Esei SAGANG 2013

Page 1


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Seniman, Ramadan, dan Hari Raya KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

1


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

SENIMAN, RAMADAN, DAN HARI RAYA (Kumpulan Esai Riau Pos 2013) Editor: MUHAMMAD AMIN Perancang Sampul: DESRIMAN ZAHMI Perancang Isi: SUPRI I SMADI DITERBITKAN PERTAMA KALI OLEH: Yayasan Sagang Pekanbaru Gedung Riau Pos, Jl. Soebrantas KM 10,5 Panam, Pekanbaru, Riau Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip sebagian atau keseluruhan isi atau memperbanyak sebagian atau keseluruhan tanpa izin dari penulis. KEPUSTAKAAN NASIONAL : Katalog Daam Terbitan (KTD) Seniman, Ramadan, dan Hari Raya, Kumpulan Esai Riau Pos 2013 Pekanbaru, Yayasan Sagang, 2013 ISBN.... Cetakan Pertama, Oktober 2013

2


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Pengantar TAK banyak—kalau tak bisa dikatakan sangat sedikit— masyarakat yang mau mengapresiasi para seniman, pekerja seni dan orang-orang yang tunak di bidang seni-budaya. Masyarakat mungkin akan mengapresiasi jika sang seniman telah jadi besar, memiliki karya monumental, best seller. Beberapa di antaranya naik ke panggung terhormat, jadi artis, selebritis, bintang iklan, setara dengan artis sebenarnya. Tapi jumlahnya tentulah sedikit sekali, bahkan mungkin terlahir untuk sekali dalam sepuluh tahun. Para seniman dan para pekerja seni mungkin tak minta apresiasi berlebihan seperti halnya profesi lain. Diberi keleluasaan berkarya dan karyanya ditampilkan dengan elegan adalah sedikit dari apresiasi yang akan sangat dihargai para pekerja seni. Yayasan Sagang setiap tahun mengapresiasi karya-karya para seniman/budayawan, termasuk para kritikus sastra. Selain diberikan penghargaan Anugerah Sagang, diterbitkannya karya-karya para seniman/ budayawan/kritikus sastra adalah bagian dari apresiasi atas karya-karya mereka tersebut. Itulah yang dilakukan Yayasan Sagang bekerja sama dengan Riau Pos selama ini. Tujuannya agar karya-karya yang dalam setahun ini diterbitkan Riau Pos tidak “hilang� begitu saja dari ingatan. Buku kumpulan esai yang diberi judul Seniman, Ramadan, dan Hari Raya ini diterbitkan untuk mendoku-

i


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

mentasikan dan “mengabadikan” karya-karya para seniman/ budayawan/kritikus sastra yang mungkin saja sudah mulai terlupa dari ingatan kolektif masyarakat. Tulisan berjudul “Seniman, Ramadan dan Hari Raya” karya SPN Zuarman Ahmad ini sengaja diangkat menjadi judul dalam buku kali ini karena agaknya mewakili kerisauan seniman tentang diri dan hari-hari mereka dalam berkarya. Bagi seniman, Ramadan adalah hari-hari yang miskin karya. Hampir tak ada job penampilan seni di hari-hari Ramadan. Orang tak perlu seniman di hari-hari selama Ramadan, karena orang lebih haus nasehat dari penceramah. Maka seniman lebih banyak mengharapkan berkah hari raya dari pada berkarya semasa itu. Seniman bahkan dianggap orang miskin sehingga layak sekali menerima zakat atau paling tidak tunjangan hari raya (THR) dari orang berpunya. Fenomena ini adalah kegalauan para seniman yang ditangkap dan diungkap secara cerdas oleh SPN Zuarman Ahmad dalam tulisannya ini. Lewat buku ini, selain membaca kegalauan para seniman dalam tulisan SPN Zuarman Ahmad, pembaca disuguhkan tulisan-tulisan kritik sastra dan fenomena sastra yang ada di Riau, khususnya yang hadir di halaman “Ranggi” Riau Pos, selama setahun terakhir. Ada 26 tulisan yang terangkum dalam buku ini, mulai tentang para seniman sendiri hingga karya-karya mereka, kritik tentang pementasan teater, kritik sastra berupa puisi, cerpen atau novel hingga berbagai apresiasi terhadap para seniman yang terus tunak berkarya hingga masa tuanya. Ternyata bagi seniman atau pekerja seni, tak ada batas usia atau pensiun. Dan itu sudah dibuktikan dengan karya-karya mereka, yang selalu hadir, termasuk dalam buku ini.***

ii


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

DAFTAR ISI PENGANTAR_i DAFTAR ISI_iii BAGIAN I Budaya Bangsa yang Tergadai_1 Oleh Medri Osno BAGIAN II “Opera Primadona” Sebuah Lakon yang Memainkan Kisah Lakon_7 Oleh Monda Gianes Opera Primadona, Opera Melayu?_15 BAGIAN III Oleh Fakhrunnas MA Jabbar BAGIAN IV Keindahan Sastra dalam Konkretisasi Makna_19 Oleh Sayyid Fahmi Alathas BAGIAN V Membincangkan Cinta dalam Karya Sastra_27 Oleh Desi Sommalia Gustina BAGIAN VI Tenas Effendy, Gudang Pantun Melayu Riau_33 Oleh UU Hamidy BAGIAN VII Suara dari Dua Pelabuhan (Puisi Badruddin Emce dan Mardi Luhung)_43 Oleh Raudal Tanjung Banua BAGIAN VIII Seniman, Ramadan, dan Hari Raya_49 Oleh Zuarman Ahmad BAGIAN IX Hari Puisi Indonesia, Mengenang Binatang Jalang_53 Oleh Musa Ismail BAGIAN X Sarongge; Mengembara ke Negeri Suram_65 Oleh Hang Kafrawi BAGIAN XI “Suara Perangkat” dan Musik_73 Oleh Bayu Arsiadhi BAGIAN XII Gelombang Sunyi : Menggali Perlawanan dalam Diam_77 Oleh Riki Utomi BAGIAN XIII Keberpihakan Pulang kepada Eksil_83 Oleh Budi Hatees

iii


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN XIV

BAGIAN XV BAGIAN XVI

BAGIAN XVII BAGIAN XVIII BAGIAN XIX BAGIAN XX

BAGIAN XXI BAGIAN XXII

BAGIAN XXIII BAGIAN XXIV BAGIAN XXV BAGIAN XXVI

Membaca Pesan Religiusitas dalam Kumpulan Puisi Munajat Sesayat Doa_89 Oleh Nafi’ah Al-Ma’rab Sultan Mahmud Bapak Tamadun Melayu_93 Oleh Drs H Abdul Kadir Ibrahim MT Kita Rindu Kicau Burung Tiung Seri Gading Itu (Mengenang Setahun Kepergian Budayawan Hasan Junus)_111 Oleh Fakhrunnas MA Jabbar Membincangkan Kritik Puisi Apresiatif_117 Oleh Desi Sommalia Gustina Meraup Bijak dari Sajak_123 Oleh Riza Multazam Luthfy Perselingkuhan Berdarah di Kampung Petalangan_129 Oleh Ahmad Ijazi H “Plastik Dicintai Sekaligus Dibenci” (Analisa Pesan dalam “Penggambaran Kembali” Pengalaman dari Teater “Segera” Karya Rahman Sabur)_135 Oleh Jefri al Malay Membaca “Buku Berat”_141 Oleh Masduri Semangat Kerja: Sebuah Nukilan Tenas Efendy dalam Menjaga Jati Diri Melayu_147 Oleh Alam Terkembang Genggong yang Terlupakan_153 Oleh Taufiq Yendra Pratama Pesan Moral Cerpen “Perahu Baganduang”_157 Oleh M Aditya Dari hingga ke Kritik Sebagai … (Obat Sekaligus Racun)_161 Oleh Dantje S Moeis Karya-karya UU Hamidy: Menyimpai Nilai-nilai ke-Islam-an (Teks) Bahasa, Sastra, dan Budaya (Penggalan Catatan Awal)_169 Oleh Tuan Guru Haji Syafruddin Saleh Sei Gergaji

iv


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN I

Budaya Bangsa yang Tergadai Oleh Medri Osno KETIKA negara lain mengklaim beberapa kesenian Indonesia menjadi miliknya, kita pun sibuk seperti orang kebakaran jenggot. Belum lekang dari ingatan kita tentang kasus tari pendet, reog ponorogo, dan beberapa lagu daerah yang “dicaplok” Malaysia serta hilangnya beberapa arca peninggalan bersejarah di Museum Radyapustaka, Surakarta -besar kemungkinan hal ini juga terjadi di seluruh Indonesia. Ibarat benang kusut tidak tahu ujung pangkalnya masalah tersebut sangat rumit untuk diselesaikan. Ada lagi, masyarakat pemilik naskah karena himpitan ekonomi dengan mudah tergiur oleh ringgit dan dolar. Lembaga atau badan pemerintah yang diberi amanah tidak sanggup untuk membeli naskah-naskah tersebut dengan alasan anggaran yang minim. Hal ini diperparah lagi dengan adanya beberapa oknum aparat pemegang amanah tersebut yang ikut “bermain” dengan modus operandi yang hebat. Benda-benda bersejarah tersebut dijiplak habis-habisan menyerupai aslinya, lengkap dengan surat-suratnya apa yang tidak bisa “dimainkan” di negeri yang “fantastis” ini?

1


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Mencermati kasus di atas, ternyata tidak hanya hasil alam yang dijual ke luar negeri, tetapi juga benda-benda bersejarah. Lantas, bagaimana dengan Provinsi Riau? Tidak dinafikan wilayah ini telah tercatat dengan tinta emas pernah menjadi pusat kebudayaan Melayu, setidaknya mulai dari tahun 1779 sampai dengan 1911. Rentang waktu tersebut telah melahirkan banyak intelektual, sastrawan, dan ulama besar. Pemikiran yang mereka tuangkan melalui karya telah menjadi pedoman arah pembangunan di kawasan rantau Melayu, bahkan di nusantara. Sebut saja nama Raja Ali, seorang pengarang Melayu pertama yang mengarang dalam bentuk sejarah. Atau, Raja Ali Haji yang membakukan tata bahasa Melayu dalam Bustan al-Katibin (1851) yang menjadi ibu bahasa nasional di belahan utara (Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam) dan belahan Selatan (Indonesia). Begitu juga dengan pengarang-pengarang Riau yang seangkatan dengan pengarang Raja Ali dan Raja Ali Haji, jasanya tidak dapat kita nafikan, seperti Datuk Syahbandar Riau, Bilal Abu, Raja Ahmad, Daeng Wuh, Raja Abdullah, Tengku Sa’id, Encik Kamariah, Raja Hasan, Raja Kalsum, Encik Wuk binti Bilal Abu, Haji Ibrahim Datuk Orang Kaya Muda, dan Engku Raja al-Haj Daud. Dalam konteks kekinian, apakah kita sudah mampu menjaga khazanah kebudayaan tersebut? Menurut hemat saya, belum ada peneliti kita (Riau ataupun Kepulauan Riau) yang mampu memberikan apresiasi terhadap karya-karya itu -kita selalu merujuk pada pendapat peneliti asing. Sebagai suatu hal aneh apabila kita mau mengetahui jati diri sendiri harus belajar ke luar negeri atau orang asing. Padahal, kita selalu berangan-angan hidup maju dan sejahtera seperti pada zaman pemerintahan Raja Ali. Memang, kita tidak mau

2


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

berkaca pada diri sendiri. Oleh karena itu, jangan pernah disesali apabila pada suatu saat kekayaan jati diri tersebut, serta kekayaan lainnya seperti mak yong, zapin, gurindam 12, dan randai diklaim oleh bangsa lain sebagai milik mereka. Padahal, budaya ini merupakan suatu yang sangat substansial bagi budaya di wilayah Riau dan Kepulauan Riau. Menurut hemat saya ada beberapa hal yang harus segera dilakukan apabila kita ingin jati diri kita maju dan tetap terjaga. Pertama, perlu didirikan lembaga yang unggul untuk mengkaji, meneliti, dan mengembangkan kekayaan budaya tersebut sehingga kita tidak perlu ke luar negeri lagi meminta jati diri yang “tergadai�. Kedua, perlu dikukuhkannya komitmen, terutama oleh pemerintah daerah, mengenai kebudayaan lokal dengan membuat visi dan misi untuk menjadikan daerah ini sebagai pusat Melayu dunia, seperti yang telah dilakukan para pendahulu kita. Secara ekonomi hal ini akan berdampak posif pada dunia pariwisata, terutama wisata budaya dan sejarah. Ketiga, perlu ditingkatkannya pengajaran muatan lokal mulai dari sekolah tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Hal ini akan berdampak positif karena mereka (generasi muda) akan mengenal dan mencintai budayanya serta dapat menggali kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Keempat, tidak dinafikan peran media massa untuk menyebarluaskan budaya Melayu karena dapat menyampaikan pada setiap tingkat strata masyarakat. Oleh karena itu, media massa jangan hanya berpikir pada aspek ekonomi semata. Media massa harus merasa bertanggung jawab atas kelangsungan dan perkembangan budaya tersebut. Kalau beberapa hal di atas dijalankan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas saya yakin kita akan kembali pada masa kejayaan yang pernah dicapai. Pada akhirnya, negeri ini akan menjadi

3


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

bangsa yang besar dan dihormati dengan budaya yang tinggi oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia. Dalam konteks keindonesiaan, mengapa bangsa kita tidak pernah bisa keluar dari krisis multidimensi? Padahal, Tuhan telah menganugerahkan kita kekayaan alam yang berlimpah ruah. Saya rasa salah satu faktornya adalah kita tidak mau belajar dari sejarah dan budaya kita sendiri. Kita mengabaikan kearifan-kearifan luhur yang terkandung di dalamnya. Kebijakan arah pembangunan kita selama ini selalu dititikberatkan pada pembangunan yang bersifat material. Kita selalu beranggapan bahwa dengan berhasilnya pembangunan fisik kita telah mencapai kemajuan dan kemakmuran. Kalau mau jujur, sesungguhnya kita tetap miskin, terutama miskin jiwa dan rohani. Ada fenomena menarik yang muncul era otonomi daerah dari Provinsi Riau. Ternyata, perkembangan kesenian dan budaya di wilayah ini menunjukkan gejala yang positif. Secara substansial tidak dinafikan bahwa pengelolaan dana sendiri ataupun bantuan pihak swasta, baik yang datang dari dalam maupun luar negeri, telah mempengaruhi dunia berkesenian. Orang ataupun masyarakat “berlomba-lomba” menulis, menerbitkan, mengadakan berbagai pelatihan, dan menampilkan kesenian menjadi seni pertunjukan. Fenomena sosial budaya tersebut terjadi dari tingkat pejabat, perkumpulan ibu-ibu PKK, LSM, instansi pemerintah dan swasta, sampai dengan perkumpulan yang didirikan oleh anak-anak muda. Hal ini tentu saja sangat mengembirakan. Namun, dalam konteks kekinian, harapan dan kegembiraan tersebut berangsur-angsur sirna dan mulai menghilang karena banyak di antara mereka berkesenian “karbitan”. Dengan kata lain, mereka berkesenian hanya untuk mendapatkan bantuan dana atau “berkesenian untuk mencari hidup” dari berbagai

4


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

lembaga donor yang peduli. Setelah lembaga donor atau lembaga pengayom tersebut pergi, mereka pun berguguran. Saya pikir kondisi ini tidak jauh berbeda dari mereka yang masih tetap eksis berkesenian sampai saat ini. Mereka merasakan dampak dari ketergantungan tersebut karena seniman juga “manusia”. Sekali lagi, kita semua harus bertanggung jawab mengatasi hal ini, terutama pemerintah dan pengambil kebijakan. Kalau tidak, “alamatlah kapal akan tenggelam” dan budaya kita akan terus “dijajah” budaya asing. Dan pepatah ‘’Melayu takkan hilang di bumi’’ akan menjadi kenangan. Terakhir, siapkan mental karena yakinlah suatu saat kesenian dan budaya kita akan diambil alih oleh bangsa lain.*** Medri Osno Staf teknis Kantor Bahasa Provinsi Kepulauan Riau dan bermastautin di Kota Tanjungpinang.

