Teror lanun selat malaka

Page 1



Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Teror Lanun Selat Melaka Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Teror Lanun Selat Melaka (Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014) Editor: MUHAMMAD AMIN Perancang Sampul: AIDIL ADRI Perancang Isi: SUPRI ISMADI DITERBITKAN PERTAMA KALI OLEH: Yayasan Sagang Pekanbaru Gedung Riau Pos, Jl. Soebrantas Km 10,5 Panam, Pekanbaru, Riau Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip sebagian atau keseluruhan isi atau memperbanyak sebagian atau keseluruhan tanpa izin dari penulis. KEPUSTAKAAN NASIONAL : Katalog dalam Terbitan (KTD) Teror Lanun Selat Melaka, Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014 Pekanbaru, Yayasan Sagang, 2014 ISBN: 978-602-1366-37-0 Cetakan Pertama, Oktober 2014


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Semangat Jurnalisme Sastrawi dan Ruh Media Cetak (Pengantar Editor) DUNIA kepenulisan selalu diwarnai dua hal, karya instan atau tergesa-gesa dan karya yang penuh keseriusan. Dalam hal fiksi, misalnya, ada yang disebut dengan karya berbentuk novel tidak serius semacam teenlit, chicklit atau metropop. Novel-novel tak serius ini biasanya habis dibaca dalam sekali duduk dan tidak menimbulkan kesan apa-apa bagi pembaca. Cukup untuk menguras emosi sesaat berupa tawa, senyum, geram, atau tangis, tapi segera dilupakan setelahnya. Novel serius punya dimensi yang berbeda. Inilah yang disebut novel sastra. Novel-novel legendaris semacam Siti Nurbaya, Ronggeng Dukuh Paruk, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, atau Bumi Manusia adalah beberapa contoh novel yang terus dikenang karena memang dikerjakan dengan serius, mendalam, tidak sekadar untuk jangka pendek. Dalam jurnalistik, terdapat juga karya-karya yang dikerjakan tergesa-gesa bahkan instan. Namun demikian, tak sedikit juga karya yang lahir dengan sentuhan sastrawi dan penuh keseriusan. Ada wartawan yang hanya pernah menulis straight news, berita yang tuntas dibaca sekali duduk, dan tidak

i


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

pernah mengembangkan ide-ide yang tersembunyi di balik peristiwa itu. Bahkan tak sedikit wartawan yang hanya menyodorkan tape recorder, tanpa tahu isu penting di balik hasil wawancaranya. Yang lebih parah adalah wartawan yang hobi melakukan copy-paste, dan membawa hasil kerja instannya itu ke meja redaksinya. Kondisi ini tentu saja berbeda dengan wartawan yang mengembangkan tulisan reportasenya dengan liputan yang mendalam. Jurnalis seperti ini tak akan puas dengan hanya wawancara sekilas dengan narasumber. Dia akan mencari sumber lain untuk dijadikan perbandingan menuju fakta-fakta yang lebih akurat. Liputannya juga bukan liputan yang sekilas, tapi mendalam, panjang, dan penuh makna. Ada nuansa baru bagi pembaca usai membaca berita dan tulisannya. Nilai-nilai inspiratif, perubahan cara pandang tentang suatu objek, bahkan perubahan paradigma tentang manusia, alam, bahkan hukum menjadi hal yang lazim disarikan dari liputan mendalam ini. Di sanalah sesungguhnya keberhasilan seorang jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Liputan yang sangat fenomenal misalnya sempat dilakukan wartawan lepas, Bondan Winarno soal skandal emas Busang. Bondan sampai menjelajah ke Calgary dan Toronto di Kanada, Manila di Filipina serta hutan rimba Busang di Kalimantan untuk menelusuri jejak liputannya. Karyanya yang panjang akhirnya dimuat dalam bentuk sebuah buku, tak lagi sekadar koran atau majalah. Selain mencari narasumber, dia juga menelusuri berbagai dokumen tentang pertambangan mineral. Dia pun mencari tahu bagaimana penipuan tentang emas di Busang tengah berlangsung. Bondan berasumsi Michael de Guzman, geolog senior Bre-X, telah merekayasa sampel hasil pemboran emasnya. Bahkan, dia tak percaya dengan asumsi banyak orang dan berita yang beredar luas, bahwa de Gusman telah tewas karena bunuh diri dengan

ii


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

menjatuhkan diri dari helikopter. Dia memiliki bukti dan mewawancarai dua dokter yang melakukan autopsi terhadap jenazah dan menemukan mayat itu tak memiliki gigi palsu di rahang atasnya seperti halnya de Guzman. Dia pun mewawancarai satu dari empat istri de Guzman untuk mengetahui persis ciri-ciri khusus de Guzman. Karya Bondan Winarno ini menjadi salah satu contoh bahwa liputan mendalam ternyata dapat membuka mata publik tentang apa yang tersembunyi. Apa yang dilakukan Bondan tentu saja bukan sekadar liputan mendalam, tapi sudah mengarah pada liputan investigatif. Banyak sekali liputan investigatif yang ternyata mengungkap hal-hal yang tersembunyi menjadi nyata. Harian Indonesia Raya, misalnya, pernah menguak kasus korupsi di Pertamina dan Badan Logistik antara 1969 dan 1972. Harian itu melaporkan dugaan korupsi besar-besaran di Pertamina dengan memanfaatkan sumber-sumber anonim dari dalam perusahaan negara tersebut. Kendati dibantah, beberapa tahun kemudian liputan ini terbukti benar. Dalam skala internasional, Washington Post berhasil menguak kasus water gate yang melibatkan Presiden AS Richard Nixon. Skandal Gedung Putih yang terjadi pada Juni 1972 ini akhirnya menjatuhkan Nixon dari kekuasaannya. Tulisan-tulisan yang hadir ke hadapan pembaca seperti yang ditampilkan Bondan, Indonesia Raya atau Washington Post itu tentu saja dilakukan dengan serius, bahkan sangat serius. Tak sekadar liputan berkedalaman, melainkan mencapai tingkatan investigatif, yang dilakukan dengan verifikasi berkalikali, untuk mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi, bahkan tak tersirat sekali pun di benak mayoritas publik. Perlukah wartawan menulis liputan investigatif? Jawabannya perlu. Begitu pentingnya liputan investigatif ini dilakukan, atau diketahui wartawan, bahkan dalam uji kompetensi wartawan (UKW) yang dilaksanakan Dewan Pers,

iii


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

pemahaman tentang liputan investigatif menjadi satu bagian penting yang tak terpisahkan dari rangkaian ujian. Satu bagian saja dari rangkaian ujian ini tak lulus, maka semuanya dinyatakan tak lulus. Artinya, setiap wartawan Indonesia, paling tidak memahami, atau mampu melakukan liputan investigatif. Liputan-liputan mendalam (in depth reporting) tak hanya dikaiteratkan dengan liputan investigatif yang berada dalam strata tertingginya. Liputan mendalam juga dikaitkan dengan liputan atau jurnalisme sastrawi. Jurnalisme sastrawi merupakan satu dari setidaknya tiga nama buat genre tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat. Dalam konteks ini, reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolfe, wartawan-cum-novelis, pada 1960-an memerkenalkan genre ini dengan nama “new journalism” (jurnalisme baru). Pada 1973 Wolfe dan EW Johnson menyebutkan bahwa genre ini (jurnalisme baru) berbeda dari reportase sehari-hari, karena dalam bertutur ia menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person poin of view), serta penuh dengan detail. Dalam jurnalisme ini, wawancara bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan lebih sering ratusan narasumber. Risetnya tidak mainmain. Waktu bekerjanya juga tidak sepekan dua pekan, tapi memungkinkan dan bisa berbulan-bulan. Ceritanya juga kebanyakan tentang orang biasa. Bukan orang terkenal. Dengan demikian, nuansanya pun lebih dekat dengan masyarakat banyak. Tak hanya satu istilah yang digunakan dalam konsep ini. Ada yang menggunakan istilah “narrarive reporting”, “passionate journalism”, explorative journalism” atau istilah lain. Soal nama, bisa digunakan apa saja. Tapi yang jelas, genre

iv


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

penulisan ini menggunakan penekanan pada liputan yang menukik sangat dalam, lazim juga disebut in-depth reporting. Reporter tak cukup menyampaikan kepada pembaca bahwa seseorang (who) sedang melakukan apa (what), mengapa dia lakukan itu (why), di mana (where), kapan (when) dan bagaimana (how) dia melakukan itu. Penulis in-depth news harus masuk ke dalam psikologi narasumber, untuk mencari jawaban, mengapa dia melakukan beberapa tindakan yang tidak seharusnya, irrasional, bahkan mustahil dilakukan orang kebanyakan. Seorang penulis jurnalisme sastrawi tak sekadar harus mampu mengidentifikasi who sebagai siapa, tapi juga menerangkan karakter tokoh-tokoh narasumbernya dengan akurat, rinci dan kuat. What tidak saja disampaikan tentang apa yang dilakukan narasumber itu, tapi menukik jadi sebuah alur atau plot dalam sebuah cerita yang runtut. Where tak hanya dijadikan sebagai lokasi atau tempat wawancara, atau tempat kejadian perkara, tapi merupakan sebuah setting, lengkap dengan semua back ground, bak panggung teater yang penuh narasi dan sangat deskriptif. When tak hanya menjadi waktu yang menunjukkan hari, tanggal atau jam, melainkan sebuah kronologi yang bisa digambarkan sangat runut. Why tak cukup hanya sekadar mengapa dalam arti singkat, namun harus menjadi motif yang bisa liar dan tidak sederhana. Begitu juga how tak hanya sekadar bagaimana secara sederhana, tapi dikembangkan menjadi sebuah narasi yang lengkap. Tentu saja di sana ada emosi, hasrat, harapan, dan berbagai karakter dari narasumber yang diungkap secara jelas, rinci, naratif dan argumentatif. Ada drama yang diciptakan, ada adegan, konflik, dengan laporan yang utuh, ibarat karya sastra, sebuah novel. Tapi ini adalah novel yang nyata, novelisasi kehidupan narasumber. Inilah semangat jurnalisme sastrawi. Inilah salah satu semangat yang diusung dalam liputan mendalam. Mengapa liputan mendalam perlu? Liputan mendalam

v


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

perlu dikembangkan karena inilah yang saat ini menjadi ruh media cetak. Berulang kali, pencetus Rida Award, yang juga Chairman Riau Pos Group Rida K Liamsi mengungkapkan pentingnya mempertahankan ruh media cetak ini dengan liputan-liputan serius dan mendalam. Rida Award yang menjadi pemacu dalam liputan-liputan mendalam ini merupakan pengejewantahan dari niat untuk terus mempertahankan ruh media cetak itu. Sebab tanpa ruh, media cetak perlahan-lahan akan ditinggalkan pembaca. Untuk saat ini, pembaca masih suka membaca tulisan yang memiliki nilai dan kedalaman daripada straight news. Jika ruh media cetak itu sudah tak ada, tentu media itu akan ditinggalkan. Media cetak akan jauh tertinggal dari media online yang memaparkan fakta dan data hanya beberapa menit setelah peristiwa terjadi. Televisi bahkan menyuguhkan langsung semua peristiwa, lengkap dengan gambarnya di saat itu juga. Jika ruh media cetak sudah tak ada, dan kenikmatan membaca karya-karya berkualitas tak lagi bisa didapat, maka masyarakat tentu tak akan lagi melirik media cetak. Inilah pentingnya mempertahankan ruh media cetak itu. Karya-karya jurnalistik Rida Award 2014 ini tentunya berasal dari liputan mendalam, dengan kerja keras dan segenap potensi para penulisnya. Chairman RPG Rida K Liamsi selalu menyebutnya sebagai liputan yang “berpeluh�, yang dilakukan tidak dengan mudah. Beberapa karya merupakan feature dengan nuansa sastrawi yang sangat memikat. Karya lainnya memiliki kedalaman, dan ada juga yang memiliki nilai investigasi dengan mengungkap berbagai modus yang mencengangkan. Ada tiga kategori dalam karya jurnalistik Rida Award 2014 ini, yakni karya tulis jurnalistik jenis feature, karya tulis jurnalistik in-depth reporting/investigasi dan karya foto jurnalistik. Dua kategori pertama sudah dimulai sejak tahun 2012 dan terus dipertahankan hingga tahun 2014 ini. Pada

vi


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

tahun-tahun sebelumnya, Rida Award untuk kategori karya tulis jurnalistik hanya ada satu kategori saja. Kumpulan tulisan Rida Award 2014 ini dibukukan, tentu saja untuk terus mendokumentasikan berbagai karya terbaik jurnalistik di kalangan Riau Pos Group, sebagai tempat berkaca, penimbang dan pemberi gambaran tentang karya jurnalistik bermutu. Sebab, tanpa melahirkan karya-karya yang bermutu, pelan-pelan media cetak akan kehilangan ruhnya. Inilah yang terus menjadi momok bagi media cetak di mana pun dan kapan pun. Rida Award diadakan untuk terus menumbuhkan ruh media cetak itu, dan semangat jurnalisme sastrawi adalah bagian penting di dalamnya.***

vii


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

viii


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

DAFTAR ISI Semangat Jurnalisme Sastrawi dan Ruh Media Cetak_hal. i Daftar Isi_hal. ix Teror Lanun Selat Melaka Penguasa Selat dengan Sebilah Satang_hal. 1 Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (1): Dulu Sejahtera, Kini Tak Mampu Beli Obat_hal. 23 Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (2): “Secara Adat, Kami Tidak Lagi Berdaulat”_hal. 31 Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (3): 184 Ha Kebun Terjual, 261 KK Tak Punya Rumah_hal. 41 Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (4): Tak Kuat Menderita, Huni lagi Kampung Lama_hal. 51 Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (5): “Tujuh Tahun, Ekonomi Kami Nol …”_hal. 59 Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (6): Tuntut Ganti Rugi, Ditahan tanpa Makan_hal. 67 Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (7): Penebangan Kayu Marak, Kualitas Air Rusak_hal.73 Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (8): Pemda Akui Dilema, Pusat Lempar Persoalan_hal. 81 Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (9) Kampung Suluk Itu Didatangi Kupu-kupu Malam_hal. 89 Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (10) 50 Keluarga Tersingkir dari Kampung Halaman_hal. 99 Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (11) 4 Jam Naik Sampan, Tidak Dapat Sertifikat_hal. 109 Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (12) Dibujuk, Digertak, Ditembak, Tetap Istiqomah_hal. 119

ix


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (13): Dulu Digusur Tentara, Kini Sentra Patin Indonesia_hal. 127 Menelusuri Jejak Penyiksa dan Pembuang Adit Disayat-sayat Ibu Tiri, Dicampakkan di Rimbunan Sawit_hal. 139 Menyusuri Jejak Perambah dan Karhutla di Cagar Biosfer GSK-BB Tuan BM dan BK 88 yang Ditakuti_hal. 153 Short Time Cukup Bayar Rp50 Ribu Trek Balap Liar, Saksi Bisu Seks Bebas Pelajar_hal. 177 Kisah Nelayan Buta Asal Pulau Duyung Melaut di Gelap, Mengais Rezeki dalam Pekat_hal. 197 Suka Duka Perawat Rina Muliyati Bertugas di Tengah Hutan Rimba Listen Jalan Kaki 60 Km Menembus Hutan untuk Beli Obat_hal. 205 Keluarga Jonilas, Potret Buram Kemiskinan Hidup di Antara Tumpukan Sampah dan Semak Belukar_hal. 209 Sutanta Aditya, Fotografer yang Nyaris Jadi Korban Awan Panas Kalau Saja Pemerintah Lebih Perhatian‌_hal. 215 Elida, Ibu yang Anaknya Divonis Empat Tahun Atas Kasus Cabul (1) Tinggal di Kontrakan Kecil, Utang Rentenir untuk Mencari Keadilan_hal. 221 Elida, Ibu yang Anaknya Divonis Empat Tahun atas Kasus Cabul (2) Nikahkan Anak di Lapas, Segelas Air Mineral pun Tak Terbeli_hal. 225 Elida, Ibu yang Anaknya Divonis Empat Tahun atas Kasus Cabul (3) Minta Anak Dibebaskan, Duduk dan Menangis di Pintu Kejaksaan_hal. 229 Elida, Ibu yang Anaknya Divonis Empat Tahun atas Kasus Cabul (4) Keadilan Belum Didapat meski Pelaku Sebenarnya Telah Ditangkap_hal. 231 Elida, Ibu yang Anaknya Divonis Empat Tahun atas Kasus Cabul (5) Mulai BAP hingga Divonis, DH Tak Mengakui Perbuatannya_hal. 235 Elida, Ibu yang Anaknya Divonis Empat Tahun atas Kasus Cabul (Habis) Bakal Lapor ke Komnas HAM, Sampai Mati pun Tetap Diperjuangkan_hal. 237 Rida Award Kategori Foto_hal. 241

x


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

RIDA AWARD KATEGORI INDEPTH/ INVESTIGASI


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Teror Lanun Selat Melaka

Penguasa Selat dengan Sebilah Satang Perompakan di Selat Melaka dan sekitarnya tak pernah surut. Meski menakutkan bagi awak kapal, pelaku beraksi dengan cara dan alat tradisional. LAPORAN YUSUF HIDAYAT, BATAM

TIGA belas kali kalender berganti, peristiwa di atas MV Clarissa pada pertengahan Mei 2001 silam itu, tak bisa terhapus dari ingatan Imaduddin. Bersama 15 kru lainnya, anak buah kapal kelahiran Bawean, Jawa Timur itu, disandera kawanan perompak di Selat Melaka dalam perjalanan dari Pelabuhan Klang, Malaysia menuju Singapura. “Kejadiannya pukul satu dini hari. Waktu itu, kami baru dua jam meninggalkan Malaysia,” tuturnya saat ditemui Batam Pos, Selasa (22/4), bersamaan dengan munculnya berita perompakan tanker berbendera Jepang, Naninwa Maru 1, di Selat Melaka. Imaduddin menceritakan, malam itu, ia bersama seorang ABK lainnya dapat tugas jaga di dek atas. Kru lain berada di bawah. “Ada juga yang sedang memasak mi instan di dapur kapal,” katanya.

1


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Mendadak tujuh lelaki bersebo muncul di dek bawah. Mereka menenteng senjata tajam dan pistol. Kawanan perompak langsung melumpuhkan semua kru yang ada bawah. Mereka diikat dengan tali rafia. Dua perompak lantas naik ke dek atas. Imaduddin yang baru keluar dari kamar setelah mengambil rokok, terkejut ada orang asing bersebo dan menggenggam pisau di depan kamarnya. Ia mencoba melarikan diri. Namun karena panik, kakinya tersandung anak tangga saat hendak naik ke lantai atas. “Saya terjatuh. Akhirnya saya menyerah setelah dikeroyok,” kata Iim, sapaan lelaki yang kini berumur 44 tahun. Tak sampai 15 belas menit, semua kru termasuk kapten kapal berhasil dilumpuhkan. Mereka semua dikumpulkan jadi satu di salah satu lorong kapal. Seorang perompak dugaan Imaduddin adalah ketuanya- berseru menebar ancaman sembari mengacungkan pistol. “Jangan melakukan komunikasi dengan darat dan jangan melakukan perlawanan. Kalau dilanggar yang disandera akan mati!” kata Imaduddin menirukan. Bahasa Indonesia mereka fasih. Sebab itu, ia menduga, kawanan rompak adalah warga negara Indonesia. Ketua perompak memerintahkan anggotanya menggedor semua kamar dan mengambil seluruh barang berharga di dalamnya. “Sasaran utama mereka brankas, dan mereka mendapatkannya,” ujarnya. Selain brankas, perompak menggasak barang-barang berharga milik kru kapal yang mudah dibawa seperti uang tunai, emas, dan telepon seluler. “Kalau bilang gak punya uang, mereka ngancam pakai pistol,” katanya. Kejadian itu berlangsung sekitar 45 menit. Jarak kapal ke Pelabuhan Singapura hanya tinggal satu jam perjalanan lagi. Peristiwa itu kemudian dilaporkan ke polisi laut Singapura dan tercatat dalam daftar kejadian perompakan

2


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Teror Lanun Selat Melaka Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

perompakan itu gagal karena, menurut laporan tersebut, alarm darurat kapal keburu menyalak. Dari sebelas hotspot area atau titik rawan perompakan di Indonesia yang ditetapkan Badan Pemeliharaan Keamanan Markas Besar Kepolisian Indonesia, dua di antaranya ada di Selat Singapura dalam wilayah Kepri, yaitu Pulau Nipah di Kota Batam dan Tanjungberakit di Kabupaten Bintan. Di dua titik itu, Polri telah menempatkan kapal patroli mereka. “Masalah perompakan jadi perhatian utama keamanan di Selat Melaka dan sekitarnya,” kata Komandan Gugus Keamanan Laut Armada Barat TNI Angkatan Laut, Laksamana Pertama Harjo Susmoro, Senin (26/5). “Bentuk kegiatan yang mereka lakukan macam-macam, mengikuti perkembangan situasi dan teknologi,” ujar perwira tinggi bintang satu itu. Berdasarkan penelusuran Batam Pos dan wawancara dengan beberapa pelaku, ada empat kategori “permainan” yang lazim dikenal di kalangan lanun (bahasa Melayu untuk menyebut perompak) yang biasa beroperasi di Selat Melaka dan Selat Singapura. Pertama, shopping. Ini adalah istilah jika perompak naik ke kapal hanya untuk mengambil barang-barang berharga milik kru kapal, tanpa melukai korban. Paling berat, pelaku hanya mengancam dan mengikat korban. Kasus yang menimpa Imaduddin dan kawan-kawan di MV Clarissa termasuk kategori ini. Kedua, black market. Istilah ini dipakai untuk kegiatan perompakan yang melibatkan kru kapal. Artinya, perompak “main mata” dengan satu atau dua orang ABK. Kesepakatan biasanya disusun di darat, sebelum kapal berangkat. “Semua kejahatan di laut bermula di darat dan berakhir di darat,” kata Laksamana Pertama Harjo Susmoro.

4


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Selain memberikan informasi detil tentang kondisi kapal, ABK yang terlibat akan mengabari posisi kapal yang aman untuk dinaiki perompak. “Kini tak perlu SMS lagi, pakai ini kita bisa lihat posisi kapal dengan jelas,” kata Ghazali (bukan nama sebenarnya), mantan ABK yang pernah terlibat perompakan, saat ditemui di Nagoya, Batam, awal April lalu. Ia memperlihatkan android dengan layar tujuh inci yang menayangkan posisi semua kapal yang tengah berlayar di sekitar Selat Singapura hari itu. Lengkap dengan data ukuran panjang dan lebar kapal, pelabuhan asal dan tujuan, serta muatan yang dibawa. “Ini langsung, lho,” katanya. Tayangan real time pelayaran itu bisa dilihat di website https://www.marinetraffic.com/. “Kebanyakan pemain di laut sekarang sudah ngerti ini.” Hampir semua peristiwa black market targetnya adalah menilep bahan bakar kapal. “Dalam kasus black market, biasanya setelah perompak naik ke kapal, yang ditodong duluan itu ABK yang terlibat,” ujar Ghazali. Hal itu dibenarkan Direktur Polisi Perairan Polda Kepri, Komisaris Besar Yassin Kosasih. Yassin pernah memimpin langsung pembebasan sebuah kapal yang dirompak tahun 2011. “Dalam kasus itu, ada ABK bernama Heri yang bertugas sebagai oiler memberi informasi ke perompak. Dialah orang pertama yang ditodong di atas kapal,” tutur Yassin, Rabu (21/5). Zulfadli, seorang manajer perusahaan ekspedisi di Batam, mengatakan black market bisa terjadi karena hampir semua perusahaan pemilik kapal selalu melebihkan jatah bahan bakar kapal sekitar dua sampai tiga persen di atas kebutuhan normal, setiap kali hendak berlayar. Tujuannya untuk jaga-jaga. Untuk kapal kargo yang kapasitas tanki bahan bakarnya mencapai 100 ton, selisih dua persen sangat

5


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

besar. “Tapi itulah yang sering disalahgunakan oleh kru yang nakal. Mereka ‘kencing’ di laut,” ujarnya. Kencing adalah istilah memindahkan bahan bakar dari satu kapal ke kapal lain di tengah laut secara ilegal. Kepala kelompok perompak yang kerap main black market umumnya paham betul soal harga minyak di pasar gelap, dan naik turun kurs mata uang asing dengan rupiah. Kategori ketiga adalah perompakan. Yaitu pencurian di atas kapal yang disertai dengan kekerasan, seperti melukai hingga membunuh korban. “Ada korban yang sampai dibuang ke laut atau ditinggalkan di pulau yang tak jauh dari lokasi kejadian,” kata Ghazali. Keempat, pembajakan. Pada tingkatan ini, lanun tidak hanya mengambil barang berharga dan melakukan kekerasan terhadap kru kapal, tapi juga mengambil alih kemudi kapal untuk dibawa ke wilayah tertentu, dan kemudian meminta tebusan kepada perusahaan pemilik kapal. “Kejadian seperti itu tidak pernah ada. Kasus yang terjadi selama ini hanya sebatas shopping, paling berat black market. Hanya urusan perut saja,” ujar Kombes Yassin Kosasih. Apapun jenis permainan para lanun, kata Ghazali, berat atau ringan, kuncinya hanya satu: keberanian. “Tak gampang memanjat kapal yang sedang berjalan hanya dengan sebilah kayu, di tengah malam yang gelap. Tak banyak yang sanggup untuk itu.” *** ANGIN bertiup pelan di perairan Selat Singapura, pertengahan April 2014 lalu. Pompong dua mesin berkekuatan 80 PK yang ditumpangi Batam Pos melaju meniti gelombang. Lalu lalang feri Batam-Singapura, membuat pompong terguncang-guncang karena gelombang yang mendadak

6


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

besar. Syawal, juru kemudi alias tekong, berputar-putar mencari jalur aman. Syawal adalah seorang pemain lama dalam dunia lanun. Ia pernah dua kali masuk penjara: tahun 1996 dan 2001. “Beraksi di laut, tapi tertangkapnya di darat semua,” ujarnya. Dengan alasan keamanan, ia menolak nama asli dan foto dirinya dipublikasikan. “Sampai sekarang, kalau ada kejadian, polisi pasti tanya ke saya siapa yang main,” ujarnya. Dengan tinggi badan sekitar 155 cm dan berat sekitar 70 kg, lelaki berusia 49 tahun itu terlihat gempal. Rambut ikalnya tak disisir. Kulit wajah yang hitam ditambah keriput di dahi, membuatnya tampak tua. Nada bicaranya datar, tak ada kesan melebih-lebihkan isi percakapan. Pengembaraan Syawal tak hanya di Selat Singapura. Ia pernah beraksi di ujung barat Pulau Sumatera, dekat perbatasan Aceh dan Malaysia. “Saya diajak oleh kelompok di sana. Dari Batam naik pesawat ke Medan lalu jalan darat ke Aceh,” ujarnya. Terakhir, ia beroperasi di Laut Cina Selatan dekat Natuna. “Kalau ke Natuna saya bawa pompong sendiri. Bawa tiga drum solar untuk bekal di jalan. Di sana yang mengundang sudah menunggu,” katanya. Di kalangan pemain laut, Syawal punya reputasi tinggi terutama dalam mengemudikan pompong. Di era 1990-an, ia adalah satu dari tiga tekong paling mahir meliuk-liukkan pompong di atas gelombang besar yang disepakkan kapal tanker dan kapal-kapal kargo raksasa yang melintasi Selat Singapura. “Tak mudah mengekor dan merapat ke kapal besar yang sedang jalan, jika kita ingin naik ke atasnya. Salah-salah pompong bisa terbalik,” ujarnya. Kecepatan kapal tanker atau kapal kargo besar rata-rata 12-13 knot atau sekitar 24 km per jam. Satu knot setara

7


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

dengan 1,852 km/jam. Untuk bisa naik ke atas tanker atau kapal kargo, kelompok perompak harus masuk dari belakang. Di sinilah tantangan bagi tekong, ia harus bisa menempelkan badan pompong ke bagian belakang kapal di tengah-tengah amuk ombak yang disepakkan baling-baling kapal. Reputasi itulah yang kerap membawa Syawal sebagai “pemain tamu” di kawasan lain. Batam Pos pertama kali menemuinya pada Minggu (13/ 4), di teras sebuah rumah kayu di pesisir Pulau Batam. Dari teras yang tiang-tiangnya tertancap di bibir pantai itu, Selat Singapura berlatar belakang gedung-gedung tinggi, tampak jelas. Belasan kapal barang ukuran raksasa lego jangkar di sana. Setelah pertemuan itu, ia mengajak Batam Pos menelusuri Selat Singapura untuk melihat arena bermain para lanun, dan memberi tahu bagaimana cara lanun menaiki kapal. Ayah tiga anak itu memulai “karir” sebagai lanun sejak umur 20 tahun, sekitar pertengahan 1980-an. Saat itu, tuturnya, pemerintah sedang gencar menggelar operasi pemberantasan perompak. Operasi yang digelar Komando Keamanan dan Ketertiban itu diberi sandi “Hiu Macan”. Warga sekitar pesisir Pulau Batam mengenalnya dengan sebutan Operasi Srigunting. Beredar rumor kala itu, operasi dilancarkan karena salah satu kapal kargo milik anak Presiden Soeharto jadi sasaran perompakan di Selat Singapura. “Banyak pemain yang ditangkapi,” kata Syawal. Jauh sebelum itu, ketika usianya mulai menapak belasan tahun, Syawal kerap heran, anak-anak muda di lingkungan tempat tinggalnya bisa membeli pakaian bagus dan mengenakan jam tangan mewah. “Padahal, mereka tak nampak kerja.” Dari obrolan di warung-warung kopi di lingkungannya,

8


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Syawal jadi tahu semuanya. Di wilayah tempat tinggalnya, ketika itu, setidaknya ada lima kelompok pemuda yang biasa main di laut. Satu kelompok terdiri dari lima sampai enam pemain. Di mata Syawal muda, penampilan mereka keren semua. “Makanya, waktu ada yang ajak ikut main, saya tak menolak. Waktu itu, pikiran saya cuma bisa punya baju bagus dan jam mewah.” Pada pengalaman pertamanya itu, Syawal tak ikut naik ke kapal. Ia hanya menunggu di atas pompong. “Hari itu kami dapat uang 20 ribu dolar Amerika. Dibagi enam,” tuturnya. Hampir semua pemain yang berasal dari daerah Syawal, awalnya hanya ikut-ikutan. Seperti halnya Syawal, orangtua mereka bekerja sebagai nelayan. Sebab itu, laut dan pompong tak asing bagi mereka. Lanun-lanun muda tumbuh dengan melihat langsung aksi para lanun tua. Perencanaan aksi disusun siang hari di warung kopi tempat mereka biasa kongkow. Kecuali siapa yang akan jadi tekong, peran lain tak dibahas secara detil. “Sebab, kalau sudah pernah ikut mereka sudah tahu apa yang harus dikerjakan,” katanya. Kapal yang akan dijadikan target perompakan tak pernah ditentukan di darat. Semua tergantung kondisi di laut. “Banyak yang jadi pertimbangan memilih kapal yang mau dinaiki. Kita perhatikan ada patroli atau tidak, lalu jalur lari yang aman kalau ketahuan,” kata Syawal. Dalam memilih kapal, di kalangan perompak ada semacam prinsip yang dijadikan pegangan. “Kalau kapal China lebih baik tak usah. Tak ada uangnya. Biasanya kita ambil kapal Singapura atau Eropa. Tapi, yang kaya itu kru kapal Australia,” katanya. Peralatan utama lanun adalah satang, sebilah kayu yang panjangnya sekitar tiga meter. Ia terbuat dari pohon men-

9


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

tarau. Bentuknya bulat berdiamater tiga cm. Kayu ini sangat kuat. Satang dibuat dengan cara menyerut pohon mentarau menggunakan pisau. “Membuat satang saja, kita harus belajar dulu,” katanya. Batam Pos melihat sebilah satang tergolek di sisi kanan pompong milik Syawal. Warnanya krem. Beratnya sekitar 2,5 kilogram. Satang inilah yang digunakan lanun untuk menaiki kapal. “Orang mengira kami pakai tali. Nggak ada yang pakai tali. Semua pakai satang,” ujarnya. Ujung satang diberi pengait, yang juga terbuat dari pohon mentarau. Ketika posisi pompong sudah rapat dengan dinding kapal sasaran, pengait satang dilemparkan ke sisi belakang kapal, dekat anjungan. “Semua kapal di bagian itu pasti besi dindingnya ditekuk ke dalam. Itulah tempat untuk mengaitkan satang,” kata Syawal. Jika anjungan kapal tingginya lebih dari tiga meter (rata-rata anjungan kapal tanker tingginya enam meter), maka satang harus disambung. Saat berada di Selat Singapura bersama Batam Pos, April lalu, Syawal mengarahkan pompongnya ke sebuah kapal tanker berbendera Yunani, Golden Premium, yang sedang lego jangkar. Kapal itu panjangnya sekitar 150 meter. Tinggi anjungan dari permukaan laut sekitar enam meter. Saat pompong tepat berada di bawah anjungan, Syawal menunjukkan lokasi yang biasa digunakan untuk mengaitkan satang. Sungguh tak mudah bagi orang kebanyakan, terlebih saat kapal sedang berjalan. “Kalau sudah biasa, sekali diangkat langsung tersangkut,” katanya. Bila satang sudah terkait ke kapal, satu per satu lanun akan naik. Tekniknya, kata Syawal, seperti orang ikut lomba panjat pohon pinang. Pemegang satang berdiri dengan posisi sedikit bungkuk. Pemain lain akan menginjak punggungnya, dengan menumpukan jari kaki pada lingkar pinggul celana

10


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

pemegang satang. Karena caranya seperti itu, kata Syawal, ada aturan tak tertulis: para lanun yang akan turun ke laut wajib memakai celana jeans. “Sebab, kalau pakai celana karet, akan melorot,” katanya. Aturan lainnya? “Harus celana pendek. Kalau celana panjang pasti susah.” Dalam tahap ini, kepiawaian tekong menjaga ritme pompong sangat menentukan. “Kalau goyang, kawan bisa terlempar ke laut. Sebab kita naik saat kapal sedang jalan.” Di titik inilah nyali para lanun benar-benar diuji. “Pernah ada kawan yang jatuh dan meninggal,” tutur Syawal. Apa yang terlintas di benak lanun ketika sedang bergelayut dengan satang sebelum mencapai anjungan kapal? Takutkah? Adakah terlintas soal kematian? Syawal tersenyum. “Keinginan untuk mendapatkan uang dan barang bagus bikin kita lupa pada rasa takut,” ujarnya. Agar operasi lancar, kata dia, sebelum berangkat mereka ikut ritual “doa keselamatan” dulu. Biasanya, ada tetua yang dianggap punya “kelebihan” memberikan air putih dalam botol kemasan air mineral kepada kelompok yang bakal beraksi. Air itu kemudian disiramkan ke dinding pompong. “‘Tujuannya agar tak terlihat saat naik ke kapal,” kata Syawal. Sejauh yang ia ketahui, belum pernah ada lanun yang tertangkap saat beraksi. “Semua pasti tertangkap di darat. Itulah hebatnya intel polisi dan AL,” katanya. Setelah sampai di atas kapal, lanun lazimnya beraksi seperti kelompok yang menyandera kru MV Clarissa. Senjata yang digunakan adalah parang dan linggis. Parang untuk menakut-nakuti kru kapal, sedangkan linggis untuk membuka brankas uang di kapal. “Kami cuma ngambil barang dan uang,” kata Syawal. Hasil rompakan biasanya berupa jam tangan, uang, dan telepon seluler. Semua dibagi di darat.

11


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

“Kebanyakan habis untuk foya-foya,” kata Syawal. Sebab itu, kata Ghazali, sehebat-hebatnya lanun, tak ada yang pernah jadi kaya. “Uang panas memang cepat habisnya,” kata dia. Laporan Palsu Pemain Asuransi Polisi dan TNI Angkatan Laut menyatakan tidak semua laporan perompakan yang dirilis International Maritime Bureau benar. Banyak kepentingan terselip di balik informasi perompakan. Suatu hari pertengahan 2013 lalu, Komisaris Besar Yassin Kosasih menerima info penting. Isinya: telah terjadi perompakan terhadap kapal berbendera Singapura di perairan Kabil, Batam. Direktur Polisi Perairan Polda Kepri itu bergegas mengerahkan anak buahnya untuk mengecek ke lapangan. ‘’Laporan itu menyebutkan banyak sekali barangbarang di kapal yang hilang,” tuturnya, Rabu (21/5) lalu. Setelah sampai di lokasi, kru kapal justru menolak diperiksa. Entah apa alasannya. Polisi lantas mencari saksisaksi di sekitar kapal itu berada. Kebetulan, kata Yassin, di sana ada kapal milik Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP). ‘’Kami tanya apakah ada lihat orang naik ke kapal dan dengar bunyi alarm, mereka bilang tidak.” katanya. Yassin mengatakan, kejadian seperti itu bukan sekali dua kali pernah ia temui. ‘’Makanya, saya selalu katakan, kita harus hati-hati menanggapi laporan soal perompakan ini, termasuk yang dari International Maritime Bureau (IMB). Belum tentu benar,’’ katanya. Menurut Yassin, kemungkinan besar ada permainan asuransi di balik laporan janggal itu. Kadang-kadang, kata dia, kapal-kapal Singapura memainkan klaim asuransi dengan membuat laporan seolah-olah telah terjadi perompa-

12


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

kan. Yang penting bagi mereka, kata dia, ada bukti laporan kepada kepolisian setempat. ‘’Dengan mengantongi laporan polisi mereka sudah bisa mengajukan klaim asuransi. Makanya mereka menolak diperiksa,” katanya. Pihak perusahaan asuransi juga berkepentingan dengan maraknya isu soal perompakan. Laksamana Pertama Harjo Susmoro, Komandan Gugus Keamanan Laut Armada Barat TNI Angkatan Laut, mengatakan melimpahnya informasi perompakan akan menimbulkan kesan bahwa Selat Melaka dan Selat Singapura dalam kondisi tidak aman. “Semakin tinggi tingkat rawannya, preminya makin tinggi pula,” kata Harjo. Yassin mengatakan, kemungkinan lain di balik munculnya laporan perompakan dalam jumlah besar, adalah agar kapal-kapal asing yang lego jangkar di perairan Kepri bisa digeser ke perairan Singapura tanpa dikenakan biaya tambahan. ‘’Mereka lego di sini karena biaya di Singapura mahal, tapi maunya kan tetap di Singapura. Bagaimana caranya bisa masuk lagi ke Singapura, ya begitulah. Dibuat seolah-olah kita nggak aman,’’ katanya. Selama satu jam wawancara dengan Batam Pos, Kombes Yassin berkali-kali menyatakan sebagian besar laporan IMB tidak benar. Tersebab laporan IMB pula ia diundang rapat khusus di Markas Polair Badan Pemeliharaan Keamanan Polri di Jakarta, Desember 2013. ‘’Saya kaget, saat itu disebutkan telah terjadi delapan kali perompakan di Kepri selama Desember itu. Saya tak terima, saya bilang ke Direktur Polair Polri kita harus hatihati menerima info ini,” katanya. Sebagian besar laporan yang dicatatkan IMB, kata Yassin, bersumber dari bunyi alarm darurat kapal yang terhubung ke pusat informasi organisasi itu. Masalahnya,

13


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

kata dia, sinyal dari alarm itu tak pernah diverifikasi kebenarannya di lapangan oleh IMB. ‘’Begitu terima mereka langsung ekspos.’’ Berdasarkan penyelidikan Polair Polda Kepri, kata Yassin, kapal-kapal besar itu memencet tombol alarm lebih karena kepanikan saat melihat ada pompong di dekat kapal mereka. ‘’Baru lihat pompong mereka sudah takut duluan. Padahal, belum tentu pompong-pompong itu mau merompak mereka,’’ ujarnya. Dari catatan yang dimiliki Polair Polda Kepri selama 2014 ini, setidaknya ada tiga kejadian seperti itu. Lokasinya di Karimun, Selat Singapura, dan Batuampar. ‘’Setelah kita periksa ternyata hanya pompong lewat. Ini kan merugikan kita.’’ Yang makin menyulitkan proses penyelidikan, kata dia, setelah melapor ke IMB, kapal-kapal itu pergi begitu saja. ‘’Itu yang membuat kami ragu pada kebenarannya,’’ ucap Yassin. Kepala Satuan Patroli Daerah Ditpolair Polda Kepri, Kompol Arif Bastari, mengatakan sebenarnya sangat mudah untuk mengecek kapal yang membuat laporan perompakan, terutama yang terdeteksi di radar. ‘’Tapi setelah kita cek, di data radar itu pun tidak kita temukan. Ini kan aneh, kok di radar saja tidak tertangkap,’’ katanya. Jalur Emas dalam Lintasan Sejarah Selat Singapura punya banyak nama pada masa lalu. Sudah jadi jalur pelayaran penting sejak seribu tahun silam. Sejak lama Selat Singapura dikenal sebagai perairan yang ramai. Jalur ini telah dikenal selama lebih dari seribu tahun oleh pelaut-pelaut Arab, Cina, dan Portugis. Bagi mereka, keberadaan Selat Singapura memudahkan hubungan antara Selat Melaka dan Laut Cina Selatan. Faktor itulah yang

14


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

membuat Selat Singapura berkembang menjadi rute perdagangan yang penting. Pendirian Singapura pada 1819 dan perkembangan yang berlangsung di kawasan itu secara dramatis telah memicu pertumbuhan lalu lintas kapal. Kini, Selat Singapura dikenal sebagai salah satu rute pelayaran komersial paling sibuk di dunia. Sebagai perairan yang terlindung, Selat Singapura sebelumnya dikenal dengan sejumlah sebutan, di antaranya Selat di Singapura, Selat Utama, Selat Sempit, Selat Lama, Selat Baru, Selat Sincapour, Selat Gubernur, Pelabuhan Baru, dan Pelabuhan Keppel. Perairan ini membentang sepanjang 105 kilometer dengan lebar 16 kilometer. Rentangan Selat Singapura bersentuhan dengan Selat Johor, Pelabuhan Keppel, dan banyak pulau-pulau kecil. Bagi para penjelajah dan pedagang kuno, Selat Singapura sudah menjadi rute pelayaran yang penting sejak Singapura masih dikenal sebagai situs bernama Temasek. Dalam terminologi Melayu, Temasek berarti Kota Laut. Setelah tujuh abad, Temasek kemudian bersalin nama menjadi Singapura yang berarti Kota Singa. Perubahan itu dilakukan oleh Sang Nila Utama, Pangeran Sriwijaya dari Palembang yang pindah ke Temasek. Selama abad ke-14, pelaut-pelaut Cina menaruh perhatian lebih pada Selat Singapura. Hal itu tampak dalam catatan Tao i chih lio dan Wu Pei chih. Nama perairan itu semakin terangkat pada abad ke-16 saat pelaut-pelaut Portugis dengan kapal-kapal khasnya sering melakukan perjalanan antara Cochin di India ke Makau. Pelaut-pelaut Portugis itu kemudian menyadari pentingnya Selat Singapura sebagai langkah awal mereka menguasai Melaka pada 1511. Sementara, Selat Melaka merupakan barometer kese-

15


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

hatan perdagangan dunia. Volume perjalanan di perairan tersebut mencapai puncaknya pada 2008, namun merosot tajam pada 2009 sehubungan dengan krisis keuangan global yang berdampak pada perdagangan. Namun pada tahun lalu tingkat transit di jalur perairan itu dapat melampaui catatan 2008. Menurut data Departemen Maritim Malaysia, yang dikompilasi oleh Nippon Maritime Centre (NMC) di Singapura, ada 77.973 kapal berbobot di atas 300 GT yang melintas di Selat Melaka sepanjang 2013. Volume lalu lintas di Selat Melaka tumbuh 22 persen pada masa yang disebut sebagai peredaran hebat di tahun 2005-2008. Jumlah pertumbuhan transit saat itu melonjak dari 62.621 unit pada 2005 menjadi 76.381 unit pada 2008. Krisis ekonomi global yang terjadi pada 2008-2009 mengakibatkan jumlah transit pada 2009 turun menjadi 71.359 unit. “Tren penurunan akibat krisis keuangan tahun 2008 utamanya mempengaruhi kapal-kapal kontainer dan pengangkut mobil. Bagaimanapun, lalu lintas VLCC (supertanker) kembali menunjukkan pertumbuhan yang kuat sebanyak 20 persen dalam lima tahun terakhir. Kapal pengangkut muatan curah juga meningkat 23 persen, dan kapal tanker meningkat 15 persen dalam lima tahun terakhir,� demikian laporan NMC. Meningkatnya volume lalu lintas adalah kabar baik dalam hal keseimbangan permintaan dan penawaran di dunia pelayaran, meski hal itu diiringi meningkatnya tantangan di bidang keamanan, khususnya terhadap kapalkapal tanker besar. Tantangan itu khususnya berada pada jalur tersempit di perairan tersebut yang lebarnya kurang dari satu kilometer. Ada rute alternatif bagi kapal-kapal dari Timur Tengah

16


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

yang akan menuju Selat Melaka, yakni melalui Selat Lombok. Untuk itu, mereka harus berlayar lebih jauh 1.000 kilometer yang akan menambah waktu selama tiga hari. Jumlah supertanker (VLCC) yang transit tahun lalu mencapai 4.825 unit, rata-rata 13,2 transit per hari. Jumlah itu didorong oleh pertumbuhan impor minyak mentah dari Timur Tengah oleh Cina. Tidak seperti kapal-kapal lain, jumlah kapal-kapal supertanker yang transit malah meningkat selama 2009. Perompakan Berada di Ranking Pertama Laporan tentang kasus perompakan di kawasan Selat Melaka dan sekitarnya seakan tak ada habisnya. Beberapa kejadian berhasil ditangani aparat TNI Angkatan Laut maupun Polisi Perairan. Tetapi, seperti pohon yang dipangkas batangnya, generasi baru tumbuh lagi setelah operasi keamanan berlalu. Bagaimana TNI Angkatan Laut sebagai garda terdepan pengamanan laut menyikapi masalah ini? Berikut wawancara Batam Pos dengan Laksamana Pertama Harjo Susmoro, Komandan Gugus Keamanan Laut Armada Barat TNI Angkatan Laut, di kantornya di Batam, Senin pekan lalu: Seberapa gawat masalah perompakan di Selat Melaka dan sekitarnya? Masalah perompakan ini lebih kepada pencurian di atas kapal. Itu disebabkan urusan perut saja. Kalau orang-orang ini (pelakunya) dapat pekerjaan yang bagus dan penghasilan yang memadai di darat, mereka tidak akan ke laut. Tapi karena di darat sulit akhirnya ya mencuri di laut, ini yang kita sebut perompakan. Tapi, kalau sampai membunuh dan melarikan kapal, yang dalam bahasa Inggrisnya disebut piracy, itu tidak ada. Bagaimana modus-modus yang digunakan?

