Rifka media No.49 "Buruk Layanan Publik Rok Mini Dibelah"

Page 1

Rekam Jejak Rifka Media: Dari Sosialisasi ke Pengembangan Pengetahuan

Rifka Media No. 49 Februari-April 2012

Rifkamedia Perjuangan Perempuan Berkeadilan

BURUK LAYANAN PUBLIK ROK MINI DIBELAH Diskursus Perempuan dalam Pusaran Transportasi Publik

ISSN 2301-9972

9 772301 997006



Rifkamedia

Daftar Isi

No. 49 Februari-April 2012

Daftar Isi | 03 Surat Pembaca | 04

JENDELA Pelecehan Dalam Transportasi, Negara Berdiam Diri Any Sundari | 07

LAPORAN UTAMA Perempuan, Disabilitas, dan Transportasi Ro’fah Makin, Ph.D | 07 Perkosaan dan Ruang Maskulinitas: Hegemoni Ideologi Patriarki Dhita Selfhia Lingga Sari | 13 Perempuan dan Kaum Rentan, Mencari Rasa Aman R.A. Hadwitia Dewi Pertiwi | 19 Sudahkah Transportasi Publik di Indonesia Sensitif Gender? Defirentia One M. | 25 Buruk Layanan Publik, Rok Mini Dibelah Perempuan Mencari Keadilan di Transportasi Umum Hani Barizatul Baroroh dan Ashabul Fadhli | 31

LIPUTAN Remaja Dalam Arus Pornografi: Aktor atau Korban? | 37 Bermain Peran, Mengajarkan Hak-Hak Anak | 39 Bisik-Bisik, Berbagi Ilmu | 40

LESEHAN BUKU Perempuan Bicara Kretek | 41

MEMOAR Pelecehan di Kereta, Bagaimana Bersikap? | 43

WAWANCARA Mei Shofia Romas: Kebijakan Transportasi Belum Responsif Kepada Perempuan | 44

PROFIL Shofie, Untuk Dunia Yang Lebih Baik | 47

ESAI FOTO Rumpi, Perempuan Sopir Transjakarta | 48

DAPUR RIFKA Rekam Jejak Rifka Media: Dari Sosialisasi ke Pengembangan Pengetahuan | 49 Galery | 51

Penanggung Jawab: Mei Shofia Romas (Direktur Rifka Annisa) Pemimpin Umum : Muhammad Saeroni Pemimpin Redaksi : Any Sundari Sekretaris Redaksi: Defirentia One M. Dewan Redaksi: Dhita Selfhia Linggasari, R.A. Hadwitia Dewi Pertiwi, Hani Barizatul Baroroh, Ashabul Fadhli, Deferentia One M. Fotografer: Caron Toshiko Monica Sutedjo, Layouter: Ulin Niam Alamat Redaksi dan perusahan Rifka Media: Rifka Annisa Women's Cricis Center Jalan Jambon IV Komplek Jatimulyo Indah Yogyakarta Telepon/Fax: (0274) 553333 website: www.rifka-annisa.or.id, email: rifka-media@rifka-annisa.or.id., Facebook: Rifka Annisa WCC, Twitter: @RAWCC Redaksi menerima tulisan dari pembaca sekalian terkait dengan isu-isu perempuan kepada khalayak yang lebih luas. Kritik dan saran kami tunggu di rifka-media@rifka-annisa.or.id.

Rifkamedia

Februari-April 2012

03


Hallo, Saya Anita di Surabaya. Saya tertarik untuk berlangganan buku-buku terbitan Rifka Annisa yang berkaitan dengan modul gender dan kekerasan dalam pacaran. Bagaimana cara pemesanannya? Dan, bagaimana saya bisa memperoleh update info buku-buku terbaru Rifka Annisa? Terima kasih atas infonya. Hallo Anita. Kami sangat senang Anda tertarik untuk meng-update dan berlangganan bukubuku kami. Untuk cara pemesanan bisa menghubungi kontak yang tersedia di website Rifka Annisa (www.rifka-annisa.or.id). Dan untuk memperoleh info terbitan Rifka Annisa terbaru, silakan menghubungi kami via email. Terima kasih.

Surat Pemba ca

Hallo, Saya sempat mendengar bahwa Rifka Annisa sering melakukan kegiatan sosialisasi ke sekolah-sekolah di daerah Yogykarta. Apakah sosialisasi tersebut sering dilakukan dan apakah sekolah bisa meminta kepada Rifka Annisa untuk mengisi acara tersebut di sekolah yang lain? Terima kasih Ria, Yogyakarta. Hallo Ria. Ya, benar Rifka Annisa sering melakukan kegiatan sosialisasi di sekolah, satu bulan sekali. Acara ini disebut Rifka Goes To School. Tentu, Rifka Annisa sangat senang apabila kami diundang untuk melakuakan sosialisasi ke sekolah-sekolah. Silahkan menghubungi kantor Rifka Annisa untuk keterangan yang lebih mendetail.

Hallo Rifka, Saya Rio dari Jakarta. Saya ingin menanyakan apakah Rifka Annisa memang khusus mendampingi korban perempuan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga? Apakah tidak ada laki-laki yang ditangani Rifka Annisa akibat kekerasan juga? Hai Rio,Terima kasih sudah mengirimkan surat kepada kami. Terkait dengan penanganan kasus kekerasan, Rifka Annisa memang hanya mendampingi korban perempuan dan anak. Untuk laki-laki kami tidak melakukan pendampingan, tetapi kami memiliki divisi Men's Program yakni divisi yang memberikan konseling khususnya kepada laki-laki pelaku kekerasan untuk melakukan konseling perubahan perilaku. Hai Rifka, Saya pernah mendengar bahwa Rifka Annisa memiliki siaran radio regular di salah satu radio di Yogyakarta. Saya ingin menanyakan, apalah nama dari program tersebut dan kapan mengudara. Sekaligus, apakah saya boleh ikut dalam siaran tersebut? Nia, Yogyakarta Hai Nia. Ya kami memang memiliki siaran radio regular di Ista Kalisa, 96.2 FM. Acara ini bernama BICARA (Bincang-Bincang Remaja), yang membahas persoalan-persoalan remaja. Kami mengudara setiap hari kamis dari pukul 16.00-17.00. Jika Anda berminat untuk ikut siaran, ailahkan menghubungi Rifka Annisa. Kami sangat menunggu partisipasi dari Anda.

Data Statistik

Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan(KTP) Di Rifka Annisa Januari – Maret 2012 KASUS MEDIA KTI KDP PKS PEL-SEK KDK TRAF

04

: Kekerasan Terhadap Istri : Kekerasan Dalam Pacaran : Perkosaan : Pelecehan Seksual : Kekerasan Dalam Keluarga : Traffiking (Perdagangan Orang)

Rifkamedia

Februari-April 2012

KTI

KDP

PKS

PEL-SEKS

TATAP MUKA

44

4

4

1

TELEPON

4 1

10

OUTREACH

KDK 2

TRAF 9

55

1

5

2

13 0

EMAIL JUMLAH

JUMLAH

48

5

14

4

2

0

73


Jendela

Rifkamedia

Pelecehan Dalam Transportasi, Negara Berdiam Diri Any Sundari*

P

ada tahun 2002, Komnas Perempuan mengeluarkan terbitan tentang “Peta Kekerasan Perempuan Indonesia�. Didalamnya berisi cakupan relasi kekerasan terhadap perempuan dengan domain yang sangat luas. Cakupan tersebut meliputi relasi interpersonal, relasi kerja , relasi kemasyarakatan dan realsi dalam situasi konflik. Dalam konteks relasi kemasyarakatan, kekerasan terhadap perempuan kita jumpai kerap terjadi dalam ruang-ruang publik, seperti di transportasi umum. Tidak bisa dimungkiri, maraknya kekerasan seksual (pemerkosaan) di transportasi umum akhir-akhir ini memprihatinkan banyak pihak. Terlebih bagi korban kekerasan yang harus mengalami trauma mendalam. Perasaan bersalah dan merasa dirinya kotor selalu menghantui korban sepanjang hidupnya. Stigma bahwa pemerkosaan terjadi akibat perempuan tidak mampu menjaga diri dan menutup tubuhnya masih menjadi justifikasi dari banyak orang, bahkan dikalangan perempuan sendiri. Sementara, akar persoalan kekerasan yang muncul dari ketidakmampuan laki-laki mengontrol libidonya, harus ditanggung perempuan. Disisi lain, negara cenderung enggan dan melakukan pembiaran terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di transportasi umum. Penanganan pemerintah terhadap kasus ini cenderung sangat parsial. Pemerintah hanya mengeluarkan kebijakan-kebijakan teknis, seperti kewajiban sopir menggunakan seragam, memberikan penerangan yang terang pada angkutan, hingga kewajiban menggunakan kaca tembus padang, tanpa menyentuh otak si pelaku. Justru yang terjadi Negara, melalui aparat-aparatnya, dalam beberapa pendapat terkait kasus kekerasa perempuan diangkutan umum, menyalahkan perempuan karena memakai rok mini. Mereka mmelegitimasi perkosaan karena perempuan yang mengundang. Sungguh pikiran yang keliru dan menyesatkan. Menjadi pertanyaan, dimana peran Negara melindungi warganya? Negara perlu menilik kembali kebijakan transportasi umum. Mengingat sebagian besar pengguna transportasi umum adalah perempuan. Maka sudah semestinya Negara mendesain transportasi umum yang menempatkan perempuan dengan rasa aman dan nyaman. Terhindar dari segala bentuk pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan. Negara perlu menyediakan transportasi masal yang laik bagi perempuan, baik dari sisi desain maupun jumlah. Hal ini penting agar tidak terjadi penumpukan penumpang, dan menghindari tindak pelecehan didalam moda transportasi. Disisi lain, hukum harus ditegakkan. Pelaku kekerasan dan pelecehan, perkosaan harus dihukum seberat-beratnya. Hal ini penting untuk memberikan efek jera terhadap lelaki yang tidak mampu mengontrol dirinya sendiri. Maraknya kekerasan seksual di transportasi publik, mendorong teman-teman divisi Humas dan Media Rifka Annisa untuk menuliskan persoalan tersebut secara lebih mendalam. Dalam format baru, Rifka Media Edisi 49 ini mencoba menyajikan liputan dan melihat persoalan perempuan dan transportasi di Indonesia. Bebagai tulisan dalam Jurnal ini mencoba membedah persoalan berbagai persoalan kekerasan di transportasi dari berbagai segi, mulai dari perspektif relasi kuasa, hingga liputan lapangan tentang sarana transportasi publik yang belum sensitif gender. Sedari mula kami meyakini, bahwa perempuan adalah manusia yang mengemban nilai etika yang luhur dalam peradaban manusia. Sensitifitas emosinya, membuat perempuan sangat perduli dengan lingkungan sekitarnya. Women as peace builders. Perdamaian yang didambakan oleh perempuan adalah perwujudan dari semangat dunia yang lebih aman dan nyaman bagi semua. Dan apabila ruang-ruang publik seperti transportasi umum sudah tidak aman lagi bagi perempuan, sedetik itu pula kekerasan pasti muncul. Maka, Stop Kekerasan Terhadap Perempuan, Sekarang! [] *Pemimpin Redaksi Jurnal Rifka Media

Rifkamedia

Februari-April 2012

05


Buku Baru

Menjadi Laki-laki Pandangan Laki-laki Jawa tentang Maskulinitas dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Isi buku: - Tebal 222 halaman (book paper) - Dua Bahasa (Indonesia-Inggris) - Membahas pandangan laki-laki Jawa tentang Maskulinitas dan kekerasan dalam rumah tangga Untuk pemesanan silahkan hubungi: - Diferentia One (08532387729) - Hani Bariza ( 085725184195)


Laporan Utama

Perempuan, Disabilitas, dan Transportasi Ro’fah Makin, Ph.D Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Rifkamedia

Februari-April 2012

07


Laporan Utama

K

etika saya di sodori tema edisi kali ini yakni Perempuan dan Transportasi, memori saya langsung flashback ke periode dua puluh tahun silam ketika saya masih menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Jarak yang jauh antara rumah dan kampus mengharuskan saya selama hampir lima tahun berdesakan diatas bus kota. Selama masa itu entah sudah berapa kali saya mengalami perilaku-perilaku yang bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual. Saya tidak sendiri. Dari obrolan dengan teman-teman perempuan sesama commuter, hampir semua pernah mengalami perilaku pelecehan diatas bus. Pengalaman itu juga yang membuat kami melengkapi diri dengan “senjata� seadanya, seperti jarum yang dengan mudah bisa kita tusukan kepada laki-laki iseng. Dua puluh tahun berlalu, kondisi diatas nampaknya tidak berubah, kalau tidak lebih parah. Berita pemerkosaan di kendaraan umum yang marak beberapa saat lalu menegaskan kembali bahwa transportasi publik bukanlan tempat yang aman, apalagi nyaman, bagi perempuan. Namun sisi keamanan dan kenyamanan hanyalah satu aspek dari permasalahan perempuan dan transportasi. Secara lebih luas, isu ini bisa kita tarik pada diskusi mengenai mobilitas dan perempuan. Tulisan singkat ini akan mencoba berargumen bahwa mobilitas adalah permasalahan yang gender-specific. Meski sektor transportasi ditujukan untuk melayani laki-laki dan perempuan, riset maupun analisa kebjakan

08

Rifkamedia

Februari-April 2012

mengenai transportasi dan mobilitas perlu mempertimbangkan implikasi yang terkait khusus dengan gender. Secara spesifik tulisan ini juga akan membahas permasalahan transportasi dan disabilitas , khususnya perempuan difabel. Apa hambatan-hambatan yang dialami individu difabel khususnya perempuan akan coba dianalisa. Gender dan Mobilitas “Saatnya wanita menjadi yang utama.� Slogan yang ditempel dalam bus transjakarta merupakan upaya menciptakan kebijakan transportasi yang berpihak kepada perempuan. Dalam dua dekade terakhir , para feminis banyak mengkritisi bagaimana kebijakan dan riset mengenai transportasi dan mobilitas masih sangat buta terhadap isu gender. Bicara dari konteks Eropa, Finet (2010) menyatakan bahwa pola mobilitas sangat dipengaruhi oleh

gender. Laki-laki dan perempuan menunjukan perbedaan dalam pola distribusi mobilitas yang terkait dengan peran dan kewajiban yang dikonstruksi dalam masing-masing gender. Dalam studi ini misalnya di temukan bahwa perempuan yang memiliki anak cenderung mengadakan perjalanan jarak pendek dengan berbagai tujuan dalam satu waktu, sebagai bagian dari peran domestiknya. Sementara laki-laki lebih cenderung menempuh perjalanan jauh dengan satu tujuan, kerap terkait dengan peran public dan ekonomisnya. Kepemilikan mobil pada perempuan juga dilaporkan jauh lebih kecil dari lakilaki yakni sekitar 30 %, meski di masa mendatang trend ini dipastikan meningkat (Finet, 2010). Yang juga menarik dicermati dari studi ini adalah bahwa 60 % pengguna kendaraan umum adalah perempuan


Caron/Rifka Media

Laporan Utama

(Finet, 2010). Namun sayangnya angka itu tidak diiringi dengan tingkat partisipasi perem-puan d a l a m m e r a n c a n g ke b i j a k a n transportasi, apalagi menjadi decision maker pada sektor ini. Penelitian, kebijakan, dan pembanguan sektor transportasi perhubungan dan mobilitas selama ini memang masih menjadi dominasi laki-laki, salah satunya karena bidang ini sangat terkait dengan tekhnologi dan engineering yang juga sangat male dominated. Minimnya partisipasi dan keterlibatan perempuan berimplikasi pada tidak terwakilinya kepentingan dan kebutuhan spesifik perempuan. Berapa banyak bus, kereta atau pesawat di negara kita yang menyediakan ruang ASI atau meja pengganti diaper? Kapan tersedia bus khusus perempuan sebagai upaya penyediaan transportasi yang menjamin keamanan dan kenyamanan perempuan?

Hambatan yang dialami perempuan dalam penggunaan dan mengakses trasnportasi untuk mobilitasnya memiliki implikasi yang jauh dan terkait dengan sektor2 sosial yang signfikan. Dalam bukunya mengenai pentingnya aksesibilitas kesehatan bagi perempuan ter-utama pada masa reproduksi , Thaddeus dan Maine (1994) mengenalkan apa yang disebutnya “three delay” model. Tiga penundaan yang dimaksud dalam model ini terkait dengan 3 periode penting bagi perempuan hamil yakni : pre, peri dan post kelahiran, dimana keterlambatan penanganan pada tiga masa ini sangat berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung pada kelangsungan hidup ibu dan anak. Meski studi ini tidak menegas-kan secara eksplisit peran transpor-tasi, jelas bisa di simpulkan bahwa transportasi yang menunjang mobilitas ibu hamil merupakan kunci bagi three delay model diatas. Biaya transportasi, infrastruktur yang tidak memadai, serta jarak yang jauh menuju layanan kesehatan merupakan faktor –faktor terkait transportasi yang memiliki imbas signifikan terhadap kehidupan ibu

“...pola mobilitas sangat dipengaruhi oleh gender. Laki-laki dan perempuan menunjukan perbedaan dalam pola distribusi mobilitas yang terkait dengan peran dan kewajiban yang dikonstruksi dalam masingmasing gender.”

dan anak. Tidak tertolongnya proses kelairan karena miminnya layanan transportasi dan jarak jauh – terutama di daerah pelosok dan daerah terpencil, masih banyak mewarnai data-data angka kematian ibu dan anak di negeri ini. Terhambatnya mobilitas perempuan juga berimplikasi pada rendahnya partisipasi perempuan pada pendidikan, pekerjaan dan peran sosial lainnya, yang pada gilirannya bermuara pada kemiskinan perempuan. Pengalaman beberapa negara misalnya menunjukan bahwa angka enrollment sekolah pada anak perempuan sangat tergantung pada transportasi dan pembangunan infrastruktur (IFRTD: no date). Banyak keluarga yang tidak mengirim anak perempuannya ke sekolah sampai tersedia jalan yang layak, aman dan bisa dilalui sepeda atau trasnportasi publik. Pengalaman di Maroko misalnya menjukan bahwa partisipasi anak perempuan di sekolah meningkat menjadi 68% dari 28 % karena terbangunnya fasilitas jalan yang memadai (IFRTD: no date). Dari pemaparan di atas jelas bahwa mengadopsi pendekatan gender dan pemberdayaan perempuan dalam sektor trasnportasi merupakan agande penting. Perlu dilakukan penegaskan komitmen pemerintah dan stake holder dalam sektor ini untuk melakukan pengarusutamaan gender dalam proses kebijakan dan implementasi layanan transportasi. Pemerintah, masyarakat swasta dan masyarakat sipil juga perlu mendapatkan edukasi untuk meningkatkan kesadaran mereka mengenai kebutuhan dan hambata

Rifkamedia

Februari-April 2012

09


Laporan Utama perempuan dalam mengakses transportasi. Disabilitas, Akesibilitas dan Mobilitas Telah dijelaskan diatas bahwa transportasi merupakan kebutuhan krusial bagi semua individu, tidak terkecuali difabel, yang memiliki imbas pada semua aspek kehidupan. Dengan trasnportasi manusia bisa mengakses pekerjaan pendidikan, rekreasi dan kesempatan sosial lain. Dalam wacana disabilitas , “aksesibilitas� kini merupakan kata kunci yang menjadi fokus pada upaya –upaya menghilangkan diskriminasi , marjinalisasi, dan eksklusi sosial yang dialami penyandang disabilitas. Secara lebih mendasar, fenomena ini merepresentasikan bergesernya pemahaman mengenai apa itu disabilitas. Paradigma lama memandang bahwa problem disabilitas disebabkan oleh kekurangan fisik atau mental yang dialami seorang individu. Dalam paradigm ini ketidakmampuan difabel untuk berpartisipasi --secara sosial maupun ekonomi --disebabkan karena kondisi fisik atau mentalnya. Namun, dalam 30 tahun terakhir paradigma ini digugat ,dan kini disabilitas lebih dianggap sebagai permasalahan lingkungan. Lebih jelasnya permasalahan disabilitas muncul karena ketidakmampuan lingkungan dan sosial untuk mengakomodir kebutuhan difabel. Dengan kata lain, struktur masyarakat dan sosial yang ada tidak bisa diakses oleh difabel. Oleh karena itu solusi bagi permasalahan difabel adalah meningkatkan aksesibilitas pada kesempatan

10

Rifkamedia

Februari-April 2012

berpartisipasi difabel pada sosial, ekonomi dan politik; kesempatan memperoleh pendidikan, mendapatkan pekerjaan dan menggunakan layanan publik termasuk transportasi. Dari kacamata paradigm baru diatas, hambatan mobilitas yang dihadapi individu difabel harus ditarik pada tidak tersedianya insfrastrutur yang memadai. Kondisi jalan raya dan kendaraan, design kendaraan yang tidak aksesibel, tidak tersedianya tempat jalan kaki atau trotoar yang aman merupakan faktor lingkungan-struktural yang menghambat mobilitas difabel. Sayangnya kenyataan inilah yang masih dihadapi oleh mayoritas difabel di Indonesia. Jalan raya tidak menyisakan trotoar yang cukup luas

Paradigma lama memandang bahwa problem disabilitas disebabkan oleh kekurangan fisik atau mental yang dialami seorang individu. Dalam paradigm ini ketidakmampuan difabel untuk berpartisipasi --secara sosial mau-pun ekonomi -disebabkan karena kondisi fisik atau mentalnya. Namun, dalam 30 tahun terakhir paradigma ini digugat ,dan kini disabilitas lebih dianggap sebagai permasalahan lingkungan.

dan aman bagi pengendara kursi roda ataupun tuna netra. Pada saat yang sama hampir semua kendaraan umum juga tidak aksesibel bagi difabel: bus umum yang belum memakai sistem hidrolik, tangga dan lorong pesawat yang sempit sehingga sulit diakses pengguna kursi roda, pintu bus atau kereta yang sempit serta kondisi-kondisi lain. Hambatan struktural lain terkait kebijakan. UU terkait dengan perlindungan hak penyandang disabilitas seperti UU no 7 tahun 1997 tentang penyandang cacat, dan Konvensi hak Penyandang Disabilitas yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU no 19 tahun 2011 secara tegas menjamin pemenuhan hak difabel dalam berbagai aspek termasuk aksesibilitas. Secara lebih khusus beberapa peraturan pemerintah seperti UU no 28.2002 tentang bangunan dan Permen no 30 tahun 2006 sudah menegaskan kewajiban masyarakat dan penyedia layanan publik untuk menjamin aksesibilitas bangunan dan lingkungan bagi difabel. Dalam konteks yang lebih lokal, pemerintah Kabupaten Sleman semenjak tahun 2002 sudah memiliki perda tentang aksesibilitas fisik. Namun nampaknya implementasi dari peraturan-peraturan tersebut belum terlaksana secara maksimal. Pemerintah dan instansi terkait juga belum terlihat melakukan upayaupaya penyadaran dan edukasi terhadap pekerja trasnportasi terkait kebutiuhan bagi difabel. Akibatnya tingkat kesadaran mereka dan juga masyarakat luas masih sangat minim


Laporan Utama

Beberapa rekan difabel misalnya menceritakan masih adanya penolakan para kondektur bus kota untuk mengangkut mereka yang menggunakan kursi roda. Keluhan serupa datang dari komunitas tuna netra yang juga mengalami pengalaman pahit terkait rendahnya kesadaran publik; misalnya supir atau kondektur tidak memberitahu ketika dia sudah sampai ke tempat tujuan. Perempuan difabel dan aksesibilitas trasnportasi. Pada Era 1980an para feminist dan ilmuwan difabel mulai mewacanakan apa yang disebut “double handicap” – kecacatan ganda (Schur, 2004). Istilah ini merujuk pada perempuan difabel yang dinilai mengalami hambatan dan tantangan berlipat karena status mereka yang perempuan dan juga difabel. Perempuan difabel dilaporkan mengalami kondisi yang lebih buruk

secara sosial, ekonomi maupun psikologis dibandingan dengan lakilaki difabel atau perempuan non difabel. Realitas buram ini ditunjukan dengan rendahnya kesempatan dan partisipasi kerja, pendidikan, tingkat penghasilan yang memprihantinkan, kecilnya kesempatan pelatihan kerja dan juga rendahnya tingkat penerimaan terhadap bantuan yang

“Perempuan dengan disabilitas juga mengalami tingkat isolasi dan eksklusi yang lebih tinggi baik secara fisik maupun sosial dibandingkan dengan difabel lakilaki. Kebanyakan dari mereka tidak menikah atau memiliki pasangan, dan tidak bisa mengendarai mobil sehingga mobilitas dan tingkat partisipanya sangat terbatas (Schur, 2004).”

diberikan pemerintah (Deegan dan Brooks, 1985; Fine and Asch, 1998). Perempuan dengan disabilitas juga mengalami tingkat isolasi dan eksklusi yang lebih tinggi baik secara fisik maupun sosial dibandingkan dengan difabel laki-laki. Kebanyakan dari mereka tidak menikah atau memiliki pasangan, dan tidak bisa mengendarai mobil sehingga mobilitas dan tingkat partisipanya sangat terbatas (Schur, 2004). Ditarik pada isu mobilitas dan transportasi maka double handicap yang dimiliki perempuan difabel berakibat pada serangkaian panjang hambatan yang disebabkan oleh sisi gender maupun disabilitasnya. Kalau salah satu data diatas menyatakan bahwa prosentase pemakaian kendaraan umum bagi perempuan lebih tinggi dari laki –laki, maka representasi perempuan difabel dalam kelompok pengguna ini dipastikan sangat rendah meng-

Rifkamedia

Februari-April 2012

11


Laporan Utama keluar rumah secara total (Sapda, Referensi 2010). Cleofas, R.H.

