Rifka media No.51 "Perempuan Mencari Keadilan"

Page 1

Bertaruh dengan Pengalaman: Mewacanakan Perempuan, Meneriakkan Kesadaran

Rifka Media No. 51 November 2012-Januari 2013

Rifkamedia Perjuangan Perempuan Berkeadilan

PEREMPUAN MENCARI KEADILAN ISSN 2301-9972

9 772301 997006


Bacaan Mencerdaskan Telah Hadir di Toko Buku Kesayangan Anda

Rifkamedia Perjuangan Perempuan Berkeadilan

Customer Service: 0274-553333, Email: rifka-media@rifka-annisa.or.id


Rifkamedia

DAFTAR ISI

No. 51 November 2012-Januari 2013

Daftar Isi | 03 Surat Pembaca | 04 JENDELA Untuk Peradilan yang Lebih baik | 05 LAPORAN UTAMA Asa Perempuan Tak Terungkap Di Tengah Kekerasan Oleh: Defirentia One M. | 07 Peradilan Agama: Pintu Pandora Kekerasan dalam Rumah Tangga Oleh: Ashabul Fadhli dan Afni Ritonga | 13 Alternatif Penyelesaian Kasus KDRT di Luar Pengadilan: Antara Efisiensi dan Keadilan bagi Korban Oleh: Hani Barizatul Baroroh dan Laksmi Amalia | 19 Perempuan, dan Keluarga dan Upaya Hukum untuk Keluar dari Konflik Oleh: Abdul Aziz | 25 Mandatori Konseling dalam KDRT: Perubahan Perilaku Aktor Kekerasan dalam Aturan Hukum Oleh: Saeroni | 31 LESEHAN BUKU Sihir Barat dan Kesadaran Warna Kulit Perempuan Indonesia | 37 LIPUTAN Perempuan dan Kekerasan Atas Nama Agama | 39 Rifka Annisa: Laki-laki Harus Ambil Peran Atasi KDRT | 40 Jambore WCC 2012: Meretas Peluang dan Tantangan | 41 MEMOAR Akhirnya Ku Kalahkan Rasa Marahku | 42 WAWANCARA Ninik Rahayu: Family Court, Perlu Revisi UU Kekuasaan Kehakiman | 44 PROFIL Pribadi yang Menyuarakan Kebisuan | 47 ESAI & FOTO Dewasa Muda Memilih Pasangan di Masyarakat Ngada | 48 DAPUR RIFKA Bertaruh dengan Pengalaman: Mewacanakan Perempuan, Meneriakkan Kesadaran | 49 Galery | 51

Penanggung Jawab: Suharti (Direktur Rifka Annisa) Pemimpin Umum : Muhammad Saeroni Pemimpin Redaksi : Any Sundari Sekretaris Redaksi: Defirentia One M. Dewan Redaksi: Dhita Selfhia Linggasari, R.A. Hadwitia Dewi Pertiwi, Hani Barizatul Baroroh, Ashabul Fadhli, Deferentia One M, Shalina Nur Hanna, Laksmi Amalia, Tomi Apriando, Arifuddin Kunu, Niken Anggrek Wulan Fotografer: Caron Toshiko Monica Sutedjo, Layouter: Ulin Niam Alamat Redaksi dan perusahan Rifka Media: Rifka Annisa Women's Crisis Center Jalan Jambon IV Komplek Jatimulyo Indah Yogyakarta Telepon/Fax: (0274) 553333 website: www.rifka-annisa.or.id, email: rifka-media@rifka-annisa.or.id., Facebook: Rifka Annisa WCC, Twitter: @RAWCC Redaksi menerima tulisan dari pembaca sekalian terkait dengan isu-isu perempuan kepada khalayak yang lebih luas. Kritik dan saran kami tunggu di rifka-media@rifka-annisa.or.id.

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

03


Dear Rifka Annisa. Saya Silvi dari Jogja. Saya pernah mendengar Rifka Annisa memiliki divisi pengorganisasian masyarakat. Nah, apa sebenarnya yang biasa dilakukan Rifka Annisa dalam kerja-kerja pengorganisasian? Terima kasih. Silvy, Jogja Rifka Annisa memang memiliki Divisi Pengorganisasian Masyarakat dan Advokasi. Divisi ini melakukan pendampingan di komunitas-komunitas di Bantul, Yogya dan Gunung Kidul. Sekarang divisi ini sedang melakukan upaya advokasi Perda Perlindungan Perempuan dan Anak di Gunung Kidul dan advokasi integrasi UUPKDRT di Pengadilan Agama

Kepada Rifka Annisa. Saya John dari NTT. Saya dengar Rifka Annisa memiliki Aliansi LakiLaki Baru, apakah kegiatan Laki-Laki Baru tersebut? Terima kasih. John, NTT

Surat Pemba ca

Pak John, Ya, Rifka Annisa memang tergabung dalam Aliansi Laki-Laki baru, dan Rifka Annisa merupakan inisiatornya. Aliansi ini sekarang tengah berkampanye untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat umum tentang maskulinitas positif pada laki-laki agar mendukung penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.

Hallo Rifka. Bagaimana proses konseling yang dilakukan di Rifka Annisa. Apakah klien harus langsung datang ke kantor Rifka atau bagaimana? Salam Innes. Innes, Jogja Mbak Innes yang baik. Untuk konseling bisa dilakukan dengan berbagai cara, jika klien memang tidak bisa datang langsung ke kantor, konseling bisa dilakukan via email, facebook, sms, telepon, atau jika klien tidak memungkinkan akses datang ke kantor, Rifka Annsia biasanya melakukan outreach (datang ke rumah klien). Kami buka setiap hari senin-jumat, pukul 087.30-16.30. Untuk no teleponnya (0274) 553333 atau Hotline 24 jam di (0274)7431298

Apakah rencana kegiatan yang akan dilakukan Rifka untuk menyambut 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2012 ini? Salam Kurnia. Kurnia Untuk 16 HAKTP kami berencana mengadakan roadshow Rifka Goes To School di sekolah-sekolah. Untuk kegiatan lain, kami merencanakan menggunakan seni sebagai kampanye.

Data Statistik

Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) Di Rifka Annisa Juli – September 2012 KASUS MEDIA KTI KDP PKS PEL-SEK KDK TRAF

: Kekerasan Terhadap Istri : Kekerasan Dalam Pacaran : Perkosaan : Pelecehan Seksual : Kekerasan Dalam Keluarga : Traffiking (Perdagangan Orang)

KDP

PKS

PEL-SEKS

142

16

5

5

10

0

178

TELEPON

11

3

0

1

0

0

15

OUTREACH

3

1

14

2

0

0

20

EMAIL

1

4

0

0

2

0

7

157

24

19

8

12

0

220

TATAP MUKA

JUMLAH

04

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

KDK

TRAF

JUMLAH

KTI


Jendela

Rifkamedia Untuk Peradilan yang Lebih baik Pada Tahun 2004 terbit sebuah euphoria besar dalam gerakan perempuan. Ya,

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) akhirnya diketok palu oleh DPR RI, setelah proses yang sangat panjang. Tentu, kehadirannya memberi angin segar bagi masa depan gerakan perempuan dalam usaha menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun sayup-sayup ada kekhawatiran pada tahap implementasinya kelak. Hal ini sangat wajar, mengingat para penggiat gerakan perempuan tak ingin, UU PKDRT bernasib sama dengan UU lain. Hanya berakhir di meja arsip, dikemas untuk dimasukan dalam kardus gudang, lalu usang. Sejak kelahirannya, 8 tahun lalu, UU ini mengalami pasang surut dalam implementasi. Bukan hal mudah memang, mengingat persoalan yang diatur oleh UU ini dilihat sebagai lahan yang sangat privat. UU PKDRT memberikan acuan hukum bagi penanganan korban maupun pelaku KDRT dalam konteks pidana. Cakupan kekerasan pun luas, tak lagi kekerasan fisik, tetapi menyangkut persoalan psikologis, ekonomi, seksual, dan sosial. Meski demikian, persoalan demi persoalan yang muncul dari implementasi menjadi pembelajaran sangat berharga bagi para penggiat isu kekerasan terhadap perempuan. Rifka Annisa sebagai salah satu inisiator awal dari UU PKDRT, paham ketika inisiasi dilakukan pada tahun 1998, konteks kekerasan terhadap perempuan akan makin berkembang. Pengesahan UU ini masih menyisakan berbagai persoalan. Pengalaman Rifka Annisa, selama hampir 19 tahun memperlihatkan bahwa proses penyelesaian kekerasan terhadap korban perempuan, akan selalu memiliki implikasi hukum, relasi dengan pasangan dan orang-orang sekitar, dan penguatan psikologis yang responsif. UU PKDRT yang mengangkat persoalan hukuman pidana bagi pelaku

ternyata masih jauh dari “penyelesaian” kekerasan. Kebanyakan perempuan korban yang mendapat perlakuan kekerasan, merasa tidak “nyaman” membawa persoalan kekerasan dalam rumah tangganya ke ranah pidana. Alasan isu rumah tangga adalah isu privat, membuat korban dan keluarga berfikir penyelesaiannya jangan sampai melibatkan banyak orang apalagi pengadilan. Perempuan korban cenderung memilih penyelesaian dengan “jalan tengah” yang difasilitasi oleh keluarga atau orangorang terdekat korban. Resikonya lebih minim dibandingkan memperkarakan pasangan ke meja hijau. Bukan tanpa alasan apabila perempuan memilih “jalur tengah” dalam penyelesaian kasus kekerasan. Proses pengadilan memang membutuhkan waktu panjang, beban psikologis yang berat sekaligus ongkos sosial yang mahal dalam masyarakat. Perempuan yang memperkarakan kasusnya di pengadilan sangat rentan menghadapi intimidasi dari pasangan maupun orang-orang sekitar. Mengingat kasus yang dibawanya ke meja pengadilan menyangkut masa depan diri dan anak-anaknya. Bayangan keluarga yang tercerai berai, jika pasangan masuk dalam tahanan, beban ekonomi, cemoohan secara sosial,

tekanan-tekanan tersebut membuat perempuan korban cenderung memilih berdamai secara “sosial” atau memilih jalur gugat cerai secara perdata yang resikonya lebih minim, meskipun peluang kekerasan masih tetap besar. Fakta-fakta ini memberikan pelajaran, bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan tidak akan selesai dengan hukuman pidana terhadap pelaku. Perempuan korban cenderung menghindari resiko tinimbang memperkarakan kasusnya melalui jalur hukum pidana. Maka terobosan-terobosan penyelesaian harus disesuaikan dengan konteks persoalan, sembari menimbang fakta-fakta yang telah muncul 8 tahun pasca implementasi UU PKDRT. Gagasan munculnya family court kian mencuat ke permukaan. Dengan konsep restorative justice, upaya hukum diharapkan lebih memperhatikan hak-hak korban tinimbang semata persoalan pidana. Pengadilan agama menjadi institusi yang paling strategis untuk mengintegrasikan UU PKDRT guna menelisik secara mendalam, kasus-kasus perceraian yang sebenarnya memiliki potensi “besar”. Jalan panjang implementasi integrasi kini dimulai. Rifka Media edisi ini dikhususkan mengangkat upaya restorative justice ini. Edisi ini merupakan upaya menyuarakan jalan alternatif yang mampu memberikan perlindungan dan kepastian hukum, terutama terkait dengan perempuan korban kekerasan. Dan upaya mengusung gagasan family court sebagai bagian dari jalan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Untuk Anda Pembaca, tema kali ini adalah sebagian kecil dari mozaikmozaik dari sejarah, yang kami bingkai dengan cita-cita untuk menciptakan kehidupan tanpa kekerasan bagi perempuan melalui lorong-lorong peradilan yang lebih adil. []

Rifkamedia

Any Sundari, Pemimpin Redaksi

November 2012-Januari 2013

05


Membisu Demi Harmoni

Isi buku: - Tebal 180 halaman (book paper) - Dua Bahasa (Indonesia-Inggris) - Membahas potret perilaku kekerasan terhadap istri Untuk pemesanan silahkan hubungi: - Defirentia One (085232387729) - Hani Bariza ( 085725184195)

Buku Baru


Laporan Utama

ASA PEREMPUAN TAK TERUNGKAP DI TENGAH KEKERASAN Oleh : Defirentia One M. | Staf Humas dan Media Rifka Annisa

flicker.com


Laporan Utama Seringkali sikap, persepsi, dan perspektif aparat hakim, jaksa, dan polisi masih bermasalah dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus kekerasan terhadap perempuan terus terjadi. Belakangan, laporan kasus yang masuk di kepolisian maupun lembaga penyedia layanan tergolong tinggi. Pemberitaan media pun tak ingin ketinggalan mengungkap kasus-kasus tersebut sebagai wacana publik. Hal itu tergambar dalam maraknya pemberitaan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) belakangan. Yulianti, salah seorang warga Yogyakarta, dianiaya oleh suaminya hingga mengakibatkan luka memar di pipi dan tangan kanan. Pada saat pemukulan terjadi, Yulianti sedang terlibat pertengkaran dengan si suami. Konflik itu pun akhirnya berbuntut pada pemukulan oleh si suami dengan menggunakan helm hingga menyebabkan luka parah pada istrinya (tribunjogja.com, 4/9). KDRT yang dialami Yulianti itu diduga akibat masalah ekonomi lantaran sang suami tidak bekerja. Kasus hampir serupa diangkat oleh jogjatv.tv (28/3), Untari, seorang ibu rumah tangga asal Klaten Jawa Tengah, korban KDRT yang dianiaya suaminya. Kondisi rumah tangga yang tidak harmonis dan penuh pertengkaran mendorong korban kerap meminta cerai dari suaminya. Bahkan pasca kebangkrutan usaha, suami semakin tidak mampu mengontrol amarah sehingga terjadilah penganiayaan terhadap Untari juga terhadap mertuanya sendiri. Di lingkup yang lebih luas, ada berbagai riset yang telah dilakukan para ilmuwan di banyak negara untuk mengidentifikasi penyebab maupun dampak dari kekerasan terhadap perempuan. Persoalan ekonomi maupun sosial seringkali menjadi alasan para pelaku untuk melakukan kekerasan terhadap istri, anak,

08

Rifkamedia

maupun anggota keluarga. Orang yang justru memiliki relasi intim dengan korban memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk menjadi pelaku kekerasan. Sebuah riset menunjukkan bahwa 40 persen hingga lebih dari 70 persen pembunuhan terhadap perempuan yang terjadi di seluruh dunia dilakukan oleh pasangan intimnya (Bailey et.al, 1997 dalam Hakimi et.al, 2011:12). Cukup miris ketika melihat fakta bahwa perempuan kerap menjadi korban kekerasan. Namun, penelitian tersebut juga menyajikan informasi pembanding bahwa perempuan pun bisa menjadi pelaku kekerasan. Ada pembunuhan yang dilakukan oleh perempuan kepada laki-laki pasangannya meskipun presentasenya relatif kecil. Umumnya, hal ini dilakukan perempuan sebab ingin membela harga diri atau balas dendam terhadap laki-laki yang telah menganiayanya (Smith et.al, 1998 dalam Hakimi et.al, 2011:12). Satu hal yang perlu diperhatikan, kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya identik dengan kekerasan dari suami ke istri atau laki-laki kepada perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga dalam perspektif yang lebih luas dapat dialami oleh anak-anak, pembantu, maupun anggota keluarga yang lebih luas. Hal ini menunjukkan bahwa telah ada perubahan dalam masyarakat yang berimplikasi pada meluasnya ruang lingkup dari rumah tangga. Sehingga, atas pertimbangan tersebut kekerasan rumah tangga sebagaimana dimaksudkan dalam UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga alias UU PKDRT adalah setiap perbuatan yang terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan

November 2012-Januari 2013

hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 UU PKDRT). Jika mengamati kembali dua kasus yang disebutkan di atas semakin menunjukkan bahwa sejak delapan tahun pencanangan UU No. 23 Tahun 2004, ternyata kecenderungan terjadinya kekerasan terus bertambah. Catatan tahunan Komnas Perempuan yang dirilis pada tahun 2012 menyebutkan bahwa telah terjadi 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia yang dihimpun dari 395 lembaga penyedia layanan. Dari sekian banyak kasus tersebut, agaknya kekerasan di ranah personal menjadi tren paling banyak mencapai 95,61 persen atau setara dengan 113.878 kasus. Dimana, 97 persen dari kekerasan di ranah personal di dominasi oleh kasus kekerasan terhadap istri (KTI) dan sisanya adalah kasus kekerasan dalam pacaran (KDP). Data tersebut sebanding dengan laporan kasus yang masuk ke Rifka Annisa. Kekerasan terhadap istri menempati posisi teratas dalam laporan kasus empat tahun terakhir. Tahun 2009 kasus KTI yang terlaporkan sejumlah 203 kasus, tahun 2010 ada 226 kasus, dan tahun 2011 tercatat 219 kasus. Bahkan pada tahun 2012 dari bulan Januari hingga Agustus, jumlah laporan kasus KTI sudah mencapai 135 kasus. Data-data di atas menunjukkan bahwa beberapa tahun belakangan, perempuan masih belum terbebas dari kekerasan khususnya di ranah rumah tangga. Ironis. Meskipun delapan tahun berlalu sejak disahkannya Undangundang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kenyataannya legalitas tersebut belum banyak menjamin bahwa persoalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat dikurangi. Padahal, Indonesia menjadi satu dari sejumlah kecil negara yang memiliki perangkat hukum jenis ini. Persoalan KDRT umumnya masih


Laporan Utama dianggap sebagai urusan pribadi sehingga kebanyakan masyarakat sengaja menyimpan rapi persoalan tersebut. Sudah semestinya, legalitas yang dituangkan dalam UU No.23 Tahun 2004 dapat menjadi jaminan bahwa pemerintah mengakui segala bentuk kekerasan di level privat sebagai bentuk kejahatan. Pemerintah secara terbuka memberikan jaminan kepada masyarakat agar dapat mengajukan KDRT sebagai perkara pidana. Hanya saja, seringkali sebagian perempuan masih tertutup dengan KDRT yang dialaminya. Perempuan korban tak kuasa melaporkan suami ke kepolisian. Mereka pun justru kian terjebak dalam siklus kekerasan yang berkelanjutan. Mengapa delapan tahun sejak pencanangan UU tersebut kasus KDRT justru semakin banyak? Mengapa tidak banyak perempuan (korban) yang berani memperkarakan kekerasan yang dialaminya sebagai kejahatan pidana? Bahkan, mengapa kebanyakan mereka justru lebih memilih bercerai dari pasangannya? Tak Banyak Korban Angkat Bicara Kompleksitas yang dihadapi perempuan ketika mendapati kekerasan dari pasangannya membuat mereka, dengan pertimbangan alasan yang berbeda-beda, cenderung memilih jalur gugat cerai ke pengadilan agama tinimbang memperkarakan KDRT ke jalur pidana. Data yang dirilis Rifka Annisa sejak tahun 1998 hingga 2008 menunjukkan bahwa hanya sekitar 10 persen kasus KDRT berlanjut ke proses hukum (Hasyim & Kurniawan, 2009), bahkan hingga tahun 2012 kasus KDRT yang berhasil menempuh litigasi hukum berjumlah kurang dari 10 kasus (Sumber : wawancara dengan Divisi Pendampingan). Menurut Indiah Wahyu Andari, konselor psikologi Divisi Pendampingan Rifka Annisa, beberapa klien merasa berat untuk melaporkan suaminya ke kepolisian. Berbagai

....Sudah semestinya, legalitas yang dituangkan dalam UU No.23 Tahun 2004 dapat menjadi jaminan bahwa pemerintah mengakui segala bentuk kekerasan di level privat sebagai bentuk kejahatan. Pemerintah secara terbuka memberikan jaminan kepada masyarakat agar dapat mengajukan KDRT sebagai perkara pidana...

alasan pun dijadikan pertimbangan mengapa masih banyak perempuan korban KDRT yang tak mau melaporkan suaminya. “Alasannya banyak. Kadang korban gak mau ribet, terus juga bisa karena pertimbangan anak dan keluarga. Tapi memang mayoritas alasannya karena anak-anak,� terang Indiah. Pertimbangan itu didasari karena para perempuan masih memikirkan perasaan anak-anaknya ketika harus menghadapi kenyataan terburuk lantaran ayahnya dipenjara. Tidak begitu baik untuk perkembangan psikologis anak. Anak-anak akan malu dan minder jika orang tuanya menjadi nara pidana. Selain itu, sikap nrimo yang masih kuat dijadikan prinsip oleh sebagian besar perempuan Indonesia khususnya di Jawa untuk tidak membuka kekerasan yang dialaminya. Pandangan perempuan terhadap dirinya sendiri sebagai konco wingking yang berada di bawah dominasi laki-laki (suami) seringkali membuat mereka masih menyalahkan diri sendiri ketika

mendapat kekerasan. Jangankan melapor, kebanyakan mereka masih belum mampu mengidentifikasi masalah kekerasan yang dialaminya. Masih banyak perempuan yang belum menyadari bahwa posisi mereka sebagai korban dalam kasus KDRT. Lebih parah lagi, mereka pun hanya bisa menyalahkan diri sendiri dan menganggap bahwa mereka mendapat kekerasan dari suaminya karena salah mereka sendiri yang mungkin tidak patuh pada suami atau tidak mampu memuaskan keinginan suami. Ketika terjadi kekerasan, sikap nrimo ini pun diikuti pilihan solusi yang belum tentu menguntungkan perempuan korban. Laporan penelitian Rifka Annisa tahun 2011 tentang kekerasan terhadap istri dan kesehatan perempuan di Jawa Tengah juga menyebutkan bahwa ketika mengalami KDRT masih banyak perempuan yang tidak mau melapor. Alasannya bisa karena malu (21%), takut mencemarkan nama baik keluarga (13%), dan takut akan mengalami lebih banyak kekerasan (10%) (Hakimi, et.al, 2011:92). Ada pula perempuan yang hanya memilih pergi meninggalkan rumah atau meminta pertolongan dari keluarga jika mendapat kekerasan dari suaminya. Namun, bagi mereka yang pernah meninggalkan rumah pada akhirnya juga kembali lagi kepada suaminya dengan pertimbangan keluarga dan anak-anak. Sedangkan, bagi mereka yang memutuskan untuk tetap bertahan memberikan beberapa alasan, seperti: memaafkan suaminya dan berpikir bahwa suaminya akan berubah (43%); menurut mereka perkawinan adalah sakral (35%); demi anak-anak (33%); dan karena malu (28%) (Hakimi et.al, 2011:92). Menurut Lisa Oktavia, Konselor Hukum Rifka Annisa, kebanyakan perempuan korban KDRT memilih opsi perceraian sebagai solusi. Namun, tidak semua perempuan yang mengugat cerai kepada suaminya

