Rifka media No 67 "Kompleksitas Kekerasan Seksual di Institusi Pendidikan"

Page 1

media

Rifka Media No. 67 | November 2016 - Januari 2017

Perjuangan Perempuan Berkeadilan

Kompleksitas Kekerasan Seksual

di Institusi Pendidikan

ISBN 923019972-9

9 772301 99700 6

65


Gallery Rifka

ekerjasama Rifka Annisa b SMK di dengan empat lah satunya sa Gunungkidul, gsari untuk n a d e G SMK N 1 sialisasi so n ka a mengad kerasan pencegahan ke atan yang gi di sekolah. Ke Goes to a ifk “R a bertem elenggarakan is d i in l” Schoo ya, termasetiap tahunn Gedangsari 1 suk di SMKN l. u id gk n u Gun

Community Education adalah salah satu kegiatan sosialisasi pencegahan kekerasan di sekolah yang dipandu langsung oleh tim pendidik sebaya. Salah satu sekolah yang cukup committed dalam kegiatan ini adalah di SMKN 1 Ngawen.

un embang m a k g n Dalam ra rbasis sekolah, e sistem b isa bekerjasama n Rifka An inas Pendidikan D dengan n Gunungkidul e t Kabupa ngadakan ‘Work e a y m untuk u’ sebagai upa r shop Gu an dan penanga h . a h g sekola pence rasan di nan keke


Rifka Media No.67 November - Desember 2016

Daftar Isi

Jendela Menyuarakan Jalan Hukum untuk Penghapuskan Kekerasan Seksual di Institusi Pendidikan Khoirun Ni’mah | 05

Laporan Utama

Pendidikan Yang Berperan Bukan Berperang Bagus Ajy Waskyto | 06

Intervensi untuk Laki-Laki Sebagai Pelaku; Analisis pada Kasus Kekerasan Seksual Aditya Putra Kurniawan | 12

Meneropong Kekerasan Seksual pada Institusi Pendidikan dalam Diskurus Penegakan Martabat Kemanusiaan (Human Dignity) Etika dan Hukum Triantono | 22

Jalan Terjal Pelibatan Sekolah dalam Penanganan Kekerasan Seksual Pada Anak Defirentia One Muharomah | 26

Lesehan Buku Membongkar Mitos Tentang Menjadi Laki-Laki Khoirun Ni’mah | 33

Liputan

Kunjungan Delegasi ‘Women and Power’ di Rifka Annisa Defirentia One | 34

Pendidikan Setara Mulai Dari Keluarga Defirentia One | 35

Film Dokumentasi untuk Advokasi dan Sarana Berefleksi Defirentia One | 36

Pahlawanku Menodaiku Budi Wulandari | 37

Memoar Wawancara

Institusi Pendidikan Bukan Lahan Predator Seksual Lisa | 38

Sahabat Setiap Perempuan Indonesia Lisa | 41

Membaca Relasi Kuasa Dalam Kasus Kekerasan Seksual di Kampus Defirentia One| 42

Foto Essay Tiwuk Lejar Sayekti | 45

Penanggung Jawab: Suharti (Direktur Rifka Annisa) Pemimpin Umum: Defirentia One Pemimpin Redaksi: Khoirun Ni’mah Sekretaris Redaksi: Niken Anggrek Wulan Staf Redaksi: Triantono, Aditya Putra Kurniawan, Bagus Ajy, Niken Anggrek Wulan Fotografer: Tiwuk Lejar Sayekti Layout Desain: M. Iqbal Muttaqin Redaksi menerima tulisan dari pembaca sekalian terkait dengan isu-isu perempuan kepada khalayak yang lebih luas. Kritik dan saran kami tunggu di rifka@rifka-annisa.org.

Profile Dapur Rifka Esai Foto


Selamat pagi sahabat Rifka. Saya Karina di Yogyakarta. Saya selalu tertarik dengan kerja-kerja Rifka Annisa dalam pengorganisasian masyarakat untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk pencegahan KDRT. Saat ini saya sedang melakukan penelitian tentang strategi pengorganisasian masyarakat. Apakah Rifka Annisa bisa membantu?

SURAT PEMBACA Selamat siang Rifka Annisa. Saya adalah mahasiswa di salah satu Universitas di Yogyakarta. Dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Kriminalitas dan Masyarakat, saya dan teman-teman bermaksud ingin mengadakan kunjungan ke Rifka Annisa untuk wawancara terkait persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bagaimana prosedurnya? Terimakasih. Selamat siang Sahabat Rifka. Untuk perihal demikian, sahabat bisa langsung menghubungi nomor telepon kantor kami di 0274-553333 atau bisa datang langsung ke kantor kami di jln. Jambon 4, kompleks Jatimulyo Indah, Yogyakarta untuk mengirimkan surat permohonan wawancara. Kantor kami buka setiap hari senin-jumat pukul 08.30-16.30 WIB. Semoga membantu, salam.

Data Statistik

KTI KDP PKS Pelseks KDK

: Kekerasan Terhadap Istri : Kekerasan Dalam Pacaran : Perkosaan : Pelecehan Seksual : Kekerasan Dalam Keluarga

Selamat pagi juga Karina. Rifka Annisa memiliki layanan penelitian dan terbuka untuk siapapun yang tertarik dengan isuisu perempuan. Termasuk persoalan kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak dalam lingkup keluarga. Untuk mengakses layanan tersebut, sahabat dapat langsung datang ke kantor Rifka Annisa dengan membawa proposal penelitian. Kantor kami ada di jln. Jambon 4, kompleks Jatimulyo Indah, Yogyakarta untuk mengirimkan surat permohonan wawancara. Kantor kami buka setiap hari senin-jumat pukul 08.30-16.30 WIB. Atau bisa melalui email: rifkaannisa_rtc@hotmail.com. Hallo Rifka Annisa. Saya tertarik sekali dengan isu-isu perempuan. saya ingin sekali menjadi bagian dari Rifka Annisa untuk terlibat dalam upaya-upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, apakah Rifka Annisa membuka kesempatan untuk menjadi relawan? Halo juga sabahat Rifka. Kami terbuka sekali ketika ada sahabat Rifka tertarik untuk menjadi relawan di Rifka Annisa. Untuk informasi lebih detail nya silahkan menghubungi kami melalui telepon 0274-553333 atau mengirimkan email ke HRD Rifka Annisa, hrd. rifka.annnisa@gmail.com.

Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) di Rifka Annisa Januari - Desember 2016 Jenis Kasus

Tatap Muka

OR

Telepon

Email

TOTAL

KTI

190

15

11

0

216

KDP

25

6

1

0

32

PKS

5

21

1

0

27

Pelseks

6

6

0

0

12

KDK

17

3

1

0

21

Trafficking

1

5

0

0

6

KTA

1

1

0

0

2

Lain-lain

1

8

0

0

9

TOTAL

246

65

14

0

325

Sumber : Data base Divisi Pendampingan Rifka Annisa


Jendela

Khoirun Ni’mah Pemimpin Redaksi

MENYUARAKAN JALAN HUKUM UNTUK PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DI INSTITUSI PENDIDIKAN

S

aat ini semakin banyak kasus kekerasan seksual yang terekspos ke media. Pada 2015 lalu, terdapat 325 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang Rifka Annisa dampingi. Dua kasus menimpa anak usia 6—11 tahun, 7 kasus menimpa anak usia 12—17 tahun, dan satu kasus menimpa perempuan usia dewasa. Pemerintah memiliki undang-undang perlindungan anak yang terbatas untuk “seseorang yang belum berusia 18 tahun” dan undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bagi pasangan suami istri. Namun belum ada peraturan yang melindungi mahasiswa dengan rata-rata usia 19-27 tahun dari kekerasan seksual di kampus. Data kasus Rifka Annisa menunjukkan bahwa sejak tahun 2000 hingga 2015 ada terdapat 214 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan profesi dosen, guru, maupun staf akademik. 32 kasus pelecehan seksual dan 8 kasus perkosaan. Sebanyak 148 kasus kekerasan terhadap istri, 22 kasus kekerasan dalam pacaran dan 6 kasus dalam rumah tangga. Pelaku kekerasan seksual seringkali adalah orang-orang dari lingkungan terdekat korban seperti tetangga, teman bermain, pendidik (guru atau dosen) keluarga, bahkan orang tua sendiri. Selain itu, kekerasan seksual seringkali terjadi di tempat-tempat yang dianggap aman seperti sekolah, kampus, tempat bermain, bahkan rumah. Kekerasan seksual merupakan persoalan yang cukup kompleks bagi korban. Pengalaman buruk menjadi korban kekerasan seksual tidak akan pernah bisa hilang dari ingatan seseorang, bahkan dalam kondisi kronis pengalaman ini dapat menghancurkan seluruh integritas hidup korban. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa institusi Pendidikan baik sekolah maupun kampus perlu lebih aktif dalam melakukan upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual yang masih seringkali terjadi. Ada banyak kampus di dunia yang telah menerbitkan panduan ketat dan mendetail tentang pencegahan kekerasan di kampus, termasuk layanan konseling, dan mekanisme pengaduan yang dapat dengan mudah diakses oleh korban. Rifka Media edisi 67 hadir untuk memberikan informasi terkait berbagai persoalan kekerasan seksual di Institusi Pendidikan. Informasi ditujukan kepada masyarakat secara umum supaya lebih bijak dalam merespon kasus kekerasan seksual dan menyuarakan jalan hukum untuk penangannya. Selain itu edisi ini juga merupakan upaya khusus Rifka Annisa guna menyuarakan peran berbagai pihak untuk membangun sistem berbasis sekolah maupun kampus dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang seringkali terjadi di institusi Pendidikan. Sistem tersebut merupakan upaya penting untuk membangun mekanisme perlindungan terhadap anak/peserta didik serta para mahasiswa sebagai kelompok rentan menjadi korban kekerasan seksual.

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 5


Laporan Utama

PENDIDIKAN YANG BERPERAN BUKAN BERPERANG Bagus Ajy Waskyto I Dosen Universitas Widya Mataram Yogyakarta I relawan Rifka Annisa Women’s Crisis Centre I bagusajy89@gmail.com

T

ahun 1945 memang bisa dikatakan tahun paling kelabu dalam sejarah negara Jepang modern. Dua bom berkekuatan nuklir dijatuhkan di dua kota, yaitu Nagasaki dan Hiroshima. Kota-kota tersebut porak-poranda, bangunan-bangunan hancur dan korban yang tidak terhitung jumlahnya, hal ini tentu saja membuka mata dunia (terutama Negara Jepang) yang selanjutnya, seperti kita ketahui Jepang menyerah tanpa syarat kepada pihak sekutu. Yang menarik adalah reaksi Kaisar Hirohito (bertakhta 1926-1989) sesaat terjadinya dua bom ganas tersebut, ia menanyakan jumlah guru yang tersisa akibat tragedi tersebut. Tidak hanya itu, Kaisar Hirohito pun memberikan titah pada para guru untuk dapat memperbaiki Jepang melalui reformasi sistem pendidikan yang lebih bermutu. Jerih payah Negara Jepang membangun negara melalui jalur pendidikan dapat kita lihat hasilnya pada kondisi Negara Jepang saat ini. Contoh tersebut memang menunjukkan bahwa pendidikan memegang peranan penting dalam maju tidaknya suatu negara (paling tidak dilihat dari kasus Negara Jepang). Yang tentu tidak bisa dilupakan, dalam pentingnya pendidikan tentu saja terdapat agen-agen pendidikan, yaitu tenaga pengajar (guru/ dosen). Mereka berada pada garda terdepan dalam mencerdaskan manusia, maka dari itu guru seringkali disebut sebagai

6 |

pahlawan tanpa tanda jasa. Menarik untuk menelisik maksud dari kalimat tanpa tanda jasa. Kalimat tersebut seringkali menjadi suatu bentuk sarkastik pada pemerintah bahwa upah pengajar yang minim (bahkan ditunggak), padahal peranan pengajar sangat penting dalam memajukan suatu bangsa (misal Jepang). Ia yang paling bertanggung jawab dalam mencetak murid didiknya menjadi manusia yang memiliki potensi utunk berkembang pada kemudian waktu. Selanjutnya saya mencium aroma militeristik pada gelar tersebut yaitu pada kata pahlawan. Pahlawan jika diartikan secara common merujuk pada tokoh yang terlibat dalam suatu perperangan. Yang menjadi pertanyaan adalah, perang

kepada siapa? Tentu jawabnya sangat beraneka ragam, kita ambil saja satu yaitu kebodohan. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana menentukan kebodohan? Apakah ketika ada peserta didik yang tidak memiliki ketertarikan dalam suatu mata pelajaran yang berimbas pada nilai yang buruk, dia dapat dikatakan bodoh? Jika iya, berati memang pendidikan sedang bertempur. Paling tidak kita sudah mulai masuk dalam gerbang pembuka tulisan ini, yaitu identiknya pendidikan dengan kekerasan, bagaimana tidak ia sedang sibuk berperang.

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Laporan Utama Identiknya Pendidikan de­ ngan Kekerasan “Sejak tahun 2000 hingga 2015 ada 214 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan profesi dosen, guru, maupun staf akademik .“(Suharti) (Tempo.co, 2016). Kutipan di atas adalah pernyataan dari Suharti selaku direktur Rifka Annisa, paling tidak itu dapat menjadi gambaran umum bahwa kekerasan itu memang terjadi secara massif pada ranah pendidikan. Mengingat lokus oprasional Rifka Annisa hanya pada kota Yogyakarta dan mengingat tidak semua kasus terlaporkan tentu jumlah tersebut tentu bisa seamakin membengkak. Kita juga bisa berkaca pada riset yang dilakukan LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 ini menunjukkan fakta mencengangkan terkait kekerasan anak di sekolah. Terdapat 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70% (Qodar, 2015). Riset ini dilakukan pada 5 negara Asia, yakni Vietnam, Kamboja, Nepal, Pakistan, dan Indonesia yang diambil dari Jakarta dan Serang, Banten. Survei diambil pada Oktober 2013 hingga Maret 2014 dengan melibatkan 9 ribu siswa usia 12-17 tahun, guru, kepala sekolah, orangtua, dan perwakilan LSM (Qodar, 2015). Hasil riset tersebut memang sangat memprihatinkan, selain jumlah rasio yang besar pada kekerasan anak (84%) kita juga tidak bisa melupakan bahwa riset tersebut hanya diambil pada dua kota saja (Jakarta dan Banten). Fakta kekerasan itu terjadi dalam dunia pendidikan memang sudah tidak bisa terbantahkan. Tetapi, jika dilihat secara lebih dalam kekerasan dan pendidikan sebenarnya tidak pernah berjauhan, lihat saja MOS (masa orientasi siswa) atau OSPEK

(orientasi pengenalan kampus). Kedua kegiatan ini bertujuan untuk (katanya) memberikan pembekalan baik materi ataupun pengenalan lingkungan sekolah/ kampus kepada siswa/mahasiswa baru. Tentu jika tujuan ini benar adanya akan dapat membantu proses adaptasi siswa/mahasiswa pada lingkungan sekolah/ kampus yang tentu efeknya akan pada pembelajaran yang maksimal oleh mereka. Sayangnya, kedua kegiatan ini (MOS dan OSPEK) seringkali dijadikan ajang para siswa/mahasiswa senior untuk memanifestasikan kuasanya. Akhirnya tidak jarang para peserta MOS/OSPEK mengalami tindak pelecehan dan kekerasan. Hukuman seperti push up, lari keliling lapangan, atau di jemur di bawah terik matahari merupakan hal yang biasa. Ditambah lagi dengan bentakan para senior yang kerapkali membuat kecut hati siswa atau mahasiswa baru. Semua itu dilakukan dengan dalih untuk melatih kekuatan fisik dan mental. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, alasan sebenarnya hanyalah untuk bersenang-senang mengerjai junior dan balas dendam atas perlakukan senior terdahulu. Bahkan, yang tragis adalah ospek juga mengakibatkan nyawa melayang (Okezone, 2015).

Praktek kuasa dalam pendidikan sebenarnya dapat dilihat dalam kondisi kebertingkatannya. Pertama dalam aspek waktu, karena pendidikan merupakan sebuah proses yang berjenjang (kelas 1 hingga 12 dan seterusnya) maka pendidikan memuat pentahapan. Kedua dalam aspek agen, karena ada pendidik dan ada peserta didik, maka pendidikan mengenal perbedaan status. Saya melihat nuansa kebertingkatan ini sebagai permasalahan dalam praktik kekuasaan, persebaran kuasa yang tidak berimbang dikarenakan akses kuasa yang tidak sama menyebabkan posisi peserta didik lemah. Seperti menurut Francis Wahono (2013), penting bagaimana pentahapan waktu dan perbedaan strata kestatusan itu harus dikelola, sehingga pendidikan mampu menjadi sarana pemberdayaan, pengayaan dan tidak melindas nilai-nilai kemanusiaan, seperti kemerdekaan, hormat pada pribadi dan keadilan (Wahono, 2003). Untuk melihat posisi peserta didik yang rentan dan lemah Francis dengan cermat menggambarkan dalam diagram berikut ini;

Pendidikan Indonesia; Kini dan Mendatang Sumber : Fancis Wahono, 2003

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 7


Laporan Utama Diagram Francis di atas dapat menggambarkan bagaimana bangunan pendidikan selama ini justru cenderung ikut memperlancar praktik-praktik kekerasan. Peserta didik menjadi titik pertemuan antara dua bagian (atas dan bawah). Bagian atas, yang meenggambarkan keadaan bangunan pendidikan masa kini. Secara simbolik terlihat bagaimana peserta didik berada pada strara paling bawah. Peserta didik menjadi obyek langsung dari kurikulum yang didukung oleh kerangka dan pranata pendidikan. Dengan kata lain pendidik bersembunyi dibalik kurikulum. Artinya, selama ini kondisi, pengalaman dan daya kembang serta daya serap peserta didik sangat tipis untuk menjadi masukan dan ikut merubah kerangka, kurikulum dan pranata pendidikan. Dari tinjauan ekonomi-sosial, pendekatan pendidikan seperti ini disebut pendekatan top down, dari atas ke bawah, mendikte. Pendekatan seperti ini berasumsi bahwa pendidik adalah pusat kebenaran dan pengetahuan, lebih bermoral dan pandai, sehingga tidak dapat dibantah. Sistem pendidikan ini yang cocok dengan pendekatan ini adalah sistem pendidikan militer, disiplin seragam, ketat ideologi, disiplin perintah tanpa boleh banyak bertanya. Atau dalam bahasa Francis, metode pendidikan yang dipakai adalah metode anjing. Sebagaimana tuan dan anjing, anjing dididik oleh tuannya dengan sistem reward dan punishment agar si anjing menjadi setia dan tunduk pada tuannya. Pendekatan top down, sistem militer, dan metode anjing yang selama ini cenderung dipakai dalam sistem pendidikan kita telah menjadikan lembaga kependidikan lebih dipakai sebagai penghantar kekerasan (Wahono, 2003). Pada bagian bawah, terlihat bahwa unsur peserta didik diusung di atas dan menjadi pusat kegiatan pendidikan (bottom up approuch). Unsur kurikulum, pada bagian ini, sifatnya tidak mendikte peserta didik dan

8 |

kurikulum tidak langsung menjadi ujung tombak pendidikan, ujung tombaknya tetap pendidik. Pendekatan ini tidak menjadikan kerangka dan pranata pendidikan, termasuk penyelenggara pendidikan tidak menjadi penentu pendekatan, sistem, dan metode pendidikan. Melainkan dibangun berdasarkan kebutuhan peserta didik atau konteks keberadaan peserta didik. Dari segi sistem pendidikan ini mempertemukan peserta didik dengan pendidik secara langsung (Wahono, 2003). Pendidikan ini dinamakan pendidikan sistem petani. Sebagaimana petani menghadapi dan memperlakukan tanamannya sesuai dengan konteks kehidupannya di alam. Dari segi metode pendidikan semacam ini disebut pendidkan metode ayam, sebagaimana induk ayam memperlakukan anak-anaknya. Induk ayam tidak pernah mendikte anak ayam agar setia. Sang induk menginginkan mendewasakan, memandirikan anak-anaknya. Pendekatan pendidikan yang bottom up dengan sistem petani dan metode ayam akan mampu menciptakan pendidikan yang nol kekerasan. Pendidikan harus mampu memberdayakan sekaligus mengayakan peserta didik, tetapi juga harus menjauhkan dari kecenderungan pelanggaran hak asasi manusia. Metode anjing ala militeristik yang membentuk sirkulasi kuasa buntu pada peserta didik, mengakibatkan kehilangan “diri� dari peserta didik atau dapat dikatakan peserta didik mengalami dehumanisasi. Jika meminjam bahasa Paulo Freife, sistem pendidikan ini menganut “banking concept of Education.� (Fakih, Topatimasang, & Toto Rahardjo, 2000). Peserta didik dalam proses pendidikan model bank yang dipraktikkan di sekolah-sekolah lebih menjadi objek pendidikan, mereka pasif dan hanya mendengar, mengikuti, mentaati dan mencontohi para guru. Kurikulum menjadi kitab suci yang tidak bisa diganggu gugat, oleh karenanya praktek dialektis pun dibinasakan. Praktek pendidikan

seperti itu, dalam perspektif Paulo Freire tidak saja bersifat menjinakkan, tetapi bahkan lebih jauh merupakan proses dehumanisasi dan penindasan (Fakih, Topatimasang, & Toto Rahardjo, 2000). Kondisi demikian menempatkan peserta didik benar-benar berada di bawah kendali sekolah saat pengajar berada dalam posisi lebih tahu dan mengerti. Konsep ini dikatakan Satre sebagai konsep pendidikan yang ‘mengunyah’ (digenstive) atau memberi makan (nutritive) di mana pengetahuan ‘disuapkan’ oleh pengajar kepada peserta didik untuk ‘mengeyangkan mereka’. Teori dan praktik pendidikan seperti ini mengabdi kepada tujuan-tujuan yang disusun oleh para pendidik dengan menempuh cara yang seefisien mungkin. Kekerasan diawali dari sini karena pendidikan gaya bank menghalalkan dipakainya kekerasan untukmenertibkan dan mengendalikan para peserta didik (Prasetyo, 2004). Kekerasan di lingkungan dunia pendidikan memang bertaut erat dengan system klasifikasi materi pembelajaran yang berdampingan dengan metode pembelajaran bergaya bank. Penyebab internal ini ditambah oleh rangsangan sekolah yang melihat kualitas ditentukan oleh bagaimana membuat peserta didik untuk berada terus menerus dalam kurikulum yang tidak manusiawi dengan jadwal yang amat ketat (Prasetyo, 2004). Bangunan sistem pendidikan yang rigid dan hegemonik yang terus-menerus mendikte(baca: membinasakan) “diri� peserta didik secara tidak langsung menimbulkan hubungan yang tidak setara. Ketidaksetaraan yang mengakibatkan kerentanan peserta didik mengalami kekerasan. Tetapi, jihad pendidikan memerangi kebodohan tidak hanya identik dengan kekerasan yang sifatnya struktural dan kognisi, terdapat satu bentuk kekerasan yang khas dan korban yang khas pula, yaitu kekerasan seksual.

