Rifka media No 65 "Dua Wajah Media Sosial"

Page 1

cover


Gallery Rifka

raan idikan Keseta Praktik Pend serta pe eh luarga ol Gender di Ke as it un m PA di ko training KNP sung ng la er b Acara Kulon Progo. l inggu 29 Apri pada hari M umah R i d at p ­tem 2016 dan ber desa enggungan, pak Dukuh M lon Ku , Pengasih Tawangsari, Progo

Rifka Annisa meng­adakan outbond dengan tema “Membangun Pergaulan Sehat Remaja dan Keseha tan Reproduksi”, bersama rem aja binaan Rumah Pintar Nu r’aini pada 11 April 2016. Aca ra bertempat di kawasan Ru mah Pintar Nur’aini, Jeruksari RT 01, RW 20, Wonosari , Gunungkidul

a diundang Rifka Annis r di fasilitato untuk menja si tentang lisa dalam sosia n produksi da re n ta a h kese n n kekerasa pencegaha t mis 17 Mare a ­seksual, K s a sm e Pusk 2016 di Aula an, k si e G 1 Pandak ak, Bantul, d n a P , jo e Wijir ri . Tujuan da Yogyakarta tu dalah un k sosialisasi a n kesehatan mengenalka epada sejak dini ­k ­reproduksi ekolah anak-anak ­s


Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

Daftar Isi

Laporan Utama

Jendela Media Sosial: Media Aktualisasi Diri Khoirun Ni’mah | 05

Laporan Utama

Kesucian Media Sosial, Media Presentasi Diri Virtual Debby Elsha | 06

Suara pencegahan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak di Media Sosial Agustin Pandhuniawati Heryani, M.Pd | 13

Cyber Crime Di Balik Layar Gadget Ulmi Marsya | 22

Remaja Dalam Pusaran Arus Media Sosial Glasfita Magfira Armida | 29

Candu itu Bernama Media Sosial Defirentia One Muharromah | 37

Lesehan Buku

Paradoks Kebebasan Berinternet: Bebas Dari Apa dan Bebas ntuk Apa? Bagus Ajy | 43

Liputan Berbagi Inspirasi Dalam Rifka Goes to Community Defirentia One | 46

Kolaborasi Dengan Organ Tunggal, Rannisakustik Ajak Warga Cegah Kekerasan Defirentia One | 47

Kenalkan Kesehatan Reproduksi Sejak Dini Khoirun Ni’mah | 48 Bermula dari Facebook Purnawati | 49

Memoar Wawancara

Media Sosial: Media Kampanye Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak | 50

Profile Waspada Kejahatan Di Dunia Maya | 54 Merawat Pengetahuan Di Era Digital, Tak Sekedar Meratas Realitas Defirentia One| 50

Essai Foto

Dapur Rifka Esai Foto

Tiwuk Lejar Sayekti | 57

Penanggung Jawab: Suharti (Direktur Rifka Annisa) Pemimpin Umum: Defirentia One Pemimpin Redaksi: Khoirun Ni’mah Sekretaris Redaksi: Niken Anggrek Wulan Staff Redaksi: Ratnasari Nugraheni, Ulmi Marsya, Nitia Agustini, Novia Dwi Rahmaningsih, Tommy Apriando, Arifuddin Kunu Fotografer: Tiwuk Lejar Sayekti Layouter: Iqbal Redaksi menerima tulisan dari pembaca sekalian terkait dengan isu-isu perempuan kepada khalayak yang lebih luas. Kritik dan saran kami tunggu di rifka@rifka-annisa.org.

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

|3


Selamat sore Rifka Annisa, saya Indah. Saya merasa tertarik untuk bergabung menjadi anggata komunitas LSM Rifka Annisa. Bagaimana caranya? Mohon Informasinya. Terimakasih

SURAT PEMBACA

Halo Indah, Rifka Annisa terbuka sekali ketika ada sahabat Rifka yang tertarik untuk bergabung. Berikut Informasi tentang prosedur magang di Rifka Annisa, http:// rifka-annisa.org/id/magang-penelitian Demikian, semoga bermanfaat. Admin.

Selamat siang Rifka annisa wcc, saya mau tanya bagaimana cara & syarat untuk saya bisa mendapat perlindungan hukum agar saya tidak menjadi.korban KDRT. Saat ini saya tengah mengalami KDRT, bukan hanya fisik taip mental juga. Mohon bantuannya. Terimakasih.

Assalamualaikum Rifka Anisa, Saya Angie. Bisa tidak ya saya berkonsultasi secara langsung Dan bertanya tentang apa saja kepada Rifka Annisa? Terimakasih.

Selamat Pagi Sahabat Rifka. Untuk perihal demikian, sahabat bisa langsung menghubungi nomor telepon kantor kami di 0274-553333, atau hotline kami 0851-00431298 untuk membuat janji bertemu dengan konselor hukum. Biayanya gratis.

Data Statistik

Waalaikumsalam Angie. Bisa aja. bisa lewat telfon, email, FB atau datang langsung ke kantor kami Rifka Annisa WCC. kami juga ada layanan hotline 24 jam. Untuk informasi lebih lengkap tentang kontak kami, sahabat angie bisa langsung kunjungi website kami http:// rifka-annisa.org/id/. Semoga bisa membantu.

Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) di Rifka Annisa Januari - April 2016 MEDIA

KTI KDP PKS Pelseks KDK

: : : : :

Kekerasan Terhadap Istri Kekerasan Dalam Pacaran Perkosaan Pelecehan Seksual Kekerasan Dalam Keluarga

KASUS

JUMLAH

KTI

KDP

PKS

PEL-SEKS

KDK

TRAF

TATAP MUKA

61

13

1

3

6

0

84

TELEPON

0

0

1

0

0

0

1

OUTREACH

9

3

13

3

0

5

33

EMAIL

9

0

0

0

1

0

10

JUMLAH

79

16

15

6

7

5

128

Sumber : Data base Divisi Pendampingan Rifka Annisa


Jendela

Khoirun Ni’mah Pemimpin Redaksi

MEDIA SOSIAL: MEDIA AKTUALISASI DIRI

M

edia sosial dan internet merupakan bagian dari perkembangan teknologi informasi yang semakin massif dewasa ini. Internet diantaranya Friendster, Facebook, Twitter, Instagram, LinkedIn, Snapchat, Pinterest dan lain sebagainya, memberikan fasilitas chatting yang dapat mempermudah komunikasi antar pengguna meski berada dalam jarak yang jauh. Di antara keunggulan lain dari media sosial, adalah mempererat dan memperluas jalinan pertemanan. Selain itu, Komunikasi melalui media sosial juga mempercepat ter­ sampainya pesan. Termasuk bagian dari perkembangan Internet, kehadiran smartphone memiliki pengaruh besar dalam kehidupan remaja. Seringkali smartphone dianggap sebagai smartfriend bagi remaja yang harus selalu ada dalam genggamannya. Di banyak sekolah memang melarang para remaja sebagai peserta didik untuk membawa handphone ke sekolah. Akan tetapi tidak sedikit juga sekolah yang memperbolehkan dengan berbagai pertimbangan dan alasan masing­-masing. Me­lihat anatomi media sosial antara lain adanya kolom status, kolom komentar (opini), personal chat, deskripsi identitas pemiliki akun, unggah foto/video, hingga share link yang kemudian membentuk ruang-ruang komunikasi digital. Sehingga, karakteristik dan fasilitas yang dimiliki oleh media sosial tersebut memungkinkan pengguna termasuk remaja dapat dengan mudah mengakses maupun membagikan informasi baik dalam bentuk opini, berita, maupun curahan perasaan. Pada akhirnya, perilaku remaja sebagai salah satu kelompok pengguna media sosial, sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya yang mereka dapatkan dari internet. Banyaknya keunggulan yang ditawarkan oleh media sosial tersebut, perlu juga diimbangi dengan kewaspadaan yang tinggi bagi para pengguna. Ada beberapa kasus kekerasan yang rentan terjadi di dunia maya, di antaranya seperti pornografi, kekerasan seksual lewat internet, cyberbullying, penipuan hingga penculikan. Hal ini karena, adanya kebebasan berekspresi lewat media sosial seperti mengunggah berbagai gambar diri, membuat status, atau membagikan link tertentu yang dapat mengundang reaksi dan dimanfaatkan pengguna lain yang tidak bertanggungjawab. Rifka Media edisi ini difokuskan untuk membahas tentang media sosial dilihat dari dua sisi yakni sisi positif dan sisi negatif. Hal ini melihat bahwa media sosial disamping memiliki manfaat yang luar biasa bagi pengguna, juga memiliki kerentanan yang tinggi untuk terjadi kekerasan. Selain itu, edisi ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran bagi pembaca tentang dua wajah pada media sosial supaya lebih selektif dalam penggunaannya.

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

|5


Laporan Utama

Kesucian Media Sosial, Media Presentasi Diri Virtual Debby Elsha Mahasiswa Pasca Sarjana Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta | debbyelsha@gmail.com

Mengenal Sosial Media dan Dampaknya Media sosial, sesuai dengan namanya adalah me­dia yang memiliki fungsi untuk mendukung interaksi sosial penggunanya. Media sosial dapat digunakan un­tuk mempertahankan dan me­ngem­ bangkan relasi atau interaksi sosial yang sudah ada serta dapat di­gunakan untuk mendapatkan teman­-teman baru. Sejak kemunculan class­ mates.com dan sixdegrees. com pada pertengahan tahun 1990-an, mulailah bermuncul­ an media sosial lainnya yang lebih spesifik dan membidik ke bidang-bidang tertentu. Media sosial yang banyak digunakan oleh para penggu­ na internet biasanya juga banyak digunakan di Indo­ nesia seperi Friendster, Facebook, Twitter, Instagram, LinkedIn, Snapchat, Pinterest dan lainnya. Terdapat juga media sosial yang khusus mengarah ke bidang terten­ tu seperti travelling yaitu CouchSurfing, maupun media yang mengkhususkan ke seni digital seperti DevianArt. Dengan adanya perkembangan yang pesat dalam penggunaan media baru ini, pengguna internet memiliki kesempatan yang seluas-luas­ nya untuk memaksimalkan

6 |

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Laporan Utama tujuan berinteraksi sosial dan mengembangkan dirinya. Pengguna dapat melakukan berbagai tindakan melalui akun pribadinya antara lain mengunggah foto, membuat tulisan pada ruang yang disediakan seperti kolom status di Facebook dan kolom tweet pada Twitter. Selain itu tersedia juga fasilitas untuk tag location yang berfungsi untuk menginformasikan dimana lokasi si pengguna sedang berada. Tidak hanya itu, fitur reminder (pengingat) juga berguna mengingatkan pengguna untuk melakukan suatu kegiatan salah satunya pengingat hari ulang tahun teman sesuai dengan data diri yang diinformasikan oleh akun tersebut. Fitur peng­ ingat ini memudahkan pengguna dan memiliki dampak yang positif karena dapat mempererat jalinan pertema­ nan dengan tindakan saling mengucapkan selamat ulang tahun. Media sosial menjadi begitu digemari oleh masya­ rakat karena didukung oleh berbagai kemudahan. Antara lain yaitu jaringan internet yang mudah didapat, berba­ gai jenis smartphone dan media elektronik lainnya dengan harga terjangkau, serta cara pengoprasian media sosial yang sangat mudah. Hal ini memudahkan masyarakat dari berbagai kalangan untuk dapat menggunakan media sosial dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi lain adalah media sosial dapat memper­ erat dan memperluas jalinan pertemanan. Hal ini dimudah­kan dengan sifat

media sosial yang menembus ruang dan waktu. Kita tidak perlu bertatap muka dengan orang yang hendak kita ajak berteman dan bicara. Tanpa adanya batasan tersebut, pengguna dapat saling ber­ba­ gi dengan para pengguna akun di belahan dunia manapun sehingga dapat mengirimkan informasi dengan sangat cepat. Para pengguna dapat berkomunikasi dengan menggunakan fasilitas-fasilitas yang disediakan sehingga inter­aksi dapat terjalin dengan efektif dan efisien. Dengan adanya kemampuan untuk berinteraksi tanpa batasan wilayah dan waktu, media sosial dapat menjadi sarana pergerakan yang dilakukan oleh banyak orang dan bia­sa­nya dapat meraih jutaan akun untuk ikut berpartisipasi. Media sosial pun menjadi media yang efektif untuk pergerakan massa. Contoh yang mudah ditemui adalah gerakan satu juga facebookers (sebutan untuk pengguna Facebook) dan gerakan mengum­pulkan koin yang berhasil membuat massa melakukan tindakan kolektif. Kedua gerakan ini menunjukkan adanya kepedulian masyarakat pada masalah sosial yang mungkin melibatkan suatu kelompok maupun perseorangan yang biasanya perlu dibantu dan diberi dukungan. Kepedulian masyarakat terhadap permasalahan sosial ini merupakan tindakan nyata yang dilakukan melalui dunia maya. Hal ini tentunya merupakan dampak positif dari dinamika yang terjadi dalam dunia maya secara efektif.

Tidak hanya memiliki dampak positif, sifat media sosial yang tidak terbataskan ruang dan waktu tersebut juga dapat memberikan dampak negatif yang merugi­ kan pengguna akun media sosial. Sifat media sosial yang maya, berpotensi untuk membuat pengguna merasa aman dan tidak perlu bertanggung­ jawab pada tindakan tidak bertanggungjawab yang ia lakukan dengan menggunakan akun untuk berinteraksi de­ngan pengguna lain. Banyaknya aksi kekerasan dalam dunia internet khususnya media sosial (cyberbullying) juga disebabkan oleh tindakan tidak bertanggungjawab tersebut karena pemilik akun menjadi tidak sungkan untuk meng­ungkapkan apapun termasuk kata-kata yang tidak santun, kasar, menjatuhkan, menghi­na dan merendahkan orang lain. Sehingga hal ini dapat memberikan dampak trauma psikologis mendalam pada orang yang dituju. Selain itu, sifat yang maya dan virtual ini juga dapat memudahkan pengguna untuk membuat akun palsu media sosial­nya, sehingga tidak dikenali dan dideteksi identitas asli penggu­na tersebut. Seringkali hal ini dimanfaatkan untuk tindakan-tindakan kejahatan yang dapat membahayakan pengguna lain. Adanya fasilitas chatting memudahkan pengguna untuk memulai pembicaraan sehingga terjalin interaksi yang intens. Komunikasi yang terus terjalin ini memungkinkan pada tindakan pertemuan antar pengguna dan melancarkan

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

|7


Laporan Utama berbagai kasus kejahatan. Banyak re­maja perempuan tentan tertipu dan menjadi korban kejahatan seperti tindakan penipuan, perampas­ an dan pemerkosaan oleh laki-laki yang menyatakan keter­tarikan kepada mere­ka. Tidak hanya remaja, bahkan anak-anak juga tidak sedikit yang menjadi korban penipuan dan penculikan. Adanya tindakan-tindakan yang merugikan seperti ini didukung oleh kemudahan dalam penggunaan media sosial yang dapat dijangkau pengguna dari berbagai usia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Bahkan. tidak sedikit akun media sosial yang dimiliki oleh anak-anak tanpa adanya larangan ataupun pengawasan dari orang tua. Menciptakan Sosok Virtual Dalam Akun Sosial Media Aktivitas pengguna media sosial dari kalangan remaja dan anak-anak perlu untuk diperhatikan secara khusus karena berbagai dampak nega­tif yang menyertainya sangat perlu untuk diwaspadai. Penggunaan media sosial ini berkaitan dengan presentasi diri yang dibangun oleh remaja. Selain itu, terlalu ba­nyak menghabiskan waktu untuk berselancar di media sosial dapat memicu munculnya sikap anti sosial. Hal ini karena pengguna terlalu asyik dengan dunia maya, sehingga tidak mempedulikan orang disekitarnya. Dilihat dari perkemba­ ngan usianya, remaja khusus­ nya pada tingkat SMP dan SMA merupakan remaja awal yang

8 |

sedang berada didalam krisis identitas. Mereka cenderung mempunyai rasa keingintahuan yang tinggi, selalu ingin mencoba hal-hal baru, mudah terpengaruh dengan temanteman sebayanya (peer groups), dan juga mulai suka memperluas hubungan antara pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan teman sebaya, baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, kemudah­an untuk mengakses media sosial dapat memberi­ kan dampak yang baik maupun buruk bagi mere­ka. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipenga­ruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (peer groups). Hal ini karena perkembangan sosial pada masa remaja lebih banyak melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua. Berbeda dengan masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstraku­ rikuler dan bermain dengan teman (Papalia dkk: 2001). Sifat sosial media yang memudahkan pengguna untuk mengunggah dan menyebar­ luaskan informasi menjadi wadah yang mampu memfasilitasi keinginan pengguna untuk membuat citra diri dengan menampilkan berba­ gai hal yang mendukung. Citra diri ini dikonstruksi sedemikian rupa misalnya de­ ngan membuat kata-kata bijak di status ataupun tweet, mengungkapkan opini maupun kritik terhadap sesuatu

khususnya yang sedang ramai diperbincangkan, mengkomu­ nikasikan kondisi yang sedang dialami, menyampaikan aktivitas yang sedang dilakukan, menginformasikan dimana lokasi pengguna berada, mengunggah foto terbaru dan berbagai aktivitas lainnya yang dilakukan melalui akun pribadi sosial media. Erving Goffman (1959) dalam buku yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life menyatakan bahwa setiap individu, yang juga disebut sebagai aktor, mempresentasikan diri­ nya secara verbal maupun non-verbal kepada orang lain yang berinteraksi de­ ng­an dirinya. Presentasi ini tentunya dapat dilakukan melalui update status dan foto yang dapat dilakukan melalui media sosial. Lebih jauh, Boyer dkk (2004) menjelaskan bahwa presentasi diri ini juga dilakukan sebagai tindakan menampilkan diri yang bertujuan untuk mencapai sebuah citra diri yang diharapkan. Presentasi diri ini dapat dilakukan oleh individu perseorangan maupun kelompok/organisasi. Presentasi diri berkaitan dengan segala aspek dalam kehidupan seseorang maupun kelompok/organisasi yang meliputi berbagai kegiatan serta kepemilikan yang mewakili jati diri si pengguna akun. Seorang model foto maupun model peragaan busana akan meng­ unggah foto-foto dirinya saat terlibat dalam suatu kegiatan dan sesi foto. Foto-foto tersebut akan diunggah melalui proses seleksi yang dianggap dapat menampilkan citra diri Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Laporan Utama terbaik sesuai dengan yang diharapkan sehingga tampak seperti sosok idaman (impian) bagi dirinya dan yang menurutnya juga diidamkan bagi orang lain. Untuk itu, pengguna sosial media memerlukan strategi agar dapat mengkonstruksi identitas mereka sehingga mampu mencipta­ kan presentasi diri yang sebaik-baiknya. Terdapat lima strategi dalam konstruksi presenta­si diri yang dinyatakan oleh Jones dalam buku Interpersonal Perception (1990). Strategi ini diperoleh melalui eksperimen yang dilakukan terhadap situasi interpersonal: 1. Ingratiation Tujuan utama dari stra­ tegi ini adalah agar ia di­sukai orang lain. Caranya antara lain de­ ngan menya­takan hal-hal positif khususnya tentang orang lain, atau dengan mengatakan se­dikit hal-hal negatif tentang dirinya sendiri. Hal ini dilakukan untuk dapat menyatakan keakraban, humor dan kesederhanaan. Strategi ini dapat dilakukan dengan mengata­kan sesuatu di ruang status ataupun tweet. 2. Competence Tujuan dari strategi ini agar dianggap terampil dan berkualitas. Meliputi pengakuan tentang kemampuan, prestasi, kinerja dan kualifikasi. Sebagai contoh, seorang politikus akan menyata­ kan opininya terhadap suatu permasalahan sosial

dan kondisi politik terkini sehingga menunjukkan kompetensi dirinya. 3. Intimidation Pengguna strategi ini bertujuan untuk mendapat­ kan kekuasaan. Strategi ini memiliki karakteristik umum berupa ancaman, pernyataan kemarahan, dan kemungkinan ketidak­senangan. Strategi ini dapat dilihat dalam akun-akun pengguna media sosial yang mengeks­ presikan ketidaksukaan ataupun ketidaksetujuan terhadap sesuatu dengan sangat ekspresif. Biasanya ditunjukkan dengan meng­ gunakan kata-kata yang tidak pantas dan emoti­ con yang mendukung perasaannya. 4. Exemplification Strategi ini bertujuan agar dianggap secara moral lebih unggul atau memiliki standar moral yang lebih tinggi. Karakter umumnya adalah ko­ mitmen ideologis atau militansi, pengorbanan diri dan kedisiplinan diri. Strategi ini dapat ditun­ jukkan dengan meng­­ung­ gah foto-foto atau gambar yang bersifat nasionalis, atau menggambarkan ideo­logi tertentu. Dapat juga ditunjukkan dengan memberikan komentar mengenai keburukan dan solusi hukum, politik, dan hal lain yang berkaitan. 5. Supplication Tujuannya adalah untuk tampak tidak berdaya

sehingga orang lain akan datang untuk memberikan perhatian dan bantuan kepada orang tersebut. Karakter dari strategi presentasi diri yang ini adalah termasuk me­mohon bantuan dan tindakan rendah diri. Strategi ini dapat ditemui pada tulisan-tulisan pengguna misalnya dalam update status atau tweet yang menyatakan kemalangannya seperti “Cobaan apalagi yang akan datang..”, “Ya Tuhan, sembuhkanlah sakitku ini..”, “Laper, tapi gak ada makanan ”, hingga “Ampuni hamba yang berlimpah dosa ini..” Strategi untuk memben­ tuk presentasi diri dalam media sosial ini juga didukung oleh keinginan untuk menciptakan eksistensi diri. Kalangan muda khususnya remaja merupakan kelompok pengguna yang mempresentasikan diri sebagai individu yang eksis. Pengakuan akan eksistensi diri ini seakan merupakan kebutuhan yang sangat perlu untuk didapat. Membentuk presentasi diri melalui media sosial adalah cara mudah yang dapat dilakukan untuk mendapatkan pengakuan eksistensi diri. Presentasi diri yang ditampilkan tidak selalu sama dengan kondisi dirinya di dunia nyata. Seorang yang pendiam dan tidak memiliki pergaulan yang luas di dunia nyata bisa saja menjadi sangat aktif, terbuka dan ceria di media sosial. Penelitian mengenai keterkaitan penggunaan

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

|9


Laporan Utama media sosial dengan presentasi dan eksistensi diri ini telah dilakukan sebelumnya. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Eni Maryani dan Hadi Suprapto Arifin (2012). Dari berbagai narasumber yang berasal dari kelompok usia muda, diketahui bahwa pengguna media sosial usia muda memang memiliki kecenderungan untuk dapat menjadi berbeda perilakunya dengan di dunia nyata. Seorang narasumber mengaku jarang menampakan kegelisahan, kekecewaan dan kesedihannya pada temanteman atau orang-orang dekat di sekitarnya. Menurut narasumber, hal itu dikarenakan dia tidak mau membebani orang-orang disekitarnya. Selain itu narasumber memiliki pemikiran bahwa orang mungkin tidak punya waktu atau bersedia memperhatikan masalah-masalahnya. Oleh karena itu ia merasa enggan atau jarang meng­ ungkapkan kegundahannya dalam kehidupannya di dunia nyata. Sehingga, melalui media sosiallah perasaan yang sedang ia rasakan dapat dikeluarkan tanpa takut mengganggu atau mendapat penolakan. Artinya dia dapat mengeluarkan perasaaanya dan orang bebas untuk bersikap tidak peduli, memperhatikan atau memberikan respon atas ungkapannya. Bagi narasumber yang terpenting kebutuhannya untuk mengeluarkan perasaan atau pemikirannya dan merasakan kelegaan atau kepuasan tercapai.

