Rifka media No 32 "Pelibatan Laki-laki"

Page 1

No. 32 Edisi Juni 2007

m e d i a

Peduli Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Berjuang Untuk Terciptanya Dunia Damai dan Adil bagi Semuanya

Pengantar Redaksi Sapa Pembaca Jendela Bukan Dengan Menyalahkan! Pelibatan Laki-laki dalam Menghentikan Kekerasan Terhadap Perempuan

Beranda Pendopo KDRT, Masihkan Relevan Hanya Isu Kaum Perempuan?

Pilar Pilihanku Derita Istriku

Selasar Men's Program Unit: Meretas Layanan Untuk Laki-laki Pelaku Kekerasan

Gazebo Kilas

Pelibatan Laki-laki

the

GLOBAL FUND for

WOMEN


m e d i a

Peduli Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Berjuang Untuk Terciptanya Dunia Damai dan Adil bagi Semuanya

Penanggung jawab: Elli Nur Hayati, Pimpinan Redaksi: Siti Darmawati Redaksi: Rofi Widiastuti, Neneng Anggriany, Saeroni, Lenni Herawati, Riastuti N Utami, Arfianata O.A., Aditya Putra K. Diterbitkan oleh: Rifka Annisa atas dukungan The Global Fund for Women. Alamat Redaksi: Rifka Annisa, Jl. Jambon IV Komplek Jatimulyo Indah, Yogyakarta 55241, Telp/Fax (0274) 552904, Hot Line: (0274) 553333, E-mail: rifka@indosat.net.id. Home Page: http//www.rifka-annisa.or.id. Copyright all reserved 2007, design for printing by rifka creative communication.

Kulonuwun

K

etika berbicara persoalan gender dan kekerasan terhadap perempuan, biasanya tidak terlepas dari perbincangan jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagian orang kemudian memahami bahwa bicara kekerasan terhadap perempuan berarti laki-laki berhadapan dengan perempuan, dimana perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai pelakunya. Meskipun kekerasan adalah persoalan relasi yang tidak seimbang antara pihak-pihak yang bersangkutan, fenomena bahwa laki-laki yang sering berposisi sebagai pelaku kekerasan, menjadi bahasan tersendiri yang menarik untuk ditindak lanjuti. Merangkul atau melibatkan laki-laki dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan sudah dirasa perlu, karena mengakhiri kekerasan tidak cukup mendampingi dan memberdayakan pihak korban (dalam hal ini perempuan) jika tidak ada perubahan dalam pola hubungan yang sarat dengan kekerasan tersebut. Bagaimana pelibatan ini dilakukan tentunya tidak semata-mata menghakimi dan mempersalahkan lakilaki sebagai pihak pelaku, tetapi bagaimana “memahami� laki-laki agar maksud ini dapat terlaksana dengan efektif. Meskipun memahami disini termasuk dengan mengkritisi atau membedah konsep tentang laki-laki (Baca: maskulinitas) yang selama ini dipahami secara umum.

Daftar Kasus KTP di Rifka Annisa Bulan Januari-Juni 2007 No. 32 Edisi Juni 2007

m e d i a

Peduli Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Berjuang Untuk Terciptanya Dunia Damai dan Adil bagi Semuanya

Pengantar Redaksi Sapa Pembaca Jendela Bukan Dengan Menyalahkan! Pelibatan Laki-laki dalam Menghentikan Kekerasan Terhadap Perempuan

8

89

21

5

-

Beranda Pendopo

123

KDRT, Masihkan Relevan Hanya Isu Kaum Perempuan?

Pilar Pilihanku Derita Istriku

Selasar Men's Program Unit: Meretas Layanan Untuk Laki-laki Pelaku Kekerasan

1

16

4

-

-

21

-

1

2

-

-

3

1

4

-

1

-

6

7

2

-

-

-

9

17

112

27

6

-

164

Keterangan

KTI : Kekerasan Terhadap Istri KDP : Kekerasan Dalam Pacaran KDK : Kekerasan Dalam Keluarga PEL SEKS : Pelecehan Seksual

Gazebo Kilas

Pelibatan Laki-laki

the

GLOBAL FUND for

WOMEN

disain cover: Rifka Creative Communication


Jendela Bukan Dengan Menyalahkan! Pelibatan Laki-laki Dalam Menghentikan Kekerasan Terhadap Perempuan

I

su kekerasan perempuan dalam rumah tangga, dewasa ini bukan lagi menjadi isu yang bersifat rahasia pada wilayah domestik, namun lambat laun menjadi permasalahan yang bersifat global di seluruh dunia. Hal ini terbukti dengan banyaknya organisasi perlindungan perempuan dunia beserta tokoh-tokohnya yang melaporkan perkembangan kegiatan yang dilakukan dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan, baik berupa hasil penelitian, laporan litigasi, program-program penanganan KDRT, beberapa usulan dan desakan berupa kebijakan yang berhasil disahkan oleh lembaga negara, hingga munculnya ideologi feminis radikal. Aktivitas yang paling populer dilakukan oleh lembaga-lembaga perlindungan perempuan selama ini adalah berupa pendampingan hukum dan psikologis satu arah pada korban, seperti pendirian shelter, konseling psikologis, litigasi hukum dan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan. Evaluasi dari proses pendekatan perempuan yang selama ini digunakan, selain memiliki banyak kelebihan dalam upaya penanganan kekerasan terhadap perempuan, juga memiliki beberapa kelemahan yang dapat membatasi keterlibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Proses advokasi dan pendampingan yang selama ini dilakukan masih bersifat satu arah sehingga tidak mampu memotong rantai kekerasan yang terjadi. Hal itu disebabkan bahwa sebagian besar perempuan korban kekerasan memilih rujuk kembali dengan pasangannya walaupun korban menyadari kekerasan akan terus menimpa dirinya. Studi yang dilakukan WHO di 10 negara di dunia melaporkan bahwa 13-51% perempuan di seluruh dunia khususnya wilayah Asia, telah mengalami kekerasan dari pasangan laki-lakinya. Sedangkan di Indonesia sendiri, diperkirakan 10-25 % perempuan mengalami kekerasan dari pasangan lakilakinya dan hampir 90% korban kekerasan memilih untuk rujuk pada pasangannya. Pendekatan satu arah yang berorientasi pada perempuan (baca : korban) ternyata diketahui justru mengundang resistensi dari laki-laki sebagai pelaku dan tidak menghentikan tindak

