Buku esai riau pos 2015

Page 1

i


ii


iii


Hikayat Bunian Kumpulan Cerpen Pilihan Riau Pos 2015

Hikayat Bunian Kumpulan Cerpen Pilihan Riau Pos 2015 Sanksi pelanggaran pasal 44 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta. 1. Barang siapa dengan sengaja atau: tanpa hak mengumumkan atau EDITOR memperbanyak suatuMUHAMMAD ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan AMIN pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak JEFRY AL MALAY Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyebarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelaggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

iv


Kumpulan Esai Pilihan Riau Pos 2015

Editor

Muhammad Amin

PT. Sagang Intermedia 2015

v


Merindu Tunjuk Ajar Melayu Kumpulan Esai Riau Pos 2015

Editor: Muhammad Amin Perancang Sampul: Desriman Zahmi Perancang Isi: Supri Ismadi @ Penerbit : PT. Sagang Intermedia Graha Pena Riau, Jl. Soebrantas Km 10,5 Panam, Pekanbaru, Riau Diterbitkan Pertama Kali Oleh: PT. Sagang Intermedia, Pekanbaru 2015

Kepustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KTD) Merindu Tunjuk Ajar Melayu, Kumpulan Esai Riau Pos 2015 Pekanbaru, PT. Sagang Intermedia, 2015 ISBN______________ Cetakan Pertama, Oktober 2015

vi


Merindukan Tunjuk Ajar Pak Tenas (Sebuah Pengantar Editor)

R

iau telah kehilangan orangtua, guru, panutan, tempat bertanya, dan minta nasihat. Tak ada lagi suara lembut yang meluncur dari bibir seorang Tenas Effendy dengan tunjuk ajarnya itu. Nasihat dengan petuah yang santun dan penuh makna itu tak akan dapat didengar lagi selamanya. Dia, sang penjaga tatakrama Melayu itu telah berpulang. Di RSUD Arifin Achmad, Pekanbaru, Sabtu dini hari, 28 Februari 2015 lalu, sekitar pukul 00.25 WIB, Tenas menghembuskan nafas terakhirnya. Orang yang telah berpulang ke hadirat ilahi tentu saja tak bisa kembali. Hanya amal dan doa yang membantunya di alam barzakh. Bagi yang ditinggalkan, jejak pemikiran, kenangan romantis, dan kerja-kerja besarnyalah yang akan dapat ”menghidupkannya”, paling tidak di hati orang-orang yang pernah mengenalnya. Bahkan ia bisa ”hidup” di tengah orang yang tak pernah mengenalnya. Tenas Effendy memang telah memberikan jejak intelektual yang luar biasa bagi negeri ini. Dia tetap

vii


masih ”hidup”, dan seakan-akan terus memberi nasihat tunjuk ajar dengan karya-karyanya. Lewat sejumlah buku, Tenas telah menjadi ingatan yang tak akan lekang ditelan waktu, tak pupus ditelan zaman. Tunjuk ajar Melayu, yang kini tak lagi bisa terlontar dari mulutnya, tetap bisa dibaca dari tulisan dan buku-bukunya. Sepanjang hidupnya, Tenas telah mendedikasikan diri untuk mengumpulkan berbagai kearifan Melayu. Semua yang terserak dalam ungkapan di upacara-upacara, nasihat-nasihat orangtua, keputusan dan kebijakan kepala adat, serta beberapa sastra lisan dirangkumnya ke dalam catatan yang relatif lengkap. Dia adalah kurator yang teliti, peneliti yang tunak, dan budayawan yang jenius. Tenas adalah maestro, seperti halnya HB Jasin yang begitu tunak dan tekun mengumpulkan berbagai kebijaksanaan. Dia adalah pengukuh pancang Melayu paling utama, tak hanya di Riau dan Kepri, tapi juga di Negeri Jiran serumpun, Malaysia. Universitas-universitas di Malaysia ”berebut” memintanya berceramah, bahkan memberinya gelar doktor dan profesor. Nama kecilnya Tengku Nasaruddin Said Effendy. Dia lahir pada 9 November 1936 di Dusun Tanjung Malim, Pelalawan. Tenas muda mulai tertarik pada dunia tulismenulis karena melihat apa yang dilakukan ayahnya yang berprofesi sebagai sekretaris pribadi Sultan Pelalawan, Sultan Said Hasyim. Ayah Tenas kerap kali menulis tentang silsilah Kerajaan Pelalawan, adat-istiadat, dan peristiwa penting lainnya dalam catatan yang dinamakan Buku Gajah. Dari melihat, membaca, mendengar, dan mengikuti berbagai tradisi kemelayuan itu, Tenas kemudian menulis. viii


Generasi saat ini beruntung memiliki Tenas Effendy yang telah menuliskan khazanah intelektual Melayu itu dengan relatif lengkap. Kita generasi sekarang dan akan datang akan menerima harta (khazanah) tak ternilai--tradisi Melayu itu, yang sebagiannya mungkin tak lagi ada dalam tradisi keseharian. Sebagian tradisi itu pelan-pelan mulai tergerus zaman, hilang bersama orang-orang, para pelaku dan penuturnya. Beruntung Tenas telah ”mengekalkan” semua itu dalam buku-bukunya. Kendati telah ”kekal” dalam berbagai buku, tetap saja Tenas dengan tunjuk ajarnya dirindukan, sesuatu yang tak mungkin akan berulang. Sunnatullah telah membatasinya. Kumpulan esai Riau Pos kali ini memang tak hanya berisikan tentang Tenas Effendy yang awal tahun ini berpulang. Hanya ada tiga tulisan tentang budayawan Melayu ini, yakni yang berjudul ”Meneropong Gerak Senirupa Tenas Effendy (Alm)” karya Dantje S Moeis, ”Filosofi Tenas Effendy dalam Kearifan Pemikiran Melayu” karya Gde Agung Lontar, dan ”Meremah Pesan Tersirat Syair ‘Nasib Melayu’ Tenas Effendy” karya Nafiah Al-Ma’rab. Dalam buku ini, terdapat juga berbagai tulisan tentang kenangan beberapa tokoh Melayu yang pernah sangat tunak berkarya di bidang kemelayuan. Mereka telah berjasa dalam ”mengekalkan” kemelayuan lewat karya-karya yang monumental dan akan terus dikenang. Ada tulisan tentang Hasan Junus yang wafat sebelum Tenas yang ditulis Zuarman Ahmad dalam esai berjudul ”Lagu untuk Elize: Merindukan Hasan Junus”. Ada pula tulisan berjudul ”Novelis dan Bapak Cerita Pendek Indonesia Modern, Mengenang 111 Tahun Suman Hs” karya Muhammad Husein Heikal. Ada esai ”80 Tahun ix


B.M. Syamsuddin {10 Mei 1935 (20 Februari 1997) – 10 Mei 2015}, Pe(Me)ngungkap(k)an Peristiwa Tempatan dengan Ketepatan dan Kekhasan Resa Bahasa” karya Syafruddin Saleh Sai Gergaji. Tulisan-tulisan itu merangkai berbagai tulisan dalam buku kumpulan esai Riau Pos 2015 ini. Ia menjadi dominan. Jejak kenangan dan ingatan romantis atas tokoh-tokoh dan para penegak dasar kebudayaan Melayu Riau itu seakan mendominasi dalam buku ini, sehingga dipilihlah tema itu dalam buku kali ini. Lalu, kenapa Tenas? Selain tulisan yang relatif banyak tentang Tenas, alasan lainnya, tentu karena Tenas yang baru saja wafat dibanding yang lain. Judul buku ini, Merindu Tunjuk Ajar Melayu, terinspirasi dari tulisan Zuarman Ahmad ”Lagu untuk Elize: Merindukan Hasan Junus”. Bagi Zuarman, kata ”mengenang” tak cukup, karena dalam kata itu belum tentu ada rasa merindu. Tapi dalam kata ”merindu”, pasti ada kenangan terlebih dahulu. Begitulah, orang Melayu masih tetap merindukan kata-kata yang terlontar langsung dari bibir Tenas Effendy. Tak sekadar hanya mengenang, orang Melayu merindukannya dengan segenap jiwa. Tapi semua itu tak mungkin bisa berulang. Perputaran jarum jam tetap sama, tapi waktu tak akan dapat berulang.***

ba

x


Daftar Isi -

Merindu Tunjuk Ajar Pak Tenas

(Sebuah Pengantar Editor)___________________ v

1.

Revitalisasi Bahasa Melayu (Riau)

0leh Agus Sri Danardana_____________________ 1

2.

Catatan 100 Tahun Cerpen Riau

di Sekolah, Krisis Dokumentasi

dan Nyaris Terabaikan (Sastra kita

terlahir dari koran-koran)

oleh Musa Ismail____________________________9

3.

70 Tahun Damiri Mahmud

Melayu: Orang Laut yang Egaliter

oleh Nevatuhella___________________________ 17

4.

“Putri Pinang Masak” Menuju Layar Kaca?

oleh Griven H Putera_______________________ 25

5.

“Menimang” Romantisme Melayu

dalam Tanda Sejarah Pembacaan atas

Buku Puisi Jefri al Malay

oleh Riki Utomi____________________________ 31 xi


6.

Meneropong Gerak Senirupa

Tenas Effendy (Alm.)

oleh Dantje S Moeis________________________ 37

7.

Lagu untuk Elize:

Merindukan Hasan Junus

oleh Zuarman Ahmad_______________________ 43

8.

Novelis dan Bapak Cerita Pendek

Indonesia Modern

Mengenang 111 Tahun Suman Hs

oleh Muhammad Husein Heikal______________49

9.

Dinamika Kepenulisan di Riau

dan Tantangan bagi Gerakan Komunitas

Sastra Riau

oleh Desi Sommalia________________________ 57

10. Nasib “Jebat” di Tangan Rida K Liamsi

oleh Ary Sastra____________________________ 63

11. 80 Tahun B.M. Syamsuddin

{10 Mei 1935 (20 Februari 1997) – 10 Mei 2015}

Pe(Me)ngungkap(k)an Peristiwa

Tempatan dengan Ketepatan

dan Kekhasan Resa Bahasa

oleh Syafruddin Saleh Sai Gergaji_____________ 67

12. Estetikasi Masa Kini

pada Karya Senirupa Riau

(Maju-mundur--Timbul-tenggelam)

xii

oleh Dantje S Moeis________________________ 77


13. Bulang Cahaya dalam Tiga Genre

oleh Dr. Junaidi____________________________ 85

14. Puisi, Sufi dan Rida K Liamsi

oleh Ary Sastra____________________________ 91

15. Ketika Tumpukan Buku

Menjadi Beban Keluarga

oleh Fakhrunnas MA Jabbar_________________ 97

16. ”Kuda Pustaka”, Inspirasi Bersama

oleh Al Mahfud___________________________ 103

17. Filosofi Tenas Effendy

dalam Kearifan Pemikiran Melayu

Das andenkende denken.1)

oleh Gde Agung Lontar____________________ 107

18. Puisi, Puasa dan Budaya Konsumsi

oleh Khairul Anam_________________________117

19. Terminologi Kiai, Dulu dan Kini

oleh Nurhadi______________________________121

20. Menggaungkan

Hari Puisi Indonesia

oleh Fakhrunnas MA Jabbar________________ 125

21. Ruh Budaya

oleh Zuarman Ahmad_______________________131

22. Urban dan Rural dalam Cerpen Kita

oleh Budi Hatees__________________________ 137

23. Meremah Pesan Tersirat

Syair “Nasib Melayu”

xiii


Tennas Effendy

oleh Nafiah Al-Marab______________________ 143

24. Asap yang Pandai Menyimpan Api

oleh Dahmuri Muhammad__________________151

ba

xiv


Revitalisasi Bahasa Melayu (Riau) oleh Agus

Sri Danardana

L

aju perkembangan iptek dan pertumbuhan ekonomi global telah membawa perubahan sikap dan perilaku masyarakat, termasuk sikap dan perilaku berbahasa. Vitalitas bahasa yang tidak mempunyai posisi dalam perkembangan iptek dan tidak mengambil peran dalam laju pertumbuhan ekonomi menjadi terancam. Tidak terkecuali bahasa Melayu Riau (BMR), vitalitasnya mulai menurun. Sebagai akibatnya, kristalisasi nilai-nilai dalam BMR (dalam bentuk kosakata, ungkapan, maupun peribahasa) yang merupakan refleksi sikap, perilaku, dan interaksi penuturnya dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitarnya pun terancam keberadaannya. Sebagai lingua franca, bahasa Melayu sudah mencapai usia beratus-ratus tahun. Bahkan, jika memperhitungkan Kerajaan Sriwijaya sebagai titik tolaknya, bahasa Melayu telah mencapai taraf antarbangsa sejak lebih 1300 tahun lalu (Collins 1998). Dalam rentang usia sepanjang itu, jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, idealnya sudah

1


mampu mencapai tingkat maturasi atau “kematangan” dan “kesempurnaan” hidup karena sudah banyak merasakan liku-liku dan pahit getirnya perjalanan sejarah. Namun, seiring dengan bertambahnya usia, bahasa Melayu justru dihadang banyak masalah. Pertanyaan bernada pesimis pun bermunculan. Mampukah bahasa Melayu menjadi bahasa budaya dan bahasa iptek yang berwibawa dan punya prestise tersendiri di tengah-tengah dahsyatnya arus globalisasi? Mampukah bahasa Melayu bersikap fleksibel dan inklusif dalam mengikuti derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika? Masih setia dan banggakah para penuturnya dalam menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah-tengah perubahan dan dinamika itu? Sementara itu, jika kita melihat kenyataan di lapangan (Riau), secara jujur harus diakui bahwa bahasa Melayu belum difungsikan secara baik dan benar. Banyak penuturnya masih dihinggapi sikap inferior (rendah diri). Mereka merasa lebih modern, terhormat, dan terpelajar jika dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulis, menyelipkan setumpuk istilah asing meskipun sudah ada padanannya dalam bahasa Melayu/ Indonesia. Artinya, pemahaman, penghayatan, dan penghargaan terhadap bahasa Melayu belum tumbuh secara maksimal dan proporsional. “Nasib bahasa Melayu di tanahnya sendiri (yakni Riau) tidak juga menggembirakan,” kata Taufik Ikram Jamil (Riau Pos, 24 Agustus 2014). Dalam esainya yang bertajuk “Nasib Bahasa Melayu pada Bulan Kemerdekaan” itu, selanjutnya ia menulis 2


“Pemerintah yang seharusnya menjadi pendorong utama terhadap pelestarian bahasa Melayu terlihat acuh tak acuh. Pengikhtiaran bahasa Melayu agar dipakai paling sedikit satu hari dalam sepekan, hampir menjadi tinggal kenangan. Dalam acara yang ditaja justru oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Riau 20 Agustus lalu, yang semua pesertanya adalah orang Indonesia, tak silu-silu memilih tajuk Focus Group Discussion.� Revitalisasi BMR Di era globalisasi ini, ketika teknologi informasi seolah menjadi raja dalam multiaktivitas manusia, bahasa menjadi semakin inferior. Fungsi bahasa tak lebih hanya sebagai alat komunikasi yang miskin makna. Bahkan, tak jarang bahasa digantikan oleh kecanggihan mesin sehingga tak perlu menggunakan kata-kata yang terikat struktur (baik gramatikal maupun semantik) karena dinilai terlalu primitif dan ketinggalan jaman. Pendeknya, bahasa kian terpojok di tengah riuhnya kehidupan modern. Salah satu contoh konkretnya, pasarpasar swalayan menjamur di mana-mana. Di tempattempat perbelanjaan modern itu, bahasa praktis tidak diperlukan. Pengunjung dapat dengan leluasa memilih dan membawa pulang barang-barang dagangan tanpa berkata-kata. Kenyataan itu tidak saja memassifkan aplikasi bahasa, tetapi juga mengancam keberadaan manusia sebagai makhluk sosial. Implikasinya adalah bahasa menjadi kehilangan makna semantis, estetis, serta sosiolinguistiknya. Padahal, ketiganya menyiratkan makna kultural yang mampu memberi kontribusi positif

3


menuju masyarakat yang lebih beradab (civilited). Atas dasar itu, mau tidak mau harus dilakukan revitalisasi bahasa. Upaya revitalisasi bahasa itu penting karena, menurut Crystal (1997), dapat mewujudkan diversitas kultural, memelihara identitas etnis, menjaga adaptabilitas sosial, dan meningkatkan kepekaan linguistis serta secara psikologis dapat menambah rasa aman bagi anak. Revitalisasi adalah �proses, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali� (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:1172). Revitalisasi BMR, dengan demikian, dapat diartikan sebagai upaya membuat BMR lebih hidup dan lebih giat kembali digunakan masyarakat. Definisi itu mengeksplisitkan dua upaya yang harus dilakukan, yaitu menghidupkan BMR dan menggiatkan masyarakat. Menghidupkan BMR mengarah pada upaya pengembangan (agar BMR mampu digunakan untuk segala keperluan), sedangkan menggiatkan masyarakat mengarah pada upaya pembinaan (agar sikap positif dan kebanggaan masyarakat tumbuh untuk ber-BMR dalam kehidupan sehari-hari dengan etos dan semangat yang terus meningkat intensitasnya). Pengembangan dan pembinaan itulah yang akan mampu memberi kontribusi positif dalam rangka menciptakan BMR yang lebih baik. Salah satu upaya pengembangan dan pembinaan BMR yang sudah dilakukan adalah melalui jalur pendidikan, yakni diajarkan sebagai salah satu mata ajar muatan lokal di sekolah tingkat dasar dan menengah. Meskipun demikian, upaya itu tidak (belum) memperlihatkan hasil yang memuaskan. Penyebab utamanya (di samping penyebab lain yang sudah sering dilontarkan banyak 4


orang: keterbatasan guru, buku, dan penekanan materi pada aksara) adalah belum adanya bahasa standar yang harus diajarkan. Selama ini perbedaan dialek BMR: Kampar, Rokan, Kuantan, Siak, dll. Masih dijadikan perbalahan yang nyaris tak berkesudahan. Setiap penutur dialek-dialek itu selalu bersikukuh, saling mengaku (meng-klaim) bahwa dialeknyalah yang paling baik dan pantas diajarkan di sekolah. Sebagai akibatnya, materi pelajaran BMR berbeda-beda pun seturut dengan guru yang mengajarkannya. Untuk itu, perlu dipikirkan rencana penstandarannya. Mengapa? Karena perencanaan itu akan sangat berpengaruh dalam menentukan arah dan perkembangan BMR agar sesuai dengan yang diinginkan. Sudah menjadi kodratnya bahwa dalam praktik pemakaiannya, bahasa apa pun (tidak terkecuali BMR) tidak pernah hadir dalam sosok yang homogen. Ia selalu hadir dalam sosok yang heterogen, dalam berbagai varian, baik berupa variasi sosial maupun variasi dialektal (geografis). Memilih atau menentukan salah satu varian sebagai bahasa standar, dengan demikian, selalu menimbulkan kesan melecehkan varian-varian yang lain. Di sinilah sesungguhnya kebijaksanaan (wishdom) dan kebijakan (policy) para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam perencanaan pengembangan dan pembinaan bahasa itu diperlukan. Hanya melalui perencanaan (dan pelaksanaannya) yang baik BMR dapat diharapkan berfungsi dengan baik. Jika hal itu terwujud, mudah-mudahan ke depan BMR tidak hanya dapat mengemban fungsinya sebagai alat komunikasi, tetapi juga dapat mengembangkan fungsinya 5


sebagai identitas kultural (sekaligus politis) yang menjadi rantai pengikat dalam membangun kebersamaan sebagai sebuah komunitas di dalam keberanekaragaman kepentingan. Riau memiliki keberagaman nilai yang sangat luas. Dalam konteks perbedaan nilai yang beragam tersebut, perlu dibangun ruang dialog (public sphere) kebahasaan yang lebih terbuka. Ruang ini penting untuk memberikan kesempatan yang sama besar bagi nilai-nilai lokalitas maupun etnisitas dalam memberikan pengayaan terhadap BMR melalui program/kegiatan yang dilakukan. Hal itu, di samping akan dapat memberikan dampak positif pada pemahaman generasi muda akan nilai-nilai adiluhung budaya Melayu yang termanifestasi melalui BMR, juga dapat menjadi alasan (kuat) pentingnya penstandaran BMR. Di samping penstandaran (dan pembelajaran) BMR, setidaknya ada empat hal yang mesti dilakukan dalam revitalisasi BMR. Pertama, pembuatan perda tentang pemakaian BMR. Sudah tidak dapat dimungkiri lagi, dalam berinteraksi setakat ini sebagian besar masyarakat Riau bermultibahasa. Di pasar, misalnya, mereka akan berusaha berbahasa Minang saat mau membeli bumbubumbu dapur; akan berusaha berbahasa Batak saat mau membeli sayur-mayur; dan akan berusaha berbahasa Jawa saat mau membeli tahu-tempe. Dengan demikian, hadirnya perda setidaknya dapat mengatur (jika tidak boleh dikatakan: memaksa) masyarakat, terutama pendatang, untuk turut serta menggunakan BMR dalam kehidupannya sehari-hari. Di samping itu, perda juga dibutuhkan sebagai payung 6


hukum yang memungkinkan keberlangsungan BMR serta merupakan fondasi kebijakan perencanaan bahasa yang menempatkan BMR sebagai bagian tak terpisahkan dari strategi/politik kebudayaan Melayu. Kedua, penggairahan tradisi baca-tulis masyarakat Riau. Upaya ini tidak dapat hanya diwujudkan dengan penerbitan buku, tetapi juga harus ditunjang dengan penyediaan media ber-BMR. Penyebab utama buku-buku ber-BMR tidak dikenal/dibaca masyarakat jelas bukan karena ketiadaan/mutunya, melainkan karena tradisi baca-tulis masyarakat (Melayu Riau) masih rendah. Hal itu terjadi, antara lain, karena ketiadaan media. Hingga kini tak satu pun media massa cetak ber-BMR terbit, kecuali dalam bentuk rubrik mini “Atan Sengat� di Riau Pos. Publikasi ber-BMR yang intens hanyalah melalui radio dan televisi, yang tentu saja tidak dapat secara signifikan mendorong tumbuhnya tradisi baca-tulis. Ketiga, penyelenggaraan lomba, sayembara, festival, dan sejenisnya. Lomba-lomba ber-BMR, seperti pidato, dendang syair, berbalas pantun, mendongeng, berteater, dan menulis (sastra dan nonsastra), jika diselenggarakan secara baik dan berkelanjutan, niscaya tidak hanya akan menumbuhkan sikap positif dan kebanggaan masyarakat terhadap BMR, tetapi juga dapat meningkatkan apresiasi sastra masyarakat. Upaya meningkatkan apresiasi sastra masyarakat itu penting karena, sebagai negeri pujangga, sudah sejak lama Riau diprihatinkan orang. Konon, banyak kesenian tradisional yang tidak beraktivitas lagi. Kampung-kampung pun sunyi, jarang orang berdendang (syair) dan berlantum (pantun). Keempat, penertiban penggunaan bahasa di media 7


(baik umum/luar ruang maupun pers). Penggunaan bahasa asing di tempat-tempat umum, seperti car free day, Focus Group Discussion, Champion Exibisi Walikota Cup Junior 2014, Tour de Siak, dan Siak The Truly Malay serta judul-judul berita/rubrik/kolom, seperti “SMPN 4 Pekanbaru Ikuti Coaching Clinic Spect 2014”, “Plaza Bangkinang Usung One Stop Shopping”, “BPOM Luncurkan Contact Centre”, “The Saint Starter”, “Good Run Gooner”, Go Green, For Us, Save The Earth, Healthy Lifestyle, Rising Star, Super Ball, dan Pekan Life perlu ditertibkan agar tidak menimbulkan penyakit fobia BMR. Pemimpin, pejabat, budayawan, sastrawan, penulis, presenter, guru, dan kaum cerdik pandai lainnya hendaknya mau dan mampu memberi teladan penggunaan BMR secara baik dan benar. Jika semuanya itu terwujud, insya Allah, harapan agar BMR dapat eksis di daerahnya sendiri (karena rasa memiliki masyarakat, baik yang asli Riau maupun pendatang, terhadap BMR terbangkitkan) akan segera menjadi kenyataan. *** Semoga. Agus Sri Danardana Kepala Balai Bahasa Riau, aktif menulis dan tinggal di Kota Bertuah Pekanbaru.

ba

8


Catatan 100 Tahun Cerpen Riau di Sekolah, Krisis Dokumentasi dan Nyaris Terabaikan (Sastra kita terlahir dari koran-koran) oleh

S

Musa Ismail

ebagai guru, dalam pembelajaran tentang saya pernah bertanya kepada siswa.

cerpen,

“Siapakah di antara Ananda yang mengetahui nama Bapak Cerpen Indonesia dan karya-karyanya?” Semuanya membisu, bukan karena malu, tetapi karena tidak tahu malu. Lalu, saya pancing lagi dengan pertanyaan lain dengan harapan ada siswa yang tahu. “Ada yang tahu cerpen berjudul “Kawan Bergelut” atau novel “Mencari Pencuri Anak Perawan?” Semakin membisu. Lantas, saya bimbing mereka menjelajahi internet. Barulah wajah mereka cerah setelah mengetahui bahwa tokoh besar itu, Soeman Hs dari Bantan Tua, Bengkalis. 9


Pada suatu kesempatan pula di pengujung September 2014, saya ikut penataran Pendampingan Kurikulum 2013 di Pekanbaru. Pesertanya perwakilan guru mata pelajaran se-Riau, termasuk Bahasa Indonesia. Kebetulan pula, saya terpilih secara undian untuk melaksanakan pembelajaran sebaya (peer teaching). Sekali lagi, saya ambil materi tentang cerpen yang sudah dipersiapkan dalam bentuk media lihat (visual). Dalam media itu, saya masukkan unsur muatan lokal sesuai dengan “nyawa” Kurikulum 2013. Apa yang terjadi? Saya mulai dan seterusnya. Tibalah pada penayangan dua foto. “Ada di antara Ananda mengetahui siapakah dia?” Semua guru mata pelajaran Bahasa Indonesia yang berlakon sebagai siswa SMA itu membisu. Ada wajah ragu-ragu, bingung, bahkan terkesan tidak tahu. “Pak Soeman Hs,” jawab salah seorang guru ragu-ragu tanpa bisa menjelaskan lebih terperinci. Kemudian, saya tayangkan foto penulis cerpen generasi terkini. “Siapakah dia?” Kali ini, semuanya betul-betul menjadi batu. Untuk foto kedua ini, saya yang bertanya, saya pula yang menjawab. “Marhalim Zaini.” “Ooo.” Saya selesaikan di sini saja, nanti bisa jadi cerpen. *** Apa yang dapat kita tangkap dari kisah nyata di atas? Pertama, ketidaktahuan guru dan siswa tentang 10


pengetahuan sastra, termasuk muatan lokal di lingkungan pendidikan. Ini memprihatinkan dan berbahaya, kecuali dianggap biasa saja. Jika kita telusuri, ketidaktahuan ini bukan semata-mata disebabkan secara internal pribadi, baik siswa maupun guru. Namun, faktor eksternal seperti pemerintah, masyarakat, dan penulis pun ikut bagian, terutama dalam hal pendokumentasian karya sastra. Jadi, wajar saja siswa atau guru tidak memiliki buku (tidak tahu) tentang sastrawan dan karyanya. Kalau kita ingin menjelaskan secara luas, saya yakin bahwa pengetahuan guru dan atau siswa tentang dunia sastra Riau berada dalam kategori memprihatinkan, apalagi tentang dunia sastra Indonesia. Kedua, dokumentasi karya sastra Riau tidak mendapat tempat yang layak, termasuk para sastrawannya. Di sekolah-sekolah, sulit sekali kita menemukan karya sastra. Meskipun sekolah memiliki perpustakaan sekolah, tetapi fasilitas buku karya sastra, apalagi karya sastra Riau, sangat menyedihkan. Jika siswa ditugaskan membaca karya sastra Riau di perpustakaan sekolah, bahkan perpustakaan daerah, sepertinya negeri para penulis ini tidak memiliki penulis. Untuk negeri ini, kita harus melakukan gebrakan besar dalam hal pendokumentasian karya sastra, terutama di sekolah-sekolah. Bagaimanapun, karya sastra—telah kita pahami bersama—memiliki faedah yang besar dalam pembentukan karakter bangsa. Ketiga, melemahnya upaya guru dan atau siswa untuk mengeksplorasi karya sastra, terutama membeli buku-buku karya sastra yang bermutu. Namun, mungkin saja ini terjadi karena bukubuku tersebut tidak ada. Artinya, di negeri kita ini, publikasi karya sastra dalam bentuk buku sangat lemah. 11


