Rifka media No.52 "Selingkuh Tiada Akhir.."

Page 1

Menemukan Watak Jurnal Rifka Media

Rifka Media No. 52 Februari-April 2013

Rifkamedia Perjuangan Perempuan Berkeadilan

SELINGKUH TIADA AKHIR

Membongkar Ruang-ruang Psikologis dan Sosiologis Perselingkuhan dan Ancaman Perkawinan

ISSN 2301-9972

9 772301 997006


BACAAN MENCERDASKAN TELAH HADIR DI TOKO BUKU KESAYANGAN ANDA

Rifkamedia Perjuangan Perempuan Berkeadilan

Customer Service: 0274-553333, Email: rifka-media@rifka-annisa.or.id


Rifkamedia

DAFTAR ISI

No. 52 Februari-April 2013

Daftar Isi | 03 Surat Pembaca | 04 JENDELA Guncangan Bernama Perselingkuhan | 05 LAPORAN UTAMA Mengurai Perselingkuhan dari Desa Hingga Kota Defirentia One M. | 07 Panggung Sandiwara Perselingkuhan Silfia Hanani, Ph.D | 13 Mimpi Bahagia dalam Berkeluarga: Perselingkuhan Sebagai Ganjalan Ryan Sugiarto | 19 Prinsip Relasi Pasangan Suami-isteri dalam Membangun Rumah Tangga Agar Terhindar Dari Perselingkuhan Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A. | 25 Rujuk Atau Cerai: Dilema Perdamaian Pasca Perselingkuhan Laksmi Amalia & Niken Anggrek Wulan | 31 LESEHAN BUKU Kala Sastra Berprasangka Gender | 37 LIPUTAN Rapat Tahunan 2013 : Rifka Annisa Sinergikan Program untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan | 39 Jaringan Perempuan Yogyakarta: Negara Masih Abai Terhadap Kekerasan Seksual | 40 Diskusi Rutin Rifka Annisa : Berbagi Hal Baru dari National Youth Forum | 41 MEMOAR Tak Ku Sangka Kau Mendua | 42 WAWANCARA Prof. Endang Sumiarni: Hukum Tentang Perbuatan Zina Mengakomodasi Kesetaraan Gender | 44 PROFIL Keluarga Kunci Bahagia | 47 ESAI & FOTO Keluarga | 48 DAPUR RIFKA Menemukan Watak Jurnal Rifka Media | 49 Galery | 51

Penanggung Jawab: Suharti (Direktur Rifka Annisa) Pemimpin Umum : Muhammad Saeroni Pemimpin Redaksi : Any Sundari Sekretaris Redaksi: Defirentia One M. Dewan Redaksi: Dewi Julianti, Citra Safitri, Deferentia One M, Laksmi Amalia, Tomi Apriando, Arifuddin Kunu, Niken Anggrek Wulan Fotografer: Caron Toshiko Monica Sutedjo, Layouter: Ulin Niam Alamat Redaksi dan perusahan Rifka Media: Rifka Annisa Women's Crisis Center Jalan Jambon IV Komplek Jatimulyo Indah Yogyakarta Telepon/Fax: (0274) 553333 website: www.rifka-annisa.or.id, email: rifka-media@rifka-annisa.or.id., Facebook: Rifka Annisa WCC, Twitter: @RAWCC Redaksi menerima tulisan dari pembaca sekalian terkait dengan isu-isu perempuan kepada khalayak yang lebih luas. Kritik dan saran kami tunggu di rifka-media@rifka-annisa.or.id.

Rifkamedia

Februari-April 2013

03


Hai Rifka Media, saya salah satu pembaca setia Rifka Media sejak beberapa tahun yang lalu. Apakah Rifka Media menerima kiriman tulisan dari pihak luar? Karena saya selama ini melihat isi Rifka Media hanya diisi oleh staf Rifka Annisa dan beberapa akademisi? Salam Rinda, Jakarta Hai Rinda, kami sangat menunggu tulisan dari teman-teman setia Rifka Media, yang ingin menuliskan artikel di Rifka Media. Tulisan bisa dikirim di email rifka@rifkaannisa.or.id atau email khusus di rifka media di rifka-media@rifka-annisa.or.id. Tulisan berisi tentang isu-isu perempuan, dengan menggunakan referensi, jumlah 20.000 karakter sudah termasuk spasi.

Surat Pemba ca

Hallo Rifka Media, apakah Rifka Annisa akan mengadakan pementasan teater lagi seperti Tonil Laki-Laki. Kalau iya, kapan akan dilakukan dan mengusung konsep seperti apa? Salam Monic, Yogyakarta Dear Monica, Rifka Annisa tahun ini akan mengadakan teater lagi dengan tema baru dan disutradarai oleh teman-teman Rifka Annisa sendiri, konsep kini dalam penggodokan tim, jika tidak ada halangan akan segera di pentaskan. Kami akan menyebarkan informasinya jika konsep sudah matang untuk dipentaskan. Dear Rifka Annisa, bagaimana cara mengakses konseling di Rifka Annisa, teman saya ingin melakukan konseling tapi tidak berdomisili di Yogyakarta. Apakah Rifka Annisa bisa membantu? Salam, Nugrahaini, Semarang. Mbak Nugrahaini, konseling Rifka Annisa tidak hanya dilakukan tatap muka saja. Bagi perempuan yang ingin mengakses layanan konseling tetapi tidak dilakukan di Yogyakarta, bisa melalui telepon di (0274) 553333 atau hotline 24 jam (0274)743298 atau bisa melalui email di rifka@rifka-annisa.or.id. Terima kasih.

Hai Rifka Annisa, saya mendengar ada layanan konseling untuk laki-laki pelaku kekerasan di Rifka Annisa, apakah laki-laki yang datang konseling itu semuanya datang dengan kemauan sendiri atau rujukan? Terima kasih, Nugroho, Jakarta. Konseling laki-laki yanga da di Men's Unit kebanyakan datang karena permintaan istri yang juga konseling di Rifka Annisa, istri yang datang konseling biasanya kami tawarkan agar suaminya ikut sesi konseling perubahan perilaku. Sifat konseling ini voulenteery bukan mandatory sehingga laki-laki yang datang masih sedikit. Tetapi ini merupakan kemajuan, karena ada kontrobusi positif keterlibatan laki-laki untuk mengubah perilaku kekerasan yang dilakukannya.

Data Statistik

Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) Di Rifka Annisa Januari – Desember 2012 KASUS MEDIA KTI KDP PKS PEL-SEK KDK TRAF

: Kekerasan Terhadap Istri : Kekerasan Dalam Pacaran : Perkosaan : Pelecehan Seksual : Kekerasan Dalam Keluarga : Traffiking (Perdagangan Orang)

KDP

PKS

PEL-SEKS

TATAP MUKA

200

22

8

5

10

0

245

TELEPON

17

2

1

1

0

0

21

OUTREACH

6

1

20

3

0

0

30

EMAIL

3

3

0

0

1

0

7

226

28

29

9

11

0

303

JUMLAH

KDK

TRAF

JUMLAH

KTI

Sumber : Data base Divisi Pendampingan Rifka Annisa

04

Rifkamedia

Februari-April 2013


Jendela

Rifkamedia Guncangan Bernama Perselingkuhan The best love affairs are those we never had. Perselingkuhan terindah adalah perselingkuhan yang tidak pernah terjadi. Kita tak tahu siapa yang menuliskannya pertama kali . Namun, yang jelas ungkapan tersebut menjadi landasan kuat untuk menghapus secara permanen, bahkan menghilangkan perilaku perselingkuhan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, utamanya yang terikat dalam ikatan pernikahan. Tentu, tak pernah ada seseorang pun yang ingin menjadi korban perselingkuhan. Ini mimpi buruk yang akan berpengaruh pada hubungan dengan pasangan, anak, dan bahkan orang sekitar Anda. Diluar sana, banyak keluarga yang berantakan, ketika muncul wanita atau pria idaman lain dalam sebuah rumah tangga. Betapa, perselingkuhan adalah perilaku sadar secara logika, namun tak pernah membentuk kesadaran empatik untuk merawat sebuah hubungan. Jelas, bahwa pendapat awam tentang perselingkuhan selalu beorientasi pada rasa sakit, marah, cemburu dan hilangnya kepercayaan kepada pasangan. Buku The Dance Restoration Abel Ortega dan Melodie Flemming menunjukkan, betapa sulitnya memulihkan hubungan (perkawinan) yang tengah diguncang prahara perselingkuhan. Ini bukan hanya menguras kelelahan fisik, tetapi juga mental dan emosi. Masing-masing pihak punya kesempatan untuk semakin menghancurkan puing-

puing pernikahan atau membangun kembali puing-puing tersebut dengan landasan baru yang lebih kokoh. Kehancurkan pernikahan menghasilkan trauma dan penderitaan, membangun kembali artinya berani membunuh ketidakpercayaan dan menetapkan lajur baru, kemana arah pernikahan akan dibawa. Berdasar aspek psikologis, jelas perselingkuhan tentu menimbulkan rasa sakit pada salah satu pihak. Lain, jika berbicara dalam aspek hukum. Dalam bahasa hukum, tidak ada definisi tentang “perselingkuhan� , yang ada adalah definisi “berbuat zina�. Tuduhan berbuat zina secara hukum hanya bisa diproses dengan delik aduan yang dilakukan oleh pasangan, bukan orang lain. Pengaduan pun akan diproses apabila memenuhi prasarat, jika kedua pasangan terikat dalam pernikahan yang terdaftar secara legal dalam hukum negara. Artinya perempuan atau laki-laki yang melaporkan pasangannya berbuat zina, namun tidak berada dalam bawah perkawinan yang dicatat oleh negara, maka pelaporannya tidak memenuhi unsur-unsur hukum untuk menjerat pasangannya atas pasal perzinahan. Khusus untuk perempuan yang suaminya berselingkuh, upaya pembuktian berbuat zina memiliki sisi dilematis. Posisi tawar perempuan saat suaminya berselingkuh sangat lemah, apabila ia tergantung secara ekonomi kepada suaminya. Jelas, berdasar pada delik aduan, istri tidak bisa begitu saja berani melapor karena

berbagai alasan seperti, ketidakmandirian secara ekonomi yang membuat ia rentan jika memutuskan bercerai, faktor pertimbangan psikologis anak dan beban konstruksi sosial akibat pelabelan janda jika ia bercerai dari suaminya. Disamping itu, proses pembuktian berbuat zina dalam hukum ternyata tidaklah mudah. Pasangan yang menyangka pasangannya selingkuh, harus membuktikan bahwa istri atau suaminya berbuat zina, ketika pasanganya dan pasangan zinanya sudah melakukan hubungan intercourse (penetrasi) secara seksual. Ini tentu sulit dibuktikan, meski ada upaya pembuktian lain seperti saksi, kronologi dan buktibukti fisik lainnya, namun keberhasilan pembuktiaan juga bergantung dari kecermatan dan pertimbangan hakim dalam melihat kasus perzinahan ini. Kini, inisiatif terobosan penyelesaian kasus perselingkuhan harus dimulai dengan mempertimbangkan berbagai aspek psikologis, sosial, kultural, dan hukum, utamanya pemberian rasa keadilan kepada perempuan korban perselingkuhan. Persoalan perselingkuhan adalah guncangan awal tatanan institusi keluarga yang berdampak pada pembentukan mental seorang manusia menuju kematangan. Tentu, tak pernah ada harga yang murah, untuk membayar akibat dari perselingkuhan. []

Any Sundari, Pemimpin Redaksi

Rifkamedia

Februari-April 2013

05


Membisu Demi Harmoni

Isi buku: - Tebal 180 halaman (book paper) - Dua Bahasa (Indonesia-Inggris) - Membahas potret perilaku kekerasan terhadap istri Untuk pemesanan silahkan hubungi: - Defirentia One (085232387729) - Hani Bariza ( 085725184195)

Buku Baru


Laporan Utama

flicker.com

MENGURAI PERSELINGKUHAN DARI DESA HINGGA KOTA Defirentia One M. Staf Humas dan Media Rifka Annisa defirentiaone@yahoo.co.id


Laporan Utama Perselingkuhan terjadi dimana-mana. Di desa dan di kota. Dari keluarga rakyat hingga pejabat. Kasus perselingkuhan menjadi persoalan yang tak pernah henti dihadapi pasangan-pasangan dalam pernikahan. Kita patut bertanya, mengapa banyak kasus perselingkuhan? Apakah masingmasing pasangan tak mampu lagi menjaga komitmen dan pondasi rumah tangga mereka? Jika perselingkuhan dianggap sebagai mimpi buruk, hal yang seharusnya tidak terjadi dalam rumah tangga, maka tidaklah berlebihan dikatakan bahwa perselingkuhan bisa jadi benih penghancur rumah tangga. Setiap orang memimpikan sebuah keluarga yang harmonis, damai, dan bertahan hingga selamanya. Namun, situasi ideal tersebut tidak selalu dirasakan setiap pasangan. Faktanya banyak keluarga mengalami masalah rumah tangga hingga berakhir pada perceraian. Mendengar kata selingkuh, pikiran kita tertuju pada suatu terma yang mengumpamakan pasangan selingkuh sebagai WIL (Wanita Idaman Lain) atau PIL (Pria Idaman Lain). Stigma yang buruk seringkali lebih banyak dilontarkan pada pihak perempuan. Istri simpanan, wanita penggoda, perempuan gathel, seolah melekatkan citra buruk perempuan di masyarakat. Bahkan, ketika perselingkuhan terjadi perempuan cenderung mendapat beban sosial lebih banyak. Persoalan moral dan nama baik keluarga semuanya dilimpahkan kepada pihak perempuan. Baik buruknya keluarga tergantung dari perilaku istri. Begitulah umumnya masyarakat memandang perempuan, relasinya dalam lembaga perkawinan. Perihal moralitas sayangnya

08

Rifkamedia

Februari-April 2013

flicker.com

masih menyudutkan perempuan sebagai pihak yang paling banyak bertanggung jawab jika ada permasalahan dalam keluarga. Dalam kasus perselingkuhan misalnya, masih banyak perempuan yang dituntut atau pun menuntut dirinya sendiri untuk instropeksi. Terlepas dari opini yang menyudutkan para perempuan, ada banyak faktor pemicu perselingkuhan yang perlu dilacak kembali. Misalnya, perubahan taraf ekonomi yang sebanding dengan pergeseran gaya hidup. Selain itu, faktor kesibukan, dan lingkungan pekerjaan juga mempengaruhi terjadinya perselingkuhan. Namun,

masih banyak juga orang yang mengaitkan perselingkuhan dengan persoalan komitmen, cinta, dan seksualitas. Kesemuanya itu menarik dikaji. Terlebih jika mengaitkan perselingkuhan sebagai persoalan budaya dan gaya hidup kaum urban dan rural. Perselingkuhan Kaum Rural Perselingkuhan yang terjadi dikalangan rakyat biasa atau pejabat, di perkotaan hingga pedesaan, apapun bentuknya, merupakan fenomena sosial yang tidak lagi menjadi perkara privat masingmasing rumah tangga. Perselingkuhan yang terjadi di


desa tak jarang diikuti mitos dan dugaan 'guna-guna' atau 'main dukun' yang dilakukan oleh pasangan selingkuh. Masyarakat desa melihat pernikahan sebagai sesuatu yang dinilai sakral. Jika ada pengganggu kecenderungannya dilihat sebagai sesuatu yang tak normal. Bagi mereka tidak mudah dan tidak mungkin seorang istri atau suami berselingkuh dengan orang lain apalagi yang sama-sama sudah berumah tangga. Seperti yang dituturkan Dana (bukan nama sebenarnya, red), 24 tahun. Laki-laki, tinggal di sebuah perkampungan di Sleman ini menuturkan, “Istri tetangga saya ada yang kepergok selingkuh. Dia menjalin hubungan lagi dengan mantan pacarnya. Kata orang dia kena guna-guna. Awalnya dia sering banget sms-an dan telpon-telponan dengan pria itu.” Dugaan guna-guna yang kerap dilontarkan masyarakat terutama di pedesaan hanya satu dari serangkaian mitos perselingkuhan yang diyakini mereka. Beberapa orang memandang bahwa perselingkuhan yang dilakukan hanya dengan berkirim sms atau pun aktivitas melalui media sosial online misalnya, masih dianggap biasa saja. Maksudnya, tak seharusnya masalah itu diakhiri dengan perceraian sebab suami dan istri masih bisa didamaikan. Beberapa orang bahkan memandang perselingkuhan yang sebenarnya itu terjadi ketika ada indikasi tinggal serumah, melakukan hubungan seksual (intercourse), atau menikah siri dengan menelantarkan istri. Seperti halnya yang dialami Nawi (bukan nama sebenarnya, red), ibu dengan seorang anak asal Gunung Kidul. Sudah bertahun-tahun ia ditinggal suami merantau ke Jakarta. Kondisi ekonomi yang tergolong

“Saya ndak nyangka dia selingkuh dan akhirnya menikah dengan wanita lain. Akhirnya saya minta cerai daripada ditelantarkan.

miskin menjadi satu alasan kepasrahannya melepas suami ke ibu kota. Namun penantiannya bersama anak tak disambut dengan kabar gembira. Nawi merasa ditelantarkan tanpa kabar jelas dari suami. Setelah lama tidak pulang, Nawi mendapatkan kabar bahwa suaminya sudah menikah dengan wanita lain. Lantas, ia pun memberanikan diri untuk menggugat cerai suami dan mencoba membangun kehidupan yang baru. “Saya ndak nyangka dia selingkuh dan akhirnya menikah dengan wanita lain. Akhirnya saya minta cerai daripada ditelantarkan. Padahal lama kami menunggunya pulang. Apalagi anak kami sudah mau masuk bangku sekolah, butuh biaya besar. Ya akhirnya saya yang harus kerja buat menyekolahkan anak. Pilihannya cuma kerja di

Malaysia,” tuturnya kepada Rifka Media. Banyak kasus penelantaran istri oleh suami yang bekerja di kota. Di Yogyakarta sendiri, kasus-kasus seperti itu tak hanya satu, dua, jumlahnya. Di Gunung Kidul khususnya, berbagai cerita tentang penelantaran istri dan anak oleh suami yang bekerja di kota besar (khususnya Jakarta) berulang kali menjadi sorotan publik. Ada pula kasus yang lain, setelah ditinggalkan suami ke kota, seorang perempuan berselingkuh dengan tetangganya sendiri. Alasannya, ia mencari seseorang yang bisa membuatnya nyaman sebagai pengganti suami yang berada jauh di kota. Bagi perempuan yang terjebak dalam kasus perselingkuhan semacam ini, kebutuhan akan kedekatan tidak hanya dimaknai sebagai dekat secara emosional tetapi juga dekat secara jarak. Sebab kasus umumnya, perselingkuhan yang banyak terjadi di desa dilakukan dengan tetangga dekat atau orang yang sebelumnya dikenal dekat. Menilik kembali pada kasus yang dituturkan Dana di atas, perempuan di desanya selingkuh dengan mantan pacar. Ini menunjukkan, pasangan selingkuh adalah orang yang sudah dikenalnya dan bisa jadi si perempuan pernah merasakan kenyamanan yang lebih baik dengan si pria tersebut dibandingkan dengan suaminya. Menanggapi kasus tersebut, M. Saeroni, peneliti dari Rifka Annisa menyatakan bahwa kecenderungan seseorang untuk selingkuh karena ia mencari kenyamanan dan perhatian yang tak didapat dari pasangannya. “Tapi biasanya memang pasangan selingkuhnya adalah teman atau tetangga sendiri. Kasus ini menunjukkan pada kita bahwa di

Rifkamedia

Februari-April 2013

09


Laporan Utama desa kesempatan, peluang, dan pilihan target untuk selingkuh cenderung terbatas,� tuturnya saat ditemui Rifka Media. Bahkan, mengaitkan fenomena selingkuh dengan alasan guna-guna atau main dukun yang hingga kini masih diyakini masyarakat desa agaknya tak bisa diterima oleh akal sehat. Hal itu bisa jadi pengalihan wacana agar masyarakat tidak terlalu menyoroti kesalahan personal pihak perempuan atau laki-laki. Dengan alasan guna-guna, masyarakat tak banyak membicarakan moralitas, persoalan ekonomi, atau pun motivasi psiko-sosial lainnya dari si perempuan atau pun pasangan selingkuhnya. Dalam kasus seperti ini, ada peluang lebih banyak untuk memediasi pihak-pihak yang berselingkuh untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Agar masalah tidak berujung pada konflik keluarga yang berkepanjangan atau bahkan berakhir dengan perceraian. “Kalau ada alasan guna-guna, pihak yang terlibat dalam kasus selingkuh lebih mudah untuk didamaikan,� tambah Saeroni. Meski demikian, tak berarti kasus perselingkuhan yang terjadi di desa dengan mudah hilang dalam ingatan masyarakat. Masyarakat desa seolah memiliki skenario sendiri bagaimana menangani kasus perselingkuhan. Sanksi sosial, akhirnya menjadi satu instrumen yang ambil bagian dalam perkara perselingkuhan. Bentuknya bermacam-macam salah satunya hukum adat. Di wilayah Indonesia yang hukum adatnya masih kuat, kasus perselingkuhan akan ditangani secara adat. Di satu sisi, adanya sanksi sosial yang kuat membuat masyarakat mencoba menghindari bahkan menutup-tutupi skandal perselingkuhan. Mereka merasa takut digrebeg

10

Rifkamedia

Februari-April 2013

“ ...adanya sanksi sosial yang kuat membuat masyarakat mencoba menghindari bahkan menutuptutupi skandal perselingkuhan.� massa, dikucilkan dan dikoreksi moralitasnya jika didapati berselingkuh. Belum lagi, beban aib dan malu yang begitu besar harus dihadapi pihak keluarga masingmasing pasangan yang terbukti selingkuh. Biasanya, dalam kultur masyarakat yang sanksi sosialnya kuat, orang cenderung mencegah diri untuk selingkuh atau pula jika mereka terlanjur selingkuh, dengan berbagai upaya akan memendam dalam-dalam skandal tersebut agar tidak terekspos ke publik. Namun, di lain pihak, upaya untuk memendam aib akibat perselingkuhan maupun membiarkan praktik perselingkuhan secara blak-blakan justru bisa jadi penyakit masyarakat. Bagi perempuan yang rela menutuptutupi skandal perselingkuhan suaminya dengan alasan menjaga kehormatan keluarga, hal tersebut justru menjadi benih-benih kekerasan terhadap istri dan anakanak. Sedangkan, masyarakat yang membiarkan begitu saja skandal perselingkuhan sebagai suatu yang dianggap wajar, sedikit banyak juga memicu pelabelan sosial terhadap

moralitas suatu masyarakat. Fenomena kedua ini juga didapati di Yogyakarta, terutama perselingkuhan dalam konteks prostitusi. Kebiasaan laki-laki yang sudah berumah tangga pergi ke lokasi prostitusi tak seharusnya dianggap sebagai hal wajar. Upaya untuk mencari kepuasaan lain selain dari istrinya dengan menciderai komitmen bersama juga dianggap sebagai perselingkuhan. Hanya saja bedanya dengan perselingkuhan biasa, fenomena ini lebih bersifat transaksional. Dalam studi yang dilakukan Ramadhani (2012) tentang geliat pekerja seks di Pantai Parang Kusuma, banyak ditemukan bahwa pelanggan yang datang ke lokalisasi tersebut adalah laki-laki warga sekitar. Penelitian tersebut mengungkap bahwa umumnya istriistri mereka tidak berani dan tidak kuasa untuk menuntut suaminya untuk tidak pergi ke prostitusi. Ketika laki-laki sudah menuruti segala kebutuhan istri dan anak-anaknya, maka pihak istri atau anak-anak tidak bisa melarang mereka pergi ke prostitusi meskipun kebiasaan tersebut sudah diketahui. Dalam kasus lainnya, media tak disangkal turut ambil andil dalam perkara perselingkuhan. Di India, perselingkuhan menjadi kasus yang mendapat intervensi dari petinggi desa setempat. Muncul pemberitaan bahwa para perempuan di desa-desa di India dilarang oleh petinggi di desanya menggunakan handphone (telepon genggam). Diduga, adanya media mendukung praktik perselingkuhan serta semakin membuka peluang dan kesempatan untuk itu. Dikatakan juga, telepon genggam merendahkan atmosfer kehidupan sosial dengan memicu banyaknya kasus kawin lari dan hubungan di luar pernikahan.


