Rifka media No.55 "Relasi Perempuan dan Lingkungan.."

Page 1

Rifkamedia

Rifka Media No. 55 November 2013-Januari 2014

Perjuangan Perempuan Berkeadilan

Relasi Perempuan dan Lingkungan Mencari Titik Keseimbangan di Tengah Tantangan Perubahan Ekologi Dunia

ISSN 2301-9972

9 7 7 2 3 0 1

Optimisme Menata (Ulang) Gerakan Perempuan

9 9 7 0 0 6

5 5


PUSAT PENGEMBANGAN SUMBERDAYA

Jl. Jambon IV Komplek Jatimulyo Indah Yogyakarta 55242

LAYANAN KONSELING JAM LAYANAN

Senin-Kamis 09.00-16.30 WIB Sabtu 09.00-12.00 KONSELING PEREMPUAN

0274-743 129 8 0274-981 105 0 KONSELING LAKI-LAKI

0274-828 500 2 E-MAIL KONSULTASI

konsultasi.rifka.annisa@gmail.com

hotline 24jam


Rifkamedia

DAFTAR ISI

November 2013-Januari 2014

LAPORAN UTAMA LAPORAN UTAMA Perempuan dan Lingkungan: Peran Ekonomi Hingga Siasat Ekologis Arifuddin Kunu | 06 Ekofeminisme dan Emansipasi Ekologis Dr. Maharani Hapsari, MA | 12 Perempuan dalam Pusaran Konflik Agraria di Indonesia Melly Setyawati, SH. | 19

DAFTAR ISI | 03 SURAT PEMBACA | 04 JENDELA Ketika Bumi Tak Lagi Nyaman Dihuni| 05 LESEHAN BUKU Perempuan, Penghijauan dan Kekuatan Perubahan | 36 WAWANCARA Sandra Moniaga: Pembangunan (Semestinya) Tak Rugikan Lingkungan | 43

Hidup Peduli Lingkungan, Sulit atau Mudah? Tommy Apriando | 25

PROFIL Sandra Moniaga Jangan Sebut Diri 'Pecinta Alam' Kalau Tidak Peduli Lingkungan! | 47 ESAI FOTO Inisiatif Perempuan Untuk Lingkungan | 48 DAPUR RIFKA Optimisme Menata (Ulang) Gerakan Perempuan | 49

MEMOAR | 42

KUA JUKAN PEMBATALAN PERKAWINAN

Nur Supiantini: Selamatkan Lingkungan Mulai dari Rumah Niken Anggrek Wulan | 31

LIPUTAN Rifka Annisa Ajak Wartawan Kampanyekan Pelibatan Laki-laki dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan | 38 Ketika Saksi Korban Enggan Bicara

| 39

Laki-laki dalam Kesetaraan Gender dan Pengasuhan?

| 39

Desain Sampul: ulyn dan Sabiq

Penanggung Jawab: Suharti (Direktur Rifka Annisa) Pemimpin Umum: Any Sundari Pemimpin Redaksi: Defirentia One Sekretaris Redaksi: Niken Anggrek Wulan Dewan Redaksi: Laksmi Amalia, Dewi Julianti, Ani Rufaida, Tommy Apriando, Arifuddin Kunu, Niken Anggrek Wulan, Hani Barizatul Baroroh, Brita Putri Utami Fotografer: Caron Toshiko Monica Sutedjo Layouter: Ulin Niam Alamat Redaksi dan Perusahan Rifka Media: Rifka Annisa Women's Crisis Center, Jl. Jambon IV Komplek Jatimulyo Indah Yogyakarta, Telepon/Fax: (0274) 553333, Website: www.rifka-annisa.org, Email: rifka@rifkaannisa.org, Facebook: Rifka Annisa WCC, Twitter: @RAWCC Redaksi menerima tulisan dari pembaca sekalian terkait dengan isu-isu perempuan kepada khalayak yang lebih luas. Kritik dan saran kami tunggu di rifka@rifka-annisa.org

PUSAT PENGEMBANGAN SUMBERDAYA

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

03


SURAT PEMBACA

Salam Rifka Annisa, saya Lia di Surabaya. Saya tertarik dengan profil lembaga Anda. Kebetulan keponakan saya terindikasi mendapatkan kekerasan dan saya hendak berkonsultasi. Saya tidak pernah tahu saat terjadi kekerasan tetapi ada bekas luka menyerupai ujung setrika dan bekas gigitan. Di bawah mata kirinya tampak bengkak berwarna hitam kehijauan. Keponakan saya berusia 6 tahun, dia tinggal bersama Ayah dan Ibu tirinya. Yang ingin saya tanyakan, bagaimanakah solusi untuk masalah keponakan saya tersebut? Seandainya dugaan saya benar dengan adanya bekas luka itu, bagaimana cara menjerat pelaku? Sebelumnya terima kasih. Mbak Lia, terima kasih atas laporannya. Kami turut prihatin atas kejadian yang menimpa keponakan Mbak. Untuk solusi permasalahan tersebut, silakan datang ke Rifka Annisa atau mungkin bisa menceritakan detail kasusnya ke email konsultasi.rifka.annisa@gmail.com atau lewat telepon di (0274) 553333 agar kami tahu detail kasusnya dan tahu upaya yang bisa dilakukan bersama konselor kami. Salam Admin. Yth. Rifka Annisa di Yogyakarta. Mohon infonya, Rifka Annisa melayani konseling atau konsultasi masalah rumah tangga atau tidak ya? Baik melalui Email maupun Inbox Facebook? Atau mungkin melalui telepon/sms? Mohon jawabannya segera. Terimakasih. Wassalam, Retno SP. Terima kasih Bu Retno atas kiriman pesannya. Iya Ibu, kami melayani konseling dan konsultasi masalah rumah tangga dan kaitannya dengan kasus kekerasan terhadap perempuan. Silahkan email tentang persoalan ibu ke konsultasi.rifka.annisa@gmail.com atau ke telepon di (0274) 553333 atau hotline 24 jam di 0274 7431298. Halo Rifka Annisa, saya Afriana. Apa benar lembaga ini bisa membantu masalah KDRT? Halo Mbak Afriana. Iya kami adalah lembaga yang memberikan layanan bantuan bagi perempuan korban kekerasan berupa konsultasi psikologi dan bantuan hukum. Apakah Rifka Annisa punya jasa konseling untuk lelaki/suami yang suka marah? Ada beberapa temanku yang sedang mencari jasa seperti itu. Kalau bukan Rifka, apakah ada di tempat lain di Jogja? Trims, Laine Berman. Rifka Annisa memiliki divisi men's program bagi laki-laki yang melakukan kekerasan terhadap perempuan, dan kami membuka layanan konseling dari Senin-Kamis pukul 08.30 sampai 16.30 serta hari Sabtu pukul 08.30-12.00. Kami kira baru Rifka yang memiliki layanan konseling perubahan perilaku bagi laki-laki di Yogyakarta. Terima kasih.

Data Statistik

Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) di Rifka Annisa Januari – September 2013 KASUS MEDIA

KTI KDP PKS PEL-SEK KDK TRAF

: Kekerasan Terhadap Istri : Kekerasan Dalam Pacaran : Perkosaan : Pelecehan Seksual : Kekerasan Dalam Keluarga : Traffiking (Perdagangan Orang)

KTI

KDP

PKS

PEL-SEKS

KDK

TRAF

JUMLAH

TATAP MUKA

181

8

14

8

0

0

212

TELEPON

13

1

1

0

1

0

16

OUTREACH

3

3

17

1

1

0

25

EMAIL

1

0

0

1

0

0

2

193

12

32

10

2

0

255

JUMLAH

Sumber : Data base Divisi Pendampingan Rifka Annisa

04

Rifkamedia November 2013-Januari 2014


JENDELA

Ketika Bumi

Tak Lagi Nyaman Dihuni

S

eorang aktivis lingkungan, Vandana Shiva, pernah menulis, “Anda bukan Atlas yang mampu membawa bumi di bahu Anda, maka ingatlah dengan baik bahwa planet ini yang membawa Anda. “ Dengan kata lain, kalimat tersebut hendak menyampaikan, planet ini telah menunjang kehidupan manusia, maka sudah semestinya kita jaga. Dari masa ke masa, dunia berubah dan tumbuh begitu cepat. Pembangunan di sana-sini semakin tak terkendali. Kegiatan eksploitasi alam atas nama ekonomi pun kian menjadi-jadi. Konflik pun tak terelakkan. Berebut penguasaan sumber daya antara rakyat, negara, dan korporasi. Akhirnya perusakan lingkungan dan eksploitasi alam nyaris tanpa henti, sementara di sisi lain masyarakat masih berjuang keras menyambung hidup yang semakin sulit. Degradasi lingkungan, konflik agraria, kelangkaan pangan, dan kemiskinan menjadi cerita miris di seluruh pelosok negeri. Ya, secara kasat mata, pembangunan di negeri ini masih mengesampingkan lingkungan dan masyarakat. Begitu ironis. Dalam hal ini, sekali lagi, kaum perempuan yang paling dirugikan. Perempuan makin terjebak dalam lingkungan kosmisnya, maupun lingkungan normatifnya. Kedekatannya dengan alam tetap saja diliputi relasi kuasa yang tak imbang. Seperti halnya perempuan yang terperangkap dalam norma-norma patriarki yang diskriminatif dan subordinatif, alam pun tak mampu menghindar dari timpangnya relasi kuasa yang diciptakan manusia untuk memenuhi hasratnya. Dalam relasi kuasa eksplotatif ini, alam dianggap sebagai objek dan benda mati, yang dieksploitasi untuk kepuasan pribadi. Sangat absurd memang. Meski demikian, kita harus terus mencari secercah harapan untuk hidup harmoni. Harapan yang muncul dari para perempuan yang menjaga lingkungan sebagaimana menjaga keluarganya. Banyak perempuan yang memilih tinggal di rumah dan mengerjakan pekerjaan domestik sehari-hari menjadikannya dekat dengan lingkungan dan keluarga. Dari hal yang kecil, misalnya membersihkan rumah dari sampah, perempuan turut andil merawat lingkungan. Perempuan menjaga lingkungan untuk menjaga keluarga. Perempuan merawat lingkungan tak lain untuk merawat keberlangsungan hidup generasi masa depan. Memang, upaya pelestarian lingkungan yang dirancang secara matang dan dikatakan berhasil tidaklah diciptakan dari nol. Kita juga tidak menutup mata, di luar sana, begitu terseok-seoknya perjuangan aktivis lingkungan untuk penyelamatan bumi. Tapi janganlah mereka dibiarkan sendiri, kita harus bergerak bersama. Aktivis perempuan dan pihak lain perlu bersinergi. Sebab, penyelamatan tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Upaya menjaga lingkungan harus digerakkan oleh kesadaran dan kehendak untuk memperbaiki. Perlahan tapi pasti, diperlukan kerja keras dan kerjasama yang baik di berbagai lini. Akhirnya, Rifka Media pun hendak ambil bagian dalam isu ini. Memang tidak untuk memberikan jawaban akhir tentang segala permasalahan lingkungan. Karena itu memang bukan tujuannya. Tapi setidaknya, Rifka Media turut menyuarakan 'kebisuan' yang selama ini dipendam masyarakat khususnya kaum perempuan yang dirugikan oleh eksploitasi alam, serta menyuarakan peran perempuan dalam menjaga lingkungan.

Defirentia One Pimred Rifka Media

“Melestarikan bumi adalah melestarikan kehidupan. Karena pada bumi, kita lukiskan harapan generasi kini dan nanti.

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

05


LAPORAN UTAMA

Perempuan dan Lingkungan: Peran Ekonomi Hingga Siasat Ekologis Arifuddin Kunu Relawan Rifka Media obetrevdem@gmail.com

06

Rifkamedia November 2013-Januari 2014


flickr.com

Dalam banyak hal, perempuan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan lingkungan. Secara kultural, perempuan juga menjadi pelaku sekaligus penerima manfaat dalam pengelolaan lingkungan. Ketika lingkungan rusak, mereka akan menjadi pihak yang paling menderita.

T

ulisan ini secara khusus menyoroti tentang dampak kerusakan lingkungan terhadap perempuan. Beberapa pertanyaan mendasar, seperti mengapa perempuan menjadi pihak yang paling rentan terhadap dampak kerusakan lingkungan dan bagaimana mereka bertahan di tengah lingkungan yang rusak, sembari melakoni peran kultural (domestik) dan publik mereka akan dielaborasi dalam tulisan ini. Perempuan desa yang berjumlah 70% dari total penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan pada umumnya memiliki keterkaitan erat dengan lingkungan karena dekat dengan masalah seharihari dalam keluarganya. Mereka dekat dengan alam karena secara patriarki ditempatkan sebagai pengelola rumah tangga dan urusan domestik seperti penyediaan pangan, kesehatan, perumahan dan energi. Itulah sebabnya mengapa perempuan sangat berkepentingan atas isu lingkungan seperti krisis air dan sanitasi, pakan ternak, bahan bakar dan kayu bakar, asupan gizi, pendidikan anak, penyakit, tanaman dan obat-obatan. Perempuan di kawasan pedesaan umumnya juga merupakan penerima manfaat, pelaku sekaligus pengontrol langsung terhadap dampak pengelolaan sumber daya alam. Mereka secara jelas menyuarakan kaitan langsung antara kerusakan lingkungan dan problem ekonomi dalam kehidupan sehari hari. Sayangnya, tak banyak yang mendengar kalau keluhan kenaikan harga beras dan minyak goreng, kesulitan mencari kayu bakar, krisis air bersih serta mahalnya harga kontrasepsi merupakan seruan politik perempuan. Mereka berkepentingan langsung bagi tersedianya kebutuhan-kebutuhan spesifik untuk diri mereka sendiri dan keluarga secara mudah, murah dan berkualitas. Perempuan juga memiliki peran dan kepentingan langsung dalam hal konservasi dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Selain memiliki kemampuan, perempuan juga memiliki

pengetahuan yang luar biasa tentang tanah, air, pohon, hutan, tanaman obat, tanaman buah, jenis kayu bakar, pakan ternak, asupan gizi dan pengelolaan sumber daya alam lainnya. Secara umum, pemahaman dan kemampuan akan pengelolaan sumber daya alam tersebut adalah bagaimana mempertahankan dan mengelola sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Jika terjadi kerusakan lingkungan dimana terjadi konflik pengelolaan sumber daya alam dan ancaman risiko bencana yang menggerus eksistensi ekonomi keluarga, perempuan lah yang akan terkena dampak dan akhirnya akan bereaksi secara langsung. Oleh karena itu, resistensi perempuan dalam proses mengubah struktur ketidakadilan yang mereka hadapi merupakan kajian menarik sekaligus membuka ruang bagi perempuan dalam memperoleh keadilan hak dalam relasi dan kemandirian ekonomi pada isu yang lebih luas. Bagaimanapun, kerusakan lingkungan dan faktor penyebab maupun dampaknya bukanlah sebuah persoalan yang netral gender. Jika dilihat secara jernih dari kacamata hierarki gender dalam kekuasaan ruang publik dan ruang domestik, akan tampak siapa korban dan siapa pelaku. Korban adalah mereka yang paling tidak diuntungkan akibat kesalahan tata kelola lingkungan dan ekosistem. Sementara pelaku adalah mereka yang terlibat dalam pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung dan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Meskipun masing-masing identitas gender berkontribusi dalam proses kerusakan lingkungan, namun mereka juga berperan dalam proses problem solving baik secara ekonomi, politik, lingkungan, sosial maupun budaya. Proses ini, perlahan telah mengubah relasi antara laki-laki dan perempuan menuju keseimbangan dan nilainilai baru.

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

07


Sadar atau tidak, munculnya dikotomi publik dan domestik telah menempatkan laki laki sebagai pelaku utama dalam proses kerusakan lingkungan dalam satu kawasan. Perempuan dan kelompok rentan lainnya belum menjadi bagian yang secara signifikan dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan pengelolaan lingkungan. Meskipun faktanya, perempuan, anak-anak, difabel (kelompok berkebutuhan khusus) dan orang lanjut usia menjadi penerima dampak langsung dari kerusakan lingkungan yang terjadi. R Valentina, seorang aktivis perempuan yang akrab disapa Titi, menuturkan bahwa kebijakan pengelolaan lingkungan yang salah, secara langsung dan khas, akan berdampak pada perempuan. Kebijakan pertanian yang selama bertahun tahun memaksakan penggunaan bibit unggul, sebenarnya telah meminggirkan peran perempuan. Karena pengetahuan mereka terhadap keanekaragaman hayati tidak lagi dihargai. Ketika pemakaian ani-ani diganti oleh traktor yang lebih berat, maka sejatinya perempuan telah tersingkir oleh alat-alat pertanian yang lebih diasosiasikan dengan peran laki-laki. Demi bertahan hidup perempuan menjadi buruh tani dengan beban kerja berlebih, upah rendah dan resiko kerja tinggi. Dalam berbagai konflik berlatarbelakang lingkungan, perempuan menjadi kelompok yang paling banyak mengalami kekerasan. Fakta bahwa di beberapa areal Hak Penggunaan Hutan [HPH] di Kalimantan, banyak perempuan Dayak yang terlibat kawin kontrak, merupakan dampak atas fenomena semakin masifnya

08

degradasi lingkungan. Perempuanperempuan tersebut seperti tak memiliki pilihan lain di tengah kemerosotan ekologis yang merupakan basis ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat. Mereka yang “menikah� dengan laki-laki yang bekerja di industri perkayuan itu pun tahu akan ditinggalkan setelah kontrak pekerja selesai. Dampak lain, seperti ketersediaan air untuk konsumsi rumah tangga misalnya, telah menempatkan perempuan dan kelompok rentan lainnya dalam posisi yang tidak menguntungkan. Mereka harus meluangkan waktu lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan air keluarga. Bahkan hingga hari ini, ketika mata air di desa telah mengering, ratusan perempuan harus rela berjalan berpuluh-puluh kilometer untuk mencari mata air baru. Bagi perempuan sendiri, kebutuhan air untuk MCK (mandi, cuci,kakus) jumlahnya empat kali lebih banyak dibandingkan dengan laki laki. Banyak perempuan yang terpaksa menerima dampak dari bencana alam yang sebagian besar disebabkan oleh kerusakan lingkungan. Ketika banjir atau tanah longsor melanda satu pemukiman, respon terhadap kebutuhan khas perempuan pasca bencana, kurang memadai. Akibatnya banyak perempuan yang sakit bahkan meninggal dunia karena kekurangan nutrisi dan layanan khusus. Minimnya akses kepemilikan dan penguasaan perempuan atas lahan, pohon dan tanaman, air serta sumber daya lainnya, sangat membatasi mereka untuk berkembang, terlatih dalam mengendalikan manfaat dan hasil pekerjaan mereka sendiri. Kondisi

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

ini juga menghalangi mereka dalam memperoleh akses kredit, material atau modal hidup secara mandiri. Ini yang menjadi salah satu faktor posisi perempuan rentan secara ekonomi. Kesadaran perempuan terhadap dampak buruk kerusakan lingkungan baik bagi diri, keluarga dan lingkungan itu sendiri telah melahirkan gerakan ekofeminisme. Gerakan ini menjelaskan keterkaitan antara alam dan perempuan, dengan titik fokusnya adalah kerusakan alam yang mempunyai keterkaitan langsung dengan penindasan terhadap perempuan. Alam sangat erat kaitannya terhadap kehidupan perempuan, sehingga rusaknya alam menyebabkan berkurangnya peluang perempuan untuk melanjutkan kehidupan. Dalam banyak hal, perempuan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan pelestarian lingkungan. Dalam menjalankan perannya, perempuan sebagai pengelola rumah tangga akan lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan dan sumber daya alam. Kearifan perempuan dalam mengelola lingkungan lebih banyak memiliki makna positif. Sayang nya, peran positif tersebut masih sangat kurang dimaknai. Padahal dampak kerusakan lingkungan lebih banyak dirasakan oleh perempuan dimana contoh paling sederhana adalah ketersediaan air. Perempuan, Korban Utama Kerusakan Lingkungan Domestifikasi pekerjaan perempuan membuat perempuan lebih rentan terkena dampak kerusakan lingkungan dan sumber daya alam [Soentoro, 2013]. Perempuan yang dibebani tanggung jawab memelihara


rumah tangga, dalam menjalankan tugas seperti memasak atau mencuci, menjadi pihak pertama yang bersentuhan langsung dengan air. Dampak lain yang muncul akibat kerusakan tersebut adalah hilangnya fungsi sumber daya alam sebagai sumber kehidupan. Pembangunan yang didominasi oleh kepentingan ekonomi global dan tidak berorientasi pada kepentingan rakyat telah mengeksploitasi lingkungan dan sumber daya alam. Kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam yang diikuti kehilangan sumber penghasilan semakin memperlemah posisi perempuan. Subordinasi terjadi di berbagai bidang karena memang ada keterkaitan yang erat. Misalnya, akibat dari hilangnya status sosial dan budaya perempuan dalam tradisi pertanian dan perhutanan, status ekonomi perempuan sebagai pemasok kebutuhan ekonomi keluarga yang berasal dari lingkungan dan sumber daya alam menurun, bahkan cenderung ditiadakan. Melemahnya peran dan kontribusi tersebut membuat status politik mereka sebagai pengambil keputusan juga hilang. Titi mencatat sejumlah dampak lain yang lahir dari kondisi ini. Sebut saja diskriminasi. Kemiskinan membuat akses perempuan terhadap pendidikan semakin tertutup. Anak-anak perempuan akan terlebih dahulu dikeluarkan daripada anak laki-laki apabila orang tua tidak mempunyai biaya sekolah. Kondisi ini juga memicu meningkatnya kasus kekerasan yang melibatkan perempuan sebagai korban. Contoh dalam beberapa kasus seperti desakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga,

menyebabkan banyak perempuan harus bekerja lebih keras di luar rumah. Hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap eksploitasi tenaga kerja –baik sebagai buruh migran, pekerja rumah tangga, maupun buruh pabrik– dan rentan terhadap kekerasan seksual akibat minimnya perlindungan negara. Tekanan ekonomi keluarga membuat perempuan sebagai istri dan anak perempuan juga rentan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga laki-laki seperti ayah atau saudara laki-laki yang mengalami tekanan psikologis karena harus menghidupi keluarga. Agarwal [1989] seperti dikutip dalam [Leach 1992] menyatakan bahwa hubungan lingkungan dan perempuan yang berasal dari peran yang telah dimilikinya, memiliki peran ganda. Di satu sisi perempuan sebagai mayoritas pengguna sumber daya alam, di sisi lain, mereka juga memiliki pengetahuan dan pemahaman dalam mengelola lingkungan. Kedua aspek tersebut menunjukkan adanya keterkaitan antara status perempuan dengan negara sebagai pemilik sumber daya alam. Perempuan memiliki kemampuan dalam menjalankan peran dalam memproduksi pangan, mengumpulkan kayu bakar atau air, yang menghabiskan banyak waktu dan energi dari aktifitas tersebut. Perempuan yang tinggal di daerah perkebunan kelapa sawit misalnya, merasakan dampak kerusakan lingkungan yang muncul dari perkebunan besar kelapa sawit, seperti kekeringan akibat tingginya penggunaan air dalam industri ini hingga pencemaran sungai sebagai sumber penghidupan bagi perempuan

desa. Pembukaan perkebunan besar kelapa sawit juga menyebabkan perempuan harus beralih profesi dari petani menjadi buruh perkebunan. Hal tersebut menunjukkan bahwa bagi perempuan, ada beberapa implikasi yang bisa muncul akibat rusaknya lingkungan. Pertama, semakin rendahnya akses kepemilikan sumber daya alam bagi perempuan. Menurut laporan FAO tahun 2001, rata-rata 40 persen petani dan buruh tani adalah perempuan. Tapi kurang dari 20 persen dari mereka yang memiliki lahan pertanian. Meski belum ada riset khusus untuk isu ini di tingkat lokal, fakta yang hampir sama ditemukan di desadesa yang mengalami kerusakan lingkungan. Di sisi lain, perempuan pemilik tanah dan memiliki kemampuan secara mandiri untuk mengelolanya, jumlahnya tidak signifikan. Rata-rata kepemilikan lahan adalah atas nama laki-laki. Kedua, hilangnya akses perempuan terhadap sumber daya sosial. Fenomena seperti ini biasa terjadi di desa-desa yang memiliki lokasi pertambangan. Perbedaan kelas sosial dalam konteks penguasaan sumber daya alam, khususnya air, semakin membesar. Mandor, aparat desa, pemilik depo tambang, pekerja tambang dan pengelola air, nota bene adalah laki-laki yang harus selalu didengar pendapatnya dalam setiap kebijakan desa. Ketiga, menurunnya akses pelayanan dan infrastruktur desa, khususnya bagi perempuan. Dampak yang lebih luas, desa menjadi pasif dan mati suri tanpa pelayanan yang memadai bagi masyarakat. Kegiatan pelayanan masyarakat yang dipelopori oleh perempuan semisal pelayanan

