu di muka pintu, maka hatiku akan membuka lega. Selamat datang omega yang selalu kudoakan. Menetaplah. Mari kita genapi cerita hingga kata terakhirnya.
Fransisca Thelly Ruban. Masih tercatat sebagai mahasiswa Psikologi UI. Ia menulis untuk belajar jadi manusia yang jujur. Baginya, puisi adalah semacam sentuhan yang tak bisa diberikan jemari. Dapat ditemui di ruang kecilnya di tenfingersofmine.blogspot.com.
Pentas Kita
- Halimard -
PENTAS KITA Hari ini, aku mencari wangimu di antara sekian aroma yang dikirim angin. Ingin kuberitahu kau, tentang puisi yang tumbuh dari pertemuan-pertemuan tak sengaja, pandangan yang gagap, dan senyum yang kusembunyikan. Telah kusiram ia dengan rindu yang jatuh di ujung senja, juga dengan rinai pinta pada Tuhan. Aku menebak-nebak, mungkin kau tengah sibuk merawat puisi yang sama, dan mulai bertanya; apakah puisimu tumbuh subur atau malah layu dan luruh? Tapi pikiranku terlalu takut, dan memutuskan bahwa aku akan menganggapmu sibuk menyanyikan lirik-lirik lagu tentang pertemuan-pertemuan tak sengaja, pandangan yang gagap, dan senyum yang tersembunyi. Setidaknya, lirik lagu tak mengenal kata subur atau layu. Aku menjadi terus berpikir kau telah memiliki banyak lagu, dan mulai membayangkan kita akan menggelar pentas berdua. Jika sudah tepat tanggalnya, kita akan gelar pentas kita. Saat itu, puisiku sudah akan berbunga, menjadi kata-kata
yang bisa kau selipkan dimana saja; di tidurmu, di secangkir kopimu, di sela senyum yang kau punya atau dalam tembang yang kau nyanyikan. Orang-orang akan berdatangan meramaikan pentas kita. Kita akan terus merayakannya, hingga orang-orang kembali pulang, dan lampu-lampu di panggung pentas kita padam. Saat itu, yang tersisa adalah puisiku dan lagumu.
Halimard. Puisi ibarat wadah, yang bisa kau tuangkan apa saja ke dalamnya, lalu ia akan menjelma kata-kata dengan ciri khas dan aroma yang baru.
Kita dan Antara Kita
- Hamzah Firmansah -
KITA DAN ANTARA KITA Jika cinta adalah rumah singgah, yang menumbuhkan dan meruntuhkan luh, dari cangkang mata. Jika air mata adalah patahan batu mulia, yang membuat leluasa untuk tetap menundukkan kepala. Jika menangis adalah upacara paling magis dalam melunaskan kehidupan “sebuah kesedihan�, dan menunaskan ketabahan. Aku sepakat denganmu, jika tidak ada tempat seindah rumah. Sebab kau tahu, alasan ketika aku menitikkan air mata. Empat tahun lalu, kau memintaku menyadap api. Getahnya akan membagi kehangatan, di tingkahku yang dingin. Agar kau leluasa menyusuri jalan pikiranku, menuju patahan air di lengkung kali yang membanjir di ulu matamu. Aku tahu, kau mau mengukur jati diri cintanya seorang lelaki. Seperti katamu, cinta kasih murni, ialah batu teguh di tengah kali. Tapi, dalam separuh windu aku telah jadi abu. Membeku di tanggal merah, di hari renta. Aku bergegas memangkas kalender demi memadu lagi bangkai masa lalu, kukepak di amin sayapmu. Sebab, kau adalah dara pertama yang membuatku jatuh cinta, bukan karena senggama.
Sudah kuputuskan kadarnya, hanya agar kau menafsirkan, jika aku pernah dilahirkan di kefanaan kehidupanmu: sebagai, pemilik rusuk yang kaupatahkan, dan dihibahkan kepada rajah tangan kekalahan. Sudah kubebat tenggang, lantas selekasnya berkemas dari ufuk niatku. Sebab, sejatinya kau begitu padu, berpangku pada cincin tangkaimu. Aku memilih, memutuskan tali rantai: sebuah kemustahilan, agar mengakar ekor namamu. Sebab, seseorang telah mengukur ekor namamu. Kubiarkan bulir anggur gugur, di lamur perbincangan. Agar, jarak dapat melautkan jalan. Sehingga, tak bisa kucecap wanginya kuncupmu. Meski, aku tak menaruh batang cinta di tiris persimpangan. Tapi, aku tak mampu menyangkal, jika sekarang, bukanlah dari sempalan rusukku engkau berasal. Kudengarkan lagi, “lembayungmuâ€?. Aku melihatnya, dengan geliat telinga. Agar, suatu kelak aku pandai mendoâ€&#x;a, meminta yang tak ada sia-sianya. Semoga saja, pemilik kehidupan akan menyempurnakan tingkahku dan polahmu. Menggiringnya, menuju sebaik-baik perilaku. Agar, di kehidupan lain cinta membawa kita bersama, menuju surga. Temanggung, Februari 2016
Hamzah Firmansah. Lahir di Temanggung, Jawa Tengah pada tahun 1991. Tinggal bersama kedua orangtuanya di desa Klumpit, Nampirejo, Temanggung, Jawa Tengah. Saat ini, masih menyelesaikan studinya di fakultas Teknik, di Perguruan Tinggi Negeri di Jogjakarta. Menyukai dunia seputar kepenulisan puisi karena dapat menumpahkan pengalaman dan pemikiran terhadap suatu kondisi dengan gaya bahasa yang padat, logis dan seseorang akan mengingatnya dalam waktu yang lama.
