Rifka media No.50 "Janda dari Mitos ke Mitos: Melacak Akar Kekerasan.."

Page 1

Dari Relawan untuk Perempuan Berkeadilan

Rifka Media No. 50 Agustus-Oktober 2012

Rifkamedia Perjuangan Perempuan Berkeadilan

JANDA DARI MITOS KE MITOS

Melacak Akar Kekerasan dan Jalan Keluar dari Kelindannya ISSN 2301-9972

9 772301 997006


Bacaan Mencerdaskan Telah Hadir di Toko Buku Kesayangan Anda

Rifkamedia Perjuangan Perempuan Berkeadilan

Customer Service: 0274-553333, Email: rifka-media@rifka-annisa.or.id


Rifkamedia

Daftar Isi

No. 50 Agustus- Oktober 2012

Daftar Isi | 03 Surat Pembaca | 04 JENDELA Risalah Tentang Janda | 05 LAPORAN UTAMA Janda dari Masa ke Masa: Upaya Keluar dari Kelindan Kekerasan Oleh: Shalina Nur Hanna | 07 Yang Janda, Yang Terabaikan Putusan Hukumnya: Perihal Perceraian dan Hak-Hak Janda Pasca Perceraian Oleh: Ashabul Fadhli | 13 Citra Janda dalam Bingkai Media Oleh: Iwan Awaluddin Yusuf | 19 Nasib Janda: Representasi Janda dalam Lagu Dangdut Oleh: Any Sundari | 24 Aku Janda dan Berdaya: Diskursus Perempuan Kepala Keluarga dan Implikasi Pilihan Sadarnya Oleh: Defirentia One M dan Laksmi Amalia | 25 Janda dalam Tradisi Agama-Agama Oleh: Ustadi Hamsah | 31 LESEHAN BUKU Perempuan-Perempuan Berpengaruh di Panggung Dunia | 37 LIPUTAN Transportasi yang Mengarusutamakan Perempuan | 39 Pesan dari Global United Nations Youth Forum | 40 Modul Manual Male Conseling Diluncurkan | 41 MEMOAR Sempat Menjanda, Kini Bermasalah dengan Suami Kedua | 42 WAWANCARA ‘Atwin’ Aquarini: Perempuan Harus Belajar Saling Memahami | 43 PROFIL Menganggit Feminisme dari Tubuh dan Fase Hidupnya Sendiri | 47 ESAI & FOTO Pahlawanku Sayang, Jandamu Malang | 48 DAPUR RIFKA Dari Relawan untuk Perempuan Berkeadilan | 49 Galery | 51

Penanggung Jawab: Mei Shofia Romas (Direktur Rifka Annisa) Pemimpin Umum : Muhammad Saeroni Pemimpin Redaksi : Any Sundari Sekretaris Redaksi: Defirentia One M. Dewan Redaksi: Dhita Selfhia Lingga Sari, R.A. Hadwitia Dewi Pertiwi, Hani Barizatul Baroroh, Ashabul Fadhli, Defirentia One M., Laksmi Amalia Fotografer: Caron Toshiko Monica Sutedjo, Layouter: Ulin Niam Alamat Redaksi dan perusahan Rifka Media: Rifka Annisa Women's Crisis Center Jalan Jambon IV Komplek Jatimulyo Indah Yogyakarta Telepon/Fax: (0274) 553333 website: www.rifka-annisa.or.id, email: rifka-media@rifka-annisa.or.id., Facebook: Rifka Annisa WCC, Twitter: @RAWCC Redaksi menerima tulisan dari pembaca sekalian terkait dengan isu-isu perempuan kepada khalayak yang lebih luas. Kritik dan saran kami tunggu di rifka-media@rifka-annisa.or.id.

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

03


Halo Rifka Annisa. Saya ingin menanyakan, terkait peluncuran modul konseling untuk perubahan perilaku bagi laki-laki beberapa waktu lalu, apakah saya bisa mendapatkan modul tersebut? Karena saya tertarik untuk mempelajarinya bersama komunitas yang tengah saya ikuti sekarang. Terima kasih. Tanto, Yogyakarta. Halo saudara Tanto. Memang modul konseling untuk perubahan perilaku bagi laki-laki yang kami launching pada 21 Mei 2012 lalu tidak kami perbanyak secara luas. Kami hanya membatasi distribusinya pada level institusi/ lembaga. Bila menginginkan, Anda bisa mengirimkan alamat komunitas atau lembaga Anda kepada kami. Selanjutnya akan kami kirimkan modul konseling laki-laki tersebut. Terima kasih. Halo Rifka Annisa. Saya ingin mengetahui apakah Rifka Annisa juga ada di daerah Malang? Saya ingin sedikit berbincang karena kebetulan saya juga concern di salah satu jaringan perempuan HIV positif. Terima kasih. Melly Lavigne, Malang.

Surat Pemba ca

Halo saudari Melly. Selama ini Rifka Annisa aktif dalam menangani berbagai isu perempuan, termasuk isu perempuan HIV positif tersebut. Apabila ingin berdiskusi lebih lanjut dengan kami silakan saja menghubungi kami melalui telepon di (0274) 553333, atau langsung mengunjungi kantor kami Rifka Annisa di Jalan Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah No. 69/A Tegalrejo, Yogyakarta 55241. Terima kasih.

Halo Rifka Annisa. Saya berasal dari jurusan kesehatan reproduksi. Saya sangat tertarik dengan Rifka Annisa, namun saat ini saya sudah bekerja. Bolehkah saya bergabung dengan Rifka Annisa? Aisyah Shalehah, Yogyakarta. Halo saudari Aisyah. Kami membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin bergabung dan berkerjasama dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Rifka Annisa sendiri mempunyai beberapa divisi. Untuk informasi lebih kanjut silakan menghubungi Rifka Annisa. Terima kasih. Halo Rifka Annisa. Saya Intan di Kalimantan. Pada 26 April lalu saya berkesempatan hadir di Rifka Annisa untuk ikut menyaksikan teater musikal tentang maskulinitas “Tonil Laki-Laki”. Saya sangat terkesan dengan pementasan tersebut. Adakah rencana dari Rifka Annisa untuk mementaskannya kembali atau membuat teater serupa dengan tema berbeda? Saya rasa hal tersebut sangat menarik untuk dikembangkan. Halo saudari Intan. Pentas teater musikal maskulinitas Rifka Annisa dan Rannisakustik “Tonil Laki-Laki” pada 26 April 2012 lalu merupakan rangkaian acara peringatan Hari Kartini. Memang ada banyak tawaran dari berbagai pihak untuk mementaskannya kembali. Kami sangat berterimakasih atas segala apresiasi yang ditujukan pada pementasan tersebut. Ke depannya tidak menutup kemungkinan bahwa kami akan mengadakan pertunjukkan serupa. Saran dan kritik selalu kami harapkan. Anda juga bisa bergabung ke dalam grup facebook TONIL LAKI-LAKI. Terima kasih.

Data Statistik

Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) Di Rifka Annisa April – Juni 2012 KASUS MEDIA KTI KDP PKS PEL-SEK KDK TRAF

: Kekerasan Terhadap Istri : Kekerasan Dalam Pacaran : Perkosaan : Pelecehan Seksual : Kekerasan Dalam Keluarga : Traffiking (Perdagangan Orang)

KTI

KDP

PKS

PEL-SEKS

TATAP MUKA

44

5

3

1

TELEPON

16 1

2

OUTREACH

Rifkamedia

1

TRAF 9

Agustus-Oktober 2012

JUMLAH 54

1

17

1

4 0

EMAIL JUMLAH

04

KDK

60

6

5

3

1

0

75


Jendela

Rifkamedia

Risalah Tentang Janda Kalau separuh lebih penduduk perempuan di Indonesia adalah Janda, maka tidak akan ada pandangan-pandangan negatif kepada mereka. Semua akan menjadi perbincangan yang biasa. Tapi inilah wajah masyarakat kita, gemar menyinggung dan menggunjing sekelompok orang yang bukan mayoritas. Mereka yang kecil jumlahnya menjadi tidak biasa lagi. Lalu mayoritas dengan kuasanya itu, memberi banyak label kepada “yang lain� dengan kecenderungan yang timpang. Tak terkecuali untuk para janda. Kecenderungan ini bagi masyarakat kita bukan gejala baru. Di alam pikir masyarakat dari masa ke masa, senantiasa menempatkan janda dalam posisi dengan beragam stigma. Bila Anda seorang laki-laki, mungkin Anda akan membayangkan janda dengan sosok yang cantik, muda, langsing, mudah digoda, lemah, kesepian dan lainnya. Anda, perempuan, mungkin berpikir janda adalah sosok perempuan penggoda laki-laki, tidak memiliki sikap baik, dan memandang janda sebelah mata. Itulah cara mayoritas memberikan nilai pada janda. Nilai yang sepatutnya kita pertanyakan kebenarannya. Realitasnya menjadi janda itu tidak mudah. Maka hal yang wajar bila perempuan tidak ingin menjadi janda. Berstatus janda harus menanggung beban sosial yang berat. Konstruksi masyarakat patriarkhis seperti ini, janda berada dalam posisi subordinatif. Mengapa subordinatif? Karena ia mendapat perlakukan yang

tidak baik dalam kelas sosial masyarakat. Perempuan rentan mengalami segala bentuk kekerasan karena jenis kelaminnya. Maka posisinya makin tidak menguntungkan bila ia adalah seorang janda. Banyak pengalaman yang keluar dari testimony para janda, terutama karena perceraian. Seorang kerabat misalnya mengatakan, keputusannya menjadi janda karena suaminya telah berselingkuh. Kondisi itu sungguh pukulan mental yang sangat berat dan emosional. Baginya, pengkhianatan dalam sebuah pernikahan tak bisa ditolerir. Akhirnya berujung perceraian. Perkara sakit hati terhadap sang suami yang berselingkuh ternyata tidak terhenti ketika mereka becerai. Ia mengaku sering menjadi bahan pembicaraan para tetangga, yang menganggapnya sebagai sosok

perempuan yang tidak becus mengurus suami, hingga sang suami berselingkuh dengan perempuan lain. Ketika memulai lembaran baru, berkenalan dengan laki-laki lain pasca perceraiannya, ia mendapat cibiran sebagai perempuan gatel. Citra dirinya dianggap buruk oleh masyarakat. Walaupun mengaku tidak perduli dengan pendapat orang, tetapi khawatir bahwa si anak akan mengalami tekanan psikologis akibat keputusannya menjadi seorang janda. Oleh karena itu, dengan pikiran terbuka kita membaca bahwa kekerasan yang dialami janda merupakan siklus, tidak saja dalam ranah domestik, tetapi justru berlanjut di ranah komunitas, masyarakatnya. Bukan hanya kekerasan fisik, melainkan kekerasan simbolik yang berpengaruh besar dalam kehidupan sang janda. Gagasan, ide, dan pengalaman dalam Rifka Media edisi ini sengaja kami ketengahkan untuk memberi ruang membincangkan, mempertanyakan, dan mengunggah persoalan-persoalan janda menjadi wacana bersama. Dalam pemikiran yang lebih sederhana, ide ini kami harapkan mampu melahirkan dan mengangkat harkat kehidupan bersama. Sesrawungan, begitu jawa menyebutnya, interaksi sosial yang yang penuh pengertian, yang mampu dimanfaatkan untuk memecahkan persoalanpersoalan bersama. []

Any Sundari, Pemimpin Redaksi

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

05


Buku Baru

Menjadi Laki-laki Pandangan Laki-laki Jawa tentang Maskulinitas dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Isi buku: - Tebal 222 halaman (book paper) - Dua Bahasa (Indonesia-Inggris) - Membahas pandangan laki-laki Jawa tentang Maskulinitas dan kekerasan dalam rumah tangga Untuk pemesanan silahkan hubungi: - Difirentia One (085232387729) - Hani Bariza ( 085725184195)


Laporan Utama

JANDA DARI MASA KE MASA: UPAYA KELUAR DARI KELINDAN KEKERASAN Oleh: Shalina Nur Hanna Alumnus Sosiologi UGM dan Relawan Rifka Annisa

flicker.com


Laporan Utama lesaikan ataupun memutus rantai kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya. Data yang yang dihimpun dari laporan tahunan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan kompilasi data kekerasan terhadap perempuan dari 299 lembaga mitra ditambah dengan data yang diakses lewat internet dari PA/PTA (81) dan UPPA (15) diperoleh data jumlah korban KTP tahun 2011, yaitu 119.107 korban. Jumlah kasus ini naik 13,32% dari tahun 2010 (105.103 korban). Melihat dari ini menunjukkan bahwa sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2011, korban kekerasan mencapai di atas 100 ribu. (lihat grafik)

Sudah jatuh tertimpa tangga. Barangkali itulah yang dialami sebagian besar nasib janda-janda di Indonesia. Bagaimana tidak, konflik keluarga yang berujung pada perceraian atau ditinggal suami adalah persoalan, hidup dengan diri sendiri atau anak-anak tentu juga bukan hal mudah, dan terlebih stigma yang kemudian dilekatkan oleh sosial pada mereka: Janda. Kekerasan yang dialami janda adalah sebuah siklus. Mari kita lihat pada janda karena cerai. Janda yang disebabkan oleh perceraian biasanya akan diawali oleh kondisi keluarga yang tidak harmonis, atau homostatis dalam istilah psikologi. Konflik, bahkan kekerasan bisa menjadi sebab. Pun bisa oleh perselingkuhan. Intinya kondisi keluarga yang tidak ideal sebagai digambarkan semula. Jika sampai pada ambangnya, akan diakhiri dengan perceraian. Didalam proses hukum, perempuan juga mengalami kesulitan, akhirnya ketika diputus cerai, dan status janda otomatis disandangnya, stigma langsung diletakkan padanya. Singkatnya, perceraian yang konon dimaksudnya untuk memutus siklus kekerasan, justru beranjut pada kekerasan simbolik oleh masyarakat yang memandang janda sebagai makna negatif. Data yang dilansir LBH APIK Jakarta (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), awal tahun hingga akhir Februari 2009 mencatat bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 160 kasus melalui pengaduan langsung (90 kasus) maupun melalui telepon (70 kasus). Dari 160 kasus itu, 77,8% atau 130 kasus merupakan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan perceraian merupakan pilihan tertinggi bagi perempuan korban untuk menye-

08

Rifkamedia

sedangkan sisanya karena alasan lain. Dari 46,8% tersebut, 43,4% nya istri yang dinikah siri mengajukan gugatan perceraian karena menjadi korban penelantaran; dan 56,6% nya merupakan istri sah yang menjadi korban penelantaran karena suami menikah lagi di bawah tangan/siri. Sementara itu, 16% perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan diceraikan secara tidak sah diancam pidana perzinahan akibat berelasi dengan laki-laki lain. Namun data dan pilihan berbeda justru terjadi di Jogja. Divisi Pendampingan Rifka Annisa, Women Crisis Centre, lembaga yang berkantor di jogja mengungkapkan data tahun 2011 dari sekitar 219 kasus kekerasan terhadap istri yang ditangani 90 % diantaranya memilih kembali pada

Grafik 1. Jumlah Kasus Kekerasan Tehadap Perempuan (KTP) 2001-2011

Laporan Tahunan Komnas Perempuan, 2011

Prosentase perempuan yang menggugat cerai dari data LBH Apik menunjukkan angka sebesar 49% dan 3% suami menceraikan korban. Dari angka gugatan cerai perempuan tersebut, 46,8% nya karena akibat dari nikah siri yang dilakukan suami yang menyebabkan KDRT berupa penelantaran rumah tangga,

Agustus-Oktober 2012

suami dan 10 % memilih bercerai. Keputusan kembali memilih hidup dengan suami memang tak hanya karena stigma janda yang sedemikian negatif tapi juga permasalahan ketergantungan ekonomi dan anak. Hal ini diakui oleh Indiah dari Divisi Pendampingan Rifka Annisa. “Perempuan membutuhkan laki-laki


Laporan Utama

Caron/Rifka Media

untuk meneguhkan eksistensinya. Banyak yang takut dan khawatir menyandang status janda meski kadang perempuan tak peduli meski harus menjadi wanita idaman lain (WIL) demi mengamankan dirinya,” katanya. “Budaya patriarki yang sedemikian kental dianut oleh mayoritas masyarakat kita, seakan melahirkan normativitas bahwa laki-laki dan perempuan itu musti berpasangan, terlebih perempuan karena dianggap makhluk yang lebih lemah sehingga membutuhkan pelindung,” ujar Muhammad Saeroni dari Divisi Men's Program Rifka Annisa. Hal inilah agaknya yang membuat perempuan berstatus janda seperti memakan buah simalakama, serba salah. Sesama perempuan menganggap bahwa janda apalagi yang cantik, muda, dan menarik adalah ancaman dan saingan. Alih-alih mencoba menolong, mereka mencibir, menjauhi dan melindungi laki-laki dalam keluarganya agar terhindar dari sang janda. Lelaki kerap menganggap janda adalah makhluk lemah dan kesepian. Janda dianggap lebih “berani” dan “pengalaman” sehingga kecenderungan menggoda lebih besar. Agung dari Divisi Men's Program di Rifka Annisa juga menyampaikan bahwa keperawanan penting bagi laki-laki sehingga nilai janda menjadi berkurang, inilah ironi yang melahirkan anggapan bahwa janda kadang disamakan dengan“barang bekas.” Kekerasan simbolik adalah rentetan dari kekerasan yang dialami dalam rumah tangga. Kekerasan simbolik ini bisa berupa cap negatif terhadap janda, perayu, penggoda istri orang. Perempuan tak bersuami karena cerai, ditinggal suami ditempatkan dalam posisi rendah dibanding mereka yang bukan janda. Janda, tanpa memandang peringkat sosial manapun seringkali dianggap aib. Beragam stigma dan beban sosial ditimpakan

oleh masyarakat karena ia tak lagi bersuami. Bagi masyarakat tempat terbaik seorang perempuan adalah di samping suami, tutur Nani Zulminarni, Koordinator nasional program pemberdayaan perempuan Kepala Keluarga (Pekka) Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSW) seperti yang dilansir Kompas Senin 9 Agustus 2005. Realitasnya masyarakat kita memelihara kekerasan berlapis, mulai fisik, psikis, materi hingga simbolik, dan wacana kosong yang tersebar luas tentang mereka, para janda. Simone De Beauvoir menggambar-

ada secara otentik.” Perempuan sering menghindar konflik karena ketakutan hilangnya relasi dengan sekitarnya (dengan keluarga, orang tua, suami atau anak) karena mereka kurang diakui dan paling berisiko dalam kehidupan masyarakat yang tidak pernah mendengar mereka. Perceraian adalah obyek yang paling menyakitkan dan menakutkan bagi sebagian perempuan, karena dampaknya begitu luas dan predikat yang disandangnyapun cukup membuat gerah setiap orang, karenanya banyak kaum perempuan. Sungguh berat tugas yang mesti

Skema 1. Siklus Kekerasan Terhadap Janda KDRT---? Cerai------? Menjanda-----? Kekerasan Simbolis (masyarakat) Suami Meninggal----? Menjanda-----? Kekerasan Simbolis (masyarakat)

kan realitas ini dengan sangat jelas: “Perempuan selama ini menerima peran yang submisif, takluk, menghindari ketegangan yang ada di dalam eksistensinya yang sebetulnya sudah

dipikul oleh para janda ini. Selain peran ganda yang mesti mereka jalankan, mereka mesti menghadapi diskriminasi dan kekerasan oleh masyarakat dan negara bahkan kaum

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

09


Laporan Utama mereka sendiri. Ideologi perempuan sebagai istri yang perannya terbatas pada pendamping suami, menjaga keharmonisan keluarga, serta ibu yang baik menurun pada semua kebijakan pemerintah yang menyebabkan lemahnya akses perempuan dalam hal ekonomi, politik, sosial, budaya yang berimbas pada lemahnya kekuatan untuk memenuhi hak dan kepentingan hidupnya. Ujung dari semua ini tentu pada lini masyarakat bawah yang “mematuhi� apa yang diajarkan oleh pemerintahnya. Laporan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2011 menunjukkan bahwa KDRT/RP merupakan bentuk KTP yang paling dominan (lebih dari 95%) di antara bentuk yang lain. Data KDRT/RP menunjukkan jumlah kekerasan terhadap istri (KTI), kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP),

kekerasan oleh mantan suami (KMS), kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan oleh mantan pacar (KMP), kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) dan bentuk kekerasan relasi personal lainnya. Kekerasan terhadap istri (KTI) juga merupakan jenis tindakan KDRT/RP yang paling banyak 97% (110.468) dari seluruh jumlah KDRT/RP. Pada tahun ini juga tercatat KDP (kekerasan dalam pacaran) sebanyak 1.405 kasus. Yang menarik adalah dari total jumlah KTI tersebut, lebih dari 95% merupakan kasus perceraian yang datanya diperoleh dari PA/PTA, dan dicantumkan sebagai kasus cerai gugat atau cerai talak. Dari Mitos ke Mitos: Melacak Akar Ketidakadilan Terhadap Janda Bentuk-bentuk ketidakadilan

Grafik 2. Kekerasan Perempuan di Ranah Domestik

Sumber: Laporan Tahunan Komnas Perempuan 2011

10

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

gender sering terjadi di lingkungan sekitar kita. Namun, ketidakadilan itu tidak dianggap sebagai suatu masalah karena tidak adanya kesadaran dan sensitifitas terhadapnya. Pencitraan gender tentang dua konsep janda dan duda di dalam masyarakat kita tampaknya memiliki makna yang berbeda. Meskipun secara sosial keduanya memiliki status yang sama namun secara kultural mereka dianggap memiliki nilai yang tidak sama. Konotasi duda dalam masyarakat kita selalu dianggap hal yang lumrah tidak ada suatu keanehan, berbeda dengan janda. Predikat janda dalam masyarakat kita masih dianggap label yang janggal terlebih jika status janda tersebut diperoleh bukan karena kematian pasangan hidupnya tetapi karena perceraian dengan pasangannya. Padahal ada banyak faktor yang menyebabkan perceraian, artinya bukan hanya dari sisi perempuan semata. Nakamura (1990), mengidentifikasikan ada beberapa sebab hancurnya suatu perkawinan, yaitu karena; (1) faktor ekonomi, (2) krisis moral, (3) dimadu, (4) meninggalkan, (5) biologis, (6) ada pihak ke tiga, dan juga (7) karena politik. Kebudayaan kita yang dominan simbul patriarki ini mengakibatkan hancurnya perkawinan selalu membawa dampak dan konotasi negatif terutama bagi kaum perempuan. Bersamaan itu pula kemudian beban sosial ditimpakan. Janda karena cerai hidup atau cerai mati, beban sosialnya sama berat. Tanpa pernah mau melihat berbagai faktor penyebab dan kondisi perempuan menjanda, masyarakat cenderung menghakimi dan memberikan label buruk secara sepihak kepada para janda. Historisitas pembedaan gender tentang citra janda terjadi melalui proses yang panjang. Citra ini dibentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat dan dikontruksi melalui


