Rifkamedia
Rifka Media No. 61 Februari-April 2015
Perjuangan Perempuan Berkeadilan
PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL ISSN 2301-9972
9 7 7 2 3 0 1
9 9 7 0 0 6
5 5
Galery Rifka
PESERTA DAN PANITIA PELATIHAN “PERAN MASYARAKAT DALAM MERESPON KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DI GUNUNGKIDUL”, WONOSARI, 17-18 SEPTEMBER 2014
SISWA SMK DI GUNUNGKIDUL MELUKIS MURAL UNTUK KAMPANYE CEGAH KEKERASAN DALAM PACARAN, 10 DESEMBER 2014
KAMPANYE ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN PENCEGAHAN PERNIKAHAN ANAK MELALUI SENI TRADISIONAL KETOPRAK DI DESA KEPEK, KECAMATAN WONOSARI, GUNUNGKIDUL, 20 SEPTEMBER 2014
DAFTAR ISI
Rifkamedia Februari-April 2015 LAPORAN UTAMA
LAPORAN UTAMA POLA DAN PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL DI INDONESIA Ratnasari Nugraheni | 06 POLITIK HUKUM TERHADAP KEKERASAN SEKSUAL DI INDONESIA Triantono, SH, MH | 15 KIPRAH YANG TAK PERNAH PADAM: Upaya Komunitas dalam Penghapusan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Megafirmawanti Lasinta | 23
CEGAH ANAK SEBAGAI PELAKU DAN KORBAN KEKERASAN SEKSUAL Tim redaksi Rifka Media | 29
LESEHAN BUKU Napak Tilas Sejarah Komnas Perempuan | 40 MEMOAR Aku tak Tahu Apa yang Terjadi pada Tubuhku | 44 WAWANCARA RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Ada Dalam Naungan Cita Negara | 45 PROFIL Heru Kasidi: Kekerasan Tak Boleh Ditunda Penanganannya | 47 DAPUR RIFKA Awal dari Keluarga | 48 ESAI & FOTO | 51
KOMPLEKSITAS PENANGANAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL PADA PEREMPUAN DENGAN DISABILITAS Megafirmawanti Lasinta | 34
LIPUTAN Berbalut Budaya Lokal, Aktivis Tuntut Sahkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual | 41 Gedangsari Adakan Penghargaan Bagi Desa Nihil Nikah Usia Anak | 42 Workshop Penyusunan Bahan Ajar Pendidikan, Pendampingan, dan Konseling Feminis | 43
Penanggung Jawab: Suharti (Direktur Rifka Annisa) Pemimpin Umum: Defirentia One Pemimpin Redaksi: Khoirun Ni'mah Sekretaris Redaksi: Niken Anggrek Wulan Dewan Redaksi: Niken Anggrek Wulan, Ratnasari Nugraheni, Megafirmawanti Lasinta, Nitia, Mufahirah Mutia, Gina Lestari Fotografer: Tiwuk Lejar Sayekti Layouter: Ulin Niam Alamat Redaksi dan Perusahan Rifka Media: Rifka Annisa Women's Crisis Center, Jl. Jambon IV Komplek Jatimulyo Indah Yogyakarta, Telepon/Fax: (0274) 553333, Website: www.rifka-annisa.org, Email: rifka@rifka-annisa.org, Facebook: Rifka Annisa WCC, Twitter: @RAWCC PUSAT PENGEMBANGAN SUMBERDAYA
Redaksi menerima tulisan dari pembaca sekalian terkait dengan isu-isu perempuan kepada khalayak yang lebih luas. Kritik dan saran kami tunggu di rifka@rifka-annisa.org
Rifkamedia Februari-April 2015
03
SURAT PEMBACA Salam, saya Addin Negara. kalau mau konsultasi Psikologis ke Rifka Annisa, apakah ada biayanya? Halo salam kenal Addin, Untuk konsultasi psikologi atau hukum di Rifka Annisa tidak ada biayanya alias gratis. Kalaupun ingin berkontribusi bisa melalui infak dan tidak ditentukan besarnya. Hasil infak akan digunakan kembali untuk membantu perempuan dan anak korban kekerasan.
Selamat pagi, nama saya Hikmah Novita, mahasiswa pasca sarjana DKV ISI Yogyakarta. dalam semester ini saya membuat perancangan untuk tugas DKV yaitu semacam guide book untuk pencegahan kekerasan seksual pada anak. Saya membutuhkan bantuan Rifka untuk mendapatkan data yang valid dalam proses perancangan ini. Terimakasih sebelumnya. Siang, iya Rifka Annisa menangani kasus kekerasan seksual anak. Untuk data dan informasi selengkapnya, bisa menghubungi divisi RTC Rifka Annisa. silahkan menghubungi line kami (0274) 553333 atau datang langsung ke kantor kami pada jam kerja 08.30-16.00 WIB. Semoga dapat membantu. Terimakasih.
Salam sejahtera, saya Ratih dari UGM. Kawan saya dari Korea bermaksud ngobrol-ngobrol seputar aktivitas dan kegiatan LSM Rifka Annisa. Apakah dia bisa berkunjung ke Rifka Annisa? Mohon jawabannya. Terimakasih. Halo Ratih, terimakasih atas partisipasinya, kami sangat senang jika ada sahabat ingin belajar di Rifka Annisa. Jika ingin berkunjung ke Rifka Annisa silakan membuat janji terlebih dahulu. Bisa telepon ke 0274 553333 untuk membuat janji. Nanti Ratih bisa berhubungan langsung dengan Niken atau dengan Anik untuk membahas jadwal kunjungan. Terimakasih
Salam, saya Andhika mahasiswa STSRD VISI. Untuk keperluan tugas akhir saya membuat iklan layanan masyarakat anti Pedofilia. Untuk mencari data di Rifka Annisa bagaimana prosedurnya? mohon tanggapannya. Halo Andika, untuk keperluan tersebut, silahkan langsung menghubungi dan membuat janji dengan divisi Humas dan Media Rifka Annisa melalui line kami (0274) 553333 atau datang langsung ke kantor kami pada jam kerja 08.30-16.00 WIB. Terimakasih.
Dengan hormat, saya Rizki mahasiswa S2 Magister Hukum Bisnis. saya sangat ingin magang dan belajar langsung di Rifka Annisa. saya ingin tahu bagaimana prosedur magang di Rifka Annisa. Terima Kasih. Hai Rizki, terima kasih atas pesannya. Kami senang sekali jika Rizki ingin belajar dan magang di Rifka Annisa. silakan kirim CV dan motivation letter ke HRD kami. bisa melalui email hrd.rifka.annisa@gmail.com.
Data Statistik
Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) di Rifka Annisa Januari – Desember 2015 KASUS MEDIA
KTI KDP PKS PEL-SEK KDK TRAF
04
: Kekerasan Terhadap Istri : Kekerasan Dalam Pacaran : Perkosaan : Pelecehan Seksual : Kekerasan Dalam Keluarga : Traffiking (Perdagangan Orang)
Rifkamedia Februari-April 2015
TATAP MUKA
KTI
KDP
PKS
PEL-SEKS
KDK
TRAF
JUMLAH
189
25
7
6
4
0
TELEPON
3
0
0
0
0
0
3
OUTREACH
19
5
29
8
0
0
61
12
4
0
1
1
0
18
JUMLAH
223
34
36
15
5
0
313
231
JENDELA
KEKERASAN SEKSUAL: BUKAN SOAL MORALITAS SEMATA
Fenomena kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus menerus, namun masih banyak masyarakat yang apatis terhadap persoalan ini. Di Indonesia, kekerasan seksual tidak dianggap sebagai tindakan criminal melainkan hanya dianggap sebagai kejahatan kesusilaan semata. Bahkan pandangan ini tertulis secara jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bahwa kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan. Pengelompokan ini yang kemudian menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual merupakan persoalan moralitas semata. Padahal pengalaman buruk perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tidak akan pernah bias hilang dari ingatannya, bahkan dalam kondisi kronis pengalaman ini dapat menghancurkan seluruh integritas hidup korban sehingga ia merasa tidak mampu melanjutkan hidupnya lagi. Meski telah banyak tersedia berbagai unit/forum penyedia layanan untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, akan tetapi belum sepenuhnya lembaga pengada layanan tersebut didukung dengan fasilitas yang memadai. Selain itu, di tingkat kultur atau budaya hukum, banyak penyelenggara hukum yang masih mengadopsi cara pandang masyarakat tentang kekerasan seksual sebagai persoalan moralitas. Akibatnya, penanganan terhadap kasus kekerasan seksual sama sekali tidak menunjukkan empati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan korban.
Melihat realitas social kekerasan seksual yang ada di masyakat saat ini, maka perlu upaya penanganan secara komprehensif untuk mengatur bentuk-bentuk kekerasan seksual, definisi, unsur-unsur delik, sanksi pidana, dan pemulihan terhadap korban Kekerasan Seksual. Rencana Undang Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual diharapkan mampu membentuk system baru yang lebih berpihak pada korban kekerasan seksual, baik dari sisi penerapan hokum pidananya, maupun dalam mendorong peran negara agar lebih bertanggungjawab terhadap pemulihan korban, serta upaya pencegahannya di masa datang. Fakta-fakta di atas memberikan pelajaran bahwa persoalan kekerasan seksual terhadap perempuan tidak akan selesai ketika masih dianggap sebagai kejahatan moralitas semata. Perempuan korban maupun keluarga cenderung memilih untuk diam dan tidak memperkarakan pelaku kepengadilan atas tindakan kekerasan seksual yang dilakukan demi menghindari aib dan menjaga nama baik kaluarga. Dengan demikian ketika disahkannya RUU penghapusan kekerasan seksual tersebut merupakan kesempatan negaramelalui eksekutif, yudikatif dan legislative untuk mewujudkan tanggungjawab konstitusionalnya terhadap pemenuhan hak atas rasa aman, hak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak perlindungan hukum, dan hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan khususnya bagi korban kekerasan seksual.
Khoirun Ni'mah Pimred Rifka Media
Rifka Media edisi ini dikhususkan untuk membahas rencana undang-undang penghapusan kekerasan seksual. Edisi ini merupakan upaya khusus guna menyuarakan jalan hokum oleh negara yang akan mampu memberikan perlindungan dan kepastian hukum, terutama terkait dengan perempuan korban kekerasan seksual.
Rifkamedia Februari-April 2015
05
DOKUMEN ISTIMEWA
LAPORAN UTAMA
&
POLA
PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL DI INDONESIA Ratnasari Nugraheni Relawan Divisi Humas dan Media Rifka Annisa ratnasari.nugraheni@gmail.com
06
Rifkamedia Februari-April 2015
T
iga belas anak menjadi korban pencabulan kakek berusia 63tahun di Yogyakarta (Linangkung, 2015).Di Sumatera Utara, paman berusia 45 tahun mencabuli keponakannya yang berusia 12 tahun (Muhardiansyah, 2015).Kemudian, di Jakarta, balita berusia 3 tahun dicabuli oleh tetangganya sendiri yang berusia 35 tahun (Belarminus, 2015). Seorang ayah (36 tahun) tega mencabuli anaknya (13 tahun) yang mengakibatkan terjadinya Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) (Ulhaq, 2015).Oknum guru di Surabaya melakukan kekerasan seksual kepada 4 orang muridnya (Faizal, 2015).Berita yang tak kalah mencengangkan lagi, siswa kelas 5 yang duduk di bangku sekolah dasar mencabuli teman sebayanya (Syahrial, 2015).Kemudian, menjelang 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) 2015 , terjadi pemerkosaan terhadap seorang perempuan berusia 23 tahun di jembatan penyeberangan di Lebak Bulus, Jakarta Selatan (Sasongko, 2015). Situasi Kekerasan Seksual di Indonesia Kasus-kasus kekerasan seksual tersebut setidaknya menjadi gambaran akan situasi kekerasan seksual yang terjadi di tanah air kita, Indonesia. Data tersebut merupakan sampel acak yang diambil dari berbagai media online, yakni sindonews.com, merdeka.com, kompas.com,tanjungpinang.co.id, dan cnnindonesia.com. Berdasarkan data tersebut, pelaku kekerasan seksual masih didominasi oleh orang dewasa dan orang terdekat korban. Bahkan, ayah dan paman kandung yang masih terikat hubungan darah juga terindikasi menjadi pelaku. Satu hal yang patut menjadi perhatian semua pihak,
yaknibaik usia pelaku dan korban semakin muda dan masih dikategorikan sebagai anak-anak. Menurut UU No. 23 Tahun 2002 pasal 1, definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Masih berdasarkan data, kekerasan seksual dapat terjadi di mana pun, bahkan di sekolah. Selain itu, oknum guru pun dapat menjadi pelaku. Situasi kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia juga tergambar dari data yang dihimpun oleh Komnas (Komisi Nasional) Perempuan. Berdasarkan Grafik 1, eskalasi kasus KTP (Kekerasan terhadap Perempuan) selama satu dekade terakhir terus melonjak signifikan. Ada tiga interpretasi yang dapat disimpulkan bahwa (1) memang kasus KTP semakin bertambah setiap tahunnya, (2) kasus KTP tidak signifikan bertambah, akan tetapi daya kesadaran perempuan korban semakin meningkat, atau (3) baik kasus dan juga kesadaran akan KTP semakin meningkat. Menurut data pengadilan agama, angka kasus KTP pada tahun 2014 sudah mencapai 293.220 kasus. Sedangkan menurut data lembaga penyedia layanan yang melapor ke Komnas Perempuan, terdapat sebanyak
12.510 kasus. Kemudian, berapakah jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di sepanjang tahun 2014? Di dalam CATAHU 2015, Komnas Perempuan sudah membedakan jumlah kekerasan seksual di tiga ranah berdasarkan data yang dihimpun dari lembaga penyedia layanan di seluruh provinsi. Ranah pertama yakni dalam Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) / Relasi Personal (RP), dimana pelaku kekerasan di ranah KDRT adalah suami karena masih adanya ketimpangan relasi gender di antara suami dan istri. Kemudian, di RP, kekerasan yang terjadi berada di lingkup Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), yang berarti pelaku kekerasan dalam lingkup ini adalah pacar. Data di CATAHU 2015 menunjukkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi di ranah ini berjumlah 2.274 kasus.Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa korban kekerasan psikis dan fisik juga mendapatkan kekerasan seksual karena bisa saja korban enggan mengungkapkannya mengingat kekerasan seksual masih dianggap aib. Imbasnya, korban kekerasan seksual enggan untuk melaporkannya karena malu. Pada ranah kedua, kekerasan yang berada pada lingkup komunitas, dimana kekerasan terjadi
Grafik 1. Kasus kekerasan terhadap perempuan tahun 2004-2015 berdasarkan data Pengadilan Agama
Rifkamedia Februari-April 2015
07
LAPORAN UTAMA
Grafik 2. Data statistik kasus KTP berdasarkan jenisnya di ranah KDRT/Relasi Personal
di luar hubungan pribadi yang berarti pelaku bisa siapa saja. Pada ranah ini, kasus kekerasan seksual berjumlah 2.183, merupakan angka tertinggi dalam ranah ini. Bentuk kekerasan seksual yang dialami antara lain adalah melarikan anak perempuan, pelecehan seksual, percobaan perkosaan, perkosaan, pencabulan, dan lain-lain. Ranah ketiga adalah kekerasan yang terjadi di lingkup negara. Dalam hal ini, negara bertanggung jawab atas kasus kekerasan seksual yang terjadi pada warga negaranya. Komnas Perempuan mencatat jelas ada 4 kasus tes keperawanan di Jawa Barat (Kabupaten Bandung).
Jika dikalkulasi, jumlah kekerasan seksual yang tercatat di CATAHU 2015 terdapat 4.461 kasus atau sebanding dengan 35,67%. Hal ini menandakan bahwa kasus kekerasan seksual termasuk tinggi. Diduga masih banyak kasus kekerasan seksual lain yang terjadi, namun tidak dilaporkan karena hal ini masih dianggap negatif dan aib. Selain itu, mungkin saja korban mendapatkan ancaman dari pelaku, mengingat pelaku bisa jadi orang yang dikenal atau bahkan orang terdekat korban. Sehingga, korban cenderung diam. Sementara berdasarkan data Rifka Annisa WCC, jumlah kasus KTP dalam kurun waktu lima tahun terakhir cenderung fluktuatif. Akan tetapi, berdasarkan jumlahnya, kasus kekerasan yang terjadi dikategorikan masih tinggi karena mendekati angka 300 per tahun. Itupun meliputi kasus-kasus yang hanya terlapor di Rifka Annisa WCC. Sedangkan di daerah Yogyakarta, masih banyak lembaga penyedia layanan yang sama seperti Rifka Annisa WCC dan masing-masing lembaga tersebut juga memiliki data kasus tersendiri, yang tentu saja
Grafik 3. KTP di ranah Komunitas
08
Rifkamedia Februari-April 2015
berbeda satu dengan yang lain.. Sedangkan untuk kasus kekerasan seksual yang terjadi di Rifka Annisa, dalam jangka lima tahun terakhir cenderung fluktuatif mengikuti data kasus KTP keseluruhan. Jumlah kasus tertinggi berada pada tahun 2011, di mana terdapat 78 kasus. Sementara di tahun 2012 ada sebanyak 37 kasus. Kasus kekerasan seksual yang terjadi yakni berbentuk perkosaan dan pelecehan seksual. Akan tetapi, sama halnya dengan kasus kekerasan seksual yang dicatat oleh Komnas Perempuan bahwa dalam ranah Kekerasan Terhadap Istri (KTI), Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), dan Kekerasan Dalam Keluarga (KDK) dapat terjadi kekerasan seksual. Hanya saja, korban enggan melapor karena hal ini masih dianggap aib. Terlebih di ranah KTI, masih banyak yang beranggapan bahwa hubungan mengikat antara suami dan istri melegalkan segala bentuk hubungan seksual antara mereka. Anggapan inilah yang menjadi salah satu penyebab tak sedikit istri menjadi korban kekerasan seksual oleh suami mereka sendiri. Setidaknya, paparan tersebut menjadi sampel gambaran mengenai situasi kekerasan seksual yang terjadi di tanah air. Terlihat jelas bahwa kasus kekerasan seksual merupakan permasalahan krusial di dalam isu penghapusan KTP karena banyak sekali tantangan dalam penanganannya. Sementara itu,masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk terbuka terhadap isu kekerasan seksual karena anggapan tabu tentang hal ini yang masih melekat dalam persepsi masyarakat Indonesia. Kurangnya informasi mengenai kekerasan seksual juga menjadi salah satu masalah tersendiri dalam hal ini. Oleh sebab itu, pada bagian selanjutnya akan dijelaskan
Kategori Kasus (Case Category) KTI (Wife Abuse) KDP (Dating Violence) PERKOSAAN (Rape) PEL-SEKS (Sexual Harassment) KDK (Famly Violence) Trafficking LAIN-LAIN*** TOTAL KASUS
Tahun (Years) 2009 2010 203 226 28 43
2011 219 40
2012 228 27
2013 254 14
2014 180 21
2015 231 33
28
31
43
29
44
15
37
17
10
35
8
11
31
16
atau tidak berbuat.
6
10
9
11
2
5
5
Contohnya: pemaksaan
1 2 285
1 321
1 347
0 303
1
0 0 252
0 0 322
perkawinan, pemaksaan
326
keputusan yang terbaik atas dasar diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat
aborsi, praktik pemaksaan sunat perempuan,
Tabel 1. Data Kasus KTP Tahun 2009-2015 yang Terlapor di Rifka Annisa Sumber: Divisi Pendampingan Rifka Annisa
mengenai definisi, bentuk, dan juga dampak kekerasan seksual. Apa itu Kekerasan Seksual? MenurutPoerwandari (2000, di dalam Fuadi, 2011), kekerasan seksual adalah “tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan seksual sepertimenyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan tindakan lain yang tidak dikehendaki oleh korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dengan kekerasan fisik maupun tidak; memaksa melakukan aktivitasaktivitas seksual yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti atau melukai korban� (p. 192). Tak jauh berbeda dengan Poerwandari, IASC (2005) mendefiniskan kekerasan seksual sebagaitindakan seksual apapun, percobaan untukmelakukan kegiatan seksual, kata-kata atau cumbuan seksual yang tidak diinginkan, atau perdagangan seksualitas seseorang, menggunakan paksaan, ancaman atau paksaan fisik, oleh siapapun apapun hubungannya dengan si korban, di mana pun, tidak hanya di rumah atau di tempat kerja� (p. 8). Di dalam Rancangan Undang-
sterilisasi,pemaksaan menggunakan atau tidak
Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang diajukan dalam Program Legislasi Nasional 2016, ada 6 bentuk kekerasan seksual (Komnas Perempuan), yakni: 1.
menggunakanbusana tertentu, tes keperawanan/keperjakaan, praktik tradisi yang
Pelecehan seksual,
menjadikan seksualitas
tindakan yang menghina
danorgan reproduksi
dan/atau menyerang
sebagai sasaran.
tubuh dan seksualitas
2.
3.
Perkosaan, tindakan
seseorang, meliputi
seksual dengan
pelecehan fisik, pelecehan
menggunakan alat kelamin
lisan, pelecehan isyarat,
atau anggota tubuh
pelecehan tertulis
lainnya atau benda ke arah
ataugambar, dan
dan/atau ke dalam organ
pelecehan psikologis atau
tubuh pada vagina,anus
emosional.
atau mulut korban,
Kontrol seksual, tindakan
dilakukan dengan cara
yang dilakukan dengan
paksa, atau kekerasan, atau
paksaan, ancaman
ancaman kekerasan,
kekerasan, atau tanpa
atautekanan psikis, atau
kesepakatan dengan
bujuk rayu, atau tipu
tujuan melakukan Kategori Kasus
Tahun 2010
2011
2012
2013
2014
2015
Perkosaan
31
43
29
44
31
37
Pelecehan Seksual
10
35
8
11
15
16
TOTAL KASUS
41
78
37
55
46
53
Tabel 2. Data Kasus Kekerasan Seksual Tahun 2010-2015 yang Terlapor di Rifka Annisa Sumber: Divisi Pendampingan Rifka Annisa
pembatasan,
muslihat,atau terhadap
pengurangan,penghilanga
seseorang yang tidak
n dan atau pengambil
mampu memberikan
alihan hakmengambil
persetujuan yang
Rifkamedia Februari-April 2015
09
LAPORAN UTAMA c.
sesungguhnya. 4.
Eksploitasi seksual,
memaksanya, atau
tindakan pemanfaatan
mengancam orang
organ tubuh
ketiga atau memaksa
seksualdan/atau seksualitas
orang ketiga; atau d.
korban baik
suatu alasan yang
sepersetujuanmaupun
didasarkan
tanpa persetujuan korban
padadiskriminasi terhadapnya.
untuk mendapatkan keuntungan atas
5.
mengancam atau
6.
Perlakuan atau
seksualitas, ekonomi, sosial
penghukuman lain yang
dan/atau politik baik secara
tidak manusiawi yang
materi dan non materi
menjadikan seksualitas
yang meliputi pada
sebagai sasaran
pelacuran, kerja atau
dan/ataumerendahkan
pelayanan paksa,
martabat kemanusiaan,
perbudakan atau praktik
tindakan memperlakukan
serupa perbudakan,
atau
penindasan, pemerasan,
menghukumseseorang
pemanfaatan seksual,
yang bertujuan untuk
organ reproduksi.
menyakiti,membuat rasa
Penyiksaan seksual,
takut, membuat rasa malu
tindakan yang sengaja
terkaitdengan organ
dimaksudkan untuk
seksual dan seksualitas
menghina, merendahkan
seseorang.Contohnya:
martabat, dan/atau
penghukuman dengan
menyerang tubuh dan/atau
mengarak dalamkeadaan
seksualitas seseorang,
telanjang.
dengan sepengetahuan, persetujuan, persetujuan
Kekerasan seksual menjadi
diam-diam dan/atau
permasalahan yang tak dapat
pembiaran pejabat publik
dipandang sebelah mata karena
yang bertujuan untuk:
dampaknya terhadap korban pun
a.
sangat kompleks. Kekerasan seksual
memperoleh pengakuan atau
menyebabkan tiga dampak tak
keterangan
menyenangkan bagi korban yakni
darinyaatau dari orang
dampak fisik, psikologis, dan sosial.
ketiga; b.
menghukumnya atas
Prevalensi Kekerasan Seksual
suatu perbuatanyang
terhadap Anak dan Remaja Berdasarkan hasil wawancara dengan konselor psikologi Rifka Annisa, Indiah Wahyu Andari, diketahui bahwa jumlah kasus KTP
telah atau diduga telah dilakukan olehnyaataupun oleh orang ketiga;
10
Rifkamedia Februari-April 2015
mengalami perubahan. Sebelum tahun 2011, kasus KTPyang tertinggi adalah KTIkemudian KDP. Setelah tahun 2011, jumlah kasus perkosaan lebih banyak dibandingkan kasus KDP. Seringkali pula, dalam kasus KDP disertaikekerasan berbau seksual, dari mulai pelecehan hingga perkosaan. Korbannya pun masih berusia anak dan remaja. “Anak dan remaja rentan menjadi korban kekerasan seksual karena secara psikologis mereka masih labil dan di dalam konstruksi gender, mereka menempati urutan yang paling rendah. Sehingga, acapkali mereka direndahkan, diremehkan, dan bahkan diancam�, ungkap Indiah. Tak hanya itu, Indiah juga mengungkapkan bahwa dalam beberapa kasus yang masuk ke ranah persidangan, pelaku pun masih meremehkan kasus kekerasan seksual yang telah dilakukannya. Ada beberapa pelaku yang berpikir bahwa tidak seharusnya ia diperkarakan hingga masuk bui hanya karena kasus kekerasan seksual. Bahkan, tak sedikit pelaku yang sudah menyelesaikan masa hukumannya tidak juga berubah pola pikirnya. Di sisi hukum, korban yang rentan mengalami kasus kekerasan seksual adalah kelompok usia 18 tahun ke atas yang belum atau bahkan tidak menikah. Jika korban anak, pelaku akan dijerat Undang Undang Perlindungan Anak (UUPA) No. 23 Tahun 2002. Jika korban adalah seseorang yang sudah menikah, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) No. 23 Tahun 2004yang berlaku. Sedangkan pada kelompok usia rentan yang telah disebutkan di atas, pelaku hanya dijerat pasal-pasal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tidak mencakup
semua aspek perlindungan bagi korban kekerasan seksual, mengingat kekerasan seksual bukanlah kasus sederhana sehingga banyak hal yang patut dipertimbangkan tidak masuk dalam ketentuan undang-undang sehingga hak korban pun tidak terpenuhi. Pada kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak seringkali FISIK
PSIKOLOGIS
a.
Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit kelamin; perasaan sakit yang tidak jelas, sakit kepala, sakit perut, berat badan turun dan sering muntah-muntah; hamil (Asmawi, 2005, di dalam Hidayati, 2014).
b.
Sakit kepala, gangguan makan, gangguan pencernaan (perut), rasa mual, serta menurun atau bertambahnya berat badan tanpa sebab yang jelas (BKKBN, 2012).
c.
modus yang digunakan pelaku adalah modusnya halusdengan bujuk rayu, iming-iming, ataupun menjadi orang yang terlihat baik di depan korban.Kalau untuk remaja, modusnya lebih halus, karena ditahap ini seringkali kekerasan seksual terjadi di hubungan intimate relationship, seperti pacaran, TTM (Teman Tapi mesra), HTS (Hubungan
Luka atau robek pada selaput dara (Paramastri et al., 2010).
a.
b.
c.
Tanda -tanda perilaku (Asmawi, 2005, di dalam Hidayati, 2014; Fuadi 2011): · Perubahan-perubahan mendadak pada perilaku dari bahagia ke depresi ataupermusuhan, dari bersahabat ke isolasi, atau dari komunikatif ke penuh rahasia. · Gangguan tidur, takut pergi ke tempat tidur, sulit tidur atau terjaga dalam waktuyang lama, mimpi buruk · Perilaku menghindar, takut akan atau menghindar dari orang tertentu (orang tua kakak, saudara lain, tetangga/pengasuh), lari dari rumah, nakal atau membolossekolah. · Malas untuk melakukan aktifitas sehari-hari. Tanda -tanda Kognisi (Asmawi, 2005, di dalam Hidayati, 2014; Fuadi 2011): · Tidak dapat berkonsentrasi, sering melamun dan menghayal, focus perhatiansingkat/terpeca h). · Minat sekolah memudar, menurunnya perhatian terhadap pekerjaan sekolahdibandingkan dengan sebelumnya. · Respons reaksi berlebihan, khususnya terhadap gerakan tibatiba dan orang laindalam jarak dekat. · Rendahnya kepercayaan diri, perasaan tidak berharga.
SOSIAL a.
b.
c.
Menarik diri: mengisolasi diri dari teman, lari ke dalam khalayan atau ke bentuk-bentuklain yang tidak berhubungan, ketakutan berlebihan: kecemasan, hilang kepercayaan terhadap orang lain (Asmawi, 2005, di dalam Hidayati, 2014). Perlakuan sinis dari masyarakat di sekelilingnya, ketakutan terlibat dalam pergaulan (Orange & Brodwin, 2005, in Paramastri et al., 2010). Dampak pelecehan seksual di tempat kerja adalah menurunnya kepuasaan kerja, mengganggu kinerja, mengurangi semangat bekerja, menurunnya produktivitas kerja, merusak hubungan antara teman/rekan kerja, menurunnya tingkat kepercayaan diri, dan menurunnya motivasi.
Korban pelecehan seksual di tempat kerja juga dapat memiliki komitmen yang rendah terhadap tempat kerjanya, dan korban dengan tingkat frekuensi pelecehan yang tinggi lebih memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaan mereka (BKKBN, 2012).
Merasa menurunnya harga diri, menurunnya kepercayaan diri, depresi, kecemasan, ketakutan terhadap perkosaan serta meningkatnya ketakutan terhadap tindakan-tindakan kriminal lainnya, rasa tidak berdaya,
Tabel 3. Dampak Kekerasan Seksual pada Korban
Tanpa Status). Pelaku masuk dengan melihat kondisi korban yang labil, rentan, atau tidak ada dukungan sosial yang dimiliki korban. Pada kondisi ini, pelaku akan memacarinya dulu dan kemudian merayu, bahkan janji akan menikahi korban. Sehingga, seringkali pelaku ataupun orang yang belum sensitif gender menyebutnya 'suka sama suka'. Pada kenyataannya, yang terjadi adalah pelaku melakukan pemaksaan dengan halus, tanpa korban sadari. Untuk pelaku anak, biasanya mereka adalah orang-orang terdekat anak dan sudah mengetahui kebiasaan anak. Mereka biasanya masih memiliki relasi dengan anak, seperti ayah atau kakek. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa pelaku di luar lingkup keluarga, yakni tetangga ataupun orang asing yang tinggal selama beberapa waktu bersama anak. Kekerasan yang terjadi pun bentuknya diraba-raba hingga adanya penetrasi. Untuk pelaku kekerasan usia remaja, mereka adalah pacar korban atau orang asing yang ditemui korban melalui media sosial ataupun melalui SMS nyasar. Dampak yang dialami korban beragam, akan tetapi, dampak kasus kekerasan seksual itu sangat lama. Korban yang mengalami kekerasan seksual pada usia anak, dia akan rentan menjadi korban kekerasan kembali. Dampak lainnya yakni, korban merasa rendah diri dan cara pandang korban terhadap dirinya berubah. Hal inilah yang mempengaruhi konsep diri korban terhadap dirinya. Sehingga, tak jarang korban jatuh ke dalam hubungan yang tidak sehat kembali. Oleh sebab itu, mereka harus didampingi. Bagi pelaku, terkadang hukuman yang diberikan tidak membuatnya jera. Seringkali juga
Rifkamedia Februari-April 2015
11
LAPORAN UTAMA pelaku yang sudah keluar dari penjara akan mengancam korban. Data lain terkait kekerasan seksual terhadap anak dan remaja diperoleh melalui wawancara dengan penelitiRifka Annisa, Triantono. Salah satu penelitian terbarunya adalah mengenai kekerasan seksual pada perempuan usia anak dan remaja di Kabupaten Gunungkidul. Data penelitian tersebut adalah beberapa sekolah menengah kejuruan. Hal ini dikarenakan kekerasan seksual lebih banyak dialami oleh siswi ketika mereka sedang melaksanakan praktek kerja atau magang di beberapa industri. Tak jarang, korban mengalami kehamilan dan menyebabkan mereka tidak dapat meneruskan studinya kembali. Banyak diantara mereka yang mengundurkan diri dari sekolah karena ejekan. “Setelah kami telusuri, ternyata ada perjanjian tertulis ketika siswi dan siswa masuk ke sekolah. Jikalau mereka hamil atau menghamili maka mereka harus mengundurkan diri”, terang Triantono. Pernyataan ini menjelaskan bahwa pihak sekolah pun belum berpihak dan mendukung korban, bahkan mengesampingkan hak korban untuk terus bersekolah. Kasus kekerasan seksual seringkali terjadi karena kurangnya perhatian orang tua pada anak karena mereka sibuk. Di lain sisi, pelaku biasanya orang terdekat korban sehingga kelengahan akan membuat pelaku mudah mendekati korban. Dampak lainnya, korban menjadi putus sekolah dan tidak ada teman-teman yang mendukung korban. Pencegahan kekerasan seksual terhadap anak di Sekolah Kasus kekerasan seksual yang
12
Rifkamedia Februari-April 2015
terjadi terhadap anak tidak dapat dipandang sebelah mata. Hal ini menjadi alarm bagi orang tua dan juga pendidik untuk semakin peka terhadap segala hal yang ada di sekitar anak, termasuk di lingkup sekolah. Kasus JIS (Jakarta Internasional School), dimana anak mengalami kekerasan seksual di lingkup sekolah, menjadi momen untuk menghapus kekerasan seksual pada anak (KSA). Oleh sebab itu, penulis mewawancarai dua pendidik anak untuk mengetahui pola pencegahan KSA di lingkup sekolah. Detty Aryanti, kepala sekolah Playgroup Kindegarten Ananda Mentari sekaligus berprofesi sebagai psikolog, menuturkan pencegahan KSA yang dilakukan olehnya mengadaptasi dari berbagai sistem sekolah di tempatnya bekerja dahulu. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menyeleksi karyawan dengan seksama. Proses awalnya yakni melaluibackground checking, apakah calon karyawan yang akan bekerja di lingkup sekolah memiliki track record sebagai pelaku kekerasan? Bukan hanya KSA tetapi kekerasan apapun.Jika di negara maju, Amerika contohnya, background checking akan lebih mudah dilakukan karena sistem integrasi informasi online memudahkan orang tua atau pun institusi pendidikan memperoleh data dengan menggunakan jasa pengelola website berbayar. Akan tetapi, di Indonesia, sistem ini belum digunakan secara komprehensif dan menyeluruh, sehingga satu hal yang dapat dilakukan adalah background checkingsecara tradisional. Yaitu, bertanya kepada beberapa pihak terkait informasi calon karyawan. “Namun informasi tidaklah cukup,” ungkap Detty. “Kami tidak pernah menempatkan karyawan baru untuk bertanggung jawab pada anak
ataupun membantu anak di kamar mandi.” Selanjutnya, penempatan dan pembagian guru juga sangat penting. Di kelas playgroup, di mana ada beberapa anak yang belum dapat berbicara, ditempatkanlah dua guru yang berguna untuk saling mengontrol satu sama lain. Di kelas besar, dimana anak-anak sudah dapat berbicara, hanya ditempatkan satu guru. Namun demikian, anakanak di kelas besar sudah dibekali pendidikan tentang bagian mana yang boleh disentuh dan tidak. Jikalau ada perlakuan tidak menyenangkan yang mereka terima, anak-anak dapat melaporkannya. Oleh sebab itu, pendidikan mengenai anti kekerasan seksual sebaiknya dilakukan sedini mungkin sesuai dengan tingkat akal yang bisa diterima oleh anak. Pendidikan yang paling mudah diberikan ke anak contohnya ketika di kamar mandi. “Ketika anak dimandikan, kita bisa sebut nama ilmiah anggota tubuh dan bagian vital anak perempuan dan laki-laki. Sehingga, anak akan langsung mengerti bagian mana yang tidak boleh disentuh. Tak lupa memberitahukan anak, siapa saja yang boleh memegang alat vital anak. Contohnya, hanya boleh disentuh ketika guru, mama, papa, atau mbak (baca: pengasuh)membantu memandikan atau membersihkan diri”, tutur Detty. “Di sekolah, kita juga menghargai jika anak hanya ingin di antar ke kamar mandi oleh guru tertentu, tentunya untuk kenyamanan anak.” Pendidikan mengenai hal ini juga diintegrasikan ke dalam pelajaran tematik kelas. Contohnya, pelajaran tematik sekolah ini pada awal tahun adalah tentang “My Body”, di mana anak diajarkan
mengenai penamaan ilmiahnya dan juga fungsinya sesuai dengan tingkat pemahaman anak. Akan tetapi, pendidikan tentang hal ini sesungguhnya harus terus-menerus diajarkan di kamar mandi, ketika anak akan buang air karena memang hampir semua murid di sekolah ini masih tergolong usia dini sehingga perlu bantuan pendamping atau guru ketika akan ke kamar mandi. “Jadi, kami mengajari mereka untuk membersihkan alat vital mereka usai buang air, walaupun dibantu, kami hanya sekedar membantu, dan tetap menggunakan tangan mereka. Untuk yang masih sangat kecil, kami akan membantu tetapi permisi dulu ke anak karena memegang bagian tubuh mereka�, jelas Detty. Kemudian kerjasama antara orang tua dan pihak sekolah juga sangat penting melalui parents club yang diadakan tiap 3 bulan sekali. Kaitannya dengan penyamaan pemahaman antara orang tua dan sekolah. Sehingga, apa yang diajarkan di sekolah juga dilaksanakan di rumah, terlebih mengenai pendidikan anti kekerasan seksual, karena interaksi anak akan lebih banyak terjadi di rumah. “Mengingat hal ini penting, kami pun pernah mengadakan seminar tentang pendidikan anti kekerasan seksual dengan mengundang pihak luar yang ahli di bidangnya. Sehingga, tidak hanya anak yang belajar, namun guru dan orang tua juga belajar�, jelas Detty. Tidak hanya hal itu, mengenai desain bangunan sekolah pun turut diperhatikan.Kamar ganti, kamar tidur, dan kamar mandianak perempuan dan laki-laki juga harus dipisahkan, walaupun masih bayi. Kamar mandi pun harus terlihat sehingga guru dapat mengawasi anak-anak. Kamar mandi, haruslah
private, tetapi dapat dilihat banyak orang, di mana orang selalu melewati atau berlalu-lalang. “Ketika tiba waktunya mandi pun, kami memisahkan antrian mandi anak perempuan dan laki-laki berdasarkan waktu. Misalnya, kalau hari Senin, anak laki-lakimandi duluan, kemudian hari Selasa anak perempuan mandi duluan. Sehingga, tidak ada anak perempuan ataupun laki-laki dapat melihat anak lain yang berbeda jenis kelamin sedang mandi�, ungkap Detty. Untuk cleaning service pun, seharusnya mereka datang ketika kegiatan belajar mengajar (KBM) sudah selesai. Ketika anak pulang, pada waktu inilah cleaning servicemulai bekerja membersihkan seluruh bagian sekolah, dari kelas, kamar mandi, dan lingkungan sekolah. Sehingga, sekolah dapat meminimalisir orang-orang yang berinteraksi dengan anak di sekolah dan pengawasan guru terhadap anak pun akan lebih mudah. Ketika di sekolah pun, untuk kebersihan kamar mandi ketika KBM sedang berlangsung dapat dilakukan oleh guru dan anak. Hal ini juga sebagai salah satu pendidikan pengintegrasian mengenai kebersihan pada anak. Selain itu, informasi mengenai pola pencegahan KSA di sekolah didapat dari Ratmini Sumarah dan Susilaningsih S.Pd.AUD. Mereka adalah guru dan kepala sekolah di TK Jebugan Baru. Tindakan preventif KSA diimplementasikan melalui pengenalan anggota tubuh. Di sini, pendidikan tentang seksualitas diperkenalkan. Anak belajar mengenai penamaan ilmiah seluruh anggota tubuh hingga bagian vitalnya. Hampir sama dengan TK Ananda Mentari, di Jebugan Baru, pendidikan ini juga diintegrasikan ke
dalam kerangka pembelajaran tematik, yakni pada saat tema mengenai anggota tubuh, dengan mengajarkan bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh. Di sini juga diajarkan kepada anak-anak bahwa yang boleh mengantar ke kamar mandi hanyalah guru dan harus sendiri-sendiri tidak boleh bersama teman lain. Posisi kamar mandi anak laki-laki dan perempuan pun terpisah. Sehingga, tidak ada anak yang melihat teman satu sama lain dalam kondisi telanjang. Baik Ratmini dan Susilaningsih mengakui tidak ada program khusus untuk pendidikan mengenai hal ini. Jadi, sengaja diintegrasikan dengan tema pembelajaran di kelas. Namun, khusus pada kasus anak tertentu, anak sudah memiliki pemahaman yang berbeda dengan anak-anak lain di kelas. Contohnya, anak sudah berucap pacaran maupun cinta kepada lawan jenis. Baik guru maupun kepala sekolah akan berbicara secara individu kepada anak tersebut. Sehingga, guru mengerti apa yang dimaksud anak sebenarnya dan meluruskan pemahaman anak. Jadi, pendekatan yang dilakukan di Jebugan Baru ini klasikal dan juga individual, terlebih untuk kasus yang memerlukan penanganan khusus. Pencegahan lain yang dilakukan di TK Jebugan Baru yakni berkomunikasi langsung dengan para orang tua tentang penggunaan gadget secara bijak. Seringkali orang tua kurang mengontrol penggunaan gadget sehingga anak secara tidak sengaja mengakses situs-situs berbau kekerasan ataupun pornografi. Selain gadget, pendidik juga mengomunikasikan tentang perilaku orang tua yang seharusnya tidak dilakukan di hadapan anak, seperti bertengkar. Namun sangat disayangkan ketika
Rifkamedia Februari-April 2015
13
LAPORAN UTAMA pendidik menyampaikan hal-hal ini seringkali orang tua mengucapkan bahwa anak mereka memang nakal. Sehingga, pemahaman antara guru dan orang tua terhadap anak terkadang berbeda. Oleh sebab itu, pendidik TK Jebugan Baru memiliki harapan untuk mengadakan pertemuan parenting setiap tiga bulan sekali dimana para orang tua akan diundang untuk mengomunikasikan permasalahan anak. Nantinya, dalam pertemuan ini, ada narasumber ahli di bidangnya untuk menyampaikan isu-isu terkait permasalahan anak, termasuk isu KSA. Selain itu, pencegahan KSA juga dilakukan dengan memperhatikan keamanan anak khususnya ketika akan pulang sekolah. Pendidik selalu mengonfirmasi siapa yang menjemput anak. Sehingga, apabila ada penjemput anak yang tidak dikenali oleh pendidik bahkan oleh anak sendiri, pihak sekolah akan menghubungi orang tua anak untuk mengonfirmasi. Berdasarkan informasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk mencegah terjadinya KSA di sekolah diperlukan adanya kerjasama antara seluruh pihak, baik orang tua maupun guru. Tidak hanya itu, pemerintah, khususnya dalam hal ini dinas pendidikan perlumemfasilitasi sekolah baik negeri maupun swasta untuk mensosialisasikan tentang KSA. Kemudian, pembekalan tentang KSA dan juga kesehatan reproduksi yang dapat dipahami anak melalui peningkatan kapasitas pendidik. Pasti masih banyak sekolah-sekolah yang belum terpapar isu mengenai KSA. Dalam hal ini, pemerintah juga dapat membuat kurikulum yang secara tegas memuat indikator pencegahan KSA. Dengan demikian, KSA dapat menurun atau bahkan
14
Rifkamedia Februari-April 2015
berubah menjadi nol kasus.[] -----Ÿ
Ÿ Ÿ Ÿ Ÿ
Ÿ Ÿ
Menurut UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, Pasal 1 di UU No. 23 tahun 2002 tidak mengalami perubahan. Wawancara dilakukan pada tanggal 10 Oktober 2015 oleh penulis. Wawancara dilakukan pada tanggal 12 Oktober 2015 oleh penulis. Wawancara dilakukan pada tanggal 12 Oktober 2015 oleh penulis. Di sekolah ini ada kelompok playgroup dan juga TK di mana ada beberapa anak yang menjalani program pembelajaran satu hari penuh (Pagi hingga Sore) atau setengah hari (hanya Pagi) dan Daycare anak. Bahasa pengantar di sekolah ini menggunakan bahasa Inggris. Ananda Mentari adalah sekolah yang dikelola pihak swasta. Wawancara dilakukan pada tanggal 3 November 2015 oleh Tiwuk Lejar Sayekti. TK Jebugan Baru adalah dengan bahasa pengantar Bahasa Indonesia.TK ini dikelola oleh PKK Dusun Bantul Timur, Kelurahan Trirenggo.
DAFTAR PUSTAKA Andari, I. W. 10 Oktober 2015. Wawancara dengan konselor psikologi Rifka Annisa. Yogyakarta. Aryanti, D. 12 Oktober 2015. Wawancara dengan kepala sekolah Playgroup Kindegarten Ananda Mentari. Yogyakarta. Belarminus, Robertus. 13 Oktober 2015. Dicabuli di Rusun Bocah 3 Tahun Pinus Elok. Kompas (Online) (http://megapolitan.kompas.com/read/2015/1 0/13/23174581/Bocah.3.Tahun.Dicabuli.di.Rus un.Pinus.Elok, diakses 20 November 2015). Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). 2012. Buku Suplemen Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi: Pelecehan Seksual. Jakarta: BKKBN. Divisi Pendampingan Rifka Annisa. Data Kasus Rifka Annisa Tahun 2010-2015. Yogyakarta. Faizal, Achmad. 5 Juli 2015. Cabuli Muridnya Guru SMP saat Ekskul Musik. Kompas (Online) (http://regional.kompas.com/read/2015/07/05 /18313721/Guru.SMP.Cabuli.Muridnya.Saat.Ek skul.Musik, diakses 20 November 2015). Fuadi, M. A. (2011). Dinamika psikologis kekerasan Seksual: Sebuah studi fenomenologi. PSIKOISLAMIKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI) (Online). Volume 8, No. 2, Januari 2011. (http://psikologi.uin-malang.ac.id/wpcontent/uploads/2014/03/DinamikaPsikologis-Kekerasan-Seksual-Sebuah-StudiFenomenologi.pdf, diakses 26 November 2015). Hidayati, N. (2014). Perlindungan anak terhadap kejahatan kekerasanseksual (pedofilia). RagamJurnal Pengembangan Humaniora (Online). Volume 14, No. 1, April 2014. (http://www.polines.ac.id/ragam/index_files/ju rnalragam/article8.pdf). IASC. 2000. Panduan Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender Masa Keadaan Kedaruratan Kemanusiaan: Berfokus pada Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual (Versi Uji Coba). Geneva: Inter-Agency Standing Committee. Linangkung, Erfanto. 25 Oktober 2015. Kakek Pelaku Pencabulan Di Bantul Ternyata Pedofil. Sindonews (Online) (http://daerah.sindonews.com/read/1056035/ 189/kakek-pelaku-pencabulan-di-bantulternyata-pedofil-1445771099, diakses 20 November 2015). Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. 2015. Kekerasan terhadap Perempuan: NegaraSegera Putus Impunitas Pelaku. (http:// www.komnasperempuan.or.id,diakses 23 November 2015). Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. (http:// www.komnasperempuan.or.id). Muhardiansyah, Yan. 18 November 2015. Pria ini Tega Cabuli Ponakannya yang Masih di bawah umur. Merdeka (Online) (http://www.merdeka.com/peristiwa/pria-initega-cabuli-ponakannya-yang-masih-dibawah-umur.html, diakses 20 November 2015). Paramastri, I, Supriyati, and Priyanto, M. A. (2010). Early prevention toward sexual abuse on children. Jurnal Psikologi (Online). Volume 37, No. 1, Juni 2010. (http://jurnal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fp si/article/view/35, diakses 27 November 2015). Sasongko, J. P. 24 November 2015. Perempuan PNS di Perkosa di Jembatan Penyebrangan Sore Hari. CNN Indonesia (Online). (http://www.cnnindonesia.com/nasional/2015 1124112724-12-93659/perempuan-pnsdiperkosa-di-jembatan-penyeberangan-sorehari/, diakses 25 November 2015). Sumarah, R. 3 November 2015. Wawancara dengan guru TK Jebugan Baru. Yogyakarta. Susilaningsih. 3 November 2015. Wawancara dengan kepala sekolah TK Jebugan baru. Yogyakarta. Syahrial, Erry. 16 September 2015. Siswa Kelas V SD Cabuli Temannya. Tanjungpinangpos (Online) (http://tanjungpinangpos.co.id/2015/120438/ siswa-kelas-v-sd-cabuli-temannya/, diakses 20 November 2015). Triantono. 12 Oktober 2015. Wawancara dengan peneliti divisi Research dan Training Rifka Annisa. Yogyakarta. Ulhaq, Zia. 23 Oktober 2015. Setahun Digauli Ayah Kandung, Gadis ini Hamil 7 Bulan. Sindonews (Online) (http://daerah.sindonews.com/read/1055451/ 174/setahun-digauli-ayah-kandung-gadis-inihamil-7-bulan-1445524274, diakses tanggal 20 November 2015). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Online). (http://www.depkop.go.id/attachments/article /1465/02.%20UU%20No.%2023%20Tahun%20 2002%20tentang%20Perlindungan%20Anak.p df, diakses 27 November 2015).
