Rifka media No 64 "Pencegahan Pernikahan Usia Anak"

Page 1

COVER


Gallery Rifka

Foto Galeri 1: Forum Anak Desa Bleberan bersiap-siap melakukan kampanye cegah kekerasan seksual dan nikah anak di acara Youth Camp, 25 April 2015 Foto Galeri 2: Outbond remaja Gunungkidul dan Kulonprogo dengan tema “Katresnan Iku Ngajeni”, Cangkringan 22 November 2015 Foto Galeri 3: Peserta dan panitia Volunteer Training Program “Young People Volunteering for Gender Equality”, Kulonprogo 26 Oktober 2015


Daftar Isi

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

Jendela Pencegahan Pernikahan Usia Anak: Upaya Peningkatan Kualitas Generasi Mendatang Khoirun Ni’mah | 05

Laporan Utama

Perempuan Muda Berhargakan Kesucian Ulmi Marsya dan Bagus Ajy Waskyto. S | 06

Adat Suku Baduy: Anak Perempuan Menikah Dini Tommy Apriando | 13

Pernikahan Usia Anak: Legalisasi Negara? Arifuddin Kunu | 20

Upaya Komprehensif Pendewasaan Usia Perkawinan: Pengalaman Advokasi Peraturan Bupati Gunungkidul Nitia Agustini | 24

Konseling Pernikahan Penting, Nikah Dini Pending Ratnasari Nugraheni | 31

Lesehan Buku

Ketika Perempuan Melawan Televisi Arifuddin Kunu | 39

Berstrategi dengan Seni, Bicara Lewat Nada Defirentia One| 42

Dapur Rifka Liputan

INTERNATIONAL WOMEN’S DAY; Aksi Damai Tingkatkan Advokasi Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak Khoirun Ni’mah | 43 MASYARAKAT PERLU “MELEK” HUKUM Khoirun Ni’mah | 44

Sadar Gender Tanggungjawab Kita Bersama Khoirun Ni’mah | 45

Memoar

AKU TIDAK AKAN TERHENTI | 46

Wawancara Pernikahan Usia Anak Perlu Ditangani Lintas Sektor | 47

Profile

Sang Pahlawan Dari Jutaan Anak Indonesia | 50

Essay Photo fdsfsdfsdfhhjcsjhb |

Penanggung Jawab: Suharti (Direktur Rifka Annisa) Pemimpin Umum: Defirentia One Pemimpin Redaksi: Khoirun Ni’mah Sekretaris Redaksi: Niken Anggrek Wulan Staff Redaksi: Ratnasari Nugraheni, Ulmi Marsya, Nitia Agustini, Novia Dwi Rahmaningsih, Tommy Apriando, Arifuddin Kunu Fotografer: Tiwuk Lejar Sayekti Layouter: M. Iqbal Muttaqin Redaksi menerima tulisan dari pembaca sekalian terkait dengan isu-isu perempuan kepada khalayak yang lebih luas. Kritik dan saran kami tunggu di rifka@rifka-annisa.org.

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 3


Selamat siang,nama saya NE,saya mendapat kekerasan dari teman dekat saya dan ingin berkonsultasi, bisa tidak ya?mohon balasannya. Terimakasih

SURAT PEMBACA

Selamat malam Mbak NE. Jika ingin berkonsultasi, silahkan hubungi hotline kami di 085100431298 atau 085799057765. Semoga cukup membantu. Kami juga ada layanan email d konsultasi.rifka.annisa@gmail.com atau bisa telpon di 0274 553333 (jam kantor). Semoga sudah cukup membantu. Salam Admin.

Pagi Rifka Annisa. Perkenalkan, nama saya Naris Wari. Bisakah beritahu saya gimana proses atau instansi mana jika saya ingin mengajukan gugatan cerai? Terimakasih sebelumnya dan mohon untuk segera dibalas.

Selamat siang, saya Atika. Bisakah saya meminta bantuan hukum,terhadap pasangan yg belum menikah tapi si lelaki melakukan kekerasan (ngamuk). Sekarang kasusnya ditangani di Polsek Depok Timur. untuk mendapatkan bantuan apakah korban harus datang di kantor Rifka Annisa?

Selamat Pagi Sahabat Naris Wari, Pengajuan proses gugat cerai memiliki proses tersendiri, agar lebih leluasa dalam bertanya dan memperoleh informasi, silahkan hubungi hotline kami di 085799057765 atau 085100431298. Nanti konselor hukum kami akan membantu sesuai kebutuhan sahabat Naris. Semoga informasi dari kami bisa membantu. Salam Admin.

Halo Atika, Untuk persoalan yang terjadi pada Atika tersebut, Atika dapat menyarankan kepada yang bersangkutan untuk berkonsultasi lebih lanjut di Rifka Annisa, waktu Waktu konsultasi setiap jam kerja: Senin—Kamis: 08.30—15.30 WIB, Sabtu 08.30—12.00 Alamat kantor Rifka Annisa WCC Jl. Jambon IV Komplek Jatimulyo Indah Jatimulyo Yogyakarta 55242. Untuk membuat janji pertemuan, dapat menghubungi Telepon 0274-553333. Apabila ingin konsultasi via email, dapat mengirim ke alamat Email: konsultasi.rifka.annisa@gmail. com Atau untuk konsultasi via telepon dapat menghubungi nomor telepon hotline kami di: 085100431298 dan 0274-9811050.

Assalamualakum, Saya Samsiyah. kebetulan tahun ini diamanahi menjadi koordinator GerGeT (Gerakan Gender Transformatif) Komisariat UIN Suka. untuk bisa bersilaturrim ke LSM Rifka Annisa bagaimana ya prosedurnya? Waalaikumsalam wr. wb. Terimakasih sudah berkeinginan ber­silatur­­ rahmi. Silahkan mengirimkan surat ke email kami rifka@rifka-annisa.org, terkait kun­ jungan/silaturrahmi, mencantumkan hari/ tanggal­/waktu/nomor kontak. semoga bisa membantu. terimakasih.

Data Statistik

Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) di Rifka Annisa Januari-Desember 2015 MEDIA

KTI KDP PKS Pelseks KDK

: : : : :

Kekerasan Terhadap Istri Kekerasan Dalam Pacaran Perkosaan Pelecehan Seksual Kekerasan Dalam Keluarga

TATAP MUKA

KASUS KTI

KDP

PKS

PEL-SEKS

JUMLAH KDK

TRAF

189

25

7

6

4

0

TELEPON

3

0

0

0

0

0

3

OUTREACH

19

5

29

8

0

0

61

EMAIL

12

4

0

1

1

0

18

223

34

36

15

5

0

313

JUMLAH

231


Jendela

PENCEGAHAN PERNIKAHAN USIA ANAK: UPAYA PENINGKATAN KUALITAS GENERASI MENDATANG Khoirun Ni’mah Pemimpin Redaksi

P

ada tahun 2010, sepertiga perempuan di dunia yang berusia 20-24 tahun menikah sebelum genap berusia 18 tahun. Kemudian data lain mengatakan diantara perempuan berusia 1524 tahun di Asia Selatan, 48% menikah ketika belum berusia 18 tahun. Sebanyak 48% itu setara dengan 9,7 Juta Perempuan yang menikah dibawah 18 tahun (UNICEF, 2012). Di Indonesia sendiri menyebutkan bahwa tahun 2011, 1,62 % dari 82,5 juta anak tercatat menikah atau pernah menikah (Profil anak Indonesia, 2012). Pernikahan usia anak seringkali menyisakan persoalan yang kompleks baik bagi mereka yang menikah di usia anak maupun bagi generasi yang dilahirkan selanjutnya. Pernikahan usia anak sangatlah berpengaruh pada kepentingan dan kesehatan anak. Karena dalam usia kurang dari 18 tahun, anak-anak masih berada dalam proses tumbuh kembang yang belum optimal, begitu pula organ reproduksinya. Hasil kajian dari penelitian di Kanada dan Indonesia menunjukkan bahwa usia rahim prima secara fisik berada pada usia di atas 20 tahun dan kurang dari 35 tahun. Selain itu, anak yang menikah dan melakukan hubungan seksual diusia kurang dari 20 tahun, rentan terkena kanker serviks atau kanker leher Rahim. Sehingga tingginya angka kematian ibu melahirkan di Indonesia berkaitan erat dengan perkawinan dini. Persoalan lain yang merupakan dampak dari pernikahan usia anak diantaranya adalah pertambahan jumlah penduduk yang kurang terkendali, berlanjutnya rantai kemiskinan, dan rendahnya tingkat pendidikan anak yang telah menikah (UNICEF, 2012). Dalam Undang-undang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002, disebutkan bahwa anak memiliki serangkaian hak yang harus dipenuhi, termasuk diantaranya adalah hak anak untuk mendapatkan pendidikan, hak kesehatan, hak pengembangan minat, maupun hak untuk terhindar dari segala bentuk kekerasan. Hal ini menjelaskan bahwa ada ketika terjadi pernikahan usia anak, maka ada beberapa hak anak yang tidak dapat terpenuhi, yang ini akan berpengaruh besar pada masa depan anak yang telah menikah diusia anak tersebut. Fakta-fakta di atas memberikan pelajaran bahwa persoalan pernikahan usia anak merupakan salah satu tantangan serius bagi pengambil kebijakan serta pegiat perlindungan anak dan Perempuan di berbagai belahan dunia. Perlu integrasi dan intervensi penyelesaian dari berbagai elemen masyarakat. Masyarakat juga perlu adanya reedukasi bahwa pernikahan usia anak memiliki resiko besar dikemudian hari, baik bagi anak perempuan, anak laki-laki, maupun anak yang dilahirkan dari pernikahan usia anak tersebut. Rifka Media edisi ini dikhususkan untuk membahas tentang upaya pencegahan terjadinya pernikahan usia anak. Edisi ini merupakan upaya khusus guna menyuarakan hak anak untuk meraih pendidikan, hak atas kesehatan reproduksi dan tercapai prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Pencegahan pernikahan usia anak diantaranya bertujuan untuk mempersiapkan kehidupan berkeluarga dan mendukung upaya peningkatan kualitas generasi mendatang. []

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 5


Laporan Utama

Perempuan Muda Berhargakan Kesucian Ulmi Marsya (Relawan Humas dan Media) | ulmi.marsya2103@gmail.com Bagus Ajy Waskyto. S (Relawan Research and Training Center) | bagusajy89@gmail.com

K

etika berbelanja di swalayan, kita selalu memilih produk pangan yang tidak melewati masa kadaluarsa dan tidak rusak kemasannya karena kita “percaya” akan kualitas layak konsumsi ditentukan oleh periode waktu yang tercetak di tabel kadaluarsa dan juga segel yang masih

6 |

terpasang dengan rapi. Sering pula kita temui tulisan yang terpampang “merusak berarti membeli”. Kegiatan ini kita lakukan terus-menerus hingga akhirnya sudah menjadi “pengetahuan” tersendiri bahwa produk pangan yang “layak konsumsi” adalah yang belum jatuh masa kadaluarsanya serta

tidak rusak segelnya. Lalu bagaimana dengan nasib produk pangan yang kadaluarsa atau yang rusak segelnya? Kebijakan yang biasanya terlihat adalah membuangnya, karena dia tak layak untuk ber”ada” atau dalam bahasa modernis tidak ada fungsi sosialnya.

Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Laporan Utama Dari analogi tersebut kita dapat kaitkan dengan fenomena pernikahan dini dalam masyarakat. Anak perempuan dalam lingkup masyarakat, kehidupannya seolah disamakan dengan produk pangan di swalayan. Kedua entitas yang berbeda ini pada kenyataanya di­ anggap identik sebagai barang bernilai ekonomi. Keduanya hidup dengan label kualitas yang terukur berdasarkan periodik waktu serta sisi higienisnya. Jika dalam produk pangan, kualitas dihubungkan dengan kenyamanan kon­ sumsi, sedangkan pada anak perempuan lekat akan kualitas “perawan” atau tidaknya si anak tersebut. Tidak hanya itu, kualitas perawan ternyata juga me­ miliki masa kadaluarsa. Pada masyarakat pedesaan misalnya, anak perempuan yang melewati umur 17 tahun dan belum menikah sering mendapat label “perawan tua” yang berimplikasi dengan kesusahan perempuan tersebut dalam mendapat pasangan. Eksesnya, karena takut akan bernasib sama dengan produk pangan yang terbuang, anak perempuan yang (dilabeli) sudah rusak “segel” keperawanannya mau tidak mau dan siap tidak siap, orang yang me­ rusak keperawanan itu harus bertanggung jawab menikahinya. Begitu juga dengan ketakutan akan label “perawan tua”, anak perempuan yang berasal keluarga dengan ekonomi rendah serta memiliki faham kolot, lebih memilih menikah di usia anak. Hal ini dilakukan

demi pemenuhan fungsi sosial anak perempuan dalam masyarakat. Di lain pihak, “perawan tua” selalu dihujat karena ia membawa aib kemana-mana. Lantas, bagai­mana sebenarnya pemaknaan tubuh perempuan dalam relasi sosial yang ke­ mudian menyeretnya dalam situasi yang tidak adil seperti pernikahan pada usia anak? Tubuh Masalah Biologis atau Sosial “Dan jika matamu me­ nyesat­kan engkau, cungkil­ lah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan bermata satu daripada dicampakkan ke dalam api neraka dengan bermata dua.” (Matius 18: 8-9) Pembahasan akan tubuh tidak pernah lepas dari konteks sosial, karena tubuh termasuk media yang representatif dalam praktik kuasa. Oleh karena itu membicarakan tubuh tidak hanya sebatas membicarakan secara entitas biologis tet­ api juga relasi sosialnya, yang terkadang lepas akan seksualitasnya. Seperti yang dikatakan Anthony Synnott (2007), tubuh dengan bagianbagiannya telah dimuati oleh simbolisme kultural, publik dan privat, positif dan negatif, politik dan ekonomi, seksual dan moral, yang seringkali kontroversial dan dijalankan untuk tujuan yang lain diluar kepentingan seksualitas itu sendiri. Tubuh memiliki objek­ tivikasi yang bersifat indrawi dan estetik. Ia da­pat diraba atau dibunuh tetapi dapat

juga dicintai atau dibenci. Ia dapat pula dianggap indah atau jelek, dan juga dianggap suci atau profan. Tubuh penuh akan dinamika pemaknaan. Jika kita menarik garis sejarah pada peradaban Yunani akan ditemui berbagai situs monumental yang terwakilkan dengan kehadiran patungpatung telanjang nan megah. Penjelasan akan peradaban Yunani yang memuja ke­ tubuhannya dapat dilihat dari pendapat Aristippus (435-366 SM) pendiri mazhab Cyrenaik, yang menegaskan, “Kesenangan tubuh jauh lebih baik daripada kesenangan jiwa”. Bapak hedonisme ini mempratikkan ajarannya pa­da kehidupannya yang pe­nuh akan kemewahan. Perayaan akan tubuh tersebut menunjukkan pemaknaan yang bersifat positif mengenai tubuh. Tetapi pemaknaan akan tubuh tidaklah berhenti, muncul para filsuf beraliran epikureanisme. Epikuros (341-270 SM), pendiri mazhab tersebut menyatakan dengan tegas, “Kita menyebut ke­ senangan sebagai alfa dan omega bagi kehidupan yang diberkati. Kesenangan dalam kebaikan kita yang utama dan tertinggi.”Berbeda dengan mazhab cyrenaik yang berpikir, jiwa baik namun tubuh lebih baik, sebaliknya bagi seorang epicurean, tubuh baik namun jiwa lebih baik. Selanjutnya Plato dengan lantang mengatakan,”Tubuh memperbudak dan mem­ belenggu kita.” atau “Tubuh adalah makam atau kuburan jiwa.” Meskipun demikian, Plato tidak mutlak dalam menolak tubuh.

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 7


Laporan Utama Tubuh yang selama ini dikaitkan dengan entitas yang “alam” atau “kodrat” pada kenyataannya tidaklah lepas dari kategori sosial dengan maknanya yang berbedabeda tiap zamannya. Tubuh lebih dikaitkan dengan pe­ maknaannya yang “buruk”, sebagai pengganggu atas jiwa. Jiwa dipahami sebagai wujud sejati atas manusia itu sendiri. Hampir serupa dengan yang diutarakan Rene Descartes. Bapak filsafat modern ini mengatakan, Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada), bahwa manusia identik dengan “pikiran” sedangkan tubuh termasuk realitas materiil. Jika para filsuf Yunani membentuk oposisi biner antara jiwa dan tubuh, sedangkan pada Deskartes terletak pada pikiran dan tubuh. Dalam kehidupan kita sehari-hari misalnya, kita dapat melihat bagaimana tubuh perempuan dimaknai kemudian dipenjarakan oleh norma-norma sosial seperti keperawanan, ketakutan akan label perawan tua, dan pernikahan. Fenomena Pernikahan Usia Anak Pernikahan, seringkali dianggap sebagai salah satu fase kehidupan yang akan dilewati oleh hampir semua orang. Ketika seseorang memutuskan untuk menikah, biasanya ditandai oleh ke­ matangan usia serta mental yang cukup untuk kemudian dapat membangun sebuah rumah tangga yang bahagia. Namun lain ceritanya ketika sebuah pernikahan didasari

8 |

oleh rasa keterpaksaan seperti kehamilan yang tidak diinginkan atau sebuah tra­ disi yang menyebutkan untuk segera menikahkan anak perempuan agar tidak menjadi “perawan tua”, sering menjadi alasan mendasar terjadinya pernikahan usia anak. Seperti halnya analogi produk pangan diatas, apabila segelnya sudah rusak maka yang merusaknya harus membelinya walaupun dia tidak punya uang sekalipun, dan bagi yang sudah dekat masa kadaluarsanya harus segera dijual walau dengan harga yang rendah. Paham-paham seperti ini yang kemudian diamini oleh masyarakat terutama masyarakat pedesaan yang cenderung masih berpikiran kolot, yang mendorong ter­ jadinya pernikahan usia anak. Di negeri ini, pernikahan usia anak merupakan sebuah permasalahan yang belum tuntas hingga kini. Jumlah pernikahan dalam usia anak di Indonesia sudah mencapai angka yang cukup memprihatinkan. Menurut Badan Riset Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), pada tahun 2010 jumlah pernikahan anak usia 15-19 tahun mencapai angka 41.9% dari seluruh penikahan yang terjadi di Indonesia. Padahal menurut Kepala BKKBN, Surya Chandra Surapati, usia ideal perempuan untuk menikah adalah minimal 21 tahun. Hal ini berkaitan dengan kesehatan reproduksi, mental, serta fisiknya.

Di Yogyakarta di Keca­ matan Gedangsari Kabupaten Gunungkidul, tercatat pada tahun 2013 terdapat 11 pasangan yang mengajukan dispensasi pernikahan usia anak. Angka ini cukup tinggi mengingat pada tahun sebelumnya hanya 2 pasangan yang mengajukan dispensasi. Kemudian setelah diadakannya berbagai upaya pencegahan pernikahan usia anak dengan menggandeng Rifka Annisa, maka pada tahun 2014 angka pernikahan usia anak di kecamatan Ge­ dangsari menurun menjadi 9 pasangan, meskipun angka ini masih terbilang cukup banyak. Selanjutnya pada tahun 2015, jumlahnya semakin menurun menjadi 2 pasang, dan data terakhir hingga Maret 2016 masih belum ada yang warga yang mengajukan dispensasi pernikahan usia anak. Tinggi­ nya angka pernikahan usia anak ini tentunya akan berdampak memicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik secara fisik, mental, ekonomi, sosial, maupun seksual. Menurut pihak KUA Gedangsari, Bapak Yosef Muniri mengatakan bahwa ada dua faktor utama yang mendorong terjadinya pernikahan usia anak di Desa Gedangsari, yaitu kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) dan tingkat perekonomi serta pendidikan yang rendah bagi perempuan. Sehingga pada kondisi seperti ini, pernikahanlah yang dijadikan sebagai solusi yang paling baik. Pada kasus seperti kehamilan yang tidak Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Laporan Utama diinginkan, hal yang paling mungkin dilakukan demi menutupi “aib” keluarga adalah anak tersebut harus segera dinikahkan. Tidak peduli dengan bagaimana masa depan pernikahan mereka yang terhitung belum cukup umur untuk menanggung beban tanggung jawab berumah tangga. Pernikahan usia anak yang terjadi di Kecamatan Gedangsari misalnya, hampir 80% pasangan menikah di usia anak yang disebabkan oleh kehamilan yang tidak diinginkan berakhir dengan perpisahan. Hal ini dipicu oleh ketidaksiapan anak menghadapi berbagai permasalahan rumah tangga yang sangat kompleks. Menurut Indiah Wahyu Andari, konselor Rifka Annisa, salah satu kasus mengenai pernikahan usia anak yang pernah ia dampingi ialah si perempuan terjerumus dalam kondisi dimana pihak keluarga laki-laki tidak dapat menerima pernikahan anak mereka. Ditambah lagi sikap suami yang notabene juga masih dibawah umur tidak dapat memberikan perlindungan terhadap istri dan anaknya. Disamping itu si klien sendiri merasa sudah berusaha mencukupi kebutuhan rumah tangganya dan bertahan dengan kondisi yang tidak nyaman di rumah mertuanya. Terlihat pula dari penuturan klien bahwa pola-pola komu­ nikasi antara suami dan istri juga masih sangat labil ketika terjadi pertengkaran dalam rumah tangganya. Dinamika rumah tangga yang rumit serta usia mental

yang cenderung masih terlalu muda dan labil ikut andil menyeretnya pada keputusan untuk segera mengakhiri rumah tangganya. Selain mendapat ke­kerasan secara psikis dan ekonomi dalam ke­hidup­an rumah tangganya seperti pada kasus diatas, seorang anak perempuan yang mengalami KTD juga mendapatkan beban lain yaitu dalam bentuk kekerasan sosial. Ketika melakukan pen­dampingan kepada korban, Indiah mengatakan bahwa mungkin secara eksplisit mun­culnya anggapan tentang “perempuan” kotor dari ling­kungan sekitar ka­ rena pernikahannya yang disebabkan oleh kehamilan yang tidak dikehendaki me­ mang jarang ditemui, tapi justru karena situasi klien sen­diri yang merasa sulit un­ tuk diterima lingkunganlah yang membuatnya menarik diri dari masyarakat sekitar. Ditambah lagi ia terpaksa harus dikeluarkan dari se­kolah karena pihak sekolah tidak bisa menerima siswi pe­rem­ puan yang sedang hamil un­tuk melanjutkan studi di se­kolahnya. Ini semua demi menjaga reputasi sekolahnya. Tekanan sosial inilah yang juga dialami oleh keluarga pi­hak perempuan, sehingga mereka cenderung mencari solusi untuk menutupi rasa malu ini dengan segera me­ nikahkan anaknya tanpa memikirkan masa depan pernikahan anaknya. Situasi seperti ini semakin memburuk bagi seorang anak perempuan karena kemudian dia harus menghadapi masalah itu sen­

dirian dan tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa. Dia cenderung menyalahkan dirinya sendiri dan merasa semua orang menyalahkannya. Pernikahan usia anak pada dasarnya memang ren­tan akan bentuk-bentuk kekerasan karena mereka sendiri belum memiliki otoritas atas hidupnya sendiri maupun rumah tangganya. Karena anak-anak ini secara psikologis dia belum mengambil tanggung jawab atas pilihan hidupnya sendiri dan masih menggantungkan diri ke­ pada orangtua. Terutama pernikahan yang dilandasi rasa keterpaksaan karena sudah hamil duluan. Pada ka­sus ini pemaknaan atas tu­buh perempuan dihargai karena keperawanan dirinya. Kenyataan bahwa dirinya sudah tidak lagi perawan dan bahkan sedang mengandung memaksa dirinya untuk ke­mudian tunduk atas konsekuensi yang berlaku dalam masyarakat yaitu sebuah pernikahan dan stigma negatif. Lebih buruk lagi ketika ia harus menghadapi segala permasalahan ini di usia yang masih belum matang (usia anak). Selain kasus kehamilan yang tidak diinginkan, fak­ tor lain yang mendorong per­nikahan usia anak ia­ lah tradisi. Ani Rufaida, pendamping pengorganisasian masyarakat Rifka Annisa yang ditempatkan di Kecamatan Gedangsari, menemukan fakta bahwa ketika ia mengadakan kursus calon pengantin disana masih banyak para

