Buku cerpen riau pos 2015

Page 1

a


b


i


Hikayat Bunian Kumpulan Cerpen Pilihan Riau Pos 2015

Hikayat Bunian Kumpulan Cerpen Pilihan Riau Pos 2015 Sanksi pelanggaran pasal 44 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta. 1. Barang siapa dengan sengaja atau: tanpa hak mengumumkan atau EDITOR memperbanyak suatuMUHAMMAD ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan AMIN pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak JEFRY AL MALAY Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyebarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelaggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

ii


Kumpulan Cerpen Pilihan Riau Pos 2015

Editor

Muhammad Amin Jefry Al Malay

PT. Sagang Intermedia 2015

iii


Hikayat Bunian Kumpulan Cerpen Riau Pos 2015 Editor: Muhammad Amin, Jefri Al Malay Perancang Sampul: Desriman Zahmi Perancang Isi: Supri Ismadi @ Penerbit : PT. Sagang Intermedia Graha Pena Riau, Jl. Soebrantas Km 10,5 Panam, Pekanbaru, Riau Diterbitkan Pertama Kali Oleh: PT. Sagang Intermedia, Pekanbaru 2015

Kepustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KTD) Hikayat Bunian, Kumpulan Cerpen Riau Pos 2015 Pekanbaru, PT. Sagang Intermedia, 2015 ISBN______________ Cetakan Pertama, Oktober 2015

iv


Fenomena Kearifan Lokal dalam Cerpen Kita (Sebuah Pengantar Editor)

D

alam cerita pendek (cerpen), muatan kearifan lokal seakan menjadi warna yang khas di setiap episode waktu, pun ketika era gadget telah melingkupi kehidupan kita dengan gegap gempita. Sepanjang tahun 2015 ini, cerpen-cerpen di Riau Pos pun tak luput dari berbagai kearifan lokal ini. Seakan-akan, dunia sastra kita ”kurang sah” jika tak memuat cerita yang berkaitan dengan dengan kearifan lokal, alam, pedesaan, tradisi, atau budaya lokal. Seakan-akan, jika sebuah cerpen bercerita tentang modernitas, karut marut perkotaan, dunia gemerlapan (dugem), romansa percintaan, multimedia, gadget, globalisasi, istilah-istilah asing atau bahasa gaul anak muda yang gue banget atau alay, maka akan berkurang greget sastranya. Seakan-akan cerita-cerita tentang romansa dunia modernitas akan menjadi ”sampah” dalam dunia kesusastraan. Kadang untuk mengkreasi sebuah cerpen sastra, seorang penulis rela ”bersusah-payah” untuk mencari istilah-istilah ”kuno”, pilihan kata klasik, atau diksiv


diksi tak lazim yang bernuansa kearifan lokal. Begitu pula, ketika ide-ide tulisan yang berkaitan dengan dunia metropolitan dan modernitas bersemayam ke kepala, tak jarang seorang penulis sastra berusaha “membelokkannya� kembali ke arah tradisi atau kearifan lokal dengan penggunaan diksi tertentu atau setting dan alur ceritanya yang diubahsuaikan sedemikian rupa. Begitu dianggap pentingnya kearifan lokal dalam berbagai cerpen kita, sehingga apapun ide cerita, kerap kali proses kreatif kepenulisannya dikaitkan dengan kearifan lokal. Tidak ada yang salah dengan semua itu, karena tentu saja ia menjadi sebuah poin tersendiri bagi para sastrawan atau penulis, baik yang baru memulai kepenulisannya maupun yang sudah mapan. Pengantar ini juga tak bermaksud �menghakimi� para penulis yang konsisten dengan kearifan lokal. Banyak sekali para cerpenis ternama yang memulai karya-karyanya dari kearifan lokal, dan terus konsisten menulis novel, atau roman, juga dengan nuansa kearifan lokal. Namanama seperti Ahmad Tohari, YB Mangun Wijaya, Marah Rusli, Suman Hs, adalah penulis yang tunak dengan kearifan lokal. Hanya saja, diperlukan sebuah kerangka pemikiran-terutama di kalangan sastrawan muda-- bahwa cerpen sastra bukan hanya yang berkisah tentang kearifan lokal. Diperlukan penyegaran pikiran, bahwa kearifan lokal bukan satu-satunya dan hak monopoli dalam penulisan karya sastra. Diperlukan penyadaran kolektif terhadap para penulis cerita kita, bahwa modernitas, kisah cinta, dunia metropolitan, bukan melulu akan berkaitan dengan cerita picisan. Beberapa penulis ternama era sekarang seperti Seno Gumira Ajidarma, vi


Agus Noor, Dewi Lestari (Dee), Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami, dan beberapa nama lain hampir selalu menulis cerpen dengan nuansa kekinian. Mereka menulis romansa percintaan, kehidupan perkotaan dengan segala perniknya, dunia malam, media sosial, gadget, bahkan alam makro kosmos dengan penceritaan ala fisika quantum. Tetapi mereka tak terjebak dalam cerita picisan atau sekadar dongeng modern. Seorang penulis memang perlu mempertahankan identitas khasnya. Tetapi ia tak boleh selalu terjebak dalam pola pikir yang sama ketika menuangkan tulisan-tulisannya. Penulis muda apalagi. Buku Kumpulan Cerpen Riau Pos 2015 Hikayat Bunian ini berisi 21 cerpen pilihan. Sebagian cerpen itu—terutama dari para penulis muda—ditulis dengan pendekatan kearifan lokal yang sangat kental. Kearifan lokal, sekali lagi, sangat penting dalam mewarnai cerita. Pendekatan kearifan lokal akan membentuk kesadaran sejarah dan psikologis atau ingatan-ingatan kolektif mengenai masa lalu. Kreasi cerita, termasuk yang berlandaskan cerita rakyat (folklore) tentunya akan membangun konstruksi pemikiran yang melandasi kehidupan psikologis masyarakat. Dari sanalah, kearifan lokal tetap perlu dalam menjadi referensi awal dan akar cerpen sastra, terutama bagi sastrawan muda di daerah. Tapi sekali lagi, bukan hanya berlandas itu cerpen sastra dapat berakar dan bisa ditulis dengan baik. Beberapa cerita pendek dalam buku kumpulan cerpen ini terlihat memiliki akar tradisi dan kearifan lokal yang kental. Ada cerpen ”Bunian” karya Jatni Azna AR atau cerpen ”Hikayat Kematian Sungai” karya Fathromi. Dua cerpen ini sekaligus menjadi inspirasi vii


dari judul buku ini, Hikayat Bunian. Keduanya juga merupakan cerpen yang bagus. Beberapa cerpen lainnya seperti ”Renjis Biah” karya Bambang Kariyawan Ys atau ”Rahim Bumi” karya Relly A Vinata juga memiliki nuansa kearifan lokal yang kental. Sekali ini, kearifan lokal dalam konteks ini sangat baik dalam memulai ide, tapi bukan segalanya dalam kreasi karya sastra. Beberapa cerpen lain, memuat banyak perpaduan antara kearifan lokal dan berbagai unsur cerita lainnya. Ada juga cerita yang bermuatan dan bergaya tutur baru, dengan nilai kebaruan seutuhnya. Selain empat cerpen yang sudah disebutkan, dalam buku ini terdapat cerpen ”Suara 15” karya Taufik Ikram Jamil, cerpen ”Bunga Kesunyian” karya Risda Nur Widia, “Para Pemburu Surga” karya Muhammad Pical Nasution, ”Gadis Kecil yang Mencintai Pagi” karya Desi Somalia, ”Kapal Diam” karya Isbedy Stiawan, ”Perempuan Aneh” karya Riki Utomi, ”Tuhan Sedang Tidur” karya Tahta Kurniawan. Ada lagi cerpen ”Anak Kemanakan Lanun” karya Badrul Munir Chair, ”Daghe Surge” karya Musa Ismail, ”Malapetaka Wak Labu” karya Rian Kurniawan Harahap, ”Aminula” karya Griven H Putra, ”Buzar Pemberontak” karya Hang Kafrawi, ”Kota Balik Bukit” karya Ilham Fauzi, ”Idialis” karya Delvi Adri, ”Tahanan” karya Jumadi Zanu Rois, dan ”Amadeo (si Uomo Onesto)” karya SPN Dantje S Moeis. Cerpen terakhir, ”Amadeo” karya SPN Dantje S Moeis adalah salah satu contoh cerpen sastra tak melulu “terikat” pada muatan kearifan lokal. Tapi cerpen ini tetap memikat, dan tak kurang pula nilai sastranya.***

---.--viii


Daftar Isi - 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Fenomena Kearifan Lokal dalam Cerpen Kita (Sebuah Pengantar Editor)..................................v Suara 15 oleh Taufik Ikram Jamil....................................... 1 Kabut Asap oleh Ahmad Ijazi Hasbullah............................... 9 Bunian oleh Jatni Azna AR..............................................15 Renjis Biah oleh Bambang Kariyawan Ys..............................23 Rahim Bumi oleh Relly A. Vinata.............................................31 Bunga Kesunyian oleh Risda Nur Widia.........................................39 Para Pemburu Surga oleh Muhammad Pical Nasution......................45 Hikayat Kematian Sungai oleh Fathromi R..................................................53

ix


9. Gadis Kecil yang Mencintai Pagi oleh Desi Somalia...............................................59 10. Kapal Diam oleh Isbedy Stiawan...........................................65 11. Perempuan Aneh oleh Riki Utomi..................................................73 12. Tuhan Sedang Tidur oleh Tahta Kurniawan........................................ 81 13. Anak Kemanakan Lanun oleh Badrul Munir Chair.................................... 91 14. Daghe Surge oleh Musa Ismail............................................... 99 15. Malapetaka Wak Labu oleh Rian Kurniawan Harahap........................ 107 16. Aminula oleh Griven H Putra.......................................... 115 17. Buzar Pemberontak oleh Hang Kafrawi............................................123 18. Kota Balik Bukit oleh Ilham Fauzi............................................... 129 19. Idealis oleh Delvi Adri..................................................137 20. Tahanan oleh Jumadi Zanu Rois..................................... 145 21. Amadeo (si Uomo Onesto) oleh SPN Dantje S Moeis.................................. 151

---.--x


Suara 15 oleh Taufik

Ikram Jamil

P

ada akhirnya, rasa hibalah yang memenuhi rongga dada Kacep sekarang setelah lelaki itu tidak datangdatang juga menemuinya. Sesuatu yang amat berbeda dibandingkan dengan masa ketika pertama kali lelaki tersebut datang. Begitu juga dengan kedatangannya kedua, bahkan untuk kali yang ketiga dan keempat. Malahan masih perasaan yang berbeda dibandingkan dengan kedatangannya pekan lalu. Apalagi membandingkannya dengan sikap Kacep sekarang yang justru menunggu lelaki tersebut di halaman rumah, tidak demikian sebelumnya. Kacep menduga, jangan-jangan ia telah dicap sebagai orang yang tidak berperasaan, tidak bersedia menolong sesama, tidak dan tidak yang begitu panjang, begitu berjujai-jujai. Jangan-jangan‌, ah begitu banyak gambaran buruk yang dapat ditimpakan kepadanya, sehingga lelaki tersebut harus menyingkir, menghapuskan segala harapan kepadanya. Tidak datang menemui Kacep lagi adalah sebuah keputusan dengan latar belakang keburukan dalam hubungan antara dia dengan lelaki

1


tersebut. Dengan demikian, Kacep merasa bahwa ia juga tergolong sebagai orang-orang yang dijumpai lelaki tersebut sejak beberapa tahun terakhir. Orang-orang yang dikatakan lelaki itu tidak mau membantunya dengan pura-pura tidak tahu, padahal sebenarnya tidak mau peduli dengan keinginan pihak lain. Suatu keinginan yang tidak berat, ringan saja yang dapat dilakukan sesiapa pun asal memiliki ketulusan dan sedikit keinginan berbakti bagi kemanusiaan. Memang, dugaan buruk dan penggolongan dirinya ke dalam golongan orang-orang yang didatangi tersebut, tidak sempat terucap dari mulut lelaki itu sendiri. Tetapi bagaimana dia tidak menduga dan menggolongkan diri seperti orang-orang lain yang didatangi lelaki tersebut, sebab sikap maupun tindakannya sama dengan mereka. Sama dengan orang-orang yang didatangi lelaki tersebut sejak bertahun-tahun. Kacep sempat memarahi lelaki itu, malahan memintanya untuk pergi. Tetapi lelaki tersebut tak berganjak sedikit pun, dengan tetap menyebutkan kalimat, “Sungguh kepada Bapaklah saya berharap lagi.â€? Bila kemudian lelaki itu pergi juga, hal itu dilakukannya entah dengan alasan apa, tetapi pasti tidak dengan alasan patah arang. Buktinya, dua hari kemudian lelaki itu datang lagi dengan harapan serupa. Sampai akhirnya Kacep muak dan mendiamkan lelaki itu di luar rumah, hingga ia pergi sendiri—untuk kemudian datang lagi. Begitulah seterusnya, entah berapa kali dan entah berapa hari. Terjadilah apa yang kini terjadi, lelaki tersebut tak datang, tidak menampakkan batang hidungnya sekaligus tentu tidak menuturkan kalimat2


kalimat pengharapan yang dibaluti pujaan terhadapnya. Ya, dibaluti pujaanlah namanya, kalau lelaki tersebut mengatakan, “Sungguh kepada Bapaklah saya berharap lagi.” Bukankah dalam kalimat tersebut mengandung pengertian bahwa lelaki itu tidak punya harapan kepada orang lain lagi, tinggal hanya kepada Kacep. Tentu saja posisi yang diharapkan berada lebih tinggi dibandingkan dengan yang berharap. Apalagi ketika harapan itu telah coba diletakkan di pundak orang lain, di pundak ratusan bahkan ribuan orang sebagaimana diakui lelaki itu, tetapi berujung dengan kekecewaan. Bila lelaki itu juga kecewa dengannya, posisi Kacep tetaplah di atas walau dengan kesan yang lain. *** KACEP mengakui bahwa ia tidak merasa terganggu sedikit pun ketika pertama kali lelaki itu datang. Lelaki tersebut menyapanya dengan sopan, kemudian langsung saja memuji tiga cucu Kacep yang terlihat bersusun paku—seperti sebaya. “Beginilah kalau kita sudah tua, menjaga cucu. Emak dan bapak mereka bekerja,” kata Kacep menjawab pertanyaan lelaki tersebut. Kacep dan lelaki itu kemudian terlibat percakapan santai, sampai ia bertanya tentang nama sebagaimana biasanya kalau orang baru berkenalan, tentu setelah terlebih dahulu disebutkannya namanya sendiri. Semula, Kacep menganggap telinganya salah dengar, sehingga meminta lelaki itu menyebut kembali namanya. Tetapi ia tak salah dengar, setelah ditanya berkali-kali, lelaki tersebut tetap menyebut dirinya dengan nama Suara. “Nama yang ganjil. Suara. Apa betul nama Bapak, Suara?”

3


Kacep tak menyangka, justru lewat pertanyaan yang penuh dengan keraguan tersebut, lelaki itu mengawali cerita tentang dirinya. Ia menyebutkan, bukan Kacep saja yang meragukan tentang namanya. Rata-rata orang yang ditemuinya bersikap demikian. Tetapi ia tidak mempermasalahkan walaupun baginya, nama tersebut tidaklah aneh. Sebutan dari nama tersebut sangat akrab bagi semua orang. Tak ada seorang pun yang merasa asing dengan sebutan itu. Istilahnya lagi, sebutan tersebut merupakan kata asli orang-orang di sini. Serapannya sudah terjadi sangat lama, sekian abad, yakni dari bahasa sanskerta, swara. “Tapi takada orang yang menggunakan kata itu sebagai nama manusia, kecuali kalau untuk nama organisasi atau media misalnya,” sambut Kacep. Lelaki itu mendehem, barangkali menyetujui kalimat Kacep tersebut. “Tentu, saya datang ke sini, bertemu dengan Bapak, tidak bermaksud memperbincangkan soal nama itu. Asal Bapak tahu dengan nama saya, jadilah… Agar senang Bapak memanggil saya, agar mudah Bapak mengingat saya, agar enteng Bapak menandai saya,” kata lelaki itu. Cepat ia menyambung ucapannya kemudian dengan mengatakan, “Sungguh kepada Bapaklah saya berharap lagi.” “Untuk hal apa?” Tak lengah lagi, lelaki yang mengaku bernama Suara itu menceritakan, ia telah berjalan sekian jauh dan bertemu dengan ratusan bahkan ribuan orang, untuk memperoleh kelayakan. Layak digunakan, layak dimanfaatkan. Tak lelaki dan tak perempuan dewasa, telah begitu banyak dijumpainya untuk itu. Berbagai jenis profesi mereka, termasuk bencong dan pelacur. 4


Karyawan, pengusaha, pejabat mapun politikus, bahkan agamawan sekalipun, tak luput dari daftar sebagai orangorang yang didatanginya untuk itu. Militer atau sipil, sama saja. Di kota dan di desa, ia datangi mereka untuk tujuan serupa. Cuma Suara mengaku amat kecewa karena apa yang diharapkannya, jauh dari kenyataan, jauh panggang dari api. Meskipun demikian, ia tidak sampai membuat suatu koluhum alias jeneralisasi bahwa semua orang, apa pun jenisnya, apa pun profesinya, telah mempecundanginya. Sebaliknya, dari pribadi-pribadi yang dijumpainya, yang didatanginya, memang telah memperlakukannya secara tidak layak. Ia hanya digunakan untuk pemanis di bibir, bahkan lebih dari itu adalah untuk tujuan-tujuan negatif. Contoh terkini, disebutkannya apa yang terjadi barubaru ini. Ia malahan diperjualbelikan dengan penuh penghinaan. Bagaimana mungkin ia hanya dihargai limapuluh atau seratus ribu rupiah agar seseorang dapat menduduki jabatan tertentu, mewakili sekian banyak orang dalam apa yang disebut lembaga perwakilan rakyat atau daerah atas nama sebuah bangsa maupun negara berdaulat. Kadang tak sekali jual, tetapi dua atau tiga kali, dengan pembeli dan penjual yang berbeda-beda pula. Keterangan-keterangan lelaki bernama Suara semacam itulah yang memuakkan Kacep. Bukan karena Suara mengatakan hal itu ke itu juga agar Kacep meyakini apa yang sudah menimpanya, terlebih lagi bagi Kacep, keterangan-keterangan lelaki tersebut, sama sekali tidak masuk akal. Tetapi Kacep tidak pula dapat memberi sebarang alasan untuk membantah Suara, sekaligus tidak dapat pula membenarkan apa yang disangkakannya terhadap Suara. Selebihnya, Kacep sama 5


sekali tidak tertarik untuk bertanya dengan cara apa agar ia dapat memperlakukan Suara secara layak, sebagaimana diminta lelaki itu kepada banyak orang dan ternyata telah mengecewakannya. Sebaliknya, Suara terus saja memberi keterangan mengenai nasib yang menimpanya. Hampir setiap hari ia mendatangi Kacep, persis ketika lelaki tersebut membawa cucu-cucunya berjalan ke halaman rumah. Suara terus saja bercerita, walaupun Kacep menyibukkan diri dengan cucu-cucunya yang berumur empat sampai enam tahun. Cucu-cucu yang menggemaskan, sedang lucu-lucunya. Dua cucu yang berumur tiga dan enam tahun adalah anak Juandi dengan Rosi, sedangkan yang berumur empat tahun adalah anak Bihar dengan Titik. Anak yang berumur empat tahun itu telah yatim piatu, menyusul tewasnya Bihar dan Titik—kedua orang tuanya—dalam kecelakaan mobil belum lama berselang. “Sudahlah, aku sudah mendengar ceritamu. Aku tak dapat menolong. Pergilah. Aku sibuk dengan cucucucuku ini,� pinta Kacep. Dengan terlebih dahulu meminta maaf, Suara mengaku dapat memahami kondisi Kacep. Tetapi dengan amat memelas, ia minta didengarkan lagi. Ini tidak saja sebagai upaya agar pemahaman Kacep terhadapnya masuk jauh ke dalam hati, tetapi juga dapat menghiburnya dari kekecewaan akibat telah diperlakukan secara tidak layak selama ini. Suara pun mengaku tidak dapat memastikan apakah Kacep mendengarkan atau tidak, tetapi yang jelas ia harus menceritakan nasibnya terus-menerus, sehingga tidak mungkin pergi sebagaimana permintaan Kacep Harapannya agar Kacep tidak seperti orang-orang yang sudah ditemuiya, hal itu disebut Suara sebagai suatu 6


keniscayaan. “Usahlah ganggu aku dengan cucu-cucuku ini,” kata Kacep. Teringat pada kalimat itu, Kacep tersentak sadar bahwa sudah beberapa hari pula cucu-cucunya tersebut dibawa Juandi dan Rosi—orang tua dan paman mereka— pergi silaturahim ke Batam dan Tanjungpinang. Tibatiba Kacep amat merindukan mereka, apa saja tentang mereka. Mata, hidung, rambut, tingkah, juga suara mereka. “Suara?” tanya Kacep dalam hati. Diulanginya kata tersebut dengan tambahan sejumlah kata lain, sehingga menjadi kalimat, “Suara cucu-cucuku? Suara yang jujur, polos, dan karenanya penuh kegembiraan, dilumuri kebahagiaan?” Ah, segera ia tepis kalimat baru di kepalanya itu dengan cara menghamburkan diri ke dalam rumah, takut kalau-kalau ia akan mengaitkan mereka dengan kedatangan lelaki yang mengaku bernama Suara. Menghenyakkan diri di sofa ruang keluarga, begitu saja ia merasakan bahwa rumah ini telah menjadi amat besar, setelah isterinya Rafiah meninggal dunia, sebelum Juandi dan isteri sekaligus anak-anak mereka, berhasil dirayunya untuk tinggal bersama. Buat sementara ia sendiri lagi, sebelum anak dan cucu-cucunya pulang. Ia memang sendiri lagi, tanpa isteri, tanpa anak-anak, tanpa cucu-cucu, dan tanpa lelaki itu—tanpa lelaki yang mengaku bernama Suara itu.... ***

7


Taufik Ikram Jamil Menulis prosa dan puisi, yang sudah diterbitkan dalam sejumlah buku. Memperoleh beberapa penghargaan penulisan cerpen antara lain dari majalah sastra Horison, Dewan Kesenian Jakarta, dan Pusat Bahasa Dikbud. Menetap di Pekanbaru, Riau.

---.---

8


Kabut Asap oleh Ahmad

Ijazi Hasbullah

K

abut asap tampak memutih, pucat, seperti sobekkan kapas yang beterbangan menyelubungi permukaan bumi. Mataku pedih. Jarak pandang hanya beberapa meter saja. Suara batuk-batuk dan bersin bercampur baur dengan gerutu kekesalan orang-orang yang beraktivitas pagi itu. Matahari yang baru saja berkemas dari persemayamannya tak mampu memancarkan sinarnya dengan sempurna, terhalang oleh kabut asap yang kian merayap. Mataku yang perih tiba-tiba menggugurkan air mata. Hatiku begitu iba membayangkan tayangan berita semalam. Bencana alam terjadi di mana-mana. Tanah longsor, banjir, angin puting beliung, menelan banyak korban. Sungguh pelik dan membikin gamang. Kabarnya, di Pekanbaru, baru-baru ini, sudah ada dua orang yang meninggal dunia akibat infeksi paruparu. Puluhan korban lainnya menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Pembakaran hutan memang kian merebak. Hutan-hutan meranggas, kering kerontang 9


seperti kehilangan nyawa. Kicauan burung-burung yang melompat di ruas dahan-dahan kering seperti sedang lirih meratapi habitatnya yang terus tergusur.  Aku menyingsing celana abu-abuku karena air begitu menggenang di sepanjang badan jalan menuju sekolahku. Hujan deras dua hari berturut-turut, membuat banjir merendam daerah dataran rendah. Sungguh malang nasib penduduk yang bermukim di sana. Rumah-rumah mereka tenggelam. Bahkan ada sebagian yang roboh diterjang banjir. Aku langsung membuka masker yang kukenakan saat tiba di sekolah. Kuseka serpihan debu yang menempel di pelupuk mata sebelum memasuki kelas. Kulirik jam di pergelangan tanganku, jam tujuh lewat. Sebentar lagi masuk. Kedua mataku menyapu ke seluruh ruangan kelas. Ada beberapa temanku yang tidak hadir. “Rizki masuk rumah sakit. Tadi ibunya menelepon, katanya dia kena radang paru-paru.â€? Imam si ketua kelas memberi tahuku. Aku tertegun mendengarnya. Rizki adalah sahabat terbaikku. Dialah yang selama ini selalu memberikan aku motivasi dan lecutan semangat untuk belajar sungguhsungguh. Semua orang senang berteman dengannya. Di sekolah dia menjabat sebagai ketua OSIS. Prestasi dan penghargaan yang ia raih sudah tak terhitung banyaknya. Namun ia tetap rendah hati. Mataku bergerak-gerak gelisah. Lidahku kelu, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Beberapa saat kemudian, Pak Harun, kepala sekolah kami melangkah memasuki ruang kelas. Keningku berkerut. Jam pelajaran pertama hari ini adalah mata pelajaran Sejarah. Yang mengajar seharusnya Pak Abdullah. Tetapi 10


kenapa sekarang malah Pak Harun yang masuk? Aku menggumam keheranan. “Pak Abdullah hari ini tidak bisa masuk. Baru saja beliau mendapat kecelakaan saat akan menuju kemari. Kabut asap dan jarak pandang yang terbatas membuat beliau tak dapat mengelak saat sebuah mobil jeep yang melaju menabrak motornya. Beliau sekarang berada di rumah sakit. Keadaannya sangat kritis. Kedua pergelangan tangannya patah dan kepalanya mengalami pendarahan serius,� ucap Pak Harun memberi tahu kami. Aku tercekat menelan ludah. Perkataan Pak Harun barusan terdengar seperti gelegar petir di siang hari. Tiba-tiba dadaku sesak. Rahangku bergemeletak. Dan temperatur suhu di bola mataku memanas, seperti ada butiran kristal yang hendak berguguran. *** Aku membelokkan sepeda motorku memasuki halaman rumah. Kulihat sebuah mobil mewah terparkir di sana. Aku segera melepaskan masker yang kukenakan lalu bersegera melangkah masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, kulihat ayahku sedang berbicangbincang dengan seorang pengusaha asing. Di atas meja berserakan surat-surat tanda kerja sama yang harus segera ditandatangani oleh ayahku. Surat-surat tanda kerja sama dalam bisnis illegal! Ah, kubayangkan balak-balak yang terus digelindingkan ke dalam aliran sungai di kejauhan pelupuk mataku. Keberadaan hutan semakin terkikis, seperti hendak menghabiskan riwayat tumbuhnya yang tak lagi dikenang sebagai bagian dari kehidupan manusia. Begitukah? Kepedihan di hatiku kembali menyeruak. Rasa muakku mencuat saat kulihat senyum puas tersungging di 11


bibir ayahku yang menerima cek tanda jadi dari pengusaha asing itu. Aku sudah dapat memastikan, jumlah rupiah yang tertulis dalam cek itu sangat fantastis! . *** Suasana pagi yang berkabut hari ini diiringi dengan derai gerimis. Jaket tebal hitam yang kukenakan tak mampu menghalau hawa beku yang merasuk ke dalam tulang sum-sum. Aku menangis dengan tubuh menggigil. Begitu juga dengan teman-temanku, para guru dan pelayat-pelayat yang lain. Suasana di pemakaman hari ini banjir air mata. Mengharu biru. Bagaimana tidak, kami harus kehilangan dua orang yang sangat kami cintai; Pak Abdullah guru Sejarah kami, dan Rizki, sang ketua OSIS. Mereka meninggal dunia pada hari yang bersamaan. “Kalian harus belajar sungguh-sungguh. Biar kelak jadi orang yang membanggakan siapa saja. Kalian adalah para pemuda yang menjadi harapan bangsa. Berjuanglah untuk kepentingan orang banyak dengan tulus dan iklas,” ucap Pak Abdullah beberapa waktu yang lalu saat ia mengajar. Nada bicaranya yang tegas mengobarkan semangat jiwa muda kami. “Tuhan menyukai hambanya yang giat berusaha. Bila ada aral dan cobaan yang menghadang, anggap saja itu sebuah ujian dari-Nya. Teruslah berjuang kawan! Jangan putus semangat. Tuhan pasti meridhoi setiap perbuatan mulia yang dilakukan hamba-Nya…” perkataan seperti itulah yang sering terucap dari mulut Rizki. Ucapan penuh nasihat, yang membuat aku tak pernah gagap untuk terus berangkat ke sekolah dan belajar sungguh-sungguh. Ah, tapi kini nasihat-nasihat seperti itu tidak akan pernah aku dengarkan lagi. Ya, tidak akan pernah. Mereka telah pergi. Pergi dan tak pernah kembali lagi. 12


*** Udara di tengah hutan ini terasa menyejukkan. Di sini aku dapat menghirup udara segar sepuaspuasnya. Kabut asap tidak terlalu pekat. Nyanyian burung-burung terdengar merdu. Namun hatiku tetap gundah. Dari kejauhan kulihat pembalak-pembalak liar itu sedang menggelindingkan kayu-kayu yang baru saja mereka tebang itu ke dalam sungai. Sebagian lagi masih melanjutkan aktivitas mereka menebang pohonpohon yang sudah ditandai dengan gancu berwarna merah. Sedangkan ayahku tampak memandori mereka sambil sesekali meneriakkan perintah pada pekerja yang bermalas-malasan. Beberapa saat kemudian terdengar guntur bergemuruh. Angin bertiup kencang menggoyangkan pepohonan. Langit yang sebelumnya cerah, mendadak dikerubungi mendung serta awan-awan yang menghitam. Blaaaaarr…! Terdengar petir mendentum memekakkan telinga. Menyusul jarum hujan mengucur dengan derasnya. Aku segera berlari mencari tempat berteduh. Pembalak-pembalak liar itu terlihat panik. Mereka menghentikan aktivitas mereka itu dengan segera. “Heh! Siapa yang mememerintahkan kalian berhenti?!” teriak ayahku dengan mata membelalak. Begitu murka. “Hujan sangat deras. Kami tidak bisa bekerja dengan baik dalam keadaan cuaca buruk seperti ini. Sangat berbahaya kalau pekerjaan terus dilanjutkan,” jawab salah seorang pembalak itu dengan merundukkan wajah. “Heh, kau! Baru dua minggu bekerja di sini sudah berani berkata macam-macam!” ayahku semakin 13


meledak-ledak amarahnya. Pembalak-pembalak itu terdiam. Mereka tak berani berkata apa-apa lagi. Kini tubuh mereka telah kuyup dimandikan hujan. Angin yang bertiup kian kencang berputar-putar serupa balingbaling badai yang sedang marah. Gelegar petir semakin riuh, membuat suasana kian mencekam. “Besok pagi pekerjaan ini harus beres semuanya! Aku tidak mau tahu! Terlambat sedikit saja, pengusaha asing itu bisa tidak percaya lagi dengan kita! Kalian dengar?!!” teriak ayahku dengan suara keras di tengah deru hujan yang semakin mengamuk. Blaaaaarr…! Buuuuumm…! Sebuah kilatan petir yang mendentum menyambar sebuah dahan pohon yang berada tepat di belakang ayahku. Kraaaaakkkk…! Bunyi patahannya terdengar nyaring. Mata ayahku membeliak saat mengetahui patahan dahan itu rebah ke arah tubuhnya. Ia berusaha menghindar, namun sayang terlambat. Patahan dahan pohon yang cukup besar itu telah lebih dulu menyambar kepala ayahku. Tubuh ayahku terpelanting ke semak-semak. Darah segar muncrat dari kepalanya! “Ayaaahhhh...!” aku histeris mendekap tubuh ayahku. *** Ahmad Ijazi Hasbullah Kelahiran Rengat Riau, 25 Agustus. Pernah menjadi Nominator lomba menulis cerpen Kemenpora 2011, 10 besar menulis Puisi Tulis Nusantara 2013, 10 besar menulis Puisi Esai-Jurnal Sajak 2013 dll. Buku cerpen tunggalnya berjudul Tangisan Tanah Ulayat (2014). Saat ini menetap di Pekanbaru.