Laporan Utama

sosial atau kultural. Dilanggengkan oleh mitos-mitos. Dari mitos inilah kewajaran dan kodrati seakan-akan tidak bisa dirumah. Prosa lirik Toeti Heraty yang dibukukan dalam Calon Arang; Kisah Perempuan Korban Patriarki, memberikan gambaran bagaimana Calon Arang, cerita rakyat dari Bali yang melegenda tentang seorang perempuan janda yang dianggap sumber malapetaka, simbol kejahatan yang melekat pada sosok Ni Rangda seorang janda yang memiliki putri cantik namun urung dilamar karena takut pada Ibunya yang seorang dukun, juga janda. Hingga kini Calon Arang menjadi legenda populer tak hanya di pulau Dewata tapi juga masyarakat Indonesia. Salah satu legenda yang boleh jadi memiliki kekuatan besar yang membuat stigma janda sekarang masih tak jauh dari yang dimitoskan. Calon Arang-, begitu ia disebut orang Dianggap simbol kejahatan di Bali Melawan Barong yang kemenangannya belum pasti Nenek sihir dengan rambut gimbal terjurai Lidah terjulur, taring dan kuku mencengkeram Dengan susu bergayutan,Dia, sebenarnya juga perempuan lanjut usia Yang kebablasan geramnya. Riwayatnya dimulai dengan menjangkitnya Ketakutan di suatu desa bernama Dirah Seorang janda, Calon Arang dengan daya sihirnya Ditakuti sangat, sehingga Ratna Manggali, putrinya yang cantik jelita Tak ada yang berani melamarnya: Alangkah marahnya sang janda Alangkah malunya sang janda Calon arang namanya, dengan geram yangTak habis-habisnya, menyemburkan api dahsyat Dari mata, hidung, mulut dan telinga (Sumber Toeti Herati, 2000: hal.1)

“...memang berbeda di tiap daerah, di Jawa janda memang lebih banyak dikonotasikan pada hal negatif, namun sebagian masyarakat Sunda menganggap janda sebagai suatu yang biasa. Menemukan janda Sunda di usia muda, jamak adanya. Di Aceh, janda memiliki kedudukan baik dan harus disantuni. Sebagai daerah rawan konflik, seakan lahir sebuah kesepakatan dimana janda yang tidak menikah lagi memiliki kedudukan yang lebih mulia.�

Toety, menuliskan dengan jelas bagaimana konstruk tentang Calon Arang ini dilihat dari konstruksi berpikir patriarki. Majalah Tempo online edisi 4 Desember tahun 2000 menurunkan tulisan tentang bagaimana Toeti, menginterpretasikan dongen Calon Arang ini. Toeti tentu saja melihat dari kacamata seorang feminis. Jika dongeng Calon Arang yang ditulis kembali oleh Pramoedya—sesuai dengan dongeng tradisional—itu membuat dikotomi Jahat-Suci, bagi Toeti, Calon Arang adalah kisah penindasan patriarki. Karena dikotomi itu telah berubah menjadi lelakiperempuan, prosa liris ciptaan Toeti itu dipersembahkan bagi "setiap perempuan yang meredam kemarahan". Awal ketertarikan Toeti pada Calon Arang muncul lantaran pameran fotografi Rio Helmi di Bali setahun lalu menampilkan sosok penari-penari tua pemeran Calon Arang. Rekaman Rio Helmi berhasil menangkap ekspresi kepedihan yang dalam, yang kemudian dijadikan sampul buku Toeti. Itu membuyarkan anggapan Toeti tentang Calon Arang

yang menyeramkan. "Dia mungkin orang suci yang tampil dalam zaman yang tidak tepat," tutur Toeti. Prosa liris yang dianggit Toeti adalah gugatan terhadap mitos yang subur dan langgeng tentang cerita janda Calon Arang. Ini adalah sebentuk perlawanan terhadap kuasa yang menciptakan mitos tersebut. Mitos adalah cara melanggengkan kekua-saan. Dan itulah yang bisa kita baca dari bagaimana mitos-mitos negatif. Mitos-mitos, bisa jadi diamini oleh masyarakat sekarang, tapi bisa jadi ditolak mentah-mentah. (Baca Laporan Utama 4) Terkait hal ini memang berbeda di tiap daerah, di Jawa janda memang lebih banyak dikonotasikan pada hal negatif, namun sebagian masyarakat Sunda menganggap janda sebagai suatu yang biasa. Menemukan janda Sunda di usia muda, jamak adanya. Di Aceh, janda memiliki kedudukan baik dan harus disantuni. Sebagai daerah rawan konflik, seakan lahir sebuah kesepakatan dimana janda yang tidak menikah lagi memiliki kedudukan yang lebih mulia.

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

11


Laporan Utama

“...di dunia terdapat sedikitnya 245 juta perempuan hidup menjanda. Bukan hanya karena kema-tian suami, karena sakit, bercerai, laki-laki tidak mengakui kehamilan perempuan, ditinggalkan, tetapi juga karena perang atau konflik bersenjata.�

nya berpulang ke masing-masing individu dan kelompok masyarakat. Ada yang masih memandang sebelah mata, namun tak sedikit juga yang mulai memberi porsi yang sama seperti masyarakat lain yang memiliki hak untuk bersuara. Tapi tentu saja bila negara dan pemerintah memberi perhatian lebih pastinya akan lebih memudahkan para perempuan tangguh ini menjadi cepat berdaya, mandiri dan lebih bermartabat dimata laki-laki serta kaumnya. Terpujilah para janda. []

Referensi Hari Internasional Ibu-Ibu Tanpa Suami: Dari Nestapa ke Perayaan Hak Laman online organisasi Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), melansir data hasil sensus nasional tahun 2007 yang menyatakan jumlah perempuan kepala rumah tangga adalah 13, 4 % dari total rumah tangga di Indonesia yakni sekita 6 juta kepala keluarga. Separuh dari jumlah kepala keluarga ini adalah perempuan yang sangat miskin dan tidak bisa baca tulis. Lima tahun setelahnya yaitu tahun 2012 terjadi kenaikan yang cukup tajam yakni menjadi 7 juta kepala keluarga perempuan berdasar data di Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Jurnas.com, 16 Mei 2012). Jika setiap kepala keluarga bertanggung jawab menghidupi 5 orang anggota keluarganya, total 35 juta beban yang mesti ditanggung oleh para perempuan kepala keluarga ini. Sementara itu di dunia terdapat sedikitnya 245 juta perempuan hidup menjanda. Bukan hanya karena kematian suami, karena sakit, bercerai, lakilaki tidak mengakui kehamilan perempuan, ditinggalkan, tetapi juga karena perang atau konflik bersenjata. Sebagian besar dari mereka terlilit

12

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

kemiskinan dan berbagai persoalan lainnya, termasuk stigma atau pandangan negatif yang ditujukan kepada para janda. Mereka berjuang untuk menghidupi keluarganya setiap hari. Dengan alasan itulah salah satunya, ditetapkan adanya Hari Janda Sedunia. Hari Janda Sedunia ditetapkan tanggal 23 Juni. Penetapan ini pertama kali dilakukan oleh Cherie Blair di sebuah acara makan siang pada 26 Mei 2005 yang diberikan oleh Trust Loomba (sebuah yayasan amal), dan secara resmi diumumkan di PBB pada 21 Oktober 2005, di hadapan Kofi Annan (Sekjen PBB saat itu) dan Cherie Blair. Trust Loomba didirikan oleh Raj Loomba dan istrinya, Veena, pada 1997. Misi Trust Loomba adalah untuk mendidik anak-anak janda miskin di India sehingga mereka dapat memiliki masa depan yang lebih baik. Hal ini dimaksudkan agar cara berfikir masyarakat mulai bergeser dari stigma negatif ke pengakuan terhadap hak-hak mereka sebagai janda dan manusia. Terbukanya arus budaya dan teknologi membawa masyarakat kita pada pemahaman bahwa janda tak selalu seburuk legendanya. Proses penerimaan pada janda pada akhir-

Nakamura, Hisako.1990. Perceraian orang Jawa : studi tentang pemutusan perkawinan di kalangan orang Islam Jawa / Hisako Nakamura Terj. H. Zaini Ahmad Noeh. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Heraty Toety. 2000, Calon Arang; Kisah Korban Patriarki. Jakarta: YAI Laporan Tahunan Komnas Perempuan 2011 http://www.pekka.or.id/8/index.php? option=com_content&view=fro ntpage&Itemid=1&lang=in http://www.pekka.or.id/8/index.php? option=com_content&view=arti cle&id=96%3Akompas-senin09-agustus2005&catid=43%3Apekka-inthe-news&Itemid=45&lang=in http://www.jurnas.com/halaman/9/2 012-05-16/209235


Laporan Utama

YANG JANDA, YANG TERABAIKAN PUTUSAN HUKUMNYA: Perihal perceraian dan Hak-hak Janda Pasca Perceraian Oleh: Ashabul Fadhli Mahasiswa Konsentrasi Hukum Keluarga Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Laporan Utama Janda, demikian kita menyebut perempuan yang sudah tak bersuami. Musababnya bisa ditinggal mati atau karena cerai. Di masyarakat, janda masih di konotasikan negatif, tinimbang sisi positifnya. Media kurang lebih sama memposisikan mereka. Lantas, bagaimana hukum menempatkan janda-janda ini? Predikat janda karena cerai kerap menimbulkan hambatan psikologis dalam berinteraksi sosial di masyarakat. Hambatan ini muncul lantaran cerai konflik keluarga yang tak berkesudahan. Dan yang lebih sering terjadi, perempuan menjadi korban, karena tak mampu menjaga keutuhan keluarga. Berbeda, isteri yang ditinggal mati oleh suami. Predikat ini dianggap masih mengundang rasa simpatik. Sebab janda ditinggal mati tidak mengakhiri pernikahannya de-

pada kondisi homeostatis, keseimbangan. Jika perceraian terus terjadi, betapa besar jumlah perempuan yang menyandang status janda? Tak hanya status, tetapi proses perceraian yang di Indonesia sepertinya cenderung memberatkan perempuan. Tidak hanya itu, dalam proses persidanganpun, apakah dapat dipastikan bahwa mereka –istri-istri yang bercerai— dapat menerima hak-hak mereka sesuai dengan porsi hukum yang berlaku? Berawal dari Perceraian Sejatinya, perceraian bermula dari relasi pernikahan yang dianggap gagal. Pernikahan diyakini sebagai sebuah ritus yang menyatukan lakilaki dan perempuan. Bersatunya elemen-elemen dasar manusia seperti gender (jenis kelamin), sifat, karakter, pemikiran, konsep, prinsip,

...janda karena cerai kerap menimbulkan hambatan psikologis dalam berinteraksi sosial di masyarakat.

ngan alur konflik dan pertikaian internal keluarga. Penilaian ini tak lepas dari cara masyarakat merepresentasikan janda di lingkungannya. Di Indonesia, jumlah janda mencapai angka yang fantastis. Data yang dihimpun dari Ditjen Badilag, pada tahun 2010 menunjukkan jumlah kasus cerai di Indonesia sebesar 148.486. Angka ini diperoleh dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Artinya, jumlah janda di Indonesia berkisar pada angka itu. Diperkirakan Jumlah tersebut akan terus meningkat jika kondisi keluarga di Indonesia tidak berada

14

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

psikologi, paradigma (pandangan) dan idiologi adalah idealisasi dari perwujudan tujuan pernikahan. Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 (UUP 1974) menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam literatur kajian hukum, istilah Perkawinan familiar dengan istilah Hukum Keluarga (perdata) yaitu sejumlah aturan yang mengatur kehidupan keluarga yang dimulai dari awal pembentukan

keluarga (peminangan), sampai dengan berakhirnya keluarga (wafat atau perceraian) yang berisi pembahasan seputar Munakahat (perkawinan), Mawaris (pewarisan) dan juga wakaf (Khoiruddin Nasution, 2010). Tujuannya mengatur hubungan antara suami, istri, dan anak dalam keluarga. Dengan bersatunya tujuan pernikahan tersebut, pasangan suami istri akan hidup dalam suasana harmonis, ketenangan (sakinah), jalinan cinta kasih (mawaddah) dan diberkahi (rahmah) (M. Quraish Shihab, 2002). Akan tetapi, tidak semua pernikahan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Tidak sedikit pasangan suami istri terjebak dalam konfilk keluarga. Krisis moral, kepercayaan dan tanggung jawab semakin terkikis. Pada akhirnya pernikahan berakhir perceraian. Bercerai tentu bukan harapan bagi pasangan manapun. Namun, bagi sebagian orang bercerai menjadi pengalaman emosional tersendiri bagi dirinya. Perceraian dianggap sebagai solusi akhir dari berbagai persoalan keluarga. Bagi perempuan, persoalan datang bukan hanya pada suami yang digugat cerai, tetapi juga proses hukum dan persidangan yang relatif berat tinimbang bagi lelaki. Dan hakhak pasca perceraian juga tak mudah didapat. Tidak jauh beda yang dihadapi janda ditinggal mati suami. Kematian pasangan menimbulkan banyak persoalan identitas, sosial, bahkan hukum. Seorang janda menggambarkan, ditinggal mati suami bagaikan “tragedi terbesar dalam hidupnya�. Kematian suaminya menyebabkan perubahan besar dalam hidupnya sebagai janda. Gaya hidup, pergaulan, dan masalah finansial diantaranya. Pemicu dari musabab perceraian tentu dilatarbelakangi oleh banyak hal, kekerasan dalam rumah tangga salah satunya. Telaah terhadap sejum-


Laporan Utama lah kasus yang ditangani Rifka Annisa, tidak lebih dari 10% pasangan suami istri yang akhirnya memilih perceraian. Mereka lebih memilih untuk saling berdamai, saling memaafkan, dan melanjutkan hubungan mereka. Melalui �Arisan�, salah satu program Jogja TV, Rifka Annisa beberapa kali mengulas perihal persiapan yang bisa dilakukan oleh suami istri saat pra dan pasca perceraian. Tema ini dipandang perlu karena banyak pasangan suami istri belum siap secara mental dan psikis untuk menghadapi perceraian dalam proses hukum. Bagi beberapa pasangan yang hendak berperkara, proses hukum terkadang terasa menyulitkan. Dalam hal ini, Rifka Annisa berkepentingan untuk memberikan rasa aman bagi kedua pasangan serta rekonsiliasi bagi sesama pasangan untuk saling merubah prilaku dalam menghadapi permasalahan rumah tangga mereka. Sejumlah temuan tentang banyaknya kasus gugat cerai yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, melibatkan Rifka Annisa untuk berperan dalam melakukan advokasi hukum. Salah satunya dengan melakukan layanan POSBAKUM (Pos Bantuan Hukum) di Pengadilan Agama Jogja. Identifikasi atas jumlah perkara yang masuk di Pengadilan Agama menunjukkan, bahwa kasus gugat cerai tersebut ternyata mengalahkan jumlah cerai talak. Kasus kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi salah satu kasus yang sangat populer. Dalam kasus kekerasan yang terjadi, biasanya suami cendrung sebagai pelaku kekerasan. Akar kekerasan pun sangat beragam. Beberapa diantaranya seperti kehadiran perempuan lain, masalah ekonomi, prilaku buruk suami dan sebagainya. Dengan adanya layanan POSBAKUM, masyarakat dapat dengan mudah mengakses layanan ini secara gratis. Menurut Shinta dan Afni,

petugas POSBAKUM yang ditemui di Pengadilan Agama (04/06) menuturkan, bahwa Bagi istri yang bercerai baik dengan prosedur cerai talak maupun cerai gugat, selama istri tidak berbuat nusyuz tetap memiliki kewenangan untuk menerima hak-hak nya berupa nafkah madhiyah, nafkah mut'ah, nafkah-kiswah dan maskan, hak hadhanah serta biaya hidup anak. Berkenaan tentang hak dan kewajiban suami istri, UUP 1974 Pasal 30 telah mengatur bahwa Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat. Dalam pasal 34 disebutkan bahwa (1) Suami wajib

pengadilan. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 3, jika suami atau isteri mela-laikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Meskipun Undang-Undang memberikan jalan bagi pasangan suami istri yang menginginkan perceraian, pada prinsipnya kebijakan tersebut tentu tidak semudah ketika melakukan proses pernikahan. UndangUndang telah mengatur bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri

Tabel 1. Laporan POSBAKUM Rifka Annisa Fabruari-Mei 2012 No

Perkara

1

Cerai Talak

2

Cerai Gugat

3

Penetapan Waris

4

Gugatan Hak Asuh Anak

5

Isbat Nikah

6

Permohonan Poligami

7

Gugatan Hak Pengasuhan Anak

8

Pencabutan Penolakan Perkawinan

9

Permohonan Dispensasi Kawin

Sumber: Rifka Annisa, 2012 melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Hal ini berarti suami dan istri saling bertanggung jawab atas kelansungan dan keutuhan rumah tangga mereka, mulai dari pencari nafkah hingga pengurusan rumah tangga. Jika salah satu pasangan telah meninggalkan kewajiban atau bahkan melalikan kewajibannya sebagai istri atau suami maka ia dapat melayangkan gugatan perceraian ke

itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri. Pernyataan ini sekaligus menegaskan bahwa hukum tidak berkompromi terhadap suami yang melakukan cerai secara sepihak kepada istrinya di luar sidang pengadilan, baik cerai yang dilakukan suami karena kesadarannya maupun di luar kewarasannya, karena marah atau dalam keadaan mabuk. Sejumlah pertimbangan dari kebijakan UUP 1974 tentang perceraian memang terkesan memberatkan. Kebijakan tersebut tentu mempunyai alasan-alasan tertentu.

Rifkamedia

Agustus- Oktober 2012

15


Laporan Utama Secara universal UUP 1974 berkepentingan dalam mewujudkan unifikasi hukum, perlindungan terhadap status perempuan dan kontekstualisasi problematika sosial sesuai perkembangan zaman. Dalam hal ini adalah upaya perlindungan hukum dalam melindungi hak-hak perempuan yang bercerai dengan suaminya. Hak-Hak Istri yang Bercerai Pentignya pencatatan nikah sebagai syarat legalnya perkawinan menandai bahwa hukum menjamin terpenuhinya seluruh hak-hak suamiistri dalam perkawinan, atau saat mengakhiri perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Indonesia (KHI) disebutkan, tujuan pencatatan perkawinan yang dilakukan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah adalah untuk terjaminnya ketertiban perkawinan (KHI Pasal 5 ayat 1). Lebih lanjut ditegaskan, Perkawinan yang dilakukan diluar Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum (KHI Pasal 6 ayat 2), dan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan adanya Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Fungsi pencatatan bukanlah sekedar urusan administrasi, bukan juga sebagai syarat sah atau tidaknya pernikahan (akad nikah), namun lebih pada perlindungan dan pemenuhan hak dan kewajiban suami, istri dan anak. Sejak berlakunya undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, secara normatif undangundang telah memberikan jaminan kedudukan yang terhormat dan s e i m ba n g ke pa d a p e re m p u a n sebagai istri. Sebagaimana telah di singgung di atas, perceraian hanya dapat berlaku di lingkungan Pengadilan. Dalam UUP pasal 39 ayat 1 ditegaskan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang

16

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

�Saya ke pengadilan cuma mau urus cerai aja mas, setelah keluar putusan dan saya telah resmi bercerai, bagi saya itu sudah cukup. Kalau persoalan kewajiban mantan suami untuk memberikan nafkah (nafkah karena ditinggal pergi suami) setelah perceraian saya ga pernah terima.�

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Atas dasar itu, perceraian dapat terjadi karena beberapa alasan seperti: (1) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, (2) salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah, (3) salah satu pihak melakukan perlakuan kekerasan dan penganiayaan yang membahayakan pihak lain (KHI pasal 116). Dengan terpenuhinya syaratsyarat dan administrasi perceraian secara sah di Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang non muslim, maka berakhirlah ikatan perkawinan terhadap masing-masing pihak. Walaupun demikian, baik istri maupun suami masih mempunyai hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi sesuai dengan putusan yang diberikan pengadilan. Bagi janda yang di tinggal mati, hak-haknya selaku istri yang ditinggalkan tentunya masih tetap berlaku, diantaranya hak mewarisi. Istri yang ditinggal harus menjalankan masa iddah (masa tunggu) selama 4 bulan 10 hari. Selama masa itu istri tidak

diperbolehkan menikah lagi dengan orang lain hingga masa iddahnya selesai. Dengan melakukan iddah, istri yang ditinggal akan terjamin kebersihan dan kesucian rahimnya, sehingga ketika hendak memutuskan untuk menikah lagi, benih dalam rahim tidak tercampur antara keturunan suaminya yang telah meninggal dengan suaminya yang baru dinikahi (Sayyid Sabiq, 1987). KHI Pasal 90 menyebutkan Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Oleh karena itu, istri yang ditinggal mati tetap dapat menerima hak warisnya ketika telah memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan UndangUndang. Sejumlah aturan-aturan di atas menunjukkan bahwa dinamisasi hukum memang ketara. Sejumlah aturan hukum yang diberlakukan telah ditujukan untuk melindungi dan mengadvokasi hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Namun pada proses dan pasca perceraian di Pengadilan, sudahkah isi dari materi hukum tersebut berjalan sebagaimana yang terlampir dalam UUP 1974 dan KHI. Pengalaman Watinah (54) menunjukkan kondisi yang berbeda. Ibu paruh baya ini telah kehilangan suaminya untuk yang kedua kalinya. �Saya menjanda dua kali mas, satunya karena bercerai dan satunya lagi karena suami saya meninggal� katanya. Perempuan Jawa yang sehariharinya sebagai Ibu rumah tangga ini mengaku pasrah dengan keadaan dirinya saat itu. Perlakuan suami pertama, menurutnya, tidak bertanggung jawab. Nafkah lahir dan batin yang tak kunjung diterima. Suami yang suka mabuk-mabukan membuat Watinah memilih jalan cerai dengan melakukan gugat cerai ke Pengadilan Agama.