10 |

Narasumber tersebut mengungkapkan bahwa kadangkala terdapat perbedaan antara identitas dirinya di dunia real dengan identitas dirinya yang terbentuk di media sosial. Bagi narasumber, hal tersebut tidak menjadi masalah karena dia memaknai bahwa dunia real dan dunia virtual di media sosial berbeda. Bagian terpenting adalah bahwa narasumber mengaku mendapat kepuasan ketika dapat mengungkapkan perasaan dan pemikirannya tanpa perlu mempertimbangkan kepada siapa dia harus mengungkapkan perasaannya dan siapa yang mau men­ dengar atau memperdulikannya. Sikap narasumber ini juga merupakan dari indikasi rasa tidak percaya bahwa orang-orang disekelilingnya mau peduli dengan kondisi dan masalahnya sehingga ia lebih memilih untuk meluap­ kan emosi dan uneg-unegnya melalui media sosial. Hasil penelitian yang sama mengungkapkan bahwa proses konstruksi identitas di media sosial bagi narasumber berikut sangat dipengaruhi oleh siapa yang juga meng­ akses akun miliknya sehingga itu menjadi kontrol terhadap proses konstruksi yang dibangunnya. Narasumber menyatakan bahwa ia sudah tidak bisa mengekspresikan diri dengan bebas melalui akun Facebooknya karena ter­lalu banyak relasi yang menggunakan Facebook dan berteman dengannya. Presentasi diri melalui media sosial ini kemudian dapat dimaknai sebagai identitas

sosial pengguna yang tidak tunggal, akan tetapi tergantung konteks dan peran yang dipilihnya. Nugraha dkk (2015) dalam penelitiannya yang berjudul Penggunaan Media Sosial Path Sebagai Sarana Pengakuan Sosial menemukan bahwa sebenarnya pengakuan sosial yang diinginkan remaja disebabkan dari berbagai faktor. Salah satu yang menonjol adalah karena kekurangan akan perhatian dari orangtua, sehingga anak mencoba untuk mencari perhatian tersebut di media sosial. Bisa juga terjadi karena kurang diperhatikan oleh lingkungan sekitar­ nya sehingga anak menjadi cenderung introvert dan tidak mau bersosialisasi dengan teman-temannya. Serta ada­ nya anggapan bahwa pemanfaatan media sosial sebagai sarana pengakuan sosial bukanlah suatu masalah asalkan cara yang digunakan sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku sehingga tidak memberikan dampak yang negatif terhadap orang lain. Selain sikap pengguna media sosial yang memiliki kecenderungan menjadi lebih terbuka di media sosial karena kurang mendapatkan perhatian tersebut, terdapat hal yang tidak kalah menariknya untuk diamati. Ternyata, pilihan untuk menggunakan jenis media sosial juga didasari oleh berbagai alasan. Masih dalam penelitian yang sama, diketahui bahwa pemilihan sosial media yang digunakan juga berkaitan dengan adanya intervensi dan kontrol dari orangtua. Oleh karena itu, Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Laporan Utama banyak pengguna usia pelajar yang menggunakan Path sebagai media sosial pilihan. Diakui bahwa ketidakpahaman orang tua akan perkemba­ ngan teknologi dan penggunaan Path membuat mereka dapat lebih leluasa berinteraksi melalui akun Path-nya. Meskipun begitu, terdapat juga orang tua yang mengaku selalu berusaha untuk mengikuti perkembangan tekno­ logi supaya dapat mengontrol perilaku anak dalam media sosial. Menurut ahli pediatri dari American Academy of Pediatrics (2011) terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi adanya perbedaan akibat, antara ketidakmampuan orangtua dalam mengoperasikan media elektronik canggih dan media sosial yang digunakan oleh anak dan remaja. Pertama, dengan memanfaatkan momen yang tepat, ajaklah anak berbicara santai dan mintalah anak menjelaskan cara dan kegunaan media elektronik (smartphone, tablet, computer, laptop dan sebagainya) yang digunakan untuk mengakses media sosial. Kedua, meminta informasi selengkap-lengkapnya mengenai media sosial yang digunakan meskipun mungkin terdapat lebih dari satu jenis media sosial. Ketiga, setelah itu, orangtua dapat me­ nimbang bagaimana manfaat, kekurangan dan kelebihan dari media sosial tersebut sehingga dapat memberi masukan kepada anak dengan memberikan pengertian yang cukup. Keempat, orangtua juga harus memberikan

arahan, contoh tindakan yang benar, serta meyakinkan anak bahwa setiap anak diberikan kepercayaan untuk menggunakan media sosial dengan syarat tetap bertanggungjawab dalam setiap aktivitas mereka dalam akun media sosialnya. Setelah mengatasi perbedaan dan jarak kemampuan akses media sosial dengan anak, selanjutnya dapat dilakukan tindakan pencegahan adanya pencari­ an peng­akuan sosial yang banyak dilakukan kalangan remaja karena tindakan nyata dari orangtua sangat­lah dibutuhkan. Misalnya, memberikan waktu yang lebih banyak untuk bercengkrama de­ngan anak adalah salah satu sikap yang dapat membuat anak merasa lebih diperhatikan. Proses interaksi ini dapat menjadi momen yang berharga bagi anak sehingga anak menjadi lebih terbuka dan bersedia menceritakan segala keluh kesahnya sehi­ ngga setiap permasalahan yang ia temui dapat diselesaikan dengan bijak. Adanya interaksi yang intens antara anak dan orangtua dapat mencegah anak menjadi anti

sosial. Seperti yang dinyata­ kan Nursiti dalam Dampak Media Sosial (2013), bahwa aktivitas menggunakan media elektronik seperti komputer, notebook, atau hand­ phone membuat seseorang akan mengalami pengurangan interaksi dengan sesama mere­ka dalam jumlah menit per harinya yang menyebab-

kan seseorang menjadi anti sosial. Kondisi ini menghancurkan secara perlahan-lahan kemampuan anak-anak untuk mempe­lajari kemampuan sosial dan membaca bahasa tubuh. Sebagai orangtua yang bertanggungjawab untuk mengontrol perkembangan anak, dibutuhkan aksi yang secara kontinu membim­ bing, memberi contoh dan

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

| 11


Laporan Utama membatasi akses yang dapat diraih anak untuk terlalu aktif di media sosial. Vaughan (dalam Sarlito dkk, 2012) menjelaskan bah­ wa setiap orang mengingin­ kan harga diri yang positif. Biasanya motif seseorang dalam menginginkan harga diri positif adalah karena harga diri yang positif membuat orang dapat mengatasi kecemasan, kesepian, dan penolakan sosial. Oleh karena itu, banyak remaja yang menggunakan media sosial sebagai pelampiasan dan pelarian dari dunia nyata. Seharusnya, nilai-nilai yang didapat para pengguna media sosial dalam menemukan harga diri positif melalui media sosial ini bisa didapatkan di dunia nyata melalui interaksi yang sehat dengan orang-orang dilingkungan sekitar. Lingkungan keluarga adalah lingkungan terdekat yang dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari dimana keluarga adalah kelompok yang seharusnya mengenal priba­di seorang anak lebih dalam dibanding­kan orang lain seper­ti teman sekolah. Kondisi remaja yang masih labil sangat dipenga­ ruhi oleh suasana dramatis yang terdapat dalam media sosial. Sapaan, pujian dan humor adalah beberapa hal yang dapat dilakukan oleh orangtua untuk menja­lin interaksi dengan anak agar kebutuhan akan pengakuan diri di lingkungan sosial terpenuhi. Setelah kebutuhan ini terpenuhi di dunia nyata, maka presentasi diri yang berlebihan dan negatif akan berkurang.

12 |

Tindakan lain yang dapat dilakukan oleh orangtua adalah mengarahkan anak untuk melakukan kegiatan yang po­ sitif. Kegiatan ekstrakulikuler di sekolah, kegiatan penyaluran hobi, olahraga dan lainnya akan mengalihkan perhatian anak dari akti­vitas di media sosial. Kegiatan positif ini tentunya lebih bermanfaat bagi anak untuk perkembangan mereka. Banyaknya kegiatan yang dilakukan akan membuka kesempatan yang lebih besar untuk menjalin interaksi secara nyata sehing­ ga membangun rasa percaya diri dan pola pikir yang positif. Ketika anak berada pada kondisi ini, maka kebutuhan­ nya akan peng­akuan sosial akan berkurang. Banyaknya waktu yang tersita untuk me­ lakukan kegiatan di dunia nyata akan mengurangi kesem­ patan berselancar di media sosial secara berlebihan. Referensi: Boyer, L., Brunner, B.R., Charles, T., and Coleman, P. (2006). Managing Impessions in a virtual environment: Is ethnic di­ versity a self-presentation strategy for colleges and universities?. Journal of Computer-Media­ ted Communication, 12(1): 1-15. Goffman, Erving. 1959. The Presentation of Self in Everyday Life. Garden City, N.Y.: Doubleday.

Maryani, Eni & Hadi Suprapto Arifin. 2012. Konstruksi Identitas Melalui Media Sosial. Journal of Communication Studies, Vol. 1 No. 1, Desember 2012, Jurnal fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran. Nugraha, Ardi Maulana, Karim Suryadi & Syaifullah Syam. 2015. Penggu­ naan Media Sosial Path Sebagai Sarana Penga­ kuan Sosial. Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung. Jurnal Sosietas Vol. 5 No. 2. Nursiti. 2013. Dampak Media Sosial. Jurnal NADI Media Komunikasi LPMP Jawa Barat. Jurnal psikologi. 2, (1), hlm 64-70. O’Keeffe, Gwenn Schurgin, Kathleen Clark-Pearson and Council on Communications and Media. 2011. The Impact of Social Media on Chil­ dren, Adolescent, and Families. Illionois: American Academy of Pediatrics. Papalia, D.E., S. W. Olds dan Ruth D. Feldman. 2001. Human Development (8 th ed.), McGraw-Hill, Boston. Sarlito, dkk. (Penyunting). 2012. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Jones, E.E.1990. Interper­ sonal Perception. New York: W.H. Freeman.

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Laporan Utama

Suara pencegahan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak di Media Sosial Agustin Pandhuniawati Heryani, M.Pd Relawan Divisi Research and Training Center Rifka Annisa WCC | agustinph@yahoo.com

M

edia sosial merupakan bagian penting dinamika sosial masyarakat, hal ini disebabkan mudahnya akses informasi tentang hal apapun dalam jaringan media sosial. Pada tahun 1998, Google muncul sebagai mesin pencari utama di internet dan memunculkan tampilan indeks. Laju perkembangan jejaring sosial begitu evolutif, tahun 1999 merupakan tonggak penting perkemba足 ngan sosial media, karena di tahun tersebut muncul situs

yang dapat digunakan untuk membuat blog pribadi, yaitu Blogger (Satria & Arifin, 2014: 20). Situs ini memberi pelu足 ang kepada penggunanya untuk dapat membuat halaman situs sendiri. Dengan demikian pengguna blogger bisa memuat halaman blog足nya dengan berbagi informasi, seperti hal atau pengalaman bersifat pribadi dan ide, kritik serta pendapatnya mengenai suatu topik persoalan yang sedang hangat. Dari google dan blog saja, masyarakat

dapat dengan mudah meng足 akses berbagai informasi yang mereka inginkan dan butuhkan. Lalu bagaimana dengan pertumbuhan media sosial yang lain? Twitter, Facebook, Youtube, Instagram, Path, merupakan sebagian dari banyak media sosial yang penggunanya terbilang tinggi di Indonesia, belum lagi media sosial berbasis chatting, Line, Kakao Talk, We Chat, Whatsapp, BBM, yang penggunanya juga angkanya tak kalah tinggi.

Tabel 1. Statistik Dunia Jumlah Pengguna Internet dan Sosial Media (sumber: Noviandari, 2015) Total Population

Active Internet Users

Active Social Media Users

Unique Mobile Users

Active Mobile Social Users

7,357 milyar

3,175 milyar

2,206 milyar

3,734 milyar

1,925 milyar

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

| 13


Laporan Utama

Gambar 1. Pengguna Aktif Sosial Media ( Dalam Juta) (sumber: Noviandari, 2015)

14 |

Gambar 2. Pengguna Aktif Aplikasi Chat ( Dalam Juta) (sumber: Noviandari, 2015)

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Laporan Utama Dari data di atas kita da­­­pat melihat dengan jelas bah­wa jumlah pengguna me­dia sosial di dunia tidak sedikit. Bagaimana dengan di Indonesia? Berdasarkan data Kominfo RI, Indonesia me­ nem­pati urutan keenam da­lam hal jumlah pengguna internet di dunia, tapi hal ini juga sebenarnya dipengaruhi oleh jumlah penduduk Indo­ nesia yang menempati urutan keempat terbanyak di dunia (Hidayat, 2014). Dari paparan jumlah pengguna internet dan media sosial di atas, tentunya kita dapat membayangkan setiap orang maupun lembaga yang membuka akun media sosial maupun sekedar meng­ akses internet pasti memiliki kepentingannya masing-masing. Bagaimana dengan ke­pentingan pergerakan? Apakah pergerakan punya peluang di jejaring media sosial pada khususnya dan internet pada umumnya? Saya pikir, suara-suara pergerakan sangat mungkin dibangun dan dikelola di media sosial.

Untuk menguatkan ini, kita akan kembali melihat data, se­berapa banyak pengakses media internet sebagai sumber informasi. Dari data diatas (de­ ngan ukuran sampel n=2150) diketahui bahwa pengakses internet cukup medominasi. Hanya 55,3 % dari masyarakat yang pernah membaca koran cetak enam bulan ter­ akhir, 98 % responden pernah mengakses TV dan internet, internet lebih unggul sebagai sumber informasi utama dibandingkan TV. Informasi yang paling sering dicari di internet, masyarakat internet Indonesia kebanyakan mencari berita (54,2 %), hiburan (16,3 %), film (10,2 %), olahraga (8,7 %), dan musik (8,5 %). Sisanya antara lain berita politik (7,4 %), sinetron (6 %), berita seleb (5,5 %), gosip (5,2 %), dan konten pendidikan (5 %) (Lukman, 2013). Peluang tersebut sepertinya sudah banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan baik materi maupun

Gambar 3. Jumlah pengakses medis sosial dalam 6 bulan terakhir (Laporan bulan Oktober tahun 2013) (Sumber: Lukman, 2013)

nonmateri. Banyak portal berita yang mulai ber­munculan, baik dengan kontributor tetap, maupun de­ngan model citizen journalism. Internet benar-benar menjadi sumber informasi yang sangat mudah diakses dengan berita yang tidak terbatas jumlahnya, meskipun pengguna tidak dapat mengontrol kebenaran informasi/berita yang tersebar di Internet. Kekuatan inter­net yang begitu besar ini, ternyata juga terbaca oleh para aktivis pergerakan dan kampanye (kampanye disini dalam artian luas, bukan hanya kampanye politik, tetapi termasuk juga sosial, budaya, dan juga ekonomi). Tiga tahun lalu, semua orang dapat merasakan arus pergerakan kampanye politik dalam rangka pemilu, tepatnya di tahun 2014. Di banyak akun sosial media bertebaran isu yang kebenarannya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan, tetapi sayangnya, isu tersebut dipercaya banyak orang bahkan menjadi pertentangan dan bahkan diskusi terbuka dalam media sosial tersebut. Di tahun yang sama, kasus Florence Sihombing yang dianggap menghina kota Yogyakarta di salah satu SPBU juga menjadi salah satu isu yang kemudian berakhir pada gerakan sporadic di sosial media yang tujuan utamanya adalah menggugat Florence dan meminta Florence untuk pergi dari Yogyakarta. Beberapa tahun sebelumnya tepatnya tahun 2008, muncul gerakan sosial koin keadilan untuk Prita, yang intinya adalah untuk menyelamatkan

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

| 15


Laporan Utama Prita dari jerat hukum akibat perseteruannya dengan RS Omni Internasional. Kasus ini berawal dari ketidakpuasan Prita terhadap pelayanan di rumah sakit tersebut dan ber­ ujung pada surat elektronik yang ditulis oleh Prita kepada RS Omni Internasional. Nampaknya, rumah sakit tersebut tidak terima de­ngan kritik Prita dan meng­ajukan kasus tersebut ke ranah hukum. Dalam putusan peradilan perdata, Prita diharuskan membayar denda sejumlah Rp 204.000.000 dan gerakan sosial Koin Keadilan berhasil mengumpulkan Rp 605.000.000.

Berbagi (akademiberbagi. org), Coin A Chance (coinachance.com), Bike to Work Indonesia, (b2w-indonesia. or.id), AIMI ASI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) (aimi-asi. org). nebengers, (nebengers. com), Sedekah Rombongan (sedekahrombongan.com), Bincang Edukasi (bincangedukasi.com) , Indonesia Berkibar (indonesiaberkibar.org), Buku untuk Papua (bukuntukpapua. org), Shave for Hope (shaveforhope.com), Save Sharks Indonesia (savesharksindonesia.org), Indonesia Mengajar (indonesiamengajar.org), Selamatkan Ibu (selamatkanibu.org).

Gambar 4. Tagar Nyala Untuk Yuyun yang Tersebar di Media Sosial (Sumber: Fitriadi, 2016)

Selain pergerakan yang berupa dukungan maupun gugatan, adapula pergerakan di media sosial yang berupa gerakan sosial dan berhasil menggandeng banyak orang untuk berkontribusi, misalnya: Blood4Life (blood4life.web.id), Earth Hour Indonesia (earthhour.wwf. or.id), Indonesia Bercerita (indonesiabercerita.org), Indonesia Berkebun (indonesiaberkebun.org), Akademi

16 |

Tahun 2013 sampai dengan 2016 ini juga menjadi perjalanan penting bagi pergerakan kemanusiaan di media social. Salah satunya pergerakan yang terkait de­ ngan isu kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Dari kasus kekerasan seksual di JIS, Emon, sampai dengan kasus Yuyun, kesemuanya memunculkan pergerakan-pergerakan di

media sosial. Misalnya, ba­ nyak yang kemudian menulis artikel-artikel terkait informasi pencegahan dan pe­ nanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, adapula yang menuliskan informasi terkait seksualitas dan gender yang selama ini bagi masyarakat masih dianggap tabu. Tidak berhenti disitu, artikel-artikel tersebut kemudian secara alamiah tersebar dengan banyaknya orang membagikan ulang di akun sosial media masing-masing. Komisi Nasional Per­­­lin­ dungan Anak dalam Laporan Publik Tengah Tahun 2014, yang berjudul Indonesia Satu Aksi: Menentang Kejahatan Seksual terhadap Anak me­ lapor­kan bahwa Komnas Anak telah menetapkan tahun 2013/2014 menjadi TAHUN DARURAT NASIONAL KEJAHATAN SEKSUAL TERHADAP ANAK. Dengan adanya media sosial, cita-cita Indonesia Satu Aksi: Menentang Kejahatan Seksual terhadap Anak dapat dengan lebih mudah terwujud. Penyebaran gerakan semacam ini di media sosial akan lebih mudah dilakukan dibandingkan de­ ngan di dunia nyata, hal ini dikarenakan masyarakat tidak perlu datang ke suatu tempat untuk mengikuti sosialisasi dan pihak-pihak terkait tidak perlu menyiapkan acara dan tempat untuk sosialisasi tersebut. Dengan membuat sebuah artikel dan meman­ faat­kan crowd di sosial media, Komnas Perlindungan Anak maupun Komnas Perempuan Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Laporan Utama dapat menghimpun kekuatan untuk kampanye gerakan tersebut. Selebihnya, program sosialisasi juga tetap berjalan untuk menjangkau masyara­ kat yang tidak menggunakan sosial media. Meskipun ada pihak ya­ng menyatakan bahwa so­sial media hanya mampu mendorong gerakan sosial baru, tetapi belum dapat sepenuh­nya membuat perubah­an social. Meskipun demikian, se­tidaknya ada pihak-pihak yang tadinya tidak tahu men­jadi tahu, meskipun kadang-kadang justru informasi yang tidak terkontrol tersebut me­nimbulkan keresahan. Misal­nya, aksi Nyala untuk Yuyun, dunia maya di media sosial, terutama Twitter, mendadak ramai dengan muncul­nya tagar #NyalaUntukYuyun, begitupun di Facebook, Path, dan Instagram, bahkan para selebritis juga ikut meramai­kan tagar #Nyala untuk Yuyun. Tagar ini merupa­kan bentuk perlawanan dan solidaritas netizen terhadap meninggalnya Yuyun (14), seorang siswi SMP di Desa Padang Ulak Tanding, Kecamatan Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, pada pertengahan April 2016 yang diperkosa 14 pemuda saat pulang sekolah. Meskipun tagar ini adalah aksi solidari­ tas sebagai bentuk duku­ ngan, tetapi tidak dipungkiri merebaknya aksi ‘solidaritas ini di media sosial membuat semakin banyak orang tahu kasus Yuyun dan menjadi resah serta khawatir jika kejadian tersebut dialami olehnya atau rekan maupun kerabatnya. Maka, alangkah baiknya jika

aksi solidaritas dan berita-beri­ ta semacam ini juga di­barengi dengan informasi terkait pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. Hal ini baik dilakukan, sebagai salah satu upaya mengedukasi masyarakat agar tidak hanya dibuat resah oleh berita te­ tapi juga diberi solusi. Pertanyaan selanjut­nya adalah, sepenting apakah pergerakan di media sosial terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak seperti tagar #Nyalauntukyuyun harus dilakukan? Kita akan kembali melihat data terkait kasus-kasus kekerasan terha­dap perempuan dan anak yang terjadi beberapa tahun belakanagan. Temuan dalam catatan tahunan Komnas Perempuan, jumlah kasus KTP 2015 sebesar 321.752, bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama (PA-BADILAG) sejumlah 305.535 kasus, dan dari lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus. Terpisah dari jumlah tersebut, ada sejumlah 1.099 kasus yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan me­ lalui Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR) yang sengaja di­diri­kan Komnas Perempuan untuk menerima dan merujuk pengaduan korban yang datang langsung maupun yang masuk lewat surat dan surat elektronik. Unit ini dikelola oleh divisi pemantauan Komnas Perempuan (Komnas Perempuan, 2016). Selanjutnya, pada catatan tahun 2014, jumlah kasus Kekerasan terhadap