LAPORAN UTAMA
POLITIK HUKUM TERHADAP KEKERASAN SEKSUAL DI INDONESIA Triantono, SH, MH Research officer Divisi Research and Training Center(RTC) Rifka Annisa triantono19@gmail.com
Rifkamedia Februari-April 2015
15
LAPORAN UTAMA
K
ekerasan seksual telah menjadi fenomena yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Betapa tidak, hampir setiap hari kita disuguhi oleh pemberitaan-pemberitaan terkait maraknya kejadian kekerasan yang menjadikan organ seksual dan seksualitas sebagai objeknya. Dengan maraknya peristiwa kekerasan seksual yang tidak juga memandang umur, nampaknya tidak juga berlebihan jika disalah satu televisi ditayangkan tageline “darurat kekerasan seksual di Indonesia�. Hal ini menjadi pesan serius terhadap semua anak bangsa bahwa kekerasan seksual yang dahulu luput dari perhatian sekarang telah berubah menjadi hal yang sangat menakutkan dan memilukan. Berdasarkan pendokumentasian Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan terhadap perempuan, sepanjang 1998 – 2013 menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual berjumlah hampir seperempat dari seluruh total kasus kekerasan, atau 93.960 kasus dari seluruh kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan (400.939). Dan itu sama artinya dengan 35 orang setiap harinya menjadi korban kekerasan seksual. Selain itu kekerasan seksual juga bisa terjadi pada siapapun, dimanapun dan kapanpun. Selain itu data Komnas Perempuan menunjukkan kekerasan seksual terjadi disemua ranah yaitu personal, publik dan negara. Jumlah kekerasan seksual paling tinggi terjadi di ranah personal, yaitu tiga perempat dari total kekerasan seksual. Di ranah personal artinya kekerasan seksual dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Banyaknya jumlah kasus di tingkat personal bisa jadi terkait dengan
16
Rifkamedia Februari-April 2015
kehadiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), yang telah disosialisasikan secara meluas ke masyarakat. Selain itu juga didukung dengan bertambahnya lembaga pengada layanan yang dapat diakses oleh perempuan korban, serta meningkatnya kepercayaan dan harapan korban pada proses keadilan dan pemulihan dengan melaporkan kasusnya itu. Pada saat bersamaan, informasi ini mematahkan mitos bahwa rumah adalah tempat yang aman bagi perempuan dan bahwa perempuan akan terlindungi bila selalu bersama dengan anggota keluarganya yang laki-laki. Kemudian berkaitan dengan kekerasan seksual di ranah publik makadalam rentan waktu 1998-2013 saja terdapat 22.284 kasus.Kekerasan seksual di ranah publik berarti kasus dimana korban dan pelaku tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal. Selain itu, ditemukan pula bahwa pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas (1.561 kasus), yaitu termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada peristiwa kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian namun tidak berupaya untuk menghentikan atau justru membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut. Dari sisi yuridis, ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam memahami hambatan yang dihadapi korban yaitu aspek substansi, struktur dan budaya hukum. Ditingkat substansi, sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, berbagai jenis
kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia, ataupun pengakuan pada tindak kekerasan tersebut masih belum utuh. Dalam konteks perkosaan, hukum Indonesia hanya mengakomodir tindak pemaksaan hubungan seksual yang berbentuk penetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi tersebut. Padahal, ada banyak keragaman pengalaman perempuan akan perkosaan, sehingga perempuan tidak dapat menuntut keadilan dengan menggunakan hukum yang hanya memiliki definisi sempit atas tindak perkosaan itu. Di tingkat struktur, lembaga penegak hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual. Akan tetapi unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat penyelenggara layanan hukum dan belum didukung dengan fasilitas yang memadai. Di tingkat kultur atau budaya hukum, banyak aparat penegak hukum yang masih mengadopsi cara pandang masyarakat tentang moralitas absolut sebagai kausalitas dari adanya kekerasan seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan empati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan korban. Pertanyaan seperti memakai baju apa, sedang berada dimana, dengan siapa jam berapa merupakan beberapa pertanyaan yang kerap ditanyakan oleh aparat penegak hukum ketika menerima laporan kasus perkosaan. Pertanyaan semacam itu tidak saja menunjukkan bahwa tiadanya perspektif korban tapi juga bentuk menghakimi korban dan menjadikan korban mengalami kekerasan kembali (reviktimisasi). Singkat kata bahwa dalam konteks struktur dan budaya hukum, prioritas terhadap perlindungan korban
belum sepenuhnya dilakukan. Hal ini mengingat bahwa dalam sistem hukum pidana Indonesia masih menggunakan pendekatan penindakan terhadap pelaku semata. Lebih lanjut berkaitan dengan aspek kultur (budaya) maka salah satu akar persoalan kesulitan penegakan hukum dan keadilan atas kekerasan seksual pada akhirnya dipahami bahwa sistem dan budaya hukum yang ada saat ini merupakan warisan budaya patriarki, yang masih menggunakan kosa kata atau bahasa maskulin. Itu mengapa ada kendala untuk menyampaikan pengalamanpengalaman para perempuan yang mengalami kejahatan seksual dan menterjemahkannya menjadi persoalan hukum negara. Louise du Toit menjelaskan lebih mendalam, “A public, shareable, political and moral language has not yet been found in which to name 'it'—the large-scale sexual violation and rape of women and girls by men in this country—in a way that would make sense to women and men, rape victims and perpetrators, a language that could carry weight in a publicpolitical, intersubjective setting.�. Dengan kata lain hukum di Indonesia belum sepenuhnya mengenali problem kekerasan seksual yang ada. Seperti yang disampaikan du Toit, belum ada bahasa yang memadai untuk menceritakan kejahatan tersebut.
Kosakata yang ada merupakan bentukan dari struktur yang tendensius diskriminatif terhadap perempuan. Dengan kondisi tersebut maka dituntut adanya politik hukum yang mampu memberikan pembaharuan terhadap sistem hukum yang ada (ius conctitutum) menuju pada hukum ideal (ius constituendum) yang memberikan respon perlindungan dan keadilan kepada korban, menimbulkan efek jera dan mengubah perilaku kekerasan bagi pelaku serta memberikan edukasi bagi masyarakat. Singkatnya bahwa pembaharuan hukum itu harus mampu membentuk sistem baru yang lebih melindungi perempuan dari sisi penegakan hukum dan mendorong peran negara agar lebih bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan korban dan pencegahannya di masa datang. Kajian Teoritik Kekerasan Seksual Teori Hukum Feminis Perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan, telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi laki-laki, terlebih bagi perempuan. Ketidakadilan gender, menurut Mansour Fakih termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan yaitu: (1) Marginalisasi atau proses pemiskinan perempuan; (2) Subordinasi atau anggapan
tidakpenting dalam putusan politik; (3) Stereotipe atau pelabelan negatif; (4) beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (multibeban), (5) kekerasan (violence); dan (6) sosialisasi ideologi nilai peran gender. Semua bentuk ketidakadilan gender tidak bisa dipisah-pisahkan, karena terkait satu sama lain dan disosialisasikan, dibakukan melalui sistem politik, agama, sosial, ekonomi, termasuk hukum. Selama ini, teori hukum tradisional mengajarkan bahwa hukum merupakan seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memungkinkan masyarakat mempertahankan ketertiban dan kebebasannya. Para penganut teori hukum tradisional berkeyakinan bahwa hukum haruslah netral dan dapat diterapkan kepada siapa saja secara adil, tanpa memandang status sosial, ras, atau gender. Pandangan ini tidak dapat dilepaskan dari teori hukum liberal yang dalam memandang relasi peran gender laki-laki dan perempuan berdasarkan pada kesamaan (sameness). Menurut Margaret Davies sebagaimana dikutip oleh Niken Savitri, Western Yurisprudence dan hukum pada umumnya adalah patriarki dan dapat mempunyai banyak pengertian yang mungkin saja tidak berkaitan satu sama lain. Hal ini nampak dari hal hal berikut:Pertama, secara empiris
Rifkamedia Februari-April 2015
17
LAPORAN UTAMA dapat dikatakan bahwa hukum dan teori hukum merupakan domain laki-laki, mereka yang menulis hukum dan teori-teori hukum. Kedua, hukum dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh teori hukum adalah refleksi dari nilai-nilai maskulin. Laki-laki telah membuat hukum dan teori-teori hukum melalui imajinasi mereka. Permasalahan kemudian muncul ketika berkaitan dengan kelompokkelompok yang terpinggirkan dalam pembuatan keputusan dan teoriteori hukum tersebut di mana kelompok tersebut juga menerapkan nilai-nilai yang ada pada sistem dan budaya mereka. Jadi kedua hal tersebut menjadi saling menguatkan seperti suatu “wadah dengan tutupnya”, jadi hukum karenanya tidak berbicara atas nama perempuan dan kelompok terpinggirkan lainnya, sehingga Margaret berpendapat bahwa bentuk ideologi patriarki secara umum diulang di dalam hukum. Ketiga adalah ketika hukum yang memang tidak netral tersebut dapat kemudian digunakan oleh orang yang berpengalaman yang menggunakannya sebagai alat untuk menekan orang lain, tidak menjadi pertimbangan bagi pembuat hukum dan juga tidak dipertimbangkan bahwa banyak orang dalam banyak kasus dipengaruhi pesan tertentu dari hukum dan kultur yang ada, sehingga hanya kekuatan dari ideologi yang besar yang dapat memenangkan diskursus tersebut. Hal tersebut nampak jelas ketika dalam situasi korban kekerasan seksual dalam kedudukannya yang tersubordinasi harus selalu mengalami perlakukan yang tidak adil dalam proses hukum, karena hukum tersebut tidak memiliki keberpihakkan pada korban. Sehingga kepastian secara prosedur sering tidak sejalan dengan keadilan
18
Rifkamedia Februari-April 2015
dan kemanfaatan yang diterima khususnya oleh korban kekerasan seksual. Dengan melihat hal diatas dapat dikatakan bahwa sistem hukum yang mendasarkan pada teori hukum positivis telah melanggengkan ketidakadilan gender khususnya pada kasus kekerasan seksual. Yaitu melalui perumusan peraturan perundang-undangan, aparatur penegak hukum dan budaya hukumnya, yang tidak menggunakan perspektif dan pengalaman perempuan, namun tetap menggunakan standar dan nilai-nilai patriarki yang hidup dalam masyarakat. Dalam perkembangannya muncul teori pendekatan hukum berperspektif perempuan yang didasarkan pada kesetaraan dan keadilan gender dibidang politik, ekonomi, dan sosial. Teori ini dinamakan “Feminist Jurisprudence” atau bisa disebut Feminist Legal Theory yang menggunakan sudut pandang teori-teori feminis. Teori ini lahir dilatarbelakangi pandangan bahwa dalam sejarah, hukum menjadi instrumen yang digunakan untuk melanggengkan ketidakadilan gender. Disamping menggunakan teori-teori feminis, teori hukum feminis juga mengunakan studi hukum kritis (critical legal studies). Teori hukum feminis menggunakan metode bertanya pada perempuan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh perempuan, dan mempertimbangkan segala pengalaman konkret dan unik dari perempuan. Sehingga tidak ada perbedaan antara teori dan praktik hukum yang terjadi. Teori ini memusatkan pada: Bagaimana hukum mempengaruhi perempuan dan menyumbangkan penindasan kepada mereka? Bagaimana hukum bisa digunakan untuk transformasi
mengubah status kaum perempuan dengan mengubah hukum dan cara pandang terhadap isu gender menjadi lebih adil dan berimbang. Kedua teori tersebut dapat memberikan arah dalam politik hukum pembentukkan kebijakan tentang kekerasan seksual yang harus melibatkan subyek hukum termasuk aparat penegak hukum dan/atau pihak-pihak lain yang mempunyai pengalaman dalam pencegahan, penanganan, pemulihan dari kasus-kasus kekerasan seksual. Teori tentang Kejahatan dan Hukuman (criminal and punishment) Kejahatan (crime) utamanya kejahatan seksual sebagai salah satu gejala yang muncul di masyarakat, merupakan masalah bagi masyarakat di seluruh dunia, pada masa lalu, kini dan di masa mendatang, sehingga kerap dikatakan bahwa kejahatan seumur dengan masyarakat itu sendiri. Pada saat yang sama, gejala ini diikuti oleh perkembangan untuk memahaminya, tidak hanya dari pandangan ancaman bahayanya, dan pengaruh faktor politik, ekonomi, sosial dan budaya, tetapi juga karena kejahatan itu sendiri beradaptasi, dan bentuk-bentuk kejahatan yang terus berkembang. Masyarakat, melalui negara akan memberikan reaksi terhadap perbuatan-perbuatan yang dinilai sebagai kejahatan, baik dalam bentuk pemberian hukuman, maupun tindakan pencegahan. Reaksi negara dan masyarakat dalam menanggulangi kejahatan tersebut dimanifestasikan dalam kerangka kebijakan (peraturan) dalam konteks kejahatan itu maupun hukumannya dalam kerangka politik hukum negara. Istilah kebijakan diambil dari bahasa Inggris, yaitu “policy” atau yang dalam Bahasa Belanda adalah
“Politiek�. Dalam Black's Law Dictionary, sebagaimana dikutip Lilik Mulyadi, policy diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara). Selanjutnya, menurut Sudarto pengertian kebijakan kriminal dibagi menjadi tiga pengertian yaitu : a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. c. Dalam arti paling luas, yaitu keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundangundangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat. Dalam kesempatan lain Sudarto mengemukakan definisi singkat bahwa kebijakan kriminal adalah“merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan�. Definisi singkat ini berasal dari pendapat Marc Ancel, yaitu “the rational organization of the control of crime
by society. Dengan demikian sebagai upaya penanggulangan kejahatan, kebijakan kriminal dalam rangka penanggulangan kejahatan/kekerasan seksual dalam kerangka politik hukum nasional dapat digambarkan sebagai berikut:
korban maupun pelaku. A. Pendekatan Penal (Pidana) Salah satu usaha untuk menanggulangi kejahatan adalah dengan memberikan hukuman dalam bentuk pidana. Untuk
Dari skema di atas maka politik hukum terhadap kejahatan/kekerasan seksual dapat berupa produk kebijakan hukum maupun proses hukum yang responsif dan memberikan keadilan pada korban. Produk dan proses tersebut merupakan bagian dari upaya dalam kebijakan kriminal dengan melalui tiga pendekatan pokok yaitu pendekatan penal, non penal dan pendekatan teurapeutik (pemulihan). Sehingga dalam pembuatan produk hukum maupun proses penanggulangan kekerasan seksual dapat menggunakan tiga pendekatan tersebut. Menurut Soedarto, pendekatan penal dan non penal merupakan bagian dari kebijakan kriminal, dan kebijakan kriminal merupakan bagian integral dari kebijakan sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial. Dari pengertian yang disampaikan Sudarto, maka kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana penal (pidana); dan kebijakan non penal dapat diartikan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana non penal (non pidana). Namun menurut penulis cakupan pendekatan diatas masih sumir dan harus dilengkapi dengan pendekatan integratif antara pendekatan penal (pidana) maupun non pidana. Pendekatan integratif tersebut berupa pendekatan teurapetik (pemulihan) baik bagi
menentukan sebuah perbuatan sebagai kejahatan dan bagaimana hukuman yang diberikan akan terkait erat dengan kebijakan hukum pidana. Menurut Moeljatno, terdapat tiga pikiran utama terkait dengan kebijakan hukum pidana yaitu: pertama, tentang perbuatan yang dilarang, kedua tentang orang yang melanggar larangan tadi, dan ketiga, tentang pidana yang diancamkan kepada pelanggar. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui proses sistematik, yaitu melalui penegakan hukum pidana dalam arti luas, sebagai suatu proses kebijakan, yang melewati beberapa tahapan sebagai berikut: a. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang, disebut juga sebagai tahap kebijakan legislatif. b.Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan, disebut juga sebagai tahap
Rifkamedia Februari-April 2015
19
LAPORAN UTAMA kebijakan yudikatif. c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukuman pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif. Tahap kebijakan formulasi merupakan tahap awal dan menjadi landasan pada tahap aplikasi dan eksekusi. Selain sebagai sebuah proses sistemik penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana pidana, kebijakan hukum pidana mencakup pula kebijakan pembaharuan hukum pidana (penal reform). Pembaharuan hukum pidana mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosio filosofi dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach). Terkait dengan kriminalisasi tersebut, maka akan berlaku teoriteori pemidanaan, yang menjadi dasar-dasar pembenaran dan tujuan pidana itu sendiri. Secara umum, terdapat tiga teori utama yaitu: (1) Teori Absolut (Retributive); (2) Teori Relatif/ Teori Perlindungan Masyarakat/Utilitarian (Utilitarim), Teori Gabungan, dan Restorative Justice. Pengenaan pidana terhadap bentuk bentuk kekerasan seksual dalam UU ini ditujukan untuk
20
Rifkamedia Februari-April 2015
mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap seseorang, dan melindungi kepentingan masyarakat dari kehilangan hak-hak dasarnya akibat kekerasan seksual. Sehingga dalam UU ini digunakan teori gabungan yaitu: a) Pemidanaan harus memuat suatu anasir yang menakutkan supaya si pelaku tidak melakukan niat buruk; b) Pemidanaan harus memuat suatu anasir yang memperbaiki bagi terpidana yang nantinya memerlukan suatu reclessering; c) Pemidanaan harus memuat suatu anasir membinasakan bagi penjahat yang sama sekali tidak dapat diperbaiki lagi; dan d) Tujuan satusatunya dari pemidanaan adalah mempertahankan tata tertib hukum. B. Pendekatan Non Penal Penanggulangan kejahatan dengan menggunaan hukum pidana hanyalah berusaha mengatasi gejala atau akibat dari penyakit dan bukan sebagai obat (remidium) untuk mengatasi sebab-sebab terjadinya penyakit. Hukum pidana memiliki kemampuan yang terbatas dalam upaya penanggulangan kejahatan yang begitu beragam dan kompleks. Adapun batasbatas kemampuan hukum pidana sebagai sarana kebijakan kriminal, yaitu: Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana; a. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub-sistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan
kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio ekonomi, sosio-kultural, dsb); b.Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “kurieren am symptom”, oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan pengobatan kausatif”; c. Sanksi hukum pidana merupakan “remedium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif; d.Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural/ fungsional; e. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif; f.Bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut biaya tinggi. Karena keterbatasanketerbatasan tersebut, maka penanggulangan kejahatan melalui hukum pidana harus dilakukan secara integral dengan penanggulangan kejahatan melalui sarana lainnya atau bersifat non
IUS CONSTITUTUM POLITIK HUKUM
PRODUK
menyelesaikan perselisihan
KEBIJAKAN KRIMINAL
tersebut. Perasaan-perasaan dan emosi-emosi ini timbul dari
PROSES
pengalaman para
PENAL NON PENAL
TERAPEUTIK
IUS CONSTITUENDUM
partisipan–klien, pengacara, dan petugas hukum, dan emosi tersebut mungkin secara serius dinilai rendah (under estimated).
penal. Upaya penanggulangan kejahatan melalui sarana “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan, yaitu menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalahmasalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut kebijakan kriminal, upayaupaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya penanggulangan kekerasan seksual. Maka untuk itu dalam UU Penghapusan Kekerasan seksual ini dimuat tindakan-tindakan pencegahan dan pemulihan kekerasan seksual.
dengan memberikan perhatian pada bidang hukum lain, yang merentang dari hukum kriminal, hukum keluarga, hukum anakanak, sampai dengan hukum kontrak dan komersial, hukum bisnis, hukum pembuktian, dan profesi legal. Lahirnya hukum terapeutik ini didasarkan pada filosofi bahwa terapeutik merupakan sebuah lensa yang dapat digunakan untuk meninjau dan menganalisis pengaruh-pengaruh dari hukum. Menurut Wexler sebagaimana dikutip Jeneman, bahwa: “Sekolah hukum mengajari Anda aturan-aturan, argumenargumen dan logika, namun
C. Pendekatan Terapeutik (Pemulihan) Menurut Winick, Yurisprudensi
bukan pengaruh hukum terhadap kehidupan emosional atau kesejahteraan pribadi dari
terapeutik (therapeutic
orang-orang. Pengaruh-
jurisprudence) sebagaimana
pengaruh tersebut merupakan
dikutip Jeneman merupakan
aspek-aspek yang kurang
sebuah pendekatan lintas disiplin
diapresiasi oleh hukum–sebuah
terhadap pengetahuan, kerja,
aspek yang telah diabaikan oleh
metode-metode hukum dan
hukum”.
perubahan hukum yang
Dan menurut Murfett (2006),
memandang hukum itu sendiri
sistem yang ada sekarang
sebagai agen terapeutik. Teori
menghasilkan sejumlah besar
hukum ini merupakan
disharmoni dan penderitaan
perkawinan dari ilmu psikologi
emosional. Perasaan yang intens
dan ilmu hukum, yang meskipun
akan kemarahan, kesedihan, dan
berawal dari hukum kesehatan
ketakutan seringkali muncul dari
mental, bidang hukum terapeutik
sistem-sistem dan proses-proses
di dunia segera berkembang
yang dirancang untuk
Sehingga pada intinya hukum terapeutik menganjurkan agar hukum menghargai kesehatan psikologis, berjuang untuk menghindarkan konsekuensikonsekuensi anti-terapeutik sedapat mungkin; dan apabila konsisten dengan nilai-nilai lain yang dilayani oleh hukum, hendaknya berupaya untuk menciptakan penyembuhan (healing) dan kesejahteraan (wellness). Hukum terapeutik tidak mengistimewakan nilai-nilai terapeutik di atas yang lain, melainkan berupaya untuk memastikan apakah efek-efek anti-terapeutik dari hukum dapat dikurangi dan pengaruhpengaruh terapeutiknya ditingkatkan tanpa mensubordinasi proses-proses yang semestinya serta nilai-nilai keadilan yang lain. Dalam penyusunan kebijakan tentang kekerasan seksual khususnya undang-undang yang baru-baru ini dirancang, hukum terapeutik digunakan untuk memulihkan korban, pelaku dan masyarakat sebagai akibat terjadinya kekerasan seksual, yang disebut dengan “Pemulihan Dalam Makna Luas”. Pemulihan dengan makna luas adalah proses mendukung korban kekerasan berbasis gender untuk
Rifkamedia Februari-April 2015
21
LAPORAN UTAMA menjadi kuat, mampu dan
Ÿ
berdaya dalam mengambil keputusan dan mengupayakan
Ÿ
kehidupan yang adil, bermartabat dan sejahtera. Proses ini dilakukan dengan lima prinsip pendekatan, yaitu:
Ÿ
a. Berpusat/berorientasi pada korban; kesediaan,
Ÿ
keterlibatan aktif dan
Ÿ
penguatan korban merupakan inti dari proses
Ÿ
pemulihan. Kebutuhan dan aspirasi korban adalah pertimbangan utama dari keseluruhan proses
Ÿ
pemulihan. b. Berbasis hak; mengupayakan pemenuhan hak korban atas (1)
Ÿ Ÿ Ÿ
kebenaran, (2) keadilan dan (3) pemulihan (recovery), sebagai bagian yang tak
Ÿ Ÿ
terpisahkan dari penegakan hak asasi manusia. Ketiga hak korban adalah saling terkait dan saling
Ÿ
mempengaruhi. c. Multidimensi; untuk mencapai pemulihan yang utuh, seluruh aspek dari kehidupan korban harus memperoleh perhatian
Ÿ
Ÿ
yang seimbang.[] -----Ÿ
Ÿ
Ÿ
Komnas Perempuan, Kekerasan Seksual,http://www.komnasperempuan.or.i d/wpcontent/uploads/2013/12/KekerasanSeksual-Kenali-dan-Tangani.pdf, terakhir diakses 11 April 2014 Komnas Perempuan, Siaran Pers Peluncuran Laman Kekerasan Seksual, http://www.komnasperempuan.or.id/2013/ 12/siaran-pers-peluncuran-lamanpengaduan-kekerasan-seksual/, terakhir diakses 20 November 2014 ibid
22
Rifkamedia Februari-April 2015
Ÿ
Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 289, Pasal 291, Pasal 294 Lihat Louise du Toit, A Philosophical Investigation of Rape, The Making and Unmaking of the Feminine Self, hlm. 20, sebagaimana dikutip oleh Saras Dewi, Kajian Filosofis tentang Kekerasan Seksual, makalah tidak diterbitkan. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,Pustaka Pelajar, Yogyakarta,1996, halaman 12 Lebih lanjut, baca Mansour Fakih, ibid, halaman 13-23 Niken Savitri, HAM Perempuan, Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, PT.Refika Aditama, Bandung, 2008, halaman 17-19. Apakah Teori Hukum Berpersfektif Feminis Itu ? materi pelatihan Konvensi CEDAW, baca juga Nursyahbani Katjasungkana, Metode Analisa Kasus Berperspektif Gender, makalah, tanpa tahun, halaman 1 Lilik Mulyadi (a), Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoritis dan Praktik,PT Alumni, Bandung,2008, hlm 389 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1986) hlm 42. Ibidi, hlm. 50 Barda Nawawi Arief (a), Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Adutya Bakti, Bandung, 1996,hlm2 ibid Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia dan Rancangan UndangUndang tentang Asas-Asas dan DasarDasar Pokok Tata Hukum Indonesia, Bina Aksara, Cetakan ketiga, Yogyakarta, 1985, hlm 19 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, BP Undip,Semarang, 1995, hlm 13. Lihat juga Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,Citra Aditya Bakti,Bandung, 1998, hlm 115 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.cit., hal. 3031; Aliran ini mengajarkan dasar dari pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan, imbalan (velgelding) terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Dalam ajaran ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan velgelding, akan tetapi tujuan (doel) dari pidana itu. Jadi aliran ini menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari mamfaat daripada pemidanaan (nut van de straf) Muladi dan Barda Nawawi dalam Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, cetakan ke 2, Bandung, 1992, hlm10-24, membagi teori pemidanaan hanya menjadi dua yaitu teori absolut dan teori relatif. Teori Restorative
Ÿ
Ÿ
Ÿ
Ÿ
Ÿ
Justice sendiri merupakan teori pemidanaan yang baru berkembang pada abad 20an. Teori ini muncul sebagai reaksi dari teori sebelumnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai tujuan dari pemidanaan. Teori gabungan berusaha menjelaskan dan memberikan dasar pembenaran tentang pemidanaan dari berbagai sudut pandang yaitu a. Pemidanaan harus memuat suatu anasir yang menakutkan supaya sipelaku tidak melakukan niat buruk. b. Pemidanaan harus memuat suatu anasir yang memperbaiki bagi terpidana yang nantinya memerlukan suatu reclessering. c. Pemidanaan harus memuat suatu anasir membinasakan bagi penjahat yang sama sekali tidak dapat diperbaiki lagi d. Tujuan satu-satunya dari pemidanaan adalah mempertahankan tata tertib hukum. Restorative justice merupakan cara musyawarah untuk menyelesaikan kasus antara pelaku dan korban. Prinsip Restorative Justice yaitu (i) menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab memperbaiki kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahannya, Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana membuktikan kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif ; (ii) Melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam hal penyelesaian masalahnya ; (iii) Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah; (iv) Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara perbuatan yang dianggap salah atau jahat dengan reaksi sosial yang formal Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan HukumPidana, (Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 46-47 Yurisprudensi Terapeutik : Peran Integratif Psikologi Dalam Proses Hukum Untuk Melayani Kesejahteraan Pribadi (WellBeing) Klien Hukum, Jurnal Kajian Ilmiah Lembaga Penelitian Ubhara Jaya Vol. 9 No. 3 tahun 2008, halaman 908. Yurisprudensi Terapeutik : Peran Integratif Psikologi Dalam Proses Hukum Untuk Melayani Kesejahteraan Pribadi (WellBeing) Klien Hukum, Jurnal Kajian Ilmiah Lembaga Penelitian Ubhara Jaya Vol. 9 No. 3 tahun 2008, halaman 908.