Hidupkan Cinta
- Hayatun Nufus –
HIDUPKAN CINTA Hidupkah aku? Saat langit menjemput cinta Dialah segalanya Rumah-rumah yang tak berpenghuni Berdiri sendiri Darah yang mengalir secara berkala Tanpa ampun waktu mencela jiwa Payah ku menahan Waktu yang pulang berpenumpang rindu Dia adalah serpihan surga Neraka bagi jiwa berkubang amarah Hidup tanpa arah Boneka Tuhan yang bebal pada makna Hidupkan aku selalu berpeluk rindu Biar kucintai bulan sambil tak tahu diri Karena cinta Kendali hati manusia Benci sumpah serapah jua membuka padanya Matikan aku mungkin bercumbu rindu Rona menjadi biru mengharu padanya Kelu buta bisu ragaku Kala cinta kembali Aku pun hidup lagi
Hayatun Nufus. “Arti namaku adalah Jiwa yang Hidup, maka begitulah menulis puisi adalah bagian dari menafkahi jiwaku. Aku percaya katakata punya kekuatan luar biasa, dan untuk itu puisi merupakan permainan kata-kata yang melahirkan makna luar biasa untuk setiap sesuatu.�
Aku Mencintaimu
- Irna Novia Damayanti –
AKU MENCINTAIMU Aku mencintaimu meski kata-kata belum pintar membuat formasi yang menarik pandang. Tapi segaris rindu di kertas malam akan semakin panjang dan menjadi prasasti yang akan di kunjungi anak cucu. Aku mencintaimu dengan ribuan rintik doa yang tergenang oleh airmata berdarah sampai mengering pada almanakku yang telah pensiun mengisi hari juga telah mengajari bagaimana menyayangi puisi, bagaimana menyapa matahari yang santun, menyapa pepohonan, mengenalkan apa itu kesetiaan dan pengorbanan. Aku mencintaimu meski kadang aku lupa segala warna, titik dan garis tentangmu. Tapi percayalah aku mencintaimu. An Najah, Maret 2015
Irna Novia Damayanti. Seorang santri di pesantren Mahasiswa An Najah dan belajar aktif di Komunitas sastra santri Pondok Pena. Penulis mendapat penghargaan dari Kemenag pada acara Apresiasi Pendidikan Islam (API), sebagai Penulis Aktif Media tingkat mahasiswa se-Indonesia. "Aku menulis puisi karena telah aku jadikan media silaturahmi. Walau orangnya hidup di desa setidaknya karyanya berkeliling ke daerahdaerah yang belum dikenalkan takdir padaku. Bukanlah menyambung tali silaturahmi adalah kebaikan. Maka dengan puisi aku ingin mengantar kebaikan. Salam sastra, salam damai, salam IND (Irna Novia Damayanti)"
Fragmen Pertemuan
- Julia Hartini -
FRAGMEN PERTEMUAN 1/ demikian angin mengurai kenangan membawa hikayat tanah dan semesta pembaringan bagi dedaun yang lelah menjaga namamu dalam pengasingan 2/ adalah kita yang menjahit masa lalu tempat bagi segala kebaikan dan kealpaan mantra bagi kepulangan binara tahun-tahun kesedihan 3/ hari ini setelah doa ditumpahkan engkau menepi bersama perahu yang hilang menemu diri penuh kesadaran bernaung dalam penyesalan 4/ kemarilah 5/ inilah perayaan yang mesti diejawantahkan oleh air mata dan tawa-tawa sebab dekap pertemuan menemukan rumahnya prasasti bagi diri yang pernah ditinggalkan
6/ ketahuilah tiada lagi geletar cemas menyampaikan duka segalanya hilang menjadi lipatan cinta yang sudi termaafkan Ruang semesta, Maret 2016
Julia Hartini. Alumnus Universitas Pendidikan Indonesia. Pernah berkegiatan di ASAS UPI & Unit Pers Mahasiswa ISOLAPOS UPI. Tulisannya mendarat di Koran Sastra Mata Banua, Galamedia, KoranMadura, Banjarmasin Post, Republika, Inilah Koran, Pikiran Rakyat, Metro Riau&Radar Banten. Selain itu, tergabung dalam beberapa antologi. Terpilih sebagai peserta #WorkshopCerpenKompas2015. Penulis bisa dihubungi di juliachan79@gmail.com atau di akun instagram @juliahartinii.
Sajak Seuntai Mawar
- Kharis Dwi Irpan –
SAJAK SEUNTAI MAWAR Dik, di antara selipan kondemu telah kubenam rasaku Pada tiap kibasan helai rambutmu, Yang kau gelung serupa roda-roda kehidupan Sungguh dalam tiap lipatan kembenmu ada alegorialegori Asmara sejarah peradaban manusia Yang rela berurai tanah di atas bumi demi sekedar menyebut namamu Yang melepas hunus ujung panah, tombak dengan mata merah bertumpah darah; satria-satria itu Cuma buat mengenangmu Dik, dalam senadung tembang ada titip salamku buat peluh yang hinggap pada tonjolan tulang pipimu Menjelma jadi tapis, menyelendangkan keris-keris yang tercerabut dari bungkusnya Memadamkan kabar dengki dan dusta mereka yang bermandi sumpah serapah Dendam dan amarah Hanya untuk merebut hati Dik, kini aku datang Bukan disertai rapal mantra dan tenung Melangkah berbekal pena dan carikan kertas Serta gubahan puisi pengisi hati Perlahan memudar, layaknya mawar yang kusemat di bawah jendelamu 2013
Kharis Dwi Irpan. Penulis asal Lampung. Beberapa karyanya telah dimuat dalam bentuk buku antara lain esainya pada “Apa Kata Pelajar Untuk Presiden SBY (2012)” serta puisinya dalam antologi puisi “Sebab Cint: Lomba Cipta Puisi Jogja II (2013)”, “Lampungkau Lampungku; Antologi Sajak Dwibahasa Lampung-Indonesia (2014)”. Penulis kini tinggal di Surabaya.
