Poetry Prairie Literature Journal
Poetry Prairie Literature Journal Hidup adalah kesinambungan lahir dan mati. Di tengahtengahnya kehidupan memiliki ribuan cara untuk mekar di muka bumi. Berakar dari takdir dan harapan, penghuni semesta senantiasa memupuk doa dan cinta agar bungabunga terus mekar di tengah gelombang kehidupan. Dalam Poetry Prairie Literature Journal edisi Bulan Oktober 2015 bertajuk “Mekarnya Kehidupan� ini terkumpul 17 puisi pilihan dari 17 penulis yang memiliki beragam karakter dan latar belakang. Di sini bukan hanya tentang mana puisi dan penyair terhebat, namun kami ingin mengedepankan semangat yang sama untuk meresapi kisah hidup dan menikmati sekelumit momen kehidupan agar kita semua dapat lebih mensyukuri nikmat kehidupan yang digariskan Tuhan dengan manis ataupun getirnya. Meski kata-kata tak akan teringat seluruhnya, namun dengan hati tulus maka rasa akan mengendap di dalam hati. Baca dan rasakan hidupmu, Poetry Prairie
Poetry Prairie & Authors
Vika Kurniawati Selendang Sulaiman Gloria Fariza Nur Shabrina Yulianti Juanita Safitri Rini Hardiyantini Lia Zaenab Zee Zainul Abidin Syah Andong Kent Pinaka Pinasti Ratu Matroni Muserang Ayu Qonita Apriansyah Sang Puisi Khusnul Khotimah Handiansyah Akhmadi Dyah Ekawati Noor Muksin Kota
SPRING OF LIFE a solitude rain in the wind embosoming pinecones that drop to earth rolling down the hill crack by boulders upon the grass every seed that collapsed in anonymous tomb springs a new seed replenish the grief of memories that cannot be forgotten that’s how life goes that we can’t resist everything holds its breath under the wingless trees life bent life ends but never fails to blossom murmuring merciful melodies as life erodes in time -Novia, 2015-
Anak Jiwaku Vika Kurniawati
ANAK JIWAKU Anak jiwaku mengapa durjana bercumbulah dalam kesesakan laiknya air dijamahi ekor ikan seperti embun bercinta tunas cemara laiknya purnama direnda iringan malam seperti air bergelut relung awan legam laiknya siulan pipit pada putra cakrawala asa terbumbung, terikat jiwa dalam doa tersimpul roh dalam puja, asa terulur menuju sosok-Nya Anak jiwaku mengapa kelu bersoraklah dalam tangisan diri-Nya tak selalu di ujung dunia sejati diri-Nya bersemayam di dirimu diri-Nya tak terjamah hanya rapalan sejati diri-Nya terukir raut bocah asa pengemis, cinta pohon pada benalu senyum gunung pada lahar, asa pelacur terulas sosok-Nya rusa menyusuri rimba suram, menapak jiwa-Nya nyiur tersipu didera topan, mengakar diri-Nya pelangi tercipta antara derai dan surya rapuh namun mengikat diri dengan alam berserah namun tak menyerah cinta pada-Nya memahat jiwa mereka kenapa tidak anak jiwaku demikian elang meranggas untuk dimegahkan alam ulat melingkup untuk diwarnai alam
putik menjatuhkan diri untuk kembang sari begitu pula anak jiwaku menangislah untuk tersenyum jika cinta manusia tak musnahkan dahagamu maka jiwaku hiruplah sayang-Nya Anak jiwaku berlutut bersujud menari menyembah bercinta bernyanyi bersemadi berpuasa membakar dupa percuma saat membungkam saudaramu sia-sia saat menahan derma tak guna saat alam digagahi sesama kelaparan di sudut kerling surya tersenyum selesai senja walau dihujat diri-Nya tak gila puja Anak jiwaku patutlah diri jiwa mereka cermin jiwamu kau kita mereka adalah tuhan jiwa jadi goyangkan seruling tiupkan rebana anak jiwaku Yogyakarta,17 Oktober 2015 ------------------------------------------------------------------------Vika Kurniawati. Sukses lahir di Yogyakarta 21 Juni 1981. Beberapa karya termuat: “Pelangi dari Bibirnya” Antologi Ibuku Berbeda Diva Press, Cerpen “Nyonya Rumah Abu” Kompas Minggu, Antologi “Puisi Lahan” Sanata Dharma. Detik ini menunggu dua antologi yaitu “Langit retak” penerbit Kalimaya, dan “Aku Punya Impian” Fiksiana Community Kompasiana. Ketikan lengkapku ada di blog: http://vkurnia.weebly.com.
