Humor di tanah melayu

Page 1



Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Humor di Tanah Melayu Kumpulan Esai Riau Pos 2014


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

HUMOR DI TANAH MELAYU (Kumpulan Esai Riau Pos 2014) Editor: MUHAMMAD AMIN FEDLI AZIZ Perancang Sampul: DESRIMAN ZAHMI Perancang Isi: SUPRI ISMADI DITERBITKAN PERTAMA KALI OLEH: Yayasan Sagang Pekanbaru Gedung Riau Pos, Jl. Soebrantas KM 10,5 Panam, Pekanbaru, Riau Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip sebagian atau keseluruhan isi atau memperbanyak sebagian atau keseluruhan tanpa izin dari penulis. KEPUSTAKAAN NASIONAL: Katalog dalam Terbitan (KTD) Humor di Tanah Melayu, Kumpulan Esai Riau Pos 2014 Pekanbaru, Yayasan Sagang, 2014 ISBN.... Cetakan Pertama, Oktober 2014


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

KOMEDI DAN TRAGEDI RIAU (SEBUAH PENGANTAR) SEORANG seniman komedi nasional asal Riau, Otong Lenon telah berpulang, kembali menghadap Tuhan. Otong Lenon tentu saja telah meninggalkan jejak, tak hanya bagi keluarganya, kampung kecilnya di Benai Kecil, Kecamatan Benai, Kuansing, tapi juga bagi Riau secara umum. Jejak dan kenangan yang tak terlupakan. Sebuah legenda yang selalu ada dalam ingatan kolektif negeri bernama Riau. Sebagai legenda seniman komedi bagi Riau, Otong Lenon telah melahirkan generasi-generasi baru yang juga punya jejak di pentas nasional. Grup Nyanyah adalah salah satunya, saat berkibar di ajang pencarian bakat komedian di salah satu televisi swasta bertajuk API (Akademi Pelawak Indonesia). Nyanyah tampil sebagai runner up. Nyanyah adalah salah satu karya dari tangan dingin seorang Otong Lenong. Riau sebenarnya termasuk negeri yang ramah dengan komedian dan dunia lawakan. Banyak yang bisa ditertawakan dari fenomena kemasyarakatan yang terjadi di Riau. Jika Rantau Kuantan punya Otong Lenon, maka di pesisir, khususnya kawasan Bengkalis dan sekitarnya, Riau punya Yung Dolah. Dengan cerita dan gaya satirnya, Yung Dolah adalah legenda lain yang dimiliki Riau dalam hal

i


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

komedi. Cerita rakyat (forklore) yang bermuatan lucu memang bisa hadir dari mana saja. Tiap wilayah punya tokohnya sendiri. Kalau di Sunda ada si Kabayan, di Jawa ada punakawan, maka di Riau Yung Dolah-lah padanannya. Dengan gaya penceritaannya yang khas, Yung Dolah adalah kisah unik yang tiada dua bagi khazanah kebudayaan Riau. Bual Yung Dolah yang penuh muatan sarkasme dan satir adalah bentuk lain dari kritik sosial, yang kadang tak disadari masyarakat, yang mengganggapnya bualan kosong belaka. Menceritakan kelucuan, hakikatnya adalah cerita tentang kita, tentang kehidupan dunia ironi dan satir yang seolah datang tiada henti. Ironi itu biasanya berkaitan dengan tidak sinkronnya kondisi ideal dengan harapan. Cerita-cerita itu bisa terjadi di warung-warung kopi pinggir jalan, hasil olahan di panggung teater rakyat, yang bahkan dapat menjelma menjadi cerita rakyat, hingga pentas teater sebenarnya. Lelucon adalah cara kita menghadapi beratnya kehidupan, dan oleh karenanya, ia merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Itulah pula kenapa acara-acara komedi begitu digandrungi--dan kadang ditangkap dengan naluri bisnis yang tinggi oleh para produser televisi. Salah satu ulasan menarik tentang cerita komedi rakyat ala Yung Dolah ditulis dengan apik oleh budayawan Fakhrunnas MA Jabbar dalam salah satu bagian esai buku ini. Fakhrunnas menulis ulasannya dengan judul “Humor di Tanah Melayu Riau: Dari Yung Dolah hingga Stand up Comedy�. Dalam catatan Fakhrunnas, Riau memang kaya dengan cerita rakyat yang berkaitan dengan humor. Bahkan tokohtokoh dan budayawan senior yang biasanya selalu serius pun bisa menulis dan bicara humor atau komedi. Fakhrunnas mencontohkan budayawan UU Hamidy yang menulis tentang alur tokoh-tokoh yang kerap menulis atau merangkai

ii


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

kata dengan cara yang humoris. Alur perkembangan cerita lucu itu dimulai dari Yung Dolah, lalu Soeman Hs, Idrus Tintin, kemudian Semekot (Fakhri-Udin, termasuk di dalamnya Otong Lenon sebagai pendiri). Otong Lenon pula yang kemudian balik kampung ke Riau untuk membina dunia humor Riau, dengan kiprahnya di PaSKI (Persatuan Seniman Komedi Indonesia) sebagai ketua. Belakangan, ada lagi stand up comedy ala Riau yang juga digerakkan oleh PasKI. Setelah itu, hadir pula tokoh-tokoh humoris lainnya seperti Hang Kafrawi, Afrizal Cik, hingga Furqon LW dengan SiKari (Sindikat Kartunis Riau). Selain nama UU Hamidy, nama tokoh serius lainnya yang didedahkan Fakhrunnas dalam esainya adalah Muchtar Ahmad, Tabrani Rab dan Tengku Dahril. Tidak ada kurang seriusnya tiga tokoh Riau ini. Muchtar Ahmad adalah mantan rektor Unri yang tegas dan punya sikap atas pendiriannya. Dalam banyak hal, Muchtar Ahmad adalah tokoh tanpa kompromi atas keputusan-keputusannya. Tabrani Rab, kendati sering juga melucu dalam banyak tulisannya, tetap tokoh yang keras, dibuktikan dengan gerakan “Riau Merdeka”-nya. Lalu Tengku Dahril, dengan ICMI dan semua sikap dan tindakannya, ada tokoh serius di Bumi Lancang Kuning. Toh, ternyata mereka pun sempat “melucu”. Bersama Fakhrunnas dan beberapa rekan lainnya, mereka pernah menggelar lomba lawak se-Riau pada tahun 1982. Selain itu, ada juga mantan Ketua DPRD Riau, Chaidir yang tak bisa lepas dari konteks humor di Riau. Chaidir bahkan punya buku humornya sendiri, yang mirip-mirip buku kumpulan humor Mati Ketawa Cara Rusia yang fenomenal. Chaidir memberikan judul bukunya Menertawakan Chaidir. Riau mungkin salah satu wilayah yang warga dan tokohtokohnya punya rasa dan selera humor yang tinggi. Apalagi, seorang yang berselera humor tinggi biasanya mampu

iii


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

menertawai dirinya sendiri, seperti yang pernah diungkapkan Chaidir dalam bukunya, Menertawakan Chaidir itu. Ketika orang Riau menjadi orang yang mampu menertawakan dirinya sendiri, pada sisi lain, ada orang lain yang juga akan menertawainya. Pada poin itu, komedi yang terdedah bisa jadi akan dapat berubah secara drastis menjadi tragedi. Dari bumi Riau kita menertawakan diri kita sendiri, tapi dari tempat lain, dari Jakarta, orang lain menertawakan kita. Betapa banyak kekayaan bumi Riau yang masih belum bisa dinikmati masyarakat Riau, terutama kaum pinggiran dan masyarakat asli. Minyak mentah, sawit, hutan alam, batu bara, adalah kekayaan alam yang diambil dari bumi Riau, lewat di depan rumah orang Riau, tapi tak singgah untuk menyejahterakan rakyatnya. Inilah ironi yang masih terjadi hingga saat ini. Ketika televisi nasional membuat istilah hattrick gubernur Riau di tangan KPK, sebagian kita juga ikut tertawa. Kembali, sebuah “ironi�. Inilah Riau. Inilah Melayu yang kaya dengan ironi dan komedi, yang keduanya bisa saling dipertukarkan. Lewat tulisannya kali ini, Fakhrunnas tengah mendedahkan tentang komedi Riau, yang boleh jadi implisit di dalamnya ironi dan tragedi juga. Buku kumpulan esai ini memuat tak hanya fenomena komedi di Riau dalam perspektif Fakhrunnas MA Jabbar, tapi juga berbagai fenomena sosial dan sastra selama setahun terakhir. Tulisan-tulisan itu hadir dalam rubrik “Ranggi� Riau Pos. Ada 23 tulisan yang terangkum dalam buku ini, mulai dari menyoroti fenomena sosial, kritik teater, kritik karya sastra, berupa cerpen dan novel, hingga tulisan esai lainnya bertema sejarah, bahkan yang agak bernuansa hukum.***

iv


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

DAFTAR ISI Pengantar_hal. i Daftar Isi_hal. v - Melestarikan Budaya dan Tradisi_hal. 1 Oleh Junaidi Khab - Pembelajaran (Bahasa) Sastra dalam Kurikulum 2013_hal. 7 Oleh Musa Ismail - Menggugat Kapitalisme dengan Keberanian Sastra_hal. 13 Oleh Subaidi Pratama - Tentang Kesusastraan Kita_hal. 17 Oleh Anwar Noeris - Kedatuan Andiko Muaratakus_hal. 21 Oleh Amirullah, SPd - Upaya Teater Selembayung: Meneaterkan Cerita Pendek “Menjadi Batu�_hal. 27 Oleh T.G.H. Syafruddin Saleh Sai Gergaji - Teori dan Kritik Sastra Lokalitas_hal. 33 Oleh Budi Hatees - World Music Beraroma Terasi Belacan_hal. 37 Oleh Aristofani Fahmi - Merayakan Berbagai Kekurangan_hal. 47 Oleh Taufik Ikram Jamil - Perkembangan Senirupa Riau (Sebuah Catatan Ringan)_hal. 53 Oleh Dantje S Moeis - Doksologi Keledai_hal. 59 Oleh Zuarman Ahmad - Menarilah dengan Hati (Catatan : Peringatan Hari Tari Internasional/World Dance Day 2014)_hal. 63 Oleh SPN Iwan Irawan Permadi

v


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

- Menggumuli Sastra Bahari_hal. 67 Oleh Muchlas J. Samorano - Plagiarisme sebagai Ancaman Kreativitas_hal. 71 Oleh Nafi’ah Al-Ma’rab - Humor di Tanah Melayu Riau: Dari Yung Dolah hingga Stand Up Comedy_hal. 77 Oleh Fakhrunnas MA Jabbar - Nyanyian Sunyi Religi Hafney Maulana_hal. 85 Oleh Musa Ismail - Teater Anak dan Gerakan Transformasi Budaya (Apresiasi atas Operet Anak Tengkulup Paya oleh Sanggar Keletah Budak)_hal. 91 Oleh Marhalim Zaini - Memperbincangkan Realisme dari Pentas Teater SKH_hal. 99 Oleh Jefri al Malay - “Buntut” Perda Provinsi Riau Nomor 9 Tahun 2013 Memerkarakan Keberpihakan Pemerintah terhadap Kesenian_hal. 105 Oleh Aristofani Fahmi - Gawat Darurat Anjung Seni Idrus Tintin_hal. 113 Oleh Marhalim Zaini - Buku-buku yang Lahir di Penjara_hal. 121 Oleh Abd. Basid - 70 Tahun UU Hamidy Penarah Ruh Kebudayaan Melayu_hal. 125 Oleh Muhammad Sangap Siregar - Perang Riau sebagai Titik Tolak Hari Jadi Kota Tanjungpinang_hal. 131 Oleh Eddy Mawuntu dan Rida K Liamsi - Kekuasaan Puisi Takluk dalam Koran_hal. 145 Oleh Budi Hatees

vi


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Humor di Tanah Melayu Kumpulan Esai Riau Pos 2014

v


Kumpulan Esai Riau Pos 2014


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Melestarikan Budaya dan Tradisi Oleh Junaidi Khab I NDONESIA merupakan negara kepulauan yang kaya dengan beranekaragam budaya, adat-istiadat, seni, dan tradisi. Memang perlu diakui, negara Indonesia banyak memiliki budaya, adat-istiadat, seni, dan tradisi yang banyak dikagumi oleh orang-orang dari seluruh negeri, umumnya orang-orang pelancong dari luar negeri yang ingin menikmati dan mengetahui seperti apa dan bagaimana indahnya panorama, budaya, dan tradisi yang ada di Indonesia. Contohnya, dalam tayangan sebuah stasiun televisi sering ditayangkan sebuah acara “Belajar Indonesia�, yang mana tokoh yang dijadikan bintang film adalah wisatawan asing yang sedikit bisa menggunakan bahasa Indonesia dan ingin mengetahui/ mempelajari adat atau tradisi yang ada di Indonesia. Keberanekaragaman budaya, adat-istiadat, seni, dan tradisi yang ada di Indonesia menyebabkan banyak wisatawan asing yang berkunjung untuk mengetahuinya. Beranekaragaman adat dan tradisi ini disebabkan oleh banyaknya pulau yang ada di Indonesia sehingga setiap pulau memiliki adat dan tradisi yang berbeda. Bahkan tidak hanya

1


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

beda pulau yang beda adat dan tradisi. Dalam satu daerah saja sudah ada banyak tradisi yang berbeda. Perbedaan adat dan tradisi semacam itu tidak menjadikan rakyat Indonesia menjadi tidak saling mencintai, akan tetapi mereka saling share dalam hal kebudayaan demi sama-sama menuju kemajuan bersama di dalam hidupnya. Pulau-pulau yang ada di Indonesia memiliki banyak adat dan tradisi. Budaya dan tradisi yang ada di Indonesia dapat kita jumpai di berbagai daerah. Seperti di pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Bali, Madura, dan banyak lagi pulau-pulau kecil yang memiliki banyak budaya dan tradisi yang sangat unik dan menarik untuk dijadikan sebuah momen hiburan dan kesempatan untuk belajar bersama dalam perbedaan. Pulau Madura memiliki budaya “Karapan Sapi� yang terkenal, yang mana “Karapan Sapi� biasanya diselenggarakan setiap tahun setelah panen tembakau atau pada musim kemarau berlangsung. Karapan sapi tersebut dilaksanakan setelah panen tembakau karena memang setelah panen tembakau masih masuk musim kemarau dan itu merupakan sebuah pesta para petani tembakau yang beruntung dengan hasil jual tembakaunya yang sangat tinggi, sehingga modal yang dijadikan untuk menggelar karapan sapi tercukupi, mereka rela menghabiskan banyak uang demi mengikuti pagelaran karapan sapi meskipun hadiah yang diterimanya tidak sesuai dengan modal yang mereka keluarkan. Biasanya hadiah yang diperoleh hanya berupa seekor kambing, bahkan kadang kala hanya sebuah jam dinding yang tidak begitu berharga. Itu mereka lakukan demi menjaga adat yang mereka miliki. Setelah itu, sapi yang menjadi juara biasanya menjadi lelangan di antara para penggemar sapi dan karapan sapi. Di Pulau Madura tidak hanya karapan sapi yang dapat kita jumpai. Masih banyak lagi adat atau tradisi yang sangat

2


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

unik dan menarik yang bisa kita jumpai, seperti Ojung, Mancak, Saronén, Pandhél, Mamaca, Pérét Kandung, Tande’, Polang Aré, dan lain sebagainya. Namun yang perlu kita jadikan sebuah pelajaran dari karapan sapi ini adalah meskipun mereka yang menjadi juara dan hanya mendapat hadiah seekor kambimg atau bahkan sebuah jam dinding, tapi ini sudah menjadi kebanggaan tersendiri. Mereka tidak pernah berputus asa untuk tetap ikut berpartisipasi. Di Pulau Jawa tradisi wayang yang terkenal. Pada awalnya masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa. Pertunjukan wayang di setiap daerah memiliki teknik dan gayanya sendiri. Dengan demikian, wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita, gaya, dan dalang yang luar biasa. Kadangkala repertoar cerita Panji dan cerita Menak (cerita-cerita Islam) dipentaskan pula. Wayang, oleh para pendahulu negeri ini mengandung arti yang sangat dalam. Sunan Kalijaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan wayang. Para Wali di tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat berkaitan satu sama lain. Yaitu “Mana yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) harus dicari (Wayang Golek)”. Bagaimanakah agar semua budaya dan tradisi yang ada di negeri Indonesia ini tidak lenyap begitu saja? Pertanyaan semacam itu mungkin sering tumbuh di benak kita, namun

3


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

kita tidak tahu cara terbaik untuk bisa melestarikannya. Persoalan yang semacam ini tidak boleh kita abaikan, jika kita abaikan bagaimana dengan nasib bangsa ini dan lebihlebih kita sendiri apabila budaya dan tradisi itu pindah pada luar Indonesia (diambil negara lain). Karena sudah terbukti sebuah hasil karya bangsa Indonesia diakui oleh negara lain, seperti hasil batik. Asal batik itu merupakan asli dari Indonesia, namun Malaysia telah mengaku bahwa batik itu merupakan hasil karya bangsa mereka. Hal demikian yang kita tidak inginkan. Bisa jadi kemudian hari budaya dan tradisi Indonesia diakui dan dimiliki oleh negara lain. Terbukti dengan penayangan sebuah stasiun televisi yang menayangkan sebuah acara yang saya sebutkan di atas “Belajar Indonesia� yang dibintangi oleh tokoh dari luar negeri. Dalam menghadapi dan menanggapi hal yang semacam ini, kita perlu melestarikannya sendiri terlebih dahulu. Akan tetapi yang sangat penting adalah bagaimana negara lebih berperan aktif dalam melestarikannya, dengan mengeluarkan semacam surat pengakuan resmi yang ditandatangani oleh Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Budaya). Di samping itu juga harus diadakan/digelar semacam Hari Pertunjukan Budaya dan Tradisi (Hapebut) yang ada di seluruh nusantara ini agar budaya dan tradisi yang ada di Indonesia ini tidak bisa diakui oleh negara lain. Selain itu juga agar bangsa Indonesia mengetahui macam-macam budaya dan tradisi yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia yang akhir-akhir ini sepertinya sudah mulai memudar dikarenakan majunya teknologi modern. Dengan demikian, adat atau tradisi yang bersifat kolot mulai ditinggalkan. Padahal adat atau tradisi meskipun bersifat kolot, merupakan hasil budaya para pendahulu kita yang patut kita lestarikan.

4


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Dari itulah sangat penting peran pemerintah dalam menyelenggarakan sebuah peringatan yang bisa mengingatkan kita dan mengakui terhadap semua kekayaan budaya, adat, dan tradisi yang ada di seluruh nusantara ini.*** Junaidi Khab, bergiat di Komunitas Sastra UIN Sunan Ampel Surabaya.

5


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

6


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Pembelajaran (Bahasa) Sastra dalam Kurikulum 2013 Oleh Musa Ismail TAHUN Pelajaran 2014/2015, pemerintah mengambil kebijakan untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 (K13) pada jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA sederajat di tanah air. Kebijakan ini ditetapkan setelah melalui uji publik yang penuh pro dan kontra. Apapun pro dan kontra itu, kehadiran K13—yang saya sebut sebagai Kurikulum Cinta—memberikan corak tersendiri pada wajah pendidikan di negara kita. Yang jelas, kurikulum ini bertujuan mengubah pola dan muatan materi pembelajaran di kelas-kelas kita. Salah satu pola dan materi pembelajaran itu adalah muatan sastra yang terangkum dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Keluhan dan kritikan tentang kurangnya konten sastra dalam kurikulum terdahulu sering diperbincangkan. Kritikan tersebut selalu muncul dari kalangan sastrawan. Hal ini memperkuat bukti bahwa sastrawan tidak dilibatkan dalam perumusan muatan kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia. Ini berarti muatannya lebih mengutamakan aspek

7


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

bahasa. Padahal, bahasa merupakan media untuk melahirkan sastra. Tidak semua teori bahasa dapat disepadankan dengan praktik sastra. Yang lebih baik, pembelajaran bahasa berbasis (karya) sastra. Artinya, sastra sebagai modal dalam pembelajaran bahasa Indonesia, bahkan bisa juga diterapkan ke mata pelajaran lain. Nah, kritikan sastrawan sebenarnya bisa menjadi dasar utama persoalan pembelajaran bahasa dan sastra di tanah air. Sastra secara spesifik dinilai patut termaktub dalam pembelajaran. Kepatutan konten sastra dalam pembelajaran memiliki alasan tersendiri. Alasan ini berkaitan dengan aspek karakter humanistis. Bukankah salah seorang sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab, pernah berpesan agar kita mengajarkan sastra kepada anak-anak? Menurutnya, sastra bisa menumbuhkan budi pekerti yang halus kepada anakanak kita. Bahkan, sastra bisa membentuk keberanian (positif) pada diri generasi. Selain itu, sastra mengandung khazanah tunjuk ajar yang mampu membentuk kepribadian luhur pada diri manusia. Salah besar jika penguasa atau pemimpin negeri memandang (seni) sastra dengan sebelah mata. Pembelajaran tanpa keseimbangan nilai-nilai seni bisa melahirkan generasi robot dan psikopat, generasi kaku dan tawar dengan aspek humanistis. Kurikulum 2013 lebih menekankan pada pembentukan sikap/afektif. Untuk pembentukan sikap ini, hanya aspekaspek seni yang mampu menjangkaunya. Sikap hanya akan terjangkau dengan seni matematika, seni kimia, seni fisika, dan seterusnya. Nah, karena itu aspek sastra menjadi sesuatu yang mutlak disuguhkan kepada generasi melalui pendidikan di kelas. Kehadiran kurikulum baru yang pro- dan kontraini ternyata memberikan peluang tersendiri bagi konten sastra. Meskipun tidak semua (juga tidak mungkin untuk semua) konten pembelajaran bahasa Indonesia adalah sastra,

8


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

tetapi peluang konten pembelajaran sastra memiliki ruang yang luas. Artinya, setiap kompetensi dasarnya sangat memungkinkan diajarkan dengan sastra sebagai dasarnya. Materi pembelajaran bahasa Indonesia di dalam kurikulum ini dapat kita pahami sebagai berikut. Materi kelas 7, yaitu teks hasil observasi; kelas 8 teks cerita moral/fabel, cerita prosedur, biografi; kelas 9 teks eksemplum; kelas 10 teks anekdot, eksposisi, laporan hasil observasi, teks prosedur, teks negosiasi; kelas 11 teks cerpen, pantun, dan cerita ulang, film/drama; kelas 12 teks cerita sejarah, teks berita, teks iklan, teks editorial/opini, dan teks novel. Sementara itu di kelas 1-6, siswa lebih difokuskan pada pembelajaran tematik. Yang perlu menjadi catatan di sini adalah tentang kemanfaatan materi cerita ulang di kelas 11. Pembelajaran yang Menyenangkan Konsep pembelajaran yang menyenangkan selalu mencuat dalam dunia pendidikan. Konsep ini berorientasi pada interaksi edukatif antara guru dan siswa. Sebagai orientasi interaksi edukatif, praktik dari konsep ini dinilai mampu mewujudkan proses dan hasil belajar yang maksimal. Semua guru mata pelajaran disarankan mendesain pembelajaran yang menyenangkan, termasuk guru mata pelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaran yang menyenangkan bisa diterapkan dari beberapa aspek. Pertama, penerapan model pembelajaran; Kedua, variasi metode pembelajaran; Ketiga, pendekatan dan teknik pembelajaran; Keempat, pemilihan media yang sesuai; Kelima, seni mengajar dari guru yang bersangkutan, termasuk kemampuan mengelola kelas dan penguasaan materi pembelajaran bahasa (sastra) Indonesia. Keberadaan kemampuan guru bahasa Indonesia di dalam Kurikulum 2013 perlu mendapat perhatian lebih. Selain kemampuan berbahasa, guru juga dituntut memiliki

9


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

kemampuan bersastra. Kemampuan guru bukan cuma cakap berinteraksi, tetapi juga berkonsentrasi pada kreativitas, inovasi, dan memaksimalkan daya imajinasi. Ini sangat diperlukan karena materi sastra sangat menuntut guru yang kreatif, inovatif, dan imajinatif. Selain itu, guru bahasa Indonesia juga dituntut memiliki kemampuan literasi sehingga mampu mengajak siswa membaca literasi. Jika hanya mengandalkan materi dalam kurikulum, maka bangsa ini akan semakin buta literasi. Taufik Ismail dalam penelitiannya menyatakan, jumlah buku wajib baca pada siswa SMA di Indonesia sangat memprihatinkan, yaitu 0 buku. Dalam kaitannya dengan penerapan kurikulum ini, sastrawan Indonesia ini juga menekankan pentingnya pembelajaran sastra yang menyenangkan. “Padahal, bangsa yang besar adalah bangsa yang multi-literasi. “Kita perlu pembelajaran bahasa Indonesia yang lebih menyenangkan dan merindukan, sehingga ketika pelajaran bahasa Indonesia, siswa dapat antusias belajar dengan baik,” ujarnya. “Kita perlu meniru bangsa Rusia yang sejak dini telah mencintai sastra. Di sana, siswa SMA sudah membaca buku 500 halaman lebih karangan sastrawan Rusia terkenal, yaitu Leo Tolstoy,” tambahnya. Dari pengalaman sebagai pendidik, perpustakaan sekolah kita sangat miskin akan literasi sebagai bahan rujukan/bacaan. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah yang entah sejak kapan masih “belum bangun”. Kurikulum memang suatu pedoman dan media dalam pembelajaran. Sehebat apapun materi kurikulum (bahasa Indonesia, akan mati di tangan gurunya. Guru bahasa Indonesia merupakan aktor sentral dalam pembelajaran yang menyenangkan. Materi bahasa (sastra) Indonesia yang tertuang di dalam kurikulum akan menjadi sangat bermakna di tangan guru-guru bahasa Indonesia yang kreatif, inovatif, dan imajinatif. Guru yang demikian akan terus berim-

10


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

provisasi dalam pembelajaran bahasa (sastra) yang menyenangkan, hidup, dan kaya ilmu.*** Musa Ismail, adalah guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMAN 3 Bengkalis.

11


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

12


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Menggugat Kapitalisme dengan Keberanian Sastra Oleh Subaidi Pratama SUDAH selayaknya ihwal keinsyafan itu tidak hanya dipendam, melainkan terus diejawantahkan ke dalam bentuk-bentuk kreatif konkret karya cipta. Menulis sastra adalah salah satu bentuk tindakan konkret penyadaran sesama manusia melalui estetika kata-kata. Hingga kegelisahan seseorang dapat tersalur dalam tulisan itu menjadi energi yang mengalir deras tak terbendung merasuk ke dalam akar jiwa pembaca. Di dunia ini tidak ada yang lebih pantas diharap-harap atau didamba-damba, selain perubahan. Karena perubahan pengaruhnya sangat besar terhadap realitas kehidupan. Perubahan membentuk sebab-akibat yang signifikan. Menurut Misbahus Suru, penulis pengantar ahli dalam buku “Sastra Perlawanan�. Asalkan perubahan yang dilakukan tidak hanya lewat “isak�, tapi juga lewat kata-kata bijak penulis yang membangkitkan gerak. Gerak yang ibarat angin dapat mengibaskan api kebatilan guna menyibakkan tata hidup sosial yang gelap menjadi lebih terang. Berbicara soal

13


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

sastra, tentu hal itu senada dengan bahasa Rendra, “sastra adalah pelaksanaan kata-kata�, yaitu untuk mencapai pemenuhan aktualisasi diri, sekaligus untuk membendung yang kontradiksi. Dewasa ini, dunia telah mengalami berbagai macam tragedi, perang ketimpangan sosial dan ketidakadilan merenggut kesejahteraan hidup masyarakat. Di tengah arus globalisasi pertikaian politik dan penindasan ekonomi menyebabkan masyarakat terbelah ke dalam sekat-sekat hubungan sosial sesama manusia. Perkembangan modernisasi kapitalisme sekarang ini semakin rumit dan kompleks. Kita lihat kemarin, pada saat harga BBM akan dinaikkan, betapa banyak rakyat yang gelisah karena kesulitan bahan bakar. Satra mengasah jiwa, membuka kepekaan diri akan situsi yang berkembang. Ketika situasi dan kondisi negeri atau bahkan dunia, membuat nilai-nilai kemanusiaan semakin membeku. Dan ketika keadilan sosial semakin menjauh dari kesejahteraan masyarakat. Sastra diharapkan hadir melahirkan norma-norma yang bersifat estetis. Sehingga memunculkan etika dalam menjalani hubungan hidup antar umat manusia. Ketika demikian adanya, kerja sastra menjadi semakin lebih penting untuk mengorek sekaligus menjadi sopir pengantar persoalan-persoalan akut kemanusiaan ke gerbang yang lebih bermartabat. Karena sastra tidak bisa dipisahkan dari unsur-unsur yang eksis seperti ekonomi, politik, teknologi maupun agama. Meminjam bahasanya Tan Malaka, “sastra semestinya menjadi bagian dari perbaikan�. Karena sejatinya, sastra tidak berangkat dari ruang kosong. Sastra menjadi bagian dari ihtiyar mencari akar masalah dan solusi. Hingga diakui atau tidak, sastra sampai saat ini menjadi juru bicara luka-luka perjalanan sejarah kemanusiaan.

14


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Posisi Sastra dan Satrawan Muda dalam Masyarakat Sastrawan dan karyanya merupakan bagian dari keadaan sekitar masyarakatnya yang tidak bisa lepas dari keadaan ekonomi, sosial dan politik di masyarakat. Sedangkan dasar dari gerak dan hubungan masyarakat adalah hubungan produksi (kapitalistik). Pramoedya Ananta Toer, salah seorang sastrawan yang memiki keberanian tinggi untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat tertindas, membongkar penindasan yang ada di dalamnya dengan karya-karya sastranya. Dalam bukunya Bumi Manusia, ia mengangkat Minke yang awalnya berfaham feodal, menjadi manusia yang berwawasan luas. Sehingga mampu menjelaskan penindasan fisik feodalisme dan kapitalisme penjajah Belanda. Karya-karya realisme sosialis Pram mampu menyingkap tabir perlawanan penindasan. Selain itu Maxim Gorky (satrawan Rusia), dalam Novel “Ibunda-nya�, ia memihak kelas pekerja yang ditindas kaum feodal dan kapitalis. Namun, sejak terjadinya hegemoni Orde Baru dan pasar bebas, memunculkan kesan bahwa sastra tidak lagi mengambil sikap kritis terhadap pertumbuhan kapitalisme. Faktanya, proses kapitalisme ekonomi Orde Baru kian menyeruak melalui budaya-budaya barat. Hingga semakin mengkikis nilai dan budaya bangsa Indonesia sendiri. Pada akhir tahun 70-an, WS Rendra, dengan sajaksajaknya menggugat ketimpangan, ketidakadilan serta kesewenang-wenangan. Pada masa itu apa yang dilakuan Rendra adalah konsep seni yang maju, tidak hanya mengekspresikan keindahan, tetapi juga mengangungkan makna yang menyetuh kesadaran jiwa manusia. Jika sastra adalah belahan nurani dan jiwa, maka pengarang sastra muda sekarang dibutuhkan keberanian menegakkan kebenaran melalui karya-karya yang ditulisnya.

15


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Walaupun tidak seberani penyair Wiji Tukul yang progresif menggugat kebobrokan kondisi sosial rezim. Setidaknya, para sastrawan muda Indonesia segera mempersiapkan strategi taktik yang paling efektif untuk menggugah kesadaran makna-estetik yang tidak lepas dari kebutuhan seharihari.*** Subaidi Pratama, penikmat sastra, mahasiswa Unitri Malang.

16


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Tentang Kesusastraan Kita Oleh Anwar Noeris KESUSASTRAAN Indonesia adalah dunia 15 persen penduduk Indonesia. Bahkan jauh kurang dari itu. Angka 15 persen saya ambil dari jumlah orang yang tinggal di kotakota—tentu dengan sedikit bermain-main catatan mutakhir statistik lembaga demografi—karena sesungguhnya kesusastraan kita adalah kesusastraan kota (Goenawan Mohamad). Ungkapan GM di atas ini sangat tepat dengan posisi geografis saya yang berada di desa. Karena saya termasuk orang yang suka terhadap dunia kesusastraan maka demi menyelamatkan rasa cinta saya terhadap kesusastraan, saya melakukan perpindahan dari desa ke kota (urban). Alasannya, disebabkan di desa isu tentang kesusastraan itu melemah atau bahkan tidak ada sama sekali. Demi rasa penasaran terhadap kesusastraan kita (Indonesia) yang saya kira telah terjadi diskriminasi antara wilayah kota dan pedesaan, saya terus bertanya-tanya apa dan mengapa? Sampai berbilang bulan bahkan bertahun-tahun akhirnya saya menemukan sesuatu yang saya anggap sebagai jawaban atas kegelisahan saya tentang kesusastraan kita.