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Laporan Utama Kompleksitas Sistem Pendidikan: Perempuan Rentan menjadi Korban “Kami ingin mengirim pesan yang kuat bahwa pemerkosaan bukan lagi piala yang diperebutkan dalam sebuah perang�. (Navanethem Pillay) Kalimat diatas dicupkan Navanethem Pillay pada pengadilan pidana internasional untuk Rwanda. Sebagai ketua hakim Pillay dengan tegas ingin merubah pandangan pemerkosaan pada perempuan yang terjadi pada perang Rwanda itu legal karena dianggap sebagai rampasan perang menjadi suatu tindak kejahatan perang. Dalam peperangan memang kondisi perempuan menjadi sangat rentan, keadaan tersebut familiar ketika jaman penjajahan Jepang di Indonesia. kita tentu mengenal Jungun Ianfu atau wanita penghibur. Sejarah terbentuknya Jungun Ianfu sendiri dikarenakan kebutuhan akan tentara Jepang untuk memenuhi kebutuhan biologis, untuk menindak lanjuti hal tersebut, pemerintah jepang membentuk prostitusi militer (Hicks, 1997). Perang dan perempuan selalu beriringan bersama walau dengan kondisi yang berbeda 180 derajat. Terkadang tindakan heroik nan ideologis yang dianggap suci dan benar sering kali menerjang moralitas kemanusiaan, begitu pula dalam pendidikan kita. Kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi pada arena pendidikan tentu bukanlah bualan. Jika kita kembali merujuk pada pernyataan Suharti sebelumnya, Rifka Annisa melaporkan selama 5 tahun (2010-2015) terdapat tindak 214 tindak kekerasan yang dilakukan para pendidik. Mengingat Rifka Annisa LSM yang bergerak pada kekerasan berbasis gender tentu sangat tragis bagaiamana para pendidik bisa melakukan hal seperti itu. Mengingat sekolah dapat dikatakan adalah lembaga kedua terdekat pada peserta

didik (setelah keluarga) tentu yang harapan pendidikan adalah tempat yang aman pun sirna. Apa yang menyebabkan kedudukan peserta didik perempuan memiliki posisi yang rawan terkenan tindak kekerasan seksual? Kita bisa mengacu pada sistem pendidikan kita yang memiliki tangga kekusaan yang berjenjang(pendidik dan peserta didik) adalah biang keroknya. Kuasa pendidik yang lebih, tentu memberikan akses yang tidak terbatas untuk betindak. Sayangnya, tindakan yang dilakukan terkadang tidak terpuji. Sebagai contoh kasus SD di kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal, terdapat guru yang dilaporkan karena melakukan pelecehan seksual kepada 22 siswanya (Firdaus, 2016). Parahnya lagi tindakan peecehan seksual dilakukan saat jam pelajaran! Tentu ini sudah sangat keterlaluan, eksesnya banyak murid yang tidak mau masuk ke kelas pelajaran guru tersebut karena trauma. Terdapat pula kasus di salah satu SD di Jakarta. Terdapat guru yang meminta dipegang alat kemaluan oleh siswinya dengan alasan tanda kasih sayang! (Radar Tegal, 2016). Kuasa yang lebih pada pendidik dalam kontrol nilai murid juga bisa seringkali dijadikan senjata untuk melakukan kekerasan seksual, contohnya adalah dalih akan memberikan nilai yang bagus kepada muridnya (Tempo. co, 2013). Tindak tanduk pendidik pelaku kekerasan seksual memang sudah tidak bisa ditoleril lagi, melihat dampak dari pengalaman perempuan korban kekerasan seksual menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat menghancurkan seluruh integritas hidup korban sehingga ia merasa tidak mampu melanjutkan hidupnya lagi. Bahwa terdapat dampak sosial psikologis dalam korban kekerasan seksual memang tidak dapat ditampikkan. merujuk pada tulisan Ekandari Sulistyaningsih (2002), yang melihat korban perkosaan

dapat mengalami akibat yang sangat serius baik secara fisik maupun secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain: Pertama, kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara, pingsan, meninggal. Kedua, korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual (PMS), Ketiga, kehamilan tidak dikehendaki. Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maupun kasar (Faturochman, Juni 2002). Sedangkan dampak psikologis pada korban pemerkosaan adalah adanya potensi untuk mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya. Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik. Korban perkosaan juga dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya. Trauma yang dialami oleh korban perkosaan ini tidak sama antara satu korban dengan korban yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh bermacam-macam hal seper­ti pengalaman hidup mereka, tingkat religiusitas yang berbeda, perlakuan saat perkosaan, situasi saat perkosaan, maupun hubungan antara pelaku dengan korban (Faturochman, Juni 2002). Kasus-kasus diatas adalah contoh relasi gender yang timpang (pendidik laki-laki dan peserta didik perempuan). Ketimpangan kekuasaan dalam relasi gender terjadi karena (seperti yang saya katakan sebelumnya) sistem pendidikan kita menggunakan tangga kekuasaan. Ketika suatu sistem itu dibangun berdasarkan bangunan yang kaku dan tidak adanya akses kuasa yang sama tentu akan ada pihak (dalam kasus ini perempuan) yang dirugikan atas sirkulasi kuasa yang timpang, layaknya kendali yang

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 9


Laporan Utama muncul dari bentuk hubungan patron-klien atau feodalisme. Searah dengan argumen tersebut, Nunuk Murniarti (2004) menjelaskan salah satu penyebab terjadinya kekerasan dan lemahnya perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual di Indonesia, kemungkinan dikarenakan suburnya sistem budaya patriarki di masyarakat, sistem ini menuntut adanya relasi yang timpang menurut kategori kuatlemah. Pihak yang kuat menguasai dan melindas yang lemah ataupun sistem budaya sosial yang memarginalkan posisi wanita secara tetap di masyarakat, di mana seolah-olah melegitimasi bebagai macam ketidakadilan, perampasan, dan penindasan yang dilakukan pelaku atas hak asasi wanita korban (Murniati, 2004).

Mendamaikan Perempuan dan Pendidikan Proses yang bersifat reformatif harus segera dilaksanakan untuk dapat membuat arena pendidikan menjadi aman bagi peserta didik. Selain itu, posisi perempuan sebagai korban kekerasan seksual oleh pendidik tentu sudah mencoreng muka pendidikan. Karena itu saya mencoba meberikan tiga solusi. Ketiga solusi ini lebih terkait pandangan pragmatis atau yang sifatnya lebih tekhnis tidak ideologis, karena mengingat kasus ini sudah pada level darurat dibutuhkan solusi yang tidak membuat geleng-geleng kepala tetapi lebih bersifat realistis. Pertama, tentu saja mulai mengubah sistem pendidikan model anjing menjadi model yang lebih dinamis dalam proses persebaran kuasa. Ini adalah tugas yang berat mengingat kontruksi pendidik dan juga peserta didik kita yang sudah terlalu lama dicekoki oleh sistem pendidikan yang kaku. Sistem reward dan punishment terhadap peserta didik pun hilang, pendidikan menemukan kembali rohnya, yaitu pendidikan yang “mendidik� bukan “mencetak�

10 |

Tentu dibutuhkan proses negosiasi dalam produksi dan waktu adaptasi terhadap sistem pendidikan yang baru. Tetapi, dengan begini tangga kekuasaan menjadi cair dan posisi peserta didik tidak menjadi rentas atas kekerasan yang diterima. Kedua, mengingat kebanyakan korban kekerasan seksual adalah peserta didik perempuan dan pelaku adalah pendidik laki-laki langkah yang harus ditempuh adalah merubah cara pandang gender yang sudah melekat dalam tatanan sosial. Pendidikan bisa menjadi intitusi yang menggagas pandangan egaliter pada gender. Hal ini penting karena berbicara mengenai gender terkadang bukan hanya masalah distribusi kuasa yang lebih bersifat material, tetapi adanya pandangan tentang gender yang terbentuk alamiah. Cara pandang/perspektif tentang gender yang egaliter ini yang perlu mengalami transformasi. Ketika distribusi kuasa dan perspektif gender sudah dibenahi tentu tugas pendidikan tidak selesai sampai disitu, pendidikan juga wajib menjadi percontohan bagi lingkungan sosialnya. Maksudnya harus ada kegiatan yang berjaringngan dengan wali peserta didik. Proyek lintas level sosial ini penting karena membangun perspektif gender tidak hanya selesai dalam sekolah, tetapi juga dalam lingkungan sosial. Pendidikan memiliki keuntungan disini, mengingat pendidikan sudah dipercaya masyarakat sebagai salah satu intitusi pendidik moral manusia (selain Agama), dan tidak hanya itu karena hal ini adalah tanggung jawab sosial pendidikan. Ketiga, pendampingan terhadap korban kekerasan seksual. Hukum Indonesia sendiri dengan jelas memiliki perangkat UU yang sangat menentang kekerasan seksual. Saya tidak akan membahas tentang detil UU tersebut, tetapi saya lebih mementingkan pendampingan dalam kasus kekerasan seksual. Fakta korban kekerasan seksual kerap

mengalami viktikmisasi saat melapor tentu bukan barang baru, banyak permasalahan dalam aspek ini. Pertama perlu adanya analisis gender dalam menangani laporan para korban, sehingga korban merasa aman dan merasa tidak terintimidasi atau juga terviktimisasi. Memang, hal tersebut membutuhkan waktu oleh karena itu untuk alasan yang lebih pragmatis saya lebih menganjurkan adanya pendampingan hukum kepada korban. Pendamping hukum disini tentu tidak bekerja sendiri, ia akan dibantu pendamping psikologis yang tentu akan sangat membantu dalam menangani dan mengawasi kejiwaan dari korban. Kedua pendamping ini akan menjadi satu paket mekanisme yang ditempat di instansi-instansi pendidikan. Langkah ini tentu membutuhkan kerjasama antara negara, institusi pendidikan, dan lembaga sosial masayrakat. Tetapi yang harus diingat negara dan pendidikan memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Karena sebagai warga negara tentu negara memiliki kewajiban untuk melindungi secara nyata tidak hanya bersembunyi dibalik tulisan undang-undang. Pendidikan juga tidak harus cepat puas ketika sudah diagung-agungkan sebagai pahalawan, karena perang terhadap kebodohan tidak hanya untuk dialamatkan pada yang diluar, tetapi juga didalam yaitu dalam pendidikan itu sendiri.

Referensi Fakih, M., Topatimasang, R., & Toto Rahardjo. (2000). Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: REaD Book. Faturochman, E. S. (Juni 2002). Dampak Sosial Psikologis Perkosaan. Buletin Psikologi Universitas Gadjah Mada, Tahun X(No. 1). Hicks, G. L. (1997). Comfort Women: Japan’S Brutal Regime of Enforced Prostitution in the Second World War. London: Pa-

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Laporan Utama perback. Murniati, N. (2004). Getar Gender. Magelang: Indonesia Tera. Prasetyo, E. (2004). Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta: Insist Press. Wahono, F. (2003). Kekerasan dalam Pendidikan: Sebuah Tinjauan Sosial-Ekonomi Didaktika, dalam Gelombang Perlawanan Rakyat: Kasus-kasus Gerakan Sosial di Indonesia. Yogyakarta: Insist Press.

Sumber Berita Online: Firdaus, F. (2016, Oktober 20). 22 Korban Pelecehan Guru Melapor ke Komnas PA. Diakses pada November 19, 2016, from SINDONEWS. com: https://daerah.sindonews. com/read/1148619/22/22-korban-pelecehan-guru-melapor-kekomnas-pa-1476906602 Okezone. (2015, Agustus 4). 10 Kasus Kematian Akibat Plonco Ospek Maut. Diakses pada November 18, 2016, from OKEZONE NEWS: https://news.okezone.com/

read/2015/08/04/65/1190267/10-kasus-kematian-akibat-plonco-ospek-maut Qodar, N. (2015, Maret 15). Survei ICRW: 84% Anak Indonesia Alami Kekerasan di Sekolah. Diakses pada November 18, 2016, from Liputan 6: https://www.liputan6. com/news/read/2191106/survei-icrw-84-anak-indonesia-alami-kekerasan-di-sekolah Radar Tegal. (2016, Februari 1). Guru Honorer Minta Siswinya Pegang Kemaluannya. Diakses pada November 2016, 2016, from Radartegal.com: http://radartegal.com/berita-kriminal/guru-honorer-minta-siswinya-pegang-kemaluannya.2410.html Tempo.co. (2013, Februari 1). Dapat Iming-iming Nilai Bagus, Siswi SD Dicabuli. Diakses pada November 19, 2016, from Tempo.co: https:// nasional.tempo.co/read/458370/ dapat-iming-iming-nilai-bagus-siswi-sd-dicabuli Tempo.co. (2016, Juni 7). 5 Tahun, Ada 214 Kasus Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan. Diakses pada November 18, 2016, from Tempo.co: https:// nasional.tempo.co/read/777576/5tahun-ada-214-kasus-kekerasan-seksual-di-dunia-pendidikan.

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 11


Laporan Utama

INTERVENSI UNTUK LAKI-LAKI SEBAGAI PELAKU:

ANALISIS PADA KASUS KEKERASAN SEKSUAL Aditya Putra Kurniawan | Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana Yogyakarta | Relawan Rifka Annisa Women’s Crisis Centre | aditya@mercubuana-yogya.ac.id

M

erespon fenomena kekerasan seksual pada perempuan dan anak yang saat ini marak, Presiden Joko Widodo menyiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menyangkut kejahatan seksual. Peraturan ini pun kini telah disahkan oleh DPR pada tahun 2016 dengan memasukkan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik sebagai bentuk intervensi yang dipilih kepada para pelaku kejahatan seksual. Tulisan ini akan mengeksplorasi semua bentuk intervensi yang pernah dilakukan di beberapa negara dalam menangani para pelaku kejahatan seksual pada perempuan dan anak beserta kelemahan dan kelebihannya ditinjau dari efektivitasnya dalam mengubah perilaku yang bermasalah dan memunculkan kesadaran pelaku untuk berubah. Salah satu hal yang paling sulit dalam meneliti intervensi bagi pelaku kekerasan seksual adalah bagaimana cara mengukur efektivitasnya. Hal ini karena semua peneliti belum memiliki metode evaluasi yang standar, reliable dan valid dalam mengukur frekuensi keberulangan pelaku melakukan kekerasan seksual kembali pasca mendapat tritmen. Laporan diri (self-report) yang dilakukan pelaku sendiri atau orang lain yang mengetahui pelaku dianggap tidak cukup reliable. Laporan

12 |

polisi mengenai pelaku yang residivis juga menemui kendala karena banyak dari mereka yang melakukan kekerasan seksual jarang dilaporkan kembali. Hal ini kemudian memunculkan perdebatan mengenai jumlah sample yang layak untuk diteliti. Belum lagi ditambah para peneliti memiliki definisi yang berbeda-beda tentang residivisme kekerasan seksual dan hal ini berpengaruh dalam menentukan siapa saja dari para pelaku yang masuk kriteria untuk diteliti. Ada 2 jenis tritmen yang biasa digunakan untuk menangani para pelaku kejahatan seksual, yaitu tritmen medis dan pembedahan (surgical and medical treatments) dan tritmen psikologis

dan perilaku (psychological and behavioural treatments).

Operasi Bedah Operasi bedah (surgical castration) dilakukan dengan bedah syaraf yaitu mengambil beberapa bagian dari otak besar (hypothalamus) atau dengan kastrasi pada bagian testis pelaku untuk menghambat produksi hormon testosteron sehingga diharapkan akan menurunkan dorongan seksual dan perilaku impulsive secara seksual pelaku. Pada laporan tahun 1973 (Cornu, 1973), metode kastrasi pada testis dianggap efektif di Eropa dalam menurunkan frekuensi keberulangan kekerasan seksual

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Laporan Utama oleh para pelaku yang memilih kastrasi sebagai bentuk intervensi bagi dirinya. Para pelaku tersebut menunjukkan tingkat residivisme yang rendah sebesar 5,8% dibanding mereka yang menolak kastrasi yaitu 52%. Namun demikian, karena pertimbangan nilai kemanusian dan alasan etis, kastrasi tidak lagi dimasukkan dalam kategori tritmen atau pengobatan dan pada beberapa negara di Eropa dianggap illegal.

Suntikan anti Androgen Intervensi medis lainnya yang biasa dilakukan adalah dengan suntikan kimia (chemical castration), yaitu penyuntikan secara bertahap cairan kimia anti-androgen yang di Amerika dikenal dengan MPA (medroxyprogesterone acetate) dan di Inggris dan Canada dikenal dengan CPA (cyproterone acetate) (Flora, 2014). Kedua suntikan kimia tersebut mengandung progesterone sintetis yang berfungsi mengontrol perkembangan hormon testosteron seseorang yang selanjutnya mampu menurunkan fantasi seksual yang abnormal beserta perilaku seksualnya (Brandford, 1990); (Meyer dkk, 1992). Menurunkan tingkat produksi testosterone telah lama diyakini mampu menurunkan pula dorongan seksual, kemampuan ereksi dan ejakulasi serta produksi sel sperma individu (Donovan, 1984). Dalam praktiknya, pemberian suntikan anti androgen tidak berdiri sendiri, melainkan selalu dikombinasikan dengan bentuk intervensi lainnya. Laporan mengenai efektivitas kastrasi kimia sangat beragam. Beberapa hal yang menarik dari laporan hasil evaluasi efektivitas suntikan anti androgen di atas yang perlu diperhatikan adalah suntikan anti androgen yang dikombinasikan dengan beberapa bentuk intervensi lain, terutama terapi kognitif perilaku (cognitive behavioural therapy) mampu menurunkan tingkat residivisme pelaku kekerasan seksual hingga paling rendah antara 1% - 15%.

Perlu digarisbawahi, prosentase tersebut ditunjukkan hanya oleh para pelaku yang bersedia dan memiliki komitmen tinggi mengikuti serangkaian terapi anti-androgen dan terapi lainnya berbasis kognitif-perilaku. Bagi mereka yang tidak memiliki motivasi akan cenderung tidak melanjutkan tritmen anti-andorgen dan tetap menunjukkan tingkat residivisme yang tinggi yaitu 35%-65%, dengan kata lain, motivasi dan komitmen pelaku sendiri sangat menentukan efektivitas tritmen. Tritmen anti-androgen ini menunjukkan tingkat droupout yang tinggi dari pelaku yang mengikutinya serta berbiaya tinggi sehingga sulit diterapkan pada semua populasi (Langevin dkk, 1979); (Federoff dkk, 1992). Disamping itu juga akan menimbulkan efek samping bagi mereka yang memiliki penyakit migraine, asthma, dan gangguan jantung (Kravitz dkk, 1995). Pada beberapa orang, suntikan anti-androgen ini juga rentan menyebabkan penambahan berat badan, penyakit gula (hyperglycemia), tensi darah yang tinggi, gastrointestinal, testicular pain dan kram otot. Disamping itu, efek jangka panjang dari suntikan ini juga belum banyak diteliti, oleh karena itu beberapa praktisi medis hanya menggunakan dalam jangka waktu terbatas (Grossman dkk, 1999).

Terapi Kognitif Perilaku Jenis-jenis intervensi psikologi terhadap pelaku kejahatan seksual belum menunjukkan kesuksesan yang berarti sebelum digunakannya tritmen yang berbasis kognitif-perilaku (Abel, Osborn, & Anthony, 1992) selama kurang lebih 3 dekade terakhir. Tujuan utama terapi kognitif-perilaku adalah untuk mengubah landasan keyakinan berpikir pelaku sekaligus perilaku seksual yang menyimpang dengan mencari tahu terlebih dahulu faktor-faktor yang mempertahankan perilaku tersebut kemudian menghilangkannya.

Terapi kognitif perilaku juga dilakukan dengan menstrukturkan proses kognitif yang bermasalah (distorted cognition) yang membuat pelaku membenarkan perilaku kekerasan seksualnya. Para pelaku kekerasan mungkin akan beralasan bahwa korban anak juga menikmati aktivitas seksual dengannya. Dalam terapi kognitif perilaku ini, terapis akan men-challenge pikiran dan keyakinan yang menyebabkan ia melakukan kekerasan seksual. Pembenaran yang dilakukan pelaku ini sebenarnya untuk mengatasi rasa malu dan bersalahnya setelah melakukan kekerasan seksual. Dalam prakteknya, terapi ini dikombinasikan dengan pelatihan keterampilan sosial, pelatihan empati, pengaturan gaya hidup, pendidikan seks dan pencegahan kekambuhan (relapse prevention).

Terapi Pemberian Stimulus Aversif Jenis terapi ini dilakukan dengan memberikan stimulus yang menimbulkan rasa sakit secara fisik ketika individu memunculkan fantasi seksual yang menyimpang (Rice dkk, 1990); (Marshall & McKnight, 1975). Pelaku kekerasan yang menjadi klien diminta membuat daftar fantasi seksual menyimpang yang sangat ia inginkan kemudian terapis mencatatnya dan menyatakannya kembali pada klien melalui kata-kata dengan dibarengi pemberian stimulus aversif yang tidak berbahaya namun menimbulkan rasa sakit misalnya menggunakan alat kejut listrik atau bahan-bahan yang menimbulkan aroma yang menyengat. Pada kasus Phedophilia misalnya, terapis menampilkan secara acak gambar-gambar yang dapat menimbulkan rangsangan seksual pada pelaku misalnya gambar anak kecil kemudian dibarengi dengan kejut listrik. Pada saat terapis menampilkan stimulus yang sesuai dengan norma umum, misalnya gambar orang dewasa, maka pemberian

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 13


Laporan Utama stimulus aversif dihentikan. Cara lain adalah, klien pelaku menceritakan secara detil fantasi seksualnya yang menyimpang dan ketika terangsang, ia diminta menghentikan fantasi tersebut dan mulai membayangkan secara detil konsekuensi negatif akibat dari membayangkan fantasi yang menyimpang tersebut misalnya akan ditahan lagi oleh polisi. Cara ini menekankan pelaku untuk fokus pada mata rantai perilakunya yang berujung pada tindak kekerasan seksual dengan memasukkan pikiran tentang konsekuensi negatif yang akan ia dapatkan akibat dari perilaku seksualnya yang menyimpang sedini mungkin secara bertahap sebelum ia benar-benar melakukan kekerasan seksual. Cara ini dianggap mampu memberdayakan pelaku untuk memiliki kendali atas dorongan dan perilaku seksualnya sendiri.

