Rifka media No.57 "Laki-laki Baru, Baru Laki-laki"

Page 1

Rifkamedia Perjuangan Perempuan Berkeadilan

LAKI-LAKI

BARU BARU Rifka Media No. 57 Mei-Juli 2014

LAKI-LAKI

IDR 15.000,ISSN 2301-9972

9 7 7 2 3 0 1

9 9 7 0 0 6

5 5


Galery Rifka

Outbond pasangan kelas ayah dan kelas ibu dari komunitas Karangsari dan Tawangsari,

Kecamatan Pengasih di Pantai Glagah, Kulonprogo.

Rifka Annisa diundang oleh Dinas Pendidikan dan Pemuda Olahraga Gunung Kidul untuk mengisi

saresehan bertajuk “Akibat Pergaulan

Bebas dan Maraknya Pernikahan Dini� sekaligus mendampingi acara

pengukuhan pendamping sebaya anti kekerasan dan pernikahan usia anak.

Audiensi terkait program SAPA SETARA (pencegahan dan penanganan kekerasan seksual anak) kepada

pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, diterima oleh wakil Bupati Drs Immawan Wahyudi MH di Kantor Wakil Bupati Gunung Kidul 2 Juni 2014.

Penandatanganan nota kesepahaman antara Harian Bernas Jogja dan Rifka Annisa di Aula Rifka Annisa, 30 Juni 2014


DAFTAR ISI

Rifkamedia Mei-Juli 2014 LAPORAN UTAMA

LAPORAN UTAMA

Laki-laki Hari Ini: Jantan Karena Warisan Nenek Moyang

Ryan Sugiarto, S.Psi., M.A. | 06

Melibatkan Laki-Laki : Pengalaman Rifka Annisa Any Sundari | 12 Kesadaran Terlibat: yang privat dan yang Pubik Ani Rufaida | 18

Kaum Laki-laki di Indonesia: Kondisi Terkini, Tantangan dan Harapan Syaldi Sahude | 24

JENDELA Mematahkan Cakra Ketidakadilan | 05

LESEHAN BUKU Jawa Maskulin: Menelisik Cara Pandang Jawa tentang Kelelakian | 36 MEMOAR Aku dan Fendi | 41 WAWANCARA Saeroni, dan Gerakan Laki-Laki Baru: Agar definisi Laki-Laki tak Lagi Tunggal | 43 PROFIL Mas Bos, Si Laki-Laki Baru | 47 DAPUR RIFKA Teknologi Baru, Relasi Baru: Mendudukkan Media, Laki-Laki Baru, dan Persahabatan | 48

Konseling Perubahan Perilaku Bagi Laki-laki Aditya Putra Kurniawan | 32

ESAI & FOTO | 51

LAPORAN UTAMA

LIPUTAN

Prihatin Tingginya Angka Kekerasan Seksual dan Pernikahan Dini di Gunungkidul, Rifka Annisa Gelar Pertemuan Konsultatif | 38 Pacaran Itu Masa-Masa Indah, Kata Siapa?

| 39

Rannisakustik Ajak Remaja Kenali Potensi Diri

| 40

Penanggung Jawab: Suharti (Direktur Rifka Annisa) Pemimpin Umum: Any Sundari Pemimpin Redaksi: Defirentia One Sekretaris Redaksi: Niken Anggrek Wulan Dewan Redaksi: Laksmi Amalia, Dewi Julianti, Ani Rufaida, Tommy Apriando, Arifuddin Kunu, Niken Anggrek Wulan, Ratnasari Nugraheni, Megafirmawanti Lasinta Fotografer: Caron Toshiko Monica Sutedjo Layouter: Ulin Niam Alamat Redaksi dan Perusahan Rifka Media: Rifka Annisa Women's Crisis Center, Jl. Jambon IV Komplek Jatimulyo Indah Yogyakarta, Telepon/Fax: (0274) 553333, Website: www.rifka-annisa.org, Email: rifka@rifka-annisa.org, Facebook: Rifka Annisa WCC, Twitter: @RAWCC Redaksi menerima tulisan dari pembaca sekalian terkait dengan isu-isu perempuan kepada khalayak yang lebih luas. Kritik dan saran kami tunggu di rifka@rifka-annisa.org

PUSAT PENGEMBANGAN SUMBERDAYA

Rifkamedia Mei-Juli 2014

03


Radaktur Rifka Media yang terhormat, apakah Rifka Media menerima artikel lepas dari penulis luar? Jika iya bagaimana kriterianya? Andi Yulianto, di Sleman. Yulianto-Andi@yahoo.com

SURAT PEMBACA

Salam Pak Andi, kami akan senang sekali menerima tulisan dari luar, namun kami menyediakan tema khusus tiap edisi, sehingga dalam satu edisi membedah isu yang sama dari berbagai sudut pandang. Untuk mengetahui apa tema edisi mendatang, kami informasikan melalui website kami di www.rifka-annisa.org, beserta ketentuan penulisannya. Silahkan di cek di laman tersebut.

Salam. Saya Rini Wuriyanti, mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi soal kekerasan dalam rumah tangga. Saya beberapa kali mendapatkan dan membaca majalah ini, apakah saya bisa memperoleh beberapa data yang saya perlukan untuk penulisan skripsi saya? Jika diperkenankan bagaimana prosesnya?

Yang terhormat Redaksi Majalah Rifka Media. Saya mau tanya, bagaimana cara mendapatkan edisi lengkap Rifka Media? Kebetulan saya hanya memperoleh edisi “Relasi Perempuan dan Lingkungan�. Saya mencari-cari di toko buku kok tidak ada ya? Bagaimana cara memperoleh edisi lengkapnya? Dan bisakah berlangganan? Sugiyanti, 081345567xxx

Salam Rini, silahkan datang saja ke kantor kami. Kami memiliki perpustakaan dan data base perihal kajian perempuan, kekerasan terhadap perampuan, dan lainnya, yang barangkali bisa membantu Rini dalam pengerjaan skripsi.

Salam Ibu Sugiyanti, terimakasih atas atensi ibu untuk majalah kami. Memang sementara ini Rifka Media masih beredar terbatas. Namun jika ibu berkenan mendapatkan koleksi lengkapnya atau berlangganan, silahkan menghubungi bagian pemasaran kami di Rifka Annisa Women Crisis Centre, Jl. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta, atau bisa melalui telepon di (0274) 553333. Petugas kami akan menindaklajutinya segera. Terimakasih

Dear Rifka Annisa, mohon informasi bagaimana cara mendapatkan layanan konsultasi jarak jauh tentang permasalah keluarga? Susilowati, Solo 081539387xxx Salam sejahtera Ibu Susilowati, di Solo. Kami memberikan layanan konsultasi jarah jauh dimanapun klien berada, silahkan ibu menghubungi nomor Hotline kami di 02747431298 atau mengirimkan keluhan melalui email konsultasi.rifka.annisa@gmail.com. Kami akan merespon dengan sebaik-baiknya. Maturnuwun.

Data Statistik

Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) di Rifka Annisa Januari – April 2014 MEDIA

KTI KDP PKS PEL-SEK KDK TRAF

04

: Kekerasan Terhadap Istri : Kekerasan Dalam Pacaran : Perkosaan : Pelecehan Seksual : Kekerasan Dalam Keluarga : Traffiking (Perdagangan Orang)

Rifkamedia Mei-Juli 2014

KASUS

JUMLAH

KTI

KDP

PKS

PEL-SEKS

KDK

TRAF

TATAP MUKA

52

4

0

1

1

0

58

TELEPON

1

0

0

0

0

0

1

OUTREACH

2

0

9

0

0

0

11

EMAIL

0

0

0

0

0

0

0

JUMLAH

55

4

9

1

1

0

70


JENDELA

Defirentia One Pimred Rifka Media

Mematahkan Cakra Ketidakadilan

B

agaimana cara menjelaskan sebuah fenomena, dimana seorang perempuan yang sudah berkali-kali mengalami kekerasan oleh pasangannya, tetap berpendirian untuk kembali ke pasangan yang telah melakukan kekerasan terhadapnya? Bagi mereka yang menggunakan nalar secara logis, tentu hal ini amat tak masuk akal dan tak nalar. Namun logis, akal dan nalar tak berlaku, saat Anda melihat prosentase perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga justru memilih untuk berdamai dengan keadaaan dan menjaga keutuhan relasi meski ia jelas-jelas tersakiti. Fenomena tersebut kemudian juga diperkuat dengan pengalaman Rifka Annisa yang bergerak pada proses pendampingan bagi perempuan korban selama 20 tahun. Setiap tahun terdapat 300 sampai 350 kasus kekerasan yang masuk ke Rifka Annisa dan hampir 90 persen perempuan yang yang mengalami kekerasan, baik itu dalam konteks rumah tangga ataupun relasi intim, memutuskan untuk kembali ke pasangannya, yakni suami atau pacar (laki-laki). Dari data tersebut maka relatif tidak mungkin untuk melepaskan peran laki-laki dalam penyelesaian kasus ini. Laki-laki adalah partner potensial bagi penghapusan kekerasan, karena disanalah jantung patriarkhi bekerja dalam kesadaran maupun ketidaksadaran. Nyatanya bekerja dengan laki-laki tidaklah semudah mengatakan dalam ungkapan. Pada tataran wacana, melibatkan laki-laki menjadi semacam perdebatan seru dikalangan aktivis perempuan. Mereka ada yang mengatakan hal tak mungkin merangkul laki-laki untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan. Namun ada pula yang beranggapan bahwa cara ini adalah hal yang paling memungkinkan dilakukan untuk menghapus kekerasan. Dan Rifka Annisa salah satu yang kemudian mengadopsi upaya pelibatan laki-laki dalam ikhtiar penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Ia mendasarkan straregi pelibatan laki-laki pada pengalaman dan kenyataan bahwa kebanyakan perempuan tak mau berpisah. Bahkan terkadang mereka tak mau memberikan hukuman untuk memberikan efek jera kepada laki-laki pelaku kekerasan karena menganggap kekerasan adalah hal yang wajar diterima perempuan. Jika berangkat dari alasan tersebut, tugas selanjutnya adalah menawarkan bentuk-bentuk keterlibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Salah satu hal yang strategis adalah mengupayakan keterlibatan laki-laki dalam proses konseling perubahan perilaku. Konseling perubahan perilaku amatlah penting untuk memberikan intervensi secara individual agar pelaku kekerasan dapat mengenali dan mengubah perilaku kekerasannya. Dalam strategi yang lain, upaya pelibatan laki-laki dalam skala gerakan juga dilakukan. Rifka Annisa bersama temanteman laki-laki yang terlibat dalam isu kekerasan terhadap perempuan, menginisiasi sebuah gerakan bersama yang disebut dengan “Aliansi Laki-Laki Baru�. Aliansi ini merupakan wadah bagi para laki-laki untuk menuangkan ide, gagasan dan kampanye dukungan terhadap perempuan yang mengalami kekerasan, maupun menyuarakan kepada sesama lakilaki untuk tidak diam ketika saudaranya, perempuan, mengalami kekerasan. Upaya pelibatan laki-laki tentu merupakan salah satu ikhtiar panjang untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan. Tentu, tantangannya dari hari ke hari tidaklah sedikit. Resistensi baik dari dalam maupun dari luar menjadi makanan sehari-hari. Tetapi hal tersebut tak boleh membuat lelah untuk menyampaikan gagasan dan pikiran-pikiran tentang keterlibatan laki-laki pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Mengutip kata-kata yang pernah diungkapkan oleh sastrawan besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer “setiap ketidakadilan harus dilawan, meskipun hanya dalam hati�. Mengapa? Karena sebenaranya yang sekarang kita suarakan adalah tentang kekerasan, musuh utama dari keadilan.[]

Rifkamedia Mei-Juli 2014

05


LAPORAN UTAMA

Laki-laki Hari Ini: Jantan Karena Warisan Nenek Moyang Oleh Ryan Sugiarto, S.Psi., M.A. Peneliti Click Survey Indonesia ryansiip@yahoo.com

06

Rifkamedia Mei-Juli 2014


C

ara pandang seseorang terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain disekitarnya berpengaruh terhadap sistem perilaku dan cara berinteraksi. Cara pandang terhadap diri inilah yang kemudian dikenal dengan istilah konsep diri. Suatu keseluruhan kesadaran atau persepsi mengenai diri yang diobservsi dan dinilai oleh individu itu sendiri. Kesadaran adalah kemampuan untuk “keluar dari dalam diri dan melihatnya, yang didalamnya terdapat bobot emosi yang pada tiap individu berbeda (Fitts, 1971). Pendapat ini memberikan gambaran bagaimana kontruksi diri laki-laki, dan laki-laki mengkonstruksi lawan jenisnya menjadi jelas. Sebaliknya, gambaran tentang diri perempuan, dan perempuan menggambarkan lawan jenisnya juga menyumbang bangunan konstruksi dalam proses relasi diantara keduanya. John Kinch (Fitts, 1971) mengemukakan bahwa konsep diri tentang dirinya berasal dari interaksi sosial dan sebaliknya mengarah, serta mempengaruhi dirinya. Sebuah permisalan sederhana, jika satu golongan menganggap dirinya lebih kuat dibanding segolongan yang lain, maka besar kemungkinan konsep kuat pada dirinya itu akan datang secara bersamaan dengan memandang segelongan yang lain lemah. Konsep diri sebagaimana disebutkan oleh Kinch di atas berkembang menjadi kontruksi terhadap kelompok. Kelompok yang satu merasa lebih kuat dibandingkan dengan lain. Inilah konstruksi purba. Dan konstruksi inilah yang hingga kini terus dilabelkan pada sosok laki-laki dan perempuan. Konsepsi ini pada banyak kasus telah menyebabkan

terjadinya diskriminasi, kekerasan, bahkan perenggutan kemanusiaan. Benang merah ini yang membawa kita pada realitas hidup hari ini, bahwa di dalam mayarakat ada posisi yang seolah-olah timpang antara laki-laki dan perempuan. Sejarah kehidupan manusia menempatkan ketimpangan itu hingga kini. Kekerasan terhadap perempuan, oleh sebab dipersepsi sebagai

bisa membayangkan, jika yang terlapor atau terdokumentasi sekian besar, bagaimana kasuskasus kekerasan yang tidak dilaporkan, atau tidak tercium oleh lembaga-lembaga anti kekerasan yang ada? tentu jumlahnya jauh lebih besar. Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat, masyarakat kita adalah masyarakat “pemalu� yang menutupi setiap bentuk ketidakadilan yang dirasakannya.

Grafik 1. Jumlah Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan satu dekade terakhir, 2001-2011

Sumber: Komnas Perempuan, 2011 sosok yang lemah terus terjadi. Atau laki-laki melakukan kekerasan, dianggap wajar karena memiliki kekuatan. Gambaran itu bisa kita amati dari laporan Komnas Perempuan, mengenai pergerakan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terus naik dan mengkhawatirkan. Dalam rentang sepuluh tahun terakhir, 2001-2011 kasus kekerasan terhadap perempuan terus naik. Data riil yang diperoleh lembaga Negara ini mengambarkan betapa kelompok perempuan adalah kelompok yang rentan terhadap kekerasan. Kita

Apa yang diyakini para feminis tentang perkosaan adalah tak lain kekuasaan, rape isn't about sex, it is about power. Pelaku kekerasan sebagian besar seperti melakukan tindakannya berlandaskan kesadaran bahwa dirinya memiliki preferensi yang lebih baik.Dan itu dilakukan untuk penaklukan dan penundukkan tubuh perempuan. Tindakan semacam ini adalah bentuk kejahatan yang terbungkus dalam budaya patriarki. Pandangan ini tentu tidak berlebihan, sebab didalam budayalah manusia hidup. Maka pertanyaan yang muncul

Rifkamedia Mei-Juli 2014

07


LAPORAN UTAMA selanjutnya adalah bagaimana manusia dalam kebudayaan menempatkan dan mendefiniskan kelelakian? Membincang konsep lelelakian, atau maskulinitas, sama seperti halnya membincang feminism. Konsep kelelakian, atau maskulin merupakan konstruksi terhadap laki-laki, yang dibentuk oleh serangkaian kebudayaan. Kebudayaanlah yang menentukan sifat perempuan dan laki-laki (Baker, dalam Nasir, 2007). Dalam konsruksi tradisional, maskulin selalu diidentikkan dengan kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan laki-laki dan kerja. Kriteria tersebut di atas merupakan nilai-nilai yang paling tinggi yang dlabelkan pada laki-laki. Sedangkan nilai yang dianggap rendah, dalam pandangan maskulin tradisional adalah hal-hal yang berkaitan dengan hubungan interpersonal, kemampuan verbal, kelembutan, komunikasi, perempuan, anak-anak, dan kehidupan domestik (Baker dalam Nasir, 2007). Pernyataan di atas mendapatkan pembenaran dari penelitian yang dilakukan oleh tim Rifka Annisa pada remaja di Kabupaten Kulon progro dan Gunungkidul. Konstruksi Laki-laki menurut Remaja Laki-Laki Dengan metode Representasi Sosial, memungkinkan diperoleh gambaran bahwa konstruksi lakilaki yang digambarkan oleh remaja laki-laki tidak jauh berbeda dengan apa yang selama ini dikontruksi oleh seorang laki-laki dalam kebudayaan jawa, atau sebagaimana ada dalam sistem kekerabatan patrilinial. Laki-laki dalam system kekerabatan ini disebutkan sebagai sosok yang

08

Rifkamedia Mei-Juli 2014

bertanggungjwab, berani,kuat, gagah dan mempunyai kewajiban sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan lawan jenisnya. Menjadi laki-laki sebagaimana digambarkan oleh remaja laki-laki gunung kidul juga

nakal (11,67%). Nakal adalah melakukan tindakan yang aneh yang cenderung pecicilan, berperilaku buruk, tidak patuh kepada orang tua, dan gonta-ganti pacar. Selengkapkan bisa dibaca pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Definisi Laki-Laki Menurut Remaja Laki-laki Gunung Kidul

Sumber: Rifka Annisa

menunjukkan hal yang sama. Laki-laki menurut remaja lakilaki di Kabupaten Gunung Kidul menempatkan ciri fisik yang kekar, methekol, dan berotot dalam ciri pertama, yaitu sebanyak 21,67%. Ciri fisik itu berkisar pada pandangan bahwa laki-laki adalah sosok yang dhuwur (lebih tinggi dari perempuan), bersuara keras (sering bersuara keras atau banter), berambut pendek, gagah (tubuhnya kekar berotot, maco), tinggi besar (laki laki yang kekar tinggi), ganteng (keren, bagus, menjiwai seorang laki laki), dan perkasa. Sedangkan dari sisi mental, seorang laki-laki menurut remaja laki-laki Kabupaten Gunung Kidul alah sosok yang berani (16,67%), tegas (13,33%), bertanggungjawab (10,00%) dan lainnya. Dari sisi perilaku laki-laki adalah sosol yang

Tabel 1 di atas menjelaskan bagaimana representasi seseorang sebagai laki-laki menurut padangan remaja laki-laki di Kabupaten Gunung Kidul. Pastur fisik yang prima, dengan penggambaran yang gagah, tinggi besar, kekar, methekol, berambut cepak, perkasa, ganteng, masih mendominasi karakteristik laki-laki dalam gambaran remaja laki-laki di GK. Dari sisi sikap seorang lelaki adalah berani, tegas, kuat,jantan dan lainnya. Penggambaran ini sama persis dengan penggambaran seoranglaki-laki yang terrepresentasi dalam alam imajinasi budaya jawa. Hal yang tidak berbeda, ditemukan dari data hasil FGD yang diperoleh di kabupaten Kulonprogo. Ukuran fisik masih menempati urutan pertama ketika


mendefinisikan tentang laki-laki (32,65%), bertanggungjawab (16, 33%), dan pemberani (12,24 %), nakal (10,20%), dan pemimpin (10,20%),dan seterusnya seperti yang tertera dalam tabel dibawah. Pendefinisian, persepsi, dan ingatan responden penelitian sama seperti yang terjadi di kabupaten Gunung Kidul. Yaitu definisi tentang laki-laki yang selama berabad-abad berkembang, tidak mengalami pergeseran sedikitpun. Menariknya, definisi ini ada di dalam benak laki-laki remaja di dua kabupaten yang secara geografis adalah kabuptan yang teletak di dataran tinggi di Yogyakarta. Pun demikian secara statistik kedua kabupaten ini mengalami kerentanan dalam hal kekerasan seksual di Gunung Kidul.