Perempuan sebesar 293.220 sebagian besar dari data tersebut diperoleh dari data kasus/perkara yang ditangani oleh 359 Pengadilan Agama di tingkat kabupaten/kota yang tersebar di 30 Provinsi di Indonesia, yaitu mencapai 280.710 kasus. Sisanya, sejum­lah 12.510 kasus bersum­ber dari lembaga-­ lembaga mitra pengada layanan yang merespon de­ngan mengembali­kan formulir pendataan yang dikirimkan oleh Komnas Perempuan (Komnas Perempuan, 2015). Terakhir, dalam Catatan Tahunan 2013 Ada 279.760 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani, yang terdiri dari 263.285 kasus ber­sumber pada data kasus/ perkara yang ditangani oleh 359 Pengadilan Agama (data BADILAG), serta 16.403 kasus yang ditangani oleh lembaga mitra pengada layanan (Komnas Perempuan, 2014). Dikutip dari antaranews. com, Komisi Nasional Perlin­ dungan Anak mencatat terdapat 2.898 laporan kasus kekerasan anak yang mereka terima di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, baik berupa peng­ aduan langsung maupun tidak langsung seperti dalam ben­ tuk surat. 59,3 persen me­ rupakan kejahatan seksual (Andarningtyas, 2016). Jumlah tersebut meningkat cukup signifikan dibanding tahun sebe­ lumnya, sebanyak 2.737 kasus kekerasan dan 52 persen berupa kekerasan seksual. Tahun 2010, Komnas Anak mendapat 2.046 pelang­garan hak anak dengan 42 persen berupa

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

| 17


Laporan Utama kekerasan seksual. 2011 terdapat 2.467 laporan (52 persen kejahatan seksual), 2012 sebanyak 2.637 kasus(62 persen kekerasan seksual) dan 2013 menjadi 2.676 (54 persen kekerasan seksual) (Andarningtyas, 2016). Dari data di atas, dapat dilihat bahwa baik kasus kekerasan terhadap perempuan maupun anak sama-sama meningkat setiap tahunnya, hal ini bisa jadi dikarenakan memang kasusnya meningkat atau bisa juga karena semakin banyak orang yang mela­por. Admin media sosial Rifka Annisa, Khoirun Ni’mah atau yang akrab dipanggil anik, memaparkan bahwa, edukasi tentang pencegahan dan penanga­nan kasus kekerasan seksual yang diunggah ke akun Facebook maupun Twitter Rifka Annisa justru membuat beberapa orang yang pernah mengalami atau melihat kekerasan ter­utama kekerasan seksual mulai berani menanyakan via media sosial terkait (chat maupun mention). Mereka berta­nya tentang bagaimana cara melapor dan menindaklanjuti kasus. Hal ini merupakan salah satu dampak yang positif dalam penggunaan media sosial berbasis gerakan sosial, karena konten yang dihadirkan tidak hanya memicu pergerakan sosial di dunia maya, tetapi juga sedikit demi sedikit memicu perubahan sosial di dunia nyata. Masih menurut Anik, media sosial bukan satu-satunya media kampanye pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan

18 |

dan anak, tentunya pergerak­ an di dunia nyata juga dilakukan. Misalnya de­ngan aksi di jalanan dan tempat ramai, sosialisasi, juga melalui artikel-artikel Rifka Media. Tetapi, tidak dipungkiri, media sosial menjadi ruang yang efektif dalam gerakan atau kampanye pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, media sosial juga sangat beperan dalam terciptanya demokratisasi informasi dan ilmu pengetahuan, yang akhirnya juga mengubah peri­ laku masyarakat konsumen menjadi sekaligus masyarakat produsen. Dampaknya, kebe­ naran informasi di media sosial menjadi kabur. Anik mengutarakan bahwa terkadang konten berita di media sosial terutama terkait kasus ke­kerasan seksual terhadap perempuan dan anak selalu saja berkutat menge­nai kronologi bagaimana terjadi­ nya kasus tersebut. Misalnya pada kasus Eno, pembuat konten berita baik di portal berita resmi maupun blog pribadi banyak yang membuka dengan gamblang kronologi dan bahkan foto-foto terkait dengan kasus tersebut. Kebencian dan kemarahan terhadap pelaku kekerasan sesksual yang timbul akibat membaca berita dari berbagai portal dan blog ter­sebut memang mungkin akan menyadarkan pembaca untuk tidak berbuat semacam itu, tapi apakah itu cukup? Kemarahan dan kebencian masyarakat terhadap pelaku kekerasan seksual yang timbul akibat membaca

berita-beri­ta yang tersebar via media sosial tidak akan cukup membuat perubahan sosial dalam masyarakat yang ada hanya saling menyalahkan, misal­nya dalam kasus Yuyun banyak komentar di media sosial yang menyalah­ kan pemerin­tah, tidak bisa melindungi masyarakat, menyalahkan orang tua pelaku, menyalahkan pelaku yang masih di bawah umur, bahkan untuk kasus Eno, justru ada yang menyalah­kan Eno sebagai korban karena tidak bisa menjaga pergaulan. Masyarakat butuh informasi tidak hanya tentang kasusnya saja, tetapi disertai artikel-artikel valid terkait penanganan dan pencegahan kasus tersebut. Hal inilah yang menjadi tugas para penggerak sosial yang berkutat dengan media sosial sebagai salah satu sarana kam­panyenya. Bagaimana mem­bantu masyarakat me­ nyediakan informasi dan sekaligus menggiring opini serta menyertakan masyarakat dalam pergerakan sosial yang diinginkan. Ada beberapa aturan yang sudah semestinya ditaati dalam menulis konten terkait dengan kekerasan seksual terutama di media sosial (karena seperti yang sudah diuraikan tadi, media sosial merupakan salah satu media yang tidak membatasi siapapun untuk menjadi prosuden berita, sehingga uraian di bawah ini diharapkan dapat menjadi filter bagi kita). Pertama, gunakan istilah yang akurat disertai dengan sumber yang kredibel, berita yang tidak akurat, kadang justru menjadi Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Laporan Utama

boomerang bagi penyintas. Kedua, gunakan istilah yang memberdayakan dan tidak memberi stigma, misalnya istilah korban diganti dengan penyintas, penyintas memiliki makna yang lebih positif karna penyintas diartikan sebagai orang yang mampu bertahan hidup, kemudian contoh yang lain, gunakan istilah PSK untuk menggantikan pelacur. Ketiga, gunakan kata yang netral dan jelas untuk menunjukkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi memang tidak melalui ke­ sepakatan apapun. Selain itu, ada hal yang penting untuk ditaati yaitu jangan sampai identitas penyintas maupun pelaku dituliskan dengan jelas, misalnya nama, foto, alamat, dan sebagainya. Pergerakan di media sosial memang sulit terbendung, terutama jika sudah ada pihak yang mengarahkan

massa. Maka, sebagai pihak penggerak, baik perseorangan maupun lembaga harus ber­ hati-hati dalam memilih kon­ ten maupun membawa diskusi public media sosial. Tidak jarang postingan di media sosial memang mengarahkan public pada diskusi di ruang-ruang yang disediakan di aplikasi media sosial terkait, misalnya kolom komentar atau chat di facebook,mention di twitter dan komentar di blog dan portal berita, yang kesemua­ nya itu dapat dibaca oleh public. Seperti yang terjadi di media sosial Rifka Annisa, Anik menjelaskan, tidak jarang disana terjadi diskusi, tugas kami sebagai admin juga termasuk mengarahkan diskusi tersebut supaya menjadi diskusi yang edukatif dan memberi informasi penting ke masyarakat, tidak hanya diskusi pertengakaran setuju dan tidak setuju saja.

Selain membantu perubahan sosial di masyarakat, ter­nyata media sosial juga pen­ting digunakan sebagai sarana advokasi. Media sosial juga menjadi alat meng­ organisir dan mengumpulkan massa untuk mempengaruhi terjadinya perubahan kebijakan publik. Tentu saja hal ini harus dibarengi dengan advokasi langsung di dunia nyata. Misalnya baru-baru ini mengenai kebijakan hukuman kebiri yang nantinya akan dijatuhkan pada pelaku kekerasan seksual. Ada pihak yang men­dukung dan menentang, tetapi publik ternyata juga tidak mengerti betul mengapa hukuman kebiri tidak layak diberikan. Peran media sosial salah satunya ada disini. Memberikan infor­masi mengenai kebiri dan dampaknya. Dengan informasi yang tersebar di media sosial tersebut, diharapkan dapat menggiring

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

| 19


Laporan Utama opini masyarakat mengenai tidak layaknya hukum­an kebiri. Dengan opini masyarakat yang sudah terbentuk sedemikian rupa di dunia maya, maka maka gerakan advokasi di dunia nyata akan lebih mudah karena media sosial sekarang dengan mudah terjangkau oleh para pengambil keputusan. Media sosial juga menjadi penting sebagai sarana advokasi dikarenakan media massa yang menjadi salah satu sarana advokasi penting bagi masya­rakat beberapa tahun terakahir telah diliputi oleh banyak kepentingan politis. Meskipun advokasi via media sosial masih harus melalui perjalanan yang panjang dikarenakan masyarakat pengguna media sosial lebih mudah dipancing dengan isuisu yang sifat­nya eksplosif dan membakar emosi. Tetapi media sosial yang bersifat cair dan komunikatif memang bisa menjadi salah satu pilihan untuk membangun gerakan sosial dan advokasi yang kemudian diwujudakan dalam gerakan dan aksi di dunia nyata. Ada beberapa hal yang patut dipenuhi dalam penggunaan media sosial dalam pergerakan dan advokasi: 1. Menentukan isu 2. Menentukan tujuan gerakan dan advokasi 3. Mengapa isu tersebut penting? 4. Memilih audi­ ens sasaran; dan 5. Memilih plat­ form media sosial yang sesuai. 6. Melibatkan masyara­ kat untuk berperan aktif membagikan

20 |

konten tersebut Dengan mengetahui se­berapa penting isu, masya­ rakat akan dengan mudah membagikan berita/info ter­sebut di media sosial yang artinya akan semakin banyak orang membaca dan akan mempermudah kampanye/pergerakan terjadi. Hal lain yang dibutuhkan selain keenam syarat di atas adalah timing. Timing sangat penting diperhatikan karena dengan timing yang tepat apa yang kita advokasi akan lebih mudah diterima masyarakat. Seperti yang telah dicontohkan di atas, misalnya advokasi mengenai hukuman kebiri, sangat pas timingnya ketika kasus-kasus kekerasan seksual tengah mencuat di media, baik media massa maupun media sosial. Memilih platform yang tepat juga bukan perkara mudah, misalnya, untuk platform twitter, mereka memiliki pengaturan untuk mempermudah dalam mene­ mukan konten yang terkait dengan topik tertentu yaitu dengan penggunaan hastag (#). Hastag mempermudah dalam meningkatkan kesadaran atau mendorong tindakan dari masalah yang ada di sekitar, contohnya dengan menggunakan #stopkekerasanseksual dan mendorong publik media sosial menggunakan hastag tersebut, maka akan mempermudah masyarakat yang lain memahami urgensi pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual akhir-­ akhir ini. Maka, platform semacam twitter ini dapat dipilih untuk mengarahkan masyarakat pada urgensi isu

tertentu. Sedangkan facebook memiliki kolom yang cukup untuk menuliskan opini, berita maupun komentar, maka, facebook dapat dimanfaatkan sebagai pemberi informasi dan diskusi terkait isu-isu yang akan diadvokasi. Tidak cukup dengan, facebook dan twitter, para aktivis pergerakan juga di­ mudah­kan dalam advokasi dengan adanya petisi online seperti change.org. Lagi-lagi, peran media sosial seperti facebook, twitter, whatsapp, dan sebagainya menjadi pen­ ting disini. Supaya petisi berhasil dikabulkan, maka harus mendapatkan jumlah suara tertentu, untuk mendapatkan suara tersebut maka si pembuat petisi harus aktif membagikan info mengenai petisi tersebut di berbagai media sosial. Ada beberapa petisi di Change.org terkait dengan kasus kekerasan seksual, contoh­nya adalah petisi berjudul: Sahkan UU Penghapusan kekerasan Seksual. #MulaiBicara yang dibuat oleh Lentera Indonesia (kelompok dukungan bagi penyintas kekerasan seksual) dan Magdalene (Majalah online berbahasa inggris yang focus pada isu perempuan) dan ditujukan kepada Komisi VIII DPR RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Presiden Jokowi dan Telah mendapat­ kan 76.481 pendukung dari 150.000 yang harus didapatkan. Meskipun membutuhkan energy yang besar dan konsistensi yang panjang, tetapi tidak dipungkiri bahwa media sosial menjadi salah satu Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Laporan Utama sarana pergerakan dan advokkasi yang dapat membantu pergerakan di dunia nyata. Akun facebook Edith Stein Tirza menjelaskan bagaimana pentingnya membagikan informasi mengenai kekerasan seksual di dunia maya, “Saya sering sekali membaca berita menge­nai kekerasan terhadap perem­puan dan anak-anak. Terutama 6 bulan terakhir ini. Saya membaca karena saya concern terhadap isu perempuan dan anak. Saya sendiri adalah seorang aktivis perem­ puan. Kenapa ingin share? Saya ingin masyarakat tahu bagaimana posisi perempuan ini dimarginalkan. Serta untuk mengkritisi cara pembawaan berita itu di media. Seringkali yang muncul adalah berita yang korbannya adalah perempuan dan disampaikan dengan cara yang menyudutkan perempuan. Saya ingin masyarakat tahu bagaimana budaya patriarki sebenarnya menjadi sangat destruktif, baik bagi perempuan maupun laki-laki sendiri. Harapan saya membaca dan menshare berita soal kekerasan terhadap perem­puan dan anak adalah ini bisa menjadi sensitisasi yang membangkitkan kesa­ daran (awareness raising) mengenai situasi Indonesia yang memprihatinkan terutama menyangkut hak perem­ puan dan anak”. Maka, suara pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di media sosial memang patut dilanjutkan untuk kemudian membantu perubahan sosial masyarakat di kehidupan nyata Referensi:

Andarningtyas, Natisha. 22 Desember 2016. Kasus Kekerasan Anak 2015 Meningkat. (Online). (http://www. antaranews.com/ berita/536428/kasuskekerasan-anak-2015meningkat, diakses 3 Agustus 2016) Fitriadi. 3 Mei 2016. Tagar Ny­ ala untuk Yuyun Siswi yang Tewas Diperkosa 14 Pemuda. (Online). (http://bangka.tribunnews.com/2016/05/03/ tagar-nyala-untukyuyun-siswi-yangtewas-diperkosa14-pemuda?page=3 ,diakses 20 Juli 2016) Hidayat, Wicak. 24 November 2014. Pengguna Inter­ net Indonesia Nomor Enam Dunia. (Online). (https://kominfo. go.id/content/detail/4286/pengguna-internet-indonesia-nomor-enam-dunia/0/ sorotan_media, diakses 20 Juli 2016). Komnas Perempuan. 2014. Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2013: Kegentin­ gan Kekerasan Seksual: Lemahnya Upaya Pena­ nganan Negara. Jakarta: Komnas Perem­puan Komnas Perempuan. 2015. Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2014: Kekerasan Terhadap Perempuan, Negara Segera Putus Impunitas Pelaku. Ja-

karta: Komnas Perempuan. Komnas Perempuan. 2016. Lembar Fakta Catatan Tahunan (Catahu) 2016: Kekerasan terhadap Perempuan Meluas Mendesak Negara Hadir Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan diRanah Domestik, Komunitas dan Nega­ ra. Jakarta: Komnas Perempuan. Lukman, Enrikco. 31 Oktober 2013. Laporan: Inilah yang Dilakukan 74,6 Juta Pengguna Internet Indonesia Ketika On­ line. (Online). (https:// id.techinasia.com/ tingkah-laku-pengguna-internet-indonesia, diakses 20 Juli 2016) Noviandari, Lina. 18 Agustus 2015. Statistik Penggu­ na Internet dan Media Sosial Terbaru 2015. (Online). (https:// id.techinasia.com/ talk/statistik-pengguna-internet-dan-media-sosial-terbaru-2015, diakses: 15 Juli 2016) Satria, H. W & Arifin, L. H. (2014). Panduan Opti­ malisasi Media Sosial untuk Kementerian Perdagangan RI. Jakarta Pusat: Pusat Humas Kementerian Per­da­ga­ ngan RI

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

| 21


Laporan Laporan Utama Utama

CYBER CRIME DI BALIK LAYAR

GADGET

https://kominfo.go.id/content/detail/11708/soal-media-sosial-kemenkominfo-gaet-kpu-dan-bawaslu/0/sorotan_media

Ulmi Marsya | Relawan Divisi Humas dan Media Rifka Annisa WCC | ulmi.marsya2103@gmail.com

B

agaikan air yang tenang tapi menghanyutkan, pepatah ini yang mung­ kin dapat merepresentasikan dunia maya yang kini menjadi gaya hidup bagi masyarakat secara digital. Disatu sisi gad­ get menjadi sebuah alat yang mendukung kebutuhan dalam berkomunikasi, namun disisi lain juga juga dapat me­nimbul­ kan kerentanan-kerentanan lain bagi penggguna­nya. Perkembangan teknologi saat ini tidak dapat dipisahkan dari proses komunikasi dalam masyarakat dan menjadi salah satu gaya hidup masya­rakat global. Terutama teknologi informasi dan komuni­kasi yang dikenal dengan nama internet. Internet menjadi sebuah fenomena media baru yang menawarkan kemudahan akses informasi secara lebih luas, interaktif, dan ti­dak terbatas. Pola komunikasi massa seperti ini yang tidak dapat terjangkau oleh media-media konvensional seperti tv atau media cetak yang hanya berjalan

22 |

satu arah karena terbatas oleh jarak, ruang dan waktu. Internet merupakan manifes­ tasi globali­sasi yang dapat dicirikan oleh kehidupan masya­rakat yang semakin terbuka akan informasi.1 Kehadiran internet juga mendukung bermunculannya beracam-macam web media sosial yang kini sangat popular termasuk di Indonesia seperti friendster, facebook, twitter, dll. Hasil dari kemajuan zaman semakin memfasilitasi segala bentuk kegiatan perselancaran di dunia maya. Hal ini didukung dengan lahirnya sebuah teknologi dibidang tele­komunikasi yang disebut dengan WAP (Wireless Appli­ cation Protocol). Sekilas kita amati, awalnya untuk dapat meng­akses jaringan internet, kita harus menggunakan perangkat computer dan berdiam di satu tempat, namun 1. Ana Nadya Abrar dalam Zainudding Muda. Z.M, Kajian Literatur Tipologi Perilaku Berinternet Generasi Muda Indonesia. Jurnal Ilmu Komunikasi, vol 13. No.1. 2016: 31.

kini dengan teknologi WAP me­mungkinkan kita untuk da­pat meng­akses jaringan internet lewat telepon selular atau yang disebut dengan smartphone. Dimanapun posisinya selama masih terda­ pat jaringan internet pra bayar maupun jari­ngan wifi (internet nirkabel) seseorang dapat mengakses media sosial melalui smartphone yang dimi­liki. Berbeda de­ ngan telepon selular biasa yang masih bersifat privacy, smartphone memungkinkan penggunanya untuk dapat mengakses media sosial dan memiliki jaringan yang jauh lebih luas. Dalam handphone smartphone, privacy kini menjadi sebuah pilihan. Hal ini didukung dengan adanya aplikasi “lock” atau “unlock” pada smartphone tersebut. Bentuk media sosial-pun se­ makin beragam seperti aplikasi facebook, twitter, path, ins­ tagram dan lain sebagai­nya. Beberapa diantaranya hanya dapat diakses dengan menggunakan smartphone. Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Laporan Utama Perkembangan teknologi telekomunikasi dari internet hingga smartphone kini memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam kehidupan ma­syarakat. Seringkali kita te­mukan beberapa mahasiswa berbondong-bondong mencari tempat yang menyediakan ja­­ringan internet seperti warnet atau tempat-tempat yang menyediakan jaringan wifi, untuk mencari bahan tugas ku­liah. Dalam konteks ini fung­si buku telah tergantikan dengan “mbah google”2 yang serba tahu. Selain itu juga kon­­sumsi masyarakat atas smartphone yang semakin me­­ningkat juga telah menandai ketergatungan masyarakat akan jaringan internet. Fe­no­ mena inilah yang kemudian memunculkan istilah masya­ rakat digital. Besarnya minat masya­ rakat Indonesia terhadap inter­net dibuktikan dengan data ststistik pengguna internet yang selalu meng­alami pe­ningkatan setiap tahun­nya yaitu sebesar 24,23% pada tahun 2012 dan menjadi 34,9 % pada tahun 2014. Sedangkan usia mayoritas pengguna in­ ternet di Indonesia adalah remaja yang berumur sekitar 18-25 tahun yaitu sebesar 49% dari jumlah keseluruhan 2. Mbah google merupakan sebuah istilah yang populer di Indonesia untuk menyebutkan produk teknologi berbasis internet yang menawarkan produk dan jasa pencarian data, komputasi web, perangkat lunak, dan periklanan daring yang disebut dengan google. Istilah “mbah google” populer karena teknologi pencarian data google dapat memudahkan kita mendapat informasi apapun dan seolah dianggap serba tahu seperti halnya mbah dukun yang tahu segala hal.

pengguna internet di Indo­nesia.3 Sehingga tidak heran bahwa Indonesia dinobatkan seba­gai negara dengan pengguna internet terbesar no 6 di dunia.4

Sosial Media dan Ruang Publik Media sosial sangat ber­pe­­­ ran dalam membentuk pro­­­­ses komunikasi pada era digital ini. Dengan melihat ana­­tomi media sosial seperti adanya kolom status, kolom komentar (opini), personal chat, deskripsi identi­tas pemiliki akun, unggah foto/video, hing­ga share link yang kemudian membentuk ruang-ruang komunikasi dalam masyarakat digital. Karakteristik yang di­­miliki oleh media sosial ini memungkin­kan pengguna­nya dapat dengan bebas meng­­akses dan membagikan informasi. Informasi tersebut diantaranya opini, berita, ataupun curahan perasaan yang seringkali di sampaikan lewat kolom status pada akun media social. Selain itu pengguna juga dapat berinteraksi secara langsung tanpa atau dengan tatap muka secara personal maupun kelompok lewat fitur chat yang tersedia dalam media sosial. Dalam hal ini media sosial memung­kin­kan para pengguna dapat menjalin relasi dengan individu-individu lain di seluruh belahan dunia yang terhubung dalam satu jaringan internet. 3. Hasil Penelitian APJII (Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia) “Profil Pengguna Inter­ net di Indonesia pada Tahun 2014”. Bersama Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia. 4. https://kominfo.go.id/content/ detail/4286/pengguna-internet-indonesia-nomor-enam-dunia/0/sorotan_media

Keistimewaan dan popu­ laritas media internet kini tu­rut membentuk perilaku ma­sya­­ rakat. Baik itu yang pe­rilaku dunia nyata yang terepre­sen­ tasi pada dunia maya maupun perilaku dunia maya yang terepresentasi pada dunia nyata. Seorang pakar komunikasi, Marshall McLuhan mengemukakan bahwa “medium is the message”5 yang berarti karakteristik media mempe­ ngaruhi pesan yang disampai­ kan dalam sebuah pro­ses ko­mu­nikasi. Media yang membentuk dan mengontrol perilaku manusia. Dalam kasus internet, internet meru­pa­kan media baru yang dapat menghubungkan semua manusia dalam satu jaringan informasi dan sosial media yang memung­kinkan penggu­ na untuk menyampaikan pesan tanpa harus diketahui identitas­nya (anonimitas). Seringkali pengguna merasa lebih aman, karena pesan dan perilaku yang disampaikan lewat media sosial tidak ada kontrol oleh norma-norma yang berlaku dalam masya­ rakat seperti yang ada di dunia nyata. Apabila kita cermati, perilaku masyarakat khusus­nya remaja sebagai mayo­ri­tas pengguna media di Indo­­nesia sedikit banyak dipengruhi oleh budaya yang mereka dapat­kan dalam internet. Misal tren me­miliki macam-macam akun media sosial, tuntutan update status dan foto terbaru, hingga saling memberikan ko­men­tar. Semua itu terjadi akibat kepentingan 5. Marshall McLuhan, “Understnding Media: The Extension of Man”, McGraw-Hill, Canada, 1964, hal: 2.