Di satu sisi, Riau memiliki perpustakaan yang luar biasa refresentatifnya, yaitu Perpustakaan Soeman Hs. Di kabupaten/kota pun, bentuk fisik perpustakaan tak kalah megah. Hal ini tentunya tidak sebanding dengan ketersediaan buku. Walaupun materi perpustakaan bukan semata-mata karya sastra (Riau), tetapi selaiknya materi ini mendapat tempat dengan proporsi yang mencerahkan. Di Perpustakaan Soeman Hs yang sesenggam itu, misalnya, ketersediaan karya sastra Indonesia sangat terbatas. Parahnya lagi, buku karya sastra Riau entah terselip di mana. Sangat sulit jika kita ditugaskan mencari buku-buku karya sastra yang berasal dari Riau (= Riau Kepri). Suatu kali, saya berkunjung di LAM Riau. Lagi-lagi, keberadaan karya sastra (Riau) di lembaga ini hanya sebagai pajangan. Jumlah buku karya sastra yang tak seberapa di situ, seolah-olah berfungsi sebagai benda kuno, antik, dan hanya untuk dilihat-lihat. Ini sebagai indikator bahwa karya sastra kita hanya (mungkin) dimiliki para sastrawan dan peminatnya. Berkemungkinan sekali hal memprihatinkan seperti ini juga terjadi di perpustakaan-perpustakaan kampus, terutama di program studi bahasa dan sastra Indonesia. Kondisi ini memperbuntu kalangan akademis/mahasiswa/peneliti untuk melakukan penelitian. Padahal, kita berharap Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Perpustakaan Provinsi/Daerah bisa berbuat lebih banyak dalam hal pendokumentasian karya sastra (Riau). Kehadiran buku 100 Tahun Cerpen Riau yang dieditori Sutrianto dan kawan-kawan patut mendapat pujian. Buku yang di dalamnya memuat seratus cerpen 12


dan penulisnya ini ditaja oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau, 2014. Pujian yang dimaksud bukan sebagai tindakan mengampu. Namun, pujian atas terbitnya kumpulan cerpen ini bisa menjadi sagang dan penyemangat aktivitas bersastra di Riau (baca: dan Kepri). Selain memuat 100 cerpen, buku ini juga memberikan informasi cukup jelas tentang penulisnya. Selain itu, terdapat juga data kapan dan di media massa mana cerpen tersebut dipublikasikan. Ini berarti bahwa Sutrianto dan kawan-kawan memiliki data yang akurat (tidak mainmain) dalam hal dokumentasi cerpen (saya juga berharap bahwa beliau punya data lebih banyak mengenai cerpen Riau dan Kepri lainnya sehingga pada suatu saat bisa diterbitkan lagi dengan tema yang beragam). Bukan cuma itu. Di awalnya, ada dua pengantar yang menjadikan buku ini lebih terarah sesuai dengan tajuknya. Pertama, pengantar yang ditulis oleh Sutrianto Az-Zumar Djarot dengan judul �Jejak Langkah 100 Tahun Cerpen Riau�. Kedua, catatan pendamping oleh Fakhrunnas MA Jabbar dengan judul �Perburuan di Ladang Imaji�. Kedua catatan dari sastrawan Indonesia (Riau) ini berbicara panjang-lebar tentang kondisi cerpen Indonesia (Riau). Catatan tersebut tidak hanya menjelaskan secara objektif, tetapi juga historis dan kritis dengan menghadirkan perbandingan beberapa pendapat seperti tokoh kritikus Maman S. Mahayana. Dari catatan ini, suatu sokongan patut kita berikan bahwa tidak patut mengkultuskan sastra Indonesia hanya pada satu sisi penerbitan yang berada di Pulau Jawa (Horison, Kompas, dan lain-lain). Secara historis, Riau mencatat sastra monumental bagi Indonesia. Mulai generasi Raja Ali Haji, Soeman 13


Hs, Ibrahim Sattah dan Sutardji Calzoum Bachri, BM Syamsuddin, Rus Abrus, Taufik Ikram Jamil, Idrus Tintin, serta generasi terkini seperti Marhalim Zaini, Hang Kafrawi, Abdul Kadir Ibrahim, Abdul Malik, Jefri Al-Malay, Fedli Azis, Hari B. Koriun, dan lainnya. Tentu saja generasi Riau ini memberikan warna tersendiri bagi berbagai genre sastra Indonesia. Indonesia juga lebih berhutang budi dengan kehadiran bahasa Melayu Riau yang berkembang menjadi bahasa Indonesia yang kita banggakan. Kekayaan sastra Indonesia Riau ini hendaknya tidak ikut hangus ketika koran-koran yang memuatnya dibakar atau terbakar di tempat-tempat pemerunan. Tentu saja kita sangat berharap muncul orang-orang/ lembaga tertentu yang mau bertungkus-lumus seperti Sutrianto dan kawan-kawan. Buku ini, sekali lagi, layak dipuji, termasuk pribadi dan lembaga yang membidaninya. Terlepas dari itu, maka hal yang patut kita pertanyakan, yaitu keberadaannya dan keberfaedahannya di tengah masyarakat, khususnya di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Saya berharap buku ini menghiasi perpustakaan sekolah, perpustakaan daerah, dan perguruan tinggi. Inilah yang masih saya sangsikan. Akankah buku ini hanya akan menjadi eksklusif di tangan-tangan sastrawan dan hilang begitu saja? Hal ini hendaknya menjadi pemikiran agar upaya dokumentasi ini tidak sia-sia dan lebih mempertimbangkan azas manfaat. Jika tidak mempertimbangkan azas manfaat, buku hanya akan sebagai hiasan buah bibir. Jika buku berkelas seperti ini menghiasi perpustakaan, berkemungkinan sekali siswa, guru, mahasiswa, peneliti akan membacanya. Ibarat kenduri, ada hidangan yang akan dimakan. 14


Kegiatan sastrawan memang tidak akan terpisahkan dengan kehidupan sosial. Cerpen-cerpen yang terhidang dalam buku ini jelas sekali merupakan cerminan kehidupan sosial masyarakat Indonesia (Riau). Perlu kegigihan dan ketunakan ekstra (tenaga, pikiran, dan waktu) untuk mengupas muatan 100 cerpen tersebut. Peneliti sastra, mahasiswa, atau kritikus sastra sebaiknya meluangkan ketunakan ekstra itu untuk mengkaji muatan cerpen-cerpen ini. Tentu saja hal ini memberikan pengalaman dan hasil yang amat berharga pula seperti nilai keberadaan buku ini di tengah kita. Kita harus mengakui bahwa Riau tergolong lemah dalam hal dokumentasi karya sastra, mungkin juga termasuk para sastrawannya. Begitu banyak karya sastra yang terbit di media massa akan menjadi sia-sia jika tidak didokumentasi secara khusus dalam bentuk buku. Upaya yang dilakukan oleh Harian Riau Pos di setiap akhir tahun dengan menerbitkan karya sastra pilihan Riau Pos, patut juga menjadi contoh untuk ditiru oleh pihak lain. Sehubungan hal tersebut, paling tidak, kehadiran buku 100 Tahun Cerpen Riau bisa menjadi pengobat hati tentang kelemahan kita. Kita tentu sangat berharap bahwa bukan cuma cerpen yang didokumentasikan, tetapi juga puisi, esai, drama, atau genre lain. Dengan demikian, Riau memang betul-betul dikenal sebagai negeri sahibul hikayat, taman para penulis. Semoga kehadiran buku ini bisa menjadi pemicu untuk dokumentasi berikutnya. ***

15


Musa Ismail Guru SMAN 3 Bengkalis, alumnus Pascasarjana Prodi Manajemen Pendidikan, Universitas Riau. Dia juga penulis puisi, cerpen, novel, dan esai sastra.

ba

16


70 Tahun Damiri Mahmud Melayu: Orang Laut yang Egaliter oleh

Nevatuhella

A

khir Desember 2014 lalu, beberapa orang sastrawan Medan mengunjungi kediaman Damiri Mahmud di Hamparan Perak, Deli serdang, Sumatera Utara. Sudah hampir tiga bulan kritikus sastra ini mengurung diri. Handphone-nya pun selalu dimatikan. Inisiatif kunjungan ini berasal dari Mihar Harahap, dosen dan aktivis sastra Sumut yang dinamis dan kritis. Mihar penasaran, dan mengajak teman-teman sastrawan lain ikut serta dengannya. Tiba di rumah kediaman Damiri, Damiri sedang ke ladang rupanya. Karena jarak ladang dan rumahnya agak jauh, dan jalan ke sana becek, Mihar dan teman-teman lain menunggu saja di rumah “Menjelang waktu salat Zuhur, pasti ayah pulang!� ucap anaknya. Dan betul memang, sekitar jam setengah dua belas, Damiri muncul dengan sepeda dan alat berladangnya. Ia kelihatan memang sehat walafiat. Langsung ia menyambut kedatangan rekan-

17


rekannya dengan senyuman. Ia memang biasa dikunjungi berbagai kalangan. Pertanyaan mengapa sampai mematikan handphone, Damiri mengakui, akhir-akhir ini ia sangat terganggu dengan suara deringnya. “Kejenuhan menimpa saya. Jadinya mau bercakap-cakap pun tidak nyaman bagi saya. Segalanya tentang sastra, politik dan lain-lain terasa hambar. Saya hanya bisa membaca Alquran,” akunya. “Kalian kan pernah juga jenuh kan. Seperti Wirja ini, sudah sekian tahun tidak menulis. Sekarang menulis puisi lagi.” Saat itu memang penyair Wirja Taufan menyerahkan beberapa puisinya minta dikritisi. Damiri lahir 17 Januari 1945. Sudah sepuh. Tapi di luar kejenuhannya, ia sebenarnya masih memiliki ambisi dan keinginan bagaimana sastra dan sastrawan di negara ini tidak terpinggirkan. Di tahun 2014, beberapa puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Yayasan Lontar Indonesia. Buku Rumah Tersembunyi Chairil Anwar sedang diproses pencetakannya. Ini disponsori oleh Dr. Ikhwan AR. Kumpulan cerpennya sudah berada di tangan Raudal T. Banua untuk diterbitkan juga. Di bulan November lalu, Radhar Panca Dahana mengundangnya mengikuti serasehan Budaya Mencari Budaya Baru Indonesia. Tentunya ia tak bisa memenuhinya. “Membayangkan terbang dengan pesawat, saya takut!” alasannya. Persoalan Melayu Damiri Mahmud dan Melayu ibarat dua sisi koin yang tidak dapat dipisahkan. Karyanya baik puisi, cerpen, 18


novel dan esainya, seratus persen berkonstruksi resam adat Melayu. Bahkan dalam kesehariannya, ayah empat anak, dan atok tujuh cucu ini, sangat-sangat bersahaja. Tertib, selalu takut salah, dan menghindari hal-hal yang meragukan. Bergaul di luar pun menjadi tidak sehat baginya. Warung minum atau kedai kopi, ibarat penyebar kuman baginya. Sebagai anak Melayu, beliau sangat taat menjalani rukun hidup orang Melayu yang ditandai dengan berbelas kasih pada sesama. Hormat kepada yang lebih tua. Dalam catatan proses kreatifnya, Damiri mengakui kalau ia terlambat masuk ke dunia tulis-menulis, khususnya sastra. Tetapi, begitu puisi-puisi awalnya muncul di antologi Kuala, terbitan Dewan Kesenian Medan, 1976, Wilson Nadeak langsung membabatnya. Tak tanggung, telaah Wilson dimuat di Horison. Ironinya, sejak saat itu, Damiri dikukuhkan sebagai penyair. Selanjutnya, ia melenggang selama hampir empat puluh tahun berkarya. Hasilnya memang ratusan puisi, puluhan cerpen, dan ratusan esai ditulisnya. Berbagai penghargaan diterimanya. Damiri menulis berbekal cerita nenek, kehidupan dalam keluarga, dan lingkungan tempat tinggalnya, Hamparan Perak. Ia merekam apa yang dilihat dan dirasakannya. Cerpen-cerpen karya awalnya: Jaman Pakuasi, Lelang, Kupon Getah, Tok, cerita jalan hidup yang dilaluinya di akhir masa kekuasaan Belanda dan awal-awal kekuasaan Jepang. Puisi �Kami Kau Halau ke Lembahlembah ke Rumah Rimau� bisa dikatakan sebagai puncak pengakuannya mewakili puak Melayu yang terpinggirkan saat ini. Pemerintah memang kurang nyaman baginya. 19


Sebagaimana bahasa Melayu yang telah mempersatukan suku yang ada di kepulauan Nusantara ini, Damiri selalu memberi isyarat agar dikembalikan lagi ke posisi semulanya. Sesudah bahasa itu menjadi alat pemersatu (Sumpah Pemuda tahun 1928), penamaan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, saatnya kini dikembalikan bernama Melayu kembali. Damiri mengatakan para ahli bahasa tidak mengenali yang namanya bahasa Indonesia. Bahkan Majalah Pantau, yang pernah terbit beberapa nomor, sebagai media Jurnalisme Sastrawi, menyebut majalahnya berbahasa Melayu, agar mendunia. Sampai saat ini, di usia 70 tahun, Damiri masih sesekali menulis. Mengkritik puisi-pusi penyair muda yang terbit di media Medan. Para anak muda ini merasa lebih percaya diri kalau puisi-puisinya sudah dikritisi oleh Damiri. Sudah merasa naik kelas dan bisa tegak berjalan di Taman Budaya Medan, tempat berkumpul sastrawan Sumatera Utara. Damiri memang salah seorang kritikus sastra asal Sumatera Utara yang diakui sesepuh sastrawan Indonesia. “Pandai kau nulis ya.� HB Jassin memuji Damiri muda yang saat itu karya-karyanya mulai dimuat di Horison dan koran ibukota. Saat itu juga, Paus Sastra Indonesia ini menepuk-nepuk bahu Damiri dan merangkulnya. Kalangan universitas tetap selalu menghadirkan Damiri dalam kegiatan budaya. Terlebih dalam konteks budaya Melayu. Sebagai budayawan, laki-laki bertubuh kurus berwajah teduh ini hampir bisa dikatakan tak meyakinkan sebelum ia berbicara di podium dalam diskusi. Pembawaannya lemah lembut dan selalu menghindari basa basi yang tak berguna. Pernah pada 20


suatu kesempatan diskusi, seorang ibu guru menanyakan pada Damiri, bagaimana kalau isterinya meminta uang belanja padanya. Apa dengan kata-kata puitis juga? Damiri hanya bisa menjawab dengan senyuman. Bulan Oktober 2014 yang lalu, dalam rangka Bulan Bahasa, Damiri diundang sebagai keynoote speaker membicarakan ahli tata bahasa Sumut, Alm. Sabaruddin Ahmad. Romantika Masa Orba Tahun 1979, Damiri dipilih menjadi pengurus Dewan Kesenian Sumatera Utara. Tapi bertahan hanya setahun. Keputusannya mengundurkan diri karena tak bisa menyesuaikan diri dengan pengurus lainnya, yang berasal dari bermacam bidang seni. “Saya hanya menekuni sastra, tidak yang lainnya� aku Damiri. Kalangan atasan mengatakan padanya waktu itu “Betullah Kau Melayu!�. Ini cerita Damiri yang selalu dikenangnya. Ia sepertinya memang memilih berfikir dan bekerja keras untuk sastra dan keperluan hidup keluarganya. Pagi mengajar di sekolah negeri dan swasta. Sore bertani. Menulis disempat-sempatkan, sebab memang merupakan kebutuhan jiwanya. Oksigen bagi hidupnya sebagai penyair. Di masa Orba, ia melahirkan cerpen-cerpen protesnya yang cerdas. Ditulis dengan kehati-hatian. Patung, Gua, Rumah Pangsa, Cacat, Selasa, Gelombang, Bayangan, cerpen-cerpen yang legendaris. Realitas cerita terbungkus kardus keindahan bahasa, sekalem senyum Pak Harto yang berkuasa saat itu dimunculkan pada tokoh-tokohnya yang berdarah dingin. Manusia dengan

21


pernik-pernik jiwanya, lusuh dan amoral, tak puas, gila kekuasaan menjadi tema cerpennya. Membacanya di waktu ini, tak ubah membaca sejarah kelam anak bangsa sesudah kemerdekaan. Kita tak dan belum bisa lolos dari macam-macam kerakusan manusia yang katanya sebangsa. Dan sampai kini, kita tahu, jamur kekuasaan Orde baru masih bergentayangan di jagad Nusantara. Menghormati Keterbatasan Tidak menulis puisi atau cerpen lagi saat ini bagi Damiri hal lumrah. Saya menghormati keterbatasan saya, selalu dikatakannya sejak dulu. Pengaruh hal ini yang membuat ia bersikap revolusioner terhadap sesiapa yang coba menggugat fitrah ini. Visinya sebagai penyair memang bukan sebatas menisik kain yang koyak saja. Tapi coba menghentikan kokang pelatuk para penjahat, penghkianat kehidupan. Manusia bisa lebih suci dari malaikat. Sebaliknya bisa keji, muntahan para iblis yang bergelantungan di pohon-pohon kerakusan dan kekuasaan. Atas nama menyelamatkan bumi dan manusianya, ini semboyan mereka yang berkuasa. Kuasa kapitalisme punya daya rusak yang akut. Penyair terpinggirkan. Tak lagi bertahta sebagai empu. Pewarta yang murung sajalah jadilah penyair. Melayu Orang Laut Terhadap Melayu yang agung, sikap dan pandangan Damiri berbeda jauh dengan pandangan umum. Terutama apa yang terjadi di Sumatera Utara. Bahwa yang disebut orang Melayu, Damiri menolak sebatas para bangsawan. 22


Melayu yang dulu jaya adalah orang-orang yang tinggal di tepi-tepi laut Nusantara. Mereka yang membangun bandar-bandar dan berperang mengusir pendatang yang coba menetrasi Nusantara. Melayu lewat bahasanya sebagai lingua franca menguasai perdagangan. Belanda mengetahui hal ini, Melayu kuat di Nusantara, makanya habis-habisan ingin memusnahkannya. Kekuatan modal dan teknologi memundurkan kejayaan Melayu. Idris Pasaribu merekam dengan manis sisa-sisa orang laut di perairan Sibolga, dengan novel Pincalang. Sebuah buku juga dipersembahkan Shafwan Hadi Umri berjudul Manusia Bandar yang mengupas Melayu secara tuntas. Perlu memang Melayu dikembalikan marwahnya sebagai satu sistem masyarakat yang ideal. Terlebih bila dikaitkan dengan mayoritas mereka yang Melayu Islam. Seperti yang diyakini Damiri, Melayu sebagai sistem masyarakat baik dan memungkinkan kesejahteraan merata. Ia menolak dengan tegas mitos-mitos Melayu yang dijadikan Belanda selama ini sebagai alat penghancurnya. Ikon Melayu yang egaliter sudah dipraktekkan oleh jiran kita Malaysia. Melayu di sana jaya, dan heran melihat Melayu Indonesia. Persoalannya apakah karena kita dulu dijajah Belanda, mereka dijajah Inggris. Kita bisa tahu asal mau mencarinya. Tujuh puluh tahun Damiri Mahmud, terlalu sedikit yang bisa ditulis dalam catatan kecil ini. Selamat ulang tahun!. ***

23


Nevatuhella Esais, berdomisili di Tanjungbalai, Sumut. Nevatuhella, ialah nama pena Nevatuhela, lahir di Medan, 31 Januari 1961. Menamatkan pendidikan di Fakultas Teknik USU, Jurusan Teknik Kimia tahun 1988. Menulis sejak di bangku SMA untuk harian Waspada dan Aalisa, Medan. Tahun 1986, selama bermukim di Bali menulis beberapa cerpen untuk harian Nusa Tenggara (Nusra) Bali. Saat ini dipercaya sebagai Ketua Himpunan Sastrawan “Kembang Karang� Tanjungbalai. Sekarang menulis cerpen, puisi, opini, dan esai sastra.

ba

24


�Putri Pinang Masak� Menuju Layar Kaca? oleh

Griven H Putera

Mukaddimah Kisah

S

etiap karya sastra mengandung pelajaran dan pengajaran. Sastra tak membedakan stratifikasi pembaca. Cerita rakyat pun bagian karya sastra karena mengandung banyak hikmah dan faedah. Sayang, tidak semua orang mampu berkisah dengan baik sehingga keteladanan yang diungkapkan karya sastra lepas luncai dalam peradaban. Di sinilah letak jasa pengarang yang membatukan kisah-kisahnya melalui buku dan kitabkitab. Untuk itu, setiap peradaban sejatinya berterima kasih kepada pengarang karena telah berjasa mendidik anak bangsa melalui hikmah dan faedah. Kilasan Singkat Kisah Putri Pinang Masak Cerita ini berkisah tentang dinamika hidup yang dilalui Putra Rengit Perkasa (Putra Mahkota Kerajaan Merbau) dan Putri Nila Sari (Putri sulung Raja Numbing, 25


Bintan). Setelah menikah secara agung di Bintan, mereka berlayar menuju Merbau, kampung Putra Rengit Perkasa. Sebelum berangkat, Engku Putri Siluan Intan, ibunda Putri Nila Sari berpesan agar jangan singgah ke Pulau Medang karena hantu kiwi bersarang di pulau tersebut. Sayang, lautan selalu tak bisa diduga. Ia bisa tenang laksana awan petang, bisa pula bergejolak seperti mau kiamat. Ketika badai itu terjadi, menyelamatkan diri merupakan langkah bijak, dan tempat selamat dari badai tersebut tak diperhitungkan lagi. Yang penting aman dan umur pun panjang. Tempat tersadai kapal Elang Senja setelah dihempas badai itu ternyata Pulau Medang yang ditakutkan banyak orang tersebut. Saat Putra Rengit Perkasa tidak di kapal, Putri Nila Sari pun dibuang hantu kiwi betina ke tengah selat. Hantu kiwi pun berpura-pura menjadi Nila Sari. Alangkah terkejutnya Putra Rengit Perkasa karena melihat istrinya sudah berubah seperti hantu kiwi. Sementara Nila Sari ternyata ditelan ikan jerung (ikan besar ganas). Rengit perkasa dan rombongan pun sampai ke Merbau. Orang-orang heran melihat tingkah Nila Sari palsu tersebut. Selama di Merbau, tabiat hantu kiwi yang menyamar menjadi putri tersebut semakin menjadi-jadi. Memuakkan hamba rakyat apalagi kalangan istana. Tapi orang-orang istana tak berdaya apalagi Rengit Perkasa karena teringat pada mertuanya di Bintan. Di lain pihak, ternyata ikan jerung amat menderita setelah menelan Putri Nila Sari karena perempuan bertuah itu bergantung di tali perutnya. Akibatnya, ikan tersebut berenang ke sana kemari tanpa arah untuk mencari aman.

26


Akhirnya ikan ganas tersebut mati terdampar di Tanjung Motong, kampung kecil di wilayah Kerjaan Merbau juga. Nila Sari diselamatkan Nek Ketiung, seorang perempuan tua baik hati yang sehari-harinya berjualan sirih, pinang dan lain-lain ke pasar dan sampai ke istana Merbau. Putri Nila Sari yang bertukar nama menjadi Sri Seroja ternyata perempuan yang pandai merangkai bunga. Suatu hari, hasil rangkaiannya tersebut ia serahkan kepada Nek Ketiung untuk dijual di istana. Sampai hari petang, tak ada pelayan istana yang mau membelinya. Bujang Mengkopot jatuh iba melihat Nek Ketiung yang baik hati, lalu karangan bunga tersebut ia beli untuk dihadiahkan kepada Dang Kemilau, kekasihnya. Namun sayang, Bujang Mengkopot tak bisa bersua Dang Kemilau, lalu karangan bunga istimewa tersebut ia titipkan pada inang tua. Ketika inang tua hendak mencari Dang Kemilau, perempuan pelayan istana tersebut kepergok Putra Rengit Perkasa, dan menanyakan dari mana datangnya karangan bunga tersebut? Tentu saja Inang Tua memberitahu kalau karangan bunga tersebut dari Bujang Mengkopot. Bujang Mengkopot berterus terang kepada Putra Rengit Perkasa kalau itu merupakan barang dagangan Nek Ketiung yang ia beli karena iba hati. Mendengar itu, Rengit Perkasa pun menghadiahkan 100 keping uang besar kepada Bujang Mengkopot dan memberi tugas untuk memata-matai Nek Ketiung. Pada hari berikutnya Putra Rengit Perkasa pun sampai ke rumah Nek Ketiuang dan bertemu lagi dengan Nila Sari. Setelah Putri Nila Sari kembali ke istana, maka hantu kiwi pun dibunuh Putra Rengit Perkasa dan dibuat pekasam. Lalu pekasam tersebut dikirim Rengit Perkasa 27


ke Pulau Medang, tempat bersarangnya hantu kiwi tersebut. Setahun kemudian, Putra Rengit Perkasa memberi gelar Putri Pinang Masak kepada Nila Sari karena istrinya tersebut ditelan ikan jerung di Selat Pinang Emas. Hikmah Kisah Semua cerita pusaka merupakan media pengantar hikmah kepada pembaca. Kisah Putri Pinang Masak yang ditulis Afrizal Cik ini mengandung banyak faedah pengajaran. Di antaranya; pertama, hidup itu indah jika melalui banyak ujian, dan Putra Rengit Perkasa serta istrinya sukses menjalani hal tersebut. Kedua, kejahatan (disimbolkan dengan hantu kiwi), walau bagaimanapun kokoh dan hebatnya kejahatan, suatu ketika pasti hancur. Ketiga, tak ada manusia yang bisa lari dari takdirnya, dan kekuatan Tuhan telah mengatur segalanya. Keempat, perbuatan baik itu akan memetik buah yang manis (kebahagiaan), hal ini terlihat di antaranya pada sosok Nek Ketiung dan Bujang Mengkopot yang baik hati. Cara Penyajian Kisah Kisah ini terasa menarik karena pengarang menggunakan bahasa Melayu (Indonesia) yang sederhana, elok, kocak dan sesekali berbunga. Bahasa yang sederhana dan indah ini menjadi metode mangkus bagi pendidikan anak dan semua kalangan. Sebagai pengarang Melayu, Afrizal Cik menjadi sosok yang kuat dalam menyajikan cerita-cerita humor ala Melayu yang jenaka. Ini terlihat misalnya pada salah28


satu penggalan berikut: “Oi tidak. Kalau aku pakai jampi, tak kanlah yang aku jampi betina hidung kemik. Tentu yang aku jampi tu ratu India atau pun wanita mirip Putri Hijau....� Hidung kemik? He he he. Afrizal Cik tidak menggunakan kata pesek karena ia merupakan salahseorang penguasa bahasa yang kaya kata-kata. Di samping mengandung humor yang jenaka, Afrizal Cik juga mampu membuat cerita menjadi hidup dengan dialog-dialog yang menyentuh, seperti yang tersaji pada bab bertemunya Putra Rengit Perkasa dengan Putri Nila Sari di rumah Nenek Ketiung setelah sekian lama berpisah. Begitu juga ketika menggambarkan suasana di laut karena latar cerita ini memang merupakan tanah kelahiran Afrizal Cik sendiri. Selamat buat Afrizal Cik. Ke depan, semoga semakin banyak karyanya bisa dibaca khalayak. Ya, kisah Melayu yang mendedahkan banyak teladan bagi kehidupan, kisah yang membentuk peradaban. Bukan cerita-cerita picisan yang kini berserak di laman media elektronik yang merisaukan. Suatu hari nanti diharapkan juga, ada upaya dari media televisi dan pemerintah untuk mengangkat dongeng Melayu seperti Putri Pinang Masak dan sejumlah kisah-kisah legenda di Riau ke layar kaca. Tapi entah kapan, mungkin menunggu saya jadi raja atau Afrizal Cik jadi Bupati di Kepulauan Meranti. He.... he... ***

29


Griven H Putra Sastrawan Riau yang aktif menulis karya berupa cerpen, novel, dan esai. Ia juga menulis beberapa buku cerita rakyat dan karyanya dimuat di media nasional dan lokal.

ba

30


”Menimang” Romantisme Melayu dalam Tanda Sejarah Pembacaan atas Buku Puisi Jefri al Malay oleh Riki

Utomi

S

etiap kita terlahir di kampung halaman masingmasing dan ada yang kembali lagi untuk menapak mengabdikan diri, berada kembali di kampung halaman akan menimbulkan kebanggaan tersendiri sebagai bagian dari puaknya. Dalam konteks kita di Riau, etnis Melayu adalah paling utama menempati di berbagai tempat dan membaur dalam berbagai komunitas etnis lain, pun sebelum itu, di masa lalu dalam bingkai sejarah telah terjadi akulturasi budaya yang apik. Melayu merupakan bangsa besar bertamadun yang “terbuka” dalam menyambut ulur-tangan lain untuk saling membangun dan bersetia pada prinsip kebersamaan. Dan…, mengapa mesti “menimang romantisme Melayu dalam tanda sejarah?” Hal itulah setidaknya yang saya tangkap dari puisi-puisi Jefri al Malay dalam buku kumpulan puisi keduanya ini yang bertajuk TimangTimang nak Ditimang Sayang. Buku puisi yang spesial saya dapatkan langsung dari penyairnya ini berjumlah 24 puisi dengan tema besar kemalayuan. Dunia Melayu bagi 31


Jefri ibarat sebagai “ladang� kreatif untuk menorehkan segala kecamuk dalam benaknya melalui kata-kata puitis. Di matanya, Melayu telah menjadi darah daging menyatu ke segala lubuk sukma. Untuk itu puisi-puisi Jefri kaya dengan aura ruh Melayu. Dalam tinjauan ekstrinsik, antara karya dan penulis (penyair) yaitu sosiologisnya menjadi bagian penting. Sebagai anak jati Melayu, Jefri dilahirkan di Sungai Pakning, Bengkalis, tumbuh dan berkembang dalam alam Melayu sampai menamatkan studi akademiknya pada wadah yang terarah dalam mengembangkan dunia Melayu dalam berkeseniannya yaitu jurusan teater di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR); sekarang berubah STSR. Ditambah Jefri sempat melanglang buana membawa ruh Melayu dengan corak ragam lagu yang diusung bersama budak-budak Melayu lain lewat Sagu Band-nya. Maka tak mengherankan puisi-puisinya memberi corak kekuatan larik dan lirik seperti nyanyian lagu mendayu, apalagi kalau telah dideklamasikan di atas panggung. Romantisme dan sejarah dapat menjadi kaitan bagi tema puisi-puisi penyair dewasa ini. Bagi sastrawan yang lahir dan tumbuh di Riau tentu sedikit banyak menjadikannya celah kreatif dalam karangan. Dari sekian banyak sastrawan yang bergerak dalam bersyair, Jefri juga bergerak dalam ruang lingkup sama, tapi ada hal yang agak berbeda yaitu puisi-puisi Jefri meski mengarah kepada “penyesalan, ketidakadilan, pesimisme, atau harapan yang masih tak sampai� namun tetap dalam sebati batin kembali ke tanah Melayunya yang dapat diartikan Jefri tidak larut dalam penyesalannya yang rapuh itu dari ketimpangan-ketimpangan Pusat kepada 32


puaknya Melayu. Setidaknya, penyair lainpun pasti pernah berkutat pada hal yang sama, tapi tidak seketat Jefri untuk tetap berada di ruang “sejuk”nya daripada harus bergelisah atau kasak-kusuk dengan gelora api membara dalam mengungkapkan semua itu. Jefri bergerak dalam ruang batin sendiri yang larut dengan kelemahlembutan— meski tetap sama yaitu menyuarakan kegelisahan dengan tidak lupa melihat kembali ke belakang kepada “akar”nya yaitu Melayu. Semua itu berkait-kelindan dalam romantisme diksi, juga bersebati dalam tanda-tanda historis kesejarahan. Di soal lain, (meminjam kalimat Esha Tegar Putra, 2010) puisi cenderung berusaha menggapai bahasa dengan gairah artistik untuk menghadirkan teks beragam makna. Puisi juga menjadi ladang penyemaian hasil observasi dari pembacaan terhadap teks budaya dari dalam (asal) dan luar budaya penciptanya. Maka puisi sebagai ungkapan, luapan hati tak dapat dipisahkan dari jati diri penulisnya. Konteks budaya dalam hal ini menjadi barometer penting sebagai metamorfosis penciptaan teks puisi yang utuh dan sarat makna. Maka dalam Jefri, yang meski oleh juga kebanyakan sastrawan Riau “mengeluh” oleh ketimpangan Pusat (pemerintah) yang tidak adil dalam memberi perhatiannya pada Riau kerap menguraikan hal-hal itu ke dalam karya sastra dengan nada-nada gemuruh yang dalam konteks emosional Melayu memiliki runtutan: menghindar, merajuk, mengaruk, dan mengamuk, setidaknya banyak disuarakan oleh sastrawan Riau hingga hari ini.