Masturbatory Reconditioning Teknik ini dilakukan dengan cara klien pelaku diminta berlatih mengubah fantasi seksualnya yang menyimpang ke fantasi seksual yang normal saat akan mengalami ejakulasi ketika melakukan masturbasi (Laws & Marshall , 1991). Cara lain adalah menghilangkan hal-hal yang menguatkan fantasi seksual yang menyimpang ketika klien pelaku melakukan masturbasi, yaitu dengan memberikan stimulus aversif ketika ia merasakan kenikmatan saat membayangkan fantasi seksual yang menyimpang sambil melakukan masturbasi. Cara selanjutnya adalah, klien pelaku diminta berlatih melakukan masturbasi sampai mengalami ejakulasi sambil membayangkan fantasi seksual yang normal, kemudian setelah ejakulasi pertama, ia harus melakukan masturbasi lagi saat itu sambil membayangkan fantasi seksualnya yang menyimpang dalam jangka waktu yang lama dimana ia mungkin tidak mampu lagi ejakulasi. Teknik ini mencoba memasangkan antara kenikmatan ejakulasi dengan fantasi seksual

14 |

yang normal, dan antara rasa sakit dan bosan ketika melakukan masturbasi kedua yang mungkin tanpa ejakulasi dengan fantasi seksual yang menyimpang.

Pelatihan Empati Banyak dari pelaku kekerasan meyakini bahwa korban tidak tersakiti bahkan menikmati aktivitas seksual dengannya. Pelatihan empati ini bertujuan agar pelaku memahami dampak yang dirasakan korban akibat kekerasan seksual yang ia lakukan. Hal ini dilakukan salah satunya dengan memutar tayangan video tentang korban kekerasan seksual yang menceritakan pengalamannya dan dampak-dampak yang ia rasakan akibat peristiwa kekerasan.

Efektivitas Pendekatan Kognitif-Perilaku Dari beberapa studi mengenai efektivitas intervensi pelaku kekerasan seksual yang memasukkan terapi kognitif-perilaku sebagai bagian dari intervensi, terutama yang dilakukan dibawah naungan institusi tertentu misalnya rumah sakit kepolisian menunjukkan tingkat residivisme berkisar antara 3% – 31% (Rice, dkk, 1991); (Pithers & Cumming, 1989); (Gordon, 1989); (Hanson, dkk, 1993), sedangkan penggunaan pada klien pelaku yang rawat jalan menunjukkan tingkat residivisme antara 6%39%. Nampaknya, intervensi yang dilakukan di dalam lingkungan institusi memberikan efek yang berbeda dibanding bentuk intervensi rawat jalan, terkait dengan kontrol dan pendampingan intensif terhad;ap klien. Satu laporan evaluasi menyatakan bahwa terapi kognitif-perilaku yang digabung dengan serangkaian intervensi seperti pelatihan relaksasi, keterampilan sosial pendidikan seksual, pengelolaan stress, dan penanganan kekambuhan mampu menurunkan tingkat residivisme hingga 8,2% (Marques, dkk, 1994). Namun yang penting diketahui, hasil tersebut diperoleh hanya pada para klien

pelaku yang bersedia mengikuti tritmen, sedangkan yang tidak secara sukarela namun diwajibkan mengikuti tritmen menunjukkan tingkat residivisme sebesar 12,5% dan 13,4% bagi pelaku yang tidak mendapatkan tritmen (Marques, dkk, 1994).

Pelaku Kekerasan Cenderung Resisten Semua laporan di atas mengenai bentuk-bentuk intervensi bagi pelaku kekerasan seksual memiliki kesamaan temuan mengenai faktor yang menunjang efektivitas tritmen, yaitu sikap kooperatif dan motivasi klien untuk mau mengikuti tritmen. Namun di sisi lain, para pelaku kekerasan cenderung resisten, tidak kooperatif dan menolak mengambil tanggung jawab penuh atas tindak kekerasan yang dilakukan. Dengan kata lain, para pelaku cenderung menolak tritmen baik secara halus maupun terang-terangan. Para pelaku biasanya tidak mengakui kekerasan yang dilakukan, kalaupun mengakui, cenderung menyalahkan korban, orang lain, masa lalunya atau situasi dan kondisi eksternal dirinya. Hal ini yang menghambat munculnya motivasi internal pelaku untuk mengikuti tritmen. Banyak pula laporan evaluasi yang menyatakan bahwa para pelaku kekerasan yang menunjukkan perubahan perilaku ketika mengikuti sesi tritmen hanya sema-mata agar terhindar dari hukuman yang lebih berat yang harus ia tanggung atau konsekuensi lainnya. Pengalaman di Indonesia, misalnya banyak laki-laki pelaku kekerasan terhadap perempuan yang bersedia mengikuti sesi intervensi psikologis hanya agar tidak dilaporkan ke polisi atau tidak dicerai oleh pasangannya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku cenderung manipulatif sehingga berusaha memanipulasi terapisnya. Pada kasus tritmen medis dengan suntikan anti-androgen, muncul kekhawatiran juga yaitu pelaku berbohong seolah-olah suntikan sudah bekerja

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Laporan Utama dengan baik dalam tubuhnya. Sementara itu, masyarakat terlanjur percaya pada model intervensi ini, bahwa para pelaku yang telah dikebiri benar-benar sembuh total dan tidak akan melakukan kekerasan seksual lagi, sehingga masyarakat merasa benar-benar aman ketika para pelaku kembali ke lingkungan sosialnya. Tentu hal ini sangat berbahaya. Oleh karena itu, terapis perlu menemukan pendekatan yang mampu menyasar resistensi pelaku sebelum memutuskan menggunakan intervensi medis berupa kastrasi kimia maupun terapi berbasis kognitif-perilaku. Faktanya, dari laporan yang dipaparkan di atas, tritmen kastrasi kimia hanya effektif pada para pelaku yang memang siap dan bersedia untuk disuntik (Grossman, dkk, 1999). Mereka para pelaku secara sukarela memilih mengikuti program kastrasi kimia secara bertahap karena merasa bentuk-bentuk intervensi psikologis yang lain tidak cocok baginya. Oleh karena itu, program kastrasi kimia yang dijalankan di 3 negara tersebut merupakan bagian dari pilihan pengobatan pelaku dan bukan sebagai bentuk hukuman.

Cara Pandang Alternatif dalam Melihat Kasus Kekerasan Seksual Dimana terjadi ketimpangan relasi kuasa (Inequality in power), maka disanalah tempat tumbuh subur terjadinya segala bentuk dominasi, opresi, kesewenang-wenangan, arogansi dan kekerasan. Hal ini berlaku dalam segala bentuk relasi sosial yang melibatkan hubungan laki-laki perempuan, dewasa - anak-anak, militer – sipil, guru – murid, dosen – mahasiswi, dokter – pasien, terapis – klien, si kaya – si miskin. Bukan kebetulan pula jika secara statistik dari berbagai laporan kepolisian terkait kejahatan seksual, hampir selalu konsisten sebagian besar pelakunya adalah laki-laki sedangkan

perempuan dan anak-anak, khususnya anak perempuan banyak sebagai korbannya. Pada tahun 2013, Rifka Annisa Women’s Crisis Centre yang didukung oleh 4 badan PBB (UNICEF, UNFPA, UN Women, UNV) melakukan penelitian kuantitatif dengan mengambil 3 area di Indonesia, Jakarta, Purworejo, dan Jayapura yang melibatkan 2765 responden laki-laki dewasa (Fulu, et al., 2013). Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan pengalaman hidup laki-laki terkait kekerasan seksual, baik sebagai pelaku maupun korban di masa lalu, dan bagaimana hal ini berhubungan dengan tindak kekerasan yang mereka lakukan terhadap perempuan dan anak. Pada konteks Indonesia, hasil penelitian ini menginformasikan bahwa sebanyak 19,5% hingga 48,6% responden yang diteliti pada 3 area tersebut mengaku pernah melakukan kekerasan seksual pada anak perempuan maupun perempuan dewasa dalam hidupnya. Para responden laki-laki ini yang pernah melakukan kekerasan seksual pada perempuan dan anak, berkorelasi positif dengan sikap mereka terhadap ketidakadilan gender (gender-inequality attitudes) dan norma maskulinitas patriarkhis yang sangat mengagungkan machoisme, kontrol dan dominasi pada orang lain, khususnya perempuan dan anak. Salah satu aspek dari norma maskulinitas patriarkhis yang sangat merusak tersebut adalah keyakinan bahwa laki-laki selalu dan senantiasa berhak mendapatkan pelayanan seksual (men’s sexual entitlement) kapan pun, dimana pun dan dari siapa pun, hanya semata-mata karena mereka adalah laki-laki. Pada kasus suami yang melakukan kekerasan fisik, verbal dan seksual pada istri dan anak, maka cara pandang psikologi klinis akan berusaha memahami dinamika psikologis dan pengalaman masa lalu si pelaku. Terapis mungkin akan menganggap bahwa ada yang

salah dengan proses kognitif dan emosinya sehingga ia tidak memiliki kecakapan dalam membangun relasi sehat di dalam keluarga. Pada kasus kekerasan seksual anak yang dilakukan orang dewasa, maka diasumsikan penyebabnya adalah gangguan biopsikologis pelaku sehingga ia tidak mampu mengontrol dorongan biologisnya dan melakukan kekerasan. Intervensi yang biasa dilakukan biasanya dengan melacak sumber masalahnya, yaitu hormon testosteron yang dianggap paling bertanggung jawab. Beberapa jenis intervensi psikologi klinis seperti paparan di atas, misalnya terapi kognitif, perilaku dan farmakologi juga dilaporkan berhasil menurunkan intensitas perilaku kekerasan pelaku terhadap korban. Kenyataannya, tidak ada “penyakit psikologis” yang menetap seolah-olah berada di ruang hampa, tanpa bersinggungan dengan konteks sosialnya. Pengalaman Rifka Annisa di Yogyakarta dalam mendampingi para laki-laki pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak menunjukkan bahwa nilai dan norma maskulinitas patriarkhis memiliki pengaruh besar yang membuat mereka terobsesi dengan kuasa (power) dan cara-cara penyelesaian masalah yang maskulin (kekerasan) ketika menghadapi problema kehidupan. Misalnya pada satu kasus ketika pelaku memiliki riwayat buruk di masa lalu dalam keluarganya yang membuat dia menjadi temperamen dan impulsif. Dia juga mengatakan bahwa hasil pemeriksaan psikiatris menyatakan adanya riwayat depresi. Dalam beberapa sesi konseling diketahui bahwa ketika pelaku marah, ia bersikap kasar secara fisik dan verbal hanya pada istri dan anak di rumah. Perilaku kasar dan sikap temperamen hanya muncul ketika ia berhadapan dengan istri dan anak dan tidak kepada boss laki-lakinya di kantor, tidak kepada teman-temannya yang laki-laki, tidak kepada

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 15


Laporan Utama konselornya yang laki-laki dan tidak pula kepada para perempuan yang bekerja sebagai polisi yang menangani kasusnya. Pelaku sebenarnya memiliki kontrol emosi hanya ketika berhadapan dengan individu lain yang berjenis kelamin sama atau perempuan yang lebih tinggi kelas sosialnya. Lalu apa yang membuat kemampuannya dalam mengelola marah tidak berfungsi hanya ketika berhadapan dengan istri dan anak-anaknya di rumah?. Pada kasus ini konstruksi gender sangat berperan dan mempengaruhi bagaimana laki-laki memaknai semua jenis emosi berikut situasinya, bagaimana emosi diekspresikan dan kepada siapa boleh dan tidak boleh dilampiaskan.

kelelakiannya. Nilai dan keyakinan para laki-laki akan dunia seksual sedikit banyak dibangun atas dasar penaklukan, tantangan dan pembuktian keperkasaan dimana mereka merasa harus mampu ”mengalahkan” pasangannya. Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari, ukuran maskulinitas laki-laki tercermin dalam jargon-jargon penaklukan seksual seperti ”Ayo kuat berapa ronde?!”, ”menang-kalah”, ”KO” ”,lemah”,” loyo” yang semuanya berhubungan dengan makna

maskulinitas laki-laki di masyarakat belum berubah, hasil dari intervensi medis dan psikologis juga tidak akan bertahan lama. Perubahan perilaku yang ditunjukkan hanya bertahan selama pelaku mengikuti program intervensi saja, namun setelah program selesai dan pelaku kembali ke masyarakat dan berkumpul dalam peer group-nya sesama laki-laki, maka ia akan kembali mengadopsi cara pandang lama dalam melihat perempuan dan anak.

pertarungan. Hal ini tentunya membuat para laki-laki berusaha memenangkan ”pertarungan seksual” tersebut dengan cara apapun termasuk kekerasan pada kelompok yang lemah dalam hirarkhi sosial. Program intervensi yang hanya sebatas tritmen psikologis dan medis tentu saja belum sepenuhnya mengatasi akar permasalahan terkait isu kuasa, kontrol dan dominasi. Kejahatan seksual direduksi hanya sebatas penyakit psikologis dan gangguan perilaku individual semata Bahkan selama konsep

Nilai Etis Pelaku Kekerasan

Bagaimana dengan Kejahatan Seksual? Pada kebanyakan kasus perkosaan dan pelecehan seksual yang terlaporkan di Rifka Annisa Yogyakarta, sebagian besar korban adalah perempuan dengan status sosial rendah dan lemah secara ekonomi, perempuan buruh, perempuan dengan keterbatasan mental dan fisik, perempuan yang sedang membutuhkan bantuan untuk kehidupannya dari figur-figur kuat dan berilmu yang kebanyakan adalah laki-laki, baik dalam setting keluarga, sekolah, kampus, tempat kerja, jalanan, maupun komunitas. Maka dari itu, dari berbagai cara pemenuhan hasrat seksual yang dapat dipilih, mengapa laki-laki dewasa memilih figur anak-anak?. Mengapa korban yang ia pilih cenderung anak yang sudah dikenal yang pelaku memahami benar pola relasi yang timpang antara dia dengan korban. Tentunya sangat naif jika penjelasan atas kasus kekerasan seksual pada anak hanya semata-mata karena permasalahan libido dan hormonal semata.

Maskulinitas dan Seksualitas Bagi laki-laki, seksualitas adalah bagian dari identitas

16 |

Para pelaku kekerasan pada dasarnya memiliki etika hidup, kesadaran dan kontrol atas perilakunya sendiri. Hampir semua pelaku kekerasan seksual menunjukkan penyesalan mendalam ketika tertangkap oleh polisi. Tak jarang pula mereka menangisi perbuatannya dihadapan penyidik kepolisian maupun konselor pendamping. Penyesalan ini tidak akan ada jika mereka tidak memiliki basis nilai moral dan etika bermasyarakat yang tertanam dalam dirinya. Mereka para pelaku kekerasan

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Laporan Utama mengetahui dan memahami tentang bagaimana berperilaku yang baik dan tidak melanggar hukum di masyarakat. Bahkan mereka tahu tentang adanya aturan hukum yang bisa menjerat mereka jika berbuat jahat. Dengan kata lain, mereka tahu bagaimana cara-cara menjadi laki-laki yang baik (Vlais, 2014). Namun sayangnya ketika berhadapan dengan kelompok rentan dalam hirarkhi sosial, mereka cenderung memilih menggunakan cara-cara hidup (ways of being) yang berasalal dari kultur maskulin-patriarkhis yang membuat mereka memiliki cara pandang yang merendahkan, menundukkan dan sewenang-wenang pada individu lain yang dianggapnya lemah (Jenkins, 2009). Oleh karena itu, kejahatan yang ia lakukan adalah pilihan. Menggunakan semata-mata cara pandang psikologi klinis tentunya akan menghalangi kita dalam mengklarifikasi nilai, etika dan tuntunan sikap mulia yang berasal dari orang tua, masyarakat dan negara yang sudah dimiliki pelaku, untuk mengetahui mengapa hal-hal tersebut tidak berfungsi ketika berhadapan dengan perempuan dan anak-anak.

Isu Penegakan Hukum Masih berdasarkan data penelitian United Nations multi-country study tentang Maskulinitas, dan Kekerasan Terhadap Perempuan di Jakarta, Purworejo dan Jayapura. Hal yang cukup mencengangkan adalah, dari total 808 laki-laki yang pernah melakukan perkosaan terhadap perempuan dan remaja putri, 75,5% hingga 78,3% mengaku tidak pernah mendapat sanksi hukum legal dari penegak hukum maupun bentuk-bentuk sanksi sosial dari keluarga, teman dan lingkungan sosialnya. Tentu prosentase ini sangat tinggi dan menunjukkan bahwa masyarakat sangat permisif dengan kekerasan seksual yang dilakukan

laki-laki dari mulai pelecehan sampai perkosaan. Masyarakat cenderung permisif terhadap bentuk-bentuk kenakalan laki-laki yang mengandung muatan seksual. Akibatnya, ketika laki-laki mempraktikkan perilaku yang menjurus pada pelecehan seksual, biasanya dimulai dengan lelucon yang seksis, masyarakat abai dan menganggap sebagai hal yang tidak serius. Disinilah kultur perkosaan (rape culture) tumbuh subur dan aman. Situasi ini tentunya juga mempengaruhi perspektif para penegak hukum dalam melihat kasus perkosaan karena bagaimanapun mereka adalah individu yang lahir, dibesarkan dan menjadi bagian dari kultur maskulin itu sendiri. Hal ini pula yang membuat usulan hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual anak yang telah terbukti bersalah secara hukum di Colorado, Amerika, banyak mendapat tentangan karena dianggap tidak membuat para korban berani melapor. Sebaliknya, situasi ini membuat para pelaku mengubah tipe ancamanya dengan memanfaatkan sisi kedekatan korban dengan pelaku sehingga membuat korban sulit melapor dan dihantui perasaan bersalah jika pelaku dihukum mati atau tersakiti oleh hukuman. Di Indonesia, ketika korban berhasil lapor ke polisi atau LSM penyedia layanan psikososial, terkadang kasus ini justru masuk pada wilayah politik eksistensi lembaga-lembaga penyedia layanan di media yang melibatkan para tokoh dan ahli didalamnya. Tidak sedikit para korban kekerasan seksual, khususnya anak yang diekspos ke media massa oleh pendampingnya.

Menggagas Model Intervensi yang Komprehensif Dua hal yang harus diperhatikan dalam menggagas program intervensi pelaku kekerasan seksual pada anak adalah

penegakan hukum yang kuat dan konsisten, serta dilakukan dalam upaya menciptakan dunia aman bagi anak yang berkelanjutan. Tidak ada model intervensi pelaku kekerasan satupun yang terbukti efektif tanpa ada penegakan hukum yang kuat dan konsisten. Penegakan hukum akan menjadi pondasi utama, baik dalam hal intervensi pelaku maupun program pencegahan. Penegakan hukum akan memberikan efek jera bagi pelaku dan laki-laki lain yang belum menjadi pelaku bahwa ada kuasa yang lebih tinggi darinya. Kuasa ini dapat membatasi dan mencabut privilese dan keistimewaan yang diproduksi budaya dan diberikan padanya semata-mata karena jenis kelaminnya. Kondisi inilah yang dapat menjadi pintu masuk untuk mendorong pertanggungjawaban pelaku atas pebuatannya dalam sesi-sesi konseling ketika ia mendapatkan penegakkan hukum berupa penahanan, kurungan ataupun bentuk-bentuk pembatasan gerak lainnya. Namun penegakkan hukum semata tidak akan membangun motivasi dan kesadaran pelaku untuk berubah. Penting diketahui bahwa para laki-laki pelaku kekerasan adalah laki-laki dengan resistensi tingkat tinggi. Mereka selalu defensif, manipulatif, menyalahkan hal-hal lain atas perilakunya, menggunakan segala argumen dan pembenaran, meminta permakluman, cenderung diam, mangkir dalam sesi-sesi tritmen. Semua yang ia lakukan tersebut sebagai upaya menolak mengambil alih tanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku berupaya agar pihak lain yaitu, polisi, konselor, psikolog, keluarga bahkan korban turut bertanggung jawab menghentikan perilaku kekerasan yang ia lakukan. Akibatnya para pihak yang menanganinya berusaha mematahkan segala argumennya, mengontrol perilakunya,

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 17


Laporan Utama memaksanya mengikuti konseling, terjebak dalam perdebatan dan konfrontasi dengannya, maupun masuk dalam drama permakluman yang dibuat pelaku. Semua hal tersebut semakin meningkatkan resistensi atau penolakan pelaku untuk bertanggung jawab penuh menghentikan kekerasannya. Hal-hal ini menyebabkan tritmen medis dan klinis tidak dapat bekerja optimal dan hasilnya tidak bertahan lama karena kedua jenis intervensi tersebut sangat membutuhkan kerjasama, kepercayaan dan ikatan yang kuat antara terapis dan orang yang akan diintervensi. Salah satu tokoh terkemuka yang berpengalaman dalam bekerja dengan laki-laki pelaku kekersan di Adelaide, Australia bernama Alan Jenkins dalam bukunya invitations to responsibility (Jenkins, 1990), telah lama memperkenalkan pendekatan intervensi yang berorientasi menemukan kembali nilai etis pelaku kekerasan. Agar pelaku mau bertanggung jawab, maka ia harus mengakui dan menerima penuh kenyataan dari kekerasan yang telah ia lakukan, beserta dampaknya bagi orang lain terlepas dari semua alasan keterbatasan biopsikologis, sosial dan ekonomi yang ia pakai atau yang berasal dari keterangan ahli yang mendampinginya. Pendekatan ini melihat pelaku memegang norma-norma berperilaku yang menghambat (restraints) ia untuk mau menerima kenyataan tersebut dan bertanggung jawab penuh atas perilakunya. Norma berperilaku ini biasanya tercermin dari cara pandang yang digunakan pelaku dalam menjelaskan kejadian kekerasan yang telah ia lakukan dan konsep yang ia idealkan dalam menjalin hubungan dengan perempuan dan anak. Fokus intervensi adalah mendekonstruksi norma-norma yang menghambat ini. Cara yang digunakan adalah dengan menguji perilaku

18 |

kekerasan yang dilakukannya dengan nilai etis pelaku sendiri tentang kebaikan kemudian menghubungkannya dengan konteks sosial dimana tumbuh, terpelihara dan mendapat permakluman dari masyarakat. Proses intervensi juga akan mengklarifikasi nilai dan keyakinan tersebut dengan tujuan utama ia hidup dan dampaknya bagi kehidupan orang-orang yang ia sayangi. Pendekatan ini mendorong para praktisi yang bekerja dalam menangani laki-laki pelaku kekerasan untuk menggunakan metode diskusi reflektif yang memfasilitasi pelaku untuk membongkar isu relasi kuasa dan maskulintas dalam hidupnya, beserta dampaknya bagi dia sendiri dan orang lain. Para konselor akan membantu pelaku agar mengadopsi cara pandang baru menjadi laki-laki yang membuatnya mau menerima kenyataan dan bertanggung jawab penuh atas perilaku kekerasannya. Hanya ketika pelaku telah menerima kenyataan kekerasan yang ia lakukan dan bersedia mengambil tanggung jawab penuh menghentikan perilaku kekerasan yang ia lakukan, maka bentuk-bentuk intervensi lain baik medis maupun perubahan perilaku dapat dilakukan tanpa menimbulkan resistensi yang berarti. Intervensi medis dan psikologis, termasuk kastrasi kimia dan perubahan perilaku menjadi pilihan yang dapat digunakan dan harus diletakkan dalam kerangka memfasilitasi pertanggungjawaban pelaku untuk menghentikan kekerasannya sendiri. Bagaimanapun juga, beberapa pelaku tetap membutuhkan bentuk-bentuk keterampilan baru dalam berelasi secara sehat dengan orang lain.

