Rifka media No.58 "Pernikahan Usia Anak"

Page 1

Rifkamedia Perjuangan Perempuan Berkeadilan

Merawat Anak

Sekolah Pekerjaan

Rifka Media No. 58 Agustus-Oktober 2014

Rumah

N A H A K I PERN ANAK USIA

IDR 15.000,ISSN 2301-9972

9 7 7 2 3 0 1

9 9 7 0 0 6

5 5


Galery Rifka

Minggu, 13/7/2014 pukul 09.30 di Balai Desa Mertelu. Rifka Annisa bersama komunitas pemuda Desa Mertelu melakukan sharing ilmu mengenai isu kesehatan reproduksi dan kekerasan dalam pacaran. Kegiatan diawali dengan memutarkan film tentang pacaran, yang berjudul Married By accident.

DISKUSI-Remaja laki-laki Desa Karangsari, Pengasih, Kulonprogo yang merupakan dampingan Rifka Annisa WCC kembali mengadakan diskusi rutin 2 jam bertempat di Halaman Rumah Dinas Bupati Kulonprogo pada hari Rabu (16/7).

Rifka Annisa jalin kerjasama dengan Harian Bernas Jogja


DAFTAR ISI

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014 LAPORAN UTAMA

LAPORAN UTAMA

Permasalahan Psikologis di Dalam Pernikahan Usia Anak

Senny Weyara, Psi. | 06

Perlindungan Hukum terhadap Perkawinan pada Usia Anak Hani Barizatul Baroroh, S.H.I., M.H.

| 12

Perkawinan Usia Anak: Tanggung Jawab Siapa? Defirentia One | 18

JENDELA Perihal Pernikahan Anak: Membuka Pintu Keluar | 05 LESEHAN BUKU Membaca Anak, Membaca Kita | 36

MEMOAR Dia Merampas Kebahagiaanku | 41 WAWANCARA Penikahan Usia Anak : Dilema Kemiskinan hingga Kekerasan | 43 PROFIL Sang Perempuan Advokasi | 47

“Konseling Perkawinan Usia Anak: Pengalaman Rifka Annisa� Rina Eko Widarsih | 24 Refleksi Pengalaman Komunitas :Pendidikan dan Jaringan Sosial Pencegah Pernikahan Usia Anak Asih Nuryanti | 32 LAPORAN UTAMA

DAPUR RIFKA Ilmu Baru untuk Persoalan Baru: Sebuah Upaya Menumbuhkan Ilmu Pengetahuan | 48 ESAI & FOTO | 51

LIPUTAN

Mendorong Draft Pergub Pendidikan Pra Nikah di Yogyakarta | 38 Pertemuan Jaringan Wilayah Gunung Kidul

| 39

Meningkatkan Mutu Layanan Medis bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

| 40

Penanggung Jawab: Suharti (Direktur Rifka Annisa) Pemimpin Umum: Any Sundari Pemimpin Redaksi: Defirentia One Sekretaris Redaksi: Niken Anggrek Wulan Dewan Redaksi: Laksmi Amalia, Dewi Julianti, Ani Rufaida, Tommy Apriando, Arifuddin Kunu, Niken Anggrek Wulan, Ratnasari Nugraheni, Megafirmawanti Lasinta Fotografer: Caron Toshiko Monica Sutedjo Layouter: Ulin Niam Alamat Redaksi dan Perusahan Rifka Media: Rifka Annisa Women's Crisis Center, Jl. Jambon IV Komplek Jatimulyo Indah Yogyakarta, Telepon/Fax: (0274) 553333, Website: www.rifka-annisa.org, Email: rifka@rifka-annisa.org, Facebook: Rifka Annisa WCC, Twitter: @RAWCC Redaksi menerima tulisan dari pembaca sekalian terkait dengan isu-isu perempuan kepada khalayak yang lebih luas. Kritik dan saran kami tunggu di rifka@rifka-annisa.org

PUSAT PENGEMBANGAN SUMBERDAYA

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

03


Hai Rifka Annisa Saya beberapa kali sering membaca rubrik konsultasi Rifka Annisa di koran. Tetapi beberapa bulan sekali saya tidak lagi membacanya. Apakah Rifka Annisa tidak lagi melakukan kerjasama rubrik konsultasi di koran lokal? Terima kasih (Johan, Gunung Kidul)

SURAT PEMBACA

Halo mas Johan yang baik. Rifka Annisa masih mengisi rubrik konsultasi di koran yakni di koran Bernas Jogja. Kolom konsultasi tersebut terbit tiap hari senin minggu kedua dan minggu keempat setiap bulan. Untuk koran lain kami masih mengusahakan kerjasama agar isu Rifka Annisa bisa tersebar di media cetak di Yogyakarta.

Hallo Rifka Annisa Nama saya Dian. Saya sangat terbantu dengan adanya website Rifka Annisa karena memuat konten yang menarik terkait isu kekerasan terhadap perempuan. Namun, beberapa kali saya tidak bisa membuka lagi website Rifka Annisa. Apakah ada pergantian alamat karena ketika membuka www.rifka-annisa.or.id sudah tidak bisa? Dan apakah ada perubahan alamat email juga? Terima kasih (Dian, Yogyakarta)

Hallo Rifka Annisa Saya ingin bertanya terkait dengan jam layanan konseling Rifka Annisa. Apakah terjadi perubahan jam kerja, karena pada hari jumat menurut informasi tidak menerima layanan. Jika demikian, maka efektif hari konseling Rifka Annisa pada hari apa? Terima kasih (Ida Magelang)

Salam hangat mbak Dian. Oh ya memang ada perubahan alamat website kami di www.rifkaannisa.org. Website yang terdahulu terjadi kerusakan dan alamat email kami sekarang rifka@rifka-annisa.org. Terima kasih.

Hallo mbak Ida yang baik. Tekait jam layanan konseling Rifka Annisa, memang ada perubahan. Layanan konseling buka dari Senin-Kamis pukul 08.30-16.30. Hari Jumat khusus konseling kami libur, tetapi kantor tetap buka seperti biasa. Sedangkan sabtu untuk layanan konseling, kami buka dari jam 08.30-13.00. Terima kasih.

Hai Rifka Annisa Saya ingin bertanya, apa saja kegiatan Rifka sampai akhir tahun ini? Apakah ada kegiatan di sekolah-sekolah? Salam (Rei, Sleman) Hai Rei, sampai akhir tahun ini kami banyak kegiatan dengan komunitas dan advokasi tingkat nasional terkait integrasi UU PKDRT di Peradilan Agama. Kami melakukan audiensi dengan Badilag. Untuk kegiatan di sekolah-sekolah kami masih melakukan Rifka Goes to School yang terkonsentrasi di 4 kecamatan di Gunung Kidul yakni Wonosari, Ngawen, Gedangsari dan Saptosari.

Data Statistik

Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) di Rifka Annisa Januari – April 2014 MEDIA

KTI KDP PKS PEL-SEK KDK TRAF

04

: Kekerasan Terhadap Istri : Kekerasan Dalam Pacaran : Perkosaan : Pelecehan Seksual : Kekerasan Dalam Keluarga : Traffiking (Perdagangan Orang)

KASUS

JUMLAH

KTI

KDP

PKS

PEL-SEKS

KDK

TRAF

TATAP MUKA

52

4

0

1

1

0

58

TELEPON

1

0

0

0

0

0

1

OUTREACH

2

0

9

0

0

0

11

EMAIL

0

0

0

0

0

0

0

JUMLAH

55

4

9

1

1

0

70

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014


JENDELA

Defirentia One Pimred Rifka Media

A

Perihal Pernikahan Anak: Membuka Pintu Keluar

nak-anak adalah bagian terpenting dari sebuah generasi. Ditangan anak-anak, kelak tujuan bangsa ini dialamatkan. Kepada anak-anak lah kita meletakan masa depan bangsa. Anak-anak yang sehat, ceria dan bahagia lahir batin adalah modal yang kuat bagi sebuah kemajuan peradaban kemanusiaan. Kita semua yang telah menjadi orang dewasa tentu pernah merasakan menjadi anak-anak. Suatu masa dimana Anda tidak memikirkan hal-hal berat, terus bermain dan berpikir secara sederhana. Semua anak pasti berkeinginan untuk menempuh masa itu dengan kesenangan. Namun sayang, tak semua anak mengalami hal tersebut. Banyak anak-anak yang harus melepas masa indah tersebut dengan menikah di usia dini.Perkawinan usia dini atau menikah pada usia anak erat kaitannya dengan masalah kemiskinan dan minimnya akses pendidikan khususnya bagi anak perempuan. Penelitian dilakukan oleh UNICEF menyebutkan bahwa anak perempuan yang berpendidikan selain bisa mengentaskan kemiskinan keluarga, juga meminimalkan resiko hingga 6 kali lipat potensi anak perempuan menikah diusia dini. Diantara perempuan berusia 15-24 tahun di Asia Selatan, 48% menikah ketika mereka belum berusia 18 tahun. Sebanyak 48% tersebut setara dengan 9,7 juta perempuan yang menikah dibawah 18 tahun – (UNICEF). Di Indonesia dalam UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, disebutkan bahwa anak-anak memiliki serangkaian hak-hak yang harus dipenuhi. Dalam UU tersebut juga dijelaskan rentang umur yang disebut anak adalah mereka yang berusia 0-18 tahun. Sebelum menginjak lebih dari usia 18 tahun, maka jelas ada larangan bagi anak untuk dinikahkan. Namun dalam UU yang lain, yakni UU Perkawinan No 1 Tahun 1974, batas minimal pernikahan khususnya bagi anak perempuan, adalah usia 16 tahun. Celah inilah yang kerap dipakai untuk melegitimasi pernikahan anak. Tentu selain persoalan yuridis, terjadinya pernikahan anak juga diakibatkan oleh konstruksi kebudayaan patriarkhi yang membelenggu dan mendiskriminasi anak, khususnya anak perempuan. Rata-rata mereka yang menikah usia dini, dihadapkan pada kondisi untuk tak bisa memilih. Secara kultural, perempuan selalu diidentikan pada ranah domestik. Akibatnya, ketika ia sudah menstruasi dan bisa melahirkan, maka lebih baik segera dinikahkan. Di beberapa tempat bahkan anak perempuan dianggap sebagai investasi menjanjikan untuk dinikahkan dengan laki-laki yang memiliki status sosial, untuk mengangkat keluarga dari jurang kemiskinan meski ia masih dibawah umur. Kasus-kasus seperti ini banyak ditemukan pada pernikahan anak-anak perempuan Tiong Hoa yang ada di Kalimantan Barat. Mereka dinikahkan dengan warga negara asing melalui mucikari-mucikari karena keluarganya berada dihimpitan kemiskinan. Dan anak perempuanlah yang kemudian dianggap sebagai penolong sekaligus dikorbankan untuk mengentaskan kemiskinan tersebut. Menyelesaikan kasus pernikahan usia anak bukanlah perkara yang mudah. Perlu integrasi dan intervensi penyelesaian dari berbagai pihak. Kadar kompleksitas masalah tidak hanya menyangkut korban tetapi juga perlu adanya reedukasi bagi masyarakat bahwa pernikahan anak menanggung resiko yang besar dikemudian hari yang ditanggung terutama bagi anak perempuan yang melakukan perkawinan. Resiko gangguan kesehatan reproduksi adalah hal yang paling mengancam. Belum siapnya kematangan fisik dan organ reproduksi membuat perempuan rentan terserang gangguan penyakit, seperti kanker rahim yang bisa menimbulkan kematian. Belum lagi, ketidakmatangan emosi dari anak perempuan atau pun pasangannya yang bisa masih berusia anak juga berdampak pada mental dan psikologisnya. Konflik-konflik dalam rumah tangga pun bisa jadi berujung pada kekerasan. Maka sudah menjadi sebuah kebutuhan untuk mendalami dan mengangkat persoalan pernikahan anak sebagai persoalan bersama yang harus diselesaikan bukan hanya segera, tapi saat ini juga. Defirentia One

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

05


LAPORAN UTAMA

Permasalahan Psikologis di Dalam Pernikahan Usia Anak Senny Weyara, S.Psi.

Psikolog, pemerhati masalah anak dan remaja, tinggal di Jember dienda.saputri@gmail.com

06

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014


P

ernikahan usia anak (child marriage) adalah salah satu tantangan serius bagi para pengambil kebijakan serta pegiat perlindungan anak dan perempuan di berbagai belahan dunia. Pada tahun 2010, sekitar sepertiga perempuan di dunia yang berusia 20 – 24 tahun menikah sebelum genap berusia 18 tahun (Unicef, 2012). Di Indonesia sendiri disebutkan bahwa pada tahun 2011, 1,62% dari 82,5 juta anak tercatat menikah atau pernah menikah (Profil Anak Indonesia, 2012). Sekitar 20.000 di antaranya adalah anak-anak perempuan berusia 10 – 14 tahun (BKKBN, 2012). Pernikahan usia anak menyisakan persoalan yang kompleks menyangkut masalahmasalah kesehatan ibu dan bayi, pertambahan jumlah penduduk yang kurang terkendali, masalah-masalah hukum dan sosial seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), rendahnya tingkat pendidikan anakanak yang telah menikah, berlanjutnya rantai kemiskinan, perceraian dan penelantaran anak yang dilahirkan (Fadlyana & Larasaty, 2009, Unicef, 2012). Permasalahanpermasalahan ini tidak hanya mempengaruhi kehidupan anak-anak yang menikah maupun keluarganya, melainkan kualitas generasi suatu bangsa, baik kini maupun nanti. Berbagai program dan aktivitas yang diselenggarakan untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya pernikahan di usia anak sejauh ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Bahkan, jika semula pernikahan sebelum usia 18 tahun banyak ditemukan di daerah pedesaan, kini mulai menggejala pula di kalangan remaja perkotaan (Kompas.com, 2014). Hal ini tidak lepas dari kompleksnya faktor-faktor pendorong terjadinya pernikahan di usia anak, mencakup faktor-faktor sosial-budaya, nilai-nilai agama yang dianut, dan hukum. Pernikahan usia

anak kerap dilakukan sebagai “jalan keluar� dari himpitan ekonomi, menutupi aib anak perempuan yang terlanjur hamil akibat salah pergaulan, mencegah dosa seks pranikah pada remaja yang berpacaran, bahkan sebagai pilihan yang lebih penting bagi anak perempuan dibandingkan dengan menempuh pendidikan yang lebih tinggi (BKKBN, 2012; Soebijanto, 2011). Undangundang pernikahan yang mengatur usia 19 bagi laki-laki dan 16 tahun sebagai batas minimal bagi perempuan untuk menikah, aturan yang memperbolehkan dispensasi pernikahan bagi anak-anak di bawah usia tersebut serta longgarnya sikap aparat pemerintahan menambah mudahya pernikahan usia anak terjadi. Di dalam kajian psikologi perkembangan, usia 10 – 18 tahun secara umum tercakup di dalam rentang perkembangan tahap anak dan remaja (Santrock, 2010). Tahap ini adalah tahap tumbuh kembang yang penting bagi kesejahteraan psikologis individu di masa dewasanya. Sebagai sebuah transisi dari tahap perkembangan sebelumnya, di usia ini individu terus tumbuh secara fisik ke arah kematangan bio-fisiologis, belajar mengenai dunianya dan dirinya sendiri, mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk masa dewasa serta mengalami berbagai krisis di dalam pembentukan identitas dirinya. Pernikahan umumnya berlangsung di masa dewasa, sehingga dari kompleksitas masalah dan faktorfaktor yang mendorong terjadinya pernikahan usia anak, maka penting untuk mengenali dampak pernikahan tersebut terhadap perkembangan psikologis anak dan remaja yang menjalaninya, serta resiko-resiko perkembangan yang penting untuk diwaspadai dan ditangani.

Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja Di usia sekitar 9 – 12 tahun, anak-anak mengalami proses-proses fisiologis yang penting, berkaitan dengan aktifnya hormon-hormon pertumbuhan dan hormon-hormon reproduksi. Anak-anak mengalami pertumbuhan tinggi badan yang lebih cepat, pertambahan berat badan karena pertumbuhan tulang, otot dan jaringan lemak, serta mengalami pubertas yang ditandai dengan berkembangnya ciri-ciri seksual sekunder, menstruasi atau mimpi basah yang pertama. Proporsi dan bentuk tubuh semakin mendekati tubuh dewasa, dan munculnya tanda-tanda pubertas ini menjadi tonggak dimulainya fungsifungsi reproduksi individu. Sebagai sebuah proses yang mulai berlangsung, tentunya bentuk dan fungsi fisik individu tersebut belum lah mencapai tingkat kematangannya. Fungsi hormonhormon reproduksi pun bahkan belum berjalan seimbang, yang mempengaruhigejolak emosi anak puber yang mudah berubah. Kondisi ini dikenal dengan istilah mood swing. Sejalan dengan mulai aktifnya hormon dan fungsi-fungsi reproduksi, mulai muncul ketertarikan khusus kepada lawan jenis. Anak perempuan merasakan perasaan yang “berbeda� pada teman laki-lakinya, entah malu-malu suka, entah risih saat berdekatan. Demikian pula yang dirasakan anak laki-laki terhadap teman perempuannya. Namun, perasaan yang baru ini belum dipahami secara jelas oleh anak yang baru mengalami masa pubertas. Dari orang-orang di sekitarnya, atau tayangan media massa, anak-anak belajar menyebut perasaan tertarik tersebut sebagai “cinta�. Namun, cara berpikir anakanak di usia ini masih bersifat kongkret. Meski telah mampu berpikir runtut dan logis,

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

07


LAPORAN UTAMA pemahamannya cenderung dibatasi oleh hal-hal yang didengar dan dilihatnya secara langsung. Iabelum mampu mengkritisi dan membentuk pemaknaan yang mendalam atas suatu konsep abstrak. Dapat diduga, bahwa konsep anak-anak di usia ini mengenai cinta masih dangkal karena mengacu pada ide dan pola-pola perilaku yang terlihat olehnya di lingkungan sekitar. Pada perkembangan berikutnya, anak-anak yang beranjak remaja memiliki kemampuan bernalar yang lebih matang. Mereka mulai dapat berefleksi diri dan mengevaluasi informasi serta nilai-nilai yang dianutnya. Namun, sikap kritis ini masih menggunakan kebutuhan dan persepsi atas dirinya sendiri sebagai kerangka acuan, yang menjadi egosentrisme berpikir khas masa remaja. Perkembangan cara berpikir ini turut mempengaruhi sikap kritis remaja terhadap nilai-nilai dan pendapat orangtua, juga idealisme yang kaku namun dapat berstandar ganda bagi dirinya sendiri. “Ngerebut pacar orang itu perbuatan terkutuk, tapi kalo gue suka pacar elo n pacar elo juga suka‌mmmm‌yah, gimana lagi, kansuka sama sukaâ€?, mungkin begitu lah kira-kira pendapat remaja. Pertumbuhan fisik yang semakin menyerupai orang dewasa serta perkembangan kemampuan berpikir tampaknya turut melandasi munculnya kebutuhan remaja untuk mengekplorasi dan menentukan arah bagi dirinya sendiri. Kebutuhan ini menandai adanya tahap krisis identitas di dalam perkembangan kepribadian remaja. Remaja mulai mempertanyakan siapa dirinya dan tempatnya di dunia ini. Mereka pun berusaha mencari jawaban melalui berbagai petualangan dan uji coba, bahkan melakukan aktivitas yang berbahaya untuk memperkuat konsep diri. Di tengah upaya tersebut, remaja membutuhkan penerimaan kelompok sebaya.

