i
ii
Aku Bukan Odiseus dan Dia Bukan Penelope
i
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002, Tentang Hak Cipta PASAL 2 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku PASAL 27 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat satu (1) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000.00 (Satu Juta Rupiah), atau paling lama tujuh (7) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.00 (Lima Miliar Rupiah) 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima (5) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000.00 (Lima Ratus Juta Rupiah)
ii
Dantje S Moeis
Aku Bukan Odiseus dan Dia Bukan Penelope
Kumpulan Cerita Pendek
iii
Aku Bukan Odiseus dan Dia Bukan Penelope (Kumpulan Cerita-Pendek) Dantje S Moeis
Cover dan ilustrasi Cerita-Pendek: Dantje S Moeis Tata Letak: Rudi Yulisman
Hak cipta dilindungi undang-undang. Diperbolehkan mengutip sebagian tetapi dilarang mengutip keseluruhan atau memperbanyak isi tanpa izin penerbit dan penulis.
iv
Pengantar DANTJE S Moeis lahir di Rengat (Inhu, Riau) 12 April 1952. Selama tiga periode menjadi pengelola Komite Seni Rupa, Dewan Kesenian Riau. Sebagai perupa ia berpengalaman mengikuti banyak sekali pameran seni rupa baik di Pekanbaru, Medan, Batam dan kota-kota lainnya di Sumatera dan di luar Sumatera antara lain, Jakarta, Jogjakarta, Makasar, Balikpapan. Di bidang seni rupa yang menjadi induk kegiatan sebagai seniman, Dantje S Moeis menjadi pelopor penciptaan instalasi di Riau, bersama pelukis temannya Nasrun Thaher. Mereka juga menyelenggarakan secara sendiri beberapa kegiatan melukis yang ditaja oleh lembaga-lembaga di luar negeri terutama dari Jepang. Bersama Armawi KH, Dantje S Moeis pernah pula menyelenggarakan penerbit yaitu Pucuk Rebung yang bermarkas di Taman Budaya Riau. Selain itu, Dantje juga sering mengerjakan penataan kulit buku-buku terbitan beberapa penerbit di Pekanbaru. Inovasi yang dilakukan Dantje S Moeis sebagai seniman ialah dengan melaksanakan kegiatan melintas batas kesenian dan menghidupkan kembali bakat lamanya sebagai penulis. Lintas-batas yang dilakukan berupa menciptakan cerita-cerita pendek yang memperlihatkan bahwa ia sudah jauh dari berpengalaman di bidang ini. Hal ini dikarenakan Dantje berpengalaman menjadi ilustrator dan penata kulit beberapa media sastra dan budaya seperti Menyimak, Suara dan Sagang. Dari pengalaman menjadi
v
ilustrator pelukis Dantje S Moeis membuat simpulan yang dapat digolongkan semacam poetika yang mengatakan bahwa jika cerita yang akan dibuatnya itu bagus, maka ilustrasinya pun terangsang untuk menjadi bagus. Selama ini Dantje S Moeis memperlihatkan bahwa ia menghasilkan lukisan-lukisan yang prolifik: dan bermutu. Bakatnya di bidang seni lainnya tak diabaikannya dan hal itu dibuktikannya dengan karya-karya tulis kreatif yang tersebar di berbagai media massa dan pada buku-buku antologi cerpen serta buku kumpulan cerpennya bertajuk Semah Japura Laut dan buku ini, Aku Bukan Odiseus dan Dia Bukan Penelope. ***
vi
Daftar Isi
Surat Pendek Buat Sultan .................................................. 1 Vas Bunga ............................................................................ 9 Ya…. Bebas Murni ........................................................... 15 Aku Bukan Odiseus dan Dia Bukan Penelope ............. 21 Di-Manjamalam ............................................................... 29 Dia di Luan Sampan ....................................................... 35 Dolah pencerita ................................................................ 41 Kementut ........................................................................... 51 Ketitiran ............................................................................. 61 Mati yang Indah................................................................ 67 “MELOPO” (Leha Perempuan Inderagiri) ................... 75 Memilih Saat Mati (Yang Salah) ..................................... 85 Ndu Amat .......................................................................... 91 Pengantin Bunian ...........................................................101 Pisahkepala ......................................................................111 Sio Sio Ngangkang..........................................................121 Baju Sultan kita ...............................................................133 Tujuh Belas Agustus di Tidur Siang .............................143 Umur Panjang .................................................................151 Dipanjat Sepi ...................................................................155 “Melabuh Kesumat” .......................................................161
vii
Ilustrasi cerpen dipanjat Sepi
viii
SURAT PENDEK BUAT SULTAN
SiBurik kembali terbang dan kini bertengger di dahan pohon jambu belakang rumah. Sudah hampir setengah jam Pak long Amat mengejar ngejar ayam yang seekor ini. Sudah habis pula secanting beras untuk pengumpan agar siBurik ayam liar ini bisa sedikit jinak dan dapat ditangkap. SiBurik seakan tahu apabila ia tertangkap, maka akan tamat riwayatnya. Ia akan menjadi santapan yang akan dihidangkan di meja makan restauran Mak Siti, sebuah restauran yang terkenal dengan kelezatan ayam gorengnya. Ia seakan tak perduli dengan kesulitan ekonomi yang sedang melanda Pak long Amat. Orang yang dengan telaten memelihara dan membesarkan, mulai dari sebutir telur sampai menjadi seekor ayam jantan besar dan gagah seperti sekarang ini. “Ayam celaka, mampus dikoyak koyak musang lah hendaknya.� Pak long Amat menyumpah nyumpah, sambil berlalu dan meninggalkan si Burik yang masih tetap bertengger di dahan pohon jambu belakang rumah. Dengan tidak tertangkapnya siBurik, berarti berkuranglah pendapatan untuk biaya masuk kuliah siAtan anak Pak long Amat nomor tiga. Pening dan terus menggerutu, Pak long Amat
1
melangkah masuk rumah. “Apalagi yang harus kujual, untuk mencukupi biaya masuk kuliah siAtan. Pening, sungguh pening aku dibuatnya.� Pak long Amat terus menggerutu dan menghenyakkan pantatnya yang tepos di kursi kayu, sehingga mengeluarkan bunyi berdengkang agak keras. Atan atau nama lengkapnya Joniatan, ada lima bersaudara. Dia nomor tiga dari urutan anak Pak long Amat dengan isterinya Zaenab. Jonnordin abangnya tertua, sudah lima tahun ini menyandang gelar sarjana, Doktorandus sospol. Gagah, memang gagah, tapi sayangnya sampai saat ini masih menganggur, walau sesekali ia bantu juga Pak long Amat yang berprofesi sebagai tukang bangunan untuk jadi assisten bahagian aduk semen. Sebenarnya dia sadar, sesadar sadarnya bahwa untuk pekerjaan seperti ini, tidak dituntut pendidikan khusus, apalagi pendidikan dan gelar seperti yang disandangnya saat ini. Tapi apa boleh buat dari pada tidak sama sekali. Dengan segala ketabahan hati, ia lakukan juga pekerjan yang sebenarnya bukan porsi dia. Atan sering berkomentar mengenai abangnya. “Pantas saja bang Nordin terus terusan menganggur, habis dia tak pandai bergaul. Tidak pernah aktif di organisasi organisasi di dalam ataupun di luar kampus. Tidak pernah berupaya mencari sangkutan atau kata lainnya koneksi. Kerjanya sedari dulu cuma belajar dan terus belajar jadi kutu kampus. Nilainya memang bagus, hampir hampir dia meraih prediket cumlaude. Tapi, ya itu tadi, setelah lulus bang Nordin sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai.� Komentar ini selalu Atan sampaikan kepada ayahnya,
2
karena Pak long Amat tak ingin kejadian yang menimpa Nordin terulang kepada Atan, di samping kondisi keuangan yang semakin sulit dan beban tanggung jawab yang dipikul Pak long Amat ia rasakan semakin berat. “ Cukup sampai SMA saja, setelah itu cobalah mencari pekerjaan, ikut tes masuk polisi atau tentara umpamanya. Karena phisik kau aku lihat memenuhi syarat untuk itu.� Namun Atan tetap pada pendiriannya. Ia menginginkan terus kuliah dan apa boleh buat, akhirnya Pak long Amat terpaksa mengalah. Dengan sesekali dibantu Nordin, Pak long Amat dengan segala daya upaya berusaha mencarikan biaya kuliah Atan dan sekolah adik adiknya. Siang itu, dua tahun yang lalu semenjak Atan diwisuda. Doktorandus juga gelarnya. Doktorandus ekonomi. Awalnya harapan demi harapan berlomba ingin mendapat tempat di ruang khayal Atan. Tajam paku sol sepatu yang menghujam hujam telapak kaki tak berkaus, hampir tak dapat dirasakan Atan. Ia yakin, hakkulyakin seyakin yakinnya bahwa dia tak akan bernasib seperti Nordin abangnya. Dia akan memanfaatkan keakrabannya selama ini dengan pak Drs. Dahsyat Bakhil MBA yang ketua organisasi Pemuda Cendekiawan Cerdas dan Tangkas ( PEMDEKDAS dan KAS). Begitu juga ia coba memasang “lukah� di tempat tempat lain, seperti mendekatkan diri ke Ibu Polandry Ningsih, kepala bahagian air di kantor kota. Ibu ini adalah pakar dibidang air, mulai dari air yang bersih sampai ke air kotor. Dari air yang keluar dari tanah sampai ke air yang keluar
3
dari tubuh. Selama ini Atan selalu membantu ibu ini dalam menjalankan tugas baik dinas maupun non dinas. Tugas non dinas yang pernah dia kerjakan antara lain seperti, mencuci piring dirumah bu Polandry Ningsih. Mengantarkan si Western, anjing greyhound kesayangan suami bu Polandry Ningsih untuk terberak di tempat pembuangan sampah dan lain lain pekerjaan yang ia yakin imbalannya akan ia dapatkan di kemudian hari. Atan juga akrab dengan pak Drs. Krupusi, seorang direktur utama dari bank pemerintah. Cuma sayangnya sebelum Atan tamat kuliah, pak Drs. Krupusi ditamatkan baginda Raja masa kerjanya. Ia ketahuan berkolusi bersama beberapa menteri, melakukan korupsi menghembat duit kerajaan. Sayang betul memang, tapi tak mengapa, masih banyak yang lain. Memang sangat banyak gantungan gantungan yang ia buat selama ini untuk mewujudkan mimpi mimpi. Tahun pertama mencari kerja. Dengan gagah perkasanya Atan menghadap kepada semua bapak bapak dan ibu ibu yang pernah diakrabinya. Dalam perjalanan khayal, terasa seperti lompatan lompatan beribu anak gamak menyeruak, mencatuk catuk relung dadanya dan menimbulkan rasa tergeli geli sedap. Ah‌‌..indahnya. Ia akan suruh ayahnya berhenti menukang. Ia akan buatkan beliau rumah yang indah, rumah yang ada tamannya, lengkap dengan air mancur yang menari nari di hembus angin sejuk semilir. Setiap pagi emaknya dapat memetik bunga yang tertata rapi tumbuh di taman sekitar
4
rumah. Mengisi jambangan kristal di setiap sudut ruangan, membaca majalah wanita dan koran terbitan pusat, untuk penambah kadar intelektual dan wawasan. Sayang……….. Semua khayalnya pupus karana kata kata senada dari bapak bapak dan ibu ibu yang pernah dibantu dan diakrabinya. “Sabarlah Tan, untuk tahun ini penerimaan pegawai baru di kantor ini sangat terbatas. Prioritas pertama hanya untuk orang dalam saja. Cobalah tahun depan.” Tahun kedua, Atan coba lagi mencucuk menyorongkan diri melamar kerja. Walau tak segagah dulu, ia menghadap juga kepada bapak bapak dan ibu ibu koneksinya. Pertama tama dia temui pak Naipotis Sedulur, orang pertama di departemen ladang. Sengaja pak Naipotis Sedulur ia perlakukan sebagai orang pertama yang dihubunginya untuk memberikan jalan di luar jalur mendapatkan pekerjaan. Karena menurutnya, di samping dia sangat akrab sekali dengan putra beliau, Pak Naipotis sedulur adalah orang yang paling tinggi frekwensi permintaan tolongnya kepada Atan dan selalu saja permintaan tolong itu Atan kabulkan. Ironis seandainya permintaan sejenis datangnya dari Emak atau Ayah di rumah, Atan sudah pasti menolak. Bayangkan betapa besar harap yang tertumpu kepada pak Naipotis Sedulur. Tapi apa. Sungguh suatu jawaban yang tidak terduga sama sekali keluar dari mulut pak Naipotis Sedulur. “Sedang anak saya sendiri, si Kajlun temanmu itu tak bisa saya masukkan. Soal masuk memasukkan itu bukan
5
urusan saya, coba sajalah ikut testing resmi dan tak usah macam macam, karena di departemen ini rekruitment pegawai murni melalui prosedural test.” Rasa lompatan lompatan anak ikan gamak yang menyebabkan Atan tergeli geli sedap, ketika memasuki ruang kantor pak Naipotis Sedulur, kontan drop anjlok. Mendadak berganti dengan rasa sakit hati, dendam dan putus asa. Kepada bapak bapak yang lain, begitu juga ibu ibu yang selama ini ia harap dapat dijadikan gantungan, Atan coba menghadap dan berharap. Namun jawaban yang didapat selalu sama. “Kalau kamu tak lulus test ya sudah, cobalah bersabar lain kali dicoba lagi dan jangan putus asa.” Atan mulai putus asa, kerennya frustrasi dan depressi. Dalam perjalanan pulang ia merasa seakan dihempaskan keluar dari gedung gedung megah, gedung kantor tempat ia melamar. Ia merasakan dirinya tak obah anjing kurap, walau pernah berjasa namun tetap harus dijauhi dan dibuang karena menjijikkan. Dalam setiap langkah gontainya yang terdengar tak lain tak bukan hanyalah, “betul kata ayah, betul kata ayah………betul kata ayah……betul kata ayahku…..” Depan makam para pahlawan, Atan seperti tak sanggup lagi melanjutkan langkah untuk pulang. Ia terhenyak duduk di pelataran depan. Matanya gelap, keringat dingin bercucuran. Dalam keadaan demikian, ia merasakan seakan akan batu nisan yang tersusun rapi antri melintas dihadapannya, bergantian menyapa. “Kasihan kau nak. Kami tak menyangka bahwa wujud
6
dari perjuangan kami akan begini jadinya.” Atan tersentak. Bulu kuduknya berdiri. Ia bangkit, berlari dan terus berlari pulang. Pagi itu, Atan diminta tolong oleh tetangganya untuk mengurus sesuatu di departemen ladang. Ia bergegas pergi, karena jelas akan mendapatkan uang lelah dari si tetangga orang yang super sibuk itu. Entah mengapa, Atan tak sengaja bertemu dengan si Kajlun putra pak Naipotis Sedulur yang waktu tesing masuk dulu, sama sama dinyatakan tak lulus. Begitu juga dengan pernyataan ayahnya, bahwa dia sama sekali tidak dapat menolong Kajlun. “Nah anehnya, kenapa si Kajlun saat ini berpakaian dinas departeman ladang?” Didekatinya si Kajlun, “Lun, kau kerja di sini, kan dulu kita sama sama tak lulus testing.” “Ah, kau ini,” kata Kajlun lalu dilanjutkan. “Masak bapakku yang orang pertama di Departemen ini tidak dapat memasukkan aku anaknya untuk bekerja di sini? Mana logikamu? dan kau tahu, anak anak orang dalam sini, mendapat prioritas utama untuk bekerja di sini.” Atan balik kanan gerak, tak jadi mengurus keperluan tetangganya. Dalam benaknya hanya terbaca sebuah kesimpulan, “Rupanya untuk menjadi pegawai, harus punya bapak, paman, mak cik atau saudara dekat yang berpengaruh di instansi terkait. Kalau tidak, sampai mampus, jangan diharap akan dapat bekerja di sana. Tipis harapan, setipis tapak sepatu yang tiap sekejap diasah aspal bolak balik mengantarkan lamaran kerja.”
7
Di rumah, berhari hari Atan terus berpikir dan bertanya dalam hati. “Kok bisa begini?� Atan seperti digerakkan sesuatu. Ia bangkit dan menulis surat buat raja. Ia mengusulkan agar di negeri ini harus ada departemen baru. Dalam proposal yang dibuatnya berhari hari, namanya ia cantumkan sebagai menteri yang membawahi departeman tersebut, tentu dengan tujuan agar bang Nordin, adiknya Talfiah, sepupunya yang banyak masih menganggur mendapat peluang kerja formal dan bergengsi. Atan menunggu jawaban raja, terus menunggu dan menunggu sembari rutin makan obat yang diberikan dokter dari rumah sakit jiwa. Sedang di halaman rumah, terlihat siBurik ayam jantan tua yang kini tak lagi liar, jinak mematuk matuk antah beras yang dibuang di dekat tangga dapur, semakin hari semakin jinak dan mendekat seakan hendak menyerahkan diri. Tapi walau bagaimanapun pengorbanan nyawanya taklah lagi dapat diandalkan.
8
VAS BUNGA Pada awalnya, terlihat hanya vas bunga porselein China itu saja yang bergerak gerak, menghentak hentak berirama. Persis seperti hentakan kaki mengiringi irama musik joget serampang laut. Mulanya aku sama sekali tak perduli, padahal kejadian itu cukup aneh. “Ah, lantaklah. Paling paling bergoyangnya vas itu disebabkan mobil mobil besar pengangkut kayu balak yang melintas di depan. Tanah tapak bangunan rumah ini memang labil.� Vas bunga yang terletak di atas rak majalah Maimun, terus menghentak hentak dan bergerak gerak tak pasal. Tak ada angin, tak ada gempa yang menggoyangnya, tidak juga mobil mobil raksasa pengangkut kayu balak yang melintas di depan. Aku tak mengerti, mengapa aku tidak mencari penyebab yang pasti mengapa vas bunga porselein China itu bergoyang goyang, berjoget joget. Vas bunga itu milik Maimun. Sudah hampir empat hari benda itu kulihat berada di sana, di atas rak majalah. Aku sengaja tidak menanyakan perihal keberadaan vas tersebut. Dari mana Maimun mendapatkannya, di mana dia membeli, aku tak perduli, sama juga dengan ketidak acuhannya kepadaku selama lebih dari seminggu ini. Aku menikahi Maimun tak kurang dari tiga tahun yang lalu. Bukan sesuatu yang baru selama pernikahan kami, Maimun tidak mengacuhkan aku. Terkadang aku
9
juga tak habis mengerti, tiga tahun sebenarnya merupakan suatu masa yang cukup panjang untuk menentukan sikap. Sikap yang sebenarnya harus dimiliki semua suami yang menghadapi perihal rumah tangga seperti aku ini. Tapi, entah mengapa aku tak bisa. Aku terlalu menyayangi Maimun, aku telah mencintainya secara membabi buta, terlalu mengasihinya. Aku melewati perjuangan perjuangan yang cukup berat untuk mendapatkannya dan kuakui memang, tidak molek cara cara yang kupakai saat itu. “Ah, sudahlah. Mudah mudahan ia bisa berubah.� Hentakan yang semakin keras terdengar dari vas bunga porselein China di rak majalah itu, membuyarkan lamunanku tentang perjalanan rumah tangga kami. Mau tak mau terpaksa aku memperhatikan kelakuan vas bunga yang sebenarnya cukup aneh. Tetapi keanehan itu tidak kurasakan. Yang terasa hanya dongkol, benci dan sakit hati melihat vas bunga porselein China tersebut. Semakin kubeliakkan mata melihatnya, semakin menjadi jadi saja kelakuannya. Kali ini bukan vas itu saja yang berjoget joget. Lukisan orang orang sebagai penghias dinding vas itu pun ikut menari nari. Lukisan perempuan muda cantik sedang bermain kecapi, pemuda gagah bermain seruling dan seorang anak lelaki kecil dengan gendangnya ikut meningkah hentakan hentakan vas bunga porselein China yang semakin menggila, semakin memekakkan telinga. Kemana Maimun. Mengapa ia tak merasa terganggu oleh musik yang memekakkan telinga ini. Biasanya, sedikit saja aku mendengarkan musik dari tape recorder
10
yang ada di kamar tidur kami, atau sedang menyalakan tape recorder mobil saat kami berdua dalam perjalanan, selalu saja dia menggerutu dengan komentar komentar yang menyakitkan. Yang berisiklah, lagu kampunganlah, atau paling sedikit dengan gaya seorang nyonya besar, ia memerintahkan aku suaminya untuk mengecilkan volume suara. Sepertinya biasanya, aku menurut dan selalu mengalah. Tetapi kali ini kok aneh, ia tidak bereaksi sama sekali. Begitu juga dengan mak Atun pembantu di rumah tangga kami. Sedari tadi kulihat dia lalu lalang, sibuk mengerjakan pekerjaan rutinnya. Ia selambe saja, seakan tidak peduli dengan musik berisik, menghentak hentak gendang telinga yang berasal dari vas bunga porselein China di atas rak majalah. Vas bunga porselein China semakin menjadi jadi goyang dan hentaknya. Begitu juga dengan gambar gambar orang yang menghiasi vas itu. Kuusap mata seakan tak percaya dengan apa yang kulihat. Dari dinding vas yang berlapis glassir, satu persatu kulihat gambar gambar orang yang menghias dindingnya, berlompatan keluar. Mereka menari nari di atas meja, melompat ke sana sini, ke tumpukan majalah dan yang menjengkelkan, sambil menari, bermain musik, mereka, gambar gambar itu mencibir cibirkan mulutnya kepadaku. Sambil bernyanyi dan bermain musik, mereka mengejekku. Yang paling kurang ajar, perempuan muda sipemetik kecapi, sesekali menyingkapkan rok panjang penutup bahagian bawah tubuhnya dan kemudian melorotkan celana dalam putih berenda sambil menyunggingkan pantatnya yang
11
putih melepak ke hadapanku. “Pukimaknya amoy sundal ‘ni.� Aku menggerutu dalam hati dan dengan gerak refleks kuayunkan tangan untuk menangkapnya. “Hup,� aku menagkap angin. Ternyata mereka sudah kembali berada di dinding vas bunga sebagai lukisan penghias. Aneh dan anehnya, aku tak merasakan keanehan itu. Yang kurasakan hanya kedongkolan, sakit hati dan penasaran. Kuurungkan niatku untuk meraih lalu membanting vas bunga porselein China celaka itu. Aku sadar, perbuatan itu tentu akan berakibat semakin meruncingnya hubungan rumah tangga kami. Maimun isteriku tersayang tentu tidak akan tinggal diam dan tentu akan memperlebar jurang permusuhan di antara kami, yang selama ini memang telah dengan sengaja dibuatnya. Tapi entah mengapa, sedikitpun aku tidak berupaya untuk menghindari pandangan dan tetap menatap vas bunga porselein China di atas rak majalah Maimun. Dengan jarak yang sengaja kujauhkan dari kedekatan pandang seperti tadi, kembali mataku kelotot melihat vas bunga porselein China menari nari, berjoget joget dan satu persatu gambar orang orang penghiasnya kembali berlompatan keluar. Kembali si pemuda gagah memainkan seruling dengan nada melengking tinggi memekakkan telinga, sedang si anak lelaki kecil yang memegang gendang, menabuh gendangnya keras keras seperti sengaja dan dibuat buat untuk menyakitkan hatiku. Sampai pada puncaknya, aku tak kuasa menahan
12
amarah. Hilang kendali lupa segalanya. Ketika si Amoy sundal pemetik kecapi kembali menyunggingkan pantatnya yang berkilat putih melepak, ketika itu pula aku meraih vas bunga porselein China di rak majalah, membantingnya ke lantai, hancur berkeping keping dan kemudian senyap, sesenyap senyapnya. Kesenyapan yang diakhiri oleh sebuah tamparan keras mendarat di mukaku. Aku gelagapan dan semakin gelagapan ketika tamparan demi tamparan susul menyusul diselingi pukulan tinju mendera di pipi, hidung dan dadaku. Setelah mengerdip ngerdipkan mata, aku baru sadar bahwa tamparan dan pukulan tinju itu dilayangkan oleh Maimun yang herannya, saat ini sedang berada di atas tempat tidur kami bersamaku di kamar kami. Puas menampar dan memukul, Maimun meraung keras dan di sela raungannya ia berkata, “Betul betul kau seorang lelaki yang tak punya hati,� terus meraung dan membenamkan kepalanya ke bantal membelakangiku. “Kau, kau selama ini memang bisa menguasai tubuhku. Mungkin untuk selamanya. Tapi kau takkan pernah dapat menguasai perasaanku, perasaan batinku.� Maimun berhenti sejenak, menyeka air mata yang menggelinding dengan tepi daster dan aku manfaatkan situasi ini untuk coba menenangkannya. “Sudahlah sayang, bukankah kau sekarang sudah menjadi isteri abang dan demi tuhan, abang berjanji akan selalu berupaya untuk membahagiakanmu, menyenangkanmu, insyaallah lahir batin. Abang rasa sudah cukup segala sesuatu yang abang buat selama ini untuk
13
membuktikan bahwa abang, betul betul mencintaimu, mengasihimu dan sampai sampai, abang mengorbankan harga diri abang sebagai seorang suami.” “Tidak….” Maimun berteriak keras di sela tangisnya. “Tidak, kau telah menghancurkan mimpi mimpiku, mimpi indahku.” “Mimpimu?” “Ya, mimpi indahku. Mimpi yang menjadi satu satunya kebahagian sejak menjadi isterimu. Kau telah memecahkan vas bunga porselein China pemberian bang Bahtiar empat hari lalu. Sebuah vas bunga yang membangkitkan kenangan kenangan manis semasa menjadi kekasihnya. Perbuatanmu takkan pernah bisa kumaafkan.” Maimun terus dan terus menangis. Sekali ini, entah apa yang membangkitkan kekuatan dalam diriku. Entah apa yang menuntunku untuk berbuat sesuatu. Perbuatan mengemasi beberapa helai pakaian, memasukannya ke dalam kopor serta selambe dan tanpa pamit meninggalkan Maimun yang masih menangis. Aku, selambe menuju ke luar kamar, selambe seperti biasanya, menyelusuri koridor, turun menapaki tangga melewati ruang keluarga, melihat vas bunga porselein China yang masih utuh bertengger di atas rak majalah Maimun. Aku berpaling benci, tak perduli dan terus melangkah ke luar merenangi malam, meninggalkan mimpi buruk, mimpi kami.
14
YA‌. BEBAS MURNI
Sejak pagi tadi. Sejak usai shalat subuh. Sejak naik mobil tahanan dan kemudian meninggalkan rumah tahanan ke pengadilan, hingga kini duduk sebagai terdakwa menunggu putusan majelis hakim. Sejak lama sebenarnya. Sejak tujuh bulan lalu, akhirnya ke jalan berliku jua langkah lurus di sisa-sisa hidup ini kutapaki. Keadaan yang membelokkan tanpa kehendakku, sungguh demi Tuhan, bukan buah dari salah dan silapku. Padahal pertengahan tahun depan aku dipastikan pensiun dari pekerjaan dengan jabatan akhir lumayan tinggi, berpengaruh dan menentukan dalam hampir segala keputusan. Rupanya jabatan tinggi juga menciptakan tantangantantangan yang sebenarnya tak ada dalam pikiranku sebelumnya. Tantangan yang terpikirkan dan lama kupersiapkan adalah kompleksitas beban yang harus kupikul. Di antaranya, meluangkan waktu lebih banyak untuk kepentingan pekerjaan daripada keluarga. Untunglah istri, anak-anak yang sudah dewasa dan terlihat sangat memahami akan beban tanggung jawab jabatan di
15
pemerintahan. Disengaja ataupun tidak, akhir-akhir ini ada sebuah fenomena yang terjadi di negara kita, menerima jabatan penting, sama dengan menjemput masalah yang bermuara pada petaka di diri pribadi. Dan itu sebuah kenyataan yang sekarang kuhadapi. Opini-opini yang dibangun oleh orang-orang yang tidak menyukaiku, orang-orang yang terhenti berkesempatan meraup kekayaan dengan cara yang tak halal dengan keputusan-keputusan dan kebijakan yang kubuat. Demikian gencarnya mereka secara sistematis membangun opini dan itu sangat mempengaruhi pikiran masyarakat yang bermuara pada kenyataan bahwa aku dicap sebagai koruptor besar dan sangat merugikan masyarakat. Terpuruk pada keadaan yang tak pernah kulakukan. Ironis, sebagai sebuah kenyataan dan aku hampir kehilangan kata-kata untuk menyampaikan kebenaran. “Saudara terdakwa.” “Ya..yang mulia pak hakim.” “Apakah saudara cukup paham dan mengerti dengan tuntutan yang dibacakan oleh jaksa penuntut umum pada persidangan yang lalu?” Tersedak dan kerongkongan terasa tersumbat hingga aku kehilangan sama sekali kemampuan berkata-kata. Yang tampak jelas di saat ini, pada saat aku harus mendengarkan pembacaan putusan hakim adalah, gambaran kronologi penangkapan diriku siang itu. Beberapa orang petugas negara berkendaraan dinas, menyalib dan menghentikan mobil yang kukendarai. Setelah memberi salam dan hormat, secara singkat
16
mereka mengatakan bahwa mereka mendapat informasi bahwa aku telah melakukan transaksi ilegal dan meminta izin untuk melakukan penggeledahan awal pada mobil yang kukendarai. “Mohon maaf, berdasarkan laporan yang kami terima, kami terpaksa menggeledah bapak dan sekaligus mobil yang bapak kendarai.” “Silahkan,” aku menjawab enteng karena menurutku tak ada sesuatu perbuatan pelanggaran hukum yang kulakukan. Tak memerlukan waktu yang lama. Hasil dari penggeledahan mereka, ditemukan sebuah koper kecil tak berkunci. Keringat dingin mengucur dan lututku kontan menggeletar saat koper dibuka. Demi tuhan, aku sama sekali tidak mengetahui bahwa di bagasi mobilku ditemukan sebuah koper dan yang membuatku tak habis mengerti adalah, bahwa di dalam koper tersebut sarat dipenuhi dengan lembaran-lembaran uang seratus ribuan beserta secarik kertas bertuliskan, “terima-kasih pak, atas penunjukan bapak kepada kami sebagai pelaksana pekerjaan. Atas kerja sama yang baik dan berkelanjutan, kami ucapkan terima kasih.” Di bawahnya tertera tanda tangan dan nama yang sangat kukenal. “Ya…Tuhan!” Bukankah dia yang berkali-kali mohon kepadaku minta pencairan dana akhir dari pekerjaan yang jauh dari kata selesai. Dan permohonannya sama-sekali tidak bisa kupenuhi hingga terakhir pagi tadi. “Saya harap anda tidak lagi datang ke sini dengan permintaan yang sama. Saya sudah memberikan keringanan
17
dengan mengulur batas waktu penyelesaian dan itu tidak anda manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Saya harap anda keluar dari ruang ini dan bersiap diri menghadapi proses hukum yang akan saya ajukan. Selamat siang.” “Maaf pak.” Aku dikejutkan dan membuyarkan lamunanku saat salah seorang dari petugas menggamit lenganku. “Bapak terpaksa kami bawa kekantor berdasarkan bukti awal, untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, berikut mobil dan semua barang bukti.” “Saudara terdakwa, sekali lagi. Apakah saudara cukup paham dan mengerti dengan tuntutan yang dibacakan oleh jaksa penuntut umum pada persidangan yang lalu?” Aku tetap tak dapat menjawab pertanyaan hakim. Kesadaran dan orientasiku terhadap lingkungan seperti hilang, walau pendengaranku masih tajam seperti biasa. Berkali-kali hakim ketua mengingatkanku untuk menjawab pertanyaannya dan berkali-kali pula ia dengan nada mengancam dengan sangsi memberatkan, bagi aku yang menurutnya mempersulit jalannya persidangan. Tatapan kosong dan tak mampu berkata-kata karena aku sudah sampai pada kesimpulan bahwa kata-kataku tak lagi diperlukan di sini. Yang aku perlukan saat ini adalah uluran tangan Tuhan yang mampu mengeluarkan aku dari kemelut tekanan batin yang kurasa sudah mencapai titik puncak.