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

09


Laporan Utama mau terbuka dan jujur kalau mereka cerai lantaran kasus KDRT. Lisa kembali menuturkan bahwa tidak semua perempuan mampu berpikir panjang ketika mengalami KDRT. “Memang ada korban yang berani lapor ke polisi. Tapi kadang polisi malah lebih banyak menyarankan mereka untuk berdamai dengan suaminya,� terang Lisa. Saran untuk berdamai dengan suami pelaku kekerasan menjadi pilihan yang begitu berat bagi perempuan. Persoalannya apakah opsi damai menjadi solusi terbaik bagi perempuan atau justru membuka peluang bagi mereka untuk terjebak dalam siklus kekerasan kembali. “Ya damai gak masalah, tapi ada kekhawatiran KDRT bisa terjadi lagi,� tandas Lisa. Pemaknaan 'menjadi istri' sebagai sebuah pengabdian bagi sebagian kalangan perempuan menjadi satu hal yang menguatkan para perempuan untuk tetap bertahan melestarikan kehidupan rumah tangganya. Belum lagi ketergantungan seorang perempuan kepada suaminya secara materi maupun non materi seringkali menjadi alasan mereka untuk berusaha bertahan dalam rumah tangga meskipun dilingkupi kekerasan. Dalam pihak istri, khususnya yang tidak berpenghasilan, masih muncul ketakutan untuk ditinggal suami atau tak kuasa menanggung beban aib keluarga jika melaporkan suami ke kepolisian. Fenomena ini menarik, setidaknya menunjukkan bahwa faktor ketergantungan istri pada suami menjadi pertimbangan besar untuk bersikap manakala mendapat kekerasan. Sehingga, relasi demikian itu justru menjadikan konsep 'menjadi istri' diikuti ketakutan ditinggal suami dan tidak independen dalam bersikap. Ironisnya, tidak banyak perempuan yang menyadari bahwa konstruksi 'menjadi istri' bukanlah sebagai pengabdian yang keseringannya membuat posisi mereka tersubordinasi dari laki-laki. Tetapi, 'menjadi

10

Rifkamedia

istri' selayaknya dianggap sebagai sebuah posisi yang setara dengan suami untuk bekerja sama membangun rumah tangga yang harmonis. Itulah mengapa, persoalan KDRT umumnya muncul dari ketimpangan relasi yang terbangun antara laki-laki dan perempuan. Bahayanya, jika perempuan memaknai 'menjadi istri' sebatas pengabdian dilengkapi pula dengan sifat yang selalu nrimo dalam menghadapi perilaku kasar suami, justru akan melestarikan kekerasan terhadap perempuan sendiri. Sebuah penelitian menyebut bahwa kecenderungan perempuan yang menutup diri untuk menginformasikan kekerasan yang dialaminya

mahluk sosial, manusia tidak terlepas dari lingkungan sosialnya. Manusia dipengaruhi dan saling mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Mengacu pada logika tersebut, sepatutnya kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya dianggap sebagai persoalan pribadi. Namun keberadaannya sebagai fakta sosial yang sungguh-sungguh terjadi di tengah masyarakat menjadi permasalahan baru secara sosiologis. Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tidak terungkap atau bahkan sengaja ditutup-tutupi keberadaannya. Ada semacam persoalan kesadaran baik yang berasal dari individu maupun lingkungan sosial yang

...Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tidak terungkap atau bahkan sengaja ditutup-tutupi keberadaannya...

dapat berimplikasi pada dua hal, yaitu : pertama, derita yang mereka rasakan akan berkepanjangan tanpa ada upaya dari diri sendiri dan orang lain untuk menguranginya, dan kedua, tiadanya keterbukaan para perempuan akan menyulitkan dalam pengumpulan data akurat tentang KDRT sehingga akan menyulitkan pemerintah maupun pihak-pihak yang berkompeten dalam penanggulangan KDRT tersebut (Darmawan, 2008: 72). Masih banyak masyarakat yang keliru memaknai persoalan kekerasan terhadap perempuan khususnya di ranah rumah tangga sebagai sesuatu yang tak layak diperbincangkan di ruang publik. Pola berpikir seperti itu cukup banyak dipengaruhi oleh kondisi kultur serta nilai/norma yang diyakini masing-masing orang di daerah tertentu. Padahal, sebagai

November 2012-Januari 2013

seolah masih melanggengkan KDRT sebagai siklus kekerasan yang tak berujung. Awalnya tidak banyak orang yang tertarik untuk ikut campur dalam permasalahan ini. Lebih sederhana, orang bahkan tidak tertarik untuk hanya sekedar memperbincangkan persoalan KDRT sebab masih dianggap sebagai urusan pribadi. Jika mengamati potret KDRT di Indonesia yang jumlahnya kian meningkat, semestinya hal ini perlu ditinjau dalam perspektif yang lebih luas. Sebuah penelitian yang dilakukan Drs. Mohammad Azzam Manan, MA (2008) memberikan satu kesimpulan yang cukup menarik dalam melihat KDRT sebagai persoalan sosiologis. Penelitian tersebut memaparkan bahwa dalam perspektif sosiologis, KDRT merupakan satu bentuk tindakan kriminal yang dapat


Laporan Utama terjadi di mana saja dan tidak dibatasi oleh identitas etnis, kepercayaan, maupun status sosial seseorang. Beberapa orang awalnya terkesan acuh dan menutup diri terhadap kasus tersebut. Namun, seiring berkembangnya jaman serta pengetahuan masyarakat, mereka mulai menyadari bahwa perlu ada aksi kolektif untuk menanggulangi dampak KDRT serta upaya pencegahannya. Memang, pengetahuan masyarakat yang menyikapi positif KDRT sebagai fenomena sosial dan fakta publik sedikit banyak telah meningkat. Namun ironisnya, seiring dengan itu kasus-kasus KDRT yang terungkap ke permukaan pun semakin tidak terduga. Perubahan masyarakat dalam hal pengetahuan maupun ekonomi juga melatari perubahan dalam kasus kekerasan yang dialami perempuan. Apakah semakin meningkatnya pengetahuan serta taraf ekonomi masyarakat berpengaruh pada peningkatan dan penurunan jumlah kasus kekerasan yang dialami perempuan, juga masih diperdebatkan. Yang pasti, tidak ada hasil-hasil riset yang sepakat menyimpulkan bahwa KDRT akan banyak terjadi di masyarakat dengan tingkat pengetahuan dan ekonomi yang rendah. Tidak pula selalu dikatakan bahwa dalam masyarakat yang tingkat pengetahuan tinggi serta ekonomi yang lebih terjamin terjadinya KDRT sangat minimal. Maka, perubahan jaman dan kondisi sosial ekonomi masyarakat turut mempengaruhi pula pola-pola interaksi dan bentuk kekerasan yang terjadi. Bahkan yang ironis seringkali perempuan korban yang justru dituntut sebagai pelaku. Tahun 2012 ini, menurut data Divisi Pendampingan Rifka Annisa, ada 3 kasus tuntutan yang justru ditujukan kepada perempuan korban yang diduga melakukan kekerasan terhadap suaminya. Temuan ini menarik dan sayangnya kasus tersebut tidak hanya terjadi di tahun 2012. Sebelumnya, temuan kasus

Upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan masih terken-dala sebab banyak perempuan korban yang enggan melaporkan pelaku untuk menjalani proses pidana. Perubahan sosial yang diikuti perubahan kesadaran perempuan pun tidak cukup jika tanpa dukungan lingkup masyarakat yang lebih luas.

mengenai perempuan korban yang dituntut sebagai pelaku sudah berulang kali terjadi. Misalnya, dalam riset pemantauan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 yang dilakukan Rifka Annisa-FOSI (2007), ditemukan bahwa di dua wilayah pemantauan yakni Kabupaten Sleman Yogyakarta dan Jakarta aparat hukum masih menggunakan perspektif hukum positif untuk menjerat perempuan. Aparat tersebut umumnya hanya menggunakan fakta dan bukti dalam persidangan. Sedangkan, jika ditilik kembali pada riwayat terjadinya kekerasan yang dilakukan perempuan terhadap suaminya, biasanya dilatari oleh akumulasi kekerasan yang sebelumnya dilakukan suami terhadap mereka (Rifka-FOSI, 2009:64). Kekerasan yang terlalu sering menimpa perempuan korban akan menjadi benih-benih baru bagi mereka untuk berbalik melakukan kekerasan terhadap suami. Pada kasus lain, ketika perempuan korban sudah berani melaporkan suaminya ke kepolisian, namun beberapa aparat justru tidak secara tegas dan tanggap memproses kasus tersebut. “Kalau ada perempuan yang lapor karena dianiaya suaminya, biasanya prosesnya agak ribet. Kadang mereka diminta menimbangnimbang dahulu,� ungkap salah satu konselor Rifka Annisa. Di samping masalah ini, seringkali sikap, persepsi, dan perspektif aparat yang terdiri dari hakim, jaksa, dan polisi masih bermasalah dalam me-

nangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Banyak korban yang mengeluh tentang sikap polisi yang kerap menyalahkan korban. Masalah ini semakin problematis jika bersinggungan dengan konteks budaya yang ada. Penyikapan aparat hukum atas kekerasan terhadap perempuan ternyata juga dipengaruhi oleh kondisi budaya dan norma-norma sosial yang ada di masyarakat. Ini yang kemudian memicu keengganan perempuan korban untuk melapor kepada polisi. Selain juga karena memang pilihan untuk mempertahankan keharmonisan keluarga dan memutuskan kembali ke pasangan. Sejauh ini, hampir 80 persen klien Rifka Annisa memutuskan untuk kembali ke pasangan. Sehingga, jika keputusan tersebut tidak diikuti upaya perubahan perilaku pada pasangan, kondisinya akan tidak banyak berubah. Perempuan tetap terancam oleh kekerasan dan mereka tetap akan 'membisu' demi harmoni keluarga. Secara jelas, adanya UU No.23 Tahun 2004 telah memaparkan bentuk-bentuk dan jenis kekerasan sehingga masyarakat menjadi tahu bahwa selama ini di sekitar mereka ada banyak kekerasan yang tidak disadari. Namun, ketika masyarakat semakin sadar keberadaan kekerasan sebagai fenomena sosial, tidak banyak dari mereka yang mau bersikap tegas untuk menindak para pelaku kekerasan. Hambatan-hambatan psikologis yang disampaikan di

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

11


Laporan Utama awal bepadu dengan kultur patriarkis yang menomorduakan perempuan menjadikan penyikapan serta penindakan pelaku kekerasan pun terhambat. Alhasil, keadilan bagi korban masih jauh dari harapan. Itulah mengapa, penyikapan kekerasan terhadap perempuan dalam lingkungan sosial yang berkembang perlu melibatkan kesadaran dan aksi dari komunitas masyarakat yang lebih luas. Membangun Komunitas Anti Kekerasan Upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan masih terkendala sebab banyak perempuan korban yang enggan melaporkan pelaku untuk menjalani proses pidana. Perubahan sosial yang diikuti perubahan kesadaran perempuan pun tidak cukup jika tanpa dukungan lingkup masyarakat yang lebih luas. Hal ini pula yang disoroti oleh Rifka Annisa sebagai tantangan sekaligus peluang untuk melibatkan masyarakat dalam mengelola dan memberikan layanan krisis di kalangan mereka sendiri. Kaitannya dengan tujuan ini, maka penting untuk diupayakan perubahan cara pandang masyarakat tentang konsep keadilan gender sebagai bagian keadilan sosial. Termasuk didalamnya melindungi perempuan dari kekerasan. Upaya Rifka Annisa dalam meningkatkan kapasitas masyarakat untuk kepentingan tersebut adalah dengan membentuk pusat krisis berbasis masyarakat (Community Based Crisis Center/CBCC). Salah satu contohnya terdapat di Kelurahan Cokrodiningratan. Berangkat dari kerentanan masyarakat di kelurahan ini terhadap kekerasan, maka sejak tahun 2004 Bappeda Kota Yogyakarta menggandeng Rifka Annisa WCC menginisiasi terbentuknya komunitas Huriya Maisya (Huma). Huma menjadi semacam paguyuban yang bergerak untuk masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak.

12

Rifkamedia

Dalam praktiknya, kegiatan Huma melibatkan RT, RW, Posyandu, dan khususnya PKK. Melalui wadah PKK ini, Huma mengajak masyarakat untuk mendiskusikan isu-isu kekerasan berbasis gender yang sering terjadi di sekitar mereka sekaligus penanganannya. Untuk kepentingan penyadaran masyarakat dalam penyikapan KDRT, model CBCC ini bisa jadi terobosan baru untuk mengatasi masalah minimnya keterbukaan perempuan untuk memperbincangkan KDRT yang dialaminya. Setidaknya, dalam forum-forum diskusi yang diselenggarakan komunitas ini perempuan bisa lebih terbuka untuk berbagi pengalaman dan menyatukan pandangan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi permasalahan bersama. Dalam kajian yang lebih dalam, Danang Arif Darmawan (2008) menganalisis bahwa penanganan secara kelembagaan untuk isu-isu KDRT dan ketidakadilan gender jauh lebih efektif daripada perlawanan dari korban. Menurut pengamatannya, CBCC yang diformulasikan melalui Huma dapat menjadi sarana pengalihan peran kepada masyarakat terkait upaya penghapusan ketidakadilan gender. Melalui peran-peran ini masyarakat dapat membangun kesadaran kolektif serta tanggung jawab sosialnya. Memang dalam setiap kali diskusi di komunitas Huma maupun komunitas lainnya, beberapa warga masih menentang bahwa tidak seharusnya perkara kekerasan domestik diperbincangkan di ranah publik. Ini pun yang kemudian menimbulkan kecurigaan bagi sebagian warga yang menganggap Huma dan organisasi CBCC sejenisnya sebagai organisasi yang tidak sehat karena terkesan ikut campur dalam urusan pribadi orang lain. Dalam prosesnya, dengan pelimpahan wewenang kepada masyarakat untuk mengelola CBCC ini sedikit demi sedikit masyarakat pun mulai berpikir positif menyikapi keberadaan

November 2012-Januari 2013

organisasi sejenis Huma. Hal ini setidaknya dapat menanggulangi segala bentuk kekerasan dan ketidakadilan gender di wilayah mereka sendiri. Dari hal tersebut, tampak begitu penting sekaligus berat upaya-upaya dalam membangun komunitas untuk memutus rantai kekerasan terhadap perempuan.[] Referensi : Darmawan, Danang A. 2008. Mengikat Tali Komunitas Memutus Rantai Kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta : Mitra Wacana. Hakimi et.al. 2011. Membisu Demi Harmoni. Yogyakarta : Rifka Annisa bekerja sama dengan LPKGM FK UGM, Umea University Sweden, dan Women's Health Exchange USA. Hasyim, Nur & Kurniawan, Aditya P. 2009. Pemantauan Implementasi Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Enam Propinsi di Indonesia. Yogyakarta : Rifka Annisa dan FOSI. Manan, Mohammad A. 2008. Dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol.5 No.3 September 2008 Komnas Perempuan. 2012. Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2011 : Stagnasi Sistem Hukum Menggantung Asa Perempuan Korban, <http://www. komnasperempuan.or.id/wpcontent/uploads/2012/03/Lembar-Fakta-Catatan-Tahunan-Catahu-Komnas-Perempuan-2011. pdf> , diakses 20 September 2012. <http://jogja.tribunnews.com/2012/ 09/04/pemicu-kdrt-bisa-dikarenakan-masalah-ekonomi>,diakses 20 September 2012. <http://www.jogjatv.tv/berita/28/03/ 2012/kasus-kdr t-kembaliterjadi>, diakses 20 September 2012.


Laporan Utama

PERADILAN AGAMA: PINTU PANDORA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Oleh: Ashabul Fadhli | Mahasiswa Konsentrasi Hukum Keluarga Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Afni Ritonga | Relawan Divisi Pendampingan Rifka Annisa sekaligus Petugas Posbakum di Pengadilan Agama Jogja


Laporan Utama Integrasi UU PKDRT dalam Pengadilan Agama, dirasa penting untuk membuka kotak pandora kekerasan dalam rumah tangga. Secara defenitif, penegakan hukum (pro justicia) dapat diartikan sebagai peran penegak hukum, yang salah satunya adalah hakim dalam menyelesaikan seluruh persoalan hukum. Sebagai subyek hukum, masyarakat menaruh ekspektasi yang besar atas ketertiban, keamanan, kenyamanan dan keberhasilan hukum melalui lembaga pemerintahan yang bernama pengadilan, pada konteks ini adalah hakim Pengadilan Agama. Sesuai dengan sifatnya, penegakan hukum bersifat represif yaitu memulihkan atau menghentikan sesuatu yang telah terjadi. Begitu juga dengan penegakan hukum preventif atau pencegahan. Baik represif maupun preventif, akan terwujud ketika penegakan hukum dapat berjalan sesuai mekanisme hukum serta melibatkan kreatifitas hakim dalam menginterpretasikan materi dan peristiwa hukum sesuai kondisi sosial masyarakat yang berkembang. Berdasarkan angka statisktik yang diperoleh melalui Badan Peradilan Agama (Badilag) tentang tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), masih ditemukan sekelumit persoalan. Pada tahun 2010, terdapat sebanyak 148.486 perceraian atau sekitar 52.07% yang disebabkan karena meninggalkan kewajiban. Bila meninggalkan kewajiban dikategorikan sebagai penelantaran sebagaimana disebutkan dalam UU No.23 Tahun 2004, maka dapat dipastikan lebih dari 50% perkara perceraian disebabkan karena tindak kekerasan (Profil Peradilan Agama, 2011). Menyikapi persoalan di atas, pekerjaan rumah pertama yang perlu disegerakan adalah mencanangkan inovasi pada level kebijakan dan aturan hukum. Hal ini diperlukan sebagai jalan memperbaharui meka-

14

Rifkamedia

nisme aturan hukum keluarga melalui peradilan agama. Pembaruan secara substansial penting untuk ditransformasikan. Mengingat gerak dinamika sosial yang begitu kencang mengharuskan hukum turut berefleksi menyesuaikan pada kondisi sosial, ekonomi dan politik. Perwujudan aturan hukum yang adil dan sensitif gender adalah peluang melakukan perubahan kebijakan yang masih bersifat patriarkhi, bias gender, dan subyektif. Tujuannya tidak lain adalah memberikan jaminan dan kepastian hukum. Dalam hal ini, Pengadilan Agama yang diasumsikan sebagai koridor utama dalam menangani perkara KDRT dituntut mampu memberikan jaminan konstitusional dan legal dalam rangka penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Penggunaan istilah hukum pada konteks Pengadilan Agama, terdapat kata kunci yang dirasa penting. Kata “peradilan� merujuk pada suatu proses mengadili atau upaya mencari keadilan atau penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan-badan peradilan menurut perundangan yang berlaku. Sedangkan pengadilan merujuk pada badan atau lembaga yang memfasilitasi proses pencarian keadilan. Mengacu pada pemaknaan di atas, peradilan agama secara umum dapat dipahami sebagai upaya mencari keadilan dan upaya mengadili dalam wilayah yang lebih khusus, yakni perkara perdata keluarga dan ekonomi syariah bagi orang-orang Islam. Dalam Pasal 1 (1) UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama yangdiperbaharui dengan UU No. 3/ 2006 Pasal 2 dikatakan bahwa “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini�. Pengadilan Agama sering disebut juga sebagai pintu pertama terkuaknya berbagai kasus kekerasan dalam

November 2012-Januari 2013

rumah tangga. Karena itu, meskipun Pengadilan Agama tidak mempunyai andil untuk melakukan pelayanan dan mengadili tindak pidananya, Pengadilan Agama memiliki peranan strategis dalam menguak peristiwa kekerasan yang terjadi. Dalam UU No. 4 Tahun 2004 pasal 28 (1) disebutkan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Lebih jauh, hakim di Pengadilan Agama juga dituntut untuk berkreasi, menelaah, dan terampil membangun argumen yang holistik (menyeluruh dan luas) dari berbagai perundang-undangan nasional yang tersedia. Kutipan pasal di atas, jelas menunjukkan bahwa hakim tidak saja hanya patuh pada perundang-undangan tertulis, tapi dia bisa melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dalam memutus suatu perkara dengan menggali setiap dinamika yang berkembang di masyarakat, termasuk yang utama adalah peristiwa


Laporan Utama hasil dengan keluarnya Kepres No 181 tahun 1998 mengenai dibentuknya Komisi Nasional tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Terhitung sejak tanggal 13 Mei 2003, Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diinisiasi oleh aktivis perempuan yang berada di bawah koordinasi Jaringan Kerja Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka PKTP). RUU di atas menjadi usul inisiatif bagi DPR saat itu. Kemudian berlanjut dengan pengiriman surat dari ketua DPR RI kepada presiden untuk menunjuk salah satu menteri menjadi leading sector pembahasan RUU tersebut.