Tabel 2. Definisi Laki-Laki Menurut Remaja laki-laki Kulon Progo

Tabel 1 dan tabel 2. di atas memberikan kesimpulan bahwa Laki-laki adalah sosok yang secara fisik tinggi perkasa, dengan suara yang keras, mempunyai kelamin yang besar, berani bersaing dan

Lelaki Dewasa Temuan tentang konsep kelelakian yang ada pada diri remaja di dua kabupaten di Yogyakarta, Kulonprogo dan Gunungkidul, tampaknya sama dan segaris dengan penelitian yang dlakukan oleh Rifka Annisa sebelumnya, dengan subjek orang dewasa. Kualitas-kualitas fisik dan mental berperan dalam mendukung fungsi dan tanggungjawab laki-laki secara sosial, sebagai kepala rumah tangga,serta sebagai pemimpin baik untuk diri sendiri maupun orang lain (Hasyim, A., Kurniawan, A.P., Nurhayati, E, 2011). Dalam laporan penelitian yang sama penulis memetik satu pendapat narasumber, yang menunjukkan bahwa konsepsi laki-laki yang dipahami oleh orang dewasa, sama seperti konsepsi laki-laki yang dipahami oleh remaja, sebagaimana sudah dibahas di atas. Dari fisik kita lebih kuat, juga otak lakilakindan perempuan berbeda, lebih besar laki-laki, ini say abaca d buku. Perempuan tetap ada keterbatasan, meskipun banyak perempuan yang lebih pintar dari saya (Hasyim, A., Kurniawan, A.P., Nurhayati, E, Sumber: Rifka Annisa 2011). Konsepsi laki-laki rumang tangga, masyarakat, dan dewasa di Jawa, misalnya, selalu sebagai simbol “kejayaan�, meletakkan diri pada konsep lama pemberani, bertanggungjawab, tentang kehormatan dan jantan, dan lain sebagainya. kepemilikan seorang laki-laki yang unggul. Laki-laki, baru akan Persepsi Kelelakian menurut dianggap sebagai laki-laki jika tidak mudah putus asa. Tegas adalah tidak plin-plan gagah berani, melakukan tindakan yang aneh yang cenderung pecicilan, berperilaku buruk, tidak patuh kepada orang tua, dan gonta-ganti pacar namun bertanggungjawab atas perbuatannya, mampu menangani masalah tanpa masalah atas segala perbuatannya, tegas dan konsisten dalam menjalankan tugas, keputusan, pendirian dan mempunyai prinsip yang tegas agar menunjukkan kewibawaan, jujur dan sabar. Konstruksi pengertian ini sama persis dan sebangun dengan konstruksi tentang laki-laki pada masyarakat dengan corak kekerabatan patriarkis. Dimana lelaki memegang peranan penting dalam relasi kekerabatan d idalam

Rifkamedia Mei-Juli 2014

09


LAPORAN UTAMA memiliki wisma (rumah), turangga/Kuda (kendaraan), curiga (Pusaka), Kukilo (burung piaraan), dan wanita (istri). Artinya sesorang laki-laki akan dianggap sebagai laki-laki jika memiliki kelima hal tersebut. Kelima hal itulah yang juga dimaksudkan sebagai simbul kejantanan. Dalam relasi sosial, dengan tradisi maskulin yang yang kuat semacam ini, laki-laki dianggap gagal jika dirinya tidak maskulin. Kebanyakan laki-laki ditekan untuk menjadi maskulin. Berpenampilan lemah, emosional, atau berlaku inefisien secara seksual merupakan suatu ancaman utama terhadap percaya diri laki-laki. Sifat kelelakian berbeda-beda dalam setiap kebudayaan.Maskulinitas itu sendiri dikonstruksi oleh kebudayaan. Ketika seorang anak laki-laki lahir ke dunia, maka telah dibebankan beragam norma, kewajiban dan setumpuk harapan keluarga terhadapnya. Berbagai aturan dan atribut budaya telah diterima melalui beragam media yaitu ritual adat, teks agama, pola asuh, jenis permainan, tayangan televisi, buku bacaan, petuah dan filosofi hidup. Sementara di sisi yang lain, lakilaki lebih sering menekan perasaannya. Laki-laki yang mengumbar atau mengeluh akan mendapatkan ejekan sebagai Input (Persepsi)

Proses (Sikap)

Beban berat sebagai laki-laki

Laki-laki Ekspektasi pribadi harapan masyarakat

10

Merasa mendapat previlege Mendefinisikan orang lain

Rifkamedia Mei-Juli 2014

bukan laki-laki. Gambar 2. Dinamika rasa dan tindakan Laki-laki Gambar 2. di atas menunjukkan bahwa menjadi laki-laki sesungguhnya dihadapkan pada banyak tuntutan, beban, yang disematkan oleh orang lain (budaya, orang tua, teman sebaya, pacar, dan lingkungan sekitar) yang mempunyai impliksai yang serius terhadap tindakannya, terutama ketika berelasi dengan orang lain. Pun juga merasa mendapatkan dan mempunyai nilai lebih dibandingkan lawan jenisnya, turut berpengaruh terhadap sikap, keputusan, dan tindakan yang dilakukannya. Agen Pewarisan Konsepsi Lakilaki secara turun temurun Pewarisan citra diri telah diturunkan dari generasi ke generasi, melalui mekanisme pewarisan budaya, media, dan pergaulan, hingga seolah menjadi kewajiban yang harus dijalani agar dianggap sebagai laki-laki sejati. Aturan umum yang tidak tertulis yang mengatakan bahwa laki-laki sejati pantang untuk menangis, harus tampak tegar, kuat, pemberani, garang serta berotot. Laki-laki hebat adalah yang mampu menaklukkan hati banyak perempuan hingga adanya dorongan berpoligami. Ada pula pendapat yang

mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi figur pelindung atau pengayom ataupun yang mengatakan bahwa laki-laki akan sangat laki-laki apabila identik dengan rokok, alkohol dan kekerasan (Donaldson, 1993: 1). Kontruksi nilai dan idealisasi tersebut dibentuk dan diperoleh dari interaksi dengan keluarga dan lingkungan. Keluarga merupakan agen sosialisasi yang pertama. Di dalam keluarga, anak mendapatkan nilai-nilai yang ditanamkan orang tuannya, sebagaimana yang diketahui mereka. Pengaruh sosialisasi yang cenderung membentuk konstruksi sosial ini mengurung pola pikir seseorang tanpa disadari. Agen pertama, Ayah. Ayah menjadi role model paling penting dan paling sering disebutkan. Hal ini tampak karena, secara jenis kelamin remaja laki-laki sejak dini mengenal ayah untuk pertama kali. Media yang digunakan adalah intensitas pertemuan dan relasi hidup keseharian antara anak (lakilaki) dengan ayahnya. Ayah. Terus nenek dan ibu (Janu Rusdianto, 18, Gunungkidul)

Penyebutan Ayah sebagai pihak yang menanamkan nilai tampaknya kongruen dengan nilai yang menjadikan ayah atau laki-laki sebagai panutan. Ayah menduduki posisi penting dalam transfer nilai kepadaanak-anaknya. Output (Perilaku) Menariknya nilai kelelakian yang sama juga ditanamkan Menyiksa diri oleh Ibu, dan nenek terhadap Depresi anak atau cucu mereka. Kekerasan terhadap orang lain Kekerasan langsung Kondisi Kedua, guru laki-laki. Nilai dan idealisasi menjadi laki-laki Mencapai harapan dengan tindakan berasal dari Guru laki-laki. Tampaknya ini juga terbentuk karena intensitas remaja yang Gambar 2. Dinamika rasa dan tindakan Laki-laki selama lebih dari enam jam


sehari, memiliki interaksi dengan guru-guru mereka di sekolah. Media penanaman nilai yang digunakan tentu saja pendidikan yang ada di sekolah.

pendapat, berita, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya dengan mudah diterima. Oleh karena itu media massa seperti surat kabar, TV, film, majalah

pewarisan nilai-nilai kelelakian yang turun-temurun dikonsumsi oleh laki-laki. Tua, muda, maupun remaja. Pelekatan label baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, budaya, media, dan apapun telah menempatkan laki-laki pada ruang yang lebih luas geraknya, tinimbang perempuan.

Dari guru yang mendidik saya (Slamet Fajari 18 tahun, GK) Guru laki-laki, baik menurut Slamet (18) maupun Arif Setiawan (17) adalah orang yang mampu dan telah memberikan contoh yang baik dan telah membentuk bagaimana menjadi laki-laki. Ketiga, televisi. Media merupakan bagian yang tidak dapat dianggap remeh dalam transfer nilai tentang konsep laki-laki. Faktor lingkungan mempengaruhi. Lingkungan yang berbeda, yang ga mendukung seperti dia. Ditayangan TV ato apa, gaya gaya yang jauh dari laki laki. Budaya dari luar yang tiddak mencerminkan laki laki sejati, seharusnya tidak ditayangkan di TV (Romadi, 17 Tahum, Gunung Kidul) Konsep laki-laki gagah dan macho yang bertebaran di televise, baik dari film maupun iklan komersial telah turut membentuk konsek kelelakian remaja (Stave, 1994). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam waktu singkat, informasi tentang peristiwa-peristiwa, pesan,

mempunyai peranan penting dalam proses transformasi nilainilai dan norma-norma baru terhadap remaja. Keempat, pasangan. Konsep dan idealiasi sebagai laki-laki kadang juga dituntukan oleh lawan jenisnya, perempuan. Pasangan dalam hal ini, pacar atau istri,berperan besar menguatkan konsep kelelakian yang dinginkannya. Pasangan, dalam pola relasi tertentu akan relatif didengar oleh lelaki, agar terjadi saling pengertian. Adler (dalam Hall & Lindzey, 1985) menyatakan bahwa gaya hidup adalah hal yang paling berpengaruh pada sikap dan perilaku seseorang dalam hubungannya dengan tiga hal utama dalam kehidupan yaitu pekerjaan, persahabatan, dan cinta. Kelima, pengaruh teman sebaya. Memiliki banyak kawan merupakan satu bentuk prestasi tersendiri. Makin banyak kawan, makin tinggi nilai mereka di mata temantemannya. Dari perkawanan itulah konsep kelelakian juga dikuatkan. Inilah kondisi dan pewarisan nilai-nilai kelelakian yang turuntemurun dikonsumsi oleh laki-laki. Tua, muda, maupun remaja. Pelekatan label baik oleh dirinya

sendiri maupun oleh orang lain, budaya, media, dan apapun telah menempatkan laki-laki pada ruang yang lebih luas geraknya, tinimbang perempuan. Dan itulah ketimpangan. Dalam banyak hal, ketimpangan yang disebabkan oleh cara memikirkan diri (laki-laki) dan perempuan telah banyak meniadakan kemanusiaan. Oleh Sebab itu diperlukan diskursus dan gerakan untuk mengangkat lakilaki yang “menyeimbang�, kuat sekaligus penuh kasih sayang, tegas sekaligus lemah-lembut dan perhatian, Bijaksana sekaligus toleran dan berkeadilan. [] Note: data diolah dari hasil penelitian “remaja dan maskulinitas� Rifka Annisa Daftar Pustaka Donaldson, M, 1993, what Is Hegemonic Masculinity?, Theory and society,special Issue: Masculinities, October 1993, 22(5), 643-657, Diakses dari:www.springerlink.co Craig, Stave. 1994. Men, Masculinity And The Media. Canadian Journal of Communication. Vol 19. No. 2. Hall, C.s., Lindzwt, Gardner (97). Teori-teori Sifat dan Behavioristik (Psikologi Kepribadian ). Ter. Supratiknya. Yogyakarta: Kanisius. Hasyim, A., Kurniawan, A.P., Nurhayati, E, 2011. Menjadi Laki-laki. Pandangan laki-laki jawa tentang maskuninitas dan kekerasan dalam rumah tangga, Yogyakarta: Rifka Annisa

Rifkamedia Mei-Juli 2014

11


LAPORAN UTAMA

Melibatkan Laki-Laki : Pengalaman Rifka Annisa Any Sundari Perempuan Penulis, Pemimpin Umum Rifka Media neysundari2010@gmail.com

12

Rifkamedia Mei-Juli 2014


D

alam rentetan panjang sejarah manusia, praktek kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang paling tua. Bila mencermati sejarah peradaban di dunia, posisi perempuan sangat rentan menjadi obyek kekerasan secara kultural maupun sosial. Banyak peristiwa kekerasan memilukan yang dialami perempuan diberbagai belahan dunia. Seperti peristiwa The Rape of Nanking: The Forgotten Holocaust of World War II, yang ditulis oleh Irish Chang. Buku yang terbit tahun 1997 itu menghebohkan dunia karena menguak peristiwa perkosaan yang dilakukan tentara jepang yang bergerak menuju daratan china untuk mengusai Shanghai dan Nanjing pada tahun 1913. Persistiwa tersebut bermula pada saat tentara Jepang kehabisan bahan makanan. Mereka mulai melakukan penjarahan terhadap barang dan harta warga sipil dan melakukan perkosaan terhadap perempuan-perempuan lokal. Peristiwa tersebut membuka sejarah kelam bagaimana perempuan diperlakukan dalam sejarah peperangan. Dalam konteks yang lain, Indonesia pun pernah memiliki pengalaman pahit terkait kasus kekerasan terhadap perempuan. Tentu kita masih ingat peristiwa perkosaan Mei 1998 yang menimpa perempuan-perempuan etnis Tionghoa. Peristiwa ini menjadi sebuah cikal bakal munculnya komisi negara yang bergerak dalam upaya penghapusan kekerasan dan diskiminasi terhadap perempuan yang kini bernama Komnas Perempuan. Laporan Majalah Tempo, dalam jangka waktu dua hari yakni pada tanggal 14-15 Mei 1998 telah terjadi 44 kasus perkosaan di Jakarta. Tak cuma itu, dari 44 kasus itu,

terdapat delapan korban perkosaan yang tewas. Lima orang karena dibunuh setelah diperkosa. Dan tiga lainnya bunuh diri karena tak kuasa menanggung malu. Pun demikian kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi ketika kondisi perang. Dalam kondisi biasa pun, perempuan amat rentan mendapatkan kekerasan. Dalam �The Ecological Framework� risk factor , faktor resiko terjadinya kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan yang berasal dari berbagai level, sejak individual hingga level struktural negara. Kekerasan terhadap perempuan hampir terjadi pada setiap level, tanpa mengenal ruang dan waktu. Berbagai bentuk penderitaan yang dialami perempuan mendorong banyak aktivis perempuan bergerak untuk membawa isu kekerasan terhadap perempuan sebagai sebuah bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Hasilnya pada tahun 1993, Sidang Majelis Umum PBB memproklamasikan deklarasi Pengahapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Pasal 1 disebutkan yang dimaksud dengan “kekerasan terhadap perempuan� adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan-tindakan semacam itu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenangwenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Namun demikian bentuk pengakuan PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tidak serta merta mengubah tatanan masyarakat yang merugikan perempuan. Di

dalam Dunia yang masih memegang teguh kekerabatan patriarchal, perempuan masih memiliki kesempatan yang minim dibandingkan laki-laki dalam memperoleh persamaan hak dan kemerdekaan memilih. Budaya patriarkhi menurut Hibbah Rauf 'Izzat dalam al Mar'ah wa al-'A'mal as-Siyasi: Ru'Yah Islamiyah adalah patriarkhisme (hukum alabi) secara historis merupakan konsep Romawi, yang memberikan hak kepada kepala keluarga yang memliki kekuasan mutlak atas seluruh anggota keluarga. Apabila peran keluarga secara mutlak diberikan kepada laki-laki maka bentuk standar dan aturan yang muncul akan didominasi oleh kepentingan lakilaki. Implikasi budaya patriarki juga terjadi dalam ranah struktur masyarakat dan institusi karena sebagian besar masyarakat menganggap bahwa laki-laki adalah sosok pemimpin yang mempengaruhi setiap keputusan penting. Laki-laki masih dianggap sebagai jenis kelamin yang idamkan dalam masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan merupakan manifestasi ketidaksetaraan relasi kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang disebabkan oleh budaya patriarkhi. Foucault menyebutkan bahwa kekuasaan bukan merupakan institusi, dan bukan struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki; tetapi nama yang diberikan pada suatu situasi, strategi kompleks dalam suatu masyarakat, hubungan kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari hubunganhubungan dalam proses ekonomi, penyebaran pengetahuan, hubungan seksual; kekuasan adalah akibat langsung dari pemisahan, ketidaksamaan, dan ketidakseimbangan (diskriminasi); artinya kekuasaan merupakan Rifkamedia Mei-Juli 2014

13


LAPORAN UTAMA situasi intern adanya perbedaan selalu merangkak dari tahun ke oleh 225 lembaga mitra pengada dan perbedaan ini berjalan di tahun. Data yang tercatat pada layanan, tersebar di 30 Provinsi. tempat kerja, keluarga, institusi, catatan tahunan yang dikeluarkan Data ini meningkat hampir 181% berbagai pengelompokan. oleh Komnas Perempuan (2 kali lipat) dari data tahun Berbagai upaya strategi telah menunjukan angka sangat tinggi. sebelumnya karena dilakukan untuk menghapuskan Ada 279.760 kasus kekerasan pendokumentasian kasus yang kekerasan terhadap perempuan terhadap perempuan yang sangat rapi, akurat dan cermat dari yang terjadi diberbagai belahan dilaporkan dan ditangani selama Pengadilan Agama. dunia maupun di Indonesia. Banyak tahun 2013, yang terdiri dari Secara keseluruhan jumlah lembaga layanan bagi perempuan 263.285 kasus bersumber pada kasus yang paling tinggi adalah korban kekerasan berdiri data kasus/perkara yang ditangani kekerasan terhadap perempuan diberbagai kota. Produk oleh 359 Pengadilan Agama (data dalam ranah personal. Pada tahun perundangan-undangan yang BADILAG), serta 16.403 kasus yang 2013 sebanyak 203.507 kasus mengakomodir perlindungan ditangani oleh 195 lembaga mitra kekerasan yang dilaporan di hukum terhadap perempuan telah pengadalayanan, tersebar di 31 Pengadilan Agama terjadi diwilayah disahkan dengan adanya UU No 23 Provinsi. Diantaranya 6 Provinsi personal. Sementara 12.649 kasus Tahun 2004 tentang Undangdengan jumlah kasus yang tinggi, yang masuk dari lembaga mitra Undang Penghapusan Kekerasan yaitu: DKI Jakarta (2.881), Sumut pengada layanan, kekerasan yang terhadap Perempuan. Pun juga (2.023), Jabar (1.846), Jatim (1.539), terjadi di ranah personal tercatat diikuti oleh berdirinya berbagai Jateng (1.495), dan Lampung 66% atau 8.315 kasus. Sedangkan layanan ditingkatan kabupaten (1.326). Sedangkan lembaga pada tahun 2014 Sejumlah 263.285 dengan didirikannya Pusat layanan yang banyak menangani kasus data Pengadilan Agama Pelayanan Terpadu Pemberdayaan kasus yaitu: UPPA (29%), OMS seluruhnya dicatat dalam kekerasan Perempuan dan Anak (P2TP2A) (20%), P2TP2A (16%), dan RS (11%). yang terjadi di ranah personal yang yang didirikan oleh Kementerian Lembaga lainnya kurang dari 10%. terjadi terhadap istri. Sementara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dimana pengelola Secara keseluruhan jumlah kasus yang paling tinggi P2TP2A merupakan adalah kekerasan terhadap perempuan dalam ranah masyarakat, unsur personal. Pada tahun 2013 sebanyak 203.507 kasus kekerasan pemerintah, LSM perempuan, pusat yang dilaporan di Pengadilan Agama terjadi diwilayah studi wanita, personal. Sementara 12.649 kasus yang masuk dari lembaga perguruan tinggi dan organisasi mitra pengada layanan, kekerasan yang terjadi di ranah perempuan serta personal tercatat 66% atau 8.315 kasus. berbagai pihak lainnya yang peduli dengan Sementara dicatatan tahun 2013 dari 16.403 kasus yang masuk dari pemberdayaan perempuan dan ada 216.156 kasus kekerasan lembaga mitra pengadalayanan, anak dengan fasilitator Badan terhadap perempuan yang kekerasan yang terjadi di ranah Pemberdayaan Masyarakat di dilaporkan dan ditangani selama personal tercatat71% atau 11.719 setiap provinsi seluruh Indonesia. tahun 2012, yang terdiri dari kasus dan sebanyak 11.719 kasus di 203.507 kasus bersumber pada ranah personal, 64% atau7.548 Mempertanyakan Strategi, data kasus/perkara yang ditangani kasus berupa kekerasan Melibatkan Laki-Laki. oleh 329 Pengadilan Agama (data terhadapistri, 21% atau 2.507 kasus Berbagai upaya telah dilakukan BADILAG), 87 PN dan PM (data kekerasan dalam pacaran, 7% atau untuk mengurangi angka BADILUM) dan 2 UPPA (data UPPA) 844 kasus kekerasan terhadap anak kekerasan terhadap perempuan. serta 12.649 kasus yang ditangani perempuan, dan 6% atau 667 kasus Namun sayangnya, angka tersebut

14

Rifkamedia Mei-Juli 2014


kekerasan dalam relasi personal lain. Kekerasan fisik masih menempati urutan tertinggi pada tahun ini, yaitu mencapai 4.631 (39%), di urutan kedua kekerasan psikis 3.344 (29%), kekerasan seksual 2.995 (26%), dan kekerasan ekonomi mencapai 749 (6 %). Meskipun di urutan ketiga, laporan kasus kekerasan seksual pada tahun ini jauh lebih banyak dibandingkan tahun lalu (17%). Data tersebut tidak banyak berbeda dengan kecenderungan kasus yang ditemukan oleh Rifka Annisa. Sepanjang tahun Rifka Annisa biasa menerima pengaduan baru kasus kekerasan sebanyak 300-350 kasus per tahun. Kasus yang paling banyak muncul adalah KDRT atau kekerasan terhadap istri (KTI). Jumlah prosentase kedua diduduki oleh kekerasan dalam pacaran maupun perkosaan. Kasus yang datang dari Rifka Annisa memang didominasi oleh kasus kekerasan dalam rumah tangga, dimana kasus yang paling banyak adalah jenis kasus kekerasan psikologis. Angka kasus kekerasan dalam rumah tangga memiliki porsi pelaporan yang besar sejak tahun awal tahun 2000an. Banyaknya perempuan korban yang mencari pertolongan dikarenakan akses dan pengetahuan yang semakin baik dari publik akan kasus kekerasan terhadap perempuan. KDRT banyak dilaporkan setiap tahunnya karena adanya jaminan hukum yang didapatkan perempuan korban dengan adanya UUP KDRT. Namun, lebih dari 200 kasus KDRT yang datang setiap tahunya ke Rifka Annisa, hanya sekitar 10% perempuan korban yang melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya ke meja hukum, baik secara pidana maupun perdata. Kebanyakan perempuan korban memutuskan kembali kepasangan

dengan alasan bahwa mereka melaporkan persoalan kekerasannya ke Rifka Annisa karena ingin memberi efek jera kepada suami dan memberi peringatan bahwa istri berani untuk membela dirinya. Minimnya keinginan perempuan korban KDRT untuk melaporkan kasusnya ke jalur hukum karena didasarkan beberapa hal, yakni KDRT masih tabu untuk diungkap ke publik, beban yang dialami oleh perempuan sangatlah berat apabila ia berpisah dari pasangannya karena perempuan korban masih bergantung secara ekonomi. Fakta ini memperlihatkan bahwa keinginan perempuan yang berada dalam siklus kekerasan dan memutus siklus kekerasan yang ia alami sangat minim. Perempuan memilih bertahan dalam pernikahan meski dirasa itu membahayakan dirinya. Dari hal inilah, maka diperlukan strategi lain untuk memastikan bahwa kekerasan tetap bisa diminimalisir meski perempuan masih dalam ikatan pernikahan dengan laki-laki yang melakukan kekerasan terhadapnya.