LAPORAN UTAMA
KIPRAH YANG TAK PERNAH PADAM: UPAYA KOMUNITAS DALAM PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN Megafirmawanti Relawan Humas dan Media Rifka Annisa megafirmawanti@ymail.com
K
onsep tentang komunitas didefinisikan dalam beberapa penjelasan yang berbeda. Rifkin menuliskan komunitas sebagai “A group of people living in the same defined area sharing the same basic values, organization and interests (Rifkin et al, 1988)”. Komunitas adalah sebuah kelompok yang hidup dalam lingkungan yang sama, dengan keyakinan terhadap nilai, tujuan, dan kepentingan yang sama. Definisi lain menyebutkan bahwa komunitas sebagai “An informally organized social entity which is characterized by a sense of identity (White, 1982)”, sebuah organisasi informal yang terbentuk dengan karakter dan identitas yang sama. Melalui dua definisi tersebut, benang merah yang dapat diambil adalah tentang komunitas yang pada intinya mengarah pada kesamaan nilai, tujuan, serta kepentingan yang tercermin dari terbentuknya karakter khas dari komunitas itu sendiri. Dalam aplikasinya, banyak komunitas yang berkembang saat ini. Bahkan semakin hari komunitas seakan menjadi tren tersendiri. Banyak individu yang aktif dalam komunitas untuk mengekspresikan hobi, bakat, dan minat tertentu. Ada individu yang memilih aktif dalam komunitas penulis, komunitas pecinta sepeda, komunitas fotografi, tak terkecuali komunitas yang concern dalam isu
Rifkamedia Februari-April 2015
23
LAPORAN UTAMA penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. Rifka Annisa sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan, mengambil peluang tersebut dan membentuk beberapa komunitas dengan karakteristik yang berbeda untuk tujuan yang sama. Ada pendampingan komunitas di masyarakat (komunitas laki-laki peduli), komunitas radio, komunitas musik, dan komunitas remaja di sekolah. Berbagai lini berusaha diupayakan untuk membumikan gerakan penghapusan kekerasan seksual di Yogyakarta khususnya, dan Indonesia serta dunia global pada umumnya. Memahami komunitas dan kiprahnya dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan perlu dibarengi dengan pemahaman tentang perubahan sosial. Kerangka Kerja Ekologis (Ecological Framework) adalah salah satu teori yang sering digunakan dalam menjelaskan hal tersebut. Dalam kerangka kerja ekologis, komunitas mempunyai tempat tersendiri sebagai agen perubahan sosial. Secara sederhana, kerangka kerja ekologis ini digambarkan dalam 4 lingkaran konsentris yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Lingkaran paling dalam pada kerangka ekologis adalah riwayat biologis dan personal yang dibawa masing-masing individu ke dalam tingkah laku mereka dalam suatu hubungan. Lingkaran kedua merupakan konteks yang paling dekat dimana kekerasan acapkali terjadi, yaitu keluarga atau kenalan dan hubungan dekat lainnya. Lingkaran ketiga adalah masyarakat atau komunitas sebagai level yang lebih luas daripada keluarga. Lingkaran selanjutnya adalah lingkungan sosial atau bahkan faktor sistem negara. Level terakhir ini berkaitan dengan kebijakan ataupun sistem peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah dalam sebuah sistem. Kontribusi komunitas dalam penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan salah satunya
24
Rifkamedia Februari-April 2015
terletak pada transfer atau sharing knowledge antara sesama anggota komunitas. Pengetahuan yang dibagi dalam level komunitas secara perlahan akan terinternalisasi kedalam diri individu dan menjadi landasan dalam perubahan perilaku. Perubahan perilaku inilah yang pada akhirnya merupakan aksi nyata dalam penghapusan kekerasan. Transfer knowledge dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Tergantung pada karakteristik komunitas yang ada. Komunitas musik akan mentransformasikan pesan penghapusan kekerasan seksual melalui lagu dan irama yang dimainkannya. Komunitas masyarakat (lokal) mendapatkan pengetahuan melalui diskusi-diskusi yang dilakukan. Pun dengan komunitas remaja di sekolah, menghapus kekerasan seksual dengan cara mereka sendiri. Kiprah yang tidak kalah penting adalah media. Dengan kekuatan konstruksinya, media mempunyai peran yang tidak boleh disepelakan dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Pada aplikasi di lapangan, komunitas mempunyai cara yang berbeda dalam mengubah sebuah keadaan, meksipun pada hakikatnya perubahan pada level komunitas merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dari lingkaran perubahan pada level yang lain. Sebagai pengingat; kekerasan seksual pada perempuan dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Komnas perempuan pada tahun 2013 telah merilis 15 bentuk kekerasan seksual. Salah satunya adalah Perkosaan, yakni serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan. Pencabulan adalah istilah lain dari perkosaan yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Istilah ini digunakan ketika perkosaan
dilakukan diluar pemaksaan penetrasi penis ke vagina dan ketika terjadi hubungan seksual pada orang yang belum mampu memberikan persetujuan secara utuh, misalnya terhadap anak atau seseorang di bawah 18 tahun. Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual termasuk dalam kasus yang sering ditemui di Rifka Annisa. Dalam rentang waktu Januari-April 2014, Rifka Annisa menangani sembilan kasus perkosaan yang didatangi lewat outreach. Artinya, kiprah komunitas dalam penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan masih sangat dibutuhkan. Komunitas Laki-Laki peduli Penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan bukanlah semata mata urusan perempuan saja, tetapi menjadi masalah kemanusiaan yang merupakan tanggungjawab bersama. Artinya, laki-laki sebagai sebuah entitas mempunyai peran dan kontribusi penting dalam menghapus kekerasan seksual terhadap perempuan. Pandangan tentang bagaimana “menjadi laki-laki� sangat memberikan kontribusi besar terhadap lahirnya perilaku yang penuh kekerasan, termasuk bagaimana mereka (laki-laki) menggunakan kekerasan ini kepada perempuan untuk menunjukkan derajat kelelakian mereka. Laki-laki pelaku kekerasan seksual memang banyak, tetapi jumlah laki-laki yang anti terhadap kekerasan tidak bisa dibilang sedikit. Komunitas laki-laki peduli mengambil peluang tersebut dan berada pada posisi menyuarakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dengan cara yang dapat dilakukan oleh laki-laki itu sendiri. Komunitas laki-laki peduli terdapat di dua Kabupaten yakni Gunungkidul dan Kulonprogo. Komunitas ini dibentuk sejak tahun 2013. Melibatkan remaja laki-laki dan laki-laki dewasa untuk mengubah cara pandang yang selama ini mengakar, bahwa laki-laki mempunyai kuasa yang lebih tinggi daripada perempuan. Pandangan bahwa laki-laki mempunyai kuasa yang
lebih tinggi ini perlu dibongkar dan dirombak secara mendasar, karena merupakan salah satu pintu masuknya kekerasan seksual. Perkosaan sering terjadi karena lakilaki merasa lebih kuat daripada korbannya (perempuan). Lebih jauh lagi, laki-laki dengan konsep diri yang buruk selalu menganggap bahwa perilaku kekerasan seksual seperti perkosaan terhadap perempuan merupakan salah satu cara untuk memperlihatkan kejantanannya. Sharing knowledge dalam komunitas laki-laki peduli dilakukan melalui diskusi dengan tema yang berbeda dalam setiap pertemuan. Salah satunya adalah tema tentang konsep diri dan maskulinitas. Pandangan terhadap diri yang buruk disertai kemajuan teknologi komunikasi kadang
menjadi penyebab seseorang melakukan kekerasan seksual. Sebagai contoh, remaja dengan konsep diri yang buruk dan tingkat pengetahuan seksualitas rendah akan mudah meniru adegan kurang senonoh yang pernah ia saksikan. Dalam hal ini, bukan teknologi yang harus disalahkan, tetapi bagaimana konsep diri yang buruk ternyata tidak mampu memfilter tayangan yang ia tonton. Melalui sharing dalam komunitas, pembahasan konsep diri akan menjadi sangat membantu mengubah pola pikir yang selama ini sudah mengakar dalam diri seseorang, sehingga pada akhirnya, kekerasan seksual dapat berhenti dari salah satu pintu kemungkinan yang ada. Tak hanya diskusi, laki-laki peduli juga melakukan gerakan untuk masyarakat umum sekitar lokasi
komunitas. Kampanye dalam eventevent budaya menjadi sangat efektif dengan menyebarkan pesan anti kekerasan seksual. Berbeda dengan diskusi, kampanye memberikan kesan yang tidak begitu formal dan menyatu dengan masyarakat. Melalui kampanye, masyarakat umum diluar komunitas akan tertarik terhadap isu yang disebarkan sehingga pesan anti kekerasan seksual tersebar secara lebih luas. Selain diskusi dan kampanye, kegiatan penting lainnya dari komunitas laki-laki peduli adalah couple counseling. Kegiatan ini dilakukan selama beberapa hari dengan melakukan konseling keluarga. Menurut Nurmawati selaku Program Officer Laki laki Peduli, couple counseling dilakukan dengan tujuan tercapainya keterbukaan antar pasangan yang mengikuti diskusi dua jam di komunitas. Konseling pasangan menekankan pada pola komunikasi yang dibangun dalam keluarga. Beberapa pasangan bahkan baru menyadari hal-hal kecil yang disukai dan tidak tidak disukai oleh pasangannya justru pada sesi penyampaian unek-unek dalam konseling tersebut. Konseling pasangan dilaksanakan untuk memberikan momen kebersamaan, tidak hanya antar pasangan, tetapi juga dengan anak-anak dari pasangan itu sendiri. Ada beberapa sesi yang dilakukan. Sesi pertama adalah sesi parenting dengan fasilitator dan materi yang menekankan pentingnya pengasuhan anak dalam keluarga. Sesi ini juga memberikan kesempatan kepada anak-anak dan kedua orangtuanya untuk saling terbuka. Anak diminta menuliskan halhal yang disukai dan tidak disukai dari ibu dan ayahnya. Keterbukaan ini paling tidak membuka mata para orang tua
tentang hal-hal yang bisa saja selama ini tidak mereka ketahui. Sesi selanjutnya adalah sesi meeting couple. Sesi ini merupakan waktu khusus bagi pasangan suami istri untuk saling terbuka dan mencurahkan segala unek-unek yang selama ini hanya disimpan dan dipendam dalam hati tanpa ada pengungkapan secara terbuka kepada pasangan masingmasing. Beberapa fakta yang ditemui dalam sesi ini, “Ada suami yang baru tahu bahwa keguguran anak yang pernah dialami oleh istrinya disebabkan karena stressor dari sang mertua�. Selain itu, “Ada suami yang baru tahu bahwa selama ini istrinya jarang mencapai kepuasan saat melakukan hubungan suami istri�. Keterbukaan adalah salah satu kunci membangun komunikasi sehat tanpa kekerasan. Baik keterbukaan dalam hal pengambilan keputusan dalam rumah tangga, maupun keterbukaan dalam hal sekecil apapun itu. Sesi berikutnya adalah liberation counseling, yakni sesi untuk konseling berbasis komunitas. Sesi ini menjadi bagian penting untuk mengingatkan hal-hal apa saja yang membuat suami dan istri saling mencintai. Sesi ini juga menggali tentang perasaan yang terbangun dalam rumah tangga selama ini, termasuk cara penyelesaian masalah yang biasa dilakukan oleh pasangan suami istri. Satu hal yang menggembirakan bahwa setelah terlibat dalam couple counseling, pasangan yang terlibat aktif dalam diskusi komunitas laki-laki peduli justru melahirkan ide-ide segar untuk melakukan penyebarluasan informasi kepada para tetangga yang belum terpapar isu penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. Dapat dikatakan bahwa gerakan dalam komunitas laki-laki peduli memberikan dampak signifikan, terutama dampak secara pribadi kepada anggota komunitas. Dampak positif ini kemudian memotivasi anggota komunitas membuat gerakan yang lebih luas dan lebih masif. Rannisakustik, Berkiprah Lewat Musik
Rifkamedia Februari-April 2015
25
LAPORAN UTAMA Banyak yang mengatakan bahwa musik adalah bahasa universal yang dapat diterima oleh semua kalangan. Itulah sebabnya, musik selalu menjadi salah satu pilihan dalam menyampaikan pesan. Musik memiliki estetika yang dapat menyentuh sisi kehidupan. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa musik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Musik adalah jembatan berbagai perasaan. Tidak hanya kesedihan dan kebahagiaan, musik dapat menjadi media konstruksi melalui nada dan pesan yang disampaikannya. Sebagai karya seni, musik dan teks lagu dapat menjadi simbol komunikasi yang berisi pesan. Penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan bukanlah hal yang tidak mungkin disampaikan melalui musik. Berawal dari hobi dan kegelisahan yang sama, beberapa pelaku sejarah yang sampai saat ini masih eksis bersama Rannisakustik mencetuskan ide untuk melakukan sosialisasi anti kekerasan terhadap perempuan melalui musik. Awalnya, kiprah Rannisakustik bermula dengan hanya tampil biasa didepan forum, atau turut serta dalam aksi-aksi sosial, tanpa mengharap rupiah sekecil apapun itu. Waktu berjalan dan mengantarkan Rannisakustik pada titik yang lebih baik. Hingga saat ini, telah tercetus album kompilasi yang berisi lagu-lagu dengan tema anti kekerasan terhadap perempuan. Tak hanya berhenti pada pembuatan album, Rannisakustik saat ini telah melakukan beberapa kali tour ke luar kota untuk berkampanye dengan musik. Nada Bicara, begitulah salah satu tema konser yang pernah diangkat. Ya, melalui nada, pesan-pesan anti kekerasan dapat tersalurkan. Lebih jauh lagi, inti pesan pada dasarnya terletak dalam lirik lagu yang dibuat oleh anggota komunitas Rannisakustik itu sendiri. Lirik-lirik lagu yang diciptakan komunitas Rannisakustik ini bukanlah tanpa refleksi dan perenungan. Rannisakustik pernah menggelar workshop cipta lagu. Dalam workshop tersebut para pencipta lagu mencetuskan ide ide yang akan
26
Rifkamedia Februari-April 2015
dituangkan dalam lirik lagu anti kekerasan terhadap perempuan. PUTUS SAJA PUTUS Oleh: Niken Anggrek Wulan Ku resah kau mulai berubah Kecewa kau yang pemarah Kau bilang kamu cemburuan Curiga semua sahabatku Semua berulangkali Tak tahan ku ingin pergi Kau bilang ingin kembali Sudahlah... cukup sekali.... Putus saja putus Putus saja putus Kuputuskan masa lalu yang penuh cemburu Putus saja putus Putus saja putus Kuputuskan masa lalu yang penuh curiga Tidakkah engkau sadari Pacaran bukan menguasai Cinta saling menghargai Tapi kau tak pernah mengerti Putus saja putus Putus saja putus Pacaran bukan ring tinju yang buatku membiru
Lirik lagu diatas, adalah salah satu ciptaan Niken Anggrek Wulan. Lirik ini merupakan refleksi dari potret gaya pacaran yang sering terjadi di kalangan remaja saat ini. Kekangan dari pacar membuat ruang gerak menjadi sempit. Lagu ini mengajarkan kepada kita untuk bangkit dari masa lalu yang menyakitkan. Lebih jauh lagi, mengajarkan bahwa cinta adalah saling menghargai dan saling mengerti, bukan saling menyakiti. Contoh lainnya adalah lagu dengan judul berikut. Lagu ini diangkat dari kisah nyata seorang remaja yang baru mengenal dunia maya dan terjebak menjadi korban kekerasan seksual dengan pelaku yang ia kenali lewat dunia maya terebut. Lagu ini menarik diulas karena tidak bisa kita pungkiri bahwa internet adalah teknologi yang memiliki dua sisi. Jika penggunanya tidak bijak memanfaatkan internet tersebut, maka yang terjadi adalah sebaliknya, internet kemudian menjadi pihak yang disalah-salahkan, padahal sebenarnya yang perlu dibenahi adalah pengguna internet itu sendiri. TOT NAMANYA Oleh: Rony Sukma dan Yuga Anggana Sosang
Aku hanya seorang gadis desa yang baru kenal dunia maya Awalnya iseng belaka kenal seorang pria Yang slalu muncul di beranda... Tot namanya... Suatu hari ia mulai menyapa, merayu dan rajin menggoda Bilang aku cantik dan bilang ku menarik Akupun terima tawarannya tuk berjumpa Tibalah saatnya bertemu dengannya Di sebuah danau sepi tempatnya Lama bercerita, ia mulai berani Menyentuh mencium dan nanana Kini tiga bulan tlah berlalu Diriku dibuat malu Ia pergi entah kemana Meninggalkan aku yang kini berbadan dua Tot namanya, harusnya ku waspada Tot namanya, agar tak jadi korban dunia maya Tot namanya, harusnya ku waspada Akhirnya sesal yang tersisa Tot namanya....
Pada intinya, musik adalah salah satu jalan untuk melakukan sosialisasi isu pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan. Musik memberikan kesan tersendiri kepada pendengar. Alunan irama yang indah akan memudahkan pendengar untuk menangkap pesan dalam sebuah lagu, pesan anti kekerasan terhadap perempuan. Kontribusi Media Hapus Kekerasan Seksual Media adalah bagian yang tidak kalah pentingnya dalam isu penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. Jika diruntut dari sejarah perkembangannya di Indonesia, media (pers) baru memperoleh kebebasannya pasca reformasi pada tahun 1998. Sebelumnya, media di Indonesia seperti berada dalam kerangkeng yang hanya boleh menginformasikan sisi positif pemerintah yang berkuasa kala itu. Era reformasi menjadi titik balik dari media yang terkurung dalam sangkar pemerintah, dan selanjutnya, media mendapatkan kebebasaannya untuk memberitakan apapun sesuai dengan ideologi yang dimilikinya. Perkembangan jenis media
berbanding lurus dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Radio, surat kabar, media elektronik, dan yang paling baru adalah media online yang muncul bersamaan dengan perkembangan internet. Lalu, dimana letak pentingnya media dalam isu penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan? Pentingnya konstribusi media dalam isu penghapusan kekerasan adalah terletak pada kemampuan media untuk mengkonstruksi sebuah realitas. Melalui berita yang di rilisnya, media dapat menginformasikan kasus tertentu kepada khalayak. Pemberitaan media akan sangat mempengaruhi perspektif khalayak, tergantung bagaimana media tersebut melakukan pembingkaian (framing) terhadap sebuah peritiwa. Media dalam struktur sosial mempunyai kompetensi yang kuat sebagai agen perubahan sosial. Perubahan tersebut dapat terjadi berdasarkan konten media yang disajikan kepada khalayak (masyarakat) dan bagaimana konten tersebut dipersepsikan oleh masyarakat itu sendiri. Kaitannya adalah pada penggunaan bahasa. Penempatan bahasa yang “sensitif” atau pada posisi yang salah akan menentukan bagaimana persepsi itu tertanam dalam benak masyarakat. Pada akhirnya, persepsi adalah landasan seseorang dalam melakukan tindakan tertentu. Berikut penulis sajikan sebuah contoh berita dengan penggunaan bahasa yang membentuk stigma negatif terhadap pihak tertentu dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam analisis framing media, judul berita adalah salah satu unit berita yang membentuk konstruksi. Berita merdeka.com diatas menggunakan judul “Karyawati Diperkosa Di Kuburan, Pelaku Tergoda Baju Seksi Korban” jika dianalisis lebih dalam, judul berita tersebut menginformasikan bahwa penyebab korban (perempuan) diperkosa adalah pakaian seksi yang dikenakan oleh korban itu sendiri. Padahal, berdasarkan kasus yang ditangani oleh Rifka Annisa, pakaian
bukanlah ukuran suatu kasus kekerasan seksual dapat terjadi. Seseorang yang berpakaian serba tertutup pun tidak mendapat jaminan akan terhindar sebagai korban kekerasan seksual. Dalam hal ini, media telah memainkan perannya untuk mengkonstruksi bahwa perempuan yang menggunakan pakaian seksi “wajar” jika menjadi korban kekerasan seksual sehingga pelaku tidak perlu disalahkan. Tak hanya judul berita, konten yang disajikan dalam berita diatas semakin memperjelas bahwa perempuan dengan pakaian seksi memang pantas menjadi korban kekerasan seksual (perhatikan paragraf dua). Hal ini semakin menguatkan konstruksi yang dibangun oleh media diatas bahwa perempuan dengan baju seksi patut dipersalahkan ketika ia menjadi korban kekerasan seksual. Jika berita semacam ini terusterusan digulirkan, maka persepsi khalayak akan berkembang menjadi bentuk tindakan menyalahkan korban. Bisa dalam bentuk komentar miring, ataupun komentar dengan nada menyalahkan perempuan. Stigma negatif kemudian bermunculan dan pada akhirnya berdampak pada sikap masyarakat yang mengasingkan perempuan tersebut yang notabenenya adalah korban.
Menyadari pentingnya peran media, Rifka Annisa melakukan kerjasama dengan beberapa media dalam isu penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. Kerjasama dilakukan dalam berbagai cara. Audiensi sering dilakukan untuk menyamakan persepsi dalam pemberitaan tentang kekerasan seksual terhadap perempuan. Kerjasama juga dilakukan dalam program tertentu. Untuk media cetak, Rifka Annisa melakukan kerjasama dengan Harian Bernas Jogja untuk mengisi rubrik setiap dua pekan sekali. Rubrik ini diasuh oleh Rifka Annisa dengan tujuan memberikan pendidikan kepada masyarakat (khususnya Yogyakarta) betapa pentingnya peran orang tua terhadap pengasuhan anak dalam keluarga. Pengasuhan berdampak pada pembentukan konsep diri seseorang yang pada akhirnya berpengaruh pada proses pembentengan diri dari kemungkinan negatif menjadi korban kekerasan seksual. Selain Harian Bernas, Radio Republik Indonesia juga turut andil dalam isu penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. Bentuk kerjasama yang dilakukan adalah dengan pendelegasian staf Rifka Annisa menjadi narasumber dalam program siaran RRI di Yogyakarta.