33


Konteks “suara-suara gemuruh” itu cukup memberi kesan bahwa sastrawan Riau mampu “menyerang”, merubuhkan legitimasi pemikiran orang-orang Pusat. Nah dalam Jefri sendiri hal itu tetap ada, tapi tidak segemuruh para sastrawan lainnya. Jefri tetap bermain di alurnya dengan mengangkat tema besar kemelayuan tapi tidak dengan nuansa “kepal tangan” dalam konteks aruk dan amuk. Tapi alurnya berada dalam bingkai Melayu yang terkesan romantisme yang melihat ke belakang dari bau-bau wangi sejarah puaknya. Di mana aura sejarah itu muncul dalam bayang-bayang narasi juga dialog puisipuisinya, atau secara konotatif menyiratkan pemikiran pembaca. Dapat kita telisik dari puisi berjudul “Tujuh Angin Singgah di Hati yang Berkampung”. Jefri menyuarakan Melayu yang gamang, bimbang, dan bercabang-canbang pikirnya. Sebab “Kami” sebagai aku lirik berfikir “ke mana hendak dibawa marwah itu?” Tapi dalam kegamangan, “Kami” (puak Melayu) kembali melihat ke belakang bahwa tanda sejarah tak pernah lekang sebagai pencerminan jati diri yang bersih dan membawa pengaruh dalam melawan, juga sebagai batu pijakan yang dapat memberi kekuatan. Puisi ini berkisah syahdu dan tidak menggebu-gebu. Mengibas tak kenal musim; kami tiba-tiba terjaga di ranting-ranting/ adakalanya terbangun di celah tingkap rumah atau suara jauh itu dari pelarian lelah/ mungkin memang lebih sering pasrah ketimbang lari tak tahu arah, menyalah; sejarah yang sudah-sudah//. Setidaknya pesimisme yang gerah lamat-lamat dipendamkan saja hingga hilang di dalam hati dengan kembali mengingat sejarah yang baginya memberi 34


kekuatan lain bagi bangkitnya semangat hidup. Maka, “melihat ke belakang” dalam perihal puisi ini juga menyelami romantisme Melayu bahwa perjuangan untuk menegakkan marwah itu dengan tenang namun sigap. Hutan kampung mungkin saja punya kita/ tapi puaka jembalang telah bersarang, tak mungkin dapat dihadang/ meski racun busuk berpucuk di laut, takkan lengah mulut-mulut menyumpah mantra penduduk//. Berikut dalam puisi berjudul “Timang-Timang nak Ditimang Sayang” yang menjadi tajuk besar buku puisi ini memiliki erat-kait dalam interpretasi kita pada dunia Melayu. Secara denotatif, kata “timang” merujuk pada konteks pemahaman rasa kasih-sayang, atau manja karena gemas. Tapi hal ini tidak berlanjut ke arah konteks makna itu yang terjadi malah Jefri justru membalikkannya menjadi “sayang pula kalau nak ditimang”. Padahal hasrat hati telah meninggi untuk segera menimang. Maka perihal romantisme Melayu dalam bingkai sejarah masa lalu mungkin telah mempengaruhi. Mari kita telisik dalam larik berikut: sudahkah ada yang sedang berkucah/ kebun kita di belakang rumah semakin lecah/ bakul tersangkut di dinding/ tak guna lagi memetik buah/ labu hai si buah labu/ telah punah-ranah diangkut entah kemana//. Dari kecemasan-kecemasan itu, aku lirik kembali kepada romansanya pada Melayu sebagai acuan untuk tetap tegar pada permasalahan dan kesenduan-kesenduan nada perih dan pesimis itu tapi berusaha membuangnya tanpa keluh-kesah pula. Kemarilah …! Perlu juga sesekali kau dengar bisik/ jangan keluar tingkap/ sudah berapa banyak teriak budak-budak//. Memandang ke belakang (baca: sejarah) pada nuansa 35


Melayu dirasa sangat tersirat. Tak ada kegamblangan pada konteks Jefri seperti: cerita apakah? Penamaan tempat? Atau penamaan tokoh sejarah? Jefri hanya memberi kesan pada kalimat-kalimat biasa yang tetap memberikan interpretasi bagi pembaca. Namun melihat kembali ke belakang bukan berarti kemunduran dalam menyuarakan “suara ketidakadilan” tapi tetap menuju ke arah sana dengan bahasa tidak memakai “kepal tangan” karena Jefri lebih senang berada di level “merajuk” dari prinsip emosional kemelayuan. Buku puisi “Timang-Timang nak Ditimang Sayang” ini cukup memberi kontribusi besar bagi dunia perpuisian Riau, karena adanya nilai lebih dalam pergulatan remukbatin dalam tema besar kemelayuannya. Tapi tentu akan terus diuji oleh waktu dari produktivitas penyairnya yang dikenal sangat handal sebagai deklamator yang telah pula menjadi Johan Penyair Panggung se-Asia Tenggara sekaligus peraih Anugerah Sagang buku fiksi terbaik ini untuk lebih mengembangkan sayap lebar-lebar untuk bukan hanya bersuara di Riau tetapi juga di luar Riau dalam konteks eksisnya pencapaian-pencapaian estetika puisi ke tengah-tengah media massa yang penuh persaingan. Kita nantikan saja.*** Selatpanjang, 02 Maret 2015 Riki Utomi Pegiat dan penikmat sastra. Alumnus FKIP UIR Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Buku fiksinya Mata Empat (2013). Tengah menyiapkan kumpulan cerpen kedua dan sebuah buku teks pembelajaran sastra. Tinggal di Selatpanjang sambil menggerakkan wadah kreativitas menulis Cahayapena. 36


Meneropong Gerak Senirupa Tenas Effendy (Alm.) oleh

Dantje S Moeis

B

erita tentang “kepergian” almarhum Tenas Effendy sudah sampai ke seluruh negeri, beriring segala kerjakerasnya semasa hidup, yang nota-bene bertujuan untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat Melayu secara khusus dan nusantara pada umumnya. “Hampir” tak satupun yang tersisa dari catatan tersebar di media massa, atau kata lisan tentang perjuangan beliau dalam mengukuhkan tegaknya pancang Melayu, baik di negeri ini maupun di negeri jiran yang berkebudayaan sama. Sedikit mengulang tentang beliau, Tengku Nasaruddin Said Effendy atau yang lebih dikenal dengan Tenas Effendy, dilahirkan pada 9 November 1936 di Dusun Tanjung Malim, Pelalawan. Awal ketertarikan Tenas pada dunia tulis-menulis ditularkan oleh ayah beliau yang menjadi sekretaris pribadi Sultan Said Hasyim, Sultan Pelalawan ke-8 waktu itu. Ayahnya selalu menulis mengenai semua silsilah 37


Kerajaan Pelalawan, adat-istiadat, dan peristiwa penting lainnya dalam sebuah buku yang dinamakan Buku Gajah. Tenas sejak kecil paham betul kegiatan berladang lengkap dengan ritus budaya yang mengiringi yang dilakukan masyarakat desanya sehari-hari. Selain itu, beragam peristiwa dan aktivitas kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitarnya dapat disaksikan langsung oleh Tenas, seperti upacara penabalan sultan, upacara menuba ikan yaitu sebuah ritual yang juga sarat dengan adat, upacara mengambil madu yang sarat dengan magis dan kental dengan ritual kebudayaan asli, dan berbagai aktivitas budaya lainnya. Kebiasaan dalam mendengar, melihat dan mengamati berbagai khasanah budaya ini secara berangsur-angsur membuat Tenas mampu menyerap berbagai unsur budaya tersebut dan terpatri sangat mendalam di kehidupannya. Awalnya, kendati belum memahami benar, namun kebiasaan masyarakat dengan beragam aktivitas kebudayaannya itu telah membentuk pandangan Tenas mengenai kebudayaan Melayu yang Islami. Setelah menamatkan pendidikan Sekolah Guru A, selama 3 tahun di Padang, Tenas menyelesaikan pendidikannya di tahun 1957, Tenas pulang kembali ke Riau (Pekanbaru), aktivitas menulis terus dilakukan, begitu juga kegiatan berkesenian. Pancang awal yang dilakukan Tenas sebagai pernyataan bahwa ia juga adalah seorang perupa, bersama Muslim Saleh, Tenas mengadakan pameran lukisan di Rumbai tahun 1959. Aktivitas beliau yang satu ini (senirupa) agaknya memang kurang terperhatikan

38


oleh masyarakat, sehingga hampir luput dari pembacaan gerak berkesenian Tenas yang sebenarnya sangatlah multi talenta. Peristiwa Rumbai 1959 ini menjadi sangat penting, karena merupakan kegiatan pameran lukisan pertama yang dilaksanakan di Riau waktu itu. Aktivitas senirupanya terus ia lanjutkan dengan mengisi kolom karikatur, vignet dan illustrasi di berbagai media terbitan Riau masa itu, antara lain harian “Sinar Masa”, media di mana ia juga menjabat sebagai redaktur. Kontributor karya senirupa di harian “Bahtera” sebuah media harian terbitan Rengat dan beberapa media cetak lainnya. Karya lukis (fine arts) yang dihasilkan Tenas kebanyakan beraliran realis dan naturalis. Tenas dengan karyanya pada bidang kanvas banyak merekam bentuk kehidupan kampung Melayu dengan segala aspek budaya yang terkandung di dalamnya. Di sinilah letak kekuatan Tenas dalam dunia senirupa seperti juga yang terekam pada karya-karya tulisnya. Karena pemahamannya tentang dunia kemelayuan yang sangat kuat hingga detail budaya Melayu mampu dan sempurna ia tuangkan pada karya lukisannya, walau ada beberapa karya Tenas yang melompat dari bentuk aliran naturalis, namun nuansa kemelayuan masih tampak terlihat pada karyanya yang beraliran kubisme “Ekspresi” 1971, oil on canvas 50 x 120 Cm. Sebuah karya beliau yang saya (sebagai kurator daerah) pilih untuk dipamerkan pada event pameran senirupa bertajuk “Penampang Senirupa Sumatera, Kekuatan Yang Tersembunyi”, Galeri Nasional Indonesia Jakarta, 19-30 Januari 2000, bersama dengan karya-karya perupa Riau lainnya seperti Armawi KH, Mas Tok, Dantje S Moeis dan beberapa nama lainnya. 39


Berpuluh tahun, Tenas mengumpulkan khazanah kepiawaian lokal seniman perupa Melayu masa lalu dalam bentuk ragam hias. Baik yang melekat sebagai penghias busana maupun ornamen bangunan masa lalu. Sadar akan pentingnya upaya pelestarian, Tenas pun menerbitkan hasil kerja pendokumentasiannya ke dalam bentuk buku sekaligus teks muatan filosofi yang terkandung pada tiap bentuk ragam hias. Terakhir di ujung tahun 2013, Tenas dengan beberapa seniman perupa seperti OK Nizami Jamil, Amron Salmon, Armawi KH, Dantje S Moeis dan lain-lain yang dianggap panitia pelaksana pameran (Museum Negeri Sang Nila Utama Pekanbaru) sebagai perupa perintis karya senirupa modern di Riau melakukan pameran bersama. Sumbangan pemikiran Tenas Effendy di dunia kemelayuan baik pada karya tulis maupun senirupa banyak memberikan sumbangan positif bagi orangorang Melayu dan ini jelas terlihat pada karya senirupa arsitektur, di mana Tenas mempunyai andil besar pada perwajahan bangunan yang menjadi berpenampakan/ bercirikan Melayu, seperti Gedung Anjung Seni Idrus Tintin, kawasan Bandar Serai dan beberapa bangunan pemerintah daerah di Riau. Inti dari pemikiran Tenas Effendy mengenai Melayu yang kental tertuang pada karya-karyanya yaitu di antaranya: Bahwa untuk menghadapi masa depan, yang penuh cabaran dan tantangan, diperlukan budaya yang tangguh untuk melandasi sikap dan perilaku masyarakat pendukungnya agar menjadi manusia tangguh. Oleh

40


karena itu, budaya Melayu yang memiliki nilai-nilai luhur yang Islami yang sudah teruji kehandalannya, harus dikekalkan dengan menjadikannya sebagai “jati-diri” bagi masyarakatnya. Nilai-nilai budaya ini diyakini mampu mengangkat marwah, harkat dan martabat kemelayuan dalam arti luas. Di dalam resam Melayu, nilai-nilai yang dimaksud dipatrikan ke dalam ungkapan-ungkapan adat, yang disebut sebagai “Sifat yang Dua-puluh Lima”, atau “pakaian yang Dua-puluh Lima”. Jika sifat atau pakaian itu dijadikan sebagai “jati-diri”, tentu akan menjadi “orang” yang “sempurna” lahiriah dan batiniah. Bahwa untuk menjaga nilai kegotongroyongan, nilai tenggang rasa, dan nilai keberasamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka yang perlu dilakukan adalah menjaga nilai-nilai asas persebatian Melayu (perekat kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara). Hal ini selaras dengan ungkapan adat Melayu yang mengatakan: Hidup sebanjar ajar mengajar, hidup sedusun tuntun menuntun, hidup sekampung tolongmenolong, hidup senegeri beri memberi, hidup sebangsa rasa merasa. “Selamat Jalan Pak Tenas, semoga segala kerja kerasmu untuk negeri ini, menjadi amal ibadah dan dapat 41


dijadikan pahala oleh yang Allah yang maha kuasa”.*** SPN Dantje S Moeis Penerima beberapa Anugerah Seni-budaya, perupa, penulis kreatif, redaktur majalah budaya “Sagang”, Pengurus Lembaga Adat Melayu Riau, dosen Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), Pekanbaru.

ba

42


Lagu untuk Elize: Merindukan Hasan Junus oleh Zuarman Ahmad

J

ika judul tulisan ini dibuat dengan kata “mengenang”, mungkin belum tentu mencakup dengan makna “merindu”, tetapi ketika kata “merindu” diucapkan maka seluruh kenangan akan berada dalam pikiran dan jiwa. Apa iya? Entahlah. Tetapi judul tulisan ini berhubungan erat dengan tiga tahun berlalu meninggal-dunia (haul: 30 Maret 2013) Hasan Junus (oleh Al azhar memberinya gelar “Pendeta Sastra), seorang penulis, sastrawan, penulis cerita-pendek, penulis novel, dan terutama mengenalkan para sastrawan dan sastra dunia kepada sastrawan maupun seniman lainnya Indonesia, terutama Riau, juga seorang yang senantiasa memberikan inspirasi bagi penulis pemula untuk “maju” dan terus menulis, sebagaimana yang sering beliau tulis dan katakan: “Usia itu singkat, dan karya-lah yang abadi.” Merindukan Hasan Junus, juga mengenang kembali “Rampai” (tulisan singkatnya tentang sastra dan

43


sastrawan dunia di Riau Pos), terjemahan karya-karya sastra dari sekotah sastrawan dunia, terutama sastrawan dan sastra Perancis berbahasa Perancis yang menjadi bahasa keduanya setelah bahasa Melayu (Indonesia); dan tentu saja merindukan karya-karya sastranya seperti cerita-pendek, novel, naskah drama, dan (“mohon maaf”) sajak-sajak “ghost writer-nya, yang tentu tidak akan saya sebutkan di sini, walaupun semasa hidupnya beliau akan berdalih, “bagaimana saya dapat menjadi “ghost writer” menulis sajak untuk orang lain, sedangkan saya tak pernah sekalipun menulis sajak?” Begitu mungkin argumentasinya. Berdasarkan naskahnya pertunjukan sandiwara itu terang gagal. Pada bagian penutup tertulis keterangan yang menyatakan pemegang peranan Lelaki I (dimainkan oleh Willy, sutradara dan penulis naskah, yang karena pemeran sebenarnya tiba-tiba ngadat, sebagai sutradara sejati ia lalu menggantikannya) harus mengeluarkan keluhan lantang ‘Oh! Oh! Oh!’ Sedangkan Aamesa sebagai Lelaki II yang memerankan orang kesurupan tentu saja harus menjerit-jerit. Dan Junaidi Alwi yang jadi Lelaki III, diarahkan agar diam saja sambil terduduk dan menunduk. Bacalah sejenak kalimat alinea pembuka dalam cerita-pendek Hasan Junus yang berjudul ”Lagu Untuk Elize”. Beberapa orang tokoh dalam cerita-pendek ini adalah seniman (nyata ada orangnya), bukan tokoh fiktif, meskipun cerita-pendek beliau ini adalah fiktif. Dalam cerita-pendek ”Lagu Untuk Elize” ini terdapat beberapa orang tokoh seniman dan orang yang berhubungan dengan kantor Dewan Kesenian Riau, pada masa beberapa 44


bulan pindah dari kompleks Dang Merdu (almarhum) ke komplek Bandar Serai (yang sebentar lagi mungkin almarhum). Sebut saja tokoh dalam cerita itu seperti Willy, Aamesa, Junaidi Alwi, Zuarman, Dandun, dan Widodo. Mungkin, tidak banyak cerita yang memakai tokoh yang nama orangnya ada dan nyata dalam sebuah cerita, itu pun kalau ada tokoh dalam cerita yang ditulisnya memakai tokoh yang nyata-nyata ada. Hasan Junus membuat nama tokoh yang nyata ada orangnya, meskipun ceritanya fiksi atau rekaan. Dan saya melanjutkan gaya bercerita Hasan Junus ini dalam beberapa cerita pendek. Itu satu hal, tetapi satu hal yang lainnya. Kenapa memangnya? Pada masalah yang lain (mungkin suatu telaah), lihatlah satu hal dalam cerita-pendek �Lagu untuk Elize� itu pada alinea ke-17, 18, dan 19! Hujan tiada henti merambahi kota sehari suntuk. Lampu-lampu di gedung Balai Dang Merdu sudah menyala. Tiba-tiba datang seorang lelaki, memakai kemeja warna cerah dan celana jeans, bersepatu sandal, badannya jangkung kurus, pada kumis dan janggutnya terselip sedikit uban, memberi isyarat dengan kedua jarijari tangan seolah mengatakan ia hendak memakai piano yang kebetulan sudah digeser dekat pintu. Sepatah kata yang keluar dari bibirnya hampir tak terdengar, “Boleh?� Aamesa yang sudah letih bekerja seharian menjawab hanya dengan anggukan kepala. Sudah lama, hampir satu tahun agaknya, ia tak lagi mendengar piano itu dimainkan sejak musikus Soelaiman Safi’i tak datang-datang ke DKR. Tiba-tiba ia ingat sesuatu: beberapa tuts piano itu fals bunyinya. Tapi dilihatnya lelaki itu sudah duduk di 45


kursi, siap untuk memulai permainannya. Ya, sudahlah! Lalu mengalunlah ”Fuer Elize” karya Ludwig van Beethoven di senja yang lembab itu. Sebelum lagu itu selesai, dari renyai hujan muncul seorang anak perempuan, kira-kira berusia tujuh atau delapan tahun mendekat ke pintu Teater Arena, lalu berdiri di ambang pintu. Sekilas Aamesa melihat penampilannya: rambutnya berjalin dua dan memakai gaun merah jambu berbunga putih kecil-kecil. Dia memakai sepatu tarpal yang pada bagian kelingking kaki kiri sudah koyak sedikit. Siapakah lelaki jangkung kurus dengan kumis sedikit uban, dan seorang anak perempuan dengan rambut berjalin dua itu? Apakah tidak mungkin lelaki jangkung kurus dengan kumis sedikit uban adalah pengarang cerita-pendek itu sendiri dan seorang “anak perempuan” satu-satunya yang dimilikinya? Pantas juga-lah Will Derks, seorang sahabat Al azhar, juga sahabat Hasan Junus dan sahabat saya, yang orang Belanda itu, mengatakan beberapa cerita-pendek Hasan Junus, seperti Pengantin, Boneka, Daun Senja, sebagai cerita-pendek postmo yang pernah ia baca. Petang esoknya hari sangat cerah. Sebelum senja tiba tempat-duduk di ruang Teater Arena sudah hampir penuh. Ini karena Dandun dan Zuarman dari Komite Musik menanggap baik cerita Aamesa dan Junaidi Alwi. Kedua tamu yang ditunggu datang dengan pakaian yang itu itu juga, tapi tetap bersih seperti yang terlihat pada hari pertama. Begitu lagu berakhir, Willy yang pertama kali berdiri dan berteriak, “Bis!” lalu diikuti oleh temantemannya, “Bis! Bis! Bis!” Tujuh kali lagu itu berulang

46


dimainkan. Dan ketika seorang anak muda berdiri dan meneriakkan ‘Bis!’ lagi, si lelaki pemain piano berdiri dan memimpin tangan anak perempuan itu, menunduk memberi hormat, dan mereka pun keluar meninggalkan Teater Arena. “Besok Anda tak bisa lagi main piano di sini,” kata Aamesa kepada lelaki itu. Lelaki pemain piano dan anak perempuan itu memandangnya dengan pandangan duka. “Kami pindah ke MTQ.” Tak ada yang tahu siapa lelaki dan anak perempuan itu. Mereka datang dan pergi. Entah dari mana, entah ke mana. Di Bandar Serai, di tempat gelanggang pembentangan kesenian yang baru, keduanya tak pernah kelihatan. Di mana mereka? Siapa mereka? Tak ada orang yang memberi nama kepada lelaki itu. Tapi secara berseloroh Zuarman berkata anak perempuan itu bernama Elize. Merindukan Hasan Junus, bacalah cerita-pendeknya ”Lagu untuk Elize”. Atau kalau tak mau, baca naskah drama atau novel-nya dengan judul yang sama Burung Tiung Seri Gading! Maka akan tahulah sebuah estetika dunia berbancuh dengan estetika Melayu dalam satu estetika yang tersendiri. “Seperti batang dan bentangan sungai terus mengalir sampai jauh, tiada tahu berhenti, tak mencapai ujung sebelum mencapai muara dan bersatu dengan lautan sastra. Kenali dan berenanglah di sungai-sungai Rokan, Indragiri, Kampar, Siak; arungilah Nil sungai paling mengandung sejarah, arungi Gangga yang religius, hiliri Mississippi yang paling panjang, mudiki Amazon yang

47


buas ganas, rasakan dingin Yang Tse, jangan sampai ada sungai besar atau kecil yang tak sempat kau jelajahi.� Demikian tulis Hasan Junus dalam sebuah esai-nya. Maka, kami hanya dapat merindukanmu, membacakan Yasin, dan doa yang dibaca oleh Erif, anak Herlela Ningsih, dan kami mengaminkannya. Maka, Monda pun menutup cerita-pendek �Lagu untuk Eliza� ini, dalam haul 30 Maret 2015 di Aula Dewan Kesenian Riau yang sepertinya mulai sunyi itu: Aku melihat ke depan. Seorang lelaki terbaring sambil memeluk seorang anak perempuan. Tiba-tiba ia bangkit perlahan-lahan, menggendong anak perempuan itu, dan berjalan beberapa langkah. Tiga langkah. Lalu ia tersungkur. Sambil berpelukan mereka rebah dan tak lagi bergerak. *** Zuarman Ahmad Musisi, dosen musik AKMR, penulis cerita-pendek, Wapimred Majalah Budaya Sagang, Penerima Anugerah Sagang 2009.

ba

48


Novelis dan Bapak Cerita Pendek Indonesia Modern Mengenang 111 Tahun Suman Hs oleh

Muhammad Husein Heikal

D

ilahirkan di Desa Bantantua, Bengkalis, Riau pada 4 April 1904. Nama aslinya Soeman Hasibuan namun lebih di kenal dengan nama Suman Hs. Ia memulai pendidikan awalnya di Sekolah Melayu di Bengkalis, Riau pada tahun 1912-1918. Setelah itu ia mengikuti ujian masuk sekolah calon guru (Normal Cursus) di Medan, dan berhasil masuk. Bahkan mendapat beasiswa pula dari pemerintah Belanda sebesar Rp4 perbulan. Selepas tamat Normal Cursus tahun 1920, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Normal School, di Langsa, Aceh yang lulus pada 1923. Setelah menamatkan Sekolah Normal ia mengawali karirnya sebagai seorang guru bahasa Indonesia di sekolah Belanda H.I.S. (sekarang SD) di Siak Sri Indrapura. Pekerjaan sebagai pendidik ini dilakoninya selama tujuh tahun (1923-1930). Pada 1930, ia naik pangkat menjadi Kepala Sekolah Melayu dan Penilik Sekolah di

49


Pasir Pengarayan. Karirnya semakin menanjak, tak hanya di dunia pendidikan. Tapi juga berhasil menduduki posisi-posisi penting di bidang pemerintahan, politik, militer, dan birokrasi. Tapi, lebih dari itu Suman Hs lebih dikenal sebagai seorang sastrawan, yang sejak remaja telah menyukai dan bergelut di dunia kesusastraan, terutama sastra Melayu. Nama Suman Hs selalu dikenang para pembaca sastra sebagai penulis yang memiliki selera humor yang tinggi. Cara unik dan spionase sederhana yang ia gunakan dalam membuat cerpen atau novelnya begitu memikat para pembaca. Berbekal imajinasi dan inspirasi yang meletup-letup, ia menekuni bidang sastra. Awalnya ia sering mendengar pembicaraan Ayahnya (Wahid Hasibuan) dengan para saudagar yang datang ke rumahnya, tentang kehidupan di Singapura. Dari pembicaraan ini, ia berkhayal dan memperoleh inspirasi membuat cerita. Selain itu pula, ia banyak membaca buku-buku di perpustakaan. Sayangnya, tidak ada data yang pasti menunjukkan Suman Hs mulai menulis. Karena ia sedikit sekali menguraikan latar belakangnya sebagai sastrawan. Begitupun diketahui pada tahun 1920-an Suman mulai mempublikasikan cerpencerpennya di majalah Panji Pustaka. Cerpen-cerpen ini kemudian diterbitkan Penerbit Balai Pustaka pada 1938 dengan judul Kawan Bergelut. Dalam cerpennya Suman Hs memperlihatkan begitu lincahnya ia membuat unsur humor dan detektif kocak dalam cerita. Dari segi usia, Suman Hs jelas termasuk ke dalam Angkatan Balai Pustaka. Seangkatan dengan Sutan Takdir Alisjahbana, Arjmin Pane, Rustam Effendi, Abdul Muis, 50