08

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

Kelompok sebaya, yang memiliki kebutuhan dan mengalami masalah yang relatif sama dianggap lebih mengerti daripada orangtua dan orang dewasa lainnya. Bersama kelompok sebayanya remaja dapat merasa bebas bereskplorasi, mulai dari gaya penampilan hingga gaya hidup. Di dalam kelompok sebaya, remaja juga mendapatkan figur pembanding dan saling memperkuatkonsep diri yang mulai terbentuk di akhir masa anakanak.Proses ini menjadi penting karena keberhasilan remaja menyelesaikan krisis identitas tersebut akan membuka jalan baginya untuk mengarahkan diri ke peran-peran di masa dewasa yang sesuai dengan konsep diri dan nilainilai pribadinya, serta menerima peran-peran tersebut secara positif. Sebaliknya, kegagalan menyelesaikan krisis identitas menyebabkan remaja

berkembang menjadi individu dewasa yang hanya sekedar mengikuti arus, bahkan bingung menghadapi peran-peran dan masa depannya sendiri. Permasalahan PsikologisAnak dan Remaja yang Menikah Pernikahan pada hakikatnya adalah ikatan resmi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal (dalam Wulandari, 2014). Sejak dahulu kala, pernikahan dipandang sebagai sebuah babak baru kehidupan individu yang menjadi tanda mulainya masa dewasa. Di dalamnya terkandung kompleksitas peran, baik di dalam rumah tangga itu sendiri maupun peran-peran di lingkungan sosial-budaya; sebagai istri atau suami dengan peran-peran pencari nafkah dan pengelola rumah tangga,


sebagai ayah dan ibu dengan peranperan perawatan, pengasuhan, dan pendidikan anak, maupun sebagai warga masyarakat dan warga negara yang dituntut berpartisipasi aktif di dalam aktivitas adat istiadat, politik dan secara umum ikut bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup masyarakatnya. Pasangan yag telah menikah harus dapat menjalankan peran-peran tersebut dengan sebaikbaiknya. Ketidakmampuan atau kegagalan menjalankan peran dapat berakibat pada “hukuman sosial” seperti cibiran hingga pengucilan. Agar berhasil menjalankan peran-peran tersebut, dibutuhkan tingkat kematangan tersendiri, baik yang bersifat fisik, psikologis, sosial maupun spiritual. Kematangan fisiologis dibutuhkan agar individu yang menikah dapat menghasilkan keturunan yang sehat, dengan proses kehamilan dan persalinan yang juga

aman dilakukan karena kondisi fisik si ibu telah siap. Kematangan psikologis dan spiritual diperlukan agar individu-individu yang menikah dapat menjaga keutuhan dan ketentraman rumah tangga, menghadapi perselisihan dan tekanan-tekanan secara sehat, serta menerapkan perawatan dan pola pengasuhan yang positif untuk perkembangan anak-anak mereka. Kematangan sosial dibutuhkan untuk menjamin ekonomi keluarga lewat peran dan tanggung jawab di pekerjaan maupun menjaga keharmonisan kehidupan keluarga tersebut dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Kebutuhan akan kematangan fisik, psikologis, sosial dan spiritual ini menjadikan pernikahan layak dilakukan oleh individu-individu yang telah dianggap dewasa oleh masyarakatnya. Mengikuti kajiankajian terkini, maka kematangan dapat diharapkan tercapai saat individu telah mencapai usia sekitar 20 tahun. Bagaimana jika pernikahan terjadi saat individu masih berusia anak atau remaja? Sebagaimana hasil kajian Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 2012; Soebijanto, 2011), pernikahan usia anak cenderung dilakukan atas dasar kepentingan orangtua, alih-alih kepentingan anak itu sendiri. Alasan himpitan ekonomi kerap mendorong orangtua dari keluarga miskin untuk segera menikahkan anak-anaknya, terutama anak perempuan, sesegera mungkin. Dengan demikian, anak tersebut tidak lagi menjadi tanggungan orangtua, bahkan mungkin dapat membantu perekonomian orangtua. Alasan lain lagi adalah untuk mencegah anakanak yang putus sekolah terjerumus pergaulan bebas dan kehamilan pranikah, sesuatu yang dianggap aib oleh masyarakat. Bahkan, anak-anak perempuan yang terlanjur hamil akibat salah pergaulan dipaksa untuk

menikah, entah dengan bapak biologis si calon bayi atau dengan orang lain, untuk menutupi aib tersebut. Di kelompok masyarakat tertentu, terdapat pandangan sterotipik yang negatif terhadap individu yang melajang, terutama perempuan, sehingga mendorong anak-anak untuk segera menikah daripada melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi namun dicap sebagai “perawan/bujang tua”, “tidak laku”, dan semacamnya. Melihat kondisi tersebut, dapat diduga bahwa pernikahan di usia anak dilakukan terutama karena keterpaksaan. Ketimpangan gender yang menempatkan perempuan dan anak pada posisi subordinat di struktur suatu masyarakat menjadikan anak-anak, terutama anak perempuan, tidak memiliki hak untuk menentukan masa depannya sendiri. Sekali pun mereka menyatakan menerima dinikahkan di usia belia, pada umumnya penerimaan tersebut disertai rasa bersalah apabila menolak permintaan orangtua.Ada pula remaja yang menikah sebagai sebuah keputusan emosional, dilandasi rasa “cinta” dan keinginan untuk hidup bersama dengan pertimbangan yang minimal mengenai konsekuensi peran-peran dewasa yang bakal diterimanya setelah menikah. Akibatnya, pernikahan dilakukan dengan persiapan yang kurang memadai untuk masa depan rumah tangga mereka berdua. Dari segi tumbuh kembang dan kondisi-kondisi yang melandasi pernikahannya, dapat diduga bahwa anak-anak yang menikah hakikatnyabelum memiliki bekal kematangan dan kesiapan untuk menjalankan peran-peran masa dewasa. Beberapa permasalahan psikologis yang potensial terjadi di dalam kondisi ini adalah: Pertama, masalah kesehatan reproduksi dan trauma psikis. Anak

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

09


LAPORAN UTAMA dan remaja yang berumur di bawah 18 tahun mulai memiliki dorongan seksual dan ketertarikan terhadap lawan jenis yang turut dipengaruhi oleh berkembangnya fungsi reproduksi. Namun, mereka belum mencapai tingkat kematangan fisiologis dan kesiapan mental untuk menjalankan fungsi tersebut secara penuh. Hubungan seksual, kehamilan dan persalinan di usia ini beresiko tinggi terhadap keselamatan ibu dan bayinya (Raj & Ulrike, 2013). Hubungan seksual yang dipaksakan rentan pula menimbulkan trauma psikis, ketika anak dipaksa membagi hal paling privat dari dirinya dengan seseorang yang tidak disukainya. Pada masyarakat dengan ketimpangan gender, suara mereka yang diabaikan menyebabkan resiko trauma ini bertambah ketika mereka harus pasrah diperlakukan sesuka hati oleh pasangannya, sekali pun merasa tidak nyaman atau kesakitan. Kedua, masalah-masalah kejiwaan di dalam proses penyesuaian peran dan tanggung jawab. Masa anak dan remaja adalah masa di mana individu aktif mengeksplorasi konsep diri dan mengembangkan identitas dirinya. Terdapat kebutuhan yang kuat untuk diterima dan berada di dalam kelompok sebaya serta melakukan macam-macam aktivitas bersamasama. Namun hal ini tidak mungkin dilakukan oleh anak-anak yang telah menikah. Pernikahan mengikat anak tersebut untuk berada di dalam lingkungan keluarga barunya, dan menanggung kewajiban-kewajiban rumah tangga sehari-hari. Anak atau remaja laki-laki yang menikah dituntut utuk mencari nafkah, sedangkan anak-anak perempuan harus merawat rumah dan anakanaknya. Pada masyarakat yang memiliki persepsi positif mengenai pernikahan usia anak, anak-anak yang menikah mungkin saja mendapatkan penerimaan sosial yang positif pula. Namun, peran dan

10

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

tanggung jawab rumah tangga yang diterima tanpa bekal pengetahuan, keterampilan dan kesiapan mental yang cukup, rentan menjadi tekanan psikologis tersendiri. Secara umum, Uecker (2012) menemukan bahwa pasangan yang menikah sebelum berusia 18 tahun cenderung memiliki kepuasan hidup lebih rendah daripada pasangan yang menikah di usia 20-an tahun. Masalah kejiwaan yang terjadi sebagai bagian proses penyesuaian ini, seperti stress dan depresi, terutama terjadi ketika pasangan belia sudah harus merawat dan mengasuh anak-anak yang mereka lahirkan (Wahn & Nissen, 2008). Meningkatnya kebutuhan di satu sisi dan penghasilan yang rendah akibat tingkat pendidikan yang rendah pula adalah salah satu dari mata rantai tekanan psikologis tersebut.Ketidakmatangan pengelolaan emosi dan cara-cara menghadapi masalah ekonomi maupun pengasuhan anak juga dapat menimbulkan perselisihan berkepanjangan yang mengganggu suasana emosional di dalam rumah tangga, bahkan berujung pada perpisahan atau perceraian di usia muda. Ketiga, masalah-masalah kejiwaan akibat tindak kekerasan dalam rumah tangga. Kasus-kasus KDRT lebih rentan terjadi di dalam pernikahan usia anak. Hal ini dapat terjadi sebagai dampak dari kemampuan berpikir dan mengelola masalah maupun perselisihan rumah tangga yang kurang matang di antara pasangan belia, atau ketimpangan gender yang “melegalkan� bentukbentukkekerasan fisik, psikologis, sosial dan ekonomi yang diterima istri-istri belia dari suami mereka yang berusia jauh lebih tua. Beberapa penelitian mengkonfirmasikan temuan ini, semisal Speizer & Pearson (2011). Selain permasalahanpermasalahan psikologis yang

dialami anak yang menikah, pernikahan di usia belia juga rentan menimbulkan masalah tumbuh kembang bagi anak-anak yang dilahirkan. Anak-anak usia 10 – 18 tahun tengah mengalami percepatan pertumbuhan fisik yang membutuhkan dukungan nutrisi memadai. Ketika anak perempuan di rentang usia tersebut hamil, dapat terjadi persaingan nutrisi dengan janin yang dikandungnya, sehingga janin beresiko kekurangan nutrisi, lahir prematur dan memiliki berat badan rendah (Fadlyana & Larasaty, 2009). Kondisi berat badan lahir yang rendah kurang mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal, bahkan anakanak tersebut rentan mengalami disabilitas fisik tertentu maupun disabilitas mental. Orangtua yang menikah di usia belia juga cenderung berpendidikan rendah, baik karena sebelumnya tidak lagi bersekolah atau putus sekolah karena berumah tangga. Rendahnya pendidikan berkaitan erat dengan berbagai masalah sosial lainnya seperti kemiskinan, keterbatasan akses layanan kesehatan, serta kurangnya pengetahuan dan keterampilan pengasuhan. Anak-anak yang dilahirkan di dalam kondisi tersebut cenderung untuk putus sekolah dan mengalami pernikahan di usia belia pula. Dengan demikian siklus kemiskinan dan berbagai masalah sosial terus berputar di dalam keluarganya. *** Penikahan hakikatnya adalah sebuah ikatan resmi untuk membentuk dan membina rumah tangga. Di dalamnya terkandung kompleksitas peran yang membutuhkan kematangan fisik, psikologis, sosial dan spiritual agar pasangan suami istri dapat menerima dan menjalankan peran-peran tersebut secara positif. Tahap tumbuh kembang fisik


maupun psikologis di usia tersebut sejatinya belum mencapai tingkat kematangan yang ideal untuk dapat menjalankan peran-peran masa dewasa yang melekat pada pernikahan, sehingga berpotensi menimbulkan masalah-masalah psikologis. Beberapa yang dapat diidentifikasikan adalah rendahnya kepuasan hidup secara umum, trauma psikis akibat hubungan seksual yang dipaksakan hinggakasus-kasus gangguan emosional seperti stress dan depresi akibat ketidakmampuan menghadapi tekanan hidup. Masalah-masalah potensial tersebut rentan mengganggu kesejahteraan psikologis anak-anak yang menikah serta kestabilan suasana emosional di dalam keluarga yang dibangun. Kondisi ini secara siklik rentan pula menghasilkan pola perawatan dan pengasuhan anak yang kurang adekuat, sehingga mempengaruhi kualitas generasi yang dihasilkan dari penikahan usia anak tersebut. Masalah-masalah kesehatan, sosial-ekonomi dan kependudukan yang menyertai masalah-masalah psikologis tersebut turut memberikan sinyal bahwa pernikahan usia anak bukanlah pilihan dan tindakan bijak. Pemerintah, organisasi-organisasi swasta serta anggota-anggota masyarakat perlu terus mengkampanyekan pendewasaan usia nikah. Edukasi kesehatan reproduksi, pemenuhan hak anak dan penguatan minat kaum muda untuk mengenyam pendidikan setinggitingginya dapat menjadi strategi yang penting untuk mencegah pernikahan usia anak, sekaligus meningkatkan kualitas generasi muda secara umum. Selain itu, diperlukan pula program-program pendampingan berkelanjutan bagi anak-anak yang terlanjur menikah, untuk mencegah dan menangani permasalahan yang mereka alami, juga meningkatkan

akses kesehatan, konseling, pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik. Program semacam ini diperlukan untuk membantu mereka menyesuaikan diri dan mampu menjalankan peran rumah tangga secara lebih baik, yang diharapkan pula dapat mencegah siklus pernikahanusia anak terjadi kemudian pada anak-anak yang mereka lahirkan.[] Daftar Pustaka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). (2012). Kajian pernikahan dini pada beberapa provinsi di Indonesia: dampak overpopulation, akar masalah dan peran kelembagaan di daerah. Ditdamduk BKKBN. Diunduh dari www.bkkbn.go.id tanggal 3 Agustus 2014 Fadlyana, E. & Larasaty, S. (2009). Pernikahan usiadini dan permasalahannya. Sari Pediatri 11(2), 136–140. Diunduh dari http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/ 11-2-11.pdf tanggal 3 Agustus 2014 Ilene S. Speizer, I. S. &Pearson, E. (2011). Association between early marriage and intimate partner violence in India: afocus on youth from Bihar and Rajasthan. Journal of Interpersonal Violence, 26(10) 1963-1981 DOI: 10.1177/0886260510372947 Pernikahan dini jadi tren di perkotaan. Kompas.com, edisi 27 Januari 2014. Diunduh dari http://nasional.kompas.com/read /2014/01/27/0559177/Pernikahan .Dini.Jadi.Tren.di.Perkotaan, tanggal 3 Agustus 2014 Profil Anak Indonesia 2012. (2012). Kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik. Diunduh dari www.kemenpppa.go.id tanggal 3 Agustus 2014 Raj, A. & Boehmer, U. (2013). Girl child marriage and its association

with national rates of HIV, maternal health, and infant mortality across 97 countries. Violence Against Women, 19(4) 536 –551. DOI: 10.1177/1077801213487747 Santrock, J. W. (2010). Life Span th Development 13 edition. New York: McGraw Hill Soebijanto, I.A.S. (2011). Perkawinan muda di kalangan perempuan: mengapa…? Policy Brief 1(6), 1 – 4. Diunduh dari www.bkkbn.go.id, tanggal 3 Agustus 2014 Uecker, J. E. (2012). Marriage and mental health among young adults.Journal of Health and Social Behavior, 53(1) 67 –83. DOI: 10.1177/0022146511419206 Unicef. (2012). Child Marriage. Diunduh dari www.unicef.org, tanggal 8 Agustus 2014 Wahn, E. H. & Nissen, E. (2008). Sociodemographic background, lifestyle and psychosocial conditions ofSwedish teenage mothers and their perception of health and socialsupport during pregnancy and childbirth. Scandinavian Journal of Public Health, 36: 415–423 Wulandari. (2014). Pengaruh pernikahan dini terhadap pembentukan identitas sosial remaja pedesaan. Makalah kolokium. Diunduh dari skpm.ipb.ac.id, tanggal 3 Agustus 2014

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

11


LAPORAN UTAMA

Perlindungan Hukum terhadap Perkawinan pada Usia Anak Hani Barizatul Baroroh, S.H.I., M.H.

12

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014


A

nak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Ia merupakan tunas, potensi, dan generasi muda penerus citacita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Di masa depan, anak diharapkan mampu memikul tanggung jawab tersebut, sehingga ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia. Untuk itu perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Ada kekhawatiran ketika sebuah pernikahan dilakukan pada usia anak. Anak dianggap belum memiliki kedewasaan. Dalam ranah hukum, anak-anak dipandang kurang cakap dalam melakukan suatu perbuatan hukum, sehingga ketika melakukan perbuatan hukum ia harus didampingi oleh orang tua atau wali. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum dikenal sebagai asas persona standi injudicio. Sedangkan dengan adanya perkawinan, seseorang dituntut memiliki kedewasaan. Menjadi seorang ibu atau ayah pada usia anak-anak tentu bukan persoalan yang mudah. Tulisan ini akan mencoba melihat bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh negara pada perkawinan di usia anak.