Rifkamedia Februari-April 2015
27
LAPORAN UTAMA proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekolah itu sendiri. meskipun banyak aspek yang perlu dilihat dalam sekolah, namun kurikulum merupakan satu hal penting yang sangat mempengaruhi pemahaman seorang siswa dalam isu tertentu. Kaitannya dengan pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan adalah pada bidang studi biologi dengan bahasan kesehatan reproduksi remaja. Sekolah yang aware terhadap persoalan ini akan melakukan upaya lebih dari sekolah pada umumnya. Rifka Annisa melakukan penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan melalui pintu pintu sekolah. Awalnya, kerjasama dengan pihak sekolah dilakukan dengan audiensi dan pemenuhan kebutuhan sekolah pada Masa Orientasi Siswa. Tema yang dibawakan NO TEMA adalah tema yang berkaitan erat dengan kegiatan 1 PROBLEM SOLVING FENOMENA “MAKAN ATI� 2 MENGHADAPI PERCERAIAN ORANG TUA sekolah dan pernak pernik 3 RELASI SEHAT DENGAN PASANGAN yang ada didalamnya. 4 TANGGA IMPIAN 5 PENDIDIKAN DINI PENTING, NIKAH DINI PENDING, Kerjasama antara Rifka 6 COWOK KEREN ITU FRIENDLY Annisa dengan pihak 7 REMAJA DAN LINGKUNGAN 8 MENJADI RELAWAN: Kembangkan Dunia Dengan Sukarela sekolah dinamakan RGTS (Rifka Goes To School). yang sangat dekat dengan kehidupan Berjalannya waktu membuat kegiatan anak muda. Hal ini bertujuan untuk ini semakin meluas. Menurut Dewi memberikan informasi kepada para Julianti, salah satu staff pada Divisi remaja tentang pergaulan yang sehat Humas dan Media, RGTS sudah tanpa kekerasan, termasuk kekerasan berlangsung sejak lama dengan seksual. Salah satu cara melakukan berbagai bentuk materi dan format pencegahan tersebut adalah dengan penyampaian. RGTS kemudian mengajak remaja turut aktif dalam mendapat angin segar melalui kegiatan positif. Dengan begitu, kerjasama dengan Dinas pendidikan kekerasan seksual sulit terjadi dan tidak Kabupaten Gunungkidul. Kerjasama ini akan menjadi pilihan remaja remaja membuat gerakan RGTS semakin positif. Melalui kerjasama program meluas dan mendapat sambutan yang antara Rifka Annisa dan beberapa hangat dari pihak sekolah. channel media, isu penghapusan Tema tema yang sering disampaikan kekerasan terhadap perempuan dalam RGTS tidak jauh berbeda dengan semakin meluas. tema tema yang dibicarakan dalam talkshow Rifka Annisa di radio dengan Sekolah Sebagai Basis Perubahan sasaran pendengar para remaja. Tema Berbeda halnya dengan komunitas seputar internet sehat dan pergaulan laki-laki peduli, komunitas musik, dan sehat, adalah tema yang sering media, sekolah adalah basis perubahan disampaikan kepada remaja di sekolah. yang sifatnya formal. Dalam artian, Tak hanya itu materi tentang konsep diri sekolah merupakan institusi remaja juga menjadi tema penting yang pemerintah yang dikelola secara selalu disampaikan. Selain struktural. Sekolah sebagai basis penyampaian materi, RGTS juga sedang perubahan terletak pada keseluruhan Kerjasama komunitas yang tidak kalah menariknya adalah dengan salah satu Program Siaran Bicara “BincangBincang Remaja� yang dilakukan bersama Radio Istakalisa Yogyakarta. Melalui program ini, Rifka Annisa menyasar kalangan anak muda dengan tema ringan yang dekat dengan kehidupan remaja. Program ini lebih menekankan pada keterbukaan remaja dan kemauan remaja untuk terus berkegiatan positif dan tidak terlibat dalam kegiatan negatif yang akan merusak masa depan mereka secara pribadi dan tentunya masa depan Indonesia dimasa yang akan datang. Beberapa tema siaran Istakalisa terbaru: Jika dilihat dengan seksama, tematema yang disiarkan melalui program Bicara bersama Istakalisa adalah tema
28
Rifkamedia Februari-April 2015
merambah dalam bentuk kegiatan yang lebih variatif. Beberapa sekolah meminta kerjsama dalam sosialisasi Kesehatan Reproduksi Remaja dalam bentuk kegiatan outbond. Hal ini merupakan salah satu cara Rifka Annisa bekerjsama dengan sekolah sebagai basis perubahan. dimulai dari sekolah, dan perubahan itu akan menjelma dalam skala perubahan yang lebih besar. Integrasi Komunitas Hapus Kekerasan Seksual Kekerasan seksual adalah isu kemanusiaan yang harus terus menerus dicegah, hingga pada akhirnya angka kekerasan seksual menjadi nol. Peran komunitas masih sangat dibutuhkan, sebagai salah satu entitas yang dapat membuat perubahan di masyarakat. Kita tidak dapat mengklaim sebuah perubahan yang telah terjadi disebabkan oleh gerakan komunitas tertentu, karena pada dasarnya kiprah dari komunitas yang ada menjadi gerakan yang terintegrasi dan saling mengisi. Perubahan akan terjadi jika adanya sinergi yang baik antara komunitas itu sendiri. Banyak hal yang telah dilakukan untuk menciptakan sinergitas itu. Rannisakustik misalnya, sering tampil dalam acara yang dilakukan oleh komunitas laki-laki peduli. tak hanya itu, rannisakustik juga pernah mengisi siaran on air di radio. Sinergitas lainnya juga pernah dilakukan antara komunitas laki-laki peduli dengan media lokal, dengan menghadiri undangan sebagai narasumber dalam talkshow di media tesebut. Pada intinya, sebuah komunitas tidak dapat bergerak sendirian untuk mencapai tujuan penghapusan kekerasan seksual. Kerjasama akan dan harus terus dilakukan, apapun bentuknya, sehingga kekerasan seksual terhadap perempuan sampai pada titik nol. Komunitas harus terus bergerak dengan caranya sendiri, tetapi menuju tujuan yang sama, penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. []
LAPORAN UTAMA
CEGAH ANAK SEBAGAI PELAKU DAN KORBAN
KEKERASAN SEKSUAL Tim redaksi Rifka Media rifka-media@rifka-annisa.org
B
korban, 95% pelaku dikenal korban, dan 13%-nya adalah keluarga (ayah, saudara, kakek, paman). Sebagaimana tergambar berikut ini tentang bagaimana anak menjadi korban kekerasan seksual. Seorang balita bermain ke rumah temannya, dimana kakek temannya tinggal di rumah tersebut. Dengan dalih mengambil semut di vagina balita, sang kakek melakukan sesuatu terhadap vagina balita yang mengakibatkan luka memar dan infeksi. Balita ini tidak dapat bercerita banyak mengingat masih terbatasnya kosa kata yang ia kuasai. Ketika ibu si balita bertanya mengenai kejadian, ia akan menyibukkan diri dengan bermain atau mengalihkan pembicaraan ke tema yang lain. Kasus akirnya dilaporakan ke polisi, dan penyidik Polsek harus datang berulang kali untuk mendapatkan keterangan. Kasus di atas hanyalah satu dari sekian banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak yang didampingi oleh Rifka Annisa. Pelaku memanfaatkan ketidakberdayaan anak ketika aksi kekerasan dilakukan juga ketidakberdayaan anak untuk mengungkapkan peristiwa. Dalam kekerasan seksual secara umum, modus yang digunakan pelaku sangat beragam mulai dari tipu muslihat mengatasnamakan permainan, bujukan
Rifkamedia Februari-April 2015
29
DOKUMEN ISTIMEWA
elum hilang dalam ingatan kita akan Angeline yang diduga mengalami kekerasan seksual sebelum dibunuh, sudah ada berita kematian seorang anak perempuan berusia 9 tahun yang jenazahnya dibuang di bawah jembatan. Hasil otopsi terhadap korban menunjukkan adanya perlakuan kekerasan seksual yang dialami sebelum ia dibunuh. Berita yang bertubi-tubi mengenai kekerasan seksual terhadap anak rasanya menjadikan para orang tua semakin berhati-hati dan ingin ekstra melindungi anaknya dari incaran penjahat seksual. Kejahatan seksual begitu beberapa orang menyebut kekerasan seksual, tidak selalu menelan seorang korban. Pada beberapa peristiwa, pelaku melakukan terhadap beberapa orang meskipun kejadian tidak bersamaan waktunya atau tidak dalam satu periode waktu tertentu. Emon, misalnya, bahkan memiliki lebih dari 100 korban. Pengalaman pendampingan di Rifka Annisa menunjukkan pada tahun 2012-2014, sekitar 2% dari kasus kekerasan seksual, pelaku memiliki korban yang jumlahnya lebih dari lima. Pelakunya seperti guru mengaji, guru ekstra kurikuler, guru kelas, atau teman bermain. Jika dilihat dari hubungan pelaku dengan
LAPORAN UTAMA dengan iming-iming hadiah, menambah dan melanggengkan kecantikan, memeriksa kesehatan, hingga menawarkan cinta semu yang hanya bermaksud melampiaskan hasrat seksual. Pola yang umum dijumapi pada kekerasan seksual dengan korban anak kurang dari atau sama dengan 7 tahun adalah pelaku melarang anak untuk bercerita kepada siapapun termasuk orang tua. Pola yang berbeda pada keekrasan seksual yang menimpa anak pada usia 14-18 tahun. Biasanya pelaku memulai dengan mendekati korban dan seakan-akan menjadi orang yang mengagumi korban. Kedekatan emosional yang dibangun oleh pelaku. Tindakan kekerasan seksual terjadi dibungkus dengan hubungan emosional sehingga korban hampir tidak menyadari jika ia menjadi korban, bahkan seringkali korban merasakan sayang kepada pelaku dan tidak ingin pelaku dihukum. Kekerasan seksual yang menggunakan media sosial berbasis internet atau alat komunikasi seperti HP, biasanya diikuti dengan ancaman penyebarluasan foto bagian tubuh korban yang pernah diberikan kepada pelaku sehingga berakibat korban sulit keluar dari cengkeraman siklus kekerasan. Demikian ampuhnya tipu muslihat atau bujuk rayu yang digunakan pelaku hingga seringkali kasus kekerasan seksual tidak disertai ancaman kekerasan atau ancaman dengan senajata tajam. Hal yang demikian ini membuat orang lain (bukan korban) makin sulit memahami bagaimana kekerasan bisa terjadi, parahnya banyak anggapan mengarah pada penyalahan terhadap korban. Kekerasan seksual sepertihalnya kekerasan bentuk lain hanya akan terjadi pada relasi kuasa yang timpang, artinya korban dianggap pelaku merupakan pihak yangdapat diperdaya sehingga keinginan pelaku dapat terwujud. Korban yang berusia anak memiliki kerentanan berlapis karena faktor ukuran tubuh, kekuatan fisik, usia, dan kematangan kemampuan kognitif. Jika korban berjenis kelamin perempuan dan pelaku berjenis kelamin laki-laki, ada faktor kerentanan lain
30
Rifkamedia Februari-April 2015
konstruksi gender yang berdampak pada subordinasi perempuan. Lapisan kerentanan akan bertambah jika korban merupakan penyandang disabilitas. Bisa diimajinasikan betapa timpangnya relasi kuasa antara pelaku dan korban jika pelakunya laki-laki dan korbannya perempuan jika setiap faktor kerentanan menyumbang setiap lapis derajat kesenjangan relasi. Analogi yang sama dapat digunakan ketika pelaku dan korbannya berjenis kelamin sama, yaitu dengan mencari faktor apa saja yang berkontribusi pada kesenjangan relasi kuasa. Karena relasi kuasalah yang berkontribusi pada peluang terjadinya kekerasan seksual. Selain karena faktor relasi kuasa, kekerasan seksual dapat terjadi karena adanya pengalaman kekerasan seksual yang dimiliki pelaku. Pada beebrapa kasus kekerasan seksual yang pelakunya adalah anak, kemudian diketahui bahwa pelaku memiliki riwayat menjadi korban kekerasan seksual. Seperti pengalaman kami dalam mendampingi kasus berikut ini. Ada setidaknya 6 anak (laki-laki dan perempuan) yang rata-rata berusia 6 tahun, mengalami pelecehan seksual dari teman bermain mereka yang usianya 10 tahun. Modus yang digunakan pelaku adalah mengajak melakukan sebuah permainan. Anakanak yang menjadi korban lalu mengungkapkan apa yang mereka alami dan kasus diproses secara musyawarah mufakat di tingkat desa. Dalam proses penyelidikan sebelum terjadi mediasi, mengungkapkan bahwa ia juga korban kekerasan seksual dari laki-laki juga beberapa tahun yang lalu. Selain berdasarkan pengalaman penanganan kasus di atas, penelitian yang dilakukan Rifka Annisa bersama Partner for Prevention menunjukkan ..% laki-laki pernah melakukan kekerasan seksual baik kepada orang dekat maupun orang yang baru saja dikenal. kemudian ..% subyek pernah mengalami kekerasan di masa kecil. Hal ini menunjukkan ada hubungan antara pengalaman kekerasan dengan perilaku keekrasan yang dilakukan ketika dewasa. Menurut catatan Alisa Wahid,
40% pelaku kekerasan seksual pernah mengalami kekerasan seksual ketika mereka di usia anak (presentasi Wahid dalam seminar 'Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak'). Kekerasan seksual merupakan jenis kekerasan yang sangat kental diwarnai oleh relasi kuasa. Relasi kuasa karena ukuran tubuh, usia, jenis kelamin, status sosial (meski tidak selalu). Pada kasus kekerasan seksual dimana pelaku dan korban berjenis kelamin sama, factor relasi kuasa menjadi penyebabnya dimana pelaku biasanya berusia lebih tua dari korbannya. Berdasar dari penelitian yang dilakukan Rifka Annisa dan P4P menunjukkan bahwa 80% lakilaki pernah melakukan kekerasan seksual ketika usia mereka belum mencapai 18 tahun. Berdasarkan pengalaman kasus yang didampingi Rifka Annisa, kekerasan seksual terhadap anak bisa dikategorikan menjadi dua yaitu dengan kontak fisik dan tanpa kontak fisik. Kekerasan seksual dengan kontak fisik seperti rabaan, sentuhan, pelukan, perlukaan di area genitalia dan anal; pemaksaan hubungan seksual. kekerasan seksual tanpa kontak fisik seperti mempertontonkan gambar atau adegan atau anggota tubuh yang berkonotasi seksual, memaksa anak memperlihatkan anggota tubuhnya, atau mengajak ngobrol atau chating tentang perilaku seksual. Kekerasan seksual terhadap anak, seperti yang tercantum dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 81 dan 82, dapat berupa perilaku kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan dengan sengaja dilakukan untuk tujuan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Dijelaskan lebih lanjut, kekerasan seksual termasuk juga tindakan yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pada pasal 82, disebutkan setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Perbuatan cabul merupakan pemaksaan hubungan seksual terhadap seseorang yang berusia anak. Komnas Perempuan juga menggolongkan kekerasan seksual ke dalam 15 jenis, yaitu 1. Perkosaan, 2.Intimidasi seksual termasukancaman/percobaan perkosaan,3.Pelecehan seksual,4.Eksploitasi seksual, 5.Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, 6.Prostitusi paksa,7.Perbudakan seksual, 8.Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung, 9.Pemaksaan kehamilan,10.Pemaksaan aborsi11.Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, 12.Penyiksaan seksual, 13.Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, 14.Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, dan 15. Kontrol seksual,termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama. Perlakuan kekerasan jelas membawa dampak bagi anak, dalam kasus kekerasan seksual dampaknya hingga menimbulkan luka yang lebih dalam dan bersifat spesifik. Menurut pengamatan penulis, dampak kekerasan seksual dapat dikelompokkan menjadi 5 yaitu dampak kesehatan fisik, dampak kesehatan psikologis, dampak kesehatan reproduksi, perilaku kesehatan negative, kondisi kronis, dan dampak secara ekonomi. Dampak fisik berupa memar, lecet, robekan, luka ringan hingga berat, atau sampai pada kematian. Dampak psikologis terbagi menjadi dampak jangka pendek yaitu dalam waktu 1-30 hari pasca kejadian, dampak jangka menengah (1 – 6 bulan), dan dampak jangka panjang (lebih dari 6 bulan). Dampak jangka pendek seperti anak merasa bingung dengan apa yang dialami, ketakutan jika melihat pelaku, mengalami mimpi buruk, sulit tidur, malu jika ada orang lain yang mengetahui. Perilaku yang ditunjukkan seperti anak menjadi mudah marah, sering melamun, ada perubahan
perilaku yang tadinya aktif menjadi pendiam atau sering terlihat murung, dan sering mengigau. Pada anak yang mengalami kekerasan seksual melalui media sosial atau alat komunikasi (handphone), dapat menunjukkan sikap yang semakin tertutup terhadap orang tua akan aktivitas yang dilakukan. Dampak jangka pendek ini dapat terus muncul dalam jangka waktu yang lebih lama, terutama jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Semakin lama, anak mulai mengerti apa yang telah terjadi pada dirinya, dan mulai saat itulah dampak psikologis lain mulai muncul. Korban merasa malu keluar rumah, merasa bahwa dialah yang bersalah atas kejadian kekerasan yang dialami, marah terhadap pelaku, dan merasa kotor. Pada anak yang mengalami kekerasan seksual sebelum berusia 7 tahun, bisa jadi kesadaran akan peristiwa yang dialami adalah kekerasan seksual, baru disadari setelah berusia pra-pubertas. Maka mulai saat itulah korban merasa dirinya kotor, tidak cantik, dan tidak berharga. Dampak jangka panjang gangguan pola tidur, gangguan pola makan, depresi, post traumatic stress disorder, ada keinginan bunuh diri, turun ke jalan (hidup di jalan), menjadi pekerja seks. Hal yang sangat khas dari kekerasan seksual bagi anak perempuan yang menjadi korban adalah kekerasan seksual menyerang harga diri sebagai perempuan. Harga diri perempuan bagi masyarakat budaya timur dilekatkan dengan keutuhan hymen. Sering kita dengar pendapat yang mengatakan bahwa perempuan yang sudah tidak utuh lagi hymen-nya (tidak perawan) sudah tidak memiliki harga diri lagi, yang berdampak pada tidak adanya harapan untuk mendapatkan masa depan gemilang atau mencapai mimpi, misalnya sulit mendapatkan pekerjaan yang pantas atau mendapatkan suami yang baik karena tidak ada laki-laki yang mau menerima perempuan sebagai istri jika perempuan tersebut tidak perawan lagi. 'Mitos' inilah yang terus dilanggengkan di masyarakat dan memposisikan perempuan di pihak yang bertanggung jawab atas
kehormatan yang hanya diindikatori oleh keutuhan hymen. Kenyataan inilah yang membuat kekerasan seksual bagi perempuan berdampak luar biasa terhadap konsep diri sebagai perempuan. Persepsi diri merasa kotor membuat penghargaan perempuan terhadap diri dan tubuhnya rendah. Jika korban tidak mendapatkan intervensi psikologis yang tepat maka korban mudah terjebak pada perilaku yang semakin beresiko misalnya dengan menjadi pekerja seks, atau dengan mudah melakukan hubungan seksual dengan kenalan, teman atau pacar. Dampak pada kesehatan reproduksi seperti kehamilan tak dikehendaki, keguguran, tertular HIV/AIDS, tertular infeksi menular seksual, atau kerusakan organ reproduksi karena proses aborsi yang tidak aman. Korban juga dapat berperilaku kesehatan yang negatif misalnya merokok, mengkonsumsi alcohol atau minum-minumam keras, mengalami obesitas karena gangguan pola makan, atau sebaliknya bulimia, dan berganti-ganti pasnagan melakukan seks berisiko. Kondisi Kronis yang dapat dialami korban seperti, sakit maag, kehilangan emosi, kehilangan memori jangka pendek, dan lain-lain. Dampak secara ekonomi, korban membutuhkan biaya yang sangat besar untuk pengobatan karena dampak akibat kekerasan seksual. Misalnya korban mengalami infeksi di vagina hingga dubur, maka butuh pemeriksaan yang intensif dan berkelanjutan. Atau anak yang mengalami kehamilan tidak dikehendaki perlu melahirkan caesar, membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dampak psikologis yang dialami korban dapat juga mengakibatkan kondisi sakit mental yang serius sehingga membutuhkan konseling secara terusmenerus. Tekanan psikologis yang terus-menerus dan berlangsung dalam jangka waktu lama, dapat menjadi pemicu kanker. Pengobatan kanker membutuhkan biaya yang besar. Seriusnya dampak kekerasan seksual berimplikasi pada tingginya biaya rehabilitasi untuk korban. Peribahasa mengatakan, lebih baik mencegah daripada mengobati, ada
Rifkamedia Februari-April 2015
31
LAPORAN UTAMA benarnya juga. Maka kemudian, upaya pencegahan sebaiknya dilakukan. Pencegahan meliputi level primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan di level primer yang ditujukan kepada orang yang sama sekali belum terpapar keekrasan seksual. Pencegahan di level sekunder yaitu untuk mencegah semakin parahnya dampak yang dialami. Pencegahan di level tersier agar korban tidak mengalami kembali. Sebagai orang tua, apa yang bisa dilakukan sebagai pencegahan anak kita atau murid atau anak didik kita agar tidak menjadi korban. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah kekerasan seksual, seperti: 1.
Mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya fakta
tentang kekerasan seksual Fakta mengenai kekerasan seksual dapat diperoleh melalui buku-buku bacaan, hasil penelitian, atau data dari lembaga pengada layanan yang menangani kasus-kasus kekerasan terhadap anak atau sumber lain yang dapat dipercaya kebenarannya. Diantara fakta mengenai kekerasan sesksual pada anak adalah 100% korbannya sudah ditarget. Dalam satu hari 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. pelakunya merupakan orang yang dikenal korban, 85%-nya adalah orang terdekat korban. Pelaku dewasa menggunakan cara-cara yang sistematis untuk mendekati calon korban. Biasanya pelaku memberikan hadiah yang kurang jelas penyebab ia memberikannya kepada anak. 2.
Meminimalkan peluang terjadinya
kekerasan seksual pada anak Cara yang bisa dilakukan seperti hindari situasi 1 anak bersama 1 orang dewasa. Apabila anak pergi dan sudah bisa menggunakan handphone, hubungi dia secara acak. Selain itu anak sebaiknya dibekali dengan kemampuan dan ketrampilan untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Orang tua perlu melatih anak dengan cara memberi kepercayaan atas sebuah tanggung jawab. Jika anak sudah menggunakan internet, buat aturan dan
32
Rifkamedia Februari-April 2015
pantau anak dalam penggunaannya. Selain itu, buatlah suasana rumah yang hangat dan menyenangkan sehingga anak-anak betah tinggal di rumah. 3.
Membincang mengenai
seksualitas dengan anak Komunikasi yang nyaman dan terbuka sebaiknya dilakukan dan dibiasakan sejak kecil. Jika komunikasi belum dimulai sejak kecil, tantangannya semakin besar untuk membuatnya menjadi sebuah kebiasaan. Orang tua seringkali berharap anaknya mau terbuka menceritakan pengalamannya kepada orang tua, namun (1) tidak terbangun kebiasaan, (2) orang tua tidak pernah membagi perasaan dan pengalaman mereka kepada anak, (3) tidak ada kebiasaann berkomunikasi sejak kecil antara orang tua-anak. Tips agar dapat menjalin komunikasi yang terbuka dan nyaman yaitu (1) mendengarkan sebelum diminta oleh anak, (2) cobalah mendengarkan secara keseluruhan lalu memahami dari sudut pandang anak, (3) tidak cepat dan mudah menyalahkan, (4) hindari memberikan label kepribadian anak, fokuslah pada perilaku dan pikiran anak. Hindari menceritakan kepada orang lain mengenai kepribadian anak beserta labelnya. Jika komunikasi terbuka dan nyaman sudah terbangun, orang tua akan lebih mudah membicarakan apapun dengan anak termasuk mengenai seksualitas. Pembicaraan mengenai seksualitas membutuhkan sikap terbuka dan situasi yang benarbenar dirasakan nyaman oleh anak. Orang tua sebaiknya menjadikan momen membincang mengenai seksualitas terasa serius, ilmiah namun tidak menegangkan. Remaja membutuhkan pendampingan untuk menghadapi dan mengelola perasaan mereka terhadap tekanan teman sebaya, dorongan seksualitas, dan gempuran media. Berikan informasi kepada anak mengenai aturan-aturan pakaian dalam agar ia dapat menghargai tubuhnya serta orang lain. Tekankan bahwa tidak ada orang yang boleh menyentuh
bagian tubuh yang tertutup oleh pakaian dalam. Area bibir juga merupakan area privat, sehingga tidak boleh ada seorang pun yang bisa memaksakan sesuatu memasuki mulut. Orang lain yang boleh menyentuh area privat adalah dokter ketika anak sakit. Anak juga pelru tahu bagaimana mengenali sentuhan baik dan jahat. Selain itu ajarkan anak 3 langkah bila orang berusaha atau melakukan sentuhan jahat yaitu: a)
SHOUT: Menolak & Berteriak
b)
RUN: Lari sekencangkencangnya
c)
TELL: Secepatnya beritahu orang dewasa yang mereka percayai (Wahid, 2014)
4. Waspadai perubahan anak Perhatikan bagaimana perilaku dan ekspresi emosi anak. Bila orang tua cermat dan mengenal anaknya, akan dengan mudah mengidentifikasi perubahan kebiasaan atau perilaku anak. Perubahan perilaku terjadi karena ada perubahan perasaan dan atau pikiran anak hingga mengakibatkan ia merasa terganggu. Perubahan perilaku merupakan indikasi terjadi sesuatu yang mengguncang kehidupan anak, dan ini merupakan sinyal permintaan bantuan. Jika mendapati perubahan perilaku, sebaiknya orang tua mendekati anak melalui cara yang nyaman bagi anak dan mengajak berkomunikasi secara terbuka. 5. Menjaga hubungan dan komunikasi yang hangat dengan anak Interaksi dan hubungan yang hangat dengan keluarga membuat anak merasa aman dan nyaman. Orang tua seharusnya berusaha menciptakan situasi tersebut di rumah. Hangatnya hubungan menjadikan anak merasa memiliki dukungan yang cukup sehingga menumbuhkan kepercayaan diri dan konsep diri yang kuat. Ketika orang tua. 6.