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

09


kesehatan, Posyandu, pemberian makanan tambahan bagi balita, pemeriksaan ibu hamil serta beberapa layanan kesehatan reproduksi lainnya tidak berjalan dengan baik. Keempat, menurunnya akses atas sumber daya manusia (human capital) khususnya perempuan. Stereotyping tentang perempuan telah dimulai dari informasi publik, film, iklan, sinetron dan media lainnya. Penegasan atas stereotyping, subordinasi, marginalisasi, beban ganda dan diskriminasi diekspresikan sebagai hal lumrah di ranah publik melalui berbagai bentuk budaya patriarki dan kebijakan diskriminatif lainnya. Tanpa disadari, konflik pengelolaan sumber daya alam telah menjerumuskan perempuan ke dalam jurang kesengsaraan yang dalam. Bisa dipastikan, perempuan dan kelompok rentan akan menjadi pihak yang paling menderita akibat penambangan illegal, kerusakan hutan, kenaikan harga dan kelangkaan bahan bakar minyak, mahalnya harga beras karena gagal panen, kelangkaan air akibat kerusakan lingkungan, bencana banjir, kekeringan, hilangnya subsidi kesehatan hingga pendidikan yang mahal merupakan persoalan yang paling dekat dengan keseharian perempuan. Surviving: Siasat Ekologi hingga Peran Ekonomi Meskipun menjadi korban yang paling dirugikan akibat kesalahan pemerintah dalam hal tata kelola lingkungan dan ekosistem, perempuan ternyata memiliki kemampuan untuk survive (bertahan) dengan berbagai sumber daya yang dimiliki. Bahkan, pengalaman empiris di beberapa

10

daerah dengan kekhasan tipologi alamnya, telah menempatkan perempuan sebagai “pejuang� lingkungan. Beberapa bahkan menjadi sanggup menjadi pelopor sekaligus tulang punggung ekonomi keluarga di tengah ancaman kehancuran akibat degradasi lingkungan yang semakin masif. Saat ini, perempuan di wilayah pesisir sadar betul kalau mereka harus bahu-membahu menghadapi kerentanan akibat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Berbagai dampak kedua penyebab itu sudah kerap mereka alami. Sulit mendapat tangkapan, gagal panen, digerus rob, dan lainnya. Kondisi ini diperparah dengan masih

ini juga menggerakan koperasi simpan pinjam dan mendorong komunitas nelayan untuk aktif menanam bakau. Senada dengan perempuan-perempuan sebelumnya, kelompok ini pun dibentuk untuk meringankan beban keluarga sekaligus melestarikan kawasan pesisir. Di Desa Bogak Besar ,Kecamatan Teluk Mengkudu, Sumatera Utara, ratusan ibu-ibu yang tergabung dalam Serikat Perempuan Nelayan [SPN] Teluk Mengkudu, melakukan program rehabilitasi dan pengelolaan hutan bakau yang merupakan tindak lanjut dari kegiatan konservasi kawasan pesisir sejak 2004 silam. Program ini dilandasi oleh

“Meskipun menjadi korban yang paling dirugikan akibat kesalahan pemerintah dalam hal tata kelola lingkungan dan ekosistem, perempuan ternyata memiliki kemampuan untuk survive (bertahan) dengan berbagai sumber daya yang dimiliki.�

berlakunya nilai-nilai patriarki yang kerap memposisikan perempuan menjadi pihak yang paling rentan. Tapi dengan keterbatasan yang ada, perempuan ternyata memiliki peran penting dalam rantai produksi pangan dan sebagainya. Berdasarkan kajian KIARA, perempuan nelayan Jawa Tengah dan Jakarta Utara mengerjakan pekerjaan rumah dan mencari nafkah selama 16 hingga17 jam per hari. Di Serdang Bedagai, Sumatera Utara, ada sekelompok perempuan yang menginisasi Kelompok Muara Tanjung. Aktifitas mereka adalah memproduksi bakso ikan dan kerupuk daun teh jeruju. Kelompok

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

keprihatinan atas kondisi hutan bakau di kawasan pesisir Sumatera Utara yang mengalami tingkat kerusakan yang sangat parah akibat pembangunan tambak pada dekade 80 an yang disertai dengan penebangan pohon-pohon bakau tanpa upaya penanaman kembali. Seiring dengan dampak kerusakan yang ditimbulkan, terbangun kesadaran di tingkatan masyarakat, terutama kaum perempuan bahwa fungsi ekologis hutan bakau antara lain adalah meredam gelombang, menahan lumpur, dan melindungi pantai dari abrasi, gelombang pasang serta untuk pengendalian banjir. Masyarakat juga menyadari bahwa


hutan bakau juga memiliki fungsi sosial ekonomis, yakni sebagai sumber mata pencaharian bagi masyarakat pesisir untuk mendapatkan ikan dan udang. Begitu pun dengan produksi berbagai jenis hasil hutan dan ikutannya, semisal tempat rekreasi dan wisata alam, objek pendidikan dan latihan serta pengembangan ilmu pengetahuan. Perempuan, terutama ibu-ibu di Teluk Mengkudu, yang selama ini menjalani peran kultural sebagai penanggung jawab keselamatan keluarga, selalu merasa khawatir dan ketakutan jika terjadi gelombang besar di laut. Mereka khawatir akan terjadi banjir atau terjangan angin puting beliung yang merusak rumah-rumah mereka karena ketiadaan hutan bakau sebagai penahaannya. Cerita kaum perempuan lainnya kurang lebih sama dengan persoalan yang berbeda. Di Aceh Jaya, Ibu Nuraini bersama temantemannya membentuk Kelompok Perempuan Pesisir Desa Gampong Baro yang memproduksi ikan teri krispi dan abon tiram. Kedua komoditi itu merupakan produk unggulan kelompok Nuraini. Tujuan kelompok perempuan ini adalah membantu meringankan beban suami dan keluarga. Belakangan kegiatan mereka pada Maret hingga April terkendala cuaca ekstrem. Pada kedua bulan itu, angin berhembus kencang dan gelombang di laut bisa mencapai ketinggian 3 – 5 meter. Bila demikian, suami mereka tidak melaut. Ini yang membuat kegiatan kelompok perempuan memproduksi teri krispi jadi terganggu pasokan yang selama ini diperoleh dari hasil tangkapan suami. Di Aceh Besar akhir Mei lalu, sedikitnya ada 500 unit kapal

nelayan teronggok begitu saja karena tak digunakan untuk melaut oleh para nelayan. Sampai awal Juni lalu, angin kencang masih melanda dengan gelombang ratarata empat meter. Dengan begitu, produksi ikan teri krispi akan terus terkendala musim. Penutup Penurunan daya dukung lingkungan telah memperdalam kerentanan dan kemiskinan masyarakat terutama kaum perempuan di manapun mereka bertempat tinggal. Oleh karena itu, diperlukan upaya terintegrasi dan berkelanjutan dengan melibatkan partisipasi aktif perempuan dan kelompok rentan. Fokus utamanya adalah mengembalikan kedaulatan desa, ketahanan pangan, daya dukung lingkungan dan hayati bagi keberlanjutan hidup manusia. Dalam perspektif yang lebih sensitif gender, masalah-masalah yang muncul sebagai dampak dari kerusakan lingkungan harus menjadi sinyal bagi pemerintah akan pentingnya affirmative action terhadap kemandirian dan hak perempuan secara ekonomi, politik, sosial dan budaya, yakni sebagai salah satu prioritas pembangunan manusia. Jika tidak maka perempuan hanya akan menjadi korban kepentingan pragmatis dari sistem pembangunan ekonomi politik yang yang bias gender. Faktanya, kantong-kantong pengiriman TKI didominasi oleh desa-desa miskin dengan risiko tinggi, kerusakan lingkungan dan tidak bisa lagi memberi harapan hidup yang memadai. Peran perempuan secara ekonomi, politik dan sosial budaya menunjukkan betapa perempuan sanggup bertahan sambil mengenali potensi ekonomi di tengah-tengah

degradasi alam yang tidak lagi mampu menampung kebutuhan hidup mereka. Referensi: Ahmad Badawi, Peran Ekonomi Perempuan Dalam Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kawasan Muria, Jurnal Perempuan, Edisi 74, September 2O12. Peran Perempuan dalam Penyelamatan Lingkungan Hidup, http//: www.deepblueseawordpress.com, diakses 12 Juli 2O13. Goetz, J Stephan. 2OO3. Theory of Population Migration, Migration and Local Labor Markets, Pennsylvania: Penn State University PresS. Pengelolaan Lingkungan Hidup Berwawasan Gender, http//: www.jurnalperempuan.com, diakses 16 Juli 2O13. M Zulfikar Teuku, Perempuan dan Lingkungan Hidup, Majalah Potret, Edisi XII, Thn 2OO7. Ritzer G dan JD Goodman. 2OO4. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. Sarjono, 2001. Mobilitas Penduduk dari Desa ke Kota. Jakarta: Universitas Indonesia. Saragih, Mida. Perempuan Membaca Iklim. http//:www.academia.edu /2012/11/21/komitmen dan pemahaman perempuan dalam pelestarian lingkungan hidup/, diakses 15 Juli 2013. Soentoro, Titi. Makalah seminar “Kekayaan Alam dikirim ke utara, kemiskinan dan kemelaratan ditinggal di selatan]. www.kompas.com. diakses 27 Juni 2013.

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

11


LAPORAN UTAMA

huffingtonpost com

Ekofeminisme dan Emansipasi Ekologis Dr. Maharani Hapsari, MA Dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM ranikumoro@yahoo.com

12

Rifkamedia November 2013-Januari 2014


P

roblematika lingkungan yang dihadapi masyarakat dewasa ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam. Alih-alih berlangsung secara alamiah, problematika tersebut sesungguhnya tidak terlepas dari konstruksi sosial yang dibangun dalam masyarakat. Sulit untuk menyangkal bahwa secara historis intervensi manusia semakin masif sejalan dengan berkembangnya kemampuannya meredefinisikan relasi sosialnya dengan alam. Terlebih lagi, perubahan teknologi yang menyertai upaya-upaya mencapai pertumbuhan ekonomi membuat proses perubahan lingkungan berjalan semakin cepat dan semakin luas ruang lingkupnya. Namun demikian, hal ini tidak menjadikan manusia dapat semenamena berlaku sebagai penguasa alam. Persoalan-persoalan lingkungan memberikan implikasi yang berbeda pada berbagai kelompok dalam masyarakat. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi struktur distributif persoalan lingkungan. Kaum perempuan seringkali dilihat sebagai pihak yang menderita kerugian lebih besar ketika terjadi persoalan-persoalan lingkungan dan cenderung diposisikan sebagai korban. Namun perlu kiranya untuk melihat secara kritis peran perempuan dari kacamata yang lebih transformatif. Berangkat dari sudut pandang ekofeminisme, tulisan ini ingin menekankan bahwa perempuan memiliki kuasa untuk melakukan rekayasa sosial. Perempuan juga perlu dilihat sebagai aktor emansipatif yang mampu mendorong terjadinya perubahan-perubahan yang signifikan dalam mempengaruhi perilaku ekologis masyarakat.

Tantangan Ekologis Pembangunan Pembangunan di negaranegara sedang berkembang hingga saat ini masih menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas, meskipun banyak revisi kebijakan dilakukan di level internasional dan nasional. Konsep pertumbuhan ini mengandalkan peningkatan konsumsi sebagai suatu tolak ukur penting dalam melihat keberdayaan masyarakat. Semakin besar konsumsi maka semakin berdaya pula suatu masyarakat. Konsumsi ini tidak hanya terbatas pada kebutuhankebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan, tetapi juga kebutuhan-kebutuhan di luar yang mendasar. Kebijakan-kebijakan ekonomi di negara-negara berkembang banyak diarahkan untuk meningkatkan kualitas konsumsi kebutuhan dasar sekaligus memungkinkan masyarakat untuk dapat memperluas pilihan konsumsinya sejalan dengan peningkatan pendapatan. Problematika lingkungan yang menyertai pembangunan terkait dengan peran ekonomi pasar global, di mana relasi antara produksi dan konsumsi di era globalisasi menjadi inti dari penciptaan kemakmuran. Bagaimana mengelola relasi ini secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan implikasi ekologisnya menjadi agenda penting bagi para pelaku pembangunan. Di ujung konsumsi ada dua isu mendasar, yaitu under-consumption dan over-consumption. Masalah under-consumption terjadi ketika kebutuhan-kebutuhan mendasar tidak terpenuhi secara layak. Hal ini terutama muncul dalam klaim-

klaim yang menempatkan kemiskinan sebagai faktor penyebab kerusakan lingkungan. Sementara itu, sebagai akibat overconsumption, persoalan lingkungan dilanggengkan oleh konsumsi masyarakat yang memang sudah tinggi di negara-negara industri maju dan cenderung tidak akan banyak berubah di masa depan. Namun demikian, perubahan pola konsumsi di negara-negara sedang berkembang di masa depan juga semakin berpotensi mempercepat akumulasi persoalan lingkungan. Pertumbuhan pendapatan di negara-negara dunia ketiga mendorong mobilitas vertikal di mana masyarakat kelas ekonomi bawah secara gradual mulai meningkat kapasitas ekonominya dan masuk dalam kategori kelas ekonomi menengah. Di negaranegara BRICs (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan), terutama, meningkatnya jumlah penduduk kategori kelas ekonomi menengah disertai dengan pergeseran preferensi konsumsi individu. Hal ini akan sangat signifikan dampak kolektifnya terhadap lingkungan. Bagaimana memahami peran perempuan dalam konteks ini? Di ranah ekonomi pasar global, perempuan adalah konsumen dan produsen. Sebagai konsumen, perempuan berperan dalam menentukan pola konsumsi masyarakat melalui pilihan-pilihan personalnya dan melalui pengaruhnya di level keluarga maupun masyarakat. Problema under-consumption seringkali dikaitkan dengan bagaimana perempuan menghadapi keterbatasan pilihan karena kondisi struktural ekonomi yang tidak memungkinkan untuk bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling mendasar. Hal

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

13


ini sering diasosiasikan dengan produk-produk terutama teknologi melihat bagaimana peran kondisi perempuan di negarabaru dibandingkan dengan mereka perempuan semakin penting dalam negara miskin yang dalam yang tinggal di negara maju. transformasi masyarakat industrial. kehidupan sehari-hari terjebak Menurut Sydee dan Beder (2001), Fabrikasi produk-produk industri dalam perjuangan untuk bertahan internalisasi budaya konsumerisme manufaktur didukung oleh hidup dan tidak memiliki akses oleh perempuan adalah suatu hal kekuatan tenaga kerja perempuan kekuasaan yang memadai untuk yang tidak bisa dikesampingkan dalam jumlah yang signifikan. mengubah kehidupan mereka begitu saja. Meskipun Peran perempuan dalam (Gerbara, 2003: 165). Terlebih lagi, konsumerisme seringkali dilihat ekonomi pasar global di masyarakat sedang berkembang, sebagai masalah kapitalisme menampilkan gambaran yang tidak problematika lingkungan muncul di patriarkis yang berlaku dalam selalu menggembirakan. Data seputar akses terhadap air bersih konteks negara maju, tetapi menunjukkan bahwa perempuan dan akses terhadap sumber daya kenyataannya terjadi akulturasi bekerja selama dua pertiga dari lingkungan, serta kemiskinan dan yang lebih luas. total jam kerja di seluruh dunia, kesehatan. Di negara industri maju, Sejalan dengan perubahan pola memproduksi separuh dari pangan persoalan ini umumnya tidak terlalu kasat mata (Salman, 2007: 857). Di sisi lain, jika kita amati secara seksama, “...perempuan tidak pernah absen dalam pencitraan produkperempuan ternyata produk komersial. Perempuan juga menjadi target penting dari juga memiliki peran produsen barang-barang konsumsi karena daya beli dan potensi yang semakin penting dalam konstruksi pendapatannya.� budaya konsumerisme yang tidak terpisahkan dari masalah overconsumption (konsumsi konsumsi masyarakat, pola dunia, tetapi hanya memperoleh berlebih). Dalam konteks ekonomi produksi pun turut berubah. pendapatan sebanyak 10 persen kelas menengah di mana preferensi Peningkatan permintaan pasar dari total pendapatan dunia dan konsumen mulai bergerak di luar mendorong peningkatan input memiliki kurang dari satu persen subsistensi, kita bisa mengamati untuk produksi barang-barang dari properti global. Rata-rata dengan jelas bahwa peran konsumsi. Perempuan juga perempuan juga hanya perempuan tidak pernah absen berperan signifikan di sisi produksi, mendapatkan separuh dari dalam pencitraan produk-produk terutama dengan kontribusinya pendapatan rata-rata kaum pria komersial. Perempuan juga menjadi sebagai tenaga kerja di berbagai (Global Poverty Project, 2012). Ini target penting dari produsen sektor. Di sektor pertanian, tercatat mengindikasikan ada persoalan barang-barang konsumsi karena bahwa sebagian besar petani kecil yang mendasar dalam pengelolaan daya beli dan potensi di negara-negara miskin dan ekonomi politik pasar dan pendapatannya. Oleh karenanya berkembang adalah perempuan. pembangunan sehingga belum ada sisi di mana identitas Bagaimana institusi internasional menghasilkan kesempatan yang perempuan sebagai konsumen seperti World Trade Organization setara bagi kaum perempuan. barang-barang komersial menjadi (WTO) mengelola tatanan satu poin kritis untuk ditelaah perdagangan komoditas pertanian Ekofeminisme dan Politik dalam melihat transformasi peran oleh karenanya akan sangat Resistensi perempuan dewasa ini dalam mempengaruhi akses dan kontrol Sebagai bentuk gerakan sosial konteks negara-negara perempuan terhadap proses yang memadukan ekologi radikal berkembang. Masyarakat di produksi yang terkait dengan dan feminisme, ekofeminisme negara-negara berkembang pemenuhan kebutuhan pasar muncul dalam diskursus publik cenderung lebih menikmati global pada level lokal. Kita juga sejak tahun 1970an. Ia berkembang konsumerisme dengan membeli

14

Rifkamedia November 2013-Januari 2014


luas ketika aktivis-aktivis feminisme mulai menjalin interaksi yang lebih intensif dengan gerakan-gerakan yang memperjuangkan keadilan sosial, kesehatan dan lingkungan hidup. Ekofeminisme juga merupakan suatu upaya untuk mengeksplorasi hubungan antara dominasi terhadap gender, ekologi, ras, spesies dan bangsa (Gaard, 2011: 28). Pada saat itu, munculnya kritik terhadap fenomena kemiskinan dan keterbelakangan, ketimpangan pembangunan, dan degradasi lingkungan menjadi konteks penting yang menyuburkan gerakan ekofeminisme di berbagai belahan dunia, tidak hanya di negaranegara maju tetapi juga di negaranegara miskin dan berkembang. Pembangunan ekonomi Pasca Perang Dunia II yang menekankan pada pertumbuhan semula diharapkan akan menciptakan struktur internasional yang dapat mengangkat derajat hidup masyarakat di negara-negara miskin dan berkembang ternyata menimbulkan persoalan-persoalan yang kontradiktif dengan tujuan idealnya. Ekofeminisme memiliki cara pandang yang khas dalam melihat esensi dari persoalan ekologi dengan menekankan pada paralelisme antara dominasi terhadap alam dan dominasi terhadap perempuan (Bianchi, 2012). Kritik utamanya ditujukan pada dominasi sebagaimana termanifestasi dalam budaya patriarkis yang sarat dengan bentuk-bentuk hirarki, militeristik, mekanistik dan industrialis. Istilah 'anthroparchy' (Cudworth, 2005) sepertinya cukup komprehensif dalam menjelaskan sistem yang paralel mendominasi alam dan perempuan. Menurut Cudworth,

anthroparchy merupakan sebuah sistem relasi yang kompleks di mana alam yang terdiri dari entitasentitas kehidupan yang sejatinya juga merupakan sistem dan menjadi bagian dari ekosistem di dominasi dalam formasi organisasi sosial yang memberi peran lebih pada manusia. Sebagai sebuah sistem dominasi, anthroparchy mencakup beragam bentuk dan praktik kekuasaan, seperti opresi, eksploitasi dan marjinalisasi. Konsep ini memiliki nuansa yang lebih kental dalam menangkap aspek-aspek dominasi manusia dibandingkan dengan konsep antroposentrisme yang memfokuskan pada bentuk relasi antara manusia dengan alam (Cudworth, 2005: 64). Sebagai varian dari feminisme, ekofeminisme sangat menekankan cara pandang ekosentris dalam memahami hubungan antara manusia dengan alam yang menempatkan manusia sebagai bagian dari alam yang juga tunduk terhadap hukum-hukum alam ketimbang sebagai penguasa alam seutuhnya dengan segala kemampuan untuk melakukan rekayasa sosial. Ekofeminisme percaya bahwa ada hubungan yang signifikan antara dominasi terhadap perempuan dan dominasi terhadap alam di mana “the ecological crisis and the subjugation of women are two symptoms of the same illness� (Sydee and Beeder, 2001). Ekofeminisme melihat bumi sebagai figur ibu yang perlu selalu dilindungi dari segala bentuk upaya pengrusakan. Perlu kiranya untuk memahami relasi di antara kedua bentuk dominasi ini secara lebih holistik. Teori dan praktik feminisme perlu mempertimbangkan perspektif ekologis, sementara sangat penting pula bagi ekologi

dan etika lingkungan untuk mengintegrasikan perspektif feminisme. Kajian yang dilakukan oleh Aneel Salman merangkum setidaknya empat bentuk keterkaitan antara pilar-pilar ekologi dan feminisme. Pertama, semua bagian dari suatu sistem memiliki nilai yang sama. Ini mencakup segala komponen organik maupun anorganik yang membentuk sebuah ekosistem. Feminisme menekankan pada kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dengan melihat perbedaan yang ada sebagai bentuk perbedaan humanis ketimbang gender. Kedua, bumi adalah rumah bagi semua dan habitat bagi organisme yang perlu dijaga kelestariannya. Ketiga, semua komponen dalam ekosistem menjadi bagian dari proses perkembangan dan pertumbuhan, kematian dan pelapukan. Semua proses natural di planet ini bersifat sirkular dan diseimbangkan oleh mekanisme-mekanisme yang menstabilkannya. Jika terjadi ketidakseimbangan, maka akan menimbulkan implikasi terhadap manusia. Keempat, tatanan sosial yang ideal membutuhkan resiprositas dan kerjasama di antara beragam kelompok sosial (Salman, 2007: 4-6). Ini yang memungkinkan agenda-agenda advokasi yang diusung oleh kelompok-kelompok feminis dan kelompok-kelompok ekologis dapat berjalan saling beriringan. Ekspresi-ekspresi ekofeminisme muncul baik di negara-negara industri maju maupun di negaranegara berkembang. Gerakangerakan ini mengambil bentuk politik resistensi yang mengusung secara bersamaan isu-isu dominasi terhadap wanita dan dominasi