Perlindungan Negara terhadap anak Sebelum berbicara lebih jauh, ada baiknya kita melihat definisi anak yang ada dalam UndangUndang. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Alat ukur yang digunakan dalam menentukan apakah seseorang masih disebut sebagai anak hanya satu, yaitu usia/ umur. Ketika seseorang berusia 18 tahun meskipun kurang satu hariia masih disebut anakanak. Begitu pula sebaliknya, ketika seseorang berusia 18 tahun lebih satu hari, maka tidak lagi disebut sebagai anak-anak. Negara menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Jaminan perlindungan tersebut berasaskan pancasila dan berlandaskan undang-undang dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak meliputi : non-diskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan penghargaan terhadap pendapat anak. Undang-undang perlindungan anak juga melindungi anak dari tindakan kekerasan. Kekerasan terhadap anak yang dilakukan seseorang bahkan dikategorikan sebagai tindak pidana. Beberapa tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini antara lain: Pasal 80 (1) Setiap orang yang

melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya. Pasal 81 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anakmelakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

13


LAPORAN UTAMA orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pasal 82 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Perkawinan pada Usia Anak Perkawinan dalam UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa pernikahan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Terdapat beberapa syarat materiil perkawinan yang disebutkan dalam Undang-Undang ini, antara lain: pertama, adanya persetujuan dari kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1)). Kedua, harus ada izin dari orang tua bagi yang belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 6

14

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

ayat (2)). Ketiga, umur minimal 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita (Pasal 7 ayat (1)). Keempat, tidak mempunyai hubungan keluarga dengan garis ke atas dan ke bawah (Pasal 8 ayat (1)). Kelima, tidak mempunyai hubungan darah yang sangat dekat dalam garis menyamping (Pasal 8 ayat (2)). Keenam, tidak mempunyai hubungan keluarga semenda (Pasal 8 ayat (3)). Ketujuh, tidak mempunyai hubungan susuan (Pasal 8 (4)). Kedelapan, tidak terikat dalam suatu perkawinan dengan orang lain (Pasal 9). Kesembilan, tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami atau isteri yang sama, yang hendak dikawini (Pasal 10). Kesepuluh, bagi seorang janda, harus lewat waktu tunggu (Pasal 11 ayat (1)). Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (2) dan Kompilasi Hukum Islam, batas usia minimal seseorang yang diizinkan untuk menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Mencermati hal ini, maka kita bisa mengatakan bahwa Undang-undang tersebut menganut prinsip kedewasaan. Prinsip ini sering juga disebut dengan asas kematangan atau kedewasaan calon mempelai. Maksudnya, bahwa setiap calon suami dan calon isteri yang hendak melangsungkan akad pernikahan, harus benar-benar telah matang secara fisik maupun psikis, atau sudah siap secara jasmani maupun rohani. Berdasarkan asas kematangan atau kedewasaan calon mempelai tersebut, salah satu standar yang digunakan adalah penetapan usia kawin (nikah). Pembatasan usia nikah ini dipandang penting karena sejalan

dengan tujuan perkawinan yang hendak mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia, kekal dan sejahtera (sakinah mawadah dan rahmah). Hal ini juga dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami isteri agar mendapat keturunan yang baik dan berkwalitas, dan menghindari perkawinan berakhir dengan perceraian. Pembuat undangundang ingin memastikan bahwa masing-masing dari calon suami isteri yang hendak melangsungkan perkawinan betul-betul sudah masak jiwa raganya. Meskipun begitu, undangundang masih menyediakan dispensasi nikah bagi mereka yang belum memenuhi batas usia minimal untuk menikah. Prosedur dispensasi nikah ini dimaksudkan untuk melihat apakah seseorang tersebut sudah siap untuk menikah. Melalui hakim pengadilan, seseorang yang belum cukup umur tersebut akan dilihat kesiapannya untuk mengarungi bahtera pernikahan. Dengan batasan ini, ketika seorang anak laki-laki ingin menikah, ia secara mutlak harus mendapatkan dispensasi nikah. Berbeda halnya jika anak perempuan yang ingin menikah. Ia terlebih dahulu dilihat apakah usianya lebih dari 16 tahun. Jika telah lebih dari 16 tahun maka ia tidak perlu mendapatkan dispensasi kawin. Akan tetapi jika usianya kurang dari 16 tahun, maka ia harus mendapatkan dispensasi kawin. Dispensasi kawin Dasar hukum tentang dispensasi kawin terdapat dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (2). Bagi orang tua dari calon suami yang


belum mencapai usia 19 tahun atau calon istri yang belum mencapai usia 16 tahun harus mengajukan permohonan dispensasi kawin kepada pengadilan agama atau mahkamah syariah. Permohonan tersebut diajukan di wilayah hukum dimana calon mempelai dan/atau orang tua calon mempelai tersebut bertempat tinggal. Sebelum mendapatkan penetapan dispensasi kawin, maka mereka akan melalui beberapa persidangan, yaitu: Pertama, Sidang I. Pada sidang pertama ini, Pemohon (orang tua/ wali dari anak yang masih berusia dini) diharuskan hadir dalam Persidangan beserta calon nya juga para wali. Majelis Hakim pada persidangan pertama ini berusaha menasehati agar Pemohon bersabar menunggu anaknya cukup usia dulu. Namun jika tetap tidak berhasil juga, maka

dilanjutkan pada sidang-sidang berikutnya. Kedua, Sidang II. Pada persidangan kedua ini, calon lakilaki, calon wanita, pemohon calon laki-laki, wali dari wanita, dan saksisaksi dihadirkan di ruang sidang. Permohonan Pemohon dibacakan, bahwa anak pemohon tersebut dan calon nya memberi keterangan dalam Persidangan yang intinya membenarkan seluruh dalil permohonan pemohon, bahwa agar diberikan dispensasi perkawinan untuk anak laki-laki nya tersebut karena syarat-syarat untuk melaksankan pernikahan tersebut baik menurut ketentuan Hukum Islam maupun Peraturan Perundangundangan yang berlaku telah dipenuhi kecuali syarat usia. Permohonan untuk mengajukan Permohonan Dispensasi Perkawinan biasanya hanya sampai pada tahap sidang kedua saja.

Akan tetapi bila para pihak tidak dapat hadir, tidak menutup kemungkinan terjadi sidang ke tiga, keempat dan seterusnya. Setelah menjalani proses persidangan, kurang lebih memakan waktu 30 (tiga puluh) hari, kemudian sampai pada tahapan penetapan: a). ditolak, maka Hakim disini belum mempunyai bukti yang kuat untuk memberikan dispensasi nikah pada calon mempelai tersebut. atau b). Diberikannya akta dispensasi nikah oleh para pemohon, ini berarti syarat-syarat untuk diberikannya Akta Dispensasi Nikah sudah terpenuhi dengan alasan-alasan yang kuat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh MARIEYAM, pada tahun 2007 alat bukti untuk dapat dijadikan pertimbangan yang berarti oleh hakim di Pengadilan Agama ini adalah dengan

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

15


LAPORAN UTAMA diberikannya Surat Keterangan dariDokter yang menyatakan bahwa pihak atau calon mempelai wanitanya telah mengandung (hamil). Dari sini kita bisa melihat bahwa prosedur dispensasi kawin yang disediakan oleh negara sejatinya agar mencegah adanya aib atau rasa malu karena ada kehamilan yang timbul akibat kekerasan dalam masa pacaran. Kelahiran seorang anak tanpa didahului oleh perkawinan merupakan aib. Sehingga, lebih baik menikahkan mereka sebelum kelahiran dari pada menannggung malu. Padahal, dengan menikahkan seorang anak yang telah mengandung belum tentu menyelesaikan masalah. Kekerasan yang terjadi pada masa pacaran akan sangat rentan untuk terjadi ketika berumah tangga. Potensi Kekerasan dalam Pernikahan Usia Anak Pembatasan dalam usia perkawinan bisa dikatakan upaya negara agar perkawinan usia anak bisa diminimalkan. Negara melihat bahwa seseorang yang akan menikah harus punya kematangan dan kedewasaan. Dalam perkawinan usia anak, dimana calon pasangannya masih berada dibawah umur, maka tidak menutup kemungkinan jiwanya masih belum matang sehingga belum siap menghadapi berbagai masalah yang timbul dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga. Berbagai pertengkaran dan kesalahpahaman akan berpotensi muncul dalam kehidupan mereka. Jika dilihat dari sisi kesehatan, kehamilan pada usia yang terlalu muda meningkatkan resiko terjadinya komplikasi pada ibu dan

16

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

bayi. Seseorang yang hamil pada usia anak beresiko mempunyai tekanan darah tinggi dibanding wanita yang hamil di atas usia 20an. Selain itu, kehamilan usia dini beresiko kurangnya perhatian dan perawatan selama masa kehamilan. Resiko lain yang muncul akibat kehamilan di usia dini adalah dalam muncul depresi pada saat atau pasca kelahiran. Keadaan ekonomi yang belum stabil akan menjadi pemicu keretakan dalam pernikahan usia dini. Kemapanan dalam ekonomi penting karena ketika membina rumah tangga tidak dipungkiri akan membutuhkan biaya yang banyak. Sebuah rumah tangga tentunya membutuhkan sandang, pangan, dan papan yang layak. Bila sebuah rumah tangga belum mapan, pertengkaran akan mudah terjadi. Kehamilan yang terjadi sebelum pernikahan secara tidak langsung menandakan adanya kekerasan dalam masa pacaran. Hubungan yang tidak sehat pada masa pacaran ini akan sangat berpotensi terbawa pada saat perkawinan. Hal ini karena adanya relasi kuasa yang tidak seimbang dalam hubungan keduanya. Dengan kata lain, potensi kekerasan dalam rumah tangga sangat besar pada pernikahan usia anak. Jika akhirnya timbul kekerasan dalam rumah tangga dimana istri masih berusia anak, maka akan ada dua undang-undang yang bisa digunakan. Berdasarkan definisi anak yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, seseorang yang telah menikah masih bisa disebut sebagai anak. Undang-undang ini tidak secara tegas menyebutkan hilangnya status 'anak' ketika ia menikah.

Sehingga undang-undang ini masih memungkinkan untuk digunakan pada kekerasan yang terjadi kepada seorang istri yang masih 'anak'. Di sisi lain, indonesia telah mengesahkan UndangUndang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang memang secara khusus digunakan untuk mencagah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Untuk mengukur manakah undang-undang yang tepat digunakan dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dimana korban masih dalam usia anak, maka digunakan Asas lex spesialis sistematis. Asas ini digunakan karena kedua UndangUndang tersebut merupakan undang-undang khusus. Terdapat tiga alat ukur yang digunakan dalam pengujian ini, yaitu hukum materiil, hukum formil, serta adresat. Melalui ketiga alat ukur tersebut dua undang-undang khusus tersebut, secara sistematis Undang-Undang no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga lebih khusus dari pada Undang-Undang no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Undang-Undang no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, terdapat beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana. Kekerasan yang dilarang dalam Undnag-Undang ini diantaranya: Pasal 44 (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana


penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). (4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pasal 45 (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun ataudenda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan

penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Pasal 46 Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Perlu diperhatikan bahwa terdapat beberapa tindak pidana yang masuk ke dalam delik aduan, antara lain: tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4), tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2), tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya. Dengan dijadikannya tindak pidana tersebut sebagai delik aduan, maka korbanlah yang harus melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Atau jika memang tidak memungkinkan, maka korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Dalam pembuktian, Keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup sebagai alat bukti yang sah untuk membuktikan

bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Hal ini menyimpangi asas unus testis nullus testis yang berarti bahwa seorang saksi bukanlah saksi. Hal ini tentunya memudahkan korban untuk memperoleh perlindungan akibat kekerasan dalam rumah tangga.[ Daftar Pustaka Anonim, (2011), Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Jakarta Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta Marieyam, (2007), Pelaksanaan Perkawinan Usia Dini Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Kasus di Pengadilan Agama Semarang), Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang http://drprima.com/kehamilan/risik o-kehamilan-pada-usiaremaja.html, akses pada tanggal 1 Agustus 2014 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak UU no. 23 tahun 2004 tentang Perlindungan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

17


LAPORAN UTAMA

Perkawinan Usia Anak: Tanggung Jawab Siapa?

Oleh Direfentia One

Manager Humas dan Media Rifka Annisa, Pemimpin Redaksi Rifka Media defirentiaone@yahoo.co.id stopkindermishandeling.nl

18

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014


D

alam daur kehidupan, manusia mengalami empat fase besar yang pasti dilalui. Keempat hal tersebut adalah lahir, percintaan, pernikahan, dan kematian. Keempat hal itu kemudian menjadi kebutuhan manusia, kelahiran, percintaan, penganten (pernikahan), dan kepaten (kematian), dimana setiap fase memiliki hak dan kewajibannya sendiri. Dalam kajian psikologi perkembangan, setiap umur manusia memiliki waktu tumbuh kembangnya sendiri. Itulah yang dikenal sebagai live spend development, rentang sepanjang hayat. Oleh sebab tiap rentang umur memiliki perkembangannya sendiri, maka sudah menjadi aturan alam, bahwa tiap-tiap umur memiliki tugas pertumbuhannya masing-masing. Bukan hanya secara psikologis, tetapi fisikbiologis, tugas sosial, hukum, dan tugas hidup lainnya. Memaksa memberikan tugas bukan pada umur perkembang annya, memiliki potensi yang besar terhadap Tabel 1. terjadinya Perkawinan Masal kegagalan. dan Perkawinan Seorang Usia Anak di anak, akan Desa Pengotan, mengalami Bangli, Bali kesulitan menjalankan tugas-tugas orang tua dewasa. Sebab memang, anak memiliki tugas perkembangan dan tugas sosial yang berbeda dengan orangtua. Namun, kenyataannya, tidak

sedikit ditemui usia anak yang menikah dan menjadi orangtua muda. Fenomena besar ini masih sering kita temui di desa-desa yang sifatnya agraris. Di jogja misalnya, fenomena pernikahan usia anak masih sering terjadi di Gunung Kidul. Pernikahan usia anak yang terjadi di gunungkidul disebabkan oleh adanya kehamilan yang tidak dikehendaki. Hingga bulan Juni 204 terjadi seratus enampuhan kasus, perkawian usia anak yang menikah karena didahului kehamilan. “Sebagian besar karena terjadinya kehamilah yang tidak dikehendaki. Akhirnya untuk menutupi aib Seluarga, anak dinikahkan oleh orang tuanya,' tutut suharti, Direktur WCC Rifka Annisa, Yogyakarta kepada tim Rifka Media. (simak wawancara dengan Direktur Rifka Annisa,hal. ) Di daaerah yang lain, di Desa Pengotan, Bangli,Bali memiliki jumlah perkawinan usia anak yang relatif banyak,dan terjadi dari tahun

secara bersama-sama (Devy, 204). Menurut Dewanto (2011) pelaksanaan perkawinan massal di Desa Pengotan ini ditetapkan dua kali dalam setahun yaitu pada saat sasih kapat (bulan keempat) dan sasih kedasa (bulan kesepuluh), atau sekitar bulan SeptemberOktober dan Februari-Maret dalam kalender Masehi. Dalam satu kali upacara perkawinan massal biasanya terdiri dari lima hingga 70 pasangan pengantin. Sampai saat ini dalam setiap pelaksanaan perkawinan massal di Desa Pengotan seringkali terdapat pasangan pengantin yang masih sangat muda, yaitu antara usia 14 – 18 tahun (Muninjaya, 2009). Data perkawinan massal yang di dalamnya terdapat pasangan yang menikah di usia dini di Desa Pengotan Kabupaten Bangli dalam 5 tahun terakhir sebagaimana dilaporkan Devi, pada tabel di bawah ini

ke tahun. Desa Pengotan memilih cara melangsungkan perkawinan secara massal yang dianggap paling ideal karena biaya perkawinan dapat ditanggung

Perkawinan masal tersebut merupakan sebuat tuntutan karena biaya perkawinan di bangle yang relatif besar. Sehingga siasat yang dilakukan adalah dengan Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

19


LAPORAN UTAMA melakukan pernikahan masal. Dua daerah ini, Bangli Bali, dan GunungKidul Yogyakarta, menunjukkan karakteristik sebab yang berbeda. Di Bangli, karena faktor mahalnya biaya pernikahan, yang tidak lain adalah masalah ekonomi, sedangkan di Yogya karena banyaknya terjadi kasuskasus kehamilan yang tidak dinginkan, yang artinya kurangnya kesadaran warga tentang perlindungan anak dan perempuan dari tindak kekerasan seksual. Kedua kasus di atas adalah bukti persoalan sosial yang melanda masyarakt desa. Kondisi sosial yang rawan seperti ini mendorong terjadinya pernikahan usia anak. Sistem dan peran sosial yang dijalankan dalam masyarakat belum mampu menjamin adanya penempatan ruang untuk kehidupan yang lebih baik. Stuktur Sosial Masyarakat selalu dimaknai sebagai sebuah sistem sosial dengan suatu pola interaksi sosial yang terdiri dari komponen-komponen sosial yang teratur dan melembaga. Karakteristik sebuah sistem sosial adalah adanya struktur sosial yang mencakup susunan status dan peran yang ada di satuan sosial sehingga nilai-nilai dan normanorma yang akan mengatur interaksi antar status dan peran sosial tersebut. Pada struktur sosial terdapat unsur-unsur sosial yang pokok, misalnya seperti kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial dan lapisan-lapisan sosial (Narwoko, 2007). Masyarakat selaku bagian dari struktur sosial akan melakukan tindakan sosial yang bertujuan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Terkait dengan teori tindakan sosial

20

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

Weber dia tidak memisahkan dengan tegas antara struktur sosial dengan pranata sosial (Ritzer, 2009). Menurut Taneko (dalam Setiadi dan Kolip 2011) Struktur sosial merupakan “keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial serta lapisan-lapisan sosial�. Struktur sosial, dalam contoh perkawinan massal yang diwajibkan oleh adat Desa Pengotan untuk mengurangi beban ekonomi masyarakat. Upacara perkawinan massal di Desa Pengotan ini memiliki sejarah dan tujuan seperti yang

dijelaskan oleh Bendesa Adat Desa Pengotan. Bahwa sejarah upacara ini sudah berlangsung sebelum Bali dijajah oleh Belanda yang sampai sekarang upacara ini tetap dijaga dan diterapkan oleh masyarakat, serta menjadi tradisi bagi penduduk setempat. Namun dari perkawinan massal tersebut menimbulkan masalah baru. Adapun masalah baru dalam hasil dari perkawinan masal adalah munculnya perkawinan usia dini yang secara tidak langsung dilegitimasi oleh struktur sosial di Desa Adat Pengotan. Dalam kasus pernikahan usia anak yang terjadi di Yogyakarta Gunung kidul, strukstur yang


dimaksud adalah keharusan menikah atau menikahi pasca terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Oleh sebab, seseorang yang memiliki anak diluar pernikahan adalah hal yang “haram” bagi orang jawa. Kondisi ini memiliki masalah baru, bagi keluarga baru yang terbentuk. Dari penelusuran informasi yang di himpun RIfka Annisa, sebagian besar perkawinan pada usia anak melakukan gugatan cerai di Pengadilan Agama (Baca Laporan Utama 5). Hal ini disebabkan karena pernikahan yang terjadi karena sangsi sosial yang harus diterima pasangan yang telah melakukan perbuatan yang

dianggap melanggar pranata masyarakat. Pranata masyarakat kita hingga detik ini masih memberikan sangsi yang tidak dengan tidak mempertimbangkan bagaimana kehidupan pasca pernikahan. Akhirnya yang selalu menjadi objek penderita adalah perempuan anak; dihamili oleh laki-laki (seumuran atau lebih tua darinya), dinikahkan dengan terpaksa, dan dalam kehidupan keluarga barunya lebih berpotensi mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Struktur, pranata, dan sangksi sosial menekankan adanya “hukuman adat” bagi para pelanggarnya, tanpa berpikir

bagaimana kondisi perkawinan kemudian. Bahkan cara “mempermalukan” pasangan yang terpergok mesum adalah cara lumrah yang ada di jawa. Cara ini dalam jawa disebut sebagai “grepek”,memergoki, menangkap pasangan tanpa ikatan. Faktor sosial ekonomi pendorong pernikahan di Usia anak Perkawinan usia anak, pada dasarnya bisa disimak dengan cara pandang yang relatif berbeda, tergantung siapa pelaku keduanya. Pertama, perkawinan usia anak, dimana kedua pasangan masih sama-sama berusia anak. Atinya, perempuan dan laki-laki yang menikah masih usia anak. Kedua, perkawinan usia anak, dimana salah satu pasangannya adalah orang dewasa. Maka menarik untuk mencermati dua perbedaan tersebut. dua-duanya bisa berlandaskan menikah karena kemauan sendiri atau karena sebab lain yang “mengharuskan” mereka menikah. Pernikahan usia anak, terjadi karena baberapa hal. Dua kasus yang diutarakan diawal, di Bali dan di Yogyakarta, paling tidak memberikan gambaran, bagaimana fenomena perkawinan usia anak ini terjadi di banyak daerah dengan angka yang terbilang besar. Adapun hal lain yang bisa mendorong terjadinya perkawinan usia anak ada beberapa sebab. Pertama, atas kemauan sendiri. Pada masa dahulu perjodohan adalah hal biasa. Perjodohan bahkan dilakukan saat sang anak baru lahir. Namun kini, perjodohan mulai dihindari. Pernikahan atas kemauan sendiri sering melandasi kedua pasangan menentukan arah perkawinannya. Tidak jarang hal ini juga terjadi pada usia anak-anak.

