opini
identitas
NO 827| TAHUN XL | EDISI KHUSUS DESEMBER 2014
5
Ironi Petani Dalam Peradaban Politik Oleh: Ayub Gasali BAGI seorang petani, kata demokrasi maupun politik terdengar sangat asing di telinganya. Sampai hari ini pun petani tak memahami apa itu politik secara substansial. Namun dari keterangan mereka, politik itu sekadar mencoblos gambar dalam bilik suara. Sebagai golongan mayoritas dari rakyat Indonesia, seharusnya petani mempunyai nilai jual terbesar dalam kalkulasi politik. Namun sampai hari ini golongan petanilah yang selalu terhimpit oleh kepentingan elitpolitik. Kaum tani selalu terlihat sebagai paradox. Selalu diperebutkan dalam setiap momentum politik. Namun menjadi pesakitan pasca momentum politik berakhir, di mana golongan petani ibarat sapi yang siap ditarik ke dalam kandang kepentingan manapun dan disembelih pasca itu. Kecerdasan berdemokrasi
petani sampai hari ini belum cukup untuk sampai pada kecerdasan partisipasi politik aktif. Hal itu didukung oleh partai politik yang memang bukan tumbuh untuk membudayakan pendidikan demokrasi. Justru tumbuh untuk membudayakan kepentingan transaksional. Pendidikan politik dan demokrasi di negara kita hampir tidak pernah menyentuh golongan petani. Para elitpolitik menunggangi kebodohan itu kemudian menyanderanya ke dalam kepentingan partai. Petani merupakan agen “penyuplai” peradaban bagi bangsa Indonesia. Petani menghasilkan tumpukan karbohidrat, protein dan mineral untuk kita konsumsi. Mereka memastikan bahwa aspek material peradaban bangsa pastinya tetap terpenuhi. Maka, agar bangsa kita tetap lestari, sesungguhnya kedaulatan petani adalah sebuah harga mati. Namun politik kita sampai hari ini selalu menyempitkan lalu menutup jalan bagi kedaulatan petani. Dimana mereka sekadar dijadikan nilai tukar-tambah dalam transfer kepentingan. Sesungguhnya kedaulatan petani mendahului segala macam ambisi politik dan pertarungan ideologi. Karena itu demokrasi sebagai ruang kebebasan aktif
ada untuk menjamin petani tetap hadir dan eksis menjaga tanaman kehidupan bangsa. Pendidikan politik adalah syarat mutlak untuk merawat kehidupan petani. Karena kebijakan politiklah yang kemudian mereproduksi energi sosial yang menyirami tanaman kehidupan bangsa. Ruang politis dan pendidikan politik wajib dihadirkan untuk menjamin kecerdasan petani berdemokrasi. Sehingga tak ada lagi yang mengganggu tanaman kehidupan itu untuk tumbuh dalam tanah air. Petani pernah membuat narasi besar di panggung dunia yang mengangkat harkat dan martabat bangsa. Kala itu swasembada beras mengukir sejarah yang ikut menyeruak bersama kisah sukses para petani. Laku politik negara di kala itu memang memfasilitasi petani untuk tetap menjamin terpenuhinya kebutuhan kalori bangsa. Di mana petani menikmati oksigen politik yang cukup untuk membangkitkan bangsa dari ancaman krisis pangan. Hari ini laku politik justru mengancam petani, kebijakan negara selalu berpihak pada pemodal dan industri. Akibatnya secara perlahan-lahan petani tergusur dari lahannya. Atas nama modernitas, mesin-mesin kapitalisme dan globalisasi datang dan mem-
babat para petani beserta kearifan lokalnya. Uniknya politik justru membiarkan hal itu terjadi. Menggusur petani dari sawahnya sesungguhnya sama dengan mengusir petani dari hidupnya. Oleh karena itu penguasa politik harus sadar bahwa peradaban sedang di ujung tanduk. Masa depan pertanian sedang sekarat. Kebudayaan yang telah dibangun ribuan tahun lamanya ini mungkin sebentar lagi akan punah. Kebijakan politik terlalu merendahkan kelangsungan hidup petani. Di sisi lain pilitik tersebut justru meninggikan transaksi birokrasi. Karena itu, petani hari ini lebih memilih untuk menjaminkan sawahnya bagi pendidikan formal anaknya, dari pada menjadikan anaknya seorang petani yang menjaminkan hidupnya bagi kehidupan bangsa ini. Demokrasi selalu bercerita tentang kesetaraan, keadilan, kebebasan dan ruang publik. Namun hari ini politik kita tidak mengaktifkan hal itu. Petani semestinya wajib dihadirkan dalam ruangruang demokratis. Terlibat aktif dalam partisipasi politik. Hanya dengan hal itu, maka sesungguhnya bangsa kita akan tetap bertahan di tengah tantangan zaman. Hari ini jarak yang ter-