17


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Yaitu kesusastraan kita adalah kesusastraan yang mengelilingi daerahnya sendiri—pertama-tama, coba kita perhatikan konstruk bahasa yang membangun peradaban kesusastraan kita, semata adalah bahasa nasional sedangkan untuk bahasa daerah seolah termarjinalkan. Dalam polemik kesusastraan kita tidak ada apresiasi dari media atau wadah untuk kesusastraan daerah/lokal yang asli menggunakan bahasa daerah. Walaupun ada tapi sangat jarang. Maka tidak ayal, jika orang-orang pedesaan itu selalu tertinggal akan isu sastra mutakhir. Selain perdebatan bahasa, ada kenyataan lain di luar itu semua. Yaitu meraka (para sastrawan) tidak sungguhsungguh membangun komunikasi dengan orang-orang desa; para petani atau nelayan. Semisal para penyair yang menulis puisi dengan tema semangat bercocok tanam, atau semangat melaut melawan ombak dan dingin angin dan dibacakan di tengah-tengah aktifitas orang-orang pedesaan tersebut. Sepertinya kalau kita membicarakan puisi tentang petani dan nelayan kita hanya bisa melihat secuil D Zawawi Imron di belantika kesusastraan kita. Lalu di mana sastrawan lainnya (para generasi) yang sudah menerbitkan buku dan tulisantulisanya di muat diberbagai media? Saya curiga kesusastraan kita sekarang adalah kesusastraan memburu. Istilah memburu dapat di artikan sebagai pemenuhan perut saja. Bukan lantas demi kemajuan kesusastraan dan bangsa. Bulat Okudzhava, penyair trubador Armenia-Giorgia yang berkunjung ke Jakarta dan bertemu dengan Goenawan Mohamad, dalam percakapannya ada pertanyaan yang sangat sederhana untuk GM. Katanya “lazimkah para penyair Indonesia datang ke desa-desa dan membacakan sajak mereka kepada para petani?” dengan semangat GM menjawab “Tidak, karena hal semacam itu tak pernah menjadi tradisi di dunia kesusastraan Indonesia”

18


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Merenungkan pertanyaan Okudzhava, seorang asing itu, saya miris dan ingin menangisi kesusastraan kita. Seorang asing saja sudah peduli terhadap kesusastraan di desa, lalu para sastrawan kita, adakah yang peduli dan membacakan sajak-sajaknya di tengah orang-orang desa? Tidak, buktinya ketika ada semacam pertunjukan dangdut orang-orang desa berbondong-bondong menghadirinya. Sebaliknya ketika ada pertunjukan teater yang format acara salah satunya adalah pembacaan puisi, malah sepi. Orang-orang desa enggan meluangkan waktunya untuk menonton pertunjukan kesenian tersebut. Alasannya, karena pembacaan puisi sudah bukan tradisi di desa-desa, maka orang-orang desa pun menganggap bahwa acara seperti itu tidak memberikan manfaat, hanya pekerjaan sia-sia. Pemikiran pragmatis orang desa tersebut kemudian dibiarkan begitu saja oleh sastrawan kita, malah sastrawan kita membalas dengan sikap tak acuh kepada orang desa. Jadi dari interaksi seperti itu. Orang desa dan sastrawan kita hidup dalam lingkungannya sendiri, tidak mau tahu kehidupan satu dengan yang lainnya. Maka kenyataan yang menimpa kesusastraan kita adalah kesusastraan yang mengelilingi wilayahnya sendiri. Sungguh benar-benar terjadi! Lantas tak ayal, jika kesusastraan kita hanya berdiri di lingkungannya sendiri, berputar-putar tanpa perkembangan apa-apa. Membicarakan kota yang riuh penuh polusi, menyinggung percintaan anak muda yang bebas, merasa cemas atas zaman yang semakin menindas, lalu mencari jalan untuk sebuah identitas. Mencari aman kesusastraan nasional, yakni kesusastraan nasional yang dibangun oleh berbagai kebudayaan daerah. Seperti yang dikatakan Goenawan Mohamad, sungguh hal itu paradoks. Dengan kenyataan masyarakat desa yang sangat tertinggal dengan isu kesusastraan mutakhir.

19


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Maka apapun yang terjadi kita harus menerimanya sebagai kodrat, bahwa kesusastraan mutakhir adalah kesusastraan yang berputar-putar dengan dirinya sendiri. Kesusastraan kota. Posisi yang sangat keliru untuk menghadapi kebudayaan massa yang akan mencerabut identitas kesusastraan nasional kita. Jika terus seperti ini dunia kesusastraan kita, kesusastraan yang berputar-putar di wilayahnya sendiri. Maka bersiap-siaplah sastrawan kita menerima gempuran budaya luar, kenyataan yang akan membuat kita lupa pada orang-orang desa, kenyataan hidup sekuler dan modern yang hal tersebut sudah jauh dari rencana kesusastraan kita semula.*** Anwar Noeris, bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY), tinggal di Yogyakarta.

20


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Kedatuan Andiko Muaratakus Oleh Amirullah, SPd “Rantau barajo, rajo bapenghulu, penghulu baradat, adat baandiko.” RANTAU menurut KBBI ialah 1. Pantai sepanjang teluk (sungai); pesisir. 2 Daerah (negeri) di luar daerah sendiri atau daerah di luar kampung halaman; negeri asing. Sedangkan rantau berasal dari kata antau/anta. Antau/anta ialah suatu kawasan yang dipimpin oleh seorang raja sebagai penguasa tertinggi. Namun tidak semua wilayah rantau/antau itu memiliki seorang raja, akan tetapi suatu rantau bisa mengakui raja dari rantau/wilayah yang lainnya. Kata rantau/antau juga berasal dari prosesi pengambilan/permintaan raja di wilayah kerajaan yang lebih besar kekuasaannya. Raja/Rajo adalah pemimpin tertinggi di suatu kawasan rantau/antau. Raja juga merupakan pemegang kedaulatan kekuasaan yang diamanahkan oleh para penghulu bagianbagian kawasan. Kata koto sendiri berasal dari kata “Kotuo.” Koto juga bermakna kata, disebabkan lahirnya koto itu dari sebuah kesepakatan. Kata juga merupakan tuah persatian

21


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

para datuk. Mulai dari menetapkan pemimpinnya, bentuk, baik buruknya, keamanan, akses, gangguan binatang buas, serangan musuh sampai pada bentuk bangunannya, baik berupa balai sampai pada menetapkan hari baik pembangunannya. Semua kebutuhan sudah dipikirkan masak-masak sebelum membuatnya, ‘’olun mulai, olah nampak siapnyo.’’ Koto dibangun dari pertimbangan akses yang dekat dengan pusat-pusat pertanian dan perekonomian. Bentuk koto dipagari benteng tanah dialiri sungai-sungai kecil yang mengalir ke sungai induk (besar). Sungai kecil dan sungai yang tidak mengalir ke sungai induk dihubungkan dengan pembuatan parit/kanal/bandar. Hal itu dilakukan agar ia tidak mudah dijangkau oleh serangan musuh baik manusia maupun binatang buas. Di dalam kanal dan disekelilingnya dipagari oleh pagar tanah yang tinggi yang berfungsi sebagai benteng terutama agar air tidak membanjiri koto. Koto dilihat dari letaknya, Koto Induk, ada Koto di dalam, di luar, di Tongah (tengah), di Mudik (hulu), dan di ulak (hilir). Di samping itu ada Koto Lama dan Koto Baru, hal ini ditinjau dari perpindahan keadaan alam yang berubah, misalnya berpindahnya aliran sungai bisa menyebabkan koto berpindah atau karena hal lainnya yang menyebabkan lahirnya sebuah koto. Seperti bencana alam, akses, gangguan binatang buas dan lainya. Kalau menurut fungsinya, koto di dalam berfungsi sebagai pusat/koto induk. Koto di luar berfungsi sebagai pintu masuk atau salah pintu rayo (raya). Di tongah koto berfungsi sebagai pusat dan disebut juga Koto Induk/Koto Godang (besar). Koto Hulu (mudik) dan Hilir (ulak) sebagai pintu atau benteng. Setiap Koto dipimpin oleh seorang Datuk Bandaro. Gelar Datuk Bandaro diambil dari anak atau pewaris Dara Putri Muaratakus.

22


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Penghulu/Bandaro ialah pemimpin kaum berbilang suku yang ditinggikan seranting didahulukan selangkah di dalam kawasan adat. Adat adalah sistem nilai/aturan yang lahir dari sistem tatanan masyarakat sesuai dengan kebiasaan masa lalu dan kesepakatan yang kemudian menjadi baku untuk dijadikan sebagai pedoman/dasar kehidupan dalam suatu kawasan tertentu. Andiko adalah sistem kepemimpinan dalam tatanan masyarakat adat kedatuan. Gugusan pemerintahan adat yang dijadikan sebagai tempat ‘perkumpulan para datu’ atau Federasi Kedatuan. Sedangkan Kedatuan adalah yang melahirkan konsep rantau/antau yang beraja-raja. Kedatuan itu adalah para datu’ yang merupakan turunan dari Puti (putri) di dalam mitologi yang dipercayai oleh masyarakat adat dewa dewi kayangan yang menetap di Mahligai Bungsu sungai Tangkui Hulu Batang Kampar (Kampau) yang sekarang Muaratakus. Menurut salah seorang ahli waris Kedatuan Andiko Muaratakus Suhaimi Zein, Alam Soko adalah pusat Kedatuan, dipimpin oleh pucuk Andiko Nan 44 yakni Ninik Datuk Raja Dubalai sebagai raja Soko, Pisoko jo Limbago bertempat di Muaratakus/Mutakui. Alam Pisoko tempat para datuk atau pucuk-pucuk adat di wilayah adat Andiko yang merupakan perpanjangan tangan dari Ninik Datuk Raja Dubalai sebagai Bandaro Andiko. Sedangkan alam Limbago merupakan wilayah di luar alam Soko dan Pisoko yang masih menggunakan adat Andiko Nan 44. Pewaris Kedatuan Andiko yang lain Syahru Ramadhan mengatakan bahwa lahirnya konsep adat ‘’Tigo tungku sajorangan, tali bapilin tigo,’’ yang menyebutkan bahwa Luhak yang tertua adalah luhak Limapuluh. Walaupun yang berkuasa di luhak Lima Puluh itu Puti Nan Bungsu, ia merupakan cikal bakal lahirnya alam Kedatuan Andiko yang

23


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

berpucuk di Muaratakus/Mutakui/Matankari. Maka menjadi wajar banyak pendapat yang mengatakan kemudian bahwa Luhak Lima Puluh menjadi luhak yang termuda karena diwarisi oleh Puti nan Bungsu. Nan bungsulah sang penunggu istana Mahligai, yang tua tentunya mencari tempat baru untuk melakukan pengembangan kekuasaan para Puti atau penghidupan baru. Kepemimpinan walau yang berkuasa seorang perempuan namun dalam pemakaiannya diamanatkan kepada lakilaki sebagai Ninik, datuk, mamak dan seterusnya. Itulah yang disebut suku ibu (matriakat). Sebelum beraja-raja, maka yang ada ialah para Puti yang kekuasaannya dijalankan oleh para Datu’. Intinya Puti Bungsu itulah pemegang komando Kedatuan, yang dijalankan oleh putra mahkota selaku pucuk tertinggi Andiko 44. Maka kemudian dalam perkembangannya, rantau-rantau sekitar yang belum berpenghuni kemudian menjadi ramai dengan peradaban kian maju dengan tingkat arus perdagangan yang tinggi. Sehingga kemudian pucuk dari kaum-kaum bermufakat untuk meminta seorang raja di wilayah/rantau kepada pucuk kedatuan andiko. Begitu pula para raja dari rantau-rantau sekitarnya. Sebab mereka merupakan seasal dan senenek moyang adanya. Luhak Lima Puluh Yang dimaksud Luhak Limapuluh adalah: - Sialang balantak bosi/kaghang diompeh ombak (pantai Sumatera, di pesisir Kabupaten Pasaman Barat). - Durian di takuok rajo (Kualo Jambi/Lubuok Jambi). - Buayo putioh daguok, sipisak sipisau anyuik (Bagan). Luak Lima Puluh Yang dimaksud luak limapuluh adalah:

24


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

“Andiko 44, 40 Tapung Jo Kampau, 4 di Laghe Kopu,’’ jumlahnyo 44 Andiko. Sughang (seorang) Pucuk Bandaro Rajo di Rokan (Raja Lima Selo Rokan, Koto Lamo, Koto Tongah, Pasir Rambah dan Dalu-dalu), Limo di Limo Koto (Kuok, Salo, Bangkinang, Air Tiris, dan Rumbio), ba-Ninik ke Ninik Datuk Rajo Dubalai di Motakui. Alam membuktikan di Balai Tanah di Padang Si Ontah (Payakumbuh) inilah sohib yang duduk Balimbago di Alam Limbago Balai Tanah Mutakui (Muaratakus). Yang sahih 44, yang sah 50 Andiko. Inilah Niniek nan Baompek (berempat) di Hulu Batang Kampau Alam Minanga Kampau: - Dt Majo Indo di Koto Lawe - Dt Siri Marajo di Mungka - Dt Bandaro di Muara Mahat (Maek/Mahat) - Ba-Ninik ke Ninik Dt Rajo Dubalai di Motakui (Muaratakus). Selanjutnya Datuk Rajo Nan Batigo (Setelah Ninik Dt. Rajo Dubalai di Rajakan): - DatukRajo Tuo di Rao (Pasaman) - DatukRajo Tongah di Patomuon Hulu Kampau - DatukRajo Bungsu di Motakui Inilah Datuk Nan Batigo selaku Pucuk Andiko yang berkuasa di alam Kedatuan Minanga Kampau: - Ninik Dt Rajo Dubalai di Motakui, - Dt Sati di Gunung Malelo - Dt Bandaro di Tanjung. Sementara itu yang diberi amanah oleh Ninik Datuk Raja Dubalai untuk memegang Pucuk kuasa (kedatuan) adat istiadat di alam Minanga Kampua yaitu: 1. Dt. Majopaik/Dt. Sibijayo di Pintu Rayo adalah Monti Pertahanan (HANKAM) di alam Minanga Kampau.

25


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

2. Dt. Jati Bilang Pandai adalah Tokoh Cendekiawan kedatuan Andiko (ilang di antau: Urang Codiok mulo di sobuik, urang bijak mulo dipakai. Nan Duduok di dalam, Pucuk segalo Datuk, jikok duduk di lua Rajo nan Bijaksana)sang penjaga kedaulatan alam Soko, Pisoko jo Limbago. Selain itu Ninik Dt. Rajo Dubalai memiliki Monti-monti, Dubalang-dubalang dan Malin-malin dilingkungan pucukpucuk andiko serta di setiap koto/Andiko Nan 44 maupun nan di Limapuluh. Begitu indah disampaikan dalam paparan Curaian Andiko Nan 44 pada bait ke 5-6 dari 44 bait, yang berbunyi: (5) Putera Andiko gagah perkasa Melaksanakan titah tekad pertama Membela negeri tanah tercinta Pulau perca negeri Sumatera Guna kepentingan orang bersama (6) perahu dinaiki tiga putra pencalang kuning nama bahtera bekal dipersiapkan seketika comin towi panah dupanya.*** Amirullah, S.Pd, lahir di Lubukagung Kesultanan VIII Koto Setingkai 12 November 1977, Pengurus Yayasan Matankari Riau, tercatat sebagai dosen luar biasa Universitas Muhamadiyah Riau.

26


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Upaya Teater Selembayung: Meneaterkan Cerita Pendek “Menjadi Batu” Oleh T.G.H. Syafruddin Saleh Sai Gergaji TIBA-tiba selingkung panggung dan segenap ruang disergap gelap. Semua lampu yang semula menyala menerangi ruangan (sengaja) dipadamkan. Lantas lantang terdengar alunan nandung irama tradisional Sakai – satu suku terbelakang di satu daerah di Riau. Lagu yang dinyanyikan seorang lelaki itu didominasi iringan serunai (salung?) Lantas, seusai nandung, panggung diterangi sinar yang memancar dari bagian tengah atas pentas. Panggung seperti dilingkupi cahaya bulan yang temaram. Sisi belakang, kanan, dan kiri, tetap gelap. Enam orang, satu perempuan dan lima lelaki, merentakkan tari pengobatan mengelilingi seorang anak perempuan yang terbaring telentang di tengah. Kemudian, “budak” perempuan yang sedang gering itu ditatang bersama-sama ke satu pondok di sisi kiri pentas. Dia ditinggalkan berbaring sendiri. Kemantan sibuk sendiri berkomat-kamit dan menari mendayu meneruskan upaya mengobati. Seorang lelaki disertai seorang lelaki gemuk menaiki

27


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

pondok mereka pula. Di pondok itu tergantung jala yang diperiksanya apakah ada yang rusak. Satu kuali dijerangkan oleh perempuan di tungku yang telah dinyalakan api kayunya. Entah apa yang dia masak, karena dia terus mengadukngaduk isi kuali dengan senduk pengorengan. Seorang lelaki yang lain menuju pondoknya pula menarah pengayuh sampannya. Kemudian dia memotongmotong kayu bakar dengan ladingnya. Seorang lelaki yang lainnya pula, menaiki pondoknya dan mengasah parangnya di satu batu. Kayu bakar yang sudah dipotong di belahbelahnya dengan parang yang telah diasahnya itu. Sebelum menaiki pondok masing-masing, seorang di antara mereka, menyalaka pelita. Lampu sumbu berminyaktanah itu tertonggok di sudut tiap gubuk. Tiba-tiba dari tengah-tengah penonton, seorang lelaki berjalan bergegas, melintas pas di tengah pembatas yang membelah dua jalur tempat duduk. Dia muncul dari belakang. Berjalan tersaruksaruk ke depan sembari menyorotkan cahaya senter beberapa kali ke sekitar ruang yang suram bagai ada yang hendak dicarinya. (Barangkali, di antara yang hadir ada yang menduga, dia seorang dari penonton yang mencari temannya). Dia menuju panggung. Lantas naik ke pentas, berbaur dengan para pemain. Dia lelaki asing berambut pirang berpostur Eropa. Dia terkesima setelah mengetahui derita yang mendera para penghuni gubuk. Mereka diterpa teruk. Bagian kaki dari tubuh mereka ditubruk keadaan buruk, menjadi batu – kecuali Kemantan. Bahkan, gadis tanggung yang diusung ke gubuk Keemantan tadi, setengah badannya telah menjadi batu. Seketika, dia mengarahkan telefon bimbit (ponsel) ke telinga kanan menghubungi seseorang, Ikram. Terjadilah dialog. Cahaya terang mengarah ke sudut kiri panggung. Bagian

28


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

lain tetap temaram dan suram. Lelaki asing itu mengungkapkan kedukaannya terhadap keadaan yang diidap orangorang yang disaksikannya. Setelah berbalas dialog di antara keduanya, lelaki asing itupun meninggalkan panggung. Percakapan beralih ke pemain yang tinggal. Cahaya terang di sudut panggung kembali digelapkan. Pelan tapi pasti, sejak dinihari menjelang subuh, seluruh tubuh mereka mengeras, menjadi batu. Ikram yang berjarak sekira 150 km dari situ pun menjadi batu. *** Itulah selintas pementasan “Menjadi Batu� oleh Teater Selembayung pada Kamis malam 25 Syawal 1435 (21 Agustus 2014) di Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru. Pertunjukan itu pembukaan acara Kala Jaring Teater se-Sumatera ke-6, yang insya Allah hingga tiga malam berturut-turut. Sempena acara ada pula work shop teater. Selembayung menjadi tuan rumah penyelenggaraan. Teater Selembayung berupaya mengadaptasi cerita pendek “Menjadi Batu� karya Taufik Ikram Jamil yang menjadi Pemenang I lomba penulisan yang diadakan Majalah Sastra Horison, 1997. Cerita berkisah tentang Suku Montai yang dibiarkan tetap terbelakang, dan kian terpuruk hidupnya di kawasan ladang minyak dengan pipa-pipa panjang terbentang melintasi pemukiman mereka. Bahkan lahan mereka banyak pula yang diambil perusahaan besar menjadi perkebunan sawit oleh orang-orang bermodal dengan izin pemerintah. Lahan 2 hektare yang dibeli Jim sebagai hadiah tanda persahabatan dengan Niru, diambil tanpa ganti. Potensi ekonomi yang dijarah pemerintah dan penguasa tak mengubah kondisi kemiskinan mereka. Jim, peneliti antropologi ekonomi, yang dipandu Ikram ke pemukiman Suku Montai itu. Tiga tahun dia disana

29


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

mempersiapkan bahan dan menuliskan hasil penelitian untuk disertasi doktor, dan kini sebagai profesor. Setelah lima belas tahun tak datang, ternyata keadaan tak berubah, malah menjadikan hati kian nelangsa. Memprihatinkan batin. Sajian pementasan ditampilkan Fedli Aziz (sutradara) disertai kualitas pemain yang pas. Dialog berbahasa sakai petah diucapkan Ade Kurniawan (Niru), Fatmawati Suzana (Siah), Sujarhadi (Kemantan, Reski Amanda (Nino), Irfandi Reski (Raut), M. Reza Akmal (Bontik). Jim yang diperankan Mursidi, mampu dengan jitu mengucapkan logat asing bahasa Melayu Indonesia. Ekky Gurin Andika pun santun berdialog dengan artikulasi vokal yang tegas dan jelas. Darus amat bagus mendendangkan lagu berirama tradisional suku Sakai dengan iringin musik (salung serunai), meski hanya suaranya saja yang kedengaran. Sungguh akan kian bertambah menarik andai penataan cahaya disuguhkan utuh menggambarkan tiga dimensi (dimensi 1: suasana pemukiman Suku Montai; dimensi 2: Kemantan-Noni, Niru Siah, Raut-Bontik yang bersebelahan gubuk; dan dimensi 3 Ikram – di pojok kiri pentas) yang mesti menampakkan perbedaan dan peralihan sorot pen(cahaya)an. Bentuk pelita layak diganti menjadi lampu listrik hingga mudah dinyalapadamkan supaya tak mengganggu efek pencahayaan yang diinginkan. Akan lebih tergambarkan lagi kondisi kontras deru kemajuan pembangunan dengan suasana kian sansai merasai Suku Montai, andai bagian belakang panggung ditutup latar hitam. Bangunan gedung-gedung menjulang, agaknya dapat menjadi latar yang timbul tenggelam muncul. Kerimbunan sawit boleh pula menyertai di kiri kanan pentas. Darus dan kawan-kawan pemusiknya tak salah pula jika menempati posisi di satu sudut panggung. Upaya positif Fedli Aziz bersama bininya Rina Naza-

30


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

ruddin Entin dan semua awak Teater Selembayung, tak perlu khawatir durasi panjang pertunjukkan untuk menunjukkan hati membatu penguasa dan pengusaha yang menganggap para suku terasing itu bagai batu tak berguna. Upaya maksimal akan menghindarkan kelupaan bagian pesan dari cerpen tak harus miskin percakapan. Monolog Ikram mesti berimbang sebanding dengan dialog tokoh lain. Justru, kekuatan pementasan meneaterkan cerpen ada pada kekuatan pesan yang diungkapkan dari dialog pemain. Kekuatan permainan yang memang sudah terasah, akan kian menjadi pas kualitasnya. Menyeluruh, Selembayung telah menyuguhkan pertujukan yang tidak buruk, yang layak memperoleh tepuk tangan penghargaan, dan apresiasi semua. Walaupun begitu, beberapa bagian mesti ditarah lagi guna memberdayakan pertunjukan ke empatnya setelah ini. Setting panggung mesti mencermati kecanggungan. Dialog harus diperkaya lagi. Tata cahaya dinihari, dan suasana peralihan dimensi pun begitu. Semoga, insyaAllah.*** Jumat, 26 Syawal 1435 (22 Agustus 2014) T.G.H. Syafruddin Saleh Sai Gergaji, pernah aktif berteater yang tergabung di Teater Bahana – Idrus Tintin, pada akhir 70-an hingga pertengahan 80-an. Kini, pensyarah di FIB Unilak ini, sibuk berdakwah, dan menulis. Bermukim di Gang Haji 3, Sidomulyo Timur, Pekanbaru.

31


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

32


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Teori dan Kritik Sastra Lokalitas Oleh Budi Hatees DULU, sekitar tahun 1947 sampai 1950, ada seorang bernama Andries Teeuw. Ia seorang doktor dari Universitas Utrecht di Belanda, seorang filolog. Filologi berasal dari bahasa Yunani, yang berarti “cinta kepada sastra dan pengetahuan�. Filologi itu menelaah bahasa dalam kaitannya dengan sastra dan sejarah. Pada periode awal setelah kemerdekaan Republik Indonesia itu, setiap orang muak terhadap segala yang berbau Belanda. Begitu juga terhadap orang Belanda. Tapi tidak terhadap Andries Teeuw. Ia diterima mengajar di Universitas Indonesia. Dunia sastra kita kemudian mengenal nama itu sebagai A. Teeuw. Teeuw mendapat predikat sebagai kritikus sastra, terutama setelah terbit bukunya, Voltooid Voorspel (Pokok dan Tokoh). Isi buku itu tentang para sastrawan Indonesia modern dan karya-karya mereka. Orang menyebut tulisan-tulisan dalam buku itu sebagai karya kritik sastra. Tapi, kalau buku itu kita baca hari ini, kita akan menolak menyebutnya kritik sastra. Kita akan lebih

33


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

bersepakat menyebutnya apresiasi karya sastra. Sezaman dengan Teeuw, dunia sastra kita mengenal HB Jassin. Ia juga menulis tentang para sastrawan dan karya mereka. Tulisan itu memiliki gaya penulisan seperti tulisan Teeuw. Tapi tulisan Jassin disebutnya kritik sastra, dan kemudian diterbitkan dalam tiga jilid kumpulan Kritik dan Esei. Salah satu karya kritik sastra Teeuw yang dianggap berhasil adalah tentang sajak-sajak Goenawan Mohamad dalam kumpulan Asmaradana. Orang menyebut Goenawan Mohamad menulis sajak dari mitos subkultur yang khas Indonesia. Tapi, Teeuw yang bukan orang Indonesia, berhasil mengupas kandungan sajak-sajak itu. Padahal pendekatan Teeuw sangat khas buku Pokok dan Tokoh—karya sastra dikait-kaitkan dengan sosok penulisnya. Sebuah pendekatan klasik dalam teori kritik sastra. Pendekatan seperti itu, digugat dalam pembicaraan tentang teori sastra di dunia. Tapi di Indonesia, tidak sedikit sastrawan kita mengaku menulis kritik sastra, namun yang dihasilkan hanya karya apresiasi sastra. *** Cerita tentang Teeuw, juga kesuksesannya membuat kritik atas karya-karya para satrawan kita, bukan lantaran ia memakai teori dan kritik sastra pribumi. Cerita ini penting diingat hari ini, karena belakangan semakin banyak yang mempertanyakan: kenapa tidak ada teori dan kritik sastra khas Indonesia yang diciptakan? Kenapa? Pertanyaan ini diajukan karena perkembangan sastra kita belakangan semakin bersemangat memuat lokalitas, sehingga teori-teori Barat dikhawatirkan tak mampu memahami ruh lokal itu. Tentu, alasan itu tidak ilmiah karena galibnya teori-teori lahir untuk menjawab persoalan-persoalan universal.

34


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Teori Barat, apapun disiplinnya, relevan dipakai dimana saja. Teori tidak mengenal wilayah negara. Tidak punya kartu tanda penduduk.Tapi, kenapa pertanyaan itu selalu diajukan, dan sudah menjadi persoalan sejak lama. Meskipun demikian, hingga hari ini kita tidak mendapat jawaban memadai tentang kenapa kita membutuhkan teori dan kritik sastra pribumi? Saya tak akan menjawab pertanyaan itu. Saya hanya tahu, setiap kali karya kritik sastra muncul, pijakan yang dipakai para pengkritiknya selalu saja teori dan kritik sastra dari luar Indonesia. Bisa dibilang, tidak sedikit kritik sastra itu yang berhasil memperkaya kandungan karya sastra bersangkutan. Bahkan, para penulis kritik mampu mengungkap dunia batin khas Indonesia di dalam karya itu, sekalipun alat yang dipakai untuk mengungkapkannya bukan teori dan kritik sastra asli Indonesia. Artinya, tidak ada yang dilanggar soal pemakaian teori dan kritik satra Barat itu. Kritik-kritik sastra itu tetap dibaca, menjadi bahan pembelajaran bagi generasi kritikus sastra. Hingga hari ini, teopri dan kritik sastra Barat tetap dipakai. Kalau saya diminta membuat sebuah kritik atas karya sastra, saya pun akan memakai teori dan kritik sastra dari Barat. Bahkan, kalau saya diminta mengkritik pantun yang khas Melayu, tidak ada larang bila saya memakai teori kritik sastra dari luar. Jadi, persoalan sesungguhnya bukan pada “tidak ada kritik sastra asli Indonesia�, tetapi apa yang sesungguhnya kita harapkan dengan merumuskan teori dan kritik sastra khas Indonesia. Padahal, karya-karya sastra kita, terutama yang lahir pada awal dekade 2000, bicara tentang Indonesia sebagai bagian dari warga dunia. Makudnya, manusia di dalam kesusastraan kita tidak berbeda dengan manusia di luar negeri, kecuali kewarganegaraannya. Manusia Indonesia dalam novel Pulang karya Laila

35


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

S. Chudori, hidup sebagaimana orang luar negeri dengan nilainilai yang jauh dari moral kolektif warga negara Indonesia. Dalam dunia sajak pun, kita tidak pernah bertemu manusia Indonesia yang khas Indonesia. Yang ada cuma manusia yang hidup dalam peradaban global. Sebut saja manusia moderen dalam sajak-sajak Afrizal Malna. Bicara tentang sajak-sajak Afrizal Malna, sudah tentu hanya bisa dilakukan jika seseorang memakai teori kritik sastra dari luar. *** Kembali pada Teeuw, orang Belanda yang hidup dengan nilai-nilai peradaban Barat, ternyata pula punya kemampuan luar biasa membaca sajak-sajak Amir Hamzah. tanpa harus mengabaikan ruh Melayunya. Teeuw tahu kebudayaan Melayu, mengerti pantun. Ketika HB Jassin menyebut Amir Hamzah membawa kekhas tradisi Melayu, Teeuw melihat lebih dari sekadar Melayu pada sajak-sajak Amir Hamzah. Bagi Teeuw, sajak-sajak Amir Hamzah mampu mengatasi keterbatasan bahasa dalam tradisi pantun Melayu. Amir Hamzah, kata Teeuw, menciptakan puisi yang mengejutkan dan kaya karena bunyi asonansi, aliterasi, dan rima yang mendadak di tengah-tengah. Jadi, sesungguhnya, buka teori dan kritik sastra asli Indonesia yang harus dipersoalkan. Tapi, apakah kemampuan seorang kritikus itu mampu membuat sebuah karya lebih mudah dipahami, lebih kaya makna, dan atau sebaliknya sangat buruk sehingga si sastrawan bisa disebut gagal. *** Budi Hatees, lahir 3 Juni 1972 di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Menulis, mengajar, dan menjadi konsultan bidang komunikasi. Esai, cerpen, sajak, dan hasil penelitian sudah dipublikasikan di berbagai media massa dan jurnal ilmiah. Pengarang, menulis dari Kota Padangsidempuan.