Firdaus
- Lupy Agustina Dewy -
FIRDAUS Jalanan ini adalah yang dulu kerap kita lalui: sebagai jalan pergi atau kembali. Pepohonan di tepian, ilalang yang panjang, reranting, dedaunan. Mereka hanya berganti usia. Persis seperti kita, tetapi mereka tak pernah kemana-mana. Sedang kita, memilih pergi. “Kupilih timur”, katamu. “Ia bintangku. Padanya, aku bertemu bebas. Kau pilihlah arahmu sendiri.” Ujarmu kemudian. “Kutuju utara”, kataku. “Biarlah apa-apa yang ada di belakangku termasuk kamu, cukup menjadi kenangan yang diam,” ujarku mengakhiri. Telah jauh kususuri sudut-sudut utara, berseberangan dari sisimu. Aku kadang singgah, yang kukira berlabuh: di tepi rupa asing yang menjadi intim. Telah jauh kau langkahi sudut-sudut timur. Menjejal angkasa luas. Lepas dari edaranku. Kemudian pada suatu masa yang entah. Utaraku serupa kamu. Timurmu menuju aku. Kita bertemu di jalanan ini, yang dulu kerap kita lalui: sebagai jalan pergi atau kembali.
Pepohonan di tepian, ilalang yang panjang, reranting, dedaunan. Mereka hanya berganti usia. Persis seperti kita. Mereka tak pernah kemana-mana. Sedang kita, memilih pergi. Lalu kembali. Pada muasal: tempat segala kita bermula. Cibeber, 25 Februari 2016
Lupy Agustina Dewy. Lahir di Tasikmalaya tahun 1992. Penulis masih tinggal bersama orang tua di Kp. Desa Kidul, Desa Cibeber Manonjaya Tasikmalaya. Penulis telah berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi pada tahun 2015. Penulis bekerja sebagai pengajar di MTs Al-Ihsan Sukahurip. Penulis dapat dihubungi melalui email lupyagustinad@yahoo.co.id. "Senang menulis puisi sebab itu adalah suara paling jujur kepada diri sendiri".
Lentera Bahagia
- Malika Sabrina Yunifananda -
LENTERA BAHAGIA Lenteraku, Kau cairkan pilu Kau tenangkan resah Kau bungkam riuh dunia Lenteraku, Kau takkan bercahaya Menerangi indah denganku Dengan bayang lukanya yang mengiring Kan kurangkai kembali Pecahan sepiku dulu Tuk bunuh rasaku Ceritaku ceritamu Bermakna sama Beda aksara Untukmu, wahai Bahagiaku Aku akan selalu ada Menerangimu Dalam diamku *
Malika Sabrina Yunifananda. Puisi merupakan media ideal untuk memaknai hidup serta mengkristalkan memori hanya dengan meleburkan kata. Puisi merupakan lukisan yang mampu menyampaikan dan merayakan rasa. Lewat puisi, cinta hidup.
Puisi Yang Jatuh Cinta
- Megadea -
PUISI YANG JATUH CINTA * ada hari sayang. sebab ketika waktu tak bisa membuatku memelukmu, ada hari esok yang akan kutawarkan padamu. * aku mencintai pagi. yang dingin, keringat di dahi yang ditempel oleh mimpi, wajah berminyak. dengan kopi di beranda dan sapaan selamat pagi. dan saat ladang debat belum buka. * kau adalah tokoh utama yang selalu kuupayakan menjadi tokoh protagonis yang manis, sayang. aku bertaruh kau tak pernah tahu. * aku adalah pagi yang kausayangi. bagai matahari yang rela bersinar sendirian untuk menghapus air mataku. * suatu waktu, kau adalah cerita yang berjalan lirih di atas tali tipis. dengan alur yang lambat namun indah di akhir. atau alur terburu-buru dengan kisah yang cepat tenggelam.
* barangkali kau adalah angin yang memeluk malam. dingin, tapi selalu menemani bulan. * kau adalah kursi yang bisa kusandari setiap aku lelah. sederhana, namun menguatkanku. November - Desember 2015.
Megadea. Perempuan 22 tahun yang tidak bisa diam. Menulis dan membaca selalu membuatnya tersenyum dan gembira. Puisi dan huruf-huruf adalah teman terbaik ketika suara tak lagi dimengerti. Puisi ini di post di blognya, megadea.blogspot.co.id.