bangun antara petani dan negara telah amat jauh. Demokrasi harus hadir di sana untuk mempersempit jarak. Sehingga antara kebijakan, ilmu pengetahuan, teknologi dan materi dapat terus menjadi oksigen bagi tercapainya kemakmuran petani. Politik adalah jalan untuk memproduksi kemakmuran petani. Sehingga kebijakan politik harus terselenggara guna mengaktifkan kecerdasan politik bagi petani. Pada akhirnya, berhala kebodohan yang selama ini disokong oportunisme individual tidak mengganggu padi. Peradaban politik kita seharusnya menjunjung tinggi petani sebagai agen kehidupan. Kecemasan akan munculnya krisis pangan dan energi wajib menjadi isu utama dalam politik hari ini. Karena urusan perut manusia harus terselesaikan terlebih dahulu sebelum melangkah ke fase lain. Pahlawan peradaban yang seungguhnya adalah seorang petani. Hanya karena merekalah manusia sampai hari ini tetap memenuhi kehidupannya. Hal itu melampaui segala “yang politis” pada bangsa kita. n Penulis adalah Mahasiswa Pertanian angkatan 2009
Trisula Akademikus: Pendidikan, Pelatihan, Pekerjaan Oleh: Rachmat Jualaini DI awal (sebelum) kemerdekaan Indonesia, Pendidikan diletakkan sebagai alat untuk membebaskan manusia Indonesia dari penjajahan. Walaupun (dan sifat buruknya) hampir seluruh bangku pendidikan hanya boleh dienyam oleh ‘tri-wangsa’: bangsawan, konglomerat atau anak pejabat atau pengusaha, dan juga peranakan Hindia-Belanda. Peserta-peserta didik ini diberikan pelajaran dari Ilmu Kedokteran (yang saat itu sedang populer) hingga Politik (yang ini dipakai agar tetap bisa mempertahankan ‘posisi’). Tidak lupa sedikit ‘bumbu’ untuk memberikan pelengkap kesemua ilmu yang dibagikan: “kursus” ke Negeri Kincir (ber-)angin. Tragisnya, dan ini sisi baik, hal itu dibalas dengan Pemroklamasian Indonesia sebagai negara sekaligus mengusir penjajah dari Belanda keluar Indonesia dan otomatis mengusir para guru-guru yang pernah membagikan ilmunya. Tapi tak bertahan lama sejak pemerintahan Orang Baru (maksud saya Orba) membuka kembali akses bagi negara-negara Barat untuk menginjakkan kaki di Indonesia. Salah satunya, yang dikenal(kan) dalam dunia kesusastraan Indonesia, A. Teeuw, seorang kri(tikus) sastra. Dan, karena telah 32 tahun (memaksa) berkuasa, maka arah pendidikan, yang di paragraf pertama telah dituliskan,
berubah dari semangat anti-kolonial menjadi pro-industrial–karena saat Soeharto mulai berkuasa dalam beberapa bulan persetujuan pertambangan Freeport dibuka–yang berarti membuat pendidikan akhirnya tak bergigi: tidak ada semangat penelitian untuk kemajuan bangsa, serta kurangnya pemaknaan lebih terhadap kata pengabdian. Mengambil contoh hari-hari terakhir kini di mana Kemendikbud atau Kemendiknas yang akhirnya mengeluarkan Permen bernomor 14 Tahun 2014 dan telah diundangkan pada Februari 2014 lalu tentang Kerjasama Perguruan Tinggi, membuat kita pesimis akan masa depan Perguruan Tinggi (Saya sarankan Anda membacanya, walau mungkin hal tersebut tidak dibahas panjang lebar disini). Pendidikan dan “Industri” Dewasa ini, kita menyaksikan berpuluh-puluh pamflet ditempel di dindingdinding kampus yang menggambarkan, sekaligus mengajak para alumnus dan atau Mahasiswa Perguruan Tinggi (PT) untuk ‘membawa sebanyak-banyaknya CV’. Hal tersebut dikarenakan banyaknya perusahaan yang membuka lapak dalam pameran atau sering dikenal dengan JobStreet. Dan sebenarnya hal ini sebagai ukuran (lain) akreditasi: sejauh mana para lulusan kampus mampu menunjukkan keterampilannya dan bersaing dalam dunia kerja.
