Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
EDITOR: PURNIMASARI
MELABUH KESUMAT Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
1
Melabuh Kesumat (Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013) Editor: PURNIMASARI Perancang Sampul: DESRIMAN Z AHMI Perancang Isi: SUPRI ISMADI DITERBITKAN PERTAMA KALI OLEH : Yayasan Sagang Pekanbaru Gedung Riau Pos, Jl. Soebrantas KM 10,5 Panam, Pekanbaru, Riau Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip sebagian atau keseluruhan isi atau memperbanyak sebagian atau keseluruhan tanpa izin dari penulis. KEPUSTAKAAN NASIONAL: Katalog Daam Terbitan (KTD) Melabuh Kesumat, Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013 Pekanbaru, Yayasan Sagang, 2013 ISBN.... Cetakan Pertama, Oktober 2013
2
KATA PENGANTAR SEJAK Januari hingga Oktober 2013, cukup banyak karya penulis cerita pendek (cerpen) yang masuk ke redaksi kami dan sebagiannya telah pula dimuat di halaman Kembayat di Kompertemen Ranggi Riau Pos yang terbit setiap Ahad. Dalam buku Melabuh Kesumat, Cerpen Pilihan Riau Pos 2013 ini, kami memilih sebanyak 20 cerpen. Judul buku ini kami ambil dari judul salah satu dari karya cerpenis Riau yang terbilang produktif, Dantje S Moeis. Cerpen itu telah dimuat 9 Juni lalu. Sebagai penulis, Dantje yang juga perupa cukup lihai memainkan kalimat-kalimat yang menarik untuk dibaca dan dirasakan. Inilah yang menjadi alasan kami memilih salah satu dari cerpennya yang dimuat sebagai judul dari buku kumpulan cerpen tahun ini. Buku ini juga memuat cerpenis Riau lainnya yang produktif seperti Jefri al Malay, Musa Ismail, M Badri, Riki Utomi, Cikie Wahab dan Ahmad Ijazi H. Selain itu, juga memuat karya cerpenis-cerpenis dengan potensi besar seperti Rian Harahap, Syukri Datasan, Eka Susanti, Menrizal Nurdin yang karya-karyanya sudah bisa diperhitungkan dalam perjalanan dunia tulis menulis di Riau, bahkan nasional. Penulis luar yang masuk dalam kumpulan buku ini tentu saja cerpenis yang rajin mengirimkan karyanya antara lain
i
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Isbedy Stiawan, Budi P Hatees (Lampung) dan M Arman AZ. Selain itu Riza Multazam Luthfy (Yogyakarta), Homaedi (Sumenep), Asmadji As Muchtar (Jateng), Adam Gotar Parra (Lombok), Miftah Fadhli (Sumut), Hendra Efivanias. Karyakarya cerpenis ini memang telah dimuat lebih dari satu sepanjang tahun. Namun kami hanya memilih satu dari karya mereka yang dianggap sebagai karya terbaik dalam tahun ini. Setiap penulis memiliki kelebihan dan keunikan saat menuangkan gagasannya dalam bentuk cerita pendek. Cerpenis Jefri al Malay dengan cerpen berjudul “Harimau Tengkes” misalnya, bertutur tentang cerita dari mulut ke mulut masyarakat Melayu Bengkalis yang terbiasa dengan cerita harimau berkaki tiga yang dianggap mistis. Mahluk magis penjaga kampung sebagai pengingat agar manusia harus berbuat baik dan sebagainya. Dengan piawai cerita itu diolahnya kembali menjadi kisah yang menarik untuk dibaca. Begitu pula M Badri dengan cerpennya “Hujan Akhir Bulan” dan Musa Ismail dengan cerpennya berjudul “Indonesia Raya”. Ahmad Ijazi H dengan “Perahu Begandung”-nya yang tak jauh dari budaya Melayu. Penulis lain seperti Isbedy Stiawan, Budi P Hatees maupun, Arman AZ asal Lampung juga memiliki kelebihan dan keunikan dalam bertutur. Tidak perlu pula diragukan, Riza Multazam Luthfy asall Yogyakarta yang selalu saja menuangkan cerita menggetarkan salah satunya yang masuk dalam buku ini berjudul “Pengantar Mayat”. Buku Cerpen Pilihan Riau Pos 2013 adalah bukti bahwa Riau Pos sebagai media massa, tetap memberi ruang kepada penulis-penulis untuk mempublikasikan karya-karya mereka. Selain cerpen, Riau Pos juga memberi ruang untuk karya-karya sastra berupa sajak dan esai. Tidak hanya itu, disediakan pula ruang bagi para perupa dengan nama garis.(*)
ii
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...................................................... i DAFTAR ISI ............................................................. iii Hujan Akhir Bulan ............................................... 1 M BADRI Pengantar Mayat .................................................. 9 RIZA MULTAZAM LUTHFY Sumur Kembang ................................................ 15 HOMAEDI Harimau Tengkes ............................................... 23 JEFRI AL MALAY Hari yang Aneh .................................................. 35 ADAM GOTTAR PARRA Indonesia Raya .................................................. 43 MUSA ISMAIL Berburu Kunang-kunang ................................... 51 MIFTAH FADHLI Cincin ................................................................. 59 M ARMAN AZ Engku Katik ........................................................ 67 EKA SUSANTI
iii
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Kota Harapan ..................................................... 73 CIKIE WAHAB Perempuan di Residence ................................... 79 ISBEDY STIAWAN Perahu Baganduang ........................................... 85 AHMAD IJAZI H Melabuh Kesumat .............................................. 95 DANTJE S MOEIS Tebas Tebang ................................................... 103 SYUKRI DATASAN AL-PAUHI Sebuah Wajah di Roti Panggang ...................... 111 RIKI UTOMI Sepatu Hitam .................................................... 121 ASMADJI AS MUCHTAR Tumirah ............................................................ 127 RIAN HARAHAP Amplop Putih ................................................... 135 MENRIZAL NURDIN Pancung Ruyati ................................................ 145 HENDRA EFIVANIAS Gajah Berkaki Tiga .......................................... 153 BUDI P. HATEES
iv
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Satu (1)
Hujan Akhir Bulan 6 Oktober 2013 M Badri HUJAN sore itu dirindukan banyak orang. Setelah berbilang pekan menghirup udara pengap. Dipenuhi jutaan ton karbon. Hujan di akhir bulan. Meluluhkan siang yang garang. Sebab angin kering dan kabut asap, hampir membuatku tak bisa mengikuti diskusi sastra di Bandar Serai. Kalau saja kamu tidak mengirim pesan singkat. “Aku akan datang!� Katamu, dalam pesan pendek yang terkirim menjelang tengah malam. Aku sengaja tidak membalas. Karena aku tahu, kamu selalu menepati janji. Seperti hujan sore itu. Acara diskusi sastra, akan semakin riuh kalau kamu hadir. Suasana beku, tiba-tiba menjadi panas kalau kamu sudah mengeluarkan isi kepala Helene Cixous, Virginia Wolf, Betty Freidan, Shulamit Firestone hingga Kate Millett. Sebab pikiranmu sudah berisi campur aduk logika psikoanalisis, postmodern, marxis, bahkan radikal. Ramuan yang membuatmu seperti serigala liar ketika berdiskusi tentang persoalan perempuan.
1
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Aku ingat, ketika kamu mati-matian mengkritisi Sigmund Freud dalam sebuah forum diskusi sastra di selatan Jakarta. Kamu menganggap pemikiran filsuf kelahiran Freiberg itu terlalu cabul karena memandang persoalan hanya dari sudut pandang kelamin. Tapi itu dulu. Sebelum kamu tiba-tiba menghilang begitu saja. “Hidup, kadang absurd.� Katamu. Singkat. Lalu pergi meninggalkan Jakarta. Menjauh dari keriuhan dunia aktivisme. Mengasing dari diskursus dan debat-debat melelahkan. Melarikan diri dari kerumuman demonstran jalanan. Selama bertahun-tahun tidak ada yang tahu ke mana kamu raib. Tanpa jejak. Semua akun email dan media sosial milikmu tidak bisa diakses. Banyak yang kemudian berpikiran kamu telah diculik. Hilang malam. Sebab seminggu sebelumnya, kamu sempat terlibat demonstrasi besar-besaran di Bundaran HI. *** Mungkin aku harus berterimakaih pada Zuckerberg. Anak muda keriwil yang dulu sering iseng memasang wajahwajah perempuan seksi di prototipe situsnya. Jika tidak, mungkin aku tidak pernah menemukanmu di antara miliaran wajah yang berserakan di ratusan ribu server. Dengan iseng juga, aku mencari nama-nama yang identik dengan kesukaanmu. Sampai pada nama bunga: Belladonna. Tanaman cantik, tapi salah satu paling beracun di dunia. Karena mengandung alkaloid tropane. “Hanya perlu sehelai daun untuk membunuh seorang pria,� katamu, tentang nama samaran yang sesekali kamu gunakan. Benar saja, di antara ratusan gambar seksi di kolom pencari, aku melihatmu terselip di sana. Sebuah gambar
2
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
siluet wanita berambut panjang berwarna sepia. Warna tua perpaduan coklat dan abu-abu. Awalnya aku ragu kalau itu kamu. Sebab terakhir bertemu, kamu masih berambut cepak, tanpa gincu dan bedak. Akhirnya aku menekan tombol kedua dari sudut kanan. Sepekan kemudian baru ada respons. Kamu mengonfirmasi pertemanan. Dan benar, nama kembang yang bisa membuat pupil mata membesar, penglihatan kabur, sakit kepala, berhalusinasi dan kegilaan itu adalah kamu. “Ke mana saja, bertahun-tahun menghilang?” “Di suatu tempat. Di pedalaman Sumatera.” “Kamu menghindari sesuatu?” “Hidup kadang absurd, kawan!” Kamu mengulang kembali kata-kata terakhir yang kamu ucapkan. Dulu, sebelum hilang dari keriuhan para demonstran. Kamu pergi tanpa pamit. Seolah ada kekecewaan luar biasa. Meninggalkan Jakarta begitu saja. Kota yang dulu kamu pandang sebagai muaranya gerakan sosial. *** Kamu datang juga sore itu. Menjelang diskusi sastra yang diadakan sebuah komunitas selesai. Kamu menyendiri di belakang. Tanpa suara. Hanya mengamati dari jauh. Kontras dengan lakumu dulu. Saat kita sama-sama sering mengunjungi Utan Kayu dan Cikini. Tak ada Helene Cixous dan kawan-kawan di ruangan itu. Diskusi terasa sepi. Acara selesai sebelum pukul tiga. Lalu aku menghampirimu. Nyaris tak ada perubahan. Masih tanpa bedak dan gincu. Tanpa pewangi yang menebarkan harum palsu. Hanya rambut panjang sebahu yang membedakanmu dari lima tahun lalu. Juga aroma rimba yang kini semakin kentara. Tak perlu percakapan panjang. Seperti tanah dan hujan
3
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
yang lama tak bertemu. Bukankah kita sudah sering berbincang di jejaring sosial? Meski kamu tidak mau bercerita tentang aktivitasmu sekarang. Yang menjauhkanmu dari dunia aktivisme tempo dulu. “Aku akan bercerita, nanti. Kalau kita bertemu.� Katamu waktu itu. Ketika rayuan untuk mengorek isi kepalamu tak juga berhasil. Kamu masih menyimpan rahasia. Hingga sore ini. Aku akan menagih janji itu. Berharap kamu bercerita panjang. Sepanjang waktu yang lama hilang. Aku ingin mengajakmu ke sebuah kafe. Merayakan rendezvous. Masih seperti dulu. Memesan dua cangkir kopi tubruk. Kopi yang ditumbuk dengan khusyuk. Dengan alu dan lesung kayu. Hingga rasa dan aromanya menjadi satu. Kopi yang berasal dari ladang-ladang. Ditanam penuh rasa rindu petani pada musim panen. Kamu tidak menolak. Sebab di kafe, ditemani dua cangkir kopi, sepiring pisang goreng, kita bebas bercerita apa saja. Mungkin lebih panjang dari sekedar cerita pendek yang biasa kita tulis. Bertahun-tahun, mungkin ada episode-episode yang sama-sama kita lewatkan. Banyak kejadiankejadian yang kita abaikan. *** Kemudian di suatu senja kita duduk bersama. Di bangku kayu, menghadap jalan raya. Menikmati asap yang mengepul di sepanjang aspal. Asap rindu, setelah berhari-hari tak dibelai hujan. Cahaya matahari memantul dari jalanan basah. Hinggap di dagu dan pipimu. Membelai rambutmu yang berwarna gambut. “Sejak itu aku memilih pedalaman. Mungkin lebih berguna dibanding terus-menerus terjebak di keriuhan kota. Apalagi suatu waktu, aku melihat aktivis senior kita, yang
4
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
dulu menjadi mentor kita, bermain di balik aksi-aksi yang dilakukannya. Memperkaya diri. Membangun oportunisme politik. Aku semakin apatis dengan dunia aktivisme sekarang. Kadang penuh kemunafikan, kepalsuan, muslihat dan kepentingan.” Kamu bercerita, sambil menyeruput kopi yang harumnya terus mengepul. “Karena itu kamu lari? Dari kenyataan?” “Aku tidak lari. Masih konsisten dengan laku yang kujalani. Hanya saja, tidak ingin terjebak dengan aksi-aksi palsu.” “Sebegitu apatis kah?” “Ya!” “Lalu, apa yang kamu lakukan di pedalaman?” “Hidup kadang perlu tindakan-tindakan absurd. Kita sering tidak tahu siapa yang memanfaatkan dan siapa yang dimanfaatkan.” Kamu kembali menyeruput kopi. Memandang jalan raya. Menikmati lalu-lalang kendaraan. Bising knalpot. Sumpahseranah pengemudi angkot. “Aku merasa damai di sana. Berbaur dengan orang-orang pinggiran, orang-orang yang terpinggirkan. Mereka itu, komunitas-komunitas yang tidak mendapat akses secara ekonomi, kesehatan, apalagi politik.” Katamu sinis. Lalu bercerita panjang. Ternyata kamu memilih menjadi pendamping bagi orang-orang marjinal. Komunitas adat yang tinggal di pedalaman hutan. Bersebati dengan alam. Berkawan babi hutan, siamang dan segala rupa siluman. Bukankah kamu malah meracuni kesederhanaan mereka? “Tidak! Aku hanya mengajari mereka berpikir kritis. Kalaupun mereka melakukan tindakan-tindakan radikal, itu
5
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
pilihan. Aku tidak pernah menggerakkan mereka, saat ramairamai membakari eskavator yang akan membuat kanal-kanal di hutan yang ditebangi secara membabi-buta.” “Sampai sejauh itu pengaruhmu di sana?” “Aku tidak mempengaruhi mereka. Ternyata mereka bukan orang-orang terbelakang. Kesadaran kritis mereka timbul dengan sendirinya. Aku juga tidak pernah menyuruh mereka, saat ramai-ramai merusak kamp-kamp perusahaan perkebunan yang setiap kemarau membakari lahan. Sekali lagi, itu karena mereka mampu berpikir kritis.” “Dan kamu yang membangkitkannya?” “Terserah kamu. Aku hanya mengajari mereka mengeja alam, membaca lingkungan, menulis masa depan. Menyatukannya dalam paragraf dan ekosistem yang saling bergantung. Menjadi sebuah catatan yang berkelanjutan.” “Sama saja. Kamu mendidik mereka menjadi radikal!” “Terserah kamu. Memandangnya dari perspektif mana. Batas antara radikal dan ideal sangat tipis.” “Tapi hati-hati, perusahaan-perusahaan itu sudah berkonspirasi dengan aparat dan preman.” “Risiko itu sudah kuperhitungkan.” “Kamu memang nekat. Mematikan. Persis nama barumu.” “Ha-ha-ha-ha...” Keras kepalanya tidak berubah. Masih seperti dulu. Aku mengira sejak tinggal di antara komunitas orang rimba, menjadi lembut dan sejuk. Tapi ternyata semakin liar. Tibatiba kamu bisa sehening desau angin di antara belantara. Sekali waktu kamu menjadi badai. Kita pun menyelesaikan senja dengan perasaan gamang. Waktu berdetak semakin singkat. Tidak sebanding dengan penantian panjang. Seperti hujan sore itu. Hanya menderas
6
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
sebentar. Tidak sebanding dengan lama kemarau. Kabut asap hanya lenyap sesaat. *** Matahari kembali jatuh cinta pada bumi. Menyengat, meniupkan angin kering dan kemarau. Kabut asap mengiringi. Setelah ditabuhi para pembakar hutan dan lahan. Merayakan jutaan ton karbon yang melayang ke angkasa. Dan dari jauh, aku mendengar kabar, perkampungan orangorang rimba ikut terbakar. Atau dibakar? Berita di media massa, ada yang menyebut perkampungan itu dibakar orang-orang suruhan perusahaan. Media lainnya, mengutip pemerintah dan Humas perusahaan yang beroperasi di sekitar hutan, perkampungan itu ikut terbakar setelah penghuninya membakari perkebuhan. Mana yang benar? Aku ingin menghubungimu. Sekaligus ingin tahu nasibmu. Sebab lokasinya persis di tempat yang sekarang kamu tinggali. Perkampungan orang-orang, yang katamu, kini mampu berpikir kritis. Tidak menerima keadaan. Terutama penindasan dan kesewenang-wenangan. Tapi akun jejaring sosialmu sudah lama tidak aktif. Status terakhir: ‘’Merayakan rindu pada senja yang gamang’’. Tertanggal, hari kita bertemu. Sore itu, saat hujan di akhir bulan. Kata-katamu kembali terngiang. “Hidup kadang absurd. Risiko itu sudah kuperhitungkan.” Tapi suatu malam, tiba-tiba aku membaca pesan singkat di inbox: “Aku akan menghilang lagi. Tidak usah dicari.” Lalu, kulihat nama profilmu berubah. Amanita Muscaria. Aku segera mencari di Wikipedia: sejenis jamur beracun,
7
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
berwarna indah. Efeknya hampir sama: menyebabkan gangguan pada sistem saraf, denyut jantung, halusinasi, bahkan koma.*** Pekanbaru - Bogor, 2013 M BADRI, menulis cerpen dan puisi di sejumlah media massa dan antologi bersama. Buku kumpulan cerpen tunggalnya Malam Api (2007). Sedangkan buku puisinya Grafiti Bukit Puisi (2012) mendapatkan penghargaan Buku Pilihan Sagang 2012.
8
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Dua (2)
Pengantar Mayat 29 September 2013 Riza Multazam Luthfy BAIKNYA, kuperkenalkan kau kepada seseorang yang sangat penting dalam hidupmu, sebelum ajal benar-benar hinggap di tengkuk. Meski uban belum menghuni kepalamu yang subur, meski garis-garis keriput belum merayapi kulitmu yang lindap, meski rabun dan pikun belum mengendap di mata dan pikiranmu, meski batuk disertai darah hitam-kental belum muncrat dari mulutmu yang kerap bersumpah-seranah itu, kusarankan agar kau mengenalnya terlebih dahulu. Ya, kau tak akan merugi jika mulai sekarang nama, pekerjaan serta alamat orang ini genap menempel di otakmu. Syukur-syukur termasuk juga nomor HP-nya. Toh, cuma perlu secuil tempat untuk menancapkannya di bagian sudut hard disk kiriman Tuhan itu, jika dibanding dengan jumlah hutang perusahaanmu, atau barang-barang permintaan istrimu ketika ulang tahunnya ketigapuluh dua, atau berpuluh nama gadis simpanan yang mesti kau hafal satu per satu di luar kepala agar tak tertukar di antara mereka,
9
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
atau bahkan dengan ibu dari anak-anakmu. Itu artinya, kau melakukan hal yang berarti bagi perjalanan hidupmu: menyiapkan kematian jauh-jauh hari. Hingga, ketika bosan bertahan di dunia, kau bisa menghubunginya dengan menelepon atau sekedar mengirim SMS. Dan ia akan datang dengan segera; dengan baju compangcamping, rambut awut-awutan dan wajah yang boleh dikatakan lebih mirip setan daripada manusia. Tapi... Tapi apa? Barangkali kau akan melotot sambil melongo, terheranheran, saat mengetahui bahwa siapapun pengundang orang ini, orang yang kusembunyikan namanya dari tadi, malah bergembira. Bergembira dengan gigi-gigi berjongkok diam, gemetaran, sebab menahan biji tawa supaya enggan lepas dari sarangnya. Bergembira lantaran salah satu keluarganya akan mati tenang serta dalam keadaan jauh dari nestapa. Bergembira karena harta warisan bakal dibagi secara serampangan, tanpa menaruh khawatir jika arwah si pewaris bakal gentayangan. Baiklah. Daripada kelamaan merahasiakannya, buka lebar-lebar dua telingamu! Akan kusingkap kedoknya. Bukan terlalu capai berbasa-basi denganmu, namun lebih karena aku melanting kasihan melihat alismu berulang kali berjingkat, sesetel matamu berkilat-kilat, memendam pertanyaan siapa sebenarnya orang yang kumaksud. Mudrik. Namanya Mudrik. Kasim Mudrik lengkapnya. Eits, simpanlah pertanyaanmu, jika kau berhasrat bertanya asal-usulnya. Sebab tak seorang pun mengetahui. Tak seorang pun mengetahui jika ia, entah dilahirkan oleh dan di batu, oleh dan di air, oleh dan di udara, atau oleh dan di api. Emmm... Tapi kupikir ia tidak semisterius itu. Ah, peduli apa aku,
10
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
juga kau, dengan siapa dirinya sebenarnya. Karena yang terpenting darinya bukanlah siapa ibunya, dari mana ia berasal, atau bahkan namanya sekalipun. Jadi, maksudmu? Yang terpenting dari orang ini adalah rekam jejaknya. Semua orang yang ingin bahagia hingga di kehidupan kedua, termasuk kau, maka wajib mendengar penuturanku tentang dirinya. Agar secepatnya kau mencatatnya sebagai orang yang teramat istimewa bagimu, melebihi lainnya, bahkan istri atau anakmu. Juga uang tabungan di luar negeri, di mana tiada seorang pun mengendusnya, kecuali dirimu sendiri. Mudrik. Kau tahu? Ia hanyalah pengantar mayat. Ia datang ke rumah duka untuk menggerung-gerung sambil mencakar-cakar lantai di samping mayat yang baru saja meninggal. Ia akan memilih mendekat sedekat-dekatnya ke mayat. Lantas dengan suara yang menyayat, ia menangis sejadijadinya. Siapapun mendengar tangisannya, tentu akan turut serta mengalirkan airmata. Tak jarang, sebagian di antara mereka akan memekik, menjerit dengan suara pilu membabibuta; mengabarkan kesedihan kepada alam semesta. Ia akan terus menangis sampai seluruh keluarga si mayat berkumpul, untuk kemudian bersama-sama mengantarkan ke rumah abadi. Dan, enggan ia menghapus ratapannya kecuali jika anak pertama si mayat sudah berada di dekatnya. Jadi, jikalau selama bertahun-tahun, anak pertama si mayat belum juga muncul, maka lelaki dengan sorot pandang tajam dan cambang yang lecek itu akan tetap menangis. Menangis dengan suara menggelegar, mirip petir buncit waktu menyambar pohon beringin di tengah alun-alun kota hingga tumbang. Kalau itu terjadi, maka pasti ia memerintahkan agar penguburan mayat ditunda, hingga seorang yang dinanti-nanti betul-betul nampak batang pantatnya.
11
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Bukan tanpa alasan jika Mudrik berbuat demikian. Menurutnya, anak pertama merupakan pewaris sekaligus penerus cita-cita orangtua. Anak pertama memanggul tanggung jawab berat untuk melanjutkan perjuangan ayahbunda. Anak pertama dilahirkan guna memimpin dan mengarahkan adik-adiknya. Anak pertama ditumbuh-besarkan demi mengharumkan nama keluarga. Itulah mengapa Mudrik berkata, seorang ayah atau ibu yang meninggal dan di kubur tanpa diantar oleh anak pertama, maka mustahil keduanya bisa merasa nyaman dan tenang di alam baka. Oya, dari tadi belum kujelaskan mengapa para pengundang Mudrik bisa begitu gembira dengan kehadiran sosok mengerikan sekaligus menyenangkan itu. Dan, inilah yang perlu kau camkan! Ia, Mudrik, lelaki dengan tindik di pusarnya itu, selain meratap dan mengantar mayat sampai kuburan, di tengah perjalanan menuju tempat peristirahatan terakhir tersebut, ia juga bertugas menyebarkan guntingan kertas-kertas mungil berwarna hijau muda. Di kertas itulah terpahat kalimat ringkas, menggambarkan keadaan lahir atau batin si mayat, yang ia baca keras-keras dengan sesekali mendongak ke atas. Sebelum membuntuti mayat menuju loka baru, ia akan menuliskan satu atau dua baris kalimat guna menerangkan profil mayat yang sedang diiringi. Barang tentu dalam menuliskan kalimat tersebut, ia mengekor saja kepada pemesan. Apabila pemesan mengharapkan agar si mayat dikenang mulia dan luhur budi, maka Mudrik, misalnya, akan mengguratkan pena, menggoreskan kata-kata: ‘’Inilah orang yang ketika hidupnya selalu berbuat kebajikan, menolong yang lemah, giat mendermakan harta kepada para janda.’’ Pun sebaliknya, jika mungkin ada seorang anak bernafsu supaya sang ayah dinilai oleh tetangga dan kolega sebagai
12
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
dursila, maka Mudrik dengan ringan tangan akan menulis demikian: ‘’Inilah orang yang rajin berbuat nista, doyan mengelabui manusia, bertindak culas hingga akhir hayatnya.’’ Guntingan kertas-kertas mungil yang ditulisi dan dirapal berulang kali sebelum sampai di kuburan tersebut, masih kata Mudrik, merupakan kesaksian bagi si mayat. Kesaksian apakah ketika tinggal di dunia, seseorang berperan selaku pahlawan atau penjahat, berperangai baik atau gemar maksiat, berkalung martabat atau bosan dihujat. Kesaksian itu menjadi catatan terakhir bagi malaikat sebelum dilaporkan kepada Sang Pencipta Kodrat. Entah berdasar kitab apa, pokoknya Mudrik meyakini bahwa dengan kesaksian itulah, bisa diterka adakah seseorang yang meninggal mengalami kebahagiaan yang sangat atau mengunyah penderitaan berlarat-larat. Tergantung pemesan? Tergantung pemesan. Kalimat apapun yang diinginkan pemesan pasti akan ditulis oleh Mudrik. Tak ayal, jika akhirakhir ini berbondong-bondonglah orang memanfaatkan jasanya. Sebut saja Lumoto, anggota DPR yang sudah dua kali menjabat dan sedang terbelit kasus korupsi. Nekat ia menguras kantongnya, demi menghendaki supaya kertasnya kelak berbunyi: ‘’Inilah anggota Dewan yang bijak dan suka membela hak-hak rakyat.’’ Atau Karidmah, mantan artis yang tersandung kasus pembunuhan terhadap ulama tersohor di Jakarta. Rela ia menghadiahkan tiga rumah mewahnya sekaligus, dengan syarat Mudrik mau memberi kesaksian: ‘’Inilah wanita salihah, berbakti kepada agama, selalu sayang kepada sesama.’’ Atau Pikemboh, penyair gaek yang rajin menenggak bir. Tiga bulan lalu, naik motor renta, ia berkunjung ke rumah kokoh menghadap jalan. Di kediaman Mudrik itu, di senja
13
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
yang agak kusam itu, ia berjanji menghadiahkan seluruh buku antologinya, puisi-puisi liarnya, termasuk juga cadangan imajinasinya, apabila sang pengantar mayat tersebut bersedia mengecapnya: ‘’Inilah penyair yang benar-benar penyair. Penyair yang mencintai kata di atas segalanya.’’ Dan, sekali lagi, baiknya kau mengenal aku, sebelum akhirnya memamah penyesalan. Sebelum akhirnya kedudukanmu kurongrong dari dalam, kehormatanmu kuhajar habis-habisan, kewibawaanmu sedikit demi sedikit kurontokkan, ketenaranmu kuhilangkan, nyawamu kuhabisi pelanpelan. Dan, ketika nyaris sekarat itulah, jangan lupa tekan 085649773437. Itulah nomorku, nomor Mudrik yang cukup sangar dan disegani oleh para psikopat itu!*** Jogjakarta, 2012 RIZA MULTAZAM LUTHFY, menulis puisi, cerpen dan esai. Karyakaryanya bertebaran di beberapa media. Cerpennya juga tergabung dalam antologi Negeri Sejuta Fantasi (2012). Ia adalah ahlul mahad Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang. Sedang melanjutkan studi di program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta.
14
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Tiga (3)
Sumur Kembang 22 September 2013 Homaedi Ia kembali mendekatkan wajahnya menghadap bundaran tembok itu, selalu ia lakukan dengan ekspresi yang hampir sama. Beberapa kerutan menjadi berulang, kedua matanya mengarah pada kedalam sumur. Entah apa penyebab tiba-tiba ia menjadi begitu lama mematungkan wajahnya di tempat itu. Pandangnya tak setitikpun beranjak, begitu fokus terhadap objek yang dilihat. Seperti menunjukkan sesuatu yang ia lukis secara samar, remang-remang, hingga tak satupun orang menaruh curiga terhadap apa yang ia perbuat. Acapkali lorong itu di sesaki kendaraan atau pejalan kaki lainnya, namun, orang-orang tak pernah menanggapi. Mereka menganggap perbuatan itu sebuah kewajaran yang banyak mendera mereka-mereka yang tak memiliki akal sempurna. Ya, orang-orang menganggap keanehan itu ketidaksempurnaan yang diemban Rukmini, perempuan kampung yang konon memiliki ilmu santet. Isu itu menyebar kencang
15
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
semenjak Rukmini tak mau dipersunting laki-laki manapun. Yang lebih menyita warga, ia juga tak tak mau bersosial. Hari-harinya banyak digunakan menyusuri lorong-lorong, lalu meracau keliling kampung dengan ungkapan-ungkapan yang tak semua orang mengerti maknanya. Namun, tidak dengan Karso, lelaki tambun yang hampir setiap hari menenteng bungkusan ke tempat Rukmini, menjinjingnya penuh ikhlas dan kesabaran. Gunjingan selalu menghantui. Ada yang mengatakan, Karso telah diguna-guna hingga menaruh perhatian lebih padanya. Banyak pula yang berkata, Karso sengaja mendekati Rukmini untuk memuaskan batin semata. Rupanya ia berhasil mengelabuhi Rukmini dengan sebungkus makanan yang ditukar nafsu bejatnya semenjak istrinya menghembuskan nafas terakhir dua warsa silam. Begitulah isu-isu yang menghantam Karso. Entahlah, kebenaran mana yang harus kusimpan dalam-dalam. Sebab, sepengetahuanku, orang-orang (warga) kampung tempat Karso dan Rukmini tinggal, paling suka membual, menggosip yang menurut seleranya tak wajar. Karso tak menanggapi. Ia memilih menutup mulutnya rapat-rapat, lalu melempar jauh isu-isu yang berseberangan. Perhatiannya tak sedikitpun surut. Ia tetap menyisakan waktu mengunjungi tempat itu setiap waktu. Tuturan Karso pada suatu malam; Rukmini tak seperti yang orang-orang duga. Ia tidak mengalami keterbelakangan apapun. Ia hanya tak mau bergaul dengan orang-orang yang hanya memikirkan harta dunia semata. Pernyataan itu selalu ia lontar di pos ronda, warung-warung kopi, atau di musala sehabis Jumatan. Dan Karso begitu yakin, Rukmini punya kelebihan yang tak semua orang memilikinya; Ia akan (selalu) memberi petunjuk-petunjuk perihal kematian.