14


Bunian oleh Jatni Azna AR

L

ihatlah lelaki itu, tubuhnya tak segagah dulu. Lingkaran hitam di matanya, kulit rapuhnya, rambut sula-nya. Apa yang terjadi padanya? Setelah sekian lama kami tak bersua dan ia menghilang entah ke mana. Kini, setelah ia kembali. Tak ketemui ia adalah suamiku. Tapi, ia adalah suami wanita lain, suami wanita bunian. *** Dengung sayup-sayup suara chinsaw penebang kayu itu bergema memecah kebisuan hutan larangan. Tak ada pagelaran musik binatang magrib itu. Sedangkan teman si penebang asyik saja menyumpal sepucuk rokok tembakau di bibirnya. Sesekali ia melirik ke sekeliling. Pekatnya malam kini merangkak ke dalam hutan. Berbekal cahaya pelito di susulnya si penebang kayu. “Sudahlah dulu kawan! Kita selesaikan lagi potonganpotongan kayu ini besok pagi, baik kita lekas pulang ke Bagan,” ajaknya. Si penebang kayu bergeming hanya dijawab hening. “Ayolah! Lekas kita pulang! Tak baik kita terlalu lama 15


di hutan larangan ini!” “Kenapa rupanya? Takutkah kau? Bukannya sejak awal sudah kuperingatkan, kalau kau ingin ikut kerja denganku, aku tak kenal itu. Tapi, kalau sampai di sini kau tiba-tiba mengajakku berhenti. maaf-maaf saja aku tak bisa!” jawabnya sepele. “Terserah kaulah, aku tak mau tahu!” sahut si kawan. Dibuangnya puntung rokok sembarang, digenggamnya erat pelito untuk menjadi penerang. Ditinggalnya si penebang dengan pekerjaan. Lantas, beringsutlah ia berjalan pulang. Tak disangka, ada masalah yang ia tinggalkan di belakang. Masalah yang mengubah seisi dunia mereka. Pekik pingkauku menyambut saat tersiar kabar bahwa hutan larangan seberang kampung terbakar. Sekarang bukan hanya hutannya. Tapi, seseorang yang ada di hutan itu adalah suamiku tercinta. Sementara Bakar, kawan suamiku menebang pulang dengan selamat. Tak ada yang terbawa pulang olehnya. Selain lusuh baju di badan yang di bawa. Lantas mana suamiku? Aku menangis mengibangiba. Seluruh kerabat dan sanak saudara kini telah berkumpul di balai adat untuk membicarakan masalah ini. Sedangkan aku hanya bisa diam membisu. Serasa bumi menghujamku, menelanku dalam dan menguburku hidup-hidup. “Mana suamiku?” Bisikku lirih. Sedangkan si Bakar melirikku iba dan Datuk menggeleng-geleng tak tega. “Sabar Cung! Ini cobaan Digenggamnya bahuku erat.

untuk

engkau!”

“Maaf Datuk, bukankah kita sudah sepakat. Barang siapa yang menjamah hutan larangan seberang sana

16


maka ia akan terima bala,” celetuk seorang warga. Aku menatap tajam. “Apa maksudmu?” hardikku. “Wajarlah suamimu dilalap api. Ia tak dengarkan petuah negeri. Bukankah kau tahu, barang sesiapa yang menebang hutan larangan seberang sana maka akan menuai celaka”. “Tutup mulutmu! Kau buka telinga kau luas-luas! Kau dengar perkataanku keras-keras! Bisa saja kumaki kau dengan maki hamunku. Jika kusumpah kau mati diterkam harimau, mati matilah kau! Bahkan saat ini juga! Tapi, itu urung kulakukan. Karena aku percaya kita berTuhan. Begitupun suamiku. Bukan karena ia menebang hutan larangan tetuah kita dulu ia mati tak berbau. Tapi, karena ajal menjemputnya lebih dulu,” “Apa bedanya? Tahu di sana halimunnya bunian, pergi pula ia ke sarangnya. Jangankan dilalap api, dinikahi peri bunianpun jadi,” sahutnya tak mau kalah. Sebagian tertawa, sebagian iba, sebagian diam saja. Sedangkan aku, menatap tajam pada lelaki itu. *** Lelaki itu terlunta-lunta sendiri. Sedari tadi setelah ia tersadar ia masih berputar-putar tak menentu. Di mana aku? Pikirku. Bahkan tak kutemukan jalan pulang sedari tadi. Tak kulihat matahari terbit. Tak tampak olehku bulan sabit. Yang kutemukan hanya halimun pekat bergumul mengiringi langkahku. Di mana aku? Bahkan tempat ini sangat asing. Jangankan di kampungku, di alam mimpipun barang kali aku belum pernah ke mari. Lantas, kulihat ada aliran sungai nan permai. Aku 17


bergegas. Barangkali di seberang sana adalah kampungku. Hutan tempatku menebang sekarang dibelah oleh sungai dalam dan panjang hingga ke muara Teluk Kosik. Dan di seberang sana pulalah istriku berada. Walau hanya terbelah sungai saja. Tapi, tetap saja selama menebang kami tak bersua. Terakhir yang kuingat ia menangis tersedu melepas kepergianku dengan Bakar. Bakar? Di mana ia? Ia bahkan tak terlihat batang hidungnya. Apa mungkin perkataanku kala itu menyinggungnya? Tak kupahamkan segala tegur dengan daya. Tak kusangkakan segala kalimat jadi nyata. Mungkin saat ini aku sedang memakan karma. Aku bergegas menuju sungai. Sangat haus dahagaku. Aku teguk seberapa air yang sanggup masuk dengan kedua telapak tanganku. Aku basuh mukaku. Lantas, benar saja saat aku kembali membuka mata. Jika ini karma, bahkan wanita yang muncul di hadapanku lebih cantik daripada istriku. Ia benar-benar seperti bidadari. Ia tersenyum menghampiri. Dirangkulnya pundakku dan kami beranjak pergi. Tak kuasa aku menolak. Tak kuasa aku kembali. Bahkan untuk menoleh ke belakangpun aku tak sempat. Sekedar mengucapkan, “Selamat tinggal istriku,” Dan semua dibaluti halimun pekat yang ketat. Aku terbangun dari mimpi burukku. Bang Wan melambaikan tangan padaku. Namun, mukanya sendu seperti sedang terjadi sesuatu. “Tak kupahamkan apa pesan tersirat dari mimpi ini Datuk,” kataku mengadu. Datuk termanggu. “Kalau memang begitu rupanya,” katanya datar. “Apa” “Barang kali,” “Apa?” 18


“Lelaki ini adalah ganti dari lelaki itu,” Aku mengernyit tak mengerti. *** Kuturutkan saja apa permintaan warga kampung. Termasuk lelaki itu yang sangat senang dengan kesusahanku dan suamiku. Tak kupahamkan ritual pemangilan dengan segala kemeyan dan mayang kelapa serta segala benda-benda yang diminta Datuk dan dicarikan lelaki itu. Ritual itu dilakukan tepat jelang tengah malam saat bulan naik jenjang. Saat tepat orangorang shalat malam tempat mengadu paling aman. Saat aku tak paham apa hal sebab-musabab aku malah mengikut orang-orang ini yang aku sendiri tak mengerti. Lantas, dimanakah Bakar? Bahkan sampai saat ini aku tak melihatnya. Apa ia juga senang melihat suamiku hilang? Ritualpun dimulai. Mulut Datuk mulai bergumam tak henti. Segala hantu dan jembalang dipanggilnya. Hai hantu jembalang tanah…. jembalang laut.… jembalang hitam…. jembalang putih…. Hai…. saudaraku yang berempat. Jibril, Mikail, Izrafil, Izrail… Minta tolong jagakan! Peliharakan! Jangan binasakan! Jangan Rusakkan! Kami antara belukar dengan rimba.… Di situ simpedan engkau…. Di sinilah tempat tanah kita berjanji dan merangkak berkat tawar! La…. illahaillallah !!! Kembalikan anak cucu Adam !!! Kembalikan anak cucu Adam!!! 19


Kembalikan anak cucu Adam !!! Suara Datuk makin tinggi. Bulu kudukku meremang. Dan Angin tiba-tiba menjadi beliung. Segala bendabenda digulung. Kemeyan terkulum. Mayang kelapa melambung-lambung. Tak kupahamkan apa yang terjadi. Apapun nanti yang terpenting suamiku kembali. Namun, tiba-tiba halimun tebal membalut membuat semua kalut. Halimun itu meninggi dan menukik, menuju pada satu orang, laki-laki itu! Halimun itu terus melaju menuju lakilaki itu. Dalam pada itu, ia berlari macam tak jejak tanah. Kemeyan mengepul, asap bergumul, amsal mengulum laki-laki itu. Lantas, tak terlihat lagi raganya yang tersisa hanya halimun tebal nun hingga ke pulau seberang sana. Tepat saat halimun itu menyusut lenyap, tepat saat semua ketar-ketir, ketakutan memaku pada penglihatan, tepat saat Datuk berhenti memantra, tepat saat itu pula kulihat bakar datang. Namun, di belakangnya ada seseorang. Kulihat ia dengan segala kekuatan. Segala daya sampai aku tak tahan. Dengan langkah tertatih. Kubelai lembut wajahnya yang sendu. “Kemana saja kau suamiku?â€? Kataku lirih. Bakar melirikku iba. Dan semua hening bergeming. â€œBegitulah aku menjemputnya pulang. Hampir setiap malam ia datang dalam mimpiku sambil melambaikan tangan. Namun, mukanya sendu seperti sedang terjadi sesuatu. Tak sampai hati rasanya. Lalu, Kulewati sisa pohon lapuk di atas sungai yang tidak terlalap api. Kutembus alam mereka dengan lalu dibawah pohon lapuk itu. Tak kusangka ia tersesat kian jauh bahkan sudah beranak pinak dengan bunian itu. Namun, ada satu yang tak kumengerti. Saat mereka melihatku, mereka bahkan tak mengusikku sedikitpun. Mereka menjamuku 20


layaknya tamu. Lantas, keganjilanku terjawab saat peri bunian itu berucap, lelaki ini adalah ganti dari lelaki itu,” Lantas, Datuk turut berucap seraya mengusap janggutnya. “Konon, dulunya ia mempunyai sema dengan orang bunian. Jika ia mengadakan acara semacamola, maka orang bunian akan turut serta membantu memberikan bahan pangan dan segala yang diinginkan dengan perjanjian, yang dipinjam harus kembali dan mentah harus dikembalikan jadi. Semua berlangsung lancar sampai tiba masa, ia lupa memberikan hasil makanan dari bahan pangan orang bunian. Semenjak itulah segala acara, usaha dia lamat-lamat menyusut dan ia jatuh bangkrut. Dalam pada itu, saat ia tahu suamimu terkurung di hutan larangan ia sengaja menukar insannya dengan suamimu untuk dijadikan suami peri bunian, agar ia bisa melanjutkan usahanya.” Kutelisik baik-baik Bakar dan Datuk berkisah. Begitu rupanya aku mengerti sekarang. Patutlah lelaki itu selalu terlihat senang saat suamiku hilang. Saat hutan larangan terbakar. Ternyata ia adalah dalang dari segala dalang. “Lantas, apa yang terjadi dengan ia Datuk?” Selidikku. “Entahlah, barang kali ia sudah menuai benih yang ia semai, menikahi wanita bunian!” Aku bergidik ngeri. *** * Banyak kisah dari tetuah Kiab Jaya, 2015

21


Jatni Azna AR Penikmat sastra, seni pecinta film dan fotografi, penulis cerpen dan puisi.

---.---

22


Renjis Biah oleh Bambang

Kariyawan Ys

A

ku masih gelisah. Walau malam ini malam berinai bagiku. Inai yang menandakan kalau aku telah memasuki sebuah dunia baru. Dunia bahagia, kata orang-orang yang menyapaku. Tapi aku tak bisa mengerti tentang lintasan-lintasan hati yang selalu membisikkan akan sebuah ketidakyakinan. Entah itu apa. Suara-suara yang terdengar lirih menembus labirin di gendang tipis telingaku. “Dia bukan untukmu.� Bisikan-bisikan yang membuatku bertanya-tanya mengapa ketidakyakinanku baru muncul saat kebahagiaan itu seharusnya kujelang. Detik-detik mendebarkan yang menyenangkan bagi sepasang insan yang akan mengikat diri menjadi satu. Inai yang sedang berada di tanganku menjadi bisu. Seakan mengejekku dengan sikap ketidakyakinanku. Sikapku mengundang tanya dan heran orang-orang yang berada di sekitarku. “Ada apa denganmu Biah?� Emak mendekatiku yang sedang menakung di tepi jendela. Inai yang berada di 23


tanganku berubah warnanya karena tetesan air mataku. “Entahlah Mak. Biah tak tahu dengan perasaan Biah.” Aku sandarkan kepalaku di pangkuan emak yang semakin renta. Terbayang kata-kata emak saat ayun budak dilaksanakan untukku, aku tak mau diayun bila tak mau lepas dari pangkuan emak. “Biasalah tuh. Emak dulu juga seperti ini. Lamalama terbiasa dengan orang yang akan kau sebut suami.” Emak bercerita kalau dulu dirinya saat berinai selalu mengundang tanya. Siapakah gerangan lelaki yang akan menjadi suami. Tak pernah ada pilihan untuk seorang perempuan membuat pilihan akan masa depannya. Aku masih ingat perkenalanku dengan Bang Johan, yang saat ini akan menemani hari-hariku. Masih terngiang rayuan-rayuan cintanya saat aku dan Bang Johan selesai menyaksikan teater Tun Teja di gedung teater Idrus Tintin, gedung teater termegah di pulau Andalas ini. Berteman jagung dan pisang bakar yang berjejer di sepanjang trotoar kudengar dengan khusuk setiap kalimat yang mengalir dari mulut Bang Johan. “Apakah telah ada lelaki lain di hati Biah?” Bang Johan menawarkan aroma cinta padaku. “Tidak Bang.” Jawabku ragu. Haruskah kusambut aroma yang ditawarkannya? Kumenerawang memandangi selembayung dan ukiran pucuk rebung yang berkelindan di gedung teater itu. Berbohongkah aku? Entahlah kegamanganku yang harus membenarkan pertanyaan Bang Johan. Bulan sabit pun patah di ujung rumah-rumah panggung Selaso Jatuh Kembar khas Melayu Riau. Aku selalu menepis aroma cinta bila bayang-bayang 24


trauma hadir saat kubersama dengan Bang Johan. Bayangbayang seorang lelaki malam yang pernah mendatangiku di kamar lelapku. Lelaki malam yang pernah hampir menampar keperempuananku. Keberanian dari mana akupun tak tahu, kalau saat itu aku mampu menjengkangnya sekuat tenagaku. Aku hanya ingat di keremangan lampu tidur sempat kulihat ada satu tanda lahir di punggungnya. Sejak itu aku selalu trauma bila ada lelaki yang datang untuk mendekatiku. Tangisan tak pernah henti sejak peristiwa itu. Bermacam pengobatan dan konsultasi kejiwaan kulalui. Tidak mudah menerima kehadiran Bang Johan hingga menjadi calon suamiku saat ini. Bang Johan yang berulang kali datang mencari simpati dari orang tuaku. Bolu kemojo dan dodol lempuk durian menjadi rutinitas buah tangannya untuk keluarga. Menyenangkan hati emak yang memang sangat suka dengan kue khas Riau itu. Trauma yang sempat membuatku mengurung diri perlahan-lahan pulih seiring bujukan dari ayah, emak, dan saudara-saudaraku. Ditambah keseriusan Bang Johan yang tampak ketika mengajak orang tuanya untuk bersilaturahmi dengan keluargaku. Aku masih ingat bagaimana keluarga Bang Johan merisik melalui ayah dan emak. Aku dari sebalik kamar mendengar jawaban yang menyatakan menerima Bang Johan. “Prinsipnya kami menerima nak Johan. Jadi kapan nak meminang dan mengantar tanda?� Keseriusan Bang Johan dan keluarganya dilanjutkan dengan mengantar sebentuk cincin emas sebagai tanda meminang dan mengantar tanda. Cincin tanda aku telah diikat oleh seorang lelaki. 25


Seperti kilasan waktu hari menggantung pun tiba. Hari kelima menjelang hari pernikahanku. Kulihat pentas pelaminan telah dipasang dengan dominasi warna Melayu, kuning, hijau, dan merah. Pelaminan yang telah ditepung tawari dipasang hiasan berupa tabir belang yang digantung oleh juru pelaminan. Tabir belang berwarna kuning, hijau, dan merah digantung pada empat sisi pelaminan. Kulihat tempat duduk pelaminan yang akan menyandingkan aku dengan Bang Johan telah dipasang bantal papan dan bantal susun. Malam hari di antara pelaminan kosong belum berpenghuni itu, Mak Andam menyiapkan tepak sirih, inai, lilin lebah, bedak sejuk, kain lap, lilin, sabun mandi, dan piring beralas serbet sebagai kelengkapan untuk berinai. Tangan, kuku, keliling tapak kaki dan tangan, dan tapak kaki ini penuh dengan inai sebagai tanda kesiapan diriku menyambut mahligai rumah tangga. Malam ini, aku ditemani Siti, teman baikku yang selalu setia menawarkan telinganya untuk mendengarkan keluhanku. “Entahlah Siti, selalu saja ada bisikan-bisikan yang berusaha membatalkan rencana pernikahan ini,” keluhku. Semakin menjelang akad nikah yang awalnya bisikan itu halus, kini seperti berubah menjadi suara-suara yang berbicara tanpa wajah di hadapanku. “Sebenarnya Biah sayang tidak sama Bang Johan,” tanya Siti sambil menyusun kelengkapan-kelengkapan untuk acara pernikahanku. Bunga berwarna-warni menghiasi kamar pengantinku. “Entahlah Siti, bisikan-bisikan itu membuatku jadi ragu dengan pilihanku.” Kuhirup aroma bunga tanjung yang ditebarkan di setiap sudut ruang dan kamarku. 26


Aku hanya diam melihat Siti menyiapkan beras basuh, beras putih, beras kunyit, bunga rampai serta ikatan bahan tepung tawar berupa daun kalinjuhang, daun pepulut, daun ganada rusa, daun jejeruan, daun sepenuh, daun sedingin, rumput sambau dan akarnya. “Kau tahu Biah, apa makna yang sedang aku siapkan ini?” tanya Siti sambil menyiapkan dulang tinggi tempat semua bahan disatukan. Begitu detilnya Siti menyiapkan semua yang akan digunakan untuk kelancaran pesta perkawinanku. “Semua orang sudah tahu Siti, itu tepung tawar.” Heranku atas pertanyaan Siti yang menimbulkan tanya kembali. “Ya, semua orang tahu itu, tapi tahukah kau maknanya?” Siti berusaha menjelaskan makna terdalam yang dikandung dari tradisi tepung tawar ini. “Tepung tawar itu adalah simbol peresmian ikatan suci. Tepung tawar bukan sekedar merenjis. Namun pahamilah bahwa ketika ikatan terikrarkan maka lupakan kegelisahan atas pilihan lain dan belajarlah setia pada pilihan itu.” Sebuah nasehat yang mengingatkanku pada kesetiaan yang harus dijunjung tinggi oleh perempuanperempuan Melayu. “Entahlah Siti, aku seperti tak kuasa untuk memberi alasan ketika Bang Johan mengeluarkan kata-kata sayangnya, aroma cintanya, dan sentuhan kelembutannya. Kepasrahanku sebagai perempuan yang tak tahan menerima kata-kata sanjungan.” “Sudahlah..., lupakan keraguan itu. Aku mau menyiapkan pulut balai yang indah untuk acaramu esok,” alih Siti sambil membolak-balik pulut kuning

27


untuk menyusun pulut balai. Pulut balai dibuat dari kayu berkaki empat dan tingkatnya ada yang 3 atau 7 dan setiap tingkat berisi pulut kuning sebagai lambang kesuburan dan kemuliaan. Pada tingkat paling atas dari balai biasanya diletakkan panggang ayam sebagai lambang pengorbanan atau pun inti berupa kelapa parut dimasak dengan gula aren. Setiap tingkat dari balai tersebut diletakkan telur dibungkus kertas minyak yang sudah dihias dan bertangkai lidi, kemudian dipacakkan ke pulut balai. Seri matahari pagi sepenggalahan, berandam dilakukan untukku. Mak Andam mencukur bulu roma di wajah, membersihkan muka, membetulkan alis dan anak rambut. Kusambut pagi dengan lelah. Aku mengenakan pakaian Melayu berwarna kuning. Sunting keemasan bertengger di kepalaku. Tanjak dengan bros keemasan melekat di kepala Bang Johan. Sebuah keris terselip di antara sarungnya. Cekak musang Bang Johan senada dengan baju yang kukenakan. Tenun songket Siak yang sangat gemilang kami kenakan. Akad nikah pun digelar, aku mengikuti ritual sakral ini dengan meresapi setiap detil yang dilakukan. Aku hayati pantun yang berbalas sebagai penenang hatiku yang resah. Batang ramai suka memanjat Melilit sampai pohon meranti Datang kami mempunyai hajat Ingin menyampaikan hasrat hati

28


Kain puteri sulaman pelangi Cantik dan molek jadi idaman Dahulu kami pernah berjanji Memetik bunga kembang di taman Majelis kebahagiaan aku lalui bersama Bang Johan yang menyatukan kami sebagai suami istri pun kami lalui. Beras basuh, beras putih, beras kunyit, dan bunga rampai berulang kali direnjiskan kepada kami. Kucoba menikmati kebahagiaan ritual ini. Makanan mengundang selera hadir di hamparan meja. Gulai asam pedas ikan patin, roti jala berkuah kari dan durian serta air es laksamana mengamuk kunikmati di sela menerima uluran selamat padaku. Kuperhatikan senyum ayah dan emak membuatku larut dalam bahagia. Orkestra musik khas Melayu berganti-gantian menyanyikan lagu-lagu Melayu klasik. Sri Mersing, Patah Hati, Fatwa Pujangga, Kuala Deli, Mak Inang Pulau Kampai, Pengantin Baru, dan lagu-lagu lainnya menambahkan hati ini semakin bersenandung. Gesekan akordian dan biola, dentingan orgen, pukulan bebano dan kompang bersatu dalam harmoni yang mendayu-dayu. Di kamar pengantin yang berhiaskan warna-warna biru kesukaanku, aku malu bisa bersama lelaki yang kini telah menjadi suamiku. Sepinggan sisa tepung tawar kugenggam-genggam sebagai tanda malu. Bang Johan telah melepaskan baju teluk belanganya. Namun ketika Bang Johan membalik, di punggungnya kulihat tanda lahir yang sempat menghantuiku selama ini. Aku bergerak cepat melemparkan sepinggan tepung tawar ke badan Bang Johan. Aku berteriak sekuatnya. 29


“Emak!!! Bang Johan, Mak! Dia yang dulu mau memperkosa, Biah!!� *** Bambang Kariyawan Ys Guru Sosiologi SMA Cendana Pekanbaru. Aktif bergabung di Forum Lingkar Pena Riau. Telah menerbitkan buku kumpulan puisi, kumpulan cerpen, novel, dan pendidikan. Peserta undangan MMAS (Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra) Kemdiknas 2010, Penerima Anugerah Sagang 2011, Nominator Anugerah Pena 2013, dan Peserta Ubud Writers and Readers Festival 2014.

---.---

30


Rahim Bumi oleh Relly A. VinataÂ

“

Berjalanlah ke barat sampai kau berdiri di ujung lelah yang teramat sangat, dan tanpa setitik mata air terlihat. Di sanalah kau akan bertemu dengan putramu yang gagah lagi hebat.� Ahlam tersedak dari lelapnya, lantas keringat melumuri kerutan di dahinya. Sudah lebih dari seminggu lelaki senja itu dihantui mimpi tentang Nakhla, putranya. Rupa-rupa mimpi hadir bagai putaran memori yang terpenggal. Suatu kali, mimpinya mengulang kenangan ketika ia mendekap erat Nakhla kecil di selasar rumah panggung, dan menikmati kemasyuran gunung Daik di pagi hari. Tepat saat cabang pada puncaknya memamerkan pesona tempias kabut remang. Di mimpi lain, ia menggenggam erat pipi Nakhla yang di janggutnya mulai bermunculan rambut-rambut tipis. Itulah saat terakhir Ahlam melihat anak bujangnya di Tanjung Buton sewindu silam. Mengiringi kepergian Nakhla berlayar. Dulu Ahlam berpikir, sebagai anak lelaki, Nakhla memang sudah seharusnya mengarungi rumitnya bahtera 31


kehidupan. Agar kelak bujang satu-satunya itu kembali sebagai pribadi teruji, pemimpin sejati, dan memang setinggi itulah Ahlam menggariskannya. Namun dikala maut menjemput Maenah, istrinya, setahun silam, Ahlam begitu merindukan akan pulangnya Nakhla. Masa tua berteman kesendirian menyebab segala jadi terasa lamban. Hari-hari dilalui dengan belenggu rindu yang semu. Tak pasti Nakhla akan kembali. Bisa esok, lusa, atau bahkan saat nyawa Ahlam telah tiada. Saat ini pastilah bujangnya telah beranjak mendewasa. Ahlam hanya mampu membayangkan dan bertaruh pada harapan. Tapi malam itu mimpinya sungguh aneh. Bukan barisan abstrak bayangan Nakhla seperti pada mimpi sebelum-sebelumnya. Melainkan rupa sosok lelaki bertubuh besar, berbaju putih, rambut panjang dan jenggotnya juga putih, serta berparas wajah bersih. Dalam mimpinya, lelaki itu laksana mengambang di awangawang dengan cercah cahaya melingkar di tubuhnya. Seraya tersenyum ia memberi semacam wejangan tentang di mana keberadaan anaknya. Pada Ahlam, sosok itu juga memberi titah agar ia berjalan ke barat sampai ujung lelah yang teramat sangat, tanpa setitik mata air terlihat, di sanalah ia akan bertemu dengan putranya yang gagah lagi hebat. Ahlam terduduk dan mengelap butiran-butiran peluh di dahinya. Mimpi macam apa pula itu! Rutuknya dalam hati. Lalu tangannya menggamit segelas air dari atas meja untuk membasuh kerongkongan. Tak cukup memenuhi dahaganya, ia beranjak tertatih ke dapur. Satu dua kali tubuhnya nyaris rebah andai tidak menyangga dinding kayu tripleks. Memenuhi lagi isi gelasnya dengan 32


teko yang terbuat dari tembaga. Dan meminumnya lagi hingga kandas. Derap kaki menuntunnya bergerak ke bibir jendela. Memandangi ruas timur cakrawala. Dari sana ia dapat menyaksikan transisi hari tatkala matahari tengah berjuang untuk berdiri. Dan merenung, seperti melihat palung-palung yang sering membuat ingatannya tersandung. “Bagaimana bila mimpi itu benar?â€? Gumamnya dalam tatap yang menelan terawang. Pesan dari sosok serba bercahaya itu masih lekat bergetar di gendang telinga Ahlam. Rindu yang tak tertakar barangkali menuntut seseorang untuk berbuat sesuatu, namun melaksanakan perintah dari ihwal sebuah mimpi? â€œOh, itu konyol!â€? Ahlam mendesis seakan menolak mentah-mentah pesan yang datangnya dari antahberantah itu. Sejatinya ia sudah memendam rapat mimpi itu pada ruang terkecil di kepalanya. Berusaha melakukan rutinitas hariannya secara normal. Menanak nasi, memasak air, membuat lauk sarapan ala kadarnya. Dan Ahlam sadar dari pandangannya yang kosong, ia seumpama robot mekanis bergerak statis. Tanpa tujuan memilih arah, tanpa sentuhan gairah. Maka disandarkan tubuh yang selalu tampak letih itu di amben serambi. Sekali lagi mimpi itu begitu saja menyesaki bagian pikirannya yang paling rapuh. Mimpi itu bisa saja melenceng, tapi ia mulai berpikir bahwa ia menolak jika dihadapkan pada pilihan antara berdiam diri menunggu Nakhla, atau justru yang sedang ia lakukan adalah berdiam diri menunggu habisnya usia.

