Rifka media No 66 "Terapi Pemulihan Korban"

Page 1

cover


Gallery Rifka

ta Sharing ceri man la a dan peng terkait asian pengorganis asing di masing-m komunitasrkshop dalam Wo Revitalisasipada Organisasi agustus tanggal 31isma 2016 di W onosari. Ganesha W

Pelatihan kepemimpinan Remaja untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan anak pada 22-24 Oktober 2016 di Hotel New Awana Yogyakarta.

ngalaman n Cerita Pep rempua menjadi sei Refleksi dalam Se latihan dalam Pe pinan Remaja kepemim cegahan dan untuk Penan Kekerasan Penangan Perempuan terhadap pada 22-24 dan anak 016. Oktober 2


Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

Daftar Isi Jendela

Terapi Pemulihan Korban: Menguatkan Keberdayaan Korban Khoirun Ni’mah | 05

Laporan Utama

Konseling: Salah Satu Intervensi Psikologis Bagi Perempuan Korban Kekerasan Berbasis Gender Claudia Rahmania Yusron & Etika Fitri | 06

Mengapa Mereka tidak Mampu Keluar dari Lingkaran Kekerasan? Diana Putri Arini | 11

Pendekatan Psikoterapis Pada Perempuan Korban Kekerasan Rina Eko Widarsih, S.Psi | 17

Terapi Pemulihan Psikologis Pada Anak Korban Kekerasan Khoirun Ni’mah | 22

Peran Lingkungan Sosial Dalam Pendidikan Kepribadian Anak Sebagai Korban Terdampak Glassita Maggfira Armida | 27

Lesehan Buku

Poligami dan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Laksmi Amalia | 33

Liputan

Workshop Sistem Berbasis Sekolah untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Khoirun Ni’mah | 35

Rencanakan Draf Peraturan Desa, Rifka Annisa dan Perangkat Desa Gelar Diskusi Bersama Ifan Maududi Aminul Kalam | 36

Wujudkan Keluarga Bebas Kekerasan, KPPPA Bersama Rifa Annisa Gelar Pelatihan Fasilitator Ifan Maududi Aminul Kalam | 37

Lembaran Baru Untukku dan Anak-anak Mufarihah Mutia Nur Khusna | 38

Memoar Wawancara

Terapi Pemulihan Korban: Berdaya Dengan Potensi Dalam Diri | 50

Terus Berjuang Mendampingi Korban Khoirun Ni’mah | 54

Laki-laki Juga Bisa Menghentikan Kekerasan Seksual Defirentia One| 43

Terapi Pemulihan melalui Proses Kreatif Bersama Tiwuk Lejar Sayekti | 45

Penanggung Jawab: Suharti (Direktur Rifka Annisa) Pemimpin Umum: Defirentia One Pemimpin Redaksi: Khoirun Ni’mah Sekretaris Redaksi: Lutviah Staff Redaksi: Rina Eko Widarsih, Diana Putri Ariani, Aditya Putra Kurniawan, Claudia Rahmania Yusron., Ifan Maududi Aminul Kalam, Mufarihah Mutia Nur Khusna Fotografer: Tiwuk Lejar Sayekti Layout Desain: M. Iqbal Muttaqin Redaksi menerima tulisan dari pembaca sekalian terkait dengan isu-isu perempuan kepada khalayak yang lebih luas. Kritik dan saran kami tunggu di rifka@rifka-annisa.org.

Profile Dapur Rifka Esai Foto


Perkenalkan saya alumni mahasiswa pascasarjana salah satu Universitas di Yogyakarta. Saya sering membaca laporan penelitian dan kinerja Rifka Annisa. Saya sangat tertarik dan ingin belajar lebih jauh tentang isu-isu perempuan. Bolehkah saya magang di rifka annisa? Kebetulan saya mengajar hanya 2 hari seminggu.

SURAT PEMBACA Hallo Rifka Annisa. Saya sering melihat video-video kampanye Rifka Annisa di beberapa media sosial yang saya kunjungi. Dari berbagai video tersebut, saya mengetahui bahwa Rifka Annisa fokus dalam upaya perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Bolehkah saya konsultasi melalui email? Saat ini saya sedang mendampingi korban kekerasan seksual dan saya bingung harus berbuat apa? Selamat siang Sahabat Rifka, Untuk mengakses layanan konsultasi bisa melalui email konsultasi kami: konsultasi. rifka.annisa@gmail.com. Bisa juga menghubungi nomor hotline kami 0851-0043-1298 atau 0857-9905-7765. Atau bisa datang langsung ke kantor kami di Jln. Jambon 4, Kompleks Jatimulyo Indah, Yogyakarta untuk mengakses layanan kami. Layanan buka setiap hari Senin-Kamis pukul 08.30-16.00 WIB, dan hari Sabtu pukul 08.30-12.00 WIB. Biayanya gratis. Demikian, semoga bermanfaat.

Data Statistik

KTI KDP PKS Pelseks KDK

: Kekerasan Terhadap Istri : Kekerasan Dalam Pacaran : Perkosaan : Pelecehan Seksual : Kekerasan Dalam Keluarga

Halo Indah, Rifka Annisa terbuka sekali bila ada Sahabat Rifka yang tertarik untuk bergabung. Berikut Informasi tentang prosedur magang di Rifka Annisa, http://rifka-annisa.org/id/magangpenelitian Demikian, semoga bermanfaat.Demikian, semoga bermanfaat. Admin. Selamat siang Rifka Annisa WCC, Saya merasa ada yang tidak beres dengan kehidupan rumah tangga saya. Saya ingin konsultasi dengan Rifka Annisa terkait persoalan ter­ sebut, karena saya takut salah bertindak. Apakah Rifka Annisa bisa membantu saya? Mohon bantuannya. Terimakasih. Selamat siang Sahabat Rifka. Untuk perihal demikian, sahabat bisa langsung menghubungi nomor telepon kantor kami di 0274-553333, atau hotline kami 0851-0043-1298 untuk membuat janji bertemu dengan konselor kami. Atau bisa datang langsung ke kantor kami di Jln. Jambon 4, Kompleks Jatimulyo Indah, Yogyakarta untuk mengakses layanan kami. Biayanya gratis. Layanan kami buka setiap hari Senin-Kamis pukul 08.30-16.00 WIB, dan hari Sabtu pukul 08.30-12.00 WIB. Demikian, semoga bermanfaat.

Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) di Rifka Annisa Januari - Oktober 2016 Jenis Kasus

Tatap Muka

OR

Telepon

Email

TOTAL

KTI

156

12

10

0

178

KDP

24

6

1

0

31

PKS

5

21

1

0

27

Pelseks

6

6

0

0

12

KDK

14

2

1

0

17

Trafficking

1

5

0

0

6

KTA

1

1

0

0

2

Lain-lain

1

0

0

0

1

TOTAL

208

53

13

0

274

Sumber : Data base Divisi Pendampingan Rifka Annisa


Jendela

TERAPI PEMULIHAN KORBAN: MENGUATKAN KEBERDAYAAN KORBAN Khoirun Ni’mah Pemimpin Redaksi

K

ekerasan terhadap perempuan dan anak masih kerap terjadi. Bahkan jumlahnya cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Rifka Annisa mencatat telah terjadi 1.827 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam kurun waktu 2012-2016. Setiap tahun, Rifka Annisa mendampingi sekitar 300-an kasus yang mayoritas berasal dari wilayah DIY. Pada 2016 lalu, terdapat 325 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang Rifka Annisa dampingi. Jenis kasus kekerasan yang didampingi oleh Rifka Annisa antara lain: kekerasan terhadap istri (KDRT), perkosaan, pelecehan seksual, kekerasan dalam pacaran, kekerasan dalam keluarga, serta perdagangan orang. Setiap tanggal 8 Maret yang bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Catatan Tahunan (CATAHU) tentang kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Dalam CATAHU 2016, Komnas Perempuan melaporkan beragam kasus kekerasan terhadap perempuan yang telah terjadi sepanjang tahun 2015. Berdasarkan jumlah kasus yang didapat dari 232 lembaga mitra Komnas Perempuan di 34 provinsi, terdapat 16.217 kasus kekerasan terhadap perempuan yang berhasil didokumentasikan. Di ranah komunitas, terdapat 5.002 kasus kekerasan terhadap perempuan, dan 1.657 kasus di antaranya adalah kekerasan seksual. CATAHU 2016 ini menunjukkan kenaikan angka kekerasan dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 11.207 kasus. Tingginya angka kekerasan tersebut menyisakan persoalan yang cukup kompleks bagi korban. Secara psikis, korban kekerasan mengalami stress dan trauma berat yang membutuhkan konseling psikologis untuk memulihkan kondisi kejiwaan mereka akibat pengalaman tidak menyenangkan tersebut. Dalam hal ini, konseling psikologis untuk perempuan korban kekerasan merupakan salah satu upaya untuk mengantarkan perempuan hingga ke tahap berdaya dalam menyelesaikan persoalannya. Tingkat keberdayaan ini diukur melalui beberapa indicator, di antaranya kontrol diri dan tanggung jawab yang semakin meningkat, keinginan untuk berubah, menghargai diri sendiri, bersemangat, mampu mengontrol emosi dan lain sebagainya. Konseling psikologis juga dapat dilakukan melalui tatap muka, surat elektronik, telepon, serta melakukan layanan penjangkauan. Akan tetapi sampai saat ini, terapi pemulihan psikologis belum banyak dikembangkan oleh para konselor ataupun tenaga sosial yang berkecimpung di ranah tersebut. Trauma psikologis yang dialami korban kekerasan berpengaruh besar pada keberlangsungan hidupnya kedepan. Dengan demikian dibutuhkan strategi atau teknik-teknik konseling yang sesuai dengan kebutuhan korban. Rifka Media edisi 66 yang mengangkat tema “Terapi Psikologis Perempuan Korban Kekerasan� ini secara khusus membahas tentang ruang lingkup serta bentukbentuk terapi konseling untuk pemulihan trauma psikologis perempuan dan anak korban kekerasan.

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

|5


Laporan Utama

KONSELING: SALAH SATU INTERVENSI PSIKOLOGIS BAGI PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER Claudia Rahmania Yusron |Relawan Magang dari, Universitas Brawijaya Malang Jurusan Hubungan Internasional & Etika Fitri | Relawan Magang dari UIN Yogyakarta Jurusan Ilmu Komunikasi

M

enurut deklarasi peng­ hapusan kekerasan ter­hadap perempuan pasal satu, yang diadopsi oleh majelis umum PBB tahun 1993, Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pem­bedaan berbasis gender yang ber­akibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan se­cara fisik, seksual atau psikologis, termasuk anca­man terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau peram­pasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi. Budaya patriarki yang telah mengakar di masyarakat Indonesia telah melahirkan relasi kuasa yang timpang dengan menempatkan posisi laki laki lebih tinggi daripada perempuan. Ketidaksetaraan tersebut merupakan produk sosial yang diciptakan dan dilestarikan

selama berabad-abad lamanya. Selain itu, kekerasan terhadap perempuan dan anak juga merupakan hasil dari konstruksi budaya patriarki tersebut.

Tren Kasus Kekerasan ter­ hadap Perempuan dan Anak Kasus kekerasan terhadap perempuan masih terus terjadi, data laporan kasus Rifka Annisa

Tabel 1.1 Data Kasus Rifka Annisa 2015

6 |

Kategori/ Bulan

Jan Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul Agt

Sep

Okt

Nov

Des

Jml

KTI

16

17

24

17

21

18

9

24

25

14

15

23

223

KDP

1

2

7

2

0

2

2

3

1

2

6

3

31

PKS

3

6

1

4

5

0

1

3

3

3

2

2

41

PEL-SEKS

1

1

0

0

1

1

1

2

7

0

2

0

18

KDK

0

1

0

2

0

0

0

1

2

0

0

0

6

TRAF

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

Total

21

27

32

25

27

21

13 34

38

19

25

28

319

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Laporan Utama tahun 2015 menunjukkan angka kekerasan terhadap istri (KTI) sebesar 223. Kekerasan dalam pacaran (KDP) sebesar 31, Perkosaan (PKS) sebesar 41, Pelecehan seksual (PELSEKS) 18, dan Kekerasan dalam keluarga (KDK) sebesar 6 kasus. Kekerasan terhadap istri masih mendominasi, hal ini menguatkan survey bahwa kebanyakan pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah pasangan mereka sendiri seperti suami. Dalam data kasus yang ditangani oleh Rifka Annisa tersebut, dari tahun ke tahun, kasus kekerasan terhadap istri selalu menempati posisi tertinggi di antara kasus kekerasan yang lain. Dalam hal ini, perempuan korban mendapatkan kekerasan baik fisik, psikis bahkan ekonomi oleh suaminya. Tidak sedikit para suami yang menjadi pelaku kekerasan adalah seseorang yang cukup terpandang di masyarakat. Salah satu contoh kasus kekerasan yang didampingi oleh Rifka Annisa, pelaku adalah seorang staff pengajar di salah satu universitas di Yogyakarta. Pemicu atas permasalahan dalam rumah tangga tersebut bermula ketika ia memiliki wanita idaman lain dan tidak segan segan untuk menunjukkan kemesraan di depan sang istri. Tidak cukup itu saja, sang suami cukup manipu­ latif untuk membuatkan akun facebook palsu bagi sang istri dan menuduh balik sang istri yang melakukan perselingkuhan. Selain itu, anak anak juga dibuat tidak suka terhadap sang ibu melalui informasi tidak benar yang disampaikan oleh ayah mereka. Perempuan korban tersebut bercerita bahwa selama pernikahan berlangsung dirinya jarang mendapatkan nafkah dari sang suami. Dia harus bekerja dengan menjual pakaian untuk bertahan hidup dengan anak anaknya. Suatu ketika, bentuk kemarahan sang suami dimanivestasikan melalui ancaman akan dibakarnya barang dagangan sang istri. Hal ini membuat korban merasa tertekan dan

tidak kuasa lagi untuk bertahan dengan sang suami. Dengan segala macam kekalutan yang melanda, akhirnya korban memutuskan datang ke Rifka Annisa WCC untuk mendapatkan pertolongan. Annisa Nuriowandari adalahstaff konselor Divisi Pendampingan Rifka Annisa WCC yang saat itu mendampingi korban. Wanda, sapaan sehari-hari sang konselor, menyatakan bahwa perempuan korban tersebut adalah salah satu korban yang cukup berdaya dan berpendidikan. Iamasih dalam posisi sehat psikis dan mental sehingga dirasa mampu untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Namun pada saat itu, karena dihantui rasa ketakutan atas perilaku-perilaku kasar suaminya, kemampuan kognitif untuk melihat permasalahan dalam perspektif yang lebih luas dan mengambil keputusan tidak dapat dilakukan oleh perempuan korban tersebut. Wanda juga menuturkan bahwa konseling dilakukan selama dua hingga tiga kali. Konseling ini bertujuan untuk memberikan penguatan bagi korban. Seringkali ketika konseling tahap pertama, korban akan mengalami dinamika dimana ia menyalahkan diri sendiri, dan menganggap suami melakukan kekerasan karena dirinya yang salah. Sehingga, dalam hal ini proses konseling dilakukan untuk membantu korban menggeser perspektif yang tadinya self-blaming menjadi sadar bahwa dia tidak berada pada pihak yang salah. Dukungan baik berupa ucapan maupun tindakan dari konselor sangat membantu korban dalam proses coping. Seperti yang sempat dijelaskan sebelumnya, perempuan korban tersebut merupakan salah satu korban yang cukup berdaya. Namun ketika ia tidak mendapat dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar, itu akan menurunkan sistem coping seseorang. Wanda mengilustrasikan apabila seseorang sudah lama memendam emosi, menjerit minta tolong namun

tidak ada yang mendengarkan, menganggapnya sepele bahkan lingkungan tersebut menyalahkannya. Seseorang tersebut akan cenderung menjadi helplessness. Helplessness dalam hal ini adalah kondisi di mana seseorang belajar untuk tidak berdaya, atau pasrah dengan keadaan yang dialaminya. Proses konseling dari Rifka Annisa memiliki prinsip unconditional positive regards yang berarti menerima korban dengan segala macam keadaannya. Mendengarkan klien dengan seksama dan empati. Kegiatan ini bertujuan untuk dapat meningkatkan self-esteem (kepercayaan diri) korban tersebut. Pada dasarnya kegiatan konseling bertujuan untuk membuat korban pulih, berdaya dan dapat melakukan perubahan. Pulih dalam hal ini adalah ketika klien menjadi berfungsi kembali. Sedangkan berdaya ditandai ketika klien dapat bermanfaat bagi orang lain. Wanda juga menjelaskan, setelah melakukan konseling pemulihan korban cukup progressive. Ia sering didapati mengikuti kegiatan support group, dimana dalam kegiatan ini, ia dapat bertemu dengan teman teman sejawat yang memiliki background dan persoalan serupa, sehingga dapat saling menguatkan satu sama lain.

Trauma Psikologis Mendatu (2010) menjelaskan bahwa kekerasan domestik seperti kekerasan fisik yang meliputi pemukulan, penyiksaan hingga kekerasan psikologis yang meliputi ancaman, isolasi, pengabaian hingga kekerasan seksual sangat potensial untuk mencipta­ kan trauma pada perempuan Sedangkan menurut Kamus Psikologi, trauma didefinisikan sebagai luka, sakit, atau shock yang seringkali berupa fisik atau struktural, namun juga mental, dalam bentuk shock emosi, yang menghasilkan gangguan, lebih kurang tentang ketahanan fungsi-fungsi mental.

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016

|7


Laporan Utama Definisi lainnya terkait trauma menurut Mendatu adalah perilaku menghadapi atau merasakan sebuah kejadian atau serangkaian kejadian yang berbahaya, baik bagi fisik maupun bagi psikologis seseorang yang membuatnya tidak lagi merasa aman, menjadikannya merasa tak berdaya dan peka dalam menghadapi bahaya. Seseorang dikatakan mengalami trauma jika terdapat 3 hal berikut ini : 1. Merasa terancam bahaya, baik bahaya fisik maupun psikologis; baik ancaman itu nyata 2. Membuat seseorang tidak aman dan tak berdaya. 3. Seseorang tidak sanggup menanggungnya. Berdasarakan contoh kasus kekerasan terhadap istri yang telah dijelaskan di atas, trauma juga dialami oleh perempuan korban KDRT yang telah dijelaskan sebelumnya. Korban meng足 alami kekerasan fisik dan psikis, hingga sosial dan ekonominya. Selama kejadian tersebut korban tidak dinafkahi oleh suaminya, akhirnya ia berusaha untuk mencari nafkah sendiri dengan berdagang. Namun korban sering足 kali mendapat ancaman dari suaminya dengan ancaman akan membakar barang dagangannya. Perlakuan perlakuan kasar dari suami membawa trauma psikis pada perempuan korban. Pada umumnya perempuan korban kekerasan menjadi trauma secara psikologis karena telah mengalami berbagai macam tindakan kekerasan yang tidak semestinya dilakukan terhadap mereka. Biasanya ketika terjadi kasus kekerasan, korban lebih direkomendasikan untuk pergi ke lembaga bantuan hukum dan juga ke pusat pelayanan kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit guna menyembuhkan sakit atau luka fisik yang diderita. Namun dari segi psikologis korban seringkali kurang mendapat perhatian sehingga korban masih terbebani dengan trauma psikologis.

8 |

Mendatu (2010) juga menjelaskan bahwa konseling pada prinsipnya adalah untuk mendengarkan pengalaman trauma korban dan memberikan bimbing足an yang mereka perlukan dalam situasi stres pasca trauma. Dalam hal ini konseling memerlukan lima keterampilan dasar yakni keterampilan membangun hubungan, bertanya dengan tepat, mendengarkan secara aktif, menyelesaikan masalah, dan memberdayakan korban.

Komunikasi Terapeutik Menurut Maris salah seorang konselor di LSM Rifka Annisa mengungkapkan bahwa konseling dalam psikologi merupakan salah satu bentuk terapi, terlebih pada korban kasus kekerasan. Dalam proses konseling, perempuan korban dapat menceritakan segala persoalan yang dihadapinya. mereka diberikan ruang untuk menyampaikan apa saja yang menjadi beban hidupnya dan didegarkan. Ketika korban dapat bercerita terkait persoalan hidupnya, secara psikologis mere足ka menjadi lega. Karena segala hal yang mengganjal dalam hati dan fikirannya telah berhasil ia ungkapkan kepada orang lain. Selain itu, Maris juga menambahkan selepas konseling dilakukan, ada tahapan selanjutnya yang disebut dengan support group. Namun hal tersebut merupakan bentuk terapi pasca konseling. Di dalam proses konseling terdapat kegiatan komunikasi interpesonal (individu dengan individu) secara tatap muka dan bertujuan untuk membantu seseorang dalam memecahkan suatu masalah. Hal ini dapat dikategorikan menjadi bentuk komunikasi terapeutik yaitu konsleor membantu klien atau korban yang mengalami trauma psikologis agar dapat pulih kembali menjalani kehidupan yang lebih positif. Suryani (2015) dalam bukunya Komunikasi Terapeutik; Teori dan Praktik, menyebutkan bahwa menurut Norhouse (1998) komunikasi terapeutik adalah

kemampuan atau keterampilan perawat untuk membantu klien beradaptasi terhadap stres, mengatasi gangguan psikologis, serta belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain. Kemudian Hibdon (2000) menyimpulkan bahwa pendekatan konseling yang memungkinkan klien menemukan siapa dirinya merupakan fokus dari komunikasi terapeutik. Jadi komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dirancang untuk tujuan terapi. Komunikasi terapeutik dalam pelaksanaannya memiliki beberapa tahapan. Dalam Suryani (2015) memaparkan struktur dalam proses komunikasi terapeutik terdiri dari 4 tahap (Mohr, 2003: Stuart dan Laraia, 2001) yaitu: 1.

2.

3.

4.

Persiapan (pra interaksi): konselor menggali perasaan, mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya. Konselor mencari informasi tentang klien dan kemudian merancang strategi untuk pertemuan pertama dengan klien. Perkenalan (orientasi): Membina rasa saling percaya, merumuskan kontrak bersama klien, menggali pikiran, merumuskan tujuan. Kerja: Konselor dan klien bekerja sama untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien (eksplorasi, refleksi, berbagi persepsi, memfokuskan dan menyimpulkan). Terminasi (sementara atau akhir): Evaluasi, tindak lanjut terhadap interaksi, membuat kontrak untuk pertemuan selanjutnya.

Jika dilihat dari tahapantahapan komunikasi terapeutik dapat dikatakan bahwa proses konseling itu termasuk dalam proses interksi yang ditujukan untuk memberi terapi atau pemulihan terhadap seorang klien atau korban terlabih dari segi psikologisnya.