16
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
‘’Di ujung timur kampung kita, akan terdengar tangisan tujuh hari tujuh malam,’’ seru Rukmini sambil menunjuk tangannya ke arah yang dimaksud. Karso menghela nafas. Lalu menelan ludahnya dalam-dalam. Setelah itu, lekas-lekas Karso mendatangi teman-temannya. Sudah menjadi kebiasaan Karso menyampaikan hal-hal demikian setelah pulang dari kediaman Rukmini. Teman teman Karso tampak menggambarkan ekspresi ketakutan. Mereka melengoskan pandangnya, seperti timbul keganjilan setelah cerita Karso mereka simak panjang lebar. Sebab, tak hanya malam itu saja Karso menyampaikan ucapan yang sama. Seperti bulan lalu, setelah Karso bercerita perihal apa yang disampaikan Rukmini padanya, selang beberapa hari corong mesjid benar-benar mengumumkan meninggalnya salah satu warga kampung. Hal itulah yang membuat mereka gelisah mendengar kejadian serupa. ‘’Yang benar So, Rukmini mengatakan demikian?!’’ tanya Mamat dengan nada tak percaya. ‘’Iya Mat, baru kemarin Nyai mengatakan itu padaku,’’ jawab Karso seraya berbisik. ‘’Kamu gak nanya, siapa yang akan meninggal?’’ sambung Joko, orang paling lugu di antara yang lain. ‘’Ya, enggaklah,’’ jawab Tarman sok tau, orang yang suka menggoda perempuan. ‘’Lebih baik, kita tunggu saja dalam minggu-minggu ini, siapa yang akan meninggal,’’ sanggah Rozek menatap serius teman-temannya. ‘’Tapi ingat, jangan sampai obrolan ini menyebar luas, takut dibilang fitnah,’’ lanjut Karso menguatkan ucapannya. *** Hari itu, Karso sengaja mendatangi kediaman Rukmini
17
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
sehabis hari beranjak tua. Sebab, di waktu itu, kecil kemungkinan orang-orang melihat saat menenteng bungkusan plastik hitam di tangannya. Bola matanya bergerak-gerak ke segala arah, menyusuri lorong-lorong yang di kanan kirinya terdapat rerimbun dedaun. Dua ekor kelelawar hilir-mudik di atas kepala Karso, memutar-mutar, seraya mengikuti gelagatnya. Di saat bersamaan orang-orang sibuk dengan dunianya masing-masing; berangkat ke musala, dan tak sedikit yang menyalakan saluran kesukaannya. Udara serasa ringan, terik hanya menyisakan kemerahmerahan di permukaan. Karso tak menanggapi kelelawar itu, pandangnya kembali fokus seberang jalan pada sebuah gubuk yang hampir reot, di situlah Rukmini menghabiskan hidupnya dengan alam sekitar, alam yang katanya titipan Tuhan. ‘’Nyai,, nyai,,,,nyai,,,!!’’ panggil Karso dari balik pintu tertutup. Tak ada suara, atau sekedar jawaban seperti kemarin hari. Tampak lengang. Hanya decak cicak saling bersahutan. Ia melanjutkan langkahnya dengan panggilan serupa, namun tetap saja, usahanya hanya menyisakan kesia-siaan. Karso mematung di belakang gubuk, pikirannya entah, tampak gusar. Hening. Matanya tertuju pada semak-semak yang dihias kemerlap kunang-kunang. Tak mau beranjak meski pekat merambat lekat-lekat. Ia tak punya keberanian menerobos gubuk, membunyikan pintunya pun urung dilakukan. Seberkas kecamuk seketika menghantui Karso saat tak ditemukan gelagat Rukmini hingga larut. Entah, tak ada yang bisa diperbuat, ia masih saja mematung di sebelah semak-semak yang makin berkemerlap. Karso meremas-remas tangannya setelah bungkusan plastik itu ia letakkan di batu berlumut. Matanya tampak
18
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
kosong. Senyap. Dua ekor kelelawar kembali berputar-putar. Melelahkannya pada sebuah keputus-asaan. *** Tetes bening pepohon jambu menancap-nancap, luruh begitu saja mengarah tepat muka Karso. Suara-suara kepodang berloncatan di reranting. Terik kembali bangkit. Karso mengkerutkan pelipisnya, membinarkan yang merekat, lalu melengoskan kepalanya ke sekitar. Pelan-pelan ia lakukan sambil menggerak-gerakkan tubuhnya, dan, sempurnalah kesadaran Karso bahwa pekat dan kemerlap melelapkannya pada mimpi yang terpenggal. Tangannya menjangkau bungkusan itu, mendekatkan ciumannya pada kedalaman plastik, lalu melempar warna hitam itu jauh-jauh. Ia kembali mematung, menjatuhkan ingatannya pada ucapan Rukmini tempo hari. Mengurai keganjilan-keganjilan yang menurutnya sebuah kebenaran. ‘’Dunia titipan Tuhan, maka bertobatlah engkau!’’ Sambil menunjuk-nunjuk tangannya ke langit, ia mengeluarkan ucapan-ucapan itu terus menerus. Menjinjing sarungnya yang robek-robek. ‘’Dunia titipan Tuhan, maka bertobatlah engkau!’’ Begitulah suara-suara yang keluar dari mulut perempuan paruh baya itu. Terus-menurus ia lakukan setiap sebelum dan sesudah kabar kematian menggema di corongcorong mesjid. *** Seminggu setelah pertemuan Karso dengan temantemannya, kampung itu menjadi geger. Seketika terusik dengan raibnya Karso yang misterius, kaitan Karso dengan Rukmini menjadi menu utama gunjingan warga; di pos ronda, warung-warungs kopi, juga di musala sehabis
19
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Jumatan. Seberkas dugaan dan rasan-rasan dengan gesit mengarah pada kecurigaan yang tak didasari bukti nyata. Melalui perbincangan yang sulit, warga kampung sepakat mendatangi kediaman Rukmini. Mereka berbondong-bondong ke tempat itu. Sebab, anggapan mereka, Rukminilah aktor utama di balik hilangnya Karso. ‘’Kita bakar saja tempat itu!!’’ seru salah seorang dari mereka. ‘’Jangan, jangan, kita tidak punya bukti kuat untuk melakukannya.’’ ‘’Ah,,banyak omong!’’ Rukmini pembawa malapetaka kampung kita, dia harus mati!’’ Tak berselang lama, gubuk itu diselimuti bara beserta isinya. Sekejap, tempat yang tersulam dari anyaman bambu itu rata dengan tanah. Suana mencekam. Orang-orang melongo dari jauh, menyaksikan kobaran yang melahap-lahap. Sebagian meluapkam hura-hura, dan tak sedikit menutup mulutnya dengan wajah tertekuk. Sedang Rukmini menjerit-jerit seperti biasa, tungganglanggang menyusuri lorong-lorong kampung. Tak peduli kediamannya diluluh-lantakkan orang-orang. Terhuyunghuyung menandakan ia berada dalam tekanan mendalam. Gerimis dari mendung wajahnya meleleh satu-satu, menuruni lesung pipinya yang tampak keriput. Langkahnya makin deras sebelum rebah pada bundaran sumur yang ditumbuhi kembang tujuh warna. Teman-teman Karso yang diam-diam membuntutinya terheran-heran, tak sanggup menerjemahkan apa yang Rukmini lakukan di tempat itu. Dengan kecamuk yang berkelebat, mereka beranikan mendekat, lalu menjatuhkan pandangnya pada kedalaman sumur tak beratap. Terus-menerus mereka
20
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
lakukan, hingga warga kampung berduyun-duyun datang melihatnya.*** Beluk Raja-Madura, 2013 H OMAEDI, lahir di Beluk Raja-Ambunten-Sumenep 1991. Penikmat musik tradisional Madura. Puisi, cerpen dan esainya dimuat di media massa, juga terkumpul dalam antologi bersama pada Temu Komunitas Sastra 2 Kota yakni Lentera Sastra Jawa Timur (2011), Kidung Sunyi (2012) dan Anting Bulan Merah (2012).
21
22
Empat (4)
Harimau Tengkes 15 September 2013 Jefri al Malay
Tepat ketika pulang dari sembahyang Isya, Haji Adnan hilang raib begitu saja. Terakhir, beberapa anak muda yang asyik bergitar di simpang jalan melihat Haji Adnan berjalan memasuki gang menuju rumahnya. Tapi setelah itu Haji Adnan hilang ditelan gelap dan tidak ada yang menyangka ternyata ia benar-benar lenyap. Berita kehilangan itu diketahui setelah keluarganya melapor kepada penghulu bahwa sampai tengah malam Haji Adnan tak kunjung sampai ke rumah. Malam itu juga, beberapa orang yang masih terjaga mengaduk seisi kampung untuk mengetahui keberadaan Haji Adnan. Sekelip mata saja, kampung itu hiruk-pikuk dengan berita kehilangan tersebut. Setelah beberapa jam pencarian dilakukan, tidak ditemukan bukti dan kesan pasti yang dapat dijadikan pedoman. Semuanya hampir putus asa, namun selang beberapa menit kemudian terdengar salah seorang warga berteriak. Ada jejak tapak binatang yang ternyata ditemukan di parit sekitar gang. Jejak tapak itu menuju ke
23
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
semak belukar, persisnya sebelah rumah Haji Adnan yang kebetulan adalah tanah kosong. Semula mereka semua sepakat bahwa jejak tapak tersebut adalah jejak tapak harimau tetapi setelah diperhatikan kembali dugaan itu belum tentu benar karena ada yang aneh dari jejak tersebut. Biasanya binatang berkaki empat itu tentulah meninggalkan jejak tapak empat buah atau dua pasang yaitu dua kaki depan dan dua kaki belakang. Tetapi yang mereka temukan hanya ada tiga buah, dua kaki belakang dan satu kaki depan. ‘’Untuk seukuran kaki harimau, jejak tapak ini terlalu besar. Dan yang membuat pelik lagi, jumlahnya hanye tige buah,’’ penghulu terdiam sejenak. ‘’Binatang ape pula yang berkaki tige?’’ Serombongan orang-orang yang ada pada saat itu juga tampak bingung untuk menjawab pertanyaan penghulu yang seperti teka-teki tersebut. ‘’Jangan-jangan ini jejak tapak binatang jadi-jadian tak Pak Penghulu?’’ jawab Usman, salah seorang pemuda kampung yang tadi juga duduk di simpang dan sempat melihat Haji Adnan berjalan memasuki gang rumahnya. ‘’Tak mungkin...’’ ‘’Ye... tak mungkin,’’ jawab yang lainnya. ‘’Kalaupun ini binatang jadi-jadian, baik itu si jundai atau ape sajelah, tetap tak mungkin berkaki tige. Lagipula, dah dekat sepuluh tahun saye jadi penghulu di kampung ni, tak pernah lagi saye dengar masalah binatang jadi-jadian ni, zaman dah semakin canggih, ilmu-ilmu yang model begitu dah pun lame ditinggalkan,’’ ucap penghulu sambil memperhatikan dengan seksama jejak tapak yang menjadi satusatunya bukti kehilangan Haji Adnan. ‘’Atau Haji Adnan kene sembunyi dek orang bunian Pak Penghulu,’’ sela yang lainnya.
24
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
‘’Ape pula hubungan orang bunian dengan jejak tapak ni,’’ sangkal Usman pula. ‘’Mungkin saje jejak tapak ni punye binatang orang bunian, kite mane tahu alam bunian tu!’’ ‘’Sudahlah...jangan nak mengarut pula. Begini sajalah, kalau nak lebih jelasnye, kite harus cari orang yang paham dengan seluk beluk kampung kite ni.’’ Penghulu sengaja memotong praduga orang-orang kampung yang mulai menyimpang. Apalagi setelah melihat kesedihan yang mulai bersidai di wajah keluarga Haji Adnan. Sebagai penghulu di kampung itu ia harus cepat membuat keputusan agar masalah ini tidak berlarut-larut. Oleh karena itulah ia memerintah anak Haji Adnan dan beberapa orang untuk mencari Haji Adnan ke rumah-rumah kawannya yang biasa ia kunjungi. Sementara itu, Usman dan beberapa orang yang lainnya pula disuruh menjemput Pak Yayo untuk memastikan jejak tapak yang masih menjadi pertanyaan besar di kepala orang-orang kampung. Pak Yayo adalah orang tetua kampung yang masih hidup dari beberapa yang tersisa. Beliau dulunya adalah seorang bomo yang handal. Namun saat ini beliau sudah lama melepaskan profesinya itu dan berkhidmat penuh di sebuah mesjid menjadi Tun Siak atau penjaga mesjid. Sebagai orang yang sudah banyak makan asam garam, tentu ia mengetahui sedikit banyaknya tentang seluk-beluk kampung dan berikut bagaimana sejarah berdirinya. Untuk itulah penghulu meminta Pak Yayo untuk sama-sama mencari titik terang tentang misteri kehilangan Haji Adnan. Sementara itu, orang-orang yang ada di tempat kejadian perkara juga tidak tinggal diam. Mereka merambah semaksemak yang tumbuh meninggi di tanah kosong tempat ditemukannya jejak tapak tadi. Tapi ternyata jejak itu hilang
25
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
tak berbekas. Jejak itu raib serupa raibnya Haji Adnan. Malam semakin kelam, desah-desah ilalang yang ditebas menambah galau dan cemas di hati warga terutama tentunya keluarga Haji Adnan. Suara pekik-pingkau orang memanggilmanggil nama Haji Adnan yang dibalas dengan diam turut pula mendukung suasana kehilangan di malam itu. Seolaholah Haji Adnan memang telah hilang, luncas entah ke mana berada. Sungguhpun demikian mereka tak cepat berputus asa, segala kemungkinan mereka jejaki untuk mencari dan terus mencari. Meskipun hal itu dilakukan lebih sebagai upaya untuk mengurangi kesedihan istri Haji Adnan yang kini tampak sudah berurai airmata. Setibanya Pak Yayo di tempat kejadian, semua orang berkumpul kembali untuk mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi. Semuanya diam membisu sambil memperhatikan gerak-gerik orang tua yang kurus pendek itu. Dengan masih berkemban kain, ia khusyuk memperhatikan jejak tapak yang masih misterius tersebut. Sejenak Pak Yayo tampak terperanjat dan kemudian ia berdiri, matanya jauh nyalang ke depan sambil berujar, ‘’Gimau tengkes...!’’ gumamnya penuh makna. ‘’Gimau Tengkes?’’ ucap beberapa orang spontan dengan raut tanda tanya. Sebagiannya lagi hanya saling pandang termasuklah Pak Penghulu. Pak Yayo pun akhirnya menceritakan semua yang diketahuinya. Bahwa gimau atau harimau tengkes itu dulu dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai binatang siluman penjaga kampung. Seekor harimau dengan ukuran tubuh melebihi harimau kebanyakan. Salah satu kaki depannya memanglah pincang. Kemunculan binatang siluman itu biasanya memberikan pertanda apabila di kampung itu akan dilanda bencana. Kemunculan Harimau itu juga biasanya
26
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
ditandai dengan maraknya ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat yang dapat mencemari nama baik dan identitas kampung mereka itu. ‘’Jadi, apakah selame ini memang sudah ade yang menjadi korban?’’ tanya Pak Penghulu penuh selidik. Pak Yayo tampak diam sejenak sambil berusaha mengingat-ingat. Matanya menatap tajam wajah-wajah warga yang kini seperti tak sabar menunggu jawabannya. ‘’Tidak! setahu aku, belum ade seorang pun yang menjadi korban selame ini. Sebab binatang itu bukanlah jenis pemangse tetapi die cume penjage di kampung kite ni,’’ jawab Pak Yayo tegas. ‘’Kalau begitu ke mane laki aku Tuk? Mane die pergi sebetulnye ni? Kalau macam gini, naik serap aku Tuk...tolonglah Tuk...tolonglah...’’ istri Haji Adnan tampaknya mulai kehilangan kesabaran. Ia pun merentang-rentang setelah kejap kemudian jatuh pingsan. Melihat kondisi tersebut, akhirnya Penghulu memerintahkan warga untuk membawa istri Haji Adnan menuju rumahnya dan diharapkan seluruh warga juga berkumpul bersama di sana. Setelah semuanya tiba di rumah Haji Adnan, tampak Penghulu berbincang-bincang dengan Pak Yayo sementara yang lain duduk sembari menunggu perintah selanjutnya. Suasana semakin mencengkam. Suara tangis istri Haji Adnan dan anak serta kaum kerabat menambah muramnya malam itu. Bagaimana tidak? Ini bukan kasus kehilangan yang biasa tapi hilang tak tentu rimba. Mau dikatakan mati, mayatnya tak ada, mau dikatakan masih hidup pun tak cukup alasan untuk menyebutkannya. Sementara itu, di luar orang mulai bertambah ramai. Karena memang Haji Adnan selama ini dikenal seseorang yang baik hati, rajin beribadah, gemar menolong antar sesama. Gambaran sosok yang islami dan kemelayuan
27
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
berbancuh di dalam dirinya. Sadar atau tidak, ia selalu menjadi panutan di kampung tersebut. Oleh karena itulah begitu terdengar orang-orang mengatakan Haji Adnan menghilang, mereka tidak merasa rugi untuk meluangkan masa guna turut mencari atau sekedar datang menjengah. ‘’Begini sajalah...!’’ Pak Penghulu membuka bicara. ‘’Saye selaku Penghulu mengharapkan malam ini juge untuk same-same kite menggeledah setiap tempat yang mencurigakan di kampung ini, jadi biar lebih efektif, kite pecah beberapa kelompok...’’ Belum sempat penghulu melanjutkan ucapannya, dari jauh terdengar jeritan seseorang. ‘’Tolong... tolong... laki aku... tolong...’’ seorang perempuan paruh baya berlari menuju rumah Haji Adnan. Begitu sampai ia pun menceritakan prihal suaminya yang belum pulang dari sejak tadi pagi. Suaminya itu pergi ke laut untuk mencari nafkah. Tetapi sampai malam begini belum juga tiba di rumah sementara sampan yang digunakan telah ditambat di tempat biasa. Dan yang membuat ia ketakutan adalah di sekitar pantai tempat sampan ditambat ada jejak tapak binatang. ‘’Macamnye, jejak tapak binatang itu, jejak tapak harimau Penghulu...tolonglah saye ni...’’ Mendengar penuturan dari perempuan yang bernama Biah itu semua orang yang ada tak berbunyi. Diam menyimpan raut kebingungan sekaligus ketakutan yang bertambahtambah. ‘’Ade ape ni? Mengape semue diam? Ape hal semue berkumpul di rumah ni? Tolonglah...saye ni...’’ Dalam kebingungan akhirnya Biah diajak oleh penghulu masuk ke rumah Haji Adnan. Lalu diceritakanlah apa yang menimpa dirinya juga sedang dialami istri Haji Adnan. Mendengar hal itu, kedua istri yang kehilangan suami itu pun
28
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
berpelukan sambil meratap tangis atas nasib serupa yang menimpa mereka. Penghulu tampak semakin bingung. Ia hanya mondarmandir masuk ke rumah sebentar kemudian keluar lagi. Dalam pada itulah, ia merasa kehilangan Pak Yayo. Ia pun segera bertanya kepada orang-orang yang ada di luar tapi tak seorang pun tahu apalagi tadi ketika Biah datang semuanya bergegas menuju ke halaman depan sehingga tak seorang pun yang melihatnya. Usman pun diperintah kembali untuk mencari Pak Yayo di rumahnya. Tak berapa lama Usman kembali sambil berlari-lari. Mukanya tampak pucat pasi begitu juga yang lainnya. Mereka tidak menemukan siapa-siapa di rumah Pak Yayo selain mendapati jejak tapak binatang yang sama di depan pintu rumah. ‘’Engkau jangan main-main Man!’’ bentak Penghulu. Dengan nafasnya yang masih terengah-engah Usman menjawab: ‘’Main-main ape pula Pak Penghulu. Tengoklah kami ni, berlari macam tak jejak tanah rasenye untuk sampai ke sini, begitulah saking dah takutnye...’’ Mendengar pernyataan Usman tersebut, spontan saja seluruh yang ada di sana pun menjadi semakin ketakutan. Tanpa diperintah semuanya sudah saling merapat dan mendekat, tak ada lagi yang berani duduk sendiri berjauhjauhan. Kini apalagi yang mesti dilakukan sementara orang yang satu-satunya diharapkan untuk memberi petunjuk dalam masalah ini pun sudah hilang pula. Akhirnya malam itu tak ada tindakan yang lebih jauh bisa dilakukan kecuali berjaga-jaga di sekitar rumah Haji Adnan. Rencana untuk mencari orang yang hilang ditunda menjelang siang karena begitulah kesepakatan yang telah diputuskan bersama. Mengingat jumlah mereka juga tidak
29
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
terlalu ramai jika memang benar mereka harus berhadapan dengan binatang siluman tersebut. Siapa pula yang berani mengantar nyawa dengan sia-sia? Begitulah akhirnya, di rumah Haji Adnan mereka berjaga-jaga sepanjang malam. Dengan sisa kebersamaan yang ada setidaknya mampu mengusir ketakutan pada diri masing-masing. Demikian juga dengan kesedihan akan kehilangan dari keluarga yang bersangkutan. Dalam hal ini, Penghulu dan beberapa orang lainnya menjelaskan kepada mereka bahwa jika sekiranya orang-orang yang hilang tersebut diterkam dan kemudian mati tentu saja ada darah atau sobekan baju misalnya. Namun bukti itu tidak ditemukan sama sekali, hal ini berarti berkemungkinan si korban masih hidup, barangkali hanya disembunyikan. Berbagai pengertian dan pejelasan yang sifatnya menghibur mengucur mengimbangi kesedihan yang ada. Apakah cara itu berhasil? Entahlah. Tetapi setidaknya untuk sementara hanya itu yang dapat mengurangi meskipun sesungguhnya tak ada yang bisa merasakan kehilangan jika tidak benar-benar kita yang merasakannya sendiri. Akhirnya pagi yang dinanti-nanti pun menjelang. Suasana mencengkam telah pun berangkat seiring cahaya mentari yang menyapu jagad. Tidak dapat dielak lagi, rumah Haji Adnan pun bertambah ramai tentunya. Selain dari warga, sejumlah petugas keamanan pun telah bekerja sesuai dengan prosedurnya. Begitu juga para pencari berita sibuk pula mengumpulkan data-data untuk dijadikan bahan berita nantinya. Berita kehilangan ini ternyata memang menjadi berita yang hangat dan akbar selama berbulan-bulan. Karena pada setiap malamnya seorang demi seorang kembali hilang
30
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
dengan modus yang sama. Ke manakah raibnya mereka yang hilang? Benarkah gimau tengkes yang menyembunyikan atau memangsanya? Siapakah lagi yang akan menjadi korban berikutnya? Apakah mereka yang hilang itu akan kembali? Tapi bilakah masanya? Berbagai pertanyaan memburai begitu saja tanpa ada jawaban yang pasti. Masyarakat di kampung yang didera bencana serupa kutukan itu seolah-olah sudah pasrah. Tak ada yang bisa diupayakan karena semakin dicoba untuk diselamatkan semakin banyak pula yang hilang. Termasuk juga Penghulu turut raib hilang entah ke mana. Masih banyak lagi, di antaranya pemuda dan pemudi yang seharusnya menjadi regenerasi di kampung tersebut, ibu rumahtangga, anak-anak, janda, duda. Semuanya seolah menunggu giliran saja. Bila disimak dengan lebih teliti, proses kehilangan tersebut dimulai dari tokoh-tokoh yang menjadi panutan, tokoh masyarakat sampailah ke lapisan masyarakat biasa. Tapi siapakah yang sempat peduli akan hal itu sementara tiap-tiap orang dicemaskan dengan gilirannya yang akan turut menghilang. Satu hal yang mereka yakini setelah melihat peristiwa demi peristiwa kehilangan tersebut bahwa segenap masyarakat yang berasal dari kampung itu tampaknya memang akan hilang. Oleh karenanya, beberapa orang yang menyadari hal tersebut segera pergi dari kampung itu. Kalau pun ada sebagian, mereka telah mengungsi ke pinggir-pinggir atau perbatasan kampung terdekat. Tak ada alasan untuk mereka tetap tinggal, selain dari tidak adanya harapan untuk bisa bertahan hidup, pun semua tokoh yang selama ini menjadi panutan atau yang dipercaya untuk menjadi pemimpin sudah tidak ada lagi yang tersisa, akhirnya kebersamaan selama ini dimiliki luncas seiring lenyapnya mereka satu per satu. Tetapi meskipun demikian, kampung yang ditinggal
31
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
tersebut tidak lantas menjadi sepi atau mati. Aneh memang. Kampung itu seolah-olah seperti dibangun kembali. Yang hilang tetap hilang namun justru yang datang semakin tak terbendung pula. Entah dari sudut bumi mana mereka datang, yang pasti kedatangan mereka cukup dapat mengimbangi dan menenggelamkan berita kehilangan yang pernah terjadi. Mereka berkeluarga dan beranak-pinak di kampung itu. Membangun kehidupan yang baru dengan nafas peradaban yang baru pula. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Tentu saja kemudian lambat laun peristiwa kehilangan yang begitu menakutkan menjadi sesuatu yang lazim. Ia menjadi semacam kebiasaan yang tak perlu dihiraukan. Ia hanya menjadi berita biasa saja seperti beritaberita korupsi, pembunuhan, perampokan, yang kerap kita baca di koran atau yang ditonton di layar televisi. Lantas perlukah dipertanyakan lagi atau diselidiki lebih jauh berita kehilangan itu jika semuanya sudah menjadi sesuatu yang lumrah dan tentu saja sudah menjadi bagian dari sejarah. Perlukah kita mengetahui kebenaran sesungguhnya atau katakanlah hakikat atas jejak tapak yang ada di setiap peristiwa kehilangan tersebut? Terserahlah...! jika ada yang menganggap sangat perlu, mungkin suatu hari nanti akan ada pula yang bekerja keras mencari jawabannya. Tetapi jika itu tak lebih penting dari pada menyelamatkan diri sendiri, nikmati sajalah hidup ini. *** Gimau Tengkes: Harimau penjaga kampung yang dipercaya oleh beberapa masyarakat, terutama masyarakat Bukit Batu, Sungai Pakning dan sekitarnya. Binatang ini dulu diyakini sebagai binatang sakti yang bertugas sebagai
32
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
penungu dan penjaga kampung.*** Pulau Rindu, 30 Agustus - 5 September 2010 JEFRI AL MALAY, anak jati Sei Pakning dan sastrawan muda Riau yang cukup produktif. Buku kumpulan sajaknya yang telah diterbitkan berjudul Kemana Nak Melenggang.
33
34
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Lima (5)
Hari yang Aneh 1 September 2013 Adam Gottar Parra
Di bawah pohon algur, di depan Balai Kota, lelaki berpakaian compang-camping itu duduk sendiri memandang awan berarak di atas runtuhan gedung berwarna kelabu. Sepasang burung elang yang seolah keluar dari gumpalan awan membuat hatinya terpesona. Sorot matanya yang jernih terus mengikuti gerakan burung itu, hingga lenyap tertelan pucuk bukit yang sebagian tersaput kabut tipis. Memerhatikan penampilannya, yang tanpa alas kaki, tentu orang tak mengira kalau dia adalah penyair Warman Hendrawala, yang dulu dianggap sebagai musuh negara, karena sering mengkritik pemerintah, sehingga diburu seperti anjing ke berbagai kota dan negara yang menjadi tujuan pelariannya. Tapi, sejak perang meletus empat tahun silam, seluruh warga kota mulai menyadari kebenaran ucapannya. Tetapi apalah artinya nasi yang sudah menjadi bubur. Kini kota telah hancur jadi puing-puing.
35
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Sudah hampir dua jam ia duduk di situ, di antara buahbuah algur yang terserak di tanah dan menguarkan aroma stroberi. Namun tak sesosok bayangan pun yang ditemukannya melintas di jalan. Juga di rumah-rumah yang di masa sebelum perang selalu ramai oleh anak-anak dan remaja, kini terlihat sepi. Tak tampak manusia, bahkan anjing dan kucing, sehingga mengundang tanya, ‘’Ke mana gerangan penduduk kota ini?’’ Kendati setiap orang sudah tahu jawabannya: selain terbunuh, sebagian kini hidup dalam pengungsian. Istirahnya Warman di perempatan Balai Kota pada hari kepulangannya ke tanah kelahiran setelah puluhan tahun mengembara dari kota ke kota, negeri ke negeri itu, bukan tanpa alasan. Sebagai penyair, yang ke mana-mana selalu berjalan kaki, kecuali menyeberang laut, sebenarnya Warman tidak terlalu suka beristirahat, kalau tidak perlu-perlu. Tak peduli panas terik atau larut malam, ia akan terus berjalan selama masih bertenaga. Ia hanya akan beristirahat di emperan gedung atau bawah pohon bila matanya sudah mengantuk. Ketidaksukaannya beristirahat itu tampak juga waktu melalui Tembok Cina. Ketika menyusuri benteng peninggalan zaman dinasti Ching yang mengular sepanjang 6451 kilometer di atas pegunungan itu, ia beristirahat hanya untuk tidur, atau berhenti sejenak saat menyaksikan keindahan pemandangan di lembah. Sehingga kakinya yang penuh luka kerap meneteskan darah. Begitu pun ketika ia memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon algur di depan Balai Kota, sama sekali bukan sebab letih, tapi karena tersihir oleh aroma buah algur ranum yang terserak di trotoar, yang serta-merta mengingatkan pada beberapa orang kawannya di masa kanak-kanak. Di matanya segera terbayang wajah Jufri, Malik, Sukir Jambul, Fahri, Norman, Ahim Cebol, Rizal, dan dirinya sendiri, saat
36
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
berenang di bendungan, lalu makan buah algur. Seperti biasa, saat pulang sekolah mereka akan selalu mampir di waduk peninggalan zaman VOC, untuk berenang hingga sore hari sampai kulitnya pucat dan mengeriput seperti kulit jagung. Tampak mereka menanggalkan pakaian seragam sekolah, lalu berdiri menghadap ke sungai sambil memegang pelir. Kemudian melompat terjun ke air bendungan, dan berenang sampai bosan. Bila berenang mereka suka lupa waktu. Dan baru akan berhenti saat orangtuanya datang. Biasanya, Emak Sarmah, ibu Warman, yang selalu datang ke waduk untuk menyuruh mereka pulang. Wanita paruh baya itu akan muncul di ujung lorong sambil menenteng batang lidi untuk menakut-nakuti Warman agar berhenti berenang. ‘’Naik! Kalau tidak, saya pecut!’’ gertak Emak Sarmah dari ujung tanggul, sambil mengacung-acungkan batang lidi, ‘’Pulang makan dulu, baru berenang lagi,’’ bujuknya. Tetapi, Warman sudah mengerti betul maksud Emaknya, bahwa, setelah makan, langsung mandi dan berwudu, kemudian pergi ke maktab untuk belajar mengaji. *** Seperti biasa, sehabis berenang, Sukir Jambul akan langsung memanjat pohon algur di pinggir bendungan, lalu menggoyang-goyang dahannya, hingga buahnya berjatuhan ke tanah. Karena lapar mereka pun akan memakan buah yang rasanya kelat itu, yang oleh kawan-kawannya secara berseloroh sering disebut sebagai buah ‘stroberi putih’, karena baik aroma maupun bentuknya memang mirip sekali dengan buah stroberi. Letak perbedaannya hanya pada soal rasa dan warna, serta ukurannya yang lebih kecil dari buah stroberi.