Editor’s Choice
Autobiografi Tanah Merah Selendang Sulaiman
AUTOBIOGRAFI TANAH MERAH -setelah hari keenam; Ahmad Nurullah akulah pekarangan semesta cikal bakal peradaban umat manusia muasal sesal gairah paling purna lalu cinta, birahi, dan ambisi tumbuh subur bersama margasatwa yang dilindungi firman-firman Tuhan lalu segala materi yang melekat padaku merekah-rekah di udara menjadi cermin bagi samudera bukit-bukit dan gunung merapi di negeri-negeri jauh tak bernama maka di telapak tanganku Adam dan Hawa merayakan pertemuan memasak kehidupan dengan sisa ingatan tentang taman surga dan rayuan syetan akupun tumbuh oleh ciuman terpanas di bawah matahari yang masih belia dimana bulan dan bintang-bintang tertidur pulas waktupun berhitung tanpa angka-angka setelah jarak menemukan maknanya dalam pelukan terpanjang di malam ketujuh demi pelukan Adam dan Hawa di pelaminan Tuhan kulahirkan buah-buahan, sayur-sayuran dan air dan angin liar dari segala penjuru kukultuskan sebagai penanda musim
isyarat permulaan kehidupan di dunia ketahuilah, pada mulanya di pekarangan semesta tiada janji buta dan keangkuhan keparat wajah alam penuh senyum dan ketentraman sebab arwah-arwah kegelapan belum buas dan tak pernah memilih takdir hidup gentayangan setelah Hawa melahirkan anak-anak atas nama cinta kehidupan terperangah dengan api birahi pembakar hati dan pikiran murni kemudian cinta dikobarkan dengan api dewana maka terbakarlah cinta di rusuk Adam mengabulah cinta di lubuk hati Hawa dan bergentayanganlah cinta di telapak tanganku peradaban berjalan melintasi bisingnya hasrat kebinatangan sambil mendengar bisikan-bisikan Tuhan di pelupuk hutan dan arwah-arwah pohon cinta mulai menjahit luka ingatan dengan jarum api karatan tentang rupa alam menawan bangau-bangau kemarau terpanah di bawah senja penghuni pekarangan semesta menjerit dengan teriakan paling pedih pemecah kegaiban malam jutaan kelewar dan burung hantu pergi ke langit dan aku menjelma jagat kematian yang setiap batasnya adalah tajam belati waktu
kini aku adalah materi purbakala pengenang kemesraan batu-batu langit berpandangan tanpa sanggup menggapai pipi bulan dan mata hari kecuali kobaran api paling binal dari mulut manusia betapa aku hanya puing-puing makna ke-Tuhanan dengan nyeri yang menjadi gelombang lautan masih utuh rekaman percakapan di telapak tanganku, dimana Adam berkata kepada Hawa: cintaku ini Hawa, sudah benar bertengger di puncak gunung cinta pemanggil hujan dan kemarau yang diberkahi Tuhan Hawa tak sanggup menahan magma madah jiwanya: begitu pun cintaku, ia merayap dari hutan ke hutan penuh tikaman buas cakra syetan dan aku tahu mereka takluk oleh badai rindumu kutahu itu dari angin sepoi yang membelai kupu-kupu di kuntum bunga-bunga matahari di perbatasan oh Adam dan Hawa mula asal percintaan manusia adakah daun-daun patah sebelum kering menjadikannya gugur seperti auman srigala pertanda purnama jatuh? aku bertanya atas diri yang hanya luka ciptaan pikiran-pikiran buas anak-anak cucu kalian saksikanlah wahai Adam dan Hawa lebah-lebah di taman dunia berkerumun genting di putik-putik sari kembang jagung menguning
lihatlah punggung dan dadaku tergores luka cinta manusia inilah luka semesta abadi yang telah Tuhan firmankan namun aku masih sempat tersenyum bila ingat sumpah yang kalian ikrarkan berdua di gerbang peradaban: cintaku, kematian segera datang dengan ranum kecupan maut demi anak-anak cucu kita akan kujaga dunia ini biar engkau harum di hembus terakhirku 2015
------------------------------------------------------------------------Selendang Sulaiman. Lahir di Sumenep, Madura 18 Oktober 1989. Puisi-puisinya tersiar di berbagai media massa seperti: Kedaulatan Rakyat, Seputar Indonesia, Indopos, Suara karya, Minggu Pagi, Riau Pos, Metro Riau, Merapi, Padang Ekspres, Lampung Post, Radar Surabaya, Majalah Sagang, Majalah Sarbi, Jurnal Sastra Santarang dll. Antologi Puisi bersamanya; Mazhab Kutub (Pustaka Pujangga 2010), 50 Penyair Membaca Jogja; Suluk Mataram (MP 2011), Satu Kata Istimewa (Ombak 2012). Di Pangkuan Jogja (2013) Lintang Panjer Wengi di Langit Jogja (Pesan Trend Ilmu Giri, 2014), Ayatayat Selat Sekat (Antologi Puisi Riau Pos, 2014), Bersepeda Ke Bulan (HariPuisi IndoPos, 2014), Bendera Putih untuk Tuhan (Antologi Puisi Riau Pos, 2014), dsb. Kini bermukim di Yogyakarta dan mengelola Komunitas Sastra Rudal Yogyakarta.