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

21


LAPORAN UTAMA Kedua, kesulitan ekonomi, perintah orang tuanya yaitu Beberapa faktor pendorng di pernikahan atas dasar kesulitan menikah meskipun diusia muda atas, adalah permasalah sosial yang ekonomi, kemiskinan juga untuk dapat membantu mestinya mendapatkan prioritas merupakan faktor pendorng yang perekonomian keluarga mereka. penanganan. Mengingat faktor besar bagiterjadinya usia Hal senada disampaikan pula tersebut menimbulkan banyak perkawinan anak. Anak menjadi oleh Sanikem (56) saat mendapati persoalan bagi anak dan semacam “tabungan orang tua� anak gadisnya yang masih duduk perempuan, bahkan keluarga yang atau bagi sang anak sendiri untuk di bangku SMP kelas 2 hamil. “Lha dibentuk kelak. Tugas untuk menaikan derajat ekonominya. pripun mas, wong larene pun membenahi ini buka semata tugas Ketiga, pendidikan. Pendidikan meteng. Nggih terpaksa keluar dari orang tua si anak. Tetapi tugas juga menjadi salah satu penyebab terjadinya perkawinan usia dini. Rendahnya tingkat Banyaknya waktu luang yang tersedia mereka pendidikan yang bersangkutan pergunakan pada umumnya adalah untuk bergaul mendorong terjadinya yang mengarah kepada pergaulan bebas di luar pergaulan bebas karena kontrol mengakibatkan banyak terjadi kasus hamil yang bersangkutan memiliki banyak waktu pra nikah sehingga terpaksa dinikahkan walaupun luang dimana pada masih berusia sangat muda. saat bersamaan mereka seharusnya berada di lingkungan sekolah. Banyaknya waktu luang yang tersedia mereka sekolah dan dinikahkan dengan si semua pihak, terutama Negara pergunakan pada umumnya adalah laki-laki.� Laki-laki yang menghamili untuk membuka ruang informasi untuk bergaul yang mengarah putrinya, tidak lain adalah teman seluas-luasnya tentang perkawinan kepada pergaulan bebas di luar sekolah sang anak. Sang lelaki usia anak. Pemahaman yang kontrol mengakibatkan banyak hanya di pindahkan ke sekolah menyeluruh kepada masyarakat terjadi kasus hamil pra nikah yang lain untuk menghindari melalui berbagai komunitas bisa sehingga terpaksa dinikahkan perbincangan tentang menjadi kunciuntuk walaupun masih berusia sangat pernikahannya. Tapi anak memumbuhkan pengertian muda. perempuan bagaimana? Adalah tentang betapa bahaya dan Keempat, kehamilan yang tidak sekolah yang masih mengijinkan susahnya menikah di usia anak, dikehendaki. Adapula faktor karena siswa yang hamil untuk tetap dan potensi-potensi masalah yang sudah hamil di luar nikah yang bersekolah, melanjutkan akan dihadapi. terpaksa harus dinikahkan untuk pendidikan disekolah yang sama menghindari aib keluarga mereka. dengan tetap hamil? Justru yang Akankan pernikahan Begitu pula dengan Kustini (2013) terjadi sebaliknya, siswi yang hamil membanggakan? yang telah melakukan diminta keluar. Dalam berbagai kasus penelitiannya di Cianjur Namun bagaimana jika kedua perkawinan di usia anak, rasanya mengemukakan pendapatnya pasangan berbeda umur? tidak ada yang menyenangkan bagi tentang faktor penyebab terjadinya bagaimana jika sang lelaki yang sang anak. Terbukti pada fenomena perkawinan di bawah umur, yaitu menghamili adalah ayah, atau di Gunung Kidul, mereka karena orang tua lebih memilih kakeknya sendiri? Bagaimana sang melakukan gugatan cerai di segera menikahkan anaknya. anak akan disebut? Bagaimana Pengadilan Agama yang sama, saat Walaupun masih dibawah umur posisi anak dalam struktur mereka memohon dispensasi daripada anak perempuannya keluarga? Kejadian-kejadian ini pernikahan usia anak. Pun terlanjur hamil duluan. Selain itu memang menjadi pelik di dalam demikian bagi orang tua, keharusan anak untuk menaati masyarakat. menikahkan anak di usia yang juga

22

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014


bukan pilihan yang menyenangkan. Pernikahan, seharusnya mampu membanggakan sang anak dan orang tuanya. Dalam khasanah pemikiran jawa, ada satu adat pernikahan dimana orang tua menyatakan rasa syukur bahwa tugasnya sebagai orang ta telah selesai, dan bersyukur bahwa anaknya telah mendapatkan pasangan hidup. Adat tersebut adalah Tumplak Punjen. Nama Tumplak Punjen itu sendiri berasal dari kata tumplak yang berarti tumpah (keluar semua), dan punjen yang artinya sesuatu yang dipanggul (anak yang menjadi tanggungan orang tua). Kata punjen dapat dimaknai juga sebagai pundi-pundi, yang menyimbolkan harta benda hasil jerih payah orang tua. Dalam budaya Jawa, orang tua memiliki tiga kewajiban terhadap anak-anaknya, yaitu memberi nama yang baik (nama yang berisi harapan dan doa untuk anakanaknya), mendidik, dan yang terakhir adalah menikahkan. Ketika orang tua telah menikahkan anaknya yang terakhir, maka upacara Tumplak Punjen ini dilakukan sebagai tanda bahwa orang tua telah menyelesaikan seluruh kewajiban mereka kepada anak-anaknya. Adapun pelaksanaan prosesi Tumplak Punjen ini sendiri dilakukan pada saat acara Panggih Temanten. Acara dimulai dengan sambutan dari salah seorang anak yang mewakili saudara-saudaranya, yang ditujukan kepada bapak dan ibunya. Dalam sambutannya tersebut, sang anak dapat menyampaikan ungkapan terima kasih atas jasa-jasa orang tua kepada mereka. Setelah itu giliran orang tua yang memberikan jawaban atas sambutan dari anaknya. Kemudian dilanjutkan

dengan sungkeman, yang dimulai dari anak tertua hingga si bungsu (sang pengantin) beserta para pasangan masing-masing. Ketika sungkem, orang tua akan memberikan kantung-kantung kecil yang berisi biji-bijian (beras kuning, kedelai, jagung, empon-empon), bunga sritaman, dan uang. Prosesi ini menyimbolkan bahwa orang tua memberi modal kepada anakanaknya untuk mengarungi hidup yang baru. Modal yang dimaksud bukan hanya berupa harta benda, melainkan juga modal ilmu, budi pekerti, dan agama. Setelah sungkeman selesai, orang tua menyebar udhik-udhik yang berada dalam bokor, yang kemudian bisa diperebutkan oleh anak, menantu, cucu, dan seluruh tamu undangan. Yang dimaksud dengan udhik-udhik itu sendiri adalah sama seperti isi kantungkantung kecil yang sebelumnya diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya ketika sungkeman, yaitu berupa biji-bijan, bunga sritaman, dan uang receh. Saat prosesi menyebar udhik-udhikini, orang tua harus menyisakannya untuk kemudian ditumplak atau ditumpahkan di depan pelaminan, sebagai syarat dari upacara Tumplak Punjen bagi anak terakhirnya. Kiranya prosesi itu tidak akan dengan bangga dilakukan oleh orang tua kepada anaknya yang menikah di usia anak. Dan sang anak juga tidak merasakan kebanggaan yang sama, oleh sebab perkawinannya bukan oleh buah kesadarannya sendiri. Maka tugas sosial bagi setiap orang adalah menghindarkan anak dari tindaktindak kekerasan fisik maupun seksual yang berakhibat terjadinya perkawinan usia dini. Dan menyiapkan mereka untuk mampu menempuk perkawinan yang

membanggakan bagi dirinya dan keluarganya. [] Referensi Santy Devi, P (2012). Perkawinan Usia Dini : Kajian Sosiologis Tentang Struktur Sosial Di Desa Pengotan Kabupaten Bangli, Jurnal Ilmiah Sosiologi vol. 1. No.1, 2012 Muninjaya, A.A.Gde. (2009). Udayana Community Development Program di Desa Pengotan, Bangli 2010-2014. Denpasar, Udayana University Press. Nirwana, A.B. (2011). Psikologi Kesehatan Wanita. Yogyakarta, Nuha Medika. Narwoko, Dwi.J & Bagong Suyanto. (2007). Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan. Jakarta, Kencana. Ritzer, George. (2009). Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta, Rajawali Pers. Setiadi, Elly M & USLTAn Kolip. (2011). Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta Dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta, Kencana.

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

23


LAPORAN UTAMA

Konseling Perkawinan Usia Anak: Pengalaman Rifka Annisa Oleh Rina Eko Widarsih

Konselor, Manager Divisi Pendampingan Rifka Annisa rinawidarsih@gmail.com

“Anak saya sudah gak mau sekolah mbak, sudah males mikir katanya.” “hmmm…anak perempuannya sudah hamil, jadi yaaa kami nikahkan saja to mbak.”

D

ua petikan di atas adalah alasan-alasan yang keluar dari orang tua yang menikahkan anaknya di usia masih anak-anak. Alasan kedua, mendominasi pengajuan ijin dispensasi kawin ke Pengadilan Agama. Sekira 90% ijin dispensasi kawin yang masuk ke Pengadilan

24

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

Agama (PA) Yogyakarta disebabkan oleh calon pengantin perempuan telah hamil. Dari Posbakum di PA Yogyakarta, data lain yang menarik untuk dicermati adalah bahwa, pihak yang dulu pernah mengajukan permohonan dispensasi kawin beberapa waktu kemudian mengajukan gugatan perceraian melalui PA yang sama. PA Yogyakarta bekerja sama dengan Rifka Annisa selama 3 tahun berjalan dalam penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) bagi

masayarakat tidak mampu. Melalui kesempatan bertugas di PA Yogyakarta, Rifka Annisa dapat mengetahui secara lebih dekat permasalahan yang ada di masyarakat, diantaranya perihal pernikahan usia anak, sehingga memepengaruhi startegi dalam bekerja secara kelembagaan. Selain melalui PA Yogyakarta, Rifka Annisa juga memperoleh informasi kasus dari kepolisian. setiap ada laporan kasus ke polisi mengenai tindakan asusila yang terjadi pada anak (usia kurang dari


18 tahun) perempuan, kepolisian menginformaiskan kepada Rifka Annisa. Tujuan kepolisian adalah agar anak perempuan mendapatkan pendampingan dari Rifka Annisa dan menghendaki Rifka Annisa memberikan pertimbangan mengenai proses hukumnya. Dalam tiga tahun terakhir Seringkali proses hukum memiliki tantangan karena hubungan kedua belah pihak dibungkus hubungan berpacaran yang dikonotasikan hubungan seksual yang terjadi

berlandaskan suka sama suka. Beberapa karakteristik kasus yang sering muncul adalah: pertama hubungan seksual terjadi antara usia anak (18>x>15 tahun), atau usia perempuan 16>x>15 tahun. Kedua, terjadi pengingkaran dari pihak laki-laki. Si lelaki tidak mengakui sudah menghamili. Karena adanya pengingkaran dan tidak adanya itikad untuk menikahi perempuan yang sudah hamil tersebut, orang tua perempuan melaporkan kasus ke kepolisian. Jika laporan Kepolisian sudah

terjadi maka poin permasalahan untuk diselesaikan menjadi bertambah. Mempersiapkan anakanak menjadi orang tua serta memulihkan situasi pasca konflik akibat adanya laporan ke kepolisian. Pernikahan usia anak baik melalui atau tanpa proses hukum pidana, tetap membawa potensi masalah dalam sebuah pernikahan. Berbagai permasalahan sudah muncul sejak awal pernikahan , beberapa bulan atau minggu, atau sebelum menikah sebaiknya segera Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

25


LAPORAN UTAMA mungkin diatasi. Selain itu juga perlu dilakukan upaya pencegahan terhadap timbulnya permasalahan yang dipicu oleh prematurnya usia mental dan social para pihak yang menikah. Fungsi dan peran tersebut sejauh ini masih dimandatkan kepada orang tua calon pengantin. Jikapun ada BP4/KUA yang memberikan kursus bagi calon pengantin, proses ini dirasa menjadi kurang optimal. Tidak optimalnya peran tersebut paling tidak disebabkan oleh beberapa hal, pertama, kondisi psikologis calon mempelai sudah tidak kondusif untuk menerima masukan. Kedua, praktek pemberian kursus yang sangat beragam dari segi waktu maupun materi yang disampaikan. Ketiga, pendekatan yang dilakukan adalah pelatihan (namanya juga kursus bukan konseling) sehingga kurang dapat mendalami permasalahan dan potensi permasalahan setiap calon pengantin. Baiklah, mari berharap kepada majelis hakim di PA ketika memberikan ijin menikah bagi calon pengantin di bawah usia 16 tahun pada perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki, dengan memperhatikan catatan bahwa Undang-Undang Perkawinan di Indonesia mensyaratkan usia tersebut sebagai batasan usia minimal bisa menikah. Banyaknya perkara yang harus diselesaikan oleh hakim melalui persidangan di PA, proses persidangan seringkali kurang menitikberatkan pada penggalian masalah yang mendalam. Pada perkara-perkara pengajuan dispensasi kawin, hakim menghadapi dilema. Majelis hakim sesungguhnya mengetahui jika akan banyak masalah di dalam perkawinan karena lemahnya

26

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

fondasi, namun kondisi calon pengantin perempuan yang telah hamil membuat hakim menimbang dan memutuskan memberikan ijin. Hakim biasanya akan banyak berpesan kepada para orang tua calon penagntin untuk tetap memberikan kasih sayang dan perhatian kepada anak mereka sekalipun anak tersebut nantinya sudah menikah karena bagaimanapun usia mereka masih anak. Orang tua sekali lagi menjadi tumpuan harapan perubahan yang lebih baik pada generasi selanjutnya. Pernikahan pada usia anak, sebagian besar dilatarbelakangi oleh kehamilan yang karenanya menjadikan rapuhnya landasan pernikahan. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab tingginya angka perceraian pada pernikahan yang dilakukan ketika para calon pengantin masih berusia anak. Pertama, ketidaksiapan secara psikologis untuk membina rumah tangga. Usia antara 12-18 tahun masih termasuk dalam rentang usia remaja. Menurut tinjauan Psikologis, pada usia tersebut seseorang masih berproses menemukan identitas diri, sedang dalam masa eksplorasi dunia di sekitarnya, sudah mampu berpikir rasional namun belum mampu melihat dari lebih banyak sudut pandang yang akan menghasilkan keputusan yang bijaksana. Padahal untuk membina rumah tangga diperlukan kemampuan untuk mengelola diri sendiri dan bertoleransi terhadap pasangan. Ketika remaja masih belum puas untuk bereksplorasi maka hal inilah yang sebaiknya diseimbangkan dengan bagaimana ia juga harus berbagi ruang untuk pasangan. Kedua, kemandirian ekonomi

yang belum dimiliki. Mereka masih bergantung secara ekonomi kepada orang tua. Maka Pekerjaan Rumah bagi orang tua adalah bagaimana mendorong agar anakanak bisa memiliki sumber pencaharian yang layak serta bagaimana mengelola keuangan keluarga. Cara yang ditempuh orang tua melalui mendorong untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi atau membimbing wirausaha dan memberi bantuan modal usaha, atau mendorong agar mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat bakat, dst. Ketiga, ketidaksiapan untuk menjadi orang tua (ibu atau ayah). Jika kehamilan terjadi sebelum pernikahan, maka permasalahan ini akan menjadi masalah yang mendesak untuk diatasi karena dalam waktu dekat. Permasalahan yaitu seputar menjaga kesehatan selama kehamilan, mempersiapkan persalinan, mempersiapkan pasca persalinan, merawat bayi baru lahir, mendidik dan membesarkan anak. Kesiapan menjadi orang tua hendaknya dibangun meski dalam waktu yang sangat singkat. Poin-poin besar yang menjadi permasalahan di atas, merupakan materi yang dibahas dan didiskusikan melalui sesi-sesi konseling pernikahan pada usia anak. Tujuan konseling untuk membantu mengenali diri sendiri dan pasangan, memberikan gambaran dan informasi mengenai kehidupan berumah tangga, menyiapkan menghadapi kehidupan berumah tangga dengan segala permasalahan yang mungkin muncul. Oleh karena itu, tema-tema dalam konseling dipecah menjadi Mengenali Diri, Harga Diri, Berani Tetap Bermimpi, Aku dan Bayiku, aku suami dan


anak, toleransi dengan pasangan dan anak, sumber ekonomi keluarga, aku dan teman-temanku. Setiap tema tidak berarti harus dibahas dalam satu kali pertemuan sesi konseling. Tema-tema ini bisa dibahas dalam 2-3 kali pertemuan dan setiap pertemuan bisa mendiskusikan 2 tema sekaligus. Pihak yang dilibatkan selain calon pengantin juga keluarga (orang tua), serta anggota keluarga yang cukup disegani dan dipercaya. Banyaknya pihak yang terlibat tidak kemudian mengabaikan prinsip konseling, yaitu penerimaan, tidak menghakimi/ menyalahkan, menjaga kerahasiaan. Konseling dilakukan secara individu, dan dilakukan berkelompok jika dibutuhkan. Orang tua dan anggota keluarga dilibatkan untuk mendukung pasangan baru tersebut melalui system yang mereka bangun sendiri. Pengalaman melakukan konseling yang Rifka Annisa lakukan terhadap pasangan yang salah satu atau keduanya berusia anak, tidak bisa dikatakan mudah. Tantangan besar adalah menghadirkan pihak lakilaki untuk secara aktif menjalani konseling. Dalam sebuah kasus yang terjadi sekitar 3 tahun lalu, Polres merujukkan kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) ke Rifka Annisa untuk menjalani konsleing. Latar belakang kasusnya adalah terjadi perbuatan asusila terhadap anak perempuan yang dilakukan oleh pacarnya hingga mengakibatkan hamil. Sebut saja ia Cinta. Cinta menginginkan agar Pram menikahinya sebagai bentuk tanggung jawab, namun Pram mengingkari bahwa ialah yang mengakibatkan Cinta hamil. Karena tidak juga ada itikad baik dari keluarga Pram, maka ibu Cinta

melaporkan kasus ini ke kepolisian. Cinta sempat konseling beberapa kali dengan konselor Rifka Annisa melalui tatap muka yang dilakukan di kantor Rifka Annisa dan juga melalui upaya penjangkauan Rifka Annisa ke rumah Cinta. Sayangnya, sangat sulit melakukan konseling kepada Pram. Saat itu baru terjadi sekali tatap muka dengan Pram, sehingga baru bisa melakukan asesmen dan isi konselingnya belum tuntas membahas semua permasalahan. Tema yang sudah dibahas adalah mengenai gambaran dia mengenai kemungkinan melanjutkan sekolah, rencananya terkait upaya membuka angkringan sebagai sumber pendapatan keluarga. Konselor menemukan persoalan mendasar yang sangat penting dibahas hingga tuntas mengenai pandangan Pram tentang laki-laki dan bagaimana menjadi laki-laki. Namun, tema ini belum bisa didiskusikan. Sedangkan untuk Cinta, konselor sudah cukup banyak berdiskusi tentang pandangannya terhadap Pram sebagai laki-laki yang sangat ia cintai dan calon suami serta calon ayah bagi anak yang sedang dikandungnya. Kami rasakan agak sulit menggoyangkan pendirian kokohnya akan sosok Pram, meski ia sudah tahu bahwa Pram menyangsikan laki-laki yang menghamili Cinta adalah dirinya. Selain itu, tema kesehatan ibu dan janin juga didiskusikan. Tema ini sangat penting menurut konselor mengingat kondisi Cinta yang dalam keadaan hamil 5 bulan dan secara psikologis kurang stabil. Cinta sebagai klien perempuan Rifka Annisa mendapatkan paket informasi dasar tentang kehamilan, persiapan persalinan agar ia lebih sensitive dengan kondisi

kesehatannya yang akan mempengaruhi kondisi janin, serta agar ia lebih memperhatikan kebutuhan janin baik dari sisi nutrisi juga ketenangan batin. Bahkan konselor sempat memberikan tips melakukan relaksasi dan senam hamil sederhana. Tema lain yang sempat dibicarakan adalah mengenai hubungannya dengan ibu dan bagaimana ia belajar menemukan kasih sayang. Tema ini sedikit berat karena membutuhkan pemanggilan ingatan yang melibatkan emosi negatif. Namun penting untuk dituntaskan agar membangun bagaimana Cinta membangun konsep diri dan penghargaannya atas dirinya sendiri. Cita-cita dan mimpi juga kami bicarakan. Berdasarkan proses konseling diperoleh bahwa Cinta sudah tidak bersemangat untuk melanjutkan sekolah. Ia mulai tidak masuk sekolah ketika melihat perutnya yang makin membesar. Diskusi terus dilakukan dan diketahui bahwa sesungguhnya ia masih sangat ingin melanjutkan sekolah namun ia tidak berani lagi bermimpi karena kondisinya yang sudah hamil dan akan memiliki anak. Fungsi dan peran konselor dalam hal ini sebagai motivator dan memberikan informasi mengenai apa saja yang bisa dilakukan Cinta agar bisa mewujudkan cita-cita dan menaiki tangga menuju mimpinya. Tidak hanya konseling dengan Cinta dan Pram, kami juga berusaha bertemu dan mendiskusikan persoalan anakanak ini dengan para ibu mereka, kerena ayah mereka pergi meninggalkan ibu mereka sejak mereka masih kecil. Bersama para ibu, kami mendiskusikan konsekuensi proses hukum yang