18
Menggumam membaca sajak yang pernah kutulis: Betapa dinginnya hari-hari kita Hingga beku di tanah ini terkasih Apalagi ku, kau dan kita Sedangkan anjing-anjing malas menyalak Dan bisu menjaga rumah Seperti ku, kau dan kita Terlalu gemuk memakan sesama Hingga ke tulang-tulang tak bersisa Betapa dinginnya hari-hari terakhir di tanah ini terkasih Karena air mata hangat enggan menetes ke lahat Terbujur jasad dari negeri Berisi ku, kau dan kita Yang tak pernah mau perduli Menghitung tasbih dan berzikir, hanya telinga yang mendengar dan otak tak lagi mau diajak berfikir, sedangkan hakim ketua terus membacakan amar putusan. Pasal demi pasal dibacakan berikut tuntutan demi tuntutan sebagai sangsi yang harus kujalani. Berbuih-buih mulut majelis hakim, berganti-ganti membacakan amar putusan dan aku tersedak, tak lagi mendengar, tak lagi berzikir, tak lagi menggumamkan sajak yang ada hanya gelap sekejap, lalu melayang. Hilang segala tekanan, hilang segala beban sedang
19
majelis hakim terus berganti-ganti membaca amar putusan. Aku tersenyum memandang dari ketinggian langit-langit ruang sidang. Jasadku terduduk kaku di kursi pesakitan ketika para hadirin mengucapkan “Inalillahi waina ilaihi rojiun,” hakim mengetuk palu memberikan keputusan “bebas murni” dan tidak memberlakukan semua amar putusan yang mereka bacakan hingga berbuih-buih. “Ya…. Aku bebas murni berkat tanganmu ya Allah.” ***
20
AKU BUKAN ODISEUS DAN DIA BUKAN PENELOPE
Untuk yang ketiga-kalinya aku kembali menyeduh kopi. Berarti sudah dua gelas besar ukuran mug beer, kopi yang kulicin tandaskan dan berpindah ke perut. Sebetulnya kopi ini bukanlah kopi pilihan yang selalu kuminum sebagai pemuas hasrat, penghangat badan dan pereda kantuk saat bekerja. Namun apa boleh buat, hanya ini yang ada. Kopi bubuk milik Kandar, budak se kampung yang numpang kost di rumah kami, dan Kandar bukanlah penikmat kopi sejati. Bagi dia kopi itu sama saja rasanya. Ketika pernah kucoba mencicipi kopi seduhan Kandar, dapatlah dibuat kesimpulan bahwa kopinya Kandar adalah gula yang dibubuhi sedikit kopi, bukan sebaliknya, kopi yang diberi gula sekadarnya. Akhir akhir ini, setiap aku menyalakan komputer, ingin bekerja dan ingin menekan huruf huruf yang tertera pada keyboard, mengarang cerita dari sekian puluh cerita yang pernah dihasilkan. Perasaan muak, bosan dan benci selalu saja semakin menghimpit. Bahkan perasaan itu terkadang muncul juga pada saat menjelang tidur. Seharusnya dan sudah menjadi keinginan setiap orang, bahwa pada saat peralihan dari sadar ke tidak sadar, ingin selalu diantar oleh kekosongan pikiran, atau oleh bayang-bayang yang
21
menyenangkan dengan harapan, akan terbawa menjadi mimpi yang menjadi musik merdu dan gambaran indah penyerta tidur. Perasaan muak, bosan dan benci pada sebuah nama yang aku sendiri tak mengerti entah apa penyebabnya. Sebuah kebosanan yang beralasan lemah untuk menuju
22
pada sebuah perceraian. Bosan yang sudah seharusnya untuk ditimbangtimbang masak sebelum membuat keputusan. Sangat kecil sekali alasan untuk membuang begitu saja sebuah nama yang sudah bertahun-tahun dekat dan lekat dalam pikiranku. Sebuah nama yang bertahun-tahun kusanjung kupuja dan menjadi rahasia khalayak, bahwa di mana ada aku, di sana ada dia. Bak “Mimi lan Mintuno” atau “Rama dan Shinta” dalam legenda Jawa, atau “Sampek dan Engtay” dalam cerita China, atau juga seperti “Romy and Juli” yang menjadi kekasih abadi sampai ke akhir hayat. Sebuah nama yang telah memberikan segala-galanya dalam perjalanan hidupku, baik kepuasan batin maupun lahir yang sampai saat ini masih kunikmati. Untuk menjadi yang setia dan jujur, tampaknya memang sulit dan perlu pengorbanan yang maha besar. Odiseus dan Penelope pasangan percintaan dari Yunani ini yang sejati memahami makna pengorbanan. Setelah dicabik-cabik, mereka menunggu hari-hari yang panjang yaitu dua puluh tahun untuk bertemu kembali. Perang menyebabkan Odiseus menghilang tak lama setelah pernikahannya dengan Penelope. Meskipun keadaan memberikan hanya sedikit harapan kembalinya sang suami, ia menolak 108 pelamar yang ingin menggantikan suaminya. Begitupun Odiseus sama-sama setia, menolak tawaran seorang penyihir yang cantik dan memang bahwa cinta sejati adalah layak ditunggu. Begitu juga halnya dengan Mintuno yang mengorbankan segalanya untuk selalu lengket dengan Mimi, Rama yang berdarah darah merebut Shinta dari Rahwana dengan bantuan Hanoman
23
dan Jatayu, Sampek yang mati sekubur dengan Engtay dan konon melanjutkan kebahagian mereka di Nirwana sana, begitu juga dengan Romy dan Juli yang rela mati bersama demi cinta. “Mengapa aku tak bisa jadi mereka?” Tak mampu menjadi Horase tokoh fiksi dalam cerita pendek yang berulang kali kubaca, yang dengan cinta kasih tulus tak terhingga, rela melawan jijik dan busuk kudis tubuh Lisbeth, “kekasih batinnya” yang terseok-seok telanjang bulat, berjalan di pelataran gerbang “Bandar Serai,” lalu membersihkan, membawanya pulang dan merawatnya. Walau kebusukan dan kekotoran Lisbeth tersebab oleh pilihan sendiri, menggauli dan digauli para sembarang lelaki yang kini menghindar jauh dan semakin jauh, karena tak sudi menghidu bau busuk di tubuh malang Lisbeth dan mungkin, boleh saja terjadi ada satu atau dua diantara mereka yang lebih gila dari orang gila betulan, karena ingin gratis dan “alih-alih rasa”, tetap saja menggauli Lisbeth si busuk kotor. Pendapat ini bukan tak beralasan, karena pada kenyataannya sangat banyak perempuan kotor, busuk bahkan gila betulan yang bunting berulang kali namun tak berlaki dan yang jelas para lelaki yang lebih gila itu, tentulah bukan Horase si pecinta abadi. Horase adalah Horase dan Horase bukanlah aku, yang kini sama sekali tak dapat menggerakkan jari jemari menekan tuts huruf dan angka pada keyboard komputer. Mataku yang semakin nanar menatap layar komputer dengan baris kalimat yang mengalami macet, terhenti bagai antrian panjang kemacetan jalan raya selama
24
berminggu minggu. Tangan dengan jemari kokoh, meremas remas mouse yang terletak di samping keyboard tak dapat menghasilkan apa apa, kecuali kelelahan batin yang bermuara pada ngilunya sendi sendi pergelangan dan denyut kepala yang semakin menjadi, menahan kebencian tak wajar pada sebuah nama. Selintas terpikir juga akan alasan yang dipaksakan, untuk dapat meyakinkan bahwa bisa saja aku menghapus namanya dengan rasa ego yang tinggi dan tak berbelas kasih. Karena bukankah aku adalah satu- satunya penentu yang boleh atau tidak boleh memasukkan namanya dalam pikiran dan relung hati ini! Bukankah aku, orang satusatunya yang sangat berjasa dan menjadikan ia sebagai primadona di mata masyarakat. Menjadikan ia panutan para perempuan, para gadis belia dan ibu-ibu, yang memberikan kesempatan padanya untuk melanglang buana ke manca negara, yang membuat banyak lelaki merasa iri karena keberhasilanku membuat sebuah nama jadi perempuan cantik, pintar yang setia sekaligus berprediket, “Perempuan Perkasa.� Namun segala pikiran dan alasan seperti yang kurasakan, masih belum kuat untuk menghapus begitu saja, sebuah nama yang terlalu besar dan tentu akan menimbulkan berbagai pikiran tak baik yang ditujukan padaku, dari berjuta khalayak penyanjung dan pecintanya. Dentang lonceng dari gardu ronda yang dipukul para penjaga malam terdengar empat kali. Kini hanya tinggal empat jam, waktu yang diberikan untuk sampai pada keputusan akan perceraianku dengan sebuah nama, atau melanjutkan hubungan kami dan
25
menetapkan ia sebagai bahagian abadi dari kehidupan yang telah kulalui lebih dari separoh jalan. Kegugupan yang timbul akibat janji yang kubuat dan kebencian beralasan bosan dari sosok yang kujadikan sempurna lengkap dengan kecantikan, kepintaran dan kesetiaannya. Kecamuk pikiran yang mengalirkan kucuran deras peluh dingin pada subuh menjelang azan, membuat aku seakan semakin berada pada ruang gelap tak berpelita. Dengan sepitan ibu-jari dan telunjuk, kuraih lempengan metal penarik “kancing lipan” di dada dari jacket penahan dingin subuh yang kukenakan. Tiba pada tarikan menjelang akhir, tepatnya pada pangkal leher aku mendengar suara gaduh dari televisi yang memang sengaja tidak kumatikan. Aku berpaling dan mengarahkan pandang ke kaca televisi. Ketertarikan pada adegan yang tergambar, membuat aku semakin memelototkan mata. “Kau, kau Shakila. Sungguh tega kau menghianati aku. Kau bunuh bara cinta yang semakin marak di hatiku.” Terlihat cengeng dan sangat verbal kalimat pada adegan itu, namun begitulah film drama versi India yang sangat digemari berbagai kalangan terutama para nyonya yang pengangguran, pelahap duit laki dan banyak kehendak. “Eh…ahch…” hanya itu yang keluar dari mulut Shakila, entah bahasa apa yang ia gunakan merespon kesal dan marah Prakash suaminya yang memergoki ia dan seorang pemuda tegap gagah sedang bergumul panas di ranjang kamar mereka, kamar Prakash dan Shakila. “Ini dia, aku temukan. Eureka! Eureka!” Spontan aku berteriak girang, mematikan televisi dan mengalihkan pandang berkonsentrasi penuh pada tuts keyboard yang
26
dimainkan oleh jari jemariku sedemikian lancar tanpa hambatan. Sebuah ending dengan keputusan yang menentukan bahwa sebuah nama harus hapus dari ingatan ini. Prakash, Shakila dan pemuda itu, telah menolongku dan memberikan inspirasi dan jalan yang cukup beralasan untuk menceraikan Vony, sebuah nama yang membuat aku kini merasa muak dan bosan ketika jari-jari ini menuliskan namanya.. Dingin yang tadi mencekam, sekarang berubah hangat menyegarkan. Aku tak lagi menggunakan jacket. Tak lagi setiap saat menuangkan air panas ke gelas yang berisi bubuk kopi dan gula untuk penyegar dan penghangat tubuh. Kalimat demi kalimat mengalir lancar dari pikiran kreatif, yang dicurahkan pada cerita roman- bersambung yang rutin dimuat di sebuah koran. Vony hanya melengos, pada ending episode cerita yang kubuat, ketika ia kupergoki dengan mata terkebil-kebil sedap, merasakan nikmat kejantanan dari perzinahannya dengan Desmond anak angkat, yang kami pelihara sejak Sekolah Menengah Pertama hingga kini kuliah di Perguruan Tinggi tingkat pertama. Tak ada kalimat lain yang dapat kuucapkan selain kata yang telah lama terpikirkan dan melompat lancar dari mulutku. “Kalian berdua memang binatang! Mulai detik ini nama kau Vony, kuhapus dari pikiranku! Subuh ini kita resmi bercerai dan kau Desmond, inilah langkah awal dan akhir aku menyebut namamu dalam setiap pikiran kreatifku.� Seperti juga dengan Shakila, Vony sedikitpun tidak
27
menggubris dan menganggap kalimat yang kuucapkan hanya sebagai angin lalu. Aku berbalik meninggalkan mereka dengan senyum kemenangan dan rasa bebas, tanpa tekanan siap membuang nama Vony pada karya-karyaku selanjutnya. Karya ceritabersambung episode mendatang. “Selamat tinggal Vony!� dan episode cerita bersambung nomor ini usai menjelang subuh, kucopy ke flash disc dan kukirim via e-mail ke redaksi sesuai dengan janji tepat pada pukul delapan nanti ***
28
DI-MANJAMALAM Lamat lamat terdengar suara azan maghrib yang berasal dari langgar di ujung jalan sana. Perlahan malam kembali meraihnya, seperti biasa merangkul dan memeluk hingga ia larut dalam lelap buai yang dirasakannya indah dari malam malam lalu dan kembali terulang hingga kini. Wardi membetulkan dasi kupu-kupu melingkar di leher kemeja putihnya yang berenda, menyemprotkan cukup banyak minyak wangi lalu mengenakan jas resmi pada acara acara pesta dansa. Sebetulnya malam ini ia agak enggan keluar. Ada peristiwa yang cukup mengganggu pikirannya. Hari ini hanya selang beberapa jam, duakali ia melihat sosok Nurul anak tunggalnya yang terlihat sudah menjadi gadis kecil,menggunakan mukena, menatapnya dalam dalam dan lalu raib menghilang begitu saja. Namun menurutnya, hanya malam yang tampaknya dapat melupakan dia pada kepahitan hidup yang dulu mendera dan bayangan Nurul beberapa saat tadi. Hanya malam yang dapat melupakan ia pada Mila bininya di kampung Sekip. Yang dapat melupakan ia pada tangis Nurul bayi kecilnya kala itu yang lapar minta diberi susu, sedang Mila tak lagi dapat menetekinya, karena memang puting susu yang melekat di buah dadanya tak lagi mampu menyemprotkan air pemberi nutrisi dan
29
energi, sedang Wardi juga tak mampu membeli susu kaleng sebagai pengganti. Tak ada cara lain setelah serutan serutan pisang kapas yang dijejal paksakan ke moncong mungil tak juga mampu menenangkan tangis pemiliknya. Wardi sebagai ayah, hanya bisa menutup dan berupaya memekak mekakan telinga hingga pekik tangis si kecil darah dagingnya berhenti karena kelelahan. Dan hanya malamlah tampaknya yang dapat memberikan sesuatu, sehingga ia dapat mengikuti cengkok dan rentak irama kehidupan metropolitan. Dan….. terus terang, hanya malamlah yang dapat memberikan penghasilan baginya sehingga ia tetap memiliki predikat sebagai ayah dan suami yang dapat menafkahi keluarganya, walau pekerjaan ini tak lazim dilakukan seorang moralis. “Dicky, peluklah aku erat erat. Aku ingin malam ini hanya milik kita.” Laura merengek dan tak henti mendesah bak kuda betina ketiban berahi di musim kawin saat mereka berpelukan erat, berdansa di ball room hotel Le Meridien dengan iringan musik blues bersama lengkingan lirih suara Janis Joplin. Sedangkan Wardi yang malam ini berganti nama menjadi Dicky berupaya keras menahan mual. Mual sedari tadi mencium bau parfum, berbancuh minyak gosok yang ia balurkan ketubuh Laura, seperti permintaannya sebelum pergumulan mereka di ronde pertama tadi. “Rasanya badanku sekarang agak mendingan, meriang dan perih sariawan yang mendera agaknya mulai hilang. Kau memang tabib yang piawai bagiku.” “Oh ya, syukurlah.”
30
“He….kok cuma itu kalimat yang dapat kau ucapkan. Apakah kau sudah kehabisan kata kata atau ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu? Sedari tadi selain anggukan dan gelengan kepala, yang keluar dari mulutmu cuma, oh ya, heeh, hem, cuma itu.” Laura tak puas dengan kalimat kalimat pendek yang terkesan hanya sekedar menimpali pembicaraannya. “Ehem, betul tebakanmu Laura.” Walau jarak perbedaan umur mereka terentang cukup jauh. Namun sesuai dengan permintaan Laura ia tak mau dipanggil dengan panggilan Tante, atau Bu-lik apalagi Mak-cik. “Hal itu bisa mengurangi kemesraan hubungan kita, panggil nama sajalah.” Begitu katanya. Laura wanita hampir baya, dengan usia mendekati lima puluh yang tumbuh dan besar di kalangan keraton, dengan ikatan ikatan tradisi perawatan tubuh terbuhul ketat dalam dirinya, berbaur dengan kehidupan modern yang menuntut agar dapat tampil prima setiap saat. Mulai dari luluran, mandi rempah, mandi susu dan lain sebagainya sampai ke mandi lumpur ia lakukan. Rutin minum jamu, mulai dari sari rapet, sari singset, sari kenceng dan lain sebagainya sampai ke jamu sedap malam. Juga ke fitness centre dan body language ia terdaftar sebagai member aktif. Untuk bidang ini, Laura patut diacungi jempol namun untuk hal lain, entah predikat apa yang layak diberikan kepadanya. Raden Pakubumi sebagai suami resmi Laura, baik menurut agama, menurut adat maupun menurut undang undang pemerintahan yang masih berlaku, otomatis tak ada yang boleh membantah bahwa hanya Raden Pakubumi lah
31
yang berhak untuk berhubungan badan dengan Laura, bukan Wardi juga bukan dengan orang lain seperti yang ia lakukan jauh hari sebelum mengenal Wardi alias Dicky. Laura, terlebih lagi akhir akhir ini, semenjak Raden Pakubumi hanya dapat berperan sebagai mesin pencetak duit, kebinalannya semakin menjadi jadi. Keborosannya dalam membelanjakan duit dan memberikan upah penikmat bagi pejantan muda gagah dan tangguh seperti Wardi, semakin tanpa perhitungan. Mungkin tak terpikirkan olehnya, bahwa pria pria muda yang ia fungsikan sebagai juru nikmat itu, lebih pantas berpasangan dengan Retno anak gadis satu satunya dari perkawinan mereka. Mungkin juga tak terlintas di pikirannya, bahwa Wardi alias Dicky lebih muda beberapa tahun dari Daryo anak lelakinya yang kini hidup menggelandang karena malu memiliki ibu yang tak bermoral. Sedangkan Raden Pakubumi terlihat hanya nrimo, pasrah pada keadaan. Malam semakin larut dan memanja. Malam semakin erat memagut mereka. Ronde demi ronde mereka lalui dan berpindah pindah dari satu arena ke arena lain, yang melahirkan satu kemesuman ke kemesuman kemesuman berikutnya. Laura terus memacu diri mengejar kepuasan yang sepertinya tak pernah dapat ia raih, sedangkan Wardi alias Dicky hanya memberikan reaksi semu dan cenderung seperti buruh pekerja borongan yang melaksanakan tugas dengan harapan mendapat upah lebih besar. Sembari terus mendayung perahu menghantar Laura ke muara puas, bercucur peluh dan dengus nafas, Wardi hanya mendengarkan bermacam celoteh Laura. Tentang semakin berutalnya tingkah laku Daryo anak bujangnya,
32
tentang Retno yang sudah dua tahun ini meninggalkan bangku kuliah, hamil dan kemudian digugurkan lalu bergonta ganti pasangan, yang kesemuanya itu bagi Laura adalah jalan dan pilihan hidup. Tak sedikitpun terlihat hal itu menjadi problem bagi Laura yang nota bene ibu kandung mereka. Kekurangan Raden Pakubumi suaminya dari berbagai hal dan seperti berkali kali ia ceritakan, baginya Raden Pakubumi tak lebih dari sebuah mesin pencetak uang, tak lebih dari itu. Dalam keasikan pergumulan mereka tiba tiba, “Blar….. braaaaaak.” Suara pintu kamar yang didobrak paksa. Tanpa sempat berbuat apa apa, berkali kali tebasan celurit menghantam sekujur tubuh Wardi alias Dicky. “ Mas, mas…..mas Paku, eling mas, Daryo eling nak nyebut nak, mas Dicky tak bersalah, aku Ibumu hanya menjalani kodrat, aku membutuhkan dia bukan mencintai dia. Lahir bathin aku tetap mencintai mas Paku.” Laura menghiba memohon belas kasihan Raden Pakubumi dan Daryo anaknya. Tak sebuah kalimatpun keluar dari mulut Raden Pakubumi dan Daryo anaknya, kecuali sebatan sebatan celurit dan golok di tangan mereka. Kemudian, sebuah terpaan ujung runcing mata celurit di tangan Raden Pakubumi menghantam memperlebar belah selangkangan Laura tepat di kemaluannya dan yang terakhir, sebuah sebatan lagi dari golok Daryo anak kandungnya membuat Laura menghembuskan nafas terakhir dengan mata terbeliak dan lidah terjulur. Wardi sama sekali tidak merasakan kepanikan dan kesibukan orang di sekitarnya. Ia tidak merasakan lajunya
33
usungan tandu yang menghantarkan dia dan Laura ke mobil ambulance. Yang ia rasakan hanyalah semakin ketatnya pelukan malam yang semakin dingin merengkuh, seakan terus memanjanya dan menghantarkan dia ke lorong panjang menuju langit, dimana pada pangkal jalan terlihat Nurul bermukena putih tersenyum, mengulurkan tangan, meraih tangan Wardi berpimpinan mereka menapaki jalan di lorong kosong. Di persimpangan jalan dari bumi menuju langit, Wardi melihat sebuah rumah, rumahnya di kampung Sekip. Para petakziah ramai memadati ruang tamu dan ruang tengah. Mereka melakukan kenduri arwah, menghadiahi alfatihah berdoa dan membaca surat yasin, semua buat Nurul bukan buatnya. Lalu‌.keduanya melanjutkan perjalanan, terpaksa berpisah di persimpangan menuju langit yang berbeda.
34
DIA DI LUAN SAMPAN Petang menjelang maghrib, hujan gerimis turun. Keadaan seperti ini semakin memacu keinginanku untuk segera sampai ke tujuan. Di langit tampak jelas lengkung pelangi, tepat mengangkangi arah jalan tujuanku dan menurut pesan orang tua-tua yang masih terngiang di telinga. “Urungkan niat, jangan berjalan ke arah kangkangan pelangi. Karena pada saat itu para bunian dan bidadari sedang menitinya menuju bumi, menjemput para bujang berumur untuk dibawa ke alam mereka lalu dijadikan suami.� Bukan tak ingat, namun tak perduli, karena aku yakin bahwa itu hanyalah tahayul belaka. “Paling tidak ketika maghrib, sudah harus sampai di pelayangan (sejenis rakit penyeberang) Kuala Cenaku.� Aku menggumam sendirian di tengah kelu dan gemeretak gigi menahan dingin. Tak seperti biasa. Entah mengapa, ketika berangkat dari Seberang Mumpa tadi, aku lupa mengenakan Jacket. Sebenarnya keberangkatan tadi tidaklah terlalu terburu-buru. Cukup banyak waktu yang tersedia, mempersiapkan segala sesuatu keperluan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
35
Pompa ban, benen cadangan dan kuncikunci termasuk jacket dan lampu senter, semuanya tertinggal di base camp Seberang Mumpa. “Mudah-mudahan lancar-lancar sajalah,� kembali aku menggumam memutar alat pengatur kecepatan sepedamotor yang berada di stang sebelah kanan dan yang paling kutakutkan saat ini ialah, keterlambatan sampai di Kuala Cenaku. Sebab pelayangan yang ada, hanya menyediakan waktu sampai saat maghrib tiba untuk menyeberangkan segala macam jenis kendaraan angkut, berikut penumpangnya. Apabila terlambat atau lewat waktu yang ditentukan oleh peraturan yang dibuat para pengelola pelayangan, mau tak mau hanya ada dua pilihan. Menginap menunggu pagi, atau diseberangkan oleh sampan kotak yang ukuran besarnya tak seberapa dan tentu saja dengan resiko tergelek sedikit, karamlah semua, itupun, yang dapat diseberangkan sampan kotak hanyalah sepeda-motor, berikut beberapa orang penumpang. Urat-urat pokok kayu baka tepi jalan, serta dolken sepergelangan yang disusun menjadi galar penyumbat lubang di sana sini, di jalan bertanah gambut, membuat kecepatan sepeda motorku tidak maksimum. Sedangkan sepeda motor saja agak sulit menempuh jalan ini, apa-lagi kendaraan beroda empat. Karena itulah,
36
walau mendapat fasilitas mobil dari kantor tempat bekerja, aku lebih senang menggunakan sepeda motor untuk perjalanan dari Rengat ke lokasi pekerjaan pulang pergi dan resikonya. “Ya seperti inilah, kepanasan di perjalanan ketika matahari menyengat ubun-ubun, atau kedinginan dan basah kuyup kala hujan dicurahkan dari langit.” Di sela remang menjelang maghrib, lepas dari batas desa Pulau Jumahat aku melirik arloji melingkar di tangan. “Ya Tuhan, sudah pukul enam lewat. Tak mungkin menjelang maghrib aku bisa sampai di penyeberangan Kuala Cenaku. Tampaknya terpaksa juga naik sampan kotak ke seberang sana.” Pupus keinginan untuk memacu-laju sepeda motor. Suara katak bangkung bersahut bunyi jangkrik dan desis ular, agak sedikit membuat tegang suasana, apalagi gelapnya badan jalan yang belum sempurna akibat bertaut, gapai-menggapai jurai-jurai ujung ranting pohon besar, saling berseberangan mengatapi jalan yang ditempuh. “Seakan berjalan pada gua panjang yang sunyi dan mencekam.”