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 9


Laporan Utama remaja dibawah umur yang memutuskan untuk menikah dengan alasan takut menjadi perawan tua ataupun karena desakan orangtua untuk se­gera menikah. Sehingga keputusan yang dia ambil bukan lagi un­tuk kepentingan dirinya namun ka­rena desakan tradisi dan keluarga. Dikutip oleh Thornham bahwa bagi pemikir feminis seperti Simone de Beauvoir me­nyebutkan pemaknaan tubuh perempuan bukan hanya se­kedar bagaimana mata laki-laki memandangnya tapi bagaimana dia memaknai tubuhnya sendiri. Bagi pe­­rem­puan, tubuh dan sek­sualitasnya merupakan sebuah beban yang menggelisahkan. Para remaja desa yang notabene lahir dan tumbuh dalam ke­luarga yang memiliki tradisi dan budaya tertentu melihat tubuhnya sebagai satu hal yang mengganggu status sosialnya. Ketika dia menyatakan bahwa ia takut akan menjadi seorang perawan tua, ia sudah ter­ makan akan budaya yang men­dorongnya agar tidak ter­jerumus pada labelitas ter­sebut dengan cara segera menikah. Tanpa ia sadari kon­sekuensi tanggungjawab yang besar dari pernikahan tersebut seperti kehamilan di usia muda, melahirkan, hingga beban rumah tangga yang berat akan segera ia pikul. Fe­nomena ini disebabkan oleh adanya ideologi patriarki yang mengobjektivikasi serta mendistorsi tubuh perempuan. Bahkan perempuan pun sebagai tubuh yang terobjektivikasi juga turut

10 |

terjebak untuk mengamini ideologi yang sesungguhnya telah mengasingkan mereka atas tubuh mereka sendiri. Pernikahan usia anak yang disebabkan oleh tradisi ini biasanya terjadi pada anak perempuan yang ber­ asal dari keluarga dengan tingkat perekonomian rendah sehingga si anak tidak da­pat mengenyam bangku pen­ didikan yang layak, untuk itu menurut tradisi tertentu yang menganggap anak perempuan merupakan sebuah “beban keluarga” sehingga sebaiknya dinikahkan segera daripada nanti ia menjadi “perawan tua” alias tidak laku-laku. Hal ini dibalut dengan berbagai alasan seperti ekonomi, sosial, maupun tradisi. Berbeda de­ngan anak laki-laki yang dianggap sebagai “sumber keuangan” bagi keluarga, maka ia tidak pernah dibebani oleh tradisi yang mengharuskannya untuk segera menikah dengan alasan takut akan menjadi “jejaka tua”. Kenyataan ini tentu memperjelas adanya bentuk diskriminasi bagi anak perempuan yang kemudian menyebabkan posisi perem­ puan menjadi rentan akan kekerasan, baik itu yang berasal dari sektor internal (keluarga) maupun sektor eksternal (masyarakat luas). Fenomena ini kemudian memunculkan pertanyaan mengapa perempuan harus hidup dalam citra-citra tertentu yang kemudian membelenggu kebebasan akan jalan hidupnya? Para kaum feminis melihat bahwa citra-citra tersebut merupakan bentuk dari ke­kerasan simbolik

yang me­mang sengaja dirancang untuk menundukkan kaum perempuan. Lantas bagaimana hal itu terjadi dan apa yang melandasinya? Mengapa anak perempuan selalu merasa diawasi oleh norma-norma yang kemudian menjerumuskannya pada kondisi yang sulit? Panoptikon Tubuh Perempuan Melalui Kesucian Panoptikon adalah analogi dari ruang pengawas penjara yang berada ditengah-tengah ruang penjara narapidana. Akibatnya narapidana merasa dirinya selalu diawasi oleh si­pir sehingga mengalami perasaan takut. Sudah sejak lama Focault memberikan kekhawatiran akan kehidupan masyarkat saat ini yang tidak bisa lepas akan panoptik-panoptik kuasa, ia menyebutkan bahwa peng­ awasan merupakan sebuah jebakan. Sebagai contoh kehidupan perempuan, tubuh perempuan berisi pemaknaanpemaknaan yang ternyata menimbulkan ketakutan da­lam dirinya. Kesucian atas perawan nyatanya (secara biologis) bukanlah faktor buruknya norma perempuan, tetapi secara kontruksi sosial “kesucian” menempati posisi yang dapat mempengaruhi kehidupan perempuan. Jika dilihat secara biologis, kesucian (perawan) adalah kondisi dimana selaput dara perempuan yang belum robek. Walaupun definisi ini juga bermasalah, selaput dara tiap perempuan berbeda. Bahkan, tidak semua perempuan yang belum per­ Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Laporan Utama nah melakukan hubungan seksual masih memiliki selaput dara. Konsep keperawanan ini merupakan sebuah konsep yang memenjarakan tubuh perempuan. Baik itu ketika ia kehilanggan keperawanannya juga ketika predikat ke­ perawanan tersebut tidak kunjung dilepas dalam ikatan perkawinan dalam waktu yang lama. Tubuh perempuan dilekatkan akan sebuah wa­ cana kesucian yang seolah meninggikan derajatnya, tapi disisi lain kesucian ini menjebaknya dalam kondisi yang rentan akan bentuk diskriminasi dan kekerasan. Kesucian disini seringkali diasosiasikan pada kondisi per­ empuan yang tidak lagi perawan. Mengutip pernyataan Irwan Abdullah (2001), bahwa ke­ perawanan merupakan isu yang secara langsung ber­hubungan dengan pe­em­puan baik secara moral, sosial, dan fisik. Dengan kata lain, keperawanan yang dibentuk oleh konstruksi sosial ditandai dengan harapan ma­ sih utuhnya selaput dara dari hubungan seksual dan terlindunginya vagina dari penetrasi benda tumpul. Keadaan inilah yang membuat perempuan mengalami ber­ bagai macam pemikiran rumit dalam menghadapi konstruksi tersebut. Ke­ perawanan perempuan di­ mitoskan sebagai tolak ukur dari perilaku yang santun dan setia. Perempuan yang masih perawan dan menjaga keperawanannya sampai pa­ sangan sahnya yang berhak atas dirinya, menyimpan konstruksi makna yakni jaminan kehidupan rumah

tangga yang bagus. Akhirnya menjaga keperawanan juga berelasi dengan kehormatan dan martabat. Pada perspektif hukum wacana akan kesucian itu juga semakin kuat didengungkan. Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam ini bah­ kan didukung oleh negara melalui muatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap ke­susilaan. Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat perkosaan yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan moralitas semata. Pandangan bahwa kekerasan seksual hanya sebagai kejahatan kesusilaan juga tidak terlepas dari ke­tim­ pangan relasi yang me­nempatkan perempuan se­­bagai marka atau penanda kesucian dan moralitas dari masyarakatnya. Ini­lah sebabnya seringkali pembahasan tentang moralitas berujung pada pertanyaan apakah perempuan masih perawan atau tidak sebelum pernikahannya, apakah pe­ rempuan melakukan aktivitas seksual hanya dalam kerangka perkawinan, dan sejauh mana perempuan memendam eks­ presi seksualitasnya dalam keseharian interaksi sosialnya. Akibatnya, banyak sekali pe­rempuan yang merasa malu untuk menceritakan pengalaman kekerasan seksual karena malu atau kuatir dianggap “tidak suci” atau “tidak bermoral”.

Terdapat kontradiksi ketika perkawinan muda dikarenakan wacana “ke­sucian” yang bernafaskan agama, tetapi disisi lain perkawinan muda juga dibarengi akan tingginya angka perceraian. Hal ini menunjukan bahwa alasan agama menjadi kurang relevan, karena perceraian sendiri tidak disukai bahkan terdapat agama yang melarang perbuatan tersebut. Fenomena pernikahan anak pada masyarakat pe­ desaan bukanlah hal yang baru. Alasan yang melandasi fenomena ini uniknya saling bertumpang tindih antara ke­pentingan ekonomi, sosial, dan budaya yang dibalut nilai moralitas tubuh bernama “kesucian”. Antara Tradisi dan Hukum Negara Banyak anak perempuan di pedesaan menikah di usia anak karena tradisi yang men­desak mereka melakukan itu. Terdapat data yang menunjukkan bah­wa angka pernikahan usia anak di pedesaan lebih ting­gi yaitu sekitar 47,79% dibandingkan dengan daerah perkotaan yang hanya 21,75%. Di beberapa daerah di Indonesia memang masih memegang teguh tradisi ter­sebut. Misal tradisi di Desa Tegaldowo, Rembang, Jawa Tengah. Penduduk sekitar mempercayai bahwa anak perempuan apabila sudah ada yang melamar, harus segera di­terima karena bila tidak dia akan menjadi perawan tua. Meski berapapun usia anak pada saat dia dilamar. Belum lagi demi mewujudkan keinginannya, warga desa dan pihak KUA (Kantor Urusan Agama) bekerjasama untuk

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 11


Laporan Utama memalsukan usia anak agar mendapat izin menikah. Kenyataan ini semakin me­nguatkan bukti bahwa anak perempuan hidup da­lam belenggu tradisi yang memaksa mereka un­tuk mengikuti apa yang di­kehendaki oleh orang lain. Para orangtua dan perangkat desa bersinergi untuk me­wujudkan keinginan mereka atas kehidupan anak perempuan. Seolah pe­ rempuan tidak lagi memiliki hak dan kuasa atas tubuhnya. Ia tidak berdaya melawan apa yang sudah ditetapkan sebagai tra­disi yang sesungguhnya hanya berdasarkan pada ke­inginan orangtua dan orang yang akan menikahinya. Sedangkan tertulis pada pen­jelasan UU Perkawinan pasal 6 (1) bahwa pernikahan ditujukan untuk mencapai ke­ luarga yang bahagia, maka perkawinan yang terjadi harus berdasarkan pada persetujuan kedua belah pihak tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Namun sayangnya hak anak perempuan akan “persetujuan kedua belah pihak” ini telah dilanggar oleh konstruksi so­sial yang disebut sebagai tradisi. Negara sebagai suatu na­ungan yang menjamin ke­ sejahteraan rakyatnya, juga masih saja memposisikan pe­rempuan sebagai warga kelas dua. Seperti pada un­ dang-undang perkawinan yang diatur pada tahun 1974 pasal 7 (1) juga menyebutkan bah­ wa usia minimal pengantin perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Ke­bijakan ini pun dinilai ma­sih belum berpihak pada pe­rempuan. Perbedaan usia minimal laki-laki dan pe­­rempuan disebabkan oleh penempatan

12 |

laki-laki sebagai pemimpin yang harus dapat memberikan nafkah kepada anak dan istrinya. Sehingga ia menjadi sumber perekonomian bagi keluarga. Sedang anak pe­rempuan masih dikaitkan dengan sektor domestik. Segala ketimpangan ini ber­ akar dari budaya patriarki yang telah menjalari seluruh aspek kehidupan ma­nusia, baik sosial, ekonomi, dan agama. Segala bentuk dis­ kriminasi ini berbalutkan hal yang mereka sebut sebagai nor­ma dan kewajaran. Sehingga anak pe­rempuan masih saja terus terjerumus dalam kondisi yang selalu terpinggirkan. Impian akan pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs) yang bertujuan untuk penanggulangan kemiskinan, pencapaian pendidikan dasar untuk semua anak, kesetaraan gender, menurunkan angka kematian anak, dan meningkatkan kesehatan ibu, tidak akan pernah terwujud. Apakah kita masih saja terus mengibaratkan anak perempuan sebagai benda yang dijual pada etalase-etalase toko yang menunggu seseorang yang akan membelinya secepat mungkin sebelum sampai pada masa kadaluarsanya atau menjerumuskan ia pada pembeli yang mungkin akan membuangnya selepas ia merusak segelnya (perawan)? [] Referensi: Ahmad Fikri, 2015, “BKKBN Kampanyekan Batas Usia Nikah 21 Tahun” https://m.tempo.co/read/

news/2015/06/26/060678737/ bkkbn-kampanyekan-batasusia-nikah-21-tahun Anthony Synnott, 2007, “Tubuh Sosial Simbolisme, Diri, dan Masyarakat”, Yogyakarta, Jalasutra, Hasil wawancara dengan Ani Rufaida, pendamping pengorganisasian masyarakat di kecamatan Gedangsari, Gunung Kidul. Hasil wawancara dengan Indiah Wahyu Andari, konselor psikologi divisi pendampingan Rifka Annisa. Hasil wawancara dengan pihak KUA kecamatan Gedangsari. Bapak Yosef Moderi. Irwan Abdullah, 2001. “Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan”, Yogyakarta, Tarawang Press. Luviana, 2016. “Perkawinan Anak Perempuan dan Pertaruhan Masa Depannya.” http:// www.konde.co/2016/05/ perkawinan-anak-perempuandan.html Michel Foucault, 1995. “Discipline and Punish : The Birth of Prison”, di Terjemahkan dalam bahasa inggris oleh Alan Sheridan, New York, Edisi kedua Vintage book. Noni Arni, 2009. “ Kuatnya Tradisi Salah Satu Penyebab Pernikahan Dini”. http://www.dw.com/id/ kuatnya-tradisi-salah-satupenyebab-pernikahandini/a-4897834 Sue Thornham, 2010. “Teori Feminis dan Cultural Studies”. Yogyakarta, Jalasutra. Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Laporan Utama

Adat-suku-Baduy. Foto Dok Tripsantai.com

Adat Suku Baduy: Anak Perempuan Menikah Dini Tommy Apriando Relawan Rifka Media | tommyapriando@gmail.com

D

i Bulan Mei tahun 2010 menjelang magrib, saya tiba di Desa Ciboleger, terminal terakhir sebelum me­ nuju perkampungan Suku Baduy di Banten. Suara lagu dangdut berlogat sunda dan suara anak-anak bermain ter­ dengar bercampur aduk jadi satu. Jalan setapak kami lalui, memulai perjalanan menuju per­­kampungan Baduy luar. Pepohonan durian dan nangka sesekali kami temui di kiri-kanan jalan.

Rumah-rumah kayu berjejer rapi. Anak-anak perempuan berkulit putih dan rambut hitam panjang, bermain di depan ru­ mah. Berpakaian adat warna biru dan memakai kain sarung panjang berbagai macam motif. Usia mereka berkisar 12 hingga 14 tahun.

mah tanpa listrik, alat penerangan hanya lampu minyak dari botol bekas minuman. Malam itu, saya menginap di rumah keluarga Kang Udil, salah se­ orang Suku Baduy Luar atau sering disebut Orang Kanekes. Ia berperawakan kurus, kulit sawo matang dan rambut ikal hitam.

Ketika suasana gelap, saya tiba di Kampung Kadiketuk. Jarak tempuhnya se­kitar 15 menit dari Ciboleger. Rumah-ru-

Usia Udil 21 tahun saat itu. Ia sudah dua kali menikah dan mempunyai dua orang anak.

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 13


Laporan Utama Istri yang pertama kem­bali ke orangtuanya di Kampung Baduy Gazeboh, sedangkan anak dari istri pertama Udil ikut bersama istri kedua atau bersama Udil. Saya tidak sempat bertanya apa alasan Udil menikah lagi. Saat pertama kali Udil menikah, usianya 15 tahun, sedangkan istrinya 14 tahun. “Kami punya anak, ketika istri saya di usia 16 tahun,” kata Udil bercerita kepada saya.

Menurut Udil, ma­sya­ rakat adat Baduy khu­susnya Baduy Luar, banyak yang me­nikah di usia muda, yaitu ketika ber­ umur 14 hingga 16 tahun u­n­tuk perempuan dan umur 15 hingga 16 tahun untuk laki-laki. Di Baduy, kata Udil, untuk menikah tidak begitu tergantung dengan usia. Ter­gantung kedewasaan dan kemanfaatan. Tolak ukurnya, anak laki-laki sudah tidak ter­gantung dari orang tua. Artinya laki-laki sudah mandiri, bisa bertani untuk memenuhi kebutuhan anak dan istri. Di Baduy mayoritas masyarakat bertani. Jika laki-laki sudah ada pemasukan sendiri baik dari bertani maupun pekerjaan lainya, maka sudah bisa di­sebut mandiri dan dewasa. “(Menurut) adat baduy, yang penting laki-laki harus bisa bijaksana. Karena semua tanggung jawab anak dan istri dipegang laki-laki,” kata Udil. Pertanyaan dipikiran saya, apakah perkawinan di usia muda atau usia anak tersebut tidak beresiko bagi istri? Apakah kesehatan re­produksinya akan baik-baik saja? Bagaimana de­ngan mental si istri untuk

14 |

menghadapi persalinan pertama di usia muda? Di Adat Baduy Dalam atau Baduy Luar, masyarakat melakukan persalinan sendiri tanpa pertolongan orang lain atau dikenal dengan sebutan “Pikukuh”. Dimana setelah melahirkan akan ada “Paraji” sebagai orang yang bertugas melakukan perawatan pada ibu dan bayi di awal waktu tertentu (Balutan Pikukuh Per­ salinan Baduy “Etnik Baduy Dalam-Kabupaten Lebak”, Mara Ipa dkk, 2014). Saat ini hal tersebut perlahan mulai bergeser, dimana berbagai kalangan masyarakat Baduy Luar mulai melakukan pen­ dekatan medis. Namun, hal ini tidak berlaku untuk Baduy Dalam. Mereka melahirkan tanpa melalui bantuan tenaga medis atau bidan. Resiko Menikah di Usia Anak

Hasil wawancara men­ dalam kepada 10 informan di salah satu Kampung Tangtu (Baduy Dalam) yang dilakukan Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat tahun 2014, di­ peroleh fakta bahwa jumlah anak yang dilahirkan lebih banyak dibandingkan dengan anak yang dimiliki saat ini. Terdapat 4 kasus kematian bayi yang masuk dalam ka­ tegori neonatus yaitu anak meninggal di usia antara 0-28 hari. Sedangkan 2 kasus ke­ matian bayi terjadi di usia ku­rang dari dua tahun (< 24 bulan), 3 kasus lainnya terjadi di usia balita (> 24 bulan) dan 1 ka­ sus di usia anak berumur 9 tahun. Ada beberapa faktor yang terkait dengan kematian

bayi. Secara garis besar pe­ nyebabnya ada dua macam yaitu endogen dan kematian eksogen. Kematian bayi endogen atau yang disebut kematian neonatal adalah kematian yang terjadi pada bulan per­tama setelah dilahirkan. Umumnya terjadi dikarenakan faktor-faktor yang dibawa anak se­jak lahir, yang diperoleh dari orangtuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan. Kematian eksogen atau kehamilan post neonatal adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor lain bertalian dengan faktor lingkungan luar (Utomo, 1988). Kasus kematian bayi di usia neonatus yang terjadi di Kampung Baduy Dalam, seperti diuraikan sebelumnya, salah satu faktor resiko yang menjadi penyebabnya adalah kondisi ibu baik sebelum konsepsi dan selama kehamilan. Pertama, usia saat pertama kali ibu mulai hamil. Sebagian besar usia perempuan Baduy Dalam ketika memutuskan untuk menikah yaitu antara 14 sampai 16 tahun, meskipun ada juga yang lebih awal dari 16 tahun. Berdasarkan usia menikah, tentu saja tidak lama perempuan tersebut mempunyai anak. Namun, ada pula yang satu atau dua tahun menunggu hingga diberi kepercayaan untuk hamil. Sehingga rata-rata usia hamil pertama kali masih sama rentangnya dengan usia menikah pertama kali yaitu usia 14 hingga 16 tahun. Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Laporan Utama Ketika umur ibu kurang dari 20 tahun, ia belum cukup matang dalam menghadapi kehidupan sehingga belum siap secara fisik dan mental dalam menghadapi kehamilan dan persalinan. Pada umur tersebut rahim dan panggul ibu belum berkembang dengan baik hingga perlu diwaspadai kemungkinan mengalami persalinan yang sulit dan keracunan kehamilan atau gangguan lain karena ketidaksiapan Ibu untuk menerima tugas dan tanggung jawabnya sebagai orangtua. Selain usia, faktor lainnya adalah paritas dan jarak antar kelahiran. Paritas merupakan jumlah persalinan yang dialami oleh ibu. Kehamilan yang paling optimal adalah kehamilan kedua sampai keempat. Kehamilan pertama dan setelah kehamilan keempat mempunyai resiko tinggi. Kehamilan kelompok ini sering disertai kelainan tata letak, pendarahan ante partus, pendarahan post partum dan lainnya. (Martadisoebrata, 2005). Tradisi yang dipegang oleh perempuan masyarakat Baduy Dalam salah satunya adalah tidak mengadopsi kemajuan teknologi yang ada. Mereka tidak menggunakan alat kontrasepsi untuk merencanakan dan mengatur jumlah anak. Anak dimaknai sebagai rejeki dan amanah Tuhan dimana tidak ada dalam kamus mereka menunda ataupun mengatur jumlah dan jarak kelahiran anak. Fenomena ini berdampak terhadap banyaknya anak yang dimiliki dan jarak kelahiran yang dekat antara anak pertama dan berikutnya. Padahal kondisi

demikian merupakan salah satu faktor resiko penyebab kematian ibu dan anak. Budi Wahyuni, Komisioner Komnas Perempuan mengatakan, pernikahan anak dalam masyarakat adat tidak selamanya memiliki nilai positif. Dalam masyarakat adat tetap budaya patriarki yang muncul. Pernikahan adat untuk anakanak, seharusnya sudah tidak dilakukan lagi. Alasan anak sudah mandiri dan dewasa karena persoalan ekonomi dan bebas dari orang tua tidak bisa serta merta menjadi pembenar. Sudah dapat dipastikan secara fisik dan mental anak dibawah umur tidak akan memiliki kemampuan yang baik ketika nantinya akan melakukan persalinan. Hal ini akan beresiko tinggi pada kematian ibu dan anak. Hukum adat maupun segala sesuatu berkaitan dengan adat merupakan buatan manusia. Sudah tentu pernikahan anak dikalangan masyarakat adat juga merupakan pelanggaran hak anak. Justru karena yang menjadikan adat itu manusia, maka melestarikan adat yang tidak tepat. Mari melakukan penyesuaian. Kita harus belajar dan mengikuti adat. Namun, tidak semuanya harus ditiru. Hal tersebut tentu untuk mengurangi resiko kematian ibu dan anak. “Pernikahan anak baik adat mapun tidak hanya menjadikan anak sebagai objek seksual. Komnas perempuan melihat ini sebagai bentuk pelanggaran hak anak. Jika pernikahan anak di masyarakat adat pertimbangannya kearifan, maka menikahkan anak dulunya

dianggap arif. Namun, sekarang belum tentu. Pertimbangan kematian anak dan hak anak harus diutamakan untuk saat ini,â€? kata Budi Wahyuni. Pernikahan Anak Masih Direstui Negara Putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi No 30-74/ PUU-XII/2014 yang menolak menaikkan usia pernikahan di Indonesia menjadi ironi di tengah seruan dunia untuk mengakhiri pernikahan anak. Hal ini mengacu pada data yang dikeluarkan Council of Foreign Relations yang menyebut Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara di dunia dengan angka tertinggi pengantin anak. Di kawasan ASEAN, Indonesia berada di posisi kedua setelah Kamboja. Di Indonesia, Jawa Barat menyumbang angka tertinggi pengantin anak. Tentu saja hal ini semakin berkelindan dengan posisi Jawa Barat dan Kalimantan Barat sebagai provinsi yang memiliki angka tinggi untuk perdagangan manusia. Keadaan ekonomi global saat ini dengan adanya kompetensi di segala aspek akan bermuara pada kemiskinan yang menggerakkan orang melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Di kawasan ASEAN, pernikahan menjadi salah satu kamuflase terhadap prostitusi dan perdagangan anak (Plambech, 2010; Lainez, 2010). Hukum pernikahan di Indonesia memang masih diskriminatif dan berpotensi menjadi faktor terjadinya pernikahan dan kekerasan terhadap anak perempuan.