Laporan Utama Terkait persoalan hukum tentang perceraiannya Watinah juga hanya bisa pasrah. ”Saya ke pengadilan cuma mau urus cerai aja mas, setelah keluar putusan dan saya telah resmi bercerai, bagi saya itu sudah cukup. Kalau persoalan kewajiban mantan suami untuk memberikan nafkah (nafkah karena ditinggal pergi suami) setelah perceraian saya ga pernah terima.” kata perempuan yang tergabung dalam sebuah lembaga Persaudaraan Janda-Janda Indonesia, Rabu (13/06). Tak jauh beda yang dialami Ristina, janda yang mengakhiri perkawinannya dengan bercerai. Ristina, ibu rumah tangga dengan tiga orang anak, mengaku tidak bahagia dengan pernikahannya. Menurutya suaminya bukan tipikal suami yang baik. ”Setau saya suami saya itu punya selingkuhan mas, dia juga ga pernah beri saya nafkah lahir sejak pertama menikah, mungkin sekitar 18 tahun. Apalagi suami saya juga sering mukulin saya juga mas,” tuturnya. Alasan itulah yang membuat Ristina memberanikan diri untuk melakukan gugat cerai ke Pengadilan Agama. ”Ketika saya urus ke Pengadilan agama urusannya juga cukup alot. Saya merasa agak diberatkan, misalnya Pengadilan menyuruh saya untuk membawa suami saya jika mau melakukan gugat cerai. Tapi yang terpenting dari ketiga anak saya, saya yang asuh semua,” lanjutnya. Tidak jauh berbeda dengan apa yang dituturkan Watinah, Ristina dan ibu-ibu janda lain juga mengeluhkan persoalan yang sama dalam aspek hukum. Awamnya mereka tentang prosedur, materi, hingga aplikasi hukum menyebabkan mereka kehilangan beberapa haknya terkait perceraian. Walaupun mereka mengakui bahwa isi gugatan cerai semata-mata adalah persoalan cerai saja, mereka tetap mengeluh jika persoalan nafkah

yang telah lalu bisa di urus di Pengadilan yang sama. Dari sekian jumlah ibu-ibu janda yang dtemui, baik yang dicerai suami maupun yang melakukan gugat cerai, hampir semuanya yang tidak mendapatkan nafkah anak, nafkah iddah dan nafkah mut'ah. Menyikapi sejumlah klausul di atas, Sugiarto (bukan nama sebenarnya), salah satu Hakim di kantor Pengadilan Agama Jogja menuturkan, ”Hakim di Pengadilan pada dasarnya terikat pada asas-asas pengadilan, salah satunya pengadilan bersifat pasif, menunggu, sementara yang bersikap aktif adalah pihak yang berperkara,” katanya ketika ditemui selepas kerjanya, Senin (18/06). Terkait perceraian, pengadilan menyayangkan bahwa berdasarkan laporan yang di terima dan diputus di Pengadilan Agama kebanyakan adalah gugatan cerai dari pihak istri. ”penyebabnnya banyak. Tapi yang paling menonjol adalah krisis moral, tidak bertanggung jawab, mabukmabuk-mabukan, KDRT, selingkuh,

meninggalkan istri,” tambahnya. Selaku Hakim, lanjutnya, kita sangat prihatin melihat krisis moral yang kian bertambah jumlah kasusnya. Oleh karena itu dalam perkara perceraian, upaya utama yang dilakukan pengadilan adalah upaya perdamaian. Pengadilan tetap menyarankan perdamaian menjadi alternatif terbaik. Pengadilan berperan sebagai mediasi, sebagaimana Peraturan Pemerintah no.1 tahun 2008 tentang mediasi”. Sugiarto kembali menegaskan, dalam mengurus perceraian sebaiknya seorang istri yang menggugat cerai, mengajukan gugatan yang bersifat komulasi obyektif. Hal senada juga sampaikan Maria (bukan nama sebenarnya), salah satu Hakim di Pengadilan Negeri Yogya. Menurutnya Pengadilan pada dasarnya memberikan perlakuan yang sama terhadap siapa saja yang berperkara (Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Pasal 58). Dalam mengurus perkara perceraian, terutama bagi istri, sebaiknya

Tabel 2. Laporan Tahunan 2012 Pengadilan Agama Yogyakarta Tentang Perkara yang Diputus

Sumber: PA Yogyakarta, 2012

Rifkamedia

Agustus- Oktober 2012

17


Laporan Utama Tabel 3. Rekap Perkara Perdata Perceraian Pengadilan Negeri Yogyakarta, Januari – Mei 2012

Sumber: PN Yogyakarta, 2012

langsung mengajukan gugatannya dalam satu paket sekaligus. Dengan gugatan yang sifatnya komulatif, istri yang hendak menggugat cerai dapat mengakses seluruh hak dan kepentingannya di Pengadilan. Gugatan komulatif dapat berupa hak asuh anak, hak nafkah, dan harta bersama jika ada. Meskipun sidangnya harus dipisah setelah sidang kasus perceraian dan hak asuh anak. Hal ini dikarenakan hukum acara keduanya yang sifatnya berbeda, yaitu sidang perceraian yang sifatnya tertutup dan sidang harta bersama yang sifatnya terbuka. Terkait tujuan UUP tentang perlindungan terhadap status perempuan, baik istri yang dicerai maupun menggugat cerai, seringkali mereka kehilangan hak-haknya. Kebijakan deskriminatif yang diterima sejumlah istri yang melakukan gugat atau di gugat cerai di Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri justru berujung pada problem besar. Hak berupa nafkah dan sejenisnya hanya terselasaikan dalam bentuk formalitas. Prakteknya, para mantan suami jarang menunaikan kewajibannya untuk tetap memberikan sebagian kecil penghasilannya untuk memenuhi nafkah mantan istri dan anaknya. Pokok ini telah diatur dalam KHI pasal 105 yaitu bila terjadi perceraian, anak yang belum berumur 12 tahun diasuh

18

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

oleh ibunya dan biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya. ”Dalam pengadilan agama, khusus pihak suami yang menceraikan istrinya berkewajiban untuk memberikan hak nafkah iddah dan mut'ah di depan pengadilan,” kata Sugiarto. Hak mantan istri wajib diberikan oleh mantan suami sebelum membacakan ikrar talak di pengadilan. Namun ketika nafkah tidak atau belum dapat dibayarkan, ikrar talak tidak dapat dibacakan dan perceraian tidak dapat dilangsungkan. Jika pihak suami belum bisa membayarkan nakah, pengadilan memberikan waktu senggang selambat-lambatnya enam bulan untuk memenuhi kewajibannya tersebut. Adapun mengenai hak-hak yang bisa diperoleh mantan istri setelah putusan pengadilan, Maria menegaskan bahwa pihak istri harus dengan jelas dalam menuntut pelaksanaan penerimaan nafkah itu nanti. ”Jumlah rupiah, waktu/hari/tanggal, serta bentuk dan tempat administrasi pengambilan nafkah tersebut harus dimuat sedetail mungkin pada saat putusan di Pengadilan. Hal ini dimaksudkan agar semua yang menjadi hak para istri yang dicerai dapat mereka terima secara layak dan baik,” kata Maria. Walaupun begitu, persoalan aplikatif tentang hasil putusan Peng-

adilan tetap saja muncul ke permukaan. Tidak jarang mereka para ibu janda yang menerima putusan Pengadilan tentang hak asuh anak, hak waris maupun hak atas pembagian harta gono-gini. Namun, pada prakteknya perlakuan dari mantan suami justru seringkali menunjukkan tindakan yang represif. Perebutan atas hak-hak para ibu-ibu janda sepertinya telah menjadi agenda bersama bagi mereka yang menjanda. Perjuangan mereka terkesan sia-sia. Usaha banding yang pernah dilewati seakan-akan tidak ada artinya. Hakhak mereka dirampas dengan caracara yang jauh dari campur tangan hukum. Dengan raut pasrah, mereka menghela nafas panjang. Dari benak mereka terbesit anggapan, bahwa putusan pengadilan tidak lain hanyalah berupa ”kertas putih di atas hitam” yang sama sekali tidak memerdekakan hak-hak mereka selaku pencari keadilan.[] Referensi Sabiq, Sayyid (1987). Fiqih Sunnah Jilid VIII, (terj. Drs. Muh. Thalib). Bandung: PT Al Ma'ruf. Khoiruddin Nasution. (2010). Hukum K e l u a r g a ( Pe r d a t a ) I s l a m Indonesia. Yogyakarta: Academia Tazaffa. M. Quraish Shihab. (2002). Tafsir alMisbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur'an. Jakarta: Lentera Hati. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Inpres Tahun 1975 tentang Kompilasi Hukum Islam Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 2008 tentang Mediasi Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama


Laporan Utama

Citra Janda dalam Bingkai Media Oleh: Iwan Awaluddin Yusuf Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) Yogyakarta, dan aktivis di lembaga Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA),Yogyakarta

flicker.com


Laporan Utama Bagaimana media kita menggambarkan janda? Dalam berbagai bentuk pesan media, baik fiksi dan nonfiksi, sosok janda dikonstruksi dan direproduksi sedemikian rupa sehingga menghasilkan penggambaran negatif yang akhirnya beredar luas di masyarakat. Ironisnya, citra tentang janda yang ditampilkan media seolah “disetujui”, bahkan “diamini” masyarakat pada umumnya. Dalam ranah fiksi, banyak cerita bertema janda yang seolah tak habishabisnya diangkat ke dalam film, sinetron, cerpen, hingga novel. Mulai dari genre horor, misteri, drama, sampai komedi. Kemunculan figur janda dalam cerita-cerita fiksi di Indonesia hampir selalu disertai atribut “kembang”, “kaya”, “muda”, “molek”, dan sejenisnya. Tak hanya berhenti pada atribut, pengembangan cerita mengenai sosok janda senantiasa diwarnai dengan intrik yang menghasilkan perasaan debar jantung, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Tapi tentu saja dengan irama berbeda. Debaran yang terdengar oleh perempuan adalah perasaaan cemas dan takut kalaukalau si janda merebut hati suami atau pacarnya. Sedangkan kebanyakan lelaki, janda adalah seorang perempuan yang menarik hati untuk didekati atau bahkan disentuh. Tak jarang kehadiran sosok “janda kembang” menjadi ruang pelampiasan hasrat olok-olok, gosip, keisengan, dan pertaruhanpara lelaki. Sosok janda yang kebetulan masih berusia muda secara naif digambarkan sebagai seorang perempuan seksi, penggoda, dan sukamengenakan baju ketat. Sosok ini misalnya dapat dilihat dalam film Indonesia berjudul “Ku Tunggu J a n d a m u ( 2 0 0 8 ) ”. “ K u Tu n g g u Jandamu” adalah film komedi yang

20

Rifkamedia

disutradarai Findo Purwono HW dan dibintangi antara lain Dewi Perssik, Andi Soraya, Chintyara Alona, Yana Zein, Fara Diana, dan Edi Brokoli. Cerita yang dingkat film ini tak jauh dari eksploitasi stereotip janda sebagaimana cerita-certa film bertema janda lainnya, yakni kehebohan para lelaki memperebutkan sosok janda yang diperankan Dewi Perssik. Persik Wulandari (Dewi Perssik) menjadi janda setelah menggugat cerai suaminya, Rozak yang diamdiam telah menikah dengan perempuan lain. Setelah gugatan dikabulkan pengadilan, mereka resmi bercerai. Namun Rozak (Eric Scada) tidak begitu saja melepaskan Persik. Ia melakukan berbagai cara untuk mempersulit hidup Persik agar kembali padanya. Situasi menjadi tambah rumit bagi Persik ketika ia harus menumpang di rumah kakaknya, Cherry (Andi Soraya) di sebuah lingkungan kompleks bernama 69 Residence yang semula tenang, namun berubah menjadi 'panas' sejak kehadiran Sang Janda yang menonjolkan sensualitas dan memancing perhatian penghuni kompleks. Persik yang selalu mengenakan pakaian seksi membuat para pria penasaran melihat keseharian dan tingkah lakunya. Seperti tiga sekawan yang

Agustus-Oktober 2012

diperankan Edi Brokoli, Rizky Mocil, dan Hardi Fadillah. Mereka selalu mencuri kesempatan mengintip Persik ganti baju. Adegan intipmengintip terpampang dengan gamblang dalam film ini. Bahkan salah satu adegan diperlihatkan Persik mengenakan kemben dan celana dalam bertali tipis warna pink. Aksi pamer celana dalam pun kembali muncul saat Perssik sedang santai di teras rumah. Ia seolah sengaja membuka roknya untuk memancing perhatian tetangganya. Memprihatinkan karena sepanjang film tak pernah absen diputar sosok perempuanperempuan yang mengenakan pakaian minim. Nilai moral yang ingin disampaikan film produksi Maxima Pictures inisesuai dengan tagline “Biar janda asal terhormat” sama sekali tidak tergambarkan. 'Ku Tunggu Jandamu' justru lebih menjual keseksian Dewi Perssik dan aktris lainnya seperti Andi Soraya. Dengan alur yang cenderung klise dan dipaksakan, film berakhir dengan sebuah kontes yang mengikutsertakan Perssik sebagai salah satu peserta. Dalam kontes itu Perssik menceritakan perjuangannya menjadi janda. Setelah mendengar kisahnya, para juri menganugerahkan Persik sebagai Janda of The Year. Dalam catatan sejarah perfilman Indonesia, terdapat banyak film yang menampilkan sosok janda menjadi lakon, baik sebagai tokoh utama maupun pendukung. Banyak di antara film tersebut secara eksplisit menampilkan kata “janda” dalam judulnya. Sosok janda sebetulnya sudah menjadi bagian dari cerita hidup masyarakat Indonesia. Mitos dan cerita tentang janda sudah lama direproduksi melalui media tutur dan tulis. Cerita rakyat seperti Malin Kundang misalnya, menggambarkan keadaan ibu Malin Kundang yang janda yang bersusah-payah mem-


Laporan Utama

Caron/Rifka Media

besarkan anaknya dan berusaha menafkahi mereka berdua, namun akhirnya dicampakkan oleh Malin Kundang. Dalam berbagai versi cerita, Ibu Malin Kundang secara konsisten ditampilkan sebagai sosok janda yang baik. Namun sosok janda lainnya sangat berbeda dalam cerita rakyat Tangkuban Perahu. Janda dalam legenda ini digambarkan sebagai seorang wanita cantik yang bisa meluluhkan hati pria mana saja, bahkan putranya sendiri. Secara konsisten pula sosok janda dalam cerita Tangkuban Perahu digambarkan sebagai seorang penggoda yang tidak bisa menjaga harga diri. Bagaimanakah sosok janda dibingkai dalam teks berita yang berbahan baku fakta, bukan fiksi? Dalam berbagai pemberitaan di suratkabar, sosok janda juga tidak jauh dari opini tertentu yang cenderung negatif. Opinisasi tentang janda seringkali ditampilkan dalam bentuk generalisasi, yaitu penyimpulan gejala tertentu tentang entitas janda tanpa disertai premis-premis yang relevan. Terkadang opini dibuat seolah-olah mewakili pendapat atau pikiran aktor/subjek berita padahal sesungguhnya merupakan kesimpulan pribadi penulis berita. Contoh opinisasi iniantara terlihat dalam lead berita Koran Pos Kota yang ditulis sebagai berikut: Menjadi bom seks tampaknya menjadi pilihan bagi sejumlah selebritis kita yang menyandang status janda. Mereka melihat film dengan buka aurat merupakan bagian dari profesionalisme memenuhi tuntutan skenario.(Pos Kota, 10 Agustus 2008) Opinisasi media dapat juga diartikan sebagai pemberian opini pribadi dari wartawan dalam sebuah berita sehingga mencampuradukkan antara fakta dan opini, Akbitanya fakta sebenarnya menjadi rancu. Dalam

Tema-tema Janda dalam Film Indonesia Judul Film

Tahun Produksi

Sutradara

Genre

Pemeran Utama

Garagara Djanda Muda

1954

L. Inata

Drama, Komedi

Ellya Rosa, Ermina Zaenah, Raden Mochtar

Si Janda Kembang

1973

Muhardi Drama dan Sudrajat Komedi

Titiek Sandhora, Bambang Irawan, Hardjo Muljo

Gara-gara Janda Kaya

1977

Azwar An

Drama, komedi

Nani Wijaya,Enny Haryono, Cahyono

Sembilan Janda Genit

1977

Pietrajaya Burnama

Komedi

A. Hamid Arief, Zainal Abidin. Mansjur Sjah Susanna Caecilia, Ratmi B-29

Misteri Janda Kembang

1991

H. Tjut Djalil

Horor, Misteri

H.I.M. Damsyik, Fujiyanti,Sally Marcellina

Kembalinya Si Janda Kembang

1992

Sisworo Gautama Putra

Horor, Misteri

Sally Marcellina, H.I.M. Damsyik, Eddy Gunawan

Ku Tunggu Jandamu

2008

Findo Purwono HW

Komedi

Dewi Perssik, Andi Soraya, Chintyara Alona, Yana Zein, Fara Diana, dan Edi Brokoli

Janda Kembang

2009

Lakonde

Drama, Komedi

Ringgo Agus Rahman, Luna Maya, Sarah Sechan, Esa Sigit

Darah Janda Kolong Wewe

2009

Mamahit Luigi Donie

Horor

Yurike Prastika, Trio Macan, Mario Pratama, Shiddiq Kamidi

Pelukan Janda Hantu Gerondong

2011

Helf C.H. Kardit

Horor

Indah Kalalo, Aida Saskia,Wulan Guritno, Angel Lelga, Adam Jordan

Mati Muda di Pelukan Janda

2011

Helf C.H. Kardit

Komedi

M. Ihsan Tarore, Ayu Pratiw,iShinta Bachir

konsepsi baku jurnalisme, pemberian opini merupakan hal yang dilarang karena tugas wartawan hanyalah melaporkan fakta. Namun kebanyakan jurnalis tidak kuasa untuk menghindari beropini untuk membumbui sebuah cerita menjadi sensasional. Contoh opinisasi yang mencampuradukkan fakta dan opini dalam suratkabar dapat dilihat dari kutipan berita Harian Pos Kota berikut ini. “Malang nian nasib janda tua ini. Saat merebus mie di rumahnya...ia terjatuh lalu menyenggol kompor

hingga tubuhnya terbakar‌� (Pos Kota, 27 Juli 2004). Kalimat pertama jelas merupakan opini wartawan mengenai kemalangan seorang perempuan yang kebetulan menyandang status janda. Fakta-fakta tentang kejadian baru dipaparkan pada kalimat kedua dan seterusnya. Media Sebagai Pembentuk Citra Peran media dalam membingkai citra tentang janda bukanlah persoalan sederhana. Media memainkan

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

21


Laporan Utama peran sebagai sarana sosialisasi dan penyampaian pesan. Lewat pesanpesan yang disampaikan, citra tentang janda dibingkai oleh media massa. Tentu saja, di balik pesan yang disampaikan lewat media senantiasa tersembunyi berbagai muatan yang menyuarakan kepentingan pihakpihak tertentu yang memiliki “kuasa”, termasuk ideologi partriarkis yang cenderung tidak berpihak pada perempuan, khususnya janda. Di antara banyak persoalan media di Indonesia yang tidak sensitif terhadap janda saat ini, setidaknya terdapat empat isu penting. Pertama, media massa masih memberi tempat bagi proses legitimasi bias gender, terutama dalam menampilkan representasi janda. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai citra dan teks pemberitaan, iklan, film, sinetron, komedi, dan produk media massa lainnya. Yang ditampilkan adalah kondisi janda sebagai objek, dengan visualisasi dan identifikasi tubuh seperti muda, molek, seronok, seksi, dan sejenisnya. Dalam pemberitaan kasus kriminal yang melibatkan perempuan, perkosaan misalnya, perempuan juga sering digambarkan sebagai sosok yang seolah ikut andil sehingga meyebabkan kasus itu terjadi, bukan murni sebagai korban kejahatan kaum laki-laki. Di sisi lain, penempatan (positioning) perempuan sebagai korban (survivor) atau saat menjadi pelaku atau tersangka juga sarat dengan warna eksploitasi. Penggunaan kosakata masih berorientasi seksual (sex-oriented), seperti “dipaksa melayani nafsu”, “bertubuh molek”, dan sebagainya. Kedua, dalam aktivitas media sangat sedikit kaum perempuan terlibat menjadi pekerja media. Persoalan kuantitas ini barangkali tidak terlalu parah bila di antara jumlah yang sedikit tersebut para pekerja kreatif perempuan telah memiliki sensitifitas gender. Ironisnya,

22

Rifkamedia

kultural di level organisasional media, terutama masalah coorporate culture yang masih sangat patriarkis. Kedudukan perempuan dalam dunia media massa bisa dilihat melalui metode semiotik yang berusaha memaknai simbol femininitas. Simbol dan makna kemudian menjadi dua elemen penting dalam melihat bagaimana relasi perempuan dengan Sumber gambar: http://warungbarangantik.blogspot.com/2010_08_01_archive.html media massa. Menurut Piliang (dalam Swastika, “Feminisme dan Media Massa” ; Kompas, 28 Oktober 2002), perjuangan wanita dalam media adalah perjuangan memperebutkan karena umumnya mereka masuk da- “makna”. Media menjadi sebuah arelam dunia media yang sangat mas- na bagi perjuangan simbol atau tankulin, ukuran-ukuran kreativitas yang da. Posisinya sangat ditentukan oleh digunakan masih menggunakan konstruksi budaya di mana perempuukuran laki-laki sebagai pihak do- an dan media berada. Media umum minan dalam pengambilan keputu- yang hidup dalam budaya patriarki san. Tulisan dan gambar yang disaji- yang kental misalnya, lebih menonjolkan para jurnalis (atau sutradara) kan simbol maskulinitas. Dengan deperempuan pun sudah dikondisikan mikian, pada saat bersamaan, simbol dalam “pola laki-laki” (malepatterns). femininitas akan termarjinalkan. Lihatlah dari daftar film Indonesia Tubuh perempuan kemudian yang bertema “janda” di atas, se- dieksploitasi laki-laki sebagai “pekerja muanya disutradarai oleh laki-laki. Di semiotik” dengan mengendalikan sisi lain, beberapa perempuan yang “tatanan simbolik” (symbolicorder) concern terhadap sensitifitas gender, dan bahasa semiotiknya, sehingga di dalam banyak kasus hanya menem- dalam dunia tersebut laki-laki dapat pati posisi yang kurang penting dalam berada dalam kekuasaan fantasi dan jajaran pekerja media. Bahkan dalam obsesinya. Perempuan hanya bersejarah pers Indonesia, nama-nama peran sebagai pembawa makna tokoh pers pun cenderung dihege- (bearer), bukan pencipta makna moni nama “laki-laki” (Yusuf, 2012: 8). (creator). Laki-laki menawarkan Ketiga, kepentingan ekonomi dan penciptaan makna kesenangan politik menuntut para pemilik media (pleasures) bagi dirinya. Salah satunya tunduk kepada industri atau pasar adalah scopophilia, yaitu kesenangan yang memang lebih permisif menjadikan orang lain sebagai objek, terhadap citra yang tidak sensitif yang bisa dikendalikan tampilan dan gender. Perempuan dan segala citranya, sehingga mengundang rasa stereotipe-nya dalam pandangan ingin tahu yang bersifat seksualitas. media massa adalah komoditas yang Lebih jauh Piliang berpendapat, laku dijual. Media massa, di Indonesia, citra, baik verbal maupun visual (foto, sebagai bagian dari lingkaran ilustrasi, video, film) mempunyai produksi yang berorientasi pasar pengaruh besar pada pembentukan menyadari adanya nilai jual yang rangsangan hasrat bagi orang yang dimiliki perempuan, terutama sebagai melihat. Sekali lagi “citra tubuh pasar potensial. Kondisi kultural ini perempuan” memainkan peranan didukung pula oleh permasalahan penting yang membangkitkan hasrat

Agustus-Oktober 2012


Laporan Utama pornografi. Sebagai gambaran sederhana, banyak sekali media yang menampilkan cover depan atau poster film seorang model dengan pakaian minim dan gaya menggoda untuk memikat pembaca aau penontonnya. Di sini, eksploitasi perempuan sudah sangat terasa. Pandangan mata calon pembeli dirangsang dengan tampilan cover Kemudian, setelah calon pembeli dipikat dengan tampilan model cover, ia juga dipikat dengan sebuah judul berita yang cukup seronok dan sangat vulgar. Unsur bombastis dan hot stuff seakan-akan menjadi suatu persya-ratan bagi sebuah nilai-berita (news values). Keempat, regulasi media yang ada saaat ini tidak sensitif gender, UU Pers, UU perfilman, dan Kode Etik Jurnalistik misalnya, kurang memperhatikan secara khusus masalah-masalah perempuan dan media. Ditambah lagi, aturan-aturan normatif lainnya yang selama ini sudah ada pun kurang atau bahkan tidak ditaati oleh para pekerja media (Yusuf, Jurnal Sosial Politik, Volume 7, No 3, Maret 2004). Pada posisi demikian, perempuan, termasuk janda senantiasa ditempatkan sebagai objek. Penempatan perempuan sebagai objek (komoditas) dibangun berdasarkan ideologi patriarki yang mengakar. Akibatnya, pada setiap media yang dikelola oleh laki-laki (yang tidak sensitif gender), perempuan menjadi bahan eksploitasi. Katastopik yang demikian dibangun oleh proses pengalamiahan (naturalization), ketimpangan, subordinasi, marjinalisasi di dalam relasi gender. Inilah yang disebut Antonio Gramsci sebagai penciptaan consent atau common sense guna dijadikan sebuah kendaraan untuk mempertahankan hegemoni sebuah kelas atas kelas lainnya di dalam masyarakat hegemoni laki-laki. Menurut Moenta dalam artikelnya “Perempuan di Tengah Himpitan Kapitalisme Media” (MediaWatch No.