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

15


waynebrothers.com

terhadap alam. Bentuknya antara lain adalah perlawanan terhadap homogenisasi dan reduksionisme ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan pluralisme di level lokal (Shiva dan Mies, 2005). Dalam konteks pembangunan, muncul wacana seperti degrowth (Bianchi, 2012) sebagai kritik terhadap konsep pertumbuhan ekonomi yang tidak ada batasnya. Ada banyak kekhawatiran bahwa regenerasi alamiah di bumi tidak akan memadai untuk memenuhi ambisi pertumbuhan yang ingin terus dipertahankan oleh masyarakat di negara industri maju maupun yang sedang dikejar di negara miskin dan sedang berkembang. Tema lain ekofeminisme adalah perlawanan terhadap dominasi kapital negara-negara industri maju ke negara-negara miskin dan sedang berkembang. Gerakan Chipko tahun 1970an adalah salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan oleh perempuanperempuan di India terhadap upaya-upaya perusahaanperusahaaan transnasional untuk melakukan ekspansi industri kayu di Uttar Pradesh karena dampaknya

16

yang dianggap destruktif bagi masyarakat lokal. Hal ini juga terkait dengan resistensi terhadap globalisasi yang dilihat sebagai perpanjangan tangan proyek kapitalis melalui konsolidasi kekuasaan perusahaan-perusahaan multinasional ke dalam institusi sosial ekonomi yang melakukan dominasi terhadap perempuan dan alam (Sydee dan Beder, 2001: 2). Ekofeminisme juga mempertanyakan dampak fundamental dari modernisasi dan industrialisasi dalam pengelolaan aspek-aspek kehidupan yang semakin sarat intervensi manusia. Isu-isu terkait dengan rekayasa sistem reproduksi manusia, ketahanan pangan, respon terhadap wabah penyakit dan sistem kekebalan tubuh, serta kesehatan anak, misalnya, dilihat telah mengesampingkan sisi-sisi humanis dan alamiah dari manusia. Modernisasi dan industrialisasi dianggap telah banyak menciptakan proses dehumanisasi. Ketika perempuan menyuarakan protes terhadap perusakan lingkungan, ancaman senjata atom terhadap kehidupan di bumi, pengembangan bioteknologi,

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

rekayasa genetika dan teknologi reproduksi, oleh karenanya, hal ini selalu dibarengi dengan kesadaran akan adanya koneksi antara dominasi patriarki dengan kekerasan terhadap perempuan dan alam (Rao, 2012:125). Selain itu, ekofeminisme juga melontarkan kritik tajam terhadap sistem ekonomi pasar yang saat ini membuat perempuan semakin rentan terhadap dampak lingkungan. Sebagai konsumen, disebut bahwa perempuan banyak menjadi target dari produk-produk yang berbahaya bagi lingkungan dan kultur konsumerisme yang membuat peran mereduksi mereka sebatas komoditas. Sementara itu, sebagai produsen, perempuan juga rawan eksploitasi dan terpapar bahaya-bahaya yang datang dari kondisi produksi di tempat mereka bekerja (Hong, 1995). Relevansi demokratisasi turut mendapat perhatian dalam gerakan-gerakan ekofeminisme. Sebagaimana dicatat oleh Bianchi (2012), di samping dibangun atas dasar kesadaran akan meningkatnya kerentanan perempuan dalam menghadapi degradasi lingkungan,


ekofeminisme juga memperjuangkan aspirasi perempuan untuk berperan dalam proses pengambilan keputusan dalam tatanan sosial yang lebih demokratis (Bianchi, 2012: 4). Bisa dikatakan bahwa ekofeminisme menyentuh hampir-hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat karena pendekatannya yang bersifat holistik. Membangun Emansipasi Ekologis Emansipasi ekologis dalam kacamata ekofeminisme mensyaratkan adanya kesadaran untuk menempatkan pertimbangan etika lingkungan dan feminisme sebagaimana dua sisi mata uang dalam upaya untuk memahami dan merespon problematika ekologis umat manusia secara humanis. Perubahan-perubahan ini mencakup transformasi di level paradigma dan pranata sosial sampai pada praktiknya. Upaya ini tentunya dilakukan dengan kesadaran bahwa setiap individu memiliki potensi untuk menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk mencapai tujuantujuan politiknya ketimbang hanya menjadi objek dari sistem politik dan tatanan sosial yang ada. Selain itu, ekofeminisme juga didasarkan pada kemampuan untuk mengembangkan empati dan memahami sesama makhluk hidup. Hal ini muncul dari pengalaman-pengalaman yang terkait dengan aspek-aspek keibuan dan persepsi bahwa tubuh kita adalah sumber pengetahuan dan bukan semata-mata produk biologis. Dalam konteks ini, praktik ekofeminisme tidak bisa dilepaskan dari emosi dan kasih sayang terhadap seluruh bentuk kehidupan (Bianchi, 2012: 8). Reproduksi pengetahuan menjadi salah satu hal yang

fundamental untuk memperkuat emansipasi ekologis. Perempuan adalah sumber dari pengetahuan yang dibentuk oleh keragaman konteks ekonomi, sosial, politik dan budaya. Ada banyak bentuk kearifan lokal dalam masyarakat yang secara historis menjadi referensi bagi kaum perempuan dalam mengelola kesinambungan hajat hidup individu, keluarga dan masyarakat. Hal ini dilakukan dengan menjadikan keragaman sebagai basis, fondasi dan logika dari teknologi dan produksi ekonomi (Shiva dan Mies, 2005: 189). Pada praktiknya, kita bisa melihat bahwa kaum perempuan di berbagai belahan dunia terus berupaya mempertahankan kearifan lokal dan mempertahankan keanekaragaman hayati karena mereka berkeyakinan bahwa relevansinya masih sangat kuat di era modern ini. Dalam konteks yang lebih luas, pemahaman mengenai keragaman ini penting di tengah-tengah kultur dominasi yang cenderung menempatkan berbagai posisi dan status sosial berdasarkan seksualitas, ras, dan kebangsaan sebagai hal yang saling meniadakan. Perlu keterbukaan dalam berpikir untuk melihat bahwa emansipasi ekologis samasama menjadi tanggung yang tidak terbatas pada kaum perempuan saja, tetapi juga laki-laki. Hal ini juga akan bersinggungan dengan esensialisme yang melihat bahwa perempuan lebih dekat dengan alam ketimbang laki-laki (Gebara, 2003: 168). Yang ingin dibangun adalah relasi kekuasaan yang memungkinkan berbagai aktor sosial untuk dapat berperan secara lebih setara dan inklusif dalam menghapuskan segala bentuk kekerasan, marjinalisasi, opresi dan dominasi yang merugikan

kelompok-kelompok yang rentan. Begitu pula dengan bagaimana merespon dualisme antara kultur dan alam, akal dan alam, jiwa dan raga, emosi dan akal sehat sebagai bentuk dari “value-hierarchical thinking� (Maruyama, 2013: 178). Ekofeminisme juga ingin mereproduksi aspek-aspek harmoni dalam hubungan antara manusia dengan alam dengan memahami bahwa manusia belajar dari peran integratifnya sebagai bagian dari alam untuk mempertahankan kelangsungan hidup, bukan dengan mendominasi alam serta menegasikan alam beserta kekuasaan intrinsiknya. Pola-pola hubungan yang sifatnya inklusif oleh karenanya menjadi suatu hal yang dicita-citakan melalui emansipasi ekologis. Perempuan adalah bagian dari sistem politik di mana kekuasaan diakumulasi dan didistribusikan. Pilihan, kebiasaan, dan rutinitas yang dilakukan oleh perempuan dalam kehidupan sehari-hari oleh karenanya juga perlu dilihat sebagai pilihan politik yang dibuat dengan kesadaran penuh akan implikasi kolektifnya. Terlebih lagi bila kita bicara mengenai emansipasi ekologis sebagai sebuah proses transformatif. Di level akar rumput, banyak perempuan berpartisipasi aktif dalam proses mendidik masyarakat dan proses peningkatan kesadaran lingkungan melalui praktik-praktik daur ulang sampah, pengembangan pupuk dan pertanian organik, gerakan berjalan kaki, penggunaan sarana transportasi ramah lingkungan, gerakan konsumsi produk-produk lokal, dan sosialisasi hak-hak reproduksi. Perempuan dengan kesadaran dan aktivisme politiknya bisa berperan lebih lanjut dalam proses

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

17


agenda-setting di level yang lebih luas. MacGregor menggunakan istilah “ecofeminist citizenship� untuk menggambarkan bagaimana perempuan bisa terlibat lebih aktif dalam ranah politik. Menurut MacGregor, pembingkaian peran perempuan dari peran pengasuh menjadi aktivis ini memberikan ruang yang lebih luas bagi perempuan sebagai makhluk politik (MacGregor, 2004). Peran perempuan dalam politik representasi juga dapat mempengaruhi kebijakan secara lebih signifikan. Sebagai pemberi suara dalam pemilihan umum, perempuan perlu mempertimbangkan dengan lebih seksama implikasi dari pilihan politiknya terhadap tujuan kolektif. Meski metode dan pendekatannya beragam, kelompok-kelompok perempuan di berbagai belahan dunia selama ini sudah membangun saling kesepahaman yang melintasi batasbatas fisik dan geografis. Ini berlangsung dengan munculnya berbagai forum dan aliansi formal maupun informal serta jaringan sosial yang melibatkan banyak pegiat ekofeminisme dengan difasilitasi oleh teknologi informasi dan komunikasi. Namun demikian, hambatan terbesar untuk membangun aliansi lintas gender, lintas ras dan lintas kelas adalah ketidakpedulian, di mana individu-individu tidak tahumenahu mengenai pengalaman yang dialami oleh sesamanya dan signifikansi dari pengalamanpengalaman tersebut. Hambatan lainnya berasal dari kecenderungan untuk melihat kerisauan dari kelompok-kelompok lain sebagai hal yang kurang bermakna dan kurangnya rasa saling percaya di antara kelompok-kelompok sosial yang berbeda (Kirk, 1997: 12).

18

Melihat pada peran perempuan yang begitu substansial, kesadaran perempuan untuk memberdayakan dirinya melalui pengetahuan dan menyalurkannya dalam bentuk aktivisme sosial dan gerakan politik transformatif menjadi pilar penting bagi peningkatan emansipasi ekologis. Referensi Bianchi, Bruna. (2012, 19-23 September). Ecofeminist Thought and Practice. Paper presented at 3rd International Conference on Degrowth for Ecological and Sustainability and Social Equity, Venice. Cudworth, E. (2005). Developing Ecofeminist Theory: The Complexity of Difference. New York: Palgrave MacMillan. Gaard, Greta. (2011). Ecofeminism revisited: Rejecting essentialism and re-placing species in a material feminist environmentalism. Feminist Formation, Vol.23 Issue 2, Edisi Summer. Gebara, I. (2003). Ecofeminism: An Ethics of Life. Global Poverty Project. (2012). Women and Poverty. (Online). (http://www.globalpovertyproject. com/infobank/women, diakses 24 Juli 2013). Hong, Evelyn. (1995).Women as Consumers and Producers in the World Market.(Online). (http://www.twnside.org.sg/title/co nsu-cn.htm, diakses 23 juli 2013). Kirk, G. (1997). Ecofeminism and environmental justice: bridges across gender, race and class. Frontiers: A Journal of Women Studies, Vol. 18, No. 2. MacGregor, S. (2004). From care to citizenship: calling ecofeminism back to politics. Ethics and the Environment, Vol. 9, No.1, Edisi Spring. Maruyama, M. (2003). Deconstructive Ecofeminism: A Japanese

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

Critical Interpretation. Rao, Manisha. (2012). Ecofeminism at the Crossroads in India: A Review. DEP (Online).No.20, 2012 pp.124-142 (http://www.unive.it/media/allegat o/dep/n202012/Ricerche/Casi/11_Rao_Ecof eminism.pdf). Salman, A. (2007). Ecofeminist movement: from the North to the South. The Pakistan Development Review. Vol. 46 No. 4, Edisi Winter. Shiva, Vandana & Maria Mies. (2005). Ekofeminisme: Perspektif Gerakan Perempuan & Lingkungan. Yogyakarta: IRE Press. Sydee, Jasmin and Sharon Beder. (2001). Ecofeminism and globalism: A critical appraisal. Democracy and Nature, Vol. 7 No. 2, Edisi Juli.


Perempuan

LAPORAN UTAMA

dalam Pusaran Konflik Agraria di Indonesia Melly Setyawati, SH. Peneliti di SCN CREST (Semarak Cerlang Nusa Consultancy Research Education for Social Transformation) melly.setyawati@gmail.com flickr.com

P

1

ada 28 Mei 2012, Harian Kompas mengilustrasikan berbagai peristiwa konflik agraria yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, yang akumulatif dan menyisakan luka traumatik di masyarakat. Berdasarkan data tahun 2011 menurut Sawit Watch ada 664 kasus, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 163 Kasus, Walhi mencatat 103 Kasus, Komnas HAM mencatat 738 Kasus, Serikat Petani Indonesia mencatat 120 Kasus, Satgas Mafia Hukum mencatat 910 Kasus, dan Badan Pertanahan Nasional mencatat 14.337 Kasus. Apabila kita mengikuti perkembangan konflik agraria di tahun 2012 ada 2 kasus yang menjadi headline media nasional yakni Tragedi Register 45 Mesuji di Lampung dan kasus “Jahit Mulut� Pulau Padang di Riau. Kedua kasus ini memang berbeda konteks lahan konfliknya namun kemiripannya

adalah kedua kasus tersebut merupakan akumulasi reaksi masyarakat terhadap ekspansi perusahaan di lahan mereka. Ledakan konflik ini masih berlangsung hingga penulis menuliskan ini. Bahkan dalam sebuah situs berita nasional menuliskan bahwa polisi telah menangkap seorang tokoh masyarakat di Mesuji karena melakukan kejahatan kehutanan berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999. Ini menandakan bahwa konflik agraria yang terjadi di Indonesia tidak pernah terselesaikan secara tuntas dan selalu menjadi laten. Sebab belum ada niatan baik dari negara dalam proses penyelesaian konflik yang melibatkan masyarakat secara partisipatif hingga ke akar permasalahannya yakni adanya perampasan tanah. Karena aparat masih menganut asas non ficti yakni menganggap masyarakat sudah mengetahui rumusan peraturan

perundang-undangan sejak diundangkan dalam lembaran negara. Konflik agraria di Indonesia ini sebenarnya sudah terjadi sejak jaman kolonial, yang berupaya membangun perkebunan skala besar. Ditandai dengan terbitnya kebijakan Agrarische Wet 1870, yang mengatur tentang pengakuan hak kepemilikan tanah itu harus berdasarkan bukti surat sertifikasi kepemilikan, ini yang disebut dengan Ipso jure. Padahal masyarakat (pribumi) menguasai tanah secara faktual karena faktanya masyarakat menghuni di wilayah tersebut turun temurun dan orang sekitarnya tahu kalau bertempat tinggal di tempat tersebut, ini yang disebut dengan ipso facto. Namun kolonial Belanda tidak peduli dan tetap memberlakukan asas domein verklaring yang menjadikan semua tanah yang tidak bersertifikat sebagai tanah negara, dimiliki dan dikuasai

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

19


oleh negara. Pola pikir ini yang masih dianut oleh kebijakan negara Indonesia untuk menguasai tanah yang tidak bersertifikat milik masyarakat, guna memperluas perkebunan sawit, mengeksploitasi hutan dan sumber daya alam (SDA) lainnya. Ini yang disebut oleh Noer Fauzi dan Rahma Mary (2012) sebagai bentuk negaraisasi tanah dan hutan adat milik masyarakat menjadi milik negara. Maka konflik pun tidak dapat terhindarkan. Menurut Gunawan Wiradi (Kristianto, 2013) konflik agraria itu terjadi karena objek yang diperebutkan itu berupa tanah dan benda–benda lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air, tanaman, tambang, dan juga udara yang berada di atas tanah bersangkutan bahkan sudah barang tentu ada masyarakat manusia. Maka istilah konflik perkebunan atau konflik kehutanan sebenarnya yang diperebutkan adalah wilayahnya, ager.2Soal Agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan. Tauchid (2009) mengatakan bahwa siapa yang menguasai tanah maka ia menguasai makanan, perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Jadi benar apa yang dikatakan oleh John Locke (16321704) bahwa ledakan penduduk itu tidak menyebabkan kelangkaan tanah namun karena penemuan uang (alat tukar) dan hasrat menumpuk harta yang dapat diuangkan, ini sebagai pemicunya. Yang berupaya memutus ikatan batin masyarakat dengan tanahnya. Kondisi ini yang memicu reaksi dari masyarakat melakukan kekerasan dalam upaya merebut klaim tanah kembali (reclaiming) sebab negara telah menutup ruang–ruang komunikasi dialogis dengan masyarakat. Hasil penelitian Hermansyah (2011) menyatakan kekerasan merupakan bentuk tindakan komunikasi masyarakat

20

untuk menyatakan hak mereka yang telah dirampas. Namun negara tidak meresponnya dengan baik, justru membalas dengan kekerasan yang membabi buta dengan mengerahkan seluruh alat-alatnya. Negara tidak berupaya menghentikan alur kekerasan ini,3 tetapi justru mengkriminalisasi dan menembak masyarakat yang bereaksi balik. Maka biasanya kelembagaan negara yang terlibat mengatasinya adalah lembaga negara yang mempunyai fokus pada bidang keamanan, diantaranya Menkopolhukham, Kepolisian dan TNI. Membaca Alur Kebijakan Pemicu Konflik Negara membenarkan tindakan represifnya, mengapa bisa demikian? Padahal fungsi negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya masyarakat. Maka perlu ada penataan kembali di dalam sistem kenegaraan. Menurut Herry Priyono (2013), adanya tata negara bertujuan untuk menjaga keseimbangan agar kepentingan individu tidak terlalu liberal serta kepentingan penguasa tidak terlalu otoriter. Sehingga berbagai produk kebijakan negara berperan dalam menjaga keseimbangan tersebut. Sayangnya kenyataannya tidak demikian karena kebijakan telah menjadi produk politik kepentingan baik segolongan maupun individu tertentu. Sebab kultur berpikir para aparat negara masih menganut paham “positivistik”yakni dalam bertindak hanya mengacu pada rumusan tertulis dari kebijakan. Peluang ini digunakan oleh para politikus dan pemodal untuk menggunakan kebijakan sebagai alat kepentingan mereka. Salah satunya adalah rumusan kebijakan pembangunan nasional yang tertuang ke dalam dokumen MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Ini merupakan dokumen pembangunan nasional untuk jangka

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

waktu tahun 2011 sampai dengan 2025 berdasarkan pada Undang–undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Rumusan kebijakan tersebut akan berintegrasi ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau yang sering disingkat dengan RPJM untuk periode lima tahunan serta Rencana Kerja Pemerintah atau yang sering juga disingkat dengan RKP untuk periode tahunan. Dokumen MP3EI ini dibuat oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang diluncurkan pada tanggal 27 Mei 2011. Sejak peluncuran hingga Juli 2013 total nilai investasi MP3EI telah mencapai Rp 647,462 triliun dengan jumlah 240 proyek. Yang mana informasi status perluasan proyek bisa diakses langsung oleh publik di situs informasi KP3EI (Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). KP3EI memang mendapatkan mandat untuk memastikan proyek MP3EI berjalan sesuai dengan dokumen. Namun sebenarnya apa yang terjadi setelah pengesahan dokumen MP3EI terhadap masyarakat? Terkait dengan ini penulis menelusuri jejak Undang-undang yang terbit setelah adanya UU Nomor 17 Tahun 2007 dan dokumen MP3EI meskipun temuan ini masih sementara, yang dapat dikembangkan pula oleh pembaca sehingga analisa ini dapat mengakomodir pengalaman perempuan dan kelompok marginal lainnya. Uraian kebijakan di atas hanya gambaran singkat terkait dengan Undang-undang saja meskipun masih banyak peraturan perundangan lainnya yang terbit pasca peluncuran dokumen MP3EI seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Menteri dan lain lain yang menjadi


turunannya. Seperti penerbitan surat izin lokasi oleh kementerian terkait dengan perkebunan dan kehutanan misalkan Surat Keputusan Menteri 327/Menhut-II/2009 tentang ijin Blok Pulau Padang dan masih banyak yang lainnya . Seringkali dalam membaca kebijakan, masyarakat bisa terkecoh karena rumusan substansi telah menuliskan pengakuan tentang hak hak masyarakat khususnya masyarakat adat namun selalu disertai penekanan demi “kepentingan nasional” seperti uraian Pasal 3 Undang–undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Sumber: diolah oleh penulis dari berbagai sumber (Sept, 2013)

Rumusan tersebut dalam penjelasan sudah dianggap cukup jelas. Begitu pula ketika membaca istilah “dikuasai oleh Negara” sebagaimana tertulis pada Pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945. Kedua kata “kepentingan nasional” dan “dikuasai oleh negara” kemudian dipahami oleh aparatus secara etimologis (arti kata) saja, yang pada kenyataannya hanya mengutamakan kepentingan minoritas tertentu saja yakni kepentingan politikus dan pemodal. Kata “dikuasai oleh negara” atau sering disebut dengan Hak Menguasai Negara (HMN) sering

dipahami sebagai hak kepemilikan negara, kepemilikan dalam penguasaan hanya untuk kepentingan yang mengatasnamakan kepentingan negara. Sehingga negara bisa menggunakan dan melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Maka praktik penyalahgunaan wewenang aparatus negara seringkali terjadi di Indonesia yang menyebabkan adanya pembatasan ruang beraktifitas untuk masyarakat. Dahulu masyarakat dengan leluasanya keluar masuk hutan guna memenuhi kebutuhannya sehari hari

tanpa ada masalah dan rasa takut, tetapi terbitnya kebijakan kehutanan dan konservasi telah membatasi ruang masyarakat dengan ancaman kriminalisasi. Terkait dengan ini dalam sebuah diskusi penelitian bulan Juli 2013, Hari jadi Kartodihardjo pernah mengatakan kalau masyarakat menggunakan kayu hanya untuk membangun rumah mereka itu tidak akan mengakibatkan kerusakan hutan karena memang tujuannya hanya ingin membangun rumah tetapi berbeda jika yang melakukan adalah perusahaan karena tujuannya mencari keuntungan.