17


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Modusnya banyak. Ada yang naik ke kapal dengan gambling, entah berhasil atau tidak. Ada juga yang sudah kerja sama dengan orang dalam kapal. Modus berikutnya adalah permainan asuransi. Sengaja dibuat agar situasi Selat Melaka atau Selat Singapura rawan dan bahaya. Maka perusahaan asuransi bermain. Semakin tinggi tingkat rawannya, preminya makin tinggi pula. Ini kadang dimainkan agar orang kapal itu melaporkan kepada pihak yang mempunyai kredibilitas soal itu, yaitu International Maritime Bureau (IMB). Berdasarkan laporan itu saja, dia sudah dapat fee. Benar atau tidaknya sudah dapat fee. Kadang ada laporan masuk, tapi begitu didatangi ke lokasi kapalnya sudah pergi dari posisi yang dia laporkan. Kadang kita bisa berkomunikasi melalui radio, kita tanya ada kerugian apa, mereka cuma bilang ada masalah orang mencoba naik tapi nggak ada kerugian material. Lebih banyak keterlibatan orang kapal? Begini, kalau orang-orang kapal ini ikut aturan main, insya Allah mereka selamat. Tapi, kadang-kadang mereka lego di tempat yang tidak kita rekomendasikan. Karena itu, patut kita curigai, apa tujuannya. Sudah tahu tempat itu dilarang parkir, kok masih parkir di situ. Di website IMB banyak sekali laporan soal perompakan di Selat Melaka dan Selat Singapura? Itu belum tentu benar semua. Kadang begini, para awak kapal begitu melihat ada pompong di dekat kapal mereka sudah langsung menyalakan alarm, padahal belum tentu pompong itu niat merompak. Tetapi, bunyi alarm yang diterima IMB sudah dicatat sebagai laporan perompakan dan langsung di-broadcast tanpa mengecek kebenarannya. Padahal, kan, tidak ada kejadian. Yang pasti, begitu ada informasi tentang itu, kita akan cek. Cari kapalnya. Kalau kapalnya benar langsung hidupkan

18


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

automatic information system (AIS). Maka bisa langsung dideteksi. AIS itu sifatnya terbuka, berfungsi untuk mengetahui posisi lengkap kapal. Kapal-kapal dagang mesti dilengkapi dengan AIS. Itu untuk keamanan dia. Saya di sini punya sistem untuk mendeteksi posisi kapal. Jadi kalau kapalnya benar atau legal, dia pasti akan broadcast agar diketahui semua pihak untuk keamanan dirinya. Bagaimana kondisi armada TNI AL untuk mengamankan Selat Melaka? Permasalahannya adalah unsur kita terbatas, kemampuan operasional terbatas. Kendala ada di bahan bakar. Kapal kita bagus, kalau tidak ada bahan bakar gimana mau jalan. Kalau armada yang ada ini saja didukung operasional bahan bakar yang cukup, sebenarnya sudah bisalah. Saya sudah mengajukan melalui RKKL kebutuhan operasional untuk tahun yang akan datang adalah sekian ton, tapi disetujui hanya 50 persennya saja. Itu pun kadang pengeluarannya agak sulit. Belum lagi kadang-kadang ada kegiatan mendadak, seperti kunjungan kementerian dan pemda ke pulau terluar dengan kapal kita. Nggak mungkin nggak kami dukung. Setidaknya, dengan kehadiran unsur kita di wilayahwilayah yang jadi pusat perhatian, yang semula berniat beraksi, akan membatalkan niatnya. Itu artinya, kita menciptakan rasa aman. Kalau memang serius, lengkapi Angkatan Laut dengan unsur yang lebih baik, khususnya dukungan bahan bakar yang lebih baik. Personel kita nggak ada masalah. Kita siap kok. Di mana saja titik rawannya? Pulau Nipah. Itu selalu ada informasi kejadian di sana. Kadang kita ke sana tapi nggak ada. Pulau Berhala sampai Aceh itu daerah rawan juga, Selat Durian dan juga Selat

19


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Singapura juga masuk titik rawan. Sekarang Tanjungberakit di Bintan juga masuk. Strategi kita ubah-ubah terus sesuai dengan situasi. Kita tidak berharap ada satu kejadian pun, tapi dengan hadirnya Angkatan Laut bisa mencegah terjadinya perompakan. Kalau diranking, perompakan ini urutan ke berapa dalam prioritas pengamanan laut? Perompakan memang jadi fokus. Sesuatu yang jadi perhatian khusus. Kalau saya tempatkan sih ini yang paling utama dapat perhatian. Tapi karena modusnya macammacam dan yang paling sering saya temui sering tidak terbukti, yang seperti itu menjadi catatan. Dalam penanganan perompakan kami tidak sendirian. Kami kerja sama dengan Lanal dan Polair. Kerja sama dengan negara lain di sekitar Selat Melaka, bagaimana? Patroli terkoordinasi adalah salah satu bentuk forum untuk mengatasi masalah-masalah keamanan di laut. Dengan Malaysia ada namanya Malindo. Ada antara komponen maritim Indonesia dengan maritim Malaysia, namanya Optima. Dengan India ada Indindo. Dengan Thailand dalam proses. Dengan Singapura disebut Indosin. Setiap pelaksanaan forum, kita bahas masalah itu, bagaimana modus-modusnya, bagaimana penanganannya. Dengan adanya patroli terkoordinasi, kalau ada pelaku yang lari ke sana kita tidak usah capek-capek kejar dia, tinggal kita kontak nanti mereka yang tangani. Soal penyelesaiannya nanti tergantung bagaimana perjanjiannya, apakah diserahkan ke kita atau diproses di mereka, kita tunggu hasilnya. Itu tergantung kebijakan pemerintah masing-masing. Dukungan pemda bagaimana? Guskamla tidak ngurusi Kepri saja. Tapi karena secara

20


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

administrrasi kita berada di sini, memang mendapat perhatian yang lebih. Kebetulan juga tingkat kerawanan di sini lebih tinggi. Kita tetap koordinasi dengan pemda. Semua berjalan dengan baik. Kalau tingkat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah, kita sering bertemu dengan Pak Gubernur dan Pak Kapolda untuk diskusi masalah-masalah keamanan. Di tingkat operasional ada Asisten Intelijen yang koordinasi dengan dinas-dinas terkait. Angkatan Laut insya Allah profesional. Kita hanya menangani apa yang jadi tugas dan kewenangan kita. Kalau bukan ya kita serahkan pada instansi terkait. Tapi bukan berarti kalau ada kejadian di depan mata, kita biarkan.*** Yusuf Hidayat adalah wartawan Batam Pos. Tulisan ini terbit di Majalah Batampos.co.id edisi Juni 2014 dan menjadi pemenang Rida Award 2014 kategori indepth/investigasi

21


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

22


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (1):

Dulu Sejahtera, Kini Tak Mampu Beli Obat Tujuh belas tahun silam, 10 desa di Sumbar dan Riau ditenggelamkan pemerintah Indonesia, demi membangun waduk PLTA Kotopanjang menggunakan dana pinjaman Pemerintah Jepang. Lima tahun sebelumnya, sebanyak 4.866 keluarga dibujuk dan dipaksa meninggalkan tanah leluhur mereka. Setelah dua dasawarsa terlewati, kaum tergusur itu hidup bak enau dalam belukar, bak bernafas dalam lumpur. Inilah, riwayat sepuluh negeri yang tenggelam. Selamat membaca, selamat melawan lupa. LAPORAN FAJAR RILLAH VESKY, SUMBAR

SELEMBAR kasur terbentang di dalam rumah kayu berukuran 6 x 6 meter. Seprainya warna-warni berlambang Hello Kitty, terlihat kotor karena sudah lama tidak dicuci. Di atas kasur beralas karpet dilapisi tikar plastik itulah, Sinurlilah melewati hari-harinya sejak enam tahun terakhir. Perempuan 84 tahun asal Jorong Pasarbuyuah, Nagari Tanjungpauh, Pangkalan Koto Baru, Limapuluh Kota, Sumbar, itu hanya bisa berbaring siang dan malam. Sesekali, ia duduk untuk mengambil air putih dalam gelas baja yang diletakkan menantunya, Sabarona (31) di samping kasur

23


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

dengan penuh cinta. Sesungguhnya, berat bagi Sinurlilah tidur tanpa bekerja. Apa daya usianya sudah di ambang senja. Ia tidak punya tenaga mengambil upah di kebun tetangga. Apalagi, sekujur dada dan punggungnya dihinggapi bintil-bintil kecil berwarna merah. Lebih kecil dari bisul, tapi menimbulkan rasa sakit dan gatal luar biasa. Bila digaruk, bintilan itu melepuh dan mengeluarkan banyak darah. Nyerinya sungguh tak terkata. Membuat Sinurlilah sering tidak sadarkan diri. Penduduk Tanjungpauh mengenal penyakit Sinurlilah sebagai kayok selendang. Sedangkan dunia medis menyebutnya herpes zoster atau cacar ular- cacar api. Penyakit kayok selendang ini gampang menular dan cenderung menyerang lanjut usia seperti Sinurlilah. Obatnya berupa pil asiklovir, famsiklovir dan valasiklovir, tersedia di apotek. Diminum lima kali sehari, pil-pil tersebut sudah bisa menjadi penawar nyeri. Akan tetapi, Sinurlilah tidak pernah mampu membeli. Pernah Sinurlilah diantar anaknya ke Puskesmas dan diberi obat oleh dokter. Tapi setahun terakhir, ia memilih menahan rasa sakit karena tidak punya uang untuk beli obat. Sedangkan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang diperolehnya dari pemerintah, sudah tidak berlaku sejak Januari, 2012 lalu. “Kartu Jamkesmas Amak, sudah mati dan tidak laku lagi. Sampai kini, belum dapat gantinya,� kata Sinurlilah kepada Padang Ekspres, beberapa waktu lalu. Saat itu, Sinurlilah yang tidak tahu program BPJS Kesehatan tampak pucat. Rambutnya yang masih hitam, dibiarkan tergerai. Tubuhnya dibaluti daster dan sarung batik. Ia duduk sambil mengunjurkan kedua kakinya di atas kasur. Sabarona, menantunya yang bertubuh tambun dan

24


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

berasal dari Muaromaek, Kampar, Riau, berusaha menutup kedua kaki Sinurlillah. Ini dilakukan karena punggung kaki kanan Sinurlilah, persisnya di sekitar kelingking, terluka akibat digigit kucing. Luka itu mulai mengering di pinggirnya, tapi masih menganga di tengahnya. “Kalau tidak ditutup, nanti Adiak jijik melihatnya,” kata Sabarona sambil mencari handuk atau selimut. Tapi Padang Ekspres melarangnya. “Biarkan saja Uni, tidak apa-apa.” Sabarona pun terdiam. Dan kembali duduk di samping Sinurlilah. Sang mertua hanya bisa menarik napasnya dalamdalam. Sedalam ingatannya akan peristiwa 20 tahun silam. Kala itu, Sinurlilah bersama suaminya almarhum Haji Sad, menetap di sebuah kampung nan asri. Kampung tersebut bernama Desa Tanjungpauh. Tanahnya subur. Menghasilkan padi, sayur-mayur, dan buah-buahan yang berlimpah. Di tengah desa, mengalirlah Batang Maek (Batang dalam bahasa Minangkabau berarti Sungai). Ikannya banyak dan mudah ditangkap warga. “Enak tinggal di sana. Saya bersama keluarga, saat itu hidup sejahtera. Untuk makan sehari-hari, kami tak pernah membeli. Karena semuanya dapat diambil dari ladang dan sawah,” kenang Sinurlilah. Sayang, ketenangan hidup Sinurlilah hanya bertahan hingga akhir 1992. Rencana pemerintah membangun bendungan tunggal di Kotopanjang untuk menggerakkan tiga buah turbin berkapasitas 114 megawatt sejak 1979, membuat Desa Tanjungpauh harus ditenggelamkan bersama 9 desa lain di Sumbar dan Riau. Sebelum Desa Tanjungpauh tenggelam, sebanyak 1.152 jiwa penduduk dari 312 kepala keluarga (sebagian lain menyebut 313 kepala keluarga), dipindahkan ke permukiman baru di kawasan Rimbodata yang gersang pada Januari

25


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

1993. Sinurlilah, masih mengenang detik-detik pemindahan tersebut. “Waktu pindah ke kampung baru ini, suami saya sedang sakit keras. Bersama anak-anak, saya membimbingnya menaiki bus yang disediakan pemerintah buat mengangkut kami,� cerita Sinurlilah yang punya enam orang anak, yakni Murni, Nurdin Efendi, Darwin, Kasman Amri, Andrison, dan Andrinal. Di permukiman baru yang disebut pemerintah sebagai Satuan Permukiman II Rimbodatar, Sinurlilah memperoleh 1 unit rumah. Sampai kini, rumah itu tak pernah diperbaiki. Hanya lapisan dinding bagian dalam saja yang sering diganti. Dari kertas batang padi dan koran bekas, menjadi kertas hias bermotif batu bata. Selain memperoleh 1 unit rumah yang menyatu dengan lahan pangan seluas 400 meter, juga ada kebun karet gagal tanam seluas 2 hektare. Keluarga Sinurlilah mendapat ganti-rugi sebesar Rp4.216.000,-. Ganti rugi itu dibayar atas rumah dan pekarangan plus 3 kapling kebun di kawasan Bukik Kadai Miar dan Kelokjoriang. Sinurlilah menilai ganti-rugi itu tidak setimpal. Karena rumahnya di kampung lama, lebih besar dari rumah di kampung baru. Pemerintah tidak pernah mengganti 4 kapling kebunnya di kawasan Panyapian dan Paraknaneh. Padahal, kebun seluas 3 hektare itu terisolasi akibat waduk PLTA Kotopanjang. “Dulu, pemerintah berjanji membayar kebun yang terisolasi. Tapi janji tinggal janji. Sampai kini, saya tak pernah menerima ganti-rugi atas 3 hektare kebun saya di Panyapian dan Paraknaneh. Saya sumpahi mereka yang memakan hak saya, agar tidak selamat hidupnya,� kutuk Sinurlilah. Keluarga Sinurlilah, bukanlah satu-satunya keluarga di

26


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Desa Tanjungpauh yang tidak utuh menerima pampasan akibat pembangunan waduk PLTA Kotopanjang. Masih terdapat, 67 keluarga lain bernasib serupa. Bahkan, ada 10 keluarga, tidak dapat ganti rugi satu rupiah pun dari pemerintah! Seperti Sinurlilah, mereka tidak diam begitu saja. Mereka pernah melakukan perlawanan panjang. Malahan, semasa rezim Orde Baru masih berkuasa, mereka berkalikali berunjuk rasa. Mulai ke kantor camat di Pangkalan, kantor bupati di Payakumbuh (sebelum pindah ke Sarilamak), sampai kantor gubernur di Padang. “Entah sudah berapa kali kami ikut demonstrasi. Pernah pula kami tidur di kantor bupati. Pokoknya, kalau hati sudah marah, takut pun tidak kami dengan bupati. Hanya saja, aspirasi kami tak pernah didengar. Di kantor gubernur, perkataan mereka saja yang berlaku, perkataan kami tidak,” ucap Sinurlilah. Janda tua itu kembali menghela napasnya. Lalu, meletakkan kedua telapak tangan di atas lutut dan melanjutkan percakapan. Menurutnya, setelah pindah ke kampung baru, pemerintah memang pernah membagikan jatah hidup alias jadup untuk seluruh warga Desa Tanjungpauh. Jadup berupa beras, minyak goreng, kecap, dan ikan asin itu berjumlah 10 kilogram untuk setiap jiwa. “Jadup (jaminan hidup, red) dibagikan sekali sebulan, selama hampir 2 tahun. Setelah itu kami tidak pernah lagi menerima jadup. Sementara kebun karet yang dijanjikan siap potong, masih kosong. Sehingga kami tidak punya mata pencaharian. Karena itu kami pernah gugat pemerintah di pengadilan. Bahkan sampai ke Jepang. Banyak uang kami habis untuk iuran. Tapi kami kalah,” kata Sinurlilah. Kini, Sinurlilah sudah pasrah menerima takdir hidupnya. “Kalau masih tinggal di kampung lama, kami mungkin

27


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

tidak menderita. Tapi, sudahlah. Tidak ada gunanya disesali. Tidak akan ada yang mau membayar ganti-rugi lahan kami. Karena uang kami sudah dimakan. Mungkin dimakan rezim Soeharto.� *** Mengunjungi Sinurlilah di Nagari Tanjungpauh bukanlah pekerjaan mudah. Dari Padang, ibukota Sumbar, butuh 4 sampai 5 jam perjalanan darat untuk sampai di kampung tersebut. Sedangkan dari kota terdekat, Payakumbuh, butuh waktu 1,5 jam sampai 2 jam, dengan melewati fly over Kelok Sembilan yang berliku-liku. Rumah Sinurlilah berjarak 1 kilometer dari pusat pemerintahan Nagari Tanjungpauh dan 500 meter dari pinggir Jalan Negara Sumbar-Riau arah ke Pekanbaru. Agar sampai di rumah berdinding papan tersebut, Padang Ekspres harus menelusuri jalan lingkar nagari dengan kondisi hancur. Aspal lapen-nya sudah lama terkelupas. Menyisakan kerikil-kerikil yang membuat pantat pengemudi kendaraan roda dua sakit saat melewatinya.�Jalan ini, sudah 10 tahun tidak pernah diperbaiki pemerintah,� kata Irwan Hamid, Ketua Pemuda Nagari Tanjungpauh yang menemani Padang Ekspres ke rumah Sinurlilah. Kami tiba di rumah Sinurlillah bakda asar. Menjelang matahari terbenam, kami pamit. Irwan mengajak Padang Ekspres bermalam di rumahnya. Rumah Irwan berada di samping rumah Sinurlilah. Terbuat dari batu lobrik, rumah itu terbilang besar. Punya dua kamar dan ruang tamu yang sejajar dengan ruang makan. Irwan tinggal bersama ayah, ibu, etek, serta dua adiknya. Adik perempuan Irwan sudah punya suami dan dikarunia seorang putra. Mereka mendirikan sebuah warung

28


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

minuman di samping rumah. Banyak lelaki ngopi di warung tersebut, umumnya anak-anak muda penggemar sepakbola. Di dalam warung, selain terdapat empat meja dan 15 kursi plastik untuk pengunjung, ada pula sebuah kamar seukuran 2 x 3 meter. Di kamar itulah Padang Ekspres melepas lelah. Tidak ada tempat tidur di dalamnya, tapi Irwan menyediakan kasur empuk untuk merebahkan badan. Sebelum Maghrib datang, ibu kandung Irwan, Ilasmi, menghidangkan tiga cangkir teh hangat. Suaminya, Jamal, petani karet yang ulet, menemani obrolan kami, hingga masuk waktu salat Maghrib. “Kalau mau salat, mandi dulu di belakang rumah, biar lebih segar,� kata Jamal kepada Padang Ekspres. Di belakang rumah Irwan memang terdapat sebuah tempat mandi sederhana. Berlantai kayu dan berpagar kain, tempat mandi itu dilengkapi dua buah drum. Air di dalam drum berasal dari mata air yang disalurkan melalui slang plastik warna biru. Teramat jernih dan dingin. Cocok buat membasuh tubuh. Sayang, senja itu Padang Ekspres tidak sempat mandi karena cuaca mendadak berubah. Langit diselimuti awan hitam. Gemuruh serasa menggelegar di ujung telinga. Angin bertiup kencang. Kilat dan petir seperti sambar-menyambar. Hujan deras pun mengguyur Nagari Tanjungpauh. Selepas salat Maghrib, di tengah desauan angin dan guyuran hujan, kami makan malam dengan menu ikan garing hasil tangkapan masyarakat di danau buatan. Ikan garing itu digoreng ibu Irwan, lalu dilumuri cabe merah bercampur jengkol. Rasanya sungguh menggoyang lidah. Ditambah sayur singkong rebus, kami batambuah (tambah nasi), hingga dua kali. Lapar hilang, kenyang pun datang. Kami meninggalkan rumah Irwan dan pindah duduk ke dalam warung di samping

29


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

rumah tersebut. Di dalam warung, belasan lelaki asyik memainkan batu domino dan kertas ceki sambil menyeruput kopi. Tidak ada di antara mereka yang berjudi. Semuanya hanya main adat atau main untuk melepas lelah setelah bekerja sehari. Saat hujan mulai reda, kami tinggalkan lelaki-lelaki itu. Menunggangi sepeda motor matic di kegelapan malam, kami bertolak menuju rumah Safri Datuak Paduko Simarajo (57) seorang pemangku adat di Nagari Tanjungpauh. Kondisi jalanan yang buruk dan becek, menyiksa perjalanan kami. Saat melewati pendakian, kami terpaksa mendorong sepeda motor tersebut.(Bersambung)

30


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (2):

“Secara Adat, Kami Tidak Lagi Berdaulat� Pembangunan waduk PLTA Kotopanjang membuat tatanan sosial budaya di Nagari Tanjungpauh acakadut. Bukti sejarah dan peradaban tenggelam. Rumah Gadang kebanggaan kaum, musnah. Balai Adat hilang bersama riwayatnya. Ratusan hektare tanah ulayat tak dapat digarap. Persoalan sanitasi dan air bersih tidak pernah diurus dengan serius. Jangan heran, bila rakyatnya gampang diserang diare, muntaber, dan penyakit menular lain. LAPORAN FAJAR RILLAH VESKY, SUMBAR

SELEPAS mendorong sepeda motor yang mesinnya terdengar meraung-raung melewati pendakian, kami melanjutkan perjalanan ke rumah Safri Datuak Paduko Simarajo di Jorong Pulaupanjang. Rumah Safri terbilang besar dibanding rumah warga lain. Berlantai keramik dan berdinding tembok dibalut cat warna cream, rumah itu tampak mengkilap. Halamannya luas dan dilengkapi kolam ikan. Di dalam rumah, Safri sedang menonton siaran televisi sambil memeluk cucunya. Ketika Padang Ekspres datang, Safri menyerahkan sang cucu kepada putrinya atau ibu dari gadis cilik itu. “Jadi, Ananda mau menulis dampak

31


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

pembangunan PLTA Kotopanjang, setelah 20 tahun kami dipindahkan? Baguslah. Kami mendukung. Apa yang bisa bapak bantu?” ucap Safri, mengawali perbincangan. Sambil mengeluarkan tembakau dari dalam saku bajunya, Wakil Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Tanjungpauh itu mulai bercerita. Menurut Safri, jauh sebelum menjadi nagari, Tanjungpauh adalah rimba raya. Hingga datang nenek moyang mereka dari Muarotakuih (kini dikenal sebagai Muaratakus, Kampar, Riau). “Nenek moyang kami datang dari Muarotakuih. Mereka berasal dari Suku Domo. Waktu itu, ada kerbau pusaka bertanduk emas yang hilang, sehingga dicari sampai ke kawasan Tanjungpauh lama. Yang mencari, dua orang adikkakak. Yakni, Datuak Sipaduko dan Datuak Paduko Simarajo,” tutur Safri. Dalam pencarian kerbau pusaka yang hilang itu, tutur Safri, Datuak Sipaduko berjalan menelusuri sungai atau disebut masyarakat dengan ungkapan bajalan aia, mahuno kapa sasak. Sedangkan adiknya, Datuak Paduko Simarajo, menempuh perjalanan darat atau disebut bajalan darek, manitih kalimuntiang. Sesampai di kawasan Pendoman, Nagari Tanjungbalik (kampung tetangga Tanjungpauh), Datuak Sipaduko dan Datuak Paduko Simarajo, mendapati kerbau pusaka yang mereka cari telah mati. Bangkai kerbau itu kemudian dikubur. Tanduk emasnya dilucuti. Diantar kembali ke Muarotakuih oleh rombongan yang ikut dalam pencarian. “Pada awalnya, kedua Datuak tadi hendak kembali pula ke Muarotakuih. Tapi setiba di kawasan Muaro Sungai Lansek, Datuak Sipaduko memilih singgah. Hal serupa dilakukan adiknya Datuak Paduko Simarajo. Nenek moyang saya ini berhenti di kawasan yang dikenal masyarakat sebagai Pulaukoto atau Kapalokoto,” ujar Safri.

32


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Baik kawasan Pulaukoto dan Muaro Sungai Lansek, sama-sama berada di Desa Tanjungpauh lama. Sekarang, seperti diakui Safri, tempat-tempat bersejarah yang menandai peradaban warga Tanjungpauh tersebut telah tenggelam, seiring pembangunan waduk PLTA Kotopanjang, menggunakan dana hutang dari Jepang. Singkat cerita, setelah berhenti di dua kawasan dalam Desa Tanjungpauh lama, Datuak Sipaduko dan Datuak Paduko Simarajo sepakat membuat koto (cikal bakal nagari di Minangkabau). “Mereka, mendirikan koto di daerah Angki, dekat jalan sempit Tanjungpauh lama, namanya Kotolamo. Di sana, Datuak Sipaduko tinggal dekat air. Sedangkan Datuak Paduko Simarajo tinggal di darek,� imbuh Safri. Semakin hari, kaum Datuak Sipaduko dan kaum Datuak Paduko Simarajo yang menghuni Kotolamo semakin berkembang. Karenanya, sewaktu mandi-mandi di kawasan Ujuangtanjuang (lagi-lagi sudah tenggelam), muncul ide mendirikan nagari. Hanya saja, karena saat itu ipa jo bisan (ipar dan besan) mereka ikut mandi, kedua Datuak sepakat menggelar rapat setelah mandi. Dalam rapat, terjadi dialog panjang antara kedua Datuak. Semula, mereka ingin menamai nagari baru itu sebagai Tanjung. Tapi karena teringat pohon mangga yang berdiri di ujung kampung, diberilah nama Tanjungpauh. Hanya saja, karena baru ada dua kaum dari suku yang sama, Nagari Tanjungpauh urung diresmikan. Kedua Datuak tadi sepakat mencari tambahan kaum. Suatu ketika, saat mereka menjala ikan di kawasan Angki bersama dubalang (hulubalang), salah seorang Datuak menemukan ampas jagung, sisa makanan manusia. Karena yakin di hulu sungai ada kehidupan Datuak tersebut meminta seluruh rombongan menghentikan aktivitas

33


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

menjala ikan. Selanjutnya, mereka menelusuri sungai, mencari pemilik ampas jagung yang hanyut tadi. Setiba di kawasan bernama Taratakdurian, rombongan kedua Datuak, menemukan sekelompok manusia. Kelompok besar itu ditawari pindah ke Tanjungpauh, tapi mereka keberatan. Mereka beralasan, Taratakdurian yang akan ditinggal sudah jelas kampung mereka. Karena tidak ada kata sepakat, digelarlah musyawarah kedua kelompok di kawasan bernama Kandangkobek. Musyawarah tersebut melahirkan perjanjian Kandangkobek. Dalam perjanjian itu disepakati kelompok yang tinggal di Taratakdurian, bersedia hidup berdampingan dengan kelompok Tanjungpauh, asalkan diberi gelar kebesaran (gelar adat), tanah perladangan, dan tapian tampek mandi (tempat pemandian). Kedua Datuak dari Tanjungpatuah setuju, sekaligus memberi gelar Datuak Majo. Sejak itu, sudah tiga Datuak yang menghuni Nagari Tanjungpauh. Tidak lama berselang, datang pula rombongan dari Piaman (Pariaman). Mereka datang dari Batang Maek menaiki pirahu upiah (sampan dari pelepah). Kedatangan mereka diketahui dubalang, sehingga ditangkap, lalu dihadapkan kepada ketiga Datuak. Tatkala berhadap-hadapan, rombongan dari Piaman ternyata sudah punya suku dan punya penghulu. Suku mereka Piliang. Penghulu mereka bergelar Datuak Mangguang. Mereka menelusuri sungai Batang Maek karena ingin mencari negeri baru. Bagaikan pucuk dicinta ulam tiba, mereka diterima di Nagari Tanjungpauh. Alhasil, sudah empat Datuak yang menghuni Nagari Tanjungpauh. Tapi persoalan datang, ketika Datuk Sipaduko, saudara kandung Datuk Paduko Simarajo, menikahi anak urang pirahu (gadis dari kawasan yang kini dikenal sebagai Sitanang Muaro Lakin, Lareh Sago Halaban,

34


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Limapuluh Kota, Sumbar). Dari pernikahan tersebut, Datuk Sipaduko dikarunia anak laki-laki. Pada suatu malam, sang anak rewel. Agar bisa tidur, Datuak Sipaduko menggendongnya sambil sambil berucap: “Anak bujang capeklah gadang. Kalau lah gadang, apak jadian Datuak Ka Ampek Suku (Anak bujang cepatlah besar. Kalau sudah besar, bapak jadikan engkau Datuk Kempat Suku/unsur pimpinan di nagari)”. Rupanya, ucapan Datuk Sipaduko sampai ke telinga Datuak Mangguang. Sebagai rombongan yang diajak menghuni Tanjungpauh, Datuak Mangguang tersinggung. Datuak dari Tiku Pariaman itu berpikir, buat apa mereka tinggal di Tanjungpauh, kalau pada akhirnya nanti, Datuak Sipaduko akan menunjuk anak kandungnya sebagai Datuak Ka Ampek Suku. Lantaran tersinggung, Datuak Mangguang membawa anak kemenakannya hijrah dari Tanjungpauh menuju kawasan Pulaugadang. Kini, Pulaugadang ikut tenggelam akibat pembangunan waduk PLTA Kotopanjang. Sehingga dipindahkan ke kawasan baru yang juga dinamai Pulaugadang di Kabupaten Kampar, Riau. Sewaktu Datuak Manggung berniat hijrah, Datuak Sipaduko bersama Datuak Paduko Simarajo dan Datuak Majo sempat mencegah. Tapi hanya sebagian anak-kemenakan Datuak Mangguang yang dapat dicegah. Sedangkan sebagian lain tetap bertolak ke Pulaugadang. Mereka yang dicegah ini kemudian diberi gelar penghulu baru, yakni Datuak Tan Simarajo atau datuk yang ditahan raja. “Adapun putra Datuk Sipaduko yang membuat Datuak Mangguang meninggalkan Nagari Tanjungpauh, setelah beranjak dewasa, ternyata memang diangkat sebagai penghulu, dengan gelar Datuak Bijo Dirajo dan bersuku Piliang, sesuai suku ibunya dari Sitanang Muaro Lakin,” ulas

35


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Safri Datuak Paduko Simarajo. Dengan demikian, hingga saat itu, terdapat lima datuak di Nagari Tanjuangpauh. Yakni Datuak Sipaduko, Datuak Paduko Simarajo, Datuak Majo, Datuak Tan Simarajo, dan Datuak Bijo Dirajo. Sekitar tahun 1980-an, datanglah satu kaum dari Gunuanglelo (sebagian kawasan ini ikut terimbas proyek PLTA Kotopanjang, sehingga dipindahkan ke kawasan bernama serupa di Kampar, Riau). Kaum dari Gunuanglelo tersebut beranak-pinak di Tanjungpauh. “Ibarat pepatah, rantiang alah jadi dahan, dahan alah jadi batang (sudah berkembang-biak), mereka dibolehkan mendirikan penghulu baru, dengan gelar Datuak Lelo Mangkuto dari suku Piliang. Sehingga, sejak 1980-an itu, jumlah penghulu di Tanjungpauh genap enam orang,” ucap Safri Datuak Paduko Simarajo. Sampai kini, keenam Datuak masih memegang peranan penting di Tanjungpauh. Hanya saja, diakui Safri, peranan tersebut mulai bergeser. “Dulu, Datuak-Datuak menjadi tempat bertanya bagi anak-kemenakan. Kehidupan dahulu, penuh dengan semangat badunsanak (kekeluargaan). Kini, Datuak-Datuak masih menjadi panutan, tapi anakkemenakan sudah hidup individualistik,” ucap Safri. Senada dengan Safri, Irwan Hamid yang menyimak obrolan kami ikut menimpali. Menurut Irwan, dahulu masyarakat Tanjungpauh, hidup dengan semangat penuh persaudaraan. Contoh sederhana, kalau dulu ada yang menebang pisang, buahnya pasti dibagi-bagi. “Kini, rambutan pun kalau masak, tak ada yang berani mengambilnya,” ucap Irwan. Selain terjadi perubahan pola hidup, masyarakat Tanjungpauh seperti diakui Safri, seakan kehilangan identitas sebagai etnik asli Minangkabau. Bagaimana tidak, dahulu mereka punya rumah gadang, lambang kebesaran

36


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

kaum. Tiang rumah gadang itu adalah kata hakikat. Pintunya dalil kiasan. Bendulnya sembah-menyembah. Berjenjang naik, bertangga turun. Dindingnya penutup malu. Biliknya alung bunian. Kini, rumah gadang itu benar yang tidak mereka miliki. Sebab, sewaktu pindah ke kampung baru, pemerintah tidak pernah mendirikan rumah gadang, seperti rumah gadang mereka yang tenggelam di kampung lama. “Pemerintah juga tidak pernah mendirikan Balai Adat bagi kami. Ada balai pertemuan didirikan pemerintah, tapi arsitekturnya, tidak lagi mencerminkan adat Minangkabau. Pedih hati kami kalau mengenangnya,” kata Safri. Terdiam sejenak, Safri mempersilahkan kami meminum teh manis yang mulai dingin. Setelah sama-sama minum, ia kembali melanjutkan percakapan yang terputus. Menurut Safri, selain kehilangan identitas, masyarakat Minangkabau di Nagari Tanjungpauh, terutama kaum yang dipimpin Datuak-Datuak tadi, sejatinya tidak lagi berdaulat secara budaya, apalagi mandiri secara ekonomi. “Secara adat, kami tidak lagi berdaulat. Sebagai contoh, salah satu syarat mendirikan nagari di Minangkabau adalah punya tapian tampek mandi, kini kami tak punya itu. Begitu pula dengan tanah ulayat. Walau secara kasat mata masih ada yang tersisa, yakni sebuah perbukitan di balik danau, tapi secara fisik, tidak bisa kami garap, karena disebut pemerintah sebagai hutan lindung. Bahkan, tanah bersertifikat pun, kini masuk kawasan hutan lindung,” tutur Safri. Ia mengakhiri obrolan dengan menumpangkan harapan kepada pemerintah, agar mencabut status hutan lindung atas hutan ulayat Nagari Tanjungpauh. “Hutan ulayat itu tidak pernah kami serahkan kepada negara. Kami berharap, pemerintah mencabut status hutan lindungnya. Sehingga dapat kami garap untuk kesejahteraan anak nagari,” ulas

37


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Safri Datuak Paduko Simarajo. *** Malam semakin larut ketika Padang Ekspres meninggalkan rumah Safri. Bersuluh lampu sepeda motor Irwan Hamid yang hidup-mati, kami kembali ke warung kopi milik adik ipar Irwan. Di warung tersebut, sejumlah lelaki masih asyik bermain kertas ceki. Beberapa di antaranya, menunggu siaran langsung sepakbola di layar televisi. Sempat berkenalan satu sama lain, kami akhirnya saling permisi. Perjalanan panjang dari Payakumbuh memaksa Padang Ekspres duluan merebahkan badan. Dinginnya udara malam, membuat kantuk sangat cepat mengantarkan mimpi. Padang Ekspres baru terjaga ketika ayam sudah puluhan kali berkokok dan ibu Irwan terdengar mulai menyapu di halaman rumahnya. “Lekaslah mandi, sudah pagi. Masih banyak yang akan kita temui,� ucap Irwan. Sebelum bergegas mandi, perut kami sama-sama mules. Satu-satunya obat mujarab adalah jamban yang dibangun keluarga Irwan di atas kolam ikan, tidak jauh dari tempat mandi. Dinding jamban itu ditutupi goni dan kain sarung bekas. Selain keluarga Irwan, beberapa pengunjung warung biasanya juga buang air besar di jamban yang dilengkapi ember penampung air tersebut. Irwan mengakui, soal sanitasi atau kesehatan lingkungan, Nagari Tanjungpauh masih jauh tertinggal. Sebab, saat relokasi penduduk dari kampung lama ke kampung baru, pemerintah tidak pernah mengurus persoalan sanitasi dengan serius. “Sekarang, sudah syukur ada jamban di atas kolam ikan. Dulu, masih banyak warga yang buang air sembarangan. Sehingga gampang terserang diare, muntaber, dan penyakit menular lainnya,� cerita Irwan, sepagi itu.

38


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Selepas buang air besar, Padang Ekspres langsung mandi. Air yang jernih dan segar, membuat tubuh terasa bugar kembali. “Waktu baru-baru pindah ke kampung lama ini, kami kesulitan memperoleh air bersih. Jangankan untuk mandi, untuk minum pun kami terpaksa membeli, dengan harga Rp3 ribu per jeriken. Beberapa tahun terakhir, sudah ada sumber air bersih yang dikelola masyarakat. Sehingga kami cukup terbantu,� kata Irwan dari luar tempat mandi.(Bersambung)

39


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

40


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (3):

184 Ha Kebun Terjual, 261 KK Tak Punya Rumah Hampir 22 tahun sejak dipindahkan, rumah-rumah penduduk Nagari Tanjungpauh, tidak bertukar corak dan rupa. Kebun karet seluas 184 hektare, terjual untuk makan. Lahan pangan yang hanya 400 meter berangsur dilego. Sebanyak 261 keluarga baru, kini tak punya rumah. Pajak air dan permukaan, tidak pernah didapat pemerintahnya. Berada di perbatasan Sumbar dengan Riau, mereka merasa dianaktirikan. LAPORAN FAJAR RILLAH VESKY, SUMBAR

USAI mandi dan mengganti baju, Padang Ekspres sarapan dengan nasi goreng masakan Ilasmi, ibu kandung Irwan Hamid, Ketua Pemuda Nagari Tanjungpauh yang baru terpilih sebagai pucuk pimpinan Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumbar. Sungguh, nikmat benar hidup sepagi itu. Sambil menunggu sepeda motor yang dipakai adik Irwan buat mengantar anak lelakinya ke Taman Kanak-Kanak, Ilasmi menghidangkan secangkir kopi hangat. “Jangan sungkan-sungkan. Anggap saja rumah sendiri. Ibu sudah biasa menerima tamu. Mahasiswa yang meneliti dampak waduk PLTA Kotopanjang atau teman Irwan dari

41


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Serikat Petani Indonesia sering tidur di sini. Mereka tidak ada yang pemalu seperti kamu,” ucap Ilasmi dengan nada tulus. Entah dengan cara apa, kami dapat membalas ketulusan perempuan tangguh tersebut. Hampir habis kopi yang dihidangkan Ilasmi, adik perempuan Irwan datang. Meminjam sepeda motornya, kami mengelilingi Nagari Tanjungpauh. Ada 3 jorong (dusun) di nagari tersebut, yakni, Pasarbuyuah, Pulaupanjang, dan Kotolamo. Ketiga jorong dihubungkan jalan lingkar dengan kondisi rusak parah. Beberapa ruas, baru diperbaiki dengan memanfaatkan dana PNPM-MP dan PPIP. Saat berada di Jorong Kotolamo dan Jorong Pulaupanjang, Padang Ekspres menyaksikan, betapa timpangnya pembangunan di daerah. Betapa gagalnya proyek pemindahan desa-desa yang tenggelam akibat pembangunan PLTA Kotopanjang. Banyak rumah penduduk tidak bertukar corak dan rupa. Walau sudah 20 tahun mereka dipindahkan dari kampung lama ke kampung baru. “Jangankan memperbaiki rumah, makan sehari-hari saja kami sudah kesulitan. Masih untung kami dapat bertahan hidup,” kata pasangan suami-istri Zalmis (53) dan Rahima (53), yang tengah menjemur pinang iris di halaman rumah mereka di Jorong Kotolamo. Pasangan ZalmisRahima adalah keluarga yang tidak memiliki lahan di kampung lama. Sehingga praktis, mereka hanya dapat rumah dan sedikit lahan pangan, saat dipindahkan pemerintah ke kampung baru. Agar asap dapur tetap mengepul, Zalmis dan Rahima bekerja apa saja. “Yang penting, kami bisa makan dan anakanak bisa sekolah,” kata Zalmis. Kini, Zalmis dan Rahima dikaruniai Tuhan sepasang putra-putri. Yakni, Gusfi Azwar (17) dan Meisi Zahra (13). “Mereka masih bersekolah. Kami berdoa mereka jadi orang. Sehingga bisa memperbaiki

42


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

rumah kami,” ucap Zalmis, bertelanjang dada. Setali tiga uang dengan Zalmis, beberapa tetangganya, masih menghuni rumah berukuran 6 x 6 meter yang selesai dibangun pemerintah awal 1993. Di antara tetangga Zalmis, telah memperoleh ganti rugi dari pemerintah, saat pindah dari kampung lama ke kampung baru. Sayang, uang tersebut telah ludes untuk memenuhi pelbagai kebutuhan hidup. “Jangankan uang ganti rugi, lahan karet yang dibagikan pemerintah seluas 2 hektare buat masing-masing keluarga sudah banyak yang terjual karena biaya makan, berobat, sekolah, sampai menikahkan anak. Awalnya, saya tidak percaya dengan fenomena ini, tapi setelah saya telusuri, ternyata benar,” kata Iswadi, Ketua Badan Musyawarah Nagari Tanjungpauh, saat ditemui di dangaunya. Menurut Iswadi, masyarakat Tanjungpauh yang terpaksa menjual lahan karet, sudah mencapai 92 keluarga. Bila satu keluarga punya lahan seluas 2 hektare, berarti total kebun karet yang terjual sudah 184 hektare. Agar tetap hidup, warga yang menjual lahan karet itu terpaksa menjadi buruh. Sedangkan putra-putri mereka banyak yang merantau dan berprofesi sebagai sopir. Selain menjual lahan karet, menurut Iswadi, warga secara berangsur, mulai melego lahan pangan bantuan pemerintah yang luasnya hanya 400 meter untuk setiap keluarga. Ini dilakukan, karena beratnya beban ekonomi setelah pindah dari kampung lama ke kampung baru. Selaku pimpinan ‘badan legislatif’ di tingkat nagari, Iswadi tidak menyalahkan warga yang menjual lahan bantuan pemerintah. “Masyarakat tidak punya pilihan lain. Mereka menjual lahan karet maupun lahan pangan bantuan pemerintah semata-mata karena kebutuhan hidup. Sebenarnya, buah kegagalan yang dipetik masyarakat sekarang, tidak lepas dari

43


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

biji yang ditabur pemerintah dua dasawarsa silam,” kata Iswadi, sambil menyulut sebatang rokok, dengan menggunakan korek api bermerek Cricket. Setelah menghembuskan asap rokok tersebut, Iswadi melanjutkan percakapan dengan Padang Ekspres. Iswadi yang beristrikan warga Nagari Pauhsangik, Akabiluru, Limapuluh Kota, Sumbar, menilai, pemerintah telah gagal dalam proses pemindahan warga korban pembangunan PLTA Kotopanjang di Nagari Tanjungpauh, maupun di desadesa lain di Sumbar dan Riau. “Mulai dari proses pembayaran ganti rugi, pemindahan warga, pembagian kebun, sampai sekarang, program yang dirancang pemerintah, umumnya gagal total. Ini berbeda dengan nasib korban pembangunan Waduk Gajah Mungkur di Wonogori, Jawa Tengah. Di mana, saat dipindahkan ke Sitiung, Dharmasraya, Sumbar, mereka hidup sejahtera. Saya tahu, karena sudah lakukan studi komparatif bersama wartawan Jepang,” ujar Iswadi. Pendiri Badan Perjuangan Rakyat Korban Dam Koto Panjang (BPR KDKP) ini tentu tidak asal bicara. Faktanya, warga Tanjungpauh yang dipindahkan akibat pembangunan PLTA memang menderita. Masih ada 67 kepala keluarga yang ganti rugi lahannya belum dibayar pemerintah, seperti Sinurlilah pada bagian awal tulisan ini. Bahkan ada 10 kepala keluarga yang tidak dapat ganti rugi sama-sekali. Hanya saja, menurut Safri Datuak Paduko Simarajo yang diwawancarai sebelumnya, terhadap 10 keluarga yang tidak memperoleh ganti rugi itu, pemerintah pernah memberi solusi. “Setelah seluruh masyarakat Tanjungpauh dipindahkan, 10 keluarga itu pernah ditawari Bupati Aziz Haily, agar menerima ganti rugi, mengambil jatah kebun karet dan lahan pangan. Tapi mereka tidak bersedia. Saya tidak tahu, kenapa sampai begitu,” ujar Safri.

44


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Pernyataan pemuka Adat Tanjungpauh itu diakui Iswadi. “Memang benar, pemerintah pernah tawari ganti rugi buat 10 keluarga, termasuk ibu saya. Tetapi, ganti rugi yang diberikan tidak masuk akal. Makanya, ibu saya bersama 9 keluarga lainnya menolak. Bersama KBH-YPBHI Bukittinggi, LSM Taratak, dan kawan-kawan mahasiswa yang kini sudah banyak jadi pejabat, kami pernah menggugat Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Jepang,” kata Iswadi. Dalam gugatan di dalam negeri, warga yang tergabung dalam Badan Perjuangan Rakyat Korban Dam Koto Panjang menderita kekalahan. “Di dalam negeri, kami dikalahkan. Di Jepang, proses sidangnya masih panjang. Belum kunjung selesai sampai sekarang,” tutur Iswadi yang sering dipanggil Ketua oleh para aktivis non government organitation (NGO) di Sumatera Barat. Iswadi sendiri, sudah pernah menghadiri sidang gugatan pembangunan PLTA Kotopanjang di Jepang. Ia juga rajin mengawal jalannya sidang dan menyimpan kliping pemberitaan media massa, baik dalam maupun luar negeri. Termasuk kliping soal sidang yang membahas perkara matinya gajah-gajah penghuni rimba Desa Tanjuangpauh lama, akibat pembangunan waduk Kotopanjang. “Saya sudah sampai ke Jepang. Di sana, kami didukung sejumlah anggota parlemen. Mereka, tidak ingin lagi Pemerintah Jepang memberi pinjaman yang membuat penduduk di negara penerima pinjaman teraniaya. Kini, target kami bukan lagi soal kalah menang di pengadilan, karena itu bisa merusak hubungan bilateral Indonesia-Jepang. Hanya saja, kami ingin, Pemerintah Indonesia jangan purapura tidak tahu lagi dengan persoalan Dam Kotopanjang,” tutur Iswadi. Dari pria berperawakan tenang itu pula Padang Ekspres mengetahui, bahwa pemindahan penduduk Nagari

45


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Tanjungpauh dari kampung lama ke kampung baru telah melahirkan persoalan baru yang sangat krusial. Persoalan itu terkait dengan tanah untuk tempat tinggal pecahan kepala keluarga (KK). Seperti ditulis sebelumnya, sewaktu dipindahkan pemerintah pada 1992, jumlah kepala keluarga di Tanjuangpauh, hanya sekitar 312 dan 313. Kini, jumlah tersebut membengkak. Data di kantor wali nagari setempat menyebutkan, jumlah penduduk yang menghuni Nagari Tanjungpauh pada September tahun lalu, sudah mencapai 518 kepala keluarga. Mereka, tersebar di Jorong Pasarbuyuah sebanyak 213 KK. Kemudian di Jorong Pulaupanjang sebanyak 153 KK, dan Jorong Kotolamo sebanyak 155 KK. “Dulu, waktu kami dipindahkan, lahan yang disediakan pemerintah hanya untuk 312 kepala keluarga. Kini, jumlah tersebut sudah berkembang menjadi 518 kepala keluarga. Artinya, sudah ada 206 keluarga baru. Keluarga-keluarga baru atau pecahan KK ini, sekarang tidak punya tempattinggal. Sehingga masih menumpang dengan keluarga lama mereka,� sebut Iswadi. Kalaupun di antara keluarga baru atau pecahan KK itu berniat hidup mandiri, menurut Iswadi, mereka terpaksa mendirikan rumah di atas lahan yang disebut masyarakat sebagai tanah restan atau sisa pengukuran tanah di bagian paling ujung. “Bayangkan, kalau nanti penduduk Tanjungpauh terus berkembang, mereka akan tinggal di mana lagi? Ada kami punya tanah ulayat di balik bukit, tapi disebut pula hutan lindung oleh pemerintah. Kan ironis, namanya,� tutur Iswadi. Penuturan Iswadi itu terbukti benarnya. Di sebuah kedai minuman, tidak jauh dari kediaman Iswadi, Padang Ekspres bertemu Sukrawadi (52), salah seorang warga Nagari Tanjungpauh yang sampai sekarang tidak pernah

46


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

menerima ganti rugi atas tanah peninggalan orang tuanya. Padahal tanah tersebut tidak bisa digarap lagi karena berada di seberang waduk PLTA Kotopanjang. Sukrawadi menuturkan, sewaktu Desa Tanjungpauh lama akan ditenggelamkan pemerintah, orang tuanya, pasangan suami-istri Khaidir dan Saerah yang kini sudah tiada, memiliki satu bidang kebun getah di kawasan Paraknaneh. “Selain di Paraknaneh, ada pula tiga bidang kebun orang tua saya di kawasan Bukiksitabuah, Kelokkuali, dan Panyapian,” ucapnya. Diakui Sukrawadi, kebun-kebun peninggalan orang tuanya, memang tidak terendam akibat pembangunan waduk PLTA Kotopanjang. Karena posisi kebun berada di kawasan perbukitan, di seberang danau buatan. “Kebun tersebut, masih ada. Mungkin kini sudah jadi rimba. Tapi bagaimana kami mau mengolahnya, sementara akses jalan ke sana tidak ada,” katanya. Lantaran itu, Sukrawadi mewakili orangtuanya, pernah pula menggugat pemerintah. Sayang, gugatannya ditolak pengadilan. Satu-satunya ganti rugi didapat Sukrawadi, hanyalah satu unit rumah sebagai ganti rumah orang tuanya yang tinggal puing kenangan. Di rumah baru tersebut, Sukrawadi tinggal bersama istrinya Awinis (49), serta 5 anak, 2 menantu, dan beberapa cucu mereka. “Anak saya enam orang. Yang sulung, Edri, tinggal di rumah mertua. Yang kedua, Feri Arianto, juga tinggal di rumah mertuanya. Ketiga, Rasdayanti. Bersama suaminya Nanang, ia serumah dengan saya. Keempat, Nur Fitriana. Bersama suaminya Agus, ia juga tinggal bersama kami. Kelima, Juljiheri, ia baru saja meninggal dunia. Dan keenam, Sandra yang masih SMP,” tutur Sukrawadi. Dalam arti lain, keluarga Sukrawadi-Awinis, sudah punya 4 pecahan kepala keluarga, tapi 2 pecahan keluarga

47


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

masih tinggal bersamanya. Kedua pecahan tersebut, bukan tidak mampu mendirikan rumah atau sekadar gubuk derita. Tapi lahan untuk mendirikan gubuk itu benar yang tidak ada. “Kami tidak punya lahan. Terpaksa sama-sama tinggal di satu rumah,” tutur Sukrawadi, apa adanya. Dari sisi pemerintah terendah, Wali Nagari Tanjungpauh Taufit JS (42), tidak menepis selaksa keluh-kesah yang disampaikan warganya terkait dampak pembangunan PLTA Kotopanjang. Hanya saja, soal ganti rugi yang belum dilunasi atau belum dibayar sama-sekali oleh pemerintah, Taufit kepada Padang Ekspres di ruang kerjanya, tampak sangat berhati-hati memberi komentar. “Saat proses relokasi dan pembayaran ganti-rugi, saya masih muda. Setelah itu, pergi pula merantau, jadi tak begitu tahu prosesnya. Hanya saja, keluhan yang disampaikan warga, seperti kebun karet yang banyak kosong atau bibit yang tidak layak, memang benar adanya. Kebun karet yang bagus itu hanya yang di pinggir jalan. Sedangkan karet yang ditanam di bagian dalam, banyak gagal tanam,” tutur alumni SMA Semen Padang tersebut. Kendati berhati-hati memberi komentar terkait gantirugi, tapi darah Taufit JS seperti menggelegak saat ditanya kompensasi apa yang didapat nagarinya dari waduk PLTA Kotopanjang. “Itulah persoalannya, PLTA sudah tinggalkan cirik (kotoran) bagi kami. Sementara, kami hitam tidak berbaju. Pajak air permukaan tak ada kami dapat. Pergi kami ke Padang, meminta bibit dan upah tanam untuk penghijauan di sekitar waduk PLTA, sampai sekarang tak ada realisasi,” ujarnya. Taufit JS mengakui, pemindahan warga Tanjungpauh dari kampung lama ke kampung baru menyisakan dampak sosial cukup hebat. “Kalau dulu, ada warga kampung kami yang melahirkan, kami bersama-sama melihatnya. Bawa

48


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

pisang, minyak tanah, dan keperluan lain. Kini, setiba di kampung baru, semangat itu berkurang. Dulu, waktu kecilkecil, kami bisa berenang, karena kami punya sungai. Kini, anak-anak kami, mau berenang di mana? Di danau?” ujarnya. Di pengujung percakapan, Taufit JS meminta, perusahaan negara yang mengurus waduk PLTA Kotopanjang mengucurkan program corporate social responsibility (CSR) yang nyata bagi warga Nagari Tanjungpauh. “Buat pemerintah kabupaten dan provinsi, tolong dudukkan pajak air dan permukaan untuk nagari kami. Kalau tidak ada, mohon jalan-jalan di kampung kami yang sudah terkelupas, diaspal kembali,” harap mahasiswa Universitas Terbuka tersebut. Harapan serupa disampaikan Irwan Hamid. Sebelum meninggalkan ruang kerja Wali Nagari Taufit JS, Ketua Pemuda Nagari Tanjungpauh itu menyebut, nagarinya memang layak mendapat perhatian lebih dari Pemprov Sumbar. Sebab, Nagari Tanjungpauh tidak hanya korban pembangunan waduk PLTA Kotopanjang, tapi berada di perbatasan Sumbar dengan Riau. “Sebagai penjaga tapal batas, sangat naïf, bila kami masih dianaktirikan,” ucap Irwan.(Bersambung)

49


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

50


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (4):

Tak Kuat Menderita, Huni lagi Kampung Lama Setelah menelisik dampak pembangunan waduk PLTA Kotopanjang di Nagari Tanjungpauh, investigasi Padang Ekspres berlanjut ke Nagari Tanjuangbolik. Di kampung ini, ratusan rakyat meninggalkan permukiman baru yang dibangun pemerintah dan kembali menghuni perkampungan lama. Walau masih trauma akibat tindakan represif Orde Baru, tapi mereka tak gentar mengungkap tabir gelap yang belum pernah tersingkap. LAPORAN FAJAR RILLAH VESKY, SUMBAR

NAGARI Tanjuangbolik bertetangga dengan Nagari Tanjuangpauh. Terletak di Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumbar, kedua nagari senasib sepenanggungan. Rakyatnya seperti dibuhul dalam kultur dan derita yang sama. Pada zaman Orde Baru atau sebelum rumah-rumah penduduk tenggelam akibat pembangunan waduk PLTA Kotopanjang, Nagari Tanjuangbolik dan Nagari Tanjuangpauh masih dipisahkan hutan yang terletak di kawasan Silantuang. Persisnya di kilometer 200, jalan lama penghubung Sumbar dengan Riau. Kini, sejak sama-sama dipindahkan pemerintah ke

51


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

kawasan Rimbodata pada 1993, Tanjuangbolik dan Tanjuangpauh nyaris terlihat tidak berbatas. Bila pembaca baru sekali mengunjungi kedua nagari tersebut dan tidak tahu sejarah masa lalunya, pasti akan kesulitan mencari batas kedua nagari. Padahal, Tanjuangbolik dan Tanjuangpauh hanya dibatasi jalan lurus di pertigaan kawasan Rimbodata, tempat petugas Dinas Perhubungan sering terlihat memungut retribusi kepada pengemudi truk Sumbar-Riau. Sebelah kanan jalan tersebut merupakan Nagari Tanjungpauh. Sedangkan sebelah kirinya adalah Nagari Tanjuangbolik. Karena jarak yang begitu dekat, setelah wawancara dengan Wali Nagari Tanjuangpauh Taufit JS, Padang Ekspres langsung “meloncat” ke Tanjuangbolik. Sama dengan Tanjuangpauh, Nagari Tanjuangbolik punya 3 jorong (setingkat dusun). Yakni Jorong Panang, Jorong Kulangan, dan Jorong Kotolamo. Masing-masing jorong dihubungkan jalan lingkar nagari dengan kondisi memprihatinkan. Sebagian jalan lingkar nagari tersebut belum pernah diaspal pemerintah. Sedangkan sebagian lain sudah diaspal lapen, tapi kini aspalnya banyak yang terkelupas. “Beginilah, kondisi jalan di kampung kami. Sudah mendesak untuk diaspal, tapi belum kunjung diperhatikan pemerintah,” kata Donip dan Dedi JO, dua pemuda Nagari Tanjuangbolik yang menemani perjalanan Padang Ekspres sesiang itu. Sepanjang perjalanan, kami bertemu banyak warga Tanjuangbolik. Umumnya mereka cukup terbuka. Hasil kajian sejumlah akademisi dan aktivis NGO tentang dampak pembangunan waduk PLTA Kotopanjang yang menyebut warga Tanjuangbolik tertutup dibanding Tanjuangpauh, tidak selamanya benar. Malahan, beberapa pemuka masyarakat Tanjuangbolik antusias menyambut Padang Ekspres.