37
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Mengenang kekonyolan di masa kanak-kanak bersama kawan-kawannya itu membuat Warman kerap tersenyum sendiri. Termasuk ketika melintas di depan pedagang buah di sebuah dusun di Hungaria Utara, aroma stroberi itu segera mengingatkannya pada buah algur di bendungan dan sahabat-sahabat kecilnya di masa lampau, yang kini tentu sudah jadi bapak-bapak. Ia selalu ingat, setiap habis berenang, dalam keadaan telanjang Sukir Jambul akan langsung memanjat pohon algur di ujung tanggul. Sambil bertengger seperti monyet, Jambul akan menggoyang-goyang ujung dahan seperti kerasukan, hingga buah-buah algur yang masih muda pun ikut berguguran ke trotoar. ‘’Bul, sudah Bul, sisakan untuk monyet dan kelelawar!’’ teriak Warman seraya mendongak ke atas. Karena di kawasan hutan lindung dekat waduk itu masih terdapat ratusan ekor monyet yang saban hari, jika suasana sedang sepi, akan datang bergerombol ke pohon algur, setelah berenang menyeberangi sungai. ‘’Alaaaah, mampus-mampuslah monyet-monyet itu!’’ teriak Jambul menimpali dari atas pohon, lalu kembali menggoyang-goyang dahan pohon algur itu sekuat tenaga, hingga buah-buah muda pun berserakan di tanah. Setelah itu Jambul akan kencing dari atas pohon, hingga membuat rekanrekannya marah, lalu melempari Jambul dengan buah muda. Pohon algur yang sarat buah di depan Balai Kota itu mengingatkan Warman pada mereka. Menyaksikan pemandangan di kota kelahirannya yang kini tampak sunyi seperti kandang kosong, Warman yang baru kembali dari perjalanan mengelilingi dunia itu, terlihat sedih. Ia merenungi kembali hakekat perang dalam roman War and Peace karya Leo Tolstoy di tengah reruntuhan kotanya yang menguarkan bau busuk. ***
38
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Sudah lebih dua jam penyair Warman Hendrawala duduk termangu di bawah pohon algur di pinggir trotoar. Matahari pun mulai doyong ke barat. Tapi tak seorang pun yang dilihatnya melintas di setiap ruas jalan. Namun, di salah satu ujung jalan, tiba-tiba berkerdip sebuah titik cahaya yang kian membesar. Cahaya itu tampak bergerak mendekat. Ternyata sebuah mobil polisi, disusul dua mobil lainnya di belakang. Suara sirenenya pun mulai terdengar meraung-raung di udara. Tak ada kekhawatiran pada diri Warman, sehingga ia tak menggeser posisi duduknya di lengkungan akar algur. Perkiraannya tepat. Mobil patroli itu berhenti di depannya. Pintu mobil pun segera terbuka. Dua anggota polisi keluar. Yang lainnya tetap tinggal di dalam. ‘’Selamat sore, Pak...’’ sapa polisi itu dengan nada curiga. Tetapi, sebelum Warman membalas, ia dikejutkan oleh suara seseorang yang memanggil namanya dari mobil di belakang. Dia adalah seorang laki-laki gemuk berpakaian dinas wali kota, lengkap dengan petnya. Ia langsung keluar sembari mendorong pintu mobil ketika melihat Warman. ‘’War? Kamu Warman ‘kan?’’ katanya, tegang, lalu membuka kacamatanya, ‘’Kamu masih ingat saya? Saya Sukir Jambul!’’ tambahnya, lalu melompat ke trotoar, hingga berdiri persis di depan Warman yang kini tampak bengong seperti siput. ‘’Saya Jambul, ingat ‘kan?’’ ujarnya, lalu menarik lengan Warman, mengajaknya berdiri. ‘’Jambul! Kamu jadi Wali Kota?’’ tanya Warman heran sambil melihat emblim di dada Sukir Jambul, sahabatnya. Keduanya pun berpelukan, akrab sekali. Hingga para anggota polisi dan sejumlah staf wali kota yang ikut rombongan patroli terheran-heran melihat Pak Wali Kota berpelukan dengan orang yang berpenampilan mirip
39
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
gelandangan. ‘’Ke mana saja kamu selama ini, War?’’ tanya Jambul. ‘’Tak ke mana-mana,’’ jawab Warman. ‘’Waktu aku baru terpilih jadi Wali Kota, aku langsung cari kamu, untuk kuangkat jadi Kabag Humas, tapi kamu menghilang,’’ kata Jambul. ‘’Terima kasih, Bul, atas perhatianmu,’’ kata Warman, tersenyum, ‘’Oya, Bul, kamu masih ingat buah ini?’’ tanya Warman sambil tertunduk, memungut buah algur di tanah. Melihat buah algur di tangan Warman, wajah Jambul langsung bahagia. ‘’Ingat. Ingat sekali, War!’’ kata Jambul sambil merebut buah algur di tangan Warman, lalu memasukkan ke mulut dan mengunyahnya. Tindakan Pak Wali Kota membuat para stafnya seolah mau pingsan. Mereka berdiri terpaku di samping mobil. Dan mereka bertambah bingung ketika Jambul merangkul batang algur di depannya, lalu memanjatnya. Karena sejak kecil Jambul memang sudah terbiasa naik pohon, ia tak kesulitan memanjat pohon algur yang tingginya separuh bangunan menara Balai Kota itu. Dalam waktu singkat Pak Wali Kota telah bertengger seperti monyet di cabang pohon, lalu menggoyang-goyang dahan sarat buah itu, hingga berjatuhan. ‘’Bul, sudah Bul! Sisakan untuk monyet dan kelelawar!’’ teriak Warman dari bawah. ‘’Alaaaaah, mampus-mampuslah monyet-monyet itu!’’ jawabnya sambil terus menggoyang dahan algur seperti kesurupan. Tak terbayangkan rasa malu pada stafnya, menyaksikan Pak Wali Kota bertengger dengan pakaian dinas di atas pohon. Setelah puas menggoyang cabang algur, Wali Kota tibatiba menarik resleting celananya, lalu kencing dari atas
40
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
pohon. Pancuran berbau pesing itu menerpa wajah orangorang di bawahnya, termasuk rambut Ina yang kini jatuh pingsan.*** Mataram, 2011-2013 A DAM GOTTAR PARRA, lahir di Praya, 12 September 1967. Cerpen-cerpennya dimuat di berbagai media. Bermastautin di Lombok, NTB.
41
42
Enam (6)
Indonesia Raya 25 Agustus 2013 Musa Ismail
Kabut, banjir dan gempa silih berganti. ‘’Kita telah kehilangan. Kehilangan! Sudah sebulan, Indonesia Raya tak kelihatan. Aku sudah mencari ke sana-ke mari, tetapi tetap saja nihil. Ayo, coba katakan, apakah kalian melihatnya. Di pasar, di kampung, di kota, di kantor, di perusahaan, bahkan di sekolah juga tidak aku temukan. Ayo, katakan siapa yang melihatnya?’’ Jabar menundukkan kepalanya sambil tersengguk-sengguk menahan tangis. Ketika itu, dia teringat peristiwa 17 Agustus beberapa tahun lalu. Yang dia lihat, Paskibra mengusung keranda, bukan membawa bendera. Paskibra menggantung mayat di ujung tiang bendera, bukan benderanya. ‘’Kita benar-benar rakyat yang tidak bertanggung jawab. Hanya menjaga satu Indonesia Raya, kita tak mampu. Bahkan, kita selalu bertengkar sesama sendiri. Bertengkar sesuatu yang kadang-kadang sangat sepele dan sering diakhiri dengan pertumpahan darah. Kita telah kehilangan.
43
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Memang kita telah kehilangan benda berharga. ‘’Mengapa kita tidak mempertaruhkan darah untuk Indonesia Raya? Mungkinkah Indonesia Raya telah dicuri oleh orang yang tidak dikenal? Oh, kita benar-benar manusia tolol!’’ mata Jabar merah bagai si kaki botol yang sering lalu lalang di sepanjang malam pasar ini. Tetapi, malam ini begitu sepi. ‘’Bagaimana kita akan bersemangat kalau Indonesia Raya tidak berdaulat lagi?’’ karena terlalu lama berbicara, suara Jabar bagai tercekik. Malam sepi melahirkan gema pada setiap ucapannya. Purnama meredup. Masyarakat tumpah-ruah malam itu. Kini, pasar tak hanya sepi, tetapi hening. Mereka hening karena heran, mengapa kepala kampung begitu histeris sebab kehilangan Indonesia Raya. Renyai hujan di malam itu tak menghentikan keheranan mereka. Renyai itu juga tak mampu mengganjal kehisterisan Jabar. Berbolak-balik sambil bersuara menyemangati warganya agar segera menemukan kembali Indonesia Raya. ‘’Ke mana Indonesia Raya, Pak? Ke mana akan kami cari? Semua orang kehilangan. Bukan kita saja di Sumatera, tetapi juga di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, Madura, dan sebagainya juga menangis karena kehilangan. Bahkan, di sekolah, anak-anak kita tak bersemangat lagi untuk menyanyikan semangat Indonesia Raya,’’ sekonyongkonyong Bu Ramlah, seorang guru seni di salah satu sekolah menimpali kesedihan kepala kampungnya. Resah berkepanjangan. Bukan cuma kepala kampung atau Bu Ramlah yang merasa aneh. Hutan, lautan dan udara pun menangis.
44
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Komodo, gajah, harimau dan garuda juga. Warga kampung apalagi. Airmata mereka nyaris kering menyesali peristiwa itu. Padahal, mereka tahu bahwa menyesal kemudian tiada berguna. Namun, apa hendak diperbuat selain menyesali kehilangan Indonesia Raya di tengah peringatan Sumpah Pemuda. ‘’Apa kita tidak malu dengan tetangga? Kita sepertinya tak mampu menjaga Indonesia Raya,’’ Jabar berkeluh-kesah lagi. ‘’Bapak tak sepatutnya hanya berkeluh-kesah. Jangan sampai mencari kambing hitam. Benar atau tidaknya warga, bergantung pada pemimpinnya,’’ Chandra protes karena keberatan dengan sikap Jabar yang kurang bijak. Chandra memang begitu. Kritis, sok hebat, dan agak pintar juga. Buktinya, dia menjadi dosen. ‘’Sekarang, kita harus melangkah ke jalan keluar yang mana?’’ matanya menatap Jabar. Meskipun menantang mata Chandra, Jabar hanya diam. ‘’Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu,’’ imbuhnya sambil berpikir apa yang semestinya bisa dilakukan. Semuanya diam. Sebagian kecil saja, warga berpikir sesuatu. Lebih banyak hanya menung tak tentu bagai keledai. Padahal, mereka tahu bahwa Tuhan meletakkan sebagian kemuliaan manusia pada ketika mereka memanfaatkan pikirannya. Bukan cuma membawa otak, tetapi berjalan sambil memanfaatkan otak. Namun, begitulah yang terjadi dengan sebagian besar warga kampung ini. Jabar juga sudah berkali-kali mengingatkan warganya agar selalu berpikir positif tatkala menghadapi masalah apapun, termasuk masalah yang rumit ini. ‘’Saya yakin ada seseorang atau sekomplotan orang yang mencurinya. Ini tak bisa kita biarkan. Berbahaya buat
45
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
kampung kita. Kita mesti mencari tahu siapa dalangnya,’’ Chandra membuka kemungkinan. ‘’Tapi, bagaimana caranya? Apa kau mencurigai seseorang atau sekomplotan orang itu, Chan?’’ kening Jabar bergerak pelan. ‘’Belum. Aku belum menemukan matlamat ke arah itu. Aku cuma memikirkannya,’’ lama juga Chandra menanggapi pertanyaan Jabar. ‘’Masalah ini bukan persoalan sepele. Aku jadi psimis dengan sikap kita. Kita terkesan kurang peduli dengan Indonesia Raya. Menyanyikannya saja kita kurang becus. Kita lebih hafal dengan lagu-lagu tren terkini. Kalau menyanyikan saja kurang becus, bagaimana kita bisa mengelola Indonesia Raya dengan benar?’’ Bu Ramlah bersuara tinggi. ‘’Maksudmu, aku tidak becus, gitu?’’ muka Jabar sedikit aneh. ‘’Bukan begitu. Maksudku, kita. Bukan cuma Bapak,’’ tepis Cikgu itu. ‘’Aku setuju itu,’’ tiba-tiba Chandra bersuara. Jabar menjeling Chandra. Bu Ramlah merasa di atas angin karena dukungan Chandra. *** Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Sudah tak terhitung lagi peluh yang jatuh. Warga kampung ini memang tidak lagi tahu dan tak paham Indonesia Raya. Bukan hanya tidak paham makna, mereka bahkan tidak hafal. Alasannya sudah lupa dimakan usia. Karena alasan itu pula, Cikgu Ramlah mati-matian melatih para siswanya untuk menghafal dan memaknai Indonesia Raya di tengah badai kehilangan. Bahkan, setiap Senin,
46
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
mereka menyanyikannya, tetap saja ada kehilangan. Jiwa Indonesia Raya laksana sudah lepas dari raganya. Mereka selalu lemah. ‘’Mungkinkah nasionalisme itu mulai pudar?’’ pikir Cikgu Ramlah ketika itu. Panas telah mengubah mukanya menjadi agak merah. Bertambah panas karena para siswanya semakin lepas dari jiwa lagu itu. Asal bernyanyi tanpa makna, tanpa jiwa. Kosong bagai kaleng-kaleng minuman ringan yang baru habis diteguk dan dilemparkan begitu saja di tengah terik yang menyiksa tanpa rasa bersalah karena telah merusak lingkungan. Suara-suaranya hanya bergemuruh tanpa isi bermakna. ‘’Ananda tahu, ini marwah kita. Akankah marwah ini kita injak atau kita biarkan begitu saja hilang dicuri. Atau hilang oleh kebodohan sendiri. Sungguh kita akan menjadi warga yang tak mengenang sejarah. Ananda semua inilah yang harus mempertahankan Indonesia Raya. Sekarang, ke mana akan kita cari kehilangan ini?’’ Cikgu Ramlah terus menceramahi siswanya seperti berbicara dengan tembok. Hanya gema merembes di beberapa sisi tempat para siswa itu berdiri. ‘’Siapa yang salah atas kehilangan ini, Bu?’’ salah seorang siswa ingin tahu. ‘’Tak perlu kita mencari kambing hitamnya. Yang terpenting, kita cari siapa pencurinya dan kita dapatkan kembali jiwa itu,’’ Cikgu Ramlah memberikan pengertian yang belum tentu dimengerti siswanya. ‘’Tapi bagaimana caranya,’’ tanya siswa lain pula. ‘’Bukankah beberapa waktu lalu upaya itu sudah dilakukan. Hasilnya belum dapat juga,’’ lanjutnya. Kali ini, waktu bagai pedang laksana menebas-nebas leher warga. Nyaris sepuluh tahun ini warga tak peduli lagi
47
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
dengan Indonesia Raya. Semuanya nyaris cuek. Nyaris semuanya putus asa. Padahal, mereka paham bahwa berputus asa itu dilarang Allah, yang menyayangi setiap usaha kebaikan hamba-Nya. Namun, kehilangan marwah ini bak ditelan sesuatu yang gaib. Rasa bingung melengkung di cakrawala perkampungan ini. Kampung yang selalu bersemangat ini seperti telah kehilangan geliga sakti, kekuatannya. Karena itu, warga berunding lagi malam kemarin untuk melakukan pencarian. Ini entah upaya pencarian yang ke berapa ratus kali. Warga bergentayangan seperti tiada harapan. Langkah lunglai terus menerobos semak belukar, bahkan hutan. Sementara itu, beberapa kampung di seberang sana, terus saja berselisih paham, berbunuhan, bermusuhan, dan berperang. Darah tumpah. Airmata tergenang. Duka mengalir. Kesengsaraan tertawa. Para setan tersenyum riang. ‘’Jika kehilangan ini tak kita temukan, darah akan terus tumpah, airmata akan terus menggenang, duka mengalir terus, dan para setan semakin senang karena merasa menang,’’ rasa iba menggantung di muka Jabar yang mulai keriput. ‘’Apa yang akan terjadi dengan kampung kita ini nanti?’’ ‘’Itu artinya, kampung kita juga akan menjadi seperti kampung di seberang itu, Pak?’’ seorang pemuda terperangah. ‘’Aku tidak berharap begitu. Semoga saja tidak.’’ ‘’Kalau Indonesia Raya ditemukan apakah akan aman?’’ ‘’Ya, setidaknya kita masih punya harapan jika ditemukan.’’ Warga kampung saling pandang. Semuanya memikirkan kemungkinan, apakah bisa ditemukan atau tidak. Apakah kampung ini akan mengalami kehancuran atau tidak?
48
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Bayang-bayang mengerikan itu terus saja menggantung di cakrawala kampung. Semuanya kian cemas jika dalam waktu dekat belum juga ditemukan. ‘’Aku tak percaya itu. Mana mungkin karena kehilangan Indonesia Raya kita akan menuai kehancuran,’’ terdengar suara-suara berbisik ketika pencarian berlangsung. Mereka masih terus mencari dan melangkah dalam kelam. Sudah sekian jauh warga melangkah. Mereka melapah semak dan melawan kelam hutan. Dalam sekebat harapan, warga terus saja melapah. ‘’Saudara, di depan ada cahaya. Mungkin di sana ada harapan. Mari kita bergegas,’’ Jabar menyemangati. Semuanya semakin bersemangat. Mereka ingin dengan cepat tiba di titik cahaya itu. Semakin dekat, titik cahaya itu kian membesar. Harapan warga pun semakin kuat. Sambil bersuara menyemangati, mereka berlari. Titik cahaya itu kian menganga dan mereka tiba pada ujung pencarian. Semuanya terkejut. Semuanya geram. ‘’Hidup korupsi. Hidup kemiskinan, kemelaratan. Hidup adu domba. Hidup narkoba. Hidup pengkhianatan. Hidup anarki. Hidup kebodohan. Hidup ketidakjujuran. Matilah hukum. Matilah oranga miskin. Matilah akal sehat. Matilah kejujuran.’’ Tulisan-tulisan itu menggantung di setiap gedung megah seperti DPR, istana, Lapas, sekolah, kementerian, pengadilan, dan terus merangkai-berjalin satu dalam satu siluet yang mengerikan. Tulisan di kain rentang itu berkibar dengan bangganya, berkilau-kilau memendarkan cahaya dan memantulkannya kembali hingga ke kampung-kampung. Warga kampung lesu. Indonesia Raya entah ke mana. Dengan langkah gontai, mereka mundur. Kain rentang di gedung-gedung megah itu kian bercahaya, berkilau-kilau,
49
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
dan berkibar bangga. Indonesia Raya merdeka-merdeka Tanahku negeriku yang kucinta Indonesia Raya merdeka-merdeka Hiduplah Indonesia Raya. Gelap. *** MUSA ISMAIL , adalah sastrawan Riau yang telah banyak menghasilkan karya sastra berupa sajak, cerpen dan esai. Saat ini berkhidmat sebagai guru SMAN 3 Bengkalis.
50
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Tujuh (7)
Berburu Kunang-kunang 4 Agustus 2013 Miftah Fadhli I Jika malam tiba, kunang-kunang akan memenuhi semak. Mereka muncul begitu saja di sana. Tahu-tahu, semak sudah dipenuhi cahaya kecil hijau kekuningan. Seperti cahaya lilin yang mengambang. Aku dan Sulastri bersembunyi di semak lain. Kami tidak membawa apa-apa selain jaring kecil yang biasanya kugunakan untuk menangkap ikan kecil di selokan. Sulastri membawa toples bening kecil. Tubuh kami berdua dimakan gelap. Tapi seolah tahu, tak seekor pun kunang-kunang beranjak mendekati kami. Bulan menggantung tepat di atas kepala kami. Langit begitu kosong. Di atas sana, bulan seperti seseorang yang sendirian. Cahayanya menyeruak, seperti kata-kata rindu. Bulan rindu ditemani bintang-bintang. Tapi jika malam tiba, kami berpikir, bintang-bintang sudah berubah menjadi kunang-kunang. Aku dan Sulastri menunggu beberapa lama sampai
51
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
kunang-kunang terbang mendekat. Kami tidak boleh tibatiba muncul dan menghardik sekelompok kunang-kunang. Mereka akan pergi melihat manusia. Tubuh mereka akan kehilangan cahayanya jika melihat kami berdua muncul. Mungkin kunang-kunang berpikir, kami ini hantu atau semacamnya. Mungkin kunang-kunang berpikir, orang-orang kampung adalah hantu atau semacamnya. Mereka cepat menyadari kulit kami yang rata-rata gelap. Gelap, disepuh matahari. ‘’Ssst. Ada satu.’’ Seekor kunang-kunang rupanya mendekati kami. Dia terbang perlahan dengan tubuh yang kadang bersinar kadang meredup. Aku mempersiapkan jaringku. Sulastri menundukkan bahunya dan memegang toplesnya erat-erat. Ia sudah melonggarkan penutupnya. Saat kupikir kunangkunang itu sangat dekat, aku mengayunkan jaringku. Kami pikir, kami telah mengusik segerombolan cahaya redup itu. Tapi aku berhasil menangkap satu. Kunangkunang itu terperangkap di jaringku. Sulastri buru-buru mengambil kunang-kunang dengan kedua telapak tangannya. Seperti cangkang kerang yang tertutup, kunangkunang terperangkap dalam tangan Sulastri yang lembut. Ia memindahkannya ke dalam toples. Di dalam sana, kunangkunang terbang berputar-putar. Seperti cahaya lilin yang redup. II Minibus berhenti di tengah-tengah sawah. Jalan masuk ke kampungku melewati sebuah pematang yang panjang. Bulan bertengger sendirian di langit yang kosong. Tidak ada lampu atau penerangan lain di sawah. Orang-orang kampung biasanya memanfaatkan sinar bulan. Pematang adalah jalur
52
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
yang terlihat lebih gelap. Aku sudah lama tidak menginjak pematang sawah mungkin tepatnya, melihat sawah. Aku berjalan hati-hati, meraba-raba tanah dengan kakiku sebelum mengambil langkah. Di ujung pematang cahayacahaya kecil berkerlipan seperti kunang-kunang. Ya, kampungku seperti puluhan cahaya kunang-kunang. Ayah dan ibu rupanya sudah menyambutku di depan rumah. Tetangga memenuhi rumahku. Airmata ibu menetes begitu memelukku. Terasa betul kerinduan yang menyesak di dada. Empat tahun kerinduan membangun ruang. Mataku terasa hangat. Para tetangga bergantian menyambutku. Lama sekali rasanya aku tak mendengar keriuhan semacam ini. Suarasuara yang begitu dekat dan akrab. Pelukan-pelukan yang tanpa sekat. Diam-diam aku memeriksa wajah mereka satu per satu. Barangkali seseorang berdiri di sudut lain di rumah ini. Aku sudah tak bertemu dengannya empat tahun ini. Kuamati beberapa orang perempuan. Aku ingat sekali wajahnya. Empat tahun tak membuat garis-garis pipinya hilang di kepalaku. Aku kenal sekali bagaimana ia memperlakukan rambutnya. Atau cara berdirinya. Tahun-tahun pertama kami masih sering berkirim surat. Aku menyimpan surat-suratnya di tempat khusus. Kadang pada malam tertentu saat langit kosong dengan bintangbintang dan bulan sendirian aku mengingatnya dengan membaca surat-surat itu kembali. Tahun kedua kami nyaris tak saling mengabarkan. Aku menelepon beberapa kawan di kampung untuk meminta nomor teleponnya. Kadang-kadang aku meminta ibu menanyakan kabarnya lewat ponsel. Hanya sekali kami mengobrol lewat ponsel. Ah, ingat sekali aku irama napasnya. Kadang-kadang ia mengambil jeda panjang untuk melanjutkan obrolan. Itu malam yang panjang
53
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
sebelum akhirnya kami sama sekali tak saling mengabarkan. Para tetangga terus berdatangan dan menyambutku. Di tengah keriuhan aku menyaksikan kedatangannya. Aku ingat bagaimana ia berjalan; selalu menunduk dengan kedua tangan membentuk segitiga ke bawah, ia selalu memperhatikan langkahnya. Rambutnya, ah, kepang dua. Sebelum ia menginjak teras rumah aku lebih dulu berdiri di depannya. Menyambutnya. ‘’Baru datang?’’ Ia menegakkan kepalanya. Tersenyum. ‘’Iya, maaf.’’ Aku sangat merindukannya. Sesaat aku berpikir akan memeluknya sebelum aku menyadari banyak hal. ‘’Kenapa datang sendirian?’’ Ia mengambil jeda panjang, mengambil napas panjang. ‘’Dia sedang ada urusan.’’ Setelah empat tahun, rupanya kami berubah. Sesaat aku paham; ia begitu menjaga jarak dariku, banyak menunduk saat mengobrol, dan memperhatikan bagaimana cara ia berbicara -seperti menganggapku orang lain. Kadang aku berpikir ingin merangkul saja bahunya, mencoba menghapus jarak, tapi tak pernah kulakukan karena banyak hal. ‘’Kau tahu, Sulastri, sebenarnya aku menunggu selama empat tahun.’’ Keriuhan malam itu tiba-tiba berubah menjadi angin dingin. Sulastri mengambil jeda panjang dan mengatur nafasnya. Aku ingat sekali suara nafasnya. III Kukatakan pada ibu bahwa aku akan kembali ke Jakarta bulan depan. Aku diterima di sebuah firma hukum di Jakarta. Kepulanganku setelah empat tahun semata-mata untuk menuntaskan rindu. Rindu pada rumah. Rindu pada ayah dan
54
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
ibu. Rindu pada malam-malam kosong. Rindu pada kenangan masa kecil di sawah. Kepulanganku kali ini semacam mengisi ulang kenangan yang takut akan terlupakan. Seperti mengisi etalase yang kosong. ‘’Kalau begitu cepatlah melamar seorang perempuan,’’ kata ibu. Aku adalah anak satu-satunya yang dimiliki ayah dan ibu. Sebelum hari wisuda ibu sudah membicarakan seorang menantu. Kukatakan padanya bahwa aku belum memiliki calon. Tapi ia menyuruhku untuk melamar salah seorang gadis di kampungku. Kadang aku berpikir, melamar seorang gadis tak seperti memilih sebungkus permen dari kotaknya. Butuh waktu lama sebelum akhirnya melamar seorang perempuan. ‘’Ayah tak butuh waktu lama melamar ibumu,’’ jawab ayah. Aku diam sejenak. Sesaat kupikir, memang demikian halnya kalau aku sudah mengenal perempuan itu sejak lama. Sesaat kupikir aku memang sudah memiliki calon pendamping. Tapi banyak hal yang membuatnya menjadi sulit. ‘’Akan kuusahakan, Bu,’’ kataku sekenanya. Saat sedang berjalan-jalan di pematang aku melihat Sulastri duduk-duduk di gubuk di tengah sawah. Padi-padi tampaknya baru ditanami. Beberapa kerbau masih menggerek alat bajak. Sebidang sawah seperti bulu-bulu pada seruas kulit. Sinar matahari menyepuh seluruh sawah. Hal inilah yang bertahun-tahun terjadi sehingga membuat kulit orang-orang kampungku berwarna gelap. Yang membuat kulit Sulastri begitu sulit dilupakan. Yang membuat kunangkunang menghindar karena mengira kami hantu. Yang membuatku tiba-tiba mengingat semua kenangan. ‘’Aku tak ingat kau punya sawah.’’
55
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Sulastri terperanjat. Tiba-tiba ia begitu salah tingkah. Ia melihat sekeliling lalu menggeser posisi duduknya. ‘’Punya Mas Rusydi. Warisan, ‘’katanya singkat. Ia menikah dengan laki-laki itu setahun setelah tamat SMA. Ayahnya meninggal setelah lama mengidap stroke. Ibunya menjual nasi jagung; tapi wanita itu telah renta. Belakangan ini lebih banyak tidur di kamar. Aku memperhatikan sekeliling. Kampung ini, dalam beberapa hal, sudah banyak berubah rupanya. Sawah sudah tak sebanyak dulu. Beberapa bidang yang masih kuingat sudah sepenuhnya ditimbun tanah. Di beberapa tempat malah sudah berdiri rumah-rumah. Kusadari semakin sedikit orang-orang kampung yang menjadi petani. Kata ibu, kebanyakan pemuda mencari kerja di luar kota atau di luar negeri menjadi TKI. Banyak sawah yang dijual untuk membayar biaya administrasi menjadi pekerja di luar negeri. Beberapa tahun setelahnya, kepulangan mereka menjadi berkah bagi keluarganya. Aku mengenal beberapa tetangga yang sekarang memiliki toko. Tiba-tiba aku menyadari hal lucu, bahwa sudah tak cukup banyak semak-semak di tempat ini. ‘’Kenapa tertawa Azfar?’’ tanya Sulastri gugup. ‘’Aku tak ingat di semak mana dulu kita pernah bersembunyi. Kau pernah berburu kunang-kunang lagi?’’ Angin menghembus wajah kami. Langit tampak cerah. Tapi rasanya, udara begitu kosong. Kadang-kadang aku berdebar saat sedang berbicara. Di balik itu aku mulai membuat keputusan. ‘’Sekarang aku bersuami, Azfar. Berhenti memikirkan masa lalu.’’ Pelan sekali suara Sulastri. Aku tak paham pada apa yang kupikirkan tapi kata-kata Sulastri seperti sebuah kemunduran. Entahlah, tapi
56
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
perempuan itu sudah bertindak bodoh dengan menganggap semua kenangan itu adalah masa lalu. Bagiku semua itu adalah harapan dan aku menunggunya selama empat tahun. Itu masa yang cukup lama untuk membawa seorang perempuan pada kehormatannya, pada kesejahteraannya. Mengeluarkan hidup seorang perempuan dari sekedar menjadi petani. Sesekali aku mencoba meraih tangannya tapi ia menolak. Ia katakan padaku bahwa tak baik perempuan beristri berduaan dengan laki-laki lain. Aku paham cara berpikir seperti itu. Di kampung ini, keadaan yang demikian adalah penghinaan bagi si suami. Kehormatan adalah tentang kau tak boleh membiarkan dirimu dilangkahi. Tapi aku membawa cara pandang lain yang, barangkali, Sulastri pun menyadarinya. Cara pandang yang muncul setelah bertahuntahun kenangan. Juga bertahun-tahun menjadi karib. ‘’Aku akan kembali ke Jakarta bulan depan. Sebelum itu, ibu memintaku melamar perempuan.’’ ‘’Kau bisa mendapatkan banyak perempuan di kampung ini, tentu saja,’’ balas Sulastri. Ia selalu menunduk. Aku tak banyak mengenal perempuan di kampung ini. Kupikir tak ada alasan untuk mencari perempuan lain. Lakilaki itu sudah mendapatkan apa yang dia mau selama dua tahun ini dan sudah saatnya dia mengakhiri. Aku berbicara dengan menatap wajahnya, berharap ia memahami maksud perkataanku. Tapi ia selalu menunduk. ‘’Malam ini pasti langit kosong lagi. Kau tahu artinya?’’ tanyaku. Sulastri menjawab ragu. ‘’Bintang-bintang akan berubah menjadi kunang-kunang.’’ ‘’Kita sudah lama tak berburu kunang-kunang.’’ ‘’Lupakan saja, Azfar. Aku, mencintai suamiku,’’ katanya
57
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
tersendat. Sebenarnya kuharap, ia memulai kejujurannya dari sini. ‘’Aku menunggu selama empat tahun. Kita bisa memulainya lagi malam ini.’’ Aku mengambil nafas sebentar bagaimanapun, aku sudah membuat keputusan lalu melanjutkan, ‘’Keluarlah malam ini. Aku akan menunggumu sepanjang malam.’’ Sulastri beranjak dari posisinya. Seorang laki-laki datang menghampirinya. Matanya menatap curiga. Rupanya dia Rusydi. Sulastri memperkenalkan diriku pada suaminya. Laki-laki itu menjabat tanganku dengan kuat. Kuat sekali. Aku mundur beberapa langkah. Sesaat kupandangi Sulastri yang berdiri di belakang Rusydi. Mata kami bertabrakan. Empat tahun aku berharap pada semua kenangan. Kuharap Sulastri memahami hal itu.*** 10/07/2012 MIFTAH FADHLI, lahir di Lubuk Pakam, Sumatera Utara. Karyakaryanya disiarkan di berbagai media.