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

21


Sikap negara ini bisa dibilang “ambigu” atau mendua, sisi lain negara lebih banyak menggunakan kebijakan represif meskipun sebenarnya negara mempunyai banyak kebijakan perlindungan masyarakat. Ini ditandai dengan terbitnya berbagai Undang–undang yang meratifikasi berbagai konvensi diantaranya UU No 7 Tahun 1984 tentang Anti Diskriminasi Terhadap Perempuan; UU No 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvenan Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia; UU No 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvenan Hak Sipil dan Politik; UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang ratifikasi Konvenan Anti Diskriminasi Ras dan Etnis; serta beberapa peraturan lainnya. Disharmonisasi kebijakan ini semakin memicu pula ego sektoral masingmasing kelembagaan pemerintahan sehingga masing-masing kelembagaan bisa menerbitkan kebijakan yang kemudian bisa saling bertentangan. Jadi tidak mengherankan apabila urusan tanah kemudian terkait dengan Kementerian Politik dan Keamanan, Kementerianan Kehutanan, Kementerian Pertanian dan seterusnya. Sekali lagi ini juga yang menjadi peluang bagi para politikus dan pemodal. Dimanakah Perempuan dalam Konflik Agraria? Komunitas masyarakat adat masih menganggap tanah sebagai ibu, orang papua menyebutnya “mama”, orang Bali menyebutnya “pertiwi” dan seterusnya. Yang menandakan ada ikatan batin dan cinta kasih yang kuat antara masyarakat dan tanah karena tanah sebagai tempat tumbuh kembang manusia dan berlanjutnya kehidupan. Di tengah pemujaan tanah sebagai

22

ibu, ironisnya kaum ibu (perempuan) juga menjadi korban. Kondisi perempuan dalam konflik agraria seperti luka dibalik punggung yang awalnya hanya bisa dirasakan perih namun tidak pernah tahu seberapa besar luka itu sebab seperti tidak terlihat langsung. Perlu bantuan cermin atau bantuan mata orang lain untuk melihat apa yang terjadi di balik punggung. Memang dalam situasi konflik agraria seperti ini membutuhkan pendekatan yang lain yakni perspektif perempuan guna melihat sisi lain yang tersembunyi dan terdiam. Menurut penulis sebenarnya perspektif perempuan diwujudkan sikap peduli dan empati terhadap para korban lainnya yang sebenarnya lebih banyak dan mempunyai kebutuhan khusus dalam situasi konflik. Sehingga tidak terbatas perempuan namun juga anak dan kelompok rentan lainnya. Sebagaimana pernah dijelaskan oleh Carol Gilligan dalam karyanya “Dalam Suara Yang Lain” (1997) yang menjelaskan tentang pentingnya etika tanggungjawab yang bertumpu pada pengakuan akan perbedaan dalam hal kebutuhan serta pemahaman yang melahirkan kemurahan hati dan kepedulian terhadap orang lain termasuk perempuan. Dalam konteks ini perempuan itu lebih mengetahui situasi sehari-hari yang mengancam kehidupan (ekonomi) riil keluarganya akibat perampasan tanah. Dalam sebuah penelitian Pusat Penelitian Kehati dan Masyarakat Lahan Basah Universitas Tanjung Pura, menemukan bahwa perempuan mengeluhkan kenapa pohon cabe dan tanaman sayur sudah bisa tidak tumbuh lagi di tengah perkebunan sawit padahal tanaman sayur adalah bahan pangan yang dikonsumsi oleh keluarga mereka sehari-hari. Ini berkaitan dengan kajian ilmiah yang menyatakan sawit adalah tanaman monokultur yang menyerap unsur hara tanah sehingga tidak bisa

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

tumbuh berdampingan dengan tanaman produktif lainnya. Apa yang menjadi keluhan dari perempuan tersebut bisa menjadi gejala ancaman terhadap siklus ketahanan pangan masyarakat. Perempuan juga tersingkir dari pengelolaan lahan. Dulu Kalimantan, perempuan dahulunya terlibat dalam proses panen karet namun sejak terjadinya konversi lahan menjadi perkebunan sawit dan pertambangan maka perempuan tersingkirkan. Akhirnya perempuan pun menjadi buruh migran di Malaysia atau pedila (perempuan yang dilacurkan) di sekitar camp pegawai perusahaan perkebunan maupun pertambangan, ini dilakukan oleh perempuan sebagai bentuk strategi bertahan hidup karena negara tidak memikirkannya. Ternyata kondisi ini juga terjadi di wilayah Trisobo-Kendal yakni upaya PT Karyadeka Alam Lestari yang merampas tanah masyarakat (Kristianto, 2013). Bekerja di Resosialisasi Argorejo (lokalisasi Sunan Kuning) bukan tanpa sebab. Tuti (40), seorang Pedila di resosialisasi Argorejo menuturkan: Keluarga saya petani, keluarga saya sempat menggarap lahan di PT KAL luasnya tanah keluarga 0,5 hektar. Alasannya ndak punya lahan. Waktu itu perekonomian keluarga baik. Bisa buat nyekolahin anak–anak, macem– macem, PT KAL itu yang nyerobot tanah keluarga saya. Saya jengkel. Sekarang bapak dan keluarga menjadi buruh tani. Suami saya bekerja jadi buruh. Sodara jadi buruh semua. Ekonomi sekarang seret, paling Cuma dapat Rp 200.000,00–Rp 300.000,00 padahal pengeluaran banyak.


Sumber: diolah oleh penulis dari berbagai sumber yakni peraturan di www.setneg.go.id dan situs berita nasional (2013)

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

23


Apabila terdokumentasikan dengan baik kondisi yang terjadi di Kalimantan dan Trisobo bisa saja terjadi di sebagian besar wilayah konflik agraria. Perempuan Melawan Ternyata perempuan tidak hanya menggunakan sikap diam untuk menghadapi situasi konflik. Di Molo, Mama Aleta bersama masyarakat adat sekitar bergerak di garis depan untuk melawan dan menghentikan aktivitas perusahaan yang ingin mengeksploitasi gunung batu marmer. Sehingga Mama Aleta harus berhadapan langsung dengan aparatus Negara baik kepolisian maupun pemerintahan. Mama Aleta menggunakan pendekatan keperempuanannya sebagai upaya melindungi tanah kelahirannya dari upaya perusakan. Gerakan Mama Aleta telah menginspirasi beberapa aktivis lingkungan dan kelompok masyarakat di tempatnya bahwa perempuan juga bisa menjadi “penggerak” perlawanan dan perubahan. Memang pendekatan keperempuanan bisa dianggap lebih efektif dalam perlawanan, yakni dengan menggunakan pendekatan emosional, spiritual dan nir kekerasan. Pendekatan ini guna meminimalisir korban dari kalangan masyarakat termarginalkan lebih banyak lagi. Terkait dengan pendekatan keperempuanan ini Vandana Shiva dalam buku Staying Alive (1988) pernah mendokumentasikan tentang upaya perempuan India pada 300 tahun lalu di Desa Bishnoi – Rajastan dalam mencegah penebangan pohon Krejri di wilayah desanya, dengan cara memeluk pohon bersama. Aksi tersebut dipimpin oleh Amrita Devi bersama tiga orang saudara perempuannya, yang kemudian dikenal dengan gerakan chipko yang dalam bahasa lokal berarti memeluk.

24

Perlu Dialog Upaya dialog memang salah satu upaya nir kekerasan dalam menghadapi situasi konflik agraria akibat ulah negara dalam perampasan tanah masyarakat. Namun syaratnya Negara harus punya kerendahan hati untuk mendengarkan dan mengakomodir kepentingan masyarakat serta memahami konteks tanah masyarakat. Dalam berbagai kebijakan Negara rumusan istilah dialog ini bisa berbentuk rumusan istilah apasaja seperti istilah “konsultasi publik” di dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan beberapa kebijakan negara lainnya. Namun seringkali pemaknaannya bisa berubah tergantung siapa yang berpengaruh kuat dalam proses perumusannya. Tetapi rumusan istilah seharusnya mengandung makna bahwa harus melibatkan aktif masyarakat secara sungguh–sungguh terutama dalam perencanaan, pengambilan keputusan dan pengawasan. Partisipasi masyarakat yang dijalankan oleh negara bukan partisipasi semu yang saat ini sudah atau sedang dilakukan, seolah olah sudah menjalankan prinsip partisipatif dengan melibatkan sebagian kecil masyarakat yang dianggap tidak terlalu menyulitkan. Memang proses partisipatif yang sungguh – sungguh membutuhkan kesabaran dalam prosesnya sehingga tidak bisa terlaksana dengan instan. Karena bagaimanapun juga masyarakat itu terlebih dahulu ada sebelum berdirinya Negara Indonesia. Sehingga negara harus bertanggungjawab melindungi masyarakat dari ancaman situasi ketidakadilan, bukan berpihak pada kelompok minoritas tertentu (politikus dan pemodal). Catatan Akhir 1. Penulis akan menggunakan istilah konflik. Menurut Gunawan Wiradi

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

(Kristianto,2013), mengatakan konflik itu terjadi karena klaim itu ditampilkan secara terbuka oleh satu pihak melalui berbagai ekspresi dengan maksud menghilangkan klaim pihak lainnya 2. Ager adalah kata dasar dari “agraria” berasal dari bahasa latin 3. Sebagaimana Dom Camara katakan melalui teori spiral kekerasan, bahwa ketidakadilan terhadap masyarakat dapat menimbulkan aksi dari masyarakat atas ketidakadilan namun, negara meresponnya dengan tindakan represif, respon Negara ini merupakan bentuk sikap ketidakadilan pada masyarakat sehingga alur kekerasan tidak berhenti yang terus menimbulkan aksi dari masyarakat Referensi Gilligan, Carol (1997). Teori Psikologi dan Perkembangan Wanita: Dalam Suara Yang lain. Pustaka Tangga, Jakarta. Kristianto, E. (2013). Keadilan Lingkungan dalam Kebijakan “Agrarian Reform”: Studi Kasus Konflik Agraria di Kawasan Perkebunan PT KAL. Semarang. Hukumonline (2011). Pemerintah Siapkan Masterplan Koridor Ekonomi Nasional. http://www.hukumonline.com/berita/ baca/lt4d4fdb1186b8e/pemerintahsiapkan-masterplan-koridor-ekonominasional. Liputan 6 (2013). http://news.liputan6.com/read/68371 8/mesuji-kembali-memanas-ratusanwarga-kepung-mapolres Mary, R. & Fauzi, N. (2011). Mesuji Cermin Konflik Agraria Yang. Media Indonesia, 26 Desember 2011. Setyawati, M. (2012). Aksi Jahit Mulut untuk Pulau Padang. HuMa, Jakarta. Setyawati, M. (2012). Melawan Kriminalisasi a la 'Agrarische Wet Baru'. ELSAM, Jakarta. Tauchid, M (2009). Masalah Agraria: Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. STPN Press, Yogyakarta. TGPF (2012). Laporan Awal Tim Gabungan Pencari Fakta Kasus Mesuji.


LAPORAN UTAMA

HIDUP

flickr.com

PEDULI LINGKUNGAN, Sulit atau Mudah ? Tommy Apriando Relawan Rifka Media tommyapriando@gmail.com

Sudahkah Anda hidup lebih ramah pada lingkungan? Masihkah anda membuang sampah sembarangan? Boroskah Anda dalam menggunakan air dan listrik kesehariannya?

B

eberapa pertanyaan diatas menjadi refleksi awal dari masing-masing individu untuk bertanya pada dirinya sendiri. Apakah kehidupan kita sudah ramah lingkungan atau belum. Menjalani kehidupan ramah lingkungan tidaklah sulit. Membuang sampah pada tempatnya, menggunakan air dan listrik sesuai keperluannya, seminimal mungkin menggunakan kantong plastik, bersepeda ke tempat kerja (jika tak terlalu jauh) dan berbagai aktivitas hijau lainnya.

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

25


Degradasi lingkungan hidup saat ini semakin meningkat tahun demi tahun. Khususnya permasalahan sampah, yang semakin butuh untuk segera ditingkatkan penanganannya. Volume sampah terus bertambah dalam deret ukur, sementara penanganannya masih belum memadai untuk dapat menjangkau semuanya. Partisipasi dan kesadaran dari pihak masyarakat dituntut untuk lebih terlibat dalam prakteknya maupun inovasinya, salah satunya dengan mempopulerkan kegiatan daur ulang dalam rangka pendidikan lingkungan. daur ulang dalam rangka pendidikan lingkungan. Seperti yang dipaparkan dalam portal Yayasan Hijau, dengan mendaur ulang kertas sebanyak satu ton saja, kita dapat menghemat 17 batang pohon, 14.000 liter minyak bumi, 3 meter kubik lahan pembuangan dan 26.000 liter air. Dengan bantuan 1 batang pohon saja, kita sudah terlindung dari 27 kilogram polutan yang mencemari udara setiap tahunnya. Menghemat bahan bakar, sama artinya dengan mengurangi pelepasan karbondioksida ke udara yang dapat menyebabkan efek rumah kaca. Air perlu dihemat, karena hanya tersedia sekitar 1-3% saja dari seluruh persediaan air di bumi ini, yang siap digunakan (sementara yang lainnya masih berupa air laut dan bongkahan es). Paparan di atas memberikan pandangan begitu berdampaknya aktivitas dan tindakan kita terhadap lingkungan. Jika kita hidup lebih ramah lingkungan, ada beberapa hal kebaikan yang sudah kita lakukan untuk menyelamatkan alam. Dan jika tidak, artinya kita

26

sudah melakukan tindakan perusakan alam secara berkelanjutan. Kondisi alam dan lingkungan hidup saat ini sangat memprihatinkan dan semakin memburuk. Pencemaran dan kerusakan lingkungan pun akhirnya mencuat sebagai masalah yang mempengaruhi kehidupan seharihari masyarakat. Kejadian demi kejadian yang dialami telah memberi dampak yang sangat besar. Tidak sedikit kerugian yang dialami, termasuk juga nyawa manusia. Masyarakat tentunya telah merasakan dampak dari persoalan pencemaran dan kerusakan lingkungan ini. Bumi tidak lagi nyaman untuk dihuni. Terlalu banyak bencana yang dirasakan masyarakat. Banjir bandang, tanah longsor, tsunami, atau kekeringan seolah-olah sudah menjadi fenomena tahunan yang terus terjadi. Sementara itu, pembalakan hutan, perburuan satwa liar, pembakaran hutan, hingga penebangan liar tak pernah luput dari agenda para perusak lingkungan. Permasalahan lingkungan terjadi akibat manusia tidak menyadari bahwa pola kehidupan harus memperhatikan hubungan timbal balik dengan lingkungannya. Manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan. Lingkungan merupakan bagian yang mutlak dari kehidupan manusia. Dengan kata lain, lingkungan sebagai sumber pertama dan terpenting bagi pemenuhan berbagai kebutuhan hidup manusia. Pentingnya lingkungan hidup yang terawat terkadang dilupakan oleh manusia. Ketidaktaatan manusia terhadap lingkungan hidup menjadi pemicu maraknya kasus

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

pencemaran atau perusakan lingkungan. Setiap peristiwa dan kejadian alam sebagai akibat dari kerusakan lingkungan hidup merupakan suatu pertanda bahwa manusia mesti sadar dan berubah. Berbagai permasalahan lingkungan menjadi peringatan bagi kita semua untuk segera menghentikan kerusakan lingkungan. Sebab, persoalan lingkungan bukan lagi suatu hal yang abstrak melainkan nyata dirasakan oleh masyarakat. Untuk menggerakan masyarakat agar lebih peduli lingkungan, gerakan hijau saat ini mulai menjadi tren di Indonesia. Slogan “Go Green” dan “Green Life Style” mulai sering kita lihat dan dengar dan bermunculan. Istilah “Go Green” sendiri tidak memiliki terminologi yang baku. Umumnya, "Go Green” diartikan sebagai upaya dalam penghijauan bumi yang saat ini sudah mengalami pemanasan global dengan tindakan yang nyata dengan mencegah diri dari kebiasaan-kebiasaan buruk dan menanamkan kesadaran yang baik di kehidupan sehari-hari. Kata green mengandung atau berkaitan erat dengan dua konsep utama, yaitu adaptability dan sustainability. Kata sustainability merupakan istilah yang dapat diterapkan pada berbagai unsur dari suatu perubahan lingkungan. Konsep sustainability mendapat banyak perhatian oleh publik akhirakhir ini. Suatu organisasi dapat dianggap sebagai sebuah perusahaan yang berkelanjutan, jika ia menjalankan perusahaannya itu tanpa meninggalkan kerusakan lingkungan ”it needs to operate without leaving a significant footprint on the environment” (Arbogast & Thornton, 2010). Dampak negatif dari kerusakan lingkungan pada tahap sekarang


ini sudah sangat mencemaskan dunia, ambil contoh misalnya, tentang bahaya pemanasan global. Isu pemanasan global, menunjukkan adanya peningkatan suhu bumi sehingga dapat atau telah mencairkan es di Kutub Utara dan Selatan, yang berakibat akan atau telah meningkatnya permukaan air laut. Efek rumah kaca (green house effect) yang menunjukkan terperangkapnya panas, yang tidak dapat ke luar, karena langit yang semakin menebal yang ditutupi oleh gasgas karbon monoksida (CO), CfC (chlourfluocarbon), dan gas-gas sisa pembakaran lainnya, sehingga menambah peningkatan suhu bumi. Dampak negatif terhadap lingkungan lainnya seperti pencemaran oleh limbah beracun (karena limbah yang tidak dapat diolah/dibersihkan sebelum dibuang ke lingkungan), hujan asam, dan yang paling popular adalah adanya lubang ozon di angkasa, yang dapat ditembus oleh sinar matahari (ultra violet) sehingga sinar tersebut tidak tersaring, yang dapat mengakibatkan kanker kulit (Billitteri, 2008:p.994). Bicara soal gerakan hijau juga tidak bisa dipisahkan dengan istilah 4R. Secara sistematis prinsip baku yang sudah menjadi semacam acuan dalam gerakan hijau di seluruh dunia. Prinsip ini dirangkum dalam sebutan singkat yakni 4R. Adapun 4R yang dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah: Pertama, Reduce atau yang bisa kita sebut dengan mengurangi adalah upaya kita sehari-hari dalam mengurangi barang-barang ataupun material yang biasa kita gunakan. Karena dengan meminimalisir hal tersebut akan

Kaum perempuan, tak hanya dipandang sebagai mahluk yang menjadi bagian dari sebuah masyarakat, yang memiliki peran sosial namun bahkan mampu memberikan berbagai inpirasi perubahan demi lingkungan yang lebih berkelanjutan.

dapat mengurangi sampah yang dihasilkannya. Kedua, Reuse atau memakai kembali yaitu dengan cara membeli barang-barang yang bisa dipakai kembali atau barang yang bukan sekali pakai. Perkembangan zaman yang semakin maju menciptakan barang-barang sekali pakai untuk meringankan pekerjaan kita, namun dampak yang dihasilkannya sangat berbahaya, karena akan menyebabkan menumpuknya sampah dari barang tersebut. Ketiga, Recycle yaitu mendaur ulang, kini sudah banyak cara untuk dapat memanfaatkan sampah menjadi barang daur ulang yang bernilai, dengan cara seperti ini kita dapat mengurangi sampah dan menjadikannya barang yang berharga. Keempat, Replace yang bisa kita artikan dengan mengganti yaitu berusaha mengganti barangbarang yang merusak lingkungan dengan barang-barang yang ramah lingkungan, sehingga barangbarang tersebu jika menjadi sampah dapat didegradasi secara alami. Harapan yang muncul kemudian dengan dilaksanakannya prinsip ini, beban yang seharusnya ditanggung bumi bisa berkurang, atau setidaknya jumlah buangan hasil akhir tidak meningkat secara drastis. Membudayakan dan

melaksanakan gerakan Go Green, menjadi bagian dari gaya hidup kita merupakan tindakan penting untuk dilakukan. Karena tidak ada upaya yang paling signifikan, kecuali dimulai dari diri kita sendiri. Itu sebabnya, menyelamatkan lingkungan paling efektif dimulai dari hal-hal kecil. Lahirnya gerakan peduli lingkungan tersebut sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari keresahan yang muncul dari individu-individu yang merasakan adanya ancaman yang besar terhadap kerusakan alam yang terus terdegradasi. Gerakan perubahan untuk alam untuk menjadi lebih baik merupakan pilihan yang perlu dilakukan secara masif dan melalui tindakan konkret. (Rachmad K Dwi Susilo, Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam) Perempuan Peduli lingkungan dan Peluang Usaha Baru Hidup peduli lingkungan seperti menjaga hutan, laut, sungai, sampai memulihkan lingkungan kritis, tenyata bisa menciptakan peluang usaha yang menghasilkan pendapatan bagi individu dan komunitas. Dalam hal ini, perempuan punya andil besar dalam pelestarian alam di Indonesia. Dalam diskusi yang