“...perempuan difabel merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap tindakan kekerasan, baik itu fisik, emosional maupun seksual.” ingat tidak teraksesnya kendaraan umum bagi difabel. Dengan kata lain, perempuan difabel dihadapkan ada tidak hanya pada masalah afordabilitas dan keamanan , tapi juga aksesibilitas . Namun muaranya sama yakni sempitnya kesempatan perempuan difabel mengakses pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan dan aspek sosial lain. Pada kasus terjadinya kekerasan, isolasi dan eksklusi sosial yang dialami perempuan difabel, karena ketidak mampuan mengakses transportasi, menyebabkan sulitnya mereka meninggalkan relasi yang abusive (Rafia Haniff-Cleofas and Rabia Khedr, 2010). Padahal perempuan difabel merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap tindakan kekerasan, baik itu fisik, emosional maupun seksual. Dari penelitian yang dilakukan Sapda, sebuah LSM perempuan dan anak di Yogyakarta, ada banyak perempuan difabel korban kekerasan yang bahkan tidak tahu alamat atau letak rumahnya sendiri karena hambatan mobilitas yang mereka miliki menutup akses

12

Rifkamedia

Februari-April 2012

Kesimpulan Dari paparan diatas bisa disimpulkan bahwa perempuan memiliki hambatan mobilitas dan akses terhadap transportasi karena faktorfaktor yang secara spesifik disebabkan oleh identitasnya gendernya. Faktor keamanan, kemampuan membayar cost transportasi (afordabilitas) misalnya merupakan dua hal yang banyak dialami perempuan. Bagi perempuan difabel hambatan tersebut diperparah dengan berbagai aspek terkait disabilitasnya. Satu yang terpenting adalah tidak tersedianya infrastruktur yang mengakomodasi kebutuhan difabel sehingga transportasi menjadi tidak aksesibel. Hambatan ganda bahkan multiple ini jelas menjadi faktor penting yang menutup akses perempuan untuk berpartisipasi secara sosial, ekonomi maupun politik dan bermuara pada berlanjutnya diskriminasi, dan sosial inklusi pada perempuan difabel. Untuk itu pemerintah, instansi terkait, akademisi gerakan perempuan dan civil society perlu mengadopsi perspektif gender dalam proses kebijakan, layanan publik dan penelitian terkait transportasi, mobilitas dan pembangunan sosial. Gerakan perempuan, organisasi difabel dan organisasi masyarakat sipil juga perlu memberikan edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan difabel dalam transportasi.

and Khedr, R. 2010. Women with Disabilities in the Urban Environment. Women and Urban Environment. http://www. twca.ca/TWCA publications/ uploads/ Women_with_Disabilities_in_the_Urban_Environment.p df, diunduh 13 April 2012.

Deegan, M.J, dan Brooks, N.A. ( 1985) Women and Disability: the double handicap. New Brunswick, N.J: Transaction Books. Finat, A. Gonzalez. Women and Transport : Mobility is Gender Specific. European Commission: 2010. http://www.cityshelter.org/ 13_mobil/20tend.htm diunduh pada 16 April, 2012. Fine, M; and Asch, A. 1998. Women with Disabilities: Essays in psychology, culture, and politics. Philadelphia: Temple University Press Nurul Saadah, Supartini & Iranda Yudhatama. (2010). Menguak tabir Kekerasan terhadap Perempuan Difabel. Yogyakarta: Sapda, 2010. Schur, L. (2004). Is there Still a “Double Handicap”?: Economic, Social and Political Disparities Experienced by Women with Disabilities. In Smith, B.G and Hutchison, B. eds. 2004. Gendering Disability . London: Rutgers University Press. Thaddeus, S dan Maine, D. (1994). Too far to walk: maternal mortality in context. Social Science and Medicine, pp. 19- 47 The International Forum for Rural Transport and Development (IFRTD). No year. Gender and Transport, http://www.ifrtd.org/new/issues/ gender.php di unduh tangga 12 April 2012.


Laporan Utama

Perkosaan dan Ruang Maskulinitas: Hegemoni Ideologi Patriarki Oleh: Dhita Selfhia Lingga Sari Kita hidup di abad perkosaan, begitu kata Gadis Arivia (2011). Bahkan di ruang publik seperti angkutan umum pun, tindakan itu dilakukan. Perempuan berteriak, menuntut rasa aman.

Rifkamedia

Februari-April 2012

13


Laporan Utama

S

eperti dikisahkan pada mitologi Yunani kuno, Medusa adalah seorang perempuan cantik yang diperkosa sang penguasa laut, Poseidon. Namun Poseidon terbebas dari hukuman. Justru hukum berbalik menuduh Medusa pengundang birahi Poseidon. Mewujudlah Medusa menjadi monster bertubuh ular raksasa yang lidahnya mengobarkan api maut yang membakar setiap laki-laki. Jadilah Medusa monster teror yang menggidikan setiap sudut kota Athena. Tamsil hukum pun berteriak: hukum dan bunuh Medusa. (Jurnal Perempuan edisi71). Begitulah lakon Medusa yang malang. Ia tewas dibunuh. Dari genangan darahnya tersirat sebuah luka mendalam tentang perempuan

angkutan kota. Tak lama berselang sebuah peristiwa perkosaan menyusul pula. Lalu apa tanggapan masyarakat? Tanggapan masyarakat bahkan mengejek. Ada pula berita itu dijadikan bahan joke; ntar kalau perempuan korban pemerkosaan itu mati maka hantunya akan mencekik si laki-laki pemerkosa. Sebagian lagi para pejabat pemerintah justru menyalahkan tubuh sang perempuan. “Bayangkan saja kalau orang naik mikrolet duduknya pakai rok mini, kan agak gerah juga. Sama kayak orang naik motor, pakai celana pendek ketat lagi, itu yang dibelakangnya bisa goyang-goyang,� begitulah komentar Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta, yang tidak peka terhadap penderitaan penyintas seperti dinukil sebuah harian Ibu

“Bayangkan saja kalau orang naik mikrolet duduknya pakai rok mini, kan agak gerah juga. Sama kayak orang naik motor, pakai celana pendek ketat lagi, itu yang dibelakangnya bisa goyang-goyang,� begitulah komentar Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta

yang sejak zaman dahulu kala telah mendapat kekerasan berganda akibat struktur dan kultur patriarki yang mengental dihampir seluruh peradaban manusia. Kini kita tak lagi hidup di zaman Medusa. Kita hidup di alam demokrasi yang menempatkan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Namun jika kita mau jujur potret kehidupan perempuan saat ini masih dibayangi kekerasan . Simak berita di Ibu kota beberapa waktu lalu. Seorang mahasiswi menjadi korban perkosaan di sebuah

14

Rifkamedia

Februari-April 2012

kota. (Lihat Laporan Utama 5. Buruk Layanan Publik, Rok Mini Dibelah) Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat Pada peringatan International Women's Day (IWD), 8 Maret 2012 lalu, di Jakarta ratusan perempuan yang terdiri dari berbagai kalangan berkumpul di depan istana negara. Mereka berorasi, membawa poster dan membentangkan spanduk, mereka menuntut pemerintah untuk lebih serius dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan.

Sementara di Palu, ratusan orang yang berasal dari Crisis Center Kekerasan Aparat Polri terhadap Perempuan dan Anak (CC-KAPAK) memperingati hari perempuan internasional dengan cara menghadiahi Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjen Dewa Parsana 500 celana dalam sebagai simbol lemahnya penegakkan hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan. Pengunjuk rasa juga mendesak agar pemerintah daerah mencabut perda diskriminatif yang cenderung merugikan perempuan. Tuntutan serupa juga disuarakan para perempuan di Bandung, Yogyakarta, dan berbagai tempat lainnya. Pendeknya, mereka memperjuangkan nasib dan rasa aman perempuan yang kian menipis. Dari data tahunan yang dikeluarkan Komisi Nasional Perlindungan Perempuan (Komnas Perempuan), mengklasifikasikan Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dalam tiga ranah; pertama, Ranah personal artinya pelaku adalah oleh orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Kedua, Ranah publik jika pelaku dan korban tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal. Dan ketiga, Ranah negara artinya pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas. Termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada


Laporan Utama Tabel 1. Jumlah Kekerasan terhadap Perempuan 2009-2011 Ranah KTP

2009

2010

2011

Personal/Domestik

136.586

101.128

113.878

Publik/Komunitas

6.683

3.530

5.187

Negara

54

445

42

Total

143.586

105.103

119.107 Sumber: Komnas perempuan, 2011

peristiwa kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian namun tidak berupaya untuk menghentikan atau justru membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut. Jumlah KTP yang paling besar tercatat pada tahun 2009 yang mencapai 143.586 kasus, dengan rincian ranah personal/domestik 136.586 kasus, ranah publik/komunitas 6.683 kasus, dan ranah negara 54 kasus. Sedangkan pada tahun 2010 terjadi penurunan jumlah KTP, tercatat bahwa pada tahun 2010 sebanyak 105.103 kasus; ranah personal/domestik 101.128 kasus, ranah publik/komunitas 3.530 kasus, dan ranah negara 445 kasus. Namun terjadi peningkatan KTP kembali pada tahun 2011 dengan jumlah total mencapai 119.107 kasus; ranah personal/domestik 113.878 kasus, ranah publik/komunitas 5.187 kasus, dan ranah negara mencapai 42 kasus. Sementara itu, perempuan korban KTP ada di semua kelompok usia (kecuali korban kekerasan si ranah negara). Jumlah kasus semain meningkat di kelompok usia 13 – 18 tahun (usia remaja) dan kembali menunjukkan angka terbanyak antara usia 25 – 40 tahun. Pola ini

menunjukkan bahwa: 1) perempuan di usia berapa pun bisa menjadi korban KTP, dan 2) yang paling rentan menjadi korban KTP adalah perempuan usia remaja (antara 13 – 18 tahun) serta usia dewasa (antara 25 – 40 tahun). Grafik pelaku pun menunjukkan pola yang sama: jumlah pelaku meningkat di kelompok usia 19– 24 tahun dan puncaknya untuk pelaku KDRT ada di kelompok usia 25 – 40, sedangkan untuk pelaku KTP di ranah komunitas semakin lanjut usia grafiknya semakin meninggi, bahkan puncaknya ada di kelompok usia lebih dari 40 tahun. Pelaku KTP di ranah negara terbanyak dijumpai di kelompok usia 19 – 24 tahun. Perkosaan: Tubuh dalam Cengkraman Kekuasaan Apa yang diyakini para feminis tentang perkosaan adalah tak lain kekuasaan, rape isn't about sex, it is about power. Pelaku kejahatan sebagian besar seperti ditunjukkan hasil riset selama ini melakukan tindakannya berlandaskan kesadaran; akan penaklukan dan penundukkan tubuh perempuan. Tindak perkosaan oleh karena itu ialah kriminalitas. Namun berbeda de-

ngan tipe kriminalitas lainnya misalkan pencurian. Pemerkosaan mengandung kejahatan yang terbungkus dalam budaya patriarki. Penaklukan terhadap tubuh perempuan telah berlangsung lama. Di negeri ini misalnya, kita menyaksikan sejak negara terbentuk pelbagai regulasi yang lahir selalu bias laki-laki. Ambil contoh polemik Undang-Undang Pornografi (UUP) beberapa waktu lalu. Kita memang tidak sepakat dengan pornografi karena pornografi sendiri telah menempatkan tubuh perempuan seperti halnya komoditas yang ditransaksikan di pentas pasar. Namun kita juga tak sepakat dengan UUP karena materi pornografi yang didiskursuskan hanya mengarah pada tubuh perempuan. Ini artinya tubuh perempuan sejak lama terus diasosiasikan dengan kejahatan: dekonstruksi moralitas masyarakat. Cara pandang ini kian menegaskan tubuh perempuan telah terperangkap dalam budaya patriarki yang sulit menemukan pembebasannya. Ekspansi kapitalisme dewasa ini bersandar pada dimensi tubuh perempuan. Peran tersebut amat vital. Meski di satu sisi peran tersebut lebih memosisikan perempuan sebagai obyek bukan subyek pengendali. Lagi-lagi tubuhlah yang dijadikan pendongkrak lakunya produk di pasaran. Dalam iklim budaya populer hampir dipastikan tubuh perempuan dijadikan sebagai ujung tombak yang menjanjikan ekspansi pasar. Perempuan mempunyai fungsi dominan sebagai pembentuk citra

Rifkamedia

Februari-April 2012

15


Laporan Utama dan tanda pelbagai komoditi (sales girl, cover girl, model girl). Masyarakat tontonan menurut Guy Debord adalah masyarakat yang di dalamnya setiap sisi kehidupan menjadi komoditi, dan setiap komoditi tersebut menjadi tontonan. (Piliang, 2011). Tak keliru jika seorang feminis, Gadis Arivia, dengan ironis mengandaikan tubuh perempuan sebagai saham yang laku untuk dijual. Pun ketika aksi perkosaan di Jakarta marak, media dengan serta-merta “menjual” tubuh perempuan dengan laris mengundang komentar-komentar pejabat publik yang lebih memilih memfokuskan perhatian pada tubuh perempuan dan bukan pelaku kriminal. Di situlah ambiguitas tubuh perempuan. Ia menjadi medan pengaturan sosial dan agama demi “stabilitas” tatanan moralitas sosial, namun di ranah yang lain ia terjebak dalam ritual kapitalisme moderen yang menggunakan tubuh perempuan sebagai alat tukar. Bisa dipastikan perempuan terperangkap dalam kompleksitas tiada akhir. Kompleksitas itu bertambah dalam masyarakat patriaki. Karena relasi gender bersifat sangat politis sebab ia sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan sosial yang ada, dan bukan proses yang alami. Dominasi maskulin terus berlangsung dan meluas dalam struktur komunikasi dan struktur masyarakat tempat pria dan khususnya wanita- sengaja atau tidak- terus menginternalisasikan nilai-nilai maskulin. Lebih dari itu wanita juga terus digiring untuk berpartisipasi secara aktif dalam ideologi yang justru secara ber-

16

Rifkamedia

Februari-April 2012

media dengan sertamerta “menjual” tubuh perempuan dengan laris mengundang komentar-ko-mentar pejabat publik yang lebih memilih memfokuskan perhatian pada tubuh perempuan dan bukan pelaku kriminal

samaan menindas dan mensubordinasi mereka. Ideologi yang telah diinternalisasikan dalam struktur kesadaran masyarakat inilah yang melestarikan dan membentuk mitos mengenai kedudukan dan potret wanita dalam masyarakat dan dalam struktur komunikasi massa, kelompok , interpersonal dan sosial-politik yang berlangsung di dalamnya. Maka tak heran, dengan dukungan ideologi inilah perlahan namun pasti cara pandang dunia wanita pun dikontruksi oleh cara pandang kekuasaan yang “berwajah” maskulin. Cara pandang inilah yang membentuk semacam “kosmologi pria” yang mendominasi pola-pola hubungan atau komunikasi insani dalam ruang publik dengan pelbagai manifestasinya. (Idi, 2007). Pemerkosaan pun berlangsung dalam medan yang kurang lebih sama. Ketika perkosaan terjadi,

mayoritas masyarakat menganggap tubuh perempuan yang salah. Bahkan cenderung mengoreksi fashion mini perempuan yang dianggap sebagai penyebab “meledaknya” birahi laki-laki. Alih-alih “menyantuni” korban perkosaan dengan dukungan pendampingan psikologis pasca kejadian, masyarakat justru menganggap peristiwa tersebut tak lebih kesialan yang menimpa sang korban. Perkosaan dan Ruang Kuasa Maskulinitas Pertanyaan klise selalu muncul tatkala orang mengomentari pemerkosaan di angkutan kota (angkot). Mengapa pelaku bisa melakukan aksi kejahatannya di transportasi publik? Angkot yang merupakan transportasi umum, kini tak lebih sebagai ruang baru keleluasaan pemerkosaan. Terlihat dari maraknya kasus yang terjadi di akhir tahun 2011 dan awal tahun 2012 kemarin ini. Tentu ini bukanlah sesuatu yang menarik bahkan barita baru yang fantastis. Pada dasarnya tindak pemerkosaan bisa saja terjadi dimana saja dan kapan saja. Di rumah, di lingkungan keluarga atau masyarakat, di jalan raya, di perkantoran, di transportasi umum, di dalam penjara, di sekolah, di kampus, di pusat perbelanjaan, di kebun-kebun, di pengasingan, di mana saja dan kapan saja perempuan selalu menjadi incaran dan calon penyintas pemerkosaan. Kita semua tentu sepakat bahwa perkosaan adalah tindakan bejat, tidak manusiawi dan tidak termaafkan, namun pertanyaan yang selalu


Laporan Utama mengusik adalah bagaimana perkosaan itu selalu ada? apa yang menjadikan perkosaan itu ada? dan mengapa perkosaan itu ada? Dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi tradisi lama, kata “kesucian”, “kehormatan” dan “kemurnian” selalu dilekatkan dengan kata keperawanan yang harus dimiliki oleh perempuan. Sementara tiga kata “ampuh” itu selalu dilawankan dengan hanya satu kata “ternoda” ketika perempuan menjadi kor-ban pemerkosaan. Para korban ini kemudian dianggap tidak berguna dan kotor, ibarat penyakit menular dan menjijikkan, perempuan penyintas perkosaan ini kemudian menjadi momok bahkan bahan olokolokan yang tidak manusiawi. Sehingga, untuk terhindar dari stereotipe negatif itu, perempuan harus mati-matian menjaga dan mempertahankan keperawanannya yang nantinya akan “dipersembahkan” hanya untuk suami/laki-laki setelah menikah nanti. Dalam riwayat yang sering kita dengar, tidak jarang sebutan “sang dewi kesuburan” sering disimbolkan pada sosok perempuan. Dalam keadaan semacam ini, cara pandang dan keberadaan perempuan diakui bila mereka berfungsi secara biologis (reproduksi dan seks). Semua istilah dan sebutan itu tidak lain menyasar pada satu pusat bidikan, tubuh perempuan. Disinilah kemudian muncul mitos-mitos yang saling kait-mengait baik secara struktural maupun kultural yang dibalut dengan aturan-aturan moral, negara, tradisi, dan agama. Misalnya “keperawanan, kehormatan, kesucian, dan kemurnia” dikaitkan dengan tradisi,

moral dan agama; sedangkan sifat penurut, pasif, pendiam dan penurut diidentikkan dengan taat aturan dan baik. Sehingga penghargaan atas kepatuhan perempuan itu akan mendapat pengakuan sebagai “perempuan terhormat”. Sungguh ironis, “perempuan terhormat” yang kemudian dilabelkan itu, sesungguhnya pernyataan itu tidak lain tidak bukan adalah semacam manipulasi penundukan dan penindasan secara halus namun pasti mengikat perempuan dalam kontrol budaya patriaki. Sementara sikap pemakluman selalu bisa diterima bila lakilaki melakukan tindakan yang malah berlawanan dengan tuntutan yang dibebankan kepada perempuan.

tidak bisa mengendalikan nafsu, hasrat seksualitas yang tidak bisa dikontrol, atau tergoda secara spontan tentang daya tarik seksual, melainkan karena fantasi dan hasrat penaklukan terhadap tubuh secara seksual, sebagai upaya mengontrol korban dan menghapus otonomi dan kemanusiaan mereka. Tidak ada lagi ruang yang tersisa dari kepemilikian tubuh oleh perempuan sendiri. Semua bagian bahkan setiap inci tubuh perempuan telah dituntut kepemilikannya oleh publik. Cara pandang inilah yang selalu melihat perempuan sebagai objek, perempuan tidak pernah diakui seksualitasnya, mereka hanya dipandang dan dijadikan sebagai komo-

Tidak ada lagi ruang yang tersisa dari kepemilikian tubuh oleh perempuan sendiri. Semua bagian bahkan setiap inci tubuh perempuan telah dituntut kepemilikannya oleh publik. Cara pandang inilah yang selalu melihat perempuan sebagai objek, perempuan tidak pernah diakui seksualitasnya, mereka hanya dipandang dan dijadikan sebagai komoditas.