Bunga di Setiap Hati Manusia Gloria
BUNGA DI SETIAP HATI MANUSIA Tak ada yang berbeda ketika kehidupan berjalan Terkejar waktu dan melakukan banyak hal yang kita mau Mengakhiri malam dengan letih yang tidak sepadan Dan melalui malam dengan tidur terlelap oleh waktu Tidak ada yang spesial dan semua terlihat membosankan Manusia hidup dengan semua pilihannya dan berakhir semu Lalu apa pentingnya hidup? Jika semua berakhir datar Jawabnya tidak ada artinya, segala sesuatu telah ditentukan oleh-NYA Burung peliharaan yang bebas terbang pada akhirnya kembali kedalam sangkar Seperti manusia yang memiliki banyak keinginan namun berakhir ketika ia tiada Semua sudah ditentukan oleh Tuhan saat ia melihatmu dalam sebuah gambar Rupa, sifat dan hati manusia sudah ia tentukan dengan pemikiran yang berbeda Kejam, ironis, mematikan dan penuh dengan keegoisan yang kuat Begitulah seruan manusia saat Tuhan tidak menjawab semua permohonan mereka Lalu sampai kapan semua akan menjadi semu dan terikat erat? Sampai bunga kehidupan kembali mekar
Ke dalam jiwa manusia yang penuh rasa Saat iman bisa mengalahkan rasa keinginan yang begitu bergeliat Ketika bisa mengendalikannya akan timbul rasa cinta di dalam pikiran manusia Perasaan murni akan terasa sama ketika seorang ibu melahirkan seorang anak Ikatan kuat yang terjalin diantara dua manusia yang awalnya saling tidak mengenal Bak sebuah perahu layar yang berjalan melewati gelombang yang berkejar Sang nakhoda harus selalu siap berserah pada takdir saat memandu sebuah kapal Seperti itulah ibu yang sekuat tenaga berserah pada Yang Maha Besar Mempertaruhkan nyawa demi datangnya seorang anak yang kekal Mekarnya kehidupan hanya akan berawal dari lahirnya seseorang ke dunia Lewat rahim ibunya yang menjaganya selama sembilan bulan Itulah awal hidupnya manusia ke dalam dunia yang penuh fana Yang akhirnya akan menggerogoti jiwa murni hatinya dengan berbagai keinginan Membuat manusia lupa akan segala hal yang dimilikinya Dan menjadikannya manusia yang tak berarti seperti sebuah bayangan
Manusia hanya punya waktu hidup dan mati satu kali Bagai sekam yang hidup lepas di lautan Terlihat begitu berduri dan sendirian tak berarti Berenang bebas ke semua arah tanpa tekanan Menepis semua keinginan terpendam yang dinanti Dan mencari jati diri melewati berbagai kehidupan Ada saat-saat dimana manusia lemah oleh masalah Lelah dahaga menggerogoti rohani dan jasmani Putus asa dalam melewati berbagai cobaan dengan hati resah Mencari Yang Maha Besar dengan penuh rendah hati Mencoba mencari jawaban lewat hati yang pasrah Dan menunggu sebuah jawaban atas masalah yang terjadi Sama seperti sebuah bunga di sekumpulan semak berduri Akan ada masa ketika bunga itu harus mati karena terhimpit duri Namun akan ada masa bunga itu akan hidup kembali Karena datangnya sang mentari yang datang menyinari Hingga bunga itu perlahan mekar membebaskan diri Dan kembali berkembang melewati waktu hingga musim berganti Manusia hanya perlu menjalani hari dan menjalani mimpi Dengan terus mencoba memperbaiki diri hingga bunga di hati mekar kembali
-------------------------------------------------------------------------Gloria. Alasan saya menulis puisi adalah karena saya menyukai puisi sebagai bentuk gambaran diri yang dituangkan dalam bentuk bahasa kiasan yang lebih bermakna dalam. Puisi tertulis ringkas dan langsung pada inti topik yang ingin diangkat yang berbeda dari cerita pendek atau bentuk narasi lainnya. Alasan lainnya adalah karena puisi lebih menggambarkan perasaan dan hati seseorang ketika ia menuliskannya, oleh karena itu banyak kiasan dan arti yang sangat dalam ketika kita membaca puisi seseorang.
Cycle Fariza Nur Shabrina
CYCLE We came in this world, alone Looking with own eyes Hearing with both ears Speaking through one's lips We learn about world, together Cared by parents Laughing with brothers Sharing with sister We enjoy the world, with partners Spending times with friends Crying loud with comrades Fooling around with mates We love our world, in couples Hugging them in closeness Supporting each other Endless kisses one another We leave this world, forever Alone but not scared 'Cause all the time with others Makes it feel not that bitter -As our goodbyes meant for something better-
------------------------------------------------------------------------Fariza Nur Shabrina. If I were words, then I’m searching for the right punctuations. Writing is my muse. People born, people dies. That’s how it was, how it is, and how it’s going to be. But between those births and deaths, there is life. It is impossible to avoid death, but we can always make our life memorable, as to not regret when the time has come.