5


6


BAGIAN II

“Opera Primadona” Sebuah Lakon yang Memainkan Kisah Lakon Oleh Monda Gianes SAYA membayangkan, seandainya pementasan “Opera Primadona” oleh Teater Selembayung dan Teater Senja menghadirkan pola pemanggungan masa lampau di beberapa bagian. Penonton diajak kembali melihat bagaimana pola dan teknik pemanggungan sandiwara di masa lampau dengan perkakas dan elemen pendukungnya. Mungkin cuplikan adegan yang ada ditampilkan dalam pola bangsawan, atau ala stambul, atau gaya Dardanella yang memiliki kreatifitas menyiasati pementasan. Setidaknya, informasi tentang sekelumit peristiwa teater di Indonesia bisa tampil secara sekilas. Pertunjukan Teater dengan judul “Opera Primadona” ditampilkan selama tiga malam berturut-turut, yakni tanggal 29, 30, 31 Agustus 2013 di Anjung Seni Idrus Tintin Pekanbaru. Naskah yang ditulis oleh Nano Riantiarno (Teater Koma) tersebut disutradarai oleh Fedli Azis dan menjadi produksi Teater Selembayung bersama Teater Senja SMA Negeri 5 Pekanbaru. Pertunjukan ini sekaligus dipersem-

7


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

bahkan sebagai peringatan hari jadi Teater Selembayung yang ke-17 tahun. Teater Selembayung melalui Fedli Azis (sutradara) kali ini melakukan sesuatu yang lebih dari pada biasanya. Durasi lakon yang panjang, berkisar 3 jam. Penggabungan aktor senior (Teater Selembayung dan seniman) dan aktor junior (Teater Senja). Manajemen produksi yang dikelola dengan sistematis. Penggarapan musik, set kontruksi, properti, pencahayaan, rias, kostum dan semua unsur artistik yang saling melengkapi tampak seimbang. Kru pendukung yang memadai. Hingga estimasi biaya yang dikeluarkan pun tentulah tidak sedikit. Tanpa melupakan karya pertunjukan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa selama 17 tahun Teater Selembayung berkiprah, inilah produksi terbesar dengan persiapan yang besar pula. Menyaksikan dan mengapresiasi pertunjukan “Opera Primadona�, banyak hal yang menarik untuk dibicarakan. Proses kreatif yang dilakukan oleh Teater Selembayung dan Teater Senja merupakan upaya pembauran para pelaku teater. Memang sudah saatnya remaja (pelajar) dilibatkan dalam peristiwa pertunjukan (teater). Sebab potensi itu harus ditemukan dan memancar dengan segera. Teater di Riau harus bergerak maju dan dinamis. Sebagaimana teater dikatakan sebagai seni kolektif, kebersamaan, dan saling mengisi untuk kemudian dibentangkan kepada siapa saja yang diinginkan dan menginginkan. Kerja bersama itu dimotori oleh Teater Selembayung yang dalam hal ini lebih senior ketimbang Teater Senja SMA Negeri 5 Pekanbaru. Sutradara tampaknya telah berpikir panjang dalam menentukan casting peran untuk “Opera Primadona� ini. Penempatan pemeran untuk masing-masing tokoh pada lakon ini, tentu bukan proses yang singkat dan mudah.

8


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Karena lakon ini menuntut kemahiran berperan yang memadai. Puluhan babakan atau bagian yang relatif dekat, dengan isian adegan yang terus mengusung hingga ke ujung kisah, harus dimainkan dan dijalankan dengan baik dan terarah. Di sinilah ‘jam terbang’ dan pengalaman panggung seorang aktor dipertaruhkan. Walaupun di beberapa adegan saya sempat melihat adanya kesenjangan permainan antara aktornya, tetapi secara keseluruhan mereka memang cukup dipersiapkan. Dan itu pula yang menurut saya sedang diujikan oleh sutradara. Sehingga satu sama lain akan saling tarikmenarik untuk keselarasan permainan dalam mewujudkan adegan yang dirancang. Selama tiga hari lakon ini ditampilkan, lebih dari 1.250 orang telah melihat pertunjukan tersebut. Jika dianggap dari 1.250 penonton, 50 persen saja dari mereka (625 orang) membawa kisah ini dan pengalamannya kepada keluarga atau temannya, kemudian bercerita tentang teater yang ditampilkan dan sederet peristiwa yang menyertai sebelum dan sesudah ia menonton, maka akan lebih banyak pula orang membicarakan teater. Terlepas dari mereka berkenan, mengerti, tertarik atau tidak, tetapi mereka sedang membicarakan peristiwa teater. Dapat dibayangkan betapa penonton memiliki peran yang sangat penting terhadap perkembangan teater di negeri ini. Dan dengan pertimbangan itu pula setiap kreator, sutradara, dan pelaku panggung tidak akan asal-asalan dalam memberikan tontonan. Apalagi mereka (penonton) menonton dengan membeli tiket. Ditambah lagi Teater Selembayung harus “merawat” penonton tetap mereka, yang senantiasa menanti dan menyaksikan karya-karya pertunjukan yang dipersembahkan. Bagi saya, pertunjukan “Opera Primadona” ini menarik. Saya merasa gembira menyaksikannya. Apalagi naskah ini

9


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

menceritakan tentang lakon memainkan kisah lakon. Tetapi naskah yang dipentaskan pertama kali oleh Teater Koma di tahun 1988 ini telah diadaptasi di beberapa bagian. Sehingga terjadi beberapa perubahan nama tokoh, tempat, istilah, fragmen cerita, dan lainnya. Memang, salah satu keberhasilan pengkarya adalah bagaimana mampu mendekatkan sebuah karya kepada penontonnya. Maka ada upaya atau gagasan untuk mengadaptasi atau mengubah-suai sesuatu yang asing menjadi sesuatu yang dikenal dan akrab. Sehingga visi lakon yang dimaksudkan tersampaikan tanpa hambatan. Namun pada praktek ini pula sutradara membuka peluang terjadinya ketimpangan atau keganjilan jika tidak menemukan kesesuaian. Naskah yang mengambil latar Riau di tahun 1960-an dengan berbagai persoalan yang dikisahkan menurut saya belum ada korelasinya. Apakah peristiwa serupa memang pernah terjadi pada grup sandiwara di Riau ketika itu? Berbeda dengan naskah aslinya yang berlatar tahun 1925-an hingga 1980-an yang berkisah tentang persaingan grup-grup opera di Batavia dan di beberapa daerah. Mungkin akan menarik juga apabila sutradara tidak mengambil latar keriauan, tetapi merepresentasikan sesuai naskah aslinya. Capaian yang diperoleh tentulah lebih luas. Sebab membicarakan lika-liku pelaku panggung di masa lampau yang berpengaruh terhadap masa kini. Sedikit banyak sejarah teater bisa menjadi sisi perhatian yang diaktualisasikan selain keutuhan pertunjukan. Sebagaimana diketahui bahwa pada masa lampau Drama Melayu juga sedang menjalani ketenarannya. Ini terbukti dengan sebuah kelompok bernama The Malay Opera Dardanella. Justru rangkaian kisah yang ditulis oleh Nano Riantiarno pun tengah menyinggung kelompok tersebut

10


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

dengan penamaan yang lain. Dan bayang-bayang itu mengarahkan kita pada peristiwa yang terjadi. Artinya, meskipun Nano Riantiarno menulis lakon Opera Primadona sebagai sebuah rekaan, tetapi kontekstual dengan peristiwa dan situasi yang ada pada grup Dardanella dan grup Orion yang ketika itu memang bersaing. Mencari dan ‘memungut’ identitas Riau untuk diterapkan pada lakon “Opera Primadona�, menurut saya akan lebih leluasa jika terlebih dahulu menyadur cerita secara keseluruhan. Atau bisa jadi sutradara menjadikan naskah Nano Riantiarno ini sebagai ide umum, kemudian mengusung cerita baru dengan premis yang aktual dengan kondisi Riau saat ini dalam pola penggarapan inovatif. Kecanggihan teknologi dan kemajuan zaman bisa dimanfaatkan. Apapun seperti memungkinkan untuk dicapai. Sebagai perbandingan, kalau boleh beralih sedikit melihat kreator di media televisi. Salah satu stasiun TV swasta di Indonesia menayangkan program Opera Van Java (OVJ). Kalau kita boleh sepakat, gagasan ini mengambil pola yang ada pada teater bangsawan di masa lampau. Kemampuan meramu dan mengemas kembali dengan gagasan-gagasan baru yang inovatif mengantarkan Opera Van Java sebagai tontonan yang menarik. Siapa menyangka bahwa sesuatu yang kuno (lampau) pada hari ini bisa diminati dan populer. Itu semua tidak terlepas dari kreativitas yang penuh pertimbangan. Walaupun kehadiran OVJ pada akhirnya hanyalah kebutuhan pasar industri pertelevisian. Sehingga yang menonjol adalah humor dan elemen pendukung yang bersifat hiburan. Hampir tidak menyentuh pada persoalan nilai, pesan moral dan pencerahan batin. Sebab ia lebih mengolokolok sesuatu untuk kelucuan saja. Nah, barangkali peristiwa ini bisa menjadi kisah yang diangkat sebagai versi baru dari

11


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

peristiwa yang dikisahkan dalam lakon Opera Primadona. Banyak hal yang bisa dirangkum menjadi bagian yang diceritakan. Persaingan antara pelaku panggung dan pelaku pertelevisian saat ini masih berlangsung. Bagaimana kreativitas yang ada pada masing-masing media yang berbeda sering diterapkan dan menjadi acuan. Dan tidak heran pula jika aktor dan aktris sinetron atau film televisi (FTV) mengadu bakat di atas panggung untuk membekali kemahiran perannya di dalam produksi sinetron atau FTV. Zaman sekarang pun tetap memiliki primadonaprimadona. Kemudian di tengah-tengah media yang samasama bergerak, selalu ada pelaku industri yang terlibat. Pada akhirnya, konseptor dan sutradara memegang kendali atas apa yang hendak ia sampaikan. Sebab, kerja kreatifnya harus bertolak dari perencanaan yang disusun. Boleh saja Opera Primadona ini disajikan dalam fiksi dan sengaja tidak ingin dihubungkan dengan kenyataan sandiwara yang pernah ada di Riau pada masa lalu. Penyebutan dan beberapa hal yang disesuaikan cuma perihal yang strategis. Harapan dan bayangan saya barangkali tidak menjadi pilihan yang teramat penting. Begitu juga dengan penonton yang lainnya. Mungkin mendapatkan kesan yang berbeda pula. Sementara sandiwara mempunyai cara menyampaikan dirinya dengan bersandiwara pula. Inilah lakon yang memainkan kisah lakon, yang membuat teater menjadi asyik untuk terus dibicarakan. Sebagai pelaku seni, Fedli Azis dan Teater Selembayung memiliki potensi yang besar untuk menggelar pertunjukan yang lebih menantang kreativitas. Lakon “Opera Primadona� menjadi salah satu bukti bahwa mereka mampu menyelesaikan produksi ini dengan luar biasa dan sukses. Kekurangan dan kelemahan pertunjukan adalah kewajaran

12


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

yang harus disikapi sebagai sumber kekuatan di masa mendatang. Dan usia 17 tahun adalah situasi di mana gairah sedang meluap untuk berperan aktif dan berpotensi produktif. Tahniah!*** Monda Gianes Penggiat teater, berhimpun di kelompok Teater Matan Pekanbaru

13


14


BAGIAN III

Opera Primadona, Opera Melayu? Oleh Fakhrunnas MA Jabbar OPERA Primadona karya teaterawan terkemuka Indonesia, Nano Riantiarno pada hakikatnya berkisah tentang konflik yang tak habis-habis di sebuah kelompok teater Miss Kecubung. Cukup lama masa kejayaan Miss Kecubung yang dipimpin oleh Miss Kecubung (Mimi Suryani), seorang perempuan ambisius dan berkuasa melebihi suaminya sendiri, Rojali (Sujarhadi) yang menjadi sutradara tunggal kelompok itu. Dominasi Miss Kecubung benar-benar terusik dengan munculnya Seroja yang mendapat simpati Tuan Rojali dan para penggemarnya. Kecemburuan Miss Kecubung sampai pada puncaknya ketika mencurigai adanya dugaan perselingkuhan suaminya dengan Seroja. Padahal Seroja sendiri menaruh hati dan simpati pada Megat Sejagat (Ekky Gurin Andika), salah seorang anggota kelompok teater yang selalu mendapatkan peran menonjol. Bahkan kelak, Megat ketika sudah keluar dari Miss Kecubung membentuk kelompok sendiri dan kaya raya. Kegalauan hati Miss Kecubung mencapai puncaknya ketika Seroja disuruh “kawin paksa� dengan Atan Sengat, anggota grup yang baik

15


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

hati tapi tak berdaya pada dominasi Seroja. Perkawinan itu sesungguhnya hanya “sandiwara� karena selama 50 tahun usia perkawinan mereka, tak pernah sekali pun Atan meniduri isterinya, Seroja. Puncak cerita, Seroja memutuskan meninggalkan grup Miss Kecubung yang berujung pada tragedi jatuh stress hingga wafatnya sang sutradara, Tuan Rojali. Akibatnya Kecubung ikutan stress dan hidup merana. Sementara Seroja yang sudah jatuh di pelukan Megat dibuat kecewa karena Megat memiliki sejumlah selingkuhan dan hidup tak beraturan dengan mabuk-mabukan hingga meninggal dunia. Tinggallah Seroja yang lusuh dan patah hati dalam usia senja. Saat itu, suaminya Atan Sengat bertekad meninggalkannya karena seusia perkawinan mereka hanya menangguk kekecewaan. Cerita ini berakhir dengan bersatunya Seroja dan Atan menjalani sisa usia mereka. Selama lebih dua jam, pertunjukan Opera Primadona yang disutradarai Fedli Azis, seorang anak muda penggiat teater Riau di bawah bendera Sanggar Teater SelembayungTeater Senja SMAN 5 Pekanbaru- digelar di Gedung Teater Idrus Tintin, Bandar Serai, Pekanbaru, Sabtu malam (31 Agustus 2013) lalu. Fedli bersama para pendukung pertunjukan itu boleh berbangga hati. Gedung kesenian yang megah berkapasitas 600 orang itu terlihat penuh. Bahkan, hampir semua penonton dibuat tak beranjak dengan decak kagum. Seroja, nama tokoh utama dalam opera ini diperankankan oleh Chairanny Putri bersama Miss Kecubung yang egois dan sok berkuasa ditambah keberadaan Tuan Rojali yang berperan sebagai sutradara di grup teater itu, menjadi penentu keberhasilan pertunjukan ini. Kebingungan Seroja ikut disulap menjadi kebingungan para penonton pertunjukan Opera Primadona ini. Pasalnya, Nano Riantiarno

16


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

yang menulis naskah itu sengaja membuat semua orang bingung. Dalam cerita masih ada cerita. Dalam panggung masih ada panggung. Akibatnya, cukup sulit membedakan antara realitas panggung dan realitas cerita yang diperankan para pelakon. Dari sudut konflik inilah kisah Opera Primadona ini menjadi punya daya tarik dan rasa penasaran. Ada hal menarik terkait pertunjukan Opera Melayu ini. Naskah dan alur cerita yang sangat bernuansa Jawa sebagaimana rumah kebudayaan Nano Riantiarno ternyata dijamah dan diaduk oleh Fedli Azis dengan tafsir Melayu sepenuhnya. Tak ayal lagi, nama-nama tokoh dalam cerita diadaptasi ke suasana kultural Melayu. Begitu pula dialog-dialog yang lancar dan kocak dan penuturan khas Melayu benar-benar membuat para penonton terpingkal seolah sedang berada dalam sebuah ranah kehidupan alam Melayu. Apalagi dukungan penata musik yang mengaloborasi kekuatan Matrock (Zalfandri) dan Iskandar, Indra Permana, Hardi Wahyudi, Rakis Fadly dan vokalis Siska Mamiri dan Ririn Jauharaini. Rangkaian musik dan nyanyian yang benarbenar beranjak dari irama Melayu modern membuat Opera Primadona sangat menghibur. Pertunjukan Opera Primadona yang didukung para pemain muda berbakat dari Sanggar Selembayung dan Sanggar Senja di bawah pembinaan SMAN 5 Pekanbaru ini boleh dibilang berhasil. Para pelakon yang bersuara lantang di tengah sistem akustik gedung teater yang kurang memadai. Namun, teriakan demi teriakan saat berdialog menimbulkan kesan seolah-olah jalinan kisahnya begitu sarat konflik. Pasalnya, para pemain yang memiliki keterbatasan olah vokal mau tak mau harus berteriak keras. Tafsir Melayu yang dilakukan Fedli tampak benar-benar menyeluruh. Dialek Melayu begitu kental terasa dalam

17


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

sepanjang pertunjukan. Penonton benar-benar merasa bahwa tragedi yang terjadi di grup teater Miss Kecubung ini seolah-olah terjadi di Tanah Melayu sendiri. Terasa dialek daerah yang khas bila disaksikan oleh para pengguna bahasa yang berasal dari daerah yang sama menjadi komunikatif, menarik dan mempesona. Begitu pula, latar belakang dan setting panggung yang umumnya memperlihatkan suasana interior seperti kamar tamu, kamar tidur, katil dan tilam, meja rias benar-benar mencerminkan kehidupan keseharian orang Melayu. Sekali lagi, inilah pertunjukan teater yang kaya dengan sandiwara di panggung dan sandiwara di alam nyata. Nano Riantiarno telah mengemasnya dengan asyik. Dan Fedli Azis pun berhasil memberi tafsir Melayu di atasnya sehingga penonton menyaksikan dengan nyaman dan penuh gelak tawa. Fedli berhasil menggabungkan semua kekuatan unsurunsur teater dengan baik. Pertunjukan ini patut ditonton semua kalangan dari yang muda hingga dewasa.*** Fakhrunnas MA Jabbar Sastrawan, penikmat teater, tinggal di Pekanbaru