Marah Rusli dan lainnya. Suman Hs meluncurkan novel pertamanya Kasih Tak Terlarai di tahun 1929. Bersamaan dengan terbitnya Tak Putus di Rundung Malang, Sengsara Membawa Nikmat, dan Tak Disangka. Dan hanya terpaut lebih setahun dengan novel besar Abdul Muis Salah Asuhan. Jadi, Kasih Tak Terlarai termasuk novel yang diterbitkan Balai Pustaka saat masa subur-suburnya. Walaupun masuk dalam Angkatan Balai Pustaka, Suman Hs melepaskan diri dari corak penulisan adat. Ia menulis dengan bebas dan mengambil materi cerita berbeda yang biasa disuguhkan. Berbeda dengan novel adat atau novel percintaan biasa. Ia menggunakan nuansa dan gaya romantik nan jenaka, tanpa melupakan identitas lokal dirinya. Cara ungkap yang seolah merahasiakan, dibuka satu per satu, sedikit demi sedikit dengan isyarat yang memberikan kesan kecerdasan dalam membuat cerita. Seolah pembaca terbawa arus dan ikut berperan langsung dalam cerita tersebut. Genre cerita detektif yang digunakan diungkap secara sederhana, namun mengesankan pembaca. Seperti karya besar Sherlock Holmes karya Sir Conan Doyle. Kemungkinan besar teknik yang sama digunakan Suman dalam menulis ceritanya. Tentunya dengan memadukan budaya dan setting lokal. Unsur detektif dan humor yang lebih lekat dapat kita temukan dalam novel besarnya Mencari Pencuri Anak Perawan, terbitan Balai Pustaka 1932. Sekarang telah disederhanakan pula bahasanya oleh Hardjana H.P. dan menjadi bacaan siswa SD dan SMP. Berikut ini saya ringkaskan. Sir Joon merupakan tokoh utama dalam novel ini. Sir Joon telah bertunangan dengan seorang gadis desa nan 51


molek, bernama Nona, yang merupakan anak pungut Dagi, si tukang ransum. Tiba-tiba berita pertunangan Sir Joon dan Nona terputus. Seorang saudagar bernama Tairoo menyogok Dagi agar memutus hubungan Nona dengan Sir Joon dan memperkenankan Tairoo menikahi Nona. Sir Joon merasa telah dibohongi. Ia menyusun rencana rahasia nan kocak. Saat itu di Bengkalis berlangsung pertandingan sepak bola. Sir Joon menjadi kiper tuan rumah dalam pertandingan itu. Nahasnya Sir Joon terjatuh saat menangkap bola, dan kakinya terkilir. Membuatnya tidak bisa berjalan. Namun, ia tetap berusaha menjumpai Dagi dan Tairoo, karena mendengar berita menggemparkan. Si Nona telah hilang! Sir Joon mempengaruhi Dagi dengan mengatakan bahwa mungkin Tairoo-lah yang mencuri Nona. Sebaliknya, pada Tairoo ia mengatakan Dagi telah menyembunyikan Nona. Akhirnya, Dagi dan Tairoo termakan hasutan Sir Joon, sehingga saling mencurigai. Hingga terjadi perselisihan Dagi mengembalikan tebusan, dan menyetujui pernikahan Sir Joon dan Nona di atas surat. Sir Joon yang ternyata hanya pura-pura terkilir pun begitu riangnya dan menjemput Nona yang disembunyikannya di rumah teman di pinggir desa. Ia berencana melarikan Nona dengan mengantongi surat persetujuan pernikahan dari Dagi. Mereka berdua pun pergi menuju Singapura, dan hidup bahagia di sana. Bapak Cerpen Indonesia Modern Setelah menerbitkan Kawan Bergelut di tahun 1938, 52


sebelumnya bersama M. Kasim (cerpenis asal Mandailing Natal, Sumatera Utara), Suman telah menerbitkan kumpulan cerpen Teman Duduk (1936). Cerpen dalam kumpulan ini memperlihatkan mahirnya mereka (M. Kasim dan Suman Hs) dalam merangkai cerita jenaka yang tidak dibuat-buat alias riil. M. Kasim dan Suman Hs pun dinobatkan menjadi Bapak Cerita Pendek Indonesia Modern. Karena genre cerpen yang mereka tulis belum pernah dikenal dalam khazanah sastra Indonesia, sebelum Teman Duduk diterbitkan. Sampai sekarang mereka dianggap sebagai cerpenis Indonesia modern yang belum ada tandingannya. Sebagai pengarang awal dalam penggagas cerita modern, karya-karya Suman sering dijadikan contoh untuk membuat cerita berbau detektif atau spionase. Digabungkan pula dengan kelihaian mencampurnya dengan tokoh-tokoh unik, kocak dan terselubung. Pemikiran Sastra Suman dalam menggeluti dunia sastra, dapat dikatakan memiliki petunjuk atau pemikiran pribadi dirinya. Pertama, ia berpandangan bahwa hakikat sastra adalah untuk dinikmati oleh masyarakat, bukan hanya untuk sastrawan. Karena hal ini ia menulis dengan kata-kata yang simpel dan mudah dimengerti orang awam sekalipun. Sutan Takdir Alisjahbana memuji Suman sebagi pengarang yang “mempunyai kedudukan luar biasa!�. Mengapa demikian? Karena dalam tangan Suman, bahasa Melayu lama yang telah kaku dan beku, oleh karena telap tetap susunan dan acuannya, menjadi

53


cair kembali, lemas mengalir berliku-liku, ringan beriak beralun-alun. (STA, dalam Pengantar Kawan Bergelut, 1938). Kedua, Suman mencoba mencampur budaya atau adat asing didalam novelnya. Seperti menggunakan nama-nama tokoh asing. Tak lain tujuannya untuk melonggarkan simpul adat yang terlalu kaku dan terikat baginya. Maka, untuk mendeskripsikan hal ini ia menggunakan �orang asing� dalam ceritanya, agar lebih mudah diterima jika melanggar adat. Ini merupakan cara brilian pengarang seperti Suman. Menjadikan karyanya mudah diterima di kalangan masyarakat adat sekalipun. Ketiga, Suman sering menggunakan mayoritas dialog sebagai pengembangan karakter tokoh-tokoh rekaannya. Bahkan seolah ia berbicara langsung memberi �kehidupan� kepada tokohnya. Uniknya, tokoh-tokoh menjadi lebih hidup dan tidak kaku. Seakan-akan lepas, namun tetap diberi ruang gerak, terutama karena pola ceritanya yang menggunakan unsur spionase. Dapat dikatakan, Suman lebih memilih tokoh sebagai bahan utama, bukannya tema. Karya Abadi Kuatnya kesan keunikan dan kejenakaan dalam karya Suman begitu memikat dan mempesona pembaca. Ia tidak menyisipkan pikiran berat dan filosofis dalam cerita, apalagi metode riset. Sehingga saat membacanya terasa mengalir dan mudah dipahami. Kepandaiannya membangkitkan minat pembaca dengan melikungi ceritanya dengan rahasia. Humor yang segar dan pola 54


spionase Melayu sederhana diolah dalam wujud kisah cinta yang unik membuat karya-karya Suman abadi dan selalu dikenang dalam khazanah sastra Indonesia modern. Nama Suman Hs, sastrawan yang meninggal di Pekanbaru, Riau, 8 Mei 1999, ini diabadikan sebagai nama sebuah perpustakaan di Pekanbaru, Riau. ***

55


Muhammad Husein Heikal Lahir di Medan, 11 Januari 1997. Menamatkan pendidikan SD, SMP, SMA di Tanjungbalai, Sumatera Utara. Aktif menulis opini, esai, cerpen, puisi, artikel seni dan lingkungan di harian Analisa, Medan Bisnis dan Riau Pos.

ba

56


Dinamika Kepenulisan di Riau dan Tantangan bagi Gerakan Komunitas Sastra Riau oleh

Desi Sommalia

T

ersebutlah nama May Moon Nasution ketika Griven H Putra, salah satu pembicara pada kegiatan ”Gerakan Indonesia Menulis” yang ditaja oleh Balai Bahasa Provinsi Riau pada 10-12 April lalu, melontarkan pertanyaan pada peserta: “siapa di antara peserta yang karyanya telah menembus koran Kompas?” Dari puluhan peserta—yang sebagian di antaranya adalah penulis-penulis muda Riau, hanya ada satu nama penulis Riau yang karyanya sudah berhasil menembus koran yang terbit di ibu kota itu, yakni May Moon Nasution. Mendapati kenyataan itu, terasa perih di ulu hati. Karena hal ini setidaknya menjadi gambaran bagaimana dinamika kepenulisan di Riau. Harian Kompas tentu saja bukanlah capaian tertinggi seorang penulis, bukan pula ”kiblat” dari dunia kepenulisan. Sebab di Indonesia ada banyak media yang memberi ruang sebesar-besarnya bagi penulis Indonesia 57


berbakat, termasuk penulis-penulis yang berasal dari Riau untuk menggoreskan buah pikirnya. Akan tetapi, tentu tidak salah apabila Griven H Putra pada saat acara itu menyebut harian Kompas ketika mengajukan tanya pada peserta. Barangkali Griven bermaksud menengok sejauh mana capaian penulis muda Riau, khususnya yang mengikuti acara tersebut ketika berkompetisi di luar (Riau). Bisa jadi dikarenakan Kompas merupakan media yang beroplah cukup besar dan memiliki pembaca yang tak sedikit di tanah air. Namun, dalam tulisan ini saya tak berbicara lebih jauh tentang harian yang pada tanggal 28 Juni mendatang tepat berusia 50 tahun itu, melainkan tentang sedikitnya penulis-penulis Riau (jika dibandingkan dengan daerah lain) dan pertaliannya dengan minimnya karya-karya penulis yang berasal dari Riau menghiasi laman koran yang terbit di ibu kota. Selain May Moon, memang ada beberapa penulis Riau lainnya yang karyanya telah tersebar di media massa yang terbit di ibu kota seperti Marhalim Zaini, Taufik Ikram Jamil, Hary B Kori’un dan beberapa nama lain, akan tetapi ia tetap tidak banyak dalam jumlah. Dunia kepenulisan di Riau yang terbilang krisis ditambah tak banyak nama-nama penulis yang berasal Riau yang mampu berkompetisi di luar, cukup menjadi keprihatinan selama acara yang ditaja oleh Balai Bahasa Riau tersebut berlangsung. Tetapi jika ada yang menyela dan tak yakin bahwa penulis-penulis Riau saat ini sedang dilanda krisis, maka renungkanlah ucapan Marhalim Zaini, “pergilah ke luar (Riau) maka akan tampak bahwa Riau itu miskin. Miskin komunitas sastra, miskin penulis, 58


dan lainnya.� Begitu ujarnya tatkala menjadi pembicara dalam acara tersebut. Masih pada kesempatan yang sama, Hary B Koriun yang juga didaulat sebagai pembicara pada acara tersebut pun menyampaikan ujaran yang hampir serupa terkait provinsi ini tak menyimpan banyak penulis, dan dari yang sedikit itu pun tak terlihat muncul di level nasional sebagaimana di beberapa daerah lain seperti Yogyakarta, Bandung, ataupun Padang—yang dalam hal jarak terbilang dekat dengan Riau, yang amat banyak melahirkan penulis-penulis yang produktif dan tekun. Dari hal ini tak salah jika selama acara berlangsung Padang menjadi salah satu kota yang amat sering disebut diiringi dengan nama-nama penulis dari kota itu yang produktif dan subur. Deddy Arsya, Zelfeni Wimra, Ramoun Apta, Esha Tegar Putra, Yetti A.Ka, Heru Joni Putra jika ingin menyebut beberapa nama penulis dari Kota Bengkuang itu yang karyanya begitu sering kita baca di media massa yang terbit di daerah ataupun ibu kota. Ini bukan soal mendewakan media massa yang terbit di ibu kota dan meminggirkan media daerah. Tetapi hal ini hanyalah sarana untuk berkaca, di samping berlapang dada agar kita mau belajar dari kota-kota lain bagaimana mencipta penulis-penulis yang ulet dan mumpuni di provinsi ini. Sebab menulis adalah jalan sunyi dan hanya orang-orang �terpilih� yang bisa terus bertahan. Selebihnya akan berguguran sebagaimana daun yang gugur dari pohonpohon. Barangkali hal ini yang menjadi alasan kenapa Griven H Putra menjadikan Kompas sebagai media yang terbit di ibu kota untuk melihat dinamika kepenulisan di Riau. 59


Karena sejatinya jika seseorang ingin menjadi penulis tidaklah begitu sulitnya. Namun menjadi penulis yang terus bertahan terhadap terpaan godaan, tentu saja merupakan hal yang sukar. Dengan kata lain, benang merah pertanyaan Griven H Putra yang saya terangkan di awal tulisan ini adalah penulis yang karyanya telah menembus media di luar Riau seperti Kompas–yang terbit di ibu kota, bisa diartikan ia sudah berproses cukup lama di media massa yang terbit di daerah hingga kemudian berkompetisi ke luar (Riau). Dalam arti kata ia tak berhenti mencari, stagnan, dan tidak cepat puas. Ia bukan jenis penulis yang sama sekali tak lagi menulis setelah karyanya satu atau dua kali muncul di media massa lalu memilih pensiun sebagai penulis karena sejumlah godaan. Mereka yang memilih �pension� sebagai penulis barangkali salah satunya disebabkan lingkungan yang tidak mendukung. Seperti kurangnya tradisi berdiskusi di tempat ia tinggal, tradisi bertukar pikiran, tradisi berkomunitas dan lain sebagainya. Bicara komunitas, khususnya komunitas menulis, jika kita amati pertumbuhannya di Riau ia tidaklah banyak dalam jumlah. Padahal tak bisa ditampik komunitas menulis— ataupun komunitas membaca, merupakan salah satu cara melahirkan penulis, di samping pula menciptakan masyarakat yang gemar membaca dan berdiskusi. Kurangnya komunitas menulis di Riau tentu saja mengundang keprihatinan. Berangkat dari keprihatinan tersebut, pada hari terakhir acara yang digelar oleh Balai Bahasa Riau itu, maka muncul inisiatif membentuk sebuah forum yang diberi nama Gerakan Komunitas 60


Sastra Riau (GKSR). Forum ini hadir dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat, khususnya di Riau, yang gemar membaca, membincangkan karya-karya, berdiskusi, menjalin komunikasi antarpenulis dan komunitas, dan tentunya melahirkan penulis-penulis yang tekun dan tahan masa. Saat forum GKSR ini dibentuk, saya menjadi bagian dan turut menyaksikan terdapat sebuah harapan besar agar ke depan Riau memiliki tradisi baca tulis yang baik dan unggul. Pun ada kerinduan agar Riau memiliki banyak penulis yang lahir dari tanahnya dengan karyakarya yang terus dikenang sebagaimana karya-karya Raja Ali Haji yang terus diingati hingga kini. Karena itu pula begitu forum GKSR dibentuk. Tak menunggu lama, dibentuk pula tim formatur yang beranggotakan 12 orang sebagai koordinator dari berbagai kampus dan komunitas di Pekanbaru untuk menyusun program-program yang bertujuan menghidupkan tradisi menulis, tradisi membaca, serta menciptakan masyarakat pembaca di Riau. Semoga semangat yang membara ketika forum GKSR ini dibentuk ia tak lantas mengendur seiring berakhirnya acara yang ditaja oleh balai bahasa tersebut. ***

61


Desi Sommalia Alumnus pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang. Menggerakkan Komunitas Rumahkayu. Di samping itu, namanya tercantum pada Divisi Kegiatan pada forum Gerakan Komunitas Sastra Riau (GKSR). Saat ini ia menetap di Pekanbaru.

ba

62


Nasib “Jebat” di Tangan Rida K Liamsi oleh

Ary Sastra

E

ntah siapa pengarangnya, tahun berapa diciptakan, yang jelas ”Hikayat Hang Tuah” telah melegenda dalam kehidupan masyarakat Melayu. Bahkan, tokohtokoh dalam hikayat tersebut telah menjadi mitos, dipercayai secara turun-temurun oleh masyarakat Melayu. Tokoh Hang Tuah misalnya, selalu diidentikkan dengan kepahlawanan, kesetiaannya terhadap raja. Sedangkan tokoh Hang Jebat, lebih identik dengan perlawanan atau pemberontakan terhadap sang penguasa. Menariknya, mitos tentang Tokoh Hang Jebat ini menjadi sumber inspirasi bagi Rida K Liamsi dalam penciptaan puisinya yang berjudul “Jebat” dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul Tempuling. Hal yang dilakukan Rida K Liamsi ini juga pernah dilakukan oleh penyair lain, seperti Amir Hamzah dengan puisinya berjudul ”Batu Belah” dan ”Hang Tuah” berdasarkan dongeng Batu Belah dan Hikayat Hang Tuah, puisi Chairil Anwar, ”Cerita Buat Dien Tamaela” didasarkan kepercayaan orang Maluku, serta puisi Gunawan Mohammad, “Gatoloco” yang diolah dari buku Gatoloco, sebuah kitab yang berisi ajaran mistik masyarakat Jawa. 63


Meski berpijak dari mitos masa lalu, para penyair atau sastrawan tetap memainkan kreatifitasnya sesuai dengan situasi dan kondisi hari ini. Mitos-mitos tersebut hanyalah sebagai pintu masuk agar karya-karya mereka mudah dipahami dan lebih familiar bagi pembacanya. Misalnya puisi “Jebat� Karya Rida K Liamsi. Dari membaca judulnya saja, pikiran kita telah digiring kepada Hikayat Hang Tuah. Kisah ini sangat populer sekali bagi masyarakat Melayu, bahkan juga di wilayah nusantara lainnya. Tapi setelah membaca lebih jauh, puisi Jebat karya Rida K Liamsi jauh berbeda dari kisah Hang Jebat sebagaimana yang terdapat dalam hikayat. Jebat dalam puisi Rida K Liamsi lebih mengarah kepada upaya kesadaran orang Melayu terhadap masa lalu mereka, seperti yang dilukiskan pada bait pertama puisi itu. Telah kau hunus keris telah kau tusuk dendam telah kau bunuh dengki tetapi, siapakah yang telah mengalahkan mu Dalam hikayat diceritakan yang membunuh Hang Jebat adalah Hang Tuah, sahabatnya sendiri yang diutus oleh Raja. Namun kenapa Rida K Liamsi masih mempertanyakannya? sebagai orang Melayu, Rida K Liamsi tentu lebih tahu. Agaknya pertanyaan itu merupakan autokritik dari sang penyair bagi dirinya sendiri dan masyarakatnya bahwa perseteruan tersebut tidak ada guna sama sekali. Kami hanya menyaksikan 64


luluh rasa murka mu celup cuka cemburu mu kubur rasa cinta mu di bayang-bayang hari mu Kami hanya menyaksikan waktu menghapus jejak darah mu angin menerbangkan setanggi mimpimu ombak menelan jejak nisan mu di balik cadar mimpi-mimpi mu Sebagai Orang Melayu yang hidup pada masa kini, Rida K Liamsi memiliki kekhawatiran terhadap perkembangan budaya Melayu hari ini. Ia khawatir budaya Melayu perlahan-lahan tergerus arus perkembangan zaman. Kami semua telah mengasah keris telah menusuk dendam membunuh dengki meruntuhkan tirani Tapi siapa yang telah mengalahkan kami menumbuhkan khianat

65


melumatkan sesahabat mempusarakan sesaudara Kami hanya menyaksikan waktu yang berhenti bertanya sejarah yang berhenti ditulis kita hanya membangun sebuah arca Apa yang telah dilakukan Rida K Liamsi melalui puisi Jebat, tidak semata berpijak kepada mitos, tetapi telah mengaktualkannya sesuai dengan kondisi hari ini. Banyak pakar berpendapat bahwa karya sastra yang baik, akan menciptakan mitos kepada pembacanya. Sebut saja tokoh Siti Nurbaya dalam novel Marah Rusli. Padahal tokoh itu hanya ada di dalam novel, rekaan Marah Rusli semata. Namun masyarakat di Kota Padang mempercayai cerita itu memang benar-benar ada. Bahkan Pemerintah Kota Padang juga ikut-ikutan memberikan nama jembatan di kawasan Muara Padang dengan nama, Jembatan Siti Nurbaya. Kembali ke puisi Jebat, meski tidak mempersoalkan perseteruan antara Hang Tuah dan Hang Jebat, siapa yang benar dan siapa yang salah, Rida K Liamsi telah menciptakan Jebat masa kini. Jebat yang lebih arif, memunculkan kesadaran masyarakat Melayu. Atau mungkin Rida K Liamsi, Jebat itu sendiri? Selamat berkarya Pak Rida.*** Ary Sastra Berdomisili di Kota Tanjungpinang, Kepri. 66


80 Tahun B.M. Syamsuddin {10 Mei 1935 (20 Februari 1997) – 10 Mei 2015}

Pe(Me)ngungkap(k)an Peristiwa Tempatan dengan Ketepatan dan Kekhasan Resa Bahasa oleh

Syafruddin Saleh Sai Gergaji

C

erita rekaan (karya fiksi) berupa cerita-pendek (cerpen), kecenderungan kudian yang bagai tak terbendung dari kreativitas kepengarangan B(ujang) M(at) Syamsuddin. Naskah la-konlah yang jolong banyak ditulisnya: Fatimah Sri Gunung (1972), Payung Orang Sekampung-kampung (1975), Warung Bulan (1980), dan Tunggul (1981). Lantas cerita bersambung (cerbung) Perkawinan di Atas Gelombang (1979), dan Ombak Bersabung (1980) yang dimuat Suratkabar Harian (Skh) Haluan, Padang (Sumatera Barat). Sesudah itu novel Harimau Kuala (1983), Braim Panglima Kasu Barat (1984), Tun Biajid I dan II (1984) – yang ketiga-tiganya diterbitkan Karya Bunda. Juga cerita anak-anak (cernak, Sssg) Si Kelincing dan Sepasang Te-rompah Nik Gasi ( 67


Balai Pustaka, 1981), Dua beradik Tiga Sekawan (Balai Pustaka, 1982), dan Ligon (Karya Bunda, 1983). Pun cerita rakyat (cerrak, Sssg) Damak dan Jalak (1982), Batu Belah Batu Betangkup – Cerita Rakyat di Kepulauan Siantan (Balai Pustaka 1982), Cerita Rakyat Riau (1993), dan Cerita Rakyat dari Batam (Grasindo, 1996). Data diri dan karyanya ini - selain yang lain - dicatat Ensiklopedia Sastra Riau (Agus Sri Danardana, ed., Palagan Press, Pekanbaru: 2011), yang sebelumnya dinformasikan Zaini pada skripsi S-1 Program Stu-di Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Islam Riau (UIR) yang dinyatakan Alazhar, pada tulisannya “B.M. Syamsuddin (1935-1997) dan Kepetahannya.” Mengarang cerpen sebenarnya menjadi takdir awal dan akhir oleh Allah Rabb al-Qodir kepada B.M. Syamsuddin. Karya sulungnya yang dimuat majalah Merah Putih, 1956, dengan nama pena Dinar Syam pun berupa cerpen. Kembali ke cikal mula lagi, karena ketulusan saranan Hasan Junus (Penyengat) – kawan sedaerah beda kampung, yang B.M. Syamsuddin (Sedanau) solang: bahasa dia dah terbiasa menulis panjang-panjang. “Kawan mana bisa menulis cerita pendek (yang pandak, Sssg). Tiga puluh halaman masih belum berbentuk cerita,” tukasnya beralasan (halaman “Sagang” Riau Pos, 23 Februari 1997). Namun justru setelah itu, menjelang pengujung hayatnya, sejak awal 90-an, cerpen-cerpen dari ujung pena dan jemarinya bermun-culan tak terbendung – menjadi cerpenis Indonesia paling produktif. Karyakarya rekaannya itu dimuat oleh berbagai suratkabar Genta, Riau Pos, Haluan, Kompas, Suara Karya, dan majalah Amanah tidak hanya di Pekanbaru, tetapi juga 68


suratkabar luar Riau bahan suratkabar ternama terbitan Jakarta. Walhasil, cerpennya yang dipandang khas dan berkualitas mendapat ponten perhatian khalayak sastra yang tidak hanya di antera Indonesia, namun juga di Malaysia dan di Singapura. Namun, walau cerpen-cerpen B.M. Syamsuddin delau kualitas, hingga akhir nafas ajalnya, belum ada yang diterbitcetakkan sebagai antologi (kumpulan karya) tunggal. Jikapun ada, hanya terangkum pada bunga rampai bersama cerpenis yang lain, yaitu: pada Kado Istimewa (cerpen-cerpen para cerpenis yang dimuat Harian Kompas, 1991, yang diterbitkan pada 1992), dan Pertemuan Kedua (cerpen-cerpen beberapa pengarang dari Singapura, Johor, dan Riau yang diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, 1992 – hasil suntingan Suratman Markasan, sastrawan Singapura). Setelah beberpa bulan wafat, Yayasan Sagang berinisiatif membukukan 21 cerpen B.M. Syamsuddin yang terangkum pada Jiro San, Tak Elok Menangis sempena Anugerah Sagang ke-2, 1997, disertai pengantar oleh Kazzaini Ks yang antara lain menyebut-kan: “Membaca cerpen-cerpen B.M. Syamsuddin, kita memang seakan melihat Riau (dan Kepulauan Riau sebelum menjadi provinsi sendiri, Sssg) pada masa kini juga masa lalu.” (Bukan mengupati, sayangnya kitab cerpen B.M. Syam yang diterbitkan ini belum ada ISBN – Index Book Serial Numbers, dan penjilidan kertasnya mudah retas lepas – meski berkulit mewah dan kertas berkualitas). Satu cerpen dan tiga puisinya termuat pula pada kumpulan cerira pendek dan puisi Anugerah Sagang 2000.