8 Tahun 2001), kehadiran perempuan sebagai komoditas media massa telah mengangkat ke permukaan setidaktidaknya tiga persoalan, yang menyangkut eksistensi kaum perempuan di dalam wacana ekonomi politik (political economy).Pertama, persoalan “ekonomi politik tubuh” (political economy of the body), yaitu bagaimana tubuh perempuan digunakan di dalam berbagai aktivitas ekonomi berdasarkan pada konstruksi sosial atau ideologi tertentu. Kedua, persoalan “ekonomi politik tanda” (political economy of the signs) yaitu bagaimana perempuan “diproduksi” sebagai tanda-tanda (signs) di dalam sistem pertandaan (sign system) yang membentuk citra (image), makna (meaning) dan identitas (identity) diri mereka di dalamnya. Ketiga, persoalan “ekonomi politik hasrat” (political economy ofdesire), yaitu bagaimana “hasrat” perempuan di disalurkan atau direpresi di dalam berbagai bentuk komoditas, khususnya komoditas hiburan. Persoalan “ekonomi politik tubuh”, berkaitan dengan sejauh mana eksistensi perempuan dalam kegiatan ekonomi politik, khususnya di dalam proses produksi komoditas; Persoalan “ekonomi politik tanda”, berkaitan dengan eksistensi perempuan sebagai “citra” di dalam berbagai media (televisi, film, video, musik, majalah, koran, komik, seni lukis, fashion). Sementara “ekonomi politik hasrat”, menjelaskan bagaimana “tubuh” dan “citra” berkaitan dengan “pembebasan” atau “represi” hasrat. Yang pertama melukiskan eksistensi perempuan dalam “dunia fisik”, yang kedua di dalam “dunia citra”, dan yang ketiga di dalam “dunia psikis”, meskipun ketiga dunia tersebut saling berkaitan satu sama lain. Pada tataran ini, penggunaan “tubuh” dan “representasi tubuh” (body Sign) sebagai komoditas di dalam berbagai media hiburan masyarakat

kapitalis, telah mengangkat berbagai hal yang tidak saja menyangkut “relasi ekonomi” (peran ekonomi perempuan), akan tetapi lebih jauh “relasi ideologi”, yaitu bagaimana penggunaan tubuh dan citra tersebut menandakan sebuah relasi sosial—khusus relasi gender—yang dikonstruksikan berdasarkan ideologi tertentu. Media massa dalam kasus ini menjadi tempat pertempuran memperebutkan wacana dan ideologi. Siapa pun yang memenangkan pertempuran itu bisa mendominasi dan melakukan hegemoni. Dalam konteks ini, media kemudian menjadi pengidentifikasi, pembaca, penerjemah dan pendistribusi realitas. Secara sederhana semua itu ditampilkan bentuk bahasa, baik bahasa verbal, nonverbal, maupun visual. Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Melalui bahasa, para pekerja media bisa menghadirkan hasil reportasenya kepada khalayak. Setiap hari, para pekerja media memanfaatkan bahasa dalam menyajikan berbagai realitas (peristiwa, keadaaan, benda) kepada publik. Dengan bahasa, secara massif mereka menentukan gambaran beragam realitas ke dalam benak masyarakat. Bahkan menurut DeFleur dan BallRokeach (1989: 267), begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Bagi media massa, keberadaan bahasa tidak lagi hanya sebagai alat untuk menggambarkan sebuah peristiwa, melainkan bisa membentuk citra yang akan muncul di benak khalayak. Terdapat berbagai pola media massa memengaruhi bahasa dan makna ini: (i) mengembangkan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya; (ii) memperluas makna dari istilah-istilah yang ada; (iii) mengganti makna lama sebuah istilah dengan makna baru; (iv) memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa.

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

23


Laporan Utama sekelompok orang melalui media massa seharusnya diperlukan suatu kesadaran bahwa di dalam membingkai realitas sosial ke dalam realitas media pada dasarnya sarat potensi lahirnya korban. Media harus memegang prinsip-prinsip humanitarian yang berangkat dari sensitivitas pertanyaan etis, tentang kemanfataan dan kerugian pihak-pihak yang direpresentasikan, dalam hal ini janda.

Dalam kaitan ini, janda adalah status melaui bahasa yang sama dengan "menikah", "tidak menikah", "duda", "perjaka", "perawan", “jejaka”, dan kata sandang lainnya yang beredar di masyarakat. Pembingkaian yang semena-mena tentang janda mengabaikan kenyataakn bahwa dalam hidup seseorang terkadang harus berhadapan dengan pilihan yang sulit bila masalah akhirnya menyebabkan perceraian. Atau ketika takdir Tuhan bicara lain dari rencana sepasang manusia, dan membuat yang ditinggalkan harus menjalani hidup sendiri, maka status janda atau duda akhirnya disandang. Bertolak dari kenyataan tersebut, dalam merepresentasikan seseorang atau

Nasib Janda: Representasi Janda dalam Lagu Dangdut Oleh: Any Sundari Diskursus Janda hampir tidak bisa lepas dari musik dangdut. Mudah ditemukan judul lagu yang ngetren dan sempat menjadi top hit di genre dangdut, liriknya menceritakan tema janda. Jika Anda iseng-iseng browsing kata “lagu dangdut dan janda”, muncul sederetan judul lagu dangdut, mulai dari mabok janda, janda muda, gadis atau janda, hingga judul janda tujuh kali. term janda banyak digunakan dalam lagu-lagu dangdut. Ada tiga pola yang biasanya muncul setiap kali kata janda tertuang dalam sebuah lagu, yaitu janda sebagai objek, laki-laki sebagai subjek penikmat, dan tentu saja pasar musik dangdut yang ikut bergairah.

24

Rifkamedia

Referensi Moenta, Baharuddin. “Perempuan di Tengah Himpitan Kapitalisme Media”; MediaWatch No. 8 Tahun 2001. Pos Kota, 10 Agustus 2008. Pos Kota, 27 Juli 2004.

“Serba salah kalau menjadi janda//Kalau jalan sendiri orang curiga//Paling susah kalau menjadi janda//Karena banyak lelaki memandang rendah//Apalagi kalau janda masih muda//Maka banyak yang datang untuk menggoda//Dan anehnya yang merayu dan menggoda//Cuma untuk pemuas nafsu belaka//Memanglah benar janda orang kesepian//Tetapi hai janganlah dibuat kesempatan” (Nasib Janda, Elvi Sukaesih) Dangdut menjadi musik paling popular di Indonesia. Bisa dibayangkan bagaimana lirik-liriknya mampu melekat dalam ingatan pencinta jenis musik ini. Dari beberapa lirik bisa diungkap bagaimana janda ditempatkan dalam kebudayaan. Dari sinilah bisa dibaca bagaimana pencipta lagi menempatkan janda dalam Lirikliriknya, bagaimana penyanyi menempatkan nyanyiannya, dan terutama, bagaimana masyarakat direpresentasikan dalam lirik lagu memerkarakan janda. Banyaknya lagu dangdut meng-

Agustus-Oktober 2012

http://warungbarangantik.blogspot.c om/2010_08_01_archive.html Swastika, Alia. “Feminisme dan Media Massa”,Kompas, 28 Oktober 2002. Yusuf, Iwan Awaluddin. “Peningkatan Kepekaan Gender dalam Jurnalis” Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, FISIPOL UGM, Volume 7, No 3, Maret 2004. Yusuf, Iwan Awaluddin. 2012. “Media Sensitif Gender: Masih Sekadar Wacana?”. Dalam Relasi Gender: Antara Kepercayaan dan Keniscayaan. Fajar Junaedi, dkk (ed). Yogyakarta: Program Studi Komunikasi UII dan Lingkar Media.

Tema Janda dalam Lagu Dangdut No

Judul Lagu

Penyanyi Lagu

1

Janda Kembang

Rhoma Irama feat Elvi Sukaesih

2

Janda Tujuh Kali

Naya Revina

3

Janda Muda

Ade Irma

4

Janda Perjaka

Hati Band

5

Mabuk Janda

Lolita

6

Janda Baru

Dwi Ratna & Agung

7

Gadis atau Janda

Elvi Sukaesih & Mansur S

8

Nasib Janda

Elvi Sukaesih

9

Janda Kembar Dua

Ali Alatas

Diolah dari berbagai sumber

angkat tema janda merupakan representasi masyarakat dalam menempatkan janda. Lagu-lagu diatas, sebagian liriknya menempatkan janda dalam posisi yang inferior, nasibnya tidak baik, genit, dan menjadi obyek bagi laki-laki. Gambar itu bisa terlihat jelas dari lirik lagu Nasib Janda, yang dikutip diatas. Penggambaran ini tak lepas dari kuatnya budaya patriarkhi yang mengakar dalam masyarakat. Representasi itu kuat kita jumbai dari liriiklirik yang diciptakan oleh sang pencipta, yang kebetulan banyak pencipta lagi dangdut adalah lelaki. []


Laporan Utama

AKU JANDA DAN BERDAYA: Diskursus Perempuan Kepala Keluarga dan Implikasi Pilihan Sadarnya Defirentia One M*. dan Laksmi Amalia** *Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional FISIP UGM dan Relawan Rifka Media **Lulusan Kedokteran Umum UGM dan Relawan Rifka Media


Laporan Utama Indonesia, Negeri Para Janda. Ratusan ribu warga perempuannya hidup tanpa suami dalam keluarga. Pilihan sadarkah?, dan bagaimana implikasi dalam kehidupan mereka? Indonesia, negeri para janda. Itulah simpulan yang didapat Prof. Susilo Wibowo, Androlog dari Universitas Diponegoro dari hasil penelitiannya. Sebutan ini menyamai Rusia yang mendapat julukan negeri janda. Di Rusia, perbandingan jumlah janda usia 60 ke atas dengan jumlah pria berusia sama yang berstatus duda atau tidak menikah adalah 394 : 100. Di Indonesia, menurut penelitian Wibowo (2002), rasio perbandingannya lebih tinggi yaitu 469 : 100. Jika angka perbandingan Rusia sudah bergelar negeri janda, maka Indonesia sudah semestinya mendapat julukan yang sama. Prof. Susilo Wibowo juga melakukan dikomparasikan dengan Negara negara lain. Hasilnya didapat, Jepang (364:100), Pakistan (357:100), Jerman (305:100), Filipina (258:100), Amerika Serikat (218:100), Cina (193:100), dan India (295:100). (dilansir dari gatra.com, 2002) Data tersebut menarik, setidaknya untuk mengetahui bahwa jumlah janda di Indonesia termasuk besar. Di Yogyakarta, jumlah janda cukup banyak. Catatan data dari Persatuan Janda-janda Indonesia (PJJI) Armalah, tercatat 1000 janda yang terdata sebagai anggotanya. Lebih dari 500 anggotanya berasal dari Gunung Kidul. Kebanyakan mereka juga berasal dari golongan menengah ke bawah sehingga seringkali masalah menjadi janda kian komplek. PJJI Armalah juga mencatat, rerata usia janda anggotanya di atas 50 tahun. Artinya, 60% mereka adalah manusia lanjut usia. Sisanya janda-janda muda yang usianya berkisar 29 hingga 40 tahun.

26

Rifkamedia

Menjanda: Antara Derita dan Pilihan Sadar Banyak sebab bagi para istri untuk memutuskan menjadi orang tua tunggal atau pun kepala keluarga. Pun banyak ragam alasan perempuan menjadi janda. Ditinggal mati suami, perceraian, korban perdagangan perempuan, korban pemerkosaan, ditinggal pergi suaminya tanpa kabar, adalah sederet alasan menjanda. Bagi sebagian besar perempuan, menjadi janda merupakan episode buruk dalam kehidupannya. Selain citra diri yang digambarkan negatif oleh masyarakat, beban ekonomi yang ditanggung karena ditinggal oleh pasangan pun bukan main berat. Menjadi janda buka pilihan mudah dalam hidup. Perempuan harus siap menjadi orang tua tunggal bagi anakanaknya. Sebagai kepala keluarga, Ia juga harus mencari nafkah. Itu semua dilakukan untuk tetap menegakkan kehormatannya. “Sebagai janda kita harus menjaga kehormatan agar tidak dipandang negatif oleh orang lain,” demikian

Agustus-Oktober 2012

“Sebagai janda kita harus menjaga kehormatan agar tidak dipandang negatif oleh orang lain”

ungkap Farilina H. Siswono Oetoyo, Ketua umum Persaudaraan Jandajanda Indonesia (PJJI) Armalah, saat membuka pertemuan rutin bulanan PJJI Armalah, Rabu (13/6) di sekretariat Babarsari. Menurutnya, masih banyak masyarakat memandang negatif perempuan yang berstatus janda. “Janda sering dianggap entheng, padahal dibalik itu masyarakat tak banyak tahu bahwa menjadi janda adalah sesuatu yang berat,” lanjutnya. Tuturan itu bukan sebatas ungkapan semata. Namun kisah hidup yang sungguh dialami mereka. Tuturan ini keluar dari para janda Armalah yang berbagi kisah kepada awak Rifka Media. Ibu T (54) misalnya, selama sepuluh tahun menjanda, ia tidak menafikkan bahwa menjadi janda adalah situasi yang berat. Ada beban mental yang harus ditanggung seorang perempuan berstatus janda. “Jadi janda itu gak enak, Mbak. Minder kalau mau gaul sama ibu-ibu lain,” ungkapnya. Alasan Ibu T memang cukup beralasan. Mitos yang berkembang dan dilanggengkan dalam alam piker masyarakat kita tidak terlalu berpihak kepada mereka, para janda. Labeling masyarakat pada mereka cenderung negatif. Perempuan gatel, perempuan-perempuan kesepian, pengganggu rumah tangga orang, adalah sederet label yang kerap dicap kan kepada mereka. Berbeda halnya dengan Ibu R (38), menjadi janda bukan sesuatu yang harus ditakuti. Menurutnya, kadang para perempuan terlalu takut menjadi janda karena khawatir dipandang rendah masyarakat. “Padahal tidak selamanya demikian, bisa jadi ketakutan itu muncul karena seorang janda memandang rendah dirinya sendiri. Kalau saya memandang, kita semua sama. Kenapa kok janda, kenapa tidak ada


Laporan Utama pandangan negatif tentang duda,” keluh janda dengan 3 anak ini. Masyarakat memandang kita sebagaimana kita memandang diri kita. Barangkali demikian yang hendak disampaikan oleh ibu R. Survey sederhana yang dilakukan Tim Rifka Media kepada warga DIY menunjukkan bahwa tidak semua masyarakat melabeli mereka dengan label negatif. Bahkan responden meyakini mereka, para janda, justru mempunyai kebebasan menentukan arah hidupnya sendiri tanpa tergantung laki-laki atau suami. Angket yang disebar kepada 100 responden dan berhasil diolah sebanyak 68 responden menunjukkan bahwa label negative tak selamanya diberikan kepada para janda. Survei ini dilakukan selama bulan Mei hingga Juli 2012, dengan metode purposive sampling. Hasilnya sebesar 95,56% atau 65 responden dari 68 responden yang menyatakan tidak setuju jika janda dianggap sebagai perusak rumah tangga orang lain. Sisanya 4,41% atau hanya 3 reponden yang menyatakan bawa janda sebagai perusak rumah tangga orang. Ibu R mempunyai cara berbeda dalam menanggapi segala macam omongan tentang statusnya. Sebuah keberanian dalam memposisikan dirinya ditengah serbuan label taksedap kepada para janda. Bagi Ibu R menjadi janda bukanlah sesuatu yang harus dikutuk dalam kehidupannya. Ia merasa mampu untuk menegakkan hidupnya sendiri, tidak tergantung pada lelaki atau pandangan umum dari masyarakat. Ibu R adalah contoh pribadi janda yang menemukan dirinya sendiri pada tempat yang semestinya: perempuan yang kuat, mandiri, dan berani. Konsep diri semacam inilah yang mestinya tumbuh didalam diri para janda dalam menghadapi labeling miring terhadap mereka.

Grafik 1. Persepsi Masyarakat DIY tentang Janda

Persoalan konsep diri masingmasing janda menjadi sesuatu yang penting. Label sosial memang di satu sisi bisa dikonstruksi dengan wacanawacana positif tentang janda. Untuk itu, satu ekspektasi yang disampaikan oleh Ibu R bahwa sudah semestinya para janda membentuk sebuah komunitas seperti yang dilakukan oleh PJJI Armalah. “Komunitas inilah yang akan membantu untuk memperkuat posisi janda di masyarakat dalam hal penguatan ekonomi, penguatan mental psikologis, serta penguatan spiritual. Dengan ini kita bisa tunjukkan bahwa janda itu tidak lemah, janda juga bisa berprestasi,” tambah Ibu R. Berbagai pengalaman umumnya dijadikan alasan para janda untuk mendukung eksistensinya di masyarakat. Salah satu isu yang sering disoroti juga adalah persoalan ekonomi. Seorang janda bisa saja mengalami situasi sulit untuk mencukupi kebutuhan keluarganya bahkan tidak jarang mereka harus bekerja keras agar dapur tetap ngepul. Isu ekonomi ini menjadi salah satu perbincangan menarik di kalangan janda karena berpengaruh terhadap keputusan

mereka untuk tetap menjadi orang tua tunggal atau menikah lagi. Dari survei yang dilakukan tim rifka media dengan pernyataan “janda tidak harus menikah lagi karena mampu menjadi orang tua tunggal”, sebanyak 67,65% atau sebanyak 46 responden yang menyatakan setuju, artinya janda dengan kemampuannya tidak harus menikah lagi dan bisa menjadi orang tua tunggal. Sisanya 32,35% atau 22 responden menyatakan tidak setuju dengan pernyataan dalam questionaire. (lihat grafik 1) Ibu P (63) menjadi contoh riil bahwa seorang janda mampu menjadi orang tua tunggal. Janda berprofesi sebagai guru, tidak menyangkal bila ada permasalahan ekonomi ketika perempuan menjadi janda. Baginya, persoalan itu bisa diputus dengan bekerja apa saja yang halal. Ini menunjukkan bahwa perempuan janda pun bisa mandiri tanpa harus menggantungkan ekonomi pada lakilaki. “Menikah lagi itu tidak harus, saya takut untuk disakiti kedua kalinya,” tutur janda yang sempat ditinggal suaminya pergi sebelum akhirnya suaminya meninggal. “Lebih baik menjadi janda daripada rumah

Rifkamedia

Agustus- Oktober 2012

27


Laporan Utama Tabel 1. Alasan Perempuan Menjadi Kepala Keluarga Sebab-sebab perempuan menjadi kepala keluaga

Presentase

Karena suami meninggal dunia

39%

Karena bercerai

13%

Ditinggal suami begitu saja

7%

Suami merantau kerja dalam waktu lama

9%

Suami berpoligami dan mengabaikannya

3%

Suami cacat atau sakit menahun

5%

Perempuan lajang yang menjadi tulang punggung keluarga

11%

Sumber: Nani Zulminarni, Dunia Tanpa Suami: Perempuan Kepala Keluarga sebagai Realitas yang Tidak Tercatat, dalam Jurnal Perempuan volume 73, April 2012.

tangga kisruh,� tambahnya. Alasan ini menambah beragam alasan para janda untuk tetap menjadi orangtua tunggal bagi anak-anaknya. Tidak semua janda memilih untuk menikah lagi, lantaran mereka dianggap mampu untuk menjadi kepala keluarga. Menurut Ifa Aryani, S.Psi, Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak Yogyakarta, ketika seorang perempuan yang menjanda memutuskan untuk menjadi orang tua tunggal, hal pertama yang mereka pertimbangkan adalah nasib anak-anak mereka. “Perempuan memiliki kekhawatiran yang besar jika pengganti bapaknya anak-anak bukan figur yang tepat, terutama bagi perempuan yang menjanda karena suami meninggal dunia. Sebagian perempuan yang berkarakter akan memilih menjadi single parent karena dia memiliki kekuatan, baik secara ekonomi maupun sikap mandiri. Perempuan lebih tahan banting dan memiliki banyak strategi dalam menjawab tantangan kehidupannya, �tutur Ifa kepada Rifka Media. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 diperkirakan di Indonesia terdapat 9 juta perempuan sebagai kepala keluarga atau 14% dari 65 juta rumah tangga. Sayangnya, posisi perempuan sebagai kepala keluarga