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

| 23


Laporan Utama eksistensi diri para pengguna era digital ini. Media sosial menjadi tempat untuk ajang aktuali­ sasi diri remaja. Remaja se­ bagai pengguna media sosial seringkali memanfaatkan kolom update status sebagai tempat yang dianggap efektif untuk mencurahkan perasaan dan pikiran. Kolom status ini pada dasarnya dimaknai bera­ gam oleh para pengguna media sosial. Ada yang menggunakan kolom status tersebut sebagai tempat untuk men­ curahkan perasaan, menceritakan kegiatan yang mere­ka lakukan setiap harinya, hingga menuliskan opini tentang suatu hal yang kemudian di­ bagi­kan kepada masyarakat internet yang luas. Bukan hanya dalam bentuk tulisan, namun juga gambar bahkan audio visual. Kepentingan untuk memberikan update terbaru pada media sosial mengantarkan pengguna dapat menge­ nal macam-macam istilah baru misalnya selfie, check in area, dan lain-lain. Sehingga budaya internet terepresen­ tasi dalam kehidupannya sehari-hari. Ekspresi diri pengguna sosial media juga beragam, banyak remaja yang menghia­ si dinding media sosialnya dengan romantisme bersama pasangan atau juga dengan teman-teman dekatnya, namun tidak menutup kemung­ kinan juga potret diri sendiri yang dianggap menarik atau biasa disebut dengan narsis. Ekspresi ini yang kemudian mengundang respon dari netizen yang tidak terbatas jumlahnya. Ada yang memberikan

24 |

komentar positif dan ada juga yang memberikan komentar negatif pada gambar atau tu­lisan yang diunggah tersebut. Komentar atau respon biasanya juga disampaikan secara langsung lewat fitur chat pribadi yang juga disajikan oleh media sosial tersebut. Dan pola-pola komunikasi semacam ini hanya dapat tercipta melalui dunia maya.

Cyberporn, Cyberbully, Hingga Cybercrime Ruang-ruang komunikasi yang terdapat pada media sosial itu bagai pedang bermata dua. Disamping keunggulannya yang mampu me­ nya­tukan sifat-sifat media konvensional, proses komuni­ kasi pada media sosial yang tidak berjalan sesuai dengan fungsi media pada umumnya dapat memunculkan berbagai fenomena termasuk tindak kejahatan atau cybercrime. Tidak menutup kemungkinan para pengguna yang masih lugu kemudian dengan mudah membagikan informasi terten­tu pada media sosial milik mereka tanpa pertim­ bangan yang lebih jauh. Ditambah lagi dengan arus informasi yang terjadi tidak dapat dengan mudah diben­ dung oleh regulasi-regulasi tertentu. Hal ini karena media jejaring sosial memungkinkan untuk bermunculannya akun-akun anonim atau akun yang menggunakan identitas palsu. Satu orang bisa memiliki lebih dari satu akun media media sosial dengan nama yang berbeda-beda. Sehingga akan menghadapi berbagai kendala dalam mengungkap

identitas diri pelaku. Celahcelah ini kemudian membuat oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab senga­ja mengaburkan identitas­nya dalam jejaring sosial baik hanya sebagai keisengan belaka ataupun untuk melakukan tindak kejahatan. Euforia akan internet saat ini bisa saja justru malah menjadi petaka bagi pengguna­nya karena adanya bahaya yang mengintai dibalik layar smartphone, tablet, ataupun laptop yang selalu mereka bawa kemanapun mereka pergi. Beberapa kasus Kriminal yang terjadi lewat dunia maya (cyber) misalnya seperti pornografi, pelecehan seksual lewat internet, cy­ berbullyin, penipuan hingga penculikan. Kebebasan berekspresi lewat media sosial seperti mengunggah berbagai gambar diri, membuat status, atau mem­­bagikan link tertentu da­pat mengundang berbagai reaksi termasuk juga niat buruk orang lain diluar sana yang dengan sengaja atau tanpa sengaja membuka akun media sosial kita. Selain itu juga lewat internet orangorang dapat dengan mudah menyebarluaskan hal-hal yang berbau provokatif, pornografi, dan banyak hal negatif lain. Pornografi misalnya, sebagai Negara yang meng­anut norma-norma ketimuran seperti Indonesia memandang porno­ grafi sebagai barang haram yang dapat merusak moral bangsa terutaman gene­ra­ si muda. Terbukti dengan kebijakan yang diambil oleh Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Laporan Utama pemerintah Indonesi yaitu Kementerian Komununikasi dan Informatika (Kominfo) yang memblokir seluruh situs di internet yang kontennya mengandung unsur porno­ grafi. Pada tahun 2010 silam netizen pernah dihebohkan dengan beredarnya video porno mirip artis-artis terkenal di Indonesia. Tentu saja kasus ini menarik banyak perhatian karena video tersebut meru­ pakan file pribadi sang artis dan disebar secara diam-diam oleh orang lain tanpa se­izin pe­ miliknya. Video porno tersebut dengan cepat tersebar ke masyarkat tanpa pandang usia. Dari orang dewasa, remaja, bahkan anak-anak dapat mengakses video tersebut. Akibatnya, artis yang terlibat dalam video porno tersebut harus berhadapan dengan kepolisian karena di­ anggap lalai dalam menyimpan file pribadinya sehingga merugikan banyak orang. Hal ini juga berpengaruh terha­dap kelangsungan karier mereka sebagai publik figur yang diharapkan dapat memberikan hal-hal positif pada masya­ rakat baik itu karya maupun perilakunya. Belum lagi mere­ ka juga harus menghadapi sanksi sosial dari ma­syarakat berupa cemo’ohan akan perzinahan yang mereka lakukan dalam video tersebut. Pada kasus ini menunjuk­kan betapa mudahnya menjatuhkan citra diri orang lain dengan menyebar luaskan membuka aibnya pada publik lewat dunia maya. Bukan hanya berimbas pada diri pribadi orang tertentu tapi juga bagi para

netizen yang menonton video tersebut yang dianggap dapat rusak moralnya. Kejahatan lain yang mun­cul seiring dengan per­ kem­bangan internet adalah bullying. Kemajuan teknologi alih-alih mencerdaskan ma­ syarakat justru menghadir­ kan bentuk bullying baru. Mengapa baru? Karena ia tidak secara langsung menyentuh fisik, identitas yang kabur, se­makin tak berhati, dan di­ lakukan secara massal tanpa mengenal ruang dan waktu. Seperti yang juga disebutkan oleh Mardiana6, cyberbully da­pat menjadi lebih kejam di­bandingkan dengan bully yang terjadi di dunia nyata. Ka­rena sifat internet yang da­ pat menjangkau siapapun dan menghapus batas wilayah, se­hingga meskipun terpisah jarak, tindakan bullying tetap dapat terjadi. Ada empat un­sur yang terkandung dalam bully­ ing, yaitu ketidak se­imbangan kekuatan, adanya keinginan untuk melukai, repetitif, dan penggunaan terror. Bullying sesungguhnya dapat terjadi pada siapapun dalam dunia maya. Tidak terkecuali orang biasa, artis, politisi, pemuka agama,dll. Arus informasi yang berjalan pada media sosial bisa serta merta secara massal menyerang hanya satu orang yang dianggap mengusik harmoni normalitas yang berjalan dalam kepala para netizen. Ketika tingkah laku seseorang yang 6. Mardiana Hayati Soleha, “Bullying era cyber, tak berwajah, tak berha­ ti”. https://www.selasar.com/budaya/bullying-di-era-cyber-tak-berwajah-tak-berhati. diakses pada: 18 Juli 2016.

terepresentasi dalam internet ti­dak sesuai dengan standar norma masyarakat, maka orang tersebut dinilai pantas untuk diserang secara virtual. Ada yang hanya bermaksud menegur dengan halus, ada yang dengan kasar, bahkan ada yang sekedar ikut-ikutan melontarkan kata-kata yang pedas. Keabu-abu-an identitas dalam dunia maya juga menjadikan pelaku bullying bisa jadi siapapun, baik itu kerabat dekat maupun orang yang tidak dikenal sekalipun. Efek paling buruk dari perilaku bersosial media ialah terjadinya berba­gai pencu­likan serta usaha memper­daya orang lain untuk melakukan hal-hal yang diluar batas. Sebuah eks­perimen sosial yang di­ muat dalam situs Youtube berjudul “The Dengers of Social Media” mengenai peri­ laku bersosial media remaja di Amerika me­nunjukkan bahwa para remaja perempuan disana dengan mudahnya mempercayai orang asing yang baru dia kenal lewat facebook dan mau diajak bertemu secara diam-diam di suatu tempat sepi. Fenomena ini tentu sa­ngat mengkhawatirkan karena lewat media sosial para preda­tor seksual dapat berkeliaran dengan bebas serta memperdaya korbannya.

Perempuan dan Media Sosial Dalam dunia nyata, sering­kali kita dapati bahwa perempuan sering mendapat berbagai bentuk kekerasan baik secara fisik maupun psikis. Dan budaya masyaraat kita

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

| 25


Laporan Utama menempatkan perempuan pa­da posisi lebih lemah di­ bandingkan laki-laki. Hal ini adalah akibat dari budaya patriarki yang membebani perem­puan dengan norma-norma tertentu sehingga mem­batasi ruang geraknya. Dari perilakunya, pakaiannya, uca­pannya, serta nasibnya semua diatur oleh tuntutan masyarakat “perempuan seha­rusnya begini dan begi-

da­lam dunia cyber dari ne­ tizen dengan stigmatisasi dan objek­tivikasi atas diri­ nya melalui digital. Hal ini disebab­kan oleh tidak sedikit­ nya mental para netizen (read-pengguna media sosial) yang masih gagap berinternet. Selain itu juga disebabkan anatomi dari media sosial sendiri yang ter­nyata masih mengobjektivikasi pemilik akun. Contohnya seperti

Sumber Gambar : https://haditdelonge.wordpress.com/page/2/

tu”. Perkembangan zaman serta ilmu pengetahuan ter­nyata sama sekali tidak menipiskan batas-batas antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh­ nya adalah era digital seperti sekarang. Jumlah perempuan yang menjadi korban cyber­ bully atau cybercrime lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki.7 Bukan hanya menerima stigma dalam masyarakat di dunia nyata, kaum perempuan menerima kekerasan 7. Lihat: http://abduljalil.web.ugm. ac.id/2015/02/12/cyberbullying/

26 |

adanya kolom status yang secara tidak langung memerintah kita menulis ke­ adaan yang sedang terjadi, bahkan pilihan-pilihan konten dari status sudah ditentukan sebelumnya oleh media sosial, semisal status mengenai tempat, apa yang sedang dilakukan, bersama dengan siapa, dan pilihan yang lainya. Begitu pula foto profile yang ternyata bisa menjadi sarana pengobjektivikasi dari akun lain (laki-laki) yang masih terjebak pada pola pikir yang patriarki. Selanjutnya ada­lah biodata akun media sosial,

pada media sosial kita sering kali diminta untuk meng­ isi data pribadi di dalam­nya. Terkadang biodata ini menjadi malapetaka ketika yang melihat adalah orang-orang yang memiliki keinginan buruk terhadap si pemilik akun tersebut. Bayangkan apa yang terjadi ketika nomor te­lepon dan alamat rumah tertulis dengan jelas pada media sosial, orang-orang yang ti­dak jelas asal usulnya dapat de­ ngan mudah menghubungi serta menemui, bahkan mene­ror kita. Tentu informasi-informa­si ini seharusnya tidak ditam­pil­ kan secara jelas dan detail, ka­rena hal ini dapat menarik perhatian pengguna media sosial yang tidak bertanggung­ jawab. Anatomi-anatomi media sosial tersebut memang mem­bahayakan semua jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan, tetapi yang mendapat resiko paling besar dari bahayanya media sosial tersebut adalah pihak pe­ rem­­puan. Perempuan yang memiliki akun media sosial lebih berpotensi mengalami pelecehan seksual melalui dunia digital, semisal chat atau komentar yang tidak senonoh dari akun yang tidak dikenal, bahkan yang paling frontal adalah diikuti segala gerak-geriknya (stalker) serta melakukan terror baik dunia maya dan realita. Tentu kenyataan-kenyataan ini merupakan pengalaman yang tidak mengenakkan bahkan mengerikan bagi perempuan. Sebagian perempuan memang telah dapat menggunakan media sosial secara lebih awas, termasuk dapat memilih untuk Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Laporan Utama tidak mencantumkan identitas priba­dinya secara detail dimuka publik. Selain permasalahan ke­ amanan privacy pada perem­ puan dalam media sosial, ada fenomena lain dalam sosial media yang juga turut me­ nim­pa kaum perempuan yaitu cyberbullying dengan cara mengobektifikasinya secara seksual. Sebagai pengguna media social, seringkali kita mendapati akun-akun media sosial seorang perempuan yang di-bully oleh netizen karena perangainya yang dianggap buruk atau dirinya yang tidak ideal sebagai perempuan. Misalnya pada tahun 2015 lalu netizen dihebohkan dengan isu bunga amarilys di Yogyakarta yang mati di­ injak-injak oleh pengunjung. Kehebohan itu berasal dari adanya seorang remaja perem­puan yang semata-mata demi mendapatkan sebuah foto menarik untuk di upload di media sosial dan mendapatkan banyak “like”, ia berfoto dengan melakukan pose tidur diatas bunga Amarillys yang sedang mekar dengan indah­nya. Alih-alih mendapat pujian serta “like” dari netizen, dia malah dihujat dengan sedemikian rupa hingga menjadi viral di dunia maya. Ironisnya, bukan hanya mendapat hujatan karena tindakannya yang sudah meru­sak keindahan alam, beberapa netizen laki-laki justru membully dengan cara menying­ gung sisi seksualitasnya seba­gai seorang perempuan. Seolah karena kecerohohan­ nya tersebut, dia pantas untuk diperkosa ataupun

mendapat pelecehan seksual lainnya. Perempuan semakin dirong-rong oleh budaya masyarakat yang masih sangat kental akan dominasi kaum laki-laki. Beberapa orang masih saja terus me­nebar wacana misoginis atau kebencian terhadap perempuan dikalangan masyarakat lewat sosial media, yang ke­mudian membuat posisi perempuan semakin rentan untuk meng­ alami kekerasan di dalam lingkungan sosial­nya. Pelecehan seksual yang terjadi terhadap perempuan di dunia maya seringkali bukan hanya berasal dari kaum laki-­ laki yang notabene rentan men­jadi pelaku kekerasan ter­hadap perempuan, namun juga dilakukan oleh kaum perempuan sendiri. Da­lam sebuah riset mengenai pe­n­ye­­baran misoginis yang menyerang kaum perempuan di sosial media (khususnya twitter pada pe­­nelitian ini), 55% pelaku­ nya ialah perempuan sendiri untuk mengatai perempuan lain. Tindakan misoginis yang dilakukan oleh para netizen perempuan ini ialah dalam bentuk tweet yang menggu­ nakan kata “whore” atau “slut” yang berarti perempuan kotor. Mereka menggunakan kata-kata yang sama dengan yang biasa dilontarkan pria untuk melecehkan kaum perempuan. Selain itu juga surat kabar Inggris The Guardian juga melakukan se­buah penelitian terhadap ko­mentar-komentar yang di­­blokir pada situs berita online karena memberikan komentar yang tidak sononoh dan cenderung melecehkan.

Ditemukan fakta bahwa sebagian besar komentar misoginis tersebut ditujukan pada para penulis peremupuan. Terutama penulis perempuan yang mengangkat isu kekerasan seksual terhadap perempuan dan feminism yang paling banyak menerima komentar mengerikan seperti ancaman pemerkosaan, pembunuhan, dan segala bentuk kekerasan lainnya.8 Kaum perempuan men­ dapat­kan perlakuan yang buruk serta pelecehan seksual justru dari sesama perempuan. fakta ini menunjukkan bahwa budaya patriarki yang meng­ akar dalam pikiran masyarakat baik itu laki-laki maupun pe­rem­­puan masih sangat kuat sehingga terepresentasi dalam tindakan-tindakannya. Bukan hanya pada dunia nyata, tapi juga dunia maya. Perilaku perempuan yang me­lakukan kekerasan kepada sesama perem­ puan tersebut di sebabkan oleh adanya budaya patriarki di masyarakat yang menem­ patkan perempuan untuk se­ lalu bersaing dengan perem­ puan-perempuan lainnya. dan situasi ini tidak banyak disadari oleh para perempuan tersebut. Media sosial sendiri bukan­lah entitas sosial te­ tapi ekonomi. Keuntungan menjadi paradigma utama 8. Bunga Citra Arum Nursyifani, “Wanitapun Jadi Predator di Dunia Maya” http://koran.bisnis.com/ read/20160528/244/552230/ wanita-pun-jadi-predator-di-dunia-maya. diakses pada : 30 Agustus 2016.

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

| 27


Laporan Utama

https://semarangwingkorolls.net/inilah-pengaruh-media-sosial/

kebera­daannya. Para pemilik media sosial saat ini berlomba-lomba untuk memberikan fasilitas yang menarik dan semakin mempecantik diri dengan menambahkan fitur-fitur dalam program aplikasinya. Sayangnya, pe­nambahan fitur-fitur ini se­makin menambah ketidakaman­nan pada pemilik akun. Lihat saja pada media sosial path, media sosial yang satu ini malah semakin mengurangi privasi pemilik akunnya, dengan menghapus fitur notifikasi terhadap siapa saja orang yang membuka moment pribadi seseorang. Entah apa alasan pihak path melakukan hal tersebut, namun disinyalir fitur tersebut dihapuskan karena banyaknya keluhan netizen yang bermen­tal stalker merasa keberatan tindakan “kepo” mere­ka akan ketahuan apabila membuka moment seseorang dalam path.

28 |

Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi saat ini yang semakin canggih tidak seiring dengan pola pikir dan prilaku masyarakat yang masih terjebak oleh budaya patriarki yang sudah mengakar sejak dulu. Kaum perempuan masih saja menerima berbagai macam bentuk kekerasan. Kejahatan dalam dunia maya mungkin tidak disadari karena tidak secara langsung menyentuh fisik, namun ternyata ia merupakan cerminan dari dunia nyata

Hasil Penelitian APJII (Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia) “Profil Pengguna Internet di Indonesia pada Tahun 2014”. Bersama Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia. https://kominfo.go.id/content/detail/4286/ pengguna-internet-indonesia-nomor-enam-dunia/0/sorotan_media Bunga Citra Arum Nursyifani, “Wanitapun Jadi Predator di Dunia Maya” http://koran. bisnis.com/ read/20160528/244/ 552230/wanita-pun-jadi-predator-di-dunia-maya Marshall McLuhan, “Understnd­ ing Media: The Extension of Man”, McGraw-Hill, Canada, 1964. Abdul Jalil: http://abduljalil.web.ugm. ac.id/2015/02/12/cyberbullying/ Mardiana Hayati Soleha, “Bullying era cyber, tak berwajah, tak berhati”. https://www.selasar. com/budaya/bullying-di-era-cyber-tak-berwajah-tak-berhati.

Referensi: Ana Nadya Abrar dalam Zainudding Muda. Z.M, Kajian Literatur Tipologi Perilaku Berinternet Generasi Muda Indonesia. Jurnal Ilmu Komunikasi

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Laporan Utama

T

eknologi informatika saat ini telah meng­al­ami per­ kembangan yang sangat pesat. Hal ini terbukti dengan adanya media-media sosial yang mampu mem­berikan kemudahan bagi pengguna­ nya untuk berinteraksi dengan orang lain yang jauh dari­nya. Dengan media sosial, peng­ guna dapat memberikan informasi atau sekedar meng­ ungkapkan perasaannya dan membagikan aktivitas mereka kepada orang lain, tanpa harus bertemu dengan orang tersebut. Media sosial didefini­ si­kan sebagai situs dimana pengguna­nya dapat ber­inter­ aksi dengan pengguna lain dan dapat menampilkan eksis­ tensi diri mereka (Subakti, 2010). Pengguna dari media sosial terdiri dari berbagai kalangan dan tingkat usia. Baik orang dewasa, remaja, maupun anak-anak, semuanya aktif dalam bersosial media. Kelebihan sekaligus kemudahan yang ditawarkan media sosial adalah situs ini tidak memiliki batasan dan dapat diakses selama 24 jam, selama masih terhubung dengan jaringan internet. Menurut data yang diperoleh oleh Kemenkominfo jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses media sosial (Harian TI, 2013). Sedangkan situs media sosial yang paling banyak diakses adalah Facebook dan Twitter. Indonesia menempati pering­kat ke-4 untuk penggunaan Facebook terbesar

Remaja dan Media Sosial Oleh: Glasfita Magfira Armida- Mahasiswa Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta | magfiraglasfita@gmail.com

setelah USA, Brazil, dan India (Kominfo, 2013). Indonesia menempati peringkat ke 5 pengguna Twitter terbesar di dunia, setelah USA, Brazil, Jepang, dan Inggris (Kominfo, 2013). Menurut data dari Weber­ shanwick, perusahaan public relations dan pemberi layanan

jasa komunikasi, untuk wilayah Indonesia ada sekitar 65 juta pengguna Facebook aktif. Sebanyak 33 juta pengguna aktif per harinya, 55 juta pengguna aktif yang memakai perangkat mobile dalam peng­aksessannya per bulan dan sekitar 28 juta pengguna aktif yang memakai perangkat mobile per harinya (Kominfo,

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

| 29


Laporan Utama 2013). Pengguna Twitter, berdasarkan data PT. Bakrie Telecom, memiliki 19,5 juta pengguna di Indonesia dari total 500 juta pengguna global. Twitter menjadi salah satu media sosial paling besar di dunia sehingga, tidak heran jika ia berhasil meraup keuntungan mencapai USD 145 juta (Kominfo, 2013). Selain Twitter, media sosial lain yang dikenal di Indonesia adalah Path dengan jumlah pengguna 700.000 di Indonesia. Line sebesar 10 juta pengguna, Google lebih dari 3,4 juta pengguna, dan Linkedlin 1 juta pengguna (Kominfo, 2013). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa media sosial memiliki berbagai kelebihan yang ditawarkan pada pengguna. Jika media sosial digunakan secara bijak, maka berbagai kelebihan tersebut akan dirasakan oleh penggunanya. Dalam beberapa hal, media sosial juga dapat dimanfaatkan untuk membantu memperluas jaringan pergaulan seseorang atau mendekatkan dirinya dengan orang yang berada jauh darinya. Namun pada kenyataannya, saat ini fungsi dari media sosial tersebut mengalami pergeseran. Tidak sedikit media sosial yang hanya digunakan untuk sekedar memperbaharui status, saling menimpali komentar, atau mengunggah foto. Selain itu, dalam beberapa kasus media sosial juga menjadi ajang untuk melakukan tindakan kekerasan seperti mengancam atau menyerang menggunakan kata-kata kepada

30 |

pengguna lain. Perilaku tersebut dikenal dengan istilah cyberbullying.