58
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Delapan (8)
Cincin 28 Juli 2013 M Arman AZ
AKU tergoda menatap rintih hujan di luar kamar. Serupa maling menghindari secuil suara, aku beringsut bangkit dari ranjang lalu menghampiri jendela kamar hotel. Gorden cokelat muda itu terasa halus lembut bagai lelehan es krim di telapak tangan kala kusibak dengan jemari tangan. Bagi mereka yang suka mengukur untung rugi, yang kerap memaknai waktu adalah uang, menatap hujan mungkin pekerjaan sia-sia dan buang waktu. Tapi begitulah, bila hujan turun, selalu kuluangkan waktu untuk menikmatinya. Ada nuansa murung namun teduh melihat butir-butir air itu luruh bergemerincing dari langit. Sesekali derai angin membuat tempiasnya membentur bening jendela kaca lalu berjalan cepat membentuk garis acak. Hotel ini terletak di lereng perbukitan. Jika cuaca cerah, bisa menikmati lanskap kota di bawah sana dan perbukitan nun jauh bagai pinggul gadis matang. Bila malam, lampulampu rumah menjelma ribuan cahaya lilin yang bertaburan.
59
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Sayang, hujan yang membungkus kota malam ini menyembunyikan semuanya. Meski tak sederas beberapa jam lalu, ia masih berdenting di luar jendela. Termangu menatapnya, serasa ada sesuatu yang bergerak keluar dari dalam diriku dan tak mampu kucegah. Dia melangkah memasuki gerbang kasat mata. Lantas kupergoki sosokku berjalan di bawah temaram lelampu dengan kedua tangan terbenam dalam saku jaket. Aku melihat diriku sendirian menyusuri ruas jalan yang digenangi kesedihan. Kiri kanannya tembok-tembok tua berlumut. Remang. Lengang. Mencekam. Punggung dan kepalaku membungkuk menahan butiran air yang menerpa tubuh. ‘’Say, ngapain ngelamun di jendela?! Hujan begini enaknya kelonan...’’ Aku terkesiap dari lamunan. Ah, kau terjaga dari tidur. Telingaku menangkap geliatmu. Lalu kau merajuk manja, mengungkapkan kecewamu karena lagi-lagi urung menyurusi kota. Ya, gerimis begitu rapat di luar sana. Apa boleh buat, kita tak bisa ke mana-mana malam ini. Tak bisa mengulang semuanya seperti dulu, ketika kita menjelma sepasang capung yang riang mengitari jalan-jalan kota. Singgah di sebuah cafe senyampang menunggu hujan reda, berbagi mimpi tentang rumah mungil di pinggang lembah, jalan setapak yang menyimpan jejak kehidupan, sepetak tanah yang menunggu disemai, anak-anak yang mungil, juga tangga bercahaya yang kita susun menuju langit. Semua telah berbeda. Semua telah berubah. Kita hanya bisa menghabiskan waktu di kamar ini. Menghitung daundaun yang terbantun ke tanah setelah berulang-kali ditikam runcing hujan. Menghitung sisa waktu sebelum esok berpisah. Kuamati gerak-gerikmu lewat pantulan kaca jendela.
60
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Kau bangkit dari ranjang. Melilit tubuh sintalmu dengan selimut putih. Bahu langsatmu kau biarkan terbuka. Kemudian kau duduk di kursi. Menyisir rambut di depan cermin. Kerap kupuji rambutmu yang hitam lurus sebahu. Sama seperti rambut almarhumah istriku. ‘’Jadi pulang besok?’’ Tiba-tiba saja kau mendekapku dari belakang. Gembur dadamu terasa hangat di punggungku. Bukankah telah kau pergoki tiket pesawat tergeletak di meja? Besok sore aku pulang. Andai kau tahu, saat-saat seperti ini, aku kerap ngilu mendengar kata pulang. Apakah setiap yang pergi harus pulang? Benarkah aku telah pergi? Aku berdehem. Kubuka jendela kamar. Angin malam leluasa masuk, membuat kamar kian terasa dingin. ‘’Sudah kusiapkan oleh-oleh untuk anakmu. Besok pagi kuantar kemari. Jangan buru-buru check out ya...’’ Aku tersenyum. Kau sungguh baik hati. Tapi besok malam aku sudah di rumah. Entah dusta apa lagi yang akan kuceritakan pada keempat anakku. Mereka telah beranjak dewasa. Yang sulung sudah kuliah. Yang bungsu baru masuk SMP. Kelak mungkin mereka menyadari bahwa aku bukanlah ayah yang baik untuk mereka. ‘’Kok senyum? Ada yang aneh?’’ Aku menggeleng pelan dan membalikkan badan. Menatapmu. Kau duduk melipat kaki di kursi. Begitu fasih menjentikkan abu rokok ke asbak. Ketukan jemarimu di punggung rokok itu perlahan saja, tapi nampak anggun dan percaya diri. Kuperhatikan gayamu saat menyelipkan filternya di antara bibir tipismu yang merah jambu. Begitu elegan. Kadang benda itu membuatku cemburu. Aku terpukau melihat ibu jarimu fasih memilin-milin rokok di sela jari telunjuk dan jari tengah. Permainan jemarimu memang mengagumkan. Larik-larik asap putih meliuk
61
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
sekejap lalu larut dalam udara. Kubayangkan kau meringis atau mengumpat saat bara kecil itu menyenggol jemarimu. Lantas tegas kau benamkan tubuhnya yang masih separuh ke asbak. Menyeruput kopi yang dingin di gelas, mengoceh, melamun, lalu menjumput sebatang rokok lalu menyulutnya lagi. Tapi sudah beberapa menit terlewati, insiden yang kubayangkan itu tak kunjung terjadi. Ah, selalu saja kurasa, ada yang tak selesai kita bincangkan tentang hari-hari yang sirna. Ada yang abai kita urai tentang hari-hari yang lalai, tentang kisah-kisah yang kusut masai. *** Sendirian menganyam sunyi di coffee shop hotel ini. Aku menyaksikan gerimis beranak pinak jadi hujan lebat. Tempiasnya menyusup ke dalam dada. Detik itu juga batinku berdesir tersedak kenangan. Seluruh ingatan seperti bersekongkol menggiringku ke sudut-sudut lembab dan muram. Tak pernah kumengerti, mengapa kenangan acap datang ketika sunyi mengepung dari segala penjuru. Almanak terus berganti. Kau dan kotamu telah merenggut sebagian kisah hidupku. Sesuatu yang tak bisa kujelaskan, hanya bisa kurasakan dan kian menjadi-jadi belakangan ini. Aku seperti orang asing di kotamu yang kian riuh dan angkuh. Aku tak ingin seseorang, mungkin famili atau temanmu, memergoki kita sedang berduaan. Suamimu wakil rakyat di kota ini. Sebagai orang terpandang, tentu dia banyak teman dan relasi. Aku tak ingin dia tahu bahwa kau punya kebiasaan buruk yang sama. Seperti katamu, siapa lagi yang dicari lelaki bila harta dan tahta telah digenggam? Kau akhirnya menyadari kelakuan suamimu yang doyan wanita. Kau gelap mata saat itu. Nyaris menyilet nadimu tak lama setelah perang besar
62
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
dengannya. Entah takdir mujur atau sial, pembantumu curiga karena lama kau mengurung diri dalam kamar mandi. Kecewa, emosi, dan sakit hati, membuatmu kerap berfikir untuk berpisah darinya. Selalu ada yang berharga untuk dilakukan, namun memilikimu bukanlah bagian dari semua itu. Kuingat saat menimang-nimang undangan warna pastel darimu sekian tahun lalu. Kau sendiri yang mengantar dan menitipkannya di tempat kosku kala itu. Berulang kali membaca isinya, aku seperti bertubi-tubi ditujah nyeri. Ketika setiap hari adalah penantian tentang apakah kau atau bukan sama sekali yang kucari, kau memberiku jawaban pasti. Impian-impian tentang sebuah keluarga sederhana yang kurangkai sejak lama akhirnya hancur berantakan. Berat rasanya membayangkan diriku terjebak di antara kerumunan manusia. Gamang memasuki gedung resepsimu. Lengkung janur di pintu gerbang tersenyum nyinyir. Menulis namaku di buku tamu. Memergoki nama sepasang pengantin terukir di souvenir. Memandangmu duduk anggun di pelaminan, bangkit dan tersenyum menyambut ucapan selamat dari para tamu. Lalu ketika mata kita bertemu, kau termangu. Mungkin haru, juga ngilu, beramuk dalam dadamu. Hanya kau yang tahu betapa aku ingin lari dari tempat ini. Sempatkanlah datang siang nanti. Aku ingin melihatmu meski untuk terakhir kali... Hingga larut malam itu, sebelum esok paginya kau mengucap ikrar perkawinan, ibu jariku kaku karena tak henti saling berkirim pesan pendek denganmu. Kau takkan menemukanku dalam kerumunan tamu. Telah kuputuskan tak hadir di resepsimu. Aku memang sulit berdamai dengan kenyataan. ***
63
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Dering telepon membuatku terkesiap dari tidur. Suara merdu resepsionis mengingatkan waktu sarapan hampir habis. Dengan sisa kantuk masih di pelupuk mata, aku bangkit. Kulirik sisi ranjang. Tak ada kau di sisiku. Harum aroma parfummu tertinggal di balik selimut. Juga beberapa helai rambutmu di ranjang. Aku seperti ditelikung sepi. ‘’Kita jadi pengantin dalam batin saja.’’ Aku tertegun menerka kalimat yang meluncur dari bibirmu. ‘’Ada telepon dan SMS. Kita bisa kontak kapan saja. Jika kau datang ke kota ini, aku akan selalu ada untukmu. Kalau aku kangen, aku yang akan datang ke kotamu.’’ Semudah itukah buatmu? Jadwal lepas landas pesawat masih tiga jam lagi. Aku tak ingin berlama-lama di hotel ini dan bertemu denganmu di saat-saat terakhir. Aku tak ingin berjalan memunggungimu. Itu akan menyakitkan. Lebih baik kukirim pesan singkat untukmu setiba di bandara nanti. Aku mesti berkemas. Merapikan pakaian dan memasukkannya ke dalam ransel. Kuteliti dan kuingat-ingat lagi, memastikan tak ada yang tertinggal. Kusibak selimut. Saat itulah sebuah benda mungil melayang dari kasur, berdenting membentur tembok, lalu jatuh liar gemerincing di lantai. Aku terkesiap. Gemuruh dalam dada. Kupungut dan kuamati cincin itu. Di sisi dalam ada namamu dan nama suamimu. Kuingat kau lepas cincin itu semalam sebelum kita bercinta diiringi alun hujan. Kuraih ponsel untuk menghubungimu. Ponselmu tak aktif. Kukirim pesan singkat, meski entah kapan kau baca. Ah, mengapa kau ceroboh, abai memasang kembali cincin itu sebelum pergi? Apa dalihmu kelak bila suamimu memergoki cincin ini raib dari jari manismu? Mustahil kubawa pulang cincin ini. Aku pun enggan menunggumu datang.
64
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Siapa berani jamin cincin ini akan sampai ke tanganmu jika kutitipkan di resepsionis. Ah, tiba-tiba aku gemetar menafsir cincinmu yang tertinggal di kamar hotel ini. *** M ARMAN AZ, asal Telukbetung bermastautin di Bandar Lampung. Karyanya berupa cerpen/cerita anak/esai/ resensi buku dimuat di berbagai media.
65
66
Sembilan (9)
Engku Katik 14 Juli 2013 Eka Susanti PAGI ini kami tidak mendengar Engku Katik azan di mesjid Aqsha sebagaimana biasanya. Sudah seminggu puncak hidungnya tidak kelihatan. Apa yang terjadi dengan beliau, warga sekitar juga tidak ada yang melihatnya. Kami pun tidak tahu rumahnya di mana. Konon kabarnya, dulu ia pernah tinggal di rumah anak perempuannya yang sulung, Hamidah. Tapi selang beberapa waktu terakhir ini, ia dibawa kemanakannya untuk tinggal bersama mereka. Semua warga merindukan azan subuh Engku Katik, yang selalu memberikan corak tersendiri dengan irama khas yang membuat kalbu serasa luluh dan merinding. Namun, dalam seminggu ini warga tidak lagi mendengar suara merdunya itu. Warga hanya mendengar suara-suara azan yang berserakan tanpa ada aturan. Mereka memainkan azannya dengan sekehendak hati membuat warga malas mendatangi rumah Allah itu. Sejak Engku Katik tidak lagi azan di mesjid Aqsha, jamaah kian hari mulai menipis. Tak heran jika yang datang
67 6
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
hanya orang-orang yang telah berbau tanah. Mereka yang muda-muda mulai malas mendatangi mesjid itu. ‘’Imam di mesjid ini tidak mampu menarik hati kami untuk melaksanakan shalat. Ia menggunakan irama yang tidak menarik hati,’’ kata salah seorang warga yang dulunya saat Engku Katik masih jadi imam, ia selalu rajin salat ke mesjid Aqsha. ‘’Kami juga malas...’’ kata seorang lagi. ‘’Kami juga tidak mau lagi shalat di mesjid ini. Lebih baik salat di rumah sendiri, dari pada harus mengikuti imam yang tidak jelas itu,’’ kata Andi, seorang warga yang tidak suka dengan imam baru pengganti Engku Katik. Pagi itu, saat kebisingan warga terjadi di mesjid, datanglah seseorang memberi kabar tentang Engku Katik. ‘’Bapak-bapak dan engku sekalian, saya baru saja mendapatkan kabar bahwa Engku Katik telah meninggal beberapa jam yang lalu. Ia meninggal di pondok buruk yang terletak di sawah sirah miliknya.’’ ‘’Terus, apakah anak-anaknya ada di sana bersamanya saat maut menjeput?’’ tanya salah seorang warga. ‘’Tidak, saya pun dapat kabar dari Sulaiman. Ia menemukan Engku Katik seorang diri sedang melipat tangan sambil mata terpejam dan tak bernyawa lagi. Di sana tidak ada orang. Sepi. Dia hanya sendiri. Anak dan kemenakannya tidak ada di sana.’’ ‘’Astagfirullah. Tega nian anak dan kemenakanya membiarkan ia seorang diri di sana saat ajal menjemputnya.’’ Kemudian warga berbondong-bondong mendatangi pondok buruk Engku Katik yang terletak di sawah sirah miliknya itu. Sesampai di sana mereka menyaksikan jasad Engku Katik yang terbujur di sudut pondok, ia mengenakan baju putih di tubuhnya dan sorban putih di kepalanya.
68
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Tangannya terlipat rapi, matanya terpejam dan mulutnya tertutup dengan senyuman khas yang sering ia lemparkan kepada warga. Tak seorang tahu akan ajal yang menemui Engku Katik. Warga sangat menyayangkan sekali, kenapa saat kematiannya tak ada satupun yang melepasnya, anak dan kemenakannya tidak ada di saat itu. Semua warga beramai-ramai menyegerakan pemakaman Engku Katik siangnya. Mereka mulai memandikan, mengafani, mensalatkan, dan menguburkannya di tanah kuburan yang telah dipersiapkan warga. Anak dan kemenakannya tidak satupun yang datang. Mereka tidak tahu kabar beritanya. Warga telah mengunjungi rumah mereka ternyata tidak ada orang. Rumah itu terkunci dan tertutup rapi seperti sudah beberapa hari di tinggal penghuninya. Sehingga warga memutuskan untuk segera menyelamatkan jenazah Engku Katik tanpa menunggu anak dan kemenakannya. Setelah semua selesai, memandikan, mengafani, dan menshalatkan, warga kembali berbondong-bondong menghantarkan jenazah ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Acara berjalan dengan lancar dan khitmad, semua warga yang hadir di tanah sirah itu mendoakan Engku Katik. Dari yang kecil, remaja, muda, dan tua hadir di pemakaman Engku Katik. Setelah selesai, warga kembali pulang ke rumah masingmasing, selang beberapa watuk saat warga akan kembali ke rumah mereka masing-masing. Anak Engku Katik datang dan begitu marahnya kepada warga. ‘’Siapa yang menyuruh kalian menyelenggarakan jenazah ayahku tanpa sepengetahuan anak-anaknya? Berani sekali kalian semua!’’ kata salah seorang anak Engku Katik. ‘’Kami sudah mencari Anda ke mana-mana, ke rumah,
69
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
ke tempat Anda biasa bekerja, ke rumah sanak famili. Tapi tidak ada orang. Rumah tertutup rapi dan tidak ada orang.’’ ‘’Ya, kalian kan bisa menunggu kami dulu.’’ ‘’Maaf Bu, kami juga sudah menghubungi nomor ponsel Anda tapi tidak aktif.’’ ‘’Ah, sudahlah. Saya cuma ingin nanti Anda semua jangan berpikiran negatif sama kami. Itu juga bukan salah kami tidak mempedulikan orangtua. Hanya saja Ayah saya ini tidak mau diajak bersama kami.’’ Warga hanya diam dan sesekali menyanjung kebesaran Allah. Wajar saja Engku Katik tidak mau ikut dengan anakanaknya. Karena tiga orang anaknya tidak ada yang mau taat beribadah. Tidak mau diajak ke jalan yang baik dan benar. Mereka anak-anak Engku Katik dua orang perempuan dan seorang laki-laki yang hanya tergila-gila oleh harta benda, mereka tidak tahu bahwa hidup di dunia ini tidak akan kekal selama-lamanya. Warga tidak ingin lagi berjawab kata dengan anak-anak Engku Katik. Kemudian mereka pergi menuju rumah masingmasing. Warga pun berfikir tidak mungkin melayani orang seperti anak-anak Engku Katik itu. Mereka tidak pernah sadar bagaimana posisi Ayahnya di tengah masyarakat. Ayahnya, Engku Katik adalah seorang ulama terpandang di kampung itu. Setelah kematian istrinya, Engku Katik terkadang ikut dengan anaknya, terkadang ia di bawa oleh kemenakannya ke luar kota. Merasa tidak mungkin hidup di tengah keluarga yang jauh dari agama, Engku Katik memutuskan untuk hidup seorang diri di pondok tua tempat ia dan istrinya beserta anak-anaknya semasa kecil dulu hidup damai dan bahagia. Anak yang saleh, rajin, patuh, dan taat kepada kedua orangtua. Semenjak merantau ke luar negeri, anak-anaknya
70
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
berubah total. Pakaian yang dulunya menutup aurat, tapi sekarang malah sebaliknya. Mereka lebih suka memakai pakaian yang transparan dan terkesan tidak sopan. *** Beberapa hari sepeninggal Engku Katik, satu per satu warga mulai meninggalkan mesjid. Suasana di mesjid begitu sepi, sunyi. Jumlah jamaah yang datang bisa di hitung jari, hitungan untuk ke dua jari tangan rasanya tidak penuh. Begitu sedikit. Semakin hari semakin sepi, tidak ada irama yasinan, tidak ada lagi suara indah anak-anak asuh Engku Katik mengaji di mesjid itu. Yang ada hanya diam dan warga tidak lagi menapaki kaki di mesjid dan halaman mesjid Aqsha. Mesjid Aqsha yang tidak pernah lagi dikunjungi warga mulai berdebu. Kacanya mulai suram, halamannya dipenuhi daun-daun yang berguguran. Mesjid Aqsha terlihat kusam, tanpa belaian warga sekitarnya. Tidak ada yang datang mengunjunginya, warga tidak suka dengan ustad yang baru menggantikan Engku Katik. Menurut warga ustad baru itu azan tidak semerdu suara Engku Katik, dia azan sekehendak hatinya saja. Iramanya tidak tahu ke mana arah dan tujuannya sehingga azan yang bertujuan memanggil warga untuk menghadap kepada Ilahi menjadi tidak tersampaikan. Karena tidak adanya warga yang datang ke mesjid, sang ustad mengundurkan diri untuk azan dan shalat berjamaah di mesjid. Ia hanya salat di rumah bersama istri dan anak-anaknya. Seminggu setelah kepergian Engku Katik, pagi itu warga dikejutkan oleh suara merdu dari mesjid Aqsha yang menurut mereka itu adalah suara Engku Katik. Jam saat itu masih menunjukkan pukul 04.30 WIB. Warga yang mendengar
71
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
suara itu menyegerakan diri untuk bangun dan ambil wudu lalu menuju mesjid Aqsha. Tepat pukul 05.00 WIB warga sampai di mesjid Aqsha, dari luar mereka melihat sosok putih berdiri di mimbar yang baru saja selesai mengumandangkan azan subuh. Kemudian warga masuk ingin membuktikan apakah itu adalah Engku Katik, tapi saat tiba di dalam mesjid mereka tidak melihat siapapun, hanya selembar kertas yang bertuliskan. ‘’JANGAN TINGGALKAN RUMAH ALLAH KARENA ALASAN APAPUN, DUNIA SUDAH MULAI TUA, BERSERAH DIRILAH PADA ALLAH, SEBELUM SEMUANYA TERLAMBAT.’’ Setelah membaca tulisan itu, mereka melihat di sekitar ruang mesjid penuh debu dan kusam.*** EKA SUSANTI, alumni Sastra Indonesia Universitas Andalas dan saat ini sebagai guru Bahasa Indonesia di SMKN 1 Rengat, Indragiri Hulu. Selain menulis puisi, ia juga menulis cerpen, esai, opini/artikel dan cerita anak. Beberapa tulisannya telah dimuat di berbagai media juga telah dimuat di berbagai antologi seperti; antologi puisi Bukittinggi Ambo di Siko (2012), antologi cerpen Lerak (2012), antologi Semanggi Surabaya (2013) dan Membungkus Impian (2013).
72
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Sepuluh (10)
Kota Harapan 7 Juli 2013 Cikie Wahab JIKA masing-masing di antara kami ada yang bisa dibicarakan tentu kebisuan ini tidak akan panjang. Lelaki itu duduk dan memandang ke gundukan ilalang yang dikumpulkan petani ke dalam goni. Mendung menggelayuti dan matanya terus saja mengamati rerumputan yang berwarna kekuningan. Ada beberapa gundukan yang sudah dibersihkan. Beberapa tulisan di papan nama mengabur dengan posisi papan yang tidak teratur. Di bawah pondokan dengan bangku kayu, aku datang sejak setengah jam lalu. Tidak ada orang lain. Ia duduk beberapa jengkal dariku dan wajahnya tak berubah dari waktu ke waktu. Lelaki itu tersenyum. Lalu akupun duduk dan memandangi hal yang sama. Aku diam. Pikiranku melayang ke hari di mana perpisahan terasa begitu menyakitkan. Seekor semut merah membuatku sadar dari lamunan, satu dari kelompoknya telah menggigiti jemariku. Seperti prajurit yang tidak patuh saat mengambil makanan dan ia
73
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
mati terjepit oleh pukulanku. Maka kujadikan alasan untuk memecah keheningan. ‘’Aku tidak suka kesepian,’’ selang aku mengatakannya. Gerimis turun. Mendung menumpahkan air hujan. Lelaki itu pasti menginginkan aku duduk bersila di atas bangku agar cipratan air tidak mengenai kakiku. ‘’Hujan tidak datang tepat waktu untukku.’’ Kuamati dari atap rumbia yang meneteskan air di ujung daunnya. Ada kedamaian yang kuingat. Meski kemudian gemuruh bersahutan. Jika aku pulang aku akan kebasahan dan jalanan menuju pemukiman jauh dari pondokan. Lalu lelaki itu melihatku menadahkan tangan di antara guyuran hujan yang jatuh. Ia melihatku yang kekanakan. Aku segera menghentikannya. ‘’Kota ini masih menyimpan harapan,’’ ujarku saat ia mengingatkanku perihal lahan dan tanah yang hilang. Aku menatapnya dengan sesal. Lelaki itu dengan aroma kopi dan getah karet berlarian dalam ingatan di benakku sepuluh tahun silam. ‘’Kita akan jadi putri dan pangeran!’’ teriakku di deretan pagar dan teman-teman melilitkan asoka di kepala. Sementara di tangannya ada seember getah yang masih basah. Lelaki itu tidak paham mengenai Romeo dan Juliet yang kuceritakan. Ia hanya tahu bekerja dan berdoa ketika malam tiba. Aku menyodorkan gambar komedi putar. Ia gembira melihatnya tapi kemudian berpaling, seperti sebuah ancaman saat melihatku datang. Ia tidak mengerti siapa dirinya, batinku kesal. Padahal sebagai perempuan aku ingin ia menuruti kehendakku. Ia tidak menoleh, berlalu hingga masuk ke dalam pabrik. Namun dua hari kemudian ia bersedia menyapaku dan menawarkan diri menemani aku menyusuri ladang untuk mencari belalang. ‘’Aku punya alasan untuk mengejarmu.’’
74
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Ia tertawa dan mengatakan aku terlalu serius ketika itu. Jelas aku serius. Bahkan dia pasti ingat bagaimana di kelokan pertama menuju pasar malam, aku memberinya sepatu berwarna coklat. Aku ingin ia memakainya ketika menakik getah atau menemani aku melihat sekawanan gajah yang tengah mandi bersama. Oh Tuhan. Aku lupa. Lelaki ini, yang duduk bersamaku adalah lelaki penakik getah belasan tahun lalu. Ia lahir dan hidup di antaranya. Lalu demi mendapatkan perhatiannya aku meminta ayahku membeli semua tanah di sana, di tempat lelaki itu berada. Karena aku senantiasa dihinggapi aroma getah dari dirinya. Semua yang kulakukan sudah di luar akal sehatku. Aku merasa aku adalah orang terbaik di matanya. ‘’Mungkin cinta masa muda membutakanku.’’ Hujan masih turun dan perasaan damai itu berubah jadi gelisah. Ketika aku hendak menemuinya, aku mendapati bahwa perbedaan kami begitu besar. Ia tidak punya apa-apa untuk kukenalkan pada ayah. Aku gelisah saat ayah mengetahui bahwa putrinya menyukai seorang pekerja. Tapi di luar dugaanku, ayah tidak marah dan diam saja. Aku tidak mengerti maksudnya. Itu membuatku makin besar kepala. Aku jarang kembali ke rumah dan berlama-lama di daerah itu untuk sekedar melihatnya. ‘’Aku membenci ayahmu,’’ ujarnya suatu malam. Saat purnama yang tenang. Kutanyakan mengapa, ia diam saja. Ada rahasia di antara mereka. Aku tidak mengerti maksudnya. Suatu saat aku pasti mengerti, ia mengecup bibirku dan mengatakan apa yang harus ia lakukan. Aku terperanjat. Ia ingin membakar pabrik dan semua isinya. Ia telah meracuni lahan dengan sejenis hama. Aku tidak percaya itu. Aku melihat punggungnya yang hitam menghilang di balik malam.
75
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Aku benar-benar gelisah dan tidak mau pulang. Aku menunggunya di pabrik tengah malam. Entah ia mendengarkan aku entah tidak. Aku setengah terlelap menanti ia datang. ‘’Hari-hariku terasa panjang dan menyedihkan.’’ Aku menggerutu sendiri. Seharusnya bulan ini aku sudah pergi dari tempat ini. Tapi memang kota ini selalu menyimpan harapan. Lelaki yang duduk bersamaku begitu tenang. Aku melihat awan di lorong matanya. Apa ini rindu yang tertahan? Saat itu, dimana aku menunggunya. Aku tahu ia memang tidak pernah menyukai ayahku karena satu hal. Dan aku tidak tahu itu apa. Matanya buram sekali dan sempoyongan. Dia sengaja menggodaku dengan aroma tubuhnya, mengitari setiap ruang pikiran yang dituruti ayah. Kami bersitegang. Aku tidak mencium aroma kopi dari tubuhnya. Aku juga tidak lagi melihatnya berlama-lama. Aku terus berada dalam pabrik yang gelap. Aku tidak ingin pulang dan menanyakan kesungguhan kabar yang kudengar tentang ayah dan dirinya. Bayangan kekacauan datang dan memaksaku berpikir keras. Aku tidak ingat apaapa lagi kecuali saat aku terbangun, lengan kokoh itu mendekapku dalam dadanya. ‘’Semua hilang dan lenyap. Hanya getah itu yang kuingat.’’ Hujan berhenti. Lelaki penakik getah itu berdiri. Ia memang seorang pekerja. Dan aku baru tahu beberapa tahun sesudah itu mengenai dirinya. Ayah memang membuatnya terluka. Lebih dari apa yang kukira. Meskipun begitu, ia sudi menyelamatkan aku saat kobaran api di pabrik benar-benar terjadi. Awan di matanya menghilang seperti riak air yang tenang. Ia memperlihatkan senyumnya lagi dan aku ingat
76
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
perkataannya suatu kali. ‘’Kita hanyalah ambang batas yang ingin meratakan kebahagiaan. Sepasang jemarimu tidak pernah terluka dan saat kau terpanggang sinar matahari, kau lupa cahaya itulah yang menghidupi tanaman hingga kau makan darinya. Aku terombang-ambing dengan perasaan ini. Hari-hariku diliputi kecemasan akan kenekatanmu. Kau begitu membuatku darahku bergejolak. Di antara dendam dan rasa sayang. Aku mendekatimu sebagai balasan atas kekasaran ayahmu pada ibuku. Semula aku berpikir kalau kau adalah saudara kecilku. Tapi aku bersyukur itu tidak pernah terjadi. Ayahmu hanya memanfaatkan ibu untuk menjadi orang berkuasa di sini. Aku membencinya. Tapi percayalah, ketika aku memelukmu, aku merasa kau adalah perasaan indah yang pernah kupunya. Dan jika kau menemukan aku terpanggang matahari, lihatlah ke kawasan lahan kering yang disisakan ayahmu untuk kuburan kami. Ada aku ditanam di sana dengan rasa terima kasihku atas cerita kita.’’ Aku terisak. Kebisuan ini akan selalu panjang. Hujan sudah berhenti sejak tadi dan tentunya lelaki itu akan pergi. Aku tidak pernah memandangnya sebelah mata. Sebagaimana pekerja getah lainnya. Aku berdiri melihat jalanan yang tergenang air dan gundukan di belakang pondok. Teleponku terus berdering. Ayahku menelepon sejak tadi dan ia pasti tahu bahwa aku tengah mengunjungi lelaki penakik getah yang dimakamkan di sana. Kota ini masih menyimpan harapan. Kucium lagi bau getah yang membuat airmataku berjatuhan. *** Pekanbaru. 14 mei 2013 CIKIE WAHAB, penulis dan penikmat sastra. Bergiat di Sekolah Menulis Paragraf.