37
Menjelang Kuala Cenaku, kelap kelip lampu sumbu terhembus angin sepoi dan beberapa cahaya dari lampu petromaks pertanda waktu telah sampai di gerbang malam. Itu semakin memperkuat rasa yakinku, bahwa tak mungkin lagi dapat mencapai seberang dengan pelayangan. Ada sedikit rasa penyesalan tersembul. Peristiwa tadi, peristiwa mubazir yang sama sekali tidak aku manfaatkan, peristiwa yang jadi penyebab hingga aku terlambat sampai di Kuala Cenaku. “Namun apa boleh buat.� Perempuan itu. Entah gadis, entah janda, atau entah isteri seseorang, tak jelas bagiku statusnya. Tetapi yang jelas dan pasti dialah penyebab aku terlambat sampai di pelayangan ini. Aku begitu terkesima dengan kecantikan wajah, postur tubuh dan pesona yang muncul dari dirinya. Walau tak sepatah kata yang keluar dari mulutku, sehingga memang tak ada dialog kalimat di antara kami, tetapi aku yakin dialog batin telah terjadi saat itu. Perempuan di warung tempat berteduh dari curahan hujan tadi. Aku datang dan ia tiba, aku menatap dan ia, walau malu-malu mencuri pandang membalas tatapanku dan tertunduk, menyeka bulir-bulir air hujan yang menempel di muka dan lengannya yang putih bersih bak porselein cina. Karena aku terus menerus menatapnya tak berkedip, sehingga aku tahu pasti berkali-kali ia mencuri pandang memperhatikanku, lalu berpaling malu-malu karena bersongsong tatap. Ah.....betapa tololnya memang. Mengapa kesempatan
38
indah seperti tadi kubiarkan berlalu begitu saja. Tak dapat disesal. Aku selalu cuai dengan hal seperti ini dan aku yakin, hal inilah yang menyebabkan aku tetap melajang, hingga usia yang sebenarnya lebih dari matang untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Berkali-kali aku memaki diri, menyesali kebodohan yang sebenarnya tak perlu terjadi, padahal paling sedikit saat itu pasti aku mendapat keterangan tentang siapa dia, berikut statusnya yang kemudian tentulah kalau segala sesuatunya menjadi mungkin, aku dapat mendekatkan diri dan menjalani tahapan-tahapan hubungan. “Hai! Hati-hati bang. Jangan melamun saja, tergelek sedikit mampus karamlah kita.” Lalu setelah itu, sekali lagi terdengar teriakan penambang sampan. “Tolooong.....” Suara kasar serta pekik penambang sampan penyeberang, membuyarkan lamunanku dan itu pulalah yang menyebabkan aku secara tak sengaja saling bertatap dengan dia, dia yang duduk di luan sampan. Mengedip-ngedipkan mata dan mengusapnya berkalikali, seakan tak percaya dengan apa yang dilihat. Walau langit berselimut malam hitam pekat, tetapi bias cahaya lampu dari dua daratan tepi Kuala Cenaku, dapat meyakinkan penglihatanku bahwa pandang mata ini tidak salah. “Tak salah lagi, memang dia. Tetapi kok?” Perempuan berkerudung di luan sampan itu tersenyum dan aku membalas senyumnya. “Betul memang dia, perempuan di warung tadi.” Kembali aku berkata dalam hati, tak perduli pada pertanyaan-pertanyaan yang muncul dan keanehan yang
39
terjadi. Sigap mendekat, melepaskan peganganku pada sepeda motor di atas sampan, ia menyambut dan menggamit tanganku. Dengan lincah kami melompat ketepi. Berpegangan tangan menembus malam yang tadinya gelap pekat dan kini menjadi terang benderang, menuntun langkah menuju ke sana. Dari entah di mana, setelah itu seperti melihat gambar hidup, dengan senyum dan gelora asmara, kami berdua melihat orang ramai di tepian Kuala Cenaku. Bersuluh obor, lampu petromaks dan senter, mengerubungi jasadku terbujur kaku dan kemudian sekelompok orang lagi, beramai-ramai mengangkat sepeda motorku dari kedalaman sungai Kuala Cenaku. Intan Kemala, perempuan di warung kopi sekali gus perempuan berkerudung di luan sampan, semakin menyandarkan kepalanya ke dadaku. Aku mendekapnya, tanganku melasak ia melasak dan kami tak perduli.***
40
DOLAH PENCERITA
Derai tawa kembali terdengar bagai peningkah deru angin badai barat kencang, seakan hendak meluluh lantakkan atap anjungan tunggu, pelantar satu dermaga perahu pompong pulau Penyengat. Mereka, para tekong perahu pompong yang menambang antar jemput Tanjungpinang pulau Penyengat, tampaknya tak perduli dengan badai ini. Walau akibat dari badai malam minggu ini, mereka tak menuai rezeki seperti malam minggu biasanya, dimana penduduk pulau, besar kecil, tua muda seperti beradu cepat menyeberang ke Tanjung pinang, menangguk hiburan yang beraroma jauh lebih modern jika dibanding dengan yang di Pulau Penyengat. Atau kalau hanya sekedar cuci-cuci mata karena duit tak cukup, berjalan jalan seperti lalat pening sajapun jadilah. Memang, Tanjungpinang jauh lebih mengundang sebahagian orang ketimbang Penyengat yang hanya sebuah pulau bermuatan puing puing bangunan Kerajaan masa lalu. Namun malam ini, karena badai barat yang menggila, penduduk Penyengat enggan menyeberang. Mereka yang muda-muda mengisi malam minggunya dengan berbual-bual, main gitar sambil meratah kepiting renjong yang direbus dan bagi sebahagian yang suka serta
41
terbiasa, menyelingi santap kepiting dengan siraman air kata-kata ke tenggorokan mereka, semakin memperlancar perbualan serta menghangatkan suasana malam dengan badai menggila. Yang tua-tua tampaknya cenderung menghabiskan malam minggu mereka bercengkerama dengan anak bini, berbual-bual tentang masa depan, tentang harapan yang bertumpu kepada para reformis pemberi perubahan dan angin segar di negeri ini. Derai tawa terbahak kembali terdengar dari anjungan tunggu pelantar satu. Kohol batuk yang bertubi-tubi keluar dari rongga mulut Dolah kancil, seperti tak dihiraukannya. Ia terus berceloteh sambil sesekali mereguk air kata-kata dan tampaknya sangat berpengaruh memperlancar bual borak yang menjadikan Dolah kancil selalu menjadi bintang pertemuan informal budak-budak muda malam hari. Para tekong seakan lupa pada kesialannya, bual borak Dolah dan air kata-kata yang meluncur hanyut melalui tenggorokan menjadi lebih menarik ketimbang hanyut dalam duka sial musim ribut barat. “Sungguh, kalian wajib percaya, karena percaya akan cerita yang aku tuturkan, merupakan suatu sarat mutlak untuk menikmati cerita itu. Kalau kalian tak percaya sebaiknya aku stop sampai di sini.� Dolah kancil seakan hendak beranjak meninggalkan tempat. “Percaya, aku percaya teruskan Lah,� para tekong dan budak-budak muda itu saling berebutan menyatakan rasa percaya mereka akan bual Dolah, mereka takut kalau Dolah memutus ceritanya, sehingga malam minggu musim ribut
42
barat akan menjadi malam yang membosankan. “Baiklah, aku teruskan,” Dolah kancil memulai kembali bualannya setelah menggogok air kata-kata lalu sendawa agak sedikit berde’ek menjijikkan bagi telinga yang tak terbiasa. “Bersumpah aku, tak satu katapun pernah aku ucapakan kepada siapapun bahwa aku ini Dukun. Mereka saja yang percaya tapi lantaklah, itu urusan mereka.” Dolah kancil terpaksa berhenti karena kohol batuk kembali menyerang, setelah agak reda dan mengeluarkan ludah berdahak berkali-kali kelaut lepas, Dolah kembali memulai bual boraknya. “Kepopuleran aku sebagai Dukun ini sebenarnya akibat ulah si Taib kejep, Almarhumlah yang mewisuda aku jadi Dukun.” Dolah kancil berhenti sejenak, matanya menerawang memandang langit gelap lalu mendehem. “ Menyimpang dari jalan cerita, aku rasa tak ada salahnya kalau kita menghadiahkan Alfatihah untuk almarhum, karena aku yakin sedikit akan mengurangi dosa kita menggunjingkan dia yang sudah mati dan meringankan dia dari dosa bertimbun lahak yang pernah dibuatnya.” Suasana hening, dari sesekali cahaya kilat di langit, terlihat komat-kamit mulut para tekong perahu pompong dan budak-budak muda, khusuk melafaskan Alfatihah, lalu Amin dan mengusap muka mereka dengan kedua belah telapak tangan masing masing Yakin akan pemahaman yang disuntikkan Dolah kancil, mereka-mereka seakan takkan berdosa mulai nyerocos menceritakan perilaku Taib kejep semasa hidup yang
43
banyak nilai negatif ketimbang positifnya. “Pukimaknya si Taib, memang dia pemborak, penipu ulung,” kata Ruslan yang kemudian ditimpali Kadir hitam,. “Betul itu, entah berapa banyak sudah duit dan harta bendaku diradaknya.” “Ah..bukan kau saja, aku juga pernah, bahkan Emaknyapun,” Komeng ikut jadi batu api. “Piring tempat dia sungkah setiap hari, itupun dijualnya, apa tak meradang Emaknya, persis macam ikan puyu melopoh, merentang kesana-kemari,” tambah Komeng yang kemudian dilanjutkan, “ Nyonyah Acoy, bini babah A Liong yang terkenal pelokek, itupun kena diboraknya. Bukan hanya duit, polongan sejengkal pusaka nyonyah Acoypun sempat dihembatnya.” “Sudah…..sudah, kalian yang bercerita atau aku. Kalau kalian, aku mau pulang.” Dolah kancil meradang, menggertak karena sedang syur bercerita. “Mulanya begini,” Dolah kancil meraih Sumatera Cum Laude, cerutu ringan buatan Holland milik Komeng yang memang tinggal sebatang. Setelah menyulut dan menghirupnya dalam-dalam, kemudian menenggak air kata-kata bermerek White horse dari sloki terakhir dan kembali sendawa berde’ek yang kali ini tanpa batuk, melanjutkan cerita. “Si Taib kejep sudah lama berjanji kepada perempuan komplek, perempuan yang kenyang dipelasahnya, untuk mencarikan dukun penglaris. Perempuan itu merasakan pendapatannya mulai semakin berkurang, kalau boleh dikatakan sepi dari hampiran hidung belang penyewa ladang sejengkal miliknya. Si Taib kejeplah orangnya,
44
seperti yang kita sama tahu, pekerjaan belum tentu ujung pangkalnya, dia sudah bolak balik minta uang. Untuk dana inilah, itulah dan dengan bermacam-macam dalih dia selalu berhasil meyakinkan perempuan itu.” Dolah kancil berhenti sejenak, kembali membuang ludahnya ke laut. “Tapi, sampai pada tingkat titik api,” Dolah kancil kembali melanjutkan ceritanya, “perempuan itu sudah tidak sabar lagi dan mempergunakan tangan samseng pendeking, untuk memaksa Taib kejep melaksanakan janjinya.” “Huh, rasakan, mampus kau.” Kata salah seorang tekong perahu pompong, menggerutu dan menyumpah. Dia mungkin lupa, dia menggerutu dan menyumpahi orang yang benar-benar sudah tiada. “Lanjut cerita, Taib pun setengah mati ketakutan. Untuk menghubungi yang benar-benar dukun, sangat tidak mungkin, Taib kejeb sudah kehabisan modal dan tak mungkin meminta lagi dari perempuan itu, sangat, sangat tidak mungkin. Duit yang diberikan perempuan itu sebagai modal mencari dukun, sudah licin tandas diradaknya. Tak lah Taib kejep namanya, kalau cepat kehabisan akal. Pada suatu hari, ditemuinya aku. Dengan amat sangat dia mohon aku membantunya dan pura-pura jadi Dukun.” Lagi-lagi Dolah kancil terbatuk, kali ini batuknya agak lain dari yang tadi-tadi, panjang beruntun bagaikan bunyi muntahan senapan mesin, sesekali diselingi bunyi mencicit yang keluar dari liang kerongkongannya. Sedikit agak reda setelah ia mereguk air putih dingin, sedingin badan Dolah kancil saat itu. Kembali bersemangat ia melanjutkan ceritanya,
45
“Karena kasihan dan kalau dikaji-kaji ranji silsilah, dia itu masih ada hubungan tali darah dengan aku. Akupun tanpa pikir panjang menyanggupi permintaanya dan pada saat itu lillahi ta’ala, tak sedikitpun terpikir resiko yang akan terjadi kemudian hari, yah.. paling-paling yang terpikirkan hanya kalau tidak sukses misiku sebagai Dukun, jawaban yang paling akurat adalah, dia perempuan itu telah melanggar pantang larang yang aku wajibkan, kan cukup mudah.” “Karena pandai membaca keadaan, syukur aku berhasil dan perempuan dengan modal usaha ladang sejengkal itupun puas menikmati hasil kerjaku. Padahal, prosesnya sederhana sekali. Mula-mula ya.. seperti lazimnya kelakuan Dukun di Republik kita ini, aku membakar kemenyan di pedupaan, kemudian merapal mantera,” hik..,hik..hik Dolah kancil tak kuasa menahan geli hati. “Rapal mantera itu, kalau kalian nak tahu, mendengung-dengung macam kumbang tersesak nak kawin. Dia, perempuan itu sangat terpana dan aku semakin beraktinglah, sambil terus membacakan rapal mantera, sekejap aku tegak lalu mendadak sontak duduk kemudian berguling-guling berkali-kali membuat perempuan tu, semakin terkagum. Kemudian aku berlakon seakan kerasukan jin penguasa kawasan kelenteng senggarang, lalu aku pun berkata dengan lidah sengaja kupelatpelatkan macam orang negeri si Tan Hakseng berbahasa kita. Aku tengok, perempuan sundal itu semakin terkagum dan yakin bahwa aku telah berhasil mendatangkan jin kelenteng senggarang untuk menolong dia. Yang paling
46
lucu, ha…ha..ha..hik…hik…hik…hik. huk….huk…huk.” Dolah kancil tak kuasa menahan ketawa, sampai berair matanya dan terbatuk-batuk. “Yang lucunya, perempuan itu, hahahaha…ha.. ha, setelah melihat aku kerasukan jin cina, dia sambil menghiba-hiba berkata, apa dia bilang, coba kalian tebak apa katanya.” Setelah hening sejenak, karena tidak ada yang bisa menebak, Dolah kancil pun melanjutkan, “Dia bilang, uhuk….uhuk…..” batuk sejenak. “Apek jin tulunglah saya.” “Saya pun membentak, kepala hotak engkau, engkau panggil aku dengan apek ya, engkau tahu aku ini bukan lagi jin cina asli, sudah beribu-ribu abad aku merantau kesini, bahasa cina pun aku sudah banyak lupa, tak kau dengar aku bercakap dengan bahasa melayu, walau sedikit terbawa pelat lidah cina, jadi jangan kau panggil lagi aku dengan sebutan apek, panggil saja aku Datuk jin.” Dolah kancil kembali tertawa tak dapat menahan geli hati. “Baiklah, sekarang sebutkanlah apa kehendakmu.” “Eh. Ini, Tuk jin, usaha saya sudah mulai menurun omset pendapatan hariannya, jadi saya minta datuk limpahkan kembali rejeki yang banyak kepada saya.” “Usaha jenis apa itu.” “Ehm…ini Datuk, masa datuk tak tahu, Datuk kan jin sakti, dagang biasalah…Dagang pusaka turunan Emak saya Datuk, Dagang ladang sejengkal, hi..hi..hi.” “Bukannya aku tak sakti lagi, aku cuma mau mengetes kejujuran engkau. ayo terus lanjutkan.” “Kalau dapat, tolong Datuk usahakan pelangganpelanggan saya itu, kalau tak semuanya ya….sebahagian
47
besar turis-turis Singgapur dan Melasia. Tolong Tuk ya… juga kalau dapat yang mata-mata sipit itu lho Tuk.” “:Mengapa harus turis Singapura dan Malaysia, ada apa dengan mereka.” “ Itu lah Tuk, disamping mereka itu banyak duit, tidak pelokek, mainnya juga kebanyakan seperti itik Tuk, kesek… kesek…. dua tiga kali selesai lalu melemparkan segepuk duit, Dollar lagi. Tak seperti orang kita Tuk, sudah mainnya lama, banyak permintan dan variasi lalu bayarannya ngutang pula. Tolong Tuk ya.” Badai barat masih berlanjut, suara berderak-derak yang timbul dari benturan sesama perahu pompong yang ditambat di tiang-tiang penyangga dermaga, tak mereka perdulikan. Seakan tak terbayangkan, bahwa akibat benturan-benturan itu, benda-benda berharga tersebut dapat saja hancur pokah menjadi keping-keping papan tak berguna. Begitu besar pengaruh bual borak Dolah kancil kepada mereka tekong perahu dan budak-budak muda. Tak ada lagi upaya mereka menyelamatkan benda pencari nafkah itu dari terpaan gelombang dan badai barat yang menggila. “Untuk menghindari terbacutnya ketawa, terpaksa rapal jampi kumbangnya aku perkeras, mendengung-dengung seperti sirine kapal patroli Bea dan cukai mengejar penyelundup.” Dolah kancil melanjutkan cerita seraya tertawa dan terbatuk-batuk. Dari terang sesaat kilatan cahaya, terlihat wajah Dolah kancil semakin pucat pias macam mayat. Entah kenapa, tak seorangpun yang bertanya mengapa atau kenapa. Agak aneh, ia masih terus bersemangat melanjutkan ceritanya.
48
“Kalian tahu, apa yang terjadi dengan si Taib kejep yang mendampingi aku saat itu. Karena tak kuat menahan keinginan tertawa, dia menghambur keluar dan meledakkan tawanya agak jauh diluar rumah.” Dolah berhenti sejenak, menarik nafas dalam-dalam, seperti illustrasi musik, tarikan nafas itu diiringi bunyi mencicit yang semakin jelas lalu seperti tersendat-sendat terdengar suara hembusan nafas beraroma bangkai. Namun hal-hal itu tidaklah menjadi perhatian yang hadir termasuk Dolah sendiri, terbukti dia masih melanjutkan ceritanya. “Tutup cerita, mulai saat itu dan kebetulan aku berhasil menyukseskan permintaan perempuan sundal kolega si Taib, dari mulut ke mulut dikenallah aku sebagai Dukun sakti dan piawai.” Dan……setelah itu, Dolah berlalu meninggalkan anjungan dermaga pelantar satu, meninggalkan para tekong perahu pompong, para budak-budak muda yang masih tertawa. Dia pergi tanpa tabik tanpa pamit aneh, terlihat melangkah menuju laut lepas, meniti gelombang dan menguakkan buih bergumpal-gumpal di atasnya. Tak terdengar lagi suara kohol batuk yang bertubi-tubi, tak tampak lagi pucat pias mewarnai tubuhnya, lalu…… segumpal awan datang menyelimuti Dolah, menjemputnya terbang, terbang jauh menuju langit yang semakin gelap pada musim badai barat. Para tekong perahu pompong dan budak-budak terkesima, seperti baru tersadar dari mimpi, serentak mereka sekali lagi membaca, “Inalillahi wa inna illahi rojiun” karena sebelumnya, tepatnya hari Jumat dua pekan kemarin, ba’da Subuh, mereka membaca lafaz yang sama,
49
untuk orang yang sama, Almarhum Dolah kancil, wafat karena penyakit tiga huruf yang diidapnya cukup lama. Tak ada yang merasa ketakutan, tak ada yang gelisah karena kejadian itu. Mereka yakin, sebagai penghibur kelas satu, pencerita yang piawai, Dolah kancil seakan tak rela meninggalkan dunianya. Meninggalkan penyukanya, para tekong perahu pompong dan budak budak muda seperti mereka. Malam itu, saat badai musim barat yang semakin menggila, bersama mereka menghadiahkan doa buat Dolah kancil yang dicinta. “Ya‌.Allah, tempatkanlah almarhum Dolah kancil saudara kami, di tempat yang sebaik baiknya di sisiMu, ampunkanlah dia dari segala dosa dan kami telah memaafkan segala dosa yang telah dia perbuat kepada kami. Berilah kami seorang pencerita seperti Dolah kancil, sehingga sepi tidak menyelimuti kami disaat malam malam seperti ini. Ya‌..Allah perkenankanlah doa kami.â€?
50
KEMENTUT Drs. Ir. Haji Raden Baron Tingkir. SH. MBA. bin Haji Raden Tingkir Mongsosingo untuk selanjutnya, demi menghindari kesulitan saya mengingat nama tokoh utama dalam cerita ini, maka saya sebagai pencerita yang mengkedepankan efisiensi, menyingkat nama tokoh ini cukup menjadi Pak Mentut saja. Kenapa Pak Mentut? Tentu hal ini akan menjadi tanda tanya berkepanjangan bagi pembaca kalau tak segera saya jelaskan. Mentut adalah singkatan dari (Ment)eri (ut) ama di pemerintahan sebuah negara yang sedang demam perubahan, pembaharuan di segala lini dan sangat anti gaya lama. “Mentut” ini agaknya mungkin semaksud dengan “Perdana Menteri” di pemerintahan gaya lama atau sama dengan “First Minister,” atau “Prime Minister,” atau mungkin “Principal Minister” di pemerintahan beberapa negeri Eropa dan Amerika sana. Tokoh yang namanya kita sebutkan di awal cerita ini, adalah orang yang memegang jabatan Mentut terpilih hasil “Pemirak (pemilihan rakyat)” yang sungguh-sungguh sangat demokratis, konstitusionis, sedikit dramatis dan yang terpenting adalah Pemirak yang bersifat, “Betaraha (bebas tak rahasia),” anti gaya lama. Jadi teranglah segalanya, bahwa penggantian nama panggilan yang saya lakukan menjadi Pak Mentut, sangatlah kuat dan beralasan.
51
*** Bukan “sahibul hikayat,” bukan “syahdan,” bukan pula “konon menurut yang empunya cerita.” Karena cerita ini murni kejadian sangat realistis yang tergambar bersih dan jelas dari mimpi-mimpi saya, yang berlangsung terus menerus selama beberapa bulan setelah pencanangan yang berawal dari terpilihnya Menteri utama baru, yang kemudian sebagai langkah awal kerja, beliau menerbitkan Keputusan Menteri utama disingkat “Kementut.” Tak lazim bagi perilaku seorang Menteri, apalagi untuk seorang Mentut dan hal ini sungguh membuat bingung ajudan, supir, sekretaris pribadi yang setiap saat selalu mendampingi kepergian Pak Mentut kemana-mana dan ketaklaziman itu kembali terulang kali ini. Melanggar rambu-rambu protokoler, meninggalkan setiap pertemuan resmi maupun tak resmi pulang ke kediaman sebelum acara benar-benar usai dan hal ini anehnya, ia lakukan setiap selesai jamuan makan. “Mana remote control pembuka pintu pagar!” Tergesagesa dengan wajah tegang tak sabar, Pak Mentut merangsak ke depan, meraih benda segi empat kecil bertombol banyak yang terletak di dash board mobil dinasnya. Menekan salah salah satu tombol yang ternyata adalah alat otomatis pembuka pintu pagar kediamannya. Tak sempat mencapai car port, apalagi tindakan lazim ajudan untuk membukakan pintu kendaraan, Pak Mentut membuka sendiri pintu mobil, menghambur ke luar menerajang pintu kediaman, menghilang masuk kamar dan menguncinya dari dalam.
52
*** Tak seorangpun tahu, baik keluarga, pegawai rumah tangga kediaman maupun masyarakat luar, apapula penyakit atau kelainan yang diidap Pak Mentut akhir-akhir ini. Pernah pada suatu hari, pada kejadian yang sama, Bu Mentut karena rasa khawatir yang tinggi dan cemas melihat perubahan perilaku Pak Mentut bertanya. “Kenapa bang Baron? Apa yang terjadi, apa abang kurang sehat? Dinda panggilkan dokter keluarga kita ya.” Beruntun pertanyaan dan jalan keluar yang di usulkan Bu Mentut, sebagai ungkapan rasa prihatin seorang isteri yang menurut dia tidak bertendensi apa-apa. Namun sungguh di luar dugaan, pertanyaan dan jalan keluar yang dia berikan seakan alat pemicu meledaknya amarah Pak Mentut. “Diaaaaaam! Dinda telah menabur pupuk di kebun kemarahanku yang kini mulai berputik. Jangan dinda ulangi keinginan untuk memanggil dokter. Aku sehat, sehat lahir bathin. Tak seorangpun kuizinkan untuk memeriksaku perihal kelainan ini. Aku yakin hal ini akan hilang dengan sendirinya, karena itu hanyalah sebuah gejala keterkejutan yang akan mengalami proses penyesuaian.” “Apa yang sebenarnya terjadi bang, mengapa abang seperti menyembunyikan sesuatu. Apakah dinda sebagai isterimu tidak punya hak untuk mengetahui perihal yang terjadi pada abang. Apakah dinda tak dapat lagi abang percaya? Katakan bang, katakanlah yang sejujurnya.” Pak Mentut tertawa terbahak-bahak di sela rasa sakit menghimpit, sehingga matanya yang memang sipit menjadi lebih menyipit, membentuk satu garis yang kemudian mengeluarkan air mata, merasa ada sesuatu
53
yang menggelikan dari kalimat panjang isterinya. “Ha… ha… dinda, kalimat-kalimat dinda tadi sungguh amat puitis, mengingatkan abang pada judul lagu ‘Katakanlah yang sejujurnya.’ Ha…ha….dan membangkitkan kenangan lama pada masa lalu kita, masa kita pacaran dulu. Tak sebuahpun kalimat berbunga dinda ucapkan masa itu, selain hanya merengek, merajuk dan tertawa lepas, ngakak tanpa sungkan sesuai umurmu yang masih sangat muda pada saat itu. Ha….ha….” “Ah bang Baron, dinda jadi malu. Apakah abang menginginkan dinda tetap seperti dulu? Cengeng, aleman, perajuk dan selalu tertawa ngakak? Dinda juga ingin berubah bang. Sebagai seorang Isteri Mentut yang latar belakang pendidikan formalnya cuma tamat SMP dinda sadar, dinda harus mengimbangi agar abang tidak malu beristerikan dinda dan kemudian berpaling ke perempuan lain.” Tanpa sadar Bu Mentut kembali ke sifat lamanya, merajuk. Pak Mentut cepat mengantisipasi agar keadaan itu tidak berlanjut. “Abang hanya bergurau, abang bangga padamu yang kini sangat pesat kemajuannya. Dinda sekarang sudah bisa aktif berkomunikasi dalam beberapa bahasa asing, sudah piawai bicara politik, sosial, ekonomi sampai ke hal-hal yang bersifat ilmiah. Sungguh, sumpah mati dik, abang bangga.” Pak Mentut jujur dan bukan hanya sekedar menghibur. “Tapi abang ingatkan, untuk hal yang satu ini jangan dinda utik-utik lagi. Abang tak ingin kelainan yang terjadi pada abang akhir-akhir ini diketahui orang banyak dan menurut abang, tak perlu dibesar besarkan karena sangat
54
riskan dan menjadi ancaman yang dapat menjadi peluang empuk bagi lawan politik kita untuk membantai.� Semakin bingung dan tak mengerti, Bu Mentut hanya dapat mengangguk dan berkata lirih. “Ya bang, kalau itu keinginan abang.� Kemudian mereka berpelukan dan berlanjut di sela rasa sakit yang sementara terkalahkan. *** Sambil memegang dan menekan seputar perut, Pak Mentut berpeluh dingin, meringis menahan sakit yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Ada rasa perih melilit, kembung padat, mual nak muntah dan desakan kuat dari dalam, sulit seperti tumpat dan tak dapat disalurkan dengan kentut atau sendawa. Berkali-kali Pak Mentut mengalami hal seperti ini dan ia sudah tahu pasti penyebabnya. Namun sampai detik ini Pak Mentut belum mendapatkan satu cara, atau obat yang paling efektif untuk menangkal penyebab kelainan perutnya. Untuk mengelak dari penyebab penderitaan seperti kali ini, ia pikir sesuatu yang mustahil walau terkadang, akibat rasa sakit yang begitu hebat menyerang, terlintas juga di benaknya untuk mengangkat gagang telepon, menghubungi dokter Zacky, dokter keluarga mereka. Pak Mentut bersyukur, keinginan seperti itu sampai saat ini masih dapat ia tahan. Untuk hal yang satu ini, ia takkan mempercayai siapapun dan ia yakin penyakitnya ini tak akan menghantar ia ke liang kubur. Permasalahannya untuk dapat dikatakan rumit, memang rumit, namun dapat juga dikatakan sepele. Rumit karena ia dihadapkan hanya kepada dua opsi yang keduaduanya mempunyai akibat yang hampir sama buruknya. Namun akan menjadi sepele, kalau ia mau jujur dan
55
menerima resiko, bahwa kredibilitasnya sebagai pejabat sangat penting di sebuah lembaga pemerintahan mungkin akan sedikit terganggu. Sambil terus menekan dan mengusap perutnya dengan berbagai macam minyak gosok. Mulai dari berbagai merek minyak kayu putih, balsem, minyak tanah yang dicampur dengan irisan bawang merah sampai ke upaya yang sangat tradisional, yaitu menggulung-gulungkan botol berisi air hangat keseputar perutnya. Tampaknya usaha tinggal usaha, namun sakit tak juga berkurang dan ini sangat ia sadari. Karena derita seperti hal ini sudah berulang kali diidapnya. Yang dapat meringankan bahkan menghentikan rasa sakit hanyalah, kalau ia dapat mengeluarkan gas yang berkecamuk melalui proses kentut yang berlajut ke buang air besar. Namun untuk mencapai ini kenyataannya memang tidak mudah. *** “Sebetulnya untuk menjadi populer dan dianggap sukses mengatasi krisis ekonomi berkepanjangan, banyak hal yang dapat aku lakukan.� Pak Mentut bergumam dalam hati sambil menahan rasa sakit. “Banyak aspek yang dapat dijadikan solusi pencerahan, demi kepentingan masa depan sekaligus dapat mengharumkan namaku. Namun kenapa aku terlalu gegabah mengambil keputusan. Sebuah keputusan yang berakibat penderitaan panjang bagiku.� *** Bu Mentut hanya dapat mengurut dada, menahan duka melihat penderitaan yang ditanggung oleh suaminya tercinta dan pemandangan itupun hanya dapat ia lihat dari
56
lubang kunci kamar tidur mereka yang sengaja dikunci dari dalam oleh Pak Mentut. Samasekali tak satupun yang dapat ia perbuat. Ia sangat paham akan temperamen Pak Mentut yang setiap petuah, pesan maupun kata-katanya sama sekali tak boleh dibantah, apalagi dilanggar. Terlalu besar resiko yang ia hadapi apabila hal itu coba-coba dilanggarnya. Walau disebalik itu semua, Pak Mentut adalah orang yang sangat besar sekali perhatiannya terhadap isteri, anak maupun masyarakat. Karena sifat positifnya itulah, Pak Mentut yang umurnya relatif muda, melesat pesat karirnya di berbagai bidang, termasuk di bidang politik dan pemerintahan. *** Laporan Sembilan belas, dari sebuah stasiun televisi swasta malam itu menyiarkan liputan dari berbagai daerah. Pada intinya pemberitaan malam itu, sama seperti malammalam yang lalu, di mana dari berbagai tayangan terlihat jelas kepuasan masyarakat atau rakyat, atas kebijakan yang diambil Pak Mentut dalam banyak hal, terutama tentang perubahan-perubahan di bidang pangan. Perubahan yang berdampak pada peningkatan strata sosial maupun ekonomi masyarakat banyak. Dari laporan tersebut, tidak satupun terlihat adanya keluhan masyarakat tentang diversifikasi makanan pokok. Puja dan puji silih berganti datang yang kesemuanya ditujukan kepada Pak Mentut. Berbeda halnya dengan Bu Mentut. Jelas terlihat kecemasan yang mendalam dan tergambar dari wajah serta tingkah lakunya. Sebuah kecemasan yang sangat beralasan.
57
Sejak pukul dua belas siang tadi, sepulang dari menghadiri temu wicara dengan para petani ubi di desa Sendolas Riau, Pak Mentut tak keluar dari kamar. Tak makan siang. Tak makan malam dan tak menonton televisi, terutama acara laporan Sembilan belas. Sebuah acara yang memberikan rona kebanggaan tersendiri bagi Pak Mentut dan tentu hal ini sangat dapat dimaklumi. Dari lubang kunci di mana selama ini Bu Mentut dapat melihat situasi keadaan kamarnya, namun kali ini, hal itu tak dapat ia lakukan. Pak Mentut entah sengaja atau tidak, membiarkan anak kunci menetap pada lubangnya setelah ia memutar dan mengunci pintu. Resah berbaur pasrah, Bu Mentut tak lain hanya dapat berdoa semoga hal yang tidak diingini tak terjadi dan hanya itu yang dapat ia lakukan. *** Enam bulan lalu, tepatnya Agustus tahun 2000. Pak Mentut di awal masa jabatannya, tanpa melalui proses yang berbelit, tanpa persetujuan staf ahli di bidang gizi dan pangan, serta tanpa persetujuan parlemen karena yakin keputusannya ini tidak akan mengalami rintangan berarti dan memang pada kenyataannya, keputusannya ini sangat disambut oleh masyarakat. Keputusan Menteri utama yang disingkat menjadi Kementut bernomor: 01/mentutri/Agus./2000 tentang diversifikasi bidang pangan, yang singkatnya berisikan keputusan tentang keharusan merubah secara progresif revolusioner, bentuk makanan pokok dari beras ke ubi kayu (ketela pohon, singkong). Alasan
58
mendasar dari Kementut yang ia keluarkan adalah, karena semakin tingginya nilai jual beras di pasar internasional dan berarti kalau semua beras yang dihasilkan para petani negeri ini dilempar ke pasar internasional, maka otomatis akan dapat lebih mensejahterakan kehidupan petani itu sendiri dan menjadi sumber devisa terbesar bagi negara. Sebagai alternatif pengganti, seluruh rakyat diwajibkan untuk mengganti makanan pokoknya ke ubi, dengan alasan ubi adalah makanan pokok pengganti yang paling cocok dan atas pertimbangan, bahwa ubi mempunyai kadar gizi dan karbohidrat yang memenuhi persyaratan untuk dijadikan makanan utama. Dari sisi lain, ubi juga dengan mudah dapat tumbuh tanpa proses penanaman, pemeliharaan, pemupukan yang berlebihan bahkan dapat tumbuh di halaman-halaman rumah dan tepi jalan. *** “Ha….ha….ha….ha…..” Terdengar lantang suara tawa yang bersumber dari kamar Pak Mentut dan membuat terkejut Bu Mentut yang sedari tadi dirundung resah dan gelisah. “Aku korban dari keputusan yang kubuat sendiri.” Pak Mentut berkata dalam hati. “Ubi tak cocok buat perutku namun sesuai buat rakyatku. Walau demikian ketidak cocokan ini biarlah menjadi salah satu rahasia dari sekian rahasia pribadiku dan yang pasti, rahasia yang satu ini akan kubawa sampai mati.” Sekali lagi Bu Mentut, yang berdiri di depan pintu kamar mereka dikejutkan teriakan lantang dari dalam.
59
“Dindaaaaaaa! Siapkan makan malam, taruh di depan televisi. Ingat, jangan ada ubi! Aku laparrrrrrrrr!” Disusul derit pintu kamar yang terbuka, memunculkan wajah lega Pak Mentut seiring bau busuk menghambur keluar. Bau khas yang sangat dikenal Bu Mentut. Bau yang membuat ia mau muntah. Bau Kentut Pak Mentut yang memadati ruang kamar, melepaskan ia dari siksa “Kementut,” namun memberi pencerahan pada kehidupan rakyat.
60
KETITIRAN Malam ini, seperti pada beberapa malam lalu, suara itu kembali terdengar. Suara yang selalu mulai terdengar pada saat peralihan waktu, peralihan antara pukul dua belas tengah malam beranjak ke pukul satu. Tetap seperti yang lalu-lalu, suara pingkau pilu itu, rintihan dan gumam yang semakin mendekat ke arah rumahku, menggesek-gesek dinding, berkeliling beberapa jenak, kemudian berpindah ke perabung atap lalu pergi beriring suara kepak sayap dan kicau burung Ketitiran. Kali ini aku tak mau bertanya lagi ke tetangga sekeliling, karena yakin jawabannya akan tetap seperti pada malammalam lalu. Tak seorangpun di antara mereka, para tetangga kami yang mendengar suara-suara seperti yang kami dengar. Apek Liong Ontha, warga keturunan, tetangga baru yang rumahnya paling dekat dengan rumah kami, kemarin malam menampakkan rasa kesal bercampur jengkel ketika aku dan Kamil adikku mengetuk pintu rumahnya. “Apa elu punya maksud? Sudah dua-kali elu gedor pintu rumah gua pada malam buta begini. Gua tidak tahu dan tidak dengar itu suara yang elu maksud. Kalau satu kali lagi elu gedor pintu rumah gua dan menanyakan hal yang sama, gua akan laporkan elu pada pak ketua RT.�
61
Berkacak pinggang, dengan muka memerah bersimbah peluh dan hanya berkain pelikat penutup bahagian bawah tubuhnya, sedang dibelakang sekilas terlihat nyonya Apek Liong Ontha berkimono warna krim dengan rambut kusut seperti habis diacak-acak. “Astaghafirullah..........ampuni dosaku ya Tuhan, tak kusengaja memang. Seperti terlupa aku, bahwa Apek Liong Ontha tetangga baru kami dengan isteri kesekian yang baru dinikahinya seminggu lalu. Isteri yang ini ia tempatkan disebelah rumah kami dan sudah pasti, malammalam dingin renyai gerimis seperti ini takkan ia lewatkan begitu saja.” Aku berkata sendiri dalam hati. Membukakan telinga lebar-lebar, dengan mata coba menembus kegelapan malam, menyapu pandang ke sekeliling rumah. Namun tak satu sosok makhlukpun terlihat, sedang suara pingkau, rintih dan gumam semakin jelas terdengar. “Agak jelas bang,” Kamil menggamit punggungku. “Co..coba abang dengar baik-baik, aku seperti me... mengenal siapa pemilik suara... itu.” Jelas terlihat gugup dan agak terbata-bata Kamil menyampaikan suara apa yang tertangkap oleh telinganya. “Suara itu dari sana bang, dari pintu pagar sana.” Kamil menunjuk ke arah pintu pagar dan akupun dapat menangkap suara yang dimaksud, suara yang datang dari arah sana. Suara yang sangat kukenal, suara dia, namun wujudnya tak terlihat sama-sekali. Memang sudah seharusnya demikian, namun aneh mengapa suaranya kembali muncul.