sesungguhnya yang melatari sebuah perkara. Melacak pesan dan semangat dirumuskannya UU PKDRT Jauh sebelum merebaknya wacana tentang pembentukan UU PKDRT, sejumlah lembaga dan gerakan perempuan di Indonesia telah lebih dahulu bergerak melakukan sejumlah sosialisasi dan advokasi hukum terkait isu kekerasan dalam rumah tangga. Hal itu dinilai penting karena kekerasan dalam rumah tangga diasumsikan sebagai bentuk perlakuan yang diskriminatif, baik itu dari sisi fisik, medis, ekonomi, dan psikologis. Sejak dimulainya perundingan tatap muka dengan pemerintah, kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga baru mendapat perhatian khusus pada penghujung tahun 1999. Ditandai dengan deklarasi komitmen pemerintah dan masyarakat tentang toleransi

nol terhadap kekerasan pada perempuan atau yang lebih dikenal dengan �Zero Tolerance Policy� (Nur Hasyim dan Aditya Putra Kurniawan, 2008). Pasca deklarasi toleransi nol, pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pemberadayaan Perempuan, bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat, merumuskan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang disingkat menjadi RAN PKTP. RAN PKTP ini menjadi acuan secara nasional tentang langkah-langkah strategis penghapusan kekerasan terhadap perempuan. RAN PKTP ini berhasil mengidentifikasi tujuh bidang strategis yang salah satunya adalah bidang hukum dan perundang-undangan (Endah Nurdiana dkk, 2000). Sejumlah upaya-upaya strategis pun gencar dilakukan. Diantaranya dengan mendesak pemerintah untuk membentuk sebuah komisi nasional yang bertugas memonitor tindakan pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Upaya ini membuahkan

Setelah melalui berbagai lobi dan aksi yang begitu panjang, pada tanggal 30 Juni 2004, Presiden menerbitkan amanat No. R.14/PU.VI/ 2004 dengan menugaskan Mentri Pemberdayaan Perempuan untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU anti kekerasan dalam rumah tangga. Sebagai bahan sandingan atas RUU inisiatif DPR, pemerintah dalam hal ini yang diwakili oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan untuk menyusun RUU dengan judul �Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga� (Ridwan, 2006). Namun, selang beberapa waktu, RUU versi pemerintah di atas mengalami kemunduran dari versi badan legislatif. Pemerintah dalam hal ini tidak menangkap substansi yang selama ini yang dibutuhkan. RUU saat itu dinilai hanya menonjolkan aspek perlindungan korban semata, bukan antisipasi terhadap terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Padahal yang menjadi mainstream gagasan mengenai keberadaan RUU ini adalah larangan terhadap prilaku tindak kekerasan. Setelah melalui pembahasan di DPR untuk kesekian kalinya pada tanggal 14 September 2004, RUU ini disahkan menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

15


Laporan Utama tentang Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dengan adanya ketentuan tersebut, berarti negara melalui butir UU PKDRT, telah sepakat untuk mencegah dan menghapus praktek kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban KDRT. Tugas-tugas tersebut nantinya akan dijalankan oleh lembaga pemerintah melalui kinerja Hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, dengan memperhatikan substansi yang terkandung dalam UU PKDRT sebagai berikut: (1) KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. (2) Penghapusan KDRT adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya KDRT, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. (3) Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.(4) Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga. Advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Poin di atas merupakan signifikasi yang terkandung dalam semangat dirumuskannya UU PKDRT. Berkaca pada masa sebelum UU PKDRT ada, kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum. Kalaupun ada, delik yang digunakan adalah aturan tentang tindak pidana. Padahal,

16

Rifkamedia

Dengan adanya ketentuan tersebut, berarti negara melalui butir UU PKDRT, telah sepakat untuk mencegah dan menghapus praktek kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban KDRT

hukum pidana Indonesia saat itu masih awam dengan persoalan KDRT. Bahkan kata-kata kekerasan pun tidak ditemukan dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Maka tidak heran ketika kasus KDRT tidak tersentuh oleh Badan Pengadilan, baik itu Pengadilan Negeri, apalagi Pengadilan Agama. Kasus-kasus pemukulan suami terhadap isteri cenderung diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal tentang penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur pembuktiannya. Sehingga kasus yang diadukan kerap terabaikan dan tidak lagi ditindak lanjuti.

November 2012-Januari 2013

Peran Pengadilan Agama Dalam Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2004 Berdasarkan pertimbangan dalam perumusan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), bahwasanya UU PKDRT dibentuk atas dasar: (1). Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan; (2) Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan harus dihapuskan; (3) Perempuan sebagai pihak yang sering kali menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga harus mendapakan perlindungan dari negara dan/atau masyarakat. Pertimbangan-pertimbangan di atas sekaligus menjadi tujuan dibentuknya UU PPKDRT. Tetapi sejak berlakunya Undang-Undang tersebut b e l u m ba n y a k m a n f a a t y a n g dirasakan oleh masyarakat terutama perempuan. Salah satu pemicunya disebabkan karena pemisahan antara ruang lingkup perdata dan pidana di lingkungan pengadilan. Sistem peradilan yang berlaku di Indonesia memang memisahkan perkara pidana dan perkara perdata, sehingga dalam UU PKDRT tidak disebutkan secara tertulis tentang peran pengadilan secara perdata terutama perceraian. Pemisahan tersebut disebabkan karena UU PKDRT lebih menekankan tindakan di jalur pidana. Pemisahan lingkungan peradilan yang berwenang terkait perkara pidana dengan perkara perdata sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan UU PKDRT. Hal ini dikarenakan perkara perceraian yang notabenenya mengandung perkara pidana harus diajukan dalam perkara yang berbeda. Dari temuan Rifka Annisa melalui POSBAKUM di Pengadilan Agama Jogja, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga oleh suami terhadap


Laporan Utama istri seringkali menjadi salah satu alasan bagi perempuan untuk mengajukan gugatan perceraian. Keputusan untuk bercerai yang diambil oleh pihak perempuan korban kekerasan, kebanyakan disebabkan karena alasan sudah tidak tahan lagi menghadapi kekerasan suami yang sudah berlangsung lama. Sejatinya, keputusan untuk bercerai merupakan hal yang berat bagi perempuan. Sehingga sebelum memutuskan bercerai biasanya perempuan telah mempertimbangkan banyak hal, seperti kondisi ekonomi pasca bercerai, stigma negatif masyarakat terhadap janda, faktor anak dan sebagainya. Bahkan karena mempertimbangkan banyak hal, terkadang perempuan mencabut kembali gugatan cerai yang telah diajukan dengan harapan suami akan berubah. Akan tetapi, tanpa adanya tindakan hukum yang pasti terhadap suami sebagai pelaku kekerasan, maka kemungkinan pelaku akan mengulangi perbuatannya. Realitas di atas menjadikan lakilaki sebagai pelaku tidak mendapat sanksi atau hukuman sebagai efek jera. Akibatnya pelaku cenderung akan mengulang melakukan kekerasan kepada perempuan yang sama bahkan terhadap perempuan yang lain. Keadaan ini seharusnya menjadi perhatian semua pihak termasuk lembaga peradilan sebagai lembaga tempat mencari keadilan dengan memaksimalkan UU PKDRT di lingkungan Pengadilan Agama. Persoalan lain yang kerap terjadi dapat terlihat pada proses persidangan di Pengadilan Agama. Majelis h a k i m d i Pe n g a d i l a n b e l u m menjadikan UU PKDRT sebagai salah satu pertimbangan dalam memutuskan perkara perceraian dikarenakan faktor kekerasan. Walaupun istri sebagai Penggugat dapat membuktikan di persidangan bahwa telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga oleh suami, tetapi Majelis

Hakim selama ini belum mengaitkannya dengan UU PKDRT. Belum digunakannya UU PKDRT dalam proses perceraian mengindikasikan bahwa Pengadilan Agama belum serius mengambil peran dalam menerapkan UU PKDRT. Keseriusan Hakim di Pengadilan Agama untuk menerapkan UU PKDRT dapat dilakukan salah satunya dengan menyarankan suami pelaku kekerasan untuk mengikuti konseling. Teknisnya dapat dilakukan di lembaga tertentu yang berkompeten pada tahap mediasi. Konseling dapat juga dilakukan di lembaga lain yang dikoordinatori langsung di bawah pengawasan mediator yang berwenang. Mulai dari proses awal konseling hingga pihak yang berperkara sepakat untuk melanjutkan proses pada putusan cerai. Konseling perubahan prilaku ini bertujuan agar pelaku sadar dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Demikian juga jika para pihak sepakat untuk rujuk, maka diharapkan setelah menjalani proses konseling, pelaku juga tidak lagi mengulang perbutannya. Jadi, baik bercerai atau tidaknya nanti, mediator dapat berperan dalam proses perubahan perilaku laki-laki pelaku kekerasan, sehingga diharapkan dapat mengurangi angka kekerasan dalam rumah tangga. Proses mediasi sebaiknya juga melibatkan pihak keluarga yang berperkara. Sisi positifnya, mediator dapat memperoleh informasi yang lebih lengkap terkait kondisi rumah tangga masing-masing pihak. Jika pihak keluarga tidak mengetahui kondisi rumah tangga yang berperkara, maka diharapkan pihak keluarga dapat tetap terlibat untuk membantu menyelesaikan permasalahan rumah tangga yang berperkara. Selain Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri masih ada lembaga lain yang juga memiliki peran dalam pelaksanaan UU PKDRT, diantaranya adalah Kantor Urusan

Selain Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri masih ada lembaga lain yang juga memiliki peran dalam pelaksanaan UU PKDRT, diantaranya adalah Kantor Urusan Agama (KUA) dan Badan Penasehat Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4). Eksistensi KUA, BP4 dan Pengadilan Agama sangat diharapkan agar saling mengisi satu sama lain dengan memaksimalkan perannya masingmasing.

Agama (KUA) dan Badan Penasehat Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4). Eksistensi KUA, BP4 dan Pengadilan Agama sangat diharapkan agar saling mengisi satu sama lain dengan memaksimalkan perannya masing-masing. KUA dapat mengambil peran dalam proses pelaksanaan bimbingan calon pengantin pada program Kursus Calon Penganten (SUSCATEN). Pemberian materimateri pada SUSCATEN tidak hanya terkait hak dan kewajiban suami istri saja, tetapi juga materi terkait kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga para calon pengantin paham dan mengerti tentang aspek kekrasan dalam rumah tangga sekaligus dapat menghindarinya. Begitu juga dengan BP4, yang berperan penting melalui proses konseling pasangan suami istri. Dengan adanya konseling, BP4 dapat

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

17


Laporan Utama memonitoring pasangan yang berencana untuk bercerai maupun pasangan yang konseling untuk rujuk atau memperbaiki kondisi rumah tangga mereka. Bagi yang berperkara di Pengadilan Negeri, lembaga yang ikut berperan adalah lembaga keagamaan seperti gereja. Akan tetapi lembaga keagamaan pun sering kali belum menggali permasalahan dan cenderung tidak memberikan rekomendasi untuk bercerai dengan pertimbangan norma-norma keagamaan. Walaupun di tingkat Pengadilan Agama UU PKDRT belum menjadi pertimbangan dalam memutuskan perkara perceraian, Mahkamah Agung (MA) sudah berinisiatif melakukan langkah-langkah strategis. Diantaranya dengan menjalin kerja-

Peradilan Agama/Mahkamah Syar'iyah. Setalah MA melakukan perubahan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan di Empat Lingkungan Peradilan, MA turut menyesuaikan pedoman di atas dengan rekomendasi dari Tim Sepuluh Jejaring Lintas Instansi untuk Pengintegrasian UU PKDRT. Menindak lanjuti hal tersebut, Rifka Annisa menginisiasi 4 (empat) wilayah, yaitu Nangro Aceh Darussalam, DKI Jakarta, D.I.Yogyakarta dan Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil pantauan di lapangan, Pengadilan Agama terlihat belum seutuhnya menerapkan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan Empat Lingkungan Peradilan. Penerapan baru berjalan di Pengadilan Agama Maka-

Walaupun di tingkat Pengadilan Agama UU PKDRT belum menjadi pertimbangan dalam memutuskan perkara perceraian, Mahkamah Agung (MA) sudah berinisiatif melakukan langkah-langkah strategis

sama melalui Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (BADILAG MA), Rifka Annisa, LBH-APIK Jakarta, PTA Ambon, PTA Jakarta, PTA Yogyakarta, PA Jakarta Tmur, PA Bantul, PSW UIN Sunan Kalijaga dan Komnas Perempuan yang tergabung dalam Tim 10 jejaring lintas Instansi untuk pengintegrasian UU PKDRT. Berdasarkan rekomendari dari Tim Sepuluh Jejaring Lintas Instansi untuk Pengintegrasian UU PKDRT, MA merevisi Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan di Empat Lingkungan Peradilan. Kebijakan itu dapat dilihat pada bagian Bab Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis

18

Rifkamedia

sar, itupun belum secara menyeluruh dan hanya berdasarkan inisiatif salah satu hakim. Kedepannya, ekspektasi yang besar tertuju pada Pengadilan Agama agar lebih mengikuti perkembangan tentang sejumlah kebijakan-kebijakan baru, termasuk tentang buku pedoman dan UU yang telah berlaku yang telah dikeluarkan oleh MA. Berkaca pada kondisi di atas, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi Pengadilan Agama. Tantangan ke depan bukan hanya terletak untuk memajukan Peradilan di Indonesia, tetapi juga sekaligus menyelenggarakan komunikasi, infor-

November 2012-Januari 2013

masi dan edukasi serta merumuskan kebijakan-kebijakan yang dianggap perlu tentang kekerasan dalam rumah tangga. Sebab itu pula, pengintegrasian UU PKDRT di Pengadilan Agama merupakan urgensi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Referensi: Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nur Hasyim dan Aditya Putra Kurn i a w a n ( e d , ) , Pe m a n t a u a n implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di enam propinsi di Indonesia, Yogyakarta: Rifka Annisa, 2009. Endah Nurdiana dkk, (ed.), Catatan Untuk Bidang-Bidang Strategis, Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Jakarta: Kementrian Negara dan Masyarakat, 2000. Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, Purwokerto: Pusat Studi gender STAIN Purwokerto, bekerjasama dengan Fajar Pustaka Yogyakarta, 2006. Ida Budhianti, Pembaruan Hukum Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga, makalah seminar regional tentang kebijakan pemerintah daerah dalam merespon UU PKDRT, PSG STAIN PurwokertoKPI, tanggal 11 Juni 2005. Profil Peradilan Agama, diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI tahun 2011, hlm. 28.


Laporan Utama

ALTERNATIF PENYELESAIAN KASUS KDRT DI LUAR PENGADILAN: ANTARA EFISIENSI DAN KEADILAN BAGI KORBAN Oleh:

Hani Barizatul Baroroh | mahasiswi Magister Ilmu Hukum UGM, Relawan rifka media Laksmi Amalia | Mahasiswi Fakultas kedokteran UGM, Relawan Rifka Media


Laporan Utama Agenda penghapusan kekerasan dalam rumah tangga belum sepenuhnya selesai. Diperlukan alternatif penyelesaian di luar pengadilan Agenda penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) belum sepenuhnya selesai. Meskipun pemerintah telah menerbitkan UndangUndang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUPKDRT), tetapi produk hukum ini belum mampu menjadi solusi bagi para korban kekerasan. Ada keengganan dari perempuan korban kekerasan untuk menyelesaikan kasus tersebut lewat pengadilan. “Jarang sekali kasus KDRT yang sampai ke pengadilan. Dari 25 kasus KDRT yang ditangani Rifka Annisa bulan ini (Agustus.red) saja, hanya 2 atau 3 yang dipidanakan,�ujar Lisa Octaviani konselor hukum Divisi Pendampingan Rifka Annisa. Malu, aib,dan martabat adalah alasan yang sering membuat perempuan terjebak dalam lingkaran kekerasan. Atas dasar itu, perempuan lebih sering memilih diam. Mereka dihantui perceraian dan sanksi pidana yang mungkin akan dijatuhkan kepada pasangan mereka. Terlebih jika secara ekonomi mengalami ketergantungan terhadap si pelaku kekerasan. Mereka khawatir tidak ada yang menafkahi anak-anaknya, jika suami mereka harus masuk penjara. Ketidaksetujuan pihak keluarga atas gugatan pidana yang diajukan perempuan korban kekerasan juga sering menjadi alasan mengapa perempuan enggan memproses kasus kekerasan yang dialaminya. “Ada klien yang anaknya mogok sekolah waktu mendengar bapaknya akan digugat oleh ibunya karena anak ini takut kehilangan figur bapaknya,�tutur Farastika Shinta Devie konselor hukum Divisi Pendampingan Rifka Annisa. Disisi yang lain para perempuan korban kekerasan merasa takut jika

20

Rifkamedia

mendapatkan stigma dari masyarakat sebagai istri yang tega menjebloskan suaminya ke dalam penjara. Mereka takut jika sampai suami balas dendam. Dari sisi perlindungan, undangundang yang ada saat ini masih lemah dalam melindungi perempuan korban kekerasan yang melaporkan pelaku atau suaminya ke kepolisian. Banyak pihak termasuk Aparat Penegak Hukum (APH) dan para korban kekerasan menilai bahwa urusan rumah tangga seharusnya menjadi urusan pribadi. Orang lain seharusnya tidak boleh tahu apapun yang terjadi di dalamnya. Apalagi jika persoalan rumah tangga masuk dalam ranah perdata. Akan tetapi ketika rumah tangga di tunggangi kekerasan, maka persoalan ini tidak lagi menjadi konsumsi pribadi.

kekerasan dalam rumah tangga, terutama Kekerasan Terhadap Istri (KTI) dalam laporan tahunan divisi pendampingan Rifka Annisa memperlihatkan bahwa upaya litigasi yang dilakukan terhadap perempuan korban kekerasan cenderung bersifat perdata. Data di atas menunjukkan bahwa pengadilan agama dan pengadilan negeri yang paling banyak menerima kasus perkara ini. Namun pengadilan agama mengaku tidak memakai Undang-Undang PKDRT dalam menangani kasus tersebut. Hakim perkara perdata tidak memiliki otoritas untuk mengadili perkara pidana 1. Salah satu hakim di Pengadilan Agama Wonosari, misalnya, menganggap peraturan perundang-undangan

Tabel 1. Laporan Litigasi Divisi Pendampingan Rifka Annisa 2010-2011

Sumber: Laporan Tahunan Divisi Pendampingan Rifka Annisa 2010-2011

Persoalan ini seketika menjadi persoalan pidana. Penegakan hukum terhadap kekerasan memaksa para pihak untuk menyeret persoalan tersebut ke ranah publik. Dalam kajian hukum di Indonesia, pembagian tentang persoalan pidana dan perdata akan berimplikasi terhadap kewenangan pengadilan yang akan menyelesaikan perkara. Persoalan keperdataan terkait dengan rumah tangga diselesaikan di pengadilan agama atau pengadilan negeri, sedangkan penyelesaian perkara pidana dilakukan di pengadilan negeri. Masuknya Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga dalam ranah pidana tidak diimbangi dengan jumlah perkara yang masuk melalui jalur pidana. Beberapa kasus

November 2012-Januari 2013

terhadap kasus perdata sudah mumpuni, jadi tidak perlu lagi memakai UU PKDRT. Kasus-kasus yang terdapat di Pengadilan Agama menurutnya tidak fokus ke KDRT, jadi meskipun para hakim tahu tentang UU PKDRT mereka menganggap Undang-Undang tersebut tidak diperlukan dalam penyelesaian kasus di institusi mereka2. Hal tersebut mengindikasikan bahwa berbagai usaha Rifka Annisa WCC dan lembaga lain seperti LBH APIK Jakarta dalam pengintegrasian UU PKDRT ke dalam sistem peradilan agama yang dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu belum sepenuhnya berhasil. Untuk itu, jika perempuan mengajukan perceraian atas dasar kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya, maka perempuan tersebut harus mengalami proses dua kali, yaitu


Laporan Utama pengadilan kasus perdata dan pidana. Persoalan ini pun menjadi faktor tambahan timbulnya keengganan bagi perempuan untuk menempuh jalur hukum yang lebih lanjut. Selain proses peradilan yang akan berlangsung lama, faktor biaya yang lebih besar juga menjadi pertimbangan (Iriyanto.S & Nurcahyo. L.I, 2006)3 . Perempuan dihantui dengan ancaman terjadinya kekerasan berlapis selama proses persidangan, termasuk adanya intervensi dari pihak keluarga yang mendorong pencabutan perkara dari proses pengadilan yang sedang berlangsung 4. Terlebih lagi jika korban ditangani oleh aparat yang tidak memiliki perspektif dan sensififitas gender. Hal itu tentunya semakin menambah krisis kepercayaan terhadap lembaga peradilan. Keadilan Restoratif Saat ini pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) mulai sering digunakan dalam upaya penyelesaian sengketa atau kasus hukum lainnya. Keadilan restoratif adalah sebuah proses dimana pihakpihak yang terlibat dalam sebuah tindak kejahatan secara bersama mencari cara untuk mengatasi akibat buruk dan pengaruhnya di masa yang akan datang (Marshal, 1999). Dalam hal ini, keadilan restoratif memiliki beberapa prinsip diantaranya, memberikan ruang bagi keterlibatan individu yang memiliki kaitan dengan korban terutama pelaku kejahatan, korban, keluarga dan komunitas di sekeliling korban, melihat tindak kejahatan dalam konteks sosial, arah pemecahan masalah yang berperspektif ke depan atau bersifat pencegahan dan praktek yang fleksibel. Ada beberapa tujuan dari implementasi keadilan restoratif. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan korban dalam hal ini adalah kebutuhan materi, keuangan, emosi dan sosial. Kedua, untuk mencegah pelaku melakukan kejahatannya lagi dengan

cara melibatkan pelaku dalam penyelesaian masalah di dalam komunitas, mendorong pelaku kejahatan untuk bertanggung jawab secara aktif terhadap perbuatannya. Ketiga, menciptakan kembali sebuah komunitas yang bekerja untuk mendukung proses pemulihan korban dan pelaku kejahatan serta aktif terlibat dalam memberantas kejahatan. Terakhir, menyediakan sarana untuk mencegah kenaikan jumlah kasus di pengadilan, biaya persidangan dan penundaan yang sering mewarnai proses di pengadilan. Mediasi Sebagai Solusi Alternatif Secara umum, ada beberapa jenis alternatif penyelesaian sengketa yang bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan hukum di luar pengadilan. Diantara upaya tersebut antara lain dengan negosiasi5, mediasi6, konsiliasi7, dan arbitrase8. Keempat prosedur ini digunakan dalam penyelesaian sengketa secara netral dan rahasia. Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang bisa digunakan sebagai alternatif pada penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga. Mediasi penal juga merupakan perwujudan dari implementasi keadilan restoratif. Istilah ini ditemukan dalam berbagai bahasa, diantaranya “mediation in criminal cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut “strafbemiddeling”, dalam istilah Jerman disebut ”Der Außergerichtliche Tataus-gleich” (disingkat ATA9) dan dalam istilah Perancis disebut ”de mediation pénale”. Karena mediasi penal mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah ”VictimOffender Mediation” (VOM), TäterOpfer-Ausgleich (TOA), atau Offender Victim Arrangement (OVA)10. Mediasi penal juga dikenal dengan istilah ADR atau ”Alternative

