Pendidikan yang Memerdekakan: Membumilandaskan Revolusi Mental dalam Sistem Pendidikan Indonesia

Page 1

Pendidikan yang Memerdekakan: Membumilandaskan Revolusi Mental dalam Sistem Pendidikan Indonesia


Pendidikan yang Memerdekakan: Membumilandaskan Revolusi Mental dalam Sistem Pendidikan Indonesia Tim Penyusun: Chitra Retna Septyandrica Jimmy Ph. Pa채t Abdul Waidl Lukman Hakim Febri Hendri AA Doni Koesoema A. Muhammad Iksan Kangsure Suroto Editor: Doni Koesoema A. Design/ Layout: Rendy Suwardani, Zulfikar Arief Foto sampul: USAID/ Program Representasi Publikasi ini disusun dengan dukungan dari Rakyat Amerika melalu Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi publikasi ini merupakan tanggung jawab Article 33 dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat. Article 33 adalah mitra USAID/Program Representasi; program tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) berdurasi lima tahun dari USAID. ProRep bertujuan untuk memperbaiki representasi di Indonesia dengan meningkatkan inklusifitas and efektivitas dari kelompok dan institusi yang mengaspirasikan kepentingan publik kepada pemerintah melalui perbaikan transparansi dan efektivitas proses legislasi. ProRep dilaksanakan oleh Chemonics International, bekerja sama dengan Urban Institute, Social Impact dan Kemitraan.

Article 33

Jl. Tebet Dalam IV G No. 7 Jakarta Selatan 12810, Indonesia Telp/Fax +62-21-83787963 Website: http://www.article33.or.id/ Email: sekretariat@article33.or.id


Pendidikan yang Memerdekakan: Membumilandaskan Revolusi Mental dalam Sistem Pendidikan Indonesia

3


4


Sambutan dari ProRep Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang legitimasinya didasarkan pada persetujuan rakyat; persetujuan atas hak pemerintah untuk menjalankan kekuasaan, membuat kebijakan, menarik pajak dan menghabiskan anggaran. Hakhak tersebut tidak lahir semata-mata dari kekuasaan yang koersif, melainkan hasil kesepakatan antara rakyat dan pemerintah yang memiliki hak yang sah untuk menjalankan kekuasaan tersebut. Sebagai konsekuensinya, rakyat memiliki suara dalam setiap keputusan/kebijakan yang diambil oleh pemerintah. “Pendidikan yang Memerdekakan” adalah contoh kongkrit bagaimana rakyat Indonesia – melalui Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan (Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan / KMSTP) – menyuarakan aspirasi mereka. Buku Pendidikan yang Memerdekakan ini memuat sejumlah rekomendasi perwakilan dari 30 organisasi yang fokus dan peduli dengan pendidikan di Indonesia. Rekomendasi ini terkait enam isu utama: • Memperluas akses pendidikan 12 tahun wajib belajar; • Pendanaan pendidikan gratis yang berkualitas di Indonesia; • Memperbaiki kebijakan terkait pengelolaan dan penataan guru; • Memperbaiki kualitas dan kurikulum pendidikan nasional; • Sertifikasi guru dan perbaikan kualitas guru; serta • Revitalisasi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Buku dan rekomendasi kebijakan mengenai pendidikan sangat berlimpah. Namun, ada dua hal yang menjadikan Pendidikan yang Memerdekakan ini sebuah publikasi yang penting dan istimewa. Pertama adalah kualitas dan keberagaman para ahli dan organisasi yang berkontribusi terhadap buku ini. Terdapat lebih dari seratus orang – para wakil dari lebih dari 40 Organisasi Masyarakat Sipil, orang tua murid, sektor swasta, yang mewakili berbagai daerah di Sumatera, Jawa, dan wilayah Indonesia timur – berkolaborasi dalam lokakarya untuk menyusun posisi kebijakan ini. Jadi, rekomendasi ini tidak lahir dari satu atau beberapa ahli kebijakan saja. Faktor penting kedua adalah proses dengar pendapat yang unik i


terhadap rekomendasi ini. Pada Februari 2015, lebih dari dua puluh pejabat tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan- Direktorat Jenderal dan pejabat senior lainnya, termasuk Menteri Anies Baswedanmengundang KMSTP selama dua hari untuk berdiskusi mengenai enam area kebijakan tersebut. Menteri Anies Baswedan berkomitmen untuk menjaga komunikasi dengan KMSTP demi mewujudkan reformasi di dunia pendidikan. USAID/ Program Representasi (ProRep) bangga dapat mendukung komunitas kebijakan pendidikan mulai dari tahap awal pembentukan, penyusunan rekomendasi kebijakan, hingga proses interaksi yang terbangun dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mungkin tidak semua rekomendasi KMSTP ini akan diadopsi oleh pihak kementerian. Namun, tiga hal penting telah berhasil dicapai. Rakyat dan para ahli telah menyuarakan aspirasi mereka terkait isu kebijakan strategis, pemerintah telah mendengarkan, dan pintu kolaborasi antar keduanya telah terbuka.

John Johnson, PhD Direktur USAID/Program Representasi Mei 2015

ii


Kata Pengantar Pendidikan selalu menjadi kunci perkembangan peradaban sebuah bangsa. Bagi bangsa Indonesia, persoalan pendidikan yang ada masih sangat kompleks, dan tak jarang melibatkan sistem besar kebijakan pendidikan nasional. Pergulatan yang terjadi bukan hanya menyangkut perubahan-perubahan di level taktis atau teknis saja, tetapi menyangkut perubahan paradigmatis dan sistematis. Buku dengan judul “Pendidikan yang Memerdekakan: Membumilandaskan Revolusi Mental dalam Sistem Pendidikan Indonesia� ini merupakan penanda munculnya keinginan kuat masyarakat sipil dan pemerintah untuk bekerja sama membenahi persoalan di atas. Koalisi Masyarakat Sipil yang menjadi mitra USAID/Progam Representasi (ProRep), yaitu Article33, Paramadina Public Policy Institute, Indonesia Corruption Watch, Yayasan Satu Karsa Karya adalah inisiator kegiatan ini. Tiga hal menjadi unik dari lahirnya buku ini. Pertama, buku ini merupakan kompilasi enam topik penting seputar transformasi pendidikan yang diusulkan oleh masyarakat sipil sebagai salah satu prioritas agenda pemerintahan baru. Pemilihan topik dan pembahasan isi ke-6 topik ini menunjukkan hasil penelitian, pengamatan dan pergulatan masyarakat sipil atas isu-isu tersebut dalam kurun waktu yang cukup panjang. Kedua, pengorganisasian pengetahuan dan sistematisasi keenam topik ini juga menunjukkan keinginan masyarakat sipil untuk mengkonsolidasikan kerja-kerjanya agar lebih terstruktur dan terkoordinasi sehingga menjadi sebuah gerakan yang lebih matang. Enam topik ini tidak mewakili keseluruhan isu penting dalam pendidikan, tetapi ini bisa menjadi langkah awal untuk bekerja dan melakukan monitoring dengan lebih sistematis dalam mendesain kebijakan pendidikan yang bertumbuh melalui dialog antara masyarakat dengan pemerintah, sehingga pola-pola ‘hit-and-run’ dalam desain kebijakan pendidikan bisa dihindari. Ketiga, rekomendasi keenam topik ini dihasilkan melalui simposium yang dilakukan bersama antara seluruh jajaran Kemendikbud dan lebih dari 100 anggota masyarakat sipil pada 22-23 Februari 2015. Simposium ini membuka babak baru wajah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan iii


yang lebih terbuka dan bersedia berdialog dengan masyarakat sipil. Ini sekaligus menjadi penanda keinginan pemerintah dan masyarakat sipil untu bekerja bersama lebih dari sekedar bentuk-bentuk prosedural deliberatif, tetapi menjadikan pendidikan sebagai sebuah gerakan. Akhir kata, kami atas nama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan mengucapkan terimakasih kepada Bapak Anies Baswedan dan jajarannya yang dengan sepenuh hati mengikuti diskusi dan dialog sesuai dengan tema-tema klaster pendidikan yang dibahas. Kami juga berterimakasih kepada USAID/ProRep yang telah mendukung terlaksananya kegiatan Simposium Nasional dan terbitnya buku ini. Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada para penulis, fasilitator dan peserta yang datang dari seluruh Indonesia, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Semoga semangat dan kerjasama kita dalam membangun dialog lebih baik dalam rangka perbaikan kebijakan pendidikan nasional membawa kita pada titik terang proses pencerdasan bangsa seperti yang digagas para pendiri bangsa ini. Semoga.

Chitra Retna Septyandrica Direktur Eksekutif Perkumpulan Article 33 Indonesia Atas nama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan

iv


Daftar Singkatan 3T

Terluar, Tertinggal dan Terpencil

Ditjen GTT

Guru Tidak Tetap

APBD

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

ICW

Indonesia Corruption Watch

APBN

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Juknis

APK

Angka Partisipasi Kasar

APM

Angka Partisipasi Murni

APS

Angka Partisipasi Sekolah

ASN

Aparatur Sipil Negara

BERMUTU

Better Education Through Reformed Management and Universal Teacher Upgrading

Direktorat Jenderal

Petunjuk Teknis

K13

Kurikulum 2013

K/L

Kementerian/Lembaga

Kabid Kemendagri

Kepala Bidang Kementerian Dalam Negeri

Kemdikbud

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kemenkeu

Kementerian Keuangan

Kemenpan RB

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi

BKN

Badan Kepegawaian Nasional

BOS

Bantuan Operasional Sekolah

KD

BOSDA

Bantuan Operasional Sekolah Daerah

KIP

Kartu Indonesia Pintar

BSM

Bantuan Siswa Miskin

KIS

Kartu Indonesia Sehat

BSNP Cakada

Badan Standar Nasional Pendidikan Calon Kepala Daerah

CPNS

Calon Pegawai Negeri Sipil

DAK

Dana Alokasi Khusus

DAU

Dana Alokasi Umum

DBH

Dana Bagi Hasil

DID Dikdas

Dana Insentif Daerah Pendidikan Dasar

KI

KKS LPTK MA Menag Mendagri Mendikbud Menkeu Menpan RB

Kompetensi Dasar Kompetensi Inti

Kartu Keluarga Sejahtera Lembaga Penyedia Tenaga Kependidikan Madrasah Aliyah Menteri Agama Menteri Dalam Negeri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Menteri Keuangan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi

v


MI MTs OECD

Otda

Madrasah Tsanawiyah Organization for Economic Cooperation and Development Otonomi Daerah

P2TK

Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan

PAUD

Pendidikan Anak Usia Dini

Pemda

Pemerintah Daerah

Pemkab

Pemerintah Kabupaten

Pemkot

Pemerintah Kota

Pemprov Perber Permendikbud

Pemerintah Provinsi Peraturan Bersama Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

PGRI

Persatuan Guru Republik Indonesia

PISA

Programme for International Student Assesment

PKH

Program Keluarga Harapan

PLPG PMU PNS PP

Pelatihan Lapangan Pendidikan Guru Pendidikan Menengah Universal

RPP SD SDM Sisdiknas

Sekolah Dasar Sumber Daya Manusia Sistem Pendidikan Nasional

SKB

Surat Keputusan Bersama

SKL

Standar Kompetensi Lulusan

SLB

Sekolah Luar Biasa

SMA

Sekolah Menengah Atas

SMK

Sekolah Menengah Kejuruan

SMP

Sekolah Menengah Pertama

SNMPTN

Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri

SPM

Standar Pelayanan Minimal

SSN

Sekolah dengan Standar Nasional

STKIP TIK TIMMS

TK TNP2k

Pegawai Negeri Sipil Peraturan Pemerintah

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

TP

Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi Trend in International Mathematics and Science Study Taman Kanak-Kanak Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Tugas Perbantuan

PPK

Pejabat Pembuat Komitmen

UAN

Ujian Akhir Nasional

PPPI

Paramadina Public Policy Institute

UKG

Uji Kompetensi Guru

UPT

Unit Pelaksana Teknis

PTK

Praktek Tindakan Kelas

PTN

Perguruan Tinggi Negeri

PTS

Perguruan Tinggi Swasta

PUSDATIN

Pusat Data dan Informasi

Puslitjak

Pusat Penelitian Kebijakan

Puspendik

vi

Madrasah Ibtidaiyah

Pusat Penilaian Pendidik

Rombel

Rombongan Belajar

RPJMN

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

UUD 1945

Undang-Undang Dasar 1945

UU

Undang-Undang

UN

Ujian Nasional

UNESCO

Wajar Wajar Dikdas WHO

United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization Wajib Belajar Wajib Belajar Pendidikan Dasar World Health Organization


Daftar Isi

Sambutan dari ProRep Kata Pengantar

Daftar Singkatan Mukadimah: Pendidikan Yang Memerdekakan

Tentang Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan (KMSTP) Tentang Tim Penyusun

i iii v 2 7 19 35 55 67 83 92 94

Klaster 1: Meluaskan Akses Pendidikan 12 Tahun Klaster 2: Pendanaan Pendidikan Dasar Gratis yang Berkualitas di Indonesia Klaster 3: Kebijakan Penataan dan Pemerataan Guru PNS Klaster 4: Mutu dan Kurikulum Pendidikan Nasional Klaster 5: Sertifikasi Guru dan Pengembangan Mutu Guru Klaster 6: Revitalisasi Dewan Pendidikan & Komite Sekolah

vii


Mukadimah: Pendidikan yang Memerdekakan

Jimmy Ph. Paät

Jika kita melihat sejarah pendidikan, kita akan sampai pada dua jenis pendidikan yaitu pendidikan yang menjinakkan atau yang memerdekakan, untuk menggunakan ungkapan freirian1. Pilihan tidak pada dua-duanya seperti yang dicoba dilakukan mereka yang berkompromi. Hanya ada satu pilihan. Jika tidak pada pendidikan yang memerdekakan, pilihan jatuh pada pendidikan yang menjinakkan. Bila kita memasuki sekolah-sekolah atau menengok ke ruang kelas-kelas, kita akan menemukan bahwa sekolah dan kelas penuh dengan pendidikan yang dijalankan oleh kepala sekolah dan guru-guru mengacu pada satu aturan pendidikan. Misalnya sekolah dengan satu kurikulum yang sama antara satu sekolah dengan sekolah lain, antara sekolah di daerah yang terpencil di Indonesia bagian Timur atau di Indonesia bagian Barat sama dengan kurikulum sekolah “elit� di Jakarta. Masalahnya bukanlah pada adanya satu kurikulum, walaupun hal ini tetap menjadi masalah bagi sebuah bangsa yang beragam, seperti Indonesia, melainkan keharusan mengikuti model kurikulum yang telah dibangun pemerintah pusat, mulai dari silabus, penyusunan rencana pengajaran hingga model evaluasi dan penilaian. Ini membuat guru bukan hanya “terkungkung�, melainkan juga tampak seperti robot. Kita juga melihat sekolah-sekolah yang berada di mana saja diatur dengan aturan-aturan yang “mengunci� gerak setiap siswa. Peraturan-peraturan itu bertujuan menjinakkan tidak saja peserta didik tetapi juga para pelaku pendidikan, seperti guru. Penjinakan diejawantahkan dalam bentuk aturanaturan dari yang paling umum atau paling atas hingga yang paling rinci atau paling bawah, yaitu aturan-aturan yang tampak tidak saja di tataran sekolah tetapi di tingkat ruang kelas. Kenyataan ini secara prinsipal terjadi paling tidak sejak era kolonial hingga sekarang. Perbedaan yang ada di masa kolonial dan sekarang hanya pada perbedaan bentuk saja. Kemerdekaan sebagai konsep, baik di dunia kenegaraan maupun di dunia pikir bangsa kita, tidak saja memiliki tempat yang sangat khusus, tetapi memperoleh posisi yang sangat tinggi. Jika kita mengacu pada Pembukaan 2


© Josh Estey/ USAID/ Program Representasi Para siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Jika tujuan bangsa ini adalah untuk memperoleh manusiamanusia merdeka yang menjalankan peri kemanusiaan dan peri keadilan, maka tidak ada pilihan bagi kita selain untuk menjalankan pendidikan yang memerdekakan bukan pendidikan yang menjinakkan. 1 Pendidikan yang memerdekakan atau dikenal dengan sebutan Liberation Pedagogy di dalam literatur teori pendidikan kontemporer berbahasa Inggris biasanya dianggap mulai muncul bersamaan dengan diterbitkannya buku Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, 1971. Sesungguhnya pedagogik yang “searah” dengan pemikiran Freire telah muncul juga di Perancis (baca Paris) dengan sebutan Pédagogy Institutionnelle (Pedagogik Institusional) pada dekade 60-an melalui pemikiran George Lapassade, René Lourau, yaitu pedagogik yang bertujuan sosail di antaranya mengonstruksi kembali masyarakat (réconstruire la société), mempersoalkan masyarakat kapitalis (remettre en cause la société capitaliste), Lihat Yves Bertrand, Théories contemporeaine de l’éducation, Chronique Sociale, Lyon, & Éditions Nouvelles, Montréal, 1998, cetakan ke-4. Ide kemerdekaan (liberation atau emancipation) dalam pendidikan sejak dekade 90-an merupakan topik bahasan penting dalam ranah teori pendidikan kontemporer, lihat untuk hanya menyebutkan beberapa di antaranya, bell hooks, teaching to Transgress. Education as the Practice of Freedom, New York & London, Routledge, 1994; Ira Shor,“Education is politics. Paulo Freireire’s critical pedagogy” in Peter McLaren & Peter Leonard, Paulo Freire. A Critical encounter, London & New York, Routledge, 1993, hal. 25 – 35.

3


Undang-Undang Dasar 1945, konsep tentang kemerdekaan itu begitu penting dan terpahat dengan jelas. Konsep kemerdekaan sesungguhnya tidak saja selalu dibaca tetapi terukir indah di dalam benak rakyat Indonesia. Konsep yang dimaknai oleh para pendiri Bangsa ini sebagai hak setiap bangsa dan mengandung pengertian peri-kemanusiaan dan peri-keadilan tidak bisa tidak harus menjadi acuan utama dalam segala tindak manusia Indonesia, termasuk dalam tindak dan kegiatan pendidikan kita baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Pendidikan memerdekakan Jika tujuan bangsa ini adalah untuk memperoleh manusia-manusia yang merdeka dan menjalankan perikemanusiaan dan perikeadilan searah dengan yang terpateri dalam Preambule Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 31 sebagai turunan dari Preambule, tidak ada pilihan bagi kita selain menjalankan pendidikan yang memerdekakan, bukan pendidikan yang menjinakkan. Secara historis pendidikan yang memerdekakan bukanlah sesuatu yang asing dalam dunia pendidikan kita. Sebenarnya jauh sebelum kemerdekaan bangsa ini diproklamasikan, telah hadir pendidikan yang memerdekakan, yaitu pendidikan yang dijalankan oleh Ki Hajar Dewantara2. Tokoh kemerdekaan kita ini, begitu Soekarno menyebutnya, telah mendefinisikan pengertian pendidikan yang memerdekakan manusia yang sebenar-benarnya terdiri dari tiga unsur, pertama, pendidikan yang melahirkan manusia-manusia yang tidak terperintah oleh orang lain, tetapi batinnya yang bisa memerintah sendiri dirinya; kedua, manusia-manusia yang berdiri tegak karena kekuatan sendiri. Dengan kata lain manusia-manusia yang hidup lahir-batinya tidak tergantung dari orang lain, tetapi bersandarkan pada diri sendiri; dan ketiga, manusiamanusia yang cakap mengatur dirinya tertib, sehingga tidak mengganggu orang lain, tidak mengganggu kemerdekaan orang lain3. Pendidikan yang memerdekakan hasil elaborasi Ki Hadjar Dewantara atau mungkin dapat 2 Pendidikan yang memerdekakan hasil pemikiran Ki Hadjar Dewantara telah dikemukakan sang tokoh kemerdekaan kita ini sejak tahun 1920-an melalui artikel yang berjudul “Pendidikan dan Pengadjaran Nasional�, dalam Wasita, Djilid !, No. 3, Desember 1928; “Ketertiban, perintah dan paksaan, dalam Wasita Djilid I No. 8, Mei 1929, Lihat Ki Hadjar Dewantara, Karja Ki Hadjar Dewantara, Madjelsi Luhur persatuan Taman Siswa, Jogjakarta, 1962, hal. 3 – 6; hal. 399 – 403. Jadi sesungguhnya konsep pendidikan yang memerdekakan atau untuk menggunakan konsep freirian, liberation pedagogy telah membumi di Nusantara jauh sebelum dijalankan Paulo Freire di Brasilia, atau Lapassade dan Lourau di Perancis. Kaitannya Ki Hadjar Dewantara dengan Freire atau dengan pedagogik kritis, perspektif pendidikan yang selalu dikaitkan dengan Freire, H.A.R. Tilaar mengutarakan bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah pionir Pedagogik Kritis, lihat, H.A.R. Tilaar, Sowing Tyhe Seed Of Freedom. Ki Hadjar Dewantara as a pioneer of critical pedagogy, Jakarta, 2014. Melalui buku Tilaar ini memperkuat pandangan yang menyatakan bahwa liberation pedagogy telah lahir di bumi Nusantara jauh sebelum Paulo Freire melontarkan ide pendidikan yang memerdekakan. 3 Lihat Ki Hadjar Dewantara, Karja Ki Hadjar Dewantara. Bagian Petama Pendidikan, Jogjakarta, Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962, hal. 3, 48, 400. Menurut pengamatan kami, tiga unsur pendidikan kemerdekaan Ki Hajar Dewantara jarang sekali, jika tidak mau dikatakan tidak sama sekali, digaungkan baik oleh mereka yang memiliki kekuatan untuk membuat kebijakan pendidikan nasional, maupun di dunia pendidikan guru yang disebut LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan).

4


Bagaimana mungkin kita bisa menanamkan kemerdekaan melalui paksaan?

disebut pendidikan yang memerdekakan ala Indonesia ini menunjukkan bahwa apa yang disebut manusia merdeka adalah manusia yang hidup bersama dengan orang lain yang juga memiliki hak untuk merdeka. Ki Hadjar Dewantara megingatkan bahwa ketiga unsur pendidikan yang memerdekakan ini harus selalu menyatu. Artinya tidak satu pun unsur yang lepas dari ketiganya. Jika satu saja unsur tersebut tidak hadir maka makna merdeka pun lenyap4. Konsep pendidikan yang memerdekakan dari Ki Hajar Dewantara mengandung pengertian bahwa keterpaksaan tidak bisa tidak harus lepas dari pendidikan baik secara konseptual maupun dalam praktek.“Bagaimana mungkin kita bisa menanamkan kemerdekaan melalui paksaan?â€? begitu pertanyaan yang dikemukakan para pendidik yang bertumpu pada kemerdekaan5. Dalam pengertian ini juga, pendidikan sudah seharusnya mengantar anak didik atau mengantar manusia menjadi manusia yang otonom. Tetapi harus cepat-cepat diingat bahwa keotonomian atau kemerdekaan yang menjadi tujuan pendidikan yang memerdekakan menurut Ki Hajar Dewantara adalah otonomi dan kemerdekaan seorang manusia yang tidak mengganggu orang lain. Inilah yang disebut seorang merdeka yang cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Konsep pendidikan yang memerdekakan selain lahir di Indonesia sejak dekade 20-an, konsep ini pun telah dipraktikkan dan dilaksanakan oleh Ki Hadjar Dewantara melalui sekolah Taman Siswa. Tidak berlebihan jika pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang menekankan pentingnya kemerdekaan perlu menjadi inspirasi dan perlu kembali dijalankan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kebijakan-kebijakan pendidikan seperti penentuan kurikulum, akses pendidikan, pendistribusian guru, penentukan anggaran pendidikan, pelibatan masyarakat dalam pengembangan pendidikan, sudah seharusnya berlandaskan pada visi pendidikan yang memerdekakan karya Ki Hadjar Dewantara. Jimmy Ph. Paät Cibubur, Januari 2015

Ki Hajar Dewantara, ibid., hal. 400. Pertanyaan ini selalu muncul dalam literatur pendidikan ketika para penulisnya mengacu pada Emmanuel Kant yang menrumuskan “paradoks pendidikan�.