kekerasan yang dilakukan. Seringkali laki-laki merasa disalahkan dan terancam statusnya sebagai figur kepala rumah tangga sehingga justru semakin gencar tindak kekerasan yang dilakukan. Hasil evaluasi tersebut memunculkan suatu pertanyaan besar, masih relevankah pendekatan kekerasan dalam rumah tangga hanya dilakukan dari sudut pandang korban?. Pertanyaan tersebut sekaligus melemparkan wacana baru dalam penanganan KDRT berupa pendekatan dari sisi pelaku. Jika mengkaji lebih mendalam terhadap permasalahan yang terjadi, pelaku kekerasan sendiri merupakan korban dari konstruk sosial, doktrin budaya patriarkhi yang menganggap bahwa laki-laki adalah tulang punggung utama dari rumah tangga. Studi awal yang dilakukan oleh Rifka Annisa pada awal tahun 2007 tentang konsep maskulinitas dengan menggunakan metode diskusi kelompok terarah yang beranggotakan para laki-laki di Yogyakarta dan Jawa Tengah terungkap, bahwa menjadi lakilaki dalam rumah tangga adalah hal yang sangat berat sekalipun membanggakan. Segala tindak tanduk laki-laki di masyarakat akan membawa pengaruh terhadap nama baik dan kelangsungan hidup keluarga. Hal tersebut menyebabkan lakilaki secara tidak sadar seakan-akan merasa berjuang sendiri dalam menopang kehidupan rumah tangga sehingga menganggap istri hanyalah sebagai pelengkap dan bukan mitra yang dapat diajak bekerja sama dalam suatu relasi yang setara dan seimbang. Permasalahan yang lain adalah pembentukan citra yang salah terhadap figur laki-laki yang telah dilegitimasi secara kultural oleh masyarakat dari generasi ke generasi melalui pola asuh. Sebagai suatu contoh, laki-laki pantang untuk menangis, lakilaki harus tampak garang dan berotot.Laki-laki hebat adalah mampu “menaklukkan� hati banyak gadis dan itu adalah hal yang biasa. Laki-laki akan sangat “laki-laki� apabila identik dengan rokok, alkohol dan kekerasan, dll. Pencitraan tersebut berpengaruh terhadap konsep diri lakilaki pada umumnya dan mempengaruhi perilakunya dalam kehidupan rumah tangga, terutama pola pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali muncul istilah, “pemecahan masalah ala laki-laki� yang berujung pada kekerasan, baik terhadap sesama laki-laki m e d i a

No. 32 Edisi Juni 2007

3


Jendela maupun pada anggota keluarganya, khususnya istri. Citra diri tersebut seringkali meninggalkan jejak permasalahan yang bersifat psikologis seperti ketidakmampuan untuk bersikap asertif dan membina komunikasi empatik serta ketidakmampuan dalam memahami dan mengelola dinamika psikologis diri sendiri dan pasangan. Maka tak heran jika terkadang laki-laki kerap kali terjerumus pada tindakan yang tidak terkontrol dan tidak terpuji pada pasangan hidupnya. Halhal tersebut terkadang diperparah dengan pola asuh yang salah dan kondisi rumah tangga orang tua yang kurang baik yang pernah dialami oleh pelaku semasa kecil sehingga terkadang berpengaruh ketika ia dewasa Pelibatan laki-laki dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga merupakan wacana baru yang patut mendapatkan apresiasi, mengingat laki-laki sebagai pelaku utama sekaligus pasangan hidup korban. Disamping itu, baik laki-laki maupun perempuan adalah sama-sama menjadi korban dalam perspektif yang berbeda. Namun demikian masih sedikit sekali laki-laki yang menyadari bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah masalah yang juga dihadapi oleh kaum laki-laki. Kekerasan terhadap perempuan masih dianggap sebagai masalah perempuan, sehingga keterlibatan laki-laki dalam masalah ini masih sangat kecil, baik penyelesaian maupun pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Di sisi lain, pemahaman masyarakat terhadap isu kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri juga berpengaruh terhadap minat laki-laki untuk ikut terlibat. Misalnya tentang bagaimana kekerasan terhadap perempuan itu diselesaikan, siapa yang harus bertanggung jawab, bagaimana kekerasan dipandang sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan rumah tangga serta bagaimana masyarakat

4

m e d i a

No. 32 Edisi Juni 2007

memisahkan ruang publik dan ruang domestik sebagai urusan laki-laki dan perempuan. Mencermati paparan di atas, maka pendekatan dari sisi pelaku mutlak diperlukan. Strategi pergerakan yang bersifat budaya, seperti pembentukan kelompok laki-laki atau basis-basis penyuluhan tentang masalah kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya permasalahan kaum perempuan perlu dilakukan pada tingkat pemerintahan terkecil RT/RW, juga pendekatan terhadap tokoh-tokoh masyarakat dan agamawan. Dukungan yang telah diberikan pemerintah seperti yang tertuang dalan tujuan UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 adalah menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangga dan merupakan kewajiban kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Hal tersebut memungkinkan para pelaku kekerasan dalam rumah tangga untuk dipidana serta tidak menutup kemungkinan bagi pelaku untuk mendapatkan sanksi alternatif berupa reedukasi dan treatment perilaku yang bermasalah dibawah pengawasan lembaga tertentu. Alternatif sanksi berupa re-edukasi dapat berbentuk konseling psikologis dan pendidikan hukum untuk memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki diri dalam relasi rumah tangga serta lebih meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dalam keluarga dengan cara-cara yang positif. Disamping itu, pembentukan citra baru laki-laki yang tidak harus identik dengan kekerasan juga tak kalah penting untuk dikampanyekan sehingga kerja sama dengan pers dan lembaga-lembaga layanan masyarakat mutlak diperlukan. Program-program tersebut diharapkan mampu membuka hati dan pikiran masyarakat khususnya kaum laki-laki untuk merasa terpanggil dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga sehingga ketika terjadi permasalahan dalam rumah tangga tidak harus berujung pada tindak kekerasan dan perceraian. (Aditya/Roni)


Bagaimana para laki-laki bicara tentang kekerasan terhadap perempuan? Bagaimana pula tanggapan mereka atas upaya pelibatan laki-laki? Berikut ini pendapat beberapa laki-laki tentang penyelesaian persoalan kekerasan terhadap perempuan.