Dispute Resolution”; ada pula yang menyebutnya “Apro-priate Dispute Resolution” dan penyelesaian di luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan membawa berbagai keuntungan, diantaranya: Pertama, untuk mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di lembaga peradilan. Kedua, meningkatkan keterlibatan masyarakat (desentralisasi hukum) atau memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa. Ketiga, memperlancar jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat. Keempat, untuk memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak. Kelima, penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah. Keenam, bersifat tertutup/ rahasia. Ketujuh, lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, sehingga hubungan pihak-pihak bersengketa di masa depan masih dimungkinkan terjalin dengan baik. Kedelapan, mengurangi merebaknya “permainan kotor” dalam lembaga peradilan11. ADR biasanya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata, tidak pada kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan. Meskipun begitu, dalam praktek sering ditemui adanya penyelesaian kasus di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam masyarakat seperti musyawarah keluarga, musyawarah desa, musyawarah adat, dan sebagainya. Praktek penyelesaian perkara diluar pengadilan untuk kasus pidana tersebut memang selama ini belum ada landasan hukum

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

21


Laporan Utama formalnya, sehingga seringkali suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai meskipun melalui mekanisme hukum adat, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku. Pembahasan tentang masuknya ADR dalam ranah pidana mulai dibicarakan dalam kajian hukum pidana di dunia internasional. Beberapa pembahasan pada kongres PBB, diantaranya kongres PBB ke-9/1995 dan ke10/2000 mengenai ”Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” dan dalam Konferensi Internasional Pembaharuan Hukum Pidana (International Penal Reform Conference) tahun 1999, menjadi pembicaraan ADR dalam pidana. Pertemuan internasional itu mendorong munculnya tiga dokumen internasional yang berkaitan dengan masalah peradilan restoratif dan mediasi dalam perkara pidana, yaitu: (1) The Recommendation of the Council of Europe 1999 No. R (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters”. (2) The EU Framework Decision 2001 tentang “ The Standing of Victims in Criminal Proceedings”. (3) The UN Principles 2002 (draft Ecosoc) tentang “Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters.”12 Latar pemikiran tentang mediasi penal tersebut terkait dengan beberapa hal, diantaranya ide-ide pembaharuan hukum pidana (penal reform) dan masalah pragmatisme. Latar belakang munculnya ide-ide ”penal reform” itu antara lain ide perlindungan korban, harmonisasi, restorative justice, mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem yang berlaku, menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana penjara (alternative to imprisonment/alternative to custody) dan sebagainya. Sedangkan yang melatarbelakangi pragmatisme antara lain untuk

22

Rifkamedia

kannya rekonstruksi model terdahulu,

Ide mediasi mereka yang menghendaki dipermempersatukan kuatnya kedudukan korban, mereka yang menghendaki alternatif pidana, mereka yang dan mereka yang menghendaki dimenghendaki kuranginya pembiayaan dan beban dilakukannya kerja dari sistem peradilan pidana rekonstruksi model atau membuat sistem ini lebih efektif terdahulu, mereka yang dan efisien.) menghendaki Dalam kaitannya dengan kasus Sumber gambar: http://warungbarangantik.blogspot.com/2010_08_01_archive.html kekerasan di dalam rumah tangga, diperkuatnya beberapa negara lain sudah mencankedudukan korban, tumkan mediasi penal dalam produk mereka yang hukum mereka. Di Indonesia, ketenmenghendaki alternatif tuan mediasi penal tidak terdapat pidana, dan mereka dalam UU PKDRT No.23 tahun 2004. yang menghendaki Meskipun begitu, dalam prakteknya, mediasi penal sering digunakan dadikuranginya lam penanganan kasus KDRT. Hal ini pembiayaan dan diperkuat dengan hasil penelitian beban kerja dari yang pernah dilakukan oleh Rifka sistem peradilan Annisa yang didukung oleh Foundapidana atau membuat tion Open Society Institute (FOSI) mengenai implementasi Undangsistem ini lebih efektif Undang PKDRT di enam propinsi di dan efisien.

mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara (The problems of court case overload), untuk penyederhanaan proses peradilan dan sebagainya. Latar belakang ide/dasar pemikiran dari model mediasi ini juga ditemukan dalam rekomendasi No. R (99) 19 dari komisi para Menteri Dewan Eropa (the Committee of Ministers of the Council of Europe) 15 September 1999 yang pernah menyatakan bahwa : The idea of mediation unites those who want to reconstruct long foregone modes of conflict resolution, those who want to strengthen the position of victims, those who seek alternatives to punishment, and those who want to reduce the expenditure for and workload of the criminal justice system or render this system more effective and efficient. (Ide mediasi mempersatukan mereka yang menghendaki dilaku-

November 2012-Januari 2013

Indonesia. Di wilayah monitoring Jakarta pada tahun 2008 ada kecenderungan pelaporan kasus KDRT berakhir dengan mediasi (Rifka Annisa, 2009). Dari database kasus Rifka Annisa juga diperoleh data bahwa sejak tahun 1998-2008, hanya sekitar 10% dari total kasus KDRT yang berlanjut ke jalur hukum. Banyak kasus KDRT yang berakhir dengan mediasi yang terjadi atas saran para Aparat Penegak Hukum (APH) baik kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Hal ini terungkap lewat penyataan salah satu APH dalam penelitian yang pernah dilakukan Rifka Annisa dan jaringannya. “Iya. Semua laporan ditindaklanjuti. Namun demikian dalam tahap penyelidikan ini tadi biasa juga korban mencabut laporan. Kita mediasi. Karena salah satu tujuan undangundang KDRT ini adalah menjaga keutuhan rumah tangga. Konsekuensinya, kedua belah pihak membuat pernyataan bahwa si pelaku tidak


Laporan Utama akan mengulangi lagi. Kemudian, biasa juga ada syarat yang diajukan korban bahwa kalau misalnya pertengkaran itu dimasukkan semua dalam poin perjanjian dan ditandatangani kedua belah pihak, ” kata Kanit PPA/RPK Polres Makassar Barat. Banyak APH yang menyarankan mediasi pada kasus KDRT berpegang pada semangat menjaga keutuhan rumah tangga seperti yang ditulis pada UU PKDRT pasal 4 poin (d) yang berbunyi: Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera (UU PKDRT No.23 tahun 2004). Jika dilihat secara keseluruhan dalam pasal 4 UUPKDRT, isi pasal 4 tersebut dikatakan bahwa ada empat tujuan utama penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan diantaranya adalah melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga serta menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Seharusnya, para APH mampu memahami isi pasal 4 UUPKDRT tersebut dan mengimplementasikannya secara utuh dan tidak sepenggal-sepenggal.

Pendampingan Rifka Annisa, sejak bulan Juli-Desember tahun 2010 terdapat 11 kasus yang diselesaikan lewat jalur mediasi sedangkan pada bulan Januari sampai Desember 2011, ada satu kasus yang diselesaikan lewat jalur mediasi. Dengan catatan dilakukan tanpa paksaan, biasanya mediasi memberikan efek psikologis positif bagi korban karena sebagian besar korban kekerasan sebenarnya hanya menginginkan kekerasan dalam rumah tangganya yang berakhir dan bukan pernikahannya yang berakhir atau perpisahan karena suami dibui. Proses mediasi menawarkan sebuah model resolusi konflik yang bersifat konstruktif sebagai sebuah kesempatan untuk mengakhiri siklus kekerasan sekaligus menumbuhkan harapan pemberdayaan bagi korban serta rehabilitasi bagi pelaku KDRT (Corcoran dkk, 1990). Sebagai hasil dari proses mediasi yang berlangsung, maka disetujui adanya surat persetujuan yang mengikat pelaku sehingga bisa dijadikan sebagai jaminan bagi korban KDRT.

Tabel 2. Jumlah Mediasi Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan pada tahun 2007 di Yogyakarta

Sumber: “Pemantauan Implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Enam Propinsi di Indonesia.”Rifka Annisa, Maret 2009.

Melihat banyaknya korban yang memilih jalur penyelesaian kasus KDRT di luar pengadilan, maka Rifka Annisa memfasilitasi mediasi atas permintaan korban dimana konselor bertindak sebagai mediator. Berdasarkan Laporan Tahunan Divisi

Surat perjanjian tersebut harus berkekuatan hukum dengan syarat harus mencantumkan secara detail perilaku kekerasan dan sanksi yang jelas, harus ada saksi-saksi dari pihak pelaku maupun korban yang dituakan dan memiliki pengaruh seperti ketua

RT/RW, polisi, atau anggota keluarga yang dituakan, atau atasan di kantor serta harus ditandatangani di atas materai. Implementasi dari isi surat perjanjian pun harus diawasi secara tegas baik oleh korban KDRT dan para saksi. Sanksi bagi pelaku yang termuat dalam surat perjanjian mediasi berfungsi sebagai ganti rugi atas tindakan yang pernah dilakukan oleh pelaku KDRT. Menurut Marshall, ganti rugi ini bisa berupa pembayaran uang, pelaku harus bekerja untuk korban, bekerja untuk komunitas dimana jenis pekerjaannya ditentukan oleh korban,melakukan konseling atau campuran hal-hal di atas. “Salah satu bentuk follow up dari proses mediasi biasanya adalah couple counseling,” tambah Shinta. Couple counseling atau konseling pasangan dilakukan oleh konselor perempuan dari Divisi Pendampingan dan konselor laki-laki dari Divisi Man's Program. Kontroversi Penggunaan Hukum Adat Selain mediasi penal, alternatif penyelesaian lain di luar pengadilan adalah dengan menggunakan perangkat hukum adat. Di beberapa daerah yang masih memiliki hukum adat yang kuat seperti di Bali, proses adat menjadi penyelesaian pertama sebelum di bawa ke pengadilan untuk memperoleh putusan misalnya dalam kasus perceraian (Rifka Annisa, 2012). Namun sistem hukum adat ini masih didominasi oleh budaya patriarki yang begitu kuat sehingga keterwakilan perempuan yang menduduki posisi-posisi strategis dalam sistem adat masih sangat kurang. Hal ini berimplikasi pada penanganan kasus yang belum adil jender dan perempuan yang notabene sebagai korban kekerasan justru menjadi pihak yang harus menanggung sanksi adat. Kewajiban ini harus dilakukan dengan asumsi untuk membayar rasa

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

23


Laporan Utama malu karena dianggap mengotori wibawa desa adat misalnya kasus kehamilan tidak diinginkan, keluarga pihak perempuan yang dihamili yang harus membayar denda. Rifka Annisa sendiri sampai saat ini belum pernah menggunakan hukum adat sebagai cara untuk membantu penyelesaian kasus KDRT dan cenderung menyarankan menggunakan jalur mediasi. Namun tidak selamanya pengadilan adat merugikan perempuan korban. Menurut pantauan Komnas Perempuan, pengadilan adat di Ngata Toro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah menjadi contoh mengenai pengadilan adat yang berpihak kepada perempuan. Hampir 80% kasus kekerasan terhadap perempuan di daerah ini diselesaikan dengan mekanisme adat karena prosesnya cepat kurang lebih sekitar tujuh hari dan pelaku segera mendapatkan sanksi sosial. Jika kasus KDRT dan kasus kekerasan terhadap perempuan lainnya seperti perkosaan dan kekerasan dalam pacaran dilaporkan oleh seorang perempuan, maka semua keterangan korban kekerasan dibenarkan oleh lembaga adat. Pada kasus KDRT, seorang pelaku kekerasan diwajibkan untuk membayar denda yaitu satu ekor kerbau atau 10 lembar kain atau 10 dulang (nampan besar terbuat dari tembaga). Begitu juga jika perempuan korban KDRT ingin pelaku dihukum, maka perempuan korban bisa membawa kasus KDRT ke jalur pengadilan formal. Akan tetapi, keterlibatan perempuan di dalam lembaga pemangku adat dirasa masih kurang sehingga diperlukan peningkatan kapasitas perempuan setempat agar lebih banyak perempuan yang duduk di lembaga pemangku adat sehingga keputusan yang diambil pun lebih adil gender. []

2

3

4

5

6

7

8

9

Catatan Akhir: 1

Sulistyowati Irianto dan Antonius Cahyadi, Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana: Studi Peradilan Kasus Kekerasan terhadap

24

Rifkamedia

10

Perempuan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, hlm. 6 Hasil wawancara dengan salah seorang hakim pengadilan negeri Wonosari pada 4 Juli 2012. Salah seorang korban kekerasan, Yanti, mengaku membayar sejumlah uang kepada propam (provost polisi) sebagai uang kompensasi agar kasusnya lekas diproses. Meskipun hal tersebut merupakan inisiatif dari Yanti, tetapi hal itu menjadi indikasi bahwa sebagian besar masyarakat menganggap jika tidak mau berlama-lama berurusan dengan polisi maka harus ada kompensasinya. Sulistyowati Iriyanto dan Lidwina Inge Nurcahyo, Perempuan di Persidangan- Pemantauan Peradilan Berperspektif Perempuan, Jakarta: Yayasan Obor, 2006, hlm. 156 Kekerasan dalam rumah tangga dalam UU no. 23 tahun 2004 merupakan delik aduan, artinya perempuan dapat mencabut kasus tersebut. Negosiasi merupakan model penyelesaian sengketa melalui perundingan secara langsung antara pihak yang bersengketa guna mencari atau menemukan bentukbentuk penyelesaian yang dapat diterima pihak-pihak yang bersangkutan. Lihat Adi Sulistyono, Op. Cit., hlm. 400 Mediasi merupakan model penyelesaian sengketa dimana pihak luar yang tidak memihak dan netral (mediator) membantu pihak-pihak yang bersengketa guna memperoleh penyelesaian sengketa yang disepakati para pihak. Ibid., hlm. 401 Konsiliasi sukarela merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan melibatkan pihak ketiga netral untuk membantu para pihak yang bersengketa dalam menemukan bentukbentuk penyelesaian yang dapat disepakati para pihak. Konsiliasi sering lebih formal dari mediasi, namun demikian kedudukan konsiliator dalam proses penyelesaian sengketa lebih pasif, sedangkan kedudukan mediator memainkan peranan aktif dalam penyelesaian sengketa. Ibid., hlm. 404 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Lihat pada Bab I ketentuan Umum Pasal 1 Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Di Austria terdiri dari ATA-J (Außergerichtlicher Tatausgleich für Jugendliche) untuk anak, dan ATA-E (Außergerichtlicher Tatausgleich für Erwachsene) untuk orang dewasa. Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal : Penyele-

November 2012-Januari 2013

saian Perkara Pidana di Luar Pengadilan, http://bardanawawi.wordpress.com/2009/ 12/27/mediasi-penal-penyelesaian-perkara-pidana-di-luar-pengadilan/, akses pada tanggal 16 April 2012. 11 Adi Sulistyono, Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi di Indonesia, Surakarta: UNS Press, 2006, hlm. 15 12 Barda Nawawi Arief, Loc., Cit. Referensi: Tim Penyusun Rifka Annisa (2009), “Pemantauan Implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Enam Propinsi di Indonesia”. Rifka Annisa, Maret 2009. Tim Penyusun Rifka Annisa (2012), “Kumpulan Artikel Jambore WCC 2012”. Rifka Annisa, Juni 2012 Laporan Tahunan Divisi Pendampingan Rifka Annisa Tahun 2010-2011 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Marshall, Tony E (1999), “Restorative Justice: An Overview”. Home Office Research Development and Statistics Directorate, 1999. Corcoran,Kathleen O'Connell dan Melamed, James C, “From Coercion to Empowerment: Spousal Abuse and Mediation”. Mediation Quarterly, volume 7, no.4, 1990. http://www.komnasperempuan.or.id/2010/09 /peran-penting-pengadilan-adat-dalampenyelesaian-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan/,diakses 17 September 2012 Iriyanto, Sulistyowati dan Lidwina Inge Nurcahyo, Perempuan di PersidanganPemantauan Peradilan Berperspektif Perempuan, Jakarta: Yayasan Obor, 2006 Irianto, Sulistyowati dan Antonius Cahyadi, Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana: Studi Peradilan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, hlm. 6 Arief, Barda Nawawi, Mediasi Penal : Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan, http://bardanawawi.wordpress.com/2009/12/27/mediasi-penalpenyelesaian-perkara-pidana-di-luarpengadilan/, akses pada tanggal 16 April 2012 Sulistyono, Adi, MengembangkanParadigma Non-Litigasi di Indonesia, Surakarta: UNS Press, 2006


Laporan Utama

Perempuan dan Keluarga dan Upaya Hukum untuk Keluar dari Konflik Oleh: Drs. Abdul Aziz, MHI Hakim Pengadilan Agama Batusangkar, Sumatra Barat


Laporan Utama Pihak korban banyak yang memilih untuk tidak mengangkat kasus pidananya ke Pengadilan Negeri dengan berbagai pertimbangan dan rasa kasihan terhadap pelaku. Bagaimana seharusnya hukum melindungi korban? Perkawinan adalah suatu institusi yang suci harus dijaga keabadiannya, hal ini senada dengan apa yang termaktub dalam Pasal 33 Undangundang No. 1 tahun 1974. Sudah menjadi garis alam bahwa tidak ada kehidupan yang berjalan mulus tanpa adanya hambat dan rintang. Dalam perkawinan suatu masalah kadangkadang dibutuhkan, untuk menjaga dinamika keluarga. Akan tetapi persoalan-persoalan kecil menjadi masalah besar sehingga terjadi pertikaian, kekerasan, dan penganiayaan yang akhirnya berujung pada perceraian. Setiap orang dalam rumah tangga berpotennsi menjadi korban kekerasan. Siapapun yang merasa subordinan dalam keluarga. Sehingga korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) bisa saja suami, istri, anak, anggota keluarga yang hidup di dalam rumah tangga dan orang yang bekerja dalam rumah tangga tersebut, seperti pembantu rumah tangga. KDRT terjadi disebabkan oleh pemahaman anggota keluarga tentang hak dan kewajiban yang tidak mampu mereka tunaikan secara wajar. Beberapa faktor penyebab terjadinya tindakan kekerasan penganiayaan dalam rumah tangga antara lain, faktor penelantaran rumah tangga, faktor ekonomi, kurangnya komunikasi antara suami - istri dan sudah tidak ada lagi rasa cinta dan kasih sayang diantara mereka. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang disahkan 14 September 2004 terdiri dari 10 bab dan 56 pasal. Dari

26

Rifkamedia

UU PKDRT menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam: Pertama, lingkup rumah tangga (Pasal 2 ayat 1). Lingkup ini terdiri atas, a). Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); b). Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau c). Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga paling tidak mengandung dua peristiwa hukum yaitu peristiwa hukum perdata dan peristiwa hukum pidana yang harus diterapkan oleh Hakim dalam menyusun putusan

November 2012-Januari 2013

menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga). Kedua, Bentuk-bentuk KDRT adalah (Pasal 5): a).Kekerasan fisik, perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. b) .Kekerasan psikis; perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. c).Kekerasan seksual; setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. d).Penelantaran rumah tangga. Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut . Kekerasan Dalam Rumah Tangga paling tidak mengandung dua peristiwa hukum yaitu peristiwa hukum perdata dan peristiwa hukum pidana yang harus diterapkan oleh Hakim dalam menyusun putusan.