4 5

5


Kegiatan belajar mengajar di SD. Pendidikan adalah hak asasi manusia. Setiap warga negara berhak dan wajib mengikuti pendidikan dasar. Pemerintah berkewajiban membiayai pendidikan dasar 12 tahun dan memastikan semua warga negara memiliki akses pada pendidikan. Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi.

6


Klaster

1

Meluaskan Akses Pendidikan 12 Tahun Abdul Waidl

7


Pendidikan adalah hak asasi manusia. UUD 1945 Pasal 31 (1) dan (2) menyatakan bahwa warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Oleh karena itu, pendidikan harus bisa diakses dan dijangkau oleh semua warga negara, melampaui berbagai kendala seperti fisik, mental, jenis kelamin, ekonomi, geografis, dan sosial. Negara memiliki mandat untuk memastikan bahwa semua hambatan tersebut bisa dikikis sehingga pendidikan bisa diakses dan dijangkau semua warga negara. Selama Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, akses pendidikan telah dibuka sampai 9 tahun melalui program Wajib Belajar. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah menginisiasi program wajib belajar 12 tahun melalui program Pendidikan Menengah Universal (PMU). Meskipun belum sepenuhnya terlaksana, wajib belajar 12 tahun merupakan sebuah kemendesakan agar kualitas pendidikan kita menjadi semakin baik dan pendidikan menjadi pintu bagi pemberdayaan dan pemberi harapan baru bagi anak-anak Indonesia. Tiadanya akses pendidikan menyebabkan lingkungan kehidupan menjadi terasa lebih sempit. Tanpa pendidikan, ada banyak keputusan hidup yang demikian penting bisa salah diambil, seperti pernikahan di usia dini. Penyebab utama pernikahan dini6 adalah pendidikan yang rendah. Pernikahan yang dilangsungkan dalam usia sangat muda menjadi salah satu mata rantai bagi kemiskinan berkelanjutan, rendahnya harapan masa depan pasangan pernikahan, sekaligus rendahnya kualitas generasi masa depan buah pernikahan tersebut. Akses pendidikan yang terus menerus dan semakin tinggi kualitasnya menjadi demikian penting karena memberi harapan dan pilihan hidup yang lebih leluasa. Menyediakan akses pendidikan setinggi-tingginya dan seluas-luasnya bagi warga negara harus menjadi salah satu prioritas pelayanan negara. 6 Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI, 2012) menunjukkan bahwa sebanyak 1,4 juta (12,8%) dari 10,7 juta remaja perempuan Indonesia (usia 15-19 tahun) telah menikah. Dari jumlah tersebut, sekitar 642 ribu (0,6% dari jumlah remaja perempuan) sudah bercerai.

8

Rakyat perlu diberi hak dan kesempatan yang sama untuk mendapat pendidikan berkualitas sesuai kepentingan hidup kebudayaan dan kepentingan hidup kemasyarakatannya ~ Ki Hadjar Dewantara: [Pusara, Januari 1940]


Siswa Sekolah Dasar di Indramayu, Jawa Barat sedang bercengkerama di waktu istirahat. Sejatinya, pendidikan harus bisa diakses dan dijangkau oleh semua warga negara tanpa terkecuali. Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi.

Persoalan-persoalan Akses Pendidikan 12 Tahun Ada beberapa persoalan dan tantangan terkait dengan persoalan akses pendidikan 12 tahun. Pertama, tingkat akses pendidikan untuk level SMA (usia 16-18 tahun) masih dinilai kurang bagus, karena di bawah standar minimal. Pada Tahun Ajaran 2012/2013, Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD/MI adalah sebesar 115,88 persen, SMP/MTs sebesar 100,16 persen, sedangkan SMA/ MA adalah sebesar 78,19 persen. Selain APK masih rendah, data dari Angka Partisipasi Sekolah (APS) secara nasional juga menunjukkan rendahnya APS terutama di level usia 16-18 tahun. APS menunjukkan cakupan pelayanan pendidikan setiap kelompok usia sekolah dan menggambarkan jumlah anak kelompok usia tertentu yang sedang sekolah tanpa membedakan jenjang sekolah yang ditempuh. Kedua, jumlah anak putus sekolah dan lulusan tidak melanjutkan masih sangat besar. Pada Tahun Ajaran 2012/2013, tidak termasuk yang sekolah agama, sebanyak 352.673 siswa SD (1,28%), 134.824 siswa SMP (1,44%), dan 167.262 siswa SMA/SMK (2,13%) mengalami putus sekolah. Demikian pula siswa yang tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Sebanyak 1.070.259 lulusan SD tidak melanjutkan ke SMP (24,68%), sebanyak 40.000 siswa lulusan SMP tidak melanjutkan ke SMA/SMK, dan sebanyak 1.303.768 lulusan SMA/SMK tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. 9


Ketiga, kita masih memiliki angka buta huruf yang sangat besar, terutama pada usia di atas 15 tahun, di dalamnya adalah termasuk angkatan kerja produktif. Dalam kurun 3 tahun (2011-2013), anak-anak rentang usia sebelum 15 tahun memiliki angka buta huruf berkisar antara 5,46-7,56%. Sedangkan usia di atas 45 tahun memiliki angka buta huruf yang sangat besar dari 18,15% tahun 2011 menjadi 15,15% pada tahun 2013. Di atas usia 45 tahun tentu di dalamnya adalah angkatan kerja produktif. Keempat, secara umum jumlah murid laki-laki dan perempuan menunjukkan keseimbangan gender, kecuali tingkat SMK. Jumlah siswa di SD, SMP dan SMA, ketiganya menunjukkan rentang persentase siswa laki-laki seimbang antara 49-51,5% dan rentang siswi perempuan antara 48,5-51%. Posisi yang masih tampak timpang adalah di SLB dan SMK. Di kedua sekolah tersebut, jumlah laki-laki tampak mencolok atau dominan dibanding jumlah siswi perempuan. Di SLB, sebanyak 58,47% adalah siswa laki-laki dan 41,53% siswi perempuan. Sedangkan di SMK, sebesar 62,47% adalah siswa laki-laki dan sisanya (37,53%) adalah siswi perempuan. Kelima, setidaknya 3 provinsi berada di bawah garis rata-rata APK dan APM Nasional di level SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA. Daerah yang berada di bawah rata-rata nasional di tingkat SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua dan Papua Barat. Ketiga daerah tersebut berada di bawah rata-rata nasional dan posisi disparitasnya demikian besar dibanding dengan daerah yang lain.Yang agak mengagetkan adalah Jawa Barat. APK dan APM tingkat SMP/MTs dan SMA/MA berada di bawah rata-rata nasional. Keenam, masih sedikit jumlah sekolah inklusif, yang memasukkan penyandang disabilitas sebagai siswa yang sepadan dengan non penyandang disabilitas. Menurut perhitungan WHO, 10 persen penduduk adalah penyandang disabilitas. Dengan demikian, penyandang disabilitas di Indonesia adalah sekitar 24 juta orang. Menurut data PUSDATIN dari Kementerian Sosial (2010), jumlah penyandang disabilitas Indonesia adalah 11,5 juta orang, sebanyak 3,4 juta adalah penyandang disabilitas penglihatan, 3 juta penyandang disabilitas fisik, 2,5 juta penyandang disabilitas pendengaran, 1,4 juta penyandang disabilitas mental, dan 1,15 juta adalah penyandang disabilitas kronis. Dari jumlah penduduk, sekitar 1,94% (sekitar 4,5 juta) penduduk antara 0-14 tahun adalah penyandang disabilitas. Sementara ini, para penyandang disabilitas bersekolah pada lembaga-lembaga Sekolah Luar Biasa (SLB) yang berjumlah 2.456 buah (2012/2013) dengan jumlah siswa sebanyak 89.223 siswa. Sementara lembaga pendidikan pada umumnya tidak menerima para penyandang disabilitas sebagai siswanya. Data tersebut 10


Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi. Dua siswi SD sedang berdiskusi dalam sesi belajar mengajar. Masalah akses pendidikan lainnya adalah kurangnya ketersediaan sekolah untuk menampung jumlah siswa. Ada banyak siswa yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena sekolah yang ada tidak cukup menampung lulusan yang ada. 11


menunjukkan demikian besar penyandang disabilitas tidak bisa mengikuti pendidikan formal. Ketujuh, sekolah swasta merupakan penyelenggara pendidikan formal dengan jumlah yang sangat mencolok dibanding lembaga pendidikan negeri sebagai pendukung akses pendidikan 12 tahun. Dari 2.456 buah SLB, 1.787 buah (72,8%) di antaranya adalah milik swasta. Di level SD, sebagian besar sekolah adalah milik negara. Di tingkat SMP, jumlah antara swasta dan negeri hampir berimbang. Sementara di tingkat SMA apalagi SMK, terbesar penyelenggara pendidikan adalah swasta. Lembaga pendidikan swasta tersebar kepemilikannya di antara organisasi-organisasi kemasyarakatan berbasis agama sampai kepemilikan oleh perusahaan. Kedelapan, pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang menampung banyak sekali santri yang tidak terdaftar dalam lembaga pendidikan formal, karenanya tidak mendapat tunjangan pembiayaan pendidikan dari negara. Mereka berada dalam rentang usia 7-18 tahun, tetapi mereka tidak mendapatkan tunjangan dari negara disebabkan tidak termasuk dalam daftar sekolah formal SD-SMA atau MI-MA. Padahal mereka juga bersekolah karena mengaji setiap hari.

ŠWiwik Widyastuti/ USAID/ Program Representasi. Para santriwan di Pesantren Al Kamal, Blitar, Jawa Timur. Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang menampung banyak sekali santri yang tidak terdaftar dalam lembaga pendidikan formal, karenanya tidak mendapat tunjangan pembiayaan pendidikan dari negara. Mereka berada dalam rentang usia 7 - 18 tahun, tetapi tidak mendapatkan tunjangan dari negara karena tidak termasuk dalam daftar sekolah formal SD - SMA atau MI - MA. 12


Faktor – Faktor Akses Pendidikan Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap akses pendidikan penduduk. Pertama, dari segi ekonomi, besarnya biaya yang dibutuhkan untuk pendidikan, menyebabkan orang kesulitan terlibat dalam proses pendidikan, terutama bagi keluarga miskin dan hampir miskin. Kesulitan ekonomi bukan hanya terkait dengan biaya bersekolah, melainkan juga biaya personal siswa seperti kebutuhan transportasi, seragam, sepatu dan alat tulis. Hampir semua daerah yang mengalami kondisi APK-APM kecil merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi. Kedua, dari segi geografis, Indonesia memiliki 17 ribu pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan sebagian berada di daerah terpencil, pedalaman, hutan, dan gunung. Keadaan geografis menjadi kendala akses pendidikan. Ada banyak sekolah di kota dan sedikit sekolah yang ada di desa.Target jarak sekolah formal berkisar maksimal antara 3-6 kilometer dari kediaman, sesuai dengan SPM pendidikan, tidak tercapai. Berbagai kabupaten di Papua, Papua Barat, dan NTT adalah daerah dengan tingkat geografis yang tidak mudah dijangkau dengan ketersediaan lembaga sekolah jauh melebihi 6 kilometer. Ketiga, aspek sosial budaya terkait dengan cara pandang terhadap pentingnya pendidikan bagi kehidupan masyarakat. Masih banyak masyarakat yang memandang pendidikan tidak penting. Ini disebabkan kebiasaan dan tradisi yang seperti tidak terkait langsung dengan pendidikan.Terlebih ketika output pendidikan tidak bermutu dan tidak memberi dampak langsung bagi perbaikan nasib. Beberapa suku di Jawa dan luar Jawa masih ada yang memandang sekolah tidak perlu bagi anak-anaknya. Keempat, ada banyak anggota masyarakat yang tidak bisa mengakses pendanaan pendidikan disebabkan oleh masalah administrasi, seperti kartu keluarga atau akte kelahiran. Mereka tidak bisa menjadi bagian dari masyarakat yang berhak mendapatkan subsidi pendanaan dari pemerintah. Kelima, ketersediaan lembaga sekolah secara berjenjang yang tidak bisa menampung jumlah kebutuhan siswa bersekolah. Sebagai contoh, lulusan SD tahun 2012/2013 ada sebanyak 4.336.261 tetapi daya tampung SMP hanya sebesar 3.266.002. Artinya, jika mengandaikan kelanjutan sekolah ada parallel sekolah umum ke sekolah umum, maka sudah pasti ada lebih dari 1 juta siswa lulusan SD tidak bisa melanjutkan SMP. Juga seperti lulusan SMP sebanyak 2.903.421 siswa tetapi daya tampung SMA dan SMK hanya sebesar 2.863.421. Itu berarti ada lebih dari 30 ribu lulusan SMP tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. 13


Tanggapan Pemerintah UUD 1945 pasal 31 dan UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 6(1) memberi mandat kepada negara untuk membiayai pendidikan dasar. Namun, pembiayaan tersebut bersifat wajib melalui wajib belajar 9 tahun usia 7-15 tahun. Ini adalah fungsi pembiayaan wajib belajar 9 tahun. Pembiayaan pendidikan dapat dibagi ke dalam 3 hal: 1) biaya investasi; 2) biaya operasional (personalia dan non personalia); dan 3) biaya personal peserta didik. Ketiga kebutuhan pembiayaan tersebut telah dijawab pemerintah dengan skema sebagai berikut. Pertama, pemerintah telah mengalokasi dana melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk menanggung biaya investasi. Melalui DAK, maka berbagai belanja sarana dan prasarana pendidikan diwujudkan. Tetapi, dana tersebut hanya dilakukan ke dalam sekolah-sekolah negeri dan tidak memberi fasilitas pendanaan investasi untuk sekolah swasta. Kedua, biaya operasional untuk personalia sudah ditanggung pemerintah melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan tambahan pendapatan melalui sertifikasi. Biaya personalia DAU hanya diperuntukkan bagi para pendidik yang sudah menjadi PNS dengan biaya yang besar dan terus mengalami kenaikan. Sedangkan sertifikasi memberi tambahan pendapatan untuk pendidik negeri dan swasta.Yang tidak mudah adalah pendidik swasta yang tidak mendapatkan sertifikasi, karena akan mendapatkan besaran alokasi yang sangat kecil, terutama pendidik di sekolah swasta yang berbasis komunitas. Untuk biaya non personalia, pemerintah telah mengalokasi dana melalui skema Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dana tersebut diperuntukkan untuk kebutuhan non-personalia yang dibutuhkan sekolah. Ketiga, dana personal pendidikan coba dijawab pemerintah dengan skema Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang nanti akan menjadi Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan beberapa model beasiswa yang lain kepada siswa berprestasi. Diharapkan skema pendanaan ini akan mengurangi hambatan akses pendidikan siswa yang disebabkan oleh biaya personal, seperti transportasi, buku, sepatu, dan lain-lain. Data dari evaluasi TNP2K tahun 2012 menyebutkan bahwa besaran dana BSM hanya mencakup 30 persen kebutuhan personal pendidikan. Postur APBN 2015 sebagai perwujudan alokasi minimal 20 persen dari total anggaran negara adalah sebagai berikut. Total APBN 2015 adalah 2.039 triliun rupiah (USD 167,45 billion). Alokasi belanja tersebut dibagi untuk belanja pemerintah pusat sebesar 1.392,417 triliun rupiah (68,27%) dan ditransfer ke 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi sebesar 647,123 14


Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi. Kemiskinan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi akses pendidikan. Besarnya biaya pendidikan, tidak hanya biaya sekolah tetapi juga kebutuhan lain seperti transportasi, seragam, sepatum dan alat tulis membuat keluarga miskin tidak dapat mengakses pendidikan.

triliun rupiah (31,73%). Dana yang dialokasikan oleh pemerintah pusat untuk pendidikan adalah sebesar 407,9 triliun rupiah (USD 33,49 billion). Besaran dana tersebut terbagi untuk fungsi pendidikan sebesar 146,4 triliun dan sebanyak 261,5 triliun dalam fungsi administratif dan gaji.

Rekomendasi Kebijakan Untuk meluaskan akses pendidikan 12 tahun, ada beberapa hal yang direkomendasikan agar ditindaklanjuti pemerintah. Rekomendasi itu adalah sebagai berikut: Pertama, pemerintah perlu merevisi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama terkait wajib belajar yang harus ditingkatkan dari 9 tahun menjadi minimal menjadi 12 tahun. Ini akan menjadi payung hukum bagi pendanaan pendidikan wajib belajar minimal 12 tahun. Kedua, pemerintah perlu membuat ukuran keberhasilan pendidikan minimal pada jenjang SMA/MA bukan hanya sampai SMP/MTs. Ketiga, pemerintah perlu mempermudah hambatan administrasi pendidikan, seperti Akta Lahir dan Kartu Keluarga, agar sebanyakbanyaknya warga dari keluarga kurang mampu bisa menjadi bagian dari target subsidi pendanaan pendidikan. 15


Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi. Para siswi SMP bersama-sama berangkat menuju sekolah. Dana personal pendidikan adalah biaya yang dikeluarkan oleh setiap siswa seperti untuk transportasi, buku, sepatu, dan lain-lain. Melalui skema Bantuan Siswa Miskin, pemerintah mencoba menjawab permasalahan biaya personal yang harus dikeluarkan oleh siswa.

Keempat, Papua, Papua Barat, dan NTT merupakan daerah yang harus ditambah jumlah lembaga sekolah dan persebarannya. Ini untuk mengurangi hambatan geografis untuk mengakses sekolah SD-SMA. Selain itu, perbaikan infrastruktur juga menjadi keharusan untuk memudahkan akses siswa menuju sekolah. Kelima, di beberapa daerah seperti Jawa Barat, pemerintah harus membuat pendekatan kultural dan ekonomi sehingga angka partisipasi sekolah penduduk bisa ditingkatkan. Pendekatan agama (seperti melalui pesantren dan melibatkan ormas keagamaan secara aktif) merupakan salah satu cara untuk mendorong masyarakat bersedia mengenyam pendidikan sampai minimal tingkat SMA/MA. Ditambah penyediaan pembiayaan pendidikan (skema pendanaan pendidikan yang sudah ada) agar tepat sasaran (on target). Keduanya diharapkan membuat banyak penduduk bisa mengakses pendidikan sampai minimal 12 tahun. Keenam, pemerintah perlu membuat data yang valid terhadap penyandang disabilitas dan menegakkan aturan sekolah inklusif untuk menampung sebanyak-banyak penyandang disabilitas dalam lembaga pendidikan. 16


Ketujuh, pemerintah perlu memasukkan perhitungan pembiayaan pendidikan untuk sekolah swasta, terutama dalam menunjang operasional personalia dan investasi. Keduanya merupakan beban biaya yang tidak sedikit yang harus ditanggung oleh sekolah swasta yang kebanyakan berbasis organisasi masyarakat keagamaan atau komunitas. Pemerintah juga seharusnya menghitung lebih cermat berapa besaran dana yang diperlukan untuk mendekatkan akses pendidikan semua warga negara di manapun berada, termasuk yang terpencil dan di perbatasan, agar bisa mendapatkan sekolah sampai minimal 12 tahun. Kedelapan, Pemerintah Pusat dan Daerah perlu bekerjasama membuat aturan keterkaitan antar kebijakan bantuan sosial dan saling berdampak, antara Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Program Keluarga Harapan (PKH). Bila anak usia sekolah tidak mau bersekolah, maka bantuan sosial yang lain tidak boleh ditindaklanjuti. Kesembilan, pemerintah perlu melakukan pendekatan pemecahan problem yang menyebabkan rendahnya akses pendidikan berdasarkan kepada problem dan kebutuhan setiap daerah, tidak boleh seragam. Beberapa masalah yang terkait dengan geografis yang mempengaruhi jumlah lembaga sekolah, maka pemecahan seperti pengadaan lembaga sekolah menjadi penting. Kesepuluh, Pemerintah, melalui Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kementerian Agama, agar menyediakan data secara transparan, akurat, dan up to date. Sampai saat ini, data pendidikan masih relatif terbatas dari segi cakupan tahun kontemporer dan tidak bisa diakses secara mudah. Kesebelas, Pemerintah juga perlu menggunakan dan mengembangkan beberapa tools yang lain, yang mendorong upaya perluasan akses pendidikan, seperti penggunaan literasi melalui internet. Akses pada internet harus terbuka lebar untuk memperluas manfaatnya bagi semua kalangan di negeri ini, kota dan desa.

17


Siswi SD di Indramayu, Jawa Barat serius mengikuti pelajaran di kelas. Pemerintah harus mengalokasikan anggaran minimal 20 persen untuk pendidikan. Sejak 2012, anggaran pendidikan meningkat setiap tahunnya. Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi.

18


2

Pendanaan Pendidikan Dasar Gratis yang Berkualitas Lukman Hakim

Klaster

19


Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) sembilan tahun telah tuntas pada tahun 2011 lalu. Tuntasnya program Wajar Dikdas ini ditandai dengan telah tercapainya Angka Partisipasi Kasar (APK) SD dan SMP lebih dari 100 %. Pencapaian program Wajar Dikdas terlampaui empat tahun lebih awal dari target Education For All maupun Free Basic Education - MDGs yang harus dicapai pada tahun 2015. Dilihat dari capaian APK, memang target program Wajar Dikdas telah terlampaui. Namun jika dilihat dari capaian angka partisipasi murni (APM) kondisinya belum mencapai seratus persen. RPJMN tahun 2015 – 2019 menyebutkan bahwa penyelenggaraan wajib belajar sembilan tahun masih menyisakan beberapa persoalan. Ada sekitar 2,12 persen anak usia 7 -15 tahun tidak bersekolah. Untuk anak usia 13 – 15 yang belum sekolah angkanya lebih besar lagi yakni sekitar 10,48 persen. Bahkan, sebagian kecil dari mereka tidak/belum pernah mengenyam pendidikan formal (RPJMN 2015 – 2019). Masalah lain dalam penyelenggaraan program wajib belajar adalah rendahnya capaian kualitas hasil belajar. Hasil belajar siswa pada jenjang pendidikan dasar juga belum memuaskan. Hanya sekitar 56 persen siswa SMP/MTs yang mencapai batas minimal nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) pada tahun 2013. Hasil belajar juga dapat diukur berdasarkan tes internasional seperti dalam Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). Berdasarkan kedua tes ini hasil belajar siswa Indonesia masih sangat rendah. Nilai rata-rata siswa Indonesia dalam PISA 2012 hanya 396, jauh lebih rendah dari nilai rata-rata Negara OECD (497). Sekitar 55,3 persen siswa Indonesia tidak mencapai kecakapan level-2 yang merupakan kecakapan minimal yang harus dikuasai oleh anak-anak usia 15 tahun. Hasil belajar siswa Indonesia untuk pelajaran matematika dan sains tidak mengalami peningkatan, bahkan mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir. Setelah lebih dari satu dasawarsa program Wajar Dikdas berjalan, nyatanya sekolah SD/MI dan SMP/MTs Negeri belum sepenuhnya gratis, terlebih di sekolah/madrasah swasta. Padahal kemampuan pemerintah “menggratiskan” biaya pendidikan dasar menjadi kunci untuk mengentaskan program Wajar Dikdas. Ada beberapa masalah besar dari kebijakan program Wajar Dikdas sehingga program ini belum berhasil menggratiskan pendidikan dasar. 20


Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi. Tiga siswa SD di Indramayu duduk berdempetan di kelas dalam sesi belajar mengajar di kelas. BOS, sesuai dengan definisinya, seharusnya digunakan untuk menanggung biaya operasional non personalia. Namun, sebagian dana BOS juga digunakan untuk investasi dan personalia seperti pembelian komputer dan membayar honor guru tidak tetap. Akibatnya, dana BOS tidak mencukupi untuk kebutuhan operasional belajar siswa.