33


Ahlam mulai tanpa peduli terkait perkara kabar mimpi itu halusinasi belaka atau pembawa petunjuk nyata, yang pasti ia harus melakukan sesuatu untuk menemukan anaknya. Ia pun berkemas. Mengambil beberapa pakaian pada lemari keropos yang landasannya habis digerogoti tikus. Sejumlah baju di timbunan bawah tak urung juga bolong-bolong dimakan hewan pengerat itu. Lalu melesakkannya pada ransel kecil. Aneka bekal juga dipersiapkan, mulai dari botol air mineral seukuran betis beserta makanan yang akan menemani perjalanannya. Jalan menuju setapak barat. *** “Coba kau tengok ini, Nak...” Ahlam menjemput kerikil pipih di antara pasir putih pantai batu berdaun. Dengan satu gerakan gesit batu itu melesat ke bibir pantai. Gulungan ombak masih terlihat cukup jauh. Pada permukaan air, batu itu terpental beberapa kali sebelum tenggelam. “Bagaimana kau melakukannya, Ayah?” Nakhla kecil mengerjap takjub. Mata jenakanya membulat sempurna. Sekali lagi Ahlam menjumput batu di sekitar kakinya, kali itu diberikan pada Nakhla. “Cobalah.” Nakhla mencoba mengingat bagaimana cara ayahnya melempar zat padat itu hingga seperti sedang melompatlompat di atas air. Dengan tubuh condong, dari samping, tangan kecilnya sekuat tenaga melontar batu itu. Dan si batu langsung tercelup begitu saja. Nakhla kecil melengkungkan sudut bibir. Cemberut. “Tidak apa-apa,” ucap Ahlam sembari mengusap acak rambut anaknya. 34


Mereka lantas duduk pada gundukan batu-batu. Di antaranya tumbuh pohon-pohon yang usianya tak tertaksir. Pohon-pohon yang tumbuh pada gugusan batu itulah yang konon menjadi muasal nama pantai itu. Pantai batu berdaun. Tempat itu adalah favorit mereka. Nakhla selalu suka di dekat laut. Ketika debur ombak menggelegar, dan angin akan liar mengibarkan pakaiannya. Serupa halnya dengan Ahlam. “Bagaimana mungkin kerikil itu bisa melompat di air, wahai Ayah?” Tanya Nakhla sepolos lahirnya ulat sutera, tampak sekali wajahnya yang belum puas. Jika Ahlam seorang fisikawan, mestilah ia akan memaparkan teori tegangan permukaan yang dimiliki air, sehingga batu yang dilemparkan secara horizontal di atasnya dapat melanting. Namun ia hanyalah nelayan yang dari kecil telah berkerabat dengan biduk-biduk sampan. “Nah, begitulah alam,” jawabnya. “Selalu menyuguhkan keajaiban-keajaiban. Batu pun dapat berjalan di atas air.” Nakhla manggut-manggut seolah mafhum. “Kau pun bisa seperti batu itu, Nak.” “Benarkah?” “Ya, jika kau memiliki keinginan sekuat dan sekeras batu itu, kau dapat melompati lautan hingga kau menemui pulau-pulau lain.” Sungguh, Nakhla tidak mampu menemukan korelasi dari analogi kerasnya batu dengan menemui pulaupulau, seperti yang diucapkan ayahnya. Tapi ia berusaha untuk percaya. Lagipula ada hal lain yang menyesaki rasa 35


penasarannya. “Adakah tempat selain Lingga ini, Ayah?” “Tentu saja, pandanglah ke sana...” Ahlam mengacungkan jari telunjuknya jauh ke ufuk timur. “Di sana ada pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua. Dan di sebelah utara, ada negara serumpun kita, Malaysia.” Nakhla memicing, mengamati objek yang ditunjuk ayahnya, dan tidak ada yang ia temukan selain seberkas garis cakrawala yang memisahkan laut dan langit. “Dan aku harus ke sana?” “Ya.” “Bagaimana kalau aku tenggelam seperti batu yang memantul dan akhirnya tenggelam.” Dengan ujung jempol, Ahlam menggaruk dagunya beberapa jenak, lalu menerawang. “Itu tidak akan terjadi. Kau calon pemimpin besar, Nakhla. Tidak ada yang sanggup menenggelamkanmu.” “Kenapa pemimpin harus mengarungi pulau-pulau?” “Karena pemimpin harus memahami perbedaan.” Nakhla tercenung sesaat, seperti menimbangnimbang sesuatu. “Aku tidak ingin meninggalkan Dabo, Ayah. Teman-teman di sini sangat baik padaku. Aku juga tidak pernah menakali mereka.” Ahlam tersenyum, dan sekali lagi mengusap asal rambut anaknya. Nakhla jelas belum terlalu besar untuk memahami cita-cita yang ingin ia tanam. Tapi semenjak itu, Ahlam terus mendengungkan kata ‘pemimpin’ di telinga Nakhla bak sedang memupuk benih-benih tanaman. Ia yakin, kelak, itu akan terwujud. Matahari bedengkang menyengat ubun-ubun. Ahlam

36


melihat berkeliling yang dipenuhi sahara rerumputan. Tak terukur sudah berapa jauh ia menempuh perjalanan. Bergerak terus ke barat, menelusuri kelok setapak, dan sesekali melintasi genangan sungai. Napas tuanya mengkis-mengkis. Sekarang ia duduk di bawah merbau, dan mengamati hamparan rumput luas di depannya. Rumput itu menguning diulum kemarau dan mungkin beberapa hari lagi sengat panas akan membakarnya. Angin menerpanya seperti sedang menari-nari. Ia meminum beberapa teguk dari botolnya sebelum melanjutkan perjalanan. Hanya memori Nakhla hadir bagai alunan komidi putar yang menemani dan menyembuhkan langkah letihnya. *** Tubuh itu menggelepar pada bongkahan tanah yang retak-retak kehilangan kelembapan. Tutup dari botol yang telah kosong menggelinding di sampingnya. Ranselnya memuntahkan segala isi. Sudah dua hari, dan sendi keroposnya menolak untuk terus berjalan. Ahlam ambruk pada medium tanah gersang. Bibirnya yang pecah-pecah bergetar tanpa henti. Seluru perbekalannya habis. Ia merintih, tak kuat lagi. Sekuat tenaga diangkatnya kepala dan menengadah, menantang sang surya. Ia telah sampai di ambang lelah yang teramat sangat, juga tak ada air yang dapat mengecap lidahnya. Sekarang ia menuntut sosok bercahaya membuktikan mimpinya. Lama ia menatap dengan mata telanjang matahari, hingga ia dapat melihat bulatnya. Namun tidak ada sosok yang keluar dari sana, seperti menggantang asap. Lalu matanya berkunang-kunang dan ambruk kedua kali. Kali ini tak bergerak lagi. 37


Lamat-lamat suara adzan berkumandang. Ahlam dapat mendengarnya karena suara itu kian kemari kian jelas. Kian lama kian mendekat hingga terasa di atas kepalanya. Ahlam membuka mata. Bukan, matanya masih tertutup, tapi entah bagaimana ia dapat melihat. Ya, ia melihat dengan mata tertutup. Dan pendengarannya tidaklah keliru, karena memang ada orang adzan saat itu. Pada daratan yang agak tinggi orang-orang berdiri dalam formasi lingkaran. Berbaju hitam semua. Demi Tuhan, Ahlam melihat Nakhla berdiri di salah satunya. Pipinya berlumur tangis. Rahangnya terlihat tegas sekarang. Tapi sosok bercahaya telah menipunya, Ahlam juga telah menipu diri sendiri. Nakhla tak ubahnya seperti pelaut kebanyakan dengan jenggot berpadu jambang tak terawat, dan bajunya lusuh. Bukan ciri-ciri orang hebat atau bahkan pemimpin. Karena dari sini sangat jelas, meski matanya tertutup dan urukan tanah perlahan menguburnya. Dari sini, Ahlam melihatnya dengan jelas sekali. Dari rahim bumi, tempat manusia kembali. *** Lingga, Desember 2014 Relly A. Vinata Lahir pada 12 Mei 1993 di Kuantan Singingi, Riau. Cerpennya yang berjudul Senja Bersama Siti Nurbaya menjadi salah satu cerpen pilihan koran harian Riau Pos 2014. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa ilmu komunikasi Universitas Muhammadiyah Riau.

---.--38


Bunga Kesunyian oleh Risda

Nur Widia

Syuriah 2011-2014...

S

etangkup sunyi itu seakan merambat di antara udara, menjerat leher, dan merenggut setiap nyawa. Setengkup sunyi itu bahkan mekar, menjadi sekuntum bunga di tengah ladang-ladang pembantaian. Bunga yang begitu indah, yang kelopak-kelopaknya terbuat dari percikkan darah. Bunga yang merekah, ketika kesedihan dan kematian mengental di udara. Aku berpikir, mungkin, salah satu dari bunga kesunyian itu juga tumbuh di atas tubuh ayah dan ibuku yang telah mati membusuk. Bunga kesunyian itu pun seperti menandai kemurungan di setiap kota—setelah peperangan merenggut begitu banyak nyawa. Aroma bunga itu begitu anyir, merupakan aroma keputusasaan. Setiap memetik bunga itu, aku merasa seakan sedang mengumpulkan kesedihan demi kesedihan dari ratap dan air mata. Barangkali, bunga itu, memang tercipta dari sebuah kematian. *** 39


Sudah berapa orang kehilangan akibat perang? Aku tidak tahu. Tetapi, anak-anak korban perang sepertiku, kini menjadi segerombol pengembara yang sepanjang waktu hanya mengumpulkan bunga-bunga kesunyian. Setiap hari, ketika sudah tidak ada lagi pembantaian atau rudal-rudal yang berterbangan menghanguskan kota. Kami, anak-anak korban perang, akan menyisiri kota sembari mencari anak-anak korban perang lainnya, seraya mengajak mereka bergabung. Kami akan mengelana, seraya berharap menemukan sebuah kota yang mampu membangkitkan kenangan. Kota indah dengan gedung-gedung yang masih berdiri kokoh. Kota dengan taman-taman dan bunga-bunga yang bermekaran bebas. Kota yang tak ada permusuhan. Akan tetapi, kota seperti itu, mungkin hanya ada di dalam mimpi. Perang, memang, tidak akan pernah melahirkan pemenang, tetapi hanya memunculkan rasa penat akan kehilangan. Setelah mengeliling kota-kota yang telah hangus, dan mengerat kesedihan demi kesedihan, malam harinya, kami, anak-anak korban perang hanya termenung di lorong-lorong kota kumuh dan gelap, seraya menunggu mekarnya kuntum-kuntum bunga kesunyian. Begitulah, malam harinya, ketika setiap orang tertidur di dalam mimpi indahnya—entah mengapa malaikat kematian selalu datang ketika seseorang lengah—mulai berdentuman rudal-rudal yang menggempur kota. Dengus tangis dan terikkan terdengar di mana-mana. Rumah-rumah terbakar. Di tengah jalan, pun berbondongbondong orang berlarian sembari menggenggam senjata. Mereka saling tembak, seraya menyebut-nyebut nama Tuhan. 40


Namun, satu per satu, orang-orang itu mati mengenaskan dengan kepala pecah, tubuh tercacahcacah, dan jantung tertembus peluru. Aku pun melihat, kalau rudal-rudal itu kini malah menjelma menjadi seekor kupu-kupu dengan sepasang sayap berwarna merah. Kupu-kupu yang tampak cantik dan rupawan. Kupu-kupu yang hinggap pada kuncup-kuncup bunga kesunyian yang mulai bermekaran di antara gelimpang mayat-mayat tak berdaya. Apakah aku juga dilahirkan seperti sengkuntum bunga kesunyian itu? Hidup dari kesedihan dan kenangan muram. Ahh, aku memang diciptakan dari percik amarah dan dendam. Ya, akulah anak-anak korban perang yang setiap saat harus menjadi saksi, ketika kuntum-kuntum bunga kesunyian itu tumbuh di antara cercah luka dan genangan darah. “Terbuat dari apa bunga-bunga itu sebenarnya?” Kataku lirih, sembari terus mengamati perang. “Mengapa bunga itu selalu tubuh di antara kesedihan dan kemalangan? Mengapa bunga itu selalu menggoda untuk dipetik?” Akhirnya, setelah perang usai, ribuan bunga-bunga kesuyian bermekaran. Aku pun memetik salah satu bunga kesunyian yang tumbuh di leher seorang mayat, yang telah kehilangan kepalanya. Aku menghirup aroma kematian pada kelopak-kelopaknya yang kelam. Pun aku memberikan bunga itu kepada anak-anak korban perang lain. Aku berharap, bunga itu dapat menjadi penyejuk hati mereka yang pilu. Tetapi, mereka terus saja menangis, menyebut nama-nama orang tua. “Kalau kau mau, ikutlah bersama kami?” Ajakku pada bocah-bocah yang menangis itu, dan memberikan 41


sekuntum bunga kesunyian yang aromanya menyerupai darah. Tetapi, aku sama sekali tak tergetar melihat kesedihan yang menggelantung pada wajah anak-anak itu. Bagi kami, anak-anak korban perang, kematian hanya sebuah proses menuju sebuah kekekalan. “Kita akan mencari rumah kenangan bersama-sama. Rumah di mana kita bisa menanam bunga dengan bebas. Rumah di mana setiap orang dapat berdamai atas dirinya sendiri.” Akhirnya, semakin banyak anak-anak korban perang yang ikut bersamaku. Tetapi, sejurus kemudian, bertambah banyak pula bunga-bunga kesunyian yang tumbuh di kota-kota yang telah hancur. Kami pun menjadi segerombol gelandangan yang mengembara, yang mengumpulkan setiap tangkai kesedihan, yang mekar pada kota-kota yang telah mati. Kami mengerat bunga-bunga kesunyian itu, seraya mencium harum kenangan akan orang-orang yang telah terbantai. *** Forum-forum kemanusiaan pun seakan tidak henti membicarakan kami, dan berharap dapat menyelamatkan kami dari kekacauan perang. Tetapi, anak-anak korban perang seperti aku, tidak pernah ingin diselamatkan. Kami tidak ingin kehilangan kenangan-kenangan di negeri kelahiran, karena pada kenanganlah kami dapat mengingat orang-orang yang kami sayangi. Aku dan ratusan anak-anak korban perang lainya tak lelah mengembara, mengumpul setiap kuntum bunga kesunyian yang mekar di tengah ladang-ladang pembantaian. Ya, hanya pada bunga kesedihan itulah kami dapat melabuhkan rindu pada orang-orang yang telah pergi. Karena, hanya pada kesediahanlah kami dapat mengekalkan kenangan. 42


Tetapi, orang-orang kini malah menyebut kami sebagai anak-anak pembawa kutukan. Karena, hampir setiap kota yang kami singgahi, memang selalu tertimpa mala petaka. “Apakah anak-anak itu membawa kutukan?” “Entahlah, tetapi setiap kota yang digunakan untuk mengungsi anak-anak korban perang, memang selalu menjadi incaran kekacauan!” “Jadi, memang mereka membawa kutukan!” “Anak-anak pembawa sial!” Begitulah, malaikat-malaikat kematian seakan dapat mengendus harum bunga kesuyian yang telah melekat di tubuh kami. Yang lebih parah lagi, terdapat sebuah mitos ganjil tentang anak-anak korban perang. Mereka menganggap, kesedihan hanya menyukai anak-anak. Mitos itu pun seakan menjadi benar. Setelah sebuah kota kami datangi, malam harinya, pasti, akan berdentuman rudal-rudal atau peluru-peluru yang menggempur kota. Terdengar pula pekik dan jerit tangisan. Sebuah kota akan terbakar habis dalam waktu semalam. Dan, seusai peperangan, kami, anak-anak korban perang hanya akan menjumpai bocah-bocah murung lainnya, yang baru saja kehilang orang-orang yang mereka sayangi. Tetapi, aku tak pernah merasa sedih, ketika melihat orang-orang yang terbantai itu. Aku pun tidak lagi ngeri atau lari, saat melihat ceceran darah, atau sebongkah daging yang berserak di jalan. Aku malah melihat keindahan lain dari serakkan mayat itu. Karena pada tubuh-tubuh yang mulai membusuk itulah, kuntumkuntum bunga kesunyian mulai menampakkan kuncup43


kuncup yang cemerlang. Gesit, aku pun mengumpulkan kenangan dalam setiap tangkai kesuyian itu, menghirup aromanya yang menggetarkan, seraya mengingat-ingat kapan terakhir kali aku merasa sedih, dan hanya di dalam bunga itulah terdapat sebuah kesenduan yang dapat mengingatkan kami akan orang-orang tercinta. “Mereka tidak akan pernah hidup lagi, walau seribu tahun kalian menangisinya. Kalau kalian mau, ikutlah denganku,” kataku mengajak segerombol bocah yang terus menangis pasca perang. Aku memberikan sepucuk bunga berwarna hitam pekat kepadanya. Bunga yang aku petik dari sebidang dada yang berlubang. “Kita akan mencari rumah bagi bunga-bunga ini. Kita akan mencari rumah bagi segala kenangan.” Langkah-langkah kami seperti tak henti digerakkan oleh takdir-takdir muram yang menyeret entah ke mana. Setiap hari, kami, anak-anak korban perang tak jemu mencari tempat-tempat indah, yang dapat membangkitan kenangan. Kami akan berpetualang, seraya mencari kesedihaan dan rasa kehilangan yang sudah lama tidak lagi dapat kami rasakan. Kami akan terus mengembara, mencari segumpal kenangan yang tak pernah mati walau seribu peluru menghujamnya. *** Risda Nur Widia Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Pernah juara dua Festival Sastra Yogyakarta 2013 (UGM), Nominator Sastra Profetik Kuntowijoyo 2013 (UHAMK). Beberapa cerpennya telah tersebar di media.

44


Para Pemburu Surga oleh Muhammad

Pical Nasution

D

i suatu sore yang ragu, matahari terlihat seperti makhluk pemalu. Deras arus sungai menyeringai di belantara waktu. Gemericik air yang dilepaskan ikanikan memecah sunyi. Saat itu, Rohmat dan Yadi duduk di tepi sungai sambil menunggu ternak mereka yang juga sedang malu-malu melumat sejumput ilalang. “Yad, kau percaya?” “Mereka termakan isu. Semua sudah jelas diterangkan dalam kitab suci!” “Apanya yang jelas?” “Kiamatnya.” “Ki Amat yang tinggal di dalam hutan dan misterius itu?” “Bukan! Maksudku hari ketika seluruh makhluk hidup di muka bumi ini dimusnahkan. Tidak ada yang tahu kapan kiamat itu datang, Mat. Hanya Tuhan yang punya hak untuk menentukan jadwalnya.” “Jadwal?” 45


“Kiamat juga ada jadwalnya!” “Seperti film di bioskop saja. Katanya, untuk masuk ke dalam gua itu, kita dikenai retribusi.” “Ah, kamu ini bercanda. Seperti mau urus KTP saja.” “Betul! Itu yang kudengar dari warga!” “Kau harus ingat, surga itu belum dibuka untuk yang hidup!”“Kapan bukanya?” “Tanya Tuhan!” “Ya sudah, begini saja, kalau nanti ada waktu, kita lihat langsung ke sana!” Perbincangan mereka ditelan sang waktu. Perlahan hari bertambah gelap. Suara jangkrik menggantikan tugas burung-burung senja. Bintang-bintang dan dewi rembulan mengusik dengan sangat berani. *** Menjelang datangnya bulan Suro, warga desa dikejutkan dengan berita keberadaan gua keramat yang ada di dalam hutan. Bahkan sebagian warga berkata kalau gua itu dapat menolong manusia ketika kehancuran alam semesta tiba, saat kiamat melumat-lumat bumi dan seluruh penghuninya. Yadi dan Rohmat mengumpulkan warga di balai desa sekaligus menegaskan bahwa berita tentang gua keramat itu bohong dan bisa membuat warga tersesat. “Itu bukan isu, Mas Yadi,” sambut salah seorang warga. “Ini isu. Sampai sekarang saya dan Rohmat tidak menemukan apa pun di dalam hutan. Kalian bilang ada gua keramat di sana. Mana?” “Itu kan karena Mas Yadi belum masuk ke ujung 46


hutan.” “Ya, karena saya tidak akan pernah percaya!” Pak Kades ada di antara kerumunan warga. Wajahnya terlihat pucat, lesu, dan sangat tidak bergairah. “Bagaimana Pak Kades?” Yadi menyapa. “Ya, bagaimana enaknya sajalah. Kalau menurut Mas baik, kita lanjutkan.” Yadi menggeleng-gelengkan kepala ketika mendengar jawaban Pak Kades. Begitu juga dengan Rohmat. Tak lama setelah mendengarkan jawaban Pak Kades, satu-persatu warga pergi meninggalkan balai desa. Yadi dan Rohmat tak bisa berbuat apa-apa. Ketika hampir seluruh warga berpulangan, salah seorang warga menghampiri Yadi dan Rohmat, Rekso namanya. “Warga percaya kalau gua itu memang ada, Mas.” “Itu isu. Apa kamu juga percaya?” “Kalau Mas Yadi dan Mas Rohmat mau tahu, temui Ki Amat. Nanti dia yang bawa kita ke tempat itu,” sambil berjalan meninggalkan balai desa. Yadi dan Rohmat mencoba mencari tahu siapa sebenarnya Ki Amat sekaligus kembali menelusuri di mana keberadaan gua keramat yang sudah mencuri perhatian warga selama ini. Yadi dan Rohmat kembali masuk ke dalam hutan. Hanya mereka berdua. Di sepanjang jalan menuju hutan, mereka tak menemukan apa-apa. Yang mereka temukan hanya bentangan pohon serta hijaunya dedaunan. Mereka pulang dengan tangan hampa. Tapi, di pertigaan jalan menuju desa, mereka berpapasan dengan seorang lelaki tua yang gelagatnya sangat mencurigakan. Awalnya Yadi tak peduli. Lalu Rohmat menoleh ke arah lelaki tua itu. 47


“Yad!” “Ada apa Mat?” “Lelaki tua itu. Jangan-jangan itu tadi Ki Amat.” “Tak mungkin! Tapi,..” Yadi pun menoleh. Alangkah terkejutnya mereka saat lelaki tua itu luput dari pandangan mata. Tak ada siapa pun di sana. Yadi dan Rohmat mengejarnya. Tapi apalah daya, secuil jejak pun tak mereka dapatkan. Akhirnya Yadi dan Rohmat datang menemui Pak Kades untuk membahas masalah tersebut. “Pak Kades, kita harus turun tangan. Masalah ini bisa merusak kerukunan antar warga di desa kita.” Pak Kades tidak memberikan respon yang berarti. Sambil mengangguk-angguk, Pak Kades berkata kalau dirinya akan menindaklanjuti masalah itu dengan segera. Yadi dan Rohmat menemui jalan buntu. Tak mau menyerah begitu saja, mereka terus mencari keberadaan Ki Amat. Laju waktu begitu cepat. Putaran-putaran rodanya tak mengenal kata terlambat. Kian hari, semakin banyak warga yang percaya bahwa di dalam hutan terdapat gua keramat. Sampai pada suatu ketika, saat Yadi dan Rohmat berjalan-jalan di pelataran desa, mereka bertemu dengan Rekso, lelaki yang memberi informasi bahwa hanya Ki Amat sajalah yang mengetahui di mana keberadaan gua keramat itu. “Mas Yadi, Mas Rohmat, sudah jadi bertemu dengan Ki Amat?” “Belum. Tapi, beberapa hari yang lalu, saat kami jalan di hutan, kami bertemu dengan seorang lelaki tua,” ujar Rohmat. “Mungkin itu Ki Amat. Tidak semua orang bisa 48


bertemu dengan dia.” “Kamu sudah pernah bertemu?” “Sudah tiga kali.” “Apa yang kamu dapat dari tempat itu?” “Kalau ke tempat itu belum pernah. Tapi, hampir semua warga sudah menemui Ki Amat. Kalau ingin ke gua keramat, harus registrasi dulu Mas.” Lagi-lagi Rekso pergi begitu saja. Yadi dan Rohmat terdiam. Karena kehabisan akal, mereka kembali mendatangi Pak Kades. Tapi, setibanya di rumah Pak Kades, istrinya menjawab kalau suaminya sedang mengadakan pertemuan dengan Ki Amat dan beberapa warga yang ingin masuk ke dalam gua keramat itu. “Kalian tidak tahu ya?” “Tidak tahu apanya, Bu Kades?” “Kiamat sudah dekat.” “Tahu dari mana?” “Ki Amat.” “Sudah pernah bertemu?” “Ya sudah dong. Kemarin, hampir semua warga ikut. Tapi, kalau Mas Rohmat dan Mas Yadi mau ikut, registrasi dulu ke Bapak. Jangan lupa juga, ada biayanya. Sedikit kok.” “Iya Bu Kades. Nanti kami langsung bertemu Bapak saja.” *** Desa terlihat sunyi. Hampir semua rumah tak dihuni. Pak Kades dan istrinya juga tak ada di tempat. Di tengah jalan, Yadi dan Rohmat berpapasan dengan seorang lelaki tua. Karena merasa curiga, Yadi dan Rohmat membuntuti 49


lelaki itu. Mereka masuk ke dalam hutan. Lokasinya sangat jauh. “Mungkin itu Ki Amat, Yad.” “Ya. Mungkin juga.” Sambil menunduk, Yadi dan Rohmat terus mengikuti tanpa sedikit pun melepas pandang. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat ratusan warga berdiri di depan sebuah gua besar. Antrean itu seperti kereta api dengan ratusan gerbong di belakang lokomotif yang membelah kota. Kerusuhan terjadi. Beberapa orang membuat gaduh. Tapi alangkah buruknya nasib pelaku gaduh. Mereka berubah rupa menjadi bangkai yang tak berharga, kemudian mayatnya digotong sosok bertopeng berjubah hitam. Pak Kades dan istrinya terlihat berada di barisan depan. Tepat di depan pintu gua, Ki Amat berdiri. Ia seperti penerima tamu yang mempersilahkan para undangan untuk masuk. Satu demi satu warga diperiksa. Lalu terdengar suara teriakan dari barisan paling belakang. “Ki Amat, Sampai kapan kami harus menunggu? Kalau begini, lebih baik kami pulang.” Manusia bertopeng berjubah hitam mendatangi orang itu. lehernya digorok, mayatnya dicampakkan begitu saja. Ketika hari hampir gelap, pembunuhan demi pembunuhan menjadi sesuatu yang sakral. Beberapa warga ikut membantu mencampakkan mayat tak berharga itu jauh dari barisan. Warga pun masuk ke dalam gua. Yadi dan Rohmat terus memantau. Semua warga telah masuk. Yadi dan Rohmat memutuskan untuk pulang sembari mengatur strategi. Rekso keluar dari dalam gua. Ia kembali ke rumahnya untuk mengambil baju. Rekso berpapasan dengan Yadi dan Rohmat di pertigaan desa. 50


“Mau ke mana, Mas Rekso?” Rekso terkejut bukan main. “Saya mau menjemput beberapa warga yang masih tersisa. Kami akan berangkat ke surga lebih dulu, Mas.” “Apa yang terjadi?” balas Yadi. “Kata Ki Amat dan Pak Kades, kiamat sudah dekat. Biar Mas tahu, ke surga itu pakai kuota.” Rekso berlari sekencang-kencangnya. Yadi dan Rohmat mengejar. Namun, jejak Rekso sayup di dalam hutan. Ia menghilang begitu cepat. Akhirnya, Yadi dan Rohmat kembali memantau gua itu. Berhari-hari mereka di sana. Tapi tak satu pun warga yang keluar. Rohmat mencoba masuk ke dalam gua itu. “Ini jalan terakhir, Yad. Aku harus masuk ke dalam. Seandainya aku tak kembali dalam beberapa jam, kau juga harus masuk.” Yadi menunggu di luar gua. Setelah Rohmat masuk, Ki Amat berdiri di depan gua. Yadi masih memantau dari kejauhan. Tiba-tiba, dari belakang lelaki tua itu, sosok bertopeng berjubah hitam menebas leher Ki Amat dengan golok. Yadi tersentak. Sosok bertopeng berjubah hitam itu membuka topengnya. Yadi tersenyum dan mendekat. Saat Yadi berada tepat di depan mulut gua, berdiri berpuluh sosok bertopeng lainnya. Mereka saling membunuh hingga tak tersisa. Yadi hanya bisa melihat dengan mulut menganga. *** Maret 2014

51


Muhammad Pical Nasution Lahir di Medan 3 Januari 1986. Beberapa karya fiksinya pernah dimuat di beberapa koran seperti Analisa, Harian Global, Medan Bisnis, Sumut Pos, Sinar Harapan, Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Surabaya Pos, Berita Kota Kendari, Riau Pos, dan Radar Surabaya.