Laporan Utama Ranah Perdata (Pengadilan Agama) Akhir-akhir ini, KDRT makin marak di masyarakat adalah yang terjadi pada istri. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suami pada istrinya, yang berakibat t i m b u l n y a ke s e n g s a r a a n a t a u penderitaan secara fisik, seksual, Psikis ataupun ekonomi atau penelantaran dalam keluarga bahkan termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. Setelah membaca definisi di atas, tentu pembaca sadar bahwa kekerasan pada istri bukan hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun juga penyiksaan verbal yang sering dianggap remeh namun akan berakibat lebih fatal dimasa yang akan datang. Menurut keterangan Elfitneliswati, Panitera Muda Hukum Peradilan Agama Batusangkar, dalam tahun 2011 telah menerima perkara sebanyak 763 kasus. Diantaranya kasus perceraian yang terdiri cerai talak sebanyak 203 perkara dan cerai gugat sebanyak 384 perkara. Adapun penyebabnya adalah faktor poligami (14 kasus), krisis akhlak (44 kasus), cemburu (30 kasus), kawin paksa (31 kasus), keadaan ekonomi (233 kasus), penganiayaan (26 kasus), suami dihukum (3 kasus), cacat biologis (25 kasus), politis (1 kasus), gangguan pihak ketiga (112 kasus), dan adanya tidak adanya keharmonisan (497 kasus). Bila kita lihat faktorfaktor penyebab terjadi cerai talak maupun cerai gugat merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga seba-gaimana yang dijelaskan dalam Undang Undang Nomor 23 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 pasal 19 poin (a),

Kompilasi Hukum Islam pasal 77dan pasal 116 poin (a), Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Bila kita melihat dari berbagai kasus perceraian yang dimasukkan ke Pengadilan Agama Batusangkar pada substansinya adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004 adalah kekerasan secara fisik, psikis, seksual dan penelantaran ekonomi. Keempat bentuk kekerasan tersebut dapat disilangkan menjadi beberapa kelompok karena fakta lapangan menunjukkan kecenderungan korban KDRT menerima/ mengalami lebih dari satu jenis KDRT. Pertautan antar bentuk-bentuk kekerasan tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

Sejalan dengan temuan dipersidangan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga meliputi: Pertama, kekerasan fisik: dipukul, ditampar, ditonjok, dijambak, didorong, disundut rokok, dicekik, digigit, dicubit, diinjak, dicengkeram, ditendang dan dibanting. Kedua, kekerasan ekonomi (penelantaran nafkah) : tidak memberi nafkah, ditinggal pergi pelaku tanpa kabar berita, ditinggali hutang oleh pelaku, mengakibatkan ketergantungan ekonomi, tidak boleh berkerja, dibatasi akses ekonominya. Ketiga, kekerasan seksual: pemaksaan dalam hubungan seksual atau yang tidak dikendaki korban misalnya korban dalam keadaan menstruasi, sakit dan kecapekan atau pemasangan alat-alat atau obat-obatan pe-

Pengadilan Agama Batusangkar Rekap Faktor Penyebab Perceraian Tahun 2011 No.

Faktor-Faktor Penyebab

PerceraianTotal

1.

Poligami Tidak Sehat

12 Perkara

2.

Krisis Akhlak

78 Perkara

3.

Cemburu

91 Perkara

4.

Kawin Paksa

0 Perkara

5.

Ekonomi

154 Perkara

6.

Tidak Ada Tanggung Jawab

243 Perkara

7.

Kawin Di Bawah Umur

0 Perkara

8.

Kekejaman Jasmani

4 Perkara

9.

Kekejaman Mental

0 Perkara

10.

Dihukum

5 Perkara

11.

Cacat Biologis

0 Perkara

12.

Politis

0 Perkara

13.

Gangguan Pihak Ketiga

0 Perkara

14.

Tidak Ada Keharmonisan

0 Perkara

15.

Lain-Lain

0 Perkara

Jumlah Total

587 Perkara

Sumber data: Pengadilan Agama Batusangkar (Tahun 2011)

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

27


Laporan Utama

muas sek serta hypersex, pelaku menularkan penyakit seksual (HIV, AIDS). Keempat, kekerasan Psikis: hinaan, cacian, makian, intimidasi, merendahkan korban, dibentak, diusir, pelarangan dalam ibadah, dibohongi, pelaku tanpa kabar berita, perselingkuhan dan poligami. Dalam kasus-kasus KDRT, dan kekerasan terhadap perempuan lainnya, kekerasan psikis biasanya selalu beririsan dengan bentuk KDRT yang lainnya. Korban yang mengalami kekerasan fisik, seksual dan penelantaran nafkah, mesti terpengaruh kondisi psikologisnya. Pemulihan psikologis, karena itu, merupakan upaya intervensi yang penting dilakukan. Poligami dan perselingkuhan, dalam catatan kami, merupakan satu bentuk kekerasan yang sarat dengan pergumulan batin perempuan korban. Ditemukan fakta kasus, perselingkuhan yang angkanya mencapai 60,1 % dari 314 kasus mencetuskan peristiwa KDRT. Perselingkuhan adalah awal dari tindak poligami, atau modus lainnya, pelaku tetap menjalin hubungan dengan pasangan selingkuh-

28

Rifkamedia

nya dengan “sembunyi-sembunyi”. Hal tersebut menunjukkan betapa kasus kekerasan terhadap istri banyak terjadi dalam berbagai bentuk, modus dan pelakunya adalah orang yang seharusnya paling terdepan untuk memberikan perlindungan terhadap istri sebagai tugas dan tanggungjawab sebagai suami dan kepala rumah tangga. Sebelum lahirnya UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud kekerasan dalam rumah tangga adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Pengadilan Agama sesuangguhnya telah memberikan perlindungan hukum terhadap istri yang menjadi korban KDRT, sehingga ketika Pasal 1 ayat (1) UU No.23 tahun 2004 dihu-

November 2012-Januari 2013

bungkan dengan perkara perceraian di Pengadilan Agama, maka akan diperoleh dasar pemikiran (basic reason): pertama, kalimat “keseng-saraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan psikoligis” bersesuaian dengan perkara perceraian yang diajukan oleh pihak isteri dengan alasan suami telah menyakiti badan/ jasmani istri (bunyi taklik talak angka (3) ). Kata menyakiti dalam perjanjian perkawinan (taklik talak) luas maknanya, sehingga dapat ditafsirkan menyakiti badan/fisik atau menyakiti rohani/psikologi. Rumusan ayat (3) sighat taklik talak yang berbunyi: “atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu” tidak ada penjelasan lebih lanjut, sehingga perlu ada penjelasan tentang perbuatan apa saja dan kadar sakit yang bagaimana yang dapat dikategorikan menyakiti badan/jasmani. Menurut WJS Poerwadarminta 8 pengertian menyakiti adalah sebagai berikut: Menyebabkan orang terasa sakit; Menyengsarakan, merundung; Sakit hati,melukai hati; Menyakiti diri, bekerja dengan tidak mengenal lelah, mengusahakan diri-


Laporan Utama nya dengan keras, misalnya menyakiti dirinya karena ingin mendapat pujian. Alasan perceraian yang sejenis dengan ayat (3) dari sighat taklik talak ini adalah pasal 19 Peraturan Pemerintah Tahun 1975, yaitu salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. Menurut M. Yahya Harahap, Pasal 19 huruf d Peraturan Pemerintah Tahun 1975 tersebut pada dasarnya mengandung unsur-unsur : (1). Berupa penganiayaan fisik. (2). Penganiayaan mental ( mental cruelty). (3). Kadar kualitasnya membahayakan kehidupan jasmani atau menyengsarakan jiwa/rohani. Pasal 19 huruf d Peraturan Pemerintah Tahun 1975 tersebut dapat ditafsirkan bukan sekedar kekejaman atau penganiayaan fisik saja tetapi juga kekejaman atas jiwa/rohani. Selanjutnya jika kita perhatikan fakta yuridis, bahwa yang dimaksud menyakiti pada ayat (3) sighat taklik talak adalah menyakiti badan/jasmani, dengan demikian tidak dapat diperluas dengan pengertian kekejaman atau penganiayaan Kendati demikian, kasus KDRT yang terjadi di Pengadilan Agama Batusangkar masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan kasus KDRT yang berujung perceraian di kotakota lain di Indonesia. Sebenarnya banyak korban KDRT memilih bungkam ketimbang melaporkan kekerasan yang menimpanya ke instansi yang berwajib. Hal ini kurangnya pemahaman masyarakat hukum serta stigma negatif yang mudah melekat pada perempuan yang bercerai dengan suaminya. Namun tak sedikit pula perempuan korban KDRT yang memilih pada suaminya dengan berbagai pertimbangan nama baik keluarga dan ketergantungan ekonomi pada sang suami, sehingga pelaporan KDRT dicabut kembali oleh korban.Tak hanya ketakutan pihak

korban, pemahaman pihak aparat kepolisian yang masih kurang tentang tindak pidana KDRT yang menyebabkan banyak laporan KDRT yang masuk berakhir dengan perdamaian. Ranah Pidana (Pengadilan Negeri) Kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi antar suami istri, berlaku adalah delik aduan. Maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian (pasal 26 ayat 1). Dalam hal ini korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian (pasal 26 ayat 2).

Melalui undang-undang ini pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Untuk itu pemerintah harus (pasal 12): a). Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga; b). Menyelenggarakan komunikasi informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; c). Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan d). Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender. Selain itu, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerin-

Kendati demikian, kasus KDRT yang terjadi di Pengadilan Agama Batusangkar masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan kasus KDRT yang berujung perceraian di kota-kota lain di Indonesia.

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) pasal 10 menjelaskan hak hak korban sebagai berikut: a). bimbingan rohani. Selain itu, korban juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari (pasal 39): b). Tenaga kesehatan; c).Pekerja sosial; d). Relawan pendamping; dan/atau e). Pembimbing rohani.

tah dan pemerintah daerah dapat melakukan upaya berupa penyediaan ruang pelayanan khusus (RPK) di kantor kepolisian, penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani, pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerjasama program pelayanan yang mudah diakses korban, memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban.

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

29


Laporan Utama

“Panitera Muda Pidana Pengadilan Negeri Batusangkar menjelaskan, bahwa kasus KDRT dalam wilayah hukumnya banyak terjadi akan tetapi pihak korban banyak yang memilih untuk tidak mengangkatkan kasus pidananya ke Pengadilan Negeri dengan berbagai pertimbangan dan rasa kasihan terhadap pelaku...�

Undang-undang ini juga menyebutkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk (pasal 15): a). Mencegah berlangsungnya tindak pidana; b). Memberikan perlindungan kepada korban; c). Memberikan pertolongan darurat; dan d). Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. Sepanjang tahun 2011 dan tahun 2012 Pengadilan Negeri Batusangkar telah menerima perkara pidana sebanyak 235 kasus. Akan tetapi tercatat sebanyak 20 kasus KDRT/kekerasan terhadap anak kasus pada Pengadilan Negeri Batusangkar, dalam tiga tahun belakangan akan tetapi yang terkait langsung dengan KDRT terhadap perempuan (istri) sebanyak 3 kasus, 1 kaasus pada tahun 2011 (Nomor : 44/Pid/2011/PN.Bsk) dan 2 pada tahun 2012 ((Nomor : 46/Pid/2011/ PN.Bsk dan Nomor : 87/Pid/2021/ PN.Bsk). Menurut keterangan Syahrial Panitera Muda Pidana Pengadilan Negeri Batusangkar menjelaskan bahwa ketiga Kasus KDRT tersebut adalah berupa Pemukulan Terhadap Isteri

30

Rifkamedia

dilakukan Terdakwa hanya karena masalah sepele. Terdakwa melakukan aksi kekerasan berikutnya dengan cara menumbuk bagian lengan tangan sebelah kiri dan kanan. Perbuatan itu menyebabkan isteri yang menjadi saksi korban menderita kesakitan, karena pelipis, mata, dan lengan sebelah kiri bengkak, yang seluruhnya dinyatakan dalam visum et repertum oleh medis.Oleh karena itu atas dasar dakwaan tersebut, terdakwa dituntut hukuman pidana setimpal dengan KDRT yang dilakukan oleh Terdakwa. Panitera Muda Pidana Pengadilan Negeri Batusangkar menjelaskan, bahwa kasus KDRT dalam wilayah hukumnya banyak terjadi akan tetapi pihak korban banyak yang memilih untuk tidak mengangkatkan kasus pidananya ke Pengadilan Negeri dengan berbagai pertimbangan dan rasa kasihan terhadap pelaku. Ironis perempuan Sumatera Barat, khususnya Batusangkar banyak yang mandiri, dan memiliki eksistensi di lingkungan sosial, namun masih tabu membicarakan dirinya yang pernah menjadi korban KDRT dalam rumah tangganya dan mencukupkan penyelesaian persoalannya sebatas keperdataan saja (perceraian). []

November 2012-Januari 2013

Pustaka Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada Media. Tahun 2005. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama,Dirbinpera, Tahun 2004. Muchsin, Varia Peradilan No.303, Februari 2011. Muqoddas, M. Busyro, Menemukan Substansi Dalam Keadilan Procedural, 2009. Peraturan Pemerintah Nomor.9 tahun 1975. Kompilasi Hukum Islam. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam RumahTangga Harahap, Yahya, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Tahun 2008.


Laporan Utama

Mandatori Konseling dalam KDRT: Perubahan Perilaku Aktor Kekerasan dalam Aturan hukum Oleh: M. Saeroni Staff Program Advokasi Pengintegrasian UUPKDRT di Lembaga-lembaga Pelaksana Hukum Perkawinan bagi Umat Islam di Indonesia, pada Rifka Annisa Yogyakarta, Sedang menempuh studi di Magister Ilmu Hukum UGM angkatan 2011


Laporan Utama Penting untuk membangun mekanisme hukum agar pelaku menyadari perbuatannya dan bersedia untuk memperbaiki diri dan melakukan konseling perubahan perilaku kekerasan yang dilakukanya. Perkara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan perkara yang membutuhkan penyelesaian multi dimensi karena dapat menyangkut permasalahan sosial dan kemanusiaan. Penghukuman bagi pelaku saja tidak cukup untuk menanggulangi terjadinya kekerasan, karena KDRT disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan kekuatan antara korban dan pelaku. Penghukuman bagi pelaku saja tidaklah cukup memberikan keadilan bagi korban, mengingat seringkali masih meninggalkan permasalahan tersendiri bagi korban. Permasalahan itu misalnya perihal ekonomi, psikologis dan sosial serta kesehatan, karena kekerasan yang dialaminya ataupun karena ketidakmandirian korban berkenaan dengan ketidakseimbangan kekuasaan dalam relasi korban dan pelaku. Ketidak seimbangan kekuasaan inilah yang menyebabkan KDRT terjadi secara berulang. Ketergantungan dan ketidakmandirian korban berhadapan dengan pelaku menjadi faktor yang dominan. Pemidanaan pelaku sering tidak berakibat pada perimbangan kekuasaan dalam hubungan korban dan pelaku. Bahkan tidak menutup kemungkinan berujung pada perceraian dan masalah keperdataan keluarga. Persoalan KDRT tidak lepas dari masalah perilaku dan sistem nilai yang dianut oleh korban maupun pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang tidak seimbang. Keluarga dengan budaya patriarkhi cenderung menempatkan laki-laki atau suami

32

Rifkamedia

lebih dominan, dan perempuan atau istri pihak subordinat. Situasi inilah yang menyebabkan perempuan atau istri lebih rentan dan lebih sering menjadi korban kekerasan keluarga , dan laki-laki atau suami sebagai pelaku kekerasan. Disisi lain pendekatan penghukuman pelaku seringkali tidak menyentuh aspek perilaku maupun sistem nilai dan norma keluarga tersebut. Sehingga sekalipun pelaku telah dipidana, namun potensi melakukan kekerasan tetap ada, selama perilaku dan nilai-nilai yang diyakininya masih menempatkan dirinya sebagai pihak yang dominan dan berkuasa dalam rumah tangga. Pertanyaanya kemudian, bagaimana hukum mesti menjawab permasalahan ini? Dapatkah hukum menyentuh aspek perubahan perilaku dan sistem nilai pelaku kekerasan agar tujuan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) untuk mencegah dan menjaga keutuhan rumah tangga dapat terpenuhi?

Disisi lain pendekatan penghukuman pelaku seringkali tidak menyentuh aspek perilaku maupun sistem nilai dan norma keluarga tersebut. Sehingga sekalipun pelaku telah dipidana, namun potensi melakukan kekerasan tetap ada, selama perilaku dan nilainilai yang diyakininya masih menempatkan dirinya sebagai pihak yang dominan dan berkuasa dalam rumah tangga.

November 2012-Januari 2013

Pendekatan Restorative Justice dalam Perkara KDRT Ridwan Mansyur, dalam disertasinya “Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)�, mengemukakan bahwa penyelesaian perkara KDRT selama ini lebih menekankan pendekatan pemidanaan, sehingga tujuan dari Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) untuk mencegah KDRT, melindungi korban KDRT, dan memelihara keutuhan rumah tangga, tidak terpenuhi. Hanya tujuan represif atau menindak pelaku KDRT yang terpenuhi. Hal ini karena sistem peradilan pidana Indonesia sama sekali tidak bersifat konsolidatif, memelihara kutuhan rumah tangga, sehingga penyelesaian KDRT menurut UUPKDRT tersebut tidaklah efektif. Perkara KDRT mesti diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. Salah satu bentuk mekanisme restorative justice adalah dialog atau yang dikenal dengan istilah mediasi penal.1 (Ridwan Mansyur: 2010). Menurut Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan haruslah dilakukan secara integral, karena kejahatan merupakan permasalahan kemanusiaan dan sosial. Sanksi pidana tidak mampu memberantas sumber masalah dan mencegah terulangnya kejahatan pelaku. Menurutnya, hakikat berfungsinya hukum pidana sebagai obat sesaat sebagai penanggulangan gejala semata (simtomatik) dan bukan alat penyelesaian yang tuntas (kausatif).2Pandangan ini sangat relevan dengan pendapat Ridwan Mansyur yang mengajukan pendekatan restoratif melalui mediasi penal sebagai penyelesaian perkara KDRT. Namun pendekatan restoratif tersebut bukanlah tanpa masalah. Fatahilah A. Syukur dalam bukunya “Mediasi Penal KDRT: Teori dan


Laporan Utama

Praktek di Pengadilan Indonesia�, mengemukakan bahwa pendekatan restoratif berpotensi memprivatisasi KDRT sebagai persoalan keluarga semata dan sedikit memberikan perlindungan pada korban. Prinsip self determination yang ada dalam mediasi akan menempatkan korban KDRT yang relative dalam posisi lemah tidak mampu bernegosiasi secara konstruktif untuk diri sendiri karena ketidak seimbangan kuasa (power imbalance). Demikian pula pelaku KDRT biasanya juga sulit diajak kerjasama dengan baik dalam proses negosiasi karena terbiasa menggunakan kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya pada korban.3 Lebih lanjut Profesor Hilary Astor, seorang pakar mediasi dari Australia, menambahkan bahwa proses mediasi dapat memberikan beban yang sangat berat bagi korban KDRT (yang kebanyakan adalah perempuan) yang harus berhadap dengan pelaku di ruang sidang mediasi, proses mediasi juga bisa membahayakan korban bilamana tidak segera memberikan proteksi

terlebih dahulu terhadap korban terhadap serangan pelaku.4 Berdasarkan pertimbangan di atas, Fatahilah A. Syukur mengemukakan beberapa prasyarat substantif agar mediasi penal bisa menjadi metode yang efektif penyelesaian perkara KDRT, yaitu;5 Pertama, pelaku harus menyadari perbuatannya dan bersedia bertanggungjawab dan memperbaiki diri hingga KDRT tidak berulang; Kedua, mediasi penal lebih baik ditujukan untuk pelaku pemula yang belum pernah dihukum pengadilan sebelumnya; Ketiga, korban bersedia untuk menempuh proses mediasi penal dengan bekal informasi yang cukup dan bersikap realistis terhadap kemungkinan hasil yang bisa dicapai; Keempat, kedua belah pihak (korban dan pelaku) hadir dalam persidangan awal untuk ditanyakan kesediannya menjalani proses mediasi penal dan selalu hadir dalm setiap tahapan proses mediasi penal; Kelima, pelaku wajib mengikuti konseling untuk menyembuhkan perilaku kekerasan; Keenam, pelaku

wajib membayar ganti rugi kepada korbanuntuk biaya pemulihan penderitaan atas kekerasan yang dialami bila korban KDRT menghendaki, terutama bila tetap terjadi perceraian. Dengan demikian mediasi penal juga memberi keadilan kepada korban dimana selama ini pelaku justru membayar denda pada negara. Pendekatan mediasi ini sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam lingkup peradilan perdata, atau yang lebih dikenal dengan istilah mediasi saja. Berdasar pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2008, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib diupayakan mediasi terlebih dahulu. Bahkan peluang dilakukannya mediasi ini juga dibuka di tingkat banding, kasasi ataupun peninjauan kembali sepanjang perkara tersebut belum diputus (pasal 21 Perma No. 1 Tahun 2008). Sehingga dalam konteks KDRT yang menempuh peradilan perdata di Pengadilan Agama, akan selalu terlebih dahulu dilakukan proses mediasi.6

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

33


Laporan Utama Pentingnya Konseling bagi Pelaku dalam Proses Mediasi Menarik untuk mencermati beberapa syarat substantif yang diajukan oleh Fatahilah A. Syukur diatas, yaitu bahwa pelaku harus menyadari perbuatannya dan bersedia bertanggungjawab dan memperbaiki diri hingga KDRT tidak berulang, dan syarat bahwa pelaku wajib mengikuti konseling penyembuhan perilaku kekerasan. Syarat ini menjadi sangat penting mengingat berdasarkan pengalaman Rifka Annisa melakukan konseling perubahan perilaku lakilaki dalam konteks rumah tangga dihadapkan oleh karakteristik pelaku yang tidak mudah untuk diajak bernegosiasi dan menyadari perilaku kekerasan yang dilakukannya. Kebanyakan laki-laki pelaku kekerasan akan melakukan penyangkalan (denial), menganggap remeh persoalan (minimizing), melakukan pembenaran (justifying), menyalahkan orang lain (blaming others), dan intelektualisasi atau rasionalisasi untuk mendukung tindakannya (intellectualizing).7 Karakter ini terbangun karena laki-laki dibiasakan menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan yang mendominasi, terutama ketika mereka merasa tidak aman atau terancam. Bagi mereka kekuasaan adalah kekuasaan untuk mengatasi dan kekuasaan untuk mengendalikan. Karenanya untuk merubah perilaku kekerasan, pelaku harus belajar menggunakan kekuasaan secara positif dan kekuasaan secara negatif. Pelaku perlu belajar bertanggungjawab atas tingkahlakunya dan tidak menyalahkan pihak lain atas kekerasan yang dilakukannya. Ia perlu belajar melihat kekuasaan sebagai kekuatan bersama antara dia dan pasangannya dalam rumah tangga, daripada melihat dirinya sebagai orang yang memiliki kekuasaan dan menggunakannya untuk mengen-