52


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

“Bila ingin tahu dampak rill pembangunan waduk PLTA Kotopanjang terhadap kehidupan warga kami, pergilah ke perkampungan lama,� kata Andi Altoni (39), seorang tokoh muda setempat, seakan memberi petunjuk. Petunjuk yang disampaikan alumni Fakultas Peternakan Unand itu sempat menimbulkan tanda tanya bagi Padang Ekspres. Bukankah sejak 1993, perkampungan lama Tanjuangbolik sudah dikosongkan pemerintah, karena masuk radar proyek PLTA. Dan sejak 1997, kampung tersebut telah tenggelam bersama segala bukti peradabannya. Kenapa sekarang, ada penghidupan lagi di sana? Serajut pertanyaan itu terjawab dalam perjalanan menuju perkampungan lama Tanjuangbolik. Menurut Donip, pemuda yang menemani Padang Ekspres, perkampungan lama tersebut, memang sudah kosong sejak 1993 dan tenggelam sejak 1997. Tapi belakangan, ada sebagian wilayah yang tidak digenangi air. Wilayah tersebut berada dari kawasan bernama Gosang sampai Sibumbun. Di wilayah itulah, sebagian kepala keluarga yang dulu dipindahkan ke Rimbodata, kembali tinggal bersama istri dan anak-anak mereka. Berdasarkan data Pemerintah Nagari Tanjuangbolik, sampai 2013 lalu, masyarakat yang kembali menghuni perkampungan lama tersebut, sudah mencapai 120 kepala-keluarga. Mereka umumnya bekerja sebagai nelayan, petani, dan pencari kayu bakar. Bila musim kemarau tiba dan air danau waduk PLTA Kotopanjang menyusut, di perkampungan tempat 120 kepala keluarga itu bermukim, ruas jalan lama Sumbar-Riau berikut puing-puing bangunan penduduk akan terlihat kembali. Padang Ekspres sungguh beruntung bisa bermalam di perkampungan lama tersebut, sekaligus mendengar ratap-tangis penduduknya. ***

53


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Memakai kopiah haji dan kain sarung warna biru, Ramalis Datuak Basa (53), berjalan dari sebuah surau di perkampungan lama Nagari Tanjuangbolik. Perkampungan tersebut, saat ini, posisinya berada persis di bawah jalan negara Sumbar-Riau. Bila pembaca datang dari arah Payakumbuh atau Pangkalan, kampung itu terletak di sebelah kanan, sebelum masuk Rimbodata. Ruas jalan menuju perkampungan lama Tanjuangbolik tidak selebar jalan Sumbar-Riau sekarang. Tapi kondisinya masih sangat mulus. Jangankan sepeda motor yang ditunggangi Padang Ekspres, truk-truk pengangkut kayu yang ditebang entah dari rimba mana, bisa lewat di jalan tersebut, terutama di tengah malam, saat penduduk setempat mulai terlelap. “Saya baru pulang salat Ashar. Ada apa ya, mencari saya? Ada yang bisa saya bantu?� sapa Ramalis Datuak Basa, saat kami bertemu di tikungan kedua, jalan masuk perkampungan lama Tanjuangbolik. Ramalis bersama ratusan masyarakat setempat, lebih kerasan tinggal di kampung lama tersebut karena mata pencaharian di sana lebih menjanjikan ketimbang di kampung baru. “Di kampung baru, tak ada yang bisa kami garap. Kebun karet jatah dari pemerintah umumnya gagal panen. Sedang di kampung lama, walau sebagian terendam air danau PLTA Kotopanjang, tapi warga bisa mencari ikan atau kayu bakar untuk dijual,� tutur Ramalis yang dikenal sebagai mubalig di kampungnya. Penuturan serupa disampaikan warga lainnya bernama M Rasyid (52). Menurut lelaki yang punya warung di perkampungan lama Tanjuangbolik ini, sejak dipindahkan pemerintah ke Rimbodata, ia tidak pernah bermalam di perkampungan baru. Bahkan, rumah yang dijatah pemerintah buat keluarganya di Rimbodata, sudah lama dia

54


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

bongkar. “Rumah itu dibuat pemerintah dekat rumah mertua saya. Tapi karena di kampung baru saya tidak punya penghasilan tetap, kayu dan atap rumah tersebut saya bongkar. Saya larikan ke perkampungan lama. Sampai sekarang, saya tak pernah tidur di kampung baru,” kata Rasyid yang dikaruniai dua putra-putri dari pernikahannya dengan Nur Aisyah alias Nun (45). Rasyid bukanlah satu-satunya warga yang mengaku tidak pernah tidur di Rimbodata. Banyak warga lain seperti Rasyid. Bahkan, ada satu keluarga yang sejak dulu tetap tinggal di kampung lama. “Kebetulan, rumah keluarga itu memang tidak terendam air. Tapi posisinya sekarang berada di sebarang danau. Untuk ke sana, kita harus naik sampan,” kata Rasyid, sambil menghisap rokoknya. Terdiam sejenak, Rasyid melanjutkan percakapan. Ia mengaku, sangat mencintai kampung lamanya yang sudah tenggelam. “Di kampung lama, semua kebutuhan hidup, mudah kami dapat. Bahkan tidak membeli. Sedangkan di kampung baru, air bersih saja, dulunya kami beli Rp5 ribu per jeriken. Pokoknya di kampung baru itu janji pemerintah tak sesuai kenyataan,” kata Rasyid, bertelanjang dada. Rasyid tidak gentar dicap “pembangkang” karena enggan tinggal di kampung baru. “Saya tidak takut. Kami begini karena pemerintah mangkir. Kalau diingat, pemerintah Orde Baru itu memang tidak becus. Kalau ada yang bilang enak hidup di zaman Soeharto, pasti orang kampung bodoh. Tak ada itu enaknya. Saya dulu ke mana-mana selalu bawa golok, karena sering dicari-dicari aparat,” tutur Rasyid. *** Senja perlahan membelai perkampungan lama Tanjuangbolik. Empat lelaki dewasa terlihat asyik main badmin-

55


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

ton. Puluhan pemuda dan anak-anak berkerumun menonton. Sekitar sepuluh meter dari kerumunan itu berdiri sebuah rumah. Walau berarsitektur 1960-an, tapi rumah yang dihuni keluarga Ramalis Datuak Basa tersebut masih kokoh. Hanya catnya saja yang mulai memudar. “Rumah ini peninggalan mertua saya. Dulu, waktu kami dipindahkan ke Rimbodata, rumah ini sudah pernah dikosongkan karena diprediksi akan tergenang air waduk PLTA Kotopanjang. Tapi mungkin kajiannya tidak matang, saat kampung lama kami mulai digenangi pada 1997, ternyata air tidak sampai ke pekarangan rumah ini, “ tutur Ramalis. Lantaran rumahnya tidak jadi tenggelam, mertua Ramalis yang belum memperoleh ganti rugi dari pemerintah akibat ketidakcocokan harga kembali menghuni rumah tersebut. “Sekarang, saya bersama istri dan anak-anak, melanjutkan jejak mertua, tinggal di rumah ini,” sebut Ramalis, sambil menawari Padang Ekspres duduk di teras rumahnya yang telah disulap sebagai warung. Di warung yang menjual berbagai kebutuhan seharihari tersebut, Ramalis melanjutkan obrolan. Pemuka masyarakat Tanjuangbolik itu mengurai sejarah pembangunan waduk PLTA Kotopanjang. “Mulai dari proses penelitian, sosialisasi, pemetaaan, pembayaran ganti rugi, sampai pemindahan warga Desa Tanjuangbolik, semuanya sarat rekayasa dan intimidasi,” kata Ramalis. Dia masih ingat, rencana pembangunan dam PLTA Kotopanjang dimulai sejak 1979 atau saat Ir Sutami menjadi Menteri PU. Waktu itu, di Desa Tanjuangbolik lama, ada kawasan bernama Mudiakrantau. “Di kawasan dekat Lubangkalam tersebut, pemerintah memasang spanduk bertuliskan, ‘Insya Allah, di Sini akan Dibangun PLTA’. Sejak spanduk itu terpasang, hampir setiap pekan, kampung kami dikunjungi pegawai PLN dan warga negara Jepang,” kenang

56


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Ramalis. Berdasarkan catatan Badan Perjuangan Rakyat Korban Dam Koto Panjang (BPR-KDKP), warga Jepang yang datang ke Tanjuangbolik dipengujung 1979, merupakan tim pencari proyek dari perusahaan konsultan bernama Tokyo Electric Power Service Co.Ltd atau TEPSCO. Tim ini, Maret 1980, menyarankan kepada pemerintah Indonesia yang berencana membangun pembangkit listrik dengan bantuan Jepang, agar membuat waduk di antara pertemuan Batang Kampar Kanan dan Batang Maek, dengan lokasi dam site-nya di Kotopanjang, Riau. Akan tetapi, setelah meneliti ulang pada Agustus 1980, tim peneliti TEPSCO punya dua gagasan baru. Pertama, dibangun bendungan bertahap sebanyak 2 buah, berlokasi di Tanjungpauh dan Kotopanjang. Kedua, dibangun bendungan tunggal berskala besar, berlokasi di Kotopanjang saja. “Walau punya dua gagasan, tapi TEPSCO cenderung menyukai gagasan kedua. Dengan pertimbangan, biaya yang timbul lebih murah dan kapasitas listrik yang dihasilkan lebih besar,� kata Iswadi, Ketua BPR-KDKP, secara terpisah. Begitu gagasan TEPSCO disampaikan kepada Badan Kerjasama Internasional Jepang atau lebih dikenal sebagai Japan Internasional Cooperation Agency (JICA), badan yang sudah memberi hibah kepada Indonesia sejak 1954 tersebut, merespon dengan cepat. Buktinya, September 1981, dua anggota JICA dan dua konsultan dari Hokuden Kogyo Ltd, diutus kembali ke Sumatera untuk meneliti hasil kajian tim TEPSCO. Penelitian berlangsung selama tiga bulan. Buah dari penelitian tersebut, JICA memutuskan menggelar studi kelayakan proyek pembangkit listrik yang diusulkan tim TEPSCO atas permintaan Indonesia. Studi kelayakan itu berlangsung selama 1982, melibatkan 14 tenaga ahli. Tidak hanya dari JICA, TEPSCO, dan Hokuden Kogyo Ltd, tapi

57


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

juga dari PT Yodya Karya, perusahaan pelat merah yang bergerak di bidang konsultasi teknik konstruksi. Setelah tim ahli bekerja, disimpulkan bahwa bendungan tunggal berkapasitas 114 Megawatt, layak dibangun di Kotopanjang. Agar bendungan setinggi 58 meter itu berdiri, 10 desa harus ditenggelamkan. Dari 10 desa tersebut, 2 di antaranya berada di Sumbar, yakni Tanjuangpauh dan Tanjuangbolik. Sedangkan 8 desa berada di Riau, yaitu Tanjuangalai, Pongkai, Muaromahat, Batubersurat, Pulaugadang, Muaratakus, Gunungbungsu, dan Kototuo.(Bersambung)

58


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (5):

“Tujuh Tahun, Ekonomi Kami Nol …” Pemindahan warga Tanjuangbolik diduga sarat rekayasa. Inventarisir harta-benda, pemetaaan, sampai pembayaran ganti-rugi diwarnai kejanggalan. Rumah layak huni yang dijanjikan, teramat jauh dari harapan. Listrik tidak hidup. Air tidak ada. Kebun karet siap tanam hanya lahan kosong. Tender proyek PLTA dikuasai korporat besar, konco-konco Presiden Soeharto. Tujuh tahun lamanya ekonomi rakyat lumpuh. LAPORAN FAJAR RILLAH VESKY, SUMBAR

MALAM berangsur datang di perkampungan lama Tanjuangbalik, Ramalis Datuak Basa meneruskan obrolannya. Sementara langit terlihat mulai gelap. Awan hitam bergumpalan. Hujan deras sepertinya akan mengguyur kampung itu. “Tidak apa-apa. Duduk saja dulu. Kita lanjutkan obrolan ini. Tanggung sedikit lagi. Tapi jangan lupa direkam ya. Saya tidak bisa mengulang-ulang,” kata Ramalis. Ia menuturkan, setelah 14 ahli dari JICA, TEPSCO, Hokuden Kogyo Ltd, dan PT Yodya Karya menyimpulkan bendungan tunggal berkapasitas 114 Megawatt, layak dibangun di Kotopanjang. Pemerintah Indonesia yang berniat membangun pembangkit listrik dan Jepang yang bersedia meminjamkan uang, setuju menenggelamkan 10

59


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

desa di Sumbar dan Riau. Di dalam 10 desa tersebut, menurut Ketua Badan Perjuangan Rakyat Korban Dam Koto Panjang Iswadi, tidak hanya terdapat 4.866 keluarga, pemilik 2.644 unit rumah. Namun, ada pula 8.989 hektare kebun dan sawah. Kemudian, puluhan masjid, surau, balai adat, dan rumah gadang. Sederet makam keramat, ratusan ekor gajah, harimau, dan tapir Sumatera yang merupakan satwa dilindungi. “Selain itu, di dalam 10 desa, terdapat jalan negara sepanjang 25,3 km dan jalan provinsi sejauh 27,2 km. Semuanya, seluas 124,5 km persegi, harus tenggelam, demi waduk PLTA Kotopanjang,� kata Iswadi yang rajin komunikasi dengan warga Jepang. Terutama dengan anggota The Japanese Committee Supporting The Victims of Kotopanjang Dam (Komite Pendukung Rakyat Korban Dam Kotopanjang), pimpinan Koyama, pegawai negeri di Osaka, Jepang. Iswadi menambahkan, setelah Pemerintah Indonesia menyetujui pembangunan dam PLTA Kotopanjang, Jepang melalui Overseas Economic Development Fund (OECF), badan yang dibentuk untuk memaksimalkan efektifitas bantuan buat negara-negara berkembang, mengucurkan pinjaman kepada Indonesia. Total bantuan tersebut, masih simpang-siur sampai sekarang. Badan Perjuangan Rakyat Korban Dam Koto Panjang menyebut, pinjaman Jepang untuk Indonesia 31,177 miliar yen. Tapi, mantan Bupati Limapuluh Kota Aziz Haily dalam autobiografi berjudul Pengalaman Saya sebagai Pamong menyebut, Indonesia memperoleh pinjaman 33,320 miliar yen. Hingga kini, Padang Ekspres belum dapat informasi, apakah utang itu sudah lunas atau belum jatuh tempo. Pastinya, melalui OECF, jumlah utang dapat diubah sesuai pelaksanaan proyek.

60


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Selain menggunakan dana pinjaman pemerintah Jepang, pembangunan waduk PLTA Kotopanjang yang digembar-gemborkan bakal membuka lapangan kerja di sektor pariwisata dan perikanan air tawar “menyedot� anggaran dalam negeri. Dalam autobiografi yang diberikan pihak keluarga, mantan Bupati Aziz Haily mencatat, total dana dalam negeri yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia untuk pembangunan PLTA Kotopanjang mencapai Rp102.055.564.987. Nilai uang tersebut, diperkirakan sudah naik 22 kali lipat. Sebab, pada 1992, harga emas 24 karat masih Rp23 ribu per gram. Sedangkan Januari 2014, harga emas menembus Rp530 Ribu. Adapun dana yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia berasal dari PLN sebesar Rp93.375.715.808,- dan APBN sebesar Rp7.679.849.179. Sementara, proses pembangunan PLTA yang terletak 85 km dari Pekanbaru dan 128 km dari Padang, disederhanakan Aziz Haily dalam empat tahap. Pertama, tahap perencanaan dan desain. Kedua, tahap persiapan. Meliputi pembebasan lahan, resettlement penduduk yang terkena dampak, tender lanjutan, administrasi kontrak, pemindahan jalan raya, dll. Ketiga, tahap konstruksi. Meliputi pembangunan konstruksi sipil, metal hydromekanik, turbin, generator, jaringan transmisi, sampai uji coba. Dan keempat, tahap serah terima, pertanda listrik produksi PLTA sudah bisa didistribusikan kepada masyarakat. Adapun pelaksanaan pembangunan PLTA Kotopanjang secara teknis, menurut Aziz Haily, dilakukan dengan sistem kontrak yang diperoleh melalui tender terbuka. Tender itu sendiri, terbagi atas kontrak internasional dan kontrak domestik. Untuk kontrak internasional, tender dibuka 11 kali. Sedangkan untuk kontrak domestik tender digelar 10 kali. Tender dengan kontrak internasional, antara lain, ten-

61


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

der engineering service I dan engineering service II. Kedua tender ini terkait dengan perencanaan dan pemeliharaan teknik pembangunan PLTA Kotopanjang. Kemudian, tender metal works atau pekerjaan besi, tender turbin atau mesin pemutar, dan tender generator sebagai alat yang akan memproduksi listrik PLTA Kotopanjang dari sumber energi mekaniknya, dengan menggunakan induksi elektromagnetik. Berikutnya, masuk dalam kontrak internasional pembangunan PLTA Kotopanjang, tender relokasi jalan nasional dan relokasi jalan provinsi. Kemudian, tender switchyard equipment atau rel utama yang berfungsi sebagai pemutus dan penghubung aliran listrik. Kemudian, tender substation atau gardu induk, tender transmission line materials atau material transmisi, tender flood forecasting etc yang diperkirakan terkait dengan kajian penanganan luapan air waduk. Sedangkan tender dengan kontrak domestik yang digelar dalam pembangunan PLTA Kotopanjang, antara lain, tender transmission line tower and cable stringing KTPPYK serta transmission line tower and cable stringing KTPPKB. Kedua tender ini, terkait dengan pembangunan menara transmisi dan penyediaan kabel dari gardu Induk di Kotopanjang, menuju Payakumbuh dan Pekanbaru. Selanjutnya, ikut masuk dalam daftar kontrak domestik pembangunan PLTA Kotopanjang adalah tender pemindahan jalan raya. Kemudian, tender pembangunan jalan sementara, jalan masuk ke PLTA, pendirian base camp, pengadaan monumen, monitoring lingkungan, dan tender clean up for impounding. Setiap tender, dimenangkan korporat besar dalam dan luar negeri. Untuk tender engineering service I dan II, pemenangnya TEPSCO dari Jepang, berpatungan dengan 2 peru-

62


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

sahaan Indonesia, PT Yodya Karya dan PT Trimitra Nusa Engineering. Kini, Yodya Karya yang merupakan BUMN hasil nasionalisasi, berkantor di Jalan Cikini Raya 1, Jakarta Pusat. Sedangkan PT Trimitra Nusa Engineering, kini terlacak beralamat di Jalan Dr Saharjo 244-1, Jakarta Selatan. Sementara, tender metal works dimenangkan Sumitomo Corporation, Tokyo, Jepang. Tender turbin dimenangkan Kvaerner Boving, Inggris. Tender generator diperoleh Elin Motoren, Austria, bekerjasama dengan Austrodwipa, Indonesia. Tender switchyard equipment dimenangkan Siemens, Jerman. Tender substation didapat Hyundai Corporation dan Hyundai Engineering, Korea Selatan. Berikutnya, tender transmission line materials dimenangkan Nichiemen Corporation, Jepang, bekerjasama dengan PT Taiyo, Indonesia yang kini diperkirakan PT Taiyo Sinar Raya Teknik. Sedangkan Tender Relokasi Jalan Nasional diberikan kepada perusahaan Indonesia, yakni PT Citra dan PT Agra. Begitu pula dengan tender relokasi provinsi, didapat PT Beringin Mas Jaya yang kini beralamat di Jalan Raya Kalibata Nomor 4 C, Jakarta Selatan. Adapun tender dengan kontrak domestik, seperti tender Transmission Line Tower and Cable Stringing KTP-PYK, dimenangkan PT Elmec Citra Tecnica yang kini beralamat di Jalan Gurame 14 A, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kemudian, tender transmission line tower and cable stringing KTP-PKB dan tender sub-stasion builing works and equipment erection, dimenangkan PT Idee Murni Pratama yang sekarang berkantor di Jalan Jaksa No 15A, Kebonsirih, Menteng, Jakarta Pusat. Untuk 7 tender lainnya dengan kontrak domestik, Aziz Haily hanya mengingat satu pemenang, yaitu tender monitoring lingkungan yang diperoleh Universitas Riau. Sedangkan 6 tender lain yang disebut “lebih kecil� oleh Aziz

63


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Haily, tidak diketahui pemenangnya. Keterangan Aziz Haily soal pembangunan PLTA Kotopanjang, akan diturunkan Padang Ekspres di bagian lain penyajian investigasi ini. Menariknya, walau pemerintah dan pejabat Indonesia mengklaim, proses pembangunan PLTA Kotopanjang dilakukan secara terbuka, namun, Ketua Badan Pengurus YLBHI periode 2011-2016 Patra M Zen, lewat tulisannya berjudul “Dam Kotopanjang: Menagih Obligasi Negara dalam Proyek Pembangunan” yang dimuat di-blog pribadi sejak 30 Mei 2007, punya pendapat berbeda. Mengutip pernyataan Kazuo Sumi, Professor Hukum dari Universitas Nasional Niigata, Jepang, Patra M Zen menulis, “Proses pembangunan ini sendiri tidak melibatkan partisipasi public. Kontrol masyarakat terhadap proyek ini ditutup dengan akibat munculnya dugaan praktik-praktik korupsi. Rezim Soeharto dan pihak pelaksana proyek telah menjalin hubungan mutualisme.” *** Semakin senja, obrolan Padang Ekspres dengan Ramalis Datuak Basa di perkampungan lama Tanjuangbolik semakin syahdu. Ia menuturkan, setelah pemerintah Indonesia dan Jepang sepakat membangun PLTA, masyarakat mulai didatangi pejabat Pemprov Sumbar dan Pemkab Limapuluh Kota. “Selama 1982, hampir tiap hari, pejabat turun ke kampung kami. Meyakinkan warga, pembangunan PLTA tidak akan merugikan kami,” tuturnya. Bukan itu saja, tutur Ramalis, melalui pemerintah desa, para pejabat berulang kali menggelar pertemuan dengan masyarakat Tanjuangbolik. Setiap pertemuan, tidak jarang anggota TNI-Polri yang masih tergabung dalam ABRI dikerahkan. “Waktu itu, TNI-Polri kan belum reformasi. Mudah dikerahkan penguasa untuk menakut-nakuti rakyat,”

64


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

kata Ramalis, sambil merapikan kopiahnya. Ramalis melanjutkan, di setiap pertemuan dengan warga, termasuk di Masjid Tawaqqal dan SDN 02 yang tenggelam, pemerintah berjanji membayar kerugian akibat pembangunan dam PLTA Kotopanjang. “Waktu itu, ada ungkapan pejabat pemerintah yang populer di telinga masyarakat sampai sekarang. Pemerintah bilang, dari kunyit sebatang sampai serai serumpun akan diganti,” tutur Ramalis. Karena sering mendengar cerita ganti-rugi, masyarakat Tanjuangbolik setuju dipindahkan. Apalagi pemerintah berjanji membangun perkampungan baru buat mereka. Sesuai perjanjian, di perkampungan baru yang dibangun tidak jauh dari kampung lama, pemerintah menyediakan rumah ukuran 6 x 6 meter bagi tiap keluarga. Rumah itu dilengkapi air bersih dan listrik dengan dua buah bola lampu. “Kemudian, pemerintah berjanji memberi setiap kepala keluarga, lahan pertanian siap untuk diolah seluas seperempat hektare. Berikut kebun karet siap potong (siap untuk disadap) masing-masing 2 hektare. Masyarakat setuju. Masyarakat antusias menyambut janji-janji tersebut,” beber Ramalis Datuak Basa. Pemerintah pun, mulai menginventarisir harta-benda masyarakat yang akan diganti-rugi. Menurut Ramalis, proses inventarisir di Tanjuangbolik berbeda dengan desa lain. “Sebelum inventarisir, warga diwajibkan membayar Rp3 ribu per keluarga. Kata pemerintah, uang itu untuk membeli buku pencatat kerugian. Saya tidak ikut bayar, karena tidak masuk akal,” kenang Ramalis. Setelah mencatat harta benda yang akan tenggelam, masing-masing keluarga di Tanjuangbolik menyerahkan laporan untuk pembayaran ganti-rugi kepada pemerintah. “Saat itulah masalah mulai muncul. Masyarakat masih ba-

65


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

nyak yang tidak mengerti cara menginventarisir hartabenda. Sehingga laporan mereka banyak ditolak pemerintah,� ujar Ramalis. Celakanya, tutur Ramalis, saat proses inventarisir belum selesai seratus persen, Pemerintah sudah melakukan pemetaan wilayah Tanjungbolik yang akan tenggelam akibat pembangunan waduk. Setelah pemetaan berlangsung, pemerintah memperlihatkan persil lahan masyarakat yang akan tergenang air. Tapi anehnya, persil itu tidak boleh dilihat masyarakat lama-lama. “Pemerintah mulai mengubah janjinya. Kalau semula, pemerintah berjanji akan mengganti rugi semua lahan masyarakat, maka kemudian, pemerintah hanya menyebut akan membayar lahan yang benar-benar terendam air sebagaimana hasil pemetaan. Akibatnya, masyarakat mulai bertanya-tanya. Masyarakat mulai ragu dengan kejujuran pemerintah,� kata Ramalis.(Bersambung)

66


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (6):

Tuntut Ganti Rugi, Ditahan tanpa Makan Pengadaan karet buat korban pembangunan PLTA Kotopanjang, dikuasai anak-anak pejabat Sumbar era Orde Baru. Karet yang tumbuh subur hanya di pinggir jalan Sumbar-Riau. Sedangkan di pedalaman, bibit karet dilempar-lempar saja ke dalam kebun. Jatah hidup yang dibagikan pemerintah, 3 bulan tidak layak makan. Aparat ikut melanggengkan kekuasaan. Tuntut ganti rugi, rakyat diteror dan ditahan. Potret buram bedol desa di Indonesia. LAPORAN FAJAR RILLAH VESKY, SUMBAR

TERDIAM sejenak, Ramalis Datuak Basa meneruskan ceritanya. Dia menyebut, saat masyarakat Nagari Tanjuangbolik, mulai ragu dengan kejujuran pemerintah, terkait pembayaran ganti rugi lahan yang terkena dampak pembangunan PLTA Kotopanjang, aparatur pemerintah bukannya memberi penjelasan, malah mulai merealisasikan pembayaran ganti rugi pada 1992. Ramalis menduga, pemerintah pada zaman diktator Soeharto itu, sengaja memecah-belah warga yang akan mengikuti bedol desa atau pemindahan seluruh penghuni desa akibat pembangunan PLTA. “Bayangkan, saat masih ada warga yang persoalan

67


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

inventarisir dan pemetaan lahannya belum selesai, Pemerintah sudah membayar ganti rugi untuk warga lainnya,” ucap Ramalis. Proses pembayaran ganti rugi itu dikenang Ramalis sebagai pembayaran ganti rugi paling janggal di dunia. Sebab, ganti rugi tidak dibayar berdasarkan kelengkapan administrasi, tapi berdasarkan abjad. Warga yang nama depannya A, seperti Abduh, lebih duluan menerima ganti rugi. Berapapun kerugian yang dilaporkan, langsung dibayar. Anehnya, belum selesai abjad A, pembayaran sudah dihentikan. “Ini jelas sekali rekayasanya. Sehingga saat membayar ganti rugi buat warga yang namanya pakai abjad B, mulailah terjadi kekisruhan. Hasilnya, pemetaan terpaksa diulang. Saya pernah diajak pegawai kantor bupati bernama Pak Nursal, membantu pemetaan ulang. Bukannya sombong, saya mengerti soal pemetaan. Tapi orang takut melibatkan saya, karena saya tak bisa bohong” ujar Ramalis. Saat membantu pemetaan ulang, Ramalis menemukan banyak ketimpangan. “Ada orang yang tidak punya tanah sama sekali, tapi mengambil uang ganti rugi. Sekarang, orangnya sudah meninggal, tapi tak bisa saya sebut karena sensitif. Selain orang tersebut, ada warga yang punya tanah, tapi tak dapat ganti rugi satu rupiah pun. Pokoknya, banyak ketimpangan,” ungkap Ramalis. Ia pun mengakui, pemetaan ulang yang dilakukan tidak menyelesaikan masalah. Malah terjadi persoalan baru, terkait jumlah kerugian yang dibayar pemerintah. “Warga yang namanya diawali abjad A, persil-nya dibayar Rp15 juta. Tapi yang namanya abjad B, persil-nya cuma Rp3 juta. Karena ada yang protes, naik Rp5 juta. Setelah itu, naik lagi menjadi Rp7 juta. Ujung-ujungnya, semakin ribut. Masyarakat tak percaya dengan ganti rugi,” kata Ramalis.

68


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Di tengah lunturnya kepercayaan warga, pemerintah mempercepat pemindahan mereka. Pada Juli 1993 atau sebulan setelah warga Tanjuangpauh pindah, 401 KK di Tanjuangbolik ikut dipindahkan ke kawasan Rimbodata. Sekitar 14 bulan kemudian atau Agustus 1994, sebanyak 49 keluarga lain menyusul. “Sehingga jumlah warga Tanjuangbolik yang pindah itu 450 kepala keluarga,” sebut Ramalis. Ini dibenarkan Zulmahdi, Wali Nagari Tanjuangbolik sekarang. “Benar, warga Tanjuangbolik yang dipindahkan dari kampung lama ke kampung baru memang 450 KK. Pada 2013, berkembang jadi 702 KK,” kata Zulmahdi didampingi Seknag Tanjuangbolik Edi Samora, di ruang kerja mereka. Tapi menurut mantan bupati Aziz Haily, warga Tanjuangbolik yang dipindahkan hanya 321 keluarga. Saat dipindahkan, menurut Ramalis, mereka cukup menderita. “Rumah 6 x 6 meter, memang dibangun pemerintah, tapi banyak yang tidak layak huni. Listrik yang dijanjikan tidak hidup. Air bersih tidak ada. Lahan pertanian belum diolah. Kebun karet siap potong itu hanya lahan kosong. Tujuh tahun, ekonomi kami nol. Banyak warga menjual tanah untuk makan dan berobat,” cerita Ramalis. Cerita serupa dituturkan Muhammad Rasyid (52) dan Bain (68), dua warga lainnya yang ditemui Padang Ekspres secara terpisah. Menurut mereka, sejak dipindahkan pemerintah pada 1993, masyarakat Tanjuangbolik tidak punya penghasilan tetap sampai masuk tahun 2000. “Kebun karet tidak bisa diolah. Bibitnya tidak ditanam dengan serius. Hanya dilempar-lempar saja dari pinggir jalan oleh rekanan yang ditunjuk pemerintah,” kata Rasyid. Kalaupun ada kebun karet yang tumbuh subur, tutur Rasyid, hanya beberapa bidang di pinggir jalan SumbarRiau, tapi sudah masuk wilayah Tanjungpauh. Kebun itu dibuat bagus untuk menjawab pertanyaan, jika sewaktu-

69


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

waktu pejabat pusat datang berkunjung. Kabar didengar Rasyid, rekanan pengadaan dan penanaman bibit karet itu anak-anak pejabat Sumbar pada zaman Orde Baru. “Pedih bila mengenang nasib kami saat dipindahkan ke kampung baru. Saya dijanjikan dapat ganti rugi, tapi pemerintah tak mau bayar. Pemerintah beralasan, lahan saya yang tergenang air hanya kebun jeruk di kawasan Mambuang. Padahal, saya punya kebun lain. Kebun saya di Mambuang itu dihargai Rp700 ribu. Karena patah hati, uang itu baru saya ambil setelah pindah. Wartawan tidak boleh dikasih tahu, karena sudah dilaluan (disogok, red),” imbuh Bain. Akan tetapi, pengakuan Bain ditepis halus Dodi Sastra, wartawan kesohor Payakumbuh pada zaman itu. Menurut Dodi, memang tidak dapat dipungkiri, ada oknum wartawan yang ikut bermain saat proses pemindahan warga Tanjuangpauh dan Tanjuangbolik. Namun, di musim subur pembredelan surat kabar tersebut, sesungguhnya masih ada pekerja media yang menulis kritis. “Saya pernah menulis di Mingguan Canang tentang proyek pengadaan bibit karet yang gagal itu. Memang, rekanan pengadaannya anak mantan petinggi Sumbar. Nama perusahaannya, PT Aspalindo. Saya juga pernah menulis, tentang 37 rumah jatah warga yang diam-diam dibagikan untuk kepala daerah, Muspida dan Muspika. Berkat berita tersebut, bagi-bagi rumah itu batal. Dikembalikan ke warga. Bibit karet juga ditanam ulang,” ujar Dodi Sastra secara terpisah. Kembali kepada Ramalis Datuak Basa, M Rasyid, dan Bain. Menurut mereka, setelah bedol desa, warga memang pernah mendapat perhatian dari pemerintah. “Pernah pemerintah memberi kami jatah hidup berupa beras, ikan asin dan kecap setiap bulan. Tapi 3 bulan pertama, jatah hidup itu tidak layak makan. Beras busuk. Ikan asin,

70


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

jangankan buat manusia, diberikan untuk ikan dalam kolam saja, bisa mati ikan itu,” kata Ramalis. Atas rentetan penderitaan yang mereka alami, warga Tanjuangbolik tidak diam. “Ada seorang warga kami yang dianggap bodoh, namanya Pak Syamsuri. Beliaulah yang banyak berjuang, menyampaikan aspirasi kami kepada pemerintah lebih tinggi. Beliau juga pernah menggugat sampai ke Pengadilan Jepang,” begitu cerita Ramalis, Rasyid, dan Bain kepada Padang Ekspres. Mereka mengaku pernah menjadi “makmum” dalam perjuangan Syamsuri. Bahkan, sewaktu Syamsuri mengajukan gugatan di PN Tanjuangpati 18 Juni 1998, Rasyid terdaftar sebagai penggugat. “Jumlah penggugat, waktu itu 11 orang. Saya tidak hafal lagi nama-namanya. Yang saya ingat, Pak Syamsuri, Ajiz, Datuak Bosa, Umar, Aman Syamsulrahman, dan saya sendiri,” kenang M Rasyid. Sedangkan Bain, awalnya terdaftar sebagai penggugat. Tapi kemudian menarik gugatannya. Bain tidak menyebut alasannya menarik gugatan. Ketua BPR-KDKP Iswadi menduga, sebelum sidang, Bain menerima ganti rugi, sehingga dikeluarkan dari daftar penggugat. Adapun Ramalis tidak ikut menggugat, namun menjadi saksi di pengadilan. “Saya semula dijadwalkan memberi kesaksian 15 menit. Tapi karena hakim menilai keterangan saya jelas dan menarik, saya bercerita hampir satu jam,” kata Ramalis, berbangga hati. Selama menggugat pemerintah, warga Tanjuangbolik yang bersatu dengan warga Tanjuangpauh, nyaris tidak bisa tidur nyenyak. “Pak Syamsuri paling menderita. Dia sampai ditahan. Tidak dikasih makan dan minum. Ada polisi yang menerornya, ada pula tentara. Tapi dia tidak gentar. Walau kami kalah di PN Tanjungpati, Pak Syamsuri tetap berjuang sampai akhir hayatnya,” ucap Rasyid dan Ramalis.

71


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Ramalis yakin, warga Tanjuangbolik dan Tanjuangpauh tidak kalah di pengadilan, tapi dikalahkan pemerintah. “Kalau kita mau jujur, tuntutan warga terkait pembayaran ganti rugi tidak mengada-ada. Di Tanjuangbolik, warga yang tidak menerima ganti rugi sekitar 150 kepala keluarga. Sebab, hanya 300 kepala keluarga yang dapat ganti rugi,” paparnya. Baik Ramalis maupun Rasyid sama-sama yakin, perjuangan Syamsuri Cs bersama BPR-KDKP bermanfaat. Paling tidak, berkat aksi Syamsuri Cs, antara lain mendatangi perwakilan OECF, Komnas HAM, DPRD Sumbar, dan menggugat ke pengadilan dengan bantuan KBH-YPBHI Bukittinggi, publik luas menjadi tersentak. Ini dibenarkan Zulhefrimen Nazarsyah alias Lujua, pengacara dari KBH-YPBHI Bukitinggi yang pernah mengadvokasi warga korban pembangunan Dam Kotopanjang. “Aksi Pak Syamsuri dan kawan-kawan BPR-KDKP bukannya tidak berarti loh. Berkat perjuangan mereka, pemerintah pusat buka mata terhadap persoalan yang terjadi. Jepang pun, turun untuk memantau ulang,” kata Lujua.(Bersambung)

72


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (7):

Penebangan Kayu Marak, Kualitas Air Rusak Tiga kali ditanam, kebun karet buat warga Tanjuangbolik, tetap gagal panen. Selain bibit buruk, manajemen penanaman diduga menjadi pemicu kegagalan. Perlu kajian khusus dari pemerintah. Apalagi, gagalnya kebun karet membuat aktivitas penebangan kayu dan penambangan sirtu semakin marak. Kualitas air rusak. Ikan-ikan unik terancam punah. Waduk terus mengalami sendimentasi. PLTA terancam tutup 2028. LAPORAN FAJAR RILLAH VESKY, SUMBAR

DITEMUI Padang Ekspres di Bukittinggi awal Januari lalu, Zulhefrimen Nazarsyah alias Lujua masih ingat rentetan aksi yang dilakukan Syamsuri Cs bersama BPRKDKP pimpinan Iswadi, dalam memperjuangkan hak-hak warga Nagari Tanjuangbolik dan Nagari Tanjuangpauah, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Limapuluh Kota yang belum ditunaikan pemerintah hingga kini. “Berkat perjuangan mereka, pemerintah pernah menyadari kealpaan dalam proses bedol desa akibat pembangunan waduk PLTA Kotopanjang. Sehingga, setahun setelah reformasi bergulir, seiring kencangnya desakan

73


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

mengungkap kejahatan kemanusiaan yang terjadi di balik proyek mercusuar tersebut, pemerintah kembali membagikan bibit karet buat warga,” kata Lujua. Berdasarkan catatan Lujua yang mengadvokasi warga bersama rekannya Akmal Thulas, Dwi Yuneri, dan Adel Nofirman, pemerintah mengulang pembagian bibit karet untuk warga Tanjuangbolik dan Tanjuangpauah pada 1999 dan 2004. “Hanya saja, entah karena bibit yang buruk atau memang struktur tanah tidak cocok, sampai kini, kebun karet yang sudah dua kali ditanam, masih belum memberi pendapatan signifikan buat warga kedua nagari,” kata Lujua. Ini dibenarkan Ramalis Dt Basa, pemuka masyarakat Nagari Tanjuangbolik yang diwawancarai Padang Ekspres sebelumnya. “Pada 1999, kami kembali dapat bantuan bibit karet. Cuma bibitnya tidak bagus. Sehingga gagal tanam. Sekitar 2004, melalui program action plan, warga dapat bibit lagi. Ada yang berhasil. Ada pula yang gagal. Yang berhasil, sekali panen, tidak sampai 7 kilogram,” tutup Ramalis, sebelum waktu maghrib masuk di kampung lama Tanjuangbolik. Senada dengan Ramalis, Wali Nagari Tanjuangbolik Zulmahdi mengakui, kebun karet yang sudah tiga kali ditanam warganya, memang tidak memberi dampak signifikan terhadap perekonomian. “Bibit karet yang ditanam 1992-1993, gagal total. Yang ditanam 1999, masih gagal. Kalau yang ketiga, 2004, ada sebagian bibit unggul. Tapi banyak juga bibitnya jelek. Kalau bibit unggul, bisa panen 10 kg per hari. Tapi kini kebanyakan, panen hanya 4-5 kg per hari,” ucapnya. Terpisah, Pakar Tanah dan Lingkungan Hidup dari Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh Ir Edi Joniarta MSi yang dimintai pendapatnya oleh Padang Ekspres, memperkirakan, gagalnya penanaman karet di Tanjuang-

74


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

bolik dan Tanjuangpauah, bukan terjadi akibat kondisi tanah. Karena secara fisioterapi, kondisi tanah di kawasan tersebut cukup bagus. “Saya pernah berkunjung ke sana. Terakhir, saya melihat kebun sawit dan karet yang ditanam seorang dokter di kawasan Kelok Indah. Saya lihat, pertumbuhan sawit dan karet di sana bagus. Barangkali, kegagalan karet yang ditanam pemerintah karena faktor bibit yang tidak bagus, “ kata Edi Joniarta di kampus Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh, kawasan Tanjungpati, Limapuluh Kota. Selain karena faktor bibit, Edi Jo memperkirakan, kegagalan kebun karet buat warga korban PLTA Kotopanjang, bisa terjadi akibat manajemen penanaman yang tidak baik. “Musim panas tidak disiram. Tidak diberi bahan organik. Dan gulmanya tidak bersihkan. Walau begitu, untuk mengetahui penyebab secara keseluruhan, memang ada baiknya, bila dilakukan penelitian secara ilmiah. Termasuk uji labor dan kajian kimia lain,” ulas Edi Joniarta. *** Selepas Maghrib, ditingkahi gemuruh dari langit, Padang Ekspres meninggalkan perkampungan lama Tanjuangbolik dan kembali ke rumah Ketua Pemuda Nagari Tanjuangpauh Irwan Hamid. Beristirahat sejenak, hujan mulai berdentang di atas atap. Irwan yang diajak melanjutkan wawancara ke Tanjuangbolik, tampak cukup keberatan. “Saya tidak menguasai benar akar persoalan Tanjuangbolik. Kalau Tanjungpauh, saya siap,” ucapnya. Sementara hujan semakin deras, Irwan Hamid tetap tidak mau diajak ke Tanjuangbolik. Akhirnya Padang Ekspres pamit dari rumah Irwan. Setelah memasang mantel hujan, Padang Ekspres menerobos pekatnya malam. Memacu sepeda motor trail yang mesinnya sudah empat hari

75


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

tidak dihidupkan, menuju Tanjuangbolik untuk mencari informasi baru dari masyarakat setempat. Mula-mula, Padang Ekspres mampir di sebuah warung kopi di Rimbodata. Seorang pemuda di warung itu sempat bertanya. “Maaf, buat apa Adik nanya-nanya soal PLTA Kotopanjang. Kami trauma. Sudah banyak yang datang ke sini. Mendata nama dan foto-foto. Mereka bilang, untuk minta kompensasi ke Jepang. Tapi, sampai kini tak ada hasilnya,” ucap pemuda bernama Ujang itu. Setelah dijelaskan, baru dia paham. “Kalau wartawan, tidak apa-apa. Dilindungi Undang-Undang. Tulis saja keluhan masyarakat. Biar didengar pemerintah,” ujarnya. Meninggalkan Ujang di warung kopi tersebut, Padang Ekspres terus ke Jorong Kulangan yang terletak cukup jauh dari pinggir jalan Sumbar-Riau. Di sana, kehidupan warga, tak jauh berbeda dari kondisi saat mereka dipindahkan 20 tahun silam. Jalan berlubang-lubang. Rumah masih berukuran 6 x 6 meter. “Bukannya tak mau menumpangkan, tapi tak mungkin Adiak tidur di sini. Rumah kami kecil,” kata warga bernama Ijal (47). Saat pintu rumahnya kami gedor, Ijal belum tidur. Tapi anaknya sudah bergelimpangan di ruang tengah rumah mereka. Dari Jorong Kulangan, Padang Ekspres berniat kembali ke persimpangan Rimbodata. Tapi saat dingin malam semakin menusuk tulang, seorang pemuda yang bersedia menjadi teman di malam itu punya ide cukup menantang. “Bagaimana kalau kita ke kampung lama Tanjuangbolik. Siapa tahu. Di sana, kita bisa menumpang tidur,” ajaknya. Kami pun berangkat. Setiba di perkampungan lama, warga setempat sudah terlelap. Takut disangka maling, kami memperlambat laju sepeda motor. Tiba-tiba, seorang lelaki berdiri di kegelapan malam. Ia melayangkan cahaya senter ke arah kami. Kaget melihat aksinya, kami berhenti. Lelaki

76


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

itu malah menghampiri. “Mau kemana Bang? Mau menjemput kayu ya?” ujarnya. “Tidak,” jawab kami serempak. Setelah tahu maksud kedatangan kami, lelaki yang meminta namanya tidak dituliskan itu menawari kami ngopi di sebuah dangau. “Saya kira, kalian tadi anggota. Di bawah sana, dekat batas terakhir genangan air, ada banyak kayu yang ditumpuk. Biasanya dijemput anggota malam hari. Kayu-kayu itu dihanyutkan lewat danau. Kami tak tahu, entah kayu dari rimba mana,” ucap lelaki tersebut. Ia menambahkan, masyarakat mulai resah melihat aksi pengangkutan kayu di batas akhir genang air PLTA Kotopanjang, dalam wilayah hukum Polsek Pangkalan, Sumbar. Apalagi pengangkutan kayu yang diduga tidak dilengkapi dokumen tersebut, membuat saluran pipa air bersih ke permukiman warga pecah. “Kami takut ribut saja, karena yang menjemput kayu-kayu itu sering anggota, “ katanya. Sekali lagi, lelaki itu meminta namanya tidak dituliskan. “Kalau masalah kayu mau ditulis di koran, tulis saja. Tapi jangan bawa-bawa nama saya,” ujar lelaki itu sambil menyodorkan ikan yang dibakar tanpa bumbu. “Ini ikan danau. Tadi siang, ada warga yang menjala, saya minta beberapa ekor. Makanlah. Kalau mau tidur, bentangkan saja goni itu. Tapi tak ada kasur,” imbuhnya. Siapa nyana, setelah mengobrol sampai larut malam, kami terlelap di dalam dangau. Kami baru bangun saat matahari terasa menyengat kulit. Bergegas, kami membasuh muka ke pinggir danau yang airnya sedang menyusut. Tidak jauh dari tempat kami mencuci muka, balok-balok kayu terlihat menumpuk. Berdekatan dengan kayu-kayu itu, dua sampan ditambatkan pemiliknya ke pinggir jalan lama Sumbar-Riau. Kedua sampan itu bukan alat pengangkut kayu. Tapi digunakan buat menangkap ikan. Di danau PLTA Koto-

77


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

panjang, memang terdapat berbagai jenis ikan dengan nama lokal. Mulai dari bauang, gariang, barau, binggalan, kapiek, motan, salimang, tapa, lelan, sampai pantau. Hanya saja, untuk ikan jenis salimang dan tapa, sudah mulai jarang didapat nelayan. “Salimang suka hidup di air deras, sedangkan danau airnya tenang, sehingga mulai jarang kami dapat. Kalau ikan tapa ukurannya besar. Tapi saya baru dengar namanya saja,� kata seorang nelayan yang mengaku berasal dari Halaban, Limapuluh Kota, tapi beristri warga Tanjuangbolik. Selain ikan-ikan tersebut, di danau PLTA Kotopanjang yang masuk wilayah Tanjuangbolik, pernah pula ditemukan ikan flying fox, salah satu spesies ikan air tawar yang keberadaannya semakin langka di Indonesia. Ikan menyerupai torpedo bersisik belang hitam, putih, dan kuning kemerah-merahan itu ditemukan Yuneidi Basri, peneliti dari Laboratorium Ikan Terpadu, Universitas Bung Hatta. Yuneidi memperkirakan, selain ikan flyng fox yang dikenal sebagai perenang dasar pada perairan berarus deras dengan dasaran pasir dan bebatuan. Danau PLTA Kotopanjang menyimpan berbagai jenis ikan endemik. Hanya saja, untuk mendapatkan ikan-ikan tersebut, apalagi dibawa ke laboratorium, guna proses domestikasi dan teknologi pembenihan, bukanlah mudah. Mengingat belakangan, ekosistem mereka sering terganggu akibat kerusakan air dan lingkungan. Soal kualitas air danau PLTA Kotopanjang, terutama perairan di kawasan Tanjuangpauh-Tanjuangbolik, kini memang menjadi dilema tersendiri. Otonomi daerah yang membuka peluang lebar untuk pengurusan izin prinsip investasi dan masyarakat yang butuh pekerjaan akibat gagalnya proyek pemindahan, membuat kawasan tersebut, kini menjadi lahan penambangan kuari atau Galian C.