---.---

52


Hikayat Kematian Sungai oleh Fathromi

R

B

eberapa kali kulihat air sungai di hadapanku. Aku jadi ingat sesuatu, dan mungkin ini khayalan yang berlebihan; di dasarnya bersemayam makhluk menyeramkan dengan mata merah kehitaman, gigi yang runcing dan sisik sekeras tiang pagar rumah Pak Penghulu. Mengingat itu, aku jadi selalu ragu melanjutkan memancing. Tapi tidak buat Jamal, kawan dekatku. Tak jarang ia tertawa saat aku cerita soal yang ada di benakku. Kata Jamal, aku terlalu banyak lihat film hantu. Ia tak percaya dengan mahluk-mahluk itu. Pernah suatu ketika, kami memancing ikan dari cabang pohon yang menjorok ke tengah sungai. Kami mendapati mata pancing Jamal tersangkut sesuatu, dan kulihat buih keluar satu-satu, mungkin aku berlebihan, melihat sekilas mata merah kehitaman di balik air keruh itu. Kulihat Jamal masih menarik-narik jorannya yang belum lepas. Ia tak sabar, lalu terjun ke sungai. Lalu sepi. Baru saja aku seperti melihat sebongkah batu jatuh ke air. Jamal tenggelam. Detak jantungku seperti berhenti. Mataku berkunangkunang saat aku tak melihat Jamal muncul, dan tak 53


menyaksikan lagi mata keji merah kehitaman, namun justru aku melihat bayangan ekor besar penuh sisik bergoyang lalu menghilang. Beberapa menit setelahnya aku melihat ada yang muncul di tepi sungai dekat akar bakau. Mulutnya seperti ingin menahan tawa. Kukira itu Jamal. Ketika aku turun dari cabang pohon ini, aku sangat yakin akan mencekiknya! *** Tapi aku –sepertinya- tak akan pernah berubah. Aku yakin ada napas penuh kebencian di dasar sungai ini. Jamal tentu tengah beruntung tempo hari, tidak digigit betisnya karena telah memberi gangguan tak termaafkan. Aku selalu mengatakan padanya, mengapa airnya menghitam punya bau menyengat –seperti bau kematianlalu kukatakan kisah serupa yang ada dalam pikiranku. Untuk yang satu ini, ia setuju, ia benci bau sungai ini. Ia mengaku hampir mati lemas saat menakutiku beberapa waktu lalu, karena bau kematian ini, meski ia tak percaya ada mahluk mata merah kehitaman dengan gigi runcing yang lapar akan betis manusia. Jamal yakin, bau sungai itulah sebab sekarang ikan susah dicari. Lalu kami seakan kompak melihat dari kejauhan, juga di pinggir sungai, sebuah kilang. Ada puluhan potong batang sagu mengapung, berbaris rapi di sepanjang sungai. Tiap hari kami melihat kilang itu, dan tiap hari kami tidak memiliki apa-apa untuk dikatakan. Kukira, kami hanya memiliki imajinasi tersendiri soal kilang tersebut. Setidaknya, aku tahu imajinasi dalam benakku. Seperti potongan-potongan kayu sagu yang bergoyang kena gelombang pompong yang datang, mengingatkanku pada film Insomnia, saat Detektif Dormer mengejar Walter Finch di sebuah sungai yang 54


banyak potongan kayu balak besar. Ah! Ini imajinasi yang sama sekali tidak mirip. Warna sungainya juga beda. Aku tentu akan lebih suka berimajinasi soal rumahrumah tempat peralatan kilang itu yang hanyalah modus belaka. Mereka ternyata memiliki ruangan bawah tanah, rahasia, yang digunakan untuk penelitian rahasia pula: mengungkap keberadaan mahluk mengerikan dan berbau kematian di dasar sungai ini. Namun imajinasi yang paling aku suka adalah ketika aku menganggap apa yang aku lihat saat ini adalah sebuah lukisan di kanvas yang dilukis dari pensil; di sebuah ruangan, ada meja kerja dan sebuah kursi. Di meja terbentang kanvas yang telah terlukis sungai dengan potongan-potongan batang sagu yang terikat dan tersusun rapi, mengapung di sungai, di pinggirnya ada pohon bakau, beberapa pohon kelapa nyaris tumbang, sebuah pompong tertambat, sampan kolek terikat, dan ada beberapa rumah tanpa dinding, beratap rumbia dan seng. Saat aku melihat semua pemandangan itu, aku tengah duduk rapi di depan meja, dan ujung jari telunjuk dan jempolku telah menyentuh sepotong penghapus pensil. Aku tersenyum senang melihatnya, seperti tengah menemukan air es saat beduk buka berbunyi pada Ramadhan di lima tahun usiaku dulu. Pelan-pelan kugerakkan penghapus di atas pohon kelapa yang mau tumbang. Aku tak menyukai pohon kelapa seperti itu. Dan, pohon kelapa itu kuhapus dan hilang dari pandangan. Kurasa itu lebih baik. Jika ada bakau yang juga mau tumbang, tentu sudah kulenyapkan dari kanvas ini. Dan lihatlah, di sungai itu! Sesuatu yang sama sekali tidak mirip dengan yang ada di film buatan Christophen Nolan tersebut. Aku tentu akan menghapus 55


potongan-potongan sagu tersebut. Ia mengganggu. Juga rumah-rumah sagu itu. Aku tidak akan menghapus sampan atau pompong, sebab itu pemandangan yang jika kami melukisnya di sekolah untuk tugas latihan, tentu akan dapat nilai delapan dari Bu Dewi. Dan sekarang aku telah selesai memperbaiki lukisan ini. “Bukankah ini indah?” aku bersemangat menunjukkan lukisan kanvas ini ke Jamal. “Ini lukisan apa?” tanya Jamal. “Ini sungai, Jamal.” Aku mengarahkan telunjukku ke bentuk sungai yang berliku itu. “Lihat baik-baik. Engkau mengenalnya? Aku telah membuatnya menjadi sungai sesungguhnya!” “Ini...?” Dahi Jamal berkerut, “Aku tidak mengerti.” Katanya. Ia tampak menahan napas. Mungkin pendengaranku salah. Kudengar rahangnya bergemeretak. “Engkau, engkau gila Fik!” Aku mundur beberapa langkah. “Engkau telah menghancurkannya!” Kini aku tahu, itu lukisannya. Tapi aku yakin, ia belum melihat lukisan yang kuperbaiki itu telah jadi lebih baik dan indah. Kalau ia tahu, tentu ia senang dan menyukainya. “Lihatlah lagi lukisan itu..” Kuarahkan pandangannya dengan telunjukku. “Lihat, pemandangan jadi lebih baik, tidak ada kayu-kayu sagu. Tidak ada kilang, bahkan kubuat sungai jadi jernih..” Aku tahu ia tentu senang melihatnya. Aku tahu karakternya. “Engkau..,” bisiknya “..menghancurkan lukisanku..” Kurasa, ada api di dadanya. Dan kuyakin ia salah paham. Jamal tidak melihat yang sesungguhnya. 56


“Bukankah itu lebih baik, Jamal? Lihatlah baik-ba....” “Engkau tahu, makna dari menghancurkan lukisanku?!” Pada detik ini, aku merasa suaranya berubah seperti seorang psikopat di film-film thriller. “Tapi..” “Keluaar!!” *** Soal kanvas itu hanyalah imajinasiku. Ia hanya khayalan liar yang tak bisa kukendalikan. Aku tentu tak memiliki fikiran buruk terkait Jamal yang murka karena merusak lukisannya. Itu hanya ilusi. Kuceritakan ini pada Jamal, dan ia –lagi-lagi- tertawa, bahkan terpingkalpingkal, dan menasehatiku agar tak berlebihan melamun. Menjelang Magrib saat kami akan pulang, Jamal selalu ingin mengatakan sesuatu soal khayalan-khayalanku. Namun selalu tidak jadi. Dan seperti biasa, aku segera pulang ke rumah yang berjarak tiga kilometer dengan sepeda, dan Jamal hanya jalan kaki, sebab rumahnya cukup dekat, tak jauh dari kilang sagu tempat ayahnya bekerja. *** Pekanbaru, November 2014

57


Fathromi R Lahir di sebuah perkampungan bernama Ketamputih, desa terletak di pesisir selat Bengkalis. Lelaki terlahir pada 11 haribulan Mei 1988 ini gemar menulis cerita pendek, sebagian cerpen tersebut di antaranya telah hadir mewarnai media massa lokal dan luar Riau. Beberapa media pernah menerbitkan tulisan-tulisan tersebut, di antaranya, Riau Pos, Metro Riau, Haluan Riau, Koran Riau, Sumut Pos, Malut Pos, Majalah Frasa, juga tabloid kampus saat ia masih berstatus mahasiswa di UIN Suska. Beberapa buku antologi bersama yang pernah ikut ia tulis bersama teman-teman penulis, di antaranya buku kumpulan puisi “Sesayat Munajat Doa”, Kumpulan Cerpen FLP Se-Sumatera “Kerdam Cinta Palestina”, Kumpulan Cerpen Pilihan Riau Pos 2012 “Dari Seberang Perbatasan”, kumpulan cerpen pilihan FAM Indonesia 2013 “Kleptomania”.

---.---

58


Gadis Kecil yang Mencintai Pagi 0leh Desi

Somalia

Ruth… Ruth. Kenapa tidak tidur, Sayang?”

Ini kali yang lain Ibu menemukan Ruth tersungkur di tepi ranjang. Terengah-engah. Wajah Ruth tertutup beberapa helai rambut. Ibu mendekat. “Ada apa, Ruth?” Ruth menggeleng dengan tubuh gemetaran. Ibu membantu Ruth naik kembali ke atas ranjang. “Tidurlah, Ruth.” “Tidak bisa, Bu.” “Kenapa, Ruth?” Ruth membatu. Menatap mata Ibu. “Coba katupkan kedua matamu, Ruth. Lalu tidurlah.” “Tidak bisa, Bu.” “Kenapa?” “Ruth ingin menunggu pagi, Ibu.” *** Ruth, sebelas tahun, berlari-lari di atas rumput di 59


tanah lapang. Tertawa berderaian. Begitu lepas. Sedetik kemudian Ruth mendongak. Menatap awan putih. Seekor capung terbang melintasi Ruth. Ruth berlari. Mengejar capung. Menunggu ia hinggap di ujung rumput. Ruth bersorak. Begitu riang. Capung hinggap di tepi rumput gajah. Ruth mengintai. Bersiap menyergap sebelum capung terbang meninggalkan Ruth. Ruth mendesah melihat capung terbang. Menjauh. Terus menjauh. Ruth mengejar. Berlari. Lebih kencang. Kaki-kaki Ruth memijak duri puteri malu. Satu dua tetes darah membasah di telapak kaki Ruth. Terusuk duri. Ruth meringis tapi terus berlari. Mengejar capung. Capung terbang ke dalam lorong. Begitu kencang. Menghilang. Membiarkan Ruth terperangkap dalam sebuah lorong. Sunyi. Gelap. Ruth berlarian. Mencari capung. Mencari jalan keluar. Bergantian. Ruth tak menemukan capung. Juga tak menemukan jalan untuk menembus lorong. Ruth hanya melihat gelap, dan sunyi dari dalam lorong. Ruth terjebak pada lorong yang mengunci. Ruth berputar. Menengadah. Ruth menemukan dua dinding dengan atap yang rendah. Memanjang. Tak bertepi. Ruth berdebaran. Gelisah terperangkap di dalam lorong. *** Ruth terus berlarian. Mengitari lorong. Ruth berharap menemukan sebuah pintu rahasia ditiap sisi lorong. Ya, pintu rahasia untuk menembus dinding lorong. “Ruth… Ruth….” Ruth menyalakan daun telinga. “Ruth! Ruth! Ruth!” Dada Ruth berdebaran mendengar sebuah suara. 60


Seperti tidak asing. “Ruth… Ruth….” “Suara Ibu?” Ruth membatin. “Ruth.” Kali ini tidak salah lagi! Ruth yakin mendengar suara Ibu. “Ruth… Ruht….” Ruth hanya mendengar suara Ibu. Tapi tidak rupa Ibu. “Ruth… Ruth.” “Ya, Bu.” “Ruth…” “Ibu dimana?” Ruth berteriak. Lalu hening. Ruth mengedip-ngedipkan mata. Mencari tubuh Ibu. “Ruth… Ruth….” Terdengar lebih jelas. Ruth berlari. Mendekat. Mata Ruth menangkap bayang-bayang berkelebat. Ibu dikepung laki-laki. Satu. Dua. Tiga. Empat. Sekelompok laki-laki. Menyergap. Melahap tubuh Ibu. Ibu meronta. Lelaki lain mendorong tubuh Ibu. Ibu terengah. Terdorong dalam tubuh sekelompok laki-laki. “Ruth… Ruth…” Dalam dekapan laki-laki, lirih Ibu memanggil. Lelaki membekap mulut Ibu. Ibu meronta. Pakaian Ibu berlepasan. Berjatuhan. Ruth mendekat. Lebih dekat. Menolong Ibu. Satu lelaki menyeringai. Menatap Ruth. Lelaki lain menarik Ruth. Mendorong. Ruth terpental. Menjauh dari tubuh 61


Ibu. Ruth terhempas. Peluh membasahi kening Ruth. Ruth gemetar dengan nafas yang memburu. *** “Ruth… Ruth….” Ibu mengguncang-guncang tubuh Ruth. Menyeka peluh di kening Ruth. “Kau sangat ketakutan. Kenapa?” Ruth masih berdebar-debar. Membisu. Mengedipngedipkan mata. Mengingat mimpi itu. Betapa jelas. Mimpi yang sama. Menyambangi tidur Ruth. Malammalam Ruth. “Dia datang lagi, Bu.” “Dia? Siapa, Ruth?” “Mimpi itu.” “Laki-laki. Sekelompok laki-laki. Mengepung Ibu.” Dada Ruth membuncah. “Lupakan Ruth.” “Tidak bisa, Bu. Ia serupa bayang-bayang. Mengikuti.” Ruth gelisah. Ibu melihat kabut. Di mata Ruth. Kabut yang sama. Ya, serupa kabut yang berjalan di belakang Ibu. Membayangi. Ibu mengingat. Malam itu. Bertahun-tahun lalu. Sebelum Ruth hadir. Sepulang mengaji perempuan berjalan pada sebuah malam pekat. Diantara rerumpun bambu. Perempuan mendengar sebuah derit. Berulang. Serupa langkah-langkah kaki berlarian. Begitu cepat. Mata perempuan menangkap sosok di balik rerumpun bambu. Satu. Dua Tiga. Empat. Begitu ramai. Perempuan gemetar. Memacu langkah. Lebih cepat. Perempuan 62


terlambat. Sesosok tubuh menghadang perempuan. Perempuan tersudut. Sekelompok laki-laki menyeringai. Kegirangan. Memeluk tubuh perempuan. Begitu rakus. Begitu lahap. Perempuan meronta. Menjerit. Sekelompok lelaki terus melahap tubuh perempuan. Bergantian. Menindih. Berulang. Meninggalkan nyeri. Perempuan tersungkur. Menjerit. Kedua pipi berlelehan. Terus berlelehan. Menjadi kabut. Sebuah kabut yang terus menerus membayangi perempuan. *** “Tidurlah, Ruth.” “Tidak bisa, Bu. Ruth ingin menunggu pagi.” “Kau akan menemukan pagi setelah melewati malam, Ruth.” “Tapi, Bu. Mimpi itu….” “Tidurlah, Ruth.” Ibu memotong. Ruth menatap wajah Ibu. Ruth ingin berucap pada Ibu. “Bu, kenapa mimpi itu selalu mengikuti? Apakah mimpi itu merupakan kabut yang selama ini mengikuti, Ibu?” Ruth hanya mengucapkan dalam hati. Tapi Ibu seperti mengerti. “Lupakan mimpi itu, Ruth. Lalu pejamlah.” Ibu menyahut lalu membelai Ruth. “Tidurlah, Ruth.” “Tapi, Bu….” “Tidurlah. Ruth.” “Ya, Bu.” Ruth mengalah. Tangan Ibu membentangkan selimut ke dada Ruth. Mengecup kening Ruth. Lalu berjalan menuju pintu.

63


Tubuh Ibu menghilang di balik pintu, meninggalkan Ruth yang terus berdebaran di tepi ranjang. Ruth gelisah menunggu pagi. *** Pekanbaru, 2015.

Desi Somalia Alumnus Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Andalas, Padang. Menulis cerpen dan esai. Saat ini ia menetap di Pekanbaru.

---.---

64


Kapal Diam oleh Isbedy

Stiawan

S

ebuah kapal teronggok di dalan hutan keret. Kapal pengangkut rempah-rempah dan kopra dari Eropa itu sudah tak berbendera lagi. Ujudnya juga tak sempurna. Kapal itu mungkin tersasar hingga menyeruak jauh dari aliran sungai yang membelah Way Kanan dan Way Kiri1 di mana berdiri Kerajaan Tulangbawang2 yang amat dekat dengan Kesultanan Banten. Kapal itu bagaikan seonggok batu besar. Menyatu dengan tanah. Hutan karet bagaikan tirai menyelimutinya. Begitulah, kami menyebutnya kapal tenong3 dan tiada apa-apa lagi. Cerita tentang kapal itu menyebar dari mulut ke mulut. Setiap orang bisa menambahkan dan mengurangi, sesuai yang didengarnya‌ *** SEKALI loncat ia sudah berada di kapal pembawa rempah. Kapal yang ditumpanginya akan menuju suatu daerah yang banyak tanaman cengkih, lada, kopi, dan kelapa. Dari Soenda Kelapa membelah Laoet Djawa, kemudian menyusuri sungai nan sangat panjang dan 65


meliuk-liuk bagaikan tubuh ular. Lelaki itu berperawakan tinggi, kulit putih, sedikit berkumis, namun cambangnya amat lebat hingga ke dagunya. Berdiri di paling depan kapal besar itu, di bawah tiang layar yang kelak dipakai juga jika mesin motor tak berguna. Atau saat angin berkenan mendorong kapal tersebut. Tangannnya memberi aba-aba. Kru pelayaran siap pada tugasnya masing-masing. Sekitar 10 awak kapal. “Siaaap…” “Siap Yan,” sahut John Everhart kepada Yan Eugenius. “Kau…”? “Ok,” timpal Eustatius yang berada di pucuk tiang layar. “Sekarang, lepaskan tali-tali itu. Tarik jangkar. Bergerak…” “Siap. Siap. Siap,” jawab Andre de Viera Godinho, Godewyn, J.J. van Alphen bersahutan. Kapal pembawa rempah dari Eropa melaju. Mulamula lamban dan setelah memasuki lautan baru tampak cekatan. Langit putih. Bentangan permadani membiru melebihi keindahan lukisan siapapun. Bukit-bukit menghiasi laut, pulau-pulau kecil sunyi. Yan Eugenius asyik sendiri di palka kapal. Matanya tak berkedip. Ini pelayaran pertama dalam hidupnya mengarungi benua dan pulau. Ia tinggalkan negerinya, Holanda. Mungkin untuk beberapa tahun atau selama hidupnya menetap di negeri jajahannya ini. Karena, tak lagi dipikirkan secepatnya pulang. Tugas negara adalah segalanya dan harus dijunjung

66


melebihi daripada urusan pribadi. Bukankah setiap manusia dilahirkan, diniatkan untuk pertama adalah menghormati orang tua, taat pada agama, dan mengabdi pada negara? Kata-kata itu yang terpatri dalam jiwanya, dan hanya kematian yang menghapusnya. Bagi pelaut, sekali berlayar, akan terus mengarungi lautan. Rumah bagi pelayar adalah laut. Itulah rumah paling hakiki. Biarpun badai yang penuh rahasia, namun bagi seorang pelaut tahu bagaimana menundukkan. Kecuali takdir dan rasi tiada di langit hitam. Jika laut adalah perempuan, seorang pelayar akan bersamanya selalu. Dermaga cuma pesanggrahan, sekadar untuk singgah. Setelah pulang ke laut. Amati bagaimana ombak mengecup pantai, tetapi ia akan pulang ke laut juga. Bukankah, kecupan itu mesra? Tetapi, mengapa ombak meninggalkan pantai dan kembali ke haribaan laut? Pertanda apakah itu? Lelaki berperawakan tinggi, kulit putih, dan sedikit berkumis itu belum juga piindah dari sana. Meski tubuhnya sudah banjir peluh dan matanya merah saga. Semalam ia tak tidur sebentar pun. Beberapa kaleng minuman yang dibawanya dari Holand diteguknya, seperti orang menyeruput kopi atau teh. Sampai siang ini matanya belum layu. Ia berpanas-panas di bawah matahari pagi. Hingga peluh menyungai di tubuhnya. Sementara teman-temannya yang lain, Estatius, Everhart, Godinho, Gottfried, Amalo, dan Alphen, tengah bermain kartu di buritan. Hanya Houten tetap berada di depan kemudi. Ini waktu gilirannya, berganti dari Godwyn. Ah, setiap menyebut Godewyn, dalam pikiran Eugenius, lelaki itu benar-benar teman yang baik, seperti 67


makna namanya itu. Godwyn selalu mendahulukan orang lain ketimbang kepentingannya sendiri. Sebagai teman yang baik, Godewyn4 berkali-kali menyelamatkan jiwa orang lain, meski dirinya suatu ketika nyaris tewas. Itu terjadi tatkala kapal baru lepas dari Holand, tibatiba mesin berhenti. Godewyn turun dari ruangannya. Ia selain piawai mengemudi kapal, juga teknisi dalam pelayaran ini. Saat menuruni tangga, Everhat5 mendahuluinya. Berniat memperbaiki mesin kapal. Namun, lelaki pemberiani itu ceroboh, rambutnya yang panjang masuk ke dalam mesin yang tiba-tiba hidup lagi. Tubuhnya terseret nyaris tergulung di dalam mesin. Godewyn meloncat dan secepatnya menggunting rambut rekannya itu. Cuma karena panic, justru tangannya masuk dan tergiling oleh mesin. Telapak tangan kirinya remuk. Ia mesti diamputasi. Dalam keadaan keberadaannya yang kurang setelah amputasi, Godewyn masih sering menolong atau menjalani pekerjaan orang lantaran kawannya berhalangan. Begitulah Godewyn. Sedangkan Gottfried6 adalah kawan yang sangat menyebalkan, meski “lelaki damai� ini menyenangkan dan selalu dirindu. Tanpa Gottfried, tak akan ramai suasana. Dialah yang membuat percakapan menjadi hangat dan riang. Ah, orang-orang yang menyenangkan. Batin Yan Eugenius sambil memainkan ekor matanya di laut lepas. Entah kenapa hingga sesiang ini dirinya malas bergabung dengan kawan-kawannya. Ia lebih senang sendiri. Mengenang masa anak-anak di suatu wilayah di Holand. Sejak kecil ia amat suka bermain kapal-kapalan. Setiap orang tuanya hendak pergi ke pasar atau toko, yang 68


dipesannya ialah bawakan kapal-kapalan. “Sudah banyak koleksi kapalmu itu. Yang lain lagi‌â€? suatu hari orang tuanya berujar. Ia merajuk. Tak mau makan juga belajar. Sampai ibunya segera ke pasar dan membawakan kapal-kapalan dalam model yang lain. Betapa senangnya Eugenius menerimanya. Ia lalu menyerbu kolam di samping rumahnya. Bermain dengan mainan barunya, sambil berenang. Kini melampaui Selat Soenda. Rakata7 terlihat amat angkuh di antara Sebesi dan Sebuku. Setelah itu kapal yang dibawa Eugenius dan kawan-kawan akan memasuki muara, kemudian menyusuri sungai yang berliku bagaikan tubuh ular. Mungkin sepekan lagi kapal akan meniti Way Tulangbawang dan bermalam di Menggala. Dua hari berikutnya, kapal melepas jangkar menuju daerah bagian utara. Di Menggala,8 orang-orang Eropa akan mengangkut rempah-rempah dan hasil bumi lainnya seperti kopra. Setelah itu ke daerah lain, hingga keluar dari sungai di Pulau Sumatera bagian Selatan. *** YAN Eugenius memberi aba-aba kepada Godewyn bahwa mereka akan memasuki pertemuan dua sungai di dekat Pagardewa. Arus di sekitar Way Kiri dan Way Kanan amat deras, dan memiliki pusaran air yang bisa menenggelamkan kapal. Godewyn yang berada di kemudi tersenyum sambil mengacungkan jempolnya, pertanda ia memahami perintah rekannya itu. Ia memegang erat kemudi, sesekali matanya mengarah ke kompas. 69


Uph! Kapal bisa meliwati Way Kanan dan Way Kiri. Kapal dia arahkan ke Way Kanan. Dari sini, mungkin setengah hari lagi, memasuki Blambangan. Ya, itu jika lepas dari rintangan yang setiap saat selalu datang. Baru perjalanan dua jam, Yan Eugenius tiba-tiba berteriak. “Belokkan ke kanan. Setelah itu arahkan kapal lurus, jangan sedikit pun bergerak,” kata Eugenius seraya mengarahkan telunjuknya. “Itu dermaga besar. Sepertinya kita harus bermalam di sana. Kau lihat?” “Ya,” jawab Godewyn. “Tapi, itu bukan pelabuhan,” sela Everhat. “Kukira itu istana. Ya, aku yakin itu istana kerajaan…” “Tentu banyak noni-noni9 cantik. Aku sudah rindu…” balas Gottfried. “Ah, perempuan saja yang ada di benakmu!” entak Godewyn dari anjungan. ‘Tapi, bolehlah…” sambungnya kemudian. “Istana atau pelabuhan tak begitu penting,” balas Eugenius santai. “Tapi aku setuju pada Gottfried, aku juga rindu…” “Oke kapten, aku arahkan kapal ke sana. Turunkan layar! Biarkan mesin yang mengantar,” perintah Goedwyn. Segera layar dilipat. Mesin motor dalam putaran lamban mendorong kapal menuju pelabuhan atau istana itu. Terus masuk, mendekat, hingga melampaui arus sungai. Baru sadar, tatkala kapal mereka tak bisa lagi bergerak.10 Di tempat kapal karam itu, mereka tak melihat dermaga apalagi istana yang semula tampak bercahaya. Juga noni-noni….*** 70


Bandarlampung, 7 Mei 2015 Footnotes 1

Konon di dekat pertemuan dua sungai, Way Kanan dan Way Kiri, pernah bediri Kerajaan Tulangbawang di bawah kepemimpinan Minak Rio Mangkubumi semasa animisme dan Minak Kemala Bumi pada masa masuknya Islam. Yang disebut terakhir adalah raja pertama pada masa Islam, yang dikenal juga Minak Pati Pejurit.

2

Kebenaran adanya Kerajaan Tulangbawang ini belum bisa dipastikan, apalagi tak ditemukannya situs maupun artefak. Sejarahwan/budayawan Hilman Hadikusuma pernah menyimpulkan dari hasil risetnya, Kerajaan Tulangbawang tak ada. Sementara pendapat lain menyebutkan, boleh jadi Minak Rio Mangkubumi ataupun anaknya Minak Kemalabumi (Minak Pati Pejurit) hanya pemimpin di suatu marga di Pagardewa (kini masuk Kabupaten Tulangbawang Barat).

3

Diperkirakan dari bahasa Lampung, yang berarti diam.

Godewyn dalam bahasa Belanda, berarti teman yang baik (telusuri nama-nama dan arti dari nama orang Belanda, google)

4

5 6 7

Everhat dalam bahasa Belanda berarti berani.

Gottfried, berarti damai (Belanda)

Nama gunung di Selat Sunda, yaitu Gunung Krakatau meletus pada Agustus 1883, saat ini masih aktif adalah Gunung Anak Krakatau. Sementara Sebesi dan Sebuku adalah pulau-pulau yang letaknya tak jauh dari Rakata.

8

Menggala adalah kota/ibukota Kabupaten Tulangbawang. Sungai yang ada bisa menghubungkan kabupaten ini dengan daerah lain seperti Tulangbawang Barat, Abung di Lampung Utara, dan lain-lain. 71


9

Noni adalah gadis/perempuan. Kata popular dalam masa penjajahan Belanda, kerap muncul/ditulis oleh sastrawan. Kejadian kapal kandas di perairan dangkal, pernah terjadi sekira tahun 2006/2007 di Lampung Barat (kini Kabupaten Pesisir Barat). Akhirnya mesin kapal diambil oleh pemiliknya, sementara badan kapal hingga beberapa tahun kemudian masih teronggok di pantai. Menurut cerita awak kapal, mereka seperti melihat sebuah dermaga yang gemerlap. Kiranya hanya ilusi.

10

Isbedy Stiawan Sastrawan asal Lampung yang produktif menghasilkan berbagai karya sastra, baik esai, cerpen, maupun sajak. Karya-karyanya, selain telah dibukukan dalam kumpulan karya tunggal maupun antologi. Ia juga kerap diundang membaca sajak ke berbagai acara sastra di tanah air maupun manca negara. Saat ini, ia menetap di Kota Bandar Lampung.