Destinasi Hidup Yulianti
DESTINASI HIDUP Hawa di lereng gamping mencurah hening Sepoi yang hampa Menyejuk atma yang mengalir di kelok kodrat Menepi di tepi resah, serah, kalah Taburilah bangkai itu dengan dedoa Di antara hidup dan mati ‘kan ada jalan meretas Kembali‌ Dalam reinkarnasi Serak belulang bergelut lagi di rahim ibu Kompromi dengan gumpal-gumpal daging dan darah Mencabik-cabik gundah di sekat waktu Menunggu terusir dari dinding liat Mentari gapai tetamu di selarik cahya sepi Menjamu dengan suam-suam pagi Lalu melangkahlah di jalan harapan Taburkan putik impian sebelum kumbang menawakan kematian Biarkan ia merekah, memerah, dalam selimut keabadian Jadikan bunga impian destinasi hidup dalam kawal harapan Takkan ada jasad kenistaan di kelok kodrat Mati 'kan menyerta senyum kepuasan Riau, 18 Agustus 2015
------------------------------------------------------------------------Yulianti. Si penulis amatiran ini lahir di Ciamis 18 tahun yang lalu. Saat ini terdaftar sebagai siswi SMA di Prov.Riau, Mengaku mengidolakan Raditya Dika dan bercita-cita menjadi penulis hebat. Kalian bisa menghubunginya melalui Fb Yulianti, Twitter @Julie_IP, Blog Julieislaa.blogspot.com dan email yulieyuliann@gmail.com.
Lambung Sunyi Juanita Safitri
LAMBUNG SUNYI --elegi kloset dan aborsi Lenganku pucuk rebung dari rumpun bambu nenek moyang. Jemariku mekar mengelopak bunga dipoles sepasang mata buta dan desir darah ibu. Wajahku. O, wajahku lipatan muara terpasang dari ayah yang mencari dan ibu yang menanti disuguhi temaram lampu lalu kunang-kunang melayang. Aku tenggelam di buih api yang terus membara tidak mau mati. Tuhan menurunkanku ke bumi dari seluncuran ibu yang curam penuh tikungan di setiap hela nafasnya. Jeritku merapal tabu dan merobek batin dari rantai waktu. Menguras rapal do’a di kolam Tuhan. Tidak ada yang mengintip di balik jendela atau bertasbih pada ruh telah bernyawa ini. “Sungguhkah ibu menelan makhluk mungil berlendir ini, membuntuti setiap langkah, merampas rasa laparmu tanpa kenal waktu?� dari rahim ibu aku terus bertanya. Aku tidak mengendus bau sperma atau merasakan telapak surga hanya sekat yang benar-benar sunyi dan nyanyian jangkrik mengikuti poros bumi. Nafas alam menjadi rahang srigala dengan mulut lebar
menganga. Taringnya, ya taringnya pedang benggala melihatku tanpa cahaya. Aku digelitik lidah baja tidak berdaya dan berputar menghindar dari senapan linggis dan aku menangis tidak berdaya bahkan ibu tengah mati suri di atas ranjang neraka. Lubang itu menawarkan surga untuk mencabik kulit babi masih suci yang dibasuh Tuhan sebagai titipan. Degup jantungku menggila darah ibu mengucapkan salam sampai jumpa menghitung gelitik detik. Aku bersumpah, kedua lengan ini ditakdirkan jadi sayap pelindung Ibu saat terlelap atau menari di punggung ayah saat lelah. Namun satu hembusan nafas lagi satu kali teriakan yang sia-sia aku diguncang dalam tempurung ibu diberi senyum tabung maut dan kolam surgaku menjadi safana Afrika, “Ibu, aku kehilangan kaki untuk melangkah bersamamu, degup jantung mengurai tawamu, tanganku serbuk pasir kali, kepalaku biji salak yang terkoyak dan mataku adonan lunak pemanis, dan hatiku mengalir di pusaran kloset� Bau toilet menjadi temanku dan retakan keramik saksi bisu lalu surga di tempat kumembeku, membekam jiwa tabu tidak untuk lahir ke dunia. Aku ada bersama satu juta jiwa biji jambu
terkurung rahim ibu berharap meluncur bersama tangis yang menjadi tawa ibu melihat dua pasang wajah menyatu satu di hadapanmu. “Hanya hitungan bulan di jari, di tabung ibu yang luar biasa, sempat kudengar degup jantungmu menyiring detak jantungku dalam detik dan nafas kucium darah suci menjadi gumpalan petaka“. Ruang kosong kuhuni hingga tumbuh mimpi dan Tuhan merajut jemari menjadi kuas pelukis yang asing pada kanvas mau pun cat warna-warni. Di sini aku pernah berdiri, benyanyi, menari, mencari dan melukis nama Ibu memahat harapan sepi. “Aku ingin bisa lahir ke bumi disambut tangis dan air mata bahagia bersama ibu, dan meringkuk di pangkuanmu.� 2015
------------------------------------------------------------------------J. Safitri (Juanita Safitri). Biasa dipanggil Juan. Lahir di Cianjur, 07 Juni 1998. Siswi SMA Negeri 1 Cilaku-Cianjur. Ketua Earth Security Cianjur yang sangat menggemari sastra juga aktif di Komunitas Nina Bobo asuhan Iwan B. Setiawan. Menulis; terlahir tanpa mengenal suara, tersembunyi di balik mata yang bermakna, menjelma kata yang indah tanpa berfikir memamerkan kemolekannya. Mengalir di sekujur jiwa yang murni, terkadang deras ketika jiwa itu berpetualang melintasi api. Karena itu aku sangat suka menulis, dengan diam aku bisa menjelma jadi apapun, bahkan keliling dunia sekalipun, tanpa harus mengeluarkan dana yang besar.
