Poetry Prairie Literature Journal #2
Poetry Prairie & Authors
M. Zaenal Muttaqin Fajri Andika Surya Gemilang Bobby Anggara Siti Fadhila Zanaria Arya D. Pratama Hastira Soekardi Bangkit Prayogo Khusnul Khotimah Ayu Qonita
Forbidden Forest O, merciful sky where the clouds drift We cannot foresee the forbidden forest That grows from roots in the heart It was an attempt to seek heaven But not every tree has the same strength To pierce the air, to peek the world The trees grow with dancing passion Not to be upright, but twists of enchanting bodies To sway serenity till spring away The old tree barks shed into pile crusts Becoming dusts that manure the roots In every rotation of the moon and the sun They preserve their wits A flame of the veiled essence As silent as the spark of candle in the dark To sublime the wilderness into the merciful sky Till new lives arise Poetry Prairie - 2015
Kijing Kayu Kijing-kijing kayu berdiri sebelum pagi Di atas bukit berselimut kabut Bening embun mencari-cari Rumpun dan dedaun yang semalam mati Lalu embun menjadi air mata Lesap ke dalam bumi Air kapiler menggenangi pembuluh kayu Air mata yang tak tumpah tapi bernanah Menyekat denyut pepohon Menjadikannya masa lalu Hamparan kijing kayu di atas bukit Menjadi makam tanpa waktu Secepat belukar menancapkan akar Kijing kayu menjalar Dikawal angkasa Dibelah cahaya Dihujam serpih kenangan Akar-akar hitam menjemput ajal Tapak tangan menjejak kenangan di tubuhmu Mengukir luka penanda salam terakhir Mula kehidupan yang hilang arah Pohon-pohon tumbang meregang nyawa Dipersembahkan bagi manusia
Maka kenanglah dengan hati Tiada hidup tanpa kearifan alam Poetry Prairie - 2015
Menara Oksigen M. Zaenul Muttaqin
Menara Oksigen Selagi masih ada nyanyian Sembari menularkan sejuk Kau misterius yang selalu menjawab semua nafas pekat Kegembiraan yang tidak tersentuh belulang catatan Tetaplah terjaga! Sebab kantuk hanya milik mereka yang kekenyangan Namun pada sela ketiak dan bulu-bulu kakimu Tengah saling sahut kuasa di tangan kuasa, rakus yang tiada berpuasa Payung pancaran mataharimu lalu berlarian Ke liang api, menuju lembaran bertuan, sebagian sisa memeluk beton Para penjagal itu Sikapnya manja, penjaja beringas yang tersenyum Kelopaknya benderang mengaku seusia keluargamu Kalau kepalamu sudah bersenyawa dengan letih senja Seragam serdadu, akankah kusam esok pagi? Kau tidak berdiri, seluruh paru rubuh Jember, 03 Agustus 2015
M. Zaenul Muttaqin. Terbiasa pura-pura sembunyi seperti puisi.
Pohon Rindu Fajri Andika
Pohon Rindu pohon rindu itu tumbuh subur meski hujan yang kau janjikan tak pernah mengguyur musim kemarau hanyalah ancaman yang tak bisa merobohkan pohon rindu yang menjulang kini, telah kusiapkan sebuah keranjang untuk menampung buah pertemuan yang bergantungan di setiap dahan Sumenep, Januari 2015 Fajri Andika. Lahir di Sumenep, Madura. Bergiat di Komunitas Rudal, dan juga aktif di Komunitas Menulis Pinggir Rel (MPR) Yogyakarta. Lidah bisa bersilat, tapi tidak dengan pena (puisi). Untuk itulah saya suka dan cinta pada puisi. Ia telah mengajari saya untuk selalu “jujur� dalam segala hal, termasuk dalam asmara.