78


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Sedikitnya, ada 4 titik lokasi tambang kuari di sekitar danau Tanjuangbolik. Pada Agustus 2013 lalu, puluhan nelayan sempat memancang lokasi tambang kuari dan mendatangi kantor wali nagari. Menurut para nelayan, sejak tambang kuari dibuka, air danau buatan sering keruh. Hanya saja dilemanya, pemilik tambang sudah mengantongi izin. Mereka juga mempekerjakan warga lokal. Kalau tidak jernih memandang dilema ini, bisa timbul konflik horizontal. Selain kualitas air yang menurun, pasokan air ke waduk PLTA Kotopanjang, belakangan jauh berkurang. Bahkan, menurut Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Sumbar, Prof Dr Isril Berd, waduk PLTA Kotopanjang terancam ditutup tahun 2028 karena terus mengalami pendangkalan. Normal ketinggian air di waduk tersebut, harusnya 85 dpl (dari permukaan laut), sekarang malah 79 dpl. Ia memperkirakan, pendangkalan waduk terjadi akibat kerusakan di daerah hulunya, yakni DAS Batang Maek seluas 113 ribu hektare. “Erosi dan sedimen hanyutan dari hulu DAS Mahat, semakin meningkat. Data 2002, debit sedimen sudah 137,84 ton/ha/tahun. Kini, paling kurang terjadi sedimentasi 7 ribu ton/hari. Dari jumlah itu, sekitar 3,5 ribu ton/hari mengendap di waduk PLTA Kotopanjang,� kata Prof Isril Berd, awal Januari lalu. Sementara itu, Kapolres Limapuluh Kota AKBP Cucuk Trihono yang dikonfirmasi Padang Ekspres, terkait aktivitas penebangan kayu di perkampungan lama Tanjuangbolik sebagai daerah resapan air waduk PLTA Kotopanjang, berjanji mengerahkan anggotanya, untuk mengecek semua informasi di lapangan. Saat ini, menurutnya, di wilayah Limapuluh Kota, sudah dibentuk tim terpadu penanganan masalah kayu, melibatkan Polri, TNI, dan Dinas Kehutanan. “Untuk jelasnya, masalah tim terpadu ini bisa dikonfirmasi ke Dinas Kehutanan. Ten-

79


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

tunya, kami di kepolisian, siap berkoordinasi dan mengecek semua informasi yang ada,� tegas AKBP Cucuk Trihono. Sebelumnya, Dandim 0306 Limapuluh Kota Letkol Inf Trisno Widodo dan Komandan Batalyon 131 Braja Sakti Letkol Inf Jefrry Simanungkalit (kini digantikan Mayor Inf Oni Kristoyono), kepada anggota Balai Wartawan Luak Limopuluah menegaskan komitmen TNI, mendukung pemberantasan illegal logging narkoba, judi, minuman keras dan penyakit masyarakat di Limapuluh Kota.(Bersambung)

80


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (8):

Pemda Akui Dilema, Pusat Lempar Persoalan Segala dilema yang dirasakan rakyat Tanjuangbolik dan Tanjuangpauh akibat pembangunan PLTA Kotopanjang, tidak dipungkiri Pemkab Limapuluh Kota, Provinsi Sumbar. Hanya saja, untuk masalah ganti rugi, mantan Bupati Aziz Haily punya cerita tersendiri. Sedangkan Wakil Bupati Asyirwan Yunus melihat pemerintah pusat lepas tanggungjawab. Kalangan cendekiawan mengusulkan, pusat dan daerah, mencari solusi terbaik. PLN juga tak boleh lepas tangan. LAPORAN FAJAR RILLAH VESKY, SUMBAR

MATAHARI tepat berada di atas kepala, saat Padang Ekspres meninggalkan danau PLTA Kotopanjang di perkampungan lama Tanjuangbolik. Puing-puing bangunan penduduk, terlihat muncul kembali karena air danau sedang menyusut. Beberapa di antara bangunan itu tinggal pondasi dibalut lumpur. Beberapa lain masih utuh. Tapi ditumbuhi rumput liar yang diserbu kerbau-kerbau peliharaan warga. “Jika musim kemarau datang, air danau, akan lebih menyusut lagi. Bahkan, kita bisa melihat bekas bangunan masjid,� kata kawan pemuda Tanjuangbolik yang terlihat

81


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

mulai lapar dan lelah. Untuk mengganjal rasa lapar, kami mampir di warung milik Muhammad Rasyid. Warung tersebut adalah kawasan paling dekat dengan lokasi genangan air di perkampung lama Tanjungbolik. “Sudah balik dari bawah lagi ya?” sapa Rasyid yang sedang duduk bersama Bain. Rasyid meminta putrinya Resti, mahasiswi Akbid Internasional Pekanbaru, menghidangkan teh buat kami. Sementara istrinya Nur Asiyah (45) sibuk mencuci piring. “Minumlah. Buat kalian gratis,” kata Rasyid. Kami pun minum sambil menyambar roti di atas meja. Rasyid dan Pak Bain kemudian bercerita. Menurut mereka, banyak perubahan yang terjadi sejak kampung lama Tanjuangbolik ditenggelamkan pemerintah. Dari segi sosial budaya, semangat badunsanak (bersaudara) merenggang, mirip kondisi di Tanjuangpauh. “Untung, untuk urusan kematian, tradisi manjanguak (melayat) masih ada,” ujar Rasyid, menjelang kami beranjak dari warungnya. Tergerusnya kehidupan sosial budaya warga Tanjuangbolik akibat pembangunan waduk PLTA Kotopanjang, sebelumnya disampaikan Ramalis Datuak Basa. “Sejak bedol desa, warga hidup individualistik. Tak ada lagi rasa menghargai antara mamak dan kemenakan. Yang sudah dapat ganti-rugi hidupnya mewah-mewah. Yang tidak dapat, masih menderita,” ujar niniak-mamak Suku Domo tersebut. Di Tanjuangbolik, hanya terdapat 3 suku dengan 6 niniak mamak atau penghulu. Yakni, Suku Domo dengan penghulunya Datuak Sindo, Datuak Basa, dan Datuak Muko. Kemudian, Piliang dengan penghulunya Datuak Gindo Simarajo, Pitopang dengan penghulunya Datuak Mangkuto, dan Melayu dengan penghulunya Datuak Marajo. “Adapun Pucuk Adat Tanjuangbolik adalah Datuak Sindo,” kata Ramalis. Sayang, menurut Ramalis, seperti di Nagari Tanjuang-

82


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

pauh, suku-suku di Tanjuangbolik tak punya lagi Rumah Gadang. “Dulu, tiap suku punya Rumah Gadang. Bahkan sebelum pindah, masih ada 4 Rumah Gadang yang berdiri kokoh. Kini, tidak ada sama sekali. Kami pindah dua kampung, tapi hanya dikasih satu lapangan sepakbola. Tampang perkelahian saja,” ujar Ramalis. Wali Nagari Tanjuangbolik saat ini, Zulmahdi, tidak memungkiri terjadinya pergeseran nilai sosial budaya akibat pemindahan warga dari kampung lama ke kampung baru. “Dari segi sosial budaya, memang ada yang hilang. Tradisi batalempong (bermain alat musik pukul khas Minangkabau), tak ada lagi. Kalau pacu sampan, masih ada sekalisekali di kampung lama,” ujar Zulmahdi. Akan tetapi, Zulmahdi tidak mau berkomentar soal ganti rugi lahan yang menurut warga belum dibayar. Dia malah menyebut, kehidupan warga di kampung baru, sudah lumayan baik, bila dibandingkan kehidupan lama. “Dulu, ada yang tidak punya kebun di kampung lama, kini sudah punya kebun di kampung baru. Sesuai dengan zamannya, lumayan kini, ketimbang dulu,” katanya. Walau begitu, dia tidak menepis, bila kini, terdapat sejumlah dilema baru di Tanjuangbolik. “Debit air bersih, sejak kami dipindahkan sampai sekarang, tidak mencukupi. Jalan masih banyak yang butuh diperbaiki. Lampu penerangan jalan umum (PJU), terutama Jalan Sumbar-Riau, mendesak untuk dipasang. Warga juga butuh lahan, untuk membangun rumah. Karena, dari 450 KK yang dipindahkan, sudah berkembang jadi 702 KK,” ujar Zulmahdi. Dilema lain disampaikan Sekretaris Nagari Tanjuangbolik Edi Samora. “Kita berharap, pemerintah kembali membina masyarakat, terutama dalam berkebun karet. Karena dilema saat ini, kebun karet di Tanjuangbolik, baik yang masih dikelola warga, maupun yang sudah terjual,

83


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

tetap belum memberi dampak signifikan terhadap peningkatan ekonomi,” ujarnya. Segala dilema yang dikemukakan pemerintah nagari dan masyarakat, baik di Nagari Tanjuangbolik maupun Nagari Tanjuangpauh, tidak dipungkiri Pemkab Limapuluh Kota, Sumbar. “Memang banyak dilema pascapemindahan warga kedua nagari, akibat pembangunan waduk PLTA Kotopanjang,” ucap Wakil Bupati Limapuluh Kota Asyirwan Yunus, saat dikonfirmasi Padang Ekspres. Asyirwan menyebut, untuk menyelesaikan segala dilema yang terjadi, tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi proses pemindahan warga sudah berlangsung 20 tahun silam. Melewati kepemimpinan 5 presiden dan 4 periode masa jabatan kepala daerah. Walau begitu, Asyirwan berharap, pemerintah lebih tinggi memperhatikan nasib warga. Serupa pemerintah memperhatikan daerah aliran sungai (DAS) ke waduk PLTA Kotopanjang. “Hampir setiap tahun, khususnya di 2013, ada alokasi anggaran untuk pemeliharaan DAS Batang Maek yang bermuara ke waduk PLTA Kotopanjang. Kita berharap, anggaran untuk pemulihan ekonomi warga juga dialokasikan seperti itu. Jika tidak dari APBN, minimal dari anggaran PLN. Karena (dilema ini, red) memang akibat aktivitas mereka membuka lahan untuk kepentingan PLTA. Harusnya mereka peduli,” kata mantan anggota DPRD Sumatera Utara tersebut. Asyirwan melihat, masih adanya saling lempar tanggungjawab, antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dalam penanganan masalah akibat pembangunan waduk PLTA Kotopanjang. “Setelah kami cari-cari, tampaknya saling lempar. Ditanyakan ke pusat, itu kami sudah membangun, tindaklanjutnya daerah. Sementara, kami rapatkan dengan kawan-kawan di sini, dibilang, tidak

84


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

bisa Pak, sesuai aturan itu harusnya mereka. Ini kan dilema lagi,� ujarnya. Menyinggung perbaikan infrastruktur jalan yang diimpikan warga Tanjuangpauh dan Tanjuangbolik, Asyirwan mengklaim, Pemkab Limapuluh Kota telah memberi perhatian. “Tahun 2013, sudah ada beberapa ruas jalan lingkar nagari yang diperbaiki. Kalau belum tuntas, dilanjutkan 2014. Kita ingin, infrastruktur jalan penghubung Tanjuangpauh-Tanjuangbolik, dibuat bagus dan mulus. Apalagi, kedua nagari berada di perbatasan Sumbar-Riau,� imbuhnya. Sementara, mantan Bupati Limapuluh Kota Prof Dr H Aziz Haily MA dalam auotobiografi-nya yang diedit wartawan senior Abrar Yusra dan kata pengantar ditulis Prof Dr H Djohermansyah Djohan, sempat menyinggung masalah ganti rugi lahan warga Tanjungbolik dan Tanjuangpauh yang terkena pembangunan waduk PLTA Kotopanjang, untuk memenuhi kebutuhan listrik di Sumbar dan Riau. Menurut pengakuan bupati yang lahir di Kapur IX, Limapuluh Kota, 19 Maret 1943, dan wafat di RS Fatmawati Cilandak, Jakarta Selatan, 12 November 2012 itu, proses pembayaran ganti rugi lahan bedol desa diurus Komite Pembayaran Ganti Rugi. Kepada kepada komite ini, Aziz mengaku sudah meminta, agar uang ganti rugi diserahkan langsung kepada pihak terkait tanpa perantara. Aziz Haily menyebut, pada saat pembayaran ganti rugi, bank datang langsung ke Tanjungpauh dan Tanjuangbolik. Ganti rugi yang dibayarkan sebesar Rp3.137 Juta (Rp3,13 Miliar) untuk lahan seluas 2.025 Hektare di dua nagari. Proses pembayaran dilengkapi pula dengan rekaman video dan bukti tanda tangan. Saat pembayaran pada 1992, tidak ada warga yang keberatan. Hanya saja, diakui Aziz, ada sebuah kasus unik di

85


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Tanjuangbolik. Seorang ulama, menolak menerima ganti rugi. Dibujuk, diperingatkan, didesak, tetap tidak mau mengambil ganti rugi. “Katanya, Tuhan takkan membiarkan tanah miliknya digenangi air. PLN maunya semua uang yang dialokasikan untuk ganti rugi dipertanggungjawabkan. Harus ada tanda-tangan pengambilnya,” tulis Aziz Haily yang di akhir hayatnya tercatat sebagai Guru Besar IPDN. Lantaran ulama tadi tidak mau menerima ganti rugi, Pemkab Limapuluh Kota pada saat itu terpaksa menggelar rapat. “Kalau dikembalikan bisa saja, tapi bagaimana kalau nanti pemiliknya berubah pendirian. Sekali ditolak uang itu sulit memintanya kembali. Akhirnya, rapat memutuskan, ganti rugi tanah buat pengganti tanah milik ulama itu diterima oleh saya selaku Bupati,” tutur Aziz. Setelah diterima , uang ganti rugi buat ulama tersebut sebesar Rp30 ribu (saat itu kurs 1 dolar AS=Rp.1.665,-), sesuai kesepakatan rapat disimpan di BPD Sumbar tanpa bunga. Tetapi bila diperlukan, bisa diambil. Akhirnya, menurut pengakuan Aziz, uang tersebut memang diambil untuk meratakan Bukik Rimbodata, guna membangun lapangan sepakbola dan pasar, atas permintaaan masyarakat Tanjuangpauh. Sisanya, dibelikan mobil Kijang buat kelancaran tugas Pemda. “Sebagai catatan unik, dapat saya tambahkan, bahwa ternyata tanah milik ulama Tanjuang Balit (Tanjuangbolik) memang tak digenangi air waduk PLTA Kotopanjang. Di atasnya berdiri kompleks pesantren yang aktif,” tulis Aziz Haily. Hanya saja, pesantren yang dimaksud Aziz Haily tersebut, pada 2014 ini sudah mati suri. Bangunan masih ada, namun proses belajar-mengajar tidak terlihat lagi. Masalah pembangunan rumah buat warga Tanjuangbolik dan Tanjuangpauh, Aziz Haily yang pernah menjadi Camat Pangkalan Koto Baru, Camat Harau dan Camat

86


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Guguak, punya testimoni tersendiri. Di bukunya, Aziz menyebut, standar permukiman yang dibangun buat warga adalah standar permukiman buat transmigran yang ditetapkan oleh Departemen Transmigrasi. “Buat setiap KK, didirikan sebuah rumah kayu berukuran 32 meter persegi berlantai beton dan serta penerangan diesel. Sebagai sumber air buat MCK, dibangun satu sumur buat empat rumah, plus Public Hydrant Water untuk musim kemarau yang dibiayai dengan menggunakan dana OECF. Proses permukiman baru Rimbodata, rampung 29 Juli 2013,� sebut Aziz Haily.(Bersambung)

87


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

88


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (9)

Kampung Suluk Itu Didatangi Kupu-kupu Malam Dari Sumbar, investigasi Padang Ekspres berlanjut ke Riau. Di Bumi Lancang Kuning tersebut, korban waduk PLTA Kotopanjang hidup berpencar-pencar. Sebagian besar, masih tinggal di Kecamatan XIII Koto Kampar. Tapi sebagian lain terdampar di Kampar Utara, Koto Kampar Hulu, bahkan sampai ke Tapung, dekat kawasan Sibuak atau Patapahan yang terkenal “angker� itu. Seperti apa kehidupan mereka di sana? LAPORAN FAJAR RILLAH VESKY, RIAU

SEBELUM pertanyaan itu terjawab, ada baiknya, kita jemput keterangan mantan Bupati Limapuluh Kota Aziz Haily yang tercecer dari edisi kemarin. Dalam bukunya, Aziz mengakui, kebun karet yang ditanam di perkampungan baru Tanjungbolik dan Tanjungpauh, memang gagal. Kegagalan itu diketahui pemerintah setelah warga kedua nagari melancarkan aksi protes pada 1996. Sehingga tim dari OECF Jepang yang meminjamkan bantuan untuk pembangunan PLTA Kotopanjang, turun ke lapangan bersama para akademisi dari Unand. Berdasarkan hasil tinjauan lapangan, diperoleh laporan, sebagian besar tana-

89


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

man karet gagal karena kurangnya pasokan air. Selain itu, tim OECF dan Unand melihat, kehidupan penduduk di resettlement tidak berubah. Uang ganti rugi dibelanjakan untuk hal konsumtif, tidak diinvenstasikan pada usaha yang produktif. Karenanya, menurut Aziz Haily, dalam rapat koordinasi Pemprov Sumbar dan Pemkab Limapuluh Kota, 27 Juni 1996, Wagub Sumbar kala itu, Muchlis Ibrahim, mengambil 3 kebijakan. Pertama, kebun karet seluas 175 ha direhab kembali dan harus rampung Maret 1998. Kedua, setelah rehab tuntas, harus dilakukan penanaman bibit pada 19981999. Ketiga, dilakukan survei ulang sertifikasi tanah perkebunan, Desember 1998. Ketiga kebijakan tersebut, menurut rakyat Tanjungpauh dan Tanjungbolik yang tergabung dalam Badan Perjuangan Rakyat Korban Dam Koto Panjang (BPR-KDKP), memang pernah direalisasikan pemerintah. Realisasi dilakukan lewat join mission antara Bappenas dengan JBIC Jepang. Tapi, bukan menggunakan dana Jepang, melainkan APBN. Pelaksanaan ketiga kebijakan tersebut dinilai warga tidak berjalan seperti diharapkan. “Untuk rehab kebun, warga memang diberi pupuk. Hanya saja, pupuknya ditukar. Misalnya, SP-36 diganti dengan SP-27. Untuk bibit, warga dijanjikan bibit unggul yang jika panen menghasilkan getah 40 sampai 50 kg per hektare. Nyatanya kini, tidak sampai 10 kg untuk lahan yang kurang dari 2 ha,� kata Iswadi, Ketua BPR-KDKP. Sementara, untuk survei ulang sertifikasi tanah perkebunan, diakui Iswadi, memang dilaksanakan pemerintah dengan melibatkan BPN. Hanya saja, setelah diukur kembali, luas kebun karet milik warga tidak sampai 2 HA. “Saya buka saja semuanya. Luas kebun karet warga, hanya 1,7 ha dan 1,8 ha. Bahkan, ada yang cuma 1,6 hektare. Karenanya, pada

90


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Mei 1997, kami menolak sertikat yang dikeluarkan BPN,” kata Iswadi. Terkait ganti rugi yang dituntut warga Tanjungpauh dan Tanjungbolik di Pengadilan Tanjungpati, mantan bupati Aziz Haily menyebut, tidak ada alasan pemerintah untuk memenuhi tuntutan membayar ganti rugi senilai Rp66.087.489,60 tersebut. Sebab, ganti rugi sudah dibayar. Kecuali lahan yang tidak tenggelam, tetapi berada di tengah bendungan. Lahan tersebut tidak dibayar karena tak ada dalam kesepakatan dengan PLN. Walau begitu, masih dalam autobiografi-nya, Aziz Haily menyebut, bahwa pemerintah sudah memenuhi tuntutan ganti rugi warga. Itu dilakukan saat reformasi baru bergulir dan warga menggelar demonstrasi. “Melihat keadaan tidak sehat, dengan membonceng arus besar demonstrasi reformasi, dengan petunjuk dan dukungan gubernur, saya memutuskan memenuhi saja permintaan mereka (warga),” tulis Aziz Haily. Lagi pula, tutur Aziz, dana ganti rugi yang sudah dibagikan kepada penandatangan atas nama pemilik lahan beberapa tahun sebelumnya, siapa tahu (memang) tidak semuanya dibagikan kepada ahli-ahli waris. “Saya tetap rasional, ‘bencana’ PLTA Kotopanjang adalah risiko jabatan yang harus diselesaikan. Saya pergi ke Padang, ke Jakarta, minta dana. Tuhan menolong. Dana diperoleh dari proyek padat karya dan penghijauan. Dibagikan kepada orang Tanjuangbalik dan Tanjuangpauh, satu persatu,” sebut Aziz Haily di halaman 288 autobiografi-nya. Namun, Ketua BPR-KDKP Iswadi memastikan, warga tidak pernah menerima ganti rugi tersebut. “Itu lips service saja. Mana buktinya? Sampai sekarang, Anda kan lihat sendiri. Betapa banyak warga Tanjungpauh dan Tanjungbolik tidak dapat ganti rugi,” kata Iswadi. Atas kondisi itu,

91


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

sebut Iswadi, menarik apabila penegak hukum “mengorek” luka sejarah ini. Akan tetapi, menurut anggota Dewan Energi Nasional Herman Darnel Ibrahim, solusi paling tepat atas persoalan Tanjungpauh dan Tanjungbolik, bukan mencari siapa dalang di balik semua persoalan. Bukan pula saling lempar tanggungjawab antara pusat dan daerah. Tapi, bagaimana agar nasib warga Tanjuangbolik dan Tanjuangpauh yang dulu hanya 754 KK dan kini sudah berkembang menjadi 1.220 KK, kembali dapat perhatian. “Harus ada penguatan kembali, baik di sisi ekonomi maupun sosial budaya masyarakat, entah dalam bentuk program ataupun kegiatan. Kami di Dewan Energi Nasional, memang belum membahas kondisi daerah-daerah lumbung energi, seperti nagari atau desa selingkar PLTA Kotopanjang. Tapi, kajian Padang Ekspres beberapa hari terakhir, menjadi catatan bagi kami,” kata Herman Darnel Ibrahim di Payakumbuh. Terpisah, peneliti dari Pusat Kajian Sosial Budaya dan Ekonomi Universitas Negeri Padang Eka Vidya Putra, sepakat, solusi terbaik untuk persoalan Tanjuangpauh dan Tanjuangbalik, bukan mencari siapa dalang di balik derita warga. Walau begitu, pemerintah tetap harus tanggungjawab atas persoalan di sana. PLN juga tidak boleh lepas tangan. Selain harus bertanggungjawab, Eka menyebut, program bedol desa Tanjungpauh dan Tanjungbolik akibat pembangunan PLTA Kotopanjang, harus menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait pemindahan warga. Apalagi, persoalan pemindahan dan penggusuran, pasti terjadi lagi pada masa-masa mendatang. *** Kini, kita tinggalkan Nagari Tanjungpauh dan Nagari

92


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Tanjuangbolik. Setelah lima hari bermalam di kedua nagari tersebut, Padang Ekspres semakin tertantang menguak dampak pembangunan waduk PLTA Kotopanjang. Dengan menyewa mobil warga Tanjuangbolik bertarif Rp300 ribu perhari, tidak termasuk bahan bakar minyak dan ongkos perawatan bila terjadi kerusakan, kami melanjutkan perjalanan ke Provinsi Riau. Jarak antara Nagari Tanjungpauh, Sumbar, dengan batas Riau, nyaris hanya selemparan batu. Berjalan kaki sedikit saja dari Tanjuangpauh, tentu dengan melewati beberapa rumah makan yang sering disinggahi pengemudi Sumbar-Riau untuk melepas lelah, kita sudah sampai di Desa Tanjungalai, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Riau. Mungkin karena jarak yang begitu dekat tersebut, tidak heran, bila persoalan tapal batas Sumbar dengan Riau, membuat hubungan kedua provinsi sempat panas dingin, empat tahun silam. Persoalan bermula saat Pemprov Riau membangun gapura megah dengan arsitektur khas Melayu. Gapura tersebut dinilai Pemerintah Nagari Tanjungpauh berada di wilayah nagari mereka atau 1,2 kilometer dari tapal batas sebelumnya. Lantaran warganya tidak terima, Wali Nagari Tanjungpauh Taufit JS, tiga kali mengirim surat kepada Gubernur Sumbar, Bupati serta DPRD Limapuluh Kota. Masing-masing 8 Januari 2010, 28 Januari 2010, dan 9 Januari 2011. Surat itu ditindaklanjuti Pemprov Sumbar dan Pemprov Riau dengan menggelar rapat. Hasil rapat, Pemprov Riau mengakui gapura yang mereka bangun berada di wilayah Sumbar. Tapi itu terjadi karena faktor geografis dan letak strategis semata. Kini, persoalan tapal-batas itu sudah mencair kembali. Warga sudah tidak panas lagi. “Walau begitu. Di tapal batas lama, kami dengan dana

93


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

seadanya, tetap memasang plang bertuliskan ‘Selamat Datang di Nagari Tanjungpauh, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumbar. Biar orang tahu, kalau itu wilayah Sumbar. Mudah-mudahan, nanti batas Sumbar dengan Riau tak digeser lagi, “ kata Taufit JS. Kembali ke perjalanan Padang Ekspres ke Provinsi Riau, setelah melewati gapura yang sempat menjadi polemik tersebut, kami tiba di sebuah kawasan bernama Kelok Indah. Kawasan ini masuk Desa Tanjungalai. Jaraknya, hanya sekitar 45 km dari ibu kota Kabupaten Kampar. Di kawasan ini, tidak hanya terdapat rumah makan. Tapi tapi juga berjejer puluhan warung minuman. Selepas menikmati makan malam di salah satu rumah makan yang menyajikan menu spesifik berupa ikan garing danau buatan, Padang Ekspres mampir pada salah satu warung tersebut. *** Warung itu berdinding kayu. Catnya warna hijau. Bagian depannya dibuat agak menjorok ke jalan. Tapi lantainya masih tanah kering. Tidak dicor dengan semen seperti bagian dalam. Agar tidak becek di musim hujan, bagian depan warung itu dinaungi dengan atap seng. Sekelilingnya, tetap ditutup dengan papan, tapi hanya dipasang setinggi pinggang. Adapun ruang kosong antara dinding yang setinggi pinggang dengan bagian depan atap warung, sebagian ditutup dengan jendela lebar yang sewaktu-waktu bisa diangkat dan diturunkan dengan tali. Sementara, sebagian lain, hanya ditutup dengan kawat ayam. Supaya debu tak masuk di sela-sela kawat tersebut, pemilik warung memasang kain warna pink. Di dalam warung, cahaya lampu begitu temaram. Padang Ekspres memesan kopi. Tapi empat wanita di dalam warung, menawari kami minum bir. Tidak jelas, siapa di

94


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

antara keempat wanita itu yang menjadi pemilik warung. Karena semuanya bergelagat seperti pelayan malam. “Bir saja Bang. Lagi sepi nih. Belum ada yang mampir dari tadi. Kalau Abang mau karo-karo (berkaraoke dengan iringin musik dari VCD), kita temenin,” ucap salah seorang wanita yang memakai baju ketat warna putih. Wajahnya manis, tapi badan mulai melar. Rambutnya panjang, terlihat lurus karena habis di-rebonding. Kami berkenalan satu sama lain. Ia mengaku bernama Susi. Sudah pasti, bukan nama aslinya. Karena dari matanya yang berkedip-kedip saat kenalan, terlihat ia seperti berbohong. Tapi, apalah arti sebuah nama? Bukankah dalam drama Romoe & Juliet yang terkenal itu, William Shakespeare bilang: harum mawar tetaplah harum mawar, kalau pun mawar berganti dengan nama lain. Selepas kenalan, Padang Ekspres menolak halus tawaran Susi minum bir. “Abang habis minum. Pengen ngopi. Nanti, Abang ganti kopinya seharga bir.” Tapi, Susi memasang muka masam. Agar ia tetap mau diajak ngobrol, kami dengan berat hati memesan tiga botol bir. Doni, sopir mobil rental Padang Ekspres, kami paksa melibas habis minuman yang sudah ada sejak zaman peradaban Mesir Kuno dan Mesopotamia itu. Sedangkan Irwan Hamid, pemuda Tanjuangbolik yang ikut bersama kami ke Riau, hanya makan kacang tojin. Dari Susi, kami tahu, bila perempuan-perempuan yang berada di dalam warung tersebut, ataupun warung-warung lainnya di sepanjang kawasan Kelok Indah, bukan penduduk asli Nagari Tanjuangalai, tapi para pendatang. Umumnya berasal dari dua daerah di Pulau Jawa. Hanya saja, Susi dan tiga kawannya mengaku, cuma menemani pengunjung untuk karaoke. “Kami cuma nyanyi saja Bang. Yang begi-

95


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

tuan, kami enggak mau. Kalau nyanyi sampai jam satu malam, enggak masalah. Asal jangan rusuh aja, “ ucap Susi, dengan tatapan nakal. Tidak percaya dengan keterangan Susi, Padang Ekpsres pura-pura mencari kamar mandi. Kemudian, menyelinap ke warung lain di samping warung yang ditongkrongi Susi. Di warung itu, seorang perempuan paruh baya asyik mengobrol dengan lelaki muda, ditemani cahaya dari botol minuman yang diisi minyak tanah dan diberi sumbu di ujungnya. Saat Padang Ekspres masuk, lelaki yang mengobrol di warung itu naik ke atas mobil L-300 dan terus melaju ke arah Pekanbaru. “Kok tamunya pergi?” tanya Padang Ekspres. “Biarin aja. Masak mau kencan bertiga, bayarnya Rp20 ribu. Emang saya cewek apaan?” jawab perempuan itu senaknya saja. Wajahnya cukup manis. Tubuhnya terawat dengan baik. Tapi usianya sudah mendekati kepala empat. Salah satu matanya mengalami gangguan. Ia memperkenalkan diri sebagai “N”. Berasal dari salah satu daerah di Pulau Jawa. Sebelumnya, tinggal Pekanbaru. Dari gayanya yang blakblakan, “N” sepertinya tidak bohong. “Saya pertama kali tinggal di kawasan ini. Sekarang, tidak banyak yang mau mampir di warung saya. Habis, di sana (menunjuk warung lain, red), banyak yang seger-seger. Saya sudah tua. Lagian, saya gak mau, kalau hanya dikasih gocap (Rp50 ribu),” ujar “N” sambil menghembuskan Dji Sam Soe dari mulutnya yang bergincu merah. “Rokok saya habis. Terpaksa hisap ini, biar tahan sampai pagi. Bagi dong, rokok lunakmu,” tutur N yang mengaku yang sudah empat kali bersuami dan punya seorang anak gadis, masih bersekolah di Pekanbaru. “Anak saya pernah mau datang ke sini, tapi saya larang. Takut, entar ikut rusak. Kalau saya mah, sudah telanjur,” ujar “N”

96


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

dengan santainya. Dari “N”, Padang Ekspres tahu, perempuan pelayan warung di sepanjang kawasan tersebut kebanyakan berprofesi ganda: pelayan warung dan kupu-kupu malam. Di antara mereka, ada pula ‘jebolan’ lokalisasi Teleju, Pekanbaru yang sudah ditutup sejak Oktober 2012, silam.(Bersambung)

97


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

98


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (10)

50 Keluarga Tersingkir dari Kampung Halaman Sejak waduk PLTA Kotopanjang dibangun, rakyat 8 desa di Kampar, Riau, terpisah dengan dunsanak atau kerabat asal mereka. Bahkan, ada 50 keluarga yang tidak pernah bertemu lagi dunsanak. Bila merindukan kampung halaman dan kawan sepermainan, hanya foto-foto kenangan yang dapat mereka ceritakan kepada anak-cucu. LAPORAN FAJAR RILLAH VESKY, RIAU

SEBELUM kisah warga yang terpisah dari kerabat asalnya itu kami kabarkan, kita jemput dulu, kisah para Pekerja Seks Komersil (PSK) di kawasan Kelokindah, Desa Tanjungalai, Kecamatan XIII Koto Kampar yang tercecer dari edisi kemarin. Menurut pengakuan “N”, ia dan para pelayan minuman di Kelok Indah, melayani lelaki hidung belang dengan tarif bervariasi. Berkisar antara Rp150 ribu-Rp300 ribu. Tapi jangan sekali-kali menawar harga kepada mereka, karena akan dianggap sebagai “penghinaan” paling berat. “Soal tarif, tergantung kitanya. Prinsip saya, kalau cocok, ayo. Jangan ditawar. Saya benci yang nawar-nawar. Dulu, langganan saya Om-Om pejabat. Sekarang aja, saya

99


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

begini. Kamu intel ya? Kok nanya-nanya terus dari tadi,� ujar N yang mulai curiga dengan kedatangan Padang Ekspres. Maraknya aktivitas prostitusi di kawasan Tanjungalai, bukan rahasia umum lagi. Hampir seluruh pengemudi di jalur Sumbar-Riau mengetahui kondisi tersebut. Para pemuka Desa Tanjuangalai, sebenarnya mulai resah dengan kedatangan kupu-kupu malam ke kampung mereka. Seorang anak Desa Tanjuangalai bernama Arman, dalam situs resmi PKS Kampar menyebut, kaum ibu di kampungnya, mulai resah dengan kehadiran warung plus-plus di Kelok Indah. Karena suami mereka sering telat pulang dan anak-anak banyak berkunjung ke tempat tersebut. Keresahan Arman tentu dapat dimaklumi. Sebelum dipindahkan akibat pembangunan PLTA Kotopanjang, Desa Tanjungalai terkenal sebagai “Kampung Suluk� (Suluk berarti menempuh jalan menuju Allah) di Kampar. Khususnya, Suluk yang dibimbing Mursyid Thariqat Naqsabandiyah, Syekh Maulana Haji Abdul Rahman Bin Paduko Lakmano Tanjuang Alai. Sampai kini, makam Syekh Maulana Abdul Rahman bin Paduko Lakmano yang dipindahkan dari kampung lama ke kampung baru Tanjungalai, masih didatangi peziarah dari berbagai daerah di Riau dan Sumbar. Para peziarah itu umumnya pengikut Thariqat Naqsabandiyah yang sangat menjaga adab kepada guru. Lantas, apa tanggapan Pemerintah Desa Tanjungalai terhadap maraknya warung minuman di kawasan Kelok Indah yang menyediakan jasa layanan plus-plus? Kepala Desa Tanjuangalai 2013, Yulhendri, saat ditemui Padang Ekspres di rumahnya, dengan tegas menyebut, keberadaan warung minuman penyedia jasa prostitusi tersebut melanggar aturan.

100


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

“Tempat itu memang bertentangan dengan aturan yang kami buat. Karenanya, pernah dibakar masyarakat. Pemkab Kampar juga sering menggelar operasi penyakit masyarakat di kawasan tersebut,” kata Yulhendri yang lahir 6 Juli 1970. Hanya saja, tutur Yulhendri, kondisi yang dihadapi pihaknya, serba dilematis. “Di tengah warga kami, ada pro-kontra. Ada pertentangan pula. Ada tokoh-tokoh yang juga setuju dibangun warung minuman di sana. Tujuannya, semata-mata mempertahankan tanah ulayat kami. Kalau tak ditempati, nanti orang lain menghuni. Tapi pastinya, mereka yang tinggal di kawasan tersebut, umumnya pendatang,” kata Yulhendri. Di bagian lain, Yulhendri mengatakan, Desa Tanjungalai dibangun kembali oleh pemerintah pada Oktober 1994. Desa lama yang tenggelam akibat pembangunan PLTA Kotopanjang, kini tidak pernah terlihat lagi karena sudah menjadi danau. Waktu dipindahkan dulu, penduduk Tanjungalai hanya 313 KK atau 1.600 jiwa. Mereka berasal dari 3 rukun keluarga (RK). Kini, sejak dipindahkan ke Satuan Permukiman Ranah Koto Talago, penduduk berkembang menjadi 587 KK. Terdiri 1.130 lelaki dan 2.398 wanita, mereka menetap di Dusun I, II, II, dan IV. “Warung minuman yang berbau penyakit masyarakat itu berada di Dusun IV,” kata Yulhendri. Ia menyebut, proses pemindahan warga Tanjungalai dua dasawarsa silam, diwarnai protes seperti pemindahan warga Tanjungpauh dan Tanjungbolik, Sumbar. Tapi karena saat itu rezim Orde Baru sedang berkuasa, warga manut saja. Padahal, masih ada ganti rugi belum dibayar pemerintah. “Kalaupun ada warga yang menerima ganti rugi, tidak sesuai dengan lahan dan tanaman yang ditenggelamkan. Kemudian, kebun karet yang dijanjikan siap potong, hanya lahan kosong. Rumah di permukiman baru ini, saat kami

101


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

tempati, tidak dialiri listrik,” beber Yulhendri. Karenanya, bersama warga desa-desa lain di Riau dan Sumbar, warga Tanjungalai, pernah menuntut pemerintah. “Warga kami juga didampingi LSM Taratak dan KBH-YPBHI Bukittinggi, Sumbar,” kata Yulhendri. Hanya saja, berbeda dengan di Sumbar, protes warga Tanjungalai direspon cepat oleh Pemkab Kampar. “Usai gugatan, kami kembali dapat bantuan bibit karet. Kami juga diajari cara berkebun dengan sistem plasma. Alhamdulillah, kini kebun itu lumayan menghasilkan,” ujarnya. Walau penghidupan warga di Tanjungalai sudah mulai membaik, karena kebun karet yang ditanam ulang bisa meningkatkan pendapatan keluarga. Tapi warga yang mayoritas berasal dari etnis Minangkabau, dalam wilayah adat Luak Limopuluah, mulai tercerabut dari akar budaya asli mereka. Itu terlihat dengan ketiadaan Rumah Gadang di Tanjungalai. Balai Adat atau balai pertemuan yang didirikan Pemkab Kampar, arsitekturnya lebih khas ke adat Melayu. Akan tetapi, Yulhendri tetap yakin, nilai-nilai adat-istiadat Minangkabau, masih dipertahankan warganya. Di Tanjungalai, menurut Yulhendri, terdapat 6 Suku dengan 9 Datuk (Dt). Yakni, Suku Domo Dt Simajolelo, Suku Domo Dt Marajo, Suku Domo Dt Bijo Dirajo, Suku Melayu Kampai Dt Sinaro, Suku Melayu Kampai Dt Bosa, Suku Pitopang Dt Paduko Rajo, Suku Chaniago Dt Marajo Kampar, Suku Nailiang Dt Indo Besar, dan Suku Marajo Dt Puto. “Kami punya 9 ninik-mamak, masih aktif sampai sekarang. Yang jadi pucuknya, ada dua. Yakni Pucuak Adat, Datuk Bosa dari Suku Melayu Kampai dan Pucuak Ibadat Datuak Puto dari Suko Marajo. Pemkab Kampar sudah membangun Balai Nagari buat para Datuk,” kata Yulhendri. Ia menyebut, warga Tanjungalai, masih mempertahan-

102


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

kan nilai-nilai religi seperti ber-khalwat atau suluk. “Tempat khalwat kami masih ada. Dulu, dipimpin Syekh Maulana Haji Abdul Rahman Bin Paduko Lakmano Tanjuang Alai. Sekarang, murid-murid beliau melanjutkan,” sebutnya. Persoalan krusial yang dirasakan Pemerintah Desa Tanjungalai dan warganya saat ini, menurut Yulhendri, sama persis dengan Tanjungpauh dan Tanjungbolik. Yakni minimnya lahan untuk membangun permukiman. “Ulayat kami yang masih tersisa, tinggal di Dusun IV, dekat kawasan Kelok Indah itu. Cuma, masuk dalam Hutan Produksi Terbatas (HPT),” ujarnya. Bersama masyarakat, Yulhendri sudah mengusulkan kepada Pemkab Kampar, agar HPT itu dialihkan sebagai lahan produktif. “Hanya saja, dalam RTRW Kampar, sudah masuk dalam HPT. Batas koordinatnya pas di kantor desa kami. Sehingga, sampai kini, kami masih berjuang,” ulasnya. *** Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua siang saat Padang Ekspres meninggalkan Desa Tanjungalai. Setelah “mengganjal” perut di kawasan Kotopanjang, tidak jauh dari gardu induk PLTA, kami mulai bimbang menentukan arah tujuan. Pasalnya, desa-desa di Riau yang dipindahkan akibat pembangunan PLTA Kotopanjang, kini posisinya berjauhan. Walau masih berada di Kabupaten Kampar, tapi letaknya terpencar. Tidak seperti Tanjungbolik dan Tanjuangpauh di Sumbar yang dibangun sejajar di kawasan Rimbodata. Selain terpencar, desa-desa tersebut bertambah jumlahnya. Jika dulu, hanya ada 8 desa. Yakni, Tanjungalai, Batubersurat, Pulaugadang, Kototuo, Pongkai, Gunungbungsu, Muaratakus, dan Muaramahat. Kini, sudah berkembang menjadi 19 desa dan kelurahan. Karena Batubersurat, Pulaugadang, Kototuo, dan Pongkai, mengalami pemekaran.

103


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Batubersurat dimekarkan menjadi 1 kelurahan dan 3 desa. Yakni, Kelurahan Batubersurat, Desa Binamang, Desa Ranahsungkai, dan Desa Lubukagung. Sedangkan Pulaugadang dimekarkan menjadi 2 desa. Yaitu, Desa Pulaugadang dan Desa Kotomasjid. Adapun Kototuo dimekarkan menjadi dua 2 desa. Yakni, Desa Kototuo dan Desa Kototuo Barat. Beruntung, letak desa-desa hasil pemekaran Batubersurat, Pulaugadang dan Kototuo, masih berdekatan dengan induknya atau tetap berada di Kecamatan XIII Koto Kampar. Akan tetapi, untuk Desa Pongkai yang dimekarkan menjadi 3 desa. Yakni, Pongkai Istiqomah, Pongkai, dan Pongklai Mayang, letaknya berpisah-pisah. Desa Pongkai Istiqomah berada di Kecamatan XIII Koto Kampar. Sedangkan Desa Pongkai atau Pongkai Baru Selatan Sibiruang, terletak di Kecamatan Koto Kampar Hulu. Sementara, Desa Pongkai Mayang atau Pongkai Sungai Pagar, berada di Kecamatan Kampar Kiri Hilir. Ini tentu saja menyulitkan bagi Padang Ekspres. Kesulitan itu semakin bertambah, manakala Padang Ekspres harus melihat Desa Muaromahat yang kini berganti nama menjadi Muara Mahat Baru di Kecamatan Tapung. Persisnya di SP III Sibuak, dekat kawasan Patapahan yang dianggap angker oleh para sopir asal Sumbar, karena sering terjadi tindak kriminalitas di kawasan tersebut. Selain “wajib� mengintip Desa Muara Mahat Baru, kami, harus pula melihat Desa Gunungbungsu dan Desa Muaratakus yang terkenal dengan candinya. Walau kedua desa ini sama-sama berada di Kecamatan XIII Koto Kampar, tapi untuk berangkat ke sana, cukup menyita waktu. Apalagi, jalan ke Gunungbungsu, saat kami datang, berlobanglobang. Selanjutnya, kami mesti melihat satu dusun yang terkena dampak PLTA Kotopanjang. Namun tidak masuk program bedol desa. Dusun tersebut bernama Baliaktanjung.

104


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Sekitar 50 keluarga yang pindah dari dusun itu kini bergabung dengan Desa Tanjung di Kecamatan Kampar Hulu. Kemudian, ada pula pula desa yang tidak boleh luput dari pantauan kami. Yakni, Desa Sungai Lambu Makmur, Kecamatan Tapung, dan Desa Kayuaro, Kecamatan Kampar. Pada kedua desa ini, bermukim 50 KK asal Desa Batubersurat lama. Sungguh, sebuah investigasi yang membutuhkan semangat kerja, kerja, kerja! Alhasil, setelah memetakan perjalanan yang akan dituju, yakni seperempat wilayah Kabupaten Kampar, Padang Ekspres memilih mengunjungi dulu Desa Muara Mahat Baru dan Desa Sungai Lembu. Dengan pertimbangan, kedua desa bertetangga itu cukup jauh dari Sumbar. Akan tetapi, laporan dari kedua desa, kami turunkan secara terpisah. *** Matahari sudah berada di ufuk Barat, ketika Padang Ekspres sampai di rumah Nizamuddin yang terletak di SP V, Desa Sungai Lembu Makmur, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar. Pria 44 tahun itu kaget, saat mendengar kami datang dari Sumbar. “Dunsanak jauah mah. Ambo urang Batubasurek (Kerabat jauh rupanya. Saya orang Batubersurat),” ucapnya Nizamuddin. Ia mengaku, sudah dua dasawarsa tinggal di Desa Sungai Lembu Makmur. “Kami tersingkir dari kampung halaman,” ujar Nizamuddin yang baru pulang dari kebunnya. Nizam menceritakan, saat kampung lamanya, Desa Batubersurat, dinyatakan terkena dampak pembangunan waduk PLTA Kotopanjang sektar 1983 silam, ia bersama masyarakat sempat kebingungan. “Kami bingung, mau tinggal di mana lagi,” ujarnya. Pemerintah Kampar kemudian menawarkan warga

105


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Desa Batubersurat yang saat itu berjumlah 1.275 KK, pindah ke kawasan Sibuak, persisnya ke Desa Sungai Lembu Makmur. “Kalau pindah, kami dapat ganti rugi. Kemudian, diberi rumah, kebun 2 Ha, dan lahan pangan,” cerita Nizam. Akan tetapi, tidak semua warga Batubersurat, setuju dipindahkan jauh-jauh. “Warga tetap ingin tinggal tidak jauh dari kampung lama. Sehingga mereka dipindahkan ke kawasan perbukitan. Kawasan itulah yang kini menjadi Desa Batubersurat, ibu Kecamatan XII Koto Kampar,” kata Nizam. Sementara masyarakat kampungnya tidak mau dipindahkan, Nizam yang kala itu menyandang gelar Datuk Rajo Sinaro, memilih ikut pemerintah. Ia memboyong istrinya, pindah ke Desa Sungai Lembu Makmur, sekaligus mengembangkan sawit dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR). “Bersama saya, ada 49 keluarga lain yang ikut program PIR. Mereka, selain tinggal di Sungai Lembu Makmur, ada pula yang ditempatkan di Kayu Aro, dekat Airtiris, Kecamatan Kampar. Namun yang ditempatkan di Kayuaro, hanya 10 keluarga. Kami tetap di sini,” kata Nizam. Keputusan Nizam bersama 49 kepala keluarga ikut dengan program pemerintah, ternyata berakibat fatal terhadap mereka. “Seperti saya bilang tadi, kami tersingkir dari kampung. Kami dianggap pengkhianat, karena mau meninggalkan kampung. Tapi karena saat itu kehidupan kami juga sedang sulit, kami harus mengambil keputusan pindah,” ucapnya. Sampai kini, Nizam mengaku tidak pernah lagi mengunjungi kampung lamanya. Hubungan dengan dunsanak asal atau kerabat terputus selama puluhan tahun. “Kami, sudah dihanyutkan untung masing-masing,” ujar Nizam. Ia juga sudah sudah lama tidak memakai gelar adatnya. Walau begitu, ia tetap menyimpan sejumlah foto kena-

106


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

ngan. Termasuk, tiga foto ulama terkenal asal Desa Batubersurat. Yakni, Syekh Haji Abdul Gani El-khalidy, Mursyid Tharikan Naksyabandiyah Batu Bersurat XIII yang wafat 1961. Kemudian, Syekh Haji Aidarus Abdul Ghani (1926-1989), dan Haji Ala Iddin Athory Aidarus, LC yang lahir 1956. Selain foto tersebut, ada beberapa foto-foto di kampung lama yang masih ia pajang. “Ini, untuk diceritakan kepada anak cucu, kalau berasal dari Desa Batubersurat. Kalau rindu dengan kampung dan kawan sepermainan, foto-foto ini yang bisa mengobati hati kami,” ujar Nizam. Kini, Nizam hidup berdampingan dengan warga dari Suku Jawa dan Batak. “Kalau nanti kami ke Batubersurat, tanya kawasan bernama Subarangaia. Di sanalah, kampung asal saya. Bilang, kalau kamu bertemu dengan warga Batubersurat di Sibuak,” ucap Nizam, saat Padang Ekspres meninggalkan kediamannya.(Bersambung)

107


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

108


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (11)

4 Jam Naik Sampan, Tidak Dapat Sertifikat Pembangunan PLTA Kotopanjang membuat warga Batubersurat jatuh tapai. Kebun karet yang dibagikan pemerintah, tidak tergarap optimal. Untuk sampai ke kebun tersebut, warga harus naik sampan 4 jam pulang-pergi. Ironisnya lagi, setelah 20 tahun dipindahkan, warga tidak pernah memperoleh sertifikat kepemilikan lahan. Maka jangan heran, bila Batubersurat yang dulu gemah ripah lo jinawi, kini menjadi ibu kecamatan termiskin di Kabupaten Kampar. LAPORAN FAJAR RILLAH VESKY, RIAU

MENJUNJUNG seikat kayu bakar, Amiati (43), tampak kelelahan. Baju kaos lengan panjang berwarna oranye yang dipakainya, basah kuyup karena keringat. Tapi langkahnya tetap kokoh, menelusuri jalan tanah di permukiman penduduk Kelurahan Batubersurat, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. “Mau ke mana?� sapa Amiati saat bertemu rombongan Padang Ekspres. Setelah mengunjungi Desa Sungai Lembu Makmur dan Desa Muara Mahat Baru di Kecamatan Tapung, kami memang melanjutkan perjalanan ke Batubersurat, XIII

109


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Koto Kampar, untuk melihat kehidupan warga yang dulu terkena dampak pembangunan PLTA Kotopanjang. Setelah 20 tahun dipindahkan, rupanya banyak perkembangan terjadi di Batubersurat. Bila dulu, penduduk kampung ini hanya tergabung dalam sebuah desa, sejak 2001 sampai 2005 silam, telah menjadi 1 kelurahan dan 3 desa. Yakni, Kelurahan Batu Bersurat, Desa Binamang, Desa Ranahsungkai, dan Desa Lubukagung. Amiati bersama suaminya, Hasan Basri (47), serta empat putra-putri mereka, yakni Muhammad Rifaldi (21), Ishadi (18) Muhammad Shidiq (16) dan Dania (7) tercatat sebagai warga Kelurahan Batubersurat. Berada pada kawasan perbukitan di atas danau buatan, kelurahan ini menjadi ibu Kecamatan XIII Koto Kampar. Walau sebuah ibu kecamatan, tapi kondisi Kelurahan Batubersurat tak obahnya seperti judul cerita klasik Minang “Rancak di Labuah”. Jalan utama kelurahan ini bukan main mulusnya. Kantor-kantor pemerintahan berdiri megah di sepanjang jalan tersebut. Akan tetapi, saat masuk ke permukiman penduduk, suasana terasa kontras. Jalan yang baru diaspal lapen, sudah banyak berlobanglobang. Rumah hunian warga, masih berdinding papan dan berukuran 6 x 6 meter. “Kami hidup dalam kemiskinan,” ucap Deni Irawati dan Lismarni, dua warga yang ikut nimbrung, saat Padang Ekspres berbincang dengan Amiati. Kepala Kelurahan Batubersurat Armansyah, ikut membenarkan derita warganya. “Iya, Batubersurat adalah ibu kecamatan paling miskin di Kabupaten Kampar,” ujar Armansyah dengan suara bergetar, saat ditemui di kantor Camat XIII Koto Kampar, sekitar 50 meter dari ruang kerjanya. Kemiskinan yang melilit Batubersurat, sungguh di luar perkiraan. Puluhan tahun lalu, penduduk kampung itu hidup

110


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

makmur. Hasil perkebunannya berupa jeruk, terkenal tidak hanya di Kampar tapi sampai ke Sumbar. Saat kampung lain belum mulai berkebun karet secara massal, penduduknya sudah terbiasa menyadap getah. “Dulu, penduduk kami punya sawah dengan irigasi lancar. Kami punya kebun jeruk dan kebun getah. Kini, sumber penghasilan itu yang hilang. Sehingga kemiskinan tumbuh subur,� kata M Rossi Madsa Datuk Pakomo, ketua pemuda sekaligus pengurus LPM Batubersurat. Lantas, mengapa warga Batubersurat bisa jatuh tapai sekejap mata? Bukankah, saat mengikuti bedol desa dulu, warga Batubersurat menerima ganti rugi, lahan perkebunan, dan lahan pangan dari pemerintah? Abrar HS Datuak Paduko Sianso (56), aktivis Badan Perjuangan Rakyat Korban Dam Koto Panjang (BPR-KDKP) di Riau, punya kenangan tersendiri. Ia menceritakan, warga Batubersurat sebanyak 1.257 KK, dipindahkan pemerintah sekitar 1994. Sebelum pindah, Pemkab Kampar berkali-kali meyakinkan mereka bahwa pembangunan PLTA tak akan merugikan . Terakhir, saat menghadiri peringatan Maulid Nabi di perkampungan lama Batubersurat, Bupati Saleh Djasit (pernah jadi Gubernur Riau) membuai warga dengan menyebut, Batubersurat adalah kekasih Bupati Kampar. “Hanya saja, kami merasa diperlakukan bukan layaknya seorang kekasih. Banyak warga tidak dapat ganti rugi yang layak. Kemudian, lahan perkebunan yang diberikan pemerintah buat kami, sampai kini tak ada sertifikatnya. Sehingga warga tak punya bukti kepemilikan,� kata Abrar Datuak Paduko Sianso atau Datuk Abrar. Selain tak punya bukti kepemilikan, kebun karet seluas lebih kurang 2.614 hektare atau 2 hektare buat masingmasing keluarga, meninggalkan cerita menyakitkan bagi

111


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

warga Batubersurat. Ini terjadi karena letak kebun karet tersebut tidak sehamparan, seperti kebun karet untuk desadesa lain. Khusus buat warga yang kini tergabung dalam Desa Binamang, Desa Ranahsungkai, dan Desa Lubukagung, kebun karet mereka berada tidak terlalu jauh dari permukiman. Kiranya, sekitar setengah jam perjalanan dengan sepeda motor. Sedangkan buat warga yang kini mendiami Kelurahan Batubersurat, kebun karetnya terletak di seberang danau PLTA. Kebun di seberang danau tersebut, tidak bisa digarap warga secara optimal. “Sebab, untuk sampai di kebun, warga harus naik sampan dan berjalan kaki. Kurang lebih 4 sampai 5 jam pulang-pergi. Akibatnya, duit ganti rugi yang diterima dari pemerintah, berangsur-angsur habis untuk belanja. Sehingga warga menderita kemiskinan,� beber Datuak Abrar. Fakta ini sebelumnya dibeberkan Amiati. Ia menyebut, kebun warga Batubersurat yang berada di seberang danau, lokasinya berada di tiga titik berbeda pula. Yakni, Sungai Ibu, Gulamo, dan Bukit Tamala. Untuk sampai ke tiga lokasi kebun tersebut, harus naik Robin (sampan yang dilengkapi mesir air merek Robin). Padang Ekspres sempat menaiki Robin tersebut, guna melihat kebun warga. Suasana di atas Robin, bikin jantung berdegup kencang. Mungkin karena tidak terbiasa, perjalanan selama 4 jam pulang-pergi membuat perut kami serasa hendak muntah. Setelah sampan ditambatkan, perjalanan dilanjutkan pula dengan berjalan kaki dan melewati pendakian. Bagi warga yang kebunnya berada paling ujung, ia harus berjalan kaki sekitar 1 sampai 1,5 jam. Bayangkan, bila warga sudah meninggalkan rumah sejak jam tujuh pagi,

112


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

sekitar pukul sebelas siang mereka baru sampai di kebun karet. Bekerja sekitar 3 jam, mereka harus bersiap pulang, kalau tidak ingin kemalaman saat melewati danau. Dengan waktu kerja efektif hanya tiga jam perhari, otomatis warga tidak bisa menggarap kebun mereka dengan baik. Sementara, biaya untuk pergi ke kebun sangat besar. Selain harus membuat sampan, warga harus membeli mesin Robin dan bahan bakar minyak. Pemerintah memang pernah menyediakan sampan pompong, tapi kini sudah tak berfungsi lagi. Pemerintah Kabupaten Kampar, seperti diakui Kepala Kelurahan Batubersurat Irwansyah, bukan tidak tahu dengan kondisi warganya. Pemerintah pernah mengajak warga menanam pohon Jati dan Mahoni sebagai investasi jangka panjang, karena tidak mungkin karet digarap optimal. Hanya saja, program kehutanan ini tidak berhasil. “Kami bersama pemuka masyarakat telah berupaya, agar seluruh kebun warga ada sertifikatnya. Sehingga nanti, bisa dijalin kerja sama pengelolaan kebun sawit dengan sistem plasma. Tentu saja dengan catatan, perusahaan membangun akses jalan atau menyediakan transportasi. Akan tetapi sampai kini, warga tetap belum dapat sertifikat,� kata Irwansyah. Dia melihat, faktor kemiskinan di Batubersurat, sebenarnya tidak lepas pula dari kelengahan masyarakat. “Dulu, sewaktu masih ada bantuan dan duit ganti rugi, mereka luput menyekolahkan anak tinggi-tinggi. Kalau disekolahkan, mungkin anak-anak mereka sudah sarjana dan dapat kerja. Sehingga bisa membantu penghasilan keluarga,� ujar Irwansyah. Selain kelemahan masyarakat, Irwansyah menilai koordinasi antar instansi pemerintah di Kabupaten Kampar dalam penanganan kemiskinan Batubersurat, masih lemah.