36


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

World Music Beraroma Terasi Belacan Oleh Aristofani Fahmi K ETIKA manusia tiba pada pencapaian puncaknya terhadap sesuatu, maka setelahnya adalah inovasi. Rasa ingin lebih dari sebelumnya bersanding dengan insting kreatif. Hal ini niscaya dimiliki setiap insan yang diwujudkan dalam kalimat “tak pernah berpuas diri”. Kata “kreatif” memang selalu identik dengan orang yang bersinggungan dengan dunia seni, namun tidak tertutup kemungkinan unsur kreatif dapat ditemukan di mana saja, ada di setiap sisi kehidupan manusia. Dengan demikian dapatlah kita bersepakat bahwa manusia yang mencipta terasi (Melayu: belacan) adalah manusia kreatif. Bagaimana tidak, sebagai bumbu masak, belacan adalah buatan ‘kampung-an’ yang mampu menembus batas sosial. Dia adalah produk pinggiran yang meruntuhkan arogansi sekat kelas, adalah kreasi “murahan” yang menyelinap di antara angkuhnya kekuatan ekonomi. Terasi belacan dapat kita temukan di warung sederhana berdinding anyaman bambu hingga restoran berkelas di hotel berbintang. Bagi penyuka terasi belacan, senantiasa tidak

37


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

peduli dari mana asal dan proses pembuatan bumbu penyedap hidangan yang disantapnya. Mereka bersedia meletakkan setinggi apapun status sosialnya. Ini adalah wujud kepasrahan terhadap kreasi dan inovasi. Bentangan Aroma Belacan Mungkin filosofi terasi belacan ini yang diadopsi oleh sekumpulan budak Melayu Riau yang menamakan diri mereka Blacan Aromatic Ethnic Project (selanjutnya Blacan Aromatic). Adalah Zalvandry Zainal atau Matrock yang merupakan inisiator, mengajak 13 pemusik muda di Pekanbaru untuk mendedikasikan diri pada kreasi musik tradisional Melayu, pada tanggal 24-25 Juni 2014 lalu mengadakan konser sekaligus launching album karya-karya mereka di Gedung Idrus Tintin Pekanbaru. Sebanyak delapan buah karya dikemas dan dibentangkan dalam tajuk konser “Kala Sunyi Kuala Bunyi”, sekaligus juga menjadi judul album perdana Blacan Aromatic. Dengan delapan buah karya tersebut, Matrock sebagai komposer mengajak publiknya berfilsafat tentang alam, tentang laut, langit, tentang angin. Dari sini dapat kita tebak, Matrock lahir dan besar dari lingkungan laut. Filosofi (estetika) musik Matrock adalah Estetika pesisir Melayu Riau. Umumnya faktor latar belakang kultural pengkarya mendapat porsi utama dalam karyanya. Demikian juga dengan Matrock, Ia memilih idiom pesisir untuk dijadikan judul karya-karyanya. Misalnya pada karya pertama yang berjudul “Negeri Tematu”. Judul ini diambil dari nama sebuah pohon yang dikenal dengan pohon nipah. Menurut Matrock, pohon ini aneh. Sebab dalam satu buah pohon pelepahnya disebut nipah, tapi buahnya disebut tematu. Keunikan nama inilah yang menjadi inspirasi pada karya “Negeri Tematu”.

38


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Bila disimak karya “Negeri Tematu” ini, memang dapat ditangkap unsur “aneh” yang dimaksudkan oleh pengkarya. Karya ini menggunakan irama “joget” sebagai pijakan dasar, namun di tengahnya muncul irama swing yang populer pada genre musik Jazz. Irama joget yang dimainkan pada instrumen bebano oleh Tarmizi, darbuka oleh Syahril dan Jimbe oleh Miftahurrosyid yang bermeter (sukat) ¾ ditingkahi atau dielaborasi oleh sifat “bebas” permainan swing. Joget dalam musikologi Melayu identik dengan kegembiraan, bersenang-senang. Sementara swing yang kental pada instrumen bass yang dimainkan oleh Aprido Islam dan Drum oleh Tengku Al Azmi, selalu identik dengan kebebasan. Apakah Matrock ingin beranalogi: Nipah itu joget, tematu itu swing? Atau Matrock sedang ingin mengkritisi kondisi bangsa ini yang lebih banyak dipimpin dan dihuni oleh para munafik: “lain batang lain daun, lain kata lain laku”. Karya kedua diberi judul “Tali Air 2”. “Air tak putus dicincang” adalah pepatah Melayu mendasari karya ini. Demikianlah sifat air yang senantiasa mengalir-sambung menyambung-mencari tempat yang lebih rendah. Dengan mengalir maka Ia hidup. Karya ini didominasi oleh vokal di samping susunan komposisi instrumentalia yang apik. Vokal disuarakan menggunakan nada-nada panjang atau legato oleh sebagian besar para pemain. Sesekali Matrock mengambil kendali sebagai lead vokal pada melodi yang berbeda dengan yang lain. Keduanya saling mengisi tanpa harus bertindih. Terlihat para personel berupaya menampilkan secara baik pada bagian ini, namun diperlukan kemampuan dan kekompakan maksimal untuk dapat mewujudkannya secara rapi. Agar kesan “air tak putus dicincang” dapat terwujud. Karya ketiga ditandai dengan bunyi Horn (trumpet kapal) yang dimainkan oleh Iskandar pada instrumen akordeon. Bunyi tersebut sontak membangun imaji dermaga

39


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

bagi penonton. Bunyi horn di sini adalah simbol kapal yang sedang merapat atau akan berangkat. Tentang sebuah kapal, karya ketiga Blacan Aromatic diberi judul “Jelatik”. Jelatik bagi Matrock adalah sebuah perjalanan kultural tentang hidupnya. Sebagaimana dikisahkan, perjalanan itu berawal dari sebuah desa kecil di pulau Bengkalis di Pakning-Riau bernama Sejangat menuju kota Urban Pekanbaru, tentu saja di sana terjadi proses adaptasi yang panjang. Bunyi horn itu dimainkan pada nada A. Beberapa saat kemudian biola 1 yang dimainkan oleh Rakhis, biola 2 oleh Bambang dan Viola oleh Siswa melapisi nada A dari akordeon dengan nada-nada harmoni pilihan pada akor D mayor. Setelah itu barulah melodi utama dimainkan oleh Yudi dengan instrumen flute dan bersama keyboard oleh Nedi Iga melengkapi bagian awal karya ini hingga pada bagian selanjutnya dibangun dengan orkestrasi yang lebih kompleks melibatkan instrumen lainnya. Kesan “perjalanan” pada karya ini sangat jelas dapat kita serap dari bangunan komposisinya. Sebagaimana interlude yang hanya menggunakan satu buah nada kemudian berkembang menjadi lebih lebar sehingga menciptakan kesan ruang. Belum lagi timbre atau karakter bunyi dari instrumen musik yang disusun secara simultan, kesan sederhana menuju kesan kompleks menguatkan konsep karya ini tentang perjalanan dari dusun ke kota urban. Namun perjalanan karya ini diakhiri dengan horn Jelatik. Sepertinya Matrock ingin pulang, atau sekadar rindu pada yang sederhana, setelah beberapa lama hidup di kota. Musisi Jazz Riau, Eri Bob menjadi kolaborator pada karya keempat berjudul “Membaca Riak”. Eri Bob dan Matrock dapat kita baca sebagai inspirator dan kreator. Matrock sendiri pernah tergabung dalam kelompok musik

40


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Geliga, besutan Eri Bob, yang mengeksplorasi Melayu dengan wajah jazz. Diakui bahwa pertemuannya dengan Eri Bob menjadi hal penting dalam proses kekaryaannya, terutama terhadap progresi akor. Seperti halnya karya pertama, karya ini juga melibatkan dua bentuk irama. Pada irama pertama dengan meter (sukat) genap didominasi oleh bunyi instrumentalia. Misalnya gitar yang dimainkan oleh Indra mengawali karya ini dengan petikan ritme yang rancak bertempo agak cepat. Kali ini kesan bersemangat yang ingin dibangun. Kemudian instrumen petik lain seperti Gambus yang dimainkan oleh Matrock sendiri dan Mandolin oleh Taufik membentuk melodi utama yang indah. Kekuatan karya-karya Matrock adalah penggunaan progresi akor yang dimodulasi secara cerdas. Dengan susunan akor demikian dapat melahirkan berbagai kemungkinan ragam melodi unik, dan tak terduga. Mungkin hal ini juga yang diterapkan pada bagian kedua, di mana petikan improvisasi gitar elektrik Eri Bob secara bebas melahirkan melodi baru yang sedikit “nakal”. Baru sebab improvisasi adalah dunia ‘seni mencipta saat itu’ yang harusnya tidak terulang di waktu lain. Dalam musik Jazz disebut dengan improvisasi blue note atau nada-nada pilihan yang pada konvensinya tidak termasuk dalam akor yang dimainkan. Blacan Aromatic sesungguhnya menyiapkan tiga buah karya baru dalam produksi kali ini. Namun hanya dua karya yang sanggup diselesaikan. Pertama adalah karya yang dimainkan pertama tadi yang berjudul “Negeri Tematu”, kedua adalah “Perak Langit”. Karya ini tentang kerinduan terhadap ibu, laut, kampung. Karya ini dikemas cukup berbeda dengan karya yang ditampilkan sebelumnya. Sederhana. Tempo agak lambat,

41


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

penggunaan akor-akor dasar, menggunakan meter genap, dan tidak ada modulasi akor di sana sini. Repetisi melodi lambat yang dimainkan menggunakan instrumen Wistle (Irlandia) juga merangsang imaji syahdu. Tenang. Dengan pemilihan elemen musikalitas tersebut, penonton seperti dibebaskan dari beban berat efek dari karya sebelumnya yang disusun dengan tingkat kerumitan tertentu. Lantas mengapa perak, mengapa langit? Kembali Matrock bermain simbol. Langit dapat ditafsir bermacam makna. Semisal kanvas yang segala kenangan dilukis indah di sana. Atau dapat juga sebagai bentangan qalbu, di mana fragmen kehidupan terdokumentasi rapi di alam bawah sadar. Langit ialah imaji tanpa batas, juga harapan untuk segala cita. Kenangan menjelma Perak yang dicipta oleh cemerlang sosok Ibu, murni Laut, kebersahajaan kampung, dan kokohnya aroma tanah Sejangat. “Hungkal in E Minor”, karya keenam kembali menawarkan kerumitan musikal. Bagaimana tidak seperti diucap dalam pengantar karya, “Hungkal in E Minor” menerapkan sejumlah birama ber-meter ganjil, antara lain: 7/8, 5/8, dan 4/4. Hungkal sama halnya dengan teking, degil, atau bandel adalah istilah untuk menyebut sifat ‘liar’ pada anak-anak Melayu pesisir. Selain meter ganjil, unsur liar pada karya ini diterapkan dengan permainan teknik penjarian (fingering) yang super cepat dan rumit. Bayangkan… karya ini menggunakan meter ganjil dengan kecepatan super dan rumit yang kembali dimainkan dalam progresi akor dan beberapa modulasi akor atau perpindahan akor dengan nada dasar yang berbeda. Semacam pesta kompleksitas musik. Ide karya ini sebetulnya menarik. Hanya saja sajiannya lebih terlihat seperti aktualisasi virtuositas (skill/ kemampuan) bermain para personilnya. Apalagi melodi yang

42


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

dimainkan adalah seputar teknik ‘fingering’ dalam beberapa modulasi akor. Hal ini lebih merupakan aktivitas mengulang proses belajar teknik penjarian. Tidak sedang berekspresi musik. Akhirnya dunia anak-anak yang merupakan dunia imajinasi tak terbatas dan cenderung ingin mencoba hal baru tidak tampak dalam karya ini. Dalam bertindak, sensor terhadap resiko yang membahayakan anak-anak masih sangat tumpul. Hal itulah yang mendorong naluri melanggar aturan dalam dirinya, atau hungkal. Pada karya ini para personel dapat mencoba untuk sedikit Hungkal atau keluar dari aturan fingering. Cobalah melanggar aturan, untuk kemungkinan terciptanya hal baru. Dua karya terakhir, yakni “Cabouh” dan “Blacan Yoo”. “Cabouh” mengangkat tema norma yang berlaku dalam dunia laut dan pelaut. Di mana pantangan dan larangan berlaku sebagai hukum tak tertulis bagi siapapun yang berada dalam pelayaran. Kemudian karya “Blacan Yoo” sebagai karya penutup digarap kental dengan gaya pop. Sesuai dengan judulnya, Blacan sedang ingin menyapa penikmatnya, baik yang hadir menonton maupun yang jauh, bahwa peluncuran album perdana ini sebagai tanda Blacan Aromatic masih tetap eksis. Masih dalam Fenomena World Music Apa yang dilakukan oleh Matrock dan pemusiknya di Blacan Aromatic merupakan efek dari fenomena World Music yang berawal dari Eropa. Sebuah peristiwa signifikan pada abad ke-19 menjadi tanda paling awal kemunculan World Music. Ketika itu pada tahun 1889, Claude Debussy membawa seperangkat gamelan Jawa dan pemainnya untuk meramaikan 100 tahun Revolusi Perancis, di Paris. Dua belas tahun kemudian, giliran gamelan Bali diboyong oleh Debussy ke kota yang sama. Penampilan kedua

43


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

gamelan tersebut mengejutkan penonton kala itu. Setelah itu, kemudian mulailah dikenal istilah non-western music. Non-western music kemudian menjadi gejala baru dalam eksplorasi musik. Gejala ini terutama disebabkan oleh kejenuhan para komponis dan musisi Eropa dan Amerika dengan musik klasik. Maka dimulailah sebuah era di mana instrumen-instrumen musik Asia dan Afrika bersanding dengan instrumen musik Klasik Eropa. Seperti biola, viola, cello, flute bersama djembe, rebana, bedug. Al oud, er-hu, suling bersama dengan piano, marimba, tamborin. Atau juga, ketipung, tabla dan gamelan dan sebagainya. World Music adalah pertemuan multi kultural. Demikian juga dengan komposer dan kelompok musik yang ada di Riau termasuk Blacan Aromatic, Riau Rhythm Chambers, dan karya-karya ujian akhir kampus, berusaha mengkombinasikan beragam instrumen musik dari berbagai penjuru dalam penggarapan karyanya. Istilah World Music dan kenyataan kekaryaan di Riau sebetulnya sudah sangat sering kita temui. Terutama pada Riau Hitam Putih Festival, sejak awal tahun 2000an selalu mengusung tema World Music. Hal ini tentu saja berkat sumbangan pemikiran almarhum Ben Pasaribu sebagai konseptor Riau Hitam Putih Festival yang berlatar belakang sebagai pakar World Music. Hal ini berefek langsung pada pertumbuhan musik dan musik iringan tari di Riau. Selain Riau Hitam Putih Festival yang bertaraf internasional, setiap tahun pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, Dinas terkait selalu menggelar lomba seni musik dengan genre Wolrd Music. Lomba itu selalu mendapat perhatian yang serius dari setiap sekolah menengah di Riau sebagai ajang unjuk kreativitas. Namun di sini fenomena World Music lebih

44


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

dikenal dengan istilah musik kolaborasi. World Music yang berkembang sejak dua abad lalu itu tentu saja tidak mesti melulu demikian. Penggarapan karya dengan melibatkan beragam instrumen musik bersama instrumen lokal sudah mengalami titik jenuh. Karya musik yang lahir dengan pendekatan ini seperti tidak ada lagi inovasi baru. Mudah ditebak. Tidak ada lagi kejutan yang menjadi cakrawala baru bagi penonton. Tentu saja hal ini menjadi tantangan bagi grup musik yang terlanjur mendedikasikan diri pada dunia musik inovatif seperti Blacan Aromatic, Riau Rhythm Chambers Indonesia, dan juga karya dari kampus seni. Elemen musikal yang teratur dalam konvensi teori musik barat sudah waktunya bertransformasi atau berkembang untuk lebih dari sekedar mengulangi teknik-teknik yang dirumuskan oleh komposer zaman klasik. Atau kita hanya perlu lebih percaya diri pada unsur musik yang ada di sekitar kita. Namun perlu juga ditunjang wawasan tentang perkembangan dunia musik di negaranegara lain. Untuk apa? Agar dapat dikatakan seniman yang mewakili zamannya, abad 21.*** Aristofani Fahmi, musisi dan penonton kesenian, tinggal di Pekanbaru.

45


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

46


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Merayakan Berbagai Kekurangan Oleh Taufik Ikram Jamil KESENIAN kita kekurangan peminat, kekurangan kreativator, kekurangan perhatian, kekurangan dana. Berbagai kekurangan menumpuk terhadap kesenian. Selain kekurangan secara tradisional yang belum juga memperlihatkan wajah menggembirakan, kekurangan temporer kini sudah menghadang dengan begitu dahsyatnya. Perkembangan teknologi yang tidak dibatasi oleh apa pun, kini menghantam kesenian yang kekurangan itu. Sementara pemerintah yang menjadi penanggung jawab terhadap semua perkembangan berbangsa termasuk keseniannya, belum juga memberi tempat yang patut bagi karya manusia itu. Jujur saja dikatakan bahwa berbagai pihak sudah bebuih mulut untuk mengatakan hal itu. Kalau saja masih digunakan dawat, bahan tulisan tersebut mungkin sudah hampir kering untuk mengungkapkan hal tersebut. Papan ketik komputer, rasanya ikut haus karena begitu berkali-kalinya huruf-huruf diketuk untuk hal serupa. Tapi hasilnya, aduhai masih jauh dari harapan. Orang dulu cakap, jauh panggang dari api. Akhirnya, ikan yang dipanggang, tidak masak, tetapi tidak

47


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

pula mentah. Yang pasti, tak sedaplah. Tidak klise untuk dikatakan lagi bahwa kebudayaan di Tanah Air tak mungkin menolak perkembangan kebudayaan global. Tetapi kebudayaan global sudah begitu jauh masuk ke dalam alam serba digital misalnya, sedangkan perkembangan kebudayaan di Tanah Air masih tergagap-gagap dengan kondisi digital itu sendiri. Internet sebagai media digital, bukan benda asing bagi warga bangsa, bahkan kini sudah dilaksanakan gerakan melek internet di tengah bangsa yang belum menyadari jati dirinya. Tengoklah perkembangan jejaring sosial sebagai tempat pertumpahan hal-hal sepele, sedikt sekali bagi perkembangan kreativitas. Sedangkan website dikunjungi, terutama yang bersifat syahwat. Tak pelak lagi, Indonesia termasuk negara pengunduh situs porno terbesar di dunia. Peralatan yang digunakan bukan dimiliki berdasarkan fungsinya, tetapi gengsi. Di samping hal material, Indonesia kiranya juga menjadi sasaran utama pemasaran industri humaniora. Hal di atas menjadi masalah bukan karena peralatannya, tetapi berkaitan dengan sumber daya manusia—ketika internet cenderung dijadikan sebagai sarana hiburan, bukan upaya penjelajahan ruang kreativitas. Kemaruk alam maya ini begitu besarnya, sehingga dalam keadaan apa pun, kita selalu melihat telepon genggam bagaikan gula-gula alias permen yan senantiasa dikesip. Tak peduli di atas kenderaan, barang itu senantiasa digunakan. Dalam suatu kelompok, fisik mereka terlihat dekat, tetapi ternyata berjarak sekian jauh karena masing-masing sibuk dengan benda itu. Makin Merisaukan Keadaan di atas makin merisaukan karena negara, sejak lama hampir melakukan pembiaran terhadap kebudayaan. Bukankah misalnya, hampir 70 tahun merdeka, bangsa ini

48


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

belum memiliki undang-undang kebudayaan yang menjadi “pelindung� besar terhadap bentuk-bentuk dan ruang ekspresi karya manusia. Kalaupun sekarang sedang digodok di DPR, kesannya tak tuntas-tuntas. Perihal terlambat dalam masalah ini, tentu sudah jelas, bagi bangsa yang katanya menjunjung tinggi kebudayaan. Dalam contoh Riau, yang memiliki visi kebudayaan, keadaan tersebut terus ditambah dengan kesedihan. Bukubuku mengenai kebudayaan amat susah didapat terutama di sekolah. Kalaupun ada, banyak di antaranya yang kacaubalau. Politik anggaran kebudayaan adalah sesuatu yang menjauh dari kebudayaan tanpa perubahan sikap sejak zaman Orde Baru, misalnya bagaimana anggaran kebudayaan siap dihapus untuk keperluan nonkebudayaan. Penghancuran dan pembiaran tempat bersejarah tak tanggung-tanggung, seperti terlihat pada Masjid Sultan dan Bandar Seni Raja Ali Haji. Di sisi lain, pengindustrilisasian sudah hinggap pada semua bidang kehidupan, termasuk media massa yang menjadi lahan redaktur kebudayaan—betapa pun disebut sebagai korban dari tuntutan ekonomi modern. Kondisi ini antara lain menuntut bagaimana keuntungan material secara pragmatis menjadi pertimbangan yang tak bisa dinomorduakan. Contohnya, iklan dapat begitu mudah menggeser suatu gagasan dalam bentuk tulisan, tersingkirkan atau dipadatkan dengan pendekatan ekonomis. Nyatanya sekarang, ruang kebudayaan amat terbatas pada banyak koran, bahkan yang ada pun terlihat semakin kurus. Kondisi ini akan menjadi lingkaran setan ketika dihadapkan pada kondisi kemasyarakatan di tengah rasukan industri-kapitalis dan ketidakberpihakan pemerintah terhadap kebudayaan itu sendiri. Tak dapat dilupakan pula bagaimana keberadaan media cetak makin tergerus,

49


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

digantikan oleh media digital. Masih untung kalau keberadaan media umum berupa koran diganti dengan digital. Malahan sejumlah koran ternama di dunia, gulung tikar akibat rempuhan digital tersebut. Di Indonesia, hal ini dapat dibaca dengan bagaimana saat masyarakat baru pandai membaca, tetapi perkembangan dunia telah menyeretnya untuk meninggalkan kepandaian tersebut yang justru sudah selesai dalam medium tinggi. Maksudnya, kepandaian membaca itu bukan lagi masalah kesejagatan yang sudah melewatinya jauh di belakang dan sebagai modal utama perkembangan dunia, sedangkan Indonesia baru hendak melangkah ke arah perkembangan itu sendiri. Menyambut Tantangan Contoh-contoh kekurangan sekaligus tantangan yang menjurus sebagai suatu lingkaran setan di atas, tak akan selesai-selesai dibicarakan, apalagi dibentrokkan, seperti terlihat pada Pertemuan Redaktur Kebudayaan se-Indonesia ke-3 dan Festival Wartawan Seni ke-1, berlangsung di Siak Sri Inderapura, Riau, 20-22 Mei lalu. Difasilitasi Direktorat Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), kegiatan ini dibuka oleh Gubernur Riau Annas Maamun, menampilkan berbagai kegiatan seperti pameran budaya, pertunjukan seni, dan seminar. Syahdan, masing-masing kekurangan maupun tantangan memiliki alasan—untuk tidak mengatakan sekedar membela diri—terhadap kenyataan yang dihadapi koran, masyarakat, dan negara. Betapapun demikian, media cetak masih merupakan alternatif utama untuk mengomunikasikan kerja kebudayaan. Kehadirannya masih amat menentukan, sehingga masih amat diperlukan bagi

50


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

perkembangan kebudayaan. Betapapun hal tersebut dapat dipastikan bersifat sementara, sebab lambat laun, keadaan media cetak ini juga akan mengalami apa yang sudah terjadi pada sejumlah media cetak di dunia seperti telah terjadi di Amerika Serikat. Oleh karena itulah, tak ada pilihan lain kecuali merayakan berbagai kekurangan yang dihadapi oleh kebudayaan di Tanah Air sekaligus tantangan redaktur kebudayaan media massa. Disebut merayakan, karena kekurangan demi kekurangan disambut dengan kegembiraan, karena hanya dengan demikian sajalah, penggiat kebudayaan termasuk redaktur kebudayaan, dapat memperjuangkan gagasannya dalam pembangunan kebudayaan. Muara dari sikap gembira itu adalah menjadikan tantangan justeru sebagai media ekspresi baru. Keadaan masyarakat yang kini dirasuki televisi misalnya, bukankah dapat disejajarkan dengan ekpresi budaya tradisi yang cenderung bergantung pada kelisanan? Contoh lain adalah bagaimana makin sempitnya ruang koran untuk budaya, disetalikan dengan kenyataan suatu ekspresi budaya yang tidak tergantung pada panjang-pendeknya tulisan, tetapi kesan atau pesan yang dibangunnya untuk khalayak ramai. Bukankah kebudayaan itu sendiri tidak bersifat lestari, tetapi senantiasa bermetamarfosis? Dengan demikian, warisan budaya tetap harus dipelihara sebagai pijakan untuk menemui ruang-ruang eskpresi baru. Tak salah lagi, ruang ekspresi seperti koran maupun media lainnya, hanya sebagai alat untuk menuangkan ekpresi budaya, tetapi bukan ekspresi budaya itu sendiri. Menemukan tempat ekspresi budaya yang baru adalah kreativitas tersendiri. Sebagaimana halnya redaktur kebudayaan dan kreativator budaya, pemerintah pun harus aktif menghadapi kenyataan ini. Undang-undang kebudayaan perlu digesa, di

51


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

samping menjadikan budaya bukan sebagai obyek, tetapi subyek. Pembangunan kebudayaan adalah suatu upaya membangun bangsa sesuai dengan potensi dan keperluannya yang terlihat dari ekspresi budaya masyarakat pada masingmasing koloninya, bukan suatu jeneralisasi. Jadi? Ya, usah cemas dengan kenyataan budaya yang ada, kini dan di sini. Kita masih punya waktu, bro‌*** Taufik Ikram Jamil adalah sastrawan Indonesia asal Riau. Karya-karyanya tersebar ke berbagai media. Karyanya berupa novel, sajak dan cerpen telah dibukukan. Saat ini tercatat sebagai dosen di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Lancang Kuning.

52


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Perkembangan Senirupa Riau (Sebuah Catatan Ringan) Oleh Dantje S Moeis PERIODISASI sejarah dan perkembangan senirupa Riau, setakat ini dapat saya bagi hanya menjadi dua tahapan zaman, yang keduanya berkait-kelindan dengan kondisi sosial budaya sesuai dengan zamannya, bentuk dan kecenderungan peruntukan karya, serta jangkauan pengaruh dari zaman ke zaman. Zaman Kejayaan Senirupa Tradisional Sesuai makna kata tradisional. Senirupa tradisional Melayu Riau, adalah karya-karya senirupa unggulan dan terpilih berdasarkan seleksi yang bersifat alami, sangat dekat dengan kecenderungan rasa yang dimiliki masyarakat hingga senirupa pada masa-itu mampu bertahan dari masa ke masa hingga kini dan memberikan sumbangan besar bagi pembentukan identitas kultur Melayu Riau. Karya-karya senirupa tradisional Melayu Riau, merupakan sebuah karya komunitas dan bersifat anonimous (penciptanya menjadi tidak dikenal secara individu) walau

53


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

pada awalnya peran individu-individu tentulah ada. Di sinilah letak kebesaran jiwa manusia-manusia masa lalu, karena pada wilayah pembangunan budaya, kepentingan komunal jauh lebih penting bagi mereka, daripada kepentingan orang-per-orang. Apalagi sampai kepada hal-hal yang berbau komersial. Sehingga karya-karya tradisional ini hampirhampir jauh dari permasalahan yang berkaitan dengan sengketa bersifat intellectual property right and law atau hukum hak atas kekayaan intelektual, kecuali kalau sudah sampai kepada hal-hal atau sengketa yang bersifat pada pengakuan kepemilikan atau hak cipta. Karya-karya senirupa Melayu Riau, sama seperti halnya dengan karya-karya senirupa tradisional di kawasan lain, lebih bersifat applied art, seni-guna, seni-pakai atau seni peruntukan. Faktor inilah yang menjadi penentu bertahannya seni ini dari masa ke masa karena di samping perannya sebagai salah satu bentuk local genius/kepiawaian lokal sekaligus bermuatan kearifan (local wisdom) yang menjadi ciri etnik, suku atau puak. Senirupa jenis ini mempunyai peran bagi kepentingan upacara-upacara budaya yang “tak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas�. Hal ini dapat dibuktikan pada helat budaya dan perilaku keseharian serta banyak hal lain yang membuktikan bahwa senirupa tradisional ini mampu bertahan bahkan memberikan nilai pemartabatan tersendiri bagi pengguna senirupa jenis ini. Di samping kesadaran masyarakat masa lalu akan pentingnya seni sebagai salah satu bentuk penentu identitas budaya sebuah bangsa, peran penguasa dalam hal ini istana kerajaan Melayu di Riau masa lalu tidaklah dapat di pandang sebelah mata. Istana di samping berfungsi sebagai sentrum pemerintahan/penguasa di Riau masa lalu, juga merupakan pusat pelestarian, pengembangan budaya dan pusat penciptaan produk kesenian “tertapis� yang kemudian

54


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

menjadi karya-karya unggul yang bertahan hingga kini. Senirupa Riau di Era Kebimbangan Menghadapi Kecenderungan Senirupa Modern Berorientasi Eropa Pada awal-awal kemerdekaan hingga ke era konflik vertikal antara pemerintah pusat dan daerah yang bermuara pada pemberontakan PRRI, hingga terbentuknya provinsi Riau, menjelang tahun enam-puluhan, terjadi hambatan pembacaan sejarah aktifitas dan perkembangan senirupa di kawasan Riau yang menjadi bagian Provinsi SumateraTengah masa itu. Namun angin segar di segala lini kehidupan terlihat, setelah terbentuknya provinsi Riau. Dan dari sinilah dapat dimulai kembali pembacaan dan sejarah perkembangan senirupa Riau. Kemunculan perupa Riau yang mulai beradaptasi dengan perkembangan baru (modern), yang utama untuk di catat tentulah yang berorientasi pada karya ciptaan, walau pada masa itu bermunculan “penggambarpenggambar� pesanan yang berkemampuan lumayan menyalin bentuk-bentuk karya populer masa itu dan sangat european style. Lalu cukup banyak pula jumlahnya penggambar-penggambar pendatang yang nota-bene mengkhususkan diri menggambar potret di atas kertas dengan pinsil conte dan bubuk charcoal dengan transparent layering putih telur sebagai pelapis. Perupa Riau di era senirupa modern yang berorientasi pada penciptaan, sejauh pengamatan saya untuk kota Pekanbaru jumlahnya tidaklah terlalu banyak, namun selalu ada dan begitu juga di kota-kota lain di Riau, yang karena berbagai faktor belum terpantau. Minimnya kemampuan pemantauan ini tentulah memiliki sebab. Faktor utama yang saya rasakan adalah, bahwa mereka-mereka pelaku awal senirupa di Riau ini

55


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

sangatlah tidak berorientasi ekonomi sehingga promosi, pemberitaan yang meluas dalam bentuk apapun tidak dilakukan. Seni merupakan kebutuhan batiniah yang wajib dipenuhi dan bukan untuk pemenuhan kebutuhan lahiriah. Namun sejalan dengan perkembangan, pendapat seperti ini mulai meluntur pada generasi perupa berikutnya. Ditambah lagi dengan fasilitas dan dukungan yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik lembaga-lembaga yang mengurusi kesenian secara formal maupun pihak swasta sebagai partisipan aktif, yang terus menerus mengupayakan agar karyakarya senirupa dari para perupa Riau, dapat tampil sejajar dengan karya-karya perupa dari luar Provinsi Riau pada skala Nasional. Terutama karya-karya yang berasal dari sentrumsentrum penghasil karya senirupa potensial seperti Jogyakarta, Jakarta, Bandung, Bali, Solo dan beberapa kota lainnya di luar pulau Jawa. Riau selama ini, dalam perpetaan senirupa (fine art) pada kenyataannya secara jujur disampaikan barulah setakat titik kecil yang sukar ditilik keberadaanya secara nasional. Walau aktivitas berkarya secara kontinuitas tetap ada dan keadaan ini dapat ditandai dengan berbagai pameran (bersifat lokal) yang dilakukan dan ditaja oleh institusi formal seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Riau, Dewan Kesenian Riau, atau secara independen oleh individu perupa maupun komunitas-komunitas yang ada. Namun, kegiatankegiatan yang bersifat lokal tersebut, disadari belumlah memadai untuk dijadikan sebagai alat pemetaan atau pengakuan akan eksistensi perupa Riau secara nasional. Memang pernah ada, kegiatan-kegiatan yang bertujuan mengupayakan pengakuan keberadaan perupa Riau, pada bidang kanvas senirupa nasional. Seperti keikutsertaan perupa Riau pada pameran-pameran bersama daerah lain

56


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

di berbagai kota. Namun aktivitas tersebut dilakukan dengan kontinuitas yang kurang terjaga, sehingga keberadaannya dengan segala kondisi kultur budaya, problematika sosial dan kedalaman yang disampaikan sebagai muatan karya tak selalu tampak (timbul-tenggelam). Namun hal yang cukup menggembirakan bahwa pemahaman lama yang masyarakat miliki, bahwa kerap terjadi pengulangan-pengulangan proses, minim pemaknaan, miskinnya kreatifitas. Namun kini perupa Riau saat tampil di setiap pameran selalu membawa kita pada ujud-ujud @ suguhan menu yang selalu baru. Konsekuensinya, mungkin saja kita akan menemui berbagai hambatan penikmatan, karena apa yang selama ini sudah kita pahami tentang karyakarya perupa Riau terdahulu, jauh berbeda dengan tampilan karya-karya yang tersuguhkan kini. Karya-karya yang mulai jauh dari bayangan kita, karena pokok bahasan, rupa-kias dan kerangka acuan yang digunakan oleh setiap individu dalam berkarya mulai menampakkan indentitas diri masingmasing. Naturalisme dan realisme yang ditampilkan telah mengalami pergeseran cara dan karakter. Untuk itu, penting kiranya jika di dalam proses penyimakan saat ini, ditawarkan semacam ajakan untuk menggeser pula cara pandang terhadapnya. Istilah kaji-ulang sekonyong menjadi penting. Ia akan membimbing kita untuk memasuki wilayah kesadaran cara pandang baru para perupa Riau di dalam kerangka membangun keseimbangan peradaban. Kaji-ulang yang berarti di dalamnya terkandung makna perubahan sikap dan pengetahuan yang dipersiapkan untuk menghadapi sesuatu yang terus berubah. Sekali lagi, upaya perimbangan ini hanyalah suatu ajakan menurut sebuah alternatif versi. Di luar ajakan tersebut, bisa saja siapa pun dapat mengembangkan cara dan proses pembacaan yang kiranya dianggap lebih tepat.