Nestapa Luka Cinta Anak Penyair
- Muhammad Husein Heikal -
NESTAPA LUKA CINTA ANAK PENYAIR Dunia basah menampung air mata seorang penyair Merembesi langit, menetaskan hujan diatas kepala seorang bayi Yang baru lahir di suatu subuh: ruh yang masih rapuh Masa depannya tercipta atas tetesan cerita menantinya hingga tua Setelah kelahiran di atas reruntuhan bangunan sehabis perang, ia berdoa Benar-benar berdoa pada Tuhannya, “Sirnakanlah segala luka!� Hingga besarlah ia: tertawa, bercanda, bersorak, berteriak. Hidupnya Memukau segala yang melihatnya. Semua terpukau atas matanya. Mata Dengan cahaya yang memancar dari hatinya. Hati yang tercipta dari tetesan Makna sang penyair. Tiada lintas yang melebihi batas. Hingga suatu rasa menyergapnya: cinta. Ah, Petiklah bulan. Petiklah bintang. Petiklah matahari. Kata kekasihnya. Mereka meremuk batas antara jiwa dan raga. Mereka lebur dalam satu tubuh Terseret bayangan cinta yang menyergap, membuat lupa dan alpa. Hingga pedih hatinya: menangis, meringis, mengutuk, menjerit. Hidupnya
Terkhianat rayuan dan tubuh seorang wanita. Wanita yang dicintainya membakar Hangus dirinya dengan kata-kata yang memekikkan luka. Memekikkan angkasa Hingga terasa ke iga. Apakah mata telah jadi buta. Padahal hanya terseret arus dunia Lindap yang dapat mencakar dunia dan buku-buku puisi anak penyair: ditangkap Oleh sezarrah debu bertafsir luka. Membutakan matanya. Membutakan hatinya. Maka kendi air mata penyair pecah mengalir darah. Meneriakkan doa. Benar-benar berteriak pada Tuhannya, “Laknatkanlah segala cinta! Agar tak mengangakan luka!� 2015-2016
Muhammad Husein Heikal. Llahir di Medan tahun 1997. Menempuh studi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sumatera Utara. Berbagai karya puisi, cerpen, esai dan opini termuat di Analisa, Waspada, Mimbar Umum, Riau Pos, Haluan Padang, Sumut Pos, Suara Karya, Koran Madura, Koran Pantura, Medan Bisnis, Sulteng Post, Horison/Kakilangit dan berbagai media online. Diundang dalam berbagai perhelatan sastra, juga pernah menjadi pembicara dan juri terkait bidang kesusastraan. Salah satu esainya terpilih dalam buku Merindu Tunjuk Ajar Melayu (Kumpulan Esai Pilihan Riau Pos 2015). Kumpulan puisinya yang akan diterbitkan bertajuk Ritual Luka.
Dalam Diam
- Muhammad Ilham Fauzi -
DALAM DIAM Janganlah dulu kau pamit Janganlah dulu kau beranjak Malam waktu baru menyapa, Silahkan masuk katanya. Sunyi masih muda Alun angin masih menari-nari lincah dan kita berdua terduduk di sini di bangku taman di bawah pohon rindang berterangkan hanya sebatang lilin yang terus leleh dimakan waktu saling bertatap dalam diam diselimuti kabut; kabut bianglala Arak-arakan gerimis pun datang mau mampir mereka kata yang tiap serbuk-serbuk dari mereka membawa setitik kenangan yang purba masihlah kita saling balas tatap masih dalam sunyi sunyi yang diiringi tembang jejangkrik diiringi orkestra gerimis dan angin yang bergesekan tapi kita rasakan gejolak dari dalam diri ingin menghambur ria keluar tapi tak sepatah, dua patah, tiga patah kata pun berontak dari rongga mulut
malam itu, tak ada kata-kata terucap tapi segala macam rasa dan pikir telah sampai ke kami berdua mesra rasanya. Hangat. Malam nyaris gugur, rebah Fajar akan bertamu sebentar lagi Mentari sedari tadi curi-curi kesempatan mengintip kami Kami yang saling bertukar cinta kala sunyi Bukankah mencintai dalam diam itu lebih menyenangkan? Bak gerimis, disembunyikannya rindu yang meriap oleh serbuk-serbuk air yang luruh ke tanah tanpa mengacaukan apa yang ada di sekitarnya. Tapi mau sampai kapan? "Andaikata aku..." Tapi kau ini gerimis! Janganlah menjelma jadi badai yang buat risau sekitarnya. Jakarta, 23 Maret 2016
Muhammad Ilham Fauzi. Lelaki yang tertarik pada dunia sains dan kesenian ini menjadikan kegiatan bersastra dan berteater sebagai sarana pengikis penat dari rutinitasnya di jurusan kampusnya, jurusan fisika UNJ. Saat ini sedang berperan aktif dalam Unit Kesenian Mahasiswa sebagai pengurus bidang Sastra Drama.
Janji Gerimis
- Muksin Kota -
JANJI GERIMIS Ada gerimis yang kau tinggalkan sebelum aku pergi. Masih kusimpan hingga kini. Jika rindu mulai menggerayang aku segera mengundang mendung. Lalu kau datang membawa pelangi. Jarak telah memagar gerak. Hanya angin yang masih setia mengantar lirik sajak untukmu, sebelum malam kelar. Kupakai jemarimu untuk menuliskannya dan senyum serta sorot matamu sebagai kata. Aku sudah bukan lagi siapa. Sejak kau ada. Setelah janji itu dan kau sedia menungguku sampai aku usai menanam kemarau. Kemudian kembali setelah bau hujan datang mendekat kau ingin kita menikmati rinainya bersama. Begitulah, di sini terik masih menyengat tanda musim berganti belum juga tersiar aku percaya pada janji karena gerimismu hujan mungkin masih jauh. Tapi aku selalu menikmati sejuknya dalam rindu kepadamu Kediri, Maret 2016 Muksin Kota. Lahir dan besar di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Mencintai dunia sastra tanpa sengaja di warung kopi. Kini bergiat di Komunitas Literasi Bangsal J Kediri dan Kelompok Kajian Nusantara (K2N). Punya mimpi ingin melamar seorang gadis menggunakan puisi. Semoga.
Di Kotamu
- Murniati Demong -
DI KOTAMU Di kotamu.. Ada senyum membius di ufuk pagi Merona terbakar ramahnya mentari Kepak sayap menggelora di tiap sudut jalan Memandang ke awan dan berseru “Di sinilah kan kugapai langitku!â€? Di kotamu.. Ada cinta di ujung lara Ada rindu di dekapan malam Ada tawa di balik dusta Ada tangis di atas kepongahan Di kotamu‌ Ku pernah bersimpuh, tersudut, menunggu mati Namun ijinkan aku kembali Meskipun harus sendiri, naif dan tua Sebab kini rindu bersarang dalam jarak
Murniati Demong. Layaknya membaca untuk pikiran, berpuisi untuk mengolah rasa dan imajinasi.