Fakta bahwa hanya 10% persen perempuan korban yang melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya ke jalur hukum menandakan bahwa proses penyelesaian dengan jalan perceraian atau pun pelaporan bukanlah langkah yang biasa diambil perempuan. Keinginan mereka untuk kembali ke pasangan mendorong Rifka Annisa untuk memutuskan langkah strategi yang cukup controversial pada masa itu. Yakni melibatkan atau bekerja sama dengan laki-laki untuk menyelesaikan kasus kekerasan yang dialaminya. Strategi ini cukup membuat beberapa pihak tersentak karena seolah bekerja sama dengan musuh yang selama ini diperangi. Bedasarkan proses pembelajaran yang hampir dilakukan selama 15 tahun pada masa itu upaya pelibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah jalan paling mungkin dilakukan. Mengapa? Karena di negara berkembang seperti Indonesia, munculnya kekerasan berbasis gender dapat dipicu oleh langgengnya maskulinitas negatif

Tabel 1.1 Jumlah Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Rifka Annisa

Sumber : Data Base Kasus Rifka Annisa

Rifkamedia Mei-Juli 2014

15


LAPORAN UTAMA

yang dimiliki laki-laki, bukan karena jenis kelamin laki-laki. Framing isu kekerasan berbasis gender perlu dilihat dengan membongkar konstruksi maskulinitas yang ada selama ini. Dari tahun 1993 hingga tahun 2006, Rifka Annisa melihat semakin banyak kebutuhan untuk melibatkan laki-laki pasangan ke konseling. KDRT biasanya tidak terjadi hanya satu kali saja di dalam rumah tangga dan masyarakat masih menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab keharmonisan rumah tangga. Di tahun 2007, Rifka Annisa melakukan studi maskulinitas di Purworejo yang melibatkan 30 lakilaki. Para laki-laki tersebut mengatakan bahwa menjadi lakilaki itu berat dan sekaligus menyenangkan, karena memiliki

16

Rifkamedia Mei-Juli 2014

banyak previlege. Namun, ketika laki-laki tidak bekerja, mereka akan menjadi sensitif. Mereka mengatakan bahwa mereka menjadi seperti ini karena masyarakat menginginkan mereka seperti ini. Jadi memang berat menjadi laki-laki, karena ketika mereka bercerita, mereka akan kehilangan maskulinitasnya. Lakilaki pelaku KDRT ini patut diperhatikan karena secara tidak langsung sebagaian besar dari anggota masyarakat juga membentuk laki-laki menjadi seperti itu. Di tahun 2007, Rifka Annisa memberanikan diri untuk terjun melakukan konseling terhadap lakilaki, karena semakin banyak perempuan korban yang tidak ingin berakhir dengan perceraian. Rifka Annisa membentuk Men's

Program atau layanan konseling laki-laki yang membincang tentang konseling yang baik untuk pelaku itu seperti apa. Refleksi 20 tahun bekerja dalam isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan, ternyata tidak cukup hanya mendampingi perempuan korban saja, laki-laki juga harus didampingi. Keseluruhan kasus konseling laki-laki yang sudah sudah dilakukan adalah tahun 2007 ada 8 klien, tahun 2008 ada 10 klien, tahun 2009 ada 17 klien, tahun 2010 ada 15 klien, dan tahun 2011 dan 22 klien. Mayoritas dari mereka masih suami dari penyintas yang kita dampingi, masih sedikit yang sukarela karena keinginan sendiri Dasar pelibatan laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan berpijak pada salah


satu dari dua pilihan pendekatan penyelesaian kasus terhadap perempuan. Gerakan anti kekerasan terhadap perempuan dimulai sekitar tiga dekade yang lalu dimulai di Eropa, dengan menggunakan pendekatan perempuan murni (Women's Approach). Ketika itu, gerakan anti pemukulan terhadap isteri/pasangan berinisiatif membentuk refuge house sebagai sarana berlindung bagi para isteri yang terpaksa lari dari rumahnya karena tindak kekerasan suaminya. Women's approach dalam upaya pendampingan perempuan korban kekerasan ini selanjutnya berkembang menyeberangi ke benua lainnya seperti Asia dan Amerika. Pendekatan kedua lahir (Family Approach) ketika mulai ada dukungan dari negara untuk mengakomodasi masalah penganiayaan terhadap perempuan dalam rumah tangga melalui produk hukum dan kebijakan negara, dimana lelaki jelas-jelas akan mendapatkan sanksi hukum akibat perbuatannya itu. Kedua pendekatan ini popular dalam dunia pendampingan perempuan korban kekerasan, dan masing-masing memiliki kelebihan serta kekurangan yang bersifat lokal. Pendekatan perempuan misalnya, hanya menguntungkan diterapkan di negara-negara yang sistem dan struktur masyarakatnya telah mengakomodasikan masalah kekerasan terhadap perempuan, karena, produk perundangan dan sistem hukumnya telah menetapkan sanksi bagi pelaku dan hak perlindungan bagi perempuan koran. Sementara itu, family approach lebih memberikan ruang bagi penjangkauan terhadap kaum lelaki sebagai pelaku, karena asumsi bahwa mereka perlu memperoleh treatment terutama

berkaitan dengan penyadaran akan kesetaraan hubungan lelaki perempuan serta pengembangan keterampilan berkomunikasi yang nir kekerasan. Pendekatan ini memang memandang bahwa lelaki, sebagai pihak yang lebih berpeluang menjadi pelaku kekerasan, perlu juga mengupayakan perubahan diri melalui sesi-sesi re-edukasi perubahan perilaku. Dalam konteks memutuskan siklus kekerasan sebagaimana dimaksudkan di atas, suatu intervensi yang menjangkau kelompok lelaki yang dilakukan oleh lelaki, menjadi suatu kebutuhan yang mendesak. Apalagi saat ini Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) telah berlaku, sehingga lelaki yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya dapat terjerat hukum. Berkait dengan UUPKDRT tersebut, menjalani program re-edukasi bagi lelaki pelaku kekerasan masih bersifat pilihan (voluntarily), dan bukan kewajiban (mandatory). Untuk itulah, penjangkauan terhadap kaum lelaki untuk tujuan penyadaran kesetaraan gender dan anti terhadap kekerasan tidak cukup bila hanya dilakukan melalui konteks pendekatan individual saja (misalnya konseling) tetapi juga harus melalui berbagai cara lain seperti kampanye melalui publikasi, program radio, diskusi publik. Rifka Annisa pun juga terlibat dalam jaringan Aliansi Laki-Laki Baru (ALLB), yang merupakan jaringan organisasi dan aktivis yang mengusung inisiatif penguatan keterlibatan laki-laki dalam agenda penegakan keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. ALLB lahir sebagai bagian dari proses panjang perjuangan gerakan perempuan

dalam menegakkan keadilan gender. ALLB menekankan pentingnya pendekatan terhadap laki-laki dan perubahan maskulinitas dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan berbasis gender

Referensi Heise, L. 1998. Violence against women: An integrated, ecological framework. Violence Against Women,; 4 (3) Nicharty G, Merriam K, Coffman S. 1984. Talking it Out: A Guide to Groups for Abused Women. The Seal Press, Mutaqin Farid &Faishol Adib, 2005. Panduan Untuk Pendampingan Perempuan Korban Kekerasan Berbasis Pesantren, Jakarta, Puan Amal Hayati&UNFPA Haryatmoko. 2002. Kekuasaan Melahirkan Anti Kekuasaan, Jakarta, Majalah Basis. http://www.elsam.or.id/article.php?i d=387&lang=in#.U80SA-N_tfQ http://historia.co.id/artikel/modern /1224/20/MajalahHistoria/Perempuan_Penghibur_ Disiplinkan_Tentara http://tempo.co.id/ang/min/03/16/ utama.htm http://satulayanan.net/layanan/pela yanan-terpadu-perempuandan-anak/tentang-p2tp2a http://www.komnasperempuan.or.i d/wpcontent/uploads/2014/03/Lemb ar-Fakta-Catatan-Tahunan2013.pdf http://www.komnasperempuan.or.i d/wpcontent/uploads/2013/03/Lemb ar-Fakta-Catahu-2012_Launching-7-Maret-2013_.pdf

Rifkamedia Mei-Juli 2014

17


LAPORAN UTAMA

Kesadaran Terlibat:

yang privat dan yang Pubik Ani Rufaida CO Program ManCare di Rifka Annisa, Women Crisis Center Yogyakarta rufaidaani@yahoo.com

18

Rifkamedia Mei-Juli 2014


K

etidaksetaraan laki-laki dan perempuan telah lama ditengarai sebagai akar ketidakadilan yang dialami perempuan. Ketidakseataraan pun diyakini terbangun di atas pondasi budaya patriarkhi yang kokoh dalam masyarakat dan ditopang oleh sistem multi agen (media, institusi agama, institusi keluarga, institusi pendidikan, bahkan Negara). Ketidakadilan terhadap perempuan mengambil wajah yang sangat beragam dengan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan di segala bidang kehidupan. Dari peminggiran perempuan dalam bidang ekonomi, pencitraan negatif terhadap perempuan, beban kerja berlebihan hingga tindak kekerasan. Ketidakadilan terhadap perempuan ini memunculkan kesadaran di kalangan perempuan untuk melakukan gerakan pembebasan dari segala bentuk ketidakadilan. Belakangan kesadaran akan adanya ketidakadilan terhadap perempuan ini menular kepada kelompok yang selama ini dianggap paling diuntungkan oleh budaya patriarkhi, yakni laki-laki. Penularan kesadaran ini terjadi melalui berbagai cara. Menyaksikan penderitaan perempuan yang mereka cintai, bekerja dengan organisasi perempuan, dan/atau memiliki minat pada kajian perempuan, merupakan pemicu yang menumbuhkan kesadaran laki-laki. Kesadaran laki-laki juga muncul dari refleksi bahwa budaya patriakhi membawa dampak negatif bagi laki-laki sendiri. Konstruksi kelelakian (maskulinitas) yang diandaikan oleh budaya patriarkhi telah melahirkan hirarki di kalangan laki-laki. Laki-laki menyadari bahwa hirarki itu menimbulkan ketidakadilan dan penindasan laki-laki atas laki-laki lainnya.

Kesadaran ini juga dirasakan oleh Thantowi, Manger Divisi Pengorganisasian Masyarakat dan Advokasi Rifka Annisa. Keterlibatannya dalam organisasi perempuan karena melihat penderitaan perempuan, perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga. Semua itu menggerakkan hatinya untuk membantu sesama. Kesadaran yang muncul mengajak banyak kalangan dari berbagai komunitas terlibat dalam gerakan pengahapusan kekerasan terhadap perempuan. Tidak terasa pula sudah 11 tahun yang lalu Gerakan Laki-laki Baru dilahirkan oleh gerakan perempuan. Sebuah refleksi gerakan mengingat kembali betapa tidak mudah melibatkan laki-laki dalam gerakan perempuan, dan tidak mudah pula bagi laki-laki untuk secara terbuka mendukung gerakan perempuan. Sepuluh tahun yang lalu, staf laki-laki yang bekerja di organisasi perempuan sering mengalami pertanyaan sinis: bagaimana mungkin laki-laki bekerja di tempat yang dipimpin dan semua aktivitasnya adalah urusan perempuan? Bagaimana mungkin laki-laki bicara soal kesehatan reproduksi, kekerasan dan pelecehan seksual? Stigma banci dan keperempuanan juga sering terjadi pada laki-laki yang mendukung gerakan perempuan. Iklim demokrasi saat reformasi digulirkan menguatkan sejumlah individu laki-laki untuk lebih mudah memahami prinsip kesetaraan (equality). Prinsip kesetaraan sebagai landasan berpikir membuat mereka mampu bersinergi dengan isu-isu gender, sebab keadilan tak mungkin tanpa kesetaraan . Dan demokrasi tak mungkin berjalan bila cara berpikir masih hirarkis. Kesetaraan gender akhirnya dikumandangkan pula oleh laki-laki dengan menyatakan bahwa mereka

adalah bagian dari ciri masyarakat yang demokratis, bahwa perempuan setara dengan mereka dan memiliki hak yang sama. Sejumlah organisasi perempuan pun menganggap kampanye masyarakat yang adil gender memiliki banyak keuntungan, dengan mengajak laki-laki. Secara perlahan akhirnya mereka membuka pintu untuk laki-laki, termasuk di dalamnya tokoh agama, yang biasanya paling sulit untuk bicara tentang hak-hak perempuan. Sudah saatnya isu perempuan menjadi bagian dari kepentingan semua jenis kelamin. Gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dilakukan hanya dikalangan perempuan. Strategi melibatkan laki-laki dalam struktur komunitas masyarakat, menjadi hal penting. Beberapa kampanye di Indonesia melalui gerakan “laki-laki baru- maupun program laki-laki peduli yang menyebar di berbagai wilayah di Indonesia, Jakarta, NTTKupang, NTB, Bali, Yogyakarta, Surabaya, Lampung dan lain-lain. Aktivitas yang menyebar diberbagai wilayah ini mewarnai dinamika gerakan perempuan. Antara Publik dan Domestik Salah satu program Rifka Annisa, lembaga yang bergerak dalam perlindungan perempuan dan anak adalah kegiatan sharing bersama berbagai komunitas di wilayah Yogyakarta. Beberapa wilayah tersebut terdiri dari Kabupaten Kulonprogo yakni Kecamatan Pengasih dan Sentolo, Kabupaten Gunung Kidul di Kecamatan Semin, Gedangsari, Patuk, Playen, dan Wonosari. Komunitas memiliki agenda masing-masing untuk mengadakan pertemuan rutin dalam rangka pendidikan komunitas mengenai isu kesetaraan gender. Komunitas ini ada di tingkat basis baik level Rifkamedia Mei-Juli 2014

19


LAPORAN UTAMA perdukuhan maupun level kelurahan. Forum ini mengahasilkan berbagai proses diskusi reflektif yang dinamis dan beragam. Kepedulian, empati, saling menghargai, menjaga rahasia menjadi landasan untuk mau bercerita tentang kehidupannya, tak lain forum ini sebagai ruang berbagi antar sesama. Menceritakan tentang dirinya (curhat) dan keluarganya. Satu sama lain saling menguatkan dan berbagi persoalan agar mendapatkan solusi atas permasalahan yang dihadapi. Hal ini seperti yang diungkapkan Siswanto salah satu dukuh desa Ngalang Kecamatan Gedangsari saat diskusi komunitas (04/14) “Bisa menemukan komunitas yang seperti ini tidak mudah, persoalan rumah tangga seperti ini tidak banyak dibicarakan apalagi kami dapat sharing dan konsultasi bersama,� ujar Siswanto, ayah satu anak ini. Selama ini tidak banyak laki-laki yang bicara tentang persoalan pribadinya, laki-laki cenderung ditempatkan di ruang public. Berbeda dengan perempuan persoalan-persoalan yang dialami berangkat dari ruang pribadi seperti pembagian peran rumah tangga, relasi pasangan, perkawinan, perceraian dan tubuh. Problem perempuan kebanyakan berputar di persoalan pribadi. Kekerasan dalam rumahtangga, pelecehan seksual, perkosaan, pengasuhan, reproduksi perempuan untuk mengatur kelahiran dll, adalah persoalan pribadi yang tabu untuk didiskusikan di ruang publik. Ruang publik hanyalah tempat seluas-luasnya bagi diskusi tentang politik kekuasaan, ekonomi, hukum, karir, bisnis dan nyaris tidak menyentuh hal-hal pribadi. Dalam skala ini, laki-laki ternyata juga menjadi mahluk yang memiliki persoalan pribadi dalam kehidupannya dan sering tidak

20

Rifkamedia Mei-Juli 2014

terungkap dalam pembicaraanpembicaraan umum. Misalnya dari aspek psikologi, mengapa budaya maskulin membuat laki-laki yang tidak suka berkelahi mengalami diskriminasi atau dibilang tidak jantan, lalu laki-laki yang kesulitan mencari nafkah karena keadaan krisis ekonomi distigma tidak berfungsi sebagai laki-laki, tidak ada harga diri. Hal ini yang pernah di alami Inug remaja usia 20 tahun saat diskusi (19/04) ketika ia menyukai salah satu gilr band ternama di Indonesia JKT48 yang personilnya semua perempuan ditertawakan oleh teman-temannya. Dan ia dianggap tidak laki-laki, demikian hal serupa dialami Aldo saat ia mengungkapkan perasaannya pernah menangis, teman-temannya juga tertawa.(19/04). Kesadaran bahwa yang pribadi adalah juga publik, politik ini menghadirkan laki-laki dalam gerakan perempuan untuk mengungkapkan masalah pribadinya. Laki-laki juga membicarakan persoalan perkawinan, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, pelecehan, hak reproduksi, dll. Misalnya, pemahaman bahwa korban perkosaan pada perempuan menjadi sangat menyedihkan bagi laki-laki apabila itu terjadi pada anak, saudara, atau pasangannya. Laki-laki juga memiliki keingintahuan yang besar tentang, mengapa mereka selalu menjadi pelaku kekerasan, yang sebetulnya secara bawah sadar mereka juga tidak terima hal tersebut. Keterbukaan ruang bagi laki-laki untuk menceritakan hal-hal pribadi ini tentu saja membebaskannya dari segala beban kultur masyarakat bahwa mereka harus terlihat tegar, keras dan penuh persaingan, sebaiknya menutup perasaan mereka yang sesungguhnya. Kelelahan psikis yang dialami mereka terakomodasi dalam ruang

pribadi yang diciptakan oleh gerakan perempuan. Kepedulian, pengasuhan, kelembutan hati dan lain-lain adalah sifat-sifat yang dipendam jauh di bawah sadar lakilaki dan jarang mereka olah dan ekspresikan di ruang publik. Kebanyakan laki-laki menekan potensi kepeduliannya menjadi potensi bersaing dan saling menjatuhkan. Karena kepedulian dianggap bukan sikap maskulin, bukan sikap laki-laki. Cerita dari Komunitas Dari ruang diskusi laki-laki mulai berani mengungkapkan perasaaanya. Tentang persoalan dirinya, istrinya, anaknya, mertua dan orang yang dianggap dekat dalam keluarga. Hal ini seperti yang dirasakan Marsudi (36), ayah dengan tiga anak. Ia bercerita tentang dirinya dan keluarganya, bagaimana konfilk yang terjadi antara ibunya dan istrinya terus menerus dan kebingungannya menghadapi persoalan tersebut. Teman-teman Marsudi pun turut merasakan dan mengalami hal yang serupa sehingga bisa berbagi dan mengupayakan solusi yang dapat ditempuh. Thantowi, fasilitator komunitas laki-laki, saat ditemui Rifka Media mengungkapkan bahwa diskusi berlangsung dari hati ke hati. “Mereka dari hati ke hati, merasakan sebagai seorang laki-laki maupun sebagai ayah dari seorang anak, tidak ada sebutan laki-laki ideal tapi kita belajar satu sama lain bagaimana ketika menjadi ayah, mengasuh anak, maupun mendidik anak. Tidak ada jarak antara kami, bisa saling berdialog satu sama lain.� Dalam proses pertemuan yang berlangsung kurang lebih dua jam tiap bulannya, ada beberapa pembelajaran menarik yang dialami peserta, mereka mulai terbuka dengan dirinya tentang hal-hal yang sebelumnya sulit untuk dilakukan.