---.---

72


Perempuan Aneh oleh Riki

Utomi

K

au harus tahu, jangan sembarang dekat dengan perempuan itu. Berada didekatnya—seperti pengakuan rekan-rekanku—adalah sebuah siksaan yang membakar batin. Kau akan mengutuk hari itu karena telah berjumpa dengannya. Kau akan serba salah oleh sikapmu akan kehadirannya. Kau akan, bahkan menyumpahnya sekaligus dirimu sendiri oleh karena satu hal, yang lambat laun kau anggap begitu bodoh. Semua itu menjurus kepada kebencian, tapi berujung pada akhirnya penyesalan. Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu mengerti akan semua itu. Mereka seakan lebai dalam menyikapi sesuatu. Bahkan menjurus kepada sebuah penilaian ganjil pada seseorang. Aku masih tidak mengerti. Apa pula yang menjadi dasar penilaian mereka begitu? Atau karena aku masih baru berada di sini? Tapi apa salahnya hati-hati? Untuk itu aku setakat ini hanya diam ketika berada di lingkungan asing itu. Asing, karena aku baru menjalani mutasi ke sekolah di pusat kabupaten, setelah

73


sebelumnya terkurung dalam sebuah desa terpencil di kecamatan yang tak memiliki apa-apa dalam segala bentuk prasarana. Di sekolah ini, aku kadang hanya berteman sepi, sebab hanya aku guru lelaki yang mungkin selalu datang mengisi keriuhan majelis, karena juga jadwalku sangat banyak mengajar setiap hari. Hampir semua guru adalah perempuan dan perempuan itu, yang kata mereka perempuan aneh, baru aku menjumpainya hari ini tepat pada saat akhir waktu istirahat, dua jam terakhir aku akan masuk di kelas dua belas. Aku memandangnya, sosok perempuan yang katanya aneh itu‌ tapi ternyata dalam hatiku berucap memuji tuhan (karena begitu rugi kalau tidak berbuat demikian. Sebab bukankah kita hamba yang kufur kalau menyia-nyiakan mata karena telah memandang sesuatu yang indah ciptaan Tuhan?). Perempuan itu, berperawakan sedang: tidak terlalu tinggi atau pendek, dia gemulai, berjalan serasi dengan gerakannya yang pas oleh ketukan tumit sepatu, berjilbab modis serasi dengan pakaian yang dikenakannya, bibirnya disapu lipstik yang tak terlalu ketara, tapi cerah dan merekah membuat bibir mungil kecil tipis itu ketika tersenyum sungguh membuat jantung lelaki bergetar, dan matanya‌ bening mirip batu permata yang selalu dipakai oleh perempuan yang dikalungkan pada leher. Mata itu, biasa: tidak tajam, tidak manja, apalagi genit. Tapi mata yang jelas, halus, dan menyiratkan kepastian tanpa ragu untuk memandang, termasuk memandangku sambil tersenyum. Aku membalasnya juga dengan—seperti yang sudah kuduga—getar jantungku tak dapat berbohong. Tapi jujur aku bukan sedang jatuh cinta. Tapi‌ dia masih perawan atau janda? 74


*** Lalu… dari semua yang kupandang dari sosoknya, apanya yang aneh? Aku tidak merasakan sesuatu keanehan padanya, bahkan sebaliknya dia perempuan yang sangat sempurna—tentu ini tidak berlebihan. Dia mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia. Merangkap semua kelas oleh sebab telah sertifikasi yang harus 24 jam. Kutaksir diam-diam dia setidaknya seumur dengan kakak iparku di usia 30-an. Sebagai guru baru, aku harus merasa dekat dengan siapapun personel sekolah ini. Termasuk guru perempuan satu ini. Tak ada salahnya kalau aku mulai dekat untuk bertukar pikiran seputar masalah siswa atau pelajaran, sebab aku juga memegang mata pelajaran yang sama. Sepertinya dia bukan perempuan pendiam, tapi cukup memberi kontribusi keributan oleh sikap, kata-kata, atau pendiriannya yang membuat orang lain merespon. Seorang yang tengah duduk, memberiku isyarat mata tapi aku dapat membahasakannya seperti (hatihati, kau jangan sampai terkena olehnya!) ah… aku hanya tersenyum. Guru perempuan yang katanya aneh itu berada di dekatku. Tersenyum dan berbicara agak pelan. Aku baru tahu dia bernama Indah. Benar-benar selaras dengan dirinya sendiri yang memang indah. “Apakah Bapak mau menggantikan saya sebentar? Saya terpaksa harus keluar karena ada sedikit urusan penting mendadak. Biasalah, orang Dinas Pendidikan menelpon lagi, urusan pangkat yang tak sudah-sudah menyusahkan itu…” ucapnya seperti kesal pada segala peraturan pemerintah. Aku tersenyum dan mengiyakan. Namun aku tidak keberatan menggantikan piket sementara, sebab jadwal masukku ke kelas sudah selesai. 75


Tapi tentu juga aku agak sedikit repot kalau dia pergi lebih lama dari apa yang dijanjikannya. Dengan seulas senyum pelan-pelan dia melaju dengan Beat-nya. Di sela-sela aku menikmati rokok dan meneguk secangkir white coffee, handphone-ku berdering, ternyata dia. Mengatakan bahwa ada sedikit barang yang tertinggal, sebuah lembaran copy-an (barangkali SK) yang harus segera diantar, dan dia wanti-wanti meminta tolong kepadaku. Aku serba salah, sebab harus ada target yang kuselesaikan di rumah. Tapi sekali ini saja, mungkin aku harus menolongnya. Lalu aku tancap ke kantor dinas, aku sendiri heran mengapa mau, bukankah tadi aku menggantikan piketnya? Inilah susahnya lelaki— mungkin lelaki sepertiku—yang bertekuk lutut di depan perempuan manis. Dan di kantor dinas, dia telah tersenyum menyambutku. “Maaf telah merepotkan. Tapi memang tak dapat dihindarkan karena Beat saya mendadak tak mau hidup,� katanya sambil meraih keperluan yang dimintanya itu. Aku mengiyakan tanpa merespon sebuah kekesalan, aku tidak ingin dia tersinggung. *** Malam bagi seorang lelaki bujangan sepertiku setidaknya sungguh sesuatu yang menyiksa. Sepi yang melingkupi diri tentu sangat tidak baik untuk dipelihara. Setakat ini aku masih malas untuk bepergian katakanlah keluyuran kumpul bersama teman-teman lain. Tapi tentu itu agak aneh, mengingat saat ini semua teman-teman sebayaku sudah banyak yang mendirikan rumah tangga. Masih ada beberapa orang tapi mereka sepertinya telah positif memiliki calon pendamping. Tinggal aku sendiri yang dikurung penjara kesendirian ini. 76


Hanya berteman secangkir kopi hangat dan sebungkus rokok, acara televisi di malam minggu tak ada yang menarik untuk diikuti. Sedang gemuruh jalanan di luar terasa menggema meski sudah pukul sembilan malam. Hatiku dingin membuat badan enggan untuk kemanamana. Dalam pikiran bodohku (entah salah entah benar) keadaan keuangan yang tipis sangat tidak etis membawa anak gadis orang keluar malam. Aku tersenyum sendiri dalam kesepian malam—tepatnya tersenyum sinis. Diiringi angin yang tiba-tiba kesiur kencang, handphone-ku berdering. Kupandang dan aku seketika terkejut. Tapi berusaha tenang, barangkali bukan apaapa. Tapi ada apa dia—Indah—perempuan manis itu menelponku? “Kau bisa membantu?” Aku bingung… “Kuharap kau bisa, sebab Beat-ku tak mau hidup lagi. Kembali berulah. Barangkali harus diganti yang baru,” lanjutnya sambil tertawa. Aku masih bingung, tapi dengan gelagapan aku berusaha menjawab. “Oh, boleh saja, kau banyak uang, bukan? Apa yang mesti aku bantu?” “Maukah kau menjemputku? Aku harus menemui seseorang malam ini juga.” Aku terdiam, “Apakah menemui pacarmu?” “Bukan. Tapi temanku. Dia peremuan kok.” Aku agak lega. Setidaknya aku tentu tidak akan semakin menderita batin apabila dia ingin menjumpai seorang lalaki di malam terang bulan ini. Tapi tidak ada salahnya juga aku membantunya. Aku bergegas… 77


*** Dengan kaos oblong biasa; gaya khas anak muda. Rambut tersisir lurus ke belakang dan sapuan Gatsby keras, ditopang bedak Spalding membungkus tipis wajah, ditambah semprotan minyak wangi murahan, cukuplah menampilkan diriku apa adanya, setidaknya celana bluejeans yang baru kubeli kemarin akan sedikit membawa kesan apik, meski tidak memalukan. Dan aku telah tancap gas dengan Supra-X yang juga tidak terlalu bagus, tapi masih terasa asik ditunggangi. Menuju ke rumah Indah, guru muda manis itu, setidaknya membuatku gemetar dan kaku selama di perjalanan. Indah menyambut sambil tersenyum khas. Dia berdandan seadanya juga, tapi tentu sungguh memikat bagiku. Aku semakin gemetar saat dia telah duduk di belakang. Aku merasa bintang-bintang, bulan, angin, jalanan, trotoar, dan sejumlah warung dengan manusianya yang tumpah-ruh sedang menertawaiku. Mereka pasti mengejekku dengan sembrono yang anehnya, masih dapat kuterima dan kumaafkan. Dan aku masih membawanya melaju sampai ke tujuan. Melewati simpang empat masuk ke sebuah gang kecil. Sebuah rumah mungil menyambut kami. Indah bilang ada sesuatu urusan penting tentang sertifikasinya yang masih terkendala. Niscaya tidak akan cair uang itu kalau tidak secepatnya diurus, begitulah‌ katanya. Dan di muka pintu menyambut seorang perempuan yang juga kutaksir sebaya denganku dan Indah. Perempuan itu memandangku dengan tatapan asing. Tapi aku tidak menggubrisnya. Kami masuk setelah dipersilahkannya. Indah memandangku dengan senyum. “Kau mengenalnya?â€? 78


“Sepertinya pernah jumpa tapi aku lupa atau mungkin orang lain yang mirip.” Kataku datar. Indah mendengus lalu berkata lirih, “Dia kenal denganmu tapi mengapa kau lupa? Bahkan dia sering bercerita tentangmu.” Dadaku tiba-tiba bergemuruh. Mengapa pula ini? Kepalaku mendadak pusing. Apakah rumah ini benarbenar rumah Lusi? Apakah dia Lusi? “Aku merasa cemburu…” kata Indah lagi. “Maksudmu?” “Cemburu denganmu,” balas Indah lagi dengan agak sinis. Aku memaksa Indah untuk menceritakan tentang perempuan itu. Setidaknya sangkaanku memang benar bahwa perempuan itu Lusi. Tapi bisa juga tidak, karena bisa jadi Indah mempermainkanku saat ini yang membuatku bertambah bingung, kacau, dan marah? Apa dia mesti cemburu? Kalau memang benar perempuan itu bernama Lusi yang memang dulu sempat menjalin hubungan denganku dan hampir menikah, tapi kandas di tengah jalan. Ah… aku bertambah tak mengerti dengan kedua perempuan di malam ini. Aku ingin segera pulang. *** Selatpanjang, 11 April 2015

79


Riki Utomi Pegiat dan penikmat sastra. Menulis puisi, cerpen, esai, naskah drama juga novel. Buku kumpulan cerpennya Mata Empat (2013) dan Sebuah Wajah di Roti Panggang (2015). Tengah menyiapkan kumpulan esai, puisi, dan buku teks pembelajaran sasrtra Indonesia. Tinggal di Selatpanjang, Riau.

---.---

80


Tuhan Sedang Tidur oleh Tahta

Kurniawan

K

etika mataku terpejam. Terkadang bermimpi tentang mimpi dan berkhayal tentang khayal. Ketika itu pula ruhku terangkat dari ragaku. Merangkak perlahan dan menjauhi tubuhku. Aku melihat ragaku terkulai, mataku tertutup, dan hidungku bernafas. Diriku belum mati tetapi hanya tidur atau biasa di sebut sementara mati. Anehnya tiba-tiba kulit ruhku mengelupas dan mengganda menjadi tiga. “Aku Putih, Aku Merah dan Aku Kuning.” Entah mengapa ruh asliku seperti di tarik-tarik mereka, oleh ruh putih, kuning dan merah. Terbang menjauhi ragaku. Hingga melewati langit yang berakhir di angkasa raya yang hitam. Di kejauhan matahari menyepuh cahayanya, menyinari jejeran konstelasi bintang di sekitarnya hingga ke bumi, duniaku, dunia di mana ragaku terbaring, dan imajinasiku terjun bebas. Tanpa sadar “Aku Merah” menggigitku dan menarikku terjatuh, menembus lapisan-lapisan termosfer hingga troposfer. Ruhku menyala seperti api berkobar-kobar 81


yang di ceritakan dalam Neraka. Jatuh menembus langit hingga tubuhku terhempas ke tanah datar di mana aku di lahirkan. Indonesia. Telingaku mengental, semakin dalam aku mendengar suara-suara, semakin nyaring segala macam suara yang aku dengar. Tanpa sadar sampai-sampai aku mampu memperhatikan deru-deru angin dingin bulan November yang menusuk tulang rusuk dan semakin tinggi pula daya imajinasiku. Namun hanyalah suara tangis yang aku dengar. Lebih dalam aku tenggelam mendengarkan suarasuara namun hanyalah kesengsaraan yang berkelebat. Lebih jauh lagi mendengar tetapi hanya jiwa-jiwa rapuh manusia berbunyi berjatuhan. Aku dengar dengan seksama satu-persatu. Hanya tangis seorang janda di tinggal suami yang tercipta, atau bunyi berjatuhan air mata gadis belia menjual diri, atau suara kesakitan hati lelaki yang merangkap menjadi wanita, atau suara-suara kesengsaraan yang di lantunkan kecapi-kecapi kecil pengamen untuk sesuap nasi. “Aku Merah” berbisik dengan lembut suara parau. “Tuhan sedang tidur.” *** Ruhku terbang dengan sendirinya tak sesuai dengan pikiran sang pemilik jiwa. “Aku merah” memimpin jalan. Ia menunjukan langit-langit bewarna hitam di atas salah satu kota yang berpetir-petir seperti cerita dalam dongeng-dongeng tentang kerajaan langit, ia menunjuk kembali kepada salah satu pilar raksasa yang berdiri megah namun terlihat lesu. “Itu simbol kebesaraan bangsa rapuh ini. Monas.” Katanya.

82


Tiba-tiba “Aku kuning” muncul dan berucap. “Itu disepuh dengan tangan-tangan indah manusia dengan sentuhan-sentuhan emas di sekililingnya.” Namun dalam sekejap “Aku merah” melambaikan tangan dengan tatapan bak Iblis menipu Adam. Anehnya aku mengikuti seruannya. Kami, ruhku dan “aku merah” maksudku, bertengger di sebuah tanah lapang yang di sekitarnya lembahlembah rawa, tumbuhan merambat, batang-batang berduri, binatang-binatang pengerat, dan rumputrumput menghiasi hingga mata tak sampai untuk memandang. Dalam satu kedipan mata lembah-lembah menjelma menjadi sungai-sungai indah, batang-batang berduri menjadi pohon-pohon megah, binatangbinatang pengerat bertransformasi menjadi kerbaukerbau gembala dan rumput-rumput menjadi hamparan sawah hijau hingga jauh menusuk nusantara. Dalam kedipan kedua sungai-sungai tiba-tiba terlihat lesu dalam alirannya terbatuk-batuk, pohon-pohon menjadi cerobong asap yang garang, kerbau-kerbau menjelma menjadi kendaraan-kendaraan transportasi tak layak pakai, dan hamparan sawah menjadi tempat limbah industri. “Aku Merah.” Berkata. “Sungguh Ironi Negeri ini. Seperti kehancuran Baghdad di tangan Tartar.” Aku duduk bersila di samping “Aku Merah” mataku mengatup cepat. Hingga sedikitpun bola mataku tak terlihat. Ruh dalam ruhku keluar berjingkit-jingkit menghidari penciuman dari “Aku Merah”. Aku terbang melintasi beberapa bagian sebuah kota. Air mataku berlinang membuat anak-anak sungai di sekitar pipiku ketika melihat anak-anak kecil bermain api dan akhirnya 83


terbakar, mengintip gadis remaja di perkosa di sebuah taksi, melihat seorang kakek rela mencabuli cucunya, mendengar desahan wanita-wanita menjual diri di tempat prostitusi, dan melihat penjabat agama korupsi kitabkitab Tuhan. Dalam sekejap “Aku Merah” di sebelahku dan berbisik lembut dengan suara parau. “Aku sudah pernah bilang. Tuhan sedang Tidur.” *** Imajinasiku buyar oleh delikan dan bunyi gusar jiwaku. Aku sadar “Aku kuning” menatapku sendu dengan mata sayu seolah-olah ia berkata “Carilah jiwamu yang lain. Mungkin saja tentang hal-hal di masa lalu.” Dalam sekejap pikiranku menggelembung, menghamburkan ribuan kisah-kisah masa lalu. Lalu dalam hitungan detik prahara di dalam batok kepalaku menjelma menjadi sebuah keinginan dan hasrat kembali ke masa lalu. Hingga sebuah pertanyaan muncul tak terduga, tertangkap tak di tangkap, menyerahkan diri dan berkata “Bagaimana jika daerah masa lalumu memiliki keretakan di salah satu bagiannya.” *** Ruhku meninggalkan “Aku Merah” dan mendekati “Aku Kuning” lalu mulutku menyemburkan kalimat “Tuntunlah aku kembali ke tempat asalku di lahirkan, di susu, di timang.”. Si “Aku Kuning.” Tersenyum dengan senyuman yang biasanya aku tampilkan ketika aku sedang senang. Ia menjawab perlahan. “Dengan senang hati.” Lalu kami terbang menyingkap langit menembus cakrawala langit-langit kota dan berubah menjadi kumpulan awan-awan di atas lautan di pulau Jawa arah ke Utara, yaitu tujuanku Pulau Kalimantan. Kami menusuk angin-angin malam Kalimantan 84


Selatan yang menyisakan bau-bau gaib dari hutan dan gunung-gemunungnya. Kami menuju kota tercinta di mana aku di lahirkan Martapura, di Kabupaten Banjar yang terkenal dengan berlian bernama Intan yang aku anggap adalah air mata dewa-dewa yang menjelma menjadi batu-batu mengkilap yang apabila orang awam melihatnya akan mendesah kagum karena indahnya. Aku masuk ke dalam rumah. Memandang ibuku yang sedang tidur dan memasuki mimpinya. Ketika itu aku melihat ia sedang di hantui rasa cemas terhadap anak-anaknya yang sedang merantau dan menimba ilmu di pulau seberang. Yang ia pikirkan adalah aku dan kakakku. Dalam mimpinya aku berucap “Tenanglah ibuku tersayang. Ulun* dan Abang baik-baik saja. Ulun hanya sedang gusar tentang kesengsaraan yang menyelimuti negeri ini bak tangan hitam mencengkram dengan kerasnya.” Ibuku tersenyum. Lalu aku terbang keluar dari tempatku. Dalam sekilas masa laluku muncul berbaur dengan kenyataan sekarang, lalu bergumpal dengan imajinasi yang aku ciptakaan. “Aku Kuning” Menyiratkan senyumnya lalu melangkah pergi menuntunku, aku mengikutinya seperti kaki Musa mengikuti langkah-langkah Khidir. “Aku akan membawamu ke tempat di mana dulu kamu tersenyum, tapi nanti lihatlah bagaimana reaksimu ketika tiba.” Kata “Aku Kuning.” Ia membawaku melewati Pasar terapung di Lok Baintan*. Apabila subuh menjelang para pedagang menyiapkan barang dangangan di atas klotok, mereka memakai caping atau ikat kepala serupa surban para wali. Hingga “Aku Kuning” membawaku melewati Rumah Banjar Gajah Manyusu* yang kaki-kakinya terbuat dari kayu galam yang terendam di dalam rawa, 85


badannya megah berkepala panjang menyerupai kepala rumah-rumah di Toraja, ukirannya khas seperti ukiran di Eropa di kombinasikan dengan ala Persia, ia indah, tegas dan berwibawa seperti laki-laki berjas berpidato di kala perang. Lalu ia membawaku berbelok melintasi rumah nenekku di Pasayangan, aku membayangkan dahulu para nenek moyangku melakukan ritual bemandi-mandi* dan masih di lakukan hingga kini. Kami melewati makam Syekh Arsyad Al-Banjari* yang selalu di ramaikan peziarah dari ujung riam kiwa* hingga ujung riam kanan. Berpapasan para petani pohon enau yang getahnya panas jika terkena kulit, para pemetik buah kasturi yang baunya seperti mangga di campur apel, para pencari gamal, dan kami melewati sungai yang di sampingsampingnya keramba-keramba ikan, pohon-pohon besar di pinggirannya kadang menjuntaikan akar-akar, kami melihat anak-anak bermandi keringat yang bercampur riak-riak air sungai. “Sebentar lagi kita sampai.� Kata “Aku Kuning. “Ke tempat masa lalumu.� Semakin lama kami melewati, melintasi banyak hal. Semakin banyak pula pikiran-pikiran takut yang menggelayuti, tanpa sadar pikiran itu telah menisbikan segala hal yang indah tadi menjelma menjadi bayanganbayangan kelam di masa lalu di daerah ini, anak-anak peminta-minta yang menangis tak di beri uang, orangorang kampung yang cacat duduk di pinggiran jalan menadahkan tangan, atau para petani tua yang berjalan memegang selangkangan lantaran burut telah membesar, dan truk-truk besar pengangkut batu bara yang menimbulkan debu tebal dan akhirnya menimbulkan penyakit pernafasan. Pikiran itu telah merajai kepalaku menendang-nendang pikiran baik dalam diriku. 86


“Inilah tempatnya.” Kata “Aku Kuning” dengan tatapan mata sedih. Aku melihat tanah berlubang sebesar lapangan sepakbola di mana-mana. Di utara ada, di timur banyak, di barat juga, di selatan apalagi. Lubang-lubang itu menyerupai danau mati namun bukan danau. “Mereka danau tapi bukan danau, mereka hidup tetapi tidak hidup, mereka berbicara tetapi bisu. Ini perlakuan orangorang tak bermoral.” Si “Aku Kuning” berucap. Bau sulfur bercampur debu dan gersang bercampur jadi satu. Tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnnya walaupun air di tengahnya berwarna hijau, namun sebenarnya di dalamnnya mengandung racun yang mampu membunuh hewan-hewan ataupun tumbuhan dalam sekejap. “Mereka galian bekas batu bara yang di tinggalkan tanpa di lakukan reboisasi.” Mataku menutup di depan danau, aku mendengar jeritannya, degup jantungnya alakadarnya, isak tangisnya dan rasa sakitnya. Ini adalah perlakukan orang-orang perusahaan yang tak bertanggung jawab dan masyarakat sekitar memiliki sebutan untuk itu “Orang-orang mengambil lalu pergi.” Nelayan-nelayan malam melempar kail Kembali sewaktu pagi Orang tak bermoral sukanya mengambil Sebentar lalu pergi Sekilas masa laluku bersama anak-anak kecil sekampung muncul. Dari balik-balik pohon pedak kami saling mengumpat, kadang di waktu pagi mencari ubi, ada kalanya bermain balogo* permainan menggunakan batu yang di taruh di kaki lalu berjalan seolah-olah 87


sambil menari, adapula bermain campah* batu yang disusun di terka oleh batu menggunakan sebilah bambu. Lalu semuanya buyar ketika truk pengeruk mengambil tanahnya, laki-laki bermandi peluh memotong pohonnya, dan pergi tanpa permisi. Aku menangis melihat tempat masa laluku menjelma menjadi bagian dari kehancuran, bagian dari korban penistaan oleh orang-orang tambang batu bara. Ketika itu pula “Aku merah” tiba-tiba di sampingku berdiri dan berbisik suara parau dengan lembut. “Aku sudah tahu. Tuhan sedang Tidur.” *** Dalam sekejap ruhku kembali berada di kursi di kamarku. “Aku Merah” Tersenyum bak Setan menangkap jiwa manusia. “Aku Kuning” diam tertunduk di antara buku-buku kuliah yang berserakan. “Aku putih” mendekatiku lalu ia memegang kepalaku. Kesengsaraan, kepedihan, kesakitan, dan kegusaran perlahan menciut di pikiranku bersama hal-hal negatif lainnya. “Aku Putih” berucap “Jangan melihat hanya dari sudut pandang. Terimalah semua kebahagiaan yang aku berikan ini.” Perlahan-lahan aku tersenyum, merasa senang dan bahagia. Belum terpikir bahwa hal-hal lain di daerahku banyak yang indah dan juga baik. Tidak hanya penderitaan semata. Si “Aku Putih” memperlihatkanku hamparan tanah di samping danau-danau mati menjadi taman-taman yang indah, rumah-rumah penduduk pinggiran sungai yang menawan, tanah lapang yang di dirikan tonggak-tonggak masjid yang kubah-kubahnya memantulkan cahaya kebahagiaan di kala senja, para penjaja kopiah meneriakan jajaannya, para pengunjung masjid berhamburan di pinggiran sungai, para anak-anak 88


remaja berbondong-bondong membawa kitab untuk belajar bersama ustadz pondok pesantren darussalam dan aku baru ingat semua keindahan ini telah tersembunyi di balik kesengsaraan hampir saja membuatku melupakan bahwa tempat aku lahir, di timang, dan belajar memiliki gelar istimewa Martapura adalah “Kota Santri” yang indah bukan kepalang. *** Mataku terbuka, ruhku telah kembali, jiwaku telah pulih dari alam imajinasi yang panjang. Aku mengambil air wudhu, menyiapkan buku-buku untuk di bawa kuliah : Pengantar Hukum Indonesia, Pengantar Hukum Islam, Ilmu Negara dan lain-lain. Aku tersenyum kepada diriku sendiri. Aku masih ingat kata-kata terakhir dari “Aku Putih” di alam mimpi “Tuhan memang sedang tidur. Namun di dalam tidurnya ia bangun dan dalam bangunnya ia tidur. Ia selalu berada di sekitar kita. Sekali lagi aku tegaskan. Tuhan sedang tidur sekaligus bangun.” Aku membuka pintu kamar kos. Menghirup udara dunia melangkah santai dan bahagia. Aku menirukan kalimat Aku Putih terakhir “Tuhan sedang tidur sekaligus bangun. *** Catatan-catatan 1. Ulun dalam bahasa Banjar berarti saya. 2. Pasar Terapung Lok baintan adalah pasar tradisional yang berjualan di kapal kayu oleh pedagang tradisional. 3. Gajah Manyusu adalah salah satu jenis rumah adat Banjar atau yang biasa di sebut rumah bubungan tinggi. 89


4. Bemandi-mandi adalah ritual adat banjar ketika menjelang pernikahan konon untuk penyucian 5. Syekh Arsyad Al-Banjari adalah tokoh Islam di daerah Banjar namanya juga menyebar di pulau-pulau lain seperti jawa, sulawesi, sumatera dan pulau lain. 6. Riam kiwa artinya bendungan sebelah hulu. 7. Permainan balogo adalah permainan tradisional anakanak banjar. 8. Permanian campah termasuk permainan tradisinal anak-anak banjar.

Tahta Kurniawan Kelahiran Martapura, Kalimantan Selatan. 10 Januari 1996. Saat ini berkuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jurusan Hukum.

---.---

90


Anak Kemanakan Lanun oleh

Badrul Munir Chair

K

etika sore yang hangat mulai beranjak dan bulan purnama bersiap menggantikan matahari yang hampir tenggelam, paman mempercepat laju perahunya dan menyuruh anak-anak buahnya mempersiapkan peralatan. Bukan jaring atau pukat penangkap ikan, melainkan celurit dan parang. Aku berangkat dari pulau dengan perasaan menggebu-gebu, tapi entah kenapa nyaliku menciut begitu sampai di tengah laut dan menyadari bahwa hari semakin gelap dan kelabu. Tiba di jalur perlintasan kapal-kapal sebelum matahari tenggelam, kulihat perahu-perahu lain yang lebih dulu tiba sedang mengatur jarak dan posisi. Sejauh pandanganku sebelum matahari semakin kabur, ada empat perahu lain yang berada tak jauh dari jangkauan penglihatan kami. Paman menghentikan perahu, kemudian menurunkan jangkar perlahan-lahan ke dasar lautan dengan mengulurkan tali tambang yang terikat pada ujung jangkar. Setelah jangkar dilepas paman, kami diam hening 91


dan duduk menunggu. Tak ada yang berani memulai pembicaraan. Aku sibuk mengatur nafasku yang semakin terpatah-patah karena terlalu tegang sepanjang perjalanan. Kulihat paman tersenyum kepadaku, sembari melemparkan botol berisi air. Aku meneguk air dalam botol itu hingga tandas separuhnya. *** “Jangan beri tahu emakmu,� kata paman pada malam sebelum kami berangkat. Aku mengangguk. Emak sedang sakit, beliau tentu akan cemas dan mungkin sakitnya akan bertambah parah jika beliau tahu aku ikut berlayar dengan paman. Aku terpaksa akan berbohong pada emak, pergi meninggalkan beliau dan adikku yang masih berumur empat bulan yang sering menangis minta netek padahal air susu emak jarang bisa keluar karena beliau sedang sakit dan badannya kurus kering karena terlalu sering menahan lapar. Sementara abah pergi meninggalkan kami ketika kandungan adikku masih berumur empat bulan dan sejak itu abah tidak pernah mengirim kabar. Emak bilang, abah pergi mengadu nasib ke negeri tetangga, mencari nafkah untuk kami dan untuk persiapan kelahiran adikku. Semenjak emak mengetahui pekerjaan abah, emak memarahi abah dan meminta abah berhenti dari pekerjaannya. Setahuku, itu pertama kalinya emak marah sambil meraung-raung di depan abah. Abah menuruti permintaan emak untuk meninggalkan pekerjaannya lebih karena beliau mengkhawatirkan janin yang sedang di kandung emak. “Apa sudah tidak ada ikan di laut, Bang, sampai kau tega merampas harta orang?!�

92


Abah hanya diam, beliau tidak menimpali pertanyaan emak, sebab kami sama-sama mengerti, sebelum abah menjalani pekerjaan yang dianggap emak keji, abah jarang sekali mendapatkan ikan tangkapan. Kata abah, laut di perairan tempat biasa beliau menangkap ikan sudah tercemar dan ditinggalkan ikan-ikan, dan perahu kecil abah tidak akan mampu menerjang ombak di perairan lain yang ombaknya lebih tinggi. Sementara di perairan dekat pulau karang-karangnya sudah hancur karena nelayan terlalu sering menangkap ikan menggunakan bom molotov. Abah mengalah dan kembali ke pekerjaan lamanya menangkap ikan di perairan yang sudah tercemar, dan seringkali pulang dengan raut wajah putus asa. Tak jarang abah pulang hanya membawa kepiting-kepiting karang yang besarnya hanya separuh telapak tanganku. Terpaksa emak memasak kepiting karang yang bau lumutnya begitu menyengat itu sebab tak ada lagi yang bisa kami makan. Kepiting itu sedikit sekali dagingnya, sehingga tak jarang kami kunyah dan telan juga cangkangnya yang tidak terlalu keras untuk mengganjal perut kami yang lapar. Jangan pernah tanyakan tentang nasi. Nasi, bagi sebagian besar penduduk di pulau kami yang kecil dan terpencil ini, hanya bisa diperoleh dengan jalan yang dianggap emak sebagai pekerjaan keji. *** “Berapa umurmu, Jang?� tanya paman membuka pembicaraan ketika kami sedang suntuk menunggu. Matahari sudah lama redup dan berganti cahaya purnama yang cahayanya memantul ke permukaan air tenang tempat kami menurunkan jangkar. Kata paman, malam purnama adalah waktu paling sempurna untuk 93


merompak. Kemilau cahaya bulan akan membantu kami melihat tongkang yang hendak melintas dari kejauhan. “Dua belas, Paman. Selisih empat tahun dari Wail,” jawabku dengan bibir bergetar, kecemasan terus melandaku selama kami dalam pengintaian. Wail adalah adik kandungku yang dipungut paman. Paman tak punya anak, sedang abah merasa sudah tak mampu untuk memberinya makan, jadilah Wail diasuh paman. “Dulu, aku baru berani melaut ketika umur lima belas. Kamu hebat, Jang,” ucap paman memujiku. Aku tahu, paman sedang berusaha menenangkanku. “Ingat, nanti kau tunggu saja di atas perahu, jangan ikut melompat ke atas tongkang. Terima saja barang-barang yang kami ulurkan.” Aku mengangguk. Paman berulang-ulang mengingatkan anak-anak buahnya untuk mengikuti komando, jangan bertindak sendiri-sendiri. Ada enam orang di atas perahu paman. Nanti, dua orang—termasuk aku—akan menunggu di atas perahu, sementara empat orang lainnya akan melompat ke atas tongkang yang kami hentikan untuk mengambil barang-barang. “Jangan takut, Jang. Awak-awak tongkang itu tak bersenjata, dan paling banyak hanya sepuluh orang. Mereka akan ciut melihat kita membawa celurit dan parang. Apalagi, awak-awak perahu lain di sana akan membantu kita melumpuhkan mereka,” ucap paman sembari menunjuk perahu-perahu lain yang bisa kami lihat di kejauhan meskipun lampu-lampu perahu itu dimatikan. Cahaya bulan purnama benar-benar membantu kami dalam pengintaian ini. Jika ada tongkang yang terlihat di kejauhan, kami akan mengangkat jangkar, lalu memindahkan perahu kami untuk menghadang jalur 94


tongkang itu. Empat perahu lain di sekitar kami akan melakukan hal yang sama. Kata paman, tongkang yang melintas di perairan ini biasanya memuat bahan-bahan makanan, kami akan mengambilnya sebagian. *** Bulan purnama bersinar tepat di atas perahu kami ketika sebuah tongkang terlihat melintas di kejauhan. Kami yang semula hanya duduk menunggu seketika bergegas mengangkat jangkar, seseorang menyalakan mesin perahu, seorang lagi menyalakan lampu pertomaks dan menggantungnya di tiang bagian buritan perahu. Kami sengaja menyalakan lampu petromaks itu setelah tongkang mulai mendekat, sebab jika kami menyalakannya ketika jarak tongkang masih jauh, tongkang itu akan berbelok ke jalur yang lain sebab biasanya tongkang akan menghindari perahu-perahu nelayan yang lebih kecil. Namun jika kami menyalakan lampu ketika tongkang mulai mendekat, biasanya tongkang itu akan memperlambat lajunya, maka perahu kami akan semakin mudah menghadang tongkang itu di depannya. Siasat itu berulang kali dikemukakan paman di sepanjang perjalanan. Kulihat tongkang itu mulai mendekat. Perahu kami siap menghadang di depannya. Di sekitar kami, kulihat empat perahu lain juga bersiap menghadang laju tongkang itu. Tubuhku semakin gemetar. Aku tahu, inilah saatsaat paling genting. Paman bilang, bahaya terbesar dari rencana kami adalah ketika kami gagal menghadang laju tongkang dan kemudian perahu kami tertabrak. Ketika sudah berhasil menghentikan dan naik ke atas tongkang, kata paman, semuanya akan lebih mudah. Tongkang itu memelankan lajunya. Kulihat paman 95


tersenyum. Tubuhku tak lagi segemetar tadi. Paman melambai-silangkan kedua tangannya untuk memberi tanda agar tongkang itu berhenti. Tongkang itu pun berhenti tak jauh dari perahu kami, perahu kami merapat di sisi lambung tongkang itu. Paman melompat ke tangga yang menggantung pada lambung tongkang itu dengan membawa parangnya. Langkah paman diikuti oleh tiga anak buahnya, naik ke tangga di lambung tongkang dengan menggenggam celurit dan parang. Aku ditemani seorang anak buah paman yang lain menunggu di atas perahu tak jauh dari tangga. Dari atas perahu, kulihat tumpukan karung beras di atas tongkang, juga tumpukan karung-karung lain yang entah apa isinya. Aku membayangkan sebagian karungkarung itu tak lama lagi akan berpindah ke atas perahu kami, lalu akan kami bawa pulang ke pulau. Aku tak peduli jika emak memarahiku karena mengetahui aku ikut perahu paman dan pulang membawa beras, yang penting kami bisa makan. Aku ingin emak cepat sembuh. Emak butuh makan biar tidak gampang sakit-sakitan, adik bayiku juga butuh air susu emak. Di atas tongkang itu pasti juga ada susu dan bahan-bahan makanan lain. Aku berharap paman dan anak-anak buahnya juga membawa turun susu buat adikku. Suasana sesaat hening. Perahu-perahu lain mulai merapat pada sisi tongkang. Aku hanya bisa menerka apa yang sedang terjadi di atas tongkang itu. Mungkin paman sedang mengumpulkan para awak tongkang itu dan mengancam mereka dengan parang. Aku hanya bisa menunggu. Sejenak kemudian terdengar suara percakapan yang disusul suara tembakan. “Lompat!� seseorang berteriak. Aku tahu itu suara 96


paman. Tak lama kemudian terdengar suara debur air pertanda ada orang yang melompat. Kulihat perahuperahu lain yang semula merapat ke tongkang itu seketika menghindar setelah mendengar suara tembakan. Mesin tongkang itu kembali menyala, perlahan-lahan melaju dan semakin menambah kecepatan. Aku memperhatikan tongkang itu dengan mata nanar. Di buritan perahu, kulihat seorang anak buah paman naik ke atas perahu dengan pakaian basah kuyup. “Pamanmu tertembak,� katanya dengan suara parau. Aku menangis sambil berusaha mencari-cari paman di lautan. Dalam tangisku kulihat bayangan wajah paman yang sedang menahan sakit terkenan tembakan, bayangan wajah emak yang semakin kusut dan badannya yang kurus kering, bayangan wajah Wail dan adik bayiku yang tak henti-hentinya menangis karena kelaparan. *** Yogyakarta, Februari 2015

97


Badrul Munir Chair Lahir di Ambunten-Sumenep, 1 Oktober 1990. Karyakaryanya berupa cerpen dan puisi dimuat di sejumlah media massa, diantaranya: Jawa Pos, Suara Merdeka, Media Indonesia, Jurnal Nasional, Nova, Cempaka, Sabili, Tribun Jabar, Tribun Jogja, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Majalah Sastra Horison, Majalah Dewan Sastera (Malaysia), Lampung Post, Radar Surabaya, Kedaulatan Rakyat, dll.