34

Rifkamedia

dalikan pasangan. 8 Pengalaman Rifka Annisa dalam memberikan layanan pendampingan bagi perempuan korban KDRT, bukan hal mudah untuk mengajak laki-laki secara sukarela dan menempatkan dirinya setara dengan korban dalam proses mediasi. Kebanyakan laki-laki pelaku kekerasan yang mengakses layanan Rifka Annisa, mereka bersedia untuk melakukan mediasi manakala mereka memiliki kepentingan yang hendak diperjuangkannya dalam proses mediasi tersebut, seperti pembagian harta goni-gini dan pengasuhan anak. Keinginannya untuk mengikuti mediasi seringkali tidak dilandasi oleh kesadaran bertanggungjawab dan merubah perilaku kekerasannya, na-

Pertanyaanya kemudian, bagaimana mengajak pelaku KDRT untuk mengikuti konseling dan menyadari kesalahannya serta mau bertanggungjawab atas perbuatannya, sebagai dua syarat substantive mediasi seabagaimana yang diajukan oleh Fatahilah A. Syukur di atas? Penting untuk membangun mekanisme hukum agar pelaku menyadari perbuatannya dan bersedia untuk memperbaiki diri dan melakukan konseling perubahan perilaku kekerasan yang dilakukanya. Sedikitnya terdapat dua pedekatan yang bisa dilakukan yaitu, secara kesukarelawanan (voluntary) dan secara diwajibkan (mandatory). Pendekatan secara sukarela dapat dilakukan selama proses mediasi, pelaku secara sukarela mengikuti

mun lebih untuk memenangkan kepentingannya. Sementara keberhasilan proses mediasi juga sangat tergantung pada i’tikad baik dari para pihak untuk mencari solusi bersama tanpa harus terjebak pada menang dan kalah. Ketika pelaku telah menyadari tindakannya dan bersedia mengikuti konseling perubahan perilaku, peluang keberhasilan mediasi lebih tinggi dibandingkan dengan yang sebaliknya.

konseling perubahan perilaku kekerasan. Konseling ini bisa menjadi satu bagian yang disepakati dalam proses mediasi, artinya dalam salah satu klausul kesepakatan mediasi adalah agar pelaku menyadari tindak kekerasan yang dilakukannya dan bersedia mengikuti konseling perubahan perilaku. Dengan kata lain proses mediasi akan berjalan, selama syarat substantif tersebut dipenuhi. Pendekatan ini sejalan dengan

November 2012-Januari 2013


Laporan Utama

prinsip mediasi yang menekankan kesukarelawanan para pihak dalam melakukan mediasi, sehingga akan sangat membantu keberhasilan mediasi. Tetapi bukan berarti pendekatan kesukarelawanan ini tanpa tantangan, karena berdasarkan pengalaman Rifka Annisa mengajak pelaku KDRT secara sukarela mengikuti konseling bukanlah hal yang gampang dilakukan. Sejak tahun 2007 hingga Juli 2012, sedikitnya telah ada 79 laki-laki yang telah mengakses layanan konseling perubahan perilaku di Rifka Annisa. Jumlah ini hanya meliputi 6,4% dari jumlah klien kekerasan terhadap istri yang mengakses layanan di Rifka Annisa. Artinya peluangnya hanya sekitar 1 orang pelaku dari 15 kasus KDRT dimana pelakunya bersedia mengikuti konseling perubahan perilaku secara sukarela. Sementara dari yang telah mengikuti konseling tersebut hanya 50% saja yang bersedia melanjutkan konseling berikutnya hingga mendpati adanya perubahan positif, sementaranya selebihnya memilih untuk berhenti pada pertemuan-pertemuan awal.9 Pendekatan kedua, konseling bagi pelaku ini bisa dilakukan dengan cara diwajibkan atau mandatory. Meskipun pendekatan mandatory ini bertentangan dengan prinsip mediasi yang menekankan voluntary (kesukarelawanan), namun bisa menjadi mungkin dilakukan bila merujuk pada tujuan UU PKDRT sebagaimana disebutkan sebelumnya.10 Sementara pada konteks mediasi tetap berdasarkan prinsip voluntary, artinya baik korban maupun pelaku tetap memiliki hak untuk menolak atau memilih terlibat dalam proses mediasi. Sehingga ketika proses mediasi dilakukan maka syarat substantive tersebut telah dapat dipenuhi.

Sejak tahun 2007 hingga Juli 2012, sedikitnya telah ada 79 laki-laki yang telah mengakses layanan konseling perubahan perilaku di Rifka Annisa. Jumlah ini hanya meliputi 6,4% dari jumlah klien kekerasan terhadap istri yang mengakses layanan di Rifka Annisa

Mungkinkah Pelaku KDRT Diwajibkan Mengikuti Konseling? Kemungkinan pelaku kekerasan dalam rumah tangga untuk mengikuti konseling sebenarnya telah diatur dalam pasal 50 UU PKDRT yang menyebutkan bahwa; “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa: a) pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu dari pelaku; b) penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.� Dalam pasal tersebut jelas bahwa kewajiban mengikuti konseling adalah pidana tambahan, yang hanya mungkin dilakukan setelah adanya putusan pidana.

Namun demikian sebenarnya terdapat alternative atau peluang hukum yang dapat digunakan untuk mewajibkan pelaku mengikuti konseling, baik dalam proses pidana maupun perdata KDRT. Pertama, dalam konteks protection oder atau surat perintah perlindungan sementara, sebagaimana diatur dalam pasal 28-34 UUPKDRT, korban baik sendiri atau diwakilkan dapat mengajukan surat permohonan perintah perlindungan pada pengadilan. Atas dasar permohonan tersebut pengadilan dapat mempertimbangkan untuk menetapkan suatu kondisi khusus dalam surat perintah perlindungan, termasuk di dalamnya menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan yang dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, dan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan. Kondisi khusus dan tambahan perintah perlindungan dalam surat perintah perlindungan tersebut dpat berupa pembatasan gerak pelaku dalam radius dan waktu tertentu dari korban.11 Kedua, konseling perubahan perilaku sebagai sanksi alternative bagi pelaku KDRT. Mungkin hal ini belum dikenal dalam sistem hukum di Indonesa. Rifka Annisa pernah mendampingi kasus klien laki-laki seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang berlibur di Florida, Amerika Serikat, melakukan KDRT terhadap istrinya, berupa pemukulan dan menghalangi istrinya untuk menghubungi kepolisian. Kemudian tetangga hotel dimana ia menginap melaporkan kasusnya ke keamanan hotel, dan kemudian keamanan hotel melaporkannya ke kepolisian setempat. Kasus tersebut ditangani oleh Pengadilan Florida, yang kemudian memutuskan bahwa laki-laki tersebut telah melakukan KDRT, denda USD 500 atau penjara 1 tahun, dan dianggap telah

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

35


Laporan Utama ....pelaku KDRT tidak serta merta langsung dipidana, tetapi ia dapat dikenakan sanksi alternative untuk mengikuti konseling perubahan perilaku...

menghalangi menghubungi pihak berwajib didenda USD 1.000 atau penjara 5 tahun. Klien tersebut sempat dikurung semalam di penjara dan kemudian dibebaskan dengan syarat setelah membayar jaminan USD 1.500 dan harus mengikuti konseling perubahan perilaku selama satu tahun. Pengacara klien kemudian menghubungi Rifka Annisa untuk menjadi lembaga pendamping klien mengikuti konseling perubahan perilaku. Selama proses pendampingan, dipantau oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh pengadilan, yaitu Orange. Pendekatan tersebut menarik, karena pelaku KDRT tidak serta merta langsung dipidana, tetapi ia dapat dikenakan sanksi alternative untuk mengikuti konseling perubahan perilaku, dimana bila dalam proses pendampingan tersebut, dinyatakan klien tidak berhasil melalui proses perubahan periaku, maka sanksi pidana bisa dikenakan. Menariknya selama dalam proses pendampingan konseling, mediasi antara klien (pelaku) dan istrinya (korban) tetap berlangsung. Proses pendampingan yang dilakukan Rifka ini dilaporkan oleh lembaga pemantau independen Orange, dan kemudian dilaporkan ke Pengadilan Florida. Penulis kira pendekatan ini bisa dikaji lebih lanjut untuk diadaptasi bagi pengembangan sistem hukum dalam penanganan KDRT di Indonesia.12 Ketiga, dalam konteks KDRT yang mengajukan kasusnya secara perdata di Pengadilan Agama, misalnya berupa gugatan cerai, mandatory konseling perubahan perlaku juga memiliki

36

Rifkamedia

peluang untuk diajukan pada proses peradilan perdata melalui gugatan provisional. Gugatan provisional adalah gugatan yang bertujuan agar hakim menjatuhkan putusan yang sifatnya mendesak untuk dilakukan terhadap salah satu pihak dan bersifat sementara disamping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan.13 Dalam gugatan provisional tersebut penggugat dapat mengajukan gugatan provisional, atas pertimbangan keamanan, agar pengadilan memutuskan tergugat untuk dibatasi ruang geraknya dalam radius dan waktu tertentu serta tergugat diwajibkan untuk mengikuti konseling perubahan perilaku.Hal ini sangat mungkin dilakukan berdasarkan pertimbangan terjadinya KDRT sebagaimana yang diatur dalam UUPKDRT. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan tugas dan Administrasi Pengadilan Agama Buku II edisi revisi tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, UUPKDRT menjadi sumber hukum materil dan hukum acara di Pengadilan Agama.14 Padangan penulis diatas, tentu saja baru sebatas telaah awal mengenai kemungkinan mandatory konseling bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga.Kajian lebih lanjut masih harus terus dilakukan, misalnya bagaimana menempatkan mandatory konseling bagi pelaku KDRT ini dilakukan dalam konteks mediasi perkara KDRT baik dalam konteks pidana maupun perdata. Kanjian ini penting mengingat bahwa perkara KDRT bisa menyangkut masalah pidana maupun perdata sekaligus. Pendekatan pemidanaan

November 2012-Januari 2013

seringkali tidak menyelesaikan masalah, sebagaimana telah disebutkan diawal, bahkan bisa menimbulkan masalah baru. Mandatory konseling bagi pelaku KDRT penting dilakukan agar tujuan UUPKDRT untuk mencegah terjadinya kekerasan dan menjaga keutuhan rumah tangga dapat terwujud.

Catatan Akhir 1

2

3

4 5 6

7

8

9

10

11

12

13

14

Ridwan Mansyur, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), (Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, 2010), hal. 259-260 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana (Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998), hal. 44-45 Fatahilah A. Syukur, Mediasi Penal KDRT: Teori dan Praktek di Pengadilan Indonesia (CV. Mandar Maju, Bandung, 2011), hal. 19 Ibid, hal. 71 Ibid, hal. 75 Lebih lanjut tentang mediasi perkara KDRT di Pengadilan Agama lihat Fatahilah A. Syukur, op.cit.Hal. 99- 105 Rifka Annisa, bahan bacaan untuk konseling laki-laki dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga, naskah tidak dipublikasikan. Tim RutgersWPF-Mozaic-Rifka AnnisaWCC Cahaya Perempuan, Perangkat Konseling untuk Laki-laki Dalam Konteks Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), (RutgersWPF Indonesia, Jakarta, 2011), hal. 42 Diolah dari data klien konseling Men's Programe di Rifka Annisa, per Juni 2012. Lihat pasal 4 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004 Lihat pasal 28-34 UUPKDRT No. 23 Tahun 2004 Berdasarkan laporan penanganan klien Men's Program di Rifka Annisa. Perbandingan mediasi perkara KDRT di beberapa Negara seperti Thailand, Jerman dan Australia dapat dilihat di Fatahilah A. Syukur op.cit hal 186 - 210 Abdul Manan, Prof. Dr., Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Kencana Media Group, Jakarta, Cet. Ke-5 2008), hal 49

Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II Edisi Revisi 2010 (MARI, Jakarta, 2010), hal. 55-56


Lesehan Buku

Sihir Barat dan Kesadaran Warna Kulit Perempuan Indonesia Sebelum penggunaan produk produk kecantikan yang menggunakan whitening [pemutih] marak di Indonesia, publik sudah lebih dulu mengenal produk produk kecantikan lokal. Sebut saja mustika ratu, sari ayu atau viva kosmetik yang begitu melengenda. Hampir semua produk kecantikan ini menawarkan nuansa kuning langsat ala puteri keraton. Hebatnya, hampir seluruh perempuan dari berbagai kalangan 'berlomba' menguningkan kulit mereka. Dari pembersih muka, bedak tabur hingga luluran. Sampai awal dekade 80 –an, produsen kosmetik ini belum menawarkan konsep 'putih itu cantik', namun masih pada tataran 'cantik adalah kuning langsat bak puteri keraton. Sejatinya, tidak ada yang baru dengan kata putih. Umumnya di negara negara asia, warna putih di Indonesia juga bermakna positif. Putih menyimbolkan kesucian, kebaikan, keindahan, dan kemurnian. Sebaliknya, warna hitam identik dengan kotor, jelek, dosa, gelap/malam, dan sedih. Sampai pada level ini, dikotomi putih dan hitam masih berlangsung natural. Sensitifitas baru akan terasa ketika perbedaan tersebut memasuki ranah praktik kecantikan [as beauty practice] yang tidak bisa didekati dengan pendapat tentang mitos kecantikan. Fenomena ini pun tidak bisa dipahami sebagai ideologi feminim lama untuk mengontrol perempuan semata. Mengapa? Sebab representasi dari pemutih kulit sesungguhnya telah distrategikan, dilokalkan, dan digeneralisasikan untuk memperdalam keinginan perempuan, melalui male approval, sekaligus menekankan kulit putih sebagai sebuah keharusan untuk feminitas. Iklan secara khusus menghidupkan kembali kontras dan perbandingan yang tampak [visible contrast and comparation] berdasarkan oposisi biner hierarki patriarkal dan kolonial. Layaknya sebuah hal yang berlangsung alami, pesan-pesan iklan pemutih bersifat halus, tidak

terasa, tidak terlihat memaksa, namun justeru memesona, memberi mimpi, fantasi, sekaligus menawarkan solusi. Indoktrinasi dan persuasi iklan pemutih ini pun tidak mudah teridentifikasi oleh audiens. Karena merupakan keharusan dan memberi solusi, maka ras cokelat dengan serta merta mengamini pesan iklan tersebut dan menggunakannya sebagai sebuah ekspresi keterpesonaan. Perubahan konsepsi dari 'cantik adalah kuning langsat' menjadi 'cantik itu putih' dimulai pada era 85-an. Para raksasa lokal itu mulai mengubah haluan dengan menambahkan whitening pada produk anak perusahaan mereka. Mustika Ratu memproduksi biocell yang lebih beraroma modern dan kebarat-baratan. Sementara Sari Ayu pun tak mau kalah dengan biokos dan caring nya. Intinya, produk mereka sudah tidak menawarkan kuning langsat sebagai trade mark dan image. Namun menawarkan pemutih, dengan embel embel: aman untuk kulit Indonesia.

Judul Buku

Penulis Penerbit Terbit Tebal Ukuran

: PESONA ‘BARAT’, Sebuah Analisis Kritis Historis Tentang Kesadaran Warna Kulit di Indonesia : Vissia Ita Yulianto : JALASUTRA : Maret 2007 : 168 halaman + XVII : 15 X 21 cm

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

37


Lesehan Buku

Pergeseran makna dari 'kuning langsat' ke 'putih' menandai adanya dekonstruksi warna kulit [hal XII]. Dulu kulit yang dianggap eksotis adalah 'hitam manis' dan 'sawo matang'. Dan kulit aristokrat identik dengan 'kekuninglangsatan'. Kini, image dan selera perempuan sudah mulai dipenjarakan oleh pesona barat. Masyarakat, perempuan khususnya, mulai merekonstruksi sejarah 'perkulitan' mereka. Hitam manis atau sawo matang sudah tidak dimaknai sebagai eskotisme. Publik kemudian memaknai cantik adalah putih seperti putihnya perempuan barat. Sekali lagi, barat seolah menjadi kiblat. Deskripsi tentang pergeseran makna 'putih' sebagai sebuah nilai, status atau simbol dalam makna konstruksi sosial ini lah yang coba diutarakan Vissia Ita Yulianto dalam buku ini. Buku setebal 168 halaman ini tidak hanya mengulas persoalan kulit putih dari perspektif kecantikan kontemporer semata. Analisa penulis terhadap fenomena tersebut, juga menunjukkan betapa globalisasi dalam konteks kapitalisme, memakai 'psikologi' dan sensitifitas sebuah bangsa bekas jajahan. Fakta ini juga menunjukkan masih berlakunya hierarki global [Herzfelt, 1994] tentang warna kulit di Negara negara bekas jajahan, seperti Indonesia. Penulis juga menggunakan penelusuran sejarah lewat pengalaman khas Soekarno, Pramoedya Ananta Toer hingga R A Kartini untuk menunjukkan betapa pemaksaan budaya oleh kolonial telah membentuk psikologi dan mentalitas rendah diri masyarakat ketika itu. Secara tegas, penulis bahkan menyebutnya sebagai mentalitas Inlander. Meski tidak secara runut, Ita menjabarkan fase yang menandai pergeseran makna 'putih' yang dimulai dari masa pra kolonial ke masa kolonial

38

Rifkamedia

[feodalisme], masa Orde Lama ke masa Orde Baru hingga memasuki era modern. Kedalaman analisis yang digunakan penulis dalam buku ini juga tercermin saat memamaparkan perbedaan/perbandingan antara konsepsi kecantikan dan warna kulit di erea Indonesia kontemporer dan di zaman kakawin [literatur yang terdiri dari kumpulan puisi-puisi tentang segala kehidupan manusia, termasuk defenisi-defenisi atas idealisme patriarkal tentang feminitas]. Begitu pun perbedaan antara pesona barat kontemporer dengan pesona barat di zaman kolonial [Bab 3]. Pesona kulit putih yang jadi fokus kajian buku ini, bukan sekadar kulit putih orang barat, namun kulit putih yang dalam beberapa pengertian merupakan ekspresi modernitas pada masyarakat Orde Baru yang mendominasi bahkan menentukan definisi budaya tinggi dan popular, definisi kalangan atas dan kalangan bawah [Pamberton, 1994]. Di sisi lain, buku karya Ita ini mengungkapkan bagaimana pesona barat sanggup 'menyihir' masyarakat Indonesia yang di saat bersamaan juga menyuarakan kesakithatian, keterpurukan hingga rasa minder sebagai bangsa timur terhadap bangsa barat. Betapapun, buku ini akan menjadi sumbangsih yang amat berarti bagi masyarakat, khsusunya bagi studi feminisme di Indonesia untuk menghilangkan beragam bentuk diskriminasi yang hingga kini masih kerap kita temui sebagai dampak globalisasi. Ita adalah Alumni Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Minat yang besar terhadap isu perempuan dan budaya massa, mendorongnya untuk melanjutkan studi di Program Pasca Sarjana Universitas Ilmu Religi dan Budaya di almamaternya [2001]. Ia mendapat beasiswa dari

November 2012-Januari 2013

Asia Research Institute, National Universtiy of Singapore [NUS] dalam program ARI's fellow yang menghasilkan karya tulis berjudul “The Allure of Whitenes in Indonesia� yang telah dipresentasikan di University of Sains Malaysia dan Universitas Sorbonne Prancis. Publikasi lain penulis adalah karya terjemahan buku Joost Cote, on Feminisme and Nationalism: Kartini's Letters to Stella Zeehandelaar 18991903 [Monash Unversity Press, Victoria] dengan judul Aku Mau: Surat surat kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903 [Jakarta: Kompas, 2004]; Berakhir di Klein Scheveningen dan The Boom of Infotainemnt: A Process of Re-domestification of Women in Indonesia. Meski bukan tergolong buku baru [cetak tahun 2007], namun ide yang coba ditawarkan penulis melalui buku ini akan tetap aktual. Setidaknya pesan yang disampaikan dapat menggugah kesadaran masyarakat untuk melek media di satu sisi, dan menggugah kesadaran masyarakat umum di sisi lain ihwal mentalitas rendah diri bangsa timur atas bangsa barat. Kecerdasan Ita dalam menyampaikan ide ide yang selama ini hanya menjadi wacana, bergema, dan hidup dalam masyarakat namun tidak pernah dianalisa secara kritis, berhasil dikupas tuntas. [] Arifuddin Kunu


Liputan

PEREMPUAN DAN KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA Konflik yang berkaitan dengan agama tidak hanya berujung hilangnya tempat tinggal. Ia juga menjauhkan akses penghidupan bagi perempuan. Masih segar dalam ingatan tragedi berdarah 26 Agustus lalu di Sampang. Massa menyerbu kediaman sekitar 600 orang warga Syiah di Kecamatan Omben, Sampang, Madura. Massa yang bersenjata tajam itu kemudian membakar sejumlah rumah. Kejadian itu menyebabkan diungsikannya 51 laki-laki, 56 perempuan, 36 anak-anak, sembilan balita. Permasalahan ini menjadi salah satu bahasan menarik dalam Seminar Nasional “Menata Keberagaman Keagamaan: Respon terhadap Konflik Bernuansa Keagamaan di Indonesia”, 12 September 2012 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Meski ada yang berpendapat peristiwa Sampang merupakan persoalan keluarga, jangan sampai negara menganggap sepele. “Memang benar ada persoalan dimensi keluarga, tapi yang perlu diperhatikan adalah akar masalah terjadinya penyerangan kelompok satu terhadap kelompok lainnya,” ucap Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komnas Perempuan, salah satu pembicara seminar. “Salah satu penyebab suburnya kekerasan atas nama agama adalah kebijakan diskriminatif,” lanjutnya. Kebijakan diskriminatif terkait pelarangan Ahmadiyah misalnya, justru meningkatkan intensitas kekerasan terhadapnya. Kebijakan diskriminatif membatasi, bahkan mengurangi hak-hak konstitusional warga negara yang seharusnya dijamin oleh negara. Ironisnya, kebijakan diskriminatif yang memicu sikap intoleransi dan tindak kekerasan itu terus meningkat dari tahun ke tahun. Akibatnya, terjadi pelipatgandaan kerentanan kekerasan dan diskriminasi pada perempuan.