Setiap orang pun belajar dan berproses bersama tentang makna kehidupan. Pengalaman setiap orang berbeda-beda dalam menyikapi masalah sehingga ruang ini diibaratkan sebagai ruang bercerita yang bisa menampung segala keluh kesah dalam keluarga. Tak ubahnya forum ini sebagai wadah curhat dan saling berbagi diantara para laki-laki yang selama ini cenderung tertutup pada kehidupan pribadinya. Siswanto (35), laki-laki dengan satu anak, menceritakan bagaimana awalnya ia tidak mau terlibat pekerjaan domestic seperti mencuci maupun memandikan anak hingga sekarang ia lebih sering mandiin anak, mencuci, dan menyapu. Hal serupa dialami Tarno. “Saya sekarang mau mencuci dan ikut terlibat pekerjaan rumah tangga, sebelumnya tidak mau karena menganggap hal tersebut sebagai tugas istri�. Berbeda dengan Riyan, salah satu peserta diskusi. “Saya melakukan pekerjaan rumah 24 jam stand by yang penting di dalam rumah, tapi kalau menyapu atau menjemur diluar rumah ogah, katanya. Alasan yang disampaikannya adalah gengsi dan malu dengan tetangga. “Buat saya sendiri kalau saya mencuci seakan laki-laki turun derajatnya�, tegasnya. Banyak masyarakat masih mengaggap laki-laki tidak pantas untuk melakukan tugas domestic. Jika ada suami yang melakukan tugas rumah tangga, masyarakat akan mencemooh, lalu berkata “istrinya dimana?�. Padahal ini hanya lah aturan kepantasan masyarakat. Dan aturan itu juga tidak semestinya kaku, aturan tersebut bisa dibuat dengan lebih cair. Lingkungan sosial sangat mempengaruhi cara pandang dan sikap seseorang ketika lingkungan itu belum mendukung orang akan cenderung menolak, jadi sangat penting membangun lingkungan yang adil gender

sehingga laki-laki tidak malu lagi terlibat dalam tugas-tugas domestik. Dari diskusi yang sering dilakukan komunitas di Yogyakarta, menumbuhkan kesimpulan menarik bahwa: ada keinginan untuk berubah menjadi lebih baik dengan mengenali kehidupan pribadinya, relasi dengan pasangan serta terlibat dalam pengasuhan anak dan pekerjaan domestic, sehingga kesadaran ini menjadi agenda bersama di komunitas untuk ditularkan tidak hanya mereka yang mendapatkan pengetahuan, tapi juga mengajak anggota yang lain melalui refleksi kehidupan seharihari. Mereka pun menyeberluaskan dengan teman dan tetangganya baik di tempat-tempat nongkrong seperti pos kamling, rapat RT, pertemuan warga dan pertemuan desa. Thowi yang sudah beraktivitas selama kurang lebih 11 tahun di Rifka, mengungkapkan ada banyak perubahan yang terjadi dari komunitas, mulai dari keinginan untuk menghargai keluarga, terlibat dalam pengasuhan anak, memandikan anak, mengantar sekolah anak, dan bermain dengan anak sampai pada membantu pekerjaan domestic; seperti mencuci, memasak, menyapu, dan menyetrika. Seperti yang dialami Tri (27) pemuda asal desa Ngalang Gedangsari Gunung Kidul yang berprofesi sebagai sopir. Tri sekarang merasa jauh lebih dekat dengan anaknya ketimbang dulu, saat ini ketika ia akan pergi bekerja anaknya minta ditemenin tidur terlebih dahulu. Ia pergi saat mata sang anak sudah lelap tidur. “Sekarang anak saya kalau gak ada saya gak mau tidur, sebelum saya pergi minta ditemenin. Sekarang saya menyadari kalau saya merasa penting dikeluarga,� tegasnya. Perubahan ini, menurut Thowi, menarik. Ketika ada masalah peserta forum selalu berkomunikasi dengan

pasangannya, tidak lagi ada perasaan gengsi dan malu seperti sebelumnya. Mereka berkomitmen tidak akan meluapkan kemarahannya dengan cara-cara kekerasan. Jelasnya. Perubahan ini juga menginspirasi banyak kalangan untuk menyebarkan nilai-nilai positif seperti membangun hubungan suami istri yang setara, bahwa perubahan ini tidak hanya berlaku bagi dirinya yang terlibat dalam forum tersebut melainkan masyarakat yang lebih luas. Hal ini yang mendorong penularan isu di gras root yang dilakukan oleh komunitas dimana tidak semua orang bisa dijamah. Untuk mengubah seperti ini adalah hal yang luar biasa, karena mereka mau memulai perubahan itu dari dirinya, keluarganya dan masyarakatnya. Sehingga komunitas menjadi sebuah gerakan sosial lahir dari kesadaran masyarakat. Perubahan yang terjadi pada komunitas memang tidak bisa berbarengan, satu orang dengan orang lainnya punya proses dan pengalaman hidup yang berbedabeda. Refleksi perlu dilakukan terus menerus untuk membongkar kesadaran peserta. Mereka pun saling berkomitmen dan mendukung satu sama lain untuk bersikap yang adil gender yang dimulai dari lingkungan terkecil keluarganya. Hal ini merupakan upaya peserta dalam membangun rumah tangganya. Membangun kondisi keluarga yang lebih kaya. Situasi keluarga akan membentuk kondisi setiap orang dalam keluarga tersebut. Manfaat yang lebih besar ketika seorang ayah juga melakukan pekerjaan domestic, diantaranya pekerjaan rumah cepat selesai, perekonomian bertambah, selain itu ketika laki-laki atau ayah terlibat dalam pengasuhan anak maka akan menurunkan angka kriminalitas

Rifkamedia Mei-Juli 2014

21


LAPORAN UTAMA dikalangan anak-anak. Kehendak untuk peduli dengan sesama merupakan upaya komunitas dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Tantangan di Keluarga dan Masyarakat Meski perubahan sikap itu sudah banyak terjadi pada laki-laki, namun ternyata seringkali kesempatan aktivitas domestic itu tidak diberikan istri terhadap suaminya. Ermiyati (35) perempuan asli Wonosobo, merasa bahwa pekerjaan rumah tangga seperti, mencuci, mengasuh anak adalah pekerjaan istri, ketika ia sudah mulai sadar bahwa pekerjaan itu bisa dilakukan bersama dengan pasangan, ia belum bisa percaya dengan pasangannya karena alasan mencuci yang tidak bersih dan lamban. Demikian yang dialami Supriyatno ketika ia dirumah mertuanya dan melakukan pekerjaan domestik seperti memasak dan menyapu, mertua nya memerahi istrinya kerena aktivitas tersebut dianggap tugas istri dan merasa kasian kalau ia yang melakukannya. (20/04) Hal ini terkait kesadaran, baik istri maupun mertua masih menganggap hal tersebut tak pantas dilakukan laki-laki, kondisi dimana kepercayaan masih minim merupakan kebiasaan yang telah dibangun sejak lama, sehingga membangun hal baru untuk berbagi tugas baik aktivitas domestik maupun pengasuhan juga membutuhkan waktu yang cukup panjang. Merubah cara pandang menjadi prilaku yang bisa menginternalisasi pada diri seseorang juga membutuh waktu yang tidak sedikit. Ini menjadi tantangan terhadap perubahan sikap dan prilaku yang tidak diiringi dengan kesempatan pembagian tugas yang baik.

22

Rifkamedia Mei-Juli 2014

Tantangan lingkungan yang tidak mendukung membuat mereka yang menginginkan perubahan prilaku kembali pada nilai-nilai kepantasan masyarakat, sehingga ketika seseorang kembali pada lingkungan keluarganya kesempatan itu harus diberikan dan didukung. Sangat penting perubahan ini dimulai dari individu-individu yang mau terlibat baik dari keluarga maupun lingkungan masyarakat yang lebih luas. Dalam pandangan tradisional Laki-laki dalam posisinya sebagai suami dan ayah merupakan figur sentral dalam keluarga. Kewibawaan, harga diri, dan status ayah atau suami harus dijaga oleh anggota keluarga karena atribut-atribut tersebut sangat menentukan status dan kedudukan keluarga dalam masyarakat (Abdullah, 1997). Dalam keluarga yang mempunyai pandangan modern terdapat struktur pembagian kekuasaan yang fleksibel karena memandang bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang setara, sehingga laki-laki juga diharapkan ikut terlibat dalam kegiatan rumah tangga. Kedua pandangan tersebut menimbulkan pembagian kerja yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin yang seolah-olah diatur oleh alam dan merupakan kodrat atau sesuatu yang alamiah sifatnya. Hal ini akibat dari keadaan fisik perempuan, alam memberikan tugas kepada perempuan untuk melahirkan dan membesarkan anakanak. Demikian juga karena keadaan fisik laki-laki, alam memberikan tugas kepadanya menjaga dan menghidupi keluarganya. Lebih lanjut diungkapkan oleh Budiman (1981), banyak orang percaya bahwa perempuan sudah sewajarnya hidup di lingkungan rumah tangga, melahirkan dan membesarkan anak,

memasak dan memberi perhatian kepada suaminya supaya rumah tangga yang tenteram dan sejahtera dapat diciptakan. Laki-laki mempunyai tugas lain, yaitu pergi ke luar rumah untuk mencari makan bagi keluarganya, baik dengan berburu (pada zaman dahulu) maupun bekerja untuk mendapatkan upah (pada zaman sekarang). Dalam konsep relasi gender, pembagian kerja yang semula sangat sexist mulai kabur. Jenis pekerjaan tidak selalu dikaitkan dengan jenis kelamin. Pekerjaan suami mulai terlibat pada sektor domestik, sementara istri mulai terbuka pada sektor publik karena suami mulai permisif pada nilai-nilai pemingitan. Suami sebagai pencari nafkah utama mulai melibatkan pihak istri, sementara istri yang mengurus anak dan rumah tangga mulai dibantu suami sehingga pengasuhan anak menjadi tanggung jawab bersama. Konstruksi Budaya Sejak lahir laki-laki tidak dibiasakan untuk mengekpresikan perasaan emosinya, ketika waktu kecil ia menangis, lingkungan sosial tidak begitu menerimanya. Pernyataan yang sering muncul ketika laki-laki menangis “laki-laki kok cengeng-�. Berebeda dengan perempuan menangis menjadi hal biasa dan sebutan cengeng menjadi lebel tersendiri bagi perempuan. Pola asuh juga berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya seorang anak, sejak kecil anak lakilaki dibiasakan dengan permainan seperti mobil-mobilan- robotrobotan, perang-perangan. Hal ini yang membentuk pribadi yang penuh dengan persaingan, kekuasaan, keras, dan berani. Sedangkan pilihan permainan seperti boneka, alat-alat masak, membuat seorang perempuan tumbuh dengan sifa- sifat peduli, berkasih sayang, lembut dan terlatih


emosinya. Tidak hanya itu bahkan pilihan warna baju juga ditentukan laki-laki identik dengan warna biru atau hitam sedangkan perempuan pink. Hal ini menjadi salah satu factor bagaimana pengalaman waktu kecil seseorang itu tumbuh dalam hidupnya berpengaruh terhadap sikap yang dilahirkan ketika ia dewasa. Beranjak dewasa lingkungan sosial menuntut laki-laki bisa mencari nafkah dan bekerja untuk keluarganya. Ketika ia tidak mampu untuk bekerja ia dikatakan tidak lakilaki. Dan karena merasa dirinya tidak sama dengan aturan kepantasan maka sering kali laki-laki melakukan segala upaya untuk menjadi laki-laki (dalam aturan kepantasan masyarakat). Perasaan yang ditekan dan tidak diungkapkan sedemikian rupa berdampak pada kehidupan laki-laki yang penuh dengan persaingan, keras dan kekuasaan. (Nur Hasyim:2011) Dampak dari kepura-puraan laki-laki yang dipaksa untuk menjadi terus menerus bersaing ini terlihat dari bagaimana mereka mengejar kekuasaan, mengelola negara, berperilaku buruk pada lingkungan atau mengeksploitasi alam, membuat keputusan yang represif, dan tentu saja akibatnya lebih banyak buruknya. Budaya korupsi salah satu contoh dalam politik maskulin, mengeruk keuntungan melalui dana publik untuk mengejar status ekonomi dan mengartikan kemapanan hidup sebagai satusatunya keberhasilan laki-laki. Dalam gerakan perempuan, laki-laki sangat dianjurkan untuk mengekspresikan sikap lembut dan kepeduliannya pada sesama, termasuk mengasuh anak-anak yang mereka kasihi, memperhatikan keharmonisan rumah tangga, dan ketika menjadi pejabat publik, sifat peduli itu terbawa dalam mengelola negara dengan tidak korupsi, tidak membuat keputusan yang

mengorbankan orang lain dan hanya menguntungkan dirinya, tidak membohongi publik dan memanfaatkan jabatannya. Apa yang penting untuk dilakukan? Mengasah sifat feminin dan maskulin sejak dini, anak perlu dilatih dalam setiap kesempatan dalam hidupnya, tidak pandang jenis kelamin. Demikian melatih perasaanya baik yang rasional maupun emosional. Sehingga seseorang bisa tumbuh dengan keberanian sekaligus bisa bersifat lembut dan penuh kasih sayang. Bahwa laki-laki bisa percaya pada dirinya sendiri sebagai manusia yang bisa memberi kasih sayang, perhatian dan peduli. Dan karena kepedulian dan perhatian tersebut, pria berhasil mengolah sensitifitasnya atas persoalan ketidakadilan, korupsi, dll, termasuk ketidakadilan pada perempuan. Dalam gerakan perempuan, laki-laki sangat dianjurkan untuk mengekspresikan sikap lembut dan kepeduliannya pada sesama, termasuk mengasuh anak-anak yang mereka kasihi, memperhatikan keharmonisan rumah tangga, dan ketika menjadi pejabat publik, sifat peduli itu terbawa dalam mengelola negara dengan tidak korupsi, tidak membuat keputusan yang mengorbankan orang lain dan hanya menguntungkan dirinya, tidak membohongi publik dan memanfaatkan jabatannya.[] Referensi Abdullah, I “Dari Domestic ke Public: Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan� Dalam Sangkan Peran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997 Budiman, A. Pembagian Kerja secara Seksual, Jakarata: Gramedia, 1981 Jurnal Perempuan, Seksualitas Lesbian, Jakarta: cet I, Maret, 2008

Nur Hasyim, Begini Idealnya laki-laki: Panduan untuk Mengenali Diri dan Prilaku, Yogyakarta: Rifka Annisa, 2011 Nur Hasyim, Laki-Laki Maskulinitas, dan Kekerasan: Panduan untuk Mengenali Diri dan Prilaku, Yogyakarta: Rifka Annisa, 2007 Nur Hasyim, Warna Warni Laki-Laki, Yogyakarta: Rifka Annisa, 2010 Sugihastuti, Gender dan Inferioritas Perempuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007 Brod, Harry (ed), Tha Making of Masculinities, The New Men's Studies, Boston: Allen & Unwin, 1987. Hikmah Bafagih, http://www.averroes.or.id/tho ught/sejarah-gerakanperempuan.html, Wawancara M. Thontowi, Rabu 23 Juli 2014 Notulensi diskusi komunitas kelompok remaja laki-laki Desa Ngalang Gedangsari Gunung Kidul pada 19 April 2014 Notulensi diskusi komunitas kelompok Ayah Desa Ngalang Gedangsari Gunung Kidul pada 27 Mei 2014 Notulensi diskusi komunitas kelompok Ayah Desa Ngalang Gedangsari Gunung Kidul pada 20 April 2014 Notulensi diskusi komunitas kelompok Ayah Desa Mertelu Gedangsari Gunung Kidul pada 20 April 2014 Notulensi diskusi komunitas kelompok Ibu Desa Mertelu Gedangsari Gunung Kidul pada 10 April 2014

Rifkamedia Mei-Juli 2014

23


LAPORAN UTAMA

Kaum Laki-lak Kondisi Tantangan d

Syaldi Sahude

Aktivis Gerakan Laki-laki Baru (LLB) Syaldi.sahude@gmail.com

B

eberapa waktu yang lalu, dalam kampanye Pemilu Presiden 2014, salah seorang tokoh publik mengeluarkan satu pernyataan “Laki-laki sejati pasti memilih si A sebagai presiden”. Pernyataan tersebut digunakan untuk menggambarkan bahwa calon yang dia usung merupakan sosok yang tegas, bertanggung-jawab dan layak menjadi pemimpin. Analoginya tersebut kemudian menempatkan bahwa jika ada lakilaki yang memilih si B, maka sudah

24

Rifkamedia Mei-Juli 2014

dipastikan mereka bukanlah lakilaki sejati. Meskipun banyak yang mengkritik pernyataan tersebut namun tidak sedikit pula yang mengamininya. Pernyataan di atas adalah salah satu bukti nyata bahwa masyarakat kita masih melihat bahwa nilai-nilai maskulin yang melekat pada laki-laki adalah salah satu syarat menjadi pemimpin. Selain itu, muncul pertanyaan apakah yang dimaksud dengan istilah “laki-laki sejati”? Apakah lakilaki sejati adalah mereka yang

berani melakukan berbagai tindakan beresiko? Salah satu survey yang dilakukan oleh Partner For Prevention (P4P) yang berjudul “Why Do Some Men Use Violence Against Women and How Can We Prevent It?” bisa menjadi acuan untuk melihat perilaku laki-laki terkait dengan kekerasan. Survey ini adalah hasil UN Multi-country Study on Men and Violence in Asia and The Pacific's yang dilakukan di Bangladesh, Kamboja, Cina, Indonesia, Sri Lanka dan Papua


ki di Indonesia: i Terkini, dan Harapan

New Guniea. Di Indonesia, Rifka Annisa menjadi salah satu mitra dalam melakukan survey tersebut di tiga wilayah di Indonesia; Jakarta, Purwerejo dan Papua. Hasil temuan di Indonesia cukup mengejutkan meskipun sudah dapat diduga. Prevalensi angka kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki, baik terhadap pasangan maupun non pasangan cukup tinggi. Sebagai contoh, dalam ranah kekerasan emosi, 46,8 % - 64,5% sementara ranah kekerasan seksual, 22,3% - 49,2%

laki-laki mengaku pernah melakukannya. Angka ini berbanding lurus dengan meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dalam catatan Tahunan Komnas Perempuan 2013 terdapat lebih 279.760 kasus yang terlaporkan, baik di ranah publik maupun domestik. Hasil temuan tersebut menjadi dasar penting mengapa laki-laki perlu terlibat dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Sejarah Pelibatan Laki-laki dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan: Pengalaman Rifka Annisa Upaya pelibatan laki-laki di dunia dalam isu keadilan gender, khususnya kekerasan terhadap perempuan sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Salah satu yang cukup awal mempromosikan tentang pelibatan laki-laki adalah White Ribbon Campaign yang berbasis di Kanada. Sejak tahun 1991, mereka mengkampanyekan pelibatan laki-laki dalam upaya Rifkamedia Mei-Juli 2014

25


LAPORAN UTAMA penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Gerakan ini dibentuk oleh beberapa penggiat laki-laki yang prihatin dengan meningkatnya kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual. Inisiatif ini kemudian disambut dengan postif di berbagai belahan dunia, termasuk badan-badan Internasional yang bekerja pada isu kesetaraan gender. Ini tergambar dari hasil The International Conference on Population and Development (ICPD, 1994) dan Fourth World Conference on Women (Beijing PFA, 1995) yang memberikan pondasi awal pelibatan laki-laki di isu keadilan gender. Inisiatif ini kemudian menginspirasi banyak penggiat di seluruh dunia, salah satunya adalah Indonesia. Pada tahun 1999, Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) menggagas Deklarasi “Cowok Anti Kekerasan� (CANTIK) sebagai bentuk dukungan para penggiat laki-laki terhadap upaya penghentian kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, YJP juga menerbitkan satu buku -bisa dikatakan sebagai buku pertamayang membahas tentang Feminis Laki-laki. Beberapa organisasi juga kemudian berusaha melibatkan laki-laki dalam program dan kampanyenya. Namun, inisiatif ini sempat vakum selama beberapa tahun. Rifka Anisa, salah satu organisasi Women Crisis Center (WCC) melakukan sebuah terobosan penting dengan menjalankan program konseling untuk laki-laki pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Kegiatan ini dimulai sejak tahun .... dengan alasan yang sangat mendasar, mayoritas perempuan korban KDRT yang didampingi memilih kembali