Dengan adanya pelarangan tersebut, perempuan akan didenda jika menggunakan telepon genggam. Media di satu sisi memang menjadikan peluang dan kesempatan untuk berselingkuh lebih besar. Tapi tidak berarti, pelarangan atau pun pemberlakuan aturan hanya tertuju pada pihak perempuan. Sekali lagi, aturan tersebut seolah melihat perempuan dan segala aktivitasnya sebagai pemicu perselingkuhan. Secara sepihak kekuasaan bermain di sini, yaitu kekuasaan untuk mengontrol perempuan dan kebebasannya. Perselingkuhan Kaum Urban Di perkotaan, fenomena perselingkuhan tak terpisahkan dari budaya konsumerisme materialistik. Warga perkotaan dengan taraf ekonomi menengah-atas, membuka peluang perselingkuhan lebih besar. Menarik untuk mencermati opini yang dirilis oleh Rasuna Siswodiharjo (2010) dalam akun kompasiana miliknya. Ia melihat bahwa perselingkuhan masih sering dilihat masyarakat dalam aspek non ekonomi. Kebutuhan terhadap kenyamanan, kebutuhan seksual, mencari pasangan terbaik, bosan pada pasangan, atau pun untuk bersenang-senang menjadi serentetan alasan selingkuh yang sering kita dengar. Namun bagaimana kaitannya perselingkuhan dengan kemampuan ekonomi? Kajian Siswodiharjo menjelaskan, secara garis besar ada dua jenis perselingkuhan yaitu : pertama, perselingkuhan suka sama suka, yang tentunya agak sulit untuk menghitung nilai ekonomi karena tidak ada pertukaran jasa dan uang di dalamnya; kedua, perselingkuhan transaksional, terjadi jual beli diantara penikmat dan penyedia layanan kenikmatan.

Keduanya tentu memiliki motivasi dan praktik yang berbeda-beda. Salah satu yang disoroti oleh Siswoharjo, persoalan biaya ekonomi dalam praktik perselingkuhan transaksional tak bisa dianggap remeh. Peningkatan jumlah kelas menengah di perkotaan menarik jika dikaitkan dengan fenomena perselingkuhan. Kecenderungan selingkuh pun meningkat di tengah meningkatnya kebutuhan materi serta kesibukan masing-masing pasangan. Selain itu ketidakseimbangan kepemilikan materi diantara laki-laki dan perempuan di perkotaan memicu permasalahan dalam rumah tangga. Bahkan menjadi satu faktor

pendorong maraknya perselingkuhan transaksional. Dalam satu kasus, biaya ekonomi yang harus dikeluarkan laki-laki di Jakarta untuk melakukan perselingkuhan transaksional ternyata tidak murah. Biaya-biaya untuk menyewa hotel/losmen, serta biaya untuk mengonsumsi produk atau jasa tertentu adalah perhitungan yang juga dipertimbangkan para pemilik uang ini untuk mendapatkan kenyamanan dengan pasangan selingkuhnya. Termasuk juga fee yang harus mereka bayarkan kepada para pekerja seks komersial, tentu menyesuaikan dengan kemampuan ekonominya. Intinya, perselingkuhan

Rifkamedia

Februari-April 2013

11


Laporan Utama transaksional menjadi pintu masuk yang membuka praktik-praktik bisnis di kota besar. Perselingkuhan di perkotaan relatif terkait dengan faktor kuasa. Dapat berupa duit, jabatan, atau pun penguasaan teknologi informasi. Faktor kuasa ini kemudian dikaitkan dengan tingkat kepuasan seseorang. Jika asumsinya tingkat kebutuhan akan kepuasan penduduk kota lebih tinggi maka dengan banyaknya faktor kuasa yang mereka miliki akan semakin mudah untuk berselingkuh. Faktor kuasa inilah yang umumnya dimiliki oleh golongan kelas menengah ke atas untuk melancarkan modus-modus perselingkuhan. Pergi ke prostitusi, punya istri simpanan, atau pun selingkuh dengan rekan sekantor adalah diantaranya. Persoalan cinta atau pun desakan ekonomi mungkin tak banyak menjadi alasan. Yang bisa ditekankan adalah persoalan relasi kuasa yang terbangun dalam rumah tangga. Bisa jadi, mereka berselingkuh karena relasi kuasa dalam rumah tangga sedang bermasalah. Mungkin saja karena padatnya kesibukan, kemandirian ekonomi pasangan, serta tingkat kepuasan yang semakin tinggi. Perselingkuhan di perkotaan juga bisa terjadi karena banyaknya media sehingga membuka pilihanpilihan baru untuk pelarian masalah. Beberapa Catatan Selingkuh, pada akhirnya menjadi fenomena urban dan rural. Apapun bentuknya dan bagaimana pun modusnya, selingkuh adalah tentang berpalingnya seseorang dari pasangannya ke orang lain yang melibatkan aspek perilaku, perasaan, bahkan hubungan seksual. Motivasi untuk selingkuh baik di kota dan di desa relatif sama. Yang membedakan adalah peluang, kesempatan, dan

12

Rifkamedia

Februari-April 2013

“Tidak seharusnya menganggap perempuan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam skandal perselingkuhan. Daripada hanya mengoreksi aspek moralitas perempuan, penting untuk meninjau kembali apakah masingmasing suami/istri sudah mampu berkomitmen menjaga diri, perasaan, dan perilakunya...� pilihan-pilihan yang ada di masyarakat pedesaan dan perkotaan. Dari sederetan cerita di atas, beberapa catatan tentang fenomena perselingkuhan dalam konteks urban dan rural perlu dicermati. Pertama, faktor kesempatan begitu berpengaruh terhadap terjadinya perselingkuhan. Lebih sering bepergian, kerja hingga tengah malam, dan banyak berinteraksi dengan perempuan atau pria lain berarti kesempatan dan godaan untuk berselingkuh semakin besar, tak peduli di desa atau di kota. Kedua, media dan jaringan pertemanan juga merupakan faktor lain. Media dan jejaring sosial kerap menjadi instrumen yang mempermudah terhubungnya seseorang dengan orang lain. Intensitas pasangan dalam berinteraksi dengan orang lain yang semakin meningkat kerap memicu kecemburuan. Hal ini semakin dipermudah dengan meningkatnya

fasilitas teknologi di dunia maya. Ketiga, rerata perselingkuhan yang dilakukan laki-laki dan perempuan dapat diperbandingkan. Dalam kasus-kasus tertentu, motivasinya bisa jadi serupa. Namun yang berbeda adalah ketika faktor kuasa yang dimiliki pun berbeda. Serta perbedaan akan peluang dan kesempatan. Akan tetapi tidak sepatutnya hanya mengoreksi moralitas perempuan. Tidak seharusnya menganggap perempuan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam skandal perselingkuhan. Daripada hanya mengoreksi aspek moralitas perempuan, penting untuk meninjau kembali apakah masing-masing suami/istri sudah mampu berkomitmen menjaga diri, perasaan, dan perilakunya agar tidak mengharap sesuatu kepuasan dari orang lain. [] Referensi Ramadhani, Hellatsani W. 2012. Geliat Pekerja Seks Di Bawah Tekanan Perda Kabupaten Bantul. Jurnal Interaksi Vol III No. 1, September 2012. Siswodiharjo, Rasuna. 2010. “Kemampuan Ekonomi Perselingkuhan Pria Jakarta�, <http://ekonomi.kompasiana.co m/bisnis/2010/09/26/kemampu an-ekonomi-perselingkuhanpria-jakarta/>, diakses 8 Januari 2013. Wawancara DN, Rabu 2 Januari 2013, pukul 13.00 Wawancara M. Saeroni, Senin 14 Januari 2013, pukul 11.00 Wawancara NW, Sabtu 18 Agustus 2012, pukul 15.00 <http://internasional.kompas.com/re ad/2012/12/05/16345098/Desa. di.India.Larang.Perempuan.Guna kan.Ponsel>, diakses 8 Januari 2013.


Laporan Utama

PANGGUNG SANDIWARA PERSELINGKUHAN Silfia Hanani, Ph.D Pengajar Sosiologi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bukit Tinggi silfia_hanani@yahoo.com

wordpress.com


Laporan Utama Hukuman-hukuman yang telah terkonstruksi dalam masyarakat lokal adalah bentuk pencegahan sekaligus, eksplisit dan implisit, menolak perselingkuhan menjelma dalam kehidupan sosialnya. Malam gulita, kampung ini terdengar heboh buncah bulana. Suara petungan juga bersahutsahutan digugu. Di bawah temaram cahaya api obor, kampung ini belum ada listrik, nampak samar-samar kejadian yang luar biasa. Sorak orang-orang terus terdengar sambil menyuruh “Hoiiii orang kampung keluarlah” begitu terus terdengar, kemudian secara berlahan-lahan orang-orang ramai itu bergerak sampai mengitari kampung. Ramai sekali kejadian malam itu. Apakah gerangan yang terjadi? Orang kampung menangkap basah sepasang manusia yang terbukti melakukan hubungan badan tanpa ikatan yang sah menurut perkawinan. Sepasang manusia yang tertangkap itu, masing-masing sudah memiliki suami dan istri, namun malam itu mereka tidur bukan dengan pasangannya. Orang menyebutnya mereka tidur dengan orang ketiga atau bergundik. Mereka Selingkuh! Sebenarnya gelagat mereka sudah lama tercium oleh masyarakat, tapi belum ada yang berani menesehati dan menangkapnya, tapi entah kenapa malam itu sekelompok pemuda melakukan pengintaian hingga sepasang manusia itu berhasil dipergoki. Naifnya, mereka tertangkap tanpa busana. Dengan telanjang tanpa sehelai benang mereka diarak berkeliling kampung oleh masyarakat. Ramai sekali malam itu di kampung ini. Berita pun tersiar kemana-mana, pada waktu itu belum ada kamera dan jejering sosial, andaikan ada alangkah hebohnya

14

Rifkamedia

Februari-April 2013

diskusi persitiwa itu di dunia maya. Pada siang hari setelah kejadian itu, tetua adat dengan sigap melakukan musyawarah adat untuk memutuskan hukuman yang harus dijatuhkan kepada pelaku. Tua-tua adat duduk melingkar, suara sepakat memutuskan bahwa pelaku harus dibuang sepanjang adat, pelaku harus pergi meninggalkan kampung halaman buat selama-lamanya, mereka tidak dibenarkan untuk mendapatkan warisan dari keluarganya. Putusan dibacakan, sepasang manusia yang telah menzalimi kesucian perkawinan itu dihadirkan ke hadapan tua-tua adat untuk mendengarkannya. Dengan lantang ketua tua adat tanpa memegang teks mengatakan “ Hai fulan dan banun” kami sebagai tua-tua adat telah bersepakat menjatuhkan hukuman terhadap kalian, kalian berdua harus pergi angkat kaki dari kampung ini, jangan lagi datang ke sini, kami sudah memutuskan persaudaraan dengan kalian, kalian harus menerima putusan ini! Kami beri waktu kalian dalam jangka waktu dua hari untuk tinggalkan kampung ini”. Sepasang manusia yang baru dipermalukan itu tertunduk, terpaksa harus menerima hukuman, mereka harus pergi. Pergi buat selamalamanya. Air mata yang menetes di

“... Orang menyebutnya mereka tidur dengan orang ketiga atau bergundik. Mereka Selingkuh!”

matanya menandakan ada penyesalan mendalam atas kejadian itu, tapi mereka harus pergi. Nasi sudah menjadi bubur, orang kampung tidak memaafkannya. Putusan sudah disepakati. Kemudian dua hari setelah kejadian itu orang kampung melakukan ritual tolak bala sebuah ritual mengusir roh-roh jahat melalui doa-doa yang dibaca secara bersama berkeliling kampung. Menurut keyakinan masyarakat kampung, jika terjadi perselingkuhan akan ada mara bahaya yang akan terjadi, oleh sebab itu harus cepatcepat dilakukan tolak bala. Masih adakah saat ini hukuman lokal untuk pelaku perselingkuhan ini? Ternyata masih ada, buktinya belum lama ini di sebuah kampung nun jauh di sana, di desa Sumare, Kecamatan Simboro, Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat masyarakat


wordpress.com

setempat melakukan eksekusi terhadap warganya yang tertangkap selingkuh. Tua-tua adatnya memutuskan hukuman terhadap pelaku dengan membuang mereka ke laut lepas yang disaksikan oleh warga desa dengan sangat ramainya. Di Minangkabau juga berlaku hukum mengisi adat bagi pelaku selingkuh. Mengisi adat merupakan hukuman yang diputuskan dalam musyawarah adat berupa denda yang harus dibayar oleh pelaku selingkuh itu, sebelum denda dipenuhinya pelaku dan keluarganya dikucilkan, hingga mereka terasing dari dinamika sosial kampungnya. Mereka tidak dibawo sato (diikutsertakan) dalam setiap kegiatan sosial masyarakat kampung. Setelah denda itu dicabut baru mereka menjadi bahagian dari masyarakat itu kembali. Hukuman-hukuman yang telah

terkontruksi dalam masyarakat lokal sebenarnya bentuk pencegahan sekaligus, secara eksplisit dan implisit, menolak perselingkuhan itu menjelma dalam kehidupan sosialnya. Hal ini kita mafhum, bahwa perselingkuhan selain menjadi “pecundang� kesejatian perkawinan dalam kehidupan, juga menjadi penyumbang ketidak harmonisan kehidupan keluarga. Padahal, keluarga adalah basis pembentukan kesejahteraan masyarakat. Jika keluarga dibangun dalam keamburadulan maka tidak mengherankan masyarakat kehilangan basis pembentukan keparipurnaan manusia. Di samping itu, jika dari perselingkuhan melahirkan anak tentu ini akan menjadi sebuah masalah lagi. Anak-anak hasil selingkuh,memiliki implikasi hukum yang panjang jika tidak terjadi

perlindungan dan tanggungjawab terhadapnya. Dampak-dampak seperti ini akan merugikan masa depan anak. Sukar untuk mendapatkan pengakuan bagi si anak. Seorang laki-laki yang berselingkuh pun sangat mudah mengelak dari tanggungjawab. Ini lah resiko selingkuh yang merusak martabat manusia. Laki-laki sering kali meninggalkan pasangan selingkuhnya begitu saja, karena hubungan diantara mereka berjalan di “bawah tanah�, bersifat rahasia, dan sembunyi-sembunyi. Mungkin kasus-kasus seperti ini sudah menjadi pengetahuan umum dalam masyarakat kita. Di dalam hukum negara, selingkuh ternyata juga dapat dikenakan pidana. Hal ini dapat ditelisik melalui Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dimana suami-istri yang pasangannya berselingkuh itu dapat diadukan ke polisi. Di sinilah semakin yakin kita bahwa selingkuh itu suatu perbuatan yang tidak pernah ada toleransinya dalam masyarakat nusantara ini, namun saja peristiwa itu tetap saja menjadi gejala yang selalu melintas dalam sejarah kehidupan manusia. Bahkan, tidak kalah pentingnya yang perlu dicermati adalah dampak selingkuh, tidak hanya pencideraan janji suci perkawinan tetapi selingkuh termasuk penyumbang angka perceraian yang cukup besar. Misalnya data yang dipublikasikan oleh Makamah Syariah/Pengadilan Agama antara tahun 2005-2009 telah mengungkapakan bahwa perceraian yang terjadi akibat gangguan pihak ketiga atau akibat selingkuh itu selalu jumlahnya meningkat, pada tahun 2005 misalnya dari 13.889 jumlah perceraian yang terjadi di

Rifkamedia

Februari-April 2013

15


Laporan Utama

Grafik 1. Perceraian Akibat Perselingkuhan

Sumber: www.badilag.net

Indonesia, 9071 kasus diakibatkan oleh selingkuh tersebut. Begitu juga pada tahun 2006 dari 13.890 perceraian dimana 8.285 kasus akibat dari selingkuh. Tahun 2007 dari 14.554 kasus perceraian 10.444 kasus disebabkan oleh selingkuh, begitu juga di tahun 2008 dari 17.570 kasus perceraian dimana 12.617 kasus diakibatkan oleh perselingkuhan dan tahun 2009 dari 20.107 kasus perceraian diamana 16.077 kasus merupakan diakibatkan oleh perselingkuhan. Namun, pada tahun 2011 jumlah perceraian akibat dari perselingkuhan ini meningkat, dimana dari 27.279 kasus perceraian di Indonesia, sebanyak 20.563 kasus disebabkan oleh perselingkuhan.

16

Rifkamedia

Februari-April 2013

Ternyata pada tahun 2012, perselingkuhan sebagai penyebab terjadinya perceraian angkanya meningkat terus meningkat seiring dengan semakin meningkatnya jumlah angka perceraian. Perselingkuhan merupakan salah satu bentuk dari pengangkangan dari tujuan perkawinan, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 dimana tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara perselingkuhan adalah sebuah gerakan seksual atau romantisme bawah tanah yang beraksi dengan cara diam-diam, penuh kerahasiaan. Perselingkuhan

selain menciderai pasangannya dengan kebohongan, juga sebuah tindakan yang tidak ingin diketahui oleh khalayak. Ini menandakan, bahwa perselingkuhan itu sebuah tindakan yang menentang kesadaran kodrati dan nurani. Selingkuh Dari Seksual Sampai Pada Pemenuhan Ekonomi Dalam pandangan masyarakat, umumnya perselingkuhan itu selalu terkait dengan pemaknaan “kelana� seksual, tempat melabuhkan hasrat pemenuhan kegairahan, karena manusia tidak terlepas dari karunia yang diberikan Tuhan. Tetapi, mengapa pelaku selingkuh tidak dapat menjaga amanah kegairahan itu sesuai dengan norma yang


berlaku, sehingga ia mencari pemenuhan kebutuhan seksual atau kebahagiaan dengan cara-cara yang sah. Oleh sebab, perbuatan selingkuh bersifat rahasia dan diamdiam. Di sinilah letak kesalahan perbuatan pelaku selingkuh sebenarnya. Walaupun ia tidak terungkap ke permukaan, namun secara normatif ia telah melangkah dalam kesalahan. Karena perselingkuhan itu, tindakan yang bersifat “rahasia” dan sembunyi-sembunyi maka ia berpeluang terjadi apabila kecilnya pengendalian sikap dan kontrol masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kasus perselingkuhan dari tahun ke tahun di Indonesia. Semakin kecil perhatian masyarakat terhadap lingkungan sosialnya, semakin tinggi terjadinya perselingkuhan. Kesimpulan ini dapat kita lihat dari data angka perceraian yang disebabkan oleh selingkuhan di atas. Kondisi sosial masyarakat Indonesia yang semakin hari semakin kehilangan perhatian dan hidup bersosial, kehilangan solidaritas sosial, kehilangan peran institusi dan seterusnya ternyata semakin memberikan ruang gerak kebebasan individu untuk melakukan tindakan-tindakan yang diluar normatif itu. Oleh sebab itu, semakin kecil perhatian masyarakat terhadap kehidupan sosial kemasyarakatannya maka semakin tinggi tingkat perilaku yang non normatif itu. Negeri kita sedang mengalami pergeseranpergeseran kehidupan bersosial itu. Jelmaan individualis dan renggangnya ikatan sosial sudah begitu menggejala menelusuri lorong kehidupan masyarakat. Dalam konteks kecilnya peran sosial dalam mengontrol tindakan manusia berpengaruh terhadap kemungkinan selingkuh, mungkin kita bisa lihat dengan sangat

sederhana dari under cover TKI di luar negeri, karena mereka jauh dari ikatan sosial kampung halamannya dan di negara tujuan tidak pula ada kontrol kelakuan, maka TKI sangat rentan juga melakukan perselingkuhan yang berkedok cinta lokasi di negara tujuan, pada hal di kampung halaman mereka memiliki suami dan istri yang sah. Misalnya dijumpai TKI-TKI di negara tetangga hidup dan serumah dengan pasangan yang bukan muhrimnya tanpa ikatan perkawinan, mereka melakukan kegiatan layaknya seperti suami atau istri. Padahal masingmasing di kampung halamannya ada suami dan istri yang sah yang selalu juga dikirimi uang sebagai bukti tanggungjawab nafkahnya. Artinya semakin kecil tingkat kepedulian masyarakat terhadap dunia sosialnya, maka semakin besar peluang orang melakukan tindakantindakan yang tidak mengikuti normatif itu. Jadi perselingkuhan itu terjadi sangat dipengaruhi juga oleh mengecilnya tingkat kontrol dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sosialnya. Namun pada sisi lain, semakin jauh keberadaan atau semakin jarang bertemunya seseorang dengan suami atau istri, membuka peluang memilih berselingkuh. Apakah itu disebabkan oleh alasan seksual atau alasan fitrah manusia yang ingin dilayani dan melayani. Tidak dapat dimungkiri, orang-orang yang jauh dengan pasangannya membuka terjadinya perselingkuhan itu. Oleh sebab itu perselingkuhan tidak hanya terjadi dikalangan pekerja atau buruh seperti TKI tetapi juga bisa terjadi pada kaum intelektual yang sedang berpetualang dengan studi yang tidak mengikutsertakan keluarganya. Di samping itu ketidakpuasan ternyata juga dapat mendorong

“...semakin kecil tingkat kepedulian masyarakat terhadap dunia sosialnya, maka semakin besar peluang orang melakukan tindakantindakan yang tidak mengikuti normatif itu. Jadi perselingkuhan itu terjadi sangat dipengaruhi juga oleh mengecilnya tingkat kontrol dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sosialnya.”

seseorang untuk selingkuh. Ketidak puasan itu tidak hanya terkait dengan kepuasaan seksual, tetapi juga berkenaan dengan kepuasan akan tuntutan ekonomi. Di sebuah laporan pemetaan perempuan dan pemiskinan dalam kerangka HAM Komnas Perempuan, ditemukan adanya perempuan selingkuh melayani dua “laki-laki”, untuk kepentingan pemenuhan ekonominya. Kedua-duanya memberikan nafkah ekonomi, pemenuhan nafkah ekonomi itu menjadi alasan untuk berselingkuh. Di samping itu, dilaporkan juga buruh perempuan disebuah pabrik memberanikan diri untuk berselingkuh guna pemenuhan kepentingan ekonominya. Tuntutan ekonomi, ternyata juga mendorong seseorang berani membuka kran tindakan untuk selingkuh.