69


Peristiwa Tempatan Kenyataan yang terhampar mengitari kehidupan sekitar dan sekitar kehidupan yang tampak menyeruak menjadi pelantar getar dan debar yang diujarkarangkan, utuh pada hampir seluruh karya B.M. Syamsuddin. Tak hanya resa dan dera yang merempa sekelompok orang, tetapi juga pengalaman teman, dan bahkan yang terjadi pada diri sendiri, laik menjadi bahan cerita yang menarik baginya. Latar tempatan tidak hanya ada pada cerita, tetapi tampak jelas menjejas terutama pada judul cerpen karya karangannya (Batam Perburuan; Biang Lala di Langit Natuna; Cengkih pun Berbunga di Natuna; Kembali ke Bintan; Debar Laut Galang; Bintan Soresore; Ketika Kapal pun Berlabuh di Tokong Pulau Tujuh yang dimuat kembali pada ‘Kumpulan Cerita Pendek dan Puisi’ pada Anugerah Sagang 2000 serta tiga puisinya (Batam di Sudut Malam; Saat-saat Kuingat Melayu; dan Di Bukit Nagoya) yang juga tebal bernuansa lokal. Gubris tempatan tersirat pula pada judul cerpennya (Kemantan Muda Roh Bulian; Ocu; Taikong). Peristiwa tempatan itu seperti menjadi pensen khas latar (setting) yang amat dicenderunginya sebagai pengamat pencatat yang cermat urat galur yang berhamburan dan lebur pada padang rumah besar kehidupan yang diluah-tuangkannya dengan karya kreatif rekaan. Sebagaimana disebutkan Alazhar pada satu makalah: “hampir tidak ada karya-karya tulisnya yang bebas dari dunia yang digulirkan ke dalam kenangan dan ingatannya oleh realitas yang sudah ada, baik realitas peristiwa maupun bahasa�. Realitas lokalitas yang dituangkan B.M. Syamsuddin 70


itu menjadi cirinya sejak pada naskah lakon (drama, sandiwara, teater). Mayoritas merekam resam dan remuk redam, sedih dan pedih-perih karena disisihkan kebijakan pembangunan oleh pemerintah pusat terutama (dan daerah) yang tidak berpihak kepada khalayak, bahkan hadir mengalir meminggirkan dan menista jelata yang terpinggirkan, terasing terpelanting dek pesat pembangunan yang menggerunkan karena tanpa dacing kecuali kepentingan. Jelas menjejas pada cerpen-cerpennya yang mengisahkan bagaimana ketidakberdayaan itu menggumpal mementalkan-mental dan ketidakadilan di Riau Daratan dan di Riau Kepulauan. Nasib malang karena perang, suku laut yang tercerabut, sedu sedan nelayan, dukani petani, nestapa pemuda yang tak diterima bekerja di negeri sendiri, ketidakberdayaan dukun balian, kawasan hutan yang terampas, nasib pilu guru, jumawa pengusaha dan intimidasi pemilik modal, juga kerinduan pada masa lalu. Semuanya disandingbandingkan B.M. Syamsuddin dengan jalin batin keharuman semu kekinian dengan menghidu bau masa laluan dahulu. Pembacaan Alazhar, Kazzaini Ks, Elmustian Rahman, dan saya, sama meresapi ratap di cucuran atap rumah besar, laut luas, gugusan pulau, dan di padang negeri yang bernama Riau dan Kepulauan Riau itu. Namun, tempatan (lokalitas, subkultur) itu tidaklah harus terjebak pada latar ujar cerita, bahasa cerita, dan sosok jasadiyah dan polah tingkah tokoh yang dikisahkan saja. Tekstual cerita berlatar tempatan, pada kontekstualnya jejal memuat dan memindahrekamkan nilai-nilai sosial budaya yang menjadi resam kehidupan 71


yang lazim pada subkulturnya. Harus dimaklumi, laman kehidupan pada sekat lokal itu bukanlah mengesankan sempadan batas masalah yang terjadi dan dialami di satu wilayah, tetapi justru bermakna universal ke semua sekotah. Pada simpulan hasil bacaan dan penyimakan Elmutian Rahman (Hary B Kori’un, ed., 2007: 140-141): “BM Syam tidak cuma memasukkan aspek tertentu dari kampung halamannya dalam karya itu, tetapi juga memberi warna tersendiri dengan dengan polesan dan campuran yang sempurna kepada karyanya dan menjadi persoalan-persoalan dan ungkapan-ungkapan dan sikap dan kebiasaan-kebiasaan dari negeri lain di luar kampung halamannya .... Hal ini disebabkan karena persoal-anpersoalan kampung halamannya juga menjadi persoalan di luar kampungnya� Memang se-memanglah peristiwa yang serupa atau hampir sebanding harkatnya senantiasa selalu terjadi di pengulangan berulang. Perihal lokalitas itu dapat dibelek dan disimpai pada teks dengan memahami kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra yang khas itu dengan memadai. Kekhasan Pengungkapan Lokalitas tempatan (subkultur) yang menjadi bahan cerita B.M Syamsuddin diimbangi pula dengan lokalitas bahasa pada gaya tutur mengungkapkannya. Pengarang yang piawai senantiasa berusaha memindai bahasa dengan bestari supaya karya yang dituliskarangkan menjadi su-mur umur yang tak kering ditimba pembacanya yang dahaga. Gaya bahasa (style) ini sebagai kemampuan (dan kesanggupan) yang acap menjadi ciri kekhasan masing-masing pengarang. Pada B.M. 72


Syamsuddin kentara pada daya ungkap yang bertumpu pada resa Melayu (Riau) yang tidak hanya dengan pilihan kata (diksi) dan ungkpan (idiom), tapi juga adat resamnya. Tuturan bahasanya pun lentur mengalun bagai prosa berirama. Meski menggugat tidaklah mengumpat, walau melaungkan resa dera dan pedihperih tidaklah meratap. Sebagai guru, B.M. Syamsuddin tidak menjalin cerita yang menggurui. Simaklah kutipan dari cerpen “Saa Siti Ainoon dan Rumah Kerakap” yang termuat pada Kumpulan Cerita Pendek, Puisi, dan Esai Pilihan yang diterbitkan sempena Anugerah Sagang I, 1996 ini: “Di perbukitan dan begitu juga sekita lembah sejak Tiban hingga ke Batam Centre, telah tertegak beratusratus pintu bahkan ribuan banyaknya rumah-rumah mewah yang dibangun. Harga mahal ratusan juta rupiah, di samping gubuk-gubuk nelayan dan juga buruh kasar dalam keadaan reot. .... Entah semakin tumbuh kerakap, rumah-rumah mewah terbuang tak laku di situ? Yang pasti, gubuk reot perumahan papan lapis semakin tumpat di pulau inudstri.” Serta rapal mantera: “ huh ... hembus segala hantu setan, jauh bala selisih malaikat. Sembur air sembur abu, sembur sebanyak kayu di hutan ... puah...! Sehatlah budak Atan, berkat kupakai doa dan kalimah La Ilaha illla Allah Muhammad ar Rosulullah...” Resapkan pula sindiran satir pada cerpen Ketika Kapalpun Berlabuh di Tokong Pulau Tujuh yang dikutipan berikut ini...! “Mah Bongsu dan rekan-rekan gadis sebaya pertama 73


kali dipanggil berbagi makan ‘nai kepal’, ‘busung lapar karena perut diganjal berbulan-bulan denan sagu dan ubi. Untuk kedua-ketiga kali dan seterusnya, malah perut Mah Bongsu dan para gadis sekampungnya itu ‘busung lapar’, penuh-ragam. Sembilan bulan sepuluh hari masanya berselang sesudah itu, putera-puteri ‘melayu Nipon sama-sama na’ pun lahir ke bumi Allah” Perbendaharaan kosakata Melayu yang dah banyak tergerus dan tergusur pada percakapan dan bahasa tulis sekarang, yang digunakan B.M. Syamsuddin tidak hanya sebagai kekhasannya, namun hamun gugat terhadap perkembangan Bahasa (Melayu) Indonesia yang seolah melupakan bahasa induk yang menjadi cikal awal pangkalan asalnya. Tulisan singkat ini tentu-lah tak tepat tempat dan cukup dapat meraup mengungkap pengungkapan khas pengarang ini dengan lengkap. Simak, dan rasakan sajalah dengan membaca cerpencerpennya. Simpul Ujar Umur boleh saja luntur, dek hanya sebatas napas yang berhingga pada pal ajal yang telah dijatahkan oleh Allah Rabb al-Jalal. Namun usia haruslah terus melampaui masa dengan karya-karya bermakna yang telus menembus lebuh-raya saujana yang jauh. Pengarang yang cermat, dengan kemapanan iman, meniatkan karyanya sebagai ibadat yang tidak hanya tamat di dunia, tetapi menjadi berkat kenikmatan hingga akhirat. Sebab itu, dia akan berupaya menghasilkan karya berjiwa yang mencungkil 74


dekil-jahil yang mengitari kehidupan sekitar dan sekitar kehi-dupan menjadi perjuangan perlawanan atau pembelaan dengan mata penanya (jihad bi al-qolam) yang lebih tajam daripada pedang bahkan memajalkan kedahsyatan rudal sekalipun: mencatat, menggugat urat kesadaran. Pengarang yang piawai senantiasa berusaha memindai bahasa dengan bestari supaya karya yang ditulis-karangkan menjadi sumur umur yang tak kering ditimba pembaca yang dahaga. B.M. Syamsuddin berpulang menjelang umur 62. Wafat Jum’at 20 Februari 1997 di RS Ahmad Muchtar, Bukittinggi, yang dikebumikan di Pekanbaru. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, yaum al jumu’ah hari kematiannya meluputkan almarhum dari azab di Alam Barzah. Semoga terus ke pelantar Mahsyar hingga Jannah Akkhirat. Allahummagh fir lahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu. Aamiin Ya Rabb al-‘Alamiin wa Mujiib al-Saa-iliin. ***

Alhamdulillah wa syukrulillah, Rumah Kediaman, Dirgantara, Gang Haji 3, Sidomulyutimur, Marpuyandamai, Pekanbaru, Jum’at 19 Rojab 1436. (8 Mei 2015).

75


Tuan Guru H. Syafruddin Saleh Sai Gergaji Teman sekuliah B.M. Syamsuddin di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unri (1978/1979). Kelahiran 10 April 1957 (namun tercatat 16 April 1959). Tulisan pertamanya dimuat pada 1973. Sejak 1979 aktif pula berda’wah. Hingga sekarang tetap menulis dan menjadi da’i. Karya sastranya (esai, puisi, dan cerpen) serta tulisan keislaman telah pernah dimuat di berbagai surat kabar dan majalah terbitan Pekanbaru, Padang, Medan, Bandung, dan Jakarta. Bermastautin di Pekanbaru sejak 1966.

ba

76


Estetikasi Masa Kini pada Karya Senirupa Riau (Maju-mundur--Timbul-tenggelam) oleh

Dantje S Moeis

M

au tak mau terpaksa harus diakui, seperti yang dikatakan oleh seorang teman yang juga pengelola padepokan seni, ketika bincang-bincang seni dengan saya sambil berkelakar, bahwa Riau bukanlah lahan subur untuk tumbuhnya spesies senirupa baru yang unggul, terutama pada aspek pengembangan. Pengamatannya seakan menjadi suatu pembenaran, karena hingga saat ini sangat sulit memparadekan karya-karya senirupa yang pernah dilahirkan daerah ini berdasarkan masa, kurun waktu, perkembangan dan pengkomparasian agar terlihat jelas beda dan perkembangan dari waktu ke waktu, berdasarkan kemampuan estetikasi kreativitas pencarian bentuk baru dari para perupa daerah ini. Pada setiap pameran senirupa (baca: karya dua dimensional dan tiga dimensional) yang diadakan secara berkala oleh lembaga, terutama yang diselenggarakan oleh institusi pemerintah daerah terkait, karya-karya

77


terpajang. Kasat mata terlihat hanya pengulanganpengulangan bentuk dan gaya yang itu-itu saja, selalu berkiblat pada bentuk yang dilahirkan para perupa sohor di tanah Jawa sana (Jogja, Jakarta, Bandung). Senirupa Riau memang selalu saja tertinggal walau “hanya” pada aspek perubahan dan pengembangan. Senirupa Indonesia awalnya juga demikian. Terlambat maju jika dibandingkan dengan perkembangan senirupa dunia. Seni rupa kontemporer Indonesia (kota-kota besar di Jawa) menemukan spirit mula dari lahirnya Gerakan Seni Rupa Baru (1975) dengan gejala-gejala penolakan dan penentangan terhadap mainstream seni rupa moderen, yang dianggap sewenang-wenang atas nama universalitas. Penolakan yang ditandai dengan penggunakan berbagai ragam media ungkap alternatif, di luar tradisi fine art (seni lukis, seni patung, dan seni grafis), seperti senirupa instalasi, seni rupa pertunjukan (performance art), seni rupa lingkungan (environmental art), video art, hingga seni rupa dengan media barang jadi (readymades). Penolakan di sana dan pada saat itu, juga diwarnai nuansa penghapusan (erasures) atas pengkotakkotakan antarcabang senirupa, antarcabang seni, percampuran berbagai gaya dan aturan (eklektik), hingga terjadi pengaburan batas antara seni dengan kehidupan sehari-hari. Dunia seni pada wacana seni rupa kontemporer tidak lagi dipandang sebagai “dunia agung”, yang terpisah dari dunia kehidupan sehari-hari. Pengaburan batas, bahkan penghapusan antara seni dengan kehidupan seharihari (estetikasi kehidupan sehari-hari) merupakan bentuk integrasi baru antara “dunia seni” dengan “dunia 78


kehidupan sehari-hari” yang dilandasi oleh pemikiran akhir modernisme (postmodernism). Pemikiran posmodernisme dalam konteks seni rupa yang sangat fenomenal dinyatakan secara filosofis oleh Arthur Danto, “The End of Art”, pernyataan filosofis “berakhirnya senirupa” itu, pada tataran pemikiran, menandai berakhirnya senirupa (mainstream modernisme), sehingga mempersuasi lahirnya era seni rupa baru dengan paradigma posmodern. Sejak awal tahun 1990-an sering diselenggarakan pameran seni rupa Indonesia dengan label “Seni Rupa Kontemporer”. Kata “kontemporer” (contemporary) berarti sezaman atau masa kini, namun secara terminologis, seni rupa kontemporer tidak cukup dipahami pada pengertian seni rupa sezaman, senirupa masa kini, atau senirupa yang berkaitan dengan waktu saja. Senirupa kontemporer dipahami sebagai wacana dan praktik seni rupa yang ditandai dengan gejala-gejala “kontradiksi”, “penolakan”, “subversi”, hingga “dekonstruksi” terhadap kemapanan wacana dan praktek senirupa moderen, terutama aspek universalisme dan formalisme. Reaksi penolakan itu terepresentasikan melalui penggunaan keragaman media ungkap baru di luar tradisi fine art (seni lukis, seni patung, dan seni grafis) dengan kecenderungan yang bersifat eklektik (penggabungan berbagai gaya dan aturan). Dinamika seni rupa kontemporer Indonesia memiliki benang merah kesejarahan dengan Gerakan Senirupa Baru (1975). Gerakan Senirupa Baru (1975-1979) sering dikukuhkan sebagai momentum awal perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia. Gerakan yang dipelopori oleh Jim 79


Supangkat dan kawan-kawan itu mengusung paradigma estetis baru pada masa itu, yaitu personal liris. Gerakan itu menghadirkan perwajahan karya senirupa yang sangat berbeda dengan mainstream senirupa moderen yang telah ada sebelumnya, walaupun tidak secara eksplisit berlabel “senirupa kontemporer�. Karya-karya Gerakan Senirupa Baru menekankan citra analitik kontekstual dan partisipatoris terhadap persoalan sosial-politik aktual. Gerakan itu juga mendekonstruksi, mengaburkan atau menghapus, batas-batas seni rupa tinggi (high art/ grand art/hoge kunst) dengan seni rupa rendah (low art/ faible art/lage kunst), seni rupa murni (pure art/ fine art) dengan seni rupa terapan (applied art), batas-batas antarcabang seni rupa (seni lukis, seni patung, seni grafis, seni reklame, dan cabang-cabang senirupa lainnya), batas antar cabang seni, bahkan batas antara karya senirupa dengan benda kehidupan sehari-hari. Salah satu catatan penting dari jejak wacana dan praktik seni rupa Gerakan Seni Rupa Baru adalah dieksploitasinya benda-benda pakai kehidupan seharihari (readymades) sebagai media ungkap. Penggunaan media ungkap “tak terbatas� (alternatif) itu telah mendorong perkembangan seni rupa instalasi, seni rupa lingkungan (environmental art), seni rupa pertunjukan (performance art), hingga seni video (video art). Dalam aspek yang lebih luas, penggunaan media ungkap alternatif itu turut mendorong fenomena pengaburan batas atau penghapusan jarak antara karya seni rupa dengan barang-barang kehidupan sehari-hari. Ada dua aspek mendasar di balik pemahaman tentang terminologi seni rupa kontemporer yang 80


berlaku di Indonesia. Aspek pertama mengacu pada pemahaman seni rupa kontemporer sebagai senirupa alternatif, dengan media ungkap baru seperti instalasi, performance art (happenings), video art, invironmental art, hingga readymades. Seni instalasi merupakan karya rupa yang terdiri atas gabungan berbagai media sehingga membentuk kesatuan baru dan menawarkan makna baru pula. Karya seni instalasi menjadi wujud nyata pembebasan seni rupa dari pengotak-kotakan seni lukis, seni grafis, seni patung, seni reklame, dan cabangcabang seni rupa lainnya, serta penghapusan pandangan dikotomis atas seni rupa menjadi seni murni-seni terap, seni tinggi-seni rendah, atau seni bebas-seni terikat. Performance art atau happenings disebut juga senirupa pertunjukan, senirupa peristiwa, atau senirupa total. Performance art merupakan penggabungan seni rupa dengan seni pertunjukan (performing), persilangan antara pameran senirupa dengan pertunjukan teatrikal. Dalam hal ini ditampilkan unsur rupa, musik, dan gerak, namun menghindari adanya alur cerita (ploting) secara tradisional. Salah satu contoh performance art yang sangat fenomenal dan tercatat dalam sejarah perkembangan senirupa kontemporer Indonesia adalah performance art yang dilakukan oleh Eddie Hara dan Ellen Urselmann (1987) pada Pekan Seni Eksperimental FSR ISI Yogyakarta, sebaga imana yang dicatat oleh Marianto (2000: 198-199). Karya performance art itu diilhami oleh Hardship Art Amerika. Mereka berdua merantai salah satu tangan masing-masing lalu digembok. Selama 24 jam dirantai, mereka tidak berbicara satu sama lain dan tidak saling bersentuhan secara fisik. Mereka mengenakan pakaian 81


putih-putih dan berjalan-jalan menyusuri perkampungan untuk mengalami suatu sensasi seperti yang terjadi dalam tradisi laku mati raga, puasa membisu, puasa pati geni, dan sebagainya. Hal itu menggugah keingintahuan warga masyarakat yang dilewatinya. Keanehan dan daya kejut yang unik karya performance art itu telah membuka mata tentang kenyataan bahwa kemungkinan berkesenian dapat dilakukan dengan berbagai cara. Invironmental art adalah seni rupa yang menggunakan lingkungan hidup (alam) sebagai media ungkapnya, seperti yang terlihat pada karya Dadang Christanto berjudul “For Thoses Who Had Been Killed� (1993), yang memanfaatkan lereng perbukitan yang dikepras. Video art Senirupa yang memanfaatkan video sebagai media ungkapnya secara intensif ditekuni oleh perupa Krisna Murti, atau perupa tokoh video art berskala internasional kelahiran Korea, Nam June Paik. Aspek kedua adalah senirupa kontemporer sebagai senirupa yang menentang atau menolak seni rupa moderen (anti-moderenisme). Dalam pandangan Sumartono (2000: 22-23), aspek ini merupakan penolakan terhadap pengagungan seni rupa Barat dan pelecehan terhadap seni rupa non-Barat (atas dasar universalisme). Seni rupa kontemporer sangat menghargai pluralitas, berorientasi secara bebas, tidak menghiraukan batasanbatasan secara kaku (baku). Seni rupa kontemporer dapat diciptakan dari berbagai benda, bahan, atau media, tidak ada pembedaan antara satu dengan yang lain, termasuk benda-benda jadi (readymades) dalam kehidupan seharihari. Hampir semua media ungkap (tak terbatas) yang 82


dikenal hingga kini, pernah dimunculkan oleh senimanseniman di Riau, sehingga dapat dikatakan bahwa upaya untuk mencari dan menanam spesies baru pohon senirupa itu pernah ada, namun pembenaran kalimat yang disampaikan oleh seorang teman saya itu perlu diakui, karena tak berkelanjutannya (ketidak-suburan lahan?) upaya dan pemunculan karya baru itu terlihat. Contoh nyata dapat diamati pada karya M Yusuf AS, salah satu perupa Riau alumnus ISI Jogjakarta, yang mengusung media temuannya berupa Tapas Kelapa pada karya senirupa kaligrafi ke ruang pameran. Yusuf, memanfaatkan media tak terduga (tapas kelapa) dengan pemaknaan bawaan (sampah) menjadi sebuah karya seni dengan pemaknaan baru; atau karya Amron Salmon berjudul “Keremunting”, berupa karya lukis dua dimensional yang terilhami dari karya sastra karangan sastrawan Rus Abrus dan memberikan pemaknaan baru cenderung bebas dalam hal interpretasi. Hal yang sama juga terlihat pada karya Armawi Kh “Orang Perahu”, yang mengangkat fenomena sosial pengungsi Vietnam di Kepulauan Riau. Pada peringatan hari bumi 1992 di Taman Budaya Riau Pekanbaru, para seniman terutama perupa, mengestetikasikan sebatang pokok kelapa yang “hidup segan mati tak mau” dengan melilit perban di sekujur pokok kelapa dan menggantungkan botol-botol infus, lengkap dengan selang yang mengaliri cairan nutrisi ke “tubuh” pokok kelapa. Sebuah kelambu lusuh yang digantung di ruang terbuka, dengan pemaknaan biasa layak kelambu. Namun perupanya (Dantje S Moeis) memberikan pemaknaan 83


baru dengan menaburkan daun kering, meletakkan patung orang terbaring ringkih menahan serbuan asap yang melanda Riau saban tahun pada periode tertentu (musim kemarau). Karya tersebut diberi judul “Kelambu Asap�. Dari gambaran di atas, Riau sebenarnya memiliki bibit (kreativitas) yang dapat mampu tumbuh baik dan membesar. Namun hingga saat ini tampak bahwa lahan tempat tumbuh tak berkesempatan menerima nutrisi (pupuk) yang seyogianya merupakan tugas para pembina kesenian dalam hal ini lembaga pemerintah yang diberi kepercayaan mengelola kebun seni di daerah ini. Itu saja. *** SPN Dantje S Moeis Perupa, penulis kreatif, Redaktur Senior Majalah Budaya “Sagang�, dosen Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), Pekanbaru.

ba

84


Bulang Cahaya dalam Tiga Genre oleh Dr.

Junaidi

S

ebagai karya kreatif, Opera Bulang Cahaya pantas diberikan apresiasi. Keberadaan Opera Bulang Cahaya membuktikan bahwa kegiatan seni pertunjukkan terus hadir di Riau. Saya menyaksikan pertunjukkan Opera Bulang Cahaya di Anjung Seni Idrus Tintin. Kesan pertama saya adalah saya bersyukur bahwa Anjung Seni Idrus Tintin yang sangat megah dapat dimanfaatkan untuk menampilkan karya seni. Saya cemas bila gedung semegah ini tidak dapat dimanfaatkan dengan baik sebagai tempat pertunjukan karya seni. Bagi saya, pementasan Opera Bulang Cahaya adalah semangat untuk memajukan kesenian di Riau. Fedli Azis, sebagai penulis naskah dan sutradara Opera Bulang Cahaya patut diberikan penghargaan sebab ia telah berjuang untuk menjaga seni peran tetap tumbuh di Riau. Beberapa karya teaternya telah dihasilkannya untuk Riau. Tak banyak orang Riau yang memberikan perhatian pada teater, tetapi Fedli Azis telah memantapkan fokus keseniannya pada teater. 85


Sebagai penulis naskah dan sutradara, Fedli Azis memiliki beban yang sangat berat untuk mengubah bentuk novel Bulang Cahaya menjadi seni pertunjukan. Ia harus melakukan pembacaan berulang agar dapat memahami seluruh unsur yang terdapat dalam novel. Ada banyak kerumitan ketika mengubah sebuah novel ditampilkan ke dalam bentuk seni pertunjukkan. Novel ditulis untuk dibaca sedangkan teater dikemas untuk ditampilkan di pentas. Salah satu kerumitannya adalah memindahkan suasana kebatinan yang terdapat dalam novel ke dalam pertunjukkan. Fedli Azis telah melakukan penafsiran mendalam atas novel Bulang Cahaya. Ia telah membaca novel Bulang Cahaya dan kemudian mengkonstruksinya ke dalam seni pertunjukan. Sebagai karya sastra, novel Bulang Cahaya telah mengalami transformasi menjadi karya drama/seni pertunjukkan. Novel bisa diadaptasi menjadi drama dan drama pun bisa diadaptasi menjadi novel. Adaptasi suatu genre sastra ke dalam genre lain memerlukan penghayatan yang mendalam terhadap karya yang diadaptasi. Konsekuensi adaptasi karya sastra adalah terjadinya berbagai perubahan sebab sang pengubah akan melakukan penafsiran ulang terhadap karya sastra yang akan diadaptasinya. Penafsiran tentu saja akan menimbulkan perbedaan makna. Adaptasi karya sastra dapat dijelaskan dengan teori intertekstualitas. Dalam pandangan intertekstualitas, suatu teks akan berkaitan dengan teks lainnya. Ketika membaca suatu teks, kita bisa teringat dengan sebuah teks lain yang pernah dibaca sebelumnya. Ini disebabkan karena teks itu memiliki karateristik yang sama atau bisa jadi benar-benar 86


sama. Berdasarkan pengalaman membaca teks serupa sebelumnya inilah, maka kita dapat membandingkan suatu teks yang sedang kita baca dengan teks yang kita baca sebelumnya. Melakukan pembacaan terhadap beberapa teks yang saling berhubungan akan sangat bermanfaat untuk mencari makna dalam karya kreatif. Ketika saya membaca Opera Bulang Cahaya, saya tidak bisa lepas dari dua teks bertajuk Bulang Cahaya, yakni sajak Bulang Cahaya dan novel Bulang Cahaya. Saya telah melakukan pembacaan secara mendalam terhadap kedua teks tersebut, sebelum saya menyaksikan pertunjukkan Opera Bulang Cahaya. Pengalaman saya membaca sajak dan novel Bulang Cahaya dapat saya jadikan pengetahuan awal saya untuk memaknai Opera Bulang Cahaya. Saya tentu saja sangat terpengaruh oleh kesimpulan-kesimpulan yang telah saya buat tentang sajak dan novel Bulang Cahaya ketika saya memaknai Opera Bulang Cahaya. Sajak dan novel Bulang Cahaya ditulis oleh pengarang yang sama, yakni Rida K Liamsi. Sajak Bulang Cahaya dapat ditemukan dalam kumpulan puisi Tempuling. Berdasarkan tahun penulisannya, sajak Bulang Cahaya ditulis lebih awal dari pada novel. Setelah mengamati secara mendalam sajak Bulang Cahaya, dapat disimpulkan suasana kebatinan yang terdapat dalam sajak dapat ditemukan dalam novel. Meskipun sajak dan novel berbeda genre, namun gagasan perihnya cinta dapat dirasakan dalam kedua karya tersebut. Hadirnya sosok elang putih yang terdapat dalam sajak menggambarkan tokoh Raja Djaafar. Elang Putih mencitrakan sesorang laki-laki yang memiliki cinta sangat mendalam kepada kekasihnya. 87


Namun, cinta yang sangat mendalam itu justru menyakit bagi dirinya karena ia tak mampu memiliki kekasihnya. Dalam novel secara jelas digambarkan bahwa Raja Djafaar dan Tengku Buntat telah menjalin kasih tetapi mereka tak bisa mewujudkan cinta ke dalam pernikahan karena adanya kepentingan politik Melayu dan Bugis. Kita tidak bisa mengenali unsur sejarah dalam sajak Bulang Cahaya tetapi kita dapat merasakan suasana kebatinan Melayu melalui penggunaan kata dan metafora. Sedangkan dalam novel Bulang Cahaya unsur sejarah Melayu dapat dengan mudah diidentifikasi melalaui tokoh dan latar belakang cerita. Karena novel ini sarat dengan unsur kisah Kerajaan Melayu, novel ini dipandang sebagai novel “sejarah� yang menghadirkan kecamuk asmara dan kekuasaan yang melibatkan Melayu dan Bugis. Sebagian besar penonton mungkin mengalami kesulitan memahami Opera Bulang Cahaya bila mereka belum pernah membaca novel Bulang Cahaya. Ini disebakan adanya kesan kerumitan dan kejenuhan dalam sejarah. Secara psikologis kita sering memandang sejarah itu membosankan sehingga kita sering tidak menyukainya. Apalagi sejarah itu cenderung menampilkkan kisah masa lalu yang sengaja dilupakan. Citra kerumitan dan kejenuhan sejarah adalah tantangan besar bagi seorang sutradara untuk menampilkannya dalam bentuk seni pertunjukkan sebab kemasan seni pertunjukkan harus menarik dan memiliki daya pukau. Emosi penonton harus direkayasa agar penonton tertarik dan tidak meninggalkan pertunjukkan teater yang sedang saksikannya. 88


Bagaimana Fedli Azis menghilangkan citra kerumitan dan kejenuhan kisah sejarah dalam Opera Bulang Cahaya? Ia mengemas Bulang Cahaya ke dalam bentuk opera. Pilihan kemasan opera sangat tepat karena opera memberikan kesan yang lebih menarik dengan menampilkan unsur musik dan lagu. Kekuatan musik dan lagu dapat membangkitkan daya tarik penonton. Kerumitan dan kejenuhan menonton kisah sejarah dapat terobati oleh lagu dan musik. Salah satu lagu yang ditampilkan dalam pementasan Opera Bulang Cahaya adalah: layang-layang bertali benang/ putus benang tali belati/ cintaku lepas-cintaku kenang/ cinta sejati ku biar pergi/ layang-layang berekor panjang/ putus benang tali belati/ hatiku kusut-rindu ku hanyut/ di ujung petang mengirim rindu/ cintaku jadi semilu. Lagu ini sengaja dihadirkan pada akhir bagian satu. Dialog panjang antara Raja Djafaar dan Raja Husin yang memberikan kesan mononton dapat menjadi hidup dengan hadirnya lagu ini. Pada pertengahan bagian dua, pada saat dialog Raja Djafaar dan Raja Husin kembali dihadirkan lagu itu kembali. Pada akhir bagian tiga dan pada pertengahan bagian empat kembali ditampilkan lagu untuk menghibur penonton. Opera Bulang Cahaya bukanlah pementasan opera yang sesungguhnya karena bila merujuk pada konsep opera, unsur musik sangat penting dalam pertunjukkannya. Sedangkan dalam Opera Bulang Cahaya unsur seni lakon tetap menjadi bagian utama. Musik digunakan hanya sebagai instrumen pendukung untuk membangun suasana menarik agar penonton tidak jenuh dalam kerumitan kisah sejarah yang diangkat dalam Opera Bulang Cahaya. 89


Bila dikaitkan Opera Bulang Cahaya dengan sajak dan novel Bulang Cahaya, karya Opera Bulang Cahaya mampu menghadirkan suasana kebatinan yang terdapat dalam sajak dan novel. Dua tema penting, yakni permainan asmara (Raja Djafaar-Tengku Buntat) dan pertarungan kekuasaan (Melayu-Bugis) yang terdapat dalam sajak dan novel mampu ditampilkan secara berkesan dalam Opera Bulang Cahaya. Kisah asmara Raja Djafaar dan Tengku Buntat dikemas secara dramatik dan tragis sehingga dapat membangkitkan emosi penonton. Cinta mereka dikalahkan kekuasaan. Kecamuk politik antara Melayu dan Bugis juga ditampilkan secara menarik sehingga memberikan kesan betapa berkuasanya politik dari pada cinta. Politik mampu merekayasa segala sesuatu, termasuk merekasaya cinta menjadi “politik ranjang� demi untuk mendapatkan kekuasaan. Kini Bulang Cahaya hadir dalam tiga genre yang berbeda (sajak, novel dan drama). Hadir dalam tiga genre yang berbeda tentu menghasilkan makna yang berbeda pula. Rida K Liamsi dan Fedli Azis telah menghadirnya. Kita harus memaknainya! *** Junaidi Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning.

ba

90


Puisi, Sufi dan Rida K Liamsi oleh

Ary Sastra

A

palah arti sebuah puisi, bila tidak mampu memberikan pemahaman yang baru dan mendalam kepada pembacanya tentang kompleksitas kehidupan manusia. Sebuah puisi harus dapat menampilkan suatu segi dari realitas yang belum seutuhnya diketahui, realitas paling abstrak, yang sanggup membangun kesadaran kontemplatif tentang apa hakikat hidup, kehidupan, manusia, dan kemanusiaan. Oleh karena itu, seorang penyair harus sanggup menjalin interkomunikasi antara hakikat realitas dan hati sanubari. Dalam sejarahnya, perkembangan puisi di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh dan bentuk-bentuk pembaruan dari Barat. Hal ini tergambar pada isi dan pandangan hidup yang merupakan hasil penjelajahan penyairnya terhadap pemikiran-pemikiran modern yang bernafaskan filsafat Barat. Di sisi lain, perkembangan puisi Indonesia juga tidak terlepas dari pengaruh budaya dan akar tradisi. Meskipun

91


sudah mendapat pengaruh dari Barat, para penyair masih berupaya menggali kembali jejak-jejak spiritualisme nenek moyang mereka, seperti, mantra, syair, gurindam, talibun, yang umumnya bernafaskan sufistik. Pandangan-pandangan sufistik yang muncul pada puisi-puisi Indonesia bersumber dari berbagai ajaran. Ada yang menggali pada sumber ajaran sufi Islam (tasawuf), ada yang menggali pada ajaran Kebatinan Jawa, dan ada pula yang melacak jejak-jejak ajaran mistik HinduBuddha. Puisi-puisi Indonesia yang bersumber pada pandangan sufistik Islam (tasawuf) menggali pandanganpandangan Islam yang sangat universal. Pandanganpandangan itu di antaranya tentang eksistensi Tuhan yang monoteisme, kecintaan dan kerinduan (mahabah) yang hebat pada Tuhannya, kesempurnaan hidup di jalan Tuhan, eksistensi manusia sebagai makhluk dan hubungannya dengan Khaliknya, sikap hidup zuhud, serta konsep wihdatul wujud (wihdatul syuhud). Kecenderungan ini karena terilhami Alquran yang ditulis dalam bentuk puisi yang amat indah, penuh simbol, dan penuh pandangan hidup yang menakjubkan. Sebagai bentuk ekspresi pun, terutama untuk ekspresi pengalaman rohani dan religius, genre puisi amat cocok karena personal, unik, universal, sarat simbol, dan mistik. Sebenarnya, puisi-puisi sufi dalam konstelasi sastra Indonesia sudah dikenal sejak periode kesusastraan Melayu. Misalnya saja, Gurindam XII gubahan Raja Ali Haji. Dalam perjalanan sejarah puisi Indonesia selanjutnya, sejak era Amir Hamzah, pandangan sufistik

92


telah menjadi bagian kekayaan puisi Indonesia dan terus berkembang dengan berbagai ragam ekspresi. Meski diungkapkan dengan berbagai ekspresi dan bentuk pengucapan, sastra sufi memiliki karakteristik kecenderungan estetika yang sama. Kecenderungan estetika sastra sufi itu di antaranya adalah ekspresi kerinduan kepada Allah. Tradisi sufistik dalam sejarah puisi Indonesia, hingga kini masih menjadi sumber penciptaan bagi sejumlah penyair, seperti Acep Zam-Zam Noor, Jamal D. Rahman, Sutarji Calzoem Bachri, Taufik Ismail, Rida K Liamsi, dan yang lainnya. Bagi Rida K Liamsi, nafas sufistik bukanlah hal yang aneh bagi dirinya, terutama sebagai orang Melayu. Pengaruh akar tradisi Melayu, seperti mantra masih terasa dalam puisinya yang berjudul “Dayang Ku Laut .� Dalam puisinya ini, penyair menyadari benar tidak ada sesuatu yang abadi di dunia ini. Segalanya akan berakhir, semuanya akan tamat. O, Dayang Ku Laut O, pasang O, surut O, musim yang kini penuh ingin Jangan biarkan angin berhenti bermain Biarkan kami bercakap seperti kerap di tingkap Tentang karang Tentang kerang Tentang setu Tentang gongong

93


Tentang gamat Tentang segalanya yang segera akan tamat

Akan Tamat!