---.---

98


Daghe Surge oleh Musa

Ismail

M

enunggu Hari Raya, menantang kemarau, menanti kesejukan hujan di penghujung Ramadan. Hampir semua orang mendadak alim. Ramadan datang penuh energi. Tapi, ... beginilah kepedihan. “Cik, Mimi dapat jemputan,” suara terbata-bata, mata berkaca-kaca. Lesu. “Jemputan ke mana? Ke hulu atau hilir?” Pak Cik merasakan tanda-tanda. Matanya juga berkaca-kaca. Lemah. “Ke hulu, Cik. Itu ada dua orang yang menjemput Mimi. Mereka berpakaian serba putih. Mereka senyum, Cik. Mimi mau ikut mereka ya? Orang itu mengajak Mimi. Mimi sudah siap. Kalau Mimi pergi ke hulu nanti, Cik jangan bersedih. Yang mengajak Mimi, orang baikbaik.” Dara itu tergeletak di lece sambil tersenyum memandangi Asrizal, Pak Ciknya. Lelaki berusia kepala tiga itu membalas dengan senyuman pahit. Kepahitan itu begitu jelas di balik air mukanya yang iba. Kepahitan dan kehidupan ibarat pinang dibelah dua. *** Di luar, udara dingin pagi sangat segar. Setiap pagi, udara segar yang masuk melalui tingkap itulah biasa

99


dihirup Mimi. Kesegaran udara begini selalu menjadi dambaan siapa pun. Tentu hanya lingkungan asri yang bisa menghadirkan suasana nyaman. Aroma pepohonan getah di sekitar rumah inilah yang menyemarakkan suasana segar. Nenek Mimi atau emak Asrizal, Hamidah, setiap hari menoreh pepohonan getah itu sebagai sandaran hidup mereka. Meskipun harga karet melorot, nenek Mimi dan warga kampung Temeran tetap menyandarkan nafkah mereka pada pepohonan penghasil karet itu, termasuk kedua orang tuanya. “Hati-hati, Mimi sayang. Awas tersandung,� seru Maryani agak khawatir. Emaknya itu sangat perhatian padanya yang ketika itu baru beranjak 4 tahun. Sejak berusia beberapa bulan, Mimi tak lagi memperoleh kasih sayang dari ayah. Ayahnya sudah bercerai dengan emaknya dan pindah ke kota lain, sekitar 500 km ke arah utara. “Iya, Mak. Mimi hanya berlari pelan-pelan,� sahutnya tersendat-sendat dan agak pelat. Terkadang, anak itu memetik pucuk paku buat main masak-masakan bersama kawan-kawannya. Maryani terus saja berpindah dari satu pohon getah ke pohon getah lainnya. Matanya terbagi dua. Sebagian dia mengawasi buah hatinya dan sebagian lagi mengawai pelan pada pohon getah yang ditorehnya. Melalui pepohonan getah itulah Allah Taala mengalirkan rezeki buat mereka. Pepohonan getah itu bukan miliknya, tetapi milik emaknya, Mak Siti, nenek Mimi, yang sudah sebatang kara. Anak seusia Mimi tidak seharusnya setiap pagi berada di pepohonan getah. Kenyataan hidup tidak bisa dielakkan, tetapi mesti dijalani dengan keikhlasan dan siasat. Maryani terpaksa membawa Mimi di kebun getah demi mengais rezeki. Untungnya, saat ini harga getah 100


mencapai Rp11.000/kg. Maryani bertekat bekerja sekuat tenaga untuk mengumpulkan rupiah demi dirinya dan Mimi, terutama demi masa depan anaknya itu. Maryani tentu tak mau nasib Mimi seperti nasib dirinya saat ini. Mimi harus punya masa depan yang cerah. Mimi harus menjadi dara yang berpendidikan, begitu Maryani berpikir di sela-sela pohon getah. “Mar, jangan kaubawa Mimi sering-sering ke kebun. Kasihan dia masih kecil. Tinggalkan saja dengan Emak di rumah. Biar Emak yang menjaganya,” Mak Siti merasa sangat khawatir dengan cucunya. Salah satu wujud kasih sayang. “Kalau gitu, baiklah Mak.” Pagi ini, Mimi mulai dijaga neneknya. Dara kecil itu tidak lagi ikut emaknya ke kebun karet. Maryani lebih leluasa menoreh pepohonan karet. Meskipun terpikirkan Mimi, tetapi perasaannya lebih nyaman. Keselamatan anaknya tentu lebih terjaga jika dibandingkan dengan keadaan sebelum ini. Begitulah hati seorang ibu terhadap anaknya. Kasih ibu bagai lautan tak bertepi. Gigitan nyamuk dan miang semak-semak tak sanggup mematahkan kasih sayang Maryani. Saat ini, janda itu hidup hanya untuk Mimi di balik kelebat pepohonan getah. Sekitar pukul 06.00, Maryani memotong karet hingga pukul 10.00. Kemudian, dia langsung mengambil Mimi dan membawa pulang. “Mimi baik-baik saja, tak perlu khawatir,” Mak Siti meyakinkan anaknya. Maryani tersenyum sambil menggendong Mimi dengan sepenuh hati. “Besok Mar titip Mimi lagi, Mak.” “Kalau itu, tak perlu kaucakap lagi. Mak dengan senang hati akan menjaga Mimi.”

101


*** “Mar, Mak menyuruhmu pulang sekarang,” seseorang dengan napas terengah-engah menyampaikan pesan Mak Siti. “Ya, sekejap lagi aku pulang.” “Sekarang, Mar, sekarang.” “Ada apa. Masih ada separuh lagi pohon getah ni.” “Anakmu sakit.” Maryani bagai kesurupan. Dia berlari melapah semak menuju rumah. Pembawa pesan itu hanya termangu memandang Maryani yang meluru pulang. Sedikit pun dia tak memandang kiri-kanan atau ke belakang. Di pikirannya, cuma Mimi. Apa gerangan yang terjadi pada Mimi? Maryani bagai bersayap. Kakinya ibarat tumbuhan yang merambat hidup memenuhi jalan setapak. Sedikit pun perempuan itu tak ragu melapah semak. Selain sudah hafal dengan liku-liku jalan ke kebun getah itu, wajah Mimi-lah yang menjadikannya ingin bergegas tiba di rumah. “Mimi..., Mimi,...bangun,” Mak Siti bagai kehabisan suara. Terkadang dia meracau. Maryani terbang. Dia langsung memapah Mimi yang kejang-kejang. Mulutnya tak bersuara. Hanya buih yang meleleh. Matanya, ya Rabbi, matanya terbeliak. Di dada Maryani seperti ada belati yang menghunjam dalam. Dia bagaikan kehilangan akal ketika memandang Mimi dalam keadaan berbusa di mulutnya. Mimi terkulai. Buih itu masih saja meleleh. Semakin lemah. Semakin tak bertenaga. “Ijal, bantu Kakak. Kita bawa Mimi ke dokter,” mata Maryani tak henti-hentinya mengeluarkan air bagai mata air perigi di belakang rumahnya. Ijal, tepatnya 102


Asrizal, bergegas menghidupkan motornya. Sekitar 20 menit, mereka sampai di Bengkalis, di rumah praktik dr. Rama, dokter spesialis anak. Bagi Maryani, waktu dalam perjalanan itu seperti melewati bara-bara neraka. Dengan tangis yang belum berhenti dan cemas yang mengganas, Maryani dan Ijal bergegas menggendong Mimi ke ruang dokter tanpa antrean. Untung pasien yang lain memakluminya. “Dok, tolong anak saya,” Maryani masih panik. “Sudah berapa kali begini?” “Baru ini, Dok.” “Epilepsi. Anak Ibu mengidap epilepsi.” “Apa itu, Dok?” “Ayan. Penyakit ini dapat terjadi pada siapa pun walaupun dari garis keturunan tidak ada yang pernah mengalami epilepsi ini. Akan tetapi penyakit epilepsi tidak dapat menular ke orang lain karena penyakit ini hanya merupakan gangguan otak yang tidak dipicu oleh suatu kuman dan virus serta bakteri jahat” “Apa bisa disembuhkan?” “Penyakit ini tidak seperti penyakit lain yang dapat disembuhkan dalam jangka waktu tertentu dengan sempurna. Seorang penderita penyakit epilepsi harus menjalani hidup yang sehat dan teratur, selalu memiliki padangan yang positif, adanya dukungan dari keluarga dan lingkungan.” Maryani masih terisak. “Berbahaya, Dok?” “Maaf, Bu. Epilepsi mempengaruhi otak anak. Penyakit ini mengganggu neurologis yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang dan ditandai dengan adanya serangan-serangan epileptik. Anak akan mengalami gangguan berbahasa dan kemampuan verbal, kemampuan 103


mengenal dan mengingat apa yang didengar, mengeja, membaca, berbicara, kemampuan berhitung, dan kemampuan bidang matematik. Bahkan, bisa lumpuh,” suara dokter itu terdengar sangat hati-hati. “MasyaAllah, Subhanallah, Innalillah,” suara Maryani panik. Ruang praktik dokter dan sekitarnya berubah semakin pekat. Mata Maryani lekat ke arah anaknya yang tergeletak di pembaringan pasien. “Bersabar lebih baik, Kak,” Asrizal membujuk Maryani. “Kita rawat Mimi baik-baik, berdoa kepada Allah untuk kesembuhannya.” Sepanjang jalan pulang bagai bentangan neraka. Maryani terus menumpahkan air mata. Sebulan setelah kejadian itu, Mimi semakin sering diserang ayan. Cobaan pun bertambah berat. Kini, Mimi hanya bisa terbaring di tilam. “Mak, mengapa Mimi tak bisa berdiri?” Wajah anak itu muram. Maryani hanya terdiam dalam tangisnya yang dalam. Pepohonan getah juga diam bersedih. Maryani tak lagi bersemangat menoreh. Semak-semak mulai menghantui pepohonan itu. Air matanya terus saja meleleh ketika memandang Mimi yang tergolek lemas di lece. “Sudahlah, Mar. Terima saja takdir ini. Kita doakan saja agar Mimi dilindungi Allah taala,” Mak Siti menepuk pundak anaknya. Pelan. “Apa dosa Mar, Mak,” Maryani seperti kecewa. *** Beginilah kepedihan datang, juga.

seperti kebahagiaan

“Mak, maafkan Mar. Mar terpaksa pergi ikut suami. 104


Tolong jaga Mimi,” begitulah tulisan disecarik kertas. Tulisan berbekas tetesan air mata itu terletak di samping Mimi. Tanpa sadar, mata Mak Siti mengeluarkan air karena ada sebak di hatinya. Sesak yang amat berat. Setelah menikah lagi sebulan lalu, perhatian Mar jadi tawar terhadap Mimi. Abah tiri Mimi memperparah tawarnya perhatian itu sehingga menjadi pahit, semakin pahit. Abah tiri anak malang itu tak mau menanggung dan merawatnya. Ijal.

Sudah 9 tahun. Mimi diasuh nenek dan Pakciknya,

“Mengapa Emak tak menjenguk Mimi, Nek? Pakcik, Emak ke mana? Apakah Emak tak sayang lagi dengan Mimi. Rasanya rindu dengan pelukan Emak,” suara dara itu terbata-bata. Nenek dan Pakciknya hanya bisa terisak pelan. Dari tingkap, hujan renyai membingkai bagai terali-terali kecil. “Mimi, di sini ada Nenek dan Pakcik. Nenek dan Pakcik tetap akan menyayangi Mimi,” Ijal mencoba membuyarkan kerinduan Mimi. “Dasar perempuan tak tahu diri. Tak bertanggung jawab. Tak patut disebut Emak oleh anaknya,“ Ijal menggerutu pelan. Tangannya mengusap kepala Mimi dengan lembut. Hari-hari yang dilalui Mimi terasa lambat sekali. Siang dan malamnya hanya terbaring di lece. Sudah sekitar 5 tahun terakhir, lumpuh menggerogoti motoriknya. Dia lumpuh. Dara itu tak lagi bisa melakukan apapun. Dia laksana indap-indap. Dia adalah dara yang terbang membawa cahaya yang indah dan sejuk dipandang. Berkelap-kelip bagai bintang di angkasa. Sejak Ramadan tiba, Mimi selalu tersenyum. Hingga di penghujung Ramadan ini pun, senyum Mimi senantiasa mengembang bagai bunga-bunga di musim penghujan. 105


“Ya Rabb, Mimi selalu rindu Ramadan. Mimi juga rindu Emak. Semoga Emak pulang menjelang Idul Fitri. Ya Rabb, aku ingin menjadi perempuan suci,” kalimat doa itu berulang-ulang diucapkannya. Meskipun keinginan melepaskan rindu kepada Emaknya belum tercapai selama sepuluh tahun, Mimi tetap saja berdoa. Ya, apa perasaan kita jika Emak yang masih hidup, tetapi tak pernah lagi menjenguk kita? Perasaan itulah yang terus menghenyak sisi-sisi kehidupan Mimi. *** Ramadan datang penuh energi. Kini, Ramadan akan pergi. Tapi, ... beginilah kepedihan. “Cik, Mimi dapat jemputan,” suara terbata-bata, mata berkaca-kaca. Lesu. “Jemputan ke mana? Ke hulu atau hilir?” Pak Cik merasakan tanda-tanda. Matanya juga berkaca-kaca. Lemah. “Ke hulu, Cik. Itu ada dua orang yang menjemput Mimi. Mereka berpakaian serba putih. Mereka senyum, Cik. Mimi mau ikut mereka ya? Orang itu mengajak Mimi. Mimi sudah siap. Kalau Mimi pergi ke hulu nanti, Cik jangan bersedih. Yang mengajak Mimi, orang baikbaik.” Dara itu tergeletak di lece sambil tersenyum memandangi Asrizal, Pak Ciknya. Lelaki berusia kepala tiga itu membalas dengan senyuman pahit. Kepahitan itu begitu jelas di balik air mukanya yang iba. Tiba-tiba saja air mata Pakciknya membungkam suasana. Begitulah kepedihan.*** Musa Ismail Penulis adalah guru di SMAN 3 Bengkalis.

---.--106


Malapetaka Wak Labu oleh Rian

Kurniawan Harahap

B

elum lagi budak-budak kecil selesai tadarus di surau. Orang-orang kampung sudah sibuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka meninggalkan anaknya untuk mengaji di surau dan pulang sendirian jika sudah selesai. Budak-budak kecil ini bukan main beraninya. Pasalnya bukan masalah malam atau sepinya jalanan, tetapi mereka harus menantang maut sampai ke surau itu. Surau tempat mereka Tarawih ada di kampung sebelah. Hanya ada satu surau di kampung itu, sehingga orang kampung kami harus segera bersama-sama menuju kampung itu jika ingin beribadah. Sungai kecil dan jembatan akar yang diikat oleh Mak dan Bapak kami. Inilah jalan yang terus kami lewati sepulang tadarus. Ditemani pelita yang kami pegang dengan tangan kanan, sementara sisi tangan yang lain harus bergantung erat, bertaruh hidup dan mati, mengawal canda kami untuk bisa tadarus lagi keesokan malamnya. Kami lakukan ini setiap hari di bulan Ramadan sampai akhirnya sebuah kabar mengejutkan datang di

107


pertengahan Ramadan. Mak dan Bapak kami berkumpul di lapangan tengah kampung. Mak dan Bapak memang orang yang sibuk. Tak biasanya dia mau berleha-leha sepagi ini, berdiri dengan orang kampung lainnya. Banyak pekerjaan yang lebih penting dari berkerumun, sementara sawah masih belum di bajak, gagal panen pun sedang diintai oleh hujan yang terus menerus datang. Aku jadi teringat apa yang disebutkan Mak dan Bapak tadi malam. Mereka memang berbincang santai di beranda. “Besok Wak Labu datang dari kota. Orang-orang sudah sibuk menyiapkan acara penyambutan.” “Wak Labu, anaknya Datuk Husin?” “Ia dulu kan dia orang kampung kita. Semenjak bapaknya meninggal dia berangkat ke kota”. “Sekarang dia kembali lagi ke kampung kita? Untuk apa pak? Aku dengar dari orang-orang dia malah sudah sukses di sana. Jadi seorang tukang cukur yang laris malah”. “Ia makanya dia mau bangun kampung, katanya dia sudah punya cukup dana untuk membangun kampung”. Perbincangan mak dan bapak terhenti begitu saja. Memang nampak di raut mak bahwa ia sama sekali tak percaya jika Wak Labu yang sudah kaya mau datang lagi ke kampung, yang surau saja tak punya. Lain kulihat di wajah bapak, tatapannya mengabarkan hasrat kalau Wak Labu adalah manusia baik yang memang lahir dari rahim kampung dan akan membangun kampung. Lepas itu aku baru sadar mengapa orang-orang kampung mau berdiri, berlama-lama menegangkan urat kaki, padahal sedang berpuasa. Tak lama memang, 108


muncul seorang lelaki paruh baya, dengan guratan uban yang memenuhi rambutnya. Usia kepalanya lebih tua daripada wajahnya. Dengan pakaian yang necis persis orang kota, tatapan yang tajam dan senyum yang merona. Aku baru sadar bahwa memang layaknya aku berada di harapan yang bapak sampaikan juga. Memang Wak Labu inilah orang yang akan mengubah kampung kami. Ia disalami satu demi satu kepala adat kampung, berjalan ke tengah kerumunan, lalu menyampaikan sambutannya. Ia sudah begitu fasih berbahasa negara, ia tak lagi punya dialek kampung. Kota telah mengubah sejatinya Wak Labu dari kampung menjadi sebuah dimensi kota yang representatif. “Saya terharu dan bangga melihat kampung ini kembali. Saya berjanji akan membangun kampung ini. Saya dengar anak-anak kita sering mengaji di surau kampung seberang. Kasihan anak-anak kita, maka dari itu pembangunan awal di kampung kita akan membangun surau yang besar dan lengkap fasilitasnya.� Orang-orang melongo, seperti dihipnotis melihat janji-janji Wak Labu. Janji itu memang sangat menggiurkan, terutama untuk surau. Kami tak perlu lagi menyeberangi jembatan maut untuk mengaji. Kemudian mak dan bapak kami tak perlu cemas menunggu kami di rumah. Surau sudah terhampar imajinasinya di kepala kami semua. Wak Labu pun pergi dengan cekatan, seakan tidak meninggalkan kesempatan kepada kami, bertanya bentuk, kapan dibangun atau apakah kami harus membantunya mengerjakannya? Karena tidak mungkin ia mengerjakannya sendiri. Semuanya sudah hilang dengan sebentuk penasaran dari orang kota yang pulang ke rumah lamanya di ujung kampung. 109


Orang-orang bubar, melihat satu sama lain. Ada sisi dan sikap antara percaya atau tidak percaya, lalu mereka pergi ke ladang, sawah masing-masing. Mencari rezeki di tengah bulan suci, dengan kepala yang sedikit tergoyang oleh janji-janji surau untuk memulai kaji di kampung sendiri. Bapak dan mak pun kadang terhuyung, tatapannya jauh menatap sebuah bangu nan yang akan disongsong sebagai tempat mereka mengadu. *** Tak perlu hitungan hari. Wak Labu sudah mendatangkan tukang-tukangnya dari kota. Bukan main jumlah bahan bangunan untuk membangun surau ini, Wak Labu memesan ratusan sak semen, pasir kerikil pun bergantian diturunkan dari truk-truk kota. Kampung kami riuh, sepulang kerja orang-orang berdiri berjejer melihat perkembangan pembangunan surau kami. Memang Wak Labu juga tidak memperkenankan kami untuk membantunya. “Sudah ada tukang, saya tidak ingin memberatkan orang kampung�. Baik betul Wak Labu. Ia datang dengan segepok harapan tentang kepastian masa depan kami untuk menjadi lebih baik. Lantas kami pun duduk beralaskan tanah, melihat satu demi satu bentuk bangunan itu bisa diartikan. Sampai akhirnya kubah bulan dan bintang itu datang. Surau itu pun memang tampak megah, bersih dan mungkin tampak jauh lebih baik dari surau kampung seberang. Aku begitu senang, mak dan bapak apa lagi. Sepanjang makan mereka hanya menceritakan bagaimana rasanya masuk pertama kali esok hari. Aku juga larut dalam perbincangan itu, aku membawanya dalam mimpi 110


tidurku. Menjadikannya bunga mimpi terbaik dari seorang bocah. Esoknya lepas Magrib kami pun duduk bersila di dalam surau. Karpetnya begitu halus, corak dan motif kaligrafinya begitu molek. Kami masih terkagum-kagum melihat ke langit-langit surau. Lampu yang terpasang begitu berkilau, pasti semua didatangkan dari kota. Wak Labu memang paham betul mana barang yang mewah dan mahal. Semua orang kampung duduk termangu melihat kemilau surau ini. Wak Labu pun dengan bangga mengatakan, “Inilah surau kita�. Tetua-tetua kampung pun menyalami Wak Labu untuk kesekian kalinya. Mereka merasa terhutang budi dengan tukang cukur sukses dari kota ini. Sementara kami langsung memulai tadarus, bersama ustad kami. Kami memang sudah izin dengan ustad di surau kampung seberang. Dengan bangga kami katakan bahwa sebentar lagi kami akan memiliki surau sendiri. Kini kami mengaji di surau sendiri, dengan pengeras suara yang lantang sampai ke seluruh kampung, atau malah-malah suaranya bisa sampai ke kampung seberang, melewati derasnya sungai. Bergantian kami mengaji malam itu, diawasi oleh ustadz. Malam itu rasanya surga sudah berada di atas kepala. Kami bahagia tak tanggung kepalang, sampaisampai tak sabar menunggu giliran. Mak dan bapak dan beberapa orang kampung juga tak ingin pulang. Mereka mulai nyaman berlama-lama di dalam surau. Ada yang berbincang, sambil melirik ke arah bangunan yang disukainya. Ada yang duduk menyendiri dan macam bentuk sikap agar masih bisa menikmati bangunan ini. Wak Labu tak nampak, setelah bersalaman tadi ia 111


langsung hilang. Terlebih hujan datang dengan lebat dan cepat. Orang-orang kampung keluar, menaikkan sendalnya takut hanyut terbawa hujan. Kami terkurung di surau tak bisa pulang. Kami semakin semangat mengaji, kalau bisa khatam malam ini. Rasa gembira sudah membumbung di kepala sebab tak lagi pergi meniti jembatan di tengah pelita untuk sampai ke surau. Hujan semakin deras, ada seberkas cahaya yang masuk dan datang di teras masjid. Kami terus mengaji. Wak Labu masuk ke surau, tergopoh-gopoh dan memaksa orangorang kampung berdiri serta sekerlip mata memandang seakan menyambut seseorang. Wak Labu mengatur posisi orang kampung itu, berderet baris dan membisikkan ke mereka sebuah aturan penyambutan dengan senyum. Apa yang terjadi? Wak Labu lantas membuka, pintu sebuah mercy mewah dengan cahaya lampunya menembus masuk ke surau. Wak Labu meletakkan payung di atas kepalanya. Kami masih terus mengaji semakin lama semakin keras. Wak Labu memberi kode orang-orang untuk menyalami pria itu. Pria yang lebih necis dari Wak Labu. Wajahnya sering nampak di beberapa jalan protokol sebelum masuk kampung kami. orang-orang kampung pun turut menyalami pria itu. Wak Labu lantas memberi langkah pertama masuk surau pada pria itu, sementara orang-orang harus di belakangnya dan tak boleh mendahului. Cuaca semakin tidak karuan di luar dan akhirnya semua orang masuk ke dalam surau. Kami masih dengan ejaan dan bacaan khusuk kami. Lantas Wak Labu mengambil mic dari tanganku. Kebetulan itu adalah bagianku mengaji tapi aku tak memberikannya. 112


Aku belum selesai mengaji, lantas kenapa mic dipaksa diambil dari tanganku. Aku tak rela, sepintas mata aku menantang Wak Labu. Ia tetap saja menarik mic itu dariku. Namun orang-orang sudah duduk rapi, pria necis itu duduk istimewa di tengah. Aku masih mengaji, ayat demi ayat. Wak Labu, mungkin begitu geram. Ia langsung mencabut kabel mic. Suaraku mengaji tak lagi terdengar, Wak Labu langsung mengambil mic dan kembali menghidupkannya. “Inilah orang yang kita tunggu, Bapak Sungkono, salah seorang calon Bupati dari ...� Petir bermain gembira di langit. Kilat membelah langit. Badai menerjang kampung kami. Angin bertambahtambah kuatnya, semua hening. Listrik seketika padam, tak ada yang melihat wajah-wajah, hanya sekilat cahaya yang menampakkan wajah dan kepala yang membuat murka. Orang-orang berlari pulang, menyelamatkan dan berdiam diri di rumah masing-masing. Paginya tiang-tiang pancang surau roboh, tampak porak-poranda, padahal baru saja dibangun. Ada pula seorang warga berlari-lari, membawa surat kabar dari kota memampang wajah Wak Labu dan pria necis tadi malam. “Kasus pencucian uang calon Bupati membawa malapetaka�. Esok malam aku mengaji di surau kampung seberang dan berharap bisa khatam. ***

113


Rian Kurniawan Harahap Mahasiswa Pascasarjana Unri. Menulis cerpen di beberapa media lokal dan nasional.