18


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN IV

Keindahan Sastra dalam Konkretisasi Makna Oleh Sayyid Fahmi Alathas Keindahan Sastra SEORANG tokoh terkemuka Hopkins pernah mengemukakan bahwa keindahan dalam karya sastra merupakan suatu hasil dari intresa dan inscape, di mana “intresa” adalah pengaruh nyata dari tangan Tuhan terhadap cipta kreatif seorang seniman; sedangkan “inscape” adalah pemahaman atau kekuatan melihat segala sesuatu dengan hati dan pikiran sebagai puncak realitas dalam cita seni berdasarkan kebenaran Tuhan (Muhsin Ahmadi, 1984;126). Mengingat mengalami persamaan dengan seorang tokoh fenomenal Plato, dengan pernah mengemukakan bahwa dalam bukunya yang berjudul Republik atau negara yang mengacu kepada dunia ide atau dunia gagasan yang identik dengan kebenaran tertinggi sejatinya terdapat kepada puncak dunia ide atau dunia Illahi. Akan tetapi dengan merujuk kepada tokoh peletak dasar teori pertentangan kelas atau sosialisme komunis, Karl Marx dengan pernah menge-

19


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

mukakan “bagaimana kita mengubah dunia�. Beserta tokohtokoh lainnya seperti, George Lukacs, Plekhanov dan Lucien Goldman seorang tokoh para marxis dengan pernah menghubungkan karya sastra sebagai suatu struktur terhadap sejarah dan mengeluarkan pendekatan “strukturalisme genetik�. Bagaimanakah benang merahnya dengan seorang tokoh Frederik Engels dan Hegel yang tidak sesuai garis-garis besar partai komunis dengan pernah mengemukakan bahwa karya sastra harus dihargai integritasnya sebagai hasil seni terlebih dahulu kemudian baru pencerminan masyarakat. Apabila ada seorang tokoh kaum Formalis Rusia Roman Jakobson, dengan menarik pada teks karya sastra dapat disulap sampai menimbulkan efek pengasingan atau penyulapan seorang pengarang terhadap pembaca dengan memiliki persamaan dengan seorang tokoh perkembangan linguistik modern berkebangsaan Swiss Ferdinand De Saussure, yang terletak kepada fungsi estetika dan fungsi sosial kearah konteks historis sosial. Apakah dalam suatu karya sastra makna berpusat kepada bahasa yang dicapai. Di manakah letak dampak atas perkembangan ilmu linguistik modern yang digunakan terhadap karya sastra? Apabila ditelusuri dari kedua orang tokoh berkebangsaan Romawi kuno Plato dan Aristoteles dengan mengenai satu ruang dalam sejarah perkembangan ilmu sastra; prospek dan perspektif teori ilmu pengetahuan yang masih bersifat taraf pemikiran filsafat belum sampai ke arah sistematika ilmu. Di manakah Plato dengan pernah mengemukakan bahwa karya sastra merupakan kenyataan sehari-hari meniru dunia ide atau dunia ilahi. Di manakah muridnya Aristoteles dengan pernah mengemukakan bahwa karya sastra bukanlah kenyataan sehari-hari sebagaimana adanya. Akan tetapi pada prosesnya, kajian ilmu sastra dalam

20


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

mencapai hakekat kebenaran meletakkan karya sastra kepada kenyataan fenomenal sesuai kerja penyair. Apabila ditelusuri dengan melalui pendekatan objektif yang pernah dikemukakan seorang tokoh seperti, Abrams dengan menitikberatkan karya sastra sebagai struktur yang otonom! Akan tetapi pendekatan objektif tersebut telah ada sejak Aristoteles menulis sebuah buku berjudul Poetic. Apabila dihubungkan dengan yang pernah dikemukakan oleh Ferdinand De Sasususre, dengan meletakkan dasardasar kuat kajian ilmu linguistik modern, dengan memperkenalkan bahasa terdiri dari dua sisi yang tidak dapat dipisahkan; petanda (signifian) dan penanda (signifie). Dikarenakan minat para pakar sastra meneliti karya sastra sebagai struktur yang otonom sebelum adanya seorang tokoh berkebangsaan Swiss yang telah memperkenalkan teori strukturalnya di bidang kajian ilmu linguistik tersebut. Sehingga dengan melalui pendekatan objektif, sasarannya adalah kematangan sebuah karya tanpa menghubungkan dimensi-dimensi lain seperti pengarang, pembaca, keadaan masyarakat dan lain sebagainya. Apabila melalui pendekatan historis sebagai suatu kajian yang memiliki unsur sejarah, dan apabila melalui pendekatan sosiologis dari berbagai segi sosial baik dari dalam maupun dari luar karya sastra. Apakah menunjukan suatu hubungan dalam kajian ilmu sastra melalui beberapa tahap pendekatan sebagaimana yang pernah dikemukakan seorang tokoh gramatika bahasa, Noam Chomsky, dengan pernah mengemukakan bahwa penguasaan bahasa di dalam otak sesuai aturannya (competence), dan pelahiran bahasa oleh seseorang (performance). Bagaimanakah dengan seorang tokoh kaum formalis Rusia, Roman Jakobson dengan pernah mengemukakan bahwa sumber-sumber puitis yang tersembunyi di dalam

21


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

struktur morfologi dan sintaksis sering kali tidak diketahui oleh pakar bahasa tetapi dikuasai dengan baik oleh penulis penulis kreatif. Ahli bahasa dan pakar sastra yang bersikap dingin terhadap masalah linguistik adalah mereka yang membuat kesalahan anakronis (Simanjuntak, 1982;38). Konkretisasi Makna Apabila ditelusuri dari seorang tokoh berkebangsaan Polandia, Roman Ingarden, dengan pernah mengemukakan bahwa karya sastra mempunyai struktur yang objektif, yang memberi peluang kepada pembaca untuk memberi arti terhadapnya. Namun struktur karya sastra sementara belum bisa berbuat banyak terhadap pembaca sehingga diperlukan suatu kegiatan konkretisasi terhadap kemungkinan makna yang disediakan oleh struktur objektif tadi. Di sini kegiatan makna karya dibatasi oleh struktur itu sendiri; karena struktur objektif itu hanya satu maka konkretisasi makna hanya ada satu terlepas dari pengaruh masa dan tempat. Akan tetapi kesimpulan yang terdapat pada karya sastra menekankan keberlangsungan teori. Dikarenakan kajian mengenai teori resepsi sastra dalam menentukan kalimat yang mudah ditangkap oleh seorang pembaca selaku pemberi makna. Di mana karya sastra tidak ubahnya serupa artefak atau benda mati. Di mana diperlukan proses konkretisasi, di mana mesti mengartikan kode-kode makna yang sesuai apa yang ada di hadapannya. Di mana menyangkut kosa kata bahasa ke dalam proses konkretisasi pada kalimat dengan membentuk makna mencakup tema serta bahasa. Ada salah seorang tokoh pelopor sejarah sastra berkebangsaan Jerman Barat, bernama Hans Robert Jausz, dengan melalui pokok pokok bahasanya mengenai penekanan pembaca selaku pemberi makna terhadap karya sastra.

22


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Apabila dalam sebuah makalahnya berjudul Literatur Geiscichte Als Provokation yakni sejarah sastra sebagai tantangan, yang berisikan mengenai “dinamika sastra� yang timbul oleh seorang pembaca berdasarkan diakronis dan sinkronis. Meskipun dari segi estetik karya sastra sebagai karya seni, pembacalah yang menentukan apakah karya sastra dapat diterima atau ditolak, apakah karya sastra bernilai atau tidak, apakah yang tertonjol itu nilai estetik atau nilai kegunaannya. Dengan mengemukakan pula bahwa interpretasi seorang pembaca terhadap sebuah teks sastra ditentukan oleh apa yang disebutnya dengan “horison penerimaan�. Di mana dibaginya ke dalam dua bagian yakni, pertama yang bersifat estetik atau yang ada di dalam teks sastra. Kedua yang tidak bersifat estetik atau yang tidak berada di dalam teks sastra tetapi sesuatu yang melekat pada pembaca. Apabila ditelusuri dari seorang tokoh berkebangsaan Polandia, Feliks Vodicka, yang merupakan seorang murid tokoh dari kaum strukturalis Praha mengenai perkembangan lanjutan dari kaum formalis Rusia,yang lebih menekankan terhadap fungsi estetik bahasa dengan konteks sosial, dengan mengemukakan bahwa karya sastra tak ubahnya artefak, benda mati. Pembacalah yang menghidupkannya melalui proses konkretisasi. Sebagai artefak, karya sastra tidak jelas maknanya; ia baru jelas atau konkret setelah berinteraksi dengan pembaca. Meskipun Jan Mukarovsky dengan pernah mengemukakan, bahwa karya sastra sangat berkaitan dengan konteks sosial, sehingga fungsi estetik dan puitika bahasa tidak terlepas dari fungsi sosial sementara fungsi estetik dan fungsi sosial selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan fungsi sosial itu sendiri. Fungsi estetik dan fungsi sosial selalu berubah-ubah pada suatu masyarakat sepanjang zaman.

23


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Kadang-kadang lebih mementingkan fungsi sosial dan kadang kala lebih mementingkan fungsi estetik (Teeuw, 1984:185-7). Dikarenakan dalam suatu masyarakat fungsi bahasa kerap berkaitan dengan fungsi estetik dan fungsi sosial dalam suatu lingkungan masyarakat. Apabila keindahan seni yang terletak pada karya sastra bermain dalam proses ruang bahasa berhadapan langsung dengan kenyataan kosa kata bahasa itu sendiri, yang apabila digunakan oleh seorang pengarang dalam setiap kali menciptakan karya sastra dalam menemukan makna. Sehingga proses konkretisasi ke dalam ruang bahasa dalam membentuk kalimat. Apakah proses kosa kata bahasa yang apabila pendapat dari salah seorang tokoh ilmu tata bahasa yakni, “transformatif generatif� bernama Noam Chomsky. Dengan pernah mengemukakan bahwa setiap penutur bahasa asli sesuatu bahasa alami telah menyimpang dari rumus gramatis bahasa yang ada dalam otaknya, dengan pernah mengemukakan pula bahwa pada dasarnya bahasa mempunyai dua struktur yakni, struktur dalam (deep structure) dan struktur permukaan (surface structure),yang dapat disamakan dengan istilah, comptence atau penguasaan bahasa dalam otak sesuai dengan aturannya, dan performance atau pelahiran bahasa oleh seseorang. Orang yang sama mungkin berbeda dalam performance atau surface structure. Dari sinilah menimbulkan gaya bahasa pada seorang pengarang. Maka pada akhirnya proses kosa kata bahasa pada karya sastra menghambat proses konkretisasi untuk sampai pada titik hakekat sebuah pencapaian estetika bahasa ke dalam kata, untuk sampai pada proses kosa kata bahasa dalam pemakaian bahasa dalam karya sastra yang berbeda

24


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

dengan pemakaian bahasa biasa pada umumnya.*** Sayyid Fahmi Alathas Dilahirkan di Labuhan-Maringgai, Lampung-Timur. Alumnus Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi pada Universitas Bandar Lampung. Menulis Puisi dan esai sejak tahun 2004 sampai sekarang. Puisi dan esai terpublikasi di sejumlah belasan media massa lokal dan nasional.

25


26


BAGIAN V

Membincangkan Cinta dalam Karya Sastra Oleh Desi Sommalia Gustina CINTA merupakan sebuah persoalan yang acap mengisi takdir kehidupan manusia. Karena itulah barangkali pembicaraan mengenai cinta menjadi topik yang kerap menggoda. Begitupun dalam karya sastra, membincangkan masalah cinta laksana tema yang tak pernah usang. Baik ketika membaca karya yang ditulis di masa lalu, maupun yang terbaru. Hal ini tentu tidaklah mengherankan, karena persoalan cinta merupakan hal yang sangat universal. Di mana setiap makhluk hidup dapat merasakannya. Namun, kesedihan dan kehilangan selalu hadir dalam karya sastra yang mengusung tema cinta. Simak saja dalam novel 1998 karya Ratna Indraswari Ibrahim, betapa Putri sangat terpukul ketika harus berhadapan dengan kenyataan bahwa Nenolelaki yang begitu ia cintai, dinyatakan hilang dan tak pernah kembali setelah terlibat dalam serentetan aksi demonstrasi pada masa Orde Baru. Atau lihat pula dalam Helen of Troy, ketika Helen dipersunting oleh raja, yang

27


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

menyebabkan Paris berontak, dan kembali merebut hatinya. Atau dalam novel Laila Majnun, di mana dalam novel tersebut digambarkan bagaimana Majnun menempuh caracara “gila� demi memperjuangkan cintanya terhadap Laila, perempuan yang ia cintai. Juga dalam Romeo and Julietnya Shakespeare, yang justru membuat kecut, di mana adegan percintaan itu malah diakhiri dengan kematian antara kedua kekasih. Meskipun tidak tertutup pula kemungkinan kisah cinta yang berakhir happy ending, seperti dalam kisah cinta Cinderella, di mana mereka hidup berbahagia. Persoalan mengenai cinta juga dibincangkan oleh Muhammad Subhan dalam novelnya yang berjudul Rinai Kabut Singgalang (FAM Publishing, cetakan 1, Januari 2013). Persoalan cinta dalam novel Rinai Kabut Singgalang (RKS) ini tampil dengan penuh kegetiran, namun sublim. Membaca RKS adalah membaca adegan perjalanan cinta dua insan yang penuh liku. Kisah cinta antara dua anak manusia; Fikri dan Rahima, yang hingga maut memisahkan keduanya tak kunjung bersatu dalam ikatan pernikahan. Mengikuti alur perjalanan kisah Fikri dan Rahima dalam novel ini adalah juga mengikuti persoalan percintaan dua insan yang memberi pelajaran akan pentingnya kesabaran. Sejatinya yang menjadi batu sandungan kisah cinta antara Fikri dan Rahima dalam novel ini merupakan persoalan yang biasa kita jumpai dalam kehidupan, yaitu tentang perbedaan strata sosial. Di mana dalam novel ini digambarkan Fikri adalah lelaki miskin. Namun, di tengah kemiskinannya Fikri mencoba berdiri sejajar untuk mendapatkan Rahima, sang kekasih hati. Tetapi, bak kata pepatah, kadang mencintai tak berarti harus saling memiliki. Begitupun yang terjadi terhadap Fikri dan Rahima dalam novel ini. Di mana pembaca akan melihat cinta sejati yang tersandung,

28


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

tersandera intrik-intrik dari para tokoh. Di samping itu, menyimak persoalan cinta dalam RKS ini, pembaca akan menemukan persoalan cinta yang dibalut dengan warna lokal yang kuat, yaitu kebudayan Minang yang matrilineal (garis ibu) melalui tokoh kakak Rahima, yaitu Ningsih, yang memisahkan Fikri si miskin dengan Rahima. Di mana dalam novel ini digambarkan Ningsih merasa berkuasa atas diri Rahima, terutama dalam hal memilihkan jodoh bagi sang adik. Meski di sisi lain, Ningsih tahu betapa besar cinta Rahima terhadap Fikri, demikian pula sebaliknya. Persoalan cinta memang merupakan salah satu persoalan pokok kehidupan manusia. Sulit ditebak, dan tak mudah dipaksakan. Seperti dalam novel RKS ini, bagaimanapun upaya Ningsih untuk menjauhkan Rahima dari Fikri, namun cinta keduanya tetap menyala. Sehingga ketika cinta menjelma jadi kelindan yang masuk ke dalam teks-teks sastra, yang tergambar ialah keharuan mendalam, perjuangan tanpa henti dari para pelaku cinta tersebut. Akan tetapi, sejatinya persoalan cinta tak hanya sebatas itu, terkadang cinta, sebagaimana juga yang dijabarkan dalam RKS, juga memberikan gambaran cinta yang universal, tidak saja cinta antara lawan jenis, seperti cinta Fikri terhadap Rahima. Namun juga cinta terhadap sesama manusia. Cinta pada sahabat, misalnya, yang digambarkan begitu tulus dalam novel ini, yakni cinta Yusuf kepada Fikri sahabatnya, dan demikian pula sebaliknya. Dalam novel RKS ini pembaca disuguhkan tulusnya jalinan cinta antara dua sahabat, melebihi putihnya cinta antara dua insan yang sedang kasmaran. Memang, sebuah tanya tercipta, di tengah beragam problem hidup manusia seperti hari ini, masih adakah ruang bagi manusia untuk membina persahabatan dengan amat setia? Di antara kesibukan-

29


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

kesibukan setiap individu dengan persoalannya masingmasing, masih adakah perasaan kasih dan sayang yang begitu tulus dari seorang sahabat seperti Yusuf kepada Fikri? Namun, begitulah, Subhan seolah ingin menunjukkan betapa manusia membutuhkan seorang sahabat yang tulus dan berkelimpahan cinta. Karena sejatinya dalam hidup, setiap manusia memerlukan seorang sahabat yang demikian tulus seperti sosok Yusuf dalam novel RKS ini. Sebab, seorang sahabat yang berkelimpahan cinta, ia akan memiliki bahan baku yang melimpah untuk terus berbagi kebaikan di muka Bumi. Dan mereka yang berkelimpahan cinta akan berkelimpahan energi untuk berbuat baik. Begitupun Yusuf, di mana dalam novel ini digambarkan menjadi sosok yang senantiasa menjaga nyala cintanya terhadap sahabatnya Fikri. Dan, di saat yang sama, pembaca juga menyaksikan, Yusuf yang tengah merawat cintanya pada Fikri sesungguhnya ia juga tengah menjaga energi baik dalam dirinya. Lihatlah, tatkala di dalam novel ini digambarkan bagaimana kelaraan dan keterpurukan melanda hati Fikri ketika mendapati penolakan dari Ningsih atas lamarannya terhadap Rahima, berkat motivasi seorang sahabat, di antara hati yang remuk redam itu, Fikri pelan-pelan bangkit, berusaha untuk memahami, mengerti, dan menerima suratan kasih tak sampainya pada Rahima. Ketabahan Fikri kemudian mengubah kenyataan dalam hidupnya, mengantarkannya menjadi seorang penulis novel terkenal dan disukai. Selain persoalan cinta yang menguras emosi yang dipaparkan dalam novel ini, pembaca juga dihibur dengan serangkaian perjalanan yang digambarkan demikian detil dalam novel ini. Terutama sepanjang perjalanan SerangPalembang-Jambi-Tebo-Bukit Tinggi. Terlebih dalam hal penggambaran setting lokasi ranah Minangnya yang permai.