113


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Walaupun kepala daerah dan DPRD, sudah cukup prorakyat. “Jadi, faktornya komplit. Selain warga, ada pula kelemahan pemerintah, “ sebut Irwansyah yang berasal dari Muaromaek. Berbeda dengan nasib warga yang kini mendiami Kelurahan Batubersurat, Desa Binamang, Desa Lubukagung, dan Desa Ranahsungkai. Sebanyak 50 kepala keluarga yang tersingkir dari Desa Batubersurat lama dan kini menetap di Desa Sungai Lembu Makmur, Kecamatan Tapung, maupun Desa Kayuaro, Kecamatan Kampar, justru hidup lumayan sejahtera. “Dunsanak dan warga desa lama kami itu, dulu tidak mau ikut program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang ditawarkan pemerintah. Mereka tak mau mau berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Tapi sudahlah, nasi sudah jadi bubur,” kata Nizamuddin, warga asal Batubersurat yang kini menetap di Sungai Lembu Makmur dan kisahnya ditulis kemarin. *** Batubersurat termasuk kampung unik. Berada di Riau, masyarakatnya dalam keseharian terbuhul tatananan adat Minangkabau. Walau rumah gadang kebanggaan kaum dan Balai Adat sudah musnah, baik di wilayah yang kini masuk Kelurahan Batubersurat, Desa Binamang, Desa Lubukagung, maupun Desa Ranahsungkai. Akan tetapi, mereka masih bangga mengaku sebagai orang Minang dari Luak Limopuluah Koto. “Kami bagian tidak terpisahkan dari Luak Limopuluah. Menurut orang tua-tua kami, Luak Limopuluah terletak dari Sialang Balantak Basi sampai ke Sisauik Sungai Rimbang, hilirnya sampai di Sipisak Pisau Hanyuik. Dari Durian Ditakuak Rajo sampai ke Siluka Pinang Tungga. Dari Pinang

114


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Mancuang Kulik sampai ke Gunung Sailan Mudiak,� kata Rahami Dt Paduko Sanso dan Abrar Dt Paduko Sianso, warga setempat. Bukan sekadar bangga, para pemuka adat Batubersurat, masih tahu, bahwa wilayah Luak Limopuluah Koto merupakan Ulayat Limo Rajo atau terbagai atas lima ulayat. Yakni, ulayat Rajo Dihulu di Situjuah Banda Dalam, ulayat Rajo Diluak di Aia Tabik Minyak Selabu, Ulayat Rajo Dilareh di Sitanang Muaro Lakin, Ulayat Rajo Diranah di Talago Gantiang, dan Ulayat Rajo Disandi di Kumbuah Nan Payau (kini Koto Nan Godang). Secara sederhana, Rahmi Majo Datuik Paduko Sanso dan Abrar Datuk Paduko Sianso menceritakan, bahwa Batubersurat punya dua pucuk adat. Yakni, Datuk Khalifah yang mereka sebut sebagai Pucuk Adat III Besar dan Datuak Bandaharo Sati yang disebut sebagai Pucuk Penghulu Nan 10. Kedua pucuk ini sama-sama berasal dari Suku Domo. Adapun jumlah niniak-mamak di Batubersurat, tercatat 10 orang. Yakni, Datuk Besar (Domo), Datuk Majo Besar (Domo), Datuk Paduko Simarajo (Domo), Datuk Pakomo (Pitopang), Datuk Penghulu Besar (Melayu), Datuk Simajo (Melayu), Datuk Marajo Lelo (Domo), Datuk Simajolelo (Domo), Datuk Gindo Jo Besar (Domo), dan Datuk Paduko Sianso (Pitopang). Sementara di Desa Binamang yang dimekarkan dari Batubersurat, 7 Juli 2005 silam, hanya terdapat 4 niniakmamak. Yakni, Datuk Paduko Rajo (Melayu), Datuk Bijo Dirajo (Pitopang), Datuk Paduko Sanso (Chaniago), Datuk Sinaro (Melayu). Dengan Pucuk Adatnya, Datuak jo Panghulu. Sedangkan di Desa Ranahsungkai yang dulu disebut sebagai Kototangah, ada 6 niniak-mamak. Yakni, Datuk Majo Indo, Datuk Paduko Simarajo, Datuk Sinaro Pokiah,

115


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Datuak Rangkayo Bosa, Datuk Panghulu Bosa, dan Datuak Paduko Bosa. Dengan dua orang pucuknya. Yakni, Datuk Majo sebagai Pucuak Soko (Pemimpin Hak Kekayaan Tanpa Wujud) dan Datuak Bandaharo Mudo sebagai Pucuak Pusako (Pemimpin Segala Kekayaan dan Benda). *** Gerbang bertuliskan “Makam Syekh Haji Abdul Gani El-khalidy, Mursyid Tharikat Naksyabandiyah Batu Bersurat XIII” tertulis jelas di Desa Binamang, Kecamatan XII Koto Kampar. Dulu, makam tersebut berada di Surau Darul Arifin atau Surau Sholihin Batubersurat. Tapi akibat pembangunan PLTA Kotopanjang, makam terpaksa dipindahkan ke wilayah Manamang yang kini menjadi Desa Binamang. Di dalam makam, sejumlah peziarah terlihat khusuk berdoa. Mereka, tidak hanya warga Riau, tapi juga datang dari Sumbar. Karena konon, Syekh Abdul Ghani El-khalidy punya keturunan dan pengikut, tidak hanya di Sumbar, Riau, tapi sampai ke Makkah. Setiap 21 Rajab di tahun hijriyah, para peziarah itu berkumpul besar-besaran. Berdoa sekaligus berharap karomah dari mahaguru Tharikat Naksyabandiyah Khalidiyah tersebut. Menurut penjaga makam, Syekh Haji Abdul Gani Elkhalidy dilahirkan di Kanagarian Tigokoto, Batubersurat, 1811, dan wafat di Kototengah yang kini disebut sebagai Desa Ranahsungkai pada 1961. Beliau, menimba ilmu agama Islam dari banyak ulama besar. Mulai dari Syekh Ranah Kumpai di Hulu Sungai Kampar, Tuanku Sumaniak di Sumbar, sampai Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi di Masjidil Haram, Makkah. Dengan “pencarian” yang begitu panjang, tidak heran, bila Syekh Haji Abdul Gani El-khalid, sangat menguasai ilmu Tauhid, Fiqih dan Tasauf. Menurut pengagumnya dari

116


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Sumbar, H Febby Dt Bangso, Syekh Haji Abdul Gani elKhalidy dalam mengajari tharikat, mengupas 7 rahasia lathaif (esensi terhalus). Apabila dibersihkan dengan Zikrullah, insya Allah, akan membuat manusia mendapat salah satu rahasia di setiap lathaif-nya. Adapun ketujuh lathaif yang dikupas dalam ilmu Tharekat Naqsyabandiyah Khalidiyah adalah Lathifatul Qalby, Lathifatul Roh, Lathifatul Sir, Lathifatul Khafi, Lathifatul Akhfa, Lathifatul Nafsun Natiqah, dan Lathifatul Kullu Jasad. Untuk memahami ketujuh rahasia lathaif ini tidaklah mudah. Selain iman harus kuat, dianjurkan mengikuti jalan menuju Allah atau dikenal sebagai khalwat alias suluk. Akhirnya, setelah membaca Al-Fatihah, kami meninggalkan makam Syekh Haji Abdul Gani El-khalidy. Berharap karomah dari para guru, Padang Ekspres melangkah pasti meninggalkan Batubersurat. Menunaikan kewajiban, menyuarakan orang-orang yang tidak bersuara.(Bersambung)

117


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

118


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (12)

Dibujuk, Digertak, Ditembak, Tetap Istiqomah Saat waduk PLTA Kotopanjang dibangun, 125 keluarga di Pongkai, Kampar, Riau, menolak ikut progam bedol desa ataupun PIR. Dibujuk, digertak, bahkan ditembak Satkorlak, mereka tetap menghuni sebuah dataran tinggi. Bermodal tulang delapan kerat, mereka pertahankan sejarah, adat-istiadat, dan tanah ulayat. Mereka bangun rumah, jalan, surau, dan sekolah. Setelah reformasi, pemerintah “menyerah”. Mengakui mereka sebagai sebuah desa yang berdaulat. LAPORAN FAJAR RILLAH VESKY, RIAU

USIANYA sudah 75 tahun. Kulitnya sudah keriput. Tapi tangannya masih cekatan melinting tembakau dengan tiga lembar udut. Tenaganya masih cukup kuat mencangkul di kebun, bahkan merambah semak-semak. Ingatannya? Jangan ditanya, masih sangat tajam. Ditemui di rumahnya yang sederhana di Desa Pongkai Istiqomah, XIII Koto Kampar, Riau, 2013 silam, pria bernama Razali Datuk Majo Bosa itu hanya mengenakan kain sarung tanpa baju. “Kalian datang dari Sumbar?” ucapnya, seakan tidak percaya dengan kehadiran Padang

119


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Ekspres. Desa Pongkai Istiqomah tempat Razali tinggal, merupakan desa baru hasil pemekaran dari Desa Pongkai, kampung yang ikut tenggelam akibat pembangunan PLTA Kotopanjang di Riau. Selain Pongkai Istiqomah, ada dua desa lainnya yang menjadi pemekaran desa ini. Keduanya, Desa Pongkai atau Pongkai Baru Selatan Siberuang di Kecamatan Koto Kampar Hulu dan Desa Pongkai Mayang atau Pongkai Sungai Pagar di Kecamatan Kampar Kiri Hilir. Lantas, kenapa satu desa yang sama, kini dipindahkan ke tiga kecamatan berbeda? “Panjang ceritanya,” kata Razali. Setelah meminta istrinya Siti Maryam (60), menghidangkan seteko air putih dan gelas, baru ayah delapan anak itu bercerita. “Dulu, kami yang tinggal di Desa Pongkai lama, berjumlah 543 Kepala Keluarga (KK),” ujarnya. Sekitar 1990, mereka mendapat kabar dari Pemkab Kampar yang kala itu dipimpin Bupati Saleh Djasit, bahwa Desa Pongkai termasuk kampung terkena radar proyek PLTA Kotopanjang, menggunakan dana bantuan pemerintah Jepang. Untuk itu, kampung harus dikosongkan. Kepada penduduk, akan dibayar ganti rugi lahan. Kemudian, penduduk ditawari dua opsi. Pertama, ikut bedol desa atau pemindahan desa secara keselurahan. Kedua, ikut dengan program Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Dua opsi yang ditawarkan itu, membuat penduduk Desa Pongkai terpecah tiga. Sebanyak 218 KK, memilih ikut program PIR di kawasan Sungaipagar yang saat itu masih masuk Kecamatan Kampar Kiri dan berjarak 170 KM dari desa lama mereka. Sedangkan, sebanyak 200 KK lainmya, memutuskan ikut program bedol desa di kawasan Siberuang Selatan, sekitar 40 KM dari desa lama. Adapun sisanya, sebanyak 125 KK, menolak ikut bedol desa ataupun program PIR.

120


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Mereka bertekad, tetap menghuni kampung lama. “Saya, bersama warga tidak mau ikut program PIR atau bedol desa, karena tidak ingin, sejarah XIII Koto Kampar bergeser. Apalagi, dalam sejarah, Pongkai merupakan nagari (desa) tertua. Di nagari kamilah, diambil tanah liat untuk membangun Candi Muaratakus,” ucap Razali. Penolakan pindah yang dicanangkan Razali bersama 124 KK, kontan saja, membuat gempar Pemkab Kampar. Berbagai cara dilakukan untuk merayu warga agar pindah. Bahkan, sampai menggunakan kekuatan militer. Akan tetapi, warga tetap dengan pendirian semula. Sementara, pembangunan PLTA sudah di pelupuk mata. Bendungan sudah berdiri. Siap untuk digenangi air. Akhirnya, dengan sedikit paksaan, warga tetap diminta menerima uang ganti rugi lahan mereka yang tenggelam. Walau sebagian ganti rugi tersebut, dinilai tidak setimpal. Setelah menerima ganti rugi sekitar 1992, warga yang tidak mau pindah, diajak melihat lokasi bedol desa di Sungaipagar dan PIR di Siberuang Selatan. “Kami disuruh dulu, melihat seperti apa lokasi bedol desa dan PIR. Siapa tahu, kami berubah pendirian. Tapi saya tetap yakinkan kawan-kawan, bahwa kita harus pertahankan sejarah,” ujar Razali. Selain berniat mempertahankan kearifan lokal, 125 KK itu menolak pindah, karena menilai lokasi PIR dan bedol desa tidak cocok bagi mereka. “Saat itu lahannya gersang dan tandus,” kata Kepala Desa Pongkai Istiqomah 2013, Mashuri (43), yang ikut menemani Padang Ekspres ke rumah Razali. Sampai 1993, saat 218 keluarga sudah diberangkatkan ke Sungaipagar dan 200 keluarga lainya telah bertolak ke Siberuang Selatan, sebanyak 125 KK, tetap tidak mau pindah. Agar tidak bentrok dengan aparat, mereka naik ke sebuah

121


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

dataran tinggi yang berjarak 8 KM dari kampung lama. Dataran tinggi itu merupakan tanah ulayat nagari Pongkai. Luasnya sekitar 40 hektare. Diperkirakan tidak akan tenggelam akan pembangunan waduk PLTA. “Di tempat inilah, sekali sepekan di hari Kamis, kami bergotong-royong. Pohon-pohon kami tebang, semak kami tebas,” kenang Razali. Setahun bergotong-royong, kerja keras warga berbuah manis. Pada 1994, dataran tinggi yang telah bersih, dikapling-dikapling. Disiapkan sebagai permukiman. Setiap keluarga, dapat lahan 1.250 M2. “Walau tidak seluas lahan peserta PIR dan bedol desa, tapi kami bersyukur,” ucap Mashuri. Setelah lahan permukiman berhasil diundi. Sebagian lahan yang tersisa, disiapkan untuk membangun infrastruktur umum, termasuk jalan, kantor pemerintahan, masjid, dan sekolah. Kemudian, warga mulai mendirikan rumah, dengan memanfaatkan uang ganti rugi lahan kampung lama. Saat pembangunan rumah, berbagai suka-duka dialami warga. “Dua rekan seperjuangan saya, namanya Syamsuar dan Jirjal, didatangi ABRI anggota Satkorlak. Dia marahmarah, kenapa kami bangun rumah di kampung ini. Dia menggertak, bahkan sampai menembak,” kata Razali. Hingga kini, Jirjal yang dipanggil Ayah oleh warga Desa Pongkai Istiqomah masih hidup. “Ayah, selamat dari tembakan itu. Beliau tak mau pindah, karena kami komit, apapun yang terjadi, tidak akan tinggalkan kampung baru,” ucap Mashuri. Sayang, saat Padang Ekspres datang ke kampungnya, Jirjal tengah berada di Pekanbaru, tak dapat ditemui. Walau di antara warga ada yang kena tembak Satkorlak, tutur Razali dan Mashuri, mereka tetap melanjutkan pendirikan rumah. Sekitar 1995 atau dua tahun sebelum Desa

122


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Pongkai lama ditenggelamkan, rumah yang mereka didirikan, sudah dapat ditempati. “Pada awal 1995 itu pula, kami dengan musyawarah bersama. Menamakan, perkampungan baru ini Pongkai Istiqomah. Yang diartikan sebagai Pongkai dengan pendirian tetap,� kenang Razali dan Mashuri. Keberadaan permukiman baru Pongkai Istiqomah, diakui Mashuri yang menjadi kepala desa setelah Emdarlis dan Muhammad Najwan, tidak serta-merta diakui pemerintah. “Cukup lama, masyarakat kami hidup tanpa KTP. Kalau pun ada yang pakai KTP, masih pakai KTP desa lama atau menembak KTP Desa Binamang, kampung tetangga kami,� ujarnya. Kendati tidak punya legalitas kependudukan yang jelas dan tidak mendapatkan jatah hidup dari pemerintah, seperti layaknya korban-korban pembangunan PLTA Kotopanjang. Namun, 125 kepala keluarga di permukiman Pongkai Istiqomah, tidak menyerah. Dengan semangat Berdikari (Berdiri di Kaki Sendiri) yang diajarkan Bung Karno, mereka membuka kebun dan menjadi buruh di kampung tetangga. Mereka terus berjuang, agar diakui sebagai sebuah desa yang berdaulat. Perjuangan warga menjadikan Pongkai Istiqomah sebagai desa tidak sia-sia. Setelah Presiden Soeharto tumbang bersama rezim Orde Baru dan reformasi datang dengan segala keterbukaan, mereka dapat angin segar. Bupati Kampar saat reformasi bergulir, H Beng Sabli yang datang ke Pongkai Istiqomah pada September 1999, untuk meresmikan SD Swadaya dan Masjid Nurul Istiqomah, menyatakan, permukiman tersebut layak menjadi desa persiapan. Hanya berselang tiga bulan atau 13 Desember 1999, Pongkai Istiqomah resmi jadi desa defenitif. Kini, penduduk Pongkai Istiqomah telah berkembang. Dari semula hanya 125 keluarga, menjadi 235 keluarga.

123


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

“Terjadi penambahan, 110 KK. Namun, semangat membangun kampung dengan kemandirian, tetap kami jaga,” kata Hardi, sekretaris desa, sejak 2009. Bersama warga lainnya, Hardi bersyukur, bisa bermukim di Pongkai Istiqomah. “Dari kejauhan, kami bisa melihat kampung kami yang telah menjadi danau. Kami masih bisa memelihara tanah ulayat yang tidak tergenangi air. Kami masih bisa menjaga tatanan adat,” ucapnya. Di Pongkai Istiqomah sendiri, penduduk seratus persen berasal dari etnis Minangkabau. Kepada generasi muda, mereka masih mengajarkan tatanan adat. Menurut Razali Datuk Majo Bosa, Nagari Pongkai secara keseluruhan, punya 4 suku. Yakni, Piliang, Melayu, Domo dan Pitopang. Niniak-mamak atau pemimpin Suku Piliang adalah Datuk Paduko Sindo dan Datuk Mangkuto Majo. Niniak Suku Melayu, Datuk Reno, Datuk Simajo Kayo dan Datuk Sinaro Kayo. Sedangkan Suku Domo, niniak-mamaknya Datuk Majo Bosa, Datuk Bosar, Datuk Paabu, Datuk Tan Simarajo, dan Datuk Paduko. Adapun Pitopang, ninikmamaknya hanya Datuk Jo Lenso. “Di Nagari Pongkai, kami punya dua pucuk adat. Yakni, Datuk Bosa dan Datuak Pa’abu yang sama-sama berasal dari Suku Domo. Sama, sukunya dengan saya. Insya Allah, nilainilai ini, masih kami ajarkan kepada generasi muda,” ujar Razali Datuk Majo Bosa. Saat warga Desa Pongkai Istiqomah, bertahan hidup dengan kemandirian dan adat istiadat. Warga desa Pongkai lama yang menetap di Selatan Siberuang dan Sungaipagar, kini sedikit merana. Mereka yang ikut bedol desa, belum kunjung dapat sertifikat atas lahan dan kebun. Sedangkan yang ikut PIR, masih harus mengangsur pinjaman kepada koperasi. Sementara, jumlah kepala keluarga di kedua desa

124


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

tersebut, semakin bertambah. “Kami yang ikut bedol desa, mulai kesulitan mencari lahan permukiman keluarga baru,” kata Ahmad (47) warga di Siberuang Selatan. “Kami juga begitu,” ujar Sahrizal (51) warga Sungaipagar, secara terpisah. *** Lain lubuk, lain belalang. Lain desa, lain pula ceritanya. Rakyat Desa Kototuo yang dipindahkan pemerintah ke Satuan Permukiman (SP) II Selatan Muaratakus, Kecamatan XIII Kotokampar, lewat program bedol desa sejak Maret, 1994, kini juga masih merana. “Dulu, kami dipindahkan pemerintah, hanya 599 KK. Kini, sudah naik dua kali lipat. Bahkan, kampung kami sudah dimekarkan pula menjadi dua desa. Yakni, Kototuo dan Kototuo Barat,” kata Syamsibar (63), warga Kototuo yang kini hidup sebagai pedagang ikan segar. Saat ditemui Padang Ekspres di Kototuo, Syamsibar sibuk menimbang ikan-ikan patin yang dibelinya dari Desa Pulaugadang. “Kini, kami harus punya usaha sampingan. Karena berharap dari kebun karet jatah pemerintah, tidak bisa. Hasilnya tidak terlalu besar,” ucapnya. Di Kototuo, Padang Ekspres sebenarnya hendak mencari Encik Karim, aktivis Badan Perjuangan Rakyat Korban Dam Kotopanjang yang banyak menginventarisir persoalan warga setempat. Sayang, tiga kali dikunjungi ke rumahnya, Encik Karim tidak ada di tempat. Kepala Desa setempat, saat didatangi ke rumahnya, sedang berangkat ke Bangkinang. Alhasil, Padang Ekspres hanya bisa mewawancarai beberapa warga. Dari mereka diketahui, bedol desa akibat pembangunan PLTA Kotopanjang, masih menyisakan banyak dilema. Seperti di Sumbar, masih ada warga yang belum dapat ganti rugi. Program action plant di Kototuo juga belum

125


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

berjalan baik. Rumah-rumah, masih seperti saat dipindahkan dulu. Angka kemiskinan cukup tinggi. Setelah masuk waktu Isya, Padang Ekspres meninggalkan Kototuo. Terus ke Pulaugadang dan bermalam di sebuah rumah warga di Kotomasjid, desa hasil pemekaran Pulau Gadang.(Bersambung)

126


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam (13):

Dulu Digusur Tentara, Kini Sentra Patin Indonesia Proyek PLTA Kotopanjang tidak melulu diwarnai cerita sedih. Kotomasjid, desa pecahan Pulaugadang yang dulu digusur tentara, setelah mekar, menjelma sebagai sentra patin terbesar di Indonesia. Muaramahat yang berganti nama sebagai Muara Mahat Baru, kini penghasil sawit. Gunungbungsu, walau tertinggal dari infrastruktur jalan, tapi sukses dengan karet. Sementara, Muaratakus, semakin bersolek dengan candinya. Sayang, air danau di sekitar candi, tercemar limbah pabrik. LAPORAN FAJAR RILLAH VESKY, RIAU

MEMAKAI topi moris warna putih, Zamri Datuk Pangeran (66), berdiri di pinggir kolam ikannya di Kampungbaru, Kotomasjid, XIII Koto Kampar, Riau. Telunjuknya yang gemuk, tiap sebentar diarahkan ke dalam kolam berisi 10 ribu ekor ikan patin tersebut. “Kalian mulai dari ujung,� sorak Zamri kepada dua remaja yang membentangkan jala sepanjang tiga meter. Setelah berjalan dari ujung ke ujung kolam yang berair coklat dan dipenuhi kiambang, kedua remaja itu berhasil menjaring puluhan patin. Ikan berkumis dengan nama latin

127


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Siluriformes tersebut langsung mereka simpan dalam sebuah ember besar. Begitu ember yang mengapung di atas kolam penuh, Zamri mengangkatnya ke atas timbangan gantung. “Tambah seekor lagi, biar pas 50 kilo,� ujar Zamri disaksikan Didi Afdal (30), toke ikan dari Tanahbadantuang, Sijunjung, Sumbar, yang datang ke Kotomasjid dua kali dalam sepekan. Usai ditimbang, patin-patin tersebut dipindahkan Didi ke dalam drum yang tersusun rapi di belakang sebuah mobil L-300 bernomor polisi Sijunjung, Sumbar. Sejak sepuluh tahun terakhir, Kotomasjid terkenal sebagai desa penghasil ikan patin terbesar di Riau. Bila 2003 silam, warga yang membudidayakan patin masih dapat dihitung dengan jari. Kini, tiada rumah tanpa kolam patin. Setiap kolam diisi bibit dengan jumlah berbeda. Tergantung luasnya. Untuk kolam yang diisi dengan 10 ribu bibit patin, setelah dirawat selama 7 bulan, panennya bisa mencapai 7 ton. Saat Padang Ekspres datang ke Kotomasjid, tauke membeli patin dengan harga bervariasi. Antara Rp11 ribuRp12 ribu per kilogram. Bila tauke dari luar daerah tidak datang menjemput, warga tidak terlalu panik. Pasalnya, sekitar 1,5 KM dari kolam ikan milik Zamri, berdiri Sentra Pengelolaan Pasca-Panen Patin. Ini merupakan sentra pengolahan patin terbesar di Indonesia. Dibangun pada 2008 silam di atas lahan seluas 3 hektare dan beroperasi sejak 2011, sentra pengolahan patin yang dikelola UPTD Dinas Perikanan Kampar ini, siap menampung hasil panen peternak. Padang Ekspres sempat melihat Sentra Pengelolaan Pasca-Panen tersebut. Luas lahannya sekitar 3 hektare. Pintu masuknya adalah gerbang setinggi lima meter. Di bagian dalamnya, tidak hanya terdapat kantor UPTD Dinas

128


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Perikanan. Tapi, ada pula tempat transaksi, pengolahan, dan pembuatan salai patin. Selain salai patin, di sentra pengolahan yang dipagar besi ini telah dibuat naget, bakso, abon, dan pudung patin. Pemasarannya tidak hanya di Riau. “Tapi sudah sampai Sumbar, Aceh, dan Jakarta,” kata Zul Akhyar, staf UPTD Dinas Perikanan Kampar. Saat ditemui, Akhyar sedang mengobrol dengan 3 teknisi. Yakni, Herman, Hermiati, dan Amril Nurman. Bersama mereka, Padang Ekspres melihat setiap jengkal bangunan di Sentra Pengelolaan Pasca Panen Patin. Awalnya, kami bertemu lima pedagang yang membuat selai patin sebanyak 9,94 ton per pekan. Kelima pedagang itu adalah Yendri, Jabarullah, Pasni, Mustakim, dan Sarnal. Menurut mereka, pembuatan salai patin, butuh kesabaran dan ketekunan. Mula-mula patin ditangkap dari kolamnya oleh tiga lelaki bernama Rozai, Iman, dan Purin. Setelah ditangkap, patin-patin tersebut dibersihkan oleh Inel, Idai, Ipa, dan Lena, empat perempuan lokal. Begitu bersih, patin disangai Sawang dan Tambat, dua lelaki asal Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Proses ini memang cukup lama. Tungku tidak boleh padam. Kayu harus terus dibakar. Ikan patin yang sudah disangai, disebut sebagai salai patin. Untuk 1 ton ikan segar, setelah disangai, beratnya turun menjadi 280 kilogram. Harganya, saat Padang Ekspres datang, mencapai Rp55 ribu perkilogram. “Sudah banyak yang mencoba salai patin kampung kami. Terakhir, ibu Nafsiah Dahlan Iskan, istri menteri BUMN. Beliau datang bersama rombongan Telkom yang membina warga lewat CSR-nya,” kata Chadiri Rachman (64), mantan Kepala Desa Kotomasjid, saat ditemui di rumahnya yang berdiri megah.

129


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Kotomasjid sendiri adalah hasil pemekaran Desa Pulaugadang. Adapun Pulaugadang merupakan desa yang pertama kali dipindahkan akibat PLTA Kotopanjang. Penduduknya saat pindah berjumlah 592 KK. “Kami dipindahkan, Agustus 1992 di bawah tekanan militer. Berkali-kali senapan meletus. Mengusir kami dari kampung sendiri. Saya ikut tertembak. Sampai lari-lari malam,� ucap AN Datuk Tumangguang, seorang saksi sejarah. Saat diwawancarai, pria kelahiran 23 Maret 1941 itu masih sehat. Namun, ketika laporan ini ditulis, beliau telah tiada. Walau demikian, dari aktivis Badan Perjuangan Rakyat Korban Dam Kotopanjang yang dideklarasikan oleh 13 tokoh di Riau dan Sumbar tersebut, diperoleh sejumlah fakta penting terkait potret buram bedol Desa Pulaugadang. Menurut Datuk Tumangguang yang nenek-moyangnya berasal dari Tiku, Piaman dan pernah tinggal di Tanjungpauh, Sumbar, proses pemindahan warga Pulaugadang memiriskan. Baik ganti rugi harta-benda maupun pembagian rumah, kebun karet, lahan pangan, dan jatah hidup, tidak memadai. Walau luas kebun karet yang dibagikan kepada setiap keluarga mencapai 2,7 Ha, tapi berada di atas rawa-rawa. Sehingga terpaksa dijadikan sebagai kolam patin. “Kalau kami tidak gigih dan tidak berani menjadikan kebun karet atau lahan pangan di atas rawa-rawa sebagai kolam ikan, mungkin desa kami tak akan berkembang sebagai penghasil patin. Ini tentu tidak lepas pula dari Program Kegiatan Bina Lingkungan (PKBL) PT Telkom. Harusnya, PLN yang peduli kami, karena kami korban PLTA Kotopanjang. Tapi ternyata malah Telkom. Walau begitu, kami bersyukur,� kata Datuk Tumangguang. ***

130


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Senja perlahan datang di Kotomasjid. Setelah wawancara dengan warga setempat, Padang Ekspres melanjutkan perjalanan ke Pulaugadang, induk Kotomasjid. Tata ruang kampung ini cukup baik. Rumah ukuran 5 x 6 Meter yang dibuat untuk bedol desa sudah tidak ditemukan lagi. Hebat. Sayang, saat kami bertamu ke rumah Kepala Desa Pulaugadang Sofian Efendi (46), listrik padam. Sofian kesal. “Inilah derita yang sering kami rasakan. Dulu, kampung kami dipindahkan untuk memenuhi kebutuhan listrik Riau. Kini, kami malah sering mengalami pemadaman,” ucapnya. Setelah istrinya menyalakan lampu teplok, kekesalan Sofian hilang. Ia bercerita tentang proses pemindahan akibat dam PLTA Kotopanjang. “Saat pindah dulu, kebun karet yang dibagi pemerintah, berada di rawa-rawa. Bibit yang ditanam, paling banyak 125 batang per kebun. Sehingga terpaksa ditanam ulang,” ujarnya. Saat penanaman ulang, kata Sofian, timbul masalah. Ternyata bibit yang ditanam, baru bisa disadap umur 5 sampai 7 tahun. Getahnya banyak air. Jika semula, setiap lahan bisa panen 80 Kg, akhirnya menjadi 7 sampai 8 kilogram. Kini, kebun karet tersebut, sudah diremajakan lagi oleh warga. “Hasilnya, lumayanlah. Bisa menguliahkan anak. Bahkan sudah ada warga kami meraih gelar S2. Untuk menambah pendapatan, kami membuat kolam ikan patin seperti di Kotomasjid. Hanya saja, kami belum pernah mendapat binaan dari Telkom, apalagi PLN,” ujar Sofian. Ia menyebut, saat ini ada persoalan krusial yang dihadapi warganya. Mereka tidak bisa mengembangkan lahan perkebunan dan permukiman, karena tanah ulayat mereka masuk hutang lindung. Sedangkan secara sosial budaya, diakui Sofian, kekerabatan warga mulai merenggang. Walau begitu, piranti- piranti adat atau pengurus adat masih ada.

131


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Di Pulaugadang, terdapat 7 Pucuk Suku dan Pucuk Adat. Pucuk Adat dijabat Datuk Tandiko dari Suku Domo. Sedangkan Pucuk Suko Domo digenggam Datuk Paduko Simarajo. Pucuk Suku Piliang Datuk Tumangguang. Pucuk Suku Pitpoang Datuk Bandaro Rajo dan Datuk Paduko Rajo. Pucuk Suku Melayu, Datuk Majo Besar dan Datuk Pangulu Besar. Saat mengobrol dengan Sofian, Padang Ekspres bertemu M Yuni Engku Shaleh (48). Dia asli warga Tanjungpauh, Sumbar, tapi beristri warga Pulaugadang. Istrinya, Syahrina (43), saat itu sedang melihat 4 putra-putri mereka di Pekanbaru. Yakni, Muhammad Abdi dan Messa Delfitra Sari yang kuliah di UIN Riau. Kemudian, Riko Oklantamo Khatib Pangeran yang tercatat sebagai mahasiswa Unri. Serta Medro Taifuqorrahman, santri Pondok Pesantren Babussalam. M Yuni mengajak Padang Ekspres bermalam di rumahnya. Jalan ke rumahnya cukup bagus. Tapi karena lampu padam, keadaan benar-benar gelap. Penulis tersandung batu besar di jalan. Kuku di kelingking kaki kiri copot. Mengeluarkan darah. Perih sekali. Doni, sopir mobil rental yang setia menemani, mengambil minyak rem. Tanpa disuruh, ia menempelkan minyak rem di kulit yang terluka. Darah memang berhenti mengalir. Tapi perihnya, sungguh tak terkata. *** Terpaut hampir 150 kilometer dari Pulaugadang dan Kotomasjid, persisnya di kawasan Sibuak, berdirilah Desa Muara Mahat Baru. Seluruh penduduknya, merupakan warga pindahan dari Muaromaek (Muaramahat) yang ikut tenggelam akibat pembangunan PLTA Kotopanjang. “Dulu, sewaktu dipindahkan pemerintah pada 21 Maret 1994, penduduk kami hanya berjumlah 447 KK. Kini,

132


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

berkembang menjadi 649 KK,” kata Kepala Desa Muara Mahat Baru Emri Dahlan, didampingi Sekretaris Desa Supraman dan Kaur Umum M Syaher kepada Padang Ekspres. Menariknya, tidak seperti desa-desa lain yang dikunjungi Padang Ekspres, hampir seluruh pecahan KK di Desa Muara Mahat Baru, telah punya rumah, kebun, dan lahan pangan. Sehingga, kekecewaan mereka setelah ikut bedol desa 20 tahun silam, nyaris tidak terdengar. Kebun seluas 2 hektare, jatah dari pemerintah untuk setiap keluarga, ditanami sawit dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Sawit-sawit itu menghasilkan janjangan (tandan buah segar berukuran besar) dan brondolan (tandan buah segar berukuran kecil) yang mendatangkan kesejahteraan bagi warga. “Alhamdulillah, kami bersyukur ikut bedol desa. Walau tujuh tahun pertama setelah dipindahkan pemerintah, kami hidup serba kekurangan. Tapi kini kami sudah bisa membangun rumah, menguliahkan anak, dan membeli kendaraan,” kata Anis Tanjung, warga Muara Mahat Baru yang tinggal di SP III Sibuak, Nomor 236, RT 01/W 05. Setelah makan siang bersama dengan menu yang dimasak istrinya Umi Kalsum, Anis mengajak Padang Ekspres melihat kebun sawit warga Desa Muara Mahat Baru. Kebun itu berjarak 1 km dari rumah Anis, tapi dapat ditempuh dengan sepeda motor dan mobil. Sebelum berangkat, Dasmon (43), teman Anis, ikut bergabung dengan kami. Kebun sawit warga Muara Mahat Baru rupanya dibuat berblok-blok. Masing-masing blok, sekitar 20 sampai 25 kapling, dikelola warga secara berkelompok. Sehingga di desa tersebut, terdapat sedikitnya 25 kelompok tani. Seluruh kelompok tercatat sebagai anggota Koperasi Usaha Desa (KUD) Muara Mahat Baru. “Koperasi inilah yang menjalin kerja sama dengan PT Sinar Mas, dalam pengelolaan kebun sawit berpola PIR,”

133


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

kata Anis Tanjung saat kami sampai di kebunnya. Di kebun tersebut, dua lelaki asal Pulau Jawa, yakni Suntoro (35), dan Supriadi Bro (37), sibuk menaikkan tandan buah segar sawit ke atas sebuah truk. Melalui aktivitas bongkar-muat tersebut, Supriadi dan Suntoro menerima gaji sebesar Rp100 ribu perhari dari KUD Muara Mahat Baru. Sedangkan Anis Tanjung bersama warga, saat itu menjual TBS kepada koperasi seharga Rp1.485,- pertandan. “Pada 2008 lalu, kami pernah menjual dengan harga Rp2.100, pertandan,” cerita Anis Tanjung dan Dasmon. Hanya saja, uang hasil penjualan tidak langsung mereka terima. Melainkan disetor dulu kepada pengurus KUD Koperasi Muara Mahat Baru. Dihitung dua kali setahun. Dengan dipotong biaya pupuk yang diambil setiap bulan, ongkos pengangkutan dari kebun ke gudang di Bangkinang, pinjaman bank, dan angsuran untuk persiapan replanting (peremajaan sawit). Biasanya, setelah semua biaya dan angsuran dipotong oleh pengurus koperasi, warga masih menerima uang yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup selama enam bulan. Sehingga, tidak banyak warga mengeluh akibat pembangunan PLTA Kotopanjang. “Kini, kalaupun ada yang merisaukan kami, tentu biaya peremajaan sawit. Tapi itu pun sudah mulai kami angsur pembayarannya,” kata Anis Tanjung. Lantas, apa kunci keberhasilan Anis bersama warga Desa Muara Mahat Baru? Selain kerja keras seperti warga Desa Pulaugadang dan Kotomasjid, ternyata saat dipindahkan akibat pembangunan PLTA Kotopanjang, mereka punya satu keunggulan yang tidak dijumpai Padang Ekspres di desa-desa lain. Keunggulan tersebut terletak di pimpinan desanya.

134


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Saat dipindahkan, Kepala Desa Muaramahat lama bernama Abbas Gudang, tidak hanya mengurus ganti rugi lahan warganya dengan sepenuh hati. Namun, Abbas yang sampai kini masih diberi nikmat umur panjang, sangat arif dan visioner sekali. Seluruh warganya, baik di kampung maupun di perantauan, didata dengan benar, tanpa menaruh dendam, sakit hati dan dengki. Bukan itu saja, setiap anak gadis dan pemuda yang hendak menikah, dimasukkan Abbas dalam daftar warga penerima rumah, kebun, dan lahan pangan. Sehingga saat berumah tangga di perkampung baru, mereka punya jaminan hidup. Walau kebijakan yang diambil Abbas Gudang tidak sesuai dengan ketentuan bedol desa saat itu, namun Abbas berani ambil risiko demi kepentingan orang banyak. Kendati cukup berhasil secara ekonomi, namun warga Muara Mahat Baru, mengalami stagnasi budaya. “Dulu, kami punya 4 pemimpin adat. Yakni, Datuak Comin dari Suku Domo, Datuak Rajo Melayu dari Suku Melayu, Datuak Rajo Kampar dari Suku Chaniago, dan Datuak Angku Rajo dari Suku Pitopang. Kini, sudah tidak dipakai lagi di kampung baru,� aku Dasmon, saat kami meninggalkan desanya. *** Seperti warga Desa Muara Mahat Baru, warga Desa Gunungbungsu dan Desa Muaratakus di Kecamatan XIII Koto Kampar yang ikut terimbas proyek pembangunan PLTA Kotopanjang, kini telah berkembang. Jika saat dipindahkan pemerintah pada 1993 silam, warga Gunuangbungsu hanya 241 KK, pada pengujung 2013 lalu, telah menjadi 420 KK. Sedangkan warga Desa Muaratakus yang dulu hanya 241 KK, kini mencapai 500 KK. Mereka, hidup dengan sumber ekonomi berbeda. Warga

135


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Gunungbungsu hidup dari hasil berkebun karet yang diberikan pemerintah seluas 2 hektare untuk masing-masing keluarga. Hanya saja, kebun karet warga yang saat ini berhasil, bukan kebun karet yang ditanam pemerintah pada tahap pertama. Melainkan, kebun karet yang mereka tanam sendiri pada 1998 silam. Kebun tersebut, berada di areal perbukitan. Padang Ekspres sempat berkunjung ke sana. Kondisi jalan ke perkebunan, mendaki dan sangat buruk. “Dulu, sewaktu kami dipindahkan, hanya jalan tanah. Kini, dengan bergotong-royong, sebagian ruas jalan yang berbahaya bagi pengemudi kendaraan, sudah diberi kerikil yang dibeli warga dengan uang sendiri,” kata Arfizon (41), kepala dusun di Desa Gunungbungsu. Dia berharap, Pemkab Kampar dapat membangun jalan ke kebun karet tersebut. Harapan serupa disampaikan sejumlah tauke yang menjemput karet hasil sadapan warga Gunungbungso. “Kami lihat, Gunungbungsu ini termasuk desa korban PLTA Kotopanjang yang paling berhasil kebun karetnya. Hanya saja, jalan ke kebun karet ini belum kunjung diaspal pemerintah. Selain itu, warga belum punya sertifikat atas lahan mereka,” kata Fatman dan Esrizal, dua tauke dari Bangkinang. Sementara di Desa Muaratakus, sebanyak 241 keluarga yang mendapat lahan perkebunan dari pemerintah, baru punya sertifikat untuk 1 hektare lahan mereka. “Sedangkan sertifikat untuk 1 hektare lain belum diberikan kepada kami. Di kebun tersebut, dulu pemerintah menanam karet. Tapi gagal total. Kini, warga menanam sendiri,” kata Rustam Efendi (46), dan Dedi Kaswara, dua warga yang ditemui dekat Candi Muara Takus. Untuk menambah pendapatan keluarga, sebagian besar warga Muaratakus, kini hidup sebagai nelayan di danau yang terletak tidak jauh dari areal candi. “Danau ini dulu menyim-

136


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

pan banyak ikan. Kini, sudah semakin sulit kami dapat ikan, karena di ujung sana, ada pabrik yang membuang limbahnya ke dalam danau. Itu lihat, cerobong asap pabrik tersebut,” kata Rustam dan Dedi. Walau secara ekonomi, warga Muaratakus masih tertatih-tatih. Namun, dari sisi infrastruktur jalan, Muaratakus jauh beruntung dibandingkan 9 desa yang sudah didatangi Padang Ekspres. “Jalan ke kampung kami, memang cukup bagus. Mungkin karena di kampung kami ada situs peninggalan Hindu yang sering dikunjungi wisatawan. Sehingga, Pemkab Kampar cukup memberi perhatian untuk perbaikan jalan,” kata Dedi. Kini, Muaratakus semakin bersolek dengan candinya yang selamat dari genangan waduk PLTA Kotopanjang. Warganya juga memperoleh keuntungan dengan kehadiran para wisatawan. Sebelum meninggalkan Riau dan kembali ke Sumbar untuk menukilkan “Riwayat Sepuluh Negeri yang Tenggelam” ini, Padang Ekspres sempat menikmati keindahan candi tersebut.(Tamat) Fajar Rillah Vesky adalah wartawan Padang Ekspres. Tulisan ini terbit di Padang Ekspres edisi 20 Januari-21 Februari 2014 dan menjadi nominator Rida Award 2014 kategori indepth/investigasi.

137


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

138


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Menelusuri Jejak Penyiksa dan Pembuang Adit

Disayat-sayat Ibu Tiri, Dicampakkan di Rimbunan Sawit Orangtua berpisah, anak menuai padah. Anak, menjadi sosok yang kehilangan kasih sayang, perhatian, masa bermain dan teman sepermainan. Bahkan, anak selalu menjadi tumbal dan tumpuan luapan kekesalan. Itulah yang dialami Aditya Atmaja atau Adit (7). Terpisah dari ibu kandung, disiksa sang ibu tiri. Rimbunan sawit jadi saksi bisu pedihnya sayatan-sayatan di tubuhnya. LAPORAN KUNNI MASROHANTI, PEKANBARU

USAI mengantarkan sayur ke Pasar Tandun, Rony Pangaribuan (22), terus menuju ke rumah abangnya, Silitonga, di Perumahan Afdelling IV, PTPN V, Kecamatan Tapung Hulu, Kabupaten Kampar. Ini sudah menjadi rutinitas Rony. Setiap selesai mengantar sayur, ia pasti ke rumah abangnya. Jalan Raya Tapung Hulu yang dikelilingi hutan sawit milik perusahaan besar PTPN V di kanan dan kirinya adalah satu-satunya rute yang ia lewati. Tiba-tiba Rony ingin buang air kecil. Dia pun berhenti. Mobil sayur pick-up warna hitam miliknya diparkirkan di pinggir jalan. Jam di tangannya persis menunjukkan pukul 11.00 WIB, Ahad (15/12). Rony pun buang air kecil di salah

139


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

satu batang sawit. Persis di pinggir jalan. Merasa letih dan mengantuk karena berjalan sejak pukul 02.00 WIB dari Pekanbaru, Rony duduk di bawah kelapa sawit sebelahnya sambil menikmati sebatang rokok. ‘’Bang, tolong saya.’’ Seorang anak kecil, berbadan kurus dengan wajah penuh luka, tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Rony yang semula duduk setengah berbaring, langsung duduk tegak. Terperangah. Lalu memandang ke kanan dan ke kiri, bahkan jauh ke arah belakang anak itu, mencari tahu mana tahu anak itu bersama orang tuanya. ‘’Kamu kenapa?’’ tanya Rony. ‘’Aku ditinggal paman dan ibuku,’’ jawab anak itu sambil menangis. Suaranya lirih. Nyaris tidak terdengar. Jari-jarinya yang membesar kerap kali mendarat di kelopak matanya yang basah. Sesekali memegang bibirnya yang pecah-pecah. Rony semakin penasaran. Merasa aneh. Dengan pasti Rony memperhatikan anak itu. Alangkah terkejutnya Rony melihat bibir anak itu. Ada bekas luka di kanan kiri bagian bibir bawahnya. Seperti bekas digunting. Bernanah. Membengkak dan mengeluarkan bau tak sedap. Wajahnya juga lebam. Ujung lidahnya juga terpotong. Ada juga luka di bagian kepalanya. Jari-jarinya membengkak. Anak itu benar-benar tidak seperti anak biasa. Rony yakin anak itu tidak sendiri. Dia kembali memastikan ada orang lain di sekelilingnya. Tapi tetap tidak ada siapa-siapa. Dia mengajak anak itu duduk. Sehelai sarung warna coklat keabu-abuan yang dipegang anak itu, dibentang. ‘’Siapa nama kau?’’ tanya Rony setelah mengajak anak itu duduk di atas sarung. Berkali-kali Rony melontarkan pertanyaan itu, berkali-kali pula anak itu menjawab. Tapi, tidak jelas apa yang dikatakannya. Sulit diajak bicara.

140


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Setelah mendengarkan dengan seksama, akhirnya Rony yakin anak itu bernama Adit. Masih penasaran dengan kondisi Adit, Rony membuka baju kaos lengan panjang warna abu-abu yang dipakainya. Dan, Rony langsung memalingkan wajahnya ke arah kanan. Dia menutup mulutnya. Nyaris muntah. Luka besar menganga di bagian punggung Adit menebar aroma tak sedap. Bekas luka itu lengket di bajunya. Tidak hanya itu, dada, perut, lengan, leher, punggung atas dan pinggang Adit dipenuhi luka. Sebagian masih baru. Ada yang berupa sayatan, ada juga yang berlubang. Luka lubang terlihat di lengan atas dekat bahu. Tak tahan melihat semua itu, Rony kembali memakaikan baju Adit. Masih penasaran siapa Adit, Rony terus mengajak Adit berbicara meski sangat sulit difahami. Sambil memakan kue dan minum air yang dibawanya dengan sangat pelan Adit mengaku dibuang oleh paman dan ibu kandungnya yang bernama Isyam dan Vina. Rony masih tidak yakin juga. Dia pun menunggu orangtua Adit sampai keduanya tertidur. Pukul 14.00 WIB, Rony terjaga. Belum ada tanda-tanda ada orang akan menjemput Adit. Pukul 15.00 WIB, Rony akhirnya memberitahukan kepada abangnya Silitonga tentang Adit. Silitonga dan istrinya datang ke tempat Rony dan Adit. Adit kemudian dibawa ke rumah Silitonga di Perumahan Afdelling IV yang berjarak sekitar 1 kilometer dari tempat Rony menemukan Adit. Sontak, Adit yang disebut-sebut sebagai anak yang disiksa dan dibuang, menjadi pusat perhatian. Semua warga di sana keluar rumah. Mereka ingin tahu lebih dekat tentang Adit. Kompleks perumahan itu berubah seperti pasar. Ribut. ‘’Ada anak buangan. Anak hilang yang disiksa. Badannya penuh luka,’’ kata mereka bergantian dengan setengah

141


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

berteriak. Melihat kondisi Adit yang penuh luka, istri Silitonga menaburkan obat kampung semacam bubuk kopi warna hitam, khususnya pada luka menganga di punggung Adit yang bernanah. Di kursi kayu depan rumah semi permanen, di samping kedai kecil milik Silitonga inilah Adit mendapat pertolongan pertama. ‘’Ini pasti disetrika,’’ kata istri Silitonga. Yakin masih ada luka yang lain, istri Silitonga dan ibuibu yang di sana menanggalkan celana Adit. Benar, di kemaluan Adit juga ada luka. Seperti bekas digunting. ‘’Siapa ya yang tega melakukan seperti ini, ya. Ini tidak manusiawi lagi, ‘’ kata Dahniar, tetangga Silitonga. Usai diberi obat kampung, istri Silitonga menggoreng telor mata sapi. Dengan nasi putih seadanya, Adit makan dengan telor itu. Adit makan dengan lahap. Tak peduli meski orang sekampung memperhatikan dia. Jari-jari yang seakan lebih besar dari lengannya, terus memasukkan nasi ke dalam mulut meski nasi yang kembali tumpah lebih banyak dari yang masuk. Sesekali Adit menarik nafas panjang sambil mengusap tetesan nanah dari bibir bawahnya yang terluka. Hal itu membuat sebagian ibu-ibu yang melihat Adit memalingkan muka. Mereka tak sanggup melihatnya. Ada juga yang hanya mengerutkan kening dan memejamkan mata, menutup muka atau pergi jauh. Ada juga yang dengan sabar meminta Adit untuk terus makan. Terutama Dahniar. Dari rumah Silitonga, Adit dibawa ke rumah Dahniar yang berjarak sekitar 50 meter. Tidak ada tanda-tanda orang tua Adit akan datang dan yakin bahwa Adit adalah anak yang dibuang dan dianiaya, pukul 17.00 WIB, Dahniar bersama Rony membawa Adit dengan mobil pick up sayur milik Rony ke kantor polisi untuk membuat laporan. Polsek Tandun adalah tujuan

142


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

berikutnya setelah Adit sempat dibawa ke pos jaga di Simpang TB. Karena Adit mengaku berasal dari Jalan Rambutan di Ujungbatu, pihak kepolisian Tandun, Polres Rohul, bersama Rony dan Dahniar membawa Adit ke Polsek Ujungbatu. Dari Polsek Ujungbatu, Adit dibawa ke Puskesmas setempat untuk mendapat pertolongan berikutnya. Setelah itu, barulah Adit dibawa ke Jalan Rambutan atau rumah tempat tinggal yang dimaksudnya. Sayang, sesampainya di sana, Adit tidak tahu apa-apa. Pihak kepolisian akhirnya menyerahkan penanganan Adit ke Polsek Tapung Hulu, Polres Kampar, sebagai tempat atau lokasi pertama Adit ditemukan. Malam itu juga Adit dibawa pulang ke Tapung dan dibawa ke Rumah Sakit PTPN V untuk perawatan sementara. *** Selasa pagi 17 Desember Adit dipindah dari RS PTPN V ke RSUD Bangkinang. Kamar perawatan paling depan di Ruang Bedah RSUD Bangkinang sejak pagi tidak sepi pengunjung. Setiap orang yang tahu siapa yang dirawat di dalam ruang itu sejak Senin malam, pasti berhenti. Melihat langsung dari dekat siapa orang yang ada di dalamnya, atau hanya sekadar mengintip dari balik pintu saja. Adit bocah berusia tujuh tahun. Dia dirawat di ruang ini. Ia masih terlihat trauma. Sesekali tersenyum saat menerima hadiah dari pengunjung. Ada mobil-mobilan, boneka, buku bahkan ada yang memberi uang. Revinda, dokter yang merawat Adit, mengatakan, Adit mengalami infeksi serius pada seluruh luka di semua bagian tubuhnya. Bahkan dokter M Nur, yang merawat Adit di Rumah Sakit PTPN V sebelumnya, mengatakan, Adit mengalami dehidrasi yang luar biasa, gizi buruk dan juga kekurangan darah.