Tinjauan kritis pada Program Pencegahan yang Ada Saat Ini Pada umumnya program-program preventif penanggulangan dini kekerasan seksual

anak menyasar anak-anak yang dianggap rentan menjadi korban. Strategi ini dipilih dengan asumsi karena mayoritas korban kekerasan seksual oleh orang dewasa adalah anak-anak, maka mereka harus menjadi target utama semua program penanggulangan kekerasan seksual. Dengan kata lain, karena orangorang yang dianggap berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual tidak dapat diidentifikasi dengan mudah, maka mereka yang berpotensi rentan menjadi korban menjadi sasaran utama program preventif. Program pencegahan yang popular saat ini dilakukan dengan mengajarkan anak-anak mengenai 3 cara penanggulangan, yaitu mengenalkan mereka tentang konsep dan bentuk-bentuk kekerasan seksual, termasuk dengan mengenali bagian-bagian tubuh yang terlarang untuk disentuh (bad touching and body integrity) oleh orang lain atau siapa pun, mengajarkan mereka untuk berani bertindak dan menolak jika ada orang lain mencoba menyentuh bagian-bagian tubuh terlarang tersebut, dan memberikan dorongan pada anak untuk berani menceritakan pada orang tua ketika mengalami kejadian yang menjurus pada kekerasan seksual. Di Amerika, program sejenis telah dikembangkan dan dilakukan dengan berbasis sekolah pada tiap-tiap distrik sejak akhir tahun 1970 hingga awal 1980an (Bolen, 2003). Harus diakui bahwa berdasarkan beberapa penelitian evaluatif, strategi ini berhasil dalam membangkitkan kesadaran publik mengenai bahaya kekerasan seksual pada anak. Selama 15 hingga 20 tahun pasca penerapan program prevensi tersebut, laporan masyarakat ke kepolisian terkait kejadian kekerasan seksual mulai marak bermunculan, walaupun jumlah kasus yang tidak terlaporkan jauh lebih banyak, terutama yang pelakunya memiliki

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Laporan Utama hubungan darah dengan korban (intrafamilial abuse). Hal ini karena, berdasarkan semua laporan dan kajian akademis, hampir 90% hingga 95% pelakunya adalah orang yang dikenal korban dan memiliki hubungan emosional, dianggap sebagai figur panutan dan memiliki jasa terhadap korban. Situasi ini pula yang menyebabkan upaya preventif yang menjadikan kelompok anak sebagai target utama program, dengan membekali mereka dengan cara-cara agar terlepas dari ancaman kekerasan seksual menuai kritik di Amerika. Salah satu penelitian oleh Finkelhor dan Dziuba-Leatherman tahun 1995 (Finkelhor & Dziuba-Leatherman, 1995), beberapa anak dilaporkan mengalami kecemasan, terutama ketika berada diluar rumah atau setiap kali bersama orang dewasa lain setelah mendapatkan informasi mengenai kekerasan seksual dalam pelatihan tersebut. Pertanyaan kritis yang jauh lebih penting adalah apakah keterampilan dan informasi yang telah didapat mengenai pencegahan kekerasan seksual dapat diaplikasikan oleh si anak dalam berbagai kondisi dan situasi nyata ketika kekerasan berlangsung atau ketika berhadapan langsung dengan pelaku yang telah dikenal dekat oleh anak. Hal ini mengingat modus yang digunakan pelaku sangat bervariatif dan berkembang dari waktu ke waktu, dengan membangun kedekatan emosional dengan anak, bujukan, rayuan, iming-iming hingga memanfaatkan status dia sebagai figur idola si calon korban. Disamping itu, isu perbedaan status usia antara korban dan pelaku yang menyebabkan adanya ketimpangan relasi dan isu tahapan perkembangan kognitif anak yang belum cukup matang juga menyebabkan anak sulit untuk tetap bertahan dari bujuk rayu si pelaku. Bahkan beberapa anak yang dengan tegas mampu menolak dan sadar

akan modus yang digunakan pelaku tak jarang berakhir dengan kematian si korban. Evaluasi dari program pencegahan model ini di Amerika, yaitu dengan mengajarkan anak untuk berani berkata tidak pada orang-orang yang mencoba melecehkannya secara seksual hanya efektif ketika pelakunya adalah orang yang tidak dikenal atau tidak dekat secara emosional. Kenyataan di lapangan, justru sebagian besar pelaku kekerasan seksual anak adalah mereka yang dikenal dekat dengan korban, idola yang baik, sangat dibutuhkan korban dan memiliki kuasa terhadapnya.

Transformasi Maskulinitas dan Relasi Kuasa Belajar dari evaluasi program pencegahan kekerasan seksual di Amerika, jika selama ini yang disasar adalah anakanak yang dianggap berpotensi menjadi korban, maka perlu mengimbangi program yang sudah berjalan ini dengan program pencegahan yang menyasar mereka yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Terlebih lagi, pelaku kekerasan seksual yang tindak kekerasannya masuk wilayah abu-abu (grey zone) jauh lebih banyak dan tidak pernah mendapat perhatian serius, apalagi tindakan hukum. Wilayah abu-abu kekerasan seksual adalah tindak kekerasan yang cenderung mendapat permakluman masyarakat, misalnya aktivitas seksual yang terjadi karena bujuk rayu, atau pengaruh alcohol yang diberikan pelaku pada korban sehingga seolah-olah korban tidak menolak. Contoh yang lain pelecehan seksual di kampus yang dilakukan dosen terhadap mahasiswi bimbingannya dimana si korban merasa tidak nyaman namun tidak mampu menolak karena berhadapan dengan dosen pembiimbing skripsinya sendiri. Disamping itu, laki-laki pelaku yang telah mendapatkan penindakan hukum maupun yang tidak, dan laki-laki secara umum

yang tidak melakukan kekerasan, selama ini tumbuh dibesarkan dalam kultur patriarkhi yang sama. Kultur yang membuat mereka mengadopsi nilai dan norma tunggal maskulinitas yang berorientasi pada kontrol, dominasi dan superioritas laki-laki terhadap perempuan dan anak dalam semua tata kehidupan, khususnya ranah seksualitas. Mereka ditopang sistem nilai yang sama. Mayoritas laki-laki pelaku yang tidak terlaporkan dan laki-laki yang tidak melakukan kekerasan adalah mereka yang cenderung bungkam dan permisif ketika melihat laki-laki lain melakukan praktik-praktik diskriminasi dan seksisme, baik terhadap perempuan dewasa, remaja, anak-anak maupun sesama laki-laki yang dipandang kurang maskulin. Program pencegahan kekerasan seksual perlu menyasar laki-laki secara umum dari semua tingkatan usia, anak, remaja, dewasa dan para ayah sesuai dengan peran sosialnya masing-masing. Program pencegahan bertujuan mentransformasikan pola relasi yang timpang antar jenis kelamin, usia dan status sosial dengan mengubah nilai dan norma maskulintas patriarkhis menjadi nilai-nilai kesetaraan dan penghargaan terhadap sesama. Jika selama ini laki-laki telah sekian lama belajar cara-cara menjadi laki-laki sejati dalam budaya patriarkhi, maka kini saatnya mengajak mereka belajar kembali menjadi manusia dan mengadopsi kembali nilai-nilai kemanusiaan. Mereka akan belajar bagaimana membangun relasi sehat dengan siapapun yang tidak berbasis kuasa melainkan kesetaraan. Pada semua rentang usia, perlu secara khusus mendiskusikan maskulinitas dan seksualitas. Tema ini mengajak laki-laki membongkar mitos-mitos seputar kejantanan laki-laki yang memicu munculnya perilaku seksual laki-laki yang beresiko, termasuk kekerasan seksual, dan mengeksplorasi dampaknya bagi

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 19


Laporan Utama mereka sendiri. Tema-tema diskusi yang diangkat dalam diskusi reflektif ini mampu mengurangi resistensi laki-laki ketika membincangkan isu-isu kekerasan seksual.

Ruang Refleksi bagi Laki-Laki Salah satu manfaat dari program pencegahan yang menyasar laki-laki ini adalah menyediakan ruang bagi laki-laki untuk mendialogkan segala perasaan mereka terhadap konsep kelelakian yang dianggap membebani, mengingat selama ini laki-laki cenderung enggan atau risih untuk membicarakan dirinya sendiri. Tak jarang ditemui dalam sesi-sesi diskusi dengan kelompok remaja, nenerapa dari mereka mampu menceritakan pengalaman kekerasan yang dialami ketika kecil sehingga program diskusi ini menjadi proses terapeutik bagi mereka. Hal ini penting sebelum mereka memaknai pengalaman kekerasan yang dialami dengan cara pandang maskulin sehingga balik melakukan kekerasan ketika dewasa. Para perempuan, remaja dan dewasa, juga dilibatkan dalam program pencegahan ini. Mereka terlibat dalam diskusi berseri yang secara khusus membincangkan tentang relasi sehat. Hal ini agar mereka mampu mengidentifikasi pola relasi yang mereka jalani dengan laki-laki, apakah sehat ataukah berpotensi membuat mereka mengalami kekerasan. Program pencegahan kekerasan seksual yang sudah berjalan saat ini, khususnya di Yogyakarta melibatkan kerjasama dan inisiatif dari banyak pihak, dari mulai bupati, kepala desa dan dusun, tokoh masyarakat, dinas sosial, dinas pendidikan, dinas kesehatan, KUA, sekolah, karang taruna dan LSM. Pemerintah pusat dapat melihat sendiri bagaimana program ini diimplementasikan di daerah sehingga memiliki referensi jika

20 |

ingin membuat program pencegahan lain yang dirasa cocok dilakukan dalam skala nasional. Isu kekerasan seksual berhubungan dengan banyak aspek kehidupan masyarakat, baik sosial, kesehatan, agama, ekonomi dan hukum. Penanganan kekerasan seksual membutuhkan kerjasama dan koordinasi lintas sektor dan tidak melulu menjadi tugas pokok dan fungsi satu kementerian saja. []

Referensi Abel, G., Osborn, C., & Anthony, D. (1992). Current Treatment of Paraphiliacs : Annual Review of Sex Offenders Research 3. 255-290. Bolen, R. (2003). Child Sexual Abuse: Prevention or Promotion. Social Workers, Vol.48 (2), 174 – 185. Brandford, J. (1990). The antiandrogen and hormonal treatment sof sex offenders. New York: Plenum. Cornu, F. (1973). Catamnestic Studies on Castrated Sex Delinquents from a Forensic Psychiatric Viewpoint . Basel Germany: Karger. Donovan, B. (1984). Harmones and Human Behaviour. London: Cambridge University Press. Federoff, J., Wisner, C., & Dean, S. (1992). Medroxyprogesterone Acetate in the Treatment of Paraphilic Sexual disorders : Rate of Relapse in Paraphilic Men Treated in Longterm Group Psychoteraphy with or without Medroxyprogesterone acetate. Journal of Offender Rehabilitation 18, 109-123. Finkelhor, D., & Dziuba-Leatherman, J. (1995). Victimization Prevention Program. A National Survey of

Children’s exposures and reactions. Child abuse & neglect, 19, 129 - 139. Flora, R. (2014). How To Work with Sex Offenders : A Handbook for Criminal Justice, Human Service and Mental Health Profesionals. Londan: Routledge. Fulu, E., Warner, X., Miedema, S., Jewkes, R., Roselli, T., & Lang, J. (2013). Why Do Some Men Use Violence Against Women and How Can We Prevent It? Quantitative Findings from the United Nations Multi-country Study on Men and Violence in Asia and the Pacific. Bangkok: UNDP, UNFPA, UN Women and UNV. Retrieved from http://www.partners4prevention.org/sites/ default/files/resources/ p4p-report.pdf Gordon, A. (1989). Research on sex offenders: Regional Psychiatric Centre. Forum on Corrections Research 1, (pp. 20-21). Grossman, L. S., Martis, B., & Fichtetner, C. G. (1999). Are Sex Offenders Treatable? A Research Overview. Psychiatric Services (3)50, 349-361. Hanson, R. K., Steffy, R. A., & Gauthier, R. (1993). : Longterm Recidivism of Child Molesters. Journal of Consulting and Clinical Psychology 61, 646-652. Jenkins, A. (1990). Invitations to Responsibility: The Terapeutic Engagement of Men Who Are Violent and Abusive. Adelaide, South Australia: Dulwich Centre Publications. Jenkins, A. (2009). Becoming Ethical: A Parallel, Po-

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Laporan Utama litical Journey With Men Who Have Abused. United Kingdom: Russell House Publishing Limited. Kravitz, H., Haywood, T., & Kelly , J. (1995). Bulletin of American Academy of Psychiatry and the Law 23 . Medroxyprogesterone Treatment for Paraphiliacs, pp. 19-33. Langevin, R., Paitich, D., & Hucker, S. (1979). The Effect of Assertiveness Training, Provera, and Sex of Tehrapist in the Treatment of Genital Exhibitionis, . Jurnal of Behaviour Therapy and Experimental Psychiatry 10, 275-282. Laws, D., & Marshall , W. (1991). Masturbatory Reconditioning with Sexual Deviates : an Evaluatif Review. Advances in Behaviour Research and Therapy 13. 13-25. Marques, J. K., Day, D. M., Nelson, C., Barat, M. A., & West, M. A. (1994). Effects of cognitive-behavioral treatment on sex offender recidivism: preliminary results of a longitudinal study. Criminal Justice and Behavior 21, 28-54. Marshall, W., & McKnight, R. (1975). An Integrated Treatment Program for Sexual Offenders. Canadian Psychiatric Association Journal 20, 133-138. Meyer, W., Cole, C., & Emory, L. (1992). Bulletin of the American Academy of Psychiaty and the Law 20. Depo Provera Treatment For Sex Offending Behaviour : An Evaluation Of Outcome, pp. 249-259. Pithers, W. D., & Cumming, G. F. (1989). Can relapse be prevented? Initial outcome data from the Ver-

mont treatment program for sexual aggressors, in Relapse Prevention With Sex Offenders. New York, Guilford: Edited by Laws DR. Pitula, E. (2010). An Ethical Analysis of the Use of Medroyprogesterone Acetate and Cyproterone Acetate to treat Repeat Sex Offenders. Retrieved from http://academiccommons.colombia.edu/ catalog/ac%3A132381 Rice, M. E., Quinsey, V. L., & Harris, G. T. (1991). Sexual recidivism among child molesters released from a maximum security psychiatric institution. Journal of Consulting and Clinical Psychology 59, 381-386. Rice, M., Harris, G., & Quinsey, V. (1990). A Follow up of Rapist Assessed in a Maximum-Security Psychiatric Facility. Journal of Interpersonal Violence 5, 435-448. Vlais, R. (2014). Ten Challenges And Opportunities for Domestic Violence Perpetrator Program Work No To Violence Male Family Violence Prevention Association. Retrieved from http://ntv. org.au/wp-content/uploads/141022-NTV-10challenges-final.pdf

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 21


Laporan Utama

Laporan Utama

MENEROPONG KEKEKERASAN SEKSUAL PADA INSTITUSI PENDIDIKAN DALAM DISKURSUS PENEGAKKAN MARTABAT KEMANUSIAAN (HUMAN DIGNITY), ETIKA DAN HUKUM Triantono I Research Officer Rifka Annisa Women’s Crisis Centre I triantono19@gmail.com

K

ekerasan seksual utamanya yang terjadi pada institusi pendidikan pada semua level dirasakan publik sebagai fenomena yang semakin meresahkan. Kondisi tersebut bukan tanpa alasan. Dalam berbagai pemberitaan dimedia kekerasan seksual dalam berbagai bentuknya terjadi dari level TK sampai dengan Perguruan Tinggi (Universitas). Menjadi paradoks ketika Institusi pendidikan yang seyogyanya menjadi tempat yang aman dan nyaman dalam menimba ilmu harus dihadapkan pada kenyataan adanya praktek kekerasan seksual ditempat tersebut. Kekeraan seksual apapun bentuknya yang terjadi pada institusi pendidikan jelas merupakan antitesis dari perlindungan martabat kemanusiaan, etika bahkan hukum. Untuk itulah sedikit tulisan ini akan membahas hal ikhwal sebagaimana dimaksud.

22 |

Masalah Terminologi: Kekerasan atau Kejahatan Mungkin bagi sebagian khalayak, tidak perlu dan bahkan tidak penting mempersoalkan terkait apakah itu kejahatan atau kekerasan seksual, karena yang menjadi maksud dari ungkapan yang banyak diungkapkan dimasyarakat pada intinya adalah untuk menggambarkan suatu situasi dimana telah terjadi ketidakseimbangan sosial akibat perbuatan yang dimaknai sebagai kejahatan atau kekerasan seksual. Meskipun demikian dalam kajian akademis lebih-lebih soal hukum, persoalan istilah kejahatan maupun kekerasan memiliki substansi dan implikasi yang berbeda. Dengan pertimbangan demikian maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah kekerasan dapat selalu masuk dalam kualifikasi kejahatan atau sebaliknya, dan bagaimana sebenarnya hubungan keduanya.

Kejahatan merupakan suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai suatu perbuatan jahat. Dengan demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua anggota dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan kejahatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat (Mulyana, 1984, p. 58). R. Soesilo juga menjelaskan tentang kejahatn ini menjadi dua pengertian yaitu pengertian secara yuridis maupun secara sosiologis. Secara yuridis apa yang dimaksud dengan kejahatan merupakan perbuatan dimana

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Laporan Utama perbuatan tersebut ber­tentangan dengan undang-undang atau kebijakan resmi negara. Secara sosiologis kejahatan merupakan perbuatan yang selain dapat merugikan orang lain juga harus: • Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus dikemukakan dengan jelas dalam hukum pidana. • Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian. • Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang disengaja atau sembrono yang menimbulkan akibat-akibat yang merugikan. • Harus ada maksud jahat (mens rea). • Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan. • Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang undang-undang dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan sendiri. • Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang. Dengan demikian maka prinsipnya suatu perbuatan itu dimaknai jahat atau tidak dapat dilihat dari sisi nilai dalam suatu masyarakat itu terhadap perbuatan dan adanya kebijakan negara yang mengatur mengenai perbuatan tersebut. Dan nampaknya menurut R Soesilo kedua hal tersebut berlaku secara kumulatif. Hal inilah yang tercermin dalam asas legalitas dalam kebijakan hukum pidana. Sedangkan mengenai kekerasan Martin L. Haskel dan Lewis Yablonsky mengemukakan ada empat kategori yang mencakup hampir semua pola-pola kekerasan, yaitu sebagai berikut: (Mulyana, 1984, p. 58)

1.

Kekerasan Legal Kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh hukum, misalnya tentara yang melakukan tugas dalam peperangan, maupun kekerasan yang dibenarkan secara legal, misalnya olahraga tinju serta tindakan-tindakan tertentu untuk membela diri. 2. Kekerasan Secara Sosial Mempunyai Sanksi Suatu faktor penting dalam menganalisis Kekerasan adalah tindakan dukungan atau sanksi sosial terhadapnya, misalnya tindakan seorang pencuri akan memperoleh dukungan sosial. 3. Kekerasan Rasional Beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tidak ada sanksi sosialnya, adalah kejahatan yang dipandang rasional dalam konteks kejahatan. Misalnya: pembunuhan dalam kerangka suatu kejahatan terorganisasi. 4. Kekerasan Yang Tidak Berperasaan (Irrational Violence) Kejahatan yang menjadi dampak adanya provokasi terlebih dahulu, tanpa memperlihatkan motivasi tertentu pada umumnya korban tidak dikenal oleh pelakunya. Dapat digolongkan ke dalamnya adalah apa yang dinamakan raw violence merupakan ekspresi langsung dari gangguan psikis seseorang dalam saat tertentu di dalam kehidupannya. Kekerasan merupakan aktualisasi perbuatan, sedangkan mengenai kejahatan maka kita berbicara mengenai kualifikasi dari perbuatan tersebut. Secara terminologi memang berbeda tapi memliki hubungan yang erat. Orang yang melakukan kekerasan belum tentu

terkualifikasi menjadi kejahatan jika secara hukum tidak diatur mengenai perbuatan kekerasan tersebut ataupun secara hukum memang dibenarkan dilakukan kekerasan atas perbuatan-perbuatan tertentu, misalnya dalam alasan pembenar dan pemaaf. Namun demikian apa yang dimaksud dengan kejahatan menurut memory van toelicting dari KUHP merupakan suatu delichtenrecht (delik hukum) sehingga perbuatan mana yang dikualifikasikan sebagai kejahatan itu pasti memiliki implikasi hukum. Dengan kata lain terdapat unsur dapat dicela/kesalahan (schuld) dalam kejahatan, namun dalam tindak kekerasan secara umum belum tentu terdapat unsur kesalahan (schuld). Padahal jika kita melihat asas hukum pidana maka berlaku asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zonder schuld). Untuk dapat menilai bahwa kekerasan itu adalah suatu bentuk kejahatan maka dapat dilihat dari tata nilai maupun norma yang berlaku dan dengan menggunakan ukuran sebagaimana dikemukakan oleh Martin diatas. Dengan demikian jika dikontekskan dengan kekerasn seksual maka kekerasan seksual dapat dikategorikan seabagai kejahatan baik dalam pengertian sosiologis maupun legal. Jika yang dimaksud dengan kekerasan seksual tersebut dikualifikasikan menjadi kejahatan maka akan masuk pada ranah delichtenrecht (delik hukum) sehingga memenuhi unsur dapat dicela/mengandung kesalahan yang dengan unsur tersebut maka perbuatan kekerasan seksual sebagai suatu aktualisasi kejahatan memiliki implikasi hukum. Meskipun belum ada pengaturan secara khusus mengenai kekerasan seksual, menurut penulis tepat jika terminologi kekerasan seksual yang berkembang saat ini secara mutatis mutandis memiliki makna sebagai kejahatan seksual.