Rayap dan Karatku
- Nuril S. Zaini -
RAYAP DAN KARATKU Dari waktu yang memasungku pada aromamu, masih tak dapat aku dobrak, bahkan sepertinya pasungmu tuli terhadap lapuk, terhadap rayap yang kukirim tiap saat. Nafsu memalingkanmu tanpa ingin tahu padaku yang terseok dengan pasung berat sambil mengendusendus asap di antara angin kencang yang terkadang memberitahuku kemana arahmu beberapa hari yang lalu, dan aku tahan nyeri, aku obati robek dengan ludah yang bernanah. Terus aku endus baumu sampai endusan anjing tak lagi mengungguli endusanku. Dari itu lantas aku pelajari lontar-lontar kuno yang berisi sejarah manusia tentang hati yang sampai kapanpun akan tetap menyandang misteri. Lalu aku tinggal baumu, aku mencoba aroma-aroma baru, yang kupaksakan untuk lebih kusuka, lebih mengandung bahagia, dan angin memenuhi hidungku pada waktu itu. Aku suka semua bau kecuali bau keangkuhan saudarasaudaraku seiring angin mengudara aku jadi semakin marah setiap kulihat ada yang salah, aku tudingkan telunjuk ke setiap arah mata angin. Terus sampai haltehalte melintas dengan lamban dan lama -Debu siang mengaburkan aromamu – Rayap-rayapku puas, karat-karatku membabatmu lantas, sampai jauh, sejauh halte-halte yang melintas lamban dan lama.
Suatu ketika engkau berbalik arah, sepulang dari pasar engkau bawakan kayu jati baru, rantai besi baru dan gembok kuning yang juga baru. Lalu kau perketat pasungku, memberi kabar kepedihan bagi rayap dan karatku, sampai kini engkau kembali menyebarkan aroma lama di tubuh angin yang datang darimu kearahku -seiring debu tak lagi mengepul, aromamu kembali kuciumSumenep, 2015
Nuril S. Zaini. Asal Basoka Rubaru Sumenep. Berproses di Komunitas TANDUK PAYUNG, Sanggar Andalas dan Teater Gendewa. Menulis puisi di beberapa antologi dan media, juga menulis kritik sastra di beberapa pertemuan. Beralamat di PP. Annuqayah Daerah Lubangsa Guluk-Guluk Sumenep Madura. Email: Tandukpayung@gmail.com. FB: Nuril ZiecaemCaâ€&#x;ena.
Senandung Cinta
- Rayhanah Azzahra -
SENANDUNG CINTA Aku adalah lentik bulu mata yang terjatuh di kelopakmu Aku adalah bulir air yang sedang terjatuh di pelipismu Aku adalah huruf yang bisa kau eja di dalam segala yang bisa kau beri nama cinta Aku adalah jarak yang tak terjamah di dalam kilometer yang bisa kau beri nama cinta Kau adalah sebuah karya yang rumit Kau adalah bahagiaku yang sederhana Kau adalah rinduku yang terlilit Kau adalah apa adanya cinta yang bahagia Jika ada sebuah tanya tentang senandung rindu, Apakah matamu di sana entah di dunia antah berantah masih memiliki keteduhan yang sama, Walaupun tanpa aku di hadapanmu? Apakah senyummu masih memiliki kehangatan seperti secngkir kopi pagi hari, atau malah terasa pahit dan kelam tanpa kuseduh? Semua jawaban milikmu sekarang, Aku ingin menjadi paling rahasia dalam kata maupun doa Ketika engkau menjatuhkan air mata Ketika engkau jatuh cinta Selamat jatuh cinta dalam cinta yang sederhana hanya berdua
Rayhanah Azzahra. Lahir di Bandar Lampung pada tahun 1995. Ia adalah alumni MAN 2 Kota Serang. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Sedari duduk di bangku Sekolah Dasar sudah menyukai karya sastra seperti puisi dan pernah memenangkan lomba baca dan cipta puisi. Sedangkan sewaktu SMP, banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan organisasi dan menjabat sebagai Ketua OSIS. Berlanjut ketika SMA, tidak bosan-bosannya mengikuti kegiatan organisasi yaitu Pramuka. Pada organisasi inilah ia terlatih mentalnya untuk bersikap dewasa dan disiplin waktu. Saat ini berdomisili di Kota Malang.
Terbakar di Pintu
- Riduan Hamsah -
TERBAKAR DI PINTU Perempuan itu menepi. Terbakar di dekat pintu dan rasa kangen yang ganjen gamang kemana gerangan dialamatkan? Sedangkan hujan kian jauh merantau pada diri lelaki yang membakar tembakau. Hai, hidup memang tak tentu, ketika roda berdentam mengagetkan pecah di sebelah kanan. Munjul-Pandeglang, 29 Oktober 2015
Riduan Hamsah. Penulis pernah bekerja sebagai jurnalis dan penulis kolom juga aktif menulis karya-karya sastra, sejumlah tulisan dipublikasikan di Harian Media Kalimantan, Radar Banjarmasin, Harian Satelit News (Tangerang), Lampung Post, Majalah Sabili, Majalah Suluh, www.wartalambar.com, serta termuat dalam sejumlah buku antologi antara lain; TANAH PILIH, 142 PENYAIR NUSANTARA, dll. Saat ini penulis bekerja sebagai pegawai di Bidang P2PL Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang, Banten.