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

27


diselenggarakan oleh Mongabay Indonesia, di AT Amerika, Jakarta bulan Juni lalu tentang perempuan dan lingkungan dipaparkan bahwa disadari atau tidak, kaum perempuan ternyata menjadi titik kunci dalam menjaga kelestarian alam sekitar. Kaum perempuan, tak hanya dipandang sebagai mahluk yang menjadi bagian dari sebuah masyarakat, yang memiliki peran sosial namun bahkan mampu memberikan berbagai inpirasi perubahan demi lingkungan yang lebih berkelanjutan. Sebagai seorang ibu, kaum perempuan turut berperan mendidik anak-anak yang memiliki kesadaran menjaga lingkungan mereka lewat kebiasaan-kebiasaan keseharian di rumah, seperti membuang sampah di tempatnya, menghemat air saat mencuci tangan, mematikan lampu yang tidak digunakan. (Vandana Shiva, Water wars). Lewat pendidikan yang dibangun sejak dini terhadap keturunan mereka, maka ibu telah mencetak pahlawan-pahlawan lingkungan baru dari rumah, yang memberikan bibit pelestarian lingkungan di level lebih tinggi dan wilayah yang lebih luas. Sebagai seorang ibu rumah tangga, kaum perempuan memiliki otoritas untuk menentukan berbagai penggunaan barangbarang dan makanan yang ramah lingkungan di rumah. Misalnya, penggunaan minyak kelapa sawit, penggunaan kertas di rumah, penggunaan tas belanja, kosmetik yang mengandung kelapa sawit, penggunaan energi listrik, air dan bahkan kendaraan bermotor. Delapan puluh persen barang kebutuhan rumah tangga yang digunakan di rumah, memiliki dampak terhadap lingkungan, baik secara langsung maupun tidak

28

langsung. Anda bisa bayangkan dampak bagi perusahaan kelapa sawit yang tidak ramah lingkungan, jika semua ibu rumah tangga di Indonesia menghentikan penggunaan minyak kelapa sawit untuk rumah tangga. Langkah ini, bahkan jauh lebih memberikan dampak mengerikan dibandingkan 'kampanye hitam' yang dituduhkan kepada sejumlah LSM lingkungan yang ada di Indonesia. Sebagai seorang individu, kaum perempuan pun rentan menggunakan berbagai barang tak ramah lingkungan. Misalnya penggunaan kulit satwa dan bulunya untuk bahan pakaian, lalu berbagai jenis kosmetik yang mengandung minyak kelapa sawit, sabun mandi, sabun cuci yang menghasilkan limbah yang berdampak terhadap air bersih. Bayangkan apa yang terjadi, jika kaum perempuan di dunia ini menghentikan penggunaan kosmetik dan sabun mandi tak ramah lingkungan. (Vandana Shiva & Maria Mies, Ecofeminism: Gerakan Perempuan dan Lingkungan) Hanya saja, ternyata masih sangat banyak hal-hal terkait keberlanjutan lingkungan yang ditentukan di tangan kaum perempuan. Misalnya bahan pangan organik, penggunaan energi terbarukan di rumah tangga seperti tenaga matahari, dan lain sebagainya. Tanpa peran perempuan yang aktif membentuk generasi selanjutnya untuk ramah lingkungan, maka berbagai kerusakan yang terjadi di bumi ini akan terjadi lebih cepat. Tanpa peran perempuan yang memiliki kesadaran untuk memilah penggunaan materi-materi ramah lingkungan maka kita tidak akan

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

pernah bisa menghentikan kerusakan alam dan hutan Indonesia yang masih terus melaju hingga saat ini di angka 500 ribu hektar menurut Kementerian Kehutanan RI. Peran perempuan dalam memilih materi rumah tangga yang ramah lingkungan, jelas lebih sakti dibanding aksi demonstrasi ribuan orang, atau bahkan laporan-laporan lapangan perusakan hutan yang diterbitkan oleh berbagai LSM lingkungan. Memutus rantai penggunaan barang tak ramah lingkungan secara masif jauh lebih signifikan memberi perubahan terhadap pola aktivitas industri kehutanan dan sumber daya alam di Indonesia. Langkah ini, sekaligus kunci untuk memaksa industri ekstraksi sumber daya alam menuju praktek yang lebih berkelanjutan. Seperti beberapa contoh komunitas perempuan di berbagai daerah yang menjadikan momentum pelestarian lingkungan menjadi peluang usaha baru yang menguntungkan. Contohnya di Sumatera Utara, ada Kelompok Perempuan Muara Tanjung. Kelompok ini digerakkan istri para nelayan di Desa Sei Nagalawan, dimotori ibu Jumiati. Delapan tahun lalu mereka menanam mangrove di pesisir pantai desa. Tujuannya, desa mereka bisa selamat dari hantaman ombak, dan banjir rob. Ketika menanam, mereka sempat dicela sebagian tetangga. Bahkan, mangrove ada yang sempat dirusak. Kini, mereka sudah menanam mangrove seluas 12 hektar. Mangrove tumbuh subur. Ikan-ikan, kepiting yang dulu tiada, kini bermunculan. Burung migran dunia pun singgah. Tempat itupun kini menjadi ekowisata dengan nama Wisata Kampung Nipah. Ia


menjadi wisata menarik bagi mahasiswa dan masyarakat luar yang ingin menikmati kehidupan alam asli. Dari mangrove ini mereka bisa membuat sirup, dodol, kerupuk, teh sampai tepung kue. “Kini kami tidak lagi tergantung rentenir ketika suami tidak melaut,” katanya saat berbagi cerita dalam acara Kewirausahaan Komunitas Menuju Gerakan Indonesia Hijau, di Jakarta, 12 September 2013 seperti dikutip dari mongabay.co.id. Mereka pun bisa membeli perahu sendiri untuk para suami. Keuntungan pun bisa untuk membeli bibit mangrove, cemara, bahkan membuka usaha lain hingga menyerap tenaga kerja. Menilik contoh yang lain, salah satunya pengalaman masyarakat Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Lembata dikenal sebagai daerah gersang dengan sebagian warga menjadi tenaga kerja ke luar negeri, terutama Malaysia. Banyak perempuan-perempuan menjadi janda. Jadi, ada kelompok perempuan Jamal (Janda Malaysia) alias menjadi janda karena suami ke Malaysia. Kelompok ini hidup dengan kearifan lokal, misal membuat kerajinan tangan, sampai menenun. Kini, mereka bisa membiayai kebutuhan hidup sehari-hari. Di Yogyakarta, ada kelompok perempuan yang peduli kelestarian tenun dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka mendirikan perusahaan sosial, Lawe. Mereka mau memastikan tenun di pelosok Indonesia tidak punah. Di Jakarta, ada Yayasan Ciliwung Merdeka. Yayasan ini menggerakkan warga di Bantaran Kali Ciliwung agar membersihkan sampah, menata lingkungan sekaligus menghasilkan pendapatan. Sampah diolah menjadi berbagai produk seperti

tas, mainan anak, bros, juga kompos dan biogas. Masih banyak cerita-cerita menarik dari komunitas-komunitas wirausaha 'hijau' lainnya. Catharin Dwihastarini, Koordinator Nasional Global Environment Facility – Small Grant Program GEF-SGP), seperti dikutip dari Mongabay.co.id mengatakan, kewirausahaan komunitas ini contoh kongkret ekonomi rakyat yang “hijau” untuk Indonesia. “Ia bisa menghidupkan ekonomi rakyat, sekaligus menjamin keberlangsungan kelestarian lingkungan hidup dengan nyata,” kata Catharin. Berbagai aktivitas di atas merupakan suatu usaha baru yang diperoleh dari kepedulian mereka terhadap lingkungan. Mereka berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk lingkungan, mendapatkan usaha sekaligus menyelamatkan lingkungan. Apa yang mereka lakukan juga bisa Anda lakukan. Menjadikan kepedulian menjadi peluang usaha yang bermanfaat untuk Anda, komunitas dan banyak orang. Aktivitas peduli lingkungan menjadi peluang usaha menguntungkan dinilai baik oleh banyak kalangan. Akan tetapi, kritik mendalam juga datang dan bermunculan. Sadar atau tidak, masyarakat Indonesia mempunyai kebiasaan yang latah dan cenderung ikut-ikutan. Hal ini juga berlaku untuk gerakan hijau atau Go Green. Belakangan ini, latah Go Green mewabah di dunia Di korankoran, di majalah, di televisi, di buku-buku, di kartu nama, di tas belanjaan, bahkan di mug yang kita pakai minum pun bisa kita temukan slogan Go Green. Lahirnya komunitas hijau dari berbagai kalangan, baik anak-anak, anak muda, orang dewasa dan tua

sekalipun menunjukkan gerakan hijau lahir sebagai bentuk untuk penyelamatan alam yang lebih lestari dan lebih baik. Akan tetapi, belum tentu semua yang tergabung dalam gerakan hijau tersebut punya tindakan dan idiologi yang matang tentang penyelamatan lingkungan. Persentase individu yang hanya ikut-ikutan pastinya ada. Begitu juga terkait dengan persoalan bisnis. Mulai dari properti, makanan, masakan, sekolah, universitas dan lainnya, ramai-ramai melabeli Go Green. Padahal dalam implementasi dan penerapannya belum tentu sesuai dengan pelabelannya. Persoalannya kemudian adalah, bermunculannya lembaga sertifikasi pelabelan Go Green. Selain itu, pada tingkatan yang lebih parah, tidak sedikit pengusaha yang tidak bertanggungjawab, dengan sengaja memanfaatkan identitas 'green' untuk memanipulasi konsumen atau mitra bisnisnya. Manipulasi dilakukan dengan cara menggunakan identitas 'green' secara berlebihan, yaitu melalui peralatan dan bahan pemasaran mereka. Mulai dari kartu nama, website, brosur, pamflet, katalog, amplop, bahkan dengan sengaja membuat souvenir atau merchandise yang beridentitas 'green' untuk diberikan kepada calon konsumen atau calon mitra bisnisnya. To Suprapto, sebagai petani organik di Sleman, mengatakan ketidaksetujuannya dengan munculnya lembaga-lembaga swasta untuk melabeli dan memberikan sertifikasi 'green product'. Seharusnya pemerintah sendiri yang turun tangan. Akan tetapi, keterlibatan pemerintah juga

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

29


harus dilakukan secara transparan. “Pelabelan 'green' untuk berbagai hal tidak boleh dijadikan kelompok tertentu hanya untuk meraup keuntungan yang sebesarbesarnya,” kata To Suprato. Tidak bisa dipungkiri adanya pengusaha jujur yang sungguhsungguh mendukung gerakan Go Green dengan cara mempraktekkan apa yang disebut dengan Green Business mulai dari penataan proses pembuatan barang yang memenuhi standar business sustainability, menghasilkan produk-produk ramah lingkungan (green product), sampai dengan dukungan terhadap gerakan Go Green di wilayah operasional perusahaannya. Hanya saja, tidak sedikit juga pengusaha (atau perusahaan) sengaja atau tidak telah mendistorsi gerakan Go Green. Peduli Lingkungan = Peduli Masa Depan Tindakan melestarikan lingkungan hidup merupakan kebutuhan yang tidak bisa lagi ditunda, masyarakat perlu menanggapinya secara serius dengan mengusahakan suatu solusi terbaik. Peduli lingkungan merupakan jawaban sederhana atas persoalan lingkungan yang semakin kompleks. Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sangat diperlukan sebagai satu hal utama dalam lingkungan sehat di masa mendatang. Masyarakat harus memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian lingkungan hidup. Masyarakat seharusnya semakin menyadari akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup demi generasi mendatang. Proses penyadaran tersebut juga dapat dilakukan sebagai kebiasaan

30

yang turut membentuk rasa tanggung jawab masyarakat dalam mempergunakan lingkungan. Hal penting yang harus diingat adalah lingkungan hidup yang ada sekarang bukanlah warisan dari nenek moyang yang dapat kita gunakan begitu saja. Kita juga harus mampu memanfaatkannya dan menjaga kelangsungan serta kelestarian lingkungan agar dapat digunakan oleh generasi selanjutnya. (Robin Attfield, Etika Lingkungan Global). Siapapun mereka juga harus melakukan usaha untuk menyelamatkan lingkungan hidup di sekitarnya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Masyarakat harus kembali memulai bersahabat dengan lingkungan yang ada. Dimulai dari hal kecil, masyarakat cukup melakukan perbuatan sederhana dan tidak perlu memaksakan diri. Hal-hal kecil yang dapat dilakukan, misalnya membuang sampah pada tempatnya, melakukan penghematan listrik, penghematan air, menghemat bahan bakar minyak, dan sebagainya. Yang terpenting adalah kesadaran diri. Masyarakat harus menanamkan pikiran bahwa segala sesuatu yang baik harus dimulai dari diri sendiri, jangan menunggu orang lain untuk berbuat kebaikan. Sekecil apa pun usaha yang kita lakukan sangat besar manfaatnya bagi terwujudnya bumi yang layak huni bagi generasi mendatang. Sudah saatnya kita semua menyadari akan pentingnya menjaga ekologi. Jika lingkungan hidup sudah rusak, bagaimana nasib generasi mendatang? Apa pun yang kita lakukan pada alam akan mempengaruhi mereka nantinya. Baik dan buruk kita yang menentukan. Berbuat peduli

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

lingkungan tidaklah sulit. Mari berbuat dan lakukan perubahan untuk alam yang lebih lestari. Referensi Robin Attfield, “Etika Lingkungan Global” Kreasi Wacana, Yogyakarta. Arbogast &Thornton (2010), “A global corporate sustainability model”. Billitteri, T.J (2008). Reducing Your carbon Footprint. CQ Researchers, 18 December 5, 985-1008. Retrieved on March 25, 2010. Blog Unsri. “Go Green, Jangan Latah”. http://blog.unsri.ac.id/widijatmiko/go -green-jangan-latah/sr/3810/ Dr. Ardan, “Green Communication” Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) – Journal. Sapariah Saturi, “Mereka yang Temukan Peluang Usaha dari Menjaga Lingkungan”, diunduh 2 Oktober 2013 melalui http://www.mongabay.co.id/2013/09/ 15/mereka-yang-temukan-peluangusaha-dari-menjaga-lingkungan/ Hijau.or.id, “karena ada banyak hal yang dapat kita hemat. http://www.hijau.or.id/index.php/14artikel/opini/36-karena-ada-banyakhal-yang-dapat-kita-hemat KSDA Sulteng Online. “Go Green”, http://www.ksdasulsel.org/konservasi /176-go-green Rachmad K Dwi Susilo. “ Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam.” Ar-Ruzz Media. Vandana Shiva & Maria Mies, 2005. “Ecofeminism: Gerakan Perempuan dan Lingkungan”, IRE Press Yogyakarta. Vandana Shiva. Water Wars : Privatisasi, Profit dan Polusi. Insist, Yogyakarta.


LAPORAN UTAMA

Nur Supiantini:

Selamatkan Lingkungan Mulai Dari Rumah Niken Anggrek Wulan Relawan Humas dan Media Rifka Annisa nikenanggrek@gmail.com

S

iang itu Rifka Media berkendara melewati Jalan Godean, Sleman. Sinar surya yang panas menyengat membuat kami tak tahan berlama-lama di jalan. Menuju Kecamatan Sidoarum, Sleman (sekitar enam kilometer dari Jogja), kami pun tak sabar mendapatkan inspirasi dan pengalaman baru. Suasana panas berangsur-angsur hilang ketika memasuki gerbang bertuliskan Perum Gumuk Indah. Sisi kanan dan kiri jalan jembatan dicat hijau, dihiasi tanaman pucuk merah yang ditanam di dalam beton bundar. Di pojok jalan terlihat dua tong bertuliskan sampah plastik, kertas, dan satu tong berisi sampah dedaunan. Rasa gerah berangsur menjadi nyaman, apalagi setelah memasuki halaman rumah Nur Supiantini. Berbagai tanaman, seperti cabai, lidah buaya, tomat cheri, dan sawi berjajar memenuhi halaman ukuran 6 x 1,5 meter. Ternyata, tak butuh tempat yang luas untuk menanam berbagai tanaman yang menyejukkan mata di rumah Nur. Tomat ranum sungguh menggiurkan untuk dipetik. Rak-rak bertingkat berisi sawi menghiasi depan rumah. Pandangan kami beralih ketika seorang perempuan berkerudung membukakan pintu rumahnya. Wajah ramahnya mempersilakan kami bertiga memasuki rumah bercat abuabu itu. “Saya ibu rumah tangga, sudah lama,” kata perempuan itu sumringah

Nur Supiantini

ketika ditanya soal apa kesibukannya. Sebagian orang mengidentikkan ibu rumah tangga bekerja hanya seputar pekerjaan-pekerjaan domestik. Tapi orang akan segera tertegun ketika bagaimana Nur Supiantini berkiprah seputar unit kegiatan masyarakat, lingkungan, serta bank sampah. Terganggu Perempuan yang sudah tiga tahun menjabat Ketua Kader Lingkungan RW 26 itu ingat, awalnya, perumahan yang pertama kali dihuni pada tahun 1994 itu amat berdebu. Di beberapa sudut kompleks kerap terlihat gundukan sampah. Plastik-plastik sampah banyak bertebaran di sekitar perumahan yang diapit oleh dua sungai itu. Meski ada petugas yang mengambil sampah setiap hari, lingkungan rumah tak kunjung nyaman dihuni. Sampah rumah yang diambil petugas sampah hanya ditumpuk di belakang kompleks. Hasilnya, kian hari sampah makin menggunung dan mengeluarkan bau tak sedap. Untuk mengurangi bau dan ketinggiannya, setiap sore sampah dibakar oleh petugas. Akibatnya, asap memenuhi rumahrumah warga. “Klepepek (sulit bernapas—red) rasanya,” ungkap Nur ketika diminta bercerita masa lalu kondisi lingkungannya. Saat itu, Nur makin khawatir dengan kondisi kesehatan diri dan keluarganya. Apalagi ia dipusingkan dengan lalat yang berterbangan di

dalam maupun di luar rumah. “Di meja makan ada lima atau enam lalat berterbangan. Sangat mengganggu,” kenang lulusan Biologi Lingkungan Universitas Gadjah Mada itu. Terlebih ketika demam berdarah dan diare juga sering menjangkiti warga. Meski begitu, ibu dua anak ini tak mau hanya menggerutu. “Itu sampah kita semua kok. Kita juga (yang) egois, mau buang di situ dan bayar, tapi baunya nggak mau,” kata perempuan kelahiran Jakarta itu. Dari situ, batinnya terusik. Ia pun mulai memikirkan bagaimana cara agar lingkungan rumahnya lebih sehat. Apalagi, ia sangat teringat nasehat dosennya, yang mengingatkan bahwa saat ini kita hidup di satu dunia dengan penduduk yang kian bertambah. Faktor itu menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Dari kata-kata pengajarnya itu, ia bertekad bagaimana sebisa mungkin ikut andil dalam menghijaukan dan membersihkan lingkungan. Ubah kebiasaan Keinginan Nur ternyata sejalan dengan sebagian besar warga yang juga mengidamkan menikmati hidup yang lebih nyaman dan bersih. Oleh sebab itu mereka sepakat untuk mengundang narasumbernarasumber terkait pengelolaan lingkungan setiap malam tirakatan. Sebut saja aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), lembaga swadaya masyarakat, serta Kepala

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

31


Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada. Pada 2007, warga makin tergerak untuk menyelamatkan lingkungan setelah mendengar penjelasan tentang pengelolaan sampah dari Widi Andayani, LSM Padmaya yang bekerja sama dengan Unilever. Perumahan dengan 140 keluarga pasti menghasilkan sampah yang tak sedikit sehingga memunculkan ide untuk memilah sampah. Nur bersama para kader di RW 26 pun getol mengajak para warga untuk mulai memilah sampah dan memperindah lingkungan. Setelah ada komitmen dari semua warga, para Ibu mendorong anggota keluarganya untuk peduli terhadap lingkungan dan mengubah kebiasaan. Bapakbapak membantu dengan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan. Sampah yang semula dicampur, dipilah. Caranya, sampah kertas, plastik, logam/kaca, serta sampah organik ditempatkan di tempat terpisah. Sampah yang dipilah diambil oleh salah seorang warga yang bersedia menampungnya. Sedangkan sisa sampah seperti plastik basah, pembalut, atau popok sekali pakai tetap diambil oleh petugas sampah keliling untuk dibawa ke tempat pembuangan umum. Ibu dua anak itu juga mengajak kerjasama Dinas PU Kimpraswil. Dinas itu setuju untuk membantu dengan memberikan sosialisasi pemisahan sampah serta tong sampah warna biru sebanyak 8 buah. Pengurus RT dan RW pun turut memberi fasilitas. Walhasil, setiap RT menjadi mudah untuk mengumpulkan sampah yang telah dipilah. Menjadi Ketua Kader Lingkungan dan menerapkan program pemilahan sampah, membuat keluarga Nur harus mengubah kebiasaannya. Yang dulunya sampah dicampur begitu saja, mereka mulai memilah sampah sayuran, kertas, plastik, dan kaca. Ia mencontohkan perilaku itu tiap hari

32

Ibu RW, Nur Supiantini dan Aryantinah di depan Bank Sampah

pada keluarganya. Kebiasaannya memilah sampah sampai-sampai membuat keponakannya bertanya, “Budhe pemulung ya?� tirunya sambil tertawa. Setelah dijelaskan manfaatnya, keponakannya justru tertarik untuk memilah sampah. Prestasi Pada 2008, warga RW 26 memutuskan untuk mengikuti lomba Green and Clean, sebuah lomba yang diadakan oleh Unilever. Lomba yang bertujuan memberdayakan masyarakat dalam penanganan limbah domestik, pembuatan kompos, dan kegiatan penghijauan itu diikuti oleh 50 peserta se-Sleman dan Yogyakarta. Dalam lomba itu dinilai tentang pemilahan, pengelolaan, penghijauan, serta partisipasi warga. RW 26 Perumahan Gumuk Indah mendapatkan juara ke4. Tak putus asa, mereka kembali mengikuti lomba bertema lingkungan lainnya pada Juni 2010, yaitu lomba penghematan, pendayagunaan, serta pelestarian air dan mendapatkan nominasi 10 besar.