Nafas sufistik lain, diungkapkan Rida K Liamsi dalam puisi “Di Jabbal Rahmah.� Rida seolah ingin menunjukkan pengalaman batinnya, tentang kepasrahan yang dalam kepada Tuhan. Penyair ini mengakui kehinaan dan keterbatasan dirinya sebagai makhluk yang tak berdaya di hadapan Tuhannya. Sekarang, dari Jabbal Rahmah aku ingat perjalanan bathin ku: Tuhan, di bentangan padang seluas pandang aku pernah wukuf Pernah bersujud Pernah meratap Pernah pasrah Pernah menyerah Tuhan, aku malu ... Karakteristik estetika sufi yang lain adalah ekspresi khas sufi tentang penyatuan hamba dengan Tuhannya. Dalam konsep tasawuf dikenal dengan istilah wihdatul wujud. Merupakan suatu konsep dan persepsi kesatuan dalam kegandaan serta kegandaan dalam kesatuan. Tuhan tidaklah dihayati sebagai Dia yang berada di sana namun juga hadir bersama manusia. Tuhan memang tak 94


terjangkau tapi bisa didekati (taqarub) sebab Dia juga Mahadekat. Ajaran sufi mengisyaratkan adanya hubungan yang tak terpisahkan antara alam dan manusia. Manusia merupakan mikrokosmos (jagat kecil-dunia kecil), sedangkan alam merupakan makrokosmos (jagat besardunia besar). Tampaknya, berangkat dari konsep makromikrokosmos ini mengakibatkan kecenderungan para penyair sufi untuk bermain-main dengan natural symbols untuk melukiskan kegelisahan pencarian, kerinduan, dan kepasrahannya pada Tuhannya. Dalam larik puisinya “Surat kepada GM� Rida K Liamsi menggambarkan kegelisahannya. Kita ternyata tak bisa bilang KUN! PAYAKUN! JABBARKUN! Kita tak punya kuasa Kita perlu beratus kata, beribu kata Pun untuk bilang YA! Di bendul pintu, setiap minggu, kau letakkan kata-kata Dan aku memungutnya sambil menatap ke luar jendela Seperti helai-helai kelopak, aku taburkan kata-katamu Biar jadi beratus kata, beribu kata, jadi berkata-kata Hidup ternyata semakin niscaya, semakin tak percaya pada

95


kata-kata Pun pada KITA! Sepertinya nafas sufistik akan terus diembuskan oleh penyair dalam puisi-puisinya. Puisi-puisi sufistik akan terus ditulis dan akan memberikan pemahaman yang baru dan mendalam kepada pembacanya tentang kompleksitas kehidupan manusia. Seorang sufi belum tentu bisa menjadi seorang penyair. Tapi seorang penyair bisa terlihat sebagai seorang sufi di dalam puisi-puisinya. Wallahualam. *** Ary Sastra Sastrawan asal Kepulauan Riau (Kepri). Bermastautin di Kota Tanjung Pinang.

ba

96


Ketika Tumpukan Buku Menjadi Beban Keluarga oleh

Fakhrunnas MA Jabbar

K

enikmatan seseorang pada buku memiliki kadar yang berbeda-beda. Ada orang yang menikmati buku dengan cara membaca di perpustakaan. Namun tak sedikit pula para penikmat buku yang dengan susah payah membeli dan mengoleksi di rumah. Bahkan, banyak sekali perpustakaan-perpustakaan pribadi yang bertebaran di mana-mana. Inilah yang dominan dilakukan para intelektual dan pemikir yang menjadikan buku sebagai sumber referensi dan inspirasi dalam memperkaya wawasan. Bahkan, bisa jadi menghasilkan karya baru baik bernuasa ilmiah maupun nonilmiah. Kalangan intelektual yang biasanya mendirikan perpustakaan pribadi di rumah itu biasanya diperankan oleh dosen, ilmuwan, peneliti, pengamat, penulis dan seniman. Koleksi buku yang tersimpan di deretan rak atau lemari –bahkan akibat keterbatasan ruangan berubah jadi tumpukan buku- secara tak sadar telah membangun

97


”hegemoni” tersendiri di rumah. Sebagian besar para isteri yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga tidak terlalu bersepakat dalam ”situasi” pengelolaan perpustakaan ini. Bagi pencinta dan penikmat buku yang memiliki dana cukup tentu saja perpustakaan pribadi di rumah benar-benar terkelola secara rapi. Bahkan ribuan judul buku benar-benar dikodifikasi sesuai klasifikasi guna memudahkan pencarian buku di rak atau lemari pustaka. Bahkan, data dan kode buku disimpan di dalam komputer dengan ”mesin pencari” yang bekerja cepat. Tentu saja, pengelolaan perpustakaan ini mempekerjakan satu atau dua orang pustakawan dengan gaji yang memadai. Sementara pencinta dan pengoleksi buku yang lain –akibat keterbatasan dan kesederhanaan hidupterpaksa mengelola perpustakaan pribadi apa adanya. Tak jarang, rak-rak buku berebut tempat di kamar tidur atau ruang tamu karena tak ada ruangan lain yang dapat menampung buku-buku itu. Akibatnya ”sengketa” kecil di rumah tangga tak terhindarkan. Apalagi di saat sederetan buku dengan halaman terbuka yang terbengkalaikan oleh suami, biasanya disikapi dengan beragam cara. Persoalannya, kemauan baik isteri untuk merapikan ”bengkalai” buku itu justru dipandang bukan membantu, malahan mengacak-acak pekerjaan atau membuyarkan inspirasi. ”Hegemoni buku” di rumah antara suami dan isteri –boleh jadi didukung oleh anak-anak yang cenderung membela ibunya- bisa terjadi bagi siapa saja. Apalagi, hegemoni itu diawali dengan alokasi dana beli buku yang secara tak langsung akan berpengaruh pada dana kebutuhan sehari-hari bagi penghasilan yang terbatas. 98


Dengarlah perbincangan para istri bernasib sama yang mempersoalkan bagaimana tumpukan buku menjadi ”beban” yang tak bisa dihindari. Situasi ini bakal bertambah runyam ketika si suami –penguasa utama deretan dan tumpukan itu- meninggal dunia. Banyak kisah duka yang menimpa para isteri yang harus mewarisi ribuan buku itu. Saudara sepupu saya, sastrawan Hamid Jabbar saat wafatnya meninggalkan tak kurang dari 5000 buku –mayoritas bidang sastra dan budaya-- benar-benar menjadi ”beban” bagi keluarga yang ditinggalkan. Pasalnya, tak ada anak-anaknya yang tunak menggeluti dunia menulis yang sangat bergantung pada buku. Koleksi buku yang semula mengisi rak-rak di beberapa sisi dinding di ruangan keluarga dipandang makin mempersempit ruangan. Buku-buku itu pun dikemas dalam kardus yang ditawarkan kepada kolega Hamid semasa hidupnya. Saat saya bertamu di hari lebaran tahun lalu, Meuthia Aulia Jabbar, anak sulung Hamid menunjukkan tumpukan-tumpukan kardus buku yang tetap menjadi ”beban” baru. Menurut Meuthia, memang ada salah seorang kerabat ayahnya yang akan mengambil dan memanfaatkan koleksi buku tersebut, namun entah karena apa, sampai saat itu tak kunjung diambil. Malah Meuthia menawarkan buku-buku itu pada saya. Namun persoalannya saya pun juga cukup diresahkan oleh ”beban” koleksi buku dalam jumlah yang sama karena keterbatasan ruangan penempatannya. Nasib hampir sama semula dialami oleh isteri budayawan Hasan Junus. Dua tahun setelah wafatnya Hasan, perpustakaan pribadi yang terdiri lebih 5000 99


buku –sebagian terdapat naskah-naskah kuno Melayu yang selalu diburu dan diincar para pengoleksi naskah kuno di antaranya dari Malaysia- koleksi buku itu benarbenar menjadi beban bagi isteri dan seorang anak yang ditinggalkan. Belum lagi, sejumlah naskah buku yang ditulis Hasan semasa hidupnya namun belum sempat diterbitkan tersimpan di dalam hard disk komputernya. Salah satu naskah buku itu tentang Ensiklopedia Sastra Riau dengan tebal hampir 500 halaman. Semula isteri Hasan berusaha menawarkan koleksi buku dan naskah-naskah sastra-budaya itu. Salah satu pihak yang berminat dengan koleksi Hasan Junus itu adalah Yayasan Sagang, sebuah yayasan kebudayaan yang prestisius di Riau, didirikan oleh sastrawan yang juga ”Raja Media” Rida K. Liamsi. Informasi yang saya peroleh dari Kazzaini Kz (Ketua Yayasan Sagang) menyebutkan koleksi Hasan Junus itu ”diselamatkan” oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dengan kompensasi dana yang cukup memadai bagi keluarga Hasan. Hamid Jabbar dan Hasan Junus, tentu hanyalah segelintir kecil pencinta buku yang meninggalkan ”beban” buku bagi keluarga. Ribuan bahkan jutaan pencinta dan pengoleksi buku yang boleh jadi meninggalkan ”beban” yang tak terselesaikan. Persoalannya, dilema yang selalu muncul terkait dana kompensasi yang layak diberikan apabila buku-buku itu ”diselamatkan” untuk kepentingan perpustakaan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Bila koleksi buku itu akan diambil oleh seseorang secara pribadi, tentu sulit diprediksi kemungkinan adanya dana kompensasi yang memadai. Andai pun buku100


buku itu dimanfaatkan oleh badan swasta atau yayasan, selalu terkendala soal tersedianya dana. Sementara untuk berharap pada pihak pemerintah provinsi atau kabupaten, tak mudah untuk mengharapkan tingkat apresiasi terhadap koleksi buku yang hampir semuanya tidak baru. Hal ini biasanya akan terkendala proses proyek yang penuh liku-liku berbau ”transaksional”. Dalam hal ini, ada solusi lain yang bersifat moderat. Sepantasnya pihak Badan Perpustakaan Provinsi atau Kabupaten/ Kota proaktif untuk ”menyelamatkan” koleksi buku perpustakaan pribadi yang tak terurus itu untuk melakukan pendekatan pada pewaris bukubuku tersebut. Proses negosiasi dapat dilakukan dengan sistem ”hibah-pinjam” di mana koleksi buku ”dititipkan” di gedung perpustakaan dengan memberikan nama pemilik koleksi buku pada rak tertentu. Ini sekaligus dapat mengabadikan nama tokoh bersangkutan sekaligus menjadi amal ibadah bagi yang sudah wafat. Tentu saja, pihak perpustakaan harus mempersiapkan dana kompensasi yang dapat dibicarakan secara manusiawi dengan pihak ahli waris. ***

101


Fakhrunnas MA Jabbar Sastrawan dan pencinta buku, tinggal di Pekanbaru.

ba

102


�Kuda Pustaka�, Inspirasi Bersama oleh

Al Mahfud

S

ebagaimana kita ketahui bersama, minat baca masyarakat kita rendah. Bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga sekalipun. Beberapa survei mutakhir berkesimpulan bahwa masyarakat kita saat ini lebih gemar menghabiskan waktu dengan menikmati hiburan dengan menonton televisi. Sementara anak-anak muda sedang larut dalam fitur-fitur canggih dalam telepon pintar. Dan buku menjadi benda asing, sementara perangkat virtual lebih menarik dan tak membuat pusing. Di kala minat baca masyarakat begitu rendahnya, apa yang bisa kita lakukan? Kehidupan sudah sedemikian cepat berkembang. Orang-orang sudah terlanjur larut dalam buaian kemudahan. Bukan hal mudah mengajak orang untuk mulai membudayakan membaca. Ketika orang-orang dewasa sudah sedemikian jauhnya dengan laku membaca, sudah sedemikian asingnya dengan buku, maka, mendekati anak-anak adalah cara jitu. Anak-anak, bagaimanapun, adalah harapan. Mereka tumpuan masa depan. Mau dibawa ke mana masa depan kehidupan kelak, ada di tangan generasi muda, atau anak-anak kita saat ini. Terkait minat baca, anak-anak 103


adalah pihak yang tepat dan strategis untuk dibiasakan agar gemar membaca. Sebab jika sejak kecil sudah gemar membaca, maka dalam perjalanannya sampai dewasa, ia akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi berwawasan luas dan mampu menjawab tantangan kehidupan. Kemudian, yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana kita membiasakan anak agar gemar membaca? Pertanyaan tersebut tentu menimbulkan beragam jawaban. Seseorang bisa melakukan apa saja untuk anaknya, paling tidak sesuai posisinya. Orang tua, bisa melakukan berbagai hal untuk anaknya. Mulai dari menyediakan bacaan di rumah, membiasakan pergi ke toko buku dan membeli buku, dan yang paling utama, memberi contoh langsung dengan menjadi orang tua yang gemar membaca. Seorang guru, melalui fungsinya sebagai pengajar dan pendidik, bisa memacu minat baca muridmuridnya di sekolah. Interaksi di kelas dan lingkungan sekolah, bisa dimanfaatkan untuk memantik gairah dan semangat murid agar gemar membaca. Perpustakaan sekolah, menjadi media penting dalam hal ini. Tinggal bagaimana, guru mampu membangun budaya membaca di lingkungan sekolah tersebut. Orang tua dan guru menjadi pihak yang berperan strategis dalam menanamkan dan membangun kesadaran pentingnya membaca pada anak. Melalui perannya masing-masing, serta ketersediaan media, hal itu bisa mereka lakukan tanpa banyak rintangan. Namun, apa yang ada dalam benak kita ketika membaca sebuah berita tentang seseorang yang berkeliling dari sekolah ke sekolah, untuk menawarkan buku pada anak-anak? 104


Adalah Ridwan Sururi, seorang perawat kuda berusia 42 tahun dari Desa Serang Karangreja Purbalingga Jawa Tengah. Ia adalah model. Contoh seseorang yang memiliki kepedulian pada masa depan anak-anak dan mewujudkan kepedulian tersebut dengan caranya sendiri. Ia bergerak. Melakukan apa yang bisa ia lakukan untuk memberi manfaat pada orang sekitar. Seekor kuda poni, yang biasa disewakan pada wisatawan Lembah Asri Wisata Desa Serang, di tangan Ridwan Sururi disulap menjadi perpustakaan kelilling bernama “Kuda Pustaka�. Dua rak kayu yang penuh dengan buku, diletakkan di punggung sang kuda bernama Luna. Dengan niat memberikan kemudahan akses bacaan pada anak-anak, Ridwan Sururi bertandang ke sekolah dan TPQ di pagi dan sore hari (SM,13/3). Bergerak Niat Ridwan Sururi sederhana, namun mulia; agar banyak anak yang gemar membaca. Niat itu sudah cukup meneguhkan hatinya untuk bergerak, menghampiri anak-anak di sekolah-sekolah. Ridwan Sururi menyadari, dibutuhkan pemantik, atau stimulus untuk anakanak agar mulai menyukai membaca. Dan yang harus melakukannya, tidak lain adalah kita, orang dewasa di sekitar anak-anak tersebut. Kesadaran tersebut terlihat dari keteguhannya menghampiri langsung anak-anak di sekolah dan menyediakan bacaan bagi mereka di kala jam istirahat pelajaran tiba. Terlepas dari ide dan buku-buku tersebut berasal dari temannya, namun apa sudah ia lakukan menjadi bukti kesadaran akan pentingnya sebuah 105


gerakan. Tidak semua orang memiliki kesadaran tersebut, bahkan jarang. Orang-orang seperti Ridwan Sururi adalah tokoh-tokoh penggerak literasi di lapangan, tanpa motif keuntungan dan penghargaan. Ia mewujudkan kepeduliannya dengan melakukan apa yang bisa ia lakukan. Di luar sana, banyak orang-orang seperti Ridwan Sururi yang mungkin belum terendus oleh media. Mereka melakukan dengan berbagai macam cara. Mulai dari membuat perpustakaan di rumah sendiri, sampai yang berkeliling menawarkan buku bacaan pada publik. Mereka bergerak, berupaya, tanpa mengharapkan imbalan. Dalam masyarakat yang kering budaya baca seperti sekarang, orang-orang seperti Ridwan Sururi ibarat pelita di tengah kegelapan. Mereka datang dengan membawa sinar harapan. Harapan yang diupayakan dengan menyediakan bacaan bagi anak-anak. Sebuah langkah sederhana, namun sungguh nyata dan bermakna. Kisah tentang Ridwan Sururi adalah inspirasi bagi kita bersama. Bahwa setiap orang punya cara untuk bisa bermanfaat bagi orang-orang sekitarnya. Tinggal kita mau bergerak melakukannya atau tidak, itu bergantung pada diri kita masing-masing.*** Al Mahfud Pembaca media, bergiat di Paradigma Institute Kudus. Menulis esai, feature, dan resensi buku yang dimuat di berbagai media. Seperti Suara Merdeka, Wawasan, Solo Pos, Joglosemar, Radar Surabaya, Kedaulatan Rakyat, Tribun Jogja, Tribun Jateng, Koran Jakarta, Lampung Post, Padang Ekspres, Analisa, Riau Pos, Analisa Medan, dll. 106


Filosofi Tenas Effendy dalam Kearifan Pemikiran Melayu Das andenkende denken.1) oleh

Gde Agung Lontar

K

epergian Tenas Effendy (TE) seperti telah menimbulkan lubang besar dalam rangkaian mosaik kebudayaan Melayu. Mosaik yang telah turut dilukisnya, melalui pemikiran yang muncul dari hasil perenungan dan pembacaan serta pengamatan sepanjang hayat. Salah satu keping mosaik itu berbentuk buku berjudul Kearifan Pemikiran Melayu (KPM), terbitan Disbudpar Provinsi Riau, 2013 (cet. ke-3), ISBN 978-602-17380-0-9. TE di dalam bukunya itu mengklaim bahwa kebudayaan Melayu pada dasarnya telah menggalakkan orang untuk berpikir, dengan menggunakan akal dan hati nuraninya secara cermat (KPM: 30). Ungkapan Melayu semacam “berpikir adalah pelita hati� banyak sekali untuk mendukung pendapat ini. Di KPM saja TE setidaktidaknya mencatat ada 22 ungkapan yang berhubungan langsung dengan kata pikir. Kebiasaan dan kebisaan 107


inilah yang menurut beliau menjadi latar bagi kearifan berpikir orang Melayu, yang merupakan kegiatan utama dalam filsafat. Kearifan Pemikiran Melayu KPM sendiri mungkin bukanlah sebuah buku filsafat, tetapi jelaslah ia setidak-tidaknya merupakan sebuah buku etika. Buku yang berisi ulasan tentang hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral, dan hal-hal yang berkaitan dengan tingkah-laku dan interaksi kemanusiaan lainnya. Dengan demikian KPM sebenarnya juga dapat disebut sebagai sebuah buku filsafat, karena secara tradisional etika termasuk bagian dari filsafat (selain estetika, logika, metafisika, dll). Meski demikian buku ini tidak semata-mata berisikan persoalan etika, namun juga secara cukup menonjol masih memuat persoalan-persoalan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan metafisika. Sebagai peradaban yang berlandaskan kemaritiman, puak Melayu juga dikenal memiliki sifat yang terbuka, lentur, egaliter, namun juga elegan. Ini timbul barangkali oleh karena interaksi yang begitu intens dengan orangorang asing, di masa zaman kapal layar dahulu – sebagaimana juga dapat kita temukan pada beberapa peradaban pesisir lainnya. Oleh karena itulah, menurut TE dengan keterbukaan budayanya itu, orang-orang Melayu secara arif dan bijak menyerap pula unsur-unsur budaya luar yang dianggap sesuai dan serasi dengan nilainilai asas kebudayaannya (tentu dengan tujuan untuk memperkuat dan/atau memperkaya kebudayaannya

108


sendiri – gal), namun juga menolak masuknya unsurunsur yang buruk dan merusak (KPM: 5). Lanjut beliau pula: “Dalam proses yang panjang, kebudayaan Melayu yang berlatar belakang beragam budaya di dunia ini, ‘diluruskan’ dan ‘dibersihkan’ serta ‘diayak’ dan ‘ditapis’ oleh ajaran Islam, sehingga wujudlah kebudayaan Melayu yang islami. Kebudayaan inilah yang menjadi “jati diri” kemelayuan, terutama adat istiadatnya, ....” (KPM: 6). Masih di tempat yang sama, klaim beliau lagi: “Perpaduan budaya dengan nilai Islam, melahirkan orang Melayu yang memiliki budi bahasa yang mulia, budi pekerti yang terpuji, akal budi yang tinggi, ....”. Dengan demikian ini menunjukkan bahwa sejak agama Islam diimani oleh orang-orang Melayu di [setidak-tidaknya] kawasan Asia Tenggara, maka agama Islam telah menjadi salah satu penentu “kejatidirian” puak Melayu.2) Ada 7 bab yang mengisi buku setebal 344 halaman ini, dengan 5 bab utama seluruhnya berisi pemikiran Melayu tentang topik tertentu; yang sebagian besar dalam lingkup etika. Dengan demikian KPM barangkali dapat juga disebut sebagai buku Etika Melayu. Setelah Bab I Pengenalan, Bab II berisi Pemikiran Melayu tentang Pendidikan Keluarga. Ini adalah bab terpanjang dalam buku ini; agaknya secara kuantitatif ingin menunjukkan betapa pentingnya isi bab ini. Di banyak puak atau kebudayaan, persoalan keluarga dan kekerabatan selalu menjadi hal yang paling penting. Demikian juga dengan orang Melayu. Dalam hal anak, TE menyebutkan bahwa: “Orang Melayu meyakini bahawa setiap anak hakikatnya dapat menjadi ‘orang’ karena setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Kuncinya 109


tergantung kepada sikap dan perilaku serta tanggung jawab orang tuanya. Sepanjang orang tua berusaha ‘membela pelihara’ anaknya, memberikan ‘tunjuk ajar’ yang baik, akan baiklah anak itu. Tetapi apabila anak itu diabaikan, terlantar dan tidak ‘dibela pelihara’ secara wajar pastilah anak itu tidak akan menjadi ‘orang’.” (KPM : 34-35).3) Selanjutnya di dalam bab ini secara panjang-lebar TE menguraikan pandangan dan tradisi orang Melayu dalam hal keluarga dan bangsanya, diiringi dengan ratusan ungkapan yang berhubungan dengan hal tersebut. TE menyebutkan tentang “Hutang orangtua kepada anaknya”, yaitu tentang kewajiban orangtua kepada anaknya. Lalu tentang “Sikap orangtua terhadap anaknya”, yaitu tentang sikap-sikap terpuji yang harus ditampilkan orangtua terhadap anaknya, agar anaknya dapat tumbuh dan berkembang dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya dalam “Upaya menanamkan nilai-nilai luhur” ada yang dilakukan sebelum kelahiran ataupun sesudahnya. TE menguraikan bahwa ada berjumlah 25 “Nilai-nilai luhur yang harus ditanamkan kepada anak” yang lazim disebut sebagai Sifat Duapuluh Lima atau Pakaian yang Duapuluh Lima, yang kelak akan menjadi dasar bagi ciri-ciri watak dan jati-diri orang Melayu. Di samping sifat-sifat terpuji itu, ada juga sifat-sifat atau perilaku buruk atau merusak yang harus dipantangkan pada anak yang jumlahnya juga 25. Bab III berisi Pemikiran tentang Jatidiri Melayu. Orang Melayu adalah penganut Islam dan kebudayaannya adalah budaya Melayu yang Islami, sehingga orang Melayu bersikap terbuka, santun dan bertimbang rasa, bersangka 110


baik dan rendah hati, lapang dada dan menjauhkan silang sengketa. Oleh karena orang Melayu bersifat terbuka, tak jarang terjadi perbauran berbilang suku, kaum, dan puak yang kemudian memberi pengaruh terhadap kebudayaan Melayu. Akhirnya, kebudayaan Melayu tumbuh dan berkembang menjadi kebudayaan yang majemuk pula, yang sarat dengan keberagaman nilai. TE menjelaskan bahwa jatidiri yang dimaksudnya dalam buku itu adalah tentang nilai-nilai asas yang menjadi acuan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup, dan landasan hidup orang Melayu yang akan tercermin dalam tindak-tanduk sehari-hari. Teraju nilai asas jati diri Melayu adalah Islam. Kemelayuan seseorang tidak lagi sepenuhnya mengacu kepada tali-darah, suku dan puak, tetapi juga merujuk kepada nilai yang dianutnya. Bab IV berisi Pemikiran Melayu tentang Kepemimpinan. Di sini sebagian besar adalah persoalan etika politik, yang di masa-masa ini secara memprihatinkan nyaris di(ter)abaikan sama sekali oleh para pemimpin dan politisi kita. Dalam budaya Melayu, untuk menegakkan tuah dan marwah serta harkat dan martabatnya seorang pemimpin dituntut untuk memiliki kepribadian terpuji, yang lazim disebut sebagai “pakaian diri” atau “pakaian batin”; juga paham dengan kedudukan, fungsi, dan tanggung jawabnya. TE selanjutnya juga menguraikan keutamaan-keutamaan yang harus dimiliki seorang pemimpin dan pantang-larangnya. Bagi orang Melayu dalam hal kepemimpinan “raja berdaulat bersama rakyat, raja bertuah memegang amanah, raja terpuji kerana berbudi, raja termasyhur tiada tekebur, raja terpandang hatinya lapang.” (KPM: 111