30


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Pembaca seolah sedang dibawa berwisata oleh tokoh Fikri. Sehingga tidaklah berlebih jika dikatakan RKS seakan menjadi semacam panduan pariwisata bagi para pelancong keluarga. Melalui RSK Subhan menyajikan panorama gambar yang sangat indah. Alam Minangkabau yang digambarkan begitu terperinci seolah membuat pembaca begitu dekat dengan cerita di dalamnya. Di samping itu, melalui novel ini, hemat saya, Subhan berhasil menyampaikan amanat kepada pembacanya. Seperti halnya Ahmad Fuadi yang berasal dari Kampung Bayur, Maninjau, lewat novel Negeri Lima Menara (Gramedia), menyampaikan pesan “man jadda wajada” (yang bersungguh-sungguh akan berhasil) dan buku keduanya Ranah Tiga Warna dengan amanat “man shabara zhafira” (yang bersabar akan beruntung). Di RKS, pembaca akan diingatkan, bahwa bersikap sabar seperti tokoh Fikri akan mendapatkan kebahagiaan tidak saja di dunia, tetapi juga di akhirat. Di samping itu, melalui tokoh Fikri, secara verbal pembaca diingatkan untuk terus berbagi kepada sesama selama nyawa belum berpisah dari raga. Terlebih lagi novel ini juga menitipkan pesan bahwa kematian adalah sesuatu yang mutlak, dan bisa terjadi dengan kondisi apapun. Namun, karena tokoh demi tokoh dalam novel ini “dimatikan” oleh sang pengarang, ketika menuntaskan membaca lembaran terakhir novel ini, saya seolah baru saja membaca sebuah dongeng. Begitu.*** Desi Sommalia Gustina Lahir di Sungai Guntung, Indragiri Hilir, Riau, 18 Desember 1987. Alumnus Pascasarjana Universitas Andalas, Padang.

31


32


BAGIAN VI

Tenas Effendy, Gudang Pantun Melayu Riau Oleh UU Hamidy 1. Pengarang Sejarah Lokal N AMA Tenas Effendy agaknya tidak asing lagi bagi sebagian besar kalangan terpelajar di Riau. Dan hampir dapat dipastikan sudah dikenal dengan baik oleh puak Melayu daerah Siak, serta lebih-lebih di Pelalawan, daerah kelahiran dan bekas kerajaan tempat tokoh ini dibesarkan. Jika Tenas Effendy mengunjungi kawasan puak Melayu Petalangan di Kecamatan Pangkalankuras Kabupaten Pelalawan, ia akan diperlakukan bagaikan pembesar oleh anak negeri Melayu Petalangan tersebut. Dihormati, diterima dan diperlakukan dengan budi pekerti yang tinggi serta dilayani dengan penuh penghargaan. Ini memberi bukti bahwa Tenas seorang terpandang di Riau. Kenyataan ini merupakan berkah dari Allah Swt, sebagaimana terkandung oleh pesan doa dalam namanya. Tengku Nasaruddin Effendy, bukankah suatu nama yang amat sanggam? Tengku adalah panggilan, nama dan juga gelar bangsawan dalam dunia Melayu di Riau.

33


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Semua redaksi itu dapat dinisbahkan kepada orang alim, yang punya ilmu pengetahuan, baik dalam agama apalagi tentang dunia. Sementara Nasaruddin, dapat dengan mudah merujuk kepada makna pembela agama. Jadi pesan yang terkandung dalam nama tokoh ini, memang sudah jadi kenyataan melalui rahmat Allah, sebagaimana dikesan oleh keharuman nama Tenas Effendy dalam dunia Melayu masa kini. Perhatian Tenas Effendy terhadap dunia Melayu tampaknya bermula dari tulisan atau karangannya tentang sejarah lokal di Riau. Tenas telah memberi perhatian terhadap sejarah beberapa kerajaan di Riau, terutama Siak dan Pelalawan. Jalan ini sangat wajar. Sebab perikehidupan Tenas memang amat dekat kepada dua kerajaan itu. Sumber-sumber tentang kedua kerajaan itu tentu mudah diperolehnya, karena ia punya hubungan historis dengan kerajaan tersebut. Tenas dapat dikatakan menulis sejarah lokal, sebagai penulis yang menyaksikan peristiwa sejarah. Sekurangnya, ia memperoleh sumber-sumber sejarah itu dari tangan yang sahih. Maka tampillah karyanya Nukilan Sejarah Pelalawan dengan tajuk Banjir Darah di Mempusun, Datuk Pawang Perkasa Hulubalang Pulau Tebinggi dan Lintasan Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura bersama Nahar Effendy, yang semuanya terbitan BPKD Riau 1972. Karangan Tenas Effendy kemudian berkisar pada sisi budaya Melayu. Beriringan dangan karya mengenai sejarah ini, Tenas telah menulis pula Pertemuan Siak Sri Indrapura dan Seni Ukir di Daerah Riau bersama Djohan Syarifuddin dan Cerita Rakyat di Daerah Riau bersama TS Djaafar, Tengkoe Nazir dan AR Kemalawati S. Potensi dan semangat Tenas Effendy menulis tentang Melayu menjadi balas-membalas dengan berdirinya Badan Pembina Kesenian Daerah (BPKD) Provinsi Riau yang tampil

34


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

tahun 1970-an semasa pemerintahan Gubernur Riau Arifin Achmad. Kalangan terpelajar Riau yang mulai banyak menetap di Pekanbaru berhasil meyakinkan Gubernur Riau Arifin Achmad, supaya ditulis budaya Melayu sebelum semuanya lesap ditelan oleh ruang dan waktu. Lebih dari itu, agar orang Melayu di Riau dapat mengenal gambaran dirinya, mulai dari masa silam yang bernafaskan AnismismeHinduisme sehingga sampai memakai pedoman hidup Syariah Islam yang berpijak kepada Alquran dan Sunnah Nabi Saw, sebagaimana diperlihatkan oleh adat resam Melayu bersendi syarak. BPKD Riau berjaya semasa jabatan Gubernur Arifin Achmad tahun 1970-an. Terbitan lembaga ini ada belasan buku, bahkan mungkin lebih dari 20, jika dihitung termasuk naskah yang belum sempat diterbitkan. Kebanyakan buku terbitan BPKD adalah karya Tenas Effendy. Kehadiran Tenas sebagai penulis segera kokoh dengan kehadiran karangannya dalam corak drama “Laksamana Hang Tuah Laksamana Megat Seri Rama dan Kubu Terakhir�. Naskah drama ini punya warna jihad, karena terlintas dalam drama bagaimana yang hak menghadapi yang bathil. Dalam senarai para pengarang Riau, Tenas Effendy dapat dimasukkan ke dalam Gelombang Kedua Pengarang Riau. Gelombang Pertama dari abad ke-19 sampai 1930-an, yakni dari Raja Ali Haji, Pengarang Rusydiah Klab, Tuan Guru Abdurrahman Siddik dan Soeman Hs. Gelombang Kedua dari 1950-an sampai 1970-an, yakni dari Yong Dolah sampai Ibrahim Sattah, dengan pengarang antara lain Idrus Tintin, Ediruslan Pe Amanriza, Sutardji Calzoum Bachri, Hasan Junus dan Rida K Liamsi. Gelombang Ketiga dari 1980-an sampai 2000-an yakni dari Taufik Ikram Jamil sampai Marhalim Zaini.

35


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

2. Otodidak yang Berjaya Dalam buku Anugerah Sagang Sejak 1996-2011 riwayat hidup Tenas Effendy terlalu sederhana. Hanya tertulis lahir di Pelalawan (tanpa tahun). Tenas dituliskan tamat Sekolah Guru B di Bengkalis lalu menyambung Sekolah Guru A di Padang. Selepas itu melakukan otodidak. Otodidak yang dilakukan Tenas ternyata berjalan sukses, sehingga melapangkan jalan baginya meningkatkan potensi dan semangat mengarang. Tulisan mengenai sejarah lokal merupakan ujicoba ketajaman penanya. Karyanya segera bercabang pada seni ukir dan drama. Dalam seni ukir Tenas telah berhasil menampilkan motif selembayung menjadi satu di antara ukiran Melayu di Riau. Sungguhpun begitu, kemampuan otodidak Tenas belum lagi surut. Tenas memperlihatkan lagi kemampuannya belajar sendiri dalam ketajaman penanya menulis sejarah Riau dalam rentang waktu 1970-1975. Tim penyusunan dan penulisan sejarah Riau berhasil meyakinkan Gubernur Riau Arifin Achmad, agar segera ditulis sejarah Riau. Hal ini sekaligus menjadi tantangan kepada para dosen Universitas Riau, terutama yang menjadi anak jati Riau untuk memperlihatkan kemampuannya. Maka tim sejarah Riau telah didukung oleh para sarjana Universitas Riau seperti Muchtar Lutfi, Suwardi MS, Anwar Syair, Jasarudin, Kailani Hasan, Said Mahmud Umar, Suhartoko dan yang lainnya. Nama Tenas Effendy tercantum sebagai seorang yang tidak menyandang gelar sarjana, apalagi sarjana sejarah. Dalam penyusunan sejarah Riau ini, Tenas boleh dikatakan telah sampai pada titik klimaks otodidaknya. Sebab, benar-benar akan diuji kemampuannya berkarya secara ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu sosial. Sejarah Riau telah ditulis empat babak, yakni zaman kuno, babak nasional,

36


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

babak internasional dan babak proklamasi. Dari empat babak itu ternyata Tenas bisa ikut serta dalam dua babak, yakni zaman kuno dan babak nasional. Jadi terbuktilah kemampuannya yang cemerlang. Maka, dalam perjalanan karyanya, tidak heran jika akhirnya Tenas Effendy mendapat gelar Doktor Kehormatan dari Universiti Kebangsaan Malaysia. 3. Gudang Pantun Melayu Sebagai seorang tokoh adat Melayu, Tenas Effendy tentulah melihat dengan kasat mata, bagaimana perjalanan adat resam Melayu dari masa ke masa. Dari hulu yang pernah jaya terus ke muara yang makin suram. Tenas dengan mudah dapat menyaksikan berbagai peranan adat Melayu kehilangan pengaruh begitu rupa. Adat resam Melayu bagaikan runtuh satu demi satu seperti runtuhnya tebing sungai diterjang ombak dan hujan deras. Cahaya budaya Melayu mengalami pasang surut, bagaikan pelita kehabisan minyak, sehingga makin redup tak bercahaya. Ini terjadi karena beberapa perkara. Pertama, pohon rindang budaya Melayu memang harus dipangkas dahan dan daunnya, karena begitu kusut-masai bercampur dengan Animisme-Hinduisme yang menjadi daki budaya, sehingga kelihatan karut dalam penampilannya. Ini harus dilakukan, agar bisa muncul sinar budaya kebenaran Islam. Sebab, orang Melayu telah pindah dari kepercayaan jahiliyah Animisme-Hinduisme kepada agama Islam yang memberi jalan terang benderang menuju kebenaran. Karena itu, orang Melayu yang semakin dalam pengetahuan agamanya, menyadari bahwa budaya ini harus ditapis, agar tidak merusak akidah Islam yang tertanam di dalam dada. Budaya Melayu yang terang-terang syirik, memuja kesaktian serta bersandar kepada kekuatan makhluk halus, atau upacara

37


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

yang dapat merusak iman tanpa sadar, pelan-pelan harus ditinggalkan oleh orang Melayu yang lebih mengutamakan akhiratnya daripada dunia. Mereka ini memang barangkali belum begitu banyak. Tapi mereka insya Allah akan bertambah, karena tidak mau mati demi budaya buatan manusia, tapi bersedia berjihad dengan harta dan jiwanya demi taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Kedua, adat resam Melayu diterpa oleh angin badai budaya dunia yang materialis sekuler. Serangannya mendesak bahkan menyingkirkan budaya Melayu yang islami, karena mendapat dukungan dari sistem demokrasi yang telah menampilkan pejabat dan kaki tangan pemerintah yang zalim. Demokrasi dengan mudah menggantikan sistem mufakat orang Melayu yang bersandar adat bersendi syarak, telah membuat orang Melayu kehilangan pedoman yang benar serta cara bertindak yang amanah, sesuai dengan ajaran Islam. Kehadiran budaya dunia yang hedonis, sekuler, materialistik melalui berbagai media, telah membuat gerak mundur budaya Melayu, dari arah menuju sinar Islam yang cemerlang, berbalik kepada budaya yang vulgar, gemerlap hawa nafsu, memuja diri atau narsis serta jauh dari kesadaran kepada akhlak mulia. Ini berlaku, karena budaya global yang kapitalis munafik itu, hendak menjual apa saja yang dapat mendatangkan uang atau materi. Maka, dengan dalih industri pariwisata, berbagai budaya karut warisan kepercayaan Animisme-Hinduisme segera dipugar oleh para pejabat dan pemilik modal, agar mendapat jumlah kedatangan pelancong atau turis yang nanti diharapkan memperoleh uang. Apa akibatnya terhadap masyarakat Melayu, kepada akhlak dan perangai, bahkan terhadap alam semula jadi, hampir tak pernah diperhitungkan. Inilah yang menyebab-

38


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

kan, semula budaya Melayu akan bergerak kepada budaya amanah Tuhan, tapi segera menyimpang kepada budaya yang subhat, bahkan budaya kufur. Ketiga, keberadaan adat bersendi syarak yang pernah kokoh dalam masyarakat adat Melayu dengan perlindungan dari beberapa kerajaan Melayu yang memakai undangundang atau kanun yang islami, digerogoti oleh hukum dan undang-undang buatan negara yang menentang Syariah Islam, membuat sinar adat bersendi syarak jadi pudar. Saya punya dugaan kuat, ketiga kenyataan ini niscaya memberi pertimbangan yang kuat kepada Tenas Effendy, untuk memelihara kembali pantun Melayu. Dari sekian banyak budaya Melayu, pantunlah yang ternyata tetap bertahan di tengah arus kuat budaya dunia yang mencabar. Bagaikan pohon kayu yang lemah gemulai bertahan di tengah deras arus banjir yang kuat. Pantun juga terbukti telah memainkan peranan dalam segala dimensi kehidupan serta tingkat umur, sebagaimana ada pantun nasehat, pantun teka-teki, pantun adat, pantun tarekat, pantun anakanak, pantun orang muda serta pantun orang tua. Pantun merekam nilai luhur orang Melayu, kemudian menyampaikan panduan hidup adat bersendi syarak. Adat yang tunduk dan patuh kepada Syariah Islam, sebagai tajuk mahkota kehidupan. Pantunlah yang terbaik menyampaikan kata bersayap, agar terkesan indah lagi halus. Pantun amat sesuai dengan cara berpikir metaforik orang Melayu, sebagaimana kata Raja Ali Haji melalui ikat gurindamnya: “jika hendak mengenal orang yang berbangsa, lihat kepada budi bahasa�. Dengan pantun, orang Melayu mencoba membuat bahasa dengan perlambangan dan kiasan, meniru bahasa Alquran yang tiada tara. Kehadiran Tenas Effendy menyegarkan kembali pantun

