Hal 15

Page 1

cermin

identitas

NO 827| TAHUN XL | EDISI KHUSUS DESEMBER 2014

Kampungan Oleh: Rasdiyana Sinala

KAMPUNGAN adalah kata yang sering kita gunakan untuk menjuluki seseorang yang bersikap norak. Ataupun kepada orang-orang yang terbelakang. Tak jarang, istilah ini dijadikan alat untuk mencela seseorang yang dibenci. Sebagian besar orang berpendapat, istilah ini menjadi julukan seseorang sebab orang tersebut masih bersikap layaknya kebiasaan di desa, terlebih desa yang masih terbelakang tanpa akses teknologi. Di daerah perkotaan seperti Makassar, kata kampungan paling sering diucapkan masyarakatnya. Terlebih pada tempat-tempat mewah seperti mall, supermarket, gedung-gedung pencakar langit dan lainnya. Kata ini digunakan untuk mendeskripsikan mereka yang kurang mengusai teknologi di tempat-tempat tersebut. Menjadi seorang perantau dari desa ke Makassar terkadang akan mendiskreditkan orang tersebut. Sebab ia berasal dari desa dan kemungkinan akan dilekatkan julukan kampungan. Termaksud diriku, perantau dari desa terpencil di Sulawesi Tengan bernama Kolonodale. Datang ke makassar, berniat menuntut ilmu. Suatu ketika, aku melintas di jalanan besar Makassar. Kala itu, aku menumpangi sepeda motor kawanku. Seorang kawan yang lahir dan besar di Makassar, menetap di kota metropolitan ini. Ia pun didaulat teman-teman kami sebagai orang yang bersuku Makassar berdasar hal tersebut. Semua kemegakan kota besar melekat padanya. Kala itu, ‘penyakit’ akut Makassar sedang kambuh, macet. Saat kami telah melalui titik macet tersebut dan mulai memasuki jalan yang sedikit senggang, tiba-tiba saja sebuah mobil berkecepatan tinggi melintas. Mobil tesebut melitas tepat di samping kami. Jaraknya begitu dekat dan nyaris menyerempet sepeda motor kami. Suaranya yang begitu bergemuruh memekkakan telinga. Sebagian besar perhatian tertuju padanya kala itu. Beberapa detik saja sedan yang telah dimodifikasi tersebut telah jauh meninggalkan kendaraan di sekelilingnya. Dari tampakan luarnya, sepertinya itu adalah salah satu orang berduit kota Daeng ini. Kemegahan dan kecanggihan teknologi perkotaan seakan melekat pada dirinya.

Karena merasa terganggu dengan tingkah orang tersebut, kawanku pun sontak mencaci. Teriakan kata kampungan terdengar keras dan lantang dari mulutnya. Seketika aku pun terdiam kaku medengarnya. Benakku pun mulai merenungi perkataannya. Seolah ada ketersinggungan dalam mendengarnya. Pikirku, mungkin iya tak mengetahui betul apa itu istilah kampungan dan maksud kampungan itu. Lama merenungi, mungkin aku yang salah menafsirkan. Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan kata kampungan sebagai hal yang berkaitan dengan kebiasaan di kampung; terbelakang (belum modern); kolot; atau julukan untuk orang yang tidak tahu sopan santun; tidak terdidik; kurang ajar; Sejenak, terbayanglah aku suasana desa atau yang lebih akrab disebut orang sebagai kampung. Kata dasar dari kampungan itu sendiri. Sejauh ingatanku, tak pernah ku melihat ada kendaraan dengan gaya seperti itu melintas di jalan-jalan desa. Kalaupun terdapat mobil, pasti dengan tampilan aslinya, tanpa modifikasi yang membuatnya terlihat seperti mobil sport. Di desa, kendaraan demi kendaraan tak perlu saling mendahului untuk mendapatkan jalurnya yang mudah. Sebab, jalan di desa masih sangat lowong. Kendaraan satu per satu melintas silih berganti dengan tenang. Tak ada yang berniat atau mencoba mengambil hak atas jalan orang lain. Jangankan niat, kesempatan, cara dan hal untuk melakukannya pun tak ada. Tak kita jumpai jalan yang macet di desa, sehingga setiap orang mendapatkan haknya sebagai pengguna jalan. Mereka saling menghargai satu sama lain. Sedang di Makassar, kendaraan sudah sangat padat. Tak jarang akan kita temui titik-titik macet. Berbagai orang dengan kepentingannya masing-masing memenuhi kehidupan keseharian Makassar. Mulai dari yang santai sampai yang terburu-buru. Tak ayal, beberapa orang pun tak segan mengambil hak orang lain dalam menggunakan jalan. Tidak ada lagi tenggang rasa sesama manusia di jalan Makassar. Setiap orang mementingkan kepentingannya masing-masing hingga tak segan untuk merugikan maupun merampas hak orang lain. Jika kejadiannya sudah seperti ini, maka layakkah pengguna jalan Makassar disebut kampungan? Lalu apa sebutan yang pantas disandang orang-orang di kampung? n Penulis adalah Koordinator Liputan PK identitas 2014

bias

15

Indonesia, Neolib kah?