26

Rifkamedia Mei-Juli 2014

kepada pasangannya yang notabene adalah pelaku kekerasan. Kondisi ini kemudian menempatkan kembali korban dalam posisi yang rentan dan kembali ke dalam lingkaran kekerasan. Mau tidak mau, suka tidak suka, maka laki-laki harus dilibatkan untuk memutus lingkaran kekerasan tersebut melalui konseling perubahan perilaku untuk laki-laki. Tidak hanya itu, dalam perkembangannya Men's Program kemudian melakukan beberapa riset tentang maskulinitas serta pengembangan modul untuk pelibatan laki-laki di tingkat komunitas. Dalam konteks pencegahan sejak dini, RA juga melibatkan remaja untuk menjadi bagian dalam gerakan program tersebut melalui berbagai kegiatan, Youth Camp adalah salah satunya. Sejak saat itu, upaya pelibatan laki-laki dalam isu kesetaraan gender mulai menggeliat kembali di Indonesia. Beberapa organisasi perempuan serta penggiat laki-laki yang peduli dan aktif pada isu kekerasan terhadap perempuan menyadari bahwa dibutuhkan gerakan yang lebih besar dan konkrit untuk menjangkau lebih banyak laki-laki. Pada akhir tahun 2009, Rifka Annisa, Yayasan Jurnal Perempuan, WCC Bengkulu, Yayasan Pulih, Men's Forum Aceh dan Rumah Perempuan Kupang kemudian membentuk “Aliansi Laki-laki Baru� (ALB) sebagai wadah kegiatan pelibatan laki-laki di Indonesia. Rakyat Bergerak: Kisah-kisah dari Komunitas di Indonesia untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Salah satu tujuan utama dari pelibatan laki-laki adalah menjadi

ruang bagi laki-laki untuk bersikap dan mengambil posisi melawan kekerasan terhadap perempuan dan memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Nampaknya akan sangat mustahil untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan tanpa melibatkan lakilaki karena faktanya bahwa mayoritas pelaku kekerasan adalah laki-laki. Di sisi lain, ada banyak laki-laki yang tidak setuju dengan kekerasan terhadap perempuan namun menjadi mayoritas yang diam (silent majority). Ada banyak alasan mengapa mereka memilih diam, salah satunya adalah tidak tersedianya ruang bagi mereka untuk mendapatkan informasi dan wadah untuk bersikap terhadap persoalan tersebut. Sementara itu, hanya sebagian kecil dari laki-laki yang terlibat aktif dalam isu tersebut sehingga dampaknya sangat kecil. Oleh karena itu, kampanye untuk meningkatkan kesadaran dan mengajak semakin banyak lakilaki untuk berpartisipasi menjadi sangat penting. Tanpa dukungan masyarakat luas, baik laki-laki maupun perempuan, sangatlah tidak mungkin tujuan tersebut bisa tercapai. Sejak 2009, kampanye tentang pelibatan laki-laki kemudian gencar dilakukan oleh berbagai pihak, salah satunya adalah kampanye yang dilakukan oleh Aliansi Laki-laki Baru. Berbagai medium digunakan untuk menjangkau dan memberikan edukasi mengenai pentingnya pelibatan laki-laki, mulai dari konvensional hingga media sosial. Tujuan akhir dari kampanye ini adalah semakin banyak laki-laki yang bergerak untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dimulai dari dirinya. Kampanye tersebut kemudian


disambut baik oleh banyak pihak, terutama organisasi yang bekerja langsung di masyarakat. Salah satu contohnya adalah Rumah Perempuan Kupang yang melakukan program konseling perubahan untuk laki-laki pelaku KDRT. Di Bengkulu, WCC Cahaya Perempuan melakukan konseling perubahan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Untuk remaja, SANTAI Mataram mencoba mengajak komunitas mereka untuk menjadi pelopor pencegahan dengan kegiatan diskusi di komunitas. Sementara di Papua, sebuah upaya percontohan untuk Kampung Damai dengan mengintegrasikan isu pelibatan laki-laki untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan yang cukup tinggi di wilayah tersebut. Selain itu, sebuah program Lakilaki Peduli (MenCare+) yang didukung oleh RutgersWPF

mencoba melibatkan laki-laki dalam isu yang lebih spesifik yaitu melibatkan laki-laki dalam kerjakerja domestik dan pengasuhan anak. Program ini dilaksanakan di beberapa daerah dan melibatkan beberapa mitra seperti PKBI Lampung, Yayasan Pulih, Rifka Annisa dan PKBI Jawa Timur. Kegiatan seperti kampanye, diskusi komunitas, pengembangan materi dan advokasi dilakukan untuk mendorong pelibatan laki-laki. Pelan tapi pasti dampak dari upaya ini mulai terlihat. Dampaknya bukan hanya ke lakilaki sebagai individu namun juga sebagai bagian dari masyarakat. Mereka yang awalnya menjadi pelaku perlahan-lahan kemudian menyadari kesalahannya dan menjadi agen perubahan. Perubahan tersebut mereka lakukan dimulai dari organisasi yang paling kecil, yaitu keluarga. Salah dampak nyata muncul dari

pernyataan salah satu fasilitator propinsi di Nusa Tenggara Timur yang merasakan dampak positifnya. Sebelum terlibat dalam kegiatan pelibatan laki-laki, dia merasakan sangat berjarak dengan anak-anaknya namun hal tersebut perlahan-lahan berubah ketika mulai menerapkan pengetahuannya tentang pelibatan laki-laki. Sebaliknya, pasangan mereka mulai merasakan bahwa kehidupan keluarganya semakin hangat dan menjadi lebih intim. Isu pelibatan laki-laki juga disambut oleh beberapa institusi pemerintahan seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Mereka mencoba mendorong pelibatan laki-laki melalui kelurahan. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melihat pelibatan laki-laki bisa cara untuk mempromosikan perencanaan keluarga dan

Rifkamedia Mei-Juli 2014

27


LAPORAN UTAMA penggunaan kontrasepsi untuk laki-laki. Selain itu, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional memiliki program intervensi ke Laki-laki Beresiko Tinggi (High Risk Men) untuk mencegah dan mengurangi infeksi menular seksual. Keterlibatan Laki-laki dalam Upaya Pencapaian MDG's Indonesia adalah salah satu negara yang telah berkomitmen untuk menjalankan Millenium Development Goals (MDG's), sebuah program yang disepakati oleh 189 Negara lainnya dalam Millenium Summit of The United Nations pada tahun 2000. MDG's memiliki delapan target utama; (1) Penghapusan kemiskinan dan kelaparan, (2) Pendidikan dasar untuk semua, (3) Promosi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) Menurunkan angka kematian anak, (5) Meningkatkan kesehatan ibu, (6) Melawan penyebaran HIV dan AIDS, Malaria serta penyakit lainnya, (7) Menjamin daya dukung lingkungan hidup dan (8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Jika melihat secara makro, maka pelibatan lakilaki sangat dibutuhkan di semua target dari MDG's namun dalam tulisan ini akan fokus membahas pada beberapa tujuan. Target MDG's ke 3, Promosi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, merupakan salah satu target yang sangat relevan dalam pelibatan laki-laki. Upaya ini telah diakui secara internasional bahwa sangat penting laki-laki mengambil bagian dalam pencapaian target ini. Salah satu upaya konkrit dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Ban Ki-Moon, sekertaris jendral adalah

28

Rifkamedia Mei-Juli 2014

mencanangkan kampanye “He for She� yang bertujuan melibatkan laki-laki dalam pengentasan KTP. Selain itu, di tingkat lokal beberapa inisiatif juga dilakukan oleh berbagai organsasi, salah satunya adalah upaya yang dilakukan oleh Gema Alam NTB. Mereka bersama komunitasnya bekerja sama untuk mencari solusi ketersediaan sarana air bersih. Persoalan ini sangat berdampak pada peran tradisional perempuan di beberapa kampung yang mereka dampingi. Dalam mencari solusinya, mereka bekerja sama dengan kelompok perempuan untuk melakukan analisis persoalan secara bersama dan mencari solusi untuk penyediaan air bersih. Tingginya angka kematian ibu dan anak masih menjadi masalah besar di Indonesia. Berdasarkan data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kematian bayi tercatat 359 dari 100.000 ribu kelahiran. Angka ini cukup meningkat jika dibandingkan dengan data 2007 yang berkisar pada 228 dari 100.000 kelahiran. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menekan angka kematian ibu dan anak (KIA) sebagai salah satu cara mendorong pencapaian dari target 4 (Menurunkan angka kematian anak) dan 5 (Meningkatkan kesehatan ibu) di Indonesia melalui pelibatan laki. Salah satunya adalah kampanye Suami Siaga yang diklaim oleh pemerintah cukup berkontribusi dalam menurunkan angka KIA. Beberapa organisasi yang saat ini terlibat dalam program Laki-laki Peduli juga mencoba untuk menyaras persoalan kesehatan ibu dan anak, terutama dalam proses kehamilan dan pengasuhan. Salah satu persoalan yang digarisbawahi

adalah tingginya angka pernikahan dini yang berkontribusi pada tingginya angka KIA dan KDRT. Laki-laki juga didorong untuk terlibat dalam menjaga kesehatan ibu di masa persiapan, kehamilan dan pasca kelahiran. Tidak hanya sampai di situ, laki-laki juga diharapkan berperan aktif dalam pengasuhan anak untuk menjamin perkembangan emosi dan intelektual anak dapat maksimal. Dengan meningkatnya angka infeksi baru yang terjadi pada ibu rumah tangga di Indonesia menjadi tantangan baru bagi pemerintah untuk mencapai target MDG's ke 6, Melawan penyebaran HIV dan AIDS, Malaria serta penyakit lainnya. Kondisi ini menggeser paradigma intervensi yang awalnya hanya berfokus pada kelompok kunci (LGBT, pekerja seks, dll) kepada laki-laki yang memiliki resiko (sering disebut LBYT) menginfeksi pasangannya. KPAN dan beberapa organisasi yang bergerak di isu HIV kemudian mulai mengintervensi Konseling Perubahan Perilaku untuk Laki-laki Salah satu langkah awal yang perlu dilakukan untuk melibatkan laki-laki dalam untuk mencapai keadilan gender adalah memberikan ruang kepada mereka untuk merefleksikan diri mereka dan kehidupan yang dijalani. Salah satu medium melakukan itu adalah melalui konseling perubahan perilaku untuk laki-laki, khususnya pada pelaku kekerasan. Meskipun cukup efektif namun masih sedikit laki-laki yang mau mengaksesnya. Tentu saja, model seperti ini masih belum populer dan dianggap bukan hal yang penting di sistem kebudayaan mayoritas masyarakat Indonesia dengan budaya patriarki


yang kental. Berdasarkan seimbangan kekuasaan inilah yang namun tetap berpotensi menjadi pengalaman Rifka Annisa mengajak menyebabkan KDRT seringkali pelaku kekerasan, selama perilaku pelaku KDRT secara sukarela terjadi secara berulang, karena dan nilai-nilai yang diyakininya mengikuti konseling bukanlah hal ketergantungan dan ketidak masih menempatkan dirinya dalam yang gampang dilakukan. Sejak mandirian korban berhadapan pihak yang dominan dan berkuasa tahun 2007 hingga Juli 2012, dengan pelaku yang dominan. dalam rumah tangga. sedikitnya telah ada 79 laki-laki KDRT juga menyangkut Menarik untuk dicermati yang telah mengakses layanan permasalahan perlaku dan sistem beberapa syarat substantive yang konseling perubahan perilaku di nilai yang dianut oleh korban diajukan oleh Fatahilah A. Syukur di Rifka Annisa. Jumlah ini hanya maupun pelaku kekerasan dalam atas, yaitu bahwa pelaku harus meliputi 6,4% dari jumlah klien rumah tangga yang berpegaruh menyadari perbuatannya dan kekerasan terhadap istri yang pada ketidak seimbangan kuasa di bersedia bertanggungjawab dan mengakses layanan di Rifka Annisa. dalam keluarga. Dalam keluarga memperbaiki diri hingga KDRT Lalu bagaimana caranya yang mengikuti noma budaya tidak berulang serta syarat bahwa mendorong laki-laki untuk patriarkhi akan cenderung pelaku wajib mengikuti konseling mengakses konseling perubahan menempatkan laki-laki atau suami penyembuhan perilaku kekerasan. perilaku, khususnya pelaku KDRT? Dalam keluarga yang mengikuti noma budaya patriarkhi Tentu saja bukan hal yang mudah. akan cenderung menempatkan laki-laki atau suami lebih Perkara KDRT dominan dalam keluarga dan perempuan atau istri sebagai merupakan perkara yang pihak yang subordinat dalam keluarga. Situasi inilah yang membutuhkan menyebabkan perempuan atau istri lebih rentan dan lebih penyelesaian multi dimensi, sering menjadi korban kekerasan dalam keluarga, dan lakikarena dapat laki atau suami sebagai pelaku kekerasan. menyangkut permasalahan social dan kemanusiaan. lebih dominan dalam keluarga dan Syarat ini menjadi sangat penting Penghukuman bagi pelaku saja perempuan atau istri sebagai pihak mengingat berdasarkan tidak cukup untuk menanggulangi yang subordinat dalam keluarga. pengalaman Rifka Annisa dalam terjadinya kekerasan, karena Situasi inilah yang menyebabkan melakukan konseling perubahan sejatinya KDRT disebabkan oleh perempuan atau istri lebih rentan perilaku laki-laki dalam konteks adanya ketidakseimbangan dan lebih sering menjadi korban rumah tangga dihadapkan oleh kekuatan antara korban dan pelaku. kekerasan dalam keluarga, dan lakikarakteristik pelaku yang tidak Penghukuman bagi pelaku saja laki atau suami sebagai pelaku mudah untuk diajak bernegosiasi tidaklah cukup memberikan kekerasan. dan menyadari perilaku kekerasan keadilan bagi korban, mengingat Pemidanaan pelaku seringkali yang dilakukannya. Kebanyakan seringkali masih meninggalkan juga tidak berakibat pada laki-laki pelaku kekerasan akan permasalahan tersendiri bagi terjadinya perimbangan kekuasaan melakukan penyangkalan (denial), korban, seperti permasalahan dalam hubungan korban dan menganggap remeh persoalan ekonomi, psikologis dan sosial pelaku, setelahnya. Pendekatan (minimizing), melakukan serta kesehatan, karena kekerasan penghukuman seringkali tidak pembenaran (justifying), yang dialaminya ataupun karena menyentuh aspek perilaku maupun menyalahkan orang lain (blaming ketidakmandirian korban system nilai dan norma-norma others), dan intelektualisasi atau berkenaan dengan ketidak dalam keluarga tersebut. Sehingga rasionalisasi untuk mendukung seimbangan kekuasaan dalam sekalipun pelaku telah dipidana, tindakannya (intellectualizing). relasi korban dan pelaku. Ketidak

Rifkamedia Mei-Juli 2014

29


LAPORAN UTAMA ((Rifka Annisa, bahan bacaan untuk konseling laki-laki dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga, naskah tidak dipublikasikan.)) Karakter ini terbangun karena lakilaki dibiasakan menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan yang mendominasi, terutama ketika mereka merasa tidak aman atau terancam. Bagi mereka kekuasaan

kekerasan yang dilakukannya. Ia perlu belajar melihat kekuasaan sebagai kekuatan bersama antara dia dan pasangannya dalam rumah tangga, daripada melihat dirinya sebagai orang yang memiliki kekuasaan dan mengunakannya untuk mengendalikan pasangan. Kemungkinan pelaku KDRT untuk mengikuti konseling

pelaku; b) penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.� Dalam pasal tersebut jelas bahwa kewajiban mengikuti konseling adalah pidana tambahan, yang hanya mungkin dilakukan setelah adanya putusan pidana. Namun demikian sebenarnya terdapat alternatif atau

adalah kekuasaan untuk mengatasi dan kekuasaan untuk mengendalikan. Karenanya untuk merubah perilaku kekerasan, pelaku harus belajar menggunakan kekuasaan secara positif dan kekuasaan secara negative. Pelaku perlu belajar bertanggungjawab atas tingkah-lakunya dan tidak menyalahkan pihak lain atas

sebenarnya telah diatur dalam pasal 50 UU PKDRT yang menyebutkan bahwa; “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa: a) pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu dari

peluang hukum yang dapat digunakan untuk mewajibkan pelaku mengikuti konseling, baik dalam proses pidana maupun perdata KDRT. Pertama, dalam konteks protection oder atau surat perintah perlindungan sementara, sebagaimana diatur dalam pasal 28-34 UUPKDRT, korban baik sendiri atau diwakilkan dapat

30

Rifkamedia Mei-Juli 2014


mengajukan surat permohonan perintah perlindungan pada pengadilan. Atas dasar permohonan tersebut pengadilan dapat mempertimbangkan untuk menetapkan suatu kondisi khusus dalam surat perintah perlindungan, termasuk di dalamnya menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan yang dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, dan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan. Kondisi khusus dan tambahan perintah perlindungan dalam surat perintah perlindungan tersebut dpat berupa pembatasan gerak pelaku dalam radius dan waktu tertentu dari korban.10 Kedua, konseling perubahan perilaku sebagai sanksi alternative bagi pelaku KDRT. Mungkin hal ini belum dikenal dalam sistem hukum di Indonesa. Rifka Annisa pernah mendampingi kasus klien laki-laki seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang berlibur di Florida, Amerika Serikat, melakukan KDRT terhadap istrinya, berupa pemukulan dan menghalangi istrinya untuk menghubungi kepolisian. Kemudian tetangga hotel dimana ia menginap melaporkan kasusnya ke keamanan hotel, dan kemudian keamanan hotel melaporkannya ke kepolisian setempat. Kasus tersebut ditangani oleh Pengadilan Florida, yang kemudian memutuskan bahwa lakilaki tersebut telah melakukan KDRT, denda USD 500 atau penjara 1 tahun, dan dianggap telah menghalangi menghubungi pihak berwajib didena USD 1.000 atau penjara 5 tahun. Klien tersebut sempat dikurung semalam di penjara dan kemudian dibebaskan dengan syarat setelah membayar jaminan USD 1.500 dan harus mengikuti konseling perubahan

perilaku selama satu tahun. Pengacara klien kemudian menghubungi Rifka Annisa untuk menjadi lembaga pendamping klien mengikuti konseling perubahan perilaku. Selama proses pendampingan, dipantau oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh pengadilan, yaitu Orange. Pendekatan tersebut menarik, karena pelaku KDRT tidak serta merta langsung dipidana, tetapi ia dapat dikenakan sanksi alternative untuk mengikuti konseling perubahan perilaku, dimana bila dalam proses pendampingan tersebut, dinyatakan klien tidak berhasil melalui proses perubahan periaku, maka sanksi pidana bisa dikenakan. Menariknya selama dalam proses pendampingan konseling, mediasi antara klien (pelaku) dan istrinya (korban) tetap berlangsung. Proses pendampingan yang dilakukan Rifka ini dilaporkan oleh lembaga pemantau independen Orange, dan kemudian dilaporkan ke Pengadilan Florida. Penulis kira pendekatan ini bisa dikaji lebih lanjut untuk diadaptasi bagi pengembangan sistem hukum dalam penanganan KDRT di Indonesia. Ketiga, dalam konteks KDRT yang mengajukan kasusnya secara perdata di Pengadilan Agama, misalnya berupa gugatan cerai, mandatory konseling perubahan perlaku juga memiliki peluang untuk diajukan pada proses peradilan perdata melalui gugatan provisional. Gugatan provisional adalah gugatan yang bertujuan agar hakim menjatuhkan putusan yang sifatnya mendesak untuk dilakukan terhadap salah satu pihak dan bersifat sementara disamping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan. Kajian lebih lanjut masih harus

terus dilakukan, misalnya bagaimana menempatkan mandatory konseling bagi pelaku KDRT ini dilakukan dalam konteks mediasi perkara KDRT baik dalam konteks pidana maupun perdata. Kajian ini penting mengingat bahwa perkara KDRT bisa menyangkut masalah pidana maupun perdata sekaligus. Pendekatan pemidanaan seringkali tidak menyelesaikan masalah, sebagaimana telah disebutkan diawal, bahkan bisa menimbulkan masalah baru. Mandatory konseling bagi pelaku KDRT penting dilakukan agar tujuan UUPKDRT untuk mencegah terjadinya kekerasan dan menjaga keutuhan rumah tangga dapat terwujud.[]

Rifkamedia Mei-Juli 2014

31


LAPORAN UTAMA

Konseling Perubahan Perilaku Bagi Laki-laki Aditya Putra Kurniawan Mahasiswa di universitas Adityapk2000@yahoo.com

P

ermasalahan kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam ranah domestik telah mendapatkan perhatian yang serius oleh pemerintah Indonesia. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) pada tahun 2004 yang memerintahkan lembaga layanan milik pemerintah dan kepolisian untuk memberikan pelayanan dan perlindungan bagi perempuan korban kekerasan. Dengan adanya undang-undang tersebut,