143


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Adit menjadi pusat perhatian dan pertanyaan. Di manamana orang membicarakan Adit. Pejabat, dokter, psikolog, sosiolog, wakil rakyat hingga mereka yang bekerja di badan perlindungan anak, juga angkat bicara. Semua menyayangkan kasus Adit. Semua meminta agar orang tua Adit segera ditemukan. Meski sudah tiga hari ditemukan dan menjadi perbincangan di mana-mana, tapi tidak ada seorang pun yang tahu, siapa orang tua Adit. Pertanyaan dan pertanyaan mengapa dan bagaimana Adit bisa disiksa dan dibuang, terus bermunculan. Dari banyak kalangan, bahkan pihak kepolisian. Sejak awal ditemukan, Adit langsung ditangani pihak kepolisian. Semakin hari, mereka saling merapatkan barisan. Kapolres Kampar AKBP Ery Apriyono melalui Kasatreskrim AKP Eka Ariandy selalu berkoordinasi dengan Kapolsek Tapung Hulu AKP H Alwis Adi, Kapolsek Tandun S Sinaga dan Kapolsek Ujung Batu, Polres Rohul, Kompol Dasrizal. Masing-masing mereka menurunkan tim khusus untuk menyisir tiga kecamatan yang diduga orangtua Adit masih berada di sana. Juga berdasarkan keterangan Adit yang sejak awal mengaku berasal dari Jalan Rambutan, Ujungbatu. ‘’Kami sudah mencari di Jalan Rambutan dekat Koramil Tandun seperti yang disebut Adit, namun tidak ada. Kita juga mencari ke Jalan Rambutan Pasirpengaraian, juga tidak ada,’’ ujar Alwis. Tidak hanya pihak kepolisian, Riau Pos juga melakukan penelusuran jejak ibu dan paman Adit yang diakui Adit bernama Vina dan Isyam di tiga kecamatan ini. Setelah tidak menemukan jejak orangtua Adit di Ujungbatu, Riau Pos, menurunkan tim kedua, menyisir perumahan Afdelling IV dan kebun sawit tempat pertama kali Adit ditemukan Rony, tukang sayur. Di rumah Silitonga, Riau Pos melihat sisa kue dan

144


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

minuman mineral yang dibawa Adit tergantung di dinding warung. Di rumah Dahniar, Riau Pos diperlihatkan kaos lengan panjang warna abu-abu dengan bekas nanah menempel yang dikerumuni semut. Polsek Tandun merupakan destinasi berikutnya. ‘’Kita sudah menurunkan tim mencari informasi ke Simpang Rambutan tidak jauh dari sini, juga tidak ada titik terang. Tapi, kita tetap akan menelusuri hingga ke kafe-kafe yang ada di sana. Kita akan terus gali informasi dari masyarakat,’’ kata Kapolsek Tandun, S Sinaga. Simpang Rambutan yang dimaksud Kapolsek, menjadi tujuan berikutnya. Selama dalam perjalanan, Riau Pos sempat turun di beberapa titik seperti Simpang TB dan menanyakan kepada warga apakah ada yang kenal dengan Adit atau tidak. Koran Riau Pos yang penuh dengan foto dan berita Adit menjadi modal bertanya. Begitu juga saat sampai di Simpang Rambutan. Jawabnya sama, tidak ada yang tahu. Mereka hanya terkejut sambil mengeluarkan kata-kata kutukan saat melihat wajah Adit di halaman pertama Riau Pos. Penelusuran terus berlanjut hingga malam hari, bahkan hingga ke lokalisasi dan kafe remang-remang yang berada di pinggiran sepanjang jalan sekitar Simpang Rambutan. Cerita unik seperti harus ditawar murah oleh para penghuni kafe juga sempat dialami Riau Pos. Malam kian larut. Perbincangan dan perburuan belum usai. Tokoh masyarakat setempat, Ujang Datuk datang menghampiri. Perbualan tentang Adit, Vina dan Isyam hanya kami lakukan di depan warung di pinggir jalan. Warung ini sudah tutup. Jam pun sudah menunjukkan pukul 01.00 WIB. Tapi, informasi keberadaan orangtua Adit semakin mengerucut. Keduanya diyakini tidak jauh dari lokasi Adit ditemukan. ***

145


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Rumah semi permanen di komplek Afdelling V, PTPN V, Desa Danau Lancang, Kecamatan Tapung Hulu, Kabupaten Kampar, Kamis pagi (18/12), terlihat kosong. Hari masih pagi. Baru pukul 09.00 WIB. Tapi rumah ini sudah ditinggal penghuninya. Terkunci rapat. Tidak ada tandatanda kehidupan. Tetangga kanan kirinya juga tidak tahu ke mana perginya penghuni rumah itu. Rumah yang terletak di kilo meter 38 ini adalah rumah Ervina (36) dan Surya Atmaja (35). Keduanya disebut-sebut Adit sebagai ibu kandung dan pamannya yang bernama Vina dan Isyam. Padahal, mereka adalah ibu tiri dan ayah kandung. Awal Juli 2013, Adit bersama Surya dan Ervina serta adik tirinya Tantowi berusia 1,5 tahun, mulai menempati rumah ini. Waktu itu, Surya baru masuk kerja di PT BSP. Sedangkan Ervina yang mengaku alumni Universitas Tri Sakti Jakarta, hanya ibu rumah tangga yang mengasuh Adit dan Tantowi. Rumah ini menyimpan sejuta cerita dan duka bagi Adit. Di sinilah ia harus menjalani hukuman dari ibu tirinya, disiksa dan dicerca hingga akhirnya dibuang di kebun sawit. Semakin lama, siksaan yang diderita semakin keji. Tiga bulan terakhir, Adit dipukul kepalanya dengan sapu, digunting bibirnya, disayat-sayat tubuhnya dan disetrika punggungnya. Adit sendiri ikut Ervina sejak April 2013 ketika mereka masih tinggal di Medan. Awalnya, setelah beberapa jam ditangkap oleh pihak kepolisian, Kamis siang pukul 13.30 WIB di rumah manajer PT Bumi Sawit Perkasa (BSP) di km 40, Ervina tidak mengakui perbuatan kejinya itu. Tapi setelah menjalani pemeriksaan hingga berhari-hari di Polres Kampar, akhirnya, Jumat (27/12), Ervina mengaku telah mengoyak mulut Adit dengan gunting. Kapolres Kampar AKBP Ery Apriyono Sik melalui Kanit

146


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Kampar Aiptu Supartini menyebutkan, pengakuan itu disampaikan Ervina setelah beberapa kali menjalani pemeriksaan. ‘’Iya, Ervina sudah mengakui mengoyak mulut Adit dengan gunting, di samping melakukan pemukulan terhadap Adit,’’ ujarnya. Ervina mengaku terpaksa menyiksa Adit karena terlalu nakal. Menurutnya, Adit suka mencuri uang, suka mendorong adiknya dan bahkan pernah menutup wajah adiknya dengan bantal saat di ayunan. ‘’Adit pernah menutup wajah adiknya dengan bantal saat di ayunan. Sering mendorong adiknya. Suka mencuri juga,’’ aku Ervina saat ditemui di Polres Kampar beberapa jam setelah ditangkap. Semua yang dilakukan Ervina, diketahui oleh ayah kandung Adit, Surya. Surya mengaku sudah mencegah sikap istrinya yang kejam dan menolak saat Adit hendak dibuang. Tapi karena takut gagal berumah tangga setelah bercerai dengan ibu kandung Adit, Surya akhirnya membiarkan dan mengabulkan keinginan Ervina. ‘’Saya pasrah. Saya terserah hukum saja. Kalau saya mencegah istri saya, katanya saya membela Adit. Saya harus bagaimana lagi. Sementara saya takut gagal dua kali dalam berumah tangga,’’ kata Surya. *** Ruang perawatan kamar bedah RSUD Bangkinang, menjadi saksi pertemuan haru antara Adit dengan ibu kandungnya, Devi (35) terjadi. Tepatnya pukul 10.55 WIB, Senin (23/12). Devi memeluk Adit. Adit membalas pelukan Devi. Erat. Pelukan itu tidak pernah lagi dirasakan Adit sejak ditinggal Devi pergi berkerja ke Malaysia tiga tahun lalu, tepatnya saat Adit berusia 4 tahun.

147


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Saat itu, harusnya Adit mengecapi pelukan hangat ayah dan ibunya. Tapi ketika itu pula dia harus berpisah dengan ibu kandungnya. Begitu juga dengan abangnya Andre (9) yang waktu itu berumur lima tahun, yang juga terpisah dari ayah, ibu dan Adit sendiri. Sang Ayah sudah pergi karena bercerai dengan Devi dan menikah dengan Ervina, ibu tiri mereka. Devi meninggalkan Adit yang berusia 4 tahun itu ke Malaysia. Dia berkerja sebagai buruh solder CD di sana. Semua karena alasan ekonomi. Semua karena ingin menghidupi Adit dan Andre dengan lebih baik. Tapi ketika Devi pergi itulah, Adit diambil oleh Surya dan Ervina. Sedangkan Andre diasuh oleh bekas tetangga Devi di Kampung Baru, Medan, tak jauh dari rumah Devi. ‘’Saya harus menafkahi Adit dan juga Andre. Ketika itu saya tidak punya pekerjaan. Saya memilih ke Malaysia. Nah, ketika itulah, Adit diambil oleh ayahnya dan hidup bersama Ibu Tirinya. Sejak itu pula saya sulit bertemu Adit,’’ ucap Devi sambil terus mengusap air matanya saat ditemui di ruang perawatan Adit di RSUD Bangkinang. Devi tidak datang sendiri, tapi bersama suaminya Rudi (42), Andre (9) beserta dua adik tirinya dan mertua Devi, Mardiah Siregar. Rombongan ini tiba dengan mobil carteran di RSUD Bangkinang setelah menempuh 20 jam perjalanan dari kediaman mereka di Simpang Limun, Medan Kota, Sumatera Utara. Devi mengaku mendapatkan informasi tentang Adit dari tetangga Surya yang ada di Deli Tua, Medan. Tidak puas, diapun mengecek di situs internet. Tidak hanya sekali. Berkali-kali sampai akhirnya dia yakin bahwa bocah yang dianiaya ibu tiri itu adalah Adit. Disebutkan Devi, Adit adalah anak yang baik budi pekertinya, ceria dan tidak pernah nakal apalagi mencuri selama dalam asuhannya. Saat Adit dalam asuhan Surya dan Ervina, Devi mengaku pernah

148


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

meminta Adit atau yang biasa dia panggil Raditya. Tepatnya habis Idul Fitri tahun lalu. Tapi, yang terjadi justru pertengkaran hebat. Surya menolak mempertemukan Devi dengan Adit, apalagi untuk membawanya. ‘’Hancur hati saya melihat Adit seperti ini. Bagaimanapun, Adit itu lahir dari rahim saya. Saya berharap ayah dan ibu tirinya itu dihukum seberat-beratnya,’’ ucap Devi. Devi berniat ingin mengasuh kembali Adit. Keinginannya itu sudah disetujui suaminya, Rudi. Bila ada pihak yang melarang dia mengasuh Adit, Devi akan tetap memperjuangkannya. Devi tak ingin lagi Adit menjadi korban penganiayaan. Adit juga pernah diasuh Pak De-nya Ilham dan Bu De-nya Yuli, yakni kakak Surya sebelum akhirnya Adit diambil Surya dan Ervina. Yuli sempat mencegah, tapi Surya dan Ervina terus memaksa. ‘’Dulu saya melarang Surya dan Ervina mengambil Adit, tapi mereka memaksa. Tahunya Adit jadi seperti ini,’’ kata Yuli yang juga datang ke RSUD Bangkinang sebelum Devi, Jumat (20/12). Dulu Adit gemuk dan putih. Ini terlihat dari foto-foto Adit yang dibawa Ilham dan Yuli. Berkali-kali Ilham dan Yuli menunjukkan foto itu kepada wartawan sambil terus menceritakan kekejaman Ervina saat masih mengasuh Adit dan Andre selama di Medan. Dikatakan Yuli, Andre dan Adit pernah dihukum dan dikurung dengan posisi berdiri satu kaki di kamar mandi. Sadisnya, kata Ilham, Adit pernah disodorkan kotoran oleh Ervina ke mulutnya. Kekejaman Ervina pernah dicegah oleh Ilham dan Yuli yang bertetangga dengan Adit ketika itu. Tapi Surya, ayah Adit justru mencegahnya. Tak hanya sampai di situ, Adit dan Andre makan dijatah sehingga Adit ketika itu selalu mengambil makanan tengah malam. Bahkan, ketika makan, Adit dan Andre pernah diberi

149


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

kalung kertas dan ditulis ‘’Anak Pencuri Ikan’’. ‘’Ervina itu sangat kejam. Di Medan dia tak punya kawan baik. Padahal, dia dulu yang meminta agar Adit dan Andre dalam asuhannya, tapi justru dia aniaya. Andre kini diadopsi orang lain. Sedangkan Adit mereka bawa ke Kampar pada Juli 2013 yang lalu. Kini malah Adit jadi seperti ini,’’ papar Yuli. Terpisah, Kapolres Kampar AKBP Ery Apriyono Sik, mengatakan, proses pemeriksaan terhadap kasus Adit masih terus berjalan. Penyidik masih melakukan pemeriksaan lebih mendalam terhadap tersangka Surya dan Ervina. Keduanya bisa dikenakan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara karena telah melanggar Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. ‘’Pemeriksaan masih terus berlanjut karena kasus ini mesti didalami untuk menggali keterangan yang lebih jelas demi mengungkap berbagai peristiwa penganiayaan yang dialami Adit. Pelaku diancam hukuman maksimal 10 tahun penjara,’’ ujar Kapolres. *** Derita luka lahir dan batin yang ditanggung Adit, membuka mata semua orang yang mengetahuinya; sebuah pelajaran berharga bagi siapapun yang masih memiliki rasa kemanusiaan. Tak heran, jika Adit selama dalam perawatan terus menjadi perhatian dan perbincangan banyak orang. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dan Pusat Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Kampar, sudah menangani Adit sejak pertama ditemukan. Rekening Peduli Adit pun dibuka. Bantuan pun mengalir hingga puluhan juta. Kasus ini terus menjadi perhatian khusus Sekretarus LPA, Hafis Thohar. Juga terus mendapat tanggapan dari berbagai pihak,

150


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

pengamat, psikolog mau pun wakil rakyat di Jakarta, termasuk Satgas Perlindungan Anak Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi. Seto mengaku terkejut saat mengetahui kondisi Adit. ‘’Karena digunting lidahnya dan disiksa, ini perbuatan tidak benar. Sangat-sangat sadis dan kekejaman luar biasa,’’ kata Kak Seto. Adit juga dijenguk pihak Kementerian Sosial (Kemensos) RI yang datang langsung ke RSUD Bangkinang. Rombongan dipimpin oleh Kepala Seksi Pengembangan Remaja Direktorat Kesehatan Sosial Anak Kementerian Sosial RI, Cup Santo. Tampak mendampingi Pekerja Sosial Kementerian Sosial RI wilayah Kampar, Sri Wahyuni. Master Psikologi Forensik pertama Indonesia, Reza Indragiri Amriel, juga membeberkan, ibu tiri Adit diduga pernah mengalami tindak kekerasan maupun pelecehan. Kesimpulan ini hasil temuan dari sekian banyak kasus kekerasan yang pernah diamati. Lalu apa cara paling efektif yang bisa dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan diri dan memulihkan psikologi Adit yang kini mengalami trauma berat? ‘’Obati luka fisik, rehabilitasi psikis, intervensi moral eksistensial-nya,’’ papar Reza.*** Kunni Masrohanti adalah wartawan Riau Pos. Tulisan ini terbit di Riau Pos edisi 31 Desember 2014 dan menjadi nominator Rida Award 2014 kategori indepth/investigasi.

151


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

152


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Menyusuri Jejak Perambah dan Karhutla di Cagar Biosfer GSK-BB

Tuan BM dan BK 88 yang Ditakuti Semua mobil oknum TNI Serma Digdo itu plat nomornya 88. Mulai dari kendaraan pribadi, truk atau kendaraan lainnya, semuanya memakai nomor plat seri 88. Jadi kalau ada mobil bernomor 88, masyarakat sudah tahu kalau itu Digdo dan tidak ada yang berani mengganggunya. Dibiarkan saja, takut. Perambahan, pembakaran dan mengubah hutan menjadi kebun terjadi di Giam Siak KecilBukit Batu secara terencana, sistematis dan masif. LAPORAN MUHAMMAD HAPIZ, BENGKALIS-SIAK

MENDUNG tak berarti hujan. Merah tak berarti gerhana. Mendung dan matahari merah itu mewarnai langit Riau hampir sebulan lamanya akibat pekatnya kabut asap, termasuk Desa Bukit Kerikil, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis. Di wajah Sekretaris Desanya, Eko Sarwono, juga menampakkan mendung dan memerah. Hari itu, Rabu (12/ 3) ia baru saja mengumpulkan seluruh aparat desa dan perwakilan desa yang berpenghuni sekitar 1.300 orang tersebut. Dibantu aparat Koramil Mandau-Pinggir, ia

153


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

menyosialisasikan soal larangan membuka lahan dengan cara membakar dan membuka hutan Suaka Marga Satwa Giam Siak Kecil. Sayangnya Riau Pos tidak sempat bertemu dan berbincang dengan perwakilan Koramil yang ikut menyosialisasikan, sebab pertemuan terlihat buru-buru dibubarkan entah apa sebabnya. Puluhan peserta sosialisasi juga secepatnya meninggalkan kantor desa, seperti menghindar saat kedatangan Riau Pos. Memang, sejak kabut asap mewabah di Riau dan sejak pula aksi pembalakan liar dikejar habis, warga desa tersebut selalu cemas dengan TNI, polisi, termasuk media massa. Hanya Sekretaris Desa Eko Sarwono, Ketua BPD Jumeri dan seorang warga lagi Hasanudin yang mau berbincang. Itu pun tetap dengan sorot mata was-was dan hati-hati di setiap tutur katanya. ‘’Kepala desa kami, Supendi sudah tiga bulan lalu ditangkap Polres Bengkalis. Sedang proses hukum sekarang. Tuduhannya memfasilitasi dan menyediakan alat berat untuk membuka hutan lindung. Dua orang warga sini baru-baru ini juga ditangkap, dituduh bakar lahan,’’ ucap Ketua BPD Jumeri menjawab Riau Pos saat bertanya kemana Kepala Desa Bukit Kerikil. Mendengar itu, wajar saja was-was dan hati-hati tersirat dalam sorot mata, gerak badan warga desa tersebut, termasuk Sekdes Eko Sarwono. Apalagi, Eko, sejak Kepala Desa ditangkap dan desa mereka menjadi sorotan media tempat terjadinya perambahan hutan alias illegal logging dan kebakaran hutan dan lahan, selalu disibukkan dengan berbagai panggilan. ‘’Dari wajah Pak Eko seperti kelihatan lelah sekali ya?’’ tanya Riau Pos mencoba mencairkan suasana. ‘’Bukan lelah lagi Pak. Sudah keluar air mata saya ini, menangis. Kemarin pukul empat subuh saya harus berangkat ke Pekanbaru mendampingi Camat karena dipanggil

154


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Gubernur diminta jelaskan soal illegal logging dan kebakaran lahan. Sorenya, saya kembali ke desa karena TNI katanya mau masuk memburu pelaku illegal logging. Saya juga sudah sering diperiksa untuk kasus-kasus illegal logging ini,’’ ucap Eko mulai mengurangi rasa was-wasnya. Diungkapkannya, warga desa tidak tahu menahu soal illegal logging. Begitu pula soal kebakaran hutan dan lahan, diyakininya tidak ada warga mereka yang membuka lahan dengan cara membakar. Begitu juga soal Hutan Suaka Marga Satwa Giam Siak Kecil yang ia sendiri sebagai perangkat desa, tidak mengetahui persis mana batas-batasnya. Yang ada, kata dia, petugas dari Dinas Kehutanan pernah datang dan menyebut-nyebut kalau desa mereka masuk dalam hutan lindung itu. Tapi yang terjadi, keluh dia, nama Desa mereka menjadi buruk. ‘’Nama desa kami ini selalu buruk karena illegal logging, kebakaran hutan dan hutan lindung itu. Entah mana batas hutan lindung itu, kami tidak tahu. Petanya tidak ada. Sosialisasi tidak pernah. Kalau illegal logging itu, bukan kami yang melakukan. Desa kami ini hanya numpang lewat kayu yang sudah diolah menggunakan truk-truk. Imbasnya, ya, dikira warga kami yang mengerjakan,’’ jelas Eko. Saat ditanya bagaimana dengan Kepala Desa yang tersangkut kasus illegal logging di hutan lindung tersebut? Eko kembali menata kata-kata. Ia menjawab, kalau soal Kepala Desa, itu sudah menjadi urusan pribadinya dan ia tidak tahu menahu persisnya. ‘’Itu urusan hukum Kadeslah,’’ kilahnya. Tapi nada pembelaan datang dari Ketua BPD Jumeri, saat tutur kata mulai diatur rapi lagi oleh Eko. Jumeri menyebutkan, Kepala Desa hanya sebagai korban dan ada pemodal besar yang bermain. Ditanya apakah oknum dimaksud adalah anggota TNI yang salah satunya kini sudah menjadi tersangka yaitu Serma Digdo? Jumeri langsung

155


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

mengiyakan. Rupanya, nama Digdo memang dikenal luas oleh warga desa tersebut sebagai pemain lama pembalakan liar. Apakah ia tidak takut menyebut nama itu? ‘’Sekarang kenapa takut lagi. Kalau memang itu kebenaran dan kita tidak salah, kenapa harus takut,’’ ucap Jumeri dengan suara jelas. Serma Digdo sendiri diungkap Komandan Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan Bencana Asap Riau yang juga Danrem 031/Wirabima, Brigjen TNI Prihadi Agus Irianto sebagai pemodal perambahan hutan lindung Cagar Biosfer Suaka Marga Satwa Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Tidak diungkap berapa banyak pembalakan liar yang sudah dilakukan. Serma Digdo dikatakan sudah ditangkap di Medan, Senin (10/3). ‘’Digdo sudah ditangkap di Medan,’’ ujar Danrem Agus Irianto kepada wartawan di Posko Satgas Penanggulangan Bencana Asap Riau, Lanud Roesmi Nurjadin Pekanbaru, Selasa (11/3). Bagaimana Jumeri dan warga desa bisa mengenali Digdo, apakah selalu menampakkan wajah di desa? Jumeri dan Hasanuddin kompak menyebut tidak pernah bertemu langsung yang namanya Digdo. Nama Digdo diketahui masyarakat dari omongan-omongan dan tidak satu pun yang akan berani mengganggu aktivitas mereka. Salah satu ciri aktivitas Digdo, adalah dikenalinya pada nomor kendaraan BM atau BK 88. Ditenggarai pula, Serma Digdo selama ini memiliki jaringan yang kuat dalam memback up aktivitasnya melakukan pembalakan liar. ‘’Semua mobil Digdo itu plat nomornya 88. Mulai dari kendaraan pribadi, truk atau kendaraan lainnya, semuanya memakai nomor plat seri 88. Jadi kalau ada mobil bernomor 88, masyarakat sudah tahu kalau itu Digdo dan tidak ada yang berani mengganggunya. Dibiarkan saja, takut,’’ ujar Jumeri dan Hasanudin.

156


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Jumeri dan Hasanuddin juga heran, kenapa baru sekarang pembalakan liar diburu dan ditangkap. Yang mereka ketahui, pembalakan liar dan illegal logging sudah terjadi bertahun-tahun lamanya melalui desa mereka dan sudah menjadi rahasia umum masyarakat Duri-Dumai. Apakah sejak tahun 2009 lalu atau sejak SM GSK-BB diresmikan menjadi cagar biosfer oleh Unesco tidak lagi terjadi perambahan hutan? ‘’Dua tahun terakhir ini menjadi-jadi malah. Dan sudah sejak tahun 2000-an. Desa ini sudah ada sejak 1996 dan saya yang pertama ikut buka lahan di sini, jadi tahu persis,’’ ucap Jumeri. Pembalakan liar melalui Desa Bukit Kerikil diangkut sudah menjadi kayu log atau chip. Kayu diangkut menggunakan truk-truk keluar menuju jalan lintas Duri-Dumai dan ditengarai dilego di jalur internasional laut Dumai. Kayu-kayu yang diambil dari hutan Giam Siak Kecil bernilai tinggi seperti meranti, balam dan mahang. Harga per kubiknya di bisa mencapai delapan jutaan. Setelah kayu yang bernilai diolah dan dijual, lahan semak yang tersisa lalu dibakar dan beberapa bulan kemudian ditanami sawit. Serma Digdo yang diduga membalak liar kayu itu, juga disebut warga desa memiliki ratusan hektare kebun sawit di lahan yang dulunya sudah diambil kayunya. ‘’Kalau mau melihat kayu gelondongan, sisiri saja kanalkanal di dalam. Kanal-kanal itu berbatasan dengan HTI Sinar Mas atau HTI Sakato Pratama Makmur. Di situ juga katanya hutan lindung. Kami juga sering berkonflik dengan Sakato Pratama Makmur ini di mana dituduh kami menyerobot lahan. Di dalam juga masih ada 75 anggota TNI, katanya mengejar pembalak liar. Tapi hati-hati kalau ke dalam, kami tidak mendampingi di samping jalannya rusak,’’ kata Jumeri dan Kades Eko memberi petunjuk dan tidak tahu kalimat hati-hatinya itu.

157


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Penasaran, Riau Pos mencoba menelusuri petunjuk yang diberikan Sekdes Eko dan Ketua BPD Jumeri. Letak pusat Desa Bukit Kerikil berada sekitar 25 kilometer dari jalan lintas Duri-Dumai. Memasuki desa ini, dikelilingi rimbunnya hutan perkebunan sawit dan sebagian hutan tanaman industri akasia. Petunjuk jalan yang diberikan sekitar 11 kilometer dari pusat desa. Lebih jauh ke dalam, kiri dan kanan pemandangan hutan akasia yang berjejer rapi. Aktivitas truk pengangkut kayu akasia juga hilir-mudik. Jauh ke dalam dan berbelok ke kanan menuju barat, sampailah di kanal besar yang lebarnya sekitar 15 meter. Kanal itu dikesankan memisahkan antara HTI dan lahan yang sebagian kosong dan sebagian lagi sudah ditanami sawit. Umur sawit yang ditanami paling lama sekitar 5 tahun. ‘’Ini masuk umur 5 tahun pak. Yang punya lagi dinas,’’ ucap Geri, salah seorang pekerja di kebun sawit pertama yang Riau Pos temui. Dinas yang dimaksud Geri, adalah dinas di kepolisian. Beranjak lebih jauh ke dalam. Belum tampak memang kayu-kayu gelondongan yang dimaksud. Hanya beberapa sisa-sisa kayu berukuran besar dan terlihat sudah lama ditinggalkan di pinggir jalan dan kanal. Jalan yang ditempuh pun begitu sulit, sebab dihambat potongan-potogan kayu atau serat kayu yang banyak melintang di tengah jalan. Pemandangan lahan-lahan bekas terpanggang, juga terlihat menghampar luas. Dan dari kejauhan, dari balik hutan akasia, terlihat asap putih besar yang cukup luas membumbung tinggi. Kedatangan Riau Pos rupanya juga disambut api yang kembali membara dan dari kejauhan terlihat menyerubungkan asap luas ke udara tertiup angin arah ke Barat. Sampai di pengujung jalan, disambut satu bangunan bertuliskan Masjid Al Hidayah, RT03/RW05, Dusun Bagan

158


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Benio, Tasik Serai, Kampung Sidodadi km 8. Di balik bangunan yang terlihat tidak terawat dan sepi aktivitas ini, tampak tiga buah rumah yaitu kedai, satu rumah warga dan satu lagi rumah bertuliskan Ketua RT. ‘’Di dalam ada sekitar 60 KK lagi tinggal Pak,’’ ujar seorang perempuan penjaga kedai. Di kedai itu, sebuah mobil toyota Avanza tampak sedang menunggu. Penasaran, Riau Pos menyambangi pengendaranya. Rupanya hanya tinggal sopirnya saja yang menyebut nama panggilannya Hutabarat. Ditanya siapa yang punya kebun sawit, Hutabarat menyebut salah seorang perwira di kepolisian dan pernah menjabat Kapolres di Riau. ‘’Adik dia yang punya menengok lahan karena katanya ikut terbakar Bang,’’ kata Hutabarat sambil menyeruput kopi suguhan pemilik kedai. Ditanya berapa luas lahan sawit, Hutabarat hanya tersenyum kecil, enggan menjawab. Beranjak ke rumah salah satu rumah warga, Riau Pos bertemu dengan Titem, warga yang tengah menanam tanaman jambu di pekarangan rumahnya. Saat ditanya berapa luas lahan yang dimilikinya, Titem menyebutkan hanya 2 hektare yang sudah ditanami sawit setahun lalu. Ia membeli lahan kepada pihak pertama bernama Sunardi dan ditandai dengan surat kepemilikan dari Desa Bukit Kerikil, Kecamatan Bukit Batu ditandatangani Kades Sunardi yang kini sudah menjadi tersangka ikut merambah hutan SM GSK-BB. ‘’Saya beli dua tahun lalu Rp7 juta,’’ ujarnya sembari menunjukkan surat desa yang dimilikinya ditandatangani menggunakan materai. Di surat tersebut, tertulis dikeluarkan 28 Maret 2007. Titem juga mengaku persis kalau areal itu masuk atau tidak masuk dalam kawasan Hutan SM GSK-BB. Kemudian bertemu dengan Ketua RT, Ali Hartono. Ali mengakui aktivitas illegal logging terjadi tidak jauh dari kampung itu. Ia membenarkan kalau dua hari sebelumnya puluhan anggota TNI mendirikan posko di tempatnya.

159


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Tujuan dari TNI itu, kata dia, memburu pembalak kayu. Tapi, sehari sebelum kedatangan Riau Pos, puluhan TNI sudah keluar karena tidak sanggup menarik kayu hasil pembalakan liar sekitar 4 kilometer dari rumahnya. ‘’Kayaknya tidak bisa ditarik keluar. Sekitar 100 kubik lebih ada ditemukan di sana. Di sini bukan masuk hutan lindung,’’ kilah Ali. Saat ditanya kepemilikan salah seorang perwira polisi di tempatnya itu, Ali membenarkan. Kata dia, seluas 100 hektare kebun sawit dibangun oleh perwira polisi yang dibenarkannya juga pernah menjabat sebagai Kapolres di Riau itu. ‘’Itu punya mantan Kapolres. Seratus hektare. Kabarnya sebagian ikut terbakar. Lahan di sini hanya ada surat dari desa,’’ ucap Ali. Kawasan yang sudah menjadi perkampungan itu Sidodadi itu ditenggarai masuk dalam kawasan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Walau tidak ada penanda atau plang nama, dari bentuk fisik kawasan yang dikepung HTI akasia dan dari kejauhan nampak tegakan hutan alam yang sebagiannya terbakar, bisa diartikan itu masuk dalam kawasan inti atau penyangga Cagar Biosfer GSK-BB. Kepala Bidang 2, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau Supartono SHut MP mengatakan kalau Kampung Sidodadi itu tidak masuk zona inti, tapi dipastikan masuk zona penyangga. Soal pendudukan lahan, termasuk oknum anggota kepolisian, ia menyebut juga mendengar tapi mengaku belum turun ke lapangan untuk memastikannya. ‘’Wah, kalau (termasuk perwira kepolisian memiliki lahan dan kebun di sana, red), itu yang membuat masyarakat semakin berani. Seandainya tidak masuk zona inti, pasti masuk zona penyangga cagar biosfer. Tetap tidak boleh. Nanti kami akan cek khusus di Bukit Kerikil ini. Sebelumnya

160


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

kami hanya melakukan pengejaran di Mandau-Pinggir,’’ terang Supartono meyakinkan. Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu itu sendiri berada di dua Kabupaten Bengkalis dan Siak yang awalnya diinisasi pengusulannnya kepada Unesco oleh Sinar Mas Forestry. Ditetapkan Unesco sebagai salah satu warisan ekologi dunia sejak 26 Mei 2009 di Korea Selatan, sejatinya Cagar Biosfer GSK-BB akan menjadi penopang ekosistem, ekologi dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam. Cagar biosfer dibaratkan tiga bentuk lingkaran dalam lingkaran. Lingkaran paling dalam disebut zona inti, kemudian zona penyangga dan zona transisi. Zona inti inilah yang menjadi pusat dari kelestarian lingkungan hidup dunia di mana hidup dan berkembang satwa dan fauna yang dilindungi sehingga menjadi pusat penelitian alami tanpa rekayasa. Zona inti juga bisa menghasilkan nilai positif secara materil terhadap perdagangan karbon dunia. Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu itu sendiri terdiri dari zona inti seluas 178.722 hektare, zona penyangga 222,425 hektare, dan zona transisi 304.123 hektare. Hak pengelolaan Cagar Biosfer itu sendiri diberikan kepada Sinar Mas Forestry dan Pemerintah RI dalam hal ini BKSDA. Sinar Mas diberikan hak untuk mengelola zona penyangga yang memang kawasan hutan tanaman industri dan BKSDA mengelola dan mengawasi hutan Suaka Marga Satwa Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Penetapan cagar biosfer itu melengkapi enam cagar biosfer Indonesia lainnya, yaitu cagar biosfer Gunung Leuser, Pulau Siberut, Cibodas, Tanjung Puting, Pulau Komodo, dan Lore Lindu. Dan menjadi bagian World Network of Biosphere (WNBR) UNESCO yang terdiri dari 553 lokasi cagar biosfer di 107 negara pada 2009.

161


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Sejatinya pula, di dalam zona inti tidak boleh ada aktivitas manusia. Tapi karena sudah sejak dahulu ada perkampungan di dalamnya, yaitu Desa Tasik Betung (Siak) dan Tasik Serai, Bagan Benio (Bengkalis), maka tetap dibiarkan dengan diberikan pemahaman untuk tidak melakukan aktivitas pembukaan dan perusakan hutan. Tapi kenyataan yang terjadi, kerusakan di Cagar Biosfer GSK-BB itu kian hari kian tak terkendali. Puncaknya dan menguak semenjak malapetapa kabut asap melanda Riau sejak sebulan terakhir ini. Di mana terungkap, kebakaran yang meluas di Zona Inti Giam Siak Kecil dimulakan pembalakan liar. ‘’Sekitar 1.800 hektare zona inti sudah terbakar. Kalau yang sudah menjadi perkebunan, kami belum hitung. Terakhir kami mengejar pelaku pembalakan dan memang belum berhasil. Kita sudah musnahkan kira-kira 13-15 kubik kayu dan mengamankan 1 buah sepeda motor dan 3 buah sepeda modifikasi yang digunakan untuk mengangkut kayu dari lokasi pinggi kanal,’’ ucap Supartono. Luas lahan yang terbakar yang disebutkan Supartono itu masih lebih kecil dari yang dikemukakan satgas nasional bencana kabut asap. Hampir 3.000 hektare lahan di Cagar Biosfer yang dikatakan sudah terbakar dan kondisi terakhir api masih terus hidup. Tidak dipastikan dari luasan itu, berapa bagian zona inti yang terbakar, sebab zona penyangga atau wilayah yang dikelola Sinar Mas juga ikut terbakar. ‘’Kita harus cek lapangan dan butuh waktu, karena sampai saat ini kita utamakan dahulu untuk memadamkan api, dan kita sudah melokalisir kebakaran,’’ kata Public Relations PT Arara Abadi-Sinarmas Forestry Nurul Huda MH. Malapetaka kabut asap yang kini disebut bencana itu telanjur terjadi. Dampaknya kian luas. Cagar Biosfer Giam Siak Kecil penyumbang asap terbanyak dan sulit dipa-

162


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

damkan. Sulit dipadamkan, karena memang struktur tanah hutan itu terdiri dari gambut dalam. Selain itu, asap juga disumbangkan dari karhutla dari kabupaten lain di Meranti, Pelalawan, Rohil yang seluruhnya juga berstruktur gambut. Kabut asap sudah telanjur mengakibatkan penerbangan lumpuh. Total 247 penerbangan terganggu dalam dua pekan terakhir. Sudah 60 ribu lebih warga Riau terserang ISPA akibat pekatnya asap. Indeks pencemaran udara mengisyaratkan berbahaya. Ratusan ribu murid, siswa sekolah hingga mahasiswa perguruan tinggi, bahkan pegawai negeri juga dipaksa libur. Sedangkan untuk lahan dan hutan, sudah 16.454 hektare lahan yang terbakar. Sedangkan untuk mengejar pelaku pembalakan liar dan ikut dalam menanggulangi karhutla, sudah diturunkan sebanyak 310 personel TNI AD, 315 TNI AL, 210 TNI AU dengan 200 mesin pemadam api dan anggaran Rp500 miliar. *** Langit berkabut, burung tetap terbang tinggi dan rendah, satu per satu hinggap di dahan pohon beringin yang tinggi. Air merah khas gambut sejuk diraba, apalagi dipercikkan ke muka, menyegarkan raga. Dari kejauhan hamparan tasik, muara, onggokan pepohonan rawa dan manusiamanusia yang tengah mencari ikan, menggambarkan keasrian, keharmonisan alam. Gemericik air diterpa kayu pengayuh nelayan, bunyi sampan bermesin, cekikikan tawa anak kecil yang asyik bermain air menjadi simponi lagu menyenangkan. Suasana itu terekam di danau atau disebut tasik yang cukup luas di tengah Hutan Cagar Biosfer Suaka Marga Satwa Giam Siak Kecil, tepatnya di Dusun II, Desa Tasik Betung, Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Siak. Suasana tenang, asri dan harmonisasi alam itu Riau Pos

163


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

rasakan berbeda jauh dengan Desa Bukit Kerikil atau sebagian dusun di Bagan Benio yang juga masuk Cagar Biosfer SM GSK tapi kini dilanda kebakaran hebat, berawal dari pembalakan liar. Tapi langit berkabut itu bukan menandakan pagi yang biasa diselimuti embun pagi. Walau tidak terjadi perambahan dan karhutla secara masif di pangkal SM GSK itu, mereka juga mendapat imbas kabut asap pekat, sama halnya dengan jutaan warga Riau lainnya. Tapi masyarakat Tasik Betung tetap beraktivitas seperti biasa, berkebun karet dan mencari ikan. Mereka tidak tahu soal status tanggap darurat yang hari itu diperpanjang untuk kedua kalinya, apalagi Presiden RI bakal datang mengunjungi yang dijadwalkan Sabtu (15/3). ‘’Kemarin ada dipadamkan pakai helikopter. Tidak banyak, tapi langsung dipadamkan. Kalau terbakar banyak, tidak ada di kampung kami ini. Kalau terbakar sedikit, sedikit ada. Sekarang ini di mana-mana ada asap,’’ ujar Kalub (48), yang membawa Riau Pos mengitari Danau atau Tasik Betung hingga ke Sungai Siak Kecil menggunakan sampan bermesinnya. Riau Pos bertandang ke dusun itu didampingi Kasi Trantib Kecamatan Sungai Mandau Yaumil Azwan SH dan Muslim, anggota Satpol PP. Yaumil menyebutkan, semenjak malapetaka kabut asap menimpa Riau, ia semakin disibukkan untuk mengecek ke lapangan, memastikan titiktitik api. ‘’Kalau di Sungai Mandau ini dan Tasik Betung, tidak banyak yang terbakar. Ada juga memang, tapi tidak sampai ratusan hektare. Kita sudah mengimbau agar masyarakat tidak hanya membakar lahan, tapi juga ikut mengawasi lahan masing-masing,’’ ucap Yaumil. Kepala Dusun II Tasik Betung, Ayun, mengatakan, kabut asap tidak terlalu mengganggu aktivitas mereka.

164


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Warga desa, sebut dia, tetap beraktivitas seperti biasa, berkebun dan mencari ikan. Ditanya berkebun apa dan di mana? Ayun menjawab lugu. ‘’Memang dilarang berkebun sawit di sini. Tapi saya bilang, kalau hanya berkebun karet, tak kaya-kaya,’’ ucap Ayun yang mengaku tidak tahu persis tata batas SM GSK, walaupun dirinya ikut menandatangani pengusulan SM GSK menjadi salah satu Cagar Biosfer dunia. Godaan terbesar bagi masyarakat asli dan pendatang di Tasik Betung itu memang berkebun sawit. Walau dilarang, beberapa warga nampak nekat membuka lahan, di pinggirpinggir sungai. Saat Riau Pos berkeliling tasik menggunakan sampan bermesin atau pompong, beberapa hektare lahan tampak sudah dibuka dan terlihat habis dibakar. ‘’Itu buat kebun sawit. Sudah dilarang, tapi buat juga. Bagaimanalah, sekarang ini kebun sawit yang menjanjikan. Kalau karet, murah,’’ kata Kalub bercerita sambil mengemudikan sampan bermesin yang sudah banyak disewa peneliti dan wartawan dari berbagai negara. Tapi kalau untuk membuka kebun karet atau untuk berkebun sebagai bertahan hidup, Kalub berani mempertahankan argumennya. Satu ketika, ucapnya, ia pernah didatangi petugas Dinas Kehutanan dan melarang membuka lahan untuk apapun. Mendengar itu, ia bercerita serta merta menjawab dengan nada tinggi. ‘’Sejak nenek moyang kami berada di sini, kenapa dilarang. Itu lihat pokok mangga sudah tidak bisa dipeluk lagi, besarnya. Kalau kami mau nanam karet atau ubi di sini, mau apa,’’ ujar Kalub menceritakan. Ia juga berpendapat soal pelarangan dan rusaknya alam itu terjadi semenjak kedatangan perusahaan yaitu Sinar Mas. Banyak kayu-kayu besar diambil dan kini ditanami akasia. ‘’Karena di rawa saja mereka tidak mau mengambil kayunya, payah. Dulu tasik ini, kayu balak semua isinya. Sampai-sampai kami tidak bisa pasang lukah untuk mencari

165


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

ikan. Sekarang, kami pulak yang dilarang,’’ paparnya. Terkait kondisi ini, Profesor Yohannes Purwanto, Direktur Man and Biosphere (MAB) Indonesia yang dihubungi Riau Pos menilai, ketidaktahuan masyarakat disebabkan ketidakmau tahuan masyarakat itu sendiri. ‘’Karena sewaktu pengajuan nominasi cagar biosfer, kami juga minta rekomendasi dari masyarakat di cagar biosfer. Sebenarnya penetapan cagar biosfer bukan untuk membatasi aktivitas masyarakat, justru memacu untuk giat bekerja membangun kawasan ini secara lestari bukan merambah kawasan konservasi. Ya kalau kegiatan ilegal ya pasti dibatasi. Masa kegiatan berkebun di kawasan konservasi, ya tidak boleh,’’ ujarnya. Terkait kegiatan pembalakan liar yang mengarah pembakaran lahan untuk pembukaan kebun, ia berujar kegiatan ilegal sudah ada sebelum ditetapkan menjadi cagar biosfer. Nah, kata dia, seharusnya kegiatan ilegal ini berhenti setelah menjadi cagar bisofer. ‘’Artinya apa? Artinya bahwa pengamanan di kawasan ini belum berhasil dan sosialisasi belum berhasil, penegakan hukum belum berhasil, sehingga perlu kerja keras lagi,’’ ucapnya. Dengan kerusakan yang terencana, terstruktur dan masif saat ini apakah status Cagar Biosfer GSK-BB bisa dicabut oleh Unesco? Prof Purwanto menyatakan bisa saja. ‘’Status cagar biosfer bisa dicabut bila sudah tidak memenuhi syarat sebagai cagar biosfer yaitu memenuhi fungsi konservasi, fungsi pembagunan ekonomi,’’ tutupnya. Harusnya GSK Dijaga dari Perusak Pengamat Lingkungan Riau, Prof Adnan Kasry menilai solusi jangka panjang kebakaran hutan dan lahan yang diperlukan adalah dengan melakukan peninjauan kembali

166


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

kebijakan dalam pemanfaatan lahan gambut. Pasalnya, hampir 80 persen lahan di Riau merupakan lahan gambut. Dari persentase tersebut, Adnan memprediksi hampir sebagian besar lahan yang terbakar adalah di kawasan gambut. Sementara kawasan gambut tergolong areal yang memiliki kerumitan dalam penanganan karhutla. Misalnya, kawasan Cagar Biosfer di Giam Siak Kecil. Di mana, api diduga juga terdapat di bagian bawah lahan gambut yang lebih dalam. ‘’Itu sulit dipadamkan. Salah satu solusinya dengan dibanjirkan. Tapi itu sangat sulit untuk dilakukan. Makanya, ke depan kebijakan pengelolaan kawasan gambut harus ditinjau ulang,’’ ungkapnya. Saat ditanyakan pengaruh terbakarnya kawasan cagar biosfer dengan kualitas udara, dia menegaskan hal itu berpengaruh. Pasalnya, cagar biosfer merupakan kawasan alami yang memiliki kemampuan untuk menyerap karbondioksida. ‘’Jadi kalau terbakar kemampuannya menurun. Proses photosintesis juga akan terganggu, itu korelasinya,’’ terang Guru Besar Universitas Riau itu. Dia juga heran dengan perambahan dan terbakarnya kawasan Cagar Biosfer. Pasalnya, kawasan itu merupakan areal yang dilindungi dan ada tanggung jawab perusahaan untuk melindungi areal tersebut. Adnan menilai, ada pihakpihak yang memiliki jaringan kuat memanfaatkan areal sumber ekosistem tersebut. Untuk itu, perlu diusut secara tuntas, agar hal itu tidak terulang lagi. ‘’Biosfer secara ekologi, bukan hanya milik Riau, tapi sudah milik dunia. Hanya saja, kebetulan ada di Riau. Seharusnya Riau bangga dan kita berkewajiban menjaganya bukan di rusak,’’ sambung Adnan. Hal senada diutarakan praktisi lingkungan, Dr Mubarak. Menurutnya, kandungan asap di Provinsi Riau, khususnya Kota Pekanbaru sudah termasuk kategori sangat

167


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

berbahaya terhadap kesehatan masyarakat. ‘’Menurut saya inilah momen terbaik untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan pemerintah dalam memanfaatkan SDA. Serta evaluasi terhadap implementasi terhadap pemberlakuan undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup serta peraturan lain terkait lingkungan hidup,’’ paparnya. Mubarak menerangkan, melihat luasnya lahan dan jenis lahan yang terbakar adalah lahan gambut. Sehingga, proses pemadaman tergolong sangat sulit. Salah satu solusi yang diharapkan adalah hujan. ‘’Sehingga akibat kebakaran lahan ini, kita akan kehilangan lahan gambut, flora dan fauna yang berfungsi menjaga keseimbangan alam. Tidak hanya itu, kita juga mengalami kerugian sektor ekonomi, transportasi serta kesehatan masyarakat,’’ urai akademisi Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Riau itu. Dengan kondisi itu, Mubarak mengharapkan, pemerintah daerah dapat saling bahu- membahu untuk menghadapi bencana di Riau. Selain itu, dia menilai bencana yang terjadi di Riau bukanlah lagi bencana daerah. Tetapi sudah menjadi bencana nasional yang harus mendapatkan perhatian serius oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait. Gubri Instruksikan Bupati Tinjau Karhutla Karhutla di Riau masih terjadi dan sudah melahap lebih dari 16 ribu hektare. Sebagiannya terbakar di kawasan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Menyikapi ini, Gubernur Riau Annas Maamun meminta bupati/wali kota meninjau langsung lokasi karhutla. Gubernur Riau Annas Maamun menginstruksikan seluruh bupati dan walikota untuk meninjau kondisi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), termasuk Cagar Biosfer

168


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Ini diperlukan dalam upaya proaktif dalam penanganan kabut asap yang semakin meningkat. Gubri mengharapkan, pemerintah kabupaten/ kota memberikan perhatian ekstra dalam penanganan kabut asap di daerah. ‘’Gubri baru saja menginformasikan bahwa masih melakukan peninjauan di beberapa daerah. Beliau juga mengharapkan seluruh kepala daerah tidak bepergian ke luar kota dan konsen untuk penanganan karhutla. Jadi kepala daerah harus tinjau karhutla,’’ ungkap Gubri Annas melalui Sekdaprov Riau Zaini Ismail. Penegasan Gubri menurut Zaini diperlukan, karena bupati dan walikota memiliki kewenangan untuk mengawasi daerahnya. Selain itu, terjun ke lokasi karhutla juga menjadi bukti keseriusan dalam penanganan bencana tahunan tersebut. ‘’Seperti Pak Gubri yang sudah melakukan peninjauan ke Dumai, Duri, Rohil dan Siak. Langkah tersebut hendaknya diikuti oleh kepala daerah lainnya,’’ ulas mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah itu. Dia juga membantah Pemerintah Provinsi Riau tidak memberikan suport dana untuk mendukung operasional penanganan karhutla. Pasalnya, APBD Riau sudah mengalokasikan dana miliaran rupiah untuk membantu penanganan karhutla. ‘’Sudah, saat ini sudah kita cairkan dana mencapai Rp2 miliar melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Diharapkan, dana ini dapat membantu dalam upaya penanganan asap di Riau,’’ ungkapnya. Dalam arahan Gubri tambah Zaini, diharapkan pemerintah pusat tetap memberikan dukungan untuk bencana asap di Bumi Melayu Lancang Kuning. Pasalnya, penanganan tidak lagi dapat dilakukan secara sederhana, memerlukan tahapan dan tekhnologi yang canggih dalam menuntas-

169


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

kan masalah karhutla di lahan gambut. Selain itu, langkah tegas harus tetap menjadi komitmen bersama dari seluruh pihak terkait. Sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku-pelaku karhutla yang telah menyebabkan Riau diselimuti kabut asap beberapa pekan terakhir ini. Sementara itu, Satgas Penanggulangan Bencana Asap terus berupaya melakukan upaya penanganan di lapangan. Selain itu, langkah lain juga dilakukan dengan memburu para pembakar lahan yang tersebar di beberapa daerah di Riau. Ketua Satgas Penanggulangan Bencana Asap, Danrem WB/031 Brigjend TNI Prihadi Agus Irianto di sela-sela rapat di Polda Riau mengatakan, sudah disepakati untuk membentuk tim gabungan Pemburu Pembakar Hutan dan Lahan. Tim yang berjumlah 582 aparat itu akan melaksanakan tugas sesuai kewenangannya. Tim yang dibentuk terdiri dari TNI, Polri dan Kejaksaan dan pihak-pihak terkait yang berkompeten di bidangnya. “Tim pemburu pembakar lahan akan melakukan pengejaran dan penyidikan. Total personel gabungan 582. Kita akan turun langsung untuk memburu pembakar lahan,’’ tegasnya. Danrem menerangkan, saat ini terdata lahan yang terbakar mencapai 16.457 hektare. Untuk itu, upaya pemadaman juga diintensifkan, baik melalui udara mau pun darat. Hanya saja papar Danrem, khusus satgas darat, masih mengalami hambatan di mana personel yang telah dikerahkan tak mampu mendekat karena kepekatan asap. Begitu juga untuk satgas udara yang terkendala cuaca dengan jarak pandang yang membahayakan jika dipaksakan untuk dilakukan water bombing atau TMC. Tegakkan Hukum, Jangan Ada Politisasi Sinarmas Forestry adalah pengusul hingga diberikan

170


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

hak mengelola zona penyangga Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Sebagian lahan inti dan penyangga kini dirambah liar dan terbakar. Bagaimana sikap Sinarmas? Berikut wawancara dengan Ir Nurul Huda MH Public Relations PT Arara Abadi- Sinarmas Forestry Berapa luas kawasan yang menjadi hak pengelolaan (penyangga CB) Sinar Mas yang terbakar? Kita Harus cek lapangan dan butuh waktu. Karena sampai saat ini kita utamakan dahulu untuk memadamkan api, dan kita sudah melokalisir kebakaran. Apa-apa saja perusahaan Sinar Mas group yang masuk kawasan penyangga? Perusahaan-perusahaan Group Sinarmas di kawasan penyangga (buffer zone) yaitu PT Satria Perkasa Agung, PT Arara Abadi, dan PT Riau Abadi Lestari. Menurut Sinar Mas apa yang menyebabkan terbakarnya kawasan penyangga? Apa penanganan yang sudah dilakukan? Berapa kerugian materil yang diderita? Yang menyebabkan terbakarnya kawasan penyangga di antaranya adalah adanya daerah open acces yang merupakan ex HPH PT Multi Eka Jaya yang selama ini tidak jelas siapa perusahaan pengelolanya. Adanya aktivitas klaim areal atau dengan kata lain pencaplokan kawasan hutan produksi secara illegal dengan cara merambah dan membakar untuk kepentingan dari oknum-oknum tertentu untuk membuka lahan perkebunan. Penanganan penyebab kebakaran di kawasan penyangga yang telah kita lakukan adalah melakukan pendekatan langkah persuasif kepada masing-masing oknum atau yang mengatasnamakan kelompok-kelompok, serta memberikan pemahaman melalui pertemuan-pertemuan serta mema-

171


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

sang tanda-tanda pemberitahuan (plang-plang) bertuliskan “Dilarang Membakar�. Dan jika tidak juga bisa dilakukan langkah persuasif berkali-kali, maka langkah hukum dengan cara melaporkan kepada pihak keamanan adalah pilihan terakhir. Untuk kerugian materi yang diderita kita belum punya data yang komprehensif karena harus cek lapangan dan butuh waktu. Kawasan inti juga ikut terbakar yang notabene berbatasan langsung dengan Sinar Mas group. Apa komentar Anda terkait ini? Kawasan inti CB-GSK-BB yang terbakar setahu kami merupakan kawasan SM (Suaka Margasatwa) Siak Kecil dan SM Bukit Batu. Sebaiknya bisa ditanya langsung kepada BBKSDA. Menurut kami adanya aktivitas orang-orang berladang dan berkebun di kawasan inti SM Siak Kecil dan SM Bukit Batu. Berapa perkiraan luas lahan hutan inti cagar biosfer GSM-BB yang terbakar? Perkiraan kawasan inti CB-GSK-BB yang terbakar, kami tidak mempunyai data yang valid, mengingat kawasan inti tersebut penanganan pengelolaannnya merupakan kolaborasi dua manajemen; (BBKSDA dan Sinarmas), jadi punya otorisasi dan etika pernyataan masing-masing. Pembalakan liar terjadi di kawasan inti cagar biosfer yang kemudian lahan sisa hasil pembalakan dibakar untuk dimanfaatkan lahannya (sawit). Apa komentar Sinar Mas? Kita mempunyai tim penanggulangan kebakaran, tetapi kita tidak punya wewenang untuk pencegahan pembalakan liar (illegal logging) di kawasan Inti CB GSK-BB yang terjadi di antaranya di areal open acces dan SM Siak Kecil maupun

172


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

SM Bukit batu, sebaiknya bertanya kepada BBKSDA. Selama ini Sinarmas tidak hanya menginformasikan dan berkoordinasi dengan BBKSDA jika terjadi pembalakan liar serta pembakaran di kawasan inti, juga telah melaporkan kepada pihak kepolisian di kedua wilayah inti CB GSK-BB. Sejak tahun 2009 Sinarmas sudah 36 x operasi bersama dengan Polhut, BBKSDA, Kepolisian, dan Kehutanan. Masyarakat banyak tidak tahu soal tapal batas, cagar biosfer, antara inti dan penyangga. Apa komentar Anda atas hal ini? Masalah tapal batas CB GSK-BB dengan perusahaan sudah ada. Dengan kata lain tapal batas dimaksud sudah ‘’temu gelang’’ yang defenitif dari dinas kehutanan. Sosialisasi juga telah banyak kita lakukan. Kegiatan Ilegal Sudah dari Dulu Terjadi Setelah sebagian zona inti dan penyangga terbakar, bagaimana kelanjutan status cagar biosfer? Berikut petikan wawancara dengan Direktur Man and Biosphere (MAB) Indonesia atau perwakilan Unesco Indonesia Prof Yohannes Purwanto Bisa dijelaskan secara ringkas riwayat ditetapkannya Cagar biosfer GSK-BB? LIPI dan SMF melakukan penelitian biodiversity, sosekbud dan data dasar lainnya. Kemudian Komite Program MAB Indonesia mempersiapkan nominasinya. Setelah melalui berbagai pembahasan dan workshop, September 2008 nominasi disampaikan Komite Nasional Program MAB Indonesia atas nama pemerintah Indonesia ke MAB Unesco Paris dan setelah melalui penilaian dan evaluasi pada sidang ICC MAB di Jeju Korea, GSK-BB ditetapkan dan masuk jaringan cagar biosfer dunia.