39


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Melayu, telah menjadi bukti bahwa pantun memang budaya Melayu yang orisinal dan kokoh tertanam dalam kehidupan orang Melayu di Riau. Terhadap kegiatan ini Tenas punya jalan yang lapang. Tenas tampil bagaikan gudang pantun Melayu, sebab dalam tokoh ini sering hadir dalam berbagai gunak-ganik sosial dengan menampilkan pantun yang menarik. Tenas punya keunggulan dari pada tokoh pantun lainnya dalam beberapa perkara. Paling kurang ada lima kelebihan Tenas sebagai pewaris dan gudang pantun Melayu. Pertama, Tenas telah merekam pantun dalam perjalanan hidupnya yang sarat dengan berbagai upacara adat resam Melayu. Baik yang berlaku dalam kalangan bangsawan Melayu, maupun rakyat kebanyakan. Kedua, Tenas mampu mencatat pantun Melayu dalam berbagai medan kehidupan. Di samping itu tokoh kita ini dapat lagi melakukan ubah-suai terhadap berbagai pantun lama, sesuai dengan semangat hidup masa kini. Ketiga, Tenas ternyata dapat mengumpulkan pantun Melayu dari kalangan Melayu Muda (yang relatif kokoh menganut agama Islam) serta pantun dari Melayu tua, terutama Melayu Petalangan yang kaya dengan dunia fantasi. Keempat, Tenas Effendy dapat tampil sebagai gudang pantun Melayu, di samping mempersembahkan perbendaharaan yang dimilikinya secara historis, ia juga punya kemampuan yang handal menggubah pantun dalam setiap upacara kehidupan, baik upacara tradisional maupun upacara kehidupan baru masa kini. Kelima, tokoh ini berhasil mengembalikan pantun Melayu bersandar kepada Syariah Islam. Dan hanya dengan bersandar kepada nilai-nilai agama Islam yang terpancar dalam Alquran dan Sunnah Nabi Saw, pantun Melayu mampu menghadapi cabaran budaya dunia yang materialis munafik yang bisa menghancurkan hati

40


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

nurani orang Melayu. Dengan demikian kumpulan pantun Melayu Tenas Effendy, terutama yang dibukukan dalam Tunjuk Ajar Melayu, telah menyambung mata rantai sastra Melayu yang menjunjung akhlak mulia, mulai dari Hamzah Fansuri dengan Syair Perahu, diteruskan oleh Tun Sri Lanang dengan Sulalatus Salatin, yakni mutiara segala cerita, cahaya segala perumpamaan, bersambung pada pena Raja Ali Haji dengan Gurindam Duabelas, lalu dilanjutkan lagi dengan karya Tuan Guru Abdurrahman Siddik bin Muhammad Apip, Syair Ibarat Khabar Akhirat dan berlanjut pada abad ini dengan Tunjuk Ajar Melayu oleh Tenas Effendy. Inilah bukti ruh Islam dalam budaya Melayu, yakni, semangat hidup yang bersinar oleh akidah yang kokoh dan iman yang teguh. Inilah kekuatan batin yang membentengi para pengarang Melayu sehingga insya Allah terhindar dari tradisi penyair yang pembohong, sebagaimana telah diperingatkan oleh Allah Swt melalui Surah Asy-Syua’ara ayat 224-227 dalam Alquran.*** UU Hamidy Menulis sedikitnya 50 buah buku tentang Melayu. Peraih Seniman/Budayawan Pilihan Sagang 2007 ini mengajar di Universitas Islam Riau. Bermastautin di Pekanbaru.

41


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

42


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN VII

Suara dari Dua Pelabuhan (Puisi Badruddin Emce dan Mardi Luhung) Oleh Raudal Tanjung Banua BADRUDDIN Emce adalah penyair Indonesia kelahiran Kroya, Cilacap, 5 Juli 1962. Buku puisi lengkap alumnus Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman ini berjudul Diksi Para Pendendam (Akar Indonesia, 2012). Sebelumnya, ia sudah menerbitkan sebuah antologi “pendahuluan” yang lebih tipis, Binatang Suci Teluk Penyu (Olongia, 2007). Dikatakan “pendahuluan” lantaran puisi-puisi dalam Binatang Suci Teluk Penyu ikut melengkapi Diksi Para Pendendam. Penyair Indonesia yang lain, Mardi Luhung, lahir di Gresik, Jawa Timur, 5 Maret 1965. Puisi lengkap lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Jember ini terhimpun dalam buku Ciuman Bibirku yang Kelabu (Akar Indonesia, 2007). Sebelumnya, terbit dua buku puisinya yang lebih tipis, Terbelah Sudah Jantungku (1996) dan Wanita yang Kencing di Semak (2002). Pasca Ciuman Bibirku yang Kelabu, ia menerbitkan satu lagi antologi puisi

43


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

dan satu buku cerpen. Mardi Luhung memang sangat produktif, atau tepatnya, publikatif, sehingga karya-karyanya gampang dijumpai di koran Minggu yang kemudian terbit menjadi buku. Meski narasi di atas bersifat “teknis”, tapi kita tetap bisa mengambil hal-hal yang lebih esensial dari kedua penyair ini. Salah satu pintu masuknya adalah tempat kelahiran dan tempat tinggal mereka. Lebih dari sekadar tempat lahir atau menetap, sebuah tempat bagi seorang penyair memiliki makna sosiologis jika bukan estetis bahkan bisa jadi ideologis. Setidaknya, itu yang dipercayai HB Jassin menyangkut “tifa penyair dan daerahnya”. Maka melihat tempat kelahiran Badruddin dan Mardi Luhung dengan karakteristiknya masing-masing, saya kira cukup menarik. Satu di antara mereka lahir dan menetap di kota pelabuhan pantai utara, Gresik; satu lagi di kota pelabuhan pantai selatan, Cilacap. Makna Simbolik Lebih dari sekedar lokasi fisik, kedua tempat ini bermakna simbolik, khususnya ketika dihadapkan dengan historiografi Pulau Jawa. Pantai Selatan diasumsikan sebagai pedalaman, baik dalam situasi pelabuhan Cilacap yang mati suri seperti saat ini, maupun posisinya sebagai negara manca pada zaman Mataram. Sebaliknya, Pantai Utara menjadi pelintasan ramai kapal-kapal sejak dulu, apalagi dalam konteks Gresik yang terletak bersebelahan dengan Metropolis Surabaya, yang membuatnya hidup sampai kini. Susanto Zuhdi dalam Cilacap (1830-1942): Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa (Gramedia, 2002), bahkan mengutip ungkapan Dr J Thomas Lindblad, seorang ahli sejarah ekonomi, yang menyebut “Cilacap pelabuhan yang salah letak.” Zuhdi mengakui, umumnya pelabuhan di

44


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Pulau Jawa berada di Pantai Utara, mulai Panarukan di ujung timur, kemudian Surabaya, Gresik, Semarang, Cirebon, Batavia, hingga Banten di ujung barat. Itulah jalur pelayaran yang ramai, meski sekali waktu dalam sejarahnya pelabuhan di selatan pernah jaya, namun kembali surut; hal mana sama seperti dialami Padang dan Sibolga di Pantai Barat Sumatera. Adrian B Lapian dalam pengantar buku itu menambahkan pula bahwa pantai selatan identik dengan pedalaman, penuh mitos dan dianggap angker. Sementara itu, Oemar Zainuddin dalam Kota Gresik (1896-1916): Sejarah Sosial Budaya dan Ekonomi (Ruas, 2010) dengan percaya diri mengatakan bahwa keberadaan Gresik sudah disebut-sebut sejak zaman Majapahit. Gresik menjadi simpul penting perdagangan Nusantara dan internasional karena terletak di tempat yang strategis jalur rempah-rempah; masyarakatnya juga lebih terbuka, biasanya berbahasa ngoko dan jarang berbahasa kromo, apalagi kromo-hinggil—dan ini dipercaya mempercepat pergerakan perdagangan. Untuk memperkuat kedua pendapat tersebut, baik pula kita lihat catatan Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (Gramedia, 2005). Menurutnya, sejak lama pedagang asing hanya tertarik kepada kota-kota pelabuhan di Pantai Utara Jawa, dan baru di penghujung abad ke-17 garis Pantai Selatan mulai digambar. [....] Tapi tanpa sesuatu pun yang tepat mengenai topografi bagian pedalaman pulau tersebut.� Perbedaan dan Persamaan Pada latar sosiologis kedua pelabuhan itulah sajak-sajak Badruddin dan Mardi Luhung lahir. Lokasi tersebut berkorelasi dengan kebudayaan pesisir, meski yang satu lebih terbuka dan yang satu lebih tertutup. Dalam pengantar

45


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Ciuman Bibirku yang Kelabu disebutkan, “[...] puisi Mardi Luhung khas suara-suara pesisir yang berbicara secara terbuka, langsung apa adanya, carut-marut, riuh-rendah [...] ia dengan enak bilang tukang jagal, kelamin yang dikerat, mayat gembung, sang begal, kencing dan tai serta sederet ungkapan “kasar” lainnya, dengan logikanya sendiri: membentangkan panorama kehidupan (sosial) pesisir yang keras.” Memang, kenyataan seperti itu gampang ditemui dalam sajak Mardi. Kadang ia menceracau, berteriak, seolah begitu banyak persoalan yang hendak ia tumpahkan. Ceracauan itu membuatnya kuat dalam ekspresi. Simak misalnya petikan sajak “Kampungmu” ini: Dan lihatlah juga kulitnya, bagaimana mungkin kulit yang/semestinya coklat kuninglangsat disadap garam/tampak demikian sengit dengan biji rempelas yang bergesek-gesek?/”Akh, darah!”/Ya, darahlah yang dipintanya. Dan atas darah ini,/kampung yang ada di liang mulutmu pun tersedu/merah-tuak:/”Merah anyir, merah leher terbantai oleh api”// Pada Badruddin Emce, ungkapan-ungkapannya terasa lebih “ke dalam”, cenderung disurukkan, kadang berupa gumam yang lirih. Diksi Badruddin dipenuhi kata dasar tanpa imbuhan seperti gitu, baring, nutup, nulis, nimang, nahan, dan seterusnya. Atau, jika ada imbuhan, lebih berupa konsonan “Ng” dan sejenisnya yang membuat nuansanya menjadi “pedalaman” atau “ndeso”, misalnya: nggusur, ndekam, nggores, nggenangi, ngejutkan, nyenggol, nggugah, ngumpulkan, ndekatkan, dan seterusnya. Katakata kampung juga masuk dengan bebas seperti slametan, karaten, dhuwur, liwung, pinilih, dan seterusnya. Dengan diksi seperti itu, maka kita mendapatkan puisi yang lebih “nyantai” tapi tetap menggigit. Meski Mardi Luhung lebih terbuka dan Badruddin lebih

46


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

kontemplatif, namun bukan berarti latar pelabuhan atau budaya pesisiran tidak membekas dalam Diksi Para Pendendam. Hanya saja, jika Mardi Luhung lebih artikulatif, Badruddin lebih kalem, sekalipun yang ia gubah juga tak kalah “jorok”. Misalnya: Nulis halus dengan tangan kanan terbiasa/untuk cebok/tulang punggungku melengkung bakal patah.” Atau: Mulutku pun berdarah. Berdarah setiap pagi,/ hingga merokok di WC/. Kita bisa juga melihat perbedaan latar ini dari sisi produktifitas penyair, atau mungkin lebih tepat publisitas karya mereka. Mardi Luhung sebagaimana disinggung, sangat produktif mempublikasikan karyanya, seolah cerminan Gresik yang sibuk. Ia diburu dan bergegas. Akibatnya, sejumlah puisinya kadang kehilangan daya gugah, dan terjadi pengulangan tema maupun cara ungkap. Sebaliknya, Badruddin terkesan alon-alon kelakon, selayaknya pelabuhan Cilacap yang berhitung hati-hati atas barang dan kapal-kapal, sehingga ruang jeda atau kontemplasi masih bersisa di bait-bait sajaknya. Oya, sebelum lupa, tempat tinggal Badruddin sebenarnya tidak persis di pelabuhan (Kota Cilacap), tapi di kota kecil kecamatan bernama Kroya (Kabupaten Cilacap). Kroya yang berjarak sekitar 18 km dari Kota Cilacap itu, merupakan “pintu masuk” ke pedalaman Jawa-Banyumasan. Kota ini memiliki stasiun kereta api dan terletak tak jauh dari Buntu, di mana jalan bersimpang ke Jakarta dan Bandung. Meskipun begitu, hampir tiap hari Badruddin ada di Kota Cilacap karena ia bekerja sebagai PNS di sana. Jadi ada proses ulang-alik yang membuatnya kadang mendekat, kadang “berjarak” dengan panorama pelabuhan. Selalu ada saat ia kembali menjadi orang ndeso saat pulang ke rumah di Kroya. Saat-saat itulah saya duga ia bisa lebih tenang

47


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

merefleksikan laut dan pelabuhannya. Berbeda dengan Mardi Luhung yang tinggal langsung di jantung Pelabuhan Gresik. Jarak rumahnya dengan laut tidak jauh, hiruk-pikuk pelabuhan ibaratnya masih ia dengar sampai ke dalam tidur. Dalam kondisi tersebut, cara dan waktu ia berefleksi dengan suara-suara pelabuhan niscaya juga berbeda. Di samping memiliki perbedaan di sana-sini, khususnya dalam ekspresi dan cara memperlakukan diksi, kedua penyair ini seperti pengumpul kerang yang gemar memungut hal “remeh-temeh� buat dirangkai jadi kalung-puisi; kemudian sama-sama senang mendedikasikan kalung puisi itu kepada nama-nama yang dijumpai dalam keseharian. Akibatnya sejumlah nama yang kurang “puitik� atau bukan sosok yang signifikan, langsung mereka buatkan puisi sehingga secara referensial sulit dilacak urgensinya sebab sangat personal. Efeknya, tentu saja puisi dedikasi itu gagal berbicara banyak. Lebih dari itu, kesamaan utama mereka adalah spirit untuk menghayati dan menggali budaya pesisir, sehingga jika dicermati perbedaan-perbedaan ekspresi mereka justru berkorelasi dengan obsesi, dan mungkin juga visi mereka, khususnya dalam memaknai realitas (budaya) dua kota pelabuhan yang sangat berbeda karakteristiknya. Satu pelabuhan yang hiruk-pikuk di utara, satu lagi pelabuhan yang relatif sepi di selatan Pulau Jawa. Dan puisi-puisi mereka sedikit-banyak memantulkan realitas itu kepada kita, pembaca.*** Raudal Tanjung Banua Koordinator Komunitas Rumahlebah Yogyakarta

48


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN VIII

Seniman, Ramadan, dan Hari Raya Oleh Zuarman Ahmad IFEN Piul, kawan saya yang juga kawan Wahab yang kawan Taufik Ikram Jamil, mengeluh pening tujuh keliling dalam menghadapi hari raya. Ia menceracau sepanjang hari. Betapa tidak, sebagai seorang seniman, mana ada job pada bulan puasa ini; kawan saya yang pemusik tradisional Melayu ini biasa dapat job main musik pada kenduri orang nikah-kawin, jadi mustahil ada orang nikah-kawin dalam bulan puasa. “Kalau oghang ‘kawin’ banyak,” seluroh kawan saya yang seniman ini, “Tengoklah oghang ‘kawin’ yang tetangkap di televisi, oghang ‘kawin’ yang tetangkap Satpol PP, oghang beduo jantan betino bergerak-gerak dalam gelap di sudutsudut kawasan Bandar Serai tu, apa tidak oghang ‘kawin’ namonyo tu?” kata Ifen Piul kawan saya ini yang mulutnya tidak juga berhenti menceracau. “Carilah job lain!” kata Dantje kawan saya yang juga kawan Efen Piul, yang juga berarti kawan Wahab yang kawan Taufik Ikram Jamil. “Job apo lagi, Pak?” kata Ifen Piul kawan saya ini. “Nak diharap kawan kito yang pejabat, banyak pulo yang ber-