77
78
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Sebelas (11)
Perempuan di Residence 23 Juni 2013 Isbedy Stiawan PEREMPUAN itu tahu apa yang mesti dilakukan sepagi ini, bahkan setiap pagi, sebab seperti sudah menjadi tugas dan menjadi bagian dari kewajibannya. Setelah embun menempel di daun, perempuan itu akan ke luar dari kamarnya menuju taman. Aku selalu melihatnya begitu. Lelaki separuh baya, pelanggan di residensi itu menceritakan ihwal perempuan yang telah menarik perhatian seluruh penghuni komplek penyewaan kamar itu. Perempuan yang terbilang masih muda itu, berparas manis kalau tak boleh dibilang lumayan cantik, berambut tebal sebahu, sebaris bulu di atas matanya hitam lebat, matanya sipit namun tajam, bibirnya selalu berhias merah muda. Lalu pakaiannya selalu agak terbuka di bagian dada, meskipun lengannya hingga ke pergelangan tangan. Pakaiannya mirip daster, warna favoritnya merah dan hitam. ‘’Setiap pakaian yang dikenakan perempuan itu, selalu serasi. Ada toh orang yang tak pandai memilih pakaian, tidak
79
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
menyesuaikan dengan tubuh dan warna kulitnya. Jadi tak sedap saja jika dipandang, namun perempuan itu selalu enak dipandang,’’ kata lelaki itu. Ia menyewa salah satu kamar, biasanya sepekan atau dua minggu. Lelaki paruh baya itu di sini bekerja di perusahaan asing. Lelaki itu tak ingin dituduh mengagumi perempuan itu. Ia menegaskan, hanya karena sering melihat atau berpapasan, maka perhatian kepada perempuan itu lebih besar dibanding penghuni lain di residensi ini. ‘’Dia telah merebut perhatian. Setiap pagi ia keluar dari kamarnya di seberang sana, lalu seperti tengah membelah ia melangkah. Di taman itu ia berdiri tegak. Pandangannya mendongak. Persis tatkala embun sudah berleha-leha di daun.’’ *** DARI lelaki itu, aku tahu kalau perempuan yang menyewa salah satu bilik di residensi itu adalah istri yang dinikahi di bawah tangan oleh salah seorang anggota parlemen di Kabupaten B. Sebab istri kedua, perempuan yang sebelum dinikahi adalah sekretaris di gedung Dewan itu, mendapat tempat istimewa. Suaminya menyewakan satu bilik mewah di sana. Hanya setiap Jumat petang atau Sabtu pagi, suaminya singgah. Dan Ahad malam kembali ke Kabupaten B. Atau pada saat kunjungan kerja ke daerah lain, suaminya agak lama bersama perempuan itu. Sedangkan lelaki yang banyak bercerita tentang perempuan itu, menyewa di bilik lain yang standar. Dia bekerja di sebuah perusahaan pembangunan, yang bisa berpindah-pindah kota. Di Kota A ini, lelaki itu sudah enam bulan. Menyewa di
80
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
residensi ini. Tak jauh dari bilik perempuan itu. *** SEMBURAT jingga matahari di langit timur, seperti mata seekor kucing jika dilihat dari dua butir embun di tubuh daun. Perempuan itu, yang sudah kutahu namanya dari perkenalan kami dua hari lalu bernama Nesyia, mendekati taman yang selalu ia singgahi. Tetapi saat ini, ia tampak begitu bahagia. Wajahnya menguar, bibirnya selalu mengembang, matanya meliuk-liuk. Seperti sedang bersenandung. Ia memang tengah menyenandungkan sebuah lirik, dengan gumam. ‘’Dia mengaku tengah berbahagia. Semalam ia mendapat kiriman ucapan selamat. Dia berulang tahun...’’ kata lelaki itu. Perempuan itu, bernama Lusiana, setelah ia memberi tahu namanya kepadaku dua hari lalu, masih memegang seikat kembang merah. Berulang ia ciumi bunga itu, yang mungkin aroma harumnya sudah tandas, seperti menciumi wajah seseorang. Dia tersenyum. Embun di daun mengulum. Langkah perempuan itu pelan. Setiap kakinya bergerak, bagaikan ia tengah mengetuk tuts yang ada di piano. Sangat berirama. Sesekali irama lagu ‘’Selamat Ulang Tahun’’ lalu ‘’Jatuh Cinta’’ dan lainnya berupa instrumentalia keriangan. Dia sedang berbahagia. Dia tengah jatuh cinta lagi. Seperti menjadi remaja belia kembali, yang baru saja tahu arti cinta. Lelaki separuh baya itu menjelaskan, seperti dia tahu membaca hati si perempuan di Mangkubumi Residence tersebut. Matahari bergerak dari matamu, mendaki ke keningmu. Kini tak lagi semburat jingga, tapi sudah mulai memanggang. ‘’Cinta bisa datang kapan saja, dalam waktu apapun. Pada
81
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
saat berduka, cinta dapat menemuimu. Itulah yang dirasa perempuan itu,’’ kata lelaki itu mulai bercerita. Perempuan muda itu, yang menyukai pakaian warna merah dan hitam itu, tinggal di Resindesi Mangkubumi sudah tujuh bulan. Sebagai istri dari seorang pejabat di kota lain, tidak masalah berapapun dia mengeluarkan biaya sewa bagi satu kamar berpendingin. Sejak dinikahi di bawah tangan, perempuan itu diungsikan ke residensi ini. Setiap akhir pekan, suaminya menemui dia. Biasanya datang pada Jumat malam, dan meninggalkan pada Ahad petang. Tetapi kata perempuan itu, sudah sebulan terakhir ini suaminya tak berkunjung. ‘’Setiap saya telepon, handphone-nya tak aktif. Kadangkadang ada pemberitahuan, telepon dialihkan. Saya tak pernah meneleponnya pada malam hari, sebab ia pasti di rumah,’’ kata perempuan itu. ‘’Jadi apa yang kau lakukan, kalau sudah begitu?’’ ‘’Ya, menunggu saja. Saya masih percaya dia akan datang padaku, suatu hari...’’ katanya yakin. ‘’Semoga saja...’’ ‘’Aku tak ingin mendengar kata semoga, tapi...’’ ‘’Tapi apa?’’ desakku. ‘’Ya.’’ ‘’Baiklah, ya.’’ ‘’Jangan bimbang. Aku tidak suka pada orang yang raguragu.’’ ‘’Maksudnya?’’ ‘’Ya, dengan suara tegas.’’ ‘’Ya!’’ jawabku meyakinkan, dan sekiranya harus ditulis akan kububuhi tanda seru di belakang kata ‘ya’ hingga sepuluh agar ia yakin seyakin-yakinnya. Lalu diam. Bulan bersinar lembut. Cahayanya menem-
82
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
bus antara reranting dan daun. Biasnya mengelus pipi perempuan itu. Di teras bilik yang disewanya, kami menikmati sebungkus kacang. ‘’Seandainya tak ada bulan...’’ ia memulai lagi percakapan. ‘’Gelaplah malam...’’ ‘’Salah. Bukankah ada listrik? Ada berjuta-juta bintang yang akan menerangi bumi ini,’’ jawab perempuan itu. ‘’Lalu?’’ ‘’Keindahan akan tertutup. Malam akan membalut setiap yang indah...’’ ‘’Tapi ada penerang...’’ balasku. ‘’Penerang dari listrik tidak akan menciptakan keindahan. Indah datang dari alam, natural sekali, dan bulan akan makin memperindah. Itulah beautiful absolut,’’ dia menyanggah. ‘’Tak ada keindahan yang mutlak. Mutlak hanya milik Tuhan,’’ kataku kemudian. ‘’Tuhan menurunkan keindahan-Nya pada semesta, kepada manusia, dan setiap yang mau merasakan keindahan...’’’ ujarnya. ‘’Aku ingin menikmati keindahan, bagaimana caranya?’’ aku menggoda. ‘’Jangan menghindar jika tahu ada keindahan. Jika sesungguhnya keindahan dekat di matamu,’’ perempuan itu seperti menantang. Entahlah, bagaimana kronologinya; terakhir kami sudah berdekatan. Merekat. Bagai sepasang pedansa, kaki-kaki kami bergerak seraya bergeser hingga ke ambang pintu. Masuk, lalu pintu bilik terkunci. ***
83
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
PEREMPUAN itu tahu apa yang mesti dilakukan jika yang ditunggu-tunggu tidak juga datang. Malam akan selalu datang bersama keinginan-keinginan lain. Malam dan kesepian bagai dua mata uang logam. Sulit sekali dipisahkan. Karena yang ditunggu tak datang, perempuan itu merasa kesepian. Malam menyorongkan keinginan-keinginan lain. Dan, aku adalah malam itu. Menemuinya dan membawakan keinginan-keinginan. Lelaki itu bercerita lagi, tentu saja dengan kebanggaan sebagai lelaki jantan. ‘’Sejak malam itu, kami sering bertemu. Di bawah bulan duduk di teras tempatnya menyewa. Beberapa lagu kami putar. Kami melantun, bergerak, seperti pedansa...’’ masih cerita lelaki itu. Sejak itu, perempuan itu tahu apa yang mesti dilakukan setiap malam, bahkan jika hujan mengguyur. Sebab seperti sudah menjadi tugas dan bagian dari kewajibannya, ia akan menyapu air yang masuk sampai teras tempatnya menyewa. Setelah itu ia duduk, memandang langit yang masih hitam. Tangannya memegangi tangkai sapu ijuk. Baju yang dipakainya selalu terbuka di bagian dadanya. Sejurus seorang lelaki, yang menyewa salah satu bilik Sukma Agung Residence itu datang, lalu mengobrol. Bagai sepasang kalong. *** Bandarlampung, Maret-April 2013 ISBEDY STIAWAN ZS adalah sastrawan Lampung yang karyanya dimuat diberbagai media lokal maupun nasional. Karya-karyanya telah diterbitkan dalam bentuk kumpulan puisi dan berbagai antologi. Tinggal di Bandar Lampung.
84
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Duabelas (12)
Perahu Baganduang 16 Juni 2013 Ahmad Ijazi H UPACARA penyambutan Monti Dirajo Thamrin, Penghulu Kuantan Mudik, Lubuk Jambi telah usai. Kedatangan beliau ke Kuantan Mudik untuk meresmikan balai adat yang dibangun di tepi Batang Kuantan. Rukhayah menjadi ‘ratu’ yang menarikan tari persembahan yang mengharuskannya membawa tepak sirih sebagai lambang persaudaraan, beberapa saat yang lalu. Matahari telah melengkung ke sisi barat. Angin mendesah, mengibas-ngibaskan kurong yang dikenakan Rukhayah, elok sekali. Arantona kekasih hati yang sangat ia cintai itu, berjalan di sisinya, sejajar melangkah menapaki jalan berbatu menuju ke sebuah anjung bertingkat di hulu Batang Kuantan. Langkah kaki sepasang sejoli itu akhirnya menjejak teras anjung. Arantona menoleh, menyerahkan tepak yang dibawanya kepada Rukhayah yang hendak menaiki anak tangga anjung. ‘’Aku pulang dulu ya, Rukhayah?’’ Arantona menyimpul senyum, sembari menggulung kemeja lengan
85
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
panjangnya sebatas siku. ‘’Naiklah dulu ke anjung barang sekejap, Bang.’’ Rukhayah meletakkan tepak di muka pintu lalu menarik tangan Arantona menaiki tangga anjung. Mak Halimah yang baru saja berganti pakaian segera melongok ke ruang tamu. Wajahnya masam, menunjukkan ketidaksukaannya atas kedatangan Arantona. ‘’Kapan Abang akan mengantar limau untuk melamarku?’’ tanya Rukhayah sembari merapikan rambutnya yang sedikit kusut dan basah oleh lelehan keringat. ‘’Perahu baganduang untuk mengantar limau belum selesai, Rukhayah. Mungkin dua minggu lagi,’’ sahut Arantona dengan suara datar, tetapi mengandung kecemasan. Wajah Mak Halimah semakin masam mendengarnya. ‘’Kau serius atau tidak melamar putriku, Arantona? Kalau sampai minggu depan limau itu tak kau antarkan juga, jangan salahkan kami bila nanti ada pemuda lain yang akan melamar Rukhayah.’’ ‘’Emak cakap apa? Bang Arantona sungguh-sungguh ingin melamarku. Tak bisakah Mak menunggu barang sekejap lagi?’’ ‘’Dua minggu itu terlalu lama, Rukhayah. Orang-orang sudah mencibir Emak, katanya Arantona tak serius ingin melamar kau.’’ Rukhayah bergeming. Napasnya berembus seperti jarum yang berguguran. Arantona tertunduk lirih. Ia sungguh tak menyangka Mak Halimah akan berkata seperti itu. Sungguh nyeri mengoyak hati, tetapi ia menyadari bahwa pemuda miskin sepertinya memang tak pantas mendapatkan cinta seorang gadis dari keluarga keturunan raja yang dihormati. Sementara keluarganya hanyalah orang pendatang yang hidup sederhana, tak memiliki harta berlimpah,
86
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
terlebih jabatan membanggakan seperti yang dimiliki kaum bangsawan di tanah Kuantan Singingi. ‘’Baiklah, aku akan berusaha mengantarkan limau itu minggu depan,’’ tegas Arantona akhirnya. Mak Halimah menatap Arantona tajam. Tatapannya seperti kilat pedang mengandung percik api. ‘’Limau yang harus kau bawa adalah kain tenun siak lejo tabir dan perahu baganduang lima jalur.’’ Rukhayah terbelakak. Arantona menelan ludah. Sebuah ledakan petir seperti baru saja menghantam ubun-ubunnya. ‘’Mak, limau itu terlalu tinggi. Bang Arantona mana sanggup.’’ Rukhayah berusaha melakukan pembelaan karena Arantona tak berani bersuara. Ia tak ingin limau itu menjadi beban yang begitu memberatkan keluarga Arantona. ‘’Kalau dia tak sanggup ya sudah. Emak tak akan memaksa. Masih banyak pemuda-pemuda mapan lain yang ingin meminang engkau,’’ Mak Halimah kian sengit meninggikan suaranya. ‘’Ya Tuhan...’’ Rukhayah tak habis mengerti. Emak seperti telah berubah wujud menjadi wanita yang teramat tamak kini. ‘’Coba kau lihat ini...’’ Mak Halimah mengeluarkan sebentuk gelang mutiara dari dalam saku kurung-nya. ‘’Ini pemberikan Tuan Anthonius, anak bungsu Monti Dirajo Thamrin, Penghulu Kuantan Mudik! Gelang ini ia berikan buat kau Rukhayah. Itu artinya, Tuan Anthonius menaruh hati pada kau, Rukayah!’’ Rukhayah menutup telinganya rapat-rapat. Perkataan emaknya barusan seperti sebuah bencana yang begitu mengerikan baginya. Sementara Arantona semakin hening, menyepuh percikan api yang tiba-tiba menyala, membakar jantungnya,
87
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
membakar harga dirinya! Di mata Mak Halimah, ia benar-benar tak ada harganya lagi kini. *** Debu seperti tepung yang menguap ke udara tatkala Arantona melangkah pulang. Tatapan matanya layu. Kakinya yang jenjang tampak setengah menggigil, hampir kehilangan keseimbangan. Pikirannya sungguh kusut kini, memikirkan kata-kata yang baru saja Mak Halimah ucapkan. Kain tenun lejo tabir? Perahu baganduang lima? Ya Tuhan.. sungguh berat limau itu! Sepertinya ia tak mungkin sanggup memenuhi limau yang disyaratkan Mak Halimah. Apalagi ia hanya penakik getah yang mengerjakan kebun karet milik orang lain. Uang yang ia kukumpulkan beberapa tahun belakangan ini juga masih sedikit. Masih jauh dari cukup. Sementara ia telah berjanji akan mengantarkan limau itu minggu depan. Ya Tuhan tolong aku! Arantona menjerit dalam bungkam. Ia benar-benar gamang kini. ‘’Kau kenapa, Arantona?’’ Emak melangkah menghampirinya sembari membawa nampan berisi lepat ubi dan secangkir teh hangat. ‘’Wajah kau tampak kusut sekali?’’ ‘’Tak apa-apa, Mak,’’ Arantona menyahut gelisah. ‘’Tak apa-apa bagaimana? Wajah kau pucat begitu. Apakah hubunganmu dengan Rukhayah mengalami masalah?’’ ‘’Ah, tidak, Mak. Hubungan kami baik-baik saja.’’ ‘’Kau jangan bohong. Apakah limau yang diminta keluarga Rukhayah terlalu tinggi?’’ Arantona diam. Untuk yang satu ini, ia tak mungkin membohongi emak. Tetapi kalau emak sampai tahu yang
88
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
sebenarnya, emak pasti akan sangat sedih dan kecewa. Ia tak mau limau itu menjadi beban bagi emak. Selama ini, emak sudah cukup menderita, ditinggal abah yang pergi merantau ke Arab Saudi hingga kini, tak ada kabar berita. Jangankan berkirim uang, berkirim surat pun tak pernah. Hidup yang dijalani emak saat ini sungguh sulit. Menghidupi keluarga dengan tiga orang anak seorang diri. Emak beranjak menghampiri lemari pakaian. Ia mengambil sesuatu di bawah tumpukan baju-baju. Arantona memandang bingung ketika emak meraih tangannya. ‘’Pakai saja ini,’’ ucap Emak seraya menyerahkan sebuah cincin emas kepada putra sulungnya itu. Mata Arantona membulat seketika. ‘’Jangan, Mak! Ini kan cincin perkawinan Emak. Aku tak kan mungkin menjualnya!’’ ‘’Sudahlah, Arantona. Jual saja. Emak ikhlas memberikannya padamu. Emak hanya ingin melihat kau bahagia. Kalau kau bahagia, Emak juga akan sangat bahagia.’’ *** Permukaan air Batang Kuantan kemilau seperti mutiara. Arantona naik ke atas perahu baganduang-nya. Matanya memicing menepis silau yang datang merubung, terasa sangat menyengat. Tetapi Arantona tetap sigap, melangkah ke puncak perahu baganduang sembari membawa beberapa buah kuba di genggamannya. Kuba tersebut berbentuk bulan berwarna putih dan berbentuk bintang berwarna keemasan. Angin berembus liar, mengibarkan kain batik panjang serta umbul-umbul yang telah diikatkan pada sebilah bambu panjang. Pak Cik Hilman dan Pak Ngo Zakariya turut naik ke atas perahu baganduang membawa payung sutan berwarna oranye dan kain barendo berwarna merah hati. ‘’Perahu baganduang ini telah siap berlayar mengantar
89
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
limau,’’ ucap Pak Cik Hilman sembari menepuk pundak Arantona yang baru saja turun dari puncak perahu. Arantona tersenyum kecut, ‘’Ya, Pak Cik Hilman. Tetapi aku khawatir kalau limauku tak mampu menarik hati keluarga Rukhayah...’’ Arantona kembali dirundung kegalauan. ‘’Kau harus optimis, Arantona,’’ Pak Cik Hilman menepuk pundaknya sekali lagi. ‘’Kau sudah mempersiapkan segalanya sejauh ini. Perahu baganduang ini adalah bukti kesungguhanmu. Kerja kerasmu tak akan sia-sia.’’ ‘’Tetapi kain tenun Siak lejo tabir yang disyaratkan Mak Halimah sebagai limau belum kudapatkan hingga kini. Aku juga hanya mampu membuat perahu baganduang tiga. Sementara Mak Halimah memintaku membuat perahu baganduang lima.’’ Pak Cik Hilman terdiam. Ia tak menyangka kalau limau yang disyaratkan Mak Halimah untuk melamar Rukhayah seberat itu. Ia juga sangat menyayangkan, kenapa baru sekarang Arantona mengutarakan hal itu. Jika sejak jauh-jauh hari berita itu ia dengar, pasti semuanya bisa diusahakan. ‘’Kapan kau diharuskan mengantarkan limau itu?’’ tanya Pak Cik Hilman kemudian. ‘’Besok pagi,’’ Arantona menyahut dengan suara serak. ‘’Baiklah. Tetap kuatkan niatmu, jangan mudah menyerah. Kita memang harus berjuang sekeras mungkin untuk mendapatkan cinta yang kita impikan. Yang penting tetap sungguh-sungguh. Berdoa dan berusaha. Pak Cik yakin, Tuhan pasti akan memudahkan segala urusan kita.’’ Pak Cik Hilman melemparkan senyumnya. Mata Arantona seketika berbinar-binar. Sebuah kekuatan memenuhi rongga dadanya kini. ***
90
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Angin sore berhembus mengarak awan, memayungi air sungai yang tampak jernih dan memutih. Arantona dan Rukhayah duduk di pinggir Batang Kuantan. Tangan mereka saling bergandengan. Dua sejoli itu menatap ke tengah sungai. Menatap perahu baganduang tiga yang telah dihias sedemikian rupa. Siap berlayar menghantarkan limau. ‘’Perahu baganduang ini sungguh menawan,’’ mata Rukhayah berbinar-binar. ‘’Apa kau yakin limauku akan diterima?’’ ‘’Kenapa Abang berkata begitu?’’ ‘’Sampai hari ini aku belum bisa mendapatkan kain tenun lejo tabir yang disyaratkan emakmu. Perahu baganduang ini juga hanya tiga jalur. Padahal yang diminta emakmu perahu baganduang lima jalur.’’ ‘’Emak memang keterlaluan. Mematok limau terlalu tinggi. Mana ada kain tenun lejo tabir yang dijual di Kuantan Mudik. Kalaupun ada, mencarinya pasti sulit sekali dan harganya bisa berkali-kali lipat dari harga aslinya. Mana lagi perahu baganduang lima, itu permintaan yang sungguh tak masuk akal. Selama ini belum pernah aku melihat perahu beganduang lima. Kebiasaannya kan perahu hantaran hanya baganduang tiga?’’ Arantona mengembuskan nafas berat, lalu mengangguk pelan. ‘’Ya, kau benar. Lalu aku harus bagaimana?’’ ‘’Abang datang saja besok. Jangan hiraukan kata-kata emak.’’ ‘’Tapi, kalau emak kau tetap tak menerima limauku bagaimana?’’ ‘’Yang ingin menikah itu kan aku, jadi aku yang berhak memutuskan, bukan emak.’’ Matahari telah condong ke arah barat. Embusan angin semakin gelisah. Begitu pun yang dirasakan Arantona kini.
91
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Gelisah. Gelisah kalau-kalau limau-nya tak mampu menarik hati Mak Halimah. Khawatir kalau-kalau keluarganya akan dipermalukan. Dipermalukan oleh sebuah penolakan. ‘’Rukhayah, pulang kau!’’ tiba-tiba terdengar suara keras seorang pria dari arah belakang hulu sungai. Arantona dan Rukhayah menoleh seketika. Ternyata Syamsudin, abang tertua Rukhayah yang datang. ‘’Aku masih ingin bersama Bang Arantona di sini!’’ sahut Rukhayah sembari bersembunyi di balik punggung Arantona yang kekar. ‘’Pulang, kataku!’’ Syamsudin menarik tangan adiknya itu dengan kasar. ‘’Untuk apa aku pulang?’’ Rukhayah berusaha berontak. ‘’Tuan Anthonius dan Monti Dirajo Thamrin beserta rombongan telah menuju ke anjung kita!’’ ‘’Untuk apa mereka ke anjung kita?’’ ‘’Untuk melamar kau!’’ Rukhayah terhenyak bukan kepalang. Seluruh belulangnya seakan telah remuk kini. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sementara di kejauhan, perahu bagandung lima yang ditumpangi rombongan Monti Dirajo Thamrin telah berjalan perlahan menuju anjung-nya disertai bunyi kumpang yang ditabuh ramai. ‘’Ayo pulang! Jangan sampai kau mempermalukan keluarga!’’ Rukhayah merintih, melangkah dengan hati teriris. Sekilas ditolehnya Arantona yang diam membeku, kristalkristal di sudut matanya menetes. ‘’Rukhayah...’’ Arantona menjerit lirih, tersungkur di tanah. Di muka pintu, emak memandang nanar. Bola matanya
92
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
bergerak-gerak penuh iba. ‘’Sesungguhnya adat di kampung ini tak pernah mempersulit kita, Putraku. Tetapi jika adat telah diselimuti oleh keserakahan dan ketamakkan, maka semuanya akan menjadi begitu sulit dan mahal. Seluruh pengorbanan dan cinta yang tulus sekalipun tak kan mampu membelinya. Tetapi kau juga harus tahu Putraku, harga diri kita jauh lebih mahal dari itu...’’ tubuh emak hampir limbung, namun tangannya masih sempat menyambar daun pintu sebagai pegangan untuk menyangga tubuhnya agar tidak jatuh. Tetapi airmata emak tetap jatuh. Rinai hujan pun jatuh. Langit benar-benar diselimuti mendung yang teramat tebal kini.*** AHMAD IJAZI H, kelahiran Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Pernah meraih beberapa penghargaan di bidang menulis. Saat ini mengajar di Ponpes Al-Uswah Pekanbaru. Bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Riau.
93
94
Tigabelas (13)
Melabuh Kesumat 9 Juni 2013 Dantje S Moeis TERUS mengingat kejadian itu dan saksi bisu yang sengaja dibiarkan hadir, adalah pupuk yang menyuburkan dendam. Hanya ada satu kalimat pendek yang tumbuh di pikiran kami anak-anak ayah. “Kubur rasa iba! Pada setiap kesempatan, lakukan pembalasan.� Bertahun-tahun kalimat ini kami jaga dan pupuk agar subur, sampai saatnya tiba. Galau. Namun kupaksakan untuk menghitung helai demi helai lembaran uang seratus ribu rupiah. Gairah dan kegembiraan sama sekali redup, bahkan lembaran-lembaran uang yang mengisi penuh dua buah amplop ukuran besar, seakan tak mampu menyibak tirai murung di wajah dan pikiran ini. Pasangan muda, Ibnu Butakala dan istrinya Tuti Dito Semprullywati baru sekejap berlalu, mereka datang ke studioku untuk melakukan pembayaran tahap dua, dari tiga kali tahapan pembayaran yang telah kami sepakati dalam perjanjian sistem pembayaran pembuatan patung almarhum ayah Tuti Dito Semprullywati, sekaligus tampaknya mereka
95
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
ingin mengetahui sampai sejauh mana pengerjaan patung yang mereka pesan. ‘’Wah, bagus mas. Persis sekali dengan papa.’’ Tuti Ditowati berdecak kagum sambil sebelah tangannya menutup mulut dan sebelah lainnya merangkul erat pinggang suaminya. Dari raut wajah mereka, dapat kutangkap perasaan puas. Sekilas terlihat Tuti Dito Semprullywati menitikkan airmata, kemudian beberapa kali mengusap dengan jari-jari tangannya yang halus dan lentik, menatap tajam penuh haru sosok patung yang menurutnya persis sekali dengan wajah almarhum ayahnya tercinta. Satu lagi bukti akan kepuasan mereka, melihat sosok patung yang kubuat; Ibnu Butakala tanpa ragu menyodorkan kwitansi tanda terima untuk kutanda-tangani. Tercantum, ‘’Dua ratus lima puluh juta rupiah!’’ Berarti aku sudah menerima uang sebesar lima ratus juta rupiah dari mereka dan seminggu lagi, mereka akan datang untuk membayar sisanya sekaligus mengambil patung itu. Sesuai permintaan mereka, aku hanya tinggal memberi transparant coating untuk efek pualam sekaligus sebagai lapisan penguat dan meminimalisir kerusakan akibat jamur. Padahal menurutku, patung itu masih perlu perbaikan dan penghalusan di sana sini. ‘’Ah... semakin lama aku mengerjakan patung ini dan semakin mirip ia dengan sosok orang yang dulu sangat kukenal, semakin berat ragam gejolak yang menghimpit.’’ Awalnya aku sama sekali tak menyangka bahwa, Nyonya Tuti Dito Semprullywati adalah putrinya, dan Pak Ibnu Butakala pengusaha nasional, kaya raya dan terkenal itu, adalah menantunya. Begitu juga dengan Tuti Dito Semprullywati, orang yang pernah hadir di kota ini dua puluh tahun
96
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
silam, sama sekali pasti tak menduga akan bertemu aku. Tuti Dito Semprullywati yang kukenal dulu, jauh berbeda dengan yang kulihat kini. Walau aku kenal, tapi sangat tidak akrab dan sengaja membuat jarak dengan keluarga mereka. Namun karena jabatan yang dipegang ayahnya, tak seorang pun warga kota kami yang tak mengenal keluarga itu. Tuti Dito Semprullywati yang dulunya lebih dikenal dengan panggilan Dit, seorang gadis kecil pendiam, cerdas, santun pada siapa saja dan sangat disenangi semua orang. Ciri khas yang melekat pada Dit masa itu, ia selalu mengenakan rok kembang berimpel banyak, dengan panjang sebatas buah betis dan rambut berponi yang selalu dikepang dua. Tentu pada saat itu, ia memiliki cukup banyak ragam bentuk dan warna bando yang melingkar di kepala sebagai penghias, juga perapi rambut yang menambah keapikan penampilan gadis kecil Dit. Boleh dikatakan hampir setiap hari Dit mengenakan bando yang berbeda dan selalu disesuaikan dengan warna pakaian yang ia kenakan saat itu. Dit yang kukenal sekarang dengan nama lengkap Tuti Dito Semprullywati, penampilannya sama sekali jauh berbeda. Walau sifat santun dan terkesan hati-hati dalam bicara masih melekat pada dirinya. Tuti Dito Semprullywati yang kini kelihatannya lebih senang berpenampilan sportif, rambut sebatas punggung yang dibiarkan bebas tergerai, celana denim ketat dengan kaos oblong dan sepatu kets sebagai alas kaki. Penampilannya inilah yang membuat aku tanpa banyak komentar menerima pesanan pembuatan patung darinya. Ikatan kerja langsung saja kutandatangani tanpa memperhatikan segala aspek yang terkait dalam proses pembuatan. Rupanya kecerobohan inilah yang membuat aku merasa dihantui pikiran pikiran mendua, dilematis dan tak
97
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
sepenuh hati. Aku sangat merasakan hal itu, walau mungkin mereka, Tuti Dito Semprullywati dan Ibnu Butakala berpikir lain. Barulah saat itu, ketika ia menyerahkan foto sebagai objek dari figur yang ingin dipatungkan, hatiku bergetar keras. Ada semacam gerakan penolakan dari dalam batin yang semakin hari semakin keras menerpa pikiran dan perasaan. *** Lewat tengah malam, menjelang subuh waktu itu. Kami sekeluarga dikejutkan dari lelapnya tidur. Pintu depan dan dinding rumah kami yang terbuat dari papan, mengeluarkan bunyi keras menciutkan nyaliku akibat digedor-gedor dari luar sana. Di samping itu, di sela gedoran pintu terdengar teriakan-teriakan keras yang bunyi kalimatnya masih kuingat hingga kini. Suara itu memanggil nama ayah disambung dengan kalimat. ‘’Keluar kau! Jangan melawan, kau pemberontak! Pengkhianat bangsa. Kami bisa mencencangmu kalau kau berlaku yang bukan-bukan.’’ Serasa kaki ini tak berpijak di lantai, badan terasa dingin dan menggigil ketakutan, namun tatapan mataku tak dapat lepas dari celah retakan dinding papan, tempat aku mengintip memperhatikan adegan demi adegan peristiwa penangkapan ayah, hingga ia dibawa dan tak kembali hingga kini. Ada sesuatu yang sangat melekat. Sesuatu yang yang sangat bertolak belakang dengan pandangan dan penilaian mereka terhadap sepak terjang ayahku. Semakin hari aku semakin mengenal siapa ayah dan kesemuanya sangat jauh dari tuduhan dan kata-kata yang dilontarkan oleh komandan penangkapan saat itu. Dari berbagai buku sejarah perjuangan tegaknya negeri ini, yang terbit kemudian setelah kejadian
98
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
itu dan dengan berubahnya peta perpolitikan di negeri ini, pikiranku tentang ayah tak lagi mendua. Catatan dan kenyataan berkata, bahwa ayahku adalah salah seorang pejuang yang punya andil memerdekakan bangsa ini dan oleh karena itulah, beliau tidak menginginkan kemerdekaan yang sudah dicapai, diisi dengan pemikiranpemikiran dan ideologi yang menyimpang dari tujuan semula dan sangat mendasar. Tak kecil penderitaan yang kami alami sejak subuh itu. Mulai dari pengucilan, intrik dan fitnah seperti tak hendak menjauh, malah semakin hari semakin berakibat buruk, seakan mereka tak memiliki hati dan perasaan, yang ada hanyalah pikiran-pikiran penghalalan segala cara untuk sebuah tujuan kekuasaan. Pendapat ini bukanlah sekedar pendapat yang tanpa dasar. Terbukti, tak lama setelah berlangsungnya penangkapan terhadap ayah dan beberapa orang temannya, berpola seperti penggulingan kekuasaan pemerintah di berbagai Negara, lingkar kendali pemerintahan negeri, dipegang oleh para ‘pengguling’ dan sang komandan penangkapan ayahku, pun kecipratan kekuasaan. Hanya karena ikatan emosional dan kecintaan kepada tanah kelahiranlah, yang membuat kami mampu bertahan hidup di kota tumpah darah, walau semakin hari tekanantekanan batin, himpitan ekonomi semakin keras mendera. Seperti berkepanjangan berenang di atas gelombang, menghindari terpaan ombak hingga ke badai besar dan terus mengingat untuk dipasakkan ke kepala, yang akhirnya menjadi sebuah doktrin yang diajarkan alam dan penderitaan. Ibu tak membenarkan kami merapikan ruangan kerja ayah, yang diacak-acak orang berseragam ketika menangkap ayah. Bahkan jejak lumpur dari sepatu mereka yang melekat
99
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
di lantai papan, di tikar pandan yang menjadi sajadah ayah pun tak diperbolehkan untuk dibersihkan. Barulah setelah dewasa aku tahu maksud ibu tentang semua itu. Kejadian itu dan saksi bisu yang sengaja dibiarkan hadir, adalah pupuk yang menyuburkan dendam. Hanya ada satu kalimat pendek yang tumbuh di pikiran kami anak-anak ayah. ‘’Kubur rasa iba! Pada setiap kesempatan, lakukan pembalasan.’’ Bertahun-tahun kalimat ini kami jaga dan pupuk agar subur, sampai saatnya tiba. Kalimat Dit, yang ditujukan buat aku dan suaminya masih terngiang dan semakin menggelegakkan darah di nadi. ‘’Dewan Perwakilan Rakyat Kota, dengan suara bulat menyetujui penempatan patung papa di halaman kantor kota, di mana papa dulu pernah memimpin dan mengabdi buat kepentingan kita semua warga kota ini.’’ Dan inilah saatnya. ‘’Sebagus apapun sebuah karya, walau itu karyaku sendiri. Menjadi wajib untuk dimusnahkan kalau memberikan kemudaratan, atau menjadi catatan kebohongan bagi sebuah peristiwa sejarah.’’ Dengan sigap aku meraih palu, menghantamkannya ke kepala patung ayah Tuti Dito Semprullywati sekaligus adalah komandan yang menangkap dan ‘menghilangkan’ ayahku dulu. Sekali hantaman pertama, patung itu hancur berkeping disusul hantaman kedua, ketiga dan entah yang keberapa, hingga patung itu berubah menjadi kepingan-kepingan kecil yang melonggarkan dadaku dari tekanan dendam dan sakit hati. Kembali menghitung helai demi helai lembaran seratus ribuan. Menarik nafas lega dan, ‘’syukurlah, tak berkurang
100
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
sepeserpun.’’*** Pekanbaru, Oktober 2012 Didedikasikan kepada: keluarga, anak-anak dan para korban pertarungan ideologi politik di negeri ini. DANTJE S MOEIS, lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Adalah redaktur majalah budaya Sagang, perupa dan dosen pada Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) Pekanbaru. Cerita-pendek, artikel serta esainya pernah dimuat di berbagai media. Seabad Cerpen Riau, buku kumpulan cerita-pendek Dantje S Moeis, Semah Japura-Laut (penerbit YPR-IKAPI) dan karya-karya puisinya diterbitkan di berbagai media cetak dan pada buku-buku antologi antara lain; Kumpulan Puisi Penyair Riau (Yayasan Kine Club Pekanbaru), Syair Tsunami (Balai Pustaka Jakarta) dan lain-lain.