173


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Apa kontribusi yang sudah diberikan Unesco terhadap terpeliharanya kawasan tersebut? Kemauan menjadi cagar biosfer itu kemauan kita Pemerintah Indonesia, bukan kemauan Unesco. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus konsekuen melaksanakan konsep cagar. Nah, untuk itu seharusnya kita memanfaatkan status internasional yang diakui Unesco tersebut untuk membangun kawasan cagar biosfer. Kami sudah banyak melakukan kegiatan untuk GSK-BB. Misalnya untuk penelitian, kita menjalin kerja sama LIPI, Kyoto University, Unri, SMF dan BBKSDA. Untuk kerja sama selain dengan Kyoto University kita punya kerja sama SSC (South South Cooperation) antara Brasil, Indonesia dan RD Congo atas fasilitasi Unesco. Untuk Comdev, kita membangun penjernihan air (LIPI dan APP), desa konservasi (BBKSDA), perikanan keramba (SMF dan UIR), biovillage (LIPI, BBKSDA dan SMF), dan ada juga pengembangan peternakan (kompetitif LIPI) di Kabupaten Siak dan pengembangan ekowisata. Apa kewajiban Indonesia/pemerintah pusat, Pemprov Riau, pemkab dan perusahaan Sinar Mas group setelah diresmikannya menjadi cagar biosfer? Kewajiban Pemerintah Indonesia melaksanakan dan membangun kawasan ini sesuai dengan konsep cagar biosfer yaitu membangun kawasan ini sebagai model pembangunan berkelanjutan. Semua pihak, pemerintah pusat, pemkab dan pemprov, BBKSDA, swasta (SMF dan swasta yang lain) harus aktif membangun kawasan ini. Management plan sudah disusun, kelembagaan pengelola sudah dibuat, tetapi belum dijalankan. Kami Program MAB Indonesia LIPI, BBKSDA, PHKA Kemenhut dan SMF dan Bappeda Provinsi

174


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Riau yang aktif bekerja. Peran stakeholder yang lain belum banyak. Seharusnya pemkab lebih aktif lagi membangun kawasan zona penyangga dan area transisi bekerja dengan swasta dan area inti oleh BBKSDA dan SMF. Soal dirusaknya Cagar Biosfer GSK-BB kini dan kini terbakar hingga ribuan hektare, apa komentar anda? Kalau ada kegiatan ilegal, ya hukum ditegakkan, jangan ada pembiaran dan perlu ada tindakan yang tegas. Sebenarnya kuncinya terletak pada kemauan, komitmen dan kerja nyata kita semua stakeholder untuk membangun kawasan ini sebagai kawasan yang dibangun dengan konsep cagar biosfer untuk pembangunan berkelanjutan dan menunjukkan kepada dunia bahwa kita sebagai bangsa besar memberi contoh kepada dunia dan bukan malah meminta, tetapi kita memberi kepada dunia yaitu CB GSK-BB sebagai kawasan model pembangunan berkelanjutan. Kegiatan ilegal sudah ada sebelum ditetapkan menjadi cagar biosfer. Nah seharusnya kegiatan ilegal ini berhenti setelah menjadi cagar bisofer. Artinya apa? Artinya bahwa pengamanan di kawasan ini belum berhasil dan sosialisasi belum berhasil, penegakan hukum belum berhasil, sehingga perlu kerja keras lagi. Ya, saya mewakili program MAB Indonesia melaporkan kondisi kebakaran di CB GSK-BB ke Unesco Jakarta Office dan juga tindakan apa saja yang telah dilakukan untuk memadamkan kebakaran. Secara periodik kita harus melaporkan kondisi cagar biosfer ke MAB Unesco Headquarter Paris. Dikatakan sekitar 3.000 hektare lahan zona inti cagar biosger GSK-BB rusak dan terbakar, apakah masih layak kawasan ini menjadi Cagar Biosfer? Kebakaran ini ya suatu bencana, ya kita semua prihatin.

175


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Status cagar biosfer masih layak untuk kawasan ini. Kerusakan tersebut ya kita perbaiki dengan kegiatan restorasi ekosistem. Untuk itu dukungan pemkab untuk kegiatan restorasi ekosistem di kawasan ini sangat diperlukan. Terutama kawasan open access harus segera ditunjuk pengelolanya, sehingga ada yang bertanggung jawab pengelolaannya. Kalau status open access tersebut dibiarkan, maka ya akan dirambah terus. Status cagar biosfer bisa dicabut bila sudah tidak memenuhi syarat sebagai cagar biosfer yaitu memenuhi fungsi konservasi, fungsi pembangunan ekonomi berkelanjutan dan fungsi logistic support (penelitian, pendidikan, monitoring).*** Muhammad Hapiz adalah wartawan Riau Pos. Tulisan ini terbit di Riau Pos edisi 16 Maret 2014 dan menjadi nominator Rida Award 2014 kategori indepth/investigasi.

176


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Short Time Cukup Bayar Rp50 Ribu

Trek Balap Liar, Saksi Bisu Seks Bebas Pelajar Sekitar seratusan sepeda motor berbagai merek yang sudah dimodifikasi menyalakan lampu ke arah trek lurus, Sabtu (10/5) malam lalu. Jalan lingkar pusat pemerintahan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau(Kepri) di Pulau Dompak Kota Tanjungpinang menjadi tempat ajang balapan liar para anak baru gede. Bukan hanya uang yang dipertaruhkan antartim pebalap drug race. Sirkuit tak resmi itu menjadi saksi bisu seks bebas kalangan pelajar. LAPORAN YUSFREYENDI, TANJUNGPINANG

KAWASAN Bintan Center di Batu Sembilan Kota Tanjungpinang diguyur hujan sejak pagi. Kondisi itu berbeda ketika mata memandang ke sebelah selatan di Ibu Kota Provinsi Kepri. Gumpalan awan tipis hanya berarak tanpa terlihat butiran air hujan yang turun. Bisa dipastikan, kawasan Pulau Dompak hingga siang itu tidak diguyur hujan. Secara perlahan hujan di kawasan Bintan Center mulai reda disertai dengan pancaran sinar matahari menembus bumi. Aspal jalan di depan Kantor Redaksi Harian Tanjungpinang Pos mulai kering setelah waktu menunjukkan pukul 14.30.

177


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Arus lalu lintas jalan raya dari arah timur kawasan pertokoan Bintan Center menuju Batu Delapan semakin padat. Raungan knalpot racing sepeda motor yang ditunggangi ABG mulai terdengar saling bersahutan menuju kawasan Dompak. Beberapa kelompok geng motor berusaha mendorong sepeda motor modifikasi yang belum di-starter. Di atas sepeda motor 4 tak Yamaha Jupiter Z modifikasi itu duduk seorang pebalap (joki). Bisa dipastikan, motor yang didorong tersebut akan digeber setelah berada di arena sirkuit tak resmi Pulau Dompak. Sementara di tempat lain, dua orang mekanik sebuah bengkel kecil tanpa plang nama di kawasan Batu Enam Kota Tanjungpinang baru menyelesaikan penggantian karburator dan knalpot racing. Sepeda motor dengan rangka kecil dengan jok mungil dan bodi trondol itu menggunakan mesin Kawasaki Ninja. Ban jenis soft merek Mizle ukuran kecil berwarna gelap tersebut menggunakan pelek racing Comet. Knalpot racing yang digunakan ukuran pendek dan bolong itu pada bagian ujung ditutup rapat, agar tidak masuk udara. Di samping motor untuk balapan drug race mesin Kawasaki Ninja itu terdapat sebuah kaleng besar berisikan bahan bakar pertamax racing metan tinggi jenis ron 100. Tidak tanggung-tanggung, pertamax racing yang baru dibeli itu seharga Rp1,8 juta per 20 liter. Setelah memastikan kondisi mesin fit, dua mekanik mengangkat tas panjang ke bak sebuah mobil pikap yang sudah lama parkir di depan bengkel. Tas panjang yang bertuliskan sport racing itu berisikan peralatan kunci pembuka baut dan obeng dari berbagai ukuran. Dalam waktu bersamaan, tiga orang anggota tim Ninja Sport lainnya membantu mengangkat motor modifikasi ke atas mobil dengan bak terbuka itu. Sore itu, motor siap digunakan untuk taruhan. “Semoga sore ini menjadi keberuntungan kita,� ujar

178


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Aciong sambil mengelus motor yang bakal menjadi tunggangannya tersebut ketika mobil pengangkut motor drug race hendak meninggalkan halaman bengkel. Saat tiba di bundaran Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (Stisipol) Batu Tujuh Atas, mobil pikap pembawa motor drug race Aciong tidak bisa berjalan mulus. Arus lalu lintas menuju Pulau Dompak semakin padat. Hampir 50 persen sepeda motor yang melintasi jalan ke pinggiran Kota Tanjungpinang sore itu merupakan pasangan ABG. Pakaian yang digunakan cewek ABG itu tidak lagi seragam sekolah. Tapi, sudah kombinasi celana jean dan kaos oblong transparan yang tembus pandang. Lekuk dan seksi tubuh remaja yang masih berstatus pelajar itu terlihat jelas. Bau asap dari knalpot racing sepeda motor bercampur dengan aroma tubuh beberapa orang cewek ABG, menggelitik lubang hidung. Dari beberapa tubuh ABG keluar wangi parfum bermerek mahal. Bahkan seorang remaja yang masih duduk di bangku SMA itu dengan bangga mengaku menggunakan parfum merek FM brand internasional dengan konsentrat EDP kadar 10-20 persen. Lingkar lengan ABG semakin erat di pinggang pria remaja yang berada di depannya. Kecepatan iringan 5 unit sepeda motor semakin tinggi. Tidak lebih dari 10 menit, rombongan ABG bersama mobil pikap sudah berada di Pulau Dompak. Dari pulau bekas kawasan tambang bauksit itu, Kota Tanjungpinang terlihat kecil dan hanya tampak susunan ruko yang tidak beraturan. Setelah melewati kampus Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), rombongan sepeda motor dan mobil pikap berbelok ke arah kiri dari bundaran. Dalam hitungan detik, tim racing melintasi gedung DPRD Provinsi Kepri dan menuju ke arena balapan non-resmi Dompak. Saat sepeda motor pasangan ABG dan mobil pikap tiba,

179


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

di kawasan trek lurus kombinasi tikungan tajam tersebut sudah ramai sepeda motor berbagai merk yang parkir di bahu jalan aspal. Mulai dari motor bebek standar Yamaha, Honda, Suzuki, Kawasaki sampai dengan motor matic keluaran edisi terbaru. Bahkan, beberapa motor di atas 250 cc parkir di kawasan arena balap Dompak. Sementara, di badan jalan aspal terlihat beberapa motor dengan pebalap menggunakan kostum road race saling berusaha mendahului mencapai garis finish. Bundaran jalan lingkar kawasan pusat pemerintahan Provinsi Kepri menjelang sore itu digunakan untuk latihan road race bagi beberapa tim motor untuk persiapan sirkuit kejurnas IMI Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Sedangkan di bagian barat dari bundaran yang digunakan untuk lintasan road race tersebut, puluhan sepeda motor parkir saling berhadapan. Trek lurus tersebut merupakan tempat adu kecepatan dan taruhan drug race antartim motor di Pulau Bintan. Matahari semakin condong ke ufuk barat. Sebelah kiri dan kanan trek lurus sepanjang 400 meter semakin dipadati sepeda motor dengan posisi parkir teratur. Setiap motor yang parkir, terlihat sepasang remaja duduk menghadap ke jalan kosong. Ratusan pasang mata tiba-tiba menoleh ke arah garis putih di pangkal trek lurus itu. Beberapa meter dari garis putih itu terlihat Aciong dan 2 orang mekaniknya membuka tas panjang sambil mengeluarkan beberapa kunci. Tanki bahan bakar motor drug race mesin Kawasaki Ninja dibuka. 1 liter pertamax racing ron 100 dengan warna bening kebiruan dimasukkan ke tanki motor tersebut. Sambil memegang helm racing, mata Aciong melirik ke arah tim lain yang berada di seberang trek lurus dari motornya. Aciong menarik nafasnya dalam-dalam ketika melihat pebalap asal Kabupaten Bintan tersebut sudah menyiapkan satu motor drug race dengan mesin yang sama,

180


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Kawasaki Ninja. Belum sempat tatapan mata Aciong berkedip, seorang pria bertubuh kekar menghampirinya. Sebuah amplop tebal berisi uang Rp10 juta diperlihatkan kepada Aciong. Pria itu memberikan isyarat, balapan dilaksanakan seperti biasa. Dua kali balapan dengan jarak tempuh masingmasing 400 meter dan 200 meter. Pebalap yang memenangkan dua kali balapan berhak membawa pulang uang di amplop tersebut. Sambil mengangguk kepada pria tersebut, Aciong menutup kepalanya dengan helm racing les Energy Monster. Saat itu hanya bagian mata Aciong yang terlihat di balik kaca helm. Melihat Aciong siap balapan, 1 orang mekanik langsung membuka penutup ujung knalpot racing dan memutar ban belakang motor drug race yang sudah bertengger di atas besi penyangga. Hanya sekali putar, mesin modifikasi meraung memecahkan kesunyian di trek lurus Pulau Dompak. Hal serupa juga dilakukan mekanik lain sebagai penantang Aciong hari itu. Mendengar raungan mesin dari knalpot 2 sepeda motor drug race, ratusan pasangan remaja yang menyaksikan di kanan-kiri jalan menyambut dengan tepuk tangan. Beberapa remaja yang berdiri di jalan aspal trek lurus Dompak langsung berlari kecil ke pinggir jalan. Di antara dua motor yang mengeluarkan bau asap bahan bakar ron 100 berdiri seorang pria dengan memegang kain di tangan kanannya. “Taruhan balap drug race segera dimulai,� ujar Fit (16) seorang siswi SMA swasta di Kota Tanjungpinang sambil melihat ke arah 2 motor yang siap adu kecepatan sambil melingkarkan kedua lengan ke tubuh teman prianya. Suara mesin motor semakin meraung tinggi. Tatapan mata kedua pebalap drug race lurus ke arah ujung jalan sepanjang 400 meter. Saat tangan pria turun, kedua motor dengan kecepatan tinggi meninggalkan garis putih. Tidak

181


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

sampai 10 detik, motor drug race Aciong lebih awal mencapai garis finish dengan trek sepanjang 400 meter. Kedua motor kembali ke garis start. Aciong dan pebalap lawannya hanya melepas motor saat masing-masing mekanik mengambil motornya. Merasa yakin dengan kecepatan yang dirasakan Aciong, 2 mekanik hanya menyetel sedikit tali gas yang menuju ke karburator. Sementara, mekanik lawan melakukan perbaikan cukup serius pada bagian pengapian motor. Raungan mesin dari 2 knalpot racing motor drug race kembali memecah kesunyian di trek lurus Dompak. Saat ini, balapan kedua Aciong hanya menempuh jarak 200 meter. Bagi Aciong, balapan kedua itu merupakan penentu untuk mendapatkan uang taruhan Rp10 juta. Saat aba-aba balapan dimulai, dua motor kembali adu kecepatan untuk mencapai garis finish trek 200 meter. Aciong hanya menggelengkan kepala ketika melihat lawannya lebih awal mencapai batas akhir balapan. Pria kurus itu menyadari, uang taruhan Rp10 juta belum berhasil diraihnya karena balapan seri. Aciong dan 2 mekanik serta beberapa orang rekannya langsung merapikan peralatan bengkel ke dalam tas. Motor drug race mesin Kawasaki Ninja kembali dinaikkan ke bak mobil pikap. Trek lurus Dompak saat itu justru digunakan beberapa orang penonton yang menguji kecepatan motornya. Aksi balap liar jalanan tanpa taruhan kembali beraksi. “Memang sudah aturan dalam balapan drug race, balapan hanya 2 kali. Kalau skor 1-1, uang taruhan dikembalikan. Balapan bisa dilakukan kembali, tapi di hari lain,� kata Fit sambil mengajak teman prianya beranjak dari parkiran samping trek lurus. Mendengar gumaman manja Fit itu, pria tersebut menstarter sepeda motor Kawasaki Ninja standarnya.

182


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Pelukan kedua lengan Fit semakin erat di lingkar pinggang pria berpenampilan sedikit parlente itu. Tanpa disadari, kawasan kantor pusat pemerintahan Provinsi Kepri semakin gelap sebagai tanda pergantian siang menjadi malam. Dari kejauhan, sayup-sayup kumandang azan Magrib memanggil umat Islam menunaikan ibadah salat. Namun, panggilan azan itu seperti dianggap angin lalu. Sepeda motor mengilap yang ditumpangi Fit bersama kekasihnya justru menuju ke arah bangunan kantor tanpa penjaga. Fit bersama pria tersebut keluar dari bangunan kantor kosong itu setelah kurang lebih 15 menit kemudian. Fit hanya tersenyum sambil naik ke atas sepeda motor sambil membalas tatapan kekasihnya. Sepasang kekasih yang masih berusia pelajar itu menghilang dalam seketika menuju Kota Tanjungpinang. Arena balap liar jalan lingkar pusat perkantoran Pemprov Kepri di Pulau Dompak di saat waktu Magrib itu gelapgulita dan sunyi. Maklum, jalan lingkar kawasan Dompak sampai saat ini belum dilengkapi lampu penerangan jalan. Menyadari belum ada aktivitas balapan, sepeda motor yang digunakan harian Tanjungpinang Pos diarahkan ke timur menuju jembatan II Dompak. Temperatur udara menjelang waktu Isya saat itu sangat dingin dibandingkan malam sebelumnya. Rasa dingin malam semakin menusuk tulang ketika menyusuri jalan tanpa rumah penduduk. Terlebih lagi di saat berada di antara hutan mangrove kawasan Dompak, butiran embun terasa sejuk saat menerpa wajah di balik kaca helm. Jalan aspal mulai terang ketika sepeda motor Yamaha Jupiter Z New memasuki kawasan kampus UMRAH. Namun, sampai di jembatan II Dompak suasana masih sunyi. Hanya suara jangkrik dan binatang malam yang terdengar dari semak-belukar. Usai memarkirkan sepeda motor di pinggir jalan aspal, trotoar di bagian

183


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

ujung Jembatan beton II Dompak menjadi pilihan untuk dijadikan tempat meluruskan badan guna mengendurkan saraf tubuh yang hampir kaku. Tak kuasa menahan ngantuk dan lelah tubuh, mataku terpejam dan tertidur di trotoar tanpa alas itu. Mata baru terbuka ketika gerombolan sepeda motor knalpot blong melintasi jembatan sepanjang kurang lebih 350 meter tersebut. Bisa dipastikan, knalpot sepeda motor yang mengeluarkan suara keras dari pebalap liar itu menuju kantor Gubernur Kepri. Baru disadari, tidur di trotoar jembatan Dompak memakan waktu hampir 2 jam. Soalnya, waktu di hape merk Blackberry sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Beruntung, sepeda motor dan tas berisi kamera dan alat tulis sebagai “senjata� liputan berita masih utuh. Tidak ada satu pun perlengkapan kerja sebagai wartawan yang hilang. Sepeda motor Yamaha warna hitam kembali distarter. Saat mesin hidup dan sorotan lampu utama menyala, stang sepeda motor kembali diarahkan ke arena balapan liar yang digunakan adu kecepatan drug race sebelumnya. Jalan lingkar kawasan Dompak tidak lagi sunyi seperti waktu Magrib. Sepeda motor pasangan remaja lebih ramai melintasi aspal dibandingkan saat balapan sore, beberapa jam sebelumnya. Hanya memakan waktu 5 menit dari jembatan Dompak, sepeda motor sudah mencapai arena balapan liar. Saat tiba di arena balap liar, lebih dari seratusan sepeda motor berbagai merk yang sudah dimodifikasi menyalakan lampu ke arah trek lurus. Arena balapan dalam seketika menjadi terang-benderang bak jalan raya perkotaan. Jalan lingkar pusat pemerintahan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) di Pulau Dompak Kota Tanjungpinang itu kembali menjadi arena ajang balapan liar anak baru gede (ABG). Tidak bisa dipastikan sudah berapa kali adu

184


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

kecepatan sepeda motor antar geng motor dilakukan. Hanya saja, balapan yang tidak beraturan itu tanpa taruhan. Tepat pukul 22.00 WIB, dua sepeda motor modifikasi drug race dengan mesin Yamaha 2 tak jenis King dihidupkan. Raungan knalpot memecahkan suasana riuh di tengah kumpulan ratusan remaja. Seperti diberi aba-aba, belasan sepeda motor yang sebelumnya menjadi tontonan ajang balapan secara teratur parkir di pinggir jalan. Saat itu, hanya ada 2 sepeda motor drug race yang mengambil posisi di garis start. Asap yang dikeluarkan dari knalpot racing motor drug race semakin padat. Dari arah belakang tiba-tiba muncul dua orang sosok menggunakan helm racing. Masing-masing pebalap langsung mengambil stang dan duduk di jok kecil motor drug race tersebut. Seorang pebalap tidak menampakkan sikap yang aneh ketika sebuah ciuman perempuan berumur sekitar 17 tahun mendarat di kaca helmnya. Tepuk tangan dan sorak penonton menambah suasana hangat di awal balapan itu. Saat balapan pertama, pria yang mendapat ciuman dari pelajar SMA itu berhasil mencapai garis finish dengan trek 500 meter. Di saat balapan kedua, pria tersebut kembali mencapai garis finish lebih awal. “Malam ini teman kita menang balapan. Lumayan, membawa uang sebanyak Rp10 juta dari balapan tadi. Itu belum termasuk menang taruhan samping. Totalnya hampir Rp15 juta, Bang,� ujar Rio (21), panggilan akrab seorang asisten mekanik tim racing di Kota Gurindam ini kepada koran ini. Di sela-sela membenahi mesin motor drug race yang baru dipacu, Rio menjelaskan, taruhan balap road race maupun drug race antar-tim racing merupakan hal yang lumrah dilakukan di arena non-resmi Dompak. Sampai saat ini tidak ada kekhawatiran razia maupun penertiban dari

185


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

aparat. Karena dalam taruhan balapan motor, beberapa oknum TNI/Polri justru menjadi donatur. Taruhan balap motor antar-tim dilakukan jika ada tawaran dari salah satu tim racing kepada tim lain. Biasanya, tawaran itu awalnya disepakati jenis motor yang bakal taruhan. Seperti antara motor Yamaha F1ZR modifikasi atau cune up dengan Kawasaki Ninja mesin standar, motor Yamaha King dengan Yamaha King, King cune up dengan Kawasaki Ninja atau antar motor 4 Tak Yamaha dengan 4 Tak Honda maupun dengan motor matic. Setelah disepakati jenis sepeda motor yang akan diadu, tim penantang akan menawarkan nilai taruhan. Dari kesepakatan itu, tim penantang harus menyerahkan uang muka sebagai tanda sah akan dilaksanakan balapan. Short Time Rp50 Ribu Tim racing sering menyebut uang muka (DP) taruhan balapan itu dengan nama uang tali. Jika tim penantang membatalkan balapan, uang tali yang sudah diserahkan sebelumnya menjadi milik tim yang menerima tantangan. Biasanya, jika sudah diserahkan uang tali, balapan pasti dilaksanakan. Sedangkan total uang taruhan akan dikumpulkan pada saat balapan di arena. Siapa yang menang, dia yang akan mengambil seluruh uang taruhan itu. Taruhan bukan saja dilakukan antar-tim yang balapan. Justru sesama penonton juga melakukan taruhan di luar sepengetahuan tim yang balapan. Taruhan itu disebut dengan taruhan samping. “Jangan heran jika pemenang taruhan samping itu memberikan bonus kepada tim yang menang. Di saat kami menang, terkadang dapat uang taruhan samping juga. Yang taruhan samping itu ada aparat, pelajar maupun pengangguran yang hobi balap liar. Uang menang taruhan itulah

186


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

yang biasa digunakan pelajar untuk modal pesta seks usai balapan,� kata Rio yang sudah memasukkan perlengkapan mekanik ke dalam tas panjang. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.45 WIB. Balapan motor drug race sesama jenis mesin Yamaha King modifikasi usai. Ratusan sepeda motor yang parkir di antara trek lurus satu per satu bubar. Raungan suara mesin dari knalpot racing kembali menghebohkan suasana kawasan Dompak. Tapi, suara mesin knalpot racing dari kelompok pasangan remaja itu menuju ke Kota Tanjungpinang. Arena balapan liar Dompak kembali sunyi. Jalan raya dari Pulau Dompak menuju bundaran kampus UMRAH Batu Tujuh kembali macet dengan kendaraan roda dua berbagai jenis dan les modifikasi. Menjelang pergantian hari, sepeda motor yang berasal dari kawasan Dompak berkumpul di Jalan Basuki Rachmat, tepatnya di depan Kantor Gubernur Kepri lama dan Kantor Kejaksaan Negeri. Trotoar kiri-kanan jalan protokol tersebut nyaris tidak ada tempat parkir. Ratusan sepeda motor sudah berjejer rapi. Di saat waktu menunjukkan pukul 00.30, satu per satu sepeda motor melakukan aksi kebut-kebutan jarak pendek. Balap liar dimulai dari bundaran Jalan Engku Putri sampai ke belokan depan pintu masuk Kantor Gubernur lama. Di sela-sela aksi kebutan liar itu, Ayu (15) bukan nama sebenarnya yang masih tercatat sebagai siswi kelas II salah satu SMA Negeri di Kabupaten Bintan terlihat tidak banyak bicara. Sambil duduk di belakang seorang pria, Ayu memegang sebuah tas sandang warna pink. Meski sudah dini hari, Ayu dengan menggunakan baju tipis biru seperti tidak merasakan dingin. Dengan manja, ABG berkulit putih menggunakan celana ketat itu menyandarkan dagunya di bahu pria yang terus mengamati aksi balapan. Tidak terasa,

187


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Ayu dan pacarnya sudah hampir setengah jam duduk di atas sepeda motor yang parkir di luar badan jalan aspal itu. Setelah berbisik ke telinga Ayu, sang pria langsung menghidupkan sepeda motornya. Saat itu juga, sepasang remaja itu meninggalkan lokasi aksi balap liar Basuki Rahmat. Sepeda motor Yamaha Vixion hitam itu menuju arah kawasan Suka Berenang. Sekali-sekali Ayu merapikan rambut panjangnya yang diterpa angin malam. Usai merapikan rambut, lengan mulusnya kembali melingkar di pinggang pria yang terus mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi sambil memperhatikan jalan. Mesin sepeda motor baru mati setelah parkir di sebuah wisma. Sepasang remaja itu tanpa ragu menuju meja reception wisma. Tanpa banyak tanya, pria teman Ayu mengeluarkan satu lembar uang kertas. Dengan uang selembar itu, sebuah kunci kamar didapatkannya. Sambil memainkan kunci, pria itu membuka sebuah kamar. Ayu dan pacarnya menghilang setelah masuk kamar wisma. Pasangan remaja itu keluar kamar wisma setelah setengah jam berjalan. Sebuah kunci kamar diserahkan kembali kepada petugas reception. Dengan wajah lesu, pasangan itu kembali ke arena balap liar Jalan Basuki Rahmat. Ayu dan teman prianya tidak lagi mendapatkan tempat parkir semula. Karena, tempat parkir itu sudah digunakan sepeda motor lainya. Setelah satu kali putaran di arena balap liar, Ayu baru menemukan tempat yang bisa digunakan parkir sepeda motor. Minggu dini hari itu cuaca cukup cerah, aksi balap liar di Jalan Basuki Rahmat bubar setelah waktu menunjukan pukul 03.00 dini hari. Bersama puluhan sepeda motor yang tersisa, Ayu meninggalkan lokasi balapan menuju Jalan Pramuka. Di saat Fit menghilang dari arena balap liar Basuki Rahmat, wartawan koran ini kembali mendatangi salah satu

188


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

wisma di kawasan Suka Berenang. Seorang petugas Satpam wisma yang digunakan Fit bersama teman remajanya enggan memberikan izin untuk menemui petugas reception malam itu. Anok (30) begitu panggilan Satpam tersebut hanya menyebutkan, kebiasaan remaja membayar sewa kamar short time di wisma pada dini hari Minggu merupakan uang sampingan. “Sewa sebentar kan tidak jadi masalah untuk tarif Rp50 ribu. Kita anggap uang tip saja,� katanya sambil meminta reporter koran ini kembali ke rumah. Dini hari menjelang azan subuh itu, Ayu tidak berhasil ditemui koran ini. Namun dari informasi yang dihimpun Tanjungpinang Pos, Ayu tinggal di Kota Kijang Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan. Saat ditemui di sekolahnya, Ayu enggan memberikan keterangan lebih detil. Namun, Ayu bersedia memberikan keterangan jika nama dan asal sekolahnya tidak dipublikasikan. Di sebuah kafe, Ayu menyatakan, sudah menyukai aksi balap liar sejak berkenalan dengan pelajar asal Kota Tanjungpinang. Teman pria Ayu tersebut selalu antar-jemput saat malam Minggu. Untuk menghilangkan curiga orang tua, Ayu selalu meminta izin tidur di rumah teman sekolah. Namun, izin orang tua itu dimanfaatkan untuk nonton balap liar dan melakukan seks di wisma kelas melati di Kota Tanjungpinang. “Cuma bayar Rp50 ribu untuk sewa kamar wisma, kita sudah bisa short time. Setelah keluar hotel, kita bisa menyaksikan aksi balap liar lagi. Itu biasanya dilakukan saat malam mingguan. Bukan saya saja yang pernah melakukan itu. Siswi sekolah lain juga banyak yang melakukan seks dengan pacarnya setelah nonton balap liar,� kata Ayu saat ditanya beberapa hari setelah menyaksikan aksi balap liar tersebut. Sekretaris Dewan Pendidikan Provinsi Kepri, Zulkifli

189


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

menilai, aksi balap liar di kawasan Dompak cukup meresahkan warga. Karena, aksi kebut-kebutan di kawasan Dompak menimbulkan beberapa kali perkelahian antarpemuda dan pelajar. Bahkan, saat aksi balap liar di Jalan Basuki Rachmat, warga sekitar merasa terganggu dengan suara knalpot racing hingga waktu Subuh. Belum lagi perilaku anak sekolah yang mengarah kepada tindakan negatif seperti seks bebas dan kriminalitas. Beberapa kasus kriminal ranmor yang terjadi di Kota Tanjungpinang maupun Bintan disebabkan karena pelaku ingin memiliki sepeda motor untuk dijadikan balapan. Padahal, Pemko Tanjungpinang sudah mengeluarkan surat imbauan tentang batas jam malam bagi pelajar. Tapi, imbauan pemerintah itu diabaikan. Bahkan pihak kepolisian dan Satpol PP pernah melakukan razia dan penertiban terhadap aksi balap liar. Anehnya, upaya penertiban itu tidak membuat pelajar jera. “Kita berharap orang tua selalu memperhatikan anaknya saat keluar malam. Bimbingan orang tua dan ketegasan pemerintah dalam menjalankan aturan harus diterapkan,� saran Zulkifli. Menejer Tim Racing Mahkota Power Kota Tanjungpinang, Agus Wibowo berpendapat, aksi balapan di arena tak resmi kawasan Dompak muncul karena sirkuit resmi belum dibangun pemerintah. Sehingga, pebalap menggunakan kawasan Dompak itu sebagai arena latihan. Namun, latihan resmi bagi pebalap itu jangan dituding sebagai penyebab munculnya tindakan perilaku kurang baik dari pelajar maupun aksi taruhan drug race. Menurut Agus Wibowo, jadwal latihan pebalap atau atlet untuk persiapan kejuaraan resmi di kawasan Dompak hanya dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu sore. Tidak ada yang turun dalam aksi balap liar pada malam hari. Apalagi sampai dini hari.

190


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Karena, pebalap resmi itu wajib menjaga fisik agar selalu fit. Khusus untuk pebalap Mahkota Power, latihan balap di lakukan di arena khusus dan jauh dari keramaian. Mengatasi aksi balap liar di kawasan Dompak, Agus berpendapat, harus ada kemauan dan perhatian dari pemerintah untuk membangun sirkuit resmi, seperti yang ada di Sentul. “Kalau pemerintah bersedia membangun sirkuit, saya siap menghibahkan lahan di daerah Cikolek Kabupaten Bintan. Sehingga, perilaku pelajar yang mengarah negatif itu bisa dihindari,� ujar Agus Wibowo yang terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Bintan pada saat Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 ini. Seks bebas pelajar dan balap liar di kawasan Dompak, pusat perkantoran Gubernur Kepri mendapat perhatian dari Psikolog Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Tanjungpinang, Ernila SPsi, psikolog yang juga tergabung dalam Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Tanjungpinang itu menilai, perilaku remaja terhadap seks bebas tidak ada korelasinya dengan aksi balap liar. Seks bebas dan aksi balap liar yang sering disebut ngetrek itu merupakan perilaku negatif kalangan remaja akibat pola asuh orang tua yang tidak benar. Selain itu, kenakalan remaja itu muncul karena pendidikan norma agama tidak didapatkan dari keluarga. Ernila yang biasa disapa psikolog Nila tersebut menjelaskan, pola asuh di keluarga itu ada yang berupa otoriter dan demokratis. Tapi biasanya, seks bebas dan ngetrek dilakukan anak, karena orang tua memanjakan dan memperbolehkan segala kemauan anak. Tidak wajar jika anak diperbolehkan pulang hingga dini hari dengan berbagai alasan. Mustahil belajar kelompok sampai pulang larut malam. Pengawasan ini yang harus diterapkan dalam pola asuh orang tua. “Makin longgar pengawasan terhadap anak, makin

191


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

besar kemungkinan perilaku ke arah negatif akan terjadi. Psikologi itu bisa dibandingkan antara pola asuh yang benar dengan anak yang ditelantarkan,� tuturnya. Faktor lain yang menyebabkan remaja melakukan seks bebas maupun ngetrek dipengaruhi dengan perubahan biologis pada diri anak. Pelajar yang beranjak ke usia remaja lebih cenderung mencontoh tindakan idola atau figur yang digemarinya. Sehingga aksi ngetrek liar terjadi di kalangan umur remaja. Tidak ada orang dewasa yang mau melakukan aksi ngetrek itu. Usia remaja itu, lanjut psikolog Nila, lebih mengarah kepada siapa jati dirinya. Sedangkan orang tua atau yang sudah berpikiran dewasa, mereka lebih memahami siapa jati dirinya. Justru itu, kembali lagi kepada pola asuh di keluarga yang harus dijalankan secara benar. Agar anak tidak terjerumus ke seks bebas, ngetrek maupun masuk ke lingkaran Nafza. “Perlu diingat, usia remaja lebih banyak ingin tahu dan mencoba tanpa memperhatikan akibatnya. Di masa usia remaja seorang anak, dibutuhkan peran pola asuh keluarga dengan memberikan norma agama dan disiplin yang tepat,� demikian dianjurkan Nila di sela-sela menunggu kedatangan keluarganya di Bandara RHF Tanjungpinang, Rabu (21/5) malam kemarin. Wali Kota Tanjungpinang H Lis Darmansyah merasa prihatin terhadap perubahan sikap pelajar Tanjungpinang di balik aksi balap liar yang terjadi selama ini. Wali Kota Tanjungpinang mengajak pengawasan terhadap para pelajar harus dilakukan bersama. Pengawasan bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah dan pembinaan dari sekolah. Tapi peran orang tua sangat besar terhadap pembentukan karakter anak. Karena, pemerintah melakukan pengawasan terhadap pelajar melalui kebijakan. Pemerintah Kota

192


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Tanjungpinang sudah mengeluarkan kebijakan larangan anak sekolah keluar malam maksimal pukul 21.00 pada hari sekolah, dan maksimal pukul 22.00 pada malam libur. Sedangkan pengawasan anak yang menjadi tanggung jawab pihak sekolah, ketika anak berada di lingkungan sekolah selama jam pelajaran. Selama di lingkungan sekolah, pelajar diberikan pembinaan dan pendidikan pembentukan karakter. Ketika anak berada di luar jam sekolah, pengawasan dan bimbingan menjadi tanggungjawab orang tua. “Tindakan negatif pelajar yang terjadi di balik aksi balap liar merupakan masalah besar. Apalagi sekarang masih dalam suasana peringatan Hari Pendidikan Nasional,� kata Lis Darmansyah saat ditanya koran ini, Rabu (21/5). Lis mengingatkan kembali kepada para pengusaha hotel, wisma, penginapan dan asosiasi perhotelan serta restoran mengenai permasalahan seks bebas pelajar. Ketika memberikan jasa penginapan, petugas perhotelan wajib mengidentifikasi dan registrasi identitas. Upaya itu sebagai antisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Bukan hanya pelajar atau anak di bawah umur, upaya itu sebagai antisipasi terhadap pendatang baru yang tidak memiliki identitas. “Dalam waktu tertentu, Pemko Tanjungpinang dengan koordinasi pihak terkait akan melakukan pengawasan langsung ke lapangan. Jika ditemukan tindakan asusila, Pemko akan memberikan sanksi kepada pengusaha perhotelan atau penginapan yang terkait,� tegas Lis Darmansyah. Upaya untuk meminimalisir aksi balap liar di sirkuit non-resmi kawasan Dompak maupun jalan protokol di depan Kantor Gubernur Kepri lama, Pemerintah Kota Tanjungpinang sudah merencanakan sejak penyelenggaraan Kejuaraan Open Road Race Kapolres Cup Tanjungpinang, Oktober 2013 lalu. Rencana tersebut ditindaklanjuti Pemko

193


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Tanjungpinang pada tahun anggaran 2014 ini. Lis menyampaikan, tahun 2014 ini Pemko Tanjungpinang melakukan pembebasan lahan untuk pembangunan sirkuit resmi balap motor. Tahun 2015 diusahakan sudah tahap pembangunan fisik. Sehingga sirkuit resmi itu bisa sebagai ajang pembinaan bagi atlet balap motor untuk mencapai prestasi, di bawah naungan Ikatan Motor Indonesia (IMI). “Karena, road race merupakan cabang olahraga yang dipertandingkan dalam kejuaraan resmi seperti PON,� demikian direncanakan Lis Darmansyah. *** Yusfreyendi adalah wartawan Tanjungpinang Pos. Tulisan ini terbit di Tanjungpinang Pos edisi 25 Mei 2014 dan menjadi nominator Rida Award 2014 kategori indepth/investigasi.

194


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

RIDA AWARD KATEGORI FEATURE

129


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

196


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Kisah Nelayan Buta Asal Pulau Duyung

Melaut di Gelap, Mengais Rezeki dalam Pekat Petaka itu datang 20 tahun lalu. Sakit kepala tak berkesudahan yang berakhir kebutaan. Namun, Johari tetap melaut di gelap pandangan yang permanen itu. LAPORAN ABDUL RASYID DAULAY, LINGGA

SAMPAN sepanjang tujuh kaki yang sebelumnya ditambat di pohon itu perlahan ditarik Zaitun (47). Di suasana malam yang samar, sebagian tubuhnya terendam air laut di Pulau Duyung, Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga. Perlahan sampan itu diseret. Langkah wanita setengah baya ini nampak kaku. Jalannya tidak leluasa. Bukan hanya karena berjalan di dalam air, tetapi lantaran ia juga harus menuntun seorang pria yang berjalan pelan sembari menjamah benda yang ada di hadapan. Lelaki itu, Johari (48). Dia adalah suami Zaitun. Sepanjang menyisir pantai itu tangan Johari tak lepas memegang sampan dan juga lengan istrinya. Tak jarang tubuhnya ikut oleng bersama perahu yang miring digeser alun. Setelah tak lagi kandas, perlahan Zaitun menuntun Johari menaiki sampan. Zaitun sangat berhati-hati.

197


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Dipegangnya ujung sampan kuat-kuat agar suaminya leluasa naik ke sampan. Setelah berada di atas, Zaitun menghembuskan napas. Wajahnya terlihat lega. Ia semringah menyusul Johari yang terlihat sudah memegang dayung. Tanpa diaba-aba, sesaat kemudian Johari mengais dayung yang ujungnya masih menyentuh pasir. Sampan pun meluncur. “Ke kanan Pak. Kanan... kanan. Kiri pak... kiri... kiri,� kata Zaitun setengah berteriak. Secepat aba-aba yang diberikan, sesigap itu pula Johari mengayun dayung di arah yang dimaksud. Dua kata itu kanan dan kiri - seakan jadi kunci perjalanan mereka. Johari buta menjadikan Zaitun sebagai matanya. Satu per satu dayung dikayuh, mengantar mereka ke tengah laut. Cuaca ketika itu cerah. Cahaya bulan purnama terang tak terhalang awan. Cahaya bulan itu seakan memberi sinyal kesempatan bagi nelayan untuk mencari rezeki: mencari sotong dan ketam atau hewan laut lain yang masih relatif mudah didapatkan. Bulan terang menjadikan para nelayan tidak perlu merelakan kulitnya terbakar karena tidak perlu melaut ketika terik. Sekitar 60 menit ke depan, perahu melambat. Zaitun memberi aba-aba berhenti. Tak lama setelah itu, Zaitun melemparkan bubu -alat perangkap ikan atau ketam yang terbuat dari kawat atau bambu. Dan di tempat yang sama pula Zaitun mengangkat satu bubu. “Lumayan,� katanya. Di dalam bubu itu nampak dua ekor ketam renjong. Oleh Johari, ketam itu kemudian diambil dan ditempatkannya di wadah menampung hasil tangkapan. Aktivitas itu dikerjakan Johari tanpa canggung. Sembari tersenyum, dua pasangan suami istri itu kembali melanjutkan perjalanan. Ada 19 bubu lain yang

198


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

mereka tebar dan mengangkat bubu sejumlah sama. Malam itu, total 10 ketam berhasil dikumpulkan. Mereka lalu memutar sampan menuju pantai berjarak cukup jauh di belakang. Bagi Johari dan Zaitun, terombang-ambing mencari ikan di laut merupakan hal biasa. Pekerjaan itu praktis dilakukan rutin setiap hari. Kebiasaan itu nampak dari tangan Johari yang kekar, lengan perkasa dari mengayuh sampan. Setelah memasang dan mengangkat bubu, malam itu juga dilanjutkan dengan menjaring ikan yang diperuntukkan sebagai umpan. Sebelum ditempatkan di dasar laut, bubu memang harus diisi umpan agar ketam mendekat dan akhirnya terperangkap. Sembari membentang jaring, Zaitun dan Johari mengeluarkan alat untuk memancing sotong. Nelayan umumnya menamainya candit. Bentuknya hampir sama dengan pancing pada umumnya, menggunakan tali dengan mata kail di bagian ujungnya. Bedanya, di dekat mata kail dipasang semacam ikan buatan dari kayu yang menggoda sotong. Bentuknya sangat mirip dengan ikan sarden, diberi warna khusus menyerupai aslinya. Setelah sekitar satu menit menunggu, Johari yang sedari tadi melamun seketika dikejutkan dengan candit yang bergerak. Ditariknya tali dengan cekatan. Tanpa penglihatan, ia berhasil mengangkat seekor sotong segar berukuran sedang. “Ho ho... kena kau,� kata Johari sembari terus menangkap sotong yang tak berhenti menggelepar di badan perahu. Cukup banyak sotong dan ikan yang diperoleh Johari dan Zaitun malam itu. Tak terasa bulan kian meninggi. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Waktunya pulang. Sama ketika pergi, Zaitun kembali memberikan arah laluan. Demikian Tanjungpinang Pos bersama Zahari, anak

199


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

pasangan ini di perahu berbeda. 20 Tahun Alami Kebutaan Suara langkah kaki menyentuh tikar jenis plastik sudah terdengar sejak pukul 05.00. Sepagi itu, Johari yang memejamkan matanya lewat tengah malam sudah bangun. Ia sudah mandi, sudah mengambil air wudhu dan bersiap untuk salat. Setelah melakukan pekerjaan rutin di awal hari itu, Johari kemudian memanjangkan tangan, mengarahkan langkahnya ke salah satu sudut rumah mereka yang terbuat dari papan. Langkahnya kemudian berhenti setelah ujung jarinya menyentuh jeriken kosong. Diambilnya kayu kecil yang terlihat sudah mulus di samping jeriken yang kemudian dijadikannya alat bantu berjalan. Sambil meraba-raba, didekatinya pintu, membukanya, kemudian satu per satu menapak anak tangga yang terbuat dari kayu dan kemudian menyusuri perkampungan yang listriknya menyala mulai pukul 18.00 sampai pukul 24.00. Setengah jam baru ia kembali dengan membawa satu jeriken penuh air. “Ini sudah biasa. Sudah setiap hari,� kata bapak lima anak ini. Duduk di kursi kayu dengan kain yang sudah agak lapuk, Johari menceritakan kebutaan yang ia alami. “20 tahun lalu, bulan Desember tahun 1994,� katanya memulai cerita. Sebelum penglihatannya menghilang, Johari mengatakan jika ia kerap kali menderita sakit kepala di sebelah kiri. Sakit kepala itu bahkan tak bisa membuatnya tidur tenang. Ia bahkan merasa sama sekali tidak nyaman menjalani pekerjaan. Ia akhirnya bahkan memutuskan tidak melaut lagi. Selagi sehat, Johari mengaku jika dirinya adalah nelayan andal. Banyak ikan yang mampu ia tangkap bahkan

200


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

kemudian diekspor ke Singapura. Salah satu ikan berjenis sunuk. “Ikan sunuk tu diekspor,� kenangnya. Menurutnya, dulu ada kapal ikan yang berangkat ke Singapura sekali sepekan. Kapal itu sering bersandar menunggu ikan di Tanjung Biru, tak jauh dari tempat mereka tinggal. Tapi itu cerita lalu. Setelah memutuskan berhenti melaut karena sakit kepala tak berujung itu, Johari sering pulang pergi Pulau Duyung-Tanjungpinang untuk berobat. Ia bahkan terkadang harus menginap di Tanjungpinang lantaran harus menjalani perobatan tersebut. Selain berobat di rumah sakit, Johari bahkan juga melakukan pengobatan alternatif yang letaknya cukup jauh: di kawasan Trikora Kabupaten Bintan. Ke Tanjungpinang maupun ke Trikora Bintan jarak tempuhnya tidak dekat jika ditempuh dari Pulau Duyung. Dapat dibayangkan, dengan adanya kapal cepat speedboat yang ada sekarang pun, waktu tempuh masih menghabiskan satu jam lebih dengan ongkos Rp147 ribu. Tapi 20 tahun lalu, Johari dan istrinya harus menempuh perjalanan selama lima jam dengan menaiki kapal ikan. Upaya untuk sembuh itu terus dilakukan Johari. Seakan tidak mengenal lelah, perjalanan jauh itu terus dilakukan. Demikian pula dengan biaya. Johari mengaku tidak sungkan menjual perabotan bahkan tabungan dan aset untuk kesembuhannya itu. Tapi, upaya memang hanya sebatas upaya. Satu tahun melakukan perobatan yang dilakukan sama sekali tidak membuahkan hasil. “Sakit kepala kiri memang hilang. Tapi mata sebelah kiri saya jadi buta,� ujar Johari. Dan derita Johari rupanya belum berakhir sampai di situ. Setelah mengalami kebutaan di mata kirinya, sakit kepala kembali menyerang di bagian kanan. Dan yang

201


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

dialami kemudian sama seperti sebelumnya. Hampir setahun Johari harus menahan sakit kepala dan akhirnya menyebabkan penglihatannya yang lain memudar hingga akhirnya betul-betul gelap. “Ya jadinya macam ini,� katanya. Dokter saat itu disebutnya tidak mengetahui apa penyakit yang dia alami. “Dokter saat itu ngomong kalau saya buta karena urat saraf ke mata terputus,� sambungnya. Dengan kondisi tanpa penglihatan, Johari mengaku tetap bersyukur karena masih memiliki rumah yang dibuatnya ketika masih sehat. Sejak itu kondisi ekonomi keluarga ini berubah drastis. Perahu bermesin dompeng atau biasa disebut pompong yang sebelumnya sempat ada, sudah terjual. Bahkan, karena terdesak, rumah yang sempat dijadikan tempat berjualan di dekat pelantar masuk perkampungan ini pun terjual. Tapi Johari tak patah arang. Berbekal keahliannya melaut dan kepercayaan diri yang tinggi, ia kemudian dipercaya oleh salah seorang tauke untuk mengurus usahanya. Johari kembali bangkit dan berjaya. Ia menjadi pemasok terbesar sembako di perkampungan itu. Untuk beras saja, ia mampu memasok hingga berton-ton dalam setiap bulannya. Dan seiring waktu, kesehatanlah yang kemudian membuat ia tak mampu lagi menjalankan kepercayaan itu. Johari kemudian memilih mundur. Untuk melangsungkan kehidupan mereka, istri Johari terpaksa melakoni diri sebagai nelayan. Johari tak sampai hati. Terlebih sang istri sering mengeluh tak berani melaut sendiri. Ia pun kemudian memaksa sang istri untuk mengajaknya serta. Kesetiaan “Hidup harus tetap jalan. Apalagi anak saya Zahari

202


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

masih tiga tahun,” kata Zaitun melanjutkan cerita suaminya. Ia merasa realita sebagai penyandang cacat. Jalan hidup itu ia rasakan berat, terlebih harus menerima kenyataan bahwa suaminya hilang penglihatan. “Langit macam nak runtuh,” katanya. Tapi bagaimana pun Zaitun mengaku harus tetap setia menemani langkah Johari. “Mana boleh putus asa. Saya ini hebat. Buktinya, saya bisa melaut,” kata Johari. Sesaat kemudian ia menelan ludah, lalu menundukkan kepala. Sebagai penyandang cacat, Johari memang tidak mau berpangku tangan. Apa saja yang dikerjakan bisa diselesaikan. Termasuk membuat bubu sunuk dari kawat. Tak sedikit nelayan sekitar Pulau Duyung yang memesan atau meminta bantuan kepadanya. Usaha yang dilakukan Johari itu tak lain untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Usaha mereka itu mereka sebut tak akan berhenti sampai anak kedua mereka, Zahari bisa melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. “Zahari baru tamat sekolah Aliyah (setara SMA). Nganggur satu tahun. Sebenarnya kami maunya kuliah. Kami akan usahakan,” ungkap Zaitun.*** Abdul Rasyid Daulay adalah wartawan Tanjungpinang Pos. Tulisan ini terbit di Tanjungpinang Pos edisi 27 April 2014 dan menjadi pemenang Rida Award 2014 kategori feature.