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Laporan Utama Konseling Psikologis Pendefinisian terhadap konseling dan psikoterapi seringkali diartikan sama. Pada kenyataannya konseling bukanlah sebuah psikoterapi. Meskipun dalam situasi tertentu konseling ditawarkan sebagai bagian dari proses psikoterapi itu sendiri. Perbedaan utama antara keduanya terletak pada jangka waktu. Konseling lebih berpusat disekitar pola perilaku korban, sedangkan psikoterapi lebih fokus pada korban untuk jangka panjang dalam pemulihan kestabilitasan emosional dan kesulitan kesulitan yang dihadapi­ nya (Thecounsellorsguide,2016, http://www.thecounsellorsguide. co.uk/difference-between-counselling-psychotherapy.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2016) Namun demikian, konseling bukan hanya sekedar proses komunikasi yang mudah dan sederhana. Konseling meng­ haruskan para konselornya untuk dapat berorientasi pada penyelesaian masalah. Beberapa orang tertentu memiliki kemam­ puan untuk menyelesaikan per­ masalahan hidupnya secara individu. Namun tidak semua orang memiliki kemampuan ter­ sebut, terlebih ketika mereka dirundung permasalahan. Mereka membutuhkan orang lain sebagai tempat mencurahkan isi hati dan membantunya. Dalam konteks ini, Konseling hadir sebagai bentuk interaksi antara dua orang (atau lebih) yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah, dan konselor atau orang yang memberikan konseling) adalah orang yang memfasilitasi klien yakni orang yang memiliki persoalan untuk menemukan jati diri dan kekuatan dalam menyelesaikan masalahnya. Konseling merupakan suatu proses komunikasi yang memadukan teknik wawancara dan teknik penyelesaian masalah bagi individu bermasalah yang masih mampu merespon realitas secara memadai. Wawancara digunakan sebagai alat untuk

menggali informasi komprehensif tentang korban dan permasalahannya sedangkan penyelesaian masalah merupakan orientasi utama proses konseling, (Hayati, 2002 : 1-2). Adapun tahapan sederhana dalam melakukan konseling yang pertama yakni tahapan konseling awal, dimana konselor membangun hubungan yang baik dengan klien dan membangun kepercayaan awal terhadap konselor. Kedua, kontrak yaitu kesepakatan bersama antara konselor dan korban mengenai peran masing masing, berapa lama konseling dilakukan dsb. Ketiga, menggali masalah yang membutuhkan konselor untuk memiliki sikap yang active listening, refleksi dan klarifikasi. Kemudian tahapan yang terakhir adalah mengakhiri konseling yang sudah disepakati dalam jangka waktu tertentu. Dari setiap proses konseling ada beberapa hal yang dihasilkan, yakni rangkuman kasus, tugas rumah, rencana pertemuan selanjutnya (waktu yang disepakati oleh keduanya antara konselor dan klien) dan lain sebagainya (Handbook Konseling Rifka Annisa WCC: 2) Dalam pengalaman pendampingan korban yang dilakukan oleh Rifka Annisa menemukan bahwa terdapat beberapa unsur penting kaitannya bagi korban selama konseling berlangsung. Pertama terapi lingkungan dimana konselor melibatkan lingkungan asal korban. Apabila dirasa perlu melibatkan orang-orang yang memiliki hubungan yang signifikan dengan korban dalam proses penyelesaian masalah maka konselor dapat melibatkan orang orang tersebut atau sebaliknya. Dalam hal iniintervensi dapat berupa pemindahan korban dari lingkungan semula. Kedua Insight, yang merupakan tujuan pokok dari konseling sehingga korban dapat memahami dirinya lebih mendalam. Kemudian yang ketiga adalah pelepasan emosi dan pengurangan ketegangan, unsur ini sangat bermanfaat bagi korban

yang mengalami trauma berat dan korban yang telah menyimpan perasaannya dalam waktu yang lama. Metode ini diberikan dalam suasana yang hangat, penuh penerimaan, bersahabat, dsb. Pengurangan ketegangan menjadi penting, karena orang yang tegang akan sulit untuk diajak konseling. Mereka terlalu khawatir dan cemas dalam menghadapi persoalan hidupnya. Apabila pelepasan emosi gagal maka akan timbul insight yang tidak nampak. Hal ini kemudian berdampak pada penurunan daya intelegensi, tidak dapat melihat realita dan dapat berakibat reaksi fisik. Dalam hal ini Insight dapat membantu berkurangnya ketegangan dan kecemasan. Unsur berikutnya adalah support berupa kata kata atau tingkah laku yang bertujuan untuk memberikan dukungan, namun harus berhati hati karena apabila terlalu banyak memberikan support korban dapat bergantung pada konselor. selanjutnya unsur yang terakhir adalah re-learning, di mana konseling dianggap berhasil apabila terjadi perubahan tingkah laku. Para konselor juga penting untuk berpegang teguh pada prinsip prinsip dasar dalam membantu perempuan korban kekerasan. Hal ini karena masalah kekerasan terhadap perempuan adalah masalah yang kompleks di mana akar permasalahannya ada pada budaya yang telah dilestarikan selama berabad abad. Kemudian, Konseling berbasis gender diperlukan, karena kekerasan terhadap perempuan terjadi akibat adanya relasi kuasa yang timpang antara laki laki dan perempuan. Berikut beberapa asas dasar dalam konseling berbasis gender menurut Haryati (2002). Pertama asas tidak mengadili (non-judgement) atau tidak menyalahkan korban atas terjadinya kekerasan. Asas ini melihat persoalan sebagai “kesahalan� konstruksi sosial budaya atas laki laki dan perempuan, dan secara psikologi akan

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016

|9


Laporan Utama memberikan dukungan mental pada korban. Selain itu, membangun hubungan yang setara antara konselor dan korban juga menjadi penting, supaya tidak terjadi ketimpangan kekuasaan dan menciptakan pemaksaan kehendak. Kedua asas pengambilan keputusan sendiri. Asas ini meru­ pakan prinsip penting dalam proses konseling. Dalam hal ini perempuan korban diberikan berbagai alternatif solusi oleh konselor, akan tetapi solusi mana yang akan diambil murni pilihan klien bukan atas desakan konselor. Selama ini budaya patriarki menempatkan seorang perempuan seringkali tidak dapat membuat keputusan sendiri. Oleh karena itu, pengambilan keputusan sendiri menjadi hal ini penting supaya korban menya­ dari kelebihan dan kekurangan dirinya untuk kemudian dijadikan modal bagi pengambilan keputusan yang akan dilakukan. Ketiga, asas pemberdayaan. Melalui penyadaran gender, pemberian informasi informasi, memberikan duku­ngan, membantu memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam pembuatan keputusan, adalah beberapa hal penting yang dapat membantu klien untuk memperoleh insight atau pengertian mendalam tentang dirinya dan persoalannya. Keempat asas menjaga kerahasiaan. Kemudian yang terakhir asas intervensi krisis disaat saat kritis seperti korban yang barusaja mengalami perkosaan. Intervensi kritis ini dapat ditunjang dengan perangkat lain seperti shelter atau rumah aman, kerjasama dengan polisi maupun rumah sakit untuk membantu kelancaran intervensi kritis.

Terapi Pemulihan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (DEPDIKBUD, 2005) bahwa pulih bermakna kembali (baik, sehat) seperti semula ; sembuh atau baik kembali (luka, sakit, kesehatan) ; menjadi baik (baru lagi). Sementara dalam pengertian

10 |

yang lebih sederhana, pemulihan bermakna sebagai proses, cara, maupun perbuatan memulihkan. Pada umumnya korban kekerasan mengalami permasa­ lahan dari segi psikologis atau kesehatan mental (trauma). Hal tersebut perlu adanya pemulihan agar korban dapat kembali pada kodisi semula bahkan dapat menjadi lebih baik lagi. Berdasarkan pengalaman pendampingan Rifka Annisa menemukan ada beberapa terapi lain untuk pemulihan korban selain konseling. Terapi tersebut antara lain diskusi, latihan meditasi untuk menangani kecemasan, menggambar, menonton film yang berkaitan dengan topik yang dibahas, dan mencoba ketrampilan baru misal seperti mera­jut, melukis dan lain sebagai­nya. Beberapa hal tersebut dirasa cukup efektif untuk terapi pemulihan psikologis korban selepas pengalaman-penggalamannya yang tidak menyenangkan. Pada proses pemulihan, biasanya banyak korban yang menyalahkan diri sendiri sehing­ ga sulit untuk pulih. Tetapi korban kali ini sudah cukup berdaya dalam artian sudah tidak menyalahkan dirinya sediri hanya saja korban masih butuh pengu­atan dari konselor dan juga dari pihak lain. Korban tersebut tinggal menunggu waktu agar kembali pulih, selain itu korban juga terlibat aktif dalam support group sehingga membantu proses pemulihan korban dari trauma.

Referensi Buku :

Suryani. 2015. Komunikasi Terapeutik : Teori dan Praktik. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Illenia dan Handadari.2011. Pemulihan Diri pada Korban Kekerasan Seksual. Jurnal INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011.Surabaya: Departemen Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Hayati,Nur,Ellie. Panduan untuk pendamping perempuan korban kekerasan (konseling berwawasan gender). Rifka Annisa Women’s Crisis Center. Yogyakarta.2002 Handbook Konseling Rifka Annisa WCC

Referensi Internet : Declaration on the elimination of violence against women. New York, United Nations, 23 February 1994 (Resolution No. A/RES/48/104). Thecounsellorsguide.co.uk. (2016). The Difference Between Counselling and Psychotherapy. [online] Available at: http://www. thecounsellorsguide. co.uk/difference-between-counselling-psychotherapy.html [Accessed 15 Oct. 2016].

Referensi Wawacara : Wawancara dengan Maris dan Annisa Nuriowandari tanggal 10 Oktober 2016

Drever, James. 1988. Kamus Psikologi (ed.terjemahan). Jakarta. Bina Aksara. DEPDIKBUD.2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta : Balai Pustaka. Mendatu, Achmanto. 2010. Pemulihan Trauma ; Strategi Penyembuhan Trauma untuk Diri Sendiri, Anak dan Orang Lain di Sekitar Anda. Yogyakarta. Panduan. Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Laporan Utama

Mengapa Mereka tidak Mampu Keluar dari Lingkaran Kekerasan?

(Pengalaman Mendampingi Perempuan korban Kekerasan dalam Hubungan Pernikahan) Diana Putri Arini | Relawan Rifka Annisa Divisi Pendampingan | Mahasiswa Magister Psikologi UGM | dianaputriarini@gmail.com

C

avanagh (dalam Komalasari dkk, 2011) mengatakan konseling merupakan hubungan unik antara helper yang telah mendapatkan pelatihan dengan orang yang mencari bantuan, didasari oleh keterampilan helper dan atmosfer yang diciptakan untuk membantu penerima pertolongan supaya dapat membangun relasi dengan orang lain secara produktif. Dalam hal ini, dapat difahami bahwa, tugas konselor adalah memberikan bantuan kepada klien untuk membangun relasi dirinya dengan orang lain secara lebih produktif. Pengalaman pendampingan Rifka Annisa pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menemukan bahwa siapapun rentan menjadi korban kekerasan. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya korban kekerasan yang mengakses layanan Rifka Annisa. Baik keberagaman tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, maupun tingkat usia. Klien mengakses layanan pendampingan kemudian bertemu dengan konselor, merupakan upaya pencarian bantuan dalam rangka memecahkan masalah yang dihadapinya. Pada situasi awal perempuan korban kekerasan yang datang memiliki kondisi yang berbeda-beda. Tidak sedikit klien yang datang dalam keadaan bingung, kalut, tidak dapat menemukan apa yang menjadi inti permasalahannya, tidak mampu berpikir

Sumber; (httpswww.republika.co.idberitanasionalumum170418ookw3p365-mata-rantai-kdrt-harus-diputus)

jernih karena didominasi oleh perasaaan bersalah dan ketidakberdayaan. Sehingga, asesment awal menjadi penting untuk dilakukan oleh para konselor guna mengidentifikasi kebutuhan dasar klien/perempuan dan anak korban kekerasan. Dalam proses konseling, biasanya terdapat satu sesi yang fokus untuk menggali pengalaman kekerasan yang dialami klien. Sesi ini mengakibatkan reaksi emosional klien, sehingga bisa jadi klien akan berteriak atau menangis. Perempuan yang meng­ alami kekerasan merupakan klien yang memiliki permasalahan berlapis dan panjang. Pengalaman Rifka Annisa dalam pendampinga korban kekerasan, menemukan bahwa permasalahan kekerasan

pada perempuan disebabkan adanya konstruksi gender dan relasi kuasa yang timpang. Selain itu, kekerasan terhadap perempuan dan anak juga tidak dapat terlepas dari budaya patriarki di masyarakat yang lebih meng­ istimewakan salah satu jenis kelamin. Kekerasan yang dialami tersebut adalah manifestasi pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan akibat berbagai ketidakadilan yang didapatkan perempuan selama rentang kehidupannya. Sehingga, ketika perempuan korban kekerasan datang ke Rifka Annisa tidak sedikit yang masih berada dalam situasi kebingungan, karena merasa tidak mampu mengatasi masalah yang mereka hadapi. Selain itu, setiap perempuan

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016

| 11


Laporan Utama korban yang datang ke Rifka Annisa untuk mengakses layanan seringkali memiliki harapan besar bahwa masalahnya akan selesai dan semua dapat diatasi oleh Rifka Annisa. Harapan ini yang kadang-kadang membuat mereka mencari penyelesaian masalah dengan cara instan dan buru-buru. Pada sesi pertama konseling, biasanya klien bercerita tidak lepas dari keluhan yang dialami, pengalaman yang menyakitkan, kesedihan dan kemarahan yang terpendam selama bertahun-tahun. Sehingga, ketika pertama kali datang ke suatu lembaga layanan, klien masih bingung dengan apa yang akan dilakukannya. Pada tahap pertama klien masih belum bisa membuat keputusan realistis berdasarkan pertimbangan yang matang. Apalagi biasanya klien masih mengalami distorsi kognitif di sesi konseling pertama. Contoh dari distorsi kognitif adalah pemikiran bahwa dia pantas mendapatkan perlakuan seperti itu karena ketidakmampuannya misal sebagai istri yang ideal. Ellis (dalam Wilding, 2008) menyebutkan klien yang datang mengunjungi konselor memiliki pemikiran yang irrasional, lama kelamaan pemikiran yang keliru akan membentuk sistem kepercayaan dalam diri sendiri yang mempengaruhi tidak hanya sistem kognitif namun juga afektif dan konatif (perilaku). Misal, sebagai istri saya harus menuruti suami agar bisa dicintai. Pemikiran kata ‘harus’ ini adalah bentuk dari irasional berpikir, karena kata keharusan bersifat absolut untuk dikerjakan. Namun dalam kenyataan, apakah akan sesuai dengan apa yang kita pikirkan dan inginkan? Pengalaman traumatik dan stress yang dialami klien selama bertahun-tahun mengakibatkan pemikiran irasional pada klien. Pemikiran irasional ini dapat diubah dengan proses yang berkesinambungan selama proses konseling. Hal ini tidak bisa didapat dari proses konseling secara instan, misal hanya mengikuti

12 |

pertemuan selama 1 atau 2 kali. Klien harus menyadari pentingnya proses konseling, sehingga hal ini membuat klien datang secara sukarela untuk mengikuti proses konseling.

Kekerasan dalam Hubungan Pernikahan adalah Sebuah Siklus Dalam pandangan psikoanalisa, kebutuhan mencari pasangan merupakan kebutuhan yang bersifat instingtif (Feist&Feist, 2011). Manusia pada dasarnya didorong oleh kebutuhan tidak disadari yaitu thanatos (mati) dan eros (hidup). Eros merupakan kebutuhan manusia untuk dicintai, dibutuhkan oleh orang lain, dan dikagumi. Manifestasi eros adalah libido atau naluri seks. Pada pandangan ini menyebutkan dorongan manusia untuk memiliki keturunan sebagai wujud eksistensi keberadaannya di dunia ini. Namun, manusia tidak hanya dibentuk oleh naluri liarnya saja. Norma, budaya, dan agama mengajarkan untuk menyalurkan libido dalam suatu ikatan yang diakui oleh Negara, dilindungi hukum, disahkan oleh agama dan dianggap suci oleh masyarakat yaitu pernikahan. UU Pernikahan no 1 tahun 1974 menyebutkan pernikahan adalah ikatan lahir batin anta­ ra seorang pria dengan seorang perempuan, sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga, tujuan akhir dari pernikahan adalah membentuk kebahagiaan. Kemungkinan sangat kecil jika ada pasangan yang merencanakan perceraian ketika membangun pernikahan. Perceraian bukan merupakan rencana di awal terbentuknya suatu pernikahan. Dalam hubungan pernikahan, interaksi suami dan istri sangat mempengaruhi dinamika keluarga, mempengaruhi interaksi terhadap anak dan psikologis anak. Gray (2005) menyebutkan

laki-laki dan perempuan secara lahiriah terlahir berbeda. Bukan hanya perbedaan biologis, tetapi juga perbedaan pandangan dan kebutuhan mereka secara alami. Keduanya berasal dari keluarga yang berbeda serta dibesarkan dengan pola asuh yang berbeda pula. Sehingga, untuk masuk ke dalam rumah tangga atau membentuk ikatan yang mendalam, tidak heran jika perbedaan-perbedaan tersebut akan menghasilkan sebuah konflik. Pada dasarnya konflik memang sesuatu yang wajar dalam setiap hubungan. Sikap terkait bagaimana cara menanggapi perbedaan dan konflik tersebut akan menunjukkan tingkat kedewasaan seseorang. Konflik juga memiliki sisi positif yakni dapat membuat keduanya saling mengerti perbedaan, sehingga dapat semakin memahami satu sama lain. Namun ketika konflik dipendam dalam kurun waktu lama, tidak dibicarakan, akan menimbulkan kesalahpahaman dan konflik yang lebih besar, sehingga seringkali memunculkan perilaku kekerasan dalam penyelesaiannya. Interaksi suami istri dalam pernikahan diibaratkan seperti menari tango. Dalam hal ini gerakan menari tango memiliki tujuan, harus seirima sesuai dengan musik yang dimainkan, langkah kaki harus seimbang dan melengkapi satu sama lain, gerakan dalam setiap tarian memiliki tempo yang sama sehingga bisa membentuk suatu tarian yang indah. Namun ketika tempo salah satu pasangan terlalu cepat dan pasangannya tidak bisa mengikuti, atau berkali-kali kaki penari terinjak oleh pasangannya akan membentuk tarian yang berantakan. Begitupula dengan kehidupan rumah tangga. Dari ilustrasi gerakan menari tango dapat dilihat bahwa interaksi rumah tangga tidak bisa hanya dibangun oleh satu pihak saja. Kedua belah pihak harus menyadari kesalahannya dan melakukan evaluasi untuk tujuan kedepan. Namun ketika memang

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Laporan Utama konflik dalam rumah tangga tidak bisa diredam atau kekerasan yang dialami para istri tidak bisa ditolerir lagi, perceraian seringkali menjadi solusi. Pengalaman saya ketika bertemu dengan perempuan yang menjadi korban KDRT, tidak sedikit dari mereka yang memutuskan untuk bercerai dan memantapkan diri pada keputusannya sesuai dengan konsekuensi yang didapatkan. Akan tetapi, dalam beberapa waktu kemudian, klien tersebut seakan menghilang tidak bisa dihubungi lagi. Lalu kembali, dan seolah melupakan hal yang pernah terjadi padanya, dia memutuskan untuk kembali pada suaminya. Hal ini terjadi ketika sang suami merasa menyesal dan berlutut menangis meminta maaf. Dengan berbagai rayuan dan janji manis yang dilontarkan oleh sang suami, akhirnya banyak perempuan korban KDRT yang tetap memilih untuk memaafkan dan kembali pada pasangannya. Kemuudian dalam waktu beberapa bulan kemudian, klien kembali ke Rifka Annisa dengan keadaan yang lebih parah dari sebelumnya, karena KDRT yang dialami semakin kompleks. Pengalaman lain adalah ketika saya mendampingi klien yang selama bertahun-tahun mendapatkan kekerasan dari suaminya. Dia tinggal bersama mertuanya. Sang mertua seringkali turut campur dalam urusan rumah tangganya. Selama menikah si klien seolah tidak memiliki hak, baik untuk berbicara mengenai keputusan di dalam rumah tangga maupun hak untuk mengatur keuangan. suatu ketika si klien tersebut mengetahui bahwa suaminya berselingkuh, namun ia tidak tahu bagaimana cara mengkomunikasikannya, apalagi suaminya memiliki jabatan terhormat di masyarakat. Sampai akhirnya suaminya tersandung masalah hukum yang membuat jabatannya terganggu. Akhirnya klien tetap memilih untuk kembali ke pasangannya. Semakin lama, sepertinya konflik rumah tangganya tersebut telah

membentuk sejumlah stress yang terpendam, sehingga menyebabkan gangguan psikosomatis pada klien tersebut. Sehingga ketika klien diminta untuk membicarakan masalah keluarganya atau suaminya, ucapannya menjadi gagap. Setelah berbagai trauma yang telah dialami klien, tiba-tiba suaminya datang dan meminta maaf, meminta agar klien tersebut melupakan kekerasan yang selama ini dialaminya. Akhirnya, klien luluh, dan memaafkan suaminya, dia juga bersedia untuk melupakan tekanan dan stress yang selama ini dialaminya. Meskipun, sebagian besar keluarganya menolak keputusan si klien untuk kembali pada suaminya tersebut. Pengalaman serupa terkait keputusan untuk kembali pada pasangan seperti yang diceritakan sebelumnya, seringkali terjadi pada konflik dalam hubungan pernikahan. Meskipun telah mengalami kekerasan berkali-kali, tidak membuat perempuan korban berani meninggalkan pasangannya. Dengan berbagai bujuk rayu, permintaan maaf yang selalu diunggulkan oleh pelaku, mudah membuat luluh para perempuan korban dan bersedia memberikan maaf. Sikap menyesal suami tersebut menurut Walker (1979) disebut sebagai fase bulan madu. Fase bulan madu ini merupakan sebuah fase yang menjadi penguat kembalinya peristiwa kekerasan. Walker (1979) juga menemukan dinamika klien kekerasan membentuk sebuah pola tertentu yang disebut siklus kekerasan. Siklus kekerasan bermula dengan adanya fase pembentukan ketegangan, hal ini berawal dari konflik kecil yang tidak teratasi seperti masalah komunikasi yang tidak efektif, masalah penggunaan keuangan. Konflik-konflik ini akan terakumulatif menjadi kekerasan, danbisa menjadi kekerasan fisik, verbal, sosial bahkan kekerasan seksual. Di tahap ini klien tidak tahan dengan perlakuan pasangan, memutuskan

untuk pergi dan mencari pertolongan. Pasangan kemudian mencari klien dengan tindak manipulatif seperti meminta maaf, memberi hadiah, memberi bunga dan sebagainya. Fase ini disebut dengan fase bulan madu. Meski dalam keadaan kesal dan marah, klien kembali pada pasangannya dan berharap pasangannya mau berubah dan kehidupannya menjadi lebih baik. Sayangnya tidak, klien sudah terjebak dalam lingkaran kekerasan. Fase bulan madu kembali lagi ke fase pembentuk ketegangan. Begitu seterusnya.