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 15


Laporan Utama Keadaan ini tentu saja akan berujung pada terhambatnya akses anak perempuan terhadap hak-hak dasar mereka, seperti pendidikan dan kesehatan. Dalam UU Pernikahan No.1 Tahun 1974, pasal 7 ayat 1 termaktub bahwa pernikahan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai usia 16 tahun. Penolakan judicial review terhadap batas umur pernikahan mengindikasikan bahwa negara abai melindungi anak perempuan. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut juga bertentangan dengan UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, terutama pada pasal 26 ayat 1(c) yang menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anakanak. Anak menurut pasal 1 UU Perlindungan anak adalah 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Akar persoalan pernikahan anak di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tataran ekonomi, sosial, maupun kultural. Selain faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan, situasi kultural juga mempengaruhi laju angka pengantin anak. Di Nusa Tenggara Barat, pernikahan anak terjadi karena mekanisme Budaya Merariq (lari bersama) dalam masyarakat Sasak. Sistem Merariq terjadi ketika seorang perempuan pergi ke rumah bersama laki-laki di malam hari, maka hal itu merupakan pertanda bahwa mereka akan menikah. Oleh

16 |

sebab itu, pendidikan hukum adat Budaya Merariq ini harus dilakukan agar pernikahan anak dapat dicegah (Fajriyah, 2016:72-73). Pernikahan anak di Indonesia memang mengkhawatirkan. Data Survei sosial ekonomi nasional (Susenas) 2012 menunjukkan sekitar 11,13% anak perempuan menikah pada usia 10-15 tahun dan sekitar 32,10 % menikah pada usia 16-18 tahun. Praktek pernikahan anak harus dihentikan karena selain membatasi potensi anak juga berakibat pada tingginya angka kematian ibu di Indonesia yang mencapai 359/100.000 kelahiran hidup dan 48/1000 kelahiran untuk jumlah kelahiran di usia 15-19 tahun (SDKI, 2012 dalam Candraningrum, Jurnal Perempuan Vol.88, Februari 2016). Dalam kasus di Jawa Barat, rata-rata anak-anak yang menjadi pengantin berusia 14-18 tahun baik di pihak anak laki-laki maupun perempuan. Penyebab pernikahan anak tidak bisa dilepaskan dari tiga hal: (1) kemiskinan dan akses buruk atas pendidikan; (2) naiknya fundamentalisme agama yang membuat tabunya diskusi seksualitas dan takut akan zina; dan (3) akses buruk atas HKRS (hak kesehatan reproduksi seksual) (Grijns,dkk, 2016). Berdasarkan penelitian tersebut, diberikan rekomendasi untuk menurunkan angka pernikahan anak dengan memasukkan pendidikan seksual komprehensif ke dalam kurikulum sekolah agar anakanak dan remaja mengetahui hak kesehatan reproduksi

seksualnya. Upaya lain untuk mencegah pernikahan anak adalah dengan membuat kebijakan melalui Peraturan Daerah (Perda). Hal ini terjadi di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta melalui Peraturan Bupati (Perbub) Gunungkidul No.36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak yang didasarkan pada fakta bahwa pernikahan anak mengalami peningkatan drastis pada tahun-tahun sebelumnya. Hal yang sama juga terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui Surat Edaran Gubernur No.150/1138/Kum tentang Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yang merekomendasikan usia perkawinan untuk lakilaki dan perempuan minimal 21 tahun (www.ntbprov. go.id, 2015). Berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah sebagai upaya menghapus pernikahan anak adalah angin segar di saat pemerintah pusat abai akan masalah ini. Selain itu, pelibatan masyarakat juga perlu seperti yang terjadi di Kecamatan Gedangsari, Gunungkidul, Yogyakarta. Para pemangku kepentingan bersama dengan warga bergerak bersama dalam jejaring integrasi berbasis MoU (kesepakatan bersama) untuk menghapus pernikahan anak (Sundari, 2016). Ketika terjadi pernikahan anak, pihak terkait seperti Ketua RT, RW, Kepala Desa, petugas KUA, puskesmas, kelompok pertanian, kepolisian, dan LSM bahu membahu turun untuk mendatangi keluarga tersebut dan memberikan informasi sehingga pernikahan Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Laporan Utama dapat dicegah. Gerakan ini terbukti mengurangi pernikahan anak dari 9 kasus di tahun 2012, turun menjadi 8 kasus di tahun 2013, dan di tahun 2014 turun menjadi 5 kasus (Sundari, 2010:45-46). Dari segi kesehatan reproduksi, tiga orang ahli yang dihadirkan di Mahkamah Konstitusi pada September 2014 lalu dalam pengujian Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membenarkan kekhawatiran para pemohon tentang resiko perkawinan dini. Konsultan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi dokter Julianto Witjaksono menerangkan banyak terjadi resiko penyakit dan kelainan terutama saat kehamilan muda. “Karena secara biologis perempuan di bawah usia 20 tahun belum siap, sehingga resikonya sangat tinggi bagi ibu dan bayi,” kata Julianto. Berdasarkan kajian bidang kesehatan, kata Julianto, rentang usia perkawinan paling aman bagi seorang perempuan adalah 20-35 tahun. Pada usia itu, seorang perempuan masuk dalam kategori usia dewasa muda. Pernikahan perempuan di bawah usia 20 tahun memiliki resiko tinggi akan kematian. Adapun resiko kehamilan remaja lebih tinggi dibandingkan kehamilan pada usia reproduksi sehat (20-35 tahun), antara lain terjadi tiga sampai tujuh kali kematian dalam kehamilan dan persalinan terutama akibat pendarahan dan infeksi. Selain itu, satu sampai dua dari empat kehamilan remaja mengalami

depresi pasca persalinan. Dampak secara spesifik adalah soal kanker leher rahim, lebih rentan untuk mengalami resiko kematian karena melahirkan. Anak yang menikah di usia 16 tahun dan hamil di bawah usia 19 tahun, resiko kematian karena melahirkan 5 kali lebih tinggi daripada jika dia melahirkan pada usia di atas 20 tahun. Mengapa? Karena memang pada usia tersebut, masih tergolong usia anak, ia masih membutuhkan gizi untuk pertumbuhan tubuhnya. Bila di usia masih butuh gizi itu dia sudah hamil, maka akan terjadi perebutan gizi antara si ibu dengan anaknya. Bila anaknya yang kalah maka dia akan lahir dengan berat badan rendah. Kalau ibunya yang kalah, pasti dia akan mengalami anemia, pendarahan, kemudian mengalami kematian. Julianto menyatakan perempuan di bawah 20 tahun memiliki resiko tinggi untuk penyakit dan kematian ketika menjalankan fungsi reproduksi. Memasuki usia 20 tahun secara medik (fisik, biologis, endokrinologi serta psikologis, dan emosional), perempuan memiliki kematangan menjalankan hak reproduksinya secara aman terutama dalam menghasilkan generasi bangsa Indonesia yang berkualitas. Sementara itu, dokter Kartono Mohamad, mengatakan kehamilan dan kelahiran merupakan penyebab utama kematian remaja usia 15-19 tahun secara global. Bahkan, kehamilan pada usia remaja meningkatkan resiko kematian bagi ibu dan janinnya di

negara berkembang. Bayi yang dilahirkan oleh ibu di bawah usia 20 tahun mempunyai resiko 50 persen lebih tinggi untuk meninggal saat lahir. “Selain itu, bayi yang dilahirkan ibu remaja cenderung lahir dengan berat badan rendah dan resiko kesehatan lainnya yang dapat berdampak jangka panjang,” kata Kartono. Kartono mengatakan kehamilan remaja juga berdampak buruk bagi ekonomi dan sosial remaja tersebut, keluarga, dan masyarakat. Remaja yang hamil biasanya putus sekolah. Dengan pendidikan rendah dan keterampilan kurang juga sulit mendapatkan pekerjaan sehingga secara nasional juga mengurangi produktivitas negara. Selain itu, dampak psikologis terhadap remaja akibat menikah muda ialah terputusnya pendidikan, kemiskinan berkelanjutan, kehilangan kesempatan bekerja, tercabut dari keluarga sebelum siap, mudah bercerai, anak kurang cukup perhatian, mengalami keterlambatan perkembangan, dan penyimpangan perilaku. Anggota Dewan Pembina Yayasan Kesehatan Perempuan Indonesia, Saparinah Sadli bahkan meyakini konstitusi tidak menentukan batas usia perkawinan antara laki-­laki dan perempuan. Tetapi UU Perkawinan justru membuat batasan yang justru merugikan bagi perempuan. Karena itu, tingginya angka kematian ibu (akibat nikah muda) di Indonesia dan tertinggi di Asia. Itu juga berarti menghilangkan hak kesehatan perempuan.

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 17


Laporan Utama

Anak-anak baduy. Fofo Dok Travel grivy

Menurut Saparinah, meng­ izinkan perempuan menikah pada usia 16 tahun berarti negara melegalkan usia per­ kawinan bagi anak perempuan sebelum dewasa. Dia lebih setuju jika batas usia per­ kawinan perempuan adalah 18 tahun atau usia dewasa. Menentukan usia perkawinan perempuan menjadi 18 tahun juga sebagai upaya menjamin hak konstitusional perempuan. Tantangan Penolakan MK atas per­ mohonan judicial review yang diajukan oleh masyarakat si­ pil tahun 2015 yang tidak mengabulkan dinaikkan batas usia perkawinan menjadi 18 tahun bagi anak perempuan sangat mengecewakan publik. Terlebih alasan yang digunakan melalui argumentasi interpretasi agama. Penolakan ini adalah bukti adanya inkonsistensi

18 |

hukum dengan berbagai ins­ trumen internasional dan na­sional yang sudah adadan tidak berpihak pada anak. Bahkan pemerintah juga terikat tujuan kelima (berisi 9 target) agenda Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan tahun 2015-2030 yakni mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan seluruh perempuan dan anak perempuan secara spesifik dalam target 5,3 disebutkan target untuk menghilangkan segala praktek-praktek berbahaya seperti pernikahan anak, pernikahan paksa dan khitan perempuan.

kesehatan reproduksi menjadi tabu besar. Menurut Dewi Candraningrum pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, mendidik anak perempuan remaja telah menjadi faktor penting dalam meningkatkan usia perkawinan di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan dan kampanye SRHR untuk mengakhiri pernikahan anak. Ditabukannya pendidikan SRHR terutama disebabkan oleh naiknya fundamentalisme agama diyakini bahwa pernikahan anak dilakukan unuk menghindari fitnah dan zina, maka dari itu anak-anak perempuan harus segera dinikahkan meskipun mereka belum lulus sekolah sekalipun.

Penolakan pendidikan SRHR (Sexual and Reproduktive health and Rights) dalam kurikulum pendidikan di Indonesia juga memicu meningkatkan jumlah pernikahan anak karena kemudian seksualitas dan

Selama ini masyarakat tampaknya menerima saja per­ kawinan usia anak sebagai bagian dari struktur sosial. Dampak dan akibat dari per­ kawinan usia anak jarang di­ bicarakan. Keprihatinan, apalagi Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Laporan Utama ketidaksetujuan terhadap dampak perkawinan anak tampaknya tidak mengemuka pada masyarakat. Menurut Zumrotin K Susilo, selaku mantan Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan, bahwa praktik pernikahan anak memang ada berbagai macam penyebabnya. Tiap daerah berbeda-beda. Di daerah Jawa Timur bagian selatan, kebanyakan karena kemiskinan. Karena miskin, maka orang tuanya ingin melepaskan tanggung jawab dengan cara menikahkan anak­ nya. Tanpa tahu bahwa itu berdampak pada perceraian juga karena anak-anaknya belum matang. Ini yang jarang diperhitungkan oleh para orang tua karena kemiskinan. Di daerah Banjarmasin, pernikahan anak terjadi bukan karena kemiskinan. Akan tetapi lebih karena interpretasi agama. Bahwa dia setelah ‘aqil baligh sebaiknya segera menikah agar tidak melakukan hubungan seksual atau berzina, meskipun pada faktanya ada juga orang yang setelah kawin, berzina. Dikarenakan orang tua takut anak-anak berzina, maka biasa­nya mereka akan segera dinikahkan. Mereka sebenarnya mampu, akan tetapi karena ketakutan mengenai perzinahan yang mungkin dialami oleh anaknya. Quraish Shihab dalam penjelasannya yang disebut menstruasi ‘aqil baligh itu tidak tepat untuk menjadikan alasan anak sudah boleh dinikahkan. Hal ini karena anak baru balighnya saja. Akalnya belumlah akal orang dewasa. Bila ada tokoh agama yang mengatakan bahwa menstruasi adalah ‘aqil

baligh, dia hanya mengandalkan bahwa di usia tersebut (setelah menstruasi) dia sudah bereproduksi. Namun belum tentu berkualitas. Mereka hanya melihat bahwa perempuan tersebut sudah bisa (dalam hal) bereproduksi. Mereka tidak melihat bahwa di dalam ikatan pernikahan, maka reproduksi itu harus berkualitas baik dari segi fisik, dan dari sisi kualitas SDM-nya dalam hal pendidikan serta pengetahuan dalam membesarkan anak. Ini yang menurut saya arahnya tidak kesana. Mereka hanya melihat bahwa di usia ini perempuan sudah siap bereproduksi, tanpa mau tahu akibatnya. Ada lagi yang memang mesti diakui karena memang ada yang terlanjur hamil. Solusinya untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memberikan pendidikan kespro pada anak-anak, akibat masih kurangnya pengetahuan dalam hal ini sehingga mereka terjebak pada kehamilan yang tak diinginkan dan akhirnya dinikahkan. Sebetulnya orang tua yang menikahkan anak di bawah umur karena alasan eko­nomi, tipis batasnya antara menjadikan anaknya lebih mapan dan se­jahtera atau menjual anaknya. Karena realitanya dari pernikahan itu sebut saja contoh pernikahan antara Ulfah dan Pujiono itu karena orang tuanya punya banyak hutang maka anaknya yang masih kecil dan cantik itu dinikahkan dengan orang tua yang kaya. Ini tidak setara. Nah, itu sebenarnya kan menjual anaknya. Sehingga pernikahan anak seringkali

rentan digunakan sebagai modus trafficking. Saat ini tantangan dalam menaikkan usia pernikahan adalah lebih pada praktik di lapangan. Karena sekarang pun meskipun aturan menyebutkan usia menikah perempuan 16 tahun, realitanya yang menikah di bawah 16 tahun sangat banyak. Pemalsuan keterangan usia ini sangat banyak sekali. Tantangannya lebih pada soal penegakan hukumnya. Begitu juga dengan anak perempuan dalam masyarakat adat. Perlu juga kelompok masyarakat adat mengikuti perkembangan, penerapan aturan adat yang dibuat dulu sudah tentu tidak tepat untuk diterapkan saat ini. Resiko kematian terhadap Ibu dan Anak sangat tinggi jika hal tersebut masih dilakukan. Kepala adat perlu ambil peran untuk melakukan perubahan aturan adat yang secara langsung hal tersebut untuk kebaikan masyarakat adatnya, khususnya kaum perempuan. Dalam konteks ma­ syarakat modern, maka perlu ada pendekatan kepada orang tua, terutama yang dulunya berpandangan bahwa hal ini adalah soal budaya. Selama ini banyak pihak yang lalai bahwa orang tua itu tidak dijadikan stakeholders yang mesti digarap juga. Padahal orang tua itu sangat menentukan. Umumnya kita melakukan pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja, pada guru untuk bisa mensosialisasikan. Tapi terkait dengan parenting bahwa orang tua yang sebenarnya memiliki kekuasaan, ke depan itu yang harus menjadi sasaran.[]

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 19


Laporan Utama

Pernikahan Usia Anak: Legalisasi Negara? Arifuddin Kunu Relawan Rifka Media | obetrevdem@gmail.com

P

raktik pernikahan usia anak di Indonesia masih berlangsung hingga hari ini. Kehamilan sebelum menikah menjadi faktor penyebab utama. Demi menutup “aib�, pernikahan kerap dianggap sebagai solusi terbaik, tanpa mem– pertimbangkan hak dan masa depan anak. Tulisan ini akan menyorot fenomena pernikahan usia anak di kota Yogyakarta. Seperti apa fenomena ini berlangsung di kota yang terus dikepung oleh

20 |

derap modernitas? Bagaimana peran negara (baca: pemerintah) memutus mata rantai praktik yang mematikan masa depan anak ini? Tingginya angka pernikahan usia anak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi ke­ prihatinan berbagai kalangan. Ironisnya, karena sebagian besar kasus pernikahan usia anak ini terjadi karena calon mempelai perempuan telah hamil sebelumnya.

Untuk kota Yogyakarta, angka kasus pernikahan usia anak dapat ditelisik melalui permintaan dispensasi kawin yang masuk ke Pengadilan Agama kota Yogyakarta. Meski menunjukkan tren penurunan, namun dari segi angka, jumlah­ nya tidak bisa dikatakan kecil. Data di Pengadilan Agama kota Yogyakarta pada 2013 menunjukkan jumlah pasangan yang mengajukan permohonan dispensasi kawin sebanyak 48 kasus. Dari jumlah itu, 44 kasus dikabulkan oleh hakim. Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Laporan Utama Pada 2014, angkanya turun menjadi menjadi 43 kasus, di mana ada sebanyak 41 kasus yang dikabulkan permohonannya. Sedangkan pada 2015, angkanya kembali menunjukkan penurunan menjadi 36 kasus yang semuanya dikabulkan oleh hakim. Muhammad Nuryadin, Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Kota Yog­yakarta menuturkan jika dirata-ratakan, maka jumlah pasangan yang mengajukan permohonan dispensasi kawin setiap sekitar 3 hingga 4 kasus dengan rentang usia antara 13 hingg 15 tahun. “Memang dari segi angka mengalami penurunan, namun secara umum jumlah tersebut masih terbilang tinggi,” katanya. Menurut Nuryadin, mayoritas pasangan yang meng­ajukan permohonan di­sebabkan karena calon mem­pelai perempuan telah hamil terlebih dahulu. Bahkan ada yang telah memasuki masa kehamilan bulan ke tujuh hingga bulan ke delapan. Kondisi ini tentu akan me­ rugikan pihak pemohon, mengingat lamanya waktu yang dibutuhkan pengadilan untuk memutus perkara berbeda antara satu dengan yang lain. “Lamanya sidang terhitung sejak permohonan masuk hingga diputus, tergantung kesiapan pemohon, termasuk berkas dan keterangan pihak yang dapat menguatkan,” kata Nuryadin.