Puisi Cinta Untuk Ayah
- Rini Hardiyantini -
PUISI CINTA UNTUK AYAH Ayah, aku adalah salah satu dari dua nyawa yang pernah kau titipkan di rahim seorang perempuan Air susunya yang kuminum membawa pesan padamu bila ia boleh kembali, tentu takdir takkan digariskan bersamamu Namun cinta tak mengajak teropong untuk mengintip lebih jauh Sebab, konon kemantapan adalah rahasia paling dekat dan dalam Walau pada akhirnya kau dialamatkan hanya untuk menjelma seekor burung yang tak lupa pada sayap Ayah, durhaka menyuruh kami untuk takut menjadi batu dan birrul walidain menjadi tanda seru jika membencimu bukanlah jawaban bijak setelah lama diacuhkan Maka Ayah, tanpa kadung bersalah Cinta kami membenarkan tentang ketiadaanmu untuk kiranya sudi menoleh lagi Februari 2016
Rini Hardiyantini. Lahir dan besar di Sumenep. Karena puisi bicara banyak, semuanya, segalanya, dan bahkan kata-kata yang belum sempat terkatakan. Dan karena saya hanya punya puisi, mampirlah untuk menikmatinya berkali-kali. Email: rinihardiyantini@gmail.com.
Dialog Hujan Akhir Bulan
- Rofiqi Ar-Rombenny -
DIALOG HUJAN AKHIR BULAN Anginkah yang telah menghempas mimpiku terbang melayang di langit perkampungan? Ataukah bocah-bocah desa Dengan sendu-senda yang jenaka Meramal hujan kapan tiba? Marilah sejenak bertegur sapa, Nona! Meski kita tak pernah jumpa. Jika nanti malam hujan kembali datang Maukah kau ke rumahku? ; di negeri mimpi dengan sejuta kerinduan Kuajak kau jalan-jalan berpayung pelangi -- Wahai pemuda yang tak pernah kujumpa! jika burung keskes masih bertengger di ujung Januari bisakah ia kenali sebuah cinta? Karena burung keskes pun tak tentu tahu kapan hujan tiba maka jangan tolak mendung hinggap di hatimu hujan cinta, mencipta danau kasih mesra bocah-bocah desa, merasakan sejuk airnya -- Lalu, bolehkah kuminta bait-bait puisimu Sebagai umpan ikan-ikan di danau itu?
Oh, aku lupa Nona! Semalam, bait-bait puisiku telah hancur Ditebas hujan Romben Guna, 2016
Rofiqi Ar-Rombenny. Lahir di Sumenep tahun 1999. Siswa kelas XIAgama/I MA Nasyâ€&#x;atul Mutaâ€&#x;allimin Gapura Timur Gaapura Sumenep dan aktif di Komunitas ASAP (Anak Sastra Pesantren).
Madah Perkawinan
- Selendang Sulaiman -
MADAH PERKAWINAN I menjelang matamu terpejam, kau tutup langit-langit pelataran kembara dengan wajah alam kesemestaanmu. tepat saat musim bersujud merubuhkan tiang lampu kota juga rumah-rumah kaca! II di muka dunia menyempit ini, mataku mendidih oleh rona apimu yang menjilat-jilat dari pusara cinta tempat persemaiaman abadi ratu Sheba hidupku mengangkang oleh kemelut cita-cita mata batin jauh memandang ke perbatasan membaca tanda pada cuaca, pada angin, pada gemuruh dada sendiri yang gempa betapa ajaib gairah pemangku jagatku ini! biar aku hanya makhluk tanpa muâ€&#x;jizat: Mazmur kebijaksanaan Sulaiman Sang Nabi, membimbingku keluar dari labirin tipu muslihat. III dengan gairah penyatuan sebatang rusuk yang Tuhan pisahkan sejak Adam ngidam Hawa aku pun lahir demi menunaikan takdir-Nya dan kepadamu aku datang melunasi pinangan
bila kau bimbang oleh ketampanan, harta, dan kekuasaan yang tidak menjadi nasibku, akan kutunjukkan padamu, hati ratu Sheba yang takluk pada lelaki dari negeri Ursyalim ya, dialah utusan penyeru kebijaksanaan dan aku hanyalah pejalan ringkih penganggit madah suram kota zaman teknologi yang hendak menghapus duka di matamu sampaikah padamu getar jiwa dari madahku? madah yang kutulis dengan ruh para pujangga demi mendapatkan cinta kasih lahir-batinmu umpama Sulaiman menaklukkan hati Sheba IV betapa kuat tarikan magnet besi beranimu energi segala inderaku leleh ke lembah semadi melumuti bilik berlumut biru penuh bekas bibirmu peretak kaca sempit tanpa kedip halusinasi dari ujung rambutmu yang rumput laut kutemukan makna hidup yang pernah redup lalu sepasang alismu menjelma dua ekor belut meliuk-liuk ke rongga terumbu karang dadaku wahai makhluk licin pewaris tabiat ratu Sheba tangkap dan genggamlah lidi-lidi takdirku biar purna khataman ikhtiarku di jalan kembara biar sirna seluruh guruh penghancur batu-batu rindu lihatlah ke kedalaman sumur mataku; mata airnya mengandung zat-zat cintamu,
yang berkilauan merjan-merjan suargaloka penepis dahaga para pecinta dan duka dunia V bumi menyerap saripati daging kelapa gading di tanah pekuburan para petani prosa dan puisi dan aku yang menanam padi di ladang kalbumu berdoa: Tuhan abadikanlah penyatuan kami! demi doa yang terpanjat, kau khusuâ€&#x; bertasbih hingga mencuat dari bibirmu mekar melati dan keris bertangan naga dari tanah Jawa yang akan kukenakan untuk melamarmu atas penyatuan kita yang diamini margasatwa kupahami maknanya dan kuterima berkahnya sebab engkaulah sang penunjuk semata arti bahwa cinta adalah sinar jembatan tajjali yakinlah aku dan kuyakinkan kau, wahai istri sebab ruh cinta yang maha, kita saling bicara di ranjang segala sifat dan zat yang Abadi hinga tak padam senyum umat manusia dan di pelaminan penuh berkah semesta biarkan kumadahkan Mazkurku padamu: akulah pejalan ringkih penakluk perih kelana yang dihianati tahun-tahun perkawinan musim. dengan Hud-Hud Sulaiman dan selendang Cleopatra kunaiki tebing terjal di batas bumi dan langit! Yogyakarta, 2015-2016
Selendang Sulaiman. Lahir di Pajhagungan, Sumenep tahun 1989. Penulis Puisi Utama pada PPL I “Mekarnya Kehidupan�. Karya-karyanya tersiar di berbagai media (Koran, Majalah, Jurnal) baik lokal maupun nasional juga dalam puluhan bunga rampai. Menulis puisi baginya, seperti menciptakan kehidupan penuh kebahagiaan. Dengan puisi, batin dan jiwanya menjadi lebih bergairah pun penuh makna. E-mail: selendang14@gmail.com.