57


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Sebagai penutup tulisan pengantar pameran ini, tentu kita berharap pameran kali ini bukan hanya sekedar helat yang bersifat sesaat, namun dapat dipetik manfaatnya bagi berbagai kalangan terutama bagi para perupa Riau, sebuah daerah yang konon “kaya” namun tak memiliki sebuah pun lembaga pendidikan senirupa. Terutama dan yang pasti adalah manfaat dari terbangunnya “Persahabatan Seni” dan perluasan wawasan yang akan memperkaya khasanah senirupa nasional. Semoga...*** Dantje S Moeis adalah seorang perupa, penulis kreatif dan pengajar pada Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR).

58


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Doksologi Keledai Oleh Zuarman Ahmad “SESUNGGUHNYA seburuk-buruk suara adalah suara keledai,” (QS Luqman [31]: 19). Jalaluddin Rumi (Tuan Guru Sufi) menerangkan makna ayat ini kepada sahabatsahabatnya, bahwa semua binatang memiliki pekikan, pelajaran dan doksologi (kata-kata pujian kepada Tuhan). Manusia, misalnya mengucapkan pujian, “Segala puji bagi Allah”, dan para malaikat dan seluruh makhluk, yang di langit maupun di bumi memiliki doksologi, hanya bentuknya yang berbeda-beda. Binatang juga mengucapkan doksologi seperti halnya manusia; pekik domba dan unta, raungan singa, embikan rusa betina, dengungan lalat, dengungan lebah, kokok ayam, gonggongan anjing, dan doksologi binatang lainnya. Namun menurut Rumi, “keledai yang malang itu, yang dimilikinya hanyalah pekikan. Ia mengeluarkan suara bila menginginkan betinanya, dan bila merasa lapar. Ia hanya budak hawa nafsunya dan budak kerongkongannya. Jika manusia tidak memiliki doksologi untuk Khalik, seperti suatu seruan, cinta, suatu rahasia dan kepedulian, maka mereka dalam pandangan Allah sama saja dengan keledai, “Mereka itu seperti unta-unta; bahkan mereka lebih sesat lagi,” (QS Al-

59


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

A’raf [7]: 179). Beberapa seni, terutama musik, sebagian merupakan “doksologi” oleh penciptanya (penulis, komposer). Pelajaran dan doksologi disampaikan melalui kata-kata dan kalimat (sastra), dan “pekikan” dihantar lewat bunyi (musik). Oleh itu, Rumi menggunakan kedua “penyampaian” ini (sastra dan musik) sebagai sarana doksologi itu. Karena, sesungguhnya tujuan semua seni menghala kepada Mahapencipta, sebab itulah semua seniman meminjam istilah kata “pencipta” untuk sesuatu seni yang dibuatnya, dan titik-nadir sejatinya adalah doksologi yang menuju kepada Mahatinggi, namun kadang-kadang seniman merasa malu untuk menyatakan hal ini. Barangkali, supaya tidak terjebak kepada doksologi keledai, ketika mengeluarkan suaranya hanya untuk menginginkan betinanya atau karena merasa lapar, maka para pilosofi senantiasa memikir tujuan-tujuan kesenian senantiasa menuju ke kesempurnaan (tujours âla perfection). Untuk tujuan ke arah sempurna itu para pemikir abad ke-18, melahirkan pikiran yang disebut dengan Aufklärung (pencerahan), di Perancis oleh Rene Descartes (1596-1650) membuat pernyataan “Cogito, ergo sum” (Ich denke, also bin Ich) yang memulai percobaan analisa pemikiran murni. Akal budi menjadi instrumen pengetahuan yang paling penting, yang berarti berpikir untuk menyelesaikan antara rasionalisme dengan empirisme. Di Inggris dikenal dengan istilah Enlightenmen, yakni dimaknai dengan menekankan “alasan” dan “individualisme”. Bagaimana pemikiran kesenian di Riau? Seorang sahabat bercerita tentang karya-karya sastra Riau yang umumnya “normative”, sedangkan ia menghendaki “keliaran” dalam karya-karya sastra itu. Tapi, “keliaran” mesti juga dijenguk sebagai sesuatu yang harus diberi lagi

60


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

“pengertian” yang sesungguhnya. Jika tidak, “keliaran” yang dimaksud kawan saya ini akan menjadi benar-benar liar (tidak lagi diberi tanda kutip). Keliaran yang benar-benar liar (tidak dengan tanda kutip) dalam sastra (semua seni) mungkin akan menjadi cerita keledai yang disampaikan Rumi di atas, bahwa karya itu hanya bersifat pekikan keledai, yang hanya ketika menginginkan betinanya dan merasa lapar. Mungkin saja, dan ini hanya mungkin saja. Dalam beberapa karya sastra Melayu, sebenarnya, Hamzah Fansuri pada abad ke-16, jauh sebelum hadirnya pemikiran Aufklärung di Barat, sudah melahirkan pemikiranpemikiran tentang pencerahan dalam karya sastra, sebut saja Syair Perahu yang merupakan sajak alegori yang penuh berisi ajaran-ajaran tentang kehidupan dan sesudah hidup itu berakhir, selain pemikiran yang timbul dari sastra itu sendiri. Karena pikiran-pikiran pencerahan dalam Syair Perahu dan karya-karya Hamzah lainnya itu pula yang menarik seorang peneliti yang bernama Belandan Valentjin untuk datang ke Aceh, dan kemudian menyatakan bahwa Hamzah Fansuri dipengaruhi oleh pemikiran mistiko falsafi yang demikian tinggi, maka ajarannya tidak hanya berarti pada maqam ma’rifah sebagaimana kaum mistiko-sunni, akan tetapi melampauinya ke tingkat paling puncak yaitu merasakan kebersatuan diri dengan Tuhan yang disebut itthad. Karena ini/itu, pemikiran yang mengatakan L’art pour l’art, yakni (seni murni), istilah menunjuk sejumlah konsep estetika yang menegaskan penciptaan artistik menjadi tujuan akhir dan dari dirinya sendiri, terlepas dari politik dan persyaratan sosial; agaknya mesti ditinjau-ulang kembali, meskipun suatu pemikiran yang menuju kebenaran tidak ada yang salah. Karena, semua tujuan hidup (tentulah termasuk seni) sebenarnya adalah menuju ke Allah.***

61


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Zuarman Ahmad, adalah Wapimred Majalah Budaya Sagang, dosen Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) dan dosen Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR); conductor BSO dan seniman/ budayawan Pilihan Sagang

62


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Menarilah dengan Hati

(Catatan : Peringatan Hari Tari Internasional/ World Dance Day 2014) Oleh SPN Iwan Irawan Permadi YANG disebut menari itu sebenarnya seperti apa. Apakah hanya sekedar bergerak? inilah sebuah pertanyaan yang selalu dilontarkan oleh banyak kalangan seniman tari ; penari – koreografer – pengamat tari, dsb. Tari tak hanya semata – mata peristiwa gerak ia adalah peristiwa media dari berbagai disiplin ilmu yang dipelajari dalam kerja tari dengan tubuh sebagai poros utamanya. Perkembangan koreografi terutama pada penciptaan karya – karya tari baru saat ini mempunyai persoalan yang sangat beragam terutama di Provinsi Riau. Persoalan tersebut berkisar pada “kualitas” penari dan penata tari, proses kekaryaan, dan “kualitas” pengamat atau penonton yang akan mempengaruhi kualitas apresiasi. Kualitas penari dan penata tari sering terlihat kurangnya jam terbang yang dimiliki oleh keduanya. Kurangnya melakukan ziarah bathin dan ziarah budaya untuk mau “belajar” ke kampung–kampung atau ke pusat seni tradisi setempat. Kadang

63


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

penata tari sudah memiliki kualitas yang bagus tapi tidak didukung oleh penari yang baik atau sebaliknya. Sering pula ditemui sang penata tari belum mempunyai kesadaran untuk menghargai karyanya sendiri dan kadang cepat merasa puas, walau hanya berkarya sekedar untuk kepentingsn event tertentu, seperti Parade Tari misalnya. Pada karya–karya tari baru saat ini banyak terlihat seakan memaksakan pada penari yang kurang mempunyai pengalaman, belum mempunyai teknik menari yang baik, pengolahan tubuhnya sangat memprihantinkan atau kalau perlu karena penari tersebut cantik “dikarbit” sehingga tidak muncul roh yang kuat. Sehingga karya tari tersebut hanya sekadar bergerak dan pameran para penari saja. Banyaknya karya tari yang ada saat ini yang saya amati baru sebatas merangkai gerak. Tidak bicara roh dan eksplorasi gerak tari, apalagi bicara ide/konsep garapan serta sumber garapan dari karya tari tersebut. Banyak pemikiran dari para seniman tari Indonesia, antara lain : menari adalah mengekspresikan beberapa hal, semisal pengalaman bathin, ide/pikiran/gagasan yang menggunakan medium gerak tubuh manusia. Jika hanya sekadar bergerak, tentu belum menari, atau malah bisa dikatakan tidak sedang menari, akan tetapi di sisi lain pengertian bergerak dalam menari tidak senantiasa bergerak dalam arti fisik. Pengertian bergerak dalam menari bisa terwujud dari intensitas dan kesadaran tubuh yang diam, bahkan ada yang bilang bahwa puncak gerak dalam menari adalah “diam”. Tari, sebagai ekspresi kreatif acapkali mencerminkan situasi masyarakat sekitarnya. Ia merupakan tanda dan jejak bathin masyarakat, yang dituangkan dalam bentuk yang sangat pribadi. Pencaharian bahasa baru dalam gerak pada dasarnya merupakan pencarian dari masyarakat akan perubahan. Kerinduan pada sesuatu yang baru, dan kebutuhan untuk merespon persoalan–persoalan.

64


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Peringatan Hari Tari Dunia Tahun 2014 yang dilaksanakan oleh Taman Budaya Riau, menunjukkan bahwa masyarakat tari saat ini umumnya dan masyarakat Riau khususnya mempunyai kekayaan dan kekentalan budaya dan seni yang diwariskan dari generasi masa lalu. Peringatan Hari Tari Dunia di Pekanbaru ini sebagai ajang berkumpulnya para seniman tari untuk menumbuhkembangkan potensi budaya yang ada. Para seniman tari menunjukkan keunggulannya di bidang tari, kreativitas, pencarian/proses penciptaan karya–karya tari baru untuk memperkaya khasanah tari di Riau–dan untuk Indonesia. Seniman tari memerlukan komitmen, kesetiaan pada bidangnya, kreativitas, pengelolaan yang tangguh, loyalitas, dan tidak gampang menyerah dalam melakukan setiap penciptaan karya tarinya. Selain penciptaan karya tari baru peringatan Hari Tari Dunia ini juga untuk menumbuhkan kebersamaan, menjalin kesetaraan, toleransi, membuka komunikasi, silahturahmi para seniman tari, dan yang terpenting membentuk sebuah jaringan berkesenian yang positif. Pada 29 April ini dunia merayakan Hari Tari Internasional, atau Hari Tari Sedunia. Perayaan ini dipromosikan oleh Dewan Tari Internasional (The International Dance Council/CID), sebuah lembaga nonprofit yang memayungi berbagai bentuk tari di seluruh dunia. Lembaga ini berdiri pada 1973, berada dalam naungan Badan PBB untuk Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan UNESCO, dan bermarkas di Paris, Prancis. Hari Tari Sedunia diperingati setiap tanggal 29 April. Tanggal ini dipilih untuk mengenang kelahiran Jean-Georges Noverre (1727-1810), seorang pencipta tari balet modern berkebangsaan Prancis. Noverre dikenal dengan karya fenomenalnya berjudul ‘Lettres sur la danse et les ballets’ yang diterbitkan pada 1760 dalam usia 33 tahun.

65


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Peringatan ini diharapkan bisa meningkatkan kesadaran bersama tentang pentingnya tari bagi masyarakat. Dan yang terpenting dengan adanya Peringatan Hari Tari ini bisa memacu lebih banyak munculnya karya–karya tari baru yang berkualitas tanpa melepaskan atau memisahkan diri dari ruh, elemen, dan nafas tradisi. Perkembangan seni tari saat ini telah mengalami perjalanan yang sangat panjang. Perjalanan yang diwarnai aneka ragam pergeseran serta perubahan para seniman tari terus berproses dan bergulat dengan penciptaan karyanya, yang umumnya menawarkan inovasi baru. Pengembangan seni tari yang berorientasi pada nilai– nilai tradisi merupakan indikasi bahwa seni tradisi tidak mengalami stagnasi. Pelestarian yang dilakukan adalah wujud kebanggaan dan penghormatan terhadap warisan leluhur. Semangat yang boleh jadi akan tetap mengarah pada pengaktualisasian nuansa tradisi, hingga kearah kebebasan berekspresi sebagai tolak ukur kekuatan kreativitas individu. Dengan adanya Peringatan Hari Tari Internasional ini seniman tari dituntut untuk terus mengolah kreativitas, mempertajam kepekaannya, memperdalam renungan, pemikiran dan wawasan. Biarlah tubuh menjelma atau menjadi apapun yang diinginkannya. Biarlah tubuh bergejolak untuk menikmati perasaan dan emosi. Semua adalah keniscayaan yang membuka segala kemungkinan, bagi proses kontruksi, rekontruksi maupun dekontruksi tubuh. Menarilah dengan hati! Pekanbaru, 29 April 2014 Iwan Irawan Permadi, koreografer

66


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Menggumuli Sastra Bahari Oleh Muchlas J. Samorano “Tapi aku yang bernama sampan Masih saja terus berlayar Ke laut hati ombak” (D. Zawawi Imron, “Perpisahan” 1984) PRAMOEDYA Ananta Toer dalam novel Arus Balik menyebutkan, bahwa titik terakhir kehancuran nusantara adalah dengan mengacuhkan basis kelautan. Apa yang ditulis Pram memang menjadi etos historis keberadaan bangsa, bahwa hakikat kebangsaan adalah opera peradaban bahari. Siklus kebangkitan nusantara memang ditandai oleh concern-nya semua kalangan untuk mempertahankan peradaban kelautan. Tak pelak, kesaksian sejarah tentang khazanah kelautan nusantara dimulai sejak kerajaan Sriwijaya, Mataram, Majapahit, masa kolonial Belanda, Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, sampai Reformasi. Pada tahun 1940, Rivai Apin, seperti pernah disebut Gunawan Muhammad, menulis frasa imajiner yang (bahkan) mengklaim laut sebagai evountur yang menantang, sebuah

67


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

rantau yang riskan: “Tiada tahan/ke laut kembali, mengembara/cukup asal ada bintang di langit”. Lembar sejarah bangsa Indonesia berawal dari kejayaan bahari, dan di sini pula, bahari menjadi manifes sejarah perjuangan yang tak lekang dari ingatan rakyat. Sebab bagaimanapun, khazanah bahari negeri terlampau memukau para koloni dan kroni. Bangsa mencoba mempertahankan dan mempertaruhkan kultur bahari nenek moyang dari imperialisme koloni melalui bambu runcing. Muasal laut adalah muasal kesucian. Subagio Sastrowardoyo di tahun 1989 menulis sajak “Soneta Laut”. Secara eksplisit, Subagio mencoba menumbuhkan spirit perjuangan bangsa pascakoloni untuk kembali ke muasal, yakni apa yang diistilahkan Ade Prasetia sebagai “adab kelautan”: “Laut, di mana mata airmu/ supaya aku bisa kembali ke asalmu/ Laut, di mana mata anginmu/ supaya aku bisa mengikuti arusmu/ Aku ingin sendiri dengan laut” Sebagaimana dipahami, penetrasi zaman modern menimbulkan praktik imprealis oleh para kaum kapitalis. Meski tidak seseram waktu koloni Belanda, tetapi kaum kapitalis memiliki model jarahan yang lebih halus melalui beragam dimensi, termasuk kebudayaan. Jaman peralihan dari “adab kelautan” menjadi “adab daratan” mungkin menjadi simbol imprealisme gaya baru kaum kapital itu. Ahmad Nurullah dalam sajaknya “Selat Kamal; Mengupas Nostalgia” menulis: “Selat Kamal sesak kenangan, ramai sejarah,/ juga legenda—semacam legenda:/ Tentang Adirasa—adik Jokotole—yang mengantar pusarnya/ ke Majapahit, di abad yang jauh; sumber timah panas/ Perekat engsel gerbangnya yang angkuh dan keramat”. Betapa proyeksi pemerintah untuk membangun jembatan yang menghubungkan dua pulau, langsung atau tidak, akan mengahanguskan peranan laut. Sehingga, bukan tidak mungkin hal ini berisiko terhadap pudarnya ingatan

68


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

kesejarahan dan hilangnya khazanah kekayaan lokal. Bukankah itu tak lain adalah modus operandi untuk menjarah kekayaan nenek moyang, kekayaan bahari? Menuju Sastra Bahari Sutan Takdir Alisjahbana mencoba menyatukan kaidah sastra dengan kekayaan bahari. Dalam sebuah sajaknya berjudul “Menuju ke Laut”, Sutan telah mengkampanyekan kerekatan sastra sebagai bentuk kebudayaan dengan laut: “Kami telah meninggalkan engkau/tasik yang tenang tiada beriak”. Kita tahu, sejak dulu, seperti digambarkan dalam buku The Suma of Time Pires yang diedit oleh Armando Cortesao (1944), bahwa konesksi kerajaan-kerajaan Sumatra dengan Jawa, India, dan Belanda dimulai melalui aktifitas perdagangan maritim. Tidak hanya sebagai pusat perdagangan, laut juga menjadi kekuatan armada dan ekspedisi militer— sebagaimana dilakukan oleh Senopati Sarwajala Mpu Nala pada pemerintahan raja Majapahit Gajah Mada untuk menyatukan nusantara. Sedemikian penting wahana bahari nusantara, hingga menuntut bangsa mempertahankannya dari imperialisme asing, terutama melalui sastra sebagai basis dominan kebudayaan. Sudaryanto (2011) menyebut bahwa diplomasi kebudayaan—tidak kecuali sastra—adalah dasar yang kukuh untuk diplomasi dalam bentuk lainnya. Sebab, produkproduk kebudayaan, kesastraan, dan kesenian akan menjadi kekuatan diplomasi yang tangguh. Paling tidak, produk kesastraan yang banyak menyinggung kekayaan bahari akan membangkitkan spirit generasi belia untuk mengorek sejarah, mempertahankan budaya “kelautan”, dan tentu saja menjaga dan melestarikan kekayaan bahari. Sastrawan angkatan mutakhir memang perlu—

69


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

bila tidak mau menyebut wajib—memasukkan metafor laut dalam pemaknaan sajaknya. Sebagaimana dilakukan oleh beberapa penyair kaliber Abdul Hadi W. M (“Laut”, 1973), Adi Wicaksono (“Laut”, 1990-1993), Chairil Anwar (“Kabar dari Laut”, 1946), dan banyak lagi. W.S. Rendra memahami laut sebagai episentrum kebebasan, “Lautan adalah kebebasan”. Mempertahankan nasionalisme kebangsaan tentu juga musti memelihara aspek kelautan. Sebagaimana dilakukan para proklamator kemerdekaan dulu yang memandang bahwa laut adalah kekuatan defensif untuk membendung agresi penjajah. Laut juga berarti manifesto perlawanan (Ahmad Naufel, 2014). Puisi Nirwan Dewanto, “Masa Kanak-kanakku Mengambang di Laut” juga mebeberkan urgensitas dan superioritas laut. Akhirnya, peradaban kapital hanya akan melahirkan masyarakat konsumer (Jean Baudrillan, 2005) yang serba ingin instan dan acuh pada prinsip kebudayaan dan kelokalan. Sementara, karakter khas geografik negeri Indonesia—sebagai negeri kepulauan yang tiga per empat wilayahnya (5,8 juta kilometer persegi) adalah lautan— mengharuskan penyair untuk memasukkan khazanah laut ke dalam metafor, simbol, dan citra puisinya. “Kita bangsa pelaut dan negara kita negara maritim. Agama kita agama air”, kata Umbu Landu Paranggi dalam petikan percakapannya dengan Candra Malik. Tapi penyair hari ini menulis laut sekadar bualan puitik, tanpa mempertimbangkan esensi historisnya. Sayang sekali.*** Muchlas J. Samorano, pemerhati sastra. Aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY).

70


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Plagiarisme sebagai Ancaman Kreativitas Oleh Nafi’ah Al-Ma’rab DI DALAM dunia kepenulisan, barangkali yang menjadi salah satu kejahatan intelektual paling membahayakan adalah apa yang dinamakan dengan plagiarism atau plagiat. Wikipedia dan ASIAN Copy Right Handbook merumuskan bahwa yang dimaksud dengan plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri (pihak plagiator). Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain. Plagiarisme dalam literatur terjadi ketika seseorang mengaku atau memberi kesan bahwa ia adalah penulis asli suatu naskah yang ditulis orang lain, atau mengambil mentah-mentah dari tulisan atau karya orang lain atau sebagian, tanpa menyebut sumber. Yang digolongkan sebagai plagiarisme adalah, pertama yakni apabila seseorang menggunakan tulisan orang lain secara mentah lalu diubah, tanpa memberikan penjelasan. Dan yang kedua yakni mengambil gagasan orang lain tanpa memberikan anotasi yang cukup tentang sumbernya.

71


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Beberapa waktu terakhir, kasus plagiat kembali mencuat. Yang terbaru misalnya pada kasus lomba Green Sastra Perhutani di mana cerpen “Elegi untuk Pong� karya Khoiriah Azzahroh yang sebelumnya dinyatakan sebagai peraih juara 3 kategori umum pada event ini dinyatakan terbukti memplagiat Novel berjudul Ping: The Message from Borneo karya Shabrina WS dan Riawani Elyta. Kasus ini menambah daftar buruk kasus-kasus plagiat kepenulisan di Indonesia. Juga kita akan selalu ingat kasus plagiat yang juga cukup menghebohkan dari Anggito. Tempo menyebutkan, Anggito Abimanyu menyatakan mundur sebagai dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada pada Senin, 17 Februari 2014. Langkah ini ia ambil di tengah tudingan plagiarisme yang menunjuk ke arahnya. Anggito mengaku keliru mencantumkan referensi dalam karya tulisnya, tapi ia menyangkal telah menjiplak tulisan Hotbonar Sinaga di harian Kompas. Sejarah mencatat bahwa ternyata plagiat tak hanya terjadi di kalangan penulis mula. Mereka yang sudah memiliki nama besar pun bisa terjebak dalam kasus kejahatan kepenulisan tersebut. Beberapa kasus plagiat paling menghebohkan dalam sejarah Indonesia yang dirilis Tempo di antaranya adalah: 1. Chairil Anwar (1949) Penyair Chairil Anwar pernah dituduh menjiplak karya tulis. Tak tanggung-tanggung, yang menuduh Hans Bague (HB) Jassin melalui tulisannya di Mimbar Indonesia berjudul Karya Asli, Saduran, dan Plagiat membahas puisi KerawangBekasi. Kritikus sastra yang juga bergelar Paus Sastra Indonesia itu membandingkan puisi Chairil dengan The Dead Young Soldiers karya Archibald MacLeish, penyair Amerika Serikat. Jassin tidak menyalahkan Chairil. Menurut dia, meski-

72


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

pun mirip, tetap ada rasa Chairil di dalamnya. Sedangkan sajak MacLeish, menurut Jassin, hanyalah katalisator penciptaan. Namun tanggapan Chairil bisa berbeda, apalagi Jassin menyebut tindakan Chairil meniru sajak MacLeish karena butuh uang untuk biaya berobat ke dokter. Ketegangan mereka sempat memuncak pada suatu acara di Gedung Kesenian Jakarta. Chairil dan Jassin sempat berkelahi. 2. Yahya Muhaimin (1992) Ismet Fanany, ahli pendidikan asal Batusangkar, Sumatera Barat, yang bermukim di Amerika Serikat menerbitkan buku tentang plagiat. Buku terbitan CV Haji Masagung Jakarta itu berjudul Plagiat-Plagiat. Isinya tentang plagiat Yahya Muhaimin. Disertasi Yahya dituduh menjiplak tulisan beberapa ahli. The Politics of Client Businessmen, disertasi Yahya yang dipertahankan di MIT Cambridge, Amerika Serikat, 1982, dibandingkan dengan Capitalism and The Bureaucratic State in Indonesia: 1965-1975, judul asli tesis Robison di Universitas Sydney 1977. Menurut Ismet, kemiripan itu baru satu sumber. Masih banyak lagi kemiripan dengan artikel lain. Yahya sendiri kepada Tempo menjelaskan, “Mungkin dia memakai standar plagiat yang berbeda dengan yang saya anut.” Dia mengakui disertasinya mengutip banyak fakta dan pendapat sejumlah ahli yang memang disebut Fanany. “Tapi saya mencantumkan sumbernya,” kata Yahya. Atas tudingan Fanany itu, Yahya tak berpikir menyerang balik. 3. Amir Santoso (1979) Ia dituduh membajak karya tulis ilmiah dari berbagai kalangan, bahkan dari kalangan mahasiswanya sendiri. Amir juga mencaplok karya intelektual pakar lain. Apa yang dilakukan Amir Santoso itu dalam rangka mencapai gelar

73


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

profesor (guru besar Universitas Indonesia). 4. I Made Kartawan (Desember 2008) Dosen Institut Seni Indonesia Denpasar, I Made Kartawan, dituduh menjiplak. Tesis Kartawan pada 2003 yang berjudul Keragaman Laras Gong Kebyar di Bali sama persis dengan laporan penelitian berjudul Keragaman Laras (Tuning Systems) Gambelan Gong Kebyar hasil penelitian Prof Bandem, Prof Rai, Andrew Toth, dan Nengah Suarditha yang dilakukan pada 1999 dari Universitas Udayana. Plagiat bisa dikatakan sebagai ancaman bagi kreativitas ide pengarang. Betapa banyak penulis yang memiliki ide-ide besar di dalam karyanya akhirnya dicuri orang, yang bukan tidak mustahil orang lain akan mendapatkan keberuntungan yang besar terhadap upaya plagiat tersebut. Begitu bahayakah itu? Inilah beberapa deskripsinya. Plagiat sebagai Simbol Kemiskinan Ide Ide itu mahal. Itulah sebabnya tak semua penulis memiliki ide yang unik dan menarik dalam setiap karyanya. Ide itu sulit ditemukan. Ia pun sering dianggap wangsit di sebagian kalangan penulis. Lalu kenapa orang tertarik untuk melakukan plagiat? Bisa jadi salah satunya karena miskinnya ide dari seorang plagiator. Ia mungkin tak punya stok berpikir dengan caranya sendiri, menemukan sesuatu yang hebat dengan caranya sendiri, lantas ia pun menjadi latah untuk mencuri ide orang. Layaknya orang korupsi, seorang melakukan korupsi salah satunya disebabkan karena faktor kekurangan atau ambisi mencapai sesuatu yang berada di luar kemampuan. Plagiat sebagai Simbol Kemalasan Mengambil yang sudah ada itu memang enak, tak

74


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

membutuhkan perjuangan dan kerja keras. Memikirkan ide itu butuh waktu. Ada yang berbulan-bulan memikirkan ide untuk sebuah naskah cerpennya. Itulah orang yang mau berjuang untuk mendapatkan sesuatu dengan jerih payahnya sendiri. Namun sayangnya tak semua orang mau melakukan demikian. Orang selalu ingin yang simpel dan pintas. Terkadang seseorang mengambil ide dari sebuah naskah yang ia pikir tak banyak orang tau tentang naskah itu. Namun akhirnya ketika telah dipublikasikan, barulah terbongkar upaya plagiat yang telah dilakukan. Sungguh kasihan, inilah nasib si pemalas. Plagiat sebagai Pelajaran bagi si Malas Baca Ada banyak juga kasus plagiat yang terjadi dengan unsur ketaksengajaan. Misalnya mengolah ide yang sama dalam sebuah karya yang berbeda. Siapa yang lebih dulu menulis tentunya aman dari tuduhan plagiat. Sementara yang terakhir dialah yang akan dituduh sebagai plagiator. Padahal bisa jadi hal itu terjadi karena unsur ketidak sengajaan. Ya itulah resiko dari yang tak mau membaca. Bila kita hendak menulis sebuah karya, maka selayaknya kita melakukan survey apakah sudah ada karya dengan ide sejenis? Bila sudah ada maka berangkat lah dari persepsi yang berbeda untuk memperkayakan lagi referensi bacaan dari tema sejenis. Bila ini tak dilakukan, maka bersiap lah menyambut tuduhan sebagai seorang plagiat. Dalam kasus plagiat tentu saja pihak yang paling dirugikan adalah yang terplagiat. Namun plagiator juga sebenarnya memiliki kerugian besar. Ini akan menjadi preseden buruk bagi perjalanan karirnya di mata publik. Penting bagi para penulis untuk berempati kepada pihak terplagiat. Ingat lah betapa mahalnya harga sebuah ide. Ketika kita memplagiat, sama artinya kita tak menghargai

75


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

diri kita sebagai penulis. Sebab nilai penulis itu ditentukan dari kualitas apa yang ditulisnya. Jika ia menulis dengan cara yang tak berkualitas, maka bagaimana ia hendak menghargai dirinya?*** Nafi’ah Al-Ma’rab, adalah Ketua Forum Lingkar Pena Riau

76


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Humor di Tanah Melayu Riau: Dari Yung Dolah hingga Stand up Comedy Oleh Fakhrunnas MA Jabbar INDONESIA memang banyak melahirkan folklore (cerita rakyat) yang bermuatan lucu yang bersifat legendaris dari waktu ke waktu. Masih ingat, cerita Si Kabayan di Tanah Pasundan atau Yung Dolah di Bengkalis? Bisa jadi, tradisi folklore semacam itu yang menorehkan guratan riwayat kelucuan di negeri kita. Antorpolog James Dananjaya banyak menelaah soal folklore semacam itu yang secara tunak menghimpun kisah-kisah folklore yang cukup menggelikan hati. UU Hamidy, pernah membuat alur perkembangan cerita lucu (tanpa membedakan lawak atau humor- dengan tokoh penggagasnya di Riau yang dimulai dari Yung Dolah – Soeman Hs – Idrus Tintin – Semekot (Fachri dan Udin). Bila rentang perjalanan tradisi humor ini diteruskan hingga generasi kini, dapat dimunculkan Grup Lawak Nyanyah dan terakhir PaSKI (Persatuan Seniman Komedi Indonesia – pesan Indro Warkop