Rifkamedia

Februari-April 2013

17


Laporan Utama Kondisi seperti ini tentu dapat difahami, sebagai bentuk desakan perubahan gaya hidup yang semakin konsumeris. Ada yang berani mengorbankan kenuraniannya guna kepentingan tuntutan gaya hidup itu. Perselingkuhan atas gaya seperti ini, sebenarnya sudah tidak menjadi rahasia umum lagi di tengah masyarakat, ia mirip dengan gaya melacur. Atau masyarakat mengistilahkannya menjadi istri simpanan alias gundik. Jadi, semakin tingginya godaan gaya hidup dan konsumeris, sementara pendapatan tetap dan tuntutan semakin meningkat dapat diprediksi sebagai salah satu penyumbang terhadap

dengan pasangan, atau atas alasan pemenuhan tuntutan ekonomi, tetapi perselingkuhan juga tidak dapat dilepaskan dari kepentingan seksual. Namun begitu, bukan berarti perselingkuhan tidak dapat dicegah. Sebenarnya kehadiran hukuman sosial dan adat seperti yang ada dalam masyarakat itu, sebagai bentuk terhadap pencegahan terhadap berlakunya perselingkuhan tersebut. Tentu saat sekarang yang paling penting adalah, melakukan pencegahan itu sesuai dengan lokus dan kondisi sosial kekinian. Apalagi sekarang media dan sarana yang begitu memfasilitasi untuk terjadinya kearah

“...tidak ada pencegahan yang lebih ampuh tindakan perselingkuhan itu selain memperkuat benteng diri. Membangun kesadaran lebih penting dari segala-galanya.�

meningkatnya angka perselingkuhan itu. Hal ini tidak hanya berlaku untuk kaum perempuan saja tetapi boleh jadi juga berlaku pada laki-laki. Selingkuh terjadi dalam semua kalangan, bahkan dalam kalangan istana pun selingkuh itu tidak kalah fantastisnya terjadi. Mungkin masih segara dalam ingatan kita, peristiwa pertualangan sampai kematian Diana banyak yang menuduh sebagai perlawanan terhadap perselingkuhan yang dilakukan oleh Pangeran Charles di Inggris sana. Betapa membuktikan kepada kita, bahwa perselingkuhan itu tidak hanya di dasari oleh jarak yang jauh

18

Rifkamedia

Februari-April 2013

memudahkan orang berselingkuh begitu menjajah kehidupan. Kehadiran jejaring sosial dan teknologi komunikasi tentu tidak dapat pula dimungkiri sebagai sarana mempermudah kearah itu. Konon di salah satu desa di India melarang perempuan memakai HP, karena teknologi informasi yang satu ini terbukti menjadi salah satu mempertinggi angka selingkuh. Tetapi kalau perempuan saja yang dilarang untuk ber HP tentu ini sebuah ketidakadilan bagi perempuan. Masih memandang perempuan menjadi sumber masalah.

Di samping itu, kehadiran jejering sosial juga berpengaruh terhadap meningkatnya perselingkuhan. Perlu penelitian lebih lanjut tentang hal ini, jika benar demikian maka negara ini sudah saatnya memikirkan ketertiban dalam menggunakan jejaring sosial, supaya ia tidak mencerabut tatanan normatif yang ada. Tetapi yang sangat penting adalah pencegahan itu dikonstruksi tidak dengan bias gender. Pencegahan tidak hanya ditumpukan kepada pihak perempuan saja tetapi juga harus pada laki-laki. Masalahnya dalam banyak hal terkait dengan pencegahan perbuatan pelanggaran kesusilaan ini lebih dominan ditujukan kepada perempuan. Padahal laki-laki juga harus dibina. Lihat misalnya kehadiran panti rehablitas, hanya diperuntukkan bagi perempuan untuk direhablitasi, sementara lakilaki? Semestinya jika laki-laki dan perempuan tertangkap dalam melakukan tindakan asusila keduanya harus direhablitasi. Terakhir, tidak ada pencegahan yang lebih ampuh tindakan perselingkuhan itu selain memperkuat benteng diri. Membangun kesadaran lebih penting dari segala-galanya. []


Laporan Utama

MIMPI BAHAGIA DALAM BERKELUARGA: PERSELINGKUHAN SEBAGAI GANJALAN Ryan Sugiarto Mahasiswa Tingkat Master Psikologi Sosial Fakultas Psikologi UGM ryansiip@yahoo.com

wordpress.com


Laporan Utama Berkeluarga untuk bertumbuh bersama Andita merupakan anak pertama dari keluarga yang cukup harmonis. Namun perkawinan orangtuanya pernah mengalami guncangan karena ayahnya terlibat perselingkuhan dengan wanita yang jauh lebih muda dari ibunya. Masalah itu akhirnya dapat diatasi dan perkawinan mereka tetap bertahan. Andita menjalani masa pacaran yang cukup lama sebelum akhirnya menikah. Ia berusaha mencari sosok calon suami yang mirip dengan ayahnya, yaitu pandai dan baik hati. Akhirnya Andita menikah dengan Arman, seorang pria yang sangat pandai tetapi agak pendiam. Mereka kemudian meneruskan pendidikan ke luar negeri selama beberapa tahun. Sejak awal perkawinan, pasangan ini sudah sering bertengkar. Penyebabnya adalah ketidakpuasan Andita dalam perkawinan. Setelah kembali ke Indonesia, Arman dikirim oleh perusahaannya bekerja di luar Jawa. Namun Andita tetap memilih tinggal di Jakarta bersama anakanak dengan alasan ingin menemani orangtuanya. Keputusan ini membuat Arman, yang berasal dari keluarga Jawa, amat kecewa. Ia berharap istrinya menghargai dirinya sebagai kepala keluarga dan akan ikut kemanapun ia berada. Arman berhenti dari kantor, tak jadi ke luar Jawa. Arman mulai berbisnis. Saat bisnisnya berkembang, Arman bertemu dengan rekan bisnisnya, seorang perempuan. Mereka bekerja sama. Sampai kemudian bisnis mereka berdua berkembang pesat. Tapi rupanya hubungan Arman dengan rekan bisnisnya itu bukan sekadar bisnis. Mulai ada rasa saling percaya, mulai ada rasa sayang, dan berbagi. Bahkan mereka membeli

20

Rifkamedia

Februari-April 2013

rumah untuk tinggal berdua. Hingga akhirnya Arman minta ijin kepada istrinya, Andita untuk menikah lagi. Kontan apa yang disampaikan Arman itu membuat shok sang istri. Andita kecewa, marah, kesal, dan pedih. Semuanya menjadi satu. Rumah tangga yang dibinanya ini telah dikhianati oleh suaminya sendiri. Mereka bertengkar hebat. Bahkan suatu ketika Arman sempat menodongkan pistol ke Andita. Andita masih berusaha mempertahankan pernikahannya, karena mengingat anak-anaknya. Tapi semakin lama ia tidak tahan. Arman sudah tak tinggal dirumah. Akhirnya, Andita menggugat cerai Arman. Kini, sudah 2 tahun mereka bercerai.1 (Hasil wawancara, 3 Januari 2013)

tumbuh, istri tumbuh, dan anak-anak mereka tumbuh menjadi diri yang harmonis. Tujuannya, tercipta keluarga yang seimbang. Dalam konsep psikologi keluarga, keseimbangan ini dinamai dengan Family homeostatis2. Disiplin ilmu faal, menggunakan terma homeostasis sebagai mekanisme tubuh untuk mempertahankan keseimbangan. Dalam konteks keluarga, homeostasis adalah proses interaksi internal dan terus menerus keluarga untuk menciptakan keseimbangan internal keluarga. Mekanisme homeostatis dapat menjaga keluarga agar tetap seimbang peran sosialnya ketika muncul perubahan-perubahan perilaku dalam keluarga (terutama anak).

“Laporan Direktorar Jendral Pembinaan Agama, tahun 2005 menunjukkan bahwa virus selingkuh sudah menjadi urutan keempat (Mualim, 2007). Lima tahun kemudian, 2010, virus selingkuh ini bergerak di urutan kedua, setelah persoalan ekonomi, yang mengakibatkan keretakan dan perceraian (Saputra, 2011). Jika tiga tahun yang lalu perselingkuhan yang terdeteksi melalui Badan Peradilan Agama MA jumlahnya sebanyak, 20.199 kasus, berapa kasus sekarang ini, dan berapa yang tidak terlapor di badan itu?� Tentrem Bebrayan dan Ancamannya Perkawinan dan upaya membangun sebuah rumah tangga, bagi siapapun yang berpikir sehat adalah sebuah upaya mencapai bahagia. Ikatan suci perkawinan adalah jalan saling percaya menjaga komitmen untuk bertumbuh bersama. Konsep bertumbuh bersama perlu didengungkan pada tiap pasangan dan keluarga. Suami

Di Jawa, homeostatis ini dinamai dengan tentrem bebrayan. Menurut Ki Ageng Suryomentaram, suamiistri akan mencapai tingkat tentrem atau bahagia hanya dengan tiga hal sederhana; bersenggama, berkeluarga, dan menikmati keindahan. Kebutuhan bersenggama pada dasarnya dilandasi hasrat hidup untuk melangsungkan keturunan yang merupakan kesepakatan dua belah pihak. Kebutuhan berkeluarga


apabila saling memanfaatkan mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarga. Dan kebutuhan keindahan pada dasarnya agar memperoleh kesenangan bersama, yaitu bisa menggapai sikap ramah tamah, menyaksikan ketrampilan masing-masing, saling memandang wajah yang berseri, mendengarkan suara yang merdu, meraba kehalusan kulit, dan lainnya (Suryomentaram, 1985)3. Tetapi kondisi homeostatis ini tidak semua pasangan dan keluarga mencapainya. Salah satu kendala adalah persoalan kesetiaan. Kesetiaan merupakan konfik terbesar yang dapat merusak kepercayaan dan komitmen pasangan suami dan istri untuk mencapai kondisi family homeostatis. Membaca petikan ringkas hasil wawancara diatas kiranya hampir tiap saat bisa ditemui dalam ruangruang peradilan, lembaga konsultasi, atau konselor perkawinan yang jamak terjadi di dalam masyarakat. Fenomena perselingkuhan sudah melanda keluarga-keluarga dan pasangan resmi di Indonesia. Laporan Direktorar Jendral Pembinaan Agama, tahun 2005 menunjukkan bahwa virus selingkuh sudah menjadi urutan keempat (Mualim, 2007)4. Lima tahun kemudian, 2010, virus selingkuh ini bergerak di urutan kedua, setelah persoalan ekonomi, yang mengakibatkan keretakan dan perceraian (Saputra, 2011)5. Jika tiga tahun yang lalu perselingkuhan yang terdeteksi melalui Badan Peradilan Agama MA jumlahnya sebanyak, 20.199 kasus, berapa kasus sekarang ini, dan berapa yang tidak terlapor di badan itu? Nyatanya, kasus-kasus perselingkuhan bukan hanya terjadi pada masyarakat tetapi pada para penegak hukum, aparat pemerintah,

mereka yang memiliki kode etik berperilaku yang diatur dan diawasi dengan ketat oleh instansi mereka. Namun, naskah ini tidak membahas siapa mereka dalam posisinya dengan masyarakat dan hukum, tetapi pembahasan dalam lingkup yang lebih kecil: keluarga dengan konteks sosiopsikologi. Perselingkuhan: Bagaimana Sistem Keluarga Menyikapinya? Perselingkuhan bisa dibaca sebagai sebab sekaligus akibat dari goncangnya family homeostatis, tidak tercapaianya ketentraman keluarga. Kejadian ini jelas merusak struktur peran keluarga yang semestinya berjalan dengan baik. Bukan saja gonjangan psikologis yang dialami oleh istri tetapi tatanan sosiologis dalam rumah tangga keluarga juga akan rusak. Termasuk anggota keluarganya, anak-anak. Kondisi psikologis istri, sebagaimana yang dialami Andita benar adanya. Perasaan sakit hati, kemarahan yang luar biasa, depresi, kecemasan, perasaan tidak berdaya, dan kekecewaan yang mendalam mereka rasakan (Snyder, Baucom, & Gordon, 2008; Subotnik & Harris, 2005)6. Istri-istri yang amat mementingkan kesetiaan adalah mereka yang paling amat terpukul dengan kejadian tersebut. Bahkan beberapa kasus istri bunuh diri. Pada setiap persoalan dalam keluarga, perempuanlah yang paling rentan mengalami penderitaan. Ketika istri mengetahui bahwa kepercayaan yang mereka berikan secara penuh kemudian diselewengkan oleh suami, mereka berubah menjadi amat curiga. Berbagai cara dilakukan untuk menemukan bukti-bukti yang berkaitan dengan perselingkuhan tersebut. Keengganan suami untuk terbuka tentang detil-detil

perselingkuhan membuat istri semakin marah dan sulit percaya pada pasangan. Namun keterbukaan suami seringkali juga berakibat buruk karena membuat istri trauma dan mengalami mimpi buruk berlarut-larut (Glass & Staeheli, 2003)7. “Jelas, waktu itu, saya sendiri tak tahu harus bagaimana membangun keluarga ini, mendidik anak-anak ini tanpa ayah mereka,� kata Andita, ibu dari dua anak perempuan. Tetapi, lanjutnya, ini harus dihadapi, perempuan mana yang harga dirinya diinjak-injak suami sendiri berdiam diri. Lebih baik saya bangun keluarga ini dengan keringat sendiri, dari pada bersamanya dan mengingat kebusukan itu. Perselingkuhan menimbulkan masalah yang amat serius dalam perkawinan. Tidak sedikit yang berakhir dengan perceraian karena istri merasa tidak sanggup lagi bertahan setelah mengetahui bahwa cinta mereka dikhianati dan suami telah berbagi keintiman dengan wanita lain (Weiner-Davis, 1992). Pada perkawinan lain, perceraian justru karena suami memutuskan untuk meninggalkan perkawinan yang dirasakannya sudah tidak lagi membahagiakan. Bagi para suami tersebut, perselingkuhan adalah puncak dari ketidakpuasan mereka selama ini (Subotnik & Harris 2005, dalam Ginanjar, 2009)8. “Saya memang sengaja tidak menutupinya (mencintai perempuan lain) kepada istri. Saya mengatakan langsung, bahwa saya ketemu perempuan lain dan saya merasa begitu mencintainya. Jika itu tidak saya ungkapkan kepada istri, saya kira ketika dia mengetahui dari orang lain, dia akan lebih sakit. Meskipun, ketika saya mengatakannya dia juga tersakiti,� kata Arman kepada penulis,

Rifkamedia

Februari-April 2013

21


Laporan Utama disebuah Cafe di Jakarta (4/1). Ketika ditanya secara lebih detail kenapa memutuskan berselingkuh, Arman tidak menjawabnya dengan detail. Ia hanya mengungkapkan bahwa, ia merasa klik, seluruh perasaannya tumpah kepada perempuan barunya, yang sekarang menjadi istrinya. Lalu kenapa meninggalkan Andita? Arman terdiam sejenak.”Dia (Andita, red) perempuan yang luar biasa, kadang-kadang keras kepala, dan kami sering bertengkar diawalawal perkawinan. Tapi dua tahun terakhir (dalam masa perkawinannya dengan Andita, red) saya merasakan gersang dalam berumah tangga, saya hanya begitu tekun kepada anak. Tapi saya juga tak tahu kalau kemudian berjalan seperti ini. Tidak ada yang perlu saya kambing hitamkan kepada dia,” katanya sambil menghisap rokok putih ditangannya. Arman kini mempunyai seorang anak lelaki dengan istrinya yang sekarang. Menurut penulis, salah satu persoalannya terletak pada komunikasi. Keluarga ini mengalami patologi komunikasi hubungan simetrikal dan hubungan komplementer.9 Patologi dalam komunikasi menyebabkan disfungsi peran keluarga. Disfungsi peran terjadi akibat pola komunikasi tertentu yang didasari hubungan simetrikal (symmetrical relationship) dan hubungan komplementer (complementary relationship) tidak berjalan dengan baik. Dalam kondisi baik hubungan simetrikal, ayah, ibu, dan anak bersikap saling mengkoreksi satu sama lain, sementara dalam hubungan komplementer, ayah, ibu, dan anak saling mengisi kekurangan diantara mereka dengan kelebihan masingmasing. Jika ibu dan anak bersikap

22

Rifkamedia

Februari-April 2013

“...salah satu pengkambinghitaman satu dengan yang lain. Komunikasi yang tidak persoalannya terletak terbuka, kritik dan oto kritik yang pada komunikasi. tidak berjalan akhirnya membuahkan Keluarga ini mengalami perceraian. patologi komunikasi “Dia memang pediam, tapi apa harus diam ketika ada masalahhubungan simetrikal dan masalah terkait dengan saya, istrinya hubungan komplementer. Sumber gambar: http://warungbarangantik.blogspot.com/2010_08_01_archive.html sendiri. Dan tidak Patologi dalam mengkomunikasikannya dengan komunikasi menyebabkan baik. Kami ini sudah 18 tahun disfungsi peran keluarga. berkeluarga, lha kok dia tiba-tiba berkata dia mau menikah, dia Disfungsi peran terjadi menemukan perempuan yang akibat pola komunikasi sangat, sangat dia cintai. Lha apa aku tertentu yang didasari ini, istrinya yang selama 18 tahun hubungan simetrikal lebih ini tidak dicintainya?” kata Andita, yang memutuskan tidak akan (symmetrical relationship) menikah lagi. Saya kira, lanjutnya, dan hubungan keputusan saya untuk mengakhiri komplementer hubungan kami tepat, dari pada saya (complementary harus hidup dengan batin tertekan. relationship) tidak Dalam konteks jawa keputusan yang diambil Andita adalah cara dia berjalan dengan baik.” asertif, maka ayah bersikap submisif. Baik hubungan simetrikal maupun hubungan komplementer sesungguhnya tidak bersifat patologis, namun tetap perlu diperhatikan bahwa hubungan semacam ini bila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan risiko konflik keluarga. Hubungan simetrikal yang salah dapat memicu pertengkaran antar anggota keluarga karena semuanya cenderung bersikap saling menyalahkan dan mengungkitungkit kekurangan satu sama lain tanpa bercermin pada diri sendiri, sementara hubungan komplementer yang salah dapat menimbulkan degradasi kepercayaan diri dan sifat merusak diri pada salah satu anggota keluarga yang memiliki kekurangan dibandingkan anggota keluarga lainnya tetapi yang terjadi pada keluarga ini, tidak ada

memainkan simbul jawa. Damarjati Supajar, ( dalam Handayani & Novianto 2004)10, menyebutkan simbolisasi peran dan sifat tersebut berawal dari pemaknaan keberadaan perempuan dalam masyarakat Jawa itu sendiri. Perempuan dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dengan sebutan wanita yang bersumber dari anasir kata berani (wani) dan sengsara (tapa). Bagi pasangan yang memutuskan untuk tetap mempertahankan perkawinan, dampak negatif perselingkuhan amat dirasakan oleh istri. Sebagai pihak yang dikhianati, istri merasakan berbagai emosi negatif secara intens dan seringkali juga mengalami depresi dalam jangka waktu yang cukup lama. Rasa sakit hati yang amat mendalam membuat mereka menjadi orang-orang yang amat pemarah, tidak memiliki semangat hidup, merasa tidak percaya diri, terutama pada masa-


masa awal setelah perselingkuhan terbuka. Mereka mengalami konflik antara tetap bertahan dalam perkawinan karena masih mencintai suami dan anakanak dengan ingin segera bercerai karena perbuatan suami telah melanggar prinsip utama perkawinan mereka (Snyder, Baucom, & Gordon, 2008; Hargrave,2008 dalam Ginanjar 2009)11. Tindak perselingkuhan adalah kekerasan dalam dimensi psikis. Dan kekerasan semacam ini oleh sebuah penelitian yang dilakukan di Yogyakarta, pada wanita di Kelurahan Klitren Kecamatan Gondokusuman menyatakan perbuatan suami yang berselingkuh, menikah lagi tanpa ijin, memalsu surat ijin nikah, dan mempersulit permintaan cerai istri jika istri tidak terima atas perlakuannya adalah bentuk kekerasan dalam rumah tangga disetujui 100% sampel sebagai tindak kekerasan psikis. Ketika proses FGD sebagian besar mereka menyatakan tidak terima jika suami melakukan semua hal tersebut apalagi jika sampai menikah lagi dan ketahuan selingkuh. (Auliana, 2000).12 Perselingkuhan tidak saja berakibat buruk pada istri, tetapi juga system keluarga. Perselingkuhan mengakibatkan keluarga mengalami disfungsional atau patologi keluarga. Termasuk subsistem, anak-anak. Anaklah yang mengalami banyak gunjangan ketika kedua orangtuanya tidak akur. Sebuah penelitian mengemukakan bahwa anak-anak lebih mengetahui private sphere kehidupan keluarganya di bandingkan dengan orang yang lebih tua (Kitzinger 1990 dalam Duncombe, 2004)13. Meskipun orang tua mencoba menyembunyikan perselingkuhan, tetapi anak-anak akan tetap mempelajari perselingkuhan

tersebut secara tidak langsung ketika orang tua depresi akibat perselingkuhan (Duncombe, 2004)14. Anaklah yang bisa merasakan bagaimana sikap kedua orang tua terhadapnya. Perubaan-perubahan perilaku yang terjadi dari ayah dan ibunya, juga keduanya secara bersamaan memberikan gambaran “perasaan” keluarga yang tengah terjadi. “Ya, ada kecanggungan. Ketika ayah dan mama bertengkar, tidak akur. Sebagai anak pasti kita canggung. Kita tak tahu harus berbuat apa. Dan berpihak kepada siapa. Mereka berdua adalah darah dan daging yang menjadikan kita,” kata Sisi 17 tahun, anak Andita. Ia sangat membenci ayahnya karena telah berselingkuh dan mengakibatkan kesedihan mendalam bagi ibunya. Tetapi ia juga merindukan kahangatan ayahnya, yang bersamanya selama 17 tahun. “Saya sangat rindu pada ayahku, disaat kami bersama dulu, dia selalu meluangkan waktu untuk menemani kami belajar. Dia melihat kami, menemani hingga kami selesai. Dan mengantar kami ke kamar tidur masing-masing,” ungkap Sisi, sambil menyeka air matanya yang mengalir ke pipi. Pernyataan Sisi, dikuatkan oleh kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Alfan Nahareko (2009)15, bahwa dinamika psikologis remaja akhir terhadap perilaku selingkuh ayah adalah marah dan benci dengan ayahnya, karena merasa kecewa dengan sosok ayahnya yang dianggapnya sebagai ayah yang tidak bertanggung jawab dengan masa depan anak-anaknya, dan membuat dirinya merasa tidak percaya diri di hadapan temantemannya. “Tapi saya bangga, dengan mama, bahkan ketika ayah

meninggalkan kami. Bagi kami mama perempuan yang hebat, kami mendapatkan cinta sepenuh hatinya, dan kami semakin akrab satu sama lain. Seolah-olah seperti teman saja kami ini,” kata Sisi. Pada keluarga dengan system peran yang terbentuk seimbang, tiap anggota keluarga mampu mengembangkan identitas personal dan juga belajar mengembangkan hubungan yang bermakna dengan anggota keluarga lainnya. Keseimbangan tersebut menjamin terjadinya kedekatan antar anggota keluarga tanpa risiko kehilangan identitas pribadi. Sebaliknya, keluarga yang dengan mutualitas semu (enmeshment dan disengagement) mengembangkan “pagar karet”, di mana anggota keluarga tidak mampu meyakini pandangan pribadinya, namun juga tidak dapat menerima pandangan luar karena dianggap asing. Dalam kasus perselingkuhan, banyak peran-peran orang tua dan keluarga yang tak mampu mecapai kondisi homeostatis. Sebagaimana yang digambarkan oleh Minuchin. (Minuchin, et.al., 1967) Menganggit Makna Dalam setiap fase hidup manusia, selalu ada perempuan-perempuan hebat yang mampu dan berani menolak lemah, atau berdamai dengan penderitaan. Sesungguhnya itulah karakter dari perempuan jawa. Dalam keluarga dan oleh karena itu dalam kebudayaan pada umumnya, perempuanlah pusat kehidupan. Perempuanlah yang memegang peran sentral dalam denyut perubahan. Jawa, memberi ruang besar pada perempuan untuk menempati posisi sentral dalam keduanya, keluarga dan kebudayaan. Seorang ibu memiliki peran lebih kuat dibandingakn ayah. Ibulah