32

Rifkamedia Mei-Juli 2014

kekerasan dalam rumah tangga yang dulunya adalah wilayah privat yang tabu diungkap, maka kini menjadi tanggung jawab negara untuk menanganinya. Namun sayangnya, tujuh tahun setelah undang-undang tersebut digulirkan, pola penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan masih memfokuskan diri pada perempuan korban yaitu dengan memberikan layanan konseling psikologi, rehabilitasi psikososial dan medis serta pendampingan hukum pada korban. Sangat sedikit yang justru menyasar si jantung

persoalan, yaitu laki-laki sebagai pelaku kekerasan dengan melibatkannya dalam program intervensi perubahan perilaku kekerasan. Kondisi ini dirasakan semakin kompleks ketika penerapan UUPKDRT dihadapkan pada banyaknya temuan di lapangan yang menunjukkan sebagian besar perempuan tidak melaporkan kekerasan yang terjadi dan memutuskan kembali ke pasangannya. Fakta yang terjadi Pada tahun 2007, Rifka Annisa


melaporkan bahwa lebih dari 90% kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang ditangani oleh lembaga ini di Yogyakarta cenderung tidak berlanjut ke proses hukum, atau dengan kata lain, banyak perempuan korban kekerasan menarik kembali kasusnya atau bahkan tidak melaporkan sama 1 sekali . Banyak perempuan korban yang justru sebaliknya, memutuskan kembali hidup dengan pasangannya kendatipun mereka menyadari bahwa kekerasan akan terus berlanjut

menimpa mereka dikemudian hari. Pada level nasional,Komnas Perempuan melaporkan bahwa pada tahun 2013 angka cerai gugat oleh istri terjadi lebih banyak (208,846) dibanding jumlah cerai talak oleh suami (95, 287) maupun dibandingkan dengan jumlah perkara pidana kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tanggayang terlaporkan melalui kepolisian, kejaksaaan maupun pengadilan umum (4364) Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, khususnya perempuan, perceraian adalah langkah terakhir

yang ditempuh setelah melakukan berbagai cara penyelesaian konflik rumah tangga. Di sisi lain, pada setiap kasus perceraian, sedikitnya akan mengandung unsur kekerasan dalam rumah tangga baik fisik, psikis maupun ekonomi. Oleh karenanya, angka cerai gugat oleh istri yang tinggi menunjukkan akumulasi konflik yang dialami perempuan dalam rumah tangga yang sudah diluar batas kemampuannya untuk mengelola. Di sisi lain, perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga sedikit yang

Rifkamedia Mei-Juli 2014

33


LAPORAN UTAMA menempuh proses penyelesaian secara pidana. Selebihnya, patut diduga bahwa banyak dari perempuan yang mengalami konflik rumah tangga yang mengandung unsur kekerasan cenderung bertahan dalam situasi tersebut daripada menempuh jalur hukum pidana atau perdata. Keterbatasan akses ekonomi dan prinsip harmoni yang dipegang teguh sebagai seorang istri adalah dua faktor utama yang menyebabkan para perempuan korban berhenti untuk melaporkan kekerasan yang menimpa mereka dan memilih diam serta bertahan dalam situasi kekerasan dalam pernikahannya. Prinsip harmoni yang dipegang teguh oleh perempuan menyebabkan segala hal yang tejadi dalam rumah tangganya adalah hal yang tabu untuk diketahui orang lain diluar keluarganya karena dianggap akan merusak harmoni keluarga, termasuk jika terjadi kekerasan. Melibatkan laki-laki dalam program intervensi perubahan perilaku kekerasan Evaluasi dari proses penanganan terhadap korban yang selama ini dimandatkan oleh UUPKDRT, selain memiliki banyak kelebihan dalam upaya penanganan kekerasan terhadap perempuan, juga memiliki beberapa kelemahan yang dapat membatasi keterlibatan lakilaki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Proses advokasi dan pendampingan yang selama ini dilakukan masih bersifat satu arah yang hanya memberikan konseling pada perempuan, padahal sumber utama permasalahan adalah lakilaki sebagai pelaku. Maka

34

Rifkamedia Mei-Juli 2014

pendekatan satu arah ini dianggap tidak mampu memotong rantai kekerasan yang terjadi. Pelibatan laki-laki dalam proses konseling, khususnya yang memiliki permasalahan perilaku dalam berhubungan dengan perempuan, dianggap hal yang mendesak untuk dilakukan. Pada tahun 2007, Rifka Annisa menginisiasi berdirinya layanan konseling perubahan perilaku bagi para suami yang istrinya sedang berkonsultasi ke Rifka Annisa tentang permasalahan atau konflik rumah tangganya3. Tujuan dari layanan ini adalah sebagai salah satu upaya memotong rantai kekerasan

legal yang mengatur mengenai kewajiban konseling bagi laki-laki yang teridentifikasi melakukan kekerasan terhadap istri. Kendala utama yang dihadapi oleh Rifka Annisa setelah enam tahun program layanan ini berdiri adalah sedikitnya jumlah klien laki-laki yang mengakses layanan konseling dibandingkan jumlah laporan kekerasan terhadap istri yang 4 ditangani . Pada tabel diatas dapat disimpulkan bahwa banyak dari para suami yang istrinya sedang menjalani konseling bagi perempuan korban kekerasan di Rifka Annisa tidak mengakses konseling perubahan perilaku

Perbandingan jumlah klien laki-laki dan perempuan yang mengakses konseling periode tahun 2007-2013

No

Tahun

Jumlah klien laki-laki

Jumlah klien perempuan

1 2 3 4 5 6 7

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Total

8 10 16 15 22 27 21 119

242 213 203 226 219 226 254 1583

Sumber:Rifka Annisa 20135

dengan membantu laki-laki untuk mencari alternatif pemecahan masalah dalam rumah tangga yang nir kekerasan serta mentransformasikan perspektif, sikap dan perilaku kekerasan menjadi lebih respek terhadap perempuan. Tentunya program layanan ini bersifat suka rela yang artinya sangat tergantung kemauan para laki-laki untuk terlibat karena belum ada aturan

kekerasan yang artinya, situasi kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan korban yang menjalani konseling di Rifka Annisa tidak mengalami perubahan berarti karena suami sebagai pelaku tidak pernah mendapatkan intervensi. Mandatory counseling untuk pelaku kekerasan terhadap perempuan


Oleh karenanya, mencermati situasi tersebut, penting untuk mulai menggagas pentingnya regulasi atau intervensi hukum yang sifatnya mewajibkan para pelaku kekerasan dalam rumah tangga untuk bersedia merubah perilaku kekerasannya. Aturan hukum ini akan memberikan kesempatan bagi pelaku kekerasan untuk memperbaiki diri dalam berhubungan dengan pasangannya di rumah tangga. Pendekatan yang hanya memberikan efek jera atau penghukuman saja dirasa tidak cukup untuk menanggulangi terjadinya kekerasan. Hal ini karena akar permasalahan kekerasan terhadap perempuan terletak dalam sistem sosial dimana lakilaki hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi yang kemudian mempengaruhi cara pandang laki-laki dalam menilai perempuan dalam suatu relasi. Maka diperlukan juga pendekatan psikososial yang bersifat memberikan pendidikankepada laki-laki untuk merubah cara pandang mereka terhadap perempuan dan meninggalkan cara-cara yang mengandung unsur kekerasan dalam berelasi dengan perempuan. Sebenarnya saat ini mulai muncul inisiatif agar konseling bagi laki-laki pelaku kekerasan dalam rumah tangga bersifat wajib (mandatory), dibawah perintah dan pengawasan lembaga hukum yang berwenang, misal kepolisian, kejaksaan ataupun pengadilan. Hal ini puntelah diatur dalam pasal 50 UUPKDRT yang menyebutkan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. Dalam pasal tersebut, konseling

bagi pelaku lebih merupakan pidana tambahan yang hanya dilakukan setelah putusan pidana ditetapkan oleh hakim dan hal ini sangat tergantung perspektif hakim maupun jaksa, apakah merasa perlu atau tidak memberikan sanksi tambahan bagi pelaku. Namun pidana tambahan ini hanya akan terlaksana jika perempuan korban menindaklanjuti laporan kekerasan yang menimpa dirinya ke penegak hukum dan tidak mencabutnya hingga berlanjut ke pengadilan. Oleh karena itu, perlu dipikirkan ketika dihadapkan pada fakta bahwa banyak perempuan korban yang tidak melapor atau bahkan mencabut kembali laporannya di kepolisian.

Dampak konseling perubahan perilaku untuk laki-laki Berdasarkan laporan Rifka Annisa tahun 2012, dari 79 klien laki-laki yang datang pertama kali mengikuti konseling pada periode tahun 2007-2012, hanya 34% dari mereka yang kemudian bersedia meneruskan proses konseling dan menunjukkan perubahan perilaku yang positif terhadap pasangan. dan 56% dari 71 klien laki-laki yang tetap menunjukkan resistensi sikap dan perilaku yang mengarah pada ide-ide kekerasan . Dari data tersebut dapat diketahui bahwa laki-laki yang memilih bertahan dengan nilai-nilai dan cara hidup yang menyebabkan mereka rentan melakukan kekerasan terbilang tinggi. Pendekatan konseling yang bersifat individual yang selama ini dilakukan memang menghadapi tantangan yang berat. Hal ini karena penyebab utama laki-laki melakukan kekerasan adalah faktor budaya atau sistem sosial yang

menempatkan laki-laki lebih tinggi terhadap perempuan serta mengunggulkan nilai-nilai maskulinitas yang membolehkan kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah bagi lakilaki. Strategi konseling yang hanya menyasar individu tanpa dibarengi pendekatan psikososial yang lebih luas dalam mengkapanyekan nilainilai anti kekerasan dipandang kurang efektif. Namun demikian, dari pengalaman pribadi para konselor laki-laki di Rifka Annisa, beberapa laki-laki yang mengikuti konseling perubahan perilaku menunjukkan itikad baiknya untuk berubah. Mereka merasa terbantu dan menganggap proses konseling yang mereka ikuti telah membuka pemikiran mereka tentang relasi yang sehat dalam rumah tangga yang nir kekerasan. Beberapa klien laki-laki juga mengungkapkan bahwa menceritakan perasaannya dalam proses konseling adalah pengalaman baru yang membawa kelegaan. Hal ini karena sistem sosial selama ini tidak memberikan ruang bagi laki-laki untuk mencurahkan perasaannya. Setelah menjalani beberapa sesi konseling, mereka memahami bahwa ekspresi marah dalam suatu konflik rumah tangga adalah hal yang wajar, namun menjadi bermasalah jika marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan. Konflik rumah tangga adalah hal yang biasa terjadi dan setiap pasangan akan mengalaminya, namun penyelesaian konflik dengan menggunakan kekerasan adalah hal yang melanggar hokum dan tidak efektif.

Rifkamedia Mei-Juli 2014

35


Lesehan Buku

Jawa Maskulin:

menelisik cara pandang jawa tentang kelelakian

B

agaimana sebenarnya pandangan laki-laki Jawa dalam melihat maskulinitas didalam dirinya dan apa pengaruh nilai-nilai maskulinitas tersebut dapat memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah gambaran umum yang dijabarkan didalam buku Menjadi Laki-Laki. Buku yang terbit tahun 2007 ini memang menjadi salah satu buku dasar yang wajib dimiliki bagi mereka yang sedang belajar tentang maskulinitas dan kekerasan dalam konteks Indonesia. Buku menjadi laki-laki ini ini berupaya mengungkap tiga pertanyaan penelitian dalam studi maskulinitas, yakni. Pertama, mengapa laki-laki melakukan kekerasan terhadap pasangan dalam rumah tangga? Kedua, bagaimana pandangan laki-laki tentang citra maskulinitas yang melekat pada dirinya dan ketiga, bagaimana padangan laki-laki terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Keseluruhan penelitian didalam buku ini dilakukan di dua tempat, yakni di Yogyakarta dan Purworejo. Dengan melibatkan 24 laki-laki dewasa subyek penelitian dengan menggunakan metode focus group discussion dan wawancara mendalam. Dalam buku ini ditemukan berbagai temuan yang menarik pada diri laki-laki. Menurut para laki-laki mereka memiliki bayangan citra diri

36

Rifkamedia Mei-Juli 2014

yang ideal dalam masyarakat yang patriarkhi. Misalnya seorang laki-laki harus mampu menjadi pengayom, pencari nafkah utama yang kuat dan menjadi tulang punggung keluarga. Hal itu tersebut wajib dilakukan oleh laki-laki sebagai prasyarat baik secara psikologis maupun sosial untuk mengemban posisi utama didalam keluarga atau masyarakat. Akibatnya seorang laki-laki yang tidak mampu memenuhi atau mengemban prasyarat tersebut maka ia akan mengalami tekanan psikologis yang luar biasa terhadap harga dirinya. Ini berbeda dengan perempuan yang cenderung aman secara sosial, misalkan jika perempuan menganggur maka ia tidak akan mendapat tekanan seperti halnya ketika seorang laki-laki tidak bekerja. Temuan didalam buku ini juga memperlihatkan bahwa tindakan yang dilakukan laki-laki atau suami ketika terjadi konflik dengan istrinya, yang tergolong sebagai sebuah tindak kekerasan dalam rumah tangga berbentuk kekerasan verbal (cemohan, kata-kata kasar) hingga dalam bentuk kekerasan fisik seperti pemukulan, menampar hingga menendang. Menurut informan penelitian hal ini dilakukan karena laki-laki merasa lelah dan tidak mampu mengendalikan diri dan emosinya ketika berhadapan dengan istrinya. Hal ini terjadi akibat dari ketidakmampuan diri laki-laki untuk

mengontrol emosi karena mereka kelelahan menanggung beban sebagai laki-laki sebagai tulang punggung keluarga. Kiranya laki-laki harus bisa membedakan antara marah dan menjadi marah. Seseorang yang mengekspresikan rasa marah merupakan hal yang wajar. Sementara yang tidak wajar adalah menjadi pemarah dengan bertindak agresif terhadap pasangan. Tentu hal ini tidak dibenarkan dengan alasan apa pun. Pun demikian, peran laki-laki yang menjadi penghubungn antara keluarga dan masyarakat juga menjadi beban tersendiri. Tindaktanduk laki-laki akan selalu diawasi oleh lingkungan yang ada disekitarnya. Cara pandang dan tingkah laku laki-laki akan menjadi cerminana bagaimana masyarakat sekitar memandang keluarganya. Parahnya, selama ini tidak cukup tersedia ruang bagi laki-laki untuk mendiskusikan segala bentuk kecemasan dan rasa bingungnya tanpa harus merasa malu dan terserang harga dirinya karena dianggap lemah seperti perempuan. Para subjek laki-laki yang diteliti, mempunyai pandangan bahwa tanggung jawab sebagai seorang laki-laki, disamping harus mampu mencukupi kebutuhan finansial keluarga juga bertanggung jawab terhadap penentuan peran gender yang dilakukan oleh istri dalam


wilayah domestik (Lee, 2004). Jika dilihat dari praktik maskulinitas tradisional, sebenarnya laki-laki memiliki banyak keistimewaan secara kultural dibandingkan perempuan. Namun demikian hal ini bagaikan pedang bermata dua. Mereka memang punya banyak keistimewaan akan tetapi banyak juga laki-laki yang tak mampu memenuhi cara pandang dan prasyarat masyarakat tersebut. Sehingga menjadi tak heran jika upaya pelibatan laki-laki dalam pengpausan kekerasan terhadap perempuan terhambat akibat pandangan dari kaum laki-laki yang merasa terancam jika ia harus kehilangan hak-hak istimewa tersebut dalam kultur patriarkhi. Kondisi demikian menjadikan laki-laki didalam rumah tangga memiliki posisi yang membanggakan sekaligus memberatkan. Segala perilaku dan tindak tanduk yang ia lakukan akan membawa pengaruh terhadap nama dan keberlangsungan hidup keluarga. Maka kemudian secara tidak sadar laki-laki akan merasa berjuang sendiri untuk menopang seluruh kehidupan keluarga. Istri bukanlah partner yang setara melainkan sebagai pelengkap dalam rumah tangga. Penelitian dalam buku ini pun juga menemukan bahwa pembentukan citra diri laki-laki dilegitimasi oleh masyarakat secara kultural dari generasi satu ke generasi yang lain melalui pola asuh. Sebagai contoh, sejak kecil laki-laki pantang untuk menangis, laki-lai harus tampak macho dan berotot, laki-laki harus bisa menaklukan banyak perempuan, laki-laki sangatlah identik dengan kekerasan, rokok hingga alkohol. Pembentukan citra diri tersebut ternyata berpengaruh terhadap konsep diri laki-laki dan pola pemecahan masalah dalam rumah tangga maupun kehidupan sehari-hari. Kita kerap mendengar 'mari selesaikan peselisihan ini secara laki-laki' baik itu terhadap sesama

laki-laki, keluarga atau pun kepada istri. Citra diri tersebut sering kali menyebabkan laki-laki menjadi tidak memiliki kemampuan assertif dan mampu membina komunikasi empatik terhadap pasangangam. Dampaknya ia sulit untuk mengelola dinamika psikologis dalam dirinya sendiri maupun pada pasnagannya. Maka sering kali kita mendengar atau melihat berita ada beberapa laki-laki yang melakukan tindakan yang tidak terkontrol yang berujung pada kesakitan hingga kematian terhadap pasangannya. Ini dipengaruhi oleh kondisi pola asuh dan kondisi rumah tangga orang tua yang tak baik yang pernah dialami laki-laki baik saat merek kecil dan kemudian berpengaruh hingga dewasa Soslusi : Intervensi lingkungan sosial Maka setidaknya perlu ada beberapa tawaran pembenahan agar konflik ataupun kekerasan dalam rumah tangga tidak terus menerus terjadi. Memang dalam lingkungan masyarakat terutama di masyarakat Jawa yang menjunjung keharmonisan, konflik rumah tangga haruslah disimpan rapat-rapat, apalagi oleh istri. Jika persoalan rumah tangga sampai diketahui oleh orang luar maka hal tersebut adalah aib pernikahan. Sehingga kebanyakan masyarakat menjadi enggan untuk ikut campur meskipun sudah mengetahui bahwa dalam rumah tangga tersebut terjadi kekerasan dalam rumah tangga dan menyebabkan kesakitan pada perempuan. Masyarakat lebih banyak permisif dan baru melakukan intervensi ketika keadaan dirasa sudah membahayakan atau memburuk. Maka kemudian peran pemuka adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam upaya penanganan kekerasan dalam rumah tangga amat

berguna. Mereka menjadi rujukan masyarakat untuk meminta nasehat atau pun dianggap sebagai figur yang dipercaya dalam menyelesaikan persolan rumah tangga. Disamping itu, citra dan peran laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga menimbulkan sikap dalam diri lakilaki bahwa keluarga adalah simbol harga dirinya sehingga tidak sembarang orang dapat campur tangan termasuk ketika terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Para tokoh masyarakat dan pemuka

Judul Buku : Menjadi Laki-Laki (Pandangan Laki-laki Jawa Tentang Maskulinitas dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) Penulis : Nur Hasyim, Aditya Putra Kurniawan, Elli Nur Hayati, MPH Penerbit : Rifka Annisa-FOSI Tahun : 2007. Tebal : 94 Halaman, i-xiv, 15x22cm,

agama inilah yang dianggap sebagai figur yang sesuai dan setara dengannya ketika harus ada intervensi terhadap konflik dalam keluarganya. [] Ratnasari

Rifkamedia Mei-Juli 2014

37


Liputan

rifkamedia

Prihatin Tingginya Angka Kekerasan Seksual dan Pernikahan Dini di Gunungkidul, Rifka Annisa Gelar Pertemuan Konsultatif

Dibutuhkan sinergitas dan kerjasama multi stakeholder untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Gunungkidul

S

abtu, 28 Juni 2014, Rifka Annisa mengadakan pertemuan konsultatif dengan berbagai instansi di Aula Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Gunungkidul. Pertemuan ini diadakan untuk membangun sinergi dan kerjasama multi stakeholder dalam rangka pencegahan sekaligus penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak dan pernikahan usia dini di Gunungkidul. Pertemuan ini melibatkan Dinas Dikpora, BPMPKB, Polres, pihak kecamatan, Sekolah, KUA, Pengadilan Agama, dan perwakilan siswa. Para siswa dilibatkan secara langsung, agar mereka dapat secara aktif dan kritis mendiskusikan permasalahan di kalangan mereka sendiri sekaligus menyampaikan harapannya kepada pemangku kepentingan tentang masalah kekerasan seksual dan pernikahan dini. Kasus kekerasan seksual maupun pernikahan usia anak masih terbilang tinggi di Gunungkidul.