Meraba Jejak-Jejak Hutan Surya Gemilang
Meraba Jejak-Jejak Hutan |1| adakah sisa setapak dalam ragamu? aliran desah lembut akar-akar mendeburkan ombak di bawahmu pertanda kehidupan kami yang tumbuh dan gugur laksana dedaunan yang kelak menambal retak tanah. adakah pohon-pohon ikuti jejak kakiku sebab kurasakan hempasan nyawa demi nyawa dari ragamu merasuk boneka-boneka tanah jadilah kami. |2| mereka yang bertempat tinggal di balik selaput ragamu adalah saudara-saudariku. mereka lahir dari rahim yang sama denganku (dari rahim tuhan punya). hanya di dalammulah mengharap rasukan aura (sementara ombak di bawahmu tetaplah bersenandung) entah berapa abad lagi ragamu iba meski toh saudara-saudariku bakal mati
cepat atau perlahan-lahan. atma mereka kau hipnotis dengan hujan embun hujan gugur daun-daun kau timbun, kau kubur dan belit dengan lengan akar-akar kau ajak bersenandung bersama ombak yang mengalirkan riwayat kami. saudara-saudariku pun merasuk jiwamu. jadi bagian ragamu.
|3| rupanya pohon-pohon sedari tadi melangkah membuntutiku menembus almari batinku. entah berapa banyak dimensi yang kuarungi; pegunungan tak berkepala, pulau sekecil butir atom, hingga yang selebar rentangan tangan tuhan. entah berapa banyak etalase yang sempat mengurungku; sebuah ruangan panas, hingga sebuah ruangan yang menggigilkanku pohon-pohon tetap membuntutiku membelah daun pintu almari batinku.
|4| omong-omong siapakah dirimu, hutan? apakah salah satu dari sekian banyak jelmaan tuhan? maka taklah aku terkejut; rasa teduhku dari payung singgasana agung. --Denpasar, 2015
Surya Gemilang. Ia lahir di Denpasar pada tahun 1998. Kehidupannya sederhana, tak sebebas kata-kata dalam puisi. Justru karena itulah ia suka menulis (juga membaca) puisi. Ia bisa dihubungi melalui surya.gemilang69@yahoo.com.
Blokade Utan Boby Anggara
Blokade Utan Panggung teater baru saja ditutup baru ribuan bulan yang lalu penampilannya menarik ambon-ambon gemulai menari dengan ribuan pokok hijau yang memainkan kecapi hening seluruh dengan selimut embun dan kabut membubung di antara sela daun-daun mereka bedana dan zapin dari meranti-meranti tiba-tiba memecahkan hening spektakuler! Rentak tari mereka begitu memesona bahagia membubung senang kali semua penonton : terdiri dari binatang-binatang dan jin-jin hutan. tak ada manusia keruing-keruing meniup suling pilang-pilang memukul gendang
mahoni-mahoni lantas berlakon memainkan pewayangan kisah Rama Sunyi dan Shinta Senyap! Yang cintanya terkenal di dunia sepi. Panggung teater baru saja ditutup baru ribuan bulan yang lalu manusia datang lewat lorong-lorong. Menggonggong! Aih, manusia-manusia memaksa tampil! khalifah-khalifah bumi menabuh keji mereka menandak-nandak angkara tirai-tirai api berkobar menutup panggung dengan kabut tipu sesak bukan sejuk semua penonton rusuh kabur
Panggung teater baru saja ditutup baru ribuan bulan yang lalu angin berkabar-kabar “manusialah yang menutupnya!�
--Ciampea, 2015
Boby Anggara. Penyair muda asal Tanjung Karang yang kini tengah merantau. Sedikit karyanya sudah diterbitkan di media cetak maupun online. Gemar makan berkat riungan. Sekarang berdomisili di Ciampea, Kabupaten Bogor. Bisa dihubungi lewat Facebook: Boby Anggara.