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

Keinginan untuk memperindah lingkungan tentu tak lepas dari aral melintang. Suatu saat, salah satu warga yang bertugas menampung dan menjual sampah, lama kelamaan tak sanggup lagi menampung sampah yang telah dipilah. Ia lalu menyerahkan pengelolaannya kepada RW. Di saat yang bersamaan, pada Oktober 2011 beberapa kader lingkungan mendapatkan pelatihan dari pemerintah mengenai bank sampah. Oleh sebab itu, bank sampah menjadi jalan keluar dari permasalahan tersebut. Dibentuklah bank sampah pada November 2011. Bank sampah adalah sistem layaknya perbankan biasa. Bedanya, yang ditabung bukan uang melainkan sampah. Warga yang menabung juga disebut nasabah dan memiliki buku tabungan. Selain itu bank sampah mempunyai sistem simpan pinjam, dimana uang yang dipinjam dikembalikan dengan sampah dan atau uang. Saat ini, Bank Sampah RW 26 yang dinamai Bank Sampah Griya Sapu Lidi telah mempunyai 126 nasabah, yang kesemuanya


beranggotakan para Ibu. Tak cukup hanya bergerak di bidang pemilahan sampah, Nur bersama tiga ibu lainnya yang mendapatkan pelatihan pertanian perkotaan dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta dan mempraktekkan apa yang telah didapatkan di latihan. “Hasil dari training kita terapkan, sehabis itu kita kasih contoh ke warga. Setiap kader diwajibkan mempunyai tanaman di depan rumah,” jelas Nur. Cabai, tomat, terong, sawi, di rumah dan hasilnya dijual di pertemuan RT. Meski begitu, untuk mengajak warga tidaklah semudah membalikkan tangan karena menurutnya, tidak setiap orang suka tanaman. Belum lagi cuaca juga menentukan baik tidaknya hasil panen. “Karena di lahan terbuka, ketika hujan tanaman (rentan) busuk. Sedangkan ketika kemarau harus rajin disiram,” jelasnya. Sehingga praktek pertanian kota harus dikerjakan oleh orang yang memang telaten. Saat itulah, pendekatan yang dilakukan oleh kader menentukan. “Kalau cabai lagi mahal, satu kilo bisa seratus ribu lho. Kalaupun bikin mi instan juga gampang, tinggal ambil sawinya di depan rumah,” tiru Nur ketika menceritakan bagaimana kader meyakinkan warga. Usaha yang konsisten itu berbuah manis. Pada November 2011 mereka diumumkan menjuarai Juara Pertama Green and Clean tingkat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal itu tak mudah, mengingat peserta lomba yang mencapai 80 peserta. Bank sampah Memenangkan juara pertama tak membuat Nur serta kader lainnya kehilangan konsistensi menggerakkan warga untuk menjaga lingkungan. Bank sampah yang semula hanya meminjam salah satu halaman warga semakin berkembang. Dengan dana swadaya, warga dapat membangun bangunan bank sampah, unit kegiatan masyarakat, dan bangunan penyetoran sampah. Lahan yang

digunakan adalah lahan rukun warga. Di pinggir lapangan bulutangkis yang berbatasan dengan sungai terdapat sisa tanah 7 x 3 meter. Tanah itulah yang dipakai untuk mendirikan bangunan yang mulai dimanfaatkan pada Juli 2012. Tak seperti bank pada umumnya yang mengiklankan tingginya bunga, fasilitas, atau gebyar hadiah, bank sampah menawarkan keuntungan berupa lingkungan yang nyaman dan bersih. Sebab, apabila ditilik secara keuntungan rupiah, bisa dikatakan bank sampah tidaklah menghasilkan nominal yang tinggi. Kurun waktu satu tahun misalnya, sampah yang disetor salah satu warga Rp 85.000. Ketika ditanya rata-rata sampah yang dihasilkan nasabah tiap tahunnya, Aryantinah tidak bisa mengemukakannya, karena itu sangat beragam. “Sampah keluarga nggak mesti tiap bulannya berapa,” jelas Aryantinah selaku Ketua Bank Sampah. Ia menambahkan, meski nominal sampah kecil, tetapi ketika dibuang sembarangan tentu akan menimbulkan masalah. “Tidak semuanya mempunyai sampah yang berharga jual tinggi, seperti koran atau besi,” jelasnya. Ia lebih menekankan manfaat sosial bank sampah dibandingkan keuntungan material. Sampah yang dapat ditampung di bank sampah adalah sampah-sampah yang dapat dijual ke pengolah sampah. Sebut saja seperti plastik daun, duplex, kertas koran, plastik putih, kresek, kertas semen, kertas HVS, botol sampo, serta botol air mineral. Sampah yang disetor juga harus bersih. Artinya, apabila ada plastik bekas soto, plastik tersebut harus dicuci dan dikeringkan terlebih dahulu. Hal itu otomatis juga mendorong warga untuk mengurangi penggunaan sampah plastik. Karena, mereka sadar menggunakan plastik yang kemudian kotor tidaklah mudah untuk didaur ulang. Untung Warga dapat menyetorkan sampah ke

bank sampah setelah dipilah berdasarkan jenisnya. Umumnya mereka menyetor ketika sampah yang dipilah sudah cukup banyak. Sehingga, satu dengan warga lain mempunyai siklus penyetoran sampah yang berbeda-beda. Ada yang dua bulan sekali, tiga bulan, atau empat bulan sekali. Hal itu tergantung banyaknya sampah yang telah dipilah dan rajin tidaknya nasabah untuk menyetor. Sampah yang disetor selanjutnya ditimbang oleh petugas. Petugas bank sampah berjaga setiap Senin, Selasa, Sabtu, yang beranggotakan Ibu-ibu kader. Di situ membuktikan lagi, bahwa peran ibu-ibu tidaklah kecil. Mereka bertugas dengan sukarela, tidak digaji. Kerja sukarela tersebut terus dipertahankan. Menurut Aryantinah, sistem penggajian tidak dilakukan, supaya warga lain lebih disiplin dalam memilah sampah. “Karena (mereka) ada rasa tidak enak ketika sampah yang dipilah tidak bersih atau dicampur seenaknya,” ucap Suryantinah. Sampah yang telah ditimbang, kemudian dihargai menurut jenisnya. Plastik kresek misalnya, dihargai Rp 200 per kg; kertas buram Rp 700 per kg; dan botol sirup, dihargai Rp 100 per botol. Setelah nominal harga ditotal, maka warga mendapatkan slip serta uang hasil penjualan sampah. Apabila tidak diambil, uang tersebut akan masuk ke tabungan si nasabah yang menyetorkan sampah. Sampah yang terkumpul di bank sampah selanjutnya akan diambil oleh pengepul yang sudah menjalin kontrak kerja sama dengan bank sampah. Keuntungan bank sampah didapat dari selisih harga jual ke pengepul dan harga beli sampah dari warga. Selain itu, keuntungan bank sampah juga berasal dari pengemasan sampah. Misal, botol air mineral yang dikelupas merek serta tutup dan ring tutupnya dihargai lebih mahal di pengepul. Dari yang sekilo Rp 1.200, setelah dikupas merek, tutup, serta ring tutupnya,

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

33


dihargai oleh pengepul Rp 3.900. Keuntungan juga didapat dengan memilah sampah kertas yang awalnya tercampur. Sampah kertas campuran milik warga dihargai dengan harga kertas yang terendah. Misal, campuran koran, HVS, duplex disetorkan dalam bentuk tercampur, maka total beratnya dihargai harga kertas terendah, yaitu duplex Rp 400. Setelah dipilah oleh petugas bank sampah, sampah kertas yang dipilah dihargai sesuai harga masing-masing kertas. “Misal, ketika warga menyetor sampah nominal Rp 90-ribu, kami bisa mendapat keuntungan sebesar Rp 30-ribu, karena sistem pemilahan tersebut,” jelas Aryantinah. Simpan pinjam Sejak berdiri November 2011 hingga Juni 2013, Bank Sampah Griya Sapu Lidi tercatat telah berhasil mengelola sampah warga sebanyak 4,399 ton. Omset yang diperoleh sebesar Rp 6.310.870 dan keuntungan yang didapat bank sampah sebesar Rp 2.414.005. Keuntungan itu dikembalikan kepada warga, dalam bentuk pembelian komposter untuk sampah organik, serta hadiah lomba pemilahan sampah antar dasawisma yang diadakan tiap tahunnya. Dengan keuntungan yang terkumpul, Bank Sampah Griya Sapu Lidi juga memiliki fasilitas simpan pinjam mulai Februari 2013 lalu. Uang dipinjamkan kepada warga yang rajin menyetor sampah. Pengembalian setoran dikembalikan dalam bentuk sampah atau uang, tergantung kemampuan. “Kalau sudah (ikut) simpan pinjam, harus rajin menyetor,” jelas Aryantinah. Sehingga, selain untuk membantu warga, fasilitas simpan pinjam juga mendorong warga untuk rajin menyetorkan sampahnya. Tak hanya berhenti dengan bank sampah, Nur dan ibu-ibu lainnya mengolah sampah plastik bekas kemasan makanan menjadi produkproduk yang menarik. Sebut saja tas kerja, tas laptop, kalung, bros, dompet, yang terbuat dari kawul alias

34

kemasan makanan yang diguntinggunting seukuran batang korek api. Tenaga pengguntingnya adalah ibuibu rumah tangga, sehingga secara langsung makin memberdayakan mereka. Satu kilo kawul dihargai 10—12 ribu, tergantung halus tidaknya hasil guntingan. Kawul tersebut digunakan untuk bahan membuat tas, bros, dan kerajinan lainnya. Khusus untuk tas, Nur menjahitkan tas kepada temannya yang sudah berpengalaman dengan terlebih menyetor bahan kawul. Model-model yang dibuat mempunyai desain yang menarik dan warna-warna yang memikat. Bagi orang yang tidak tahu, tidak akan mengira bahwa tas

Peran perempuan Di balik cerita suksesnya prestasi yang di raih, tentu ada kerja keras dari setiap warga, baik itu remaja, bapakbapak, maupun ibu-ibu. Di kalangan perempuan atau ibu-ibu sendiri khususnya, kekompakan merupakan unsur yang wajib. “Kalau kita lagi nglokro (tak bersemangat) gitu, dengan bercerita sama ibu-ibu lain jadi semangat. Ibaratnya, seperti HP, mereka adalah charger-nya,” jelas Nur ketika ditanya bagaimana ketika hilang semangat dalam menjalankan berbagai kegiatan yang ada. Intinya, mereka saling menyokong satu sama lain dan saling menyemangati. Ketika ada keluh kesah, ibu-ibu lain dengan senang hati akan menanggapi.

Aryantinah Ketua Bank Sampah RW 26

tersebut terbuat dari sampah. Atau, bagi yang mengetahui, bahan tas yang terbuat dari sampah justru menjadi nilai plus, karena ikut serta dalam mengurangi sampah. Dengan harga tas berkisar antara 20—100 ribu, dari Maret 2013 sampai Oktober 2013 mereka sanggup mengumpulkan omzet sebesar 10juta.

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

Dalam melakukan aksi yang berkaitan dengan lingkungan, perempuan memang cenderung berjejaring dengan perempuan lainnya untuk menjaga lingkungannya. Penelitian Koesrimardiyanti (2011) menyebutkan, perempuan merasa lebih nyaman bekerja dengan rekan perempuan lainnya, antara lain karena


persamaan gender dan peran sosial mereka di dalam masyarakat. Di pemukiman informal (unplanned settlements), perempuan seringkali menjadi motivator utama dari pengumpulan sampah. Mereka mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan suatu sistem pengumpulan sampah berbasis masyarakat, namun suara mereka jarang didengar oleh anggota komunitas lainnya. Kemitraan di dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat sangat penting untuk melibatkan perempuan dan generasi muda, karena mereka seringkali memiliki peran yang istimewa dalam kegiatan ini (Anzchutz, 1996 dalam Koesrimardiyanti, 2011) Kepandaian perempuan dalam memotivasi serupa dengan cerita Aryantini, Ketua Bank Sampah di RW 26 Perumahan Gumuk Indah yang mempunyai anak berusia 5 tahun. “Dulu, seperti saya ini, kalau jalanjalan di Malioboro beli kacang, kulitnya langsung dibuang. Tapi kalau sekarang, anak saya tidak seperti itu. Kalau ada orang buang sampah dia akan berkata, 'Ih nggak tahu aturan, buang sampah kok sembarangan.' Ketika anak saya ditanya diajari sama siapa, dia akan menjawab diajari Ibunya,” jelas Aryantini sambil tertawa. Tak hanya itu, bagi Aryantini hal itu juga menerbitkan kebanggaan. Ketika ditanya apa pekerjaan ibunya, anaknya akan menjawab dengan bangga, “Ibu kerja di bank sampah,” tambahnya. Pengelolaan sampah yang melibatkan perempuan, sebenarnya bukan hal baru. Perempuan dan lingkungan merupakan komponen yang tak terpisah. Perempuan lah yang paling sering bersentuhan dengan air, tanah, dan unsur lingkungan lainnya. Tak heran, perempuan menjadi pihak yang paling khawatir terhadap kerusakan lingkungan. Mereka berusaha sekuat mungkin untuk menjaga lingkungannya nyaman dihuni dan tidak membahayakan anggota keluarganya.

Prof DR Ir Zoer'aini Djamal Irwan MS dalam bukunya Besarnya Eksploitasi Perempuan dan Lingkungan di Indonesia menuturkan bahwa hasil penelitian pemberdayaan perempuan dan pengelolaan sampah di Jepang (2000) serta hasil penelitian pemberdayaan perempuan dan pelestarian budaya di Matsudo Jepang (2005), memperlihatkan besarnya peranan perempuan dalam pengelolaan sampah. Menurut hasil kajian Studi Menyusun dan Mengembangkan Indikator Keberhasilan Perempuan dalam Pengelolaan Lingkungan (SM2IKP2L) (2000) dalam sumber yang sama, perempuan pada hakikatnya berjasa besar dalam pemeliharaan lingkungan. Partisipasi perempuan dalam pengelolaan lingkungan, mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kondisi kualitas lingkungan. Semakin besar partisipasi perempuan dalam pengelolaan lingkungan, maka lingkungan semakin terpelihara. Dalam sumber itu juga dikemukakan bahwa perempuan Indonesia mempunyai berbagai kebiasaan dalam pengelolaan lingkungan, terutama dalam hal pemeliharaan. Ibu-ibu terbiasa menyapu dua kali sehari, pada pagi dan sore hari. Mereka juga membuang sampah dan melakukan pengelolaan sampah. Perempuan juga terbiasa memanfaatkan ruang terbuka yang ada di rumah dan sekitarnya dengan menanami dengan berbagai jenis tanaman untuk penghijauan. Perempuan juga pandai sekali memotivasi anggota keluarga serta masyarakat sekitar. Terutama mendidik anak-anak untuk pandai mengelola lingkungan rumah dan sekitarnya. Hasil penelitian Pengkajian, Pengembangan, dan Pembinaan Pemasyarakatan Kegiatan Organisasi Wanita di Bidang Lingkungan Hidup (P4OWLH) (1999) juga menunjukkan bahwa perempuan mempunyai kepedulian yang sangat besar terhadap lingkungan khususnya terhadap limbah rumah tangga.

Di satu sisi, budaya yang mendorong perempuan tetap tinggal di ranah domestik masih menimbulkan masalah dan mengakibatkan ketimpangan gender. Namun, di sisi lain perempuan makin mempunyai andil yang amat besar dalam pemeliharaan lingkungan dalam lingkup rumah tangga. Pengetahuan perempuan terkait lingkungan juga menjadi amat menentukan dalam mendorong peningkatan kualitas lingkungan. Bagi Nur, bergerak dalam bidang lingkungan membuat ia mendapatkan berbagai manfaat. “Ada manfaatnya untuk lingkungan, tetapi juga ada manfaatnya untuk keluarga. Kita punya sayuran yang lebih sehat, tanpa pestisida. Alhamdulillah, kalau check up, selama ini tidak ada keluhan. Saya rasakan hasil itu. Nggak neko-neko. Berkolaborasi dengan alam bermanfaat bagi kita,” ucapnya sembari tersenyum. Di saat permasalahan lingkungan makin serius, langkah yang dilakukan Nur, para kader, dan warga patut sangat diapresiasi. Selain itu, bagaimana perempuan berkiprah menjadi motor penggerak juga perlu digarisbawahi, untuk menjadi contoh bagaimana perempuan dapat berdaya dimulai dari lingkungan terdekatnya.[] Referensi Koesrimardiyanti, Amantya. 2011. Keberlanjutan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat (Studi Kasus Peran Perempuan dalam Kegiatan Pengelolaan Sampah di RW 013 Cipinang Melayu, Jakarta Timur). Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Prof Dr Ir Zoer'aini Djamal Irwan. 2009. Besarnya Eksploitasi Perempuan dan Lingkungan di Indonesia. Siapa Bisa Mengendalikan Penyulutnya? Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

35


LESEHAN BUKU

Perempuan, Penghijauan, dan Kekuatan Perubahan

P

erubahan besar selalu dimulai dari hal-hal kecil dan inilah yang diyakini oleh Wangari Maathai. Berawal dari keprihatinannya terhadap penggundulan hutan yang berlangsung terus menerus di Kenya yang berdampak buruk terhadap kehidupan warga desanya, Wangari menginisiasi kaum perempuan di desanya untuk menjadi bagian dari usaha pelestarian lingkungan yang dia gagas. Wangari, seorang perempuan suku Kikuyu yang mengeyam pendidikan tinggi di Amerika Serikat, melihat bahwa kaum perempuanlah yang mendapatkan kerugian paling besar dari kerusakan lingkungan yang semakin meluas di desa tempat dia tumbuh besar. Semakin berkurangnya cadangan air dan semakin sedikit kayu bakar yang bisa digunakan untuk memasak adalah beberapa contoh dampak langsung kerusakan lingkungan terhadap kesejahteraan keluarga. Wangari mengamati bahwa perempuan di desanya harus berjalan sangat jauh untuk mendapatkan kayu bakar dan karena kelangkaan inilah, para penduduk desa terpaksa mengubah pola dan menu makanan. Mereka menyantap makanan yang kurang bergizi karena hanya makananmakanan inilah yang membutuhkan lebih sedikit kayu bakar untuk mengolahnya. Dampak dari perubahan kebiasaan makan ini adalah penurunan tingkat gizi masyarakat di banyak wilayah di Kenya. Buku ini tidak secara khusus ditujukan untuk menjadi sebuah otobiografi Wangari tetapi lebih ditujukan sebagai sarana untuk mendokumentasikan rekam jejak Gerakan Sabuk Hijau yang pernah dirintis oleh Wangari dan perempuan Kenya lainnya. Namun meskipun begitu, sekelumit kisah hidup Wangari yang tidak bisa dipisahkan dari gerakan kepedulian lingkungan yang didirikannya

36

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

Gerakan Sabuk Hijau Penulis

Wangari Maathai Penerbit

Marjin Kiri Tebal

xvi+136 halaman


menjadi bagian dari bab-bab awal di buku ini. Cerita mengenai perjalanan intelektual Wangari sejak masa remaja di Kenya sampai akhirnya menimba ilmu di perguruan tinggi di Amerika Serikat dan kisah mengenai kehidupan rumah tangganya justru semakin melengkapi informasi mengenai perjuangan Wangari dalam bidang lingkungan. Dalam menjalankan misinya, Gerakan Sabuk Hijau melakukan beberapa kegiatan diantaranya kampanye penanaman pohon, penyuluhan mengenai ketahanan pangan dan panen air pada tingkat rumah tangga, pendidikan kewarganegaraan, advokasi, safari sabuk hijau, dan lokakarya pelatihan Pan Afrika. Kegiatankegiatan yang dilakukan ini bertujuan membantu anggota masyarakat membuat sumber bahan bakar yang berkelanjutan, menghasilkan pendapatan bagi perempuan desa, mendorong kesadaran lingkungan di kalangan pemuda, memberdayakan masyarakat di tingkat akar rumput, menunjukkan kapasitas perempuan dalam pembangunan, untuk mengurangi pengikisan tanah, dan untuk menyebarkan informasi tentang pelestarian lingkungan. Semua inisiatif ini digerakkan oleh para perempuan yang tergabung dalam Gerakan Sabuk Hijau dibawah kepemimpinan Wangari dan beberapa tokoh pergerakan wanita dan lingkungan lainnya di Kenya. Gerakan Sabuk Hijau ini tidak hanya berperan sebagai gerakan pelestarian lingkungan hidup tetapi juga beranjak menjadi sebuah

gerakan politik di Kenya. Salah satu contoh aktivitas politik yang dilakukan oleh Gerakan Sabuk Hijau yang dipimpin oleh Wangari adalah demonstrasi untuk menghentikan pembangunan gedung 62 lantai di Taman Uhuru di Nairobi pada tahun 1989. Para aktivis perempuan Gerakan Sabuk Hijau juga mendukung dan bergabung dalam demonstrasi yang dilakukan oleh para ibu tahanan politik yang melakukan aksinya di Taman Uhuru pada tahun 1992 untuk menuntut pembebasan putra mereka. Meskipun sempat mendapat ancaman pembunuhan dari pemerintah Kenya dan sempat ditahan di penjara karena berbagai aksi yang dilakukannya bersama Gerakan Sabuk Hijau, Wangari tidak gentar. Bahkan pada awal tahun 1990an, dia justru mendirikan Mazingira atau Partai Hijau Kenya. Partai yang didirikannya sukses besar dalam pemilu di Kenya dan ikut berperan menumbangkan pemerintah Kenya yang sangat otoriter pimpinan Daniel Arap Moi. Setelah selama bertahun-tahun berjuang di luar lingkaran pemerintahan Kenya, Wangari mendapatkan kesempatan untuk menjadi Menteri Muda Lingkungan Hidup pada masa pemerintahan Presiden Mwai Kibaki pada tahun 2003. Kemudian, puncak

i-plumbing.co.za

pengakuan dunia internasional terjadi pada tahun 2004 ketika Wangari meraih Nobel Perdamaian. Gerakan Sabuk Hijau menginspirasi gerakan serupa di berbagai tempat. Kegiatankegiatan yang dilakukan oleh gerakan ini tidak hanya menjangkau wilayah Kenya tetapi juga lintas negara dan benua. Di akhir buku yang ditulisnya, Wangari berpesan kepada kaum muda untuk mengabdikan diri mereka pada aktivitas-aktivitas yang mendukung upaya terciptanya masa depan yang berkelanjutan bagi dunia termasuk terciptanya lingkungan yang bersahabat untuk generasi yang akan datang. Laksmi Amalia Relawan Rifka Media

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

37


LIPUTAN

Rifka Annisa Ajak Wartawan Kampanyekan Pelibatan Laki-laki dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan

D

alam rangka program Men Care, Rifka Annisa bekerjasama dengan Rutgers WPF mengundang para wartawan media cetak maupun elektronik di Yogyakarta untuk mengikuti “Workshop Kemitraan dengan Media untuk Pelibatan Laki-laki dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan”. Workshop ini diselenggarakan pada Selasa, 16 Juli 2013 di Aula Rifka Annisa. Workshop dibuka oleh penampilan Rannisakustik dan dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu oleh Ramdan Taufiq. Pria yang akrab disapa Ramses itu menekankan pentingnya peran wartawan dalam mempengaruhi pendapat publik mengenai berbagai isu yang marak dalam pemberitaan media massa. “Wartawan memiliki elemen penting di dalam masyarakat. Mereka memiliki akses untuk menciptakan tanda dan makna yang bisa memberikan pengertian baru kepada masyarakat,” tutur Ramses yang pernah mendalami jurnalistik semasa kuliah. Oleh karena itu, Rifka Annisa memandang peran strategis para wartawan ini untuk membangun kemitraan dalam upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Salah satu bentuk strategi yang bisa diterapkan adalah dengan melibatkan laki-laki. Dalam workshop ini, wartawan laki-laki yang hadir diharapkan mampu menerapkan nilai-nilai maskulinitas positif baik dalam kehidupan profesionalnya maupun dalam kehidupan sehari-hari. Nur Iman Subono, aktivis Aliansi