Persebaran kasus Praktik pernikahan usia anak sejatinya tidak hanya terjadi di wilayah urban saja. Hal serupa juga terjadi di daerah lain di Yogyakarta. Bantul misalnya, sejak tahun 2008 hingga 2011, jumlah kasus pernikahan usia anak di wilayah yang terletak di sebelah barat kota Yogyakarta ini, juga mengalami peningkatan yang cukup siginfikan. Sebagian besar pasangan menikah pun karena calon pengantin perempuan telah hamil lebih dulu. Fenomena ini tampak dari tingginya permohonan dispensasi kawin di Kantor Pengadilan Agama Bantul. Jumlah pasangan yang mengajukan permohonan dispensasi kawin di Bantul pada 2008 misalnya, mencapai 70 pasangan dan meningkat menjadi sebanyak 82 pasangan pada 2009. Angka ini terus meningkat menjadi 115 pasangan pada 2010. Puncak peningkatan terjadi pada Oktober 2011 yang mencapai 135 pasangan. "Dari jumlah tersebut, 90 persen di antaranya adalah pasangan usia dini yang mengalami kasus hamil sebelum nikah. Pasangan yang benar-benar ingin menikah di usia dini dan tidak hamil duluan hanya sekitar 10 persen," kata Jalaluddin, Humas Pengadilan Agama Kabupaten Bantul. Sebagaimana diketahui, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bab II Pasal 7 mensyaratkan bahwa

perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria berusia 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Jika terjadi penyimpangan, pasangan menikah di bawah umur tersebut, maka keduanya diwajibkan meminta surat dispensasi kawin dari pengadilan agama setempat. Tidak jauh berbeda dengan kedua wilayah tersebut, tren serupa juga terjadi di Kabupaten Sleman. Sebagai wilayah yang paling dekat dengan kota Yogyakarta, memungkinkan wilayah ini terpapar oleh derap modernitas kota Yogyakarta. Asumsi ini setidaknya terkonfirmasi melalui angka dispensasi kawin yang terdata di Pengadilan Agama Sleman yang tergolong tinggi. Dalam kurun waktu enam bulan selama periode 2015 misalnya, permohonan dispensasi kawin yang diajukan oleh pasangan usia anak berada pada kisaran 6 hingga 16 kasus, dengan rincian, Januari sebanyak 13 perkara; Februari 11 perkara; Maret 11 perkara; April 12 perkara; Mei 16 perkara dan Juni terdapat 6 perkara. Marwoto, Humas Pengadilan Agama Sleman menjelaskan, penurunan jumlah kasus dari Mei ke Juni sebesar 16 kasus menjadi enam kasus, bukan berarti trennya menurun. Menurutnya, tinggi rendahnya perkara itu juga dipengaruhi oleh aktivitas remaja. “Bila bertepatan dengan masa libur, kasusnya bisa saja naik,” kata Marwoto.

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 21


Laporan Utama Sebagaimana halnya kota Yogyakarta dan Bantul, dari perkara dispensasi kawin yang ditangani Pengadilan Agama Sleman, mayoritas disebabkan remaja hamil lebih dulu. Ada orang tua yang lihat anaknya pacaran dan takut terjadi apa-apa maka dinikahkan saja. “Tapi kasus seperti ini sangat kecil di Sleman. Kebanyakan hamil duluan,” ujarnya. Cuci tangan Kepala Kementerian Agama Sleman, M Lutfi Hamid mengaku prihatin dengan kondisi dimana sebagian besar pernikahan usia anak dilakukan karena pengantin perempuan hamil sebelum menikah. Menurut Lutfi, maraknya kasus seperti itu akibat banyak generasi muda nggak cukup paham hakekat perkawinan. Lutfi menengarai, kasus hamil di luar nikah didorong pengaruh negatif tayangan atau adegan dalam acara televisi. Hal itu diperparah dengan adanya situs-situs dewasa yang bisa diakses melalui internet, yang menggambarkan seolah-olah sebuah hubungan seksual merupakan sesuatu hal yang indah. Tanpa memahami konsekuensi dan tanggung jawab atas hasil dari hubungan tersebut, pelaku juga tidak memperhatikan kesehatan reproduksi pada diri masing-masing. “Tidak berlebihan jika banyak kasus pernikahan usia anak berujung perceraian.

22 |

Karena saat menikah kondisi emosi keduanya belum stabil,” ujar Lutfi. Ikhal maraknya praktik penikahan usia anak yang terus menunjukkan tren peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, juga mendapat sorotan dari kalangan aka­ demisi. Pemerintaah terkesan hendak “cuci tangan” atas persoalan ini. Alihalih mereformasi sistem hukum yang melonggarkan praktik pernikahan usia dini, pemerintah justru terkesan mencari pembenaran. Prof Dr Muhadjir Darwin, Peneliti Ahli pada Pusat Studi Ke­pen­dudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada menuturkan, Undang-undang perkawinan itu sendiri sudah sangat longgar khususnya dalam hal pembatasan usia. Dia menambahkan, batas 16 tahun itu pun ma­sih ada pengecualian dimana hakim bisa memberi dispensasi atau yang selama ini dikenal sebagai hak dis­ kresi untuk perkawinan yang dikategorikan di bawah umur yang dipersiapkan oleh UU perkawinan. Alasan untuk mem­ bolehkan pernikahan usia anak, lanjut Muhadjir, bisa tegantung pertimbangan hakim. Alasan yang jadi pertimbangan hakim itu bisa karena calon mempelai wanita sudah hamil duluan. Meski usianya masih dibawah umur namun sudah dianggap cukup dewasa. Atau alasan karena kedua calon mempelai sudah saling mencintai dan sulit untuk dipisahkan, sehingga orang tua menikahkan demi

menghindari perbuatan yang tidak diinginkan. “Kondisi inilah yang memungkinkan anak-anak menikah dibawah usia yang disyaratkan oleh UU secara legal”. Muhadjir menegaskan. Potensi KDRT Salah satu dampak pernikahan usia anak yang marak terjadi adalah munculnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Potensi akan munculnya KDRT inipun kebanyakan dialami oleh perempuan, baik oleh pasangannya sendiri (suami)— ketika telah menikah dan tinggal serumah atau orangorang yang ada di sekitarnya. Novia Dwi Rahmaningsih, salah seorang Konselor Psi­ kologi di Rifka Annisa me­ nuturkan, perilaku yang dapat dikategorikan sebagai bentuk KDRT itu umumnya muncul akibat terbatasnya kemampuan salah satu pasangan (laki-laki/suami) dalam melihat persoalan secara jernih. Menurut Novia, dengan usia yang masih begitu belia, pasangan – biasanya didominasi calon suami –belum sanggup menalar persoalan yang dihadapi. Akibatnya, ada kecenderungan untuk selalu menyalahkan perempuan. “Padahal perempuan lebih banyak menjadi korban dalam kasus seperti ini”. kata Novia Novia mengungkapkan dari sekitar 53 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani Rifka Annisa, hanya ada satu Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Laporan Utama kasus yang berakhir dengan pernikahan. Selebihnya menempuh jalur alternatif penyelesaian lain seperti jalur hukum atau yang lainnya. Ada juga yang lebih memilih mengasingkan diri untuk pemulihan mental korban. Di lain sisi, Novia menambahkan, untuk kasus pernikahan usia anak yang diawali dengan kehamilan selalu menempatkan perem­ puan pada posisi yang tidak menguntungkan. Bahkan kebanyakan pihak keluarga perempuan menganggap kejadian tersebut sebagai aib yang harus ditutupi dengan pernikahan. “Padahal tidak selama­ nya demikian. Kebanyakan keluarga korban tidak mengetahui kalau sebenarnya banyak alternatif untuk penyelesaian masalah seperti ini”. ujar Novia. Hal senada juga di­ ungkapkan oleh Agung Wisnu­ broto, yang juga merupakan Konselor Psikologi Rifka Annisa. Menurutnya, untuk kasus pernikahan usia anak yang yang diawali kehamilan yang tidak direncanakan, Rifka Annisa memberikan konseling pada pasangan calon mempelai. “Harapannya agar pihak KUA menunda perkawinan hingga keduanya sampai pada batas minimum usia untuk menikah”. Menurut Agung, selama ini pasangan yang mengikuti konseling di Rifka Annisa setuju untuk menunda per­ nikahan, karena rata-rat usia mereka tinggal menunggu

beberapa bulan saja agar bisa memenuhi sayarat batas minimum usia untuk menikah.waktu yang tersisa selama beberapa bulan itulah yang kemudian digunakan untuk member pembekalan, pendidikan dan keterampilan yang berguna bagi pasangan dalam mengelola konflik ketika berumah tangga. Betapapun, pernikahan anak hanya akan membawa dampak buruk terutama bagi anak perempuan dan bayinya. Anak perempuan yang melahirkan di usia belia memiliki risiko tingkat kematian ibu dan gangguan persalinan dan kehamilan yang lebih tinggi. Karena tubuh mereka belum siap untuk melahirkan. Selain itu, bayi yang lahir dari ibu yang berusia di bawah 16 tahun, cenderung prematur dan kurang gizi, karena terjadi perbutan gizi antara ibu dan janinnya. Pernikahan anak juga rentan terhadap perilaku kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual. Perempuan yang menikah muda memiliki posisi tawar yang lemah dalam pernikahan dan rumah tangganya. Pernikahan dan kehamilan di usia muda juga menutup akses anak perempuan atas perguruna tinggi, pekerjaan dan penghidupan yang layak. Inilah yang menyebabkan mereka masuk dalam rantai kemiskinan. Penutup

anak adalah dengan me­ mastikan agar program wajib belajar 12 tahun benarbenar berjalan dan sekaligus memastikan infrastruktur kegiatan belajar mengajar tersedia untuk anak. Semua ini akan dapat menunda pernikahan anak. Sekolah dapat membekali anak perempuan dengan pengetahuan dan keterampilan yang akan membuat mereka lebih mandiri dan berdaya. Selain itu, pendidikan yang memadai juga dapat membuka akses bagi anak perempuan atas pekerjaan dan kualitas hidup yang lebih baik. Memasukkan pendidikan seksual komperhensif ke dalam kurikulum sekolah menjadi faktor penting dalam meningkatkan usia perkawinan. Pengetahuan HKRS bagi orang tua, akan mendorong para orang tua untuk menikahkan anak setelah cukup umur. Sementara pengetahuan HKRS pada anak, akan mem­bantu mereka bersikap bijak terhadap tubuh dan seksualitasnya. Upaya lain adalah mendorong segenap tokoh agama untuk mengeluarkan tafsir yang lebih toleran, progressif dan adil gender atas fenomena pernikahan anak. Sebagai contoh, tafsir akil balig yang bukan hanya ditandai dengan menstruasi atau sebagai bentuk kematangan secara fisik, namun juga secara mental. []

Salah satu upaya guna mengakhiri praktik pernikahan

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 23


Laporan Utama

Upaya Komprehensif Pendewasaan Usia Perkawinan: Pengalaman Advokasi Peraturan Bupati Gunungkidul Nitia Agustini Relawan Divisi Pengorganisasian Masyarakat Rifka Annisa | nitiaagustini@gmail.com

P

ada tanggal 24 Juli 2015, Peraturan Bupati Gunungkidul No.36 tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak disahkan. Peraturan bupati tersebut merupakan sebuah angin segar dan sesuatu yang baru dalam upaya ad­vokasi pendewasaan usia per­kawinan. Hal ini karena pada saat yang sama, berbagai lembaga bersatu di tingkat nasional untuk melakukan uji materi UU No.1 Tentang Perkawinan Tahun 1974 di Mahkamah Konstitusi dan hasilnya di­ tolak. UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 pada pasal 7 menyatakan batas usia minimal perkawinan yaitu perempuan 16 tahun dan

24 |

tersebut tidak muncul begitu saja. Inovasi ini berawal dari kegelisahan berbagai stakeholder di Gunungkidul terkait tingginya angka perkawinan usia anak di daerahnya. Sebelumnya, telah ada upaya MoU pencegahan masalah sosial dan deklarasi dukuh tentang perkawinan anak di beberapa kecamatan gunungkidul. Upaya tersebut ternyata mampu menurunkan angka perkawinan usia anak. Pengalaman ini menjadi pemicu inisiatif upaya serupa di tingkat kabupaten. laki-laki 19 tahun. Akan tetapi, apabila ingin menikah dibawah usia itu juga bisa. Persetujuan orangtua dan adanya izin dispensasi kawin dari pengadilan agama menjadi syaratnya. Hal inilah yang diyakini sebagai sumber masalah tingginya perkawinan usia anak di Indonesia. Disamping gejolak ditingkat nasional, stake­ holder di Gunungkidul mencoba mencari celah dan menemukan inovasi dalam upaya pencegahan perkawinan usia anak. Hasilnya adalah Peraturan Bupati Gunungkidul No.36 tentang Pencegahan Per­ kawinan Usia Anak. Tentu saja peraturan bupati

Dialog Antar Stakeholder M.Thontowi, dalam wawancara pada 24 Mei 2016, memaparkan bahwa upaya pencegahan perkawinan usia anak di beberapa kecamatan di Gunungkidul menarik perhatian Bupati Gunungkidul Ibu Hj. Badingah, S.Sos. Pada kegiatan MoU dan Deklarasi Dukuh Kecamatan Saptosari terkait pencegahan perkawinan usia anak, perceraian dan penurunan angka kematian ibu dan bayi pada tanggal 4 Februari 2015, mulai muncul ide pentingnya upaya di tingkat kabupaten. Bupati Gunungkidul pun menyambut positif ide tersebut, salah satunya Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Laporan Utama dengan membuat peraturan bupati. Proses penyusunan peraturan bupati pun dimulai dengan koordinasi BPMPKB (Badan Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Keluarga Berencana) Kabupaten Gunungkidul yang merupakan leading sektor untuk isu ini. Kerjasama antara pemerintah Kabupaten Gunungkidul dengan LSM Rifka Annisa meruapakan hal yang menarik. Hal ini karena pemerintah Kabupaten Gunungkidul menganggap bahwa bekerjasama dengan LSM dan masyarakat sipil sangat penting. Bahwa dengan kerjasama masingmasing potensi dapat disatukan demi mencapai tujuan bersama. LSM dapat menyediakan kemampuan dan pemerintah dapat menyediakan fasilitas dan jaringan (Afan Gaffar, 1999). Jadi diskusi terkait teknis penyusunan peraturan bupati dan urgensi isu ini telah disepakati terlebih dahulu antara BPMPKB Kabupaten Gunungkidul dengan LSM Rifka Annisa. Selanjutnya dilakukan workshop dengan berbagai stakeholder di Kabupaten Gunungkidul. Hal ini dilakukan dengan tujuan menyamakan persepsi dan partisipasi berbagai stakeholder tentang masalah dan solusi perkawinan usia anak. Hal tersebut meru­ pakan langkah awal dalam penyusunan upaya pencegahan perkawinan anak sebagai sebuah kebijakan. Dalam proses

penyusunan kebijakan sosial terdapat be­­berapa proses yang perlu dilewati, dimulai dari memahami persoalan dan merumuskan seba akibat. Selanjutnya akan ditentukan tujuan yang ingin dicapai. Berdasarkan pengamatan pada kebijakan yang sudah ada, pertimbangan ekonomi, politik (konsensus antar stakeholder), administrasi, dan nilai-nilai abstrak di masyarakat dapat dibuat alternatif solusi. (Sudjatmo, 2004). Hal tersebut tercermin dalam penyusunan peraturan bupati gunungkidul ini karena mengundang berbagai stakeholder untuk berdiskusi. Stakeholder yang hadir yaitu BPMPKB, LSM Rifka Annisa, Kementrian agama, KUA (Kantor Urusan Agama), Pengadilan agama, DIKPORA (Dinas Pendidikan dan Olahraga), Dinas Sosial, Organisasi masyarakat NU dan Muhammadiyah, Polres Gunungkidul, Satpol PP, FPK2PA (Forum Penanganan Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak), BP4 (Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan), Forum Anak Gunungkidul, dan KESRA (Bagian Kesejahteraan Masyarakat) Kabupaten Gunungkidul. Dalam forum tersebut setiap lembaga menyampaikan pendapat berupa masalah perkawinan usia anak, alternatif solusi dan peran masing-masing lembaga. Partisipasi anak dalam forum tersebut juga cukup terlihat. Hal ini bisa menjadi contoh bahwa anakanak bukan hanya sebagai sasaran program pencegahan

perkawinan, akan tetapi bisa terlibat dalam upaya tersebut. Perkawinan Usia Anak di Gunungkidul Berdasarkan UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Pengaturan batasan usia dalam UU perkawinan bertentangan dengan UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam UU Perlindungan anak diatur bahwa seorang anak adalah berusia dibawah 18 tahun atau yang masih salam kandungan. Kedua undang-undang yang bertentangan ini menimbulkan kebingungan berbagai stakeholder yang fokus pada isu perkawinan. Hal ini karena UU perlindungan anak menyatakan perkawinan dibawah 18 tahun termasuk kekerasan seksual. Sedangkan berdasarkan UU Perkawinan, pihak pengadilan agama dan KUA tidak bisa menolak menikahkan. M Thontowi (dalam wawancara pada 24 Mei 2016) memaparkan kondisi perkawinan usia anak di Gunungkidul termasuk tinggi. Berdasarkan data Pengadilan Agama, jumlah pengajuan dispensasi perkawinan tahun 2012 yaitu 172 perkara, tahun 2013 sebanyak 161 perkara, tahun

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 25


Laporan Utama 2014 sebanyak 141 perkara dan tahun 2015 sebelu disahkannya Peraturan Bupati No 36 Tahun 2015 (Januari-7 Juli 2015) sebanyak 48 perkara. Ketika dibandingkan dengan data Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul terkait persalinan remaja, maka cukup terlihat hubungannya dengan perkawinan usia anak. Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul mendata bahwa terdapat 372 kasus persalinan remaja usia 10-19 tahun pada tahun 2014. Pada tahun 2015 (Januari-Oktober) jumlahnya yaitu 340 kasus. Berbagai stakeholder menyepakati bahwa perkawinan usia anak merupakan masalah bersama dan penting untuk ditangani secara serius. Soetomo (2013) menyatakan bahwa masalah sosial diawali dengan identifikasi akan adanya perilaku menyimpang, tolok ukur untuk melakukannya adalah pranata sosial yang didalamnya. Termasuk nilai, norma dan aturan-aturan sosial. Perkawinan usia anak termasuk masalah sosial karena menimbulkan berbagai masalah yang melanggar norma sosial, mengganggu stabilitas dan mengancam kesejahteraan masyarakat. Stakeholder Gunungkidul yang mengikuti workshop penyusunan peraturan bupati tentang pencegahan perkawinan anak menyepakati perkawinan anak mengganggu kesejahteraan masyarakat (dalam Notulensi Penyusunan Draft Peraturan Bupati Tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak Kabupaten Gunungkidul, 2015). Perkawinan

26 |

usia anak menyebabkan rendahnya kualitas generasi 20 tahun mendatang, laki-laki maupun perempuan belum siap menikah dari segi psikologis, ekonomi, kesehatan dan pendidikan, menimbulkan kemiskinan, berpotensi kematian ibu dan anak, pengasuhan anak yang tidak tepat, kekerasan dalam rumah tangga dan mudahnya terjadi perceraian. Berbagai masalah tersebut menjadi dasar pertimbangan pentingnya menyusun upaya pencegahan dan penanganan perkawinan usia anak. Bahwa selain mencegah, anak yang sudah terlanjur menikah perlu mendapatkan pendampingan. Terdapat banyak faktor terjadinya perkawinan usia anak di kabupaten gunungkidul yang juga muncul dari diskusi berbagai stakeholder, yaitu (1) kekerasan dalam pacaran yang berujung hubungan seksual sebelum menikah; (2) tafsir agama yang dipahami secara tekstual, akibatnya penolakan kampanye pencegahan perkawinan usia anak; (3) penggunaan teknologi informasi yang tidak sehat sehingga mengakses video porno di kalangan SMP dan SMA; (4) putus sekolah yang masih ada sehingga memilih menikah; (5) kurangnya kewaspadaan rangtua terkait masalah perkawinan usia anak; (6) kurangnya partisipasi guru dalam mencegah kehamilan tidak direncanakan, hal ini karena guru belum satu perspektif tentang ini; (7) masih banyak sekolah belum memiliki PIKR (Pusat informasi kesehatan reproduksi);

(8) waktu luang remaja yang tidak dimanfaatkan dengan kegiatan positif; (9) kurangnya perhatian, pemahaman dan kasih sayang orang tua untuk mencegah anaknya melakukan hubungan seksual diluar nikah; (10) kurangnya kerjasama berbagai stakehlder terkait pencegahan perkawinan usia anak; (11) belum optimalnya FPK2PA tingkat kecamatan dan kabupaten, karena masalah anggaran dan sumberdaya manusia; (12) belum ada tenaga psikolog dan pendamping hukum di FPK2PA; (13) tidak semua kecamatan memiliki pengurus BP4; (14); belum semua kecamatan dan desa memiliki forum anak; (15) kurangnya kontrol sekolah pada saat siswa PKL (praktik kerja lapangan) yang berakibat kehamilan. Alasan utama pengadilan agama memberikan dispensasi perkawinan yaitu kehamilan yang tidak direncanakan. Masalah aib keluarga merupakan penyebab orangtua mengharuskan anaknya menikah. Ketika sudah terjadi kehamilan, pengadilan agama tidak bisa menolak. Oleh karena itu, terdapat proses pemeriksaan kehamilan di puskesmas yang dapat menjadi bukti kehamilan. Akan tetapi ada pula yang belum memeriksakan kehamilan namun menyatakan hamil di pengadilan. Ketika siswa SMP dan SMA mengalami kehamilan tidak direncanakan, biasanya secara otomatis akan berhenti sekolah. Walaupun sudah ada kesepakatan ditingkat kabupaten bahwa Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Laporan Utama setiap anak memiliki hak mendapatkan pendidikan, termasuk yang sedang hamil. Akan tetapi, ada pula sekolah yang menutupi kasus kehamilan siswanya. Ada pula yang mendorong siswanya menuliskan surat pengunduran diri. Hal ini karena anggapan apabila diketahui memiliki siswa yang hamil maka dapat mencoreng nama baik sekolah. Selain itu, rasa malu diketahui oleh teman sebaya dan guru bahwa sedang hamil menyebabkan anak memilih putus sekolah. Batasan Usia Perkawinan Usia Anak Terdapat kendala dalam penyusunan peraturan bupati, yaitu menyepakati batasan usia. Penyusunan peraturan bupati tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya. Usia anak UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu dibawah 18 tahun. Akan tetapi pihak KUA dan pengadilan agama tidak dapat mencegah perempuan diatas 16 tahun dan dibawah 18 tahun menikah. Dinas kesehatan meyakini bahwa batas usia perempuan siap menikah dan mengandung yaitu diatas 20 tahun. Diskusi terkait batasan usia ini cukup menyita waktu. Peraturan Bupati No 36 Tahun 2015 menyebutkan batasan usia anak sesuai sesuai UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Disebutkan juga tentang batasan usia perkawinan menurut UU No 1 Tahun 1974 dan dispensasi kawin. Hal ini dilakukan agar peraturan bupati ini tidak bertentangan dengan peraturan tersebut. Peserta senndiri menyepakati bahwa perkawinan sebaiknya dilakukan ketika pasangan sudah siap secara fisik, psikis, ekonomi dan sosial. Batasan usia yang paling ideal sebenarnya yaitu usia 20 tahun. Oleh karena itu, forum setuju dalam pelaksanaan upaya pencegahan perkawinan anak akan mengkampanyekan menikah diatas 20 tahun. Hal ini sesuai dengan kampanye BKKBN dan dinas kesehatan. Pencegahan Perkawinan Usia Anak Pencegahan perkawinan usia anak perlu melalui beberapa langkah strategis, yaitu: Pertama, membangun kebijakan pembangunan ketahanan keluarga sampai tingkat desa. Kedua, Penguatan kapasitas SDM dan Kelembagaan. Ketiga, penyusunan pedoman pelaksanaan pembangunan keluarga. (Pinky Saptandari, 2016). Kejelasan konsep dan integrasi solusi sangat penting. Hal ini karena kompleksnya masalah perkawinan usia anak seperti yang telah dijelaskan diatas. Pembagian peran dalam upaya pencegahan perkawinan anak harus diperjelas. Hal ini untuk menghindari peran yang tumpang tindih atau ada tugas yang terbengkalai. Peran keluarga dalam

pencegahan perkawinan anak sangat penting. Hal ini karena aktor yang signifikan dalam pengambilan keputusan perkawinan adalah orangtua. Peraturan Bupati No 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak memiliki asas anti diskriminasi, untuk kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, dan penghargaan terhadap pendapat anak, partisipasi anak dan pemberdayaan. Tujuan dari peraturan ini yaitu (1) mewujudkan perlindungan anak dan menjamin terpenuhinya hak dasar anak; (2) mewujudkan anak yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera; (3) mencegah kekerasan terhadap anak; (4) menjegah kekerasan dalam rumah tangga; (5) meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan anak; (6) mencegah putus sekolah; (7) menurunkan angka kemiskinan. Terdapat beberapa upaya strategis yang diatur oleh peraturan bupati yaitu, pertama tentang bentuk pencegahan perkawinan usia anak. Kedua, Penguatan kelembagaan. Ketiga, Upaya pendampingan dan pemberdayaan. Keempat, Pengaduan. Kelima, Penyusunan kebijakan dan program pencegahan perkawinan usia anak. Keenam, Monitoring dan evaluasi. Ketujuh, Pembiayaan. Pencegahan perkawinan usia anak dilakukan oleh pemerintah daerah, orangtua, anak, masyarakat dan pemangku kepentingan. Pemerintah daerah berperan dalam merumuskan dan