Pertama,

kesalahan

memahami

konsep

Hanya sekitar pendidikan dasar gratis berkualitas. 56 persen siswa Konsepsi gratis seringkali ditentang berbagai pihak, atau dipersepsikan SMP/MTs yang salah, termasuk oleh pembuat kebijakan kunci. Di satu sisi, pemerintah mencapai batas dianggap tidak memiliki dana yang cukup untuk mendukung gratis minimal nilai sepenuhnya. Di sisi lain, sebagian masyarakat dianggap secara ekonomi Ujian Akhir cukup mampu untuk membayar, sehingga tidak adil bila tidak perlu Nasional (UAN) membayar. Letak kerancuan di sini adalah dalam memahami mandat pemerintah sebagai ‘duty bearer’, dan hak masyarakat sebagai ‘right holder’, pada tahun 2013. serta bahwa aspek pemerataan terletak pada komponen pajak, sementara hak mendapat pelayanan (gratis berkualitas) adalah sama bagi semua warga (lepas dari kondisi masyarakat yang dilayani). Akibat dari kesalahan pemahaman terhadap konsep pendidikan dasar gratis adalah tidak adanya aturan operasional yang jelas yang mengatur: apa saja komponen wajib yang harus ditanggung pemerintah (digratiskan) dan mana komponen biaya (personal) yang bisa ditanggung masyarakat; bagaimana skema untuk menopang biayanya; bagaimana pembagian peran pemerintah pusat dan daerah; jika perlu ada pentahapan bagaimana tahaptahapnya, dan apa sangsinya. Ketidakjelasan konsep gratis juga berakibat pada tidak jelasnya pembagian tanggungjawab penyelenggaraan dan pendanaan pendidikan dasar gratis antara pemerintah pusat dan daerah. 21


Kedua, kebijakan anggaran program Wajar Dikdas tidak efektif. Sejak ditetapkannya kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran minimal 20 persen untuk pendidikan pada 2012, anggaran pendidikan meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Dari 15 persen tahun 2002 hingga sekitar 20 persen pada 2014, dan secara nominal telah meningkat dua kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir. Peningkatan ini salah satunya didorong oleh adanya kewajiban alokasi anggaran pendidikan minimal sebesar 20 persen sejak 2002, meski angka tersebut baru tercapai pada tahun 2009. Gambar 1: Anggaran Pendidikan, % atas APBN, 2002 – 2014.

Sumber: Nota Keuangan APBN, diolah, 2002 – 2014 Catatan: tahun 2002 – 2009 adalah angka realisasi, 2010 – 2014 adalah angka APBNP

Dari total anggaran pendidikan di APBN, sebagian besar (65%) ditransfer ke daerah, sebagian ada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (21%) dan Kementerian Agama (12%), sementara sebagian kecil (2%) terbagi di 11 kementerian lainnya. Dari komposisi ini terlihat bahwa sebagian besar dana Pendidikan diberikan dan dikelola oleh pemerintah daerah. Sebagai konsekuensi dari desentralisasi di bidang pendidikan di mana urusan pendidikan diserahkan kepada pemerintah daerah, maka anggaran pendidikan yang ditransfer ke daerah sangat besar. Jenis anggaran yang ditransfer ke daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Otonomi Khusus dan dana penyesuaian, serta anggaran pemerintah pusat yang diberikan ke daerah namun tidak tercatat di APBD dalam bentuk dekonsentrasi (Dekon) dan Tugas Perbantuan (TP). DAU ditujukan untuk menyeimbangkan kapasitas fiskal pemerintah daerah (UU No. 33/2004). DAU dialokasikan berdasar suatu formula yang terdiri dari alokasi dasar dan kesenjangan fiskal pemerintah daerah. Formula ini mempertimbangkan jumlah penduduk, GDP per kapita, dan Indeks

22


Pembangunan Manusia (IPM). DAK ditujukan untuk pengeluaran investasi tertentu yang sesuai dengan prioritas nasional. DAK juga mempunyai formula yang mempertimbangkan kesenjangan fiskal dan mensyaratkan kontribusi pemerintah daerah sebesar 10 persen. DBH adalah bagi hasil pendapatan dari sumberdaya alam dan pajak. Otonomi khusus ditujukan untuk Papua, Papua barat, dan Aceh. Sementara dana penyesuaian digunakan untuk tambahan tunjangan guru (sertifikasi guru), BOS, dan dana insentif daerah (DID). Dekon dan TP pendidikan digunakan untuk rekonstruksi sekolah, peningkatan kualitas sekolah, dan program peningkatan kapasitas. Gambar 2: Penerima Anggaran Pendidikan, 2010 - 2014 (Triliun Rupiah)

Sumber: Nota Keuangan APBN, diolah, 2010 - 2014

Berdasarkan studi Bank Dunia tahun 2011, anggaran pendidikan di tingkat nasional terdistribusi ke dalam program PAUD, program Wajar Dikdas, Program Pendidikan Menengah, Program Pendidikan Tinggi dan program lainnya. Dari kelima program pendidikan tersebut, belanja untuk program Wajar Dikdas mencapai 56 persen dari keseluruhan belanja fungsi pendidikan. Hingga tahun 2013 distribusi anggaran pendidikan dalam APBN relatif tidak berubah. Jika ditelusuri lebih lanjut, lebih dari separuh belanja program Wajar Dikdas dipakai untuk membayar guru dalam bentuk gaji/tunjangan serta sertifikasi. Terkait dengan program sertifikasi, alokasi anggaran untuk program ini semakin meningkat seiring dengan target pemerintah untuk menyelesaikan program ini pada tahun 2014 lalu. Namun banyak studi menunjukan bahwa program sertifikasi tidak signifikan meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas.

23


Gambar 3. Distribusi belanja nasional untuk pendidikan dan Distribusi tambahan APBN untuk pendidikan per program tahun 20008 - 2009

Sumber: Bank Dunia, 2011

Studi yang dilakukan Article 33 pada 2011 menunjukan bahwa alokasi anggaran pendidikan di daerah sudah mencapai 25 persen hingga 35 persen dari total APBD. Di beberapa daerah bahkan ada yang sudah mencapai 48 persen dari total APBD-nya. Dari persentase tersebut, 70-75 persen-nya digunakan untuk membiayai program Wajar Dikdas. Akan tetapi, hanya sekitar 16 – 18 persen saja yang benar-benar dialokasikan ke sekolah untuk menunjang operasional belajar siswa. Studi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten/kota, walaupun mengeluarkan dana cukup besar untuk pendidikan, namun mereka tidak memiliki pola yang jelas dan tidak efektif mendorong pendidikan gratis berkualitas di tingkat sekolah. Data-data dalam studi Article 33 tersebut di atas tentunya perlu diperbaharui lagi. Namun diperkirakan pola belanja daerah untuk pendidikan tidak akan banyak berubah mengingat tidak ada kebijakan spesifik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat terkait pengalokasian anggaran pendidikan bagi daerah setelah studi tersebut dilakukan hingga saat ini.

Ketiga, dana BOS tidak cukup menyelenggarakan pendidikan dasar berkualitas.

untuk gratis

Jika ditelusur lebih lanjut, sulit terwujudnya pendidikan dasar gratis berkualitas di Indonesia adalah karena pemerintah tidak konsisten menerapkan kebijakan BOS. Skema BOS merupakan jantung kebijakan Pendidikan Dasar Gratis karena dirancang untuk membiayai Operasional Non-Personal (siswa), yang memungkinkan siswa, tanpa kecuali, dapat belajar tanpa harus mengeluarkan biaya.

24


Masalah lain dalam penyelenggaraan program wajib belajar adalah rendahnya capaian kualitas hasil belajar. Hasil belajar siswa pada jenjang pendidikan dasar juga belum memuaskan. Hanya sekitar 56 persen siswa SMP/MTs yang mencapai batas minimal nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) pada tahun 2013.

Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi. Dana Bantuan Operasional Sekolah tidak cukup untuk menutupi biaya operasional siswa untuk sekolah. Selain tidak cukup, dana BOS juga tidak digunakan secara efisien. BOS tidak mengurangi pengeluaran untuk berbagai iuran di sekolah. 25


BOS sesuai dengan definisinya seharusnya digunakan untuk menanggung biaya operasional non personalia. Namun seperti yang dijelaskan dalam petunjuk teknis BOS 2015 disebutkan bahwa selain untuk pengeluaran operasional non personalia, sebagian dana BOS juga dapat digunakan untuk investasi dan personalia seperti pembelian komputer dan membayar honor guru tidak tetap.Akibatnya, dana BOS tidak mencukupi untuk kebutuhan operasional belajar siswa. Jika ditelusuri, basis perhitungan satuan biaya BOS sepertinya berasal dari perhitungan yang dilakukan oleh BSNP pada 2008. Perbandingan antara hasil kajian BSNP tentang biaya operasional sekolah dan besaran BOS pada tahun 2012 menunjukkan adanya kesamaan satuan biaya yang digunakan. Demikian juga ketika pemerintah menaikan biaya satuan BOS tahun 2015 menjadi Rp 800 ribu untuk SD/MI dan Rp 1 juta untuk SMP/ MTs besarannya adalah hasil perhitungan BSNP tahun 2008 yang telah disesuaikan dengan inflasi sampai tahun 2015. Tabel 1: Hasil Studi satuan Biaya Operasional Sekolah BSNP 3 2009 dan BOS 2012-2014

Tingkat Pendidikan SD SMP

BSNP (2008) 580,000 710,000

BSNP (2015) 810.000,992.000,-

Satuan Biaya BOS (2015) 800,000 1,000,000

Sumber: BSNP 2009 dan Juknis BOS 2012.

Dalam studi yang dilakukan oleh BSNP, perhitungan satuan biaya operasional hanya mempertimbangkan biaya operasional non personalia dan tidak memasukkan biaya investasi dan personalia. Dengan asumsi bahwa studi BSNP mewakili kebutuhan operasional non personalia, dapat dikatakan bahwa satuan biaya BOS kurang dari seharusnya (under estimate). Biaya investasi dan personalia seperti gaji guru honor harusnya dialokasikan dari skema yang berbeda, misalnya biaya tersebut dipenuhi oleh pemerintah daerah.

Keempat, dana BOS tidak digunakan secara efisien. Selain isu ketidakcukupan, masalah lain dari Program BOS adalah sekolah belum menggunakan dana BOS secara efisien. Efisiensi BOS dapat dilihat seberapa besar dampak program ini mengurangi beban pengeluaran rumah tangga. Pada kenyataannya, dana BOS yang disediakan oleh Pemerintah tidak signifikan mengurangi pengeluaran-pengeluaran untuk berbagai iuran di sekolah. Pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, di mana Bantuan Operasional baru mencakup sebagian dari biaya operasional yang diberikan, kenaikan komponen pengeluaran tersebut sangat terlihat (RPJMN buku II tahun 2015 – 2019). Hal ini 26


justru mengherankan mengingat sasaran dari program ini adalah untuk membebaskan siswa dari iuran sekolah. Hasil studi yang dikeluarkan oleh Bank Dunia tentang BOS menjelaskan bahwa pengeluaran pendidikan rumah tangga tidak mengalami penurunan, baik secara keseluruhan maupun untuk masyarakat miskin. Gambar 4: Pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan, 2003 - 2012

Sumber: Bank Dunia, 2015

Hal ini berarti bahwa tujuan utama program BOS untuk mengurangi beban pengeluaran pendidikan masyarakat tidak tercapai. Berdasarkan RPJMN tahun 2015 – 2019 ditemukan masih tingginya biaya pendidikan terutama terletak pada iuran SPP, biaya transportasi dan uang saku. Secara umum program BOS juga belum berhasil meningkatkan kualitas pembelajaran. Hal ini disebabkan karena sekolah/madrasah negeri masih diperbolehkan menggunakan dana BOS yang diterimanya untuk membiayai kebutuhan di luar kebutuhan operasional non personalia termasuk membayar honorarium guru-guru non- PNS (Juknis BOS tahun 2014). Di tengah kondisi umum sekolah yang masih kekurangan guru PNS (termasuk di sekolah/madrasah negeri) kelonggaran penggunaan dana BOS ini dimanfaatkan oleh sekolah untuk rekruitmen guru non-PNS. 27


Gambar 5: Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Pendidikan per siswa tahun 2009 dan 2012.

Sumber RPJMN 2015 - 2019

Selain itu, sekolah juga menggunakan dana BOS untuk kegiatan-kegiatan yang berujung pada peningkatan kesejahteraan guru, seperti untuk membayar honor guru non-PNS, membiayai pengawasan dan penilaian ujian, dan biaya untuk pembelajaran ekstrakurikuler. Dengan demikian, proporsi alokasi dana BOS untuk kegiatan lain menjadi sangat terbatas. Berdasarkan hasil Regional Independent Monitoring (RIM) yang dilakukan oleh Bank Dunia tahun 2010, ditemukan 30 persen dana BOS yang diterima sekolah digunakan untuk gaji dan honor guru. Untuk mengantisipasi membengkaknya penggunaan dana BOS untuk kegiatan-kegiatan di luar operasional personalia, mulai tahun 2012 Kemendikbud telah mengeluarkan aturan membatasi pengeluaran untuk bayar gaji dan honor guru non PNS hanya sebesar 20 persen dari total dana BOS yang diterima sekolah. Kemudian pada juknis BOS tahun 2015 pembatasan ini kembali diperketat hanya mengijinkan penggunaan dana BOS untuk membayar gaji dan honor sebesar 15 persen saja. Akan tetapi jika tidak diiringi dengan kebijakan penyediaan guru-guru PNS di sekolah, maka dapat dipastikan penggunaan dana BOS oleh sekolah untuk membayar gaji dan honor guru tidak bisa dihindari.

28


Kelima, tidak adanya kepastian dana dari daerah untuk menambah kekurangan anggaran program Wajar Dikdas yang sudah dialokasikan oleh pemerintah pusat. Peran Pemerintah Daerah sangat dibutuhkan untuk menutupi kekurangan pendanaan program Wajar Dikdas yang disudah dialokasikan Pemerintah pusat. Namun keterbatasan kapasitas fiskal dan kemauan politik kepala dearah menyebabkan ketidakpastian pendanaan program Wajar Dikdas di daerah. Untuk menutupi kekurangan dana BOS, sebagaian besar pemerintah kabupaten/ kota dan pemerintah provinsi sudah mengalokasikan dana BOS daerah. Hasil studi Bank Dunia menyebutkan bahwa sekitar 60 persen kabupaten/kota dan 45 persen provinsi di Indonesia mengalokasikan BOSDA. BOSDA mencakup tidak hanya pendidikan dasar, tapi hampir seluruh jenjang pendidikan dari TK, SD, SMP, SMA, SMK serta madrasah. Gambar 6: Jumlah daerah yang mempunyai BOSDA

Sumber: Bank Dunia, 2012

Akan tetapi di sebagian daerah justru mengurangi atau menghilangkan BOSDA seiring dengan naiknya satuan biaya BOS nasional. Selain persoalan kenaikan BOS, tidak adanya alokasi BOSDA juga dapat disebabkan karena kapasitas fiskal daerah dan tidak adanya kemauan politik (political will) dari pemerintah daerah terhadap pendidikan. Seperti juga pemerintah pusat, pemerintah daerah juga berkewajiban untuk mengalokasikan minimal sebesar 20 persen dari anggarannya untuk pendidikan. Namun seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa, sebagian besar anggaran pendidikan di APBN adalah transfer ke daerah, maka anggaran pendidikan di daearah (APBD) sebenarnya juga merupakan hasil dari transfer dari pusat ini. Termasuk dalam anggaran pendidikan 29


daerah ini adalah gaji guru PNS yang berasal dari DAU, DAK pendidikan, BOS yang ada di APBD provinsi, BSM, dan alokasi lainnya yang berasal dari pusat. Kontribusi murni dari daerah jumlahnya tidak terlalu besar, tergantung dari kapasitas fiskal masing-masing daerah. Realitas ini menunjukkan bahwa secara pendanaan, sebenarnya pendidikan dapat dikatakan masih sangat terpusat, namun dari sisi pengelolaan otoritasnya ada di pemerintah daerah. Dualisme otoritas ini dalam beberapa hal menimbulkan persoalan. Salah satunya adalah dalam manajemen guru. Meski gaji guru PNS berasal dari pemerintah pusat, namun kewenangan distribusi ada di pemerintah daerah. Akibatnya, distribusi guru dari daerah perkotaan yang kelebihan guru ke daerah terpencil yang kekurangan guru sulit dilakukan, karena kewenangannya ada di daerah masing-masing. Demikian juga dengan BOSDA. Meski masih banyak daerah yang tidak menyediakan BOSDA, namun pemerintah pusat tidak dapat memaksa atau mengatur daerah untuk mengalokasikannya. Permasalahan pendanaan pendidikan di daerah tidak hanya terjadi dalam hubungan antara pusat dan daerah, tapi juga pembiayaan pendidikan antara sekolah di bawah Kemendikbud dan Kemenag, atau antara sekolah negeri dan madrasah. Karena sekolah adalah institusi di bawah pemerintah daerah sebagai konsekuensi dari desentralisasi, sementara madrasah adalah institusi pemerintah karena tidak termasuk yang didesentralisasi, maka pembiayaan pendidikan untuk keduanya kadang timpang. Dalam berbagai temuan disebutkan bahwa alokasi pendanaan untuk sekolah negeri cenderung jauh lebih besar dari madrasah.

6.4. Rekomendasi Berdasarkan analisis di atas, terdapat 4 rekomendasi perbaikan regulasi dan alokasi anggaran: 1. Pemerintah pusat perlu merumuskan konsep dan aturan yang jelas mengenai batasan Wajar Dikdas Gratis Berkualitas sebagai panduan implementasi pembiayaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Regulasi ini perlu mencakup setidaknya: a. Konsepsi bahwa biaya yang ditanggung pemerintah adalah seluruh (4 pos) biaya di tingkat satuan pendidikan. Sedangkan biaya yang ditanggung masyarakat adalah pos biaya personal, dengan menekankan bahwa khusus bagi masyarakat miskin biaya ini sebagian ditanggung oleh pemerintah (beasiswa siswa miskin atau yang sekarang menjadi Kartu Indonesia Pintar). b. Regulasi juga terkait dengan lingkup sekolah-sekolah yang harus tunduk pada regulasi ini, yang melingkupi tidak hanya sekolahsekolah negeri, tetapi juga sekolah-sekolah swasta.

30


Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi. Siswi yang sedang serius dalam kelas di Sekolah Dasar Negeri Ciluluk, Sumedang, Jawa Barat. Sekolah juga menggunakan dana BOS untuk kegiatan-kegiatan yang berujung pada peningkatan kesejahteraan guru, seperti untuk membayar honor guru non-PNS, membiayai pengawasan dan penilaian ujian, dan biaya untuk pembelajaran ekstrakurikuler.

2. Perbaikan arah postur anggaran, dalam bentuk: a. Pemerintah pusat membuat Skema Penahapan (Roadmap) untuk Pemerintah perlu memperbaiki skema penyaluran anggaran pendidikan di atas, dalam bentuk: a. Skema untuk pos operasional non gaji di tingkat sekolah (saat ini BOS) i. Mengubah nama BOS menjadi DOS (Dana Operasional Siswa), agar menjelaskan bahwa mandatnya adalah pembiayaan wajib oleh pemerintah, bukan bantuan. ii. Perlu ditingkatkan hingga memenuhi 100 persen biaya satuan operasional (non gaji) tingkat satuan pendidikan. Pemerintah harus mengunci peruntukan program BOS hanya untuk operasional (non gaji), dan tidak membolehkan peruntukan pada pos lainnya. b. Skema untuk pos investasi sarana-prasarana (saat ini DAK) i. Mengubah DAK menjadi skema baru yang dikhususkan untuk pemenuhan sarana prasarana sekolah. ii. Skema baru ini bersifat entitled untuk setiap sekolah, seperti BOS, dengan formula penghitungan alokasi yang dirancang khusus agar bisa memenuhi kebutuhan sekolah (formula based). c. Skema untuk pos biaya operasional personal (gaji guru) i. Mencakup seluruh besaran untuk kesejahteraan guru, baik gaji maupun tunjangan

31


d. Skema untuk biaya investasi personal (peningkatan kapasitas guru) i. Diprioritaskan untuk membiayai reformasi lembaga LPTK ii. Memastikan pendanaan pelatihan guru dengan kriteria tertentu, misal: bagi guru yang siap, mendampingi musyawarah guru mata pelajaran meningkatkan kapasitas didampingi LPTK. e. Penyaluran i. Diusulkan agar penyaluran semua skema tersebut mengikuti prinsip desentralisasi, yaitu disalurkan langsung ke pengguna. Dalam hal ini skema BOS (nantinya DOS dan skema sarana prasarana sekolah disalurkan langsung dan dibelanjakan di tingkat sekolah, sementara skema investasi personal (guru) bisa disalurkan ke tingkat sekolah. ii. Penyaluran harus benar-benar memperhatikan indeks provinsi, di mana jumlah anggaran yang disalurkan untuk setiap provinsi tidaklah sama. f. Pengintegrasian sebaran anggaran di luar 4 skema. i. Memetakan sebaran anggaran pendidikan atau yang bersinggungan dengan penyelenggaraan Wajar Dikdas Gratis Berkualitas di kementerian-kementerian di luar Kemendikbud (misalnya di Kemensos, KPPA, KemenPU dan PeRa, Kemenhub, dll), dan mengintegrasikan dalam 4 skema utama diatas. ii. Membuat arahan yang jelas untuk program-program di luar 4 skema di atas agar berfungsi melengkapi 4 skema utama dengan efektif. Adapun rincian revisi regulasi yang diusulkan adalah: 1. Mengusulkan revisi UU Sisdiknas untuk mengatur kewajiban pembiayaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dengan rinci, dengan mengakomodasi aturan dan konsep gratis di atas. 2. Mengusulkan revisi PP No. 47/2008 tentang Wajib Belajar dan PP No. 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan, yang seharusnya diberlakukan tidak hanya untuk sekolah-sekolah peserta wajib belajar, tetapi juga untuk sekolah-sekolah di luar peserta wajib belajar. 3. Khusus untuk PP No.48/2008, seharusnya diperjelas tanggung jawab masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan. 4. Membuat regulasi untuk memberi payung hukum atas Roadmap Pembiayaan Pendidikan seperti diusulkan dalam rekomendasi di atas.

32


Daftar Pustaka Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2014). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 – 2019, Buku II Agenda Pembangunan Bidang Education Sector Analytical and Capacity Development Partnership (2013). Financing Projections to 2020 for Implementation of Free Basic Education. Report No. ACDP – 006 Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan Permendikbud No. 23 tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Minimun Penyelenggaraan Pendidikan Dasar. The World Bank (2012). Sertifikasi Guru di Indonesia: Peningkatan Pendapatan atau Cara untuk Meningkatkan Pembelajaran? Naskah Kebijakan. The World Bank (2012). The BOSDA Improvement Program: enhancing equity and Performance through Local School Grants. Policy Brief. The World Bank (2013). Indonesia: Spending More or Spending Better, Improving education financing in Indonesia. Report No. 73050-ID. The World Bank (2013). Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia. Ringkasan. Report No. 73359-ID. The World Bank (2015). Expanding education access and raising quality:Assessing the BOS program. A presentation material. Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Undang Undang No. 20 tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Studi sertifikasi guru yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa sertifikasi guru yang melibatkan anggaran yang cukup besar tidak berpengaruh pada kualitas guru. Tambahan pendapatan terhadap guru dari program sertifikasi tidak berdampak pada kompetensi guru yang tercermin dari rendahnya nilai ujian guru, juga tidak berdampak pada perilaku dalam hal tambahan jam mengajar. Sertifikasi hanya berdampak pada menurunnya kemungkinan memmilki pekerjaan sampingan dan kemungkinan memiliki masalah keuangan. Pada studi ini juga dijelaskan bahwa sertifikasi guru tidak berdampak pada hasil belajar siswa. 2 Menurut PP NO 48 tahun 2008, biaya pendidikan dibagi menajdi biaya satuan pendidikan, biaya penyelenggaraaan pendidikan, dan biaya pribadi peserta didik. Biaya satuan pendidikan terdiri dari biaya biaya investasi dan biaya operasional. Biaya operasional terdiri dari biaya operasional personalia dan biaya operasional non personalia. Biaya operasional personalia misalnya adalah gaji untuk guru honor dan tunjangan; biaya operasional non personalia misalnya adalah ATK, dan pemeliharaan ringan; biaya investasi misalnya adalah pembangunan ruang kelas; sementara biaya pribadi oeserta didik misalnya adalah seragam dan uang transport. 3 Studi yang dilakukan oleh BSNP pada tahun 2009 juga menghitung satuan biaya untuk SMA dan SMK. Hasil studi untuk SMA ini hasilnya sama dengan satuan biaya SMA yang digunakan oleh pememrintah pada tahun 2014, yaitu Rp. 1,000,000 per siswa per tahun. Hal ini menegaskan pada basis satuan biaya yang digunakan oleh pemerintah memang berasal dari kajian ini, meski tidak ada penyesuaian besaran karena perubahan waktu (inflasi). 4 Permendikbud No. 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru Dan Pengawas Satuan Pendidikan 5 Juknis (Petunjuk Teknis) Pelaksanaan Perber Penataan dan Pemerataan Guru, Kemdikbud, 2011 6 Samer, Al-Samarrai dkk. (2013). Local Governance and Education Performance: a Survey of the Quality of Local Education Governance in 50 Indonesian Districts. Human Development. Jakarta, Indonesia: World Bank 7 Perhitungan didasarkan asumsi bahwa guru PNS baru digaji sebesar Rp 3 juta per bulan. 8 Hasil FGD dan Lokakarya Mini ICW dengan orang tua murid dan Komite Sekolah di 12 sekolah penelitian. 9  http://vimeo.com/104279926 10 Sumber : Wawancara dengan pejabat di Kemenpan-RB 11 Sumber : Hasil Wawancara dengan guru PNS di Kabupaten Buton 1

Wawancara dan hasil lokakarya PPG ICW di Kabupaten Buton, Sultra 2014. Pernyataan Ketua Serikat Guru Tangerang dalam Multistakeholder Meeting ICW, 2014. 14 Lokakarya PP ICW di Kabupaten Buton, Sultra 2014. 15 Workshop Hasil Penelitian PPG ICW (2013): Politisasi guru lebih kuat di Kabupaten Buton dibandingkan dengan kabupaten Garut. Hal ini disebabkan persentase guru dikabupaten Buton lebih besar dibandingkan dengan kabupaten Garut. Kabupaten Buton memiliki 4.391 guru sementara total pemilih sekitar 185 ribu orang. Kabupaten Garut memiliki 9685 guru dengan pemilih sebanyak 1,7 juta orang. 12 13

33


Pengajar Taman Posyandu di Sumedang, Jawa Barat. Peran tenaga pengajar bantuan sangat membantu mengingat masih banyak daerah yang tidak memiliki cukup guru. Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi.