163). Oleh karena itu “ketaatan Orang Melayu bukanlah ketaatan yang ‘membabi buta’, tetapi adalah ketaatan yang mengacu kepada kebenaran yang hakiki, sesuai dengan adat dan budaya serta agama yang dianutnya.” (KPM: 165). Bab V berisi Pemikiran Melayu tentang Ekonomi. Menurut TE orang Melayu dalam melaksanakan kegiatan ekonomi menurutkan pada “alur dan patutnya”, memiliki tenggang rasa yang tinggi, serta tidak menghalalkan halhal yang diharamkan oleh agama Islam. Kegiatan ekonomi Melayu intinya menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Dengan landasan ini dapat ditumbuhkan kehidupan perekonomian yang sehat, adil dan merata, serta tetap memelihara sumber-sumber alam yang ada. Bab VI berisi Pemikiran Melayu tentang Pemukiman dan Lingkungan Alam Sekitar. Ada banyak sekali ungkapan yang berkaitan dengan hal ini yang dapat menggambarkan sesungguhnya betapa dekatnya masyarakat Melayu dengan alam dan lingkungannya. Menurut orang Melayu: “Yang disebut adat di kampung, adat dijaga lembaga dijunjung, rumah beratur dusun dikungkung, halaman luas ladang bersambung, suak dan sungai sama dilindung, hutan dipelihara hidup bersambung, di sana tempat anak-cucu berlindung.” (KPM: 231). Kawasan hutan atau rimba belantara adalah salah satu yang mendapatkan perhatian paling penting dalam budaya Melayu, karena hutan memiliki fungsi yang begitu beragam. Karena itu ada banyak sekali ungkapan yang berhubungan dengan hutan atau rimba belantara 112


ini, seperti: “apabila hidup tak berhutan tanah, ke laut menjadi lumut, ke darat menjadi ulat”, atau “apabila hutan sudah meranggas, adat lembaga ada yang lepas”, atau “selagi ada hutan tanah, hidup tak kan berkeluh kesah”; yang dapat menggambarkan bagaimana relasi dan perlakuan orang Melayu terhadap hutan-tanah. Namun di dalam bab ini juga TE menyampaikan keprihatinannya akan perkembangan terkini bagaimana orang-orang memperlakukan hutan-tanah kawasan [puak] Melayu [Riau] terkini, sudah begitu meruyaknya perkebunan kelapa sawit dan hutan-industri akasia, persoalan pembalakan liar, dan terutama ketakberdayaan masyarakat Melayu [Riau] melihat kawasan hutantanahnya dijarah secara semena-mena itu. *** Mengenai kemampuan daya pikir orang Melayu ini, tulis TE pula: “Kesedaran ini menyebabkan mereka menjadi orang yang ‘tahu diri’, ... yang menumbuhkan dan mengembangkan pola fikir yang berwawasan luas, ... yang mampu merumuskan rancangan yang bernas, yang bermanfaat bagi kehidupan pribadi mahupun kehidupan berumahtangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kesedaran ini pula yang menyebabkan lambat laun orang-orang Melayu memiliki pengalaman yang luas, yang menempa dan mencanai mereka menjadi orang-orang yang arif, bijaksana dan piawai dalam berfikir.” (KPM: 2). Ini menurut beliau erat kaitannya dengan wawasan berfikir orang Melayu yang luas dan menyeluruh, yang tidak hanya sekadar memikirkan hidup di dunia ini saja, tetapi juga kehidupan di akhirat; yang tidak sekadar memikirkan diri sendiri belaka, tetapi juga 113


memikirkan kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, serta alam sekitarnya; sehingga menyebabkan mereka mampu menempatkan dirinya sebagai makhluk Allah yang dijadikan “khalifah� di muka bumi ini (KPM: 28). Klaim seperti ini bila dibawa ke gelanggang yang lebih luas bisa saja menimbulkan sanggahan, perdebatan, atau setidak-tidaknya pertanyaan. Tetapi sementara ini kita tidak akan membahas hal ini. Selamat Jalan Tengku! Demikianlah, dengan membicarakan Kearifan Pemikiran Melayu Tenas Effendi dalam konteks filsafat/ etika ini. Penulis berharap kita dapat menemukan benang merah yang tebal dengan keadaan Melayu [Riau] terkini. Mungkin pembicaraan bernada filsafat terasa mengawangawang, mungkin juga mimpi, khayal. Mungkin segala ungkapan, tunjuk-ajar, dan peribahasa hanya sebagai pemanis dan pematut belaka. Tetapi sebagaimana “Jarwo quote� ia tetap dinanti, karena filsafat memuat landasan dan sistematika kebudayaan suatu bangsa, yang pada akhirnya akan memberi pengaruh pada pengalaman dan perilaku hidup penyandang kebudayaan itu. Ia juga mungkin timbul dalam bentuk mitos, tradisi, atau pun ilmu pengetahuan. Ya, filsafat itu memang menakjubkan, secara harafiah penuh keheranan, atau bahkan membingungkan. Boleh jadi ia juga merupakan sebuah kemewahan, namun kemewahan yang sebenarnya dapat dihasilkan oleh setiap orang. Sebenarnya, ia bahkan sangat dibutuhkan pada masa-masa keraguan, kesulitan, dan kekalutan (Solomon

114


et al, 2002: 604). Selamat jalan, Tengku. “Maka entahlah apa datang seorang perenung lain ataupun tidak.”4). *** Payungsekaki, 020515.

Catatan: 1) “Pemikiran yang memperhatikan” (dari Heidegger dalam K Bertens, 1981: 154).

Martin

2) Dalam pandangan yang lebih ketat lagi, bahkan ada yang “mengabaikan” – atau sekurang-kurangnya tidak mementingkan – faktor genealogi/keturunan. Meski Anda berdarah Melayu, Anda bukan Melayu kalau tidak beragama Islam dan tidak menjalankan adatistiadat Melayu; atau sebaliknya. 3) Ada cukup banyak kesalahan suntingan maupun tipografis, termasuk buku ini nampaknya masih menggunakan ejaan/dialek bahasa Malaysia (ini mungkin ada hubungannya dengan TE pernah menjadi pengajar di sana) yang dapat saja membuat makna suatu kalimat menjadi berbeda sama sekali dalam pembacaan bahasa Indonesia.

115


4) Penggalan syair Iqbal yang diucapkannya setengah jam sebelum wafat (Iqbal. Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam. Alih bahasa: Osman Raliby. Jakarta: Bulan Bintang, 1978, h: 18).

ba

116


Puisi, Puasa dan Budaya Konsumsi oleh Khairul

Anam

S

ekarang adalah masa di mana penyair menulis puisi bukan karena kebutuhan rohani atau jasmani melainkan karena gaya hidup. Dengan aksi ini, penyair berlomba mengejar citra dan popularitas belaka. Padahal kebanyakan dari puisi yang disuguhkan tersebut tidak menampakkan nilai-nilai kemanusiaan atau nilai yang bisa bermanfaat bagi masyarakat luas. Aktivitas penyair seperti ini lambat laun akan membudaya, kemudian merenggut kesadaran penyair sebagai penyambung lidah rakyat. Bagaimana tidak, puisi diarahkan kepada momentummomentum saja, agar menjadi penikmat pasif dari momen-momen tersebut. Gelombang penyair seperti ini biasanya sangat peka membaca momentum. Misalnya seperti Bulan Ramadan yang berlangsung saat ini, hampir seluruh karya sastra di negeri ini, baik itu cerpen, puisi atau pun esai, berlomba-lomba menampilkan muatan religi. Kalau kita lihat dari sudut pandang sosiospiritual,

117


karya-karya seperti ini hadir untuk menawarkan kesejukan rohani pada masyarakat yang tengah dilanda kekeringan spiritual akibat huru-hara kehidupan yang semakin semrawut. Namun dengan begitu, maka kesusastraan kita akan semakin tidak jelas arahnya. Semua penyair menulis tentang puasa, semua esais menulis tentang hikmah Ramadan dan semua cerpenis bercerita tentang ngabuburit dan sebagainya. Budaya seperti ini adalah budaya yang tidak patut untuk dilestarikan. Sebab semua itu hanya akan membunuh kreatifitas penulis dan yang tampak hanya mementingkan bagaimana karya itu dimuat dan mendapatkan selamat dari banyak orang karena karyanya terbit di salah satu madia. Puisi dan Konsumerisme Maka dengan begitu apa yang dikhawatirkan Baudrillard terhadap budaya konsumerisme telah menimpa kalangan penyair. Bagi Baudrillard, konsumsi bukan sekadar nafsu untuk membeli begitu banyak komoditas, satu fungsi kenikmatan, satu fungsi individual, pembebasan kebutuhan, pemuasan diri, kekayaan atau konsumsi objek. Namun lebih jauh lagi, konsumsi merupakan suatu struktur atau fakta sosial yang bersifat eksternal dan bersifat memaksa individu. Jadi, manusia dipaksa untuk mengkonsumsi tanpa henti, secara rakus dan serakah. Konsumsi yang dilakukan tidak memberikan kepuasan, dan justru yang terjadi adalah manusia senantiasa merasa haus untuk membeli produk-produk baru yang disuguhkan oleh para 118


produsen. Begitu juga dengan puisi pada era sekarang, semua penyair dituntut untuk terus menyesuaikan diri dengan momentum, sehingga dapat dikonsumsi oleh media cetak yang merasa haus akan tema-tema yang lagi asyik diperbincangkan publik. Kemudian, aktivitas konsumsi merupakan aktivitas yang “wajib� dilakukan. Hal itu bisa dilihat dari semakin banyaknya jumlah permintaan akan suatu barang konsumsi dibandingkan dengan jumlah penawaran yang ada. Semakin hari sikap konsumtif manusia Indonesia semakin memprihatinkan dan semakin tak terkendali. Apapun yang bisa dibeli maka akan dibeli, tak peduli mereka butuh atau tidak pada barang tersebut. Lebih jauh lagi, aktivitas konsumsi ini telah menjadi salah satu medium menuju ekspresi eksistensial; aku belanja maka aku ada. Ya, itulah mungkin ungkapan yang tepat dalam melihat realitas budaya konsumerisme di Indonesia. Hal ini bisa kita lihat di pusat-pusat perbelanjaan. Mal, misalnya, selalu dipenuhi dengan orang-orang belanja. Dengan hadirnya bulan puasa maka semua orang semakin menjadi-jadi. Hal ini terutama terjadi pada masyarakat perkotaan dengan gaya hidup metropolisnya, para elit politik dengan fasilitas mewahnya, kemudian para artis yang senantiasa mempertontonkan seputar kehidupan mereka yang mewah dengan baju kokonya, kerudung yang penuh dengan lipatan-lipatan, mobil mewah dengan logo Marhaban Ya Ramadhan, dan lain sebagainya. Dari fenomena tersebut, bisa kita lihat bahwa ada pergeseran paradigma di sana. Pergeseran paradigma

119


ini ditandai dengan beralihnya adagium konsumsi menuju ekspresi eksistensial, dari produksi dan distribusi barang-barang, serta jasa sebagai jalan manusia untuk mengembangkan eksistensinya. Lantas yang menjadi masalah adalah mewabahnya budaya konsumsi ini pada para penyair, hingga ketika bulan Ramadan datang, tibatiba tema puisi yang mereka tulis menjadi sangat religius dan bahkan lebih religius dari orangnya. Dengan kata lain, identitas penyair dipengaruhi oleh faktor produksi manusia: menuju aktivitas konsumsi. Secara tidak langsung penyair dikontrol oleh aktivitas konsumsif. Penyair senantiasa terlempar pada keterlimpahan komoditas di sekitarnya. Mau tidak mau penyair akan terbawa oleh arus yang mengarahkan mereka pada gaya konsumtif ini. Lantas di manakah eksistensi puisi jika semua aktivitas penyair dikontrol oleh aktivitas konsumsi? Padamu aku bertanya. *** Khairul Anam Aktif di Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta

ba

120


Terminologi Kiai, Dulu dan Kini oleh Nurhadi

T

erserap dari bahasa Tiongkok, ”kiai” berasal dari kata ”kiya” yang berarti ”jalan”, dan ”I” yang berarti ”lurus”. Kiai adalah orang yang benar-benar menempuh jalan kebenaran dalam setiap ucapan, keputusan, perbuatan, serta tingkah lakunya dalam kehidupan bermasyarakat (Putra Poser Alam, 2015:96). Sementara dalam KBBI sendiri, kiai didefinisikan sebagai alim ulama atau yang cerdik pandai dalam ilmu agama. Dalam sebuah hadits, Nabi Saw. menjelaskan bahwa kiai (ulama) merupakan pintu gerbang untuk mengetahui semua ajaran agama. Lantaran efek keilmuannya tersebut, seorang kiai seringkali mendapatkan kedudukan istimewa dalam masyarakat. Dalam lingkup sosial, terminologi mengenai pendefinisian kiai amat luas sekali. Seorang kiai tak hanya berfungsi sebagai tempat bertanya tentang berbagai permasalahan keagamaan. Dalam novel esai Arus Bawah, Emha Ainun Nadjib memaknai keberadaan Kiai Semar

121


sebagai seorang pamomong, penuntun, pengasuh, dan pengingat bagi masyarakat Karang Kedempel. Selain menjadi bapak bagi para Punakawan, ia menjadi pengayom seluruh warga, sambil sesekali berperan sebagai psikolog bahkan penghukum para ksatria Kurusetra. Ia menjadi penghubung antara dunia para Dewa di Jonggring Saloka dengan para penduduk mayapada, perlambang bahwa spiritualitas para kiai seolah bisa menjadi penghubung (dengan jalan karamah/keramat) antara Sang Pencipta dengan khalayak manusia. Sebuah kompleksitas fungsi kedudukan sosial yang takkan bisa dimiliki oleh golongan manapun/siapapun selain kiai. Hubungan mereka dengan masyarakat bisa serupa antara �dua manusia kekasih, antara dua sahabat karib, antara junjungan dan abdi, hubungan saling memberi pengertian dan manfaat, atau hubungan memerintah dan diperintah� (Emha Ainun Nadjib, 1991:18). Maka ketika keberadaan Kiai Semar menghilang, mereka yang sebelumnya begitu tergantung dengan keberadaannya pun mengalami keadaan chaos. Kita tengok misalnya ketika KH Abdullah Faqih, putra KH Rofi’i Zahid, sesepuh Pondok Pesantren Langitan Tuban saat memperoleh sebuah mimpi perihal kejatuhan Presiden Soeharto. Kiai yang amat diistimewakan Gus Dur itu sempat bermimpi tentang seekor ular naga besar yang jatuh dari langit. Ribuan orang pun datang dan mencacah naga raksasa itu menjadi tujuh bagian. Daya linuwih semacam ini bahkan kerap menjadi rujukan beberapa golongan masyarakat tertentu, menjadi kharisma tersendiri, seolah kiai adalah pintu ilham dari Sang Pencipta. Semisal dalam hal meminta hari baik 122


pernikahan, hari baik hajatan, nama yang baik untuk calon jabang bayi, membuat suwuk/sawanan, sampai ke soal nasihat-nasihat dalam urusan rumah tangga, para kiai juga kerap menjadi semacam buku induk/primbon berjalan. Mereka kebagian peran sebagai pamomong masyarakat, dari urusan dapur sampai kasur. Lantas bagimana dengan peran mereka dalam bernegara? Para kiai juga tak bisa lepas dari urusan negara, bahkan sejak dari zaman feodalisme masih berkuasa penuh di tanah Jawa. Sebut saja Wali Songo, yang justru menjadi dewan penasihat bagi Sultan Demak. Dengan keahlian strategi perangnya, Sunan Kudus juga pernah ditunjuk sebagai panglima perang untuk meredakan pemberontakan Ki Ageng Pengging. Atau cobalah tengok peran kiai-kiai para pendiri NU maupun Muhammadiyah semasa revolusi kemerdekaan. Seorang Soekarno sendiri pernah meminta nasihat dari Kiai Wahab Hasbullah ketika terjadi sublimasi komunikasi di antara elite politik pascapecahnya pemberontakan PKI di Madiun, serta tumbuhnya gerakan DI/TII. Atau yang lebih konkret lagi yakni, terlibatnya seorang Kiai Abdurrahman Wahid dalam panggung politik di era awal Reformasi, menjadi bukti bahwa kiai tak melulu hanya bisa mengurusi kaum bersarung dan berpeci. Politik bukanlah hal yang harus dijauhi lantaran justru bisa dijadikan payung pengayom bagi mereka yang lemah dan tak pandai berpolitik, di samping merupakan konsekuensi logis atas kedudukannya sebagai warga negara. Seperti yang pernah diungkapkan seorang ulama salafi Ibn Qayyim al-Jauziyah, bahwa politik adalah sarana 123


untuk mendekatkan kepada kebaikan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Kini, bahkan tak terhitung sudah para kiai yang berafiliasi dengan partai politik. Meski tak semua terlihat murni memperjuangkan kepentingan umat. Yang menarik untuk dikaji adalah ketika kiai harus dihadapkan dengan dunia digital. Dalam bukunya, Dunia yang Dilipat, Yasraf Amir Piliang mengungkap bahwa internet, video, dan foto merupakan media yang mampu meredusir dan mengerdilkan ruang dan waktu ke dalam berbagai dimensi dan ke dalam wujud atau representasi yang lebih ringkas. Ketika kekuatan bahasa, media, dan tanda, begitu dominan, maka ia mengendalikan realitas itu sendiri, dalam pengertian ia mengklaim dirinya sebagai realitas. Kharisma atau daya pikat orasi seorang kiai jadi tak dibutuhkan lagi, lantaran posisinya yang mudah tergantikan oleh kata-kata bijak (baca; dakwah bil qalam/ via dunia kata-kata) yang bisa dilakukan oleh siapa saja hanya dengan modal olah kata. Risikonya, kita bisa tertipu dengan bramacorah yang memakai pakaian kiai. Celah inilah yang tampaknya bisa diisi oleh sekelompok jaringan radikal yang seolah-olah memberikan ajaran keselamatan, namun sebenarnya menyesatkan. *** Nurhadi Lahir di Jepara. Tahun 2002, beberapa cerpen dan puisi dipublikasikan di Bahana Sastra-nya RRI Pro II Semarang.

124


Menggaungkan Hari Puisi Indonesia oleh

Fakhrunnas MA Jabbar

S

ejumlah sastrawan angkatan muda di Riau melakukan kunjungan silaturahim ke rumah sejumlah sastrawan yang lebih senior. Kunjungan yang digelar dalam suasana Idul Fitri tentu saja punya makna berlapis. Suasana ritual saling memaafkan sekaligus upaya nyata membuhul hubungan liuntas generasi sastra. Boleh jadi, sastrawansastrawan senior yang dulu pernah jaya di zamannya lalu sekarang memasuki masa dorman (tidur) kreativitasnya, perlu dikejutkan agar kembali bangkit. Setidak-tidaknya para senior itu masih dikenang oleh generasi sesudahnya. Kegiatan silaturahim yang digelar dalam rangkaian peringatan Hari Puisi Indonesia (HPI) yang dikemas dengan nama Salam Puisi. Acara ini digagas oleh sejumlah komunitas sastra di Riau yang dikoordinatori oleh sastrawan dan teatarawan, Kunni Masrohanti. Setidak-tidaknya terdapat enam komunitas seni yang turut menggelorakan HPI di Riau, khususnya Pekanbaru. Sebuah tempat bersejarah yang dijadikan lokasi

125


pendeklarasian HPI pada tanggal 22 Nopember 2012 silam. Tak kurang dari 40 penyair Indonesia turut hadir. Komunitas itu di antaranya Komunitas Rumah Sunting, FLP, Pena Terbang, dan Paragraf. Kegiatan-kegiatan lain yang digelar dalam rangkaian HPI kali ini selain Salam Puisi juga road show ke sejumlah SMA atau sederajat, pembacaan puisi, diskusi puisi dan perayaan puncak HPI yang dipusatkan di bawah Jembatan Siak III tepatnya 31 Juli 2015. HPI yang disepakati oleh para deklarator-sastrawan dari seluruh Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri disepakati tanggal 26 April. Persis hari kelahiran Pelopor Puisi Modern Indonesia, Chairil Anwar. Selama dua tahun berturut-turut, gaung HPI terkesan hanya bergaung di ibukota Jakarta dengan rangkaian kegiatan Lomba Baca Puisi Nasional, pemilihan buku puisi terbaik dan perayaan puncak HPI yang selalu dipusatkan di TIM Jakarta. Sementara di Tanah Melayu Riau yang menjadi titik awal munculnya HPI justru sebelum ini terkesan agak sepi. Padahal, Gubernur Riau –waktu itu- HM. Rusli Zainal yang menjadi tokoh utama dalam deklarasi HPI itu berazam agar setiap tahun para camat di Provinsi Riau harus menggelar acara perayaan kegiatan HPI. Sayang, gagasan manis yang bernas itu bak terkendala di tengah jalan. Apalagi kemudian ditakdirkan, Rusli Zainal berhadapan dengan kasus hukum selaku kepala daerah Riau. Boleh jadi hingga kini masih banyak orang di negeri ini yang belum tahu. Apalagi faham secara mendalam

126


hakikat HPI itu. Padahal, sejak awal, para sejumlah sastrawan Indonesia yakni sastrawan Rida K. Liamsi -raja media di Riau yang selalu mengabdikan dirinya bagi dunia sastra-, kritikus Maman S. Mahayana, Agus R. Sarjono, Pemred Majalah Sastra Horison, Jamal D. Rahman dan sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda. Sudah bersusah payah membahas dan mendiskusikan arti penting HPI bagi negeri ini. Gagasan mewujudkan HPI tentu tak muluk-muluk. Indonesia yang sejak lama sudah memiliki tradisi sasra khususnya perpuisian yang panjang -sejak masa purba, penjajahan, kemerdekaan hingga kini sekitar ribuan tahun- cukup menyedihkan bila tak punya Hari Puisi yang patut dikenang dan diabadikan. Padahal di negara lain, sudah jadi hal biasa ketika cuplikan bait puisi para penyair besar di negara itu dipajang di tembok atau bagian gedung yang dapat membangkitkan ingatan kolektif rakyat bahkan dipandang dapat memotivasi kehidupan bernegara dan berbangsa. Adanya HPI tentu tak perlu ada yang harus dicurigai. Sebab HPI lahir tanpa ada tendensi politik, atau modus-modus yang lain-lain. Keberadaan HPI sematamata diperuntukkan bagi semua penyair dan peminat puisi Indonesia tanpa membedakan kelamin, asal dan golongan. Mimpi indah dengan HPI sesungguhnya bagamana HPI suatu ketika tercantum dalam agenda Hari Besar di Indonesia. Tentu saja diperlukan political will dari pihak pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang membidangi soal-soal budaya termasuk puisi. 127


Puisi memang tak serta-merta bisa membuat pencipta (kreator) jadi kaya dan sejahtera. Tapi yang pasti, puisi pasti dapat memperhalus budi bagi setiap warga yang mencintai dan memujanya. Siapa yang tak pernah lepas dari puisi dalam rentang panjang kehidupannya. Ingatlah di masa-masa belia dulu, tradisi jatuh cinta tak akan lengkap tanpa kata-kata indah yang berbunga-bunga yang tak lain adalah puisi. Di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara yang kian sibuk dan rumit, boleh jadi puisi mampu jadi penengah atau pemecah kebuntuan di tengah silangsengketa yang tak berujung. Tindak kekerasan di negeri ini benar-benar sudah merasuk ke semua sumsum kehidupan. Mulai kehidupan anak, perempuan hingga para lansia. Tak ada hari tanpa peristiwa kejahatan. Tradisi perpuisian di Indonesia yang jadi mimpi para penyair di mana-mana bagaimana puisi sebagai bacaan atau pertunjukan mampu menjadi selingan yang indah bagi semua orang. Mulai dari orang awam hingga pejabat atau birokrat atau pula para pebisnis yang bergelimang uang. Semestinya puisi mampu menjadi alat pencerah bagi siapa saja terutama para birokrat dan pebisnis yang sangat berpeluang khilaf dalam menjalankan amanat rakyat. Siklus kehalusan budi itu tentu bisa mengalir seanjang waktu apabila ada kolaborasi yang manis di antara pihakpihak penentu di negeri ini. Para birokrat yang menyukai puisi tentu diharapkan bakal memiliki kehalusan budi dan perilaku terpuji dan lembut. Bagi para pebisnis yang mencintai puisi dapat berperan jadi maesenas -orang kaya yang memberikan kepedulian secara materi bagi 128


kehidupan seni termasuk puisi. Sedangkan para penyair yang sepanjang waktu mencipta dan melahirkan puisi, dapat bertahan dan eksis karena karya-karya yang dilahirkan amat dibutuhkan oleh banyak orang. Semua itu tentu saja memerlukan lompatan-lomatan apresiatif yang terus berproses. Tak mudah memang menjadikan puisi sebagai kebutuhan atau jadi bagian kehidupan yang tak terpisahkan dari rutinitas yang tak pernah berhenti. HPI memang harus selalu digaungkan agar tetap mengalir dalam nadi-nadi spiritual rakyat dan semua golongan di negeri ini. Para penyair memang hanya mampu mengukir kata yang indah dan penuh kearifan. Tentu masyarakatlah yang dapat memaknainya. Atau memberi arti yang sepadan dengan keluhuran para penyair dalam melahirkan karya-karya puisi itu. ***

129


Fakhrunnas MA Jabbar Sastrawan, Dosen Universitas Islam Riau.

ba

130


Ruh Budaya oleh

Zuarman Ahmad

R

uh (orang Melayu menyebutnya dengan nyawa), terdapat dalam batang tubuh manusia (raga); orang suluk (sufi) menyebutnya dengan “Ruh meliputi sekalian tubuh”, yakni: lathifah Rabba niyah, cahaya Ketuhanan yang amat halus. Kajian tentang ruh akan lebih lengkap pada kalangan sufi atau para khalifah di tempat rumah suluk, apalagi jika sudah mencapai taraf tuan guru, bahkan taraf para wali Allah. Ketika masih muda, sempat juga menimba ilmu seperti ini dengan beberapa guru di luar rumah suluk secara “liar”, atau mungkin disebut “murid preman”. Orang Melayu menyebut kaji ini sebagai “kaji diri”, yakni “apabila hendak mengenal Allah kenalilah diri, apabila mengenal diri binasa diri; “alam bosa dipokocik, alam kocik dihabisi, tingga alam dalam diri, mano alam dalam diri”, alam besar (makro kosmos) diperkecil, alam kecil (mikro kosmos) dihilangkan, tinggal alam dalam diri, manakah alam dalam diri? Tubuh manusia (insan), dalam pandangan orang Melayu terdiri dari: diri, diri terdiri - diri terperi, dan sebenarbenarnya diri, dan kajin ini pada akhirnya akan sampai 131


ke taraf fana fi Allah. Kajian seperti kaji diri diri ini bukanlah kajian ilmu fiqih, tetapi lebih kepada yang disebut dengan “rasa”, sebagaimana seseorang yang tak pernah mengecap rasa buah tampu (buah yang tumbuh liar di hutan), tak akan tahu seperti apa rasa buah yang sudah langka itu. Pengetahuan-pengetahuan seperti ini diperlukan “rasa” yang disebut dengan zawq. Karena itu, pengetahuan tentang zawq (rasa) ini berkait-kelindan dengan kebudayaan dan kesenian yang juga memerlukan zawq atau rasa. Bagaimana dengan “ruh” budaya dan kesenian? Apakah “ruh” budaya dan kesenian itu? Tinjau dan tilik kembali makna sebenarnya tentang ruh pada diri manusia itu. Apakah fungsi sebenarnya ruh manusia itu? Ruh menghidupkan raga (batang tubuh manusia), jika tidak ada ruh maka raga tidak akan dapat bergerak, tidak akan dapat berbicara, tidak akan dapat mendengar, dan segala perbuatan manusia lainnya, termasuk beribadah misalnya sembahyang. Analogi ini dapat dilihat pada kebudayaan dan kesenian. Dalam pembicaraan tentang budaya dan seni, selain kata “ruh” ada kata lain yang selalu dipakai yaitu “kantong” kesenian, tetapi saya lebih menyukai kata ‘ruh” kesenian. “Ruh” budaya (seni) ini dalam istilah kekinian disebut dengan software, yakni perangkat luak. “Ruh’ kesenian sebagai perangkat lunak (software), sedangkan “seniman” sebagai perangkat keras (hardware). Kebudayaan dan kesenian tidak akan hidup tanpa mempunyai “ruh” (software). Budaya dan seni itu merupakan “ruh” atau software, sedangkan budayawan dan seniman merupakan raga atau hardware. Akhir-akhir ini saya seperti merasakan kehilangan 132