28

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

belum sepenuhnya diakui oleh negara maupun masyarakat Indonesia yang patriarkis. Dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 Pasal 31 ayat 3 disebutkan bahwa suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Hal ini berimplikasi pada hak dan kewajiban yang tidak setara di dalam kehidupan bermasyarakat diantaranya kesulitan untuk mengakses program bantuan pemerintah seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) (Akhmadi, dkk 2010). Peran perempuan sebagai orang tua tunggal juga masih belum sepenuhnya di terima oleh masyarakat. Dari pandangan agama, lakilaki adalah seorang pemimpin dalam keluarga, juga mempengaruhi pandangan sebagian besar masyarakat terhadap definisi kepala keluarga itu sendiri. Mengenai persoalan ini Ifa Ariani memberikan beberapa saran perihal yang harus dipersiapkan oleh perempuan yang akan menjadi orang tua tunggal. Pertama, mereka harus memperkuat karakter diri agar mereka terlihat tangguh dan dihormati sehingga tidak disepelekan oleh lakilaki manapun dan masyarakat secara umum serta mampu melindungi dirinya sendiri dan anak-anaknya. Kedua, mereka harus berdaya secara

ekonomi sehingga mampu menghidupi diri dan anak-anaknya tanpa mengharap bantuan orang lain. Ketiga, tetap menjalin komunikasi dengan keluarga besar atau tetap berkomunikasi dengan baik dengan mantan suami, karena anak-anak yang diperhatikan secara penuh akan merasa aman, nyaman dan terlindungi. Keempat, perempuan yang menjadi orang tua tunggal harus memiliki konsep yang kuat dalam mendidik dan mengasuh anak karena ada sebagian orang tua tunggal yang berdaya secara ekonomi namun gagal mengasuh dan mendidik anaknya, sehingga anak-anaknya merasa dibesarkan dalam keluarga yang broken home dan sering mencari penyelesaian masalahnya bukan kepada sang ibu, namun kepada orang lain atau temanteman sebayanya. Kepada Rifka Media, Ngatinah (bukan nama sebenarnya, red.) yang menjanda selama dua tahun terakhir dan menjadi orang tua tunggal bagi kedua anaknya, mengungkapkan bahwa posisinya saat ini dia jauh lebih baik disbanding keadaan sewaktu dia masih bersama suaminya. Dia bercerai karena suaminya selingkuh di saat usia perkawinannya 17 tahun. Setelah bercerai tahun 2010, Ia bertekad untuk tidak menikah lagi. Ngatinah ingin mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada kedua anaknya. Banyak orang justru bersimpati dengan keadaannya sekarang dan orang-orang di sekitarnya mendukung posisinya sebagai kepala keluarga. Masyarakat Jogja juga meyakini bahwa menjadi orang tua tunggal bukanlah mudah. Perempuan yang memiliki anak berlipat-lipat beban didalam hidupnya. Setidaknya hasil itulah yang terlihat dari survei Tim Rifka Media. Sebesar 67,65% atau 46 responden yakin bahwa perempuan yang memutuskan menjadi orang tua


Laporan Utama tunggal memiliki beban hidup yang lebih berat. Ia harus mengurusi rumah tangga dan anak-anaknya. Sisanya 22 responden atau 32,35% menyatakan yang sebaliknya, perempuan ntidak memiliki beban yang lebih berat dari sebelumnya. (lihat grafik 1) Menjadi Orang Tua Tunggal: Implikasinya terhadap Perempuan dan Anak-anaknya Ada beberapa indikator yang berkaitan dengan kesuksesan sebuah keluarga dengan orang tua tunggal. Pertama, usia anggota keluarga dan panjangnya status sebagai orang tua tunggal. Kedua, tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua tunggal tersebut. Ketiga, hubungan dengan pihak orang tua yang lain (absent parent). Keempat, hubungan dengan anak-anak. Kelima, penggunaan dukungan sosial seperti kelompok dukungan orang tua tunggal dan konselor perkawinan. Keenam, pandangan dan manajemen diri yang dimiliki oleh setiap pribadi yang menjadi orang tua tunggal (Barry, 2007) Penelitian yang dilakukan oleh Kathleen Gass-Sternas, ketika menjanda dan menjadi orang tua tunggal ada beberapa implikasi yang terjadi pada seorang perempuan. Pertama, perempuan tersebut akan menjadi berisiko tinggi terhadap stress mental maupun fisik. Perempuan yang termasuk dalam kategori ini biasanya mengalami tekanan mental yang beragam, kesedihan yang terus menerus, perasaan kehilangan yang dianggap sebagai ancaman yang berbahaya, penggunaan coping mechanism yang kurang adaptif, keterbatasan penggunaan dukungan sosial, dan kondisi kesehatan yang buruk. Kedua, perempuan tersebut rentan terhadap stress mental maupun fisik. Tanda-tanda

yang terdapat pada kategori kedua ini adalah adanya tekanan mental misalnya proses berduka yang belum selesai,menilai perasaan kehilangan sebagai hal yang negatif tetapi berharap akan ada hal yang lebih baik di masa mendatang, coping mechanism yang terbatas, penggunaan beberapa jenis dukungan sosial, dan kesehatan fisik yang kurang optimal. Ketiga, perempuan tersebut menjalani kehidupan sebagai janda dan orang tua tunggal secara sehat. Hal ini ditandai dengan pandangan yang positif terhadap rasa kehilangan, penggunaan coping mechanism yang adaptif, proses berduka yang normal, adanya dukungan sosial yang beragam, dan sehat secara fisik (Sternass, 2010). Jika dibandingkan dengan seorang laki-laki yang menjadi orang tua tunggal, perempuan cenderung untuk mengasuh anaknya lebih intens. Namun, persoalan yang acapkali timbul adalah masalah ekonomi dimana perempuan mendapatkan gaji yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki sehingga masalah finansial menjadi hambatan dalam membiayai kehidupan anak-anaknya. Selain kemiskinan, rendahnya pendidikan para perempuan kepala keluarga juga menjadi alasan yang menurunkan kualitas pengasuhan anak-anak mereka. Berdasarkan hasil survei Tim Rifka Media, warga DIY menyetujui

perempuan untuk cerai dari pada mendapati suaminya selingkuh. Pendapat ini didukung oleh 59 responden atau sebesar 86,76%. Sisanya 9 responden atau 13, 24% menyatakan sebaliknya. Dalam penelitiannya, Gottainer dan Biblarz membandingkan kualitas hidup perempuan yang menjanda karena bercerai dengan perempuan yang menjanda karena kematian suami. Hasilnya, perempuan yang menjanda karena perceraian pada umumnya memiliki jabatan yang lebih rendah dalam karir, memiliki gaji yang lebih rendah dan juga cenderung memiliki masalah finansial (Gottainer dan Biblarz, 2000). Terkait kehidupan anak yang tumbuh dalam keluarga dengan orang tua tunggal, banyak penelitian menyebutkan mereka rentan mengalami stress emosi, depresi, dan ke s u l i t a n b e l a j a r d i s e ko l a h . Pandangan ini dibantah oleh Ifa Ariani. Menurutnya kehidupan seorang anak dalam sebuah keluarga dengan orang tua tunggal tergantung pada kekuatan dan kemandirian orang tua tunggal tersebut dalam membesarkan anak-anaknya. “Terdapat pula sisi positif dari anakanak yang tumbuh dalam keluarga tunggal diantaranya menjadi sosok yang mandiri, tegas, tidak cengeng dan mampu membuat keputusan untuk dirinya sendiri,� ungkapnya.

Tabel 2. Tingkat Pendidikan Perempuan Kepala Keluarga di Indonesia Pencapaian Pendidikan Perempuan Kepala Keluarga di Indonesia

Presentase

Tidak Pernah Bersekolah

7,57%

Tidak/Belum Menyelesaikan Sekolah Dasar

20,37%

Sekolah Dasar

31,19%

Sekolah Menengah Pertama

17,49%

> Sekolah Menengah Atas

23,37%

Sumber: SMERU Research Center, 2010

Rifkamedia

Agustus- Oktober 2012

29


Laporan Utama Ronald T. Ferrel dalam desertasinya menyimpulkan bahwa nilai di sekolah, tidak ada perbedaan yang siginifikan antara anak-anak yang tumbuh di dalam keluarga dengan orang tua tunggal dibandingkan dengan anak-anak yang tumbuh dengan kedua orang tua lengkap. Namun, dari penelitian yang sama didapatkan bahwa tingkat ketidakhadiran di sekolah memang lebih tinggi pada anak-anak yang hidup dengan orang tua tunggal (Ferrel, 2009). Penelitian lain membandingkan kualitas hidup anak-anak yang tinggal dengan perempuan yang menjadi orang tua tunggal karena bercerai dengan mereka yang menjadi orang tua tunggal karena suami meninggal. Hasilnya didapatkan bahwa anakanak yang tinggal dengan perempuan yang menjadi janda karena perceraian memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah, pekerjaan yang kurang layak, dan juga kurangnya kebahagiaan saat mereka tumbuh dewasa (Gottainer dan Biblarz, 2000). Cara pandang anak-anak terhadap perempuan yang menjanda dan menjadi orang tua tunggal tutur Ifa Ariani, tergantung dari penyebab mengapa perempuan tersebut menjadi orang tua tunggal dan bagaimana cara mereka tersebut mengkomunikasikan statusnya kepada anak-anaknya. Berdaya sebagai Kepala Keluarga: Jalan Keluar bagi Janda Ifa Ariani menyebutkan langkah utama yang perlu dilakukan uagar perempuan berdaya sebagai kepala keluarga adalah dengan melakukan pemetaan mengenai situasi dan kondisi mereka sehingga dapat diperoleh gambaran cara pendekatan yang tepat. Pendidikan merupakan rencana strategis utama agar para janda

30

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

berdaya sebagai kepala keluarga. Oleh karena itu, kebijakan untuk mengurangi atau bahkan meniadakan biaya bagi terlaksananya program kesetaraan pendidikan (Paket A, Paket B dan Paket C) harus segera dilaksanakan. Selain berdampak bagi para perempuan kepala keluarga, strategi ini juga penting untuk mendorong peningkatan pendidikan anak-anak mereka. Peningkatan akses terhadap sumber daya ekonomi seperti program kredit usaha mikro dari pemerintah atau lembaga donor juga akan mendorong para perempuan kepala keluarga untuk lebih berpartisipasi dalam sektor-sektor produktif. Partisipasi ini diharapkan mampu menaikkan tingkat pendapatan mereka. Dalam bidang kesehatan, akses terhadap pembiayaan kesehatan dari pemerintah seperti Jamkesmas dan Jamkesda harus dibuka seluas-luasnya untuk meningkatkan kesehatan mereka dan keluarga. Selain itu, hal yang tidak kalah pentingnya adalah pengembangan kepribadian bagi para perempuan kepala keluarga, “Membangun karakter agar mereka kuat secara mental adalah langkah penting untuk pember-dayaan kepala keluarga,” tutur Ifa Ariani. Terakhir, pembentukan jaringan antar perempuan kepala keluarga penting sebagai tempat bersosialisasi dan mengembangkan diri. Jaringan perempuan kepala keluarga ini harus didukung adanya kelompok-kelompok masyarakat yang turut memperjuangkan mereka.[] Referensi : Barry, Ann (2007), “A research project on successful single parent families”. The American Journal of Family Therapy ,volume 7,issue 32007

Gass-Sternas, Kathleen (2010), ”Single parent widows: stressors, appraisal, coping, resources, grieving, responses and health”. Marriage and Family Review, volume 20, issue 3-4, 2010. Ferel, Ronald T, “The effects of single parent households versus two parent households on student academic suc-cess, attendance, and suspensions.” A dissertation submitted to Education Faculty of Lindenwood University. Gottainer, Greg and Biblarz, Timothy O (2000), “Family structure and children success: a comparison of widowed and divorced singlemother families”. Journal of Marriage and the Family, page 533-548, volume 62, May 2000. Akhmadi, Yusrina, Asri, Sri, Budiyanti, dan Yumna, Athia (2010),”Akses terhadap keadilan: pemberdayaan perempuan kepala keluarga di Indonesia. Studi Kasus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, Kalimantan barat, dan Nusa Tenggara Timur. Publikasi Smeru Research Center, 2010. Nani Zulminarni (2012), “Dunia tanpa s u a m i : p e re m p u a n ke pa l a keluarga sebagai realitas yang tidak tercatat.” Jurnal Perempuan, volume 37, April 2012. http://voices.yahoo.com/singleparent-households-does-affectchildren-422927.html, diakses 14 Juni 2012. http://arsip.gatra.com/2002-0704/artikel.php?id=18719, diakses 24 Mei 2012.


Laporan Utama

Janda dalam Tradisi Agama-Agama Oleh: Ustadi Hamsah Dosen Ilmu Perbandingan Agama, FUSAP, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Laporan Utama Diskursus janda dan menjanda merupakan subjek kajian yang bisa dilihat dari perspektif yang beragam dengan fokus dan penekanan yang berbeda satu sama lainnya. Bagaimana tema ini diperbincangkan dalam Agama-agama? Janda, merupakan sebuah status yang sangat dilematis bagi perempuan. Dalam pengertian yang lebih umum, istilah “janda” (widow) dan status “menjanda”--kejandaan (widowhood) pada hakikatnya menjelaskan sebuah status sosial seseorang yang telah berumah tangga tetapi kemudian ditinggal oleh pasangannya, baik karena kematian atau perceraian. Sekalipun demikian, dalam perkembangannya istilah janda (widow) atau menjanda (widowhood) hanya melekat pada diri perempuan yang telah ditinggalkan oleh suami, sedangkan untuk laki-laki yang telah tidak beristri (duda, widower) jarang sekali dikaitkan dengan istilah tersebut. Oleh karena itu, istilah widow dalam tulisan ini mengacu pada konsep janda (perempuan yang telah ditinggal suaminya). Pilihan konsep ini mengacu pada hasil kesepakatan The Beijing Declaration and Platform for Action (BPfA) tahun 1995, Widows without Rights Conference Declaration (London 2001), serta Laporan United Nations Division of the Advancement of Woman (Desember 2001), yang menyatakan bahwa istilah widow atau widowhood lebih kepada wacana perempuan yang ditinggal suaminya, dan tidak untuk laki-laki yang ditinggal istrinya. Diskursus janda dan menjanda merupakan subjek kajian yang bisa dilihat dari perspektif yang beragam dengan fokus dan penekanan yang berbeda satu sama lainnya. Dalam kajian Sosiologi, kajian tentang widowhood lebih fokus pada “kesen-

32

Rifkamedia

dirian” (loneless), yakni posisi sosial janda yang “terputus” dari relasi sosial secara individu dari keluarga dan lingkungan sosialnya, dan ini merupakan posisi yang problematis (Hiltz, 1979). Dari perspektif Psikologi, widowhood menjadi sebuah entitas yang berpotensi memunculkan gangguan kejiwaan yang disebut Posttraumatic Stress Disorder (PTSD), dan ini menjadi salah satu fokus dari perspektif ini (Herbert dan Forman, 2006). Paling tidak dua perspektif inilah yang secara mendalam menyoroti wacana janda dan menjanda. Secara ilmiah wacana janda telah digambarkan sebagai “subjek” kajian yang objektif, artinya tergantung dari perspektif yang dipakai untuk melihatnya, sedangkan posisi “widowed woman” tetaplah sebagaimana adanya. Ilmu pengetahuan “hanya” memetakan wacana itu dalam kerangka berfikir ilmu tersebut. Sebuah pendekatan yang lain yang juga digunakan untuk melihat wacana perempuan secara umum,

Agustus-Oktober 2012

dan khususnya wacana janda adalah Studi Agama (Religionswissenschaft, Religious Studies). Dalam perkembangan awal Religionswissenschaft, atau yang lebih lazim disebut Ilmu Agama atau Ilmu Perbandingan Agama, kajiannya terfokus pada sejarah agama-agama dan fenomenologi agama dengan perspektif keilmuan sosial dan humaniora, yang kemudian disebut dengan classical approach (Waardenburgh, 1973). Untuk era kontemporer, perkembangan ilmu ini telah memperhatikan wacana-wacana sosial dengan pendekatan Ilmu Agama (Whaling, 1997), seperti isu HAM, gender, lingkungan hidup, gerakan keagamaan baru (new religious movement), urban spirituality, cyber issues, pop-culture, dan lain sebagainya. Sejalan dengan konteks diskusi tentang wacana janda dan menjanda (widowhood), Ilmu Agamaagama mempoisikan pada wilayah kajian perempuan. Untuk karya-karya terkait dengan isu gender dari perspektif agama, salah satu karya suntingan dari Arvind Sharma, Women in World Religions (SUNY Press, 1987) merupakan kar ya yang komprehensif tentang wacana keperempuanan dalam perspektif ilmu agama. Posisi perempuan dilihat dari berbagai perspektif, dan salah satunya mengenai wacana janda. Dengan memperhatikan posisi kajian agama terhadap wacana perempuan, maka dapat dikatakan bahwa untuk menjelaskan wacana tersebut pendekatan teologis mesti disandingkan dengan pendekatan sosiologis. Di samping merupakan karakter Ilmu Agama (Religious Studies) dengan pendekatan scientific cum doctriner, juga karena pendekatan teologis saja akan menjebak wacana janda dan menjanda pada diskusi yang membosankan dan kaku. Oleh karena itu, pendekatan sosiologis juga digunakan untuk meng-


Laporan Utama interpretasikan substansi pendekatan teologis dan konstruksi sosial sebuah wacana janda dan menjanda dalam setiap tradisi agama-agama. Sekalipun demikian, karena hendak melihat secara detail posisi janda dalam agama-agama, pendekatan teologis dengan penelusuran sumber doktrin tentang wacana janda dari teks-teks suci keagamaan dan sumber lain yang otoritatif menurut tradisi agama tertentu akan didahulukan sebelum menjelaskan interpretasi sosiologisnya. Dengan demikian, pada hakikatnya diskusi ini hendak mendeskripsikan posisi janda dan menjanda dalam konteks tradisi agama-agama tertentu. Tidak semua agama menjelaskan konsep janda dan menjanda secara terperinci, karena memang karakter dan tradisi agama satu dengan lainnya berbeda, namun secara umum agama-agama tersebut menjelaskan dalam rangka menguraikan posisi perempuan. Dengan demikian, keterbatasan perspektif dan bahan dalam agama-agama untuk menjelaskan hal ini –wacana janda dan menjanda, dapat diuraikan melalui konsep-konsep teologis tentang posisi perempuannya. Penjelasan tentang konsep posisi perempuan dalam agama-agama perlu dikaji dengan perspektif sejarah manusia itu sendiri. Sejarah panjang itu telah menunjukkan kepada kita bahwa wacana posisi perempuan dalam agama-agama merupakan cultural and social construction. Young menegaskan bahwa agama-agama besar dunia bahkan agama-agama suku merupakan agama yang patriarkhal –menonjolkan dominasi laki-laki (Young, 2002). Secara sosiologis munculnya dominasi itu dibentuk oleh kondisi sosial dan budaya manusia sejak awal manusia mengenal dan menjalani kehidupan dengan bermasyarakat atau komu-

nitas. Dengan mengutip Sanday, Young menjelaskan bahwa dominnasi laki-laki atas perempuan iru didasarkan pada pola pembagian kerja dan kuasa. Sejak manusia hidup dalam komunitas-komunitas, pola kerja sudah terkonstruks sedemikian rupa sehingga laki-laki merupakan pihak yang mencari makanan, memberi perlindungan, berperang, dan lain sebagainya, sedangkan perempuan bekerja di rumah, memasak, mengasuh anak, menjaga rumah, dan lain sebagainya. Pola kerja ini semakin kokoh setelah manusia mengenal pola kekuasaan, di mana raja atau pemimpin harus dari kaum laki-laki, sedangkan perempuan melengkapi posisi raja dalam menjalankan kekuasaannya. Pola relasi laki-laki dan perempuan seperti ini berjalan hingga saat ini (Young, 2002). Dengan pola seperti itu, laki-laki menjadi lebih dominan dalam berbagai hal daripada perempuan, bahkan ketika muncul kesadaran beragama posisi laki-laki dikukuhkan sedemikian rupa sehingga konsepkonsep simbol agama diidentifikasikan dengan maskulinitas, seperti dewa-dewa (dalam Yahudi, Hinduism, Agama Suku, dan lain-lain), tuhan yang maskulin (Yahudi, Kristen, Islam, Konghucu, Tao, dan lain sebagainya). Dengan mencermati sejarah panjang agama-agama, ternyata agama yang telah menjadikan dominasi laki-laki tersebut memperoleh pembenaran teologis sekaligus sosiologis, dan realitas sosial akhirnya semakin kukuh memposisikan laki-laki pada status “lebih” di dalam masyarakat. Dengan acuan penjelasan ini, dalam kehidupan keluarga dan sosial, perempuan akhirnya “mengikuti” pola patriarkhis tersebut, kecuali beberapa tradisi dalam jumlah yang sangat kecil yang matriarkhis, seperti Minangkabau di Indonesia.

Untuk konteks posisi janda dan kehidupan, Hinduisme, Buddhisme, Konghucu, Taoisme, Yahudi, Islam, Kristen (Katolik dan Protestan) menjelaskannya secara berbedabeda. Beberapa agama seperti Hinduisme, Islam, dan Kristen konsep janda dijelaskan secara mendetail, tetapi Konghucu, Taoisme, Buddhisme penjelasan terbatas pada uraian tentang janda itu sendiri, tidak pada posisinya dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, hak dan kewajiban, dan bagaimana agama menempatkan dalam kerangka teologis. Kemudian uraian janda di bawah ini merupakan gambaran umum masingmasing agama melihat janda dan menjanda, sehingga tidak secara detail pula dijelaskan. Dalam Hinduisme, terutama dalam kitab sruti (kitab suci otoritatif), konsep janda tidak diurai dengan jelas, hanya di Rig Veda Kitab IV: Hymn 18: 12, dan Kitab X, Hymn 40: 2 dan 8 disebutkan tapi bukan dalam konteks menguraikan poisisi janda. Konsep ini lebih terperinci diuraikan dalam Kitab Hukum Manu (Law of Manu –Manu diyakini sebagai Pembuat Hukum dalam Hinduisme). Dalam Hinduisme, khususnya kasta tinggi seperti Brahmana dan Ksatria tidak mungkin perempuan yang ditinggal mati suaminya bisa menikah lagi (Manu, V: 157-8), tetapi untuk kasta yang rendah diperbolehkan (Soorma, 1996: 15). Agama Hindu memposisikan perempuan yang ditinggal mati suaminya sebagai sati –perempuan mulia. Konsep inipun (perempuan yang ditinggal mati suami) dibedakan menjadi dua: sati dan janda (Young, 2002:100). Sati merupakan tradisi kuno bangsa Indo-Jerman (Arya) –leluhur bangsa India (Schrader, 1890 via Frazer, 1954: 207). Sati merupakan ritual “bakar diri” seorang perempuan bersama jasad suaminya di tumpukan kayu pembakaran. Ritual ini menan-

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

33


Laporan Utama dakan bahwa “kemuliaan” seorang istri akan selalu bersama suami demi kehormatan dan kemuliaan dirinya, dan ini diyakini sebagai tindakan suci (Atharvaveda, Kitab 18, III: 1). Perempuan ini (sati) akan memperoleh kemuliaan abadi dengan suami yang baru lagi (Rig Veda, Kitab 10, XVIII: 8; Atharva Veda, Kitab 18, III: 2). Meskipun pada Era Dinasti Moghul, Sultan Akbar telah melarang ritual ini, dan secara resmi tahun 1896 Lord William Bentinck –Gubernur Jenderal India dihentikan, namun penganut Hindu masih memaknai sati sebagai “simbol kemuliaan”. Adapun konsep janda adalah bentuk “ritual” lain dari seorang istri yang ditinggal oleh suami tetapi tidak menjalankan ritual “bakar diri”. Dalam ritual sebagai janda, seorang perempuan begitu diasingkan dalam masyarakat, dan diapun juga mengasingkan diri dari keluarga dan masyarakat, hidup sebagai tapasvini (pertapa perempuan), aparigrha (tidak memiliki apaapa), dan niskama (tidak menghendaki apa-apa). Dalam Islam, konsep janda dan hidup menjanda diuraikan secara terperinci, baik dalam kitab al-Qur'an (sebagai kitab paling otoritatif) maupun dalam hadis (kumpulan ucapan, perilaku, persetujuan, dan tradisi Nabi Muhammad saw.), atau dalam kitab-kitab tafsir dan karya para ulama muslim. Perempuan yang telah ditinggalkan oleh suaminya, baik karena perceraian ataupun meninggal, dihargai sebagai perempuan “sempurna” dan menjadi bagian dari keluarga, komunitas, dan masyarakat (QS. Al-baqarah [2]: 234, 240-1). Perempuan janda diposisikan sebagai bagian dari keluarga, dan masih punya ikatan dengan suami setelah kepergiannya yang disebut 'iddah. 'Iddah merupakan “masa tunggu” bagi perempuan untuk betul-betul “keluar” dari ikatan perkawinan.