Perempuan adalah pihak yang rentan mengalami kekerasan atas nama agama. Bentuk kekerasan bisa berupa pelecehan, ancaman perkosaan, sampai bentuk perusakan fisik pada saat terjadi serangan. Ada anggapan, 'merusak' perempuan berarti mengalahkan kaum itu sendiri. Pihak atau komunitas yang diserang selanjutnya merasa tidak becus melindungi kaum perempuannya. Persoalan lain juga muncul pasca kerusuhan. Saat penyerangan menimbulkan korban jiwa, mau tak mau istri korban menjadi orang tua tunggal serta tulang punggung keluarga. Meski tak mengalami luka fisik, serangan menyebabkan depresi berkepanjangan hingga gangguan kesehatan. Anak-anak yang mengalami diskriminasi dalam kekerasan atas nama agama juga membuat perempuan menanggung beban psikologis. Tanpa pemulihan psikologis, rawan terjadi penularan trauma pada generasi selanjutnya. Stigmatisasi atas nama agama juga menimbulkan berbagai masalah. Pelarangan pengajian perempuan komunitas Syiah korban peristiwa Sampang, misalnya, menyebabkan adanya kerusakan dalam hubungan sosial. Padahal, di komunitas akar rumput, pengajian adalah sumber segala informasi, membangun solidaritas, dan jaringan. “Contoh di komunitas Betawi, penamparan istri oleh suami bisa diketahui lewat pengajian,” jelas Yuniyanti. Stigmatisasi dan diskriminasi membuat perempuan korban sulit bertani, berdagang atau terhambat karirnya. Dengan kata lain, terjadi pemenggalan atas akses penghidupan perempuan. Korban masih harus menghadapi diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun kehidupan sosial masyarakat. Penghilangan hak seperti sulit

menikah di KUA menimbulkan efek domino. Tanpa mencatatkan perkawinannya di lembaga pemerintah, perceraian atau wafatnya pasangan membuat perempuan kehilangan haknya. Selain itu anak yang lahir dari perkawinan yang tak tercatat dicap sebagai anak di luar nikah atau haram. Akibatnya, anak tersebut tidak dapat menikmati haknya untuk tumbuh dan berkembang. Menurut temuan Komnas perempuan, contoh diskriminasi yang terjadi pada korban mulai dari pengusiran secara halus, pelucutan senjata secara sepihak, atau pengabaikan pengaduan oleh aparat. Beberapa ketidaknyamanan seperti pihak penyerang yang bebas lalu lalang di tempat pengungsian serta pengembalian pengungsi yang belum siap kembali ke daerah asal juga terjadi. Catatan reformatif yang ditujukan negara dalam melihat isu konflik berbasis agama adalah pengutamaan human security. Sering yang terjadi atas nama persatuan atau nasionalisme, hak-hak manusia diabaikan. Oleh karena itu, perlu penekanan budaya percaya, mengutamakan percaya pada pengaduan korban, bukan diperiksa benar tidaknya laporan terlebih dahulu. Dengan demikian, penanganan korban bisa dilakukan secara cepat. Upaya lain yang penting dalam memerangi tindak kekerasan atas nama agama adalah mengedepanan konstitusi. Perlu ketegasan pemerintah harus tetap tunduk pada landasan hukum tertinggi di Indonesia yaitu Undangundang Dasar 1945. Pun, sikap tegas dan konsisten dari aparat keamanan dan pemerintah penting adanya. Tidak ada imunitas hukum terhadap pelaku tindak kekerasan.[]

Rifkamedia

Niken Anggrek Wulan

November 2012-Januari 2013

39


Liputan

RIFKA ANNISA: LAKI-LAKI HARUS AMBIL PERAN ATASI KDRT Angka dan kualitas kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin tinggi, perlu melibatkan lakilaki untuk ambil peran menguranginya. Ada yang tidak biasa dengan pelatihan yang diadakan oleh Rifka Annisa. Semua peserta laki-laki. Mereka fokus, tertawa, dan fokus lagi dengan materi. Sebanyak 30 peserta ini berasal dari berbagai daerah. Bogor, Purworejo, Tasik, Semarang, Jogja dan berbagai daerah lainnya. Selama tiga minggu mereka dikarantina. Mereka mendapatkan materi gender, seksualitas, maskulinitas, kekerasan terhadap perempuan, permainan, metode ceramah, dan lainnya di Ruang Mahoni, Hotel Gowongan Inn, Yogyakarta. Saeroni dari Rifka Annisa, menjadi mentor pelatihan ini. Kepada Rifka Media ia mengatakan, ini adalah proyek perubahan di Indonesia. Pelatihan dengan melibatkan laki-laki sebagai surveyor dan survevisor merupakan konsep baru. Tujuannya untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan ataupun Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Laki-laki diharapkan peduli dan ambil peran untuk mengurangi kekerasan yang selama ini sering terjadi di kalangan perempuan dan anak. “Kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin tinggi, maka perlu melibatkan laki-laki untuk menguranginya,” kata Roni. Pelatihan ini dikemas untuk menciptakan model laki-laki yang anti kekerasan terhadap perempuan. Peserta dipahamkan akan dampak yang

40

Rifkamedia

dirasakan perempuan dan anak yang sering menjadi korban kekerasan. Dikenalkan dengan penyebabpenyebab kekerasan yang terjadi di rumah tangga. Cara melakukan wawancara terhadap lelaki pelaku KDRT tidak luput diajarkan dalam pelatihan ini. Peserta akan banyak berinteraksi dengan pelaku KDRT. Sekaligus mereka diminta untuk terlibat aktif memberikan pengetahuan yang mereka peroleh dalam pelatihan ini terhadap lingkungan di sekitar mereka. Sebagai upaya mengurangi kekerasan terhadap perempuan, Rifka Annisa memiliki Divisi Men's Program. Melakukan kampanye di kampus, media, membuka konseling bagi lelaki, penelitian adalah bagian dari kegiatan divisi ini. Banyak laki-laki yang melakukan konseling. Tahun 2011, misalnya sebanyak 22 orang dan tahun 2012 sampai bulan ini sudah ada 9 lelaki yang berkonsultasi. Ada pula Aliansi Laki-Laki Baru. Aliansi ini dibentuk sebagai dukungan terhadap anti kekerasan terhadap seksualitas. Selain itu, banyak juga lakilaki yang bergabung dengan aliansi ini, akan tetapi ada juga yang menolak. Kedepan, akan dibentuk mapping, kekerasan seksualitas berbasis online. Berupa portal baru yang akan mendeteksi titik rawan kekerasan disuatu daerah. Menginformasikan lembaga pendamping terhadap kasus kekerasan di daerah tersebut. “Portal ini akan mendeteksi waktu kejadian, tempat kejadian dan lembaga pendamping disana. Basis informasinya dari daerah kekerasan itu terjadi,” kata Roni.

November 2012-Januari 2013

Salah satu peserta pelatihan. Ahmad Afif Sazali berasal dari Lombok mengatakan, pelatihan ini sangat menarik. “Semua pesertanya laki-laki, materi wacana tentang gender dan maskulinitas” katanya. Materi yang tidak asing lagi baginya. Ia berharap proyek perubahan ini bisa berjalan baik. Menjadi tantangan baginya dan peserta lain untuk berbagi informasi terhadap kaum laki-laki disekitarnya, akan dampak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ia memahami bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak akan berkurang jika pelaku kekerasan tidak disadarkan secara perilaku. Mengajak laki-laki lain untuk ambil peran dalam upaya meminimalisir kekerasan adalah suatu tantangan. Selama ini tidak jarang lelaki menjadi korban kekerasan, sehinga perlu support dari berbagai kalangan untuk menghapus ini semua. Harapan lain, pelaku kekerasan dapat menghentikan kekerasan dan menghormati pasangan. Menciptakan aliansi untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah upaya tepat dan strategis serta bisa menjadi transformasi bagi masyakarat dan ini menjadi tindakan mutlak untuk dilakukan. “Saya harap adanya kebijakan yang bisa meminimalisir kekerasan terhadap perempuan, dan laki-laki harus ambil peran ini,” kata Afif. [] Tommy Apriando


Liputan

JAMBORE WCC 2012:

MERATAS PELUANG DAN TANTANGAN Berbagi cerita dengan lembaga lainnya diharapkan menjadi sarana perumusan solusi yang efektif Semangat perubahan sosial yang digagas gerakan perempuan di Indonesia mendapati banyak tantangan. Kekerasan terhadap perempuan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun menjadi pekerjaan rumah yang tak henti dikaji serta diperjuangkan. Dari tahun ke tahun pun semakin bertambah organisasi yang mengembangkan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Perkembangannya, organisasi perempuan yang menyediakan layanan berbasis masyarakat (NGO) sudah tersebar dari ujung barat sampai ujung timur Indonesia. Hal ini ditunjang oleh organisasi serupa yang berinduk pada pemerintah (P2TP2A) serta unit khusus dalam lembaga kepolisian yang memberikan pelayanan terhadap perempuan dan anak. (UPPA). Hanya saja, tantangan baru terus bermunculan terkait penerapan standar layanan, baik infrastruktur maupun tata kelola lembaga layanan. Kondisi tersebut menggugah Rifka Annisa menyelenggarakan Jambore Women Crisis Center 2012, 28-30 Juni 2012 bertempat di Millenium Hotel Jakarta. Acara yang didukung oleh Global Fund for Women ini mengambil tema “Refleksi Perjalanan Pusat Layanan untuk Perempuan Korban Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia : Meretas Peluang, Menjawab Tantangan�.

Doc. Rifka Media

“Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kondisi WCC di Indonesia beserta permasalahanpermasalahan yang dihadapi, sosialisasi dan dokumentasi best practices, sumber-sumber pendanaan, kapasitas SDM, isu keamanan dan etik di WCC� ungkap Shofia dari RIfka Annisa. Ada 21 lembaga penyedia layanan dari seluruh Indonesia sebagai peserta Jambore tahun ini. Meraka menyikapi berbagai permasalahan yang mencuat belakangan, yaitu strategi fundrising, pendekatan konseling, strategi membangun jaringan, serta pelibatan laki-laki dalam lembaga layanan korban. Masing-masing peserta mempresentasikan pengalamannya dalam memberikan layanan bagi korban.

Tantangan yang dihadapi bervariasi. Semisal, pengembangan layanan berbasis dengan kebutuhan perempuan korban dan pelaku, ketahanan dan keberlanjutan organisasi penyedia layanan, serta bagaimana respon antar isu yang disesuaikan dengan perkembangan kondisi global yang dinamis. Dalam forum tersebut dapat diamati bahwa kendala-kendala yang dihadapi lembaga penyedia layanan di Indonesia relatif sama dan saling terkait satu sama lain. Sehingga berbagi cerita dengan lembaga lainnya melalui even jambore WCC seperti ini diharapkan menjadi sarana perumusan solusi yang efektif. []

Rifkamedia

(Defirentia One)

November 2012-Januari 2013

41


Memoar

N

Perubahan dimulai dari diri, untuk menjadi laki-laki yang lebih baik, dan membangun hubungan dengan pasangan menjadi lebih nyaman.

42

Rifkamedia

ama saya Laki. Seorang ayah dengan tiga orang anak. Dua anak pertama adalah pernikahan dengan mantan istri saya, sedangkan anak ketiga dari pernikahan dengan istri saya sekarang. Perkenalan saya dengan istri saya sekarang bukan berawal dari perselingkuhan, tetapi saya sudah bercerai dan kemudian baru berkenalan dengannya. Namanya Perempuan. Hubungan saya dengan perempuan pada awalnya memang tidak berjalan dengan baik.Terutama karena penilaian lingkungan (keluarga besar dan orang tua) bahwa Perempuan telah merebut saya dari mantan istri saya. Selain itu, perjalanan di awal dengan Perempuan, juga berada dalam kondisi finansial yang sedang jatuh, karena perusahaan tempat saya bekerja mengalami kebangkrutan sehingga akhirnya saya harus tekena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan otomatis, Perempuan-lah yang kemudian menjadi penopang kehidupan finansial kami. Berkat kasih Tuhan, akhirnya saya mendapatkan pekerjaan dengan posisi yang bagus. Dari situ, sedikit demi sedikit, kami mulai menata kembali kehidupan rumah tangga. Kondisi ekonomi yang stabil ternyata tidak linier dengan kebahagiaan hubungan kami. Dari awal menikah kami memang sering terlibat dalam konflik adu mulut. Selalu saja ada permasalahan yang mampu menyulut pertengkaran kami. Sementara itu, karier saya di perusahaan tempat saya bekerja berjalan berkebalikan dengan kehidupan keluarga saya. Prestasi kerja yang bagus membuat perusahaan merasa pantas memberikan saya bonus berlibur bersama dengan keluarga. Dengan fasilitas itu juga akhirnya kami dapat pergi bersama yang sebelumnya tidak terlintas dalam benak sayahal ini adalah kesempatan yang bagus untuk mendekatkan hubungan saya dengan istri dan anakanak. Ternyata itu tidak seperti yang saya bayangkan. Tujuan untuk bersenang-senang bersama keluarga, ternyata harus berakhir dengan kasus pidana atas kekerasan fisik yang saya lakukan kepada istri saya. Kekerasan itu terjadi di halaman depan penginapan. Saya menjambak rambut istri saya, karena merasa tidak tahan dengan omelan dan sikapnya yang terus-menerus mengintimidasi saya. Reflek, saya menjambak untuk meluapkan rasa marah dan kesal saya. Istri, memerkarakan lewat jalur hukum. Setelah melalui jalur hukum, akhirnya saya diberikan kesempatan oleh pengadilan untuk mengikuti rehabiitasi selama setahun untuk mengubah perilaku saya. Dari sinilah saya berkenalan dengan Konselor Laki-laki di Divisi Men's Program, Rifka Annisa. Lewat konselor di Divisi Men's Program, saya diperkenalkan tentang Konseling Perubahan Perilaku. Konseling membantu saya instropeksi tentang perilaku-perilaku saya dalam interaksi saya

flicker.com

November 2012-Januari 2013


dengan istri dan anak-anak. Proses konseling ini bagi saya memang sangat melelahkan, karena saya harus mengikuti pertemuan rutin 12 sesi seperti yang telah kami sepakati untuk dijadwalkan. Bersama dengan konselor di Divisi Men's Program, saya dibantu untuk mengidentifikasi persoalan-persoalan apa saja yang saya hadapi sesuai dengan tema di dalam sesi konseling. Salah satunya adalah “Pengelolaan Rasa Marah�. Tema ini saya temukan dalam salah satu sesi yang saya jalani, dan saya merasa bahwa ini merupakan salah satu permasalah penting dari diri saya selama ini. Sebab saya menyadari bahwa saya adalah sumbu pendek, sehingga sangat sulit untuk dapat mengontrol rasa marah saya. Tidak jarang, ketika marah saya uring-uringan. Terutama ketika dalam kondisi fisik yang lelah, maka rasa marah itu akan mengarah kepada perilaku-perilaku merusak. Berteriak-teriak, memaki, atau bentuk umpatan lainnya merupakan bentuk pelampiasan dari rasa kesal dan marah saya. Konselor kemudian membantu saya untuk mengelola rasa marah tersebut, yaitu dengan menggunakan teknik “time-out�.Teknik ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kontak fisik yang dapat mengarah kepada bentuk-bentuk kekerasan fisik kepada pasangan. Teknik ini sangat bermanfaat bagi saya, karena dengan menggunakan teknik ini, saya dapat mengendalikan ekspresi dari rasa marah saya. Dulu, ketika istri mengeluh, menelepon ketika saya di kantor, maka saya akan membalas dengan marah-marah, maka setelah menggunakan teknik ini, saya menahan untuk tidak langsung memaki-maki, tetapi akan menelepon kembali beberapa saat kemudian ketika suasana jauh lebih tenang.

Atau, ketika saya merasa marah, maka saya berusaha meredakan itu dengan mendengarkan music selama perjalan pulang dari kantor ke rumah, sehingga, ketika sampai di rumah, saya tidak melampiaskannya kepada istri dan anak-anak. Di lain kesempatan, saya juga dibantu dengan melihat bagaimana kualitas kedekatan emosional hubungan saya dengan istri dan anak-anak. Selama ini saya merasa terlalu sibuk dengan kegiatan dan aktivitas saya, karena saya merasa bahwa saya harus bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anak. Saya pun juga melibatkan diri untuk mendampingi anak saya belajar. Sebelumnya, tugas itu dilakukan oleh istri saya, tetapi saya melihat juga perlu untuk dekat dengan anak saya.Karena, dari refleksi yang saya alami, saya merasa bahwa anak-anak melihat figur saya sebagai ayah yang jauh dari mereka, bahkan mungkin takut dengan saya. Hal lain yang juga membuat saya bahagia adalah istri merasa bahwa saya telah berubah bila dibandingkan dengan dahulu. Sekarang saya bersedia mendengarkan pendapatnya, bersedia untuk bernegosiasi, dan menghargai istri sebagai pasangan yang memiliki peran sama pentingnya dalam kehidupan keluarga. Saya merasa bahwa tidak sia-sia setahun yang telah saya lewati bersama dengan konselor di Divisi Men's Program Rifka Annisa, karena setahun ini, telah membawa perubahanperubahan pada diri saya, dan pada istri serta anak-anak saya. Ini merupakan bukti bahwa perubahan itu mungkin terjadi, untuk menjadi pribadi yang lebih baik.[] Agung Wisnubroto

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

43


Wawancara

suaramandiri.net

Ninik Rahayu | Komisioner Komnas Perempuan

Family Court, Perlu Revisi UU Kekuasaan Kehakiman 44

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

Meski jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terlaporkan semakin meningkat, namun masih banyak kecenderungan korban untuk menempuh jalur damai, penyelesaian kekeluargaan atau melalui penyelesaian non hukum. Berdasarkan laporan Komnas Perempuan pada tahun 2009 terdapat 136.849 kasus kekerasan dalam rumah tangga dan relasi personal yang terlaporkan. Tahun 2010 sejumlah 98.577 kasus. Berbagai penelitian, pervalensi kekerasan dalam rumah tagga berkisar antara 3 – 25% dari populasi. Komnas Perempuan mencatat dari jumlah kasus yang terlaporkan tersebut 93-94% diantaranya terlaporkan melalui Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Hal ini menunjukkan bahwa para perempuan korban kekesrasan yang menempuh penyelesaian hukum cenderung memilih penyelesaian secara perdata (perceraian)


Wawancara dibandingkan dengan penyelesaian pidana. Fenomena tersebut memunculkan pertanyaan besar, mengapa perempuan korban kekerasan enggan menempuh jalur hukum pidana dengan menggunakan UUPKDRT, tetapi lebih memilih jalur perdata perceraian? Masih efektifkah pendekatan pidana dalam UUPKDRT untuk meghapuskan kekerasan terhadap perempuan? Kenyataan tersebut memperkuat argumentasi bahwa dikotomi perkara pidana dan perdata tidak lagi relevan dalam konteks KDRT. Hal ini juga sejalan dengan beberapa penelitian yang mempertegas runtuhnya perkara pidana dan perdata dalam konteks KDRT, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Sulistyawati Irianto. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Ridwan Manshur, mengenai mediasi penal dalam perkara KDRT menunjukkan bahwa pendekatan pemidanaan bukanlah pilihan utama dalam penyelesaian KDRT. Melihat kenyataan tersebut, beberapa aktivis dan gerakan perempuan kemudian mengusulkan adanya pengintegrasian UUPKDRT dalam lingkup peradilan agama / perdata. Usulan ini kemudian mendapatkan respon positif dari Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Agama yang kemudian banyak melakukan program kerjasama dengan gerakan perempuan. Salah satu gagasan yang juga muncul adalah membentuk peradilan keluarga (family court) dimana tidak ada pemisahan antara pidana dan perdata dalam perkara KDRT. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Rifka Media mewawancarai Ninik Rahayu, salah satu Komisioner Komnas Perempuan mengenai tanggapannya terhadap fenomena ini. Berikut petikan wawancara R.A. Hadwitia Dewi Pertiwi dengan Ninik Rahayu. Berdasarkan laporan Komnas Perempuan terdapat kecenderungan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang menempuh penyelesaian hukum enggan menempuh jalur pidana, bahkan lebih dari 90% memilih jalur perdata perceraian di Pengadilan Agama. Bagaimana pandangan anda mengenai hal ini? Mengapa Perempuan Korban lebih memilih penyelesaian perdata daripada pidana? Dan bagaimana dengan efektifitas UUKDRT dalam menghapuskan kekerasan terhadap perempuan? Perubahan KDRT dari kasus domestik menjadi kasus publik membutuhkan perubahan pola pikir (mindset). Bukan hanya pada Aparat Penegak Hukum (APH) dan Penegak Hukum (PH), namun juga semua pihak terkait beserta masyarakat. Pemahaman tentang pentingnya hak perempuan dan juga perempuan korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan, penting untuk disosialisasikan secara menyeluruh. Berdasarkan pengalaman saya selama berdialog langsung dengan korban, maupun dengan penegak hukum (pengadilan agama dan kepolisian) ada dua faktor

yang mempengaruhi. Pertama dari sisi korban. Mereka masih menganggap bahwa perkara KDRT adalah sebuah aib. Maka penyelesaian secara perdata pun akhirnya menjadi target utama karena korban ingin segera berpisah dengan pelaku (suami). Kemudian ada ketidaktahuan dari korban bahwa perlakuan KDRT merupakan tindak pidana. Umumnya pihak-pihak dalam perkara tetap ingin berdamai dengan keluarga besar mantan suami/isteri mereka. Sedangkan proses pidana yang berbeda secara institusional terasa “menyulitkan” bagi korban. Mulai dari harus melaporkan ke institusi yang berbeda, juga melengkapi bukti yang dianggap rumit. Di antaranya visum, rekam kekerasan psikologis, sampai pada persoalan jauhnya tempat pemeriksaan dan persidangan. Seperti kasus yang saya temukan di daerah Seram bagian barat, provinsi Maluku, proses pidana yang akan ditempuh dirasa memberatkan dan memakan waktu lama karena pengadilan terletak di pusat kota. Belum lagi persoalan tidak adanya pendamping hukum. Sehingga korban merasa tidak ada yang menemani dalam menangani penanganan kasus pidananya. Ada pula kasus, yakni korban melapor hanya untuk “menakut-nakuti” pelaku (suami) agar tidak mengulang perbuatannya. Pelaporan itupun dilakukan kalau kekerasan yang dilakukan sudah berulang Kedua dari aspek penegak hukum. Pemahaman penegak hukum beragam dan salah satunya menganggap KDRT adalah delik aduan untuk semua pasal. Di sisi lain banyak korban yang mencabut perkara mereka setelah kurang lebih 3 hari dari masa pengaduan. Di samping itu ada keterbatasan SDM di PPA serta kesulitan bukti dan saksi untuk meneruskan kasusnya pada proses penyidikan Dalam beberapa laporan juga menunjukkan bahwa penyelesaian damai melalui mekanisme hukum adat juga menjadi salah satu alternatif penyelesaian yang dipilih oleh korban. Namun disinyalir bahwa penyelesaian melalui hukum adat ini cenderung mengabaikan rasa keadilan korban dan mengabaikan kebutuhan pemulihan kondisi korban. Bagaimana pandangan Anda? Masih bisakah mekanisme hukum adat ini dijadikan sebagai alternatif penyelesaian perkara KDRT? Jika ya, apa yang diperlukan agar penyelesaian diluar pengadilan ini bisa lebih memenuhi kebutuhan pemulihan dan keadilan bagi korban? Hasil kajian Komnas Perempuan dalam program WLE (Women Legal Empowerment) diketahui bahwa dari 20 kasus yang diteliti di Sumatera Selatan (Palembang dan Musi Banyuasin) dan Sulawesi Tengah (Palu) memberi gambaran, bahwa lima puluh persen (50%) penyelesaian kasus dilakukan secara keluarga, adat dan agama. Penyelesaian ini dianggap “baik” oleh korban, karena