Tubuh perempuan kemudian menjelma menjadi medan kepentingan banyak pihak. Konstruksi patriakis “mewajibkan” perempuan selalu menjaga keperawanannya, sementara naluri penaklukan, dominasi dan penguasaan tubuh perempuan selalu menjadi momok setiap saat. Dari hasil penelitian Raymond A. Knight, Ph.D. Brandeis University pada tahun 2011 lalu, memaparkan bahwa; sebenarnya perkosaan terjadi bukan karena pemerkosa

ditas. Perempuan harus melakoni peran-peran yang protagonis (meminjam istilah lakon dalam film) lemah lembut, sopan dan santun, ramah, penurut, bermental melayani, selalu menjadi pendengar dan pasif dan pendiam. Dalam hampir semua tayangan televisi; sinetron, sikap perempuan seperti itu digambarkan selalu membawa keberuntungan dan keamanan bagi si perempuan sendiri. Bahkan dengan sikap seperti itu, perempuan akan selalu “ber-

Rifkamedia

Februari-April 2012

17


Laporan Utama untung�. Itulah konstruk imajinasi perempuan yang terekam di TV dalam membangun sosok perempuan ideal. Sementara dalam kenyataannya, sikap perempuan yang protagonis itu tidak menjamin perempuan terhindar dari kejahatan yang merampas hak dan pemaksaan kehendak melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan kedua belah pihak atau perkosaan itu. Malahan, ada kecenderungan sikap dan bentuk komunikasi perempuan (lemah lembut, ramah, pasif, pendiam, penurut, sopan dan santun) pahami secara salah oleh laki-laki, laki-laki menganggap bahwa sikap dan cara berkomunikasi semacam itu adalah bentuk dan cara perempuan untuk menggoda dan memberi peluang untuk tindakan lebih jauh. Sedangkan bila perempuan cenderung bersikap tegas, keras kepala, pembangkang, dan kritis dianggap sebagai bentuk tindakan permusuhan dan berbahaya. Di situlah kerap terjadi kesalahan persepsi bahasa dalam relasi gender. Pria cenderung mengekspresikan bahasanya secara lugas dan terus terang, sementara wanita sebaliknya. Dua karakter kebahasaan yang berbeda ini memungkinkan peluang terjadinya pelecehan dan serangan seksual juga terbuka lebar. Dalam studi etiologi seperti dipaparkan Mariana Aminudin terdapat hipotesis tentang salah sangka pria dalam memahami tindakan komunikasi perempuan yaitu: pertama, pria cenderung over-perceive (terlalu menganggap) ketika perempuan bersikap friendly atau ramah sebagai

18

Rifkamedia

Februari-April 2012

sikap menggoda. Kedua, pria mengira perempuan bersikap tegas sebagai tindakan permusuhan. Ketiga, pria mengira perempuan 'diam' karena mau atau menginginkan dan keempat pria mengira bila perempuan menyatakan 'tidak' adalah tindakan permusuhan. Cikal bakal mispersepsi bahasa tersebut diduga kuat ihwal serangan seksual oleh laki-laki terhadap perempuan. Mencegah Tindak Perkosaan Setelah diuraikan panjang lebar sebab perkosaan, di bagian akhir ini akan dilukiskan pelbagai jalan keluar untuk menghindar dari aksi kejahatan tersebut. Perempuan bagaimanapun harus selalu mawas diri jika berada di luar jangkauan 'kekuasaannya'. Karena para pelaku menjalankan kejahatannya selalu penuh perhitungan dan mengawasi calon penyintas. Saat perempuan berada dalam posisi lengah maka si pelaku dengan mudah akan menjalankan aksi bejatnya. Argumen ini juga sekaligus mematahkan sebagian mitos yang berkembang dalam masyarakat bahwa perkosaan terjadi karena pakaian atau penampilan seksi perempuan melainkan karena adanya kesempatan. Selain itu negara wajib melindungi perempuan dalam dengan menghukum seberat-beratnya pelaku, ketimbang terus menyalahkan dan selalu mengkoreksi tubuh dan pakaian perempuan. Namun yang paling terpenting adalah perlu adanya perubahan cara pandang m a s y a r a k a t te r u t a m a a pa r a t pemerintah untuk tidak latah dan

ikut-ikutan terjebak pada tradisi lama yang selalu melihat perkosaan sebagai masalah moral dan seks, melainkan sebuah kejahatan kriminal dan pelanggaran hak asasi manusia sehingga hukuman seberatberatnya harus dijatuhkan kepada pelaku perkosaan.[]

Referensi: Ibrahim, Idy Subandi, Budaya Pop Sebagai Komunikasi, Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, 2007 Jurnal Perempuan Edisi 71, Laporan Catatan Tahunan Komnas Perempuan Versi PDF Tahun 2009 Laporan Catatan Tahunan Komnas PerempuanVersi PDF Tahun 2010 Laporan Catatan Tahunan Komnas PerempuanVersi PDF Tahun 2011 Piliang, Yasraf Amir, Dunia yang di Lipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan Edisi ketiga, Matahari, Bandung, 2011 Thomas, Linda & Shan Wareing, Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007


Laporan Utama

Perempuan sebagai pengguna terbesar transportasi umum belum mendapatkan layanan dan rasa aman. Apalagi kaum rentan. Inilah potret perempuan dan kaum rentan di pusara transportasi publik.

PEREMPUAN DAN KAUM RENTAN, MENCARI RASA AMAN Oleh: R.A. Hadwitia Dewi Pertiwi Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII, Relawan Rifka Media

Rifkamedia

Februari-April 2012

19


Laporan Utama “Itu jelas salahnya si perempuan. Lihat saja, karyawati swasta di Jakarta kebanyakan mengenakan busana minim, seperti rok mini dan baju ketat. Hal itu jelas mengundang para lelaki untuk berbuat mesum pada mereka di dalam angkutan umum,� (Nunik-pegawai LP Wirogunan). Pernyataan di atas terlontar dari seorang ibu berusia 40 tahun. Saat ini ia bekerja di sebuah Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wirogunan, Yogyakarta. Sehari-harinya ia kerap menggunakan transportasi umum dalam beraktivitas, terutama Trans Jogja. Ditemui saat tengah berada di dalam Trans Jogja dan ditanya mengenai kasus pelecehan seksual yang marak terjadi di dalam angkutan umum, ia pun langsung menyerukan bahwa kesalahan jelas terletak pada perempuan. Menurutnya, penampilan dari si perempuanlah yang patut disalahkan, sehingga laki-laki menjadi tergoda untuk melakukan perbuatan asusila. Ia pun menyampaikan pemikirannya itu dengan sangat lantang, yakin, dan tegas. Sungguh ironis dan miris mendengarnya. Mengingat dirinya sendiri adalah seorang perempuan. Terlebih lagi, dirinya merupakan perempuan yang bekerja di bawah naungan hukum. Semestinya ia memiliki sensivitas lebih tinggi dalam membela perempuan sebagai korban kekerasan. Bukan menyalahkan perempuan sebagai biang penyimpangan yang terjadi. Perempuan di Pusaran Transportasi Ongkos ekonomi dan sosial yang harus ditanggung sebagai akibat da-ri kemacetan harus segera diantisipasi. Negara perlu menciptakan momentum untuk berinovasi dalam pelayanan publik ke arah kondusivitas iklim investasi. Satu diantaranya adalah penyediaan transportasi yang layak untuk semua. Di perkotaan, transportasi umum telah menjadi salah satu bagian dari komponen pelayanan pemerintah dan kebutuhan warga.

20

Rifkamedia

Februari-April 2012

Saat ini kota-kota besar sedang manghadapi masalah rumit berkaitan dengan transportasi darat. Jumlah penduduk yang semakin bertambah, dibarengi dengan meningkatnya daya beli masyarakat terhadap kendaraan bermotor memicu meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang beroperasi di jalan. Maka kemacetan tak terhindarkan. Di Jogja sendiri pertumbuhan kendaraan pribadi membengkak. Badan Pusat Statistik (BPS) Jogja merilis pada tahun 2010 jumlah kendaraan bermotor di Jogja lebih dari 200 ribu unit.

Bahkan tak sedikit pula yang berujung pada tindak pemerkosaan pada penumpang perempuan. Seperti yang marak terjadi di Jakarta. Pada tahun 2011 telah terjadi 8 kasus pelecehan seksual di dalam Transjakarta. Apalagi melihat fakta bahwa setidaknya setiap hari terdapat empat perempuan yang mengalami kekerasan seksual di ruang publik. Menurut data Komnas Perempuan, selama 13 tahun terakhir (1998-2011), terdapat 22.284 kasus kekerasan seksual di ruang publik dan merupakan urutan kedua dari seluruh

Tabel 1. Jumlah Kendaraan Bermotor di Kota Yogyakarta 2008-2010 2008

2009

2010

Sedan dan Station Wagon

32.873

33.056

36.533

Truk

12.701

12.831

1.992

Bus

8.266

9.572

968

-

-

5.483

273.538

288.619

197.802

JENIS KENDARAAN

Pick Up

Sepeda Motor

Sumber: BPS Jogja 2012

Data tersebut menunjukkan bahwa Bus, sebagai moda transportasi umum sangat sedikit. Dan kendaraan pribadi di jalan raya semakin banyak. Pertanyaannya, apakah angutan umum tidak bias menjadi solusi? Sudahkah pelayanannya memenuhi rasa aman masyarakat? Sehingga masyarakat bersedia menggunakan transportasi umum. Atau sebaliknya justru karena tidak nyaman, masyarakat berbondong-bondong memilih memiakai kendaraan pribadi dalam beraktivitas. Aspek kenyamanan menggunakan transportasi umum memang telah menjadi tuntutan mutlak di era sekarang. Sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Terlebih bagi perempuan. Apakah mode transportasi umum kita sudah ramah bagi kaum hawa? Mengingat di media massa banyak bermunculan kasus-kasus pelecehan seksual di dalam angkutan umum.

kasus kekerasan seksual yang berjumlah 93.960 kasus. Mencari kesempatan dalam kesempitan, itulah gambaran bagaimana perilaku tak pantas tersebut bisa terjadi di dalam angkutan umum. Kurangnya pengawasan yang ketat membuat para pelaku menjadi lebih leluasa melakukan aksi nekatnya, sekalipun tengah berada di ruang publik. Apalagi setelah pelecehan terjadi, perempuanlah yang justru akhirnya dikambinghitamkan atas perbuatan tidak senonoh yang dilakukan oleh pelaku. Tak hanya sampai di situ, selain perempuan, masih banyak kelompok lainnya yang rentan mengalami tindak kekerasan. Salah satunya adalah kaum difabel. Mereka pun selama ini masih juga kurang diperhatikan dan dilindungi hak-haknya. Padahal mereka juga bagian dari masyarakat. Koran Jakarta Post


Laporan Utama (News Daily) melaporkan bahwa hidup sebagai seorang cacat di Indonesia sangat sengsara dikarenakan sangat buruknya aksesibilitas fisik di dalam bangunan-bangunan publik dan fasilitas-fasilitas lain, seperti transportasi umum (Irwanto, Kasim, dan Fransiska, dalam Subono (eds.), 2011: 59-60). Hal tersebut menggambarkan bagaimana penyediaan fasilitas publik di Indonesia belum menyentuh kepentingan para penyandang disabilitas secara komprehensif. Selain difabel masih ada kelompok rentan lain, seperti ibu hamil dan lansia. Pemerintah seharusnya turut pula mengakomodir kepentingan mereka dengan baik. Utamanya dalam hal ini menyangkut aksesibilitas mereka menggunakan transportasi umum. Padahal sudah ada banyak peraturan pemerintah yang mengatur hak-hak bagi mereka. Pasal 41 ayat 2 UU Nomor 39 tahun 1999 berbunyi: “Setiap penyandang disabilitas, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.” Lebih jauh lagi ada undang-undang dan kebijakan nasional tentang hak-hak para penyandang cacat di sektor transportasi. UU No.14 (1992) tentang Kendaraan dan Lalu Lintas. Bab 9 pasal 49 menetapkan bahwa: “Orang cacat dan orang sakit memiliki hak untuk mendapatkan penanganan khusus di dalam kendaraan dan lalu lintas. “ Sekarang tinggal bagaimana pemerintah mengeksekusi peraturan tersebut. Mana implementasi nyata dan realisasi dari susunan sederet kebijakan yang telah dihadirkan itu. Konsumen kendaraan umum didominasi oleh penumpang wanita. Namun kualitas layanan yang diberikan oleh penyelenggara layanan kendaraan umum masih mengabaikan kebutuhan wanita. Dengan kondisi ini, yang perlu diperhatikan adalah upaya-upaya untuk meningkatkan kepuasan layanan yang ditujukan kepada penumpang wanita.

Secara umum Sensus Penduduk 2010 menunjukkan jumlah wanita dan laki-laki di negeri berimbang. Perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan (sex ratio) Indonesia sebesar 101 (BPS,2010): untuk setiap 100 orang wanita terdapat 101 laki-lak. Hal ini tidak berlaku di setiap tempat, termasuk di atas diangkutan umum. Secara kasat mata, kita akan mudah menyimpulkan, sebagian besar pengguna Transjakarta, misalnya, adalah wanita. Para lelaki nampaknya lebih memilih meramaikan jalan raya dengan sepeda motornya. Persoalannya adalah jumlah armada yang disediakan tidak sebanding dengan kebutuhan warga pengguna transportasi umum. Hasilnya berdesakan, dan saling senggol tak bias terhindarkan. Maka tidak salah mempertanyakan kualitas layanan. Kualitas pelayanan angkutan umum terdiri dari beberapa aspek yang mempengaruhi seluruh kualitas pelayanan dipandang dari sudut pandang penumpang ( konsumen). Aspek pelayanan angkutan umum yang mempengaruhi kualitas pelayanan mencakup; waktu perjalanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam perjalanan. (sumber : Dinas perhubungan DIY )

Potret Angkutan Umum di Yogyakarta Di Yogyakarta sendiri, angkutan umum perkotaan dapat dikategorikan menjadi dua, yakni angkutan perkotaan (angkot) bis umum dan Trans Jogja. Hal itu terjadi sejak kemunculan Trans Jogja di tahun 2008. Angkot biasa atau bis umum adalah angkutan umum yang sudah beroperasi sebelum adanya Trans Jogja. Angkotangkot tersebut telah akrab digunakan warga Yogyakarta selama bertahuntahun. Setelah itu barulah muncul Trans Jogja. Meski begitu masih banyak pula masyarakat yang tetap menggunakan angkot-angkot biasa tersebut untuk menempuh perjalanan dalam bepergian. Di dalam salah satu angkutan umum, terpampang sebuah stiker dari Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika propinsi DIY. Kalimat pada stiker tersebut berbunyi ”Terima Kasih Anda Telah Memprioritaskan Orang Lanjut Usia, Perempuan Hamil, Anak-Anak, Serta Difabel.” Namun kita kembalikan pada realitanya, sudahkah angkutan umum yang bersangkutan nyaman dan aksesibel bagi orang lanjut usia, perempuan hamil, anak-anak, serta difabel?

Tabel 2. Sebaran Jalur Transportasi Umum di Kota Yogyakarta Jalur Bis Umum

Jalur Trans Jogja

Parangtritis-Giwangan

Jalur 1A

Panggang-Giwangan

Jalur 1B

Kulonprogo-Gamping- Giwangan

Jalur 2A

Kaliurang-Condongcatur

Jalur 2B

Jombor-Giwangan

Jalur 3A

Imogiri-Giwangan

Jalur 3B

Godean-Jombor-Giwangan

Jalur 4A

Godean-Giwangan

Jalur 4B

Godean-Gamping-Giwangan-Piyungan Giwangan-Kaliurang Bantul-Giwangan Jalur 1-17

Rifkamedia

Februari-April 2012

21


Laporan Utama Apakah pemerintah, dalam hal ini melalui Dinas Perhubungan, telah memberikan fasilitas angkutan umum yang ramah bagi mereka? Faktanya untuk saat ini di Yogyakarta, apabila kita menilik keadaan angkotangkot biasa tersebut memang memprihatinkan. Angkot-angkot tersebut berbentuk bis perkotaan atau mobil dengan pintu yang terbuka sepanjang waktu. Kelayakan kendaraan pun kurang diperhatikan karena sebagian besar telah digunakan sejak kurun waktu yang lama. Ditambah sarana di dalamnya seperti kursi penumpang yang kadang disusun tidak beraturan. Bahkan ada penumpang yang dipersilakan duduk di atas sebuah ban yang ditaruh bersebelahan dengan kursi-kursi penumpang lain. Belum lagi jika sudah penuh, bukannya menolak, si sopir malah tetap akan menyuruh calon penumpang masuk . Hal tersebut membuat keadaan di dalam angkot makin berdesak-desakkan. Pada prakteknya, angkot-angkot akan berhenti di sembarang tempat. Di samping itu cara untuk dapat naik ataupun turun dari angkot biasa sangat membahayakan keselamatan diri. Terutama bagi anak-anak dan lansia, terlebih bagi kaum difabel. Bahkan bagi difabel khususnya, angkot biasa hampir sama sekali tidak dapat terjangkau secara fisik oleh mereka. Karena mengutamakan kecepatan ketika beroperasi, mereka pun tidak mampu untuk mengakses angkot biasa itu secara aman, nyaman, dan leluasa sesuai keadaan fisik mereka. Seperti pengguna angkot jurusan Jogja-Kaliurang, Narti (60). Ia merupakan seorang perempuan lansia yang setiap hari pergi ke pasar Kolombo di jalan Kaliurang. Ia mengaku kesulitan dalam menggunakan angkot, sebab jarak pijakan dari jalan untuk dapat naik ke dalam angkot cukup tinggi, sementara ia menggunakan kain kebaya sebagai busananya sehari-hari. Pintunya pun

22

Rifkamedia

Februari-April 2012

terbilang sempit, sehingga ia harus menyesuaikan diri agar tidak terbentur kepalanya. Apalagi setelah dari pasar, dirinya harus membawa begitu banyak barang belanjaan. Kelemahan fisik karena telah dimakan usia membuatnya kesulitan untuk dapat naik dan turun dari angkot. Ditambah lagi, ia harus merengkuh berbagai barang belanjaannya ikut serta, berupa karung-karung berisi bahan makanan yang tentunya begitu berat membenani. Hal itu membuatnya semakin harus bersusah payah menggunakan angkot. Meskipun ada sopir yang peduli akan kesulitan tersebut dan kadang ikut membantu, tetapi lebih banyak lagi sopir yang tidak peduli akan kesulitan-kesulitan yang dialami penumpangnya. Termasuk yang terjadi pada Narti di atas. “Memang susah, tapi mau bagaimana lagi,� kata Narti. Cerita Narti hanyalah satu dari sekian banyak kisah yang dialami para pengguna angkot lainnya di Yogyakarta. Kejadian lainnya, suatu hari seorang penumpang yang berasal dari luar negeri bersama dengan teman perempuannya sama-sama naik angkot biasa. Ketika hendak turun dan bertanya berapa ongkos yang harus mereka bayar, sang sopir langsung meminta bayaran dengan jumlah yang bisa dibilang fantastis dan jauh dari harga standar yang diterapkan kepada penumpang biasanya. Catatannya, kekerasan tidak melulu terjadi secara fisik, akan tetapi memanfaatkan ketidaktahuan penumpang mengenai harga yang sebenarnya untuk mengeruk keuntungan pribadi juga dapat tergolong sebagai tindakan yang diskriminatif. Seperti yang dikemukakan oleh Sihite, “Seseorang dikatakan sebagai korban kekerasan apabila menderita kerugian fisik, tidak hanya dipandang dari aspek legal, tetapi juga sosial budaya. Bersamaan dengan berbagai penderitaan itu, dapat juga terdapat kerugian harta benda.� (Supangkat,

dalam Sulaeman dan Homzah (eds.), 2010: 12). Sehingga kasus di atas juga menjadi keprihatinan tersendiri yang mesti segera dibenahi. Selain itu masih banyak permasalahan lain yang terjadi seputar penggunaan angkot. Mulai dari sopir ugal-ugalan, pengamen yang memaksa meminta uang dari penumpang, hingga pencopetan barang berharga yang kerap terjadi menimpa para penumpang angkutan umum. Hal-hal tersebut merupakan berbagai ancaman yang terjadi di dalam penggunaan transportasi umum. Dengan alasan yang sama kiranya penurunan terjadi di Jakarta. Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM Yogyakarta mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil survei terhadap kepala keluarga (KK) pemakai kendaraan di Jakarta, Bogor, Depok, Tenggerang dan Bekasi meningkat dua kali lipat. Pada tahun 2011 ini diketahui jumlah pengguna kendaraan bermotor mencapai 48,7 persen. Sembilan tahun sebelumnya, pada tahun 2002, jumlah pengguna kendaraan bermotor hanya 21,2 persen. Sembilan tahun kemudian, Jumlah penguna sepeda motor meningkat dua kali lipatnya. Selain kendaraan bermotor roda dua, jumlah pengguna mobil juga naik 2 persen. Dari data sebelumnya hanya 11,6 persen di tahun 2002, meningkat menjadi 13,5 persen di tahun 2010. Sebaliknya, jumlah pengguna bus sebagai transportasi massal mengalami penurunan yang cukup signifikan. Sebelumnya pengguna bus mencapai 38,3 persen, kini hanya 12,9 persen. Trans Jogja: Jalan Keluar Transportasi Ramah Penumpang di Yogyakarta Bercermin pada banyaknya ketidaknyamanan yang ditimbulkan dari angkot biasa, Trans Jogja akhirnya menjadi alternatif baru transportasi perkotaan di kota Yogyakarta. Ada beberapa hal yang menyebabkan sebagian kalangan


Laporan Utama berpindah dari bis umum ke Trans Jogja. Seperti yang diungkapkan salah seorang petugas penjaga di shelter Panti Rapih, Yani. Ia mengatakan keluhan yang banyak didengar dan ditampung oleh pihak manajemen Trans Jogja adalah karena situasi dalam angkot biasa cenderung rawan. “Umumnya para penumpang pernah menjadi korban pencopetan dalam angkot. Dan kebanyakan dari mereka adalah perempuan, yang terdiri dari mahasiswi dan karyawati,” tukasnya. Maka dari itu akhirnya mereka pun berbondong-bondong beralih menggunakan Trans Jogja. Salah satunya yang pernah menimpa Dewi. Mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta itu mengaku pernah kecopetan di dalam salah satu angkot. Sejak itu ia merasa trauma menggunakan angkot biasa. “Langsung dibilangin sama orangtua, memang jalur yang saya naiki itu rawan dan tidak aman. Kalau tidak hati-hati bisa jadi korban. Dulu saudara juga pernah ada yang kecopetan,” tuturnya. Memang sudah menjadi rahasia umum kalau angkot-angkot biasa seolah telah menjadi sarangnya para pencopet. Oleh karena itu, saat ini ia beralih menggunakan Trans Jogja sebagai transportasinya sehari-hari. Pasalnya Trans Jogja relatif lebih aman dibandingkan angkot-angkot biasa. Dilihat dari segi fisiknya, fasilitas Trans Jogja dinilai sudah cukup ramah bagi semua kalangan, termasuk kaum difabel, ibu hamil, dan lansia. Bagi difabel, untuk masuk menaiki shelter Trans Jogja telah ada jalan bagi mereka yang menggunakan kursi roda. Kemudian bagi mereka yang memiliki kesulitan motorik, petugas akan memandu mulai dari pembelian tiket, hingga memberi tahu armada berapa yang harus penumpang naiki untuk mencapai tujuan. Selanjutnya apabila ada penumpang difabel, ibu hamil, atau lansia yang telah tiba pada shelter tujuan, petugas penjaga shelter akan ikut menuntun dan

