Tentang Membaca – Sebuah tinjauan kritis terhadap pandangan dominan | ...
1 of 5
http://indonesiabuku.com/?p=10639
Kamis Legi, 02 Pebruari 2012
Berlangganan
Untuk Pesan Lagu:
BERANDA
BUKU BARU
ESAI
KRONIK
RESENSI
SUPLEMEN
TIPS
TOKOH
RUANG
ketik kata kunci...
Search
BERANDA / ESAI / TENTANG MEMBACA – SEBUAH TINJAUAN KRITIS TERHADAP PANDANGAN DOMINAN
Tentang Membaca – Sebuah tinjauan kritis terhadap pandangan dominan Diposkan oleh Pustakawan pada 16 Aug 2011 | View Comments
Oleh: Putu Laxman Pendit
Pandangan dominan tentang membaca yang dianut Kepustakawanan Indonesia dapat dikatakan sebagai pandangan positivistik. Pandangan ini dianut oleh institusi-institusi yang dominan dalam Kepustakawanan Indonesia, khususnya institusi Pemerintah melalui dua organ birokrasi terbesarnya, yaitu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Selain itu, pandangan dominan ini dianut oleh institusi-institusi pendidikan Ilmu Perpustakaan & Informasi (IP&I) yang selama ini membantu kedua institusi tersebut mengembangkan kebijakan tentang membaca, khususnya lembaga pendidikan yang mengutus dosen-dosen mereka untuk membantu PNRI dan Depdiknas, baik sebagai konsultan maupun sebagai peneliti.
ADVERTISEMENT
Berlangganan
Daftarkan email anda untuk mendapatkan kabar terbaru dari kami. Enter your email...
Saya melakukan tinjauan kritis terhadap pandangan dominan ini berdasakan dokumen-dokumen yang tersedia di tempat umum (publik). Secara spesifik, dokumen utama yang akan saya telisik adalah hasil penelitian minat baca yang sudah dilakukan besar-besaran oleh PNRI dan Depdiknas yang ringkasannya dapat disimak dalam artikel berjudul “Minat Baca Lagi”. Artikel ini amat gamblang menunjukkan bahwa pandangannya tentang membaca adalah selaras dengan pandangan PNRI dan Depdiknas, sehingga dapat dianggap sebagai wakil dari pandangan dominan di Kepustakawanan Indonesia. Di artikel tentang minat baca itu, penulis artikel tersebut menyatakan bahwa pembicaraan minat baca tidak ada habisnya dan “kontroversi selalu ada”. Menurut pembacaan saya, “kontroversi” yang ia maksud tak diulas lebih mendalam, melainkan ia menyajikan berbagai pandangan dominan tentang membaca yang memang berbeda-beda, tetapi tidak berbantahan, melainkan saling melengkapi. Ia tidak menyajikan pandangan yang “kontra” (asal kata dari “kontroversi”) terhadap pandangan dominan tentang membaca. Pandangan dominan tersebut sama-sama menyebut persoalan “minat baca” di Indonesia, walaupun ada perbedaan tentang sebab-akibat dan bagaimana mengukurnya. Dalam konteks inilah, saya ingin mengajukan pendapat “kontra” terhadap pandangan dominan yang saya sebut sebagai positivistik tersebut. Namun tentu saja sebelumnya saya harus menjelaskan, mengapa pandangan dominan yang ada di Kepustakawanan Indonesia tentang membaca saat ini adalah pandangan positivistik.