Beranda

laki-laki yang selama ini termarjinalkan. Maksud saya termarjinalkan adalah laki-laki diluar citra tunggal laki-laki. Kemudian ada program lain yakni pengorganisasian laki-laki yang banyak berperan di tingkat basis masyarakat langsung. Bagaimana gagasan tentang laki-laki non kekerasan itu sampai pada masyarakat dan kemudian menjadi aksi di komunitas untuk menyebarkan nilai non kekerasan. Kalau bicara keberhasilan, masing-masing mempunyai parameternya. Program radio Nur Hasyim, S. Ag misalnya, karena tujuannya adalah memberi Manajer Rifka Media Research and Training Center, ruang bagi lak-laki untuk bicara tentang Project Officer Man's Program pandangan dan perasaan mereka tentang maskulinitas dan kekerasan, maka ketika ada ebenarnya seperti halnya gender, respon baik telepon atau SMS, maka itu bisa kekerasan yang dianggap menjadi menjadi indikator bahwa program atau ruang bagian dari nilai maskulinitas itu tersebut memang dibutukan. Lalu dari respon adalah hasil kontruksi sosial. Kalau saya kalangan perempuan di beberapa forum ketika menyebutnya adalah sesuatu yang dipelajari. saya dan beberapa teman mendiskusikan Karena itu dipelajari, maka bisa dilakukan program keterlibatan laki-laki ini dengan pembelajaran ulang pada laki-laki. Hal ini melakukan intervensi, mereka umumnya banyak menjadi prinsip bergulirnya men's program di memberi support. Strategi ini dinilai mengisi Rifka Annisa yang kemudian bertemu dengan kekosongan karena tidak ada institusi yang kenyataan atau fakta bahwa banyak korban mengambil peran diwilayah itu. Kemudian dari sisi kekerasan dalam rumah tangga yang lembali perempuan secara umum, program ini dinilai kepada pasangan sementara tidak ada membantu untuk komunikasi dengan pasangan. intervensi apapun bagi suaminya sehingga Bagi perempuan yang suaminya pernah mengikuti dipastikan mereka akan tetap hidup dalam konseling khusus didalam program ini, sekecil lingkar kekerasan. Maka perlu ada perubahan apapun perubahan yang terjadi pada sebagai bagian dari pembelajaran kembali pasangannya, mereka mengapresiasi. Hal ini tentang laki-laki dan kekerasan. adalah indiKator sementara yang kita pakai untuk Apa yang dilakukan Rifka Annisa saat ini melihat bahwa men's program penting dan memang tidak melulu pada layanan untuk lakidibutuhkan dalam upaya penghapusan kekerasan laki pelaku kekerasan tetapi juga program lain terhadap perempuan. Didalam konteks kajian ilmu yang mendukung pada upaya perubahan sosial, men's program adalah sesuatu yang baru perilaku dikalangan laki-laki secara umum. untuk pengembangan studi tentang laki-laki atau Perilaku kekerasan pada diri laki-laki selama ini maskulinitas. Saya kira juga mengisi kekosongan kita percayai sebagai sesuatu yang sistemik, karena sejauh yang saya tahu, men's studies dengan kata lain ada proses sistematis yang belum pernah ada di Indonesia. membuat laki-laki cenderung melakukan Berkaitan dengan proses konseling, sampai kekerasan. Karena itu sistemik maka upaya bulan Juni 2007 ada 6 laki-laki yang untuk merubahnya juga harus sistemik. memanfaatkan konseling. Kalau dibandingkan Pendampingan langsung untuk laki-laki pelaku dengan angka kasus kekerasan terhadap kekerasan hanyalah salah satu saja. Program perempuan di Rifka Annisa, tentu saja tidak tersebut diantaranya adalah kampanye seimbang. Tetapi menurut saya mengindikasikan termasuk membuka ruang dialog untuk laki-laki bahwa responnya cukup baik. Terlebih layanan ini melalui rubrik di surat kabar maupun di radio. belum dipublikasikan secara luas. Harus diakui Program ini selain untuk menyebarkan nilai non bahwa laki-laki yang datang kesini memang kekerasan juga untuk menyediakan ruang bagi sifatnya voluntary atau sukarela terutama atas laki-laki untuk berbicara tentang persoalan inisiatif istri. Tapi hal itu memang ada banyak faktor dirinya sendiri, perasaan dan pandangan misalnya belum banyak laki-laki yang tahu. Dalam termasuk memberi ruang untuk berbicara pada kaitannya dengan persoalan sejauh mana

Wawancara dengan:

S

m e d i a

No. 32 Edisi Juni 2007

5


Beranda konseling dianggap berhasil, biasanya kita gunakan evaluasi dari pasangan. Misalnya ada perubahan pada karakter, penggunaan cara diluar kekerasan sebagai penyelesaian masalah rumah tangga, ataupun penangguhan tuntutan istri (seperti perceraian) karena melihat ada perubahan perilaku suaminya.

Wawancara dengan:

Ton Martono Pekerja Penyiaran Radio Ista Kalisa Yogyakarta

S

ebagai laki-laki yang dibesarkan dalam keluarga besar dan sebagian besar saudara-saudara saya adalah perempuan, sejak kecil saya dididik untuk jadi pelindung terutama bagi anggota keluarga saya yang perempuan meskipun mereka posisinya sebagai kakak. Contoh sederhananya, saya menjadi terbiasa dengan pekerjaan-pekerjaan domestik dalam rangka meringankan pekerjaan ibu dan saudara-saudara perempuan. Ketika menikah dan menjadi suami, saya pun tidak canggung untuk berbagi peran urusan domestik dengan istri. Ketika melakukan beberapa pekerjaan domestik dalam rangka menggantikan peran istri seperti ketika istri sedang sakit, saya masih merasakan pandangan aneh dari tetangga ketika mereka meliat saya menjemur pakaian atau dari para pedagang di pasar saat saya berbelanja keperluan dapur. Bahkan yang memandang aneh itu justru dari kaum ibu-ibu. Mereka berkomentar, kok mau-maunya saya melakukan hal itu. Saya jawab, harus, apalagi istri sedang sakit. Saya biasa melayani istri dalam rangka pengayoman saya padanya. Ketika ada anggapan bahwa saya termasuk suami yang takut istri, saya jawab, apa salahnya takut dengan istri? Saya