Siklus itu Harus dihentikan Apakah perceraian menjadi sebuah solusi penyelesaian masalah? Jika memang siklus kekerasan itu harus diputuskan dengan cara menghilangkan keberadaan pasangan yang dianggap sebagai dalang penderitaan, mungkinkan kekerasan akan berakhir? Pasangan yang sadar ketika menikah tidak akan merencanakan perceraian. Seorang perempuan sehat akal pastilah tidak berencana memasuki hubungan abusif selama masa pernikahannya. Berikut salah satu contoh kasus kekerasan yang pernah ditangani oleh Rifka Annisa. Awalnya perempuan korban kekerasan datang ke Rifka Annisa dan membawa anak yang masih berusia 2 tahun. Perempuan korban tersebut menceritakan masalah rumah tangga yang dihadapi, termasuk segala kekalutan dan amarahnya. Dalam proses konseling, klien bercerita bahwa ia telah mengalami kekerasan dari pasanga dalam dua kali pernikahannya. Sebelumnya klien telah mendapat pendampingan dari konselor yang berbeda ketika mengalami kekerasan dari pernikahan yang pertama. Selama terapi pemulihan dari kasus pertama, klien telah mendapat pembekalan untuk berdaya dan keluar dari masalahnya. Akan tetapi beberapa tahun kemudian, ia datang kembali ke Rifka Annisa dengan persoalan yang sama.

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016

| 13


Laporan Utama Berdasarkan pengalaman pendampingan Rifka Annisa, kasus seperti ini telah terjadi beberapa kali. Ketika klien yang sudah mendapatkan bantuan terapeutik dan bantuan kongrit lainnya, konselor beranggapan bahwa sesi konseling sudah berhasil, klien sudah mampu berdaya. Akan tetapi dalam waktu beberapa tahun kemudian, klien datang lagi dengan masalah yang sama, tingkat keparahan yang berbeda dan pelaku yang berbeda. Dutton & Painter (1981) menemukan fenomena kembalinya klien kekerasan ke hubungan kekerasan lagi dengan perasaan yang lebih kuat dibanding sebelumnya, fenomena ini disebut dengan traumatic bonding. Traumatic bonding terjadi ketika klien meninggalkan hubungan kekerasan dengan pemikiran yang mantap, lalu dalam tempo waktu tertentu kembali lagi pada hubungan itu baik dengan pelaku yang sama maupun berbeda. Christman (2009) melakukan penelitian apakah perempuan klien kekerasan kembali pada pasangannya karena sudah memaafkan perlakuan pasangannya? Dari hasil penelitiannya, klien belum bisa memaafkan

perlakuan pasangannya, diduga ikatan trauma membuatnya kembali lagi pada pasangannya. Ikatan trauma (traumatic bonding) terjadi pada hubungan yang didominasi oleh satu pihak dan terjadinya kekerasan yang berulang kali. Ketimpangan kekuasaan disebabkan oleh sistem patriarki yang menomorsatukan laki-laki. Pandangan feminisme menyebutkan secara sosial laki-laki menganggap perempuan adalah mahluk inferior (Santrock, 2002). Pandangan sebagai mahluk inferior pada perempuan menyebabkan penilaian diri yang buruk, sehingga menyebabkan harga diri yang rendah. Karena penghargaan diri yang rendah, perempuan klien akan mencari tempat untuk bergantung. Kekerasan yang berulang akan menyebabkan ketidakberdayaan pada klien. Klien menjadi beranggapan kekerasan yang dialaminya adalah hal yang biasa, lalu lama kelamaan membentuk ketidakberdayaan. Klien mengingat kebaikan kecil yang dilakukan pasangan di masa lalu. mencari kebaikan kecil untuk menutupi kemarahan, kebencian dan kesedihan yang dialaminya. Emosi negatif klien berusaha

Skema traumatic Bonding menurut Dutton & Painter (1993) dikutip dari Arini (2015)

14 |

dipendam dengan cara membentuk harapan mengenai pasangan ke depan. Harapan bahwa suatu hari suami akan menyadari kebaikan dan kesetian yang telah dilakukannya bahwa suatu hari suami akan berubah. Sayangnya harapan tanpa dilakukan suatu perubahan perilaku dalam rangka memperbaiki interaksi, kemungkinan kecil untuk terealisasikan.

Learned of helplessness Bagi orang awam, tidak adanya kemauan untuk meninggalkan hubungan abusif dan destruktif, mungkin tampak konyol bahkan terlihat bodoh, banyak juga orang awam yang beranggapan para klien menikmati penyiksaan yang dialami dan mungkin juga mengalami gangguan masokistik (Oltmans & Emery, 2013). Banyak orang merasa heran apa yang menyebabkan seorang perempuan korban kekerasan yang menjadi begitu tergantung pada pasangannya, apakah perasaan cinta yang mendominasi perempuan sehingga mengalahkan akal sehat? Ataukah bisa jadi karena kebodohan si perempuan sendiri yang membuatnya tidak bisa menyelamatkan diri sendiri? Jika memahami lebih mendalam apa yang menyebabkan kondisi perempuan beranggapan meninggalkan hubungan abusif meski tahu merusak kehidupan meraka merupakan suatu hal yang mustahil. Ada semacam perangkap tak kasat mata membuat mereka terjebak dalam hubungan tersebut. Perangkap karena dinamika psikologis bertahun-tahun membentuk traumatic bonding. Selain itu juga ada perangkap secara finansial, karena tidak memiliki kemandirian secara ekonomi. Belum lagi urusan dengan anak-anak, perempuan terlebih dahulu memikirkan kondisi psikologis anak mereka yang tidak tahu apa-apa, lalu menerima keadaan bahwa hubungan ayah dan ibunya tidak harmonis. Ada beberapa pertanyaan yang seringkali muncul ketika mendampingi kasus-kasus

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Laporan Utama kekerasan terhadap perempuan. Apa yang membuat perempuan korban mengalami kekerasan dalam rumah tangga bertahun-tahun selama pernikahannya, dan ketika dia membicarakan mengenai pernikahannya mendadak dia menjadi gagap? Selain itu apa yang membuat perempuan korban yang lainnya kembali lagi ke hubunngan destruktif dan mengalami ketidakberdayaan untuk meninggalkan hubungan abusif atau setidaknya memperbaiki hubungan tersebut? Fenomena ketidakmampuan atau ketidakmauan perempuan teraniyaya untuk bangkit atau memberdayakan diri disebut dengan learned of helplessness. Seligman & Mayer (1974) memperkenalkan istilah learned of helplessness setelah mengamati perilaku hewan dan manusia yang seakan menyerah dengan keadaan atau tantangan hidupnya. Learn of helplessness terjadi ketika individu merasa tidak mampu untuk mengontrol atas hasil dari perilakunya Menurut Peterson & Seligman (1984) bagaimana individu menginterpretasikan suatu kejadian akan mendorong terbentuknya ketidakberdayaan. Individu yang melihat suatu kejadian negatif secara permanen, misal kondisi ini akan terjadi untuk selama-lamanya, semua­ nya tidak akan bisa berubah, ini memang karena kebodohanku atau semuanya itu karena dia. Pemikiran negatif ini mengakibatkan individu secara otomatis beranggapan keadaan atau peristiwa ini tidak bisa diubah. Dapat disimpulkan bahwa ketidakberdayaan seseorang merupakan suatu hal yang dipelajari dalam jangka waktu lama. Klien pernah berusaha mengatasi permasalahannya namun upaya penyelesaian masalahnya tidak efektif, sehingga klien beranggapan bahwa upayanya adalah hal sia-sia dan dia telah gagal. Suatu kegagalan dianggap merupakan keseluruhan yang tidak dapat diubah merupakan sebuah pemikiran yang irasional. Pemikiran

yang irasional akan mendasari perasaan dan perilaku individu. Oleh karena itu diperlukan adanya rekontruksi kognitif. Rekontruksi kognitif (King,2010) merupakan sebuah konsep umum untuk mengubah pola pemikiran yang dianggap menjadi ‘masalah’ menyebabkan perilaku dan emosi menjadi negatif. Bagaimana membentuk rekontruksi kognitif dalam rangka menghancurkan pemikiran yang menjadi masalah klien, lalu membangun pemikiran baru yang menjadi fondasi kuat klien? proses rekontruksi kognitif dapat dibentuk dari proses konseling, membuat klien berpikir kembali apa yang menjadi permasalahan utama. klien harus belajar apa yang menjadi masalah dan bagaimana cara bangkit dengan kemampuan diri? Hal yang sangat sering ditemukan dari perempuan yang teraniyaya menjadi dependen terhadap konselor atau orang sekitarnya. Mereka seakan tidak bisa berdiri sendiri jika tanpa bantuan, dan tidak mampu memutuskan permasalahannya sendiri secara mandiri. Ketidakberdayaan merupakan suatu hal yang dipelajari, bukan terjadi karena seketika. Perempuan klien kekerasan memang harus berdaya, namun memberikan bantuan kongkrit seperti mengurusi perceraian, membiayayai bantuan untuk mengugat, membantu untuk mendapatkan hak nafkah dan hak asuh, memberikan bantuan finansial dalam rangka berwirausaha belum lah cukup. Diharapkan ada skema kognitif yang berubah pada perempuan klien untuk bangkit kembali dari permasalahan yang dihadapi. Suatu konseling dianggap berhasil jika klien mampu menerima masa lalu dan permasalahan yang dihadapinya sebagai bagian dari hidupnya, belajar dari kesalahan, melihat sisi permasalahan dengan perspektif berbeda untuk bangkit kembali. Keluar dari hubungan destruktif melalui perceraian

belum tentu menjadi solusi yang baik, jika tidak diimbangi dengan perubahan rekontruksi pemikiran yang mandiri. Jika melihat dari perspetif teori sistem, individu dipengaruhi oleh lingkungan kecil dan lingkungan besar. Keluarga, sekolah, lingkungan individu tinggal, budaya setempat, agama dan sistem perpolitikan Negara tersebut mempengaruhi interaksi individu. Rekontruksi kognitif dalam sesi konseling juga belum cukup untuk membangun keberdayaan pada individu. Apalagi rekontruksi yang dibentuk dari 1-2 kali sesi konseling, diharapkan ada kesadaran klien untuk mendata­ ngi sesi konseling secara teratur dalam jangka waktu tertentu. Dalam setiap sesi konseling, klien juga mendapatkan PR yang harus dikerjakan. Namun rekontruksi kognitif akan menjadi optimal jika ditambah oleh dukungan sosial dari orang terdekat. Banyak penelitian melaporkan bagaimana dukungan sosial mampu membangun daya lenting individu untuk berjuang dan bangkit lagi dari keterpurukan setelah mengalami depresi ataupun peristiwa penyebab stress. Dukungan emosional ini bisa didapat dari orangtua, anak, saudara, teman, rekan kerja bahkan komunitas akan memperkuat keberdayaan pada perempuan. Sebuah sesi konseling dianggap berhasil jika klien tidak merasa dirinya sebagai korban dan menghilangkan perasaan inferior serta perasaan tidak mampu. Memiliki kemandirian terhadap diri sendiri sehingga mampu membuat keputusan dan mengatasi setiap permasalahan dengan cara yang produktif. Diharapkan perempuan korban kekerasan mengubah status mereka tidak lagi menjadi korban, mereka mampu memberdayakan diri sendiri tanpa harus memiliki ketergantungan psikologis. Hal yang baik lagi jika perempuan korban kekerasan yang berdaya ini mampu membentuk sebuah komunitas dan menjadi inspirator. Diharapkan pengalaman dan

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016

| 15


Laporan Utama pembelajaran mereka mampu membantu perempuan korban kekerasan lainnya yang masih terjebak dari hubungan abusif.

Daftar Pustaka Arini, D.P. (2015). Bertahan dalam Kekerasan: Traumatic Bonding pada Remaja Putri yang Mengalami Kekerasan. Skripsi. Tidak dipublikasikan Christman, A. J. (2009). Expanding the Theory of Traumatic Bonding as it Relates to Forgiveness, Romantic Attachment, and Intention to Return. Master Theses: University of Tennese, Knoxville Dutton, D.G. (2001). The Domestic Assault of Women: Psychological and Dutton, D.G., &Painter, S. (1981). Traumatic Bonding: The development of emotional attachments in battered women and other relationships of intermitten abuse. Victimology: An International journal, vol 1 (4), 89-155 Dutton, D.G., & Painter, S . (1993). Emotional Attachments in Abusive Relationships: A test of Traumatic Bonding Theory. Victimology: An International Journal, vol 8 (2), 105-120 Feist & Feist (2011). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika Gray, J. (2005). Mens from Mars, Women from Venus. Jakarta: Gramedia Pustaka King, L. (2010). Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif. Marwensdy,B. (penerjemah).Jakarta:Salemba Humanika Peterson, C., &Seligman, M.E.P. (1984). Causal Explanations as a risk factor for depression: Theory and evidence Psychological Review, 91, 347-374 Seligman, M. & Mari, S. (1967). Failure to escape trau

16 |

matic shock. Failure to escape traumatic shock. Journal of Experimental Psychology, 74.1-9 Oltman, T.F.& Emery, R.E. (2013). Psikologi Abnormal edisi kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Komalasari, G. dkk. (2011). Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT Indeks Walker, L. (1979). The Battered Woman. Newyork: Harper & Row Wilding, C. (2008). Cognitive Behaviour Therapy. US: The McGraw-Hill Companies

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Laporan Utama

PENDEKATAN PSIKOTERAPIS PADA PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN Rina Eko Widarsih, S.Psi | Asosiate Rifka Annisa WCC | rinawidarsih@gmail.com

K

ekerasan terhadap perempuan membawa dampak yang cukup panjang bagi keberlanjutan hidup korban. Dampak tersebut menyerang seluruh aspek dan sendi kehidupan mereka. Luka atau sakit secara fisik yang sembuh setelah mendapatkan intervensi medis, tidak serta merta mampu memulihkan trauma psikologis korban. Paparan dampak juga dialami anak ketika menyaksikan terjadinya kekerasan, mendapatkan pengasuhan yang kurang sehat, atau anak sebagai korban kekerasan. Pada beberapa kasus yang telah didampingi oleh Rifka Annisa menemukan bahwa penyimpangan perilaku pada pelaku kekerasan terhadap perempuan merupakan hasil dari proses modeling anak terhadap perilaku orang tuanya yang melakukan kekerasan. Oleh karena itu, menjadi dapat dipahami bagaimana kekerasan dapat terjadi pada beberapa generasi dalam sebuah keluarga.

Kekerasan selalu Disertai Dampak Penyelesaian kasus KDRT secara umum meliputi tiga aspek yaitu aspek kesehatan fisik yang berkaitan dengan medis, aspek keadilan yang berkaitan dengan penegakan hukum, dan aspek psikososial yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan akan rasa aman secara psikologis serta kemandirian ekonomi. Dalam aspek kesehatan, sebagian besar petugas medis memang telah memberikan layanan yang mudah diakses oleh korban, akan tetapi dalam proses hukum masih terdapat beberapa kendala. Penegakan hukum memang memiliki langkah yang jelas dan hasil yang mudah diukur, akan tetapi dalam beberapa kasus masih menyisakan beberapa persoalan. Pengalaman Rifka Annisa dalam pendampingan kasus menemukan bahwa tidak sedikit perempuan korban yang justru malah dikriminalisasikan oleh pelaku ketika mencoba untuk melaporkan kasus KDRT yang dialami. Kriminalisasi korban

dalam hal ini adalah tindakan pelaku untuk melaporkan balik korban atas beberapa kasus, seperti pencurian, penggelapan uang, penganiayaan, dan lain sebagainya. Rendahnya rasa keberpihakan aparat penegak hukum pada korban, membuat situasi korban menjadi semakin sulit dalam proses hukum kasus kekerasan yang dialami. Sehingga, situasi ini menambah trauma psikologis korban atas pengalaman tidak menyenangkan yang didapatkan. Selanjutnya, bagaimana dengan penanganan psikososial? Tantangan penanganan psikososial adalah tidak adanya faktor tunggal yang mempengaruhi perilaku seseorang. Saling keterkaitan antara faktor-faktor yang berpengaruh kadang membuat permasalahan menjadi semakin kompleks. Ruang lingkup penanganan psikososial yang luas juga berkontribusi pada kesulitan pencapaian tujuan. Pemulihan kondisi psikologis korban se— hingga ia dapat berfungsi optimal secara sosial bukanlah tugas yang

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016 2016

| 17


Laporan Utama dapat dengan pasti diperkirakan jangka waktu penyelesaiannya. Belum lagi melihat kenyataan bahwa korban KDRT telah memiliki dampak dari kekerasan yang dialami sebelum menikah, sehingga proses pemulihan menjadi berlapis. Permasalahan ekonomi juga tidak dapat dilepaskan dari proses pemulihan. Karena relatif banyak aspek yang butuh diperhatikan, maka penanganan psikososial membutuhkan pendekatan yang fleksibel, tepat, dan efektif.

Terapi Pemulihan pada Perempuan dan Anak korban Kekerasan Upaya pemulihan terhadap korban bertujuan mengembali­ kan dan atau mengoptimalkan keberfungsian sosial. Seseorang dikatakan memiliki keberfungsi­ an sosial ditandai dengan kemam­puannya untuk menguasai diri sendiri, berinteraksi dengan orang lain secara sehat, serta mampu menjalankan fungsi dan perannya secara sosial. Keberfungsian sosial menunjukkan keseimbangan pertukaran, kesesuaian, kecocokan, dan penyesuaian timbal balik antara orang, secara individual atau secara kolektif, dan lingku­ ngan mereka. Pemulihan secara psikologis diupayakan melalui konseling dan psikoterapi. Pada lembaga layanan baik yang dilahirkan oleh lembaga pemerin­ tah maupun masyarakat sipil (seperti Women Crisis Center), konseling dan psikoterapi telah banyak dijalankan. Pendekatan dan teknik yang digunakan sa­ ngat beragam, yang dipengaruhi oleh aspek karakteristik korban, situasi lingkungan budaya dimana korban tinggal, kapasitas konselor/ terapis, dan karakteristik kasus. Selain itu, telah banyak pelatihan dilakukan untuk membekali para konselor/terapis di dalam membantu korban. Dalam prakteknya, aplikasi teknik dan pendekatan menyesuaikan dengan kasus yang dihadapi. Berikut adalah beberapa pendekatan konseling dan psikoterapi yang

18 |

seringkali diaplikasikan para konselor Rifka Annisa dalam melakukan pendampingan pada perempuan dan anak korban kekerasan. Pertama, Pendekatan Psikodinamika. Pendekatan ini didasarkan dari konsep-konsep psikoanalisa dimana Freud merupa­kan tokoh yang menghadir­kan teori psikoanalisa. Menurut pandangan psikoanalisa, struktur kepribadian terdiri atas id, ego, dan superego. Id adalah sistem kepribadian asli ketika orang dilahirkan yang berisi naluri­-naluri. Id bersifat tak sadar. Id senantiasa didorong untuk memuaskan kebutuhan naluriah sesuai dengan asas kesenangan. Superego yaitu cabang moral dari kepribadian. Peran superego adalah memberikan kode moral individu, apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah. Oleh karena itu, superego menghambat dorongan id. Sebagai internalisasi standar-standar orang tua, masyarakat, dan agama; superego berkaitan dengan imbalan dan hukuman. Imbalan berupa perasaan bangga dan mencintai diri, sedangkan hukumannya adalah perasaan berdosa dan rendah diri. Ego adalah system kepribadian yang menjembatani antara id dan superego. Ego memiliki kontak dengan kenyataan sehingga ialah yang memegang kendali, memerintah, dan mengatur kepribadian. Karena ego memiliki kontak dengan realitas, maka ego berlaku realistis dan berpikir logis serta merumuskan rencana tindakan bagi pemuasan kebutuhan. Menurut psikoanalisa, manusia dideterminasi oleh kekuatan irasional, motivasi tak sadar, kebutuhan dan dorongan biologis naluriah, serta pengalaman psikosesksual yang terjadi selama lima tahun pertama kehidupan. Kesadaran merupakan bagian terkecil dari keseluruhan jiwa, bagian jiwa terbesar adalah ketidaksadaran. Freud percaya bahwa sebagian besar fungsi psikologis terletak di luar kawasan kesadaran. Maka sasaran terapi psikoanalisa adalah

membuat motif-motif tak sadar menjadi disadari, sebab hanya ketika menyadari motif-motifnyalah indi­vidu bisa melaksanakan pilihan. Memaknai kondisi kecemasan, pendekatan ini meyakini bahwa manusia akan menggunakan mekanisme pertahanan diri untuk mengendalikan kecemasan. Ada berbagai mekanisme pertahanan ego ketika menghadapi kecemasan yaitu penyangkalan, proyeksi, fiksasi, regresi, rasionalisasi, sublimasi, displacement, represi, dan reaksi formasi. Pada konteks kasus kekerasan dalam rumah tangga, korban biasanya mengalami ketegangan berkepanjangan karena hidup bersama dengan pelaku kekerasan. Jika pertahanan ego yang digunakan adalah represi atau mendorong kenyataan yang tidak bisa diterima kepada area ketidaksadaran, maka akan menimbulkan permasalahan berikutnya baik yang berdampak pada korban secara individu maupun terhadap orang-orang di sekitarnya. Represi menjadi basis banyak pertahanan ego lainnya dan bagi gangguan neurotic. Pada dasarnya, tujuan terapi psikodinamik tersebut adalah untuk membentuk kembali struktur karakter individual dengan jalan membuat kesadaran yang tak disadari di dalam diri klien. Proses terapi berfokus pada upaya mengalami kembali pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak. Pengalaman tersebut kemudian direkonstruksi, dibahas, dianalisis, dan ditafsirkan dengan sasaran merekonstruksi kepribadian. Kedua, Pendekatan Perilaku-Kognitif. Pendekatan perilaku meyakini bahwa perilaku manusia terjadi karena proses belajar. Terapi yang mendasarkan pada pendekatan perilaku bertujuan untuk membentuk perilaku melalui proses belajar dan pembiasaan. Maka teknik terapi perilaku biasanya melibatkan pemberian tugas atau disebut juga Pekerjaan Rumah yang dilakukan klien agar terwujud perilaku baru yang lebih adaptif.