Di Sebuah Ranjang Siti Fadhila Zanaria
Di Sebuah Ranjang Dia janjikan sebuah air terjun Deras di sebuah ranjang Beserta sungai elok Berkelok Yang membuat kau pada akhirnya Penasaran bagaimana likunya Lantas, dia berbisik "Sungai itu, terletak di pedalaman hutan," Kau merinding, dia berdalih dingin kau akan sembuh dengan pelukan Di hutan, daun-daun mendesah. sepasang bajing adalah jin Bajingan, berloncatan dari dahan Ke sungai telanjang Aih.. Jantung kau dan air terjun berlomba adu debur, kau pun ingin basah dan tercebur, Saat dingin air sudah sampai
ke dubur, perlahan hutan tak lagi subur Sungai berkelok itu terlihat pukau, sudah kepalang sakau Di dadamu kuning limau, diteguk Harimau Mimpi, kau bangun dari ranjang, air terjun dari mata kau Sepanjang ranjang. Hanya ada gurun, pasir, dan kehausan. Mesti kau tenggak nyinyirnya anyir Namun, kau haus tak berhenti Sementara, dimana dia? Di tengah gurun Ia mendekam Jadi batu Percuma kau pecahkan Kepala di atas Batu
Siti Fadhila Zanaria. Mahasiswa FE-UH 2012. Puisi itu bahasa yang pintar merayu kata-kata. Dapat dijumpai di Twitter @puisi_pemalu, FB : Siti Fadhila Zanaria, IG : @d.cacti.
The Tunes of Earth Arya D. Pratama
The Tunes of Earth Ever clearer in search, through will unfettered expanding as the rays, where no fear's define so now, I tread at the flowering bridge to sense thy scent, never to return ...and each lonely trees that devours this path felt how my passion is wanting to enter the fathomless forest with shut eyes as the sacred rose regardless of all-vanity The howls of mountain, which resounds from afar as I walked upon this moonless skies and approach them not with doubt in heart the green harmony, so beautiful and old Through this mist symphony yes, which bring my deepest peace to heed the call of the wild a voice without sound ...and behold, my spirit yearns for thou art the earth's keeper
who placed the words of praise upon my lips of man and woman, for the love are thine Arya D. Pratama. To me poetry is a message, a call without the sound.
Bias-Bias Embun Hastira Soekardi
Bias-Bias Embun Sinar cakrawala mulai membuih di langit Saat embun mulai menetes perlahan Saat ingin kurengkuh pagi ini di belukar hutan pinus Sinar yang malu-malu mengintip dari celah-celah daun Yang membias ke segala arah Memberikan banyak keindahan Sampai ada sebuah cerita dari kisah Dimana embun mulai menabuhkan gendang nyanyian Seperti bisikan yang lemah Tapi terdengar merdu di telinga Nyanyian alam yang begitu merindu Di tengah hutan pinus Cerita yang berasal dari bias-bias embun Yang menampilkan gambaran keindahan hutan Lewat pantulan cahaya yang dibiaskan embun Sebelum embun menetes kembali ke bawah Setelah sinar mentari meninggi Untuk membantu daun berfotosintesa Biarlah cerita indah bisa terus terpatri Jadi rajutan cerita yang selalu dirindukan
Jangan ada cerita yang akan mngusik hidup di hutan Akan selalu berbenih bahagia Sampai selamanya Sampai kiamat datang Rindu akan selalu mengeja di bias-bias embun Selalu harapan akan menetes di beningnya embun Menatap lekat pada kehidupan yang harus terus berjalan Sampai akhir hayat Melahirkan suatu cerita Agar kehidupan terus berjalan sesuai siklus alam
Hastira Soekardi. Pengajar dan blogger yang suka dengan dunia anak-anak. Juga suka merangkai kata dalam bentuk puisi. Akan terus menulis sampai tanganku lelah untuk bergerak. Biarlah puisi menjadi doa dan cerita yang selalu menemani hidupku.