62
“Pakcik Bronto! ya... itu suara pakcik Brontoseno.” “Betul bang, sudah pasti itu suara almarhum pakcik Brontoseno.” Brontoseno, sekilas dari namanya orang-orang pasti tahu dari mana asal-usul siempunya nama. Tapi bagi pakcik Bronto, dari keseharian terlihat jelas bahwa asal-usul, puak dan suku tidaklah terlalu menjadi persoalan. Pakcik Bronto yang konon semenjak umur belasan tahun telah ditinggal mati ayah ibunya dan semenjak itulah beliau ikut bersama orang tua kami. Ia di rumah kami tidak diperlakukan sebagai orang lain, orang yang menumpang hidup dan karena perlakuan itulah, berulang kali ia mengatakan sangat berhutang budi sekali pada keluarga kami. “ Ee..alah biung, engkau ini macam mane, aku ndak ade lagi rindu-rindu tanah Jawe. Kampungku di sini, emak bapakku di sini, ya emak bapak engkau itulah yang telah kuanggap sebagai emak bapakku sendiri, ngarti ndak? Jadi jangan lagi engkau nak tanye, aku rindu apa tidak dengan tanah Jawe.” Begitulah jawaban pakcik Bronto dengan bahasa Melayu berlogat Jawa yang sekali imbas masih terlihat. “ Ape engkau masih kurang yakin bahwa aku sangat cinta dengan kampung ini? Engkau dapat lihat, lha wong bahase sanepun aku ndak bise, apelagi dengan budaya dan keseniannye. Aku ndak bise main wayang wong, main ketoprak, ndak suke nonton wayang kulit, pokokke ndak suke dan ndak bise secare betul-betul jujur, ndak dibuatbuat, karena senar hati ini hanya dapat berbunyi apebile
63
disentuh oleh seni dan budaye sini, budaye kite budaye Melayu.” “Percaya.....percaya, jangan marah gitulah pakcik. Tapi........” Sengaja aku menggantung kalimat agar pakcik Bronto jadi penasaran dan pada kenyataannya memang. “Tapi apa? Engkau masih mbelum yakin kalau aku cinta kampung ini, cinta keluarga sini?” “Tapi, orang kampung sini tak ada yang punya kesukaan seperti pakcik itu.” “Kesukaan ape? ndak adelah...” Pakcik Bronto semakin bersemangat dan berupaya mati-matian untuk berbahasa Melayu yang baik dan benar, walau dengan perjuangan yang maha berat. Jelas tampak lidah dan mulutnya terpeletat-peletot untuk mempertahankan keinginannya berbahasa dan berdialek sini. “Kesukaan memelihara burung Ketitiran. Ayo, jangan membantah. Mana ada orang kampung sini yang punya pekerjaan gila seperti pakcik Bronto, tiap hari pagi dan petang kerjanya menggerek sarang burung ke dahan Kekabu, macam pesuruh kantor Bupati yang menaik dan menurunkan bendera tiap hari.” “Ooo...itu toh. Soal Perkutut itu.” “Nah, Perkutut lagi. Orang sini menyebutnya bukan Perkutut pakcik, tapi Ketitiran.” “Yeee..podo waelah, pokokke itu-itu juge makhluknye.” Sekelumit gambaran kenangan pada pakcik Bronto, yang sampai akhir hayatnya tetap pada pilihan membujang, hilang ditimbus suara almarhum yang tak berujud. Tak sedikitpun rasa ngeri atau takut yang menghantui. Yang
64
terbayang hanyalah, bahwa pasti ada beban yang tak terpikul oleh arwah almarhum, hingga ia mengalami kesulitan dalam perjalanan menghadap Tuhan. Beban apa? Itulah yang menjadi tanda tanya di benak kami. Pakcik Bronto orangnya baik, bahkan terlalu baik. Tak ada cacat cela pakcik Bronto yang membekas lama di hati kami dan di hati orang banyak. Beliau secara sadar, kami yakin tak pernah menyakiti hati orang lain. Tentang ibadah kami rasa cukuplah dan beliaulah yang mengajari kami mengaji, banyak hal tentang akidah, ibadah dan ilmuilmu agama, walau karena ketidak mampuan pada soal keuangan, beliau tidak berkesempatan menunaikan ibadah haji. Tapi kami rasa, bukanlah itu yang menyebabkan arwah almarhum pakcik Bronto, agak tersendat langkahnya menghadap Tuhan. “Mil.” Setengah berbisik aku memanggil Kamil seraya menggamit tangannya. “Mari kita berwudhu dan sholat sunat bersama, mohon ampun pada Tuhan agar arwah almarhum pakcik Brontoseno dapat tempat di sisiNya dan semoga salah serta dosa almarhum dapat diampuni.” Entah sah atau tidak, sebelum shalat berakhir pada pembacaan Alfatihah di raka’at kedua, kekhusukkan shalatku mulai terganggu. Aku yakin Kamil juga mengalami hal yang sama. Suara itu kini terdengar pas, ibarat di tepi daun telinga. Kalimat berbisik dengan desis suara hembusan nafas dingin, membuat sukujur bulu roma menjadi berdiri. Suara itu tak putus-putus dengan kalimat berulang dan kehendak yang jelas seakan memberi
65
jawaban akan sesuatu yang harus kulakukan. Tak ingin membuang waktu. Selesai mengucapkan lafaz salam kedua, aku menghambur ke pintu belakang rumah kami diikuti Kamil. “Betul Mil! Betul kata suara itu.” Sambil menunjuk mengarahkan lampu senter kearah dahan batang Kekabu, dimana tempat biasanya pakcik Bronto menggantungkan sangkar burung ketitiran kesayangannya. “Ya, betul bang mari kita turunkan sangkar itu.” “Nauzubillah!” di dalam sangkar itu tergeletak bangkai seekor burung. Burung Ketitiran kesayangan pakcik Bronto yang mati kering, kelaparan tak diberi makan sejak kematian tuannya. Malam itu juga, menjelang subuh seperti yang dikatakan suara itu, aku dan Kamil menguburkan bangkai Ketitiran peliharaan pakcik Bronto. Pada pengaisan tanah terakhir penutup lubung kubur, kami mendengar suara kepak sayap dan kicau Ketitiran yang semakin menjauh dan menjauh, lalu hilang. Sekali lagi kami membaca Alfatihah yang kami hadiahkan buat almarhum pakcik Bronto. Dan, setelah subuh itu, kami tak lagi mendengar suara erang, rintih dan pingkau pilu yang kami yakini adalah suara arwah pakcik Bronto.
66
MATI YANG INDAH
Hujan rintik di tengah matahari benderang panas menyengat, semakin membuat gerah suasana siang di lokasi pembangunan jembatan Hulu Sungai. Gerah, hujan lebat, dingin menusuk tulang, bahkan panas atau badai sudah lama terkubur dari rasa yang dikalahkan pilihan sengaja, atau tak sengaja ataupun terpaksa untuk dijadikan sandaran, karena keadaan dan kesadaran bahwa hidup ini mau tak mau harus terus berlanjut. Sama sekali tak ada tanda tanda atau suara suara yang dapat dijadikan peringatan akan tibanya suatu kejadian. Yang terdengar hanyalah suara benturan benda berat, menghantam cabin operator dari crawler crane, alat berat pengangkat yang dimodifikasi sedemikian rupa untuk keperluan ganda, hingga sekaligus dapat digunakan sebagai pile driving unit, sebuah unit sarana pemancangan pondasi dari bangunan bangunan besar atau jembatan jembatan berdaya dukung tinggi. Suara pluit sebagai tanda peringatan bahaya yang berkali kali ditiup Pak Sarbini mandor pancang, juga suara teriakan Penny Sailor, Mono Kopral, Buyung Markis, Tono Napi dan para kru pancang lainnya sama sekali tak terdengar, ditelan oleh bunyi yang meraung raung berasal dari main engine GM, bersilinder delapan dengan diameter
67
tiap silindernya hampir seukuran dengan kaleng susu lima kiloan, ditambah derit wire rope yang digulung main drum bergesekan dengan brake belt pada setiap saat siap menghentikan berputarnya main drum sekaligus menahan beban tak berdaya, terayun ayun di rotary block berpengait. Karena tuntutan keadaan dan keterikatan aturan kerja yang sangat ketat, dibebani lagi dengan waktu penyelesaian yang semakin sempit, para pekerja jembatan biasanya tak lagi dipengaruhi oleh pikiran pikiran atau kepercayaan kepercayan lama yang cenderung tahayul, termasuk pada keadaan hari ini. Berkali kali Datuk Raja Mole, orang tua penghuni kampung Tepian, memperingatkan para pekerja untuk selalu hati hati dan tetap menghormati keberadaan para Puaka, Jembalang, Orang Halus dan Bunian yang jadi penunggu tak tampak di lokasi pembuatan jembatan Hulu Sungai. Begitu juga dengan kejadian pada siang ini, Datuk Raja Mole berteriak keras dari tepi tebing. “Sudahlah! Keadaan seperti ini sudah sangat berbahaya, apakah nyawa sudah tidak ada lagi nilainya bagi kalian.Yang namanya kerja itu, umurnya lebih tua dari kita. Untuk apa buru buru, hari sedang hujan panas, kalian tahu ini adalah satu pertanda akan ada kematian berdarah, percayalah. Berhentilah dulu, tunggulah hujan reda.� Namun tak seorangpun di antara pekerja jembatan yang menggubris peringatan orang tua itu. “Ndak apa apa Pak, kami sudah biasa kok, pekerjaan ini harus segera selesai lho, waktunya sudah semakin mepet.� Jawab Pak Sarbini, dengan dialek Jawanya yang kental, tak berpaling sedikitpun dari arah pandang yang tertuju
68
pada beton pile ukuran empat puluh kali empat puluh sentimeter, dengan panjang dua puluh meter, yang sedang diderek berangsur naik untuk tegak bersandar di leader pipe dengan pile hammer siap memukul menancapkan. Sebagai seorang operator yang berada di cabin saat itu, aku hanya melihat kilasan sesuatu yang datangnya begitu cepat tak terduga, hingga tak dapat memberikan reaksi apa apa. Yang terasa pada saat itu hanyalah terpaan benda yang membuat segalanya jadi sunyi, gelap, hingga tiba tiba terjadi suatu perubahan besar yang seyogianya menimbulkan keterkejutan, heran dan pana. Namun heran, terkejut dan pana itu tidak terjadi, entah mengapa. Aku seakan sudah sangat terbiasa dengan keadaan seperti ini. Keadaan yang sangat luar biasa indahnya, dengan ornamen alam yang berwarna warni dan mengesankan. Lagi lagi aku sama sekali tak merasa berada di tempat yang baru, atau asing dalam lingkungan seperti ini. Sambil bersiul siul kecil, aku mengemudikan kenderaan yang rasanya paling aman, paling nyaman, paling membuat betah untuk duduk berlama lama di belakang kemudi tanpa diganggu oleh buruknya kondisi jalan raya, oleh padatnya arus lalu lintas yang membuat jalanan jadi macet, tanpa setopan polisi yang memeriksa surat surat kelengkapan kendaraan atau tanda izin mengemudi dan tanpa perlu merogoh kocek, kalau kelengkapan itu tidak terpenuhi.. Tak satupun terpancang tanda, sebagai rambu lalu lintas yang harus ditaati para pengendara. Tak ada traffic light, tak ada zebra cross juga tak ada jembatan penyeberangan apalagi tukang parkir. Semua berjalan secara otomatis
69
mulus tanpa kendala, namun tetap tak dapat membuat aku merasa aneh atau asing dengan keadaan seperti ini. Terus bersiul siul kecil, melaju dengan kecepatan yang sama sekali tidak aku pedulikan. Hambatan angin diterpa kendaraanku yang melaju, menimbulkan suara indah mewujudkan harmoni musik lengkap, meningkah siul di tengah perjalanan menyenangkan tanpa arah, namun seperti diarahkan dari sesuatu, menuju ke sesuatu. Dari kejauhan terlihat salah satu dari sesuatu yang sangat kukenal, karena aku pernah ikut andil dalam pekerjaan pembangunannya. Walau kondisinya saat ini sama sekali jauh berbeda, jembatan Batang Tarusan di daerah pesisir selatan Sumatera Barat yang kukenal dulu, tanpa gemerlap cahaya lampu penerang sekali gus penghias wajah jembatan, kini dihias beratus buah gemerlap lampu kristal berbagai warna. Jembatan yang kukenal dulu berwajah kusam, kini dipoles warna putih dengan lantai bergambar lukisan indah. Sebuah lambaian tangan dari sosok lelaki berbadan tegap, membuat aku menghentikan kendaraan. Sosok yang bersandar di guard rail kiri jembatan, mengingatkan aku pada suatu peristiwa kematian yang mengenaskan. Sosok itu, adalah sosok Anas yang dulu mati tertimpa baja gelagar melintang dari rangka jembatan ini. Sosok yang dulu hitam legam, hingga ia mendapat tambahan nama menjadi Anas Keling, kini sama sekali berubah. Anas Keling kini menjadi putih bersih tanpa noda jelaga dari cerobong asap diesel pile hammer yang selalu malas ia bersihkan. Pakaiannya persis sama dengan yang kukenakan, blazer dengan
70
pantalon putih dan kaos oblong melapisi tubuhnya yang kekar dengan wajah keras, dihiasi rona hijau dari kumis dan jambang lebat yang baru dicukur. Aku membukakan pintu kendaraan, mempersilahkan Anas Keling masuk. Sebagai awal perjumpaan, lazimnya dua orang sahabat yang lama tak bertemu, pembicaraan kami tak lebih dari sekedar basa basi. Tak ada hal hal pelik yang kami perbualkan, hanya ada hal aneh dari pembicaraan Anas Keling, namun tak menimbulkan tanda tanya berkepanjangan di benakku. “Mari kita ke suatu tempat, di sana teman teman lainnya sudah menunggu. Kami sudah dapat berita akan kedatanganmu dan kami sudah siap menghantarmu ke sebuah upacara pemberian anugerah bagi orang orang seperti kita.� “Mungkinkah ini anugerah yang dimaksud Anas Keling?� Aku melihat di dada mereka masing masing menempel sebuah medali dengan pita berwarna merah hijau kuning sebagai penggantung yang melilit di leher mereka. Pakaian yang mereka kenakan semuanya persis sama dengan yang aku dan Anas Keling kenakan. Kaos bulat leher dengan blazer di lapisan luar dan pantalon putih sebagai penutup bahagian bawah tubuh. Sedikitpun tak ada perbedaan. Ada rasa sungkan untuk bertanya, atau mengamati lebih dekat tulisan tertera di lingkar medali tersebut. Tanpa diminta rupanya Anas Keling temanku yang paling lama tak jumpa, dapat membaca apa apa yang
71
berkecamuk di benakku, tampaknya dia tak ingin aku terus menerus dikuntit oleh pertanyaan pertanyaan yang tak berjawab. “Medali ini, adalah anugerah yang diberikan sebagai penghargaan tertinggi atas kerja dan pengorbanan kita yang paling maksimal, untuk kepentingan masyarakat banyak.� Anas Keling mulai menjelaskan. “Aku, orang orang sebelum aku, kemudian sesudah aku, teman teman ini, Ridwan, Firman Marhaen, Masyumi Mahfuds, Pertirasmi, Maman Jagau, Asman Bagak, Ruslan Tuak dan kau, adalah orang orang yang dianggap oleh pemberi anugerah sebagai penerima yang betul betul layak menerima maha anugerah ini. Bukan si Insinyur Pajirin, si Insinyur Darsonino, si Mandor Amad, si Bejo Elek, si Insinyur Zatria, si Leimin, Moloka dan si si yang lain, yang lebih dahulu mendapatkan keuntungan dan penghargaan jauh lebih besar dari pengorbanan yang mereka berikan. Bahkan kasarnya, mereka hanya mencari keuntungan di atas pengorbanan yang kita lakukan. Namun biarlah, kenyataan selanjutnya akan berkata lain. Aku yakin mereka takkan pernah mendapatkan penghargaan abadi seperti yang kita dapatkan kini.� Pembicaraan layaknya reuni pekerja kontraktor terus berlanjut. Tak terasa kami telah menyinggahi tempat tempat di mana kami pernah ikut andil, bahkan pengorbanan yang paling besar nilainya, telah kami berikan di tempat tempat itu. Jembatan Batang Samo di daerah Pangkalan Payakumbuh telah kami lewati, di sana Ridwan hanyut dan ditemukan mayatnya jauh dihilir sungai. Suatu kejadian
72
tragis menimpa dirinya, ia terpeleset jatuh ketika menggeser rangka baja jembatan yang baru saja dilaunching dan tak tepat pada poros semestinya. Daerah Pulau Lowe, kawasan proyek irigasi yang letaknya di antara Talukkuantan dan Pangean. Firman Marhaen dan kami yang singgah di situ, tak kuasa menahan air mata mengingat kejadian di mana Firman Marhaen ditemukan dalam keadaan dada terkoyak, tanpa jantung dan paru paru dengan isi perut terburai. Ia mati mengenaskan diterkam Harimau ketika sedang melakukan pekerjaan pengukuran primary canal. Jembatan Kuala Cinaku, Waduk Jatiluhur, Main Hospital Caltex Rumbai, Dewan Dua, jembatan Batam Rempang, bendungan PLTA Koto Panjang, semua telah kami singgahi. Tempat di mana teman temanku meregang nafas menuju kematian akibat kecelakaan dan yang terakhir di mana kami sekarang berada di sini, di lokasi pembangunan jembatan Hulu Sungai. Ditengah kerumunan orang banyak, kami menyeruak masuk tanpa kesulitan. Semuanya menundukkan kepala kecuali aku. Dengan mata tak berkedip aku menatap kesibukan para kawan kawan pekerja jembatan. Dengan alat pemotong baja bertenaga listrik, keping demi keping plat baja dinding crawler crane yang tumbang dihimpit beton pile dan diesel pile hammer, mereka angkat satu per satu. Darah berceceran di sekitar cabin operator dan bau amis yang menghambur dari sana membuat aku ingin muntah, namun dapat kutahan. Tiba pada kepingan terakhir yang di angkat oleh Penny
73
Sailor berdua dengan Buyung Markis, aku melihat sosok yang paling kukenal. Sosok diriku dengan kepala lumat berlumur darah segar diam tak bergerak. Kali ini aku tak dapat menahan mual dan muntah, merangsak keluar dari kerumunan yang kemudian diikuti oleh Anas Keling, Ridwan, Firman Marhaen, Masyumi Mahfuds, Pertirasmi, Maman Jagau, Asman Bagak dan Ruslan Tuak. Kami pergi meninggalkan jasadku yang menjadi urusan orang orang di sana. Pergi ke tempat yang berlaksa kali lebih menyenangkan dan membahagiakan. Pergi memenuhi undangan pemberian anugerah abadi untukku dan yang sempat tersimpulkan oleh pikiranku saat ini, saat aku bersiul siul kecil di atas kendaraan yang melaju adalah. “Rupanya kematianku bukanlah sesuatu yang mengerikan, keberangkatanku menuju ke kematian sama dengan pergi mendatangi keindahan.�
74
“MELOPO” (LEHA PEREMPUAN INDERAGIRI)
“Melopo adalah melopo,” kataku dengan nada tinggi setengah berteriak. “Tak ada padanan kata untuk itu di seluruh jagad ini, melopo adalah kosa kata yang menjadi local genius bangsa kami, bangsa Inderagiri. Kalian tidak bisa menyamakan makna melopo dengan menggelupur kata orang Medan, atau menggelepar, atau juga salto mortale. Karena kesemuanya itu bermakna: adalah reaksi dari ketidak berdayaan akibat tekanan tekanan yang bermuara kepada tunduk, yang berarti kematian dalam banyak hal, atau juga gerakan terakhir menuju kematian sejati.” Aku mendudup kopi gula enau yang telah sejuk karena keasikan bercakap sehingga lupa menyentuhnya. Namun karena keringnya tekak, kopi gula enau yang dingin, terasa lebih menyegarkan untuk dihirup saat ini, daripada mendudup kopi panas. Sebelum melanjutkan pembicaraan, Sumatera Cum Laude, cerutu ringan kiriman rutin seorang kawan dari negeri Belanda kuhirup dalam dalam dan menjentikkannya jauh jauh karena sudah tepuntung. “Bagaimana? Aku teruskan cerita ini? Atau aku putuskan sampai disini, sehingga kalian saja yang meneruskannya, sesuai dengan kemampuan khayal kalian
75
masing masing, ibarat membaca cerita dengan ending terbuka. Lagipula pengaruh empat pinggan bubung kerang rebus dan dua botol bir hitam putih yang kupajuh tadi sudah mulai bereaksi. Kalian tahu? Sudah seminggu ini anak tunggalku si Kandar selalu saja merengek minta adik kepada emaknya. Kalian pahamkan? Masih ada tugas suci yang harus kuselesaikan sampai menjelang pagi, ha…ha… ha.” Sejenak aku mengocak mata dan menguap lebar, pura pura mengantuk. “Aku tak mau malam ini waktuku hanya kuhabiskan dengan kalian. Duduk duduk, bercerita di bibir batu miring sambil sesekali menatap jembatan KBS (Kampong Boso Seberang) yang baru kita dapatkan setelah lebih dari limapuluhlima tahun berintegrasi ke dalam wilayah Republik Indonesia dan itupun kita dapatkan setelah pemimpin kita yang sekarang ini betul betul anak jati Inderagiri.” Berhenti sejenak dan menarik nafas dalam dalam, lalu menghembuskannya perlahan, menatap kosong ke langit berbintang. “Pilu, miris atau nelongso bak kata orang Jawa hati ini, apa bila lama lama memandangnya.” “Ah awak, begitu saja merajuk.” Kata Nazar yang memang sangat antusias mendengarkan ceritaku. “Memang kau Masdar, selalu saja jadi pengganggu acara kita yang tak dapat setiap saat kita buat seperti ini.” Amir dan Ninggal menimpali. “Kalau kau tak suka lebih baik kau pulang saja, atau aku paksa kau meninggalkan kami! Kau tahu, si Etje ini pembual, pemborak yang selalu memberikan siraman rohani dan jasmani bagi kita dan tak setiap saat dia dapat
76
berkumpul bersama kita. Dia sekarang sudah jadi orang kota besar, orang Pekanbaru.” Muzakir, teman kami yang paling cepat naik darah rupanya tak dapat menahan emosi melihat ulah Masdar yang sok kritis. “Ah kau Kir, sudah kau hempas aku, kau angkat pula. Kau lebih sadis dari si Masdar, masa aku kau bilang pembual dan pemborak. Aku ini pengarang, domein kreatifitasku adalah fiksi. Namun percayalah ceritaku kali ini betul betul kejadian, true story kata orang Inggris walau sedikit sedikit kemampuan mengarangku kulibatkan juga dalam cerita ini sebagai bumbu untuk perbaikan rohani kalian yang kulihat sudah mulai…..ah, tak usahlah lebih baik tak kuteruskan karena tampaknya kalian lebih suka cerita berpola tamat tak sudah.” Aku pura pura tersinggung dengan kata kata Muzakir tadi. “Pukimaaaaaaak! Inilah yang membuat kita selalu merindu kepada si Etje ini. Pandai betul dia mecari selah untuk menghidupkan malam malam kita.” Julham berteriak kencang membuat para penjaring ikan di sungai Inderagiri dan para Uda dan Uni penggaleh rokok serta pisang goreng yang setiap malam mangkal di depan “situs” bioskop tak berfilm “Sempena Riau” dekat tempat kami berada, terkejut memandang. “Lanjutkan Tje, lanjutkan! Tak ada interupsi.” Serentak seperti dikomando mereka kawanku setengah berteriak, minta agar cerita dilanjutkan. “Itulah kau Masdar, terbiasa untuk menyempok macam lenglayang tokong yang diadu. Tunggu aku selesaikan cerita ini, baru kalian boleh berkomentar dan aku yakin komentar kalian takkan menyentuh kata melopo. Karena
77
dengan menyimak secara utuh cerita ini, kalian akan tahu makna melopo yang sebenar benarnya. Semuanya terdiam, tak ada reaksi dari mereka. Mereka takut aku tidak lagi melanjutkan cerita yang sebenarnya merupakan suatu kejadian nyata yang dialami Masdomo, orang pendatang yang berbinikan perempuan Rengat, orang kampung kami. “Baiklah aku mulai, tapi sebelum itu aku minta tolong kepada kau Kir, karena kau yang mempunyai mobil, tolong kau suruh anak Ajo Keriting itu mengambil rokokku ke rumah bang Rahmat, karena selama di sini kami menginap di rumahnya. Jangan lupa pesankan pada anak Ajo Keriting, untuk meminta rokok Belanda merk Sumatera Cum Laude kepada biniku.� “Okey.� Muzakir menjawab tangkas. Setelah muzakir kembali masuk kelompok, “Kalian kan masih ingat siapa dan bagaimana si Masdomo laki si Leha itu? Hilir mudik selalu menyelipkan celurit di pinggangnya, padahal seperti yang aku tahu persis, cara membawa celurit itu di negeri asalnya, bukan dengan menyelipkannya secara pamer di pinggang, melainkan sangat tersuruk di kelengkang, antara buah pelir dan paha yang kemudian ditutupi dengan celana longgar. Sedangkan hulunya yang tersembul di atas buhul tali celana, disamarkan dengan melilitkan ikat pinggang lebar atau kain sarung di pinggang. Menurut kita masyarakat sini, orang yang membawa senjata hilir mudik kecuali petugas keamanan negeri, adalah orang yang kurang rasa percaya diri, kurang PD kata anak Jakarta. Karena senjata untuk pembelaan diri kalau itu yang dimaksud, dalam keadaan
78
terdesak bisa kita dapatkan dimana mana di lingkungan kita atau juga dalam diri kita, umpamanya dengan retorika kata kata, kharisma dan wibawa. Bukan dengan membawa parang panjang pagi petang, atau badik, celurit, keris luk likur dan lain sebagainya. Jadi kesimpulanku si Masdomo itu orangnya penakut, karena selama ini seperti yang kita ketahui, celuritnya itu hanya ia gunakan tak lebih dari sekedar pamer hilir mudik, mehagah hagah, menggertak bininya si Leha kalau segala kehendak gilanya tak dipenuhi. Gila nak menambah bini, nak menjual tanah pusaka peninggalan mertua, minta perhiasan Leha untuk modal berjudi yang ujungnya kalau menang ia punah ranahkan di rumah lonte, karena selama ini si Leha memang tidak mau uang haram tersebut digunakan untuk keperluan rumah tangga mereka.� Aku berhenti sejenak, menghirup dalam dalam Sumatera Cum Laude cerutu ringan kegemaranku, memandang jarum jam di lengan kanan yang berakibat, munculnya rona kegelisahan di wajah para sobat karena takut cerita ini putus begitu saja. “Ah, baru pukul setengah dua belas selesaikan cerita ini dahulu. Masalah tugas suci itu, kan bisa kau kerjakan menjelang subuh.� Nazar bereaksi karena melihat ada gelagat kurang baik dan ikut melihat jarum jam yang ada di lengannya. “Betul itu.� Kawan kawan yang lain mendukung reaksi Nazar. Mendehem sejenak, membasuh tekak dengan air sorbat hangat buatan Amat Banjar, aku kembali melanjutkan cerita. “Baiklah, aku coba memperpendek durasi cerita ini
79
karena kasihan bini kelamaan menunggu, juga tak enak sama keluarga bang Rahmat, sudahlah menumpang gratis di rumah orang, balikpun selalu larut malam.” “Baiklah, sekarang kamera terpaksa kita alihkan sorotnya ke Pekanbaru, karena setting cerita berpindah ke sana.” “Tje, di Pekanbaru ini hanya kaulah saudaraku, di mana tempat aku dapat berbagi rasa, menyampaikan berita suka dan keluh duka.” Terisak isak Leha dengan muka lebam terkena pukulan datang ke rumah kami malam itu. “Astaghfirullahalazim, kenapa kau Leha? Kenapa… siapa yang membuat kau seperti ini?” Sri isteriku terkejut haru ketika melihat keadaan Leha dengan kondisi seperti itu. “Masdomo Sri. Ia tetap tak berubah, malah semakin menjadi jadi. Seakan rezeki yang semakin membaik selama di sini adalah rezeki yang akan membawa bencana bagi kami sekeluarga.” Leha meringis mengusap kelopak matanya yang lebam membiru bertepi kerak darah mulai mengering. “Bukan kali ini saja ia menghazabku hingga teruk seperti ini. Sejak dulu, sejak kami masih di Rengat di kampung kita. Tapi dulu aku beranggapan itu adalah suratan nasib yang aku harapkan akan berubah sejalan dengan perbaikan kondisi ekonomi kami. Masa itu aku berfikir bahwa kekasaran Masdomo, dipicu oleh tekanan ekonomi dan rasa rendah diri yang menghantuinya karena ia tidak mempunyai pekerjaan pasti, untuk dapat menunjang secara penuh segala kebutuhan keluarga.” Leha membetulkan kain kompres air es yang diletakkan
80
diseputar mata dan pipinya, kembali meringis menahan pedih lahir bathin. “Kalian kan tahu, pada saat seperti itu aku tak tinggal diam. Segala sesuatu yang dapat dan mampu kukerjakan, aku kerjakan untuk menutupi kekurangan. Menjadi tukang cuci kain, menerima upahan menjahit pakaian, membantu memasak pada upacara upacara perhelatan dan lain sebagainya.” “Betul itu Leha,” Sri menimpali, “Aku sungguh salut dengan pengabdianmu yang betul betul total kepada suami saat itu. Terkadang terlintas juga di benakku bahwa kau telah melakukan perbuatan tolol bagaikan kerbau pembajak sawah yang disuruh bekerja keras, dipecut dan tidak dihargai.” “Aku sadar itu Sri. Terkadang terlintas juga di benakku untuk sekedar menggertak dan malah terlafaskan untuk minta cerai. Namun bukan talak yang ia berikan, tetapi tamparan, pukulan atau acungan celurit yang ia ayun ayunkan di depan wajahku. Namun walaupun demikian saat itu aku masih bisa bertahan. Banyak faktor yang membuatku untuk terpaksa tabah. Keinginan untuk membesarkan anak anak layaknya orang lain dengan sepasang orang tua yang utuh.” “Sungguh besar jiwamu Leha, namun apakah kau masih akan bertahan kalau seandainya keadaan seperti itu terus berlanjut.” “Kali ini tampaknya tidak. Marwah dan martabatku sebagai isteri syah, ibu yang mengandung anak anaknya dan perempuan yang sudah terlalu banyak memberikan pengorbanan demi kepentingan utuhnya sebuah
81
rumahtangga. Siksaan lahir mungkin masih dapat kutahan, namun dipermalukan secara batin, ini sungguh tak dapat kuterima. Ia permalukan aku di hadapan pelacur langganannya yang aku pergoki ketika mereka bergandengan mesra di escalator sebuah super market. Ia permalukan aku di depan anak kami, didepan ibuku, mertua perempuannya dan di depan orang banyak. Yang lebih menyakitkan lagi, perermpuan pelacur itu dengan senyum syetan menarik Masdomo suamiku bagaikan lembu dicucuk hidung pergi meninggalkan kami meluncur dengan taksi menorehkan luka yang takkan terobati di hati ini.� Aku yang sedari tadi diam, berupaya untuk menetralisir keadaan sungguh tak dapat menahan amarah. Tidak bermaksud untuk memprofokasi atau menambah runcingnya situasi rumah tangga mereka. Dengan keras dan lantang aku berteriak. “Ini tak dapat dibiarkan, kau harus bertindak tegas Leha. Kau masih ingat kata ‘melopo’? kalau kau masih ingat, tentu kau mengerti maknanya. Lakukan itu, lakukan sebagai Leha perempuan Inderagiri.� Mendadak sontak setelah aku mengucapkan kata melopo, Leha bangkit meninggalkan kami dan tak lagi berpaling kebelakang sebagai ungkapan lazim rasa ragu. Leha pergi menembus gelap dan harap, agar terang ia dapatkan dihadapan. Dua hari kemudian aku medengar bahwa Masdomo bersimbah darah di depan tangga rumahnya. Aku bergegas meninggalkan rumah menuju ke sana. Dengan matakepalaku sendiri, aku melihat Masdomo dengan nafas
82
tersengal sengal menahan sakit dari luka yang menganga di dada dan lengannya. Sedangkan si Leha dengan mata yang masih sembab membiru, memegang celurit yang selalu dibawa hilir mudik oleh Masdomo, dipapah petugas polisi menaiki kendaraan yang dibawa mereka. Ia sempat perpaling sejenak padaku dan berkata. “Aku telah melopo, terima kasih Tje.” Aku hanya dapat mengangguk dan tak dapat berkata. Semenjak itu, Masdomo tak pernah terdengar lagi kabar beritanya, sedangkan si Leha hingga kini, setelah enam tahun berselang, tetap sendiri sebagai janda tak bersurat cerai. Tak ada keinginan untuk menikah lagi, padahal kesempatan itu sangat memungkinkan untuk diraihnya. Menurut dia, hanya ada seorang lelaki yang boleh menjadi suaminya dalam rentang perjalanan hidup ini dan Rahmah anak perempuannya, ia harapkan tak akan mengalami nasib seperti Leha ibunya serta Sapar sijantan buah hatinya, takkan pernah menjadi seperti Masdomo bapaknya. “Jadi jelaslah bagi kalian bahwa melopo adalah perlawanan akibat tekanan berkepanjangan yang bermuara pada tujuan untuk hidup dengan resiko mati, bukan hidup dalam ‘mati’ dan aku yakin kalian pasti jelas, karena cara berceritaku tadi bukan hanya untuk konsumsi orang cerdas saja, namun juga untuk orang seperti kau Masdar yang hobi menginterupsi tak tentu pasal sehingga sedikit ada kesamaan dengan kebanyakan anggota Parlemen Negeri yang mengidap penyakit sindrom interupsi, karena takut dibilang penganut ‘gaya lama’ atau ‘tak cerdas’.” Bergegas aku meninggalkan tempat perjumpaan,
83
sambil menghampiri salah satu becak yang berjajar dan menjadikan laman bioskop tak berfilm “Sempena Riau” menjadi pangkalan rehat mereka. “Besok kami kembali ke Pekanbaru, Biniku sudah kedinginan menunggu di ranjang! Kalian tak usah menghantar keberangkatan kami, karena bagiku menghantar kepergian, adalah mewujudkan kesedihan dan kesedihan tak membangkitkan rasa rindu, atau tegasnya kesedihan membunuh keinginan untuk kembali. Sampai jumpa para sobat.” “Pukimaaaaaaaaak! Lantaklah Nyoooot.” Serentak mereka berteriak diakhiri tawa menggelegar membahana, kemudian sayup semakin sayup, lalu hilang hingga kemudian dalam hitungan bulan, terdengar kembali di rumahku, dilamunanku, dimimpi mimpiku di Pekanbaru. Semakin keras, semakin keras, semakin keras
84
MEMILIH SAAT MATI (YANG SALAH) “Menikam jejak di Tangkuban perahu, adakah tangis bayi memanggil dari kawahnya ?� Bait sajak spontan yang dikarang Tika, berkali kali ia lantunkan keras keras, mengalahkan suara angin yang menderu kencang di puncak Tangkuban perahu. Sengaja bait sajak itu ia pasakkan ke telingaku dengan maksud menggoda, menggoda karena tak terasa begitu menjejakkan kaki di tepi kawah berlegenda itu, aku menitikkan air mata dan berteriak keras-keras, “Tangkuban perahu dan kenangan, aku datang menziarahimu,� lalu erat menggenggam pagar yang terbuat dari ranting kayu pembatas mulut kawah dan tepian, mendongak terpaku memandang gumpalan awan di atasnya. Tak sedikitpun aku mau perduli dengan godaan Tika dan sajaknya, membuat ia membiarkan aku menikmati kesendirian dan inilah kelebihan Tika. Salah satu kelebihan yang melanggengkan rumah tangga kami. Tika memang baik, kebaikannya itu telah kuhargai dengan berbagai bentuk penghargaan selama lebih dari tigapuluh tahun dan aku berharap, takkan ada penyesalan untuk itu selama perjalanan hidup ini. Yang kusesali sampai saat ini hanyalah, mengapa bayangan Entin yang terbang melayang lalu hilang ditelan
85
bubur menggelegak di kuali besar gunung berlegenda. Perasaan bersalah, karena ketidak beranian kala itu, untuk melakukan hal hal yang lazim dilakukan anak lelaki kota yang sedang melangkah menuju dewasa. Ketidak beranianku untuk menggerakkan tangan, menangkupkan jari jari didadanya yang selama ini menurutnya menjadi masalah. Gemetarnya bibir ini ketika akan mencoba menghibur dan memuji keelokan parasnya, kehalusan
86
jangatnya, bibirnya yang merah selalu lembab basah, seakan mengundang bibirku untuk mengecupnya. Namun hal itu tak sanggup aku lakukan. Anak kampung di “Paris van Java,� begitulah aku saat itu. Terlalu banyak petuah petuah terpatri kuat di benakku. Petuah Tuk Ali di surau kampung kami, petuah Encik Limah guru agama Islam di sekolah rakyat, petuah Emak, petuah Abah. Petuah petuah melekat, yang menyebabkan aku jadi penakut, jadi banci menurut anak anak Bandung masa itu. “Entin, maafkan aku. Aku tak sanggup memenuhi permintaan yang kau sampaikan lewat pandangan mata.� Hanya itu berkali kali, yang dapat kuucapkan dalam hati, ketika putus asa tak kuasa menggerakkan tangan, menangkup meremas apa yang ada di tubuh Entin . Padahal kesempatan untuk itu cukup tersedia. Malam malam yang dingin di kota Bandung. Malam malam yang hanya kami isi dengan perbincangan tentang mata kuliah, tentang sejarah kerajaan Riau lingga yang amat kupahami, tentang Raja Alihaji dengan gurindam dua belas dan karya sastera lainnya, juga tentang depressi yang menghimpit Entin karena tak mampu menampilkan rasa percaya diri ditambah dengan ejekan para penjahil meekspose kekurangannya, kalau hal itu boleh disebut sebagai kekurangan. Berkali kali hanya itu yang kami lakukan walau pada saat berbeda, hanya ada pelebaran pelebaran bahasan, namun untuk masalah pribadi yang bersifat curahan hati dari Entin, aku selalu diam, selalu mengalihkan pembicaraan kehal hal lain.