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 27


Laporan Utama

mensinergikan kebijakan untuk mewujudkan Kota Layak Anak, salah satunya tentang perkawinan usia anak. Pemerintah selama ini telah menyusun berbagai gerakan untuk pemenuhan hak anak, salah satunya terkait perkawinan usia anak. Pemerintah menyusun KLA (Kabupaten Layak Anak) yaitu sistem pembangunan wilayah administrasi yang mengintegrasikan komitmen dan sumberdaya berbagai stakeholder secara berkelan-

nasi terhadap perempuan dan anak, pemerintah membentuk FPK2PA dan P2TP2A. FPK2PA (Forum Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak) merupakan forum komunikasi yang berbentuk jejaring ditingkat kabupaten dan kecamatan. P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) yaitu pusat pelayanan yang terintegrasi dalam upaya pemberdayaan perempuan dan anak agar terhindar dari diskriminasi, kekerasan, tindak

dan guru. Bertanggungjawab pada keluarga, masyarakat, dan negara dengan cara beretika, berakhlak mulia dan menyelesaikan pendidikan. Anak-anak juga berhak memperoleh pendidikan kesehatan reproduksi dan berpartisipasi dalam pembangunan di Gunungkidul. Anak-anak juga dapat melakukan hal tersebut melalui Forum Anak. Forum Anak merupakan wadah partisipasi anak dalam pembangunan.

jutan dan menyeluruh dalam program pemenuhan hak anak. KLA diturunkan menjadi KRA (Kecamatan Ramah Anak) dan DRA (Desa Ramah Anak). Dalam mencapai tujuan dari KLA, dibentuklah Gugus Tugas KLA. Gugus Tugas KLA yaitu lembaga koordinatif di tingkat kabupaten dalam upaya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan pemenuhan hak anak. Gugus tugas ini memiliki turunan ditingkat kecamatan dan desa. Terkait penanganan kasus kekerasan dan diskrimi-

pidana perdagangan orang, lembaga ini dibentuk oleh pemerintah atau masyarakat. Orangtua berperan dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak tentang karakter, keagamaan, nilainilai budi pekerti, budaya, dan pendidikan kesehatan reproduksi. Orangtua juga berkewajiban mengasuh anak dan mencegah terjadinya perkawinan usia anak. Partisipasi anak dalam pencegahan perkawinan usia anak dalam bentuk menghormati dan menjaga nama baik orangtua, wali,

Masyarakat dalam mencegah perkawinan usia anak dapat bekerjasama dengan psikolog anak, konselor, organisasi ma­syarakat, akademisi dan pemerhati anak. Bentuk partisipasi masyarakat yaitu mensosialisasikan adanya peraturan bupati ini, memberikan masukan terkait upaya pencegahan perkawinan anak, melaporkan apabila ada kasus perkawinan usia anak, terlibat aktif da­lam berbagai organisasi pe­rempuan dan anak seperti FPK2PA dan P2TP2A, dan menyelenggarakan deklarasi pencegahan perkawinan anak.

28 |

Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Laporan Utama Pendampingan dan Pemberdayaan Apabila ada orangtua yang mengajukan perkawinan usia anak maka perlu men­ dapatkan pendampingan dan pemberdayaan. Bentuk dari pendampingan yaitu konseling dengan psikolog anak atau konselor terkait pengajuan per­ kawinan. FPK2PA dan P2TP2A dapat memfasilitasinya. Apa­bila belum memiliki sumberdaya manusia sendiri, maka dapat bekerjasama dengan organisasi masyarakat lainnya. Setiap anak yang meng­ ajukan perkawinan harus me­lakukan pemeriksaan ke­ sehatan di puskesmas atau rumah sakit di Gunungkidul. Pemeriksaan kesehatan ber­ tujuan untuk mengetahui sta­tus kehamilan calon pengantin. Screening ini penting agar dapat menunda perkawinan bagi anak yang belum hamil. Pemberdayaan dalam Peraturan Bupati No 36 Tahun 2015 yang dimaksud yaitu upaya, proses, cara mem­ berikan kemampuan atau keberdayaan kepada seseorang agar le­bih berdaya. Bentuk pemberdayaan bagi pengantin anak yaitu pemenuhan hak pendidikan. Pemerintah ber­ peran dalam memastikan dan memfasilitasi pendidikan 12 tahun. Jadi, sekolah tidak boleh mengeluarkan anak dari sekolah apabila hamil atau menikah. Sekolah juga tidak boleh “memaksa” secara halus agar anak memundurkan diri dari sekolah. Peraturan Bupati No 36 Tahun 2015 menyediakan ruang untuk pengaduan

kasus perkawinan usia anak. Pengaduan dilakukan apabila ada pemaksaan perkawinan usia anak. Apabila ada anak yang menderita karena perkawinan usia anak juga dapat melaporkan kondisinya. Pengaduan ditujukan kepada FPK2PA dan P2TP2A. Pengaduan yang masuk harus ditindaklanjuti maksimal tujuh hari setelah pengaduan. Hal ini karena urgensi masalah yang dihadapi, sehingga butuh tindak lanjut yang cepat. Kebijakan, Strategi dan Program Berbagai peraturan di­atas perlu diturunkan menjadi pro­ gram pencegahan perkawinan usia anak. Oleh karena itu, satu tahun setelah disahkannya Peraturan Bupati No 36 Tahun 2015 ini harus menyu­ sun RAD PPUA (Rencana Aksi Daerah Pencegahan Perkawinan Usia Anak). RAD PPUA adalah dokumen rencana program dan kegiatan yang perlu dilakukan oleh semua pemangku kepentingan dalam upaya pencegahan perkawi­ nan usia anak, pendampingan dan pemberdayaan. RAD PPUA merupakan rencana untuk lima tahun. Peraturan ini perlu di mo­ nitoring dan evaluasi efek­tivitas pelaksanaannya. Terdapat bab yang membahas hal ini dalam Peratura Bupati Gunungkidul No 36 Tahun 2016. Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh masingmasing SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang pemberdayaan dan perlindungan perempuan dan

anak. Monitoring dan evaluasi dilakukan secara berkala mulai dari tingkat desa, kecamatan dan kabupaten. Pembiayaan program dan kegiatan pencegahan perkawinan anak di anggarkan oleh pemerintah dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Pemerintah desa juga dapat menganggarkan program melalui APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa). Berbagai stakeholder juga dapat melakukan sharing anggaran terkait program pencegahan perkawinan usia anak. Pembagian Peran Dalam workshop stak­ holder Gunungidul, muncul berbagai potensi masingmasing lembaga dalam pen­ce­gahan perkawinan usia anak. Hal ini berkaitan dengan pe­­nyusunan program dan ke­giatan. Potensi tersebut da­pat berupa anggaran, ka­ pasitas dan keterampilan, jaringan, kelompok sasaran kegiatan, program yang sudah berkelanjutan, dan lainnya. Terdapat beberapa masalah perkawinan usia anak yang dapat di atasi oleh KUA. Pertama, masalah pencatatan pasangan usia anak. Kedua, pelaksanaan screening bagi calon pengantin usia anak. Kementrian agama (KUA) dan dinas kesehatan kabupaten gunungkidul telah melakukan kerjasama tekait hal ini. Jadi, yang dibutuhkan adalah ketegasan dalam pelaksanaannya. Ketiga, Pentingnya kursus calon pengantin. Keempat, Pentingnya kursus pra nikah

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 29


Laporan Utama dengan sasaran pelajar. Hal ini bertujuan selain mencegah perkawinan usia anak juga agar menjadi keluarga yang bahagia. Pengadilan agama sangat berperan dalam mencegah perkawinan diusia anak. Pengadilan agama lah yang memberikan dispensasi kawin. Maka dibutuhkan ketegasan hakim terkait persyaratan dispensasi kawin berupa validitas kehamilan calon pengantin. Ada pula masalah mudahnya perceraian pasangan usia anak. Pengadilan agama berperan dalam melakukan mediasi dalam proses pengajuan perceraiannya. DIKPORA dapat melakukan beberapa hal dalam mencegah perkwinan usia anak. DIKPORA dapat memasukan pendidikan kesehatan reproduksi dalam kurikulum pendidikan. Pendidikan budi pekerti dapat lebih difokuskan kembali melalui mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Tujuannya agar pelajar menjadi orang yang lebih bertanggungjawab. Memaksimalkan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Mengoptimalkan PIKR dan konselor sebaya di setiap sekolah. DIKPORA dapat memberikan kelonggaran waktu bagi siswi hamil, seperti izin cuti hamil dan per­salinan. Sekolah sangat berperan dalam mendukung siswanya agar terus melanjutkan pendidikan. Hal ini agar tidak menghilangkan hak pendidikan dan mengikuti ujian. Perlu adanya jaminan keamanansiswa yang mengikuti PKL dengan membuat MoU antara sekolah dan tempat tujuan PKL.

30 |

Dinas Kesehatan berperan dalam mendukung kegiatan PIKR di sekolah. Maka DIKPORA dan Dinas Kesehatan dapat bekerjasama. Dinas Kesehatan dapat membuka layanan konseling remaja melalui puskesmas. Dalam meningkatkan kesehatan remaja juga dapat mengoptimalkan pemberian tablet penambah darah (Fe). Bagi pelaku perkawinan usia anak dapat didampingi terkait kehamilannya hingga persalinan dan pengasuhan. BPMPKB sebagai leading sektor isu ini dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan orangtua terkait pengasuhan anak. Meningkatkan perspektif masyarakat tentang keadilan gender. BPMPKB memiliki kelompok pendukung Ibu dan BKR (Bina Keluarga Remaja) yang dapat dimaksimalkan. Koordinasi terkait upaya pencegahan perkawinan usia anak juga berada di BPMPKB. Kepolisian berperan dalam meningkatkan peran Unit PPA (Per­lindungan Perempuan dan Anak) dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual. Satpol PP juga dapat melakukan penertiban dan peng­ awasan tempat-tempat yang ra­wan menjadi tempat mesum anak muda. Pemerintah desa di Gunung­ kidul perlu membuat MoU pen­ cegahan perkaiwnan usia anak dengan berbagai lembaga dan tokoh masyarakat. Organisasi masyarakat berperan dalam mem­berikan ruang positif bagi kegiatan remaja. Memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya perkawinan usia anak.

Apabila sudah terjadi perkawinan usia anak, Dinas Sosial dapat berperan dalam upaya pemberdayaan. Terda­ pat Sakti Peksos (Satuan Bhak­ti Pekerja Sosial) yang dapat men­ dampingi pelaku perkawinan anak. Lembaga dibawah Dinas Sosial yang dapat berperan yaitu LK3 (Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga). Dinas Sosial memiliki program pembekalan keterampilan terhadap kelompok rawan sosial ekonomi dan psikologi. Program ini dapat di berikan kepada pasangan anak. BP4 juga dapat mengoptimalkan peran dalam pembinaan, menasehati, dan mendampingi pasangan usia anak Bahan Bacaan Gaffar, Afan (1999) Politik Indonesia, Pustaka Pelajar: Yogyakarta Notulensi Penyusunan Draft Peraturan Bupati Tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak Kabupaten Gunungkidul 24-25 April 2015 Saptandari, Pinky (2016) Pembangunan Ketahanan Keluarga Sebagai Upaya Pencegahan Perkawinan Anak, Jurnal Perempuan, Vol. 21 No 1 Soetomo (2013) Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya, Pustaka Pelajar : Yogyakarta Sudjatmo (2004) Negosiasi, Bargaining, dan Konsensur Dalam Pengambilan Kebijakan Di Tingkat Lokal, Aditya Media : Yogyakarta Wawancara Muhammad Thontowi pada 24 Mei 2016 UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Laporan Utama

Konseling Pernikahan Penting, Nikah Dini Pending Ratnasari Nugraheni Relawan Humas dan Media | ratnasari.nugraheni@gmail.com

Pernikahan Usia Anak Pernikahan usia anak atau sering dikenal sebagai per­nikahan dini kian marak terjadi. Berdasarkan data yang dipaparkan oleh BKKBN, Indonesia menempati urut­ an ke-37 dunia sebagai ne­gara yang memiliki angka pernikahan usia anak tinggi (United Nation, 2011, di BKKBN, 2012). Di tingkat Asia Tenggara, Indonesia menempati urutan kedua untuk kasus pernikahan usia anak (Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia, 2015, di www.gizitinggi.org, 2016). Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 memaparkan bahwa 1 dari 5 anak perempuan di Indonesia sudah menjadi istri ketika umurnya belum genap 18 tahun (www.gizitinggi.org, 2016). Hal ini menunjukkan

bahwa pernikahan usia anak di Indonesia memiliki jumlah yang tinggi. Tentu saja angka-angka dan paparan data tersebut sangat memprihatinkan. Dalam hal ini hak anak telah dilanggar, yang mana se­ harusnya anak dan hak-hak­ nya dilindungi oleh negara seperti yang sudah diatur dalam UU perlindungan Anak No. 23 tahun 2002. Akan te­tapi, hadirnya regulasi dan UU yang mengatur tentang perlindungan terhadap anak belum sepenuhnya membuat anak benar-benar terlindungi. Bahkan tak jarang, pihak atau oknum yang memiliki relasi kuasa lebih besar dari anak menjadi pelaku yang melanggar hak anak. Terkait dengan per­ni­ kahan usia anak yang terjadi di

Indo­nesia, “anak perempuan merupakan korban paling rentan dari pernikahan anak” (Candraningrum, 2016). Berdasarkan paparan pengantar Candraningrum (2016) di dalam Jurnal Perempuan Edisi Pernikahan Anak, prevalensi kerentanan anak perempuan dalam fenomena pernikahan anak mencakup beberapa hal. Pertama, anak perempuan yang tinggal di pedesaan lebih rentan mengalami pernikahan usia anak dibandingkan dengan anak perempuan yang tinggal di daerah perkotaan. Kedua, anak perempuan dari keluarga miskin rentan menjadi korban pernikahan anak. Ketiga, anak perempuan yang tak tuntas menyelesaikan pendidikannya juga rentan terhadap pernikahan usia anak. Saat ini,

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 31


Laporan Utama tidak hanya anak perempuan yang tinggal di daerah pedesaan. Akan tetapi, anak perempuan yang tinggal di daerah urban yang rentan terhadap pernikahan anak juga tak sedikit jumlahnya. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, de­ ngan adanya undang-undang yang mengatur perlindungan terhadap anak, seharusnya pernikahan usia anak dapat dicegah. Hal ini sesuai dengan UU No. 23 tahun 2002, pasal 26 ayat 1, yang berisi bahwa, “Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak; b. menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan d. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.â€? Secara jelas disebutkan bahwa orangtua memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya pernikahan usia anak. Pada kenyataannya, jumlah angka pernikahan usia anak masih saja tinggi. Hal ini juga tak lepas dari budaya permisif akan pernikahan di bawah usia 18 tahun melalui dispensasi kawin. Tak jarang, orangtualah yang membantu anak-anaknya untuk mengajukan dispensasi kawin. Ada berbagai hal yang melatarbelakangi pasangan di bawah umur mengajukan dispensasi kawin. Salah satu alasan yang paling sering dikemukakan karena

32 |

Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Tak sedikit pula usia pernikahan pasanganpasangan tersebut hanyalah seumur jagung. Oleh sebab itu, investigasi terhadap permasalahan ini dirasa sangat perlu guna melihat lebih jauh mengenai permasalahan dispensasi kawin beserta peluang konseling untuk pasangan yang melakukan dispensasi kawin. Artikel ini memiliki tujuan untuk melihat apakah pasangan usia anak mendapatkan konseling dan bagaimana konseling ini dilakukan. Selain itu, tujuan lainnya adalah untuk membandingkan usia pernikahan dan juga permasalahan-permasalahan lain terkait pernikahan antara pasangan yang menikah dengan pengajuan dispensasi kawin dan yang tidak. Dispensasi kawin Dispensasi kawin dapat didefinisikan sebagai permohonan atau pengajuan dispensasi pernikahan bagi pasangan yang belum mencapai batasan minimal dalam umur perkawinan. Pada dispensasi kawin, usia calon pengantin laki-laki belum genap 19 tahun dan calon pengantin perempuan belum genap berusia 16 tahun (Sari, 2011). Dapat disimpulkan bahwa dalam pengajuan dispensasi kawin, calon pengantin perempuan masih berusia anak. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa perempuan berumur 17 tahun masih dikategorikan usia anak. Sehingga, dapat

dikatakan bahwa batasan usia minimal pernikahan menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 7 ayat 1 berbunyi, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.� Pasal ini tidak sejalan dengan UU No.23 Tahun 2002 karena umur 16 tahun masih dikategorikan sebagai usia anak-anak (dibawah 18 tahun). Itu berarti hak anak perempuan dilanggar bahkan oleh konstitusi sekalipun. Guna mengetahui informasi terkait dispensasi kawin dan juga upaya pencegahan pernikahan usia anak yang terjadi di lapangan, penulis menggali informasi melalui wawancara dengan mitra Rifka Annisa, yakni Yosef Muniri, selaku Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di Kecamatan Gedangsari, Gunungkidul. Beliau sudah menjabat sejak tahun 2012 dan sekaligus menjadi tokoh yang ikut terlibat mencegah pernikahan usia anak. Berawal dari keprihatinan akan meningkatnya angka kematian bayi yang baru lahir dan tingginya kematian ibu melahirkan di Kecamatan Gedangsari, mendorong perangkat desa dan tokoh masyarakat di Gedangsari membulatkan tekad untuk menindaklanjuti permasalahan serius ini. Kedua permasalahan tersebut juga sebagai akibat dari pernikahan usia anak. Berikut data pernikahan usia anak yang terjadi di Kecamatan Gedangsari. Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Laporan Utama Tabel 1 Jumlah Pernikahan Usia Anak di Kecamatan Gedangsari Tahun

2012

2013

2014

2015

Jumlah

11

9

6

2

Berdasarkan Table 1, jumlah pernikahan usia anak di Kecamatan Gedangsari setiap tahun semakin menurun. Hal ini tak terlepas dari usaha masyarakat untuk menekan pernikahan usia anak setelah adanya penandatangan nota kesepahaman pencegahan pernikahan usia anak di Kecamatan Gedangsari pada tahun 2013. Meskipun, angka pernikahan usia anak ini berkurang, hal ini tidak sertamerta menurunkan jumlah pasangan yang mengajukan dispensasi kawin ke KUA. Masih banyak pasangan yang mengajukan dispensasi kawin ke KUA karena berbagai macam alasan. Berdasarkan studi kasus di daerah Sukabumi, Jawa Barat (Grinjs dkk, 2016), alasan anak perempuan yang menjalani pernikahan di bawah umur karena: keinginan sendiri karena sudah tidak perawan lagi, kondisi ekonomi keluarga yang tergolong sebagai warga miskin, paksaan dari orang tua dan pandangan agama, dan kehamilan tidak diinginkan. Sedangkan, menurut penelitian Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan Universitas Gajah Mada (PSKK UGM) (2016, di dalam rancangan naskah perppu pencegahan dan penghapusan perkawinan anak), penyebab

pernikahan usia anak yakni karena beberapa faktor: kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, tradisi setempat, perubahan tata nilai dalam masyarakat, dan kurangnya kesadaran dan pemahaman anak perempuan. Sedangkan di daerah Gedangsari, pernikahan usia anak banyak didominasi ke­hamilan tidak diinginkan dan kondisi perekonomian keluarga. Hal inilah yang menjadi alasan utama pa­ sangan-pasangan yang mengajukan dispensasi kawin. Akan tetapi, dengan adanya nota kesepahaman pencegahan pernikahan usia anak, menjadi angin segar untuk menekan angka pernikahan usia anak. Hal ini menyebabkan tidak se­mua berkas pengajuan di­s­pensasi kawin dikabulkan oleh pihak KUA. Alasan pengajuan dispensasi kawin karena kondisi perekonomian keluarga atau atas dasar pa­sangan yang sudah sa­ling mencinta, dapat dipertahankan untuk di-pending terlebih dahulu. Sebelum adanya nota ke­ sepahaman tersebut, pasangan yang mengajukan dispensasi kawin dengan alasan apa pun diloloskan untuk menikah walaupun usia pasangan perempuan belum genap 16 tahun dan usia pasangan lelaki belum genap 19 tahun. Hal ini

juga menunjukkan bahwa sosialisasi UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak belum sepenuhnya disosialisasikan dengan baik ke tingkat bawah. Setelah adanya nota kesepahaman pencegahan pernikahan usia anak, pernikahan usia anak sudah dapat dicegah pada saat pengajuan dispensasi kawin. Akan tetapi, dispensasi kawin yang diajukan oleh pasangan dengan alasan kehamilan diluar nikah terpaksa diperbolehkan untuk menikah. ‘Aib keluarga’ menjadi faktor alasan utama yang dibawa oleh pasangan yang mengajukan dispensasi nikah. Bahkan orang tua pasangan tersebut juga mendesak dan meminta supaya anaknya diperbolehkan menikah karena sudah terlanjur hamil, terlebih orang tua dari pihak anak perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa sekali lagi anak perempuan menjadi korban yang sangat rentan mengalami kekerasan bertubitubi, baik dalam lingkup pasangan, keluarga, maupun masyarakat. Beban sosial lebih banyak ditanggung oleh anak perempuan saat kehamilan tidak diinginkan ini muncul. Akan tetapi, ada satu kasus di mana dispensasi nikah diajukan karena ke­ hamilan tidak diinginkan dapat di-pending. Pada saat pengajuan dispensasi nikah ke KUA Gedangsari, pasangan perempuan sudah berbadan dua. Akan tetapi, pada saat proses konseling berjalan, pa­sangan perempuan mengalami keguguran. Dengan demikian,