Narasi Sewaktu Kecil Bangkit Prayogo
Narasi Sewaktu Kecil Di atas kereta, semua daun lontar jatuh dalam kening hujan. Menurunkan rintik-rintiknya, mengasapi rerumputan dan berjumpa pada padang senja. Siapakah engkau di sana? Beribu-ribu hujan menelan hutan yang tandus dan berkerlip kisah kereta tua. Pelan-pelan, menguning lewat celah asap di senja ini. Aku tulis dan duduk dengan kopi di tengahnya. Semua termangun, rerindang api berbulu duduk menjemput awan untuk berkisah dengannya. Hutan katanya: di sana ratusan ikan meloncat, menari dan meminum segelas wine dari daun serta akar pohon pinus muda. Kusampingkan wajahku, menoleh dari berbagai sketsa awan biru, melukis wajah daun jati untuk mengenang kisahnya lagi. sewaktu muda, sewaktu yang tak ada. Di atas kereta, sebuah rel akan mati. Ujung hutan mulai sepi, tetesan hujan redah dengan sendiri. Hanya tinggal serpihan daun pinus dan jati. Dan memasang sayu mataku, mengenang ratusan bintang duduk di atasnya. Sewaktu kecil, tak aku lihat tangisannya. Perih dengan sendiri. Bagaikan hutan itu, hutan itu. Di hujan ini, aku dan hutan itu berkata: sapulah rerindang malam ini, sebelum bulan
memerah dan memeluk semuanya. Menjadi hiasan tak berguna. Sesampainya di ujung kereta. Aku lihat wajahku di dekat jendela, tersenyum lirih. Menyanjung sebuah mimpi, dengan selimut malam ini. kusapa engkau di sana, lewat waktu yang berlalu. Tak ada yang lainnya selain renungan diri menuju gerhana dengan sepasang burung manyar duduk menyendiri berdoa akan Tuhan.
Bangkit Prayogo. Lahir di Kediri 30 Mei 1992, menyukai dunia tulis menulis sejak SMP utamanya Puisi. Puisi adalah renungan jiwa yang sangat kuat dan akan selalu menjadi penting untuk sebuah nilai kesadaran. Sebuah ketulusan dan keindahan yang tak terhingga, itulah puisi. Kewajiban yang harus dipertahankan.
Perjamuan di Bawah Purnama Khusnul Khotimah
Perjamuan di Bawah Purnama Hutan tak jua terpejam mati Meski wajah langit menetaskan jelaga Legam, beraroma sepi Dan lolongan serigala menyambut purnama Rekah kehidupan baru bergulir Bagi nocturnal yang melahap getir Dan kepak-kepak asing berkelebat Pada pusaran malam nan pekat Pemangsa merengkuh senyap Yang berembus di dahan kaku Mata-mata di antara serasah Berkilat, memantulkan bias nan buas Nyalang, tajam, dan kalap Menghunjam herbivora yang lelap Jeritan terakhir menjelma melodi Nada kematian mangsa pertama Berhamburan yang lainnya; terusik Menembus perisai malam Merutuki rantai makanan
Menjadi mangsa adalah keniscayaan Perjamuan nan kejam Ritual selaksa penghuni hutan Hukum rimba nan sakral, dipuja pemangsa Sejumput rahasia alam di sudut dunia
Khusnul Khotimah. Merupakan penulis pemula kelahiran tahun 1996 yang jatuh hati pada diksi-diksi puitis meski tak pandai membuatnya.
Senja di Rahim Hutan Ayu Qonita
Senja di Rahim Hutan Ada senja Di kaki dan selasela Di balik rerimbunan pepohon julang Di rerumpun akar yang saling menyilang Ada senja beserta mentari dan gelora bala tentara Di bias hijau coklat yang membentang Menggeliat menjilat senyap Di antara kurcaci dan periperi pohon Yang bergelantungan dan terbang menarinari Dongeng masih mengalun di setiap telinga sesemak hutan Menyatiri luka yang dalam Ada peri dan kupu warnawarni Dan cerita istana pohon Jua sabana luas dengan si raja hutan yang ceria Kejarkejaran dengan si rusa yang lebih riang lagi Sedang di dalam rahim yang paling dalam Ada senja yang bergejolak Bersama mentari dan bala tentara Melumat pepohon hijau yang mengakar liar
Menelan hutan yang kian memar Hingga, Sisakan bumbung asap Dan dongengdongeng yang sembab November 2015 Ayu Qonita (Qurrota A’yun). Puisi adalah cerminan dari penulisnya, menjadi warna, aroma dan rasa dari si penulis itu sendiri. Tak ada elok dan tak elok, setiap kata adalah potongan rasa dan perasaan yang menjelma. Penulis bisa dihubungi di akun facebook: AYu QOnita, email: ay22qo@gmail.com.
Poetry Prairie Literature Journal #2
2015