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Laporan Utama Pendekatan kognitif tersebut percaya bahwa perilaku terjadi karena proses kognitif seseorang sehingga ia akan berperilaku tertentu. Penyimpulan yang tidak tepat, pemikiran seketika tentang keadaan dan bahwa kita membuat banyak kesim­ pulan yang tidak benar mengenai situasi akan menciptakan dan semakin memperparah perasaan negatif. Tujuan terapi kognitif adalah membantu klien memahami bagaimana pemikiran mereka mempengaruhi perasaan dan perilaku mereka, dan bagaimana pola keyakinan seumur hidup tertentu bisa diubah secara metodis. Dalam perkembangannya, gabungan terapi perilaku dan terapi kognitif diakui efektif untuk membantu klien. Pendekatan ini perilaku-kognitif berusaha mengkaji dan menangani gejala­ -gejala yang teridentifikasi dan berfokus pada perilaku yang bisa dibuktikan secara umum di sini dan saat ini, efisien, menggunakan tugas berbasis rumah dan in-session. Pada penanganan korban KDRT, terapi yang didasarkan pendekatan ini diarahkan untuk merubah pemikiran korban terha­dap dirinya. Dampak KDRT bagi korban misalnya menimbulkan perasaan rendah diri, merasa tidak berharga, atau merasa tidak dapat keluar dari situasi kekerasan yang seakan-akan membenamkannya. Upaya merubah pemikiran dibarengi dengan tugas aktivitas yang sebaiknya dilakukan klien. Melalui pengerjaan tugas-tugas rumah, klien diharapkan dapat memiliki pemahaman baru sehingga pemikiran lamanya terkoreksi. Terapi perilaku-kognitif tidak memberikan blue print tentang aman sebaiknya yang lebih dulu dilakukan apakah terapi perilaku atau terapi kognitif. Ketiga, Pendekatan Eksistensial-Humanistik. Dalam hal ini, penekanan pendekatan humanistik lebih pada masa sekarang dan masa depan daripada masa lalu. Ciri lain pendekatan

ini adalah lebih menekankan pada perasaan meyakini dan ekspresinya daripada pemikiran rasional yang terbatas dan ilmu pengetahuan tradisional, lebih pada melihat penuh harapan pada potensi holistic daripada psikopatologi dan gejala-gejala perubahan perilaku. Konsep utama pendekatan eksistensial-humanistic yaitu bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menyadari dirinya sendiri, mampu berpikir dan memutuskan. Maka manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya. Kecemasan terjadi jika ia menyadari keterbatasannya dan kemungkinan untuk mati. Tujuan utama terapi eksistensial adalah agar klien meng­ alami keberadaannya secara otentik. Tiga karakteristik dari keberadaan otentik yaitu (1) menyadari sepenuhnya keadaan sekarang, (2) memilih bagaimana hidup pada saat sekarang, (3) memikul tanggung jawab untuk memilih. Prinsipnya adalah me­ luaskan kesadaran diri klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yaitu menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya. Korban KDRT yang sudah mengalami pembatasan gerak dan sangat dikendalikan pasangan­nya, sebagian dari mereka secara tidak sepenuhnya disadari menjadi sangat bergantung pada suami di dalam pengambilan keputusan, bahkan untuk keputusan-keputusan kecil. Terapi eksistensial dapat membantu korban menyadari (kembali) potensi-potensi, kebebasan yang tetap ia miliki, serta kemampuannya untuk mengambil keputusan secara bertanggung jawab. Keempat, Konseling Berbasis Solusi. Disebut juga terapi berfokus solusi, pendekatan ini mencari cara-cara mengatasi masalah yang efektif. Klien akan diminta memvisualisasikan diri mereka sedang membuat solusi, lalu imajinasi klien akan didaftar untuk selanjutnya didiskusikan sebagai bagian dari rencana

solusi yang akan dijalankan. Asumsi pendekatan ini bahwa klien adalah seseorang yang memiliki potensi, kapasitas dan keahlian untuk menyelesaikan masalahnya. Peran terapis sebagai fasilitator untuk membantu klien menyadari kemampuannya. Oleh karena itu terapis akan mengidentifikasi pengalaman keberhasilan klien di masa lalu atau mengidentifikasi pola-pola yang telah sukses dilakukan klien untuk selanjutnya dapat diperguna­kan mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Pada kasus KDRT, ketika korban didampingi menggunakan pendekatan ini, mereka akan menyebutkan rencana-rencana tindakan yang akan dilakukan. Teknik berfokus solusi akan fokus pada membincang bagaimana solusi dijalankan, bukan pada menguak perasaan terhadap peristiwa masa lalu. Kelima, Konseling Feminism. Konseling ini berangkat dari pemikiran ideologi feminism. Ideologi feminism percaya bahwa manusia akan berfungsi seutuhnya jika selama menjalani kehidupannya sesuai dengan filosofi rahim. Rahim memiliki karakteristik kokoh, fleksibel, memberikan perlindungan, memberi kesempatan tumbuh optimal, menjadi wadah untuk bertumbuh, memberi asupan sebagai sumber kehidupan, merawat, dan melahirkan bukan merasa memiliki. Sebagaimana karakteristik rahim, teknik konseling feminism menggunakannya dalam prinsip konseling. Ideologi feminism yang lahir sejak terjadinya revolusi industry di negara-negara Eropa, dimana perempuan dinilai diposisikan tidak setara dengan laki-laki, maka munculah kasus-kasus ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan yang mengalami ketidakadilan dari laki-laki baik sebagai individu maupun sekelompok orang dengan ideology patrarki, membutuhkan tempat yang nyaman dan aman. Karakteristik perempuan sebagai korban yang meminta pertolongan itulah yang

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016

| 19


Laporan Utama kemudian melahirkan pendekatan dan teknik yang khas pada konseling feminism. Pendekatan feminism banyak dipengaruhi oleh pendekatan humanistik yang berprinsip penerimaan tanpa syarat agar manusia bertumbuh optimal. Pendekatan feminism berasumsi bahwa manusia memiliki potensi dan kehendaknya sendiri, cukup diterima apa adanya. Teknik penting dalam terapi feminism adalah yang disebut mothering berarti terapis menyedia­kan diri secara penuh dan utuh menerima keluh-kesah klien yang datang. Teknik ini mendasarkan pada sifat seorang ibu yang menyediakan diri sebagai tempat bersandar sehingga siapapun yang datang akan merasa terlindungi. Teknik ini biasa­ nya dilakukan pada sesi awal pertemuan dengan klien. Terapis tidak dianjurkan membatasi waktu konseling per sesinya maupun jumlah pertemuannya karena basisnya pada kebutuhan klien. Tahap mothering yang berjalan baik akan melahirkan kondisi psikologis klien yang lebih baik dari sebelumnya. Mothering yang terlewati dengan ‘sukses’, menjadikan klien siap berpikir jernih untuk penyelesaian kasusnya. Teknik yang digunakan mengacu pada sifat-sifat rahim seperti yang sudah tertera di atas. Karena terapis percaya bahwa setiap manusia berdaya, maka terapis cukup menanyakan apa rencana klien selanjutnya untuk penyelesaian masalahnya. Peran terapis memfasilitasi klien mencurahkan isi hati, mengenali dan menemukan solusi atas permasalahannya secara mandiri, dan menyadari dan bertanggung jawab atas keputusan yang telah diambil.

Ilustrasi Kasus dalam upaya Terapi Pemulihan Korban Pada ranah implementasi di level praktis, ketika menghadapi korban KDRT seringkali konselor/ terapis menggunakan berbagai pendekatan dan teknik. Ibarat senjata, pendekatan dan

20 |

teknik terapi digunakan sesuai dengan siapa konselor/terapisnya dan siapa kliennya. Pada sebuah kasus sangat mungkin menggunakan lebih dari satu pendekatan karena ada beberapa masalah yang dinilai tepat jika menggunakan pendekatan yang berbeda. Sebagai contoh berikut ada ilustrasi kasus. Dewi sudah hampir lima tahun menikah, dikaruniai seorang putra (3 tahun). Suami Dewi (Dewa) adalah seorang pegawai yang setiap bulan menerima gaji secara rutin. Dewa mengenal Dewi melalui sebuah perjodohan melalui temanteman Dewi. Lima bulan berkenalan, Dewa melamar Dewi, dan dua bulan kemudian mereka menikah. Dewi kaget ketika menjalani hari-hari berumah tangga dengan Dewa karena rupanya Dewa adalah pribadi yang mudah marah. Ketika marah, Dewa akan membanting benda-benda yang berada di dekatnya ke arah Dewi. Selain membanting benda, Dewa akan mengucapkan kata-kata kasar berupa makian yang dirasakan Dewi sangat menghancurkan hati. Selama ini reaksi yang ditunjukkan Dewi hanya diam terhadap apapun yang diucapkan dan dilakukan Dewa. Sebelas bulan setelah pernikahan anak mereka lahir. Akibat perlakuan Dewa kepada Dewi, Dewi menjadi sering melakukan kekerasan verbal kepada anaknya. Selain itu, perasaan marah dan kecewa pada Dewa membuatnya malas merawat dan menjaga kebersihan rumah. Kadang Dewi termenung memikirkan jalan hidupnya. Dewa yang dulu diharapkannya menjadi pasangan untuk membangun keluarga sehat lahir dan batin, rupanya tidak berbeda dengan ayahnya. Dewi masih belum bisa memaafkan ayahnya hingga saat ini. Ayahnya telah menyakiti ibu Dewi. Dewi tidak terima, namun tidak bisa berbuat banyak karena ibu memilih tetap bertahan dengan bersabar menerima perlakuan ayah Dewi. Dewi sejauh

ini masih menyimpan cerita rumah tangganya untuk dirinya sendiri karena baginya merupakan aib. Berdasarkan ilustrasi kasus di atas, pendekatan terapi seperti apa yang sesuai untuk membantu Dewi? Konselor/tera­ pis dapat menggunakan satu pendekatan atau beberapa pendekatan. Pertama identifikasi masalah apa saja yang dihadapi Dewi. Konseling menggunakan pendekatan humanistic atau feminism dapat dipilih untuk sesi awal pendampingan karena Dewi butuh meluapkan segala isi hati yang selama 5 tahun ini disimpannya sendirian. Pendekatan kognitif-perilaku dapat dilakukan untuk merubah pemikiran Dewi agar ia mulai berani mengambil tindakan ketika Dewa marah dan melakukan kekerasan. Pendekatan tersebut juga dapat diterapkan untuk merubah perilaku Dewi kepada anak. Pendekatan fokus solusi dapat digunakan untuk memfasilitasi Dewi merancang masa depan atau menit setelah meninggalkan ruang konseling. Solusi yang di­ buat dapat berupa solusi jangka pendek terlebih dahulu, seperti apa yang bisa dilakukan Dewi ketika ia menyadari sedang marah padahal sedang bersama anak. Konseling fokus solusi juga dapat digunakan untuk membantu Dewi merencanakan langkah startegis untuk menghentikan perilaku Dewa, misalnya langkah hukum. Kemudian untuk menyelesaikan perasaan negatifnya terhadap ayah, pendekatan psikodinamik dapat digunakan. Dewi diharap­kan dapat membawa pengalaman-­pengalaman yang telah direpres ke level ketidaksadaran kepada level kesadaran, sehingga memudahkan Dewi menyadari rasa sakit lalu menerimanya. Bagaimanapun miripnya kasus kekerasan, pendekatan dan teknik terapi sangat unik dan bersifat individualistic, artinya satu kasus yang sangat serupa pada dua orang korban

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Laporan Utama (yang berbeda) akan membutuhkan terapi yang berbeda pula karena karakteristik korban serta segenap support systemnya tentunya berbeda. Program pemberdayaan untuk korban KDRT pun dirancang secara personal karena setiap kasus membutuhkan penanganan dan pendekatan berbeda (Islam, 2009). Konseling dan terapi yang telah dipaparkan di atas, bagi sebagian orang yang masih awam tentang teknik implementasinya, dapat mencoba upaya per­ tolongan pertama kepada korban pada saat krisis. Ketika mengetahui ada teman atau kerabat kita menjadi korban KDRT, hal-hal berikut dapat dilakukan: 1. Amati adakah luka fisik yang dialami korban. Jika ada, segera beri pertolongan pertama untuk lukanya. Jika cidera fisik yang dialami membutuhkan pertolongan lanjutan, segera bawa korban ke layanan medis terdekat. Puskesmas atau rumah sakit terdekat dengan keberadaan korban akan dapat mencegah keparahan luka/cidera. 2. Pastikan korban terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar yaitu makan, pakaian, dan tempat tinggal. Jika korban ‘terusir’ dari rumahnya dan belum ada keluarga yang bersedia menampung, maka upayakan mencari tempat tinggal sementara untuk korban. WCC di setiap propinsi atau Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) milik pemerintah biasanya memiliki rumah aman atau biasa disebut shelter yang bisa menampung korban untuk beberapa hari. 3. Bersedialah menjadi tempat bagi korban untuk mencurahkan isi hati. Biasanya korban akan dengan suka rela menceritakan ‘kisah’nya ketika ia merasa nyaman baik dengan siapa

4.

5.

6.

dia berhubungan juga terkait tempat dan kondisi dia berada. Penting diketahui untuk menghindari bertanya terus-menerus tentang apa yang korban alami pada saat Anda bertemu dengannya terutama pada saat dia terluka atau pada saat secara psikologis masih terguncang. Yang utama adalah membuatnya merasa nyaman, maka ia akan secara suka rela bercerita. Korban kadang mengulang-ulang cerita yang sama, yang mungkin membuat Anda bosan mendengarnya. Hal ini mengindikasikan pengalaman tersebut sangat berkesan (bisa secara positif maupun negative) dan masih ada kebutuhan untuk bercerita. Tanyakan apa harapan atau keinginannya. Anda dapat membantu korban mengidentifikasi tujuan/ harapan korban yang sesungguhnya. Seringkali karena pikiran masih kalut, korban menyampaikan harapan secara impulsive. Keputusan impulsive dapat dihindari jika korban memiliki kesempatan berdiskusi dengan seseorang yang dapat memberinya gambaran konsekuensi-konsekuensi yang akan dialami ketika suatu keputusan diambil. Dampingi korban mengakses layanan pendampingan untuk perempuan korban kekerasan yang berada di wilayah setempat. Jadilah pendamping bagi dia sebagai bagian dari system dukungan bagi korban. Pada sebagian besar korban KDRT, mereka tidak memiliki anggota keluarga atau orang dekat untuk menguatkan mereka, memberi dukungan, dan menjadi bagian dari system dukungan yang sangat dibutuhkan korban. Jika Anda bersedia menjadi bagian dari sistem dukungan

tersebut, Anda adalah bagian dari agen perubahan. Penanganan untuk korban KDRT agar mencapai kondisi pulih dan berdaya membutuhkan kerja sama multi pihak. Dalam konteks multi lapis ekologi, dukungan sebaiknya ada mulai dari lingkup paling kecil (yaitu keluarga inti), lingkungan sekitar dimana korban tinggal, masyarakat yang lebih luas, hingga di level negara melalui system perlindungan dan kebijakan yang dapat mencegah kekerasan secara strategis.

DAFTAR PUSTAKA Corey, Gerald. 2005. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama. Islam, Nadia. 2009. Exploring The Development of Psychological Empowerment Among Survivors of Intimate Partner Violence: Does The Personal Empowerment Program© Live Up to Its Name? ProQuest LLC. Desertation. Faculty of The Graduate School University of California. Palmer, Stephen. 2010. Introduction to Counseling and Psychoteraphy: The Essential Guide. Sage Publication.

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016

| 21


Laporan Utama

TERAPI PEMULIHAN PSIKOLOGIS PADA ANAK KORBAN KEKERASAN Khoirun Ni’mah|Staf Research and Training Center Rifka Annisa | anik@rifka-annisa.org

A

nak merupakan bagian penting bagi kelangsungan hidup suatu bangsa karena memiliki kedudukan esensial dan potensial sebagai generasi penerus. Anak juga merupakan sumberdaya bagi kemajuan bang­sa kedepan, sehingga kua­ litasnya perlu dipersiapkan sejak dini. Sebagai bagian dari struktur ke­luarga, anak membutuhkan perhatian orang dewasa. Dalam hal ini, keluarga memiliki peran penting dalam melindungi dan menjaga agar kebutuhan dasar dan hak-hak anak dapat terpenuhi. Keluarga merupakan sosok terdekat dengan anak yang dapat secara efektif berinteraksi dan memahami kondisi anak. Oleh sebab itu kesadaran keluarga untuk memastikan tumbuh kembang anak sesuai dengan kepenti­ngan terbaik bagi anak sangat dibutuhkan. Intensitas interaksi antara keluarga dan anak merupakan hal penting yang menjadi pembekalan dasar, supaya tumbuhkembang anak menjadi optimal. Albert Bandura melalui teori belajar sosial-nya menemukan bahwa anak meniru secara persis perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya (Salkind, 2004). Teori ini menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar anak sangat berpengaruh pada pola belajar sosial seorang anak. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan atau imitation dan penyajian contoh perilaku atau modelling. Dalam interaksinya dengan keluarga,

22 |

anak belajar dan mengamati dari apa yang dia lihat dalam kehidupan sehari-harinya. Keluarga yang berhasil membangun interaksi harmonis tanpa adanya kekerasan, membuat anak belajar untuk membangun relasi positif dengan siapapun. Hal ini terjadi karena anak terbiasa dengan perilaku-perilaku positif yang diajarkan oleh orangtua maupun keluarga yang lain. Namun dengan segala situasi dan kondisinya anak men­ jadi kelompok rentan yang tidak dapat terhindar dari berbagai tantangan peradaban yang se­ makin kompleks. Berbagai tatangan kehidupan yang ada saat ini, menempatkan mereka sebagai kelompok rentan yang justru mengalami anomali per­ kem­bangan zaman, sehingga berdampak pada perilaku beresiko dan kekerasan.

Tren Kasus Kekerasan Pada Anak Kasus kekerasan pada Anak di Indonesia sampai saat ini masih seringkali terjadi. Bahkan jumlahnya cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Media massa maupun media online setiap saat berlomba-lomba menyajikan berita-berita terkait kasus kekerasan pada anak. Anak-anak dipukul, ditampar, ditendang, sampai yang paling ekstrim di perkosa atau di bunuh menjadi sajian informasi setiap hari. Menurut dokumen Convention on the Rights of the Child (1989), kekerasan terhadap anak mencakup semua bentuk kekerasan fisik atau mental, cedera dan pelecehan, pengabaian atau perlakuan lalai, penganiayaan atau eksploitasi, termasuk pelecehan seksual. Kekerasan terhadap anak tak

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Laporan Utama cuma mencakup kekerasan fisik dan seksual, tetapi juga kekerasan emosional, pengabaian, dan eksploitasi. UNICEF menyatakan bahwa kasus kekerasan pada anak tersebut secara luas tersebar di Indonesia dan terbagi dalam beberapa jenis kasus. 40 persen anak berusia 13-15 tahun melaporkan pernah diserang secara fisik sedikitnya satu kali dalam setahun. 26 persen melaporkan pernah mendapat hukuman fisik dari orang tua atau pengasuh di rumah. 50 persen anak melaporkan di-bully di sekolah. 45 persen perempuan dan anak perempuan di Indonesia percaya bahwa suami/ pasangan boleh memukul istri/ pasangannya dalam situasi-situasi tertentu. Anak yang menjadi korban kekerasan fisik, seksual dan emosional tersebut kerap menderita konsekuensi jangka panjang, termasuk dampak fisik dan psikologis (https:// www.unicef.org/indonesia/id/ media_24996.html, Diakses pada 5 Juli 2016, 11.50 WIB). Selanjutnya, Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mencatat bahwa pada tahun 2010 sebanyak 2.046 kasus yang terlaporkan, 42 persen di antaranya merupakan kejahatan seksual. Tahun 2011 menjadi 2.467 kasus, 52 persennya adalah kejahatan seksual. Sementara pada 2012, ada 2.637 aduan, dan 62 persennya kekerasan seksual. Tahun 2013 meningkat menjadi 2.676 kasus, 54 persen didominasi kejahatan seksual. Selanjutnya pada tahun 2014 meningkat lagi menjadi 2.737 kasus dengan 52 persen kekerasan seksual. Data terakhir yakni tahun 2015, terjadi peningkatan pengaduan sangat tajam, yakni 2.898 kasus dan 59,30 adalah persen kekerasan seksual. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa anak-anak di Indonesia merupakan kelompok paling rentan atas kekerasan seksual, yang secara kesehatan organ reproduksi mereka masih sangat muda. Sampai dengan Juli 2015 Rifka Annisa juga mencatat

adanya 23 kasus perkosaan, 3 kasus kekerasan dalam keluarga, dan 7 kasus pelecehan seksual. Sebagian besar korbannya adalah usia anak atau di bawah 18 tahun. Selain itu, KPAI juga menemukan fakta mengejutkan bahwa 62 persen kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan terdekat yang dianggap sebagai tempat paling aman bagi anak-anak, seperti keluarga dan lingkungan sekolah. Selebihnya sekitar 38 persen kekerasan terjadi di ruang publik. Kemudian, predator atau pelaku kejahatan terhadap anak sebagian besar juga dilakukan oleh orang-orang terdekat anak, seperti guru, orang tua, kakak, keluarga terdekat, tetangga, penjaga sekolah dan lain sebagainya (https://www.liputan6. com /news/read/2396014/komnas-pa-2015-kekerasan-anak-tertinggi-selama-5-tahun-terakhir, Diakses pada 5 Juli 2016, 14.50 WIB).