Madura yang Melaut Rini Hardiyantini
MADURA YANG MELAUT Tanah ini bernama ranah garam Asin di lidahnya, putih di rambutnya Isi lambung adalah nelayan yang haus ikan-ikan Kulitnya pasir-pasir kasar dengan terumbu karang Debur di tubuhnya ialah keringat yang terkumpul jadi gelombang Ombak di dadanya mengapit kehidupan yang menjanjikan masa depan bahwa bersama badai bukan berarti harus lempar jangkar-jangkar bahwa jika tiba kemarau panjang, tak selamanya hasil tangkapan melimpah besar Sampan-sampan timbul tenggelam bak ayat-ayat di sepertiga malamnya itu berikhtiar Ialah laut; di jantungnya hidup takkan redup Madura negri para nelayan, September 2015
------------------------------------------------------------------------Rini Hardiyantini. Mahasiswi Sasing UTM. Anggota FLP Bangkalan yang telah lama menyelami kata-kata. Karena baginya, dengan menulis ia menemukan dunia lain untuk mengungkapkan segalanya daripada berbicara. Kunjungi rumahnya di rinspirasikata.blogspot. com.
Mekar Hidup Wakilkan dengan Doa Lia Zaenab Zee
MEKAR HIDUP WAKILKAN DENGAN DOA Betapa purna laku mesti disemai Dalam perahu kayuh hayat Agar tak surut melayari samudera Tak tenggelam melintas jarak dalam depa tak terukur Adalah harapan! Umpama napas yang pecah menyebari paru-paru Melapangkan rongga-rongga jantung Ke mana arah haluan disandarlabuhkan Adalah semangat! Aroma udara selalu mendenyar nadi Titah perigi tampungkan kecamuk ombang-ambing kalut Di pusaran onak hanyutkan sumringah pencapaian Bagaimana mungkin aku tak menyerah Jika badai tak henti membujuk laruh dalam amuknya Membenci alunan laut yang mengalun sepoi Tapi hidup adalah pertarungan Antara mekar dan gugur Adalah doa Hal yang tak kan hilang restu dalam segala keadaan
Kendati air mata t’lah letih menjumlahkan warna buram kegagalan Tetap doa kesebut sebagai mukim yang paling mendamaikan Memulangkan segala risau Maka kuwakilkan perjalanan Menjaga rekahan hidup Dalam sapihan doa Setelah ikhtiar kurampung sebaik-sebaiknya Makassar, 22 Agustus 2015
------------------------------------------------------------------------Lia Zainab Zee. Lahir di Makassar, 28 Juli. S1 Akuntasi-UNHAS Makassar. Staff Finance di Perusahaan property. 'Akuntan' yang tersesat ke dunia literasi. ''Leyya Perempuan Merah Bergelung Pena, Rampai Serenade Rasa dan Dua Puluh Delapan Bisyarah Doa-doa'' buku-buku puisi tunggalnya. Ratusan buku antologi bersama: puisi, fiksi, esai, artikel dan kata-kata mutiara/motivasi. Beberapa di antaranya termuat di koran lokal. Blog:http://lia-zee.blogspot.com.