101
102
Empatbelas (14)
Tebas Tebang 5 Mei 2013 Syukri Datasan Al-Pauhi
KIPO terkesiap. Jantungnya berdesir. Aliran darah di urat nadinya pun terasa mengencang. Matanya liar memandangi bibit-bibit sawit yang tampaknya baru saja ditanam. Mungkin umur sawit itu belum cukup seminggu di tanah ladang miliknya. Banyak yang sudah coklat dipanggang terik matahari. Akarnya pun diyakini belum diterima tanah. Siapa yang berani-beraninya menanami ladangnya tanpa izin. Kipo membatin. Diperkuda rasa penasaran, Kipo mengelilingi ladang seluas dua hektare itu. Sebuah parang panjang dengan mata berkilat tergenggam di tangan kanannya. Makin jauh dia berjalan hatinya tambah tak tenang. Pasalnya, sudah hampir separoh ladang miliknya ditanami sawit baru. Entah oleh siapa. Tiba-tiba, Kipo menghentikan langkahnya di dekat dua pokok sawit. Dipandanginya silih berganti. Jaraknya sangat dekat. Paling hanya sekitar satu meter saja. Kedua pokok
103
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
sawit muda itu seolah sengaja disandingkan. Yang satu ditanam Kipo dua bulan lewat. Sudah menghijau daunnya. Sawit baru tancap itu berwarna coklat. Ini jelas perbuatan yang sangat disengaja. Ini tantangan terbuka. Kalau tak dijawab berarti lemah. Hak miliknya telah dilanggar secara terang-terangan. Kipo tak bisa diam atau mengalah karena ini menyangkut marwah. ‘’Jahanam!’’ Teriakan lelaki 54 tahun itu membahana cukup keras. Parang panjang di tangan kanannya teracung. Sekejap kemudian sebuah tebasan cepat memancung ke kiri berkelebat ke arah sawit berdaun coklat itu. Sret Pokok sawit itu pun bersepai. Polibag hitam bekas wadah bibit sawit pendatang baru di dekat kakinya terpelanting pula kena sepak. *** Sekitar 15 menit kemudian, rekan-rekan Kipo datang. Wajah mereka tampak sangat kesal. Masing-masing menggerutu. Sumpah-seranah dan maki-hamun pun terlontar dari mulut mereka. Malah ada yang sampai bercarut bungkang. Komentar marah mereka bersahut-sahutan. ‘’Kurang ajar. Ladang saya sudah mereka tanami semua.’’ ‘’Ladang saya pun sama. Sebagian belukar akasia di atas tanah saya mereka babat lalu ditanami sawit,’’ Darin ikut melapor. ‘’Ini penjajahan. Mereka seenaknya saja menanami ladang kita. Siapa betul mereka itu. Walau hantu atau setan dekingannya, saya tidak takut. Penghinaan ini harus dilawan.’’ ‘’Kesewenang-wenangan ini tak bisa kita biarkan.’’
104
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
‘’Pokoknya kita harus mempertahankan ladang ini walau nyawa taruhannya. Kita memperolehnya dengan uang hasil keringat membanting tulang. Masak kita mau merelakan tanah ini mereka kangkangi seenak perut.’’ Kipo yang dari tadi duduk di tunggul karet yang ditanam bapak angkatnya tahun 1980 silam ikut bersuara. ‘’Kita lihat saja nanti. Mudah-mudahan ada yang datang lalu kita tanyakan baik-baik siapa yang berada di balik penyerobotan ini. Mari kita bersembunyi di balik pokokpokok akasia di ladang si Darin tu,’’ ajaknya. Tujuh pemilik lahan yang penasaran itu mencari tempat duduk masing-masing. Kipo duduk melepok bersandar ke batang akasia cukup besar. Parang panjang dia tancapkan di tanah. Dia pun berdiam diri. Sementara rekan-rekannya saling bicara dengan suara pelan. *** Di tengah penantian itu, Kipo hanyut dibawa lamunan. Tahun 1977 silam dia datang ke Duri. Masih lajang dan diterima sebagai anak angkat sebuah keluarga dermawan di Sebanga. Kala itu ladang ini masih hutan belantara pekat. Malah pusat Kota Duri sekarang masih didominasi bangunan atap daun nipah. Di sekelilingnya masih banyak hutan belantara. Tahun 1978, bapak angkatnya mendapat izin Penghulu setempat untuk menebas tebang kawasan hutan itu. Setiap minggu, Kipo dan rekan-rekannya sesama anak angkat dan pekerja ikut membantu membuka hutan tersebut. Kipo pun ingat pondok yang dia buat di tengah hutan lebat itu. Waktu libur kerja, dia sering bermalam sendirian di sana. Sekali-sekala, datang rekan-rekannya untuk belajar silat. Berbekal ilmu kebatinan yang memadai disertai
105
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
kepiawaian bersilat, Kipo tak mengenal takut saat itu. Auman harimau, lengkingan gajah, suara babi hutan maupun gangguan makhluk halus penghuni rimba pekak itu sudah sangat akrab di telinganya. Malah pada suatu malam, dia terlibat duel sengit dengan makhluk hitam besar penghuni hutan tersebut. Dia menang. Tahun 1983, sebidang tanah di bekas hutan tebas tebang itu dia beli dari bapak angkatnya. Saat itu terdapat puluhan pokok getah di atas ladangnya ini. Satu tunggulnya masih ada dan sempat diduduki Kipo tadi. Di sini, dia juga pernah menanam rambutan, kelapa hibrida, dan sawit. Kepala dan sawit itu habis dilumat gajah sebelum sempat berbuah. Beberapa waktu lalu di atas lahan ini, dia masih melihat lima sawit tersisa setinggi pohon kelapa. Kini sudah lenyap entah ke mana. Dua bulan lewat, Kipo kembali menaman sawit di ladangnya. Kini ada pula tumbuhan baru yang sengaja ditanam disela-sela anak sawitnya yang mulai menghijau. Sampai di situ, Kipo tersentak dari lamunan. ‘’Ini tak bisa dibiarkan,’’ desisnya antara terdengar dan tidak. *** Menjelang tengah hari, segerombolan orang terlihat berjalan dari arah dua rumah macam barak tak jauh dari rimbunan pokok akasia di tanah Darin. Mereka makin mendekat. Di balik pepohonan, Kipo dan teman-teman bisa menghitung jumlah mereka. Sekitar 20 orang. Lima di antaranya perempuan. Di bahu mereka terpanggul cangkul dan bibit sawit. Satu tangan lagi menenteng parang, golok atau pisau. Kipo dan kawan-kawan berpandangan satu sama lain. Mereka pun diam menunggu saat yang pas. Rombongan asing itu mulai menggali tanah. Bibit sawit
106
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
yang mereka panggul langsung dibenamkan. Krosakk... Anggota rombongan itu pun terkejut. Kipo dan kawan-kawan dengan parang tertenteng di tangan mendekat. Orang-orang asing itu tak lari. Wajah mereka tampak tenang-tenang saja seolah tanpa dosa. ‘’Siapa kalian? Seenaknya saja menanami lahan orang tanpa izin. Hentikan pekerjaan kalian. Cabuti sawit itu kembali. Kalau tidak, akan buruk padahnya,’’ kata Kipo dengan suara pelan tapi bernada mengancam. ‘’Maafkan kami. Kami ini adalah pekerja dari PT Anu. Kami hanya orang upahan yang disuruh menanam sawit di sini. Kami hanya cari makan dan tak akan mengusik tanaman bapak. Kalau bapak-bapak mau menanam juga tak akan kami ganggu. Namun kami harap, kami pun dibiarkan bekerja,’’ katanya. ‘’Seenaknya saja kalian. Ini tanah milik kami. Pokoknya kalian tak kami izinkan mengusik tanah kami. Titik!’’ Darin ikut bersuara lantang. ‘’Kalau begitu permintaan bapak, kami akan pergi dari sini,’’ balas lelaki yang tampaknya kepala regu pekerja perusahaan perkebunan itu. Mereka pun balik kanan memanggul semua alat peragatnya. Baru dua puluh langkah mereka berjalan, tiba-tiba dari arah barak datang serombongan orang. Melihat itu, para pekerja tadi menghentikan langkahnya. ‘’Apa yang terjadi? Kok kalian balik kanan?’’ tanya salah seorang dari anggota rombongan yang pertama sampai. ‘’Kami dilarang bapak-bapak itu. Mereka mengaku pemilik tanah ini,’’ jawab kepala regu pekerja. Dalam hitungan detik, Kipo cs yang berjumlah hanya tujuh orang langsung berhadap-hadapan dengan sebelas orang yang baru datang plus 20 pekerja yang tak jadi pergi.
107
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Wajah kedua belah pihak tampak tegang. Tiga orang dari kelompok perusahaan itu maju. ‘’Kami harap bapak-bapak tenang. Perusahaan kami bermaksud membuat kebun sawit di sini. Makanya sekeliling lahan ini sudah kami gali parit agar gajah tak masuk. Bapakbapak tak usah risau. Izinkan kami menanam dulu. Tanaman bapak tak akan kami usik. Kalau memang bapak yang punya lahan ini, nanti pasti diganti rugi,’’ kata lelaki berpakaian necis yang tampak berwajah licik. ‘’Tak bisa begitu. Belum diganti rugi kok kalian sudah berani main tanam. Hukum mana yang kalian pakai. Itu sewenang-wenang namanya. Cara yang kalian tempuh macam perampok saja,’’ ujar Kipo sengit. ‘’Begini Pak. Dengan cara menanami lahan ini terlebih dulu, kami akan tahu siapa pemilik lahan ini sebenarnya. Yang merasa lahannya diusik pasti akan datang. Dengan begitu mudah bagi perusahaan dan pihak terkait untuk mengetahui dan mendata siapa pemilik lahan sebenarnya. Sebab di sini banyak yang mengaku-ngaku pemilik di atas lahan yang sama,’’ lelaki mirip petugas keamanan angkat bicara. ‘’Pokoknya tidak bisa. Hentikan pekerjaan kalian di atas tanah kami. Cabuti seluruh sawit yang telah kalian tanam. Tanah ini milik kami. Kami beli dengan hasil tetes keringat dan airmata kami,’’ suara Kipo meninggi. Lelaki yang tampaknya pemuka kampung setempat tampil selangkah ke depan lalu bicara. ‘’Saya pemuka kampung sini. Bapak jangan tunjuk lagak. Bapak punya surat, kami juga punya. Tanah ini punya datukmoyang kami. Kami berhak menjualnya kepada siapapun. Termasuk kepada perusahaan ini. Makanya, kami harap bapak-bapak jangan bersikeras. Kami pun bisa. Tolong beri
108
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
izin perusahaan ini menanam dulu. Ganti rugi bapak-bapak nanti kita bicarakan lagi,’’ katanya. Mendengar itu, Kipo tak bisa lagi menahan emosi. Darahnya menggelegak. Tubuhnya tiba-tiba mengejang. Mukanya memerah. Otot seluruh tubuhnya mengeras. Kedua lengannya dari siku ke bawah pun tampak membara. Lalu parang di tangan kanannya terangkat. Matanya berkilat siap menebas semua yang menghadang di depannya. Terbujur lalu, terbelintang patah. Ciaaat! Kipo melompat tiba-tiba. Parang panjang di tangannya berkelebat terayun ke sana-ke mari mencari mangsa. Dalam pandangannya, cahaya sekitar meredup lalu gelap seperti malam. Rasanya dia kembali ke masa 32 tahun silam saat berduel sengit dengan makhluk hitam besar penghuni belantara yang datang mengganggu tidurnya pada suatu malam. Berbekal ilmu kebatinan dan keris pusaka warisan datuk-neneknya, Kipo bertarung habis-habisan hingga makhluk hitam legam itu melarikan diri setelah rusuknya tertikam pedang pusaka Kipo. Anak-kayu dan semak di sekitar pondok bertumbangan karena tebasan keris Kipo dan cakaran Si Hitam. Di tengah amukan Kipo, rombongan perusahaan dan para pekerjanya berpekikan. Ada yang meraung terlolonglolong. Mereka lari pontang-panting dalam kondisi kacaubalau. Tujuh dari mereka terluka. Tiga cukup parah terkena golok dan pisau. Selebihnya mengalami luka tusuk, luka robek dan memar-memar terkena pancungan anak kayu. Semua mereka berlarian tak tentu arah. Teman-teman Kipo pun ikut tunggang-langgang menghindar. Tak lama antaranya, suasana jadi hening. Kipo tegak dengan parang masih tergenggam di tangan. Lamat-lamat matanya melihat cahaya terang. Pandangannya beredar.
109
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Belukar akasia di tanah Darin sudah rata. Kini lahan dekat hutan lindung Talang dan diduga masuk kawasan hutan suaka itu siap untuk segera ditanami sawit.*** Duri, 22 April 2013 SYUKRI DATASAN AL-PAUHI, wartawan juga menulis karya sastra. Bermastautin di Duri, Bengkalis.
110
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Limabelas (15)
Sebuah Wajah di Roti Panggang Mei 2013 Riki Utomi MASIH seperti yang lalu, kau mendapati gerobak tua itu di pojok tiang listrik bersebelahan teras ruko elektronik. Gerobak berwarna samar hijau yang telah lusuh dan hampir tidak memiliki karakter cat yang sempurna. Seorang lelaki paruh baya sibuk membolak-balikkan sebuah roti di wadah besi berbentuk datar. Sambil beberapa kali menaburkan butiran cokelat kecil dan mengoleskan mentega untuk kelengkapan proses pembuatan. Barangkali kau hanya memerlukan sedikit kesabaran untuk menunggu. Sebab, maklumlah, yang menjualnya tampak telah keletihan. Itu memang benar, katamu kemarin. Lelaki itu, memang harus serba sabar kita menghadapinya, bukan? Untuk itulah kau tidak terlalu peduli dari apa-apa yang telah kau pikirkan. Seperti bisa saja kau akan menggerutu dengan kata-kata yang pedas sambil memasang wajah masam, atau kau menampilkan gerak-gerik tubuh resah tak karuan. Barangkali saja lelaki itu bisa mengerti dengan kondisimu yang tak tentu arah itu. Tetapi hal itu tidak
111
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
kau lakukan mengingat—kau selalu berpikir panjang—tidak ingin orang lain sampai tersinggung. Itu tentu pikiran baik dan sudah tentu kau selalu berusaha bersikap demikian. Hal itu setidaknya agar dirimu lebih merasa tenteram dari beban-beban hidup yang selalu kau anggap tidak ada habis-habisnya. Ya. Memang benar begitu. Untuk itulah kau selalu berhati-hati tiap melakukan sesuatu. Tidak seperti dulu beberapa tahun lalu yang—kau sendiri tak mau lagi menceritakannya kepada siapapun. Maka, hanya dalam hal kecil, saat menunggu selesai pembuatan roti panggang ini kau dengan segenap raga bersabar. Ah, memang sesuatu yang kecil, tetapi menurutmu juga masalah besar, segitukah? Hanya kau sediri yang merasakan. Dan kau menerima roti itu yang telah dibungkus kantung plastik hitam dengan perasaan riang sambil juga menyerahkan uang kepada lelaki itu. Hanya sebuah roti panggang. Tidak ada yang istimewa sebenarnya. Tetapi dari hal makanan kecil seperti itulah justru kau memiliki sesuatu yang besar. Kadang kau tak menyangka dari sebuah roti akan dapat mengantarmu menjadi seseorang yang memiliki nilai lebih daripada temantemanmu yang lain. Kau bahkan yakin benar untuk mencapai semua yang kau pikirkan dengan sukses dan dada gemuruh. Kau selalu berteriak dalam kamar sendirian: “Hidup itu perjuangan!� lalu dengan riang kau berjingkrak di atas kasur sambil membayangkan sesuatu yang besar akan singgah dalam kehidupanmu. Segitukah? Kau hanya mengiyakan. *** Sekali lagi hanya sebuah roti panggang yang selalu kau idamkan itu yang selalu dijual oleh tiap anak muda di gerobaknya yang khas. Saat kau akan menyantap roti itu kau
112
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
selalu terlebih dahulu memandang roti itu dengan penuh pesona. Apakah kau terobsesi akan sesuatu tanpa sadar? Kau menggeleng. Kau berkata sendiri bahwa di permukaan roti panggang itu selalu singgah sebuah wajah. Bayang-bayangnya selalu singgah. Wajah itu tersenyum cerah dan ramah. Wajah itu melihatmu dengan penuh kehangatan. Lalu dalam kesendirian itu kau akan tertawa. Pikiranmu akan kembali melayang ke waktu itu, ke sebuah hal yang mungkin kau anggap rancu tapi ternyata sebuah hal yang sungguh menyenangkan. Untuk itulah kau saat ini mencoba berusaha berubah. Berubah ke arah yang lebih baik. “Masih lama?” katamu dengan wajah yang tak tentu arah. Perempuan muda itu acuh tak acuh. Tapi kau berusaha untuk mencari perhatiannya dengan bersiul-siul kecil dengan lagu yang tak jelas. Kau mulai terpancing sejak tadi untuk lebih ke arah agresif seperti menyentuh kakinya yang akan kau bilang tidak sengaja, menyentuh tangannya untuk sekedar melihat jam, atau yang lebih jauh dan ekstrim kau akan mencuil pinggangnya atau diam-diam kepalamu mendekat ke wajahnya lalu sesegera mungkin akan kau daratkan bibirmu ke pipinya. Tapi kau masih saja—waktu itu—berpikir jauh. Padahal kau dikenal sangat memiliki karakter buruk yang membuat siapapun akan gerah dan menjauh. Tetapi dengan perempuan itu kau merasa hatimu luluh dan tunduk. Ada apakah sebenarnya? “Masih lama? Aku sudah lama menunggu…” katamu sekali lagi. Perempuan itu akhirnya menoleh ke arahmu. Memandangmu sekejap seperti meneliti bentuk lekuk-liku wajahmu. Kau mendadak terkesiap, ada sesuatu yang lain
113
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
merayap dalam benakmu. Sesuatu yang aneh, pikirmu kala itu. Perempuan itu memasang wajah heran tapi dia tetap acuh dan hambar sambil kembali memandang proses pembuatan roti panggang itu. Kau sedikit kesal. Entah mengapa perasaanmu mengatakan itu. Padahal untuk apa kesal? Bukankah kau tidak mengenalnya sama sekali? Apa hubungannya? Tapi kau tetap melihatnya dengan penuh perhatian daripada melihat roti panggang yang sedang dimasak dan pikiranmu akhirnya berubah menjadi semrawut tak tentu arah. Akhirnya kau berubah emosi. “Cepat Pak! Lama sekali buat roti bakarnya!� teriakmu dengan mata tajam ke arah lelaki paruh baya yang membuat roti panggang itu, membuatnya terkejut seketika. “Cepat! Saya sudah dari tadi menunggunya! Mengapa lama sekali buat roti bakarnya!� teriakmu sekali lagi. Orangorang lain semua memperhatikanmu. Dan keanehan tiba-tiba terjadi. Di saat orang-orang lain terfokus memandangmu yang tiba-tiba mendadak marah, perempuan itu, ya perempuan muda itu malah menertawaimu dengan sangat lucu. Dia hampir saja terpingkalpingkal kalau saja tidak menutup mulutnya dengan sapu tangan. Dengan tawanya yang mengecil itu pun dia masih tampak geli, seperti ada sesuatu yang sangat menggelitik hatinya. Kau tentu saja terganggu dengan keanehan itu. Tapi kau tidak marah. Malah berubah menjadi sosok yang tampak lugu dengan sangat cermat memandang perempuan itu. Dalam hatimu beribu pertanyaan muncul. Tapi kau masih belum tahu tentang apakah? Mengapa perempuan itu bersikap lain? Dia beralih memandang roti panggang yang hampir masak. Tawanya yang tertahan-tahan masih terdengar. Kau ingin
114
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
bertanya lebih jauh, tapi masih enggan sebab rasa amarahmu belum mereda untuk dikenalikan. Tapi akhirnya kau mencoba untuk bersikap lebih baik. Menganggap hal itu adalah kekhilafan yang mesti cepat-cepat diperbaiki. Untuk itulah dengan penuh paksa, kau mencoba tersenyum pada orang-orang yang sebagian masih melihatmu dengan tatapan risih dan cemberut. Mereka semua seperti menganggapmu orang sinting dan tak tahu diri. Tapi kau tetap mencoba bertahan dalam kondisi itu yang sebenarnya sejak tadi kau ingin sekali beranjak pergi. Tapi kau juga tidak mengerti mengapa masih bertahan. Kau menoleh lagi ke arah perempuan muda itu. Ya. Perempuan itulah yang membuatmu bertahan menunggu antrian. Perempuan itu yang telah mencengangkanmu tentang sebuah perkara yang kau masih belum mengerti yang kini masih menjadi misteri dalam benakmu. Apakah ada yang salah dari ucapanmu? Sehingga dia menertawaimu setengah mati? *** Jujur kau tak bisa melupakannya begitu saja. Bagimu itu bukan sebuah hal sepele seperti kita berhutang saat selesai makan di sebuah kantin. Tidak. Kau menggeleng dengan perasaan campur aduk. Apakah ada yang salah dengan ulahmu? Atau perempuan itu memang memiliki kelainan‌ pikirmu berlebihan. Suatu ketika kau—secara tak sengaja—bertemu kembali dengan perempuan itu. Perempuan muda yang kemarin menertawaimu setengah mati. Dengan adanya kesempatan itu, kau merasa ada pertemuan ganjil yang harus sesegera mungkin untuk dimanfaatkan. Untuk itulah kau perlahan mendekatinya. Dia tampak memandangmu tapi agak sedikit resah dari sikapmu. Sungguh dia tampak terlihat tidak
115
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
nyaman ketika kau terus memperhatikannya. Kau menyusun keberanian, memikirkan lebih akurat kata-kata yang akan disusun menjadi kalimat—tiba-tiba kau menjadi letih oleh pikiran sendiri. Kau ingin sekali untuk menyapanya, tapi kau terlalu berlebihan untuk berpikir hati-hati. Beberapa orang yang antri telah beranjak. Antrian tinggal sedikit dan berakhir hanya kau dan dia. Penjual roti itu masih tetap yang sama, seorang lelaki paruh baya dengan gerobaknya yang itu juga: kusam tapi cukup menggairahkan untuk kita membeli barangkali karena roti yang dibuatnya memiliki perbedaan daripada penjual roti yang lain. Kau menilai dari rasa dan aroma roti itu yang memang khas. Kau melihat jam di tangan, kau merasa lelah karena telah dua puluh menit berlalu tanpa mampu bercakap-cakap dengan perempuan itu. Kau memejam mata, dengan menyusun keyakinan untuk mencoba perlahan berani menyapa. “Anda yang kemarin kan?” tanyamu. Perempuan muda itu menoleh dengan pandangan asing. Dadamu berdegup dan seketika kau merasa malu. “Maksud saya, Anda yang kemarin sangat lucu tertawa.” Perempuan muda itu mencerahkan wajahnya dan akhirnya berkata. “Ya. Benar. Saya lupa-lupa ingat. Apakah Anda yang kemarin juga membeli roti di sini?” Wajahmu seketika berbinar, “Benar sekali. Saya yang marah kemarin sehingga orang ramai memandang saya. Tapi anehnya mengapa Anda tertawa waktu itu?” kau bertanya sangat girang. Perempuan itu tertawa renyah. “Ya. Saya ingat. Saya tertawa sangat lucu sekali waktu itu…” “Karena apa?”
116
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
“Karena Saya sangat lucu pada apa yang Anda ucapkan,” jawabnya. Kau melongo tapi sungguh dadamu bergemuruh girang. “Ada yang salah dari ucapan saya?” Perempuan itu masih tertawa kecil dan kemudian mengangguk. “Jelas ada yang salah. Apakah Anda tidak menyadari kalau Anda telah memakan roti yang hangus?” ucapnya sambil menoleh meremehkanmu—tapi kau menganggap itu sebuah canda yang renyah. “Ha..ha..ha… Saya memakan sebuh roti hangus? Saya masih belum paham. Anda aneh sekali ha..ha…” “Barangkali saya memang aneh karena akibat bahasa yang Anda gunakan waktu itu. Bukankah Anda berteriak dengan kata roti bakar?” katanya seperti menyakinkanmu. Kau mengangguk yakin tapi semakin merasa aneh atas sikap perempuan itu. “Jelas kalau seperti itu yang Anda ucapkan, Anda akan memakan sebuah roti gosong terbakar ha..ha…” “Kalau Anda sendiri?” lanjutmu. “Saya tidak, karena saya menyebutnya roti panggang, bukan roti bakar,” tegasnya seperti berargumentasi. Kau mengangkat bahu sambil tersenyum manis kepadanya. “Seharusnya Anda menyebut roti panggang karena proses pembuatannya bukan dengan dibakar, tapi dioleh di atas wadah datar yang diolesi mentega dan selanjutnya roti itu dicampur bahan-bahan lain yang lezat. Jelas-jelas tidak dibakar bukan?” dalihnya sambil kembali memandangimu. Kau mengangguk sekenanya tapi dalam pikiranmu berusaha memahami. “Jadi itu maksud Anda.”
117
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
“Ya. Sesuai juga dengan logika sebenarnya. Memang, kita pada umumnya selalu salah kaprah dalam soal bahasa dan juga memaknakannya. Hmm… saya tidak bermaksud berteori, ini bukan forum kuliah ha..ha…” lanjutnya sambil bergurau. Perempuan itu telah menenteng sekantong roti panggang. Bau harum roti itu yang masih hangat mengundang selera untuk segera menikamatinya. Kau sebenarnya ingin lebih lama berbincang. Tapi situasi sangat tidak memungkinkan. Kau terdiam beberapa saat sebelum dia beranjak ke sepeda motornya. Kau terus memandangnya sampai dia menghidupkan motornya. Kau berucap pelan, suaramu seperti tercekat—”hati-hati di jalan…” Sayang… dia tak menolehmu. Barangkali tak mendengar harapanmu yang meminta hati-hati tadi. Kau masih memandangnya di kejauhan. Kini sebungkus roti panggang juga telah di tanganmu. Di rumah, kau begitu cepat ingin menikmati roti panggang itu. Tapi—entah mengapa—ada hal lain yang tak seperti biasa merayap dalam kepalamu, sebuah pikiran-pikiran yang lain, yang membuatmu menjadi termenung beberapa saat. Ya, sosok perempuan itu begitu melekat dalam pikiranmu. Kau memandanginya begitu lama di roti panggang itu. Ah… kau begitu bodoh tidak menanyakan nomor ponselnya atau lebih jauh alamat rumahnya untuk sekadar berdiskusi soal bahasa… atau kau sebenarnya telah merasa jatuh cinta? *** Teluk Belitung, 23 Maret 2013 RIKI UTOMI menulis puisi, cerpen, esai, dan sesekali naska drama. Pernah aktif di FLP Riau. Sejumlah tulisannya telah dimuat di berbagai media dan terangkum dalam sejumlah antologi bersama.
118
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Diundang dalam helat baca sajak Penyair Jemputan Serumpun (Indonesia, Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam) 2012 oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Riau. Tengah menyiapkan kumpulan cerpen Mata Empat (Seni Kata). Bermastautin dan berkarya di Selatpanjang.