38

Laki-laki Baru hadir menjadi pembicara dalam workshop kemitraan dengan media sore itu. Pria yang akrab disapa Boni ini menyampaikan materi mengenai “Citra Baru Laki-laki dan Stop Kekerasan terhadap Perempuan”. Dalam presentasinya, Boni menyampaikan beberapa faktor yang mendorong kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki diantaranya adalah budaya patriarki (patriarchy), adanya keistimewaan (privilege),dan sikap permisif (permissive). Budaya patriarki menyuburkan berbagai sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai oleh lakilaki melalui berbagai macam cara baik di kantor maupun di rumah. Sebagian besar laki-laki juga dibesarkan dengan berbagai keistimewaan dan kemudahankemudahan yang diberikan oleh keluarga maupun masyarakat secara umum, seperti mendapatkan prioritas dan kemudahan mereka untuk mengenyam pendidikan. Kondisi permisif terhadap tindakan kekerasan terhadap perempuan atas nama ajaran agama, hukum, dan peraturan juga disinyalir mendorong laki-laki untuk melakukan kekerasan. Media massa memiliki kewajiban untuk ikut serta dalam usaha-usaha penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui pemberitaan yang tidak bias gender. Bahkan menurut Boni, di Filipina terdapat gender watch yang memonitor media-media di sana dalam hal pemberitaan yang responsif gender. Setiap tahunnya, organisasi tersebut mengeluarkan laporan mengenai media-media mana saja yang melakukan pemberitaan

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

yang merugikan perempuan. Meskipun begitu, banyak kendala yang harus dihadapi untuk menciptakan media yang responsif gender diantaranya adalah kebijakan pemimpin redaksi terhadap prioritas pemberitaan di media massa yang sering tidak berpihak pada perempuan. Motivasi bisnis untuk mengejar oplah juga sering menyebabkan pemberitaan media massa sering hanya mengejar sensasi dan tidak memperhatikan substansi. Akhirnya, workshop ini diakhiri dengan konferensi pers mengenai “Deskripsi Kasus Anak di Rifka Annisa pada tahun 2007-2012”. Dalam konferensi pers ini pihak Rifka Annisa diwakili oleh Rina Widiarsih, manager Divisi Pendampingan dan Any Sundari, manager Divisi Media dan Humas Rifka Annisa. Rina menegaskan bahwa anak sangat rentan untuk menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengannya seperti ayah atau saudara kandung. Selain itu, akhir-akhir ini pernikahan usia anak juga semakin sering terjadi dan ditandai dengan semakin meningkatnya kehamilan remaja yang berujung pada permohonan dispensasi nikah. Sayangnya pengajuan dispensasi nikah ini mudah disetujui oleh pengadilan agama karena banyak yang menganggap bahwa hubungan yang terjalin berdasarkan suka sama suka padahal semestinya proses pengajuan dispensasi nikah ini harus dilihat apakah ada unsur kekerasan yang terjadi dalam hubungan tersebut atau tidak .[] Laksmi Amalia


LIPUTAN

Ketika Saksi Korban Enggan Bicara Keengganan saksi korban untuk memberi keterangan menjadi kendala tersendiri bagi penyidik dalam mengungkap sebuah kasus. Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, penyidik dituntut untuk mampu melakukan terobosan agar saksi korban mau berbicara.

F

enomena tersebut mengemuka saat Rifka Annisa membawakan materi tentang Tata Cara Pemeriksaaan Saksi Korban dari Segi Psikososial pada Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di Akademi Kepolisian Semarang, Rabu [28/8] lalu. Pelatihan diikuti 43 penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak [UPPA] Bidang Pelayanan dan Bantuan Hukum dalam lingkup Polda dan Polresta se-Indonesia. Nurul Kurniati, Konselor Hukum Rifka Annisa menuturkan, penyidik selayaknya memahami betul klasifikasi dan karakteristik kekerasan yang kerap dialami perempuan. Begitu pun kemampuan teknis lainnya saat melakukan pemeriksaan. “Penggunaan bahasa dalam pemeriksaan terhadap saksi korban, hendaknya disesuaikan dengan kelas sosial atau latar belakang etnis korban,” kata Nurul. Ia menambahkan, dari pengalaman pendampingan selama ini, banyak kasus yang tidak bisa diproses karena saksi kunci yang juga adalah korban, enggan untuk bercerita. Bahkan ada yang sampai menutup diri dan menolak bertemu pendamping atau penyidik.

“Itu biasa kami alami. Biasanya butuh pendekatan intensif sampai saksi korban mau membuka diri dan berbicara kepada kami. Intinya, butuh kesabaran,” ujar Nurul. Antusiasme peserta dalam pelatihan ini cukup tinggi. Tidak sedikit peserta yang bertanya atau sekadar berbagi pengalaman perihal kesulitan dan hambatan selama menjadi penyidik kasus serupa di wilayah masing masing. Aiptu Elizabeth misalnya. Penyidik UPPA di Polda Maluku ini menuturkan, pihaknya kadang merasa jengkel juga ketika saksi korban memberikan penjelasan yang berbeda beda saat proses penyidikan berlangsung. “Kita jadi bingung karena keterangan korban sering berubahubah saat memberi keterangan,” katanya. Ungkapan senada juga

disampaikan oleh Nurhayati. Penyidik asal Polda Sumatera Utara ini mengaku blank ketika menghadapi perempuan korban kekerasan yang mengalami trauma berat dan belum mau bercerita hingga berminggu-minggu. “Kalau sudah begini, biasanya kita minta bantuan LSM yang kerap melakukan pendampingan terhadap perempuan atau anak korban kekerasan,” kata Nurhayati. Pelatihan yang diinisiasi oleh oleh Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan wawasan peserta dalam penyidikan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.[]

Arifuddin Kunu

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

39


LIPUTAN

Laki-laki dalam Kesetaraan Gender dan Pengasuhan

R

abu, 17 September 2013, Rifka Annisa Women's Crisis Center menggelar Seminar “Meningkatkan Partisipasi Laki-Laki dalam Kesehatan Ibu dan Anak�. Acara yag berlangsung di WRC PSSY (Pusat Penakaran Satwa Yogyakarta) dihadiri oleh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), tokoh agama dan tokoh masyarakat wilayah Kulonprogo. Suharti, Direktur Rifka Annisa, dalam sambutannya menjelaskan semenjak tahun 2007 Rifka Annisa melibatkan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Strategi tersebut juga dilakukan dalam rangka meningkatkan partisipasi laki-laki dalam kesehatan Ibu dan anak. "Selama ini program pembangunan keseteraan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan lebih terfokus pada perempauan. Sebagai akibatnya, isu gender, kekerasan terhadap perempuan, kesehatan ibu dan anak serta family planning (Keluarga Berencana) dianggap sebagai urusan perempuan. Selain itu laki-laki makin teralienasi dari isu-isu gender, persoalan laki-laki dan maskulinitas tidak banyak dipertimbangakan

40

dalam program-program pembangunan," ujar Suharti. Perempuan asal Kulonprogo itu menambahkan, situasi dimana 90% perempuan yang mengalami KDRT memilih untuk kembali pada pasangannya. hal itu melatarbelakangi Rifka Annisa untuk melibatkan laki-laki dalam konseling perubahan perilaku sebagai alternatif solusi pengurangan kekerasan terhadap perempuan. Keterlibatan laki-laki dalam pemeriksaan kehamilan masih sangat rendah. Keterlibatan konsultasi dengan dokter ketika istri hamil masih minim, juga sedikit laki-laki yang mengerti kehamilan dengan resiko yang tinggi. Yang terjadi banyak laki-laki yang tidak tahu harus bertindak apa untuk mengantisipasi resiko yang terjadi saat kehamilan.

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

Kenapa pelibatan laki-laki? Saeroni selaku peneliti Rifka Annisa, memaparkan hasil penelitian yang dilakukan Rifka Annisa di tiga wilayah Purworejo, Jakarta dan Papua. Diketahui bahwa 39% lakilaki yang pernah memiliki pasangan mengaku pernah melakukan kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual terhadap pasangan perempuannya. Ditemukan juga bahwa prevalensi kekerasan seksual terhadap pasangan intim lebih tinggi daripada kekerasan fisik di setiap wilayah yakni 17,9% Purworejo, 24, 1 % Jakarta dan 43,8% di Jayapura. “Alasan yang menarik adalah pertama kali mereka melakukan pemaksaan hubungan seksual sebelum umur 19 tahun, dan sekitar 5,4% laki-laki melakukan perkosaan


pertama kali di usia 15 tahun. Kalau kita lihat di media korban kekerasan seksual berada pada usia anak. Sekitar 29-35%, sebagian besar melakukan pemaksaan hubungan seksual karena ingin bersenangsenang, 70% dari perkosaan mereka merasa bersalah, dan 50% khawatir perbuatannya diketahui," jelas Saeroni. Alasan yang paling umum, mereka melakukan kekerasan seksual karena mereka berhak melakukan itu. Untuk itu keterlibatan laki-laki penting untuk memahami bagaimana laki-laki berpikir, bagaimana laki-laki memandang dari apa yang dikonstruksikan selama ini. Ia mengatakan salah satu caranya kita mengajak mereka untuk merefleksikan sikap-sikap itu, juga termasuk sikap mereka terhadap pasangan. Pembagian kerja publik domestik juga berpengaruh pada tingkat kekerasan di dalam rumah tangga. Ketika laki-laki terlibat dalam pengasuhan dan pembuatan keputusan yang setara di rumah, maka kekerasan dalam keluarga berkurang dua pertiganya. Data lain menunjukan laki-laki yang dekat dengan anak-anak lebih kecil kemungkinan terlibat dalam kegiatan kriminal. Selain itu, laki-laki yang terlibat dalam pekerjaan domestik secara tidak langsung meningkatkan ekonomi keluarga karena istri dapat bekerja sehingga membantu menambah penghasilan. Dalam sambutannya, narasumber dari Dinas Kesehatan Kulonprogo mengutarakan peran laki-laki bisa dimulai dari perencanaan kehamilan, maternatal care (pemeriksaan pada saat kehamilan dan persalinan), tidak hanya sekedar mengantarkan saja di depan puskesmas atau menunggu di tempat parkir. Melainkan turut mendukung istri di dalam ruangan

persalinan, agar proses kelahiran lebih cepat. Ia juga mengharapkan peran laki-laki untuk mengingatkan istrinya saatnya pemeriksaan dan minum vitamin. Dr. G Anung Trihadi selaku Kepala seksi Kesehatan dan Keluarga Dinas Kesehatan DIY menjelaskan, salah satu tanda keberhasilan tujuan pembangunan milenium di bidang kesehatan yang ditetapkan PBB adalah pengurangan angka kematian Ibu dan anak. Semua negara berkembang didorong untuk mencapai target yang ditetapkan, yaitu angka kematian ibu maksimal 102 per 100 ribu kelahiran hidup dan angka kematian bayi maksimal 23 per 1000 kelahiran hidup. Untuk DIY sendiri, meski masih terhitung tinggi, sudah hampir mencapai target yang ditetapkan MDGs. Rendahnya kesadaran masyarakat tentang ibu hamil dikatakan menjadi faktor penentu angka kematian. Penyebab utama kematian Ibu adalah pendarahan karena anemia dan kekurangan energi kronis, eklamsia atau kejang yang disertai tekanan darah tinggi, infeksi persalinan dan abortus. Tiga penyebab utama kematian ibu yaitu rendahnya kualitas kesehatan saat kehamilan, melahirkan atau komplikasi-komplikasi setelah melahirkan, dan aborsi yang diakibatkan karena faktor kehamilan yang tidak diinginkan. Narasumber dari BKKBN DIY menuturkan, persepsi kesehatan ibu dan bayi yang berkembang di masyarakat masih berat sebelah. Memperbaiki hak kesehatan reproduksi untuk perempuan masih terhalang oleh norma, kultur dan gender yang sangat kaku. Dalam perencanaan kehamilan, posisi perempuan ditandai tiadanya kuasa untuk mengambil keputusan yang setara di hadapan pasangannya. Soal jarak kehamilan, berapa anak

yang diinginkan, dan jenis kontrasepsi apa serta siapa yang akan menggunakan, perempuan lebih banyak mengikuti dan menurut keputusan pasangannya. Hal ini juga terlihat dari angka partisipasi KB laki-laki di DIY 7 persen dan di tingkat Nasional 4 persen. Pada giliran masa kehamilan, kelahiran, dan kepengasuhan anak, persepsi yang berkembang menyatakan bahwa itu tugas utama perempuan dengan keterlibatan laki-laki yang masih rendah. Dengan masih kuatnya persepsi bahwa kesehatan ibu adalah urusan perempuan sendiri, maka mudah dipahami jika sebab utama tingginya angka kematian ibu adalah karena faktor kesehatan. Respon positif yang banyak dilontarkan oleh peserta seminar yang sebagian dari tenaga kesehatan puskesmas penting untuk mendorong perubahan cara pandang bersama bahwa kesehatan ibu adalah urusan bersama. Laki-laki perlu didorong untuk lebih banyak membagi porsi pengambilan keputusan terkait perencanaan kehamilan. Laki-laki juga perlu didorong untuk lebih aktif mendampingi saat pemeriksaan untuk mengerti kebutuhan serta kesehatan ibu hamil. Yang tidak kalah pentingnya, membuat rencana persalinan yang terdiri dari persiapan persalinan dan tanggap terhadap komplikasi untuk ibu hamil. Hal ini yang juga telah dilakukan Dr. Susilo selaku kepala Puskesmas Sentolo yang juga melibatkan laki-laki dalam program kesehatan Ibu dan Anak dengan mengadakan sosialisasi dengan kelas laki-laki dalam programprogramnya.[]

Ani Rufaida

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

41


MEMOAR

Kuajukan Pembatalan Perkawinan

N

ama saya Gendis, sekarang umur saya 27 tahun. Dua tahun yang lalu, saya menikah dengan seorang laki-laki yang saya kenal di tempat kerja saya dahulu. Dia adalah atasan saya di perusahaan tersebut. Awal saya mengenal dan dekat dengan suami saya, ia menceritakan tentang rumah tangganya yang gagal dengan istrinya. Sebab, istrinya meninggalkan suami dan anakanaknya untuk pergi bersama teman laki-lakinya. Ceritanya itu membuat saya berempati. Sehingga saat suami datang melamar, saya pun tidak keberatan dan mengiyakan untuk menjadi istrinya. Setelah kami menikah tiba-tiba seorang perempuan datang kepada saya dan suami. Ia marah-marah dan mengatakan di depan umum bahwa saya seorang perempuan yang tidak tau diri dan merebut suami orang. Suami melerai dan mengajak perempuan tersebut duduk bersama di dalam mobil untuk berbicara, tetapi emosi sudah semakin melebar. Sejak saat itu saya selalu teringat dan memikirkan kata-kata perempuan tersebut. Peristiwa itu menjadi awal mula saya sering bertanya kepada suami saya, apakah perempuan tersebut istrinya dan belum ada perceraian. Namun suami saya mengelak dan mengatakan bahwa jika mereka belum bercerai, bagaimana kami bisa menikah dan ada akte cerai dari pengadilan agama. Awalnya, saya bisa menerima alasan tersebut dan rumah tangga kami pun kembali baik-baik saja. Sampai pada suatu sore ketika suami saya sedang mandi, tanpa sengaja saya melihat foto copy akta cerai. Dalam akta tersebut saya menemukan kejanggalan. Nama lakilaki dalam akta adalah suami saya

42

tetapi di pihak perempuan, namanya tidak sama dengan mantan istrinya. Saya simpan foto copy akte itu dan esok paginya saya mencari alasan ke suami agar bisa keluar. Saya minta ijin ke suami untuk pergi ke dokter dan suami saya memperbolehkan. Saat itu saya langsung pergi ke pengadilan agama yang tercantum di akte tersebut. Di sana saya menanyakan ke bagian putusan (meja III) tetapi karena diminta permintaannya berupa formal saya membuat surat validasi akta cerai yang ditujukan kepada ketua pengadilan agama. Tiga hari setelah mengirim surat, saya mendapatkan balasan dari pengadilan agama. Saya kaget karena ternyata akta cerai tersebut tidak pernah dikeluarkan oleh pengadilan agama. Saya bingung harus bagaimana, kalau saya bicara kepada suami pasti dia akan marah besar karena sebagai seorang istri saya sudah lancang, tidak percaya ke suami walaupun saya sudah pegang surat dari pengadilan agama. Saya kemudian diam-diam datang ke Rifka Annisa Women's Crisis Center. Di sana saya menanyakan tentang masalah rumah tangga dan mengenai proses cerai. Konselor hukum Rifka Annisa memberikan informasi bahwasanya saya bisa mengajukan pembatalan perkawinan dan melaporkan penipuan ke pihak kepolisian. Sepulang dari Rifka, saya pulang ke rumah orang tua saya. Saya berbicara ke orang tua saya dan menunjukkan surat tersebut. Sontak mereka kaget dan mengumpulkan keluarga besar kami untuk membahas permasalahan rumah tangga saya termasuk masukan dari Rifka yang saya dapat. Kebetulan salah satu keluarga saya adalah seorang aparat. Ia membenarkan masukan tersebut dan

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

menyarankan untuk lapor secepatnya ke pihak kepolisian. Ia mengatakan bahwa jika saya mendiamkan hal ini, nanti saya yang bisa dilaporkan dan bisa terkena pasal tentang perzinahan (sama seperti yang disampaikan oleh Rifka). Akhirnya saya membuat laporan ke kepolisian dan mengajukan gugatan pembatalan nikah di pengadilan agama di tempat saya tinggal sekarang. Dengan alat bukti surat dari pengadilan agama tersebut, seorang pegawai bagian penerima berkas menyarankan untuk mengajukan gugatan cerai. Tetapi setelah saya konsultasi ke Rifka, saya tetap mengajukan gugatan pembatalan nikah dan ternyata gugatan tersebut diterima oleh pihak pengadilan setelah memeriksa berkas dan alat bukti yang saya sertakan. Status saya pun dipulihkan oleh pengadilan setelah proses pembatalan perkawinan. Sekarang suami saya dan keluarganya marah terhadap kami. Mereka tidak berpikir bahwa sebenarnya saya dan keluargalah yang telah dipermalukan di depan umum akibat hal tersebut. Pengalaman ini membuat saya lebih hati-hati untuk berhubungan dengan laki-laki. Sebelum menikah, kita memang harus mengenal latar belakang calon suami terlebih dahulu. Jikapun kita mengenal lakilaki yang berstatus duda bercerai, tidak ada salahnya untuk mengkonfirmasi terlebih dahulu kepada kedua belah pihak serta berperan aktif untuk mengurus suratsurat dalam pengajuan perkawinan. Dengan begitu saya berharap biarlah pengalaman ini hanya saya saja yang mengalami. F. Shinta Devie Konselor Hukum Rifka Annisa


WAWANCARA

SANDRA MONIAGA

Pembangunan (Semestinya) Tak Rugikan Lingkungan

D

ua tahun menuju 2015, tujuan pembangunan milenium telah dicapai salah satunya adalah mewujudkan tercapainya ketahanan lingkungan. Hanya saja, capaian tersebut menjadi satu ironi ketika dihadapkan dengan kerusakan lingkungan yang terjadi terus menerus akhir-akhir ini. Dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan sudah tidak terhitung lagi. Terlebih bagi perempuan yang acapkali ditempatkan sebagai penjaga lingkungan hidup. Perempuan memikul dampak rusaknya alam. Perempuan kerap tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan pembangunan. Namun ketika pembangunan menyebabkan kerusakan lingkungan, perempuan paling banyak dirugikan. Perempuan dan alam seperti anggota tubuh yang menyokong satu sama lain. Jika ada yang menyakiti alam, maka berarti menyakiti perempuan. Perempuan

dan alam memang tidak terpisahkan. Untuk mengetahui bagaimana perspektif perempuan melihat permasalahan lingkungan, wawancara dengan Sandra Moniaga dihadirkan secara segar kepada pembaca. Di tengah kesibukannya sebagai komisioner bidang pengkajian dan penelitian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), wartawan Rifka Media, Caron Toshiko Monica Sutedjo berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan beliau dalam waktu yang cukup singkat. Dengan suaranya yang hangat, ia menceritakan kegelisahannya mengenai isu lingkungan dan konflik agraria yang dihadapi Indonesia saat ini. Menurut Anda masalah lingkungan apa yang paling krisis yang sedang dihadapi masyarakat Indonesia? Sangat beragam. Kita bisa lihat dari beberapa level. Pertama, level makro, misalnya iklim. Perubahan

iklim yang sangat ekstrem. Sekarang bulan Juni masih hujan. Nah yang kedua ada yang sifatnya mezo, misalnya banjir. Banjir yang juga disebabkan karena perilaku manusia sendiri yang tidak merawat lingkungan, hutan dibabat habis, daerah tangkapan air malah dipakai untuk bangunanbangunan. Selain itu, penggunaan pestisida secara berlebihan yang dapat berakibat pada pencemaran dan membuat makanan kita jadi tidak sehat. Kemudian masuk ke persoalan mikro, misalnya pengolahan sampah di rumah. Sampah masih dicampur, tidak dipilah. Ambil contoh lainnya mengenai pembakaran sampah di Jakarta. Tidak ada solusi dan tidak ada sanksi untuk mereka yang membakar. Di daerah perumahan sederhana dengan gang-gang sempit dan lahan yang sangat terbatas, jarang sekali disediakan fasilitas pembuangan sampah apalagi yang dipilah. Jadi pada level masyarakat sendiri,

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

43


budayanya masih tidak terlalu peduli lingkungan. Pada level pemerintah lokal juga belum ada satu kebijakan yang cukup baik. Cukup banyak perusahaan yang betul-betul melakukan eksploitasi tanpa peduli lingkungan. Ambil contoh asap hasil pembakaran hutan yang ekstrem setiap tahunnya. Ada tidak masalah lingkungan yang berdampak buruk bagi perempuan? Ada, misalnya dalam kasus pengelolaan dan pelestarian tanah, termasuk hutan. Kami mendukung perjuangan masyarakat adat setempat untuk mendapatkan kembali wilayahnya, dengan keyakinan bahwa dengan kejelasan status tersebut jelas juga siapa yang bertanggung jawab atas wilayah itu. Terlebih lagi, kejelasan status tersebut juga dapat membantu pengembangan ekonomi masyarakat setempat, termasuk perempuan. Kalau ditanya dampaknya pada perempuan ialah ketidakjelasan status hak mereka berdampak pada semakin sulitnya mereka menjalani kehidupan sehari-hari. Misalnya mereka bertani, bagaimana bisa bertani kalau mereka tidak mengetahui ini tanah miliknya atau bukan. Bisa sebutkan contohnya? Contohnya, di wilayah pegunungan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) ada masyarakat adat yang menyebut diriya Kasepuhan. Kasepuhan ini hidup lama dari bersawah dan berladang, tapi sebagian wilayahnya diklaim oleh kehutanan sebagai kawasan hutan dan ditetapkan sebagai kawasan TNGHS. Jadi semakin sedikit wilayah yang bisa mereka kelola.