34


3 Klaster

Kebijakan Penataan dan Pemerataan Guru PNS Febri Hendri AA

35


Pasal 31 UUD 1945 menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Mereka tidak hanya berhak, namun juga diwajibkan mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Hal ini dipertegas lagi dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Untuk itu, pemerintah telah menggulirkan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun. Bahkan, saat ini pemerintah berencana memperluas jangkauan kebijakan menjadi Wajar 12 tahun. Akan tetapi, kesuksesan kebijakan ini sulit terpenuhi, salah satunya karena belum terpenuhinya ketersediaan guru di jenjang pendidikan ini. Saat ini, jumlah guru yang mengajar di jenjang pendidikan dasar negeri dan swasta ditaksir mencapai 1,9 juta orang. Dari total guru tersebut, 30 persen di antaranya atau 579 ribu orang merupakan GTT seperti guru honorer, guru kontrak dan guru lainnya. Sementara sisanya adalah guru PNS sebanyak 1,3 juta orang. Kebutuhan guru PNS dijenjang pendidikan dasar ditaksir kurang lebih 600 ribu (Direktorat P2TK Ditjen Dikdas, Kemdikbud, 2013). Sebenarnya jumlah guru Indonesia dinilai cukup memadai dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan laporan pemantauan Global UNESCO (2011), Indonesia menempati posisi ideal berdasarkan rasio guru murid SD antar negara. Pada tahun 2011, rasio guru murid Indonesia adalah sekitar 1:16 orang. Rasio ini lebih kecil dibandingkan dengan rasio guru murid Brazil, Jepang, atau Korea yang rasio guru muridnya berturut-turut adalah 1:22, 1:21 dan 1:18. Rasio guru murid Indonesia memiliki tren menurun dari tahun - ke tahun. Pada tahun 2001, rasio guru murid SD dan SMP berturut-turut adalah 1:16 dan SMP 1:22. Rasio ini semakin mengecil pada tahun 2011 yakni 1:13 untuk SD dan 1:16 untuk SMP. Hambatan lain pemenuhan Wajar Dikdas adalah buruknya pemerataan guru PNS. Meskipun jumlah guru atau rasio guru PNS relatif cukup memadai, penyebarannya belum merata. Sebagian sekolah, khususnya sekolah pedesaan terutama daerah 3T (Terluar, Tertinggal dan Terpencil) masih kekurangan guru. Di lain pihak, sebagian besar sekolah perkotaan justru kelebihan guru. Terdapat 30 persen SD yang kekurangan guru dan 59 persen SMP yang kelebihan guru (Chang, 2014). Sementara itu, terdapat kelebihan guru PNS yang terdiri dari 11 persen guru PNS SD dan 27 persen guru PNS SMP. Guru tersebut diredistribusi ke sekolah kekurangan guru (Samer Al-Samarrai dkk, Bank Dunia 2013). 36


Permasalahan ketersediaan dan pemerataan guru sebenarnya telah menjadi perhatian negara dan pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan adanya pengaturan terkait dengan kewajiban pemerintah untuk menyediakan guru bagi sekolah atau juga memeratakan guru dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dua undang-undang ini juga mengamanatkan agar pemerintah membuat peraturan turunannya berupa PP untuk mengatur pengangkatan dan pemerataan guru. Sayangnya, amanat ini belum dijalankan sepenuhnya. Sampai sejauh ini, Pemerintah hanya membuat Perber 5 Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) tahun 2011 tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS. Kebijakan ini diberlakukan selama dua tahun, yakni sejak 2 Januari 2012 dan berakhir pada 31 Desember 2013.

Kebijakan SKB 5 Menteri Tahun 2011 Pemerintah telah berupaya memperbaiki distribusi guru. Upaya ini tertuang dalam SKB atau Perber 5 Menteri 2011 ditetapkan pada tanggal 3 Oktober

Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi. Seorang guru PNS sedang mengajar Geografi di kelas. Indonesia adalah negara kepulauan yang luas dan beragam. Meski jumlah guru cukup memadai, namun penyebarannya di Indonesia belum merata. Sekolah-sekolah di pedesaan terutama daerah terpencil dan tertingal masih kekurangan guru. 37


tahun 2011 tentang penataan dan pemerataan guru PNS. Latar belakang kebijakan ini adalah adanya kesenjangan ketersediaan guru di berbagai sekolah di seluruh pelosok Indonesia. Kebijakan ini mengatur kewenangan dan tugas masing-masing jenjang pemerintahan dalam Penataan dan Pemerataan Guru. Dua inti kebijakan Penataan dan Pemerataan Guru ini adalah perhitungan kebutuhan guru oleh masing-masing daerah dan pemindahan guru PNS antar sekolah di dalam kabupaten/kota yang sama, antar kabupaten kota dan antar provinsi. Terkait dengan perhitungan kebutuhan guru, kebijakan ini merupakan upaya pemerintah untuk menerapkan standar kepegawaian, yakni standar beban kerja guru sebesar 24 jam tatap muka per minggu4. Standar ini penting untuk mengetahui angka kebutuhan guru di suatu sekolah. Kebutuhan guru dihitung berdasarkan variabel rombel, mata pelajaran yang dibagi dengan standar beban kerja guru, 24 jam tatap muka per minggu5. Kebutuhan guru SD

Kebutuhan guru SMP

Satu guru per rombongan belajar Di sekolah dengan lebih dari 96 siswa: minimal 32 (SSN)dan maksimal 36 (SPM) siswa per rombongan belajar Di sekolah dengan lebih dari Di sekolah kecil (<96 siswa) minimal 168 siswa: minimal 28 SSN dan 1 guru per mata pelajaran maksimal 32 SPM siswa per rombongan belajar Di sekolah kecil (<168 siswa) Setiap guru mengajar minimal 24 minimal 6 guru kelas per sekolah jam per minggu Semua sekolah memiliki satu Apabila beban mengajar seorang guru pendidikan jasmani dan guru melebihi 40 jam per minggu, satu guru agama diperlukan satu guru tambahan  Semua sekolah memiliki minimal 1 guru per mata pelajaran Sumber : Samer Al-Samarrai, Daim Syukriyah dan Imam Setiawan, Bank Dunia 2013

Kebijakan ini juga mengatur sanksi bagi daerah yang tidak menjalankan kebijakan ini dengan baik. Sanksi antara lain berbentuk penghentian sebagian atau seluruh bantuan finansial fungsi pendidikan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah juga akan dijatuhi hukuman tidak mendapatkan formasi guru PNS dari Kemenpan RB. Kemenkeu juga dapat menunda penyaluran dana perimbangan kepada pemprov dan Pemkab/Pemkot yang tidak melakukan Penataan dan Pemerataan Guru. Pelaksanaan Penataan dan Pemerataan Guru oleh Pemprov dan Pemkab/Pemkot juga dijadikan dasar untuk menilai kinerja masing-masing pemda oleh Kemendagri.

38


Analisis Desain Kebijakan 1. Perbedaan Kepentingan Politik Anggaran Pemerintah Pusat dan Daerah Penerapan Perber 5 Menteri tahun 2011 tentang Penataan dan Pemerataan Guru dapat dilihat sebagai upaya pemerintah untuk menerapkan standar kepegawaian berupa standar beban kerja guru minimal 24 jam tatap muka perminggu. Penerapan standar kepegawaian ini diharapkan dapat menekan kebutuhan guru nasional6. Pemerintah pusat juga berharap bahwa pemerintah daerah dapat melakukan Penataan dan Pemerataan Guru terutama pemindahan guru sehingga terjadi pemerataan guru di berbagai sekolah di pelosok Indonesia. Pemerataan ini juga diharapkan dapat menekan angka kebutuhan guru PNS nasional. Motif utama pemerintah pusat dalam menetapkan kebijakan ini adalah adanya pengurangan kebutuhan guru PNS nasional. Pengurangan kebutuhan guru ini pada gilirannya dapat menekan beban APBN untuk menyediakan anggaran untuk guru, baik berupa gaji, tunjangan dan belanja pegawai lainnya. Pemerintah pusat ingin mengefisienkan manajemen kepegawaian guru guna menghemat APBN.

Sebagian sekolah, khususnya sekolah pedesaan terutama daerah 3T (Terluar, Tertinggal dan Terpencil) masih kekurangan guru. Di lain pihak, sebagian besar sekolah perkotaan justru kelebihan guru.

Jika diasumsikan bahwa 597 ribu GTT adalah kebutuhan guru nasional, pemerintah perlu merekrut guru PNS dengan jumlah yang sama agar seluruh sekolah memiliki guru PNS. Dengan jumlah guru PNS sebesar itu, pemerintah pusat harus menganggarkan dana sebesar Rp 20,8 triliun untuk membayar gaji guru selama satu tahun7. Nilai ini meningkat dua kali lipat menjadi Rp 41,6 triliun jika masing-masing guru tersebut mendapat tunjangan sertifikasi. Pemerintah pusat dan daerah juga perlu mengalokasikan anggaran lebih besar lagi untuk membiayai belanja pegawai karena penambahan jumlah guru tersebut. Di lain pihak, pemerintah daerah justru ingin meningkatkan angka kebutuhan guru. Kebutuhan guru akan mempengaruhi jumlah PNS daerah dan PNS daerah menentukan jumlah DAU (Dana Alokasi Umum) yang diterima pemerintah daerah dari pusat. Jadi, pemerintah daerah berusaha untuk meningkatkan jumlah kebutuhan pegawai termasuk guru PNS bagi daerahnya masing-masing. Alasan DAU juga telah menghambat pemindahan guru antar kabupaten/ kota dan antar provinsi.Tidak jarang guru yang telah pindah antar daerah ini tetap menerima gaji dan tunjangan dari daerah asalnya. Begitu juga dengan kemampuan fiskal antar daerah juga akan menghambat pemindahan guru antar daerah tersebut. Guru tidak mau dipindahkan jika daerah tugasnya yang baru memiliki tunjangan lebih rendah dibandingkan dengan daerah tempat mengajarnya saat ini. 39


Kepentingan elit politik yang mau mengeruk keuntungan dari situasi ini juga bisa menjadi kendala. Sebagaimana diketahui, bahwa rekrutmen CPNS selalu menjadi ajang bagi elit daerah untuk melakukan korupsi (ICW, 2013). Jika kebutuhan CPNS guru menurun tentu “pendapatan� korupsi dari rekrutmen ini akan berkurang. Perbedaan kepentingan pemerintah pusat dan daerah terkait dengan Penataan dan Pemerataan Guru sebenarnya telah cukup diantisipasi dalam Perber 5 Menteri. Perber 5 Menteri ini mengatur adanya sanksi bagi daerah yang tidak menjalankan kebijakan ini. Namun sayangnya, sanksi tersebut tidak pernah dijatuhkan pada pemerintah daerah yang tidak menjalankan Penataan dan Pemerataan Guru terutama pemindahan guru. Pada praktiknya, daerah tetap mendapatkan kuota formasi CPNS guru, mereka juga mendapatkan DAU dan kinerja pembangunan tetap baik dalam penilaian pemerintah pusat. Sementara kesenjangan kemampuan daerah memberikan tunjangan bagi guru PNS belum dapat diatasi sepenuhnya. Pemerintah pusat nampaknya belum mampu menjawab persoalan ini terutama terkait dengan pemindahan guru antara kabupaten/kota atau antar provinsi. 2. Supply Sentris, Mengabaikan Demand Publik Perber 5 Menteri terkait Penataan dan Pemerataan Guru ini dapat dilihat dari sudut pandang supply-demand. Dari sisi supply, bagaimana upaya pemerintah dan pemda menyediakan guru PNS bagi setiap sekolah di Indonesia. Sedangkan dari sisi demand, bagaimana permintaan masyarakat atas kebutuhan guru dimasing-masing sekolah. Ditinjau dari sudut pandang ini, Perber 5 Menteri hanya seluruhnya sisi supply saja. Sementara, dari sisi demand publik diatur sama sekali. Nampaknya, pengambil kebijakan di 5 kementrian ini tidak memandang penting demand publik untuk mendorong efektifitas implementasi kebijakan Penataan dan Pemerataan Guru ini. Padahal pengaturan sisi demand dibutuhkan untuk memastikan adanya ruang partisipasi publik dalam Penataan dan Pemerataan Guru. Ruang ini penting tidak hanya bagi publik, akan tetapi juga untuk memastikan kebijakan dan program Penataan dan Pemerataan Guru berjalan efektif dan efisien di daerah. Partisipasi publik, terutama partisipasi dari orang tua murid dan pemangku kepentingan sekolah dan pendidikan lainya merupakan hal penting karena kelompok ini yang paling berkepentingan dengan kesuksesan implementasi Penataan dan Pemerataan Guru. Murid, orang tua dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya berkepentingan terhadap Penataan dan

40


Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi. Guru-guru senior sedang melakukan peer-teaching sebagai bagian dari proses sertifikasi guru. Pemerataan guru memiliki hambatan tersendiri karena adanya resistensi pemindahan guru baik faktor individual maupuan sosial guru. Hal ini terjadi terutama pada guru senior dan guru yang telah berkeluarga.

Pemerataan Guru karena banyak sekolah terutama sekolah anak-anak mereka kerap kekurangan guru. Partisipasi orang tua murid dan pemangku kepentingan lainnya dapat diberikan dalam bentuk ikut membantu sekolah menghitung kebutuhan guru, proyeksi rombel, mengajukan proposal kebutuhan guru pada Pemda dan pemerintah pusat. Mereka akan rugi jika sekolah dan pemda tidak sungguh-sungguh menjalankan Penataan dan Pemerataan Guru karena kegiatan belajar anak di sekolah tidak berjalan dengan baik karena tidak ada guru PNS di sekolah tersebut8. Oleh karena itu, tekanan publik pada pihak sekolah dan pemerintah daerah untuk serius menjalankan Penataan dan Pemerataan Guru tidak hanya penting untuk efektivitas Penataan dan Pemerataan Guru akan tetapi juga menentukan keberlanjutan (sustainability) upaya ini. Sebagai contoh, partisipasi masyarakat dalam pemindahan guru yang dilakukan bersama-sama oleh Pemkab Luwu Utara, Sulsel dengan kelompok masyarakat sipil berhasil memindahkan sebagian guru muda dari sekolah 41


perkotaan ke sekolah pedesaan dan terpencil. Upaya ini didukung masyarakat karena telah dilibatkan dari sejak program tersebut dimulai9. Partisipasi publik dalam Penataan dan Pemerataan Guru menjadi salah satu cara yang dapat mendorong pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan ini. Namun, bagaimana publik dapat berpartisipasi jika desain kebijakan tidak membuka ruang sedikitpun bagi masyarakat untuk berpartisipasi? Publik juga tidak mengetahui bagaimana cara berpartisipasi dalam proses Penataan dan Pemerataan Guru ditingkat sekolah atau tingkat kabupaten/kota. Semua ini disebabkan karena desain kebijakan Penataan dan Pemerataan Guru tidak serius memandang pentingnya partisipasi publik ini. Di daerah tertentu seperti di Semarang, minimnya partisipasi publik tidak menghambat upaya pemerataan guru. Daerah tersebut tetap dapat menjalankan Penataan dan Pemerataan Guru karena kepala daerah memiliki komitmen kuat untuk memeratakan guru. 3. Mekanisme Penataan Belum Jelas dan Penerapannya Kurang Tegas Perber 5 Menteri telah mengatur tugas dan kewenangan masingmasing tingkat pemerintahan dan sekolah. Hal ini dijelaskan pula dalam juknis pelaksanaan peraturan bersama 5 Menteri yang merujuk pada pasal (10) Perber tersebut. Tugas tersebut antara lain melakukan sosialisasi, pendataan guru, verifikasi data dan pelaporan hasil pendataan kebutuhan guru. Pemerintah daerah melakukan pemindahan guru di dalam satu kabupaten/kota yang sama. Pemprov memfasilitasi pemindahan guru antar kabupaten/kota dan Pemerintah pusat memfasilitasi pemindahan guru antar povinsi. Meski telah mengatur tugas dan kewenangan masing-masing pemerintahan, akan tetapi Perber ini belum mengatur secara tegas mekanisme kerja Penataan dan Pemerataan Guru. Tidak ditemukan aturan tegas yang menyatakan bahwa penyampaian kebutuhan guru di daerah harus didasarkan penataan dan pemerataan terlebih dahulu. Jadi, jika pemerintah daerah tidak melakukan Penataan dan Pemerataan Guru seperti regrouping, guru alih fungsi/jenjang, guru kelas rangkap, guru kunjung dan pemindahan guru, maka perhitungan dan pengajuan kebutuhan guru PNS daerah tersebut tidak akan disetujui pemerintah pusat. Akibat tidak adanya aturan ini, Penataan dan Pemerataan Guru menjadi terkesan hanya pendataan kebutuhan guru untuk memenuhi rekrutmen CPNS yang akan dilaksanakan pada tahun 2013. Pemerintah 42

Partisipasi publik, terutama partisipasi dari orang tua murid dan pemangku kepentingan sekolah dan pendidikan lainya merupakan hal penting karena kelompok ini yang paling berkepentingan dengan kesuksesan implementasi Penataan dan Pemerataan Guru.


daerah tidak terdorong melakukan pendataan sebelum mengajukan kebutuhan guru untuk mendapatkan formasi CPNS dari pemerintah pusat. Data kebutuhan guru menjadi bias karena gurunya belum tertata dan merata dengan baik. 4. Ukuran Keberhasilan Tidak Jelas Kebijakan Penataan dan Pemerataan Guru tidak memiliki ukuran yang jelas. Apakah keberhasilan kebijakan ini diukur dari berapa banyak guru yang berhasil dipindahkan atau seberapa kecil kebutuhan guru daerah dan nasional? Ini semua terjadi karena belum ada data yang valid dan kuat tentang distribusi dan kebutuhan guru sebelum kebijakan ini dijalankan. Data yang dimaksud adalah data yang memuat jumlah ketersediaan guru di masing-masing sekolah sehingga diketahui sekolah mana saja yang kekurangan dan kelebihan guru. Selain itu, juga diketahui siapa dan guru disekolah mana yang tidak dapat memenuhi beban kerja pembelajaran 24 jam tatap muka per minggu. Data kebutuhan dan distribusi guru akan menjadi dasar untuk menilai apakah upaya Penataan dan Pemerataan Guru di tingkat sekolah, daerah dan nasional berhasil atau tidak. Contoh, upaya regrouping sekolah yang dapat menekan kebutuhan guru. Pemerintah daerah harus memiliki data jumlah guru di masing-masing sekolah terutama guru di sekolah kecil atau sekolah dengan jumlah rombel sedikit dan ukuran rombel juga tidak sesuai dengan standar. Penggabungan sekolah dengan sekolah lainnya akan mengakibatkan kebutuhan guru akan menurun. Jadi, ukuran keberhasilan dari regrouping adalah menurunnya kebutuhan guru PNS disuatu daerah. Begitu juga dengan upaya Penataan dan Pemerataan Guru lain seperti guru alih jenjang, guru alih fungsi, guru kunjung dan pemindahan guru harus jelas ukuran keberhasilannya. Semua upaya tersebut harus dimulai dari data yang menggambarkan kondisi awal sebelum Penataan dan Pemerataan Guru dilaksanakan. Pemda harus menghitung kebutuhan dan distribusi guru pasca Penataan dan Pemerataan Guru. Dengan demikian, maka dapat dinilai apakah upaya Penataan dan Pemerataan Guru yang dilakukan pemerintah daerah dan pemerintah pusat berlangsung secara efektif. 5. Dasar Hukum Penataan dan Pemerataan Guru Lemah Kebijakan Penataan dan Pemerataan Guru saat ini diatur hanya dalam bentuk Peraturan Bersama 5 Menteri. Kekuatan hukum peraturan bersama kurang kuat jika dilihat dalam tata perundangan yang berlaku di Indonesia saat ini. Oleh karena itu, wajar jika sebagian pemerintah daerah mengabaikan dan bahkan menolak, mematuhi dan menjalankan peraturan bersama ini. Pemerintah daerah lebih mengedepankan UU Pemda yang kedudukan hukumnya lebih tinggi dibandingkan dengan peraturan bersama 5 menteri. 43


Sebenarnya, Penataan dan Pemerataan Guru telah diamanatkan oleh UU Sisdiknas. Dalam pasal 40 ayat (1) dan (4) disebutkan bahwa pengangkatan, penempatan guru PNS dilakukan oleh lembaga berwenang. Selain itu, kebijakan terkait hal ini ditetapkan melalui PP (Peraturan Pemerintah). Dengan demikian, seharusnya kebijakan Penataan dan Pemerataan Guru diatur dalam bentuk PP sehingga memiliki kekuatan hukum lebih kuat dan mengikat. Pemerintah pusat dapat menekan pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan ini di daerah. Memang saat ini telah ada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam undang-undang ini telah diatur kewenangan pemerintah pusat dan daerah terkait dengan Penataan dan Pemerataan Guru. Pemerintah pusat berwenang untuk memindahkan guru antar provinsi, pemerintah provinsi berwenang memindahkan guru antar kabupaten/kota dalam provinsi yang sama, dan pemerintah kabupaten dan kota berwenang memindahkan guru antar satuan pendidikan dalam kabupaten dan kota yang sama. Namun demikian, pengambilan kewenangan memindahkan guru oleh pemerintah pusat dan provinsi dari pemerintah kabupaten dan pemerintah kota perlu dilakukan dengan hati-hati agar penguatan otonomi daerah tidak semakin melemah.