Remaja dan Fenomena Cyberbullying Cyberbullying merupakan bentuk “ancaman” atau “serangan” yang dilakukan seseorang terhadap orang lain yang disampaikan melalui pesan elektronik atau media. Wabah bullying yang semula hanya terjadi di dunia nyata, kini media sosial menjadi “lapangan” baru yang membuat pelaku bullying merasa lebih leluasa melakukan tindakan bullyin. Dari tahun ke tahun cyberbullying berkembang menjadi tindakan yang dilakukan seseorang untuk mengintimidasi, menyakitkan hati, mengancam, atau mempermalukan seseorang di dunia maya (Catatan Ilmu, 2014). Terdapat tujuh bentuk cyberbullying yang teridentifikasi oleh Australian Federal Police (AFP), yaitu (Catatan Ilmu, 2014): 1. Flaming (perselisihan yang menyebar), maksudnya ketika suatu perseli­sihan yang awalnya terjadi an­tara dua orang atau lebih (dalam skala kecil), kemudian menyebarluas sehingga melibatkan banyak orang (dalam skala besar) sehingga menjadi suatu kegaduhan dan permasalahan besar. 2. Harassment (pelecehan), yaitu upaya seseorang untuk melecehkan orang lain dengan mengirim berbagai bentuk pesan baik tulisan maupun

gambar yang bersifat menyakiti, menghina, memalukan, dan meng­ ancam. 3. Denigration (fitnah), yaitu upaya seseorang menyebarkan kabar bohong yang bertujuan merusak reputasi orang lain. 4. Impersonation (meniru), yaitu upaya seseorang ber­pura-pura menjadi orang lain dan mengupaya­kan pihak ketiga menceritakan hal-hal yang bersifat rahasia. 5. Outing and trickery (penipuan), yaitu upaya seseorang yang berpura-pura menjadi orang lain dan menyebarkan kabar bohong atau rahasia orang lain tersebut atau pihak ketiga. 6. Exclusion (pengucilan), yaitu upaya yang bersifat mengucilkan atau mengecualikan seseorang untuk bergabung dalam suatu kelompok atau komunitas atas alasan yang diskriminatif. 7. Cyber-stalking (penguntitan di dunia maya), yaitu upaya seseorang menguntit atau mengikuti orang lain dalam dunia maya dan menimbulkan gangguan bagi orang lain tersebut. Di beberapa kasus, cyber­bullying seringkali terjadi di kalangan remaja. Belum adanya kematangan secara emosi maupun psikologis, membuat remaja memiliki kerentanan yang cukup tinggi untuk menjadi pelaku Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Laporan Utama maupun korban. UNICEF menemukan, ada sebanyak 30 juta anak-anak dan remaja di Indonesia merupakan pengguna aktif internet, dan media sosial merupakan pilihan utama saluran komunikasi yang mereka gunakan (UNICEF, 2014). Anak-anak dan remaja pada dasarnya belum memiliki cukup kematangan secara emosional dan psikologis, karena mereka masih dalam tahap mencari jati diri. Jadi pada tahap perkembangan usia remaja, mereka ingin mencoba hal-hal baru, yang menurut mereka itu menarik, tanpa mempertimbangkan baik buruknya hal tersebut. Untuk memberikan respon terhadap informasi-informasi yang diunggah di media sosial, pengguna membutuhkan kemampuan analisis yang baik untuk melihat kebenaran informasi. Sedangkan kemampuan ini belum dimiliki oleh remaja. Hal ini pada akhirnya menempatkan remaja menjadi obyek yang cukup beresiko untuk menjadi pelaku maupun korban dari cyberbul­ lying. Terbukti dengan hasil survei yang diadakan oleh Latitude News, Indonesia merupakan negara dengan kasus bullying tertinggi kedua di dunia setelah Jepang. Kasus bullying di Indonesia ternyata mengalahkan kasus bullying di Amerika Serikat yang menempati posisi ketiga. Ironisnya kasus bullying di Indonesia lebih banyak dilakukan di media sosial. Beberapa data statistik juga menunjukkan bahwa sekitar 42% anak-anak mengalami cyberbullying, 35% anak-anak

diancam secara online, 58% anak-anak mengakui bahwa mereka sering mengalami pelecehan dan penghinaan secara online, dan 58% anakanak itu mengakui bahwa mereka tidak melaporkan kepada orang tua mereka soal tindakan cyberbullying yang mereka alami (Catatan Ilmu, 2014). Situasi ini menjelaskan bahwa remaja membutuhkan pengawasan penuh dari orangtua dalam penggunaan media online. Beberapa faktor mengapa seorang remaja melakukan tindakan cyberbullying di antaranya, karena marah dan ingin balas dendam, frutasi, ingin mencari perhatian, bahkan ada pula yang menjadikannya sekedar hiburan pengisi waktu luang. Anakanak atau remaja pelaku cy­ berbullying biasanya memilih untuk mengganggu anak lain yang dianggap lebih lemah, tidak suka melawan dan tidak bisa membela diri (Catatan Ilmu, 2014). Pelakunya sendiri biasanya adalah anak-anak yang ingin berkuasa atau cenderung mendominasi. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa transisi berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami remaja, namun sebagian kematangan masa dewasa sudah hampir dicapai (Hurlock, 1990; Yudrik Jahja, 2011). Bagian dari masa kanakkanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misal­ nya tinggi badan masih terus bertambah. Adapun bagian dari masa dewasa antara lain

proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara ab­s­ trak (Hurlock, 1990; Yudrik Jahja, 2011). Pada masa ini remaja belum memiliki cukup kematangan secara emosio­ nal maupun psikologis, karena remaja masih memiliki emosi yang labil atau tidak seimbang. Masa remaja juga dikenal dengan masa krisis dan pencarian jati diri, sehingga tidak sedikit remaja yang suka menunjukkan identitas, memanfaatkan kekuasaan dan eksistensinya kepada temanteman sebaya. Erickson berpendapat bahwa pencarian identitas diri adalah proses menjadi seseorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Papalia dan Olds, 2001; Yudrik Jahja, 2011). Selain itu remaja juga tengah mengalami proses perkembangan sosial, di mana pada perkembangan ini remaja lebih banyak melibatkan kelompok teman sebaya dibandingkan orang tua. Kemudian, bagaimana hal ini dapat berpengaruh dengan perilaku cyberbullying? Perilaku bermedia menjadi semakin menguat apabila mereka masih belum memahami konsekuensi yang menyertainya. Contohnya, pada penggunaan media sosial, remaja seringkali mengalami dan menyaksikan berbagai perilaku bullying, sehingga ketika mereka berada pada situasi yang sama, mereka rentan untuk meniru. Remaja akan mencoba

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

| 31


Laporan Utama perilaku tersebut, kemudian semakin menguat ketika tidak ada konsekuensi langsung yang didapatkan. Pada tahap inilah dibutuhkan adanya kedekatan antara orang tua dengan anak. Ketika ada ke­ dekatan, orang tua dapat dengan mudah memberikan pengawasan terhadap infor­ masi yang diperoleh oleh anak-anak mereka. Orang tua juga dapat melengkapi dan meluruskan informasi yang didapatkan oleh remaja dari media online termasuk media sosial. Cyberbullying dapat dicegah dengan memahami beberapa hal berikut: 1. Berkomunikasi menggunakan teks memiliki resiko salah faham lebih besar dibandingkan menggunakan panca indera kita. Oleh karena itu persiapkan mental kita agar tidak terjebak dalam emosi, flame war, yang akhirnya jika salah justru malah jadinya praktik cyberbullying. 2. Hindari asumsi denga cara terus berusaha memahami lawan bicara kita sampai kita benar-benar paham. Asumsi rentan menjadi sumber malape­ takan. Karena dengan asumsi, secara sepihak kita mulai menghakimi orang lain tanpa tahu pasti kejadian sebenar­ nya. Sehingga hal ini memicu tindakan cyber­ bullying. 3. Hindari penghakiman massa secara langsung di media-media sosial, walaupun hanya dengan

32 |

me-retweet/repost. Efek retweet/repost ini dapat memberikan amplifikasi pada sebuah statement yang bisa saja berupa serangan.

Peran Orangtua dalam Penggunaan Media Sosial Remaja Seorang remaja yang tengah dalam proses mencari identitas diri sangat membutuhkan dukungan dari orang tuanya. Peran orang tua pada masa ini cukup penting dalam mengontrol informasi yang diperoleh anak, termasuk informasi dari inter­ net dan media sosial. Pada kondisi ini, seringkali anak

lebih banyak menghabiskan waktunya dengan lingkungan sosial dibandi­ngkan dengan keluarga. Remaja lebih aktif di lingkungan sekolahnya, dengan mengikuti berbagai

kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan les, dan lain sebagainya. Inilah mengapa peran orangtua menjadi penting dalam melakukan kontrol terhadap remaja, tentunya melalui cara-cara yang diterima oleh remaja. Menurut teori psikologis Gestalt, ketika remaja mendapatkan informasi yang tidak lengkap, maka dia akan memiliki motivasi atau dorongan untuk mencari informasi tambahan untuk melengkapi Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Laporan Utama informasi yang telah ia dapatkan sebelumnya. Karena ketika seseorang mendapatkan informasi yang tidak lengkap, maka ia akan mengalami ketidaknyamanan dalam dirinya.

kebenarannya, dan orang tua akan kesulitan untuk melakukan filter informasi yang telah mereka dapatkan. Hal unik lain dari remaja adalah adanya dorongan

Hal tersebut juga seringkali terjadi di kalangan anak-anak dan remaja. Sehingga, ketika mereka memiliki kedekatan dengan orang tua, maka mereka akan memilih untuk bertanya langsung kepada orangtua dibanding mencari di internet. Transfer informasi secara efektif dapat melalui proses diskusi antara anak dan orang tua. Namun jika sebaliknya, remaja akan mencari informasi tambahan dari tempat lain yang belum tentu

yang kuat untuk memperoleh penerimaan dari teman sebaya dan lingkungan sekitarnya, sehingga dia akan melakukan perilaku yang dapat mewujudkan keinginan tersebut. Dalam hal ini bimbingan orang tua dan orang terdekat menjadi penting dalam memberikan pemahaman tentang bagaimana cara memperoleh penerimaan dari teman sebaya melalui cara yang lebih positif untuk dirinya.

Di beberapa kasus perilaku-perilaku cyberbullying cukup sulit terdeteksi oleh orang lain, karena kebanyakan pelaku menggunakan kode-kode tertentu yang hanya di mengerti oleh pelaku dan korban cyberbullying sendiri. Dampaknya bagi korban adalah anak akan mengalami depresi, merasa terisolasi, merasa diperlakukan tidak manusiawi, dan merasa tak berdaya ketika diserang. Dampak jangka panjang menjadi korban cyberbully­ ing dapat mematikan rasa percaya diri anak, membuat anak menjadi murung, khawatir, selalu merasa bersalah karena tidak mampu meng­ atasi sendiri gangguan yang menimpanya (Catatan Ilmu, 2014). Bahkan ada pula korban cyberbullying yang memilih untuk bunuh diri karena tak kuat menahan gangguan tersebut. Dalam situasi ini, dukungan orangtua, keluarga, teman sebaya menjadi hal penting dalam pemulihan psikologis korban. Bentuk pola asuh orang tua berkontribusi cukup besar dalam membentuk karakter anak. Pola asuh tersebut berdampak pada perkembangan emosi, sosial, dan kognitif anak. Berikut adalah bentuk-bentuk pola asuh yang seringkali diterapkan oleh orangtua kepada anak: 1. Authoritarian Parenting (tipe pola asuh otoriter) adalah orang tua yang keras, tidak responsif, kaku, dan cenderung menggunakan kekuasaannya untuk mengendalikan anak. Dalam keluarga

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

| 33


Laporan Utama anak akan dikendalikan dengan kuat oleh orang tua dan anak hanya men­ dapatkan sedikit sekali kepuasan/pujian atas apa yang telah ia lakukan. Akibatnya anak merasa terjebak dengan perasaannya sendiri, di satu sisi ia marah namun di sisi lain ia takut untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya kepada orang tuanya. 2. Authoritative Parenting adalah orang tua yang hangat, responsif, dan melibatkan diri dalam kehidupan anak namun tidak mencampuri kehidupan dan kebeba­san anak, memiliki batasan yang jelas antara memberi­ kan kebebasan dengan aturan yang berlaku (hal tersebut disesuaikan dengan kebutuhan anak) dan memperlakukan anak secara matang. Pola ini memiliki dampak positif yakni, anak akan mampu mengembangkan kepercayaan dirinya, memiliki kemampuan adaptasi yang baik, merasa mampu untuk melakukan sesuatu, mampu melakukan kontrol atas dirinya, dan mampu bersosialisasi dengan baik. Dengan disiplin yang tepat yang diberikan orang tua akan membuat anak mendapatkan kesempatan untuk mengeksplor lingkungan mereka dan memba­ngun kemampuan interaksi sosial dengan orang lain tanpa disertai rasa cemas, takut, dan sikap bermusuhan.

34 |

3. Permissive Parenting adalah orang tua yang cenderung ceroboh, tidak memiliki penerapan disiplin yang konsisten, dan membiarkan anak untuk mengekspresikan dorongan mereka secara bebas. Efeknya terha­ dap anak, anak akan mengalami perkemba­ ngan perilaku yang tidak terkendali dengan baik, munculnya ketidak patuhan, dan anak akan memunculkan perilaku yang menentang. 4. Uninvolved Parenting adalah orang tua yang tidak tertarik dan menolak anaknya. Mereka lebih memperhatikan kebutuhannya dirinya sendiri daripada kebutuhan anak. Selain itu, anak juga diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja, selama tidak mengganggu orang tuanya. Saat anak menjadi lebih besar, orang tua cende­ rung tidak memantau aktivitas anak, tidak ada keinginan untuk tahu posisi anak sedang di mana dan dengan siapa. Bentuk pola asuh seperti ini biasanya muncul pada ibu yang mengalami depresi atau stress. Dapat pula terjadi pada ibu yang memiliki rumah tangga yang penuh dengan konflik atau perceraian. Ibu yang cemas, depresi atau stress cenderung akan lebih fokus pada keadaan dirinya dan mencoba mencari kepuasan agar dirinya menjadi

lebih nyaman sehingga ia akan cenderung menolak anaknya. Orang tua yang kurang terlibat dalam kehidupan anak akan mengurangi kede­ katan emosional antara anak dan orang tua. Akhirnya, anak akan tumbuh menjadi anak yang gegabah, agresif, tidak patuh, moodiness, dan memiliki kepercayaan diri yang rendah. Selain itu, kemampuan menjalin interaksi sosial anak juga berkurang, tidak bertanggung jawab, tidak matang, dan terasing dari keluarganya. Berikut ini tips bagi para orangtua dalam mengupayakan pengasuhan positif untuk anak maupun remaja yang tengah memasuki masa pubertasi: 1. Mendengarkan anak, dengan telinga dan hati, dapat memahami apa yang dikatakan oleh anak dan remaja. 2. Menyampaikan dengan bijak: aturan dan nilai. 3. Konsisten terhadap aturan dan nilai: saat aturan atau nilai dilanggar ada konsekuensinya. 4. Memberikan apresiasi sewajarnya: menghargai dan memuji dipisahkan dari memberi nasihat. 5. Memberikan rangsangan yang cukup bagi anak untuk mengenal dunia nyata dan menguasainya. Selanjutnya, kaitannya dengan kerentanan remaja menjadi pelaku maupun korban bullying baik di dunia maya maupun di dunia nyata, berikut adalah beberapa hal

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Laporan Utama yang dapat dilakukan orang tua selama mendampingi anak: 1. Mengurangi nonton tv dan mengurangi media sosial, orang tua harus memiliki aturan yang jelas untuk anak-anak mereka untuk dapat mengakses media sosial. 2. Orang tua mendampingi anak terhadap apa yang diakses oleh anak ketika menggunakan media sosial, sebaiknya melakukan akses secara bersama-sama dan didiskusikan mana hal-hal yang baik dan mana halhal yang buruk, jangan biarkan anak sibuk sendiri tanpa ada pengawan dari orang tua. 3. Orang tua sebaiknya mengembangkan komunikasi dan kedekatan emosi dengan anak, karena apabila suatu saat ketika orang tua tidak dapat mendampingi anak, maka akan terbangun rasa kepercayaan terhadap anak. Dan anak yang memiliki komunikasi yang baik, maka anak tersebut akan terbiasa untuk mencari informasi kepada orang tuanya dibandingkan dengan teman-temannya. 4. Orang tua sebaiknya mengikuti aturan jam belajar masyarakat tanpa media sosial dan televisi. Selain belajar, pada waktu itu orang tua dapat melakukan komunikasi dengan anak.

Anak adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan untuk umatnya, mereka adalah warna-warni yang akan mewarnai setiap langkah orang tua, anak-anak bukan merupakan beban namun tanggung jawab yang sangat membutuhkan kedewasaan dari orang tuanya. Sudah sepatutnya apabila orang tua memberikan kasih sayang dan menjaga harta terindah yang Tuhan berikan untuk manusia tersebut.

Daftar pustaka Astri Septi. (2014). Cy­ berbullying. Diunduh dari https:// astriisept.wordpress. com/2014/05/22/cyberbullying/

No.+17-PIH-KOMINFO-2-2014+tentang+Riset+Kominfo+dan+UNICEF+Mengenai+Perilaku+Anak+dan+Remaja+Dalam+Menggunakan+Internet+/0/ siaran_pers Santi E. Purnamasari, MSi., Psikolog sebagai narasumber dalam kegiatan wawancara Yudrik Jahja. (2011). Psikolo­ gi Pekembangan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Santi E. Purnamasari.(2013). Perkembangan Sosial Keluarga. Dalam materi power point Kominfo. (2013). Pengguna In­ ternet di Indonesia 63 Juta Orang. Di unduh dari https://kominfo.go.id/index.php/ content/detail/3415/ Kominfo+%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+63+Juta+Orang/0/ berita_satker SIARAN PERS NO. 17/PIH/ KOMINFO/2/2014. Riset Kominfo dan UNICEF Mengenai Perilaku Anak dan Remaja dalam Menggunakan Internet. Di unduh dari https://kominfo.go.id/ index.php/content/detail/3834/Siaran+Pers+-

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

| 35


Laporan Utama

Candu itu Bernama Media Sosial Defirentia One Muharomah | Manajer Humas dan Media Rifka Annisa | defirentiaone@yahoo.co.id

D

i ruangan itu berjajar dua buah meja dan beberapa kursi di sekeliling­nya. Sejumlah orang duduk mengelilingi meja sambil sesekali menikmati camilan. Mereka para karyawan di lembaga Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta. Mereka berbincang tentang apa yang pertama kali dilakukan ketika membuka mata di pagi hari. Sebuah pertanyaan pemantik untuk mengawali diskusi mengenali dampak-dampak media sosial bagi kehidupan kita sehari-hari. “Dulu ngecek jam, sekarang ngecek notifikasi whatsapp,” kata Dewi, salah satu karyawan kantor tersebut. Ia menambahkan, saat ini ada kebiasaan baru di kehidupan sehari-hari akibat penggunaan media

36 |

sosial. Media sosial memudahkannya dalam menelusuri teman-teman yang lama tidak bertemu. Sementara menurut Ninna, koordinator human resource di kantor tersebut, media sosial meng­akomodasikan naturnya manusia yang ingin selalu berhubu­ngan. Itu yang membuat orang kecanduan karena media sosial memfasilitasi kita untuk mengetahui kabar orang lain dan apa yang sedang mereka kerjakan. Media sosial juga membuat interaksi antar pengguna seperti tiada jarak. Semua orang bisa melakukan pertemanan dengan siapa saja, mulai dari orang biasa, pejabat, hingga artis ternama. Fitri yang sehari-hari bertugas sebagai training officer mengatakan bahwa ia

memanfaatkan media sosial untuk berteman dengan penulis idolanya. Ia sangat senang manakala bisa chat dan memberikan komentar di laman sang idola apalagi jika komentar tersebut mendapat balasan. “Bisa menyampai­ kan uneg-uneg langsung ke penulis idolaku,” tambah Fitri menyampaikan manfaat media sosial baginya. Namun, tidak semua mereka setuju bahwa adanya media baru tersebut membawa dampak yang positif. Fitri mengatakan tidak begitu menikmati interaksi di media sosial khususnya di grup kecuali yang masih berhubungan dengan pekerjaannya sekarang. “Aku orangnya lebih suka kopi darat atau bertatap muka,” kata Fitri. Banyaknya notifikasi (pemberitahuan) di grup Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Laporan Utama media sosial yang diikutinya tak jarang juga membuat perempuan penikmat kopi dan pecinta kucing ini terganggu. Belum lagi ketika masa-masa kampanye, perbedaan pandangan dan pilihan politik membuat pengguna media sosial bisa saling membenci. Dari situlah ia banyak belajar bahwa menerima perbedaan itu sulit. Senada dengan Fitri, Ninna dulunya juga rajin mengakses Facebook namun saat ini ia telah men-deactive-kan akunnya. Ia beralasan bahwa belakangan ini sering mene­ mui ujaran-ujaran kebencian dan pernyataan yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras, Anatomi tubuh) di media sosial. Hal tersebut tentu saja membuat tidak nyaman. Dari diskusi awal itulah pembicaraan mengenai dampak media sosial berlanjut untuk melihat bagaimana persepsi dan seberapa jauh ketergantungan masing-masing orang dengan media sosial.