Mekarnya Kehidupan Zainul Abidin Syah Andong
MEKARNYA KEHIDUPAN Padahal, pagi masih basah pada kuncup-kuncup angin demikian pula dingin, semarak di hutan cengkeh teduh di puncak Gunung Gamalama pada daun yang bergurau embun pikiranku mendaki sepagi ini pada batas pengetahuan geografis memandang gugusan pulau berwibawa cakrawala kadang hanya butuh meluangkan sedikit pikiran menghargai ayam mematok bintang lalu matahari sebentar lagi gemilang atau membuka sedikit tirai mengusir ketakutan yang berjejer di media sosial menemukan rona langit perlahan membiru sekian jingga lalu sinarnya semerbak pada ruang-ruang arsitektural sekedar menyaksikan langit pagi tergores imajinasi para muda-mudi dalam perjuangan sebelum semuanya berdeformasi menjadi khayalan lenyap oleh demonstrasi rutinitas, invasi pemikiran atau tuntutan yang beragam rasanya ingin kembali dalam selimut hangat tapi tinta telah habis entah saja, saya merebah harapan dalam susunan rapi dan doa terbaik
lalu kehidupan tetap bermekaran di sekitar seperti berteman kasih menebar merdu, burung-burung berkicau saja meramu warna, daun-daun bergoyang saja mengepak tebing, elang melolong saja dan berbagai keikhlasan yang tak kita syukuri kekhawatiran berganti takjub pada apa yang ada Sepagi ini, rasa penasaran mendorong menyalakan televisi tampaklah seseorang menjaring cahaya padahal semua orang menikmati limpahan ini seseorang sengaja memantik api pada gesitnya arus teknologi informasi berbagai produk dalam sensualitas sungguh menggairahkan tentang tragedi kemanusiaan dalam eksodus penduduk berlatar perang terdapat juga pengetahuan baru dan informasi bermanfaat berganti berita pembunuhan, pemerkosaan, penjarahan, korupsi, penggusuran, politik, menjebak lawan politik, padahal hari masih pagi Saya pun belum beranjak dari rumah dan otakku telah berkecamuk iba, asa, kebencian, ketakutan dan syahwat dalam 15 menit Kadang tak menikmati pagi ini setelah mesin mulai berderu amarah tumpah di jalanan atau setelah melihat gambar pithecanthropus
bahkan lupa merapikan puing kosa-kata kemarin setelah tak sengaja memencet power remote ah, kopiku beraroma rindu Saya tuliskan saja mekarnya kehidupan dalam puisi aromanya menebar dari buritan kapal para petualang, bernama sajak‌! syairnya riuh dari hulu ke hilir, ialah para petualang‌! dan doa-doa dalam seduhan para pengabdi...! 26 September 2015
-------------------------------------------------------------------------Zainul Abidin Syah Andong. Lahir di Tondano Sulawesi Utara tahun 1986. Masa kecil di Kota Ternate Maluku Utara dan tumbuh besar di Kota Makassar Sulawesi Selatan. Saat ini, telah setahun beralamat di Kota Ternate, Maluku Utara. Berprofesi sebagai arsitek freelance dengan kontrak terakhir di Pulau Morotai, sebuah pulau paling utara Provinsi Maluku Utara berbatasan Samudera Pasifik dan Filipina. Sejak SMA senang membaca bahkan rajin bolos kelas hanya untuk masuk perpustakaan membaca buku apa saja yang menarik perhatian. Hal ini terjadi berulang-ulang seterusnya. Mungkin kepalaku telah penuh dengan kata-kata yang mendesak keluar, jadi saya coba menulis, ternyata mengasikkan. Terdapat petualangan di dalamnya dengan menjelajahi kosakata dan makna beragam. Facebook: Kakarlak Andong.
Mekarnya Kehidupan Kent Pinaka Pinasti Ratu
MEKARNYA KEHIDUPAN Menghirup bau biru Mengalirkan ke dalam jiwa Merengkuh menguasai pikiran Damai memeluk hati Ketika rasakan lagi Semilir alam membelai Sejuknya hapuskan beban Beratnya terkubur Nyanyian nina bobo kekalutan Seluruh semesta tersapu Mata yang tak henti merayu Mengagumi dan memuji Lukisan nyata mahakarya berharga Lalu kuterbaring Rasakan damai yang tercipta Syukur penuh rasa Di sini aku berada Di sini mekarnya kehidupan Magetan, 25 Agustus 2015
------------------------------------------------------------------------Kent Pinaka Pinasti Ratu. Lahir di Magetan. Berasal dari Kelurahan Mranggen Maospati Magetan. Bersekolah di Universitas Sebelas Maret Surakarta jurusan Agroteknologi dan sekarang tinggal di Surakarta. Menurut saya, puisi adalah kalimat hati terdalam.
Menerka Pintu-Pintu Matroni Muserang
MENERKA PINTU-PINTU Di pelupuk waktu yang hening dan jejak mata yang asing kutulis puisi maha yang tak tertera kata sebab engkaulah puisi yang mengisi ruang hujan, angin dan pori-pori dedaun jejak keterasingan aku terka lewat garis bibir yang menerpa sebuah desa desa yang tumbuh dari biji waktu akarnya terbuat dari jiwa langit cabangnya terbuat dari rusuk perempuan daunnya terbuat dari kecantikan buahnya terbuat dari keharmonisan Pajagungan-Battangan, 2015
------------------------------------------------------------------------------------------------------------Matroni Muserang. Lahir di Sumenep, buku antologi puisi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010), “Madzhab Kutub” (2010), Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (Dewan Kesenian Jatim, 2010), Suluk Mataram 50 Penyair Membaca Jogja (2011), Menyirat Cinta Haqiqi (NUMERA, Malaysia, 2012), Rinai Rindu untuk Kasihmu Muhammad (2012), Satu Kata Istimewa (2012), Sinopsis Pertemuan (2012), dan Flows Into The Sink, Into The Gutter (Inggeris-Indonesia, 2012), Sauk Seloko (PPN VI Jambi 2012), Solusional 1 (2012), Dialog Taneyan Lanjang, Bunga Rampai (2012), Sebab Cinta (2013), Di Pangkuan Yogya (2013), Terpenjara di Negeri Sendiri (2013), Indonesia di Titik 13 (2013), Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya (2014), Gemuruh Ingatan (2014), Dari Negeri Poci 5, Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil, Jakarta: 2014). Puisi Menolak Terorisme (2014), Parangtritis (2014).