---.---

114


Aminula oleh Griven

H Putra

P

ada bulan Syawal ini, kampung kami dikejutkan dengan kemunculan kembali Aminula yang menghilang tanpa berita sejak sepuluh tahun lalu. Bukan persoalan datang setelah menghilang yang dibicarakan orang, tapi kedatangannya ini membawa tingkah di luar kebiasaan banyak orang. Mulai minta maaf karena dulu pernah mencuri jambu, pisang, rambutan, mencuri anak ayam, hingga mencuri ikan di jaring, di lukah atau dalam sangkar penduduk. Ia juga minta maaf karena pernah mencuri sarung, sandal atau celana sempak penduduk. Pokoknya ia datang mengakui dosa-dosa yang ia lakukan di masa lalu kepada orang yang dianggapnya pernah membuatnya berdosa. Kalau memang barang yang dicurinya minta diganti, ia pun menggantinya. Kalau mereka memaafkan, ia pun senang, dan tersenyum sepanjang jalan. Kabarnya Aminula datang ke rumah penduduk pada saat senja sesudah berbuka atau lebih tepatnya seusai salat Magrib. Kalau merasa sudah dimaafkan atau 115


selesai utang piutang, Aminula pun mohon diri yang diantar dengan senyum cemooh sebagian orang yang didatanginya tersebut. Senyum yang diiringi kata, “Dasar bongak.” Tentang Aminula, kini umurnya diperkirakan sudah hampir 40 tahun karena kurasa umur kami tak jauh terpaut. Ibunya meninggal saat melahirkannya. Ia dipelihara adik emaknya karena ayahnya beristri lagi. Sesudah adik emaknya atau Makngahnya meninggal, Aminula pun tinggal di rumah keluarganya yang lain secara berganti-ganti hingga menghilang sepuluh tahun lalu. “Ada-ada saja ulah si Amin malam tadi,” kata Mak Irah bercerita pada beberapa perempuan di bawah pohon mangga di depan rumah kami. “Apa ulah si Amin yang mengada-ada itu, Rah?” tanya Mak Sariba pada Mak Irah. “Malam tadi, magrib-magrib ia datang ke rumah, minta ampun dosa karena dulu pernah mencuri telur ayam kami.” Ibu-ibu yang seperti arisan itu langsung tertawa ngakak mendengar penuturan Mak Irah tersebut. “Dasar bongak-alang, mengambil telur saja minta dimaafkan,” kata Mak Irah dengan bibir mencibir. Ibu-ibu yang lain kembali tertawa berderai, berdekahdekah. “Wui ada yang lebih hebat,” kata Tek Dao menghentikan tawa ibu-ibu itu. “Hmm. Apa itu, Da?” Tek Dao memperbaiki sanggulnya yang hampir terkucil. “Kabarnya kemarin ia datang ke rumah Mawar,” 116


suara Tek Dao mengecil. Berhenti sejenak. Wajahnya celingak-celinguk, memandang kir dan kanan. Ibu-ibu yang lain antusias menunggu kelanjutan cerita Tek Dao. “Cepatlah, Dao, macam Pak Wali mau minta sumbangan saja Awak ‘ni,” kata seorang ibu tak sabar. Ibu-ibu yang lain kembali tertawa. “Ya. Cepatlah Dao!” kata yang lain pula mendesak. “Ia minta maaf pada Yatni dan suaminya.” “Karena apa?” tanya Mak Sariba tak sabar. “Karena dulu pernah mengintip Yatni tidur.” Tawa ibu-ibu kembali terbakah-bakah. Mereka ketawa seperti hampir terkencing-kencing. Air mata mereka keluar. “Lalu apa kata Zali?” tanya Mak Sariba lagi sambil mengusap matanya yang berair usai tertawa. “Sebagai suami, tentulah Zali marah besar. Sampai kini kabarnya Zali masih merajuk.” “Kenapa pula sampai merajuk karena itu?” Tawa ibu-ibu semakin kuat. Mereka lupa kalau sekarang masih bulan puasa. “Entahlah.” “Lalu Aminula?” “Melihat Zali mau mengambil parang panjang, Aminula langsung angkat kaki dari rumah itu. Terjun tak bertangga,” kata Tek Dao yang disambut tawa ibu-ibu yang semakin berdekah-dekah, terpingkal-pingkal. Ibu-ibu yang berkumpul di bawah pohon mempelam di depan rumah kami tak kering ketawa. Siang ini mereka seolah kenyang oleh tawa. Aku nikmat sekali menguping gosip ibu-ibu kampung melalui dinding papan rumah 117


emak yang bocor. Aku merasa penasaran mendengar cerita tentang Aminula tersebut. Aku ingin tahu apa yang terjadi pada si Amin. Aku tak menyangka ia begitu. Usai shalat Magrib aku langsung turun mencari di rumah siapa malam ini Aminula singgah. Aku coba berjalan menuju ke hilir. Di depan setiap rumah yang terbuka pintunya aku berhenti, mengintip dari jauh, memastikan apakah mereka kedatangan Aminula. Walaupun sudah hampir separuh kampung kulalui, Aminula belum juga kutemukan. Timbul juga rasa ragu untuk melanjutkan perjalanan karena renyai mulai turun setitik-setitik, tapi akhirnya kukuatkan juga tekad untuk menemukannya. Batinku gelisah kalau Jumat malam ini tak bisa menemukan si Amin, sebab kalau tak ada aral, esok, Sabtu pagi akan kembali ke kota, ke tempat aku bekerja. Seperti dituntun, aku berjalan menuju rumah Aminula yang telah lama ditinggalkan. Seperti galibnya rumah tinggal, malam ini tentulah gelap meruap di mana-mana. Kunaiki tangga rumah hati-hati. Kucoba menguak daun pintu. Derit pintu di tengah gerimis yang mulai membesar membuat suasana menjadi lain malam ini. Dengan perasaan takut dan penasaran, kulongokkan kepala ke dalam pelan-pelan. Bau bangkai menyeruak. Kupetik kontak lampu senter. Cahaya senter kuarahkan ke sekeliling, ke depan, ke samping, ke bawah dan ke atas. Kosong. Gelap. Hati-hati, kuraba ke dalam, ke ruang kosong, jaring laba-laba memuntal tangan kananku. Hidungku

118


semakin dicucuk bau bangkai, mungkin tikus yang baru mati karena diracun orang rumah sebelah. Lampu senterku tiba-tiba padam. Kumainkan kontaknya ke depan dan ke belakang. Tetap tak mau nyala. Kupukul-pukulkan kepala senter ke telapak tangan kiri mana tahu bola senter kurang pas. Masih belum menyala. Bermacam bagai rasa tiba-tiba memenuhi batinku. Aku memutar badan, menuruni tangga, tapi tiba-tiba seperti ada tangan besar menarik dan mencengkram bahuku dari belakang. Mulutku terkunci. Jantungku berdebar semakin tak teratur. Kucoba memutar badan sekuat bisa. Tapi tetap tak bisa. Akhirnya aku menurut, berjalan mundur mengikuti tangan besar itu ke dalam rumah. Aku mulai merasa takut yang amat kuat. Tiba- tiba dalam gelap-mengakap, di depanku timbul cahaya berwarna-warni yang tak bisa kunamai. Warna yang muncul tidak saja kuning, putih, hijau, biru, ungu dan warna-warna biasa yang berkilauan tapi ada warna baru yang belum pernah aku lihat seumur hidup. Di samping kilauan cahaya warna-warni yang memancar saling berganti, kini hidungku tidak lagi ditusuk bau bangkai tikus tapi disapa wangi yang belum pernah aku hidu seumur hidup. Aku terpana, rasa takut dan berbagai rasa yang tak enak tiba-tiba hilang. Entah sudah berapa lama berjalan mundur, telingaku mendengar berbagai kicau burung lalu berubah menjadi musik yang amat aneh. Aku juga belum pernah mendengarkan denting dari dawai gitar, biola, akordion, seruling atau harfa siapapun yang menghasilkan bunyi seperti ini. Semakin lama semakin menyayat.

119


Tubuhku kini seolah dibawa ke atas, menembus langit lorong. Semakin lama semakin tinggi. Kini aku seolah mengendarai cahaya yang diiringi bunyi-bunyian aneh dan aroma harum yang entah berasal dari mana. Setelah sekian lama seperti itu, aku berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan besar dan kuat di bahuku. Kucoba membaca seluruh mantra dan ayatayat suci untuk mengusir kalau barangkali tangan besar yang mencengkeram ini merupakan jelmaan jin atau jembalang setan. Namun semakin banyak mantra doa dan ayat suci kubaca semakin besar saja rasanya tangan di bahuku, dan cengkeramannya semakin lekat dan kuat. Ketakutanku semakin bertambah. Akhirnya aku pun memasrahkan diri. Aku berzikir dalam hati. Aku biarkan diriku tak berdaya. Lagi-lagi hal aneh terjadi lagi. Semakin pasrah, makin ringan dan kecil pula rasanya tangan besar di bahuku. Merasa begitu, kucoba menenangkan diri, dan membiarkan diriku dalam hampa dan tak punya kuasa. Ternyata strategiku berhasil. Kini aku bebas. Tangan besar yang menggangguku terlepas. Aku langsung membalik ke belakang. Melihat siapa sesungguhnya yang tadi memegang pundakku. Aminula? Aku terkejut. Aku lihat tangannya, biasa saja. Kupandang wajahnya sekali lagi. Betapa sangat terkejutnya aku karena rupanya kini Aminula tiba-tiba sudah memakai sorban dan jubah putih dengan janggut keperakan. Kulihat ke bawah, ke tangannya, kini sudah tergayut pula sehelai tasbih berwarna keemasan. Di sekelilingnya pun perlahan diliputi sorot cahaya yang warnanya bergonta-ganti menyilaukan pandangan. Aminula tersenyum. Jantungku berdebar melihat senyum Aminula. Sebaris giginya bercahaya. Aku 120


tertunduk. Mataku tak sanggup melihat cahaya-cahaya yang berpancaran dari gigi Aminula yang tak teratur. Aku berupaya menaikkan wajah tapi terasa berat. Seolah ada sinar terang mencawang panas di hadapanku. Aku betul-betul tak sanggup menatap ke arah Aminula. Semakin lama tubuhnya terasa semakin panas bercahaya. Mataku serasa mau terbakar. Setelah hawa panas hilang, kubuka mata, rupanya Aminula tak ada lagi. Tak lama kemudian aku melihat ke bawah, segerombolan ibu-ibu tercungap-cungap di permukaan laut seperti akan tenggelam. Mereka melambai, melolong-lolong minta pertolongan pada Aminula padahal Aminula sudah tidak ada lagi. Aku berusaha ke tempat mereka tapi tak kuat. Tangan dan kakiku serasa kejang. Kudengar terus pekikpingkau mereka memanggil-manggil minta tolong. Suara mereka seperti suara Mak Irah, Mak Sariba dan ibu-ibu yang ngerumpi tentang Aminula di depan rumah kami kemarin. *** “Her. Sadar, Nak. Sadar.” Kubuka mata, rupanya ada emak dan banyak sekali orang di sekelilingku. Betapa malu rasanya dikelilingi orang-orang, apalagi dalam posisi tertelentang begini. Aku duduk. “Ada apa dengan saya, Wak?” “Kamu ditemukan di rumah Aminula dalam keadaan pingsan. Mengapa...” “Mak Sariba dan Mak Irah di mana?” Aku potong pertanyaan Wak Basil.

121


Orang-orang di sekelilingku saling pandang. Mereka seperti terkejut mendengar pertanyaanku. “Mereka tadi pagi dibawa ke rumah sakit karena mencret dan muntah-muntah,� jelas Wak Basil beberapa saat kemudian sambil melihatku dengan pandangan ganjil. “Kabarnya mereka terus menceracau, menyebutnyebut nama Aminula,� sambung Wak Basil lagi. Aminula? Aku termenung, mencoba mengingat kejadian semalam. Apakah Mak Sariba dan kawankawannya kena tulah karena menggunjingkan Aminula kemarin? Dan betulkah Aminula bongak-alang seperti yang diceritakan orang-orang kampung kami? Tapi mengapa kini ia berprilaku dan datang dalam pingsanku seperti orang keramat yang selalu diceritakan orang tuatua kepada kami semasa kanak-kanak dahulu? Apakah di bulan puasa tahun ini Aminula mendapat lailatul qadar? *** Griven H Putra Sastrawan Riau yang rajin menulis cerpen, esai, cerita rakyat. Bermastautin di Kota Bertuah Pekanbaru.

---.---

122


Buzar Pemberontak oleh Hang Kafrawi

B

uzar tidak mampu lagi menyembunyikan kekesalannya ke dalam lubuk hati. Padahal selama ini Buzar dikenal oleh orang kampung sebagai orang yang paling sabar berhadapan dengan berbagai permasalahan. Bayangkan saja, ketika kebun getah pusaka milik Buzar yang ia dapat dari warisan ebahnya dilantak oleh perusahaan minyak tanpa ganti rugi, Buzar masih tetap tersenyum. Bagi Buzar, kepentingan orang banyak lebih penting dibandingkan kepentingan pribadi. Buzar meyakini bahwa perusahaan minyak yang melantak kebunnya akan membagi hasil mereka kepada negara ini, tentu saja negara akan membagikan kepada rakyatnya. Selain itu Buzar juga menyadari bahwa kekayaan di dunia ini adalah titipan dari Allah dan hanya bersifat sementara. Buzar selalu bersyukur, apabila miliknya digunakan untuk kepentingan orang banyak. Tidak ada satu pun kesenangan bagi Buzar, selain miliknya dapat dimanfaatkan oleh orang banyak. Kebahagiaan juga bersemai di hati Buzar, ketika 123


di atas sebidang tanah miliknya dibangun tower untuk televisi milik negera ini. Hati Buzar berbungabunga, sebab selama ini cuma siaran televisi Malaysia saja yang bisa dinikmati oleh penduduk kampung, sehingga perkembangan negera tetangga lebih diketahui dibandingkan negara sendiri. Dengan hadirnya tower tersebut, Buzar dan warga kampung dapat mengetahui perkembangan negara sendiri dan tentu saja kecintaan terhadap tanah air semakin mendalam. Buzar berprinsip bahwa cinta tanah air melebihi cinta kepada diri sendiri. Untuk itulah Buzar memberikan tanahnya tanpa dibayar sepeser pun. Buzar selalu menceritakan kepada orang-orang kampung bagaimana kehebatan negara ini, baik dalam pembangunan maupun dalam menyejahterakan rakyatnya. Negara ini, kata Buzar, tidak sama dengan negera lain. Buzar membandingkan dengan negara-negara lain yang selalu saja dilanda peperangan antara saudara, kelaparan, penyakit polio, demam berdarah, bahkan sampai-sampai perebutan kekuasaan selalu dengan pertumpahan darah. Buzar meyakinkan orang-orang kampung bahwa negera kita terbebas dari semuannya itu. Kata Buzar lagi, negera kita ini adalah negara yang paling sejahtera, paling makmur dan paling aman. Kini Buzar tidak dapat membendung amarahnya. Pengorbanan dan kebanggaannyta sebagai warga negera ini lesap begitu saja. Ia menyesali dirinya sendiri terlahir di negara ini. Ia tidak menyangka bahwa ia telah tertipu. Ketulusan dan pengorbanan untuk negera ini tidak berguna sama sekali. Buzar tidak pernah berharap, pengorbanan dan kecintaan kepada negara dibalas dengan penghormatan 124


dan penghargaan terhadap dirinya. Buzar tidak pernah berkecil hati, ketika ia tidak diperkenalkan dengan rombongan Menteri beserta Gubernur, Bupati dan juga Anggota DPRD saat mereka berkunjung dan melihat perusahaan minyak yang beroperasi di kampungnya. Bagi Buzar kebangaan menjadi rakyat adalah menyumbang yang terbaik untuk negara ini. Dan Buzar masih berpegang teguh kata-kata ebahnya: jangan berharap balasan dari perbuatan yang telah dilakukan. Biarlah perbuatan itu bersemi dalam diri sendiri saja. Kecintaan terhadap negara ini menjadi api yang terus menyulat dalam diri Buzar. Ia tidak terima dengan kenyataan yang baru saja menikam jantung, perasaan, hati dan juga pikirannya. Sebagai warga negera ini, Buzar meyakini bahwa ia juga berhak menciptakan senyuman dan kebahagiaan orang lain, terutama dirinya. Untuk apa pengorbanan, kalau pengorbanan itu hanya menjadi embun di siang hari? Lebih menyakitkan lagi; pengorbanan itu hanya dinikmati oleh orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan, sementara rakyat menderita. Buzar tidak habis pikir, kenapa negara ini menjadi makelar bagi rakyatnya? Kejadian itu baru diketahui Buzar ketika ia melihat tayangan televisi milik negara ini. Pada tayangan itu, Buzar meyaksikan ratusan rakyat mati kelaparan dan anak-anak diserang busung lapar, demam berdarah, folio dan juga penyakit mematikan yang belum ditemukan cara pengobatannya. Mata Buzar seperti anak panah meluncur ke layar televisi. Buzar juga tidak menyangka bahwa orang-orang yang mendiami negara ini tidak memiliki hati nurani. Dalam keadaan kesengsaraan, kepedihan dan kepiluan menusuk rakyat, 125


para pemilik kekuasaan sibuk menghitung kekayaan yang akan mereka dapatkan dari pekerjaan mereka membela rakyat yang tidak berdaya. Selain itu, pemilik kekuasaan juga pusing mencari cara untuk tetap berkunjung ke negara lain untuk sebuah alasan memandingkan negara ini dengan negara lain. Kemarahan Buzar semakin bergelora, ketika stasiun televisi milik negara ini menayangkan kehidupan kotakota basar yang sangat jauh berbeda dengan kehidupan yang ia jalani di kampung ini. Tanpa disadari Buzar, air matanya mengalir deras dari matanya. Buzar terbayang Leman dengan susah payah bekerja menjual atap rumbia untuk menghidupi keluarganya. Dari hasil penjualan atap itu, Leman hanya mendapat lima ribu rupiah per hari. Dengan uang itulah Leman memilah-milah biaya makan lima anggota keluarganya dan biaya berobat anak bungsunya. Dari tayangan stasiun teleivisi itu juga, Buzar baru menyadari bahwa kampungnya tidak ada apa-apanya dan bahkan keberadaan kampungnya terlintas pun tidak di benak orang-orang kota. Padahal dari kampunglah kota-kota di bangun. Buzar betul-betul tidak menyangka bahwa pengorbanannya selama ini tidak berguna. Buzar mengigit bibir bawahnya keras-keras. Ia tidak merasakan sakit sedikit pun, karena tayangan di stasiun televisi itu lebih menyakitkan. Ketidakadilan yang baru saja ia ketahui menyelinap masuk ke tubuhnya dan mengalir bersama darahnya menciptakan gelombang memporakperandakan benteng keikhlasan. Buzar merasakan dirinya terasing di hamparan kematian dengan beribu burung gagak menyayat dagingnya. Buzar ingin berteriak, tapi mulutnya tak mampu mengalahkan 126


derasnya air mata yang meluncur ke pipinya. Setelah air mata mengalir seperti air sungai menuju lautan, perlambangan apalagi untuk suatu kesedihan? Air mata kadang kala membawa manusia mengenal dirinya lebih dekat lagi dan Buzar menemukan dirinya yang lain. Diri yang berkeinginan menebas segala ketidakadilan dengan perlawanan. Air mata yang menakung di mata Buzar seperti mutiara, bercahaya menerkam kegelapan di hadapannya. Buzar berlari ke belakang rumahnya. Ia pun mengambil kapak yang terletak di bawah kompor minyak tanah. Mata Buzar terbelalak seketika, dadanya turun naik dengan cepatnya. Nafasnya tidak teratur. Ia tatap dalam-dalam kapak di tangannya, lalu ia pun berteriak. “Jahanam kalian semua!� Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Buzar berlari ke luar rumah menunju tower di atas tanah miliknya. Di sepanjang jalan orang-orang terkejut melihat Buzar dengan kapak di tangannya. Orang-orang pun mengikuti Buzar dari belakang. Sampai di tower tersebut, Buzar pun mengayunkan kapak dengan kedua belah tangannya. Bunyi besi beradu pun terdengar nyaring. Buzar tidak berpuas hati, dia pun melayangkan kembali kapak tersebut ke besi tower. Berulang-ulang kali ia lakukan hal itu dengan kemarahan yang paling marah. Orang kampung semakin ramai menyaksikan kemarahan Buzar. Mereka tidak berani menegur, sebab mereka tahu betul, kalau Buzar suadh seperti itu, tidak satu pun yang dapat menghentikannya. Salah-salah, orang yang menegur akan mendapat binasa.

127


Bunyi besi beradu semakin nyaring terdengar. Buzar benar-benar tidak mampu dikendalikan lagi. Tiba-tiba bunyi letusan dari pistol meredakan semuanya. Kapak di tangan Buzar pun terlepas. Orang-orang serantak membuka mulut, terkejut. Beberapa saat jatuhnya kapak ke tanah, tubuh Buzar pun rubuh. Tangan kanan Buzar memegang dada. Darah segar mengalir dari celah-celah jari tangannya. Mata dan mulut Buzar terbuka lebar. Sesaat kemudian, tubuh Buzar pun tidak bergerak lagi. Orang-orang terdiam, tidak mampu berbuat apa-apa, selain menatap tubuh Buzar yang dipenuhi darah segar. ***

Hang Kafrawi Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Unilak. Selain sebagai dosen, ia juga menjadi Ketua Teater Matan. Aktif di dunia teater dan sastra Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau.

---.---

128


Kota Balik Bukit oleh Ilham

Fauzi

D

i balik bukit yang memagari kampung kami, aku, Mono, dan Siman percaya terdapat sebuah kota. Di pikiran kami bersileweran keramaian yang tidak ada di kampung kami yang sunyi dan terpencil. Keyakinan kami akan keberadaan kota di balik bukit bukan mengada-ada. Mono selalu memendam keinginan membawa anjingnya ke atas bukit. Ia tidak sabar melihat ketangkasan si Joki yang telaten ia rawat. Hingga saat ini, tiap kali ia meminta pada ayahnya untuk membuktikannya di hari berburu pada hari Sabtu, tiap itu pula ayahnya menolak. Ketika kali ini di hari Sabtu tanggal merah, Mono tidak dapat lagi menahan keinginannya. Ia mengajakku dan Siman pergi diam-diam mengikuti rombongan orang dewasa. Siman enggan karena ia tidak tertarik dengan perihal anjing yang sangat digemari Mono. Bagiku sendiri, mengapa Mono dengan mudah melupakan petuah yang melarang kami naik ke atas bukit. Namun Mono punya cara menyikapi ketidakmauan aku dan Siman. Ia merayu Siman dengan menyediakan sekantong makanan selama

129


perjalanan. Siman tertarik dan tak mengelak lagi. Namun untukku yang tidak bisa disogok, Mono mengalah. Aku dan Siman menemaninya hanya sampai kaki bukit. Meski kecewa tidak bisa mengajak kami naik ke atas bukit, wajah Mono tetap menunjukkan raut senang. Kami memutuskan di pagi Sabtu itu pergi ke kaki bukit. Pandanganku dan Mono tertuju pada anjing berburu yang besar dan menggonggong dengan keras. Siman bersandar kelelahan pada pohon Kersen. Sedikit demi sedikit iringan orang yang menuju bukit mulai menjauh meninggalkan kami. Para lelaki dewasa mengingatkan kepada untuk meninggalkan kaki bukit. Begitu suasana telah lengang, segera kuajak Mono dan Siman pulang. Siman bangkit dengan gerakan yang lambat. Mono masih diam mematung. “Apalagi yang ditunggu?” desakku pada Mono. “Aku mendengar suara, tetapi masih samar-samar,” sahut Mono ragu. “Jangan dipedulikan. Itu hanya halusinasimu!” sergahku cepat. Mono tidak menggubris memerhatikan sambil menguap.

sementara

Siman

“Aku mulai mendengar sayup suara kendaraan, sepertinya suara mobil,” ucap Mono membuatku heran. Siman serta-merta menatap Mono dengan muka penasaran. “Suaranya mulai bising, lalu...” Mono berhenti sejenak. “ada suara klakson mobil dan motor yang saling bersahutan, derum kendaraan besar yang bergemuruh, dan...” Mono menggantung kata-katanya dengan mata tidak berkedip. Tetapi hanya sesaat, mata itu kembali 130


berkedip. “Kau mendengar apa?” buru Siman tidak sabar. “Ada gelak tawa anak-anak. Keras sekali.” Aku masih ragu dengan ucapan Mono. “Ayolah, jangan terlalu lama di sini. Itu hanya perasaan kau saja!” sanggahku sambil mendorong bahu Mono agar dia segera beranjak. Bukannya mengiyakan ajakanku, Siman juga mulai terpaku. Tak lama ia bersuara. “Aku juga mendengar suara yang kau katakan.” Mono tergelak kecil lalu mengangguk. “Ada kota di balik bukit itu. Kita harus membuktikannya!” ucapnya dengan nada penuh kemenangan. Ketika kebingungan masih mendera pikiranku, perlahan-lahan telingaku menangkap suara yang begitu pelan lalu makin lama makin terdengar jelas. Suara itu seperti suara yang didengar Mono dan Siman. *** Pulang dari kaki bukit, kami bermain guli di halam rumah Mono. Begitu sore datang, rombongan orang dewasa tampak ramai turun bukit sambil memegang tali anjing masing-masing. Ketika pamannya Mono, Pak Ngah Suki lewat, kami mendekat hendak bertanya sesuatu. Pak Ngah Suki berhenti dan mengambil posisi duduk. Kami menanyakan perihal keberadaan kota seperti yang kami dengar tadi pagi. Sebelum dari mulutnya keluar ucapan, Pak Ngah Suki menghela napas dan melepas topi koboinya yang lusuh. “Tidak ada apa-apa di balik bukit itu. Tidak ada kota yang kalian impikan,” jawab Pak Ngah Suki dengan wajah tenang. 131


“Tapi...” kamu hendak mau memprotes. “Sudahlah. Tidak apapun. Kalian harus percaya itu,” lanjut Pak Ngah Suki sambil bangkit dari duduknya dan berlalu. Kami tetap tidak percaya dengan apa yang dikatakan Pak Ngah Suki begitu pun pada pesan orang-orang tua yang kerap kami dengar. Maka aku, Mono, dan Siman memutuskan untuk membuktikannya Sabtu depan. Kami mengumpulkan uang receh yang seharusnya dapat kami gunakan untuk jajan untuk dibelanjakan di kota nanti. Aku mendapat tugas menyimpan koin tersebut. Sebelum rencana itu terlaksana, maka aku memberitahu abangku, Rodin. Dia biasanya tidak banyak larangan, tetapi lebih menyerahkan keputusan kepadaku dan resikonya harus ditanggung sendiri. Begitulah dia bersikap kepadaku dan aku merasa sepaham dengannya dibanding ibu atau bapak. “Kau tidak lupa bahwa siapapun anak di bawah umur lima belas tahun yang pergi ke sana biasanya tak akan kembali?” ia menatapku tajam. “Tapi kami sangat ingin ke sana,” sahutku sambil menunduk. “Itu bukan suara kota yang sesungguhnya yang kalian dengar. Makhluk bunian bukit itu mempengaruhi kalian dengan suara kota karena mereka memiliki kesempatan,” lanjut abangku memberi penjelasan. “Lalu apa yang harus kami lakukan?” tanyaku tidak memedulikan perkataannya. Tampak gurat keraguan dari wajah abangku itu. “Aku sebenarnya tak mengizinkan kau pergi. Kalau keinginan kalian sudah kuat, bagaimana lagi. Ada beberapa hal yang 132


harus kau ingat dan tidak boleh dilakukan selama kalian menaiki bukit. Setidaknya hal ini masih membuat kalian aman walau kemungkinannya kecil,” ujarnya menghela napas berat. “Apa itu?” tanyaku mendongak menatap wajahnya. Ia mengatakan beberapa hal yang harus selalu kuingat. Aku melihat cahaya redup di matanya. Namun aku tetap bersikukuh pada rencana yang telah aku sepakati bersama Mono dan Siman. *** “Pesan abangku, ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan. Kalian harus ingat baik-baik agar tidak lupa!” ucapku keras agar Mono dan Siman menyimak dengan baik. “Ya, katakanlah!” sahut Mono dengan enggan. Bola matanya tidak fokus menatapku. Ia terlihat tidak sabar lagi. Sedangkan Siman sibuk dengan kacang di tangannya. Meski agak ragu Mono dan Siman memahaminya dengan baik, aku mengatakan juga pesan-pesan itu. Mono mengangguk, begitu juga Siman. Kami berjalan beriringan. Setelah beberapa meter mengikuti jalan setapak yang telah ada, kami berbelok dan membuat jalan baru agar tidak bertemu orang dewasa. Hal baiknya memilih hari yang sama dengan orang berburu, keberadaan kami tidak akan begitu jelas diketahui. Beberapa kali aku dan Mono menggunakan parang menyingkirkan semak. Kami kemudian berhenti di sebuah aliran air. Aku meneguk air jernih yang mengalir tenang lalu menaiki sebuah cabang pohon. Aman, tidak ada tanda-tanda orang dewasa mengetahui keberadaan kami.

133


“Ayolah, jangan berlama-lama. Puncak bukit hampir dekat dan kita akan melihat kota,” ujarku menyemangati Mono dan Siman yang bersandar kelelahan. Siman bangkit dengan malas-malasan. Mono berjongkok mendekati aliran air hendak menghilangkan dahaganya. Namun bukannya meneguk air seperti yang aku kira, Mono melakukan larangan seperti yang dipesankan Bang Rodin. “Jangan lakukan itu!” aku berteriak keras. Terlambat, air seni Mono telah bercampur dengan aliran air. “Tidak apalah. Kau ini terlalu nyinyir!” balas Mono tak mau disalahkan. “Apa kau tidak mengingat apa yang aku katakan tadi?” ujarku dongkol. Mono diam saja. Ia segera bangkit dan berjalan paling depan. “Sudahlah, lupakan saja. Semakin cepat kita menemukan kota, maka segala kekhawatiranmu akan hilang,” ucap Siman sambil menepuk pundakku. *** Perjalanan terasa cepat dibanding yang kami kira. Mono mencapai puncak lebih dulu. Rimbunan daundaun yang belum pernah tersentuh dan jejak jalan setapak yang tidak ada, benar-benar membuktikan bahwa orang dewasa belum pernah sampai ke sini. Bunyi gemerisik hewan hutan yang terdengar secara tiba-tiba, membuatku sempat khawatir jika sekawanan babi tetiba datang menghampiri. Tapi untunglah tak ada pertanda kehadiran mereka. “Mengapa tidak ada keberadaan ko...” kalimatku terpotong oleh ucapan Mono. 134


“Lihat baik-baik!” seru Mono. “Ya, aku melihatnya!” wajah Siman berseri dan dengan segera bangkit dari duduknya. “lihatlah! Seperti yang kita duga orang dewasa memang merahasiakannya,” lanjut Siman sambil mengikuti Mono yang mulai menuruni balik bukit. Aku masih terpaku melihat Mono dan Siman yang terus menuruni balik bukit. Aku tidak melihat apapun. Bagaimana mungkin penglihatan kami bisa berbeda. Lalu aku teringat pada uang receh yang telah kami kumpulkan. Aku meraba memastikan apakah masih tersimpan aman di saku. Wajahku berkerut begitu uang itu disentuh, mereka berjatuhan dan menggelinding ke bawah bukit menuju arah kampung. Ketika itulah aku melihat keberadaan kota di balik bukit. Mobil dan motor melintasi jalan, toko-toko berderet, lalu wahana permainan yang berisik. Seluruh kesibukan kota berjalan tanpa satu pun terlihat kehadiran sosok manusia. Begitu saja langkahku mulai mengikuti Mono dan Siman yang semakin mendekati kota. Tibatiba sesuatu berkelebat di benakku. Kami tak mungkin menjalankan rencana di kota karena uang recehan itu telah pergi memberi kabar bahwa kami tak lagi kembali. ***

135


Ilham Fauzi Alumni UIN Suska Riau. Pernah bergiat di FLP Cabang Pekanbaru. Cerpennya termaktub dalam 100 Tahun Cerpen Riau (Disbudpar Riau, 2014) dan Matinya Lelaki yang Mencintai Peri (AG Publishing, 2014). Surel di fauziilham 28@yahoo.com.