Dampak dan Trauma psikologis anak korban kekerasan Anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan seringkali mengalami trauma. Kondisi mental dan kejiwaan yang belum stabil membuat mereka lebih rentan terguncang begitu menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan dan membuat mereka tertekan. Trauma yang dialami anak sebagai korban kekerasan akan berdampak pada kondisi psikologisnya, seperti: perubahan suasana hati yang cepat, perilaku impulsif, ketakutan luar biasa, lekas marah, sikap agresif, serta perasaan cemas dan depresi. Pengalaman Rifka Annisa dalam pendampingan kasus kekerasan menemukan bahwa dampak yang cukup Panjang seringkali dialami oleh perempuan maupun anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Untuk anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memang tidak selalu menunjukkan dampak

langsung. Hal ini karena pemahaman seorang anak pada peristiwa tidak menyenangkan yang di­ alami­nya tersebut berbeda-beda. Pada anak usia remaja, mereka langsung mengerti peristiwa kekerasan seksual akan merusak hidupnya sehingga reaksi mereka akan langsung terlihat. Akan tetapi untuk anak-anak dengan usia yang lebih muda, misal usia dibawah 8 tahun, mereka belum memahami terkait apa itu perkosaan atau kekerasan seksual. Anak-anak korban kekerasan seksual akan sangat ketakutan ketika melihat sosok yang mirip pelaku. Reaksi psikologis yang muncul secara langsung se­ telah anak mengalami kekeras­ an seksu­al di antaranya adalah shock, tidak percaya, menyangkal, merasa ketakutan, bingung, cemas, menarik diri, dan mengalami gangguan kesehatan pada organ reproduksinya. Dampak psikologis lainnya bagi anak-anak yang mulai memahami bahwa ia adalah korban kekerasan seksual, seringkali merasakan harga dirinya rendah atau menurun, merasa bersalah, malu, mengalami gangguan tidur, simtom-simtom gangguan stres pasca trauma, dan permasalahan seksual dan reproduksi. Kekerasan seksual juga akan sangat berdampak terhadap bagaimana korban meman­dang dunianya. Umumnya, korban akan mengalami perubahan kepercayaan mengenai keamanan, kekuatan, kepercayaan, dan intimacy (ketidak­percayaan dalam menjalin hubungan). Perilaku beresiko juga seringkali rentan dilakukan korban kekerasan seksual sebagai bentuk coping terhadap efek viktimisasi yang tidak tertahankan (Kendall-Tackett, 2005). Kekerasan seksual memang menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun pada orang dewasa. Akan tetapi, kasus kekerasan seksual pada anak seringkali tidak terungkap dibandingkan kasus kekerasan yang lain. Hal ini karena adanya

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016

| 23


Laporan Utama penyangkalan dalam diri korban maupun keluarga terkait peristiwa kekerasan seksual yang telah dialami. Secara spesifik, Faulkner menjelaskan bahwa kendala yang menghambat seseorang untuk melaporkan kasus kekerasan seksual adalah adanya kondisi di mana anak-anak korban kekerasan seksual seringkali tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban. Ada juga korban yang memahami bahwa ia adalah korban akan tetapi sulit mempercayai orang lain sehingga me­ rahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya (Zahra, 2007). Selain itu, korban cenderung takut melapor­kan karena mereka merasa terancam akan meng­ alami konsekuensi yang lebih buruk bila melapor. Pengalaman pendampingan Rifka Annisa juga menemukan bahwa seringkali korban merasa malu untuk menceritakan peristiwa kekerasan seksualnya, atau merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi karena kesalahan dirinya, sehingga peristiwa kekerasan seksual membuat korban menyalah­kan dirinya karena telah mempermalukan nama keluarga. Simtom-simtom gangguan stres pasca trauma kerap memunculkan perilaku beresiko pasca mengalami kekerasan seksual. Kondisi ini sebagai efek emosional atau rentannya psikis korban. Hasil penelitian Lipschitz dkk menunjukkan bahwa gangguan stres pasca trauma berkorelasi signifikan dengan berbagai perilaku beresiko seperti penggunaan obat-obat terlarang, alcohol, balapan liar dan lain sebagainya. Perilaku beresiko tersebut umumnya dilakukan individu sebagai bentuk coping terhadap efek viktimisasi yang tidak tertahankan dalam dirinya (Kendall-Tackett, 2005). Faulkner (Zahra, 2007) mengemukakan sejumlah data bahwa 31% narapidana perempuan di Amerika merupakan korban kekerasan seksual di masa kecil mereka, 95% pekerja seks remaja merupakan

24 |

korban kekerasan seksual anak, 40% penyerang seksual dan 76% pemerkosa berantai mengalami kekerasan seksual di masa anak-anaknya. Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa 64% dari 140 wanita yang menjadi pasien rawat jalan psikiatrik memiliki sejarah kekerasan seksual dan dari 303 wanita yang mengalami depresi, 63% mengalami kekerasan seksual dalam hidupnya (Warshaw, C. & Barnes, 2003). Dampak lain yang juga sering muncul, sebagian besar korban kekerasan seksual akan menderita stres pasca trauma (post-traumatic stress disorder atau PTSD). PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa. PTSD sering terjadi pada korban dengan pengalaman traumatis, baik kekerasan seksual maupun kekerasan lain yang berlangsung secara terus menerus. Ada beberapa gangguan yang juga diakibatkan oleh PTSD yaitu, gangguan disosiatif, gangguan akibat penggunaan alkohol dan obat terlarang, gangguan makan, dan berbagai perilaku kompulsif. Dalam hal ini, korban membutuhkan proses pemulihan dari PTSD agar kualitas hidupnya dapat meningkat dan tidak terus menerus menyesali kejadian traumatis tersebut (Kaplan, H. & Sadock, 1998). Dampak lain juga ditemukan Rifka Annisa dalam pengalaman pendampingan kasusnya. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual, mereka rentan mengalami masalah-masalah jangka Panjang. Pengalaman kekerasan seksual membuat anakanak mengalami trauma seksualitas. Trauma tersebut membuat korban sulit mempercayai orang lain, mengalami pelabelan negatif, dan kepercayaan diri yang rendah. Pengalaman kekerasan seksual juga bisa diinternalisasi oleh korban sebagai model

dalam menjalani hubungan. Di mana Individu akan melihat seks sebagai sesuatu yang menyakitkan dan menakutkan. Kondisi sebaliknya juga dapat terjadi pada korban akibat trauma kekerasan seksual. Kondisi ini membuat korban menjadi seksual aktif dan memandang hubungan seksual sebagai suatu kegemaran (korban kecanduan untuk melakukan hubungan seksual). Selain itu, dampak jangka panjang juga dapat membuat korban menjadi pelaku kekerasan pada orang yang lebih lemah.

Tahapan Pemulihan pada Anak Korban Kekerasan Menurut Kubler-Ross ada lima tahapan sebagai model untuk terapi pemulihan traumatis korban. Pertama, tahap penyangkalan. Pada tahap pertama ini korban atau subyek merasa tidak percaya tentang apa yang terjadi padanya. Perasaannya diwarnai dengan rasa ketidakpercayaan bahwa suatu kejadian menyakitkan atau pengalaman kekerasan telah menimpa dirinya. Penyangkalan ini seringkali dialami oleh korban, dan merupakan pertahanan sementara mereka. Kedua, tahap kemarahan. Pada tahap ini korban mengalami perasaan marah karena peristiwa tersebut terjadi pada dirinya. Rasa marah ini terjadi ketika masa penyangkalan tidak dapat tertahankan lagi. Rasa gusar, cemburu, dan benci bercmapur menjadi satu. Sehingga, pada tahap ini korban seringkali mempertanyakan pada dirinya sendiri, “mengapa harus aku yang mengalaminya?”, “mengapa bukan orang lain saja?”. Selain itu, biasanya korban juga akan memaki dirinya sendiri, orang lain, dan tuhan atas kejadian traumatis tersebut. Korban sering menangis bahkan mampu melakukan kekerasan fisik pada dirinya sendiri. Ketiga, tahap penawaran (bargaining). Pada tahap ini korban mulai melakukan banyak hal termasuk hal-hal yang kurang rasional, supaya pengalaman

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Laporan Utama tidak menyenangkan tersebut tidak lagi terjadi untuk kedua kali pada dirinya. Ketika rasa marah mulai mereda, korban mulai menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam masa krisis. Selanjutnya korban akan berupaya mencari pertolongan untuk segera menghilangkan ingatan atas pengalaman tidak menyenangkan yang telah dialaminya. Tahap ketiga ini merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri, di mana korban berharap trauma atas pengalaman tidak menyenangkan itu hilang dengan sendirinya. Keempat, tahap depresi. Pada tahap ini korban merasa kehilangan gairah hidup, merasa sedih dan seringkali tidak nafsu makan. Kelelahan fisik, perubahan mood yang terus menerus, dan usaha-usaha yang gagal untuk keluar dari persoalannya seringkali menempatkan korban dalam kondisi depresi. Mereka menjadi kehilangan gairah untuk melanjutkan hidupnya. Mood depresi akan menjadi semakin buruk jika korban meyakini bahwa dirinyalah yang bersalah dan menyebabkan pengalaman tidak menyenangkan tersebut menimpanya. Kelima, tahap penerimaan. Pada tahap terakhir ini korban mulai menerima apa yang terjadi pada dirinya. Ketika korban telah mencapai tahap penerimaan, maka barulah perkembangan positif dapat terjadi. Dalam hal ini penerimaan terbagi menjadi dua tipe yakni, penerimaan intelektual dan penerimaan emosional. Penerimaan intelektual artinya korban menerima dan memahami apa yang telah terjadi pada dirinya. Sedangkan penerimaan emosional berarti korban dapat mendiskusikan pengalaman traumatisnya tanpa reaksi-reaksi yang berlebihan (Kubler-Ross, 1969). Rifka Annisa menerapkan lima tahapan pemulihan tersebut di dalam proses konseling dan pendampingan psikologis pada perempuan dan anak korban kekerasan. Pendampingan psikologis menjadi hal penting

dalam membantu korban dapat melalui berbagai tahapan untuk pulih dari traumanya. Tahapan pemulihan diri yang dialami setiap korban kekerasan termasuk kekerasan seksual tentu berbeda-beda. Apalagi ketika korban masih berusia anak dan belum memahami bahwa ia telah mengalami kekerasan. Waktu dan pendampingan yang dibutuhkan akan sangat berbeda antara korban yang masih berusia anak dan korban yang telah dewasa. Ketika anak-anak menjadi korban kekerasan, perhatian dan dukungan dari orang sekitar sangat penting untuk membantu memulihkan trauma psikisnya. Rifka Annisa memiliki berbagai metode untuk terapi pemulihan trauma bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan. Metode tersebut sangat berguna untuk menarik perhatian mereka (anak-anak korban kekerasan) untuk dapat bercerita dan mengungkapkan apa yang telah dialaminya. Trauma psikis anak seringkali membawa ketakutan yang luar biasa bagi mereka, sehingga tidak mudah berkomunikasi dengan orang lain. Korban akan sangat ketakutan ketika bertemu dengan orang asing termasuk konselor. Kreatifitas konselor atau pendamping untuk dapat membuat metode yang menarik bagi mereka sangatlah penting. Menggambar merupakan salah satu metode yang seringkali digunakan oleh para konselor Rifka Annisa untuk mengajak anak korban kekerasan dapat mengekspresikan perasaannya. Selain itu, metode dengan terapi kognitif dan berbagai metode lain juga digunakan disesuaikan dengan kondisi dan usia perkembangan anak. berbagai metode untuk terapi tersebut awalnya digunakan untuk membangun kepercayaan dan kedekatan emosional dengan anak korban kekerasan, sehingga mereka dapat mengekspresikan perasaannya meskipun tidak selalu dengan kata-kata. Dalam kasus kekerasan seksual, Konseling pendampingan psikoterapis juga menjadi

penting untuk dilakukan dalam upaya terapi pemulihan korban. Psikoterapi bisa diberikan dengan pendekatan cognitive reappraisals yang tujuan utamanya adalah meredefinisikan pemerkosaan sebagai kejadian yang bukan salah mereka, dan membantu korban untuk berpikir positif (Rollins, 1996).

Bagaimana Menghadapi Trauma pada Anak Korban Kekerasan? Dari berbagai informasi yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dilihat bahwa anakanak di Indonesia merupakan kelompok yang paling rentan untuk mendapat kekerasan. Kekerasan tidak hanya dilakukan oleh orang asing yang tidak dikenal. Orang-orang terdekat korban seperti orangtua, keluarga, guru, tetangga, bahkan teman sebaya adalah kelompok yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan pada anak. selain itu, kekerasan juga banyak terjadi ditempat-tempat yang justru dianggap aman, se­ perti rumah, sekolah, pesan­tren, dan tempat-tempat di mana anak-anak tinggal dan belajar bersosialisasi. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan umumnya mengalami trauma baik fisik maupun psikis. Kondisi mental dan kejiwaan yang belum matang atau stabil membuat mereka lebih rentan terguncang ketika mengalami kondisi yang tidak menyenangkan dan membuat mereka tertekan. Dalam masa perkembangan anak, peran pendampingan dan bimbingan orangtua maupun keluarga menjadi sangat penting, apalagi pada masa perkembangan dan pemulihan anak-anak yang menjadi korban kekerasan. Berikut adalah hal-hal yang dapat dilakukan oleh orangtua ataupun keluarga untuk mengatasi trauma pada anak. 1.

Ciptakan rasa aman bagi anak. Rasa aman ditunjukkan melalui perhatian dan kasih

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016

| 25


Laporan Utama

2.

3.

4.

sayang yang diberikan oleh orang tua dan orang-orang terdekat korban. Selalu meyakinkan anak bahwa semuanya akan baik-baik saja. Menghindarkan anak dari tempat di mana kekerasan terjadi. Ingatan tentang peristiwa kekerasan yang telah terjadi merupakan bagian dari pengalaman yang tidak menyenangkan. Ingatan menyakitkan tersebut akan selalu terbayang dalam pikiran anak korban kekerasan. Apapun yang mengingatkan anak akan pengalaman menyakitkan akan menghambat proses pemulihan. Sehingga menjauhkan anak dari tempat terjadinya kekerasan merupakan keputusan yang tepat bagi para orangtua. Alihkan perhatian anak dengan melakukan berbagai kegiatan positif. Untuk menghindarkan segala rasa cemas, takut, tertekan dari perasaan anak, ajak mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan menyenangkan, positif dan menarik. Misalnya menggambar, melukis, memasak, atau berbagai kegiatan menyenangkan lain. Ketika kegiatan-kegiatan positif tersebut mampu menyibukkan anak, maka secara perlahan trauma psikologis mereka akan teralihkan. Biarkan anak tetap bersosialisasi. Memberikan rasa aman bukan berarti ‘mengurung’ anak di rumah dan menghindarkannya dari bermain dan teman sebayanya. Ingatan akan pengalaman tidak menyenangkan akan mudah terbuka kembali ketika anak sendiri dan kesepian. Hal ini akan memperburuk kondisi anak dan memperparah trauma psikologisnya. Biarkan anak

26 |

5.

6.

untuk tetap bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, dengan tetap berada di bawah pengawasan orangtua. Berikan dukungan penuh pada anak. Dampak dari peristiwa kekerasan tidak hanya menimpa anak-anak yang menjadi korban, melainkan juga orangtua dan keluarga mereka. Tekanan psikologis juga seringkali dialami oleh orangtua korban. Akan tetapi ketika orangtua terlalu larut dalam kesedihan dan penyesalan tentu akan semakin memperburuk kondisi anak. Anak yang mengalami trauma justru membutuhkan dukungan dan semangat positif dari lingkungannya, terutama dari orang tua. Hal ini akan lebih mudah dalam mendukung dan membantu anak untuk menghadapi masa depan. Meminta bantuan psikolog untuk psikoterapi. Trauma psikologis bukanlah sebuah luka yang kelihatan oleh mata. Trauma merupakan luka batin yang tidak dapat diobati dengan mudah. Perlu bantuan pihak lain untuk terlibat dalam pemulihannya. Dalam hal ini orangtua memerlukan bantuan misalnya konselor atau psikolog. Tujuannya adalah agar dapat dilakukan bentuk penanggulangan yang tepat dan efisien. Psikolog akan melakukan usaha penyembuhan dengan metode psikoterapi. Biasanya anak akan diajak untuk berbicara dan didorong untuk mengekspresikan perasaannya. Pada tahap yang lebih lanjut, anak juga diarahkan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi ke ranah yang lebih positif.

DAFTAR PUSTAKA Kaplan, H. & Sadock, B. J. (1998). Ilmu kedokteran jiwa darurat. Jakarta: WidyaMedika. Kendall-Tackett, K. A. (2005). Handbook of Women, Stress, and Trauma: Psychosocial Stress Series. New York: Brunner-Routledge. Kubler-Ross, E. (1969). On death and dying. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Rollins, J. H. (1996). Women’s Minds Women’s Bodies: The Psychology of Women in a Biosocial Context. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Salkind, N. J. (2004). An Introduction to Theories of Human Development. New Delhi: Sage Publications. International Education and Publisher. Warshaw, C. & Barnes, H. (2003). Domestic violence, mental health, & trauma. Chicago: Domestic Violenceand Mental HealthPolicy Initiative. Zahra, R. P. (2007). Kekerasan seksual pada anak. Arkhe, 12:2, 133–142.

Sumber dari Internet Kinanti Pinta Karana, “Kekerasan Terhadap Anak: Kini Saatnya Bertindak, https:// www.unicef.org/indonesia/id/media_24996.html , Diakses pada 5 Juli 2016, 11.50 WIB Putu Merta Surya Putra, “Komnas PA: 2015, Kekerasan Anak Tertinggi Selama 5 Tahun Terakhir”, https:// www.liputan6.com/ news/read/2396014/ komnas-pa-2015-kekerasan-anak-tertinggi-selama-5-tahun-terakhir, Diakses pada 5 Juli 2016, 14.50 WIB.

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Laporan Utama

PERAN LINGKUNGAN SOSIAL DALAM PENDIDIKAN KEPRIBADIAN ANAK SEBAGAI KORBAN TERDAMPAK Glasfita Magfira Armida| Mahasiswa Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta| magfiraglasfita@gmail.com

A

nak merupakan dambaan setiap keluarga. Selain itu setiap keluarga juga meng­harapkan anaknya kelak bertumbuh kembang optimal (sehat fisik, mental/kognitif, dan sosial), dapat dibanggakan, serta berguna bagi nusa dan bangsa. Sebagai aset bangsa, anak harus mendapat perhatian sejak mereka masih di dalam kandungan sampai mereka menjadi manusia dewasa (Soetjiningsih, 2014). Tumbuh kembang merupakan proses yang berkesinambungan yang terjadi sejak anak berada dalam kandungan dan terus berlangsung sampai dewasa. Dalam proses mencapai dewasa inilah, anak harus melalui berbagai tahap tumbuh kembang. Tercapainya tumbuh kembang optimal tergantung pada potensi biologik. Tingkat tercapainya potensi biologik seseorang merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungannya. Proses yang unik dan hasil akhir yang berbeda-beda memberikan ciri tersendiri pada setiap anak (Soetjiningsih, 2014). Pertumbuhan dapat diartikan sebagai perubahan secara kuantitatif pada aspek fisik, merupakan proses pertambahan jumlah dan ukuran sel yang dicerminkan dengan pertambahan berat dan tinggi badan, serta penambahan fungsi-fungsi fisik. Perkembangan didefinisikan sebagai perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju

tingkat kedewasaannya yang berlangsung secara sistematik, progresif, dan berkesinambungan, baik mengenai fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) nya (Makmun, A. S. 1985; dalam Euis Sunarti). Berikut ini adalah tumbuh kembang utama pada masa anak dan remaja (Soetjiniingsih, 2012) 1. Masa bayi dan masa anak dini (lahir sampai umur 3 tahun) • Bayi baru lahir masih tergantung pada orang lain (dependent), tetapi mempunyai kompetensi (competent) • Semua panca indera berfungsi pada waktu lahir • Pertumbuhan fisik dan perkembangan motorik berlangsung cepat • Mempunyai kemampuan belajar dan mengingat, bahkan pada minggu-minggu pertama kehidupan • Kelekatan terhadap orang tua atau benda lainnya sampai akhir tahun pertama • Kesadaran diri (self-awareness) berkembang dalam tahun kedua • Komprehensi dan bahasa berkembang pesat • Rasa tertarik terhadap anak lain meningkat

2.

Masa prasekolah (3 sampai 6 tahun) • Keluarga mnasih merupakan fokus dalam hidupnya walaupun anak lain menjadi lebih penting • Keterampilan motorik kasar dan halus serta kekuatan meningkat • Kemandirian, kemampuan mengontrol diri dan merawat diri meningkat • Bermain, kreativitas, dan imajinasi menjadi lebih berkembang • Imaturitas kognitif mengakibatkan pandangan yang tidak logis terhadap dunia sekitarnya. • Perilaku pada umumnya masih egosentris, tetapi pengertian terhadap pandangan orang lain mulai tumbuh.

3.

Masa Praremaja (6 sampai 12 tahun) • Teman sebaya sangat penting • Anak mulai berpikir logis, meskipun masih konkrit operasional • Egosentris berkurang • Memori dan kemampuan berbahasa meningkat • Kemampuan kognitif meningkat akibat sekolah formal • Konsep diri tumbuh,

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016

| 27


Laporan Utama

• •

4.

yang mempengaruhi harga dirinya Pertumbuhan fisik lambat Kekuatan dan keterampilan atletik meningkat

Masa Remaja (12 sampai sekitar 20 tahun) • Perubahan fisik cepat dan jelas • Kematangan reproduktif dimulai sampai mencapai dewasa • Teman sebaya dapat mempengaruhi perkembangan dan konsep dirinya • Kemampuan berpikir abstrak dan menggunakan alasan yang ilmiah sudah berkembang • Sifat egosentris menetap pada beberapa perilaku • Hubungan dengan orang tua pada umumnya baik

Selain tumbuh kembang di atas, salah satu perkembangan yang sangat penting untuk anak adalah perkembangan kepriba­ dian. Kepribadian dipandang sebagai ciri atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan. Definisi kepribadian adalah seperangkat karakteristik dan kecenderu­ ngan yang stabil, yang menentukan keumuman dan perbedaan tingkah laku psikologik (berpikir, merasa, dan gerakan) dari seseorang dalam waktu yang panjang dan tidak dapat di­ pahami secara sederhana sebagai hasil dari tekanan sosial dan tekanan biologik saat itu (Mandy atau Burt; dalam Psychoshare, 2014). Perkembangan kepri­ badian anak dimulai sejak anak lahir ke dunia. Karena sejak anak lahir, anak telah mulai melakukan interaksi sosial dengan lingkungannya, seperti dengan orang tuanya. Menurut Adler (Supratiknya, 2009) pada dasar­ nya manusia merupakan makhluk

28 |

sosial. Mereka menghubungkan dirinya dengan orang-orang lain, ikut dalam kegiatan-kegiatan kerja sama sosial, menempatkan kesejahteraan sosial di atas kepentingan diri sendiri, dan mengembangkan gaya hidup yang mengutamakan orientasi sosial; dorongan sosial adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, meskipun tipe-tipe khusus hubungan dengan orang dan pranata-­ pranata sosial yang berkembang ditentukan oleh corak masyara­ kat tempat orang itu dilahirkan. Dalam situasi ini kondisi lingkungan keluarga memiliki peran penting dan utama dalam perkembangan kepribadian anak. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak, yaitu (Akhmad Solihin, 2015): 1. Warisan Biologis (keturunan) Faktor keturunan merupakan salah satu yang mempengaruhi pembentukan kepribadian seorang anak. Persamaan biologis manusia, seperti panca indera, kelenjar seks, dan otak akan membantu menjelaskam beberapa persamaan dalam kepribadian seorang anak. Namun demikian, warisan biologis atau keturunan memerlukan pengajaran, pelatihan, dan pergaulan untuk mengembangkan diri melalui kehidupan dalam masyarakat. Perkembangan diri melalui kehidupan dalam masyarakat. Perkembangan warisan biologis, tergantung pada pengalaman sosial seseorang. 2. Lingkungan Fisik (Geografis) Perbedaan iklim, topografi, dan sumber daya alam me­nyebabkan perbedaan perilaku kelompok. Upaya penyesuaian diri dengan ling­­kungan fisik berdampak pada kepribadian seseorang. Lingkungan fisik yang keras akan membentuk kepri­ba­dian yang kuat, karena memperjuangkan lingku­ngan alam yang keras untuk mempertahankan hidupnya.

3.