Analisis Implementasi Program 1. Pemerintah Daerah Kurang Memprioritaskan Implementasi Penataan dan Pemerataan Guru Pemerintah daerah belum sepenuhnya memprioritaskan pelaksanaan kebijakan Penataan dan Pemerataan Guru. Hal tersebut terlihat dari hanya sebagian kecil dari pemerintah daerah yang melakukan pemerataan guru. Sampai saat ini belum ada data yang pasti tentang berapa dan bagaimana cakupan pelaksanaan Penataan dan Pemerataan Guru di berbagai kabupaten/kota dan provinsi. Lemahnya perhatian pemerintah daerah dan provinsi terkait Penataan dan Pemerataan Guru disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, Penataan dan Pemerataan Guru dipandang hanya membebani anggaran daerah dan juga membebani beban kerja pegawai daerah. Untuk melakukan Penataan dan Pemerataan Guru pemerintah daerah membutuhkan anggaran untuk sosialisasi, asistensi, assesment kebutuhan guru dan kegiatan lainya. Selain itu, pemindahan guru baik antar satuan pendidikan, antar jenjang, antar jenis, antar kabupaten/kota dan antar provinsi juga membutuhkan biaya serta perubahan kebijakan anggaran terkait dengan alokasi gaji guru10. 44


Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi. Seorang guru honorer mengajar Matematika di SDN 1 Ciluluk, Sumedang, Jawa Barat. Pemindahan guru berpotensi memunculkan konflik. Guru PNS yang ditempatkan di sekolah yang kekurangan guru kerap mendapatkan perlawanan dari guru honorer setempat karena dinilai akan menggeser keberadaan guru honorer tersebut. Para guru honorer khawatir harapan mereka menjadi PNS akan hilang dengan adanya guru PNS yang baru ini. 45


Kedua, banyak kepala daerah yang belum memahami pentingnya kebijakan Penataan dan Pemerataan Guru secara politik (Sumber : Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pra Sekolah dan Pendidikan Dasar Kabupaten Buton, 2014). Penataan dan Pemerataan Guru dinilai hanya kegiatan birokrasi yang terlepas dari kegiatan politik lokal terutama elektoral. Padahal, kesuksesan dalam Penataan dan Pemerataan Guru sedikit banyak akan berpengaruh terhadap politik lokal terutama Pilkada. Hal ini terjadi karena desain kebijakan Penataan dan Pemerataan Guru belum menyentuh partisipasi publik lebih luas. Padahal demand atas implementasi Penataan dan Pemerataan Guru cukup tinggi terutama di kalangan masyarakat di daerah 3T. Pemenuhan guru untuk sekolah 3T tentu berpengaruh terhadap persepsi politik warga tersebut atas komitmen kepala daerah dan birokrasi untuk meningkatkan mutu pendidikan anakanak mereka. Ketiga, kesulitan lain dihadapi pemerintah daerah adalah mutasi guru. Pemerintah daerah kesulitan untuk melakukan mutasi guru karena sebagian besar guru sudah terlanjur mengajar di daerah perkotaan. Sedangkan guru-guru yang mengajar di daerah pedesaan adalah guru-guru yang memang berdomisili dekat dengan daerah tersebut. Pemerintah daerah kesulitan memutasi guru terutama guru senior atau guru telah berkeluarga. Pemindahan guru seringkali disertai dengan resistensi dan intervensi terhadap pemerintah daerah dari berbagai kalangan. Selain itu, pemindahan guru melalui inisiatif sendiri karena alasan tertentu terkadang juga disertai dengan praktik suap. Hal ini semakin mempersulit pemerintah daerah untuk menegakkan kebijakan Penataan dan Pemerataan Guru bagi semua guru11. 2. Koordinasi Antar K/L Lemah dan Kurangnya Dukungan Program Pemerintah Pusat Untuk Penataan dan Pemerataan Guru Salah satu masalah dalam implementasi kebijakan Penataan dan Pemerataan Guru adalah lemahnya koordinasi antar K/L dalam implementasi, dan monitoring serta evaluasi kebijakan ini. Sampai saat ini, belum ada koordinasi spesifik antar K/L terutama yang berasal dari 5 kementrian ini yang melakukan evaluasi terhadap implementasi Perber. Akibatnya, kebijakan ini sulit ditinjau perkembangan dan keberhasilannya. Selain itu, masing-masing K/L juga tidak memiliki program yang memadai untuk mendukung kebijakan Penataan dan Pemerataan Guru. Kemdikbud misalnya, tidak memiliki program untuk melakukan asistensi pemerintah daerah untuk melakukan penataan dan pemerataan guru. Kegiatan Kemdikbud hanya sebatas melakukan sosialisasi Perber ke beberapa daerah. Selain itu, Kemdikbud juga baru hanya mendukung pendataan kebutuhan guru melalui sistem Dapodik. 46


Kemendagri juga tidak memiliki program spesifik untuk mendorong daerah melakukan Penataan dan Pemerataan Guru. Padahal, peran Kemendagri sangat penting menyukseskan kebijakan pemerintah pusat daerah. Pengaruh Kemendagri pada pemerintah daerah lebih besar dibandingkan dengan pengaruh K/L lainnya. Oleh karena itu, program spesifik Kemendagri terkait Penataan dan Pemerataan Guru juga akan membantu bagaimana pemerintah daerah terdorong untuk melakukan Penataan dan Pemerataan Guru sehingga pemerataan guru dapat dicapai secara optimal. 3. Partisipasi Publik Dalam Penataan dan Pemerataan Guru Rendah Desain kebijakan yang menitikberatkan pembenahan pada sisi supply telah berdampak negatif pada sisi demand publik. Partisipasi publik dalam Penataan dan Pemerataan Guru rendah dan cenderung tidak ada. Lemahnya partisipasi publik telah berimbas terhadap rendahnya komitmen pemerintah daerah untuk melakukan Penataan dan Pemerataan Guru. Tidak ada tekanan bagi pemerintah daerah untuk melakukan Penataan dan Pemerataan Guru. Akibatnya, guru tetap tidak merata. Sebagian sekolah tetap kelebihan guru dan sebagian sekolah yang lain tetap kekurangan guru. Kalaupun ada pendataan kebutuhan guru, hal itu hanya untuk memenuhi persyaratan mendapatkan formasi CPNS guru dari pemerintah pusat.

Pemindahan guru masih terhalang oleh hambatan psikologis dan faktor keluarga guru. Mereka sulit berpisah dengan keluarga karena memandang daerah sekolah terpencil serba kekurangan.

Di daerah yang melibatkan partisipasi publik, Penataan dan Pemerataan Guru cenderung berhasil diterapkan seperti di Kabupaten Luwu Utara, SulSel. Pemerataan guru semakin baik karena publik akan mendukung upaya pemerataan guru yang dilakukan pemerintah daerah dan sekolah. Tidak hanya itu, publik juga ikut mempertahankan agar guru tersebut tetap mengajar di sekolah terutama di sekolah 3T. Masyarakat melakukan berbagai upaya untuk membuat lingkungan sekolah dan sosial menjadi lebih nyaman bagi guru untuk tetap mengajar di daerah 3T tersebut. 4. Hambatan Individual dan Keluarga Guru Pemerataan guru memiliki hambatan tersendiri karena adanya resistensi pemindahan guru baik faktor individual maupun sosial guru. Hal ini terjadi terutama pada guru senior dan guru yang telah berkeluarga. Bagi mereka sangat sulit untuk mengajar di sekolah yang jauh dari rumah terutama di sekolah yang jauh di pelosok. Bagi guru yang telah berkeluarga sangat sulit untuk pindah dan meninggalkan keluarga untuk mengajar di berbagai sekolah yang cukup jauh dari rumah. Kalaupun keluarga juga ikut dibawa ke sekolah baru tersebut, ternyata belum ada jaminan bahwa di daerah sekolah tersebut akan tersedia fasilitas dan sarana dan prasarana yang memadai untuk tumbuh dan kembang anak.

47


Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi. Dua orang siswi memperhatikan peta dunia. Rasio guru murid Indonesia memiliki tren menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001, rasio guru murid SD dan SMP berturut-turut adalah 1:16 dan SMP 1:22. Rasio ini semakin mengecil pada tahun 2011 yakni 1:13 untuk SD dan 1:16 untuk SMP.

Adanya stigma pemindahan guru ke daerah terpencil sebagai “hukuman pembuangan� turut menjadikan kebijakan mutasi mendapatkan resistensi dari guru. Mereka menganggap bahwa mutasi bukanlah penghargaan yang diberikan oleh pemerintah daerah karena prestasi mereka. Selain itu, bagi guru perempuan, mengikuti suami bekerja juga telah menyebabkan mereka kesulitan untuk mengajar di sekolah yang kekurangan guru. Hambatan ini semakin kuat manakala mutasi guru diintervensi oleh pengaruh politik lokal. Banyak guru yang meminta adanya intervensi dari pejabat lokal agar mereka tidak dipindahkan ke sekolah yang kekurangan guru di daerah terpencil. Pemindahan guru juga harus berhadapan dengan guru honorer di sekolah akhir. Seringkali guru PNS yang ditempatkan di sekolah yang kekurangan guru harus mendapatkan perlawanan dari guru honorer setempat karena dinilai akan menggeser keberadaan guru honorer tersebut. Para guru honorer khawatir harapan mereka jadi PNS akan hilang dengan adanya guru PNS yang baru ini. 48


Faktor sosial di sekolah yang kekurangan guru juga ikut memberi andil terhadap lamanya waktu bertahan guru tersebut di sekolah tersebut. Guru seringkali merasa tidak sesuai dengan budaya dan kondisi sosial tempat mereka mengajar. Hal ini juga menyebabkan mereka kurang bisa bertahan menyelesaikan masa mengajarnya di sekolah tersebut. 5. Efek Samping: Menguatnya Politisasi Guru Selama ini pemindahan guru identik dengan pembuangan atau hukuman atas guru tersebut karena berbagai masalah. Stigma ini sudah melekat di kalangan guru terutama di daerah yang kental dengan politisasi guru. Guru yang melawan atasan seperti kepala sekolah, UPT Dinas Pendidikan Kecamatan, Kepala Dinas Pendidikan bahkan Kepala Daerah dipindahkan ke sekolah-sekolah terpencil. Tidak jarang, pemindahan guru dilakukan sesaat menjelang atau sesudah pilkada. Guru-guru yang dinilai berseberangan secara politik dengan kepala daerah dipindahkan ke sekolah terpencil dan jauh dari keluarganya. Atau guru yang mendukung cakada dan kemudian calon tersebut kalah maka dia harus siap dipindahkan dari sekolahnya tersebut12. Pemindahan mendapat momentum dengan adanya Perber 5 Menteri Tahun 2011 ini. Kepala daerah menggunakan kebijakan ini untuk memindahkan guru atau menekan guru agar menjadi bagian dalam gerbong politiknya13. Permasalahan ini telah menjadi momok tersendiri bagi guru. Mereka mengalami “ketakutan periodik� pada saat pesta politik di daerahnya. Oleh karena itu, sebagian besar mereka menginginkan agar kewenangan pengelolaan guru diambil alih oleh pemerintah pusat. Mereka ingin agar guru menjadi pegawai pemerintah pusat sehingga tidak terpengaruh oleh dinamika politik daerahnya masing-masing14. Politisasi guru memang kerap terjadi di daerah terutama yang memilki rasio PNS relatif besar. Hal ini disebabkan karena kepala daerah, utamanya petahana berusaha menggalang suara dari PNS daerah dan guru mengingat guru merupakan PNS terbanyak di masing-masing daerah15. Yang harus digarisbawahi, resentralisasi pengelolaan guru bukanlah jawaban atas masalah pemerataan ataupun politisasi guru di daerah. Politisasi guru bisa diantisipasi dengan cara lain seperti pemberlakuan undang-undang. Saat ini telah disahkan UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN dimana PNS termasuk PNS daerah tidak mudah dimutasi begitu saja oleh PPK. Proses pemindahan ini harus sesuai dengan kriteria yang diatur dalam undang-undang ini atau peraturan turunannya. Resentralisasi guru juga akan membawa konsekuensi luas terutama pada aspek anggaran. Jika guru menjadi pegawai pemerintah pusat maka gaji 49


dan anggaran kesejahteraan guru tidak lagi masuk ke Kas Daerah. Hal ini menyebabkan APBD tidak akan dapat memenuhi anggaran pendidikan 20 persen dari total anggaran. Resentralisasi justru semakin menjauhkan guru dan masyarakat dengan pengambil kebijakan yang berada di pusat. Hal ini akan mempersulit dua kelompok ini untuk berpartisipasi dalam rangka mempengaruhi kebijakan sesuai dengan kepentingan mereka. Bantuan pemerintah pusat untuk menata dan memeratakan guru tetap dibutuhkan. Hal ini dibutuhkan terutama di daerah yang tidak kunjung dan tidak melakukan penataan dan pemerataan guru. Pemerintah pusat perlu intervensi dengan mengambil kewenangan dan mengalokasikan anggaran untuk penataan dan pemerataan guru tersebut. Akan tetapi, sebaiknya pengambilalihan kewenangan tersebut bukan pengambilalihan kewenangan selamanya. Pengambilalihan kewenangan atau rensentralisasi harus dengan semangat desentralisasi di mana pada suatu saat kewenangan pengelolaan guru dikembalikan lagi ke daerah tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang mengatur tentang kriteria daerah yang kewenangannya diambil alih, berapa banyak kewenangan yang dialihkan, kewajiban anggaran pemerintah pusat, serta kapan kewenangan tersebut dikembalikan lagi ke daerah. Hal ini penting terutama agar resentralisasi terbatas tidak dipolitisir oleh politisi dan birokrasi pusat.

Kesimpulan Secara umum dapat disimpulkan bahwa Perber 5 Menteri tahun 2011 tentang Penataan dan Pemerataan Guru belum berjalan efektif. Guru masih belum merata karena masih terkonsentrasi di sekolah perkotaan. Sementara guru di sekolah pedesaan terutama daerah 3T masih kekurangan. Meski belum efektif, sebagian daerah ternyata telah menjalankan kebijakan ini dengan baik seperti Kabupaten Semarang, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Blitar, dan daerah lainnya. Mereka berhasil menyediakan guru alih jenjang, guru kunjung, guru multi kelas. Daerah ini juga berhasil memindahkan guru dan melakukan regrouping sekolah kecil. Keberhasilan ini karena adanya komitmen kepala daerah dan dukungan pemerintah pusat, masyarakat serta pihak lain untuk menjalankan kebijakan tersebut. Implementasi Perber 5 Menteri 2011 tentang Penataan dan Pemerataan Guru kurang efektif karena desainnya kurang memperhitungkan perbedaan kepentingan politik anggaran pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, kebijakan tidak membuka ruang publik untuk berpartisipasi, dasar hukum yang relatif lemah, mekanisme Penataan dan Pemerataan Guru belum diatur dengan tegas, dan ukuran keberhasilan Penataan dan Pemerataan Guru tidak jelas.

50


Dari sisi implementasi Penataan dan Pemerataan Guru, ditemukan berbagai masalah. Hal ini disebabkan karena pemerintah daerah kurang memprioritaskan agenda kebijakan ini. Koordinasi antar Kementerian lemah serta sedikitnya dukungan program untuk mendampingi pemerintah daerah dalam rangka menjalankan kebijakan ini. Pemerintah pusat tidak tegas menjatuhkan sanksi bagi daerah yang tidak menjalankan Penataan dan Pemerataan Guru. Pemerintah pusat nampaknya masih ragu-ragu menjatuhkan sanksi bagi daerah meski mereka mengetahui bahwa hal tersebut akan mendorong daerah menjalankannya. Pemindahan guru masih terhalang oleh hambatan psikologis dan faktor keluarga guru. Mereka sulit berpisah dengan keluarga karena memandang daerah sekolah terpencil serba kekurangan. Sementara insentif pemerintah untuk pemindahan guru juga terbatas. Pemindahan antar daerah juga terkendala masalah struktural, terutama dari sisi kebijakan penggajian pemerintah pusat. Terdapat kecenderungan sebagian guru PNS daerah untuk ditetapkan menjadi pegawai pemerintah pusat. Hal ini disampaikan karena mereka khawatir dengan politisasi guru oleh elit lokal, terutama akibatnya terhadap karir mereka. Namun demikian, politisasi ini lebih jelas terjadi di daerah yang jumlah PNS-nya relatif dominan dibanding dengan total pemilih. Resentralisasi total pengelolaan guru bukanlah solusi. Meskipun dibutuhkan resentralisasi guru, akan tetapi hal ini harus terbatas bagi daerah yang kesulitan dan tidak mampu mengelola dan memeratakan guru. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu membantu mendampingi daerah tersebut untuk mengelola guru lebih baik lagi. Jika sistem pengelolaan dan pemerataan guru sudah baik, maka pemerintah daerah harus mengembalikan kewenangan ke daerah tersebut.

Rekomendasi Kebijakan Terkait dengan kesimpulan di atas maka kami merekomendasikan hal-hal berikut: 1. Desain kebijakan Penataan dan Pemerataan Guru mendatang: i. Mampu mengatasi dan mengantisipasi benturan kepentingan politik pemda dan pusat. ii. Membuka demand publik lebih luas sehingga publik bisa berpartisipasi dalam Penataan dan Pemerataan Guru di semua jenjang mulai dari sekolah sampai pemerintah pusat. iii. Mempertegas mekanisme Penataan dan Pemerataan Guru dengan mengacu para berbagai macam good practices pemerintah daerah.

51


iv. Adanya kewajiban program dan anggaran pendampingan daerah bagi Kementrian yang terlibat dalam Penataan dan Pemerataan Guru. v. Memiliki kriteria keberhasilan yang jelas yang didukung dengan ketersediaan data Penataan dan Pemerataan Guru yang memadai. vi. Memiliki dasar hukum yang lebih kuat, yakni PP (Peraturan Pemerintah) sebagaimana diamanatkan dalam UU Guru dan Dosen dan UU Sisdiknas. 2. Implementasi : a. Koordinasi antar Kementrian/Lembaga yang terlibat Penataan dan Pemerataan Guru semakin diperkuat terutama memonitoring perkembangan Penataan dan Pemerataan Guru di masing-masing daerah. b. Memperkuat partisipasi publik dalam Penataan dan Pemerataan Guru. c. Pemerintah pusat dan daerah memiliki kebijakan insentif bagi guruguru yang dipindahkan terutama ke sekolah 3T untuk mengatasi hambatan psikologi dan keluarga. 3. Pemerintah harus mengkaji penerapan resentralisasi terbatas terkait dengan penataan sistem kepegawaian guru nasional. Resentralisasi haruslah dalam semangat desentralisasi dimana pada suatu saat kewenangan yang diambil pemerintah pusat harus dikembalikan lagi pada pemerintah daerah. Oleh karena itu, dibutuhkan kerangka kerja resentralisasi terbatas dalam produk hukum lebih kuat. Referensi Daftar Narasumber Wawancara : 1. Kepala BKN (Badan Kepegawaian Nasional) 2. Direktur Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P2TK), Ditjen Pendidikan Dasar Kemdikbud 3. Kepala Seksi Penyusunan Program Sub Direktorat Program dan Evaluasi Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Dasar, Kemdikbud 4. Pejabat Direktorat Otda II, Ditjen Otda, Kemendagri 5. Direktur Pendidikan Madrasah, Ditjen Pendidikan Islam, Kemenag 6. Kabid Bidang Penyiapan Perumusan Kebijakan Pengadaan SDM Aparatur, Kemenpan-RB 7. Sekretaris Dinas dan Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian Dinas Pendidikan Kabupaten Garut 8. Kepala Bidang Pra Sekolah dan Pendidikan Dasar Kabupaten Buton 9. Technical Coordinator with GOI Stakeholder – USAID PRIORITAS 10. 12 Kepala Sekolah di lokasi penelitian 11. Guru di 12 sekolah lokasi penelitian 12. Orang tua murid di 12 sekolah lokasi penelitian 52


Daftar FGD dan Lokakarya Mini Penataan dan Pemerataan Guru : 1. FGD dengan pengambil kebijakan pendidikan di pusat (Kemdikbud, Kemenag, Kemendagri, Kemenpan RB) 2. FGD dengan organisasi guru nasional 3. FGD dengan organisasi orang tua murid nasional 4. Forum Multipihak dengan pemangku pendidikan nasional 5. 12 Lokakarya mini Penataan dan Pemerataan Guru di tingkat sekolah 6. 2 Semiloka Penataan dan Pemerataan Guru di tingkat kabupaten, Kabupaten Garut dan Kabupaten Buton Buku/Jurnal/Handout 1. Chang, Mae Chu et al. (2014). Teacher Reform in Indonesia: The Role of Politics and Evidence in Policy Making. Washington D.C: The World Bank. 2. Handout Presentasi Bupati Semarang dalam Forum Penataan dan Pemerataan Guru USAID Prioritas tanggal 14 Oktober 2014 di Hotel Sultan Jakarta 3. Naskah kebijakan. (2013). Mendayagunakan Guru dengan lebih Baik : Memperkuat Manajemen Guru untuk Meningkatkan Efisiensi dan Manfaat Belanja Publik. Jakarta: Sektor Pembangunan Manusia Kantor Bank Dunia. 4. Samer, Al-Samarrai dkk. (2013). Local Governance and Education Performance: a Survey of the Quality of Local Education Governance in 50 Indonesian Districts. Human Development. Jakarta, Indonesia: World Bank. Dokumen Negara 1. Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS di Indonesia, 2011 2. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Peraturan Bersama tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS 1, 2011

53


Siswa SD sedang mengerjakan tugas dalam sesi belajar mengajar di salah satu sekolah di Indramayu, Jawa Barat. Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi.

54


4 Klaster

Mutu dan Kurikulum Pendidikan Nasional Doni Koesoema A.

55


Meningkatkan mutu pendidikan nasional merupakan tanggung jawab pemerintah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia bangsa yang diatur dengan undang-undang. Amanat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003 pada pasal 5 ayat 1 menyebutkan dengan tegas bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.� Pendidikan yang bermutu sesuai konstitusi dilakukan melalui sebuah desain kebijakan pendidikan yang terintegrasi dalam satu sistem pendidikan nasional. Sistem inilah yang menopang berbagai macam program dan kebijakan pendidikan agar kualitas pendidikan nasional menjadi semakin baik. Karena itu, mutu pendidikan nasional akan meningkat bila pemerintah mampu mendesain sistem pendidikan nasional (kurikulum) yang sesuai dengan persoalan, tantangan, konteks dan kebutuhan bangsa Indonesia di masa depan yang ditandai dengan beranekaragam kondisi sosial, ekonomi, geografis dan budaya yang terbentang dari Aceh sampai Papua. Sistem pendidikan nasional senantiasa terkait dengan empat kebijakan utama, yaitu desain struktur kurikulum (curriculum design), desain pembelajaran dan pengajaran yang dibutuhkan (delivery method), materi buku ajar (text book) dan sistem evaluasi dan penilaian (assessment & evaluation). Keempat hal ini, bila didesain dengan baik akan mampu meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Pemerintah telah menetapkan pelaksanaan Kurikulum 2013 di 6.221 sekolah yang telah melaksanakan Kurikulum 2013 selama 3 semester dan meminta sekolah yang baru melaksanaka Kurikulum 2013 satu semester untuk kembali ke Kurikulum 2005 melalui Permendikbud No. 160/2014. Kebijakan ini diambil karena pemerintah menyadari bahwa ada banyak kelemahan dalam Kurikulum 2013 yang perlu direvisi sebelum diterapkan secara massif di seluruh Indonesia.