Rifkamedia

Februari-April 2013

23


Laporan Utama pusat keluarga. Ia memegang kekuasaan keuangan, menentukan pengambilan keputusan-keputusan penting, misalnya mengenai pilihan sekolah anaknya, pekerjaan dan pilihan suami atau istri bagi anakanaknya, dan pada saat-saat kritis dalam kesulitan ekonomi, bencana alam dan sebagainya ibulah yang mempertahankan keluarga (Suseno, 1984).16 Dinamika psikologis masyarakat Jawa tersebut tampak dalam interaksi-interaksi dan pola hidup masyarakat Jawa yang menempatkan Ibu sebagai institusi pengontrol sekaligus pengabdi dalam institusi keluarga (Handayani & Novianto, 2004)17. Perempuan Jawa yang disebut-sebut marginal dalam ruang sosial ternyata memiliki kuasa yang berbeda terhadap situasi sosial tersebut. Perempuan menempati posisi sebagai ibu yang sentral dalam peranakan masyarakat Melayu dan Jawa. Niels Mulder (2001)18 menyebutkan sentralitas peran ibu di tengah masyarakat berakar kebudayaan melayu, dan Jawa. “Saya memilih mama, dan mempengaruhi adik untuk memilih tinggal dengan mama, dan kata mama, pengadilan membolehkan kami tinggal bersama mama,” demikian kata Sisi ketika memilih hak asuhnya. Sifat feminim perempuan Jawa tidak menempatkannya pada kutub yang beroposisi biner dengan maskulinitas. Feminimitas perempuan Jawa dalam bentuk sifat luwes justru berada pada posisi yang senantiasa dinamis, moderat terhadap situasi kritis, terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dan situasi sosial yang ada dan tidak berada pada kutub yang ekstrem. Ibu menjadi penjaga moralitas, simbol penjaga keteraturan. Pesan-pesan moral dan

24

Rifkamedia

Februari-April 2013

transfer pengetahuan yang sering diemban ibu menentukan dinamika psikologis anak. Pengalaman emosional bersama ibu yang diperkuat dengan wejangan moral memperkuat posisi superego anak ketika dewasa. Mengacu pada Freud, superego berkembang pada masamasa perkembangan awal anak dan menjadi penentu prototipe individu pada usia dewasa secara utuh. [] Catatan Akhir 1

Ringkasan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis, 3 januari 2013 di kediaman nara sumber, Jakarta. Nama yang tetera diatas adalah nama yang disamarkan. Naskah ini sejatinya adalah riset kecil yang dilakukan penulis dalam studi kasus, keluarga yang mengalami kasus perselingkuhan. Riset kecil ini dilakukan awal januari hingga pertengahan januari 2013. 2 Goldenberg, Irene., Goldenberg, Herbert. (1985) Family Therapy: An Overview. 2nd Ed. California: Brooks/ColePublishing Company. 3 Suryomentaram,K.A, (1985) Ajaranajaran ki Ageng Suryomentaram. Jakarta: Idayu Press 4 Mualim,(2007). Data statistic perselingkuhan di Indonesia , http://republika.co.id, diakses tanggal 1 januari 2013 5 Saputra, A.(2011). Selingkuh, Penyebab Nomer 2 Perceraian di Indonesia. http://wolipop.detik.com/read/2011/08 /03/120403/1695441/854/selingkuhpenyebab-nomer-2-perceraian-diindonesia. diakses Desember 2012 6 Snyder, D. K., Baucom, & D. H., & Gordon, K. C. (2008). An integrative approach to treating infidelity. The Family Journal: Counseling and Therapy for Couples and Families. Vol. 16, No. 4, 300-307. 7 Glass, S. P. & Staeheli, J. C. (2003). Not “Just friends”. Rebuilding trust and recovering your sanity after infidelity. New York: Free Press. 8 Ginanjar, A.S.,(2009) Proses Healing Pada Istri yang Mengalami Perselingkuhan Suami. Makara, Sosial Humaniora,Vol.13 No.1 Julo 2009; 6676

9

Goldenberg, Irene., Goldenberg, Herbert, ibid. hal. 20 10 Handayani. C.S & Novianto, A. (2004). Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara 11 Ginanjar, ibid 12 Auliana, R. (2000). Sosialisasi UU PKDRT Melalui Focus Groups Discusssion untuk Meningkatan Pemahaman dan Mengetahui Pendapat tentang KDRT Pada Wanita di Kodya Yogyakarta. http;//penel-jurnal%20psw.pdf diakses 1 Januari 2013 13 Doncumbe, J (eds). (2004). State of Affairs: Explorations in Infidelity and Commitment Lawrence Erlbaum Assocuates, Incorporated USA http://site.elbrary.com/lib/indonesiau/D oc?id=10088311&ppg=214 akses 2 januari 2013 14 ibid 15 Nahareko, A (2009). Coping Remaja Akhir Terhadap Perilaku Selingkuh Ayah. Indigenous, jurnal Ilmiah Berkala Psikologi Bol.11 No. 1, Mei 2009: 20-25. Secara sederhana coping diartikan sebagai respon yang bersifat perilaku psikologis untuk mengurangi tekanan dan sifat dinamis. 16 Suseno, F.M,(1984) Etika Jawa: Sebuah Analisa Filosofi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Pt. Gramedia. 17 Handayani,C.S & Novianto, A. ibid 18 Mulder, Neils. (1996). Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan


Laporan Utama

flicker.com

PRINSIP RELASI PASANGAN SUAMI-ISTERI DALAM MEMBANGUN RUMAH TANGGA AGAR TERHINDAR DARI PERSELINGKUHAN Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A. Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta knasut@yahoo.com


Laporan Utama Praktek poligami yang ada sekarang, yang menjadi masalah, atau minimal menjadi pemicu munculnya masalah dalam kehidupan keluarga, berarti tidak sejalan dengan syari'ah Latar Belakang Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, tidak terkecuali hukum perkawinan Islam, fokus kajian adalah aspek hukum, sebaliknya sangat sedikit kajian dilakukan terhadap aspek filsafat dan metode hukum. Padahal aspek filsafat dan metode inilah yang dapat memberikan pemahaman apa yang hendak dicapai oleh materi hukum. Akibatnya, memahami hukum perkawinan pun hanya sebatas paham aspek hukum tanpa memahami apa yang hendak dicapai dengan hukum tersebut. Padahal hukum hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan, yakni kesejahteraan dan keselamatan manusia. Dengan demikian, agar tujuan hukum dapat tercapai, memahami dan memformulasikan hukum perkawinan mutlak harus bersamaan dengan pemahaman terhadap filsafat dan metode hukum perkawinan. Untuk tujuan ini ilmuwan kontemporer menawarkan kajian yang lengkap (komprehensif) dan menyatu (integratif) terhadap nash. Tulisan ini mencoba menjelaskan metode kajian tematikkomprehensif-kontekstual dan holistik dalam menjelaskan perkawinan Islam dan bagaimana metode ini dapat menjauhkan tindakan-tindakan kekerasan antara pasangan suami dan istri dalam kehidupan keluarga.1 Filsafat Perkawinan Islam Ketika filsafat hukum Islam diartikan sebagai tujuan hukum Islam,2 maka filsafat hukum perkawinan Islam berarti tujuan perkawinan Islam. Demikian juga

26

Rifkamedia

Februari-April 2013

ketika filsafat hukum Islam diturunkan ke nilai prinsip, maka filsafat perkawinan Islam adalah prinsip-prinsip dalam perkawinan Islam. Namun pemikir kontemporer memisahkan antara filsafat hukum Islam dari prinsip hukum Islam, dimana filsafat sebagai tujuan sementara prinsip sebagai dasar mencapai tujuan. Sebagai sumber ajaran, al-Qur'an dan sunnah nabi Muhammad saw. tidak menyebutkan secara tekstual tujuan perkawinan. Namun dari sejumlah ayat al-Qur'an dan sunnah nabi Muhammad saw. para ahli merumuskan tujuan perkawinan. Perumusan tujuan ini merupakan konsekuensi dari keyakinan bahwa nash diturunkan untuk tujuan memberikan kesejahteraan dan keselamatan bagi manusia. Sehingga manakala nash tidak menyebut tujuan secara tekstual, maka menjadi tugas manusialah menemukannya dengan melakukan ijtihad. Di antara metode ijtihad yang ditawarkan ilmuwan kontemporer dalam memahami nash untuk menemukan hukum dan tujuannya, yang dengan itu ada sinkronisasi dan koherensi antara hukum dan tujuannya adalah dengan kajian yang lengkap (komprehensif) dan menyatu (integratif). Lengkap dan menyatu dalam arti dua aspek. Pertama, lengkap dalam arti seluruh nash yang berbicara subjek bahasan dipahami secara menyatu dan terpadu sebagai satu kesatuan yang utuh. Kedua, lengkap dalam arti menggunakan berbagai tinjauan yang dapat menjelaskan subjek secara komprehensif. Dengan metode ijithad ini juga dilengkapi pemahaman konteks (historisitas nash).3 Kajian semacam ini disebut kajian tematik-komprehensifkontekstual. Metode kajian tematikkomprehensif-kontekstual baru sampai pada tingkatan kajian

tematik subjek. Padahal memahami al-Qur'an mestinya harus dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh dan menyatu. Sebab al-Qur'an menjelaskan antara satu subjek dengan subjek lain, dan al-Qur'an adalah kalam Allah yang satu dan tak terpisahkan antara satu subjek dengan subjek lain. Untuk tujuan ini perlu dilengkapi dengan pemahaman holistik, sehingga kajiannya menjadi kajian perpaduan tematik-komprehensif-kontekstual dan holistik. Maksud teori ini adalah bahwa hasil penemuan dengan kajian tematik-komprehensifkontekstual masih perlu disinkronkan dengan seluruh ajaran al-Qur'an dalam berbagai aspek, sehingga seluruh ajaran al-Qur'an menjadi satu kesatuan yang utuh, menyatu dan saling mendukung (sinkron). Dari sejumlah nash yang mempunyai indikasi menunjukkan tujuan perkawinan dapat disimpulkan minimal lima tujuan umum perkawinan, yakni: (1) membangun keluarga sakinah sebagai tujuan pokok dan utama, yang kemudian tujuan ini dibantu dengan tujuan-tujuan: (2) tujuan reproduksi (penerusan generasi), (3) tujuan pemenuhan kebutuhan biologis (seks), (4) tujuan menjaga kehormatan, dan (5) tujuan ibadah.4 Sementara dalam UndangUndang Perkawinan Indonesia, tujuan perkawinan adalah membangun keluarga bahagia dan kekal, sebagaimana disebutkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1. Adapun bunyi pasal 1 dimaksud adalah, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.


Sekedar perbandingan, identik dengan tujuan perkawinan adalah motivasi perkawinan, yang dapat dikelompokkan menjadi tujuh. Pertama, prokreasi, yakni untuk mendapatkan keturunan. Kedua, cinta (love), yakni mendapatkan cinta. Ketiga, safety & security, yakni mendapatkan rasa aman dan damai. Keempat, home & money, yakni perumahan dan keuangan yang cukup. Kelima, sexual satisfaction, yakni pemenuhan kebutuhan seksual. Keenam, companionship, yakni kebersamaan. Ketujuh, culture, yakni tuntutan budaya.5 Sebagai usaha mensinkronkan dengan tujuan umum al-Qur'an, maka tujuan ini dapat dibandingkan dengan tujuan kehadiran agama, yang terkenal dengan sebutan lima tujuan (al-kullÎyah al-khamsah). Ada juga yang menyebut lima tujuan ini dengan tujuan syara' manetapkan hukum, yakni: (l) memelihara agama (al-dÎn), (2) memelihara jiwa (nafs), (3) memelihara akal ('aql), (4) memelihara keturunan dan kehormatan (nasl), serta (5) memelihara harta benda (mâl). Maka filsafat perkawinan dari lima tujuan ini masuk memelihara keturunan. Namun demikian dengan menggunakan kajian perpaduan tematik-komprehensif-kontekstual dan holistik, lima tujuan ini tidak dapat dipisahkan, sebab lima tujuan ini menjadi tujuan pokok yang harus dicapai secara menyatu (integrative) tanpa bisa terpisahkan sebagai kebutuhan pokok manusia. Dengan demikian tujuan perkawinan sama dengan tujuan diturunkannya syari'ah Islam. Sekedar perbandingan terhadap tujuan pokok kehadiran agama dan tujuan perkawinan Islam, Abraham Maslow membagi kebutuhan manusia menjadi lima pula, yakni: (1) physiology (fisiologi), (2) safety (keamanan), (3) love and

belongingness (cinta dan rasa memiliki), (4) esteem (penghormatan), dan (5) selfactualization (aktualisasi diri). Kebutuhan pertama (fisiologi) berhubungan dengan makan, minum, seks. Kebutuhan kedua (keamanan) berhubungan dengan keamanan, stabilitas, dan perlindungan. Kebutuhan ketiga (cinta dan rasa memiliki) berhubungan dengan menghindari kesepian, mencintai dan dicintai, dan perasaan kebersamaan. Kebutuhan keempat (penghormatan) berhubungan dengan penghormatan dan penghargaan. Kebutuhan kelima (aktualisasi diri) berhubungan dengan potensi handal yang perlu diaktualkan.6 Teori lain tentang kebutuhan dasar manusia dapat dikelompokkan menjadi enam. Pertama, kebutuhan biologis berupa makan, minum, pakaian, perumahan, seksualitas. Kedua, Kebutuhan kasih saying berupa merasa dicintai dan mencintai. Ketiga, kebutuhan akan rasa aman berupa merasa terlindungi. Keempat, kebutuhan akan rasa dimiliki dan memiliki. Kelima, kebutuhan akan rasa dihargai dalam bentuk penghargaan dan hukuman. Keenam, kebutuhan akan aktualisasi diri berupa kebebasan untuk mengembangkan diri.7 Apa yang dapat disimpulkan dari bahasan tujuan dan motivasi perkawinan, serta bahasan kebutuhan dasar manusia dan tujuan adanya agama (syari'ah), bahwa dengan tercapainya tujuan perkawinan sama dengan terpenuhi kebutuhan dasar manusia dan tercapai juga tujuan syari'ah. Prinsip Perkawinan Untuk mencapai tujuan perkawinan tersebut di atas

berdasarkan nash juga dirumuskan prinsip (asas) perkawinan yang dapat dikelompokkan menjadi dua. Namun dua prinsip ini merupakan manipestasi dari prinsip utama yang disebutkan dalam al-Nisa (4): 19 agar suami dan isteri sebagai pasangan harus saling mempergauli pasangan secara baik. Prinsip pertama bersifat fondasi, sementara prinsip kedua bersifat praktis. Untuk membedakan antara prinsip yang bersifat fondasi dari prinsip yang bersifat praktis dapat dianalogkan dengan perbedaan antara iman atau teologi atau paradigma di satu sisi dengan syariah atau ritual di sisi lain. Teologi atau iman atau paradigma dapat disebut sebagai fondasi keberagamaan atau keberimanan seseorang, sementara syariah atau ritual adalah realisasi dari keyakinan keberagamaan tersebut. Dengan analog ini, maka dapat disingkat bahwa prinsip yang bersifat fondasi sebagai iman atau teologi atau paradigma sebagai landasan, sementara prinsip yang bersifat praktis adalah prinsip-prinsip yang harus diamalkan anggota keluarga dalam mengarungi kehidupan rumah tangga, khususnya antara suami dan istri.8 Prinsip dasar atau fondasi dalam kehidupan keluarga ada minimal lima. Pertama, kehidupan keluarga berdasarkan moral agama. Artinya, tindakan apapun yang dilakukan anggota keluarga dalam mengharungi kehidupan keluarga, maka standar yang dijadikan rujukan adalah standar atau dasar agama. Manakala menurut agama boleh dilakukan maka dilakukan oleh anggota keluarga. Sebaliknya kalau menurut agama sesuatu harus ditinggalkan maka ditinggalkan oleh anggota keluarga. Kedua, menjaga kehormatan diri dan keluarga. Maksudnya, perilaku

Rifkamedia

Februari-April 2013

27


Laporan Utama dan/atau tindakan apa saja yang dilakukan anggota keluarga harus menjaga kehormatan diri dan anggota keluarga. Sekedar contoh, kalau satu tindakan dapat mengangkat harkat dan/atau martabat keluarga, atau minimal tidak mencemarkan keluarga, maka tindakan tersebut boleh dilaksanakan. Sebaliknya, kalau satu tindakan dilakukan kemungkinan akan mencemarkan nama baik keluarga, maka tindakan tersebut tidak boleh dilaksanakan anggota keluarga. Ketiga, seorang dari pasangan mempunyai seorang patner pasangan (monogami). Artinya, seorang laki-laki sebagai suami mempunyai tekad menjadikan seorang isteri sebagai pasangan hidup sampai mati. Demikian juga sebaliknya seorang perempuan sebagai istri mempunyai tekad menjadikan seorang suami sebagai pasangan hidup sampai mati. Keempat, perkawinan sebagai ibadah. Bahwa mempertahankan kehidupan keluarga merupakan bagian dari ibadah. Sebagai ibadah maka perkawinan harus dijaga dan dipelihara keutuhannya. Sebab dengan keutuhan keluarga berarti memelihara ibadah kepada Allah swt. Kelima, prinsip saling menghargai antara pasangan suami dan isteri. Inti dari prinsip ini bahwa dalam bertindak apapun suami dan istri harus mempertimbangkan perasaan pasangan. Sehingga tidak selayaknya melakukan tindakan yang dimungkinkan melukai perasaan pasangan. Ada satu hal yang biasa muncul dari prinsip dasar dan sering menjadi dasar munculnya diskriminasi dan/atau kekerasan, yakni bahwa perkawinan adalah persoalan agama dan ibadah. Sebagai agama dan ibadah, maka perkawinan adalah

28

Rifkamedia

Februari-April 2013

urusan personal yang dasarnya adalah kemantapan hati seseorang yang tidak berkaitan dengan orang lain. Implikasi dari pemahaman ini maka persoalan perkawinan tidak boleh ditafsirkan secara kontekstual. Pokoknya apa yang disebutkan dalam nash hanya bersifat taken for granted. Sayangnya dalam mengambil unsur yang taken for granted ini umumnya terhadap halhal yang menguntungkan diri pribadi, bukan atas dasar pertimbangan dan kemashlahatan bersama suami dan istri. Ini terjadi sebagai akibat dari pemahaman yang parsial, tekstual dan ahistoris. Sebagai jalan keluar dari pemahaman ini dan sekaligus sebagai jalan keluar agar tidak terjadi lagi perilaku diskriminasi, maka dalam tulisan ini ditawarkan kajian perpaduan tematikkomprehensif-kontekstual dan holistik, yang diuraikan pada bagian akhir dari tulisan ini. Adapun prinsip praktis perkawinan (selama perkawinan) ada enam. Pertama, prinsip musyawarah dan demokrasi. Kedua, prinsip menciptakan rasa aman, nyaman dan tenteram dalam kehidupan keluarga. Ketiga, prinsip menghindari dari kekerasan. Keempat, prinsip bahwa hubungan suami dan istri adalah hubungan yang bersifat patnership; suami dan istri sebagai tim work, suami dan istri sebagai tim kerja. Kelima, prinsip keadilan. Keenam, menjamin terjalinnya komunikasi antara anggota keluarga, minimal antara suami dan istri. Di samping prinsip-prinsip tersebut, ada dua hal yang barangkali tidak kalah pentingnya dilakukan pasangan yang akan menikah. Pertama, membuat perjanjian perkawinan antara pasangan suami dan isteri bahwa masing-masing suami dan istri

berjanji melaksanakan prinsipprinsip perkawinan tersebut secara konsisten dan tidak marah kalau diingatkan ketika melakukan pelanggaran. Naskah perjanjian tersebut dipampang di dalam kamar dengan tulisan besar, sebagai salah satu hiasan kamar, sama dengan hiasan-hiasan lain seperti kaligrafi, gambar bunga yang biasa kita pampang di kamar. Kedua, membuat asuransi atau semacam asuransi bagi istri atau suami ketika suami atau istri melakukan kekerasan yang mengakibatkan mereka berpisah. Pihak yang mendapat asuransi adalah pihak yang menjadi korban kekerasan, baik suami atau istri.9 Sekedar perbandingan, prinsipprinsip perkawinan tersebut di atas ada yang menyebut sebagai ciri keluarga ideal, yakni: (1) saling menjaga kontak emosional, (2) mempunyai kebebasan untuk mengenal dirinya, kemampuannya, sehingga dapat berbuat dan bertingkah laku sesuai dengan diri pasangannya, (3) merasa saling membutuhkan dan tidak saling menyalahkan, (4) bebas dari rasa takut yang merupakan akibat dari keterbatasan atau kekurangannya, (5) fleksibel, saling memaafkan, (6) memiliki empati satu sama lain, dan (7) bebas tetapi merasa tergantung satu sama lain.10 Problem Metodologis Dalam kaitannya dengan perilaku sejumlah laki-laki (suami) poligami dengan menjustifikasi kebolehannya pada al-Nisa' (4):3, dapat dijelaskan berikut. Bahwa salah satu kritik tajam yang dilontarkan pemikir/ilmuwan kontemporer, baik dalam kajian tafsir sebagai sumber pokok ajaran Islam maupun hukum Islam, di samping kurang melihat tujuan hukum adalah kajian (1) dengan pendekatan parsial


(juz'ĂŽyah), (2) kajiannya tekstual (literer), dan (3) tidak menghiraukan sejarah (ahistoris). Dengan kajian perpaduan tematik-komprehensif-kontekstual dan holistik dalam memahami alNisa' (4):3, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah menghubungkan ayat ini dengan ayat lain yang berbicara perkawinan. Langkah kedua adalah mengkajinya dengan pendekatan sejarah, dan langkah ini sekaligus sebagai jalan memahaminya secara kontekstual. Langkah berikutnya adalah mensinkronkan penemuannya dengan seluruh ajaran al-Qur'an dalam berbagai aspek, sehingga seluruh ajaran al-Qur'an menjadi satu kesatuan yang utuh, menyatu dan saling mendukung (sinkron). Dalam rangka menghubungkan ayat ini dengan ayat lain yang berbicara perkawinan, khususnya dihubungkan dengan poligami yang dilakukan secara rahasia, minimal perlu dihubungkan dengan alBaqarah (2): 233, al-Nisa' (4): 19, dan al-Talak (65): 7. Ayat-ayat ini memerintahkan suami dan istri agar bermusyawarah dalam kehidupan rumah tangga, meskipun masingmasing ayat mempunyai konteks sendiri.11 Masih dalam kaitannya dengan menghubungkan al-Nisa' (4): 3 dengan ayat lain di bidang perkawinan, maka perlu dihubungkan dengan nash yang berbicara tujuan perkawinan dan prinsip perkawinan. Ingat bahwa menjaga perasaan pasangan adalah salah satu dari prinsip perkawinan yang merupakan induksi dari sejumlah nash yang berbicara perkawinan. Dalam kaitannya dengan menggunakan pendekatan sejarah dan ini sekaligus sebagai upaya pemahaman kontekstual, adalah dengan cara memahami historisitas