77


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

dulu, harap jangan disingkat dengan PSK) dengan aktivitas humor termasuk stand up comedy yang digencarkan oleh presenter Benny. Lewat PaSKI Riau pula, comedian Otong Lenon yang pernah melanglang-buana di jagad hiburan ibukota Jakarta, akhirnya kembali berkiprah di Riau. Bila, Indonesia pernah punya tokoh humor terkenal seperti Arwah Setiawan yang mendirikan Lembaga Humor Indonesia (LHI) yang sekaligus menerbitkan Majalah Humor secara bulanan di era 1980-an, maka di Riau sebenarnya, tokoh intelektual dan budayawan, Muchtar Ahmad, Tabrani Rab dan Tengku Dahril bersama saya -di deretan angkatan muda waktu itu- pada tahun 1982 menggelar pertamakali Lomba Lawak se Riau. Ini yang menjadi debut munculnya Semekot Grup yang diawaki oleh Fachri dan Udin. Dan Semekot Grup masih saja melanjutkan tradisi ini setelah malang-melintang di kancah nasional dan lokal. Dalam rentang waktu yang sama, saya bersama budayawan Husnu Abadi pernah menggoda Pak Muchtar Ahmad untuk mendirikan Lembaga Humor Indonesia Cabang Riau. Upaya ini gagal ketika Pak Muchtar merasa jabatannya sudah terlalu banyak waktu itu. Muchtar menyindur Pak Tabrani yang ternyata lebih banyak lagi berorganisasi: “barangkali organisasi yang belum dimasuki Pak Tab tinggal PARFI – Persatuan Artis Filem Indonesia…”. Obsesi itu secara sengaja atau tidak disengaja sudah pula diraih Pak Tabrani juga saat menikahi artis film Indonesia, Alicia Johar menjelang Presiden Riau Merdeka itu ikut dalam Konvensi Partai Golkar untuk menjadi calon Presiden Indonesia. Entah ada kaitannya atau tidak, selesai konvensi tak lama berselang selesai pula hubungan perkawinan itu. Hehe. Tradisi humor dalam budaya Melayu sebenarnya sudah dimulai di saat pertumbuhan dan perkembangan dunia senipertunujukan tradisional seperti Makyong, Mendu, Maman-

78


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

da, Randai Kuantan dan sastra tradisional lainnya. Bumbu humor selalu menjadi bagian penting dari setiap pertunjukan dengan gaya improvisasi para pelaku atau pemain. Tak jarang, improvisasi cerita muncul secara tiba-tiba yang merefleksikan situasi kekinian dalam masyarakat. Sindiran-sindiran terhadap raja atau pemegang kekuasaan tak jarang dikiaskan dalam ungkapan kata-kata lakon yang diperankannya. Cara ini tentu saja sangat cerdas karena mampu menyiasati keadaan. Barangkali itulah sebabnya hampir tak didengar adanya pelarangan atau pemberangusan pertunjukan seni tradisional di masa lalu oleh pemegang otoritas kekuasaan karena kritik-sindiran itu disampaikan secara amat piawai. Di tanah Melayu Riau, pasca-Yung Dolah dan Soeman Hs, masih terus berlanjut sebagaimana dapat ditemukan dalam tulisan dan aktivitas keseharian penyair dan dramawan Idrus Tintin, novelis Ediruslan Pe Amanriza, kolomnis dan budayawan Prof. Tabrani Rab dan Prof. Muchtar Ahmad dan Drh Chaidir. Pada generasi sastra decade akhir, nuansa humor diteruskan oleh sastrawan Hang Kafrawi yang menerbitkan buku Wawancara Imajiner dengan Yung Dolah dan sejumlah anak muda lainnya. Ada pula kartunis Furqon LW yang menubuhkan dan menggerakkan aktivitas Sindikat Kartun Riau (Si-Kari) dan komunitas seni lainnya. Penulis yang juga politisi di Kepulauan Meranti, Afrizal Cik telah menulis khusus mengenai tokoh humor Yung Dolah melalui pendalaman wawancara dengan keturunan penghulu termasyhur di Puau Bengkalis itu. Perkembangan dunia humor di Riau seiring sejalan dengan apa yang berlaku di Indonesia. Revolusi “humor cerdas� di Indonesia memang tak tercatat pasti, kapan bermula. Namun, ketika humor politik dari Negeri Rusia diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia dalam bentuk

79


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

buku Mati Ketawa Cara Rusia memang boleh dikatakan menjadi penggairah munculnya “humor cerdas” di tanah air. Buku ini memberikan inspirasi bagi terbitnya buku-buku sejenis yang mengangkat cerita humor dari berbagai negara dan daerah lokal seperti Mati Ketawa Cara Madura atau Batak atau Jawa. Bahkan, seorang Jawa tulen yang bernama Sidik Jatmika, -aktifis radio swasta dan dosen di Yogyakartayang sempat “jatuh cinta” pada budaya Melayu menerbitkan kumpulan anekdot Lagak Wong Melayu di Yogya tahun 2002. Mitos Yung Dolah dalam Humor Melayu Nagabonar, tokoh rekaan Asrul Sani itu tiba-tiba lekat menjadi simbol local genius (kecerdasan lokal) dari Tanah Batak. Bius filmis tokoh itu dalam film Nagabonar yang berlanjut dengan Nagabonar Jadi 2 garapan Deddy Mizwar benar-benar sukses mengangkat sebuah mitos baru sebagai simbol orang Batak. Dalam rentang hampir bersamaan, sebenarnya Ruhut Sitompul yang akrab dengan gekar “Si Poltak, Raja Minyak” juga berupaya mengukuhkan simbol yang sama. Tapi kini, Nagabonar boleh jadi sejajar dengan tokoh-tokoh local genius yang sudah dimitoskan sejak lama seperti Kabayan dari Tanah Sunda, si Pitung dari Betawi (dalam mitos baru telah memunculkan sosok Benyamin S) dan masih banyak tokoh lagi dari masing-masing daerah. Tanah Melayu Riau juga punya sosok Yung Dolah sejatinya semasa hidup dia seorang penghulu (kepala desa) di Senggoro, Bengkalis. Memang tak banyak orang di luar Riau yang kenal sosok local genius Melayu ini. Tapi, ungkapan dan cerita yang mengandung nilai kecerdasan lokal itu tak kalah serunya dengan kisah-kisah folklore yang berkembang di tanah air. Boleh jadi, kearifan Yung Dolah tak kalah dengan kisah-kisah Nasredin yang sudah mendunia itu. Sekadar membanding, cermatilah dua cerita dari Nasredin dan Yung Dolah ini. Suatu kali, Nasredin dengan

80


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

mengenakan kain sarung memanjat ke loteng rumahnya. Ayahnya sudah melarang karena khawatir anaknya itu terjatuh. Tak lama berselang, tiba-tiba ayahnya mendengar bunyi gedebuk, pertanda sesuatu terjatuh dari loteng. “Nasredin! Kamu terjatuh dari loteng ya?” tanya sang ayah. Nasredin cepat-cepat menjawab: “Tidak, Yah. Hanya kain sarung saja yang terjatuh…” Ayahnya kebingungan dan bertanya lagi :”Kalau kain sarung yang jatuh tentu bunyinya tak sekeras itu. Ada apa sebenarnya?”. Lantas, sambil meringis menahan kesakitan, Nasredin menjelaskan pada ayahnya. “Memang kain sarung yang terjatuh dari loteng. Kebetulan saja, aku ada di dalam kain sarung itu…” He he… Cerita Yung Dolah lain lagi. Suatu kali Yung Dolah memanjat pohon kelapa untuk memetik buahnya. Sesampai di puncak pohon kelapa itu, Yung dengan cekatan menurunkan buahnya satu demi satu. Setelah tugas selesai, Yung kesulitan untuk turun sehingga memerlukan tangga. Yung memang tak kehabisan akal. Yung mencoba menatap ke sana-ke mari, mana tahu ada tangga di bawah. “Untunglah, Yung tengok di bawah sana ‘tu, ada tangga. Lalu Yung ambil tangga itu dan turunlah Yung baik-baik…”. Tutur Yung saat bercerita di depan karib-kerabatnya. Yung Dolah sebenarnya lebih banyak menggunakan logika-kontradiktif sebagaimana diungkapkan Jaya Suprana. Sekali lagi : logika kontradiktif begitu lancar bermain dalam local genius yang sarat humor cerdas ini. Cerita-cerita Yung Dolah mengandung logika kontradiktif dan humor cerdas itu sekaligus. Di depan penikmat ceritanya, biasanya Yung Dolah -semasa hidupnya- akan mengkombinasikan bahan ceritanya dengan hal-hal aktual. Suatu kali yang lain, Yung Dolah yang gemar memancing ini, pergi ke laut. Setelah setengah hari menunggu, tiba-tiba joran pancingnya bergetar. “Yung langsung menyentap

81


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

pancing itu kuat-kuat. Ikannya kena. Tapi, berjam-jam Yung tak bisa mengangkatnya ke darat. Yung tak kuat sendiri sehingga Yung panggil beberapa orang untuk membantu. Setelah beberapa jam…huup, berhasil. Ikan yang tertangkap itu berhasil terlempar ke darat,” cerita Yung Dolah sambil berhenti sejenak. “Rupanya…ikan yang tertangkap itu adalah bilis (ikan teri)…” tuturnya disambut pendengarnya tertawa terbahakbahak. Lagi-lagi, logika kontradiktif yang bermain. Pada kesempatan yang lain, Yung pergi memancing lagi. Setelah menunggu beberapa jam, tiba-tiba joran pancingnya bergetar lagi. “Yung coba menyentapnya kuat-kuat, tapi sama-sama bertahan. Makin kuat Yung sentap, makin kuat pula pancing Yung ditariknya. Lalu Yung ulur terus tali pancing Yung sepanjang-panjangnya. Setelah seharian tak ada kejelasan, lalu Yung menyelamlah. Ingin cari tahu, ikan sebesar apa yang telah menyentap pancing Yung,” tuturnya penuh daya tarik. Yung pun menyusuri tali pancing itu di dalam laut. Semakin lama, Yung semakin jauh meninggalkan tempat memancingnya. Lalu Yung melanjutnya kisahnya: “Setelah tujuh hari tujuh malam, Yung berada di dalam laut itu sambil menyusuri tali pancing. Tiba-tiba, Yung sudah sampai di tebing laut New York. Rupa-rupanya, mata kail Yung saling terkait dengan mata kail seorang pemancing di New York sana…” tukas Yung menimbulkan gelak tawa. Yung Dolah menyatakan dirinya jadi beruntung atas peristiwa. Sebab dia bisa melihat Patung Liberty, gedung pencakar langit dan orang-orang kulit putih yang cantik. Tapi dalam perkembangan lanjut, cerita Yung Dolahnya bisa saja dikembangkan oleh generasi sesudahnya. Spontanitas dan improvisasi pun bermain dengan cekatan. Cerita Yung Dolah di New York itu bisa berlanjut begini:

82


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

“Tapi, Yung betul-betul kagum, oiii. Budak-budak di tingkat TK saja di New York sana, sudah hebat berbahasa Inggris…Amboi, tak sama dengan negeri kita..” tuturnya dengan lidah dan logat Melayu yang kental. Soal perempuan kulit putih, diperluas lagi dengan cerita improvisasi oleh orang-orang sesudahnya. Sebab, cerita yung Dolah itu benar-benar branded sehingga menyebut nama Yung Dolah saja, orang akan mudah berasosiasi. “Perempuan Amerika itu ada yang betul-betul putih kulitnya..” kata Yung. Tapi salah seorang pendengarnya menyanggah: “Apa bedanya dengan perempuan di sini, Yung. Di sini pun banyak pula perempuan putih-putih…”. Yung biasanya langsung bereaksi dan menepis sanggahan itu. “Beda, oiii..sangat berbeda. “Saking putihnya perempuan Amerika itu, bila dia minum kopi..maka tampaklah aliran air kopi itu di tenggorokannya hingga ke perut…” kata Yung membuat gelak tawa kian menjadi-jadi. Konon, waktu peristiwa Sumpah Pemuda 1928, Yung Dolah sempat hadir dan diundang. “Tapi Yung sangat kecewa…” katanya. “Kenapa, Yung?” tanya pendengarnya. “Sebab, di situ ternyata banyak juga Yung lain yang hadir. Yung dengar disebut-sebut : Yung (baca:Jong) Java, Jong Celebes, Jong Sumatra… dan masih banyak lagi. “Merasa Yung tak dipedulikan mereka, lalu Yung berteriak sekuatkuatnya:”Hey..Panitia… Yung Dolah juga hadir di sini..!!”. Di saat generasi stand up comedy kini mulai bangkit di Tanah Melayu ini, ditunggu humor-humor cerdas yang mencerahkan. Setidak-tidaknya mampu membentangkan jembatan baru ke masa depan demi tegaknya humoritas yang mampu menyegarkan jiwa.*** Fakhrunnas MA Jabbar adalah sastrawan dan penasihat PaSKI Riau.

83


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

84


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Nyanyian Sunyi Religi Hafney Maulana Oleh Musa Ismail HAFNEY Maulana seorang penyair Riau yang berasal dari Sungai Luar, Inderagiri Hilir (Inhil). Penyair ini cukup aktif di berbagai kegiatan sastra, baik daerah maupun nasional. Begitu pula karya puisinya, dipublikasikan oleh berbagai media massa daerah dan nasional, berbagai antologi, dan berbentuk kumpulan puisi tunggal, yaitu Usia yang Tertinggal (Batam Grafiti, 1996), Jejak-Jejak Waktu (Dokumentasi Sastra Mandiri, 2005), Mengutip Makna (KBP, 2005), dan Ijab Kabul Pengantin (FAM publishing, 2012). Hafney pernah menjadi guru dan kini berprofesi sebagai pengawas sekolah di Kemenag, Inhil. Seperti juga para penyair lain, Hafney punya pandangan tersendiri tentang puisi. Pandangannya ini tentu diteroka berdasarkan aspek empiris sebagai penyair. Katanya, puisi menarik untuk dibicarakan karena lahir dari renungan dan pengalaman yang dalam dari penyair. Tak ada puisi tanpa kehidupan. Masalah puisi adalah masalah hidup dan kehidupan... Hidup kita adalah manifestasi puitis (Hafney, 2012: 9).

85


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Puisi lahir dari renungan dan pengalaman yang dalam. Pernyataan Hafney ini merupakan suatu bukti bahwa puisipuisinya terlahir dari kesunyian. Suatu perenungan biasanya identik sekali dengan kesunyian dan kesendirian. Dari sini juga, bisa dikatakan bahwa penyair memproses lebih dalam konsep-konsep yang telah ditangkap melalui indera ke sensori pikiran dan perasaan untuk merangkai larik-larik metaforis tentang corak kehidupan yang kita alami. Karena itu, jangan heran kalau puisi merupakan aktualisasi diri melalui lakonan metaforis kehidupan yang bernas. Karena itu juga, Hafney sebenarnya selalu menyenandungkan tentang kesunyian dan religi di dalam kumpulan puisinya Ijab Kabul Pengantin (IKP). Diksi merupakan kekuatan puisi. Diksi juga akan menjadi rujukan karakter dan deskripsi sosial penyair. Karena itu, jangan heran jika dalam kumpulan puisi kita akan menemukan diksi-diksi favorit penyair sehingga bisa kita temukan di beberapa puisi.Tentu hal ini tidak terlepas dari suasana batin dan proses penyendiriannya ketika menuliskannya. Di samping itu, diksi ini pula bukan perkara remeh ketika menuliskan puisi meskipun puisi yang bermutu bukan berarti harus sangat metaforis dan menyulitkan pembaca. Hafney—dalam puisinya—lebih gemar menyuarakan tentang kesunyian kehidupan. Tentu saja nafas puisinya menyemai kesendirian/membatin dan lebih terfokus pada aspek transendental. Puisi “Perjalanan Sunyi�, misalnya, sangat religius. Kereligiusan Hafney dalam larik-larik puisi ini tersurat dengan diksi yang terangkai: desah nafasmu/ membasahi ziarah syahadat/mengalir di lekuk luka-luka// Kesan kesunyian dalam bait puisi ini sangat halus. Baik duka maupun suka, makhluk yang paham eksistensinya akan tetap mengingat-Nya pada setiap nafas yang berdenyut. Kesunyian religius itu juga lebih hebat dalam bait kedu:

86


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

suaramu dininabobokkan wirid kamar/perjalanan seribu sunyi/dimana bayang hilang makna/dan kita tak lagi punya waktu/sekedar menyebut nama. Diksi wirid kamar menggambarkan bahwa kereligiusan seseorang selalu berkaitan dengan perenungan/kesunyian. Kekuatan religius ini diperkuat lagi dengan larik perjalanan seribu sunyi. Di sini, penyair ingin menggambarkan bahwa perjalanan religius merupakan perjalanan sunyi dalam rangka memaknai ketuhanan. Gambaran-gambaran puisi Hafney adalah deskripsi kesaksian terhadap ketuhanan. Deskripsi tersebut sangat membatin dan penuh perenungan dari berbagai sudut pandang pemaknaan fenomena. Puisi “Wirid Rerumputan� lebih mengingatkan kita bahwa semesta ikut bertasbih. Puisi ini juga merupakan perjalanan sunyi religius penyair sebagai refleksi eksistensi makhluk hidup yang hakiki: setiap geliatnya gemulai/bagai kumpulan orang-orang sufi/sepanjang lintas musim/dan akhirnya-memang-hanya diam/ sebagai saksi keheningan abadi. Ini membuktikan bahwa kehidupan adalah pengembaraan menuju keabadian, kekosongan. Puisi-puisi dalam IKP ini pada dasarnya merupakan refleksi kesunyian penyair dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Suatu nafas tasawuf dapat kita tangkap dalam beberapa puisinya. Perjalanan ingin menemui, berdialog, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT menjadikan penyair begitu religius. Dalam puisi “Seruling Jiwa�, umpamanya, penyair menggambarkan aspek kejiwaan/psikis akulirik yang merindukan Ilahi: hinggap di arasy-Mu/ruhku sujud menyusun jalanan tasbih/membanjiri sejadah/dalam warna warna/menjulur rindu. Puisi ini sangat kuat dengan keresahan jiwa sang penyair yang amat piawai memberi judul dengan diksi seruling, yaitu sejenis alat musik tiup yang

87


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

sudah pasti melahirkan nada-nada dengan desah nafas. Pada dasarnya, setiap desah nafas dalam puisi ini menggambarkan pencarian perhatian Allah Azzawajalla. Puisi “Alif al Awali” pula, Hafney ingin mempertegas kekuatan makna diksi bismillah. Perkataan bismillah senantiasa menjadi awal ucapan, awal perbuatan, mengawali kepergian, kepasrahan, dan berbagai peristiwa kehidupan. Hafney —sengaja atau tidak—bertindak persuasif. Dia mengajak diri sendiri dan siapa pun agar memulai sesuatu dengan menyebut nama Allah. Kemudian, penyair memandang sesuatu pada dirinya adalah kekuasaan Allah Taala. Hal ini dapat kita pahami dalam puisi “Aku Tak Bisa”. Judul puisi tersebut bisa ditakwilkan bahwa manusia hanyalah makhluk lemah, mati, dan kosong. Hanya zat Allah Taala yang mampu membuat manusia berkuasa melihat, bernyanyi/berbicara, memegang, berjalan, dan sebagainya. Semua itu hanya terjadi dengan zat-Ny: ....aku tak bisa.../:kecuali Kun Fayakun-Mu/mengalir di ubun-ubunku. Perjalanan dan nafas tasawuf religi Hafney ini sangat hebat diungkapkannya dalam puisi “Ziarah”: ku datang pada-Mu/mencari embun antara deru mesin pabrik/luka-luka ku balut dengan sajadah/ dalam sujud/di mana hud-hud hinggap di pundakku/dengan paruh bismillahnya/ia bentangkan jalan/siratal mustakim. Makna sebagian besar puisi-puisinya mengerucut dalam nafas tasbih. Selain itu, penyair sangat memfavoritkan diksidiksi yang berkaitan dengan kesunyian seperti sunyi, sepi, diam, abadi, gemetar, malam, dalam dada, kesedihan, dan sebagainya. Selain itu, apa yang dapat kita renungkan selain kedahsyatan kesunyian dalam larik seperti Hanya sepi tiada henti, Mematuk sunyi mengamuk sepi. Selanjutnya, Sebuah rumah sunyi, merupakan larik yang menyiratkan bahwa kehidupan kita seperti kesunyian. Diksi rumah merupakan simbol kehidupan karena pada umumnya kita menghabiskan

88


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

waktu di rumah atau dunia sebagai simbol pengembaraan. Kesunyian merupakan suatu ruang yang pasti kita alami. Pengalaman tentang kesunyian pada dasarnya bermula dari kegundahan jiwa. Ruang kesunyian yang direka Hafney dalam puisi-puisinya begitu menyeruak ke dalam jiwa Kesunyian ini menjadi kesan tersendiri bagi penyair. Ini terbukti dari pemakaian diksi sunyi dan sejenisnya pada sebagian besar puisi-puisinya. Berkemungkinan besar puisipuisi Hafney termasuk puisi-puisi yang lahir dari perjalanan kesunyian mencari Allah Taala. Antara kesunyian dan perjalanan batin mencari Tuhan, tidak dapat dipisahkan. Kita memerlukan kesunyian/ kekhusukan untuk beribadah kepada Tuhan. Kegaduhan akan menjadi gangguan terhadap kekhusukan. Karena itu, kita perlu rumah sunyi dalam perjalanan mencari Sang Khalik. Hafney melukiskannya dalam puisi “Magrib”: magrib pun sampai/sepiku terbata/melintas senja/sepiku/sepi airmata....sepiku/sepi lampu lima watt/ketika dahi/ketika lutut/ketika telapak tangan/rapat ke bumi . Ini merupakan deskripsi betapa kesunyian itu sangat berperan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Puisi-puisi Hafney merupakan cerminan sikap tawaduk dan sufistik. “Menggelepar sepi/Melayari perjalanan riwayat orang-orang sufi,” begitu larik Hafney dalam puisi “Bersama Burung”. Tentu sekali kereligiusan Hafney merupakan penyangga kuat ketika menuliskan puisi perjalanan sunyi-religi ini*** Musa Ismail adalah guru di SMAN 3 Bengkalis.

89


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

90


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Teater Anak dan Gerakan Transformasi Budaya (Apresiasi atas Operet Anak Tengkulup Paya oleh Sanggar Keletah Budak)

Oleh Marhalim Zaini BEGITU keluar dari gedung Anjung Seni Idrus Tintin, sehabis nonton teater anak yang disuguhkan Sanggar Keletah Budak, saya langsung teringat dengan pentas animatronik yang sempat saya tonton beberapa tahun lalu, di kompleks wahana hiburan Dufan (Dunia Fantasi) Ancol-Jakarta. Konon, wahana yang diberi nama Kalila Adventure itu, disebut-sebut animatronik terlengkap di dunia, karena menggabungkan empat unsur teknologi yaitu film, animatronik, musical show, dan special effect. Tokoh-tokohnya adalah binatang-binatang Indonesia yang berkarakter lucu, yang tinggal di hutan. Bercerita tentang bagaimana binatangbinatang itu saling bekerjasama dalam menghadapi bencana gunung merapi. Kenapa ingatan saya sampai ke sana? Tersebab, bagi saya, kedua tontonan itu sama-sama bersifat rekreatif. Samasama lebih diperuntukkan bagi anak-anak. Sama-sama

91


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

bertujuan selain untuk hiburan, juga untuk mendidik. Samasama memakai unsur-unsur drama musikal. Perbedaannya, di antaranya adalah pada orientasi pertunjukan itu digelar. Kalila Adventure jelas berorientasi profit alias bisnis, sementara Tengkulup Paya, tidak demikian (meski bukan berarti tidak sama sekali). Profit bagi Kalila adalah tujuan utama, bagi Tengkulup Paya profit entah tujuan yang ke berapa. Selain perbedaan pada tematik cerita, pada media eksplorasi, pada tata artistik, tentu saya tidak sedang membanding-bandingkan dalam konteks yang semata fisik, tapi lebih substantif. Misalnya, dimulai dengan pertanyaan; di manakah, di Riau ini, wahana rekreasi-edukatif alternatif yang sejenis ini? Potensi dan Tantangan Sanggar Keletah Budak pimpinan Rina NE ini, saya kira, tengah berada dalam proses kerja membangun wilayah alternatif itu. Pilihan pada bentuk “teater anak�, dalam konteks Riau, setidaknya memiliki potensi dan tantangan sekaligus. Potensi, karena di Riau, sangat minim ruang-ruang publik alternatif yang apresiatif untuk anak-anak semacam ini. Selain mal dengan wahana bermainnya, biasanya orang tua membawa anak-anak ke wahana water park, atau ke rekreasi alam, yang juga masih sangat terbatas di Riau. Untuk tontonan, anak-anak hanya bisa diajak ke bioskop-bioskop yang menyajikan film anak-anak—sementara kita tahu, film anak-anak di zaman kini susah dicari (secara kuantitatif maupun kualitatif). Tentu, tak cukup fenomena ini terjadi di dunia tontonan dan musik (minim lagu anak), tapi juga terjadi di dunia bacaan (miskin cerita anak). Maka dunia anak-anak kita kini, seolah sedang menyempit dan terhimpit ruang-ruangnya oleh gempuran produksi hiburan orang dewasa—yang di sisi lain, anehnya

92


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

globalisasi (seolah) juga menawarkan keserba-tak-terbatasan. Dan di sinilah paradoks itu. Ketika batas-batas teritori sosial seolah lenyap, yang berefek pada pudarnya batas-batas sosiologis antara dunia anak dan dunia orang dewasa, maka di saat yang sama kita seperti sedang masuk dalam ruangruang sempit dalam diri kita, yang diibaratkan oleh Devid Michel Levin (1988), (globalisasi itu) “bagai sebuah kapal kosong, berjalan, dan meraba seperti orang buta...” Maka, potensi “teater anak” itu akan segera menjadi tantangan. Karena, hiruk-pikuk tontonan yang “tanpa batas” itu, terutama yang dimediasi melalui dunia cyber, telah mengalihkan fokus pandangan dunia anak-anak kita sedemikian rupa. Mereka, anak-anak kita itu, tak tahu lagi (atau tidak penting lagi) apakah dunia mereka terakomodir atau tidak dalam tontonan tersebut. Yang penting, dunia bawah sadar mereka seolah telah ternina-bobokkan, sehingga mereka bisa enjoy saja ikut bergoyang, seperti goyang yang tak bosan-bosannya ditayangkan oleh sebuah program salah satu televisi swasta setiap hari, selama berjam-jam. Godaan-godaan visual, di dunia televisi, pun, turut mengubah cara menonton anak, cara menyerap informasi, yang diam-diam membentuk cara berpikir mereka, cara mereka berperilaku. Maka, menjadi rumit dan sulit kemudian, ketika kita berbicara tentang mana tontonan yang memberi tuntunan mana yang hanya opera sabun, mana ruang yang memberi kebebasan berekspresi, mana yang seni mana yang tidak, mana yang imajinatif mana yang realitas, mana yang dewasa mana yang anak-anak, dll. Menjadi cukup beralasan kemudian, jika para pemikir di dunia cultural studies memberi perhatian lebih pada fenomena budaya media (media culture) ini. Kompleksitas budaya media, yang sudah tak “mampu” lagi diurai oleh teoriteori umum, telah berdampak amat serius dalam berbagai

93


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

aspek kehidupan masyarakat konsumen, yang (meminjam Kellner, 1995) telah pun “membentuk pandangan-pandangan politik dan sikap sosial, yang dipakai orang untuk membangun identitas pribadi.” Celakanya, identitas yang dibangun oleh media culture itu adalah identitas “semu.” Identitas yang gampang lekang. Sebab, ia hanya fashion, yang gampang digeser oleh perkembangan life-style. Dan dunia seni teater, pun, sebagai salah satu bentuk art collective yang sejak lama dipertahankan sebagai bentuk seni paling “berani” bergaul dan berhadaphadapan dengan peristiwa dan realitas sosial, kerap “tergagap-gagap” menghadapinya. Berbagai cara dilakukan para seniman teater, untuk kemudian mendekatkan diri terus-menerus dengan publik, mulai dari eksplorasi berbagai media, sampai mendatangi penonton langsung di ruangruang publik (misalnya seperti yang diselenggarakan oleh para pekerja teater di Padangpanjang melalui iven “Panggung Publik Sumatera”). Posisi Teater Anak Lalu, di manakah posisi “teater anak” dalam kondisi serupa itu? Mampukah sebuah pertunjukan “teater anak” mengalihkan barang sejenak perhatian anak-anak kita (di Riau) dari serbuan tontonan yang lain, yang tiap saat berkelindan menggoda di sekeliling mereka? Dan, di sinilah, yang saya maksud sebagai tantangan itu. Apa yang telah dikerjakan oleh Sanggar Keletah Budak, setakat ini, tampak telah “berhasil” membangun satu iklim baru dunia tontonan alternatif bagi anak-anak. Indikasinya, khusus untuk pertunjukan Tengkulup Paya, selama tiga hari (7-9 Maret 2014) dipenuhi penonton yang sebagian besar memang anakanak—orang tua/dewasa turut menonton untuk menemani anak-anak mereka. Anak-anak yang menonton itu, tampak

94


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

cukup antusias, dan apresiatif, dengan menunjukkan sikapsikap “santun’ dalam menonton. Terlepas dari bagaimana mereka dikondisikan oleh panitia/pembimbing/guru/orang tua mereka, setidaknya hal ini menunjukkan bahwa anakanak kita sesungguhnya butuh tontonan alternatif serupa ini. Tentu, kita tidak boleh berhenti pada setakat melihat dari perspektif penonton sebagai indikasi dan berkesimpulan bahwa “teater anak” telah dapat mengambil “hati” dan menempati posisi strategis dalam ruang tontonan publik (anak-anak). Sebab, Sanggar Keletah Budak sebagai (hemat saya) satu-satunya teater anak yang ada di Riau ini—di Jakarta ada Teater Tanah Air yang dibina oleh Jose Rizal Manua—tentu bukanlah tandingan yang sepadan dengan serbuan media culture yang saya gambarkan di atas. Maka posisinya, bukan sebagai lawan-tanding, vis-a-vis. Bukan pula untuk menjadi massif. Akan tetapi lebih mengambil posisi sebagai “oase”, sebagai media transformatif (kalau tidak subversif). Artinya, dengan posisi semacam itu saya tidak sedang mengatakan bahwa pekerjaannya menjadi lebih mudah, dan terkesan “mengalah.” Justru, menjadi oase, menjadi transformatif, bahkan menjadi subversif, di hari ini, adalah satu pekerjaan yang memerlukan energi besar. Oase, tidak sekedar analogi dari seteguk air yang dapat melepas dahaga, akan tetapi bagaimana menjadi “seteguk air yang jernih, bersih, berkualitas” untuk tidak hanya melepas dahaga tapi juga untuk memberi “kenikmatan” dan “kesehatan.” Dengan begitu, “teater anak” harus hadir sebagai sebuah pertunjukan yang “serius”, digarap dengan selera artistik yang “baik”. Sehingga, penonton tidak semata mendapatkan suguhan pertunjukan yang biasa-biasa saja, tetapi tontonan yang mencerdaskan. Tontonan yang membuat mereka (anakanak itu) menjadi terpukau, dan terus-menerus menggoda memori mereka, untuk kemudian menumbuhkan minat dan

95


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

rindu mereka untuk mengajak orang tua mereka kembali menonton. Jika berhasil pada tahapan ini, mereka (anakanak itu) bahkan tak hanya berkeinginan untuk menjadi penonton pertunjukan, akan tetapi bahkan berminat menjadi yang ditonton, termotivasi menjadi pemain teater di atas panggung. Maka, transformasi telah terjadi. Pesan-pesan yang (sebaiknya) tersembunyi dalam adegan-adegan di atas panggung, telah diserap dengan baik oleh mereka. Materi Pertunjukan Tentu, saya tidak bisa menakar apakah pesan-pesan (massage) yang hendak disampaikan oleh pertunjukan Tengkulup Paya, telah sampai pada penonton (receiver). Namun, saya dapat menduga, bahwa pesan itu telah pun dapat dicerna dengan baik, karena peristiwa-peristiwa yang dihadirkan di atas panggung, adalah peristiwa keseharian mereka. Peristiwa yang secara tematik, tidak jauh-jauh dari problema kehidupan mereka sebagai anak-anak. Pesanpesan, yang hemat saya, malah kadang terkesan sangat sederhana untuk konsumsi anak-anak di zaman modern ini. Tema cerita Tengkulup Paya, yang diangkat dari cerita rakyat masyarakat Kuansing tentang anak yang durhaka, misalnya, adalah memang pilihan yang tepat untuk mengenalkan sekaligus mendekatkan nilai-nilai kebudayaan tradisional kita dengan anak-anak. Upaya kontekstualisasinya dengan kehidupan masyarakat kota, oleh Rina NE selaku sutradara, memang cukup memberi penguatan bahwa local wisdom itu masih memiliki kuasa atas realitas sosial hari ini. Nyatanya, pada ending cerita, bisa secara “otomatis� mengubah perilaku tokoh anak yang sulit bangun pagi menjadi gemar bangun pagi. Hal ini, tentu terkait dengan niat awal penulis naskah/ sutradara untuk membangun logika cerita anak dalam frame

96


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

durasi pertunjukan yang terbatas, sehingga proses transformasi nilai (dari sulit bangun pagi ke gemar bangun pagi) itu diperpendek jaraknya. Artinya, transformasi itu sesungguhnya tidak dapat diotomatisasi, sebagaimana perubahan sebuah peradaban yang berjalan dalam dinamika proses yang tidak pendek. Tetapi, demikianlah hukum ruang dan waktu dalam sebuah pertunjukan, peristiwa-peristiwa boleh jadi tumpang-tindih, tarik-ulur, dan terpecah dalam kolasekolase, sehingga kerap keberhasilan dan ketidak-berhasilan seorang sutradara ditelisik dari bagaimana cara ia menyulamnya dalam sebuah paket peristiwa panggung yang padu (unity). Dengan begitu, saya hendak mengatakan bahwa, tidak lebih mudah menggarap “teater anak” dibanding dengan “teater umum.” Malah boleh jadi, dari beberapa sisi, menjadi lebih rumit. Mulai pemilihan atau penulisan naskahnya, pemeranannya, sampai pada detil tata artistiknya, harus benar-benar “mewakili” dunia anak-anak. Si penggarap, yang biasanya orang dewasa, harus masuk tak hanya ke ruang fisiologis anak-anak, tapi juga psikologis dan sosiologisnya. Sebuah kerumitan, yang kadang, membuat artikulasi “bahasa ucap” anak (baik secara lingusitik maupun tematik) menjadi “aneh” diterima penonton. Agaknya, dalam konteks ini, kita boleh bersepakat dengan Putu Wijaya, seperti yang saya kutip dari esainya berjudul “Cerita Anak Sebagai Esai Moral” (1999) berikut ini: “saya tak setuju dengan mereka yang memakai bahasa anakanak untuk bicara dengan anak. Bahwa kita harus memakai bahasa yang lebih sederhana, ya. Tapi untuk membuat bahasa jadi kekanak-kanakan, saya ingin menentangnya.” Dan pada paragraf yang lain, Putu menulis begini, “saya tidak setuju dengan penjejalan moralitas yang berkelebihan dan kasar. Karena anak-anak tidak harus memulai sesuatu dengan

97


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

larangan-larangan yang membuatnya merasa di dalam penjara...” Artinya, melalui kutipan tulisan Putu tersebut, saya hendak lebih menegaskan bahwa, ketika berbicara ihwal “teater anak” maka sesungguhnya kita tidak sedang semata bicara tentang bagaimana teknis-teknis artistik digarap, atau bagaimana menata manajerial untuk “menjualnya” dan menghadirkan penonton sebanyak-banyaknya, akan tetapi juga bicara tentang sebuah “gerakan transformasi budaya.” Sebab, begitu menyebut anak-anak sebagai individuindividu penerus generasi masa depan, maka kita harus bicara tentang pembentukan kepribadian mereka, yang dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan. Sementara, dinamika masyarakat dan kebudayaan kita hari ini, dengan serbuan media culture dalam ruang globalisasi yang tak berbatas itu, membuat perubahan-perubahan (evolusi) sosial terjadi menjadi tidak linier (unlinier). Banyak kejutan-kejutan tak terduga, menyimpang, dengan kelokan-kelokan realitas yang tak menentu, simpang-siur. Dan Sanggar Keletah Budak, menurut saya, selain terus-menerus menggali kreativitas dan mengejar capaian estetis, juga memantapkan kesadaran ideologisnya. Sembari terus menyadari sepenuhnya bahwa mereka tengah berada pada gelombang pasang perubahan kebudayaan, lengkap dengan potensi dan tantangannya.*** SPN Marhalim Zaini, SSn, MA, pengamat seni dan dosen.