Polemik Kurikulum 2013 Kebijakan pendidikan Kurikulum 2013 sejak awal pembentukannya telah polemik dan debat di banyak kalangan. Telah banyak analisis, baik dari 56


Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi. Kurikulum menjadi salah satu bagian kritikal untuk kegiatan belajar mengajar. Kurikulum 2013 yang sempat menjadi polemik dan kontroversi akhirnya dicabut oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan. Kurikulum apapun yang akan digunakan, selayaknya harus efektif secara konsep dan substansi.

kalangan akademisi maupun praktisi yang menunjukkan bahwa Kurikulum 2013 telah cacat dan rapuh, bukan hanya secara teknis dan implementasi, melainkan juga secara konseptual dan substansial. Selain itu, proses untuk mendesain sebuah Kurikulum yang baik seperti analisis pemetaan, komunikasi dengan para pemangku kepentingan, uji coba pionering, kontrol desain buku dan implementasi sistem evaluasi belum pernah diujicobakan. Struktur bangunan kurikulum yang rapuh, bila dipaksakan untuk diterapkan akan merugikan para siswa yang menjadi ‘kelinci percobaan’ kebijakan pendidikan. Inilah yang menjadi pokok persoalan ketika Pemerintah lebih memilih untuk meneruskan Kurikulum 2013 sembari mengadakan revisi. Revisi fundamental ini tidak mungkin bila dilakukan sambil lalu karena hanya akan menyelesaikan persoalan secara tambal sulam dan berjangka pendek. Tanpa revisi fundamental ini, implementasi Kurikulum 2013 hanya akan meneruskan dan mempraktikkan kesalahan demi kesalahan yang semakin menjauhkan pendidikan nasional dari tujuan yang diharapkan. Revisi harus mengarah pada persoalan fundamental, sementara landasan filosofis secara umum sudah baik dan komprehensif. Mungkin hanya ada sedikit catatan tentang konsep budaya dalam landasan filosofis yang menempatkan peserta sebagai pewaris tradisi, bukan pencipta tradisi baru yang lebih baik. Landasan filosofis Kurikulum 2013 sudah baik, karena Kurikulum didesain dengan mempertimbangkan akar budaya bangsa, peserta didik sebagai pewaris budaya bangsa yang kreatif, mengembangkan kecerdasan 57


Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi. Hasil karya siswa di dinding kelas SDN 1 Ciluluk, Sumedang, Jawa Barat. Kurikulum 2013 menyempurnakan pola pikir (paradigma), seperti pembelajaran yang berpusat pada anak (peserta didik), pembelajaran interaktif, berjejaring, aktifmencari, berbasis tim, klassikal-massa namun terindividualisasi, ilmu pengetahuan banyak (multidisiplin), dan kritis.

intelektual dan kecemerlangan akademik, pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan intelektual, kemampuan berkomunikasi, sikap sosial, kepedulian, dan berpartisipasi untuk membangun kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik (experimentalism and social reconstructivism). Pendekatan rekonstruksi sosial ini diperlukan bagi bangsa Indonesia. Selain itu, sebagai sebuah proses perbaikan, Kurikulum 2013 menyempurnakan pola pikir (paradigma), seperti pembelajaran yang berpusat pada anak (peserta didik), pembelajaran interaktif, berjejaring, aktif-mencari, berbasis tim, klassikal-massa namun terindividualisasi, ilmu pengetahuan banyak (multidisiplin), dan kritis. Sayangnya, paradigma yang bagus ini ternyata tidak disertai dengan koherensi kebijakan dalam desain implementasi, seperti rancangan struktur kurikulum (termasuk pilihan mata pelajaran, alokasi waktu), metode pelatihan guru, pembuatan buku ajar, serta desain evaluasi dan penilaian yang komprehensif yang relevan dan aktual. Ada beberapa persoalan konseptual substansial dalam Kurikulum 2013 yang perlu mendapat perhatian untuk segera direvisi.

58


Pertama, konsep Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD). Kurikulum 2013 memperkenalkan sebuah konsep yang mengubah seluruh konstruksi kurikulum sebelumnya, yaitu konsep KI dan KD. Kompetensi inti merupakan tingkat kemampuan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dimiliki seorang peserta didik pada setiap tingkat kelas. Kompetensi Inti ini terdiri dari sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan dan keterampilan. Kompetensi Inti, untuk tingkat sekolah dasar dijabarkan dalam kompetensi dasar yang “berisikan kemampuan dan muatan pembelajaran untuk suatu tema pembelajaran atau mata pelajaran pada Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah yang mengacu pada Kompetensi Inti�. Kompetensi Inti dalam Kurikulum 2013 bermasalah karena sulit dikuantifikasi sebagai dalam kriteria objektif penilaian sebab peilaian sikap spiritual dan sosial itu dikuantifikasi per tatap muka. Kompetensi Inti mestinya menjadi hasil akhir proses pendidikan yang diharapkan terjadi dalam setiap jenjang proses pendidikan. Definisi KI kabur dan kurang jelas. Kompetensi Inti 1 (sikap spiritual) dalam Kurikulum 2013 tidak terdiversifikasi dengan baik sehingga target pembentukan keluaran pendidikan macam apa di masing-masing tingkat pendidikan tidak ada. Desain kompetensi inti semestinya diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam Kurikulum 2013 yang dasarnya adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 2003 beserta peraturan turunannya. Sayangnya, tujuan pendidikan di tingkat dasar ini tidak secara jelas dipetakan dalam desain Kompetensi Inti yang ada.

Pendidikan agama itu tidak identik dengan pendidikan budi pekerti dan pendidikan budi pekerti itu tidak identik dengan pendidikan agama

Kedua, Pendekatan Spiritualisme K13. Dengan mempergunakan Kompetensi Inti sebagai pengorganisir keseluruhan pembelajaran, terutama melalui kaitan antara Kompetensi Inti 1 dengan keseluruhan proses pembelajaran, yang terjadi dalam kurikulum kita adalah sebuah pendekatan spiritual dalam setiap mata pelajaran. Apa saja yang dipelajari siswa akan dikaitkan dengan tema “menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.� Akibat dari sikap ini adalah munculnya deskripsi Kompetensi Dasar untuk KI-1 yang aneh, lucu, menggelikan, dan bertentangan dengan nalar, sebagai contoh: Mensyukuri kesempatan dapat mempelajari Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar komunikasi internasional yang diwujudkan dalam semangat belajar (KD Bahasa dan Sastra Inggris). Bahkan, Kompetensi Dasar 1.1 Kelas X untuk Matematika, ternyata isinya sama dengan Kompetensi Inti. Jadi, Kurikulum 2013 telah mengacaukan antara kompetensi keilmuan dalam mata pelajaran Matematika dan Agama. Kurikulum 2013 sangat bermasalah dalam konsep tentang Kompetensi Inti Spiritual yang disertai dengan deskripsi Kompetensi Dasar.

59


Ketiga, penggabungan nomenklatur Pendidikan Agama dan Budi Pekerti. Kurikulum 2013 memiliki salah satu tujuan untuk membentuk karakter siswa Indonesia. Untuk itu, pembentukan karakter ini lebih dipercayakan melalui pendidikan agama yang namanya kemudian digabung dengan budi pekerti. Pendidikan agama, tentu saja dapat membentuk karakter siswa secara istimewa. Demikian juga, pendidikan agama juga memiliki pokok bahasan tentang etika dari sudut pandang agama tertentu yang bisa menjadi sumber nilai dan budi pekerti bagi orang lain. Penggabungan nomenklatur Pelajaran Agama dan Budi Pekerti ini sangatlah bermasalah. Pendidikan agama itu tidak identik dengan pendidikan budi pekerti dan pendidikan budi pekerti itu tidak identik dengan pendidikan agama. Pendidikan agama itu bersifat personal (non rasional), eksklusif, dogmatis, ritual, yang berlaku bagi penganut agama tertentu saja. Sedangkan pendidikan budi pekerti, karena terkait nilai-nilai moral bersifat universal, inklusif, komunitas, dan lebih mengacu pada praksis hidup bersama secara adil, damai, dan bermoral yang sudut pandangnya bisa diterima semua orang tanpa diskriminasi. Tentu saja, nilai-nilai universal dalam pendidikan budi pekerti ini dapat diperkuat melalui sudut pandang masing masing agama. Agama pun juga memiliki dimensi moral yang bisa menjadi isi proses pembelajaran. Pemisahan kedua nama mata pelajaran ini akan mengasilkan pengalaman pembelajaran yang berbeda. Dalam pelajaran agama, yang dialami para siswa adalah homogenitas, sedangkan Budi Pekerti heterogenitas. Bila nomenklatur dipisahkan, pembelajaran Budi Pekerti akan memberikan pengalaman tentang bagaimana cara hidup bersama untuk memperjuangkan satu nilai yang sama. Ini kiranya lebih mendesak bagi anak-anak Indonesia, karena mereka akan harus belajar banyak tentang bagaimana menghargai perbedaan, tanpa kehilangan identitas dirinya masing-masing. Pendidikan budi pekerti itu lintas agama. Yang menjadi dasar bukanlah dogma agama, melainkan nilai-nilai moral kemanusiaan yang bisa didukung oleh semua manusia yang beragama dan berkeyakinan apapun. Keempat, desain silabus tidak dibuat dengan mengikuti alur dan proses yang benar, melainkan dibuat justru disesuaikan dengan isi buku yang sudah jadi. Permendikbud tentang silabus juga tidak tuntas memetakan kompetensi keilmuan yang mesti dipelajari siswa selama menjalani proses pembelajaran karena silabus yang dibahas baru silabus untuk kelas 1, 2, 4, 5, tanpa kelas 3 dan 6. Kelima, silabus SD dibuat tanpa pemetaan kompetensi dasar antar mata pelajaran dan antar tema pembelajaran. Format silabus dalam Permendikbud No. 57/2014 tidak menyertakan pemetaan kompetensi dasar. Tidak adanya pemetaan kompetensi dasar ini akan membuat para penulis buku dan guru tidak memiliki panduan dalam mendesain posisi 60


dan mengetahui di mana letak kompetensi dasar dalam keseluruhan proses pembelajaran. Dari hasil rekapitulasi disimpulkan bahwa proses pembelajaran siswa terhadap materi dalam Kompetensi Dasar tidak akan tuntas, karena materi tidak dibahas secara utuh, bahkan ada yang tidak dibahas sama sekali. Keenam, kekeliruan konsep akuisisi ilmu. Dalam Kurikulum 2013, proses akuisisi ilmu dari tingkat rendah (hafalan) ke tingkat tinggi (analisis) diperbandingkan dengan proses pertumbuhan siswa. Artinya, untuk anak SD, fokus utamanya adalah untuk pengetahuan tingkat rendah, berupa hafalan dan mempelajari fakta-fakta saja, sementara untuk anak-anak SMA sudah mulai proses pembelajaran dengan analisis berpikir tingkat tinggi. Ini merupakan kekeliruan pendekatan pedagogis dalam berpengetahuan. Ketujuh, pendekatan tematik integratif. Hal fatal lain yang terjadi dalam Kurikulum 2013 adalah berubahnya pendekatan tematik integratif sebagi sebuah metode menjadi materi pelajaran. Tematik lantas menjadi mata pelajaran. Selain itu, sifat terpusat dari materi buku ajar bertentangan dengan pendekatan tematik itu sendiri. Pendekatan tematik selalu bersifat kontekstual, lokal, bukan ditentukan terpusat dan sentralistis. Akibat kekeliruan ini, terjadi banyak kebingungan dan kekacauan dalam proses belajar-mengajar yang akan merugikan siswa.

Menghapus UN sebagai syarat kelulusan tanpa disertai integrasi dengan kebijakan lain seperti SNPMPTN jalur undangan, justru bisa tetap mewariskan proses manipulasi nilai.

Akibatnya, siswa SD tidak memiliki kekokohan pemahaman tentang disiplin ilmu. Kerapuhan dalam membangun dasar ilmu yang kokoh terjadi karena metode menjadi materi, dan tiadanya pemetaan kompetensi sehingga ada tumpang tindih dan materi yang terlewat sama sekali. Kedelapan, sistem penilaian superfisial dan tidak realistis yang dipaksakan untuk dinilai dalam tiap tatap muka, terutama pada penilaian sikap spiritual dan sosial, tidak sesuai realitas pembelajaran dan proses perkembangan individu yang berkembang dalam proses. Kesembilan, efektivitas pelatihan guru. Kurikulum 2013 telah gagal melatih guru karena konsep Kurikulum yang tidak jelas, sosialisasi terbatas, dan lebih mengandalkan model pelatihan dengan power point, sementara itu di sana sini banyak kita temukan adanya ketidakpahaman baik instruktur nasional, guru, inti, dan guru sasaran. Kesepuluh, rendahnya kualitas buku pelajaran. Rendahnya kualitas buku pelajaran sudah dapat diduga sebab buku dibuat tidak dengan panduan silabus yang sudah matang. Ketiadaan pemetaan kompetensi dasar yang memetakan materi satu dengan materi yang lain dalam satu disiplin ilmu telah membuat kualitas buku ajar kita tidak mampu membawa peserta 61


didik pada proses belajar setahap demi setahap berdasarkan urutan logis perkembangan ilmu pengetahuan.

Kebijakan Ujian Nasional Menteri Anies Baswedan telah menghilangkan fungsi Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan. Kelulusan siswa ditentukan oleh sekolah. Langkah ini patut diapresiasi. Namun, sekedar menghapus UN sebagai syarat kelulusan, tanpa disertai integrasi dengan kebijakan lain, seperti SNPMPTN jalur undangan, justru bisa tetap mewariskan proses manipulasi nilai. Proses UN yang dipakai untuk menilai hal lain, seperti pemetaan kualitas sekolah dan kriteria untuk naik ke jenjang pendidikan tetap tidak valid dari sisi psikometrik. Bahkan, UN sebagai penentu kemampuan siswa pun juga bermasalah. Karena ia hanya mampu memotret hal terbatas sesuai dengan materi ujian, namun tidak dapat digeneralisir untuk merepresentasikan kemampuan siswa.

Rekomendasi Kebijakan Pertama, pemerintah perlu mengkaji ulang beberapa persoalan konseptual fundamental Kurikulum 2013, terutama merevisi konsep Kompetensi Inti (spiritual, sikap, pengetahuan dan keterampilan) dan Kompetensi Dasar yang menjadi kerangka acuan pengembangan kualitas pendidikan nasional. Definisi Kompetensi Inti hendaknya mengintegrasikan seluruh domain berpengetahuan tanpa membagi dalam 4 domain yang terpisah dan didefinisikan secara utuh dan komprehensif dalam sebuah pernyataan tentang tujuan tercapainya Kompetensi Inti di setiap jenjang pendidikan secara spesifik. Deskripsi Kompetensi Inti hendaknya mengintegrasikan seluruh domain berpengetahuan dengan mengorientasikan KI pada nilai-nilai Pancasila yang dinyatakan di setiap jenjang pendidikan. Pemerintah pusat menentukan Kompetensi Dasar. Desain silabus diserahkan pada Pemerintah Daerah, RPP didesain oleh guru di satuan pendidikan. Pemerintah daerah mengembangkan buku ajar berdasarkan KD dan Silabus yang dibuat sehingga semangat keragaman dan kebhinekaan tetap terjaga. Kedua, mengembalikan nomenklatur pendidikan agama secara mandiri, tidak digabungkan dengan pendidikan budi pekerti. Dua subjek ini memiliki karakteristik yang berbeda. Isi pelajaran agama hendaknya berisi ajaran moral universal yang berasal dari agama dan keyakinan tertentu, sehingga mendidik anak-anak Indonesia menjadi berakhlak mulia. Konten pendidikan agama difokuskan untuk proses pengembangan nilai-nilai moral universal yang berasal dari ajaran agama yang inklusif, sehingga pendidikan agama membantu meningkatkan kesadaran akan keragaman bangsa Indonesia. Pendidikan Budi Pekerti yang bersifat lintas agama/ iman/keyakinan penting untuk dikembangkan di sekolah dalam rangka memperkaya pengalaman keragaman siswa. 62


Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi. Siswa SDN 1 Ciluluk, Sumedang Jawa Barat sedang serius mendengarkan gurunya di kelas. Salah satu permasalahan dalam kurikulum pendidikan adalah anak SD difokuskan untuk pengetahuan tingkat rendah, berupa hafalan dan mempelajari faktafakta. Ini adalah kekeliruan pendekatan pedagogis.

Ketiga, menyelaraskan perubahan kebijakan evaluasi pendidikan mulai dari evaluasi pendidikan di tingkat Sekolah, Ujian Nasional dan proses seleksi masuk ke PT agar saling mendukung satu sama lain. Sistem penerimaan mahasiswa jalur undangan saat ini dirasakan tidak selaras dengan kebijakan UN yang ingin menciptakan suasana belajar dan evaluasi penilaian yang jujur. Kebijakan kuota sebesar 50 persen mahasiswa jalur undangan perlu direvisi karena tidak selaras dengan kebijakan UN yang ingin menciptakan proses penilaian secara jujur. Pemerintah mendesain kebijakan evaluasi pendidikan secara komprehensif (Ujian Nasional-SNMPT) yang melibatkan PTS. Mengevaluasi SNMPTN jalur undangan dengan kuota 50 persen, mengganti dengan kuota 5 persen. Memberikan kesempatan yang adil bagi siswa Indonesia untuk mengikuti tes masuk jalur tertulis dengan kuota lebih besar (70-80 persen). Ujian SNMPT melibatkan PTS berkualitas. Evaluasi dan penilaian pendidikan, 63


baik di tingkat unit sekolah, maupun nasional, hendaknya dijadikan proses pembelajaran itu sendiri, sehingga bersifat formatif, mengutamakan assessment as learning dan assessment for learning, daripada sekedar assessment of learning. Keempat, pemerintah mengembalikan pembelajaran TIK dalam pembelajaran di sekolah sebagai bagian dari pengembangan kemampuan literasi media anak-anak Indonesia di tentang tantangan global. Kelima, Pasca kebijakan UN, Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab meningkatkan pengembangan kapasitas pendidik dan tenaga kependidikan dan sekolah dalam rangka integritas penilaian pendidikan secara jujur. Pemerintah menghapuskan UN untuk siswa SD dan SMP. Untuk memonitor kualitas pendidikan nasional dibuat evaluasi pemetaan pendidikan bagi siswa kelas 4 dan 7 yang dilakukan dengan rentang waktu 2/3 tahun sekali. Istilah UN perlu dikaji ulang. Keenam, pemerintah pusat menentukan Kompetensi Inti dan Dasar, sedangkan silabus dan RPP diserahkan pada unit sekolah. Pemerintah membantu pemberdayaan pemerintah daerah agar mampu secara mandiri mendesain Silabus sesuai dengan kekhasan daerah mereka. Ketujuh, penilaian hasil belajar SD memasukkan penjelasan kualitatif-deskriptif dan kuantitatifangka. Pendekatan pembelajaran tematik integratif, namun penilaiannya tetap berbasis mata pelajaran. Pemetaan kompetensi dasar dalam tiap mata pelajaran perlu dibuat dengan lebih komprehensif. Kedelapan, pemerintah mengkaji ulang payung hukum yang menjadi dasar pelaksanaan Kurikulum 2013 dan mengadakan sinkroninasi kebijakan Kurikulum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 64


Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi. Contoh rencana mengajar yang disusun oleh guru pada salah satu tahapan sertifikasi guru. Beberapa persoalan fundamental kurikulum perlu dikaji dan konsep kompetensi inti serta kompetensi dasar perlu direvisi karena digunakan sebagai kerangka acuan pengembangan kualitas pendidikan nasional dan mempengaruhi kegiatan belajar mengajar di kelas.

65


Proses pelaksanaan sertifikasi guru yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Jakarta di Sawangan, Depok pada Oktober 2014. Program sertifikasi guru yang dilaksanakan mulai tahun 2007 telah berhasil menyertifikasi 49% dari lebih dari tiga juta guru. Proses sertifikasi belum berhasil meningkatkan kompetensi guru secara signifikan. Kebijakan Sertifikasi guru harus diarahkan agar anggaran yang besar untuk sertifikasi guru berdampak bagi peningkatan kompetensi guru dan kualitas pendidikan di Indonesia. Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi.

66


5

Sertifikasi Guru dan Pengembangan Mutu Guru

Klaster

Muhammad Iksan

67


Program sertifikasi guru berdasarkan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang dilaksanakan mulai tahun 2007 telah berhasil menyertifikasi 49% dari lebih dari tiga juta guru. Data guru yang telah diangkat serta lulus sertifikasi mencapai 1,465,775. Guru yang belum disertifikasi mencapai 1,549,540. Namun, sangat disayangkan, dana sertifikasi tersebut belum memberi manfaat yang signifikan terhadap peningkatan kompetensi guru. Kebijakan Sertifikasi guru mesti diarahkan agar anggaran yang besar untuk sertifikasi guru memiliki dampak bagi peningkatan kompetensi guru. Penelitian yang dilakukan oleh Paramadina Public Policy Institute (PPPI) di dua kota (Jakarta dan Labuan Bajo) menunjukkan bahwa kompetensi pedagogik maupun profesional guru masih rendah dibandingkan dengan kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian. Pemilihan dua kota sebagai contoh kasus yang saling bertolak belakang, dimana Jakarta adalah daerah perkotaan dan berada di jantung Ibukota Negara, sedangkan Labuan Bajo adalah daerah perkotaan namun berada di salah satu Ibukota Kabupaten berada di daerah yang relatif jauh dari pusat pemerintahan. Hasil penelitian selama empat bulan itu mengonfirmasi hasil Uji Kompetensi Guru tahun 2013 di mana rerata kompetensi pedagogik di bawah kompetensi profesional, sosial, dan kepribadian. Beberapa persoalan terkait sertifikasi guru kami paparkan, dan pada akhir tulisan akan kami berikan rekomendasi bagi pemerintah dalam rangka mengefektifkan program sertifikasi dan peningkatan kompetensi guru. Pemerintah telah memulai reformasi Guru di Indonesia sejak UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. UU Guru dan Dosen bertujuan memperbaiki kualitas sistem pendidikan Indonesia dan mengatasi kelemahan mendasar guru-guru Indonesia, yaitu lemahnya kompetensi, lemahnya motivasi, serta rendahnya gaji guru. Sejak tahun 2007, World Bank (2012) mencatat tidak kurang dari satu juta guru telah tersertifikasi. Dari satu juta guru tersertifikasi tersebut, sepertiga dari total guru menyelesaikan portofolio masa sebelumnya dan pelatihan. Sedangkan dua pertiga yang lain tersertifikasi setelah melalui pelatihan 90 jam Pelatihan Lapangan Pendidikan Guru (PLPG).Target tertinggi dari program sertifikasi guru adalah semua guru telah tersertifikasi pada tahun 2015. Target ini 68


akan tercapai bila ada partisipasi aktif para guru untuk mendaftar dan menyelesaikan tingkat Sarjana. Catatan terpenting dari kebijakan berskala nasional adalah distribusi jumlah kuota peserta sertifikasi di Provinsi, Kabupaten/Kota dan sekolah sangat bervariasi. Demikian halnya dengan kesiapan guru dalam mengikuti penilaian portofolio juga beragam (Mardapi dkk, 2008:2). Dari aspek keuangan publik, program sertifikasi guru juga membawa dampak yang tidak kecil. Perhitungan sederhana bila semua guru berjumlah kurang lebih 3 juta jiwa semuanya tersertifikasi akan menambah 5-7 Triliun rupiah setiap tahun guna memenuhi tunjangan profesi guru dari Pemerintah (World Bank, 2012). Dengan demikian, program Sertifikasi Guru ini membawa implikasi yang sangat mendasar bagi perkembangan kualitas pendidikan (peningkatan kualitas guru), maupun implikasi fiskal (besaran tanggungan anggaran) yang cukup besar. Setelah lebih dari 5 tahun terhitung dari tahun 2007 – UU Guru dan Dosen disahkan pada tahun 2005 - program Sertifikasi Guru terlaksana, ada tiga pertanyaan penting yang mengemuka. Pertama, bagaimana penilaian umum terhadap program sertifikasi guru? Kedua, bagaimana kompetensi guru setelah program sertifikasi guru dilaksanakan? Ketiga, bagaimana dampak program sertifikasi guru terhadap kompetensi Guru?