Fasilitas Trans Jogja dinilai sudah cukup ramah bagi semua kalangan, termasuk kaum difabel, ibu hamil, dan lansia. Bagi difabel, untuk masuk menaiki shelter Trans Jogja telah ada jalan bagi mereka yang menggunakan kursi roda. membantu penumpang tersebut keluar. Khusus bagi penumpang penyandang tuna netra, petugas pun akan dengan senang hati membantu mereka menyeberang jalan sampai dengan selamat. Ditanya mengenai kasus pelecehan seksual yang marak terjadi di angkutan umum di Jakarta, Yani mengaku belum pernah mendapati kasus tersebut masuk ke manajemen Trans Jogja. “Sampai hari ini belum ada kasus pelecehan seksual di dalam Trans Jogja,” ujarnya. Apabila bis sudah penuh penumpang (full capacity), baik yang duduk maupun berdiri, maka penumpang yang hendak menaiki armada tersebut dipersilakan untuk kembali menunggu jalur serupa yang akan datang berikutnya. Sehingga keadaan di dalam bis tidak terlalu penuh sesak, yang dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya pelecehan seksual. Selain itu, ada petugas di dalam Trans Jogja yang sedapat mungkin selalu mengawasi para penumpang, sehingga keadaan para penumpang senantiasa termonitor. Namun, mendengar hal tersebut kita tidak boleh lengah begitu saja. Bisa jadi itu merupakan sebuah fenomena gunung es. Hanya tampak permukaannya saja, tanpa tahu di baliknya

terdapat kenyataan yang belum terungkap. Tapi bila benar, maka diperlukan pengawasan ekstra untuk mempertahankan keamanan di dalam Trans Jogja tersebut. Selama ini keluhan yang banyak masuk adalah lebih kepada lamanya waktu datang armada Trans Jogja dari satu shelter ke shelter berikutnya. Untuk itu pihak Trans Jogja hingga kini terus berupaya menindaklanjuti mayoritas komplain tersebut. Penambahan armada adalah salah satu opsi yang tengah diajukan untuk mengatasi problem waktu yang ada. Dari situ pun, secara tidak langsung, penambahan armada akan mengurangi potensi berdesakdesakan karena penuhnya penumpang. Otomatis hal tersebut akan menurunkan risiko pelecehan seksual yang diakibatkan berdesak-desakan di dalam bis. Dengan adanya hal tersebut, Trans Jogja diharapkan dapat menjadi contoh bagi mode transportasi perkotaan yang ramah bagi penumpang. Khususnya di area Yogyakarta sendiri. Fasilitas-fasilitas yang dimiliki Trans Jogja sebagai transportasi umum dipandang cukup memadai bagi semua kalangan, termasuk kaum rentan, seperti difabel, ibu hamil, dan lansia, seperti yang telah disebutkan di atas. Begitu pun di kota-kota yang lain, Trans Jogja dapat dijadikan contoh bagaimana membuat transportasi umum yang ikut mengakomodir hak-hak kaum rentan. Namun, memang akan sangat sulit untuk mengubah seluruh angkutan umum yang ada menjadi seperti Trans Jogja. Lagi pula tidak semua daerah dapat terjangkau oleh mode transportasi umum seperti Trans Jogja. Hal senada pernah diungkapkan oleh Ketua Tim HiLink 'Keterpaduan Angkutan Umum', kerja sama UGM, Dishub DIY, dan PT Gama Techno, Prof. Dr. Ing. Ir. Ahmad Munawar, M.Sc., ketika berbicara dalam Workshop Pengembangan Angkutan Umum di Provinsi DIY, pada 25

Rifkamedia

Februari-April 2012

23


Laporan Utama November 2010. Dalam pandangan Munawar, saat ini tampak sulit mengganti seluruh angkutan umum yang ada menjadi Trans Jogja karena tingginya biaya subsidi yang diperlukan oleh pemerintah (Satria, akses 29 Maret 2012). Menurutnya, sebaiknya angkutan umum yang ada ditingkatkan kualitasnya sesuai dengan standar pelayanan minimal. Sehingga dapat memudahkan semua kalangan untuk memanfaatkan angkutan umum. Perlindungan bagi Pegawai Perempuan dalam Dunia Transportasi Tak hanya bagi penumpang, pemenuhan hak-hak perempuan bagi para pegawai atau orang yang berkecimpung di dalam dunia transportasi pun juga tak boleh absen dilaksanakan. Seperti di Trans Jogja. Mereka sendiri turut memiliki pegawai perempuan, baik yang menjaga pembelian tiket di dalam shelter maupun yang bertugas mobile di dalam bus. Misalnya Yani, salah satu penjaga shelter Trans Jogja yang telah disebutkan di atas. Sebelumnya ia biasa bertugas di shelter Kopma UGM atau Rumah Sakit Dr. Sardjito. Shelter-shelter tersebut termasuk pemberhentian Trans Jogja dengan jalur sibuk dan ramai. Namun, karena keadaan dirinya yang tengah hamil, maka pihak manajemen Trans Jogja pun memberikan toleransi terhadapnya. Ia sekarang dipindahkan ke halte Rumah Sakit Panti Rapih yang keadaannya relatif sepi dan tidak terlalu ramai. Sehingga tidak memberatkan tugasnya mengingat kondisinya yang sedang hamil. Kelak bila usia kandungannya sudah semakin bertambah, pihak Trans Jogja pun kembali memberikan keringanan. Ia diperbolehkan untuk mengambil cuti sampai dirinya melahirkan dan keadaannya benarbenar pulih. Hal ini merupakan salah satu contoh yang baik, bagaimana kebijakan manajemen Trans Jogja sudah memperhatikan kepentingan perempuan sebagai pegawainya.

24

Rifkamedia

Februari-April 2012

Di Jakarta sendiri, mereka juga mempekerjakan perempuan sebagai sopir Trans Jakarta. Sejauh ini sudah ada 80 perempuan dari 1.300 pengemudi Transjakarta. Pada shift pagi seorang sopir perempuan busway akan bertugas dari pukul 05.00 hingga 13.00. Jam tersebut dirasa ramah karena setelah pukul 13.00 dirinya bisa pulang ke rumah dan kembali berkumpul bersama keluarga. Ke depannya Transjakarta menargetkan mempekerjakan 30 persen perempuan untuk profesi pengemudi. Membangun Sensivitas Gender pada Individu Kendati demikian masih banyak kritik terhadap Trans Jogja. Salah satunya adalah faktor manusiawi. Sebab terkadang tidak semua pegawai akan bersikap ramah pada penumpang. “Kita tidak munafik, bahwa masih banyak kekurangan kami di sana sini. Akan tetapi kita senantiasa berupaya untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat pengguna Trans Jogja,” imbuh Yani. Sama halnya dengan yang terjadi di angkot pada umumnya. Para sopir biasanya akan memarahi dan memperingatkan para penumpang, bila penumpang tersebut tidak sigap dan gesit dalam naik ataupun turun dari angkot. Tidak peduli apakah penumpangnya itu adalah lansia atau difabel, yang tentunya memiliki kesulitan dalam bergerak. Juga tentang maraknya kasus pelecehan seksual di dalam Trans Jakarta, yang notabene fasilitasnya serupa dengan Trans Jogja. Dari hal tersebut, kita dapat menangkap bahwa tidak hanya fasilitasnya saja yang perlu untuk dibangun, akan tetapi para individunya juga butuh untuk diedukasi. Membangun kepekaan dan kepedulian gender memang penting untuk ditanamkan dalam pribadi masing-masing. Buat apa fasilitas sudah dibenahi, namun orang-orangnya masih tidak sensitif. Atau terus menunggu dan berharap fasilitas dipenuhi sementara diskriminasi terus berlanjut. Untuk itu

diperlukan kesadaran dalam memahami pentingnya kepedulian, serta kesetaraan hak bagi perempuan, difabel, lansia, dan kaum rentan lainnya. Atau di sisi lain, melihat komentar dari seorang pegawai LP, Nunik, di awal, yang dengan lugas menyatakan bahwa pelecehan seksual yang terjadi merupakan salah perempuan. Pendapat yang demikian bisa muncul karena kurangnya pemahaman akan penghargaan terhadap hak perempuan. Menyalahkan korban yang semestinya menjadi pihak yang harus dilindungi merupakan sikap yang sangat disayangkan. Mencermati kenyataan tersebut maka penanaman kesadaran gender amat diperlukan, agar usaha penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan kaum rentan lain dapat dilakukan secara menyeluruh. [] Referensi: Irwanto, Eva Kasim, dan Asmin Fransiska, “Para Penyandang Cacat dan HAM di Indonesia,” Jurnal Perempuan: Seberapa Jauh Tanggung Jawab Negara?, eds. Nur Iman Subono. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2011. Susilowati, dkk (2011) Kajian Kinerja Angkutan Umum dengan Metode Quality Function Development (QFD) Pada Kawasan Industri Marmer di Kabupaten Tulungagung. Jurnal Rekayasa Sipil Volume 5, No.3 – 2011. BPS Kota Jogja. Jogja dalam Angka 2010 Satria, http://www.ugm.ac.id/index.php? page=rilis&artikel=3226, akses 29 Maret 2012. Supangkat, Budiawati, “Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Perspektif Ekonomi,” Kekerasan Terhadap Perempuan, eds. Munandar Sulaeman, Siti Homzah. Bandung: PT Refika Aditama, 2010. http://dishub-diy.net/table/jalur-bis-umum/, akses 8 April 2012. http://dishub-diy.net/transjogja/rute-barutransjogja.html, akses 8 April 2012.


Laporan Utama

Sudahkah Transportasi Publik di Indonesia Sensitif Gender? Oleh: Defirentia One M. Mahasiswa FISIPOL Universitas Gadjah Mada, Relawan Rifka Media

Jika sebagian besar pengguna layanan transportasi publik adalah perempuan, bukankah sudah semestinya penyedia jasa menempatkan aspek gender dalam pelayanan dan pengelolaan transportasi umum? Sudahkah transportasi publik kita demikian?

Rifkamedia

Februari-April 2012

25


Laporan Utama Tulisan ini sengaja diawali dengan sebuah pertanyaan di tengah carut marut kasus perkosaan dan pelecehan seksual di transportasi umum. Mengapa kasus tersebut dikaitkan dengan kebijakan transportasi publik? Adanya klaim bahwa kebijakan transportasi publik belum memihak pada perempuan, belum bisa melindungi perempuan dari kejahatan, belum mampu menjamin perlindungan dan rasa aman bagi perempuan, menjadi satu wacana yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Mengapa kebijakan transportasi perlu sensitif gender? Dan, apakah kebijakan transportasi yang sensitif gender akan lebih menjamin rasa aman dan nyaman bagi perempuan? Sebagai sebuah konsep, gender diartikan sebagai sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan akibat konstruksi sosial maupun kultural (Fakih, 1996:8). Konstruksi ini kemudian berpengaruh terhadap sikap dan peran yang harus dijalankan oleh laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial. Gender berbeda dengan jenis kelamin biologis, namun konstruksi gender tetap dibangun atas perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Konstruksi mengenai perempuan diterjemahkan, perempuan itu lemah lembut, emosional, dan keibuan. Sedangkan lakilaki dianggap kuat, perkasa, dan rasional. Berbagai konstruksi itu membangun dikotomi peran laki-laki dan perempuan. Menilik pengetahuan tentang gender di masyarakat Indonesia, didapati kecenderungan perempuan akan lebih sering berada di rumah, mengurus anak-anak, serta menjalankan pekerjaan rumah tangga. Sebaliknya, laki-laki yang dianggap sebagai pemimpin rumah tangga bertanggung jawab mencari nafkah. Cukup logis ketika laki-laki akan banyak bekerja di luar rumah bahkan dengan mobilitas yang lumayan tinggi serta jadwal kerja yang padat. Namun, konstruksi peran perempuan di ranah domestik mengalami pergeseran. Jumlah

26

Rifkamedia

Februari-April 2012

perempuan yang berpartisipasi dalam ruang publik dan bekerja di luar rumah semakin banyak, dengan mobilitas yang tidak kalah dibandingkan laki-laki. Terkait isu transportasi publik, pelayanan terhadap penumpang memang menjadi isu krusial. Bahkan dengan berkembangnya wacana mengenai kebijakan publik yang sensitif gender, pelayanan terhadap penumpang perempuan dan laki-laki perlu ditinjau ulang. Kebijakan transportasi yang sensitif gender dirumuskan berdasarkan kecenderungan budaya bepergian, posisi serta peran-peran yang dibawa masing-masing individu selama bepergian. Mengkaji Gender dan Transportasi Sebuah laporan penelitian yang dirilis United Nation Economic and Social Commission for Asia and The Pasific (UN ESCAP) tentang Gender, Transport, and the Feminist Agenda : Feminist Insights Towards Engendering Transport Research memaparkan posisi perempuan dalam isu transportasi publik (Buiten, 2007, No.76). Denise Buiten, penulis naskah itu, diawal tulisannya menggunakan dimensi kultural untuk memahami persepsi tentang perempuan, gender, dan bagaimana pengaruhnya dalam kebijakan transportasi publik. Rilis itu menarik , mengingat pengetahuan yang mendasari dan digunakan dalam riset maupun pembuatan kebijakan transportasi masih belum bisa menempatkan aspek gender dan kepentingan perempuan secara tepat. Pengetahuan tentang transportasi, sejauh ini tidak semuanya menyangkut dan mempertimbangkan kepentingan perempuan. Sebaliknya, kebijakan transportasi cenderung menyamaratakan (homogenisasi) kepentingan penumpang perempuan dan penumpang laki-laki tanpa pertimbangan lain usia, kemampuan fisik, maupun peran gender yang dibawa saat itu. Sehingga, konstruksi transportasi sensitif gender dibangun berdasarkan

asumsi kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, perempuan dengan perempuan, laki-laki dengan laki-laki, ataukah antara orang dengan lembaga. Namun, kesemuanya itu disesuaikan pula dengan konteks kasus dan budaya yang melatarbelakanginya. Riset yang dilakukan Buiten menggarisbawahi pentingnya memasukan unsur gender dalam melihat pola mobilitas dan transportasi. Hal ini mengacu pada riset sebelumnya yang dilakukan Law. Law melakukan riset tentang identifikasi subjek gender kaitannya dengan transportasi dan mobilitas manusia (Law dalam Buiten, 2007, No.76). Sudut pandang yang digunakannya diperluas dengan melihat aspek keyakinan tentang gender, hubungan dengan teknologi, dan relasi kuasa secara lebih terbuka. Diantaranya, ia melihat ada pengaruh yang cukup penting dari penggunaan gender sebagai alat analisis pola mobilitas manusia untuk menjawab permasalahan pelecehan seksual di dalam transportasi. Menurutnya, penting melihat bagaimana tiap orang mendefinisikan sense of space (perasaan pada suatu tempat tertentu) dengan berspektif gender. Biasanya perempuan mendefinisikan sense of space dalam bentuk persepsi tentang rasa aman dan nyaman dari suatu tempat. Hal ini, menurut Law, mempengaruhi pilihan perempuan untuk bepergian atau tidak bepergian ke tempat tertentu, di waktu apa, dan bagaimana cara bepergian mereka (sendirian atau berkelompok). Satu hal yang juga penting, semua itu pun mempengaruhi pilihan perempuan dalam menggunakan bentuk transportasi tertentu. Sejalan dengan isu ini, sebuah artikel yang ditulis Sharon Hanlon (1996) yang bertajuk Where do Women Feature in Public Transport?, mengidentifikasi bahwa menurut penelitian kebanyakan pengguna transportasi publik adalah perempuan. Meskipun tidak sedikit pula laki-laki yang sering menggunakan


Laporan Utama transportasi publik, namun ada beberapa hal yang penting untuk diperbandingkan dan dikaji terkait perbedaan peran gender yang ada dalam masyarakat tertentu. Hal ini penting sebab menyangkut bagaimana pelayanan fasilitas transportasi publik dapat memberikan kenyamanan dan keamanan baik bagi penumpang laki-laki dan perempuan. Menurut Hanlon, ada tiga kata kunci dalam isu transportasi publik ini, yaitu reliabilitas (reliability), keamanan dan perlindungan (safety and security), serta akses yang bersifat fisik (physical access). Konsepsi yang diajukan ini awalnya memang digunakan untuk memotret bagaimana persoalan kebijakan transportasi di negara-negara yang telah maju. Namun, satu hal yang menarik bahwasanya konsepsi ini pun akan cukup relevan untuk mengkaji kebijakan transportasi di Indonesia dan bagaimana posisi perempuan di dalamnya. Lebih detail Prihono, dkk meneliti tentang desain layanan kendaraan umum untuk wanita berbasis FuzzyKano Quality Function Development (QFD hasilnya Keamanan menjadi prioritas utama yang diinginkan oleh perempuan, selajutnya tarif, dan tempat duduk. (Lihat table 1). Persoalan,adakah hasil-hasil penelitan tersebut digunakan oleh pengambil kebijakan dalam mengelola dan mendesain transportasi publik yang ramah perempuan? Dan apakah pemerintah sebagai penyelenggara Negara rensponsif dengan temuantemuan penelitian para ahli? Kaitannya dengan impelementasi konsep tentang realibilitas, keamanan dan perlindungan maupun kemudahan akses transportasi publik, dapat dipertanyakan kembali apakah kebijakan transportasi publik telah teruji manfaatnya untuk para perempuan. Khususnya, apakah itu juga mengakomodasi peran-peran perempuan yang harus bekerja di luar rumah dan membutuhkan kemudahan sarana untuk

Tabel 1. Relative Importance Index (RII) Bus Penumpang Perempuan No

Atribut

RII

Prioritas

1

Keamanan

6,76

1

2

Ongkos/Tarip

6,22

2

3

Tempat Duduk

5,71

3

4

Kebersihan

1,82

7

5

Udara Bersih(AC)

5,13

4

6

Fasilitas Halte

1,00

11

7

Fasilitas Terminal

1,03

9

8

Fasilitas Toilet

1,03

10

9

Ketepatan Waktu

1,78

8

10

Perilaku Sopir

2,17

6

11

Perilaku Kondektur

2,29

5

Sumber: Prihono, dkk Jurusan Teknik Industri ITS

menjangkau tempat kerja mereka di satu sisi dan untuk segera kembali ke rumah di sisi lainnya. Di Indonesia sendiri, belum ada data yang cukup akurat tentang berapa banyak perempuan yang menggunakan fasilitas transportasi umum setiap harinya. Yang pasti, setiap harinya kendaraan umum tidak pernah sepi dari penumpang perempuan, bahkan mereka diperkirakan merupakan p e n g g u n a te r ba n y a k ke n d a r a a n tersebut. Dari Fakta, Perempuan Bicara Mobilitas masyarakat khususnya di kota-kota besar semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan peningkatan kebutuhan untuk menjangkau kantongkantong perekonomian. Akan tetapi tidak semua orang menggunakan kendaraan pribadi. Kemacetan di kota ditambah dengan pertimbangan biaya transportasi, menjadikan banyak orang memilih menggunakan transportasi umum. Misalnya saja, menilik data penumpang bus Trans Jakarta di bawah ini didapati bahwa jumlahnya kian meningkat dari tahun ke tahun (Lihat tabel 2).

Dari pengamatan sederhana, kita dapat memperhatikan beberapa tren menarik dari layanan transportasi di Indonesia belakangan ini yaitu disediakannya fasilitas khusus wanita berupa gerbong maupun bus. Ada sebuah terobosan baru yang dikeluarkan oleh PT. Kereta Api Indonesia yaitu adanya gerbong khusus wanita pada Kereta Rel Listrik (KRL) kelas Pakuan

Tabel 2. Jumlah Penumpang Bus Trans Jakarta 2004-2009 Tahun

Jumlah Penumpang

2004

14.924.423 orang

2005

20.798.196 orang

2006

38.828.039 orang

2007

61.439.961 orang

2008

74.619.995 orang

2009

75.158.675 orang

Rata-rata penumpang 6-7 juta penumpang per bulan tahun 2009 Sumber : Data Badan Layanan Umum (BLU) Jakarta, dikutip dalam situs Berita Indonesia online, 15 September 2010

Rifkamedia

Februari-April 2012

27


Laporan Utama Ekspres dan Ekonomi AC yang diluncurkan sejak 19 Agustus 2010. Kebijakan gerbong khusus wanita ini juga diterapkan pada Kereta Api Prambanan Ekspres (KA Prameks) SoloYogyakarta serta Bus Trans Jakarta yang menyediakan ruang khusus wanita di dalam bus bagian depan. Adanya terobosan ini mendapat sambutan positif dari masyarakat khususnya kaum perempuan. Bahkan dalam gerbong khusus wanita di KA Prameks, keutamaan tidak hanya didapatkan oleh para penumpang perempuan, tetapi juga untuk ibu hamil, anak-anak, difable, dan juga wanita lanjut usia. Penyediaan fasilitas khusus di beberapa kereta maupun bus memang memberikan banyak manfaat utamanya bagi para perempuan. Terkait transportasi kereta api misalnya, selama ini banyaknya laporan masyarakat kepada PT. KAI tentang maraknya pelecehan seksual dan tindak kriminal yang menimpa penumpang perempuan menjadikan pertimbangan yang cukup serius bagi penyedia jasa layanan transportasi. Begitu pula dalam bus Trans Jakarta, alasan serupa juga disampaikan Kepala Badan Layanan Umum (BLU) Trans Jakarta, M. Akbar. Seperti dilaporkan Sindonews.com 1 Desember 2011, pemisahan penumpang perempuan dan laki-laki adalah bentuk respon cepat terhadap banyaknya pelecehan seksual di bus Trans Jakarta. Kebijakan ini, tambah Akbar, untuk menghilangkan kesempatan penumpang melakukan pelecehan seksual pada perempuan. Cukup menggembirakan ketika mengetahui bahwa kebijakan ini mendapat respon yang positif baik dari penumpang laki-laki dan perempuan. Kondisi bus dan kereta padat penumpang sehingga harus berdesakdesakan, menjadi satu situasi yang rentan dengan pelecehan seksual. Padatnya bus dan gerbong kereta menjadi zona tidak aman bahkan jauh dari nyaman bagi perempuan juga anakanak. Dalam situasi tersebut, semua

28

Rifkamedia

Februari-April 2012

Diagram 1. Data Keluhan Pengguna Transjakarta

46%

Sumber : Data Survei Yayasan Layanan Konsumen Indonesia (YLKI), responden 3000 orang penumpang Tranjakarta, Maret 2010, dikutip dalam situs Berita Indonesia online, 15 September 2010

penumpang perempuan, laki-laki, lansia, dan anak-anak berada pada situasi penuh kompetisi. Masing-masing saling berusaha mendapatkan tempat paling nyaman. Sayangnya, seringkali ada saja pihak-pihak yang justru memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan pelecehan seksual dan kekerasan. Sebuah kebijakan publik dikatakan teruji efektif bila mendapat respon positif dari masyarakat. Memang saat ini telah banyak transportasi yang menyediakan ruangan khusus bagi perempuan. Namun respon yang diberikan masyarakat masih beragam. Anggie (22) pengguna Pramex asal Purworejo, mengamati bahwa gerbong khusus wanita memang lebih memberikan rasa aman dan nyaman bagi perempuan. “Kalau di gerbong biasa seringnya berdesak-desakan, belum lagi rawan copet dan pelecehan. Kalau di gerbong khusus, saya merasa lebih aman dan nyaman. Biasanya kan perjalanan cukup jauh, jadi kalau mau tidur di kereta juga lebih tenang,� ungkapnya. Kebijakan gerbong khusus ini, kata Anggie, dijumpainya pertama kali ketika ia mudik lebaran. Kondisi arus mudik maupun balik ketika lebaran biasanya sangat padat, berdesak-desakan, dan rawan dengan kejahatan. Situasi demikian ini tidak cukup aman dan nyaman bagi perempuan, anak-anak,

dan lansia. “Pernah saya temui, waktu kereta dalam kondisi padat penumpang ada banyak penumpang perempuan, anak-anak, dan lansia yang tidak mendapatkan tempat duduk. Kasihan juga lihat balita yang terus nangis sambil digendong ibunya yang berdiri berdesak-desakan. Kalau di gerbong khusus perempuan, lansia dan anak-anak kan dapat prioritas. Juga buat ibu hamil dan difabel. Saya kira dengan tambahan fasilitas gerbong khusus memberikan ruang perlindungan dan kenyamanan yang lebih,� tambah Anggie. Adanya pemisahan ruang publik untuk perempuan dan laki-laki dapat dilihat sebagai segregasi gender dalam transportasi. Persepsi masyarakat tentang peran gender perempuan menyebabkan mereka memperoleh keutamaan dalam hal tertentu termasuk dalam pelayanan publik di bidang transportasi. Misalnya, perempuan yang bepergian dengan transportasi publik kebanyakan membawa anaknya, ada fungsi perlindungan dan pemeliharaan yang diemban perempuan selama bepergian. Peran ini dirasa lebih berat ketika bepergian dengan kendaraan umum dibandingkan dengan kendaraan pribadi. Para suami atau anggota keluarga lainnya pun merasa khawatir jika perempuan bepergian sendiri dengan membawa anak-anaknya. Baik kekha-