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

45


Wawancara

VOA

mudah, cepat dan tidak menakutkan. Dari segi keadilan, hasil analisis Komnas, tidak semua penyelesaian kasus ini memberikan rasa keadilan bagi korban, karena pengungkapan kebenaran dan pemulihan bagi korban tidak terjadi. Dukungan kelembagaan (struktur dan SDM) secara adat yang memahami perspektif HAM dan gender tidak terpenuhi. Jika penyelesaikan secara keluarga, adat dan agama ini efektif, serta memenuhi rasa keadilan korban, maka tetap penting sistem “peradilan” (non formal) terpadu, yaitu adanya keterpaduan peran keluarga,masyarakat dan negara untuk memenuhinya. Bagaimana pandangan Anda terkait dengan gagasan untuk mengintegrasikan ranah pidana dan perdata dalam perkara KDRT? Mengingat bahwa sebagian besar kasus KDRT memilih penyelesaian perdata, dan dalam hal KDRT sebagai perkara pidana, seringkali juga berimplikasi pada penyelesaian secara perdata? Dalam konteks penyelesaian kasus perempuan dan kekerasan dalam keluarga perlu. Saat ini Komnas Perempuan bersama jaringan sedang menyusun konsep “Peradilan Khusus” untuk Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk kasus-kasus perkawinan dan keluarga. Bagaimana tanggapan Anda dengan adanya gagasan “family court” yang menyatukan penyelesaian perkara pidana dan perdata pada ranah keluarga dalam ranah satu peradilan keluarga? Apakah menurut Anda gagasan ini cukup visible untuk direalisasikan di Indonesia? Bagaimana pandangan Anda? Gagasan family court tersebut dapat dilakukan, sepanjang ada perubahan pada UU Kekuasaan Kehakiman. M e n u r u t A n d a ba g a i m a n a c a r a / s t r a t e g i menumbuhkan kesadaran masyarakat terutama perempuan bahwa hukuman bagi suami pelaku KDRT itu sebenarnya fair saja dilakukan? Sehingga mereka

46

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

tidak khawatir dengan penyelesaian hukum yang ada? Sekali lagi soal mengubah pola pikir, maka pendidikan publik termasuk APH adalah penting, karena lahirnya UU tanpa diikuti pendidikan publik yang baik, akan sulit berjalan. Bagaimana menurut Anda strategi yang dapat dilakukan agar penyelesaian hukum yang ada dapat menjamin terpenuhinya hak-hak korban dan rasa keadilan korban? Sebagai langkah awal, maka diuapayakan bentuk konkret dari Restorative Justice (RJ). RJ selama ini dilakukan secara berbeda oleh Penegak Hukum, RJ dimaknai “damai”, tanpa memberikan tanggung jawab pda pihak-pihak yang seharusnya melakukan peran penting dalam jangka panjang. RJ memberi konsekuensi peran pada korban, pelaku, keluarga, masyarakat (komunitas) dan negara, yang harus secara detail dilekatkan pada mereka dan harus dipantau. Bagaimana pandangan Anda dengan munculnya layanan konseling bagi laki-laki pelaku maupun potensial pelaku KDRT? Apakah layanan tersebut bisa dijadikan sebagai layanan mandatoru sebagai sanksi alternatif atau sanksi tambahan bagi laki-laki pelaku KDRT? Setuju. Sebab selama ini konsentrasi kita hanya pada korban, intervensi pada pelaku menjadi sangat penting. Untuk itu Komnas Perempuan mulai mengintegrasikan pendidikan HAM dan gender pada AKIP dan BPSDM agar para pekerja LP paham HAM dan gender dan dapat mempengaruhi cara memperlakukan pelaku termasuk konseling pada pelaku. []


Profile

NINIK RAHAYU

PRIBADI YANG MENYUARAKAN KEBISUAN Dalam sebuah Pidato Penutupan Launcing Buku Memecah Kebisuan, Ninik Rahayu menyampaikan dua hal penting. Satu diantaranya, sebagaimana yang dikutip dalam laman resmi Komnas Perempuan, dilansir april 2012 lalu Ninik menyampaikan “Perempuan korban kekerasan masih belum dapat mengakses keadilan melalui mekanisme yang disediakan negara secara optimal karena banyak sebab, misalnya aparat penegak hukum yang belum sensitif gender, belum adanya pengetahuan yang memadai tentang adanya UU PKDRT, dan ketidaksiapan secara psikologis untuk menghadapi pengadilan. Sebagai gantinya, perempuan korban kekerasan lebih memilih untuk menyelesaikan masalahnya mealui mekanisme adat dan otoritas agama. Namun demikian, mekanisme adat maupun otoritas agama seringkali tidak memiliki keberpihakan yang cukup terhadap perempuan korban sehingga yang terjadi justru korban mengalami reviktimisasi. Kenyataan ini adalah suatu ironi mengingat besarnya harapan korban pada otoritas agama untuk mendapatkan haknya atas keadilan, kebenaran, dan pemulihan.” Ninik Rahayu, ibu tiga putri, Saharia Nurarini, Sahbidina Nurarini, dan Syafa'illiyin Nurarini melalui pernikahannya dengan Arifin Djauhari ini lahir di Lamongan 23 September 1963. Ia adalah anak perempuan pertama dari 13 bersaudara yang dilahirkan oleh dua orangtua yang sangat hebat, H. Maksum Buchori dan Hj. Zaitun. Perkawinan yang dijalaninya sampai berusia 25 tahun ini, memberi ruang yang sangat besar bagi dirinya untuk terus aktif bukan hanya untuk kepentingan dirinya, keluarganya, tetapi sedikit atau banyak masih dapat pula berkiprah secara sosial. Hidup dan kehidupannya saat ini sangat diwarnai dan diinspirasi kehidupan perkawinan kedua orang tuanya, perjuangan kedua orang tuanya dalam berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Fenomena ketidakadilan dan ketidaksetaraan perempuan dalam perkawinan dan keluarga serta masyarakat menjadi dasar pertanyaan awal mengapa kondisi ini tidak terjadi pada keluarganya. Ia tumbuh dan ditumbuhkan dalam memperjuangan isu pemenuhan hak asasi manusia, khususnya hak asasi perempuan. Tak luput menjadi teladan adalah perjuangan sang ayah dalam mengungkap kebenaran atas sebuah kasus, dan perjalanan dirinya sendiri di masa mahasiswa yang merasa hak-hak untuk berekspresi dibatasi.

Setelah menyelesaikan S2 dengan gelar Magister Science pada Tahun 1990, kemudian aktif bekerja sebagai Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember sampai dengan Tahun 2006, sebagai Konsultan Hukum sampai untuk mendorong lahirnya kebijakan yang transparan dan partisipatif. Berbekal pengalaman advokasi pembaharuan atas pentingnya materi hukum, ham dan gender pada pendidikan di Fakultas Hukum semasa mengajar dan aktif sebagai ketua Pusat Studi Wanita sejak Tahun 1992 sampai dengan 2002, maka sejak tahun 2004 menggagas pendirian mendirikan Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak Tahun 2004. “Jangan ada lagi perbedaan gender dan intimidasi terhadap perempuan, kami mampu melakukan hal-hal yang kadang dianggap berat dilakukan oleh seorang perempuan,” kata Ninik dalah sebuah kesempatan di Banjar, Kalimantan selatan. Keinginannya terlibat dalam advokasi di tingkat nasional untuk memastikan akses keadilan bagi perempuan korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan, mengantarkannya sebagai Komisioner Komnas Perempuan periode 2007-2009 dan 2010-2014. Posisinya sebagai salah satu komisioner Komnas Perempuan menuntut dirinya terlibat aktif diberbagai daerah dalam rangka kampanye gerakan anti kekerasan terhadap perempuan. Pun, ia terlibat aktif dalam perumusan dan advokasi RUU Kesetaraan Gender. Dalam Pidato Penutupan launching Buku Memecah kebisuan itu, Ninik selaku komisioner Komnas Perempuan mengatakan “Komnas Perempuan mengharapkan kerjasama dari semua institusi agama untuk memegang komitmen memperjuangkan keadilan dan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan korban kekerasan dan mengintegrasikan dalam program -program di dalam komunitas agama masing – masing, terus menggali suara korban serta ikut mewarnai tafsir baru dalam teks agama yang dilakukan secara utuh (sebagaimana disampaikan bu Shinta N) guna pemenuhan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan”. Semoga. [] R.A. Hadwitia Dewi Pertiwi

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

47


Esai & Foto

DewasaMuda Memilih Pasangan di Masyarakat Ngada Pada bulan November 2011 silam, saya dan beberapa teman penelitian lapangan di Kampung Wisata Bena, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, tentang persepsi dewasa muda di Kabupaten Ngada terhadap pemilihan pasangan hidup beda rang (kasta). Kabupaten Ngada terletak di Kepulauan Nusa Tenggara Timur, tepatnya 18 kilo meter dari Bajawa dengan luas 3037,9 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 250 ribu jiwa. Menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2008, angka pernikahan di kabupaten Ngada adalah sebesar 107. Pernikahan pada masyarakat Ngada berbentuk ceremonial marriage. Namun tidak hanya itu, kebudayaan yang kental tersebut membentuk pernikahan endogamy marriage–pernikahan antara pasangan yang memiliki hubungan dalam kelompok tertentu– mengacu pada kastakasta dalam kebudayaan Ngada. Prakteknya pernikahan masyarakat Ngada mempunyai ikatan endogami yang kuat. Wea mae nea, kaba mae pota (mabha) yang artinya harta keluarga tidak boleh diberikan kepada klan lain. Kekhususan klan, kebiasaan-kebiasaannya yang khusus, martabat dan kemuliaan yang diwariskan dari leluhur tidak boleh luntur dan perlahan-lahan hilang ura ngia mae pota Kemurnian darah harus tetap dipertahankan dan ikatan keluarga harus menjadi semakin erat. Para pemuda harus mengetahui dimana harus mencari pasangannya, karena itu harus menjauhi

48

Rifkamedia

gadis-gadis dari klan lain. Pernikahan endogomi masyarakat Ngada terkait dengan budaya yang dianut, kasta. Dalam masyarakat Ngada ada tiga tingkat lapisan sosial yang berbeda, Gae Maze (atas), Gae Kisa (tengah, dan Azi Ana (bawah). Bagi masyarakat Ngada, rang merupakan hal yang dipandang sebagai identitas yang dipegang teguh oleh individu. Halangan-halangan dalam pernikahan dapat berdasarkan hubungan darah, hubungan pertalian sebagai ipar, anak angkat, perbedaan tingkatan sosial masyarakat (rang), orang asing, dan kemasyarakatan kampung. Suatu pernikahan yang berasal dari rang yang berbeda dapat dianggap sebagai suatu pelanggaran yang besar. Pernikahan beda rang berarti menyatukan dua norma berbeda yang pada akhirnya mempengaruhi kehidupan keluarga dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, seorang laki-laki dari tingkat sosial yang lebih rendah tidak boleh menikah dengan seorang gadis dari tingkat sosial yang lebih tinggi, dan sebaliknya. Namun seorang laki-laki dari tingkat yang lebih tinggi dapat menikah dengan seorang gadis dari tingkat yang lebih rendah, jika hanya berlaku untuk seorang laki-laki yang mempunyai banyak istri, istri yang pertama harus berasal dari rang yang sama dengan laki-laki tersebut. Laki-laki yang tidak mengindahkan peraturan ini maka ia dipandang turun ke tingkat istrinya yang lebih rendah. Pernikahan beda rang dapat terjadi, jika pasangan

November 2012-Januari 2013

tersebut meninggalkan suku mereka dan berpindah tempat tinggal dari wilayah tersebut. Doc. Caron Masyarakat Ngada khususnya Kampung Bena, memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai pemilihan pasangan hidup beda rang. Hal tersebut didapat dari lima informan dewasa muda (umur berkisar dari 20-40 tahun) yang kami temui, satu orang mengemukakan bahwa rang tidak lagi memegang peranan penting dalam pemilihan pasangan hidup, sedangkan empat lainnya, masih menganggap rang merupakan hal yang penting dalam menentukan pasangan hidup. Pemilihan pasangan pada masyarakat Ngada juga terkait dengan faktor-faktor lainnya yaitu pekerjaan, agama, dan karakter pasangan. Pekerjaan terkait kemapanan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup. Mayoritas pekerjaan masyarakat Ngada ialah menenun, beternak, dan berladang. Selain itu masyarakat Ngada memiliki agama mayoritas yaitu agama katolik, faktor ini juga berpengaruh pada per sepsi seseorang akan pemilihan pasangan hidup. Karakter yang dimiliki seseorang khususnya kesetiaan pasangan satu sama lain. Hal tersebut mengacu pada kepercayaan yang mereka anut yaitu agama Katolik, yang melarang perceraian bagi pasangan yang sudah menikah. Kesetiaan dipandang sebagai nilai penting dalam pernikahan. Faktor-faktor ini terkait kuat pada tatanan sosial yang ada pada budaya masyarakat Ngada yaitu rang. [] Caron Toshiko


Dapur Rifka Annisa

Bertaruh dengan Pengalaman: n, a u p m re e P n a k a n a c Mewa Meneriakkan Kesadaran

M

embicarakan perempuan adalah membicarakan denyut kehidupan. Kiranya adagium itu tidak terlalu muluk. Perempuan dimanapun adalah pusat pembicaraan dalam seluruh rentang

hidup. Fashion, selebitas, mode, kerja, hobi, kecantikan, perhiasan, intelektual, dan lainnya tak lepas dari membicarakan perempuan. Dan, media berlomba-lomba menyorotnya. Muncullah tabloid, majalah, koran , bahkan

media online yang menempatkan perempuan sebagai objek sekaligus subjek dalam konten mereka. Tengok saja nama-namanya, Tabloit Nova, Majalah Gadis, Majalah Kartini, Bunda, Kebaya, dan masih banyak lagi yang mengangkat tema-tema tentang perempuan. Namun, berapa banyak media yang memperjuangkan hak-hak perempuan, kesetaraan, dan penghapusan tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan? Tentu ada, namun sedikit sekali jumlahnya. Dan, yang sedikit itu tidak mempunyai jangkauan yang luas. Sementara itu, dari tahun ketahun statistika kekerasan terhadap perempuan mengalami tren kenaikan. Catatan yang dibukukan oleh Rifka Annisa paling tidak menunjukkan bahwa setengah tahun terakhir terjadi peningkatan yang signifikan. Namun persoalannya, isu ini senyap dari gaung media masa lokal maupun nasional. Tidak banyak media umum, majalah, koran harian, maupun media online yang mengangkat isu-isu perempuan menjadi persoalan bersama. Barang kali karenanya, bagi sebagian besar masyarakat kita, terutama media masa, isu perempuan menjadi isu peri-peri. Kasus kekerasan di Sampang dan dimanapun yang mengakibatkan hilangnya nyawa, tidak terdengar bagaimana nasib perempuan pasca dikabarkan ramai di media. Bagaimana nasib, hak, dan penghidupan mereka, tidak pernah terungkap. Suara korban tak diangkat, dan pelanpelan kasus itu dilupakan dalam

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

49


Dapur Rifka

ingatan masyarakat. Nasib perempuan korban kerusuhan tak diketahui kondisinya. Situasi itu hanya sedikit dari kasus perempuan yang terjadi disemua level, baik dalam level pribadi, keluarga, masyarakat, maupun negara. Dalam berbagai lingkar kekerasan, perempuanlah yang paling merasakan beban fisik maupun psikologisnya. Disisi lain, pewacanaan perempuan dalam berbagai isu , khususnya gerakan anti kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, sesungguhnya membutuhkan ruang deseminasi yang luas dan masif. Mengingat isu berkenaan dengan perempuan terkait kekerasan terhadap perempuan, KDRT, pelecehan seksual, hak asasi perempuan, posisi perempuan dalam lingkup gerakan sosial politik, dan lainnya belum menjadi isu bersama bagi media masa mainstream. Pertanyaanya, akankah gerakan mewujudkan perempuan berkeadilan, perempuan yang terbebas dari segala tindak kekerasan dan diskriminasi menggantungkan pewacanaan pada media masa umum? Cukupkah gerakan perempuan memberi pewacanaan di tingkatan akar rumput dan abai diwilayah alam kesadaran sosial media? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang melandasi Rifka Media bermetamorfosa mengambil peran pewacanaan dan pengembangan pengetahuan. Pada rubrik yang sama dua edisi yang lalu (Dapur Rifka Media edisi 49, dan 50) kami meneguhkan untuk menjadi media yang mampu merangsang dan mengembangkan pengetahuan berbasis perempuan. Sebab membincangkan, menekuni isu perempuan tidak cukup dalam beberapa paragraf liputan di media masa. Oleh karenanya, sembari terus menjalin hubungan pemberitaan dengan media-media umum, lokal maupun

50

Rifkamedia

nasional, Rifka Media bergerak membangun wadah yang lebih luas yang diharapkan mampu menjangkau segmentasi pembaca yang menyebar. Langkah ini kami mulai dengan menerbitkan majalah semi jurnal. Satu tema kami dibedah dari beragam perspektif. Format ini memungkinkan kita semua, pembaca, untuk menilik persoalan-persalan tema dari beragam sudut padang pikiran dan pemikir, praktisi dan aktifis gerakan perempuan, dan terutama perempuan korban kekerasan. Kami merasa membincang perempuan memerlukan wadah yang serius. Wadah yang mampu menampung beragam isu perempuan dan gerakan anti kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dengan lebih intim. Di majalah inilah kami menaruh perhatian besar dan sekaligus harapan besar agar wacana perempuan dibicarakan dalam ruang yang lebih besar, dalam kehidupan seharihari, dalam iklim akademis, kelompok-kelompok diskusi dan gerakan intelektual, para pengambil kebijakan, dan tentu saja masyarakat umum yang lebih luas. Dengan demikian sesungguhnya kami bermaksud untuk tidak saja menyuarakan yang “bisu�, tetapi meneriakkan yang terpinggirkan, yang tak terdengar oleh berbagai wacana yang hilir mudik dibelantara informasi yang menghampiri kita, pembaca. Sebab (hanya) dengan berteriak itulah lamat-lamat suara kita didengarkan para pengambil kebijakan, mereka yang lelap dari genderang diskriminasi. Namun, tentu saja kami tak melupakan laki-laki sebagai basis kajian gender lainnya. Sebab Rifka Annisa hingga saat ini juga menaruh perhatian pada kajian laki-laki, melalui Men's Program. Dan kami meyakini merekalah partner yang paling memungkinkan untuk mengurangi

November 2012-Januari 2013

tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Itulah salah satu formulasi perubahan yang bisa dijalankan. Tiga edisi perubahan yang sedang kami usung ini kami jadikan dasar untuk memantapkan Rifka Media sebagai media perjuangan perempuan berkeadilan, yang sekaligus menjadi tagline kami. Pun media ini sedari mula kami niati untuk turut membangun iklim pengetahuan dan pemikiran tentang perempuan dengan lebih terbuka. Mendokumentasikan kerja-kreja dan pemikiran agar mempunyai jejak yang panjang. Tentu saja cita-cita kecil tentang perubahan yang diinginkan itu menemukan tempatnya. Kami sadar sebagai majalah yang diniati untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat, oplah awal kami belumlah sebanding dengan media cetak umum yang berlipat-lipat. Namun kami anggap langkah ini merupakan pijakan awal dalam pengembangan produk ini kedepan. Harapan harus ditumbuhkan seiring semangat perubahan yang diusung Rifka Media secara khusus, dan Rifka Annisa umumnya. Semangat itulah yang kami hidupi. []

M . Saeroni Pemimpin Umum Rifka Media


Galery

19 Years Working for Peace and Equality

Rifkamedia

November 2012-Januari 2013

51


Bertanggung Jawab Anti Kekerasan

Sayang Keluarga

Setia

LAKI-LAKI BARU I K A L I K A L U R BA


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.