Tentang Datang dan Pergi
- Shella Wani -
TENTANG DATANG DAN PERGI Malamku begitu sepi tanpa sekelibat parasmu, canda tawa yang dahulunya tak pernah absen untuk duduk di serambi hatiku kini tinggal debu Wanita itu yang merenggutmu dari pangkuanku, karena kekuranganku yang selalu memantrai setiap sudut matamu Bahkan kepak sayapku tak mampu meyakinkan agar kau tetap tinggal, meski tergelepar perih dan tergeletak kaku Sungguh, aku tak sedang meratapi kepergianmu. Namun entah mengapa ada getar yang tertinggal tatkala sepi merajam diri Ada sesak yang kian menghambur tatkala simponi terdengar lirih Ini wanitamu yang merasa rapuh, digenggamnya seberkas pesan masa lalu, tentang kasih dan mengasihi, tentang datang lalu pergi Tersenyumlah luka, sampai matahari mencumbu purnama. Saat gemintang bersinar di langit biru. Aku akan menunggu kau pulang. Meski batu berlubang yang melingkar di jari manisnya mencegatku dari tatap matamu, aku akan tetap merindukanmu dengan setangkai bunga layu. Diamku adalah duka, diammu adalah luka Jombang, 25/01/2015
Shella Wani. Seorang mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya. Pernah tergabung dalam beberapa antologi puisi, dan tulisan-tulisannya banyak di muat di Tabloid Gema Unesa. Kini tinggal di Tugu Kesamben Ngoro Jombang.
Perpustakaan Kita
- Siti Fadhila Zanaria -
PERPUSTAKAAN KITA Semestinya perempuan sebagai puisi, dan kau adalah penyair Tapi, aku memilih untuk menjadi puisi sekaligus penyair Bukan karena aku tidak butuh kau Sebab aku pahami : Aku tidak butuh namaku abadi di halaman buku Aku mau menuliskan diri sendiri sebagai puisi Menjadi setebal buku, lantas Biarkan ingatanmu menjadi rak yang paling kosong Nanti ketika aku tinggal nama, Bolehkah kapan-kapan kau mampir membaca buku Di rak Perpustakaan Kita? Jika ingatanmu sudah terkunci Dan perpustakaan itu sudah membuat kau alergi Tolong, Biarkan aku tetap di sana, sendirian.. (sendirian bukan berarti sunyi, sekalipun tidak ada suara gelitik arloji) Kumohon, Jangan buang aku, jangan menata buku-buku baru Aku mau di sini sendiri, di ingatan kau Kau yang pelupa.
Siti Fadhila Zanaria. Mahasiswi akuntansi Unhas 2012. Jika ditanya kenapa malam ini saya menulis puisi dan bukannya skripsi, jawabannya karena suka. Saya menyukai sesuatu sering kali terlalu banyak alasan yang menyertainya sampai saya tidak peduli kenapa saya suka. Selama itu baik dan menyenangkan sya akan teruskan. Instagram @Kotapuisi.
Editor’s Choice
Elysium
- Surya Gemilang -
ELYSIUM dermaga kita semakin enggan menjelma penambat kapal itu. kapal itu adalah pelayaran kita yang kelak tersesat di antara uap laut, burung-burung camar, dan puisi-puisi cinta yang membajak lautan. -jendela lingkaran: untukmukita memandang dermaga itu melalui sebuah jendela yang tak bersudut: tetas telur yang menyeruakkan harapan-harapan. apa kau percaya pada hutan yang membikin cinta tersesat? mungkin ia bisa menunggu hingga pabrik di balik jendela ini mengeluarkan sebuah puisi yang akan menuntunnya. kau tahu, kompleksitas kita yang purba adalah labirin yang kehilangan dinding-dindingnya. rindu kita yang semakin tua tak hendak kerontang: badai abadi yang mengecup geladak
kapal itu. -hujan doa: untuk ibuaku selalu tersesat, saban malam, dalam mimpi-mimpimu yang begitu jauh. aku takut langkahku keburu terkikis habis sebelum jarak itu dapat kaumasukkan ke dalam saku. dan kita, selama ini, merayakan cinta di antara diam yang hidup sedari zaman purba. doamu adalah segudang harapan yang diam-diam merasukiku. dan tetap sunyi seperti lelap yang mendekap gerimis, atau perapian yang malas menyanyikan retihan api. -negeri belulang: untuk ayahtulang-belulangmu hanyut di dalam asam lambungku. tak ada satu pun kenangan yang mempertanyakan kenapa tubuhmu tetap tegak: sebuah koda yang lupa memenuhi tugasnya. atau, komposisimu memang tanpa
koda. di komputer yang berbeda, kau menggambarku, aku menulismu. di balik payung yang sama, kau menjinakkan hujan, aku hanya mengeja rintik-rintik yang tak ingin berpulang ke langit. kupikir, kau merayakan cinta dengan cara yang paling rumit. -pangeran angin: untuk kakakkubagianmu adalah yang paling sulit kuukir. kita sama-sama buah dari harapan, dan harapan itu sendiri. tapi percayalah, kau berada di kapal ini untuk terjerat pelayaran dan perayaan cinta yang sama, yang, berdasarkan komposisi ayah, tak memiliki koda.