49


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

masalah di KPK, nanti kito pulo tebawak endong dan masuk penjaro pulo, siapo yang nak memberi makan anak bini? “Iye tak iye pulak,” kata Wahab kawan Taufik Ikram Jamil yang tiba-tiba muncul macam hantu. “Die begini tu Fen,” kata Dantje kawan saya yang juga kawan Ifen Piul. Seni, yang menyangkuti persoalan estetika, berkaitkelindan dengan “kemanusiaan”, yakni “keberdayaan dalam bertahan hidup”, pergulatan menghadapi kehidupan, lebih tepatnya “asap dapur” menurut orang Melayu. Jadi, seni adalah berbicara tentang kehidupan. Meskipun, sering ada ucapan bahwa: pemerintah semestinya memperhatikan kehidupan seniman; bangsa yang beradab adalah bangsa yang menghargai kebudayaan (tentu termasuk senimannya); dan ucapan-ucapan lainnya yang mungkin hanya untuk menyenang-nyenangkan seniman. Namun tak dapat dipungkiri, bahwa seniman sesungguhnya termasuk dalam “golongan” fakir atau miskin. Dalam dialog tentang “kemanusiaan” seniman, ditanyakan “mengapa seorang pelukis miskin?” misalnya, “karena lukisan yang terjual hanya sesekali tidak menutupi modal kreativitas apalagi untuk keberdayaan hidup.” Padahal, seorang seniman harus berjuang antara beban manifestasi estetika di pundaknya, dengan perjuangan “asap dapur” keperluan rumah-tangganya yang tidak dapat diukur menurut ilmu pasti. Kalau kita tengok dari sudut pandang ilmu fiqih, nampaknya sesuailah pandangan bahwa seniman termasuk paling kurang golongan “fakir”. Menurut imam Malik, “fakir” adalah seseorang yang memiliki harta namun tidak mencukupi untuk kebutuhan makan selama setahun, sementara pengertian “miskin” adalah seseorang yang tidak memiliki harta apapun. Sementara menurut Imam Abu Hanifah

50


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

mengartikan “fakir” dengan seseorang yang memiliki harta di bawah nishab atau batas pemenuhan kebutuhan hidup dari harta yang berkembang, atau sebatas nishab dari harta yang tidak berkembang; dan pengertian “miskin” menurut Abu Hanifah sependapat dengan imam Malik, yaitu seseorang yang tidak memiliki harta apapun. Sedangkan menurut imam Syafi’i dan imam Ahmad “fakir” adalah seseorang yang sama sekali tidak memiliki harta, atau memiliki sedikit harta atau penghasilan dari suatu pekerjaan namun tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup; sedangkan “miskin”, menurut Imam Syafi’i adalah seseorang yang memiliki harta atau penghasilan dari suatu pekerjaan namun tidak mencukupinya. Sementara menurut imam Ahmad, “miskin” adalah seseorang yang memperoleh harta atau penghasilan dari suatu pekerjaan yang dapat memenuhi sebagian besar atau setengah kebutuhan hidupnya. Jadi, seniman termasuk orang yang fakir, yakni paling kurang menurut Imam Malik penghasilannya tidak menentu, penghasilannya tidak dapat memenuhi keperluan makan selama setahun. “Iyo tu, Pak,” kata Ifen Piul tak sabar. Seniman, dalam strata ekonomi menurut saya setidaknya terbagi tiga: yaitu Seniman Job, Seniman Proposal, dan Seniman Elit. Seniman Job, yaitu seorang seniman yang hanya mengharapkan keperluan keuangan rumah-tangganya hanya dari job seni yang digelutinya, misalnya bermain musik mengiringi budak-budak besunat pun dilakukan, cuma yang tak tebuat mengiringi ratap kematian seperti “Oppari” di India, “Basing” dari suku Kajang Sulawesi, “Andung Ni Namabalu” nyanyian ratap kematian masyarakat Batak Toba di Balige Toba Samosir Sumatera Utara. Strata ekonomi seniaman yang kedua, Seniman Proposal, yakni seniman yang mengharapkan keperluan rumah-

51


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

tangganya dari berhasil tidaknya proposal yang diajukan, berkualitas atau tidaknya event kesenian yang diajukannya dalam proposal itu tak pentinglah, yang penting hasil materi yang didapatkan dari proyek proposal yang diajukan, dan yang terbayang dalam pikirannya: nak mengganti sepeda dengan sepeda-motor, nak mengganti sepeda-motor dengan mobil, bagi yang punya mobil tak tahulah apa yang ada dalam benak mereka; dan yang ketiga strata ekonomi Seniman Elit, yakni seniman yang berada di ruang lingkup yang juga elit, misalnya SPN @ seniman pegawai negeri, SP yaitu seniman pejabat yang mengaku seniman, tokoh-tokoh yang pura-pura merangkul seniman dan menjadi pembina kesenian. Saya yang dengan khusuk mendengar semua celoteh dan ceracau Ifen Piul dan kawan-kawan saya itu, dan dengan hikmat menangkap dan merekam esensi semua pembicaraan, yang saya pikir muaranya kepada kesulitan finansial atau ekonomi seniman dalam menghadapi keperluan hari raya, tentu untuk anak dan bini. Momen ini menjadi inspirasi bagi saya untuk membuat proposal kepada calon gubernur Riau untuk menangkap satu sisi persoalan seni dan seniman menjadi salah-satu bagian kampanye mereka berupa solusi pemecahan masalah yang dibicarakan panjang-lebar oleh kawan saya Ifen Piul, yang juga kawan Wahab yang kawan Taufik Ikram Jamil, biarpun saya akan disebut sebagai Seniman Proposal menurut pendapat Ifen Piul di atas. Lantaklah! *** SPN Zuarman Ahmad Komposer, konduktor, budayawan Riau penerima Anugerah Sagang tahun 2009, Anugerah Seniman Pemangku Negeri Dewan Kesenian Riau (DKR), anugerah seniman tradisional Provinsi Riau.

52


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN IX

Hari Puisi Indonesia, Mengenang Binatang Jalang Oleh Musa Ismail PADA suatu ketika, Chairil Anwar pernah berkata kepada isterinya, mengenai cita-citanya. ‘’Gajah, kalau umurku panjang aku akan jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,’’ katanya. (Panggilan kesayangan terhadap isterinya (Hapsah Wiriaredja) adalah Gajah karena badannya gemuk). ‘’Ah, kalau umurmu panjang, kamu bakal masuk penjara,’’ gurau isterinya. Kemudian, Chairil melanjutkan lagi. ‘’Tapi, kalau umurku ditakdirkan pendek, anak-anak sekolah akan berziarah ke kuburku menabur bunga,’’ demikian katanya. *** Hari itu, 26 Juli 1922, Chairil Anwar lahir. Penanggalan kelahirannya ini, menjadi penanggalan bersejarah sehingga lahirlah Hari Puisi Indonesia (HPI) yang diprakarsai penyair dan novelis Rida K Liamsi dan Agus R Sarjono. Penetapan hari kelahiran Chairil Anwar sebagai HPI sungguh berdasar

53


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

jika kita lihat ketotalannya di dalam dunia kepenyairan dan kemerdekaan berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi lebih hidup, merdeka, liar, dan mampu membuncahkan nasionalisme. Hari itu, 24 April 1949, Chairil ‘’binatang jalang’’ Anwar telah ‘’pergi’’ meninggalkan dunia fana di tengah gerimis siang hari. Seorang penyair agung yang pernah ada di tanah air. Kalau disebut dan dipertanyakan siapakah Chairil Anwar, orang cepat-cepat menjawab sekaligus membacakan puisi berjudul ekspresionis ‘’Aku’’, yang dilahirkannya dalam usia baru sekitar 21 tahun. ‘’Aku mau hidup seribu tahun lagi,’’ kata si binatang jalang itu dalam ekspresi keakuannya pada 1943. Kedewasaannya memilih diksi sehingga menghasilkan larik-larik mapan (establishment) dalam puisi-puisinya. Penulis ‘’Derai-Derai Cemara’’ ini juga dianggap sebagai pelopor Angkatan ’45 dalam priodesasi kesusastraan Indonesia. Dalam kurikulum lembaga pendidikan formal, para pelajar diperkenalkan dengan penyair ini dan karyanya. Sangkaan Chairil memang benar. Anak-anak sekolah akan senantiasa ‘’berziarah’’ melalui karya-karyanya. Di dalam kelas, Chairil diperkenalkan oleh para guru kepada pelajar sebagai penyair yang vitalitas. Bukan hanya sebatas perkenalan, tetapi juga melakukan analisis terhadap karya sastranya. Kita tidak hanya membicarakannya melalui karya-karya, tetapi juga mempergunjingkan lewat biografi-nya. Itulah bukti nyata seperti apa yang dikatakan oleh Scholes, ’’Cogito ergo sum’’. Artinya, ‘’Akulah tulisan yang kuhasilkan, akulah tulisan itu sendiri’’. Chairil telah berkreativitas di dunia sastra. Beliau dapat disebut orang yang telah mengembangkan pendapat ‘’cogito ergo sum’’. Dari larik-larik puisi ‘’Aku’’, tergambar vitalitas dan kejalangan Chairil. Dia merupakan

54


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

simbol seniman besar Indonesia. Sapardi Djoko Damono pernah menulis tentangnya dengan judul ‘’Chairil Anwar Kita’’. Dalam tulisannya itu dikatakan, bukan seperti Rustam Effendi, Sanusi Pane, atau Amir Hamzah. Chairil dianggap memiliki seperangkat ciri seniman khusus, yaitu: tidak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan. Dari ciri-ciri itulah, lahir semacam anekdot yang berlaku untuk semua seniman. Masyarakat beranggapan bahwa seniman tidak berminat mengurus jasmaninya dan sering tergoda dengan khayalannya: bohemian. ‘’Aku mau hidup seribu tahun lagi’’, kata Chairil. Tetapi sayang, dia meninggal dalam usia relatif muda. Chairil mewariskan semboyan masa depan; suatu masa yang akan kita lalui bersama untuk mencapai tujuan ke arah suatu perubahan. Chairil meninggalkan kita setelah waktu kepenyairannya menggapai puncak, tetapi ‘’kerja belum selesai/belum apa-apa,’’ itu katanya. Dengan usia yang muda, dia telah mencapai titik kulminasi kepenyairannya. Situasi dan kondisi ini memungkinkan kita untuk melakukan pembahasan lebih intensif tentang keberadaanya di dunia seni (baca: sastra). Tanpa kita sadari, kadang-kadang masyarakat awam mengutip beberapa larik puisi Chairil. Kutipan larik puisinya dihidupkan kembali di atas mimbar pidato atau spandukspanduk. Apalagi pada zaman penjajahan Jepang. Ketika itu, negara kita berjuang keras untuk menumpas penjajahan. Sekarang pun, semboyan itu merupakan kalimat-kalimat mutiara yang sering dimunculkan. Kita sering mendengar kalimat ‘’Aku masih tetap sendiri’’, yaitu merupakan kalimat penerimaan dari seseorang yang sedang menjalani fase percintaan (puisi berjudul ‘’Penerimaan’’). Seruan ‘’Merdeka!’’

55


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

tergambar dalam puisinya yang bertajuk ‘’Merdeka’’, yang menggambarkan ekspresi dan keinginan hidup dalam alam kebebasan. Merdeka dari semua belenggu kehidupan. Larik yang lain adalah ‘’Hidup hanya menunda kekalahan’’ yang terdapat dalam puisi ‘’Derai-Derai Cemara’’. Kekalahan terakhir adalah kematian. Hanya semangat kehidupanlah yang dapat memperlambat datangnya kematian. ‘’Sekali berarti sudah itu mati’’, merupakan larik yang berpretensi agar manusia berbuat sesuatu yang penuh berarti dalam kehidupan sebelum dijemput maut. Masih banyak larik-larik puisi Chairil yang sempat dijadikan semboyan. Larik-larik puisinya dicabik-cabik dari konteks sebenarnya secara utuh, yang disesuaikan dengan objek pembicaraan. Tidak heran jika Agus R Sarjono berpendapat bahwa nama Chairil yang besar nampaknya lebih dimungkinkan oleh sajak-sajaknya yang berjenis sastra mimbar seperti ‘’Aku’’, ‘’Catetan Tahun 1946’’, ‘’Perjanjian dengan Bung Karno’’, dan ‘’Kerawang Bekasi’’ (saduran dari sajak ‘’The Young Dead Soldiers’’ karya Archibald MacLeish). Sastra Mimbar, kata Agus, ditandai beberapa ciri, yaitu temanya cenderung merupakan tema-tema zaman. Puisi-puisi dalam jenis Sastra Mimbar cenderung berisi akupublik, berlatar sosial yang dahsyat seperti revolusi, perang, dan sejenisnya. Sikap setia Chairil terhadap dunianya sangat jelas tergores dalam puisi-puisi dan surat-suratnya yang ditujukan kepada H.B. Jassin. Kesetiaan ini juga merupakan suatu keistimewaan Chairil karena tidak sedikit penyair yang justru terputus dari kesetiaannya. Dunia yang selalu menjadi teman setia ‘’binatang jalang’’ ini adalah dunia kepenyairannya sebagai seniman (sastrawan sejati). Sikap selalu saja berubah. Suatu kesetiaan seperti yang telah ditancapkan Chairil memang cukup sulit untuk

56


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

mencarinya. Ini berarti bahwa telah tertanam suatu prinsip dalam kepribadian Nini (begitu panggilan akrab yang diinginkan Chairil, pen). Sebagai manusia, senantiasa menginginkan kesetiaan. Namun, sikap ini terkadang bertolak belakang dengan realita kehidupan sosial. Sikap idealis sering bertembung dengan keadaan nyata dalam kehidupan. Ternyata, Chairil memang istimewa. Kesetiaannya itu dapat kita lihat dalam suratnya kepada H.B. Jassin berikut. Jassin, dalam kalangan kita setengah-setengah, bersimaharajalela benar. Kau tentu tahu ini. Aku memasuki kesenian dengan sepenuh hati. Tapi, kini lahir aku yang hanya bisa mencampuri dunia kesenian setengah-setengah pula. Tapi, untunglah batin seluruh hasratku dan minatku sedari umur 15 tahun tertuju ke titik satu saja, kesenian. ……………………………………………….. Chairil Anwar, dalam perjalanan di Jawa Timur (8 Maret 1944) Isi surat Chairil tersebut telah memperlihatkan kepada kita tentang sikap kesetiaannya. Kesetiaannya sebagai seorang yang meminati dunia kesenian. Kemudian, di hari yang sama, tercatat Kartu Pos, 8 Maret 1994, Chairil melayangkan sepucuk surat lagi kepada kritikus sastra itu. Isinya sebagai berikut. Jassin, tidak Jassin, aku tidak akan kembali ke prosa seperti dalam pidato di depan Angkatan Baru dulu! Prosa seperti itu sebenarnya membubung, mengawang tinggi saja, karena keintensiteitan menulis serasa aku mendera jadinya, tetapi tiliklah setelitinya sekali lagi, dengan prosa seperti itu aku tidak sampai ke perhitungan. Sedangkan maksudnya aku akan bikin perhitungan habis-habisan dengan begitu banyak

57


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

di sekelilingku. …………………………………………… Prosaku, puisiku juga, dalamnya tiap kata akan kugali korek sedalamnya, hingga ke kernwoord, ke kernbeeld. (sudah kumulai dengan sajak-sajak penghabisan, ‘’Di Depan Kaca’’, ‘’Fortisimo’’, dll) …. Puisi memang telah menjadi pilihan terakhir Chairil. Baginya, prosa dalam arti sebenarnya adalah banyak penyimpangan dari batinnya sebagai penyair. Prosa telah mendera batinnya dan itu sangat dirasakan oleh dirinya sendiri. Karena itu, dia mengatakan kepada Jassin bahwa prosanya sama dengan puisi atau puisinya sama dengan prosa. Melalui puisi, Chairil menggali kehidupan manusia dengan ‘’cangkul’’ kata. Pernyataan Chairil memang nyata tercermin dalam sikapnya sebagai penulis. Dia memperlihatkan aktivitas dan kreativitasnya di bidang puisi secara maksimal jika dibandingkan dengan prosa. Keagungan namanya, berkat puisi-puisi yang telah dilahirkan dari resa dan minatnya sejak berusia lima-belas tahun. Dalam pandangannya, puisi merupakan lapangan yang lebih khas dan pas buat batin seorang penyair seperti dirinya. Dengan sikap setia ini, Chairil telah dibawa angin kepiawaiannya menukilkan lariklarik yang dewasa. Dalam kepiawaiannya sebagai penyair, tidak ada kerja asal-asalan dalam menggubah kata-kata. Pilihan kata (diksi) sering menjadi tumpuan utamanya dalam menulis puisi. Ketika Chairil melahirkan ‘’Aku’’, banyak sekali coret-moret perkataan yang dianggapnya kurang sesuai dengan kepribadian dan ekspresi yang diinginkannya. Bagi Chairil, puisi merupakan dunianya. Keseimbangan antara pernyataan dan perbuatan dihasilkannya secara