Kebudayaan Kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial baik berupa gagasan, aktivitas, dan hasil dari aktivitas manusia, digunakan untuk memahami lingku­ ngan dan pengalamannya, serta dijadikan pedoman hidup anggota masyarakat. Unsur-unsur yang terkandung dalam kebudayaan adalah kepercayaan, mata pencaharian, kesenian, adat istiadat. Kebudayaan mempunyai peran dalam membentuk kepribadian seseorang dan masyarakat, kebudayaan menyediakan seperangkat pengaruh umum yang berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. 4. Pengalaman Umum (common experiences) Yaitu pengalaman yang dihayati oleh hampir semua anggota masyarakat atau bahkan oleh semua manusia. Setiap masyarakat selalu punya nilai-nilai, prinsip-prinsip moral, cara-cara hidup yang dihayati oleh semua anggota masyarakat itu. 5. Pengalaman Unik (unique experiences) Setiap orang mempunyai pengalaman-pengalaman yang hanya pernah dialami oleh dirinya sendiri. Karena sejak lahir seorang anak sudah membawa ciri-ciri tertentu serta kecenderu­ngankecenderungan tertentu, maka reaksinya terhadap lingkungan atau reaksi lengkungan terhadapnya bersifat khas. Pengalaman unik ini menentukan bagian dirinya yang bersifat khas, unik, dan tak ada duanya. Anak tidak hanya membutuhkan kesempatan untuk meningkatkan kemampuan bahasa dan konseptual saja, melainkan juga kemampuan persepsi, sosial, estetika, moral,

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Laporan Utama dan aktivitas fisik. Bila anak meng­alami deprivasi yang berat terhadap pengalaman-pengala­ man tersebut, perkembangan­ nya dapat menjadi lambat (Soetjiningsih, 2012). Anak memerlukan sentuhan, suara, contoh, kontak sosial, dan emosio­ nal, serta aktivitas fisik yang aman maupun aktivitas berpikir yang menantang. Namun, banyak anak yang tidak mendapatkan stimulasi intelektual yang cukup. Dari penelitian Soetjiningsih dan Williams, hanya sebagian anak yang secara rutin dibacakan cerita/dongeng oleh orang tuanya baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan (Soetjiningsih, 2012). Namun, stimulasi yang terlalu banyak juga tidak baik, karena membuat anak bingung. Anak juga mempunyai tempera­ men dan suasana hati yang berbeda-beda. Mereka juga mempunyai siklus waktu jaga dan tidur yang berbeda dengan orang dewasa. Kapasitas untuk meres­ pon berbagai macam stimulasi berfluktuasi dari jam ke jam, bahkan dari menit ke menit. Dari lahir, setiap anak mempunyai temperamen yang khas. Sebagian besar anak menjadi anak yang “mudah”, tetapi sekitar 10% mempunyai temperamen yang “sulit”. Selain itu, sebagian anak menderita cacat atau sakit kronis yang menjadi hambatan dalam berinteraksi dengan lingkungan­ nya dan merespons stimulasi yang diberikan (Soetjiningsih, 2014). Dalam pembahasan di atas telah dijelaskan bahwa lingkungan sosial anak sangat mempengaruhi dalam perkembangan kepribadian anak. Karena pada usia anak, anak memperoleh infor­masi berdasarkan pengamatan yang dilakukannya terhadap lingkungan sekitarnya, kemudian hasil informasi yang telah ia dapatkan akan diterapkannya, atau bahkan informasi tersebut dikembangkan oleh anak-anak. Anak-anak dalam situasi krisis sangat membutuhkan situasi lingkungan social seperti ini. Kondisi keluarga

yang tidak harmonis seringkali menempatkan anak-anak pada situasi yang tidak aman. Mereka membutuhkan dukungan dan perlindungan dari lingkungan sosial di mana mereka tinggal. Dalam beberapa kasus kekerasan yang didampingi oleh Rifka Annisa menemukan bahwa kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam lingkup keluarga sangat berdampak pada tumbuh kembang anak baik secara fisik maupun psikis. Anak-anak mempelajari apa yang ia lihat dan alami dalam kehidupannya. Sehingga, munculnya perilaku-perilaku negatif di masa yang akan datang seringkali berasal dari anakanak yang selama masa kecilnya mengalami atau menyaksikan kekerasan. Maka dari itu untuk mendukung proses tumbuh kembang yang baik untuk anak sangat dibutuhkan lingkungan yang mendukung proses perkemba­ ngan anak tersebut. Lingkungan sosial yang dimaksud di sini adalah lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, teman sebaya, dan yang terakhir adalah lingkungan masyarakat tempat anak tinggal.

Peran Keluarga dalam Perkembangan Kepribadian Anak Keluarga merupakan bagian atau unit terkecil masyara­ kat. Dalam kehidupan sehari-hari manusia mempunyai ikatan yang tidak dapat dipisahkan dengan alam lingkungan dan masyarakat sekitar untuk memenuhi keperluan hidup. Ada berbagai norma, pola tingkah laku, dan sistem nilai yang berlaku sebagai pe­ ng­atur hubungan dalam sebuah keluarga, agar tercipta suasana yang kekeluargaan yang harmonis, penuh kesadaran, tanggung jawab, saling menyayangi, dan saling menghormati (Soetjiningsi, 2014). Seperti yang telah dijelas­ kan sebelumnya, Keluarga merupa­kan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Dikatakan pertama karena dalam keluarga anak pertama-tama mendapatkan didikan

dan bimbingan. Dikatakan utama karena sebagian besar kehidupan anak berasa di dalam keluarga sehingga pendidikan yang pa­ ling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga. Ayah dan ibu adalah teladan pertama bagi pembentukan pribadi anak. Keyakinan-keyakinan, pemikiran, dan perilaku ayah dan ibu de­ngan sendirinya memiliki pengaruh yang sangat dalam terhadap pemikiran dan perilaku anak. Karena kepribadian manusia muncul berupa lukisan-lukisan pada berbagai ragam situasi dan kondisi dalam lingkungan keluarga. Peran kedua orang tua dalam perkembangan kepribadian anak antara lain (dalam Candra Trisna Nirata, 2013): 1. Kedua orang tua harus mencintai dan menyayangi anak-anaknya. Ketika anakanak mendapatkan cinta dan kasih sayang yang cukup dari kedua orang tuanya, maka pada saat mereka berada di luar rumah dan menghadapi masalah-masalah baru, mereka akan bisa meng hadapi dan menyelesaikannya dengan baik. Sebaliknya jika kedua orang tua terlalu ikutcampur dalam urusan mereka atau mereka memaksakan anak-anaknya untuk menaati mereka, maka perilaku kedua orang tua yang demikian ini akan menjadi penghalang bagi kesempurnaan kepribadian mereka. 2. Saling menghormati antara kedua orang tua dan anakanak. Saling menghormati artinya dengan mengura­ ngi kritik dan pembicaraan negative berkaitan dengan kepribadian dan perilaku mereka, serta menciptakan iklim kasih sayang dan keakraban. Kedua orang tua harus bersikap tegas supaya mereka juga mau menghormati sesamanya. 3. Mewujudkan kepercayaan. Menghargai dan memberikan kepercayaan terhadap anakanak berarti memberikan

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016

| 29


Laporan Utama

4.

penghargaan dan kelayakan terhadap mereka, karena hal ini akan menjadikan mereka maju dan berusaha serta berani dalam bersikap. Kepercayaan anak-anak terhadap dirinya sendiri akan menyebabkan mereka mudah untuk menerima kekurangan dan kesalahan yang ada pada diri mereka. Mereka akan menjadi priba­ di yang percaya diri dan yakin dengan kemampuan dirinya sendiri. Mengadakan perkumpulan antara orang tua dan anak. Dengan melihat keingintahuan fitrah dan kebutuhan jiwa anak, mereka selalu ingin tahu tentang dirinya sendiri. Tugas kedua orang tua adalah memberikan informasi tentang susunan badan dan perubahan serta pertumbuhan anak-anaknya terhadap mereka. selain itu, kedua orang tua harus me­ ngenalkan mereka tentang masalah keyakinan, akhlak, dan norma-norma kehidupan manusia. Jika kedua orang tua bukan sebagai tempat rujukan yang baik dan cukup bagi anak-anaknya, maka anak-anaknya akan mencari contoh lain, baik atau buruk dan hal ini akan menjadi sarana penyelewengan anak. Hal yang paling penting adalah bahwa ayah dan ibu adalah satu-satunya teladan yang pertama bagi anak-anaknya dalam pembentu­kan kepribadian.

Peran Lembaga Pendidikan Dalam Perkembangan Kepribadian Anak Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan pelatihan dalam rangka membantu anak agar mampu mengembangkan potensinya optimal, baik yang menyangkut aspek moral-spiritual, intelektual, emosional, sosial maupun fisik-motoriknya (Yashmatika,

30 |

2015). Sekolah ikut berperan dalam perkembangan kepribadian anak karena sepertiga waktu anak dalam sehari dihabiskan di sekolah. Hurlock (1986; dalam Yashmatika, 2015) mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak, baik dalam secara berpikir, bersikap, maupun berperilaku. Sekolah berperan sebagai substitusi ke­ luarga, dan guru sebagai substitusi orang tua. Peranan sekolah sebagai lembaga yang membantu lingkungan keluarga, maka sekolah bertugas mendidik dan mengajar serta memperbaiki dan memperhalus tingkah laku anak yang di bawa dari keluarganya. Sementara itu dalam perkembangan kepribadian anak, peranan sekolah dengan melalui kurikulum antara lain (dalam Candra Trisna Nirata, 2013): 1. Anak belajar bergaul dengan teman sebayanya, antara guru dengan anak didiknya, dan antara anak didik de­ ngan orang yang bukan guru (karyawan). 1. Anak didik belajar mentaati peraturan-peraturan sekolah. 1. Mempersiapkan anak didik untuk menjadi anggota ma­ syarakat yang berguna bagi agama, bangsa, dan Negara. Fugsi sekolah menurut Suwarno (dalam Candra Trisna Nirata, 2013) yang diperinci dalam bukunya Pengantar Umum Pendidikan adalah sebagi berikut: 1. Mengembangkan kecerdasan, pikiran, dan memberikan pengetahuan. Di samping bertugas untuk mengambangkan priba­ di anak didik secara menyeluruh, fungsi sekolah yang lebih penting sebenar­ nya adalah menyampaikan pengetahuan dan mela­k­ sanakan pendidikan kecerdasan. Fungsi sekolah dalam pendidikan intelektual

2.

3.

4.

5.

dapat disamakan dengan fungsi keluarga dalam pendidikan moral. Spesialisasi, diantara ciri makin meningkatnya kemajuan masyarakat ialah makin bertambahnya diferensiasi dalam tugas kemasyarakatandan lembaga sosial yang melaksanakan tugas tersebut. Sekolah mempunyai fungsi sebagai lembaga sosial yang spesialisasinya dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Efisiens. Terdapatnya sekolah sebagi lembaga sosial yang berspesialisasi di bidang pendidikan dan pengajaran, maka pelaksanaan pendidikan dan pengajaran dalam masyrakatmenjadi lebih efisien, sebab; seumpama tidak ada sekolah, dan pekerjaan mendidik hanya harus dipikul oleh keluarga, maka hal ini tidak akan efisien karena orang tua terlalu sibuk dengan dengan pekerjaaannya, serta banyak orang tua yang tidak mampu melaksanakan pendidikan yang dimksud. Karena pendidikan sekolah dilaksanakan dalam program yang tertentu dan sistematis. Sosialisasi. Sekolah mempunyai peranan yang penting di dalam proses sosialisasi, yaitu proses membantu perkembangan individu menjadi makhluk sosial, makhluk yang beradaptasi dengan baik di masyarakat. Sebab bagaimanapun pada akhirnya ia akan berada di masyarakat. Konservasi dan Tansmisi Cultural. Fungsi lain dari sekolah adalah memelihara warisan budaya yang hidup dalam masyarakat de­ngan jalan menyampaikan warisan kebudayaan tadi (transmisi cultural) kepada generasi muda, dalam hal ini tentunya anak didik.

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Laporan Utama 6.

Transisi dari rumah ke ma­ sya­rakat. Ketika berada di keluarga, kehidupan anak serba menggantungkan diri pada orang tua, maka memasuki sekolah di mana ia mendapat kesempatan untuk melatih berdiri sendiri dan tanggung jawa sebagai persiapan sebelum ke masya­rakat.

Peran Teman Sebaya Dalam Perkembangan Kepribadian Anak Tak dipungkiri lagi, manusia sebagai makhluk sosial atau zoo politicon yang tidak bisa hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Adler yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, mereka akan menghubungkan dirinya dengan orang-orang lain, ikut dalam kegiatan-kegiatan kerja sama sosial, menempatkan kesejahtera­ an sosial di atas kepentingan diri sendiri, dan mengembangkan gaya hidup yang mengutamakan orientasi sosial; dorongan sosial adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, meskipun tipe-tipe khusus hubungan dengan orang dan pranata-pranata sosial yang berkembang ditentukan oleh co­ rak masyarakat tempat orang itu dilahirkan (Supratiknya, 2009). Hubungan (relationship) adalah segala sesuatu yang terjadi bila dua orang saling mempengaruhi satu sama lain, bila yang satu bergantung pada yang lain (Keley et al, 1983; dalam http://cuapfhiieear. blogspot.co.id/2013/02/peergroup-teman-sebaya.html) yang di dasari oleh faktor keyakinan, perasaan, dan perilaku. Bentuk dan hubungan yang dijalin sangat­lah beragam dan salah satu­nya adalah pertemanan. Dimulai pada masa anakanak, sebagian besar manusia­membangun pertemanan dengan teman-teman sebaya yang memiliki minat yang sama. Hubungan seperti ini cenderung

terdiri dari rasa saling suka yang di dasarkan pada afek positif (Lydon, Jarnieson & Holmes, 1997; dalam http://cuapfhiieear.blogspot.co.id/2013/02/ peer-group-teman-sebaya.html). Secara umum memiliki teman adalah positif sebab teman dapat mendorong self-esteem dan menolong dalam mengatasi stress, tetapi teman juga bisa memiliki efek negative jika mereka antisocial, menarik diri, tidak suportif, argumentative, atau tidak stabil (Hartup & Stevens, 1992; dalam http://cuapfhiieear.blogspot. co.id/2013/02/peer-groupteman-sebaya.html). Interaksi yang dilakukan oleh manusia mengakibatkan sosialisasi. Menurut Berger (dalam Sunarto, 2004; dalam http://cuapfhiieear.blogspot. co.id/2013/02/peer-groupteman-sebaya.html), sosialisasi merupakan proses di mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisispasi dalam masyarakat. Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan yang tidak sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam kelompok sebaya dilakukan de­ ngan cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Karena itulah dalam kelompok sebaya, anak dapat mempelajari per­ aturan yang mengatur peranan orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan. Kuatnya pengaruh teman sebaya tidak terlepas dari ada­ nya ikatan yang terjalin kuat dalam kelompok teman sebaya­ nya tersebut, sedemikian kuatnya sehingga mengarah ke fanatisme. Sehingga tiap-tiap anggota kelompok emnyadari bahwa mereka adalah satu kesatuan yang terkait dan saling mendukun. Di mana kelompok teman sebaya merupakan kelompok yang terdiri dari teman seusia­nya dan mereka dapat me­ ngasosiasikan dirinya (Chaplin, 2001; dalam http://cuapfhiieear.

blogspot.co.id/2013/02/peergroup-teman-sebaya.html). Pada masa remaja teman sebaya memiliki peran penting untuk kehidupannya, bahkan remaja mau untuk melakukan apa saja agar dia dapat diterima dalam satu kelompok teman sebayanya. Fungsi dan peranan teman sebaya dalam perkembangan kepribadian anak adalah sebagai berikut http://cuapfhiieear.blogspot.co.id/2013/02/peer-groupteman-sebaya.html): 1. Mengajarkan kebudayaan. Dalam kelompok teman sebaya ini diajarkan kebudayaan yang berada di tempat itu. 2. Mengajarkan mobilitas sosial. Mobilitas sosial adalah perubahan status yang lain. 3. Membantu peranan sosial yang baru. Teman sebaya memberi kesempatan bagi anggotanya untuk mengisi peranan sosial yang baru. 4. Teman sebaya dapat menjadi sumber informasi bagi orang tua dan guru, dan bahkan untuk masyarakat. Kelompok teman sebaya di sekolah dapat menjadi su­mber informasi bagi guru dan orang tua tentang hubungan sosial anak dan seorang anak yang berprestasi baik dapat dibanding­kan dalam kelompoknya. 5. Belajar saling bertukar perasaan dan masalah. Seorang anak lebih nyaman berbagi dengan temannya karena temannya biasanya lebih mengerti dirinya dan persoalan yang dihadapinya. Mereka saling menumpahkan perasaan dan permasalahan yang tidak bisa mereka ce­ ritakan pada orang tua maupun guru mereka. Dalam kelompok teman sebaya, individu dapat mencapai ketergantungan satu sama lain. Karena dalam kelompo teman sebaya ini, mereka dapat merasakan kebersamaan dalam kelompok,

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016

| 31


Laporan Utama mereka saling tegantung satu sama lainnya. 6. Kelompok teman sebaya mengajarkan moral orang dewasa. Anggota kelomok sebaya bersikap dan ber­ tingkah laku seperti orang dewasa, untuk mempe­ rsiapkan diri menjadi orang dewasa, mereka mempe­ roleh kemantapan sosial. Tingkah laku mereka seperti orang dewasa, tapi mereka tidak mau disebut dewasa. Mereka ingin melakukan segala sesuatu sendiri tanpa bantuan orang dewasa, mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga bisa berbuat seperti orang dewasa.

Peran Masyarakat Dalam Perkembangan Kepribadian Anak Masyarakat diartikan sebagai sekumpulan orang yang menempati suatu daerah, diikat oleh pengalaman-pengalaman yang sama, memiliki sejumlah persesuaian dan sadarkan persatuan dan kesatuannya, serta dapat bertindak bersama untuk mencukupi krisis kehidupannya. Masyarakat juga dapat diartikan sebagai satu bentuk tata kehidupan sosial dengan tata nilai dan tata budaya sendiri. Dalam arti ini masyarakat adalah wadah dan wahana pendidikan; medan kehidupan manusia yang majemuk (Plural: suku, agama ekonomi, dan lain sebagainya). Manusia berada dalam multi kompleks antar hubungan dan antar aksi dalam masyarakat. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, me­ reka selalu melakukan interaksi dengan orang-orang lain. Begitu juga anak-anak ketika pada usia sekolah maka anak-anak akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya dan orang lain selain orang tuanya. Karena pada masa itu anak mulai mencoba untuk melepaskan diri dari orang tua. Dan ketika anak berada di masa remaja, maka peran masyarakat akan semakin

32 |

kuat dalam perkembangan kepribadiannya. Pada masa anak-anak hingga remaja, anak akan mencoba untuk melakukan apa saja agar dia dapat diterima dalam kelompok tersebut. Maka, mau tidak mau norma, adat-istiadat, dan nilai-nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat akan berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak. Karena anak belajar dari hasil peng­ amatan yang dilakukannya kepada lingkungan sekitarnya, dan kemudian hasil pengamatan tersebut akan diterapkannya atau bahkan dikembangkan oleh anak tersebut. Pengaruh masyarakat dapat bersifat positif apabila lingkungan masyarakat tempat anak tinggal merupakan lingku­ ngan yang baik untuk perkembangan anak, atau sebaliknya pengaruh masyarakat akan bersifat negative apabila lingkungan masyarakat tempat anak tinggal merupakan lingkungan yang tidak mendukung untuk perkembangan anak.

Daftar Pustaka Supratiknya. 2009. Psikologi Kepribadian 1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Soetjiningsih. 2014. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Monks, Knoers, SR. Haditono. 2002. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Perkembangan Anak di Lingkungan masyarakat. Diunduh dari http://ramliberbagiilmu.blogspot. co.id/2012/03/perkembangan-anak-di-lingkungan.html Nirata, Candra Trisna. 2013. Peran Keluarga, Sekolah, Masyarakat, Pemerintah Dalam Pendidikan. Diunduh dari http://can-

dratrisnanirata.blogspot. co.id/2013/10/peran-keluarga-sekolah-masyarakat-dan.html Solihin, Akhmad. 2015. Kepribadian Seseorang dan Faktor-Faktor Pembentuknya. Diunduh dari http:// visiuniversal.blogspot. co.id/2015/03/kepribadian-seseorang-dan-faktor-faktor.html) Yashmatika. 2015. Analisis Peranan Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat Dalam Pendidikan. Diunduh dari http://yashmatika6069. blogspot.co.id/2015/10/ analisis-peranan-keluarga-sekolah-dan.html Pengembangan Lingkungan dan Lembaga Pendidikan untuk Membantu Perkembangan dan Kepribadian Anak. Diunduh dari http://ulfahrilova. blogspot.co.id/2016/06/ pengembangan-lingkungan-dan-lembaga.html Rohmah, Ulfi .A..2013. Peer Group (Teman Sebaya). Diunduh dari http:// cuapfhiieear.blogspot. co.id/2013/02/peergroup-teman-sebaya.html

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Lesehan Buku

Judul Buku Penulis Penerbit Halaman

: Women, Islam, and Everyday Life: Renegotiating Polygamy in Indonesia : Dr.Nina Nurmila : Routledge : xvii+197

Poligami dan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

P

oligami selalu menjadi isu penuh kontroversi dalam sejarah Indonesia. Selain isu pernikahan anak, perceraian, dan pendidikan perempuan, gerakan perempuan di Indonesia selalu mengangkat isu poligami dalam setiap usaha advokasi untuk memperjuangkan perubahan undang-undang perkawinan sejak zaman pra kemerdekaan Indonesia hingga periode paska reformasi. Oleh karena itu, terbitnya buku Women, Islam and Everyday Life: Renegotiating Polygamy in Indonesia karya Nina Nurmila patut diapresiasi dan dapat dijadikan referensi oleh pegiat isu kesetaraan gender untuk membantu penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Buku ini ditulis berdasarkan riset etnografi yang dilakukan oleh Nina Nurmila, dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung di Bandung, Bogor, Depok, dan Jakarta pada awal tahun 2000an. Nina melakukan wawancara de­ngan 39 keluarga yang ber­ poligami (suami, istri pertama, kedua, ketiga, keempat dan anak-anak mereka) untuk mengetahui dinamika kehidupan rumah tangga pasangan yang berpoligami dan menyelidiki pengaruh poligami terhadap kesejahteraan keluarga. Penelitian mengenai poligami yang dilakukan oleh Nina ini berhasil mengungkap banyak pengalaman buruk yang

dialami oleh para pelaku poligami di tengah gencarnya kampanye untuk mendukung poligami yang dilakukan oleh Puspo Wardoyo dan beberapa tokoh politik dari Partai Keadilan pada tahun 2003 hingga 2004. Praktek poligami di Indonesia sudah menjadi hal yang lazim dilakukan se­menjak zaman sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia dan banyak tokoh publik termasuk Presiden Soekarno juga menjadi salah satu pelaku poligami. Perkawinan poligami dijalani oleh pemeluk berbagai agama di Indonesia termasuk dalam agama Islam dan Hindu. Meskipun secara umum perkawinan poligami banyak ditentang oleh masya­ rakat Indonesia, akan tetapi nyatanya banyak kaum laki-laki yang tetap memiliki banyak istri dan mengabaikan stigma buruk yang berkembang dalam masya­rakat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nina Nurmila, banyak laki-laki yang melakukan perkawinan kedua, ketiga, maupun keempat tanpa seizin istri pertama dan banyak pernikahan tersebut yang tidak didaftarkan lewat Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini secara jelas menunjukkan perilaku melanggar hukum karena menurut UndangUndang Perkawinan No.1 tahun 1974, seorang suami harus meminta izin istri pertama sebelum menikah dengan istri kedua. Ketika berencana untuk menikahi istri kedua, seorang suami juga

harus mencatumkan beberapa alasan sesuai alasan yang tertera dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 semisal istri pertama tidak bisa melayani suami dengan baik, istri pertama tidak bisa memberikan keturunan, dan istri pertama sakit atau mengalami disabilitas. Namun sekali lagi, banyak suami yang diwawancarai oleh Nina dalam penelitiannya mengaku bahwa mereka seringkali melakukan pernikahan kedua, ketiga dan keempat secara diam-diam dan mengangkat istri tambahan tanpa alasan yang jelas dan hanya karena didorong oleh nafsu semata. Dalam buku yang di­angkat berdasarkan hasil penelitian disertasi Nina di Universitas Melbourne ini, banyak pula ditemukan diskusi mengenai polemik poligami dalam pandangan Islam. Dengan semakin gencar­ nya pengaruh Islam fundamentalis paska lengsernya Soeharto di tahun 1998, banyak tokoh Islam fundamentalis yang mengkampenyekan poligami sebagai solusi atas maraknya perzinaan dan poligami sebagai bagian dari syariah Islam dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebagian besar responden pria yang ditemui oleh Nina mengaku menjalani poligami dengan alasan untuk meng­ ikuti syariah dan Sunnah Nabi. Sebagian besar suami pelaku poligami yang diwawancarai oleh Nina menggunakan Al Quran surat An Nisa’ ayat 3 yang berbunyi:

RifkaMedia MediaNo.66 No.65Agustus-Oktober Mei-Juli 2016 2016 Rifka

| 33 | 33


Lesehan Buku

Dan jika kamu takut bahwa kamu tidak bisa memperlaku­ kan anak yatim dengan adil, nikahilah perempuan yang tampak baik untukmu, dua, tiga, atau empat; dan jika kamu takut bahwa kamu tidak dapat berlaku adil kepada istri-istrimu maka nikahilah hanya satu orang saja sehingga kamu dapat berlaku adil. (Pickthall, 1979:79 dalam Nurmila, 2009:43) Untuk membenarkan praktek poligami yang mereka lakukan. Selain itu, kebanyakan istri pertama mereka mengaku takut menolak untuk memberi­ kan izin kepada suami mereka untuk menikah lagi dengan alasan bahwa mereka takut berdosa jika mereka tidak menyetujui praktik poligami suami mereka. Akhirnya, banyak istri pertama yang diwawancarai oleh Nina mengaku bahwa mereka tetap bertahan dalam pernikahan poligami sebagai bukti ketakwaan kepada agama Islam meskipun mereka seringkali mengalami kekerasan fisik, psikologis, maupun ekonomi. Nina berargumen bahwa penggunaan Quran surat Annisa ayat 3 seperti yang disebutkan di atas menandakan bahwa keba­ nyakan pelaku poligami meng­ anut paham tekstualis dalam menafsirkan ayat Al Quran dimana mereka cenderung mengabaikan konteks dan sejarah turunnya ayat Al Quran tersebut. Pada kenyataanya, banyak suami pelaku poligami yang gagal berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dan tidak bisa mengikuti aturan yang tertera dalam ayat Al Quran tersebut. Beberapa pasangan pelaku poligami yang ditemui oleh Nina akhirnya bercerai karena banyak rumah tangga yang mengalami kesulitan finansial setelah menjalani kehidupan berpoligami. Nina juga menekankan pentingnya revisi UU Perkawinan No.1 tahun 1974 dan menyarakan pelarangan poligami dalam konteks apapun. Namun, Nina berargumen bahwa revisi UU Perkawinan juga harus didukung oleh para ulama konservatif yang cenderung selalu menentang

34 |

upaya revisi UU perkawinan terutama berkenaan dengan ayat dalam undang-undang ini yang melegalkan poligami. Oleh karena itu, Nina menyarankan para feminis Muslim dan para cendekiawan Muslim di berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia untuk melakukan upaya tanpa henti dalam mengkampanyekan dan mengadvokasikan pemahaman Al Quran yang memperhatikan konteks dan sejarah dan bukan hanya menafsirkan ayat-ayat Al Quran tanpa pemikiran kritis. Dalam penelitiannya, Nina mengungkap banyak akibat buruk poligami terutama bagi para istri pertama dan anak-anak para responden pria pelaku poligami. Akibat buruk yang dialami oleh keluarga para pelaku poligami adalah kekerasan fisik, psikologis, dan ekonomi. Menurut beberapa istri pertama para pria pelaku poligami, suami mereka cenderung lebih sering melakukan kekerasan fisik kepada istri dan anak-anak mereka setelah suami mereka menikah dengan perempuan lain. Selain itu, para istri pertama dan anak-anak mereka juga merasa frustasi, mengalami depresi, dan malu melihat tingkah suami dan ayah mereka yang seringkali menikahi perempuan lain secara diam-diam. Bahkan, salah satu istri pertama pelaku poligami yang diwawancarai oleh Nina, mengaku mengalami gangguan mental berat paska pernikahan kedua suaminya. Dalam hal keuangan keluarga, setelah mempraktikkan poligami, banyak rumah tangga yang mengalami kesulitan finansial bahkan terjerat hutang dan terancam bangkrut. Para suami pelaku poligami juga pada akhirnya sering menelantarkan istri pertama dan

anak-anak dari hasil perkawinan pertama mereka sehingga banyak anak-anak pelaku poligami yang gagal meneruskan pendidikan mereka karena ayah mereka tidak mampu lagi membiayai pendidikan anak-anak tersebut. Sayangnya, dalam buku ini Nina kurang mengeksplorasi dampak buruk poligami dari sisi kesehatan seksual yang menurut penulis acapkali timbul dalam hubungan poligami. Dari salah satu wawancara dengan responden perempuan mantan istri pertama dari seorang pelaku poligami (Hani, bukan nama sebenarnya) diketahui bahwa salah satu alasan Hani menceraikan suaminya yang berpoligami adalah karena Hani takut tertular AIDS (halaman 104). Permasalahan kesehatan seksual semisal infeksi menular seksual dan HIV dan AIDS belum ditemukan pada pasangan lain. Namun menurut penulis, dampak buruk terhadap kesehatan seksual pada pasangan yang berpoligami patut diteliti lebih jauh. Akhirnya, terbitnya buku Women, Islam, and Everyday Life: Renegotiating Polygamy in Indonesia, sekali lagi patut diapreasiasi oleh masyarakat Indonesia. Buku ini dapat dijadikan sebagai sarana advokasi bagi pelarangan poligami terutama lewat amandemen UU Perkawinan No.1 tahun 1974. Hasil riset ini juga dapat dijadikan acuan bagi para aktivis kesetaraan gender untuk mengkampanyekan gera­ kan anti-poligami dan mendukung penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak. (Laksmi Amalia)

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Liputan

Workshop Sistem Berbasis Sekolah untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Y

ogyakarta Kamis—Sabtu, 25– 27 Agustus 2016, Rifka Annisa WCC bekerja sama dengan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Gunungkidul telah menyelenggarakan Workshop “Sistem Berbasis Sekolah untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak”. Peserta dalam kegiatan ini berjumlah 20 guru dari beberapa SMP dan SMK di Gunungkidul antara lain; SMK N I Wonosari, SMK N Saptosari, SMK N I Gedangsari, SMK N I Ngawen, SMK N 3 Wonosari, SMP N 4 Wonosari, SMA N 2 Wonosari, dan SMP 1 Semanu. Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari ini bertujuan untuk memahami dinamika psikologis dan karakter remaja serta memahami penyebab/akar terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain itu kegiatan ini juga bertujuan untuk memperoleh gambaran pengalaman dari masing-masing sekolah tentang pencegahan dan penanganan kekerasan yang telah dilaksanakan. Kegiatan workshop guru yang bertempat di @HOM Platinum Hotel, Jl. Gowongan Kidul No. 57 Yogyakarta ini didasari oleh hasil evaluasi kegiatan pendampingan dengan sekolah dan penelitian mengenai kekerasan seksual di

Gunungkidul. Rifka Annisa memandang penting adanya sistem berbasis sekolah untuk pencegahan dan penanganan kekerasan dan kekerasan seksual. Hal ini juga senada dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Berbicara terkait sistem tersebut, maka penguatan masing-masing unsur di dalam sekolah perlu dilakukan. Unsur tersebut terdiri dari kepala sekolah, guru, serta murid. Mengacu pada UU No. 14 Tahun 2005, guru berperan sebagai pendidik, pengajar dan pembimbing di sekolah. Guru juga memiliki intensitas yang tinggi dalam berinteraksi dengan peserta didik sehingga perannya menjadi sangat penting dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan. Pada hari pertama, Rifka Annisa mengundang Dra. Mutingatu Sholichah, M.Si, (Staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogya­karta dan pendamping kekerasan seksual intervensi konseling orangtua, guru, dan anak) sebagai narasumber untuk menyampaikan materi tentang “Dinamika psikologi remaja dan pentingnya peran sekolah dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap

perempuan dan anak.” Pada hari kedua, peserta berdiskusi tentang relasi kuasa dan ketidakadilan gender. Salah satu fasilitator, Indiah Wahyu Andari, menjelaskan, “Konstruksi sosial yang ada di masyarakat selama ini menempatkan perempuan pada posisi lebih rendah dibandingkan laki-laki. Perempuan dilekatkan pada peran-peran domestik, dan laki-laki lebih pada peran publik.” Indiah Juga menambahkan bahwa akar penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah adanya relasi kuasa, atau relasi yang tim­ pang (tidak setara) antara satu sama lain dan konstruksi gender yang tidak adil. Diantara hal-hal yang mempengaruhi relasi kuasa tersebut adalah tingkat pendidi­ kan, status sosial, senior-junior, usia, pekerjaan, status kesehatan, status ekonomi, mayoritas-minoritas, dan lain sebagainya. Pada sesi malam peserta diajak mempraktikan teknik self healing untuk terapi korban kekerasan. Antusias peserta sangat terlihat ketika mereka meng­gambarkan mimpi mereka di masa depan. Pada hari terakhir, peserta membahas tentang konseling dan pendampingan, rencana tindak lanjut, kemudian ditutup dengan evaluasi kegiatan.[] *Khoirun Ni’mah

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016

| 35


Liputan

Rencanakan Draft Peraturan Desa, Rifka Annisa dan Perangkat Desa Gelar Diskusi Bersama

G

unungkidul, Selasa 6 September 2016, Rifka Annisa WCC bersama Perangkat Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunung Kidul menyelenggarakan diskusi tentang analisa kebutuhan untuk mendorong terbitnya peraturan desa terkait pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kegiatan ini dihadiri oleh beragam unsur masyarakat meliputi KPRD, PKK, FPK2PA, Karang Taruna, Perangkat Desa, dan Tokoh Masyrakat. Kegiatan diskusi tersebut diisi dengan sesi berbagi informasi, kondisi, dan situasi terkait dengan permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak khususnya di Desa Ngalang serta sesi tanya jawab dengan para undangan yang hadir. Diskusi kali ini mengadirkan beberapa pembicara, yaitu Kepala Desa Desa Ngalang, Ketua BPD (Badan Permusyawaratan Desa), Ahmad Tantowi selaku Koordinator Bidang Advokasi Rifka Annisa, dan Rahmad Hamdan selaku Ketua Pendidikan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) Desa Ngalang.

36 |

Dalam sambutannya, Kepala Desa Ngalang menyam­pai­ kan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk menjalankan program pemerintah yang sudah diamanat­ kan dalam undang–undang. Pemerintah desa wajib melaksa­ nakan program, baik yang direncanakan oleh pemerintah provinsi, kabupaten maupun kota terkait agenda nasional tentang perlindungan perempuan dan anak. Beliau juga menyampaikan apreasiasi kepada peserta yang bersedia hadir untuk merumuskan kebutuhan bersama terkait hal tersebut. Rifka Annisa mendukung penuh upaya pemerintah Desa Ngalang dan memberikan masukan-masukan terkait rencana penerbitan peraturan desa tersebut. Ahmad Tantowi menjelaskan, “upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat Desa Ngalang harsus tetap dilanjutkan. Beban yang ditumpukan kepada Pemerintah Desa bisa dibagi dengan masya­ rakatnya melalui pembentukan PATBM dan FPK2PA serta Forum Anak Desa. Jadi, program yang direncanakan dari pusat tidak

menjadi beban bagi Pemerintah Desa dalam pelaksanaannya.” Kegiatan diskusi ini berhasil menggali informasi tentang gambaran situasi perempuan dan anak di Desa Ngalang. Hasil diskusi ini kemudian menjadi acuan bagi pemerintah desa dalam merumus­kan aspek-aspek apa saja yang penting dimasukkan dalam rencana peraturan desa terkait perlindungan perempuan dan anak. *Ifan Maududi Aminul Kalam

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Liputan

Liputan

Wujudkan Keluarga Bebas Kekerasan, KPPPA Bersama Rifka Annisa Gelar Pelatihan Fasilitator

Y

ogyakarta, 8 – 15 Agustus 2016, Rifka Annisa bekerjasama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) menyelenggarakan pelatihan fasilitator pendidikan kesetaraan gender untuk keluarga. Kegiatan ini bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang bebas dari kekerasan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Bertempat di Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta, pelatihan ini berlangsung selama satu minggu berturut-turut. Acara tersebut dihadiri oleh berbagai unsur dari BPMPKB (Badan Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Keluarga Berencana), P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak), PSW (Pusat Studi Wanita), LPA (Lembaga Perlindungan Anak) serta pemerhati isu perempuan dari berbagai provinsi di Indonesia. Sebelumnya, pelatihan serupa telah dilaksanakan pada bulan Mei 2016 yang diikuti 48

peserta dari 11 provinsi, sedangkan pelatihan gelombang kedua ini diikuti 120 peserta dari 25 provinsi. Pelatihan ini merupakan kelanjutan dari pertemuan penyusunan Draft Peraturan Menteri tentang Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak melalui Keterlibatan Laki – laki yang disusun oleh Rifka Annisa. Melalui Draft tersebut, KPPPA dan Rifka Annisa merumuskan siapa saja pihak yang terlibat serta menyiapkan kegiatan peningkatan kapasitas bagi mereka terkait pendidikan kesetaraan gender dalam keluarga. Kegiatan pelatihan berbasis kesetaraan gender dalam keluarga ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kekerasan berbasis gender, cara pencegahan serta penanganannya. Pelatihan diisi dengan metode seperti diskusi serial tematik, permainan, bermain peran, dan musik. Hal ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan metode baru kepada para fasilitator dalam menangani isu kekerasan berbasis gender baik di lingkungan sekitarnya.

Dalam acara tersebut hadir pula Deputi Pengarusutamaan Gender (PUG) KPPPA, Heru Prasetyo Kasidi yang diakhir acara menyampaikan pentingnya membangun peran serta masyarakat dalam penanggulangan kekerasan melalui program Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM). Dari kegiatan ini, beliau berharap para peserta dapat menerapkan hasil pelatihan dalam kehidupannya sehari-hari, mengintegrasikan pendidikan untuk keluarga dalam pengembangan kegiatan PATBM, serta meningkatkan pemahaman keluarga tentang kekerasan berbasis gender. *Ifan Maududi Aminul Kalam

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016

| 37


Memoar

Lembaran Baru Untukku dan Anak-anak Mufarihah Mutia Nur Khusna | Konselor Psikologis Rifka Annisa | mutiamufarihah@gmail.com

5

tahun yang lalu aku menikah dengan mantan suamiku. Awalnya aku bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Tapi setelah aku melahirkan, aku memutuskan untuk berhenti bekerja. Tak kusangka, justru karena hal ini yang menjadi pemicu datangnya konflik dalam rumah tanggaku karena ternyata suamiku sering kali tak memberikan nafkah untuk ku dan anak-anakku. Aku lah yang harus merengek-rengek meminta uang kepada suami demi terpenuhinya kebutuhan sehari-hari. Belum lagi masalah komu­ nikasi yang terjadi dalam hal berbagi peran domestik maupun pengasuhan anak. Suamiku memang terlibat dalam pekerjaan domestik, namun cacian demi cacian pun ikut meluncur dari mulutnya. Sangat menyakitkan. Puncaknya ketika aku sakit, aku meminta bantuan suamiku untuk menenangkan anak kami yang menangis di pagi hari. Suamiku tak berhasil membuat anak kami berhenti menangis, kemudian suamiku justru marah-marah hingga sebuah kotak melayang ke arah tubuhku. Aku sangat terkejut dengan peristiwa yang kualami. Bukan ini yang kuharapkan, bukan ini yang kubayangkan akan terjadi dalam perkawinan­ku bersama suami yang aku cintai. Tetapi keadaan sungguh berbeda dari pengharapanku. Keadaan telah merubah mimpi-­mimpi manis yang pernah kugantungkan tinggi-tinggi pada atap kehidupan rumah tanggaku. Semua mimpi itu melepaskan talinya, terhuyung-huyung, dan terhempas jatuh dengan kejam tanpa perasaan.

38 |

Aku tahu, hubunganku dengan suamiku tak lagi sehat. Aku tahu ada yang tak benar, karenanya, aku pergi ke Rifka Annisa dan bertemu dengan salah satu konselor psikologi. Aku diterima dengan baik disana. Maka, sejak bulan maret 2016 lalu aku mengikuti sebuah ke­ giatan semacam terapi kelompok di Rifka Annisa. Tidak hanya aku yang terlibat dalam kegiatan itu. Ada banyak peserta lain de­ ngan usia yang menurutku cukup beragam. Setelah aku mengikuti satu demi satu sesi pertemuan itu, lantas aku tau bahwa tak hanya usia kami yang beragam, namun juga latar belakang cerita kehidupan rumah tangga kami. Namun tetap saja cerita pengala­ man mereka pun tak jauh-jauh dari cerita yang kualami. Kami duduk berkumpul menjadi sebuah kelompok, support group begitu mereka menyebutnya. Sesuai namanya, program ini bersifat tidak terikat, dengan tujuan untuk saling mendukung, menguatkan, berbagi pengetahuan, bahan ajar, atau menambah kompetensi kami sebagai peserta secara bersama-sama. Kami saling berbagi dan tak lupa membuat komitmen untuk saling menjaga rahasia. Wawasanku menjadi semakin terbuka, bahwa perempuan ketika mendapatkan kekerasan, berhak membebaskan diri baik secara fisik, psikis, ekonomi, seksual, maupun sosial, dan berhak memperjuangkan keadilannya. Ya, aku memutuskan berpisah dengan suamiku bukan serta merta untuk memberikan pelajaran kepadanya, tetapi karena aku yakin aku lebih berhak merdeka dan aku bisa melakukannya. Sampai pada titik ini pula aku yakin ada campur tangan

dari Dzat yang Maha Kuasa yang lebih berhak atas diri dan hidupku ini. Aku teringat, dulu ketika aku hendak menikah sepertinya aku lupa melibatkan-Nya dalam keputusanku sehingga inilah akibat yang harus aku tanggung atas pilihanku sendiri. Namun sungguh bantuan Sang Khaliq tiada hentinya untuk membantu hamba-­hamba-Nya yang rindu akan cahaya rahman dan rahim-Nya. Dan janji Allah itu benar bahwa akan ada bantuan setelah kita berusaha dan berdoa. Kuharap tak kusia-siakan kehadiran kesempatan ini. Sekarang aku mulai menata kehidupanku kembali. Membuka lembaran baru, menggoreskan tinta-tinta penuh warna dengan semangat dalam diriku yang mulai kunyalakan kembali. Mengikuti kelas yoga, bekerja di sebuah sekolah taman kanak-kanak, mengurus anak, mencari tambahan penghasilan melalui online shop dan berbahagia adalah aktivitas yang sedang kujalani saat ini. Masa lalu mung­ kin tak terlupakan. Namun yang bisa kulakukan adalah move on! Tidak apa-apa jika kala itu aku merasa kecewa, marah, sedih, dan kemudian berlari ke orang lain untuk katarsis dengan cara yang tepat. Tetapi yang harus aku sadari bahwa setelah itu aku harus menyelesaikannya, bangkit dan bangun lagi. Mungkin masa lalu tak bisa dilupakan, tetapi bisa kuambil pelajarannya, karena pengalaman masa lalu meng­ ajarkanku berbagai keterampilan hidup untuk bertahan hidup di masa yang akan datang.

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Wawancara Wawancara

TERAPI PEMULIHAN KORBAN: BERDAYA DENGAN POTENSI DALAM DIRI

B

agaimana pengalaman Mba Indiah selama kurang lebih tujuh tahun terlibat dalam upaya penanganan perempuan dan anak korban kekerasan di Rifka Annisa? Saya bergabung dengan Rifka Annisa sejak tahun 2011. Awalnya saya masih menjadi relawan di divisi pendampingan. Pengalaman bekerja di Rifka Annisa dalam pendampingan korban kekerasan selama ini tentu sangat luar biasa. Selama ini saya belajar banyak hal dari berbagai persoalan yang saya tangani. Berawal dari bagaimana kita bertemu dengan klien baru dengan persoalan baru, dan disitulah saya menemukan hal yang baru pula. Dari berbagai pengalaman tersebut, saya menjadi berfikir bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan itu selalu ada dalam kehidupan sehari-hari dan seringkali kita alami sendiri. Saya mulai berfikir bahwa masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari itu, sebenarnya adalah persoalan ketimpangan gender aja. Misalnya, dulu ketika masih remaja kita minder, kemudian mulai kuliah kita mulai berkompitisi dan sebagainya. Ketika kita renungkan, semua hal tersebut terjadi karena adanya tuntutan yang dipicu oleh peran gender.