38

Rifkamedia Mei-Juli 2014

Menurut data di Divisi Pendampingan Rifka Annisa, telah terjadi 51 kasus perkosaan dan 15 kasus pelecehan seksual sepanjang 2009-2013 di Kabupaten Gunungkidul. Tidak sedikit diantara korbannya masih berstatus remaja dan pelajar. Sementara, data dari Pengadilan Agama Wonosari menyatakan bahwa angka pernikahan usia anak mencapai 158 kasus pada tahun 2013. Rusmaini, dari Polres Gunungkidul menginformasikan bahwa pihaknya pernah menangani korban kekerasan seksual usia 4 tahun dan 12 tahun. “Yang kedua kita menangani anak usia kelas 3 SD, dicabuli oleh orangtua. Banyak juga kejadiannya, misalnya inses, anak 4 tahun diperkosa Bapak kandung,” tuturnya. Sejalan dengan upaya tersebut, Sri Sumiyati salah seorang petugas Badan Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPKB) Gunungkidul menyatakan penanganan kasus, baik yang terjadi di Kabupaten, kecamatan atau desa, selama ini sudah dilakukan pihaknya dalam jejaring Forum Penanganan Korban Kekerasan terhadap

Perempuan dan Anak (FPK2PA). Untuk pencegahan, menurut Sumiyati, sudah ada inisiasi sekolah ramah anak, dan pemerintah membentuk forum anak kabupaten, kecamatan, dan desa. “Forum anak sebagai wadah partisipasi untuk pemenuhan hak anak,” ungkapnya. Meskipun demikian, salah satu peserta perwakilan siswa mengakui bahwa ia kerap menemui kasus hamil di luar nikah di kalangan pelajar. Bahkan di sekolahnya, kasus hamil di luar nikah hampir setiap tahun terjadi. Namun, mereka merasa menyayangkan karena murid yang hamil tersebut harus keluar dari sekolah atau bahkan dinikahkan padahal usianya belum cukup. “Masalahnya, masing-masing individu sendiri banyak yang tidak mengetahui tentang Undang-undang Perlindungan Anak dan Undangundang Perkawinan. Selain itu, ada masalahsoal kebijakan pemerintah yang kurang mengena di masyarakat, sehingga kami kurang banyak tahu tentang kasus pencabulan dan menikah dini” ungkap Tono, siswa SMKN 1 Saptosari. Dalam sesi diskusi, disepakati tentang pentingnya kerjasama dari berbagai pihak dalam penanganan kasus tersebut. Misalnya, ada satu inisiasi yang telah dilakukan Kecamatan Gedangsari untuk Deklarasi Dukuh serta menandatangani Memorandum of Understanding (MOU) dengan berbagai lemabaga guna mencegah terjadinya pernikahan usia anak. “Harapannya kecamatan yang lain dapat mengikuti,” ujar Yosep, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Gedangsari. [] Diferentia One


Liputan

Pacaran Itu Masa-Masa Indah, Kata Siapa? “Saya sudah dua tahun pacaran, tapi enggak tahu sebenarnya apa manfaat pacaran itu buat saya.”

K

alimat keluar dari pernyataan Nia Puspisari (16), seorang peserta Masa Orientasi Siswa (MOS) SMKN 1 Saptosari, pada sesi talkshow bersama Rifka Annisa, Rabu, 16 Juli 2014. Ungkapan Nia, bukan tanpa alasan. Ia dan bisa jadi banyak remaja lainnya yang belum bisa memaknai pacaran dan menentukan apa sebenarnya tujuannya pacaran. Menurut Nia, pacaran seringkali malah membuat sakit hati. Dalam relasi pacaran, seringkali laki-laki merasa memiliki kontrol lebih terhadap pacaranya. “Termasuk bisa seenaknya menyakiti hati atau bahkan mengatur-atur si cewek,” kata Nia. Permasalahan ini menjadi topik diskusi yang menarik di kegiatan sharing bersama Rifka Annisa yang diselenggarakan oleh SMKN 1 Saptosari. Acara yang dikemas dalam tema “Remaja Hebat: Sebarkan Cinta, Jauhi Kekerasan” ini dilaksanakan sebagai rangkaian acara Masa Orientasi Siswa (MOS) baru di sekolah tersebut. Pihak penyelenggara menyadari bahwa masih banyak remaja yang punya persoalan yang terkadang menggangu semangat

rifkamedia

belajar. Masalah keluarga, masalah pertemanan, bahkan masalah dengan pacar tidak jarang berpengaruh terhadap tumbuh kembang sebagai remaja. Tidak hanya itu, remaja yang kurang perhatian dan kasih sayang orang tua biasanya mencari pelarian ke pacarnya. Sebab, bisa jadi pacarnyalah yang mengerti apa yang dikehendaki oleh mereka. Haryo, salah seorang fasilitator melontarkan pertanyaan kepada peserta. “Mengapa pacaran sering putus dan nyambung? Apa yang menyebabkan pacaran itu bisa putus?” “Bosan, dan ada gebetan baru,” jawab Bowo (15), seorang peserta laki-laki. Mencoba mengamini apa yang dikatakan Bowo, Maya (15) menyatakan tentang apa yang membuat perempuan memilih untuk putus dengan pacarnya. “Putus karena pacar selingkuh, menipu, dan suka menyakiti,” tegasnya. Fasilitator menjelaskan bentuk Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) kepada peserta, seperti kekerasan

fisik, kekerasan psikologis, kekerasan sosial, kekerasan ekonomi, dan kekerasan seksual. Bagi mereka, yang sering dialami adalah kekerasan psikologis. Namun tak jarang, ada yang mengaku pernah menemui kasus kekerasan seksual misalnya hamil diluar nikah. “Banyak kasus hamil di luar nikah yang kemudian berakhir dengan aborsi, atau kalau tidak, menikah dini,” ungkap Defirentia One, dari Rifka Annisa. One, kemudian mengajak peserta berefleksi kembali tentang makna dan tujuan pacaran bagi mereka. “Kita masing-masing sejak awal harus jelas menentukan apa prinsip dan tujuan dari kita menjalin relasi pacaran. Ada batasan-batasannya. Buat apa pacaran kalau menyakiti, lebih baik jomblo tapi berprestasi,” ungkapnya. [] Niken Anggrek

Rifkamedia Mei-Juli 2014

39


Liputan

rifkamedia

Rannisakustik Ajak Remaja Kenali Potensi Diri

R

annisakustik, sebuah kombinasi yang apik antara seni dan feminisme, telah lama terlibat aktif dalam kampanye keadilan gender. Bersama Rifka Annisa, Rannisakustik kerap tampil mengisi acara diskusi, temu komunitas yang diselenggarakan Rifka Annisa bersama jaringan. “Rannisakustik ini bukan sekedar komunitas musik, tapi telah menjadi sebuah gerakan. Gerakan untuk keadilan sosial,” tutur Ramses, salah satu pentholan Ranisakustik. Rannisakustik kerap tampil mengiringi kegiatan Rifka Goes to School. Hal ini menjadi bagian yang menarik karena mayoritas peserta adalah remaja. Umumnya remaja lebih tertarik dengan cara-cara penyampaian pesan melalui media seni. Rannisakustik dengan apik membungkus pesan-pesan keadilan gender dan anti kekerasan lewat lagu-lagu yang dibawakannya.

40

Rifkamedia Mei-Juli 2014

Gambaran itulah yang ditemui ketika Rifka Annisa menggelar gawe Rifka Goes to School di SMKN 1 Wonosari, 24 Juni 2014. Rannisakustik mengajak peserta untuk sama-sama menyanyikan lagu “Beautiful” yang dipopulerkan oleh Cherry Belle. Tidak sekedar bernyanyi, para peserta kemudian diajak untuk membedah pesan yang ada di dalam lagu. “You are beautiful, beautiful, beautiful. Kamu cantik cantik dari hatimu”. Para personil Ranisakustik mengajak siswa berefleksi bersamasama bahwa setiap orang tidak perlu memaksakan kehendak untuk menjadi cantik. Setiap perempuan itu cantik apa adanya, dari kebaikan perilakunya bukan karena make up atau pakaiannya. Tidak jarang banyak orang yang kemudian menginginkan cantik dengan melakukan apa saja, membeli produk-produk kecantikan harga mahal, hingga menempuh

operasi plastik. “Hal ini dikarenakan banyak orang kurang memahami konstruksi body image yang selama ini banyak dipengaruhi oleh media. Media di sekeliling kita banyak mempromosikan citra tubuh perempuan cantik yang diidentikkan dengan kulit putih, rambut lurus, atau pun yang bertubuh langsing,” ungkap Niken, salah satu personil. Selain membawakan lagu-lagu populer dari penyanyi ternama, Rannisakustik juga berkreasi dengan menciptakan lagu-lagu sendiri. Lagu tersebut tentunya sarat dengan pesan keadilan gender. “Saat ini kita sedang berkolaborasi dengan Forum Pencipta Lagu Muda (FPLM) Yogyakarta untuk membuat album lagu-lagu anti kekerasan,” jelas Niken. Diferentia One


Memoar

Aku dan Fendi M

imi sedang bermain dengan kedua kakaknya di ruang tengah. Tibatiba Mimi menangis. Lalu sekilas kulihat kakaknya meludah pada Mimi. Aku menjerit. Refleks kutarik Mimi dan kuteriaki kakaknya. Fendi, suamiku, datang kemudian. Dia gantian meneriakiku. Kami pun saling balas teriak dan memukul, hingga kemudian dia benturkan kepalaku di tembok sampai berdarah. Tetangga apartemen kami mendengar pertengkaran kami dan menelepon polisi. Fendi pun ditangkap. Tujuh tahun yang lalu aku bertemu Fendi, dikenalkan oleh temanku. Sejak pertemuan pertama kami, Fendi berusaha mendekatiku. Dia menceritakan banyak hal tentang dirinya, tentang kondisinya yang sudah mau

bercerai dengan istrinya. Aku merasa kasihan juga mendengar ceritanya. Dia bilang, dia sangat mengagumiku karena aku orangnya sabar, sangat berbeda dengan istrinya. Senang juga mendengarnya. Namun, sebagai perempuan, aku ingin kejelasan status dia. Kuminta dia menyelesaikan urusannya terlebih dahulu jika ingin bersamaku. Fendi bersikukuh tetap mendekatiku, hingga suatu hari Fendi mengajakku ke pengadilan negeri dan menunjukkan bukti perceraian dia dengan istrinya. Sejak itulah kami jalan, dan tak berapa lama kemudian memutuskan untuk menikah. Orang tuaku kurang setuju sebenarnya. Fendi adalah seorang duda dengan dua anak, pasti berat bagiku untuk ke depannya. Tapi

karena aku tetap dengan pilihanku itu, orang tuaku akhirnya mengijinkan. Tahun awal pernikahan sungguh berat. Fendi sedang tidak memiliki pekerjaan. Dia dulu bekerja di sebuah perusahaan besar, namun akhirnya perusahaan tersebut kolaps dan kondisi ekonominya merosot. Itu juga yang membuat istrinya dulu meninggalkannya. Istrinya tidak tahan dengan kehidupan ekonomi mereka kemudian berselingkuh dengan lelaki lain. Rasa sakit hatilah yang membuat Fendi memutuskan untuk bercerai dari istrinya. Setelah menikah denganku, dia belum juga bekerja. Aku yang bekerja. Saat itu aku menjadi supervisor Sales Promotion Girl (SPG), mengelola event-event

Rifkamedia Mei-Juli 2014

41


Memoar produk. Aku bekerja keras menghidupi keluarga baruku, bahkan dalam kondisi hamil tua pun tetap bekerja. Di awal pernikahan, kami masih tinggal di kota yang terpisah. Aku tinggal bersama adikku. Sehari sebelum persalinan, aku baru pulang kerja jam 10 malam. Aku tidak menyadari ketubanku pecah jam 3 dini hari, dan aku baru ke rumah sakit jam 7 pagi hanya diantar adikku. Tapi syukurlah semua selamat. Tiga hari setelah persalinan itulah Fendi memperoleh pekerjaan di tempat kerjanya yang sekarang. Pelanpelan kami membangun ekonomi, mulai dari menyewa kos-kosan hingga memiliki rumah yang sekarang ini. Hubunganku dengan keluarga Fendi pada awalnya buruk. Ibu mertuaku lebih sayang pada mantan istri Fendi dan aku merasa sering dibandingbandingkan dengannya. Kalau ada kesempatan bertemu bertiga dengan Fendi dan mantan istrinya, aku seolah tidak ada. Tapi kupendam saja perasaanku karena tidak mau ribut. Aku fokus mengasuh anakku. Walaupun sebenarnya aku juga menyayangi kedua anak Fendi dengan mantan istrinya. Aku tidak ikut campur terlalu dalam untuk pengasuhan mereka, karena mantan istri Fendi tidak menghendakinya. Tapi anak-anak itu seminggu di rumah ibunya, seminggu di rumahku. Tentu saja mau tidak mau aku juga terlibat bergaul dengan mereka. Dan hal itu sering menjadi sumber pertikaian antara aku dan Fendi, karena aku tidak tahan mantan istrinya sering menyalahkanku untuk banyak hal yang tidak

42

Rifkamedia Mei-Juli 2014

penting. Aku sebenarnya menyayangi Fendi. Tapi perangainya seringkali kasar dan lepas kendali. Aku pernah disewakan kamar hotel sama dia. Lalu tiba-tiba dia datang dalam keadaan mabuk dan membawa seorang pelacur. Dia mengajak kami main bertiga. Aku menjerit, keluar dari kamar dan dikejar-kejar sama dia di lorong hotel, aku berteriak memanggil security hotel. Suamiku diamankan dan dibawa ke kantor polisi. Salah seorang polisi pun bahkan menasehati agar aku bercerai saja dari Fendi, karena dia orangnya tidak beres. Setelah banyak kejadian yang kulalui, aku mulai sering tiba-tiba tidak bisa bernafas. Tapi menurut dokter semua organku baik-baik saja. Aku ke psikolog, dan katanya aku mengalami gangguan psikosomatis, atau stres berat yang mempengaruhi fisik. Kemanamana aku bawa tabung oksigen besar, bahkan ke mall. Tapi aku sendiri tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan semua masalah ini? Aku sudah sering melihat Mimi disakiti dan diperlakukan jahat oleh kakakkakaknya, sehingga agak khawatir jika berkumpul dengan mereka. Tapi kuturuti saja. Sampai akhirnya kulihat kejadian itu, ketika Mimi diludahi oleh salah satu kakaknya. *** Kami duduk berdua. Pengacara Fendi mondar-mandir keluar masuk ruangan. Lalu dia mendatangi kami dengan sebuah kabar. Fendi akan dibebaskan, dengan syarat menjalani program konseling selama setahun, dan nanti akan dievaluasi perkembangannya. Kami setuju.

Dalam hati, aku ingin tahu, apakah suamiku benar-benar bisa berubah? Setahun berlalu sejak peristiwa itu. Dan Fendi berubah. Aku tidak tahu, apakah karena peristiwa itu, apakah konseling, atau apakah karena dia sudah lelah dengan semua persoalan rumah tangga kami. Aku hanya pernah sekali menyampaikan ke dia, "Pa, kita kan sudah tua, apa lagi sih yang kita cari? Sudahlah, mari kita bangun rumah tangga ini baikbaik, dan kita saling membantu satu sama lain." Dia beinisiatif membuat kesepakatan. Intinya, dia berjanji tidak akan melakukan kekerasan berikut sangsi-sangsinya jika wordpress.com dilanggar. Aku tentu saja senang. Sekarang, aku punya kepastian hukum jika dia melanggar janjinya.Setelah itu, rumah tangga kami membaik. Fendi tidak melarang-larangku lagi melakukan berbagai hal. Aku pun mulai berbisnis, dan dia malah membantu. Di rumah pun pekerjaan rumah kami lakukan bersama. Fendi juga mulai sering bermain-main dengan Mimi. Dan semua itu menjadi sangat meringankan bebanku.[] Indiah Wahyu


WAWANCARA

Saeroni, dan Gerakan Laki-Laki Baru: Agar definisi Laki-Laki tak Lagi Tunggal Keterlibatan laki-laki dalam upaya penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan menjadi isu yang menarik dan berkembang dengan pesat. Tageline “laki-laki baru”, “laki-laki peduli” menjadi materi kampanye yang melibatkanlaki-laki, tidak saja dikalangan aktivis gerakan, tetapi juga lekai secara umum. Untuk memperoleh gambaran yang kompresensif tentang gerakan lakilaki baru yang di usung di ypgyakarta, dan sudah menjadi isu yang mendunia, rubrik wawancara kali ini menghadirkan salah satu aktifis dari Rifka Annisa yang mempunyai keterlibatan yang panjang mengenai kampanye “laki“laki baru”.

M

enjelang senja, Dewi julianti dari Rifka Media menemui Saeroni atau biasa dipangil Mas Roni. Mas Roni merupakan salah satu penggerak isu laki-laki baru di Rifka Annisa. Ia memiliki pengalaman yang banyak diberbagai komunitas laki-laki. Dalam percakapan hangat dengan secangkir teh, Roni menyampaikan berbagai gagasan dan pengalamannya bergerak dalam isu laki-laki baru. Mengapa mas Roni tertarik dengan isu-isu perempuan, khususnya isu kekerasan terhadap perempuan? Dan bagaimana Mas Roni sebagai Dokumentasi Pribadilakilaki memandang isu kekerasan terhadap perempuan? Sebetulnya ketertarikan karena pengalaman sebelumnya, pengalaman hidup sebelum hidup itu membuat saya tertarik pada isu perempuan. Bisa dibilang juga ada kombinasi antara pengalaman dan pengetahuan. Aku hidup dalam keluarga dimana ayah orang yang cukup keras dan juga otoriter. Waktu kecil aku sering menyaksikan bapak berlaku keras terhadap ibu, bahkan terjadi kekerasan. Saya pernah menyaksikan ibu dipukul oleh ayah dan sempat dibawa ke puskesmas karena ada luka dikepala. Saat di puskesmas ia mengaku kebentur dan kepleset. Keluarga saya juga pas-pasan, saya dan saudarasaudara untuk menyelesaikan SD saja harus ikut orang. Setelah SD aku ikut orang lain untuk melanjutkan sekolah, kakakku kedua-duanya ikut orang setelah tamat SD dan juga bekerja sebagai penjaga toko dan PRT. Tetapi setelah itu, yang lebih terdorong untuk melanjutkan pendidikan adalah lakilaki, yakni saya dan juga kakak laki-laki saya. Tetapi saudara perempuan saya dia tidak didorong untuk sekolah tetapi bekerja sehingga otomatis mereka

Rifkamedia Mei-Juli 2014

43


yang membantu keluarga. Saya bekerja bukan untuk membantu keluarga tetapi untuk diri sendiri. Pengalaman itu kemudian dikampus bersentuhan isu gender, keadilan dan kesetaraan gender dan juga ketemu Rifka Annisa jadi kemudian nyambung dan tertarik pada isu perempuan

berpotensi melakukan kekerasan. Sehingga sikap ini digeser lebih toleran, lebih adil , lebih terbuka maka keadilan dan kesetaraan gender serta isu kekerasan terhadap perempuan bisa diturunkan sehingga kira-kira ini perlu menggeser paradigm lakilaki lama menjadi laki-laki baru.

Dalam beberapa tahun terakhir muncul keterlibatan laki-laki dalam isu kekerasan terhadap perempuan atau biasa dikenal sebagai “Laki-Laki Baru” atau ada pula yang menyebutnya “Laki-Laki Peduli”. Disana mereka memperkenalkan citra “baru” laki-laki dalam maskulinitas positif dan melakukan keterlibatan dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Menurut mas Roni apa sebenarnya itu wacana dan gerakan laki-laki baru ini? Karena banyak sekali orang diluar sana yang masih belum familiar dengan wacana dan gerakan laki-laki baru. Sebetulnya laki-laki baru itu adalah sebuah penamaan untuk pada awalnya untuk kepengtingan kampanye, untuk mengajak lakilaki untuk lebih perduli dalam isu keadilan kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Nah kenapa pakai lakilaki baru, sebetulnya untuk menggeser paradigm bahwa ada paradigma atau tipologi laki-laki yang selama ini cenderung melakukan kekerasan terhadap perempuan. Itu laki-laki yang memiliki sifat hidup yang patriarkhi, yang sangat dominan, berkuasa, maskulin. Nah, dari penelitian yang dilakukan kan mereka yang memiliki cara hidup patriarkhi cenderung berpotensi melakukan kekerasan, yang lebih

Sejak kapan Mas Roni terlibat dalam wacana dan gerakan lakilaki baru? Mengapa tertarik dalam wacana dan gerakan lakilaki baru? Kalau saya sejak bersinggungan dengan wacana HAM dan demokrasi sejak tahun 1998-1999 membincang soal civil society, menemukan adanya keterkaitan antara demokrasi dan keadilan kesetaraan gender. Sehingga saya memberi perhatian pada isu keadilan dan kesetaraan gender. Waktu saya mahasiswa saya pernah membuka sekolah wacana gender dan agama, pruralisme dan agama, bahasa inggris, politik agama, kritik wacana agama. Waktu itu sangat trend. Sehingga waktu mahasiswa saya terlibat di PMII, tahun 1999 saya ketuanya, tetapi itu dirintis sebelum saya. Jadi orang-orang yang ada di organisasi itu harus menguasai isu-isu kunci itu. Nah 1999 ketemu Rifka Annisa dan nyambung.