Laporan Utama watiran akan kejahatan maupun ketidaknyamanan yang mungkin dialami oleh perempuan dan si anak. Kekhawatiran ini ada pula yang diekspresikan dengan pengekangan agar perempuan tidak bepergian sendiri tanpa ditemani suami atau anggota keluarga laki-laki. Lantaran khawatir akan terjadinya kekerasan seksual maupun kejahatan, larangan-larangan untuk keluar rumah diberikan pada perempuan. Seolah-olah perempuan tidak memiliki posisi tawar untuk memutuskan apakah ia akan bepergian sendiri atau bersama orang lain. Serta, apakah ia akan menggunakan fasilitas transportasi publik atau tidak. Selain menyangkut kesadaran dan pilihan si perempuan, pilihan-pilihan untuk bepergian maupun penggunaan mode transportasi tertentu juga dipengaruhi persepsi mereka tentang keamanan dan ancaman. Tiaptiap perempuan memiliki definisi yang berbeda tentang keamanan dan ancaman dalam bertransportasi. Nisa (22), menyoal keamanan perempuan dalam bertransportasi, lebih khawatir terjadinya pencopetan. Sejauh ini, menurutnya, belum pernah ia mengalami pelecehan seksual. Sehingga, aspek safety yang disorotinya lebih m e n g a r a h pa d a ke a m a n a n d a n perlindungan dari tindakan kriminal. Tetapi Nisa cenderung memberikan pendapat yang pesimis terkait urgensitas gerbong khusus wanita. “Aku kira tidak semua perempuan memilih untuk naik di gerbong khusus. Ya, buatku itu (baca : gerbong khusus) tidak selalu urgen. Lihat-lihat situasi. Kalau bepergiannya sama bapak, ya aku harus naik di gerbong yang sama. Aku malah gak nyaman kalau terpisah dengan bapakku.” Ada pula penuturan Ayu (21), bukan nama sebenarnya, yang menceritakan pengalamannya ketika naik pramex. “Waktu itu saya dengan seorang teman perjalanan dari Solo ke Jogja. Naik pramex di gerbong khusus wanita. Kereta pas lagi padat, hampir semua gerbong penuh. Tiba-tiba ada seorang

laki-laki membawa seorang anak balita menyerobot masuk gerbong khusus wanita. Padahal udah ditegur petugas. Tapi ia tetap tak mau pindah ke gerbong lain. Alasannya, gerbong lainnya sangat padat. Ia tidak mau anaknya ikut berdesakan. Kalau di gerbong khusus wanita kan anaknya bisa lebih aman dan nyaman.” Cerita Ayu di atas cukup menarik. Terlihat ada suatu pelanggaran atau mungkin bisa saja disebut sebagai pengecualian pada kondisi tertentu. Fasilitas gerbong khusus memang diutamakan untuk penumpang perempuan atas peran pelindung anak-anak selama bepergian. Namun dalam situasi tertentu, bagaimana jika peran pelindung untuk anak-anak diampu oleh lakilaki? Menanggapi kasus ini, Agung Wisnubroto, Divisi Man's Program Rifka Annisa, melihat bahwa ada kecenderungan pemanfaatan situasi oleh pihak-pihak tertentu. Ia menuturkan bahwa dalam kasus seperti itu, anakanak tidak seharusnya dijadikan alasan untuk masuk gerbong wanita. Regulasi sudah dibuat bahwa gerbong itu khusus wanita, jadi harus ditaati. Pemaksaan laki-laki untuk menyerobot gerbong khusus wanita, menurutnya, adalah bentuk ekspresi dari sifat-sifat maskulin yang negatif. Ketika kereta dalam keadaan padat setiap orang akan berkompetisi untuk kenyamanan dirinya. Biasanya ini terjadi di kereta ekonomi. Kasus bapak yang menyerobot gerbong wanita dengan alasan perlindungan anaknya tidak dapat selalu dijadikan pengecualian yang mungkin terjadi di waktu selanjutnya. Agung lebih banyak memberikan analisis bukan pada peran gender yang diampu si laki-laki pembawa balita, melainkan lebih menekankan pada peninjauan ulang pada relasi kuasa yang ada. Untuk menciptakan transportasi publik yang aman dan nyaman untuk penumpang, perlu dibuat regulasi yang tegas serta jaminan fasilitas yang memadai. Berikut

usul yang disampaikannya. “Jika masalahnya adalah gerbong yang terlalu penuh sehingga penumpang berdesakan”, kata Agung, “maka penyedia jasa transportasi perlu menambah jumlah armada dan fasilitas. Akan lebih bagus jika dalam kereta ekonomi diberlakukan satu tiket untuk satu tempat duduk, Jadi tak perlu ada penumpang yang berdiri bahkan berdesak-desakan.” Agung juga menyoroti relasi kuasa yang terbentuk dalam kasus ini. Jika penumpang lain enggan atau takut menegur laki-laki yang menyerobot gerbong khusus wanita, maka petugas pendamping gerbong perlu mengingatkan dengan tegas. Tidak hanya itu, untuk menjamin hak laki-laki tersebut dan anaknya agar tetap bepergian dengan nyaman, petugas perlu mengantarkan dan mencarikan tempat yang kosong di gerbong lain. Atau, jika harus tegas atas nama toleransi, petugas bisa meminta penumpang lain untuk setidaknya berbagi tempat duduk dengan si balita. Akan tetapi, lebih baik jika penumpang lain berinisiatif sendiri untuk melakukan hal tersebut. Mungkin bukan hanya untuk anak kecil, tapi juga kepada perempuan hamil, orang tua dan para difabel. Menimbang Sensitivitas Gender dalam Transportasi Mengacu pada kasus di atas, munculnya kebijakan gerbong khusus memang dilatarbelakangi atas ketidaknyamanan dan tidak aman angkutan umum bagi perempuan. Adanya pemisahan bukan lantas dilihat sebagai pemisahan penumpang laki-laki dan perempuan. Sebenarnya tujuannya cukup sederhana yaitu ingin melindungi perempuan. Namun pelaksanaan di lapangan masih saja menemui banyak kendala. Baik ketidaktertiban pengawasan oleh petugas sehingga penumpang laki-laki bisa menyerobot masuk. Atau pula pilihan si perempuan sendiri

Rifkamedia

Februari-April 2012

29


Laporan Utama untuk tidak menggunakan fasilitas gerbong khusus sebab tidak mau terpisah dari keluarganya. Ketika kebijakan transportasi sudah disusun sedemikian rupa agar memperhatikan kepentingan perempuan, maka perihal pelecehan seksual maupun kasus perkosaan dapat dicegah dengan mengonstruksi pola berpikir masyarakat sendiri. Perlu pelibatan kesadaran dan kemauan masing-masing individu untuk saling menghargai dan menghormati hak-hak dan integritas tubuh orang lain khususnya perempuan. Memang upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang lebih sensitif gender telah banyak dilakukan. Namun, masih ada tugas besar ke depannya. Pertama, meskipun telah ada inovasi dalam kebijakan transportasi publik dengan penyediaan ruang untuk melindungi perempuan dan mengakomodasi kepentingan perempuan dalam kaitannya dengan peran gender yang diembannya, bukan berarti pemerintah tidak perlu meninjau kembali kebijakan-kebijakan lainnya. Kebijakan publik tidak sebatas penyediaan ruang publik, tetapi juga harus menyangkut manajemen proses dan struktur lain yang menunjangnya. Begitu halnya dalam kasus ini, kebijakan transportasi publik yang sensitif gender tidak serta merta dikatakan selesai hanya dengan menyediakan fasilitas gerbong dan bus khusus untuk perempuan. Dengan tujuan untuk meminimalisir pelecehan seksual. Atau pun dalam kasus perkosaan di angkutan umum, misalnya, bukan berarti kebijakan telah selesai ketika diberlakukan operasi (penertiban) dan pengamanan angkutan umum. Masih ada rangkaian proses dan sistem penunjang yang perlu dipertimbangkan para desicion maker. Misalnya, jika pelecehan seksual sangat rentan terjadi di situasi yang berdesak-desakan dalam antrian maupun dalam sarana transportasi, maka solusinya adalah

30

Rifkamedia

Februari-April 2012

memberlakukan regulasi serta pengawasan yang lebih tegas untuk penertiban penumpang. Kemudian jika masalahnya adalah keterbatasan sarana transportasi, maka pemerintah bertanggung jawab untuk menambah jumlah armada dan melengkapi dengan fasilitias penunjang, agar kepentingan dan hak semua penumpang terakomodir. Perlu pula disediakan alternatif lain, misalnya dengan menambah petugas pengamanan di dalam transportasi. Tidak perlu lagi berdesakdesakan dan khawatir akan tindak kejahatan maupun pelecehan. Selain itu, satu hal yang tidak kalah penting adalah soal penganggaran untuk penyediaan transportasi tersebut. Perlu ditinjau kembali, apakah penganggaran kebijakan transportasi kita sudah responsif gender dan memprioritaskan penyediaan fasilitas-fasilitas untuk kelompok rentan. Kedua, menyoal gender bukan hanya mempersoalkan laki-laki dan perempuan tetapi juga perlu melihat kelompokkelompok rentan seperti orang tua, anak-anak, dan difable. Dalam kaitannya dengan transportasi, inisiasi transportasi sensitif gender juga perlu mempertimbangkan dan mengakomodasi kebutuhan kelompok-kelompok ini. Sebab, segala upaya pemerintah Indonesia selama ini untuk membuat kereta atau bus khusus perempuan agaknya kurang efektif jika tanpa dilengkapi dengan fasilitas untuk mereka yang berkebutuhan khusus seperti kemudahan akses untuk difable, fasilitas yang diutamakan untuk ibu hamil dan orang tua, pun ruang transportasi yang nyaman untuk anak-anak. Ketiga, jika kebijakan sudah dibuat tapi belum juga efektif maka perlu didukung dengan penyadaran masyarakat dari aspek kultural. Sebagai refleksi, maraknya pelecehan seksual dan perkosaan yang terjadi di tempat umum dapat dianggap sebagai sesat pikir persepsi masyarakat akan tubuh perempuan.

Banyak oknum yang masih melihat perempuan dalam konteks seksualitas. Bagi pelaku, ini dapat menimbulkan hasrat untuk melakukan kejahatan seksual sedangkan bagi masyarakat lainnya dapat pula menimbulkan stigma negatif yang mengaitkan kejahatan dengan cara perempuan berpakaian. Perlu adanya penyadaran kepada masing-masing individu untuk menghormati dan memelihara hak-hak orang lain. Yang terpenting adalah selain kebijakannya juga masyarakatnya yang harus sensitif gender yaitu dengan menghargai dan peduli akan kepentingan perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya.[]

Referensi : Buiten, Denise (2007), “Gender, Transport, and the Feminist Agenda : Feminist Insights Towards Engendering Transport Research�, Transport and Communication Bulletin for Asia and the Pasific, New York, <http://www.unescap.org/ttdw/Publications/ TPTS_pubs/bulletin76/bulletin76_fullte xt.pdf>, diakses 12 Maret 2012. Fakih, Mansour (1996), Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hanlon, Sharon (1996), “Where do Women Feature in Publik Transport?�, <www.fhwa.dot.gov/ohim/womens/chap34. pdf>, diakses 12 Maret 2012. <http://www.sindonews.com/read/2011/12/ 01/437/536480/hindari-pelecehanseksual-bus transjakarta-tiru-pt-kai>, diakses 8 April 2012. <http://www.beritaindonesia.co.id/beritautama/bus-transjakar ta-pr-sangprimadona/all>, diakses 8 April 2012


Laporan Utama

Buruk Layanan Publik, Rok Mini Dibelah Perempuan Mencari Keadilan di Transportasi Umum Oleh: Hani Barizatul Baroroh* dan Ashabul Fadhli** Buruk layanan publik, rok mini dibelah. Itulah kiranya peribahasa yang cocok untuk menggambarkan kasus-kasus kekersan dan pelecehan seksual yang terjadi di angkutan umum kita. Negara abai dalam menjalankan konstitusi, melindungi segenap warga bangsanya. * Mahasiwa Program Magister Hukum, Universitas Gadjah Mada, relawan Rifka Media. ** Mahasiswa Program Ilmu Hukum Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Relawan Rifka Media.)

Rifkamedia

Februari-April 2012

31


Laporan Utama

K

etersediaan jumlah transportasi umum yang beragam tentu sangat memudahkan dan membantu masyarakat bergerak ke tempat tujuan. Tanpa adanya alat transportasi, kita akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan kita. Transportasi telah memudahkan manusia untuk bersosialisasi dan berkomunikasi. Indonesia menurut CIA merupakan negara terluas ke15 di dunia, (CIA, 2012). Ia merupakan negara kepulauan yang memiki lebih dari 17.000 pulau dengan total wilayah 735.355 mil persegi. Indonesia pun menempati peringkat keempat dari 10 negara berpopulasi terbesar di dunia yaitu sekitar 220 juta jiwa, (balianzahab, 2012). Tanpa sarana transportasi yang memadai maka akan sulit untuk menghubungkan seluruh daerah di kepulauan ini. Transportasi pun berperan dalam proses afiliasi budaya. Data yang disusun oleh kementrian perhubungan mengenai komposisi dan perbandingan luaw wilayah, jumlah penduduk, panjang jalan, dan jumlah kendaraan wilayah Indonesia menunjukkan betawa kebutuhan akan kendaraan, terutama transportasi umum sangat besar.

kap, pengguna transportasi umum jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan transportasi pribadi. Peneliti Transportasi dari Universitas Katolik Soegijopranoto Semarang Djoko Setijowarno mengatakan persentase jumlah kendaraan umum di kota-kota besar di tanah air tidak sampai 1% dari total kendaraan pribadi, (bisnis, 2012). Djoko mengatakan di Jakarta sendiri, jumlah kendaraan umum hanya 2% atau hanya 859.692 unit dari total kendaraan pribadi. Di Semarang, lanjut Djoko, persentasenya lebih kecil, yakni hanya 0,35% atau hanya 4.309 unit, dibanding kendaraan pribadi. Ketidakseimbangan laju pertumbuhan kendaraan dengan sarana infrastruktur menyebabkan kemacetan, terutama di Jakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi dengan rasio 98% didominasi oleh kendaraan pribadi dengan pertumbuhan 11% per tahun (Adisti, 2007). Angkutan umum secara tidak lansung turut melestarikan komunikasi sosial yang positif. Hal itu bisa dilihat melalui beberapa peristiwa sosial yang kerap terjadi di atas angkutan umum. Komunitas Pramekers misalnya, menggelar beberapa obrolan dan temu komu-

Tabel 1. Perbandingan Luas Wilayah, Penduduk, Panjang Jalan, dan Jumlah Kendaraan di Indonesia Tahun 2010 (%) Sumatra

Jawa

Bali & NTT

Kalimantan

Sulawesi

Maluku & Papua

Luas Wilayah

20,6

7,2

4,1

32,3

10,8

25,0

Jml. Penduduk

21,2

58,6

5,3

5,6

7,3

2,0

Panjang Jalan

33,8

26,8

9,8

9,1

14,2

6,3

Jml. Kendaraan

17,9

65,0

5,9

6,0

4,2

1,0

Indikator

Sumber: Kemhub, 2011

Begitu pentingnya transportasi dalam menunjang kebutuhan manusia tentunya membuat kita menginginkan alat transportasi yang aman, nyaman. Mungkin itu yang menjadi alasan banyak orang untuk memiliki alat transportasi pribadi. Dalam sebuah penelitian terung-

32

Rifkamedia

Februari-April 2012

nitas. Komunitas prameker adalah mereka yang menggunakan kereta prameks untuk jogja-solo dan sebalinya. Mereka memanfaatkan moda kereta yang sama dan menjalin pertemanan. Di tengah kesederhanaanya, angkutan umum memfasilitasi penumpangnya untuk me-

mahami nilai kebersamaan ketika berada di atas angkot, dengan saling bergeser tempat duduk untuk kenyamanan penumpang lain. Pertanyaannya, bagaimanakah dengan kasus perempuan pengguna transportasi umum di Jakarta? Bagai mana cerita perempuan ditengah buruknya layanan transportasi umum di ibu kota? Melalui sejumlah pemberitaan di berbagai media, baik itu televisi, cetak, dan media lainnya, telah terjadi kasus kekerasan seksual terhadap perempuan diangkutan umum. Pemberitaan tersebut spontan menimbulkan keresahan dan ketidak nyamanan oleh sebagaian masyarakat. Perkosaan di Transportasi Umum Tanggung Jawab Siapa? Setidaknya sudah 3 kali perkosaan dan perampokan di dalam angkutan umum yang terangkat ke publik. Belum lagi pencopetan dan penjambretan yang tidak dilaporkan korban kepada polisi, tidak terhitung jumlahnya. Korban perkosaan itu ialah VP, seorang mahasiswi. Dia dirampok, diperkosa dan dibunuh di angkutan umum Agustus 2011 silam. Kasus berikutnya menimpa seorang karyawati RS yang diperkosa di angkutan kota jurusan Ciputat – Pondok Labu, September 2011. Korban memburu sendiri pemerkosa sampai berhasil ditangkap. Nasib malang juga menimpa seorang pramuwisma yang akan pulang ke rumah majikannya yang naik mikrolet trayek 28, jurusan Kampung Melayu – Pondok Gede. Dia diperkosa, dan dirampok sopir tembak mikrolet itu di tempat gelap, setelah diajak berputarputar. (Majalah Hukum edisi 65-2) Bermula dari kasus perkosaan di angkot jurusan Depok-Cikeas, pertengahan Desember tahun lalu (14/11), sejumlah kasus pelecehan ditransportasi umum, termasuk diatas transjakarta, terus bermunculan. Tidak lama setelah kasus dari kota Depok, kasus pelecehan seksual ini lambat laun menyusul ke kota-kota lain. Salah satunya Kota Jogja.


Laporan Utama Tabel 2. Kasus-kasus kekerasan seksual yang mencuat di Media Lokasi/waktu

No

Korban

Kasus

1

V P (mahasiswi)

Dirampok, diperkosa, dan dibunuh diangkutan umum

Agustus 2011

2

RS (karyawan)

Diperkosa

Trayek Ciputan-Pondok labu, September 2011

3

N (pramuwsma)

Diperkosa dan dirampok

Mikrolet trayek 28 jurusan Kampung Melayu-Pondek Gede Sumber: Majalah Hukum, edisi 65

Kejadian itu terungkap dalam forum �Diskusi Gender Dan Pemberdayaan� yang di gelar PSKK UGM pada Jum'at (20/1). Seorang SPG nyaris mengalami pelecehan seksual dan kekerasan saat hendak menuju tempat kerjanya sebuah Mall Malioboro. Kejadian naas tersebut bermula karena angkutan kosong. Di tengah sepinya penumpang, pelaku kalap dan melakukan perbuatan yang tidak senonoh tersebut. Singkat cerita, kejadian tersebut berhasil di cegah. Korban nekat turun dengan melompati angkot setelah minta tolong pada masyarakat umum yang berada di luar angkot. Menyikapi wacana di atas, perlu ditelusuri mengapa kekerasan selalu terjadi. Dan siapakah yang harus bertanggungjawab terhadap kasus-kasus secama ini? Negara, melalui aparatnya, melontarkan bahwa perkosaan yang terjadi diangkutan umum, ataupun pelecehan sksual dimoda transportasi disebabkan oleh perempuan. Khususnya mereka yang memakai rok mini. Paling tidak itulah yang dilontarkan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo (Vivanews, 16/11). Rok mini dipandangan sebagai faktor kriminogen terjadinya kasus perkosaan. Meskipun akhirnya sang gubernur meminta maaf setelah pernyataanya menuai protes berbagai pihak. Pandangan tentang rok mini tentunya menyiratkan bahwa kepedulian penyelenggara negara terhadap korban perkosaan sangat minim. Tudingan keterkaitan antara rok mini dalam kasus perkosaan juga dilontarkan

oleh Marzuki Ali, Ketua DPR RI. "Kita tahu banyak sekali terjadinya perkosaan, kasus-kasus asusila itu, karena perempuannya tidak berpakaian yang pantas sehingga membuat hasrat laki-laki menjadi berubah. Itu yang harus dihindari. Namanya laki-laki, pakaian tidak pantas yang itu menarik laki-laki, akhirnya berbuat sesuatu," kata Marzuki di Kompleks DPR, Jakarta, kepada Kompas, (5/3)). Pandangan para elite diatas menyiratkan kesan bahwa kekerasan terhadap perempuan dianggap sah-sah saja jika perempuan memakai busana minimalis. Rok mini seolah menjadi pangkal masalah, sedangkan otak 'ngeres' pelaku merupakan hal yang wajar. Menjadi sangat ironis jika kasus perkosaan hanya berujung kepada pengaturan gaya berpakaian perempuan. Pandangan di atas akan semakin menyudutkan posisi perempuan korban perkosaan. Ketika rasa trauma belum sepenuhnya hilang dari benak korban, pandangan-pandangan bahwa pemakai rok mini adalah perempuan 'nakal' pun secara otomatis akan melekat. Ia menjadi kehilangan akses untuk mendapatkan pekerjaan layak, pergaulan yang sehat dan semakin rentan untuk menjadi obyek kekerasan. Benarkah perempuan yang bersalah karena menggunakan rok mini? Tentu saja tidak. Gaya pakaian adalah hak dan negara tidak boleh mengatur bagaimana warganya berpakaian. Lalu, mengulang pertanyaan diatas, siapakah yang bertanggungjawab? Jawabannya jelas:

Negara dan aparaturnya. Kenapa? Dalam Undang-Undang (UU) No 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan angkutan jalan dikuasai oleh Negara, dan pembinaannya (Pasal 5) dilakukan oleh pemerintah. Yang dimaksud pembinaan dalam pasal itu mulai dari perencanaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan. Kalau kita melihat lebih lanjut Pasal 197, tegas dikatakan; Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam melakukan menejemen angkutan wajib memberikan jaminan kepada penumpang. Tolok ukurnya; keamanan, kenyamanan dan keselamatan jiwa. (Majalah Hukum, 65-2) Hal ini ditegaskan pula dalam konstitusi, bahwa negara ditugaskah untuk melindungi segenap warganya, tak terkecuali saat neggunakan transportasi umum. Sebab itu sungguh tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa buruknya keamanan, kenyamanan, keselamatan, dan pelayanan di dalam angkutan umum juga memperlihatkan tidak beresnya Negara dan pemerintah mengurus warganya. Fakta menunjukan secara telanjang, kejahatan makin merajalela di dalam angkutan umum. Pencopetan, penodongan, perampokan, pelecehan seksual marak terjadi di angkutan umum. Bahkan perkosaan. Hampir tidak ada lagi ruang yang aman dan nyaman di dalam angkutan umum. Kasus-kasus diatas menunjukkan betapa negara abai terhadap hak-hak warganya. Pemerintah justru angkat tangan, dan tidak mau bertanggung jawab atas keamanan dan kenyamanan warga di dalam angkutan umum. Dua pejabat yang dikutip diatas paling tidak melarikan tanggungjawabnyaa dan buruburu mencari kambing hitam menyalahkan perempuan yang memakai rok mini. Bukankah itu semacam buruk rupa pelayanan publik, rok mini perempuan dibelah? Kebobrokan di dalam angkutan umum menjadi tanggung jawab pemerintah, polisi dan pemilik atau sopir angkutan umum. Pangkal musababnya, sikap melayani warga belum tertanam

Rifkamedia

Februari-April 2012

33


Laporan Utama dalam manegemen transportasi publik. Keterkaitan pengaruh rok mini terhadap terjadinya perkosaan tentu harus di telusuri lebih dalam. Beberapa kasus perkosaan yang ditangani Rifka Annisa WCC, hampir tidak ada korban yang karena memakai rok mini. Devisi Pendampingan Rifka Annisa menyebutkan perempuan berjilbab atau memakai celana training (olah raga) juga pernah menjadi sasaran pelecehan dan perkosaan. Lebih mengejutkan lagi, di Bantul, seorang pemuda berusia 20 tahun tega memperkosa seorang nenek. Data ini seakan meruntuhkan mitos bahwa perkosaan selalu dialami oleh perempuan “seksi”. Jika persoalan perkosaan tidak hanya sekedar persoalan rok mini, maka perlindungan terhadap ancaman perkosaan terhadap perempuan menjadi hal yang essensial. Memberikan perlindungan hukum untuk korban perkosaan sejatinya merupakan salah satu kewajiban yang harus ditunaikan oleh Negara. Amanat ini secara jelas tertera dalam pembukaaan UUD 45 yang tersirat dari penggalan kalimat “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Ketika rasa aman tidak dapat dinikmati oleh perempuan, maka dapat dikatakan bahwa Negara gagal melaksanakan amanat konstitusi. Dalam kasus perkosaan di angkutan umum, ada beberapa undang-undang yang dapat dilihat sebagai wujud perlindungan terhadap keamanan dalam transpor tasi. Sebagai permulaan, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan bisa kita cermati. Dalam undang-undang ini, setidaknya menitik beratkan pada tiga hal yang ingin di capai, yaitu keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan Jalan. Ketentuan umum dalam pasal 1 angka 30, Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan terbebasnya setiap orang, barang, dan/atau kendaraan dari gangguan perbuatan melawan

34

Rifkamedia

Februari-April 2012

hukum, dan/atau rasa takut dalam berlalu lintas. Pasal ini tentunya bisa menjadi payung hukum agar perkosaan tidak terjadi di angkutan umum. Beberapa pasal selanjutnya menyebutkan beberapa pihak yang turut wajib menjaga keamaman dalam tarnsportasi, diantaranya perusahaan angkutan umum (Pasal 141), kepolisian (Pasal 200), pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pasal 254), dan masyarakat (Pasal 256). Namun harus disadari meskipun terdapat aturan umum tentang keamanan dalam berlalu lintas, aturan dikhususkan kepada penanggulangan kecelakaan dalam transportasi. Tindak pidana seperti pencurian, atau perkosaan yang bisa terjadi di dalam alat transportasi tidak diatur lebih lanjut. Lemahnya aturan tentang terjadinya tindak pidana dalam transportasi selanjutnya menjadi penghalang untuk memberantas kejahatan yang muncul dalam transportasi. Ditemui di tengah waktu istirahatnya pada hari Selasa (13/3), Wadimin, bukan nama sebenarnya, seorang sopir mini bus, angkutan umum yang biasa beroperasi di kota Jogja, menuturkan, ”Sebenarnya sulit mas, bagi para sopir atau kondektur untuk sekaligus menjamin keamanan penumpang. Apalagi kalau terjadi copet dan sebagainya, takut aja mas. Karena biasanya kalau ketangkap cuma dipenjara satu hari. Besoknya kita malah yang di cari-cari.” Lain lagi dengan apa yang dituturkan Ngadiman, bukan nama sebenarnya (16/3). Pria paruh baya ini biasa beroperasi Jogja-Kaliurang menuturkan kekerasan secara seksual memang belum pernah terjadi di Jogja. Biasanya yang pernah terjadi cuma copet dan incarannya memang perempuan. ”Kalau di atas angkutan ada yang mencurigakan, biasanya angkutannya saya gas kecang mas, trus saya rem, gas lagi, rem lagi, begitu seterusnya, biar dia pusing dan kesulitan menjalankan aksinya.

Karena itu kewajiban saya sebagai sopir untuk melindungi penumpang.” Budi, pengguna transportasi umum di Jogja turut memberi pendapatnya. “Peluang atau kesempatan adalah faktor yang paling mempengaruhi terjadinya kekerasan. Jadi tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan.” Jika UU no 22 tahun 2009 tidak bisa menjadi payung hukum terhadap korban pelaku perkosaan, kita punya KUHP. Aturan tentang tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dapat ditemukan dalam beberapa pasal, yaitu Pasal 285 tentang persetubuhan dengan atau tanpa kekerasan, Pasal 286 tentang persetubuhan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, pencabulan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, Pasal 290 tentang pencabulan dalam keadaan pingsan (ayat 1) atau dengan anak di bawah umur (ayat 2). Jika perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat atau kematian, maka hukuman bagi pelaku akan diperberat (lihat aturan dalam pasal 291 KUHP). Dari beberapa kasus yang terjadi, perkosaan sering terjadi bukan dalam keadaan pingsan. Dalam hal ini, Pasal 285 merupakan rumusan yang bisa menjerat pelaku. Rumusan dalam pasal tersebut menyatakan bahwa “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Rumusan ini tidak menyebutkan “mengakibatkan kehamilan” atau “menyebabkan trauma”, sehingga pemberian sanksi tersebut tidak mengedepankan akibat dari tindakan tersebut, tetapi justru kepada tindakan 'pemaksaan'. Pemaksaan merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak. Pemaksaan ini dapat dilakukan dengan ancaman kekerasan atau kekerasan. Jika pemaksaan tersebut dilakukan dengan ancaman kekerasan maka pemaksaan


Laporan Utama tersebut terjadi secara psikis. Pemaksaan ini biasanya dialami oleh korban yang telah mengenal pelaku sebelumnya. Kasus kekerasan dalam pacaran disinyalir menjadi salah satu embrio terjadinya perkosaan ini. Meskipun belum sampai kepada perkosaan, tetapi beberapa kasus kekerasan dalam pacaran yang diangani oleh Rifka Annisa WCC menyebutkan bahwa dalam masa pacaran, kekerasan secara psikis sering dilakukan oleh pasangan untuk mendapatkan 'keinginannya'. Berdasarkan hal itu, angka statistik dari Komnas Perempuan menyebutkan bahwa pada tahun 2008 telah terjadi kekerasan terhadap perempuan sebanyak 54.425 kasus, tahun 2009 sebanyak 143.586 kasus, tahun 2010 sebanyak 105.103 kasus. Artinya secara akumulasi kekerasan ini selalu bertambah secara signifikan setiap tahunnya. Pertanyaanya adalah sejauh mana kasus-kasus itu penyelesaiannya mencapai titik adil bagi korban? Dan berapa kasus yang selesai tiap tahunnya? Inilah yang harus selalu didorong penanganan dan penyelesaiannya. Perempuan Sebagai Korban Perempuan dalam kasus perkosaan adalah korban. Ia tidak bisa terlepas begitu saja dengan stigma masyarakat bahwa ia adalah perempuan nakal. Tidak sedikit masyarakat yang memandang hina seorang perempuan korban kekerasan. Yang lebih parah, terdapat pula pandangan yang mengatakan bahwa 'perempuan'lah yang salah dalam kasus perkosaan. Perempuan korban perkosaan seringkali dipojokkan dengan pandangan masyarakat ataupun mitosmitos yang salah mengenai perkosaan (Taslim, 1995;Ekandari Sulistyaningsih dan Faturochman, 2002). Pandangan yang salah tersebut membuat masyarakat memberi “label” bahwa perempuan korban perkosaan sengaja “menggoda” dan “menantang” laki-laki dengan memakai pakaian mini, rok ketat, ber-

“Keterkaitan pengaruh rok mini terhadap terjadinya perkosaan tentu harus di telusuri lebih dalam. Beberapa kasus perkosaan yang ditangani Rifka Annisa WCC, hampir tidak ada korban yang karena memakai rok mini. Devisi Pendampingan Rifka Annisa menyebutkan perempuan berjilbab atau memakai celana training (olah raga) juga pernah menjadi sasaran pelecehan dan perkosaan” dandan menor ataupun berbusana seksi, bahkan sengaja mengundang nafsu birahi laki-laki pemerkosa (Bernas, 1995; Kompas, 1995; Taslim, 1995; Ekandari Sulistyaningsih dan Faturochman, 2002). Lebih dari itu, kasus perkosaan akan semakin kompleks ketika berakibat pada kehamilan tidak diinginkan (KTD). Perempuan selanjutnya dihadapkan pada sebuah dilema antara pilihanpilihan yang rumit. Melanjutkan kandungan atau malah menggugurkan. Meskipun aborsi untuk korban perkosaan sudah dilegalkan oleh Negara (lihat Pasal 75 sampai Pasal 77 UU nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan), tapi tindakan ini jelas mengandung resiko. Dalam prakteknya, tidak sedikit aborsi yang akhirnya malah berujung dengan sres, depresi bahkan kematian. Bahkan, Indonesia sebagai negara hukum, proses melakukan aborsi pun tak semudah membalik telapak tangan. Aborsi secara legal hanya dapat dilakukan ketika telah memenuhi standar medis yang telah dibakukan. Dalam dunia kesehatan, aborsi biasanya dilakukan atas indikasi medis yang berkaitan dengan ancaman keselamatan jiwa atau adanya gangguan kesehatan yang berat pada ibu, misalnya tuberculosis paru berat, asma, diabetes mellitus, gagal ginjal, hipertensi, dan penyakit menahun.

Kekerasan terhadap pacaran biasanya terjadi dengan modus: (1) Pacaran yang kemudian terjadi hubungan seksual dengan janji-jani atau bujukan. Setelah itu korban (laki-laki atau perempuan) ditinggalkan. (2) Terjadinya kekerasan fisik atau emosional, dan lain sebagainya. Pada kasus yang sampai menyebabkan kehamilan banyak terjadi pada perempuan yang ditinggalkan pasangannya begitu saja atau justru dipaksa untuk melakukan aborsi. Dalam masa pacaran tak jarang juga terjadi pola hubungan seksual dengan paksaan dengan ancaman kekerasan fisik. Perkosaan dalam masa pacaran sering berganti baju dengan perkosaan atas nama cinta. Suatu hubungan yang dilakukan ketika masa pacaran meskipun dilakukan dengan kekerasan psikis biasanya belum sepenuhnya bisa diproses dalam ranah hukum. 'Pacaran' memang belum mendapatkan payung hukum secara pasti. Tetapi hubungan sebagai pacar tersebut sering menjadi jurus ampuh untuk mengatakan bahwa hubungan seksual tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka. Hal lain yang menyebabkan kekerasan ini tidak tercover adalah karena tidak adanya keberanian korban untuk melakukan pengaduan. Kekurangan bukti-bukti formal yang disyaratkan hukum dan pandangan aparat penegak hukum yang hanya mengedepankan halhal yang bersifat legal formal sempit. Kekerasan dalam hukum lebih dipahami secara fisik dengan penegertian yang sangat terbatas. Untuk itu, perlindungan terhadap korban dapat digunakan ketentuan hukum yang berlaku secara umum baik dalam KUH Pidana maupun KUH Perdata. Untuk saat ini, pada kasus kekerasan fisik pada prinsipnya para pelaku dapat dituntut dengan pasal-pasal KUH Pidana seperti penganiayaan pasal 351-358 KUH Pidana. Bila terjadi pada korban yang masih di bawah umur maka akan dikenakan hukuman atas tuduhan

Rifkamedia

Februari-April 2012

35


Laporan Utama melakukan cabul atau Undang Undang Perlindunagn Anak. Adapun secara perdata bila kekerasan tersebut menyebabkan kerugian materil dan immateril maka korban dapat menuntut dengan ganti rugi dengan menggunakn pasal 1365 KUH Perdata dengan mengajukan gugatan perdata lewat Pengadilan Negeri. Proses persidangan kasus perdata ini biasanya memakan waktu yang lama sehingga korban tak jarang menghadapi beban psikologis tambahan yang cukup berat. Pemaksaan dalam perkosaan juga bisa di lakukan dengan tindakan kekerasan. Jika dilihat secara umum, kekuatan fisik laki-laki lebih besar dari pada perempuan. Kekuatan yang tidak seimbang tersebut sering dijadikan laki-laki sebagai alat pemaksa bagi perempuan. Namun perlu dicermati bahwa pemaksaan dengan kekerasan ini tidak harus ditandai dengan robeknya pakaian yang dikenakan korban. Robeknya pakaian hanya salah satu dampak dari adanya pemaksaan dalam perkosaan tersebut. Dalam hal ini, upaya untuk mempertahankan diri dalam suatu perkosaanpun dapat diartikan sebagai pemaksaan dengan kekerasan. Namun alangkah ironisnya jika “pemaksaan” di atas diselewengkan oleh pihak yang nakal. Pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan perempuan kadang dilontarkan untuk memperoleh klausul pemaksaan tersebut. Dalam proses pembuatan BAP, korban tidak jarang disuruh menceritakan hal yang secara detail. Pertanyaan “apakah korban menikmati hubungan seksual tersebut” atau “apakah korban ikut bergoyang” pun kadang muncul dalam proses pembuatan BAP tersebut. Meskipun sepele, pertanyaan tersebut akan semakin melecehkan perempuan. Sehingga terdapat kesan bahwa hal itu menjadi semacam lelucon bagi aparat penegak hukum. Pertanyaan tersebut seharusnya tidak ditanyakan dalam proses pembuatan BAP, karena pada

36

Rifkamedia

Februari-April 2012

hakikatnya BAP digunakan untuk mengetahui tentang runtutan peristiwa, bukan mempertanyakan sesuatu yang akan semakin melemahkan korban. Pemaksaan dalam konotasi “korbanpun menikmati” ini pula yang sering dijadikan alat bagi pengacara untuk meringankan pelaku perkosaan. Logika yang mereka bangun adalah ketika korban “menikmati” hubungan seksual tersebut, maka korban akan dianggap menyetujui perkosaan tersebut. Dengan konotasi menikmati tersebut, maka pengacara akan dengan mudah mengatakan bahwa hubungan seksual tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka. Hubungan seksual yang didasarkan suka sama suka ini memang tidak dapat diproses dalam hukum jika keduanya tidak terikat dengan pernikahan. Konsepsi ini tentunya tidak bisa kita lepaskan dari pengaruh hukum yang diciptakan Belanda. Jika diruntut dari sejarahnya, hukum pidana yang berlaku saat ini masih merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda. Penggunaan hukum buatan Belanda ini tetap di langgengkan pasca kemerdekaan melalui aturan peralihan. Belanda menganut paham bahwa delik perzinahan hanya ditujukan untuk melindungi perkawinan saja. Perbedaan nilai yang dianut oleh Belanda inilah yang mempengaruhi keputusan untuk tidak meng'kriminal'kan hubungan seksual yang didasarkan atas suka sama suka. Apapun itu, upaya-upaya ltigasi dan non litigasi seperti sosialisasi, pendidikan, penyadaran dan pemberdayaan juga harus dilakukan agar supaya terjadi perubahan persepsi yang pada akhirnya diharapkan dapat menghasilkan perubahan frame masyarakat. Sudah saatnya kenyaman dan keamanan dalam pelayanan angkutan umum dijadikan sebagai prioritas utama. Tidak hanya angkutan mini bus dalam kota, kendaraan umum berplat hitam pun juga harus turut berbenah. Tujuannya tidak lain adalah untuk mewujudkan keamanan

dan kepedulian bagi semua pihak, khususnya terhadap perempuan yang rentan mengalami prilaku kekersan.[]

Referensi: Ekandari Sulistyaningsih dan Faturochman, Dampak Sosial Psikologis Perkosaan. Buletin Psikologi, Tahun X, No. 1, Juni 2002, 9-23, Universitas Gadjah Mada W.N. Adisti. 2007. Identiikasi Prasayarat Implementasi Congestion Pricing di Kawasan Simpang Lima Semarang. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang. Aziz, H.A. (2002). Moda Transportasi Ideal dalam Percepatan MP3EI. Seminar Nasional Diseminasi Produk-Produk Perencanaan Kementerian PPN/Bappenas “Percepatan Implementasi MP3EI dalam Konteks Pembangunan Moda dan Sistem Transportasi Publik yang Ideal”. Hotel Bidakara, Jakarta, 22 November 2011. UU nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan UU nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana & KUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Gama Press: Yogyakarta, 2010) http://balianzahab.wordpress.com/makalahhukum/hukumpengangkutan/transportasi-sebagaiaktivitas/ https://www.cia.gov/library/publications/theworldfactbook/rankorder/2147rank.html?coun tryName=Indonesia&countryCode=id&r egionCode=eas&rank=16#id http://www.bisnis.com/ http://news.okezone.com/read/2012/01/27/ 338/564328/pemerintah-gagal-berikanrasa-aman-untuk-perempuan http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/JURNAL%20%20Dampak%20SosialPsikologis%20Perkosaan.pdf


Liputan

Remaja Dalam Arus Pornografi: Aktor atau Korban?

Dari pengamatan terhadap 100 video porno amatir berdurasi 9-10 menit, 90% pelaku adalah remaja. Bahkan 79,6% diantarany a menamp akan sosok perempuan. 50,5% perempuan yang terlihat dalam video porno tersebut memperlihatkan ekspresi senang, hanya 10,8% ekspresi yang menunjukan keterpaksaan. Demikian cuplikan pemaparan peneliti Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan (PSKK) UGM, Basilica Dyah Putranti, dalam diskusi publik bertajuk “Remaja, Media, dan Pornografi”, Selasa (27/3). Diskusi yang bertempat di Ruang Auditorium Gedung Masri Singarimbun ini diselenggarakan atas kerjasama PSKK UGM dengan Rifka Annisa. Diskusi merupakan rangkaian acara Hari Perempuan Sedunia ini mengambil tema remaja. Dikamsudkan menggali perspektif yang beragam dalam menyikapi masalah remaja. Diskusi menghadirkan berbagai elemen, kepolisian, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), tenaga pendidik, dan pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pemaparan hasil penelitian Basilica, mencengangkan. Remaja saat ini sangat rentan dampak negatif teknologi. Perkembangan teknologi yang semakin canggih justru cenderungan menjadikan remaja sebagai pelaku aktif pornografi. Sejalan dengan isu ini, Rina Eko Widarsih, Manajer Divisi Pendampingan Rifka Annisa membagi pengalamannya dalam

menangani kasus kekerasan seksual di kalangan remaja. Penggunaan handphone dan media internet di kalangan remaja menjadi salah satu alat pemicu terjadinya kekerasan seksual. Mayoritas kasus kekerasan seksual yang terjadi di Gunung Kidul, misalnya, bermula dari perkenalan melalui handphone kemudian mereka saling bertemu. Pada pertemuan itulah biasanya muncul ajakan untuk melakukan hubungan seksual. “Ada relasi yang sudah terkondisikan menjadi timpang dan tidak setara. Sehingga dalam beberapa kasus, kontrol pelaku kekerasan sangat kuat pada perempuan korban,” ungkap Rina. Keingintahuan remaja akan informasi tertentu didukung pula dengan teknologi yang semakin canggih. Seolah menjadi mesin pencari yang brilian, situs-situs internet kini tengah menjadi 'guru' bagi para remaja yang serba ingin tahu. Banyak orang tua yang justru mengarahkan anaknya untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya dari internet. Sayangnya, tidak ada upaya pendampingan dan penjelasan kepada si anak dalam aktivitas tersebut. Tanpa disadari, anak-anak terjebak untuk mengakses konten-konten pornografi secara mudah dari internet. Failasufah, guru MAN 3 Yogyakarta, mengutarakan keprihatinannya atas banyaknya remaja yang terjerumus internet. “Orang tua terkadang takut anaknya terjerumus pengaruh buruk

internet, tetapi mereka hanya melarang. Tidak mencoba mengajak anak-anak berdialog untuk memberikan pemahaman kepada si anak,” ucapnya. Persoalannya memang cukup kompleks. Bukan saja tentang ketimpangan relasi antar remaja maupun lemahnya suppor t system untuk menanggulangi pornografi dan kasus kekerasan seksual di kalangan remaja. Persoalan dapat muncul dari media informasi yang digunakan. Lantas, bagaimana pula jika pornografi dilihat sebagai bagian kebutuhan seksual? Tidak dapat dipungkiri, anggapan tentang seks sebagai kebutuhan yang harus dicari turut diuntungkan dengan adanya kecanggihan teknologi informasi. Wing Wahyu Winarno, selaku pengamat teknologi informasi, menandaskan bahwa tidak sepenuhnya masalah tersebut adalah kesalahan teknologi informasi. Dirinya mengakui bahwa kemudahan teknologi informasi menjadi sarana manusia untuk mengekspresikan diri. Sebagai suatu keniscayaan dalam proses modernisasi, apa yang disediakan oleh teknologi informasi patut dimanfaatkan secara optimal oleh manusia. Hanya saja, yang dipermasalahkan masyarakat adalah ketika kendali atas teknologi diarahkan kepada aktivitas yang bertendensi pornografi. Mengacu kembali pada hasil riset di atas, perangkat handphone dan internet

Rifkamedia

Februari-April 2012

37


Liputan

Diskusi tentang “Remaja, Media, dan Pornografi” diselenggarakan Oleh Rifka Annisa bekerjasama dengan PSKK UGM Siti Amaroh/Rifka Annisa

yang semakin canggih banyak dimanfaatkan remaja untuk merekam aktivitas seksual. Dalam hasil riset terlihat bahwa sosok yang ditampilkan di video porno amatir didominasi oleh pihak perempuan. Kaitannya dengan ini, kasus-kasus yang menyangkut perilaku remaja melakukan kekerasan seksual dapat dihubungkan dengan bagaimana remaja memahami konsep dirinya. Terutama bagi pelaku, ada sebuah konstruksi pemahaman tertentu tentang bagaimana menjadi laki-laki. “Media kemudian memfasilitasi lakilaki untuk melakukan kontrol terhadap orang lain. Dalam kasus ini, laki-laki dengan mudah mengakses teknologi untuk melakukan kontrol terhadap perempuan melalui pornografi,” terang Nur Hasyim, aktivis Aliansi Laki-laki Baru. Dirinya melihat ada persoalan nilai 'menjadi laki-laki' yang tidak tersosialisasikan secara tepat. Yang menjadi persoalan bagi remaja adalah nilai-nilai itu mempengaruhi perilaku mereka melakukan kekerasan seksual melalui video porno. Di lain pihak, keprihatinan akan dampak pornografi pada remaja juga disampaikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Yogyakarta.