98


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Memperbincangkan Realisme dari Pentas Teater SKH Oleh Jefri al Malay MENGAPRESIASI sebuah karya seni, dipandang perlu dalam rangka menerima, menghargai melalui proses yang melibatkan rasa dan fikir. Apresiasi yang baik kiranya mampu membuahkan perbincangan begitu selesai sebuah karya itu dipergelarkan. Aktivitas menanggapi karya seni itu tentu saja kemudian bertitik tolak pada apa yang hendak ditawarkan sang kreator, menemukan ruang-ruang yang barangkali menarik untuk ditindaklanjuti atau pun nilai-nilai estetik yang terdapat di dalamnya. Dalam pementasan Serikat Kacamata Hitam (SKH) Produksi Teater Matan yang berlangsung dari tanggal 20-22 Februari 2014 di Anjung Seni Idrus Tintin, ada beberapa hal yang menurut hemat saya, menarik untuk diperbincangkan lebih jauh. Untuk sama-sama didedahkan terutama terkait dengan konsep teater realis yang ditawarkan Deni Afriadi selaku sutradara. Dalam hal ini, tentu saja sangat tidak bijak, jika sekiranya perbincangan ini berlandaskan kehendak (selera) saya selaku penonton dan penikmat teater karena

99


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

saya yakin bahwa dengan naskah yang serupa akan menjadi berbeda pula konsep dan bentuknya ketika disutradarai oleh orang lain. Teater realis sebagaimana yang dapat dipahami adalah sebagai aktivitas estetis dan dramatis yang mengacu pada realitas berupa ruang, waktu peristiwa, pelaku, benda-benda dan suasana yang kesemuanya saling mengikat dan menyatu. Dengan cara inilah barangkali, teater realis menghadirkan tafsir nilai atas kehidupan yang bisa diresapi dan dipahami oleh penonton. Artinya, seluruh kehadiran realitas di atas panggung itu bisa diacu atau dirujuk berdasarkan realitas yang ada dan hidup dalam masyarakat. Meski pun demikian, bukan berarti semua hal yang disajikan teater realis merupakan laporan atau tiruan langsung dari kenyataan. Sebab, di dalam teater realis berlangsung transformasi estetis atas berbagai realitas yang ada di dalam ranah kehidupan publik. Demikianlah caranya agar teater realis terhindar dari bahasa ungkap dan ucap yang klise. Dalam kaitannya dengan produksi teater Matan yang memilih naskah Serikat Kacamata Hitam karya Saini KM yang dibuat pada tahun 1978. Merujuk kepada tahun pembuatan naskah ini, kiranya dapat diduga penulis (Saini KM) mencoba memotret realitas yang terjadi pada waktu itu terkait dengan dominasi kekuasaan yang terjadi di sebuah sistem pemerintahan di negara Indonesia ini. Namun kemudian yang menjadi menarik menurut saya, dalam naskah SKH itu, digambarkan dominasi kekuasaan yang begitu menghimpit dan menyiksa rakyat, kemudian pada suatu waktu yang tak dapat ditebak, dominasi kekuasaan itu harus takluk dan hancur disebabkan oleh pemuda yang ada di desa di dalam cerita tersebut. Hal ini bila dikaitkan dengan realita yang pernah terjadi di negara kita ini, bahwa suatu ketika dulu tepatnya pada tahun 1998存sebuah kekuasaan

100


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

dengan sangat terpaksa harus “roboh” atau “jatuh berdebam” diakibatkan gejolak semangat perubahan yang diteriakkan dan disuarakan oleh seluruh mahasiswa (pemuda) yang ada di Indonesia. Dalam konteks ini, tidak berlebihan pula jika saya mengatakan terkadang karya seni pada suatu ketika, ia menjadi semacam ramalan untuk suatu masa ke depan yang tak dapat ditetapkan kapan terjadi layaknya naskah SKH tersebut. Di tangan Deni Afriadi selaku sutradara, naskah SKH dikemas ulang dalam pertunjukan teater yang berlangsung selama 3 malam itu. SKH menjadi sebuah cerita fiksi yang terjadi di sebuah kampung antah berantah yang bernama Desa Sungkur. Meskipun fiksi, latar belakang dari pertunjukan itu dapat dengan mudah kita tebak dari logat dialog beberapa pemain yang menggunakan bahasa Melayu. Di benak kita selaku penonton akan menyimpulkan bahwa kisah SKH versi Deni terjadi di negeri Melayu yang entah bila dan di mana. Merujuk kepada paparan saya di atas tadi terkait dengan teater realis, lalu pertanyaan yang muncul kemudian adalah, sejauh manakah penjajakan sutradara dalam mengemas SKH produksi teater Matan dengan konsep realisnya? Dalam konteks yang sama, manakah yang lebih realis jika dibandingkan dengan teater tradisi Riau, semisal bangsawan yang mengangkat kisah sejarah yang benar-benar terjadi masa dahulunya? Atau barangkali pertanyaan di atas dapat terjawab dengan apa yang pernah dipaparkan Bakdi Somanto bahwa masalah realisme dalam teater bukan sekadar “taken directly from actuality”, tetapi ada pengolahan kesadaran tentang hal yang besar hingga yang kecil dan mencoba “menyiasati” penggunaan dan pemanfaatan unsur-unsur dalam pentas— yang akan merangsang adanya refleksi terhadap kenyataan hidup yang getir, pahit, mencemaskan, penuh keputusasaan,

101


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

tetapi tidak juga membuat kita jera untuk hidup terus. (Bakdi Sumanto, 2001:292). Sehingga dengan demikian barangkali Deni bisa menampik pertanyaan itu dengan mengatakan yang utama dalam realisme teater bukanlah mempersoalkan seberapa tepat, cocok atau pas antara yang dilukiskan pada naskah lakon dan yang disajikan di atas pentas, tetapi lebih diutamakan bagaimana memahami, merumuskan, menghadirkan sesuatu yang dibayangkan sebagai realitas itu dan bagaimana menggunakannya untuk tujuan-tujuan tertentu. Entahlah. Barangkali juga inilah yang kemudian menurut saya perlu adanya perbincangan lebih intens dan mendalam sehingga ketika konsep teater realis dibentangkan khususnya di negeri Lancang Kuning ini, kesannya kita tidak “menerkamnya� secara bulat-bulat dari tempat asalnya yaitu Barat. Karena kita mengetahui, keberadaan reaslime Barat mengusung semangat yang jelas dan bahkan dapat disebutkan teater realisme merupakan anak kandung modernisme Barat. Ia merupakan bagian dari gerakan besar dalam sejarah seni di Barat yang mendobrak aliran romantisme serta sejalan dengan industrialisasi, individualisme. Demikianlah, jika ditelisik lebih jauh, naskah-naskah realis Barat, pastilah mengusung semangat tersebut. Sedangkan teater realisme di Indonesia, seperti yang pernah dicatat Bakdi Soemanto (2001), mencapai titik kulminasi ketika di Yogyakarta berdiri Asdrafi dan ATNI di Jakarta. Di kedua intitusi akademik itulah teater realisme dipelajari secara keilmuan. Teater realisme Indonesia berkembang dengan sumber keilmuan realisme Barat serta didukung oleh naskah-naskah terjemahan. Barulah kemudian kedatangan realisme dalam teater Indonesia yang mulai tampak titik terangnya dengan karya-karya Usmar Ismail seperti Api, Citra, Liburan Seniman dan lain-lain.

102


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Tapi saya kira di Riau, persoalannya tidak tuntas begitu saja. Disebabkan minimnya pelaku teater yang menulis naskah-naskah teater realis, akhirnya dalam setiap pementasan, harus juga melakukan penyaduran, proses adaptasi dari naskah-naskah yang notabene berasal dari tanah Jawa. Al hasil, seringkali kita temui masalah bahwa banyak hal spesifik dalam lakon, karakter, ketokohan, latar belakang, bahasa tubuh, ide cerita yang sebenarnya tidak sesuai dengan karakter ruang dan waktu di tanah Melayu ini. Samalah halnya, ketika kita menyaksikan pentas teater yang menggunakan naskah Barat kemudian dimainkan oleh orang Indonesia dengan bergaya seperti yang dipelajari atau diobservasi dari film-film Barat dengan logat dan pengucapan yang dikaku-kakukan. Seolah-olah yang tampak justru, lebih Barat dari orang Barat. Akibatnya kendati mencoba bermain realis di naskah realis Barat, tetap saja penonton di Indonesia atau Riau merasa tidak realis. Dengan demikian dapat pula saya katakan, teater realis di Riau itu tidak serta merta dapat dihadirkan ketika hanya cukup berbahasa Melayu, atau menggantikan nama tempat atau latar belakang kejadian, mengganti nama tokoh, kostum-kostum Melayu dan elemen lainnya tanpa memandang kaidah-kaidah yang lebih dalam dari unsur-unsur atau ide-ide dalam satu kesatuan hakikat teater realis itu sendiri. Yang mungkin kita lupa,sebuah kenyataan bahwa sesungguhnya di dalam teater tradisi yang tidak realis, justru masyarakat merasakan realita jati diri mereka. Riau punya banyak teater tradisi yang menurut saya merupakan kekuatan. ketika terjadi pertembungan dengan bentuk dan konsep teater modern atau realis, barangkali ianya akan mengalami transformasi menjadi bentuk yang baru pula. Sadar atau tidak sadar, jika diperhatikan, dalam lakon SKH produksi sanggar Matan dan sanggar teater

103


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

lainnya yang pernah pentas di Anjung Seni Idrus Tintin, ada beberapa hal yang menunjukkan “kemungkinan� itu. Kemungkinan di mana sebenarnya ada formula-formula baru yang bisa disusun yang barangkali bisa pula kita menyebutnya sebagai realisme Melayu. Terakhir dalam tulisan ini, saya hendak mengutarakan bahwa yang terpenting itu adalah berbuat dan berkarya. Karena setelah ada karya, barulah kemudian perbincangan akan terjadi, berharap dari perbincangan itulah kemudian ditemukan sesuatu yang kiranya bermanfaat pula bagi kita. Tulisan ini juga tidak bermaksud “berlebih-lebihan� atau sok teoritis tetapi saya berpikir ketika kita terkebat dalam ikatan kesepakatan bahwa seni saat ini tidak hanya cukup sebatas hobi akan tetapi ia telah menjadi disiplin ilmu yang patut dipelajari. Hal ini ditandai dengan berdirinya kampus seni dan jurusan seni di beberapa universitas yang ada di Riau, sehingga saya pikir, tidak ada salahnya kita memulainya dengan menganggap pentingnya apresiasi terhadap karya seni, berbincang dan kemudian menulis.*** Jefri al Malay adalah alumni Jurusan Teater Akademi Kesenian Melayu Riau. Saat ini melanjutkan studinya di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning.

104


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

“Buntut� Perda Provinsi Riau Nomor 9 Tahun 2013 Memerkarakan Keberpihakan Pemerintah terhadap Kesenian Oleh Aristofani Fahmi SERATUSAN seniman Riau yang tergabung dalam Forum Seniman Riau (Forser) menggugat Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 9 Tahun 2013 tentang Retribusi Fasilitas Pemerintah Provinsi Riau. Perda ini mengatur biaya yang mesti dikeluarkan bagi kalangan yang akan menggunakan fasilitas seperti Gedung Olah Seni, Taman Budaya Riau, dan Anjung Seni Idrus Tintin (ASIT). Pada lembaran lampiran Perda ini tertera beberapa poin, antara lain untuk seniman dikenakan retribusi sebesar Rp2,5 juta, mahasiswa Rp3,5 juta, dan umum sebesar Rp5 juta. Masingmasing kemudian ditambah Rp700 ribu untuk biaya operasional dan kebersihan. Perda ini dibahas dalam bincang-bincang Forum Seniman Riau di pelataran Purna MTQ (11 Februari 2014), dan saat dengar pendapat dengan komisi D DPRD Provinsi Riau (13 Februari 2014) yang juga

105


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

dihadiri oleh Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Said Syarifuddin. Forum Seniman Riau menuntut pencabutan Perda ini karena banyak kejanggalan dalam pelaksanaannya. Misalnya, dalam lampiran yang disodorkan oleh pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau terdapat kalimat yang rancu. Sebagaimana tertera bahwa, besaran retribusi berlaku untuk “setiap kegiatan” yang dilaksanakan di gedung ASIT. Kejanggalan pertama, di sebelah kalimat “setiap kegiatan”, ditambahkan dengan kata “setiap hari” dengan tulisan tangan. Setiap kegiatan dan setiap hari akan berbeda apabila kegiatan pertunjukan digelar lebih dari sehari. Kedua, biaya tambahan sebesar 600 ribu rupiah tidak tercantum dalam Perda ini, namun oleh pegawai dinas tersebut mengatakan biaya tersebut untuk operasional dan kebersihan gedung ASIT. Kejanggalan ketiga dialami oleh mahasiswa Sendratasik Universitas Islam Riau (UIR) yang menggelar ujian karya cipta di gedung ASIT selama 8 hari. Apabilah Perda ini diterapkan secara benar, maka mahasiswa UIR akan membayar retribusi sebesar Rp33.600.000. Setelah sempat mengkritisi redaksi “setiap kegiatan” dan “setiap hari”, maka panitia ujian UIR ini akhirnya membayar sebesar Rp7 juta saja, ditambah Rp600 ribu setiap hari untuk biaya kebersihan. Harga ini terpaut jauh dari yang jumlah seharusnya, sebab pegawai Dinas Perkraf tidak sanggup menjelaskan perbedaan redaksi Perda ini. Perihal pengalaman mahasiswa UIR ini, betul-betul menjadi bahan tertawaan Seniman Riau saat diskusi dan dengar pendapat dengan DPRD Riau. Retribusi yang diatur dalam Peraturan Daerah ternyata dapat potongan harga? Kejanggalan terakhir, petugas retribusi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan ini tidak memiliki kuitansi resmi. Forum

106


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Seniman Riau akhirnya menyimpulkan bahwa Perda ini dengan beragam nama, antara lain, “Perda Siluman”, “Perda Gelap”, dan “Perda Jadi-jadian”. Perda Ditangguhkan Setidaknya empat kali Forser mengadakan aksi semenjak memerkarakan Perda nomor 9 Tahun 2013 ini. Dimulai dari diskusi sederhana di Laman Bujang Mat Syam Pekanbaru, 11 Februari 2013 malam. Sebagai pembicara hadir seniman tari Iwan Irawan Permadi, mantan Ketua DPRD Provinsi Riau Chaidir MM, pelaku seni yang berasal dari kelompok/komunitas/aktivis seni di Pekanbaru. Kemudian dari diskusi ini tercapai kesepakatan terbentuknya Forum Seniman Riau sebagai wadah untuk mengawal tuntutan Seniman terhadap perda ini. Agenda utamanya adalah meminta penjelasan terhadap lahirnya perda ini serta menuntut pembentukan Badan Pengelola Anjung Seni Idrus Tintin kepada pihak terkait. Forser mengundang komisi D DPRD Provinsi Riau, Dinas Parekraf Riau, Dinas Pendapatan Daerah Riau untuk dengar pendapat mengenai hal ini. Namun yang memenuhi undangan Forser hanya komisi D DPRD dan Kepala Dinas Parekraf. Pada hari itu juga saat dengar pendapat di DPRD, Perda ini ditangguhkan, serta tanpa banyak pertimbangan seluruh tuntutan Seniman lainnya akan direalisasikan. Keputusan tersebut dijadikan keputusan dan ditandatangani bersama antara Forser, Dinas Parekraf, dan Komisi D DPRD Riau. Isinya adalah menangguhkan Perda nomor 9 Tahun 2013, tidak dipungut retribusi pada penggunaan ASIT, segera membentuk Badan Pengelola ASIT, serta melengkapi fasilitas ASIT seperti Genset dan pendingin udara. Yang menarik dari pertemuan ini beberapa seniman meminta Kepala Dinas Parekraf untuk memeriksa bawahan-

107


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

nya terkait pelaksanaan perda ini. ‘’Saya sarankan Bapak memeriksa bawahan Bapak karena banyaknya kejanggalan pungutan retribusi ini,’’ kata Teaterawan Hang Kafrawi. Selain retribusi yang mendapat potongan dan tanpa kuitansi resmi, kejanggalan yang dimaksud Hang Kafrawi juga berkaitan dengan kejadian yang dialami oleh Aamesa Aryana. Sebagai crew artistik tetap ASIT, Aamesa hanya dibayar Rp40 ribu perhari oleh petugas retribusi Dinas Parekraf. Padahal selama ini Aamesa dibayar minimal Rp500 ribu per hari, dan langsung diberikan oleh seniman yang memakai keahliannya. Namun sejak Perda ini berlaku, petugas retribusi mengambil alih pembayaran itu dengan jumlah yang tidak profesional. Menakar Selera Estetis Pemerintah Perhatikan kemegahan gedung Anjung Seni Idrus Tintin. Desain arsitektural gedung ini cukup indah, minimal menampilkan nilai arsitektural lokal Melayu. Megah dan membanggakan Pemerintah Daerah. Kebanggaan Pemerintah Provinsi Riau dapat kita lihat dari souvenir atau marchendise khas Riau, Gedung ASIT menjadi ikon penting dalam menjual identitas. Namun menurut Seniman tari Iwan Irawan gedung ini sangat jelek, mengecewakan, tidak representative sebagai gedung pertunjukan. Kualitas papan panggung tidak menggunakan papan dengan kualitas standar untuk pertunjukan. Ruang dari bibir panggung belakang tidak cocok dengan ukuran semestinya. Selain itu ukuran bottom panggung salah yang mengakibatkan bunyi dari luar bocor masuk ke dalam panggung. Pemaparan Iwan Irawan tersebut terjadi karena blue print ASIT berbeda dengan pelaksanaan. Blue print awal ASIT, dibuat oleh almarhum Rudjito, skenografer terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini. Menurut Iwan Irawan, sket ASIT yang biayanya senilai Rp50 miliar buatan Rudjito itu

108


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

bahkan jauh lebih baik dibandingkan sket Grand Theater di Taman Ismail Marzuki di Jakarta yang juga buatannya. Perubahan konsep gedung ASIT ini terjadi saat konsultasi konsep yang melibatkan tokoh adat Melayu yang menginginkan unsur lokalnya yang lebih dikedepankan. Melihat arsitektural Grand Theater TIM Jakarta memang menggunakan desain modern-futuristik. Masukan dari tokoh adat Melayu sebetulnya tidak menjadi masalah asalkan unsur inti atau fungsi utama dari keberadaan gedung ini tidak berubah. Dari hal ini kita dapat mendeteksi selera estetik Pemerintah tertuju pada fisik/kulit saja. Belum menyentuh pada penghayatan. Pada dialog budaya di Radio Republik Indonesia Riau, Kepala Taman Budaya Riau, OK Pulsiamitra mengatakan, Februari Badan Pengelola ASIT sudah akan bekerja. Namun sampai hari ini belum ada tanda-tandanya. Marhalim Zaini (Baca Riau Pos, 23 Februari 2014) mengenai perlunya pembentukan Badan Pengelola ASIT adalah usul solutif untuk persoalan ini. Tidak usah banyak pikir, undang seluruh stake holder, termasuk seniman, untuk segera membentuk Badan Pengelola itu. Perhatikan juga patung Zapin. Tugu ini terletak di depan kantor Gubernur Riau, titik nol kota Pekanbaru. Saat awal dibuka, berbagai komentar berbagai kalangan bermunculan. Komentar yang paling “menyentuh� adalah, patung ini lebih terlihat seperti patung kekerasan terhadap wanita. Beberapa minggu lalu saya melihat aktifitas perbaikan instalasi listrik di bundaran tugu Zapin. Besoknya saya melihat kabel listrik terbentang di leher di patung penari Zapin perempuan. Saat itu saya kembali teringat anekdot teman-teman saya itu. Memang betul, patung itu patung kekerasan terhadap perempuan: plus dibelenggu. Pengamatan saya terhadap detail patung zapin memang

109


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

ada beberapa hal yang melenceng dari nilai budaya Melayu. Misalnya tangan penari zapin tidak boleh lebih tinggi dari pundak. Selain itu rambut perempuan Melayu hanya boleh tergerai di hadapan suami. Hal ini menjadi materi wajib untuk siswa-siswi Sekolah Menengah Pertama di Riau pada pelajaran budaya Melayu. Namun berbeda yang kita lihat di patung Zapin ini. Dapat dikatakan bahwa pembuat patung ini tidak memahami nilai budaya Melayu. Selain itu, Pemerintah sebagai pemegang kebijakan yang membentangkan kabel di leher patung, ini pelecehan, setidaknya terhadap nilai estetika yang biayanya sekitar konon mencapai Rp3 miliar itu. Selera estetika seseorang, minimal dapat dideteksi dari seni apa yang ditontonnya, atau seberapa besar perhatiannya terhadap nilai keindahan karya seni. Untuk Pemerintah dapat dideteksi dari kebijakannya dalam pembangunan. Selera seni perorangan tentu berbeda dengan institusi seperti Pemerintah. Penikmat seni itu individual dan kolektif, selera seni itu subjektif dan objektif. Namun kebutuhan penghayatan terhadap karya, Pemerintah harus Subjektif. Subjektivitas berdasarkan kaidah yang berlaku dalam dunia Seni. Tentu Pemerintah Riau tidak mau dikatakan Perda nomor 9 Tahun 2013 adalah produk yang mewakili selera estetikanya. Sebab Perda itu dinilai Forser tidak lebih sebagai aksi ‘palak’. Memerkarakan Keberpihakan Perkara keberpihakan ini muncul dari Chaidir MM saat diskusi di Laman Bujang Mat Syam. Chaidir mengatakan bahwa perkara Perda nomor 9 Yahun 2013 ini merupakan hal kecil. Permasalahan yang lebih mendasar dalam hal ini adalah keberpihakan Pemerintah terhadap kesenian. Dikatakan Chaidir, dengan percaya diri Riau menyebut diri sebagai pusat budaya melayu. Bahkan diwujudkan dalam visi

110


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Provinsi Riau yang pada tahun 2020 harus terwujud sebagai pusat budaya melayu di Asia Tenggara. ‘’Hal ini (Perda no 9 Tahun 2013, red) merupakan efek sakit dari sakit sistemik dalam tubuh yang dialami Provinsi ini,’’ ujar Chaidir. Perda nomor 9 2013 ini seperti halnya dengan sakit kepala yang dengan obat dari apotik dapat segera sembuh. Terbukti, aksi FORSER dalam jangka satu aksi, Perda ini langsung ditangguhkan. Namun bagaimana dengan penyakit yang bernama absennya keberpihakan? Ini sejenis tumor ganas. Terjadinya tersistem. Akar masalahnya harus dibuang. Untuk mengatasinya mesti dengan operasi pembedahan yang dilakukan oleh pihak yang tepat. Ketika dikonfirmasi ke Kepala Dinas Parekraf, Said Syarifuddin menolak anggapan bahwa Pemerintah tidak berpihak pada pengembangan Seni Budaya. Pemerintah selama ini belum mewujudkan program Dinas Parekraf secara menyeluruh. ‘’Selalu saja ada yang hilang dari program yang diajukan oleh Dinas,’’ kata Said Syarifuddin usai diskusi di kantor DPRD Riau. Said kemudian menuding bahwa selama Dinas Parekraf belum berdiri sendiri maka kesulitan mewujudkan program-program akan selalu ada. ‘’Dana untuk seni budaya hanya 0.39 %, sementara Dinas Pendidikan mencapai 20 %, ini tidak adil,’’ tambah Said. Dari persoalan-persoalan ini, Visi Riau 2020 menjelma menjadi kecemasan akut. Provinsi Riau sendiri memiliki tanggung jawab sejarah, dan hal ini menjadi agenda besar yang mesti dikerjakan bersama-sama oleh seluruh stake holder. Selama ini kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Riau tidak memperlihatkan sikap pro terhadap keberlangsungan seni budaya yang mengarah terwujudnya visi tersebut. Budayawan Al azhar pada diskusi di ASIT tanggal 19 Februari 2013 saat kunjungan anggota DPRD Riau menga-

111


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

takan bahwa, ‘’Perda ini lahir sebagai bukti bahwa Pemerintah tidak paham persoalan kesenian di daerah ini,’’ kata Al azhar dalam menyampaikan pendapatnya. Kurang paham terhadap persoalan ini menjadi juga menjadi akar sehingga Pemerintah dibingungkan oleh kondisi sadar atau tidak sadar, apakah kebijakannya sudah berpihak atau belum. Pada tahun 1964 DN Aidit menjadi motor revolusi Indonesia. Terutama dalam bidang kebudayaan DN Aidit selalu melontarkan slogan khas sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan Pemerintah. Misalnya, ‘’kapitalis birokrat’’ sampai ‘’tuan tanah birokrat’’, mulai ‘’salah urus’’ sampai ‘’salah duduk’’, mulai ‘’setan desa’’ sampai ‘’setan dunia’’ (DN Aidit: 1964). Agaknya slogan setengah abad lalu tersebut masih (kembali) relevan melihat gaya pemerintahan yang diterapkan bangsa ini, hari ini.*** Aristofani Fahmi adalah musisi dan penonton kesenian. Bermastautin di Kota Bertuah Pekanbaru, Riau.