87
Jernih tergambar mata, hari sulung bulan Januari tahun 1964, hari yang mematri ingatan di tepi kawah Tangkuban perahu. Udara dingin dengan angin bertiup agak kencang dan mungkin inilah yang menyebabkan Entin merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Anehnya tak ada risih, kikuk dan salah tingkah seperti yang menyelimutiku selama ini, walau tangan ini masih tetap saja diam membeku. “Din, kau lelaki baik yang pernah kukenal. Namun terus terang saja, kebaikan lain yang sejak lama kudamba dambakan tampaknya tidak dapat kuharapkan darimu.” Entin menarik nafas dalam dalam dan menghembuskannya perlahan tepat di pipiku, yang memberikan sedikit kehangatan mengatasi dinginnya puncak Tangkuban perahu siang itu. “Bukan rasa iba yang dapat mengobati kedukaanku, namun walau begitu aku tetap menghargai sikapmu yang kurasakan sebagai pengorbanan dan yang jelas kau bukan seperti Encup, Tatang, Agus, Cecep, Engkos dan banyak lagi lelaki lainnya yang pernah kukenal.” Butir butir air mata terlihat mulai menitik dari pelupuk mata Entin, kemudian mengalir membasahi pipinya. “Mereka sedikitpun tak merasa bersalah, walau apa yang mereka katakan itu merupakan suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri. ‘Entin dadamu rata, Entin tak bertetek, Entin papan berdiri, Entin badan selembar’ dan kesemuanya itu selalu saja menghantui hidupku sejak beranjak dewasa hingga kini.” Puncak Tangkuban perahu terasa semakin dingin bagiku. Entah ini merupakan suatu kedunguan, ketololan
88
yang menjadi bawaan badan, namun yang jelas saat itu aku tak obahnya hanya seperti kambing pekak yang mengembik tak tentu pasal. Sekenanya aku menimpali kalimat kalimat curahan hati Entin. “Tin, Tuhan menyempurnakan keberagaman dan salah satunya ia terapkan pada dirimu.” Walau kemudian aku sadari bahwa kalimat ini betul betul kalimat konyol dan itu kurasakan sebagai satu komentar iseng, yang sama menyakitkan dengan apa yang sering dilontarkan oleh Encup, Tatang, Agus, Cecep, Engkos dan yang lainnya. Syukur, Entin tidak merasa bahwa itu bukanlah sebagai kata kata iseng yang kuucapkan sekenanya. “Aku faham, aku juga pernah belajar banyak tentang agama, tentang Tuhan. Tapi mengapa Tuhan tidak membarengi kelainan ciptaanNya ini dengan anugerah ketabahan bagiku. Aku sadar, cukup banyak Tuhan menciptakan orang pekak, orang tuli, orang pincang, orang buta dan sicacat sicacat lainnya, namun mereka dilengkapi oleh Tuhan dengan perasaan menerima, sadar akan kekurangan dan selalu berupaya untuk memunculkan kelebihan.” Entin diam sejenak, menarik nafas dalam dalam dan perlahan menghembuskannya, kembali tepat menyapu pipi dan tengkukku. “Tuhan lupa memberikan perimbangan itu padaku.” “Astaghfirullah al azim, mengucaplah Entin, istighfar. Sadar ataupun tidak, yang jelas kau telah melakukan suatu dosa besar, menyesali perbuatan Tuhan.” Dan, terjadilah peristiwa yang tak dapat kuhapus dari ingatan hingga kini. “Plak….” Terasa tamparan keras menerpa pipiku, mata
89
dan telingaku tak cukup tangkas menangkap momen yang paling berarti, sehingga aku tak dapat berbuat apa apa untuk mencegahnya. Terlihat tubuh Entin dalam hitungan kelebat, melayang sembari menggumam tak jelas lalu hilang ditelan gelegak lahar kawah Tangkuban perahu. Hari ini bersama Tika isteriku, Pablo dan Lola anakku, Entin mengakhiri pertemuan kami dengan meniti dan melambaikan tangannya di puncak lengkung setengah elips pelangi yang kemudian tertutup disalut awan menitikkan hujan di hatiku, di hati Tika setelah aku menceritakan tentang Entin padanya. “Astaghfirullah al azim, kau terlalu cepat mengambil keputusan, karena kalau kau tahu, selang tak berapa lama setelah kepergianmu, perempuan yang berdada rata sepertimu muncul dan merubah dunia. Twiggy dan Christine dua diantara mereka dengan bangga telah merubah selera.� “Aku yakin kepergianmu bukanlah atas kehendakNya, tetapi kesalahanmu dalam memilih saat pergi, saat mati. Semoga Tuhan memaafkanmu.� Kami. Aku, Tika, Pablo dan Lola mengusap muka setelah melafazkan doa lalu pergi meninggalkan jejak jejak, yang mungkin pada saat-saat mendatang akan ditikam lagi.
90
NDU AMAT Kembali joran kailnya seperti ada yang menarik narik dari bawah sana. “Mudah mudah kali ini, bukan benda celaka seperti yang tadi tadi menyangkut di mata kailku.” Begitu pikir hati Ndu Amat, orang tua yang hampir lebih tiga perempat perjalanan umurnya ia lalui dengan pekerjaan sampingan sebagai pengail. Masa dulu, sebelum ia dipensiunkan, pekerjaan utamanya adalah sebagai sinder atau mandor pengawas jalan. Sadar ataupun tidak, jabatan dipekerjaan inilah yang menyebabkan masyarakat sekitar memberi tambahan nama menjadi Ndu Amat (Mandur Amat), padahal yang sebenarnya nama beliau hanya Amat saja, atau Amat bin Ja’par. Perihal seperti ini memang banyak berlaku dalam lingkungan msyarakat Melayu Riau. Mungkin juga di daerah daerah lain. Jamin, karena dia menggunakan kacamata sebagai alat bantu penglihatan, oleh masyarakat ia diberi tambahan nama menjadi “Jamin mata empat.” Begitu juga dengan “Amir buncit,” tentu saja karena perutnya yang seperti perempuan bunting tua maka ia mendapat tambahan nama seperti itu. Yang lainnya seperti “Karim tengkot” (karim pincang), “Rahman catut,” karena jadi tukang catut karcis bioskop atau “Nurdin tuak” yang pemabuk dan lain
91
sebagainya. Kadang terkesan masyarakat seperti tak puas menerima nama pemberian orang tua masing masing, hingga merasa perlu memberikan tambahan nama sesuai prediket atau cacat bawaan masing masing. *** Kembali ke Ndu Amat yang dengan penuh harap menyentakkan joran kail. Kembali pula sumpah seranah, carut marut keluar dari mulutnya yang sudah kemput keriput. “Benda haram jakul. Siapa pula yang mencampakkan benda seperti ini ke sungai. Sungguh manusia tak beradat.� Dengan setengah jijik dia lepaskan juga celana kolor buruk perempuan yang tersangkut di mata kailnya. Ketabahan hati Ndu Amat pantas diberi acungan jempol. Sungguh sangat luar biasa. Kalau orang lain yang bukan punya hobi bersebati dalam diri, tentulah sudah sedari tadi balik kanan gerak dan mencampakkan perangkat pancingnya jauh jauh. Namun lain Ndu Amat, sumpah seranah dan maki hamun tampaknya hanya sebatas di mulut saja. Dengan bekal harap dan hobi yang menyatu sejak berpuluh tahun, dari tangan yang agak gemetaran, tetap saja ia kembali memasang umpan di mata kail sambil merapal mantera usang di luar kepala. “ Hai mambang tali arus Mambang sekalian mambang Mambang kisa mambang berima Si Langjuna mambang di sungai Ai Durai sibiti nama mak kau
92
Si Tanjun nama bapak kau Kau memegang hulu sungai Kau memegang hilir sungai Kau memegang sekalian sungai Kau memegang lubuk ikan Jangan kau imbang kailku ini Jikalau kail aku di kiri, angkau di kanan Jikalau kail aku di kanan, angkau di kiri Jikalau kau usik kailku ini Kusumpah kau berlaksa sumpah Tahan? Cuih‌..cuih‌..cuih.� Meludahi umpan di mata kail lalu melemparkannya ke air dengan penuh harap. *** Mengherankan, akhir akhir ini ikan seperti hampir menghilang dari sungai Inderagiri. Padahal dahulu, kalau dia berangkat mengail pukul dua siang, sebelum pukul empat sore, dia sudah mendapatkan hampir sekeranjang penuh berbagai jenis ikan sungai. Ada Baung, ada Pelompong, Lampam, Idung Budak, Kopo dan sesekali terkail juga Patin kunyit berukuran sepanjang budak lima tahun. Sekarang? Jangankan sekeranjang penuh, sejak subuh kelam hingga menjelang maghrib hilir mudik mendayung sampan, melempar kail, berkali kali mengganti umpan yang telah pucat terendam, namun yang dapat paling paling, dua ekor Baung sebesar lengan budak kecik ditambah berapa ekor Seluang dimana kalau dulu, ikan jenis ini tak laku di
93
pasar dan biasanya apabila terkail, dilepaskan kembali ke air. Hari ini, sejak pukul delapan pagi tadi, hingga beranjak petang masuk waktu asyar. Sudah empat tempat yang biasanya menjadi lubuk ikan ia datangi. Mulai dari kuala Batang Rengat, Sungairaya, Tanjung putus dan terakhir pumpun ikan di Sendolas. Namun sampai saat ini hanya beberapa ekor Seluang kecil ditambah tiga ekor Engger engger yang kalau dijadikan lauk, paling kuat hanya dapat memenuhi kebutuhan sekali makan, untuk tiga orang. Sedari tadi, lebih banyak dia melepaskan barang barang bekas keperluan rumah tangga modern yang tersangkut di mata kailnya. Ada ember koyak, rangka sepeda anak anak, sandal bekas, ban sepeda motor bekas, dan baru saja tadi, celana kolor perempuan. Sungguh memalukan sekaligus memilukan. Heran sungguh sangat heran. Apa ikan sekarang sudah tak suka lagi umpan cacing, telur serangga atau anak lipas, atau mantera yang dulu ampuh, sekarang menjadi tak berguna lagi. Setelah sholat asyar di tebing Sendolas, Ndu Amat mengayuh sampannya memudiki arus sungai Inderagiri, perlahan sambil sesekali melempar kail dengan penuh harap. Dulunya, perjuangan mendayung sampan, memudiki arus sungai Inderagiri, dia anggap bukanlah perjuangan berat. Rasa lelah terkalahkan oleh kegembiraan yang meluap luap karena hasil tangkapan sungguh sangat melegakan. Dalam pikiranya saat itu hanya tergambar rasa bangga, karena hasil jerih payahnya tampak membuahkan
94
hasil. *** Di lingkungan kampung tempat tinggal, Ndu Amat bukanlah orang yang terkebelakang di sisi penghasilan. Anak anaknya semua bersekolah, bahkan ada yang di perguruan tinggi. Setiap selesai sholat isya, dari radio transistor Philps L4, sebuah benda elektronik yang dijadikan simbol status sosial pada saat itu, ia selalu mendengarkan alunan merdu suara penyanyi Melayu dari negeri jiran seperti, P.Ramlee, Kasmah Boti, Siput Serawak dan penyanyi wanita pujaannya, Saloma. *** “Asnah, nah….asnah” suara Ndu Amat memanggil isterinya. “Ya bang, sebentar.” “Cepat, tolong ambilkan aku handuk, gayung dan jangan lupa sabun serta kain sarung untuk salin. Aku mandi di kedu’an saja, badanku kotor betul,” Seru Ndu Amat selanjutnya. Sambil menyerahkan benda benda yang diminta suaminya, mak Asnah sedikit mengomel bertanya, “Mengapa sudah berebut senja abang baru pulang, abang tu sudah tua bang, sadarlah sedikit. Badan tu sudah rapuh, tak macam dulu lagi.” Tak sadar bahwa orang yang diomelinya itu sudah tidak berada di tempat. “Huh,” sambil memperkeras suara, mak Asnah bertanya, “mana ikan tangkapannya, biar kusiangi untuk makan malam nanti.” Dari kedu’an Ndu Amat membalas, “ Tu….di tepi tangga. Tak berapa ekor ku dapat,” sambil terus mandi
95
berendam di kedu’an belakang rumah. “Ndu Amat, Ndu Amat….” Mak Asnah menggumam dalam hati, “orang tua tengkar, sudah berkali kali dilarang, tak usah lagi mengail, masih saja mengail. Muak rasanya hati ini melarangnya, masih saja pekerjaan dan hobinya itu dia lakukan.” Memang rasanya, sudah tak terhitung kali dia coba menghentikan kebiasaan mengail yang sekarang menjadi hobi wajib Ndu Amat. Begitu juga dengan anak anaknya dan yang paling gigih melarang adalah si Bahar anak tertua serta si Daus anak kedua, dua anaknya yang kini sudah menduduki jabatan penting di pemerintahan. Si Bahar, insiyur pertanian yang kini menjabat sebagai kepala dinas pertanian di Pekanbaru sedangkan adiknya si Daus, lengkapnya Drs. Firdaus Amat MBA, direktur utama sebuah bank milik pemerintah di Jakarta juga menjabat beberapa jabatan penting di berbagai organisasi bisnis tingkat nasional. Sungguh sangat wajar kalau mereka sangat gigih, melarang Ndu Amat ayah mereka untuk menghentikan hobi yang sudah tidak sesuai lagi dengan umur beliau. Sangat tidak pantas rasanya orang orang seperti mereka ber ayah kan seorang pengail ikan yang hasilnya jelas tidak seberapa. Di mata orang orang yang sama sekali tidak tahu permasaalahannya, tentu mereka mengira bahwa Bahar dan Daus tidak memperdulikan keadaan orang tua mereka. Tidak membalas jasa. Tak ingat bahwa dahulu, Ndu Amat telah bersusah payah menyekolahkan mereka dan menjadikan mereka sebagai orang penting seperti saat
96
ini. Dilematis memang, Ndu Amat orang tua mereka tetap pada pendiriannya. “Jangan kalian pedulikan apa kata orang. Yang penting aku menggemari pekerjan ini.” Begitu kata Ndu Amat, apabila alasan keberatan mereka ini mereka kemukakan kepada Ndu Amat. Pernah juga mereka berencana membuatkan kolam ikan patin budi daya di tanah Ndu Amat yang lumayan luas. Lengkap dengan segala sarana prasarananya. Tapi apa komentar Ndu Amat. “Kalian suruh sajalah orang lain untuk mengelola kolam kita ini, kalau Ayah jangankan mengelola, melihat saja Ayah tak sempat, terus terang Ayah tak berminat. Yang Ayah inginkan adalah, setiap Ayah ingin makan ikan, Ayah pergi mengail sebentar dan langsung mendapatkan hasil seperti dulu dulu, bukan seperti rencana kalian, setahun bahkan mungkin lebih, aku baru dapat menikmati hasil kerjaku dan yang terang ikannya tentu tidak selemak ikan tangkapan di sungai. Sungguh satu perjuangan berat dan penantian yang panjang bagiku.” Begitu selalu kata Ndu Amat yang kemudian dilanjutkan, “kalau kalian ingin berbakti kepada ayah dan kepada masyarakat sini, dengan jabatan, kekuasaan dan kemampuan yang kalian miliki, cobalah kalian pikirkan dan lakukan bagaimana caranya agar ikan ikan di sungai Inderagiri ini tidak berangsur punah dan kemudian habis sama sekali.” Sangat berat memang, permintaan ayah mereka. *** Hari itu, sudah hampir pukul sembilan malam Ndu Amat belum juga pulang dari mengail. Mak Asnah dan
97
98
anaknya Siti Fajar yang masih di SMA, sedari tadi terlihat gelisah. Beribu pertanyaan dan dugaan menyangkut di benak mereka. “Ada apa dengan Ndu Amat. Selama ini Ndu Amat tidak pernah pulang sampai malam begini.” Orang orang kampung sudah mereka utus untuk mencari tahu di mana dan bagai mana keadaan Ndu Amat. Namun sudah hampir dua jam mereka pergi menyusuri bibir sungai, tanda tanda ditemukannya Ndu Amat belum juga tampak. Siti Fajar mulai menangis. Perasaan yang bukan bukan mulai menghantui dirinya. “Jangan jangan Ayah sudah………, oh Tuhan lindungilah Ayahku, berikanlah keselamatan kepada nya.” Siti Fajar menduga duga dan berdoa dalam hati. Kira kira pukul sepuluh malam. Di tengah kegelisahan mak Asnah dan isak tangis Siti Fajar, terdengar suara serombongan orang kampung yang bersuluh obor, petromak dan lampu senter, mendekat menuju rumah mak Asnah. Tak kuasa mak Asnah dan Siti Fajar ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi. Mereka berdua menghambur ketengah kerumunan orang banyak. “Nauzubillah……ayahkukah itu,” kata hati Siti Fajar, setelah melihat beberapa orang memikul tandu. Ia sentakkan kain penutup dan terlihat sekujur tubuh Ndu Amat pucat pasi tak bergerak sedikitpun. Siti Fajar jatuh pingsan, untung segera dapat ditangkap, di bopong oleh beberapa lelaki tua yang ikut serta dalam rombongan pembawa tandu.
99
“Inalillahi wainaillaihi rojiun.� Ndu Amat telah berpulang kerahmatullah. Almarhum ditemukan meninggal di atas perahunya dalam keadaan masih memegang joran kail yang dimata kailnya masih terkait tulang tengkorak kepala babi di lokasi dekat pabrik pengalengan babi hutan. Kata dokter berdasarkan visum tertulis, Ndu Amat meninggal karena sakit jantung.
100
PENGANTIN BUNIAN Anisah terjelepok duduk di tikar, bersandar pada tepi ranjang. Sudah hampir sebulan ini bang Karim, suami Anisah pulih kesehatannya. Namun sudah hampir dua bulan penuh, Anisah melewati dingin malam dengan beban kegelisahan. Kegelisahan lazim seorang nyonya muda dalam penantian untuk mereguk anggur nikmat penghangat malam, anggur lezat yang tersedia di cawan Bang Karim. Menjadi tanda tanya besar yang hingga saat ini belum tampak jawabnya bagi Anisah. Enam tahun sudah, Anisah menjalani hidup berumah tangga, berlayar dalam satu biduk menerpa badai, dihempas gelombang, menikmati riak riak kecil lautan kehidupan dan angin segar yang mempertahankan kelangsungan perjalanan biduk rumah tangga mereka. Hampir selama itu pula tiada malam yang terlewatkan bagi mereka berdua untuk menghirup dan menikmati cawan demi cawan anggur malam kenikmatan. Sudah empat orang anak terlahir dari buah kasih cinta mereka, tapi pikiran dan keinginan untuk tetap setiap saat mereguk anggur dari cawan kenikmatan, tak pernah lekang dari pikiran mereka. Tapi kenapa, sejak ditemukannya kembali bang Karim dua bulan lalu, semenjak ia, menurut dukun tuk Jambang, telah dilarikan oleh para Bunian penunggu sawang Cenaku,
101
bang Karim jauh berubah. Berkat ketelatenan Anisah, secara berangsur phisik bang Karim mulai terlihat pulih. Hal ini jelas terlihat oleh siapa saja yang melihat betapa buruknya kondisi bang Karim saat ditemukan. Bang Karim ditemukan berada di dahan batang kempas yang sudah meranggas. Menurut logika dan akal sehat, tak lah mungkin dia dapat memanjat pohon yang sedemikian tinggi dengan lingkar batang lebih kurang delapan pelukan. Rasanya tak mungkin dan sulit diterima akal dia dapat melakukan hal itu tanpa bantuan banyak orang atau alat alat yang diperlukan untuk itu. Sungguh suatu keajaiban. Bang Karim di temukan dalam keadaan memilukan. Tubuhnya, tanpa ditutupi oleh sehelai benangpun, menelungkup memeluk dahan batang kempas, tanda tanda yang menunjukkan bahwa Bang Karim saat itu masih hidup hanyalah, gerakan gerakan pinggulnya yang secara teratur bergerak naik turun, layaknya orang yang sedang melakukan hubungan badan. Tanda tanda lain akan hidupnya Bang Karim saat itu sungguh tidak ada. Tubuhnya pucat seperti mayat. Hanya tulang bersalutkan kulit kering keriput dan berkudis di sana sini, membangkitkan rasa putus asa bagi yang melihat. *** Aku dengan Bang Karim, walau perbedaan umur kami cukup jauh, tapi persahabatan aku dengannya sangatlah kental, seperti ungkapan masa lalu, “setikar seketiduran, bak keris dengan hulunya.� Begitulah, eratnya hubungan persahabatan kami. Begitu mendengar hilangnya Bang Karim secara
102
misterius dan ditambah lagi dengan ditemukannya mobil yang biasa dikendarainya di pesawangan Cenaku, mempertebal keyakinanku bahwa hilangnya Bang Karim pastilah disebabkan sifatnya yang terlalu suka takkabur. Kesimpulan yang didasari pengalaman pengalaman bergaul dengannya selama ini. *** “Aku tak menyangka Tab, kau Katab yang metropolis, Katab yang lama bermukim di kota besar masih saja percaya kepada hal hal yang berbau mistik.� Katanya dengan nada mencemooh. “Dunia ini milik kita, milik manusia. Apapun yang akan kita lakukan, kita tidak perlu minta izin kepada makhluk jenis lain. Apalagi makhluk yang tak jelas ada dan tidaknya seperti hantu, jembalang, demit, bunian atau yang sebangsanya.� Begitu selalu kata bang Karim, apabila aku berusaha untuk menasihatinya, untuk tidak berkelakuan sembarang di tempat tempat yang ku perkirakan berpenunggu, angker atau keramat yang biasanya dihuni makhluk halus. Ketemberangannya ini sungguh sangat mengerikan menurutku. Walau tidak berharap, namun pada suatu kali, kalau kesombongan atau ketemberangannya ini berlangsung terus, aku yakin Bang Karim akan mendapatkan ganjaran. *** Sudah duabelas orang dukun atau paranormal silih berganti berupaya mencari di mana Bang Karim berada, tentu dengan kemampuan supranatural yang dimiliki oleh masing masing mereka. Namun hanya pada dukun
103
yang ketiga belaslah, suatu urutan angka yang menurut orang banyak dianggap sebagai angka sial namun untuk perihal Bang Karim, angka ini menjadi satu kemujuran. Pada dukun yang ketigabelas inilah titik tik terang tentang keberadaan Bang Karim diawali. Bukan untuk menggagahkan diri, atau keinginan untuk dianggap berjasa, tapi aku rasa andilku dalam menemukan posisi Bang Karim, walau tidak banyak namun ada. Setengah penekanan aku isyaratkan kepada para pencari untuk tetap melibatkan dukun, orang pandai atau paranormal dalam usaha pencarian Bang Karim. Kepada tuk Jambang dukun, pernah kubisikkan bahwa orientasi pencaharian di titik beratkan ke tempat tempat ataupun benda benda yang diperkirakan berpuaka. Alhamdulillah, entah karena kemampuan paranormal tuk Jambang dukun sangat tinggi dan mungkin juga berkat bisikan informasi pradugaku kepadanya, Bang Karim dapat ditemukan. *** Topik pembicaraan yang selalu mengisi perbualan di kedai kedai kopi, di warung warung lontong, tempat dimana para ibu bergunjing sehabis berbelanja, tidak lagi tentang hilangnya atau telah ditemukannya Bang Karim. Tetapi beralih kebeberapa berita lain yang menjadi lebih hangat. Berita tentang pak guru Drs.Kleon Rajipur yang menghamili murid perempuannya. Tentang mie beracun, tentang maling yang apabila kepergok bisa berubah wujud menjadi kucing, atau binatang lain dan isu isu yang lebih hangat dan menasional, seperti demonstrasi di Dresden dengan Sri Bintang Pamungkas yang diperkirakan
104
pemerintah sebagai tokoh dibalik itu. Isu ini secara otomatis menutupi isu tentang Permadi SH seorang tokoh paranormal kondang di negeri ini, juga banyak isu isu lain yang menenggelamkan berita tentang Bang Karim. Tetapi, bagiku sebagai seorang sahabat kental Bang Karim yang juga secara otomatis menjadi sahabat isterinya Anisah, masalah Bang Karim ternyata belum selesai. Tadi siang, Anisah melalui pembicaraan empat mata denganku, kembali mengeluhkan hal hal yang sama. “Cobalah dik Katab bayangkan,” Anisah memulai pembicaraan, “sebagai seorang yang sudah berkeluarga, sehat lahir batin, tentu dik Katab dapat membayangkan bagaimana kalau seandainya dik Katab diperlakukan oleh isteri dik Katab seperti ini, atau begitupun sebaliknya.” “Perlakuan seperti apa yang kakak maksud?” “Memang selama ini aku tidak pernah menceritakan kepada siapapun hal hal yang menjadi beban penderitaanku lahir batin hingga saat ini. Yang kukeluhkan kepadamu dulu dulu, hanya sebahagian kecil dari kelainan kelainan perilaku Bang Karim, sejak ia hilang dulu. “Jadi? Persoalan apa yang paling mendasar yang menyebabkan kakak begitu menderita?” Aku begitu antusias menanggapi dan ingin tahu apa permasalahan yang sebenarnya. “Orang lain atau dik Katab sendiripun, aku yakin pasti menganggap Bang Karim sudah sehat seratus persen. Betul kan?” “Betul kak, memang aku menganggap begitu. Mengenai tingkah laku Bang Karim seperti yang kakak keluhkan padaku kemarin kemarin, aku anggap hal itu adalah hal
105
yang mungkin saja terjadi pada orang lain. Aku yakin Bang Karim masih dalam keadaan shock, sehingga pada saat saat tertentu dia akan melamun, hanyut dalam halusinasi dan mengenangkan kejadian buruk yang pernah dialaminya tempo hari.” “Mulanya memang aku berpikiran seperti dik Katab, tetapi semakin hari tingkah laku Bang Karim semakin aneh kulihat.” “Aneh bagaimana kak?” Aku seakan tak sabar ingin mendengar penjelasannya lebih lanjut. “Bagaimana tak aneh, akhir akhir ini hampir setiap lepas tengah malam, Bang Karim secara sembunyi sembunyi membakar kemenyan putih di pedupaan dan di hadapan asap yang membubung itu, dia menangis tersedu sedu, mengungkapkan rasa rindu dan menyebut serta memanggil manggil sebuah nama, Manikamsuri…….. Manikamsuri, berkali kali sampai ia letih dan terkadang tertidur di depan pedupaan.” Aku hanya bisa melongo dan terbingung bingung tanpa dapat mengomentari keluhan kak Anisah. “Dan yang lebih menyakitkan lagi,” Anisah terhenti sejenak berbicara. Seakan ada hal yang berat, yang sebenarnya ia enggan menyampaikan. Tapi dari air mukanya terlihat bahwa beban ini harus ia bagi. Dengan wajah bersemu malu dan kepala yang ditundukkan kak Anisah lanjut berkata, “sudah dua bulan dik, ya…sudah dua bulan Bang Karim abangmu, tidak menyentuhku. Ia seakan tak berminat lagi untuk berhubungan badan denganku.” Anisah menghentikan pembicaraan, sambil menyeka
106
air mata yang mengalir di pelupuk matanya yang indah, dengan bola mata bulat bersinar bak bintang kejora, ia pamit pulang dengan wajah tertekuk menanggung beban penderitaan batin tak terperi. *** Ini baru suatu keanehan, siapapun lelaki itu, yang penting normal lahir batin tentu akan sangat tertarik, melihat sosok penampilan kak Anisah isteri Bang Karim. Walau pada saat ini, dari rahimnya telah terlahir empat orang putra putri, namun tampaknya rona kecantikan, keelokan bentuk tubuh masih saja menggoda mata lelaki. Kulitnya, walau tidak terlalu putih namun bersih licin bak porselein China. Tak sebuah parut lukapun tampak menodai kemulusan kulit dari tubuh langsing semampai. Rambutnya yang hitam dan sedikit ikal berombak, seakan mengimbangi kecantikan wajahnya yang berhiaskan dua buah lesung pipi, sangat kentara sekali apa bila ia tertawa ataupun hanya tersenyum. Sungguh aneh kalau Bang Karim tidak lagi tertarik kepada Anisah isterinya. Padahal, aku tahu persis bagaimana susahnya, bagaimana ketatnya persaingan persaingan yang di hadapi Bang Karim dulu untuk mendapatkan Anisah hingga menjadi isterinya. Terus terang sampai saat ini, akupun masih mengagumi kecantikan dan keelokan tubuh kak Anisah dan aku tak habis mengerti, mengapa sampai bisa Bang Karim membiarkan Anisah terhempas dalam kesepian kesepian malam panjang yang memilukan. *** Pada suatu kesempatan, dengan rasa berat hati karena hal ini menyangkut masalah yang sangat pribadi dan
107
masalah rumah tangga orang lain. Tetapi didorong oleh rasa kasihan dan tanggung jawab moral kepada Anisah isteri sahabatku, aku upayakan juga untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Bang Karim, sebelumnya aku mohon maaf kalau perkataanku nanti akan membuat abang tersinggung.” Aku memulai pembicaraan dengan Bang Karim. “Ah, kau ini ada ada saja. Ada apa rupanya, katakanlah.” “Begini Bang, sebetulnya masalah ini bukanlan masalah yang layak aku campuri.” “Masalah apa rupanya? Kok serius betul kau.” Kata bang Karim menimpali dengan nada sedikit berseloroh dan ini membuat keberanianku untuk mengungkapkan persoalan lebih lanjut. “Kak Anisah.” “Ada apa dengan Anisah isteriku, apa kau naksir dia,” sambil terus berseloroh Bang Karim mencuil pinggangku sehingga sedikit kegelian. “Ah, Abang ada ada saja. Bukan, bukan begitu Bang. Kak Anisah beberapa hari yang lalu mengeluh kepadaku dan keluhannya ini ia sampaikan hanya betul betul kepada aku seorang. Tidak kepada orang lain.” “Mengeluh? Mengeluh tentang apa?” Bang Karim balik bertanya dan mulai menanggapi serius. Walau resiko bagaimanapun yang akan kuhadapi, namun aku sudah bertekad untuk tetap menyampaikan masalah ini kepada bang Karim. “Kak Anisah mengatakan kepadaku, bahwa akhir akhir ini Abang selaku suami sahnya, telah melalaikan kewajiban abang sebagai suami yang sehat lahir batin.”