“ruh” kesenian dan kebudayaan kita (Melayu Riau). Bahwa, bermunculan seniman musik, seniman tari, seniman teater, seniman sastra, seniman lukis atau rupa. Duapuluh atau tigapuluh tahun yang lalu, sebelum tulisan ini ditulis, pemusik Melayu Riau masih dapat dihitung dengan sepuluh jari. Tidaklah banyak pemain biola (violin) pemain akordion (accordion), pemain gambus selodang, pemain gendang bebano, pemain gendang marwas, dan alat-musik Melayu lainnya; tetapi setelah berlalu duapuluh atau tigapuluh tahun sesudahnya, bermunculan pemain biola, pemain akordion, pemain gendang bebano, dan pemain gambus selodang, dan tak dapat dihitung lagi dengan sepuluh jari. Sudah tidak terhitung lagi pemain biola, pemain akordion, dan penabuh gendang bebano Melayu Riau yang dapat memainkan lagu Makan Sirih, tetapi saya sepertinya merasa kehilangan “ruh” dari lagu dan permainan musik lagu Makan Sirih itu, begitu juga lagu-lagu Melayu asli lainnya. Saya tak menafikan bahwa permainan biola, akordion, dan gendang bebano dari sejumlah pemain musik yang bermunculan itu mempunyai teknik yang bagus, karena setelah berdirinya Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) yang membantu para pemain musik itu belajar secara teknikal; tetapi musik tidak hanya sekedar cukup dengan teknikal. Begitu juga dengan menyanyi lagu Melayu asli, sepertinya juga kehilangan “ruh” dari lagu itu. “Ruh” dari permainan biola dan akordion lagu Melayu asli itu adalah grenek dan cengkok, yang dalam istilah musik disebut dengan ornamento atau nada hias; juga grenek dan cengkok menyanyikan lagu Melayu asli yang 133


dalam istilah musik disebut melismatik (melismatic). Jika perlakuan memainkan ornamento pada grenek dan cengkok biola dan akordion lagu Melayu, dan perlakuan menyanyikan ‘melismatik’ cengkok dan grenek lagu Melayu asli tidak pada seharusnya, maka hal inilah yang disebut kehilangan “ruh” lagu Melayu asli itu. Soalan ini juga terdapat pada tari dan iringan musik tari Melayu Riau yang berkembang pada waktu ini. Dalam perbincangan ketika sama-sama menjadi juri musik kreatif Melayu Riau tingkat sekolah menengah pertama se-Riau, setelah sekian lama tak berjumpa, kawan saya Rusman (seniman pegawai negeri Taman Budaya Riau) merasa risau dengan keadaan itu. Persoalannya bukan tari dan iringan musik yang tidak bagus, tetapi “jati diri”, identitas diri, yang dalam tulisan ini menyebutnya kehilangan “ruh” tari dan musik Melayu Riau itu. Pada sisi yang lain, bagaimana mau mencapai Riau menjadi pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara dalam visi dan misi-nya yang ranggi tetapi akhirnya lapuk dan berbau busuk, jika “ruh” kebudayaan dan “ruh” kesenian Melayu Riau itu tidak pernah dipupuk dibelapelihara; Cis!, tak usahlah nak belagak nak menjadi pusat budaya dan seni Melayu, apalagi untuk membuat present meaning Melayu kini. Bahwa, seniman dan budayawan kita (Melayu Riau) yang berada pada ceruk yang memiliki “ruh” budaya dan seni itu tidak pernah mendapat “perhatian” dan dimunculkan ke permukaan, sehingga budayawan dan seniman Melayu Riau yang bermunculan seperti cendawan tumbuh di musim hujan itu akan mendapat “pencerahan”, sehingga “ruh” kebudayaan dan kesenian Melayu Riau akan senantiasa hidup menjadi 134


identitas dan jadi-diri. Karena itu jugalah hardware yang dibangun melalui Gedung (Anjung) Seni Idrus Tintin di kawasan Bandar Serai yang sudah seperti “nugori dialah goudo” (negeri dikalahkan garuda) itu tidak mengikutsertakan pembangunan software budaya dan kesenian Melayu Riau itu sehingga tidak tahu lagi apa yang mau dikerjakan. Pada sudut yang lain Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) membangun software kesenian pada generasi manusia Melayu Riau selanjutnya, dan lihatlah kelahiran para pemain biola, pemain akordion, pemain gendang bebano, penyanyi Melayu asli, bahkan pemusik klasik yang sudah tidak dapat dihitung lagi dengan sepuluh jari ketika masa A Soelaiman Syafi’ie, Abu Bakar, M Sani Burhan, Ali Anar, Yusuf Dang, Jakfar Bule, Syamsuddin Tambusai, Hudromi H Amin, Yusman, dan sejumlah nama lainnya yang semuanya sudah meninggal-dunia. Para teaterawan dan satrawan bermunculan bak air bah, tetapi saya (kalau tidak mau disebut kita) merasa sudah kehilangan “ruh” teater dan “ruh” sastra itu semenjak meninggalnya Idrus Tintin, Haji Hasan Junus, B. M. Syamsuddin, Ediruslan Pe Amanriza, dan sejumlah nama lainnya yang tidak mungkin kembali ke Riau ini. Sementara gedung untuk akademi kesenian itu masih menumpang, padahal kawasan Bandar Serai itu dicanangkan oleh pemerintah daerah Riau bersama para seniman dan budayawan Riau termasuk membuat dan mendirikan Institut Seni, dan ironisnya di kawasan Arts Centre (Pusat Kesenian dan Budaya Melayu Riau) itu dibangun dan difasilitasi pula gedung yang tidak ada kena-mengena dengan budaya dan seni sebagaimana 135


yang dicanangkan itu, eeenggg… ngalaaah. “Ruh” budaya dan “ruh” kesenian itu akhirnya akan terbang bersama kepergian pelaku budaya dan seniman Melayu Riau yang dirinya sendirilah jati-diri dan identitas budaya dan kesenian itu; jika kita tidak membangun dan memelihara software budaya dan seni yang masih tinggal tidak seberapa lagi pada orang-orang seperti: Pak Taslim (tukang koba dan ensiklopedia Melayu), Mak Itam, Wan Khatijah (tukang nyanyi-panjang), dan beberapa orang tersisa yang akhirnya akan terbang juga membawa “ruh” budaya dan “ruh” kesenian ke alam asal-muasalnya, dan dimana “ruh kesenian” itu akan dicari? Di Taman Budaya Riau, di Anjung Seni Idrus Tintin? Entahlah Nyot, Ntan. *** Zuarman Ahmad Komposer, pemusik, pengajar musik Akademi Kesenian melayu Riau (AKMR), penulis cerita-pendek, Wapimred Majalah Budaya Sagang, Penerima Anugerah Sagang 2009.

ba

136


Urban dan Rural dalam Cerpen Kita oleh

Budi Hatees

K

etika Iwan Simatupang menghasilkan cerpencerpennya—yang kemudian dikumpulkan Dami N. Toda dalam buku Tegak Lurus dengan Langit setelah si pengarang meninggal -– pembaca menemukan potret orang-orang urban pada sosok tokoh-tokoh ciptaannya. Misalnya, tokoh cerpen “Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu”, adalah seorang suami yang menyuruh istrinya menunggu di pojok jalan karena ia hendak membeli rokok di warung. Namun, si suami ternyata baru kembali 10 tahun kemudian. Pada saat itu si istri telah menjadi pelacur. Ketika si suami hendak bercinta, istrinya malah meminta bayaran. Logika rasional pembaca tidak bisa menerima bagaimana mungkin si suami pergi selama 10 tahun dan tidak pernah kembali ke istrinya yang selama 10 tahun itu menunggu di pojok jalan itu. Logika rasional itulah yang dikritik Boen S. Oemarjati tentang cerpen “Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu”, dan ia menolak cerpen Iwan Simatupang itu. Tapi dalam esai jawabannya, “T untuk Tanggung Jawab”, Iwan Simatupang secara meyakinkan 137


mengatakan tanggung jawab seorang pengarang bukan menerangjelaskan makna dari teks sastranya, melainkan memikirkan karya apa lagi yang harus dihasilkannya. Perdebatan Boen S. Oemarjati dengan Iwan Simatupang akan berulang hari ini seandainya ada pengarang lain yang menulis dengan logika berkarya seperti yang dimiliki Iwan Simatupang. Di dunia sastra kita masih banyak yang berpendapat bahwa sastra sebagai cerminan hidup dan kehidupan manusia, dan karena pendapat itu mereka menyepakati bahwa sastra harusnya tindakan mimesis alam semesta belaka. Tapi sastra bukan soal logika rasional belaka. Iwan Simatupang dalam cerpennya tidak mempersoalkan logika rasional, melainkan hakikat hidup manusia perkotaan. Menghilang selama 10 tahun di dalam belantara kota metropolitan, baik si suami maupun si istri, mengalami banyak perubahan yang berdasar dan subtansial. Si suami menjadi abai terhadap istrinya, sebaliknya istri menjadi pelacur yang abai pada suaminya. Perubahan baru itu ternyata lebih melekat, menjadi tradisi baru bagi keduanya. Si istri, lantaran telanjur hidup sebagai pelacur, dia terbiasa meminta bayaran sehabis bercinta dengan pelanggan. Dia meminta bayaran terhadap suaminya. Mungkin sosok Iwan Simatupang sebagai pengarang telah menginspirasi Seno Gumira Ajidarma ketika menulis cerpen “Manusia Kamar�. Baik Iwan Simatupang maupun tokoh dalam cerpen Seno Gumira Ajidarma sama-sama menghabiskan waktu hidup di dalam kamar, sama-sama menulis cerita. Tapi nasib keduanya berbeda,

138


dan mungkin Seno Gumira Ajidarma menulis cerpen “Manusia Kamar� bukan lantaran ingin memotret kisah tentang Iwan Simatupang, melainkan menampilkan sosok manusia yang terobsesi dengan dunia kepengarangan hingga memutuskan lepas dari dunia sosialnya. Iwan Simatupang yang banyak tinggal di kamar hotel adalah manusia yang nyaris asosial, mengurung diri di dalam kamar dan lepas dari lingkungan di luar kamar, meskipun ia banyak menghasilkan cerpen yang bicara tentang eksistensialisme manusia. Iwan Simatupang tidak bersentuhan dengan lingkungan sosial secara langsung, dan ia bekerja dengan merenungkan filsafat kehidupan. Ia berhasil. Mungkin, hingga kini belum ada pengarang lain di negeri ini yang mampu mencapai sukses Iwan Simatupang sebagai pengarang. Bukan sekadar sebagai sastrawan, tetapi sebagai seseorang yang melihat realitas masyarakat urban apa adanya. Kita tahu, bagi manusia urban, yang paling utama adalah akal instrumental. Setidaknya Max Weber berpendapat seperti itu. Bagi manusia ini, akal sebagai instrumen, dipakai untuk memburu hal-hal artifisial, sehingga menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menjauh dari nilai-nilai kolektif. Bagi manusia urban, tidak ada adat dan tradisi. Konon lagi nilai-nilai etis sosial yang sering dihargai sebagai modal sosial oleh para sosiolog. Manusia urban pemuja keuntungan. Prioritas hidup mereka hanya keuntungan pribadi (individual). Uang, juga kapitalisasi modal, menjadi Tuhan yang baru. Kolektivitas dipandang merugikan. Setiap orang menganut individualitas sebagai ideologi. Lanskap dunia masyarakat urban menjadi 139


sangat personal. Para pengarang cerpen di negeri ini, sebagian besar adalah orang yang tinggal, hidup, dan menyelenggarakan kegiatan kepengarangan sebagai bagian dari masyarakat urban. Tapi lingkungan urban itu justru jarang muncul sebagai tema dalam cerpen mereka. Tema-tema cerpen mereka dominan mengangkat perihal kehidupan manusia di lingkungan rural (pedesaan). Di lingkungan rural, masyarakat masih kuat mempertahankan adat, tradisi, bahkan, mitologi. Tapi, para pengarang cerpen tidak melakukan mimesis belaka terhadap kehidupan rural itu. Mereka sering mendekonstruksinya untuk menghasilkan maknamakna baru sehingga cerpen yang dihasilkan mampu mengatakan sesuatu pada jiwa pembaca. Ketika reformasi bergulir, menyusul otonomi daerah menjadi gerakan politik yang seakan sebuah ideologi baru, setiap orang di negeri ini menafsirkan otonomi daerah sebagai fase baru bagi meluasnya peluang segala hal yang berbau kedaerahan (lokalitas) untuk menyatakan eksistensinya. Segala yang lokal merebak ke permukaan, menyatakan eksistensinya, dan menuntut agar dijadikan ikon penanda yang baru. Dengan sendirinya, kelokalan itu memicu menguatnya nilai-nilai lokal, meskipun tidak sedikit yang gagap menafsirkannya sehingga terkesan memperalat hal-hal lokal itu. Tidak jarang, para pengarang yang hidup di lingkungan urban, ngotot memaksakan diri berbicara tentang lingkungan rural. Mereka menjadi seperti pengamat yang memakai kaca mata kuda, yang

140


bereksperimen dengan proyek-proyek lokal itu, meskipun kemudian hanya berhasil memasukkan kosa kata-kosa kata lokal ke dalam tubuh cerpen yang ditulis dalam Bahasa Indonesia. Ada juga yang sukses bicara tentang masyarakat rural meskipun ia tinggal di lingkungan urban. Keberhasilan mereka terutama karena mampu menghadirkan teks sastra yang menggunakan mitologi dan mendekonstruksi mitologi itu sendiri untuk memperoleh teks yang berbicara lebih. Triyanto Tiwikromo dalam Surga Sungsang, harus diakui membongkar sejumlah mitos di lingkungan rural masyarakat Jawa, lalu mendekonstruksi mitos itu untuk mengkonstruksi makna lain dari mitos itu. Usaha Triyanto bisa disebut sukses karena ia membalik apa yang pernah dilakukan pengarang sebelumnya. Jika sebelumnya para pengarang memakai nilai-nilai masa kini untuk membongkar sistem makna yang terdapat dalam mitos, maka Triyanto lewat Surga Sungsang melakukan hal sebaliknya. Sistem makna dari nilai-nilai masa kini justru dibongkar dan dihancurkan dengan cara mereproduksi mitos, sehingga pembaca dipaksa untuk menafsirkan teks-teks sastranya dengan cara masingmasing. Namun, mereka yang tidak memahami mitosmitos yang direproduksi Triyanto—misalnya masyarakat yang tinggal bukan di Pulau Jawa, yang secara kultural bukanlah orang Jawa—tidak akan sampai pada tafsir yang lebih kaya atas teks sastra dalam Surga Sungsang. ***

141


Budi Hatees Sastrawan dan peneliti di Matakata Institute. Dia juga jurnalis sejak 1992 dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) Periode 2005-2009.

ba

142


Meremah Pesan Tersirat Syair “Nasib Melayu” Tennas Effendy oleh

Nafiah Al-Marab

J

asad boleh hilang dimamah bumi, tapi adat yang diwariskan senantiasa berbekas ke anak cucu. Demikian kiranya pada karya-karya sang guru petuah, Tenas Effendy. Salah satu karya almarhum Tenas Effendy yang menjadi pijakan berbudaya masyarakat Melayu bisa kita lihat dalam karya syair beliau, ”Syair Nasib Melayu”. Pesan tekstual yang menjadi sarana pengantar tamaddun Melayu bagi generasi mendatang. Sementara essensi dari tamaddun itu telah sama-sama kita pahami. Dalam pengertian ini Tamadun Melayu yang dimaksudkan merupakan sebuah tamadun yang dibentuk oleh sekelompok manusia yang digolongkan secara luas sebagai kumpulan orang-orang Melayu dan bertempat di suatu wilayah di Asia Tenggara. Wilayah ini dikenali dengan pelbagai nama seperti Gugusan Kepulauan Melayu, gugusan Kepulauan Melayu-Indonesia, Nusantara, Alam Melayu dan Tanah Jawi. (TITAS, 2004:

143


163) Sebelum Perang Dunia II, kawasan ini dirujuk sebagai Asia of the Monsoons, East Indies dan juga Further India atau Hindia Jauh. (Azam Hamzah, 1997: 1) Melayu kemarin, hari ini dan esok menjadi tanggung jawab setiap generasi. Pendidikan karakter melalui nilai-nilai budaya Melayu yang beradab menjadi sebuah keharusan guna mencapai tamaddun Melayu tersebut. Tenas mengatakan, kesatuan Melayu begitu mantap di kalangan masyarakat Melayu karena nilai kemelayuan yang dimiliki. Nilai kemelayuan penuh dengan falsafah yang memberi pengertian kehidupan bangsa Melayu dalam membina jati diri bangsa. Itu pula lah yang ia ungkapkan dalam syairnya: Kepada Allah kita bermohon Semoga Berjaya Melayu serumpun Mana yang putus sama ditampun Mana yang rusak sama dibangun Ke generasi muda kita berharap Kuatkan semangat betulkan sikap Kokohkan iman tinggikan adab Supaya Melayu berdiri tegak

144


Ke generasi muda kita berpesan Hapuslah sifat malas dan segan Isilah diri dengan pengetahuan Supaya Melayu tidak ketinggalan Setiap syair menjadi pesan nilai-nilai pekerti. Setiap lirik menjadi pengertian akal yang bisa dipahami. Secara kontemporer, kita bisa memahami beberapa pesan tersirat dalam kumpulan syair Nasib Melayu yang bisa diadopsi secara lebih implementatif pada kehidupan kekinian masyarakat Melayu di Riau, di antaranya adalah sebagai berikut: Melayu dan Kesedihan Perbincangan Melayu identik dengan kesedihan, inilah terkadang yang sering menjadi nafas suara karyakarya dan tulisan anak Melayu. Ada luka atas tindak tanduk setiap yang menginjak dan menjajah tanah Melayu. Luka yang diperam dan lama-kelamaan memunculkan trauma akan mereka yang menguasai segala kekayaan bumi Melayu. Bila dijenguk ke kampungkampung Nampak Melayu yang masih bingung Hutan tanahnya terpotongpotong

145


Diambil orang tak ada berhitung Di kampung-kampung orang merintih Musibah datang bertumpah tindih Ada tanahnya diambil alih Ada berladang kehabisan benih Begitulah nasib Melayu Bagaikan pohon semakin layu Jayanya tinggal di masa lalu Masa hadapan belum lah tau

Kembali ke Melayu, Kembali ke Islam Abd Aziz bin Harjin, Pensyarah Universitas Teknologi MARA Perlis menuliskan dalam karya tulisnya, pemahaman terhadap Tamadun Melayu sebagai satu tamadun bangsa di rantau Alam Melayu amat bersandar kepada pemahaman terhadap Tamadun Islam. Ini karena kemunculan Tamadun Melayu bertitik tolak dari penerimaan Islam oleh masyarakat rantau Alam Melayu secara keseluruhan. Pengajaran akidah Islam oleh para mubaligh Islam di seluruh rantau Alam Melayu secara bertahap-tahap telah membina asas Tamadun Melayu tersebut. Kehadiran Islam di Alam Melayu telah membawa perubahan besar pada nilai dan budaya orang Melayu. 146


Peralihan gaya berpikir, corak sosial, dan interaksi muamalah di kalangan orang Melayu dan masyarakat sekitar telah diwarnai oleh nilai tradisi Islam, sehingga unsur-unsur Hindu-Buddha hampir terhakis dalam gaya hidup dan corak pemikiran masyarakat Melayu. Meskipun demikian, masyarakat Melayu tidak menolak sepenuhnya amalan dan nilai tradisi Hindu dan mereka tetap mengekalkan unsur-unsur yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam (Abd Aziz bin Harjin). Tenas Effendy dalam syair Nasib Melayu secara tersirat ingin memesankan kepada masyarakat yang ingin kembali pada kehidupan masyarakat Melayu yang bermarwah, mestilah kembali pula pada asas nilai-nilai keislaman yang seutuhnya. Sebab Islam telah menjadi nadi bagi falsafah Melayu, menjadi nafas dalam adab beradab yang dipahami dan dilaksanakan. Ke generasi muda kita beramanat Jauhkan sifat jilat menjilat Hindarkan diri daripada maksiat Supaya Melayu hidup selamat Para pendatang hendaklah paham Bahwa Melayu kebanyakan Islam

147


Jangan dibuat perangai haram Supaya Melayu tidak mendendam Sesama Melayu kita ingatkan Janganlah silau oleh kekayaan Seimbangkan harta dengan keimanan Supaya selamat di hari kemudian Melayu Berbenah, Melayu Bermarwah Mengembalikan tamadun Melayu bukan setakat citacita tanpa realita. Tak bisa dipungkiri sebuah kehidupan yang berjaya diawali dari seberapa besar marwah bisa ditegakkan dalam hidup itu sendiri. Marwah akan didapati manakala setiap aspek kehidupan berada dalam nilai dan rambu-rambu budaya yang beradab. Mengembalikan marwah mestilah dengan berbenah. Melayu berbenah tak lain salah satunya dengan implementasi asas kemelayuan yang terangkum dalam ‘Pakaian Duapuluh lima’ yang sering diungkapkan Tenas Effendy. Sifat dua puluh lima inilah yang kemudian menjadi jati diri asas kemelayuan, yang akan membuat orang Melayu benar-benar �menjadi orang� secara lahiriah dan batiniah. Beberapa sifat itu di antaranya sifat tahu asal mula jadi, tahu berpegang pada Yang Satu,

148


sifat tahu membalas budi, sifat hidup bertenggangan, mati berpegangan, sifat tahukan bodoh diri, sifat tahu diri, sifat hidup memegang amanah, sifat benang orang, sifat tahan menentang matahari, sifat tahu menyimak, pandai menyimpai, sifat menang dalam kalah, sifat tahan berkering, mau berbasah dan sebagainya.

Kebanyakan Melayu memegang amanah Menjunjung janji memelihara sumpah Dari pada ingkar biarlah punah Daripada khianat biarlah patah

Kebanyakan Melayu hidup sederhana Mencari harta berpada-pada Asalkan cukup makan minumnya Tenanglah sudah rumah tangganya

149


Kebanyakan Melayu tahukan diri Jilat menjilat ia jauhi Mengambil muka pantang sekali Biarlah hidup menepi-nepi ***

Nafi’ah Al-Ma’rab Ketua Forum Lingkar Pena Riau

ba

150


Asap yang Pandai Menyimpan Api oleh Dahmuri

Muhammad

D

alam sebuah kisah bertajuk “Yang Datang dari Negeri Asap� (Media Indonesia, 2014), sastrawan yang bermukim di Pekanbaru (Riau), Hary B Kori’un, secara satir sekaligus dramatik, mendeskripsikan sosok Alia, perempuan belia yang tiba-tiba muncul dari gumpalan asap. Ia mengerjap-ngerjapkan mata. Melangkah perlahan-lahan menyusuri trotoar. Jalan tampak memutih. Asap di mana-mana. Konsep waktu terhisap dalam kepungan asap yang tak kunjung menipis. Pagi, siang, atau petang tak dapat lagi dibahasakan. Raut muka orang-orang yang lalulalang tersembunyi di balik masker. Dari kejauhan, busana mereka tampak seragam dalam warna kelabu, karena terselubungi oleh warna asap yang tak mungkin dielakkan. Bilamana mata batin seorang sastrawan telah mencurahkan penglihatannya guna memonumentasikan sebuah peristiwa, dapat dipastikan itu bukan peristiwa

151


yang biasa, apalagi peristiwa remeh-temeh. Kabut asap sebagaimana yang kini tengah melanda Riau, Sumut, Jambi, Sumsel, dan berdampak sangat parah di seantero Sumatera yang menjadi pusat perhatian sekaligus panggilan penciptaan sastrawan itu tercatat sudah berkali-kali terjadi, terutama sejak 1990-an, dan tak tertuntaskan hingga kini. “Seperti tamu tahunan yang tak pernah lalai berkunjung ke kota kami,” demikian keluhan seorang sejawat di Riau. Sedemikian terbiasanya kawankawan di Sumatera menghadapi bencana kabut asap, komikus Iggoy el-Fitra, dalam serial komik Si Bujang (2015) mengabadikan jawaban Asya (karakter perempuan balita) setelah Si Bujang bertanya; “Asya kalau udah besar mau jadi apa?” Secara spontan dan lugas Asha menjawab, “Mau jadi petugas pemadam kebakaran, Om Bujang. Biar bisa ikut padamkan kebakaran di negeri ini.” Inilah petaka yang hampir niscaya di kampung halaman imajiner Alia, seperti ternukilkan dalam kisah tragik karya Hary B Kori’un. Oleh karena sedemikian kerapnya kabut asap melanda, dengan sangat yakin Alina berkabar pada kekasihnya, bahwa orang-orang di kampung kelahirannnya tidak perlu makanan. Sebab, asap telah menjadi asupan nutrisi mereka. Vitamin, karbohidrat, dan serat sudah terkandung dalam asap. Sepintas lalu, mungkin terdengar mengada-ada, mainmain, dan terlalu berlebihan. Namun, bila ditimbang dengan kepayahan ratusan ribu bahkan jutaan warga Riau, Sumut, Jambi, Sumsel dalam menghadapi bencana kabut asap sejak beberapa hari belakangan ini, Hary B Kori’un seolah-olah telah menujumkan kabar perihal musibah besar itu, jauh-jauh hari sebelumnya. 152


Sejumlah penerbangan ke Sumatera terpaksa dibatalkan. Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru sempat lumpuh beberapa hari. Jarak pandang hanya dalam hitungan ratusan meter. Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) dinyatakan telah masuk kategori tidak sehat. Sekolah-sekolah diliburkan hingga batas waktu yang belum dapat ditentukan. Aktivitas perekonomian sudah pasti terganggu dan mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Pendek kata, asap dapur saudara-saudara kita di Sumatera nyaris padam karena dihantam oleh kepulan demi kepulan asap yang berembus dari hutan belantara. “Pejabat makan suap, pengusaha makan kakap, rakyat makan asap,� demikian salah satu narasi keprihatinan yang di-posting seorang netizen di media sosial Instagram dengan tagar #masihmelawanasap. Solidaritas bermunculan dari segenap penjuru republik ini. Himbauan agar pemerintah pusat segera turun tangan mengalir deras, hingga presiden pun cepat-tanggap, lalu terjun langsung ke sejumlah titik api di wilayah Sumsel. “Di mana ada asap, pastilah di situ ada api,� bukankah begitu petuah dan nasihat yang kita dengar sejak masa kanak-kanak? Namun, kearifan lapuk itu kini terdengar kian samar dalam nyala api di semak-semak belukar hutan Sumatera. Tak dapat disangkal bahwa tak ada cara yang lebih cepat dan jitu dalam membuka lahan baru selain dengan cara membakar. Di masa silam para tetua kita juga menggunakan cara serupa. Tapi tak sekalipun sejarah mencatat, bahwa api yang mereka nyalakan merembet ke mana-mana, apalagi menjadi penyebab dari bencana kabut asap sebagaimana kini. Hutan liar yang mereka rambah cukup untuk kebutuhan kebun dan 153


ladang sendiri, dan mereka tak pernah lupa menyisakan lahan yang bakal diwariskan pada anak-cucu di kemudian hari. Asap yang mereka buat adalah asap yang jelas asalusul apinya. Api yang mereka kobarkan sangat gampang dipadamkan. Segampang mereka memadamkan kobaran gejolak keserakahan yang bersemayam dalam diri setiap manusia. Sementara asap yang kini telah mengakibatkan segenap derita dan kepayahan rakyat di republik ini, adalah asap yang begitu lihai menyembunyikan api. Tak ada yang sungguh-sungguh dapat memastikan dari mana sesungguhnya muasal nyala api itu. Alih-alih memastikan di mana sebenarnya titik api paling mula, kita lebih gandrung menghitung titik-titik panas yang kita bahasakan secara canggih dengan hotspot. Kita inventarisir dari hari ke hari, kita catat perkembangannya dengan tekun dan saksama, lalu kita kaji secara mendalam dan komprehensif dengan berbagai pendekatan saintifik. Sementara saudara-saudara kita di Sumatera semakin sesak napasnya, semakin rabun penglihatannya, semakin lumpuh daya-upayanya. Jangan-jangan tabiat kita dalam urusan bakarmembakar ini telah ditunggangi sejak lama oleh api ketamakan guna menumpuk keuntungan sebesarbesarnya, dan karena itu kita mesti membakar hutan seluas yang kita dambakan, tanpa mempertimbangkan ada rejeki orang lain yang terlindas karenanya. Ada hakhak hidup orang lain yang kita renggut secara sadar dan kasar. Membuka lahan baru tidak lagi sekadar cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagaimana etos orang-orang di masa lalu, tapi didorong oleh 154


keinginan hendak menumpuk keberlimpahan yang tak berhingga banyaknya. Kaya yang mahakaya, dan kita tidak lagi peduli, ada jutaan orang yang lantaran bencana kabut asap ini, hampir tidak bisa memastikan apakah esok pagi asap dapur mereka masih dapat mengepul, atau justru bakal pudur selamanya? Mungkin itu sebabnya, bencana asap selalu dan selalu saja berulang. Sepanjang kita tidak beritikad memadamkan kobaran api keserakahan homo economicus yang terus menyala di lahan-lahan industri perkebunan, maka seperti telah dinujumkan oleh sastrawan Hary B Kori’un di kampung halaman imajiner Alia, saudarasaudara kita di Sumatera juga akan meniscayakan asap sebagai asupan nutrisi mereka saban musim kemarau. Balita-balita mereka akan semakin tegas bercita-cita hendak menjadi petugas pemadam kebakaran, kelak bila mereka sudah dewasa. Agar mereka dapat berkhidmat memadamkan api yang tak sudah-sudah menganiaya hutan belantara kita. Agar mereka dapat menghadang gempuran asap yang dari tahun ke tahun semakin pandai menyimpan api. Bukan api biasa, tapi api yang berasal dari lelaku ketamakan purba kita.... ***

155


Damhuri Muhammad Sastrawan, alumnus Magister Filsafat UGM. Buku kumpulan cerpen terbarunya adalah Anak-anak Masa Lalu (Marjin Kiri, 2015). Tinggal di Depok.

ba

156


157


158


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.