Mengapa guru perlu disertifikasi? Pendidikan di Indonesia memiliki persoalan terkait dengan tata kelola guru. Ada beberapa permasalahan mendasar guru: belum adanya penilaian kinerja berbasis bukti, sistem renumerasi guru yang berbeda dari PNS lain, dan kualifikasi guru yang belum memenuhi syarat UU Sisdiknas. Pemerintah melalui serangkaian peraturan perundangan-undangan telah mewacanakan visi guru adalah pendidik profesional. Prasyarat sebagai pendidik profesional di antaranya adalah bahwa guru memiliki kualifikasi pendidik minimal S1/D4 yang relevan dan memiliki kompetensi sebagai agen pembelajar. Masalahnya adalah belum semua pendidik memenuhi kualifikasi tersebut. Puslitjak (2014) menyebutkan jumlah guru yang belum memenuhi kualifikasi pendidik masih cukup besar. Laporan itu menyebutkan guru yang telah berkualifikasi S1/D4 berturut-turut: 5,318 guru TK (3,88% dari total guru TK), 104,636 guru SD (8,80%), 310,173 guru SMP (69,72%), 315,312 guru SMA (6,72%), dan 3,886 guru SMK (46,80%).Angka tersebut berbicara banyak tentang permasalahan mendasar yaitu banyak guru memiliki kualifikasi pendidikan yang rendah. Peningkatan kualitas guru melalui pemberian kesempatan memperoleh pendidikan setara D4 dan S1 adalah salah satu misi dari program sertifikasi guru. 69


Tata kelola guru juga memiliki masalah terkait sistem remunerasi. Sistem remunerasi guru di Indonesia belum berbasis kinerja. Ini berbeda dengan remunerasi aparatur sipil negara. Untuk dapat mencapai sistem penilaian kinerja guru yang didesain berbasis bukti (evidence-based appraisal), diperlukan data pendukung yang akurat tentang kebutuhan dan status kinerja guru. Kita sudah memiliki data guru nasional. Sayangnya, data tersebut belum sinkron dan padu digunakan oleh semua instansi. Data guru yang berasal dari Pemerintah (Kementerian) berbeda dari data guru milik Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Tujuan adanya inisiatif untuk melakukan penilaian kinerja guru bukan dimaksudkan untuk menyulitkan guru, namun agar visi guru profesional dapat tercapai. Melalui proses penilaian kinerja guru diharapkan kekuatan maupun kelemahan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas dapat diidentifikasi sehingga dapat membantu para guru sendiri untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya sesuai kompetensi yang diperlukan dalam melaksanakan tugas dan fungsi seorang guru. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah berupaya memperoleh data empiris tentang kualitas guru Indonesia dengan mengadakan penilaian Uji Kompetensi Guru (UKG). Nilai rata-rata UKG tahun 2012 yang dilakukan terhadap 460.000 guru adalah 44,5 dari standar nilai yang diharapkan, yaitu 70. Bila ditelisik lebih dalam, hasil UKG untuk guru SD lebih rendah, yaitu 42,06. Grafik 1 Hasil UKG Sekolah Dasar

Maks Min Rata Stdev N

UKG: SD 86.25 1.00 42.06 9.65 436,608

Sumber: Presentasi Dr Sabar Raharjo pada Seminar 16 Desember 2014

Perbandingan skor empat kompetensi guru berdasarkan jenjang pada tahun 2013 dapat dilihat di dalam Grafik 2. Kompetensi yang menjadi mandat UU yang diperbandingkan adalah kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. 70


Grafik 2 Perbandingan Skor Kompetensi Guru Menurut Jenjang

Dari grafik terlihat bahwa kompetensi paling rendah berturut-turut kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Di semua level pendidikan kondisi empiris tentang kompetensi guru kurang lebih sama, yaitu rendahnya kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Skor kompetensi ini dihasilkan melalui serangkaian tes tertulis. Apakah instrumen tes tertulis seperti ini “valid� dan “handal� mengukur soal kepribadian dan kompetensi sosial guru? Dua contoh kasus sertifikasi guru bertujuan memberikan komparasi antara wilayah di Pusat Pemerintahan dan di wilayah jauh dari pusat, juga faktor demografis seperti agama mayoritas penduduk. Pemilihan SD berdasarkan pertimbangan pendidikan dasar masih menghadapi masalah yang elementer dibanding jenjang pendidikan lainnya. Selain dari pertimbangan pendidikan SD adalah landasan bagi jenjang pendidikan selanjutnya. Dua contoh kasus ini tentu saja tidak menggambarkan seluruh masalah terkait implementasi kebijakan sertifikasi guru. Namun melalui penelitian kualitatif dan kuantitatif, riset ini memberikan informasi penting bagi penyempurnaan reformasi pendidikan guru di Indonesia. Beberapa temuan menarik dari riset ini di antaranya sebagai berikut: pertama, para guru masih menganggap bahwa sertifikasi itu adalah hak para guru. Tunjangan sertifikasi banyak dipergunakan untuk menunjang pekerjaan, seperti membeli laptop dan sepeda motor untuk membantu mobilitas mereka. Selain untuk membeli laptop dan sepeda motor, tunjangan sertifikasi juga dipergunakan untuk biaya menyekolahkan anak. Persepsi dasar sertifikasi sebagai hak guru yang selama belum mereka terima. Sebagai sebuah hak, mereka seolah mengambil atau memperoleh apa yang selama ini belum mereka terima. Program sertifikasi dipersepsi sebagai hak. Persepsi sertifikasi sebagai hak membuat tujuan peningkatan kualitas guru jauh dari harapan, sebab guru sendiri mempersepsi tunjangan sertifikasi sebagai hak bagi kesejahteraan an sich, bukan sebagai tanggung jawab moral mengembangkan kualitas dan kompetensi sesuai amanat peraturan yang berlaku. 71


Š Feri Latief /USAID/ Program Representasi. Seorang guru sedang mengajar di dalam kelas. Penelitian yang dilakukan oleh Paramadina Public Policy Institute (PPPI) menemukan bahwa ada perbedaan cara mengajar dari guru yang sudah meraih S1, meskipun perbedaan ini tidak begitu signifikan dibandingkan dengan mereka yang belum memperoleh S1. Guru memiliki ‘gaya’ mengajar yang lebih baik.

Untuk itu, ke depan Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait perlu menjelaskan pemahaman yang benar antara sertifikasi dalam rangka peningkatan mutu guru dengan upaya peningkatan kesejahteraan guru. Keduanya merupakan hal yang penting, sehingga pemerintah wajib mengalokasikan dana yang cukup untuk melakukan keduanya, sehingga kebutuhan dasar guru harus terpenuhi. Kedua, syarat pemerolehan program sertifikasi adalah guru yang telah memperolah gelar sarjana. Persyaratan ini mendorong para guru yang belu memenuhi kualifikasi S1 untuk segera mengambil studi lanjut untuk memperoleh gelar S1. Para guru yang menjadi responden umumnya memilih dua alternatif cara, yaitu melalui Universtas Terbuka atau mengikuti kuliah di STKIP Ruteng yang membuka kuliah SabtuMinggu di Labuan Bajo. Semenjak persyaratan portofolio dihapus, guru wajib mengikuti PLPG. Sayangnya, meskipun akomodasi dan penginapan dijamin pemerintah, faktanya para guru harus mengeluarkan uang sendiri karena jauhnya letak PLPG sehingga mereka harus membayar biaya tiket pesawat ke lokasi sampai 5 juta rupiah. Ini akan mempersulit guru, lebih lagi bila pengumuman keikutsertaan PLPG hanya beberapa hari menjelang dimulainya program. 72


Ketiga, riset juga menemukan bahwa ada perbedaan cara mengajar dari guru yang sudah meraih S1, meskipun perbedaan ini tidak begitu signifikan dibandingkan dengan mereka yang belum memperoleh S-1. Guru memiliki ‘gaya’ mengajar yang lebih baik. Keempat, dana tunjangan profesi guru yang jumlahnya mencapai triliunan Rupiah juga membuka peluang untuk disalahgunakan. Harian Kompas (09/03/2013) misalnya memberitakan tunjangan profesi guru yang mencapai Rp 10 triliun yang telah ditransfer ke daerah pada tahun 2012 namun belum disalurkan dapat berpotensi penyalahgunaan anggaran. Kelambanan ini berakibat bagi ratusan ribu guru bersertifikat yang berhak atas tunjangan tersebut tidak menerima tunjangan profesi guru secara utuh.

Persepsi Kompetensi Guru Menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugasnya secara profesional. Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan kompetensi profesional (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012). Ada 4 jenis kompetensi guru berdasarkan UU di aras yaitu (1) kompetensi pedagogik; (2) kompetensi kepribadian; (3) kompetensi sosial; dan (4) kompetensi profesional. Riset menemukan bagaimana kompetensi guru dinilai dari persepsi siswa. Kompetensi yang diukur adalah berdasarkan penilaian siswa terhadap guru yang menjadi wali kelas mereka. Tidak ada pembedaan untuk mendeteksi apakah siswa yang menjadi reponden menilai wali kelasnya yang sudah disertifikasi atau guru lain yang mengajar di kelasnya.

Kompetensi

Pedagogik

5,3

Kepribadian

5,6

Sosial

5,6

Profesional

5,4

Rata-rata Kompetensi

5,5

Dari pengolahan instrumen riset ditemukan hasil penilaian siswa terhadap kompetensi guru menunjukkan bahwa ada perbedaan besar antara siswa di Jakarta dengan siswa di Labuan Bajo. Siswa di Jakarta cenderung mempersepsi guru mereka memiliki kompetensi pedagogi yang baik, sedangkan siswa di Labuan Bajo justru sebaliknya. Dari segi kompetensi kepribadian, siswa di Jakara menilai kompetensi kepribadian guru mereka cukup tinggi. 73


Siswa kelas 6 di Jakarta menilai kompetensi kepribadian guru cukup tinggi, sedangkan siswa kelas 5 di Jakarta menilainya lebih rendah. Siswa kelas 6 di Labuan Bajo menilai kompetensi kepribadian ini lebih rendah daripada adik kelasnya, siswa kelas 5. Siswa laki-laki di Jakarta menilai kompetensi kepribadian gurunya lebih baik daripada rekan perempuan. Sebaliknya siswa perempuan di Labuan Bajo menilai kompetensi kepribadian guru dengan skor yang lebih baik daripada siswa laki-laki. Siswa kelas 6 di Jakarta lagi-lagi menilai kompetensi sosial gurunya lebih tinggi daripada siswa kelas 5. Sebaliknya, siswa kelas 5 di Labuan Bajo menilai kompetensi sosial yang ada pada gurunya lebih tinggi dibandingkan dengan kakak kelasnya, siswa kelas 6. Siswa laki-laki di Jakarta menilai kompetensi sosial gurunya lebih tinggi daripada rekan siswa perempuan, sedangkan siswa perempuan di Labuan Bajo justru menilai kompetensi sosial gurunya lebih tinggi daripada siswa laki-laki. Fenomena yang sama juga terjadi dalam hal kompetensi profesional. Siswa kelas 6 dan laki-laki di Jakarta menilai lebih tinggi daripada siswa kelas 5 dan perempuan. Hal ini berbeda dengan siswa di Labuan Bajo yang justru seimbang: siswa laki-laki dan perempuan sama-sama menilai kompetensi profesional gurunya relatif rendah. Studi yang dilaksanakan Pusat Penelitian Kebijakan pada tahun 2010 di 8 LPTK yang menyelenggarakan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) dan melakukan wawancara dan tes 88 guru SD di 20 Kabupaten/Kota yang telah mengikuti dan lulus PLPG menemukan hal berikut. Kompetensi profesional guru SD memiliki nilai maksimal 56,7, nilai terendah 16,7 dan rata-rata nilai adalah 37,8. Jumlah guru yang kurang kompeten – dengan nilai kompetensi profesional mencapai skor 41-70- mencapai 44%, sedangkan guru yang sangat tidak kompeten – nilai kompetensi profesional hanya mencapai skor 0-40- sebanyak 56%. Tidak ada guru yang nilainya berada pada range 71-80 dan 81-100, dimana termasuk kategori kompetensi memadai dan kompetensi sangat memadai. Temuan lain tentang hasil tes kompetensi pedagogik guru SD menunjukkan nilai tertinggi 60, nilai terendah 10, dan rata-rata nilai adalah 25,9. Tidak ada guru dengan kompetensi memadai dan sangat memadai. Kompetensi memadai ialah guru dengan kompetensi pedagogik 71-80, sedangkan kompetensi sangat memadai adalah guru dengan kompetensi pedagogik 81-100. Jumlah guru yang kurang kompeten – nilai kompetensi pedagogik mencapai skor 41-70- mencapai 10%. Adapun guru yang sangat tidak kompetensi mencapai 90%. Peneliti puslitjak menjelaskan bahwa guru SD tidak optimal dalam memanfaatkan hasil pelatihan PLPG untuk pengembangan kompetensi pedagogik. 74


Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi. Beberapa permasalahan mendasar terkait guru adalah belum adanya penilaian kinerja berbasis bukti, sistem renumerasi guru yang berbeda, dan kualifikasi guru yang belum memenuhi syarat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

Studi lain dilakukan Pusat Penilaian Pendidik (Puspendik) pada tahun 2008 dengan populasi penelitian guru SMP di 70 Kabupaten/Kota yang mengikuti program BERMUTU. Program BERMUTU dirancang guna mendukung upaya peningkatan kualitas dan kinerja guru melalui peningkatan penguasaan materi pembelajaran dan keterampilan mengajar di kelas. Guru yang sudah disertifikasi di 70 Kabupaten/Kota sebanyak 1797 orang. Guru yang menjadi sampel studi sebanyak 600 orang. Hasil studi puspendik menyangkut kompetensi guru dapat disampaikan sebagai berikut (Puslitjak, 2014:78-79): 1. Kompetensi profesional: hasil studi menunjukkan rata-rata kompetensi profesional guru adalah 51,285. Rata-rata tersebut berada hanya sedikit di atas rata-rata ideal skor T. Rata-rata kompetensi profesional dari guru yang belum disertifikasi ternyata sedikit lebih tinggi dibanding dengan rata-rata yang dmiliki oleh guru yang sudah disertifikasi, yaitu 51,889 dibanding dengan 50,689. 2. Kompetensi pedagogik: hasil studi menunjukkan rata-rata kompetensi pedagogik guru adalah 59,657. Rata-rata tersebut berada hanya sedikit di atas rata-rata ideal skor T. Rata-rata kompetensi pedagogik dari guru yang belum disertifikasi ternyata hanya sedikit lebih tinggi dibanding dengan rata-rata dari guru yang sudah disertifikasi, yaitu 59,745 dibanding dengan 59,570. 75


3. Kompetensi sosial: hasil studi menunjukkan rata-rata kompetensi sosial guru adalah 57,141. Rata-rata tersebut berada di atas ratarata ideal skor T. Rata-rata kompetensi sosial dari guru yang belum disertifikasi ternyata tidak banyak berbeda dibandingkan dengan rata-rata yang dimiliki guru yang sudah bersertifikat, yaitu 57,132 dibanding dengan 57,149. 4. Kompetensi kepribadian: hasil studi menujukkan rata-rata kompetensi kepribadian guru adalah 68,521. Rata-rata tersebut berada di atas rata-rata ideal skor T. Rata-rata kompetensi kepribadian dari guru yang belum bersertifikat profesi guru adalah 68,427, sedangkan rata-rata dari guru yang sudah bersertifikat profesi guru adalah 68,571. Walaupun hasil studi puspendik tersebut dilakukan kepada guru SMP, namun temuan studi tentang kompetensi guru relatif tidak berbeda dari hasil penelitian ini maupun penelitian lain tentang kompetensi guru. Salah satu alasan yang kerap mengemuka terkait rendahnya kompetensi guru adalah beban kerja guru yang dirasakan menyita waktu para guru. Di sisi lain beban kerja guru adalah sebagai prasyarat mendapatkan tunjangan profesi guru. Beban kerja guru, menurut PP No 74 tahun 2008 tentang Guru, pasal 52 ayat 1 mencakup kegiatan pokok diantaranya merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, dan melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai beban kerja guru. Kemudian, pasal 52 ayat 2 menyebutkan: beban kerja guru paling sedikit memenuhi 24 jam tatap muka dan paling banyak 40 jam tatap muka dalam satu minggu pada satu atau lebih satuan pendidikan, yang memiliki izin pendirian dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Berdasarkan studi Puslitjak diperoleh informasi tentang beban kerja guru SD lebih tinggi dibanding guru SMP. Secara rata-rata guru SD mengajar lebih dari 24 jam per minggu dan guru SMP rata-rata mengajar di bawah 24 jam per minggu, dan hal ini konsisten untuk guru yang telah memiliki sertifikat guru maupun yang belum (Puslitjak, 2014:89). Penjelasannya adalah karena guru SD merupakan guru kelas sehingga semua mata pelajaran akan diajar oleh guru yang bersangkutan. Sedangkan guru SMP adalah guru mata pelajaran yang mengampu mata pelajaran tertentu. Kendala pengurusan proses sertifikasi yang sangat administratif semakin sulit karana SD tidak memiliki staf Tata Usaha tersendiri. Para guru yang mengajukan berkas sertifikasi guru dan wajib mempersiapkannya sendiri. Hal ini menyita waktu dan mengurangi waktu mengajar mereka di masamasa awal pengurusan administratif sertifikasi guru. 76


Pemerintah diharapkan dapat merancang sistem pelatihan profesi guru maupun sistem ujian profesi guru yang terstandar secara nasional bagi promosi jabatan guru dari satu tingkat ke tingkat profesi diatasnya.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Kerja Anies R Baswedan memaparkan gawat darurat pendidikan di Indonesia. Hasil uji kompetensi guru (UKG) tahun 2012 terhadap 460.000 guru hanya mencapai 44,5 dari standar nilai yang diharapkan 70. Ia juga memaparkan kondisi sekolah yang tidak memenuhi standar minimal, pemetaan mutu pendidikan tinggi, peringkat Indonesia pada TIMSS bidang literasi sains, minat baca yang rendah, dan kekerasan fisik dan seksual di sekolah. Hasil uji kompetensi guru berdasarkan uji kompetensi guru maupun data yang diperoleh melalui narasumber FGD dan Rembuk Lintas Pelaku selama penelitian ini berlangsung menunjukkan fakta bahwa sertifikasi guru telah melahirkan fenomen jual beli ijasah. Dengan biaya Rp 25 – Rp 30 juta seorang guru bisa membeli ijazah. Modus ini dilakukan guru-guru di Manado. Para guru itu mencari jalan pintas mengejar sertifikasi. Hasil UKG SD berdasarkan provinsi juga menunjukkan data yang mengecewakan. Hanya ada 8 provinsi dengan nilai rata-rata UKG SD di atas rata-rata nasional yaitu: Yogyakarta, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bangka Belitung, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Kepulauan Riau. Hasil ke 8 provinsi yang disebutkan pun teryata juga masih di bawah standar 70. Berikut grafik nilai rata-rata UKG SD, grafik batang biru di atas rata-rata nasional 42,07 dan grafik batang oranye di bawah rata-rata nasional.

Sumber: Presentasi Dr Sabar Raharjo pada Seminar 16 Desember 2014 77


Grafik di bawah ini menjelaskan perbandingan hasil UKG untuk kompetensi pedagogik dan profesional untuk berbagai jenjang pendidikan mulai dari TK sampai SMK, termasuk pula SDLB:

Sumber: Presentasi Dr Sabar Raharjo pada Seminar 16 Desember 2014

Grafik di atas berasal dari sebaran data sebagai berikut:

JENJANG TK SD SMP SMA SMK SLB NASIONAL

Jml Peserta 109,388 290,707 81,910 37,574 38,078 4,199 561,856

Pedagogik 46.91 41.83 49.33 49.86 49.91 50.09 45.06

Rata-rata Profesional 57.58 44.47 50.60 54.03 51.66 44.92 49.05

Peda + Prof 54.38 43.68 50.22 52.77 51.09 46.47 47.84

Sumber: Presentasi Dr Sabar Raharjo pada Seminar 16 Desember 2014

Untuk mengetahui bagaimana pengaruh kompetensi guru terhadap prestasi siswa SD, salah satunya adalah melalui proksi Ujian Nasional 2012. Raharjo (2014) menemukan beberapa temuan menarik. Pertama, kontribusi Kompetensi Pedagogik, Profesional, Sosial dan Kepribadian terhadap Prestasi Siswa hanya sebesar 9,5%. Kedua存 Pengaruh Kompetensi Pedagogik, Profesional, Sosial dan Kepribadian terhadap Prestasi Siswa secara bersamasama TIDAK SIGNIFIKAN (p = 0,479). Ketiga, Secara parsial pengaruh Kompetensi Pedagogik, Profesional, Sosial dan Kepribadian terhadap Prestasi Siswa TIDAK ADA YANG SIGNIFIKAN (p > 0,05). Pemerintah tidak boleh melupakan tugasnya guna merancang dan menetapkan tingkatan profesi guru dan mengembangkan standarstandarnya. Selain itu juga, Pemerintah diharapkan dapat merancang sistem pelatihan profesi guru maupun sistem ujian profesi guru yang terstandar 78


Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi. Sesi kelas praktikum pada peer teaching dalam proses tes sertifikasi guru yang dilakukan di Sawangan, Depok. Para guru masih menganggap sertifikasi adalah hak guru. Tunjangan sertifikasi banyak dipergunakan untuk menunjang pekerjaan seperti membeli laptop dan sepeda motor untuk membantu mobilitas mereka.

secara nasional bagi promosi jabatan guru dari satu tingkat ke tingkat profesi diatasnya.

Rekomendasi Kebjiakan Berdasarkan penelitian tentang sertifikasi guru dan upaya pengembangan kualitas guru dipaparkan rekomendasi sebagai berikut: Pertama, kompetensi pedagogik dan profesional guru dianggap masih kurang oleh para siswa dan orang tua. Sedangkan kompetensi Kepribadian dan Sosial sudah dianggap baik. Karena itu, program pelatihan guru dibutuhkan dalam meningkatkan kompetensi pedagogik dan profesional guru. Pelatihan mesti diprogram secara periodik, rutin, dan mendalam. Pemberian pelatihan tidak hanya pelatihan yang sifatnya administratif, tetapi juga diintegrasikan dengan praktek di kelas. Kedua, pemerintah memperbaiki pelatihan bagi guru yang dirasakan kurang dari segi kuantitas maupun mutu dari pelatihan yang sudah ada. Beberapa alternatif solusi yang bisa dilakukan adalah: mengadakan pelatihan model One Way/ classical, mengadakan pelatihan model two-way, dan mengadakan Pelatihan model simulasi atau praktik melalui metode kasus maupun role play. Ketiga, untuk mendukung perbaikan pelatihan bagi guru dibutuhkan prasyarat utama berupa hadirnya kebijakan anggaran pemerintah pusat dan 79


Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi. Proses sertifikasi guru yang dilaksanakan Universitas Negeri Jakarta, di Sawangan, Depok. Prasyarat utama bagi keberhasilan program serupa dengan sertifikasi guru adalah perlu ada pemisahan peran antara regulator dan operator sertifikasi. Pemerintah sebagai regulator dan pemilik sekolah, seharusnya tidak boleh bertindak sebagai operator sertifikasi. Operator sertifikasi harus dilakukan oleh lembaga independen yang merupakan representasi dari Organisasi Masyarakat Sipil, lembaga profesi, dan lain-lain.

daerah terkait pelatihan. Selain faktor anggaran, pemerintah melalui guna mendukung program sertifikasi guru mendesak untuk mereformasi Lembaga Penyedia Tenaga Kependidikan (LPTK). Langka reformasi LPTK dapat diawali dengan penyederhanaan jumlah LPTK yang terlampau banyak. Meskipun seleksi masuk calon guru juga perlu direformasi secara bersama-sama melibatkan semua komponen, Pemerintah, Masyarakat Sipil, dan Lembaga Perwakilan. Keempat, dari temuan studi diketahui bahwa kurang lebih 49% sudah disertifikasi dari total guru yang kita miliki, masih ada kurang lebih sekitar 51% guru yang belum disertifikasi. Untuk memperbaiki konteks penyelenggaraan tunjangan profesi guru, maka kriteria untuk guru yang belum disertifikasi perlu mencakup beberapa hal sekaligus: lamanya masa kerja, telah mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG), mempunyai potensi bagi pengembangan profesionalitas dapat berupa prestasi akademik dan non akademik, telah berpendidikan S1 dengan PKL/Magang/Asistensi/PPG. Kelima, Pemerintah juga perlu mendesain kebijakan resertifikasi guru yang sudah disertifikasi lebih dari 5 tahun. UU tentang Guru dan Dosen hanya mengenal satu kali sertifkasi, timbul pertanyaan mengapa kami membawa isu resertifikasi guru ini? Secara sederhana, guru-guru yang telah disertifikasi seperti memasuki zona aman dalam kariernya. Secara empiris, riset Pusat Penelitian Kebijakan (2014) menemukan bukti bahwa setelah memperoleh Tunjangan Profesi Guru lebih dari 5 tahun para guru akan cenderung mengalami demotivasi. Rekomendasi ini perlu persiapan kurang lebih antara 1-2 tahun ke depan. Dengan usulan prasyarat dari kami: 5 Karya ilmiah Praktek Tindakan Kelas 80


(PTK), 1 karya per tahun, aistem pelaporan online (user name dan password), 1 Komputer dengan bandwith per sekolah, 1 tenaga ahli komputer, UKG online bekerjasama dengan Universitas Terbuka. Keenam, Pemerintah perlu membuat blue print pengembangan kompetensi guru, mulai dari kurikulum perguruan tinggi (LPTK) hingga kurikulum pelatihan selama guru mengabdi. Ini harus dikaitkan dengan sertifikasi guru. Prasyarat utama bagi keberhasilan program serupa dengan sertifikasi guru adalah perlu ada pemisahan peran antara regulator dan operator sertifikasi. Pemerintah sebagai regulator dan pemilik sekolah, seharusnya tidak boleh bertindak sebagai operator sertifikasi. Operator sertifikasi harus dilakukan oleh lembaga independen yang merupakan representasi dari Organisasi Masyarakat Sipil, lembaga profesi, dan lain-lain. Ketujuh, Pemerintah perlu mempertimbangkan secara seksama usulan sentralisasi kebijakan pendidikan yang mencakup terbatas pada dua aspek pertama, remunerasi guru sehingga dapat mencapai transparansi dan integritas, dan kedua, tentang rekrutmen guru. Sentralisasi guru di seluruh jenjang, pada hemat kami, perlu diletakkan di Provinsi, untuk mengurangi politisasi guru. Referensi: • Joppe De Ree, Samer Al-Samarrai and Susiana Iskandar (2012). Teacher Certification in Indonesia: a Doubling of Pay,or a Way to Improve Learning. Policy Brief. October 2012 • Dadang Sunendar, Yoyoh Jubaedah, Tri Indri Hardini (2010). Dampak Penyelenggaraan Sertifikasi Guru Terhadap Profesionalisme Guru (Studi Deskriptif Dampak Penyelenggaran Sertifikasi Guru Terhadap Profesionalisme Guru SMA di Jawa Barat). • Djemari Mardapi, dkk (2008). Studi Dampak Sertifikasi Guru Terhadap Prestasi Sekolah. Penelitian Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta bekerjasama dengan Pusat Penilian Pendidikan Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. • Pusat Penelitian Kebijakan (2014). Survei Evaluasi Dampak Sertifikasi Terhadap Kinerja Guru. Laporan Penelitian Balitbang Kemdikbud • Sabar Budi Raharjo (2014). Analisis Profesionalisme Guru. Presentasi pada Seminar Akhir PPPI, Selasa, 16 Desember 2014. • Tubagus Dedy Suwandi Gumelar (2014). Sertifikasi Guru dan Kualitas Pengajaran di Sekolah. Presentasi pada Rembuk Lintas Pelaku 1 PPPI, Rabu, 1 Oktober 2014. • Kompas, 09 Maret 2013. • Kompas, 11 September 2013. • Kompas, 18 Juni 2014. • UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. • PP No 74 Tahun 2008 tentang Guru. 81


Para orang tua murid sedang berkumpul mendengarkan penjelasan dari tenaga pengajar. Masyarakat terutama orang tua murid berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi.