Melakukan aksi untuk penanganan Jika mendapati anak menjadi
korban, periksalah bagaimana kondisi fisik anak. Jika memerlukan perawatan medis, bawa anak ke layanan kesehatan dengan disertai pemberian pemahaman kepada anak pentingnya mendapatkan intervensi medis. Sampaikan juga bahwa orang tua (Anda) akan selalu berada di sisinya untuk mendampingi dan menjadi temannya. Upayakan menjadi tempat yang paling nyaman bagi anak untuk bersandar dan meminta dukungan. Orang tua sebaiknya menghubungi lembaga yang memberikan layanan terhadap anak yang mengalami kekerasan seksual, seperti women crisis center atau pusat layanan terpadu yang dimiliki pemerintah. 7. Terlibat dalam aksi kampanye Aksi keterlibatan dapat dilakukan dengan cara (1) turut berkontribusi dalam kampanye anti kekerasan seksual pada anak, (2) ikut melakukan pendidikan public melalui media massa mengenai pencegahan kekerasan seksual bagi anak dan juga pesan untuk orang dewasa, (3) turutmemastikan bahwa kebijakan terkait kejahatan seksual pada anak dapat berlaku efektif. Jika upaya-upaya di atas dilakukan, akan dapat meminimalisir anak menjadi korban sekaligus menjadi pelaku kekerasan seksual. Pelaku kekerasan seksual biasanya karena pernah mengalami kekerasan seksual di masa kecil. Anak laki-laki yang menjadi korban berpeluang lebih besar menjadi pelaku di kemudian hari daripada anak perempuan yang menjadi korban. Oleh karena itu, orang tua bisa mencegah anaknya menjadi pelaku kekerasan baik anaknya pernah menjadi korban maupun belum pernah menjadi korban. Pelaku kekerasan seksual jika dilihat dari usia, tidak memiliki pola tertentu karena tersebar dari usia kanak-kanak hingga manula. Data usia pelaku dari kasus yang masuk ke Rifka Annisa antara 5-83 tahun. Anak yang sangat muda (kira-kira <7 tahun) biasanya melakukan kekerasan seksual karena mengikuti anak yang lebih besar. Perlakuan kekerasan seksual dilakukan oleh beberapa pelaku, dan anak yang lebih muda usia, yang belum pernah
punya pengalaman menjadi pelaku atau korban, akan menirukan apa yang dilakukan pelaku yang lebih tua. Anak yang sudah pernah terpapar tontonan (video porno) atau adegan aktivitas seksual (hubungan seksual yang dilakukan orang dewasa), cenderung akan meniru apa yang pernah dilihatnya meski belum sepenuhnya mengerti apa yang dilakukannya. Pengalaman Rifka Annisa, pelaku berusia 10 tahun melakukan kekerasan seksual kepada 8 anak laki-laki dan perempuan, karena ia pernah menjadi korban kekerasan seksual sebelumnya. Namun tidak semua korban kekerasan seksual menjadi pelaku kekerasan seksual. Faktor pengabaian anak oleh orang tua/ keluarga dan depresi berkontribusi pada perilaku kekerasan yang dilakukan oleh anak (Lim, 2015). Korban kekerasan seksual secara umum akan mengalami dampak seperti yang sudah disebutkan sebelumnya pada tulisan ini. Dampak psikologis yang dirasakan korban kekerasan seksual pada usia < 10 tahun dan atau belum pernah memiliki pengalaman seksual sebelumnya (baik melihat langsung atau melalui media), akan membuat korban merasa bingung dengan apa yang ia alami. Kemudian, rasa ingin tahunya meningkat berdasar dari pengalaman seksualnya. Menjawab keingintahuan tersebut, korban kemungkinan melakukan eksplorasi terkait dengan apa yang ia pernah alami sebagai korban. Perilaku bereksplorasi ditunjukkan dengan perilaku seperti menyentuh alat kelamin dengan tujuan mengenal bentuk, merasakan pengalaman dengan menyentuh secara mandiri, atau mengenali sensasi terhadap sentuhan di area genital. Jika ia sudah menemukan sentuhan yang seperti apa atau pada bagian mana yang ia sukai maka besar kemungkinan perilaku tersebut akan diulang dengan berbagai stimulasi baik dengan alat maupun tidak. Orang lain seringkali menganggap perilaku tersebut sebagai indikasi seksual aktif. Kurangnya penerimaan darikeluarga atau justru penolakan atas perilaku-perilaku sebagai dampak, akan membuat korban
semakin merasa terpuruk. Penolakan atas perilaku bukanlah persoalan sederhana bagi korban. Korban akan merasa dirinya buruk, sendirian, dan tidak memiliki harapan untuk hari depan. Perasaan-perasaan tersebut akan membuat korban memiliki konsep diri yang buruk jika tidak mendapatkan konseling atau terapi yang tepat. Selain berpengaruh pada konsep diri, pengalaman masa lalunya memberinya informasi bahwa apa yang pernah ia alami merupakan sesuatu yang bisa dan boleh terjadi pada orang (anak) lain. Oleh karena itu, ia dapat menjadi pelaku kekerasan seksual jika tidak memiliki pemahaman bahwa apa yang dia alami merupakan sebuah perilaku kejahatan. Karena pelaku hanya akan melakukan terhadap orang lain yang memiliki posisi subordinat maka factorfaktor penyumbang pada relasi kuasa akan menjadi factor resiko. Oleh karena itu korban berjenis kelamin laki-laki memiliki peluang yang lebih besar menjadi pelaku kekerasan seksual daripada korban perempuan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa terhadap 2.500 laki-laki dari tiga kota di Indonesia (Jakarta, Purworejo, dan Papua), bahwa laki-laki merasa berhak melakukan pemaksaan aktivitas seksual terhadap perempuan baik pasangan maupun non pasangan (Partner for Prevention&Un Women, 2012). Penelitian tersebut juga mengungkapkan jika 40% laki-laki yang menjadi korban kekerasan akan menajdi pelaku kekerasan di kemudian hari. Berdasarkan pengalaman pendampingan Rifka Annisa, laki-laki yang menjadi pelaku kekerasan seksual sebagian besar karena memiliki pengalaman menjadi korban kekerasan seksual sebelumnya. [] -----Referensi: S. You, S.A. Lim / Child Abuse & Neglect 46 .2015. 152â&#x20AC;&#x201C;162. Development pathways from abusive parenting to delinquency: The mediating role of depression and aggression Wahid, Alisa. 2014. Melindungi Anak dari Kekerasan Seksual. Presentasi yang disampaikan pada seminar.
Rifkamedia Februari-April 2015
33
DAPUR RIFKA
LAPORAN UTAMA
KOMPLEKSITAS PENANGANAN
KASUS KEKERASAN SEKSUAL PADA PEREMPUAN DENGAN DISABILITAS Megafirmawanti Lasinta Relawan Humas dan Media Rifka Annisa megafirmawanti@ymail.com
M
enjadi perempuan dalam masyarakat
patriarki berarti siap berada pada
posisi rentan menjadi korban
DOKUMEN ISTIMEWA
kekerasan seksual. Konstruksi masyarakat yang
34
seksual adalah anggapan yang keliru. Pada kenyataannya, kekerasan seksual tidak hanya rentan terjadi pada perempuan biasa. Tetapi juga lebih rentan dialami oleh perempuan yang
memandang perempuan sebagai kaum lemah kerap
memiliki disabilitas. Disabel adalah istilah yang
kali menjadikannya sebagai objek kekerasan seksual.
digunakan untuk menyebutkan penyandang cacat,
Laki-laki merasa dirinya lebih kuat dan seringkali
yang akhirnya membentuk stigma masyarakat
melakukan pelampiasan emosi dengan cara yang
bahwa orang dengan disabilitas adalah orang yang
tidak wajar kepada perempuan. Dalam kondisi
tidak normal dan perlu dikasihani. Disabel dapat
demikian, kadang kala perempuan korban justru
diklasifikasikan dalam dua jenis yakni disabel fisik
dipersalahkan. Entah karena sikap perempuan yang
(tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunawicara,
sering kali disebut “genit” dan “mengundang”
tunalaras) dan disabel mental (tunagrahita,
ataupun “menggoda”, atau bahkan karena persoalan
tunaganda). Masing masing disabilitas akan
pakaian yang katanya “terlalu seksi” sehingga.
mendapat penanganan yang berbeda, tergantung
Dituduh menjadi pemicu terjadinya kekerasan
pada jenis disabilitas, dan konteks kasus yang
Rifkamedia Februari-April 2015
terjadi. Perbedaan kemampuan, baik fisik
kemudian tidak berjalan karena aparat
kadang hanya dapat memberikan
penegak hukum di wilayah tersebut
deskripsi tentang ciri-ciri pelaku secara
ataupun mental yang dimiliki oleh
tidak memiliki perspektif gender yang
terbuka dan tanpa ragu-ragu. Kepekaan
perempuan dengan disabilitas
baik. Meskipun, tindakan lainnya yakni
pendamping dalam kasus semacam ini
kemudian menjadi kompleksitas
menggugurkan kandungan (yang
sangat diperlukan, sumber informasi
tersendiri ketika perempuan tersebut
dipaksa oleh pelaku) dapat diproses
selain informan primer harus dipastikan
menjadi korban kekerasan seksual.
secara hukum, bukankah Ruwi telah
memberikan kesaksian yang jelas dan
Terkait kompleksitas, penulis
menjadi korban berkali kali? menjadi
terbuka. Artinya, ada hal lain yang perlu
mewawancarai salah satu konselor Rifka
korban kekerasan, ditambah lagi harus
dipertimbangkan dalam kasus netra,
Annisa yang pernah menangani klien
â&#x20AC;&#x153;dipaksaâ&#x20AC;? dengan memanfaatkan
saksi yang memberikan keterangan
dengan disabilitas ruwi (tuna rungu dan
disabilitasnya untuk melakukan aborsi.
harus menguatkan bahwa kejadian itu
wicara). Menurutnya, hal yang paling mendasar ketika mendampingi
Kompleksitas pertama terjadi ketika konselor berusaha menggali informasi
benar-benar terjadi pada disabel netra. Berbeda dengan ruwi dan netra,
perempuan korban kekerasan adalah
dari korban. Butuh upaya lebih untuk
difabel mental mengalami kompleksitas
selain kasus kekerasan seksual yang
memahami informasi yang diberikan
yang berbeda. Disabel mental artinya
dialaminya, disabilitas yang disandang
oleh korban kepada konselor. Salah satu
seseorang yang secara biologis telah
oleh perempuan korban juga butuh
yang dilakukan adalah dengan meminta
berada pada usia tertentu, tetapi secara
penanganan khusus. Pada intinya,
penerjemah yang lebih memahami
mental tidak menunjukkan keselarasan
penulis ingin menjabarkan bahwa
bahasa ala disabilitas korban kekerasan
antara keduanya. Hal ini semakin berat
menangani kasus kekerasan seksual
seksual tersebut. Adanya penerjemah
ketika disabel mental menjadi korban
pada perempuan difabel bukanlah hal
akan sangat membantu proses
kekerasan seksual. Sampai saat ini,
yang mudah. Tetapi membutuhkan
penggalian informasi sebagai upaya
belum ada aturan yang menejalaskan
upaya lebih daripada penanganan kasus
penanganan kasus. Penerjemah adalah
bahwa jika seorang disabel mental
biasanya.
salah satu kunci suksesnya sebuah
mengalami kasus kekerasan seksual,
informasi bergulir. Tetapi di satu sisi,
maka yang diikuti adalah usia
Penanganan Ganda
penggunaan penerjemah berpotensi
mentalnya, bukan usia biologisnya.
melahirkan gangguan ketika terjadi
Beberapa aparat memang
Klien Rifka Annisa, sebut saja Ruwi (bukan nama sebenarnya), seorang tuna
miskonsepsi antara disabel dan
mempertimbangkan usia mental, tetapi
rungu dan tunawicara. Disabilitas yang
penerjemah itu sendiri. Miskonsepsi ini
sejauh ini belum ada aturan baku yang
dialaminya mengantarkan ia belajar di
salah satunya disebabkan oleh
mengatur hal tersebut secara detail. Tak
salah satu Sekolah Luar Biasa (SLB).
perbedaan penggunaan bahasa isyarat.
hanya tentang proses hukum, seseorang
Selanjutnya ia menjadi korban
Tidak selamanya seorang disabel
dengan disabel mental akan lebih sulit
kekerasan seksual oleh staf tata usaha di
mengerti bahasa isyarat berstandar
dan lebih lambat dalam mengerti dan
sekolah tersebut. Jalan cerita Ruwi
internasional, kadang kala mereka
mencerna sebuah informasi ketika ia
semakin panjang ketika pelaku
hanya mengerti bahasa ibunya.
menjadi korban kekerasan seksual,
memanfaatkan disabilitas yang dimiliki
Berbeda dengan disabel ruwi,
maka memberikan pemahaman kepada
oleh Ruwi untuk menggugurkan
disabel netra akan mengalami
disabel mental akan jauh lebih sulit jika
kehamilan yang sedang berlangsung.
kompleksitas yang berbeda. Salah
dibandingkan dengan disabel yang lain.
Ruwi tidak tahu apa-apa tentang proses
satunya tentang seberapa kuat disabel
Dibutuhkan keterampilan khusus dari
pengguguran tersebut, yang ia tahu
netra tersebut memberikan deskripsi
para pendamping dalam menangani
bahwa isi dalam kandungannya telah
tentang pelaku kekerasan seksual.
kasus demikian.
tiada.
Disabel netra tidak dapat melihat secara
Proses hukum terkait kekerasan seksual yang dialami oleh Ruwi
Hal penting lainnya adalah memberi
langsung dan memastikan identitas
pemahaman kepada keluarga korban
pelaku secara detail. Difabel netra
bahwa kasus kekerasan yang menimpa
Rifkamedia Februari-April 2015
35
LAPORAN UTAMA perempuan disabel tidak seharusnya
seksual terutama pada orang dengan
korban kekerasan seksual ataupun
dijadikan alasan keluarga untuk
disabilitas memang memerlukan upaya
menjadi korban, seseorang tetap saja
menyalahkan korban kekerasan seksual.
dan penanganan khusus, baik dalam
membutuhkan dukungan positif dari
Menurut penuturan konselor Rifka
mencegah maupun menanganinya
keluarga, apapun keadaan yang dialami
Annisa, keluarga korban terkadang
secara psikologis serta hukum. Hukum
oleh orang tersebut.
menyalahkan korban dengan alasan
tidak mengenal dinamika psikologis
bahwa korban dengan disabilitas
yang dialami oleh seorang korban.
tersebut juga â&#x20AC;&#x153;suka dan relaâ&#x20AC;? untuk
Selanjutnya, kerentanan lain yang
Keluarga disabel harus dikuatkan, bahwa kondisi disabilitas yang dialami bukanlah sebuah aib yang patut
dijamah oleh pelaku kekerasan seksual.
bisa saja dialami oleh para tunadaksa,
membuat mereka malu. Perasaan malu
Dalam proses hukum sering disebut
penyandang polio dengan kondisi kaki
dan tidak memberi dukungan positif
unsur â&#x20AC;&#x153;suka sama sukaâ&#x20AC;?. Bukankah ini
layu, adalah kelainan seksual dari
kepada disabel justru akan mematikan
satu hal yang menambah kompleksitas
pelaku dimana adanya rangsangan
potensi yang dimiliki oleh disabel itu
dalam penanganan kasus kekerasan
seksual tertentu ketika melihat kondisi
sendiri. Saat perempuan disabel yang
seksual pada perempuan disable?
perempuan disabel dengan kaki yang
tidak mendapat dukungan keluarga
Logika berpikir apa yang digunakan oleh
layu dan tidak berdaya. Artinya,
tersebut menjadi korban kekerasan
keluarga sehingga mereka justru
kerentanan yang dihadapi disabel polio
seksual, ia akan merasa semakin tidak
menyalahkan korban? Tentunya hal ini
sangatlah berlipat. Penjagaan diri dari
berarti dan tidak berharga lagi.
adalah konsekuensi lebih yang harus
lingkungan yang tidak mendukung
Perasaan ini pada akhirnya akan
diperhatikan dalam penanganan kasus
kondisi disabel akan sangat dibutuhkan.
berimbas pada emosi yang tidak stabil
kekerasan seksual bagi perempuan
Selain kerentanan yang berbeda
disabel, memberikan pemahaman
sesuai dengan disabilitas yang dialami,
dan berdampak pada perilaku marah marah, berdiam diri, bahkan tidak mau
kepada keluarga korban adalah hal yang
tidak adanya dukungan keluarga bukan
beraktivitas seperti sebelum menjadi
sangat penting untuk membangun
berarti menyurutkan langkah
korban kekerasan seksual. Jika gejala ini
sistem dukungan bagi korban kekerasan
penanganan kasus kekerasan seksual.
tidak dipahami oleh keluarga, masalah
seksual.
Upaya penanganan dengan
akan semakin kompleks dengan sikap
Sementara, tunadaksa memberikan cerita yang berbeda dan akan
mendampingi korban dan keluarga
tertutup yang diambil oleh perempuan
harus tetap berjalan. Hal yang perlu kita
disabel sebagai korban kekerasan
mengalami dinamika penanganan yang
pahami adalah, kadangkala keluarga
seksual. Artinya, dukungan keluarga
berbeda. Konselor Rifka Annsia pernah
disabel berada pada posisi yang belum
akan sangat membantu proses
mendampingi korban kekerasan seksual
atau tidak bisa menerima kondisi yang
penanganan kasus kekerasan seksual,
seorang tunadaksa. Sebut saja Eni,
dialami oleh anaknya sebagai disabel.
terutama dalam hal membangun
tunadaksa korban kekerasan seksual
Keluarga kadang tidak menerima kondisi
keterbukaan sehingga informasi yang
yang berusia 21 tahun. Eni tidak
anaknya yang tidak dapat melihat, tidak
dibutuhkan untuk penanganan kasus
mengalami gangguan mental, mental
dapat mendengar, atau tidak dapat
dapat diperoleh.
Eni normal, tetapi kasus Eni tidak dapat
bicara. Ketidakterimaan ini pada
diproses secara hukum dengan alasan
akhirnya membuat keluarga tidak
Bukan hanya pemahaman kepada keluarga, yang paling penting dari
adanya unsur â&#x20AC;&#x153;suka sama sukaâ&#x20AC;? antara
memberikan dukungan kepada korban
seluruh proses tersebut adalah
Eni dengan sang pelaku. Pada dasarnya,
untuk tetap positif dalam memandang
memahamkan kepada korban bahwa ia
kasus kekerasan seksual dapat digugat
dirinya. Tidak adanya dukungan pada
tidak bersalah dan telah menjadi korban
dengan memasukkan unsur â&#x20AC;&#x153;bujuk
akhirnya membuat disabel menjadi
kekerasan seksual. Hal ini penting untuk
rayuâ&#x20AC;?. Tetapi hal itu hanya berlaku pada
semakin terpuruk. Dalam keadaan
membangun kepercayaan diri korban
korban berusia anak, sementara Eni
demikian, disabel yang menjadi korban
sehingga bersedia memberikan
tidak dikategorikan sebagai anak lagi.
kekerasan seksual akan semakin
informasi secara terang benderang
Satu contoh kasus tersebut menunjukkan bahwa kasus kekerasan
36
Rifkamedia Februari-April 2015
diposisikan sebagai pihak yang patut
tanpa ada yang disembunyikan. Dalam
disalahkan. Padahal, baik tanpa menjadi
hal ini konselor psikologis harus sangat
berhati-hati dalam menjaga kondisi
kepercayaan diri untuk memberikan
Sebagian besar disabel mengalami
psikis korban. Pertama, berhati-hati
informasi tentang apa yang dialaminya
kesulitan beraktivitas karena sarana
untuk tidak menyinggung tentang
ketika kekerasan seksual itu terjadi.
dan prasarana yang ada di lingkungan
disabilitas yang dialami. Kedua, berhatihati untuk tidak membuatnya terluka
Salah satu informasi penting yang perlu dipahami oleh seseorang,
sekitar tidak aksesibel. Hal ini menyebabkan disabel tidak maksimal
sebagai korban kekerasan seksual.
termasuk disabel adalah bagaimana ia
untuk memanfaatkan potensi yang
Dinamika psikologis itulah yang sering
menjaga bagian-bagian tubuhnya agar
dimiliki. Adanya teknologi yang semakin
ditemui oleh para konselor/pendamping
tidak disentuh oleh orang-orang yang
psikologis ketika berhadapan dengan
tidak semestinya menyentuh bagian
lama semakin canggih pada dasarnya
perempuan disabel korban kekerasan
tersebut. Misalnya, jika seseorang telah
sudah cukup membantu disabel dalam
seksual. Banyak pihak yang memberikan
paham tentang sistem reproduksi
berinteraksi dengan dunia sekitar.
perempuan, pengetahuan tersebut
Contohnya, teknologi bionik kaki dan
peran penting dalam penanganan kasus
paling tidak akan membantunya untuk
tangan robotik, juga smartphone yang
kekerasan seksual oleh perempuan
menjaga diri ketika berada pada situasi
memiliki screen reader untuk para
disabel. Salah satunya
yang menjuruskannya menjadi korban
difabel netra. Ponsel pintar
konselor/pendamping. Selain
kekerasan, misalnya ketika bertemu
memudahkan disabel netra
memahami dan mendalami perspektif
dengan orang yang bersikap aneh
mendapatkan informasi dengan
penanganan kasus kekerasan seksual,
seperti meraba bagian vital tertentu.
konselor/pendamping juga sangat perlu
Keterbatasan informasi kadangkala
mendengarkan tulisan-tulisan yang tertera di layar. Sayangnya, tidak semua disabel
untuk mengenali secara detail tentang
membuat seseorang tidak menyadari
jenis-jenis disabel beserta dinamika
bahwa ia adalah korban kekerasan
dapat menikmati teknologi yang
psikologis setiap disabel dengan jenis
seksual. Selain itu, ancaman dari pelaku
memudahkan ini. Permasalahan klasik
tertentu. Pemahaman ini akan sangat
terkadang membuat korban tidak
tentu seputar biaya, tidak dipungkiri
membantu dalam proses
bernyali untuk melaporkan kejadian
bahwa dana yang harus dikeluarkan
pendampingan.
yang menimpa dirinya. Penanganan
oleh disabel untuk dapat menikmati
kasus kekerasan tersebut akan
teknologi ini dapat dibilang cukup besar.
Keterbatasan Akses & Kaitannya
berlangsung lamban ketika ada satu
Untuk kursi roda saja, yang standar
dengan Penanganan Kekerasan Seksual Penanganan kasus kekerasan seksual akan menjadi lebih mudah
pihak yang tidak memberikan informasi
untuk digunakan difabel mencapai 1
secara benar dan terbuka.
hingga 4 jutaan. Smartphone yang
Dalam hal ini, disabel adalah entitas
paling mendukung screen reader saat ini
ketika korban memiliki pengetahuan
yang memiliki keterbatasan untuk
adalah Iphone, harganya berkisar 4
yang baik tentang kasus kekerasan
mengakses informasi tersebut.
jutaan. Belum lagi berbagai aksesoris
seksual yang menimpa dirinya. Ketika
Teknologi yang tidak ramah disabel
pelengkap kebutuhan teknologi bagi
menjadi korban kekerasan seksual,
terkadang membuat mereka tertinggal
disabel, tentu harus ada cukup banyak
konsep diri yang positif dari seorang
dalam kebaruan informasi. Tak hanya
dana yang dikeluarkan untuk bisa
korban akan mempermudah
teknologi, pada faktanya memang
memaksimalkan potensi diri yang dimilikinya.
penanganan kasus oleh para
belum semua disabel mampu
pendamping baik hukum maupun
mengakses atau memiliki teknologi yang
Minimnya informasi tentang
psikologis. Kaitannya terletak pada
mendukung bagi mereka. Seperti dirilis
kekerasan seksual yang dimiliki oleh
akses informasi yang dimiliki oleh
dalam laman solider.or.id bahwa
orang dengan disabilitas pada akhirnya
seorang disabel. Informasi bahwa
menurut survei kependudukan yang
berdampak dalam penanganan kasus
kekerasan seksual adalah hal yang
dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
kekerasan seksual yang dialaminya.
melanggar undang-undang harus
(BPS), populasi penduduk difabel
Pendamping harus memberikan
dipahami oleh seorang korban. Dengan
mencapai 0,7% dari total penduduk
penanganan lebih ekstra ketika
begitu, korban akan memiliki
Indonesia, yakni sebesar 1,48 juta jiwa.
berhadapan dengan korban. Ekstra
Rifkamedia Februari-April 2015
37
LAPORAN UTAMA dalam menghadapi difabilitas, dan
yang memiliki disabilitas. Dalam sebuah
memang membutuhkan banyak
ekstra dalam membentuk konsep diri
kasus kekerasan seksual, disabel
perspektif, tergantung pada jenis kasus
yang baik bagi difabel korban kekerasan
seharusnya berhak mendapatkan hak
yang sedang ditangani. Tetapi, aturan
seksual tersebut. Dinamika Penanganan Hukum Penanganan hukum dalam kasus
hak seperti pendamping hukum, hak
hukum yang telah baku bukan berarti
mendapatkan penerjemah, dan hak
harus kaku dan tidak memandang
untuk mendapatkan ahli. Hak hak
sebelah mata pada sebuah kasus yang
tersebut pun ternyata pada prakteknya
dianggap tidak diatur dalam aturan
kekerasan seksual dengan korban
tidak sepenuhnya terpenuhi dengan
hukum tersebut. Masih banyak
disabel pada dasarnya belum memiliki
baik. Misalnya saja, terkait penerjemah,
pekerjaan rumah bagi kita semua untuk
landasan hukum yang jelas. Meskipun
tidak semua penerjemah memiliki
menegakkan hukum yang benar benar
ada beberapa aturan yang memberikan
perspektif yang tepat terkait
manusiawi, termasuk manusia kepada
hak perlindungan kepada disabel, pasal
penyelesaian kasus kekerasan seksual,
penyandang disabel, apapun bentuknya.
tentang kekerasan seksual pada korban
tidak hanya itu, korban difabelpun tidak
difabel belum mendapat acuan hukum
semunya memahami bahasa isyarat
yang baku. Pemerintah sebagai pelayan
yang berlaku secara internasional,
negara harusnya mengakomodir
mereka hanya memahami bahasanya
Peran Lembaga Non Pemerintah Penanganan kasus kekerasan seksual membutuhkan kerjasama yang
kepentingan dan kebutuhan warga
ibunya, sehingga kadang kala terjadi
baik antara berbagai pihak. Pun
negaranya dalam bentuk undang-
persepsi yang berbeda sehingga
termasuk dalam hal penanganan disabel
undang.
berimbas pada penafsiran yang kerliru
sebagai korban kekerasan seksual. Peran
Dalam konvensi hak-hak penyandang disabilitas CRPD (Convention on the Rights of Person with Disabilities) pasal 5 menerangkan
terhadap sebuah informasi dari disabel
lembaga non pemerintah sangat
itu sendiri.
dibutuhkan sebagai pintu masuk awal
Hak lain yang kadang menjadi kendala adalah tentang perspektif
penanganan sebuah kasus. Di Yogyakarta, lembaga non pemerintah
bahwa â&#x20AC;&#x153;negara menjamin kesetaraan
disabilitas. Belum semua penegak
seperti gabungan LSM telah
perlindungan hukum bagi setiap orang
hukum memiliki perspektif yang baik
membentuk sebuah sistem kerjasama
dan melarang segala bentuk
tentang disabel. Pun selebihnya, tidak
dalam penanganan kasus kekerasan
diskriminasi atas dasar disabilitasâ&#x20AC;?.
semua penegak hukum memiliki
seksual dengan korban perempuan difabel.