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

27


LAPORAN UTAMA telah diambil. ibu Cinta merasa, dengan ia melaporkan kasus ke polisi, merupakan upaya meninggikan posisi tawar dan harga dirinya memiliki anak perempuan. Pembahasan juga tentang hal praktis yaitu pembiayaan proses persalinan dan pasca persalinan, mengingat mereka adalah keluarga yang secara ekonomi lemah. Selain itu, kami juga mendiskusikan mengenai pola pengasuhan, pandangan terhadap hubungan Cinta dan Pram selama ini, dan rencana ke depan terhadap anak-anak mereka. Akhirnya proses hukum dihentikan karena ibu Cinta menerima sejumlah uang dari keluarga Pram yang dianggap sebagai ganti rugi. Proses hukum terhenti, terhenti pula konseling dengan Cinta dan apalagi Pram. Saat itu kami berusaha menjelaskan kepada ibu Cinta mengenai pentingnya konseling bagi Pram dan Cinta sehingga kami berharap jika keputusannya akan mencabut laporan polisi, maka sebaiknya setelah Pram menjalani beberapa sesi konseling. Sedikit berbeda dengan cerita Siti dan Juki. Siti diketahui sedang hamil 4 bulan ketika orang tuanya menyadari. Keluarga Siti kemudian datang kepada keluarga Juki dengan tujuan meminta pertanggungjawaban dengan cara mengakui bahwa janin yang dikandung Siti adalah anak Juki dan Juki bersedia menikahi Siti. Namun keluarga Juki tidak mau memenuhi permintaan tersebut meski Juki akhirnya mengakui bahwa ia memang melakukannya. Akhirnya Juki mau menikahi Siti dengan syarat ia dibiarkan berpakaian apa adanya selama prosesi akad nikah dan resepsi (syukuran). Pada saat hari H tiba,

28

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

Juki datang dengan pakaian yang sangat jauh dari layak untuk digunakan pada acara penting, resmi dan sacral. Ia hanya mengenakan kaos, celana dan sandal jepit. Akad nikah tetap berlangsung. Ketika akan prosesi syukuran, Juki menolak untuk ganti pakaian dengan baju yang sudah disediakan mempelai perempuan dan menolak untuk berdiri di pelaminan untuk menerima ucapan selamat dari tamu. Sikap tersebut membuat warga dimana keluarga Siti tinggal sangat marah dan kecewa kepada Juki. Warga akhirnya memutuskan melaporkan Juki ke polisi. Polisilah yang kemudian memberitahu Rifka mengenai kasus ini. Banyak tantangan untuk memproses kasus tersebut secara hukum. Bukti dan saksi terus dikumpulkan, namun masih saja kurang. Pada sisi lain, Juki bersiap melaporakan keluarga Siti atas tuduhan pencemaran nama baik. Adu startegi di dalam proses hukumterus terjadi. selama proses tersebut, Siti mendapat konseling dari konselor Rifka Annisa. Karena banyaknya pihak di keluarga Siti yang terlibat, sehingga kesempatan konseling kepada Siti sering hanya mendapat porsi sedikit karena justru banyak digunakan untuk memberika informasi hukum. Siti mengaku belum pernah ditengok Juki semenjak mereka menikah, perhatian dalam bentuk apapun juga tidak diterima Siti, justru terror dan ancaman yang diterima. Semakin mendekati persalinan, keluarga Siti semakin panic. Mereka sangat membutuhkan dukungan dana untuk persiapan persalinan dan setelahnya, namun proses hukum belum jelas bagaimana akhirnya. Selain itu upaya pembuatan kesepakatan dengan

kelaurga Juki juga belum mencapai kata mufakat. Upaya memberi dukungan kepada Siti dan keluarganya secara psikologis dilakukan konselor Rifka Annisa melalui datang ke rumah Siti. Lokasi yang jauh dan relative terpencil juga kami rasakan menjadi tantangan tersendiri. Konseling terhadap Siti lebih banyak untuk menguatkan kondisi psikologisnya menghadapi persalinan dan menjadi ibu baru. Dua hal itu yang memang sangat diperlukan Siti. Pertemuan dengan Juki belum pernah terjadi, sehingga sangat sulit bagi Rifka Annisa untuk melakukan intervensi agar hubungan antara suami dan istri di dalam rumah tangga semakin baik. Kabar terakhir yang kami terima, Juki mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama mengenai pembatalan pernikahan. Artinya, dia tetap tidak ingin mengakui bahwa janin yang dikandung Siti adalah anaknya. Intervensi kepada laki-laki yang dalam kaca mata Rifka Annisa adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya, masih sangat kecil perannya dalam kasus pernikahan usia anak. Pendekatan hukum adalah cara yang paling mungkin dilakukan, dan cara inilah yang selama ini baru bisa dilakukan. Pada kasus anak perempuan usia 12 tahun yang dinikahi sirri oleh ustadz sebuah pondok pesantren tempatnya belajar, Rifka Annisa mendampingi proses hukum serta memberikan pendampingan psikologis pada korban. Kasus ini jelas melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku sehingga pernikahan tidak sah dan ustadz harus menjalani masa pemidanaan. Hampir sama dengan kasus lainnya, anak perempuan


yang dalam hal ini adalah korban, tidak menyadari jika dirinya telah menjadi obyek tindakan kejahatan seksual. Ustadz menggunakan kedudukan dan perannya untuk membujuk santriwati yang dia inginkan agar mau dijadikan istri ke-sekian tanpa sepengetahuan istri sahnya. Bahkan santriwati tersebut merasa bangga karena 'terpilih' menjadi istri ustadz. Pada saat awal pertemuan dengan gadis kecil tersebut, ia memperlihatkan ekspresi senang ketika sedang diingatkan pada kenangan bersama ustadz yang telah menikahinya. Maka tema-tema yang penting bagi dia seperti konsep diri, harga diri, dan meraih mimpi, dibahas menggunakan teknik yang unik. Ada peran kharisma seorang ustadz yang berkontribusi pada rasa simpati korban. Selain itu, asesmen konselor menunjukkan lemahnya peran orang tua terutama ayah dalam fungsi pengasuhan. Dampaknya adalah korban mencari figur ayah yang kebetulan dia dapatkan dari ustadznya dan dampak lainnya adalah ayah mengabaikan anak perempuannya dalam aspek-aspek tertentu. Dampak kedua ini juga terungkap ketika persidangan berlangsung, diantaranya bahwa ayah tidak menjadi saksi nikah anak perempuannya, ayah tidak tahu akan dibawa kemana anaknya pergi bersama ustadznya. Oleh karena itu konseling sebaiknya tetap melibatkan keluarga (orang tua jika masih ada), agar orang tua/keluarga terlibat aktif menjadi bagian dari system pemberi dukungan bagi anak. Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan konseling pernikahan pada anak yaitu: Pertama, menggunakan prinsipprinsip konseling yang

berperspektif anak. prinsip konseling saja belum cukup. Proses konseling terhadap anak juga memperhatikan karakteristik dan hak anak. Seringkali kepentingan terbaik bagi anak dijadikan senjata untuk melonggarkan kewajiban yang mestinya juga dijalankan oleh anak. Anak bukanlah orang dewasa berukuran mini, sehingga sebagai konselor/ psikolog ada peran sebagai pendidik atau pelatih atau pemberi petunjuk yang sebaiknya dijalankan; bukan menyerahkan sepenuhnya keputusan pada anak yang dalam hal ini sebagai konseli. Kedua, memperkaya data dalam proses asesmen.Data yang diperoleh dari sumber manapun sebaiknya diverifikasi terlebih dahulu atau konselor memegang prinsip kehati-hatian di dalam mempercayai data yang diperoleh. Asesmen terus dilakukan tanpa batas waktu karena setiap perkembangan bisa jadi berkontribusi pada perencanaan intervensi pada proses konseling. Ketiga, teknik dan pendekatan konseling yang digunakan disesuaikan dengan usia perkembangan anak. Keempat, tema-tema yang dibahas di dalam sesi-sesi konseling disesuikan dengan karakteristik kasus Kelima, konseling dilakukan dengan target individu (masingmasing pengantin), target relasi suami istri, target relasai antara orang tua dan anak (terutama jika calon pengantin sudah hamil), dan target keluarga calon pengantin Keenam, konseling dilakukan secara rutin dan berkelanjutan hingga minimal 3 bulan pasca menikah. Konseling dihentikan berdasarkan penilaian konselor/ psikolog dimana pasangan pengantin anak melakukan konseling.

Naskah ini adalah pengalaman penulis selama meneliti, menangani, dan memberikan ruang konsultasi hukum dan psikologi berkenaan dengan kasus-kasus perninakah usia anak. Hal ini rasanya menjadi penting untuk melakukan upaya pencegahan diri atas segala bentuk kekerasan yang sering timbul dari perkawinan pada usia anak. Perumusan masalah yang ada dari masyarakat, perumusan metodologi kajian, dan perumusan teknik konseling menjadi langkah lanjutan yang mestinya memperoleh perhatian yang seksama. []

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

29


LAPORAN UTAMA

Refleksi Pengalaman Komunitas : Pendidikan dan Jaringan Sosial Pencegah Pernikahan Usia Anak Oleh Asih Nuryanti

Community Organizer Rifka Annisa Women's Cricis Center Seindahsenja@yahoo.co.id

P

ersoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak sepertinya tak kan habis dilekang zaman. Kasus-kasus tersebut berserakan dan kadang tanpa ada penyelesaian yang memberikan rasa keadilan terhadap korban. Kerap kali kita melihat bagaimana korban kekerasan mendapatkan diskriminasi maupun pengucilan terhadap kekerasan yang ia alami. Masyarakat kerapkali antipati terhadap korban, tak jarang pula korban dianggap sebagai penyebab terjadinya kekerasan karena adanya pelabelan negatif

32

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

pada perempuan atau anak perempuan korban kekerasan. Tentu, berbagai bentuk kompleksitas persoalan terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi tantangan, tetapi disisi lain tantangan tersebut harus dijawab dengan perubahan sosial, utamanya perubahan sosial pada masyarakat untuk beranjak memberikan perlindungan dan pencegahan terhadap kekerasan terhadap perempuan. Salah satu kasus kekerasan yang sering terjadi dan perlu mendapat perhatian khusus lingkungan masyarakat adalah kasus pernikahan usia anak.

Kasus-kasus ini kerap terjadi diberbagai tempat, salah satunya juga di komunitas tempat dampingan Rifka Annisa di daerah Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta. Merujuk pada UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang disebut sebagai anak adalah mereka yang berada dibawah usia 18 tahun. Dalam rentang waktu sejak berada dalam kandungan hingga 18 tahun, anak-anak memiliki berbagai hak untuk mendapatkan perlindungan dari diskriminasi dan dari kekerasan. Namun perkara pelaksanaan UU ini


ternyata banyak mengalami hambatan. Salah satu hambatan pelaksanaan UU ini, khusus dalam kasus pernikahan usia anak adalah tidak sejalannya antara UU Perlindungan Anak dengan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974. Dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa usia minimal perempuan untuk melaksanakan perkawinan adalah 16 tahun, sedangkan laki-laki minimal berusia 19 tahun. Sehingga semangat dari UU Perlindungan Anak direduksi oleh UU Perkawinan yang melegalkan pernikahan usia anak karena acuan

minimal umur yang berbeda. Artinya ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan tidak sesuai dengan undang-undang lain yang menyebutkan usia kedewasaan jika sudah mencapai 18 tahun. Misalnya, Pasal 26 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mewajibkan orang tua mencegah terjadinya perkawinan usia anak sampai usia 18 tahun. Pasal 131 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebut upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak dalam kandungan, dilahirkan hingga usia 18 tahun. Kondisi ini pun kerap kali

ditemukan dari pengalamanpengalaman Rifka Annisa ketika bersentuhan dengan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang berujung pada perceraian akibat pernikahan usia dini. Kasuskasus yang didampingi Rifka Annisa yang menyangkut pernikahan usia anak kerap didahului oleh kehamilan yang tidak dikehendaki. Kultur Penikahan Usia Anak Kasus pernikahan usia anak amatlah kompleks. Ia disebabkan oleh berbagai faktor penyebab, mulai dari kemiskinan, kultur

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

33


LAPORAN UTAMA masyarakat yang terbiasa menikahkan anak perempuan diusia dini untuk melepaskan tanggung jawab keluarga kepada anak perempuan, rendahnya tingkat pendidikan keluarga, hingga pahampaham fundamentalis atau nilai-nilai agama yang memberi keleluasaan terjadinya pernikahan usia anak. Dalam masyarakat yang miskin, kasus pernikahan anak perempuan dianggap sebagai jalan keluar terbaik untuk menyelamatkan keluarga. Dimana orang tua melepaskan tanggung jawab mereka terhadap anak perempuan dengan jalan dinikahkan. Sayangnya, pelepasan tanggung jawab ini kerapkali menimbulkan masalah dikemudian hari. Misal, si anak perempuan yang belum matang ketika menikah rentan untuk mengalami tekanan psikologis akibat pernikahan, memiliki anak pada usia dini juga beresiko terhadap terjadinya gangguan kesehatan reproduksi, hingga resiko terjadinya kekerasan mengingat secara fisik dan psikologis ia sebenarnya belum siap berumah tangga. Disamping itu, pernikahan usia dini juga memberi dilema terhadap akses pendidikan anak perempuan. Mereka sudah dipastikan tidak dapat melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena sistem pendidikan kita tidak mengakomodasi anakanak yang menikah untuk duduk dibangku sekolah seperti anakanak lain yang tidak menikah. Selain alasan diatas, kasus yang kerap ditemui oleh Rifka Annisa terkait pernikahan usia anak ialahnya terjadinya pernikahan yang didahului kehamilan yang tidak dikehendaki.Kasus-kasus

30

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

kehamilan yang tidak dikehendaki inilah yang kerapkali menjadi alasan orang tua untuk menikahkan anak perempuan mereka meskipun tahu bahwa anaknya masih dibawah umur. Penikahan usia anak tentu harus meminta izin Pengadilan Agama karena harus ada surat dispensasi pernikahan. Dan kerap kali pada kasus pernikahan usia anak yang disebabkan oleh kehamilan yang tidak dikehendaki, para hakim Pengadilan Agama mengalami dilema tersendiri. Banyak hakim yang bekerjasama dengan Rifka Annisa mengatakan bahwa menikahkan anak yang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki tidak menyelesaikan persoalan. Kerapkali tiga hingga empat tahun pasca perkawinan dengan pengajuan dispensasi menikah berujung pada jalur perceraian karena terjadinya kekerasan. Tetapi jika tak dilakukan perkawinan, akan ada persoalan terkait hak anak, seperti status akte anak yang berada diluar pernikahan maupun hak waris anak setelah ia dewasa jika ia mejadi anak diluar

pernikahan. Kondisi ini juga diperburuk dengan minimnya pemahaman orang tua yang lebih mementingkan untuk menjaga martabat atau nama baik keluarga dibandingkan dengan memastikan bahwa kondisi psikologis dan pemenuhan kasih sayang kepada anak tetap terjaga saat ia mengalami kehamilan karena bagaimanapun mereka tetaplah berusia anak apabila memang memutuskan untuk menikah. Bebagai pengalaman Rifka Annisa dalam menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga juga banyak memberikan pengalaman kaitannya dengan pernikahan usia anak. Rifka Annisa kerapkali bersentuhan dengan kasus kekerasan yang dimulai dari pernikahan usia anak.Ketidakmatangan emosi dan masih labilnya anak yang melakukan pernikahan, membuat mereka rentan untuk melakukan kekerasan (laki-laki) maupun mendapatkan kekerasan (perempuan). Persoalan ketidakmampuan ekonomi karena masih anak-anak juga menjadi hal


yang kerap kali memicu pula terjadinya kekerasan. Pada kondisi inilah maka seharusnya penanganan kasus pernikahan usia anak harus dimulai dari menuntaskan akar persoalannya, yakni menguatkan pendidikan bagi anak perempuan dengan mendorong mereka untuk mengenyam pendidikan setinggi –tingginya sekaligus membangun jejaring yang kuat di komunitas untuk mencegah terjadinya pernikahan usia anak. Pendidikan untuk Anak Perempuan Pendidikan adalah salah satu cara yang paling ampuh untuk meminimalisir terjadinya pernikahan usia anak. Anak-anak, khususnya anak perempuan yang mendapatkan pendidikan tinggi, memiliki kesempatan yang besar untuk menyelamatkan keluarga dari kemiskinan. Pada tahun 1945 pasaca kemerdekaan Pemerintah Indonesia telah memberikan porsi yang besar terhadap pendidikan dengan dicanangkannya wajib belajar 9 tahun pada tahun 1994.