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 23


Laporan Utama Pelanggaran Martabat Kemanusiaan (Human Dignity) Dilihat dari aspek historis, munculnya Hak Asasi Manusia dilatar belakangi oleh suatu konsep bahwa hak-hak dasar manusia untuk hidup dan bebas dari segala macam bentuk kekerasan semata-mata karena dia itu manusia. Bahkan jika kita menggunakan teori kodrati maka umat manusia memiliki HAM bukan karena diberikan oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan sematamata berdasarkan martabatnya sebagai manusia (marabat manusia). Untuk itulah martabat kemanusiaan akan senantiasa melekat (inherent) dalam pribadi manusia baik itu diakui atau tidak dalam dimensi eksternal manusia. Kekerasan seksual merupakan aktualisasi perbuatan yang mengakibatkan korban kekerasan mengalami kehilangan kohormatan dan/atau martabat kemanusiaannya. Dengan demikian sudah barang tentu jika kekerasan seksual yang menimpa seseorang merupakan pelanggaran pemenuhan martabat kemanusiaan (human dignity). Perlindungan, pemenuhan, penghormatan atas martabat kemanusiaan yang merupakan inti dari hak asasi manusia tidak akan terwujud manakala seseroang mengalami kekerasan seksual, apalagi hal tersebut terjadi pada lembaga pendidikan yang salah satu tujuannya adalah menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Oleh sebab itu kekerasan seksual khususnya di lembaga pendidikan jelas menegasikan martabat kemanusiaan (Human Dignity) yang merupakan inti dari Hak Asasi Manusia (HAM). Melihat fakta kekerasan seksual pada institusi pendidikan maka ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan. Pendekatan tersebut adalah pendekatan etika, hukum dan perubahan perilaku. Ada tiga hal pokok yang menjadi fokus dari pendekatan

24 |

tersebut yaitu perlindungan dan pemulihan korban, penindakan dan rehabilitasi perilaku bagi pelaku, dan edukasi publik.

Pendekatan Etika Dalam kaitannya dengan persoalan etik maka ada dua pengertian yang relevan yaitu pengertian tentang kode-kode etik (codes of ethics) dan kode perilaku (code of conduct). Jadi pelanggaran terhadap etik dapat berarti pelanggaran terhadap nilai etika dan perilaku (Ashidiqie, 2015, p. 21). Karena persoalan etik ini lazimnya juga diikuti dengan prosedur bagaimana mengungkap pelanggaran etika seseorang, maka persoalan etik juga sekaligus berkaitan dengan pengertian “pengadilan etika” (court of ethics) (Ashidiqie, 2015, p. 21). Ketiga konsep yang dikemukakan oleh Ashidiqie ini nampaknya relevan dengan kasus pelanggaran kode etik yang banyak menjerat tenaga pendidik yang menjadi pelaku kekerasan seksual. Namun apakah ukuran prosedur penegakkan etika yang biasa dilaksanakan oleh internal lembaga pendidikan juga dapat dikatakan memenuhi syarat sebagai sebuah lembaga penegak etika atau dalam hal ini “pengadilan etika” (court of ethics). Kasus kekerasan seksual didalam insitusi pendidikan berkaitan erat dengan masalah etik dan pedoman perilaku yang lazim sudah ditetapkan oleh institusi pendidikan pada berbagai level. Pada konteks ini upaya penyelesaian secara internal melalui pendekatan etik biasanya dilakukan. Selanjutnya, sebagaimana diutarakan diatas bahwa berbicara mengenai persoalan etik juga akan terkait dengan proses formal penegakkan etika. Proses penegakkan etika itu berkaitan dengan persoalan prosedur (acara) pengungkapan pelanggaran etik yang dilakukan sampai pada penjatuhan sanksi. Prosedur yang demikian layaknya “pengadilan etik” (court of ethic).

Dalam pengertian pengadilan etik (court of ethic) tersebut maka ada prinsip pengadilan modern yang sepatutnya menjadi perhatian agar proses dan hasilnya dapat dipertanggung jawabkan secara publik. Prinsipprinsip tersebut adalah peradilan modern yang bersifat objektif, imparsial, profesional, terbuka, transparan, akuntabel (Ashidiqie, 2015, p. 30). Namun demikian Upaya penyelesaian kasus kekerasan seksual melalui meanisme “pengadilan etik” menjadi alternatif yang belum banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Mekanisme penegakan kode etik yang telah dilakukan oleh beberapa institusi pendidikan dalam penyelesaian kekerasan seksual lebih banyak dilakukan secara tertutup. Makna tertutup disini berkaitan dengan proses, pihak-pihak yang terlibat dalam dewan etik, sampai pada implementasi atas sanksi etik yang tidak bias dipertanggung jawabkan secara publik. Mekanisme ini mendasarkan pada paradigm lama tentang penegakkan etika bahwa sistem etika pada dasarnya menyangkut hubungan-hubungan yang bersifat pribadi atau privat. Karena itu, proses pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik biasanya dilakukan secara tertutup. Sebagian pengertian lama tentang etika yang bersifat pribadi yang bersumber dari dorongan kesadaran internal tiap-tiap pribadi atau ‘imposed from within’, masih melekat dalam mekanisme pengelolaan kelembagaan penegak kode etik (Ashidiqie, 2015, p. 32). Tanpa transparansi dan akuntabilitas publik, jaminan kendali mutu dan keadilan terhadap proses penegakan etika yang bersifat independen, jujur, dan adil tidak mungkin terpenuhi. Jika proses pemeriksaan dan peradilan dilakukan secara tertutup, derajat objektivitas, integritas, dan independensinya tentu saja tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selama

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Laporan Utama proses penegakan kode etik tidak terbuka, tidak dapat diharapkan adanya akuntabilitas publik yang memberikan jaminan objektifitas, imparsialitas, profesionalitas, integritas, dan kredibilitas. Pada gilirannya, sulit untuk meyakinkan publik bahwa proses penegakan kode etik itu sungguh-sungguh terpercaya. Jika prosesnya tidak dapat dipercaya, bagaimana mungkin hasilnya akan dapat dipercaya oleh masyarakat (publik). Proses dewan etik yang sangat tertutup dapat menimbulkan spekulasi bahwa patut diduga pertimbangan pertemanan ataupun dipengaruhi oleh pertimbangan ewuh-pekewuh. Kemunculan spekulasi public yang demikian menandakan proses dewan etik internal yang tertutup memiliki celah untuk tidak dipercaya (distrust) oleh publik. Penyelesaian kasus kekerasan seksual melalui pendekatan etik bukan tidak mungkin akan melahirkan penyelesaian yang efektif dan adil. Hal itu tergantung bagaimana komitmen lembaga secara internal dalam menjembatani kepentingan baik korban, pelaku maupun masyarakat (civitas akademika). Proses yang transparan tidak diartikan bahwa persidangan etik yang melibatkan korban dapat dilihat oleh semua orang, melainkan dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan proses dan pihak-pihak (dewan etik) yang terlibat dalam penegakan etik tersebut.

Pendekatan Hukum dan Perubahan Perilaku Selain penyelesaian kasus kekerasan seksual melalui pendekatan etik, upaya penyelesaian kasus juga dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan hukum. Apapun alasannya pelaku kekerasan seksual harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sebagaiamana disinggung diatas bahwa pengertian kekerasan seksual dapat secara mutatis mutandir dimaknai sebagai kejahatan seksual yang memiliki implikasi hukum.

Pendekatan hukum yang dilakukan selain menindak tegas pelaku juga harus memulihkan korban. Pendekatan hukum yang hanya menindak pelaku dan meminggirkan hak korban untuk dipulihkan akan mendistorsi keadilan sebagaimana yang menjadi tujuan hukum itu sendiri. Namun dalam Konstruksi yuridis dalam pengaturan hukum kekerasan seksual di Indonesia belum memuat hal tersebut. Pendekatan hukum atas pelaku kekerasan seksual harus menimbulkan efk jera (deteren effect) dan merehabilitasi perilaku bagi pelaku. Hal ini sejalan dengan model pemidanaan yang tidak saja menghukum tetapi juga merehabilitasi (memperbaiki) sebagaimana dianut di Indonesia, meskipun dalam perjalanannya model ini masih perlu untuk diperbaiki. Terkait dengan rehabilitasi perilaku penulis tidak akan terlampau jauh dalam membincangkan soal perubahan perilaku dalam pengertian psikologis. Yang menurut penulis relevan diungkap disini adalah apa yang menjadi dasar proses perubahan perilaku dari pelaku yang melakukan pelanggaran etik dan hukum. Proses tindakan berupa konseling peruahan perilaku memiliki tempat yang penting dalam penyelesaian kasus seperti halnya pemberian hukuman yang memberikan efek jera (deterent effect). Pada dasarnya menurut penulis dengan menggunakan pendekatan etik dan hukum maka proses perubahan perilaku senantiasa bersifat acessoir. Artinya perubahan perilaku melalui konseling perubahan perilaku merupakan tindakan yang tidak dapat berdiri sendiri. Tindakan tersebut harus didahului dengan pernyataan atau putusan tentang kejahatan dan sanksi pokok atas kejahatan yang dilakukan. Dikaitkan dengan penegakkan hokum maka perubahan perilaku bagi pelaku kejahatan

sudah memiliki konsepnya sejak abad ke 19. Berangkat dari pendektan Herbert L Parker yang memprkenalkan pendekatan medical model selain crime control model maupun due proses model, maka sudah sejak lama diperkenalkan bahwa memperlakukan pelaku kejahatan tidak cukup hanya sekedar melakukan penghukuman, namun yang lebih penting adalah melakukan perbaikan perilaku sehingga pelaku tidak mengulangi kejahatannya. Dan dalam sistem hukum pidana di Indonesai ketiga pendekatan tersebut dipakai meskipun tidak bersifat strik. Akhirnya, mekanisme Etik dan hukum dapat difungsikan secara sinergis dan saling menopang dalam rangka membina, mengarahkan, dan mengendalikan kualitas dan integritas perilaku serta memberikan perlindungan martabat kemanusiaan (human dignity) dalam penanganan kekerasan seksual khususnya di Institusi Pendidikan. Hal ini merupakan bagian dari upaya komprehensif dalam memberikan perlindungan dan pemulihan bagi korban, memberikan efek jera dan rehabilitasi perilaku bagi pelaku, dan memberikan pendidikan publik.

Referensi Ashidiqie, J. (2015). Dinamika Sistem Norma dan Peradilan Etika. Penataan Hakim Agung, (p. 21). Jakarta. Mulyana, K. W. (1984). Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar Ringkas). Bandung: Armco.

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 25


Laporan Utama

JALAN TERJAL PELIBATAN SEKOLAH DALAM PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK Defirentia One Muharomah I Manajer Program SAPA SETARA Rifka Annisa Women’s Crisis Centre I defirentiaone@yahoo.co.id

A

nak-anak berhak mendapat­kan lingkungan yang aman dan nyaman untuk menunjang tumbuh kembangnya. Termasuk untuk mencapai dan melindungi seluruh potensi dan hak anak-anak. Namun, realitas berkata sebaliknya. Tidak semua anak di dunia ini tumbuh kembang secara baik. Penelitan Plan International & ICRW pada tahun 2015 tentang School Related Gender Based Violence (SRGBV) in Asia, bahwa 7 dari 10 anak mengalami kekerasan di sekolah. Kasus kekerasan yang terjadi pada anak (SRGBV) di sekolah tertinggi terjadi di Indonesia (84%) dan terendah di Pakistan (43%) (Plan International & ICRW, 2015). Potensi kekerasan masih mengintai anak-anak dan sekolah menjadi salah satu tempat yang tidak aman bagi anak-anak. Padahal, beberapa program telah dilakukan oleh pemerintah, sekolah, maupun dari kalangan non pemerintah untuk menunjang tujuan ini. Pelibatan sekolah sebagai aktor kunci menjadi hal yang krusial karena tanpa komitmen dan keterlibatan sekolah, maka upaya ini tidak akan optimal. Sejak tahun 2014, Rifka Annisa telah bekerjasama dengan empat sekolah di Kabupaten Gunungkidul melalui skema program SAPA SETARA yang ditujukan untuk pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak berbasis sekolah. Sekolah tersebut antara lain SMK Negeri 1 Wonosari, SMK Negeri 1 Saptosari, SMK Negeri 1 Gedangsari, dan SMK Negeri

26 |

1 Ngawen. Jika dilihat dari pengalaman Rifka Annisa menjalankan program ini, jalan terjal masih harus dihadapi sebab tidak mudah melibatkan sekolah. Mungkin banyak sekolah sepakat dengan tujuan bahwa anak-anak harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan, namun mereka belum tentu sepaham tentang bagaimana kita harus melindungi anak-anak dan bagaimana cara kita menangani kekerasan yang dialami oleh mereka. Berbicara mengenai pencegahan, hampir semua sekolah memiliki tujuan dan konsep program yang kebanyakan identik. Sekolah rajin mengadakan sosialisasi, edukasi dan upaya preventif lainnya. Semua sekolah pun sepakat bahwa mereka penting terlibat dalam upaya

pencegahan, apapun bentuk upaya yang dilakukan. Namun, dalam konteks penanganan, belum ada mekanisme yang disepakati dan bahkan sikap sekolah pun berbeda satu sama lain. Perbedaan ini menyebabkan upaya penanganan kekerasan seksual tidak selancar upaya pencegahan yang mereka lakukan. Tulisan ini akan menjabarkan secara singkat tentang inisiatif sekaligus kendala dan tantangan yang dihadapi dalam upaya pelibatan sekolah untuk penanganan kasus kekerasan seksual pada siswa.

Mengapa Kekerasan? School-Related Gender Based Violence perlu dikaji dalam kerangka ekologi sosial yang mampu menjelaskan bahwa

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Laporan Utama kekerasan terjadi bukan karena faktor tunggal tetapi karena multi faktor yang menyebabkannya. Kerangka ekologi sosial memudahkan kita untuk mengkategorisasikan penyebab terjadinya kekerasan mulai dari level individual, keluarga, komunitas/ sekolah, komunitas dan level kebijakan/sistem yang lebih luas. Ada serangkaian situasi di level mikro dan makro yang dapat menjelaskan mengapa kekerasan terjadi. Di level individu, terjadinya kekerasan dipengaruhi oleh bagaimana masing-masing individu mempersepsikan norma gender yang mempengaruhi perilaku kekerasan. Termasuk pula menjustifikasi individu untuk berperilaku diskriminatif dan agresif berdasarkan gender. Selain itu, sejalan dengan teori social learning yang dicetuskan oleh Albert Bandura, perilaku agresifitas individu dipelajari dari pengalaman di lingkungan sekitarnya. Anak melakukan kekerasan

dikarenakan meniru atau belajar dari orang di sekitarnya. Itulah mengapa kekerasan pada dasarnya bukan sifat naluriah dari manusia, karena manusia belajar perilaku kekerasan tersebut dari lingkungannya. Di lingkup sekolah dan keluarga, terjadinya kekerasan tidak dapat dipisahkan dari sikap guru maupun orangtua terkait gender, hierarki kekuasaan antar masing-masing elemen di sekolah, praktik-praktik diskriminatif dan kurangnya pengetahuan maupun sistem untuk merespon kasus-kasus yang terjadi. Di level komunitas, norma sosial, perilaku berkonflik, ketidakpekaan pada kasus kekerasan di sekolah, serta lemahnya mekanisme respon juga mempengaruhi bagaimana kekerasan terjadi sekaligus penanganannya. Di level makro, lemahnya kebijakan dan kelembagaan sekolah terkait kesetaraan gender dan keamanan siswa, lemahnya pengintegrasian gender dalam kurikulum,

Gambar 1. Kerangka Ekologi Sosial tentang Kekerasan di Sekolah Sumber: Plan International & ICRW, 2015

perekrutan guru maupun pelatihan serta lemahnya perencanaan dan mekanisme akuntabilitas sekolah. Dengan membaca kerangka ekologi diatas, kita dapat memahami bahwa hierarki kekuasaan, norma dan kekerasan di lingkungan sosial tidak dapat dipisahkan karena masyarakat menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan melanggengkan ketidaksetaraan. Di lingkungan terdekat seorang anak, ketidakadilan norma gender dan praktik diskriminatif yang terlihat di rumah, di sekolah dan dalam komunitas membentuk dan memperkuat individu anak untuk bersikap terkait peran gender dan kekerasan berbasis gender. Norma-norma ini seringkali membenarkan penggunaan kekerasan dan diskriminasi berdasarkan gender, dan mempraktikkan maskulinitas yang agresif dan membenarkan kekerasan berbasis gender. Norma-norma ini, meskipun universal, menemukan ekspresi yang berbeda dan manifestasi dalam budaya dan konteks yang berbeda, dan dengan demikian, bisa secara berbeda dialami oleh anak perempuan dan anak laki-laki di berbagai negara. Karena kekerasan cenderung dinormalkan, sistem untuk mengenalinya dan meresponsnya menjadi lemah dan seringnya malah tidak ada. Dalam konteks tersebut, berbicara tentang masalah-masalah ini sering dipenuhi dengan sikap apatis, penyangkalan, penolakan, atau lebih buruk lagi, menyalahkan. Dengan demikian, ada siklus kekerasan yang terus diperkuat dalam lingkungan mikro individu, melalui faktor-faktor yang beroperasi pada tingkat meso dan makro, dan hal ini adalah langkah pertama untuk mencegah dan mengatasi kekerasan. Pemahaman kultural atau struktural tentang kekerasan berbasis gender perlu diikuti dengan upaya perubahan yang terus digalakkan dengan menargetkan

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 27


Laporan Utama individu, komunitas, sistem sosial, serta hukum.

Asesmen Persiapan Sebelum kerjasama bermula, tim Rifka Annisa telah melakukan beberapa kajian persiapan terkait potensi, peluang, dan tantangan dalam penanganan kekerasan seksual di sekolah. Data penelitian yang dirilis oleh Rifka Annisa tahun 2013 menyebutkan bahwa anak-anak di empat sekolah yang diteliti di Kabupaten Gunungkidul pernah mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk. Bentuk kekerasan berupa dibentak hingga dipukul atau ditelantarkan. Sebesar 86,1% responden mengaku pernah dibentak; 33,6% pernah dimaki; 6,6 % pernah ditampar; 11,5% pernah dilempar; 11,5% pernah dipukul dengan tangan kosong; 7,4% pernah dipukul dengan benda; 2,5% pernah ditelantarkan; 0,8% pernah dilukai dengan senjata tajam. Selain itu, sebanyak 89% siswa mengaku pernah mengalami kekerasan dari orang tua mereka, sisanya 11 % siswa tidak pernah mengalami kekerasan dari orang tua mereka (Rifka Annisa, 2013). Kekerasan pada siswa tidak saja terjadi pada bentuk verbal dan fisik, tetapi juga terjadi pada ranah seksual. Data memperlihatkan bahwa 16% mengaku pernah mendapat kekerasan seksual dari orang lain. Kekerasan seksual yang digali berupa pernah tidaknya diraba orang dewasa, dicium paksa, dipakasa menunjukkan organ intim, dipaksa berhubungan seksual, atau dipaksa memberikan kenikmatan seksual. Terlihat juga bahwa kekerasan seksual tidak saja terjadi pada perempuan, tetapi juga menimpa laki-laki. Dan pelajar perempuan rentan mengalami pelecehan seksual maupun kehamilan tidak diinginkan ketika menjalani praktik kerja lapangan. “Kami kaget saat dikatakan anak-anak (pelajar) kami banyak mengalami kasus kekerasan termasuk kekerasan

28 |

seksual. Rasanya tidak percaya,� ucap salah seorang pejabat di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Gunungkidul merespon pemaparan laporan penelitian tim Rifka Annisa di empat sekolah di Kabupaten Gunungkidul saat pertemuan konsultasi lintas stakeholder di awal tahun 2014. Laporan tersebut menjelaskan bahwa sebagian siswa yang menjadi responden penelitian pernah mengalami kekerasan berupa kekerasan fisik, psikologis, penelantaran, pelecehan seksual, pornografi, cybercrime, dan kekerasan dalam berpacaran. Kegiatan penelitian tersebut merupakan langkah pertama yang penting dan upaya pengumpulan data dengan mengidentifikasi pengalaman kekerasan oleh siswa sekaligus melakukan penilaian kebutuhan dengan menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan sekolah. Selain itu, pengalaman berbagai pemangku kepentingan seperti Disdikpora, Dinas Sosial, guru dan kepala sekolah dalam penanganan kekerasan, konteks di mana kekerasan terjadi dan bagaimana konteks tersebut berkontribusi pada kekerasan, menjadi hal penting yang juga didiskusikan. Di lingkup kebijakan, sejak tahun 2012, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul telah memberlakukan Peraturan Daerah Nomor 25 Tahun 2012 tentang perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan meliputi pencegahan, layanan darurat dan rehabilitasi serta pemberdayaan korban. Pemerintah juga telah mengatur pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk memberikan para korban layanan apa pun yang terkait dengan laporan, kesehatan (fisik dan psikologis), rehabilitasi sosial, reintegrasi sosial dan bantuan hukum. Pelaksanaan perlindungan terpadu melibatkan peran pemerintah, masyarakat dan LSM dan semua aktor yang terlibat dalam FPK2PA (Forum

Penanganan Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak). Keterlibatan masyarakat juga diperlukan dalam perlindungan korban kekerasan yang meliputi pencegahan, sistem dukungan, pemantauan sosial, bantuan korban dan rujukan ke institusi di masing-masing daerah. Selain itu, pemerintah Kabupaten Gunungkidul memberlakukan Peraturan Bupati tentang pencegahan pernikahan anak No.36 tahun 2015 pada 24 Juli 2015. Kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di Gunungkidul telah menyebabkan anak perempuan menikah pada usia dini. Dengan demikian, meningkatnya jumlah kasus kekerasan seksual mempengaruhi fluktuasi tingkat pernikahan anak. Kebijakan ini harus didukung karena menunjukkan bahwa pemerintah telah menyadari pentingnya mencegah pernikahan anak. Para kritikus memandang bahwa kebijakan usia minimum bagi perempuan untuk menikah dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan adalah 16 tahun, tidak lagi sesuai dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia saat ini. Pencegahan pernikahan anak yang diamanatkan oleh aturan ini harus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak yang meliputi anak-anak, keluarga, masyarakat, sekolah, pemerintah lokal dan pemangku kepentingan lainnya. Pemerintah Indonesia telah menaruh perhatian serius terhadap kekerasan di lingkungan sekolah, termasuk pelecehan seksual pada anakanak. Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 0f 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Tindak Kekerasan di Lingkungan Pendidikan. Peraturan ini menyangkut pencegahan tindakan kekerasan pada siswa, aksi kekerasan di sekolah, aksi kekerasan selama kegiatan sekolah yang diadakan di luar sekolah dan perkelahian antar siswa. Peraturan ini juga menyebutkan sanksi bagi mereka

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Laporan Utama yang menjalani tindakan kekerasan yang juga menekankan peran sekolah, serta pemerintah daerah dan pusat (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) dalam kerja sama untuk mencegah tindak kekerasan pada anakanak.