Undang-undang No. 4 Tahun 1997 pasal
perspektif gender yang baik dalam
9 juga mengatur tentang perlindungan
penyelesaian kasus kekerasan seksual.
disabilitas yang berbunyi â&#x20AC;&#x153;setiap
Artinya, bisa saja sebuah kasus
Salah satu LSM di Yogyakarta yang konsen terhadap isu disabilitas adalah
penyandang cacat mempunyai
kekerasan seksual tidak ditangani hanya
SAPDA. Sapda merupakan singkatan
kesamaan kesempatan dalam segala
karena alasan bahwa aparat penegak
dari Sentra Advokasi Perempuan,
aspek kehidupan dan penghidupanâ&#x20AC;?.
hukumnya tidak menerima pengajuan
Difabel dan Anak,yang berdiri pada
Indonesia adalah negara hukum yang
perkara oleh korban kekerasan seksual.
bulan Juli 2005 dan menjadi badan
menjunjung tinggi prinsip persamaan di hadapan hukum dan penghapusan
Kompleksitas disabel yang menjadi korban kekerasan seksual memang tidak
hukum dengan pengesahan pada 2 Desember 2005. Tujuan dirikannya
segala bentuk diskriminasi, salah
dapat digeneralisir. Setiap kasus
lembaga ini adalah agar terciptanya
satunya diatur dalam pasal 27 dan pasal
kekerasan seksual memiliki
inklusifitas dalam aspek kehidupan
28 UUD 1945.
karakteristiknya sendiri sehingga
sosial yang menjadi hak dasar
Keseluruhan undang-undang yang penulis sebutkan sebelumnya juga
dibutuhkan aturan baku, yang
Perempuan, Difabel dan Anak dibidang
ditetapkan secara resmi oleh
pendidikan,kesehatan dan pekerjaan
berlaku bagi disabel. Namun pada
pemerintah dan dibarengi dengan
atas dasar persamaan Hak Asasi
kenyataannya, untuk kasus kekerasan
pemberian persepktif disabilitas yang
Manusia. Lembaga Sapda bergerak
seksual, belum ada pasal yang mengatur
baik kepada aparat penegak hukum.
dalam Advokasi kebijakan ditingkat
secara khusus terkait dengan korban
Menangani sebuah kasus hukum
daerah, Pendidikan, Pendamping dan
38
Rifkamedia Februari-April 2015
Pemberdayaan terhadap Perempuan, Difabel dan Anak. Advokasi dalam kasus kekerasan
ketrampilan. Hubungannya dengan kasus kekerasan seksual, CIQAL merupakan
tertentu, dan harus diakomodir dan difasilitasi, terutama oleh keluarga terdekat dan masyarakat sekitar. Menghilangkan stigma yang ada
seksual yang dilakukan SAPDA salah
salah satu pintu masuk informasi ketika
satunyan dengan cara melakukan
terjadi kasus kasus kekerasan seksual
pada benak masyarakat bukanlah hal
advokasi hukum. Pendampingan hukum
terhadap perempuan difabel. Biasanya
yang mudah. Butuh pemberian
sangat penting dalam kasus kekerasan
CIQAL bekerjasama dengan Rifka Annisa
informasi yang masif dan sistematis.
seksual difabel. Biasanya, bentuk
dalam hal pendampingan psikologis
Tersebarnya informasi yang tidak
kerjasama agar penanganan kasus
untuk korban difabel korban kekerasan
timpang kepada masyarakat, akan
kekerasan pada difabel lebih
seksual.
membantu menghilangkan stigma
komprehensif, Rifka Annisa menjadi mitra SAPDA dalam kerjasama
Kerjasama antar lembaga dalam kasus kekerasan seksual pada difabel
tersebut sehingga berimbas pada sikap saling menghargai dan menghormati
menyelesaikan kasus tertentu. Biasanya,
tentunya bukan menjadi tanggungjawab
terhadap kawan kawan penyandang
Rifka Annisa mendampingi korban
satu pihak semata. Bahu membahu dan
disabilitas.
difabel dari segi psikisnya
saling mendukung kerja sesuai
(pendampingan psikologis).
spesifikasi masing-masing lembaga
Kemudahan informasi bagi disabel sangat didukung oleh ketersediaan
merupakan salah satu cara yang dapat
teknologi yang ramah disabel. Oleh
Improving Qualified Activity in Live of
ditempuh untuk menumbuhkan sinergi
karena itu, pekerjaan menghapus
People with Disabilities, Pusat
yang baik dalam pencegahan dan
kekerasan seksual terhadap kaum
Selain SAPDA, CIQAL (Center for
Pengembangan Kegiatan Yang
penghapusan kekerasan seksual
difabel bukan hanya tanggungjawab
Berkualitas dalam Kehidupan
terhadap perempuan, khususnya
seseorang atau satu lembaga tertentu
Penyandang Disabilitas). Adalah
perempuan difabel.
lembaga yang juga fokus pada
Rifka Annisa berada pada posisi
saja. Tetapi merupakan tanggunggjawab setiap orang dan lembaga lembaga yang
pengembangan sumber daya difabel.
menyediakan layanan pendampingan
berkaitan dengan persoalan tersebut.
Berdiri pada tahun 2003 dan bekerja
bagi korban kekerasan seksual,
Cara mewujudkan hal tersebut adalah
untuk penyandang disabilitas/difabilitas.
termasuk pada korban difabel.
dengan membangun kerjasama dengan
CIQAL fokus pada kegiatan untuk
Sinergitas antar lembaga adalah kunci
masyarakat, melakukan audiensi yang
meningkatkan kualitas sumber daya
memudahkan penghapusan kekerasan
baik dengan pemerintah maupun
manusia dari teman-teman
seksual terhadap perempuan difabel.
nonpemerintah agar upaya penghapusan kekerasan terhadap
difabel/disabel. Agar mereka bisa mendapatkan kesempatan yang sama dalam hidup bermasyarakat.
Penutup Stigma yang berlaku pada
perempuan terus dilakukan tanpa henti. Kerjasama yang perlu dilakukan
masyarakat umum bahwa disabel
tidak hanya bersifat eksternal. Tetapi
Swadaya Masyarakat) lainnya, CIQAL
adalah bagian dari ketidaksempurnaan.
juga internal, dalam artian bagaimana
Sebagaimana LSM (Lembaga juga mempunyai cita-cita dan juga
Stigma ini berakar dalam benak
sebuah lembaga membangun kekuatan
mimpi. Cita-cita dam mimpi CIQAL
masyarakat yang pada akhirnya
dan pemahaman yang baik kepada
adalah agar teman-teman difabel
berimplikasi pada sikap dan perilaku.
anggotanya terkait dengan kasus
meningkat kesejahteraan ekonominya
Ketidaksempurnaan tersebut berimbas
kekerasan seksual. Para pendamping
serta mandiri terutama secara ekonomi.
pada akses informasi yang terbatas.
ataupun pihak yang terlibat dalam
Hal ini tak lain karena dari temuan
Masyarakat seakan menarik diri dan
penyelesaian kasus kekerasan seksual
CIQAL, teman-teman difabel masih
cenderung bertindak atas dasar rasa
terhadap disabel harus memiliki
sering menjadi pihak yang
kasihan terhadap disabel. Padahal,
perspektif disabilitas yang baik agar
terpinggirkan. Dan banyak dari mereka
perbedaan fisik bukanlah
penanganan kasus menjadi semakin
termasuk dalam golongan yang lemah
ketidaksempurnaan, tetapi sebuah
mudah, benar dan tepat.[]
secara ekonomi, pendidikan dan
perbedaan yang mengandung potensi
Rifkamedia Februari-April 2015
39
LESEHAN BUKU
Napak Tilas
Sejarah Komnas Perempuan
L
ahirnya Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau yang lebih dikenal sebagai Komnas Perempuan tidak pernah terlepas dari peristiwa Mei 1998 yang menandai proses transisi pemerintahan era orde baru ke pemerintahan era reformasi. Sayangnya, proses transisi ini menyisakan sejarah kelam dan meninggalkan trauma yang sangat mendalam bagi perempuan Indonesia. Perkosaan massal yang terjadi dalam tragedi Mei 1998 menjadi bukti terjadinya kekerasan seksual yang mengancam keselamatan perempuan dalam situasi konflik sosial. Meskipun banyak pihak termasuk para pejabat negara yang berwenang saat itu menampik adanya peristiwa perkosaan massal, tetapi berkat kegigihan para akademisi dan aktivis perempuan, peristiwa ini justru menjadi momentum yang menandai upaya bersama untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Buku yang ditulis oleh Dewi Anggraeni, seorang jurnalis yang pernah menjadi koresponden majalah Tempo di Australia ini berhasil mendokumentasikan dua hal penting dalam sejarah Indonesia yaitu tragedi Mei 1998 secara umum maupun sejarah lahirnya Komnas Perempuan. Buku yang ditulis oleh Dewi ini juga menjadi referensi penting bagi penulisan sejarah perempuan Indonesia yang selama ini masih terpinggirkan. Dengan detail, Dewi mendokumentasikan aktivitas Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang menjadi motor penggerak utama yang berperan untuk memberikan pertolongan kepada korban maupun penyintas kekerasan seksual sekaligus melakukan advokasi untuk mengungkap tabir peristiwa perkosaan massal tahun 1998. Dalam bukunya, Dewi mewawancarai beberapa aktivis perempuan seperti Myra Diarsi, Chusnul Mariyah, Smita Notosusanto, Kamala Chandrakirana, Ita Fatia Nadia, dan Rita Serena Kolibonso untuk menggali berbagai fakta yang berkaitan dengan tragedi kekerasan seksual pada Mei 1998. Dilengkapi dengan dokumentasi foto dari Carla Bianpoen, buku ini menjadi catatan jurnalisme yang sangat komprehensif untuk merekam jejak perjuangan para perempuan Indonesia dalam melawan kekerasan berbasis gender. Ada beberapa hal menarik yang ingin disampaikan oleh Dewi Anggraeni dalam bukunya ini. Pertama, peran akademisi dan lembaga pendidikan dalam memprakarsai upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini terlihat dari peran Saparinah Sadli dan Program Studi Kajian Wanita Pasca Sarjana Universitas Indonesia yang ikut menginisiasi pengiriman surat permohonan kepada Presiden BJ Habibie agar presiden mau bertemu, membicarakan dan mengambil sikap tegas terhadap peristiwa kekerasan seksual yang terjadi pada bulan Mei 1998. Kedua, kerjasama antara berbagai organisasi dan komunitas yang peduli terhadap isu-isu perempuan sangat berperan besar dalam proses advokasi untuk mengungkap tabir perkosaan massal pada Mei 1998. Para aktivis perempuan, pekerja kemanusiaan, dan relawan
40
Rifkamedia Februari-April 2015
yang tergabung dalam Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan bekerja tanpa henti untuk mendampingi JUDUL BUKU TRAGEDI MEI 1998 DAN korban perkosaan, LAHIRNYA KOMNAS PEREMPUAN PENULIS DEWI ANGGRAENI ikut dalam Tim PENERBIT PENERBIT BUKU KOMPAS Gabungan Pencari TERBIT CETAKAN 1, 2014 TEBAL 214 HALAMAN Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, dan juga menjadi inisiator dalam pembentukan Komnas Perempuan. Ketiga, kemauan politik dari pemimpin negara menjadi faktor yang sangat menentukan untuk mengungkapkan berbagai kejadian pelanggaran hak asasi perempuan. Dalam buku ini digambarkan mengenai komitmen Presiden BJ Habibie yang mengutuk secara resmi kejahatan seksual pada peristiwa kerusuhan Mei 1998 dan memerintahkan agar kasus perkosaan massal menjadi bagian dari penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Keempat,media massa ikut berperan dalam menentukan opini publik terhadap peristiwa perkosaan dalam kerusuhan Mei 1998. Pada awalnya, dipicu oleh pernyataan dari Jenderal Wiranto di televisi yang juga dikutip dalam buku ini,â&#x20AC;? Saya sudah mengunjungi beberapa rumah sakit, termasuk di Penang, tetapi saya tidak menemukan korban perkosaan, maka tidak terjadi perkosaan di tengah kerusuhan,â&#x20AC;? maka media massa juga ikut-ikutan menyangkal terjadinya perkosaan yang sebagian besar dialami oleh perempuan etnis Tionghoa ini. Akan tetapi, setelah TPGF memaparkan bukti-bukti yang memperkuat terjadinya perkosaan dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998, media massa justru berperan penting dalam menggalang dukungan terhadap para korban dan penyintas kekerasan seksual untuk mencari keadilan termasuk pesan dukungan yang disampaikan di majalah Femina (halaman 45). Buku â&#x20AC;&#x153;Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuanâ&#x20AC;? telah menjadi referensi penting yang mampu mendokumentasikan salah satu bagian krusial dari sejarah gerakan perempuan Indonesia. Buku ini juga menjadi pengingat bahwa dalam situasi konflik sosial, perempuan menjadi sangat rentan untuk menjadi korban kekerasan seksual sehingga jangan sampai hal ini terulang kembali. Terakhir, meskipun sudah lebih dari satu dekade, belum ada proses hukum yang menyeret para aktor peristiwa kerusuhan Mei 1998 sehingga dengan adanya buku ini, diharapkan pemerintah segera bertindak untuk menuntaskan prahara yang menjadi bagian dari sejarah kelam bangsa Indonesia ini. Laksmi Amalia laksmiamalia89@gmail.com
Liputan
BERBALUT BUDAYA LOKAL, AKTIVIS TUNTUT SAHKAN UU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL Rifka Media, YogyakartaMaraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di tanah air membuat masyarakat mendesak pemerintah untuk mensahkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Telah banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat, salah satu cara yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkomitmen menghapus Foto aksi Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kekerasan terhadap di Tugu Yogyakarta perempuan dan anak berbasis terhadap isu perempuan agar turut gender, Women Crisis Center (WCC) peduli terhadap kekerasan yang terjadi Rifka Annisa, yaitu dengan melakukan pada perempuan. Pakaian adat Jawa aksi damai di tugu kota Yogyakarta. Aksi bertujuan selain untuk menarik ini merupakan rangkaian kampanye perhatian masyarakat dengan budaya dalam 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Jawa, namun juga mengemas aksi ini Perempuan (HAKTP). dengan kearifan lokal lewat pakaian Selama 16 hari, Rifka Annisa sebagai tradisional. Nurmawati, selaku ketua lembaga yang peduli terhadap kekerasan panitia mengatakan tujuan aksi ini untuk terhadap anak dan perempuan berbasis memperkenalkan dan mengedukasi gender juga turut aktif masyarakat mengenai Hari Anti menyelenggarakan serangkaian Kekerasan terhadap Perempuan kampanye. Selain aksi, kegiatan lain yang (HAKTP). dilakukan Rifka Annisa adalah seminar “Harapannya, kami ingin masyarakat yang menghadirkan para narasumber untuk tahu hari anti kekerasan terhadap yang berkompeten dan peduli terhadap perempuan sehingga mereka lebih isu perempuan, kampanye melalui familiar mengenai isu perempuan. konser musik, kampanye yang dilakukan Seperti kita ketahui angka kekerasan di berbagai komunitas dan melalui radio terhadap perempuan selalu meningkat dan televisi. setiap tahunnya. Aksi ini bertujuan untuk Tanggal 25 November 2015 sekitar menjangkau publik untuk menolak pukul 15:30, tugu Yogyakarta yang kekerasan terhadap perempuan,” tutur merupakan ikon kota Yogyakarta dipadati Nurma. oleh peserta aksi dari Rifka Annisa. Aksi ini ditujukan tidak hanya untuk Terlihat pula papan karton berisi tulisan pemerintah, namun juga mengajak untuk menyadarkan masyarakat dan masyarakat untuk turut aktif, tidak hanya pemerintah untuk segera mensahkan menjadi penonton dan berkomentar Undang-undang penghapusan kekerasan mengenai kasus kekerasan seksual, seksual. Tidak seperti kampanye isu namun juga turut sadar pentingnya perempuan yang biasanya, kampanye ini Rancangan Undang- undang terkesan unik karena mayoritas peserta (RUU)Penghapusan Kekerasan Seksual aksi adalah laki-laki dengan mengenakan dan memberikan perlindungan pada pakaian adat Jawa yaitu sorjan. korban tanpa melakukan diskriminasi Niken Anggrek Wulan, selaku panitia maupun penghukuman berdasarkan aksi, mengatakan tujuan dari kampanye stigma dan mitos yang beredar. Selama ini untuk melibatkan kaum laki-laki
ini kekerasan terhadap perempuan terutama terhadap istri dan anak dianggap suatu hal yang biasa terjadi dan merupakan ranah domestik. Kampanye diharapkan agar masyarakat juga tersadarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan kejahatan pidana yang mengancam hak asasi manusia. Selain relawan WCC Rifka Annisa, mahasiswa sebagai agen perubahan sosial juga turut terjun mengikuti aksi. Panji, salah satu peserta aksi yang merupakan mahasiswa di salah satu perguruan tinggi kota Yogyakarta mengatakan tujuannya mengikuti aksi ini adalah bentuk kepeduliannya terhadap kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di tanah air. “Aksi ini merupakan bentuk upaya pencegahan untuk menanggulangi kasus kekerasan seksual yang marak terjadi,” ungkap Panji. Senada dengan hal itu, Iin mengatakan tujuannya mengikuti aksi untuk menyadarkan masyarakat. “Biar masyarakat turut berpartisipasi dan membangun kesadaran masyarakat pentingnya Undang-Undang Kekerasan Seksual,” kata Iin yang merupakan mahasiswa di salah satu perguruan Islam di Yogyakarta. Acara ini tidak hanya menarik perhatian para pengendara motor yang berhenti di lampu merah maupun para penjalan kaki yang lewat, tapi juga para turis lokal dan internasional yang sengaja berhenti untuk membaca tulisan yang tertera di papan karton dibawa oleh para peserta aksi. Pakaian sorjan yang dikenakan peserta aksi sukses menarik perhatian turis yang lalu lalang di tugu Yogyakarta, beberapa dari mereka mengabdikan aksi tersebut lewat foto. Meski cuaca beralih menjadi hujan, namun semangat peserta aksi penghapusan kekerasan seksual tidak tersulutkan oleh keadaan. [] Diana Putri Arini, Relawan Divisi Pendampingan Rifka Annisa
Rifkamedia Februari-April 2015
41
Liputan
GEDANGSARI ADAKAN PENGHARGAAN BAGI DESA NIHIL NIKAH USIA ANAK Rifka Media, Yogyakarta- Acara Gedangsari Award yang diadakan pada hari Senin, 30 November 2015 bertempat di pendopo Kecamatan Gedangsari Kabupaten Gunung kidul merupakan kegiatan pemberian penghargaan bagi desa di Kecamatan Gedangsari yang selama 2 atau 3 tahun berturutturut tidak ada kasus pernikahan usia anak. Kegiatan Gedangsari Award itu sendiri merupakan tindak lanjut dari kegiatan MoU Muspika Gedangsari dan deklarasi dukuh-dukuh seKecamatan Gedangsari terkait pencegahan perkawinan usia anak pada tahun 2013. Untuk tahun 2015 ini desa yang mendapatkan penghargaan dari Camat Gedangsari untuk kategori desa 2 tahun nihil kasus pernikahan usia anak diraih oleh Desa Watu Gajah. Sementara desa yang mendapatkan penghargaan dari Kepala Kemenag Gunungkidul untuk kategori desa yang 3 tahun nihil kasus pernikahan usia anak diraih oleh Desa Mertelu. Kegiatan Gedangsari Award yang dihadiri oleh Plt. Bupati Gunung kidul, Ir. Budi Antono, Kepala Dinas Kesehatan, Sekretaris BPMPKB dan Kemenag ini mengambil tema “Dari Keluarga Berkualitas Lahir Generasi Bangsa Sehat dan Cerdas”. Tema kegiatan tersebut sesuai dengan tujuan besar dari gerakan bersama pencegahan
42
Rifkamedia Februari-April 2015
perkawinan usia anak yaitu meningkatnya katahanan keluarga di masyarakat. Dalam sambutannya, Bapak Ir. Budi Antono selaku PJ Bupati Gunung kidul mengapresiasi upaya Rifka Annisa dan Muspika Gedangsari dalam mencegah perkawinan usia anak di Kecamatan Gedangsari pada khususnya dan Kabupaten Gunung kidul pada umumnya. “Gerakan ini seharusnya tidak hanya terjadi Kecamatan Gedangsari, Wonosari, Saptosari
perkawinan usia anak telah menuai hasilnya. Pada tahun 2013, kasus pernikahan usia anak di Gedangsari sebanyak 9 kasus, kemudian pada tahun 2014 sebanyak 6 kasus dan pada tahun 2015 turun menjadi 2 kasus. Harapan kami, pada tahun 2016 nanti kasus pernikahan usia anak di Gedangsari menjadi nihil, tidak ada kasus. Harapan ini tentu perlu kerjasama semua pihak terutama para dukuh dan tokoh masyarakat dalam mendorong kesadaran baru di
Foto penganugerarahan Gedangsari Award 2015
dan Patuk, tapi harus dilakukan oleh semua kecamatan di Kabupaten Gunung kidul,” tutur Budi. Upaya yang telah dilakukan Muspika Gedangsari, desa dan dukuh bekerjasama dengan Rifka Annisa dalam mencegah
masyarakat akan pentingnya ketahanan keluarga melalui pencegahan perkawinan usia anak.[] M. THONTOWI, Manajer Divisi Pengorganisasian Masyarakat dan Advokasi Rifka Annisa
Liputan
WORKSHOP PENYUSUNAN BAHAN AJAR PENDIDIKAN, PENDAMPINGAN, DAN KONSELING FEMINIS
Workshop yang diselenggarakan difasilitasi oleh Tati Krisnawati, Komisioner Komnas Perempuan
Rifka Media, Yogyakarta- Pada tanggal 22 sampai dengan 24 November 2015, Rifka Annisa mengadakan Workshop Penyusunan Bahan Ajar Pendidikan, Pendampingan, dan Konseling Feminis. Workshop yang diselenggarakan di Hotel Grand Tjokro Jl. Gejayan No. 73 Yogyakarta ini difasilitasi oleh Tati Krisnawati, Komisioner Komnas Perempuan. Peserta workshop berasal dari berbagai Forum pengada Layanan diantaranya Komnas Perempuan, Savy Amira, Yasanti, ISIF, Aliansi Perempuan Merangin, Hapsari, WCC Jombang, Sarekat Perempuan â&#x20AC;&#x153;Qoryah Toyyibahâ&#x20AC;?, Rifka Annisa, dan lain sebagainya. Masing-masing Forum Pengada Layanan tersebut diwakili oleh satu orang
peserta. Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari ini merupakan salah satu upaya guna meningkatkan kualitas layanan bagi perempuan korban kekerasan. Selain itu workshop penyusunan bahan ajar pendidikan, pendampingan, dan konseling feminis juga bertujuan untuk melakukan refleksi atas pengalaman melakukan pelatihan atau pengajaran terhadap isu kekerasan terhadap perempuan, melakukan refleksi dan memberikan masukan mengenai bahan ajar untuk diimplementasikan, sertamelakukan finalisasi draft modul kurikulum konseling dan pendampingan komunitas Bahan ajar yang dikembangkan dalam workshop
mencakup berbagai tahapan dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan, baik itu pendidikan publik, pengorganisasian komunitas dan juga konseling yang semuanya mengintegrasikan perspektif feminis di dalamnya. Selanjutnya bahan ajar ini akan menjadi acuan untuk peningkatan kapasitas bagi pendamping perempuan korban kekerasan.Selama ini telah banyak dikembangkan modul pelatihan konseling bagi perempuan korban kekerasan. Akan tetapi, sejauh ini belum ada modul yang mengintegrasikan nilai-nilai feminisme secara kuat di dalam produk yang dihasilkan. Bahan ajar ini dikembangkansesuai dengan pengalaman lapangan serta berusaha menggunakan nilainilai feminisme sebagai prinsip di dalam metode, alur pelatihan, serta dinamika proses dalam penyusunan draft. Kegiatan workshop tersebut merupakan lanjutan dari workshop sebelumnya yang diselenggarakan tanggal 22-24 Juni 2015 yang sudah menghasilkan kerangka draft modul pendidikan publik, pendampingan, dan konseling feminis. Kemudian pasca workshop, kerangka yang sudah disusun dikembangkan hingga menjadi draft modul pelatihan.[] Khoriun Ni'mah, Relawan Humas dan Media Rifka Annisa
Rifkamedia Februari-April 2015
43
Memoar
Aku tak Tahu apa yang terjadi pada Tubuhku
A
ku Celli umur 3 tahun. Kakakku Dimas, ia siswa sekolah dasar. Ayah bekerja di kantor dan mama di rumah. Setiap sore ayah dan mama akan berdagang di pasar sore. Kadang aku ikut ke kios. Namun, ketika berdagang aku lebih sering diantar ke ibu pengasuh dan dijemput setelah selesai berjualan. Ibu pengasuhku punya anak laki-laki, namanya Om Tono. Dia bersekolah di SMA. Seperti biasa, ayah mengantarku ke rumah ibu pengasuh. Saat itu ibu pergi dan hanya ada Om Tono, aku dan kakak langsung masuk ke rumah. Kemudian aku diajak masuk ke kamar Om Tono, tiba-tiba dia melepas celana dalamku. “Tidak apa-apa, sini duduk di pangkuan Om, kita nonton film kartun yang lucu bareng yuk,” kata Om Tono sambil memasukan jarinya ke lubang pipis. Aku menangis kesakitan, tapi kata Om tidak apa-apa, Om juga bilang kalau ini jangan sampai aku ceritakan kepada siapapun termasuk Ibu
44
Rifkamedia Februari-April 2015
apalagi ayah dan mama. Aku dituntun ke luar kamar sambil menangis, diajak ke ruang TV. Kemudian, kakak bertanya kepadaku “Kenapa dik?”. “Pingin pipis tapi malah ngompol duluan,”sahut Om Tono. Aku digantikan celana dalam oleh Om di kamar mandi, celanaku terlihat ada merah-merah namun Om langsung memasukkan di sakunya. Om buru-buru pergi dan menuju kamarnya. Aku menangis semakin kencang akhirnya kakak mendatangiku dan mengajak nonton TV bersamanya. Aku tiduran di depan TV akhirnya tertidur. Paginya aku pingin pipis terasa sakit sekali, aku pun menjerit sambil menangis, aku ditanya mama, aku hanya menangis. Oleh mama dan ayah, aku diajak ke rumah sakit untuk diperiksa. Di sana, aku langsung diperiksa bagian yang sakit, aku bilang tiap pipis rasanya sakit dan badanku panas. Setelah selesai diperiksa bu dokter bertanya, “Siapa yang nakalin Celli?”, lalu aku jawab “si Oom”,
bu dokter bertanya lagi “si Oom rumahnya dimana?”, “Rumahnya di tempate ibu”. Setelah diperiksa dokter aku diminta bobo di rumah sakit. Tanganku diinfus dan tiap hari minum obat. Setelah sembuh aku boleh pulang ke rumah. Setelah beberapa hari, ayah mengajak ke kantor polisi, aku akan ketemu teman baru. Aku disambut ramah oleh Bu polisi dan Mbak Wulan dari Rifka Annisa. Mbak Wulan mengajak bermain dan cerita tentang putri kecil yang pemberani. Aku suka sekali bertemu Mbak Wulan. Pagi itu, aku berangkat ke pangadilan bersama ayah, di sana ketemu Mbak Wulan. Di dalam ruang aku ditanya Bu hakim tentang si Om, ditanya apa yang dilakukan si Om waktu nakalin aku, aku bilang kalau jari Om Tono masuk ke tempat pipis lalu sakit sampai harus bobo di rumah sakit. Cukup sudah aku cerita itu, aku lelah. Seperti dituturkan pada Budi Wulandari, Konselor Rifka Annisa
WAWANCARA
RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual
Ada Dalam Naungan Cita Negara kasus kekerasan yang terjadi dari tahun ke tahun.Tapi itu belum bisa dikatakan sebagai angka yang jelas, karena kami dari KPPPA baru akan melakukan surveiuntuk pembaharuan data kekerasan terhadap perempuan dan anak itu mulai tahun2016.
