lipsus
identitas
NO 827| TAHUN XL | EDISI KHUSUS DESEMBER 2014
11
Ketika Jurnalis dan Aktivis Sebaris
IDENTITAS/SITI ATIRAH
Mahasiswa menganggap bahwa media tidak seimbang dalam pemberitaan. Bisakah mahasiswa dan media bergandeng tangan?
P
ramoedya Ananta Toer pernah menulis “Didiklah Rakyat dengan Organisasi dan Didiklah Penguasa dengan Perlawanan”. Maka aksi adalah salah satu wadah untuk menyampaikan aspirasi sekaligus mendidik para pemegang tampuk kekuasaan. Segelintir mahasiswa memegang idealisme tersebut melakukan aksi turun ke jalan ini dalam menggoyahkan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Sekalipun berujung sengketa antara pendemo maupun masyarakat. Sayangnya pemberitaan media tak seiring dengan idealisme
yang digantungkan para aktivis mahasiswa. Bagi mahasiswa, media acap kali menginformasikan sebuah berita tak berimbang untuk aksi yang mereka lakukan. “Media sekarang yang saya lihat ialah berat pada siapa yang jadi pemegang kekuasaan di atasnya,” ujar Muhammad Dahri Syahbani, salah seorang koordinator lapangan dalam aksi di Unhas. Ditambah konfirmasi yang kurang dari salah satu narasumber khususnya pihak mahasiswa. Menurut mahasiswa yang menimba ilmu di Fakultas Kehutanan ini, media sebaiknya menjadi wa-
dah advokasi bagi mahasiswa. Tidak hanya fokus pada aksi di lapangan tapi media bisa menangkap, mengapa aksi ini mesti dilakukan. Sehingga mahasiswa tidak selalu dilihat sebagai perusuh, tidak membela rakyat dan anarkis. “Misalnya jika kita aksi tolak kenaikan BBM, media seharusnya memberitakan apa yang menjadi pandangan mahasiswa sehingga menolak BBM,” tegasnya. Sama halnya dengan Dahri Zul selaku Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Makassar (UNM). Bagi Zul, media juga terkesan tak seimbang karena kurangnya konfirmasi pada salah satu narasumber. “Terkadang awak media hanya mengambil
pernyataan sikap satu sumber saja dan tak mengonfirmasi ke teman-teman mahasiswa,” ujarnya saat diwawancarai, Senin (8/12). walau, ia tetap berharap pemberitaan bisa berpihak pada mereka. Menanggapi pendapat mahasiswa, Koordinator Liputan (korlip) Tribun Timur mengatakan bahwa ia tak bisa memastikan apakah mahasiswa dan media dapat seiring sejalan. Menurutnya, media harus seimbang dalam pemberitaan jadi jika dibahasakan bergandengan tangan agak susah terbayang. “Saya cukup takut untuk mengatakan dapat bergandengan tangan atau tidak karena dalam pemberitaan semuanya harus seimbang. Namun, jika maha-
siswa ingin diberitakan aksinya yah bisa saja diberitahukan kepada kami,” ujar Jumaidi, Kamis (4/12). Seyogianya media membeberkan fakta, peristiwa sesungguhnya di lapangan. Pemimpin Redaksi harian Fajar, Faisal Syam SH MM yang telah lama bergelut di media membeberkan bahwa aksi mahasiswa yang bentrok memiliki nilai berita. Sehingga selalu menjadi sorotan. Namun itu dulu. Kini berita kekerasan tidak menarik lagi disebabkan kejenuhan masyarakat. “Sekarang kabar baik adalah berita yang baik berdasarkan hasil jajak pendapat yang kami lakukan,” tutur Pimpinan Redaksi Harian Fajar saat ditemui di kantornya, Selasa (9/12). Jika berita aksi mahasiswa harus dimuat maka media khususnya di Fajar akan lebih fokus pada dampaknya. Misalnya memuat berita tentang pasien Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo meninggal sebab dokter terlambat sampai di lokasi akibat macet oleh aksi tutup jalan mahasiswa. Ada pula yang butuh darah tapi si pembawa kantung darah terlambat sepuluh menit, lagi-lagi karena aksi tutup jalan. Pasien pun meninggal dunia. Ketika aksi berakhir anarkis, maka yang dimuat tidak sekadar kerugian yang nampak di depan mata tapi juga sisi lain yang saling berkesinambungan. Ini menjadi bentuk berita edukasi bagi masyarakat dan aktivis mahasiswa sebagai pendemo. Bahwa media kini sedang membangun jurnalisme empati. Bahwa setiap peristiwa memiliki konsekuensi. “Ketika mahasiswa bisa menarik simpati masyarakat dengan aksinya saya pikir itu akan jadi berita menarik, “tutupnya. Maka seharusnya media dan mahasiswa akan ada jalan untuk bisa bergandengan tangan. n Tim Lipsus