108
“Mengabaikan bagaimana?” Bang Karim sedikit tersentak menanggapi akhir kalimatku. “Bukankah segala kebutuhan rumah tangga kami aku penuhi dengan baik. Rumah, mobil, perhiasan, tabungan hari tua di bank dan juga kebutuhan anak anak serta keperluan mertuaku, aku penuhi dengan cukup dan itu semua aku sadari sebagai tanggung jawabku. Apalagi?” Katanya dengan nada tinggi. “Tapi Bang, itu saja saya rasa tidaklah cukup. Ada satu kewajiban yang mutlak harus Abang penuhi. Menurut kak Anisah, Abang terlalu lama membiarkan dia melewati malam malam panjangnya dengan kekosongan yang menjemukan dan malah menyakitkan. Untuk lebih jelasnya, Abang lupa atau mungkin Abang tidak mampu lagi memberikan nafkah batin untuk kak Anisah.” Dengan lantang dan gamblang aku mengutarakan keluhan keluhan yang di derita Anisah selama dua bulan ini. Jelas Bang Karim terkesiap mendengar kata kataku dan aku siap menghadapi kalau kalau Bang Karim menilai yang bukan bukan kepadaku. Bang Karim tercenung. Lama dia baru bisa menaggapi kata kataku. Aku lihat pandangan matanya kosong menatap sesuatu yang tak jelas. Satu demi satu, tetes air mata jatuh membasahi pipinya. Dari wajahnya yang aku lihat akhir akhir ini, tergambar suatu beban penderitaan yang berat menghimpit. Sehingga garis garis ketuaan yang tak semestinya dan seyogianya belum saatnya tergurat diwajahnya yang masih belum seberapa, terlihat mulai muncul di sana sini. “Betul Tab, aku, aku….” Dengan terbata bata ia berupaya
109
mengakui kesalahannya. “Memang aku lalai, sesungguhnya aku sehat kok. Sehat lahir batin, sehat seperti dulu. Tapi tak tahu mengapa, aku rasa ini semua bukan kesalahanku.” “Bukan kesalahan Abang? Tapi Abang mengakui Abang sehat walafiat. Mengapa Abang siksa Kak Anisah seperti itu? Sungguh aku tak mengerti apa maunya Abang.” “Sungguh semua ini bukan kesalahanku. Kau ingat dua bulan lalu. Ketika aku dilarikan oleh mahluk halus, orang bunian penghuni sawang Cenaku. Saat itu mereka mengawinkan aku dengan putri raja mereka. Manikamsuri nama isteriku yang di sana. Seorang bunian cantik yang memberikan aku kenikmatan abadi, kenikmatan rasa gadis perawan setiap saat kami berhubungan badan dan hal yang seperti itu hanya sekali kudapatkan dari Anisah isteriku yang di sini. Ya, hanya sekali saat malam pertama dulu dan setelah itu, hanya Manikamsurilah yang dapat memberikannya setiap saat.
110
PISAHKEPALA Malam merangkak mendekati pertengahan, udara semakin dingin ketika tinggal rintik sisa lebat curah hujan sore tadi yang menyebabkan aliran listrik terhenti dan lampu penerang praktis menjadi padam. Persis seperti penyakit semput akut terlanggar pantang, tak pandang lebat, setengah lebat ataupun gerimis, listrik Pekanbaru sangat berpantangkan hujan, syukurlah sampai kini pengelolanya belum berpantangkan duit. Hanya sendirian yang sadar dalam ruang penuh gelap. Tiba tiba lampu mendadak sontak menyala, membuat aku seperti biasa ingin mengusap kelopak mata, sepat mengadaptasi terang yang tiba tiba datang dan “ Alamaaaaak, “ aku hanya bisa mengejep ngejepkan mata mengatasi sepat melanda. Dari ketinggian lebih kurang tiga meter di kamar kami, kamar aku dan isteriku, badanku terlihat tidur nyenyak buntung tanpa kepala, tak terdengar sedikitpun irama dengkur yang biasa mengiringi tidur nyenyakku hingga menjelang pagi. “Huuuuu….” Aku mengejek diri sendiri. “Ah mengapa aku begitu dungu,” mempertanyakan tentang dengkur yang menjadi kebiasaan. “Bukankah kini kepala tidak lagi ada di badan, hingga suara dengkur dengan iringan alir liur dari rongga mulut lewat tepi bibir yang melekat di bulat kepala kini ada
111
bersama aku, sebuah kepala sebesar bola kaki yang lepas tinggalkan badan� Sedikit tersenyum, bila mengingat perihal dengkur dan liur tidur yang terkadang membuat malu. Tapi syukurlah, penyakit bawaan badan ini tidak menyebabkan hubungan rumahtangga kami menjadi retak mengarah belah. Sedikitpun tak ada rasa ngeri, sedih, kecewa ataupun menyesali keadaan. Mungkin kalau boleh jujur, keadaan seperti ini adalah keadaan yang kuinginkan sejak lama, keadaan yang kuimpi impikan termasuk tadi baru saja, ketika hanya sendirian yang sadar dalam suasana gelap. Keadaan yang terbebas dari siksa akibat terlalu mengikutkan banyak kehendak badan. Secara sistematis dan sederhana dapat aku jelaskan toleransi seperti apa yang telah kuberikan selama ini. Pertama, ikut memikirkan keinginan perut yang selalu haus dan lapar, tak pernah puas dan selalu saja minta diisi. Selanjutnya, ikut memikirkan keadaan pinggang yang mengidap penyakit sengal menahun dan sulit sembuh, memikirkan lutut yang gemetaran apabila menghadapi kenyataan gawat dan menakutkan, sampai sampai kepada toleransi ikut memikirkan kehendak kemaluan yang sungguh sering tak tahu malu, tak pernah merasa tua dan lelah. Seperti lokomotif bermesin diesel melaju menarik paksa rangkaian gandeng gerbong tua yang kemudian berangsur terpacul berkecai kecai menuntut perbaikan disetiap stasiun persinggahan, lalu berangkat lagi terus melaju sampai adalagi bahagian gerbong yang kembali terpacul.
112
Belum lagi toleransi ikut memikirkan hal hal lain yang kesemuanya adalah kehendak badan dan kelengkapannya. Sungguh suatu penderitaan panjang mendera pikiran di kepala. Semacam anugerah yang kejadiannya tanpa aku sadari, aku juga tak mau tahu apa penyebabnya. Tampaknya kini semua siksa itu bakal sirna. Aku sebagai kepala sungguh ajaib, nyaris tiba tiba bisa terbang melayang suka suka, bisa meninggalkan badan yang selama ini menjadi beban dan sudah pasti akan kumanfaatkan keadaan ini dengan seluas luasnya. Dengan segala sukacita menatap ke depan, memandang ke arah sinar kebebasan yang selama ini kudamba dambakan. Dari berbagai kitab yang pernah kubaca, dari yang kuno sampai yang kini, dari slogan berbagai kelompok yang menomor satukan hak azazi, anti penindasan, yang berbicara tentang kebebasan, tentang perlawanan terhadap penjajahan dan itulah sebahagian sumber yang memberikan kekuatan moril bagiku untuk mengambil keputusan, melanjutkan jalan menuju kebebasan abadi. “Asyiiiiiiik‌‌â€? Dengan senyum tersungging, sejenak aku tercenung membayangkan masa depan, hidup bebas tanpa badan. Sebagai ucapan selamat tinggal, kudekati tubuh utuh isteriku yang sedang terbaring nyenyak disebelah badan tak berkepala. Kadang tak dapat juga segala kesalahan mutlak dibebankan kepada kemaluan yang menjadi bahagian badan. Pada setiap kesempatan berdekatan, siapapun yang namanya jantan pasti akan merentang, berkehendak tak dapat ditahan, melihat penampilan isteriku yang sangat
113
sempurna merangsang. Sebenarnya ingin aku membangunkan dan mengucapkan selamat tinggal, namun karena pertimbangan lain, niat itu kuurungkan dan sebagai gantinya, aku hanya mencium keningnya lalu sejenak menikmati angin sejuk yang keluar dari lubang hidung seirama hembusan nafas. Dari posisi tidurnya yang menelentang, tumpukan dua daging yang cukup besar tumbuh di dadanya, bibirnya yang sensual, seperti dua ulas jeruk manis memerah tak perlu digincu, tubuh yang sintal yang kesemuanya kini tak mampu mengusik pikiran syahwatku. Kepada badan tanpa kepala yang selama ini telah membebaniku, sebagai ucapan selamat tinggal aku mendekatkan diri ke dada yang bidang, sambil mendengarkan detak jantung berirama teratur bagaikan bunyi tetabuhan genderang, aku lirih mengucapkan “Selamat tinggal.” Masih sempat aku merasakan hangatnya hawa yang keluar dari tubuh tanpa kepala, lalu aku berlalu melompat lompat terkadang bagaikan bola guli menggelinding menikmati hawasegar kebebasan. Ringan, sangat leluasa dan bebas, sebebas bebasnya. Dalam menikmati kebebasan ini, sekilas terpikirkan juga tentang nasib badan yang tertinggal dan yakin, dia takkan dapat berbuat apa apa, ”Pasti takkan dapat kemana mana dan melakukan apa apa, ha….ha…ha.. rasakan, selama ini kau hanya bisa menyiksa.” Angin sejuk pukul duabelas malam setelah hujan reda, menambah kesegaran yang merasuki ubun ubun sampai ke
114
pangkal telinga. Aku terus menggelinding menikmati anugerah ini. Mulai dari gang menuju jalan raya depan rumah kami, membelok terus ke utara menuju daerah yang sarat dengan rona kehidupan malam. Mengapa kawasan ini sengaja aku beri porsi pertama dalam kunjungan menikmati kebebasan. Karena pada masa lalu, masa masih berbaur dan bersatu dengan badan, kunjungan kesini tak mungkin dapat aku lakukan. Banyak hal menggoda, yang pasti akan menimbulkan silang sengketa antara kehendak badan dengan pikiran. Banyak sekali hal hal penerbit selera di sini. Mulai dari bau kipasan yang menghamburkan aroma nikmat bakar sate, bau merangsang selera dari gerai makan bang Tiar yang menjual ayam goreng bumbu, sotong bakar, sop kepiting, rebus kerang dicecah saus nenas dengan lada kutu, asam pedas ikan patin dengan tambahan penyedap pekasam durian dan banyak lagi makanan pemanja tekak, yang lazim pada masa lalu berujung pada menyerahnya pikiran melawan kehendak perut yang ada di badan dan apabila ini sering sering terjadi, yang ada hanya kesimpulan bahwa aku melakukan tindakan bodoh, pemanjaan dan pemborosan. Bunyi dentuman senar gitar dan lengkingan suara seruling berirama dangdut yang keluar dari mulut loudspeaker, semakin keras menghajar gendang telinga dan suara suara seperti itu, datangnyapun dari berbagai sumber, sehingga kacau balau sangat sulit dinikmati. Aku, kepala tanpa badan terus menggelinding sesekali melompat lalu terbang melayang di awang awang, menikmati keadaan dengan lebih nyaman, suatu
115
perbuatan yang selama ini tak pernah terlintas dalam pikiran dan sangat tak masuk akal. � Ah, peduli amat !� Aku berkata dalam hati. Lelah melayang di awang awang, aku hinggap bertenggek di palang melintang tiang listrik kawasan keramaian hidup malam, menikmati pemandangan di mana sekerumunan perempuan bergincu tebal, dengan dandanan menor dan busana yang seakan akan menolak, menyelimuti bahagian bahagian yang dapat merangsang timbulnya keinginan berahi lelaki untuk berbuat dan menyelesaikan keinginan yang menyentak nyentak dari organ jantan yang selalu dibawa dan tumbuh di bawah. Perempuan perempuan gatal itu, seperti berpacu mengejar setiap kendaraan atau lelaki yang berjalan di kawasan itu. Sedikitpun mereka tidak memperdulikan gerak liar dua buah bola bundar di dada, sebagai salah satu tanda kodrati keperempuanan mereka. Dua bola bundar yang rata rata berukuran besar itu, bergoncang goncang, seakan hendak melompat melepaskan diri dari dada tempat bergayut, mengimbangi hentakan kaki pembawanya yang sedang berlari konon mengejar rezeki. Yang menggunakan rok, sambil berlari sengaja mengangkat roknya mendekati pangkal paha sehingga renda tepi kancut segitiga terlihat melambai, seperti menyapa ramah dan menghimbau. Tak kalah menggiurkan, perempuan perempuan yang menggunakan jeans ketat dan kaos yang menempel padat tubuh atas mereka, menggeol geolkan pantat, mengusik angan memberikan bayangan khayal kepada jantan calon pengguna, bahwa geolan seperti inilah yang akan mereka
116
berikan di ranjang atau di jok belakang mobil yang laju berlari membawa mereka hanyut ke muara malam. “Asyiiiiiiiik……hi…hi…hi…suit…..suit, sedaaaap.” Aku, kepala tanpa badan berteriak dan bersuit, bertenggek di palang tiang listrik kawasan keramaian hidup malam dan anehnya, tak seorangpun mengacuhkanku. “Ah,” sekali lagi, “Peduli amat.” Pikirku dalam hati. Tak berkedip mataku, kepala tanpa badan melihat pemandangan ini. “Syukur, dulu aku tak pernah mengunjungi dan melihat keadaan seperti ini dan syukur juga saat ini aku datang hanya kepala tanpa badan. Seandainya aku datang komplit, pasti akan timbul perang antara kehendak jantan di badan, melawan pikiran.” “ Ah….. pukimak, apa pula ini,” memandang ke atas, aku merasakan seperti ada benda lembik licin dan dingin menimpa kepalaku. Sekali, kemudian untuk yang kedua kali terasa lebih encer dan seterusnya yang ketiga terasa lebih encer lagi, itu dapat kurasakan karena lelehannya merambat kekening lalu meluncur dan berhenti tepat di puncak hidung. Hidungku cepat menanggapi benda apa yang menimpa. “Huh, dasar binatang tak beradat. Burung celaka, apa tak ada lagi tempat lain selain kepalaku untuk membuang berakmu.” Seperti mengejek, dia burung itu mengepakkan sayap lalu terbang, tak sedikitpun mengacuhkan omelanku. Terbang mengarungi kegelapan malam meninggalkan taik yang berlepak, busuk bacin menyengat hidung tak mungkin dapat segera dihapus, karena tangan telah kutinggal jauh
117
melekat di badan. “Huh, lantaklah….. Pokoknya apapun yang terjadi, aku tak mau pulang ke badan.” Dengan sekali lompatan, aku terjun dari palang tiang listrik dan beberapa kali berguling guling menggelinding, menuju bahu jalan yang ditumbuhi rerumputan berselimut embun menjelang subuh. Memang sangat terasa sulit membersihkan taik berlepak di kepala sampai ke puncak hidung, hanya dengan upaya mengguling gulingkan kepala di rumput pendek. Masih untung ada butiran butiran embun yang membantu mempermudah usaha pembersihan. “Hi..hi..hi…” Terasa lucu dan menggelikan. Aku,kepala tanpa badan terus mengguling gulingkan diri, ulah dan kejadian ini, mengingatkan aku pada buah melaka, sejenis penganan yang menjadi kesukaan kami sekeluarga. Sebagai tahapan akhir dari proses pembuatan penganan ini, bundaran bundaran yang terbuat dari tepung beras pulut berisi gula merah, diguling gulingkan diatas pinggan penuh kukuran kelapa yang tidak terlalu tua, sehingga kukuran kelapa tadi padat menyelimuti bundaran bundaran persis seperti keadaanku kini. Hanya aku saat ini, bundaran kepala sebesar bola kaki, berselimutkan ujung ujung rumput yang baru dipangkas mungkin siang tadi. Untung kini aku tak punya perut, sehingga perasaan geli dalam hati tak sempat membuat mulas, mengalami peristiwa seperti ini. Tak terasa seminggu sudah aku ber voyage a round the world, hidup ringan bebas kemana mana tanpa badan. Pada awalnya lain terpikirkan lain yang diharap, namun
118
lain pada kenyataannya dan sungguh jauh berbeda dari angan angan. Sungguh sempurna besar, rencana dan ciptaan Tuhan. Tak sia sia Dia menciptakan makhluk dan alam dengan kelengkapan bermanfaat kait mengait. Ada siang ada malam, ada panas ada hujan, ada langit ada bumi, ada tangan ada kaki, ada dada ada punggung dan tentu saja ada badan ada kepala. Aku berharapTuhan belum menutup pintu maafnya, ketika aku kini tergolek lemah layu lunglai, seperti pohon kehilangan humus pemberi nutrisi menjadi salah satu syarat untuk hidup. Siang tadi dihari ketujuh, di depan etalase toko mainan supermall lippo Karawaci yang membalikkan anganku ke Pekanbaru, membalikkan anganku ke sepasang anakku Ainun dan Aras. Tak sengaja dari kaca etalase yang merefleksikan gambar dan keadaanku kepala tanpa badan, pucat pias tak bermaya. Dari tepi bibir sampai ke pipi, penuh berlepak liur kering menjijikkan yang tak mungkin dihapus tanpa tangan. Tak ada rona merah darah hasil suplai jantung yang tertinggal di badan. Wajah berhiaskan conteng bekas luka di mana mana akibat tersepak sepak, terinjak injak entah oleh demonstran, entah oleh aparat pengaman di bundaran Senayan. Tak sanggup melawan tak sanggup berlari, karena tak punya tangan, tak punya kaki. Tengkuk hitam berdaki, lubang telinga padat berisi tahi, tak dapat dibersihkan dan dikorek karena tangan tak bersamaku lagi. Ketika aku coba menganga, “Huh, gigiku,� hanya kuning kusam dan kotor yang terlihat.
119
“ Ah….sungguh memalukan, kesombongan dan memperturutkan kata kepala yang membawa celaka.” Lirih aku berteriak walau pasti tak akan di dengar oleh orang sekitar, karena pengalaman selama meninggalkan badan apa apa yang kusuarakan hanya sebatas teriakan panjang kepada orang pekak tuli. Namun kali ini aku menjadi yakin, Tuhan maha mendengar “A l l a hu a k b a r… A l l a hu a k b a r… Ma k k k k … … … Ab a h h h h h … … . M i r a a a … … . A i nu n … … A r a s … … ampunkan aku,” dan tersadar ketika tepukan lembut berkali kali menerpa pipiku, menuntunku menyandung botol botol arak berserakan dilantai, hampir tergelincir menginjak muntah kayak yang menjadi pekerjaan Mira membersihkannya setiap selesai sholat subuh. Lalu aku bersujud ke arah kiblat, mencium Mira isteriku, merangkul memeluk erat Ainun dan Aras yang akan menjadi bias diriku dimasa depan. Ah..aku melihat ke bawah memandangi badan, kaki dan tangan , memegangi kepala dan kembali bersujud ke arah kiblat. “Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar, berkali kali, berkali kali, sehingga letih dan meringkuk pasrah di sajadah Sikap tak biasa yang menjadi tanda tanya bagi mereka, Mira, Ainun dan Aras.
120
SIO SIO NGANGKANG Perempuan setengah baya yang gila itu kembali menari nari, melompat lompat, berteriak teriak sambil sengaja menyingkapkan kain kumal penutup bahagian bawah tubuhnya yang kurus kerempeng. Memang, hanya bahagian tubuhnya yang itulah yang berbalut kain penutup. Selebihnya tidak. Sepasang tetek yang bak mempelam lisut, liar bergerak kesana sini seirama gerakan tubuhnya, terhagul hagul membentur kulit atas perut sebagai pelapis tipis tulang rusuk yang bertonjolan bagai jerajak besi kandang harimau. Dari mulutnya yang berjendelakan bibir tebal hitam kusam, terlihat busa air ludah yang kering mengental berlepotan di sekitar mulut sampai ke pipi. Sungguh suatu pemandangan yang tidak sedap. “Sio sio ngangkang, hi…..hi….hi, sio sio ngangkang.” Ia berteriak histeris, tertawa dan berteriak lagi. “Sio sio ngangkang, hu….hu…..hu….hu…., sio sio ngangkang,” kali ini menangis sambil menyibak kain buruk penutup auratnya tinggi tinggi. Orang orang yang lalu lalang di keramaian pasar apalagi para perempuan, hampir semua menutupkan muka atau paling sedikit memalingkan wajah, menghindari pemandangan yang tak sedap sekaligus menjatuhkan harkat martabat kaum mereka.
121
Kalau para pria dengan umur seukuran bapak bapak, mungkin karena sudah terbiasa menikmati gerak gerak teateral sensual, atau memang karena sudah terbiasa melihat benda persis milik si gila, mereka seperti acuh tak acuh saja. Lain halnya dengan para bujang tanggung, anak jantan yang membolos sekolah bergerombol berbual di kaki lima depan rumah bola. Sambil tertawa tak berirama, dengan pandangan dari bola mata bagai nak terjojol,melihat benda antik milik si gila yang tak malu malu menampakkan diri. Mungkin dalam pikiran anak anak bujang muda itu, mereka membayangkan bahwa yang ada di hadapan mereka bukanlah si sio sio gila. Ruang khayal mereka terbang menerawang, mungkin yang terbayang adalah pacar mereka masing masing, atau mungkin juga Bu Nurjannah guru bahasa Indonesia yang masih gadis, cantik dengan body aduhai, entahlah. Yang jelas, kekecewaan terpancar dari wajah mereka masing masing, apabila ada seseorang moralis yang menyudahi adegan tersebut dan biasa nya hal ini dilakukan oleh Pak sersan Megat, polisi lalu lintas yang kerap berjaga di simpang empat jalan depan kantor listrik. Sio sio si gila, begitulah orang sekota kami memanggil atau menamainya. Tak ada seorangpun yang tahu nama dia yang sebenarnya, begitu juga tentang asal usulnya, sanak famili ataupun suku sakatnya. Ia datang tiba tiba, sama seperti datangnya kenaikan harga kebutuhan bahan pokok yang tak tentu pasal penyebab. Aku, yang sedari tadi tercenung, tak sadar bahwa adegan di depan mata tadi telah di usaikan oleh Pak sersan Megat.