119
120
Enambelas (16)
Sepatu Hitam Asmadji As Muchtar
TAK mungkin Ningsih bisa melupakan peristiwaperistiwa mengerikan yang terjadi selama bulan Oktober 1965. Saat itu, Ningsih masih kecil, baru berumur 4 tahun, tapi sudah menyaksikan ayah ibunya dibantai karena dituduh sebagai antek PKI. Padahal, ayah ibunya hanya petani buta huruf yang tak mengerti urusan politik. Ningsih juga diajak neneknya melayat sejumlah tetangga yang tewas dibantai seperti ayah ibunya. Seiiring dengan bertambahnya usiahya, bertambah pula pengetahuan Ningsih mengenai latar belakang kasus pembantaian ayah dan ibunya serta banyak warga desa, karena nenek yang mengasuhnya sering bercerita menjelang tidur. Menurut cerita neneknya, ayah dan ibunya serta banyak warga desa dibantai karena pernah ikut-ikutan menghadiri Acara Pelantikan Pengurus Ranting Partai Komunis Indonesia (PKI) di rumah Pak Kades. Ayah ibunya bukan anggota atau antek PKI, melainkan
121
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
hanya petani kecil. Ayah ibunya ikut-ikutan menghadiri acara di rumah Pak kades karena tergiur iming-iming bakal menerima bantuan pupuk dari Pak Bupati. Dan saat itu semua petani memang sedang membutuhkan pupuk untuk menyuburkan sawah menjelang musim tanam. *** Malam itu, di kamar depan Ningsih tidur bersama ayah ibunya, sedangkan neneknya tidur di kamar belakang. Tibatiba pintu depan didobrak hingga jebol. Lantas terdengar teriakan keras agar ayah ibunya keluar dari kamar dan menyerah. Ayah ibunya sempat mengajak Ningsih bersembunyi di kolong dipan, sebelum orang-orang bersepatu hitam menggeledah kamar depan yang tidak berdaun pintu kecuali hanya tertutup kain kelambu itu. Tapi Ningsih menangis ketika diajak bersembunyi di kolong dipan. Mendengar suara tangisan Ningsih di kolong dipan, orang-orang bersepatu hitam itu berteriak lagi: “Cepat keluar dan menyerah!� Ayah ibunya kemudian keluar dari kolong ranjang. Ningsih dibiarkan tergeletak di kolong dipan sambil menangis ketakutan. Lantas muncul neneknya dan langsung membopongnya sambil ikut menangis ketakutan. Tubuh neneknya menggigil saat menggendongnya. Tanpa bicara lagi, orang-orang bersepatu hitam itu kemudian menggelandang ayah dan ibunya menuju halaman depan. Sambil membopongnya, neneknya yang menggigil ketakutan dan menangis bergegas melangkah ke teras depan, ingin melihat apa yang bakal terjadi di halaman depan. Malam itu, di teras depan, Ningsih yang dibopong neneknya begitu jelas menyaksikan kasus pembantaian ayah
122
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
ibunya di halaman rumah. Di bawah remang cahaya bulan, Ayah ibunya dipancung dengan pedang. Kepala ayah dan ibunya terpenggal, jatuh di atas tanah, sebelum kemudian tubuh-tubuh yang tanpa kepala itu ambruk bersimbah darah. Sambil membopongnya, neneknya lantas mendekati kedua sosok jenazah ayah ibunya. Neneknya menangis dan meratap-ratap. “Gusti Allah, salah apa rakyat kecil ini, sehingga bernasib seperti ini?!� Orang-orang bersepatu hitam itu buru-buru pergi ke rumah sebelah untuk melakukan pembantaian serupa. Mereka membiarkan neneknya dan Ningsih untuk tetap hidup mungkin supaya bisa menyaksikan peristiwa pembantaian itu dan mengenangnya sebagai tragedi mengerikan sepanjang hidupnya. Begitulah, sejak saat itu, Ningsih dan neneknya hidup berdua dalam bayang-bayang kenangan mengerikan. Setiap menjelang tidur, neneknya sering bercerita bahwa pada malam-malam berikutnya setelah ayah ibunya dibantai banyak warga desa yang dibantai juga padahal semuanya hanya petani kecil yang tidak mengerti urusan politik. Semua dibantai hanya karena pernah menghadiri acara di rumah Pak Kades karena tergiur iming-iming akan menerima bantuan pupuk dari Pak Bupati. Neneknya juga bercerita bahwa Pak Kades dan Pak Bupati juga dibantai karena memang nyata-nyata menjadi anggota PKI. Bahkan, pembantaian juga terjadi di kantor kecamatan, menjelang siang. Pak Camat bersama semua staf kantor kecamatan dibantai karena semua memang anggota PKI. *** Ketika Ningsih sudah menjadi gadis remaja yang manis, neneknya wafat. Lantas Ningsih hidup sebatang kara,
123
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
sendirian menghuni rumahnya. Ningsih membiayai hidupnya dengan menyewakan sawah warisan. Biasanya, sawah warisan itu disewa oleh seseorang selama setahun, selanjutnya diperpanjang lagi setiap tahunnya. Uang dari penyewaan sawah warisan tidak seberapa, sehingga membuat Ningsih selalu mengirit biaya hidup agar tidak berhutang. Baginya, berhutang dianggap tabu. Lebih baik mengirit biaya hidup daripada berhutang. Karena itu, Ningsih sering berpuasa atau hanya makan sekali sehari. Sebelum wafat, neneknya mengajak Ningsih untuk menggarap sawah. Menanam palawija dan sayur-sayuran yang dijual sendiri di pasar terdekat. Namun setelah neneknya wafat, Ningsih tidak berani menggarap sawah sendiri. Setiap hari hanya tinggal di rumah. Semua tetangga, yang sebaya dengan Ningsih, juga sama-sama mengidap trauma, selalu tercekam kenangan mengerikan, karena ayah ibu mereka juga dibantai pada bulan Oktober 1965. Mereka hidup tak jauh berbeda dengan Ningsih. Begitulah. Hidup dalam bayang-bayang kenangan mengerikan tentang pembantaian ayah ibunya yang pernah disaksikannya, membuat Ningsih sakit ingatan kronis. Ingatannya sering berhenti pada kenangan mengerikan itu. Tapi kadang Ningsih bisa sejenak melupakannya. Jika sedang tercekam kenangan mengerikan itu, Ningsih sering menggigil dengan wajah pucat seperti menderita demam flu yang berat. Biasanya, Ningsih sangat tercekam kenangan mengerikan itu, tubuhnya jadi menggigil dan wajahnya jadi pucat, setiap kali melihat orang bersepatu hitam. Suatu sore, ketika didatangi Petugas Sensus Penduduk yang bersepatu hitam, Ningsih ketakutan. Bersembunyi di
124
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
kolong dipan. Tubuhnya menggigil. Petugas sensus itu kemudian urung mendata Ningsih. Suatu sore yang lain, ketika Panitia Pemilu Tingkat Desa datang di rumah Ningsih untuk membagikan surat undangan untuk mencoblos di Tempat Pemungutan Suara, Ningsih juga menggigil ketakutan. “Mbak Ningsih sakit, ya?” tanya Panitia Pemilu. Dengan menggigil ketakutan, Ningsih menggelengkan kepala. Matanya nanar memandangi sepatu hitam yang dipakai Panitia Pemilu itu. Sekilas bayang-bayang kenangan mengerikan itu mencekam hati Ningsih. Tiba-tiba amarah dan dendam di hati Ningsih berkobar-kobar. Panitia Pemilu terkejut ketika Ningsih tiba-tiba menatapnya dengan mata mendelik dan napas mendengusdengus. “Aku harus segera pergi, sebelum gadis ini mengamuk. Nampaknya gadis ini tidak waras,” gumamnya sambil bergegas pergi. *** Karena mengidap trauma, sejak menyaksikan pembantaian ayah ibunya, Ningsih dan warga desa sebayanya tak pernah bersedia ikut memberikan hak suaranya dalam Pemilu, Pilkada maupun Pilkades. Ningsih juga tidak pernah masuk sekolah karena takut melihat guru-guru yang memakai sepatu hitam. Pada umur enam tahun dulu, neneknya pernah mendaftarkannya menjadi murid baru di SD terdekat. Tapi begitu melihat guru-guru bersepatu hitam, Ningsih menggigil ketakutan. “Saya tak mau masuk sekolah, Nek,” kata Ningsih setiap kali neneknya menyuruhnya masuk sekolah. Neneknya mencoba merayunya lagi. “Kamu harus
125
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
masuk sekolah, supaya tidak buta huruf seperti Nenek.” “Lebih baik saya buta huruf daripada melihat sepatu hitam.” Neneknya kemudian tidak menyuruhnya lagi untuk masuk sekolah. Neneknya nampak mengerti bahwa Ningsih betul-betul mengidap trauma kronis yang selalu tercekam ketakutan setiap kali melihat orang-orang termasuk guruguru bersepatu hitam. Sejak Oktober 1965 itu, memang banyak anak petani yang tidak mau masuk sekolah karena takut melihat guruguru bersepatu hitam. Karena itulah, mengapa sampai sekarang masih banyak rakyat di negeri ini yang buta huruf dan selalu menderita dirundung kemiskinan.*** ASMADJI AS MUCHTAR, lahir di Pati, Jawa Tengah. Dosen Pascasarjana UII Yogyakarta dan Unsiq Wonosobo Jawa Tengah. Menulis prosa, puisi dan esai sejak 1975 yang dipublikasikan di sejumlah media cetak di Indonesia. Juga menerjemahkan sejumlah kitab kuning dan menulis tafsir Alqur’an berjudul Al-Muchtar yang beredar di Indonesia, Singapura dan Malaysia.
126
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Tujuhbelas (17)
Tumirah 4 April 2013 Rian Harahap
Sesak, becek dan penuh dengan kesunyian. Di dalam dekapan kegelapan dan tak pernah diuntai sebait kisah mentari masuk dalam ruangan ini. Hanya ada butiran-butiran luka dan bercak darah yang sudah mengering. Dindingdinding yang mengeluarkan bau beku semerah saga. Tak ada lagi harapan untuk menghirup udara yang membuat manusia lebih baik antara bidang-bidang yang sudah diremangi dan diukur untuk dimuati oleh lima atau enam orang. Lalu orang-orang itu akan tersungkur dan saling menempati ruang yang masih tersisa. Di balik bajunya yang sudah lama tak terganti, tubuh-tubuh itu menyimpan luka bekas cambukan dan banyak mata yang hanya bisa meneteskan kekecewaan pada diri masing-masing. Sementara masih banyak luka yang belum terobati. Satu persatu saudara sebangsa masuk dalam jeruji. Melihat wajahwajah yang dikenal dan memiliki kesamaan dalam wajah dalam bentuk dan tinggi yang semampai. Di sudut-sudut
127
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
ruang masih membekas teriakan dan cacian menjadi manusia yang paling hina. Lalu ada kabar yang mengantarkan bahwa malam akan datang secepat cahaya, membawa tubuh ini jauh dari kurungan terbang bebas lepas. Mencari sangkar yang benar-benar indah diantara sajian dunia. Belum lagi menjenguk kebebasan yang mengintip dari sebuah ventilasi cahaya. Di luar ada sorak-sorai yang membahana, mereka menguntai keinginan untuk mengadili secepatnya diri ini menjadi terdakwa. Aku pun hilang arah melihat semua menjadi hitam dan kelam. Sesak dan menghimpit jantungku. Suara-suara itu terus menggema, mengisi seluruh teater arena yang lebih mirip tapal kuda. Mereka berbondongbondong masuk dalam tontonan yang menjadi hiburan bagi seluruh masyarakatnya. Inilah saat paling tepat untuk menyaksikan pengadilan paling adil. Itulah hak mereka, menjatuhkan opini tentang kesiapan wajah-wajah itu menyaksikan wajah lain yang tak dikenali menjadi tangis atau kaku dan tergeletak di atas tanah. Aku sudah lupa, bagaimana cara untuk menjadi seorang manusia. Sejak masuk dalam jeruji ini aku tak lagi tahu seperti apa wajah ini. Hujan dan panas kini berteman dengan lumut dan lampu remang yang datang dari ujung lorong. Di sinilah kami dihakimi atas dasar ketidakbecusan melakukan kewajiban, atau malah dituduh menjadi orang-orang yang sekiranya membangkang pada majikan. Kamilah orang-orang yang terbuang sementara dalam hati kami juga adalah manusia yang ingin berjuang atas nama keluarga dan Tuhan. Lalu langkah gontai masuk melewati lorong, kami pun mulai menangis. Aku merasakan betul seorang perempuan di sampingku menggigil hebat, seluruh tubuhnya bergetar ketakutan. Di sudut lain yang tak bisa kulihat wajahnya, kudengar tawa yang lepas, ia seperti sedang menertawai nasib
128
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
yang tak akan lagi berubah. Sementara itu yang lain hanya pasrah dan duduk di atas genangan air yang membasahi tubuh kami. Di genangan air itu pula, aku bisa mendengar langkah kakinya semakin lama semakin mendekat. Jarak antara tubuh kami dengan langkah kaki itu semakin dekat. Suara yang datang dari ventilasi dan dipenuhi sesak hinaan dan cacian itu semakin lama juga semakin kencang. Kontan saja detak jantungku pun semakin berkutat dengan kecepatan. Pada titik itu kami pun jadi orang yang paling diam dan membisu. Saat langkah kakinya terhenti di sebuah gerbang, tepat di depan gerbang jeruji besi kami. Aku mencoba untuk tak bergerak, sementara mereka masih ada tangis dan tawa. Ia datang dengan bunyi gemerincing kunci. Mencari satu persatu kunci yang cocok untuk membuka gerbang ini. Lalu jadilah suasana ini makin mencekam, kunci itu membuka rantai yang sudah digemboki lagi oleh mereka. Ya, dari langkahnya yang pelan dan tangannya yang besar. Aku yakin betul bahwa dia adalah seorang algojo. Di sana ia akan menjadi seorang yang siap memutarbalikkan tubuh siapa saja yang melawan dengan kuasanya. Ia akan membawa satu-satu dari kami untuk dipertontonkan di depan khalayak ramai. Menjadi orang-orang yang siap digundulkan kepalanya, tak melihat lelaki atau perempuan. Setelah itu jadilah hari pengadilan. Aku masih belum tahu siapa yang akan diambil oleh algojo ini. Ia seakan ingin mengambil semua dari kami. Inilah kami dari bangsa paling besar dan kaya, namun di sini menjadi pesakitan yang sangat hina. Di mata mereka kami adalah orang bar-bar yang tega menjadikan anak-anaknya hilang ditelan kasih sayang, atau membuat alat-alat dari rumahnya menjadi rusak. Itulah alasan mereka menjadikan
129
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
kami terdakwa dalam setiap kesalahan yang dibuat-buat. Kini kami tinggal menunggu tangan besar algojo tersebut. Siapa yang akan diraih dan diangkatnya dari genangan air ini. Apakah ini giliranku atau malah mereka? Kini hanya rasa pasrah yang harus dilatih. Dalam kegelapan seperti ini aku tak bisa melihat ayunan tangan algojo itu untuk mengelak tangkapannya. Ia masuk dan berhenti hanya sejengkal di hadapan kami berenam. Diselingi suara tangis dari mereka satu perempuan dan tawa dari yang lainnya. Ini membuat peraduan yang makin candu bagi kami. Bagi kami yang hanya bisa diam dan melepaskan ketakutan itu lewat gigil dan ringkuh tubuh yang seperti janin. Maka jadilah kami orangorang bisa yang menunggu mati. Dalam hitungan detik suara tangis itu langsung pecah lebih keras. Aku tahu jika suara itu semakin besar pastilah ia yang diangkat untuk diadili di luar sana. Orang-orang yang menganggap kami bar-bar sedang menunggu tontonan paling berharga dalam hidup mereka. Melihat wajah-wajah dari kami satu persatu menjadi makanan burung-burung gagak dalam negeri ini. Maka setelah diangkatnya perempuan tadi aku pun sedikit tenang, meski ada sesal mengapa harus dia yang diambil. Sebenarnya lebih cepat lebih baik menjumpai kematian. Ia pun terus menangis dalam lorong yang remang hingga tangis itu tak terdengar lagi berganti dengan keriuhan di luar jeruji ini. Tepat dari lubang ventilasi itu terdengar suara massa yang sedang menunggu pengadil melakukan kewajibannya sebagai juru adil. Atas nama keburukan dan kejahatan yang telah kami perbuat maka mereka berhak melakukan itu, berdasarkan fatwa-fatwa yang telah mereka sepakati. “Sebelum dipancung adakah permintaan terakhir?� Terdengarlah kalimat tersebut dari pengeras suara yang
130
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
makin lama semakin menakutkan. Di sana mereka mengutarakan apa permintaan terakhir perempuan yang menangis tadi. Tidak terdengar jelas memang, cuma sayup tentang menimang kegelisahan bahwa ia meminta untuk pengadil memberi anak-anaknya makan. Tentu saja ada hal yang membuat ia meminta seperti itu. Namun pengadil tak sanggup memenuhinya, karena anak-anak tersebut tidak berada di negeri ini. Maka itu bukanlah kesepakatan yang bisa diambil. Jadilah ia menutup kata-kata dan pancungan itu pun sah masuk dalam jeritannya. Kembali tergeletak wajah-wajah yang suci dan hilang ditelan kesunyian. Jauh di antara kesunyian setelah sorak-sorai yang membahana itu maka hadirlah keberanian dalam jiwaku. Aku merasa tidak pernah mencuri apa-apa, jadi aku telah dipermainkan dalam sidang dan vonis putusan. Tak pernah ada di benakku datang jauh-jauh meninggalkan suami dan dua orang anakku hanya untuk mencuri. Aku datang ke sini untuk meraih rezeki yang halal. Jadi dalam hatiku sudah kukekalkan bahwa aku sudah dizalimi. Sampai kapan satu persatu dari kami akan mati dan difitnah oleh majikan yang semena-mena. Jika saja mereka tahu tentang kebusukan yang telah melanda diriku. Entah jika hanya aku saja yang terkena kebusukan dari perilaku mereka. “Kau, siapa namamu dan kenapa terus tertawa? Tidak adakah yang bisa membuatmu tenang?” “Tumirah namaku. Ini sudah tenang, bagiku dengan tertawa aku akan bisa menghilangkan rasa ketakutan dan dengan beginilah aku bisa melepaskan kerinduanku pada tanah airku” “Apa yang membuatmu sampai ke sini?”, ucapku dalam kegelapan. “Aku, kau mau tahu kenapa aku masuk di sini? hehe,
131
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
aku jadi aneh, akhirnya ada juga yang mau tahu kenapa aku bisa masuk ke sarang macan seperti ini. Jadi kau pikir kau lebih baik dariku, aku sama juga denganmu. Kita dari negeri yang sama dan mencoba memperoleh pertukaran hidup di sini. Jika di negeri kita menjadi orang yang tak berguna maka aku pun berharap di sini aku bisa menjadi lebih baik” “Lantas apa yang membuatmu berharap lebih baik?” “Kan sudah kubilang kita ini orang yang sama, laihr dari tubuh yang sama. Memiliki tanah dan air yang sama. Aku masih ingat waktu pertama kali seorang agen TKI datang ke desaku. Dia menjanjikan jika aku ikut dengannya dan bekerja di timur tengah, maka aku akan mendapatkan sebagian hal yang tak pernah didapati oleh orang miskin di desa ini, seperti rumah batu atau sepeda motor bahkan memiliki mobil jika perlu. Itu yang dijanjikannya sehingga tak banyak yang bisa kulakukan untuk menolak itu semua, lalu siapa yang berani menolak semua tawaran itu? Tidak ada!” “Setelah itu kau ikut dengannya dan apa yang membuatmu dihukum?” “Aku dihukum karena telah membunuh majikanku” “Kau membunuh majikanmu?” “Ya aku membunuh majikanku. Kuharap kau sabar dulu dan mendengar alasanku untuk itu! Aku membunuhnya karena tidak ada lagi orang yang bisa mengeluarkan aku dari jeratan kejahatannya. Kau tahu? Setiap kali aku membuat kesalahan, tubuhku disiram air panas dan menjadikannya jejak-jejak paling buruk di tubuhku. Kesalahan yang kubuat hanya seperti terlambat bekerja dan menumpahkan air di lantai. Belum lagi jika aku lupa menyetrika, maka setrikaan itulah yang lengket di kulitku. Kau tahu betapa sakitnya kerak neraka, mungkin salah satunya hal yang kurasakan itu. Padahal apa yang ia katakan selalu kulakukan, bahkan untuk
132
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
gaji yang belum terbayarkan adalah sebuah kesabaran bagiku. Aku pun jadi muak dengan semua kegilaan itu, aku depresi bahkan aku diperkosa oleh suaminya jika rumah sedang kosong. Apa kau pikir aku masih manusia? Hehe, aku masih manusia sebab aku masih punya amarah. Mereka pikir bisa memperlakukanku seenaknya saja, aku pun menyiapkan strategi dan membunuh kedua pasangan itu. Hanya mereka berdua, sebab merekalah yang telah membuatku menderita seperti ini.” “Kau lakukan itu?” “Ya dan aku puas akan hal itu, hehe” Aku tak lagi berbicara, sebab aku sedang berbicara dengan seorang pembunuh berdarah dingin. Aku takut sekali. “Kau jangan takut, aku tak akan membunuhmu sebab ini adalah masalah harga diri. Bagiku manusia adalah hakikat paling tinggi dan jika aku sudah dianggap seperti binatang itu akan sangat menyakitkan” “Iya, aku hanya coba merenungkan penderitaanmu” “Lantas, kau kenapa masuk di sini?”, tanya ia pula padaku. “Aku …” Belum lagi sempat aku menjelaskan seorang algojo sudah datang dan membuka gerbang. Tangannya mengayuhkan dan mengangkat perempuan yang sedari tadi tertawa itu. Perempuan itu malah senang dan terus tertawa hingga ujung lorong. Aku mendengar sayup dari teriakannya, “Katakan pada perempuan di negeri kita, lebih baik tertawa di negeri sendiri daripada malah harus menangis di negeri orang. Katakan pada mereka! katakan!” Suara itu pun hilang berganti dengan riuh dan sorak sorai di luar. Mungkin itu permintaan terakhirnya. Melesap dalam angin. Tumirah.
133
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
RIAN HARAHAP, sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UMSU. Guru di beberapa sekolah swasta. Finalis Monolog Peksiminas X, Pontianak. Finalis sendra FTI III, 2012. Cerpen dan puisinya dimuat di berbagai media. Bermastautin di Pekanbaru, Riau.
134
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Delapanbelas (18)
Amplop Putih 18 April 2013 Menrizal Nurdin KUBALIKKAN badan sambil mengusap-usap mata. Rasa dingin air wuduk membalut kulit hilang seketika. Kuayunkan kaki, melangkah satu-satu di anak tangga. Tak kuperhatikan jalan di depan. Sejenak aku berhenti, seorang pria tegak mematung di depanku. Sosok berjas dan celana hijau lumut, bersepatu mengkilap, di lehernya menggantung dasi belang kuning dan hijau. Matanya terbuka lebar dan senyumnya memecah bak bunga di taman, mengulurkan suasana persahabatan. Kelihatanya dia lebih muda 5 tahun dariku. Dari sorot mata itu, rasanya aku kenal. Tapi aku tidak berani berucap bahwa dia benar-benar teman lamaku. ‘’Assalamualaikum,’’. Suaranya memecah keheningan. ‘’Hei, Dar. Kamu masih ingat, aku’’? Pria ini menatap tajam ke arah mataku. Angin tetap nakal melambai-lambaikan dasinya, menggambarkan sosok ini, seorang eksekutif muda. ‘’Hm...lupa. Siapa ya’’?
135
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Terpaksa aku balik bertanya, karena aku takut salah. Apalagi stelan itu yang membuat semua berbeda, jauh berbeda denganku, bak langit dan bumi. ‘’Teman lamamu, Ihsan’’! ‘’Wah, sudah kuduga. Apa kabar, sudah lama tak jumpa ya’’. Kulemparkan senyum kepadanya. Aku senang sekali, tapi tetap saja hati kecilku memerintahkan fisikku tidak bersikap seperti kami SMA dulu. Tiba-tiba aku merasa kecil sekali di depannya, seperti berbeda kasta. ‘’Aku sudah tahu semua tentang kamu dari Imam mesjid ini’’. Tak banyak ucapan yang mengajak kita bernostalgia yang keluar dari mulutnya. ‘’Ini untukmu’’. Ihsan menyodorkan sebuah amplop putih. Kebekuan yang di wajahku yang sudah mulai mencair, kembali tegang. Aku masih ragu. Mataku seperti bola pimpong, menatap ke arah amplop putih dan mata Ihsan yang seolah memancarkan rayuan. Rasa takut menggelayut di benak. Terasa semakin berat kudukku, seperti baru saja mengangkat karung beras berulang-ulang. Traumaku tiba-tiba menyembur seperti api obor, yang pernah menenggelamkanku dalam putus asa yang panjang. Meski aku pun tidak percaya bahwa temanku ini akan menarikku ke dunia yang telah lama aku tinggalkan. Berkecamuk pikiran yang belum juga hilang, sambil tidak sengaja aku mengelap tangan pelan-pelan ke kain sarung yang kukenakan. Masih ragu-ragu, aku tak berani menyodorkan tangan. 20 tahun tidak bertemu dengan Ihsan, bagiku waktu yang telah mengubah segalanya. Baik buruk orang bisa berubah dengan sekejap mata, apakan lagi sudah sekian lama. ‘’Apa ini’’? Mulutku tiba-tiba berucap.
136
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Ihsan tidak langsung menjawab. Dia malah tersenyum. ‘’O...ya, bulan depan aku sudah tinggal di London’’. ‘’Ambillah, ini untukmu’’. Aku hanya bisa melongo, tak tahu memberi reaksi apa. ‘’Ayo, kita salat dulu’’. Ihsan memegang pundakku. Waktu Ashar sudah menunggu. *** Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Ihsan setelah kami berpisah. Dia meninggalkan kota ini setelah kami tamat SMA, kabar yang kuterima dia melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi. Ihsan adalah anak seorang petani di desa yang merantau ke kota ini. Di desanya tidak ada SMA. Hidup sebagai anak kost, Ihsan bergantung kiriman hasil pertanian orangtuanya. Awal kami kelas tiga, musim paceklik di desanya mulai menyerang. Hampir setengah tahun, Ihsan memang mengalami masa-masa sulit. Untuk mengantisipasi kiriman yang terbatas, Ihsan harus berpuasa hampir setiap hari. ‘’Dar, kamu ada teh dan gula,’’ suara hari. ‘’Minta dikit ya’’. ‘’Ambil sendiri. Aku pergi dulu’’. Kusambar tas di atas meja belajar, menoleh ke wajah Ihsan dan mengayunkan langkah cepat sekali meninggalkan Ihsan sendirian. Pergi menikmati duniaku sendiri. Hampir setiap Sabtu dan Ahad aku tidak pulang ke kos. Kami bertemu ketika Senin pagi hendak pergi ke sekolah. Orang tuaku di kampung memang seorang pedagang, dari kecil aku tidak pernah merasakan kesulitan keuangan. Dengan alasan kemandirian, aku memilih sekolah di kota ini. Bagiku ketika itu tidak ada yang sulit, asal ada uang,
137
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
semua hal bisa dilakukan. Berawal dari tekatku menggeluti dunia bisnis, seperti bapak, akhirnya aku terlibat kehidupan malam. Hampir setiap Sabtu dan Minggu aku habiskan hidup di diskotik, kafe dan panti pijit sampai pagi. Aku mengaku kepada Ihsan sedang menjalankan bisnis. Kusambut malam dengan pakaian parlente. Kuselami malam untuk menikmati kesenangan dunia. Kehidupanku seperti itu tidak pernah berhenti, dan terus terulang, aku sudah jauh dari hidayah Ilahi. Ihsan juga yang menyadarkan aku. Suatu ketika dia terbaring di rumah sakit. Melihat kondisinya, wajahku seperti ditampar keras. Menyesal, terlalu sibuk dengan diri sendiri, sehingga tidak tahu, karibku itu sedang menyabung nyata, antara hidup dan mati. ‘’Pokoknya kamu harus sembuh’’. ‘’Jangan pikir macam-macam’’. Wajah pucat Ihsan hanya sanggup mengangguk seolah menuruti semua perintahku. Beberapa hari, sebelum masuk rumah sakit, Ihsan puasa hampir setiap hari, karena kiriman dari kampung sering macet. Musim paceklik melanda ladang orangtuanya. Dalam kondisi seperti itu, dia tidak pernah bercerita sedikit pun. Entah karena sengaja atau memang karena dia tidak menemukan waktu pas, karena aku terlalu sulit ditemui. Semua itu ditutupinya dengan ibadah dan rajin ke mesjid. Kubayarkan semua biaya pengobatan Ihsan, untuk menebus kesalahanku. Sejak itu pula, aku semakin perhatian dengan Ihsan. Interaksi kami sudah mulai sering. Akhirnya aku mengetahui bagaimana seluk-beluk keluarga, begitu juga kisah keluargaku dia pun tahu, kecuali kehidupan malamku. Hampir bermalam-malam kami sering bersama, makan di
138
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
warung, mengaji di masjid bahkan aku mulai tagih mengikuti pengajian di kelompoknya. Aku mulai terinspirasi untuk mendalami kehidupan seperti yang dijalani Ihsan. *** Setelah tamat SMA, aku semakin yakin untuk tetap tinggal di kota ini. Tekat ini kusampaikan pula dengan orangtua. Kerasnya keinginanku, bapak akhirnya mengizinkan. Bahkan aku berani mengatakan bahwa setelah tamat sekolah malu minta uang sama orangtua. Kehidupanku ketika masih sekolah dan sekarang mamang sangat jauh berbeda, seperti siang dan malam. Kini, hari-hari kulewati di dalam masjid. Igauan jangkrik masih nyaring, orang-orang masih bercengkerama dengan mimpinya, aku sudah terjaga, menyapu, mengepel dan apa pun yang membuat para jamaah menjalani subuh Subuh berjamaah dengan khusyuk. Bertahun-tahun, aku tetap bertahan. Kehidupan yang serba kekurangan dari sisi materi tidak pernah aku risaukan. Semuanya aku nikmati. Semua sikap harus aku jaga. Takut berbuat yang melukai hati jamaah di lingkungan masjid. Sikap itu membawa aku tidak mau mengenal jamaah lebih dalam termasuk ibu-ibu, kecuali konsultasi bagaimana anakanaknya bisa lancar mengaji. Rasa takut dan membatasi diri, takut kembali ke sikap masa lalu, akhirnya sampai 40 tahun ini, aku belum juga ditemani seorang istri, walaupun orangtua selalu bertanya, kapan. Kini, aku menilai dunia bisnis, dunia yang kejam. Seperti berada di hutan belantara. Tidak ada kasih sayang dan kedamaian, semua orang saling jegal bahkan meninggalkan agama hanya demi uang.
139
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Pernah terlintas ingin memilih pekerjaan lain, bekerja layaknya salah seorang jamaah masjid bernama Roni, usai Subuh sudah berangkat. Tapi pikiran itu buyar, karena aku yakin, tidak akan ada orang mau menerima kubekerja dengan ijazah SMA. Pernah juga terlintas ingin membuka hati, mengenal lebih dalam Sari, janda ditinggal mati suami, yang cukup rajin berjamaah di mesjid. Dan banyak lagi, wanita-wanita yang kutaksir di hati. Kulihat mereka dari jauh ketika mendekati gerbang masjid. Kagum, senang dan berbagai macam pikiran muncul setelah itu. Tapi, sekali lagi, aku bisa bertahan. Rasa yang bermacam-macam itu aku kubur dalam-dalam. Tak ada yang mengetahui, termasuk Samad teman sekamarku sesama gharim, juga sejarah kelamku ketika masih muda. *** Selembar cek bertuliskan Rp100 juta masih tergeletak di atas meja. Sebuah modal yang cukup untuk apa saja. Tapi, jantungku terasa berdegup sangat kencang. Rasa senang, bimbang dan bingung tiba-tiba bercampur menjadi satu, seperti gado-gado yang sudah diaduk. Tak tahu mau berbuat apa. Seketika, keringat membasahi kudukku. Tiba-tiba, di benakku membayangkan berpenampilan seperti Ihsan yang gagah, seperti eksekutif muda. Tiba-tiba pula, terbayang wajah bapakku yang sudah tua. Tinggal bertanya dia mau apa. Semua akan terpenuhi. Inilah kesempatan aku membalas guna, karena sampai sekarang jangankan materi, menantu dan cucu pun belum aku berikan kepadanya. Tiba-tiba juga, aku seperti telah kembali ke dunia malam yang penuh dengan glamor, penuh kebebasan berekspresi.