Cara Manusia Memandang Teknologi Adanya pembaruan tek­ nologi telah mengubah tren media komunikasi. Salah satunya adalah munculnya media sosial sebagai media baru. Komunikasi dan pemberitaan ala media baru memberi­ kan kesempatan lebih luas kepada khalayak untuk turut berkontribusi dan berpartisipasi dalam produksi informasi dan suplai konten berita. Juga termasuk agen distribusi berita. Bisa dikatakan, kon­ ten tidak lagi dikuasai hanya

oleh institusi media. Bahkan, dengan adanya fitur-fitur media sosial, saat ini pun setiap orang bisa berkontribusi melaporkan peristiwa secara langsung. Namun teknologi tidak serta merta mengubah pandangan semua orang tentang kebermaknaan dalam kehidupan. Setidaknya be­berapa pandangan berikut akan menjelaskan bagaimana posisi manusia terhadap teknologi tersebut (Nasrullah, 2014a; Silver, 2000; Wilhem, 2000 dalam Nasrullah, 2015). Pertama, kelompok utop­ian. Secara harfiah, utopian berasal dari kata “utopis” yang merujuk pada sesuatu yang diidealkan tanpa adanya batasan-batasan atau situasi/tempat yang diidealkan seperti surge atau kesetaraan bagi semua orang. Dalam konteks ini, kaum utopian menerima keberadaan teknologi komunikasi sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh besar dalam hidupnya. Tidak hanya cara berkomunikasi tetapi juga budaya, sosial, politik, hingga ekonomi (McLuhan, 1964 dalam Nasrullah, 2015). Kedua, kelompok dystopian. Kelompok ini memandang teknologi komunikasi secara lebih hati-hati. Keberadaan teknologi memunculkan berbagai kritik bahwa teknologi komunikasi menyebabkan munculnya keterasi­ngan manusia dari realitas sosial-politik tertentu. Dalam konteks ini, pendukungnya menganggap bahwa hubungan komunikasi jauh lebih bermakna jika dilakukan secara langsung

atau tatap muka daripada difasilitasi oleh media baru. Media sosial dianggap telah menggeser cara berkomunikasi masyarakat bahkan bisa berdampak negatif bagi praktik dan ruang komunikasi yang awalnya dipelihara secara demokratis. Kelompok ini beralasan bahwa interaksi menjadi tidak teratur karena masyarakat kehilangan pusat dan nilai-nilai. Terkait pengaruhnya dalam tataran sosial, media baru membuat tatanan masya­rakat menjadi terpecah, bahkan mengisolasi satu sama lain. Komunikasi yang tidak langsung juga menimbulkan adanya fragmentasi sosial. Ketiga, kelompok technorealism. Kelompok ini berpandangan lebih realistis terhadap kemajuan teknologi dan pengaruhnya terhadap manusia. Internet memang memberikan pengaruh yang beragam bagi kehidupan manusia namun manusia tidak bisa menerima begitu saja atau menolak keberadaan teknologi tersebut. Adanya teknologi menuntut masyarakat untuk lebih berpikir kritis dan membuka pandangan terha­ dap pilihan-pilihan akibat dari adanya teknologi. Bagi kelompok ini, teknologi atau media baru tidak selamanya akan mengubah total tatanan masyarakat. Teknologi perlu dilihat secara berimbang serta subjektif khususnya terkait potensi-potensi penting dari internet. Kelompok technorealism ini memegang dua prinsip penting (Wilhelm, 2000:23), sebagaimana dikutip oleh

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

| 37


Laporan Utama Nasrullah (2015: 71), yaitu: (1) Technologies are not neutral; dan (2) The inter­ net is revolutionary, but not utopian. Prinsip di atas hendak mengajak orang untuk melihat revolusi teknologi secara wajar. Adanya media baru tidak serta merta mengubah total proses komunikasi dan struktur masyarakat yang telah terbangun. Sebab, pengguna komunikasi virtual masih mempertahankan nilainilai yang selama ini dijadikan prinsip dalam komunikasi dunia nyata.

Interaksi yang berubah Media sosial kini menjadi wadah digital dimana khalayak bisa berinteraksi satu sama lain. Tak jarang, aktivitas interaksi di media sosial juga mendukung kepentingan dan kebutuhan manusia. Di media sosial, realitas sosial terjadi sama halnya di dunia nyata. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat pun muncul dalam bentuk yang sama atau berbeda di media sosial. Telah banyak penelitian yang mengenai internet yang menyimpulkan bahwa media sosial adalah gambaran yang terjadi di dunia nyata. Kasuskasus yang sering kita temui di dunia nyata banyak terjadi pula di media sosial bahkan memiliki bentuk yang beragam. Plagiarisme, perundungan, pelecehan, pencemaran nama baik, kejahatan dunia maya dan setum­puk daftar kasus lainnya sering kita dengar mengikuti menjamurnya penggunaan media sosial.

38 |

Kita coba ambil salah satu kasus sebagai contoh yaitu perundungan. Media sosial ibarat pedang bermata dua dalam memotret kasus-kasus seperti ini. Di satu sisi, ia bisa memfasilitasi pelaku perundungan dengan menggunakan konten-konten media sosial seperti meme, video, maupun foto tertentu untuk melakukan aksinya menebar kebencian dan menjatuhkan martabat orang lain. Kasus-kasus seperti pelecehan seksual terhadap perempuan pun kerap terjadi di media sosial dengan menggunakan symbol-simbol gambar, verbal maupun guyonan seksis. Di sisi lain, kelompok lain bisa dengan mudah memberikan respon, kritik, komentar pedas hingga yang berujung ke pelaporan pidana ketika menemui kasus-kasus tersebut. Hal-hal yang diunggah seseorang di media sosial yang mengarah ke konten-konten yang dianggap melecehkan, mencemarkan nama baik, menebar kebencian maupun perbuatan tidak menyenangkan kini dapat dengan mudah dilaporkan karena media sosial mendukung bukti-bukti tersebut. Tak jarang, kepentingan juga bisa dimanipulasi dengan membuat akun palsu dengan harapan bisa terbebas dari jerat hukum. Hal ini kemudian menjadi perdebatan dan kewaspadaan tersendiri bagi pengguna . Meskipun masih mengusung nilai yang sama atau

pun berbeda di media sosial, fitur dan karakter media sosial mempengaruhi rasa-rasa atau anggapan terhadap orang lain. Beberapa media chat memiliki notifikasi khusus dimana pengirim pesan bisa mengetahui apakah pesannya sudah sampai, sudah dibaca atau bahkan tidak mendapat respon sama sekali. Sebagai contohnya, Whatsapp dan BBM, adanya tanda centang pada pesan bisa digunakan melacak hal tersebut. Tak jarang, tanda centang ini membuat pengguna menjadi selalu baper (bawa perasaan) jika pesan yang dikirim tidak dibaca ketika tanda centang satu atau dibaca tapi tidak dibalas ketika tanda centang dua. Hal ini kemudian membuat pengirim pesan menjadi was-was atau selalu menanti-nanti respon orang lain ter­hadap pesannya. Bilamana pesan tersebut telah dibaca tetapi tidak dibalas atau lama membalasnya, si pengirim akan cepat menjadi baper dan berpikiran macam-macam. Ketika si penerima mem­ balasnya lama padahal pesan sudah terbaca, si pengirim yang baper bisa bepikiran ‘kemana dia’, ‘ada apa dengan dia’, ‘kok lama banget balasnya’, ‘emangnya pesanku gak penting ya’, dan sebagainya. Pun kalau pesan yang telah terkirim tetapi tidak dibalas, si pengirim menjadi lebih sensitif berpikiran ‘kenapa pesanku gak dibalas’, ‘apakah ia marah sama aku’, ‘apakah ia tidak menganggap penting

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Laporan Utama pesanku’, ‘yah, cuma di-read doang’, ‘gak sopan banget ini orang’, dan lain sebagainya. Pikiran-pikiran tersebut adalah wajar muncul dalam sebuah interaksi yang difasili­ tasi perangkat teknologi. Apalagi media sosial yang kini memfasilitasi mode-mode untuk cepat mengetahui ketersam­paian dari pesan kita dan bahkan cepat mempenga­ ruhi perasaan kita jika pesan-pesan tersebut tidak berbalas.

Media Pencitraan Berbagai macam cara orang membuat konten media sosial mulai dari status, foto, video, meme, dan sebagainya. Hal ini menandakan be­ tapa kreatifnya masyarakat kita. Selain itu, kita juga perlu waspada pada informasiinfor­­masi yang diragukan ke­benarannya (hoax) atau informasi yang cenderung me­ nimbulkan kebencian antar pengguna. Di sinilah kemudian dibutuhkan kecermatan dalam memilih dan mengon­ sumsi informasi di media sosial. Terlepas dari itu semua, media sosial bisa menjadi ruang-ruang yang sangat eks­ presif bagi beberapa orang. Salah satunya dalam hal membangun image atau sebut saja pencitraan diri kepada khalayak internet. Orang berlomba-lomba mengunggah foto, menandai setiap aktivitasnya, dan menyatakan keberadaan di media sosial. Memang, media sosial secara tidak langsung memfasilitasi pengguna untuk mengatakan kepada dunia apa

yang sedang ia lakukan dan apa yang sedang ia pikirkan. Media sosial seakan-akan menunjukkan siapa diri kita melalui aktivitas, foto maupun pernyataan-pernyataan yang diunggah. Terlepas dari sengaja atau tidak sengaja, media sosial menjadi wadah pencitraan diri. Bagi Fitri, ia tidak mempermasalahkan unggahan-unggahan yang ditujukan untuk pencitraan, misalnya tentang pekerjaan, liburan, atau pasangan. Asalkan itu inspiratif dan bisa memotivasi orang lain. Ia berpendapat, kepemilikan media sosial harusnya menjadi sarana untuk hiburan bukan malah membuat tidak nyaman, berselisih atau sampai pecah perteman­an. “Aku posting halhal yang aku suka sih, bukan yang orang lain suka. Kan tidak realistis ya, di Facebook aku ber­teman dengan ribuan orang dan aku diminta posting yang ribuan temanku itu suka,” kata Fitri. Selain itu, jika Fitri mengetahui salah satu teman dekatnya meng­unggah informasi tentang permasalahan pribadi yang tidak seharusnya diumbar ke publik, ia akan langsung mengirim pesan pribadi. “Ya, agar kita saling mengingatkan,” pungkasnya. Cerita dari peserta lain, ia pernah mendengarkan pengakuan dari salah satu teman bahwa status yang diunggah di media sosial tak lain hanya sebagai cara mencari

perhatian dan menunjukkan citra diri yang jauh berbeda dari aslinya. Sebab, dari unggahannya di media sosial public bisa memberikan persepsi bahwa karakter dia di dunia maya berbeda dengan di dunia nyata. Di media sosial, orang tersebut bisa lebih ekspresif dan terbuka dalam mengungkap hal-hal ten-

tang dirinya. Tetapi di dunia nyata ia cenderung menutup diri saat berinteraksi dengan sesa­manya. Ada pula cerita dari ko­­mu­nitas di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Seorang ibu berinisial ERT mengaku sering mengunggah status-status palsu untuk men­­dapatkan perhatian dari teman. Kadang kala ia merasa kesepian sehingga butuh teman untuk

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

| 39


Laporan Utama berbica­ra. Namun karena tidak ada seseorang untuk mengobrol di dekatnya akhirnya dia memilih mengunggah status di media sosial. Ketika status yang diunggah biasa saja, ia tidak akan mendapatkan respon dari teman internetnya. Akhirnya ia mencoba memanipulasi dengan seolah-olah mengunggah informasi bahwa ia sedang ada masalah dalam keluarga. Tujuannya hanya untuk mendapatkan teman mengobrol dan mendapatkan banyak respon dari teman dunia maya, tidak ada maksud lain. Namun karena memanipulasi status itu menyenangkan saat ia sedang kesepian, sehingga hal ini membuat ia ketagihan dan sering melakukan hal yang sama di waktu yang lain. Seringkali orang beranggapan bahwa realitas yang ditemui di media sosial sudah pasti serupa dengan realitas aslinya. Padahal tidak menutup kemungkinan bahwa proses manipulasi, pencitraan maupun berita palsu mudah sekali dibuat dengan tampak meyakinkan dengan media sosial. Jika masing-masing orang tidak kritis dan selektif, maka ia akan mudah percaya, beranggapan negatif dan menebar informasi yang salah tentang orang tersebut.

Demi Popularitas Mengikuti sesuatu yang sedang hits atau trending seolah-olah menjadi kebutuhan setiap orang di era media sosial. Media sosial memberi­ kan banyak peluang dan ke­ sempatan bagi orang-orang yang mengejar popularitas demi menjadi hits dan eksis.

40 |

Gelombang baru telah terjadi di dunia maya berupa kompetisi eksistensi di media sosial dengan alat berupa foto-foto, video, tulisan, maupun konten lainnya. Ada sebuah anggapan umum yang diperdebatkan bahwa “bad news is good news” (berita buruk adalah berita yang bagus). Di tahun 2016, salah satu berita yang menghebohkan media sosial adalah tentang Awkarin seorang remaja perempuan kekinian yang hobi mengunggah foto-foto maupun video yang bisa dibilang kontroversial. Mulai dari foto-foto vulgar dengan kekasih, video-video yang penuh umpatan, sumpah serapah dan kata-kata kasar hingga video perayaan ulang tahun kekasih yang berakhir dengan putus cinta. Terlepas dari kontroversi video tersebut, Awkarin telah berhasil mendulang jutaan penonton dan atensi dari media sosial, dan tidak ketinggalan popularitas yang mengikutinya. Ia menjadi semakin tenar dengan diundang mengisi talkshow di berbagai saluran radio terlepas dari kontroversi para orangtua yang khawatir bahwa hal ter­ sebut akan berdampak buruk bagi remaja-remaja lainnya. Dalam kasus lain, unggahan-unggahan negatif maupun yang berbau ujaran kebencian juga masih didapati oleh pengguna media sosial. Dengan adanya media sosial, hal tersebut menjadi semakin mudah tersebar karena dilihat banyak orang dan bisa jadi disebarkan ke lebih banyak orang yang lain. Perdebatan

yang muncul antar warga in­ ternet terkait konten-konten negatif tersebut adalah akan mempengaruhi interaksi sosial individu di dunia nyata. Ini juga dikhawatirkan akan berkebalikan dengan ekspektasi sebagian orang bahwa interaksi antar manusia harus dilakukan dengan sopan dan beradab dimana pun itu, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Kekhawatiran ini se­jalan dengan kajian yang dilakukan oleh psikolog dan penulis buku The Big Disconnect: Protecting Childhood and Relationship in Digital Age, Chaterine SteinerAdair. Sebagaimana diulas oleh Suzan Newman dalam www.psychologytoday.com, Chaterine dalam bu­ku tersebut menjelaskan mengapa interaksi manusia dan hubungan keluarga yang kuat sangat penting untuk perkem­bangan kesehatan. Dia percaya, anak-anak berhak mendapatkan rasa aman dan perlin­ dungan, dan pengalaman pertama dan paling kuat akan hal tersebut berhubu­ngan dengan orangtua. Anak-anak mempelajari orangtua­nya masing-masing, membaca keandalan dan kemampuan orangtua selama bertahun-tahun dalam cara hidup bersama mereka. Satu hal yang ditekankan terkait masalah ini adalah termasuk kebiasaan orangtua dalam penggunaan teknologi. Begitu banyak anak kecil yang menganggap harus bersaing dengan layar gadget untuk mendapatkan perhatian orangtua mereka. Selain itu, seiring bertambahnya usia, kebiasaan Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Laporan Utama tek­nologi kita membentuk norma dasar bagi anak-anak. Chaterine juga mengkhawatirkan banyaknya materi kejam dan mempermalukan yang diunggah di media sosial malah menjadi hits dan disukai banyak orang. Seakanakan semakin negatif konten yang diunggah semakin meningkat pula popularitas orang yang mengunggahnya. Sementara, perundung­ an yang tidak terkendali juga bisa berakibat pada pemakluman publik akan kebiasaan-kebiasaan negatif dan penghakiman massa dengan memanfaatkan media sosial. Orang boleh kritis dan tidak setuju akan konten tertentu yang diunggah orang lain, namun tidak berarti hal tersebut digunakan sebagai justifikasi untuk merendahkan dan menghakiminya dengan cara kita sendiri. Ketergantungan dengan media sosial dapat membuat penggunanya menautkan apa­ pun kebutuhan mereka pada media tersebut. Tidak hanya akses informasi dan eksistensi, bahkan ide dan pendapat akan masalah tertentu bisa jadi mereka mengambil refe­rensi dari media sosial. Meskipun belum tentu, semua informasi tersebut terpercaya dan aman untuk dikonsumsi.

Tanda-tanda Ketergantungan Sebuah tulisan diterbit­ kan dalam situs netaddiction.com berjudul “Social Media Addiction” atau Ketergantungan Media Sosial. Tulisan tersebut mengulas bagaimana ketergantungan

dengan media sosial telah membuat orang mengabaikan tanggung jawab penting lainnya, komitmen atau bahkan anak-anak mereka untuk lebih focus pada Facebook, dll. Beberapa tanda-tanda ketergantungan media sosial, mengadaptasi penjelasan yang diulas di artikel tersebut, antara lain: Pertama, kita cenderung menghabiskan lebih banyak waktu memikirkan media sosial atau merencanakan cara menggunakannya. Misalnya, orang akan disibukkan menggunakan Facebook atau dituntut untuk berbagi sesuatu di media sosial. Hal ini dapat menyebabkan ‘over-sharing’. Di zaman privasi, ‘over-sharing’ berawal dari mengatakan tentang sesuatu hal terlalu banyak dan kemudian menyesali dampak dari apa yang dikatakan. Mereka yang menderita kecanduan tidak selalu menilai apa yang pantas atau tidak patut diposkan karena keasyikan mereka dengan memeriksa dan merespons, yang mengarah pada keterlibatan konstan dalam aktivitas tersebut. Kedua, kita merasakan bahwa dorongan untuk menggunakan media sosial selalu muncul dan intensitasnya meningkat. Ini berarti, kita akan terdorong dan selalu penasaran untuk memeriksa pembaruan pada berita atau tanggapan terhadap posting kita setiap kali ada kesempatan atau jika sedang tidak melakukan apa-apa. Dengan kata lain, pilihan untuk melakukan aktivitas bebas

sangat dipengaruhi oleh media sosial. Contohnya, ketika kita sedang bekerja dengan komputer kita, ada kecende­ rungan untuk membiarkan halaman Facebook terbuka di mesin penelusur web (web browser). Mungkin saja kita bisa beralih antara tugas kerja atau ke halaman Facebook setiap beberapa menit. Tidak terkecuali juga ketika kita tengah berada di luar menik­ mati pertemuan, makan malam atau hanya sekedar nongkrong bersama seorang teman, kita masuk atau menengok ke aplikasi Facebook di ponsel cerdas kita sesekali di saat-saat tidak ada interaksi. Atau memposting foto selfie kita bersamanya dan asyik merespon setiap komentar di foto tersebut dan mengabaikan keberadaan orang yang nyata-nyata ada di depan kita. Ketiga, jika kita termasuk kelompok orang yang menggunakan media sosial untuk melupakan masalah pribadi, maka kita akan menjadi sangat tergantung terhadapnya. Salah satu aspek kecanduan adalah kemampuan untuk menggunakan perilaku sebagai pelarian psikologis dari masalah. Seseorang mungkin memiliki masalah pekerjaan atau hubungan dan kecanduan menjadi cara mudah untuk sementara mene­nangkan stres yang mendasarinya yang disebabkan oleh masalah tersebut. Saat meng­gunakan media sosial sebagai kecanduan, pengguna terganggu dalam hal apa pun yang sedang dia lakukan dan merasa sulit hadir sepenuhnya saat

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

| 41


Laporan Utama ini. Bagi pecandu, mereka mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan tugas sederhana atau mung­kin beberapa teman mere­ka mungkin mengeluh bahwa mereka tidak cukup memperhatikan apa yang mereka katakan. Penggunaan media sosial kemudian menjadi gangguan dari masalah karena perhatian seseorang selalu dialihkan dengan penggunaannya. Keempat, kita menjadi gelisah atau bermasalah jika dilarang menggunakan media sosial. Setiap kecanduan akan diikuti oleh unsur penarikan se­perti misalnya penarikan obat-obatan terlarang dan alcohol. Terkait dengan kecanduan media sosial seperti Facebook, kita mungkin mulai merasa cemas jika tidak bisa mengakses jaringan atau akun tersebut. Seperti terasa dipenjara, orang yang kecanduan Facebook seolah merasakan gelisah atau ada yang kurang jika ia pergi tanpa bisa mengakses akun tersebut. Kelima, jika penggunaan media sosial sedemikian rupa sehingga memberikan dampak negatif pada hubu­ ngan kita, maka kita perlu waspada. Media sosial seca­ ra gradual akan mengubah pola interaksi dan bentuk hubungan kita. Ketika terbiasa ber­komunikasi di Facebook melalui pesan, berbagi foto dan posting, ber­k­omentar dan ‘menyukai’ orang lain, mungkin akan sampai pada suatu titik ketika kita akan merasa nyaman dan memilih bersosialisasi secara online daripada offline. Pengguna akan menjadi sangat bergantung pada

42 |

Facebook untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka dan mungkin akan mulai mengorbankan waktu yang dihabis­ kan untuk bertemu dengan teman-teman nyata dan untuk berinteraksi dengan keluarga. Perilaku menjadi tidak sehat sehingga pengguna akan merasa tidak nyaman atau takut dengan komunikasi tatap muka, yang merupakan pengalaman yang jauh lebih kaya daripada berkomunikasi secara online dimana orang tidak dapat benar-benar melihat komunikasi non verbal seperti dalam bahasa tubuh, gerak tubuh, dan nada suara.