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 33


Laporan Utama dispensasi nikah yang semula dikabulkan, kemudian dipending terlebih dahulu hingga umur mereka sudah benar-benar matang secara fisik dan psikis. Dalam kasus ini, pasangan laki-laki merantau ke Jakarta untuk mencari bekal nafkah lahir. Supaya pasangan laki-laki ini tidak lepas dari tanggung jawab, dibuatlah sebuah perjanjian yang berisi bahwa saat pasangan laki-laki maupun perempuan sudah mencapai batas minimal usia pernikahan, mereka dapat melanjutkan kembali proses pengajuan permohonan pernikahan ke KUA. Dalam perjanjian ini, banyak pihak yang menjadi saksi serta turut menandatangani perjanjian tersebut, yakni orang tua, pasangan tersebut, konselor, kepala dukuh, dan pihak KUA. Kasus tersebut, sekali lagi menjadi gambaran bah­wa anak perempuan, menjadi pihak yang sangat dirugikan. Pandangan tentang perempuan yang sudah tidak perawan menjadi momok bagian perempuan itu sendiri dan dianggap sebagai hal yang negatif di masyarakat. Mau tak mau anak perempuan harus menikah dengan le­ laki yang telah merampas kehormatannya. Hal ini pula yang menjadi alasan tak langsung digunakannya perjanjian dalam kasus tersebut, supaya pasangan lelaki tidak kabur dan mangkir dari tanggung jawabnya. Jika tidak ada perjanjian tersebut, bisa saja pasangan lelaki enggan kembali dari tempat rantaunya dan

34 |

menikahi pasangannya. Jika hal demikian yang terjadi, pasangan perempuan yang dirugikan karena menanggung malu dan cibiran masyarakat. Jika dia pun menikah dengan lelaki selanjutnya, sudah terdapat cap bahwa dia perempuan yang sudah tak perawan. Hal ini membuat perempuan dalam posisi demikian rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga kelak. Berdasarkan data di KUA Gedangsari, umur pasangan yang mengajukan dispensasi nikah beragam. Ada pasangan yang mengajukan dispensasi nikah, keduanya masih berumur di bawah batas usia minimal untuk menikah. Ada pula, pasangan perempuan yang dibawah batas usia minimal, sedangkan pasangan laki-lakinya sudah diatas batas usia minimal. Kemudian, ada pula pasangan laki-laki yang usianya masih dibawah batas minimal, sedangkan pasangan perempuan, usianya sudah berada di atas batas usia minimal. Konseling untuk Pernikahan Usia Anak Menurut Kementerian Kesehatan RI, “pernikahan usia muda berisiko karena belum cukupnya kesiapan dari aspek kesehatan, mental emosional, pendidikan, sosial ekonomi dan reproduksi� (2015: 2). Masih menurut data informasi Kementerian Kesehatan RI, kehamilan yang terjadi saat anak perempuan berusia remaja berdampak pada negatif pada kesehatan remaja dan bayinya, serta ber-

dampak sosial dan ekonomi. Secara spesifik, kehamilan usia muda dapat berdampak pada kelahiran bayi prematur, berat badan bayi lahir rendah, perdarahan persalinan yang dapat menyebabkan kematian pada ibu dan bayi. Berdasarkan Rancangan Perppu Pencegahan dan Penghapusan Pekawinan Usia Anak (2016), pernikahan usia anak berdampak pada pada aspek reproduksi, pendidikan, kesehatan, dan eksploitasi perkawinan. Hal-hal terebut me­ rupakan permasalahan serius yang harus dihadapi anak yang menikah di usia yang belum cukup matang. Sudah dapat dipastikan bahwa tidak banyak anak, orang tua, dan pasangan yang mengajukan dispensasi nikah mengetahui dampak dan resiko pernikahan usia anak. Tak banyaknya informasi dan sosialisasi terkait hal-hal tersebut, menjadi problematika dan pekerjaan rumah terbesar pemerintah dan juga semua stakeholder terkait. Salah satu cara yang dapat dilakukan guna mensosialisasikan dan menginformasikan dampak dan resiko pernikahan usia anak bagi pasangan yang menegajukan dispensasi nikah adalah melalui konseling. Berdasarkan penuturan Yosef Muniri, Kepala KUA kecamatan Gedangsari, untuk konseling ditangani bersama-sama dari pihak KUA dan juga mitra kerjanya. Dengan hadirnya nota kesepahaman pencegahan pernikahan usia anak, kini KUA tidak bekerja sendiri untuk menangkal dan Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Laporan Utama menekan angka pernikahan usia anak. Pihak KUA bekerjasama dengan camat, polsek, PKK dan puskesmas setempat untuk merealisasikan pasal-pasal yang telah disepakati di dalam nota kesepahaman. KUA gedangsari juga bekerjasama dengan Rifka Annisa WCC untuk menyediakan pelayanan konseling psikologis bagi pasangan yang akan menikah. Tak hanya itu, pasangan yang mengajukan dispensasi kawin juga mendapatkan layanan ini di KUA. Konseling ini sendiri berfungsi untuk memantau perkembangan para calon pengantin untuk menikah. Selain itu, konseling yang diberikan juga berupa konseling kesehatan. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, nota kesepahaman tersebut membuka akses kerjasama KUA ke berbagai mitra, salah satunya adalah puskesmas. Melalui kerjasama dengan puskesmas, konseling medis atau kesehatan dapat diberikan kepada pasangan yang mengajukan berkas permohonan untuk menikah termasuk pasangan yang mengajukan dispensasi kawin. Sehingga, nantinya, para pasangan tersebut dapat memiliki bekal saat mengarungi bahtera rumah tangga. Bagi pasangan yang mengajukan dispensasi kawin, konseling ini berguna untuk mensosialisasikan resiko pernikahan usia anak. Khususnya bagi pasangan yang mengajukan dispensasi kawin di luar alasan KTD, konseling ini dapat menunda

pasangan tersebut untuk menikah hingga usai mereka sudah mencapai batasan usia minimal. Hal ini pun sebagai upaya pencegahan pernikahan usia anak. Sedangkan dari pihak KUA sendiri, belum ada konselor ahli yang dapat menangani konseling satu-persatu dengan calon pengantin. Di lain sisi, BP4 yang menjadi mitra KUA, yang seharusnya turut berperan dan terlibat secara aktif dalam kegiatan konseling, belum dapat bekerja secara optimal karena keterbatasan tenaga ahli atau sumber daya-nya. Hal inilah yang membuat peran puskesmas dan Rifka Annisa sangat dibutuhkan. Untuk menggali informasi yang lebih mendalam mengenai konseling psikologis, penulis pun mewawancarai Agung Wisnubroto, selaku konselor psikologi dari Rifka Annisa yang bertugas menjadi konselor di KUA Gedangsari sejak Mei 2015. Dalam perjalanan tugasnya, Agung Wisnubroto pernah menangani konseling pasangan yang usianya masih di bawah umur. Pada umumnya, pasangan yang mengajukan dispenasi kawin ini disebabkan karena Kehamilan Tidak Direncanakan/Diinginkan (KTD). Hal ini selaras dengan data-data dan informasi laporan-laporan penelitian baik skala nasional maupun internasional. Konseling ini dilakukan setelah dibuatnya surat pernyataan dan kesepakatan oleh calon pasangan lakilaki dengan disaksikan oleh

pihak keluarga dr kedua belah pihak, aparat desa, tokoh masyarakat, beberapa anggota masyarakat dan KUA. Setelah adanya kesepakatan tersebut, konseling dilakukan dan dijalani oleh pasangan yang mengajukan dispensasi kawin. Mekanisme konseling untuk pasangan tersebut yakni: 1) setelah selesai ke­ sepakatan untuk menunda pernikahan sampai kedua pasangan genap mencapai batas usia minimal untuk me­nikah, pasangan laki-laki dan perempuan diminta untuk mengikuti konseling minimal satu kali dalam satu minggu, intensitas pertemuan ini dapat kurang atau lebih, tergantung pada kebutuhan pasangan yang mengajukan dispensasi kawin; 2) Konseling dilakukan secara terpisah atau individual, yakni pasangan laki-laki diberikan konseling sendiri dengan kon­ selor, kemudian pasangan perempuan diberikan kon­ seling tersendiri, bisa dalam satu hari yang sama, atau bisa dalam hari yang berbeda. Konseling juga dapat di­la­ku­ kan secara bersama-sama atau berpasangan (couple counseling). Konseling ini pun dapat dilakukan di KUA, atau konselor datang ke ru­mah klien; 3) Konselor berkoordinasi dengan KUA mengenai perkembangan klien berdasarkan hasil konseling yang telah dijalani selama ini. Konseling ini pun hanya intensif dilakukan oleh pa­sa­ngan yang mengajukan dispensasi kawin. Baik Agung maupun Yosef menyampaikan bahwa orang tua pasangan yang mengajukan dispensasi kawin

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 35


Laporan Utama tidak secara intensif diberikan konseling. Untuk orang tua pasangan tersebut, konseling dilakukan ketika permohonan dispensasi nikah diajukan. Pada tahap awal ini, orang tua diberikan konseling. Dan konseling berlangsung selama sehari. Kemudian, ketika kon­ seling selanjutnya, hanya pasangan yang mengajukan dispensasi kawin saja yang diberikan konseling secara intensif. Akan tetapi, ketika konseling dilayani di rumah pasangan yang mengajukan dispensasi kawin. Pada saat ini, orang tua juga memungkinkan diberikan konseling. Konseling ini pun dirasa sangat penting bagi pasangan yang meng­ ajukan dispensasi kawin (pernikahan usia anak) karena usia mereka yg masih anakanak memungkinkan me­reka untuk lebih bisa terlibat kon­flik yang mengarah pada perilaku kekerasan. Materi yang disampaikan da­lam proses konseling juga menjadi bekal mereka nanti untuk hidup berumah tangga, seperti mengelola marah, keterampilan berkomunikasi, keterlibatan aktif lakilaki selama ke­hamilan pasangannya, dan pembagian peran dalam rumah tangga. Dalam per­jalanannya, konseling bagi pasangan di bawah umur banyak menghadapi berbagai tantangan, seperti di antaranya: jarak antara rumah klien dan KUA yang jauh, kondisi mental pasangan laki-laki dan perempuan (baik secara afeksi dan kognisi) dan tantangan untuk melibatkan orangtua secara aktif dalam proses konseling dengan anaknya.

36 |

Konseling untuk pasangan yang mengajukan dispensasi kawin ini dilakukan secara voluntary. Artinya, pasangan yang mengajukan dispensasi kawin tidak dipaksa untuk melakukan konseling. Keinginan untuk mendapatkan pelayanan konseling adalah inisitif dari pasangan yang mengajukan dispensasi kawin. Namun, untuk beberapa kasus tertentu yang pernah ditangani, mengikuti konseling masuk dalam salah satu poin kesepakatan antara keduabelah pihak yang disaksikan oleh beberapa tokoh masyarakat, perangkat desa, dan khususnya KUA. Konseling ini hanya dilakukan ketika pasangan yang mengajukan dispensasi kawin akan menikah. Konseling setelah pernikahan, belum pernah dilakukan. Akan tetapi, kalau pasangan tersebut sudah berumah tangga, konseling sepenuhnya diberikan ke puskesmas. Artinya, konseling hanya terkait konseling medis. Pada tahap ini, konseling lebih banyak terkait kehamilan dan kesehatan reproduksi. Pihak KUA sendiri pun sudah tidak banyak ikut campur atau me-follow up kehidupan pasangan yang mengajukan dispensasi kawin. Tetapi, KUA tetap bekerjasama dengan puskesmas untuk mengetahui perkembangannya. Dan hal inilah yang kemudian disampaikan di lokakarya mini yang diadakan setiap tiga bulan, di mana peserta yang hadir adalah KUA, perangkat desa, puskesmas, dan kecamatan.

Kehidupan Paska Pernikahan Usia Anak Gambaran kehidupan paska pernikahan yang bahagia masih jauh dari angan pasangan yang menjalani pernikahan usia anak. Berdasarkan penuturan Yosef Muniri, mayoritas kehidupan rumah tangga pernikahan usia anak kandas di tengah jalan. Dengan kata lain, berakhir dengan perpisahan. Secara kasar, 80% pasangan yang menjalani pernikahan usia anak bercerai. Walaupun tidak bercerai sekalipun, mereka tetap hidup pisah rumah dengan pasangan mereka masing-masing. Pasangan perempuan akan tinggal bersama orang tua perempuan dan pasangan laki-laki akan tinggal bersama dengan orang tua laki-laki. Jika hal ini yang terjadi, maka sesudah usia pernikahan mereka mencapai 4-5 tahun, mereka akan berpisah. Ada pula yang bercerai setelah dua tahun berumah tangga. Berdasarkan data, di Kecamatan Gedangsari, rata-rata perceraian per tahun adalah 9 pasangan. Di antara 9 pasangan yang bercerai tersebut, 3 pasangan yang bercerai adalah pasangan yang ketika awal menikah mengajukan dispensasi kawin, atau dengan kata lain pasangan yang menjalani pernikah usia anak. Tak dapat dipungkiri bahwa perceraian yang terjadi di antara pasangan yang menjalani pernikahan usia anak ini disebabkan oleh mereka yang masih berusia anak-anak dan belum siap untuk menjalani kehidupan berumah tangga.

Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Laporan Utama Diakui Yosep Muniri, se­laku Kepala KUA Kecamatan Gedangsari, bahwa per­ma­ salahan pernikahan usia anak ini adalah permasalahan yang kompleks. Pasangan yang menjalani pernikahan usia anak ini di­ paksa untuk berumah tangga karena sudah hamil duluan. Di lain sisi, alat reproduksi anak perempuan, khususnya yang sudah mengalami KTD ini belum siap. Selain itu, dari sisi ekonomi, pasangan tersebut juga belum siap. Dengan demikian, tak hanya pasangan yang menjalani per­ nikahan usia anak saja yang terbebani, orang tua pun ter­ bebani. Lebih banyak yang terbebani adalah orang tua pihak perempuan karena mau tak mau dari sisi pembiayaan orang tua perempuan harus menganggarkan uang ekstra untuk kebutuhan cucu mereka karena menantu laki-lakinya biasanya belum memiliki pe­ kerjaan untuk menafkahi istri dan anak mereka. Hal ini pun dapat terjadi karena pada akhirnya, pasangan tersebut hidup terpisah setelah menikah. Hal ini menunjukkan bahwa anak perempuan yang menanggung semuanya. Pernikahan hanyalah sekedar formalitas untuk menikah. Belum lagi, mereka harus menanggung kekerasan verbal dan sosial dari warga sekitar karena tak sedikit cemoohan datang dari tetangga mereka. Sementara dari aspek psikologis, ketika Agung Wisnubroto ditanya mengenai perbedaan kehidupan paska menikah antara pasangan yang menikah di bawah umur (mengajukan dispensasi kaw-

in) dengan yag tidak melalui dispensasi kawin, tidak begitu berbeda. Menurutnya, perceraian dan KDRT bergantung pada: 1. Latarbelakang proses pernikahan Pasangan yang menikah karena KTD kemungkinan belum siap untuk menjalani kehidupan rumah tangga sehingga lebih rentan utk bercerai dan juga rentan terjadinya KDRT dibandingkan pasangan yang sudah siap menikah. 2. Keterampilan berkomunikasi Semakin pasangan suami istri terampil dalam

mengomunikasikan keinginan, rencana-rencana mereka, dan ketidaksukaan mereka akan suatu hal. Maka, semakin mungkin mereka untuk jauh dari konflik karena adanya salah paham. Keterampilan ini tidak datang begitu saja atau bawaan (herediter) tetapi dipelajari. Dibutuhkan kesediaan untuk belajar mendengar dan memahami pasangan. Oleh sebab itu, dibutuhkan kematangan emosi. Sehingga, tidak ada jaminan bahwa mereka yang lebih tua akan lebih matang emosinya. Dan hal ini bergantung kepada penghayatan peran usia mental mereka.

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 37


Laporan Utama 3. Kemampuan mengelola marah KDRT cenderung terjadi karena salah satunya adalah kegagalan dalam mengelola marah. Dan KDRT tersebut dapat membawa pada ketidakbahagiaan yang mengarah pada lebih besarnya peluang untuk bercerai. Semakin bahagia pasangan, maka semakin rendah kemungkinan mereka untuk bercerai bahkan dalam pikiran mereka sekalipun. 4. Keterbukaan Semakin terbuka dan semakin sedikit rahasia, dapat menghindari pasangan terjebak dalam asumsi-asumsi satu sama lain. Akan tetapi, ketika ada kejujuran, maka harus ada apresiasi. Menurut Agung Wisnobroto, di antara halhal tersebut, memang usia pernikahan juga memiliki kontribusi meski bukan faktor tunggal. Artinya, ada juga pasangan yang bercerai meski sudah menikah berpuluhpuluh tahun. Usia pernikahan 0-5 tahun paling tidak lebih rentan dibanding usia-usia pernikahan setelahnya. Paparan di atas menunjukkan bahwa pencegahan pernikahan usia anak lebih baik dilakukan dibandingkan dengan penindakan pernikahan usia anak. Akan tetapi, hendaknya pencegahan pernikahan usia melalui nota kesepahaman bukan hanya untuk menekan nihilnya angka pernikahan usia anak di berbagai dukuh sebagian bentuk prestasi. Akan tetapi, lebih

38 |

dihayati secara mendalam dan komprehensif, di mana pencegahan pernikahan usia anak sebagai bentuk upaya menyelamatkan anak dari perlakuan tak adil baik dari Undang-undang, masyarakat, maupun keluarga. Dan hendaknya, sosialisasi terhadap resiko-resiko baik terhadap kesehatan medis, ekonomi, dan psikologis lebih menjadi fokus utama. Dan semoga Rancangan Perppu Pencegahan dan Penghapusan Pekawinan Usia Anak dapat disahkan dan segera menjadi dasar hukum untuk kasus pernikahan usia anak.

Referensi: BKKBN. (2012). Kajian pernikahan dini pada beberapa provinsi di Indonesia: Dampak overpopulation, akar masalah dan peran kelembagaa daerah. Diakses pada tanggal 8 Mei 2016 dari http://web. bkkbn.go.id/po-content/ po-upload/hasil_pernikahan_ usia_dini_BKKBN_PPT_ RS_%5BRead-Only%5D.pdf. Candraningrum, D. (2016). Pernikahan anak: Status anak perempuan?. Jurnal Perempuan, Vol.21 (1): 4-8. Gizi Tinggi. (2016). Angka pernikahan dini di Indonesia peringkat kedua di Asia tenggara. Diakses pada tanggal 8 Mei 2016 dari http://gizitinggi.org/angkapernikahan-dini-di-indonesiaperingkat-kedua-di-asiatenggara.html.

Grinjs, M., Limijaya, S., Agustinah, A., Retuningrum, N. H., Fathurrohman, I. H., Damayanti, V. R., and Harahap, R. A. (2016). Pernikahan Anak di Sukabumi Jawa Barat: Diri dan Agensi Anak Perempuan. Jurnal Perempuan, Vol.21 (1): 9-31. Kementerian Kesehatan RI. (2015). Infodatin: Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kesehatan Kementerrian RI. Rancangan Perppu Pencegahan dan Penghapusan Pekawinan Usia Anak. (18 Maret 2016). Kearah Perppu tentang Pencegahan dan penghapusan Perkawinan Anak. Sari, N. (2011) Dispensasi nikah di bawah umur: Studi kasus di pengadilan agama Tangerang Tahun 2009-2010 (Skripsi). Jakarta: UIN Syarif Hidayahtullah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Online). Diakses pada tanggal 27 November 2015 dari http://www. depkop.go.id/attachments/ article/1465/02.%20UU%20 No.%2023%20Tahun%20 2002%20tentang%20 Perlindungan%20Anak.pdf.

Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Judul Penulis

: Ketika Ibu Rumah Tangga Membaca Televisi : Darmanto dkk

Lesehan Buku

Tahun penerbitan : 2012 Tebal

: xii + 142 halaman

Penerbit

: Matamedia Press

Ketika Perempuan Melawan Televisi

B

uku inspiratif yang mengulas peran pe­ rempuan untuk gerakan literasi media. Kaya akan pengalaman baru. Sayang, kurang jeli dalam membidik target ikhwal pihak mana yang harus bertanggungjawab memberikan pendidikan melek media. Jika dibekali kemampuan literasi media, perempuan [baca: Ibu Rumah Tangga diyakini akan sanggup men­ jadi agent yang signifikan mengubah pola menonton yang tidak sehat. Begitu kira-kira pesan yang hendak disampaikan buku ini. Pesan lain dari buku ini sebenarnya untuk melindungi anak-anak dari pengaruh tidak sehat, akibat paparan siaran televisi yang kurang mendidik. Namun tujuan tersebut akan bias tercapai secara efektif jika penyampaiannya tidak langsung ke anak-anak, me­ lainkan melalui orang tua, terutama pihak ibu. Di tengah derasnya terpaan televisi di Indonesia, sudah semestinya khalayak, dan terutama para ibu dibekali pengetahuan agar dapat ber­sikap bijak. Pendidikan melek media, memiliki be­ berapa keuntungan, an­ tara lain cita rasa beragam pesan media, memberdaya pengontrolan program media dan membantu mengenali tujuan media (Potter, 2008). Keperkasaan media secara

kontinyu mengalami pilihanpilihan khalayak sehingga media dapat membangun kebiasaan menonton (habitual axposure) hanya pada se­ jumlah media. Akibatnya, banyak orang dirugikan oleh karena tidak memiliki informasi atau tontonan yang beragam sekaligus mendidik. Bukan tanpa alasan jika ibu sanggup menjadi agent yang efektif memberikan edukasi bagi anak, termasuk juga suami, agar memiliki kemampuan melek media. Jika para ibu dibekali ke­ mampuan literasi, maka mereka akan melakukan pendampingan ketika anakanak menonton televisi. Selain itu, posisi ibu dalam rumah tangga di Indonesia sangat strategis, mengingat ia dapat pula memengaruhi para suami dan anggota keluarga lainnya secara keseluruhan. Multi player effect yang tinggi inilah yang menjadi dasar pijakan mengapa ibu-ibu rumah tangga menjadi begitu penting dalam pendidikan melek media. Berbagai analisis dampak siaran televisi bagi masyarakat menunjukkan adanya permasalahan yang cukup rumit. Kekerasan dan seksualitas di televisi, dikritik oleh berbagai kalangan se­ bagai penyebab berbagai kemerosotan moral dan ke­­manusiaan. Perilaku kekerasan, hedonisme,

konsumerisme dan hilangnya insting kemanusiaan menjadi fenomena yang terus me­ rebak. Limpahan tayangan di televisi tak kunjung men­ cerdaskan khalayak. Isi media tak lagi dibarengi de­ngan siaran yang mendidik. Orientasi industri media diduga telah dikendalikan oleh penguasa media yang berkolaborasi dengan aktoraktor politik dan ekonomi pasar [hal, 18]. Akibatnya, masyarakat sebagai penonton siaran televisi tidak mempunyai kuasa atas remote control pesawat televisi yang di­ pegangnya. Tidak ada pilihan untuk menonton siaran televisi yang baik. Nyaris semua siaran televisi swasta menyuguhkan nilai yang telah dibaurkan dalam berbagai program siaran hiburan dan informasi yang bahkan kerap diubah menjadi panggung atraksi politik semata [Hermanto, 2010]. Menuju Keluarga Melek Media Dipilihnya ibu [perempuan] sebagai agent dalam proses pengenalan literasi dan melek media bertujuan utama untuk membentuk keluarga melek media. Dalam kaitan ini, ibu diposisikan sebagai kelompok yang memiliki peran penting dalam interaksi dan manajemen keluarga.

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 39


Lesehan Buku Pandangan ini menempatkan ibu sebagai pelaku aktif dalam pembelajaran melek mediadi tengah masyarakat. Tipologi masyarakat yang masih sangat dipengaruhi oleh warna dan corak keluarga juga menjadi alasan mengapa agenda ini diarahkan untuk mendorong terbentuknya keluarga melek media dan bukan semata perseorangan. Keluarga sebagai unit sosial terkecil,berpotensi menjadi satuan yang mengontrol anggotanya dalam melakukan aktifitas menonton televise. Terbentuknya keluarga melek media akan lebih mudah mempengaruhi perubahan pola menonton dan cara pandang terhadap tayangan televisi dibandingkan jika perubahan yang bersifat individual semata. Pengakuan dari beberapa peserta program menunjukkan bahwa pengetahuan melek media tidak hanya dipahami sebagai pengetahuan personal oleh ibu-ibu, namun sedapat mungkin diupayakan menjadi pemahaman berbasis keluarga [hal, 128]. Perubahan poal me­ nonton dan pembentukan aturan menonon televisi mi­ salnya, tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan semua atau sebagian anggota keluarga. Pemahaman yang terbatas pada sebagin anggota ke­ luarga tentang melek media serta keterlibatan yang hanya melibatkan ibu, cenderunga akan menghambat penerapan aturan menonton. Penerapan peraturan menonton hanya atau penyaringan tontonan TV hanya akan efektif

40 |

dengan pelibatan seluruh anggota keluarga. Ayah, anak dan orang tua yang tinggal dalam keluarga perlu memiliki kesepahaman yang sama tentang tayangan televisi. Ketidaksamaan paham tentang tayangan televisi dan dominasi, menjadi faktor pengahambat dalam penerapan peraturan keluarga. Sebaliknya, keterlibatan aktor inti keluarga [suami-isteri] menjadi aktor penentu utama. Sebagaimana diketahui bersama bahwa di Indonesia, televisi hadir di ruang ke­ luarga, di mana anggota keluarga biasa berkumpul dan berbagi satu sama lain. Bagi kalangan masyarakat menengah ke atas, selain di ruang keluarga, televisi bahkan hadir di kamar pribadi tiap-tiap anggota keluarga. Aktivitas menonton televisi berlangsung dalam ranah keluarga, antara orang tua, anak dan anggota keluarga lainnya. Begitulah kekuatan utama televisi: kehadirannya di tengah-tengah keluarga, mulai dari masyarakat miskin perkotaan, masyarakat desa yang bersahaja, hingga kaum menengah ke atas di kota-kota besar [Ibrahim, 1997: 255-261]. Kekuatan selanjutnya terletak pada karakter audiovisual yang ditampilkan di dalam ma­ syarakat Indonesia, citra audio visual ini menempati posisi sentral karena televisi hadir ketika budaya baca masyarakat yang belum terbentuk. Fenomena ini yang kemudian menciptakan

budaya menonton yang kuat, di mana salah satu karakternya adalah mudah terbawa oleh citra-citra audiovisual tersebut. Keperkasaan televisi benar-benar tanpa penghalang ketika berhadapan dengan anakanak dan remaja. Dengan tingkat pemahaman yang relatif masih lemah dan emosi yang labil, visualisasi televisi secara langsung akan menerpa mereka. Perilaku, gaya berpakaian, gaya berbicara dan gaya hidup mereka berasal dari televise, entah dari iklan, infotainment, sinetron dan film. Anak-anak merupakan korban pertama yang terpapar oleh pengaruh televisi. Celakanya, ibu-ibu rumah tangga, secara tidak sadar telah memercayai televisi sebagai ‘pengasuh’ yang baik. Jika dihadapkan dengan televisi, anak-anak cenderung diam dan asyik menikmati siaran sehingga dapat ditinggalkan sendirian, sementara sang ibu dapat menyelesaikan pekerjaan rumah yang lain. Lain halnya bagi para remaja. Meski lebih baik dalam proses memahami acara-acara yang ditayangkan televisi, remaja berada dalam situasi psikologis yang kritis. Awalnya, tayangan-tayangan televisi mereka pandang sebagai hiburan semata, atau rekaan citra-citra semu. Namun seiring semakin tingginya intensitas menonton televisi bersamaan dengan semakin rendahnya intensitas sosial langsung di masyarakat, citra-citra yang tadinya semua Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Dapur Rifka perlahan menjadi sesuatu yang nyata-nyata diimpikan, yang pada akhirnya menjelma menjadi realitas [fact] itu sendiri [Gerbner, 1967]. Batas antara citra [image] dengan realitas [fact] pun menjadi kabur. Pada titik inilah, televisi akan menjadi guru yang mengajarkan bahwa ceritacerita yang mereka sajikan merupakan realitas yang senyatanya [hal, 20]. Berbagai Kendala Gerakan melek media, sejatinya bukanlah gerakan yang seksi dan mendapat dukungan media itu sendiri. Sangat sedikit media [khususnya televisi] yang bersedia mempublikasikan gerakan melek media di kalangan masyarakat. Sebagai sebuah gerakan, tantangan ke depan adalah memperluas dukungan publik, mengingat dibutuhkan strategi kampanye yang efektif termasuk penggunaan media yang tepat guna memperluas dukungan terhadap gerakan melek media. Dengan demikian, gerakan melek media akan mampu berkontribusi dalam pengembangan masyarakat, khususnya demokratisasi penyiaran di Indonesia. Gerakan ini juga sekaligus merupakan upaya melindungi konsumen dari dampak buruk media [televisi] terhadap khalayak. Berbagai manfaat, seperti pengetahuan tentang cara fasilitasi diskusi, pengetahuan tentang media massa, pengenalan lebih mendalam terhadap media televisi, pengetahuan dunia anak dari berbagai

sudut pandang hingga cara mengembangkan interaksi dalam kelompok dipaparkan dengan lugas dalam buku ini. Bahkan peserta juga dibekali pengetahuan akan proses pembuatan acara televisi. Bekal yang sangat bermanfaat bagi peserta untuk memahami perbedaan jenis tayangan program televisi yang termasuk kategori fiksi [rekaan] dan fakta [sungguh-sungguh terjadi], yang diharapkan dapat ditransformasikan kepada anggota keluarga dan lingkungan sekitar mereka. Bekal pengetahuan tersebut akan meningkatkan kemampuan dalam memilih tayangan program yang berkualitas [mendidik] berkualitas, memilih dan memilah acara-acara yang patut ditonton sekaligus membangun daya kritis terhadap semua informasi yang berasal dari televisi. Ditulis berdasarkan pengalaman para peserta program literasi media, buku ini juga menyuguhkan testimoni untuk memberikan gambaran mengenai pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh program literasi dari sudut pandang subjek yang menjadi sasaran. Dengan demikian, diharapkan keaslian pendapat bisa lebih ditampilkan dan sangat berguna untuk memberi banyak masukan yang lebih inspiratif, terutama bagi pengembangan program literasi media televisi di Indonesia ke depan. Dengan format penulisan popular dengan lebih mengedepankan

gagasan, ide serta pemikiran ibu-ibu peserta program, buku ini justeru lebih aplikatif. Penyajian yang ringkas dengan tata letak yang sederhana namun menarik, buku ini akan mudah dicerna oleh ibu oleh ibu-ibu rumah tangga yang pada umumnya telah suntuk dengan tugastugas domestik. Beberapa hal yang menjadi catatan kritis terhadap penulisan buku ini ada pada aspek metodologi. Dengan menggunakan sample masyarakat kota [urban] dan pedesaan [rural], apakah permasalahan literasi media bagi masyarakat kota lebih kompleks bagi masyarakat desa, atau justeru sebaliknya?; Apakah dibutuhkan pendekatan yang juga berbeda dalam penyelenggaraan literasi media untuk kedua basis masyarakat yang berbeda karakter sosialnya itu?; Jika iya/tidak, bagaimana model pendekatannya yang seharusnya diambil?; Bagaimana membangun gerakan literasi media agar terjaga kesinambungannya? Betapapun, buku ini telah memberikan sumbangan pemikiran berbasis pengalaman lapangan bagi kemajuan dan pengembangan ilmu pengetahuan, terutama di bidang literasi media. [] Arifuddin Kunu Relawan Rifka Media

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 41


Dapur Rifka

Berstrategi dengan Seni, Bicara Lewat Nada Defirentia One Manajer Humas dan Media - Rifka Annisa | defirentiaone@yahoo.co.id

T

idak berlebihan jika saya mengatakan bahwa seni dan aktivisme adalah dua hal yang bisa terjalin romantis. Aktivisme dengan segala bentuk kampanyenya adalah salah satu proses penting yang perlu dikemas secara unik dan kreatif, layaknya kemasan sebuah seni. Sebab, ada situasi yang membuat aktivisme ini tidak hanya memuaskan diri sendiri namun juga mampu dinikmati oleh audiens yang lebih luas. Dalam hal ini, aktivisme dan seni ibarat dua sejoli yang sedang bertransformasi. Hampir 23 tahun, Rifka Annisa semakin kreatif dalam mengeksplor bentukbentuk kampanye. Kampanye dilakukan dengan mengusung konsep-konsep yang unik, memanfaatkan media yang berbeda, sekaligus melibatkan relawan-relawan dari bermacam latar belakang profesi dan keahlian. Berbagai komunitas kreatif ikut andil dalam proses transformasi ini Salah satu komunitas yang selama ini terlibat aktif dalam kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah Rannisakustik. Komunitas Rannisakustik berdiri sejak 2008, diinisiasi oleh beberapa orang yang aktif di dalam kegiatan Rifka Annisa seperti Ramses, Indria Pratiwi, Nur Hasyim, Aditya Kurniawan,

42 |

dan beberapa orang lainnya. Dalam kurun waktu itu, Rannisakustik menyampaikan lagu-lagu tentang pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, tetapi baru sedikit lagu yang diciptakan sendiri olehnya. Dalam perkembangannya, Rifka Annisa dan Rannisakustik menghelat workshop cipta lagu yang diikuti para aktivis perempuan. Sayangnya, workshop ini tidak langsung menampakkan hasil lagu-lagu yang dapat dimainkan oleh Rannisakustik dan direkam. Workshop ini kurang berhasil dalam melahirkan produk konkret hasil perkawinan antara seni dan aktivisme karena tidak melibatkan musisi dan seniman. Pada 2014, dilakukan workshop cipta lagu yang kedua, bekerjasama dengan Forum Pencipta Lagu Muda (FPLM), yang anggotanya terdiri dari musisi sekaligus seniman. Dari workshop yang kedua ini tercipta 20 lagu yang kemudian direkam. Tidak berhenti disitu, selepas workshop dilakukan launching album hasil karya para peserta bertempat di Lembaga Indonesia Perancis (LIP) Yogyakarta. Selain itu, pengenalan lagu-lagu tersebut ke publik juga dilakukan melalui talkshow di Radio Geronimo dan Istakalisa, serta

menampilkannya di Jogja TV dalam acara Jogja Music Nation. Pentas demi pentas dilakukan oleh Rannisakustik. Melalui roadshow ke sekolahsekolah, mengisi acara seminar, hingga ‘ngamen’ di jalanan dalam rangkaian aksi damai hari anti kekerasan terhadap perempuan, Rannisakustik semakin dikenal oleh khalayak dan telah menyatu dalam entitas aktivisme untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Konsep pentas pun berkembang, tidak sekadar menyajikan lagu sebagai pengiring suatu acara, tetapi kemudian melalui ‘Diskusi Musikal’ Rannisakustik menekankan bahwa lagulagu itulah inti kampanyenya. Mereka bernyanyi lalu berdiskusi. Bermain dengan seni dan tetap kritis dengan semangat aktivis. Selain itu, orang yang awam mengenai musik pun bisa bergabung dalam workshop cipta lagu yang diadakan Rannisakustik. Dengan begitu, mereka berbagi asa dan bercerita menggali pengalaman personal terkait kekerasan berbasis gender. Rannisakustik telah berbagi tentang keindahan seni tanpa dominasi, tentang bernyanyi yang tak hanya milik para musisi. Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Liputan INTERNATIONAL WOMEN’S DAY; Aksi Damai Tingkatkan Advokasi Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak

S

elasa, 8 April 2016, Rifka Annisa bekerjasama dengan Jaringan aktivis Gunungkidul, beberapa LSM Gunungkidul, Sekolah perempuan Srikandi Handayani, IPNU/IPPNU Gunungkidul, PKBI, FPK2PA, dan beberapa komunitas Rifka Annisa mengadakan aksi damai dalam perayaan peringatan Internation Women’s Day yang jatuh setiap tanggal 8 April. Aksi diadakan di depan kantor DPRD Gunung kidul. Terlaksananya kegiatan aksi damai didasari oleh banyaknya data kasus kekerasan yang terjadi di Gunungkidul antara lain; data Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul kasus persalinan remaja tahun 2014 mencapai 372 kasus, dan di tahun 2015 sampai bulan Oktober mencapai angka 340 kasus. Sementara itu perkara dispensasi kawin di Pengadilan Agama Wonosari pada tahun 2012 tercatat sebanyak 172 perkara, tahun 2013 sebanyak 161 perkara, tahun 2014 sebanyak 146 perkara, dan tahun 2015 sebanyak 109 perkara. Kasus-kasus tersebut menambah deretan jumlah kehamilan dikalangan remaja

dan kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten Gunungkidul. Sedangkan untuk kasus kekerasan seksual di Gunungkidul berdasarkan kasus yang masuk ke Rifka Annisa WCC, pada tahun 2014 terdapat 11 kasus yang mayoritas menimpa remaja. Dan pada tahun 2015, kasus kekerasan seksual di Gunungkidul naik menjadi 15 kasus. Sebagian besar korban berusia anak dan remaja dengan rata-rata usia 8-17 tahun. Abdur Rokhim salah satu staf Divisi Pengorganisasian Masyarakat menjelaskan bahwa tujuan dari aksi damai adalah supaya angka kekerasan semakin menurun, pemerintah bisa lebih konsen pada pencegahan dan penanganan kasus kekerasan, dan adanya penengakan hukum bagi korban dan pelaku, sehingga pelaku kekerasan dapat ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Selain itu Abdur Rokhim juga menyatakan, membutuhkan kerjasama dan komitmen semua pihak diantaranya: eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif, serta peran orang tua, guru dan masyarakat dalam mencegah

kehamilan dan kekerasan seksual pada anak. Karena ini merupakan tanggungjawab kita bersama.� Ada beberapa pernyataan sikap yang disuarakan dalam aksi damai tersebut, antara lain: para orang tua agar lebih peduli terhadap pengasuhan dan pendidikan anak, mengajak seluruh elemen masyarakat dan ormasy untuk peduli terhadap pencegahan kekerasan terhadap anak, mendesak pemerintah desa agar membentuk Forum Anak Desa, dan mendorong kebijakan desa yang peduli anak serta mengaktifkan jam belajar masyarakat, mendesak para guru agar menjelaskan fungsinya sebagai pendidik disamping sebagai pengajar, pemerintah Kabupaten Gunungkidul agar memaksimalkan implementasi Perda no. 25/2012 tentang perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan serta segera mengeluarkan kebijakan terkait standarisasi bilik warnet, dan anggota DPRD Gunungkidul agar bersikap atas maraknya kasus kehamilan dan kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Gunungkidul. [] Khoirun Ni’mah

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 43


Liputan

MASYARAKAT PERLU “MELEK” HUKUM

J

umat, 15 April 2016, Rifka Annisa bekerjasama dengan BPHN Kementrian Hukum dan HAM mengadakan penyuluhan hukum tentang kekerasan terhadap perem­ puan dan anak. Acara di­ mulai dari pukul 14.00 sam­pai dengan pukul 16.00 WIB dengan mengundang peserta dari ibu-ibu PKK, pemuda Karang Taruna, dan masyarakat sekitar di Desa Semanu. Pada sesi sambutan, Kepala Desa Semanu me­ nyampaikan ucapan terima­ kasih atas kesempatan dan kerjasama yang diberikan oleh Rifka Annisa dan Kementerian Hukum dan HAM Yogyakarta sehingga dapat terselenggara penyuluhan hukum tentang kekerasan terhadap perem­ puan dan anak, di Desa Semanu. Beliau berharap dengan adanya kegiatan semacam ini, pemahaman dan kepekaan warga ma­ syakarat Desa Semanu se­ makin meningkat, sehingga kedepannya ini dapat di­ gunakan sebagai upaya preventif atas kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain itu acara ini diharapkan dapat lebih me­ ningkatkan keharmonisan dalam keluarga dan rumah tangga.