140
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Seperti aku beberapa tahun lalu. Inilah agaknya waktu yang tepat, aku meninggalkan kamar ini. Hidup bak kupu-kupu terbang bebas menjelajah dunia taman warna-warni. Wah, kepalaku semakin berat. *** Dentuman bas di ruang itu mengajak tubuhku bergoyang mengikuti rentak musik. Cahaya bintik warna-warni menyapu wajahku. Ku pandangi langit-langit ruang itu. Aku lepaskan semua kepenatan, kelelahan dan kebekuan menunggu sekian lama. Seperti orang yang baru saja keluar dari penjara menghirup udara segar. Seratus juta rupiah dari Ihsan, bagiku cukup untuk mambasuh duka dan dahagaku selama ini. Sangat berlimpah, jika dibandingkan dengan honorku yang hanya enam ratus ribu sebulan. Berlimpah untuk memiliki jas dengan sepatu kulit mengkilap seperti eksekutif muda yang banyak berkeliaran di gedung-gedung tinggi pencakar langit dengan ruang sejuk lengkap dengan berbagai fasilitas. Ibarat kehidupan yang selalu berpasangan. Kini giliran aku menghirup udara kebebasan, setelah lama dalam penjara kehidupan. Bahkan ekstrimnya aku akan mengembalikan keadaan dengan mendapat seorang bahkan lebih wanita untuk menjadi pendamping hidup, selalu membelaiku saat kedinginan dan kesepian. Makan sepuasnya, tidak ada lagi halangan, tidak selalu berpikir, hari ini lauk apa, dan di warung mana. Apa yang tidak bisa aku dapatkan, semuanya ingin. Sosok dunia malam yang pernah aku gauli, kembali mengajakku berdua, berbagi dan menyelam berdua, di lautan yang tanpa batas. Keberuntungan ku hari ini, aku mulai. Di bahu kiriku, bersandar Julia dengan senyum yang
141
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
menggoda. Dia tidak pernah lari dari pelukanku sejak aku bergabung di ruang itu. Di bahu kanan, bersandar pula Sofia. Bibirnya merekah bak delima, terbias cahaya semakin menggodaku untuk mengecupnya. Tapi dia pandai melindungi lipstriknya agar terus bercahaya, jangan sampai tersapu bibirku. Dita dan Meli meliuk-liukkan badan mengikuti rentak. Sorot matanya tajam, seolah mengajakku bertamasya mengelilingi dunia tanpa batas, hanya kami berdua. Sekali-kali dia berbisik kepada ku. Dia tahu betul, aku adalah penguasa malam ini di antara teman-temanku lainnya di ruangan itu. ‘’Ayo bang, kita mainkan’’. Dita dan Mela bergantian mengajakku bergoyang. Bibirnya memancarkan bias cahaya lampu, matanya sekali-sekali berkelip lambat seolah memberikan sinyal birahi. Hari ini aku seperti raja semalam. Kuingin meluahkan semua rasa kerinduan yang selama ini terpendam, seperti air bah yang terkekang tidak dapat keluar leluasa. Kemeja mahalku, jaket kulit dari Amerika, jam tangan dari Swiss dan sepatu kulit mengkilap menambah lenaku untuk terus bergoyang. Amplop putih kusambar untuk menambah energi. ’’Order semua’’. ‘’Malam ini aku jadi bos’’ Julia, Sofia, sudah mulai berani mengskplorasi tubuhku. Sentuhan dan desahan nafasnya membuatku semakin nikmat, seperti berselancar menuju pulau impian. Malam yang perkasa, semua kuluahkan untuk menikmati dunia yang sudah lama aku tinggalkan. Bahkan sekarang nikmatnya lebih beberapa kali lipat. Dahaga bertahun-tahun, di kamar kecil dan kumuh, kini kuluahkan di destinasi yang mewah dan wah. Bak tidur di ranjang permaisuri.
142
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
‘’Dum, dum, dum....’’ Bunyi keras mengejutkanku. Spontan aku menunduk. Kulindungi kepala memejamkan mata sejadi-jadinya, menyembunyikan kepala lebih dalam. Aku tidak sempat beranjak. Tak sempat aku berpikir dan menebak apa yang sedang terjadi. Sedetik setelah itu, ruangan terang berderang. Musik mati mendadak. Pelan-palan aku mengangkat kepala. Tidak ada satu pun kawan-kawan yang sebelumnya bersamaku, termasuk, Juli, Sofia, Dita dan Mela. Dua sosok polisi menghampiriku. ‘’Anda ditangkap’’. ‘’Petugas bawa dia’’. Seorang pria berpakaian polisi, gagah perkasa di hadapanku. Tatapan matanya tajam, bak elang mendapatkan mangsa. Dua petugas dengan sigap menyambar tanganku dan memasang gari ke dua ibu jariku dan memukul pundakku agar bergerak. ‘’Pak, apa salahku’’. ‘’Sudah....ayo, cepat!’’. Sentakan tangannya membuat ibu jariku terasa patah. ‘’Akh........sakiiiiiit’’. Aku berteriak sejadi-jadinya. Aku pun terbangun dengan wajah berkeringat sangat banyak. *** Aku merasa Ihsan datang menyampaikan pesan agar aku tetap kuat dalam memilih. Aku sangat yakin dengan hidup yang aku pilih, tenang dan damai seperti saat ini. Hari-hari yang aku temui, adalah untaian senyum dari jamaah, yang membuatku kian kuat dan yakin kehidupan di hari akhir
143
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
kelak. ‘’Pak, ini tambahan dari Pak Ihsan’’. Aku mencegat Imam Hanafi yang hendak meninggalkan ruang masjid sambil menyodorkan amplop putih. ‘’O, Pak Ihsan yang semalam ke sini ya’’. ‘’Kan kemarin sudah kita terima’’. Imam Hanafi menatap mataku dengan aroma heran.*** Pekanbaru, Desember 2011 MENRIZAL NURDIN, wartawan Riau Pos, Pengurus Yayasan Sagang dan Pembantu Ketua III Bidang Kemahasiswaan, Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR). Tinggal di Pekanbaru.
144
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Sembilanbelas (19)
Pancung Ruyati Februari 2013 Hendra Efivanias RUANG sidang Pengadilan Tinggi Arab Saudi begitu hening. Puluhan manusia yang ada di ruang tersebut diam tak berbahasa. Hanya mata mereka jalang memandang pada sesosok wanita yang duduk lemah di atas kursi pesakitan. Berbeda dengan puluhan orang di ruangan tersebut, wanita itu tak berani memandang kesekelilingnya. Hanya sesekali ia mencuri pandang ke arah lima hakim berjubah hitam yang duduk dengan gagahnya di balik meja besar di hadapannya. “Ruyati!� ucap salah seorang dari hakim itu. Wanita yang duduk di kursi pesakitan itupun menguatkan diri untuk memandang wajah orang yang memanggil namanya. Kepalanya mengangguk pelan. “Anda jangan terus menunduk!� ucap pria berkumis tebal dengan postur tinggi itu lagi. Selanjutnya kelima hakim yang duduk di depan Ruyati itu tak mengucap sepatah katapun. Mereka hanya sibuk membolak-balikkan kertas yang tebalnya kira-kira ratusan lembar. Kertas itu diberikan oleh jaksa penuntut sebagai panduan memperkarakan perbuatan Ruyati.
145
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Melihat seisi ruang diam, nenek berusia 54 tahun itu juga terdiam. Kepalanya kembali tertunduk lesu. Kedua matanya lagi-lagi nanar memandang lantai ubin berwarna abu-abu dalam ruangan pemberi keadilan itu. Rasa takut mencengkram batinnya. Ia merasa, puluhan pasang mata yang memandangnya saat itu ingin menelannya hidup-hidup. Sejenak Ruyati mengingat masa-masa hidupnya saat masih di tanah airnya. Dia mengingat bagaimana kehidupan keluarganya nun jauh di Tanah Melayu sana. Di tanah Indonesia yang dia cintai. Sesekali bayangnya membawa geram ketika mengingat bahwa kampungnya itu dikuasai pemerintah nan lemah. Yaitu pemerintah yang tak mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah yang bangga mengembar-gemborkan diri karena mampu mengirim jutaan jongos ke negeri orang. Di televisi, Ruyati kerap melihat wajah sumringah para pejabat yang dengan bangga memuji para TKI dengan sebutan pahlawan devisa. Bahkan dari mulut para pejabat itu, kerap keluar pula janji-janji nan manis. “Kami akan lindungi TKI!” “ TKI itu pahlawan devisa, tentu kami hargai!” “TKI itu wajib dijaga!” Tapi nyatanya, puluhan orang mendekam takut di dalam penjara dingin di negeri gurun ini. Bagi yang sedikit beruntung, bisa lari dari rumah majikannya yang lalim dan bergabung bersama ratusan TKI lainnya yang tinggal di bawah kolong jalan tol kota. Di siang hari, harus rela berpanas-panas. Sementara di malam hari, meringkuk dihantam dinginnya angin gurun. Berharap ada bantuan dari tanah air agar dipertemukan kembali dengan keluarga. Sementara, bagi yang sangat kurang beruntung, dipaksa rela meregang nyawa ditebas algojo dengan pedang atau
146
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
kapak. Kondisi ketiga inilah yang terus menghantui Ruyati. Badannya begidik setiapkali membayangkan kepalanya terpisah dari badan. “Ya. Inilah nasibku ya Tuhan. Nasib wanita tak berdaya yang hanya mengais sedikit rezeki demi keluarga di tanah suci-Mu ini.� Ruyati meratap dalam hati. Tubuhnya bergetar sangat dan berkeringat. Teringat kembali dalam benak bagaimana kedua kaki kusamnya itu memijak butir-butir pasir Arab Saudi untuk pertamakalinya. Ia teringat ketika melangkah pasti dengan tekad kuat untuk meraih harapan di negeri orang. Berjauhan dengan keluarga dan berharap pulang dengan sedikit rezeki. Tapi nyatanya, langkah yang dulu dipikirnya berujung bahagia itu justru membawa dia terperosok ke dalam jurang hidup yang terdalam. Sebagai orang merdeka, dari negara yang menjunjung tinggi kemerdekaan martabat, harga dirinya terinjak-injak dengan praktek perbudakan di negeri orang. Aniaya dan perlakuan tak manusiawi dari orangtua majikan hampir setiap hari dia terima. Sabetan ikat pinggang sudah akrab dengan kulit punggungnya. Tamparan, tinju dan tendangan pun menjadi menu wajib yang harus ia terima setiap hari. Bahkan, untuk masalah sepele seperti cara memberi makan kucingpun sudah menjadi alasan yang cukup bagi sang majikan untuk menganiaya Ruyati. Acapkali Ruyati iri karena porsi makanan kucing peliharaan sang majikan lebih mewah daripada apa yang dia makan. Seperti kata pepatah, sabar pasti ada batasnya. Perlakuan tak manusiawi itu akhirnya membuat Ruyati kalap mata. Di suatu pagi yang dingin, parang dan pisau dapur pun ikut bicara mewakili perasaan Ruyati. Khoiriyah, ibu majikannya tewas bersimbah darah. Mulut sembilu
147
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Khoiriyah membuat Ruyati melupakan sejenak akan dosa. Selagi pikiran Ruyati mengulang kejadian naas itu, tatapan tajam pengunjung sidang menginterupsi ingatannya. Meski tak bersuara, tatapan itu seakan menterjemahkan teriakan kebencian pada Ruyati. “Hukum mati dia!” “Kami tak rela memaafkan!” Teriakan yang tak nyata itu begitu jelas terdengar di telinga Ruyati. Mulai dari satu, dua, lima hingga puluhan suara bersahut-sahutan menghujat dirinya. Seolah-olah, aniaya yang diterimanya dari sang majikan selama ini masih bisa ditoleransi dan diterima akal sehat. “Astagfirullah…Astagfirullah…Astagfirullah alazim…” ucapnya takzim. Seraya memohon ampunan atas dosa yang tak pernah ia inginkan. Melihat kondisi Ruyati yang bergetar hebat, puluhan pengunjung sidang mulai bertingkah berani. Suara halus berisi makian mulai terdengar. Bersahut-sahutan. Lalu berubah menjadi teriakan-teriakan keras, tajam dan menyayat hati Ruyati. Mendengar teriakan-teriakan itu, Hakim tampak terganggu. Lima ketokan palu ampuh membungkan suara pengunjung sidang. Tapi kebungkaman itu tak mampu mengusir teriak caci maki dipikiran Ruyati. Jiwanya terguncang. Perasaan bersalah dan alasan pembenaran berlomba menjadi penguasa pikirannya. Sungguh, kejadian-kejadian ini diluar sangka Ruyati. Tak pernah terpikir olehnya, seorang ibu yang lahir dari rahim pecinta damai justru jadi pembunuh. Membawa bercak darah di telapak tangannya. Dan kini, perilaku kejinya itu membawa dia duduk di kursi pesakitan. Di negeri yang jauh dari negerinya. Di caci-maki oleh bangsa lain. “Ya Allah, aku terpaksa,” ujarnya kembali memohon
148
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
ampunan di dalam batin. “Terdakwa..!!” Suara Hakim ketua mengejutkan Ruyati dan seisi ruangan. Namun Ruyati tetap tertunduk. Seakan tak ada kekuatan yang menopang lehernya untuk tegak dan menatap wajah para pengadil itu. Airmatanya berkali-kali keluar lalu mengalir melintasi kulit pipinya yang telah berkeriput. “Terdakwa..!!” Kembali suara itu menggelegar di telinganya. Dihimpunnya seluruh kekuatan lalu dialirkannya ke leher agar tak lagi dia tertunduk. Dan, berhasil. Wajah hakim akhirnya terlihat. Tatapan mata kelima pengadil itu begitu dingin dan tajam. Seakan tak senang dengan ketakutan Ruyati. “Apa Anda siap mendengar putusan kami?” Ruyati bungkam. Hanya kepalanya mengangguk pelan. Bersamaan itu, tetes keringat jatuh ke telapak tangannya. “Atas nama hukum. Dan kebenaran sejati yang daripada Tuhan. Pembunuhan yang ada lakukan tak bisa dibenarkan. Kami pun bersepaham bahwa tindakan Anda tergolong Had Khiraban. Yaitu pembunuhan kejam yang tidak dapat dimaafkan. Keluarga korban pun tak mau memaafkan perbuatan Anda yang keji itu.” “Dengan ini, pengadilan menjatuhkan hukuman qisas kepada Anda. Eksekusi dilakukan hari Sabtu, tepat 16 Rajab,” ucap Hakim itu dengan raut muka yang datar. Bersamaan dengan ketukan palu sang hakim, Ruyati merasa sebagian nyawanya telah melayang dari tubuh fananya. Hidupnya kini tinggal menghitung hari. Tak sampai sepekan. Hanya beberapa hari saja. Sementara, pengunjung sidang telah yakin hakim akan menjatuhkan hukuman itu pada Ruyati. Ungkapan syukur pun langsung membahana di ruang sidang. Bahkan ada yang
149
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
sampai bersujud. Tampaknya, semua orang di ruangan itu puas dengan keadilan sang Hakim. Kecuali Ruyati dan staf Konsulat Jenderal RI Jeddah yang mendampinginya. Kelima Hakim beranjak pergi setelah menetapkan hukuman pada Ruyati. Sementara yang dihukum bersujud di samping kursi pesakitan yang dia duduki sejak tadi. Diciumnya lantai ubin tadi seperti ingin mencium tuhan. Atau mencium suaminya yang pasti belum tahu dengan putusan ini. Kalaupun tahu, dia yakin suaminya takkan pernah menerima putusan itu. “Ya Tuhan, apakah layak hamba-Mu menerima hukuman ini?� ratapnya. “Tak adakah pertimbangan yang lebih adil untuk hambaMu ini. Aku hanya membela diri. Aku hanya ingin pulang kembali. Menghirup udara kebebasan di tengah hidup yang serba terbatas di negeriku. Tapi mereka tak mengizinkanku. Gajiku pun tak mau mereka bayar!� Suara-suara itu berteriak keras dalam benaknya. Namun, mulutnya hanya terkunci. Hanya air mata yang menandakan keberatannya atas putusan itu. Ruyati menangis. Pikirannya melayang ke surga. Ya, surga Kampung Batu Terendam tempat keluarganya kini berkumpul. Dan tentu menangis untuknya dan berharap dia lepas dari cobaan ini. Tapi, Ruyati tahu semua sudah terlambat. *** 18 Juni 2011, tepat 16 Rajab. Airmata Ruyati kembali mengalir. Mengucur pelan membasahi kayu tebal tempat dimana kepalanya tergeletak lemah. Bau amis di ruangan itu sebentar-sebentar mengganggu penciumannya. Sama seperti bayangan akan surga
150
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
dan neraka yang terus memenuhi otaknya. Ruyati mengingat dosa-dosanya. Mengingat untuk bertobat. Tapi dia tak tak tahu apakah saat ini waktu yang tepat untuk bertobat. Memohon ampun pada zat yang penciptanya. Karena Ruyati tahu, 54 tahun hidupnya selalu dibayangi dengan dosa-dosa. Dosa masa kecilnya, dosa saat dia remaja, dosa berumahtangga hingga kini dosa sebagai pembantu rumahtangga. Dia bergetar kala mengingat itu semua. Ruyati sadar, tak ada kesempatan baginya menerima tanazul, pemaafan. Meski staf Konsulat Jenderal RI Jeddah pernah menjanjikan harapan padanya, Ruyati tahu tanazul bukan untuk orang sepertinya. Wanita lemah miskin yang jauh dari tanah air. Lagi pembunuh. Dia tahu ajalnya segera tiba. Karena bayangan Khoiriyah, ibu majikan yang dibunuhnya telah hadir di hadapan dirinya. Masih mengenakan baju yang sama saat kejadian naas itu. Masih dengan lumuran darah di dadanya. Tepat dimana pisau dapur menghujam dan merobek paruparu wanita temperamental itu. Tubuh Ruyati bergetar hebat. Lehernya semakin lemah terbujur di permukaan kayu penjagalan. Seorang pria tegap yang seluruh tubuhnya dibungkus kain hitam berdiri di samping Ruyati. Di tangannya, terdapat sebuah benda panjang. Dari pangkal hingga ujung dapat tergambar ketajamannya. Rasa takut yang amat sangat kembali meliputi Ruyati. Dia tahu, benda itulah nantinya yang akan memisahkan kepala dari badannya. Serangkai doa dia panjatkan. Serangkai tobat dia ucapkan. Meski kain hitam mulai membungkus kepalanya, doa-doa Ruyati masih terlantun. Makin lama semakin nyaring. Mengiringi ayunan pedang yang akan memancung dirinya.
151
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Dan‌Blesss‌.!!! Hanya suara keras itu yang terdengar sebentar di telinga Ruyati. Selanjutnya, dunia gelap di matanya. Takutnya sirna, sakit pun tak terasa. Ruyati dipancung. HENDRA EFIVANIAS, Cerpennya pernah masuk buku kumpulan Cerpen pilihan Riau Pos tahun 2012
152
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Duapuluh (20)
Gajah Berkaki Tiga Januari 2013 Budi P. Hatees
JEJAK kaki itu demikian jelas di tanah. Panjang 45 Cm, lebar 30 Cm, dengan kedalaman sekitar 15 sentimeter. Dari lekukannya, kentara sekali pemilik kaki berbobot berat. Lebih satu ton, begitu kami memperkirakan. Hanya satu mahluk di daerah ini yang memilik tubuh seberat itu: gajah. Tidak terbantahkan lagi. Kami sangat mengenalinya. Kali ini cuma seekor. Tapi ada yang aneh. Kenapa kaki itu hanya tiga. Ke mana kaki satu lagi. Kaki depan sebelah kanan. Adakah gajah itu berkaki tiga. Bagaimana mungkin? Ini mengherankan bagi kami. *** TENTU kami saling mempertanyakan. Adakah yang pernah melihatnya? Gajah berkaki tiga. Bagaimana gajah itu bisa sampai ke kampung. Mengamuk. Mengobrak-abrik beberapa rumah. Inilah hasil perbuatannya, rumah-rumah penduduk menjelma puing-puing. Atap rubuh, genteng hancur, tiang-tiang patah. Pohon-pohon tercerabut dari
153
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
bumi. Tanah keroak. Dasyat sekali! Di sini seolah pernah jadi medan peperangan. Sering kami melihat kampung yang dirangsek gajah. Sesuai catatan kami, semua itu dilakukan segerombol gajah. Puluhan gajah. Tapi sekarang, cuma seekor gajah. Gajah berkaki tiga pula. Adakah? Mau tak mau kami mulai saling mempertanyakan. Saling meragukan. Betulkah selama ini kami sudah bekerja serius? Betulkah data-data yang berhasil kami kumpulkan bisa dipercaya? Saya bersama beberapa teman, Sahid Husin, George Camara, Kartubi Alkatiri, Melani Chen, Fridah Anwar, dan Mboang Djemba, sama-sama geleng kepala. Sebagai peneliti, gabungan para peneliti dari sejumlah negara berkembang yang ditugasi sebuah badan internasional di bidang pelestarian lingkungan untuk mengawasi dan mencatat seluruh populasi gajah di hutan ini, belum pernah kami bertemu gajah berkaki tiga. Semua gajah yang kami catat lahir, besar, dan tumbuh normal. Semua berkaki empat. Ada sekitar 1.500 gajah. Gajah-gajah itu terbagi dalam 10 kelompok. Masing-masing kelompok punya wilayah. Ada pemimpinnya. Gajah-gajah yang mematuhi pemimpinnya. Dua kelompok punya wilayah di sekitar perkampungan. Tinggal sekitar dua kelimoter ke arah padang rumput di bantaran sungai. Kedua kelompok ini yang sering masuk ke perkampungan. Tapi, kami kenal seluruh anggota kelompoknya. Satu kelompok punya anggota 15 gajah, dan kelompok lain 20 gajah. Kami mencatat pertumbuhan gajah-gajah itu setiap pekan. Kami buat grafik pertumbuhannya. Kami simpan catatan-catatan itu di kantor. Kami baca terus, perbaharui tiap pekan, dan.... ***
154
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
TIDAK ada gajah berkaki tiga. Tidak ada gajah cacat. Tapi ini, jejak kaki gajah ini, jelas sekali berkaki tiga. Kami tidak keliru. Tidak mungkin keliru. Sudah kami pastikan, jejak tetap tiga kaki. Ini mengherankan. Kami coba pastikan kepada warga kampung, apakah ada yang pernah melihat gajah itu. Betulkah berkaki tiga. Bagaimana cara gajah itu bergerak. Bukankah.... Sayang, tidak seorang warga pun yang mengaku melihat gajah itu. Mereka cuma mendengar suara raung gajah. Lalu, rumah-rumah pun rubuh. Untungnya tidak ada korban jiwa. Kejadiannya sangat cepat. Terlalu cepat. Malam hari. Gelap. Gerimis masih turun rintik. Kesunyian menyungkupi kampung. Tiba-tiba ada yang berteriak menyebut gajah mengamuk. Orang-orang menghambur keluar rumah, meskipun tak tahu di arah mana gajah mengamuk. Lintang-pukang menerabas ke seluruh arah mata angin. Menabrak pohon. Menghantam pagar. Terjerembab di siring. Terpelanting di tanah. Bangkit. Berlari. Histeris. Malam itu betul-betul kacau. Kami bisa membayangkan kekacauan itu. Kami diberitahu ada gajah mengamuk besok paginya. Kami segera bertolak dan berharap ada hal baru yang bisa kami pelajari. Kami selalu yakin, selalu ada alasan logis yang membuat gajah-gajah itu mengamuk. Alasan yang tidak semua orang tahu. Alasan yang tidak semua orang mengerti. Alasan.... Gajah-gajah itu, mahluk hidup seperti manusia, tak akan melakukan sesuatu tanpa alasan yang tak jelas. Gajah tidak memiliki keisengan seperti manusia. Volume otak mereka yang besar, membuat mereka menggunakan otaknya meskipun sangat terbatas. Berpikir. Tentu. Gajah tak memiliki kesabaran. Cuma punya naluri. Kami tahu persis soal itu. Naluri, inilah yang mendorong semua tingkah laku gajah. Jika gajah-gajah itu masuk perkampungan penduduk,
155
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
merusak rumah-rumah yang ada di sana, mereka tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Mereka tidak berniat merusak. Tapi, cuma melintasi jalur lintasan yang pernah mereka lintasi. Naluri mendorong mereka untuk selalu kembali ke jalur lintasan yang pernah mereka lintasi. Namun, manusia sering membangun perkampungan di jalur itu. *** BANYAK kasus gajah mengamuk alasannya selalu sama. Tapi kali ini, cuma seekor gajah. Gajah berkaki tiga. Gajah cacat. Ada apa sebenarnya? Penduduk yang kami kumpulkan di balai desa, sama-sekali tidak banyak membantu. Sebagian dari mereka telah kehilangan rumah, sepanjang pertemuan tidak berhenti menangis. Mereka menuntut agar kami bertanggung jawab atas perbuatan gajah itu. Mustahil. Kami hanya aktivis lingkungan hidup yang bekerja menjaga kelestarian gajah. Tidak ada orang lain yang berkerja seperti kami. Memang, selalu ada yang menganjurkan agar semua orang menjaga kelestarian lingkungan, menjaga agar gajahgajah tidak punah. Cuma ngomong. Sementara kami tidak perlu ngomong. Kami berbuat. Kami bertindak. Telah banyak gajah yang kami selamatkan. Terutama dari peluru-peluru tajam para pemburu gelap. Kami selalu siap melawan pemburu-pemburu gajah itu. Tapi, sering kami tidak bisa berbuat apa-apa. Cuma menyesal, apalagi jika kami temukan bangkai gajah membusuk di dalam hutan. Gajah tanpa gading. Gajah mati dengan lobang peluru bundar di kepalanya. Sulit bagi kami untuk mengambil kesimpulan dari mengamuknya gajah berkaki tiga itu. Semua bukti-bukti telah kami kumpulkan, rumah-rumah yang roboh kami datangi, dan beberapa warga kami tanyai. Semakin banyak hal yang
156
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
kami lakukan, semakin membingungkan untuk mencari alasan kenapa gajah itu sampai mengamuk. Alasan lama jelas gugur. Kalau karena perpindahan kawanan gajah, seharusnya tidak cuma seekor gajah. Tapi puluhan gajah, satu kelompok gajah. Ini tidak, cuma seekor gajah. *** KAMI tidak pernah menemukan kasus seperti ini. Bertahun-tahun menekuni profesi ini, kami merasa apa yang diketahui selama ini; data-data yang kami kumpulkan, menjadi tidak banyak berarti. Kami memeras otak. Terus berdiskusi. Tetap saja mentok. Sampai laki-laki tua itu datang, entah siapa dia. Ia tiba-tiba berdiri di pintu rumah warga yang kami jadikan kantor sementara. “Sikam tidak keliru, gajah itu berkaki tiga,” kata dalam bahasa Lampung. Kami bengong. Orang tua itu masuk ke dalam rumah, mengambil tempat duduk di hadapan saya. “Gajah ini tidak ada dalam catatan Sikam. Ini bukan gajah sembarangan. Ia hidup, tetapi hanya orang tertentu yang bisa melihatnya.” ‘’Bapak bisa?’’ Mboang, peneliti dari Nigeria, bicara dalam bahasanya. Ia sudah menghasilkan sebuah buku tebal tentang siklus hidup gajah-gajah di Benua Afrika, jelas meragukan omongan laki-laki tua itu. Mboang tak dapat disalahkan. Sebagai peneliti, Mboang bisa mempertahankan tesisnya bahwa gajah memiliki dan mengandalkan kecerdasan dalam hidup mereka. Gajah ternyata tahu politik, cuma tak paham melembagakannya, tetapi gajah tahu kekuasaan harus diperebutkan. Orangtua itu menatap Mboang. Silih berganti menatap kami semua. Agak lama menatap Melani Chen, peneliti dari Thailand, dan Fridah Anwar, peneliti dari Malaysia. Kedua perempuan itu merasa tidak enak dipandangi dengan
157
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
cara seperti itu. Melani Chen bangkit dari kursi, berjalan ke dapur. Ia muncul lagi dengan segelar air minum, disuguhkan kepada orangtua itu. ‘’Bisa ceritakan apa yang Bapak ketahui tentang gajah ini?’’ Saya mengajaknya bicara dalam bahasa Lampung. ‘’Kami tidak pernah melihat gajah berkaki tiga ini. Apa betul ada?’’ Tapi, orangtua itu, seperti warga kampung lainnya, tak banyak membantu. Ia bercerita tentang gajah berkaki tiga, dulu, hidup di hutan di sekitar kampung. Bertahun-tahun, mungkin, berabad-abad. Gajah soliter. Bukan karena dikucilkan anggota rombongan, tetapi, begitulah.... Gajah berkaki tiga harus ada. Tetap ada. Dan, ini yang ditekankan orangtua itu, gajah itu jarang muncul. Tidak pernah mengganggu. Kemunculannya selalu ada sebab. Tapi alasan kemunculan itu, kata orangtua itu, jelas tidak logis bagi kami. Mungkinkah! Bagaimana seekor gajah, berkaki tiga pula, mendadak muncul dan merusak perkampungan, gara-gara soal moral yang rusak. Ada orang di kampung yang bermoral bejat, berzinah. Adakah kaitan gajah dengan moral manusia yang rusak? Kami tertawa. Ngakak. Orangtua itu pergi. Kami tetap tertawa. *** KASUS itu tetap jadi tanda tanya. Kami masih penasaran. Jika benar ada gajah berkaki tiga, kami ingin tahu penyebabnya. Apakah gajah itu dari jenis gajah lain. Apakah kaki itu cacat. Apakah.... Kami melontarkan banyak pertanyaan. Berharap semua dugaan tak meleset. Jika benar ada gajah jenis lain yang berkaki tiga, ini penemuan besar. Hewan langka, gajah berkaki tiga. Bukan karena cacat, tetapi memang spesiesnya.
158
Kumpulan Cerpen Riau Pos 2013
Ah, terbayang oleh kami penemuan itu. Terbayang kami menulisnya di National Geographic. Orang-orang membacanya. Lalu.... Kami putuskan akhirnya, mencari tahu gajah berkaki tiga itu. Berbulan-bulan keluar masuk hutan. Berpuluh-puluh kelompok gajah kami temui. Tidak ada. Bahkan jejaknya. Jejak itu cuma ada di kampung itu. Tak ada di tempat lain. Berbulan-bulan kemudian kami merasa semuanya sia-sia. Tapi kami tidak menyerah. Mencari. Berdebat. Diskusi. Kami tak pernah diam. Kami putuskan kembali ke kampung yang diobrak-abrik. Memulai lagi penyelidikan dari awal. Berharap ada yang kami lewatkan. Dan benar, setelah berbulan-bulan, sesuatu berubah di kampung itu. Beberapa orang mengakui, gajah berkaki tiga itu datang lagi. Kali itu ia masuk ke dalam mimpi pamong desa. Wujudnya seorang laki-laki tua. Ia memberitahu soal dua warga yang berzinah. ‘’Kami telah mengusir mereka. Memalukan sekali. Betul-betul tidak bermoral. Sejak itu gajah tidak pernah datang.’’ Kami bengong. Betulkah!? *** * Sebuah dongeng, yang masih diyakini masyarakat di Lampung BUDI P. HATEES, menulis cerpen, esai, sajak, dan melakukan penelitian kebudayaan. Pengajar Penulisan Kreatif di Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) dan pengajar Ilmu Komunikasi pada FISIP Universitas Saburai (Unisab) Lampung.
159