38

Rifkamedia

Februari-April 2012

Saat ini banyak konten media khususnya televisi yang menyajikan program yang bersifat picisan (murahan). Hal ini perlu menjadi perhatian kalangan orang tua untuk mengawasi pilihan acara anakanaknya. “Menurut amanah UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran, ada tiga kelompok rentan yang wajib dilindungi yaitu anak-anak, remaja, dan perempuan,” terang Moh. Zamroni dari KPID Yogyakarta. Kebanyakan industri media, menurutnya, tidak banyak memperhatikan masalah konten ini. Acara seperti sinetron maupun film kartun untuk anakanak pun tidak lantas memberikan nilai edukasi yang positif. Malahan banyak menyajikan konten-konten yang sarat dengan konsumerisme, hedonisme, bahkan erotisme. Pihak industri media hanya mementingkan bisnis. Untuk menyikapinya, industri media harus dikontrol melalui regulasi yang lebih tegas. Masih menjadi perdebatan, apakah dalam arus pornografi ini remaja cenderung menjadi pelaku aktif atau korban. Akhirnya, menanggapi persoalan ini solusi yang dilakukan harus melibatkan banyak pihak. Penyadaran dan pemahaman tentang pemanfaatan

teknologi informasi harus dimulai dari keluarga. Orang tua haruslah menguasai teknologi. Ada pula tuntutan pada pihak sekolah dan keluarga untuk memfasilitasi anak-anaknya agar mampu memanfaatkan teknologi informasi secara positif. Pemerintah harus menyediakan dan menegaskan regulasi tentang teknologi informasi secara lebih komprehensif. Sehingga, tidak hanya menghabiskan energi untuk menyoal UU anti pornografi. Proses modernisasi tidak dapat dipahami sesederhana demikian. Hanya sebatas perkembangan teknologi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Modernisasi tak dapat dipungkiri membawa serangkaian nilai-nilai yang merekonstruksi budaya. Satu akibatnya, ada semacam stigmatisasi bahwa pornografi lekat dengan sosok perempuan. Penilaian seperti inilah yang perlu dikonstruksi kembali. Perlu adanya pemahaman bahwa remaja khususnya perempuan tidak selamanya menjadi pelaku tetapi juga sebagai korban. []

Defirentia One


Liputan

Bermain Peran, Mengajarkan Hak-Hak Anak Siapapun tidak boleh mengingkari hak anak, karena sejatinya anak-anak mempunyai hak hidup dan penghidupan yang layak dimanapun ia berada. Menjadi kewajiban semua pihak untuk melindungi hak anak. Alasan inilah yang mendorong Rifka Annisa menyelenggarakan penyuluhan hak-hak anak di Balai Cokrodiningratan, (28/1). Acara diikuti 35 anak dan 6 ibu di lingkungan Cokrodiningratan. Acara difaslitasi Nurma (Community Organizer) Rifka Annisa, Y.F. Titik Setyomurti Ketua Komite Penggiat Masyarakat (KPM) Cokro, dan dr. Kobul Maryanto , DPK SP Kinasih. Pada awal sesi, para peserta dibagi menjadi tiga kelompok, kelompok satu di dampingi Kobul, kelompok kedua didampingi Titik dan kelompok tiga didampingi oleh Nurma. Anak-anak diminta berdiskusi untuk membuat nama kelompok dan membuat yel-yel yang akan ditampilkan per kelompok. Metode penggunaan yel cukup efektif untuk membuat anak lebih aktif dan bersemangat. Anak-anak antusias memperkenalkan nama kelompoknya dan yel-yel masing-masing. “Apa artinya anak menurut kalian?” Tanya Kobul memulai sesi materi. Be-

Rifka Media

berapa anak menjawab bahwa anak adalah anaknya orangtua, ciptaan tuhan, dan generasi penerus bangsa. Anak-anak diminta mendiskusikan dengan kelompoknya tentang cita-cita dari anak-anak. Jawaban beragam. Membahagiakan orang tua, ingin me-

“hak-hak anak dilindungi oleh UU Perlindungan Anak. Bahwa anakanak punya hak untuk tumbuh, hidup dan berkembang.” nulis naskah, ingin sehat, ingin menjadi tentara. “Menurut kalian apa perbedaan orang dewasa dengan anak?” Kobul melontarkan pertanyaan lagi . Anakanak pun menjawab beragam. Di sini-

lah fasilitator mulai menjelaskan bahwa hak-hak anak dilindungi oleh UU Perlindungan Anak. Bahwa anak-anak punya hak untuk tumbuh, hidup dan berkembang. Untuk lebih memahamkan anak tentang hal-hak mereka, anak-anak diminta untuk memerankan cerita terkait hak anak, seperti anak menanyakan akta kelahiran kepada orang tuanya dan meminta hak mereka untuk bermain. Diakhir sesi, fasilitator menjelaskan 4 prinsip-prinsip dasar menyangkut hak-hak anak: tidak boleh dibeda-bedakan hanya karena perbedaan agama, suku, ras, jenis kelamin dan budaya; mengutamakan yang terbaik untuk anak; hal terbaik menyangkut kepentingan hidup anak harus jadi pertimbangan; harus tetap hidup dan berkembang sebagai manusia; harus dihargai dan didengarkan ketika mengemukakan pendapat. Sudahkah Anda memberikan hak anak Anda? []

Any Sundari

Rifkamedia

Februari-April 2012

39


Liputan

Bisik-bisik adalah awal dari rasa ingin tahu. Diungkap dengan malu-malu. Oleh karena tidak ingin rahasianya ada yang tahu. Namun, di Komunitas Cokrodiningratan, dampingan Rifka Annisa, bisik-bisik menjadi cara menarik untuk berbagi ilmu. Perihal kesehatan reproduksi pun tak jadi tabu.

fotopages.com

Bisik-Bisik, Berbagi Ilmu

Komunitas Cokrodiningratan, bersama Rifka Annisa menggelar diksusi dengan tema “Bisik-Bisik Remaja Tentang Kesehatan Reproduksi”(7/2). Bertempat di SD Cokrodiningratan, diskusi ini melibatkan lebih dari tiga puluh remaja dan lima orang Ibu. Diskusi dibuka Y.F. Titik Setyomurti, Ketua Komite Penggiat Masyarakat (KPM) Cokro. Titik juga menyatakan apresiasinya melihat anak-anak bersemangat hadir pada acara. “Ini sangat penting sekali bagi remaja, agar mereka mengetahui alat produksi yang dimilikinya, mengetahui fungsi-fungsinya, serta bagaimana merawatnya dengan baik,” katanya saat membuka acara. Diskusi difasilitasi Nunung Wuryantoko. Nunung, membagikan kertas ke seluruh anak , dan meminta menuliskan satu saja bagian tubuh mereka dari atas sampai bawah, yang paling mereka sukai. “tulis bagian tubuh kalian, yang kalian paling suka,” tuturnya.

Hasilnya dipilah berdasarkan dua kategori, yaitu organ tubuh bagian pusar keatas dan organ tubuh bagian pusar kebawah. Mayoritas anak-anak menuliskan organ tubuh yang disukai adalah dari pusar ke atas. Ini artinya, peserta lebih banyak memperhatikan organ tubuh bagian luar luar dibanding tubuh bagian dalam. “kalian lebih memperhatikan tampilan luar,” kata moderator melihat hasilnya. Diskusi berlanjut, dengan pengenalan masa-masa pubertas yang diawali dengan perkembangan organ-organ tubuh dan perkembangan seksual. Sebelum pubertas, alat kelamin hanya untuk buang air besar dan kecil. Setelah pubertas fungsi organ seksual itu berubah menjadi alat reproduksi. Nunung memperkenalkan anak-anak dengan organ reprodusi perempuan dan laki-laki, bagaimana merawat dan membersihkan organ reproduksi tersebut, sehingga tidak menimbulkan PMS (penyakit me-

nular seksual), seperti, GONORE, Sifilis, dan HIV/AIDS. Peserta mendapat penjelasan tentang penyebab PMS dan bagaimana cara mencegah agar PMS tidak timbul. Semua materi dipaparkan dalam bentuk gambar sehingga me-narik bagi peserta. Peserta sangat antusias mengikuti diskusi dan tidak sungkan bertanya tentang siklus menstruasi, kebersihan alat kelamin sampai mitos tentang keperjakaan dan keperawanan. Beberapa anak perempuan juga menanyakan mengapa ketika menstruasi terasa sangat sakit dan apakah benar kalau sedang menstruasi dila-rang mencuci rambut. Semua perta-nyaan ini dijawab Nunung dengan sabar. Dia menggunakan metode yang mudah dimengerti oleh anak-anak. Hingga tidak terasa durasi waktu dua jam diskusi sudah terlampaui dan akhirnya acara ditutup dengan doa bersama. [] Any Sundari

40

Rifkamedia

Februari-April 2012


Lesehan Buku

P e r e m p u a n B i c a r a K r e t e k

Judul Buku: Perempuan Berbicara Kretek Penulis: Abmi Handayani, dkk Penerbit: Indonesia Berdikari Terbit: Januari 2012 Tebal: ix + 320 Harga: Rp. 45.000,-

Dalam perspektif gender, laki-laki dan perempuan memilki peran dan kesempatan yang sama. Laki-laki dan perempuan hanya berbeda pada sisi lahiriah dan tugas biologisnya. Seper tinya pandangan itu belum sepenuhnya diterima masyarakat luas. Budaya patriarki berperan dominan dalam alam kesadaran masyarakat kita. Poin tulah yang menjadikan perempuan terbatas dalam akses dan perannya sebagai manusia biasa. Banyak seolah tidak pantas dilakukan perempuan, namun dianggap wajar ketika dilakukan laki-laki. Seakanakan perempuan terjebak dalam sebuah kondisi perilaku antara pantas dan ketidak pantasan dalam konteks sosial masyarakatnya. Kritik terhadap pandangan

tersebutlah yang hendak disampaikan oleh Abmi Handayani, dkk melalui buku ini. Buku berjudul ”Perempuan Berbicara Kretek”, memetakan perilaku dan dinamika rokok ditengah masyarakat, budaya serta kebijakan pemerintah dari sudut pandang perempuan. Lelaki merokok hal biasa dalam masyarakat. Bahkan orang beranggapan, dengan merokok lakilaki akan terlihat kemaskulinannya. Paling tidak iklan-iklan rokok yang beredar di layar televisi dan media cetak menggambarkan hal demikian. Sementara pandangan berbeda diperoleh pada perempuan perokok. Mereka dilabeli sebagai seorang tidak baik, nakal atau bahkan jalang. Bahkan sebuah buku terbitan Indonesia Berdikari pada Januari 2012 ini, menceritakan bahwa motivator ternama Mario Teguh turut mengambil sikap negatif terhadap perempuan perokok. Motivator yang dikenal dengan ”salam super” itu dengan gegabah mengatakan, ”perempuan perokok tak layak dinikahi”. Padahal publik sudah menilai sosok Mario Teguh sebagai motivator ulung yang selalu menempatkan orang lain dalam kerangka berpikir yang positif. Pandangan ini tentu saja tidak menghargai dan sangat melecehkan perempuan. Persoalan kepantasan sepertinya menjadi beban sekaligus momok bagi perempuan. Perempuan dituntut harus selalu menjaga image, dilarang tertawa keras, tampil menarik, terampil

dalam mengurus rumah dan berbagai beban keharusan lainnya. Atas nama kepantasan itulah, timbul berbagai stigma yang semakain membebani perempuan, salah satunya tentu persoalan merokok. Jauh berbeda dengan apa yang digambarkan dari kisah Roro Mendut, perempuan Jawa juga seorang perokok. Merokok yang dilakukan Roro Mendut merupakan representasi kekuatan perempuan dalam memperjuangkan hidup. Saat itu, merokok menjadi simbol keberanian dan dobrakan atas sistem yang tidak menguntungkan perempuan, dan sistem yang merampas hak asasi perempuan, yaitu simbol penaklukan. Alur buku ini tergolong sangat sederhana. Buku dengan tebal ix + 320 halaman ini, secara umum dibagi menjadi empat pembagian. Pertama, ritus keseharian, bercerita tentang kehadiran kretek dalam keseharian penulis. Kedua, perempuan di simpang stigma, bercerita tentang bagaimana stigma buruk dilabelkan pada perempuan yang mengkonsumsi rokok. Ketiga, dalam pusaran arus zaman, bercerita tentang tantangan eksistensi rokok dewasa ini. Tantangan tersebut berkaitan dengan gerakan anti rokok, fatwa haram rokok, dan peran pemerintah dalam memandang industri rokok. Terakhir pada bagian keempat, bercerita tentang kretek, budaya dan ke-Indonesiaan. Cerita tentang kehadiran rokok sebagai warisan budaya bangsa.

Rifkamedia

Februari-April 2012

41


Liputan

Perempuan di Tengah Industri Rokok Lebih dari itu, buku yang ditulis oleh sejumlah aktivis perempuan ini, mewujud sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap perempuan yang banyak bekerja di tengah industri rokok. Meskipun tidak semua penulis dalam buku ini adalah perokok, tapi kebutuhan untuk memper tahankan identitas dan p e n y a n g g a e ko n o m i n a s i o n a l memanggil mereka untuk turut berbicara rokok. Konon, tembakau memang bukan merupakan tanaman asli Indonesia. Namun kehadiran tembakau yang dibawa oleh warga negara asing mendapat sambutan hangat dari masyarakat luas. Sejak abad ke-19 olahan rokok pertama telah mulai di Kudus. Diyakini pula, bahwa kretek ini bukan rokok (baca: rokok putih). Sebab kretek tidak hanya menggunakan tembakau, tapi juga ada campuran cengkeh yang asli tanaman Indonesia. Keyakinan akan rokok sebagai warisan budaya, menjadikan masyarakat Indonesia, baik laki-laki dan perempuan, secara turun-temurun turut mengkonsumsi rokok. Keadaan tersebut lantas menjadikan Indonesia lambat-laun sebagai konsumen rokok terbesar. Peluang itu yang kemudian menjadi lahan baru bagi para pengusaha untuk mendirikan industri rokok, salah satunya Industri rokok di Sukowono, Jember pada tahun 1991. Namun penanaman tembakaunya telah terlebih dahulu ditanam sejak tahun 1856. Sejak saat itulah, ternyata keberadaan industri tembakau membuka banyak kesempatan kerja bagi masyarakat. Dibalik kesuksesan itu, terdapat peran sejumlah buruh perempuan yang banyak diserap oleh pihak industri.

42

Rifkamedia

Februari-April 2012

Merokok yang dilakukan Roro Mendut merupakan representasi kekuatan perempuan dalam memperjuangkan hidup. Saat itu, merokok menjadi simbol keberanian dan dobrakan atas sistem yang tidak menguntungkan perempuan, dan sistem yang merampas hak asasi perempuan, yaitu simbol penaklukan. Saat ini, industri rokok memiliki peranan penting dalam laju perekonomian nasional. Pada tahun 2009, cukai industri hasil tembakau menyumbang Rp. 54,4 triliun. Dana yang sangat besar ini jauh lebih tinggi dari penerimaan pajak bumi dan bangunan serta pajak jenis lainnya di luar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini menunjukkan bahwa industri rokok berperan penting dalam memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara melalui cukai. Dari segi penyerapan tenaga kerja, pada tahun 2008 saja, industri besar ini mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 6,1 jiwa. Jika saja industri ini musnah, dapat dipastikan jutaan jiwa terancam akan kehilangan lapangan pekerjaan. Secara umum, sejumlah gagasan dalam buku ini ditulis dengan pandangan yang beragam. Misalnya menurut tulisan Naning Suprawati, salah satu penulis dalam buku ini. Menurutnya, pemerintah tidak seharusnya mengeluarkan kebijakan pelarangan untuk mengkonsumsi rokok. Pemerintah telah terperdaya dengan skenario global. Jika dilihat dalam sejarah Indonesia, dahulu lakilaki-dan perempuan terbiasa dengan

melinting rokok. Rokok dibawa dan disajikan sebagai jamuan ngobrol. Tidak ada perbedaan secara gender berupa batasan normatif dan deskriminatif bagi perempuan yang menghisap rokok. Alasan rokok sebagai bagian dari tradisi Indonesia, menempatkankan buku ini menjadi pegangan dan sumber informasi yang sayang untuk dilewatkan, terutama bagi aktivis p e r e m p u a n . Wa l a u p u n m o t i f utamanya adalah menolak terhadap kampanye anti rokok, namun pesan yang disampaikan lebih melihat kepada rokok yang notabene adalah aset dari bagain tradisi Indonesia yang diwarisi secara turun-temurun. Lain dulu lain sekarang. Sekiranya ungkapan tersebut cukup mewakili keadaan perempuan perokok sekarang. Rokok begitu seksi digunakan sebagai alat pelabelan terhadap perempuan. Hisapan rokok oleh perempuan tidak seharusnya diperdebatkan, bahkan dilarang dengan fatwa dan aturan yang tidak populis. Ashabul Fadhli


Memoar

Pelecehan di Kereta, Bagaimana Bersikap? Halo Rifka Annisa Perkenalkan, nama saya Ibu W. Saya ingin minta saran terkait kasus yang saya alami. Sebulan yang lalu, saya berperjalanan dari Jogja menuju Jakarta menggunakan sebuah kereta api kelas eksekutif. Dalam perjalanan tersebut saya duduk bersebelahan dengan seorang bapak-bapak. Pada malam hari ketika semua penumpang tertidur, bapak tersebut memasukkan tangannya kedalam selimut saya dan merabaraba daerah kemaluan saya. Pada awalnya saya takut dan diam saja. Lalu dia malah semakin memasukkan tangannya ke celana saya hingga menyentuh kemaluan saya. Saya pun menjerit hingga semua penumpang terbangun. Tapi bapak di sebelah saya itu lantas pura-pura tertidur dan mendengkur. Saya lapor pada petugas kereta, dia menanyakan apakah ada yang menyaksikan. Penumpang kereta yang lain tidak ada yang menyaksikan. Mereka bilang tidak mungkin si bapak melakukan itu karena sedang tertidur. Atas dasar itu, petugas mengatakan tidak mungkin menindak si bapak, apalagi menurunkannya. Saya sangat geram dan marah. Apakah memang kasus seperti yang saya alami ini tidak bisa ditindak? Padahal dia benar-benar telah melecehkan saya. Mohon saran dan petunjuk dari Rifka Annisa. Terimakasih. Ibu W di Jogja Tanggapan Rifka Annisa Salam Ibu W, kami ikut prihatin dengan peristiwa yang menimpa Ibu. Tindakan Ibu dengan berteriak memang sangat tepat. Karena dengan begitu orang-orang di sekitar Ibu akan lebih siaga dan Ibu terhindar dari tindakan pelecehan yang lebih jauh. Mengenai keinginan Ibu untuk membawa kasus ini ke ranah hukum, memang agak sulit. Ibu membutuhkan saksi atas peristiwa tersebut, minimal saksi yang menguatkan keterangan Ibu. Sayangnya dalam peristiwa yang Ibu alami, pelaku pintar menyamarkan perbuatannya sehingga penumpang lain tidak ada yang bisa memberikan kesaksian yang menguatkan kete-rangan Ibu. Alat bukti lain seperti visum juga sulit untuk dibuat, mengingat dalam peristiwa ini Ibu sebatas dipegang, dan terutama kasus ini sudah lama terjadi. Saran kami, Ibu lebih berhati-hati di lain kesempatan. Jika Ibu melihat indikasi ada orang yang hendak melakukan pelecehan terhadap Ibu, sebaiknya segera teriak dan minta tolong orang di sekitar Ibu. Akan lebih baik lagi jika Ibu juga berani bertindak secara fisik seperti menghantam atau memukul yang sifatnya mempertahankan diri dan melemahkan posisi pelaku. Tindakan pelecehan memang dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh siapapun yang memanfaatkan kelengahan kita. Sehingga perlu untuk selalu waspada dalam menjaga diri. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Terimakasih.