112


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Gawat Darurat Anjung Seni Idrus Tintin Oleh Marhalim Zaini SALAH satu gedung megah menjulang yang termasyhur di Kota Pekanbaru, adalah Anjung Seni Idrus Tintin. Termasyhur, terlebih karena, tampak secara fisik, memang mencuri fokus: megah menjulang di lokasi strategis, dalam komplek Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandarserai yang belakangan mesti dipertanyakan apakah benar di sini art center itu?) Maka, banyak orang menjadikannya sebagai ikon fisik. Mulai dari berfoto-foto di situ sebagai latar (fisik), sampai jadi ilustrasi berbagai brosur pariwisata dan budaya Melayu Riau. Dan, orang-orang Riau pun- termasuk senimannyatentu saja merasa bangga, punya sebuah gedung kesenian yang megah menjulang (secara fisik) itu. Sebab, susah kita temukan di daerah lain, luar Riau, yang punya gedung kesenian semegah itu. Sebagai sebuah ikon (fisik) kebudayaan Melayu, gedung Anjung Seni Idrus Tintin (berikutnya disingkat ASIT), setakat ini, (seolah) memang telah berhasil menjadi salah satu representasi simbolis dari sebuah semangat kolektif untuk

113


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

membangun pemahaman bersama ihwal kebudayaan Melayu yang ‘’besar’’ itu, sebagai the great tradition itu. Arsitektural ala Melayu yang melekat pada gedung ASIT, tengah memproduksi sekaligus mengkonstruksi, terusmenerus, makna historis, yang seolah stabil itu kepada publiksetidaknya demikian kaum strukturalisme-esensialis memandang. Maka, dengan begitu, kemegahan dan kebesaran itu seolah dapat terus-menerus secara stabil melekat pada sebuah gedung bernama ASIT itu. Selama fisik gedung itu masih tampak tegak berdiri oleh mata telanjang dari frame yang selalu fotografis, dari perspektif zoom-out maka orang pun seolah dituntun untuk percaya bahwa kemegahan ‘’identitas kultural’’ itu masih tetap kokoh. Setakat berhenti pada gedung ASIT sebagai penanda dari sebuah petanda (sebagaimana Saussure) dari kebesaran kebudayaan Melayu, memanglah seolah-olah kerja kita sudah selesai. Tersebab menganggapnya telah selesai itulah, maka gedung ASIT itu sejak berdiri sampai sekarang seolah ‘’terbiar’’. Terbiar, karena, tampak gagah-megah di luar, di dalam masih centang-perenang. Saya, menandai pemakaian secara non-resmi gedung ini, sejak kami (bersama kawankawan seniman Riau) mementaskan pertunjukan kolosal bertajuk Opera Melayu Tun Teja, 29-31 Agustus 2007. Dengan agak ‘’memaksa’’ memang, karena tak sabar, pada saat itu kami memilih gedung ASIT yang belum memiliki pendingin ruangan, beberapa lantai panggung bahkan belum terpasang dengan sempurna, bangku penonton, lighting, dan beberapa peralatan teknis lainnya yang belum sepenuhnya siap pakai. Tentu, hal ini membuat biaya pertunjukan justru cukup banyak terserap oleh keperluan teknis non-artistik. Kami berharap, sesungguhnya, pementasan kami itu

114


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

dapat setidaknya memberi motivasi (atau desakan) tersendiri bagi pemerintah provinsi Riau untuk menggesa penyempurnaan pembangunan gedung tersebut. Alhasil, rupanya, sampai kini, setelah lebih kurang 6-7 tahun setelah itu, gedung ASIT masih belum ‘’sempurna’’. Masalah-masalah teknis yang kami alami dulu, masih juga dialami oleh para seniman yang menggelar pertunjukan. Ketiadaaan atau ketidakjelasan badan pengelola gedung ini, membuat salah satu kendala terbesar kenapa gedung ini menjadi seolah (semakin) terbiar. Akan tetapi, semangat seniman yang tinggi, tak menyurutkan niat mereka untuk tetap menggelar pertunjukan di situ. Selama bertahun-tahun itu, tiap kali akan pentas, mereka menyewa AC, menyewa genset, membayar petugas kebersihan, membayar petugas lighting, dan lainlain. Sudah pasti, biaya justru kian membengkak. Semua orang di dunia ini tahu, bahwa tak ada kelompokkelompok kesenian yang betul-betul dapat ‘’menghidupi’’ dirinya sendiri tanpa ‘’asupan’’ dari pihak-pihak lain.Tak usahlah berharap pada tiket. Teater Koma saja, yang punya penonton tetap, dengan harga tiket ratusan ribu rupiah, masih perlu support sponsorship dari mana-mana. Kenyataannya, uang tiket, tak pernah bisa menutupi biaya produksi sebuah pementasan teater. Kenyataan yang centang-perenang ini, membuat kita dapat berkesimpulan bahwa kita baru bisa membangun fisik, memoles yang tampak di luaran sebagai citraan-citraan belaka, tapi masih abai membangun spiritualitasnya, abai pada pengelolaan manajerialnya, abai pada bagaimana membangun ‘’kemegahan isi’’-nya. Maka, dalam konteks ini, kita semua jadi sepakat dengan kaum strukturalisme yang selalu yakin bahwa antara bentuk dan isi, luaran dan dalaman, harus ada keseimbangan. Kalau

115


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

tidak, maka ia rumpang, ia pincang. Saya kira, ketidakseimbangan semacam itu pula kiranya, yang kini, sedang tampak dalam pola-pola pembangunan kita. Cara berpikir para pengelola negeri ini, yang cenderung pragmatis, membuat mereka lebih mengutamakan kemasan dan citraaan, dibanding isi. Kegemaran kita sepertinya selalu menciptakan rayuanrayuan, (yang menurut Baudrillard, 1990) beroperasi melalui pengosongan tanda-tanda dari pesan dan makna, sehingga yang tersisa adalah semata penampakan. Wajah merayu gedung ASIT yang megah dan menjulang itu adalah makeup, adalah artifisial, yang kosong makna. Jadi, tujuannya jelas, bukan pesan atau makna itu benar yang hendak disampaikan oleh kemegahan gedung ASIT, akan tetapi keterpesonaannya. Maka hasilnya, orang lebih senang berfoto-foto di luaran, tapi enggan menonton pertunjukan yang disajikan di dalamnya. Pentingnya Badan Pengelola Kunci utama dari persoalan ini, adalah tidak adanya badan pengelola gedung ASIT, sehingga pengabaian demi pengabaian terus berlarut. Pengabaian yang tidak semata pada tak kunjung sempurnanya kelengakapan gedung, juga tampak pada perawatannya. Di sana-sini gedung mulai nampak kerusakan-kerusakan. Tentu, belum lagi soal-soal ‘’sosial’’ yang lebih luas, yang sejak awal berdirinya sampai kini, di sekitar gedung yang semak samun kerap terjadi kriminalitas, pun prilaku mesum. Ditambah pula, tepat di sebelah gedung konon akan dibangun mal, yang kini tampak terbengkalai pengerjaannyaentah apa pula hubungannya keberadaan mal ini kelak dengan art center itu. Saya kira, kalau tahu akan jadi begini gedung pertunjukan ini di kemudian hari, tentu almarhum Idrus Tintin tak rela

116


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

namanya ditabalkan untuk gedung ini. Maka, kini, apapun alasannya yang membuat badan pengelola tak kunjung dibentuk, adalah menjadi tidak penting. Sebab, selain hal ini hanya akan menunjukkan lemahnya kinerja pejabat pemerintah terkait, sekaligus rendahnya perhatian/pengetahuan/wawasan/visi mereka terhadap kesenian, terhadap kebudayaan. Meski sudah begitu elok visi Riau 2020 yang dicanangkan itu, tapi implementasinya terseret-seret dalam berbagai kepentingan. Agaknya kita memang pandai berencana, tapi tak pandai mengeksekusinya. Belakangan, belum lagi dikukuhkan badan pengelola, yang juga menurut kabar angin sudah mulai disusun strukturnya, sekonyong-konyong muncul Peraturan Daerah terkait restribusi gedung ASIT, dan sejumlah gedung di Pekanbaru. Inilah sebab-musabab kenapa para seniman kemudian meradang, demonstrasi. Sudahlah selama ini, gedung ASIT ini ‘’dihidupkan’’ oleh para seniman yang berkarya di situ, dengan bersusah payah mencari dana sendiri, ‘’mengemis’’ ke sana kemari, membangun infrastruktur kesenian Riau dengan jerih sendiri, kini ditambah pula harus membayar sekian juta setiap kali akan pentas. Dari sini, tampak jelas bagi kita, bahwa pemerintah tidak sedang bersungguhsungguh sepenuh hati ‘’mengerti’’ tentang pentingnya kesenian itu. Saya kuatir, jangan-jangan yang dianggap sebagai kerja pengelolaan gedung ASIT adalah dengan menetapkan biaya restribusi itutanpa secara serius melihat bagaimana kondisi sesungguhnya gedung ASIT dan bagaimana kondisi penggunanya (si senimannya). Jika benar, model berpikir pragmatis semacam ini, maka demikianlah pula kiranya cara kerja logika pasar dalam narasi besar kapitalisme sudah kian merasuk dalam ruang-ruang pengelolaan negara. Maka, saya

117


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

semakin kuatir, andai konsep-konsep Marx misalnya, soal pertentangan kelas dalam proses produksi komoditi kapitalisme yang disebut sebagai fetitisme komoditi itu, sedang menunjukkan pembenarannya. Bahwa ada kontrol negara -yang dalam hal ini sekaligus mendudukkan posisinya sebagai pemilik modal- yang menciptakan jarak antara kelas (pemilik gedung) dengan kelas pekerja (seni) melalui pertukaran ‘’ekonomi’’. Tentu, saya tidak sedang menafikan, bahwa boleh dikata gedung-gedung kesenian di Indonesia ini memungut retribusi. Tetapi, penting dicatat, dengan angka nominal tertentu, gedung yang dipungut retribusinya itu, siap pakai. Pengguna, tidak lagi berurusan dengan sewa-menyewa. Pengelolaan gedung profesional, dengan tim work yang siap bertugas. Ini kalau memakai logika bisnis: hubungan konsumen dan produsen. Namun pertanyaannya kemudian, khusus dalam konteks gedung ASIT, bagaimanakah niat awal gedung ini didirikan? Apakah juga akan ‘’dibisniskan’’ Apakah pemerintah akan memposisikan diri sebagai produsen, dan pekerja seni adalah konsumen? Saya kira, tidak demikian, bukan? Setahu saya, niat awal ‘’kita’’ (seniman, pemerintah, lembaga-lembaga kesenian, dll) adalah hendak membangun dan menggerakkan kesenian Riau secara bersama-sama, tanpa menyembunyikan konflik kelas ala Marx, melalui pertentangan-pertentangan. Karena konsepnya begitu, maka masing-masing mengambil peran dan posisi yang saling melengkapi. Maka, di sinilah pentingnya badan pengelola. Sebagaimana layaknya gedung kesenian di berbagai daerah di Indonesia dan (saya kira juga di luar negeri), badan pengelola tidak serta-merta diserahkan mutlak pada pemerintah melalui dinas terkait, terutama karena pada kenyataannya

118


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

sebagian besar pegawainya bukan berlatar belakang senibudaya. Akan tetapi, badan pengelola adalah kolaborasi dari berbagai elemen terkait, yang terdiri dari pengelola teknis dan non-teknis. Teknis, tentu yang berurusan dengan menejerial-administratif, peralatan/perlengkapan gedung, dan lain sebagainya. Sementara pengelona non-teknis -yang sesungguhnya kerap diabaikan- adalah para kurator seni. Peran dan tugas manajemen dan kurator seni jelas adalah mengelola agendaagenda pertunjukan seni yang terprogram dengan baik, selama setahun. Terprogram artinya, pertunjukanpertunjukan yang digelar di ASIT adalah hasil kurasi, yang telah disiapkan sedemikian rupa. Tidak insidental dan terkesan spontanitas. Dan alangkah baiknya, program-program itu disinergikan dengan program Dewan Kesenian Riau, agar tidak tumpah tindih. Satu program, yang saya kira diimpikan oleh para seniman adalah, badan pengelola boleh jadi bekerja sama dengan Dewan Kesenian Riau, atau stakeholder lainnya, menyediakan dana bantuan produksi untuk para seniman atau kelompok seniman yang akan berkarya (dalam berbagai genre seni). Pemberian dana ini bersifat kompetitif. Seniman atau kelompok seniman diberi peluang yang sama untuk mengajukan (semacam) proposal pertunjukan seni/pameran seni, berisi di antaranya konsep pertunjukan/pameran seni. Konsep ini harus diuji (dengan berbagai metode) oleh kurator seni yang telah ditunjuk. Yang lolos, mereka berhak pentas di ASIT gratis dengan segala fasilitasnya, ditambah dana produksi, dibantu publikasinya, masuk dalam buku program ASIT untuk setahun. Saya kira, program semacam ini tidak semata akan membangkitkan gairah para seniman untuk berkarya, tetapi juga dapat menyaring/menyeleksi karya-karya yang memang

119


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

telah siap untuk ditonton oleh publik. Dengan begitu, gedung ASIT akan ‘’naik kelas’’, sebagai gedung seni yang berwibawa, yang menampilkan karya-karya terpilih. Apalagi kalau misalnya, para kurator juga (diwajibkan) menulis review atau ulasan, terkait karya seni yang disajikan itu, yang dipublikasan di media massa, selain juga tulisan kenapa karya itu yang ‘’dipilih’’ untuk tahun itu. Tentu, banyak hal yang bisa dilakukan selain gagasan kecil saya ini. Yang pasti, gedung ASIT adalah laman ‘’berkarya’’ para seniman Riau. Jangan abaikan dan jangan biarkan ia tengengah-engah terus-menerus dalam kondisi gawat darurat...*** Marhalim Zaini seniman, Direktur Riaunology Institute

120


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Buku-buku yang Lahir di Penjara Oleh Abd. Basid LAHIRNYA sebuah buku tidak lepas dari reaksi intelektual penulisnya. Menjadi menarik perhatian ketika buku itu lahir setelah mereka rela mengorbankan segalanya -termasuk fisiknya- demi ideologi intelektualnya yang kemudian dituangkannya lewat karya sebuah buku. Kembali pada sejarah, tidak jarang dari ulama-ulama dan tokoh-tokoh terdahulu rela di penjara demi mempertahankan sebuah ideologi. Sebut saja, seperti Ibnu Taimiyah (w. 1328) yang lebih memilih masuk penjara hingga tujuh kali demi mempertahankan ideologinya. Bisa kita lihat dalam sejarah, bagaimana Ibnu Taimiyah lebih memilih penjara ketika harus memilih antara tiga (diasingkan ke Iskandariyah, kembali ke Damaskus, dan di penjara) sebagai hukuman dari penguasa karena ia sering mengkritik perilaku sufi dan berseberangan dengan penguasa Kairo waktu itu. Ibnu Taimiyah lebih memilih di penjara ketimbang harus keluar dari Kairo, karena dengan di penjara ia tetap bisa berkarya dan menuntut kezaliman penguasa Kairo. Berbeda

121


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

ketika harus keluar dari Kairo, di mana ia tidak bisa lagi mengetahui keadaan Kairo sehingga tidak bisa menyuarakan kebenaran dan keadilan, di mana hal itu merupakan ‘’pembunuhan’’ intelektual. Ratusan karya yang Ibnu Taimiyah tulis sebagian lahir dari penjara. Karya terkenalnya Majmu -Fatawa, yang masih beredar hingga kini- adalah salah satunya yang (sebagian besar) ditulis di dalam penjara. Sama dengan Ibnu Taimiyah, Sayyid Quthub (w. 1966) dua kali di penjarakan oleh rezim Gamal Abdel Nasser karena dianggap berseberangan dengan penguasa. Kitabnya Fi Dzilalil Quran yang sebagian besar ditulis di penjara nyaris tidak bisa rampung karena selain harus di kerangkeng ia harus menerima siksaan fisik. Namun, berkat jasa penerbit Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah akhirnya Tafsir fi Dzilalil Qur’an bisa selesai, meski akhirnya Sayyid Quthub harus mengakhiri hidupnya di tiang gantungan. Juga Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, di mana buku otobiografinya, Long Walk to Freedom, ditulis dan bermula dari dalam penjara dan kemudian dilanjutkan beberapa bulan setelah bebas dan langsung jadi best seller di seluruh dunia (Jawa Pos, 7 Desember 2013). Di Vietnam ada Nguyen Sinh Cung, di mana ia terus menulis, meski harus meringkuk di penjara. Beberapa kali ia harus masuk penjara karena perjuangannya memerdekakan Vietnam dari penjajahan Prancis dan pendudukan Jepang sejak 1931. Namun, dia merasa punya banyak kesempatan untuk terus menyerang. Lewat karya puisi ia menyentil sekutunya, hingga di kemudian hari ia memimpin Vietnam Utara sebagai perdana menteri dan presiden. Di Jerman pada 1925 Adolf Hitler menerbitkan bukunya yang berjudul Mein Kamph, di mana buku ini lahir di penjara Landsberg Prison, Jerman. Dalam konteks Indonesia, bisa dilihat pada sosok dua

122


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

proklamator bangsa ini; Bung Karno dan Bung Hatta. Pada 1929, ketika Bung Karno dijebloskan ke penjara Bandung sekitar 8 bulan, ia ternyata menyusun pledoi yang sangat terkenal dan kemudian diberi nama ‘’Indonesia Menggugat’’, di mana buku ini akhirnya mampu membakar spirit bangsa Indonesia untuk segera bebas dari penjajahan. Bung Hatta, saat ditahan penguasa Belanda pada 1927, ia membela dirinya dengan sebuah karya yang berjudul Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka) yang disidangkan pada 22/03/1928 di pengadilan Den Haag. Setelah Indonesia merdeka Mochtar Lubis menjadi sejarah baru. Di saat Soekarno berkuasa, dia yang turut mendirikan kantor Berita ANTARA dan memimpin harian Indonesia Raya dijebloskan ke penjara hampir sembilan tahun dan baru dibebaskan pada 1966. Pemikiran jurnalis yang juga salah satu pendiri majalah sastra Horison ini, selama di penjara kemudian dituangkan dalam buku Catatan Subversif. Pada masa itu juga, pada tahun 60-an, HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) ditahan rezim Orde Lama karena dituduh berkhianat terhadap Tanah Air. Sekitar dua tahun di penjara HAMKA berhasil menyelesaikan karya monumentalnya Tafsir Al-Azhar. Fenomena ulama dan tokoh di atas cukup menjadi bukti akan kekuatan buku dalam mempertahankan sebuah ideologi dan pemikiran. Disadari atau tidak, buku mampu mengabadikan ideologi dan pemikiran seseorang. Bahkan penjara pun tidak bisa ‘’membunuhnya’’. Seperti yang disinggung lewat femomena para ulama dan tokoh di atas, buku dan tahanan bisa bersandingan dan lahir buku-buku baru. Ketika seperti itu, buku tidak sekedar tumpukan kertas sebagai penghilang suntuk dan bahkan ada yang menjadikannya bantal. Tapi

123


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

buku bagi mereka sebagai pilihan untuk terus memerluas cakrawala pengetahuan sekalipun raganya di balik jeruji besi. Lebih dari itu, sesungguhnya mereka menuangkan ideologi dan pikiran-pikiran meski di penjara untuk menjelajahi dan membuktikan eksistensinya, juga eksistensi orang lain di sekitarnya. Seakan hendak membuktikan bahwa semangat kemanusiaan sama sekali tidak bisa diremukkan, sekalipun dalam kondisi terburuk. Berbeda dengan fenomena di Indonesia masa kini, di mana belum ada ceritanya tahanan yang melahirkan karya buku. Berapa waktu lalu diberitakan ada seorang Doktor Ilmu Politik dan juga mantan menteri yang ditahan karena tersandung kasus Hambalang membawa buku ke dalam tahanan. Namun akankah itu untuk menyusun pledoi seperti Bung Karno dan Bung Hatta atau hanya sebagai pengusir suntuk atau mungkin hanya sebagai bantal an sich. Kita lihat saja nanti.*** Abd. Basid mahasiswa Magister UIN Sunan Ampel Surabaya.

124


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

70 Tahun UU Hamidy Penarah Ruh Kebudayaan Melayu Oleh Muhammad Sangap Siregar DI LINTASAN jagad budaya Melayu, siapa yang tidak kenal UU Hamidy? Dari lebih kurang 57 buah deretan karya otentik kajian ilmiah kemelayuan yang diretas selama lebih kurang 40 tahun, kiranya dunia telah layak mengapresiasi UU Hamidy sebagai salah seorang rujukan internasional tentang kajian kemelayuan di planet ini. Beliau adalah salah seorang begawan pelaku sejarah ternama yang masih hidup aspirasi nurani batinnya di tengah terpaan derasnya badai hedonis kepura-puraan dalam arus politik kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Hingga di usia purna bakti sekali pun,UU Hamidymasih tetap produktif mendulang karya emasnya, di lintasan medan karya pilihannya yakni kajian tentang budaya Melayu. Inilahdunia nurani batin dan zahir lingkungan sosio-spirit alam negerinya sendiri, di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Beliau adalah sosok pribadi brilian dalam bidang kepakarannya. Dunia Melayu dan segala nuansanya dengan sorot bidik siasah, Islam dan sastra telah menjadi rampai kajian perhatian

125


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

khususnya yang terlihat sebati dengan nadi karya-karyanya. Alam, bumi, manusia dan segala yang bersangkut paut dengannya telah menjadi terawangan fikirnya sejak sedari dulu masih belia, di bangku kuliah. Masa pengabdian mengajar dan sepanjang usia produktifnya telah ia tumpahkan sepenuh hati demi ketinggian Islam sebagai jalan keselamatan hidup abadi. Budaya Melayu sebagai sorot kajian beliau, telah dianggap sebagai laras tamadun tinggi yang telah pernah membumi di jagad mayapada. Islam sebagai cara hidup menyeluruh,telah melebur diri dalam segala tatanan percaturan hidup atas kinerja ulama dan umarayang bersatu padu demi tegaknya kebenaran dan keadilan sebagai pilar kesejahteraan manusia di bumi. Dan mereka telah terbukti berhasil menyebatikanIslam ke segala aspek kehidupan yang berkait berkelindan bagai aur dengan tebing, sehingga dunia pun mengakui bahwa Melayu yang pada dasarnya sebagai salah satu etnik telah disebut identik dengan Islam dan sebaliknya. Karena apa? Karena upaya penyebatian yang telah dibuat oleh para ulama dan umara tempo dulu dalam menggagas kehidupan itu supaya menepati dan menetapi jalan keselamatan itu, yakni Islam sebagai cara hidup yang kaffah. Gerak upaya pengejawantahan itu terungkap indah dengan bahasa ‘’adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendi kitabullah’’. Pak UU dengan penguasaan aspek kebahasaan yang mendalam telah menjadikan beliau sebagai insan yang dialektis, menuntut kejeniusan penguasaannya atas hampir semua lapisan atmosfer ilmu-ilmu sosial telah menjadi jelajah intelektualnya. Sehingga setiap ihwal yang menyangkut dinamika kehidupan Melayu bahkan seluruh hakikat yang berkaitan dengan manusia atas hidup dan matinya, bahagia dan sengsaranya, selamat dan celakanya telah menjadi sorot perhatiannya.

126


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Inilah yang menjadi putik kajian ilmunya yang telah menggejala, tumbuh mengakar terus dijiwanya. Apapun ihwal kehidupan di lapangan, nyata dengan teropong sudut pandang spritual Melayu, telah menjadi sasaran tangkap kajiannya untuk diulas dan ditimbang kaji dengan neraca Islam. Yang notabene tentunya nur Alquran dan nur hadis Nabi telah menjadi laser pembeda di jiwanya, untuk membedah segala aspek kehidupan itu sendiri, bagaimana supaya lebih bermakna. Nuansa kehidupan Melayu dan segala fenomena budayanya telah dirangkum dalam teropong cakrawala pikirnya. Dinamika dan pergerakan, pergeseran dan perubahan nilai, telah menjadi perhatian yang terus dikritisinya. Biar zaman beralih musim bertukar, namun jangkar Islam tidak akan berubah sebagai tatanan nilai yang fleksibel yang harus diikuti. Transformasi budaya yang kita bangun bukan mengikut rentak dunia dan perubahannya, tetapi dinamika dan dialektika progresif yang akan kita bina adalah sarat nilai dengan kebermaknaan, kemanfaatan, keselamatan dan kesejahteraan yang diridhai oleh-Nya. Hal sedemikan telah menjadi darah daging keilmuannya dan ciri khas keunikan dirinya yang bisa kita lihat dalam nafas karyakarya UU Hamidy. Beliau adalah seorang teknokrat lintasan hidup yang piawai, yang barangkali bisa ditularkan kepada setiap generasi. Beliau mengajarkan agar setiap kita —insan ciptaan Tuhan— yang telah diberi talenta istimewa, potensi diri dengan keunikan dan kekhasannya, dapat menemukan keunikan potensi titipanitu. Kenali, asah dan asuh potensi itu sehingga tajam, lalu berbuatlah meretas karya otentik diri, ketamadunan warisan terbesar bagi peradaban masa depan kemanusiaan. Bak kata hikmah arif bijaksana: ‘’siapa kenal diri maka ia akan kenal Tuhannya, siapa kenal Tuhannya

127


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

maka dia akan tahu jalan fitrahnya, siapa tahu jalan fitrahnya, maka tahulah dia akan hakikat dirinya, kenallah ia akan identitas kepribadiannya’’. Bangsa yang tahu akan jati dirinya adalah bangsa yang berbudaya, bangsa yang beradab dan beradat, yang hidup dengan norma aturan martabat kemanusiaannya. Dialah yang faham akan aturan ghalib nizam hidupnya. Insan tamadun pengayom bumi hamba Allah, khalifah alam. Manusia hakiki yang turun dari surga dan insya Allah akan kembali ke surga kelak mengikut azali ketentuan-Nya. Sastrawan kawakan Ajip Rosidi di harian Republika terbitan Ahad, 17 November 2013 dalam tulisannya yang bertajuk ‘’70 Tahun UU Hamidy’’ menyebutkan bahwa UU Hamidy-lah yang telah menjawab berbagai pertanyaan yang dalam ‘’polemik tahun 1960'’ tidak sampai terjawab. Lebih dari setengah abad yang lalu, yaitu pada tahun 1960, terjadi semacam ‘’polemik’’ tentang kapan lahirnya sastra (dalam bahasa) Indonesia. Sebab sampai pada waktu itu, para penelaah sastra Indonesia dan para penulis buku pelajaran tentang sastra Indonesia seakan tidak menganggap penting hal itu. Tetapi —seperti ditulis oleh Ajip Rosidi— baru pada tahun 1981, terbit buku Riau sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu karya UU Hamidy terbitan Bumi Pustaka Pekanbaru. Meskipun tidak secara langsung menyinggung ‘’polemik’’ pada tahun 1960 mengenai hubungan antara sastra Melayu klasik dengan sastra Indonesia modern, penelitian yang dilakukan oleh UU Hamidy dalam buku itu telah menjawab berbagai pertanyaan yang tidak sampai terjawab. Di samping menggambarkan kehidupan bahasa dan sastra Melayu —bahkan budaya secara luas— yang selama ini hampir tidak diketahui oleh masyarakat kita umumnya sehingga memberikan pemandangan yang baru. UU Hamidy adalahsosok pribadi yang dengan bakat seni

128


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

kesusastraannya telah mampu dan berani mendeklarasikan kepolosan dan ketelanjangan jiwanya yang merdeka dalam mengungkapkan segala aspirasi, gagasan, pemikiran dan argumen-argumennya tentang segala ihwal hidup dan kehidupan bangsanya. Atas dasar kecintaan, kebenaran dan kejujuran serta pengabdian dan ketulusan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan kebenaran hakiki yang diyakininya adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh oleh semua pihak yang menginginkan kejayaan abadi. Apalagi dalam ihwal alam merdeka dan membangun diera reformasi dan otonomi ini. Beliau telah tampil sebagai pemirsa yang adil dan objektif. Sebagai insan sastra yang merdeka dengan nuansa karya murni dari pengamatan intelek, kajian ilmiah, kritikus kehidupan politis dengan neraca timbangan kebenaran, yang tiada kepentingan kecuali untuk kebenaran itu sendiri, yang menjadi kerinduan fitrah hidup manusia. Beliau adalah model insan super kreatif yang telah berjaya menemukan lintasan jalan hidupnya, serta tunggangan kuda takdirnya. Beliau memahami dirinya sejak dini, sehingga dengan itu pula beliau lebih cepat dan sigap mengambil keputusan bertindak untuk melahirkan karya dan abdinya yang dipersembahkan semata karena Allah,sebagai medan dakwah dan sarana amal baktinya yang rindu pada rahmat ridha Allah menjadi pinta harapan terindahnya. Maka menjadilah napas kajian-kajiannya sedemikian rupa, terus berlangsung tak pernah kering walau di musim kemarau dan ketandusan nurani kemanusiaan sekalipun, beliau tetap menyampaikan yang haq dalam kepahaman ilmunya. Andai bersilang keris dileher, sekalipun kiranya yang haq dan benar itu akan disampaikannya jua dalam torehan tinta emas penanya yang akan terus mengucur bagai mata air dari aliran nuansa qalbunya. Tataran zahir kajiannya adalah bentanganalambudaya

129


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Melayu, ruh dan nafasnya adalah Islam. Semua gagasan kajian beliau bermuara pada menghidupkan jiwa dan kepribadian manusia. Karena beliau yakin, energi dan kekuatan serta kebesaran tamadun Melayu adalah berkat aliran nilai-nilai Islam yang telah mengakar disetiap jiwa umat dan mewujud nyata dalam setiap amal perbuatan mereka. Dan itulah sesungguhnya yang menyebabkan Melayu itu bermartabat dan bertamadun tempo dulu. Makanya beliau faham bahwamerekonstruksi kembali budaya Melayu pada masa depan,hanya akan berhasil apabila ruh Islam bisamendarah daging dalam dinamika kehidupan umat dewasa ini. Membumikan Islam disetiap jiwa umat adalah satu kemestian bagi membangun masyarakat Melayu yang madani. Tanpa itu, Visi Riau 2020 hanya tinggal harapan, misi kinerja tak akan wujud. Mengambil potret simbolik budaya zahir saja seperti pakaian, bumbung rumah dan bentuk bangunan hanya memperindah tampilan fisik belaka, tapi tanpa ruh geliat kebesaran. Maka perlu digarisbawahi, hampir seluruh kajian dan karya Pak UU adalah upaya keras untuk menarah serta menghidupkan ruh dan nafas kuasa batin energikehidupan Melayu yang sangat penting bagi menata kehidupan masa depan tamadun bangsa menuju kejayaan dan kegemilangan abadi. Wallahu alam.*** Muhammad Sangap Siregar dosen luar biasa Prodi BK FKIP Universitas Riau. Alumni pascasarjana Psikologi Konseling Universiti Kebangsaan Malaysia

130


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Perang Riau sebagai Titik Tolak Hari Jadi Kota Tanjungpinang Oleh Eddy Mawuntu dan Rida K Liamsi P ERTAMA -tama haruslah diakui bahwa pada panel diskusi mencari hari jadi atau hari lahirnya Kota Tanjungpinang, kita memang menghadapi berbagai keterbatasan. Baik keterbatasan waktu, keterbatasan sumber sejarah yang diperlukan, maupun keterbatasan para peserta yang berkecimpung dalam disiplin ilmu sejarah. Padahal, untuk mencari hari lahirnya sebuah kota seperti Tanjungpinang ini, berarti kita harus bertolak jauh ke masa lalu. Barangkali puluhan, dan mungkin ratusan tahun, pada saat Tanjungpinang mulai disebut, atau mulai memegang peranan atau mulai di bangun. Dalam teori sejarah, upaya mencari suatu kepastian peristiwa di masa lalu itu, dikenal sebagai bagian dari disiplin ilmu sejarah yang terikat oleh berbagai ketentuan dan acuan. Selain dari pada itu, khususnya untuk masalah keterbatasan sumber rujukan, baik sumber kepustakaan, maupun narasumber lainnya di daerah ini selalu merupakan hambatan yang tidak kecil. Sekalipun Riau pada masa cemerlangnya

131


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Kesultanan Riau Lingga dahulu (1722-1911) mempunyai tradisi penciptaan berbagai karya tulis, seperti karya sastra sejarah, budaya dan agama, namun dalam masa seabad kemudian semua khazanah budaya itu sudah amat sulit ditemukan. Beberapa hasil karya yang kemudian berhasil diselamatkan, yang sekarang sudah di inventarisasikan serta diperbanyak (terutama dengan melakukan kerja alih aksara) maka keterangan-keterangan yang kita peroleh masih jauh dari mencukupi. Masih banyak yang harus digali atau yang tetap jadi teka-teki. Banyak yang harus dikaji dan diteliti lagi, bahkan jauh sampai ke negeri Belanda atau ke negeri lainnya, yang justru lebih banyak menyimpan hasil-hasil karya daerah ini. Maka itu, pendekatan kepustakaan saja memang tidak cukup untuk meneropong tentang peristiwa dan latar belakang lahirnya sebuah kota seperti Tanjungpinang ini. Perlu berbagai pendekatan lain, seperti pendekatan demografis, sosial ekonomi dan politik serta sosial budaya. Meskipun dengan itu semua belum tentu satu hasil maksimal bisa dicapai. Sebagai contoh dapat ditunjuk upaya mencari hari jadi Kota Padang, ibu kota Sumatera Barat, ternyata mereka memerlukan waktu tak kurang dari 12 tahun untuk mencapai titik final, dan baru sekitar Februari 1986 lalu menemukan satu tarikh yang tepat yang dapat diajukan ke DPRD mereka untuk disahkan. Padahal, siapapun tahu, di negeri itu bukan saja terdapat banyak sejarawan yang andal, juga mereka telah berhasil menyelamatkan sumber-sumber sejarah negeri mereka. Dari contoh tersebut, jelaslah bahwa upaya menetapkan hari jadi sebuah kota itu, suatu kerja yang memang tidak mudah. Selain memerlukan satu kerja yang cermat dalam mengumpulkan fakta-fakta sejarah, juga diperlukan berbagai pendekatan lain yang justru sering merupakan faktor penentu dalam menilai setiap peristiwa sejarah. Di antaranya adalah

132


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

faktor nasionalisme, heroisme, patriotisme dan lainnya dan tidak semata-mata bersandar pada fakta sejarah saja. Walaupun demikian, tidak berarti kita harus berkecil hati dan kendur semangat. Sepanjang apa yang kita perbuat itu memenuhi persyaratan dan dapat dipertanggung jawabkan, kenapa hal itu tidak kita lakukan? Budayawan Sudjatmoko sendiri sudah menegaskan: ‘’Ilmu Sejarah adalah satu ilmu yang paling terbuka bagi para amatir, bagi para pencinta sejarah. Gedung ilmu sejarah yang telah dibina dan dimiliki oleh umat manusia sekarang, untuk sebagian penting, diwujudkan oleh orang-orang yang bukan ahli sejarah, melainkan hanya pencinta sejarah’’. Dan kita, dan termasuklah tulisan ini, justru sedang melakukan hal demikian, dengan sedaya kita. Dalam makalah Hamzah Junus berjudul, ‘’Lahirnya Kota Tanjungpinang’’, tampak Hamzah sudah mencoba menghimpun sebanyak mungkin fakta-fakta sejarah dan informasi-informasi sepanjang yang berhasil dipantaunya, sebagai kerangka untuk menjadi titik tolak bagi menetapkan satu tarikh yang tentang kapan agaknya Tanjungpinang itu lahir dan apa peristiwa yang melatarinya. Untuk sampai pada beberapa alternatif momentum yang bisa dipakai, Hamzah melakukan sejumlah pendekatan. Antara lain pendekatan kepustakaan, pemukiman, administratif dan sedikit latar belakang sosial ekonominya. Dari pendekatan tersebut kemudian Hamzah menawarkan beberapa pilihan yang cukup menarik. Antara lain: Pertama, bahwa nama Tanjungpinang dan tempat yang dianggap sebagai Tanjungpinang itu, sebenarnya sudah ada sejak tahun 1673, bersamaan dengan dibangunnya Negeri Riau di hulu Sungai Riau Carang atau sekitar tanggal 27 September 1673. Ini menurut pendekatan pemukiman. Sedangkan menurut pendekatan kepustakaan, nama Tanjungpinang

133


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

justru baru muncul sekitar tahun 1722, pada saat terjadinya perang perebutan kekuasaan antara Sultan Sulaiman (pendiri Riau) dengan Raja Kecil. Kedua, sementara dalam pendekatan adiministratif, Tanjungpinang lebih tegas muncul setelah meletusnya perang Riau-Belanda (1782-1784). Ini ditandai dengan adanya perjanjian 10 November 1784 antara Riau dengan Belanda (VOC) di mana Belanda dikatakan memperoleh sepotong tanah di Tanjungpinang. Kejadian ini kemudian dilanjutkan dengan ditempatkan Residen Belanda pertama di Tanjungpinang, 19 Juni 1785. Memang, terhadap beberapa alternatif itu, Hamzah mengakui sulit untuk segera membuat pilihan, mana yang paling mendekati dan paling mungkin dijadikan titik tolak. Dalam hal Tanjungpinang sebagai tempat pemukiman yang muncul sebelum meletusnya perang Riau misalnya, diakui bahwa kawasan pemukiman itu tidaklah amat teratur dan terbentuk dalam satu sistem komunitas sebuah kampung atau kota. Kawasan pemukiman itu merupakan tempat yang selalu ditinggalkan, tergantung pada situasi pada waktu itu. Baik oleh berbagai sebab sosial, maupun sebab-sebab politik. Baru setelah selesai perang Riau, Tanjungpinang dikatakan mengarah sebagai satu pemukiman yang ditata dan dibangun sebagaimana mestinya, terutama oleh pemerintah kolonial Belanda (VOC). Untuk itulah, sekalipun Hamzah cukup yakin bahwa di antara alternatif yang dikemukakannya itu ada yang boleh dipakai sebagai titik tolak untuk menentukan satu tarikh yang tepat, namun Hamzah tak menolak berbagai kemungkinan lain, yang tentunya tidak semata-mata bersandar pada beberapa pendekatan yang ia kemukakan. Mungkin oleh pertimbangan etis, nilai-nilai kultur, semangat kepahlawanan, dan lainnya yang bisa dijadikan landasan, untuk menetapkan hari jadi sebuah kota.