---.---

136


Idealis oleh Delvi Adri

S

irene polisi mendengung di mana-mana. Teriakan reformasi membakar keadaan yang semakin mencekam. Ribuan Polisi berjejer dibantu personil TNI dengan gagah menembak para demonstran secara membabi buta. Sesekali sempat terdengar desing peluru disambut teriak kesakitan dari arah demonstran. Dari kejauhan aku melihat sudah ada korban yang berjatuhan. Entah itu rekan-rekan dari mahasiswa, wartawan atau warga yang ikut bergabung dengan para mahasiswa. Atau mungkin para preman yang dibayar untuk memperburuk keadaan. Suasana yang tadinya kondusif, seketika berubah menjadi neraka. Bau amis darah sangat jelas tercium sepanjang jalan. Hingga malam datang, akhirnya para demonstran berhasil dipukul mundur oleh aparat. Tapi itu belum berakhir, keesokan harinya kami kembali dengan massa yang lebih besar. Begitulah kau menceritakan kejadian hari itu sembari merebahkan badan di bangku kesayanganmu, lalu menyeruput kopi hangat sambil menyaksikan pemberitaan di layar televisi.

137


Sering ku dapati kau pulang larut malam dengan luka memar di sekujur tubuhmu lengkap dengan baju sobek mirip pengemis yang selalu mangkal di perempatan jalan itu. Semula, aku menduga kau terlibat tawuran yang seperti sudah menjadi budaya di negeri ini. Mulai dari pelajar, warga, sampai pejabat, semua gemar tawuran. Bisa dilihat saat sidang paripurna, mereka dengan gagah unjuk kejantanan masing-masing. Bahkan ada juga yang sempat adu jotos. Seakan tidak mau kalah, para pelajar pun dengan gagah berkacak pinggang di jalanan, menunggu siapa nanti yang akan mereka tebas. Jika dipikir-pikir tidak ada bedanya demonstrasi yang sering kau lakukan dengan tawuran-tawuran yang hampir tiap hari kutemui di jalanan. Kadang aku teringat film kegemaranku yang menceritakan pertikaian sukusuku primitif di pedalaman. Saling bantai-membantai. Mungkin ini sudah menjadi budaya turun-temurun di negeri ini. “Demo lagi?â€? tanyaku. Kau hanya diam, lalu beranjak ke kamarmu. Aku hanya bisa berdoa agar kau selamat setiap kau turun ke jalan, yang katamu untuk memperjuankan hak rakyat. Aku tahu idealisme dipikiranmu masih benar-benar murni. Pernah aku melarangmu. Lagi-lagi kau hanya diam. Esoknya kudapati lagi tubuhmu penuh luka memar. Kita sering kali terlibat perdebatan hingga larut malam. Bahkan tak jarang kita  sanggup berjaga hingga fajar, sekedar membahas persoalan demonstrasi yang menjadi kegemaranmu. Tetapi, entah mengapa pagi itu aku ingin sekali memarahimu. Mungkin karena kecemasanku berlebihan padamu. Mungkin juga karena aku tak ingin kau mati konyol di jalanan. 138


“Apa yang kau harap dari aksi-aksimu itu?” bentakku. “Kami memperjuangkan nasib rakyat yang dirampas pemerintah,” Jawabmu. “Apakah dengan cara anarkis seperti itu?” Kau diam lalu buru-buru pamit. *** Aku sangat terpukul oleh peristiwa yang kau alami. Bau kematian yang menyengat mengisi tiap sudut kota. Mahasiswa, kelompok buruh, petani dan warga sipil lainnya turun ke jalan untuk memperjuangkan hak-hak yang telah dirampas oleh pemerintah. Aku terpukul oleh pemikiranmu yang ingin menyuarakan kegundahankegundahan, agar merdeka, agar terlepas dari penjajahan yang dilakukan oleh pemimpin bangsa ini. Langit kota diselimuti asap sisa pembakaran banban bekas serta ratusan kendaraan yang dibakar. Orangorang dengan beringas seperti kesetanan membakar apa pun yang terparkir di jalan, membakar gedung-gedung milik pemerintah, merusak toko-toko dan menjarah isiisinya. Yang lebih parah lagi, aku menyaksikan mayat perempuan setengah telanjang terbujur kaku di sudut pertokoan. Barangkali korban perkosaan orang-orang biadab yang memanfaatkan situasi. Lalu, apakah kau pikir nasib rakyat berubah setelah apa yang telah terjadi? Dua minggu yang lalu kudapati seorang ayah yang diwawancarai di televisi. Dia mencari keadilan untuk anaknya yang tewas ditabrak oknum Polisi. Aku tahu yang dilakukannya hanyalah sia-sia. Banyak lagi yang ingin kuceritakan padamu. Tentang sendal jepit yang dicuri AAL, tentang buah kakao yang dipungut seorang nenek. Dan banyak lagi yang harus kau tahu. Negeri ini

139


hanyalah untuk orang-orang tertentu. Yang jelas bukan untuk orang-orang seperti kita. Aku sadar, tidak mungkin bagiku untuk mencari keadilan di negeri ini. Kau tahu kenapa? Ya. Keadilan itu mahal. Aku tidak punya banyak uang untuk membelinya. Kau pernah memintaku untuk bercerita apa sebenarnya yang terjadi pada ayahmu. Kau memaksaku kembali pada masa itu. “Baiklah, jika itu yang kau inginkan,” kataku kala itu. Kau hanya diam mendengar ceritaku. Sesekali kau meneteskan air mata. “Ayahmu sama sepertimu. Memiliki idealis yang tinggi. Siang sebelum kejadian itu, ayahmu berhasil mengumpulkan ratusan orang. Itu termasuk gabungan buruh, petani dan warga sipil lainnya dari berbagai daerah yang ikut berpartisipasi untuk berdemo. Jumlah itu belum termasuk mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam berbagai organisasi dan ormas-ormas yang ada saat itu.“Aku memaparkan semua. “Lalu, apa peran ayah saat itu? ” tanyamu sembari kau mengusap wajah ayahmu pada potret yang mulai usang. “Ayahmu ditunjuk sebagai penggerak masa sekaligus orator oleh organisasi penentang pemerintah kala itu. Ayahmu orang hebat dan pemberani. Ia selalu berada di barisan terdepan. Meski pendidikannya hanya tamatan Sekolah Rakyat, Ia mampu menggerakkan massa sebesar itu. Saat matahari tepat di atas ubun-ubun kami semua berkumpul di sebuah lapangan sebelum memulai aksi,” “Lalu apa yang terjadi pada ayah? “ kau mencercahku dengan pertanyaan itu. “Sudahlah! aku tak ingin lagi mengingat peristiwa 140


itu.“ Kataku sedikit membentakmu. Namun kau tetap memaksaku untuk menceritakannya. “Malam setelah aksi siang itu dibubarkan paksa oleh ribuan Tentara dan Polisi, aku mendatangi rumah ayahmu. Ibumu mengatakan ayahmu pamit ke Masjid untuk sholat. Namun semenjak itu ayahmu tak pernah kembali. Banyak yang mengatakan ayahmu seorang pengecut karena mereka pikir ayahmu melarikan diri sebab takut ditangkap. Namun, ada beberapa orang yang melihat ayahmu dijemput paksa saat beberapa langkah meninggalkan masjid untuk pulang ke rumah.” Aku selalu mengingat pertanyaan yang penuh penasaran darimu. “Lalu…” “Sudahlah, jangan kau tanyakan lagi!” Bentakku. Agar kau berhenti mencercahku dengan pertanyaanpertanyaanmu itu. Ketahuilah, aku tidak ingin kau pulang tanpa nyawa karena aksi-aksimu itu.” Ucapku suatu waktu saat kau pergi pagi sekali. Katamu kau akan menggalang massa besar-besaran. Aku hanya mentapmu cemas. Ada sesuatu yang tak sempat kukatakan padamu. Saat kau berangkat dari rumah. Ada dua orang bertubuh tegap mendatangi rumah. Dua orang itu berpesan dengan nada mengancam, agar kau menghentikan aksiaksimu di jalan. Sama seperti yang diceritakan kakekmu dulu padaku. Sesaat aku dan ayahmu turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Aku semakin cemas memikirkanmu. *** Semalam aku menyaksikan langsung mahasiswamahasiswa yang turun ke jalan untuk menolak kenaikan 141


BBM. Aku teringat padamu. Andai saja kau berada di sini. Aku yakin darahmu akan mendidih menyaksikannya. Kau tahu? Lagi-lagi aksi demonstrasi itu tidak menghasilkan apa-apa. Hanya menyisakan sampah-sampah dari fasilitas umum yang dirusak. Lalu, kau tahu imbas dari aksi demonstrasi itu? Ya, uang yang dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan itu diambil dari uang rakyat dan yang rugi lagi-lagi rakyat. Percuma bukan aksi demonstrasi yang kau lakukan selama ini? Aku juga melihat banyak orang tua yang mencaricari anak mereka saat aksi demonstrasi berlangsung. Barangkali anak mereka terlibat dalam aksi demonstrasi itu dan mereka takut anak mereka menjadi korban. Itu sebabnya para orang tua itu sengaja menjemput anak mereka. Seketika rasa sesalku pun datang. Mengapa saat kau turun ke jalan dulu, aku tidak datang menjemputmu. Aku sangat menyesal mengetahui nasibmu hanya lewat pemberitaan di televisi. Aku pun masih ingat. Dulu, semangat memperjuangkan aspirasi rakyat di awal masa kuliahku sungguh berapi-api. Bagiku, membela dan memperjuangkan rakyat kecil adalah harga mati. Itulah sebabnya, tiap kebijakan pemerintah yang ku anggap salah, membuatku ingin turun ke jalan. Negeri ini sudah rusak. Sengaja dirusak pejabat bejat berwajah lugu saat pemilu. Mulai dari bawah sampai papan atas. Pikiran itu yang terpatri dalam otakku saat menduduki bangku perguruan tinggi, dulu. Apa yang aku pikirkan itu, nyaris tak ada beda dengan obrolan di warung kopi langganan ku. Obrolan yang terlontar di tiap seruput kopi yang berbau kekecewaan. Seperti aku yang mulai muak dengan ocehan pejabat tinggi saat tampil di 142


televisi. Tidak hanya pejabat daerah, tapi juga orang yang katanya nomor wahid di negeri ini. “Kita orang kecil cuma bisa nelan ludah,” kata bapak tua di sampingku seraya mengudap ubi rebus yang dihidang pelengkap kopi. “Berganti-ganti pemimpin, kita akan tetap seperti ini,” sambungnya sesekali melirik pemberitaan demonstrasi mahasiswa di media cetak yang dari tadi ku baca. Pria setengah abad itu juga bercerita. Tentang kerusuhan pendemo yang sempat dia saksikan semasa hidupnya. Tentang kekacauan, tentang mayat-mayat bergelimpangan di jalan. Dia juga bercerita betapa hebatnya kekacauan waktu itu. “Api di mana-mana. Sulit membedakan mana perang, mana kerusuhan. Selongsong peluru berjatuhan,” dia menggambarkan cukup detail. “Banyak orang mengira itu terjadi karena isu etnis,” dia menghela nafas sejenak. Jari-jari kekarnya lihai mengutip tiap potong ubi rebus di atas meja. “Ada juga yang mengira, itu imbas luka yang ditahan rakyat terlalu lama. Lalu, disulut orang-orang yang punya kepentingan.” Itu yang menjadi pertanyaan bagi ku sejak lama. Tapi, aku tidak yakin masalah etnis sebagai pemicu kekacauan itu. Aku yakin, semua itu terjadi karena idelisme yang dirusak. Lalu, rakyat menjadi korban, mahasiswa menjadi korban, termasuk kau. ***

143


Delvi Adri Seorang jurnalis dan peminat sastra. Tinggal di Pekanbaru.

---.---

144


Tahanan oleh Jumadi Zanu

Rois

S

uatu hal yang sangat kebetulan bagi mereka yang tidak percaya takdir. Namun bagiku, tak ada yang kebetulan di dunia ini. Setiap apa yang terjadi itu sudah ada yang mengaturnya. Meski aku sendiri tidak percaya adanya tuhan. Jika pun tuhan ada, kenapa tuhan tak pernah hadir meski dalam bentuk apa pun. Melihat Mawardie, lelaki tua yang hampir mati ditelan kesunyian. Menghabiskan semua sisa hidupnya dengan menguburkan segala usia di balik-balik jeruji besi penuh sunyi. Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Mengabarkan peristiwa yang mungkin sebagian orang menganggap hal ini biasa saja. Dan tak perlu mereka tahu lebih dalam. Tersebab terlalu banyak cerita yang lebih menarik untuk diketahui. Apa lagi di zaman reformasi ini. Semua peristiwa laksana angin yang bisa berhembus ke mana saja. Tak ada yang bisa menahannya. Yang setiap hari hinggap di mana saja. Aku mengenali lelaki tua ini saat aku berkunjung ke sebuah lembaga pemasayarakatan di kota kami. Kota yang 145


terbilang maju ini, telah melahirkan ribuan pesakitan. Dari tingkat paling bawah, hingga paling atas. Dari rakyat biasa hingga pejabat penguasa. Aku kadang muak dengan kondisi ini. Kondisi yang sama sekali bukan sebuah harapan. Di mana semua orang harus hidup dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Kejahatan di mana-mana. Dari copet hingga korupsi. Wajar saja kalau setiap hari ada saja penghuni baru di lembaga kota kami. Meski kondisi ini merupakan keuntungan bagiku sebagai pengacara. Tak jarang aku menerima kasus empat sampai enam perkara satu hari. Jika ini terjadi, jelas penghasilanku juga ikut bertambah. Tapi bukan itu yang buat aku senang. Kadang tak jarang aku harus membela orang yang terbukti bersalah. Tapi di lain sisi, aku harus bisa melakukannya. Agar nama baikku sebagai pengacara juga ikut naik. Berbeda dengan lelaki tua yang baru aku kenal ini. Ada naluri lain yang datang tanpa aku inginkan. Ingin sekali rasanya aku mengetahui dia lebih jauh lagi. Setidaknya mengetahui apa penyebab dia harus menjadi penghuni di lembaga ini. Tahanan 107. Berada di sel dengan nomor yang sama. Ada kemiripan. Entah sengaja atau tidak, aku juga tidak tahu. Hari itu tanggal 10 bulan 7. Tepat pukul 10 lewat 7 menit aku melihatnya di giring oleh polisi masuk ke dalam jeruji besi. Lelaki tua, melihat parasnya aku rasa umurnya sekitar 60 tahun. Mungkin lebih. Sempat lama aku memandang lelaki itu. Tak terlihat olehku ada kejahatan di sana. Berbeda dengan beberapa klienku. Meski para klienku mengatakan dia tidak bersalah, setidaknya dari wajahnya 146


terlihat dia seorang penjahat. Tak peduli dia siapa, rakyat atau pejabat. Sesampai aku di rumah, wajah lelaki itu masih saja terbayang olehku. Sebenarnya aku begitu letih, ditambah belakangan ini aku memang disibukkan oleh klienku yang rewel itu. Dia memaksa aku harus menyelesaikan kasus tanah yang baru saja dibelinya. Tanah yang masih sengketa, yang menurut undang-undang memang belum layak dibeli. Belum tahu siapa pemilik sah tanah tersebut. Karena merasa dia telah mengeluar uang banyak dan tak mau rugi, dia memakai tenagaku untuk menjadi pemilik sah tanah tersebut. Aku juga tahu dia memiliki begitu banyak uang, kekayaan tiada terkira. Dan rela membayar aku jauh di atas harga yang aku tawarkan, asal keinginannya terkabul. Baru saja jam dinding di rumahku berdentang 10 kali. Pantas saja mataku sudah terasa begitu berat. Berkas-berkas kerja yang masih menumpuk membuat aku lupa waktu. Besok pagi aku harus bangun lebih awal. Mengurus banyak hal, termasuk ke lokasi tanah yang kasusnya sedang aku tangani. Segera aku masuk ke kamar. Meninggalkan semua pekerjaan di atas meja kerja. Tanpa aku bereskan. Aku sudah sangat lelah. Alamak. Aku tak bisa memejamkan mata. Wajah lelaki tua masih terus saja hadir di ingatanku. Seakan dia begitu dekat. Dekat sekali. Padahal aku baru pertama bertemu dengannya. Namanya saja aku tidak tahu. Tapi aku merasa begitu dekat. Aku tak bisa tidur dibuatnya. Semakin aku memejamkan mata, semakin jelas wajah lelaki itu muncul diingatanku. Bahkan terlihat persis raut dan tatapan mata. Ada apa ini? Tanyaku dalam hati. Apakah ini disebabkan 147


pekerjaanku sebagai pengacara? Sehingga aku merasa layak untuk mengetahui dan mengenal lelaki itu lebih dalam lagi. Aku ambil keputusan, pagi-pagi sekali aku harus berjumpa lelaki itu. Sekadar ingin kenal dan tahu penyebab apa hingga dia harus berurusan dengan penegak hukum. Mungkin dengan ini rasa penasaranku bisa berkurang. Dan tentang kegiatanku besok pagi, segera saja aku SMS klienku itu dan aku batalkan dengan alasan aku ada urusan keluarga yang tak bisa aku tinggalkan. Pagi. Pagi sekali. Setelah aku bereskan semua pekerjaanku yang sempat tertunda, segera saja aku berkemas menuju rumah tahanan di mana lelaki itu ditahan. Lumayan jauh dari kediamanku. Harus menghabiskan waktu tiga puluh menit dengan mengunakan sepeda motor. Tepat pukul 9, aku sudah berada di depan rumah tahanan. Langsung saja aku menjumpai kepala rumah tahanan dan mengatakan keinginanku. Sempat pula aku ditanya banyak hal. Karena menurutnya, aku tak punya alasan kuat untuk bertemu lelaki itu. Aku mengaku akan hal itu. Tapi setidaknya, mereka bisa mengizinkan aku karena aku beniat baik ingin menjadi pengacara untuk lelaki itu. Mempertimbangkan banyak hal, akhirnya aku diizinkan untuk berjumpa lelaki tua itu. Di balik jeruji, aku melihat lelaki itu guling dengan nyamannya. Di atas lantai yang sama sekali tak beralaskan meski selembar koran sekali pun. Melihat kedatanganku, lelaki tua itu langsung berdiri. â€œJangan harap aku menjawab apa yang engkau tanyakan,â€? jelasnya. Lelaki tua itu lebih dulu membuat aku diam. Aku 148


bingung dibuatnya. Dia telah menebak kedatanganku. Tapi setidaknya, lebih baik kalau aku memperkenalkan diri dulu. Dan menyampaikan alasan aku datang untuk menjumpainya. “Aku telah melanggar hukum. Dan tak mau melanggar untuk yang kedua kalinya. Lebih baik anda pulang. Aku tidak butuh pertolongan dari siapa pun. Aku sudah siap menerima hukuman,” sambil mengarahkan aku menuju pintu keluar dengan telunjuknya. Aku tidak berkutik. Diam bagiku sikap yang sangat baik. Dan tak cukup kuat alasanku untuk menolak permintaannya. Segera saja aku memenuhi permintaannya. Dengan rasa hampa, aku meninggalkan lelaki itu. Segera aku menuju petugas. Mudah-mudahan melalui petugas, aku bisa tahu sedikit tentang laki-laki ini. “Dia melanggar peraturan pemerintah nomor 10 pasal ketujuh pemerintah tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran,” jelas polisi kepadaku. Lelaki itu hanya seorang staf dari sebuah rumah sakit. Dia ditahan dengan tuduhan telah membeberkan rahasia dokter. Yang menurut undang-undang dia telah bersalah. Dengan menuduh seorang dokter meniduri pasiennya. Sedang menurut dokter yang tertuduh, itu sama sekali tidak dilakukannya. Tindakan lelaki itu, menurut dokter tersebut telah membuka rahasia seorang dokter. Tapi aku yakin lelaki tua itu benar. Karena aku juga baru mendapatkan tawaran kasus yang sama. Di mana klienku telah ditiduri seorang dokter. Dan sekarang klienku sedang menempuh jalur hukum untuk mendapat keadilan. Aku yang sedang menangani kasus itu. Aku pergi tanpa berkata sepatah kata pun kepada penjaga 149


rumah tahanan dan berjanji akan usut tuntas masalah ini. Agar keadilan terus menjadi panglima di negeri ini. *** Ruang Sempit, Jan-Maret,2015

Jumadi Zanu Rois Alumni Jurusan Teater di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR)Â yang sekarang menjadi Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR). Banyak mengerjakan dekor panggung untuk pementasan teater. Cerpennya pernah terbit di kumpulan Cerpen Pilihan Sagang Negeri Asap (2014). Menulis sastra, cerpen dan puisi di tengah pekerjaan sebagai jurnalis. Kini tinggal di Pekanbaru.

---.---

150


Amadeo (si Uomo Onesto) oleh SPN

Dantje S Moeis

C

uaca cukup baik walau mendung, namun tak ada hujan setitikpun. Rombongan pengantar jenazah yang jumlahnya hanya beberapa orang, telah pergi meninggalkan kompleks pemakaman, begitu juga dengan para penggali kubur. Nyata, seperti orang upahan. Setelah pekerjaan mereka selesai, semua ingin bergegas meninggalkan jasad Amadeo, sendirian terbaring kaku di liang kuburnya. Tak demikian dengan aku, tinggal sendirian menatap nisan dari sehelai papan yang menancap di busut kubur Amadeo.  Terlalu banyak kenangan dengan Amadeo yang tak dapat ditimbus begitu saja, walau kini bukit kecil tanah merah telah menimbun lahatnya. Amadeo, karena terlalu sempurnanya dia, selang beberapa waktu lalu, secara pribadi aku mengubah namanya menjadi si Uomo Onesto (si orang jujur) dengan panggilan Momo. Kini setelah kematiannya, semakin kuatlah alasan mengapa aku mengubah namanya menjadi Uomo Onesto, orang jujur, baik hati dan sempurna. 151


Sekian lama, setelah pertemuan berkesan saat ibadah umrah di tanah suci, kami melakukan hubungan percintaan jarak-jauh, yang diisi dengan saling mempererat kedekatan serta upaya memahami kebudayaan masing-masing termasuk bahasa. Amadeo orang Italia, bertempat tinggal di Venice sebagai tenaga volunteer yang memberikan pelajaran tentang Islam bagi penganutnya yang bermukim di sana. Sedangkan aku di negeri sendiri, di negeri yang menurutku dan banyak orang, negeri yang aneh dan karena itulah aku sungguh gugup dan tertekan ketika via Short Masage Service Momo mengirim pesan. “Non ho potuto fare voglia di venire nel vostro Paese, vi prego di prendere all’aeroporto Arnoatta di domani 15 marzo 2007 circa 18,00 volte il vostro paese� Jujur, keanehan negeri inilah yang membuat aku gugup menerima kedatangan Momo. Namun, sesuatu yang mustahil kalau hubungan kami dilakukan terus menerus dengan cara ini. Hubungan bersifat long distance seyogianya hanyalah sementara. Dari SMS Momo jelas terlihat sebuah pernyataan yang tak dapat ditawar. Ia memastikan datang ke negeri ini dengan penetapan tanggal, tahun, waktu tiba sekaligus airport kedatangan dan bahkan minta dijemput. Sungguh, aku takut. Momo tak dapat bertahan lama di negeri ini, sekaligus aku malu dengan kondisi yang berlaku. Negeriku adalah negeri aneh, yang semua penduduknya adalah penjahat dalam mencari “nafkah�. Di sini ada maling, pencopet, begal, rampok, koruptor,

152


tukang tipu. Ketika benderang matahari berubah ke gelap malam, semua orang yang menjadi pencuri meninggalkan rumah mereka dengan membawa linggis atau golok dan senter kecil, celurit bahkan senjata api bagi para begal dan perampok, untuk kemudian mencuri membegal atau merampok di mana saja, termasuk di rumah para koruptor, tukang copet, begal, bahkan di rumah sesama pencuri. Pulang menjelang subuh ke kediaman masingmasing, ke rumah mereka yang kemungkinan telah kosong di curi pula oleh pencuri lain. Para pejabat pemerintah lain lagi. Yang ada di benak mereka hanyalah bagaimana cara mencuri uang rakyat yang rajin membayar pajak, upeti dan retribusi. Tujuan para pegawai pemerintah tak lain agar mereka dapat hidup bersenang-lenang dan mengadakan kembali harta benda mereka yang dicuri, dicopet, dibegal atau dirampok. Para penulis atau seniman, setiap hari berfikir kiat membajak atau memplagiat karya orang lain dan kemudian menjualnya, atau memproyekannya di departemen pemerintah terkait, walau mendapat upah hanya 30 persen dari nilai yang tercantum dalam laporan anggaran biaya terlaksana Satuan Kerja Dinas pemerintah terkait. Namun mereka semua hidup berbahagia berdampingan, tak seorang pun ada yang papa-kedana, karena orang-orang mengkorup uang rakyat atau mencuri dari orang lain lalu orang lain itu mengkorup atau mencuri pula dari yang lain lagi dan begitu seterusnya seperti mata rantai yang tak terputus. Perdagangan di negeri ini berjalan dengan kelaziman yang tak termaktub dalam kitab undang-undang. Lazim diwarnai tipu-helat kecurangan di kedua belah pihak baik pembeli maupun 153


penjual. Pemerintah negeri ini adalah sebuah organisasi kriminal yang dilegalkan walau tidak secara yuridis formal dan sebaliknya, rakyat dengan sedaya upaya menipu aparat pemerintah. Hingga kehidupan mengalir tenang laksana air mengalir, tak ada kesenjangan sosial berarti. Mulai hari itu, 15 Maret 2007 tak disangka-sangka, sesuai SMS si Momo kepadaku, dia seorang lelaki jujur datang dan berniat menetap di negeri ini dan berencana ke arah yang lebih serius tentang hubungan kami. Momo tetap seperti dulu, berbeda dengan kelaziman orang-orang negeri ini untuk mendapatkan nafkah. Ia tak mau ikut-ikutan mencuri, tak mau korupsi, merampok, membegal dan mencari uang dengan cara tipu-helat. Ia tetap menjalankan usaha dagangnya berpedoman pada apa yang dilakukan Rasulullah. Tak ada faktur atau kwitansi kosong yang ia keluarkan, yang dapat memberi kesempatan penyalah-gunaan bagi yang berkepentingan. Setiap hari ia memberikan pencerahan kepada siapa saja penduduk negeri ini. “Kelaziman pola mencari nafkah yang selama ini terjadi, adalah sesuatu yang salah dan tidak diridhoi Tuhan”, demikian katanya selalu. Para Penduduk negeri ini terpaksa menjelaskan padanya bahwa, meskipun ia ingin hidup dengan cara yang ia katakan benar, namun tak ada alasan baginya untuk melarang orang lain melakukan sesuatu yang mereka inginkan. Momo si Uomo onesto tetap pada pendiriannya, terus berdakwah tak menggubris penjelasan mereka. Dia akan selalu menjadi lelaki jujur dan tak akan berubah. Malam itu dia pergi ke luar toko tempat usahanya, sekaligus tempat tinggal. Semalam suntuk ia hanya memandang langit. Menatap kebesaran Tuhan, memaknai arti dosa dan takut untuk melanggar 154


segala firman yang telah Tuhan sampaikan. Menjelang subuh kembali ke toko, dia menemukan segala harta maupun barang dagangannya lesap dijarah pencuri. Sebulan setelah itu, ia tetap tak mampu menjadi pencuri, perampok, pembegal, kolaborator para koruptor ataupun penipu yang bertujuan mengembalikan segala modal usaha dan harta bendanya yang dicuri. Momo si lelaki jujur menjadi papa-kedana, tidak memiliki apa pun untuk dimakan dan tokonya benar-benar menjadi kosong melompong. Tentu saja ini menjadi sebuah masalah karena “kesalahannya?â€? sendiri. Sebenarnya tidak! Masalah sesungguhnya adalah perbedaan pemaknaan akan kebenaran halal dan haram, salah atau benar, moral dan keyakinan serta arti dosa, yang bermuara dari perilakunya yang mengacaukan pranata lisan yang sudah berjalan lama di negeri ini. Momo yang miskin jatuh sakit, namun tak satu pun rumah sakit dinegeri ini yang mau menerima dan merawatnya. “Anda harus tinggalkan uang panjar sebagai jaminan perawatan andaâ€?, demikian selalu ucapan yang disampaikan padanya, oleh bahagian administrasi Rumah Sakit yang ia sambangi. Sebagai seorang kekasih si Momo, aku coba menawarkan jasa untuk menbantu keuangan agar ia dapat makan dan berobat. Namun selalu saja ditolaknya dengan berbagai alasan. Aku tahu alasan penolakan Momo yang paling mendasar, ia tak mau menerima uang hasil curian dan korupsi yang diberikan ayah padaku, karena jelas di matanya bahwa aku tak mempunyai sumber pendapatan sendiri. Amadeo (si Uomo Onesto) yang menjadi sumber kekacauan, akhirnya mati sakit karena kelaparan. 155


Menjelang pulang meninggalkan makam Momo, aku berbisik di nisan momo, “Momo sayang, maafkan aku karena menyogok pegawai kantor kota agar kau dapat dimakamkan disini. Aku juga membayar para pengantar jenazah agar mereka mau mengusung keranda mu ke sini dan aku tak kuat terus-terusan mencium bau busuk buntang mu yang tergeletak kaku di gudang sebelah dapur rumah kami. Semoga kau bahagia di sana!� *** SPN Dantje S Moeis Perupa, penulis kreatif, redaktur senior Majalah Budaya Sagang. Dosen Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) Pekanbaru.

---.---

156


157


158


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.