“...pelaku poligami mestinya berhati-hati, sebab poligami yang terjadi bukan hanya tidak menyelesaikan masalah, malah umumnya menjadi masalah, minimal menjadi pemicu munculnya masalah.�

lahirnya ayat. Menurut catatan sejarah ayat ini turun sebagai solusi terhadap pemeliharaaan anak yatim dan janda sebagai akibat perang Uhud. Dimana menurut catatan sejarah, dalam perang Uhud Muslim kalah yang mengakibatkan banyak janda dan anak yatim yang membutuhkan perlindungan. Ketika diminta untuk poligami sahabat pun keberatan karena merasa mustahil dapat melaksanakan poligami secara benar. Sebagai respon terhadap sikap sahabat inilah turunnya alNisa' (4):129, bahwa untuk membantu melindungi janda dan anak yatim diperbolehkan poligami sesuai kemampuan masing-masing dalam berlaku adil asal tidak terlalu condong kepada salah satu istri yang mengakibatkan yang lain tidak mendapat perhatian. Dengan demikian, kebolehan poligami waktu itu adalah sebagai solusi terhadap masalah sosial bukan kepentingan

pribadi. Karena itu dapat disimpulkan bahwa ayat ini bukan berbicara perihal perkawinan poligami, tetapi berbicara tentang adanya masalah sosial yang harus diselesaikan dengan jalan poligami. Dengan merujuk pada hubungan hukum (teks), konteks (historistias) dan tujuan (maqâsid al-SyarÎ'ah), maka dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum kebolehan poligami adalah dalam rangka menyelesaikan masalah sosial ketika itu, yakni untuk memelihara janda dan anak yatim. Berdasarkan pada pemahaman ini pelaku poligami mestinya berhatihati, sebab poligami yang terjadi bukan hanya tidak menyelesaikan masalah, malah umumnya menjadi masalah, minimal menjadi pemicu munculnya masalah. Dengan demikian praktek poligami yang ada sekarang, yang menjadi masalah, minimal menjadi pemicu munculnya masalah dalam kehidupan keluarga, berarti tidak sejalan dengan syari'ah. Dalam kaitannya dengan upaya sinkronisasi dengan ajaran seluruh ayat al-Qur'an, bahwa salah satu ajaran al-Qur'an adalah ajaran agar musyawarah dalam memutuskan masalah, termasuk kehidupan rumah tangga. Ajaran lain adalah ajaran agar saling menghargai sesama manusia, termasuk antara suami dan istri. Demikian juga ajaran agar berlaku adil dan transparansi, termasuk antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga. Masih banyak ayat lain yang berhubungan dengan perkawinan yang masih perlu disinkronkan. Dengan mengamalkan prinsipprinsip tersebut di atas diharapkan pasangan dapat terhindari dari kekerasan, yang ternyata menurut Direktur Women Crisis Center (WCC) Rifka Annisa Suharti, tercatat 239 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama Januari

Rifkamedia

Februari-April 2013

29


Laporan Utama hingga November 2012. Jumlah tersebut meningkat dibanding periode sebelumnya, dengan kasus yang sama pada 2011 sebanyak 235 kasus dan sebanyak 216 kasus selama 2010. Dari seluruh kasus tersebut, 70% merupakan kasus perselingkuhan dan nikah siri yang menduduki peringkat tertinggi sebagai pemicunya.12 Demikian juga dengan mengamalkan prinsip-prinsip tersebut di atas dan memahami nash dengan kajian tematikkomprehensif-kontekstual dan holistik, dapat terhindari dari terjadinya perselingkungan, dimana faktor terjadinya perselingkuhan menurut Women Crisis Center (WCC) Rifka Annisa ada empat. Pertama, pasangan menemukan kenyamanan pada pihak lain, terkadang bagi pelaku WIL/PIL lebih bisa menerima apa adanya, biasanya dalam hubungan yang dijalin ada kesamaan-kesaman minat, cara pandang dan tujuan hidup yang sama. Kedua, pendidikan yang tidak seimbang antara suami istri, pendidikan yang lebih tinggi akan berpengaruh dengan mobilitas kerja, intensitas pertemuan serta mind set seseorang. Jika seperti ini yang terjadi salah satu pihak merasa dirugikan. Ketiga, balas dendam, dimana hal ini terjadi dikarenakan karena salah satu pihak berkhianat, sehingga kemungkinan pasangan untuk melakukan balas dendam dengan melakukan cara yang sama dilakukan pula oleh pasangannya. Dalam hubungan seperti ini saling mencurigai antara kedua belah pihak sering muncul. Keempat, faktor migrasi, baik yang ditinggalkan maupun yang meninggalkan. Keduanya bisa samasama melakukan perselingkuhan. Misalnya perselingkuhan yang dilakukan di cafe-cafe, bar, tempat

30

Rifkamedia

Februari-April 2013

lokalisasi. Pada tataran itu sering kali laki-laki hanya menjalin hubungan sementara terhadap pasangan barunya. Hubungan yang dilakukan bisa hanya sebatas hubungan emosional, bisa hubungan seksual atau bahkan keduanya.13 Kesimpulan Apa yang dapat dicatat sebagai kesimpulan ada empat. Pertama, agar suami dan istri memahami dan menghayati tujuan perkawinan dan agar berusaha mencapainya secara serius dan terus-menerus. Kesimpulan kedua, agar pasangan suami dan istri menyadari dan mengamalkan prinsip-prinsip perkawinan. Dengan mengikuti dan mengamalkan prinsip-prinsip tersebut pasangan umumnya dapat mencapai tujuan perkawinan. Ketiga, dalam memahami nash perkawinan diharuskan menggunakan kajian perpaduan tematik-komprehensifkontekstual dan holistik. Keempat, dengan kajian perpaduan tematikkomprehensif-kontekstual dan holistik, dapat disimpulkan bahwa kebolehan poligami hanya untuk tujuan menyelesaikan masalahmasalah sosial, bukan individu. Praktek poligami yang ada sekarang, yang menjadi masalah, atau minimal menjadi pemicu munculnya masalah dalam kehidupan keluarga, berarti tidak sejalan dengan syari'ah.[] Catatan Akhir 1

2

Kajian tematik-komprehensifkontekstual dan holistik ini merupakan pengembangan dari teori perpaduan tematik dan holistik yang saya tulis dalam karya lain. Lihat misalnya dalam bab V buku Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim (Yogyakarta: ACAdeMIA + Tazzafa, 2009) Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A System

Approach (London: The Interntiola Institute of Islamic Thought 1429/2008) 3 Dalam kontekstualisasi melibatkan tiga hal, yakni teks (hukum), konteks (historisitas di baling teks/hukum), dan relevansi (tujuan). Dengan demikian kontekstualisasi dilakukan untuk mendapatkan tujuan yang ingin dicapai oleh teks sebagai hukum. 4 Boleh juga diungkapkan bahwa tujuan perkawinan adalah membangun keluarga sakinah. Keluarga sakinah tercapai dengan terpenuhi (1) kebutuhan reproduksi (penerusan generasi), (2) kebutuhan biologis (seks), (3) kehormatan terjaga, dan (4) terpenuhi kebutuhan ibadah 5 Soewadi, “Sikap Penasihat BP4 dalam Penasihatan Perkawinan”. 6 Peter A. Topping, Managerial Leadership (New York: McGraw Hill, 2002), hlm. 69. 7 Soewadi, “Sikap Penasihat BP4 dalam Penasihatan Perkawinan”, bahan Pelatihan bagi Penasihat BP di DIY, 2005. 8 Prinsip-prinsip perkawinan ini merupakan pengembangan dari tulisan saya di karya lain. Misalnya dalam bab II buku Hukum Perkawinan I: Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim (Yogyakarta : ACAdeMIA + TAZZAFA, 2004). 9 Pemikiran ini terinspirasi dari disertasi yang ditulis Ros Asmaniza Binti Abdul Latif, dimana dalam tulisan ini disarankan agar mut'ah talak dibuat dalam bentuk asuransi. Hal ini dilakukan sebagai jalan keluar dari banyak suami yang tidak bertanggung jawab membayar mut'ah talak meskipun Pengadilan telah memutuskan. Ros Asmaniza Binti Abdul Latif, “Mut'ah Talak sebagai Mekanisma Perlindungan Wanita Selepas Perceraian: Kajian menurut Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah Persekutuan) 1984”, disertasi tidak terbit Akademi Pengajiaan Islam, Universiti Malaya, 2012, hlm. 327. 10 Soewadi, “Sikap Penasihat BP4”. 11 Tentang langkah ini perlu dielaborasi lebih rinci dan lebih lengkap. 12 Tim Rifka Annisa, “Tor of Reference Perselingkuhan dalam Perspektif Agama”, tahun 2012. 13

Ibid.


Laporan Utama

RUJUK ATAU CERAI: DILEMA PERDAMAIAN PASCA PERSELINGKUHAN Laksmi Amalia | Relawan Rifka Media, laksmi.amalia@yahoo.co.id Niken Anggrek Wulan |Relawan Rifka Media, nikenanggrek@gmail.com


Laporan Utama “Hal tersulit di dunia adalah melihat orang yang kau cintai mencintai orang lain�

Grafik 1. Data Penyebab Perceraian di Pengadilan Agama Seluruh Indonesia

Tak dimungkiri perselingkuhan merupakan fenomena yang lazim dijumpai dalam kehidupan rumah tangga. Perselingkuhan juga menjadi penyebab paling sering perceraian. Menurut konselor hukum Rifka Annisa, Nurul Kurniati, jumlah gugatan perceraian akibat perselingkuhan yang masuk ke Posbakum (Pos Bantuan Hukum) di Pengadilan Agama, Yogyakarta terus meningkat. Meskipun tidak secara tersurat menyatakan perselingkuhan, namun dari data yang dihimpun Badilag pada tahun 2011, perselingkuhan menjadi alasan yang cukup sering muncul dalam kasus perceraian di pengadilan agama di seluruh Indonesia.

perselingkuhan, jika dibandingkan dengan suami, membuat tulisan ini lebih banyak menyoroti proses yang dilalui oleh seorang istri ketika mendapati suaminya berselingkuh dengan perempuan lain. Tidak mudah bagi seorang perempuan untuk melewati masa-masa sulit setelah mengetahui perselingkuhan pasangannya karena ekspektasi perempuan terhadap pernikahan yang dibangunnya sangatlah berbeda dengan ekspektasi suami. Seorang perempuan akan memiliki pandangan bahwa pernikahan yang dibangun adalah sesuatu yang sangat sakral dan seharusnya tidak dinodai oleh kejadian apapun termasuk perselingkuhan. Oleh karena itu, seorang istri cenderung lebih sulit menerima kenyataan bahwa suaminya berselingkuh jika dibandingkan dengan seorang suami

Pria

Sedih dan cenderung menyakiti diri sendiri

Mengakhiri perkawinan dan memilih mencari pasangan lain

Menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab perselingkuhan suami

Marah dan melampiaskan dendam dengan kekerasan fisik misalnya memukul meskipun terkadang hanya sebatas fantasi

Terus memikirkan perselingkuhan dan butuh waktu lebih lama untuk sembuh

Menyalahkan ketidakmampuan seksual sebagai penyebab perselingkuhan istri

Terus memikirkan perselingkuhan dan butuh waktu lebih lama untuk sembuh

Berusaha mengalihkan perhatian terhadap perselingkuhan pasangan dan melakukan kegiatan lain seperti lebih menyibukkan diri dengan pekerjaan

Dampak Perselingkuhan Sulitnya menghadapi kenyataan bahwa suami berselingkuh dengan wanita lain juga dialami oleh salah seorang klien Rifka Annisa seperti yang dituturkan oleh konselor psikologi Rifka Annisa, Arfianata Octania Arsli (Ina) kepada Rifka Media:

Akar perselingkuhan yang terjadi pada pasangan suami istri memang bersifat multi-faktor. Ada faktor kebutuhan fisik termasuk kontak seksual, kebutuhan psikis, kurangnya waktu bersama, faktor hubungan jarak jauh, faktor budaya, dan juga faktor ekonomi. Fakta bahwa lebih banyak perempuan yang menjadi korban

Rifkamedia

Wanita

Sumber: After the Affair (Spring et al, 2000)

Sumber: Data Badilag Tahun 2011

32

Tabel 1. Perbedaan Reaksi antara Pria dan Wanita ketika Menghadapi Perselingkuhan Pasangan

Februari-April 2013

yang mengetahui bahwa istrinya berselingkuh. Seorang istri yang mengetahui pengkhianatan suaminya akan merasa sangat kesal, marah, kehilangan kontrol diri dan biasanya tanpa pikir panjang justru akan melabrak wanita yang menjadi pasangan selingkuhan suaminya.

Lia (bukan nama sebenarnya,red.), merasa gelisah ketika mendapati sms mesra dari seorang rekan bisnis suaminya, sekaligus teman dekat Lia. Namun, ia hanya bisa menyimpan kegelisahannya saat suaminya menegaskan bahwa hal itu cuma candaan semata. Sampai suatu saat, Lia pulang dari kantor hendak mengambil barang yang ketinggalan. Bagai disambar petir, saat menemukan suaminya tengah melakukan hubungan seksual di kamarnya


dengan perempuan yang ia kenal sebagai temannya. Setelah peristiwa itu, semuanya tak lagi sama. Walaupun suami Lia sudah berusaha beribu-ribu kali meminta maaf, sampai sujud di depannya, semua itu tidak mengubah pendirian Lia. Mediasi dengan WIL dan suami si WIL juga sudah dilakukan. Toh, semua itu tidak bisa meredakan rasa sakit hatinya. Ia pukul dan tampar sang suami, tapi rasa marah itu terus ada. Ketika rasa kesal dan benci itu tak jua terobati, Lia mulai melakukan halhal yang menurutnya bisa membantu melupakan kenangan pahit itu. Sayangnya, dengan cara yang irasional. Seluruh celana, kasur, dan peralatan yang kira-kira pernah bersentuhan dengan si WIL, ia bakar. Warna rumah pun ia ganti dengan membubuhkan cat baru. Posisi perabot juga ia rubah. Sayangnya hal itu tak mengubah apapun. Rasa kesal terus melanda Lia.

Perselingkuhan yang terjadi juga membawa dampak fisiologis, psikologis dan patologis bagi perempuan. Seperti yang disebutkan dalam bukunya After the Affair, Janis Abraham Spring dan Michael Spring menyebutkan bahwa dampak fisiologis dari perselingkuhan bagi pasangan yang dikhianati adalah adanya perubahan fisiologis pada susunan syaraf yang akan mempengaruhi fungsi kognitif manusia. Pada saat mengetahui perselingkuhan pasangan, maka pasangan yang dikhianati akan mengalami stress dan hormon adrenalin akan mengalir deras dalam susunan syaraf simpatetik dan menghasilkan keadaan siaga yang memuncak. Keadaan siaga ini dimanefestasikan dalam sikap waspada dan curiga, bahwa pasangan akan menyeleweng lagi, cemas, gelisah, sulit tidur, sering terbangun tengah malam,mudah marah, sulit berkonsentrasi dan mudah lupa. Ketika kekurangan tidur dan terlalu banyak pikiran, tubuh yang kurang beristirahat akan lebih rentan terhadap ancaman

penyakit. Urusan merawat anak dan pekerjaan di kantor pun acapkali terbengkalai karena sulit berkonsentrasi. Dampak patologis dari perselingkuhan terutama yang melibatkan kontak seksual adalah rentannya pasangan korban perselingkuhan terkena infeksi menular seksual seperti gonorrhea, sifilis, kutil kelamin, dan HIV dan AIDS. Perselingkuhan yang melibatkan kontak seksual apalagi yang berisiko seperti berganti-ganti pasangan seksual, maupun berhubungan seksual dengan sembarang orang tanpa alat pengaman menjadikan rentannya penularan infeksi menular seksual. Posisi istri yang masih lemah dalam lembaga perkawinan yang kebanyakan bersifat patriarkal menyebabkan rendahnya posisi tawar seorang istri dalam relasi seksual dengan suaminya. Sering dijumpai kenyataan seorang istri tidak memiliki kuasa untuk meminta suaminya menggunakan kondom ketika berhubungan seksual, meskipun sang istri tahu bahwa suaminya berselingkuh dengan banyak wanita dan berganti-ganti pasangan seksual. Akhirnya sang istri yang monogami dan setia kepada suaminya juga ikut tertular infeksi menular seksual. Sementara itu, dampak psikologis dari perselingkuhan adalah hilangnya identitas diri, rasa istimewa sebagai seorang perempuan, harga diri, kontrol diri atas segala pikiran dan tindakan, iman kepada Tuhan, perasaan aman, tenteram, dan terlindungi serta ikut rusaknya hubungan dengan orang lain, bahkan dengan mereka yang tidak tahu menahu atau berkaitan dengan perselingkuhan yang terjadi dalam perkawinan. Dampak psikologis yang disebutkan di atas menyebabkan perempuan sangat rentan untuk mengalami depresi dan trauma dengan peristiwa perselingkuhan yang dihadapi. Setelah mengetahui pasangan berselingkuh, seorang istri akan mengalami proses berduka yang

menurut Elisabeth Kubler-Ross terdiri dari tahap penolakan, kemarahan, tawar-menawar, depresi dan akhirnya tahap penerimaan. Pada tahan penolakan, seorang istri akan terus berusaha tidak percaya dan menyangkal kenyataan bahwa suaminya berkhianat meskipun desasdesus mengenai perselingkuhan suami deras terdengar. Setelah melewati tahap penolakan, istri akan melalui tahap kemarahan yang diekspresikan dengan kekerasan fisik dan verbal kepada suami dan selingkuhannya. Istri akan melabrak selingkuhan suami dan menjadi kehilangan fokus pada penyebab perselingkuhan suami yang sesungguhnya. Kepuasan seorang istri akan tercapai jika berhasil membuat suami dan selingkuhannya menderita. Bahkan ada pula istri yang kemudian membalas dendam atas perbuatan suaminya dengan cara berselingkuh dengan pria lain. Ketika kemarahan mereda, istri yang sedang berduka akan memasuki tahap tawar-menawar. Pada tahap ini, perasaan seorang perempuan korban perselingkuhan yang merasa tidak berguna akan memuncak dan akibatnya justru seorang istri akan melakukan 'perbaikan' internal seperti merawat diri berlebihan, lebih memberi perhatian kepada suami atau menunjukkan ekspresi seksual yang berlebihan. Setelah melalui tahap tawar menawar yang melelahkan maka seorang perempuan korban perselingkuhan akan memasuki tahap depresi yang menunjukkan gejala yang berkebalikan dengan tahap sebelumnya. Setelah pada tahap sebelumnya cenderung perhatian, pada tahap ini istri akan bersikap lebih cuek dan tidak peduli dengan dirinya sendiri, suami dan juga anak-anak. Gejala yang bisa dikenali dari tahap ini adalah kemalasan untuk merawat diri, menurunnya gairah untuk melakukan kegiatan dan nafsu makan yang berkurang. Tahap selanjutnya adalah tahap penerimaan dimana seorang istri mulai bisa menerima kenyataan yang terjadi

Rifkamedia

Februari-April 2013

33


Laporan Utama dan bisa mendiskusikan permasalahan yang dihadapi tanpa reaksi yang berlebihan. Ketika seorang korban perselingkuhan dapat melalui tahap penerimaan ini, maka proses penyembuhan bisa segera dimulai. Bagan 1. Tahapan Proses Berduka Setelah Perselingkuhan

Tahap Penolakan ▼ Tahap Kemarahan ▼ Tahap Tawar Menawar ▼ Tahap Depresi ▼ Tahap Penerimaan Sumber: Lima Tahap Berduka (Kubler-Ross)

Setiap perempuan korban perselingkuhan membutuhkan jangka waktu yang berbeda-beda untuk melewati tahapan-tahapan diatas. Oleh karena itu, diperlukan strategi untuk menghadapi proses berduka yang terjadi setelah mengetahui perselingkuhan suami. Indiah Wahyu Andari, konselor psikologi Rifka Annisa menyarakan kepada para istri korban perselingkuhan untuk tetap fokus pada akar permasalahan yang menimbulkan perselingkuhan suami tanpa harus menyalahkan dirinya sendiri. Istri cenderung lebih fokus untuk membereskan masalah dengan melabrak wanita idaman lain (WIL) sang suami. Banyak istri yang beranggapan bahwa suaminya

berselingkuh karena godaan dari WIL semata dan justru melupakan kenyataan bahwa sang suami juga melakukan kesalahan. Indiah juga menyarankan kepada istri yang menjadi korban perselingkuhan, untuk membuat komitmen dengan diri sendiri misalnya untuk tetap memperhatikan diri dan merawat anak-anak. Rujuk atau Cerai? Setelah tabir perselingkuhan suami terbuka, maka seorang istri akan melalui tiga tahap proses penyembuhan. Ada tiga tahap penyembuhan yang biasanya dilalui yaitu menormalkan perasaan, memutuskan untuk meneruskan hubungan dengan pasangan atau meninggalkannya. Pada tahap pertama, istri yang menjadi korban perselingkuhan akan mengalami kegamangan emosional dan rasa kehilangan yang luar biasa. Akan tetapi, manusia memiliki kemampuan untuk menetralkan perasaan gamang dan sedih tersebut. Ketika kondisi fisik dan emosional sudah mulai stabil, maka inilah saat yang tepat untuk mempertimbangkan masa depan perkawinan dan memilih untuk mempertahankannya atau justru mengakhirinya. Tahap kedua ini merupakan tahap yang sangat krusial karena apapun keputusan yang diambil akan sangat menentukan masa depan istri, suami, anak-anak dan juga keluarga besar. Oleh karena itu, istri diharapkan untuk meneliti pilihan-pilihan yang ada dan mempertimbangkan secara matang keputusan akhir yang diambil. Ketika istri memilih untuk

Boks 1. Strategi Menghadapi Perselingkuhan Pasangan Ÿ Ÿ Ÿ Ÿ Ÿ

Menyadari adanya komitmen yang dilanggar dan menghindari penyangkalan yang terus menerus Jangan sampai kehilangan fokus penyelesaian masalah Jangan pernah kehilangan harapan Tetap percaya diri Jangan sampai kehilangan diri sendiri dan berusaha untuk membangun komitmen baru terhadap diri sendiri dan anak-anak Sumber: Disarikan dari Berbagai Sumber