Rifkamedia

Februari-April 2012

43


Wawancara

Mei Shofia Romas:

Kebijakan Transportasi Belum Responsif Kepada Perempuan Di bawah panas udara Jogja, Rifka Media berhasil menemui dan mewawancarai Mei Shofia Romas, Direktur Rifka Annisa. Kami berbincang hangat tentang perempuan dan transportasi. Dari jawaban-jawaban yang terlontar, nampak bahwa Ia begitu antusias dan konsern melihat isu ini. Ia menganggap bahwa, banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di transportasi umum adalah bentuk nyata dari pembiaran negara terhadap tanggung jawab ruang aman terhadap perempuan. Inilah petikan wawancara Any Sundari dengan Perempuan yang akrab dipanggil Shofi ini. Bagaimana pandangan Anda tentang arah kebijakan transportasi umum di Indonesia? Apakah sudah responsif terhadap perempuan, terutama terkait maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di trasnportasi umum? Kalau saya melihat proses pengambilan kebijakan tentang transportasi belum responsif kepada perempuan untuk masuk dan mempengaruhi kebijakan. Faktanya, jumlah armada transportasi dengan jumlah konsumen tidak seimbang, padahal perempuan adalah pengakses terbesar sistem transportasi umum karena murah. Dari sisi kenyamanan, transportasi umum di Indonesia sangat sedikit yang dikatakan layak, kalaupun ada konsekuensinya adalah mahal. Sementara mahal pun tidak menjamin keamanan, karena bicara kebutuhan perempuan maka unsur kenyamanan

44

Rifkamedia

Februari-April 2012

dan keamanan harus dipenuhi. Jika pemerintah memang peduli kebutuhan transportasi perempuan, kenapa kemudian di pusat-pusat terminal, sistem keamanannya sangat kurang. Akibatnya, terjadi kasus kekerasan seksual maka akses bantuan bagi korban sangat sulit sementara masyarakat sendiri sudah mulai individual dan kurang perduli dengan korban. Khusus di terminal, ada banyak titik-titik remang yang membuat situasi yang rentan bagi perempuan. Belum lagi banyak laki-laki yang nongkrong dan kadang perempuan yang lewat didepanya rentan menghadapi pelecehan seksual. Hal- hal seperti ini dianggap tidak penting karena rendahnya kesadaran orang tentang kekerasan seksual. Kenapa reaksi pemerintah cenderung tambal sulam dan reaktif dalam menangani kasus kekerasan seksual,

seperti kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual di angkutan umum yang terjadi di Jakarta? Saya berpendapat bahwa pemerintah hanya melihat transportasi sebagai alat pelengkap dalam kegiatan seharihari. Jika kita lihat, reaksi pemerintah untuk merespon maraknya kekerasan seksual di angkutan umum di Jakarta adalah dengan mendisiplinkan pemakaian seragam. Pertanyaanya, apakah dengan memakai seragam artinya kekerasan seksual bisa dicegah? Faktanya korban masih berjatuhan. Kemudian pemerintah gencar melakukan pemeriksaan, tapi titik-titik pemeriksaan bisa dihafalkan oleh pelaku dan kekerasan seksual bisa terjadi lagi. Saya kira pemerintah tidak hanya reaktif tetapi malah lepas tangan. Seperti Organisasi Gabungan Angkutan Darat (Organda) seolah-olah punya otoritas yang penuh untuk membuat kebijakan, tetapi pemerintah tidak memastikan apakah kebijakan Organda memihak kepada konsumen. Saya melihat pemerintah melepaskan pengelolaan transportasi kepada Organda, tetapi pemerintah sendiri tidak melakukan tanggung jawab dari kebutuhan atau keamanan. Pemerintah telah membuat kebijakan tentang ruang khusus perempuan, seperti gerbong atau busway khusus perempuan. Apakah ini dapat membantu mengurangi kasus kekerasan seksual terhadap perempuan? Saya pikir ini adalah kebijakan yang tidak strategis, karena ada persoalan lain yang sebenarnya harus diperbaiki. Kebijakan ini kan seolah memenjarakan tubuh perempuan. Perempuan disuruh menyendiri disuatu tempat dan harus berpakaian tertutup agar tidak terjadi pelecehan seksual. Sebetulnya yang seharusnya diperbaiki adalah pola pikir pelaku. Tranportasi itu tidak hanya sebuah alat tetapi juga sistem yang harus diperhatikan pemerintah sebagai kebutuhan sehari-hari masyarakat. Maka memang penggunanya pun harus


Wawancara dididik untuk tidak melakukan kekerasan seksual. Kalau pemerintah melihat kecenderungan tingginya kasus kekerasan seksual di transportasi umum, kenapa pemerintah tidak melakukan tindakan sederhana dan membantu perempuan. Misalnya, memasang papan pengumuman hati-hati atau berteriaklah jika mengalami kekerasan seksual. Ini tentu membantu perempuan itu sendiri untuk merasa aman. Kemudian ada layanan pengaduan dan staf keamanan yang bisa membantu perempuan setiap saat. Jadi tidak perlu ada gerbong atau busway khusus perempuan. Sehingga, saya kira penerapan nilai kesetaraan gender dalam kebijakan sistem transportasi sangat penting. Implikasi kebijakan yang responsif gender di transportasi umum pun juga membuat awak transportasi (kondektur, sopir dll) bisa sadar dan perduli.

sangat berat. Dalam konteks Indonesia, apakah dengan menghukum berat pelaku, maka bisa menimbulkan efek jera pula? Kalau saya lihat permasalahan di Indonesia bukan pada beratnya hukuman terhadap pelaku. Tetapi, problem di Indonesia itu klasik. Aturan banyak, birokrasi berbelit tapi pelaksanaanya menjadi pertanyaan . Lalu, seberapa besar pemerintah mampu menyediakan aparatnya untuk menangani kasus seperti ini? Karena bagi saya, dalam konteks Indonesia, harus ada aparat yang stand by ditempat untuk memastikan tidak terjadi pelecehan atau kekerasan. Maka, mau tidak mau bangunan pengetahuan masyarakat tentang pelecehan seksual dan kekerasan seksual harus dibangun dengan berkesinambungan tanpa henti.

Selama ini muncul stereotype dari banyak orang yang melihat kasus kekerasan seksual di transportasi umum banyak terjadi karena perempuan memakai pakaian yang tidak tertutup. Apakah ini juga disebabkan oleh minimnya bangunan pengetahuan masyarakat tentang kekerasan seksual ? Kalau mau jujur, yang menjadi korban pelecehan seksual ternyata tidak hanya mereka yang berpakaian terbuka, yang pakai jilbab dan pantatnya disentuh pun juga ada. Kemudian, kasus pemerkosaan yang muncul di Jakarta pun, saya kira tidak ada hubungan dengan rok mini. Bangunan pengetahuan tentang kekerasan seksual memang masih sangat minim. Bahkan bagunan itu pun juga sangat memprihatinkan dikalangan perempuan sendiri. Sesama perempuan masih sering memperingatkan bahwa mereka harus bepakaian yang tertutup. Ini menguatkan paradigm bahwa perempuan masih menjadi penjaga ketertiban umum atas nama moralitas. Sementara , otak si pelaku tidak pernah terBerkaca dari negara Jepang, sentuh. Jadi saya kira membangun sanksi yang diberikan kepada pelaku bangunan pengetahuan dan kesadaran keke-rasan seksual di tempat umum Kebanyakan perempuan tidak berani melawan bahkan tidak merasa dirinya mengalami kekerasan atau pelecehan seksual di transportasi umum, lalu bagaimana menumbuhkan kesadaran kepada perempuan sendiri agar mereka sadar dan perduli dengan persoalan ini? Ini adalah bagian dari proses penyadaran masyarakat, bahwa yang sebetulnya yang perempuan yang mengalami kekerasan seksual bukan sesuatu yang benar dan alami. Ini adalah pelanggaran hak-hak perempuan dan tidak seorang pun berhak diperlakukan seperti itu. Kebanyakan orang menganggap perempuan yang disiulin atau disentuh pantatnya adalah hal yang biasa. Padahal kalau perempuan tidak nyaman, itu sudah termasuk kekerasan. Kalau sosialiasi informasi tentang pelecehan seksual lebih massif, seperti iklan rokok, maka kesadaran perempuan bisa terbangun. Sayangnya, hal-hal seperti ini belum benar-benar digarap secara serius.

itu masih harus melalui jalan yang panjang. Mengapa kasus pemerkosaan di Jakarta yang sudah di blow up di media bahkan sampai tahap pelaporan, ternyata tidak mampu memberikan kesadaran bagi pemerintah untuk peduli, padahal persoalan ini sudah berulang kali terjadi? Pertama, saya melihat pemerintah ini masih terpisah pisah dalam menangani persoalan ini. Misal Kementrian Pemberdayaan Perempuan, mereka tidak melihat kasus ini sebagai hal yang harusnya mereka advokasi. Padahal jelas, ini wilayah mereka. Sehingga, saya kira harus ada koordinasi Meneg PP dengan otoritas pengaturan transportasi. Dari koordinasi, bisa menghasilkan kebijakan soal layanan tentang transportasi yang memasukan hak-hak perempuan yang. Semacam ada surat kesepakatan bersama. Kedua, sebaiknya pemerintah tegas saja dengan pihak-pihak yang armadanya sering menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan. Kedua, harus ada sanksi yang jelas, misalnya melakukan pembekuaan atau pe-non-aktifan armada sampai pihak penyedia armada berkomitmen menyelesaikan diantara para staf mereka sendiri, karena selama ini konsekuensi dan sanksi terhadap penyedia transportasi yang armadanya menjadi tempat kekerasan seksual tidak jelas. Menurut Anda siapa yang seharusnya paling bertanggung jawab maraknya kasus kekerasan seksual di transportasi umum? Pemerintah, karena pemerintah punya kewajiban untuk memastikan hak keamanan dan kenyamanan warga negara melalui kebijkan dan memastikan implementasi kebijakan benar-benar di jalankan. Pemerintah harus punya program yang komperhensif penanganan transportasi umum dan hak-hak perempuan masuk didalamnya. Contohnya, kebijakan munculnya armada

Rifkamedia

Februari-April 2012

45


Wawancara baru harus ada perizinan keamanan dan Ya, setahu saya kasus di Jakarta itu kenyamanan sekaligus harus ada sanksi sampai ke polisi tetapi sanksi bagi pelaku yang jelas terhadap armada dan pelaku. adalah berjanji tidak mengulangi perbuatan tersebut. Saya kira bila bicara Menurut Anda transportasi seperti soal sanksi, maka kita akan berbenturan apa yang pro-perempuan? dengan perbandingan dengan trend Pertama, misalnya saya naik kereta kasus lain, seperti korupsi. Kasus-kasus atau bis dimalam hari, sering kali korupsi yang besar, membuat isu penerangannya kurang dan remangkekerasan terhadap perempuan keremang dan itu membuat penumpang mudian manjadi kasus “hanya�, termasuk tidak tenang, maka penerangan harus saya kira persoalan-persoalan yang lain ditambah. Kedua sering kali banyak lakidi negeri ini. Agak ruwet untuk menglaki kadang tidak nyaman, ini persoalan upayakan sanksi tegas, ditengah maba n g u n a n p e n g e t a h u a n , k a re n a raknya persoalan atau kasus besar yang ketidaknyamanan bahkan sudah mulai lain, walaupun dampak bagi korban muncul ketika kita dilihat dari atas sangat luar biasa kebawah. Ketiga, pendisiplinan transportasi sesuai jalur atau tryek. Konsumen Apa yang bisa dipelajari dari kasus juga harus tahu tentang jalur yang di Jakarta bagi daerah-daerah lain, dilewatinya. Contoh lain, di taksi seperti Yogyakarta? khususnya yang Blue Bird ada hotline Saya kira pemerintah di tingkat pengaduan ke perusahaan, sehingga jika Yogyakarta harus mulai menggalakkan ada keluhan, penumpang bisa langsung tindakan preventif, meskipun belum melapor . Namun, persoalan yang paling banyak terdengar pelaporan kekerasan mendasar sebenarnya berawal dari tidak seksual di transportasi umum,seperti imbangnya jumlah tansportasi dan saya Trans Jogja. Maka perlu ada kesadaran kira jika pemerintah pro pada trans- sejak awal untuk membangun sistem portasi massal, kekerasan seksual pun transportasi yang ramah tetapi juga bisa diminalisir dengan sendirinya, aman juga perempuan.[] karena resiko berdesak-desakan lebih Any Sundari kecil. Apakah Rifka Annisa pernah menangani kasus kekerasan seksual di transportasi umum? Saya pikir kasus ini banyak dlapangan tetapi di Rifka, kasus di transportasi umum hanya mengikuti kasus utama yakni kasus KDRT. Diruang konseling, konselor membicaran tentang kekerasan terhadap perempuan secara umum, dari diskusi dengan klien ternyata mereka juga pernah mengalami hal serupa di transportasi dan barulah mereka tersadar sebagai korban kekerasan. Namun, jika korban secara langsung, saya kira belum pernah Berkaca dari kasus Jakarta, ternyata sanksi yang diberikan pada pelaku ternyata sangat ringan, apa tanggapan Anda tentang hal ini?

46

Rifkamedia

Februari-April 2012


Profil

Shofie, Untuk Dunia Yang Lebih Baik ...perjuangan melawan ketidakadilan terhadap perempuan tidak akan pernah selesai. Perjuangan ini bukan seperti kuliah, tetapi tantangan peradaban untuk perubahan dunia yang lebih baik Mei Shofia Romas, perempuan asli Yogyakarta kelahiran 19 Mei 1978 ini merupakan alumnus pendidikan profesi psikologi Universitas Gadjah Mada pada tahun 2003. Dia memulai konsern dalam isu-isu perempuan tahun 2004, sejak bergabung dengan Rifka Annisa sebagai konselor psikologi. Setahun kemudian mulai tahun 2005, dia menjadi manager divisi pendampingan Rifka Annisa. Selama menjadi manager divisi pendampingan, ia memperoleh banyak pengalaman dengan perempuan korban kekerasan. Empat tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2009, Shofie akhirnya menjabat sebagai direktur eksekutif Rifka Annisa . Ketertarikanya pada isu perempuan bermula dari pengalaman dirinya dan keluarganya yang memperlihatkan bahwa menjadi perempuan itu tidak mudah. Banyak sekali batasan, dikriminasi, yang dialami perempuan. Pengalamanya saat SMA juga mengajarkanya untuk bertindak tegas terhadap siapapun yang melakukan kekerasan terhadap perempuan. Saat SMA, teman-teman perempuannya banyak sekali mengalami pelecehan di tempat umum. Bahkan, Shofi, panggilan akrabnya, pernah punya pengalaman tidak mengenakan saat berada di bis, saat sang kondektur secara sengaja menyentuh bagian tubuhnya, spontan Shofi pun berteriak dan memarahi sang kondektur. Sikap tegasnya ini merupakan perilaku nyata bahwa perempuan saatnya harus tegas dan berbicara tentang apa yang dia rasakan. Selain itu, Shofi muda selalu bercita-cita bahwa suatu saat akan banyak perempuan yang menjadi pemimpin di negeri ini. Selepas kuliah, ia menemukan peluang untuk masuk dalam isu gender. Ia memanfaatkan kebutuhan Rifka Annisa akan relawan belajar tahun 2004. Dan tahun itu pula, ia menjadi relawan belajar di Rifka Annisa. Selama enam bulan, Shofi banyak mendapatkan pengetahuan tentang isu kekerasan dan gender. Ia berujar bahwa ia sudah tertarik belajar tentang isu perempuan sejak masih di bangku kuliah. Sayangnya, dosen tidak banyak memberikan ruang kepadanya untuk belajar tentang isu ini. Sampai, akhirnya saat ia kuliah profesi, ia bertemu dengan Elli Nur Hayati, mantan direktur Rifka Annisa saat itu dan bergabung dengan Rifka Annisa. Menurutnya, banyak sekali intenalisasi nilai yang ia dapatkan ketika bergabung dengan Rifka Annisa. Ia menjadi terbiasa mengeluarkan pendapat dan berbeda pendapat. Selain itu, ia juga mendapat wacana tentang pelibatan laki-laki dalam penghapusan tindak kekerasan kekerasan terhadap perempuan berbasis gender. Pada awalnya istri dari Hendra Rahend S ini, masih sulit menerima maskulinitas baru, tetapi ia berusaha membongkar stereotype yang mengakar baik dalam diri laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh budaya patriarki. Ditengah kesibukanya sebagai direktur Rifka Annisa, Shofi masih sering menjalankan hobinya mendengarkan musik, menonton film dan travelling. Bergabung di Rifka Annisa ternyata adalah pilihan yang membawanya berkenalan dengan banyak orang dan mendapatkan banyak wawasan. Baginya, perjuangan melawan ketidakadilan gender yang dihadapi oleh perempuan adalah jalan yang sangat panjang. Diluar sana masih banyak perempuan yang mengalami ketidakadilan dan tantangan kedepan akan makin banyak. Maka, baginya perjuangan melawan ketidakadilan terhadap perempuan tidak akan pernah selesai. Perjuangan ini bukan seperti kuliah, tetapi tantangan peradaban untuk perubahan dunia yang lebih baik.[] Any Sundari

Mei Shofia Romas Direktur Rifka Annisa

Rifkamedia

Februari-April 2012

47


Esai Foto

menghindari kemacetan, dikarenakan lokasi rumahnya di Tangerang yang agak jauh dari tempatnya bekerja.

Rumpi, Perempuan Sopir Transjakarta

P

erempuan yang telah berumur 33 tahun itu bernama Rumpi. Mempunyai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Ia belajar mengemudi sejak lulus SMA secara otodidak. Awalnya ia hanya memperhatikan cara temannya mengemudikan

48

Rifkamedia

Februari-April 2012

kendaraan, kemudian ia belajar mengemudi dan sekarang menjadi. Rumpi telah melakoni pekerjaannya sebagai pengemudi bus Trans Jakarta sejak tahun 2006, dengan jadwal bekerja pukul 06.00-14.00 WIB. Namun ia harus sudah pergi bekerja pukul 04.00 dini hari untuk

Jumlah wanita yang mengemudikan bus Trans Jakarta di koridor 3 (jurusan Kalideres - Harmoni) tempatnya bekerja hanya berjumlah 4 orang dibandingkan jumlah pria yang berkisar 150 orang. “Awalnya jumlah perempuan yang menjadi sopir cukup banyak, tapi lama kelamaan menyusut. Ada yang pindah tempat, cari bisnis lain, atau jadi ibu rumah rumah tangga�, ujarnya. Selama ia menjadi pengemudi bus Trans Jakarta, ia tidak pernah mendapatkan stigma negatif dari lingkungan sekitarnya, “Malah dapat banyak pujian, salut, kok nekat sih, oh hebat yah, emang ngga dilarang sama suaminya yah.� Suaminya pun tidak melarang ia untuk melakoni semua pekerjaannya tersebut, ujar perempuan yang juga tergabung di LSM bidang perempuan yaitu Rahimah dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) yang didirikan oleh mantan presiden Abdurrahman Wahid. Ia pun juga turut berpartisipasi dalam demonstrasi kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP) pengemudi bus Trans Jakarta pada 29 Februari 2012 yang. Hal tersebut dilakukannya adanya ketidakadilan pembagian UMP yang merata antara pengemudi bus Trans Jakarta yang telah bekerja di bawah 2 tahun dan di atas 2 tahun. [] Caron Toshiko


Dapur Rifka

Rekam Jejak Rifka Media: Dari Sosialisasi ke Pengembangan Pengetahuan Muhammad Saeroni | Manajer Humas dan Media Rifka Annisa

T

anpa terasa, sudah 18 tahun lebih Rifka Annisa berdiri sejak tahun 1993 sebagai women crisis center pertama di Indonesia. Dan selama 14 tahun perjalanan Rifka Annisa, Rifka Media hadir sebagai media sosialisasi isu dan gagasan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Pada edisi kali ini, Rifka Media hadir dengan format yang sedikit berbeda, baik dari jumlah halaman yang makin bertambah maupun

bentuk rubrikasi yang juga berubah. Perubahan bentuk Rifka Media ini merupakan hasil dari proses panjang Rifka Annisa dalam merespon perkembangan sosial dan kelembagaan terkait isu gender dan kekerasan terhadap perempuan. Rifka Media hadir sejak tahun 1998, manakala isu kekerasan terhadap perempuan masih dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan. Pada awal berdiri, jarang sekali perempuan yang bersedia berkonsultasi tentang

masalah kekerasan yang dihadapinya, terlebih jika terjadi dalam lingkup rumah tangga. Bahkan Rifka Annisa juga menerima banyak cibiran dari organisasi non pemerintah (ornop) lainnya. Beberapa aktivis secara terbuka merendahkan kegiatan Rifka Annisa, yang dikatakan "tidak memberi solusi". Pada tahun 1998, Rifka Annisa mulai mengajak laki-laki pelaku kekerasan dalam beberapa sesi konseling dan mulai merekrut beberapa laki-laki untuk menjadi stafnya guna memudahkan pendekatan pada pihak laki-laki. Pendekatan ini pun mendapat kritik keras dari kalangan ornop perempuan karena melibatkan laki-laki dalam konseling pasangannya, dianggap janggal dan dipandang sebagai langkah kompromis terhadap pelaku kekerasan sebagai sumber permasalahan. (Kompas, 10 September 2003). Dalam situasi seprti itu, Rifka Media hadir sebagai pendobrak tabu rumah tangga, dengan membicarakan isu kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan dalam rumah tangga di ruang-ruang publik. Dalam beberapa kesempatan, Rifka Media juga hadir untuk menyuarakan pandangan-pandangan dan gagasan Rifka kepada publik. Diantaranya, padangan tentang perlunya pelibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam terbitan Rifka Media bulan September tahun 1999. Dalam rentang tahun 1998 hingga 2002, dimana belum banyak lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan, Rifka Media selalu hadir dengan rubrik profil untuk mengenalkan lembaga-lembaga, komunitas maupun tokoh-tokoh yang perduli terhadap perempuan korban kekerasan. Dalam kesempatan itu pula

Rifkamedia

Februari-April 2012

49


Dapur Rifka

dibangun kerjasama layanan antar lembaga penyedia layanan yang ada di Yogyakarta yang dikenal dengan kerjasama “tripartit�, yaitu antara Rifka Annisa, Rumah Sakit, dan Kepolisian. Model ini kemudian berkembang dengan melibatkan berbagai lembaga layanan psikososial, kesehatan, dan hukum di Yogyakarta, dan kemudian diadaptasi oleh berbagai daerah sebagai model pelayanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan dengan sistem referan (rujukan). Seiring dengan perkembangan Rifka Annisa yang jadi tempat rujukan dan tempat belajar bagi berbagai organisasi dan lembaga penyedia layanan di Indonesia, pembaca Rifka Media pun meluas hingga lembagalembaga mitra dan jaringan, baik yang berbasis masyarakat, komunitas maupun pemerintah. Pada saat yang bersamaan Rifka Annisa, tidak saja berperan sebagai lembaga layanan, namun juga sebagai lembaga advokasi program dan kebijakan. Perkembangan ini direspon oleh Rifka Media dengan tidak hanya sekedar sebagai media sosialisasi isu gender, tetapi juga sebagai media untuk menuangkan gagasan, dan pandanganpandangan Rifka Annisa terkait dengan isu-isu tertentu dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Kini setelah isu gender dan kekerasan terhadap perempuan telah diterima oleh berbagai kalangan, terutama sejak disahkannya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga No. 23 tahun 2004. Berbagai organisasi layanan semakin banyak bermunculan di berbagai daerah, terutama yang diprakarsai

50

Rifkamedia

Februari-April 2012

oleh pemerintah. Seiring dengan itu pula minat para akademisi baik mahasiswa maupun peneliti dan praktisi untuk mengkaji isu gender dan kekerasan terhadap perempuan dari berbagai latar belakang disiplin ilmu juga semakin meluas. Oleh karena itu Rifka Annisa sejak tahun 2006, mulai mereposisi gerakannya menjadi pusat pengembangan sumberdaya bagi penghapusan kekerasan perempuan terhadap perempuan. Hal ini ditandai dengan dibukanya program-program peningkatan kapasitas bagi organisasiorganisasi maupun tenaga-tenaga layanan bagi perempuan korban kekerasan. Demikian pula dengan layanan yang diberikan oleh Rifka Annisa, mulai dikembangkan sebagai

layanan rujukan bagi perempuan korban kekerasan yang membutuhkan penanganan lanjutan. Artinya, menjadi layanan rujukan dan pusat pengembangan sumberdaya akan membutuhkan perangkat-perangkat pengetahuan yang dikembangkan berdasarkan pengalaman empiris di lapangan. Rifka Media, sebagai salah satu bentuk media cetak yang dikembang oleh Rifka Annisa menjadi pilihan yang tepat untuk mewadahi informasi dan gagasan tentang pengembangan pengetahuan tersebut. Sehingga mulai edisi kali ini dan seterusnya, materi-materi di Rifka Media akan dihadirkan dengan gaya yang lebih informatif, namun juga mendalam, disertai dengan pengungkapan fakta dan data yang akurat sehingga bisa menjadi bahan pembelajaran maupun bacaan rujukan. Atas dasar tujuan inilah, Rifka Media kali ini mengalami banyak perubahan dalam rubrikasi maupun model penulisannya. Tentu saja dengan tetap mempertahankan beberapa konsep lama yang masih baik dan relevan. Rubrik memoar yang selama ini berisi cerita nyata yang disarikan dari pengalaman penanganan korban kekerasan, opini tokoh dan bahasan utama, serta beberapa rubrik lainnya tetap dipertahankan dengan sedikit perubahan nama rubrik maupun model penulisannya. Akhirnya perubahan Rifka Media kedepan ini bisa lebih baik lagi dan sesuai dengan harapan. Semoga Rifka Media mampunmenjadi media pembelajaran dan sumber rujukan untuk isu-isu gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. [ ]



STOP KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

www.rifka-annisa.or.id


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.