Pengalaman dan pembelajaran tersebut juga membantu saya untuk lebih memahami situasi dan kondisi orang lain. Hal ini membantu saya dalam membangun relasi baik dengan pasangan, keluarga, teman kerja, maupun teman-teman yang lain. Selain itu, pengalaman selama pendampingan korban juga membantu saya dan teman-teman satu tim menemukan model serta metode baru dalam penanganan kasus, mengelola rumah aman,

dan menjalin hubungan kerjasama dengan lembaga penyedia layanan yang lain. Kemudian, perkembangan teknologi dewasa ini membuat persoalan kekerasan terhadap perempuan menjadi semakin kompleks dan cepat. Sejak berdiri tahun 1993, fasilitas layanan apa saja yang telah disediakan Rifka Annisa untuk membantu perempuan dan anak korban kekerasan? Kita memiliki layanan bagi perempuan korban kekerasan yag meliputi; pendampingan psikologis, pendampingan hukum, dan konseling laki-laki. Konseling

laki-laki yang telah ada sejak tahun 2011, tidak hanya diperuntukkan bagi laki-laki pelaku kekerasan tetapi juga bagi laki-laki yang bukan pelaku. Hal ini dilakukan untuk mencegah laki-laki tersebut supaya tidak melakukan kekerasan di masa yang akan datang. Layanan lain yang juga diberikan adalah konseling, penjangkauan, dan rumah aman. Konseling sendiri terdiri dari berbagai jenis, yakni: konseling untuk perempuan dan anak korban kekerasan, konseling pasangan, konseling untuk tujuan pemulihan, konseling untuk laki-laki, dan support group untuk mendukung pemulihan korban. Medianya juga berbagai macam, bisa klien yang datang ke Rifka Annisa, atau kami yang datang ke rumah klien (layanan penjangkauan), melalui telefon, atau email konsultasi. Dari sekian layanan yang disediakan oleh Rifka Annisa bagi perempuan dan anak korban kekerasan tersebut, mana yang paling berkontribusi besar dalam upaya terapi pemulihan korban? Sebenarnya semua layanan tersebut menyumpang untuk pemulihan korban, tetapi memang yang lebih intensif menyumbang adalah konseling untuk pemulihan. Tapi hal ini tidak kemudian mengecualikan layanan yang lain. Tentu saja semua layanan tersebut saling mendukung dan melengkapi untuk tujuan yang sama, yakni terapi pemulihan korban. Karena

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016

| 39


Wawancara terapi pemulihan korban dapat berhasil ketika ada banyak faktor yang mendukung. Hal lain yang juga penting dalam proses terapi pemulihan korban adalah ketika klien mendapatkan konseling secara intensif, kemudian ada dukungan keluarga dan lingkungan sekitar klien. Untuk kedepan­nya, pendampingan Rifka Annisa akan lebih dikuatkan dibagian support sistem. Sistem dukungan tersebut meliputi, keluarga, teman, tetangga, dan orang-orang yang ada di lingkaran sosial klien yang intensif berinteraksi dan bertemu dengan klien. Kemudian bagaimana dengan layanan rumah aman atau shelter. Apakah Rifka Annisa juga menyediakan rumah aman? kalau iya, bagaimana prosedurnya supaya layanan rumah aman ini dapat diakses oleh perempuan dan anak korban kekerasan? Iya, kami memiliki fasilitas rumah aman. Tetapi ini hanya sebagai tempat tinggal sementara bagi klien. Kami memberikan jangka waktu kurang lebih 14 hari bagi klien untuk tinggal di sana. Ketika klien berada dalam situasi dan kondisi yang tidak aman, maka kami membawanya ke suatu tempat yang aman yang kita sebut ‘rumah aman’. Rumah aman adalah suatu tempat tinggal sementara yang dapat menghindarkan korban dari berbagai ancaman pelaku. Rumah aman bisa disediakan oleh keluarga, tetangga, atau teman sebagai bagian dari support system. Ketika support sistem tersebut tidak ada, maka klien bisa dibawa ke rumah aman yang disediakan oleh lembaga-lembaga layanan seperti Rifka Annisa. Tujuan kenapa klien perlu dibawa ke rumah aman adalah supaya dia bisa keluar dulu dari situasi yang membuat dia terancam, tertekan, dan trauma. Rumah aman ini menjadi salah satu upaya untuk terapi pemulihan psikologis klien. Di rumah aman tersebut, klien mendapatkan layanan konseling dan menyusun rencana bagaimana

40 |

menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi. Sebenarnya apa tujuan dari terapi pemulihan ini? Terapi pemulihan korban dilakukan untuk memulihkan luka batin. Konstruksi yang timpang dari masyarakat kita, menempatkan perempuan menjadi kelompok yang rentan mengalami luka batin disebabkan dari pengalaman ketidakadilan. Ketidakadilan sendiri ada berbagai macam, misalnya ketika di tempat kerja, kita memiliki teman kerja berjenis kelamin laki-laki. Perusahaan akan memberikan promosi lebih dulu pada teman kita tersebut karena dia laki-laki. Padahal secara kemampuan kita tidak kalah dari dia. Atau misalnya dalam keluarga, kita memiliki saudara laki-laki, dan karena kita perempuan, maka orangtua memperlakukan kita secara berbeda dengan saudara yang laki-laki tadi. Misalnya, saudara kita yang laki-laki tadi diberikan kebebasan untuk beraktivitas atau bergaul dengan siapa saja, sedangkan kita tidak. Atau misalnya ketika kita sedang berjalan, kemudian karena kita perempuan, kita dilecehkan oleh orang yang tidak kita kenal, dan lain sebagainya. Semua hal tersebut adalah pengalaman-pengalaman ketidakadilan yang terus terakumulasi dan menumpuk dalam jangka waktu yang lama. Ketika situasi yang terjadi seperti ini, maka proses pemulihan untuk korban akan membutuhkan waktu yang cukup lama juga. Kira-kira berapa lama proses terapi pemulihan bagi korban kekerasan dilakukan? Itu tergantung kondisi klien masing-masing. Selama proses pendampingan, biasanya klien memiliki pilihan dan kenyamanan masing-masing atas berbagai metode terapi yang diterapkan. Berbagai tehnik terapi antara lain: relaksasi, pijat dengan menekan titik-titik tertentu, atau mendengarkan musik, menggambar dan lain sebagainya.

Dalam beberapa kasus, seperti kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan dalam pacaran, dapat menimbulkan luka batin yang sangat besar bagi korban. Ketika luka batin itu menumpuk, maka diri orang tersebut akan dipenuhi oleh energi negatif, sehingga ketika dia berinteraksi dengan orang lain, secara tidak sadar dia menularkan luka batin dan energi negatif tersebut. Seperti menularkan ketakutan, kecemasan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini yang menjadi masalah adalah, tidak semua perempuan menyadari luka batin ini, tidak semua orang menyadari ketidakadilan yang riil dia alami. kenapa? Karena kita para perempuan hidup dalam budaya patriarki yang menganggap hal tersebut sebagai hal yang wajar saja. Selain itu, kadangkala perempuan itu juga “dilarang” untuk melihat kesalahan pada diri orang lain, sehingga kalau ada hal buruk yang menimpa perempuan, maka itu karena kesalahan perempuan itu sendiri. Atau ketika pasangan kita yang berbuat jelek ke kita, itu adalah kesalahan kita, karena kita tidak mampu menjadi istri yang baik. Situasi dan kondisi tersebut, membuat perempuan menutup kesadarannya, sehingga tidak menyadari bahwa dia sedang mengalami kekerasan dan memiliki luka batin. Ketika situasi yang terjadi seperti itu, maka terapi pemulihan korban itu diawali dengan konseling. Hal ini membuat klien menyadari dulu pengalaman-pengalaman riil bahwa, “ya, saya mengalami kekerasan”. Kemudian menyadari bahwa pengalaman kekerasan itu menimbulkan luka batin di hatinya. Ketika dia sudah mengakui pengalaman kekerasan tersebut, baru di kenalkan dengan metodemetode terapi. Metode terapi tidak harus dilakukan bersama konselor, tetapi bisa dipraktekkan sendiri oleh klien ketika dirumah, misal dengan relaksasi. setelah proses tersebut selesai, kemudian klien diajak untuk

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Wawancara menggali potensi yang ada dalam dirinya. Karena bisa jadi selama ini dia tidak melihat potensi dan kelebihan yang dimiliki karena sudah terlalu sibuk menyalahkan diri dan sebagainya. kelebihan tersebut kemudian diarahkan untuk menjadi kekuatan dia di masa yang akan datang. Selanjutnya klien bisa menghadapi persoalannya dengan penuh kesadaran dan menggunakan potensi yang dimiliki. Setelah itu baru menuju ke alternatif-alternatif penyelesaian persoalan. Hal ini dilakukan ketika klien sudah lebih berdaya dari sebelumnya. Bagaimana dinamika yang terjadi pada perempuan dan anak korban kekerasan? Beda-beda, tergantung orangnya. Kita mendampingi banyak jenis kasus, dan tiap jenis kasus itu dinamikanya berbeda-beda. Misalnya kekerasan dalam relasi personal seperti Kekerasan terhadap Istri (KTI) atau Kekerasan dalam Pacaran (KDP). Kasus KTI mungkin lebih kompleks karena sudah melibatkan keluarga, anak, dan sebagainya. Kalau kasus KDP biasanya kesulitannya dalam konteks hukum. Kasus KDP ini tidak ada payung hukumnya. Korban dari kasus KDP biasanya masih muda, sedangkan kasus KTI sudah perempuan dewasa, dan dinamikanya berbeda. Kemudian untuk korban kekerasan seksual yang didampingi Rifka Annisa, sebagian besar korbannya anak-anak, yang tentu saja dinamikanya lebih rumit. Perempuan korban KTI sendiri memiliki situasi yang berbeda-beda. Ada yang datang ke Rifka Annisa dalam keadaan sudah berdaya, dia menyadari apa yang dialami, kemudian dia mengetahui apa kebutuhannya, dan datang ke Rifka Annisa untuk mencari opini. Tetapi ada juga korban datang ke Rifka Annisa untuk tujuan tertentu, misalnya dia mengatakan “saya mau cerai dengan suami saya, kira-kira apa saja yang perlu saya siapkan� dan lain sebagainya. Tetapi ada juga yang datang dalam situasi

serba bingung. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hal ini dapat terjadi karena kasus KDRT itu biasanya membuat kemampuan psikologis, motivasi dan emosionalnya mengalami penurunan. Ada yang datang dalam keadaan ketakutan. Merasa situasinya terancam, atau klien menghubungi kami tengah malam atau pagi-pagi buta. Hal-hal seperti juga seringkali kita temui. Jadi memang dinamika korban itu berbeda-beda, tergantung jenis kasus, usia, dan level kasus. Terapi pemulihan korban itu membantu penyembuhan luka batin saja atau sampai klien itu berdaya? Sebenarnya pemulihan itu hanya sebagai pendukung aja. Prinsipnya pemulihan itu dilakukan oleh klien sendiri. Tidak ada yang bisa membantu dia mengobati luka batinnya selain dirinya. Yang bisa kita lakukan adalah membantu dia untuk menuju ke arah sana. Itu adalah proses psikologis, dan yang bisa kita lakukan adalah meguatkan, menjadi teman, dan lain sebagainya. ini akan membuat dia termotivasi untuk memulihkan dirinya sendiri. Apakah nanti bisa pulih apa tidak itu tergantung si klien sendiri. Dalam proses pendampingan, terapi pemulihan itu bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan persoalan klien. Terapi hanya membantu menfasilitasi klien untuk memulihkan dirinya sendiri. Selebihnya itu adalah usaha dari klien sendiri. Dukungan keluarga, teman dan tetangga itu jauh lebih penting dari terapi itu sendiri. Karena misalnya klien udah terapi sedemikian rupa, tetapi dia tidak didukung oleh keluarganya itu menjadi hal sulit untuk klien bisa pulih. Definisi pulih sendiri kan sangat luas, tidak hanya pulih secara psikologis, tapi juga secara sosial. Artinya secara psikologis dia kembali bermakna, kembali menemukan konsep dirinya. Secara sosial, dia kembali bermanfaat bagi lingkungannya. Ada juga pulih secara ekonomi. Maka

untuk menuju pulih secara komprehensif tentu dilihat dari banyak sektor, termasuk pendekatan secara hukum. Misalnya, ketika pelaku divonis hukuman sesuai dengan perbuatannya, itu secara tidak langsung juga memenuhi rasa keadilan klien dan juga mendukung pemulihan dia. Apa saja tantangan yang dihadapi dalam upaya terapi pemulihan korban? Tantangannya adalah bagaimana kita bisa memahami situasi dan dinamika psikologis setiap korban. Soalnya persoalan kekerasan yang sedemikian rupa, kadang korban mengambil pilihan yang kurang strategis bagi dirinya. Misal korban KDRT, kemudian dia lari ke perilaku negatif seperti narkoba. Padahal itu kan dampak dari kekerasan juga. Atau korban punya pacar lagi, sehingga orang menganggap dia sebagai orang yang suka selingkuh. Kita paham bahwa itu adalah dampak, tetapi orang pada umum­nya seringkali men-stigma negatif. Sehingga yang terjadi, orang-orang di sekitarnya menarik diri dari dia dan tidak mau membantunya menyelesaikan masalah. Hal ini memperburuk situasi korban sendiri. Tantangan lain adalah, perspektif yang dimiliki oleh lingkungan korban itu sendiri. Bagaimana keluarganya melihat persoalan yang sedang dihadapi si korban. Ketika perspektif keluarganya masih bias, maka mereka tidak dapat menjadi pengaman sosial, tapi malah yang memperburuk situasi. Tantangan untuk korban sendiri adalah setiap orang berbeda-beda dalam memahami situasi. Ada yang cepat ada yang lamban. Ada yang secara status sosial tinggi ada yang rendah. Semakin kurang daya dukung sumber daya seperti ekonomi atau tingkat pengetahuan semakin rendah, itu membuat korban semakin rentan mengalami kekerasan kembali. []

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016

| 41


Profile

Terus Berjuang Mendampingi Korban

I

ndiah Wahyu Andari, atau akrab disapa Indi, adalah ma­ nager Divisi Pendam­ pingan Rifka Annisa. Perempuan muda yang memiliki hobbi membaca ini lahir di Yogyakarta pada 5 November 1985. Kegemarannya pada isu-isu sosial sejak masa kuliah, membuat perempuan berusia 33 tahun ini tertarik untuk terlibat dalam upaya-upaya penghapusan kekerasan pada perempuan dan anak di Rifka Annisa. Indiah mendapatkan gelar sarjana di bidang psikologi dari Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta. Pada tahun 2011, ia memutuskan menjadi relawan di divisi pendampingan Rifka Annisa kemudian ia diangkat menjadi manajer di divisi tersebut pada tahun 2016 hingga sekarang. Sebagai konselor psikologis, perempuan pecinta kucing ini mengaku belajar banyak dari berbagai pengalaman para perempuan korban kekerasan yang ia dampingi. Selain itu, keterlibatan Indiah dalam berbagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak secara tidak langsung juga melatih kemampuannya untuk melakukan fasilitasi di

42 |

berbagai pelatihan. Sehingga, sampai saat ini ia telah banyak dipercaya untuk mengampu berbagai pelatihan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan, termasuk pelatihan konseling. Selain terlibat dalam pendampingan dan pelatihan, istri dari Dzuriat Fadil ini juga memiliki beberapa pengalaman dibidang riset, di antaranya; Kematangan Sosial Anak Sindroma Down, Kekerasan Seksual Anak di Gunungkidul, dan Pandangan Anak Terhadap Penelitian Tentang Kekerasan Terhadap Anak. Selanjutnya, beberapa pengalaman program yang juga pernah diampu Indiah antara lain; Pendampingan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan dan Konseling Laki-laki (2011-sekarang), Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan di Propinsi Papua (2013), Men Care Plus (2013-2015), Maju Perempuan Indonesia untuk Pengentasan Kemiskinan (MAMPU) (2016), dan Prevention

Plus (2016-sekarang). Setelah cukup lama berprofesi sebagai konselor dan bertemu langsung dengan para korban kekerasan, Indiah mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak hampir terjadi disepanjang rentang kehidupan perempuan. Konstruksi yang timpang antara laki-laki dan perempuan menyebabkan terjadinya ketidakadilan terhadap perempuan. Ketidakadilan ini menempatkan perempuan menjadi kelompok yang rentan mengalami kekerasan yang berdampak pada fisik maupun psikologis korban. Perempuan seringkali mendapatkan kekerasan dari orang-orang terdekatnya seperti keluarga dan pasangan. Hal tersebut merupakan bagian dari pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan yang terus terakumulasi dan menumpuk dalam jangka waktu yang lama. Sehingga, ketika situasi yang terjadi seperti ini, maka proses pemulihan untuk korban akan membutuhkan waktu yang cukup lama sampai korban mampu bangkit dan berdaya dalam menjalani kehidupannya kembali. *Khoirun Ni’mah

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Dapur Rifka

Laki-laki Juga Bisa Menghentikan Kekerasan Seksual Defirentia One M | Manajer Humas dan Media - Rifka Annisa | Pemimpin Umum Rifka Media| defirentiaone@yahoo.co.id

K

ekerasan seksual bukan hanya masalah perempuan, melainkan juga masalah laki-laki. Kekerasan seksual terjadi dalam sebuah budaya yang masih melanggengkan toxic masculinity atau karakteristik maskulinitas yang bermasalah. Meskipun tidak semua laki-laki berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual, namun praktik-praktik maskulinitas yang berlebihan membuat laki-laki lebih beresiko terlibat dalam budaya yang melanggengkan kekerasan seksual. Dalam buku Sexual Assault in Context: Teaching College Men about Gender, Christopher Kilmartin (2001) menjelaskan karakteristik yang cenderung dimiliki oleh pelaku kekerasan seksual, sebagai berikut:

Pertama, penerimaan dan internalisasi ideologi maskulinitas secara berlebihan dan melihat perempuan sebagai pihak yang dimusuhi atau dikuasai. Namun bukan berarti semua laki-laki yang bersikap seperti itu adalah pelaku, namun kebanyakan pelaku kekerasan seksual cenderung seperti itu. Kedua, meskipun tidak selalu, beberapa kasus kekerasan seksual memiliki motif untuk balas dendam dan pembuktian bahwa posisi pelaku tidak terkalahkan. Dalam pengalaman Rifka Annisa menangani kasus-kasus kekerasan seksual, motif balas dendam ini tidak begitu terlihat pada pelaku. Kekerasan seksual dapat terjadi karena pelaku merasa inferior atau rendah diri sehingga untuk pembuktian superioritasnya ia melakukan

pemaksaan secara seksual kepada perempuan. Dalam konsep maskulinitas, laki-laki itu harus superior, kondisis inferioritas dianggap sebagai sebuah ancaman bagi laki-laki. Sementara serangan secara seksual dipilih karena dianggap hal tersebut adalah cara paling mudah untuk menjatuhkan dan menguasai perempuan. Ketiga, pelaku kekerasan seksual umumnya mempercayai mitos-mitos tentang perkosaan (rape myth) atau keyakinan tertentu terkait seksualitas. Misalnya, sebagaimana dijelaskan di http://rapecrisis.org.uk, perempuan pantas diperkosa karena ia dianggap menggoda atau memakai pakaian yang mengundang pelaku untuk memperkosa. Pelaku juga menyimpulkan, ketika seorang perempuan

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016

| 43


Dapur Rifka tidak menghindar atau melawan ketika terjadi pemaksaan untuk berhubungan seksual, berarti ia menikmatinya. Selain itu, ia juga menganggap bahwa jika dua orang, laki-laki dan perempuan, sekali pernah melakukan hubungan seksual maka tidak apa-apa untuk selalu berhubungan seksual lagi. Keempat, pelaku pernah mengalami kekerasan fisik, psikologis dan seksual di masa kecilnya. Pengalaman kekerasan di masa kecil semakin memperbesar resiko seseorang untuk melakukan kekerasan di masa mendatang. Kelima, pelaku merasa berhak untuk berhubungan seksual atau melampiaskan hasrat seksual ke perempuan karena mereka melihat perempuan sebagai objek seksual. Keenam, pelaku meng­ ikuti norma-norma sosial yang berkembang dalam kelompok laki-laki. Misalnya, laki-laki yang pernah berhubungan seksual dengan banyak perempuan akan mendapatkan status yang lebih dibandingkan teman-temannya. Laki-laki akan dituntut untuk selalu siap berhubungan seksual kapan pun dan perempuan harus selalu memenuhi keinginan itu tanpa berkata “tidak”. Bagi laki-­laki melakukan hubungan seks dengan perempuan adalah juga membuktikan bahwa mere­ ka bukan gay atau homo­seksual. Laki-laki melihat hubungan seks sebagai serangkaian tugas dan teknik semata daripada hu­ bungan perilaku antara dua orang. Meskipun adanya mas­ kulinitas yang berlebihan, budaya seksis dan tekanan kelompok, sebenarnya tidak semua laki-laki rentan menjadi pelaku. Kebanyakan laki-laki justru tidak melakukan kekerasan seksual, tetapi mereka juga tidak melakukan apa-apa ketika sebagian kelompoknya masih terjebak dalam perilaku kekerasan seksual.

44 |

Laki-laki Bisa Cegah Kekerasan Seksual Namun demikian masih sedikit sekali laki-laki yang menyadari bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah masalah yang mereka hadapi. Laki-laki seringkali mengabaikannya, mengecilkannya dan bahkan mengindarinya. Kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai masalah perempuan, sehingga keterlibatan laki-laki dalam masalah ini masih sangat kecil. Masih rendahnya keterlibatan laki-laki dalam upaya penyelesaian maupun pencegahan kekerasan terhadap perempuan ini, juga terkait dengan masalah bagaimana kekerasan terhadap perempuan itu di­ pahami sebagai persoalan di masyarakat. Misalnya tentang bagaimana kekerasan terhadap perempuan itu diselesaikan, siapa yang harus bertanggung jawab, bagaimana kekerasan dipandang sebagai hal yang lumrah dan bagaimana masyarakat memisahkan ruang publik dan domestik itu sebagai urusan laki-laki dan perempuan. Semua itu berpengaruh pada sejauh mana laki-laki akan terlibat dalam upaya-upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan ter­ hadap perempuan yang terjadi di masyarakat. Bagaimana laki-laki bisa terlibat mencegah kekerasan seksual? Laki-laki bisa meng­ ubah situasi sosial mulai dari diri sendiri dan kelompoknya dengan berperilaku respect pada perempuan, tidak melakukan perilaku atau candaan yang seksis, tidak menonton/menyebarkan pornografi dan tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan budaya yang melanggengkan maskulinitas negatif, mengobjektivikasi pe­ rempuan dan mempertontonkan kekerasan. Selain itu, laki-laki juga harus menyadari bahwa maskulinitas berlebihan akan berdampak negatif bagi diri mereka. Jika

begitu, laki-laki tidak akan dengan mudah bertindak yang membuat orang lain tidak nyaman atau membahayakan orang lain. Mereka harus berani berkata tidak atau mengintervensi jika menyaksikan ada perempuan mengalami kekerasan. Laki-laki perlu memiliki skill untuk bisa mempengaruhi dan mengajak kelompok laki-laki lain untuk tidak melakukan kekerasan seksual pada siapa pun termasuk perempuan. Lakilaki dapat mengedukasi sesama laki-laki tentang gender dan maskulinitas positif. Dengan berlaku sebagai peer educator, laki-laki dapat membuat perubahan di dalam kelompoknya dan menyebarkan perubahan lebih luas ke masyarakat.

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016


Esai Foto

Teks dan foto: Tiwuk Lejar Sayekti

Terapi Pemulihan melalui Proses Kreatif Bersama

K

ekerasan terhadap perempuan menjadi konsekuensi paling serius dari ketidaksetaraan gender. Tidak jarang perempuan mengalami kekerasan dalam bentuk berlapis-lapis, baik fisik maupun mental, di rumah maupun dalam masyarakat. Peristiwa kekerasan yang dialami korban bisa jadi sangat traumatis dan membutuhkan pe­nanganan serius agar korban dapat kembali pulih. Penanganan korban kekerasan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah memberikan pendampingan psikologis untuk membantu korban pulih secara mental serta mampu kembali menjalani kehidupannya dengan baik. Terapi pemulihan korban tidak berhenti pada terapi kon­­­ seling saja, namun bisa dilanjutkan dengan terapi pasca konse­ ling. Terapi pasca konseling bisa

dilakukan jika korban sudah cu­kup berdaya. Jika korban te­ lah pulih secara psikologis, maka gejala-gejala traumatis yang dialaminya semakin berkurang atau hilang sama sekali. Ia juga mulai merasa berdaya dan termotivasi untuk melakukan langkah-­langkah tertentu yang positif bagi hidupnya dan bagi kehidupan orang-orang disekitar­ nya. Terapi pemulihan melalui aktivitas kesenian bisa menjadi pilihan. Terapi ini didasarkan pada ke­yakinan bahwa proses kreatif seper­ti menggambar, merajut, memasak, atau membuat kerajinan lainnya bersifat menyembuhkan dan menguatkan kehidupan. Bagi beberapa orang, trauma psikologis bisa sangat sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Karena itu, terapi seni bisa menjadi sarana untuk menggambarkan emosi dan perasaan.

Suatu kegiatan yang di­ lakukan dengan passion sudah pasti bersifat terapeutik karena akan terasa menyenangkan. Selain itu kegiatan ini juga membawa efek katarsis, yaitu membersihkan atau menyembuh­ kan jiwa. Elemen inilah yang pada proses­nya berperan penting dalam terapi pasca konseling.

Rifka Media No.66 Agustus-Oktober 2016

| 45



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.