Wacana peningkatan wajib belajar menjadi 12 tahun pun coba dilakukan sebagai upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia sekaligus mengentaskan persoalan mendasar soal kemiskinan dan produk turunanya termasuk pernikahan usia anak. Anda tentu ingat kisah Malala Yousufzai, anak perempuan asal Pakistan berusia 14 tahun yang ditembak dalam perjalanan ke sekolah oleh kelompok militant, kisah ini menjadi inspirasi bagi perempuan dan penduduk di seluruh dunia. Malala ditembak karena dengan gigih memperjuangan pendidikan untuk kaum perempuan di tempat tinggalnya, di kawasan Lembah Swat di dekat perbatasan Afghanistan dan Pakistan. Kisah Malala menjadi cerminan tentang pentingnya pendidikan bagi anak perempuan untuk mendapatkan dan melakukan perubahan terhadap diri, keluarga dan masyarakatnya. Meminjam sebuah pepatah yang mengatakab bahwa cerminan peradaban sebuah masyarakat tercermin dari bagaimana masyarakat memperlakukan perempuannya. Kondisi di negara dunia ketiga memang amat rentan bagi anak perempuan untuk mengalami kekerasan dan pernikahan usia dini akibat minimnya akses pendidikan terhadap anak perempuan. Di Indonesia Data dari UNICEF menyebutkan hampir semua anak, baik laki-laki maupun perempuan, masuk sekolah dasar (SD), dan Angka Partisipasi Murni (APM)1 mencapai 93 persen pada tahun 2002, dan belum terlihat jelas adanya kesenjangan jender. Ditingkat sekolah menengah pertama (SMP), APM menurun menjadi 61,6% dan rasio untuk

anak perempuan lebih tinggi sedikit yakni 62,4 %, lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki yakni 60,9 %. Anak yang tinggal di daerah perkotaan (71,9%) lebih banyak yang belajar di SMP dibaningkan yang tinggal di daerah pedesaan (54,1%).Jika dilihat dari pendapatan keluarga, jumlah anak bersekolah dari setiap kelompok keluarga terpaut jauh. Penduduk dengan pendapatan terendah yang jumlahnya 20 persen dari seluruh penduduk memiliki APM yang jauh lebih rendah (49,9 persen) dibandingkan dengan 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi (72,2 persen). Data Departemen Pendidikan memperlihatkan adanya kesenjangan jender yang signifikan antara jumlah anak lakilaki dan anak perempuan yang putus sekolah di tingkat SD 2 maupun SLTP Kemungkinan anak perempuan untuk putus sekolah lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Di SD, dari 10 anak yang putus sekolah, 6 di antaranya anak perempuan dan 4 lainnya anak laki-laki. Demikian halnya di SLTP. Kesenjangan jender antara murid laki-laki dan perempuan yang putus sekolah sedikit lebih tinggi di sekolah lanjutan atas, yaitu 7 anak perempuan dibandingkan 3 anak laki-laki (Departemen Pendidikan Nasional, 2002). Data ini menunjukan bahwa sebuah dilema, pendidikan di Indonesia memang memberikan akses yang besar kepada anak perempuan, namun pada usia-usia tertentu anak perempuan lebih rentan untuk berhenti sekolah disebabkan oleh faktor kultural, sosial dan juga ekonomi. Di daerah daerah tertentu yang angka pernikahan anaknya cukup tinggi, seperti di Jawa Barat

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

31


LAPORAN UTAMA tantangan anak perempuan untuk mendapat akses pendidikan dan untuk tidak menikah diusia dini amatlah berat. Beberapa dari mereka harus menanggung beban secara sosial karena dianggap tidak laku di masyarakat yang masih banyak melakukan pernikahan usia dini. Pandangan feodalistik ini masih melekat sampai saat ini. Perempuan tak perlu mendapatkan akses pendidikan tinggi, toh nanti tugasnya akan tetap berada di ranah domestik, yakni mengurusi anak dan rumah tangga. Streotipe gender ini mau tidak mau menghambat anak perempuan untuk lepas dari kungkungan kultural agar melakukan pernikahan usia dini. Tak ayal, dorongan untuk mendorong pendidikan tinggi kepada anak perempuan terus dilakukan. Perempuan dalam banyak hal lebih cenderung teralienasi pendapatnya. Mereka memiliki mulut, merek ada tetapi mereka tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki, khusunya didalam bidang pendidikan. Padahal salah satu cara untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan memberikan investasi pendidikan kepada anak-anak calon pemimpin bangsa termasuk didalamnya anak perempuan. Perempuan yang memiliki pendidikan yang cukup akan memiliki kehalian dan ketarampilan untuk membiayai dirinya dan keluarganya Jaringan Sosial Komunitas : Pencegah Pernikahan Usia Anak Selain dengan pendidikan untuk mengentaskan kasus pernikahan usia anak, upaya yang bisa dilaukan adalah membangun jejaring yang kuat diantara komunitas untuk mencegah pernikahan usia anak. Rifka Annisa

34

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

menyadari bahwa upaya pencegahan usia anak tidaklah mungkin dilakukan oleh satu pihak dan memberikan tanggung jawab hanya kepada pemerintah tentu amatlah lambat. Upaya yang bisa dilakukan adalah dengan membangun jejaring yang kuat dikomunitas untuk mencegah terjadinya pernikahan usia anak. Jaringan sosial diantara masyarakat ini merupakan sosial capital yang amat kuat untuk mengentaskan berbagai persoalan sosial yang ada didalam masyarakat seperti kasus pernikahan usia anak. Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak individu dalam suatu kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hubungan-hubungan yang terjadi bisa dalam bentuk yang formal maupun bentuk informal. Hubungan sosial adalah gambaran atau cerminan dari kerjasama dan koordinasi antar warga yang didasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat resiprosikal (Damsar, 2002:157). Jaringan social merupakan salah satu dimensi sosial selain kepercayaan dan norma. Konsep jaringan dalam kapital sosial lebih memfokuskan pada aspek ikatan antar simpul yang bisa berupa orang atau kelompok (organisasi). Dalam hal ini terdapat pengertian adanya hubungan social yang diikat oleh adanya kepercayaan yang mana kepercayaan itu dipertahankan dan dijaga oleh norma-norma yang ada. Pada konsep jaringan ini, terdapat unsur kerja, yang melalui media hubungan social menjadi kerja sama. Pada dasarnya jaringan social terbentuk karena adanya rasa saling tahu, saling menginformasikan, saling mengingatkan, dan saling

membantu dalam melaksanakan ataupun mengatasi sesuatu.intinya, konsep jaringan dalam capital social menunjuk pada semua hubungan dengan orang atau kelompok lain yang memungkinkan kegiatan dapat berjalan secara efisien dan efektif (Lawang, 2005). Grootaer (2002) menyatakan bahwa kapital sosial merupakan salah satu alternative untuk mengatasi kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan ketersediaan kapital ekonomi ditingkat rumah tangga. Bahkan menurutnya, kontribusi kapital sosial sebanding dengan modal manusia. Artinya kapital sosial non fisik diyakini mampu menandingi kapital fisik. Pendapat itu tentunya kurang lengkap jika aspek kelembagaan, organisasi sosial, norma, kepercayaan maupun jaringan sosial tidak di analisis secara detail dengan mengutarakan analisis mengenai peran masing-masing sumber kapital sosial itu. Bisa saja terjadi keragaman tingkat ketersediaan sumber-sumber daya sosial diantara individu, kelompok, atau dalam komunitas tertentu, yang didominasi kontribusi jaringan kerja yang ada. Dengan demikian, peran jaringan kerja atau jaringan social yang tumbuh dalam komunitas lokal sangat mungkin memberikan kontribusi yang signifikan dalam mendukung aktivitas ekonomi masyarakatnya. Aspek kultur maupun struktur masyarakat yang berbeda antar wilayah akan memunculkan perbedaan ketersedian sumber-sumber sosial. Perkembangan pemikiran mengenai kapital itu sendiri tidak terlepas dari kritik. Terutama mengenai beragamnya konsep dan definisi mengenai kapital sosial. Aspek lainnya yang perlu dicermati


adalah mengenai penentuan indikator yang sesuai dalam mengukur kapital sosial, serta dalam hal bagaimana membangun dan mengembangkan capital sosial. Pada teori jaringan banyak di bahas tentang hubungan antara satu aktor (individu atau kelompok) dengan aktor lainnya. Salah satu ciri khas teori jaringan adalah pemusatan pemikiran pada tingkat makro, artinya aktor atau pelaku bisa saja individu (Wellman, 1983 dalam Ritzer, 2004), Aspek jaringan sosial inilah yang digunakan oleh Rifka Annisa untuk mengentaskan kasus pernikahan usia anak. Banyak komunitas-komunitas yang didampingi olehh Rifka Annisa dengan membentuk jaringan sosial dengan berbagai eleman masyarakat. Salah satu Jaringan sosial yang dibentuk oleh Rifka Annisa dilakukan seluruh dukuh di Kecamatan Gedangsari Gunung Kidul Yogyakarta. Seluruh dukuh di kecamatan tersebut mendeklarasikan “Dukuh Gedangsari Yes, Nikah Dini No, Tanam Pisang Nggeh� . Deklarasi ini bertujuan untuk menekan angka pernikahan usia dini yang dilakukan di Balai Desa Gedangsari tepatnya pada tanggal 4 Maret 2014. Dengan goal bahwa pada tahun 2015, kecamatan Gedangsari bebas dari kasus nikah anak. Selain itu mereka juga berkomitmen untuk mendorong pengantin baru untuk menanam lima pohon pisang karena pisang merupakan icon dari kecamatan Gedangsari. Penanaman pohon pisang ini merupakan salah satu terobosan untuk turut menekan pernikahan usia anak. Mengapa? Karena faktanya pernikahan usia anak tidak hanya disebabkan oleh faktor individu tetapi juga didorong oleh faktor budaya dan juga ekonomi

yang tidak berkecukupan. Dalam deklarasi tersebut juga disebutkan bahwa banyak masyarakat disana yang beranggaapan bahwa menikahkan anak adalah salah satu solusi untuk melepaskan anak dari ketergantungan ekonomi keluarga atau orang tua. Simbol dari penanaman pisang adalah bahwa sebuah keluarga akan mendapatkan tambahan makanan dan pendapatan. Pisang ketika menjadi buah yang masak bisa diolah menjadi berbagai masakan dan makanan. Menurut Camat Kecamatan Gedangsari, M Setyawan Indriyanto S.H M.Si di kecamatan Gedangsari terdapat 200 pernikahan setiap tahun. Artinya bila pengantin menanam lima pohon pisang, maka setiap tahunnya ada 1000 pohon pisang baru yang akan menumbuhkan tunas baru sehingga harapannya rantai ekonomi dari menghasilkan pisang terus berjalan. Di Gedangsari sendiri kasus pernikahan anak mencapai angka 9 kasus pada tahun 2012, 8 kasus pada tahun 20113 dan 1 kasus hingga maret 2014. Dalam beberapa kasus, ada beberapa warga yang berniat melakukan pernikahan usia anak namun akhirnya bisa dicegah oleh KUA dengan jalan dinasehati dan diberikan pemahaman bahwa menikahkan anak pada usia dini amatlah beresiko. Artinya KUA dalam konteks ini berperan penting untuk melakukan pencegahan pernikahan usia anak. Namun tentunya tantangannya tidaklah mudah. Deklarasi hanyalah bagian dari upaya untuk menagani pernikahan usia anak. Yang justru dibutuhkan adalah kerjasama dari berbagai pihak Satuan Kerja Perangkat Daerah seperti KUA, Puskesmas, UPT TK/SD, Penyuluh Pertanian, dan pihak kepolisian

Gedangsari, maupun kelompok masyarakat seperti Rifka Annisa. Masing-masing satuan tugas ini bekerja dalam lini kerja masingmasing untuk mencegah pernikahan usia anak. Dengan berjejaring diharapkan berbagai persoalan menyangkut penikahan usia anak bisa dicegah dan ditanggulangi secara bersamasama. Catatan Akhir

1.

APM adalah jumlah anak kelompok usia tertentu yang duduk di bangku sekolah dibandingkan dengan jumlah seluruh anak dalam kelompok usia tersebut. Untuk pendidikan di sekolah dasar, kelompok usia anak-anaknya adalah 7-12 tahun, sedangkan untuk pendidikan di sekolah lanjutan pertama, kelompok usianya 13-15 tahun. 2. Angka putus sekolah adalah perbandingan antara jumlah anak yang berhenti sekolah pada saat tahun ajaran masih berlangsung, termasuk mereka yang sudah lulus tetapi tidak meneruskan ke jenjang berikutnya, dari jumlah seluruh anak yang terdaftar di sekolah pada tahun ajaran tersebut.

Bahan Bacaan Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Bielefeld : PT Grafindo Persada. Jakarta Grotaer C. 1999. Social Capital, Houshold Welfare and Poverty in Indonesian. Word Bank Lawang, R.M.Z. 2005. Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologi. Cetakan Kedua. Fisip UI Press. Depok Ritzer, George & Godman, J Douglas, 2003, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta Sutrisno, Mudji. 1995, Filsafat, Sastra dan Budaya. Penerbit Obor. Jakarta

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

35


Lesehan Buku

Membaca Anak, Membaca Kita K

elahiran seorang anak adalah dambaan bagi setiap pasangan orang tua. Kelahirannya merupakan sebuah anugerah dan kegembiraan bagi bapak dan ibunya. Keriangan itulah yang paling tidak tergambar dalam tembang Jawa: Maskumambang. Maskumambang, menceritakan bagaimana hati orang tua bahagia tak terperi, setelah lahir si jabang bayi. Mereka selalu ngudang melihat tingkah polah sang bayi yang lucu dan menggemaskan. Senyum si jabang bayi membuat riang gembira yang memandang. Setiap saat sang bapa melantunkan tembang pertanda hati senang dan jiwanya terang. Takjub memandang kehidupan baru yang sangat menantang. Namun selalu waspada jangan sampai si ponang menangis dan demam hingga kejang. Orang tua takut kehilangan si ponang, dijaganya malam dan siang agar jangan sampai meregang. Buah hati bagaikan emas segantang. Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tuannya mengukir masa depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa. Namun sayang, tidak semua

36

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

orang tua, dan juga lingkungan tidak mampu menempatkan anak pada kondisi yang nyaman, aman, dan menyenangkan untuk mereka bertumbuh dan berkembang. Hal ini tampak pada begitu banyaknya kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa tindak kekersan adalah setiap perilaku yang dapat menyebabkan keadaan perasaal (mental) atau tubuh (fisik) menjadi tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini dapat berupa kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan. Pelakunya beragam, mulai dari orang tua, keluarga terdekat, lingkungan sekolah, teman sebaya, bahkan oleh orang yang tidak ia kenal sekalipun. Demikian juga bentuk kekerasannya juga beragam, kekerasan mental, kekerasan fisik, dan/atau kekerasan seksual. Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi pada anak-anak dan pelakukanya sedikit banyak tergantung pada konteks atau setting tempat terjadinya kekerasan itu sendiri. Oleh karena itu, bukan hanya ciri dan sifat saja

yang perlu diketahui, tetapi juga tempat terjadinya kekerasan itu sendiri.tanpa pengetahuan tentang setting ini penanganan berbagai bentuk kekerasan terhadap anakanak tidak akan mencapai hasil yang optimal (hal. 56) Begitu banyak kasus-kasus kekerasan yang menimpa anak yang telah dirilis olehpara peneliti, dan lembaga resmi yang berurusan dengan anak,baik kuantitatif, maupun kualitiatif. Sayangnya, persoalan serius ini belum menjadi prioritas untuk segera diselesaikan secara sistematis. Buku yang terbit tahun 2000 dengan judul tindak kekerasan terhadap anak: masalah dan upaya pemantauannya ini menjadi salah satu rujukan yang cukup lengkap untuk mengetahui berbagai permasalahan dan upaya penanganan kekerasan tehadap anak. Buku setebal 234, ini juga menyajikan data yang variatif, mulai data kualitatif hingga data kualitatif. Perilaku kekerasan tidak hanya disebabkan oleh sebab-sebab psikologis semata, tetapi juga yang berada dl luar dirinya. Inilah konteks sosio-kultural. Pendekatan model ini, socio-cultural


Judul buku Terhadap Anak Ed Penerbit Tahun Terbit Tebal Buku

environment diperlukan untuk mengatasi pendekatan psikologis dan medical clinical yang pada banyak hal luput dalam membaca siklus kekerasan terhadap anak. Menariknya dalam buku ini juga dituliskan berbagai ciri dan profil pelaku yang paling berpotensi melakukan tindak kekerasan terhadap anak. Bahkan orang terdekat bagi anak sekalipun bisa menjadi pelaku kekerasan terhadap anak, ibu atau ayah. Ibu dalam buku ini disebutkan berpotensi melakukan kekerasan secara mental, sedangkan ayah berpotensi melakukan kekerasan fisik. Buku ini, yang terdiri dari 7 bab,hampir seluruhnya adalah hasil penelitian yang diinisiasi oleh lembaga perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur dengan UNICEF. Metodologi yang dipakai berimbang antara kuantitafi dan kualitatif. Inilah yang membuat buku ini lebih mampu menggambarkan tindak kekerasan terhadap anak lebih mempunyai kekayaan dan data yang lebih ekploratif. Professor Hedi Sri Ahimsa Putra, salah satu contributor dalam buku ini menyandngkan data kualitatif yang menurutnya mampu memberikan

: Tindak Kekerasan : Masalah dan Pemantauannya : Bagong Suyanto, Sri Sanituti Hariadi, Priyono Adi Nugroho : Lutfansah MEdiatama : 2000 : xii+ 234 halaman

pendekatan yang lebih presisi untuk menyentuk persoalan kekerasan terhadap anak. Pendekatan kualitatif, tulis Prof. Hedi,penting bagi upaya perlindgan anak, sebab langkah pencegahan dan perlindungan dapat dirumuskan dengan lebih tepat. Perpaduan dua model pendekatan ini menjadipenting untuk melihat tindak kekerasan dari berbagai sisi. Kuantitatif untuk mlihat secara umum prosentasii dan intensitas tindak kekerasan. Sedang kualitatif memiliki semangat melihat kasus-kasus dengan lebih detail, untuk mampu memberikan rumusan yang lebih presisi dalam menangani dan mencegak tindak kekerasan. Buku ini mampu menjadi contoh penerapan penelitian pada tema serupa untuk memperbanyak literasi tentang anak-anak. Kelebihan lain dari buku ini adalah disertakannya lembar pemantauan dugaan kekerasan terhadap anak (hal. 217). Sehingga pembaca mampu melakukan deteksi dini terhadap adanya kekerasan terhadap anak-anak. Buku ini juga disertai rekomendasi-rekomendasi yang bermanfaat dalam upaya

menyelamatkan anak dari tindak kekerasan. Selain tata letak, tidak ada yang kurang dari buku ini. Oleh sebab itu jika anda adalah bagian dari lembaga perlindungan anak,lembanga yang menaruh perhatian terhadap anak, atau jika anda adalah orang tua, kakak, atau saudara bagi setiap anak, sudah selayaknya buku ini menjadi bacaan anda. Anak adalah anugerah, tiada yang lebih mulia dari memuliakan seoarang anak. [

Niken Anggrek

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

37


Liputan

R

ifka Annisa bersama Kementrian Agama Yogyakarta, 22 Juli 2014, menggelar pertemuan untuk membincang perencanaan draft pendidikan pra nikah. Acara yang bertempat di kantor kementrian agama ini diikuti oleh beberapa lembaga, KUA, BP4, Dinas Sosial, dinas kesehatan, dinas pendidikan, Biro Hukum Kemenag, PKK, BK (konseling keluarga), tata pemerintahan, dan kantor wilayah Bappeda. Pertemuan ini bertujuan merancang draft Peraturan Gubernur Yogyakarta tentang pendidikan pra nikah. “Ada perbedaan antara kursus pra nikah (kursus calon pengantin, red)) dan pendiidikan pra nikah. Kursus pra nikah dilakukan bagi calon yang akan menikah sedangkan pendidikan pra nikah dilakukan bagi remaja sejak dini sebelum beranjak menikah. Pertemuan ini dilakukan untuk mendorong implementasi Peraturan Dirjen tentang pendidikan pra nika,� jelas Thantowi dari Rifka Annisa. Dalam sambutannya Masjuri selaku Kepala Bidang Seksi Urais dan Pembinaan Syariah menjelaskan pendidikan pra nikah sangat penting,