Mengalahkan Ketergantungan Kecanduan media sosial itu nyata dan tidak terhindarkan. Bahkan, ketergantungan yang berlebihan dapat meru­sak karir dan hubungan, bahkan menurunkan kualitas hidup. Tanpa sadar, pengguna hanya dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh situs sosial dan pencipta konten yang membuang banyak waktu dengan cara yang meng­untung­­kan mereka, bukan kita. Solusi terbaik yang ditawarkan oleh beberapa pengamat sosial media adalah mengunju­ngi situs jejaring sosial satu kali sehari. Jadwalkan kunjungan online tersebut dan perhatikan berapa banyak waktu yang kita habiskan di sana. Jika berhasil, hal ini akan membantu kita untuk mengalahkan kecanduan tanpa melakukan pemboikotan. Namun, jika kita tidak bisa mengatasi masalah kecanduan, kita bisa menghubungi

Pusat Ketergantungan Internet untuk terapi kelompok maupun untuk terapi lainnya. Ingat, media sosial akan menjadi pedang bermata dua jika pengguna tidak bijak menggunakannya. []

Referensi Nasrullah, Rulli. 2015. Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya dan Sosioteknologi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Elgan, Mike. Social Media Addiction is the Bigger Problem than You Think, 14 Desember 2015, http://www. computerworld.com/ article/3014439/ internet/social-media-addiction-is-a-bigger-problem-than-youthink.html Newman, Suzan. The Big Disconnect: Parent’s Digital Dilemma, 13 August 2013, https:// www.psychologytoday.com/blog/ singletons/201308/ the-big-disconnect-parents-digital-dilemma Social Media Addiction, http://netaddiction. com/ebay-addiction/ Steiner-Adair, Catherine, and Teresa Barker. 2013. The Big Disconnect: Protecting Childhood and Family Relation­ ships in the Digital Age. New York: Harper, http://www.amazon. com/The-Big-Disconnect-Protecting-Relationships/ dp/0062082426 (link is external) Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Lesehan Buku Judul Buku

: Yuk Berinternet

Penulis Cerita

: Valens Riyadi

Storyboard

: Kurnia Hata Winata

Gambar isi & cover : A. Osa Editor

: Beng Rahadian

Layout

: Wahyu DOBO

Penerbit

: Cendana Art Media

Tahun Terbit

: 2015

Tebal Buku

: 112 Halaman

Paradoks Kebebasan Berinternet: Bebas Dari Apa dan Bebas Untuk Apa? Bagus Ajy | bagusajy89@gmail.com (Relawan Divisi Research and Training Center Rifka Annisa WCC)

P

erjuangan Gandhi pada zaman imperialisme Inggris memang sangat mengagumkan. Perjuangan dengan asas tanpa kekerasan (Ahimsa) terbukti berhasil mengusir penjajahan dari negerinya. Tetapi, Gandhi tidak hidup di era revolusi infor­ masi yang juga tidak kalah dasyatnya dari cerita heroik Mahatma Gandhi. Penetrasi informasi melalui internet telah meng­ obok-obok ruang publik dan ruang privat. Ruang privat sudah menjadi perayaan konsumsi publik dalam masing­ -masing ruang privat, vice versa ruang publik-pun hadir menyerbu ke dalam ruang privat. Lalu pertanyaannya adalah masih adakah kebe­ basan dalam pikiran kita untuk memilih (seperti logika Gandhian)? Ketika nalar kita secara tidak sadar sudah di­ kontrol internet. Seyakin apa kita berani mengata­ kan jika netizen1 adalah

partisapatoris? Jangan-jangan kita sudah menjadi umat internet yang dengan taat menjalankan amalan dan memberhalakan internet. Jika begitu, kita sudah terjajah secara fisik dan pikiran oleh internet. Permasalahan internet memang sangat “pahit”. Tetapi, jika kita hanya meratapi kepahitan, dialektika akan buntu. Hal inilah yang ingin ditangkis oleh para pencipta komik Yuk Berinternet. Komik yang diterbitkan pada tahun 2015 dan memiliki ketebalan 112 halaman ini, ber­usaha memetakan isuisu internet yang terjadi di Indonesia dan memberikan tips dalam berinternet. Ines2 men­jelaskan internet adalah ruang yang multifungsi, dapat digunakan untuk mencari, informasi, hiburan, berkomunikasi, dan lain-lain. Sebenarnya fungsi-fungsi tersebut secara substansi sama dengan dunia kehidupan (life world)3, naas-

nya tidak semua pengguna internet tercerahkan secara ontologis. Penggunaan yang tidak kritis ternyata menghadirkan masalah, seperti penggunaan password/sandi yang belum dianggap penting. Padahal sandi mempunyai peran penting dalam berinternet, sandi jika dianalogikan adalah kunci rumah. Jika kunci/sandi itu jatuh pada tangan orang yang tidak bertanggung jawab tentu sangatlah bahaya. Inilah yang kadang netizen masih gagap membedakan dua dunia ini, internet terkadang dianggap sebagai mainan belaka. Pada komik ini juga dibahas mengenai “kecanduan internet. Ines menjelaskan internet memang mampu men­ dekatkan yang jauh, namun dalam keadaan yang bersama­ an ia menjauhkan yang dekat (hal. 18). Simptom ini muncul ketika netizen terlalu taat/larut saat berinternet, bagaimana tidak? Siapa yang menolak “kebahagiaan” walau­pun sifatnya fana, ketika realita yang ada sangatlah membosankan. kemunculan game online juga semakin me­nyuburkan simptom ini

1. Netizen adalah akronim dari internet dan netizen (warga) jadi jika diartikan adalah warga internet. Lihat, Michael Hauben and Ronda Hauben, Netizens: On the History and Impact of Usenet and the Inter­ net, IEEE Computer Society Press, Los Alamitos, 1997.

2. Tokoh utama dalam komik, Namanya merupakan akronim dari Internet sehat. 3. life world, istilah ini mengacu pada dunia sehari-hari seperti yang dialami oleh laki-laki dan perempuan biasa.

RifkaMedia MediaNo.65 No.65Mei-Juli Mei-Juli2016 2016 Rifka

| | 4343


Lesehan Buku bahkan, Ines mengatakan game online lebih menyebabkan ketergantungan dibanding game konvensional, alasannya karena pertama, sifatnya yang bisa dimainkan tiada akhir, kedua, menuntut interaksi dan kerjasama dari pemain lain ini yang menyebabkan timbulnya rasa tanggung jawab pemain untuk selalu hadir dalam ruang game. (hal. 22). Kecanduan internet sebenarnya menunjukan adanya pergeseran pemaknaan dan praktik dalam waktu luang (leisure)4 menuju kesenangan (pleasure). Menurut penjelasan Thompson, sebelum era komodifikasi, praktik konsu­

Sekarang kita kembali pada permasalahan kecanduan internet, pengguna internet menurut penulis berbeda kondisinya dengan para pekerja yang dikaji oleh Thompson. Perbedaan per­ tama, terletak pada biaya internet saat ini tidaklah mahal. Pada kenyatannya internet sangat mudah hadir dikalangan siapa saja dari yang tua hingga muda, bahkan secara teknis peragkat yang diguna­kan sangat mudah cukup meng­gunakan handphone. Biaya perangkatnya sendiri tidaklah semahal bentuk lei­ sure lainnya. Kedua, pengguna internet tidaklah harus pekerja. Pengguna internet

yang berlebihan, yang menggeser leisure menuju plea­ sure. Pleisure menggantikan leisure ketika waktu sudah bukan menjadi permasalahan dan biaya untuk mencapai kesenangan itu pun bukan masalah lagi. Akhirnya terjadilah dominasi kesenangan atau dalam bahasa Thompson hyper­ time of leisure. Komik yang terdiri dari supuluh bab ini juga menyinggung pentingnya menjaga privasi saat berinternet. Para netizen Indonesia masihlah lugu dalam menggunakan in­ternet, buktinya amati saja akun jejaring sosial diri sendiri. Apakah informasi bio­data diri ditulis dengan

You can chain me, you can torture me, you can even destroy this body, but you will never imprison my mind. (Mahatma Gandhi) msi oleh masyarakat hanya hadir ketika adanya waktu luang. Thompson merujuk pada para pekerja yang melakukan praktik konsumsi pada waktu mereka tidak sedang bekerja (waktu luang). Ketika para pe­kerja ini mulai menapak naik kelasnya mereka memiliki praktik konsumsi yang lebih, karena waktu luang yang semakin banyak dan modal ekonomi yang lebih. 4. Konsep leisure dikaji secara da­ lam oleh E.P Thompson yang diilhami pembahasan “kelas” oleh Karl Marx. Lihat, Arjun Appadurai, Modernity at Large Cultural Dimensions of Glo­ balization, University of Minnesota, USA, 1996.

44 |

secara demografi didominasi umur anak dan remaja yang tentu saja belum memiliki modal secara ekonomi, hal ini mengindikasikan internet sangatlah terbuka secara peng­gunaan. Memang internet selalui dibumbui dengan asas kebebasan tetapi jika tidak ditangani secara kritis internet hanya berfungsi sebagai fetish(pemujaan) hiburan. Seperti yang dijelaskan Ines 87,8% pengguna internet mengakses jejaring sosial (hal. 14). Jika dilihat secara prematur, para pecandu internet secara tidak sadar telah menggunakan internet sebagai akses hiburan

sangat jelas dan detil? Jika iya itu tandanya kita belum bisa menjaga privasi dalam ruang internet. Kita masih menganggap internet adalah ruang yang ramah, indah, atau yang paling parah internet kita anggap sebagai surga. Netizen yang belum dapat menjaga informasinya masih tidak sadar bahwa ada jutaan (atau miliyarran) kehadiran orang lain yang sudah tentu tidak dikenal dan memiliki motif yang beraneka ragam tentu sudah jelas internet tidak seaman yang kita kira. Belum lagi dengan fenomena meme yang sedang menjadi Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Lesehan Buku trend pada pengguna internet remaja. Pada lapisan netizen ini mereka berlomba-lomba dalam mengobjektivikasi gurauan yang terkadang lebih seperti pelecehan. Simptom ini se­dang di­gan­drungi netizen remaja bahkan sampai ter­jadi pem­ bullyan secara massal terha-

lah usai sekarang ditambah lagi masalah pada tingkat life world yang kita juga harus was-was dengan kehadiran netizen yang mengumpulkan bahan produksi meme. Permasalahan dalam dunia internet sangatlah kompleks bahkan dalam komik ini

yang baru. Walau begitu komik ini secara mikro sudah membantu dalam melakukan praktik yang “sehat” berinternet, tetapi secara makro politik tidaklah tersentuh. Seperti penjualan Indosat kepada Temasek (Singapura) di bawah kebijakkan liberalisa­

Sumber Gambar : https://blog.sukawu.com/dampak-dan-manfaat-media-sosial-bagi-anak/

dap objek tertentu. Tentu ini sangat miris, masalah privasi diri dalam internet mengenai bahaya surveillance5 belum5. Mosco mengungkapkan bahaya mesin pencari dan jejaring sosial pada internet. Ketika kita mem­ berika biodata pada jejaring sosial atau mesin pencari (contoh Google), mereka menggunakan biodata terse­ but untuk dijual pada pihak ketiga yang akan menawarkan produk pada kita. Lihat Vicent Mosco, The Po­ litical Economy of Communication – Rethinking and Renew (1st ed.), Journal of Broadcasting & Electronic Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

juga ditutup dengan perkataan Ines yang setengah hati, “sebenarnya masih banyak yang perlu disampaikan. Tapi karena keterbatasan jum­ lah halaman…”(hal. 110). Perkataan dari Ines sangat benar, dinamika internet yang terus bertumbuh jika tidak diimbangi oleh sikap kritis tentu akan membentuk permasalahan-permasalahan Media London, California, New Delhi, 1996

si pemerintahan Megawati. Bukankah hal ini menimbulkan kekhawatiran atas pengawasan negara Singapura atas lalu lintas informasi di Indonesia adalah wajar. Lantas, jika sudah begini dimana letak kedaulatan informasi dan komunikasi kita? Ya inilah Indonesia, negara yang masih terhuyung-huyung diterjang badai bernamakan “kebebasan internet”.

| 45


Liputan

Berbagi Inspirasi Dalam Rifka Goes to Community

J

umat, 19 Februari, 2016, Rifka Annisa mengadakan diskusi bersama komunitas PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) di Tegalrejo Yogyakarta. Acara yang bertajuk “Rifka Goes to Community: Berbagi Inspirasi Cegah Kekerasan Dalam Rumah Tangga” ini menghadirkan narasumber Nurmawati selaku staf Divisi Pengorganisasian Masyarakat dan Advokasi Rifka Annisa dan dihadiri kurang lebih 50 perempuan kader penggerak PKK. Lantunan Himne PKK membuat suasana semakin semangat untuk memulai diskusi. Nurma, panggilan akrab Nurmawati, mengawali diskusi dengan memutar sebuah video emosional mengenai kekerasan terhadap perempuan berjudul “The Impossible Dream”. Permasalahan seperti beban ganda serta diskriminasi ekonomi ditunjukkan dalam video tersebut. Perempuan yang bekerja rentan mendapatkan upah lebih rendah dari laki-laki dan selain itu mereka rentan mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga oleh suami atau bahkan keluarganya. Kesulitan mendapatkan akses dalam pekerjaan sering menyebabkan perempuan

46 |

memiliki banyak masalah keuangan sehingga ia akan lebih banyak bergantung secara ekonomi pada suaminya. Hal ini, pada gilirannya, dapat memicu terjadinya kekerasan lain. Nurma menjelaskan kekerasan dalam rumah tangga dan dampaknya terhadap anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga dalam banyak kasus memberikan dampak secara fisik, psikologis dan/ atau seksual. Data statistik Rifka Annisa dari 2009 sampai 2015 menunjukkan kasus kekerasan dalam rumah tangga mencapai angka 200 kasus lebih. “Ada konsekuensi yang berbeda dalam setiap kasus. Kekerasan fisik bisa menyebabkan rasa sakit dan luka pada organ tubuh. Kekerasan psikologis dapat menyebabkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, ada rasa tidak berdaya dan penyiksaan mental yang kuat. Kekerasan seksual misalnya hubungan seksual secara paksa juga bisa terjadi dalam rumah tangga baik oleh suami mereka atau dengan orang lain untuk tujuan komersial,” kata Nurma. Nurma menambahkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga juga berdampak

buruk bagi anak-anak. “Anakanak dapat meniru perilaku agresif orang tua mereka,” jelas Nurma. Selain itu, jika perilaku agresif anak-anak dibiarkan, maka bisa saja terjadi kekerasan terhadap teman serta kekerasan seksual yang mengarah ke pernikahan di usia anak-anak. Rifka Annisa berharap untuk memutus rantai kekerasan ini melalui pengasuhan yang positif. Anak-anak perlu mendapatkan cinta keluarga mereka, membangun kepercayaan diri dan merasa dihargai. Sehingga mereka dapat membangun hubungan yang sehat dengan sesame teman dan dengan keluarganya. Jika telah dewasa, menurut Nurma, mereka akan lebih selektif dan bijak dalam menemukan pasangan yang cocok dan hidup bersama di sebuah rumah tangga tanpa kekerasan. “Kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya masalah perempuan tapi merupakan masalah besar tentang perempuan dan laki-laki yang harus dibahas dan diselesaikan,” pungkasnya. *Defirentia One

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Liputan

Kolaborasi Dengan Organ Tunggal, Rannisakustik Ajak Warga Cegah Kekerasan

S

abtu, 19 Maret 2016 dilaksanakan pentas seni bersama Rannisakustik dan Organ Tunggal di Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Kegiatan tersebut merupakan kampanye untuk menciptakan lingkungan yang bebas kekerasan bagi perempuan dan anak. Dalam rangka Hari Perempuan Internasional Rifka Annisa menyelenggarakan kampanye melalui musik untuk menarik perhatian isu kekerasan terhadap perempuan dan anak. Acara tersebut dimulai dengan perkenalan Rifka Annisa. Visi dan misi lembaga dikenalkan oleh staf Rifka Annisa lalu dilanjutkan dengan penjelasan tentang berbagai bentuk kekerasan seperti kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan seksual. Ada yang berbeda dalam kampanye kali ini. Kampanye berlangsung dalam bentuk kolaborasi antara Rannisakustik dan Organ Tunggal. “Konsep kolaborasi ini sengaja kami pilih untuk menarik antusias masyarakat sekaligus mengajak pemain Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

organ tunggal untuk turut serta dalam kampanye,� tutur Niken Anggrek Wulan, selaku personel Rannisakutik. Dalam kolaborasi, menurut Niken, pemusik memainkan lagulagu yang akrab dilantunkan dan dimainkan oleh organ tunggal. Beberapa genre lagu campur sari hingga dangdut pun melantun dari kolaborasi mereka. “Tapi disini ada yang berbeda. Sejak awal kita telah menyeleksi lagu-lagu tersebut yang memiliki lirik yang bias gender dan menimbulkan makna yang melecehkan perempuan. Nah, lalu kita ganti liriknya dengan kalimat yang lebih positif dan jauh dari kesan melecehkan perempuan,� kata Niken. Selama ini masyarakat kita sangat akrab dengan lagu-lagu yang disadari atau tidak lirikya memuat kesan yang melecehkan perempuan maupun membawa ke perasaan yang galau sehingga diinternalisasi oleh masyarakat. Tidak mengabaikan kenyataan bahwa pesan

dalam lagu dapat menjadi sarana yang mempengaruhi pola pikir maupun sikap keseharian masyarakat, maka Rannisakustik melihat hal ini menjadi media strategis untuk kampanye dengan mengubah pola pikir dan sikap masyarakat agar lebih adil gender dan menghormati satu sama lain. Selain mengubah lirik lagu menjadi pesan kampanye untuk penyadaran public akan kekerasan pada perempuan, kolaborasi tersebut juga menampilkan lagu-lagu dari album Rannisakustik yang berkisah tentang kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, isu kesetaraan gender, cerita keluarga dan tentang laki-laki peduli. Mereka menyanyi untuk lingkungan tanpa kekerasan bagi perempuan dan anak. Akhirnya malam minggu tersebut menjadi malam yang penuh inspirasi dan informasi untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak. *Defirentia One

| 47


Liputan

Kenalkan Kesehatan Reproduksi Sejak Dini

Y

ogyakarta Kamis 17 Maret 2016, Rifka Annisa diundang untuk menjadi fasilitator dalam sosialisasi tentang kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan seksual. Kegiatan yang selenggarakan di Aula Puskesmas Pandak 1 Gesikan, Wijirejo, Pandak, Bantul, Yogyakarta ini merupakan kegiatan tindak lanjut dari MoU terkait pencegahan pernikahan usia dini, kehamilan yang tidak dikehendai, perceraian, pekat, dan penurunan angka kematian ibu dan bayi oleh Kecamatan Pandak, Bantul tahun 2015 lalu. Peserta kegiatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas Pandak 1 tersebut adalah murid kelas 5 dan 6 SD dari 14 Sekolah Dasar se-Kecamatan Pandak. Tujuan dari sosialisasi adalah untuk mengenalkan kesehatan reproduksi sejak dini kepada anak-anak sekolah. Acara sosialisasi kespro dimulai pukul 08.30 sampai dengan pukul 12.00 WIB, selama tiga hari dengan

48 |

peserta yang berbeda-beda, yakni pada hari Kamis tanggal 17 Maret 2016 untuk murid laki-laki, tanggal 18 Maret 2016 untuk murid perempuan, 19 Maret 2016 untuk kepala sekolah dari 23 sekolah sekecamatan Pandak yang terdiri dari 14 SD, 4 SMP, dan 2 SMK. Pembahasan dari materi sosialisasi meliputi pengertian kesehatan reproduksi, mengenali alat reproduksi, bagaimana menjaga kesehatan reproduksi, dan mengidentifikasi tanda-tanda terjadinya kekerasan seksual. Sebagai langkah untuk menggali sejauh mana pemahaman peserta terkait kesehatan reproduksi, fasilitator menggunakan permainan mitos dan fakta dengan beberapa pernyataan diantaranya. Dalam hal ini peserta disuruh menebak beberapa pernyataan yang dibacakan oleh fasilitator dengan mengangkat bendera warna oranye untuk pernyataan yang dianggap fakta, dan warna hijau untuk yang mitos. Metode mitos dan fakta merupakan salah satu metode dianggap yang paling

efektif untuk diterima dan diingat oleh anak-anak. Dewi Julianti selaku fasilitator dari Rifka Annisa menjelaskan bahwa untuk mengetahui hal-hal terkait kesehatan reproduksi bukanlah hal yang tabu melain­ kan suatu tindakan penting untuk dilakukan sejak dini. Selain itu, ini juga bertujuan untuk mengetahui informasi bagaimana merawat dan menjaga kesehatan reproduksi supaya terhindar dari penyakit-penyakit serta kekerasan seksual. Di akhir sesi, peserta sosialisasi diminta untuk menggambarkan bentuk tubuh manusia. Selanjutnya, mereka diminta untuk mewarnai merah bagian tubuh yang tidak boleh disentuh, dan warna kuning untuk ba­gian tubuh yang menurut mereka boleh disentuh. Metode ini bertujuan untuk menggali seberapa jauh pemahaman peserta tentang area pribadi yang tidak boleh disentuh oleh orang lain, serta belajar untuk menghargai tubuhnya. *Khoirun Ni’mah Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Memoar

Source by; https://media3.s-nbcnews.com/

Bermula dari Facebook Purnawanti

(Relawan Divisi Pendampingan Rifka Annisa WCC) | purna123wanti@gmail.com

T

perem­puan tak punya malu. Aku tak mau orang lain berpikir miring tentang aku. Aku pun jelaskan semua itu pada mere­ka karena aku tak mau hal itu berlanjut. Aku kembali berdialog dengan suamiku di fb dan aku share foto keluargaku di akun fb suamiku. Harapanku, semoga orang lain yang melihat foto-foto itu tahu bahwa aku adalah istri suamiku. Masalah baru pun datang. Anakku memarahiku karena ada wajahnya di foto keluarga itu. Keluarga besarku semua pun menelponku dan menanyakan apa yang terjadi. Aku sampaikan bahwa aku ingin berpisah dengan suami dan aku ingin melaporkannya ke polisi. Namun, bercerai bukan solusi utama untuk menyelesaikan masalah ini karena pernikahan kami tidak dicatatkan di kantor catatan sipil dan kami hanya menikah di gereja. Aku pun memilih melaporkannya ke POLDA DIY dengan alasan pencemaran nama baik atas cyber crime. Sementara itu, kakak iparku terus menerus membujukku untuk mencabut laporan tersebut. Dan akhirnya, aku pun mencabut laporan itu demi anak dan keluarga, dan kembali masuk dalam rantai kekerasan dalam rumah tangga.

iada henti, badai derita menimpa rumah tangga­ ku hingga aku jungkir balik menyelesaikannya. Aku menikah dengannya pada tahun 2001. Sejak awal me­nikah, suamiku adalah seorang pecandu narkoba. Namun aku tetap mencintai­ nya walau ia sempat masuk jeruji besi. Selepas ia keluar dari penjara, ia sudah tidak menafkahiku dan anak-anaknya secara layak sehingga aku nekad berdagang. Bahkan ia membatasiku dalam bergaul terutama setelah aku mempunyai handphone Android. Ia selalu cemburu padaku karena aku telah memiliki akun facebook dan aku suka aktif like-comment status fb teman-temanku. Dan suamiku menuduhku berselingkuh dengan teman-teman lamaku. Aku selalu berusaha coba jelaskan fakta sesungguhnya

pada suami. Tapi ia tetap tidak percaya. Tiba-tiba, ia mau memaafkanku asal aku mau tidur bersamanya. Memang sudah kewajibanku untuk melayani suami dalam segala hal sepanjang itu adalah baik. Namun, dua hari setelah aku tidur bersamanya tiba-tiba keponakanku dari Jakarta mengirim pesan via WA kepadaku dan menyuruhku untuk melihat facebook suamiku. “Astaga”, aku shok. Aku tak percaya. Aku tak menyangka akan perbuatan suamiku itu. Aku lihat ada beberapa foto telanjangku di facebook-nya yang ia lengkapi dengan kata-kata “tante-tante pelacur dan penipu”. Aku gak bisa bayangin berapa ribu orang yang melihat foto tersebut termasuk keluarga besarku. Tak hanya di akun fb, bahkan ada nomor tak dikenal yang masuk ke WA-ku dan mengecamku sebagai

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

| 49


Wawancara

MEDIA SOSIAL: MEDIA KAMPANYE PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

D

i era media baru saat ini, media online menem­ pati posisi yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat di berbagai kalangan. Media sosial yang merupakan bagian dari media online menjadi sarana komunikasi yang banyak digemari. Berbagai kelebihan yang ditawarkan oleh media sosial sebagai media komunikasi diantaranya adalah memper­ cepat penyampaian pesan komunikasi, dapat me­nyasar masyarakat secara luas baik lokal, nasional, maupun inter­­ nasional. Selain itu, kelebihan lain yang juga dimiliki oleh media sosial adalah tidak adanya batasan seperti jarak, ruang, dan waktu. Dengan berbagai kelebihan tersebut, media sosial juga dimanfaatkan oleh Rifka Annisa sebagai salah satu media untuk men­ dukung aktivitas kampanye penghapus­an kekerasan ter­ ha­dap perempuan dan anak. Untuk melihat bagaimana strategi kampanye Rifka Annisa melalui media Sosial dalam upaya penghapusan ke­ kerasan terhadap perem­puan dan anak, Khoirun Ni’mah, pemimpin redaksi Rifka Media berkesempatan berbincang-bincang dengan Manager Humas dan Media Rifka Annisa, Defirentia One Muharomah. Berikut rangkuman wawancaranya.