6

m e d i a

No. 32 Edisi Juni 2007

Sebenarnya didalam penanganan laki-laki pelaku kekerasan ada dua yakni sukarela dan menggunakan pendekatan mandatory yang melibatkan kebijakan dan sistem hukum. Misal mewajibkan suami yang divonis melakukan KDRT untuk mengikuti terapi. Kedepan ini sangat baik karena tidak harus menunggu kerelaan suami mengikuti konseling karena terapi menjadi bagian dari hukuman atau punishment didalam sistem hukum kita. Cuma memang perangkatnya harus kuat misal orang-orangnya sebagai sumber daya dan hal lain yang terkait. (Rofi)

mengartikan rasa takut ini sebagai rasa menghormati dan tahu diri. Saya takut bila sampai menyakiti istri. Kebetulan kami sama-sama bekerja, dia juga mencari nafkah seperti saya, jadi kami terbiasa saling berbagi. Menjadi laki-laki bagi saya berarti harus melindungi atau mengayomi siapapun, dimulai dari keluarga lalu masyarakat. Dalam dunia pewayangan, laki-laki yang baik dicitrakan dengan watak yang bertanggung jawab dan bijaksana, dapat diartikan sebagai berperilaku yang adil dan tidak mentang-mentang. Melihat fenomena kekerasan terutama dalam rumah tangga yang terjadi di mana-mana, menurut saya seorang laki-laki yang suka melakukan kekerasan pasti dia tidak menggunakan mata dan kata hati. Dia hanya mengumbar nafsu marah yang dibalut kedangkalan cara berpikir. Laki-laki seperti ini disebut ber�sumbu� pendek, cepat meletus. Untuk menghindari hal-hal semacam ini, perlu dilakukan pembelajaran sejak awal, seperti pendidikan sejak dini dalam keluarga atau sekolah yang tanpa kekerasan, tapi penuh kasih sayang. Selanjutnya pada waktu proses menjelang pernikahan, membangun kehidupan rumah tangga tanpa kekerasan juga perlu ditekankan. Dalam buku akta nikah Islam, tidak muncul kalimat tanpa kekerasan disana, yang ditekankan semata-mata memenuhi kewajiban. Dalam agama Kristen, pasangan yang mau menikah mereka mendapat pembelajaran pra nikah 3 bulan sebelumnya. Kalau ada sesi panjang seperti ini sangat bagus bila memasukkan juga materi tentang menghindari kekerasan dalam rumah tangga. Saya prihatin dengan banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang masih terjadi sampai saat ini, yang saya tahu korban (dalam hal ini perempuan) malu untuk melaporkan kasusnya karena mereka masih mengganggap bahwa ini adalah persoalan rahasia rumah tangga. Padahal mestinya mereka tidak perlu malu. Dalam hal ini


saya menekankan pada anak perempuan saya untuk tidak segan-segan memberitahu orang lain jika dia mendapat perilaku tidak menyenangkan dari suaminya. Menurut saya, kekerasan ini harus dihentikan dengan kesadaran, karena kalau tidak kekerasan dapat memusnahkan orang yang menerapkannya karena kekerasan itu sendiri adalah senjata yang sangat berbahaya. Memang tidak semua laki-laki melakukan kekerasan. Dan lagi, brand image laki-laki dulu dan sekarang sudah berubah. Kalau dulu laki-laki dicitrakan sebagai sosok yang harus heroik / menjadi pahlawan dalam arti laki-laki jaman dulu harus dapat diandalkan secara fisik. Sekarang, lebih ditekankan pada kwalitas, seorang laki-laki

Beranda tidak harus menjadi lebih kuat secara fisik.Artinya, jaman sekarang tuntutan terhadap laki-laki lebih fleksibel. Kalau menurut saya sih, sebagai laki-laki itu yang biasa-biasa saja, tida perlu terlalu menekankan kuat secara fisik tapi juga jangan terlalu lembek. Tapi sebagai laki-laki harus bertanggung jawab dan mengayomi itu tadi. Banyak yang mengaku bangga menjadi laki-laki dan mengaku sebagai kepala keluarga tapi tidak bekerja, suka marah-marah dan menuntut istri. Sementara istrinya yang mencari nafkah justru

Wawancara dengan:

Prof. Dr. Muhadjir Darwin, MPA Peneliti pada Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Yogyakarta

Y

ang saya tahu, fenomena masa kini dan prospek kedepan tentang keterlibatan laki-laki terhadap penanganan KDRT itu masih rendah, dalam arti bahwa, mungkin mereka (laki-laki) merasa bahwa hal itu adalah masalah pribadi. Lalu adanya anggapan bahwa laki-laki itu kepala rumah tangga sehingga ada perasaan harga dirinya merasa dilecehkan kalau dicampuri ataupun karena pihak perempuan tidak punya keberanian berhadapan langsung dengan suaminya karena takut suaminya jadi tambah keras. Kerasnya bukan sama konselornya tapi justru sama istrinya karena merasa melibatkan orang lain dalam urusan rumah tangga. Saya tidak tahu pasti seberapa banyak perempuan yang terus terang ketika berhadapan dengan suaminya dalam sesi konseling di Rifka yang telah terjadi karena saya bukan konselor, mungkin tidak banyak karena khawatir nanti akibatnya buruk. Lalu juga keterlibatan dari pihak para pemimpin desa seperti RT/RW tidak mengena,

mungkin karena menganggap hal itu urusan pribadi, jadi prospeknya mungkin kecil jika faktorfaktor yang sifatnya sistemik itu tidak bisa diatasi. Artinya upaya untuk melibatkan laki-laki itu mungkin tidak bisa langsung sebelum hal-hal yang sifatnya sistemik itu dicoba untuk diatasi dulu. Maksud saya, pendekatan melalui aparat desa dengan penyadaran terhadap mereka bahwa pelibatan laki-laki dalam penanganan KDRT itu penting. Jadi penyadaran itu bukan hanya pada individu yang bersangkutan namun juga kepada orang-orang yang berpengaruh di komunitas tersebut sehingga ada kesadaran dari komunitas tersebut dan orang-orang yang memiliki posisi strategis di komunitas untuk terlibat dalam memberdayakan kesadaran pada laki-laki terutama yang menjadi pelaku. Maksud persoalan sistemik di sini adalah pendekatan terhadap lembaga-lembaga sosial yang mempunyai peranan dan langsung menjangkau individu di dalam masyarakat sehingga akan memberikan kondisi agar laki-laki itu tidak bisa tidak mereka harus terlibat. Misalnya saja melalui temu warga, RT/RW termasuk institusi sosial dan keagamaan. Saya tidak tahu apakah Rifka sudah melakukan hal itu, dengan melakukan sosialisasi bukan hanya soal kekerasan tetapi juga temuan-temuan empiris bahwa penanggulangan KTP mengalami kendala karena kegagalan konselor untuk melibatkan laki-laki. Rendahnya keterlibatan laki-laki karena laki-laki tidak bisa �disentuh� secara langsung. Selain itu masih dincari bentuk intervensi yang diidealkan oleh pemerintah sampai kepada institusi pemerintah untuk melakukan penyegaran terhadap laki-laki dan agar mereka juga dapat tersentuh oleh hukum, sebab pada tingkat tertentu ketika kasus itu sudah sampai pada hal yang m e d i a