34

Rifkamedia

Secara umum Islam menempatkan janda sebagai perempuan mulia, namun dalam kehidupan menjandanya masih terikat dengan konsep 'iddah. 'Iddah dalam Islam dibagi menjadi empat kategori: 'iddah bagi perempuan yang masih menstruasi setelah perceraian adalah 3 bulan (3 kali masa suci) (QS al-Baqarah [2]:228); 'iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah 3 bulan 10 hari (QS. Al-baqarah [2]: 2340; 'iddah bagi perempuan yang mengandung dan ditinggal suaminya (cerai atau meninggal) adalah sampai melahirkan; dan bagi perempuan yang ditinggal suami (cerai atau meninggal) tetapi belum berhubungan sexual maka tidak ada 'iddah (QS. Al-Baqarah [2]: 236). Perempuan yang telah habis masa 'iddah boleh menentukan kehidupan-

Agustus-Oktober 2012

Selama masa 'iddah karena suami meninggal dunia perempuan janda masih berada di rumah suaminya dan mengurus urusan keseharian, bahkan ketika perempuan tersebut bekerja di luar rumah kecuali jika dia menghendaki pindah sendiri (QS. al-Baqarah [2]:240), dan mendapatkan warisan dari suaminya. Kalau masa 'iddah karena perceraian, perempuan janda tidak di rumah suami, tetapi masih dalam tanggungan mantan suami baik ekonomi, sosial, perlindungan dan lain sebagainya sampai habis masa 'iddah. Konsep 'iddah bertujuan menjadi “kebaikan” (ma'ruf) bagi perempuan janda itu sendiri, keluarga suami, anak-anak, dan masyarakatnya (QS. Al-Baqarah [2]: 233-7). Dengan konsep 'iddah ini janda dan menjanda dalam Islam diposisikan dalam bentuk “penghargaan” yang

Perempuan yang telah habis masa 'iddah boleh menentukan kehidupannya sendiri sesuai kepatutan (ma'ruf) tanpa terikat oleh keluarga suaminya.

nya sendiri sesuai kepatutan (ma'ruf) tanpa terikat oleh keluarga suaminya. Sekalipun demikian, kalau posisi janda seorang perempuan muslim karena perceraian (thalaq) maka boleh kembali lagi (ruju') dengan suami yang menceraikan sebelum masa 'iddah habis, tetapi kalau masa 'iddah habis harus menikah kembali; dan ini berlaku sampai dua kali cerai (QS. Al-baqarah [2]: 227-8), kalau telah tiga kali cerai maka masa iddah berlaku dan suami yang menceraikan tidak bisa mengawininya lagi sebelum perempuan janda tersebut menikah dengan orang lain (QS. Al-Baqarah [2]: 230).

baik (ma'ruf) untuk meminimalisir kondisi emosional dan kecemasan secara psikologis, dan pengasingan sosial dari masyarakatnya. Dalam Agama Yahudi, konsep janda dan menjanda disebutkan dalam jumlah yang tersebar di Kitab Jewish Bible, tetapi tidak ada uraian terperinci tentang konsep janda tersebut. Penyebutan-penyebutan yang ada di dalam kitab suci merupakan bentuk keingingan untuk member perhatian terhadap posisi janda. Janda disebutkan bersama anak yatim dan diposisikan sebagai pihak yang lemah dan harus dilindungi dan tidak boleh ditindas,


Laporan Utama

bahka Tuhan sendiri yang melindungi janda (Tehilim 146:9; Devarim 27:19; Shemos 22:22). Meskipun demikian, di sisi lain, Alkitab menyebutkan bahwa janda yang tidak beranak merupakan figur yang paling rendah. Hal ini berangkat dari keyakinan Yahudi bahwa keturunan merupakan “harta” yang paling mulia (Carmody, 1987: 223). Begitu juga dalam hal kewarisan, janda dalam Yahudi merupakan pihak yang tidak mendapatkannya, yang berhak mengelola harta warisan adalah saudara laki-laki suaminya termasuk nafkah bagi dirinya. Kehidupannya tergatung pada belas kasih orang lain, dan inilah alasan mengapa janda termasuk pihak yang lemah dan harus dilindungi. Posisi ini juga menjadi alasan janda yang tidak mempunyai keturunan harus kawin dengan saudara laki-laki suaminya –meskipun telah beristri sekalipun, supaya dapat memberi keturunan bagi suaminya yang telah mati (B'reishis 38:8). Kemudian, bagi orang yang mau menolong janda akan diberi rahmat dari Tuhan (Devarim: 14: 29), dibela hak-haknya (Yeshayahu 1: 17), dan dilibatkan dalam acara-acara kemasyarakatan secara baik (Devarim 16: 11, 14). Pandangan ini dilanjutkan pada era Talmud (kitab-kitab tafsir atas Torah) dan para Rabbi, dan beberapa hal dalam Yahudi modern. Dalam keyakinan Kristiani, baik Katolik maupun Protestan, konsep janda dan menjanda dijelaskan lebih detail. Agama Kristen merupakan kelanjutan dari Yahudi dalam hal pengakuan terhadap posisi janda karena agama ini menggunakan juga Alkitab yang digunakan Yahudi dan menyatu dalam Bible Kristen yang dimasukkan dalam Perjanjian Lama (Old Testament). Oleh karena itu, sebagaimana Yahudi, Kristen juga menempatkan janda sebagai entitas

Agama Kristen tidak mengenal perceraian, karena perka-winan adalah suci dan hanya Tuhan yang menyatukan, maka manusia tidak bisa memisahkannya, dan hanya Tuhan yang memisahkannya yakni dengan kematian. Maka, janda dalam Agama Kristen berarti janda yang ditinggal mati suaminya (Maleakhi 2: 15-16). yang perlu dikasihi, sebagaimana Tuhan membela dan mengasihinya (Keluaran 22: 23; Ulangan 10: 18, Mazmur 68:6; 146:9; Amsal 15:25; Maleakhi 3:5). Agama Kristen tidak mengenal perceraian, karena perkawinan adalah suci dan hanya Tuhan yang menyatukan, maka manusia tidak bisa memisahkannya, dan hanya Tuhan yang memisahkannya yakni dengan kematian. Maka, janda dalam Agama Kristen berarti janda yang ditinggal mati suaminya (Maleakhi 2: 15-16). Alkitab juga memilah kelompok orang dalam mensikapi janda dan menjanda. Kelompok orang kudus (saleh) selalu menghormati, menyenangkan, dan menolong para janda (Ayub 24:21; 29:13; 31:16; Kisah Para Rasul 9:39), sedangkan orang ingkar menindas, tidak membela, dan merampas hak milik mereka (Ayub 22:9; 24: 3, 21; Yesaya 1:23; 10:2; Yehezkiel 22:7; Ulangan 27: 19; Mazmur 94:6). Meskipun posisi janda merupakan “kekurangan” pada diri perempuan kristiani (Yesaya 4:54), tetapi perempuan janda tetap harus “mengakui” kejandaan mereka dengan bersikap sebagai janda (Kejadian 38:14,19; 2Sam 14: 2, 5), yakni “benar-benar janda” seperti diuangkapkan karakternya dalam 1Timotus 15: 3-16. Penjelasan inilah

yang memposisikan janda yang “benar-benar janda” dihormati dan ditolong, bukan sebaliknya janda muda yang tejerumus pada “jalan sesat iblis” dengan melakukan perzinaan dan pelacuran (Matius 5:32). Konsep janda dan menjanda dalam keyakinan umat Kristiani sebenarnya tercermin dalam konsepkonsep di atas, dan di ringkaskan dengan jelas di 1Timotus 15: 3-16), dan ini menjadi dasar tindakan umat Kristiani dalam mensikapi posisi perempuan janda dan kehidupan menjanda. Kemudian, dengan status yang disandangnya, janda boleh bersuami lagi (Roma 7:3), tetapi tidak boleh dengan seorang imam (Imamat 21: 14). Agama Sikh secara umum melihat janda sebagai manusia yang lemah, sehingga posisinya dilihat tidak sebagaimana seorang istri yang masih disbanding suaminya. Dalam Adi Granth (kitab otoritatif Sikh) juga tidak diakui janda hasil perceraian, karena janda adalah perempuan yang ditinggal mati suaminya. Dengan demikian, perkawinan emnajdi sebuah ritual yang suci dan sang pengantin merupakan cerminan dari “true guru”, dan tidak mungkin dibiarkan menjadi janda (Adi Granth, kitab Siree Raag [5]: 3), dan andaikan ditinggal suami mati, dia akan meratap dan mengutuk dirinya sendiri (Adi Grath, kitab Raag Wadahaans [12]: 4. Meskipun kehidupan menjanda merupakan “penderitaan” lahir batin, perempuan janda harus selalu mengikatkan dirinya dengan suaminya (Adi Granth, kitab Raag Gauree [7]: 5). Dalam Buddhisme meskipun tidak dijelaskan dalam Tripitaka (Sutta, Vinaya, dan Abidhamma –kitab otoritatif Buddhisme), namun praktik aplikasi hukum Buddha dalam konsep janda dan menjanda selalu dikaitkan

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

35


Laporan Utama dengan inti pokok ajaran Buddha, yakni Catur Arya Satyani (empat kemuliaan utama) dan Hasta Arya Marga (delapan jalan kebenaran). Ini terlihat dari parkatik kehidupan sosial umat Buddha, di mana perceraian diperbolehkan tetapi dengan syarat yang ketat, yakni memperlakukan jandanya dengan adil, menghidupi, dan berbagi warisan secara imbang. Ar tinya perceraian tidak bisa dilakukan sepihak oleh suami saja. Dengan demikian, janda dalam Agama Buddha lebih terlindungi hakhak individu dan sosialnya (Soorma, 1996:18). Untuk agama-agama Timur, seperti Konghucu dan Tao konsepsi janda tidak begitu tajam dan terperinci. Sifat agama-agama ini lebih menonjolkan femininitas dalam simbolisasi keagamaannya. Dalam kitab suci Wu Jing (Kitab Lima: Shi, Shu, Yi, Li, Chun-qiu –kitab otoritatif Konghucu) tidak secara eksplisit berbicara masalah konsep janda dan menjanda, tetapi dalam Kitab Si Shu (Kitab Empat –kitab tafsiran dan tambahan) sedikit dibahas kehidupan janda dalam rangka menguraikan aturan tentang perkawinan dan keluarga. Janda dalam Konghucu merupakan posisi yang “kurang baik”, karena pada hakikatnya perkawinan merupakan suatu yang suci, maka perceraian tidak dapat dilakukan kecuali melanggar ch'i-ch'u (tujuh alasan mengeluarkan dari rumah), yakni ketidaktaan pada orang tua, gagal memberi anak laki-laki, persetubuhan, cemburu, mempunyai penyakit yang tidak dapat disembuhkan, banyak bicara, dan mencuri (Kelleher, 1987: 173). Ketika hal-hal tersebut dilakukan dan suami menceraikannya, maka posisi janda menjadi pihak yang kurang baik menurut Konghucu. Janda menurut Konghucu adalah ditinggal mati suaminya, dan

36

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

janda karena sebab ini maka perempuan janda tersebut tidak diperkenankan menikah lagi dengan orang lain (Kelleher, ibid.). Uraian-uraian ini memberikan gambaran bahwa posisi janda dan menjanda dikonsepkan secara berbeda antara agama satu dengan lainnya, dan sekaligus mengantarkan pada pemahaman bahwa posisi perempuan juga digambarkan secara beragam meskipun diposisikan secara berbeda pula. Meskipun masih banyak lagi konsep-konsep dalam agama-agama selain beberapa agama di atas, tetapi uraian yang menonjol tentang wacana janda dapat ditemukan pada uraian di atas. Untuk itulah kajian agama (religious studies) menjadi tools yang urgen dan utama dalam memahami setiap konsep yang tertuang dalam kitab suci agama dan realitas kehidupan umatnya, terutama terkait dengan wacana perempuan, dan lebih khusus lagi persoalan janda. []

Referensi Adi Granth, Shri Ghuru Granth Sahib, OCEAN digital library. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, 1992. Al-Qur'an al-Karim. C a r m o d y, D e n i s e L . ( 1 9 8 7 ) , “Juadaisme” dalam dalam Arvind Sharma (ed.), Perempuan dalam Agama-agama Dunia, terj. Syafa'atun Almirzanah dkk . Yogyakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Islam bekerja sama dengan McGill University-CIDA Project. Frazer, R.W. (1954).”Sati”, dalam Encyclopaedia of Religion and Ethics (ERE), ed. by James Hasting, Vol. XI. Edinburg: T&T Clark. Hebrew Bibel, dalam OCEAN digital library. Herbert, J. D., & Forman, E. M. (2006).

“Posttraumatic Stress Disorder”. dalam J. E. Fisher & W. O'Donohue (Eds.), 555-566. Practitioner's Guide to Evidence Based P s y c h o t h e r a p y . N e w Yo r k : Springer Publishing. Hiltz, Starr. (1979). “Widowhood: A Roleless Role. Dalam Marvin B. Sussmann (ed.), Marriage and Family. Collected Essays Series. New York: Hayworth Press. K e l l e h e r, T h e r e s a . ( 1 9 8 7 ) . “Konfusianisme” dalam dalam Arvind Sharma (ed.), Perempuan dalam Agama-agama Dunia, terj. Syafa'atun Almirzanah dkk . Yogyakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Islam bekerja sama dengan McGill University-CIDA Project. Sharma, Arvind (Eds). (1987). Women in the World Religions. New York: State University of New York Press. Soorma, C.S. (1996). The Status of Woman in World Religion and Civilization. Bombay: Dar-ul Isha'at-Kutub-E-Islamia. Veda, dalam OCEAN digital library. Waardenburgh, Jacques (ed.). (1973). Classical Approaches to the Study of Religion: Aim, Methode, and Theories of Research, 2 volumes. The Haque: Mountor & Co., NV. Whaling, Frank (ed.). (1997). Contemporary Approach to the Study Religion. Melbourne: California University Press. Yo u n g , K a t h e r i n e . ( 1 9 8 7 ) . “Introduction” buku Sharma, Arvind (eds.) (1987). Women in the World Religions. New York: State University of New York Press. Yo u n g , K a t h e r i n e . ( 2 0 0 2 ) . “Hinduisme”, dalam Ar vind Sharma (ed.), Perempuan dalam Agama-agama Dunia, terj. Syafa'atun Almirzanah dkk . Yogyakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Islam bekerja sama dengan McGill University-CIDA Project.


Lesehan Buku

PEREMPUANPEREMPUAN Berpengaruh di Panggung Dunia

Dibalik dominasi laki-laki dalam sejarah, ternyata ada sejumlah perempuan hebat yang menjadi penguasa “Aku tahu, aku memilki tubuh perempuan yang lemah, tapi aku memilki hati dan perut seorang raja. dan seorang raja Ingris pula—dan menerima cercaan keji bahwa, setiap pangeran Eropa seharusnya berani menginvansi perbatasan kekuasaanku. Untuk itu, daripada membiarkan ketidakhormatan tumbuh, aku akan menumpahkan darahku. Aku sendiri yang akan menjadi jendral kalian, hakim dan pemberi penghargaan atas jasa kalian.” Kutipan di atas dilontarkan oleh Elizabeth I (1533-1603) tatkala memerintah inggris di era keemasan. Elizabeth I lahir dari skandal terbesar abad ke-16. Ayahnya, Raja Henry VIII menceraikan istrinya yang seorang putri Spanyol, Catherine dan Aragon. Tidak berselang lama, Raja Henry VIII menikahi gundiknya yang memikat yaitu Anne Boleyn. Dari pernikahannya dengan Anne, Anne tidak melahirkan seorang putra sebagai pewaris tahta kerajaan, melainkan Eilzabeth yang lahir pada 7 September 1533 di

Istana Greenwich. Namun bayi itulah yang kelak menjadi Ratu Inggris. Kisah di balik kepemimpinan Elizabeth I hanyalah salah satu dari memorial sejarah tentang sejumlah perempuan yang pernah berkuasa di balik dominasi laki-laki. Buku yang berjudul ”Queen, Empress, Concubine, 50 Perempuan

Judul Buku

Penulis Penerjemah Penerbit Terbit Tebal Ukuran

: Queen, Empress, Concubine 50 Perempuan Penguasa Dari Zaman Kuno Hingga Zaman Modern : Caludia Gold : Ida Rosdalina : Alvabet : April 2012 : 152 halaman : 21 x 27 cm

Rifkamedia

Agustus- Oktober 2012

37


Lesehan Buku

Penguasa Dari Zaman Kuno Hingga Zaman Modern”, ini merupakan terjemahan dari judul aslinya ”Queen, Empress, Concubine, Fifty Women Rulers from the Queen of Sheeba to Catherine The Great”, memuat kisah sejumlah perempuan yang paling berpengaruh sepanjang sejarah. Gold adalah penulis dan peneliti yang bergelar master dalam bidang sejarah. Ia sadar benar bahwa menulis tokoh-tokoh masa lalu dengan cara yang benar pula. Semi biografis dan naratif, dengan tetap menyentuh konteks zaman, budaya, dan politik dimasa masing-masing tokoh yang dipilihnya. Itulah cara ia menulsi dalam buku setebal 152 halaman ini. Tidak mengherankan ketika peran yang dilakoni oleh masing-masing tokoh kontras satu sama lainnya. Gold dengan detail mewartakan jalan-jalan menuju kekuasaan yang tidak biasa. Perempuan-perempuan dalam naskah ini memulai perannya sebagai gundik, masyarakat sipil, pejabat pemerintah, selir bahkan Ratu atau Perdana Menteri pun. Ia paparkan pula beragam manipulasi, kelicikan, perselingkuhan, dan pembunuhan sebagai bumbu ambisi kepemimpinan. Susunan tokoh yang disajikan didalam buku ini dikelompokkan menjadi dua bagian: periode sebelum masehi (SM) dan periode masehi selama kurun 3500 tahun terakhir, membantu memudahkan pembaca. Namun dari sisi yang lain, sebagai orang yang berproses dalam kajian sejarah, Gold gagal menangkap sejarah sebagai sejarah ide, sejarah kebudayaan. Berbagai kisah pada periode sebelum masehi, banyak terinspirasi dari perempuan-perempuan yang namanya disebut dalam Al Kitab, layaknya Debora yang hidup pada abad ke-12 SM. Namanya disebut dalam dua bab singkat tentang Kitab

38

Rifkamedia

Para Hakim. Kebijakan Debora menguatkan posisinya sebagai pemimpin kharismatik. Debora, dikenal sebagai seorang hakim. Dengan kemampuannya, ia menjadi satusatunya pemimpin perempuan zaman itu. Ia menginspirasi bangsa Israel untuk bangkit melawan penindasan bangsa Kanaan, dan mengantarkan israel pada jalan perdamaian. Memasuki abad ke-10 Sebelum Masehi, predikat sebagai pezina pasif diperankan oleh Batsyeba, istri prajurit yang memiliki kecantikan yang memperdaya sang raja. Kecantikan yang dimilki Batsyeba menjadikan Raja Daud tergila-gila. Daud menikahinya setelah Batsyeba membunuh suami pertamanya Uria. Namun, menjelang akhir pemerintahan Raja Daud, Batsyeba memanfaatkan peluang dengan menjadikan Sulaiman—putra Batsyeba—sebagai pewaris kerajaan hendak dipegang Adonia, putra pertama Raja Daud dari istrinya yang lain. Batsyeba diduga melakukan manipulasi politik dengan terbunuhnya Amnon anak kedua Raja Daud oleh putra ketiganya Absolom. Dengan tersingkirnya putra-putra Raja Daud, Batsyeba berpikir tidak akan ada lagi pesaingnya untuk merebut tahta kerajaan yang kemudian dikuasainya. Pada tahun 90-an periode masehi, tokoh perempuan yang tak kalah hebatya adalah Benazir Bhutto (19532007). Lahir dari keturunan keluarga politik terkemuka, berpendidikan Barkeley dan Oxford memudahkan Bhutto untuk tampil di kancah politik. Keterlibatan Bhutto dalam perpolitikan Pakistan bermula ketika ayahnya Zulfikar Ali Bhutto, presiden dan perdana mentri pertama negeri itu, digulingkan dalam kudeta militer. Kala itu, Bhutto sempat diasingkan dan dipenjara 5 tahun. Penjara sepertinya telah merubah Bhutto menjadi seseorang yang berbeda dari

Agustus-Oktober 2012

sebelumnya. Sejak saat itu, Bhutto mulai fokus pada perlawanan terhadap rezim yang berkuasa. Perjuangan Bhutto tidak sia-sia, partai yang dulu pernah di usung oleh ayahnya, telah mengantarkan Bhutto sebagai perdana mentri perempuan pertama dalam sejarah Pakistan. *** Gagasan utama yang ingin disampaikan buku ini adalah interpretasi pada keterlibatan dan peran perempuan dalam panggung sejarah. Meski berangkat dengan cara-cara yang tak bisa, upaya-upaya positif yang mereka lakukan juga telah mendunia. Berbagai prospek perubahan dalam kontek sosial dan politik pernah mereka lakukan. Terlebih, kebanyakan tokoh dalam buku ini mengakhiri hidupnya dengan mengabdikan sisa hidup mereka untuk kepentingan rakyat. Sekiranya, buku ini turut menambah perbendaharaan referensi bagi pencinta kajian sejarah. Apalagi dengan maraknya kehadiran bukubuku berlabel sejarah yang kian bermunculan, semakin mempertegas bawa kajian sejarah tetap diminati kalangan pembaca. Kekuasaan, perjuangan dan kisah inspiratif adalah nilai tambah yang dapat dialamatkan untuk buku yang dilengkapi juga dengan gambar-gambar eksklusif disetiap judulnya. Ide-ide positif tentang perubahan patut diapresiasi bahkan diwacanakan. Terutama di tengah merosotnya citra dan partisipasi perempuan di dunia politik Indonesia dewasa ini. [] Ashabul Fadhli