34

Rifkamedia

Februari-April 2013

mempertahankan perkawinan, maka tahap selanjutnya yang harus dilalui adalah membuat komitmen-komitmen baru dengan pasangan dan membangun kembali hubungan yang goyah. Tantangan terbesar yang lazim dilalui pada tahap ini adalah memulihkan kembali kepercayaan dan keintiman diantara suami dan istri yang membutuhkan waktu berbulanbulan bahkan sampai bertahun-tahun. Ketika memilih untuk bercerai atau rujuk kembali dengan pasangan, maka perlu dipertimbangkan sisi positif dan negatif kedua pilihan tersebut. Menurut Indiah, sisi positif dari bercerai adalah menghentikan siklus kekerasan fisik maupun psikis akibat perselingkuhan suami dan mendorong istri untuk memiliki hak otonom lebih banyak terhadap hidupnya sendiri dan juga anak-anaknya. Sedangkan, dampak negatifnya muncul saat istri masih bergantung secara finansial kepada suami. Perceraian bisa menyebabkan problem keuangan dan terbengkalainya kebutuhan hidup anak-anak termasuk biaya pendidikan. Selain itu, stigma negatif atas status janda yang masih kental dalam masyarakat Indonesia yang patriarkal, juga dikhawatirkan akan membuat posisi istri sangat rentan. Anak-anak juga akan kehilangan figur salah satu orang tua dan perceraian akan memicu timbulnya kesedihan dan depresi yang terjadi selama proses tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, ketika mantap untuk mumutuskan bercerai maka seorang perempuan harus siap untuk menjadi orang tua tunggal bagi putra dan putrinya. Begitu pula ketika seorang istri yang terluka memutuskan untuk rujuk kembali dengan suami, sisi positif dan negatif juga harus dipertimbangkan. Sisi positif dari rujuk adalah keluarga akan utuh kembali dan anak-anak tidak akan kehilangan figur salah satu orang tuanya. Selain itu, bagi para istri yang belum mampu mandiri secara finansial dan tidak mendapatkan dukungan modal dari keluarga besar, rujuk merupakan pilihan yang lebih


baik dibandingkan perceraian. Namun di sisi lain, rujuk juga meningkatkan kemungkinan untuk terulangnya kembali kekerasan fisik dan psikis termasuk perselingkuhan. Oleh karena itu, ketika seorang istri korban perselingkuhan hendak menentukan langkah dalam menyikapi perselingkuhan suaminya, disarankan untuk membicarakan dengan orang terdekat, bisa keluarga atau sahabat karib. Menghubungi konselor perkawinan juga sangat disarankan agar bisa membantu istri untuk menganalisa lebih jauh keputusankeputusan yang akan diambil. Konseling Pasangan: Sebuah Alternatif Penyelesaian Ketika seorang istri yang terluka mengalami kesulitan dalam menghadapi perselingkuhan suami, sebaiknya segera menghubungi lembaga yang mampu mendampingi dan memberikan konseling baik bagi istri yang menjadi korban perselingkuhan maupun suami yang menjadi pelaku perselingkuhan. Rifka Annisa Woman Crisis Center merupakan salah satu lembaga yang memberikan pendampingan dan konseling bagi para perempuan korban kekerasan baik fisik maupun psikis termasuk perselingkuhan. Proses konseling memang membutuhkan komitmen yang kuat dari pihak korban maupun pelaku perselingkuhan. Terkadang pelaku perselingkuhan enggan mengikuti konseling karena masih merasa dirinya superior dan tidak bersalah, tetapi ketika sang istri mengancam untuk bercerai, barulah sang suami juga ikut melakukan konseling dengan tujuan untuk mencegah perceraian terjadi. Namun menurut Agung Wisnubroto, konselor psikologi laki-laki Rifka Annisa, konseling ditujukan untuk perubahan perilaku pelaku sendiri dan bukan ditujukan secara langsung untuk pasangan maupun anak-anaknya apalagi hanya sekedar untuk mencegah terjadinya perceraian. “Perubahan perilaku itulah yang

kemudian berdampak positif pada istri dan anak-anak,”tambah Agung. Metode konseling yang selama ini lazim digunakan adalah konseling individual dimana klien perempuan melakukan konseling dengan konselor perempuan dan klien laki-laki melakukan konseling dengan konselor laki-laki secara terpisah. Tujuan dari konseling pada pasangan yang mengalami perselingkuhan adalah melakukan perubahan perilaku. Klien laki-laki diharapkan untuk menurunkan perilaku kekerasan yang dilakukannya termasuk kekerasan psikis yang menyakiti hati istrinya sedangkan sang istri diharapkan untuk menurunkan ekspektasi yang berlebihan terhadap sang suami. Meskipun konseling dilakukan secara terpisah, namun ada kalanya beberapa intervensi dalam proses konseling seperti time out (perpisahan sementara dan refleksi diri) dan mengelola amarah dilakukan bersama secara terkoordinasi dengan dibantu oleh konselor laki-laki maupun perempuan. Konselor laki-laki maupun perempuan pun biasanya melakukan contact partner untuk memantau perjalanan konseling. Konselor laki-laki akan menghubungi konselor perempuan dan memintanya untuk menanyakan kepada klien perempuan mengenai perkembangan perubahan perilaku klien laki-laki. Proses konseling juga akan membantu pasangan suami istri untuk menciptakan komitmen-komitmen baru yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi hubungan yang sempat goyah. Selain melakukan konseling terhadap korban maupun pelaku, konselor laki-laki dan juga perempuan biasanya juga berperan sebagai mediator ketika pasangan suami istri rujuk dan membantu menuangkan komitmen-komitmen yang sudah dibuat bersama menjadi butir-butir kesepakatan yang memiliki kekuatan hukum. Konseling pasangan merupakan alternatif lain selain konseling individual dimana klien perempuan dan laki-laki serta konselor perempuan

dan laki-laki melakukan konseling bersama atau bisa juga dilakukan oleh sepasang suami dan istri dengan didampingi seorang konselor. Inti dari konseling pasangan sebenarnya adalah kehadiran bersama pasangan suami dan istri dalam sesi konseling. “Konseling pasangan bisa dilakukan jika dua-duanya memiliki komitmen untuk memperhatikan keluarga,”tutur Budi Andayani, pakar psikologi keluarga dari Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta. Menurut dosen psikologi lulusan La Trobe University Australia ini, ada beberapa tahapan yang dilalui dalam konseling pasangan. Pertama, pasangan suami istri harus saling mengetahui keadaan masing-masing sehingga sama-sama tahu bahwa keduanya membutuhkan konseling. Kedua, dalam proses konseling, konselor akan mencoba membantu pasangan untuk saling berbagai mengenai perasaan positif dan negatif sehingga mampu meredakan kemarahan. Ketiga, membangun komitmen untuk melakukan perubahan perilaku dan bernegosiasi dengan ekspektasi masing-masing. Keempat, membuat kesepakatan-kesepakatan bersama dalam hubungan suami istri. Konseling pasangan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan konseling individu diantaranya adalah bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi diantara keduanya tanpa adanya perbedaan versi cerita dari kedua belah pihak dan terhindar dari kesalahpahaman. Dengan bertemunya suami istri dalam satu sesi konseling bersama, juga akan memperbesar peluang untuk bekerjasama dalam perubahan perilaku. Begitu pula dengan perubahan perilaku keduanya yang akan lebih mudah dikontrol. “Selama ini belum ada panduan mengenai couple counseling,”tutur Rina Widiarsih, manager Divisi Pendampingan Rifka Annisa Woman Crisis Center. Menurut C Siswa Widyatmoko, akademisi dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, tata

Rifkamedia

Februari-April 2013

35


Laporan Utama laksana terapi pasangan relatif sulit dibuat secara rinci dan tidak fleksibel. “Karena masalah yang dihadapi pasangan itu menyangkut suatu dinamika interaksi. Bukan seperti gangguan mental yang dialami individu,” ungkap dosen yang hobi traveling itu. Siswa memang lebih memilih istilah terapi dibanding konseling. “Karena terapi itu biasanya melibatkan aspek emosi atau ketidaknyamanan mental yang sangat dalam yang dialami seseorang, baik suami atau istri.” Selain itu, terapi juga mempunyai kesulitan yang relatif sulit dan melibatkan sesi yang lebih panjang, bisa belasan kali. Ia membandingkan dengan konseling yang melibatkan 1—3 kali pertemuan. Menurut Siswa, Terapi pasangan dilakukan saat terapi individual tidak memberi kemajuan. Misal, ada saaatnya pasangan yang berkeinginan berubah terhambat karena pasangannya tidak mau berubah. Terapi pasangan manjur untuk mengatasi hal itu karena dalam terapi pasangan bisa melibatkan kesepakatan atau hubungan timbal baik antara kedua pasangan. Terdapat cara untuk menyatakan apakah proses konseling atau terapi yang dilaksanakan sudah relatif berhasil. Jelas Siswa, peneliti umumnya mengandalkan apakah orang yang telah menjalani sesi terapi pasangan sudah menurun tingkat depresi, kecemasan, traumanya. Sedangkan di Rifka Annisa sendiri, menurut Agung Wisnubroto, umumnya korban dinyatakan sudah bisa pulih ketika ia sudah merasa tidak trauma. Ketika melihat WIL atau melihat hal-hal yang mengingatkannya pada peristiwa perselingkuhan pasangannya, ia sudah tidak bereaksi secara berlebihan. Memaafkan dan Perdamaian Ketika memutuskan untuk rujuk, proses yang dilalui oleh suami dan istri tidaklah mudah terutama untuk membangun lagi kepercayaan, kesetiaan dan keintiman. Perbedaan persepsi antara suami dan istri setelah rujuk juga mempertajam perbedaan ritme pemulihan hubungan. “Sering kali laki-laki yang berselingkuh memutuskan untuk kembali (kepada istrinya,red). Intinya,dia berkata ingin menutup buku dan

36

Rifkamedia

Februari-April 2013

membuka lembaran baru. Hanya saja klien sering kali melupakan dinamika psikologis pasangannya. Bagaimana kekerasan yang ia lakukan berdampak (buruk,red) pada pasangan, dalam bentuk trauma atau post traumatic stress disorder. Dia masih belum trust (merasa percaya pada pasangannya,red),”tutur Agung, konselor laki-laki yang sering menangani klien laki-laki pelaku perselingkuhan. Oleh karena itu, perubahan perilaku laki-laki harus dapat dilihat oleh istri dan secara bertahap, harus ada target tertentu yang harus dicapai agar bisa meyakinkan istri bahwa suami telah berubah misalnya sudah tidak menyembunyikan hp atau lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan istri dan anak-anak. Meskipun sulit dan merasa gengsi, laki-laki pelaku perselingkuhan juga dituntut untuk meminta maaf secara tulus kepada sang istri. Bukan hanya sekadar minta maaf secara sambil lalu dan hanya dengan kata-kata tetapi juga harus diikuti dengan perubahan perilaku yang nyata. “Sudahlah, itu sudah selesai, mulai kedepan. Begitulah kata klien lelaki. Padahal, untuk mulai ke depan, (istri,red) harus mampu berdamai dengan diri sendiri. Berdamai adalah salah satu syarat bisa lepas dari trauma. Maka ia harus bisa memaafkan,”tambah Agung. Sering sekali terdengar komentar bahwa memaafkan pasangan yang berselingkuh akan memberikan keuntungan kepada suami dan merugikan istri karena memaafkan selalu diidentikkan dengan melupakan, bisa menerima kekhilafan suami, dan mudah berbaikan meskipun suami berbuat salah. Banyak juga yang berkomentar bahwa sang istri akan kelihatan terlalu mengalah dan sabar dengan tingkah laku suami. Namun sebenarnya, memaafkan justru memberikan keuntungan bagi diri istri yang terluka. Memaafkan atau yang lebih dikenal dengan forgiveness theraphy akan mengurangi emosi-emosi negatif yang selalu muncul dan mencerna masalah perselingkuhan dengan lebih baik. Akan tetapi jika memaafkan terasa sangat sulit, maka disarankan untuk melakukan penerimaan (acceptance). Mungkin saja, istri yang menjadi korban perselingkuhan masih merasa sakit hati

dan marah kepada pasangan dan wanita selingkuhannya, tetapi dengan melakukan penerimaan maka sang istri akan mampu melihat masalah perselingkuhan secara lebih objektif dan melihat berbagai faktor yang mendorong perselingkuhan suami. Suami memang salah tetapi sang istri kini tidak lagi dihantui oleh keinginan untuk balas dendam, curiga dan memata-matai suami terus menerus, serta marah dan memaki-maki suami dan WILnya. Dalam proses penyembuhan, ada beberapa faktor yang berperan dalam menentukan panjang pendek dan efektif tidaknya pemulihan keadaan sang istri. Dalam bukunya Pelangi di Akhir Badai, Adriana S Ginanjar, pakar konseling perkawinan dari Fakultas Psikologi UI menyebutkan karakteristik kepribadian, agama, kelompok pendukung, kegiatan aktualisasi diri, perubahan positif suami dan proses terapi. Seorang istri korban perselingkuhan yang optimis, intens mendekatkan diri dengan Tuhan, mendapatkan dukungan dari keluarga dan sahabat tentunya akan lebih cepat “sembuh” dari trauma perselingkuhan suami. Selain itu, memiliki kegiatan aktualisasi diri seperti berkerja, mengikuti pelatihan, membuka usaha baru atau kuliah lagi juga akan membantu istri untuk mengurangi kesedihannya. Keterlibatan suami dalam proses terapi pasca terkuaknya perselingkuhan yang disertai dengan tekad kuat suami untuk berubah, lebih memperhatikan istri dan anak-anak akan meningkatkan motivasi istri untuk bangkit dari keterpurukan. “Kesembuhan” yang dicapai bisa dilihat dari bebasnya sang istri dari rasa trauma dengan hilangnya reaksi emosional dan fisik (psikosomatis) ketika mengingat atau melihat langsung perselingkuhan suami.[] Referensi: Ginanjar, Adriana S (2009), Pelangi di Akhir Badai. Gramedia Pustaka Utama, 2009. Spring, Janis Abrahams dan Spring, Michael (2000), After the Affair. Gramedia Pustaka Utama,2009 http://www.grief.com/the five stages of grief-Elisabeth Kubler Ross/,diakses 23 Desember 2012


GENDER

SUGI HASTUTI ITSNA HADI SAPTIAWAN

Lesehan Buku

Kala Sastra Berprasangka Gender

Pandangan terhadap gender seolah mendapat tempat istimewa di masyarakat luas, tempat dikotomi laki- laki dan perempuan dipahami secara umum dan menuai pembenaran. Hal ini kemudian berlanjut dan melahirkan bidang kritik sastra yang lebih populer dengan sebutan kritik sastra feminis [KSF]. Begitu kuatnya hegemoni tersebut, hingga esensi dan asal muasal dikotomi yang terbangun membuat sebagian kalangan begitu gencar mendiskusikan orde gender dengan gambaran singkat bahwa beberapa hal yang dianggap sebagai unsur utama ideologi gender menjadi dominan di masyarakat. Oposisi laki-laki dan perempuan sangat kuat karena posisinya dalam ideologi gender dan karena caranya menampilkan sesuatu benar-benar telah merasuk ke dalam masyarakat. Ia muncul sebagai satu kesatuan. Pun ia tidak terhubung secara instrinsik, namun jaring asosisasi yang melingkupi telah menyatukannya ke dalam gagasan-gagasan popular, termasuk ke dalam ranah sastra [baca:novel] Penggunaan sosok perempuan dalam novel sebagai tokoh utama bukan merupakan satu kesalahan. Yang menjadi masalah, ketika pencitraan terhadap tokoh tersebut, kerap didasari prasangka gender yang menuntut oposisi biner dan harus dimenangkan oleh pihak laki-laki dan menempatkan perempuan sebagai pihak yang tersubordinasi. Ironsisnya, realitas seperti banyak ditemukan dalam karya karya pengarang tanah air. Salah seorang pengarang yang menggunakan sosok perempuan sebagai tokoh utama dalam karyanya adalah Rahmat Ali. Novelnya yang berjudul Nyai Dasima

[Grasindo, 200], yang diulas dalam buku ini, banyak mengungkapkan bentuk-bentuk kekerasan yang dialami sosok perempuan terutama terhadap tokoh utama. Secara singkat, novel yang menjadi topik kajian dalam buku ini, mengisahkan perjalanan hidup Nyai Dasima sejak pertama kali diangkat sebagai pembantu di kediaman Edward Williams hingga kematiannya, saat menjadi isteri kedua Bang Samiun. Dalam dua periode yang berbeda itu, banyak kejadian yang dialami tokoh utama. Mulai dari pengangkatannya sebagai Nyai oleh Edward Williams hingga perpisahannya dengan pria asal Inggris itu. Begitupun masa ketika Dasima menjadi isteri kedua Bang Samiun, yang sarat dengan berbagai bentuk kekerasan baik yang terjadi dalam lingkup domestik dan publik.

Judul Buku

Penulis Penerbit Terbit Tebal Ukuran

: GENDER DAN INFERIORITAS PEREMPUAN: Praktik Kritik Sastra Feminis : Sugi Hastuti & Itsna Hadi Saptiawan : PUSTAKA PELAJAR : Cetakan I, September 2007. Cetakan II Januari 2010 : 351 halaman + xiv : 13 X 21 cm

Rifkamedia

Februari-April 2013

37


Lesehan Buku

Dalam buku ini, penulis secara lugas mengungkap, prasangka gender juga muncul dalam bentuk domestikisasi perempuan dalam lingkup pergaulan sosial. Domestikisasi itu tampak jelas dengan dihambatnya peran tokoh utama [Nyai Dasima] untuk melakukan mediasi budaya antara masyarakat Eropa dan Pribumi. Begitupun dengan tokoh perempuan lain meski dengan kadar dan intensitas yang berbeda. Secara umum, analisis penulis terhadap novel Nyai Dasima menggambarkan bahwa inferioritas perempuan, diakibatkan adanya prasangka gender. Akibatnya, timbul ketidakadilan gender yang termanifestasikan dalam pandangan dan perlakuan terhadap perempuan. Akibat lain, muncul stereo type, marginalisasi, marginalisasi serta dependensi perempuan terhadap laki-laki yang berujung pada tindak kekerasan terhadap perempuan. Selain kedua tokoh utama tersebut, hadir pula beberapa tokoh perempuan lain, diantaranya: Bonnet [isteri, Eward Williams], Nancy [anak hasil hubungan Dasima dengan Williams], Hayati, Wak Saleha dan Mak Buyung [pembantu yang bekerja di rumah Williams setelah Dasima melahirkan Nancy]. Sedangkan dua tokoh laki laki lainnya adalah Bang Samiun dan Bang Puase. Latar belakang Batavia pada dekade kedua abad ke-19, mengungkapkan berbagai bentuk mediasi, antara masyarakat Eropa, tokoh perempuan, dan masyarakat pribumi pada saat itu. Meski hanya fokus pada bentukbentuk mediasi yang gagal dilakukan oleh tokoh perempuan akibat tindakan subordinasi oleh lingkungan sekitarnya, namun penulis berhasil mengungkap citra inferior perempuan dalam buku ini.

38

Rifkamedia

Februari-April 2013

Ada tiga permasalahan utama yang dikemukakan penulis berdasarkan analisis novel ini. Pertama, bagaimana bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh tokoh perempuan dalam novel Nyai Dasima? Kedua, bagaimana fungsi dan peran Nyai Dasima dalam proses mediasi budaya dengan anggota masyarakat kolonial Inggris [Eropa] ketika bersama keluarga Edward Williams? Ketiga, hal-hal apa saja yang menimbulkan citra inferior para tokoh perempuan dalam novel? Dengan menerapkan kritik sastra feminis dalam mengkaji novel ini, penulis berupaya meraih dua tujuan pokok: teori dan praktis. Secara teoritis, buku ini bertujuan menerapkan kritik sastra feminis terhadap novel, dengan menggunakan konsep kekerasan terhadap perempuan dan konsep mediasi. Secara praktis, kajian ini akan menambah wawasan dan pemahaman para pembaca novel, Nyai Dasima khususnya, tentang masalah prasangka gender dan inferioritas perempuan yang dialami oleh tokoh utama dalam novel tersebut. Buku ini, boleh jadi merupakan 'kolaborasi' apik antara dosen dan 'mantan' mahasiswa. Sugihastuti, salah satu penulis buku ini adalah dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya UGM. Ia termasuk penulis aktif masalah gender dan feminisme. Wanita yang akrab disapa Tuti ini, pernah menjadi dosen tamu di Hangkuk University of Foreign Study, Seoul, 2002-2004. Sejak 1988 hingga sekarang, Tuti menjadi editor di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. Adapun Itsna Hadi Saptiawan adalah alumni Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya UGM. Menyelesaikan studi S1 dengan skripsi berjudul “Citra

Inferioritas Perempuan dalam Novel Nyai Dasima [Tragedi Wanita asal Desa Kuripan] Karya Rahmat Ali: Kritik Sastra Feminis�. Karya tersebut kemudian dikemas ulang bersama Sugihastuti dan menjadi bagian utama dari buku ini. Kehadiran buku ini sedikit banyak memberi harapan di tengah keprihatinan atas keterbatasan literatur-literatur sebagai respon pesatnya perkembangan teori-teori sastra yang sebagian besar berasal dari barat, termasuk teori kritik sastra feminis [KSF]. Selain itu, buku ini sangat bermanfaat dalam menjembatani ketimpangan antara pesatnya perkembangan ilmu sosial [teori feminisme] dengan bidang ilmu kesusasteraan yang gayut dengan isu feminisme. Bukan sekadar mengisi kekurangan seri pustaka perguruan tinggi di bidang KSF, buku ini merupakan wujud aplikasi teori KSF yang sejak beberapa tahun silam telah menjadi salah satu mata kuliah kurikulum baru di sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta yang memiliki program studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Buku ini sekiranya akan sangat bermanfaat bagi mahasiswa, akademisi, pemerhati masalah perempuan, dan pegiat LSM yang yang berfokus pada isu-isu gender.[] Arifuddin Kunu, Relawan Rifka Media


Liputan

Rapat Tahunan 2013 :

Rifka Annisa Sinergikan Program untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan

Doc. Rifka Media

Melaksanakan program dengan berpegang pada visi besar organisasi, Rifka Annisa, selama tiga hari Rifka Annisa mengadakan rapat tahunan 2013. Rapat yang dilaksanakan pada hri Rabu (9/1) hingga Jumat, (11/1), bertempat di Joglo, Rumah Palagan, Sleman. Mulai dari relawan, staf part time, manager divisi, direktur, dan beberapa pengurus hadir dalam rapat tersebut. Menurut Direktur Rifka Annisa, Suharti dalam sambutannya mengatakan, “ Agenda utama rapat ini membahas program kerja divisi selama tahun 2013. Selain itu, akan ada materi kerifkaanisaan serta laporan kinerja bulan Oktober – Desember 2012 dari masing-masing divisi,” kata Suharti. Di hari pertmana, materi kerifkaannisaan sengaja dimasukan dalam agenda rapat tahun 2013 ini sebagai bentuk refleksi organisasi. Fasilitator materi ini, Wahid dan Elli Nurhayati. Keduanya mencoba untuk mengulas dan memaparkan visi besar organisasi Rifka Annisa. Rifka Annisa berdiri karena adanya keprihatinan terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan yang semakin meningkat eskalasi dan kompleksitas persoalannya. Perkembangan kondisi

social, ekonomi, dan politik di tingkat nasional maupun global yang sarat dengan kekerasan berpengaruh besar terhadap perempuan yang rentan mengalami kekerasan. Seperti kekerasan domestik, eksploitasi, perdagangan perempuan dan anak, rendahnya status kesehatan perempuan maupun pemenuhan hakhak seksual dan kesehatan reproduksi perempuan. “Hal ini penting, agar program divisi-divisi di Rifka Annisa tahun 2013 bisa disinergikan dalam upaya menuju visi besar organisasi,” kata Wahid. Selain itu, Wahid memaparkan tentang apa saja yang penting untuk diketahui staf, volunteer dan orang lain tentang Rifka Annisa. Wahid menjelaskan bagaimana mencapai visi besar Rifka Annisa melalui strategi program tahunan hingga tiga tahun kedepan. Peserta pun aktif dalam diskusi kerifkaanisaan ini. Banyak peserta bertanya, mulai dari visi besar rifka, keorganisasian, nilai-nilai kerifkaanisaan hingga diskusi sinergi program kepengurusan rifka annisa. Defirentia One, sebagai staf Humas Rifka Annisa mencoba untuk menjelaskan visi besar Rifka Annisa sebagai organisasi. Menurutnya visi

Rifka Annisa itu, “mewujudkan tatanan sosial yang berkeadilan sosial-gender (social gender justice) tanpa kekerasan terhadap perempuan di sepanjang siklus hidupnya.” Rabu malam hingga kamis sore, pembahasan program kerja masingmasing divisi juga menjadi agenda penting dalam rapat ini. Masingmasing divisi memaparkan program dan kegiatan apa saja yang sudah dilakukan. Hambatan dari program divisi juga di paparkan untuk mencari solusi progresif, agar program dapat berjalan secara maksimal. Dan meminimalisir segala hambatan yang mungkin terjadi. Hari terakhir, Jumat pagi hingga petang pembahasan program yang akan dilakukan masing-masing divisi disusun secara runtut. Waktu pelaksanaan, bentuk kegiatan hingga tujuan dari masing-masing kegiatan dipaparkan oleh manager divisi. Wahid selaku fasilator menambahkan bahwa, semua peserta rapat diharapkan tahu akan masing-masing program divisi. Peserta juga bisa memberikan usulan dari masing-masing program. “Harapannya program-program ini dapat berjalan lancar dan sinkron untuk mencapai visi besar organisasi,” kata wahid. Selain itu, direktur Rifka Annisa Suharti, dalam sambutan penutupan menyampaikan segala bentuk aktivitas program divisi tahun 2013 tetap berpangku pada isu besar Rifka Annisa, yaitu menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. “Kita berharap agar masing-masing divisi bisa melaksanakan program secara baik dan berpegang pada visi besar organisasi,” tutup Suharti. [] Tommy Apriando

Rifkamedia

Februari-April 2013

39


Doc. Rifka Media

Jaringan Perempuan Yogyakarta: Negara Masih Abai Terhadap Kekerasan Seksual Kamis, (17/01) di Aula Rifka Annisa WCC digelar workshop yang mengangkat perihal kekerasan seksual. Workshop ini menghadirkan Pito Agustin Rudiana dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jogja, Inna Hudaya dari Samsara, dan Ikhwan Sapta Nugraha dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Workshop dengan tema "Menyoal kekerasan Seksual: Negara Abai, Rakyat Terancam" ini dihadiri beberapa perwakilan institusi dan organisasi di Yogyakarta. Inna Hudaya dalam pemaparannya, menyampaikan, selama ini perempuan selalu dijadikan objek seksualitas dan anggap sebagai makhluk yang perempuan. Hal ini, menurutnya, karena pengaruh budaya patriarki. Beberapa waktu lalu masyarakat dikejutkan penyataan calon hakim agung Daming, bahwa baik pemerkosa dan yang diperkosa sama-sama menikmati. Hal ini jelas merupakan suatu kebodohan. Perlu diketahui bahwa pemerkosaan juga tidak terjadi hanya terhadap perempuan tetapi juga terhadap laki-laki. Di Zimbabwe, ada perempuan yang memperkosa beberapa laki-laki, perempuan ini bertujuan ingin mengumpulkan sperma laki-laki tersebut untuk diperjual belikan dan lainnya. Pertanyaannya, apakah sperma keluar dari laki-laki tersebut karena ejakulasi ? dan laki-laki tersebut sama-sama menikmati ? “Penting sekali untuk membedakan mana itu, seks, fungsi tubuh yang normal dan mana

40

Rifkamedia

Februari-April 2013

pemerkosaan,” kata Inna. Ihkwan Sapta Nugraha dari LBH Yogyakarta melanjutkan, melihat kekerasan seksual maka harus bicara soal penegakan hukum. Dalam penegakan hukum, ada tiga hal penting. Pertama, subtansi hokum. Kedua, stuktur hokum, dan ketiga budaya hukum dari penegak hukum terkait dengan perspektif kekerasan perempuan dan anak. Ihkwan menambahkan, berbicara tentang aturan hukumnya, sudah banyak sekali peraturan yang mengakomodir perlindungan terhadap perempuan dan anak. The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), KUHP, UU PKDRT maupun ditingkat lokal Perda no 3 tahun 2012 tentang perlindungan terhadap perempuan dan anak. Akan tetapi tidak bisa melihat dari sisi normatif undangundang, melainkan efek jera para pelaku kekerasan. Selama ini ada kesenjangan besar antara definisi kekerasan seksual dengan peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi. Di dalam KUHP hanya ada dua delik terkait dengan kekerasan seksual yaitu pemerkosaan dan pencabulan. Dari pengelaman LBH Jogja, selama ini polisi dalam menangani kekerasan selalu melihat dari kondisi fisiknya saja. Ironis apabila dikaitkan dengan kasus pemerkosaan dan pencabulan. Padahal bentuk kekerasan tidak hanya melulu pada fisik saja, tapi bermacam-macam.