82


6

Revitalisasi Dewan Pendidikan & Komite Sekolah Kangsure Suroto

Klaster

83


Peningkatan kualitas pendidikan nasional tidak dapat semata-mata diserahkan pada Negara. Masyarakat pun memiliki tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan nasional. Undang-Undang No. 2o/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa masyarakat memiliki peranan besar dalam pengembangan pendidikan terutama dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/madrasah (Pasal 56 ayat 1). Sayangnya, semenjak disahkan, keberadaan Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan belum efektif. Revitalisasi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah diperlukan agar partisipasi masyarakat dalam pengembangan kualitas pendidikan nasional meningkat. Peran Masyarakat Sejalan dengan arah kebijakan otonomi daerah (desentralisasi) yang ditempuh oleh pemerintah, tanggung jawab pemerintah daerah akan mengikat dan semakin luas, termasuk dalam bidang pendidikan. Partisipasi publik tidak saja berhenti pada pengelolaan pendidikan oleh Pemerintahan Kabupaten/kota, melainkan sampai pada tingkat satuan pendidikan yaitu sekolah, program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menjadi salah satu contoh partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. Manajemen Berbasis Sekolah memiliki paradigma bahwa satu-satunya jalan terdekat menuju peningkatan mutu dan relevansi pendidikan adalah demokratisasi dan akuntabilitas pengelolaan dan penyelenggaran pendidikan. UU Sisdiknas 2003 dengan tegas mendefinisikan siapa dan bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan. Pada pasal 54 dijelaskan bahwa “Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 1). “Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan� (pasal 2). Peran serta masyarakat juga diwadahi dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/madrasah. Pasal 56 UU Sisdiknas menyatakan 84


Š Josh Estey/ USAID/ Program Representasi. Para orang tua murid yang sedang menunggu anaknya selesai sekolah. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, badan mandiri yang merupakan representasi dari orang tua/wali murid dan pemangku kepentingan pendidikan yang berperan sebagai mitra strategis penyelenggara pendidikan dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan.

bahwa: (1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/madrasah. (2) Dewan Pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis. (3) Komite Sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Pembentukan Dewan Pendidikan tingkat nasional, Dewan Pendidikan tingkat provinsi, Dewan Pendidikan tingkat kabupaten/kota, Komite Sekolah, dan atau organ respresentasi pemangku kepentingan satuan pendidikan dimaksudkan sebagai wadah penyaluran peran serta masyarakat tersebut. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah merupakan badan mandiri yang merupakan representasi dari orang tua/wali murid dan pemangku kepentingan pendidikan yang berperan sebagai mitra strategis 85


Š Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK)

penyelenggara pendidikan dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan secara teknis diperjelas dalam pasal 188 ayat 2 dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 berupa: (a) penyediaan sumber daya pendidikan, (b) penyelenggaraan satuan pendidikan, (c) penggunaan hasil pendidikan, (d) pengawasan penyelenggaraan pendidikan, (e) pengawasan pengelolaan pendidikan, (f) pemberian pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada pemangku kepentingan pendidikan pada umumnya; dan/atau (g) pemberian bantuan atau fasilitas kepada satuan pendidikan dan/atau penyelenggara satuan pendidikan dalam menjalankan fungsinya. UU Sisdiknas 2003 menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan akan lebih efektif bila didukung oleh system berbagi kekuasaan (power sharing) antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sekolah, orang tua/wali murid dan masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan. Semangat desentralisasi pendidikan dipertegas kembali dalam UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sinergitas berbagai pihak sangat penting. Apapun yang dihasilkan tidak 86


dengan melalui pelibatan para pihak dalam seluruh proses pendidikan akan mengakibatkan kurangnya rasa memiliki dan tanggung jawab pada diri mereka untuk turut mengawal, merawat dan menjaga keberlangsungannya.

Kondisi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah Saat ini, hampir setiap institusi pendidikan (sekolah) sudah memiliki Komite Sekolah. Dewan Pendidikan, terutama di tingkat provinsi dan kota, sudah terbentuk hampir di semua daerah. Justru Dewan Pendidikan Nasional (DPN) yang hingga kini belum terbentuk. Partisipasi publik ini ternyata belum mampu mengubah pandangan sebagian besar masyarakat terhadap keberadaan dan kinerja Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Hasil kajian yang dilakukan YSKK dan GEMA PENA di 8 provinsi di akhir tahun 2013 sampai awal tahun 2014 ini menemukan fakta umum bahwa fungsi dan peran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah belum berjalan secara efektif. Ada kesan dari sebagian masyarakat yang menilai keberadaan Dewan Pendidikan hanya sekedar “formalitas” saja, sedangkan Komite Sekolah dinilai hanya sebagai “tukang stempel” atas berbagai kebijakan sekolah. Ada tujuh hal mendasar yang ditemukan dalam riset tersebut terkait dengan keberadaan dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, yaitu: Pertama, sebagian besar proses pembentukan dan pemilihan pengurus Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah belum demokratis, transparan dan akuntabel. Dalam pemilihan Komite Sekolah, misalnya, yang banyak terjadi adalah model penunjukan langsung oleh kepala sekolah. Atau, kalau pun melalui model pemilihan fomatur, pada akhirnya penentunya adalah kepala sekolah juga. Ketertutupan menjadi ciri pembentukan Dewan Pendidikan, mulai dari proses penjaringan calon, pemilihan hingga penetapannya. Sebagian besar pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku apalagi memenuhi prinsip demokratis, transparan dan akuntabel. Kedua, kemandirian Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah masih setengah hati. Prinsip kemandirian ini menjadi “tersandera” karena Surat Keputusan pengangkatan/penetapan Dewan Pendidikan dikeluarkan oleh Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota). Ada potensi konflik kepentingan yang memberangus kemandirian Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak akan mampu melakukan fungsi dan peran utamanya sebagai pengawas yang efektif karena harus memberikan laporan dan pengawasan kepada pihak yang mengangkatnya. Akibatnya, sebagian besar Komite Sekolah justru tunduk dan lebih banyak merepresentasikan kepentingan pemerintah dan sekolah daripada kepentingan orang tua/wali murid dan masyarakat. 87


Ketiga, pemahaman penyelenggara pendidikan dan masyarakat tentang kedudukan, peran, dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah masih rendah. Komite Sekolah masih dipandang sebagai penjelmaan dari BP3 (Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan) atau POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru) dengan peran dan fungsi yang sama saja. Keempat, kapasitas sumber daya manusia Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah masih rendah, terlebih di daerah pedesaan dan terpencil. Mereka yang menjadi anggota Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak mampu menyusun agenda kerja, ketentuan dan mekanisme organisasi. Akibat ketidakjelasan orientasi kerja ini, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah mudah dikendalikan oleh pemerintah daerah, kepala sekolah dan guru. Temuan YSKK di Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta dan Lampung menunjukkan bahwa sebagian besar program dan rencana kerja tahunan Komite Sekolah justru disusun oleh pihak sekolah. Fakta ini diperkuat dengan hasil penelitian Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah bahwa sampai 2009 hanya 50 persen Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang berfungsi dengan baik. Program peningkatan kapasitas pengurus Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sangat minim. Yang terjadi adalah hanya sosialisasi program setahun sekali. Pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sekolah sampai saat ini belum mampu memberikan alokasi anggaran yang cukup untuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Kalaupun ada anggaran, sebagian besar terserap untuk kegiatan rapat dan administrasi saja. Kelima, komposisi Komite Sekolah, mulai dari ketua dan jajaran pengurus di bawahnya terdiri dari orang-orang yang tidak relevan bagi pengembangan kualitas sekolah. Kondisi ideal keanggotaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah belum terpenuhi di berbagai daerah. Komposisi keanggotan Komite Sekolah sebagian besar diisi oleh orang tua/ wali murid yang anaknya sudah tidak aktif di sekolah yang bersangkutan dan sebagian lagi oleh guru dari sekolah yang bersangkutan. Ada ketua Dewan Pendidikan yang juga aktif bekerja di Dinas Pendidikan setempat. Situasi kepengurusan seperti ini telah menyebabkan adanya konflik kepentingan yang memandulkan kinerja mereka. Keenam, periode kepengurusan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang tidak jelas. Sampai saat ini hampir sebagian besar Komite Sekolah tidak memiliki batas/periode kepengurusan yang jelas. Kalau pun ada, masa periode kepengurusan antara sekolah satu dengan yang lainnya juga berbeda-beda. Ada yang 3 tahun, 4 tahun dan 6 tahun. Temuan YSKK di Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta dan Lampung menunjukkan hampir 65 88


Š Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK)

persen pengurus dan anggota Komite Sekolah yang telah telah menjabat lebih dari 2 periode. Ketujuh, mekanisme kerja pengurus Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak jelas. Sampai saat ini mekanisme kerja Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak tetap dan teratur bahkan cenderung tidak jelas. Sebagian besar Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah belum berhasil memaknai keberadaan mereka sebagai amanah yang diberi mandat oleh masyarakat di mana mereka harus mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat. Yang terjadi justru sebaliknya. Dewan Pendidikan mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada yang memberi anggaran dan mengeluarkan SK. Hal yang sama berlaku untuk Komite Sekolah. Berbagai temuan terkait kondisi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah menunjukkan urgensi revitalisasi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah seharusnya menjadi aktor yang sangat strategis sekaligus garda terdepan guna memastikan terpenuhinya keadilan dan kualitas pendidikan.Tidak efektifnya fungsi Dewan Pendidikan dan Komite sekolah tentu sangat mengkhawatirkan di tengah tingginya harapan masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan 89


di Indonesia. Pendidikan menjadi pusaran harapan dalam membangun peradaban bangsa yang mandiri dan berkepribadian. Penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan harus mendasarkan diri pada tata kelola yang baik demokratis, yaitu transparan, akuntabel dan partisipatif.

Rekomendasi Kebijakan Ada beberapa rekomendasi kebijakan untuk merevitalisasi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Rekomendasi ini akan berdampak pada revisi terhadap PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Revisi tersebut harus memastikan adanya pengaturan secara jelas dan tegas terhadap hal-hal mendasar dan strategis, sebagai berikut: Pertama, Surat Keputusan (SK) pengangkatan/penetapan Komite Sekolah tidak lagi dikeluarkan oleh Kepala Sekolah tetapi oleh instansi yang lebih tinggi, yaitu Dinas Pendidikan atau UPTD Pendidikan. Sedangkan SK pengangkatan/penetapan Dewan Pendidikan dikeluarkan oleh Dewan Pendidikan di tingkat atasnya (provinsi atau nasional). Ini selaras dengan mandat UU Nomor 20 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah badan mandiri yang menjadi mitra strategis sekaligus penegasan mengenai posisinya yang setara. Kedua, kepengurusan dan keanggotan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah harus berasal dari unsur yang berkepentingan dengan dunia pendidikan dan bersifat netral. Keanggotan Komite Sekolah semuanya harus berasal dari orang tua/wali murid yang anaknya masih aktif bersekolah di sekolah yang bersangkutan (minimal 50 persen), tokoh masyarakat dan pakar pendidikan. Unsur guru dari sekolah yang bersangkutan tidak diperbolehkan menjadi bagian dari kepengurusan dan keanggotaan komite sekolah. Keanggotan Dewan Pendidikan juga harus ditentukan melalui kriteria yang tidak bias dan berpotensi melahirkan adanya konflik kepentingan. Ketiga, periode kepengurusan dan keanggotaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah perlu diatur secara jelas dan tegas. Ketentuan PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang periode kepengurusan Komite Sekolah perlu diubah karena tidak sesuai dengan realitas dan kepentingan partisipasi masyarakat di jenjang SMP dan SMA. Pengaturan ini penting untuk memastikan bahwa pihak-pihak yang menjadi pengurus dan Komite Sekolah adalah orang yang berkepentingan langsung terhadap sekolah tersebut. Selain itu, pengaturan periode kepengurusan ini penting untuk mengurangi terjadinya penyalahgunaan wewenang. Hal yang sama juga berlaku bagi periode kepengurusan Dewan Pendidikan.

90


Keempat, perlu alokasi khusus untuk sumber dana operasional Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Seringkali yang menjadi alasan tidak berjalannya program kerja Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah soal anggaran. Ini terjadi karena tidak adanya sumber dana yang jelas dan tetap. Pemerintah perlu memastikan dukungan anggaran bagi Dewan Pendidikan melalui APBN dan/atau APBD serta untuk Komite Sekolah yang bisa saja anggarannya melekat dengan anggaran yang disalurkan ke sekolah tetapi peruntukannya khusus untuk Komite Sekolah. Kelima, pentingnya pengembangan dan penguatan kapasitas sumber daya manusia Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Program pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang pernah ada perlu ditata kembali dan dilakukan secara tersistematis dan meluas. Ini penting untuk memastikan keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah benar-benar dapat berfungsi karena didukung oleh sumber daya manusia yang mampu menjalankannya. Keenam, memperkuat fungsi dan peran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Penguatan fungsi ini dapat dilakukan melalui beberapa keterlibatan, seperti: a) Dewan Pendidikan dan Komite sekolah perlu dilibatkan dalam penentuan kepala sekolah serta penataan dan pendistribusian guru yang akan bertugas di sekolah yang bersangkutan. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah salah satu pihak yang paling mengerti terkait kebutuhan Kepala Sekolah dan guru di sekolahnya. Selain itu, partisipasi ini penting untuk meningkatkan posisi tawar Komite Sekolah terhadap sekolah yang selama ini cenderung tunduk kepada kepala sekolah dan guru. b) Fungsi pengawasan berbasis masyarakat (community based monitoring/CBM) yang dijalankan oleh Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah perlu diperluas dan diatur lebih jelas. Seiring dengan semakin besarnya anggaran pendidikan yang dikelola langsung oleh sekolah, dibutuhkan sistem pengawasan yang kuat. Selama ini fungsi pengawasan yang dilakukan oleh instansi di atasnya (Dinas Pendidikan, BPK/P, inspektorat) relatif sangat terbatas dan lebih bersifat administratif. Oleh karena itu CBM menjadi sangat strategis karena dilakukan oleh pihak yang terlibat sekaligus merasakan manfaatnya. ***

91


Tentang Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan (KMSTP) Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan (KMSTP) merupakan kumpulan organisasi masyarakat sipil dan lembaga penelitian yang bekerja memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. KMSTP digawangi oleh empat institusi mitra USAID/ Program Representasi (ProRep) Article 33, Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Indonesia Corruption Watch, dan Yayasan Satu Karsa Karya. Jaringan dari empat mitra USAID/ ProRep tersebut, seperti PATTIRO, New Indonesia, Forum Pendidikan, Jaringan Pendidikan, Aliansi Orang Tua Murid Peduli Pendidikan, Pendidikan Karakter Education Consulting dan berbagai organisasi lainnya juga menjadi bagian dari KMSTP. Dibangun sejak pertengahan tahun 2014, KMSTP memiliki kesamaan tujuan dan berkolaborasi untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Pada Februari 2015, KMSTP menyelenggarakan Simposium Nasional Pendidikan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam simposium tersebut lebih dari 100 perwakilan masyarakat sipil, aktor dan pemerhati pendidikan, Direktorat Jenderal Kemendikbud berdiskusi mengenai 6 klaster masalah utama pendidikan. Menteri Pendidikan, Anies Baswedan juga hadir membuka dan mendengarkan rekomendasi yang dihasilkan. KMSTP telah menorehkan makna penting dan sejarah dengan terbangunnya kolaborasi antara masyarakat sipil dengan pemerintah untuk melakukan kerja-kerja strategis demi perbaikan pendidikan.

92


Š Wiwik Widyastuti/ USAID/ Program Representasi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan pada acara pertemuan konsolidasi 23 Februari 2015 di Jakarta. Pertemuan konsolidasi ini diadakan sebagai bagian dari persiapan Simposium Pendidikan Nasional.

93


Jimmy Ph. Paät Jimmy Ph. Paät mengajar sejak tahun 1982 hingga sekarang di Jurusan Pendidikan Bahasa Perancis, Universitas Negeri Jakarta. Pernah mengajar Pengantar Sosiologi di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Katolik Atmajaya dari tahun 2000 – 2004; mengajar Semiotik di FFTV, IKJ dari tahun 2005 – 2008, dan mengajar Bahasa Perancis di beberapa SMA sejak tahun 1980 – 1982 di Jakarta, dan mengajar Bahasa Indonesia di Sekolah Luar Biasa pada pertengahan tahun ‘80-an. Ia belajar Didaktik Bahasa Perancis sebagai Bahasa Asing di Universitas Grenoble III (Universitas Stendhale) pada tahun 1982 – 1983; belajar Linguistik Umum dan Psikolinguistik handikap mental di Jurusan Linguistik, Universitas Paris V (Sorbonne) pada tahun 1986 – 1988; belajar pedagogik dan sosiologi pendidikan di universitas Paris VIII pada tahun 1996 – 2000. Jimmy beperhatian pada Pedagogik Kritis, Sosiologi Pendidikan, Linguistik Aplikasi Kritis. Selain mengajar di universitas, ia juga aktif di beberapa LSM: Koalisi Pendidikan dan Sekolah Tanpa Batas. Jimmy dapat dihubungi melalui email jemiphapaat@yahoo.com. Lukman Hakim Lukman Hakim adalah peneliti sekaligus Koordinator pada Divisi Pengembangan Sosial - Perkumpulan Article 33 Indonesia. Penelitian yang dilakukan Lukman fokus pada isu anggaran pendidikan, khususnya anggaran pendidikan dasar gratis. Lukman adalah Sarjana Ilmu Politik alumnus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Lukman dapat dihubungi melalui email lukman@article33.or.id atau lukman_kayla@yahoo.co.id.

94


Tentang Tim Penyusun

Febri Hendri Antoni Arif Febri Hendri adalah aktivis anti korupsi dan peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW)-organisasi pengawasan anti korupsi yang berbasis di Jakarta. Ia adalah lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB). Semasa kuliah di Bandung, Febri memulai keterlibatannya dalam aktivisme kampus dan kemudian berjuang untuk pergerakan sosial di bidang anti korupsi pada 2004 ketika bergabung di ICW. Sejak itu, Febri terlibat dalam berbagai gerakan anti korupsi, termasuk menginvestigasi kasus-kasus korupsi, mengadvokasi untuk masyarakat marjinal, advokasi kebijakan dan peningkatan kapasitas masyarakat sipil di berbagai wilayah di Indonesia. Febri secara konsisten berpartisipasi dalam pendidikan publik dan kampanye melawan korupsi melalui berbagai seminar, diskusi, pelatihan dan lokakarya, dan telah aktif terlibat dalam membangun birokrasi anti korupsi dalam Pemerintah Provinsi Jakarta. Febri dapat dihubungi melalui email febri_hendri@antikorupsi.org Doni Koesoema A. Doni Koesoema A adalah penulis, pemerhati pendidikan dan pendiri Pendidikan Karakter Education Consulting, lembaga pelatihan guru dan pengembangan sekolah yang berfokus pada pengembangan pendidikan karakter dalam konteks keindonesiaan (www.pendidikankarakter.org). Doni telah menerbitkan tiga buku tentang pendidikan karakter dan menulis puluhan artikel pendidikan yang dimuat di harian nasional seperti Kompas dan Media Indonesia. Doni adalah alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston, USA, pada fakultas Curriculum and Instruction. Pada 2009 dan 2011 Doni memperoleh penghargaan dari Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh atas produktivitas kepenulisan pendidikan di media massa. Doni dapat dihubungi melalui email: doni_di_dio@yahoo.com

95


Muhamad Iksan Muhamad Iksan (Iksan) adalah seorang dosen dan Peneliti Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Jakarta. Alumni Universitas Indonesia dan Paramadina Graduate School ini telah menulis buku dan berbagai artikel menyangkut kebijakan publik (public policy). Ia memiliki passion untuk mempromosikan gagasan kebijakan berbasis bukti, penguatan masyarakat sipil, serta tata kelola yang baik dalam meningkatkan kualitas kebijakan publik di Indonesia. Bersama kedua orang temannya, Iksan mengelola situs website: www.suarakebebasan.org. Iksan dapat dihubungi melalui email muhamad. ikhsan@policy.paramadina.ac.id, juga di akun twitter @mh_ikhsan. Kangsure Suroto Kangsure Suroto adalah seorang pegiat pemberdayaan masyarakat sejak 14 tahun yang lalu dengan keahlian utama dalam bidang kepelatihan, penelitian dan pengorganisasian masyarakat. Keterlibatannya dalam gerakan sosial dimulai sejak menjadi aktivis hingga ketua Lembaga Pengembangan Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Saat ini Kangsure adalah Direktur di Yayasan Satu Karsa Karya | www.yskk. org, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Surakarta, Jawa Tengah, yang bekerja untuk perempuan dan anak khususnya untuk isu pendidikan, ekonomi kerakyatan dan partisipasi perempuan. Kangsure dapat dihubungi melalui email kangsure@yskk.org Abdul Waidl Abdul Waidl, adalah Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Waidl memiliki kualifikasi sebagai narasumber level nasional dan lokal di bidang pendidikan dan isu anggaran, serta berpengalaman dalam menjalin hubungan dengan pemerintah, parlemen, dan masyarakat sipil.Waidl juga memiliki pengalaman menulis buku terkait isu anggaran dan pendidikan, salah satunya adalah publikasi berjudul APBN Konstitusional yang dipublikasikan oleh Sekretariat Nasional Fitra pada 2015. Penulis bisa dihubungi melalui waidl2020@yahoo.com

96


97


98


99


www.representasiefektif.org

100


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.