K
ekerasan seksual merupakan tindakan kejahatan yang menimbulkan kerusakan baik itu fisik maupun mental pada korban.Kerusakan mental yang ditimbulkan biasanya berupa rasa malu, rasa tak berdaya, rasa tidak aman, dan rasa tersakiti. Beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam melakukan upaya penanggulangan tindak kekerasan seksual antara lain, korban merasa malu untuk melaporkan kejadian yang dialaminya, penegak hukum dan materi hukum yang dirasa kurang berpihak dan tidak memberikan rasa keadilan bagi korban. Selain itu ada juga faktor budaya dan hukum di masyarakat yang seringkali menyalahkan korban sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual tersebut . Untuk melihat bagaimana perspektif Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam melihat persoalan kekerasan seksual, pada tanggal 25 November 2015, tim Rifka Media berkesempatan berbincang denganHeru Kasidi, M.Sc dari Deputi Bidang Pengarusutamaan Gender Bidang Politik, Sosial, dan Hukum Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, yang kebetulan sedang melakukan kunjungan di Rifka Annisa. Pak Heru, begitu panggilannya,memberikan pandangannya mengenai persoalan kekerasan Seksual.Berikut rangkuman wawancaranya: Sebagai salah satu pejabat di Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, bagaimana tanggapan Bapak terkait permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak?
Kekerasan itu lingkupnya luas dan jumlahnya banyak sekali.Bahkan ketika kita perkirakan mungkin bisa sampai 20%
Dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesiasendiri, berapakah prosentase kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk kekerasan seksual yang pernah di survei?
Kami dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia memiliki data kekerasan terhadap perempuan dan anak itu update terakhir masih tahun 2006 lalu yakni sekitar 3-6 % kekerasan terhadap perempuan, dan kekerasan pada anak juga hampir sama prosentasenya. Akan tetapi menurut para ahli data ini dikatakanunder estimate dan inimerupakan surveiangka kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak yang pertama kita lakukan. Sampai saat ini masih belum update lagi karena baru akan kita lakukan survei lagi tahun depan. Melihat banyaknya fenomena terjadinya kekerasan seksual yang gencar diberitakan oleh berbagai media, menurut Bapak apa hal mendesak yang sangat perlu untuk dilakukan dalam penghapusan kekerasan seksual ?
Pertama yang perlu dilakukan adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait definisi dari kekerasan itu sendiri. Hal ini karena masih banyak masyarakat yang belum tahu dan memahami apa itu kekerasan, sehingga ketika muncul berita adanya kekerasan itu sudah terlanjur terjadi dan tidak bisa dicegah. Pemahaman masyarakat yang terbatas ini yang menjadikan masyarakat tidak tahu mana kondisi yang memungkinkan terjadinya kekerasan, dan mana kondisi yang bisa diupayakan untuk bisa dicegah, selain itu peran apa yang dapat mereka lakukan dalam upaya pencegahan itu. Persoalan lain adalah ketidaktahuan masyarakat dalam memahami kekerasan termasuk juga kekerasan seksual ini yang akhirnya
membuat peristiwa kekerasan yang terjadi seolah-olah didiamkan bahkan ditutup-tutupi. Ada juga di beberapa tempat, kekerasan digunakan sebagai suatu cara untuk mendisiplinkan, atau dianggap sebagai bentuk relasi yang wajar antara korban dan pelaku. Hal ini karena pemahaman masyarakat terhadap definisi kekerasan itu terbatas, sehingga kekerasan itu dianggap sebagai tindakan yang wajar untuk dilakukan. Kemudian dari sini kamiakan membangun pemahaman ini secara lebih dalam dan secara intens yang akan kami mulai tahun depan. Sebenarnyaupaya juga sudah mulai dilakukan di tahun 2015 ini. Harapan kedepannya nanti supaya apa yang kami lakukan ini juga memiliki andil dalam upaya penghapusan kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Apakah ada sinergi antara KPPPA dengan kementrian lain dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, misalnya dengan Kementrian Pendidikan?
Dalam undang-undang disebutkan bahwa peran negara dalam penghapusan kekerasan itu diantaranya adalah pencegahan, penanganan korban, dan rehabilitasi.Selama ini upaya yang KPPPA lakukan dalam rangka pencegahan kekerasan sesksual kami mulai dengan lembaga-lembaga yang memiliki fungsi pendidikan, salah satunya sekolahsekolah.Selain itu juga kami bekerjasama denganlembaga atau institusi mana saja yang dapat memberikan informasi pada masyarakat.Memang belum secara khusus ini jadi program dari lembaga pendidikan, akan tetapi kami sudah mulai memasukkan upaya-upaya penghapusan kekerasan tersebut ke beberapa kegiatan-kegiatan mereka. Di KPPPA sendiri untuk upaya pencegahan memang belum banyak kami lakukan.Selama ini yang sudah kami lakukanadalah memberikan pertolongan kepada mereka yang menjadi korban kekerasan.Kemudian untuk pelayanan kesehatan bagi perempuan korban kekerasankami bekerjasama dengan
Rifkamedia Februari-April 2015
45
WAWANCARA DinasKesehatan, dan untuk layanan hukum kami dibantu oleh polisi, kejakasaan, sedangkan untuk rehabilitasi sosial kami bekerjasama denganKementrian Sosial.Dalam hal ini Kementrian Agama juga memilikiperan, yakni dalam bahasa undang-undang disebut sebagai bimbingan rohani.Upaya dan kerjasama ini memang belum kami laksanakan secara intensif. . Bagaimana pendapat Bapakdengan hadirnya Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual?
Rancangan undang-undang itu kalau kita perhatikan ada dalam naungan cita sebuah negara.Diantara naungan cita tersebut salah satunya ada Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang tadi disebutkan. Dalam hal ini kami KPPPAmemang belum melakukan kajian-kajian yang memadai untuk penyusunan rancangan undangundang tersebut. Sebenarnya ini sangat perlu dilakukan supaya nanti prosesnya dapat berjalan dengan optimal, sehingga ini menjadi upaya penting negara dalam penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Ada juga gagasan dari Komnas Perempuan untuk menyusun draft RUU penghapusan kekerasan seksual, akan tetapi kajian akademisnya masih belum dilakukan.Karena mengikuti prosedur yang ada maka sebelum menyusun gagasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual maka kajian akademis perlu dilakukan dan diselesaikan terlebih dahulu.Ini merupakan sebuah aturan dimana setiap undang-undang harus disusun dengan mengikuti prosedur yang baku dan juga dengan pertimbanganpertimbangan yang matang. Prosedur tersebut harus diikuti karena setiap undang-undang menyangkut berbagai persoalan diantaranya hak asasi manusia, menyangkut prosedur hukum, menyangkut ketentuan perundangundangan yang dampak setelahnyaakansangat luas. Jadi segala sesuatunya perlu dilakukan sesuai dengan prosedur yang sudah ada.Dengan demikian Rancangan Undang-undang penghapusan kekerasan seksual ini dapat disahkan maka kita perlu melakukan kajian-kajian yang cukup terlebih dahulu. Kalau kami di Rifka Annisa dalam melakukan upaya penghapusan kekerasan seksual itu melalui kerangka ekologis, yakni melalui pendekatan ke individu, keluarga,
46
Rifkamedia Februari-April 2015
lingkungan, kemudian lingkup nasional dan dunia.Kalau di KPPPA sendiri bagaiamana skema besar yang dilakukan dalam upaya penghapusan kekerasan seksual?
Sama saja sebetulnya.kami juga ada beberapa dimensi yakni dimensi pencegahan, kemudian dimensi penanganan korban, dan dimensi rehabilitasi atau pemulihan korban kekerasan.Dimensi ini sasarannya adalah individu, kemudian keluarga, masyarakat, dan negara. Menurut saya pribadi hal ini memang harus dilakukan secara bersama.saling bekerjasama anatar pihak-pihak terkait. Manusia diciptakan sebagai mahluk sosial yang mau tidak mau dia membutuhkan bantuan orang lain dan tidak bisa hidup sendiri. Karena sebuah komponen itu berinteraksi dalam waktu yang sama dan masa yang sama, jadi semuanya harus ditangani secara sinergi supaya dia dapat memberikandampakyang optimal. Saya pernah membaca berita yang berjudul â&#x20AC;&#x153;Pemerintah Setuju Tambahan Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anakâ&#x20AC;? di website Sekretariat Kabinet Republik Indonesia yang diposkan pada tanggal 20 Oktober 2015, yang di dalamnya Jaksa Agung Prasetyo mengatakan, bahwa Presiden Jokowi setuju diterapkannya hukuman tambahan berupa pengebirian bagi pelaku kejahatan seksual kepada anak-anak. Dengan demikian, diharapkan akan memberikan dampak prevensi dan efek dettered, bisa menjerakan dan bisa menimbulkan orang harus berpikir seribu kali kalau akan melakukan kejahatan seksual terhadap anak. Bagaimana tanggapan Anda terkait hal tersebut?
Pemberian hukuman kebiri merupakan salah satu gagasan untuk memberikan efek jera yang lebih tinggi pada pelaku kekerasan seksual.Gagasan ini juga baru dilontarkan oleh presiden, sebagai alternatif untuk penghukuman bagi pelaku-pelaku kekerasan seksual. Dan saat ini kami sedang melakukan kajian-kajian mengenai hukuman tersebut misalnya ketika hukuman itu diterapkan bagaimana dengan efektivitasnya, bagaimana dampaknya, apakah hukuman ini menjadi solusi atau malah menambah masalah baru.Dalam menerapkan suatu hukuman bagi pelaku itu bukanlah suatu persoalan yang mudah.Banyak hal yang perlu dipertimbangkan, ada nilai-nilai yang harus dipertimbangkan. Selain itu kami juga harus melihat dampak kedepannya,
apakah akan memberikan hasil yang optimal karena sebelumnya negara kita belum pernah menerapkan hukuman itu. Dalam hal ini kita juga perlu belajar lebih banyak lagi kepada negara-negara yang sudah menerapkan hukuman tersebut, seperti Amerika, Polandia, Australia, Argentina, Korea Selatan dan lain sebagainya. Dengan demikian kita akan tahu bagaimana keuntungan dan kerugian yang akan kita tanggung ketika hukuman kebiri ini diterapkan. Gagasan ini merupakan perintah presiden dan kita harus menyiapkan segala sesuatunya sebelum nantinya hukuman tersebut diterapkan. Selanjutnya ini sebagai pertanyaan motivasi, mengapa bapak tertarik untuk masuk dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak?
Pertama karena itu merupakan pekerjaan saya sehari-hari, dan kalau sudah menjadi pekerjaan tidak bisa ditolak jadi harus dilaksanakan dan diselesaikan dengan penuh tanggungjawab.Kedua, sebagai pertimbangan pribadi saya bersedia melakukan pekerjaan terkait upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah ada satu alasan dimana saya menyadari bahwa kekerasan itu merupakan persoalan yang harus segera ditangani dan tidak bisa diremehkan apalagi ditunda penanganannya.Persoalan kekerasan dapat memberikan dampak buruk bagi mereka yang menjadi korban maupun mereka yang menjadi pelaku. Pengalaman buruk akibat mengalami kekerasan akan selalu berbekas dan secara psikologis itu selalu teringat dan terekam secara jelas dalam pikiran seseorang, sehingga hal ini dapat membawa dampak buruk untuk kehidupan selanjutnya. Bahkan dalam kondisi kronis pengalaman kekerasan ini dapat menghancurkan seluruh integritas hidup korban sehingga ia merasa tidak mampu melanjutkan hidupnya lagi. Selain itu ketika kita mengamati realitas sosial banyak sekali potensi-potensi yang dimiliki seseorang yang hilang akibat terjadinya kekerasan baik itu ketika dia menjadi korban maupun menjadi pelaku.[] KHOIRUN NI'MAH, Relawan Humas dan Media, anieama@gmail.com
PROFIL
HERU KASIDI:
KEKERASAN Tak Boleh Ditunda Penanganannya and SIM Development, pada Februari 2012, kemudian sebagai Assistant to Deputy Minister for Gender Mainstreaming in Science and Technology dari Mei 2010 sampai dengan Februari 2012.
H
ERU P. KASIDI, M.Sc begitu nama lengkapnya, adalah salah satu pejabat di Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak(KPPPA) Republik Indonesia. Laki-laki kelahiran Jakarta 21 Februari 1957 ini menjabat sebagai Deputi Bidang Pengarusutamaan Gender Bidang Politik, Sosial, dan Hukum selama hampir 2 tahun. Setelah menyelesaikan studi Sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dari tahun1975 dan lulus tahun 1981, Heru,begitu ia kerap disapa juga melanjutkan studi S2-nya di University of London. Kegemarannya dalam menggeluti dunia gender, lakilaki asli Jakarta ini mengembangkan karirnya di KPPPA Republik Indonesia, dan diantara pengalaman karirnya antara lain sebagai Senior Advicer for International Affair
Sebagai individu sosial, Heru memiliki pandangan bahwa pekerjaan terkait upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan alas an dimana dia menyadari bahwa kekerasan itu merupakan persoalan yang harus segera ditangani dan tidak bias diremehkan apalagi ditunda penaganannya. Persoalan kekerasan dapat memberikan dampak buruk bagi mereka yang menjadi korban maupun mereka yang menjadi pelaku. Heru juga menilai, kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi akibat masih lemahnya ketahanan keluarga di Indonesia. Indikatornya, persentase keluarga yang memiliki akta nikah masih sedikit. Masih terdapat pula 41 persen anak di bawah lima tahun (balita) yang tidak memiliki akta kelahiran Mengenai perkembangan kesetaraan gender di daerah, Heru menilai positif. Dia mencontohkan yang terjadi dalam pelatihan di Kalimantan Barat dan Gorontalo dimana para laki-laki yang duduk di DewanPerwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi juga turut
memberikan masukan atas pelatihan pendidikan politik bagi perempuan di daerah. â&#x20AC;&#x153;hal tersebut bias membawa hawa segar bagi perkembangan kesetaraan gender dalam politik Indonesia,â&#x20AC;? kata dia. DPRD Provinsi bias mendukung peningkatan pengintegrasian gender. Heru juga menyampaikan akan menyasar mahasiswi melalui program kampus perempuan politik. Program tersebut, katanya menjadi andalan pemerintah untuk meningkatkan pendidikan politik bagi perempuan. Sebagai pengurus bidang pengarusutamaan gender, beliau mengungkapkan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut. Heru mengatakan pihaknya telah mengadakan beberapa pelatihan pendidikan politik terhadap perempuan di 20 provinsi. Melalui pelatihan tersebut, pemerintah berharap perempuan bias mengambil andil dalam pengambilan kebijakan di parlemen. Pengalaman Heru Kasidi yang terbilang panjang di Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak membuahkan berbagai keahlian yang dimiliki antara lain Goverment, Program Development, International Relation, NGOs, Gender, Community Outreach, Qualitative Research, dan lain sebagainya.[]
Rifkamedia Februari-April 2015
47
DAPUR RIFKA
K
eluarga adalah pondasi suatu bangsa. Tak heran, banyak orang menghubungkan keberhasilan membangun suatu bangsa atas (salah satunya) keberhasilan membangun keluarga-keluarga di dalamnya. Bilamana keluarga tumbuh dengan baik dan sehat, maka akan melahirkan pribadipribadi yang sehat dan masyarakat yang sehat, serta bangsa yang kuat. Demikian pula sebaliknya, bila keluarga rapuh akan melahirkan pribadi-pribadi yang rapuh dan akan melahirkan masalah-masalah sosial di masyarakat. Karena itulah keluarga yang sehat, bahagia dan sejahtera menjadi harapan semua orang dan semua pihak dalam sebuah bangsa. Merencanakan keluarga adalah pekerjaan rumah tentang merencanakan kehidupan kita seumur hidup. Bermula dari pernikahan sebagai pintu masuk membangun keluarga, orang kadang dihadapkan pada berbagai pilihan yang sangat sulit. Mulai memilih calon pendamping, merencanakan
48
Rifkamedia Februari-April 2015
anak, serta bagaimana memetakan kebutuhankebutuhan si calon pengantin. Namun pendidikan tentang merencanakan keluarga sangatlah minim kita temui di negeri ini, bahkan orang justru disibukkan dengan pendidikanpendidikan untuk menggapai gelar tertentu atau pun untuk meraih mimpi pekerjaan tertentu. Sayangnya, mungkin luput dari pemahaman kita bersama, betapa pentingnya pendidikan merencanakan keluarga karena jika tidak disiapkan dengan baik maka dampaknya akan kita tanggung seumur hidup. Masa orang berkarir mungkin saja berakhir kalau sudah pensiun, dan masa orang menempuh pendidikan di sekolah juga berakhir manakala sudah lulus. Namun, membangun keluarga adalah proses pembelajaran yang akan kita jalani seumur hidup. Membangun keluarga tidak ada sekolahnya, sementara itu banyak orang merasa memiliki masalah terkait keluarga namun tidak mengetahui bagaimana
solusinya. Ruang bercerita terkait masalah keluarga pun terbatas. Sebagian orang bahkan masih menganggap bahwa masalah keluarga adalah otoritas dan privasi masing-masing orang sehingga tidak layak untuk diceritakan ke pihak lain. Orang tidak cukup siap menghadapi segala perbedaan yang terjadi dalam rumah tangga.Tak jarang, ketidaksiapan kita dalam berumah tangga seringkali mengakibatkan goncangan dalam rumah tangga itu sendiri. Konflik pun sering bermunculan, bukan satu atau dua kali, namun kadang hingga berlarut-larut hingga menahun. Tak jarang juga diikuti dengan tindakan kekerasan. Setiap tahunnya, Rifka Annisa menangani lebih dari 300 kasus kekerasan terhadap perempuan. Misalnya saja, kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun 2009 hingga 2015 mencapai 2.156 kasus, dimana sebagaian besar terjadi di ranah domestik. Sementara, menurut data yang dilansir oleh Kementrian Agama DIY, angka perceraian selama
DOKUMEN ISTIMEWA
Awal dari Keluarga
2014 mencapai 5.851 kasus. Dapat dikatakan, sejumlah kasus tersebut menunjukkan betapa rapuhnya institusi keluarga bahkan kegagalan dalam membangun keluarga. Ditambah lagi, tingginya kasus pernikahan anak juga turut berkontribusi terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perceraian. Berbagai masalah keluarga ramai diberitakan dimana sebagian besar korbannya adalah anak-anak dan perempuan. Sementara itu, ketidaksetaraan peran antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga juga dapat berkontribusi pada kegagalan dalam pengasuhan dan penyelesaian konflik dalam keluarga. Hasil penelitian Survei IMAGES (International Men and Gender Equality Survey) mengenai masalah kesehatan, maskulinitas dan kekerasan terhadap perempuan menunjukkan bahwa anak lakilaki yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh konflik dan kekerasan, rentan mengalami masalah perilaku, seperti terlibat dalam geng, penggunaan alcohol dan obat-obatan terlarang, dan perilaku kekerasan, seperti tawuran maupun kekerasan terhadap pasangan ketika ia dewasa. Sementara anak perempuan yang kehilangan pengasuhan dan figur ayah dalam rumah tangga, rentan mengalami masalah emosi, seperti ketidak percayaan diri, masalah dalam relasi social, dan rentan menjadi korban kekerasan. Demikian pula semakin muda usia seseorang saat berumah tangga, makin rentan terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga.
â&#x20AC;&#x153;
Berkeluarga membutuhkan ilmu dan ketrampilan. Mulai tentang merencanakan pernikahan hingga mengatasi konflik di dalamnya. Maka, sudah cukupkah bekal yang kita punya? Lebih-lebih jika pernikahan itu dilakukan saat masih usia anak, selain berkontribusi pada KDRT juga berkontribusi pada penelantaran anak dan kekerasan terhadap anak. Oleh karena itu, Rifka Annisa melihat keluarga sebagai ranah potensial dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Intervensi individu perlu dengan pendekatan keluarga untuk menularkan nilainilai kesetaraan gender dan anti kekerasan. Seperti halnya yang telah dilakukan oleh Rifka Annisa di Gedangsari Gunungkidul melalui program laki-laki peduli. Selain bertujuan untuk pelibatan laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan peningkatan kesehatan ibu dan anak, program ini menyediakan ruang-ruang untuk bercerita bagi pasangan suami-
istri dan juga kelompok remaja. Banyak sekali masalah yang diutarakan dalam kelas ayah dan ibu terkait pengasuhan, hubungan suami istri, komunikasi dengan pasangan, termasuk pula tentang perencanaan ekonomi keluarga, dan sebagainya. Sementara kelas remaja lebih banyak menyoroti bagaimana tentang maskulinitas sebagai remaja laki-laki, masalah orang tua dan anak, masalah dengan pergaulan, pacaran, dan sebagainya. Melalui kelas-kelas ayah, kelas ibu dan kelas remaja, Rifka Annisa menerapkan pendekatan keluarga dalam menganalisis segala permasalahan yang disampaikan oleh peserta sehingga secara partisipatif, baik pasangan maupun remaja (anak) dapat berbagi dan menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Selain itu, kegiatan ini juga terintegrasi dengan inisiatif pemerintah dan masyarakat dalam pencegahan pernikahan usia anak melalui penandatanganan MoU dan deklarasi dukuh. Di sisi lain, adanya pendidikan pra nikah dan suscatin yang sadar gender sebagai tindak lanjut MoU, semakin melengkapi kerja keras semua pihak dalam upaya mempersiapkan keluargakeluarga berkualitas di masa depan. Berkeluarga membutuhkan ilmu dan ketrampilan. Mulai tentang merencanakan pernikahan hingga mengatasi konflik di dalamnya. Maka, sudah cukupkah bekal yang kita punya? DEFIRENTIA ONE M, Manajer Humas dan Media Rifka Annisa, defirentiaone@yahoo.co.id
Rifkamedia Februari-April 2015
49
Referensi Perempuan yang Sebenarnya
Rifkamedia Customer Service: 0274-553333, Email: rifka@rifka-annisa.org
ESAI & FOTO Kasus kekerasan seksual banyak terjadi. Setiap hari ada 35 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Artinya, setiap 2 jam ada 3 perempuan yang menjadi korban (Komnas Perempuan). Ini bisa terjadi pada siapapun, keluarga kita, tetangga kita, rekan kerja kita, atau bahkan kita sendiri. Namun sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Meskipun kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus menerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka tentang persoalan ini. Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata. TEKS & FOTO: TIWUK LEJAR SAYEKTI Di dalam aturan hukum, hanya tiga bentuk kekerasan seksual yang diakomodasi, diantaranya perkosaan, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual dan pencabulan, namun dalam masyarakat kita yang diketahui hanya perkosaan. Ternyata, banyak bentuk kekerasan seksual lainnya, diantaranya pelecehan seksual, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, intimidasi/serangan seksual, kontrol seksual, pemaksaan aborsi, penghukuman tidak manusiawi bernuansa seksual, pemaksaan perkawinan, prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, praktik tradisi bernuansa seksual, dan pemaksaan kontrasepsi atau sterilisasi paksa.
Undang-undang dan kebijakan yang ada belum memberikan keadilan bagi mereka yang menjadi korban kekerasan seksual. Desakan untuk mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masuk dalam Prolegnas 2016 semakin menguat. Hadirnya RUU PKS bertujuan mencegah segala bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan; melindungi perempuan korban kekerasan seksual; menindak pelaku kekerasan seksual; memulihkan korban, pendamping, keluarga, dan komunitas; dan memberikan tanggng jawab pada negara. Apabila ruang lingkup dan materi muatan tersebut terakomodasi, maka kehadiran negara untuk perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual menjadi sungguh nyata adanya.
STOP!!!
Perkosaan Terhadap Perempuan & Anak-anak
PUSAT PENGEMBANGAN SUMBERDAYA