58


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

terserah dalam salah satu puisinya yang berjudul ‘’Rumahku’’ (27 April 1943). Mari kita simak kesetiaan ‘’binatang jalang’’ dalam dunia puisinya. Rumahku dari unggun-timbun sajak/Kaca jernih dari luar segala nampak//Kulari dari gedong lebar halaman/Aku tersesat tak dapat jalan//Kemah kudirikan ketika senjakala/ Di pagi terbang entah ke mana//Rumahku dari ungguntimbun sajak/Di sini aku berbini dan beranak//Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang/Aku tidak lagi meraih petang/ Biar berleleran kata manis madu/Jika menagih yang satu// Dalam ‘’Derai-Derai Cemara’’ Chairil berkata. hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah Si ‘’Binatang Jalang‘’ sudah menyerah. Ia pergi dengan meninggalkan reputasi; mulai dari anak kurang ajar sampai pada pencuri. Ia adalah seorang bohemian. Banyak orang mengira bahwa ia adalah seorang petualang kumuh. Tidak. Chairil selalu berpakaian rapi. Kerah kemejanya selalu kaku karena dikanji, bajunya senantiasa disetrika licin. Ia bahkan boleh dikatakan dandy. Orang ingat pada matanya yang merah. Ia tidak mengerikan. Ia adalah seorang periang dan seorang sahabat yang baik (Asrul Sani dalam ‘’Derai-Derai Cemara’’ : xx). Si ‘’Binatang Jalang’’ memang sudah menyerah. Selain reputasi, kepergiannya pun telah meninggalkan kesetiaan. *** Chairil Anwar lahir di Medan, 26 Juli 1922. Ayahnya bernama Toeloes dan ibunya adalah Saleha. Kedua orang-

59


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

tuanya berasal dari Sumatera Barat. Dia meninggal pada usia 26 tahun 9 bulan. Isterinya bernama Hapsah Wiriaredja, lahir di Cicuruk, Sukabumi, pada 11 Mei 1922. Kedua orangtua isterinya berasal dari Jawa Barat. Isterinya bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan hingga pensiun, meninggal dalam usia 56 tahun (9 Mei 1978). Dalam keluarga, panggilan akrab Chairil Anwar adalah Nini. Kepada isterinya, Chairil berpesan begini, ‘’Eva jangan diajari panggil aku papa, tapi Nini, atau Chairil saja.’’ Chairil Anwar hanya meninggalkan satu anak perempuan bernama Evawani Alissa. Ayahnya, Toeloes, berasal dari kenegerian Taeh, 50 Kota (Sumbar), yang bekerja sebagai pamongpraja di Sumatera Utara. Pada zaman revolusi kemerdekaan, ayahnya menjadi Bupati Indragiri, Keresidenan Riau. Sedangkan ibunya, berasal dari Koto Gadang (Sumbar), yang masih memiliki pertalian keluarga dengan ayah Sutan Sjahrir. Masa kanak-kanak hingga masa remaja Chairil dihabiskan di kota kelahirannya, Medan. Dia masuk sekolah Belanda HIS (Hollands Inlandsche School, setingkat SD). Di sana, Chairil kecil sudah menampakkan diri sebagai siswa cerdas dan berbakat dalam menulis. Kemudian, Chairil melanjutkan sekolahnya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SLTP). Ketika di kelas dua, pada usia 19 tahun, Chairil hijrah ke Jakarta mengikuti ibunya, sebagai protes terhadap ayahnya yang menikah lagi dan bercerai dengan ibunya. Karena kesulitan ekonomi pada masa kolonial Jepang tahun 1942, akhirnya Chairil putus sekolah. Di masa putus sekolah itu, Chairil tidak putus belajar. Di Jakarta, dia mengisi waktunya dengan membaca sebanyak-banyaknya karya sastra Indonesia, Belanda, Jerman, Inggris, Amerika, dan berbagai terjemahan sastra dunia. Sebagai pelajar MULO, otomatis Chairil menguasai

60


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

tiga bahasa asing, yaitu Belanda, Inggris, dan Jerman secara aktif. Bahasa daerah yang dikuasainya adalah bahasa Minang. Ketiga bahasa asing inilah yang mengantarkan Chairil pada karya-karya sastrawan dunia sebagai rujukan yang berhasil disadur dan diterjemahkan. Keberhasilannya menyadur dan menerjemahkan karya puisi dan cerpen Andre Gide, John Steinbeck, Rainer Maria Rilke, Ernest Hemingway, W.H. Auden, Conrad Aiken, John Cornford, Hsu Chih-Mo, Archibald Macleish, Willem Elsschot, H. Marsman, Edgar du Perron, J. Slauerhoff, dan lain-lain, telah menyudutkan Chairil pada klaim kritikus sastra sebagai plagiator, penyadur, atau penerima pengaruh berat dari karya-karya itu. Chairil semakin memperlihatkan kematangannnya sebagai penyair yang menyerahkan hampir seluruh perjalanan kehidupannya dengan penuh kesetiaan untuk sastra. Di antara kredo penciptaan puisinya yang sangat menarik adalah,’’Puisiku tiap kata akan kugali-korek sedalamnya hingga ke kernwoord, ke kernbeeld’’. Dalam Pidato Radio tahun 1946, Chairil menegaskan kembali pendapatnya, bahwa sebuah sajak (puisi) yang menjadi adalah suatu dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan oleh si penyair. Tiga kumpulan puisi Chairil, yaitu Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949), atau Tiga Menguak Takdir (1950—kumpulan puisi bertiga dengan Asrul Sani dan Rivai Apin), merupakan sejumlah puisi yang selama bertahun-tahun hidup dan memompakan antusiasme dalam sejarah sastra Indonesia, sekaligus referensi yang telah memasuki lubuk teks dunia pendidikan dan bidan kajian sastra. Chairil juga menjadi bagian tersendiri dalam kajian atau penelitian mengenai sastra yang ditulis sastrawan Indonesia. Terjemahan puisinya dalam bahasa Inggris adalah Selected Poems of Chairil

61


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Anwar (1962) dan The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar (1970) oleh Burton Raffel, The Complete Poems of Chairil Anwar (1970) oleh Liauw Yock Fang, dan dalam bahasa Jerman adalah Feuer und Asche oleh Walter Karwath. Nama Chairil Anwar mulai dikenal di lingkungan seniman dan budayawan Jakarta ketika ia berusia 21 tahun 1943. Pada masa itu, ia sering datang ke kantor redaksi majalah Pandji Poestaka mengantarkan puisi-puisinya. Pergaulannya dengan para sastrawan dan budayawan senior makin luas ketika ia kerap muncul di Keimin Bunka Shidoso, pusat kebudayaan yang diprakarsai oleh tentara pendudukan Jepang. Chairil sempat bekerja menjadi redaksi majalah Gema Suasana (1948). Ia hanya bertahan selama tiga bulan di sana (Januari-Maret), kemudian keluar dan bekerja di mingguan berita Siasat. Di sana, ia menjadi anggota redaksi ruang kebudayaan Gelanggang bersama Ida Nasoetion, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Dia salah seorang pemikir yang memberikan kontribusi lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang. Untuk menghormati kepenyairan Chairil, Dewan Kesenian Jakarta memberikan Anugerah Sastra Chairil Anwar, pertama kepada Mochtar Lubis di tahun 1992 dan kedua kepada Sutardji Calzoum Bachri tahun 1998. Chairil menikah dengan Hapsah Wiradiredja, 6 September 1946. Putri mereka satu-satunya adalah Evawani Alissa, lahir 17 Juni 1947. Eva tamatan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, bekerja sebagai notaris di Jakarta. Chairil Anwar cukup lama mengidap penyakit paru-paru. Pada akhirnya, di usia 26 tahun 9 bulan, beliau meninggal dunia. Warisan karyanya tidak terbilang besar, yaitu 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Namun, dia telah mampu mengilhami kita untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan estetika dalam

62


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

bahasa Indonesia yang penuh tenaga.. Seperti memenuhi makna yang profetik dalam bait puisinya: di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin, penyair utama ini meninggal pada 28 April 1949 dan dikebumikan di Pemakaman Karet.*** Musa Ismail Sastrawan Riau yang aktif dalam aktivitas tulis menulis. Karya-karyanya dimuat di berbagai media lokal dan nasional. Saat ini tercatat sebagai guru SMAN 3 Bengkalis.

63


64


BAGIAN X

Sarongge; Mengembara ke Negeri Suram Oleh Hang Kafrawi PERISTIWA dalam karya sastra merupakan peristiwa yang diunggah dari peristiwa yang terjadi di kehidupan manusia (realita). Walaupun demikian, peristiwa dalam karya sastra dirangkai dengan imajinasi pengarang; menambah, mengurang, sehingga karya sastra tersebut memunculkan keterkejutan; keasyikan untuk terus menelusuri peristiwaperistiwa yang dibentangkan di dalam karya sastra tersebut. Memang pada mula munculnya teori mimesis yang diperakasai Plato, meletakkan karya sastra sebagai tiruan yang tidak bermanfaat. Plato menjelaskan bahwa karya sastra (karya seni) hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang kenyataan dan tetap jauh dari kebenaran. Aristoteles mencoba meluruskan pendapat Plato dan mengatakan bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif menyuguhkan kenyataan lebih memiliki pandangan yang khas, sehingga menikmati karya seni (membaca karya sastra), manusia dapat mengenal

65


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

dirinya lebih dekat lagi. Karya sastra (karya seni) seperti cermin yang memperlihatkan wajah kita. Kita dapat mengamati seluruh wajah, sehingga kita benar-benar mengenalinya. Dalam proses mengenali diri inilah, kita mampu mengarifi wajah kita; mana yang harus didandan dan mana tidak perlu didandan. Pantulan dari cermin inilah menggugah rasa sekaligus membangkitkan semangat untuk berjuang mengarungi kehidupan. Berangkat dari pandangan Aristoteles, saya mencoba melayari perasaan dan pikiran menelusuri novel Sarongge karya Tosca Santoso. Dengan membaca novel ini, ada banyak peristiwa yang saya tidak ketahui menyembul seperti ‘kobaran api’, membakar rasa keprihatinan terhadap bangsa ini, terutama tentang hutan dan perjuangan anak manusia untuk menyelamatkannya. Hutan menjadi “bahan” utama dalam novel Sarongge ini. Bicara tentang hutan, berbagai masalah menyurak bagaikan semburan air bah yang tertahan cukup lama. Diskriminasi, kesewenang-wenangan, kekerasan, intimidasi, kekuasaan, kasih-sayang, cinta, keharmonisan, kepedulian, perjuangan, menjadi perekat cerita novel Sarongge ini. Novel setebal 357 halaman ini, membawa kita ke pelosok-pelosok hutan yang ada di nusantara ini dengan berbagai permasalahannya, dan kita juga disuguhi dengan “melodi cinta” sepasang anak manusia yang menggetarkan jiwa. Peristiwa hutan dan permasalahannya, dibentang cukup lengkap. Tosca Santoso memahami betul masalah ini. Ini tidak terlepas dari profesi Tosca sebagai wartawan dan juga pencinta alam. Inilah yang menguntungkan bagi seorang sastrawan sekaligus wartawan, ia memiliki kepekaan terhadap kejadian sekitarnya dengan data yang lengkap, sehingga karya sastra yang diciptakannya pun memuat data-

66


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

data yang lengkap dan penuh rasa. Menelusuri (membaca) novel Sarongge dari awal sampai akhir, memang memplotannya biasa-biasa saja. Pembaca tidak dipusingkan dengan plot yang rumit. Plot novel ini mengalir seperti air, dari perjumpaan tokoh perempuan (Karen) dengan tokoh lelaki (Husin) sampai mereka berumah tangga dan dikaruniai dua anak. Sebagai pembaca yang berkehendak agar hubungan dua anak manusia ini normal, “dikacaukan” oleh pengarang dengan menciptakan jarak di antara keduanya. Karen sebagai aktivis pembela lingkungan hidup, sesuka hati meninggalkan Husin sendirian. Di sinilah kejelian Tosca membangun ketegangan emosi pembaca. “Kenormalan” hubungan sepasang kekasih “ditabrak” sehingga pembaca ingin mengikuti terus kelanjutan ceritanya. Di tengah keinginan pembaca menyatukan sepasang kekasih inilah, permasalahan-permasalahan hutan yang tidak pernah ada ujungnya dibentangkan, sehingga pembaca pun “berkemah” pada peristiwa perjuangan aktivis pembela alam. Perjuangan dengan keberanian membuka mata pembaca, bahwa hutan-hutan di negeri ini harus diselamatkan dari keserakahan pemilik modal. Di sinilah masalahnya, pemerintah kita tidak berpihak kepada rakyat. Bukan Cinta Biasa Sarongge adalah suatu kampung yang terletak di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Di sinilah bermula kisah yang ditulis oleh Tosca Santoso. Pertemuan antara tokoh Karen dan Husin, teman sewaktu kuliah di IPB, membuka peristiwa-peristiwa yang menakjubkan. Peristiwa yang membuat pembaca menarik nafas panjang disebabkan pengorbanan dan perjuangan antara dua tokoh sentral ini.

67


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Husin pemuda kampung Sarongge, setamat kuliah mengabdikan diri di kampungnya. Ia bertekat dengan ilmu dimilikinya membantu masyarakat yang hidup dalam kemiskinan, agar lebih baik lagi. Husin pun membuka kebun dan memberi contoh dengan mempraktikkan langsung ilmunya. Sesuatu yang jarang terjadi di zaman sekarang ini. Tokoh Husin memerlihatkan bahwa perjuangan bisa dilakukan dengan menjadi petani di kampung dan mampu membuka peluang-peluang bagi petani lainnya. Karen, tokoh perempuan aktivis lingkungan hidup, tidak pernah lelah memperjuangkan keberadaan hutan yang semakin dikesampingkan. Menyelamatkan hutan dari keserakahan pemiliki modal merupakan jalan hidup Karen. Karen tidak pernah mengenal kata menyerah, ia terus mengembara dari satu daerah ke daerah lain di negeri ini untuk membela hak rakyat atas hutan mereka. Pengembaraan Karen inilah membawa ia berjumpa kembali dengan Husin di Sarongge, kampung yang dijadikan program penanaman hutan kembali oleh kelompok Green Radio. Pertemuan ini memunculkan benih cinta dalam diri Husin. Rupanya Karen juga memiliki perasaan yang sama, tetapi sebagai aktivis lingkungan hidup, Karen harus membagi rasa cintanya kepada Husin dengan cinta terhadap hutan. Terjadilah percintaan jarak jauh, karena Karen tidak bisa menetap di suatu tempat. Di mana ada masalah mengenai hutan, di situlah Karen berada. Percintaan ini manarik. Hal ini disebabkan di antara rasa rindu kedua anak manusia ini, terjalin pemikiran-pemikiran rasa cinta terhadap Bumi ini. Karen dengan hutannya menjelaskan kepada Husin melalui pesan facebook atau SMS, mengenai keberadaan hutan di negeri ini yang terabaikan. Kepentingan ekonomi menjadi alasan pemerintah yang

68


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

ditunggangi pemiliki modal menggarap hutan dengan sesuka hati. Kesewenang-wenangan ini melahirkan konflik antara pemerintah atau pemilik modal dengan rakyat. Peristiwaperistiwa konflik inilah yang selalu dikabarkan oleh Karen kepada kekasihnya, Husin. Husin sebagai pemuda kampung yang sudah bertekat menjadi petani di kampungnya, senantiasa mendukung apa yang dilakukan Karen. Walaupun memendam rindu yang paling dalam disebabkan jarak, namun Husin dengan tegar menyemangati Karen. Bagi Husin aktivitas yang dilakukan Karen merupakan perwujudan cinta mereka sebagai anak bangsa yang rela mengorbankan apa, termasuk cinta mereka. Jalinan cinta antara Husin dan Karen, seperti hutan dan tanah; saling mengisi, saling membutuhkan. Kehendak cinta menjadi kekuatan mengarungi kehidupan ini. Karen dengan tegar melakukan perlawanan untuk menjaga kelestarian hutan, tersebab Husin selalu menyemangatinya. Sementara Husin semakin kokoh berdiri sebagai petani dengan penemuan-penemuan terbarunya untuk memanjakan Karen. Husin menjadi “rumah� bagi Karen, sementara Karen menjadi cahaya bagi Husin. Untuk itulah, Husin tidak pernah menghalangi apa yang dilakukan oleh Karen dengan aktivitas membela hutan, walau terkadang sepi menyelimutinya. Ditinggal pergi, menunggu kepulangan Karen dari suatu tempat, menjadi sesuatu yang biasa bagi Husin. Husin sadar bahwa di antara cinta mereka, ada cinta untuk negeri ini. Kesabaran Husin ditinggal pergi dan menunggu Karen terus berlangsung di saat mereka berumah tangga dan dikaruniai 2 orang anak. Husin sudah terbiasa menunggu, sementara Karen tidak bisa tinggal diam melihat hutan di negeri ini terancam punah. Menyelamatkan hutan bagai Karen adalah menyelamatkan kehidupan di muka bumi ini,

69


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

dan sama juga seperti menyelamatkan keluarganya. Penantian Husin akhirnya terhempas, ketika mendapat kabar bahwa Karen pergi selama-lamanya. Karen meninggal dunia di hutan Papua setelah timah panas tentara bersarang di tubuhnya. Perih memang, namun Husin masih tetap tegar. Kematian Karen membela keberadaan hutan adalah demi keberlangsungan kehidupan dunia ini. Pemerintah Tidak Berpihak Kepada Rakyat Hutan merupakan paru-paru dunia, namun paru-paru dunia ini diabaikan keberadaannya tersebab kerakusan yang merajalela. Novel Sarongge memperlihatkan bahwa bagaimana kerakusan manusia penyebab punahnya hutan di negeri ini. Berdalih menyejahterakan rakyat dengan ekonomi, rakyat yang dikorbankan. Dari novel ini, pembaca akan memahami bagaimana kepentingan pengusaha yang disokong penguasa, membabat hutan yang ada di negeri ini. Hak rakyat, hukum-hukum adat mengenai hutan, selalu dikangkangi. Penguasa dalam hal ini pemerintah, tidak berpihak kepada rakyat. Pemerintah dengan semena-mena, tanpa ada berpikir panjang, mengeluarkan izin untuk penguasa mengelola hutan. Dengan konsep ekonomi, tentu saja pengusaha hutan tidak mau rugi, namun membabat hutan sesuka hati untuk keuntungan yang tiada peri. Rupanya di negera kita cintai ini, hutan di masing-masing daerah, menjadi sumber kekayaan yang luar biasa. Untuk memperoleh kekayaan yang melimpah ruah, keberadaan masyarakat terabaikan. Demi ambisi penguasa, hutan selalu menjadi sasaran mewujudkan mimpi penguasa yang ditunggangi pengusaha. Terjadilah konflik-konflik yang mengiris hati di negeri yang kita cintai ini.