50 |

Sebagai salah satu upa­ ya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, Rifka Annisa tentunya telah menggunakan berba­ gai media komunikasi untuk strategi kampanye. Salah satu yang cukup populer adalah media social. Kalau boleh tahu media sosial apa saja yang digunakan Rifka Annisa selama ini? Selama ini memanfaatkan berbagai media komunikasi sebagai strategi kampanye kami, termasuk media sosial. Media sosial yang telah Rifka Annisa guna­ kan sejauh ini diantaranya; Fanpage Facebook Rifka Annisa Wcc; Twitter @RAWCC; channel YouTube Rifka Annisa; WhatsApp group; Instagram rifkaannisa_wcc. Selain media sosial, kami juga mengelola website, dapat dikunjungi di alamat www.rifka-annisa.org. Kalau tujuan Rifka Annisa menggunakan media sosial untuk apa sih? Media sosial dapat me­ mudahkan kita dalam komuni­ kasi, koordinasi, berbagi infor­masi dan secara lembaga media sosial untuk promosi layanan korban kekerasan. Selain itu media sosial dapat membantu kita dalam edukasi publik untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Siapa saja target yang ingin dicapai oleh Rifka Annisa dari penggunaan media sosial sebagai strategi kampanye tersebut? Saat ini saya kira ada se­buah tren dimana masya­ rakat sangat lekat dengan internet dan akun media sosial­­nya. Sebagian besar dari mere­ka yang punya akun media sosial setidaknya minimal sekali dalam sehari mengakses akun tersebut. Nah ini kan peluang dan target yang sangat strategis. Belum lagi ada suatu kecenderungan sekarang orang mengakses berita kebanyakan dari Twitter dan Facebook. Bahkan, saya sendiri, pernah mendapatkan berita yang sangat penting pertama kali malahan dari Twitter dan group WhatsApp. Jadi, target dari media sosial kami adalah masyarakat umum. Tujuannya agar masyarakat lebih mudah mengakses informasi baik terkait persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak, maupun tentang layanan yang disediakan Rifka Annisa. Kami juga menargetkan agar dapat meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan kepedulian me­reka sehingga kita dapat ber­gerak bersama mencegah kekerasan. Selain itu, hal terpenting dalam kampanye media social adalah juga mengampanyekan bagaimana interaksi dan relasi dalam

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Wawancara media sosial dilakukan dengan tetap menerapkan prinsip nir kekerasan. Kami berharap bahwa media sosial Rifka Annisa ini dapat diterima masyarakat umum dari berbagai rentang usia, profesi, dan gender, dan mereka yang menjadi pengguna aktif media sosial. Sejauh ini pengguna media sosial dari kalangan remaja juga banyak sehingga mereka juga menjadi target paling besar kampanye media social. Media sosial menyedia­ kan berbagai fasilitas posting, seperti kolom tulisan, foto, video dan lain sebagai­nya. Isi atau konten apa saja yang seringkali Rifka Annisa tampilkan di media sosial? Variatif ya, tergantung dari jenis medianya. Kalau untuk YouTube kami isi dengan video dokumentasi kegiatan, dokumentasi siaran radio dan televisi, film pendek serta iklan layanan masya­rakat. Kalau di Facebook biasanya ten­tang informasi layanan Rifka Annisa, promosi kegia­ tan/program, foto/video kegiatan, diskusi/status reflektif tentang suatu permasalahan, dan bahkan tak jarang juga ada korban kekerasan yang mengirimkan pengaduan lewat pesan pribadi di Face­book Rifka Annisa. Ini karena mereka pertama kali mengetahui info layanan dari Facebook sehingga mereka mengirimkan pesan pengadu­an. Dari pesan pengaduan tersebut biasanya oleh admin akan langsung diteruskan kepada para konselor atau Divisi Pendampingan korban kekerasan untuk tindak lanjutnya. Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

Dalam upaya kampanye melalui media sosial tentu banyak tantangan dan hambatan yang dialami. Kalau boleh tahu, kira-kira tantangan dan hambatan apa saja yang pernah dialami Rifka Annisa selama menggunakan media sosial?

interaksi dengan presiden, bisa saling mention di media sosial. Kemudian dalam berbagi informasi kita harus jeli soal referensi dan sumber. Jangan sampai terlalu meng­ acu pada sumber yang gak jelas, padahal itu hanya situs abal-abal. Hal ini juga dapat

https://chadtlane.com/2014/03/diy-social-media-audit/

Seiring dengan berkembangnya teknologi internet, tentunya pola interaksi masya­ rakat berubah. Selain membuka diri lebih lebar terhadap masukan-masukan atau komentar di media sosial, lembaga tidak perlu alergi kritik. Semua orang tidak ada sekat untuk melontarkan kritik dan pendapat. Tidak ada kendala paspampres jika ingin

memicu terjadinya perang online di media sosial. Sehingga meskipun tidak berhadapan langsung tapi terjadi konflik. Seringkali hal-hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi kami. Lalu hambatannya, soal komunikasi. Bisa jadi komunikasinya jadi agresif semua di media social. Itu tidak menyelesaikan masalah.

| 51


Wawancara Selain berbagai tantangan dan hambatan yang telah diceritakan sebelumnya, ada tidak peluang yang diperoleh dari penggunaan media sosial tersebut? Peluangnya ya bahwa media sosial banyak diguna­ kan di Indonesia. Kemudian ada banyak fasilitas yang bisa dimanfaatkan dalam fitur media sosial untuk kampanye sehingga komunikasi jadi

apa yang mereka sampaikan. Kita bisa menggaet para influencer ini untuk kepentingan kampanye tentang peng­hapus­an kekerasan terhadap perempuan juga. Apa saja hasil dan peru­bahan yang terjadi dari penggunaan media sosial khususnya bagi lembaga? Kalau terkait layanan ini, tentunya promosi lewat media sosial meningkat. Sehingga,

Sumber Gambar : Pixabay http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/pilkada/18/01/08/ p28lvo428-lsi-pilkada-2018-adalah-politik-media-sosial

lebih cepat. Ditambah pula dengan karakter media sosial untuk berbagi sehingga informasi akan cepat menyebar ke masyarakat yang lebih luas. Media social juga bisa menjadi media kampanye yang lebih murah dan praktis. Selain itu adanya influencer atau orang yang berpengaruh yang punya banyak pengikut di media sosial juga menjadi peluang strategis untuk menggaungkan sebuah isu atau wacana. Orang umumnya akan percaya

52 |

pengaduan semakin banyak. Berarti kan kasus di luar sana masih banyak ya. Selain itu, dengan media sosial kita bisa lebih kreatif mengeksplor ber­bagai bentuk kampanye terutama yang memanfaatkan infografis, audio visual, dan lainya. Dengan media sosial juga, kegiatan lembaga jadi mudah terpantau, anggota maupun jaringan kami yang berada jauh pun bisa terhu­bung setiap saat dan waktu untuk memantau

perkembang­an lembaga. Juga kita bisa meng-update isu apa yang terkini sedang banyak diperbincangkan. Kalau boleh tahu, bagaimana tanggapan Mbak terkait penggunaan media social secara negatif serta persoalan yang terjadi akibat hal tersebut? Pada dasarnya dimanapun kita berinteraksi itu butuh etika. Kalau kita sudah punya prinsip dan etika, jadi kita akan paham bahwa di media sosial pun kita dituntut untuk saling menghormati. Kita punya hak untuk bersuara, berkomentar dan mengunggah apapun di media sosial, tapi kan hak itu juga dibatasi oleh hak dan kenyamanan pihak lain. Jangan dikira dunia maya itu milik kita saja lho, disana layaknya dunia nyata, ada orang lain juga. Artinya dunia maya itu adalah dunia kita bersma. Sejauh ini, ada nggak cerita atau pengalaman menarik yang diperoleh dalam menggunakan media sosial sebagai media kampanye Rifka Annisa? Yang menarik adalah ma­ syarakat dapat konsultasi atau melaporkan kasus melalui inbox atau pesan pribadi media sosial Rifka Annisa. Mereka membuka ruang konsultasi tersebut melalui media social biasanya karena malu atau jarak dengan lembaga-lembaga layanan yang cukup jauh. Selain itu, terkadang mereka juga meminta saran atau konsultasi kepada Rifka Annisa terkait kasus-kasus yang mereka alami. Diantara kasus

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Wawancara atau persoalan tersebut adalah permasalahan anak, KDRT, dan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum dan sebagainya. Bagi admin sendiri media sosial menjadi pintu masuk kasus. Ketika ada hal-hal yang krusial dan memerlukan intervensi lebih lanjut, konselor Rifka Annisa akan menindaklanjuti kasus tersebut untuk diproses. Selain itu, Rifka Annisa dapat terhubung dengan lembaga-lembaga jaringan Rifka lainnya, tidak hanya NGO tetapi juga media massa. Karena saat ini media massa juga telah memilliki akun media sosial juga. Seringkali beberapa kasus-kasus atau berita yang belum sampai ke Rifka Annisa, pertama kali itu malah sudah diliput oleh media masaa. Kemudian, Rifka Annisa di-tag atau di-mention oleh salah satu akun media massa terkait berita tertentu. Salah satu berita yang pernah ditandai oleh media massa adalah terkait penganiayaan anak. Kalau tidak salah ketika informasi itu sampai di Rifka Annisa, kasus tersebut masih dalam proses pendampingan. Pengalaman menarik lainnya ialah ketika ada testimony dari masyarakat pengguna media sosial terkait informasi atau layanan yang disediakan Rifka Annisa. Ada berbagai pihak yang telah menerima manfaat dari Rifka Annisa sehingga mereka selalu ingin tahu tentang Rifka Annisa dan informasi-informasi yang dibagikan. Kemudian, mereka turut aktif untuk meramai­kan postingan-postingan sosial media di Facebook Rifka Annisa, Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

serta memberikan testimony dan apresiasi. Dengan demiki­ an, kita bisa mengetahui sejauh mana apresiasi publik terkait media sosial Rifka Annisa. Menurut Mbak, bagai­ mana tanggapannya terkait kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di media sosial? Sebenarnya kenapa lembaga-lembaga seperti Rifka Annisa itu perlu merambah ke dunia sosial, itu juga karena kasus-kasus yang terjadi di media sosial tidak jauh ber­ be­da dengan kasus-kasus yang ditangani di dunia nyata. Bah­­kan ketika kita melihat ke­ren­tanannya, kerentanan di dunia maya jauh lebih besar. Hal ini karena subjek-subjek yang dihadapi di dunia maya sulit untuk dideteksi. Akunakun palsu sangat mudah untuk dibuat. Siapapun bisa menggunakan akun palsu tersebut untuk melakukan ke­jahatan di dunia maya. Dan seringkali kejahatan-kejahatan yang terjadi di dunia maya banyak menyasar anak-anak. Sehingga hal ini kadang dialami oleh anakanak yang kurang kontrol dari orangtua atau keluarga dalam penggunaan media sosial. Kemudian upaya se­ perti apa yang perlu dilakukan untuk pencegahan kekerasan yang terjadi di media sosial? Terlepas dari beberapa aturan terkait kejahatan di dunia maya, perlu juga adanya sikap dari masing-masing individu dalam menggunakan media sosial. Masing-masing individu perlu tahu bahwa media sosial itu tidak hanya

untuk bersenang-senang karena dunia maya itu sama dengan dunia nyata. Ada aturan atau norma-norma yang selalu penting untuk diterapkan da­lam diri masing-masing indi­vidu. Termasuk bagaimana kita menyampaikan pesan berupa tulisan-tulisan dalam kolom status media sosial kita. Selain itu, perlu juga hati-hati dalam mengunggah foto-foto atau gambar pribadi, karena hal tersebut rentan untuk disalah­ gunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Kemudian hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah hati-hati dalam menanggapi atau merespon orang yang tidak dikenal di dunia maya. []

| 53


Profile

WASPADA KEJAHATAN DI DUNIA MAYA

D

efirentia One Muharromah, begitu nama lengkapnya adalah manager divisi humas dan media Rifka Annisa sejak tahun 2014. Perempuan muda yang sering disapa ‘mbak One’ ini lahir di Bojonegoro, Jawa timur pada tanggal 22 Juli 1990. Kegemarannya dibidang tulis menulis membuat perempuan beranak satu ini tertarik untuk menjadi relawan divisi humas dan media Rifka Annisa yang salah satu fokusnya adalah kampanye lewat tulisan. Setelah menyelesaikan studi S1 Ilmu Hubungan Internasional di Fisipol UGM, perempuan yang juga punya hobi travelling dan menyanyi ini memutuskan untuk menjadi relawan di Rifka Annisa sejak tahun 2011. Setelah setahun menjadi relawan Rifka Annisa, One diangkat menjadi staf part time Rifka Annisa sekaligus menjabat sebagai pemimpin redaksi Rifka Media sampai tahun 2015. Ketertarikannya di dunia gender membuat ibu dari Diorahman Narendra Hasna ini berkesempatan mengikuti short course tentang Media Design for Social Change

54 |

di Wageningen, Belanda atas b ­ easiswa Pemerintah Kerajaan Belanda. Sebagai individu yang tertarik dengan persoalan-persoalan sosial, One berpandangan bahwa kekerasan terha­ dap perempuan dan anak seringkali terjadi di manapun dan dapat menimpa siapapun. Salah satu wilayah rentan terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah dunia maya yakni melalui media sosial. Menurutnya, anak-anak merupakan kelompok yang ren­tan menjadi korban kekerasan. Kurangnya kasih sayang, perhatian, dan kontrol dari orangtua membuat anak mencari kenyamanan dan perhatian dari sosok yang ia temui di dunia maya. Sehingga ketika ada sosok yang tidak dikenal dapat memberikan kenyamanan, maka anak-anak cenderung cepat dalam memberikan respon. One menambah­kan bahwa seringkali pada situasi seperti ini membuat anak menjalin hubungan de­ngan orang yang tidak dikenal dan berujung pada kekerasan termasuk kekerasan seksual.

Sebagai manager ­ ivisi humas dan media Rifka d Annisa yang berfokus pada upaya-­upaya kampanye pen­ cegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, istri dari Danang Wahyuhono ini mengungkapkan bahwa kasus porno­grafi juga banyak di­alami oleh remaja lewat ­media sosial. Pelaku kekeras­ an­seringkali melakukan bujuk rayu dan inti­midasi kepada pasangan­nya untuk ber­sedia mengirim­kan foto-­ foto pribadinya (baca foto vulgar) sebagai bukti rasa cinta. Kemudian One menambahkan juga bahwa situasi-­ situasi tersebut yang perlu di­waspadai oleh setiap orang dalam menggunakan media sosial. *Khoirun Ni’mah

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Dapur Rifka

MERAWAT PENGETAHUAN DI ERA DIGITAL, TAK SEKEDAR MERATAS REALITAS Defirentia One Pemimpin Umum Rifka Media - Manajer Humas dan Media - Rifka Annisa | defirentiaone@yahoo.co.id

B

elakangan ada sebuah tren yang berubah di kalangan masyarakat dunia tak terkecuali di Indonesia. Media-media seperti facebook, twitter, youtube, whatsapp, snap chat, line, dan sebagainya, seakan menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat saat ini. Merebak­ nya media-media itu telah berhasil menggeser pola komunikasi sekaligus menyedot perhatian khalayak seolah menjadi pesaing baru media lama seperti media cetak, radio, televisi, maupun media pertemuan dengan ber­tatap muka. Disadari atau pun tidak, pengguna lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mencari informasi dan kabar terkini di media sosial. Bahkan, pengguna menginformasikan pengalaman, keseharian, kebahagiaan, kese­ dihan, dan apapun tentang diri mereka. Demi harapan akan dihujani komentar dan puji untuk mencapai sebuah kepuasan bernama ‘eksistensi’. Sadar atau tidak, bahkan informasi yang dibagi terkadang melampaui batas privasi yang seharusnya cukup menjadi konsumsi diri sendiri. Dari media sosial pula, mulai lah terkenal individu-individu baru yang awalnya jauh dari popularitas. Bahkan banyak yang menjadi ‘polisi-polisi kemanusiaan’ yang siap bergerak Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

dan berteriak di dunia maya atas masalah-masalah sosial yang bahkan jauh dari sofa dan rumah mereka. Berkat aktivis media sosial ini, jutaan rakyat Indonesia, terutama orang-orang muda yang hidup dan bernapas di media sosial, tiba-tiba saja tercolek kepeduliannya terhadap isuisu sosial kemanusiaan seperti isu lingkungan, perempuan, politik dan sebagainya.

teknologi baru tapi juga tren kebiasaan baru untuk menyebarkan informasi/konten baik milik sendiri maupun orang lain. Tantangannya adalah meskipun sudah ada aturan, kebebasan di media sosial masih sulit dikendalikan. Sehingga kasus-kasus kekerasan masih kerap terjadi. Mungkin ada yang bermaksud berbagi informasi,

Berbagi informasi menjadi salah satu karakter kunci di media sosial. Budaya berbagi ini kemudian tidak hanya berbagi konten, tetapi juga ada pengembangan interaksi di sana, ada komentar yang tidak sekedar opini bahkan juga bisa menambah data atau fakta. Media sosial ini tidak hanya menjadi tren

namun tanpa mengklarifikasi langsung share sana sini tanpa mempedulikan privasi. Akhirnya nalar dan emosi kita menjadi korban info di media sosial yang mengacu referensi pada sumber abal-abal. Bicara realitas jaman kekinian memang tak lengkap tanpa adanya media sosial. Bagaikan dua sisi mata uang,

| 55


Dapur Rifka media sosial selalu akan membawa manfaat dan mudzarat. Tapi, ia hanyalah sebuah alat, yang dihidupkan para penggu­ nanya. Agar media sosial mem­bawa manfaat adalah aspek manusianya. Yakni tentang kearifan dan pengeta­ huan para pengguna dalam me­manfaatkannya untuk kehidupan. Adanya media baru juga tidak banyak mengubah karakter interaksi sosial di dunia nyata. Di sana pun, interaksi sosial sangat terkontruksi lantaran didominasi oleh orang-orang yang haus akan eksistensi. Ruang-ruang privasi semakin sempit, niatnya berbagi tapi tak jarang malah saling mem-bully atau melanggar batas privasi. Tidak sepatutnya interaksi di media sosial diwarnai kekerasan atau melecehkan pihak-pihak tertentu. Di dunia maya pun, kita tidak memiliki hak untuk merendahkan dan mempermalukan orang lain dengan alasan bahwa dampaknya tidak begitu serius dibanding dengan pelecehan atau kekerasan di dunia nyata. Kalau seperti ini, kita pasti gagal paham. Pelecehan dan kekerasan melalui media sosial juga akan membawa dam­pak buruk seperti trauma, kecemasan, malu, dan ke­takutan bagi korbannya. Bahkan dampak itu akan dibawa dalam kehidupannya di dunia nyata. Pernah mendengar kisah Amanda Todd? Seorang gadis 15 tahun korban bullying di internet yang akhirnya bunuh diri setelah menggungah video curhatnya. Semuanya berawal ketika Amanda berkenalan

56 |

dengan seorang laki-laki di Internet yang berhasil membujuk dia untuk menunjukkan buah dadanya lewat webcam. Setahun kemudian, laki-laki itu menyebarkan foto setengah telanjang Amanda lewat Internet, dan membuat sebuah akun Facebook yg menjadikan foto Amanda tersebut sebagai gambar profilnya. Hal itu membuat Amanda dicemooh di sekolah dan di lingkungannya. Banyak orang mem-bully Amanda. Hingga ia mengupload sebuah video di youtube yang berisi kisah hidupnya yg menyedihkan. Sebulan kemudian ia bunuh diri. Kita tidak ingin kan ada korban nyawa berikutnya akibat perilaku manusia yang konyol dan tidak bertanggung jawab di media sosial? Untuk itu, satu hal yang penting adalah bagaimana kita merawat pengetahuan ten­tang memanusiakan manusia. Apa artinya kemajuan jika relasi kita masih sarat dengan kekerasan? Apa arti­nya digitalisasi jika teknologi hanya jadi alat untuk saling mem-bully? Di era media sosial ini, manusia berelasi seakan tanpa batas, bahkan hingga kelewat batas. Maka, tak hanya pengetahuan yang kita rawat, tapi tentang konsep diri kita serta cara pandang kita melihat ‘relasi’ itu sendiri. Sekali lagi, relasi yang memanusiakan manusia dan nir kekerasan. Selayaknya dua sisi mata uang, terlepas dari banyak kasus di media sosial, ia pun bisa kita manfaatkan sebagai media untuk menyebarkan dan mengedukasi

masyarakat tentang anti kekerasan. Rifka Annisa tidak meninggalkan media lama dan lantas beralih sepenuhnya ke media sosial. Sebaliknya, kami memanfaatkan dan mengombinasikan media-media yang telah ada dengan media sosial. Tidak mau tertinggal arus utama kekinian, Rifka Media pun mencoba memanfaatkan keberadaan era digital untuk memperluas jangkauan persebaran pengetahuan. Pengetahuan di Rifka Media tidak hanya diakumulasikan dalam bentuk majalah cetak, tetapi semangatnya juga turut bersaing di dunia maya dengan bentuk majalah digital yang mampu dengan mudah diakses dan diunduh oleh publik melalui laman website dan media sosial. Adanya tren media baru telah menginspirasi Rifka Annisa untuk merumus­ kan strategi baru dalam menyebar­kan pengetahuan. Oleh karena itu, media sosial menjadi pilihan kami juga untuk mendorong perubahan ke masyarakat adil gender yang tidak mentolerir segala ­bentuk kekerasan.

Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016


Esai Foto

Teks dan foto: Tiwuk Lejar Sayekti

Media Sosial Ibarat Dua Mata Pisau

M

edia sosial merupakan media online yang memungkinkan penggunanya berpartisipasi, berin­teraksi, membangun relasi, berbagi, dan berkreasi mencipta­kan isi untuk diunggah secara luas. Media sosial tidak lagi hanya sekedar men­jadi media berkomunikasi semata, tetapi juga sebagai bagian tak terpisahkan dari dunia bisnis, industri, pendidikan Rifka Media No.65 Mei-Juli 2016

dan pergaulan sosial. Sebagai sebuah tek­ nologi, media sosial mem­buat penggunanya seolah bisa meng­ arungi dunia dengan ujung jari, setiap waktu.

Pengguna media sosial beragam, dari berbagai umur dan berbagai kalangan. Penggunaan media sosial di­kalangan anak dan remaja mem­butuhkan kedewasaan dan pendam­ pingan. Tugas mengawasi dan mem­bim­bing itu tentu saja bukan tugas guru di sekolah se­mata, orang tualah yang se­harusnya berperan dalam peng­awasan dan bimbingan bagi anak-anaknya.

Yang sering menjadi pertanyaan, bagaimana pengaruh media sosial bagi penggunanya? Lebih banyak pengaruh positif atau negatifnya? Selayaknya mata pisau, ada sisi tajam dan ada sisi tumpulnya. Pun begitu dengan media sosial.

Tidak perlu menyalahkan teknologinya, karena semua kembali kepada penggunanya. Diperlukan kebijakan dan sopan santun dalam mengakses media sosial. Tidak ada untungnya memanfaatkan media sosial menyeleweng dari fungsi sebenarnya. Jika kita memanfaatkan dengan baik, kita akan mendapatkan hasil yang baik pula.

| 57



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.