Dinamika Kerjasama Beberapa pertanyaan yang sering diungkapkan di awal kerjasama: Haruskah sekolah dibebani dalam penanganan kasus kekerasan seksual? Haruskah sekolah mengambil bagian dalam rehabilitasi para korban? Haruskah sekolah ikut berurusan dengan polisi dan terlibat dalam proses hukum? Membawa isu penanganan kekerasan ke sekolah memang tidak mudah. Ketika awal tim Rifka Annisa masuk ke empat sekolah, respon yang diberikan cukup beragam. Ada sekolah yang kurang kooperatif dengan proses-proses yang dijalankan untuk membicarakan kasus kekerasan dengan menunjukkan denial dan pengalihan wacana misalnya dengan lebih banyak menonjolkan pembicaraan mengenai prestasi-prestasi sekolah. Awalnya, sekolah masih gagap dan kurang cakap berbicara mengenai kasus kekerasan di forum terbuka apalagi jika di forum tersebut dihadiri oleh pejabat dari Disdikpora maupun stakeholder lainnya yang disegani. Hal tersebut bisa dipahami karena sekolah terikat pada nilai-nilai kompetitif untuk mendapatkan penilaian sebagai sekolah unggulan atau berprestasi yang berdasar pada seberapa banyak prestasi yang ditorehkan oleh siswa, guru maupun sekolah sebagai institusi. Sekolah sudah terbiasa berkompetisi satu sama lain untuk menonjolkan keunggulan di berbagai bidang, sehingga pengungkapan kasus-kasus kekerasan akan menjadi catatan buruk bagi sekolah. Hal tersebut ditakutkan berimplikasi pada penilaian institusi maupun sentimen masyarakat kepada sekolah tersebut. Sehingga kompetisi

dipahami sebagai upaya untuk menunjukkan hal-hal yang baik dan menutup atau menghilangkan hal-hal yang buruk. Termasuk ketika tim Rifka Annisa mengajukan kerjasama dengan empat sekolah dalam penanganan kekerasan anak. Upaya ini pun bagi beberapa pihak masih dinilai sebagai kompetisi antar sekolah yang ditunjuk untuk mengurangi angka kekerasan yang terjadi. Tapi bukan berarti menutup-tutupi kasus, melainkan sekolah harus saling terbuka untuk mendiskusikan masalah secara bersama-sama. Kalau ingin dianggap sebagai kompetisi, keberhasilan kerjasama ini akan diukur salah satunya dengan bagaimana inisiatif dan keberhasilan sekolah dalam membangun sistem yang mendukung pencegahan dan penanganan kasus kekerasan. Isu kompetisi ini juga menjadi konsen tim Rifka Annisa untuk selalu berdiskusi dengan sekolah maupun Disdikpora. Mereka saling berdiskusi dan mencoba merekonstruksi makna kompetisi ini secara lebih positif seperti ukuran yang sudah disebut diatas. Namun masih ada kekhawatiran pihak sekolah ketika ternyata dalam proses kerjasama, masih ada juga kasus-kasus kekerasan yang terjadi. Terlebih lagi untuk kasus kekerasan seksual, sekolah-sekolah cenderung khawatir dan kurang terbuka ketika berurusan dengan manajemen kasus kekerasan seksual karena mereka mempertimbangkan reputasi sekolah. Membicarakan kekerasan seksual bagi sekolah adalah hal yang tabu. Terlebih ketika mereka mempertimbangkan bahwa kasus-kasus seperti kehamilan remaja, perkosaan, pelecehan, dan pornografi berdampak pada reputasi sekolah. Kekerasan seksual di sekolah menjelma ibarat fenomena gunung es. Sekolah mungkin tidak menyadari atau mengaku bahwa tidak ada kekerasan langsung yang terjadi sehingga tidak ada angka-angka yang

mampu menjelaskan kasus-kasus tersebut. Tetapi melihat kasus kekerasan tidak sesederhana yang terlihat di permukaan, benih-benih kekerasan itu bisa jadi ada dan harus diintervensi sebelum itu mencuat menjadi kekerasan. Benih-benih kekerasan biasanya berupa situasi konflik yang tidak terselesaikan atau budaya/sistem yang melanggengkan terjadinya kekerasan. Sekolah perlu kritis pada budaya dan norma yang berpotensi memicu kekerasan, termasuk dengan sistem mereka sendiri. Hal-hal yang tidak nyaman akan berpotensi menjadi konflik. Ketika ketidaknyamanan itu sampai menghambat self development dan mengancam keberlangsungan hidup maka itu bisa jadi kekerasan. Sekolah-sekolah sebenarnya telah memiliki mekanisme dalam menangani kasus-kasus yang terjadi di sekolah. Namun, ada perbedaan resolusi antara kasus siswi hamil dengan bentuk kekerasan lainnya. Mereka membenturkan kasus dengan peraturan yang ada, bahwa terlibat dalam kekerasan baik sebagai korban maupun pelaku semuanya akan mendapatkan sanksi. Siswi hamil biasanya mereka akan diminta mengundurkan diri dari sekolah karena sudah diatur dalam peraturan dan kesepakatan yang ditandatangani ketika awal masuk sekolah. Sebelum diskusi dengan Rifka Annisa, pihak sekolah menganggap tidak ada masalah dengan kebijakan ini dan merupakan hal yang biasa. Setelah sering berdiskusi dengan Rifka Annisa, pihak sekolah mulai memikirkan hal-hal yang selama ini terabaikan. Misalnya, setelah keluar dari sekolah karena hamil bagaimana nasib pendidikan si anak? Apakah mereka harus mengurungkan keinginannya untuk lanjut sekolah dan mendapatkan ijazah? Sebenarnya sudah ada mekanisme kejar paket yang bisa diakses mereka jika ingin mendapatkan ijazah sebagai

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 29


Laporan Utama bekal masa depan. Sayangnya tidak banyak juga yang mengakses, beberapa karena ketidaktahuan dan tidak adanya fasilitasi dari penanggung jawab. Memang sebagai anak di bawah umur, mereka tidak bisa disalahkan karena tiadanya inisiatif untuk mengakses kejar paket. Namun adalah kewajiban dan tanggung jawab orang tua dan guru untuk memfasilitasi, memotivasi dan membantu anak-anak tersebut untuk mengambil keputusan tersebut. Masalah lainnya muncul manakala sekolah mempertanyakan kebijakan apa yang ideal yang harus diterapkan di sekolah pada kasus siswi hamil? Apakah mereka harus mempertahankan atau meminta mengundurkan diri? Beberapa penanggung jawab sekolah mengungkapkan bahwa pilihan mempertahankan siswi yang hamil juga dilematis bagi sekolah. Pertama, tidak semua sekolah siap dengan sistem dukungan yang memungkinkan siswi hamil ikut kegiatan belajar mengajar. Dukungan untuk menjamin kesehatan fisik maupun kesehatan mental dari berbagai bentuk tekanan psikologis yang mungkin muncul dari komunitas. Kedua, sekolah khawatir ketika mereka tidak siap dengan sistem dukungan tersebut dan tetap memaksakan siswi hamil bersekolah, mereka justru beresiko dengan pelanggaran terhadap hak-hak ibu hamil maupun anak yang dikandungnya. Ketiga, di level pengambil kebijakan yang lebih tinggi misalnya Dinas Pendidikan Provinsi maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memang belum ada arahan atau mekanisme standar tentang penanganan siswi hamil. Sehingga keputusan akan diserahkan ke masing-masing sekolah. Di sinilah sekolah bisa menggunakan otoritasnya untuk memutuskan apa solusi yang terbaik sesuai dengan situasi dan kemampuan masing-masing.

30 |

Meskipun sempat kesulitan dalam melibatkan sekolah pada periode awal proyek, tim Rifka Annisa mencoba strategi lain untuk berkolaborasi dengan Disdikpora untuk mendapatkan dukungan dinas untuk melancarkan kerjasama tersebut. Pada tahun 2015, sekolah mulai lebih sering terlibat dalam kegiatan dengan Rifka Annisa karena mereka menerima banyak informasi tentang masalah kekerasan seksual. Publikasi besar-besaran dan berita di media massa Indonesia yang mengungkapkan kasus-kasus kekerasan seksual juga berkontribusi dalam menarik perhatian sekolah untuk menyadari pentingnya perhatian terhadap masalah ini karena kekerasan seksual bukan hanya urusan Rifka Annisa, tetapi itu adalah tanggung jawab bersama yang perlu dipecahkan bersama. Dengan demikian, sekolah-sekolah menemukan peran mereka untuk terlibat dalam pencegahan dan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual. Setelah berinteraksi dengan program Rifka Annisa, ketakutan dan kekhawatiran mereka telah berkurang karena program ini memungkinkan sekolah-sekolah untuk mulai terbuka dan berdiskusi dengan pemangku kepentingan yang relevan yang meliputi Disdikpora, kepolisian, layanan kesehatan, Kantor Urusan Agama (KUA), dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengidentifikasi persepsi antara para pemangku kepentingan ini terkait kasus-kasus kekerasan seksual. Program ini memfasilitasi peningkatan kapasitas murid, guru dan pemimpin sekolah sekaligus mendorong perubahan-perubahan struktural dan kultural di lingkungan sekolah agar lebih mendukung pada upaya pencegahan dan penanganan kekerasan. “(Kerjasama ini) sangat sesuai dengan apa yang kita harapkan karena kami memang sedang mengembangkan sekolah yang berkarakter dan berbudi pekerti. Rifka Annisa memfasilitasi pelatihan tentang kepemimpinan, ada

pelatihan tentang pemahaman tindak kekerasan pada murid dan ada pelatihan penanganan kasus kepada guru. Kami merasa tidak sendiri. Kami ada teman untuk membimbing anak kami yang banyak ini,� ucap Basuki, Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Ngawen, Gunungkidul. Sejalan dengan Basuki, Cahyani Wuri Utami, S.Pd selaku Guru SMKN 1 Saptosari mengatakan bahwa kerjasama dengan Rifka Annisa dapat bersinergi secara positif dengan kepentingan sekolah mereka. “Kita sama-sama ingin membangun individu yang merdeka. Individu yang punya kualitas, tidak under pressure. Sebenarnya hal itu mungkin sudah kita lakukan tapi kita tidak sadar bahwa itu upaya untuk mencegah kekerasan. Saya kira korelasinya sangat positif untuk saya dan untuk anak-anak di sekolah ini,� kata Cahyani. Pada tahun 2016, Rifka Annisa melanjutkan program untuk meningkatkan kapasitas sekolah dalam pembentukan sistem berbasis sekolah dan pembentukan tim anti-kekerasan di setiap sekolah. Sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2015, keempat sekolah sasaran menjadi lebih sadar dalam mengkaji ulang peraturan sekolah mereka serta untuk mengimplementasikan mandat untuk membentuk satuan tugas, menyediakan jalur layanan pengaduan dan mekanisme untuk pencegahan dan penanggulangan kasus kekerasan di lembaga pendidikan. Peraturan ini selaras dengan tujuan program kerjasama antara Rifka Annisa dan sekolah untuk membangun sistem perlindungan dan dukungan sosial di sekolah. Selain itu, Rifka Annisa juga mendorong sekolah untuk memiliki sistem dokumentasi yang lebih baik sehingga ketika ada kasus kekerasan seksual mereka dapat didokumentasikan dengan baik. Misalnya, mengidentifikasi jenis penanganan dan institusi mana yang terlibat

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Laporan Utama dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual. Ini sangat bermanfaat bagi sekolah terutama untuk menangani kasus-kasus selanjutnya karena mereka sudah memiliki standar pencegahan dan penanganan. Selanjutnya, mereka dapat merujuk dan belajar dari pengalaman mereka dalam menangani kasus-kasus sebelumnya.

Hasil Kerjasama Program Pada 2017, beberapa perubahan dan pencapaian dilakukan oleh sekolah-sekolah yang bekerjasama, meliputi:

• Pendidik sebaya Melalui pengembangan kapasitas di program SAPA SETARA, empat sekolah membentuk kelompok pendidik sebaya di kalangan siswa. Sebanyak 20 pendidik sebaya dibentuk pada tahun 2014 dan 32 pendidik sebaya dibentuk pada tahun 2015 dan pada tahun 2016 ada 19 pendidik sebaya. Pada 2017, telah ada tim pendidik sebaya di 4 sekolah dengan total anggota 97 siswa, terdiri dari murid laki-laki dan perempuan. Rifka Annisa melakukan peningkatan kapasitas untuk pendidik sebaya dengan memfasilitasi pelatihan kepemimpinan dan pelatihan tentang kekerasan berbasis gender. Ini bertujuan untuk membuat pendidik sebaya memahami isu-isu kekerasan berbasis gender, dan kemudian, untuk menentukan apa dan bagaimana peran mereka dalam pencegahan dan pengobatan. Rifka Annisa melatih pendidik sebaya untuk melakukan identifikasi awal kasus-kasus yang dialami oleh siswa di sekolah. Keberadaan pendidik sebaya penting karena tidak semua siswa atau anak-anak yang mengalami kasus merasa nyaman untuk memberi tahu guru atau bahkan orang tua. Keberadaan pendidik sebaya ini dapat mengakomodasi hal ini. Mereka berada dalam posisi yang lebih baik sebagai

teman atau konselor sebaya. Para siswa dapat berbicara tentang masalah mereka tanpa khawatir. Mereka lebih nyaman dan tidak berjarak. Ini membantu pendidik sebaya menindaklanjuti keluhan siswa dengan lebih mudah dengan kendala yang lebih rendah.

• Amandemen kebijakan sekolah Beberapa sekolah telah meninjau dan melakukan amandemen terhadap peraturan mereka tentang hukuman fisik. Kebijakan sekolah kemudian mengatur penguatan disiplin positif di antara siswa dan anggota sekolah daripada menerapkan hukuman. Sebelumnya, sekolah menerapkan skema penilaian masalah siswa untuk menentukan hukuman apa untuk pelanggaran hukum. Semakin banyak siswa melanggar hukum, semakin banyak hukuman yang akan mereka tanggung. Saat ini, sekolah mendefinisikan kembali pendekatan penilaian masalah siswa bukan untuk penghukuman tetapi untuk menentukan jenis dukungan dan bantuan apa yang akan mereka berikan untuk menyelesaikan masalah.

• Sistem dan mekanisme untuk menangani kasus SMKN 1 Saptosari telah membuat SOP (Prosedur Operasi Standar) untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual dan membentuk satuan tugas untuk melaksanakan tujuan tersebut. Gugus tugas terdiri dari berbagai anggota seperti guru, perwakilan siswa, komite sekolah, dan kepala sekolah. SMKN 1 Ngawen menyiapkan panduan untuk standar kualitas pada kegiatan yang berkaitan dengan perlindungan anak. Mereka juga membuat mainstream ‘gender dan non-kekerasan’ dalam kurikulum mereka. Sementara itu, dua sekolah lain (SMKN 1 Gedangsari dan

SMKN 1 Wonosari) mendefinisikan sistem berbasis sekolah secara berbeda. Mereka tidak membentuk satuan gugus tugas baru dan SOP tertentu untuk menangani kekerasan terhadap anak-anak. Mereka menggabungkan semua fungsi perlindungan anak dalam tugas konseling guru dan wakil kepala sekolah dari urusan siswa.

• Dokumentasi Kasus Meskipun demikian, sekolah-sekolah tersebut memiliki catatan dan dokumentasi minimum mengenai kasus dan penyelesaian, mereka berusaha semaksimal mungkin, untuk mengikuti mekanisme yang tepat untuk menangani kasus-kasus dengan perhatian pada perlindungan korban, hak-hak anak dan kepentingan terbaik bagi anak.

• Inisiatif untuk melibatkan orang tua dan jaringan mereka dalam upaya pencegahan Sekolah mengambil lebih banyak inisiatif untuk mengundang orang tua untuk pertemuan. Orang tua seharusnya bergabung dengan upaya pencegahan. Sekolah-sekolah melibatkan orang tua untuk berkomitmen dan memberi perhatian dan sering berkomunikasi dengan anak-anak. Orang tua dan sekolah harus berkolaborasi untuk menangani masalah siswa. Mereka juga meminta keterlibatan orang tua untuk secara aktif memantau siswa selama penempatan kerja atau magang di luar sekolah karena situasi rentan bagi siswa untuk mengalami kekerasan seksual.

• Pendanaan dan dukungan Karena sekolah telah melakukan pengarusutamaan masalah kekerasan ke kegiatan kurikulum dan ekstrakurikuler, anggaran dan dukungan untuk pencegahan dan penanganan kasus ditanggung oleh anggaran sekolah.

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 31


Laporan Utama Dukungan Bagi Korban Kekerasan Seksual Dalam kaitannya dengan pencegahan kekerasan seksual, beberapa lembaga seperti Dinas Kesehatan dan Puskesmas menyediakan layanan konsultasi yang ramah remaja. Komunitas dan para remaja sebelumnya menganggap masalah kekerasan seksual sebagai tabu, dan mereka jarang berbicara tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi. Namun, sejalan dengan pendidikan publik besar-besaran baru-baru ini mengenai isu kekerasan seksual oleh Rifka Annisa dan para pemangku kepentingan lainnya, para remaja mulai membuka diri, untuk berkonsultasi dan mengakses layanan kesehatan reproduksi. Mereka juga tidak ragu untuk menghubungi penyedia layanan kesehatan baik untuk memperoleh informasi atau melakukan konsultasi. Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anakanak di empat wilayah sasaran yang langsung dilaporkan ke Rifka Annisa telah ditangani oleh para konselor. Untuk situasi tertentu Rifka Annisa bekerja sama dengan pusat krisis pemerintah untuk mendukung para korban. Rifka Annisa juga bekerja dengan pekerja sosial dari Dinas Sosial dalam melakukan penjangkauan ke rumah korban. Mereka melibatkan pekerja sosial untuk melakukan kunjungan rumah untuk pemeriksaan kesehatan, pendekatan keluarga untuk dukungan, keterlibatan masyarakat dan menyediakan akses ke pendidikan alternatif dan pemberdayaan bagi perempuan penyintas kekerasan. Dalam kebanyakan kasus, anak perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan atau mengalami kekerasan seksual memilih untuk melanjutkan kehamilannya tetapi tidak ingin melanjutkan sekolahnya. Selama pendidikan publik, Rifka Annisa menjelaskan tentang dukungan sosial dan layanan untuk situasi seperti itu kepada pemerintah

32 |

dan masyarakat setempat serta mendorong mereka untuk memberikan akses untuk perawatan kesehatan dari Puskesmas dan dukungan dari keluarga. Rifka Annisa dan pekerja sosial juga memberikan informasi tentang pilihan apakah mereka ingin melanjutkan studi mereka dan mengambil kursus dan ujian “kejar paket” (sebagai pendidikan alternatif) yang setara dengan ijazah sekolah menengah. Penanganan tindak kekerasan khususnya kekerasan seksual di sekolah memang masih menemui jalan terjal. Namun, kita masih harus tetap berupaya untuk melalui jalan terjal tersebut sehingga menemukan formulasi resolusi konflik yang menjamin keadilan bagi anak sekaligus memberdayakan bagi sekolah.