44

Dengan demikian, banyak laki-laki yang merantau, mencari pemasukan tambahan. Hal ini menambah beban kerja bagi si perempuan, dengan si lelaki pergi merantau otomatis beban kehidupan sehari-hari dari mengurus anak, bertani dan sebagainya ada pada si perempuan. Jadi ketidakpastian atas tanah memunculkan kemiskinan. Kemiskinan ini kemudian berdampak pada persoalanpersoalan dimana si lelaki mencari alternative. Atau dalam kondisi tertentu perempuan harus bekerja sebagai buruh migran, pergi ke luar negeri atau menjadi pembantu di kota-kota besar (misalnya Jakarta). Jadi kalau ditelusuri banyak kasus buruh migran sebagian besar berakar dari isu pertanian, yakni ketiadaan lahan pertanian di kampung sebagai sumber mata pencaharian mereka. Apa arti pengklaiman tersebut bagi masyarakat adat? Ada kasus pada suatu daerah di Kalimantan. Wilayah ini ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan. Sebelum adanya keputusan MK yang terbaru, pemerintah bisa mengatakan ini hutan negara. Menurut UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adat adalah hutan negara. Sementara masyarakat adat melihat bahwa hutan tersebut tidak terpisahkan dari wilayah adat mereka. Hutan tersebut terkait dengan tradisi berladang menurut adat masyarakat setempat, setelah waktu selesai dimanfaatkan sebagai ladang, lahan tersebut mereka istirahatkan. Kemudian pindah tempat lain, yang masih dalam wilayahnya. Nah lahan yang mereka istirahatkan ini lama-lama menjadi hutan setelah ditinggalkan

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

sekitar 20 sampai 30 tahun. Inilah yang kadang disebut hutan adat mereka. Disamping itu, masyarakat adat juga biasanya memiliki area berhutan yang dikenal sebagai rimba atau leuweng (istilah dalam bahasa Sunda). Mengapa isu ini menjadi persoalan masyarakat adat? Karena bagi banyak masyarakat tersebut hutan ini merupakan sumber kehidupan mereka. Kalau hutan hancur, tidak ada lagi binatang-binatang yang merupakan sumber protein mereka. Kalau ini semua tidak diakui, wilayah masyarakat setempat semakin sempit dan sumber mata pencaharian semakin menipis. Hal itu dapat menimbulkan kemiskinan dan pengikisan budaya lokal. Bagaimana keadaan hutan ketika statusnya menjadi milik pemerintah? Ketika pemerintah menganggap suatu hutan adalah hutan negara, maka mereka dapat memberikan konsesi ke suatu perusahaan. Sehingga munculah yang namanya hutan tanaman industri. Jaman dulu ada yang namanya Hak Penguasaan Hutan (HPH) yang melakukan penebangan dengan sistem Tebang Pilih dan Tanam Indonesia (TPTI). Ketentuan pohon yang boleh ditebang berdasarkan survei dengan mengacu pada spesies dan diameter tertentu. Setelah pengelolaan hutan diprioritaskan pada pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI), semua pepohonan bisa dibabat habis. Di clear cut-kan namanya, yaitu dengan ditebang habis, terkadang dibakar kemudian baru bisa dijadikan perkebunan tanaman jenis lain.


theguardian.com

Contohnya? Contoh kasus yang menarik misalnya di Sumatera Utara yang terdapat hutan kemenyan (dalam bahasa Latin styrax sp, suku styracaceae). Masyarakat Batak Toba punya tradisi menanam kemenyan. Kemenyan terbaik yang laku dijual di Arab itu hasilnya dari hutan kemenyan di Sumatera Utara. Kemenyan itu tumbuh di antara pohon-pohon lain. Sehingga kalau ada orang luar yang datang, mereka mengira hutan itu hutan alam biasa. Nah karena UU No. 41 Tahun 1999 menetapkan status hutan adat sebagai hutan negara, kemudian pihak pemerintah memberikan ijin kepada PT Toba Plup Lestari untuk mengembangkan hutan tanaman di wilayah adat dari masyarakat tersebut. Dibabatlah hutan kemenyan tersebut. Apakah ada perlawanan dari masyarakat setempat? Ada perlawanan, tapi masyarakat setempat dikriminalkan karena pemerintah menganggap

bahwa pihak pemerintah yang benar. Namun masyarakat juga menganggap bahwa diri mereka benar, karena kemenyan merupakan sumber mata pencaharian mereka. Ketika ada persengketaan antara hukum adat dan hukum negara, mana yang menjadi acuan dalam penyelesaiannya? Sangat tergantung. Masyarakat punya dasar klaim dari adat setempat. Pemerintah punya dasar klaim dari hukum negara. Tapi hukum di negara ini tidak selalu benar. Dalam arti substansi hukum negara juga banyak yang menyimpang (dari Undang-undang Dasar 1945, misalnya). Jadi kalau ada konflik seperti itu harus dilihat dulu kebenaran materilnya apa. Misalnya apakah dasar klaim dari si masyarakat adat benar atau tidak. Apakah mereka bisa menunjukkan bukti-bukti sejarah bahwa memang benar mereka yang berhak atas wilayah tersebut. Dan apakah warga sekitar juga mengakui mereka. Hukum adat diakui oleh

negara dalam UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang menetapkan bahwa yang namanya hukum agraria berdasarkan hukum adat. Selain adanya hukum negara yang menyimpang, di negeri ini banyak hukum yang tumpang tindih yang bertentangan satu sama lain. Ketika UU Kehutanan disahkan di tahun 1999, hutan adat dianggap hutan negara. Sekarang kalau ditanya siapa yang benar atau salah, bagi kami masyarakatlah yang benar, sebagaimana ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Di lain pihak, ada juga banyak perusahaan yang mendapat haknya dengan cara yang sudah benar. Apabila ada kasus seperti ini, maka harus ada kompromi antara kedua pihak. Namun kalau pihak perusahaan mendapatkan haknya dengan cara yang tidak benar, misalnya dengan suap, maka ada pelanggaran atas peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga mereka harus angkat kaki. Hutan masyarakat adat harus

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

45


dikembalikan kepada masyarakat adat. Lalu bagaimana apabila pemerintah mengambil alih suatu wilayah hutan dengan alasan untuk mengatur sistem tata perhutanan yang lebih baik? Penetapan kawasan hutan tidak serta merta memberikan hak sepenuhnya kepada pemerintah. Misalnya, tiba-tiba pemerintah bilang bahwa Kali Malang ditetapkan sebagai kawasan hutan. Padahal di situ kan sudah ada penduduk dengan status kepemilikan tanah yang sah. Kebijakan pemerintah tersebut tidak serta merta menghilangkan hak-hak masyarakat yang tinggal di situ. Mereka tetap berhak atas tanah yang mereka punya. Apabila pihak pemerintah ingin tanah itu dikonversi menjadi hutan dan masyarakat yang bermukim di daerah tersebut diharuskan pindah, maka pemerintah harus mendapatkan persetujuan dari masyarakat terkait dan wajib menyediakan kompensasi sesuai aturan yang berlaku. Solusi lainnya yaitu dengan membuat desain yang disesuaikan tanpa harus dilakukan penggusuran. Kasus apa yang sekarang masih dalam proses Anda tangani terkait konflik agraria? Banyak sekali. Sebagian besar konflik agraria belum terselesaikan sampai sekarang. Sebagian besar konflik-konflik tersebut terjadi akibat kebijakan negara yang tidak mengakui hak-hak masyarakat adat dan/atau petani lokal. Ketika masyarakat sudah mulai sadar akan hak-haknya dan mereka mulai menuntut kembali hak-haknya, pihak pemerintah tidak menetapkan posisi tegas untuk

46

mengoreksi kesalahan masa lalu. Jadi konflik agraria yang terjadi sekarang sebagian besar akibat dari kebijakan kolonial dan era Soeharto. Jaman Soeharto kan otoriter, jadi banyak kebijakan dibuat secara sepihak dan masyarakat takut untuk memperjuangkan hak-haknya. Saat ini negara kita lebih demokratis harusnya ada koreksi terhadap semua ini. Nah hal itu yang belum dilakukan. Kemudian konflik yang satu belum selesai sudah muncul konflik baru. Misalnya penggusuran di stasiun-stasiun kereta api juga termasuk isu agraria. Para pedagang sebagian merupakan penyewa resmi dari staf PT KAI. Proses penggusuran oleh PT KAI telah mengakibatkan sekitar 2000 lebih pedagang di stasiun seluruh Jakarta, Bogor, Depok Tangerang dan Bekasi menganggur karena tidak punya tempat berjualan alternatif. Dalam konteks konflik antara pedagang dengan PT KAI, kami setuju dengan upaya pembenahan stasiun, tapi bagaimana pembenahan itu dilakukan dengan cara yang manusiawi dan tidak menimbulkan penghilangan pekerjaan bagi banyak orang. Apabila ada suatu wilayah yang cenderung dikuasai dengan mengatasnamakan agama, apakah itu termasuk dalam hukum adat? Di negeri ini kan tidak ada wilayah hanya untuk orang Islam atau orang Kristen, kecuali memang dari pertama kali pihak pengembangnya menyatakan demikian. Kami di Komnas Perempuan mengkategorikan masyarakat tersebut sebagai warga intoleran. Nah warga intoleran ini

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

harus disentuh oleh pemerintah, harus diingatkan bukan didukung. Tapi kalau terjadi saat ini pemerintah setempat justru mendukung warga intoleran. Selama Anda berkecimpung sebagai aktivis lingkungan, ada tidak ancaman yang pernah dihadapi? Kalau sekarang tidak ada, tapi ketika tahun 90-an saya pernah beberapa kali mengalami intimidasi. Waktu itu saya bekerja di Kalimantan membantu suatu lembaga di sana mengembangkan pendidikan bagi saudara-saudara kita di pedalaman. Lewat kegiatan tersebut, teman-teman melakukan pendidikan tentang hak asasi, hukum acara pidana perdata, hukum agrarian, dan sebagainya. Masyarakat setempat menjadi kaya ilmu dan mulai bisa membela hakhak mereka. Sedangkan pihak perusahaan atau pihak-pihak yang diuntungkan oleh perusahaan tidak suka. Suatu waktu saya datang ke sana, pihak Bintara Pembina Desa (Babinsa) melakukan latihan tembak. Kemudian ditanya dari mana dan diminta memperlihatkan surat ijin. Saya juga pernah ditelpon oleh salah seorang kenalan saya yang berprofesi sebagai dosen universitas setempat dan berpesan: “San kamu berhentilah kerja begitu, sudah ada pihak yang mau melakukan sesuatu ke kamu.� Yah model-modelnya seperti itu[] .Caron Toshiko Monica


PROFIL Sandra Moniaga

Jangan Sebut Diri 'Pecinta Alam' Kalau Tidak Peduli Lingkungan!

S

andra Moniaga, seorang perempuan yang menggeluti bidang lingkungan sejak duduk di bangku kuliah. Berawal sebagai anggota pecinta alam Mahitala, di Universitas Parahyangan, ia banyak berinteraksi dengan organisasi non pemerintah seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI). Untuk memperdalam pengetahuannya, ia juga mengikuti pendidikan dasar konservasi hutan yang diselenggarakan oleh SKEPHI di Kalimantan Timur pada tahun 1985. Dari situlah pengetahuannya tentang ekologi dan sosial semakin berkembang di dirinya. Lahir di Jakarta pada 19 Oktober 1961, Sandra Moniaga tak lelah berkiprah sebagai pembela HAM dan lingkungan. Perempuan lulusan Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan Bandung ini, menikmati aktivitasnya di bidang akademik dan sosial. Di luar pendidikan formal, Sandra juga sempat mengenyam Pendidikan Dasar Pencinta Alam Mahitala Unpar, Pendidikan Konservasi Alam Hutan di Kalimantan Timur dan Kursus AMDAL-A di Surabaya yang membantu Sandra memahami kompleksitas permasalahan lingkungan hidup. Terkait dengan pengembangan pemahamannya dalam bidang HAM, Sandra telah mengikuti Kursus Dasar Hak Asasi Manusia yang diadakah oleh ELSAM dan LBBT di Singkawang, Kalbar tahun 1994. Sedangkan

peningkatan kapasitas akademik didapatnya melalui kursus penulisan akademik dalam bahasa Inggris di Universitas Leiden, Lokakarya Penulisan tentang Perhutanan Sosial yang diadakan oleh East-West Center di Honolulu, Hawaii dan kursus tentang Pluralisme Hukum yang diadakan oleh International Commission on Folk Law and Legal Pluralism. Sandra Moniaga memiliki pengalaman panjang di bidang hak asasi manusia, lingkungan hidup dan pendidikan hukum sejak tahun 1980-an. Pengalamannya mencakup di bidang advokasi hukum dan kebijakan, kasus-kasus, kajian hukum sampai pengembangan kapasitas organisasi-organisasi. Pengalamanpengalaman tersebut dilalui dengan keterlibatan Sandra dalam bekerja di Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sejak tahun 1987 sampai 1993. Pada tahun 1993, Sandra ikut mendirikan dan menjadi pengurus di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), The Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Lembaga Bela Banua Talino (LBBT – Pontianak). Sempat bekerja purna waktu di Kalimantan Barat saat memfasilitasi pengembangan awal LBBT sambil terus mendalami masalah HAM terutama hak-hak masyarakat adat tahun 1993-1996. Pada tahun 1997 kembali ke Jakarta dan bekerja di ELSAM hingga tahun 2001. Sandra pun semakin

mendalami konsep dan isu HAM. Kecintaannya pada alam memberikan semangat yang luar biasa dalam berkarya. Sebagai pecinta alam sejati, perempuan lulusan program doktoral di Fakultas Hukum, Universitas Leiden, Belanda ini kerap menuturkan, “Pecinta alam semestinya memiliki kode etik dan ditaati para anggotaanggotanya, seperti tidak boleh meninggalkan sampah selama mengadakan perjalanan di alam bebas.” Menurut Sandra, jika pecinta alam mengabaikan hal itu, maka mereka bukan pecinta alam, melainkan hanya outdoor club saja. “Jangan menyebut diri pecinta alam kalau tidak peduli lingkungan,” ucapnya. Caron Toshiko Monica

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

47


ESAI FOTO

Inisiatif Perempuan Untuk Lingkungan Penulis & Fotografer: Niken Terate Sekar

Suatu sore, ibu-ibu RT 08 RW 03 Kampung Suryowijayan Yogyakarta berkumpul di halaman salah satu warga. Atas inisiatif Irin, ibu tiga anak yang tinggal di RT 08, mereka sepakat bahu membahu untuk menanam berbagai sayuran di sekitar rumah. Para Ibu, baik tua maupun muda sibuk memindahkan Bibit berbagai sayuran, seperti tomat dan terung dipindah dari polibag kecil ke polibag besar.

Untuk meningkatkan pengetahuan cara menanam dan merawat tanaman, salah satu warga yang sudah berpengalaman membagikan ilmunya kepada ibu-ibu Kampung Suryowijayan.

48

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

Gerakan lingkungan yang dijalankan oleh para Ibu secara tak langsung juga turut mendidik generasi masa depan. Anak-anak asyik membantu Ibu mereka menanam berbagai sayuran.


DAPUR RIFKA

Optimisme MENATA (ULANG) GERAKAN

Perempuan d2bl.com

P

ada tahun sembilan puluhan, gerakan perempuan di Indonesia berada dalam fase emas. Isu-isu perempuan menggeliat dengan eskalasi yang cukup masif. Banyak berdiri lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam isu perempuan. Momentum ini diperkuat dengan besarnya dana asing yang masuk membawa isuisu gender dan perempuan. Aktivisaktivis perempuan bermunculan, mereka berdebat, berdiskusi dan memberikan kritik kepada negara untuk memperbaiki dan meminta pertanggungjawaban negara dalam memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap perempuan. Tak kurang, pada dekade ini para pegiat gerakan perempuan menemukan momentum untuk

bergerak dalam berbagai lini isu perempuan, mulai dari isu kekerasan, kesehatan reproduksi, penelitian hingga pendampingan hukum bagi para perempuan. Dalam kesadaran momentum, hal yang positif dilihat dari gerakan perempuan di Indonesia dibandingkan gerakan sosial yang lain adalah kuatnya lingkaran kebersamaan ketika gerakan ini dihadapkan pada respon negara yang lamban dalam menuntaskan kasus-kasus besar berbagai tindak pelanggaran hak –hak perempuan dan peningkatan eskalasi diskriminasi terhadap perempuan dalam berbagai kebijakan negara. Masih terekam bagaimana ketika UU Pornografi disahkan, gerakan perempuan merupakan salah satu pengawal yang cukup kencang

melancarkan lobi dan penolakannya. Keberhasilan diketoknya UU PKDRT tahun 2004 juga memberi kabar gembira bahwa kerja keras advokasi kebijakan para pegiat isu perempuan menampakan hasil positif. Perjalanan gerakan perempuan memberikan banyak pelajaran bagi para pegiatnya. Pasca reformasi, berbagai tantangan semakin nampak dihadapi. Jika sebelum reformasi, mereka dihadapkan pada bentuk otoriterisme negara, maka setelahnya gerakan perempuan memiliki dinamika persoalannya sendiri. Tahun sembilan puluhan, dana asing yang masuk ke Indonesia memberikan peluang berdirinya beberapa lembaga perempuan, tak kurang

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

49


Yasanti, Rifka Annisa, Pulih dan lembaga swadaya masyarakat lain yang bergerak dalam isu perempuan, muncul. Beberapa lembaga ini muncul sebagai pemain yang memberikan pelayanan, memupuk pengetahuan dan pengalaman para perempuan korban kekerasan. Di bagian yang lain, tak terhitung jumlah lembaga yang bergerak dalam isu perempuan yang muncul di daerah-daerah. Semangatnya adalah sama, melakukan perubahan dan mendorong negara untuk sesegera mungkin mengemban tanggung jawabnya untuk melakukan perlindungan dan menghilangkan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan yang menimpa perempuan. Pada dekade selanjutnya, yakni tahun 2000an, lembaga-lembaga ini juga dihadapkan pada segmentasi isu yang kemudian memberikan jarak diantara lembaga yang bergerak dalam isu perempuan. Sering kita mendengar bagaimana diantara para pegiat gerakan perempuan sendiri saling tidak memahami perkembangan isu yang berbeda dari masingmasing lembaga perempuan karena menganggap bahwa isu yang lain tidak menjadi perhatian dari lembaga ataupun kebutuhan dari dirinya sendiri. Padahal pemahaman pembuatan kerangka isu secara luas akan membantu gerakan perempuan sendiri untuk saling berdialog tentang posisi mereka masing-masing, sembari menyamakan dan menyatukan visi untuk melakukan perubahan secara besar pada cita-cita gerakan perempuan secara umum. Tak terbayangkan jika segmentasi isu yang seharusnya menjadi ladang pengetahuan yang bisa dibagi satu sama lain, kemudian menjadi

50

eksklusif karena perebutan sumber daya uang (donor) diantara lembaga-lembaga gerakan perempuan. Perspektif yang seharusnya dibangun oleh gerakan perempuan adalah mendorong keberdayaan dan akumulasi pengetahuan, bukan segmentasi pengetahuan untuk memperebutkan sumber dana yang pada akhirnya akan menjadi bumerang karena dana-dana tersebut tinggal menunggu hari untuk tidak lagi mengalir ke negara ini. Krusial, gerakan perempuan harus menata ulang lagi arahnya, sesegera dan secepat mungkin untuk menatap keberdayaan sebagai tujuan bersama. Di tengah gonjang-ganjing, isu donor akan lari, harusnya masingmasing lembaga mulai menata arah masa depan yang jauh lebih cerah dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Berdikari, berdiri diatas kaki sendiri wajib dirintis untuk berbagai kemungkinan beberapa tahun mendatang. Langkah-langkah strategis wajib dibangun sembari membangunkan negara untuk sesegera mungkin mengemban tanggung jawabnya. Maka prospek ke depan bagi gerakan perempuan adalah bagiamana memastikan arah advokasi dan pengorganisasian gerakan perempuan benar-benar menguatkan lembaga-lembaga negara yang selama ini telah ada, berjalan sesuai dengan peranan dan fungsinya. Seperti lembaga P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak) yang secara kelembagaan memang ada, tetapi keberadaannya seperti 'hidup segan mati pun tak mau', sementara realitas di lapangan memperlihatkan bahwa para

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

perempuan sangat membutuhkan layanan ini. Peluang yang paling besar untuk segera ditata para pegiat isu perempuan adalah fungsi ekonomi untuk bertahan, sadar atau tidak sebagian besar lembaga perempuan kini dalam kondisi kritis. Identifikasi sumber daya dan peluang bisa ditangkap asal para pegiat isu perempuan sendiri jeli melihat potensi dalam dirinya, maupun peluang eksternal seperti berkolaborasi dengan negara melalui jejaring advokasi dan pengorganisasian yang ada dalam masyarakat. Maka saluran informasi dan penyebaran isu gerakan perempuan dengan media harus saling bersinergi membuat celah agar tidak sekedar berada di pinggiran, tetapi harus menjadi kekuatan besar untuk menggerakan khalayak umum agar sensitif terhadap persoalanpersoalan perempuan. Kini tantangan gerakan perempuan untuk survive mulai di depan mata, bukan tak mungkin jika tak siap, gerakan perempuan akan dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa upaya mendorong keberdayaan yang selama ini selalu disuarakan, berbalik pada ketidakberdayaan akan nasib dirinya sendiri. Any Sundari Pemimpin Umum Rifka Media neysundari2010@gmail.com


GALERY

Rifka Goes to School di SMP BOPKRI 1 Yogyakarta tentang "Pendidikan Kesehatan Reproduksi untuk Remaja" 14 Oktober 2013.

Siaran radio Geronimo, 14 Oktober 2013, dengan tema "Kekerasan Dalam Pacaran Serta Pelibatan Laki-laki�

Sosialisasi Pos Bantuan Hukum "Menuju Keluarga Harmonis dengan Sosialisasi UUPKDRT", yang diikuti oleh masyarakat dan aparat Desa Krambilsawit, Kecamatan Saptosari, Gunung Kidul, 6 November 2013.

Rifkamedia November 2013-Januari 2014

51


RIFKA ANNISA Bekerja Bersama Masyarakat Untuk Menghentikan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan

STOP KEKERASAN TERHADAP

PEREMPUAN BERBASIS GENDER

PUSAT PENGEMBANGAN SUMBERDAYA


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.