Sign up
Berita Terbaru SBY Resmikan Al Quran Ukiran Terbesar di Dunia Seruan Membaca dari FEMEN: “Nggak Baca, Nggak Bakal Kami Mau Boboan” Sesat Pikir Berita Novelis Bandung yang Go Internasional Ritual Membaca di Rumah Nungki Baharuddin Luncurkan Buku tentang Cek Pelawat Adab Terhadap Buku Ala Islam Republika Foundation Serahkan Wakaf Alquran
Diskusi Terpanas
Ada tiga unsur dari pandangan positivistik ini yang saya harus uraikan satu per satu, lalu saya akan sampaikan kontra-pendapatnya. PERTAMA, pandangan dominan dan positivistik tentang membaca yang dianut PNRI dan Depdiknas selalu dimulai dengan sebuah “rumus” baku yang tak pernah dipersoalkan oleh para penganutnya sendiri, yaitu bahwa membaca itu bermanfaat . Semua pandangan tentang membaca (termasuk tentang minat baca) dimulai dengan asumsi bahwa kegiatan membaca adalah kegiatan yang baik atau bermanfaat. Salah satu manfaat yang paling sering diajukan sebagai argumentasi pandangan positivistik ini adalah bahwa membaca menimbulkan kecerdasan pada individu yang membaca. Rumusnya sangat sederhana: semakin banyak membaca, semakin cerdaslah si individu. Secara lebih spesifik pula, kecerdasan ini terutama dikaitkan dengan kondisi kognitif (pikiran), sedemikian rupa sehingga muncul anggapan bahwa membaca adalah memasukkan sesuatu ke dalam pikiran manusia; makin banyak yang dimasukkan (dari luar, yaitu dari buku), semakin cerdaslah si pemilik pikiran tersebut. Dengan asumsi seperti itu, tidaklah mengherankan jika para penganut positivisme segera mengutip Ratnaningsih secara sepotong, yaitu bahwa membaca adalah “MEMPEROLEH pengertian dari kata-kata yang ditulis orang lain”, dan “proses penafsiran dan pemberian makna tentang lambanglambang oleh seorang pembaca dalam usahanya untuk MEMPEROLEH pesan”. Saya sengaja membesarkan kata MEMPEROLEH untuk menegaskan betapa para penganut positivisme amat percaya bahwa membaca adalah kegiatan memasukkan sesuatu dari luar ke dalam kepala manusia. Saya juga mengatakan bahwa pengutipan ini dilakukan “sepotong” karena sebenarnya ada banyak aspek dari membaca yang tidak dipertimbangkan oleh penganut positivisme.
Sesat Pikir Berita Novelis Bandung yang Go Internasional 1 comment 1 day ago Bung Karno Sebagai Kolektor Buku 2 comments 4 days ago Novel Mahasiswa Bandung Sukses di Pasar Internasional 4 comments 1 week ago Buletin Asasi “Penghilangan Paksa” (Free Download) 2 comments 1 week ago Tanggapan atas Berita Novel Mahasiswa Bandung Sukses di Pasar Internasional 1 comment 1 week ago
Dengan pandangan yang positivistik seperti di atas, keseluruhan kebijakan tentang membaca di Indonesia yang dianut PNRI dan Depdiknas serta para pengikutnya, dimulai dengan sebuah pandangan tentang SEBERAPA BANYAK orang Indonesia membaca. Janganlah pula heran jika PNRI dan Depdiknas secara bersungguh-sungguh (dan dengan biaya besar) melakukan survei yang ujung-ujungnya ingin mengetahui kondisi KUANTITATIF (berkenan dengan jumlah) masyarakat Indonesia dalam hal membaca. Mereka memberi judul penelitian tersebut dengan PEMETAAN di beberapa daerah dan isinya adalah indikator kuantitatif-geografis. Hasil penelitian ini didukung pula oleh pandangan positivistik Abdul Razak yang amat kuantitatif tentang membaca, dan yang dijadikan landasan teori dalam artikel yang menjadi rujukan utama dalam tulisan ini. Asumsi-asumsi positivistik ini, menurut hemat saya, bersifat “sepotong” dan kesimpulan bahwa “membaca itu PASTI bermanfaat” amat lemah, karena menggeneralisasikan kecerdasan sebagai
2/2/2012 12:09 PM