Menimang Matahari Rembulan Ayu Qonita
MENIMANG MATAHARI REMBULAN Hari-hari yang menimang matahari rembulan telah lahir Dari rahim subuh yang membumbung di ufuk timur Menoreh celarat merah kekuningan Melukis batas cakrawala Hari-hari yang memeluk matahari rembulan mekar di antara dedaun rimbun Basah oleh embun yang tak pernah kering Dari rekam hidup dan penantian hati Menjelajah hari Tiap fajar senja berlomba menukik di langit tinggi Menaungi terbang burung yang mengepak bebas Seperti jiwa yang lepas bebas Menanti waktu keabadian dari rekah kehidupan
------------------------------------------------------------------------Ayu Qonita. Penulis lahir di Lumajang. Sekarang sedang sibuk menjalani hari kuliah dan membaca buku. Gadis penyuka kopi dan menulis puisi ini bisa dihubungi lewat fb: Ayu Qonita, email: ay22qo@gmail.com.
Pelan-Pelan Rindu Tumbuh Sebagai Kunang-Kunang Apriansyah Sang Puisi
PELAN-PELAN RINDU TUMBUH SEBAGAI KUNANG KUNANG Pelan pelan aku tumbuh sebagai kunang-kunang Isyarat musim tak mudah disangkal, Bi sebab hujan begitu sibuk bertiup di telingamu Menjatuhkan bertubi-tubi bisikan iblis juga syaiton nirojiim Dingin, Bi Biarkan dedaunan berpelukan pada tanah Sebab lengan kerinduan tak cukup lincah menghangatkan kita Seduh saja puisimu pada setangkai embun yang mampir di kaca Kaca yang hampir saja dipecah sekuncup cerita Tentang penyair yang nyaris kehilangan metafora Lalu sajaknya laksana lelaki tua, yang kepalanya di penuhi berlapang-lapang nisan di tiap sisinya Dahulu, Bi Matanya adalah mantra, yang sedemikian mahir menyihir kata-kata Kelak ia akan datang padamu sebagai angin, sebagai musim Sebagai daun-daun yang berguguran Sebagai sumsum kata Lampu-lampu begitu lincah menari-nari di ekor mata
Bukan hendak mengawasimu, Bi Namun sekedar mencoba mengubah dirinya sebagai kunang-kunang Berharap dapat hinggap di kukumu Lantas meminta kamu mencakar-cakar sekuntum makam yang telah begitu kejam mengubur rindumu-rinduku Ketahuilah, Bi Kita akan lahir sebagai kunang-kunang. Pagaralam, 18 Agustus 2015
------------------------------------------------------------------------Apriansyah Sang Puisi. Seorang guru matematika di MTs. Guppi Pagaralam. Menyukai puisi, membaca puisi, kadang sesekali mencoba menuliskannya pada dinding-dinding, pada kertas-kertas, pada punggung waktu yang kosong. Puisi baginya adalah tempat teduh untuk meluapkan rasa, tempat sederhana untuk menikmati hidup dan kehidupan. Penulis dapat dihubungi di FB Apriansyah Sang Puisi.
Pemburu Asa Khusnul Khotimah
PEMBURU ASA Tunas-tunas kecil tumbuh Lahir dari sudut kampung nun jauh Terseok menyusuri jalan Tertatih meraba kehidupan Dengan semangat rimba; berontak Dari jerat ekonomi yang mencekik harapan Angan mendamba tanpa daya Siluet sekolah impian Tempat melukis cita, memupuk mimpi Agar disemai alam, meninggi Hingga batas jumantara terlewati Bukan masalah Sebab mereka serupa kaktus Yang tetap kokoh di tengah gurun Sejumput rintangan tak bisa Membuat tunas itu layu Tidak! Justru semua ujian Menjadikan kuncupnya mekar Akarnya mencengkeram bumi; bertahan
Setiap detik yang terulur Mengajarkan makna nan tinggi Tentang segala perih perjuangan Yang ditempa kerasnya masa Tapi, kepahitan akan berakhir manis Dan kesuksesan menjadi penebus Atas segala tangis *
------------------------------------------------------------------------Khusnul Khotimah. Merupakan penulis pemula kelahiran tahun 1996 yang jatuh hati pada diksi-diksi puitis meski tak pandai membuatnya.