Liputan

Transportasi Yang Mengarusutamakan

Perempuan Ruang aman bagi perempuan terbatas di ruang publik. Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan sangat sering menghiasi pemberitaan di media. Kasus kekerasan terhadap perempuan yang masih hangat dalam ingatan banyak orang, ialah maraknya kekerasan seksual di transportasi publik, khususnya di daerah Jakarta. Berdasarkan data dari Polda Metro Jaya, terdapat 40 kasus pemerkosaan yang terjadi hingga September 2011, tiga diantaranya terjadi di transportasi umum (vivanews.com). Kasus pemerkosaan di angkutan umum bahkan telah memakan korban nyawa. Livia Pavita Soelistio, seorang mahasiswi Universitas Bina Nusantara. Ia mengalami pemerkosaan secara brutal oleh beberapa sopir angkot “tembak” hingga meninggal, kemudian mayatnya dibuang di

Cisuak, Tangerang Banten dan ditemukan dalam keadaan yang mengenaskan. Livia merupakan salah satu korban dari potret buruk transportasi publik di Indonesia. Banyak perempuan diluar sana yang harus waspada setiap saat kala menaiki transportasi publik seperti bis, kopata, kereta api atau angkutan umum. Cermin dari buruk layanan transportasi publik terhadap perempuan ini diangkat menjadi tema majalah Rifka Media edisi ke 49 yang terbit pada bulan Mei 2012. Majalah diluncurkan ke masyarakat 5 Mei 2012 lalu, bertempat di Kedai Nusantara, Jalan Wahid Hasyim No 77 Nologaten. Acara menghadirkan tiga pembicara yaitu Elly Nur Hayati aktivis perempuan, Iwan Puja Riyadi dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM, Any Sundari Pemimpin Redaksi Rifka Media. Acara tersebut dihadiri

oleh kalangan mahasiswa, akademisi maupun masyarakat umum. Elly Nur Hayati berbagi cerita mengenai pengalamanya menggunakan transportasi publik di Swedia. “Tingkat kekerasan seksual di transportasi publik di negara tersebut sangat rendah. Orang-orang Swedia, sangat taat dengan aturan hukum yang diatur oleh pemerintah,” kata Elly. Ia tidak merasa was-was apabila menggunakan transportasi publik disana. Namun, tatkala ia kembali ke Indonesia, Elly sering mengalami cultural shock, ketika ia kembali ke Indonesia. Iwan dari Pustral mengatakan, bahwa kebanyakan aturan transportasi di Indonesia sangat banyak dan tumpang tindih. “Ini menimbulkan problematik bagi arah transportasi publik di Indonesia. Ketika transportasi publik mati, maka akan mati pula kehidupan kota karena kemacetan,” ungkapnya. Media ini diperlukan untuk memberikan perspektif bagi para perempuan dan masyarakat umum, untuk perduli dengan persoalan-persoalan Kekerasan terhdaap perempuan. Diperlukan perubahan cara pandang masyarakat. [Any]

Rifkamedia

Agustus- Oktober 2012

39


Liputan

Modul Manual Male Conseling Diluncurkan

Doc. Rifka Media

Perempuan korban kekerasan membutuhkan bantuan untuk dapat sembuh dari trauma yang dialami. Rifka Annisa bekerja sama dengan Rutgers WPF, Cahaya Perempuan Bengkulu, dan Mozaic meluncurkan Modul Male Conseling, Senin (21/5). Bertempat di Joglo Melati Jl. Kebon Agung No. 170 Mlati Krajan, Sendangadi, Yogyakarta dibuka Arif Noor Hartanto anggota DPRD Provinsi Yogyakarta, dan Sri Kusyuniart,i Rutgers WPF. Arif mengungkapkan apresiasi yang tinggi dengan peluncuran modul male conseling ini. “ini adalah langkah strategis untuk me-

40

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

lakukan penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan,” ungkapnya. Sebelumnya, tahun 2007, Rifka Annisa bekerjasama dengan Rutgers WPF Indonesia, LSM Internasional yang mempromosikan hak-hak seksual dan kesehatan reproduksi (SRHR) berbasis di Belanda, dan Women's Crisis Centre Cahaya Perempuan Bengkulu telah mengembangkan Program Konseling untuk Laki-Laki Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Inisiatif dan strategi ini dimulai dengan menganalisa data kekerasan terhadap perempuan dari Rifka Annisa dan WCC Cahaya

Perempuan Bengkulu. Ditemukan bahwa 85% -90% penyintas KDRT memutuskan untuk kembali ke pasangan mereka yang abusive Salah satu upaya menyebarluaskan isu tentang keterlibatan laki-laki adalah dengan mempublikasikan modul Konseling Laki-Laki (Male Counseling) yaitu berupa panduan bagi konselor yang melakukan konseling pada Laki-Laki pelaku KDRT untuk dapat menghentikan kekerasan dan menghormati pasangan. “Harapannya, pelaku KDRT dapat menghentikan kekerasan dan menghormati pasangan. Program ini juga bertujuan untuk melakukan perubahan social dalam masyarakat dalam menghentikan kekerasan terhadap perempuan” kata Shofia, Direktur Rifka Annisa. Diskusi menghadirkan Mei Shofia Romas (Rifka Annisa), Tety Sumeri (Cahaya Perempuan), Hofni Tebana (Rumah Perempuan), Zarina Majiet (MOZAIC, Afrika Selatan). Keempat narasumber memaparkan berbagai tantangan yang terjadi saat bekerja dengan laki-laki pelaku kekerasan. Banyak terjadi penolakan dari laki-laki untuk ikut serta, namun tidak sedikit yang mulai membuka diri untuk ikut terlibat. Gerakan laki-laki untuk penghapusan kekerasan terahadap perempuan adalah langkah strategis dan bisa menjadi awal dari transformasi sosial dalam masyarakat Penyembuhan trauma pasca terjadinya kekerasan membutuhkan waktu yang cukup lama. Selain itu, korban membutuhkan support tidak hanya dari konselor tetapi juga dari keluarga dan masyarakat. Bahkan, penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan tidak akan tuntas, jika pelaku kekerasan tidak melakukan pola perubahan perilaku. Sehingga pelibatan laki-laki sebagai partner potensial pengahapusan kekerasan sangat mutlak dilakukan. [Any]


Liputan

Pesan dari Global United Nations Youth Forum Anak muda adalah sosok yang atraktif dan penuh semangat. Jiwa anak muda penuh luapan untuk melakukan perubahan pada masyarakat. Ide-ide segar anak muda, adalah gudang pemikiran bagi setiap perubahan zaman. Semangat perubahan anak muda inilah yang mendorong UN Women menyelenggarakan Global United Nations Youth Forum Asia Pasific, dengan teman “Stop Violence Againts Women� Selasa-kamis ( 22-24/5) di Ploen Chit Novotel Hotel Bangkok. Acara yang berlangsung selama tiga hari yang melibatkan anak muda dari tiga puluhan negara Asia Pasifik. Anak-anak muda yang ikut dalam forum ini dipilih berdasarkan seleksi dari kerja-kerja penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan yang sudah dilakukan di negaranya. Dari Indonesia, terdapat empat orang anak muda yang berangkat. Salah satunya dari Rifka Annisa yang memperoleh kesempatan untuk ikut dalam forum ini. Forum tiga hari ini juga diikuti beberapa staff organisasi UN, seperti dari UNFPA, UNICEF, ESCAP dan lain-lain. Acara ini dipandu oleh Jost, trainer dari UN. Selama tiga hari Jost memandu anak-anak muda untuk mengikuti setiap sesi acara.

Doc. Rifka Media

Pada hari pertama, dibuka dengan pengenalan dari masing-masing negara dengan menggunakan sistem world cafe. Kemudian acara dilanjutkan dengan pengenalan tentang perbedaan gender dan sex. Selain itu para peserta bisa saling berbagi pengalaman dari masing-masing negara untuk dibagikan kedalam forum. Hari berikutnya masing-masing peserta melakukan refleksi dari setiap kerja-kerja penghapusan tin-dak kekerasan terhadap perempuan. Refleksi ini bisa menjadi acuan bagi masing-masing untuk melihat seberapa besar pengaruh dan keefektifan kerja-kerja yang selama ini dilakukan di negara masing-masing.

Hari ketiga ditutup dengan membuat rencana aksi selama satu tahun kedepan. Rencana ini selanjutnya akan ditindak lanjuti dalam kampanye bersama diseluruh dunia. Selain itu, forum ini juga menghasilkan deklarasi Bangkok yang berisikan sikap dari anak muda untuk menentang dan menghapus segala tindak kekerkasan terhadap perempuan. Dalam gerakan perubahan penghapusan kekerasan terhadap perempuan, anak muda adalah partner yang paling strategis. Mereka mampu menularkan perspektif anti kekerasan kepada kawan, keluarga, dan komunitas disekitar mereka. [Any]

Rifkamedia

Agustus- Oktober 2012

41


Memoar

Sempat Menjanda, Kini Bermasalah dengan Suami Kedua

Pergualatan perempuan menjalani stigma negatif seorang janda. Nama saya Muranti, sekarang umur saya 43 tahun. Dua kali ini saya menikah. Pada pernikahan pertama saya dulu, saya bercerai karena diterlantarkan suami. Sering ditinggal pergi dan tidak diberi nafkah, baik lahir maupun batin, serta harus menanggung biaya membesarkan ketiga anak saya. Saya menjalani status sebagai janda selama kurang lebih 5 tahun. Yah, terkadang ada beratnya juga. Kalau tetangga-tetangga saya semua baik, sudah maklum dengan pilihan saya. Mereka juga tetap melibatkan saya dalam kegiatan kampung. Tapi kalau di tempat saya bekerja, seringkali digoda laki-laki. Entah sekedar ucapan iseng sambil lalu, ataupun sampai minta nomor hp juga. Saya sendiri kadang risih dengan sikap-sikap tersebut. Akhirnya Tuhan mempertemukan saya dengan seorang lelaki yang 8 tahun lebih muda dari saya. Dia baik dan sopan. Tapi terus terang saya agak ragu karena jarak usia kami yang terpaut jauh, apalagi saya memiliki tiga orang anak yang masih butuh biaya dan dia masih jejaka. Ibunyalah yang mendesak saya untuk menerima pinangan anaknya tersebut. Pada awalnya saya bahagia dengan pernikahan ini. Namun lambat laun tabiat Ibu mertua saya berubah. Dia sangat mengatur suami saya, dan menyampaikan bahwa dia tidak suka dengan pernikahan kami. Saya bingung, padahal dulu dia yang menyuruh kami menikah. Ibu mertua selalu meminta semua harta yang dimiliki suami, dia tidak rela kalau suami saya menafkahi saya dan anak-

42

Rifkamedia

anak. Suami saya juga tidak bisa mengambil sikap. Lamalama dia jadi mudah marah dan uring-uringan terhadap saya maupun anak-anak. Hingga akhirnya ibu mertua mengungkit-ungkit status janda saya, dan menuduh saya tidak tahu diri menikahi anaknya yang masih jejaka. Saya sungguh merasa tersinggung dan tertekan dengan tuduhan tersebut. Suami saya pun akhirnya juga semakin kasar pada saya. Akhirnya dia pergi dari rumah entah kemana hingga berbulan-bulan sampai sekarang. Saya menceritakan kepergian suami saya pada ibu mertua. Dia mengomel dan menuduh sayalah yang menyebabkan anaknya kabur. Sayangnya, keluarga suami saya yang lain juga ikut menyalahkan saya. Saya dituduh sebagai janda yang tidak tahu diri. Sekarang saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya masih harus menghidupi ketiga anak saya seorang diri, dengan status yang diombang-ambing begini. Saya sakit hati, merasa dirugikan dan dikhianati. Jika dari awal memang tidak suka dengan janda, mengapa harus menikahi saya? Bukankah itu konsekuensi dari pilihan menikahi saya, janda dengan tiga orang anak? Jika sejak awal tahu akan menjadi seperti ini, saya lebih senang menolak pinangannya dulu. Saya berharap suami saya segera kembali dan menyelesaikan permasalahan ini. Kalaupun memang pernikahan kami sudah tidak bisa dipertahankan, saya ingin dia saja yang mengakhiri, karena saya tidak mampu harus menganggung biaya lagi dalam menyelesaikan persoalan ini. [] Indiah Wahyu Andari

flicker.com

Agustus-Oktober 2012


Wawancara

Doc. Aquarini

‘Atwin’ Aquarini:

PEREMPUAN HARUS BELAJAR SALING MEMAHAMI Menjadi janda bukan persoalan mudah bagi perempuan yang mengalaminya. Berbagai labeling negatif diperoleh dari masyarakatnya sendiri. Namun banyak pula yang tegar, berani, melawan stigma itu, dan berprestasi membanggakan. Satu di antara banyak mereka adalah Aquarini Priyatna Prabasmoro, yang akrab dengan nama Atwin, dosen, pengkaji, dan penulis feminisme. Wartawan Rifka Media, R.A. Hadwitia Dewi Pertiwi berkesempatan mewawancari melalui emailnya. Berikut petikan wawancara tersebut, kami sajikan kepada Anda semua.

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

43


Wawancara Selama ini janda kerap menerima stigma negatif dari masyarakat, penggoda, perebut suami orang, perusak rumah tangga dan sebagainya. Menurut Anda apa yang melatari ini semua? Untuk menjawab ini mungkin harus dilakukan penelitian lebih mendalam mengapa ini terjadi. Tetapi, secara umum dapat dikatakan selalu ada ketakutan terhadap seksualitas perempuan, yang muncul dalam berbagai wujud monstrous feminine, seperti kuntilanak, wewe gombel, dan lainnya. Atau dalam lagu populer seksualitas perempuan dapat membuat laki-laki “bertekuk lutut di sudut kerlingnya�. Saya berargumentasi bahwa stigma negatif itu muncul dari fakta bahwa janda adalah perempuan yang sudah mengenal hubungan seks, janda bukan perawan, artinya hubungan seks tidak akan memberikan perubahan fisiologis yang dapat dikenali orang lain. Kesempatan untuk melakukan hubungan seks, karena tidak seperti perawan yang akan kehilangan keperawanan jika melakukan hubungan seks. Janda tidak kehilangan keperawanannya, karena memang tidak lagi memilikinya. Dengan demikian, janda merupakan perempuan seksual yang tidak terikat pada laki-laki manapun. Dari sini muncul stigma janda sebagai perempuan penggoda, perempuan seksual, karena juga ada anggapan– yang mungkin juga benar – bahwa sekali seseorang melakukan hubungan seks, ia akan melakukannya lagi. Tetapi, tentu saja menjadi salah jika memandang persoalan manusiawi secara simplistik. Bahwa janda mempunyai kebutuhan seksual bukan berarti ia akan memenuhinya dengan lakilaki manapun, termasuk suami orang. Menurut saya, perempuan lebih mempunyai ketahanan diri menjaga hasrat seksualnya dibandingkan laki-laki. Bagaimanapun, ketakutan akan seksualitas perempuan sangatlah kuat di dalam masyarakat kita, maka stigma terhadap janda menjadi sangat mudah menemukan pembenarannya. Tetapi tidak jarang stigma negatif semacam itu justru datangnya dari kaum perempuan sendiri. Perempuan mencibir perempuan lain yang menyandang status janda. Bagaimana Anda menanggapi persoalan ini? Ini fakta yang menyedihkan. Saya berharap tidak terjadi, tetapi ini terjadi, bahkan pada saya sendiri. Ada dua kejadian menyakitkan yang saya alami ketika saya menjanda. Cibiran justru datang dari perempuan. Ironisnya stigma itu muncul dari orang dekat saya. Ia berpendidikan tinggi, dan berasal dari kelas sosial menengah atas. Lebih ironis lagi, satu dari perempuan itu adalah seorang janda (meski janda ditinggal mati). Seorang lagi perempuan yang sepanjang hidupnya dibesarkan oleh ibu yang menikah lebih dari tujuh kali, yang sepanjang hidupnya memiliki sebutan sebutan anak seorang janda. Saya selalu menganggap diri saya orang

44

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

yang kuat menghadapi berbagai persoalan, tetapi saya merasakan sendiri betapa berat dan menyakitkan berhadapan dengan stigma dan pelecehan itu. Dalam kasus yang pertama, 'Teman' saya yang janda menganggap saya berpotensi merusak reputasi seorang rekan kerja hanya karena saya dipotret duduk berdampingan dengan rekan kerja itu. Ia menyebutkan bahwa potret tersebut akan membahayakan karir laki-laki yang berada dalam potret itu. Laki-laki itu masih lajang, tapi karirnya bagus. Potretnya bersama saya, menurut teman janda saya itu, akan mengganggu kelancaran karir laki-laki itu. Saya menangis, tentu saja. Sakit sekali rasanya. Kejadian itu menunjukkan adanya hirarki dalam konteks janda di Indonesia. Janda cerai adalah janda yang jauh lebih buruk dibanding janda ditinggal mati. Hingga janda ditinggal mati merasa berhak untuk mengingatkan saya akan posisi saya yang berada dalam kasta perempuan paling rendah. Kejadian kedua adalah ketika seorang 'saudara', yang kini saya anggap tidak lagi layak saya sebut saudara. Seumur hidupnya Ia dibesarkan oleh ibu yang menjanda. Secara tidak sadar, mungkin, bercerita tentang perhelatan perkawinan besar-besaran yang diselenggarakan oleh bosnya untuk anak perempuannya yang menjanda. Ia mengeluarkan pernyataan yang melecehkan yang kurang lebih bermakna tidak layak pernikahan janda diselenggarakan secara besar-besaran. Menurut saya, setiap perempuan, selama ia atau keluarganya dapat merayakan setiap momen kebahagiaannya, mengapa tidak? Pernyataan 'mantan saudara' itu menunjukkan pola pikir sangat dangkal, janda bukan manusia yang setara dengan perawan. Polarisasi janda dan perawan adalah pola pikir patriarkal, salah satu sebab mengapa stigma dan cibiran menyakitkan terhadap janda terus muncul. Bagaimanapun, terlalu simplistik jika saya mengatakan banyak perempuan berpandangan negatif terhadap janda. Hanya dua dibandingkan banyak perempuan lain yang telah mendukung dan membantu saya menghadapi masamasa yang sulit itu. Perempuan-perempuan yang memahami keputusan sulit yang saya ambil, perempuanperempuan yang mendorong saya untuk mendapatkan hak saya sebagai perempuan yang bercerai dan harus mengasuh dua anak saya dari perkawinan saya yang terdahulu. Mungkin akan lebih bermanfaat jika saya katakan perempuan harus belajar saling memahami. Setiap orang mengalami perkawinannya secara berbeda. Ada kala keputusan sulit harus diambil, dan jika itu terjadi, perempuan harus belajar berempati, bukan larut dalam kecurigaan yang justru melemahkan perempuan itu sendiri. Kita mengetahui Indonesia terdiri atas bermacam budaya, Jawa, Sunda, Batak, Manado, Ambon, dan misalnya. Apakah aspek budaya tersebut turut


Wawancara mempengaruhi posisi janda dalam masyarakat? Apakah lain budaya lain pula penilaian dan penempatan sosok janda didalamnya? Setiap budaya mempunyai pandangan sendiri tentang segala sesuatu yang berlangsung pada masyarakatnya, termasuk pada perempuannya. Saya belum pernah melakukan penelitian mendalam tentang perbedaan perlakuan terhadap janda, tetapi menurut saya, budaya etnik di Indonesia tidak juga sepenuhnya berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa perlakuan terhadap janda juga tidak terlalu banyak berbeda, apalagi jika mengambil konteks urban. Mungkin pada daerah rural atau yang lebih terisolasi dari eksposure budaya lain, ada keunikan dan perbedaan sendiri, tetapi menurut saya pada dasarnya hal yang menjadi pertanyaan mendasar pada wawancara ini adalah persoalan mendasar bagi perempuan yang menjanda. Status janda kerap dipermasalahkan. Terutama ketika seorang laki-laki memilih janda untuk dinikahi, dan bukan seorang perawan. Cerita terbaru yang tengah marak di media massa adalah tentang penyanyi dangdut, Nasar, yang menikahi Musdalifah, seorang janda yang disebut memiliki kekayaan berlimpah. Ekspos media lantas menyebutkan bahwa Nasar menikahi Musdalifah hanya karena harta. Ini satu dari sekian contoh kecil dalam masyarakt kita , pendapat Anda? Pertama, media, terutama dalam konteks selebritas, akan mengomodifikasi apapun, perempuan jenis apapun, bentuk hubungan jenis apapun juga. Jadi, persoalan ekspos media terhadap Nassar dan Musdalifah harus juga dipahami sebagai cara media menjalankan roda bisnisnya. Kedua, dalam konteks media, perkawinan Nassar dan Musdalifah menjadi menarik karena ia mempunyai potensi untuk mendobrak nilai-nilai konvensional kita mengenai hubungan yang 'pantas', berupa hubungan heteroseksual dengan laki-laki lebih tua, lebih mapan dan karenanya menjadi pemberi nafkah utama keluarga dan perempuan yang lebih muda. Norma konvensional lain adalah laki-laki lajang selayaknya menikah dengan perempuan lajang, meski masyarakat dan media tidak pernah meributkan laki-laki duda yang menikahi perempuan lajang. Ini menunjukkan betapa media dan masyarakat kita masih sangat patriarkal dan tidak adil terhadap perempuan. Nilai perempuan janda rendah karena ia pernah berhubungan seksual (meski di dalam perkawinan). Janda kemudian diasosiasikan, jika tidak disamakan, dengan benda lain yang 'bekas pakai' dan karena itu nilainya turun. Di dalam masyarakat kita perempuan yang bernilai tinggi adalah perempuan 'perawan' yang belum melakukan hubungan seksual. Sama seperti komoditas lain, perawan kemudian disetarakan dengan barang yang masih disegel dan utuh.