Yang terjadi di salah satu SMA di Bantul, dimana korbannya tidak mengalami penetrasi langsung, seperti di sentuh payudara, dan vaginanya. Kkonteks pembuktiannya, hal ini pasti sulit. Sehingga penting untuk mendorong aparat penegak hukum dari hal yang diluar kebiasaan pembutian, agar pembuktian korban kekerasan seksual tidak dilihat dalam bentuk fisiknya saja. Persoalan lainnya selama ini pembuktian dilimpahkan kepada korban dan aparat penegak hukum hanya menggunakan KUHP sebagai acuan. “Penegak hukum harusnya bisa melihat dari pembuktian psikologinya yaitu Visum Et Repertum Psikiatrikum,” kata Ihkwan. Dari perspektif media, Pito Agustin dari AJI Jogja menilai statemen Daming Sanusi memprihatinkan. “Tapi kita patut bersyukur dengan apa yang di lontarkan Daming, artinya kita bisa lebih seringuntuk mengkontrol fit and proper test hakim Agung,” katanya. Selain itu, memang peran media untuk merespon secara cepat kekerasan terhadap perempuan dan anak itu ada. Tapi pertanyaan yang muncul kenapa baru bertindak ketika segala sesuatunya ter akumulasi. Pito menambahkan, media sebenarnya tidak hanya punya peran untuk memberitakan soal kasus-kasus kekerasan seksual, tetapi pada sisi lain media juga punya peran ketika media menjadi pelaku. Sehingga menyebabkan kekerasan lanjutan terhadap korban. Kita bisa melihat, kasus RI yang kemudian meninggal di Rumah Sakit Persahabatan. Ada salah satunya media televisi yang mewawancari ibu korban dan korban disampingnya. Walaupun inisial (RI) dan wajahnya disamarkan, tapi tulisan rumah sakit persabahatan dan wajah ibu korban yang nampakan, pasti akan berdampak pada lingkungan tetangga korban, sehingga identitas korban pasti akan ketahuan juga. “Perlindungan terhadap identitas korban seksual hanya terbatas nama, alamat dan wajah, tetapi juga identitas keluarga juga harus diharasiakan,” kata Pito. Di akhir worksop, diadakan pembacaan pernyataan sikap bersama Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) yang akan dikirimkan kepada Presiden RI dan beberapa lembaga negara lainnya. [] Tomy Apriando


Liputan

Diskusi Rutin Rifka Annisa : Berbagi Hal Baru dari National Youth Forum Rabu ,(16/1) di Aula, lantai dua, Rifka Annisa. Defirentia One dan Laksmi Amalia, delegasi Rifka Annisa di National Youth Forum, Aliansi Satu Visi Rutgers WPF Indonesia sharing ilmu dalam diskusi dengan para staf, manager dan relawan rifka lainnya. Keduanya membincangkan isu kesehatan reproduksi dan kekerasan berbasis gender dan seksual. Pemaparan pertama mengenai 12 hak reproduksi remaja. Seperti, hak untuk hidup, hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksi, hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan reproduksi, hak atas kerahasian pribadi dengan kehidupan reproduksinya terkait dengan informasi pendidikan dan pelayanan dan hak lainnya. Selain itu, Laksmi menjelaskan empat area advokasi hak reproduksi remaja. Pertama Comprehensive Sexual Education (CSE). Ada beberapa masalah pada CSE saat ini, belum masuknya pendidikan kesesehatan reproduksi (Kespro) ke dalam kurikulum formal dan informal yang menjangkau remaja secara universal seperti remaja sekolah, jalanan, berkebutuhan khusus, suku pedalaman (suku anak dalam Jambi). Maslah lain yang tak kalah penitng adalah kurangnya sinergi antara stake holders penyelenggaraan pendidikan kesehatan reproduksi, masih banyak mitos tentang kespro yang beredar di masyarakat, masih banyak remaja yang melakukan hubungan seks berisiko,masih tingginya kasus Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) dan masih banyak aborsi tidak aman.

ilustrasi

“Pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi sejak dini sangat penting untuk diberikan kepada siswa, bahkan ada usulan akan masukan ke dalam kurikulum nasional untuk tahun 2013,” kata Laksmi. Dari Youth Friendly Health Services (Layanan Kesehatan Ramah Remaja) pemapar diskusi menjelaskan bahwa ada beberapa persoalan, stigma terhadap remaja oleh tenaga kesehatan. Selama ini remaja sering diremehkan dalam pelayanan kesehatan. Hal ini tampak dari kurangnya sosialisasi layanan kesehatan kepada kelompok remaja, jam buka pelayanan yang kurang ramah dan tertib, stigma terhadap LGBTIQ , akses terhadap kondom dan akses terhadap aborsi medis. “Untuk itu penting kiranya untuk mendorong Layanan kesehatan ramah remaja tanpa diskriminasi, “kata One. Dari sisi Comprehensive Sexual Protection, Laksmi memaparkan, masih tingginya kasus kejahatan seksual terhadap anak perempuan oleh teman dan keluarga terdekat. Ironisnya lagi siswi yang mengalami KTD banyak yang tidak bisa melanjutkan sekolah bahkan siswi korban perkosaan yang

tidak bisa sekolah lagi. “Untuk mengatasinya negara perlu memberikan perlindungan HKSR tanpa memandang orientasi seksual dan identitas gender,” kata Laksmi. Partisipasi kaum muda (Youth Participation) jarang dilibarkan dalam pengambilan keputusan terhadap dalam persoalan yang ada disekitaran mereka. Di tingkat implementasi juga minimketerlibatan remaja. Oleh karena itu, pemerintah patut melibatkan remaja secara aktif dalam berbagai level pembentukan program, pengambilan keputusan, implementasi, pengawasan tanpa stigma, diskriminasi dan kekerasan. Selama ini belum ada pelibatan remaja dalam pembuatan kebijakan atau program yang memenuhi kebutuhan remaja. “Beberapa isu yang akan terus digaungkan diantaranya memasukan pendidikan kespro untuk masuk ke dalam kurikulum 2013 dan mendorong perlindungan bagi perempuan dan anak perempuan dari berbagai ancaman kejahatan seksual baik di ruang privat maupun ruang publik,” tutup Laksmi. [] Tomy Apriando

Rifkamedia

Februari-April 2013

41


Memoar

wordpress.com

Tak

Ku Sangka Kau

Mendua

42

Rifkamedia

“Sebut saja aku Suci mbak, istri Verry,” perempuan ini memperkenalkan diri. Tetes air mata tumpah setelah itu. “Mbak, saya sudah tidak tahan dengan perlakuan suami saya. Pernikahan kami sudah 10 tahun terbina mbak, tapi.. ” suaranya terputus, ia menangis lagi. “Tapi dia kini telah mendua dan meminta saya mengizinkan dia untuk mendua, saya benar-benar gak kuat mbak”. Dengan terbata-bata perempuan sekitar berusia tiga puluh tahunan itu mulai bercerita. Kisah cinta yang telah kami lalui purna sudah, setelah kehadiran orang ketiga dalam rumah tangga kami. Dia memilih perempuan itu, perempuan yang menjadi rekanan bisnisnya. Padahal perjuangan cinta kami, terbina sejak kami duduk di bangku SMA, kami memutuskan menikah setelah kami lulus SMA. Dari awal pernikahan, kami hanya bermodalkan cinta dan restu dari orang tua. Mengadu nasib di rantau di awal pernikahan, menjadi awal perjuangan rumah tangga kami. Kami mulai dari nol. Setelah mendapat modal kami memutuskan kembali ke Jogja tempat kami berasal. Dengan bermodalkan uang satu juta rupiah, aku membuka usaha dagang kelontong. Hari demi hari, bulan demi bulan, usahaku mulai terlihat hasilnya, usahaku semakin berkembang. Sejak aku mampu menghasilkan uang sendiri, suamiku tidak lagi memberiku nafkah, bahkan aku tidak tahu berapa dan untuk apa gaji suamiku selama ini. Pernah aku meminta nafkah, tapi jawabannya selalu sama, bahwa modal itu adalah nafkahnya. Aku baru menyadari hal itu, ketika anakku sudah beranjak masuk TK, ternyata aku selama ini menanggung beban keluarga, mulai dari keperluan makan, sosial masyarakat, hingga biaya mencicil rumah yang kami beli ketika kami kembali ke Jogja.

flicker.com

Februari-April 2013


Setiap hari setelah mengantar anak sekolah aku langsung menuju warung kelontongku, biasanya ku tutup sebentar ketika harus jemput anak di sekolah, lalu membukanya kembali hingga jam lima sore. Ketika aku pulang, suamiku belum pulang. Memang akhir-akhir ini suamiku sering telat dan Hpnya tidak aktif, bila ku telepon pun jarang diangkat, katanya baru meeting dengan klien terkait proyek, ya suamiku adalah kontraktor yang cukup punya nama di Jogja, bunya banyak kenalan dan relasi yang bukan sembarangan orang. Suamiku pernah mengutarakan bila ingin melanjutkan kuliah, supaya bisa mengimbangi wacana dengan relasinya, karena alasan itu aku pun mengiyakan niatan suamiku. Ya, semakin sibuk saja suamiku, sibuk dengan pekerjaannya dan kuliah sarjananya. Sempat anakku protes karena ayahnya jarang berkumpul dengan kami. Anakku tidak berani bicara langsung dengan ayahnya, suamiku memang tidak dekat dengan anak semata wayang kami, Rifki, maka ku sampaikan pada suamiku kalau Rifki kangen dengan ayahnya. Tetapi apa respon yang ku dapat ketika menyampaikan itu, suamiku malah marah-marah menuduhku meracuni anakku supaya membencinya. Ya Allah serasa ada petir di siang bolong, bukannya suamiku meminta maaf pada anakku tetapi malah jawaban yang begitu menyadarkanku atas sikap suamiku terhadap aku dan anakku. Sudah lama aku menaruh curiga kepada suamiku, tapi perasaan itu ku tepis jauh-jauh karena suamiku adalah pacar pertamaku dan dialah yang bisa menerima aku. Kami berjuang bersama dari nol kita bersama-sama membangun ekonomi dari bawah, tak kusangka setelah semuanya mapan dia malah berubah sikap. Aku mulai menaruh curiga, lalu aku beri perhatian lebih pada suamiku. Setiap hari aku selalu siapkan segala sesuatunya, pernah suatu ketika di dalam saku bajunya ada secarik tisu yang ada nomor HP tulisannya rapi dan aku yakin itu tulisan peremuan. Setelah ku konfirmasi pada suamiku, suamiku agak lama menjawabnya, bahkan terkesan tidak mau menanggapi apa pertanyaanku. Aku mulai curiga, tetapi suamiku malah merebutnya dan merobek-robek tisu itu dan membuangnya ke bak sampah. Ya sudahlah siapa itu, aku tak kan memikirkannya. Hari pun berlalu aku mulai menyadari kalau suamiku mulai berubah, tidak romantis lagi, kurang perhatian dan tidak peduli dengan ku dan anakku. Dua hari sekali ia pulang ke rumah, itu pun pulang hanya mandi, ganti baju, dan makan setelah itu pergi tanpa pamit. Aku akhirnya mulai penasaran atas perilaku yang mengandung curiga, setelah ku selidiki terkuak sudah

bahwa suamiku telah memiliki perempuan lain dan bahkan sudah mulai tinggal serumah dengan perempuan itu. Hancur hatiku tak kusangka suamiku telah mendua. Perih, sakit, dan tak percaya dia menghianati cinta dan pernikahan ini. Dengan penuh pertimbangan akhirnya aku putuskan mendaftarkan gugatan perceraianku, sejak saat itu aku memutuskan meninggalkan rumah yang telah aku tempati bersama. Suamiku marah besar, pada tahapan mediasi, suamiku menginginkan tetap mempertahankan rumah tangga ini, dia menyewa pengacara sehingga aku tak pernah bisa ketemu dengannya, ketika anakku mengatakan rindu tidak pernah digubrisnya, sesekali dia hanya menjemput di sekolah lalu memperkenalkan ibu kecilnya. Betapa sakit hatiku ini, serasa ditusuk-tusuk duri mendengar cerita itu dari mulut anakku. Hampir setiap hari suamiku menerorku dengan sms dan telpon yang isinya bujukan untuk kembali kepadanya dan merestui hubungannya dengan perempuan mudanya. Dia berjanji akan membuatku bahagia setelah aku bisa mencabut gugatan ceraiku, karena masih ada cinta akhirnya ku cabut gugatan ceraiku. Hanya seminggu dia kembali untukku, setelah itu cacian, gunjingan, dan dalil-dalil penafsiran agama yang semakin memojokkanku, membuat aku semakin tidak berdaya. Aku dianggap perempuan yang tidak bisa mengimbanginya, perempuan kolot yang tidak bisa mendampingi suami. Sungguh penyesalan terdalam yang ku rasa setelah aku mencabut gugatanku. Dia kembali marah dan kembali memilih perempuan itu. Sakit hati ini, sungguh bener-benar sakit yang ku rasa. Peristiwa puncak pun terjadi ketika aku melihat suamiku ada di dalam mobil dengan perempuan mudanya, yang akhir-akhir ini dikabarkan telah menikah siri dan tinggal serumah. Tanpa berfikir panjang aku memaksa suamiku turun dari mobil dan spontan aku memukulnya dengan tas yang ku bawa. Tak ku sangka dia membalas dengan tinjunya, hingga aku tak sadarkan diri dan sudah di IGD rumah sakit swasta di kota Jogja, terdengar isak tangis anakku yang menemaniku. Ku buka mata pelan-pelan tapi tidak jelas karena semua kabur dan berwarna putih. Demi mendaptkan rasa keadilan aku pun melaporkan kasus ini, tapi aku juga mendapatkan kabar kalau ia melaporkan balik. Ya Allah betapa berat hidupku ini, tak kusangka suamiku membalas semua rasa cintaku dengan kepahitan.[]

Budi Wulandari, Konselor Rifka Annisa

Rifkamedia

Februari-April 2013

43


Wawancara Prof. Endang Sumiarni

Hukum Tentang Perbuatan Zina Mengakomodasi Kesetaraan Gender

Doc. Rifka Media

44

Rifkamedia

Februari-April 2013

D a l a m re n t a n g h i d u p m a n u s i a b e r ke l u a rg a , perselingkuhan adalah salah satu hal yang paling harus dihindari guna mencapai tingkat keluarga bahagia. Oleh sebab perselingkuhan adalah bentuk penghianatan ikatan suci perkawinan. Perselingkuhan tidak saja mengancam citacita berkeluarga bahagia, tetapi juga telah menjadi “pembunuh� unggul bagi keutuhan keluarga: perceraian. Data yang dilansir badilag.net, menunjukkan angka perceraian akibat perselingkuhan naik tajam. Tahun 2011 perceraian akibat terjadinya perselingkuhan meningkat. Dari 27.2794 kasus perceraian di Indonesia, sebanyak 20.563 kasus terjadi karena perselingkuhan. Pertanyaan menariknya, bagaimana negara melalui aparat hukum menyikapi kasus-kasus seperti ini? Bagaimana pula hukum di Indonesia berperan dalam mengatasi dan mencegah tindak perselingkuhan? Tim Redaksi Rifka Media, Any Sundari, berkesempatan melakukan wawancara dengan Prof. Dr. Dra, M.G. Endang Sumiarni, S.H, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Yogyakarta, pakar hukum keluarga. Berikut petikan wawancaranya: Bagaimanakah peraturan hukum mengatur persoalan tentang perselingkuhan? Peraturan perundangan mana yang mengatur persoalan ini? Pertama, dalam perspektif hukum, yang perlu dipahami terlebih dahulu adalah persoalan konsep. Konsep hukum pasti selalu mengandung unsur-unsur. Unsur-unsur dalam sebuah konsep tersibut bersifat komulatif bukan alternatif. Misal ada orang awam, melapor ke polisi bahwa ia telah ditipu, menipu disini didefinisikan menurut pengertian umum bukan pengertian hukum karena tidak mengandung unsur-unsur hukum. Lalu, kapan pengertian non hukum menjadi pengertian hukum, jika hal tersebut sudah dirumuskan dalam peraturan perundangan, sesuai dengan pasal 7 UU No 12 tahun 2011. Yang mengatur tingkatan palingsuaramandiri.net atas yaitu UUD 1945 hingga Peraturan Daerah dan peraturan yang bawah wajib untuk tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, dalam konsep hukum tidak dikenal selingkuh atau perselingkuhan, yang dikenal adalah pasal 284 Ayat 1 KUHP, bentuk hukumnya UU. Undang-Undangnya No 1 Tahun 1946, yaang diatur pada pasal 284 1 Ayat 1 adalah bukan berbuat zina. Ayat 1 menyebutkan bahwa pidana hukum berbuat zina selama-lamanya sembilan bulan. Seorang hakim boleh menjatuhkan pidana hukumnya dibawahnya, karena tidak ada batas minimal memberikan hukuman. Tergantung dari pertimbangan hukum yang dipakai oleh hakim andai kata terbukti. Aturan bagian pertama mengatur laki-laki yang beristri berbuat zina, sedang diketahuinya bahwa pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku padanya. Kemudian bagian kedua, perempuan yang bersuami berbuat zina, nah justru sejak awal disana sudah ada kesetaraan gender, perempuan dan laki-laki diatur persamaanya didepan hukum, ketika berbuat zina, tidak berpihak pada laki-laki dan perempuan. Syarat wajibnya, salah satu pihak atau duaduanya sudah terikat perkawinan yang sah. Sebab di pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada awalnya berlaku


untuk orang belanda di Indonesia, keturunan tionghoa, dan orang-orang timur asing. Persoalannya sekarang, khusus ketentuan tentang perkawinan zaman belanda ini sudah tidak berlaku, ketentuannya sekarang diatur dalam UU No 1 Tahun 1974, khususnya pasal 2 yang mengatur sahnya perkawinan menurut hukum agamnya masing-masing, tetapi tidak berhenti disitu, ke pasal 2 ayat 2 yaitu pekawinan wajib dicatatkan supaya punya bukti formal sah, kenapa ditekankan pasal 2, karena kalau seseorang mengadukan suaminya berbuat zina ada bukti dari hukum negara. Penikahan secara hukum agama sudah selesai jika memenuhi syarat ijab qobul karena bagian rukun dan syarat hukum agama sudah terpenuhi. Namun pencatatan oleh negara wajib dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, misal jika terjadi KDRT, istri harus bicara yuridis artinya bicara pembuktian perkawinan yang secara perdata harus ada bukti otentik. Karena pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sudah tidak berlaku lagi, berarti tidak melulu berbuat zina dikaitkan dalam konteks kekhususan saat zaman belanda. Logikanya, setelah ada UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka hukum berbuat zina merujuk bagi semua warga negara Indonesia, apabila perkawinannya sudah sah menurut UU Perkawinan. Apakah unsur-unsur hukum yang harus terpenuhi untuk pembuktian berbuat zina? Pertama, unsur-unsur yang harus terpenuhi untuk aduan berbuat zina yaitu suami atau istri, kemudian salah satunya berbuat zina dengan, laki-laki atau perempuan lain. Disini tidak ada rumusan unsur, apakah pasangan zinanya ini juga sudah bersuami atau beristri , jadi pasangan zinannya bisa saja masih bujang atau bisa menikah. Deliknya berupa delik aduan, ayat 2 menyebutkan penuntutan hanya dilakukan apabila salah satu pihak yang dirugikan, kalau tidak dirugikan ya tidak melapor. Jadi yang mengadu harus pihak yang dirugikan, orang lain tidak boleh lapor. Beda dengan delik biasa, seperti pembunuhan dan perkosaan, ketika orang lain melihat hal tersebut maka ia wajib lapor kepada pihak kepolisan. Seperti KDRT, penelentaran (kekerasan ekonomi) bisa delik aduan. Tetapi kekerasan seksual, psikis dan fisik merupakan delik biasa dan aduan, batasannya tergantung dari korban. Kedua, berbuat zina harus ada hubungan persetubuhan (intercourse) antara pelaku zina dan pasangan zina. Jika ada orang di hotel, bisa jadi sudah telanjang tetapi tidak bersetubuh maka itu bukan kualifikasi berbuat zina menurut hukum, tetapi kualifikasi zina menurut orang awam.Persetubuhan artinya peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan anggota kemaluan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak, anggota laki-laki (penis) harus masuk ke anggota perempuan (vagina) sehingga mengeluarkan air mani. Maka, alangkah sulitnya membuktikan mengadukan pasal berbuat zina. Jadi kalau salah satu pihak mau mengadu harus hati-hati, siapkan dulu buktinya menurut hukum.