38

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

karena kehidupan keluarga menemukan banyak persoalan dengan bermacam-macam sebab. Diantaranya, lanjut Masjuri, persoalan itu disebebkan berbagai hal, suami tidak bertanggung jawab, tingginya angka perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, kasus perkawinan sirri, perkawinan mut'ah, polighami, dan perkawinan di bawah umur meningkat tajam yang sangat berpengaruh terhadap eksistensi kehidupan sebuah keluarga. Dari data yang masuk di kementrian agama Yogyakarta ada 6000 keluarga yang belum berhasil (bercerai) dari 26000 keluarga yang melakukan pernikahan, dengan berbagai persoalan diatas, sehingga penting untuk pendidikan pra nikah dalam rangka mempersiapakan pernikahan sejak dini. Jelas Masjuri Tambahnya sejauh ini ada beberapa program yang terintegrasi, keluarga sakinah dan kursus pra nikah (Kursus calon pengantin). Di Indonesia sudah ada peraturan Dirjen tentang kursus pra nikah yang mana diimplementasikan di dalam peraturan daerah di berbagai lembaga seperti BP4, lembaga keagamaan atau Organisasi

rifkamedia

Mendorong Draft Pergub Pendidikan Pra Nikah di Yogyakarta kemsyarakatan seperti NU, Muhammadiyah, namun sejauh ini masih belum terimplemtasikan dengan baik. Yang menjadi menarik adalah persiapan pra nikah ini ada beberapa materi pokok yang perlu dikauasai remaja, seperti undang-undang perkawinan, dan kompilasi hukum Islam, UUP KDRT, UU perlindungan anak, kesehatan reproksi dan berabagai materi tentang, ekonomi, ketahanan keluarga dan tanda-tanda perkawianan dalam bahaya. “Pengalaman yang dilakukan selama ini baik ketika ia menjabat sebagai Kepala KUA maupun di kementrian agama saat ini, keluarga sakinah baru bisa tercapai ketika umur 50-60 karena pada masa ini pasangan suami istri bisa menerima apa adanya dan legowo,� ujar Masjuri. Lebih lanjut ada sebanyak 70 % perubahan yang terjadi di masyarakat. Banyak aduan yang terlapor merupakan gugatan cerai dari istri, dan hal ini seringkali lebih mudah dari pada gugat talak yang dilakukan laki-laki. Perubahan ini yang membuat angka perceraian semakin tinggi. Thantowi selaku Manager pengorganisasian masyrakat mengungkapkan pendidiikan pra nikah dilakukan dalam rangka mememinalisair pernikahan dini dan mengurangi KDRT di masyarakat. Pasalnya laporan angka dispensasi menikah setiap tahunnya semakin meningkat, upaya-upaya ini yang bisa kita lakukan untuk menekan pernikahan dibawah umur. Dan mempersiapakan calon pengantin ketika akan membangun sebuah institusi keluarga. [] Any Rufaida


Liputan

Pertemuan Jaringan Wilayah Gunung Kidul

rifkamedia

R

ifka Annisa mengelar pertemuan jaringan di wilayah Gunung Kidul, Kamis 17 Juli 2014. Acara yang bertempat di Rumah Makan Bu Retno Wonosari dihadiri berbagai jaringan di wilayah Gunung Kidul, yakni forum anak dari berbagai desa maupun kecamatan, forum anak Desa Bleberan, forum anak Desa Patuk, serta forum anak SOS Cildren Vilage di berbagai wilayah di Gunung Kidul, Satria Manunggal, Jerami, Srawung, Kembang, IPNU, dan forum anak Kabupaten Gunung Kidul. Pertemuan ini merupakan ajang silaturohim jaringan-jaringan yang bekerja di wilayah Gunung Kidul dalam rangka memperkuat jaringan kerja penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak. “Meski kami beraktivitas di wilayah Gunung Kidul banyak yang belum tau lembaga-lembaga ini, hal ini diperlukan untuk bisa saling mengenal dan saling tau apa yang

dilakukap,” Ungkap Suci yang aktif dilembaga Idea. Pertemuan menghasilkan beberapa kesepakatan bahwa lembaga-lembaga peserta akan menjalin kerjasama dan mendukung adanya jaringan kerja di wilayah Gunung Kidul yang bisa saling membantu dan mensuport satu sama lain. “Hal ini penting untuk dilakukan agar kita mampu bekerjasama dalam program-program yang mempunya kesamaan isu dan menjalankan program bersama,” ujarnya Asih Nuryanti dari Rifka Annisa. Selain itu kesepakatan untuk agenda rutin mengadakan pertemuan jaringan setiap bulannya dan ada forum komunikasi yang terbentuk di media sosial untuk update informasi situasi Gunung Kidul. Keputusan ini menjadi komitmen bersama peserta menjadi landasan untuk penguatan jaringan

wilayah Gunung Kidul. Dalam diskusi itu juga memunculkan isu terkait, termasuk keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang selama ini di beberapa tempat masih mendapatkan pelebelan negative sebagai pengkritk bahkan perusak. “Salah satu yang membuat penting untuk membentuk jaringan adalah menghilangkan stigma negative tentang lembaga swadaya masyarakat yang selama ini dianggap perusak ataupun pengkritik di masyarakat,” Jelas Bowo, peserta pertemuan.. Acara dilanjutkan dengan buka bersama dan sharing santai antar lembaga tentang kerja-kerja yang dilakukan. Ani Rufaida

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

39


Liputan

rifkamedia

Meningkatkan Mutu Layanan Medis bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

S

elasa, 22 Juli yang lalu di Rekso Dyah Utami diselenggarakan diskusi penyusunan kesepakatan layanan medis untuk perempuan dan anak korban kekerasan. Pertemuan yang diadakan oleh Forum Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak (FPKK) DIY itu membahas secara rinci bagaimana sebaiknya petugas kesehatan menerima, menangani dan terlibat lebih jauh dalam penanganan kasus. Pertemuan yang dihadiri sekitar 20 orang anggota forum dari perwakilan Rumah Sakit, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) DIY, Lembaga Perlindungan Anak, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Kepolisian, serta Rifka Annisa itu membahas tentang kesepakatan kualitas layanan mulai dari identifikasi, pemeriksaan, visum, dan klaim biaya pengobatan, sampai ruang lingkup kewenangan petugas medis. Pertemuan itu didasari adanya keluhan-keluhan yang sering muncul dalam penanganan korban kekerasan perempuan dan anak. Persoalan yang

40

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

terungkap umumnya soal mekanisme layanan seperti soal perbedaan biaya visum, lamanya hasil visum, serta proses dan biaya klaim perawatan. “Soal visum misalnya, ada yang cepat, ada yang lama. Ada yang biayanya mahal dan murah,” jelas Dr Sari Mukti Widyastuti SH MHum, Ketua FPKK sekaligus fasilitator di awal acara. Lembaga layanan medis seperti Rumah Sakit dan Puskesmas merupakan pintu awal yang sering dituju oleh perempuan dan anak korban kekerasan, terutama kekerasan fisik dan seksual. Menurut Rina Eko Widarsih, Koordinator Divisi Pendampingan Rifka Annisa, tenaga medis umumnya sudah mampu mengidentifikasi tanda-tanda kekerasan fisik pada pasien. “Tenaga medis saya amati sekarang ini sudah bagus di dalam identifikasi untuk mengetahui apakah pasien mengalami kekerasan atau tidak,” tuturnya. Sri Maryani SH, M.Hum Kepala Bidang Perlindungan Hak-hak Perempuan BPPM menambahkan bab perlunya kepekaan tenaga medis. Tidak hanya sekedar

mengobati, tapi memberikan solusi rujukan. “Informasi itu perlu disampaikan pada korban,” ucapnya. Diskusi yang berlangsung hampir tiga jam di bulan puasa itu memunculkan banyak kesepakatan dan ide-ide pemecahan masalah yang ada di lapangan. Contoh, adanya kesepakatan hasil visum harus jadi maksimum dua minggu, perlunya pendamping dan briefing bagi petugas medis yang menjadi saksi persidangan, pentingnya pengawalan jaminan dan sistem rujukan yang mengakomodir penyintas, kesepakatan penanganan korban atau pemeriksaan medis bagi pelaku yang terindikasi gangguan jiwa, pentingnya menyarankan penyintas untuk tes HIV/AIDS apabila ada faktor risiko (misal diperkosa berkali-kali oleh pelaku yang sama), sampai usulan pembenahan sistem rumah sakit agar dapat memberikan pelayanan yang lebih baik bagi korban.

NIken Anggrek W


Memoar

Dia Merampas Kebahagiaanku

N

amaku Tirta. Umurku sekarang 37 tahun. Anakku sudah tiga. Yang besar sudah hampir kuliah. Orang bilang, kalau kami jalan berdua sudah seperti kakak adik saja. Memang aku sangat akrab dengan putri sulungku itu. Semua hal kuceritakan padanya. Termasuk latar belakang pernikahanku dulu dengan ayahnya yang kini sudah di ambang kehancuran. Karena jujur saja, aku punya ketakutan. Takut bahwa suatu saat nanti dia akan bernasib sama seperti diriku. Sembilan belas tahun yang lalu, saat aku mengandung putri sulungku itu. Aku masih gadis SMA kelas dua. Sudah lama aku kehilangan kasih sayang kedua orang tuaku. Mereka bercerai sejak aku masih kecil. Ibuku, aku tidak pernah mendengar kabarnya. Sedangkan ayahku sudah memberiku seorang ibu tiri yang sepertinya sangat membenciku. Ibu tiriku sangat galak, apapun yang kulakukan selalu salah. Hidupku

penuh dengan luka hati dan sengsara, apalagi ayahku kemudian meninggal sebelum aku masuk SMA, hingga aku harus tinggal bersama ibu tiri yang galak. Sampai aku bertemu Joni, teman SMA-ku. Joni bilang, dia sayang aku. Senang sekali rasanya, akhirnya memiliki orang yang perhatian padaku. Namun ternyata Joni tidaklah seperti yang kukira. Dia kasar dan senang mengatur. Kami sering bertengkar, namun kembali baikan lagi. Lama-lama, Joni memaksaku terlalu jauh, hingga akhirnya kehamilan itu terjadilah. Ayah Joni seorang yang taat beragama, dan aku memiliki keyakinan agama yang berbeda. Orang tuanya hanya mau menerimaku jika aku ikut memeluk agamanya. Aku sudah tidak punya siapa-siapa. Ayahku sudah meninggal, ibuku, aku masih tidak tahu kabarnya. Aku juga tidak dekat dengan keluarga besar ayah ibuku, karena mereka jarang mengajakku untuk ikut di acara-

acara keluarga besar. Hanya beberapa saja yang kukenal. Akhirnya, demi anak yang kukandung, aku bersedia pindah keyakinan, dan keluar dari sekolah. Kabar itu ternyata sampai juga ke keluarga besarku. Mereka tidak setuju dengan langkahku tersebut, tapi aku sudah mantap, lagipula agama yang dipeluk Joni juga mengajarkan kebaikan. Karena hal itu, aku semakin jauh dari keluarga besarku. Tapi kumantapkan hati, dan kami pun menikah. Menikah di usia 17 tahun, ternyata tidak mudah. Selalu saja ada riak-riak yang membuat kami bertengkar hebat. Joni temperamen. Tiap ada perbedaan pendapat itu pasti dia sambil melakukan pukulan, bentakan, ataupun merusak barang-barang. Awalnya aku diam saja, tapi lamalama aku tidak tahan. Apalagi, keawamanku tentang ajaran agamanya sering dia manfaatkan, dia seringkali membenarkan perilakunya dengan dalih ayat-ayat Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

41


Memoar kitab suci yang dia yakini. Kemudian anak kami lahir. Situasi semakin kacau. Kami samasama tidak tahu bagaimana mengasuh anak. Ditambah kami sering bertengkar. Aku bingung, tapi tidak tahu harus bertanya atau mengadu pada siapa. Ayah mertuaku yang sering melerai kami, dan membantu membimbingku banyak hal, terutama untuk beribadah. Joni malah sepertinya tidak peduli dengan hal-hal semacam itu. Tapi lambat laun kondisi pernikahan kami sempat tenang, hingga aku melahirkan dua anak lagi. Joni mewarisi salah satu cabang bisnis milik ayahnya. Dengan itu kami hidup. Hasilnya memang cukup besar. Namun, terus terang, walaupun dari luar kami tampak seperti keluarga berada, tapi hidupku sangat pas-pasan. Sebenarnya aku berharap, dengan adanya anakanak ini, Joni semakin dewasa dan serius berumah tangga. Tapi ternyata tidak. Joni memberiku nafkah sesuka hati. Itupun kalau tidak dikejar-kejar seringkali dia tidak memberi. Situasi tersebut semakin menjadi-jadi. Bahkan untuk minta uang guna memenuhi kebutuhan sekolah anak-anakku pun aku harus melalui pertengkaran hebat. Aku heran, karena aku tahu betul pembukuan bisnis suamiku, dan hasilnya cukup besar, tapi kenapa dia begitu susah

membelanjakannya untuk kebutuhan keluarga? Lama-kelamaan, salah satu temannya bercerita padaku bahwa Joni seringkali bertaruh untuk judi. Pertanyaanku itu terjawab sudah. Ketika kuklarifikasi, dia malah marah-marah dan menuduhku

“

terang-terangan mengatakan sudah tidak mau hidup bersamaku dan anak-anak, karena katanya kami selalu saja mintang uang dan uang. Aku sungguh tidak terima dituduh dan diperlakukan seperti itu, karena selama ini dia yang berbuat tidak adil pada kami. Mertuaku sudah lelah melihat pertengkaran kami yang terus-menerus, mereka angkat tangan. Akhirnya semua keputusan diserahkan pada kami berdua.

Sungguh rasanya seperti teriris-iris. Saat anak istrinya hidup susah, dia malah bersenang-senang dengan perempuan lain. Jangankan untuk bersenang-senang, untuk makan saja kadang aku harus menahan malu minta beras pada mertua.

42

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

mengincar hartanya. Sedih sekali rasanya dituduh begitu oleh suami sendiri, seandainya dia tahu betapa sulitnya mengelola uang yang sangat kecil untuk makan lima orang. Di tengah himpitan masalah tersebut, kabar mengejutkan kembali datang. Suamiku sudah bersama dengan perempuan lain. Sungguh rasanya seperti teriris-iris. Saat anak istrinya hidup susah, dia malah bersenang-senang dengan perempuan lain. Jangankan untuk bersenang-senang, untuk makan saja kadang aku harus menahan malu minta beras pada mertua. Pertengkaran hebat diantara kami pun terjadi. Joni akhirnya

*** Suatu siang, putri sulungku mendatangiku sambil menangis. Aku tahu, dia sudah mendengar rencana ayahnya untuk menceraikanku. Tapi ternyata bukan itu yang merisaukannya. Dia bercerita, bahwa ayahnya baru saja bicara padanya, dan mengatakan bahwa jika setelah bercerai nanti putriku ini memilih ikut aku, ayahnya tidak akan bersedia membiayai kuliahnya nanti. Adikadiknya pun diberi tawaran yang sama, ikut ayah mereka atau tidak akan dibiayai lagi seterusnya. Aku marah, kecewa, dan sakit hati. Tapi aku berusaha tetap tenang dan menyemangati putriku itu meski hatiku remuk redam. Dalam hati, aku bertekad akan mengambil semua hakku dan hak anak-anakku yang telah dia rampas selama ini.[] Indiah Wahyu A


WAWANCARA

S Penikahan Usia Anak : Dilema Kemiskinan hingga Kekerasan

iang di bulan puasa, tim Rifka Media menemui Suharti, Direktur Rifka Annisa. Ibu dari anak perempuan bernama El ini mengajak tim Rifka Media untuk berbincang hangat terkait pandangannya mengenai pernikahan usia anak yang kini tengah di advokasi oleh Rifka Annisa bekerjasama dengan beberapa instansi peradilan agama, seperti KUA, BP4, Pengadilan Agama dan Badilag MA. Berikut adalah pandangan-pandangan Mbak Harti, begitu ia kerap disapa terkait dengan kasus pernikahan usia anak.

Rifka Annisa sebagai lembaga layanan pendampingan korban kekerasan, termasuk pendampingan anak-anak Dokumentasi Pribadi di dalamnya. Bagaimana selama ini pengalaman Rifka Annisa saat menangani kasus pernikahan usia anak? Dalam kasus pernikahan anak selama ini kebanyakan yang terjadi sepengalaman Rifka Annisa bekerjasama dengan Kantor Urusan Agama (KUA) dan Badan Penasehat pembinaan Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4) ratarata jumlah dispensasi perkawinan yang dikeluarkan oleh Pengadilan agama itu dikeluarkan karena kehamilan yang tidak dikehendaki. Itu yang selama ini terdeteksi dan memang disinyalir kehamilan yang tidak dikehendaki itu terjadi karena kekerasan seksual yang terjadi pada anakanak. Nah kalau dilihat dari datanya Rifka sendiri itu memang ada kecenderungan bahwa kasus kehamilan yang tidak dikehendaki lebih banyak jalur penyelesaiannya dengan cara dinikahkan. Sebetulnya ini hal yang cukup rumit, karena ada kejadian kekerasan seksual didalamnya.

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

43


Jadi memang banyak disinyalir seperti itu, kejadian pernikahan usia anak itu menurut kejadiankejadian yang kita temukan memang karena kehamilan yang tidak diinginkan. Jadi kalau situasinya sudah seperti itu, memang dari cerita para hakim pun menjadi pilihan yang sulit bagi hakim untuk menolak pemberian dispensasi menikah. Walapun kalau kasusnya kehamilan yang tidak diinginkan, mereka masih bisa mereka untuk menolaknya. Tetapi itu kan dari data yang kita lihat ya, baik dari PA, KUA dan kasus-kasus yang masuk di Rifka Annisa. Namun, kalau kita melihat situasi di komunitas itu sebetulnya, misalnya di Makassar atau di Gunung Kidul kejadian pernikahan usia anak itu juga sebetulnya banyak ditunjang juga oleh faktor kemiskinan. Jadi karena orang tua tidak sanggup melanjutkan pendidikan anak, jadi mereka cenderung untuk sudahlah bahwa menikah ini menjadi salah satu pilihan yang bisa mereka lakukan untuk mengatasi situasi itu. Cuma kejadian karena kemiskinan ini kita memang tidak memiliki data yang detail, hanya memang berdasarkan kasus yang masuk di Rifka Annisa. Kalau dari data yang masuk ke Rifka Annisa, bagaimana trendnya apakah mengalami kenaikan atau penurunan dari pernikahan usia anak? Kayaknya agak susah mengukurnya, apakah meningkat atau menurun. Tapi jumlahnya kalau aku melihat dari jumlah kasus di PA Gunung Kidul ya masih relatif segitu saja, sampai pertengahan 2014 ini ada sekitar 160 kasus, dispensasi kawin. Tahun kemarin aku tidak begitu hafal

44

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

jumlahnya, tetapi bayanganku masih begitu-begitu saja. Kalau meningkat juga belum terlalu siginifikan, kalau menurun ya tidak terlalu. Tadi dikatakan bahwa ada faktor kemiskinan yang menyebabkan pernikahan usia anak, lalu kirakira adakah faktor lain yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia anak? Ya mungkin, kalau faktor lingkungan karena teknologi informasi yang luar biasa. Itu juga sebagai pemicu hubungan seksual diantara anak-anak ini. Sehingga terjadi kehamilan yang tidak diinginkan. Sebetulnya pada kondisi atau situasi yang tidak terlalu miskin ketika ia tidak hamil itu pilihan untuk menikah diusia anak itu menurut saya masih tidak terlalu favorit dipilih anak-anak. Tapi dalam kondusi atau situasi miskin ya itu menjadi pilihan mereka. Kalau Mbak Harti menangani pernikahan usia anak selalu bersinergi dan berhubungan dengan kelompok masyarakat sipil ataupun dengan pemerintah. Khusus dengan pemerintah, dukungan apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk menangani kasus pernikahan usia anak? Sekarang Rifka Annisa sedang melakukan advokasi secara nasional untuk mengintegarasikan Undang-Undang Perlindungan Kekerasan dalam Rumah Rangga (UU PKDRT) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) didalam sistem peradilan agama. Salah satu poin dari integrasi itu adalah bagaimana pengadilan agama ini bisa berperan dalam pencegahan usia pernikahan anak, dengan

melalui penolakan dispensasi kawin yang diajukan oleh anak yang mau menikah. Namun persoalannya sampai sekarang, yang belum bisa menemukan titik temunya adalah bagaimana kemudian bisa memutus dilema diantara para hakim, apakah akan mengabulkan atau tidak pengajuan dispensasi kawin ini. Dilema terbesar mereka adalah ketika yang mengajukan dispensasi menikah ini sudah hamil maka mereka akan merasa bahwa ada hal lain yang harus diperhatikan. Misalnya kemudian kalau anak ini sampai lahir diluar pernikahan, ini bagaimana status anaknya, status hak warisnya. Tetapi kebanyakan para hakim yang berinteraksi dengan kita itu, seperti tadi yang sudah ku sampaikan bahwa ya rata-rata mereka punya sikap yang cukup bagus untuk menolak pengajuan dispensasi kawin ketika itu tidak ada kejadian kehamilan yang tidak dikehendaki. Nah, ini yang sedang kita lakukan dengan Pengadilan Agama. Sebetulnya yang ingin kita lakukan lagi bersama Kementrian Agama adalah bagaimana ketika anak ini sudah terlanjur dinikahkan, padahal situasinya mereka masih anak-anak, itu upaya apa yang bisa kita lakukan untuk bisa menurunkan resiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan atau kasus perceraian dikemudian harinya. Nah, yang harus dioptimalkan kemudian adalah kursus calon pengantin bagi remaja-remaja yang akan menikah, terutama fokusnya bagi mereka yang menikah karena kehamilan yang tidak dikehendaki, ataupun anakanak yang ingin menikah. Ini perlu diperhatikan dan diberikan perhatian khusus.