Plan International, ICRW (2015). Are Schools Safe and Equal Places for Girls and Boys in Asia?. Diakses melalui https:// plan-international.org/ publications/are-schoolssafe-and-equal-placesgirls-and-boys-asia-0, pada 21 September 2016

Referensi: Akiba, Motoko, et al. “Student Victimization: National and School System Effects on School Violence in 37 Nations.” American Educational Research Journal, vol. 39, no. 4, 2002, pp. 829–853. JSTOR, JSTOR, www.jstor.org/ stable/3202448. Allen, Jackie M., and Doris Rhea Coy. “Linking Spirituality and Violence Prevention in School Counseling.” Professional School Counseling, vol. 7, no. 5, 2004, pp. 351–355. JSTOR, JSTOR, www.jstor.org/ stable/42732604. Bandura, Albert (1971), Social Learning Theory, Diakses melalui http://www. asecib.ase.ro/mps/Bandura_SocialLearningTheory. pdf, pada 21 September 2016 Galtung, Johan, Cultural Violence, Journal of Peace Research, vol. 27, No. 3, 1990, pp. 291-305. JSTOR, JSTOR, https://www.galtung-institut.de/wp-content/uploads/2015/12/ Cultural-Violence-Galtung.pdf Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Lesehan Buku

Judul Penulis Penerbit Tahun Terbit Halaman

: Menjadi Laki-laki (Pandangan Laki-laki Jawa tentang Maskulinitas dan Kekerasan dalam Rumah Tangga) : Nur Hasyim Aditya Putra Kurniawan Elli Nur Hayati : Rifka Annisa WCC : 2011 : V - 159

Membongkar Mitos tentang Menjadi Laki-laki

B

uku ini merupakan hasil penelitian dari Rifka Annisa WCC tentang laki-laki dan maskulinitas. Penelitian ini dilatarbelakangi dengan banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan yang telah ditangani oleh Rifka Annisa. Setidaknya sejak tahun 1994 hingga 2006, Rifka Annisa telah menangani 3401 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 2183 kasus (64,2%) diantaranya adalah kekerasan terhadap istri, 666 kasus (19,6%) kekerasan dalam pacaran, 294 kasus (8,6%) perkosaan, 155 kasus (4,5%) pelecehan seksual, 96 kasus (2,8%) kekerasan dalam keluarga, dan 7 kasus (0,2%) lainnya. Oleh karena itu, Penelitian ini dilakukan akan tetapi dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Yaitu dari sudut pandang pelaku atau dari sudut pandang laki-laki. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan metode FGD dan wawancara mendalam. Hal ini dimaksudkan supaya mendapatkan pemahaman mendalam tentang topik penelitian. Subjek penelitian dipilih melalui purposive sampling yang didasarkan pada lokasi tempat tinggal, status pernikahan dan lama pernikahan subjek. Sementara lokasi penelitian dilakukan

di Kelurahan Cokrodinigratan dan Maguwoharjo yang menurut data yang dimiliki Rifka Annisa, kedua daerah tersebut memiliki kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tidak sedikit. Selain itu satu lokasi tambahan yaitu di Purworejo yang dimaksudkan untuk melanjutkan penelitian sebelumnya milik Rifka Annisa yang bekerja sama dengan LPKGM-UGM, Umea University (Swedia), dan PATH (USA). Selain itu penambahan lokasi ini dimaksudkan untuk menambahkan variasi data dalam penelitian. Penlitian ini dimaksudkan untuk menjawab tiga pertanyaan: Pertama, mengapa laki-laki melakukan kekerasan terhadap pasangan dalam rumah tangga?; Kedua, bagaimana pandangan laki-laki tentang citra maskulinitas yang melekat pada dirinya?; Ketiga, bagaimana pandangan laki-laki terhadap kekerasan dalam rumah tangga? Hasil penelitian ini memberikan gambaran tentang bagaimana dinamika pikir, dan emosi kaum laki-laki, terkait dengan konsep maskulinitas dan kekerasan dalam rumah tangga. Sebagai konsekuensi dari konstruksi tentang maskulin yang sudah ada sejak dahulu, seorang laki-laki sudah sejak masih belia tumbuh dan di didik

sebagai individu yang maskulin. Maskulinitas tersebut kemudian menekankan laki-laki untuk memenuhi kriteria karakter, peran, dan fungsi sosial sebagai pemimpin bagi perempuan dan anakanak. Selanjutnya, pandangan laki-laki tentang KDRT menunjukkan bahwa konflik diri antara diri yang ideal dan diri yang aktual seringkali dapat memicu kekerasan dalam rumah tangga. Oleh karenanya, perlu ada upaya penjangkauan kepada laki-laki sebagai pelaku dan potensial pelaku KDRT, baik untuk upaya pencegahan atau upaya penyembuhan. Penelitian ini kemudian merekomendasikan perlu adanya penggalian ulang dalam budaya yang berbeda agar dapat ditemukan variasi konsep maskulinitas dan kekerasan dalam rumah tangga. Eksplorasi lebih jauh tentang perspektif laki-laki sebagai pelaku kekerasan agar dapat memahami bagaimana dinamika internal yang mengaktualisasikan pemikiran dan perasaan maskulinitas laki-laki ke dalam perilaku kekerasan terhadap pasangan. Perlu juga penelitian akan laki-laki yang tidak di­anggap maskulin agar dapat menjadi standar bagi laki-laki lain yang mengalami masalah karena gagal memenuhi pencitraan sosial maskulinitas yang sudah terkons­ truksi secara tradisional.

RifkaMedia MediaNo.67 No.67November November2016 2016- Januari - Januari2017 2017 Rifka

| |3333


Liputan

Kunjungan Delegasi ‘Women and Power’ di Rifka Annisa

S

enin (3/10), Rifka Annisa mendapatkan kunjungan dari sebelas perempuan Australia yang tergabung dalam kelompok perempuan bernama ‘Women and Power’. Perempuan-perempuan ini berasal dari latar belakang yang berbeda, antara lain: dokter, terapis, dosen, pekerja sosial dan pengusaha. Kunjungan ini sebagai rangkaian kegiatan mereka di Indonesia setelah selama dua minggu mengikuti Konferensi Internasional di Bali. Perwakilan peserta mengatakan bahwa mereka sangat senang dengan apa yang mereka temui serta mendukung program-program Rifka Annisa. ‘Women and Power’ telah melaksanakan perjalanan seperti ini selama dua belas tahun dan sudah mengunjungi berbagai tempat seperti Kamboja dan Indonesia. Para perempuan ini kemudian berdiskusi dengan tim Rifka Annisa mengenai kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.

34 |

Salah satu pertanyaan yang muncul adalah apakah alkohol dan obat di Indonesia berpengaruh pada kekerasan berbasis gender seperti halnya di Australia. Mereka menceritakan bahwa relasi kekuasaan merupakan faktor utama penyebab kekerasan berbabis gender di Australia dan alkohol melengkapi adanya relasi kuasa yang berperan dalam memicu kekerasan. Sementara di Indonesia tradisi, budaya, status sosial dan latar belakang individu yang menyebabkan terbentuknya relasi kuasa. Para peserta sangat mengapresiasi upaya Rifka Annisa dalam menyediakan layanan dukungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan sekaligus respect pada inisiatif untuk melibatkan laki-laki dalam pencegahan kekerasan. Mereka juga senang bahwa Rifka Annisa telah melakukan banyak pendidikan publik dan kegiatan advokasi melalui berbagai media dan pendekatan, salah satunya program Rifka Goes to School.

Rombongan juga mengajukan rasa penasaran mereka tentang pendanaan Rifka Annisa dan bagaimana dukungan finansial untuk keberlanjutan organisasi. Mengetahui bahwa sebagain besar pendanaan organisasi berasal dari lembaga donor, mereka menggali lebih jauh apakah ada keterlibatan donor dari Australia atau negara lain. Mereka senang ketika mengetahui bahwa Rifka Annisa memiliki hubungan kerjasama dan mendapatkan dukungan finansial dari DFAT (Department of Foreign Affairs and Trade) Australia dan UNICEF. Bahkan, salah seorang peserta yang bekerja di organisasi yang sama dengan Rifka Annisa menyatakan keinginannya untuk bekerja sama dengan Rifka Annisa di masa depan. Ekspresi seperti ini menunjukan kerberhasilan reputasi dan metode yang digunakan untuk memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia. Defirentia One

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Liputan Liputan

Pendidikan Setara Mulai Dari Keluarga

S

etelah sukses terlaksana di Yogyakarta, Pelatihan Fasilitator Pendidikan Kesetaraan Gender Dalam Keluarga kini diselenggarakan di Abepura, Jayapura, Propinsi Papua, oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 28 September-4 Oktober 2016 bersama tim fasilitator dari Rifka Annisa. Turut hadir pula Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, dalam acara pembukaan pelatihan tersebut. Pelatihan tersebut diikuti oleh 50 peserta dari aktivis gereja, pendeta, pengurus jemaat, dan mahasiswa. Peserta dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelas ayah, kelas ibu dan kelas remaja. Peserta pelatihan ini nantinya akan menjadi fasilitator diskusi serial di komunitas melalui pendekatan keluarga dengan target pasangan suami-istri dan anak mereka yang masih remaja. Tim fasilitator dari Rifka Annisa mengajak peserta untuk membongkar kembali dan mendiskusikan tentang relasi dan peran gender yang selama ini ada dalam budaya. Relasi dan peran gender yang adil dan setara dalam keluarga akan berdampak pada penguatan nilai-nilai keluarga yang sehat, positif, dan terhindar dari kekerasan. Manajer Divisi Research and Training Center Rifka Annisa, Muhammad

Saeroni, mengatakan bahwa penguatan keluarga tersebut akan memberikan kontribusi terhadap tercapainya ketahanan keluarga. Mengacu pada konsep kerangka ekologis (ecological framework), ketahanan keluarga akan berbanding lurus dengan ketahanan masyarakat dan ketahanan negara. “Penguatan keluarga tentu sangat dibutuhkan untuk peningkatan ketahanan keluarga yang diharapkan akan memberikan dampak positif terhadap ketahanan masyarakat,” kata Roni, panggilan akrab Muhammad Saeroni. Salah satu upaya untuk mencapai penguatan keluarga adalah melalui pendidikan kesetaraan gender di dalam keluarga. Penguatan keluarga melalui pendidikan kesetaraan gender dalam keluarga harus paling tidak menyasar pada perempuan, laki-laki, dan anak remaja dalam keluarga tersebut. Fokus utama dari pendidikan tersebut adalah pada pengetahuan, pemahaman, dan perubahan perspektif serta perilaku terkait nilai dan norma gender. Roni menambahkan bahwa melalui pendidikan kesetaraan gender dalam keluarga, diharapkan akan terbangun pola komunikasi yang sehat, pola pengasuhan yang tepat, relasi yang setara di antara anggota keluarga yang secara signifikan tentu akan dapat menghindarkan keluarga tersebut dari perilaku-perilaku berisiko termasuk kekerasan.

Ketika kesetaraan gender dalam keluarga sudah terjadi, diharapkan akan mengubah konsep laki-laki yang diidentikkan dengan dominasi, kekuatan, dan superioritas, sebaliknya perempuan diidentikkan dengan kelemahan, inferioritas, ketergantungan dan sebagainya, sehingga mereka tidak berada pada kondisi berisiko dari kekerasan. “Pendekatan keluarga ini penting untuk diterapkan karena seringkali masalah kekerasan berbasis gender berkorelasi dengan persoalan dalam keluarga,” kata Fitri Indra Harjanti, selaku salah satu fasilitator dari Rifka Annisa. Perempuan yang akrab disapa Fitri ini pun menambahkan bahwa melalui pendidikan kesetaraan gender dalam keluarga, diharapkan akan terbangun pola komunikasi yang sehat, pola pengasuhan yang tepat, relasi yang setara di antara anggota keluarga yang secara signifikan tentu akan dapat menghindarkan keluarga tersebut dari perilaku-perilaku berisiko termasuk kekerasan. Selama pelatihan tersebut berlangsung, selain mendapatkan materi di kelas dan melakukan simulasi di kelas, para calon fasilitator juga diajak untuk mempraktikkan ilmu yang sudah mereka pelajari dengan langsung mengunjungi komunitas dan memfasilitasi diskusi di komunitas tersebut. Defirentia One

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 35


Liputan

Film Dokumentasi untuk Advokasi dan Sarana Berefleksi

S

ejak 2014, Rifka Annisa atas dukungan AWO International telah melakukan beberapa upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta dengan menguatkan struktur sosial dengan membentuk, memberikan kapasitas, dan mendukung kelompok-kelompok di masyarakat dan kelompok di sekolah-sekolah. Saat ini kelompok-kelompok tersebut mampu melakukan inisiatif untuk kampanye pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual, serta mendorong adanya peraturan tentang perlindungan anak di desa maupun di sekolah. Pengalaman tersebut tentunya akan sangat berharga untuk dijadikan pembelajaran sekaligus sarana advokasi untuk perlindungan anak. Sejak bulan Oktober, Rifka Annisa memulai kegiatan pendokumentasian pengalaman dan pembelajaran program pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak melalui pembuatan film pendek documenter. Film ini diharapkan dapat membangun kesadaran dan meningkatkan pemahaman sekaligus kepedulian sekolah, masyarakat maupun stakeholder terkait dalam mengurangi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

36 |

Sebanyak 4 film pendek diproduksi oleh Rifka Annisa bekerjasama dengan rumah produksi “Pagihari Production�, terdiri dari: 1) Dokumentasi tentang program pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Gunungkidul; 2) Kisah penyintas kekerasan seksual; 3) Cerita pendidik sebaya dan kader komunitas; 4) Edukasi pencegahan kekerasan seksual pada anak. Salah satu film yang mendapatkan antusias tinggi dari banyak pihak yaitu kisah penyintas kekerasan seksual. Film pendek penyintas kekerasan seksual ini menceritakan tentang bagaimana seorang remaja perempuan penyintas dapat pulih melewati masa-masa sulit, traumatis dan menghadapi banyak tekanan dari sosial karena kehamilan tidak diinginkan selama berpacaran. Di film tersebut juga disertakan tentang catatan konselor Rifka Annisa, Budi Wulandari, tentang pengalamannya mendampingi “M� untuk bangkit dan menjalani segala pilihannya untuk melanjutkan kehamilan dan membesarkan anaknya sebagai single parent. Poin yang ditekankan dalam film ini adalah tentang betapa pentingnya sistem dukungan bagi penyintas kekerasan

seksual. Untuk pemulihan korban, setidaknya diperlukan sistem dukungan lainnya disamping layanan konseling dan proses hukum. Meskipun masih ada hambatan dalam penanganan kasus maupun proses hukum, keterlibatan keluarga dan masyarakat tetap menjadi hal penting untuk memberikan perlindungan dan membantu memulihkan korban dari trauma. Sistem dukungan sosial adalah salah satu yang menentukan keberhasilan para penyintas dalam melalui masa sulit. Semakin kuat dukungan yang dimiliki akan semakin memudahkan proses pemulihan. Sebaliknya, semakin dia tidak didukung, semakin lama proses pemulihannya, bahkan menjadi luka baru. Misalnya dengan dia disalahkan, dikucilkan, diberitakan negatif, dan sebagainya. Dukungan sosial sendiri dapat ditunjukkan seperti memberikan empati dan dukungan, mendudukkan siapa yang benar dan siapa yang salah secara tepat, memberi sanksi bagi pelaku dan memberikan apa yang menjadi hak-hak korban, yaitu hak akan kebenaran, keadilan, pemulihan, serta jaminan tidak berulang. Defirentia One

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Memoar

PAHLAWANKU MENODAIKU Budi Wulandari I Konselor Psikologi Rifka Annisa Women Crisis centre I budwulan@gmail.com

H

ari ini Sabtu, ada jadwal Pramuka, ektrakulikuler favorit karena banyak yang dilakukan seperti berkemah dan jelajah alam. Selain banyak kegiatan, Pramuka membuat lebih dekat dengan semua teman di sekolah. Perkenalkan, namaku Desia Putri. Aku seorang anak perempuan dengan wajah ‘cubby’, kulit sawo matang dengan rambut ikal yang selau terurai. Anak tunggal dari keluarga petani dan tinggal di desa. Umurku 11 tahun siswa kelas 5 SD Brotowali, letaknya 20 KM dari kota Wonosari. Rumahku dengan sekolah cukup dekat, namun lokasi rumahku berada di lereng bukit sedangkan sekolah berada di lembah bukit. Jarak antar tetangga ditempatku dipisahkan oleh tebing. Tepat pukul 14.30, aku berangkat Pramuka di sekolah. Setibanya di sekolah baru ada beberapa siswa yang datang, sehingga masih ada waktu untuk istirahat untukku dan Tania sahabatku. Kami duduk di teras kelas, beristirahat sejenak setelah hampir 20 menit waktu yang telah kami habiskan dengan berjalan kaki menuju sekolah. Kami mengamati para pembina pramuka; kak Doni, Kak Irfan, dan Kak Nia yang tengah sibuk mengeluarkan peralatan tenda dari gudang sekolah. Bagi kelasku, yakni kelas 5 biasanya dibina oleh Kak Irfan. Pukul 15.00 WIB tepat Pramuka dimulai, kami para siswa segera berbaris untuk persiapan upacara. Kak Irfan selaku pembina menyampaikan kalau nanti agendanya mendirikan tenda. Di tengah upacara, tiba-tiba air mengguyur para

“Siaga” (sebutan bagi Pramuka di tingkat sekolah dasar), kami berhamburan lari ke dalam kelas masing-masing. Waduh lupa tidak membawa payung, gumamku. Aku bergegas ke kelas, segera ambil posisi dekat jendela tepat di depan meja guru, di sebelahku Tania. Kak Irfan masuk ke ruang kelas dan materi diganti dengan tali temali. Sudah pukul 16.30 tepat, saatnya pulang, aku menikmati sekali kegiatan ini. Setelah berkemas dan berdoa teman-teman yang lain meninggalkan sekolah. Tinggal aku sendirian yang belum berani keluar kelas. Ku tengok keluar jendela hujan masih lebat ku urungkan niat untuk pulang dan berdoa semoga hujan segera reda. “Des, belum pulang?” Kak Irfan membuyarkan lamunanku. “Eh iya kak, nunggu reda”, sambil ku toleh sekelililng sekolah ternyata kelas-kelas sudah sepi tak ada siapapun kecuali aku dan Kak Irfan. “Kamu takut kehujananya? Kok gak berani pulang?” tanya Kak Irfan. Belum sempat ku jawab, kak Irfan sudah menarik tubuhku untuk lebih dekat ke tubuhnya, mulutnya ditempelkan di atas mulutku.”Awas jangan bilang siapa-siapa, kalau sampai ada yang tahu nanti kamu gak bisa lulus dari sekolah”, ancamnya. Dia juga sempat memegang payudaraku hingga terasa perih, aku tak berani teriak. Aku mencoba meronta hingga akhirnya aku bisa berlari untuk meninggalkan sekolah. Hujan lebatpun mengiringiku langkah pulang dibarengi dengan air mataku yang tumpah.

Segera ku lepas pakaian pramuka dan tak ingin rasanya memakainya lagi sampai kapanpun. Aku benci, aku merasa kotor, dan aku sangat muak dengan apa yang telah terjadi padaku. Ingin rasanya ku cerita dengan orang tuaku tapi takut dimarahi, dan aku juga tidak ingin membebani mereka. Seminggu telah berlalu, aku masih belum berani untuk bercerita kepada siapapun termasuk orangtuaku. Memasuki minggu kedua, aku masih bungkam, tak ada siapapun yang kuberitahu tentang apa yang telah menimpaku. Sejak saat itu aku tak pernah lagi datang dalam setiap kegiatan Pramuka. Semua teman menanyakan ketidakhadiranku. Mereka merasa aneh dengan sikapku karena dulunya aku adalah siswa yang paling aktif dalam kegiatan pramuka. Tak tahan rasanya aku menyimpan semua ini, tapi aku masih takut untuk bersuara. Sungguh aku sangat takut mengingat kenangan buruk itu, dan aku tidak sanggup ketika semua orang juga akan merasa jijik dan meninggalkanku sendiri. Aku memutuskan untuk diam dan mengubur dalam-dalam kenangan buruk itu. Aku tak lagi memiliki semangat untuk bersekolah apalagi belajar. Aku tak tahu, masa depan seperti apa yang akan ku hadapi nanti ketika situasi ini masih terus menghantuiku.

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 37


Wawancara

Institusi Pendidikan Bukan Lahan Predator Seksual

K

asus Kekerasan seksual yang terjadi di Institusi Pendidikan di Indonesia masih kerap kali terjadi bahkan turut mewarnai berbagai media baik cetak maupun elektronik. Sebagian besar kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan tersebut menjadi puncak gunung es. Hal ini karena masih banyak korban yang tidak melapor dan meminta bantuan hukum lantaran adanya berbagai kekhawatiran. Untuk melihat bagaimana strategi Rifka Annisa dalam melakukan advokasi dan pendampingan pada korban kekerasan seksual, tim Rifka Media berkesempatan berbincang-bincang dengan wakil direktur Rifka Annisa, Lisa Oktavia. Berikut rangkuman wawancaranya: Rifka Annisa adalah lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Salah satu kasus kekerasan yang cukup popular diberitakan di beberapa media adalah kekerasan seksual. Nah, menurut mbak Lisa definisi kekerasan seksual sendiri itu apa? Terkait definisi kekerasan seksual, saya mengutip definisi yang tertulis dalam Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual yakni, setiap perbuatan yang menghina, menyerang, menggunakan tubuh dan seksualitas seseorang, secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau tindakan lain sehingga menyebabkan seseorang tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, yang dapat berakibat pada penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

38 |

Sehingga secara sederhana, kekerasan seksual merupakan kekerasan yang ditujukan atau berkaitan dengan seksualitas. misalnya ialah perkosaan dan pencabulan. Pencabulan ini seringkali menyasar anak-anak sebagai kelompok rentan yang dapat menjadi korban. Bagaimana dengan kasus kekerasan seksual yag terjadi di Institusi Pendidikan? Dulu pernah ada kasus yang masuk ke Rifka Annisa, dan pelakunya adalah guru. Ada 14 anak yang telah menjadi korban, tapi hanya satu yang berani melapor. Setelah ditelusuri, ternyata para korban ini mendapat ancaman dari pelaku. Pelaku mengancam tidak akan memberikan nilai, jika korban sampai mengadu kepada orang lain terkait apa yang dilakukan oleh pelaku. Lalu bagaimana dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah kampus? Ditingkat kampus tentu juga ada. Bahkan penanganan yang diberikan juga berbeda dengan penanganan kepada peserta didik sekolah yang menjadi korban kekerasan seksual. ketika di ranah SD, TK, SLTP, dan SLTA, kelompok rentan yang menjadi korban adalah anak-anak dan remaja. Sedangkan ketika di kampus, kelompok rentan yang menjadi korban adalah remaja akhir sampai dewasa, yang mereka sudah bukan termasuk usia anak. Ketika kasus ini diproses ke ranah hukum, maka korban kekerasan seksual yang terjadi di kampus mengalami kesulitan. Hal ini karena ketika korban sudah bukan berusia anak, maka hak-haknya sudah tidak dilindungi oleh undang-undang perlindungan anak. Belum lagi ketika kekerasan seksual terjadi dengan

dibarengi oleh bujuk rayu, maka proses penanganannya akan lebih rumit. Di situasi seperti ini, seringkali muncul anggapan bahwa kekerasan terjadi karena adanya ‘suka sama suka’, sehingga hal ini semakin menghindarkan pelaku dari sanksi atau hukuman yang harusnya ia peroleh. Dan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus ini telah terjadi beberapa kali di tahun 2016, dan tidak sedikit pelaku yang berasal dari unsur dosen maupun pegawai. Padahal siapapun menyakini bahwa kampus, sekolah atau Institusi Pendidikan jenjang apapun adalah lingkungan yang aman untuk anak-anak dapat belajar dan mengembangkan kreativitasnya. Berdasarkan pengalaman pendampingan Rifka Annisa, siapa kelompok rentan yang seringkali menjadi pelaku dan siapa yang rentan menjadi korban? Banyak pihak yang retan menjadi korban, di antaranya perempuan, anak-anak, difabel, kemudian lansia, Sehingga untuk melakukan upaya pencegahan, maka mereka (kelompok rentan menjadi korban tersebut) harus dibelakali dengan berbagai informasi yang disesuaikan dengan tingkat usia masing-masing. Ketika masih anak-anak, maka penting untuk memberikan Pendidikan terkait kesehatan reproduksi sejak dini. Pertama memperkenalkan kepada mereka mengenai tubuh dengan menjelaskan bagian-abgian tubuh yang bisa di sentuh dan yang tidak bisa disentu oleh orang lain. Kemudian menjembatani anakanak untuk dapat mengakses informasi yang jelas dan benar. Selain kelompok rentan menjadi korban, ada juga kelompok rentan lain yang