122
Aku jadi ingat, bahwa tujuanku ke pasar adalah untuk antri beras yang sudah dijatahkan pemerintah. Beras pembelian dengan cara antri ini, walau kualitasnya sangatlah tidak bagus tapi harganya, jika dibandingkan dengan harga beras yang dijual di toko toko pangan, sangatlah jauh murah harganya. Dengan mata pencaharian Ayah yang seorang penjual buku, suatu komoditi yang sungguh sangatlah tidak diminati banyak orang kala itu. Karena mereka menganggap pada saat krisis seperti sekarang ini, kepentingan perut adalah segala galanya. Masalah bacaan bukanlah sesuatu yang penting kala itu dan keadaan seperti ini, mau tak mau menuntut Ayah pontang panting memenuhi kebutuhan kami sekeluarga. Sambil berlari dan ditangan memegang kertas kupon berwarna merah, aku menuju tempat antrian beras. Di sana sudah sepi. Aku gugup kalau kalau jatah beras kami sudah habis dan kalau benar benar habis, berarti satu minggu lagi aku baru bisa mengambil beras. “Gara gara si Sio sio gila, matilah aku di hembat Emakku di rumah nanti.” Pikiran buruk melintas di benakku. “Ha….ini dia, kalau lima menit lagi kau tak datang, maka jatah beras kau, aku jual ke orang lain,” kata bang Ramlan salah seorang petugas di sana yang melihat kedatanganku. “Pastilah kau asik melihat si Sio sio gila itu tadi ya,” yang kemudian dilanjutkan “Rusak lama lama budak ni di buat si Sio sio gila itu. Mengapa pulalah pemerintah membiarkan orang orang seperti si Sio sio gila itu berkeliaran di tempat umum.” Bang Ramlan menggerutu sendirian. “Ah, awakni macam tak tahu saja,” sahut pak Kadir,
123
teman bang Ramlan yang juga petugas di sana. “Dalam kondisi perekonomian yang sedang morat marit seperti sekarang ini, manalah mampu pemerintah menanggung beban menampung mereka, orang orang gila seperti si Sio sio gila itu.” “Tapi,” “Tapi apa?” Potong pak Kadir sengit. “Tapi akankah dibiarkan saja, si Sio sio gila itu terus menerus berkelakuan seperti itu, kelakuannya yang bisa merusak moral dan mental anak anak bujang muda mentah seperti budak itu tadi.” Sambil menunjuk ke luar bang Ramlan membalas tak kalah sengit. “Ah, sudah pergi rupanya dia.” Pak Kadir tersenyum, dalam hati sebenarnya dia membenarkan apa kata bang Ramlan. Tapi apa boleh buat, memang kondisi ekonomi saat ini sangat tidak menentu. Pemerintah rupanya lebih tertarik memikirkan konfrontasi dan perang dengan negara tetangga, ketimbang mengurusi perut rakyat. Tidak usah mencapai tingkat makmur, tetapi sampai ke taraf tiap hari perut bisa kenyang sajapun jadilah. Penyakit akibat kelaparan terjadi di mana mana, jangankan beras, benda lain pengganti beraspun sulit di dapat. Kalaupun ada itupun harus ditebus dengan harga yang tinggi. Susah memang susah saat itu. Si Sio sio gila sama sekali tidak perduli dengan keadaan seperti itu. Sama juga dengan ketidak perdulian pemerintah kepadanya. Aktifitas rutinnya tetap berjalan seperti biasa. Setiap pagi, setiap petang kecuali malam ia akan terus mengoceh. “Sio sio ngangkang, hi…hi….hi….sio sio ngangkang
124
hu…hu….hu,” kemudian menangis seperti menyesali sesuatu, meraih koran bekas, komat kamit seakan membacanya, kemudian menangis dan menyumpah nyumpah. “Sio sio ngangkang, he….he……he….. laki laki penipu, laki laki tak jujur, masuk nerakalah kalian semua hendaknya. Sio sio ngangkang, ha…..ha……hi….hi,” kemudian bernyanyi. “Putuslah harapanku…… Letihlah aku menunggu…. Kemana kuakan pergi……. Semua menjauh kini.” *** Setelah beberapa lama menghilang dan menimbulkan banyak pertanyaan, ia kembali muncul dan berbagai pertanyaan itupun terjawab. Sio sio gila hamil dan kemudian melahirkan. Gosip merebak kemana mana. Ada yang bilang anaknya mirip si Polan, persis si Palun, serupa betul dengan si Palen, pokoknya mirip banyak orang. Tapi tak satupun yang dengan gagah perkasa mau mengakui anak itu hasil perbuatannya. Apa boleh buat memang begitulah kehendak nasib si Sio sio gila. Walaupun demikian masih untung ada mak Zainab, dukun beranak yang menolong si Sio sio gila melahirkan. Ia mengambil anak tersebut untuk dipelihara walau tanggungan keluarga mereka sudah cukup berat, ditambah lagi dengan kondisi perekonomian negara yang morat marit seperti sekarang ini. ***
125
Aku pindah melanjutkan sekolah ke kota lain. Meninggalkan semua yang ada di kotaku. Syukur tidak ada beban untuk itu. Beberapa tahun kemudian, setelah tampuk pimpinan pemerintahan berganti, kondisi ekonomi masyarakat mulai berangsur membaik. Adik lelakiku yang secara otomatis menggantikan aku sebagai tangan kanan orangtuaku tak perlu lagi bersusah payah untuk antri mengambil jatah beras kupon. Kami, Alhamdulillah semuanya bisa bersekolah dengan baik dan aku dapat menamatkan pendidikan di fakultas publisistik dengan tepat waktu. Aku sekali lagi syukur Alhamdulillah, tidak menemui kesulitan berarti dalam mencari pekerjaan. Sebuah perusahaan penerbitan koran, dengan tiras yang cukup tinggi, menerimaku bekerja sehingga kondisi ekonomiku bisa di atas rata rata orang senegeriku saat itu. *** Ingatanku kepada si Sio sio gila sungguh hapus sama sekali, sampai pada suatu hari aku ditugaskan oleh pimpinan redaksi untuk meliput kehidupan malam di Metropolitan Island Dari seorang yang biasa bergaul dengan kalangan elit politik, bergaul dengan para pemberi keputusan, meliput kegiatan kegiatan penting negeri ini, aku merasa canggung menerima tugas ini. Sebagai wartawan andalan di media kami, aku merasa enggan menolak keputusan atasan walau sampai saat keberangkatan, aku belum menemukan kiat dan strategi
126
apa yang akan dipakai dalam mengawali tugas. Beberapa nama yang kudapat dari para pengusaha muda sahabatku, cukup membuat aku sedikit merasa lega. Nama dan alamat para pengusaha hiburan malam di pulau otorita yang tercatat dalam buku kerjaku, aku rasakan sebagai sesuatu yang paling berharga saat itu. Seperti orang gila, dalam perjalanan menuju pulau otorita aku berkali kali mengulangi perbuatan yang sama. Selang beberapa menit aku selalu memeriksa travelling bag, untuk memastikan apakah catatan nama nama pengusaha hiburan malam di pulau otorita masih berada di sana. *** Hari pertama berada di pulau otorita, aku dengan sobat baruku bung Angphao yang selalu dipanggil papi Ang oleh anak buahnya di diskotik miliknya, aku lalui tanpa kesan apa apa. Terkesan rata rata perempuan malam yang menghiasi kehidupan diskotik ini, memiliki pengetahuan umum yang rendah. Otomatis mereka mereka sungguh sangat tidak mengasikkan untuk diajak berbual bual dan sebenarnya memang mereka bukan dikondisikan untuk teman berbual di diskotik ini. Begitu juga dengan hari hari berikutnya, hari kedua, ketiga, keempat, sungguh suatu petualangan jurnalistik yang menjemukan. Pada malam terakhir yang kurencanakan, di lantai dansa ruang diskotik yang terletak di lantai paling bawah hotel Strata, suasana semakin larut malam semakin semarak. Lagu Guajira oye como va yang di dendangkan oleh Julio
127
Iglesias mengiringi hentak kaki para pedansa menambah hangat suasana. Pada beberapa meja yang lampu penerangnya sengaja di temaramkan, terlihat beberapa pasangan semakin merapatkan duduknya dan malah ada beberapa pasangan terlihat seperti bersatu dalam pagut ketat yang tak memperdulikan keadaan sekeliling. Uniknya, ruang lantai dansa yang sempit ini tampak didominasi oleh kaum wanita, sedangkan para pria pengunjung terlihat duduk di kegelapan menikmati lekuk liuk tubuh indah yang sedang menari. “Itulah mereka, tunggangan yang suka mangkal di sini,� ujar seorang pelayan setengah berbisik. Tunggangan, terkesan sangat kasar julukan yang diberikan kepada mereka. Tapi apa boleh buat, kehidupan jenis ini memang kasar, kehidupan tanpa basa basi, tanpa belas kasihan karena semuanya dinilai dan dihitung dengan uang dan harapan harapan semu. Di counter bar, duduk seorang wanita yang sedang asik memandangi tingkah laku kerumunan orang orang di lantai dansa. Agaknya ia sungguh menikmati suasana hingar bingar itu. Tubuhnya terkadang mengikuti irama lagu, sesekali senyum manis menghias bibirnya, sedang minuman dalam gelas yang dipegangnya terlihat hanya tinggal untuk sekali reguk. Aku menyalakan pemantik api sebagai tanda memanggil pelayan. Setengah berbisik aku meminta agar ia memberikan surat kecil kepada wanita di counter bar yang sedari tadi menarik perhatianku. Wanita itu tersenyum dan mengangguk kepadaku, setelah membaca surat kecil
128
yang diberikan pelayan tadi padanya. “Ing!� ia menyebutkan nama panggilannya ketika bersalaman sebagai tanda perkenalan. Wajahnya cantik, tubuhnya padat dibalut jeans ketat warna khaki serta t-shirt warna putih agak sedikit jarang, sehingga memberikan bayangan samar puting payudara yang sama sekali tidak terbungkus beha. Perkenalan berlanjut dengan sedikit basa basi, lalu beberapa kali kami turun ke lantai dansa, saling tukar minuman, saling senggol dan peluk. Saat berpelukan di lantai dansa, aku memperkenalkan diri sebagai seorang pengusaha dari ibukota republik ini. Aku jelaskan bahwa aku sedang melihat peluang pemekaran usaha di pulau ini. Ia seakan tidak terpengaruh, ketika aku menceritakan bahwa usahaku berprospek cerah. Hal ini membuat aku semakin tertarik padanya. “Hubungi saya di rumah atau di kantor,� ujar Ing, ketika kami berpisah menjelang pagi. Sebelum beranjak ia menyodorkan kartu nama di mana tercantum nama lengkap, jabatan di pekerjaan berikut nama perusahaan besar tempat ia bekerja. Aku sengaja menunda keberangkatan pulang ke ibu kota, kebetulan ketika menghubungi travel agent aku bisa menunda keberangkatan hingga sore saat penerbangan terakhir. Pagi itu suara Ing masih terdengar serak ketika mengangkat gagang telepon di seberang sana. Bualan selintas lewat telepon langsung berkaitan dengan pekerjaannya, sehingga Ing tampak merespon dengan antusias sekali. Meskipun ketika kuminta untuk untuk
129
menemui aku di hotel dia keberatan. “Masak untuk membicarakan pekerjaan harus di kamar hotel,� katanya sambil tertawa renyah, toh akhirnya ia datang juga. Pembicaraan berkisar tentang penawaran Ing akan produk perusahaannya. Dia berbicara dengan sedikit persuasif, mendesak agar aku mengambil paling tidak salah satu dari produk perusahaannya. Untuk memperpanjang pembicaraan dan ingin mengetahui lebih jauh tentang Ing, aku sengaja memperbanyak pertanyaan tentang kelebihan kelebihan produk yang dia pasarkan, data data tehnis juga tentang operating manual yang aku yakin hal ini tidak sepenuhnya dia pahami. Merasa jurus jurus lobynya kurang akurat dan meyakinkan aku, ia mulai mencoba dengan jurus akhir yang ia harapkan menjadi jurus pamungkas. “Kalau you jadi mengambil salah satu produk saya, saya beri bonus deh,� ujarnya sambil tersenyum nakal dan lanjut menerangkan apa bentuk bonus yang akan dia berikan. Yang ia sebut sebagai bonus itu adalah seorang wanita untuk melayaniku. Untuk menambah minatku, katanya wanita bonus itu adalah isteri simpanan seorang pengusaha dari negeri seberang. Disebutkannya pula gambaran tentang latar belakang pendidikan wanita dimaksud dan sudah tentu tidak lupa tentang umur dan bentuk tubuhnya. Penjelasan penjelasan Ing, mulai menarik minatku untuk mendapatkan informasi lebih jauh tentang bisnis cinta kalangan atas. Pembicaraan semakin asik dan intim setelah Ing menghabiskan segelas Black label, sedangkan aku dengan
130
alasan sakit tenggorokan memesan soft drink dan makanan kecil. “Bayarannya cukup mahal lho, biasanya dia dibayar untuk short time US $.300.- sampai US $. 400.- dan kalau all night bisa bisa US $.1000.-“ Ing menjelaskan untuk lebih meyakinkan aku bahwa service yang dia berikan bukan dari kelas sembarangan. “Itu semua saya yang akan bayar.” Ujar wanita cantik dan enerjik itu, sambil merebahkan tubuhnya yang bahenol di tempat tidur. Dengan lancar dia bercerita tentang lika liku kegiatannya sebagai sales eksekutif dari produk perusahaannya. Juga tentang kegiatannya yang lain sebagai penghubung eksportir kayu, perantara jual beli puluhan bahkan ratusan hektar tanah yang diperuntukan bagi areal perkebunan skala besar. Merasa pancingan pancingannya belum mengena, Ing semakin agresif. Sambil tertawa ia berkata, “Kalau you tidak berminat kepada cewek yang saya tawarkan tadi, saya juga bersedia melayani jika nilai transaksi di atas satu milyar rupiah.” Aku terkesiap. Walau gaji dan uang jalanku terbilang besar, tapi jika dibandingkan dengan jumlah penawarannya tentulah tak akan terjangkau dan tujuanku ke pulau otorita ini sungguh mati bukanlah untuk yang begitu begitu. Aku sangat mencintai mereka, isteri dan anak anakku. Dalam hati aku menyebut nama tuhan dan berdoa semoga ia menjauhi aku dari perbuatan perbuatan dosa. Aku merasa sudah lebih dari cukup mendapatkan informasi tentang kehidupan malam di pulau otorita ini. Tapi aku bingung dengan cara apa aku harus menghindar
131
dari perempuan cantik bahenol yang sekarang siap menanti jawabanku. Dengan lagak dan gaya yang dibodoh bodohkan, sekenanya aku memberikan jawaban. “Okey lah, karena aku sekarang hanya punya sisa uang di kantong sebesar lima puluh ribu rupiah, maka..” “Stop, stop.” Bagai di sengat kala jengking Ing melompat dari tempat tidur dan, “Kau pikir aku ini perempuan kelas apa? Sia sia aku mengangkang kalau hanya untuk mendapatkan imbalan sekecil itu.” Terus berlalu keluar kamar sambil menghempaskan pintu. Untuk kedua kalinya aku terkesiap. Kata katanya tadi, “Sia sia aku mengangkang, ya sia sia ngangkang,” mengingatkan aku kembali ke masa lalu, kepada si Sio sio gila di kota kelahiranku yang selalu mengucapkan kata kata yang sama. Cuma aku tak tahu, apakah ada perbedaan di antara mereka, adakah?
132
BAJU SULTAN KITA Banyak orang mengatakan Pekanbaru kota yang identik dengan hawa panas, bahkan kata mereka terpanas di Indonesia. Menurut analisa kaki lima yang mempengaruhi pikiran mereka, hal ini disebabkan pengaruh panas minyak yang menggelegak di perut bumi kota Pekanbaru dan sekitarnya, entahlah. Yokyakarta, siang menjelang petang kira kira pukul tiga. Semula mindaku berkata sama dengan mereka, Pekanbaru panas dan terpanas, nyatanya tidak, Yokyakarta juga panas, lebih kurang sama dengan Pekanbaru dan saat ini aku kebahagian lebihnya, lebih panas dari Pekanbaru. Selama dua hari berada Yokyakarta, selama itu pulalah berkepanjangan aku merasakan hawa panas yang melebihi Pekanbaru. Maklumlah memang sudah nasib badan untuk tidak bisa berakrab akrab dengan benda modern. Di kamar hotel, setiap kucoba menghidupkan air conditioning untuk penghusir hawa panas di badan, setiap itu pulalah penyakit panas dingin dan bersin beruntun menyerang. “Siksa, betul betul tersiksa.� Aku menggerutu dalam hati. Belum lagi makanan yang dihidangkan di setiap sudut dan ceruk kota ini. Bentuk gulai lemaknya memang hampir serupa dengan yang dibuat emak budak di tepi sungai siak sana, tapi rasanya alamak, macam kolak pisang, cuma ini pisangnya tak ada, diganti dengan daging lembu. “Manis, semuanya manis, meloye perut dibuatnya.�
133
Hari ini, aku sebagai Sultankita didera penderitaan maksimal. Mulai dari pukul dua siang tadi Sultankita dijemur macam kerasak lembab, tak sedikitpun ada rasa kasihan dari orang orang yang mempersiapkan pawai. Diwajah mereka hanya terlihat ceria dan kegembiraan, membayangkan sukses kerja yang dirancang cukup lama sudah berada di ambang pintu. “Pukimaknya orang orang ini. Apalah salahnya mereka memberi payung untuk melindungi diriku dari sengatan panas.� Sultankita kembali menggerutu. “Sudahlah tenda kereta ini mereka buka, tak pula awakni diberinya payung.� Tak terhitung kali sudah, Sultankita menghapus peluh, entah untuk yang keberapa kalinya Sultankita meraih saputangan dari koncet sebelah dalam jas pendek beludru berhias epolet jumbai-jumbai di kiri-kanan bahu, dengan selempang satin serong melintang dada, dari kiri bahu mengatup di pinggang kanan. Belum lagi berbagai rupa emblem dan tanda jasa dari logam kuning disematkan, yang pasti jadi salah satu penyebab derasnya kucuran peluh Sultankita, walaupun pasti sedang tidak mencangkul. Jas pendek bersulam benang emas sebagai pelapis luar semakin basah, apatah lagi kemeja putih yang berada di dalam dan baju kutang yang berada di posisi lebih di dalam lagi. Tentu dapat dibayangkan betapa seperti kain basahan sehabis mandi saja layaknya. Walau demikian Sultankita tetap menghejankan senyum terpaksa di wajahnya, senyum yang menjadi kewajiban untuk dihambur-hamburkan pada saat-saat seperti ini.
134
Senyum seiring lambaian tangan, seperti juga senyumsenyum dan lambaian-lambaian tangan dari sekian jumlah Raja-raja dari berbagai kerajaan yang hadir di tempat ini. Hadir menjadi tamu perjumpaan Raja-raja di Nusantara. Kehadiran yang sangat tabu untuk diwakilkan dan tak seorangpun dari sekian Raja yang hadir tahu mengapa menjadi tabu. Sultankita mengorek-ngorek lagi koncet dalam jas pendek kebesarannya. Kali ini wajahnya agak sedikit berubah, hejan senyum kelihatan berkurang menghiasi wajahnya yang semakin kelihatan tegang. Tangannya terus mengorek koncet, semakin mengorek semakin terlihat ketegangan dan peluh deras mengucur terus di wajahnya, sedangkan kereta kencana jenis cabriolet dengan tenda sengaja disibakkan, terus meluncur pelan seiring derap kaki delapan ekor kuda penarik, seakan tak mau perduli kepada Sultankita di atasnya. Suara teriakan elu-eluan terus bergema tanpa henti, elu-eluan tulus dari rakyat kelas menengah kebawah dan sesekali dari kalangan atas jenis betina yang kebetulan terpaksa memberhentikan mobilnya, karena terhambat kepadatan iringan kereta kencana para Raja raja Nusantara. Elu-eluan kalangan atas jenis betina ini nyata sekali beda dengan rakyat biasa. Dari kaca jendela mobil yang disingkapkan, mulut-mulut para mereka, melantunkan ujud eluan dengan desah erotis dan sesekali berteriak histeris dengan ungkapan kata ringkas. �Wow‌ gantengnya Raja negeri anu,� lalu memejamkan mata dan lagi-lagi mendesah, ah‌ah‌.mungkin sampai
135
basah, entahlah. Memang tak dapat dipungkiri, para Raja yang berparade semuanya gagah, dengan wajah tampan dan body atletis mengundang khayal erotis para betina. Sultankita masih terlihat kasak-kusuk mengorek koncet bahagian dalam jas pendek dengan mimik wajah yang semakin tak menentu. Senyum sirna begitu saja dari wajahnya yang tampan. Tak ada lagi lambaian tangan, karena maklum kini kedua tangan Sultankita sangat sibuk mengorek-ngorek koncet jas pendek. Sedang di tepi jalan, masyarakat terus dan semakin banyak hadir dengan elu-eluan. Elu-eluan menjurus ke histeris, tidak lagi hanya sekedar decak kagum akan ketampanan para Raja. Teriakan dan suitan genit dari para kalangan atas dan jelata betina meningkat kearah aksi, mulai dari memegang kereta kencana, yang pada masa dahulu merupakan pantang larang dengan sangsi yang sangat keras, pada saat ini tampaknya menjadi hal yang biasa saja, tak obahnya seperti histeria para fans dari grup musik anak muda saat manggung di pentas atau pawai keliling. Sultankita kini tak terlihat lagi kasak kusuk mengorekngorek koncet, ada yang berubah pada penampilan beliau. Selempang satin serong melintang, melintang dari bahu ke pinggang kini tak tampak lagi, sehingga beban terlihat agak berkurang. Selempang ternyata mampu menghindari Sultankita dari kasak kusuk mengorek-ngorek koncet. Selempang satin kuning serong melintang dikorbankan dan kini menjadi gumpalan kusut
136
remuk tergenggam ditangan Sultankita, selempang satin gagah melintang, menjadi pengganti saputangan yang hilang penghapus peluh. Sultankita tampil yakin tanpa selempang satin melintang. “Syukurlah,� kata hulubalang dan ibu emban yang berjalan mengiring dibelakang kereta kencana, begitu juga kata hati sais pengendali jalannya kereta kencana.. Sungguh tak terbayang pada awalnya, seperti juga kosak panas dan peluh yang mendera, Sultankita hari ini seperti tak dapat lepas dari derita. Belum lepas dari yang satu, yang lain tampaknya pasti tiba. Dari tepi jalan penuh sesak dengan jejalan jelata jantan betina, maju menguak malu dan tabu. Hilang hormat hilang adat, para jelata melompat melesat naik kereta kencana, minta restu keramat Sultankita. Minta disembur minta diludahi air suci mulut paduka. Agar selamat menuju akhirat, terhindar dari bencana dunia. Silih berganti jejalan jelata melompat melesat tetap meminta restu baginda. Sekali dua, bagi Sultankita memang tak terasa, peluh masih bisa terhapus dengan selempang dan keinginan wibawa agar Sultankita tetap dicinta. Sungguh sangat tak terduga tak dapat dihalangi oleh seseorang, juga oleh para emban dan hulubalang. Seorang perempuan tua terseok-seok berlari mengejar kereta, berhasil menggapai pegangan tangga. Entah mukjizat apa yang membantunya, dengan sekali lompat perempuan tua yang terseok-seok tadi, bagaikan seekor harimau jantan yang kena terpaan peluru pemburu dikeningnya, melakukan saltomortale lalu tiba-tiba sudah berada di
137
hadapan Sultankita. Merangkul pangkal paha, mengelus dan meremasnya. “Bukan untuk hamba kanjeng Sultan, sungguh kulo wis tuwo, wis ora kepikiran sing ngono-ngono kui.” Sambil kedua tangannya terus meremas kaki sampai ke pangkal paha Sultankita. Kali ini bukan hanya peluh yang membanjiri sekujur tubuh. Geletar gemetar nyata terlihat di lutut dan bibir Sultankita. Satu kalimatpun tak kuasa ia lontarkan dari mulutnya, yang terdengar hanya ungkapan gugup, “Ah… uh, eh, eh aaa, apa, eh…anu, to….to..long jang….jangan.” Memang hanya itu berkali kali, berulang ulang keluar dari mulut Sultankita yang semakin gemetar. Selempang satin kuning tampaknya kini sama sekali tak dapat berfungsi sebagai penolong, selempang kini tak kelihatan lagi, tak lagi melintang serong di dada seperti awalnya yang kemudian remuk dalam genggaman jadi penghapus peluh. Selempang satin kuning kini tercecer entah di mana. “Ini kulo lakukan semata-mata hanya untuk memperbaiki keturunan kulo, kanjeng Sultan.” Perempuan tua itu terus meremas pangkal paha, kaki Sultankita dan menghiba, menghapus air mata yang mengalir membasahi kantong mata menuju pipi dengan keriput kentara bagaikan retak seribu keramik cina. “Demi mengangkat harkat dan martabat keluarga kulo, kanjeng Sultan. Sudilah kiranya kanjeng Sultan menjadikan si Denok putri bungsu kulo sebagai selir kalau sampeyan sudah punya Permaisuri, atau kalau sampeyan misih perjoko tingting, jadikanlah dia sebagai
138
Permaisuri. Hanya inilah jalan akhir yang dapat hamba lakukan.” Kali ini perempuan tua renta itu mengucapkan kata demi kata, tidak lagi dengan bersujud dan meremas kaki serta pangkal paha Sultankita. Sambil berjinjit ia merangkul tengkuk baginda, mendekatkan mukanya ke muka Sultankita. Aroma sepah sirih yang melekat di sela sela gigi dan yang mengendap busuk dilobang geraham, membuat Sultankita hampir semaput, belum lagi semburan butir butir air tempias mulut yang keluar seiring dengan kata kata. “Sungguh berat derita beta” dalam hati Sultankita berkata. “Kabulkanlah permintaan kulo, hambamu yang hina dina ini kanjeng Sultan. Segala daya upaya sudah kulo lakoni. Tidak satupun sendang keramat di jagad Nusantara ini yang tidak kulo ziarahi, begitu juga dengan petilasanpetilasan kondang.” “Mulai dari makam Panembahan Lemahduwur di Arosbaya, tapa brata sak dino sak wengi nang palinggian Prabu Mojopahit, keramat mbahDatuk Berahim di Lateng Banyuwangi, alas keramat di Nogorejo, Tirtobilayat di Krandegan Madiun, Sendang Bulus di Mantup Lamongan.” Perempuan tua renta itu berhenti sejenak berceloteh, menghapus ludah merah kunyahan sirih yang berlepak di tepi bibir dan pipi bawah dengan punggung tangannya. Kesempatan ini dimanfaatkan sebaik baiknya oleh Sultankita untuk menarik nafas menikmati kelegaan sejenak, karena setelah ini, entah apa lagi yang akan terjadi nanti.
139
“Juga ning Sumatera, ohok…ohok.” Dia berhenti sejenak berceloteh, terbatuk batuk lalu meludah seraya membuang tembakau suntil yang sedari entah bila menghuni gusi sebelah bawah rongga mulutnya. “Petilasan Tuk Kacung di Rengat, makam Engku Puteri di Penyengat, Kubur Panjang di Pekanbaru wis tak datengi kabeh, yo biar, pokokke entek entekan ,tak sedikit uang kulo habiskan untuk hal ini, sing penting niat kulo kesampaian. Namun sampai sekarang hasilnya belum kelihatan dan ini kulo harap sebagai ikhtiar terakhir, ikhtiar yang membawa hasil.” Tak sepatah katapun dapat keluar dari mulut Sultankita, sedang perempuan tua renta itu masih bergelayutan di leher menanti jawaban, merengek-rengek memohon kesudian. Kali ini ia tidak lagi berkata-kata, hanya rintihan kesedihan panjang yang ia lantunkan dengan bahasa ekspresi yang sangat dapat dimengerti. Dengan penuh perasaan, perempuan tua renta itu memain-mainkan anak rambut di tengkuk Sultankita, bagai seorang ibu dengan penuh kasih sayang ia membelai dan mengusap belakang kepala, membuat Sultankita semakin gerah, linglung tak berdaya tak bisa berbuat apa apa. Gerah yang yakin takkan terobati dengan kipasan dayang dayang istana atau dengan kipasan apapun. “Ya Tuhan, dosa apa yang pernah hambamu lakukan, sehingga mengidap penderitaan berat seperti ini.” Sultankita menghiba, mengeluh dalam hati. “Tunjukkanlah hamba jalan yang tepat untuk mengatasi derita ini.” Mungkin tak terasa oleh Sultankita butir butir air mata
140
mengalir perlahan di pipinya. Berbagai alasan mungkin dimiliki oleh masyarakat yang mengelu elukan di tepi jalan, mungkin juga sama dengan alasan hulubalang dan para emban, untuk tidak mencampuri urusan pribadi seorang rakyat dengan Sultankita. Hulubalang dan ibu emban, seakan mengerti tugas mereka hanyalah mengiringi Sultankita dengan kereta kencana ditarik delapan ekor kuda. Sedangkan masyarakat tepi jalan mungkin menganggap ini adalah bahagian dan kesetiaan dan pengabdian pribadi seorang rakyat kepada Raja. Namun, tiba tiba, tak terduga oleh siapa saja. “Sret‌.set.â€? dan “gedebuk duk.â€? Perempuan tua renta itu tiba tiba sudah ada dan terduduk di kursi empuk kereta kencana. Jas pendek dengan emblem kuning bertaburan, tersadai tanpa kancing sebuahpun di pegangan belakang tempat duduk sais pengendali kereta kencana. Destar berhias mutiara sebagai mahkota yang tadinya agung bertengger di kepala Sultankita, kini terlihat di ujung tiang bendera sebagai tanda asal dari kerajaan mana. Tak seoangpun yang tahu, kini Sultankita ada di mana. Yang terlihat kini hanyalah, perempuan tua renta terseokseok, menuruni tangga kereta kencana yang terus berjalan melanjutkan pawai, dengan muatan jas pendek tersadai dan destar mahkota bertengger di ujung tiang bendera. Mungkin tak terdengar, atau tak dihiraukan oleh masyarakat yang ada disekitar sana, namun yang jelas dan pasti, ada teriakan keras berasal dari kerumunan masyarakat penonton pawai raja raja Nusantara. Sultankita
141
kembali jadi aku, “Terima kasih Tuhan, kau bebaskan hambamu yang melakukan ini hanya untuk mencari nafkah.menghidupi anak bini di Pekanbaru sana.� Berkalikali semakin menjauh, menjauh, menjauh dan semakin menjauh, sedang pawai terus berlanjut.
142
TUJUH BELAS AGUSTUS DI TIDUR SIANG
Sosok sultan Narasinga seorang pemimpin besar bangsa, kuupayakan tetap dominan berada dalam bingkai pandang kameraku. Sebagai seorang wartawan photo yang baru pertama kali diberi kesempatan ikut meliput peristiwa bergengsi, peristiwa pertemuan para pemimpin bangsa, aku berupaya keras untuk tidak mengecewakan banyak orang di kerajaan kami. Wajar kalau di antara sekian wartawan yang meliput pertemuan para pemimpin bangsa bangsa di Nusantara, aku salah seorang dari sedikit wartawan yang mau bersibuk sibuk. Tidak ada momen yang kuanggap tidak penting. Sidang redaksi dan proses editing nanti, kuanggap sebagai alat penapis paling akurat. Baliho, poster besar serta spanduk spanduk, juga tak luput dari rekaman kameraku. Baliho bergambarkan wajah para pemimpin bangsa di Nusantara dengan tulisan besar, “Konferensi Tingkat Tinggi Negara Negara Nusantara 2000, Rengat, Ideragiri 17 Agustus 2000,� terpacak kokoh di halaman gedung balai Dang Purnama kota Rengat, ibukota kerajaan Inderagiri
143
tempat konferensi kali ini diadakan. Terlukis wajah sultan Narasinga dengan senyum berwibawa. Sultan yang memerintah kerajaan Inderagiri dengan luas kawasan dari Mandah ke Baserah, dari Merlung ke Betung dan dari Sialang ke Perawang. Narasinga sultan arif bijaksana, dicintai rakyat jantan betina kasih tertumpah ke tua muda, tak pilih kasih tak pilih sayang, jernih memandang alam terkembang. Dalam bingkai baliho juga tergambar wajah wajah, Presiden Republik Batak Simalungun Utara Selatan, Raja kerajaan Minangkabau Tanah Bergunung, Presiden negara Aceh Serambi Mekah, Raja Negeri Papua Bintang di Timur, Sultan Lampung, Sultan Pasundan, Presiden Republik Maluku Selatan, Sultan Siak Sri Inderapura, Yang Dipertuan Muda Raja Riau Lingga, Sultan Ternate Tidore dan juga wajah tokoh utama dalam pertemuan kali ini, tokoh kontroversial yang getol mengupayakan agar pokok pikirannya dapat dijadikan agenda utama pertemuan. Datuk Patih Gajahmada gelar Datuk Sinar Gemala Mustika, seorang menteri dalam negeri merangkap, menteri luar negeri, menko polkam, menhankam dan panglima bala tentara yang karena kecerdasannya, menjadi lebih populer ketimbang Presiden dan Dewan Rakyat Republik Indonesia, berdasarkan putusan sidang menetapkan Datuk Patih Gajahmada untuk menggantikan posisi YDA (Yang Dipertuan Agung) Presiden, menjadi utusan pada pertemuan tingkat tinggi Rengat (untuk selanjutnya disingkat menjadi PTTR 2000). Satu persatu, para utusan dan tamu kehormatan memasuki ruang sidang. Ruang full airconditioning terasa
144
sejuk menyegarkan, sama sekali tidak terlihat tanda tanda pengamanan yang over acting. Wajah wajah body guard berbadan tegap, muka sangar dingin mengerikan dengan buku buku jari tangan tebal kapalan akibat setiap hari meninju kantong pasir dan push up dengan tangan terkepal, boleh dikata tidak terlihat mondar mandir menciutkan nyali orang memandang. Jangankan askar berseragam loreng, polisi bergaya militerpun tidak terlihat batang hidungnya. Apalagi Hansip ataupun Satgas Parpol atau ormas yang kalau di salah satu negara tetangga, seperti saat kunjungan wisata saya kesana dulu, alamak minta ampun gayanya, lebih seram dari para prajurit pulang perang. Keadaan seperti ini bukan berarti lemahnya sistem pengamanan PTTR 2000, namun memang begitulah keadaan negeri kami, negeri yang kata para tetangga sebelah , “gemah ripah loh jinawi toto tenterem kerto raharjo, bumine ijo royo royo.� Tak pelak, keadaan seperti ini kerap membuat iri hati bangsa lain. Sehingga ada yang dengan berbagai cara, berupaya agar dapat masuk ke negeri ini, melakukan provokasi, manuver politik, intrik dan adu domba, dengan tujuan meruntuhkan wibawa Sultan Narasinga beserta perangkat kerajaan dan setelah itu tentu saja para mereka memanfaatkan situasi ini, untuk kepentingan nafsu penjajahan dan penjarahan yang mereka miliki turun temurun. Khayal dan lamunanku terputus, ketika bertalu talu pukulan genderang dan tambur ditabuh seiring tiupan terompet menghentam keras ke gendang telinga. Aku menoleh ke arah suara, terlihat seorang berpostur gemuk
145
pendek dengan wajah mirip Mr. M. Yamin, orang Minangkabau yang kunilai brillyan. Orang itu berpakaian kebesaran dengan banyak pernik lencana dan tanda jasa. Mengiringi orang itu, barisan body guard bawaan dari negerinya dengan langkah tegap digagah gagahkan dan muka sangar mata liar seakan tak yakin akan sistem pengamanan tak menyolok yang dilakukan oleh tuan rumah sebagai penyelenggara. Di belakang barisan para body guard, berbaris rapi para pemusik yang melantunkan irama keras menghentak seakan memekikkan kepada segala yang hadir “ Inilah kami, orang dari negeri yang akan menjadi penguasa jagad Nusantara.� Dari loud speaker yang terpacak di empat sudut halaman gedung pertemuan, lantang suara menjelaskan kepada yang hadir bahwa orang yang berpostur pendek gemuk dan berwajah mirip Mr. M. Yamin adalah, Datuk Patih Gajah Mada gelar Datuk Sinar Gemala Mustika. Perdana menteri Republik Indonesia yang menjadi pengetua utusan, membawahi beberapa orang ketua bidang masalah yang akan dikemukakan dalam pertemuan akbar ini. Point demi pointpun dibahas dalam PTTR 2000 ini. Tentu saja yang diberi prioritas utama adalah point point yang masuk ke dalam agenda sidang. Mulai dari keperluan untuk diadakannya pertandingan sepak bola tahunan antar negara dan kerajaan di kawasan Nusantara. Usulan ini bermula dari utusan Republik Maluku selatan yang didukung oleh hampir semua yang hadir, dengan pertimbangan betapa olah raga yang satu ini, disamping sangat memasyarakat juga terlihat
146
dapat menjadi ajang silaturahmi dan mempererat tali persahabatan antar bangsa di Nusantara. Judul dari event bergengsi inipun dapat dengan mulus disepakati dan sidangpun memutuskan, peristiwa tahunan yang diawali bulan Desember 2000 itu diberi judul “Nusanta 2000� dan diadakan untuk pertama kalinya di Pulau Penyengat yang menjadi pusat kerajaan Riau Lingga. Boleh dikata hampir semua permasalahan dan usulan yang teragenda dapat diselesaikan dan diterima, diantaranya usulan tentang perlunya kerja sama militer yang diwujudkan dalam satu bentuk institusi. Kemudian terbentuknya badan kerja sama ekonomi negara negara Nusantara, penandatanganan memory of understanding tentang prioritas pasokan hasil bumi dan sumber daya alam bagi negara negara yang tergabung dalam masyarakat ekonomi Nusantara. Namun dari sekian banyak usulan, ada satu usulan yang sampai dinihari menjelang pagi belum dapat disepakati. Usulan yang datang dari utusan Republik Indonesia, dimana mereka dengan sedikit dan hampir memaksakan kehendak meminta kepada yang hadir untuk menyetujui dan mengultimatum, agar negara negara Nusantara berintegrasi kedalam satu bentuk negara kesatuan yaitu Indonesia dan menetapkan Jakarta sebagai ibukota negara kesatuan serta ibukota negara negara yang tergabung, menurut kehendak mereka otomatis menjadi ibukota propinsi daerah tingkat satu dan gubernurnya akan dipilih langsung oleh Presiden yang berkedudukan di pusat pemerintahan. Entah untuk yang keberapa kalinya Datuk Patih Gajah
147
Mada menggebrak meja, membanting wireless microphone, berdiri diatas kursi dan mengacung acungkan tinjunya yang sebesar kepalan tinju Mike Tyson ketika argumentasinya dengan mudah dipatahkan oleh banyak utusan negara lain. Kegigihan Datuk Patih Gajah Mada dan para pembantunya layak diberi acungan jempol. Mereka tetap mempertahankan usulan yang kemudian menjadi keputusan mutlak mereka. “Walau bagaimanapun Nusantara harus bersatu dan kalau tidak, kami akan melakukan walk out dan tidak menandatangani segala keputusan sidang ini.” Demikian lantang dan menggelegar suara Datuk Patih Gajah Mada dengan emosi tumpah ruah. Ciut juga nyali para hadirin mendengar putusan ini. Sebagai sebuah negara kuat dan berpengaruh, tentu Indonesia tidak akan tinggal diam atas penolakan ini. Tidak ada jalan lain, Sultan Narasinga sigap mengambil alih pimpinan sidang dan memutuskan bahwa sidang ditutup serta memutuskan permasalahan usulan Indonesia ini akan dijadikan agenda utama untuk persidangan tahun depan. Dari deretan kursi para wartawan peliput, mendadak sontak aku meluahkan emosi yang sekian lama tertahan. Aku berteriak keras, melebihi teriakan brutal yang telah dilakukan para utusan Indonesia. Tanpa pengeras suara, lantang aku berkata. “Tidak bisa, tidak ada penundaan. Atas nama demokrasi, hari ini sidang memutuskan bahwa usulan dari utusan Republik Indonesia, ditolak…………. Tanpa ada lagi tawar
148
menawar. Resiko apapun yang terjadi akibat penolakan ini, saya sebagai wakil rakyat kerajaan Inderagiri yang cinta demokrasi, siap menanggung beban.” Bagaikan mau pecah ruang gedung Dang Purnama ketika secara spontan para utusan yang sebahagian besar menolak usulan Indonesia, melakukan teriakan, “setuju………tolak tawar menawar, tolak integrasi, kami cinta kedaulatan dan kemerdekaan yang telah kami miliki sejak lama.” Aku tersenyum, ketika Sultan Narasinga menoleh kepadaku dan memberikan anggukan serta acungan jempol pertanda bangga. Alamak….betapa berbunga bunganya hati ini, suatu kebanggaan yang tak dapat diungkapkan dengan kata kata, namun “ Pak…Pak, Bapak mengigau. Bangun Pak sudah hampir maghrib, kok masih tidur juga.” Mengusap usap kelopak mata, aku melihat Abel putraku dengan berpakaian seragam anggota Paskibraka, berdiri disamping tempat tidurku dan terus nyerocos mengatakan dengan bangga, bahwa saat penurunan bendera pusaka tadi, ia sempat bersilaturahmi dengan Bapak Presiden Abdurrahman Wahid dan mendapat ciuman sayang dari wakil Presiden Ibu Megawati Soekarno Putri. Terus mengusap mata aku melangkah turun dari tempat tidur, sedangkan Abel masih bercerita dengan bangga, mengisahkan pengalamannya sebagai salah seorang dari pasukan pengibar bendera merah putih di halaman Istana Merdeka, pada hari ulang tahun kemerdekaan Republik
149
Indonesia tujuh belas Agustus tahun 2000. Diruang tengah, kulihat Sri isteriku khidmat melipat bendera merah putih yang baru saja ia turunkan dan menyimpannya di laci lemari pakaian kami, siap dikibarkan kembali esok pagi.