No. 32 Edisi Juni 2007

7


Beranda bersifat pidana maka harus diproses secara hukum. Masyarakat juga harus dibuka kesadarannya bahwa solusi seperti itu memang seharusnya terjadi dan agar supaya laki-laki itu tidak semenamena terhadap istrinya. Sementara pendekatan advokatif secara langsung kepada suami memang perlu tapi pengkondisian seperti itu harus kuat dulu kalau tidak pasti akan mengalami kendala. Saya tidak punya pengalaman mengadvokasi yang seperti itu, tapi kalau saya bayangkan ya Pemda atau Pemerintah. BKKBN seperti pada awal program KB mengalami kendala untuk bisa masuk ke rumah tangga karena bertentangan dari tokoh agama sehingga pada waktu itu BKKBN disamping melakukan intervensi yang sifatnya langsung ke rumah tangga atau pasangan usia subur, juga melakukan pendekatan kelembagaan. Salah satunya dengan meminta kepada para tokoh agama untuk bertemu dan mempelajari bagaimana aturan-aturan agama itu dan mengambil sikap tentang boleh tidaknya program KB sampai ada pernyataan bersama para tokoh agama pada awal tahun 70an bahwa KB tidak bertentangan dengan agama. Nah, ini menjadi basis untuk bisa masuk ke kampung-kampung karena sudah mendapat legitimasi dari para tokoh-tokoh agama, itupun juga tidak bisa secara langsung, harus dengan pendekatan secara komunal ketimbang individual dengan menggunakan tokoh-tokoh masyarakat sebagai pendamping PLKB yang masuk. Banyak PLKB yang mengeluh karena katanya semakin dekat dengan masjid semakin susah. Itu simbolik, masjid yang artinya keagaman yang kental dimana banyak kyai yang muncul, lebih sulit dimasuki sehingga pendekatannya harus pada kyai dulu. Hal itu mempermudah PLKB masuk ke masyarakat, individu dan keluarga. Bayangan saya hal ini juga sama dengan KDRT, bahwa ada pandangan-pandangan sosial atau keagamaan yang menganggap adanya otoritas pribadi suatu rumah tangga, seperti KB tadi. Artinya, masuk dalam otoritas rumah tangga hingga sampai pada urusan alat kelamin itu kan sesuatu yang sangat privat. Mungkin KDRT tidak sampai sedalam itu, tetapi ya tetap masih ada tokoh-tokoh agama yang menganggap hal itu adalah otoritas rumah tangga dan itu tidak boleh diintervensi. Contohnya seperti hak suami mengatur istri, memukul untuk tujuan mendidik itu bagus. Nah hal-hal semacam itu kan menjadi cover atau menutup ruang bagi konselor untuk masuk dalam meminta keterlibatan suami sehingga peran

8

m e d i a

No. 32 Edisi Juni 2007

dari tokoh agama dan masyarakat itu sebagai pintu masuk. Kalau yang lebih vulgar lagi contohnya dalam bidang pertanian, misalnya untuk petani yang akan menanam tebu, karena pihak perusahaan tebu tidak bisa meminta secara paksa maka diturunkan babinsa agar para petani nurut. Nah apakah dalam masalah ini mau menurunkan babinsa juga agar para lelaki takut? Sebab kadang-kadang lelaki merasa dirinya superior sehingga tidak mau ada yang masuk ke wilayah otoritasnya. Tentang sikap superior laki-laki, sistem nilai lakilaki di Indonesia seperti istilah patriarkhi bukanlah satu-satunya, meskipun doktrin patriarkhi itu cukup variatif di Indonesia. Antara Jawa dan Batak mungkin akan berbeda, antara masyarakat yang sudah terdidik dan yang kurang terdidik, antara masyarakat pedesaan dan perkotaaan dan pada level individu pasti juga akan ada perbedaan. Saya justru melihat bahwa hubungan suami istri di Jawa lebih egaliter daripada di Batak, sehingga sebenarnya perlu referensi. Untuk melakukan advokasi ke keluarga di Jawa mungkin tidak sesulit kalau melakukan advokasi di keluarga Batak atau Minang misalnya, meskipun tiap-tiap individu juga mempunyai variasi. Jogja sendiri kulturnya sudah sangat heterogen dari suku manapun ada dan itu kan juga ada aspek personality atau kekhasan dan Jawa sendiri juga banyak macamnya sehingga ketika kita masuk ke kasus maka harus paham variasinya. Stabilitas emosi itu juga sesuatu yang tampaknya berpengaruh dan berbeda antara satu dengan yang lain jadi harus ada pendekatan psikologis yang baik dan juga pendekatan komunitas yang baik. Saran saya untuk Rifka Annisa ketika akan mencanangkan program keterlibatan laki-laki dalam penanganan KDRT adalah pemetaan masalah dulu dari pengalaman Rifka Annisa selama ini menyangkut KDRT dan juga kecenderungan dominasi suami. Pemetaan masalah tidak hanya pada kasus yang pernah ditangani namun juga gambaran masyarakat yang akan menjadi bidang garapan, termasuk identifikasi titik-titik strategis yang harus dimasuki terlebih dahulu sebelum masuk ke level keluarga dan individu. Jadi ada pentahapanpentahapan yang harus dilakukan dahulu sebelum advokasi langsung ke level rumah tangga. Pengkondisian secara sosial harus dilakukan terlebih dahulu sebelum melangkah ke kegiatan advokasi dan juga penguatan secara kelembagaan dan pendekatan ke tokoh-tokoh masyarakat yng memiliki otoritas dan pengaruh itu perlu dilakukan terlebih dahulu di dalam masyarakat yang nantinya akan menjadi target program. Mengundang para kepala rumah tangga dengan melibatkan RT/RW dan menerangkan tentang program tersebut sehingga nantinya ketika Rifka Annisa mau masuk mereka sudah tahu dan tidak kaget. Jika tidak seperti itu maka ketika akan melakukan advokasi, Rifka tidak akan diterima. (Adit)


KDRT, Masihkan Relevan Hanya Isu Kaum Perempuan?