Perempuan janda yang sudah beranak, dalam konteks seksualitas dan komoditas dianggap tidak lagi memberikan daya tarik seksual, paling tidak, tidak dalam konteks perkawinan. Bukan saja karena penurunan nilai sosial kulturalnya tetapi juga karena beban yang dibawanya, terutama anak-anaknya. . Norma yang menempatkan (dan membebankan) lakilaki sebagai pencari nafkah utama kepada laki-laki berpotensi untuk berdampak buruk tidak saja bagi laki-laki sendiri, yang dituntut untuk berpenghasilan lebih tinggi daripada pasangannya – yang jika tidak terjadi akan menjadi beban psikologis yang berat, melainkan juga bagi perempuan dan bagi hubungan keduanya. Bagi perempuan kerugiannya jelas. Ketika ia tidak berpenghasilan, ia harus menggantungkan dirinya sepenuhnya pada laki-laki dan dengan demikian dituntut untuk mengabdi sepenuhnya untuk kepentingan suami dan keluarganya. Ketika ia berpenghasilan dan bekerja di luar rumah, ia harus tetap memenuhi perannya sebagai pengatur, pengurus rumah tangga yang bermakna beban ganda. Ketika perempuan berpenghasilan lebih besar dari pasangannya, ia harus berhadapan dengan pasangan yang seringkali terancam ego-nya dan cemoohan masyarakat yang menganggapnya berpotensi untuk melalaikan urusan rumah tangga dan tidak menghormati suaminya. Janda karena suami meninggal lebih bisa diterima masyarakat dan imejnya lebih baik tinimbang janda karena cerai. Apakah menurut Anda demikian? Mengapa? Menurut saya, hal ini berhubungan dengan tatanan masyarakat kita yang menuntut perempuan untuk menjadi istri yang penurut, penyabar, pengasih, mendahulukan kepentingan keluarga (suami dan anak), dibandingkan dirinya sendiri. Perempuan yang menuntut cerai sangat rentan dituduh sebagai perempuan yangberkebalikan dari harapan masyarakat tadi. Perempuan yang menuntut cerai seringkali dituduh sebagai perempuan yang mementingkan dirinya sendiri dan tidak peduli kepada kepentingan keluarga, terutama anak-anaknya. Ini salah besar. Menurut saya, perempuan pada dasarnya sangat memperhatikan dan memprioritaskan kepentingan anak-anaknya. Oleh karena itu, logika yang harus dipertimbangkan, jika perempuan sampai menuntut bercerai, harus dipahami bahwa p e n d e r i t a a n d a n ke t i d a k ba h a g i a a n d i d a l a m perkawinannya sudah tidak dapat lagi ditahan. Tentu saja, tidak semua perempuan yang menuntut cerai seperti itu. Ada kasus-kasus perempuan menuntut cerai karena mempunyai kekasih gelap, mungkin juga karena suami jatuh miskin. Meskipun demikian, perempuan-perempuan yang saya temui dan berbicara mengenai perkawinannya kepada saya, adalah perempuan yang sangat menderita di dalam perkawinannya karena

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

45


Wawancara suami menyakitinya, sangat merendahkan dan tidak manusiawi. Perempuan yang menderita seperti ini, menurut saya, akan sulit memainkan perannya sebagai ibu secara optimal, bukan saja karena kesehatan mental dan psikologisnya terganggu, tetapi juga karena anak-anak tidak memperoleh contoh mengenai hubungan suami istri yang baik dari kedua orang tuanya. Di atas itu semua, perempuan yang mengalami perlakuan yang buruk terus menerus di dalam perkawinan membahayakan dirinya sendiri. Keputusan untuk menuntut cerai mungkin bukan yang terbaik, tetapi keputusan itu harus diambil oleh banyak perempuan justru untuk mengamankan posisinya sebagai ibu, sebagai manusia. Tetapi, dalam budaya yang patriarkal, perempuan tidak boleh memikirkan dirinya sendiri. Budaya patriarki tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk mencintai dirinya. Budaya patriarki secara terus menerus menuntut perempuan untuk berkorban untuk laki-laki dan kepentingan laki-laki. Meminta cerai adalah bentuk perlawanan terhadap konstruksi patriarki. Dan karena itu perempuan yang melakukannya mendapat 'hukuman' berupa stigma-stigma sosial kultural yang terus menerus dilekatkan kepadanya. Dengan mencermati hal itu, dapatlah dimengerti mengapa perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, tidak mengalami stigmatisasi yang sama kerasnya dengan janda cerai. Janda ditinggal mati adalah 'korban', adalah penerima kodrat Ilahi yang tidak dapat dielakkannya. Ia tidak dapat begitu saja dikategorikan sebagai perempuan yang melawan kodratnya seperti para janda cerai. Kasus yang pernah masuk di Rifka Annisa, seorang istri lebih memilih terus menerima perlakuan kekerasan dari suaminya (KDRT), daripada harus dicerai dan menjanda. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal tersebut? Pendapat saya berhubungan dengan istri tersebut, dan dengan Rifka Annisa sebagai lembaga yang berpotensi melindungi dan membantu perempuan yang mengalami KDRT. Pada sisi sang istri, terutama yang tidak berpenghasilan, ketakutan menjadi janda adalah ketakutan akan terancamnya kehidupannya dan ketakutan akan stigma yang dilekatkan jika menjadi janda. Ketakutan itu adalah ketakutan yang nyata harus dihadapinya jika ia memang memilih bercerai. Ancaman dan stigma sosial kultural akan semakin keras ketika janda tidak mempunyai penghasilan. Orang akan berasumsikan ia akan memanfaatkan seksualitasnya untuk memperoleh perlindungan ekonomi baru (dari laki-laki lain). Bahkan pada janda yang berpendidikan tinggi, mempunyai karir sendiri, stigma sebagai perempuan penggoda, seksual, dan seterusnya terus melekat, sebagaimana saya sendiri pernah mengalaminya dalam masa menjanda saya. Saya bayangkan perempuan yang

46

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

lebih tidak beruntung dari saya akan mengalami tekanan yang jauh lebih hebat. Sebagai feminis yang mengecap pendidikan tinggi dan mempunyai karir dan penghasilan sendiri, saya juga menjadi korban, mengalami kesakitan yang panjang akan stigma tersebut. Oleh karena itu, di satu sisi saya dapat memahami ketakutan istri yang enggan memutuskan untuk bercerai dari suaminya meskipun mengalami KDRT. Di sisi lain, saya melihat bahwa lembaga seperti Rifka Annisa sesungguhnya berpotensi untuk membantu perempuan untuk berani melawan perlakuan buruk yang diterima dari suaminya. Rifka membantu menguatkan jika ia memutuskan bercerai dari suami. Saya sendiri lebih cenderung berpendapat bahwa laki-laki pelaku KDRT tidak dapat 'disembuhkan' dan karena itu setiap perempuan yang mengalami KDRT berada di dalam bahaya dan selayaknya dibantu dan dikuatkan untuk melepaskan diri dari perkawinannya itu. Meskipun demikian, harus dipahami bahwa pengalaman sebagai janda dapat menjadi trauma yang sama buruknya dengan trauma berada dalam perkawinan dengan suami yang melakukan KDRT. Oleh karena itu, perlu dipikirkan langkah yang strategis untuk bermanuver dalam mengambil pilihanpilihan yang sama-sama sulit. Apa yang bisa dilakukan perempuan agar mampu keluar dari 'lingkaran setan' kekerasan dan menjadi lebih berdaya, terutama mereka yang ber status janda? Seperti yang sudah saya katakan diawal, mengikuti pendapat Simone de Beauvoir, penting untuk dipahami oleh perempuan bahwa bekerja adalah modal penting bagi dirinya. Bekerja membantunya mengembangkan k a pa s i t a s d i r i n y a , m e m b u a t n y a b e rd a y a d a n m e m ban tu n ya m e n ge m ban gk an j ari n gan dan pertemanan yang akan membantunya jika sesuatu yang buruk seperti perceraian harus terjadi. Ketika saya mengatakan 'bekerja' tidak selalu dalam konteks sempit seperti harus pergi ke kantor atau memiliki kantor, tetapi mempunyai 'ruang' sendiri untuk mengembangkan dirinya baik secara personal maupun secara ekonomi. Perempuan masih bisa bekerja dari rumah, tetapi ia tetap harus mempunyai 'mainan' sendiri di luar fungsinya sebagai ibu dan istri. Dengan bekerja perempuan dapat mengembangkan networking, bahkan bagi perempuan janda, mereka dapat berkumpul dan saling menguatkan juga. Seringkali ketika kita mengatakan 'janda' yang terbayang adalah perempuan kelas menengah ke bawah yang tidak mempunyai 'modal budaya' yang tinggi, seperti pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya, tetapi sesungguhnya banyak sekali 'janda' yang berpendidikan tinggi, yang menjadi single parent dan berhasil membawa anak-anaknya memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang layak. [witia]


Profile

Menganggit Feminisme dari Tubuh dan Fase Hidupnya Sendiri Fase hidupnya menjadi bagian dari kajiannya tentang feminisme. Menstruasi, kehamilan, pilihan untuk menikah, dan pilihan untuk bercerai, menjadi janda. Tema-tema yang sungguh berbeda dari kajian feminisme pada umumnya. Namun justru mempunyai kekuatan kontekstual yang besar. Aquarini Priyatna Prabasmoro. Itulah nama lengkap ibu dua anak yang akrab dengan sapaan Atwin ini. Minatnya terhadap kajian feminisme, tidak hanya pada level paling mendasar yaitu akademis-ilmiah belaka. Tetapi ia berada pada level reflektif feminisme, bagaimana perempuan berinteraksi dengan dunia, dengan “mitranya”, yakni lakilaki, dengan masyarakat, atau bahkan dengan dirinya sendiri. Ia menganggit feminisme dengan cara pandang sehari-hari. Sangat personal. Blak-blakan. Ia melakukan dengan segenap apa yang dia punya. Mungkin konsep ini bisa disebut sebagai menulis feminism dengan “saya” yang kontekstual, historis, sangat personal, dan dan menjunjung nilai keilmuan lokalnya. Sebagai penulis, ia cenderung menggunakan gayagaya lepas. Bisa dijumpai dalam beberap esai-esainya yang bernas yang berserakan di media-media di Indonesia. Belum lagi naskah ilmiahnya yang bertebaran di jurnaljurnal. Tidak jarang kita temukan dalam tulisannya pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang tajam. Atwin menggunakan setiap detail dirinya, tubuh, pengalaman, fase hidup sebagai bahan kajian feminisme. Seolah ia ingin menyampaikan bagaimana menjadi seorang feminis tanpa berkiblat pada barat. Dengan tubuhnya Atwin bertutur mengenai tubuh menjadi “arena perang” makna dari setiap ideologi. Secara fisik tubuh (perempuan) harus tunduk pada nalar (laki-laki), seksualitas perempuan mengarahkan perempuan pada pemaknaan tubuhnya semata di sekitar kerangka fungsi sebagai istri, pengurus rumah tangga, pemenuh kebutuhan seksual, dan fungsi reproduksi; bahkan, keperempuanan itu sendiri kadang dianggap monstrous, tak berterima, dan membahayakan.

Seluruh fase hidupnya menjadi bagian dari kajiannya tentang feminisme yang digeluti. Menstruasi, kehamilan, pilihan untuk menikah, dan pilihan untuk bercerai, menjadi janda. Tema-tema yang sungguh berbeda dari kajian feminisme pada umumnya. Namun justru mempunyai kekuatan kontekstual yang besar. Pengajar di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, dan dosen tamu, Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta ini merampungi pendidikannya di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Pengutamaan Sastra, (91), Institute for Women's Studies, Lancaster University, Britania Raya,(2001 – 2002), Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, (1999- 2003), Centre for Women's Studies and Gender Research, School of Political and Social Inquiry, Faculty of Arts, Monash University Australia. (2006-2011). Atwin juga telah menghasilkan 3 buku yang ia arsiteki sendiri, Becoming White : Representasi Ras, Kelas, Feminitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun, Pemikiran Feminis, terjemahan dari “Feminist Thought – A More Comprehensive Introduction” Rosemary Putnam Tong, dan Kajian Budaya Feminis – Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Atwin dengan caranya yang cair mengungkapkan capaian-capaian dalam hidupnya “Menyelesaikan studi S3 tepat waktu walaupun sambil mengalami perceraian. Dua anak yang penuh pengertian dan membanggakan, hubungan perkawinan yang membahagiakan, dan hubungan dengan mantan suami yang baik”.[Rys]

Rifkamedia

Agustus-Oktober 2012

47


Esai & Foto

Pahlawanku Sayang,

Jandamu

Malang

“Saya ikut dalam perjuangan tersebut, rumah orangtua saya dipakai oleh anakanak Tentara Pelajar ketika mereka bergerilya. Prajurit berbaret merah, memeriksa rumah saya”, ujar Ibu Soetarti, Janda pahlawan, salah satu nominee People of The Year 2010 versi Harian Seputar Indonesia. Jika mendengar kata “Janda Pahlawan”, kita bisa mengingat nama Ibu Soetarti dan Ibu Rukmini. Bersama Ibu Timoria (janda pensiunan Perusahaan Jawatan Pegadaian) dan Bapak Soegito (pensiunan pegawai Pegadaian yang juga Pahlawan Nasional) menyangkut kasus persengkataan dengan Perusahaan Umum Pegadaian (Perum Pegadaian) mengenai rumah dinas di bilangan Cipinang, Jakarta Timur. Rumah kediaman Ibu Soetarti merupakan rumah negara golongan III yang berdasarkan peraturan pemerintah no. 40 tahun 1994 tentang rumah negara dan telah ada preseden tahun 1991 Rumah Dinas bisa dibeli oleh penghuni rumah tersebut. Ibu Soetarti dan keluarganya serta tiga orang lainnya berusaha mengajukan hak milik atau membeli rumah dinas yang mereka tempati. Berulangkali mereka melakukan pengajuan pemilikan namun tidak mendapat respon dikabulkan, bahkan pada tahun 20 Agustus 2008 Perum Pegadaian mengeluarkan Surat Perintah Pengosongan Rumah Dinas/ Jabatan kepada mereka dan diberi batas

48

Rifkamedia

Doc. Caron

waktu sampai dengan 31 Desember 2008 untuk mengosongkan rumah. Surat Perintah Pengosongan tersebut kemudian ditanggapi ke-empat orang penghuni melalui surat kepada Direktur Umum Perum Pegadaian. Namun surat tersebut ditanggapi oleh Direktur Umum dan SDM pada 11 November 2008, yang menyatakan rumah masih dibutuhkan untuk pejabat aktif sehingga surat permohonan ke-empat orang lanjut usia tersebut ditolak dan tidak diteruskan kepada Menteri Keuangan. Mereka kemudian menggugat surat Dirum dan SDM tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Timur. Belum selesai proses Kasasi di Mahkamah Agung, Perum Pegadaian kemudian mengkriminalisasi Ibu Soetarti, Ibu Rusmini, Ibu Timoria, dan Bapak Soegito ke Polres Jakarta Timur dengan tuduhan pidana melakukan penyerobotan lahan/tanah orang lain (Pasal 167 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana 9 bulan) dan pidana menempati rumah yang bukan haknya (pasal 12 ayat (1) jo Pasal 36 ayat (4) UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman). Terdapat berbagai dugaan rekayasa dan penyimpangan prosedur selama proses tersebut. Bahkan pihak keluarga Ibu Soetarti harus mengajukan permohonan untuk tidak dilakukan penahanan sebagai terdakwa dengan ancaman dua tahun penjara.

Agustus-Oktober 2012

Pada akhir keputusan, Pengadilan Negeri Jakarta Timur membebaskan tuntutan tersebut. Penuntutan pidana masih digantungkan pada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang masih dalam kasasi. Dengan demikian, penuntutan pidana terhadap mereka dinyatakan masih prematur.??Oleh karena itu, penuntutan tidak dapat diterima dan mereka dinyatakan lepas dari segala tuntutan. Ibu Soetarti Soekarno (81 tahun), janda alm. R. Soekarno, pernah bekerja di Perusahaan Jawatan Pegadaian (Perjan Pegadaian). “Saya bertemu dengan Bapak ketika bekerja di Pegadaian, Solo, yang dahulu bekerja sebagai agen controller”, ujar Ibu Soetarti. “Awalnya rumah tersebut adalah milik Perjan Pegadaian,” lanjutnya. Alm. Bpk Soekarno, keanggotaan Brigade 17 Tentara Pelajar Indonesia dan dianugerahi gelar Pahlawan dan Ibu Soetarti adalah mantan Pegawai Negeri Perusahaan Jawatan tersebut, di bawah Departemen Keuangan, pada tahun 10 April 1990 badan hukumnya Perjan berubah menjadi Perum. Ibu Soetarti menempati rumah dinas tersebut karena almarhum suaminya mendapatkan surat penunjukan rumah dinas ketika mengabdikan diri di Perjan Pegadaian. Sampai pada saat ini, Ibu dari enam orang anak tersebut masih tetap tinggal di rumahnya bilangan Cipinang bersama anak-anaknya. [Caron]


Dapur Rifka Annisa

Dari Relawan untuk Perempuan Berkeadilan Relawan. Beberapa tahun terakhir kerap menjadi perbincangan di dalam media, koran, dan lingkup akademik. Kerelawanan menggeliat pasca terjadinya bencana dibeberapa wilayah Indonesia. Di mulai tahun 2004,

tsunami meluluhlantakkan bumi Aceh. Bencana yang merenggut nyawa lebih dari 200.000 ribu orang ini telah menggugah banyak orang untuk melakukan kerja-kerja kerelawanan. Disusul gempa bumi, bencana

letusan Gunung Merapi, membuat semua orang mulai dari anak muda hingga orang tua di seluruh Indonesia bahu membahu membantu penanganan saat dan pasca bencana. Dari turun tangan langsung hingga kepedulian dari jejaring sosial. Barangkali, kerja-kerja kerelawanan di Indonesia masih dipandang sebelah mata. Kerja kerelawanan dianggap kerja sampingan, belum bisa memenuhi kebutuhan dasar pekerjanya. Sehingga wajar bila kerjakerja kerelawanan tidak terlalu diminati, terutama di kalangan anak muda.

Rifkamedia

Agustus- Oktober 2012

49


Dapur Rifka

Dalam sejarahnya, kerja-kerja kerelawanan berawal dari kegiatan agama yang dilakukan oleh pemuka agama melalui amal. Beberapa agama menganjurkan setiap umatnya melakukan dan menularkan semangat kerelawanan dengan membantu umat lainnya. Bantuan ini bersifat pamrih, imbalannya hanya dari pahala Tuhan. Perkembanganya, kerja-kerja kerelawanan menular pada masyarakt yang memiliki kepedulian sosial. Prinsip ini kemudian diadopsi Ratu Inggris untuk memasukan isu kerjakerja kerelawanan dalam UndangUndang Kemiskinan Inggris, dengan harapan tingginya angka kemiskinan di Inggris bisa teratasi dengan mengikutkan warga Inggris dalam kerja-kerja sosial saat itu. Tentu saja, pengambilalihan kerja-kerja kerelawanan oleh masyarakat umum membuat kerja kerelawanan menjadi sebuah gerakan sosial perubahan yang berpengaruh ke seluruh dunia. Banyak orang yang kemudian tertarik untuk menjadi relawan sebagai sebuah pekerjaan yang tidak semata demi mendapatkan imbalan, tetapi sebagai sebuah aktualisasi diri dan kepuasaan karena telah membantu sesama dalam wujud kemanusiaan yang nyata. Proses inilah yang menginspirasi perjalanan Rifka Annisa membentuk kerja-kerja berbasis kerelawanan pada awal berdiri. Para pendiri Rifka Annisa, sejak awal menekankan pentingnya kerja kerelawanan dalam membangun sebuah organisasi dengan tujuan gerakan sosial perubahan: penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan. Banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan, membuat cita-cita kehidupan tanpa kekerasan terhadap perempuan menjadi mustahil tanpa kerja kerelawanan dari orang yang peduli terhadap isu ini. Pun demikian, Rifka Annisa merasa proses pengorgani-

50

Rifkamedia

sasian kerja kerelawanan, memiliki karakter yang unik. Keja-kerja kerelawanan tidak bisa diukur dalam kerangka materi semata, tetapi ia merupakan wadah aktualisasi dari jiwa seseorang. Sehingga orang yang bekerja sebagai relawan di Rifka Annisa pun, memiliki ruang untuk membantu penanganan kerja penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan, menurut minat dan latar belakang yang mereka miliki. Kini, Rifka Annisa melihat bahwa kerja-kerja kerelawanan mutlak dilakukan dalam melakukan gerakan perubahan sosial. Rifka Annisa meyakini, perubahan dapat dilakukan. Apabila setiap orang yang terjun ke dalam isu kekerasan terhadap perempuan memiliki semangat, minat, dan ruang yang luas untuk melakukan aktualisasi kerja kerelawanan sesuai dengan kata hati mereka. Rifka Annisa melihat bahwa relawan memiliki peluang yang besar untuk melakukan perubahan di komunitas. Peluang besar untuk perubahan yang dilakukan oleh relawan ini, menjadi dasar menciptakan perempuan-perempuan yang memiliki kapasitas memimpin baik di komu-nitas atau pun dalam skala yang lebih besar. Artinya relawan bisa embrio munculnya perempuan-perempuan, yang konsern dalam isu kekerasan guna memberikan pengaruh pada masyarakat untuk melakukan perubahan. Pola inilah yang kini diterapkan Rifka Annisa, dengan menggandeng relawan perempuan untuk menjadi pemimpin komunitas yang menjadi dampingan Rifka Annisa. Semangat itu menjiawai semua lini dan divisi. Tak kecuali, Rifka Media. Rifka Media, dengan formasi relawanrelawan menganggil sebuah majalah semi jurnal yang menyuarakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Tim ini melakukan kajian, ber-

Agustus-Oktober 2012

diskusi, menulis, dan mengembangkan pengetahuan-pengetahuan, dan wacana berbasis isu perempuan. Menyadari kerelawanan semacam ini sedikit berbeda dengan kerja-kerja kerelawanan pada area-area bencana, maka dibutuhkan penguatan isu dan ketrampilan teknis sebagaimana yang dibutuhkan dalam media-media mainstream. Tim ini awalnya diharapkan mampu membangun pengetahuanpengetahuan, sekaligus pada saat bersamaan mampu mendokumentasikan kerja-kerja perubahan yang diusung dan dilakukan oleh Rifka Annisa secara umu. Mampu membangun basis komunitas yang kedepan akan melakukan kerja penyebaran informasi dan kampanye media kepada publik, agar publik memiliki pengetahuan tentang isu perempuan, yang tidak lagi bekerja dalam tatanan aksi semata, tetapi memiliki refleksi secara fisiologis atas kerja-kerja yang telah lama dilakukan. Media ini sebagaimana sudah kami sebut diatas, memiliki pemikiran yang sederhana, menjadi media yang mampu mendokumentasikan kerjakerja kerelawanan dalam peghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan, memformulasikan gagasan, dan mengembangkan pengetahuanpengetahuan berbasis perempuan dan cita-cia kecil: perempuan berkeadilan. Dari relawan untuk Anda semua para pembaca. Dengan demikian, akan ada pengabdian yang ikhlas sebagai seni menjalani hidup.[]

M . Saeroni Pemimpin Umum Rifka Media



N A S A R E K

E K TOP

S

M A L DA

N A R PACA

BUKAN sekedar MITOS belaka RIFKA ANNISA Jl. Jambon IV Komplek Jatimulyo Indah Jatimulyo Yogyakarta 55242,

Hotline: 0274 553333 (Hunting)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.