44 |

Kegiatan yang berlangsung di Balai Desa Semanu, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, DIY ini diisi oleh dua pembicara, yakni Nurul Kurniati, S.H salah satu konselor hukum dari Rifka Annisa WCC, dan Nurul Rina, S.H dari Kementerian Hukum dan HAM Yogyakarta sebagai pembicara kedua. di awali dengan pemutaran sebuah film yang berjudul ‘’ Impossible Dreams’’ ber­ kaitan dengan kekerasan ter­hadap perempuan dan anak di lingkungan keluarga. Nurul Kurniati memberikan pertanyaan kepada peserta tentang apa pendapat peserta terhadap film yang telah di putar tersebut. Beberapa peserta menyatakan bahwa apa yang tergambar di dalam film tersebut, hampir sebagian besar mereka rasakan di ling­kungan keluarga mereka. Selanjutnya, pembicara menjelaskan mengenai apa itu kekerasan. Nurul Kurniati, juga men­ jelaskan bahwa kekerasan adalah tindakan yang di­ lakukan oleh seseorang yang mengakibatkan penderitaan baik lahir maupun batin atau setiap perbuatan yang diaki­batkan oleh pelaku yang mengakibatkan ketidaknyamanan pada orang

lain. Rekasi terhadap ada­ nya kekerasan tersebut di­ pengaruhi oleh beberapa hal, seperti intensitas dan bentuk kekerasan yang berulang, mo­ dus peristiwa, kemampuan coping individu, ada tidaknya dukungan keluarga dan ma­ syarakat, serta kedekatan hu­bungan dengan pelaku. Nurul Rina sebagai pe­ materi kedua menjelaskan bah­wa bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan pem­ beri bantuan hukum kepada pe­nerima bantuan hukum. Pemberi Bantuan Hukum ada­lah advokat yang termasuk da­lam kelompok pemberi ban­­tuan hukum, sedangkan penerima bantuan hukum adalah masyakarat miskin yang memiliki kartu tidak mam­pu. Ruang lingkup dari bantuan hukum sendiri adalah Litigasi yaitu penyelesaian ma­ salah melalui pengadilan, baik pidana maupun per­data. Selain itu juga dari ling­kup non Litigasi, yaitu penyelesaian perkara di luar pengadilan. Nurul Rina juga menjelaskan bahwa syarat yang paling penting untuk dapat me­ne­rima bantuan hukum yaitu se­seorang yang memiliki SKTM ( Surat Keterangan Tidak Mampu) dan Kartu Identitas. [] Khoirun Ni’mah. Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Liputan

SADAR GENDER TANGGUNGJAWAB KITA BERSAMA

R

abu, 30 Maret 2016, Rifka Annisa menjadi fa­silitator di hari ke-dua dalam pelatihan ber-te­makan “pembetukan kelompok sadar Gender”, yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Keluarga Berencana (BPMPKB) Gunungkidul. Sepuluh pasangan yang telah menikah menjadi peserta dalam acara yang bertempat di Balai Desa Jetis, Kecamatan Saptosari, Gunungkidul tersebut. Acara dimulai dari jam 09.00 WIB sampai dengan 12.00 WIB. Ani Rufaida selaku fasilitator dari Rifka Annisa menjelaskan, “Ketika berbicara soal gender, sebenarnya kita sedang berbicara tentang diri kita masing-masing, bagaimana relasi kita dengan pasangan, relasi dengan keluarga, dan relasi dengan lingkungan sekitar.” Hal ini menjadi pengantar bagi fasilitator untuk menggali cerita dan pengalaman peserta terkait kehidupan sehari-hari mereka. Di sesi perkenalan peserta

diminta untuk menyebutkan nama, kegiatan sehari-hari, dan mengungkapkan hal apa yang paling membanggakan dari keluarga mereka. Yatinem warga Jetis Saptosari mengungkapkan, “Hal yang paling mem­ banggakan dalam keluarga saya adalah suami saya seorang yang multy fungsi. Dia selalu siaga membantu saya ketika saya merasa kelelahan dalam melakukan tugas-tugas rumah tangga”. Tak jauh berbeda dengan cerita pak Roni yang mengatakan, “Kami saling melengkapi. Saya pekerjaannya menjahit, dan istri yang bagian memotong bahannya. Dan terkait pekerjaan rumah tangga kami melakukan bersama, sopo selo.” Pada pertengahan sesi materi, peserta di putarkan film animasi pendek yang berjudul “imposible Dream”. Dalam film itu menggambarkan bagaimana kehidupan sebuah keluarga yang tidak ada kerja­ sama. Suami bekerja dipabrik,

dan istri memiliki be­ban ganda karena selain mengurus se­ mua pekerjaan rumah tangga, ia juga bekerja di pabrik tekstil sebagai penjahit dengan upah yang terhitung rendah. Film ini bertujuan untuk menggali emosi peserta, bagaimana jika situasi dalam film tersebut dialami oleh mereka sendiri. Sebagai kesimpulan akhir faslitator menjelaskan bah­wa peran siapa yang akan bekerja untuk mencari uang dan siapa yang akan di rumah mengurus urusan do­mestik itu tergantung kesepakatan bersama antara suami dan istri. Akan tetapi tanggungjawab atas keluarga itu milik keduanya baik istri maupun suami. Selain itu juga dalam hal pengasuhan anak. Siapa yang lebih sering men­ dampingi anak, menemani anak belajar, itu tergantung kesepakatan berdua. Akan te­tapi tanggungjawab utama dalam pengasuhan anak sampai dia tumbuh dewasa merupakan tanggungjawab keduanya yakni antara suami istri. [] Khoirun Ni’mah

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 45


Memoar

AKU TIDAK AKAN TERHENTI

B

ocah ayu itu bernama Ananda. Usianya se­ karang 15 tahun. Beberapa bulan lagi, Ananda akan menjadi seorang ibu. Liku hidup Ananda berawal dari pertemuannya dengan Aji, seorang maha­ siswa yang dikenalnya dalam sebuah acara. Se­telah ratusan pesan saling terpampang di layar hand­phone keduanya, mereka pun berpacaran. Perubahan status ini membuat keduanya semakin sering ber­ balas pesan maupun bertemu berdua. Ananda merasa nyaman ber­sama Aji. Namun, tanpa di­sa­ darinya kenyamanan itu per­ lahan men­jadi belukar yang membingungkannya. Isi pesan Aji tidak lagi sekedar menanyakan kabar tapi juga menanyakan tentang hal-hal bersifat seksual. Per­ temuan mereka tidak hanya berisikan cerita tapi juga bu­ jukan melakukan hubungan seksual, Aji bilang sebagai bukti sayang. Ananda tidak tahu pada siapa ia bisa mengurai kebingungannya. Tidak mungkin pada orangtua yang ia sembunyikan hubungan ini dari keduanya, tidak pula pada teman-teman yang akan menjauhinya, begitu pikir Ananda saat itu. Yang Ananda tahu Aji memberikan perhatian yang diinginkannya, maka se­bagai timbal baliknya ia pun memberikan “kasih sayang” seperti yang diinginkan

46 |

Aji. Ananda sangat takut kehilangan Aji. Ananda semakin ke­ bingungan ketika menyadari bahwa sudah dua bulan ia tidak menstruasi. Apalagi saat ibu mulai curiga de­ ngan berbagai perubahan perilakunya dan mengajaknya periksa ke dokter Obsgyn yang menyatakan bahwa: ada janin bertumbuh dalam perut mungilnya. Akhirnya, Ananda menceritakan hubungannya dengan Aji pada orangtuanya. Tergambar jelas raut ke­ kecewaan dan kesedihan di wajah keduanya. Ananda luluh lantak. Apalagi ketika ibu dan ayah memeluknya, menyemangatinya untuk terus berjuang bersama. Ananda mengerti inilah sebenarbenarnya kasih sayang yang selama ini diabaikannya. Pengertian ini membantu Ananda memutuskan untuk tidak menikah dengan Aji. Ananda dan orangtuanya melaporkan Aji karena telah melakukan tindakan cabul pada anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari bentuk kekerasan apapun. Bukan balas dendam yang melatarbelakangi pelaporan ini. Ananda dan orangtua ingin Aji belajar agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Tanpa proses hukum, Aji bisa jadi mengulangi perbuatannya pada Ananda atau .perempuan lain.

Peristiwa ini juga bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat bahwa aktivitas seksual pada anak adalah bentuk kekerasan yang memiliki konsekuensi hukum. Kesadaran ini di­ harapkan dapat melindungi anak menjadi korban kekerasan seksual oleh siapa pun di masa depan. Selain itu, Ananda masih ingin sekolah, bertemu dengan teman-teman se­ bayanya, meraih mimpi di masa depan, menjadi mandiri dan bertanggung jawab bagi dirinya sendiri dan juga bayi yang sedang dikandungnya. Orangtuanya pun mendukung pilihan ini sebab menurut me­­ reka pernikahan justru akan membuat penderitaan baru bagi Ananda dan meng­ hilangkan hak Ananda sebagai seorang anak untuk bercitacita. Walaupun demikian, berat bagi Ananda untuk tetap bersekolah di SMPnya dulu. Ananda masih takut dengan pandangan negatif yang mungkin diterimanya dari beberapa teman mau­pun gurunya. Ananda pun memutuskan untuk me­lanjutkan pendidikannya melalui paket B. Bagi Ananda dan orangtuanya tak ada yang bisa menghalangi keinginan yang besar untuk terus belajar. Meskipun jalannya mungkin saja berbeda tapi jalan itu terus terbentang panjang untuk masa depannya. Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Wawancara

PERNIKAHAN USIA ANAK PERLU DITANGANI LINTAS SEKTOR

P

ernikahan usia anak merupakan salah satu tantangan serius bagi pengambil kebijakan serta pegiat perlindungan anak dan Perempuan di berbagai belahan dunia. Pernikahan usia anak seringkali menyisakan persoalan yang kompleks baik bagi mereka yang menikah di usia anak maupun bagi generasi yang dilahirkan selanjutnya. Untuk melihat bagaimana perspektif UNICEF Indonesia dalam melihat persoalan pernikahan usia anak, Jumat tanggal 29 April 2016, pemimpin redaksi Rifka Media, Khoirun Ni’mah menemui Ali Aulia Ramly, spesialis Perlindungan Anak UNICEF Indonesia. Kebetulan saat itu Ali menjadi fasilitator dalam Workshop Persiapan Penelitian tentang Children’s Views on Childhood Violence Research In Indonesia selama dua minggu di Aula Rifka Annisa WCC. Laki-laki yang menjadikan Yogyakarta sebagai salah satu wisata favoritnya ini memperbincangkan bagaimana strategi dan upaya dalam pencegahan terjadinya pernikahan usia anak. Berikut ini rangkuman wawancaranya. Bagaimana pandangan UNICEF tentang pernikahan usia anak? UNICEF Indonesia memandang bahwa

pernikahan usia anak adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak anak. Pernikahan usia anak bisa menyebabkan anak kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk hidup sehat dan tumbuh kembang, serta akan meningkatkan resikoresiko termasuk eksploitasi anak. Hal ini tidak hanya bagi anak perempuan tetapi juga generasi yang dilahirkan yakni anak-anak dari mereka yang menikah di usia anak tersebut. Sejauh ini, adakah temuan menarik dari UNICEF tentang persoalan pernikahan usia anak? UNICEF baru saja mendukung BPS (Badan Pusat StatistiK) yakni lembaga pemerintah non kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, untuk menganalisis hasil sensus, hasil survei dasar keluarga Indonesia guna melihat besaran persoalan pernikahan usia anak. Selain itu juga untuk melihat bagaimana hubungan pernikahan usia anak dengan pendidikan, tingkat kesejahteraan keluarga, maupun kematian ibu dan bayi. Kita memang belum mengeluarkan angkanya secara resmi karena masih menunggu. Tapi temuannya adalah 1 dari 4 perempuan

menikah ketika belum berusia 18 tahun. Pada tahun 2010, sepertiga perempuan di dunia yang berusia 20-24 tahun menikah sebelum genap berusia 18 tahun. Kemudian data lain mengatakan diantara perempuan berusia 15-24 tahun di Asia Selatan, 48% atau setara dengan 9,7 juta perempuan menikah ketika belum berusia 18 tahun. Kira-kira faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya pernikahan usia anak? Faktornya banyak sekali tentu. Seringkali kita lihat video-video di berbagai negara tidak hanya satu faktor tapi banyak. Dan itu saling terkait antara satu faktor dengan faktor lainnya. Diantara faktor-faktor tersebut misalnya, adanya budaya di suatu daerah tertentu yang mengizinkan atau mendorong terjadinya pernikahan usia anak, rendahnya ekonomi dalam suatu keluarga yang berpengaruh pada rendahnya atau terptusnya pendidikan anak. Artinya anak dari keluarga ekonomi rendah dan tidak melanjutkan pendidikan, anak tersebut akan beresiko tinggi untuk dinikahkan pada usia anak. Selain itu dibanyak negara yang berkonflik, juga berkonstribusi meningkatkan resiko anak terutama anak perempuan untuk menikah diusia anak. Di Indonesia dalam waktu dekat ini, kita akan melakukan studi untuk mengetahui dan mempelajari apa yang menjadi penyebab atau pendorong terjadinya pernikahan usia anak.

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 47


Wawancara Sejauh ini, apakah UNICEF pernah meng­ adakan penelitian tentang Pernikahan Usia Anak? Termasuk Itu tadi, bahwa UNICEF juga men­ dukung BPS (Badan Pusat Statistik) untuk mengolah data yang telah dikumpulkan lewat survey-survey ekonomi sosial nasional, lewat survey dasar kesehatan Indonesia. Kemudian sensus tersebut untuk melihat keseluruhan aspek baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Seringkali dampak pernikahan usia anak dilihat dari sisi anak perempuan. Bagaimana dengan dampak yang dialami oleh anak laki-laki ketika ia menikah pada usia anak? Untuk anak laki-laki, sebenarnya beberapa studi mengatakan bahwa anak lakilaki juga beresiko menikah di usia anak walaupun seringkali yang dilihat dalam indikator global adalah anak perempuan. Tapi anak laki-laki juga banyak yang mengalami resikonya. Di Indonesia sendiri ketika melihat dari angka sensus dan mencari data adakah anak laki-laki yang menikah sebelum usia 18 tahun, angka itu cukup banyak. Anak laki-laki resikonya juga hampir sama dengan anak perempuan misalnya harus berhenti sekolah, pengaruh pada kesehatan reproduksinya, dan dia juga harus menanggung beban keluarga diusianya yang kurang dari 18 tahun. Hal ini secara mental bisa jadi dia tidak siap, sehingga dia akan rentan menjadi pelaku

48 |

kekerasan pada anak dan istrinya. Dalam ranah advokasi dan formulasi kebijakan, Bagaimana strategi UNICEF dalam mengadvokasi undangundang pernikahan yang gagal menaikkan batas usia pernikahan anak? Kita melihat masih ada satu kesempatan lagi. Mahkamah Kontitusi menyatakan bahwa pemerintah bisa menetapkan peraturan atau kebijakan untuk menaikkan usia pernikahan. Nah, ini yang merupakan kesempatan bagi kita untuk bisa meraih kesempatan tersebut. UNICEF telah berbicara dengan kementerian-kementerian terkait, yakni Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Perencanaan Nasional, dan juga Kementerian Pendidikan untuk memastikan isu pencegahan pernikahan usia anak menjadi isu prioritas, termasuk juga edukasinya. Sebenarnya Indonesia menjadi sangat maju dalam isu pencegahan pernikahan usia anak. Hal ini karena di pembangunan Jangka Menengah Nasional yakni tahun 2015 sampai tahun 2019 kedepan, pernikahan usia anak menjadi persoalan yang akan diselesaikan lewat berbagai sektorsektor perioritas. Persoalan pernikahan usia anak akan ada di sektor pendidikan, ada disektor kesehatan, dan sektor kependudukan. Dan tiap sektor tersebut punya tanggungjawab bagaimana

mereka bisa melakukan pencegahan pernikahan usia anak. Termasuk upaya penanagan dari persoalan pernikahan usia anak, pernahkah UNICEF menangani korban secara langsung dan berperan semacam lembaga layanan? UNICEF memang tidak menangani korban secara langsung, tapi UNICEF memiliki mandat untuk mendukung pemerintah dalam mengembangkan system, termasuk didalamnya untuk mengembangkan layanan dengan memperkuat strategi dan model-model pencegahan terjadinya pernikahan usia anak. Sejauh upaya yang telah dilakukan oleh UNICEF melalui intervensinya ke berbagai program pemerintah, bagaimana dengan hasil yang telah diperoleh? Secara langsung sebenarnya kita belum ada model intervensinya. Ada Emely yang sedang melakukan perancangan model intervensinya, dan mungkin dalam beberapa bulan kedepan intervensi itu akan kita mulai. Tetapi kita melihat bahwa isu pernikahan usia anak, dan pembahasan soal ini menjadi sangat maju saat ini. Dulu misalnya, tidak banyak yang berbicara tentang isu tersebut, tapi sekarang isu pernikahan usia anak menjadi popular dan juga masuk dalam rencana pembangunan Jangka Menengah Nasional. Selain itu publik juga berbicara sangat banyak soal isu pernikahan usia anak, Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Wawancara termasuk diantaranya kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi masyarakat bahkan juga agama. Dengan demikian, Ini menjadi satu kemajuan bahwa isu pernikahan usia anak sekarang menjadi perhatian publik maupun perhatian masyarakat. Lembaga atau organisasi mana saja yang telah bekerjasama dengan unicef dalam upaya pencegahan dan penanganan persoalan pernikahan usia anak? Diantaranya ada koalisi Delapan belas plus, termasuk di dalamnya ICJR (institute for criminal justice reform – lembaga Reformasi sistem pidana yang kantor pusatnya di Jakarta. ICJR tersebut merupakan inisiatif gerakan sosial yang bertujuan untuk untuk menghentikan perkawinan anak dan kawin paksa di usia muda di Indonesia. Bagaimana bentuk kerjasama UNICEF dengan pemerintah dalam pencegahan dan penanganan persoalan pernikahan usia anak? Dukungan utama UNICEF sebenarnya ada di pemerintah. Jadi didalam program rencana 5 tahun UNICEF dengan pemerintah dari tahun 2016 sampai dengan tahun 2020, pernikahan usia anak akan menjadi isu yang akan ditangani oleh lintas sektor. Dalam berbagai program dan rencana yang telah diupayakan oleh UNICEF dalam pencegahan

dan penanganan persoalan pernikahan usia anak, apa saja kendala maupun tantangan yang seringkali dihadapi? Dalam membuat setiap kebijakan, tentu akan membutuhkan epidents atau bukti-bukti. UNICEF saat ini membantu pemerintah untuk membuat kebijakan dan strategi dalam pencegahan pernikahan usia anak. Tetapi jauh sebelum itu, masih banyak hal yang harus difahami tentang pernikahan usia anak. Dan situasi seperti Indonesia yang sangat beragam dan luas ini, untuk mengumpulkan bukti-bukti sangat sulit. Dan apa saja sebenarnya yang perlu diupayakan untuk pencegahan-pencegahan dalam konteks yang berbedabeda itu tidaklah mudah dan menjadi tantangan tersendiri. Apa kira-kira rencana kedepan yang sedang disusun oleh UNICEF sendiri? Ada beberapa penelitian, dan salah satunya akan kita luncurkan hasil kajian dari SUSENAS, SDKI, dan sensus mengenai pernikahan usia anak bersama BPS. Mudahmudahan bisa bulan depan. Kemudian di bulan depan kita juga akan memulai kajian dan studi tentang apa sebabsebab terjadinya pernikahan usia anak. Salah satu patner kami juga saat ini sedang menyelesaikan laporan tentang dispensasi. Kita tahu bahwa persoalan dispensasi merupakan salah satu isu yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia anak.

Karena dispensasi itu ada dan diperbolehkan di dalam Undang-undang Perkawinan. Sebagai penutup, Adakah masukan atau saran bapak kepada para orang terkait apa yang perlu dilakukan supaya ini juga menjadi salah satu upaya dalam pencegahan pernikahan usia anak? Yang paling penting orang tua harus memprioritaskan pendidikan bagi anak-anaknya. Karena pendidikan merupakan salah satu cara untuk mengurangi resiko terjadinya pernikahan usia anak. Sedangkan secara ekonomi, ketika suatu keluarga mendapat masalah atau kesulitan untuk menanggung biaya sekolah anak, maka tidak perlu khawatir. Ada beberapa program pemerintah yang sebenarnya memberikan dukungan kepada keluarga ekonomi rendah untuk membantu biaya pendidikan anak. Ini juga merupakan salah satu upaya pemerintah agar para orang tua tidak membiarkan terjadinya pernikahan usia anak. Termasuk juga bagi para orang tua yang menjadikan pernikahan sebagai solusi atas persoalan ekonomi.

Rifka Media No.64 Februari-April 2016

| 49


Profile

SANG PAHLAWAN DARI JUTAAN ANAK INDONESIA

A

li Aulia Ramly Begitu nama lengkapnya, adalah laki-laki kelahiran Bogor yang menjadikan Yogyakarta sebagai tujuan wisata favorit­ nya. Selain makanan khas Jogja yakni Gudeg dan suasana budaya sehari-hari yang tenang dan kalem, Ali menyukai Jogja ka­rena keluarga dari istrinya adalah orang Yogyakarta asli. Ayah dari satu anak berusia lima setengah tahun ini se­ karang menjabat sebagai deputi spesialis perlindungan anak di UNICEF Indonesia. Setelah me­ nyelesaikan studi Sarjana strata 1 di program studi Psikologi Uni­versitas Indonesia, Mas Ali begitu ia biasa dipanggil me­lanjutkan studi S2 nya disalah satu dari 25 universitas terbaik Eropa, yakni Universitas Groningen. Kegemarannya dalam meng­ geluti isu-isu tentang anak telah mengantarannya pada gerbang dunia sosial untuk membantu jutaan anak di Indonesia. Berlatar belakang pendidikan sikologis, Laki-laki yang tertarik dengan seni fotografi dan music ini kemudian mengembangkan karirnya di UNICEF Indonesia. Sekilas tentang UNICEF Indo­ nesia, Ali menjelaskan bahwa UNICEF merupakan Badan PBB yang telah ada sejak 1950an. Tugas utama dari UNICEF

50 |

ini adalah untuk mendukung pemerintah dalam memenuhi dan melindungi hak-hak anak. Hal ini karena mandat utama UNICEF ada pada konvensi hak anak. Dalam kesehariannya bekerja di spesialis perlindungan anak, Ali menjelaskan ada be­berapa hal yang menjadi proiritas fokus dalam upaya perlindungan anak. Diantara prioritas tersebut adalah bagai­mana membantu sistem perlindungan anak, bagaimana cara mengembangkan sistem, memastikan kebijakankebijak­an politik, strategi, penganggaran, yang itu se­ suai dengan aturan-aturan Internasional yang dijalankan. Sebagai individu sosial pe­merhati persoalan anak, Ali memiliki pandangan bahwa masih ada layanan-layanan yang perlu diperkuat oleh pemerintah untuk anak-anak yang menjadi korban. Hal ini supaya programprogram nondiskriminasi bagi anak siap berjalan. Selain itu juga ada model-model untuk perubahan perilaku dan norma sosial agar anak-anak maupun keluarga serta masyarakat bisa menyuarakan hak anak dan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Sehingga kedepannya anak-anak Indonesia mendapat

perlindungan dan benar-benar terhindar dari segala bentuk kekerasan. Sejalan dengan keahlian­nya sebagai spesialis perlindungan anak Indonesia, dalam kerja­ sama antara UNICEF dan Rifka Annisa WCC, laki-laki yang memiliki hobi bersepeda ini terlibat dalam workshop persiapan penelitian tentang Children’s Views On Childhood Violence Research In Indonesia, sebagai fasilitator workshop selama dua minggu yang di­ selenggarakan di Aula Rifka Annisa WCC. Mengenai peran peme­rintah dalam upaya perlindungan anak, Ali menilai positif. Dia mengatakan, “Saya yakin bahwa Pemerintah Indonesia bergerak ke arah yang tepat. Merupakan tugas saya juga untuk me­ mastikan agar Pemerintah Indonesia menggunakan data dan mengembangkan kebijakan untuk menangani persoalan perlindungan anak. Seperti saya biasa berkata kepada anak saya – yang ayah kerjakan adalah memastikan bahwa dirinya, sepupu-sepupunya dan semua anak di Indonesia dapat bebas dari kekerasan”.

Rifka Media No.64 Februari-April 2016


Esai Foto

Teks dan foto: Tiwuk Lejar Sayekti

Pernikahan di usia anak masih dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari seks bebas atau jika terjadi kehamilan yang tidak diinginkan. Namun, pernikahan bukan sekadar menyatukan diri dalam suatu perkawinan sebagai jawaban atas permasalahan hidup yang sedang dihadapi. Pernikahan merupakan suatu tahapan hidup yang harus dipersiapkan dengan matang. Semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai oleh sang anak. Pernikahan anak menyebabkan anak tidak lagi bersekolah, karena kini ia mempunyai tanggungjawab baru untuk mengurus rumah tangga maupun menjadi tulang punggung keluarga dan keharusan mencari nafkah. Menunda usia pernikahan merupakan salah satu cara agar anak dapat mengenyam pendidikan lebih tinggi. Mari katakan TIDAK untuk pernikahan usia anak. Raih impian dan masa depan yang cerah.

Model: Bagus Aji Pamungkas, Vistaria Kusuma Wardani, dan Niken Anggrek -SMAN 1 Pundong-


Cover Belakang


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.