Pendopo

Aditya Putra K, Peneliti Pada RA-MRTC

P

ada dasarnya, relasi antara laki-laki dan perempuan dalam segala sisi kehidupan haruslah seimbang dan selaras sesuai dengan kodrat penciptaannya masing-masing, terutama dalam relasi pernikahan. Ibarat sebuah tim kerja, maka relasi hubungan kerja antara suami dan istri dalam pekerjaan rumah tangga haruslah mencerminkan koordinasi dan kekompakkan yang saling melengkapi. Namun, konsep selaras dan seimbang dalam hubungan laki-laki dan perempuan telah mengalami pembelokkan yang bersifat kultural dari generasi ke generasi yang menempatkan laki-laki sebagai figur utama dalam rumah tangga dan mempunyai kuasa penuh terhadap pasangan hidupnya. Relasi yang tidak seimbang tersebut, terkadang menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan hanya sebagai figur pelengkap dalam rumah tangga. Kondisi yang demikian sangat memungkinkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik, psikis, ekonomi, seksual maupun sosial - kultural. Dinamika terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut telah dijelaskan secara gamblang dalam teori lingkaran kekerasan yang menjelaskan bahwa tindak kekerasan yang dilakukan oleh pasangan semakin lama semakin pendek waktunya dan terus berulang dari hari ke hari, serta semakin buruk jenis kekerasan yang dialami perempuan. Sebagian besar perempuan korban kekerasan memilih kembali rujuk dengan pasangannya walaupun korban menyadari kekerasan yang dialami akan terus menimpa dirinya. Kondisi ketergantungan secara ekonomi dan merasa bertanggung jawab penuh dalam mempertahankan keharmonisan rumah tangga, serta keyakinan bahwa tindak kekerasan yang dialaminya dapat segera berakhir, sering membuat perempuan korban lebih memilih berdiam diri dalam situasi yang dialami. Di sisi lain, pemahaman tentang prinsip rukun/selaras dan harmonis yang merupakan kearifan lokal budaya Jawa, menganggap bahwa permasalahan kekerasan dalam rumah tangga adalah permasalahan domestik yang bersifat rahasia sehingga tabu untuk diungkapkan karena dapat merusak prinsip rukun dan harmonis. Hal itu menyebabkan perempuan korban lebih memilih diam demi harmoni. Isu kekerasan dalam rumah tangga tersebut diperparah dengan adanya anggapan bahwa permasalahan KDRT adalah isu yang hanya dimiliki oleh kaum perempuan, sehingga wilayah garapan dan intervensi, baik yang dilibatkan dan yang terlibat serta dikenai program juga didominasi oleh kaum perempuan. Keterlibatan kaum laki-laki yang merupakan “rekan kerja� belum banyak terdengar, padahal kaum laki-laki justru sebagai pelaku kekerasan tersebut. Mencermati permasalahan diatas, sebagai suatu terobosan baru dalam memotong rantai kekerasan dalam rumah tangga, maka penulis berpendapat perlu adanya pendekatan psikologis dari sisi pelaku kekerasan, mengingat belum banyak dilakukan di Indonesia. Beberapa hal yang menjadi perhatian

penulis adalah, bahwa pelaku kekerasan sendiri merupakan korban dari konstruksi sosial, doktrin budaya patriarkhi yang menganggap bahwa laki-laki adalah tulang punggung utama dan satu-satunya di rumah tangga yang dibebani dengan segala tanggung jawab yang memberatkan. Berdasarkan studi awal yang dilakukan peneliti tentang persepsi laki-laki akan kelelakiannya terungkap bahwa sebagian besar responden yang diwawancari dalam Diskusi Kelompok Terarah mengungkapkan bahwa menjadi laki-laki, di satu sisi sangat membanggakan, namun di sisi lain sangat terbebani karena harus menjadi penopang utama dalam kehidupan rumah tangga. Segala tindak-tanduk laki-laki dianggap akan berpengaruh besar terhadap nama baik keluarga. Jika seorang laki-laki tidak dapat menjalankan fungsi dan gambaran yang diharapkan oleh masyarakat tersebut maka ia dianggap gagal sebagai laki-laki. Hal tersebut menyebabkan laki-laki secara tidak sadar seakan-akan merasa berjuang sendiri dan bertanggung jawab penuh dalam menopang kehidupan rumah tangga dan mengkondisikan perempuan sebagai pihak yang hanya mengeksploitasi ataupun tinggal �mengolah� nafkah yang diberikan oleh laki-laki. Kondisi tersebut menyebabkan laki-laki menganggap istri hanyalah sebagai pelengkap dan bukan mitra yang dapat diajak bekerja sama dalam suatu relasi yang setara dan seimbang. Permasalahan yang lain adalah hal-hal yang bersifat psikologis seperti ketidakmampuan untuk bersikap asertif dan membina komunikasi empatik serta ketidakmampuan dalam memahami dinamika psikologis diri sendiri dan pasangan, terkadang menjerumuskan laki-laki pada tindakan tidak terkontrol dan tidak terpuji pada pasangan hidupnya. Hal-hal tersebut terkadang diperparah dengan pola asuh yang salah dan kondisi rumah tangga orang tua yang kurang baik yang pernah dialami oleh pelaku semasa kecil sehingga terkadang berpengaruh ketika ia dewasa. Sosialisasi pelibatan laki-laki dalam rangka memotong rantai KDRT adalah terobosan baru yang perlu dilakukan. Pendekatan secara sistemik dan kelembagaan dari mulai tingkat rumah tangga hingga tingkat pusat perlu dilakukan termasuk pelibatan pemerintah dalam pembuatan hal kebijakan yang mendasari program tersebut. Hal itu dapat dilakukan dengan pembentukan basis-basis pergerakan dengan mengadakan pendekatan serta sosialisasi yang melibatkan para tokoh masyarakat, ketua RT/RW, alim ulama, pemuka adat hingga para kepala rumah tangga. Pembentukan wacana baru bahwa isu KDRT adalah bukan hanya permasalahan perempuan, perlu diperluas sehingga isu tersebut juga merupakan masalah yang harus dicermati oleh kaum laki-laki. Perubahan image bahwa laki-laki adalah satu-satunya figur yang bertanggung jawab dan berkuasa penuh dalam rumah tangga harus diubah menjadi konsep kerja tim, bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama.

m e d i a

No. 32 Edisi Juni 2007

9


Pilar

Laki-laki ini terjebak dalam dilema diantara perannya sebagai suami yang harus bertanggung jawab pada anak istri dengan perannya sebagai anak laki-laki yang harus berbakti pada orangtuanya. Akhirnya dia membuat pilihan meskipun harus mengorbankan salah satu pihak. Alih-alih membuat suatu pilihan yang bijaksana, menjadi laki-laki yang semestinya bertanggung jawab atas pilihan yang diambil sebagai orang yang sudah dewasa masih sulit dilakukannya karena dominasi peran bapak dalam kehidupannya.