Pergantian Handiansyah Akhmadi
PERGANTIAN keluar dari lubang penuh ketakutan jeritan menemani kala kita diberikan kekerasan pelajaran awal: hidup tidak sehalus yang kita pikirkan pelukan datang kasih sayang menyusul canda tawa berhias ditengah ruangan yang tadinya kelam pelajaran selanjutnya: akan ada pahlawan yang membuat kita tenang sampai akhirnya semua menjadi lebih kompleks saat sesak bertamu pada organ yang sangat lelah saat tawa datang untung menghibur kehidupan kita bersedih tertawa luluh canda tangis senyum sesal arogan ego
berdiri merinding melihat hidup bersujud mati diganti *
------------------------------------------------------------------------Handiansyah Akhmadi. Mengapa saya suka puisi? Jawabannya sederhana, karena mereka tidak terbatas, bebas, lepas untuk mengajak saya kemana saja dan pada situasi apa saja. Kau hanya akan merasakannya melalui hati.
Senyap Kepakku Dyah Ekawati Noor
SENYAP KEPAKKU Sepasang kaki terpincang-pincang mengejar takdir naas Berteriak seperti kerasukan kepada waktu yang tak sabar menunggu Melupakan kesadaran yang terkelupas di jalan Meluapkan murka atas air mata yang harus tumpah ditindas kegagalan Dua lengan mendekap luka yang semakin ngilu Ditiupi udara bising berbisik Dari mulut-mulut yang berkomat-kamit doa berkhianat menjelma kecewa yang melaknat tercabik-cabiklah benang-benang gaya yang disulam sepanjang usia Debar jantung dari dalam rimba tak bernyali menyulut api menghangatkan takut yang menggigil hebat Sekujur harap telah lebam di akhir pertempuran Sebelum pagi menyadarkan kantuk Sepasang kaki terpincang-pincang mengejar takdir naas agar kembali dibenahi Di ujung dagu terbelah dua aliran sungai yang berhulu duka dan tak bermuara Ubun-ubunnya bergidik mencari letak api yang mati di sanubari Merunduk terangan pisau-pisau belati yang tajam merobek selaput perjuangan Pelarian ditarik semesta jauh dari buaian Dijebak keterikatan jatuh terjerembab pada kenistaan
Ketika mata mengaburkan percaya kepada siapa luka duka dan murka dicurahkan? Ketika bahu-bahu runtuh menjauh kepada apa resah dan kisah bersandar? Ketika muka-muka menutup beranda kemana harusnya kecamuk doa-doa yang disia-sia meminta kompensasi? Ketika lengan-lengan kaku beringsut kenapa begitu gesit kaki takdir menebaskan dingin yang memporandakan tanpa hadir hangat peluk? Ketika bibir mengecut mengerucut kapankah harusnya kata-kata yang hilang makna diberi ampun? Yang tersisa sebelum subuh hanyalah Dua kaki yang tak mengenal arah Dua sayap yang lupa mengepak Dua bidang dada yang merahasiakan luka, duka dan murka dalam kepak penanya yang senyap mengais nyawa Dua bilah bibir yang meletup-letupkan mimpi, ambisi dan puisi dalam kepak penanya yang senyap menumpuk makna Ngawi, September 2015
---------------------------------------------------------------------------------------Dyah Ekawati Noor. Mengapa suka berpuisi? Karena puisi adalah pintu menuju rumah. Tempat segala rapat didekap imaji. Jalan pulang keabadian. Kubikel-kubikel bendungan rasa di ambang maut. Dan arogansi yang sepi sehingga tak perlu mati untuk jadi diri sendiri. Selamat pagi. ^^
Tanda Muksin Kota
TANDA Kubaca tanda yang dikiamatkan waktu Dalam labirin sunyi berdetak ia seperti nadi Rekah menjadi serakan dengus napas Berkelindan debu yang menjadi lumpur :sisa genangan hujan yang turun, kemarin. Adalah sapa yang lenyap berbuah bisu Mengurungkan lidah dalam katup bibir Perintah hati laksana titah baginda raja Bahasa tubuh sudah cukup sebagai penanda :mengenalmu sebatas kenangan semata Nanti mutlak menjadi jawaban atas pertanyaan: kapan? Sebab, kepastian kian sukar diurai makna Jalan terus menjauh, ujung belum bisa diretas Semestinya aku telah sampai pada kenyataan Dan kau sebenarnya fragmen masa yang karam Bukan lagi sebagai bayangan, kini. Kediri, 2015
-------------------------------------------------------------------------Muksin Kota. Lahir 14 April di Flores, NTT. Mulai menyukai puisi sejak menghuni ruang Komunitas Literasi dan Diskusi Bangsal J, Kediri. Bisa dihubungi lewat akun Facebook, Mukhsin Kota Al Florezy, atau muksin.kota505@gmail.com.
Poetry Prairie Literature Journal
Mekarnya Kehidupan
ŠPoetry Prairie - 2015