Surya Gemilang. Lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Ia suka menulis puisi (juga karya sastra lainnya) karena kehidupan tak pernah sebebasseindah kata-kata. Antologi cerpen tunggal pertamanya berjudul Mengejar Bintang Jatuh (2015). Karya-karya tulisnya yang lain dapat dijumpai di sejumlah antologi bersama dan sejumlah media.
Rindu
- Wiladatika Ananda -
RINDU Teruntuk bisikan angin berhembus merdu. Apa kabarmu? Sudah seabad tak kurasakan dinginnya kehadiranmu Teruntuk angin muson dari timur. Sedang dimana dirimu? Tak kulihat kau menunggu di pertigaan musim Teruntuk gumpalan angin dalam syahdu. Kau tinggalkan kemana jejakmu? Ingin kudaki jejak samar yang kau tinggalkan di pucuk malam Teruntuk hembusan angin penawar racun. Sembunyikah sosokmu? Tak kupaksakan jika kita tak bersua, tetapi ketetapan telah tertulis di langit sana Tak mengapa jika kini lorong itu tetap gelap, gersang dan usang Kutunggu kau membuka gerbang kebahagiaan Membawa cahaya yang sempurna bak mahligai rajaraja dengan kata titipan surgawi yang mengukir senyum wahai Pencipta. Apabila semasa nanti alunan jantung dunia berderap. Dekaplah aku seperti kau mendekap hujan, tetapi jangan kau jadikan aku bumi. Karena aku bukanlah bumi yang tegar, bukan pula bumi yang meminta di kasihankan. Dekaplah aku seperti malam mendekap bulan.
Wiladatika Ananda. Berasal dari bumi Khatulistiwa yang terkenal akan cuacanya yang panas. Hingga sekarang ini aku seorang mahasiswa medis. Aku mengenal puisi sedari kecil, baru mantap menulis puisi ketika SMP. "Puisi bagiku adalah separuh jiwa, dimana aku dapat membagikan kisah hidupku di dalamnya. Entah itu bahagia, sedih atau bimbang."
Sekembalinya Engkau dari Utara
- Yulianti -
SEKEMBALINYA ENGKAU DARI UTARA Mari kita binasa di utara hutan Sumatra Sebagai perayaan cinta seribu patah hari Sekembalinya engkau bermigrasi melewati Cina Selatan yang sunyi Kecupan di pundak kian meradang dibelai-belai angin laut Dan katamu demikianlah esa buah tangan Aku tertawa membahak selepas kau bercerita Waktu berdua-duamu dengan pria dari utara Jangkung, putih, berhidung bangir Wahai, alang kepalang jauhnya denganku yang berpeluh pasir Maka aku menawari tuak murni asal ranahku Yang manis membius jua memabukkan Mari kita bersulang di bawah rimbun dedaunan Sampai fajar menggeledah seisi hutan Ah, kau memang wanitaku yang paling jalang Kendati begitu cintaku padamu mengalir bak lahar Sinabung Selepas wartamu meningkah fokus di mata Maka lelap saja Aku membelalak bukan galak Melainkan surga di tangan Mahar kawinku di hadapan Tuhan Maka lekas bersolek Kita berpesta di awang-awang Riau, 31 Maret 2016
Yulianti. Seorang penulis amatir asal Riau. Menyukai sastra klasik dan aku suka puisi. Di musim ujian ini aku mencuricuri waktu untuk menulis. Semoga ke depannya bisa lebih produktif lagi. Kalian bisa menghubungiku melalui Fb yulianti, email yulieyuliann@gmail.com.
00:00 Definisi Cinta
- Zainul Abidin Syah Andong –
00:00 DEFINISI CINTA kutelah ragu, kadang jarum yang menikam di bilik jantung padahal namanya adalah rindu telah lama bisu di situ, setiap detaknya harmoni dan empedu tak tahu, dasar tebing mana, atau sekecil kuantum apa hanya terjadi begitu saja pada apa yang telah kita lakukan pada semua yang sering kita bicarakan pada beberapa simposium semangat, pengalaman dan kenyataan telah melahirkan eksistensi sebagian manusia muda entah...., setiap hari rasanya gelisah seperti terburu saja kontraintuitif, dalam bait-bait petualangan maaf pujangga, hati itu, rindu yang gelora begitu berlebihan jika kusebut prahara padahal perdebatan itu hanya antara saya dan aku sedang kemiskinan di sini, mendogma pertikaian bergenerasi praharalah, kekuasaan yang menindas kekayaan alam yang berlimpah, atau utang yang gesit bermekaran dan simfoni lainnya menjadi gejolak di beberapa negara
maaf theresia, tadi itu, definisi cinta yang kumaksud..! Ternate, 29 Februari 2016
Zainul Abidin Syah Andong. Lahir di Tondano Sulawesi Utara tahun 1986. Masa kecil di Kota Ternate Maluku Utara dan tumbuh besar di Kota Makassar Sulawesi Selatan. Saat ini beralamat di Kota Ternate. Berprofesi sebagai arsitek freelance. Facebook : Kakarlak Andong. "Memendam hobi, rasanya tak baik untuk kesehatan jiwa".
lo9dwp
Poetry Prairie - 2016