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Wawancara kecenderungannya menjadi pelaku. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Rifka Annisa menemukan bahwa anak-anak yang seringkali melihat atau mengalami kekerasan di masa kecilnya, memungkinkan mereka akan menjadi pelaku ketika ia dewasa. Hal ini terjadi karena anak belajar dari apa yang ia lihat dan saksikan selama masa perkembangannya. Ketika anak tumbuh dalam lingkungan yang negatif, maka kepribadian negatif pula yang akan terbentu dalam diri anak. Selain itu, pelaku kekerasan seksual juga memungkinkan siapapun rentan menjadi pelaku, termasuk orang-orang terdekat korban, seperti orangtua, tetangga, kakak, kakek, guru, dan lain sebagainya. Bagaimana sebenarnya dinamika yang terjadi pada korban kekerasan seksual? Ada nggak perbedaanya dengan korban yang mengalami jenis kekerasan lain? Pertama yang sering kita temukan ialah rasa takut terhadap pelaku. Kemudian juga takut pada masyarakat atau lingkungan luar. Takut disalahkan atau dijauhi. Banyaknya masyarakat yang masih belum tahu bahwa mengancam seksual adalah jenis kekerasan, seringkali candaan-candaan seksual dianggap sebagai hal yang wajar. padahal, mengancam terhadap seksualitas juga merupakan sebuah kejahatan yang dapat menimbulkan Korban menjadi takut atau khawatir. Selain itu masih adanya juga anggapan atau pelabelan sebagai perempuan “genit�. Misalnnya perempuan dalam profesi tertentu mengharuskan ia untuk pulang kerja di jam malam, kemudian masyarakat melabeli perempuan tersebut sebagai perempuan yang tidak baik karena pulang malam. Dinamika yang lain adalah, korban menjadi trauma. Dia tidak berani melapor atau bercerita kepada orang lain terkait apa yang dialaminya. Selain itu,

kondisi yang lebih rumit adalah ketika korban merasa dirinya kotor, tidak memiliki harga diri, dan tidak memiliki semangat untuk melanjutkan hidupnya. Jika dibandingkan dengan kasus-kasus yang lain, dari kasus kekerasan seksual ini apa sih yang paling khas? Yang paling khas dari kasus kekerasan seksual ini adalah adanya pembedaan bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan kesusilaan bukan

korban akan mudah histeria ketika melihat sosok orang lain yang mirip pelaku. Kemudian proses penanganan Rifka Annisa seperti apa terhadap korban kekerasan seksual ini? Untuk penanganannya tentu berbeda dengan kasus-kasus yang lain. Karena dalam kasus ini kita harus melihat dampak traumanya seperti apa, sehingga akan disesuaikan dengan terapi pemulihannya. Yang dilakukan

kriminalitas. Sehingga, kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai persoalan moralitas semata. Padahal pengalaman buruk korban kekerasan seksual selalu membekas dalam ingatan mereka, dan itu dapat terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama. Meskipun secara hukup, kasus kekerasan seksual dapat diproses dan pelaku mendapat sanksi sesuai dengan perbuatannya, akan tetapi hal ini tidak serta merta dapat menyembuhkan korban dari trauma psikisnya. Dalam kondisi yang cukup kronis,

oleh Rifka Annisa antara lain; pertama melakukan pendekatan pada korban untuk beberapa kali, kemudian diassesment untuk melihat kebutuhannya. Biasanya dalam tahap ini, kami selalu menanyakan apakah sudah periksa dan sebagainya. semua kebutuahan layanan tidak dipungut biaya apapun alias geratis, mulai dari pendampingan, pemeriksaan fisik, visum, dsb. Dalam memberikan pelayanan dan pendampingan terhadap korban kekerasan, Rifka Annisa te­ lah berjejaring sengan berbagai

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 39


Wawancara pihak baik dilevel local maupun nasional. Sehingga kebutuhan akan layanan yang tidak dimiliki oleh Rifka, dapat diakses secara geratis dan telah disediakan oleh pemerintah daerah. Selanjutnya proses pendampingan tidak hanya dilakukan kepada korban tetapi juga kepada keluarga korban. Hal ini dilakukan, supaya korban tetap diterima oleh keluarganya dan berada dalam kondisi yang aman Bersama keluarga dan orang-orang terdekatnya. Selain itu juga, kami mengupayakan supaya korban kekerasan seksual ini tetap mendapatkan haknya untuk melanjutkan Pendidikan sampai selesai. Kami berupaya membangun support system supaya korban tetap dilindungi hak-haknya. Selanjutnya, menurut mbak Lisa, hal penting apa yang perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan untuk memanimalisir terjadinya kekerasan seksual di Institusi Pendidikan? Saat ini kita memang terfokus kepada penanganan terutama bagi yang telah terjadi. Dan untuk mencegah hal itu terjadi, maka banyak hal yang dilakukan oleh Rifka Annisa antara lain: mengadakan kampanye-kampanye ke sekolah-sekolah, kampus, melakukan sosialisasi pada anak-anak, TK, kemudian siswa SMP, SMA dan kita juga menggandeng aktivis media untuk dapat terlibat dalam upaya pencegahan. Rifka annisa melakukan kampanye melalui media music atau yang disebut sebagai Rannisakustik. Karena music mungkin akan lebih muda diterima dan didengar oleh kalangan anak-anak dan remaja. Hal lain yang juga seringkali kita lakukan adalah sosialisasi

40 |

ke sekolah-sekolah dan juga kampus. Melalui sosialisasi ini, kami berharap anak-anak, remaja, dan perempuan pada umunya tahu bagaimana hak-haknya yang sesungguhnya, sehingga mereka dapat mencegah dan memiliki keberaniaan untuk melaporkan kasus yang dihadapinya ketika ia menjadi korban atau melihat orang lain menjadi korban. Tidak hanya kepada korban, sosialisasi ini juga ditujukan kepada kelompok-kelompok yang rentan menjadi pelaku, supaya tidak terjebak dalam perilaku negative yang dapat merugikan orang lain atau merusak masa depan orang lain. Dalam hal ini, mereka diajarkan untuk saling menghargai dan tidak saling menyakiti antar manusia. Bagaimana dengan sekolah yang mengeluarkan muridnya, jika ketahuan hamil? Di beberapa kasus, hal ini memang banyak terjadi. Sehigga saat ini kami berupaya untuk melakukan advokasi baik di level global maupun nasional termasuk juga dinas Pendidikan supaya memiliki kebijakan yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi korban. Setiap sekolah memiliki aturan yang berbeda-beda dalam menghadapi kasusu ini. Ada sekolah yang serta merta langsung mengeluarkan muridnya yang ketahuan hamil tanpa peduli degan masa depan si anak. Akan tetapi tidak sedikit juga sekolah yang memiliki jalan keluar lain, yakni meskipun meminta anak untuk mengundurkan diri, akan tetapi sekolah ini juga memberikan referensi sekolah atau Lembaga Pendidikan lain yang bisa menerima si anak dalam keadaan hamil. Missal

diberikan informasi terkait sekolah paket yang telah diselenggarakan oleh pemerintah. Ada juga sekolah yang memberikan cuti kepada muridnya sampai ia melahirkan, kemudian masuk sekolah lagi setelah itu. Sebenarnya banyak hal yang telah dilakukan oleh instansi-instansi Pendidikan terkait persoalan ini. Tetapi memang tidak semua sekolah dapat memahami persoalan ini dengan sudut pandang berpihak pada korban. Pada kenyataannya ada juga sekolah yang mengeluarkan murid dengan cara menyudutkan mereka supaya mengundurkan diri dari sekolah. Hal ini seringkali didasari dengan adanya kekhawatiran bahwa hal negatif yang dialami oleh salah satu murid tersebut menjadi contoh murid lain. Apapun kebijakan yang diberikan sekolah, tentunya harus didasari dengan alas an yang kuat dan pemahaman atas situasi yang sedang terjadi secara mendetail. Jangan sampai kebijakan dan keputusan yang diambil malah akan semakin menyudutkan korban, sehigga korban menjadi korban untuk yang kesekian kalinya, karena upaya-upaya penanganan yang tidak tepat. Yang dibutuhkan adalah kebijakan yang tepat dengan tetap memperhatikan kepentingan terbaik bagi korban. Pendidikan adalah salah satu hak anak yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah untuk semua anak tanpa terkecuali.

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Profile

SAHABAT SETIAP PEREMPUAN INDONESIA

L

isa Oktavia, begitu nama lengkapnya adalah Wakil direktur Rifka Annisa sejak tahun 2016. Perempuan yang sering disapa ‘mbak Lisa’ ini lahir di Bantul, Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1980. Kegemarannya di bidang hukum membuat ibu satu anak ini pernah bekerja di Kantor Advokat H. Abdurrahman SH, POSBAKUM Pengadilan Agama Yogyakarta, dan Konsultan Hukum di UPT Arum Ndalu Bantul. Setelah menyelesaikan studi S1 Fakultas Hukum di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Lisa pernah menjabat sebagai ketua P2TP2A (Pusat Pelayanan terpadu untuk Penanganan Kekerasan pada Perempuan dan Anak) Kabupaten Bantul. Kemudian Lisa masuk ke Rifka Annisa dan menjadi konselor hukum dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2016. Selain itu, Sebelum menjabat sebagai wakil direktur, Lisa juga sempat menjadi manager Divisi Pendampingan Rifka Annisa selama beberapa bulan menggantikan Rina Eko WIdarsih. Ketertarikannya di dunia gender membuat Ibu Wakil Direktur Rifka Annisa ini berkesempatan mengikuti beberapa training sebagai peningkatan

kapasitas terkait isu-isu perempuan. Beberpa training tersebut antara lain; Training of Training Trafficking di Medan tahun 2008, Training Feminis di Yogyakarta tahun 2016, Training of Trainer Counseling tahun 2008, Training Mediator untuk Keluarga tahun 2013, dan Training Data Base tahun 2017. Sebagai individu yang tertarik dengan persoalan-persoalan sosial, Lisa pernah terlibat dalam penelitian terkait Survey Kesejahteraan Hidup Perempuan dalam Rumah Tangga di Sleman pada tahun 2017. Selain itu, Lisa juga memiliki beberapa karya yang berhasil dipublikasikan antara lain; Buku Panduan bagi korban, Merawat Pengetahuan untuk keadilan dan kesetaraan sebagai Dokumentasi Produk-Produk Pengetahuan Rifka Annisa, Pengalaman Pendampingan Bagi Konselor, Buku Pengalaman Pendampingan bagi korban Disabilitas, dan Pemantauan Implimentasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Enam Propinsi di Indonesia. Dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, membuat perempuan berusia

38 ini dipercaya untuk menjadi fasilitator maupun narasumber dalam beberapa acara penting. Ada sekitar 15 lebih acara yang pernah dipandu langsung oleh Lisa, beberapa di antaranya; fasilitasi konseling bagi korban kekerasan yang diselenggarakan oleh Pemerintah (KPMP) Kota Yogyakarta, fasilitasi teman sebaya untuk isu Traffiking, di Yogyakarta, Fasilitasi Training bagi pendamping P2TP2A di Kabupaten Bantul, Fasilitasi untuk Training Aparat Penegak Hukum di Wilayah Gunung Kidul, Fasilitasi Training Bagi petugas BP4 dan KUA di Gunung Kidul, Fasilitasi pelatihan bagi Aparat Penegak Hukum dan P2TP2A bersama ( KNPPA 2017), Fasilitasi Gereja untuk Pembentukan WCC di Ambon, Narasumber di Jakarta Centre For Law Enforcement Cooperation ( JCLEC ), Narasumber di Dinas Pemberdayaan Perempuan di Kalimantan, dan lain sebagainya.

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

*Khoirun Ni’mah

| 41


Dapur Rifka

Sumber Gambar: https bandung.merdeka.comgaya-hiduppenanganan-anak-korban-kekerasan-seksual-harus-jangka-panjang-160226p.html.jpg

MEMBACA RELASI KUASA DALAM KASUS KEKERASAN SEKSUAL DI KAMPUS Defirentia One Muharomah I Manajer Program SAPA SETARA Rifka Annisa Women’s Crisis Centre I defirentiaone@yahoo.co.id

K

ekerasan seksual masih menjadi masalah yang serius di lingkungan kampus maupun di institusi pendidikan lainnya. Laporan Divisi Pendampingan Rifka Annisa menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2000-2016, terdapat 49 aduan kekerasan seksual terjadi di institusi pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagian besar pelaku dari kekerasan seksual tersebut adalah para pengajar atau orang yang memiliki posisi strategis, pengaruh maupun popularitas misalnya dosen, guru atau staf akademik. Dan kebanyakan dari pelaku adalah laki-laki. Kekerasan seksual selalu mengarah pada permasalahan perilaku dimana seseorang yang memiliki posisi/kuasa yang lebih

42 |

tinggi memaksakan kehendaknya pada orang lain yang posisi/kuasanya lebih rendah. Faktor relasi kuasa ini sangat jelas berkontribusi dalam terjadinya insiden kekerasan seksual, namun tidak banyak orang menyadari tentang hal ini. Adanya relasi kuasa yang timpang sangat rentan menjadi peluang terjadinya kekerasan seksual dimana setelah kejadian korban cenderung tidak melaporkan atau memproses lebih lanjut kejadian yang dialaminya. Terlebih untuk meminta pertolongan saja korban enggan karena mempertimbangkan bagaimana anggapan publik terhadapnya, bagaimana nasib dia sebagai mahasiswa atau pun menganggap bahwa melapor sama halnya dengan membuka aib diri sendiri. Belum lagi jika dalam kasus

tertentu muncul intimidasi dan ancaman dari pelaku, sehingga korban terpaksa menutup diri dan takut untuk memproses lebih lanjut. Beberapa orang bisa jadi masih tidak menyadari bagaimana relasi kuasa ini bekerja. Mari kita perhatikan analogi dalam kasus berikut. A dan B adalah sama-sama mahasiswa semester 2 di sebuah perguruan tinggi. Sementara C adalah dosen mereka. Suatu hari A sedang berjalan dengan asyik bermain handphone (HP) barunya. Tanpa dia sadar B sedang berjalan terburu-buru hingga menyenggol A sehingga HP-nya jatuh dan pecah. Kira-kira reaksi dan respon apa yang diberikan A ke B? Bisa jadi A akan kesal, marah-marah ke B dan tanpa

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017


Dapur Rifka pikir panjang meminta B untuk segera mengganti HP barunya itu. Bahkan A bisa juga menjelek-jelekkan si B ke orang lain. Nah, suatu ketika jika dalam kasus yang sama bukan B yang menyenggol A, tapi C yang notabene adalah dosen mereka. Apakah tindakan A akan sama ke C atau berbeda? Mungkin A juga kesal dan sangat marah, tapi tindakan yang ia lakukan berbeda. Ia akan mempertimbangkan mana mungkin ia marah-marah ke dosennya sehingga bisa jadi ia malah bingung sendiri. A mungkin tidak berani menyampaikan kepada dosen agar segera mengganti, malah menunggu si dosen agar berinisiatif untuk bertanggung jawab. Kasus diatas secara sederhana menunjukkan bagaimana relasi kuasa bekerja, bagaimana dampak yang dihasilkan berbeda oleh relasi yang berbeda dan bagaimana tindakan yang dipilih korban. Jika yang melakukan orang yang memiliki posisi/kuasa lebih tinggi, korban akan memilih untuk pasif, bingung, dan banyak kendala psikis maupun sosial dalam merespon kejadian tersebut.

Beberapa Modus Berdasarkan pengalaman pendampingan Rifka Annisa untuk korban kekerasan seksual dengan pelaku oknum dosen dan sebagian besar laki-laki, kuasa yang digunakan pelaku bukanlah berupa intimidasi atau pun ancaman. Biasanya pelaku telah melakukan pendekatan untuk membangun relasi yang nyaman. Hal itu dilakukan agar terjalin kedekatan emosional. Selain itu, pelaku biasanya mendekati korban melalui cara lain yaitu dengan memberikan janji, tawaran atau bantuan. Dalam situasi tertentu, sebenarnya korban sudah merasa ada halhal yang aneh terkait permintaan pelaku. Korban juga sudah curiga tetapi karena kedekatan emosi dan hubungan yang telah dibangun membuat korban jadi

sulit menolak. Situasi ini semakin sulit bagi korban manakala harus menghadapi hambatan psikologis lain misalnya takut nilainya jelek kalau menolak atau merasa tidak enak karena adanya kebaikan yang pernah diberikan. Dalam buku Sexual Assault in Context: Teaching College Men about Gender, Christoper Kilmartin menjelaskan bahwa kebanyakan kasus kekerasan seksual bukanlah hasil dari kesalahpahaman antara kedua belah pihak. Kekerasan seksual terjadi bukan karena unsur ketidaksengajaan, khilaf atau pun kejadian tiba-tiba. Kekerasan seksual lebih merupakan sesuatu yang terjadi karena direncanakan dan pelaku sangat sadar sekali bahwa dirinya memiliki kuasa, kesempatan serta pembacaan terkait situasi korbannya. Bahkan mereka mengetahui dan menganggap bahwa korban tidak akan menolak atau pun bercerita ke orang lain atas kejadian yang dialaminya. Tak segan, pelaku bahkan melontarkan ancaman atau intimidasi jika korban berniat melaporkan kejadian tersebut. Modus dengan ancaman atau intimidasi langsung ini tidak lebih banyak daripada modus pelaku yang memanfaatkan bujuk rayu maupun kedekatan dengan korban. Bujuk rayu, memanfaatkan kedekatan maupun ketergantungan justru dilihat lebih berbahaya karena korban tidak langsung menyadari bahwa apa yang dilakukan itu adalah kekerasan. Dari situasi itulah, pelaku seolah mendapatkan peluang untuk melakukan kekerasan seksual.

perlindungan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang menjamin perlindungan, kerahasiaan dan keamanan korban. Oleh karena itu, kampus perlu memiliki sistem penanganan dan perlindungan korban meliputi kode etik maupun kebijakan terkait kekerasan seksual, mekanisme pelaporan dan hotline, pendokumentasian kasus, pendampingan psikologis, pendampingan hukum, serta mekanisme dan jaringan untuk perujukan. Semoga dengan begitu, kampus bisa menjadi tempat yang lebih aman dan nyaman bagi semua pihak khususnya ­perempuan.

Mekanisme Perlindungan Kebanyakan kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus tidak dilaporkan dan tidak tertangani karena korban memilih diam. Rifka Annisa mengamati bahwa selama ini kebanyakan institusi pendidikan khususnya perguruan tinggi belum memiliki sistem untuk

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 43


Esai Foto

Teks dan foto: Tiwuk Lejar Sayekti

Kekerasan seksual di institusi pendidikan sudah seringkali kita dengar. Namun beberapa kasus cenderung menguap tanpa ada penyelesaian. Kenapa itu terjadi? Banyak yang belum menyadari bahwa tindakan yang diterima sehari-hari dapat tergolong pelecehan seksual. Jangankan anak-anak atau remaja, orang dewasa yang diasumsikan tingkat literasi mengenai seksualitasnya lebih tinggi pun kerap tidak menghiraukan perlakuan-perlakuan yang sengaja merendahkan atau menyinggungnya. Pelecehan seksual bisa jadi merupakan gerak-gerik atau kata-kata yang dianggap remeh, dianggap itu bagian dari bercanda, bahan lucu-lucuan, sebagai bagian dari kehidupan sekolah sehari-hari. Begitu kerapnya hal semacam ini terabaikan kemungkinan terjadi karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran, mulai dari pelajar, pengajar, hingga orangtua murid. Keengganan untuk menyosialisasikan pendidikan seks lantaran anggapan tabu juga menjadi salah satu faktor pendukung toleransi terhadap tindakan merendahkan semacam ini. Bentuk pelecehan seksual dapat berupa ucapan verbal, perilaku nonverbal dan perilaku fisik dengan tendensi seksual, gurauan cabul yang tidak diinginkan, penghinaan berbasis gender dan kontak seksual, serta perilaku yang menyebabkan lingkungan belajar atau bekerja yang tidak aman secara seksual.

Foto diperankan oleh : Fatmiyati (Guru SMK 1 Wonosari) Arifah Rahma Putri (Siswa SMK 1 Wonosari kelas 10 TB 1) Febriana Rosita Dewi (Siswa SMK 1 Wonosari kelas 10 TB 1) Fani Oktafian Nurrokhman (Siswa SMK 1 Wonosari kelas 10 MM 2)

Kasus pelecehan seksual di sekolah sepatutnya mendapatkan perhatian khusus di lingkungan sekolah seperti halnya masalah akademis. Efek yang ditimbulkannya bisa jadi sangat signifikan dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan para remaja di sekolah. Rendahnya penilaian dan kepercayaan diri serta kecemasan sangat potensial mereka alami hingga bukan tidak mungkin prestasi dan keaktifan di sekolah merosot dari hari ke hari. Kasus pelecehan seksual kadang luput dari perhatian pihak sekolah. Salah satu faktornya karena ketidaktahuan tentang pelecehaan seksual itu sendiri. Kalaupun para pelajar telah sadar bahwa pelecehan seksual ini rentan menimpa mereka atau bahkan pernah dialami sendiri,

tidak semuanya berniat untuk melaporkan kejadian tersebut ke pihak sekolah atau orang tua lantaran malu dan takut. Alihalih mendapatkan dukungan dan perlindungan, mereka khawatir justru malah akan disalahkan. Sementara, jika guru dan orangtua tahu, mereka bingung mencari cara untuk mendukung anak-anak mereka menghadapi hal ini. Untuk itu, kesadaran akan pelecehan seksual ini menjadi tuntutan bagi institusi pendidikan dan semua pihak yang terlibat didalamnya. Jika semua mempunyai kesadaran yang baik terhadap hal ini, korban tidak lagi takut untuk mengadukan kasusnya dan adanya jaminan penyelesaian terhadap kasus tersebut, pun dengan masa depan akademiknya.

Rifka Media No.67 November 2016 - Januari 2017

| 44



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.