203


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

204


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Suka Duka Perawat Rina Muliyati Bertugas di Tengah Hutan Rimba Listen

Jalan Kaki 60 Km Menembus Hutan untuk Beli Obat Meskipun hanya seorang tenaga medis perawat kontrak, namun Rina Mulyati tetap mengabdikan dirinya di tengah hutan belantara di pedalaman Desa Listen, Pining, Gayo Lues. Di sebuah kampung yang berada di tengah hutan rimbah penuh dengan keterbatasan, serta kampung yang tidak memiliki akses jalan yang memadai ini Rina tetap mengabdikan diri sebagai tenaga medis. LAPORAN BAMBANG YUDI, GAYO LUES

DARI pantauan koran ini, Sabtu (14/5), meskipun tinggal di tengah hutan bersama masyarakat Desa Listen, Rina bertugas seadanya saja. Ia tidak mendapatkan sarana yang memadai, seperti alat medis dan perlengkapan mobiler. Sedangkan gedung kesehatan yang dibangun tahun 2012 lalu, sudah tidak bisa ditempati karena rusak. Rina sebagai seorang lulusan Akper, rela ditugaskan di pedalaman Pining. Baginya, di mana saja bertugas tidak ada masalah, baik di tengah hutan rimba ataupun di tengah kota. “Yang penting harus disyukuri. Selain itu, niat saya untuk melayani kesehatan masyarakat juga betul-betul terlahir dari

205


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

dalam diri saya,” ungkapnya. Ia merasa prihatin karena masyarakat pedalaman sangat minim pelayanan kesehatan. “Saya tulus bekerja memberikan yang terbaik bagi seluruh masyarakat Desa Listen. Semua segenap kemampuan, saya kerahkan untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat Listen,” paparnya. Sebagai perawat, ia sudah 4 tahun bertugas di tengah– tengah masyarakat Desa Listen, suka dan duka tentu saja sudah banyak dialaminya. Walaupun bukan seorang Bidan, Rina juga harus melayani persalinan bagi ibu-ibu di desa itu. Namun semuanya dilakukan dengan keterbatasan peralatan medis. “Ke mana masyarakat mau mencari seorang bidan di tengah hutan begini. Tidak mungkin kita memanggil seorang bidan dengan rentang jarak dan kondisi jalan seperti ini,” ungkapnya dengan tersenyum. Menurutnya, penyakit yang sering ditanganinya adalah penyakit ISPA, TB serta penyakit kusta. Baginya semua sudah menjadi tugasnya sehingga ia tidak pernah berharap imbalan dari masyarakat. “Saya ikhlas membantu masyarakat. Namun yang menjadi kendala saat ini yaitu obatobatan. Karena sampai sekarang obat untuk penyakit kusta dan TB sangat sedikit sekali. Padahal, masyarakat di sini sangat rentan sekali terkena penyakit kusta dan TB,” ungkap wanita berjilbab ini. Apalagi, kata Rina, di saat obat-obatannya sudah habis, ia terpaksa harus berjalan kaki selama satu hari penuh dengan jarak 60 km menyusuri hutan menuju dinas kesehatan untuk mengambil obat-obatan. “Ini demi masyakarat. Tapi yang paling berat jika musim hujan tiba, kita bisa memakan waktu lebih dari satu hari untuk menembus hutan,” ungkapnya. Untuk itu, ia berharap agar pemerintah khususnya

206


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

dinas kesehatan bisa memprioritaskan obat-obatan untuk masyarakat Listen. “Kesusahan saya juga kesusahan masyarakat Listen. Saya berharap bisa mendapat perhatian pemerintah atas pengabdian diri saya di tengah keterbatasan. Yang paling utama adalah sarana obat-obatan. Saya minta bisa diperioritaskan karena kami di pedalaman jauh dari dinas kesehatan,” imbuhnya. Selain itu, sarana seperti meja dan tempat tidur untuk memeriksa pasien pun ia tidak punya. “Di sini juga banyak anak balita kami juga berharap bisa mendapatkan prioritas. Kami takut anak–anak di sini kekurangan gizi nantinya,” pinta Rina.*** Bambang Yudi adalah wartawan Rakyat Aceh. Tulisan ini terbit di Rakyat Aceh edisi 16 Mei 2014 dan menjadi nominator Rida Award 2014 kategori feature.

207


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

208


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Keluarga Jonilas, Potret Buram Kemiskinan

Hidup di Antara Tumpukan Sampah dan Semak Belukar Rumah berdinding batu bata tanpa diplester itu lama tidak dirawat. Di sekeliling pekarangan tumbuh semak belukar. Sepintas rumah ini seakan tidak berpenghuni, namun jika diperhatikan dengan seksama akan terlihat tiang antena televisi berdiri kokoh di samping rumah. LAPORAN HENNY ELYATI, PEKANBARU

SUDAH bertahun lamanya, keluarga Jonilas (61) bersama istrinya Nidarwati (44) dan lima anaknya tinggal di rumah yang beralamatkan Jalan Perhubungan Ujung No 85, RT 1 RW 2 Kelurahan Maharatu, Kecamatan Marpoyan Damai tersebut. Rumah peninggalan orangtua Jonilas ini tidak selesai dibangun akibat keterbatasan ekonomi. Jonilas hanyalah sebagai petugas ronda di sekitar rumahnya dengan honor yang diterima Rp900 ribu setiap bulannya. Istrinya Nidarwati sejak enam tahun lalu menderita stroke dan tidak bisa berbuat apa-apa selain tergeletak pasrah di atas tempat tidur. Segala keperluan Nidarwati, Jonilaslah yang menyiapkan termasuk merawatnya siang dan malam saat Jonilas tidak bekerja. Kamis (3/4) lalu, Riau Pos datang ke sana

209


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

bersama salah seorang guru PAUD Lilik, di mana Rafli (10) putra bungsu Jonilas bersekolah dulunya. Saat tiba, Riau Pos kaget ketika ditunjuk rumah Jonilas, karena di rumah yang sedemikian memprihatinkan, ada satu keluarga tinggal di sana. Hati lebih miris lagi saat masuk ke dalam rumah. Aroma tak sedap langsung tercium ketika Jonilas mempersilahkan Riau Pos masuk. Rumah berukuran 8 x 9 meter ini sebenarnya cukup luas dengan dua kamar tidur dan dua ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Sayangnya, rumah ini tidak berjendela dan tanpa ditutupi plafon. Lantai rumah juga hanya disemen aci yang ditutupi dengan kain sangat lusuh dan bau. Di rumah itu hanya ada beberapa perabot yakni tempat tidur di atasnya terbaring lemah Nidarwati. Televisi buram berukuran 21 inchi dan lemari lusuh. Di ruang tamu inilah Jonilas beserta dua anaknya Edwin Saleh (21) dan Bisma Adisurya sedang tidur siang itu. Peralatan makan hanya ada beberapa gelas dan sendok makan yang kotor terletak di atas meja. Rumah besar ini sangat kotor, debu menutupi semua permukaan bahkan sampah berserakan di ruang tamu. Tidak hanya itu, dapur yang dulunya tempat memasak berubah menjadi tempat tumpukan sampah yang berserak. Peralatan memasak dibiarkan begitu saja dan dapur ini sudah tak pernah digunakan berbulan-bulan. Tidak berapa jauh dari sumur kain kotor berlumut menumpuk. Kamar mandi tidak pernah dibersihkan, bahkan ember penampung air hijau karena lumutan. Kamar tidur yang ada juga sangat kotor. Di atas tempat tidur ada kasur yang koyak-koyak dan kapasnya keluar. Kamar ini pun sudah bertahun tak ditempati. Pekarangan rumah juga cukup luas, namun ditumbuhi semak belukar yang sangat lebat dan tinggi. ‘’Mengapa tak dibersihkan Pak rumahnya,’’ tanya Riau

210


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Pos pada Jonilas. Menurut Jonilas, dirinya tidak punya waktu lagi untuk membersihkan rumah karena waktunya tersita habis untuk mengurusi Nidarwati yang sakit. ‘’Kalau malam saya tugas jadi satpam kampung, paginya ngurusi istri dulu. Saat dia sudah tertidur baru saya tidur. Tapi itu tidak lama, karena dia pasti terbangun dan minta sesuatu. Maklum istri saya tidak bisa ngapa-ngapain lagi selain terbaring. Untuk minum dan makan saja harus saya yang suapi. Apalagi kalau mau buang air, saya angkat dia ke kamar mandi. Kadang kalau saya tak di rumah, tempat tidur ini sudah bau tercampur kotorannya,’’ kata Jonilas. Di saat Riau Pos bercerita, tiba-tiba tangan Nidarwati menggapai Riau Pos dan menangis. Nidarwati tidak bisa berbicara, tubuhnya sangat kurus karena hanya kulit membalut tulang yang terlihat. Menurut Jonilas, Nidarwati mengira Riau Pos guru Rafli saat di PAUD. Setiap nama Rafli disebut, Nidarwati menangis dan tangannya menggapai. Jonilas dengan sabar menghapus air mata Nidarwati dan mengusap ubun-ubunnya agar tenang. Berawal Haid Berkepanjangan Nidarwati mulai menderita penyakit enam tahun lalu. Berawal dari haid yang berkepanjangan. ‘’Dia sakit saat Ramadan buat kue untuk Idul Fitri. Dia kedatangan bulan (haid) namun sampai sepekan haidnya tak kunjung berhenti. Karena takut ada apa-apa, saya bawa dia berobat ke bidan dan dikasih obat. Namun haidnya tak juga berhenti, karena itu bidan menyarankan agar dibawa berobat ke rumah sakit dan saya bawa ke RSUD Arifin Achmad,’’ cerita Jonilas. Sesampainya di sana, menurut Jonilas, Nidarwati tidak mendapat perawatan secara maksimal sampai dua bulan lamanya dirawat inap. Dan inilah awal mula Nidarwati terke-

211


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

na stroke sehingga tidak bisa melakukan aktivitas apapun. ‘’Selama sebulan pertama, uang tabungan habis terkuras untuk biaya berobatnya. Makanya rumah ini tak selesai dibangun. Memasuki bulan kedua, kami sudah tak punya uang lagi. Makanya mengurus surat miskin biar biaya berobat gratis. Tapi karena perkembangan penyakit istri saya tak ada kemajuan, dokter menyarankan saya membawanya ke spesialis untuk terapi. Tapi tak ada biaya, jadi saya bawa pulang. Kalau ada uang sedikit, saya beli minyak gosok yang dijual di toko. Saya urut-urut badannya biar tidak kaku. Sudah sepekan ini dia tak saya urut karena minyaknya sudah habis, uang tak ada buat beli,’’ paparnya. Saat ditanya menurut diagnosa dokter apa penyakit Nidarwati, Jonilas mengaku dokter tidak mengetahui penyakitnya dan tidak memberikan penjelasan secara rinci. ‘’Maklumlah kami ini orang miskin, jadi tidak paham betul seperti apa. Kalau disuruh pulang ya pulang. Lagi pula uang pun sudah tak ada lagi. Jadi kami pasrah saja,’’ sebut Jonilas sambil mengusap air liur Nidarwati yang meleleh. Satu jam lamanya Riau Pos berbincang bersama keluarga ini. Dua putra Jonilas yang bertepatan berada di rumah hanya tertawa-tawa saja ketika diberi masukan agar membantu orangtuanya membersihkan rumah dan pekarangan. ‘’Mereka tidak punya pekerjaan tetap dan kadangkadang mereka tidak tinggal di sini. Memang sudah besar, tapi tak bisa dibilangin. Harapan kami hanya terletak pada Rafly dan Faisal. Mereka berdualah yang kami harapkan bisa menjadi anak berprestasi dan membanggakan keluarga, mereka menjadi anak yang berbakti walaupun saat ini mereka diasuh orang lain,’’ kata Jonilas sambil mengusap dadanya yang tipis. Dua putra bungsu Jonilas Muhammad Rafli (10) murid kelas III SDN 160 dan Faisal Rahman (13) siswa kelas II

212


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

SD ini diasuh keluarga lain agar bisa terus melanjutkan pendidikan. Senin (7/4), Riau Pos kembali mengunjungi keluarga ini. Namun rumah yang hanya berjarak 200 meter dari bandara ini sangat sulit ditemui walaupun Jonilas tinggal di daerah pemukiman padat. Setelah setengah jam berputar-putar melewati jalan-jalan kecil di sekitar areal bandara, Riau Pos akhirnya menemukan rumah Jonilas. Itu pun setelah bertanya ke warga di sana. Siang itu, rumah Jonilas tertutup. Hanya ada Nidarwati yang terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Karena tak ada yang membukakan pintu, Riau Pos pun berbincang dengan tetangga Jonilas. Menurut Sintha (55), warga sekitar sudah sering mengingatkan agar membersihkan rumah dan pekarangannya, apalagi anak-anak Jonilas ada yang sudah besar. ‘’Kalau kita bilangin, mereka marah-marah. Itulah anakanak sekarang, tidak peduli dan mau seenaknya. Padahal sangat banyak yang membantu keluarga ini,’’ katanya. Wanita yang sudah bertahun tinggal di sana sangat mengerti karakter keluarga Jonilas. ‘’Karena keterbatasan ekonomi, dua anak mereka terpaksa dikasih ke orang lain biar bisa terus sekolah. Sebelumnya mereka tidak sekolah walaupun umurnya sudah cukup,’’ paparnya. Jadi Pengemis Dewi Suriany, pengelola PAUD Lilik kepada Riau Pos menjelaskan awal mula dirinya bertemu Rafli ketika berusia 6 tahun dengan keadaan sangat menyedihkan. ‘’Kakak Rafli yang bernama Bisma yang bertemu dengan suami saya karena tidak punya pekerjaan,’’ ujarnya. Rasa iba membuat Bisma dipekerjakan sebagai office boy di PAUD Lilik di Jalan Kaharudin Nasution, Kelurahan Simpang Tiga, Kecamatan Bukitraya. Dari situlah Bisma

213


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

mengungkapkan dirinya punya adik kecil yang belum sekolah bernama Muhammad Rafly. ‘’Rafly merupakan murid pertama PAUD Lilik. Kondisi Rafly saat itu sangat menyedihkan dengan pandangan tidak fokus, kondisi tubuh kurus, kurapan dan kudisan. Inilah yang membuat saya ingin mengetahui keadaan orangtuanya. Rafly mengajak saya ke rumahnya dan hati ini sangat miris melihat kehidupan keluarga ini. Rafly saya didik dengan bersekolah di PAUD Lilik full day dari Senin hingga Sabtu mulai pukul 07.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Alhamdulillah, Rafli berkembang dengan baik, diajarkan guru-guru yang berkarakter sehingga Rafli tumbuh kembang dengan karakter yang baik,’’ sebut Dewi. Saat liburan sekolah, Rafli menjadi pengemis di jalanan. Uang hasil mengemis ini digunakannya untuk membantu ekonomi keluarganya. Rupanya yang tidak sekolah bukan hanya Rafli, kakaknya Faisal juga tidak sekolah. Saat Rafli tamat dari PAUD Lilik, giliran Faisal yang dimasukkan Dewi ke sana. Sehingga Rafli lebih dulu bersekolah dibanding kakaknya. Kedua anak ini mendapat pendidikan gratis di PAUD Lilik tersebut. ‘’Syukur alhamdulillah Rafli diterima di SDN 160 Jalan Pahlawan Kerja dan Rafli menjadi juara I di kelas. Saat ini dia sudah kelas III dan saya masih tetap memantau perkembangannya dan rutin setiap bulan membantu keluarga ini. Kakaknya Faisal juga diterima di SD negeri saat ini sudah kelas II. Saya selalu berdoa agar Rafly selalu dalam kondisi baik meskipun tingkat perekonomian keluarganya sangat terpuruk,’’ tutup Dewi.*** Henny Elyati adalah wartawan Riau Pos. Tulisan ini terbit di Riau Pos edisi 13 April 2014 dan menjadi nominator Rida Award 2014 kategori feature.

214


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Sutanta Aditya, Fotografer yang Nyaris Jadi Korban Awan Panas

Kalau Saja Pemerintah Lebih Perhatian… Pada 2010, Sutanta Aditya sempat menjadi perbincangan karena kenekatannya mengabadikan momen erupsi Sinabung. Pun ketika 2014 ini, dia kembali jadi buah bibir ketika fotonya tentang korban tewas di Sukameriah memenuhi halaman muka hampir di seluruh media besar di Indonesia. Tapi siapa sangka, tak ada nada bangga darinya, rasa bersalah malah sangat terasa saat dia bicara. LAPORAN JULI RAMADHANI RAMBE, MEDAN

MEWAWANCARAI Adit – panggilan Sutanta Aditya – bukan hal yang mudah. Sumut Pos berulang kali menghubunginya sejak berita awan panas Sinabung memakan korban. Baru tadi malam sekira pukul 20.00 WIB, Adit baru mau menyambut telepon. “Aku syok,” akunya melalui telepon seluler. Jawaban Adit menimbulkan pertanyaan baru. Bukankah ketika foto yang dipetik dihargai begitu banyak media menjadi kebanggaan tersendiri bagi seorang fotografer? “Kaki kananku hilang!” teriaknya. Adit pun langsung bercerita tentang “kaki kanan” yang

215


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

dimaksudnya tadi. Bukan kaki kanan dalam arti yang sebenarnya, tapi lebih mengarah ke sahabat atau kawan dekat. Dan yang dimaksud Adit adalah Rizal Syahputra dan Thomas Milala. Keduanya menjadi korban tewas saat awan panas Sinabung mengamuk di Sukameriah. “Aku tidak tahu mereka menjadi korban, walau aku sudah menduga. Tetapi, aku baru bisa memastikan ketika sore,” ujarnya. Dikisahkannya, malam sebelum kejadian (Jumat 31/1), dia dan kedua sahabatnya itu berkumpul dan hunting mencari foto yang menarik di Desa Kutatonggal. Di tempat ini, mereka memutuskan apa yang akan mereka lakukan esok harinya, Sabtu (1/2). Ada perbedaan yang muncul dari diskusi mereka. Adit memilih memotret ke Desa Bekerah sedangkan kedua sahabatnya berencana ke Sukameriah. Adit memutuskan untuk mencari foto di sekitaran Desa Bekarah karena desa ini terletak di punggung Sinabung. Jadi bila terjadi erupsi, setidaknya dirinya masih memiliki waktu untuk menyelamatkan diri. “Aku sudah melarang mereka untuk ke Sukameriah karena di sana ada jalur guguran lava. Tapi, mereka bersikeras untuk ke sana dengan alasan momen di sana lebih bagus,” ujarnya. Desa Bekerah dan Desa Sukameriah letaknya bersebelahan hanya dipisahkan oleh jalan yang beraspal yang saat ini sudah terputus karena lava dingin. Percakapan malam itulah yang disesali oleh Adit karena kedua temannya tidak mengindahkan pendapatnya. “Kalau saja mereka mendengar apa yang aku katakan. Tapi ya sudahlah, ini adalah takdir Tuhan yang tidak bisa dielakkan,” ucapnya dengan nada rendah. Setelah malam yang menandakan berakhirnya Januari 2014 tersebut, ketiga sahabat ini berpisah. Adit menuju Desa Tigapancur, sedangkan kedua sahabatnya memutuskan

216


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

untuk kembali ke Perteguhan dan menginap di sana. Sabtu (31/1) sekitar pukul 08.30 WIB, bersama dengan kamera dan peralatannya, Adit menuju ke Desa Bekerah. Dan tidak ada lagi komunikasi bersama dengan kedua temannya itu. Di Desa Berkerah, Adit sempat melihat warga desa yang kembali untuk mengurus lahan dan rumah. Anak ketiga dari 5 bersaudara ini memutuskan untuk berdiam sejenak di desa tersebut sambil menunggu momen yang tepat untuk mengambil foto. Tetapi, setelah lebih dari 2 jam berada di desa tesebut, perasaan yang tidak tenang menghampiri pria kelahiran Tanjungmorawa ini. Perasaan ini membuatnya memutuskan untuk turun dan kembali ke zona aman. “Saat aku sudah berada di kawasan yang tenang, tibatiba aku mendengar suara gemuruh. Di situ aku yakin, gunung kembali marah. Aku berteriak kepada penduduk agar mereka segera turun. Sambil berlari, aku turun. Di sinilah aku mendapatkan momen foto yang dipajang di seluruh media cetak itu. Dan Tuhan benar-benar menolong aku, aku diberi kesempatan untuk turun sebelum gunung erupsi,� tambahnya. Setelah berhasil memetikkan kameranya, Adit kembali ke Desa Tigapancur. Tetapi, perasaan tidak nyaman tersebut belum hilang juga dari benaknya. Tepat pukul 13.00 WIB, dia baru mengetahui kenapa timbul perasaan tidak nyaman tersebut. “Aku mendengar, Sukameriah terkena awan panas dan kedua sahabat aku berencana ke sana. Aku yakin, tapi tidak bisa memastikan,� cerita Adit dengan nada suara yang makin berubah. Detik itu juga, bersama dengan warga, dia menuju Sukameriah. Namun, Adit ragu memasuki kawasan yang sudah hilang bentuk itu. Dia kembali ke Tigapancur. Tak berapa

217


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

lama kemudian, ada lagi warga yang ke Sukameriah, Adit pun bergerak ikut. Tapi, sekali lagi, dia kembali mengurungkan niat. Keingintahuan terhadap nasib kedua sahabat dan kesadaran akan keselamatan dirilah yang membuat dia bolak-balik membatalkan niatnya ke Sukameriah. Tapi, tidak kehilangan akal, Adit mencoba menelepon nomor ponsel Thomas. Nada panggil terdengar, sayang tidak ada jawaban dari seberang. Hingga sore, saat tim evakuasi dari TNI, Basarnas, dan warga menuju ke Sukameriah, tepatnya sekira pukul 15.30 WIB, Adit baru memberanikan diri. Sembari mencari kedua sahabatnya itu, Adit terus memotret mayat-mayat yang telah tegang dan tergeletak begitu saja. Dan, lagi-lagi, Adit tak menemukan sahabatnya itu. Barulah ketika Magrib menjelang, saat mayat-mayat diindentifikasi di RSUD Kabanjahe, Adit tersadar. “Mereka terkena awan panas. Jangan tanya bagaimana perasaanku. Ini perasaan kehilangan, kehilangan sangat dalam. Orang terdekatmu yang menghabiskan waktu malam-malam di Sinabung bersama hilang. Kau makan sepiring bersama mereka. Kau ada tapi tidak melihat!” tangis Adit mulai terdengar. “Kalau saja pemerintah lebih perhatian… kalau saja pemerintah lebih tegas. Kau tahu, tidak ada plang di desa itu untuk menandakan bahwa itu daerah berbahaya. Mau dari Karo apalagi BNPB. Ini nyawa, masalah nyawa. Uang yang mereka gunakan itu uang masyarakat. Jadi, kenapa mereka sebegitu tidak pedulinya?” tambahnya dengan suara yang mengeras. Mengetahui berita tentang sahabatnya, Adit mencoba menenangkan diri, dirinya tidak tahu apalagi yang harus dilakukannya. Bahkan, rasa sedih dan kehilangan yang dirasakannya tidak bisa digambarkannya dengan kata-kata.

218


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Semalaman, dengan beban tersebut, Adit hanya mampu bolak-balik dari RSUD dan Desa Tigapancur. Rasa trauma pun menghantui pria kelahiran 7 Desember 1984 ini. Hingga akhirnya, dirinya memutuskan untuk kembali ke Medan (Minggu pagi, 2/2). “Aku akan tetap mengabdikan momen dengan kameraku. Tapi, untuk ke Sinabung, aku tunggu beberapa hari lagilah. Aku harus berziarah terlebih dahulu ke makam adikadikku (Rizal dan Thomas). Aku menyesali sikap mereka, tapi aku juga harus terima. Ini Takdir,” lanjutnya. Kejadian ini pun memberikan pelajaran berharga bagi Adit. Seberapa berat dan keras kerja, maka pakailah logika, gunakan otak, agar tidak tersesat dalam melaksanakan pekerjaan terutama yang menantang maut. “Apa yang saya sampaikan di malam itu, mereka mengetahuinya. Thomas bukan orang baru di Sinabung. Begitu juga Jack (Rizal). Andaikan mereka memercayai logika mereka, andai saja mereka meyakini apa yang ada di hati mereka. Andai saja, pemerintah lebih tegas, andai saja…,” ungkapnya sambil menghela napas.(rbb) Juli Ramadhani Rambe adalah wartawan Sumut Pos. Tulisan ini terbit di Sumut Pos edisi 3 Februari 2014 dan menjadi nominator Rida Award 2014 kategori feature.

219


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

220


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Elida, Ibu yang Anaknya Divonis Empat Tahun Atas Kasus Cabul (1)

Tinggal di Kontrakan Kecil, Utang Rentenir untuk Mencari Keadilan LAPORAN ORIZA PASARIBU, SIDEMPUAN

MASIH ingat Elida Warni boru Siregar? Ya, ibu yang menuntut keadilan untuk anaknya DH (18), yang divonis empat tahun atas tuduhan perbuatan pencabulan ini, curhat kepada METRO tentang kehidupannya pascapenahanan anaknya. Bagaimana ceritanya? Minggu (21/7), di kediamannya Jalan SM Raja, Gang Amal, Kecamatan Padangsidimpuan (Psp) Batunadua, Elida mengaku rumah kecil berwarna hijau muda yang dihuninya adalah kontrakan. Bahkan, rumah kecil itu harus ditempati bersama anak-anak, menantu, dan seorang cucunya yang masih berumur dua pekan, yang tidak lain adalah anak DH, hasil pernikahannya dengan Mufida Sari (17). Di rumah berukuran 4 kali 5 tersebut, Elida tinggal dengan seluruh keluarganya yang berjumlah sembilan orang. Setiap hari, Elida hidup dari pekerjaannnya sebagai seorang pembuat batu bata di daerah Batunadua. Penghasilannya hanya berkisar Rp30 ribu per hari.

221


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Hasil itu yang menjadi harapannya untuk bisa menghidupi anak, menantu, juga cucunya. Semenjak DH anaknya ditahan, kehidupan Elida semakin susah. Belum lagi biaya untuk makan dan pulang pergi menjenguk anaknya di penjara. “Seperti inilah keadaan saya sekarang. Lihatlah berapa orang yang tinggal di sini? Ini anak-anak saya. Ini menantu saya dan itu cucu saya, anak si Ucok (DH). Kalau untuk makan, saya hanya mengandalkan penghasilan saya dari tukang batu bata. Tapi itu seberapalah? Belum lagi untuk melihat si ucok di penjara, hampir setiap minggu saya wajib datang ke sana. Ongkos dan biaya untuk si Ucok, saya dapatkan dari hasil meminjam dari rentenir. Cukupcukuplah penderitaan kami ini,� kata Elida sambil menimang-nimang cucunya. Elida menambahkan, sejak ia menemukan tersangka yang menurutnya adalah pelaku sebenarnya dari kasus pencabulan yang dituduhkan kepada anaknya itu, hampir setiap hari ia pulang pergi ke kantor polisi, hanya untuk mendapatkan keadilan dan bisa segera membebaskan anaknya. Namun, sampai sekarang Elida belum juga mendapat keterangan yang pasti. Sebab, pihak terkait masih terus memproses permasalahan tersebut. Sedangkan hakim dan jaksa, seolah seperti buang badan. “Sedih kali nasib saya ini. Hakim malah menyalahkan saya mengapa pada waktu itu saya tidak mau banding, begitu juga dengan jaksa, malah melempar masalah ini kepada pihak kepolisian. Jadi di mana keadilan itu? Anak saya sudah dirampas kebebasannya. Dan saya hanya meminta untuk dibebaskan itu saja,� sebutnya sambil berlinang air mata. Untuk diketahui, DH (18) divonis hakim PN Kota Psp sekitar Januari lalu atas tuduhan pencabulan terhadap DPI, perempuan berusia tujuh tahun. Akibat tuduhan tersebut,

222


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

DH menjadi terpidana selama 4,2 tahun. Saat ini, DH sudah menjalani 10 bulan masa tahanan. Elida yakin, anaknya bukan pelaku dari perbuatan tersebut. Pasalnya, pelaku aslinya, AR (17), sudah diserahkan kepada Polres Kota Psp pada Selasa (16/7) lalu.(Bersambung)

223


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

224


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Elida, Ibu yang Anaknya Divonis Empat Tahun atas Kasus Cabul (2)

Nikahkan Anak di Lapas, Segelas Air Mineral pun Tak Terbeli LAPORAN ORIZA PASARIBU, SIDEMPUAN

TERNYATA, sebelum DH ditahan dan divonis PN Kota Padangsidimpuan (Psp), ia sudah berniat menikahi wanita pujaan hatinya Mufida Sari Harahap (17). Dan, niat itu sudah disampaikan DH kepada ibunya Elida Warni boru Siregar sebelum DH ditangkap polisi. Nasib berkata lain. Sekitar November tahun lalu, DH malah diserahkan ke Polres Kota Psp atas tuduhan telah melakukan perbuatan cabul kepada IDP, anak perempuan yang masih berusia 7 tahun, warga Silandit Kota Psp. Padahal, DH sama sekali tidak pernah melakukan perbuatan itu. Itu sesuai pengakuan DH dan dikuatkan dengan ditangkapnya AR (17), pria yang mengakui perbuatan yang dituduhkan kepada DH. Namun, tekad DH untuk menikahi pujaan hatinya tetap bulat, meski DH di dalam penjara, ia meminta kepada Elida untuk segera melaksanakan pernikahan. Akhirnya, Rabu 24 April lalu, DH resmi menyandang status suami dari Mufida

225


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Sari. Pernikahan DH dan Mufida Sari dilakukan di dalam Lapas Salambue, dengan disaksikan pihak yang bersangkutan dan para petugas Lapas. Ironisnya, tak ada syukuran apalagi pesta untuk merayakan pernikahan itu. Pasalnya, jangankan untuk membeli bahan-bahan kebutuhan pesta, membeli segelas air mineral saja, Elida sudah tidak sanggup lagi. Dan, yang lebih menyedihkan lagi, setelah proses akad nikah selesai, DH kembali merasakan pengapnya penjara yang sudah over kapasitas itu. “Untuk menyediakan satu gelas air mineral saja waktu itu, saya tidak sanggup, apalagi membuat pesta dan lainnya. Memang sebelum kejadian itu, sudah dibilangnya sama saya kalau dia mau kawin sama pacarnya. Maaf cakapnya sudah diapakannya (hubungan suami istri, red) menantu saya waktu itu. Ya mau bagaimana lagi? Mau enggak mau saya harus menikahkannya,� ujar Elida di rumah kontrakannya yang hanya berukuran 4 X 5 itu. Setelah pernikahan sedih itu, Mufida Sari diajak Elida untuk tinggal bersamanya. Apalagi saat itu Mufida dalam keadaan mengandung anak DH yang sudah memasuki usia tujuh bulan kehamilan. Elida tidak sanggup melihat penderitaan menantunya, hampir setiap hari Elida melihat Mufida Sari bersedih. Memang, kesedihan Mufida Sari sangat beralasan. Pernikahan yang seharusnya menjadi hari paling bahagia, justru menjadi hal menyedihkan baginya. Mufida Sari hanya bisa membayangkan berapa lama lagi ia dan DH baru bisa berkumpul bersama. Waktu itu, DH sudah menjalani hukumannya selama enam bulan. Berarti masih ada sekitar 3 tahun 6 bulan lagi, ia baru bisa bersama dengan DH. Seperti vonis yang diberikan hakim kepadanya yaitu empat tahun dua bulan. “Sedihlah Bang. Biasanya orang kalau habis menikah

226


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

bisa bersama dengan suaminya. Tapi saya tidak, bagaimanalah itu? Abang bayangkanlah sendiri,� ucapnya sedih. Dua bulan setelah pernikahan, tepatnya Rabu 12 Juni lalu anak yang dikandung Mufida Sari lahir. Saat itu, ia merasakan sedikit kebahagiaan. Sebab buah hatinya lahir dengan sehat dan selamat. Namun tak berapa lama, kebahagian yang baru dirasakannya tiba-tiba berubah menjadi kesedihan lagi. Dipandanginya wajah bayi lelakinya itu, lalu menatap dalam matanya. Tangisnya pecah, kebahagian berubah menjadi kesedihan. “Dari anak saya lahir sampai sekarang, belum pernah sekali pun ia melihat ayahnya. Saya enggak tahu harus berbuat apa lagi, begitu juga dengan ibu mertua saya. Kami hanya bisa meratapi nasib kami. Biarlah Tuhan semua yang menjawabnya,� ujar Mufida Sari beruraian air mata sambil mencium anaknya. Sejauh ini, Mufida Sari hanya bisa pasrah, tidak ada malam pertama, tidak ada bulan madu, dan tidak ada suami saat anaknya lahir. Doanya hanya bagaimana suami dan ayah dari anaknya itu dapat segera dibebaskan dan berkumpul bersama mereka.(bersambung)

227


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

228


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Elida, Ibu yang Anaknya Divonis Empat Tahun atas Kasus Cabul (3)

Minta Anak Dibebaskan, Duduk dan Menangis di Pintu Kejaksaan LAPORAN ORIZA PASARIBU, SIDEMPUAN

SAAT Korps Adhyaksa memperingati hari jadi yang ke53 pada Senin (22/7) lalu, seorang perempuan dengan langkah gontai mendatangi Kantor Kejaksaan Negeri Kota Psp. Perempuan itu adalah Elida boru Siregar (36). Ia datang sambil membawa poster berisikan tulisan yang meminta keadilan agar anaknya dibebaskan. Elida mendatangi kantor kejaksaan dengan berjalan kaki seorang diri. Di tangannya terlihat kertas karton yang berisikan tulisan tentang permintaan agar anaknya DH (18) terpidana atas kasus pencabulan segera dibebaskan. Elida tidak melakukan orasi sama sekali. Tubuhnya terlihat lemas dan hampir pingsan. Sejumlah petugas terlihat memperhatikan Elida, ada yang bertanya-tanya kenapa dan mengapa. Namun, Elida tetap diam saja. Saat ditanya beberapa wartawan yang meliput aksinya itu, barulah Elida mau membuka mulutnya. Dengan nada sedih sambil menangis, Elida mengatakan maksud dan

229


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

tujuannya datang ke Kantor Kejari adalah untuk menyampaikan curahan hati kepada para jaksa yang telah membuat anaknya sampai ditahan dan divonis 4,2 tahun penjara. “Saya hanya minta anak saya dibebaskan. Saya hanya minta anak saya dibebaskan. Saya hanya minta anak saya dibebaskan,� ucap Elida berulang-ulang sambil menangis. Ironisnya, aksi tunggal yang dilakukan Elida tersebut tidak mendapat perhatian apa-apa dari pihak Kejari, meski Elida duduk persis di depan pintu masuk kejaksaan sambil menangis. Karena tidak mendapat respon, akhirnya dengan perasaan kacau Elida berusaha bangkit, dan meninggalkan kantor Kejari Kota Psp. Menurut Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Kota Psp Edward SH, untuk permasalahan yang terjadi terhadap Elida, apa yang sudah dilakukan pihaknya sudah sesuai dengan alat bukti, yaitu keterangan saksi dan hasil visum. Jadi, bukti tersebut sudah cukup untuk menetapkan dan memutuskan pelaku sebagai tervonis dengan hukuman selama 4 tahun. “Untuk masalah ada tersangka baru, atau pelaku yang sebenarnya, ini masih kewenangan penyidik. Kita tunggu saja hasilnya seperti apa. Dan masalah ibu itu menuntut keadilan, kami juga bekerja sesuai dengan prosedur. Jadi apa yang sudah kami lakukan adalah hasil dari penyelidikan yang dilaporkan kepada kami,� jelasnya.(bersambung)

230


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Elida, Ibu yang Anaknya Divonis Empat Tahun atas Kasus Cabul (4)

Keadilan Belum Didapat meski Pelaku Sebenarnya Telah Ditangkap LAPORAN ORIZA PASARIBU, SIDEMPUAN

ELIDA Warni Boru Siregar tidak pernah akan berhenti menuntut keadilan untuk membebaskan DH (18) anaknya, terpidana kasus pencabulan yang divonis 4,2 tahun. Bahkan, untuk membuktikan anaknya benar-benar tidak bersalah, ia mati-matian menemukan pelaku yang sebenarnya. Akhirnya, pada Selasa (16/7) lalu, dibantu warga, ia berhasil menemukan AR (17) warga Silandit, saat sedang berada di seputaran daerah Siborang Kota Psp. Dan AR pun mengakui bahwa ia adalah pelaku yang sesungguhnya. “Memang saya pelakunya Pak. Saya yang mencabuli anak itu, tapi tidak ada sampai saya perkosa. Hanya masukkan jari, terus ambil anting-antingnya dan saya tinggalkan begitu saja,� aku AR kepada petugas Polres Kota Psp, Selasa (16/7). AR menceritakan, tepatnya, Minggu (18/11) tahun lalu, sekitar sore hari, ia berencana mencuri bebek milik warga di daerah Silandit Kota Psp. Saat itu, ia sempat mengajak

231


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

beberapa temannya, namun ditolak. AR pun tak mengurungkan niatnya dan tetap melanjutkan rencananya tersebut. Di perjalanan, AR melihat dua gadis kecil yang diketahui berinisial IDP (7) dan kakaknya MEP (8). Melihat dua gadis kecil itu, AR berpura-pura menanyakan kepada mereka di mana tempat pabrik kerupuk di sekitar tempat tersebut. Dan ia meminta kepada mereka untuk mengantarkan AR ke sana. Ternyata kedua gadis kecil itu manut saja. Sebab menurut AR, sebelum ia meminta untuk diantarkan ke pabrik kerupuk itu, ia sempat meyakinkan kedua gadis itu, kalau dia adalah abangnya Rudi (adik kandung DH). “Kubilang sama mereka aku abangnya si Rudi, terus diantarkan anak itu aku ke sana,� ungkapnya. Sebelum sampai ke tempat yang dimaksud, ternyata jalan yang akan dilalui mereka licin dan menanjak. Dan MEP tinggal di bawah, jadi saat itu hanya IDP yang mengantarkan AR sampai ke atas. Sampai di atas AR membawa IDP ke kebun ubi. Di situlah AR mengangkat tubuh IDP, kemudian menarik baju IDP ke atas dan mencabulinya. AR juga mengaku telah mengambil anting-anting yang saat itu dikenakan IDP di telinganya. “Memang ada kucabuli dan kuambil anting-antingnya. Karena dia nangis-nangis, aku jadi takut. Dan kutinggal begitu saja. Selanjutnya aku pergi. Dan aku enggak ingat di mana anting-anting itu kubuat,� akunya polos. Menurut Elida, setelah kejadian itu, bapak korban yang diketahui berinisial EI, langsung mencari-cari pelaku yang sesuai dengan ciri-ciri yang disebutkan anaknya. Malam itu juga seluruh pemuda di kampung tersebut yang berambut pirang dan menggunakan tindik di telinga dikumpulkan. Termasuk AR, yang menjadi aktor sesungguhnya. Menurut Elida, kurang lebih ada sekitar 20 pemuda

232


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

yang dikumpulkan waktu itu. Sedihnya DH anaknya juga ikut dibawa dan ditunjukkan kepada IDP. Setelah dikumpulkan dan diperlihatkan kepada IDP, ternyata AR yang juga sama-sama dibawa dan ditunjukkan sama sekali tidak diakui oleh IDP. Malah ketika DH yang diperlihatkan, IDP langsung mengangguk dan menunjuk DH adalah pelakunya. Spontan, malam itu juga DH dibawa ke Polres Kota Psp untuk diperiksa. “Saya dapat telepon dari neneknya, terus dibilangnya kalau DH sudah ditahan di Polres Kota Psp. Malam itu juga saya langsung lihat DH di kantor polisi. Di sana dengan mata berlinang dia mengakui kalau dia bukanlah yang melakukan perbuatan itu semua. Sikapnya tegar waktu itu, tidak sedikitpun ketakutan. Saya yakin sekali kalau anak saya bukan pelakunya,� ucap Elida sambil mengingat kejadian waktu itu.(bersambung)

233


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

234


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Elida, Ibu yang Anaknya Divonis Empat Tahun atas Kasus Cabul (5)

Mulai BAP hingga Divonis, DH Tak Mengakui Perbuatannya LAPORAN ORIZA PASARIBU, SIDEMPUAN

MENURUT Elida, setelah DH dihadapkan dengan korban IDP dan ditunjuk korban kalau DH pelakunya, pihak Naposo Bulung Desa Silandit langsung membawa DH ke Polres Psp. Padahal, DH sama sekali tidak mengetahui kejadian tersebut. “Saya dapat telepon dari neneknya, terus dibilang kalau DH ditahan di Polres Psp. Malam itu juga saya langsung lihat DH di kantor polisi. Di sana, dengan mata berlinang air dia mengaku kalau bukan dia yang melakukan perbuatan itu. Sikapnya tegar, tidak sedikitpun ketakutan. Saya yakin sekali kalau bukan anak saya pelakunya,” ucap Elida sambil mengingat kejadian waktu itu. Cerita Elida, saat itu DH masih tinggal dengan neneknya di daerah Silandit, Gang Mutiara Aek Bayu, Psp. Sedangkan ia tinggal di Jalan SM Raja Psp Batunadua. “Anak saya itu sehari-harinya bekerja sebagai buruh di pembuatan batu bata di Silandit. Ia bersumpah kepada saya

235


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

kalau bukan dia yang melakukan itu semua. Ia juga sama sekali tidak mengetahui bagaimana kejadian itu. Tapi karena korban yang menunjukkan langsung, anak saya hanya bisa pasrah,” urai Elida. Di kantor Polisi, DH sempat ditahan beberapa hari. Ketika diperiksa petugas, DH sama sekali tidak pernah mengakui bahwa ia yang melakukan perbuatan itu. “Pas diperiksa dan dibuat berita acara perkara (BAP), anak saya tetap tidak mengakui kalau ia yang melakukan perbuatan itu. Ia tetap tegar. Selanjutnya, saya berpesan kepadanya untuk bersabar menghadapi semua ini. Beginilah nasib orang yang tak punya. Beda dengan orang-orang kaya itu, semua bisa diatur dengan uang,” ucap Elida kepada DH waktu itu. Setelah ditahan dan diperiksa selama dua hari, DH kemudian dititipkan ke Lapas Salambue, Psp. Ironisnya, berkas DH yang dilimpahkan ke kejaksaan waktu itu, langsung P21 (berkas dinyatakan lengkap). Akhirnya DH resmi dinyatakan sebagai tersangka. Januari 2013, DH pun divonis Hakim PN Psp dengan 4 tahun penjara dan denda Rp60 juta (ganti kurungan 2 bulan) dengan tuduhan telah melakukan tindak pidana kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak untuk melakukan perbuatan cabul. Dan vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa sebelumnya; penjara selama 7 tahun. Diakui Elida, selama proses persidangan hingga akhir persidangan, DH sama sekali tidak pernah mengakui perbuatannya. Walaupun ia disumpah atas nama ibu kandungnya sendiri. Ia bersedia. “Bayangkanlah, sampai-sampai ia mau dan rela disumpah apapun termasuk mempertaruhkan nyawa saya ibu kandungnya. Apa enggak sedih saya mendengarnya waktu itu? Tapi begitulah. Hukum selalu berpihak dengan yang punya uang,” ujar Elida.(bersambung)

236


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

Elida, Ibu yang Anaknya Divonis Empat Tahun atas Kasus Cabul (Habis)

Bakal Lapor ke Komnas HAM, Sampai Mati pun Tetap Diperjuangkan LAPORAN ORIZA PASARIBU, SIDEMPUAN

SUDAH 11 hari AR (17), pelaku cabul yang telah mengakui perbuatannya terhadap anak kecil berinisial IDP (7), warga Silandit Kota Padangsidimpuan (Psp), ditahan Polres Psp. Namun, sampai saat ini atau Jumat (26/7), Elida belum juga menerima pemberitahuan bagaimana proses selanjutnya agar anaknya segera dibebaskan. Elida Warni Boru Siregar (36), warga Jalan SM Raja, Gang Amal Psp, Batunadua, Kota Psp, masih terus berharap agar anaknya DH (18) dapat dibebaskan. Semua cara dan upaya sudah dilakukannya. Dari menemukan AR, pelaku yang sesungguhnya, kemudian menghadirkan saksi yang membenarkan AR adalah pelakunya, sampai membuat aksi tunggal ke kantor Kejaksaan Negeri Kota Psp beberapa waktu yang lalu. Namun, ia belum ada menerima keterangan dari pihak yang terkait mengenai bagaimana proses selanjutnya. “Sudah 11 hari, tapi belum juga ada kepastian dari pihak yang

237


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

terkait. Entah apa yang harus saya perbuat lagi,” keluhnya. Selama 11 hari belakangan ini, Elida mengaku sangat fokus untuk mencari cara bagaimana putra pertamanya tersebut dapat menghirup udara bebas sesegera mungkin. Bukan hanya uang dan tenaga saja yang sudah ia korbankan, bahkan sudah tiga hari Elida terbaring di rumah karena sakit. “Maaf dek, kakak sedang dalam keadaan sakit. Mudahmudahan segera sembuh,” ujarnya dari seberang telepon ketika METRO berusaha untuk mewawancarainya, Jumat (26/7). Walaupun begitu, ia masih tetap merasakan semangat, dan itu semua disebabkan anaknya dan masa depan keluarganya. “Saya enggak mau tanggung-tanggung, sampai mati pun tetap saya perjuangkan. Tapi berhubung saya sedang dalam keadaan sakit. Jadi saya belum bisa banyak berbuat lagi,” tukasnya. “Saya memang miskin dan buta hukum, tapi saya akan tetap memperjuangkan keadilan untuk anak saya. Kalau juga tidak ada kejelasan saya akan buat surat dan mengadu ke Komnas HAM,” sambungnya lagi. Yang ada di dalam hati dan pikiran Elida beserta keluarga hanya sebuah kepastian. Ia juga tidak menuntut banyak. Di bulan Ramadan ini, ia berharap DH, anaknya yang sudah hampir 10 bulan mendekam di penjara bisa dibebaskan agar dapat berkumpul kembali. “Insya Allah di bulan Suci Ramadan ini dapat membawa keberkahan, dengan memberi kebebasan kepada anak saya. Hanya itu yang saya minta. Semoga semua pihak yang terkait dapat membuka mata dan hatinya. Semoga Allah mengabulkannya,” harap Elida.*** Oryza Pasaribu adalah wartawan Metro Tabagsel. Tulisan ini terbit di Metro Tabagsel edisi 22-26 Juli 2013 dan menjadi nominator Rida Award 2014 kategori feature.

238


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

RIDA AWARD KATEGORI FOTO

129


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

240


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

EVAKUASI SOPIR OLEH

DEFIZAL (RIAU POS)

FOTO

INI DINOBATKAN SEBAGAI PEMENANG RIDA AWARD

2014

241


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

242


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

DEKAPAN SEORANG IBU OLEH

RASYID (SUMUT POS)

243


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

244


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

HISTERIS OLEH

WIDIARSO (PEKANBARU POS)

245


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

246


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

LAVA OLEH

ANDRI GINTING (SUMUT POS)

247


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

248


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014

LUMPUH OLEH

CECEP MULYANA (BATAM POS)

249


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2014




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.