Delik aduannya absolut, jika tidak ada aduan dari pihak yang dirugikan maka tidak bisa diproses. Pengaduan ini tidak boleh dibelah, maksudnya yang diadukan adalah orang yang berbuat zina dan pasangan zinanya, tidak boleh hanya pasangan zinanya saja. Tidak boleh pengaduan dua kali, karena ada asas nebis in idem dalam peristiwa yang sama. Kalau pelaku sudah dijatuhi sanksi pidana, maka tidak boleh diadukan dalam perzinahan untuk kedua kalinya. Apakah UU yang mengatur berbuat zina, sudah mengakormodir kepentingan perempuan korban perzinahan yang dilakukan suaminya? Secara yuridis sudah, namun non yuridis belum tentu. Kalau istri sebagai pihak yang dirugikan dan ia mengadukan suaminy, harus melihat dirinya sendiri diuntungkan atau dirugikan. Andaikata suaminya dijatuhi sanksi dan dipecat, pertanyaannya hanya satu sejauh mana kemandirian istri untuk mengantisipasi akibat non yudiris, Bisa jadi suami pulang dia akan menceraikan istrinya atau kalau suami pulang kembali kerumah dan menelantarkan, maka istri bisa mengadukan dengan UUP KDRT, pertanyaanya hanya kemandirian ekonomi istri. Ada suatu faktor dilematis, kuncinya penyelesaiannya hanya satu, perempuan ini harus diberdayakan, begitu ia melapor ke polisi ia harus sudah berdaya, minimal ia punya penghasilan memenuhi kebutuhan diri sendiri dan anak-anaknya. Mengapa perzinahan itu diatur dalam KUHP? Bagaimana sejarah berbuat zina ini bisa diatur oleh negara? KUHP hadir pada masa penjajahan belanda, pengaturan berbuat zina didasarkan pada konsep yuridis dengan asas monogami atau kesetiaan. Suami hanya boleh punya satu istri, dalam arti istri tidak hanya formal tapi juga material. Menurut saya, asas monogami digunakan karena mayoritas orang belanda beragama kristen protestan atau katholik. Prinsipnya adalah kesetiaan itu sampai mati, perceraian tidak dikenal apalagi perzinahan, Konsep ini diadopsi Indonesia dan sampai sekarang belum diganti. Memang ada delik pelanggaran yang sudah diatur diluar KUHP, misal ada aturan khusus tentang UUPKDRT, soal anak ada Undang-Undang Anak, korupsi dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Maka yang berlaku yang lex specialis, tetapi tidak ada peraturan khusus tentang berbuat zina, sepanjang yang khusus belum ada, jadi yang umum (KUHP) inilah yang berlaku. Mengenai pasangan zina, apakah ada aturan berbuat zina yang pasangan zinanya adalah sesama jenis? Ini tidak diatur didalamnya, kita cermati yang namanya persetubuhan tadi penis intercourse ke vagina dan keluar air mani, berarti lawan jenisnya harus beda jenis kelamin. Apakah ada celah hukum yang biasa digunakan pelaku, agar tidak terjerat pidana berbuat zina? Saya pikir, untuk pembuktian saja sulit. Ketika ada orang di kamar hotel, dia mengaku belum bersetubuh, bisa punya alibi hanya telanjang berdua, andaikata belum keluar air mani maka belum bisa dikatakan berzina, persetubuhan itu harus keluar air mani.

Rifkamedia

Februari-April 2013

45


Wawancara Berdasarkan penuturan konselor Rifka Annisa, pernah sekali terjadi penggerebekan yang dilakukan oleh istri dan banyak orang, agar orang-orang tersebut bisa menjadi saksi untuk mendapat petunjuk perzinahan. Apakah itu bisa menjadi alternatif cara pembuktian? Kita jangan sampai melakukan perbuatan bertentangan dengan UUD 1945, tentang bagian hak asasi manusia yang wajib dilindungi. Kalau orang grebek itu melanggar hak privasi, hanya Trantib yang bisa menggrebrek, itu pun kalau ada Perda yang mengatur kecuali menggangu ketertiban umum karena berada di ranah publik, kalau ditempat penginapan ya tergantung hotelnya. Tapi kita gak boleh memaksa, kalau kita itu menggrebek, kita tidak ada hak. Apakah terobosan hukum bagi perempuan korban, agar ia tidak terus mengalami kekerasan akibat tindakan berbuat zina yang dilakukan pasanganya? Tunggu dulu, kita harus tahu prosentase dengan menggunakan data yang valid, apakah jumlah laki-laki punya kecenderungan lebih banyak berbuat zina dibanding perempuan, kalau seimbang ini bisa jadi bumerang untuk perempuan. Untuk perspektif kedepan harus data valid lebih dahulu baru kita boleh memberikan sebuah perskriptif. Dalam KUHP, memang ada asas satu saksi bukan saksi, tetapi diayat berikut klausul yang terkadang tidak dibaca, ketentuan satu saksi bukan saksi ini ada pengecualiannya, satu saksi boleh asal ada alat bukti sah lainnya itu, bisa surat, pengakuan, petunjuk, keterangan saksi ahli. Bisa jadi pembuktian dilakukan oleh isti yang dikuatkan berupa petunjuk, rangkaian peristiwa atau kronologis . Itu pun tergantung lagi dari kecermatan hakim, ketika hakim merangkaikan peristiwa tersebut, apakah mengarah persetubuhan atau tidak. Istri bisa mengumpulkan petunjuk dengan minta bantuan Polri, tetapi yang berwenang memanggil saksi adalah polisi untuk proses penyelidikan. Apakah ada contoh kasus berbuat zina yang berhasil dibuktikan dan menjerat pelaku? Saya belum mencari data secara khusus, tapi saya kira sangat jarang. Saya pernah mendampingi perempuan korban yang jelas-jelas suaminya punya WIL, tetapi hakim tidak mengabulkan pasal berbuat zina karena buktinya tidak kuat. Tapi ada celah lain yang bisa dijadikan bukti, yaitu anak dari hasil nikah siri, anak ini bisa menjadi itu bukti berbuat zina. Secara yuridis itu berbuat zina karena sampai mempunyai anak. Dengan tes DNA bahwa anak yang dilahirkan tersebut adalah anak hasil persetubuhannya. Apabila tes DNA cocok itu bisa jadi pembuktian berzina, tetap hal ini jarang dipakai. Catatan juga, pelaporan berbuat zina itu berupa aduan, bisa dicabut asal belum masuk masa persidangan. Apabila ada kasus berbuat zina yang terbukti, apakah ada pengaruhnya pada pembagian harta gono gini atau pengasuhan anak jika ada proses sidang perceraian? Persoalan perzinahan itu pidana, perceraian itu persoalan perdata. Andaikata ada putusan pidana perzinahan memudahkan proses perceraian. Persoalan gono gini dan pengasuhan anak tergantung apakah pihak istri mendalilkan itu tidak dalam tuntutannya, jika tidak maka hakim hanya

46

Rifkamedia

Februari-April 2013

memutus perceraiannya saja. Sedangkan, pembagian harta itu silahkan secara berdua saja, kalau tidak tercapai kesepakatan,ada gugatan sendiri tentang harta Bagaimana pandangan ibu tentang perzinahan di sekitar kita dan apa dampaknya ke institusi keluarga? Kalau itu demonstratif, akan mengganggu tumbuh kembang anak, keharmonisan keluarga, berdampak mengubah perilaku karena pengaruh ke psikologis, dan karakteristik keluaga akan berubah. Kalau itu sifatnya terbuka (demonstratif), kalau tidak ada bukti perzinahan dan tersimpan rapi, ya tidak ada masalah, kalau terbuka akan bedampak ke keluarga, lingkungan kerja dan masyarakat. Karena karakteristik masyarakat kita komunal bukan individualistik. Sekarang ini berkembang trend penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan metode couple VOA conseling untuk perubahan perilaku. Apakah dengan konseling perubahan perilaku yang dimandatkan pengadilan bisa menjadi alternatif penyelesaian perzinahan ini? Saya setuju adanya couple conseling, tapi kendalanya apakah pidana tambahan (konseling) itu sudah diatur di dalam hukum. Pasal 10 pidana tambahan hanya perampasan barang-barang, diberhentikan karena jabatannya, memberi ganti rugi. Kecuali misal di UUP KDRT ada aturan bahwa hakim dapat memberikan pidana tambahan berupa konseling bersama, maka ketika dalam proses penyelidikan, pendamping ini bisa memberi saran, bahwa ini bertentangan dengan UUP KDRT, apabila kekerasannya terbukt, pidana tambahanya sesuai dengan UUPKDRT, tapi hakim jarang mempertimbangkan ini, karena hanya menggunakan pertimbangan primer, kecuali kalau aduannya itu memang KDRT dan terbukti terjadi KDRT berupa kekerasan psikis karena suami selingkuh. Khusus KDRT dalam bentuk psikis dan perzinahannya terbukti, ancaman pidananya bukan mengarah pada pasal perzinahannya, tapi ke KDRTnya. Namun, sayangnya sampai saat ini kekerasan psikis belum jadi pertimbangan bagi hakim guna pembuktian, karena membuktikan perzinahan tergantung otentiknya, perspektif hakim dan harus berkeadilan. Jadi kalau bisa digambarkan dalam penyelesaian perzinahan, proses di pengadilan seperti mediasi (konseling) lebih efektif? Jalau menurut saya iya, lebih efektif konseling ke psikolog atau lembaga layanan. Syukur jika suami istri bisa ikut couple conseling, memang penyelesaian ini gampang untuk dikatakan tetapi sulit kadang dalam pelaksanaanya. Konseling, costnya lebih hemat, ketimbang saling memenjarakan dan anak-anak yang jadi korban. []


Profile

Prof. Endang Sumiarni

KELUARGA KUNCI BAHAGIA Namanya Endang Sumiarni, perempuan yang masih nampak cantik di usianya yang sudah menginjak kepala lima, sangat antusias ketika berbicara tentang perspektif hukum keluarga dengan Rifka Media. Pribadinya yang luwes dan cerdas membuatnya bisa dekat dengan siapa saja. Senyum adalah rahasianya tetap awet muda dan bahagia. Di ruang tamu yang penuh dengan foto –foto anggota keluarga serta cucunya, Endang begitu ia disapa, memulai bercerita awal mula ia tertarik terjun menekuni perspektif hukum keluarga hingga akhirnya sekarang menjadi Guru Besar di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta Endang berujar, dorongan untuk belajar lebih mendalam tentang hukum keluarga ia dapatkan dari Masri Singarimbun, seorang Guru Besar di UGM, yang mengajaknya untuk melakukan penelitian tentang isu-isu gender pada awal 90-an di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. Saat itu, penelitian tentang isu gender masih sangatlah jarang dilakukan. Ia mendapat kesempatan untuk melakukan penelitian yang dibiayai oleh Ford Foundation. Inilah permulaan perjalanan karier yang ia geluti hingga saat ini Endang mengenyam pendidikan di dua universitas yang berbeda dan meraih dua gelar sarjana sekaligus. Ia duduk di bangku jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM pada tahun 1984 dan pada tahun yang sama, ia juga lulus sarjana Fakultas Hukum Universitas Atmajaya. Keputusannya untuk mengambil jurusan Arkeologi sangatlah disyukuri, karena sekarang ia menjadi satusatunya ahli yang memiliki perspektif tentang pentingnya hukum dalam upaya perlindungan cagar busaya. “Dulu, banyak sekali orang yang bertanya kepada saya, mengapa mengambil jurusan yang tidak ada hubungannya sama sekali. Namun, sekarang saya sangat bersyukur karena ilmu saya yang di jurusan Arkeologi, sangat membantu karena saya bisa memilki perspektif bagaimana melakukan perlindungan terhadap cagar budaya kita�

Selain aktif dalam upaya pembuatan draf beberapa RUU tentang cagar budaya, Endang juga memiliki pengalaman bergerak dalam isu perlindungan perempuan dan anak. Ia pernah berkerja sama dengan Rifka Annisa dalam upaya advokasi pembuatan draf Perda Perlindungan Perempuan dan Anak di Gunung Kidul. Perempuan kelahiran Klaten, 2 Desember 1957 ini juga aktif di berbagai kegiatan di gereja dan menjadi pembicara di beberapa seminar. Tulisan-tulisannya banyak tersebar di berbagai jurnal dan buku. Endang mengungkapkan hasrat untuk menekuni hukum keluarga merupakan refleksi bahwa keluarga merupakan institusi yang paling vital, untuk membentuk manusia-manusia Indonesia yang bermoral dan berjiwa kemanusiaan. Keluarga adalah tempat dimana seorang anak pertama dididik dan menirukan apa yang dilakukan orang tuanya. Peran keluarga sangatlah penting, apalagi ditengah pergaulan yang semakin bebas, keluarga bisa menjadi basis yang kokoh untuk memberi pegangan, terutama bagi anak ketika berhadapan dengan unsur negatif dari luar. Disela-sela hobinya menyanyi, menari dan menikmati lukisan, Endang sangat menikmati perannya sebagai seorang ibu dan perempuan yang bekerja. Meskipun ia bisa berkeliling Indonesia dan jadwal pekerjaannya, perhatiannya untuk keluarga sangatlah vital. Dari pernikahan dengan suaminya, Endang memiliki dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Kebahagiaan Endang makin bertambah dengan lahirnya satu cucu dari anaknya yang pertama. Endang mengatakan selalu antusias dengan tumbuh kembang cucunya. Ini membuatnya benar-benar bahagia. [] (Any)

Rifkamedia

Februari-April 2013

47


Esai & Foto

Anak adalah buah kasih dalam ikatan perkawinan. Ia adalah alasan bagi seorang ayah dan seorang ibu menciptakan ruang indah bagi tumbuh kembang secara baik dan bijaksana untuk anak. Sayang, ketika perselingkuhan terjadi, anak menjadi kehilangan ruh keluarga, kehilangan pegangan kepada siapa ia akan percaya, ayah atau ibunya. Sementara, nampak anak adalah korban yang paling sedih. Ibunya pun mengalami kebimbangan untuk memutuskan kembali membangun puing-puing, atau mengakhiri biduk perkawinan.

Doc. Rifka Media

Keutuhan keluarga adalah taruhan ketika terjadi perselingkuhan, sosok dalam keluarga mengalami kerapuhan atas posisi-posisi yang ada dalam keluarga. Pilihan untuk rujuk, seharusnya menjadi pilihan sadar dari kedua belah pihak untuk menjalin kebersamaan. Perkawinan adalah bangunan cinta kasih, maka tak sekedar harapan, rujuk pun harus dibangun dengan pondasi kuat agar keluarga tak tamat.

Doc. Rifka Media

Sebuah keluarga mengalami fase terluka, ketika terpisah akibat ketidaksetiaan pada komitmen yang dibangun bersama. Proses tumbuh bersama yang bertahun-tahun dibina, mengalami biduk karam. Perselingkuhan, adalah titik nadir saat perkawinan dipertaruhkan masa depannya. Perselingkuhan yang dilakukan membuat ayah mengalami kebimbangan, ibu dan anak mengalami penderitaan dan perubahan psikologis. Jiwa mereka berada didalam sebuh rumah, tetapi tidak pada tali keluarga

Doc. Rifka Media

48

Rifkamedia

Februari-April 2013


Menemukan Watak Jurnal Rifka Media

S

ebuah tulisan media, terlebih jurnal, yang berhasil, sekurang-kurangnya ditentukan oleh dua pendukung. Pertama, penulis dan kedua, pembaca. Media sebagai produk adalah jembatan untuk mempertemukan keduanya. Dialektika antara penulis dan pembaca menjadi salah satunya ukuran seberapa penting sebuah bacaan yang disodorkan oleh media yang bersangkutan berpengaruh terhadap khalayak pembacanya. Ariel Heryanto, Kepala Pusat Studi Asia Tenggara di University of Melbourne, Australia ketika mengantar Jurnal Indoprogress, edisi II/Januari 2012 menerakan “Keberhasilan sebuah jurnal

berbahasa dan berbasis di Indonesia, sangat ditentukan oleh kemampuannya memberikan sumbangan pemikiran yang bermakna tentang apa yang terjadi sehari-hari bagi kebanyakan orangorang bersahaja di negeri ini.� Ariel kemudian menambahkan bahwa untuk mencapai “memberikan sumbangan pemikiran yang bemakna� itu, ia memberikan saran dan harapan pagi penulis, pendukung, dan redaktur sebuah jurnal. Sederhananya ada tiga pokok; pertama perluasan wilayah pendidikan, belajar; memperluas ruang belajar dan mengajak meraka yang berada diluar kajian dalam diskusi didalam jurnal ini. Bila

Dapur Rifka Media

penulis bersedia mendialogkan tulisannya dengan masyarakat luas sebagai khalayak pembaca maka, sesungguhnya penulis tak bisa begitu saja meramban kutipan pustaka dan menganggap pembacanya paham dengan kutipan itu. Namun penulis selayaknya mengajak berdialog pembaca dengan cara mendekati detail-detail fenomena keseharian yang akrab dalam pergaulan masyarakat. Dengan demikian terjadi dialog yang manis. Sebuah penerbitan sudah tepat kiranya jika ditujukan pada upaya memberikan sumbangan pemikiran dan sesuatu yang bermakna itu kepada masyarakatnya. Meskipun juga tidak ada salahnya jika media

Rifkamedia

Februari-April 2013

49


Dapur Rifka

juga meneguhkan diri pada watak narsistiknya sendiri, dibuat, ditulis , dan dibaca dikalangan sendiri. Kedua, pendalaman berbagai pokok diskusi dan dilema antara ragam penulisan akademik dan advokasi. Sebuah perdebatan apakah, sebuah jurnal akan ditempatkan pada posisi akademis atau advokasi juga menjadi pertimbangan lain. Namun, keduanya bukanlah bertentangan atau negasi satu dengan lainnya. Melainkan justru harus diupayakan keseimbangannya. Pada dua poin itu, Rifka Media sesungguhnya sudah dari awal, perubahan ini mendedikasikan diri sebagai media yang turut menganggit dan mengembangkan pengetahuan sosial berbasis perempuan. Pengetahuan yang diandaikan menemukan rentang akademiknya. Namun demikian, Rifka Media juga berada pada posisi untuk melakukan advokasi-advokasi, pembelaan terhadap kepentingan perempuan yang dalam konteks kebudayaan dan peradaban kita sekarang ini masih menjadi bagian subordinan. Kesetaraan itulah yang jadi fokus advokasi Rifka Media, dan Rifka Annisa secara kelembagaan. Kekerasan-kekerasan terhadap perempuan dan keluaraga tak bisa hanya ditulis secara akademis tetapi juga harus advokatif. Menyeimbangkan cara menulis keduanya menjadi salah satu ciri yang hendak ditumbuhidupi media ini. Konsekuensi menyeimbangkan kedua hal itu, maka piranti yang dibutuhkan untuk menuliskannya tak lain adalah menggunakan jurnalisme terintegrasi. Setiap wartawan sedianya adalah juga seorang peneliti sosial (Indie, Balairung 38/tahun XIX/2005). Maka memadukan perangkat penelitian

50

Rifkamedia

Februari-April 2013

ilmiah akademik, dan teknik jurnalistik (reportase, wawancara, investigasi) menjadi semacam keharusan. Bentuk dari perpaduan keduanya ini; akademik dan advokasi, penelitian ilmiah dan teknik jurnalistik bisa Anda simak dalam rubrik Laporan Utama media ini. Namun sementara ini masih terbatas laporan yang ditulis oleh staf redaksi sendiri yang menggunakan model penulisan dan penggalian informasi. Sementara penulis dari luar masih harus kami dekati lagi untuk menggunakan teknik penulisan yang sama, seperti redaksi harapkan. Ketiga, pentingnya kritik dan oto kritik. Sulit kiranya mengembangkan dan mempertahankan sebuah teori atau gerakan aktivisme tanpa menerima kritik. Juga sulit jika tidak melakukan oto-kritik. Salah satu keunggulan sebuah isme bertahan adalah adanya kemampuan untuk menyesuaikan diri, mengoreksi diri, dan luwes, setelah mendapatkan kritik dari berbagai arah. Dan ini hanya kami sendiri yang bisa menjawab, sejauh mana kami merasa dan menyatakan siap. Demikian, paradigma luwes yang hendak dikembangtumbuhkan oleh Rifka Annisa melalui Rifka Media. Gerakan dan teori gender sudah semestinya disintesiskan dengan konteks keseharian, individual lokal masyarakat sendiri: Nusantara. Hal itu penting mengingat sekarang ini kita berada pada zaman dimana informasi seperti badai. Pada zaman seperti ini yang dibutuhkan oleh mereka yang bergerak dalam bidang intelektual dan pergerakan sosial adalah kecakapan mensintesakan sesuatu. Sederhananya adalah mencipta makna, begitu tulis Bre Redana (Kompas, Minggu 23 Desember 2012).

Hal ini selaras dengan yang disampaikan Ariel Heryanto bahwa berbagai kutipan dan penggunaan teori dari mancanegara itu layak ditambah dengan pertimbangan konteks lokal dan mutakhir yang sangat bermakna bagi pembaca di Indonesia. Akan jauh lebih bermakna bagi pembaca dan calon pembaca luas, bila disertai dengan penjelasan apa kaitan, relevansi dan makna kata-kata para tokoh itu untuk kita yang sehari -hari bertatapan dengan kondisi di Indonesia saat ini. Rasanya ada yang hilang jika kita selalu menggunakan teori dan paradigm dari luar, tetapi mengabaikan khasanah pemikiran negeri sendiri, nusantara. Dengan mempertimbangkan kaitan dialektis antara berbagai pustaka dunia itu baik dengan pustaka dari tanah sendiri, maupun dengan konteks persoalan kehidupan sehari-hari di Indonesia, para penulis, pembaca, dan pengasuh media akan lebih mudah memahami dimana dan mengapa berada di tempat masingmasing saat ini. Kami mengamini itu. Dan di dapur, kami sedang menyiapkan sekolah-sekolah paradigm dengan konten global dan lokal, sekolah penulisan, dan kelembagaan kami sendiri. Semoga apa yang kami masak ini matang, enak, dan bergizi ketika dihidangkan pada rekan-rekan pembaca sekalian. Salam. [] M.Saeroni Pemimpin Umum


Galery

National Youth Forum "Kepemimpinan Remaja Untuk Perubahan" Pemberdayaan dan Penguatan Remaja dalam Advokasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi diselenggarakan oleh Aliansi Satu Visi Jakarta, 16-18 Desember 2012 . Delegasi dari Rifka Annisa : Defirentia One dan Laksmi Amalia

Rapat tahunan Rifka Annisa 2013, dilaksanakan pada hari Rabu (9/1) hingga Jumat, (11/1), bertempat di Joglo, Rumah Palagan, Sleman

Training of Facilitator mengenai maskulinitas. Difasilitasi oleh Nur Hasyim, di Aula Rifka Annisa 28-29 Desember 2012

Rifkamedia

Februari-April 2013

51


ANDA LAKI-LAKI ANDA SEORANG SUAMI ANDA SEORANG AYAH

?

Mungkin kami bisa membantu Ÿ Ÿ Ÿ Ÿ Ÿ Ÿ

Agar Agar Agar Agar Agar Agar

Anda merasa lebih nyaman dengan diri Anda sendiri. Anda dapat menemukan jawabannya sendiri. Anda mampu memecahkan permasalahan Anda sendiri secara positif. Anda dapat menghargai Istri Anda. hubungan Anda dengan Istri menyenangkan dan tidak diwarnai kekerasan. kualitas hidup Anda menjadi lebih baik.

Karena kami adalah teman Anda...

LAKI-LAKI BARU I K A L I K A L U R BA


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.