A

ku menikah dengan Fa setahun yang lalu. Ketika kami menikah Fa sudah mengandung. Hubungan kami memang sudah seperti suami istri, namun demikian kami masing-masing tahu ini adalah dosa, oleh karena itu ketika Fa dinyatakan hamil oleh dokter, aku ingin menikahi Fa. Dari awal hubungan dengan Fa, orangtuaku tidak setuju tanpa alasan yang jelas. Ayah semakin menentang hubungan kami ketika kuutarakan bahwa aku akan menikahi Fa segera karena Fa telah mengandung. Namun demikian ayah tetap saja tidak menyetujuinya. Ayahku adalah seorang yang keras dan otoriter, apapun yang beliau inginkan harus dipenuhi. Ayah menginginkan aku melanjutkan sekolah ke jenjang S2, kemudian bekerja terlebih dahulu dan mapan secara ekonomi. Mungkin sekitar usia 40 barulah ayah mengizinkan aku untuk menikah. Sedangkan ibu adalah seorang wanita yang tidak pernah membantah suaminya dan selalu patuh. Ibu sangat sabar menghadapi ayah, dan aku sangat menyayanginya. Aku memiliki seorang adik, ia sedang melanjutkan sekolahnya di S2. Sejak kecil aku dan adik adalah anak yang baik, kami tidak pernah membantah apa yang ayah perintahkan. Hari pernikahanku sempat tertunda dikarenakan ayah mengamuk di teras rumah Fa, pagi menjelang pernikahan di gereja. Setelah kejadian pagi kelabu tersebut, Fa menanyakan kepadaku apakah rencana pernikahan ini akan tetap dilangsungkan atau tidak. Kalaupun tidak jadi menikah, Fa tidak berkeberatan dan dia akan mengurus anak kami sendiri. Namun karena aku telah berjanji akan mempertanggungjawabkan apa yang telah kulakukan terhadap Fa maka aku tetap melanjutkan apa yang telah menjadi keputusanku. Akhirnya aku menikah dengan Fa satu bulan kemudian, ketika ayah sedang melanjutkan sekolah ke negara tetangga. Beberapa waktu kemudian ayah pulang dan aku

10

m e d i a

No. 32 Edisi Juni 2007

memberanikan diri memberitahukan pernikahanku kepada ayah. Spontan ayah langsung memarahiku dan menyuruhku meninggalkan istri dan anakku dengan ancaman ayah akan menceraikan ibuku, sedangkan keadaan ibu masih sakit-sakitan. Pilihan ini merupakan pilihan yang dilematis bagiku. Di satu sisi aku sangat mencintai Fa dan Al anakku, tapi di sisi yang lain ibu merupakan seorang sosok wanita yang sangat aku sayangai. Ayah terus mendesak, akhirnya di usia pernikahanku yang baru 3 minggu aku memilih untuk meninggalkan Fa dan anakku. Keputusan ini terpaksa kuambil karena aku sangat takut jika ayah meninggalkan ibu. Aku pamit kepada Fa untuk tinggal di rumah orangtuaku sementara guna menjenguk ibu yang sedang sakit. Beberapa kali Fa menghubungiku menanyakan kabar dan meminta nafkah. Aku memberikannya semampuku, karena ayah menyuruhku untuk berhenti bekerja sehingga aku tidak punya penghasilan. Fa semakin kesulitan menghubungiku karena handphone sebagai alat komunikasi diambil oleh ayah. Untuk beberapa bulan aku masih memberikan sejumlah uang kepada Fa untuk biaya Al, namun setelah itu aku tidak lagi memberinya nafkah dan juga memberinya kabar sampai sekitar setahun ini. Bahkan sampai sekarang aku tidak pernah melihat wajah Al. Aku tahu bahwa aku telah menyakiti Fa dan juga Al. Aku telah menelantarkan mereka. Sampai saat ini aku belum punya keberanian dan tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalah ini. Sampai akhirnya Fa memintaku untuk menceraikannya. Aku sangat sedih, sejujurnya aku masih sangat mencintai Fa dan Al, dan aku sangat menyesali perbuatanku. Sebenarnya aku ingin bisa menjadi suami yang baik dan juga seorang ayah yang bertanggungjawab. (seperti yang dituturkan pada Ina)


Selasar MEN'S PROGRAM UNIT: MERETAS LAYANAN UNTUK LAKI-LAKI PELAKU KEKERASAN

S

ejak lama Rifka Annisa memiliki perhatian bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan bersama perempuan dan laki-laki. Artinya upaya menghentikannya mengharuskan keterlibatan perempuan dan laki-laki secara bersamasama. Perhatian ini kemudian diwujudkan dalam bentuk melibatkan laki-laki dalam proses penyadaran masyarakat atau kampanye tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Keterlibatan laki-laki menjadi kian penting ketika Rifka Annisa menemukan fakta bahwa banyak perempuan korban kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga yang kembali kepada pasangan atau suami dan tidak ada intervensi apapun untuk suami. Sehingga dapat dipastikan bahwa banyak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga tetap hidup dalam lingkaran kekerasan. Menurut data base Rifka Annisa, angka perempuan yang mengambil langkah litigasi atau upaya hukum atau memilih perceraian tidak labih dari 10 persen. Artinya 90 persen perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga kembali kepada pasangan. Berdasarkan temuan di atas maka keterlibatan laki-laki tidak hanya penting dalam kerangka kampanye akan tetapi keterlibatan laki-laki juga penting dalam kontek perubahan perilaku. Atas dasar itu Rifka Annisa sejak tahun 2007 secara kelembagaan memutuskan untuk mengembangkan layanan bagi laki-laki pelaku kekerasan. Layanan ini dikenal dengan Men's Program Unit. Soft Opening layanan untuk laki-laki pelaku kekerasan ini dilakukan sejak awal tahun 2007 dan rencananya pada ulang tahun Rifka Annisa yang ke 14 layanan ini akan dibuka kepada publik. Sejak dibukanya layanan untuk laki-laki pelaku kekerasan ini sampai pada bulan ke 6 (Juni) tahun 2007 Rifka Annisa telah melayani 6 klien laki-laki pelaku kekerasan. Sebagian besar lakilaki yang mengakses layanan ini karena permintaan isteri atau pasangan. Seajuh ini belum ada laki-laki yang secara sadar atau atas kehendak sendiri untuk mengakses layanan ini. Kemungkinan hal ini terjadi karena belum ada sosialisasi secara resmi dari Rifka Annisa akan layanan ini. Bentuk Layanan Men's Program Unit