Kembali pada soal Permendikbud Nomor 14, 2014. Di bagian pertama, paragraf I pasal 1–22 dan bagian kedua, paragraf I Pasal 33–37, dalam bidang Akademik, PT diharapkan mampu bekerjasama dengan PT dalam maupun luar negeri dan antar PTN maupun PTS. Di bagian pertama, paragraf II, Pasal 23–32 dan bagian kedua, Paragraf II Pasal 38–48, kerjasama PT dalam bidang non akademik memberikan akses kepada mahasiswa untuk ‘mencicipi’ dunia kerja. Bentuk kerjasamanya ialah layanan pelatihan, praktik kerja, dan bursa tenaga kerja. Maka tak heran di Perpustakaan Pusat UH, kita mendapati ‘pojok’ negara-negara dengan klaim pertukaran budaya, entah melalui film, buku, dan diskusi hingga bahasa. Juga ruang-ruang ‘pameran’ kerja yang hampir tiga kali diadakan dalam setahun di beberapa kampus di Indonesia, terkhusus di Makassar sendiri. Tak lupa, menyambut era AFTA (Asean Free Trade Area), kita juga menyimak balai-balai latihan kerja yang selalu ramai, karena dalam hitungan bulan dapat diberikan sertifikat, dan juga tempat-tempat kursus bahasa yang semakin menjamur dengan tujuan awal untuk memberikan lulusan terbaik agar ‘mudah lolos’ ke kampus-kampus ternama, tetapi di akhir memasang spanduk bertuliskan ‘berbahasa menyambut AFTA 2015’. Sebagian yang belum mau bekerja
memilih melanjutkan studinya, di dalam dan di luar negeri. Sekembalinya dari studi, kurang dari separuhnya memilih untuk mengabdi dengan jalan penelitian (biasanya untuk mendapatkan metode dan teori baru) dengan harapan mampu diterapkan ke masyarakat agar bernilai guna. Sisanya, termasuk yang lamarannya ditolak: jomblo, maksud saya menganggur. Totalnya? 600 ribu orang: 420 ribu orang lulusan S-1 dan sisanya lulusan diploma. Jika 600 ribu orang tadi diarahkan menjadi peneliti, atau minimal Guru, tentu yang baik dan benar, lalu dikirim ke pelosok-pelosok Aceh, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Papua mungkin tidak akan ada anak-anak yang menunggu kedatangan Guru berhari-hari, lalu gedung sekolah rubuh dan Ikal pergi ke Sorbonne lalu lulus dari Ilmu Ekonomi, melahirkan teori yang dipakai perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, mencitacitakan tinggal di Pegunungan Himalaya, lalu akhirnya menulis tetralogi “Laskar Pelangi”. Sebelum Lupa Seorang anak Kepala Desa pergi menuju kota menuntut ilmu dengan harapan agar lulus dan mendapatkan pekerjaan lebih, mungkin telah lupa: tentang ayahnya yang tak mampu mengikuti perkembangan teknologi untuk memberikan pelayanan maksimal kepada para warganya yang telah memilih sekaligus
menghormatinya sebagai Kepala Desa. Si anak mungkin hanya pura-pura lupa atau sengaja (disuruh) lupa bagaimana melayani warga yang besar harapannya kepada Sang Kepala Desa, yang kebetulan punya harta yang cukup untuk memberikan pendidikan lebih baik kepada si anak, agar bisa memberikan pelayanan juga memberikan pelatihan utamanya teknologi tepat guna, atau mungkin sekadar pengurusan Kartu Tanda Penduduk kepada warga; mungkin juga sekadar membuatkan akun facebook. Hal itu kemudian membawa sang anak Kepala Desa untuk tidak menggantikan ayahnya karena, tentu, menjadi Kepala Desa bukanlah sebuah cita-cita, selain gajinya yang mungkin tidak seberapa. Dan, tidak kaget pula sang Kepala Desa ketika jabatannya kelak tidak diturunkan kepada anaknya. Baginya, lebih baik menjadi (tanpa mengurangi rasa hormat) anggota DPR(D), atau tampil di program-program televisi. Jalannya mudah; menyanyi dan menarilah dengan gaya sejadi-jadinya, di hadapan kamera, lalu upload ke Youtube. Maka, ditinggalkannya kampus dan ruang organisasi mahasiswa yang akhirnya sepi, karena mahasiswanya lulus dalam kurun waktu kurang dari lima tahun. n Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Angkatan 2010