WAWANCARA

Apa upaya yang sudah dilakukan? Kita dengan beberapa KUA bekerjasama untuk meningkatkan peran KUA dan juga tokoh agama dan masyarakat untuk berperan untuk melakukan pencegahan pernikahan usia anak. Karena KUA ini juga punya program andalan mereka yaitu desa binaan keluarga sakina terus ada pemilihan keluarga sakinah, nah harapannya sebetulnya peran-peran mereka yang sudah ada di tupoksinya mereka juga bisa diintegrasikan dengan program pencegahan pernikahan usia anak dan juga KDRT. Salah satu yang sudah dilakukan adalah dengan KUA Gedangsari Gunung Kidul. Jadi mereka bekerjasama dengan berbagai instansi diwilayah setempat seperti kepala desa, puskemas, dinas pendidikan, Rifka Annisa dan KUA membuat MOU tentang pencegahan penanaganan masalah-masalah sosial, termasuk didalamnya KDRT dan pernikahan usia anak. Setelah MOU ini mereka menindaklanjuti dengan deklarasi 67 dukuh sekecamatan Gedangsari untuk mencegah pernikahan usia anak. Nah itu banyangan kita untuk dilakukan kedepannya, sekarang kita juga bekerjasama dengan kementrian Agama Provinsi Yogykarata dan beberapa instansi seperti BPPM dan Biro Hukum , Dinas Pendidikan ini sedang mengadvokasi peraturan gubernur tentang suscaten untuk calon pengantin ataupun pra nikah. Jadi siapapun yang akan menikah itu nanti bisa mengikuti kursus menikah walaupun dia belum berencana menikah dalam waktu dekat. Harapan ini bisa dioptimalkan untuk mencegah

kasus pernikahan usia anak. Rifka Annisa selama ini dikenal melakukan pendampingan di komunitas. Apa kendala yang sering ditemui dilapangan, misal ada beberapa masyarakat yang memiliki kultur atau kebudayaan yang menikahkan anak-anak diusia dini? Kalau sebetulnya yang sering kita temui, kalau saya melihat buat daerah Yogyakarta relatif angkanya kecil, kejadian pernikahan usia anak yang tanpa kehamilan yang tidak dikehendaki yang memutuskan menikah. Tapi memang jika dilihat, tantangannya amat banyak. Karena memang sistem keluarganya yang tidak mendukung pengasuhan anak. Yang lain masyarakat itu sendiri belum memahami resiko seperti apa yang akan diterima anak-anak ketika anak-anak harus menikah diusia yang belum matang. wordpress.com Misalnya resiko kesehatan, resiko psikologis dan kejiawaanya. Saya kira tantangannya itu, bagaimana kita memberikan pemahaman yang lebih luas lagi kepada masyarakat terutama pencegahan usia anak, apalagi situasi yang miskin memang agak susah. Disatu sisi kita tidak bisa memberikan solusi, kalau tidak dinikahkan mau seperti apa, padahal dia sendiri dia tidak punya skill yang cukup untuk sampai ke jenjang kerja. Ini kan menjadi kendala juga. Seperti yang kita tahu, bahwa UUPA dan UU Perkawinan memiliki pasal yang tumpang tindih terkait usia pernikahan anak. Dalam UUPA yang disebut anak adalah mereka yang usianya hingga 18 tahun, sementara UU Perkawinan membolehkan anak-anak untuk

perempuan minimal 16 tahun dan laki-laki usia 18 tahun untuk menikah, bagaimana respon teman-teman yang bergerak diisu perempuan mengenai hal ini? Kalau sekarang temanteman di Jakarta ada jaringan YKP kalau tidak salah yang mengajukan judicial review di poin umur. Cuma prosesnya belum selesai sampai sekarang. Yang strategis pula jika kita bekerjasama dengan temanteman yang bergerak di isu anak adalah mendorong wajib belajar hingga 12 tahun untuk mencegah terjadinya pernikahan usia anak atau anak-anak yang dipekerjakan Kalau berhubungan dengan kemiskinan dan pernikahan usia anak, apakah Rifka Annisa pernah melakukan inisiasi dengan lembaga lain atau dengan pemerintah untuk penanganan proses pengetasan kemiskinan agar tidak terjadi pernikahan usia anak? Kalau tidak salah Rifka Annisa pernah terlibat dengan tim BPPM DIY, itu mendorong pergub wajib belajar 12 tahun, tapi belum jalan lagi sepertinya karena wajib belajar 12 tahun bisa mengentaskan kemiskinan dan meminimalisir usia pernikahan usia anak. Kalau harapan Rifka Annisa menjadi tujuan Rifka dalam jangka pendek ataupun jangka panjang tentang pernikahan usia anak? Kalau kita sih berharap dalam waktu dekat ini bisa bekerjasama lebih bagus dengan kementrian agama terkait advokasi peraturan menteri kursus calon pengantin dan kursus pra nikah. Harapannya ini bisa menjadi salah

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

45


satu pintu dan turunanya bisa ke bawah, untuk pencegahan pernikahan usia anak termasuk dengan bekerjasama dengan tokoh agama. Kedepan kalau ada yang mensupport akan membuat diskusi dengan para kyai, bagaimana mengenali strategi efektif untuk bisa mencegah pernikahan usia anak. Ini bisa kita dokumentasikan dan kita sebar luaskan. Pembelajaran-pembelajaran positif misal di Gunung Kidul, yang punya hasil positif dalam usaha pencegahan pernikahan usia anak. Kalau kita bisa dokumenatasikan cerita dari banyak kyai, itu bisa menjadi hal yang menarik. Upaya yang kita lakukan dengan mendorong dari atas melalui kebijakan dan dibawah juga ada gerakan kultural. Selain melakukan pendampingan komunitas di Gunung Kidul, pada level advolasi nasional Rifka Annisa juga bekerja sama dengan beberapa lembaga seperti di Aceh, Makassar dan Jakarta. Nah adakah perbedaan hasil dari komunitas yang didampingi dalam program integrasi UUPKDRT dan UUPA di sistem peradilan agama di daerah tersebut? Kalau di Makassar itu mungkin juga tidak bisa menebak besar kasus pernikahan anak, karena banyak kasus yang tidak tercatat. Mungkin ada beberapa orang disana yang melihat menikah secara agama itu sudah cukup. Dari ceritanya Australia Partnership For Justice, mereka juga melihat temuan besar kasus pernikahan usia anak. Bagaimana di Aceh?

46

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

Di Aceh saya tidak pernah membandingkan Kalau Rifka Annisa pernah tidak menangani kasus pernikahan, dimana korban menikah diusia anak tapi baru ketahuan terjadi kekerasan saat usianya tidak lagi berusia anak alias sudah dewasa? Kalau wawancara ke hakim sangat menarik, ibu dan bapak hakim pernah bilang kalau kasus pernikahan dengan dispensasi kawin itu dalam jangka waktu tiga sampai empat tahun kembali ke pengadilan agama untuk bercerai. Nah ini, datanya tidak ada itu persoalannya. Itu hanya kencenderungan yang diceritakan. Ini menarik ternyata ketika mereka juga nekat untuk menikahkan tetapi tidak disertai upaya-upaya penanganan psikologis juga menimbulkan masalah hingga terjadi perceraian. Kebanyakan mereka bercerai juga karena terjadinya kekerasan. Salah satu hal yang kemudian kita ajukan di Mahkamah Agung adalah ketika terjadi pernikahan usia anak, orang tua tetap wajib memberikan kewajibannya sebagai orang tua kepada anak. Misalnya harus menyekolahkan anak. Jadi kedua orang tua anak baik dari pihak anak perempuan atau anak lakilaki harus berperan aktif karena walaupun sudah menikah mereka masih anak-anak. Masih memiliki hak untuk menyelesaikan pendidikannya. Jadi artinya selama ini ada kasus pernikahan usia anak, secara keseluruhan mereka keluar dari sekolah Iya, terutama anak perempuan yang tidak terjamin haknya untuk bersekolah.

Dari data yang saya baca di UNICEF, anak perempuan yang kemudian bersekoalh tinggi dia memiliki potensi untuk menyelamatkan keluarga dari jurang kemiskinan dibandingkan dinikahkan. Tetapi disisi lain, kita melihat ada masyarakat lain yang menganggap anak perempuan bisa menjadi penyelamat keluarga dengan dinikahkan. Bagaimana pandangan Anda tentang hal ini berdasar dari pengalamanan Anda di komunitas? Trend dikalangan masyarakat bawah menikahkan adalah pilihan yang memutus tanggung jawab orang tua untuk menghidupi anaknya. Saya melihat di masyarakat miskin yang tidak berpendidikan. Sementara kalau masyarakat miskin tapi mereka memiliki visi pendidikan, mereka akan menyekolahkan anak perempuannya. Tetapi jika dilihat secara makro, kebanyakan masyarakat miskin Indonesia tetap memilih untuk menikahkan anaknya untuk memutus tanggung jawab keluarga terhadap anak. Any Sundari


PROFIL

Sang Perempuan Advokasi Suharti atau biasa dipanggil Harti dalam keseharian adalah perempuan sederhana kelahiran Yogyakarta 31 Januari 1982. Perempuan berusia 32 tahun ini sekarang menjabat sebagai direktur eksekutif Rifka Annisa Women's Cricis Center. Ia berlatar pendidikan dari jurusan Peternakan, fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada tahun 2005. Meski tidak berlatar belakang jurusan yang berhubungan dengan studi gender atau sosial, keikutsertaanya dalam berbagai diskusi dan elemen gerakan mahasiswa mengantarkannya pada gerbang dunia sosial kemasyarakatan. Harti dalam kesehariaan adalah sosok yang amat pekerja keras dan sangat ramah terhadap siapapun. Ia memiliki jaringan yang kuat diantara teman-teman yang bergerak dalam aktivisme gerakan perempuan maupun teman-teman yang bergerak dalam isu-isu lain. Ia amat pandai memanfaatkan jejaring sehingga memberikan peluang yang besar dalam melakukan advokasi baik tingkat lokal maupun nasional. Hal tersebut tercatat dalam berbagai kegiatan advokasinya tentang rancangan perda perlindungan perempuan dan anak di Gunung Kidul dan dalam skala nasional kini ia tengah terlibat dalam advokasi pengintegrasian UU PKDRT dan

UUPA di sistem peradilan agama Islam. Sebelum menjabat sebagai direktur Rifka Annisa, Harti telah aktif diberbagai lembaga yang konsern dalam bidang perempuan. Ia pernah aktif dalam Solidaritas Perempuan Kinasih. Tahun 2007 ia kemudian masuk ke Divisi Pengorganisasian Masyakarat dan Advokasi sebagai Manager. Selama di Rifka Annisa, selain tercatat sebagai manager, ia juga terlibat dalam berbagai training dan penelitian. Seperti terlobat sebagai fasilitator di Youth Camp Mens, Gender Issues, Sexuality and Prostitution kerjasama antara Rifka Annisa dengan CATW AP Filipina pada tahun 2010. Di tahun yang sama ia juga bertindak sebagai peneliti isu gender, seksualitas dan prostitusi dengan CATW AP. Penelitian ini mengangkat isu tentang remaja laki-laki yang melakukan kekerasan, seksualitas dan bagaimana mereka bisa mengakses prostitusi. Hasil temuannya cukup mengejutkan, karena ada remaja yang pada usia 14 tahun telah mengakses

prostitusi. Selain sebagai fasilitator dan peneliti, Harti juga aktif terlibat dalam penulisan berbagai modul untuk fasilitasi gender dan kekerasan, terutama untuk modul bagi remaja laki-laki serta modul advokasi. Di level internasional, ia pun juga pernah mengikuti berbagai kegiatan seperti Workshop of Health Right Womens Analysis Instrument di Utrech, Belanda pada tahun 2010, Workshop Monitoring Evaluation di Mexico dalam program United Nations Trust Fund pada tahun 2012, Workshop Men Care di Capetown, Afrika Selatan pada tahun 2013 dan Training Gender Based Violence in Humanitarian Setting pada tahun 2013 di Mumbai, India. Ratnasari Nugraheni

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

47


DAPUR RIFKA

Ilmu Baru untuk Persoalan Baru: Sebuah U

S

ebuah media, buku, majalah, bulletin, Koran, ataupun media online adalah sebuah usaha untuk menempatkan diri mengambil posisi memberikan informasi yang berguna bagi tumbuhnya nilai dasar kemanusiaan. Yaitu subur dan berkembangnya kesetaraan antara manusia, tanpa adanya penindasan. Di sisi yang lain media mempunyai cara ntuk melawan segala bentuk kekerasan, ketidaksetimbangan, dan penyalahgunaan yang menurunkan derajat kemanusiaan itu sendiri. Pada posisi itulah rifka media menempatkan diri untuk memberikan informasi, dan menempatkan nilai dasar kemanusiaan itu di atas segalanya.

48

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

Kami percaya bahwa dengan menempatkan nilai dasar kemanusiaan sebagai basis dari pikiran dan pergerakan, upaya penghapusan diskriminasi, kekerasan seksual, bisa dilakukan dengan lebih baik. Rifka Media, dan rifka annisa secara keseluruhan berusaha menempatkan nilai dasar itu dalam setiap langkah kerja. Oleh sebab itu, setiap kerja dimulai dari bawah, bagaimana warga memandang sebuah kasus, bagaimana mereka nemempatkan persoalan-persoalan hidup, dan bagaimana mendampingi mereka menyelesaikan permasalahnya. Rifka media, dalam wadah Rifka Annisa secara umum, memberikan pemahaman sembari menaruh harapan agar apa yang

kami rumuskan dari sumber persoalan, menjadi gambaran cerita yang kami susun dalam laproan-laporan majalah ini mampu menginspirasi pihak lain, terutama media, untuk menyuarakan kepedihan korbankorban kekerasan sembari menuntut pulihnya dasar-dasar kemanusiaan dalam bernegara. Langkah ini diambil untuk meletakkan satu pondasi bersama, bahwa apa yang telah dipelajari, didalami, dan dipertimbangkan sebagai sebuah solusi, kedepan diharapkan mampu diletakkan sebagai sebuah pondasi untuk mengakumulasi kearifan-kearifan lokal. Kearifan lokal yang terakumulasi itu pada suatu saat nanti akan kami upayakan sebagai


Upaya Menumbuhkan Ilmu Pengetahuan sebuah ilmu pengetahuan. Sebuah teori yang dianggit dari khasanah lokalnya sendiri. Dengan pengharapan itu, Rifka Annisa mempunyai satu keinginan untuk turut berperan serta meletakkan ilmu pengetahuan mengenai perempuan, kekerasan terhadap perempuan, laki-laki baru, kesetaraan bersama yang hendak dibangung, menjadi sebuah teori yang mandiri. Menjadi penyeimbang dalam melihat dan mengkaji isu yang sama; perempuan. Gagasan ini, sudah beberapa edisi kami singgung, terutama pada edisi perdana perubahan dari format bulletin menjadi majalah. Dan hal itu masih

terus kami kembanghidupi. Caranya adalah mengingatkan diri sendiri, untuk semakin serius menghidupi ilmu pengetahuan yang berakar dari persoalan dan pengalaman bangsa sendiri. Sebab hanya dengan itulah kita mampu memberikan diagnosa yang sepadan. Membaca permasalah lokal dengan cara mendedah persoalan lokal, dan solusi yang dianggit dari khasanah lokal member kita jalan kemandirian. Dari sanalah sesungguhnya setiap ilmu pengetahuan bermula. Sayangnya, hingga detik ini perbincangan pengenai isu perempuan, baik anak maupun dewasa, selalu saja mendasarkan diri pada cara pandang barat, terutama sebagai

basis teori. Oleh sebab itu sekali lagi, kita sendirilah yang mesti merumuskan persoalan-persoalan kita sendiri. Dengan cara itu kita temukan metode untuk mengurainya. Meskipun mengurai dimana akar persoalan kita bukanlah hal yang mudah. Tetapi harus dimulai. Tahapan kearah yang sama sudah dilakukan, penelitian telah dilaksanakan, dan perumusan-perumusan persoalan dan upaya pemecahan juga diturunkan. Masih diperlukan usaha serius menyingsingkan lengan baju pengetahuan. Dan kami sedang mengupayakan.[]

Any Sundari

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

49


Referensi Perempuan yang Sebenarnya

Rifkamedia Customer Service: 0274-553333, Email: rifka@rifka-annisa.org


ESAI & FOTO

Anak-anak adalah cermin dari kejujuran, keceriaan dan cinta kasih yang murni. Kelahiran mereka dibumi adalah berkah dari cinta para orang tua. Sejatinya mereka adalah putih bersih tanpa noda ketika lahir didunia. Ekspresi malu dan tawa mereka adalah bagian masa kecil yang amat natural. Tumbuhnya anak-anak tak pernah lepas dari masa bermain untuk mengenali jati diri. Anak-anak memiliki hak penuh untuk mendapatkan tempat bermain yang aman. Mereka bersorak sorai, menjerit dan bercerita apaadanya kepada dunia. Namun, tak semua anak yang menginjak usia remaja mengalami hal yang mudah dalam hidupnya. Mereka pun ada yang mengalami masa tak baik. Karena dunia yang tak dibuat tak adil. Banyak anak-anak yang beranjak dewasa menderita karena dirampas haknya untuk bercita-cita tinggi. Mereka terpaksa menapaki jalan lain, menikah diusia dini. Menapaki diri tanpa kuasa diri.

Rifkamedia Agustus-Oktober 2014

51


STOP!!!

Perkosaan Terhadap Perempuan & Anak-anak

PUSAT PENGEMBANGAN SUMBERDAYA


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.