L

ayanan untuk laki-laki pelaku kekerasan didasarkan pada pemahaman bahwa kekerasan adalah perilaku yang dipelajari artinya laki-laki melakukan kekerasan karena adanya proses-proses belajar baik di keluarga maupun di masyarakat. Oleh karena itu Men's Program Unit dimaksudkan untuk melakukan re-edukasi atau

pembelajaran kembali kepada laki-laki akan perilaku nonkekerasan. Ada beberapa media pembelajaran yang disediakan oleh Men's program Unit untuk laki-laki pelaku kekerasan di antaranya adalah Konseling. Konseling ini dilakukan dengan cara face to face counseling atau konsultasi tatap muka, via telepon, atau via e-mail. Selain konseling, Men's Program Unit juga menyediakan layanan Support Group atau terapi kelompok, sebuah terapi yang diikuti beberapa klien melalui diskusi dan kegiatan terstruktur untuk membantu klien dalam melakukan transformasi diri yakni dari perilaku kekerasan kepada perilaku non-kekerasan. Selain menyelenggarakan programprogram terapi baik melalui konseling maupun terapi kelompok. Men's Program Unit juga melakukan programprogram pendukung lainnya seperti kampanye, palatihan dan pengorganisasian kelompok laki-laki serta sosialisasi issu melalui siaran radio Ista Kalisa FM Yogyakarta dengan rubrik Gentlemen Hotline setiap hari Kamis pukul 19.00-20.00 WIB. Men's Program Unit ini merupakan langkah awal untuk membangun sebuah layanan untuk laki-laki pelaku kekerasan sekaligus sebagai langkah awal melakukan intervensi menyeluruh (holistik) untuk isu kekerasan terhadap perempuan, lebih khusus kekerasan dalam rumah tangga. (Ama)

Gazebo


Kilas Peringatan Hari Perempuan Internasional Hari Perempuan Internasional dirayakan pada tanggal 8 Maret setiap tahun. Ini adalah sebuah hari besar yang dirayakan di seluruh dunia untuk memperingati keberhasilan kaum perempuan di bidang ekonomi, politik dan sosial. Rifka Annisa didukung oleh UNIFEM mengadakan serangkaian kegiatan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional, yang diadakan pada tanggal 9 Maret 2007. Acara tersebut diadakan di Monumen Perjuangan Jogjakarta. Rangkaian kegiatannya antara lain orasi budaya oleh Ketua DPRD Jogjakarta Bapak Arif Nurhartanto dan Ibu Wakil Wali Kota Jogjakarta Ibu Anna Hariyadisulty. Peringatan Hari Perempuan Internasional tersebut juga dimeriahkan dengan pementasan teater oleh kelompok Front Mahasiswa Nasional (FMN), serta pentas musik dari Kelompok Karangtaruna Gondomanan, Spoor, Kelompok musik dari Kelurahan Gedongtengen dan dari Kelompok Samin. (Tami) Belajar Bersama Banyaknya masyarakat yang datang ke Rifka Annisa dan ingin tahu tentang pendampingan perempuan korban kekerasan, baik itu mahasiswa maupun masyarakat umum. Untuk kesekian kalinya Rifka Annisa membuka ruang belajar bagi personal yang ingin mengetahui tentang pendampingan Gender Base Violence. Kegiatan belajar bersama periode ini diadakan tanggal 27-29 Maret 2007 di Rifka Annisa dan diikuti oleh 18 orang peserta. Pada hari pertama teman-teman mendiskusikan banyak hal tentang gender dan kekerasan terhadap perempuan. Hari kedua teman-teman menerima materi tentang pendampingan psikologi bagi perempuan korban. Dalam sessi ini mereka diberi pelatihan bagaimana melakukan pendampingan atau konseling awal bagi perempuan korban yang ada disekitarnya. Hari terakhir diberikan materi tentang pendampingan hukum / prosedur litigasi agar peserta mampu melakukan pendampingan jika korban ingin melaporkan atau menyelesaikan kasusnya secara hukum. Terakhir adalah materi tentang pengorganisasian. Materi ini diberikan, agar teman-teman tidak hanya melakukan pendampingan ini sendiri, tetapi dapat bersama-sama melakukan dengan komunitas disekitarnya dan mengorganisir mereka untuk membentuk suatu kelompok. (Lenni)

Workshop Penyusunan Modul Pelatihan Community Organizer Dan Konselor Untuk Kelompok Laki-Laki Kekerasan yang dilakukan laki-laki adalah kontruksi sosial. Sebagaimana gender itu sendiri yang punya konteks social budaya. Maka ketika kekerasan itu adalah sesuatu yang dipelajari, bisa dilakukan pembelajaran kembali atau re-edukasi. Salah satu upaya tersebut adalah melalui pengorganisasian masyarakat dan konseling. Melalui cara ini diharapkan akan lebih banyak laki-laki yang memahami kekerasan sebagai bagian yang harus dihapuskan. Berkaitan dengan hal ini, Rifka Annisa Media, Research and Training Center mengadakan workshop penyusunan modul pelatihan konseling untuk konselor laki-laki pada tanggal 10-11 April 2007, serta penyusunan modul untuk para community organizer pada tanggal 9-10 Mei 2007 di Aula Rifka Annisa. Kedua acara ini dihadiri sekitar 10 orang dari internal Rifka Annisa dan undangan dari luar seperti Mustag Firin dari F. Psikologi UGM, PKBI dan Forum LSM. Workshop ini menghasilkan 2 modul sebagai acuan bagi pelatihan konseling untuk laki-laki dan untuk para community organizer. (Rofi)

Peringatan Hari Kartini Banyak cara dalam mengapresiasikan peringatan Hari Kartini. Rifka Annisa sebagai salah satu organisasi perempuan di Jogjakarta, juga ingin mengajak masyarakat untuk mengigat kembali spirit Kartini. Di kawasan UGM, pada hari Minggu pagi tanggal 22 April 2007, Rifka Annisa mengajak masyarakat Jogja bersama menyaksikan teatrikal dari anak-anak perempuan jalanan, sebagai bentuk refleksi untuk melihat kembali situasi Kartini yang saat itu masih terkungkung dengan situasi perempuan pada saat sekarang yang masih serba sulit berperan dimanapun karena masih banyak perempuan yang belum tercerahkan, termasuk juga dibidang pendidikan. Kartini memperjuangkan agar dunia pendidikan terbuka luas bagi kaum perempuan supaya perempuan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dan bisa berbuat dalam banyak hal di masyarakatnya Rangkaian peringatan Hari Kartini dilanjutkan dengan diskusi dan pemutaran Film Kartini di Cokrodiningratan dan di Pandak, Bantul. Diskusi tentang Kartini menjadi sangat menarik disaat ibu-ibu di kampung tersebut menyaksikan bahwa ternyata Kartini sebagai perempuan Jawa, dengan segala kemampuan dan keterbatasan mencoba melakukan sesuatu untuk dirinya dan orang-orang terutama perempuan disekelilingya, sehingga mereka dapat tercerahkan. Semoga semangat Kartini tetap menjadi inspirasi bagi para perempuan Indonesia saat ini untuk terus maju. (Lenni)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.