Oleh: Busrah Hisam Ardans BERBICARA Neoliberalisme, tak lepas dari paham induk yang menjadi awal lahirnya neoliberalisme, yakni Kapitalisme. Kapitalisme sendiri merupakan sebuah ideologi yang terstruktur secara konsisten (sistematis) kemudian membentuk formasi sosial yang nampak pada aturan, budaya, kultur bagi siapapun ‘penganut’ ideologi tersebut. Sedangkan neoliberalisme merupakan kerangka penalarannya. Jika awal kelahirannya, kapitalisme menggunakan kerangka penalaran liberalisme klasik, berganti keynesianism, hingga kemudian yang paling mutakhir neoliberalisme. Neoliberalisme sendiri memang bentuk mutakhir dari kapitalisme sebagai formasi sosial, dan penyempurnaan dari gagasan liberalisme klasik. Perbedaan mendasar antara varian liberalisme klasik dan neoliberalisme terletak pada ide tentang pembentukan harga. Pada liberalisme klasik mekanisme pembentukan harga bersifat alami (oleh pasar). Namun pada neoliberalisme penertiban harga pasar ada campur tangan negara, melalui penerbitan perundang-undangan agar dimaksudkan segera terbentuk dan operasional, serta tidak dihalangi oleh faktorfaktor kelembagaan seperti pranata sosial. Dalam sebuah wawancara di stasiun TV beberapa tahun lalu. Ichsanuddin Noorsy (Pengamat ekonomi politik), mengemukakan ada empat poin mendasar ikhwal Neoliberalisme. Pertama, mekanisme pasar yang bekerja (Let’s the market play) artinya semua dilepaskan kepada pasar, biar pasar yang bekerja. Di saat yang bersamaan pula tidak ada hubungan dengan hajat hidup orang banyak (Cabang-cabang produksi/ Jasa-jasa produksi). Kedua, status kepemilikan barang-barang tadi ialah kepemilikan pribadi (Private goods). Ketiga, kekuatan korporasi, korporasi bisa menjadi pesaing, nepotism, dan kolusinya pemerintah. Keempat, keuntungan adalah ‘tuhan’. Berkaca dari konsep neolib diatas, sesungguhnya Indonesia telah jauh masuk dalam jurang neoliberalatas inisiasi diri sendiri. Penerbitan UU No. 22 tahun 2001 yang pro market terbukti mampu meruntuhkan kedaulatan negara, kontradiktif dengan konstitusi dan mengancam ketahanan dalam sektor energi, fakta terakhir Jokowi menjadi pak turut liberalisasi energi di sektor hilir dengan menaikkan harga BBM, untuk mengikut pada harga Internasional sekalipun harga minyak dunia anjlok. Melalui berbagai Financial Agreement yang kemudian memaksa In-

donesia melakukan reformasi struktural (SAP, LoI) dan berpengaruh terhadap satiap kebijakan publik atas kehendak lembaga donor dunia IMF dan Worl Bank. Jauh sebelum itu UU penanaman modal pertama No 1 tahun 1967 di bawah pemerintahan Soeharto, mengisyaratkan dengan jelas bahwa ada beberapa bidang usaha yang tertutup untuk investasi asing; Pelabuhan, pembangkitan dan transmisi listrik, telekomunikasi, pendidikan, penerbangan, air minum, KA, tenaga nuklir, dan media masa (pasal 6 ayat 1). Mereka sadar betul kesemuanya itu merupakan barang dan jasa strategis untuk khalayak banyak (Public goods). Investasi asing perlu diadakan tapi ingat, harus ada garis proteksi yang jelas untuk melindungi barang dan jasa publik. Tapi setahun kemudian UU Penanaman modal dalam negeri menetapkan “perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya memiliki 51% daripada modal dalam negeri yang ditanam, di dalamnya dimiliki oleh negara atau swasta nasional” (Pasal 3 ayat 1). Itu artinya swasta asing memiliki 49% dari saham. Namun pada tahun 1994 dikeluarkan PP. No 20 tahun 1994 Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 5 ayat 1 untuk menjamin kepemilikan asing sebesar 95% dalam hal Public goodstadike Private Goods. Tak cukup sampai di situ SBY pada tanggal 17 Januari 2005 mengadakan International Infrastruktur Summit dan BUMN Summit beberapa hari setelahnya yang hasilnya sama yakni memberikan keleluasaan kepada investor asing untuk penanaman modal. Dan kini dalam kendali Pak Jokowi Indonesia bak ‘dijual’ dengan menunjukkan Indonesia tak punya kekuatan sama sekali di hadapan para Summit dalam KTT G20 dan KTT APEC November kemarin. Bermodal Bahasa Inggris yang fasih, “This is your Oppurtunity” itu berarti Jokowi telah menyerahkan ‘pembuluh darah Indonesia’ dan secara tidak langsung mengatakan Yuk, kita lanjutkan ketimpangan. Ketimpangan yang terbukti selama 10 tahun masa kepemimpinan SBY, dari angka 0,33% naik 0,43% dan bukan hanya berarti ketimpangan pendapatan, tapi ketimpangan regional, sektoral, intelektual, akses layanan publik, yang akan disusul dengan krisis sosial dan gempa sosial. Ini sebagai bukti kuat cengkraman korporasi asing dan para korporatokrasi yang siap merampok SDA Indonesia !. Poin terakhir dari pernyataan beliau, “Keuntungan dalam ekonomi kapitalis ialah ‘tuhan’.” artinya walau mempunyai keleluasaan dalam bertransaksi jual beli dan diatur dengan berbagai macam regulasi, tetapi tetap saja tidak bisa mengalahkan keserakahan para kapitalis. Karena dalam kajiannya Stiglizt yang menjadikannya pemenang Nobel, ada Asimetric Information yang disebabkan oleh dua hal yaitu orang berbohong dan orang benar-benar meningkatkan risiko. Neolib kah Indonesia? Jawabannya sudah jelas. War on Capitalism and Neoliberalism !n Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Peternakan 2011


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.