134


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Contoh yang menarik soal penetapan hari jadi Kota Jakarta. Sebagaimana kita ketahui, bahwa berdasarkan catatan-catatan sejarah yang ada, maka kuat fakta bahwa yang membangun Jakarta itulah Gubernur Jenderal VOC Jan Pieter Coen, 30 Mei 1619. Tetapi pemerintah daerah Jakarta sendiri justru memilih peristiwa Pangeran Fatahillah merebut Sunda Kelapa dari tangan kerajaan Pejajaran dan menghancurkan armada Portugis di sana, lalu kemudian membangun satu perkampungan bernama Jayakarta, pada 22 Juni 1572, sebagai hari jadi Jakarta. Tampaknya momentum keperkasaan Fatahillah menghancurkan armada Portugis yang dipimpin oleh Fransisco de Sa, merupakan peristiwa historis yang lebih tepat diangkat sebagai titik tolak, ketimbang kenyataan sejarah bahwa Batavia atau Betawi yang berbentuk sebuah kota justru dibangun oleh VOC melalui tangan JP Coen. Peristiwa yang berlatar nasionalisme dan patriotisme itu juga yang tampaknya menjiwai penetapan hari jadi Kota Padang yang diputuskan jatuh pada 7 Agustus 1669, meskipun ada tanggal lain yang juga cukup kuat fakta sejarahnya, yaitu 30 April 1666. Pilihan pada 7 Agustus 1669 itu menurut panitia dan juga beberapa sejarawannya, antara lain Dr Taufik Abdullah, adalah karena tanggal tersebut lebih memperlihatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia di sana. Semangat persatuan dan kesatuan ini tercermin pada saat rakyat Pauh menyerang dan menghancurkan loji/ benteng Belanda di Muara Padang. Sedangkan peristiwa 30 April 1666, sekalipun juga terjadi pertempuran antara rakyat dengan Belanda yang dikenal dengan nama Perang Lubuk Lintah, tetapi dinilai kurang patriotis dan passif, karena yang melakukan penyerangan justru Belanda dan bukan inisiatif rakyat di sana. Walaupun dari peristiwa itu masih ditemukan cukup bukti, berupa meriam-meriam kuno, kubu-kubu dan

135


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

makam para pahlawan Perang Lubuk Lintah tersebut. Sudah tentu masih banyak daerah lain di Indonesia yang memilih pendekatan dan latar belakang historis yang demikian itu sebagai momentum menetapkan hari jadi kotakota penting mereka. Suatu pilihan yang memang lebih mengutamakan rasa kebangsaan dan kepribadian bangsa itu sendiri. Sebab bagaimanapun, kata sementara para ahli, sejarah, suatu bangga memang cenderung subjektif. Dan fokus subjektivitas suatu bangsa, seperti dikatakan oleh budayawan Sudjatmoko, adalah kepribadian nasionalnya. Dan kepribadian nasional itu tak lain adalah sumber dari rasa dirinya, dari harga diri bangsa itu. Pilihan yang demikian itu, bukanlah pula sikap ingin memungkiri dan memalsukan sejarah. Sebab pilihan itu dilakukan berdasarkan fakta-fakta sejarah yang ada. Hanya, kita dihadapkan kepada sikap dalam menentukan pilihan, manakah yang sebenarnya lebih mencerminkan kepribadian serta kesadaran sejarah kita. ‘’Kesadaran sejarah mampu untuk membebaskan manusia dan bangsa itu dari pada cengkeraman determinisme sejarah,’’ demikian tegas Sudjatmoko. Bertolak dari dasar pemikiran yang demikian itulah, dalam kerangka mencari titik tolak hari jadi Tanjungpinang yang kita cintai ini patut kita pertanyakan: Tidakkah kita perlu mencontoh keputusan beberapa daerah lain itu dalam menetapkan hari jadi kotanya, dan apakah kita punya landasan dan fakta sejarah yang demikian itu untuk dijadikan momentum menetapkan hari jadi Tanjungpinang? Tentu saja ada, sebab masyarakat daerah ini bukanlah masyarakat yang pasif dan selalu menyerah kalah terhadap segala tekanan dari luar. Bangsa Maritim selalu hidup penuh dinamika dan semangat patriotisme yang tak pernah padam. Itulah yang ingin coba kita temukan sekarang ini.

136


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Dari berbagai fakta sejarah dan informasi-informasi yang sudah diketengahkan oleh Hamzah Yunus, kepada kita sebetulnya sudah juga disajikan beberapa fakta yang dapat dijadikan momentum yang berlatar belakang heroisme dan patriotisme yang mencerminkan semangat persatuan dan kesatuan itu. Hanya saja informasi dan fakta oleh Hamzah belum dijuruskan kepada satu pilihan yang paling mendekati. Untuk itu kita perlu melakukan berbagai telah yang lebih terarah pada konsep tersebut. Kota Tanjungpinang lahir bersamaan dengan dibangunnya negeri Riau, di hulu Sungai Carang. Ini berarti antara tahun 1673 sampai dengan 1722, saat berdirinya Kota Ulu Riau yang didirikan oleh Laksamana Johor Tun Abduljamil atas perintah Sultan Johor, Ibrahimsyah. Kota Tanjungpinang lahir bersamaan dengan berdirinya Kesultanan Riau, dan ini berarti antara tahun 1722 sampai meletusnya perang Riau, 1782. Kota Tanjungpinang lahir ditengah berkecemuknya perang Riau yaitu antara tahun 1782 sampai tahun 1784. Kota Tanjungpinang lahir sesudah perang Riau, sejak orang Belanda mendapat hak untuk mendirikan loji dan menempatkan residen (wakil pemerintah) mereka di Tanjungpinnag berdasarkan perjanjian dengan Sultan Riau. Ini berarti sejak tahun 1784 sampai akhirnya Kesultanan Riau runtuh. Dari beberapa kemungkinan itu, kita melihat beberapa hal yang bisa disimpulkan: (1). Bahwa Tanjungpinang sudah muncul bersamaan dengan dibangunnya negeri Riau, barangkali memang ada faka-fakta yang mendukungnya. Setidaknya bahwa pada waktu itu nama Tanjungpinnag sudah dikenal, walaupun menurut kepustakaan nama itu baru muncul tahun 1722. Tetapi apakah adanya sebuah nama, sudah berarti disana ada satu pusat pemukiman yang sudah berfungsi, setidak-tidaknya menjalankan peran sosialnya.

137


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Apakah tidak mungkin nama Tanjungpinang ketika itu, hanya sebuah nama untuk menandai suatu tempat bagi beberapa keperluan. Seperti untuk persinggahan mengambil air, titik navigasi bagi kapal-kapal yang akan memasuki sungai Riau, atau keperluan lainnya yang belum bersifat pemukiman. Barangkali hanya sebuah dua rumah yang belum mencerminkan pengertian komunitas. Ini berbeda misalnya dengan sebutan kampung Bugis, Kampung Bulang, atau Kampung Melayu. Tanjungpinang, seperti juga pengertian tanjung-tanjung yang lain, lebih menunjukkan pada bentuk topografi suatu wilayah. Barangkali kalau kita membicarakan asal usul nama Tanjungpinang, agak lebih mendekati. Setidaknya satu pengertian adanya sebuah tempat yang berupa sebuah tanjung dan di sana tumbuh banyak pohon pinang, dan para musafir menyebut tempat itu sebagai Tanjungpinang. Tetapi tetap sulit untuk menandai peristiwa itu sebagai petunjuk lahirnya satu tempat atau sebuah pemukiman. Jika kita telaah sumber sejarah, baik itu sumber kepustakaan maupun sumber informasi lainnya, maka sampai saat meletusnya perang Riau 1782, peranan dan kedudukan Tanjungpinang itu memang sangat kurang jelas dan kabur. Timbul tenggelam, dan dianggap sangat kurang menentukan bisa dikemukakan beberapa contoh: 1. Di dalam buku Tuhfat Annafis, karya klasik sejarah yang setakat ini masih merupakan salah satu sumber kesejarahan yang utama yang merekam berbagai peristiwa semenjak berdirinya kerajaan Johor, sampai pemakzulan Sultan Riau Mahmud Muzaffarsyah, sekitar tahun 1858, tampaknya Tanjungpinang belum begitu mendapat perhatian. Kedudukannya kalah penting dengan Kampung Bugis yang menjadi kencah pertempuran antara Sultan Sulaiman melawan Raja Kecik. Atau peran kampung Bulang,

138


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Tanjung Unggat dan Pulau Bayan. Pulau Bayan misalnya, selain sudah disebut-sebut sebagai salah satu pelabuhan tempat berlabuh berbagai armada gadang dari luar Riau, juga sempat dijadikan tempat kediaman Yang dipertuan Muda (YDM) Riau ke-5, yaitu Raja Ali (1784-1806). 2. Satu contoh lain, adalah ketika Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (Sultan Riau I) terlibat dalam konflik politik antara orang-orang Melayu yang dipimpin oleh Tun Dalam (menantu Sulaiman) dengan orang-orang Bugis dipimpin YDM ke-3 Daeng Kambodja. Akibat konflik itu, Daeng Kambodja sempat menyingkir ke Selangor dan meninggalkan Riau. Sehingga Sultan Sulaiman terpaksa membuat perjanjian kerja sama dengan Belanda untuk saling menjaga. Untuk itu beberapa puluh serdadu Belanda ditempatkan di Riau, yaitu di Pulau Bayan. Ini menunjukkan, sekalipun kedudukan Tanjungpinang sangat strategis, tetapi ketika itu, tahun 1758, masih dinggap belum penting dan tidak merupakan pilihan Belanda yang biasanya bijak mencari tempat berpijak. 3. Dari beberapa cataran lain, memang pernah dikatakan bahwa Tengku Muda Muhammad , anak Temenggung Abdul Jamal, yang pernah menjadi Yang dipertuan Muda dari pihak Melayu (1795-1803), pernah menetap di Tanjungpinang setelah diperintah pindah oleh Sultan Riau-Lingga, Mahmudsyah III, dari Pulau Bulang. Tetapi kejadian itu pastilah terjadi setelah Belanda membangun lojinya yang pertama di Tanjungpinang, atau setelah 1787, setelah perpindahan orang-orang Riau ke Lingga, Pahang dan Terengganu. Mereka kembali ke Riau, setelah terjadi perdamaian dan Riau menjadi negeri berdaulat setelah Inggris dan Belanda 1795 sama-sama mengembalikan Riau ke tangan Sultan. Melalui pendekatan kepustakaan, kedudukan dan fungsi Tanjungpinang memang baru agak jelas mulai tahun 1782, ketika meletusnya perang Riau. Sebagaimana diketahui

139


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

setelah terjadi perselisihan yang tajam antara Belanda di Malaka dengan Raja Haji, Yang dipertuan Muda RIau ke-4 (1777-1784) akibat skandal candu dikapal ‘’Betsy’’, maka sekembali dari Malaka Raja Haji langsung memerintahkan agar dibangun beberapa kubu pertahanan Pulau Bayan (Kubu Utama), Penyengat, Tanjungpinnag dan Teluk Keriting. Di situ ditempatkan beberapa orang Panglima, seperti Panglima Encik Sumpok dan Encik Kubu. Perang Riau itu meletus penghujung Juni 1782. Tetapi pembangunan kubu di Tanjungpinang dan Teluk Keriting itupun sulit dijadikan titik pangkal mulai dibukanya Tanjungpinang sebagai sebuah pemukiman, karena pembangunan sebuah kubu lebih bersifat insidentil untuk keperluan suatu ketika, dan akan ditinggalkan bila perang selesai, atau kubu itu dianggap tidak penting lagi. Namun jelas, sejak peristiwa itu, Tanjungpinang mulai punya arti dan menjadi salah satu tempat menentukan sejarah Riau seterusnya. Perang Riau itu sendiri berlangsung di wilayah Riau selama lebih kurang 8 bulan dan baru berhenti setelah ekspedisi Belanda mengalami kekalahan berat dan terpaksa mengundurkan diri ke Melaka. Perang itu kemudian berlanjut di Tanjung Palas dan Teluk Ketapang (Melaka) dan baru berakhir 18 Juni 1784, setelah Raja Haji gugur di sana. Tetapi dari rekonstruksi perang Riau itu, ada satu peristiwa penting di mana Tanjungpinang terlibat, yaitu pertempuran sengit antara pasukan Riau dan tentara Belanda yang berhasil mendarat di pantai Kampung Jawa sekarang untuk merebut kubu di Tanjungpinang. Dari catatan-catatan yang masih terbatas dan perlu dilakukan berbagai rujukan lanjutan, diperoleh informasi bahwa pertempuran itu terjadi sekitar tanggal 6 Januari 1784, ketika sejumlah pasukan Belanda berhasil mendarat dan merebut salah satu bukit di Tanjungpinang dan bersiap mengadakan serangan. Tetapi

140


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

ketika itu pasukan Riau yang bertahan di bentengnya di Teluk Keriting berhasil menghantam kapal Malaka Walvaren, kapal komando tentara Belanda, sehingga meledak dan menewaskan sekitar 300 serdadu Belanda termasuk pimpinan ekspedisi waktu itu Hakim Alnold Lemker. Keberhasilan pasukan Riau menghancurkan Malaka Walvaren itu membangkitkan semangat pasukan Riau yang bertahan di kubu Tanjungpinang. Dengan bantuan pasukan baru dari Pulau Bayan dan Penyengat, mereka menggempur pasukan tersebut Belanda itu hingga kucar-kacir, dan mundur dengan meninggalkan sejumlah korban. Itulah salah satu puncak perang Riau dan titik kemenangan yang diperoleh oleh Raja Haji. Kemenangan ini bukan menunjukkan kehebatan Raja Haji sebagai panglima perang, tetapi juga telah menyelamatkan Kerajaan Riau dari cengkeraman penjajahan. Memang, perlu ada riset dan penelitian ulang tentang peristiwa tersebut. Sebab, seperti saat peledakan kapal komando Malakas Walvaren itu sendiri masih terdapat pertelingkahan waktunya. Hamzah sendiri mencatat 4 Maret 1784 berarti ada selisih beberapa bulan. Namun dari fakta-fakta sejarah ini ada satu hal yang boleh dipakai sebagai pegangan. Bahwa di Tanjungpinang telah terjadi satu peristiwa heroik yang patut dibanggakan dan kemudian menjadi jejak awal dari penubuhan Tanjungpinang sebagai sebuah kota. Setidaknya, setelah Tanjungpinang diselamatkan, kemudian sebagai kubu terus dipertahankan dan disempurnakan, karena terbukti sangat strategis dan menentukan. Belanda pun kemudian, setelah memenangkan perang Riau 1784 memilih Tanjungpinang sebagai basis penempatan loji dan kemudian pusat keresidenan mereka. Dari rekonstruksi sejarah tersebut memang tidak begitu gampang untuk menunjuk ke satu kesimpulan bahwa itulah

141


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

tanggal yang paling patut dipakai sebagai hari lahir Tanjungpinang. Namun, sebagaimana judul makalah banding ini, maka perang Riau tersebut dapat dipakai sebagai titik tolak untuk menetapkan hari jadi Tanjungpinang. Tahun-tahun pertempuran sengit itulah yang dengan jelas menunjukkan peranan dan kedudukan Tanjungpinang. Sekalipun sebagai sebuah kota yang layak, baru setelah berada dalam kekuasaan Belanda baru diwujudkan. Belanda sendiri sebenarnya baru mulai membangun Tanjungpinang sebagai basis kekuasaan mereka, sekitar tahun 1790, dengan mendirikan benteng dan pangkalan armada di sana. Sebelumnya, terdapat beberapa pertelingkahan informasi. Menurut sementara catatan sejarah, tempat yang dijadikan loji pertama Belanda dengan Residen David Ruhde, 18 Juni 1785 (menurut catatan lain 19 Juni 1785) adalah di Pulau Bayan, sebuah bangunan rumah atap daun. Tempat ini sudah ada sejak zaman Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, yang menempatkan beberapa puluh serdadu Belanda di sana. Pada awal timbulnya sengketa antara Raja Haji dengan Belanda. Di situ ada seorang wakil pemerintah Belanda yaitu Gerald Pangal, orang yang pertama menerima laporan Raja Haji dalam kasus kapal Betsy. Loji itulah yang kemudian diserang dan dihancurkan oleh sejumlah lanun-lanun asal Tempasok yang diminta bantu oleh Sultan Mahmud menghajar residen Belanda David Rudhe yang dianggap terlalu lancang dan suka mencampuri urusan Kerajaan Riau. Karena itulah peristiwa penghancuran loji Belanda tersebut yang terjadi 13 Mei 1787 itu, sulit dimasukkan sebagai momentum untuk menetapkan hari jadi Tanjungpinang. Kecuali misalnya, memang terdapat kepastian lain bahwa memang loji pertama ini dibangun di Tanjungpinang, dan bukan di Pulau Bayan. Tetapi kehadiran Belanda mulai 1787 di Tanjungpinang

142


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

tidak cukup lama. Tahun 1795 mereka kembali angkat kaki, setelah Riau diambil oleh Inggris dan kedaulatan Riau dikembalikan. Ini akibat dari meletusnya revolusi Prancis, di mana jajahan Belanda diambil alih oleh Inggris baru, setelah ada perjanjian Wina 1815 Belanda kembali, dan masuk ke Riau tahun 1818 dan mengadakan perjanjian baru dengan Sultan Riau Abdurrahman. Tahun 1820, melalui satu perjanjian dengan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga Raja Djaafar, YDM Riau keVI (1806-1832), Belanda berhasil memperoleh satu kawasan di Tanjungpinang sebagai tukar ganti. Belanda memperoleh tanah, sedangkan Raja Djafaar dibebaskan dari hutang perangnya sebesar 13.708 rupiah, dan setiap bulan kemudian Belanda membayar sewa sejumlah 4.000 rupiah. Itu terjadi sekitar 5 April 1820. Dari ketika itu Kota Tanjungpinang mulai diasaskan. Dan pada bagian tanah yang diambil Belanda itu termasuklah pusat pertahanan tentara Riau dahulu dan kubu-kubunya, yang sekarang disebut Bukit Benteng dan Tanjung Buntung. Kawasan itu kemudian dikenal dengan istilah ‘’Kota Belanda’’, di mana hukum Sultan tidak berlaku di sana. Kesimpulan Demikian beberapa fakta dan informasi yang barangkali bisa digunakan untuk membuat panel diskusi ini bisa menghasilkan sesuatu yang lebih berarti dan bisa dipegang. Dari pada sekadar asumsi-asumsi yang tidak sangat tegas. Mengingat keterbatasan rujukan dan sumber informasi yang akurat, maka memang sebagai tindak lanjut panel diskusi ini harus ada media lain atau forum yang lebih luas untuk mengkajinya sehingga menjadi satu keputusan yang boleh dipertanggung jawabkan dari segala disiplin ilmu yang menghendakinya. Barangkali satu simposium, atau bahkan

143


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

satu seminar yang kelak bukan cuma membicarakan soal kapan hari jadi Tanjungpinang, tetapi juga sejarah perkembangan kota ini, sejak ia ditubuhkan sampai zaman pembangunan ini. Barangkali sesudah panel diskusi ini, bolehlah dibentuk satu tim atau panitia pengumpul segala fakta dan informasi tentang sejarah perkembangan kota Tanjungpinang, sebelum semua dokumen dan sumber informasi yang berharga itu lenyap dan sulit diperoleh kembali.*** Tulisan ini menjadi sumber utama menetapkan hari jadi Kota Tanjungpinang, 6 Januari 1784. Proses dan tahapan menetapkan hari jadi itu ada dalam buku Tanjungpinang, Kota Bestari yang ditulis oleh Rida K Liamsi, dan diterbitkan Lembaga Sosial Seni Budaya (LSSB) Tanjungpinang, 1987. Eddy Mawuntu dan Rida K Liamsi, budayawan

144


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

Kekuasaan Puisi Takluk dalam Koran Oleh Budi Hatees KITA selalu menemukan puisi muncul di dalam koran, menjadi bagian dari penerbitan koran. Memang hanya koran tertentu yang menyiarkan puisi, itu pun cuma sehari dalam sepekan. Cuma hari Ahad. Sapardi Djoko Damono menandai hal itu sebagai kelahiran sastra modern kita, meskipun kita tak memahami betul makna kata “modern” yang disandingkan dengan kata “sastra”. Sebab sastra modern kita, muncul bersamaan dengan tradisi media sejak lama. Tetapi bagi Marhalim Zaini, hubungan puisi dengan koran lebih dari cukup untuk menulis esai “Kekuasaan Puisi, Kekuasaan Media”, disiarkan di media ini pada Ahad, 20 Oktober 2013. Di dalam esai pendek itu, ia sampai pada sebuah simpul: “puisi dan koran memiliki hubungan yang erat karena keduanya sama-sama memiliki “kekuasaannya” masing-masing untuk saling memainkan peran dan fungsinya masing-masing”. Simpul inilah yang hendak saya bicarakan karena ia memakai konsep “kekuasaan”, meminjam Michel Foucault yang dominan bicara tentang wacana. Tapi jika yang dibica-

145


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

rakan adalah wacana, berarti bukan kekuasaan koran yang harus disandingkan dengan kekuasaan puisi, tetapi kekuasaan berita. Koran adalah medium, sedangkan puisi adalah isi dari medium itu, sama seperti berita, iklan, dan lain sebagainya yang kita temukan di dalam koran. Sebab itu, dalam membicarakan tentang hubungan kekuasaan koran dengan kekuasaan puisi, kita harus mengubahnya menjadi pembicaraan tentang hubungan kekuasaan puisi dengan kekuasaan berita. Keduanya sama-sama wacana, dan mustahil setiap kekuasaan itu akan memainkan peran dan fungsinya masing-masing tanpa saling mempengaruhi. Apalagi bila pembicaraan lebih difokuskan pada kedudukan puisi di dalam koran. Puisi adalah isi dari koran, sama seperti berita . Tapi, di dalam koran, puisi tidak sedominan berita. Puisi hanya muncul sekali dalam sepekan, hanya ada dalam satu halaman khusus. Sedangkan berita muncul setiap hari dan mendominasi sebagai isi koran. Sebab itu, mustahil kekuasaan puisi akan yang mendominasi. Tapi kekuasaan berita sangat pasti mendominasi puisi. Kita sangat paham bahwa kekuasaan di mana pun di dunia ini, pada hakikatnya memiliki daya yang dasyat untuk menghegemonisasi guna melemahkan kekuasaan lain yang ada di sekitarnya. Kekuasaan cenderung tidak ingin berbagi, tetapi ingin menjadi pemain tunggal (one man show). Sifat kekuasaan itu cenderung untuk mengedepankan totalitas, berbagi akan berarti detotalitas. Maka, kita akan sampai pada konsep kekuasaan a la Gramsci yang memandang koran sebagai salah satu instrumen penguasa untuk menancapkan hagemoni kekuasaannya di dalam pikiran publik pembaca koran. Kita tahu, penguasa di dalam institusi koran adalah para kapitalis media, kita bisa menyebutnya sebagai kekuasaan koran. Pemiliknya adalah

146


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

mereka yang mempunyai arah dan kebijakan untuk menentukan corak dari setiap konten informasi yang harus disajikan koran. Sebab itu, tidak ada yang bisa menjamin bahwa kekuasaan koran tidak akan menghegemonisasi kekuasaan puisi maupun kekuasaan berita mengingat kepentingan kekuasaan koran hampir tidak ada kaitannya dengan membuat pembaca lebih pintar atau pun lebih mampu mengukuhkan ikatan batin pembaca dengan kehidupannya. Kepentingan kekuatan koran hanya pada akumulasi modal, pada keuntungan bisnis. Sebab itu, konten sebuah koran sangat ditentukan oleh pemiliknya, dan si pemilik koran itu mempunyai kekuasaan luar biasa untuk menentukan konten puisi yang akan disiarkan di koran bersangkutan. Jika pemilik koran sudah memainkan perannya sebagai pemegang kekuasaan atas segala konten koran, itu berarti kekuasaan puisi sudah dihegemonisasi. Kekuasaan puisi tak lagi punya daya ketika disiarkan di koran, karena yang berperan adalah kekuasaan koran. Simpul ini beralasan, karena eksistensi puisi di dalam konten koran bukan sebagai penduduk asli, tetapi sebagai pendatang yang coba dimasukkan ke dalam koran dengan harapan bisa menawarkan hal berbeda dari apa yang ditawarkan sebagian besar konten koran. Eksistensi puisi di dalam koran ada karena belas kasihan dari pemilik kekuasaan koran, yang awalnya dipengaruhi oleh hal-hal ideal, meskipun kemudian sangat kuat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan kapitalis. Pada hakikatnya, koran adalah medium informasi dalam bentuk berita (news). Konten koran dikerjakan oleh wartawan atau jurnalis, yang menulis berdasarkan tendensi dan corak yang telah disepakati manajemen institusi media

147


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

bersangkutan. Pekerjaan wartawan atau jurnalis itu berangkat dari realitas faktual dan berakhir sebagai pengetahuan faktual (factual knowledge). Kita bisa mengatakan bahwa tidak ada satu pun fakta yang ditampilkan wartawan atau jurnalis benar-benar sesuai dengan realitas, karena pemindahan realitas ke dalam bentuk karya jurnalistik terjadi setelah mengalami proses rekonstruksi. Tetapi kita tak bisa menolak bahwa wartawan atau jurnalis adalah orang yang bergelut dengan fakta, yang tugas utamanya adalah menyampaikan fakta itu apa adanya. Meskipun begitu, tidak semua fakta yang ada akan diberitakan seorang wartawan atau jurnalis. Sebab, hanya fakta yang memiliki nilai berita atau memiliki nilai jual (marketable) yang akan diberitakan. Publik pun membaca koran untuk mendapatkan informasi berupa sekumpulan fakta yang ada di lingkungan sekitarnya, yang memiliki aktualitas tinggi sekaligus memiliki proximitas yang kental. Informasi itu kemudian dianalisis pembaca untuk menarik sebuah kesimpulan yang memberikan manfaat bagi dirinya, keluarganya, atau masyarakat di lingkungan sosialnya. Intinya, berita di dalam koran membuat masyarakat pembaca lebih tahu dan lebih pintar. Pembaca yang terbiasa memburu informasi ketika membaca koran, sudah tentu akan mengalami kesulitan luar biasa saat berhadapan dengan puisi. Kemampuan menganalisis berita tidak akan berarti apa-apa jika dipergunakan dalam menganalisis puisi, karena puisi tidak dihasilkan oleh wartawan atau jurnalis, juga tidak ditulis seperti ketika wartawan atau jurnalis menulis berita. Puisi dihasilkan oleh penyair, dan biasanya para penyair itu menulis puisi tanpa memikirkan corak atau tendensi pemberitaan yang menjadi kesepakatan manajemen institusi koran. Penyair menulis sebagai tindak pemenungan. Ia

148


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

merangkum dan menyerap makna dari berbagai ihwal di lingkungannya, lalu mengendapkannya ke dalam teks puisi. Penyair tidak menyampaikan informasi kepada pembaca, tetapi mengajak pembaca menghayati pengalaman hidup yang digelutinya. Ajakan itu sifatnya reflektif, imajinatif, dan terkadang naratif. Dengan begitu, sudah diandaikan bahwa puisi di dalam koran tidak diperuntukkan bagi segementasi pembaca koran bersangkutan. Puisi memiliki pembaca yang khusus, entitas yang bisa menangkap dan memahami ajakan untuk menghayati pengalaman hidup yang dikristalisasikan penyair ke dalam diksi-diksi puisinya. Adanya pembaca yang khusus ini, menandakan bahwa puisi bukan bagian yang organis dengan koran, tetapi sesuatu yang dianggap perlu dimunculkan oleh pengelola manajemen institusi koran. Sebab itu, segala sanjungan tentang adanya hubungan harmonis antara kekuasaan koran dengan kekuasaan puisi, sesungguhnya hanya untuk membesarkan hati. Hubungan itu sangat rentan, dan kekuasaan puisi mudah takluk di bawah bayang-bayang kekuasaan koran. Pasalnya, kekuasaan koran ditopang oleh kepentingan kekuasaan pengelola institusi koran, dan terus-menerus akan mengancam kekuasaan puisi. Berada dalam pengaruh ancaman, perlahan-lahan kekuasaan puisi melemah. Tidak heran jika dunia puisi kemudian dipaksa untuk mengikuti pola dan corak penulisan berita, sehingga puisi-puisi yang muncul di koran mengalami keseragaman dalam bentuk lirik naratif. Persoalan lain yang timbul adalah puisi jadi jarang dibicarakan sebagai puisi, karena setiap pembicaraan tentang puisi senantiasa menitikberatkan fokus pembicaraan itu pada penyairnya. Ini disebabkan pembaca sudah terpola oleh cara membaca berita, karena berita menawarkan informasi dan pembaca puisi menganggap puisi juga seperti berita. Bagi

149


Kumpulan Esai Riau Pos 2014

pembaca puisi, sebuah puisi harus tematik dan mengandung sebagian besar dari persyaratan berita seperti aktualitas dan proximitas. Artinya, pembaca akan lebih menikmati puisi yang mengandung aktualitas, dan lebih menikmati apabila puisi itu memiliki kadar proximitas dengan kepentingan pembaca. Jadi, sebagai penumpang di koran, puisi seharusnya mulai sadar diri untuk mengupayakan rumah sendiri. *** Budi P. Hatees, seorang esais, menulis dari Sipirok.

150


Kumpulan Esai Riau Pos 2014


Kumpulan Esai Riau Pos 2014




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.