44

Rifkamedia Mei-Juli 2014

Bagaimana respon orang-orang sekitar Mas Roni ketika mereka tahu bahwa Mas Roni terlibat dalam wacana dan gerakan ini? Apakah ada resistensi dari orang-orang? Misalnya dari kalangan aktivis perempuan atau bahkan sesama laki-laki? Kalau ada bagaimana bentuk resistensi mereka? Sebetulnya gak ada. Karena

Cuma agak heran saja kok misalnya kamu bisa di Rifka Annisa tapi dengan diberi penjelasan dengan perspektif demokrasi udah biasa aja. Dari keluarga juga tidak ada resistensi, kalau sesama aktivis tidak ada resistensi mereka. Karena banyak teman-teman laki-laki saya yang tertarik dengan isu keadian dan kesetaraan gender. Bahkan teman-teman aktivis perempuan banyak mendorong, karena menyadari isu ini tidak bisa hanya diperjuangkan oleh perempuan. Membutuhkan keterlibatan lakilaki. Bahkan di Rifka Annisa pun juga berstrategi untuk mempermudah merangkul kelompok laki-laki maka Rifka Annisa melakukan perekrutan lakilaki. Terus apalagi jika bicara agama, laki-laki yang lebih dipandang otoritatif. Bagaimana Mas Roni melihat perkembangan wacana dan gerakan laki-laki baru dalam skala internasional? Lalu bagaimana pula perkembangan hal itu berpengaruh di Indonesia? Kalau di Indonesia isu ini mungkin ada pengaruh tetapi sebetulnya dalam isu keadilan dan kesetaraan gender ada embrionya. Misalnya Rifka Annisa sejak tahun 1999 sudah menurunkan satu tulisan wacana pelibatan laki-laki dalam isu kekerasan terhadap perempuan. Di situ ada tulisan lakilaki baru, baru laki-laki. Itu sudah disadari sejak awal termasuk perekrutan laki-laki di Rifka Annisa sebagai antithesis dari laki-laki yang tak boleh bekerja di women's cricis center. Ini sebenarnya bagian dari strategi dalam menggalang dukungan dari laki-laki meskipun pada masa itu kan belum dijadikan sebagai sebuah nama, belum


WAWANCARA

dinamai pelibatan laki-laki. Tetapi dari awal embrionya sudah ada, embrio pemikiran maupun pengalaman-pengalaman dalam melakukan pendampingan terhadap perempuan menunjukan pendampingan terhadap perempuan tanpa diimbangi oleh pemberdayaan atau pendampingan pada laki-laki sulit keadilan dan kesetaraan gender itu diwujudkan. Ini kan pengalaman ini terjadi dibanyak tempat nah ketika pengalaman itu dibincangkan di forum internasional kan akhirnya saling ketemu. Memang dari sisi gerakan di Indonesia baru sekitar tahun 2007 mulai ada bentuk yang lebih sistematis. Tahun 2009 dibentuk Aliansi Laki-Laki Baru yang berdasar dari pengalaman banyak NGO, seperti Rifka Annisa, Jurnal Perempuan, Yayasan Pulih, WCC Bengkulu, Rumah Perempuan Kupang. Mereka membincangkan pengalaman yang sama, secara internasional ada Men Engagement, ada Men Care. Keduanya satu embrio, sama-sama dari Promundo Amerika Latin. Bagaimana Mas Roni menerapkan prinsip atau nilainilai baru tentang kelelakian dalam kehidupan Mas Roni sehari-hari? Mungkin bisa diberikan contoh? Setelah ini digaungkan jadi isu nasional, maka perhatian ke isu ini lebih besar. Tapi kalau saya secara pribadi biasa saja, dari dulu juga saya lakukan tidak jauh beda. Misal sikap hidup didalam keluarga. Yang berbeda lebih ke penguatan wacananya aja, tapi sikap hidup menurut saya tidak jauh berbeda. Misalnya lebih perhatian terhadap apa yang saya bicarakan dengan apa yang saya

lakukan. Kalau kita bicara dengan laki-laki di komunitas pun juga sama. Yang berbeda hanya segi perspektif. Secara perilaku banyak laki-laki yang sudah mempraktekan perilaku yang berbagi, tetapi secara perspektif masih agak buyers. Tetapi secara perilaku tidak. Seperti halnya tidak banyak laki-laki yang tidak banyak melakukan poligami, tetapi yang setuju poligami banyak. Tetapi yang mengambil sikap untuk menolak poligami tidak banyak seperti mereka yang setuju terhadap poligami.

tangga atau sebagai pengambil keputusan. Itu yang paling dominan. Selain itu faktor pengalaman masa kecil, ia mendapatkan contoh yang laki-laki sudah semestinya seperti itu. Lakilaki melakukan kekeraksan dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan itu sudah terjadi dalam hidupnya. Laki-laki yang pernah mendapatkan kekerasan pada masa kecilnya, pernah menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga memiliki kecenderungan menjadi pelaku kekerasan disaat dewasa.

Menurut Mas Roni, apa yang menyebabkan banyak laki-laki melakukan kekerasan? Apakah faktor-faktor yang mendorong laki-laki melakukan kekerasan tersebut? Soal controlling. Bagaimana laki-laki mendefinisikan dirinya sebagai pengontrol. Laki-laki itu wordpress.com harus tangguh. Laki-laki itu harus dominan dalam pengambilan keputusan. Di penelitian yang terakhir di lakukan oleh Rifka Annisa dan UN Women di Jakarta, Papua dan Purworejo, 90% laki-laki menganggap dirinya sebagai lakilaki harus tangguh, kuat kemudian setelah itu memiliki kecenderungan sikap laki-laki mesti mengontrol pengambilan keputusan di keluarga. Sementara kebanyakan laki-laki beranggapan bahwa pekerjaaan domestik adalah pekerjaan perempuan. Perempuan semestinya tidak boleh menolak ajakan, keputusan laki-laki. Yang paling dominan itu adalah normanorma gender yang diyakini oleh laki-laki. Sehingga menjadi faktor pendorong utama kenapa laki-laki melakukan kekerasan. Karena lakilaki merasa berhak melakukan itu karena dia sebagai kepala rumah

Berdasarkan amatan yang dilakukan di lapangan, meski sudah banyak di kampanyekan tentang wacana dan gerakan laki-laki baru, masih banyak resistensi dari banyak laki-laki. Kira-kira mengapa hal itu bisa terjadi? Sebetulnya tidak banyak resistensi. Resistensi itu terjadi ketika misalnya pelibatan laki-laki disalah artikan sebagai upaya untuk mensubordinasi diri laki-laki terhadap perempuan itu baru terjadi resistensi. Tetapi kalau kampanye diarahkan agar diri lakilaki menjadi lebih baik, banyak yang menerima. Dan faktor resistensi itu kebanyakan disebabkan oleh kesalahpahaman dan ada praduga sebelumnya dari para laki-laki tentang gerakan lakilaki baru. Ketika bersentuhan tidak banyak yang resisten. Yang resisten justru mereka yang baru mendengar saja, ka nada kesalahpahaman. Praduganya apa? Misalnya praduganya gerakan ini akan mendomenstifikasi laki-laki, seperti gerakan laki-laki takut istri. Ini

Rifkamedia Mei-Juli 2014

45


stigma negatif yang berangkat dari ketakutan. Ketakutan akan perubahan. Seperti ini kan, laki-laki harus meletakan previllege atau berbagi privellege sementara mereka dalam posisi nyaman. Yang resisten adalah mereka-mereka yang berada dalam posisi sudah terindikasi sebagai pelaku. Mereka yang menikmati kenyamanan sebagai laki-laki dengan role model yang patriarkhi. Tapi kebanyakan laki-laki malah tidak seperti itu. Selama berkecimpung dalam wacana dan gerakan laki-laki baru, apakah ada pengalaman Mas Roni yang paling mengesankan ketika terlibat dalam isu ini? Yang paling mengesankan dan agak heran justru pengalaman di NTT dan NTB. Hanya tiga sampai empat kali diskusi tetapi yang mungkin dalam hitungan logis untuk merubah sikap dalam empat kali diskusi itu susah. Tetapi kalau dilihat dari evaluasi dan catatan pasca program itu ada perubahan Perubahannya seperti apa? Laki-laki yang awalnya resisten dengan isu ini, dia sebetulnya laki-laki yang didalam masyarakatnya dianggap kurang berguna, pekerjaanya tidak jelas, tanggung jawab terhadap keluarga tidak dilakukan. Terus sering mabuk, jarang dirumah, pulang pagi, sering melakukan kekerasan terhadap pasangannya dan sering diabaikan oleh lingkungan. Nah waktu dia pertama terlibat diskusi dia diam dan kemudian pada pertemuan berikutnya ia menentang. Tapi ternyata laki-laki ini sebetulnya yang mengalami krisis maskulinitas, dia sebenarnya

46

Rifkamedia Mei-Juli 2014

mengidealkan laki-laki bisa bertanggung jawab, mapan secara ekonomi, dan secara sosial juga dihormati. Tetapi pada kenyataannya dia gak bisa memenuhi. Dia mabuk dan keluyuran malam, karena tidak menemukan kepuasan diri dengan kondisinya, di komunitas dia merasa tidak dianggap, jadi orang baik buat apa karena dia diabaikan juga. Dia tidak menemukan kenyamanan dengan situasi yang ia alami, tetapi ia justru melakukan hal-hal yang kontraporduktif. Ketika ia terlibat diskusi dan kemudian dia yang paling keras menentang. Tetapi meskipun begitu dia berpikir dan setelah diskusi ia merasa eksistensinya diakui. Jadi omongannya tetap dihargai dan mendapat ruang disitu. Selama ini dia sering diabaikan tetapi karena fasilitator dan mentor ia diberikan ruang dan diberi penjelasan tentang laki-laki baru, seharusnya laki-laki bisa menemukan realitas dan idealitas. Ada refleksi dalam dirinya, sehingga pada suatu ketika setelah diskusi dia mencoba ide yang disampaikan. Ia membersihkan rumah, istrinya bekerja, dia menyiapkan makanan dan menyiapkan diri untuk bersikap manis terhadap pasangannya, ketika pasasangannya datang ia disambut baik oleh istrinya dan merasa ada penghargaan dan diapresiasi. Itu titik baliknya, setelah berdebat dan menentang ada proses refleksi dalam dirinya untuk berusaha membuat dirinya lebih berguna dan mendapatkan reward dari pasangannya. Kemudian berusaha untuk konsisten, sekarang menjadi motivator, ia sekarang yang paling getol untuk mengkampanyekan laki-laki baru.

Apa sebenaranya tantangan gerakan dan wacana laki-laki baru di Indonesia? Bagaimana upaya yang harus dilakukan agar tantangan-tantangan tersebut bisa dilalui? Ya sebetulnya tantanganya apakah perubahan laki-laki itu akan bersikap temporer atau lebih lama. Nah kecenderungan untuk berperilaku kekerasan lagi masih tetap ada. Karena support sosialnya yang juga belum kuat, norma-norma gender yang patriarkhi itu juga beredar kuat dalam masyarakat. Sementara gerakan ini masih berumur beberapa tahun. Sementara mengatakan ini sebagai gerakan pun sebetulnya masih belum teruji. Apakah orang—orang yang disebut laki-laki baru tersebut akan terus konsisten atau tidak. Itu yang selalu jadi pertanyaan, oleh temanteman aktivis perempuan. Untuk menjaga konsistensi dari perubahan itu sendiri. Saya sendiri melihat, proses menjadi laki-laki itu terus menerus dan bisa jadi dalam titik tertentu akan balik atau zig zag. Kalau saya sendiri, laki-laki akan merasakan berubah karena realitas sosial tak bisa dihindari. Jadi pergeseran sosial menunjukan laki-laki mau gak mau harus berubah secara nilai, norma dan perilaku. Karena norma sosial menjadi alki-laki sulit untuk dipertahankan. Misalnya laki-laki pencari nafkah utama, realitasnya justru separuh perempuan yang mencari nafkah. Dan kecenderungan perempuan untuk masuk wilayah publick itu tidak mungkin dibendung. Itu mau tidak mau harus disertai perubahan paradigma. Laki-laki yang bertahan dengan nilai-nilai lama akan mengalami masalah sendiri.


PROFIL

Mas Bos, Si Laki-Laki Baru

M

uhammad Saeroni telah malang melintang dalam dunia aktivisme gerakan perempuan. Laki-laki yang kerap disapa mas Bos atau mas Roni ini mengawali kariernya sebagai relawan belajar di Rifka Annisa Women's Cricis Center saat ia tengah duduk dibangku akhir kuliah di Fakultas Syariah, Universitas IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ketertarikannya dalam isu perempuan selama lebih dari 12 tahun, membuatnya amat kritis dan memiliki pemahaman yang kuat dalam isu kekerasan terhadap perempuan. Selama bekerja di Rifka Annisa, Roni telah melakukan berbagai penelitian terkait dengan isu perempuan. Terakhir Roni terlibat sebagai salah satu tim penelitian kerjasama antara Rifka Annisa dan UN Women yang dilakukan diberbagai negara di Asia Pasific, termasuk di Indonesia. Ia tergabung dalam tim peneliti tentang studi “Mengapa Laki-laki Melakukan Kekerasan dan Bagaimana Mencegahnya: Studi Atas Kajian Maskulinitas dan Kekerasan Pada Laki-laki di Purworejo, Jakarta dan

Papua. Dengan berbagai pengalamannya di Rifka Annisa, Roni mampu memotret perilaku maskulinitas dan kekerasan dari ketiga daerah tersebut dan hasil dari penelitian tesebut digunakan sebagai bahan studi lanjut maupun advokasi kebijakan pelibatan lakilaki dalam usaha penghapusan kekerasaan terhadap perempuan Laki-laki kelahiran 20 Mei 1977 yang telah dikarunia putri cantik bernama Shima dari istrinya Muslikah Kurniawati, ini tengah melanjutkan jenjang pendidikan master di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Keputusannya untuk mengambil hukum tak lepas dari ketertarikannya dalam mendalami tentang kajian hukum saat ia menuntaskan gelar sarjana. Selain itu, mengambil gelar master di fakultas hukum juga mengakomodasi ketertarikannya terhadap hukum keluarga yang kini sedang diadvokasi secara nasional oleh Rifka Annisa bersama BADILAG MA. Roni pun juga terlibat sebagai salah satu penggiat Aliansi Laki-Laki Baru, dimana Rifka Annisa bertindak sebagai host aliansi tesebut. Roni

pun terlibat dalam berbagai kegiatan Laki-Laki Baru yang dilaksanakan diberbagai daerah seperti di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Selain itu, Roni juga kerap kali menjadi pembicara maupun training yang diselenggarakan oleh Rifka Annisa. Tulisan-tulisannya pun kerap menampilkan perspektif baru didasarkan dari pengalamannya bersentuhan dengan isu kekerasan terhadap perempuan. Pengalaman yang terbilang panjang di Rifka Annisa mendorongnya untuk mulai mendokumentasikan pengetahuanpengetahuan lokal untuk turut merumuskan masalah dan upaya penyelesaiannya, terkait isu perempuan. Ia percaya, bahwa pengalaman harus diakumulasi menjadi ilmu pengetahuan, agar tidak hilang begitu saja. Berbagai pemikiran dan pengalaman panjang itu ia tulissebarkan dalam blog pribadinya di http://saeroni.wordpress.com/

Niken Anggrek W

Rifkamedia Mei-Juli 2014

47


DAPUR RIFKA

Teknologi Baru, Relasi Baru: Mendudukkan Media, Laki-Laki Baru, dan Persahabatan

L

ima tahun yang lalu, tepatnya tahun 2009, pada hari komunikasi sosial bertajuk “Teknologi baru, relasi baru: memajukan budaya menghormati, dialog, dan persahabatan. Tema ini tampaknya masih dan akan terasa actual hingga hari ini. Aktual mengingat hari ini media kita, dan relasi sosial yang kita bangun hingga detik ini tidak telalu beranjak menuju pemajuan budaya menghormati, dalog dan persahabatan. Media kita hari ini justru sebagian terjatuh pada visivisi yang merendahkan kemanusiaan, memanipulasi manusia dalam belenggu kapitalisme, komersialisasi yang melupakan kedalaman arti hidup manusia (Ignatius Hariyanto, 2010). Komunikasi dan relasi sosial dilipat dalam industri. Dan sayangnya indutri yang berkembang sejauh ini adalah industry yang mengejar angka pertumbuhan, dan mengabaikan nilai kemanusiaan, kesetaraan dan

48

Rifkamedia Mei-Juli 2014

peran gender dalam pembentukan perdamaian sosial (persahabatan). Sementara realitas sosial kita dibentuk dari konstruksi relasi masa lampau yang hampir tidak pernah direvisi hingga hari ini. Kontruksi masa lampau tersebut adalah sistem kekerabatan yang patron klien. Dimana selalu ada strata dalam relasi sosial dalam masyarakat. Ketidak setaraan ini dalam banyak kasus merupakan pemicu terjadinya kekerasan, ketimpangan akses, dan peminggiran peran minoritas. Sayangnya media kita belum sepenuhnya sadar akan pentingnya kesetaraan akses dan berbagai bentuk kampanye, terutama perjuangan perempuan untuk memperoleh hak-haknya dalam masyarakat dan bernegara. Perjuangan perempuan rasanya tidak akan pernah berhasil jika hanya dilakukan semata oleh perempuan sebagai individu, kelompok, maupun gerakan. Padahal sumber kekerasan bukan

pada perempuan, tetapi bisa jadi pada laki-laki, pada relasi sosial yang dibentuk, media yang memenuhi hampir setiap informasi yang kita serap, dan apapun lini hidup ini. Oleh sebab itu gerakan kesetaraan, kemanusiaan, perdalamain yang bungkus dalam dialog,dan persahabatan ini mau tidak mau harus melibatkan seluruh kepentingan tersebut: Laki-laki dan media. Introduksi isu ini sesungguhnya pernah kami bahas pada rubric yang sama pada Rifka Media Edisi 49. Namun tidak ada salahnya kami mengingat kembali disini. Pada tahun 1998, Rifka Annisa mulai mengajak laki-laki pelaku kekerasan dalam beberapa sesi konseling dan mulai merekrut beberapa laki-laki untuk menjadi stafnya guna memudahkan pendekatan pada pihak laki-laki. Pendekatan ini pun mendapat kritik keras dari kalangan ornop perempuan karena melibatkan laki-


laki dalam konseling pasangannya, dianggap janggal dan dipandang sebagai langkah kompromis terhadap pelaku kekerasan sebagai sumber permasalahan. (Kompas, 10 September 2003). Dalam situasi seprti itu, Rifka Media hadir sebagai pendobrak tabu rumah tangga, dengan membicarakan isu kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan dalam rumah tangga di ruang-ruang publik. Dalam beberapa kesempatan, Rifka Media juga hadir untuk menyuarakan pandanganpandangan dan gagasan Rifka kepada publik. Diantaranya, padangan tentang perlunya pelibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam terbitan Rifka Media bulan September tahun 1999. Isu pelibatan laki-laki inilah yang kemudian disebut sebagai Laki-Laki Baru (LLB). Kenapa LLB? Pemunculan gerakan

ini ingin menyentuh kesadaran lakilaki bahwa kekerasan bisa dikurangi jika mereka berperan didalamnya. Kesadaran laki-laki untuk turut membangun dan merumuskan relasi sosial, relasi dalam komunikasi yang menenmatkan nilai dasar kemanusiaan mengatasi perbedaan jenis kelamin dan gender. Maka Laki-laki baru membawa harapan agar dunia nir kekerasan. Rintisan ini memungkinkan terbangunnya relasi sosial yang lebih matang. Relasi sosial yang matang akan menumbuhkan gerakan sosial yang mampu mengatasi setiap bentuk diskriminasi. Dan cara mengatasi diskriminasi itu hanya bisa dilakukan jika gerakan sosial tidak laki terkotak-kotan menjadi gerakan perempuan semata. Gerakan sosial yang kuat, tentu saja akan menggandeng peran penting media. Sebab media, sebagai stakeholder yang berperan penting dalam membangun isu gerakan budaya menghormati,

dialog, dan persahabatan (kemanusiaan). Maka pertanyaannya, bisakah isu kesetararaan, gerakanbudaya menghormati, dialog, dan persahabatan yang dimotori perempuan dan laki-laki baru menjadi fondasi dari etika media? Nilai dasar kemanusiaan adalah isntrumen internasional yang telah mendapatkan kesepatan bersama dan menjadi panduan dalam pola perilaku dan pola interaksi sosial. Maka Media memegang peran penting dalam menciptakan semboyan 'teknologi baru, relasi baru�. Diferentia One

Rifkamedia Mei-Juli 2014

49


Referensi Perempuan yang Sebenarnya

Rifkamedia Customer Service: 0274-553333, Email: rifka@rifka-annisa.org


ESAI & FOTO

L

aki-laki adalah mitra dan sekaligus aktor tumbuh-kembang keluarga. Berbagi tugas adalah biasa. Pekerjaan rumah tangga diemban bersama. Dari sana, keharmonisan tercipta. Mencuci, mengaja, dan mengasuh anak adalah tugas bersama. Jika perempuan bisa memasak, laki-lakipun bisa. Jika perempuan bisa mencuci, laki-laki juga bisa. Jika perempuan bisa ngemong anak, pun demikian juga lelaki bisa. Tiada yang lebih utama dalam keluarga, kecuali tujuan bersama untuk hidup yang harmonis dan bahagia. Maka untuk bisa mencapai tujuan bersama-sama, laki-lakipun bisa belajar tentang bagaimana dirinya, potensinya, dan tugasnya dalam keluarga. Bagaimana menjadi lelaki yang ayom, menentramkan, dan menyenangkan keluarga. Laki-laki perlu belajar tentang tubuhnya sendiri, dan tubuh perempuan, agar a paham tentang diri dan mitra hidupnya. Lelaki bisa saling berbagi informasi dengan lelaki yang lain. Saling berbagi rasa dan menceritakan pengalaman penting agar lelaki mampu melepaskan beban yang mungkin dirasakannya. mempelajari diri dan berbagi membuat ia menjadi laki-laki yang baru, yang mampu berbagi, dan mengerti. Yang mampu member dan merasakan. Yang mengayomi dan menyayangi.

Rifkamedia Mei-Juli 2014

51


STOP!!!

Perkosaan Terhadap Perempuan & Anak-anak

PUSAT PENGEMBANGAN SUMBERDAYA


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.