150
UMUR PANJANG “Achkkk……..” lalu, “aduh mak……….” Sekali lagi, lalu berkali kali, “achkkkkk, hek……tobat….” dan terakhir hanya terdengar erangan lirih sebagai puncak ungkapan rasa sakit, setiap kali para pemeriksa merasa hasil kerja mereka belum maksimal. Berkali kali, berulang hari sampai berbulan. Karena disini ketentuan maksimum masa pemeriksaan tak laku lagi. Kitab undang undang hanya sebagai pajangan tak berarti. Kadang kadang terlintas keinginan untuk cepat mati hingga siksa berkepanjangan seperti ini akan segera berakhir. Takkan adalagi terpaan popor senapan, lambut keras kopel rim, sepitan tang penjepit ke jempol kaki, tendangan sepatu lars bertubi tubi ke rusuk, ke selangkangan, ke dada yang mengakibatkan dua hari terakhir ini, muntahan darah segar menghambur mengiringi batuk tak tertahan. Karena di kota ini tidak ada pengacara sekolahan yang mau membela, ketika pokrol bambu dengan kemampuan pembelaan alakadarnya bertanya tentang keadaan kliennya yang semakin membuat miris hati dan mata memandang, komandan tim pemeriksa tangkas dan tegas menjawab. “ Huh, TBC nya semakin parah, terpaksa dia harus di isolasi agar tidak menularkan penyakitnya ke orang lain dan…..ehm….ehm, anda tidak usah khawatir, kami akan memberikan perawatan yang intensif. Mudah mudahan ia segera sehat dan berumur panjang, ehm…ehm.”
151
Di isolasi dengan alasan TBC, berarti semakin longgar ruang gerak, semakin leluasa para lelaki berseragam memaksakan sebuah pengakuan dari orang yang sama sekali tidak mengetahui ujung, ataupun pangkal sebuah kejadian yang mencemarkan nama baik seorang penguasa negeri. Ngilu tulang rusuk berkepanjangan, bukan lagi sebuah penderitaan. Semburan darah pengiring batuk, berak hitam kencing merah seakan merupakan tahapan antrian dari berbagai bentuk perubahan yang akan tiba, sedangkan seringai galak para pemeriksa bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Segeralah mati, “ ah….. tidak lagi, kalau tidak memberi arti.” Keinginan untuk lekas mati berangsur menjadi padam seiring tumbuhnya sikap perlawanan dan berubah menjadi reaksi antibodi terhadap rasa sakit dari penyebab yang tidak dimengerti. Tak dapat dimengerti, karena secara sadar berada dalam kamar para oposan yang menyumbangkan kritik pada penguasa demi perbaikan negeri kami. Karena kebetulan berada ditempat kejadian, melihat modus operandi para pendemo luar negeri. Karena kebetulan yang didemo para mahasiswa luar negeri adalah pemimpin merangkap penguasa negeri kami. Karena kebetulan rindu pulang kembali kenegeri ini, lalu diamankan. “ Ah……karena kebetulan ?” Terjelepok duduk sendiri, dengan posisi tak biasa di sudut ruang pengap berjeruji besi. Persis seperti konon kata buku sejarah, sosok nenek moyang kita pada masa
152
penjajahan Belanda dan Jepang. Tubuhnya kurus. Tulang iganya seakan berlomba untuk tampil ke depan. Tonjolan tulang rusuk, keriput kulit berisi daging sekedar syarat untuk dapat dikatakan sebagai orang, tampaknya tak menghalangi senyum wibawa dengan gurat gurat wajah keras pertanda tegar, hanyut dalam mimpi atau halusinasi. Empat tahun di negeri orang dengan tata cara berbeda, tetapi pasti tujuannya sama. Empat kali tante Els dan Oom Patti di negeri bawah air atau negeri kincir angin merayakan jarig keponakannya dengan tart dan tiupan api lilin. Empat kali pula tante Els dan Oom Patti mengucapkan selamat “panjang umur” pada keponakannya dan dapat menyelesaikan studi di negeri tempat tinggalnya dengan tepat waktu. Mulai dari jabang bayi sampai ke bujang tanggung di kampung, Abah dan Emak merayakan ulang tahun anaknya dengan kenduri selamat, diiring doa tolak bala dan setiap kali pula ditutup dengan ucapan selamat “panjang umur” disambung dengan, “semoga berarti bagi agama, orang tua dan masyarakat banyak.” Panjang umur dan “berarti” bagi masyarakat banyak, inilah yang tanpa disadari menjadi obat pengebal siksa menjadi tahanan beralasan “diduga.” Untuk itu, “ ya……mati nanti dulu,” karena hidup belum “berarti” bagi masyarakat banyak. Mimpi atau halusinasi tampaknya jalan terus. Segala yang indah indah tergambar jelas di pelupuk mata rapat terpejam. Indahnya pemilihan raya tidak hanya dengan calon tunggal, namun sederet nama calon pemimpin, siap beradu
153
konsep dengan tujuan hanya satu, berupaya mesejahterakan rakyat dan berarti bagi kemaslahatan masyarakat. Tidak ada tim sukses, tak ada tim pencari dana. Karena gambaran pemimpin yang baik sudah ada di benak masing masing masyarakat. Mereka tak perlu lagi disorongi amplop berisi duit segepuk. Indahnya gambar pemandangan, saat kunjungan pemimpin disambut jujur oleh rakyat yang berjejal dibibir trotoar, tanpa harus diancam untuk hadir oleh pak RT, pak lurah ataupun pak camat. Tak perlu wajib berseragam hijau hijau, kuning kuning, merah merah ataupun hitam hitam. Karena yang tiba, adalah pemimpin multi colour. “Aaaaaaaaaah………………” Erang panjang menggema memecah kesunyian subuh, mengejut kan tetangga di sel sebelah. Mengejutkan terduga kasus korupsi yang sedang menonton blue film dengan petugas di ruang jaga, sedang mimpi dan halusinasi masih berlanjut semakin jauh terbang di awang awang , dihimpit signal berita teve dan radio penguasa. Tersuruk dalam lumpur pijakan sepatu lars ladam berduri. Terberitakan penghianat bangsa, penghina pemimpin bangsa, ketua kelompok pengacau keamanan, mata mata asing, mati dalam perawatan intensif para tim dokter, karena mengidap penyakit TBC kronis dalam usia muda dan tak diberitakan (delete), bahwa doa tante Els, oom Patti, Emak, Abah dan kerabat telah terkabul. Anak, keponakan dan kawan mereka yang mati fisik diusia 27 tahun, telah dikaruniai umur panjang, sepanjang alam masih terkembang, sepanjang busut makam dan batu nisan masih merebakkan bau wangi jujur dan keadilan.
154
DIPANJAT SEPI
“Pasti! Sudah pasti”. Sebuah keberanian mengucapkan kata pasti, pada sesuatu yang bukan menjadi kuasa manusia terlompat dari mulutku. Kekuasaan dari yang maha penguasa serta mutlak dan tak dapat ditolak atau ditawartawar, walau dengan argumentasi atau dalih apapun. Rimin hari ini tak datang. Kemarin juga dan kemarinkemarin begitu juga. Bila dihitung-hitung lebih kurang beberapa minggu ini bahkan mungkin hampir sebulan penuh dia tak muncul mengisi hari-hari malam kami dengan bual hangat yang dia dapatkan siangnya, atau beberapa hari yang lalu yang tak sempat dia sampaikan sebelumnya. “Pasti! Pasti ada apa-apa dengannya”. Mudah-mudahan yang kumaksudkan “ada apa-apa dengannya”, bukanlah sesuatu yang buruk. Yang baik-baik sajalah hendaknya. Begitulah harapku yang tertuju buat seorang Rimin, atau semua ikhwan, yang agak berlebihan mungkin kalau kusampaikan dengan ungkapan lama, “sesampan sependayungan, seiring sejalan, susah sama ditanggung, sakit sama dirasa”. (Biarlah kalau dengan menyitir ungkapan ini, aku dianggap kuno, kampungan atau tak modern) *** “Aku didatangi sepi dan mulai memerlukannya.” Begitu
155
kata Rimin ketika aku mendatangi rumahnya yang cukup besar, berkelas dan ruang yang ditata dengan sentuhan seni yang juga berkualitas. “Oh ya... kalau begitu kedatanganku sekarang mengganggu keinginanmu untuk menikmati sepi? Baiklah aku permisi dan tak akan mengganggu kesenangan barumu”. “Tidak, bukan begitu maksudku. Kau tetaplah sobat yang kubutuhkan sampai mati tiba dan memisahkan kita. Aku tak ingin merubah semua keserasian persahabatan yang telah kita bangun dalam jarak waktu yang sangat panjang.” Rimin berhenti sejenak, mendudup kopi pekat, menghisap rokok dalam-dalam, yang menjadi kebiasaannya saat berbual-bual. “Begini, sepi itu bermula datang seperti menggelitik jarijari ujung kaki, nikmat. Sepi ibarat anak nakal yang ingin di perhatikan dan dimanja. Karena mungkin itu adalah sesuatu yang baru dalam rentang hidup yang kulalui. Gelitik sepi yang membuat aku enggan berjalan, berkumpul, berbual-bual menyegarkan otak, mengisi tangki pemikiran yang dapat kuterapkan dalam kehidupan, serta mungkin juga bermanfaat bagi yang lainnya. Tak berarti tangki yang ada di kepalaku, di hati dan di perasaanku telah penuh dan tak perlu pengisian lagi. Namun ketika sepi itu datang memanjat, rupanya kesepian itu dapat juga memberikan sumbangannya dalam pengisian tangki hati, pikiran dan perasaan”. “Sepi sebuah kenikmatan”, bukanlah sesuatu yang baru sebenarnya. Aku berkata dalam hati. Jauh sebelum kita,
156
dunia ini sudah diisi oleh orang-orang penikmat sepi dengan tujuan sendiri-sendiri. Aku tak tahu tujuan sepi yang dinikmati Rimin. Tapi biarlah itu menjadi persoalan dia dan tak perlu menanyakan itu. *** “Sepi sudah semakin tinggi memanjat. Ketika kau datang dulu, sepi itu bermula hanya dari kaki ini yang menggelitikgelitik dan malas diajak ke mana-mana. Dia lebih senang
157
mengajak aku duduk menyendiri, tak memperdulikan lagi pada kanan dan kiri, depan serta belakang. Aku menikmati keadan itu dulu”. Rimin membuka pertemuan kami selanjutnya, lepas Maghrib menjelang malam ini. “Hmm..”. Aku menimpali sekedarnya dan rupanya sikap ini membuat dia sedikit tersinggung. “Aku serius, ini tak main-main. Sekarang sudah mulai menggejala ketidak seimbangan pola hidup yang selama ini kudapatkan. Sepi yang bermuara pada ketidak seimbangan itu bukan kehendakku, aku kini seperti dipaksa untuk sepi. Sepi sudah menjadi penguasa yang otoriter, diktator yang memanjat berangsur menguasai tubuh dan pikiranku”. Air mata tampak mulai merembes di pelupuk mata Rimin, namun tangkas dia menyeka dengan punggung telapak tangannya. Tampak sekali dia ingin menyembunyikan beban berat yang ditanggungnya kini. Sepi rupanya tak lagi menjadi kenikmatan seperti yang pernah dia katakan. “Sepi itu memanjat cepat, dari ujung kaki, naik merayap ke betis, ke antara kedua belah pangkal paha, memanjat ke lambung, ke hati, ke mulut, ke hidung, ke mata, terus, terus dan terus, hingga ke puncak kepala dan segala isinya. Sepi membuat aku tak ingat lagi sejak bila kami jarang bertegur, tidur lebih banyak saling bertolak punggung. Cuil mencuil, colek mencolek yang berlanjut, serta tawa tertahan, entah sejak bila, jarang dan hampir tak lagi mengisi harihari mesra kami seperti dulu. Sepi yang tak lagi dapat berdekatan dengan segala ragam menu santapan. Tak ada lagi hiruk-pikuk pinggan beradu dengan sendok makan, di tingkah decak-decak kunyah yang tak kuperdulikan
158
membuat orang semeja mungkin jijik. Sepi terus memanjat jantung-hati, tak lagi ada gendang jantung yang berdegup menatap keindahan, kecantikan bahkan ketakutan. Hati dan perasaan sepi kosong tak ada dinamika tak ada rasa”. Aku hanya dapat melongo dan tak dibuat-buat, tunak menyimak kata demi kata yang meluncur keluar dari rongga mulut Rimin. Memang benar, selama ini setiap bertandang ke rumahnya, aku tak pernah melihat kain kanvas teregang dalam keadaan kosong.. Setidaknya beberapa buah telah terisi dengan coretan, atau sketsa-sketsa mentah yang siap diselesaikan menjadi lukisan. Namun kali ini sangat berbeda, kanvas kosong, kuas kering dan papan serta pisau palet tergeletak sembarangan di sudut ruang. Separah itukah sepi telah menggerogoti raga dan jiwa Rimin? Raut raga menuju tua semakin kentara terlihat. Wajah yang dulu memancarkan semangat, kini berubah pucat dan tirus serta lemak peninggalan tubuh gemuknya dulu, seakan berebut bergelayutan seputar kantung mata, leher dan pipi. “Imajinasi, daya khayal yang sangat kuperlukan sebagai seorang seniman. Yang dulu penuh bahkan melembak berlimpah ruah, berebut untuk mendapatkan tempat, menghiruk pikukkan isi hati dan kepala, juga telah dipanjat oleh sepi. Sepi tak hanya satu. Sepi seperti Amoeba yang membelah diri di tubuhku. Dari satu menjadi beribu-ribu dan kini telah menjadi hantu. Aku takut, tak main-main, sungguh aku takut”. “Aku juga takut Min.” Walau hanya dapat berkata dalam hati. Aku membaca gelagat lain dari pertemuanku dengan Rimin kali ini. Kopi dan rokok yang menjadi kegemarannya,
159
tidak ia nikmati seperti dulu. Walau katanya ia tak dapat lari dari rokok dan kopi, namun pandang mata dan naluriku tak dapat dia bohongi. Sedutan asap rokok dan dudup atau seruput kopinya tak lagi sebergairah dulu. Dia benar, sepi telah menguasai serata organ tubuhnya. Memanjat hingga ke mulut dan lidahnya. Aku semakin takut. Rimin tiba-tiba tersedak, hanya sekali. Sepi semakin kentara di matanya yang semakin lama semakin redup. Aku tak dapat berbuat apa-apa, bahkan terkejutpun tidak, apalagi berteriak. Hal ini menambah sepi yang semakin kentara di ruang kami. Rimin tumbang dengan senyum. Seiring sepi. Kulihat seperti jutaan makhluk kecil menakutkan berhamburan. Mungkin itulah sepi yang berebutan melompat keluar dari jasad Rimin. Aneh memang, Rimin nyata-nyata tak lagi sepi. Kulihat Rimin tertawa-tawa terbang melayang, dijemput kilat cahaya petir tunggal yang menggelegar dan di atas sana, dengan senyum Rimin menyapa berpuluh bidadari, dengan buai bunyian petik sitar dan kecapi yang menyambutnya. Kukejap-kejapkan mata dan berkali-kali menampar pipi seakan tak percaya. “Mungkin? Pasti, karena aku melihatnya.........� ***
160
“MELABUH KESUMAT” Terus mengingat kejadian itu dan saksi bisu yang sengaja dibiarkan hadir, adalah pupuk yang menyuburkan dendam. Hanya ada satu kalimat pendek yang tumbuh di pikiran kami anak-anak ayah. “Kubur rasa iba! Pada setiap kesempatan, lakukan pembalasan.” Bertahun-tahun kalimat ini kami jaga dan pupuk agar subur, sampai saatnya tiba. Galau. Namun kupaksakan untuk menghitung helai demi helai lembaran uang seratus ribu rupiah. Gairah dan kegembiraan sama sekali redup, bahkan lembaran-lembaran uang yang mengisi penuh dua buah amplop ukuran besar, seakan tak mampu menyibak tirai murung di wajah dan pikiran ini. Pasangan muda, Ibnu Butakala dan isterinya Tuti Dito Semprullywati baru sekejap berlalu, mereka datang ke studioku untuk melakukan pembayaran tahap dua, dari tigakali tahapan pembayaran yang telah kami sepakati dalam perjanjian sistem pembayaran pembuatan patung almarhum ayah Tuti Dito Semprullywati, sekaligus tampaknya mereka ingin mengetahui sampai sejauh mana pengerjaan patung yang mereka pesan. “Wah, bagus mas. Persis sekali dengan papa.” Tuti Ditowati berdecak kagum sambil sebelah tangannya
161
menutup mulut dan sebelah lainnya merangkul erat pinggang suaminya. Dari raut wajah mereka, dapat kutangkap perasaan puas. Sekilas terlihat Tuti Dito Semprullywati menitikkan air mata, kemudian beberapa kali mengusap dengan jarijari tangannya yang halus dan lentik, menatap tajam penuh haru sosok patung yang menurutnya persis sekali dengan wajah almarhum ayahnya tercinta. Satu lagi bukti akan kepuasan mereka, melihat sosok patung yang kubuat; Ibnu Butakala tanpa ragu menyodorkan kwitansi tanda terima untuk kutandatangani. Tercantum, “Dua ratus lima puluh juta Rupiah!â€? Berarti aku sudah menerima uang sebesar lima ratus juta Rupiah dari mereka dan seminggu lagi, mereka akan datang untuk membayar sisanya sekaligus mengambil patung itu. Sesuai permintaan mereka, aku hanya tinggal memberi transparant coating untuk efek pualam sekaligus sebagai lapisan penguat dan meminimalisir kerusakan akibat jamur. Padahal menurutku, patung itu masih perlu perbaikan dan penghalusan di sana sini. “Ah‌semakin lama aku mengerjakan patung ini dan semakin mirip ia dengan sosok orang yang dulu sangat kukenal, semakin berat ragam gejolak yang menghimpit.â€? Awalnya aku sama sekali tak menyangka bahwa, nyonya Tuti Dito Semprullywati adalah putrinya, dan pak Ibnu Butakala pengusaha nasional, kaya raya dan terkenal itu, adalah menantunya. Begitu juga dengan Tuti Dito Semprullywati, orang yang pernah hadir di kota ini dua puluh tahun silam, sama sekali pasti tak menduga akan
162
bertemu aku. Tuti Dito Semprullywati yang kukenal dulu, jauh berbeda dengan yang kulihat kini. Walau aku kenal, tapi sangat tidak akrab dan sengaja membuat jarak dengan keluarga mereka. Namun karena jabatan yang dipegang ayahnya tak seorangpun warga kota kami yang tak mengenal keluarga itu. Tuti Dito Semprullywati yang dulunya lebih dikenal dengan panggilan Dit, seorang gadis kecil pendiam, cerdas, santun pada siapa saja dan sangat disenangi semua orang. Ciri khas yang melekat pada Dit masa itu, ia selalu mengenakan rok kembang berimpel banyak, dengan panjang sebatas buah betis dan rambut berponi yang selalu dikepang dua. Tentu pada saat itu, ia memiliki cukup banyak ragam bentuk dan warna bando yang melingkar di kepala sebagai penghias, juga perapi rambut yang menambah keapikan penampilan gadis kecil Dit. Boleh dikatakan hampir setiap hari Dit mengenakan bando yang berbeda dan selalu disesuaikan dengan warna pakaian yang ia kenakan saat itu. Dit yang kukenal sekarang dengan nama lengkap Tuti Dito Semprullywati, penampilannya sama sekali jauh berbeda. Walau sifat santun dan terkesan hati-hati dalam bicara masih melekat pada dirinya. Tuti Dito Semprullywati yang kini kelihatannya lebih senang berpenampilan sportif, rambut sebatas punggung yang dibiarkan bebas tergerai, celana denim ketat dengan kaos oblong dan sepatu kets sebagai alas kaki. Penampilannya inilah yang membuat aku tanpa banyak komentar menerima pesanan pembuatan
163
patung darinya. Ikatan kerja langsung saja kutandatangani tanpa memperhatikan segala aspek yang terkait dalam proses pembuatan. Rupanya kecerobohan inilah yang membuat aku merasa dihantui pikiran pikiran mendua, dilematis dan tak sepenuh hati. Aku sangat merasakan hal itu, walau mungkin mereka, Tuti Dito Semprullywati dan Ibnu Butakala berpikir lain. Barulah saat itu, ketika ia menyerahkan photo sebagai objek dari figur yang ingin dipatungkan, hatiku bergetar keras. Ada semacam gerakan penolakan dari dalam batin yang semakin hari semakin keras menerpa pikiran dan perasaan. *** Lewat tengah malam, menjelang subuh waktu itu. Kami sekeluarga dikejutkan dari lelapnya tidur. Pintu depan dan dinding rumah kami yang terbuat dari papan, mengeluarkan bunyi keras menciutkan nyaliku akibat digedor-gedor dari luar sana. Di samping itu, di sela gedoran pintu terdengar teriakan-teriakan keras yang bunyi kalimatnya masih kuingat hingga kini. Suara itu memanggil nama ayah disambung dengan kalimat. “Keluar kau! Jangan melawan, kau pemberontak! Penghianat bangsa. Kami bisa mencencangmu kalau kau berlaku yang bukan-bukan.� Serasa kaki ini tak berpijak di lantai, badan terasa dingin dan menggigil ketakutan, namun tatapan mataku tak dapat lepas dari celah retakan dinding papan, tempat aku mengintip memperhatikan adegan demi adegan peristiwa penangkapan ayah, hingga ia dibawa dan tak kembali hingga kini.
164
Ada sesuatu yang sangat melekat. Sesuatu yang yang sangat bertolak belakang dengan pandangan dan penilaian mereka terhadap sepak terjang ayahku. Semakin hari aku semakin mengenal siapa ayah dan kesemuanya sangat jauh dari tuduhan dan kata-kata yang dilontarkan oleh komandan penangkapan saat itu. Dari berbagai buku sejarah perjuangan tegaknya negeri ini, yang terbit kemudian setelah kejadian itu dan dengan berubahnya peta perpolitikan di negeri ini, pikiranku tentang ayah tak lagi mendua. Catatan dan kenyataan berkata, bahwa ayahku adalah salah seorang pejuang yang punya andil memerdekakan bangsa ini dan oleh karena itulah, beliau tidak menginginkan kemerdekaan yang sudah dicapai, diisi dengan pemikiran-pemikiran dan ideologi yang menyimpang dari tujuan semula dan sangat mendasar. Tak kecil penderitaan yang kami alami sejak subuh itu. Mulai dari pengucilan, intrik dan fitnah seperti tak hendak menjauh, malah semakin hari semakin berakibat buruk, seakan mereka tak memiliki hati dan perasaan, yang ada hanyalah pikiran-pikiran penghalalan segala cara untuk sebuah tujuan kekuasaan. Pendapat ini bukanlah sekedar pendapat yang tanpa dasar. Terbukti, tak lama setelah berlangsungnya penangkapan terhadap ayah dan beberapa orang temannya, berpola seperti penggulingan kekuasaan pemerintah di berbagai Negara, lingkar kendali pemerintahan negeri, dipegang oleh para “pengguling� dan sang komandan penangkapan ayahku, pun kecipratan kekuasaan. Hanya karena ikatan emosional dan kecintaan kepada tanah kelahiranlah, yang membuat kami mampu bertahan
165
hidup di kota tumpah darah, walau semakin hari tekanantekanan batin, himpitan ekonomi semakin keras mendera. Seperti berkepanjangan berenang di atas gelombang, menghindari terpaan ombak hingga ke badai besar dan terus mengingat untuk dipasakkan ke kepala, yang akhirnya menjadi sebuah doktrin yang diajarkan alam dan penderitaan. Ibu tak membenarkan kami merapikan ruangan kerja ayah, yang diacak-acak orang berseragam ketika menangkap ayah. Bahkan jejak lumpur dari sepatu mereka yang melekat di lantai papan, di tikar pandan yang menjadi sajadah ayah pun tak diperbolehkan untuk di bersihkan. Barulah setelah dewasa aku tahu maksud ibu tentang semua itu. Kejadian itu dan saksi bisu yang sengaja dibiarkan hadir, adalah pupuk yang menyuburkan dendam. Hanya ada satu kalimat pendek yang tumbuh di pikiran kami anak-anak ayah. “Kubur rasa iba! Pada setiap kesempatan, lakukan pembalasan.” Bertahun-tahun kalimat ini kami jaga dan pupuk agar subur, sampai saatnya tiba. Kalimat Dit, yang ditujukan buat aku dan suaminya masih terngiang dan semakin menggelegakkan darah di nadi. “Dewan Perwakilan Rakyat Kota, dengan suara bulat menyetujui penempatan patung papa di halaman kantor kota, di mana papa dulu pernah memimpin dan mengabdi buat kepentingan kita semua warga kota ini”. Dan inilah saatnya. “Sebagus apapun sebuah karya, walau itu karyaku sendiri. Menjadi wajib untuk dimusnahkan kalau
166
memberikan kemudaratan, atau menjadi catatan kebohongan bagi sebuah peristiwa sejarah�. Dengan sigap aku meraih palu, menghantamkannya ke kepala patung ayah Tuti Dito Semprullywati sekaligus adalah komandan yang menangkap dan “menghilangkan� ayahku dulu. Sekali hantaman pertama, patung itu hancur berkeping disusul hantaman kedua, ketiga dan entah yang keberapa, hingga patung itu berubah menjadi kepingan-kepingan kecil yang melonggarkan dadaku dari tekanan dendam dan sakit hati. Kembali menghitung helai demi helai lembaran seratus ribuan. Menarik nafas lega dan, “syukurlah, tak berkurang sepeserpun�.*** Pekanbaru, Okt.2012 Didedikasikan kepada: keluarga, anak-anak dan para korban pertarungan ideologi politik di negeri ini. .
167
168
169
Berbincang-bincang dengan Dantje kita akan segera tenggelam pada kedalaman filosofi yang berbaur dengan pengalaman panjang memintas masa. “Saya bekerja atas bisikan nurani. Karenanya mengasah nurani menjadi bagian terpenting dari seorang seniman. Sebuah karya yang dilahirkan belumlah menjadi akhir dari proses mencari, menemukan. Ia hanya bisa melahirkan kesimpulan sementara yang mendorong kita untuk bertolak dan memulai pencarian yang baru. Kita tak bisa menunggu dan namun harus berangkat buat menjemputnya.� Dengan pemahaman seperti itu Dantje menolak anggapan sumir yang menyatakan bahwa seniman identik dengan kaum urakan. Buatnya berkesenian adalah soal kematangan jiwa, intelektual yang terus bertumbuh, disiplin dan konsistensi dalam melakoni peran sebagai seniman. “Ketika disiplin lepas maka konsistensi bisa terancam. Saya punya pengalaman sedih dimana suatu masa, keinginan buat melukis begitu besar namun kanvas dan cat tidak tersedia. Saya hampir menangis. Juga kesal. Marah kepada diri sendiri. Pengalaman yang akhirnya membuat saya ber-kesimpulan bahwa ketika satu lukisan terjual maka yang pertama dibeli adalah perlengkapan buat melukis selanjutnya. Hal yang menjadi semacam filosofi. Bisa diartikan bahwa tidak ada kata selesai apalagi pensiun di dalam diri seorang seniman�. *** (Kutipan dari BE’Magazine)
170