10
lipsus
identitas
NO 827| TAHUN XL | EDISI KHUSUS DESEMBER 2014
“Jangan Musuhi Wartawan”
IDENTITAS/NUR SARI SYAMSIR
Pengambilan sudut pandang menjadi otoritas wartawan. Kadang mengambil konteks berita, namun tak jarang mengambil sepotong peristiwa. Pihak lain kadang tersudutkan dan memilih jauhi wartawan.
“
Rumuskan angle dalam kalimat Tanya!” kalimat tersebut adalah resep praktis untuk membuat sebuah sudut pandang dari Goenawan Muhammad. Seorang jurnalis dan budayawan yang merupakan pendiri Majalah Mingguan Tempo. Angle atau sudut pandang berita pada sebuah media menjadi hal yang sangat penting. Semakin tajam sudut pandang yang dipilih oleh media, maka beritanya akan semakin berbobot dan layak baca. Pemilihan sudut pandang pada sebuah media berdasarkan pada nilai-nilai berita. Yakni sisi aktualitas, kedekatan dengan kha-
layak, dampak bagi publik, human interest dan keunikan. Dalam penentuan sudut pandang beberapa media memiliki kebijakan masing-masing. Seperti pada media nasional harian Kompas. Menurut wartawan yang juga redaktur desk humaniora Kompas, Brigita Isworo Laksmi. Penentuan sudut pandang berita pada media terbesar di Indonesia ini mengambil pada konteks keseluruhan peristiwa. “Semua wartawan Kompas memiliki ideologi yang sama punya cara kerja sama yang kita percayakan. Mencari informasi (sudut pandang, red) secara benar dengan konteks yang utuh,”
ujar Brigita ketika ditemui seusai menjadi pembicara pada pelatihan Jurnalistik Nasional identitas, di Balai Pelatihan Departemen Sosial, Makassar, Selasa (25/12). Menurut Brigita yang pernah pula menjadi wakil editor untuk desk yang menangani isu lingkungan dari berbagai daerah di Indonesia ini. Penentuan angle berita yang terkadang dianggap mendiskreditkan pihak tertentu lahir dari dampak fakta di lapangan. “Kenapa kita dominan ke situ, karena itu fakta yang terjadi dan kemudian ada dampaknya kepada masyarakat luas. Maka konteks yang ditangkap itu,” kata Brigita. Mengenai adanya anggapan bahwa media nasional sengaja untuk memilih berita yang negatif terhadap Makassar, khususnya se-
tiap aksi mahasiswa. Brigita menjelaskan berita tersebut kembali lagi pada penentuan angle akan dampak yang ada oleh peristiwa dan terkadang pesan tidak sampai sebab mengambil dari peristiwa yang terpotong. “Kalau mereka mau dimengerti oleh media, maka mereka harus mendekati. Kemudian jangan memusuhi wartawan dalam artian ceritakan kronologisnya. Karena kan tidak ada wartawan yang nongkrongin mereka tiap hari,” pungkas Brigita sesaat sebelum menuju Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Selasa (27/12). Sementara itu penentuan sudut pandang berita dari media lokal di Makassar cukup berbeda. Menurut Koordinator Liputan Harian Tribun Timur, Jumadi Mappanganro. Mereka kadang mengangkat pada peristiwa yang ada.
“Kami media hanya memberitakan apa yang terjadi di lapangan. Jika mahasiswa tutup jalan, bakar ban dan berujung bentrok yah itulah yang kami tulis,” ujar Jumadi, Rabu (3/12). Ihwal perbedaan penentuan sudut pandang oleh media, Pemimpin Redaksi Harian Fajar, Faisal Syam SH MH punya pandangan pula. Penentuan sudut pandang di media yang telah berusia 33 tahun tersebut kadang melakukan perbandingan. “Ketika anarki kita tidak ambil dari sisi itu kami ambil dari sisi positif. Dan perbandingan seandainya aksi unjuk rasa yang mereka lakukan lebih pada aksi simpatik,” kata Faisal saat ditemui di kantor Harian Fajar, lantai 4 Gedung Graha Pena, Selasa (9/12).n Tim Lipsus