70


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Dari tokoh Karen yang tergabung dalam Ksatria Pelangi, di novel Sarongge ini, pembaca dikabarkan permasalahanpermsalahan hutan yang tidak pernah selesai. Perjuangan rakyat yang mendapat halangan pihak keamanan, baik polisi maupun tentara yang mendapat perintah menjaga keamanan kepentingan pengusaha hutan oleh pemerintah, dan pada akhirnya rakyat selalu dikalahkan. Novel ini menceritakan kepada kita, bahwa perjuangan untuk menjaga hutan di negeri ini selalu mendapat halangan yang berat. “Mungkin orang serakah, karena takut miskin� tulis Husin melalu SMS ke Karen. Keserakahanlah punca sehingga keberadaan hutan terancam, dan yang menjadikan, rakyat membela keberadaan hutan selalu dikorbankan oleh keserakahan. Novel ini juga menjelaskan bahwa perjuangan rakyat untuk membela hutan mereka, bukan ada kepentingan lain, selain kepentingan hidup mereka. Karen memperlihatkan bahwa ia berjuang tanpa henti bukan untuk kepentingannya pribadi, tetapi untuk kepentingan orang banyak. Karen rela meninggalkan orang yang ia cintai, demi kehidupan di muka bumi ini. Namun pemerintah menganggap mereka yang membela kehidupan orang banyak ini, sebagai pengkhianat dan harus dimusnahkan. Kematian Karen menyiratkan bahwa untuk membela orang banyak, kematian tidak pernah ditakutkan. Novel ini juga mengajak kita mengembara ke daerahdaerah konflik disebabkan hutan, antara pembela hutan dengan pemilik keserakahan. Rupanya negeri ini memang negeri suram dengan menelantarkan kepentingan orang banyak demi segelintir orang yang memiliki kantong tebal. Mereka bisa membeli apa saja, termasuk membeli hutan. Adakah Karen-karen lain yang akan muncul? Novel Sarongge ini membangkitkan semangat kita mencintai hutan,

71


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

walaupun berhadapan dengan kekuasaan.*** Hang Kafrawi Ketua Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Unilak, dan juga mengajar di STSR. Selain sastra, Hang Kafrwai juga berkecimpung di dunia teater, sekarang ia menjadi Ketua Teater MATAN

72


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN XI

“Suara Perangkat� dan Musik Oleh Bayu Arsiadhi TAK dapat dipungkiri lagi, kita masyarakat yang hidup di era modern ini dianggap sebagai konsumen informasi. Bila kita lihat, semakin maraknya tayangan televisi yang bersaing menyajikan tips bagi pembeli dan lebih dari cukup saran harian tentang bagaimana cara dan langkah-langkah membeli suatu produk. Informasi yang disajikan kepada publik ini berdampak secara kuantitas; banyak kalangan yang cenderung puas untuk mendapatkan hasil maksimal dengan harga terendah. Untuk sebagian besar konsumen, harga adalah indikator cepat dan mudah. Meskipun kualitas akan lebih sulit untuk dinilai, karena mesti menguraikan banyak unsur, akan tetapi, harga saja tidak cukup untuk menjelaskan kualitas dari suatu item. Secara keseluruhan, kualitas biasanya berkaitan dengan umur panjang, efisiensi fungsi dan penampilan dari suatu produk. Walaupun sangat memungkinkan untuk menilai penampilan dan kegunaan, namun daya tahan suatu produk juga sulit untuk diprediksi. Salah satu kriteria yang sering diabaikan, justru itu

73


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

membantu ketika kita menilai suatu produk adalah suara. Tanpa disadari, banyak orang yang menyadari suara akan tetapi pada level tertentu informasi tersebut diabaikan. Sebagai contoh, sebagian besar dari kita pergi membeli barang untuk melihat, tidak untuk mendengarkan, ketika membeli rumah, sesungguhnya kita mendengarkan, apakah sadar atau tidak. Mencoba saluran air dan listrik, serta memeriksa segala sesuatu dengan teliti. Ketika berjalan di lantai, apakah suara terdengar “padat”? Jika mencoba berteriak dalam rumah, apakah suara terdengar “kosong”, “hangat”, “lembab”? Jadi, suara sangat memengaruhi keputusan kita dalam membeli rumah. Bagi pembeli, suara mesin kendaran sangat penting dan hadir dalam cara yang lebih sistematis. Jika kita pernah melihat kartun, setelah menutup pintu mobil meskipun suara yang terdengar baik selang beberapa saat kemudian mobil berantakan? Ini disebabkan peluruhan suara mesin modern tidak terbaca bagi mereka yang non-teknisi, suara yang beroperasi adalah kunci “kesehatan” kendaraan. Bayangkan lagi, kompor, kulkas, laptop atau blender, jika terjadi perubahan sekecil apapun pada suara, timbul rasa khawatir, lalu membawanya ke teknisi atau masa pakainya yang akan berakhir. Di luar rumah, mobil dan perabot lainnya, kita penghuni dunia modern sangat minim untuk merespon suara “kehidupan” dari suatu objek: produksi, penggunaan dan akhirnya kerusakan. Ada beberapa kebudayaan yang masih memertimbangkan semua tahapan di atas, seperti Cina, suara yang jelas dan merdu dijadikan salah satu persyaratan bagi hasil produksi benda mereka. Mari kita lihat tembikar yang dibuat pada masa Dinasti Tang (618-907 Masehi). Tembikar ini dikenal karena integritas artistik dan teknis. Tembikar

74


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Tang juga dikenal karena lebih stabil, fungsional, dan memiliki dekorasi yang meriah. Ternyata, musik di era Tang berkembang cepat dari segi kuantitas dan kecanggihan, ini juga disebabkan oleh adanya stimulasi dari budaya lain dan dana yang mencukupi dari pajak. Khasanah musik Tang merambah ke dunia internasional dan beberapa jenis musik yang secara resmi diakui berasal dari musik ini meliputi : musik Korea, Samarkand, Bohkara, Kashgar, India, Kucha dan Turfan, musik rakyat Cina, dan kombinasi antara gaya Cina dan Kucha. Pada awalnya, musik ini dimaksudkan untuk kaisar dan dipertunjukkan oleh perempuan terlatih terutama yang mampu bernyanyi sekaligus memainkan kecapi. Ketika kaisar mulai jenuh dan mengusir mereka, gadis-gadis tersebut kemudian pergi untuk bekerja di kedai-kedai teh (nenek moyang dari geisha Jepang). Dari latar belakang budaya yang kaya akan kesadaran suara, mangkuk-teh dirancang khusus yang pada akhirnya menjadi karya adi luhung dengan mengedepankan proporsi antara suara dan visual. Jika diklasifikasi ke dalam instrumen musik, suara yang dipancarkan mangkuk-teh disesuaikan dengan sistem delapan-nada Cina (pa yin), serta memiliki nama yang berasal dari bahan-bahan pembuatannya: 1 bumi (tembikar) 2 batu 3 logam 4 kulit 5 kayu 6 bambu 7 labu 8 sutra. Dalam hal ini, masyarakat Cina memahami prinsipprinsip akustik dan berkomitmen mengembangkan pengetahuan ini ke dalam keterampilan pembuatan tembikar. LuYu, pengrajin tembikar di era Tang meyakini bahwa porselen (tanah liat, kuarsa, batu orthoclase yang dibakar pada suhu 1200 째 C) adalah bahan dasar yang tepat untuk pembuatan mangkuk-teh, kriteria ini diduga karena kerapatan atau densitas tekstur cangkir akan menghasilkan suara

75


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

yang merdu jika teh diseduh kedalam cangkir. Hipotesa ini diperkuat oleh hasil penelitian arkeolog Cina, William Willetts, mengatakan, “Selama dinasti T’ang cangkir “musikal “ ini merupakan cangkir paling digemari, disusun berdasarkan set dua belas nada, kemudian delapan yag disesuaikan dengan skala musik Cina”. Dengan demikian, kualitas mangkuk teh yang dicontohkan adalah interaksi halus dari pemanfaatan suara dan penampilan. Dalam budaya kita yang lebih mengkhususkan diri, jarang menjumpai bentuk, fungsi dan suara bertemu di benda sehari-hari. Suara cenderung menjadi produk sampingan suatu produk. Alhasil, tidak ada yang lebih menyenangkan kecuali minum kopi dengan cangkir ini!*** Bayu Arsiadhi Musikolog dan tenaga pengajar di STSR.

76


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN XII

Gelombang Sunyi : Menggali Perlawanan dalam Diam Oleh Riki Utomi BENARKAH gelombang tidak menimbulkan bunyi? Kalau diturut-turut justru gelombanglah yang tak pernah diam untuk berbunyi. Maka judul Gelombang Sunyi sebuah novel karya sastrawan Taufik Ikram Jamil ini menjurus pada sebuah metafor. Kalau kita turut bahwa gelombang adalah sesuatu yang besar, kuat, dan tangkas dalam membawa sesuatu ke tepian yang akhirnya pecah di bibir pantai. Sedang sunyi, sesuatu yang statis; diam, menetap, dan tak berbunyi (atau tak berkutik?). Jadi novel ini secara lebih jauh membawa cerita tentang sebuah perlawanan dengan latar yang kental nuansa Melayu, mencakup segi bahasanya, pola pikir, dan tindak tanduk tokoh Aku sebagai pusat pengisahan. Juga yang lebih besar perlawanan terhadap sebuah sistem pemerintahan yang tidak adil dan tidak bijaksana. Gelombang Sunyi menurut saya merupakan sebuah novel yang bukan saja dengan jalinan ceritanya yang besar dan menegangkan, tapi juga istimewa karena Taufik juga

77


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

memadukannya dengan realitas sejarah yang membuat cerita menjadi unik dan mengagumkan. Hal itu tidak menjadikan cerita tumpang tindih dalam pergulatan peristiwa-peristiwa dalam ceritanya, tapi dari kepaduan unsur tersebutlah, novel Gelombang Sunyi ini memiliki karakter sosiologis yang kuat. Bakhtin dalam Faruk (1994:127) mengatakan studi sosiologis ideologi harus dapat menjawab persoalan mengenai ciri-ciri dan bentuk material dari fenomena ideologis sebagai materi yang bermakna dan sekaligus persoalan ciri-ciri dan bentuk interaksi sosial yang dengannya makna itu direalisasikan. Novel Gelombang Sunyi diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau mengisahkan tokoh Aku (seorang wartawan) yang disekap dalam ruangan gelap. Dia mengalami penderitaan panjang dan berat akibat keberaniannya mengangkat bahan berita dari ketimpangan-ketimpangan yang terjadi pada sebuah kampung. Ketimpanganketimpangan tersebut mengakibatkan kerugian bagi masyarakat setempat akibat ulah “tangan besi” pemerintah. Tapi meskipun begitu tokoh Aku tetap sabar dan teguh pendirian karena baginya itu adalah sikap sekaligus prinsipnya dalam menyoroti ketidakwajaran kaki tangan pemerintah. “Sebagai wartawan, lebih dari dua puluh kali kutulis pertentangan di kampung Kahar tersebut. Ikatan batin terjalin antara Aku dengan penduduk karena bagaimanapun, naluri kemanusiaanku ikut berbicara. Aku tak hanya menulis berita, tetapi memberikan pertolongan.” (GS, halaman 6) Dalam kesunyian di dalam ruangan gelap mengakap, tokoh Aku tetap sabar dan tegar. Tokoh Aku menyadari bahwa tidak mudah untuk lepas dari semua persoalan itu, meski begitu, dia tetap optimis dalam “kemandiriannya” meski derita demi derita dihadapinya.

78


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

“Kegelapan menyebat tangan dan kakiku, kemudian dengan bengis mulai mengunci mulutku. Tak jelas, apakah di sekitarku berwarna hitam mengakap, tetapi pasti pandanganku tak lagi memiliki jarak, sehingga tak ada bendabenda yang dapat ditangkap oleh penglihatanku.� (GS, hlm:1) Secara gambaran kasar jelas tokoh Aku tak dapat berbuat banyak untuk bertindak dan melawan sebab dia begitu berat disekap dalam ruangan gelap, tanpa cahaya sedikit pun. Otomatis tak ada upaya yang dapat dilakukannya. Tapi apakah tokoh Aku tetap pasrah? Di sinilah letak kepiawaian pengarang dalam menumbuhkan karakter tokoh Aku yang tetap “bergemuruh� meskipun di dalam kesunyian. Artinya dapat ditelisik lebih luas yaitu gejolak masyarakat (Riau) terhadap pemerintahan (Pusat). Secara tak langsung, garis besar menjurus pada Riau (dalam novel ini) adalah wilayah strategis yang kaya akan hasil tambang yang seharusnya memiliki kemakmuran dari hasil buminya tersebut, tetapi ternyata hanya dapat gigit jari oleh oknum-oknum kaki tangan pemerintah yang culas, curang, dan tidak bertanggung jawab dalam mengeruk kekayaan alamnya yang semua itu dapat mengakibatkan ketimpangan sosial, kecemburuan sosial, yang berujung pada tekanan psikologis bagi manusiamanusianya yang termarginalkan. Novel ini sedikit banyak mengarah kepada runtut psikologi tokoh Aku yang juga mengalami teror mental. Dia dihantam dengan bertubi masalah karena keberaniannya membela kaum marginal. Dilihat dari psikologi, hal-hal tersebut adalah upaya-upaya untuk menemukan dan memberikan jawaban persoalan tentang apa, mengapa, dan bagaimana seorang individu melakukan sesuatu perbuatan. Novel ini juga memotret kehidupan sosial yang

79


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

dibawakan tokoh sentral Aku. Taufik memunculkan tokoh dalam cerita lengkap dengan bentuk lahir maupun batin (gejolak jiwanya). Atar Semi (1989) mengatakan, seorang pengarang yang baik harus mempunyai pengetahuan tentang psikologi. Pengetahuan tentang ilmu jiwa ini sangat erat hubungannya dengan penggambaran karakter/watak para tokoh cerita. Cerita yang hidup terletak pada kelihaian pengarang dalam menggambarkan karakter tokoh. Psikologi akan membantu pengarang menghindarkan aneka kekeliruan yang menyangkut segi perwatakan. Gelombang Sunyi mengarah pada sesuatu yang bergerak meski statis, tapi tetap memiliki ritme cerita yang mengalun pasti kepada sikap-sikap kejiwaan tokoh Aku yang teguh pendirian. Tokoh Aku walau bagaimanapun tetap bertahan dan dalam diam melawan, meski hanya dalam pikirannya sendiri (tapi bukankah pikiran akan membuahkan tindakan?) perlawanannya samar tapi keteguhan hatinya tetap mantap sebagai orang yang yakin akan kebenaran. “Itu semua dilakukan untuk membuktikan bahwa wartawan tersebut tidak bersalah dan dia tidak pada tempatya diperlakukan demikian. Mereka mengharapkan ajal berpihak kepada mereka, kepada daun yang bertuliskan nama si wartawan itu bahwa pada akhirnya kebenaran harus dinyatakan.� (GS, hlm:110). Kutipan di atas menggambarkan sebuah perasaan. Perasaan yang umumnya datang dari luar, yang dapat menimbulkan kegoncangan-kegoncangan pada diri orang yang bersangkutan (Sardjoe:1993). Tokoh Aku sebagai seorang wartawan tetap memiliki pendirian. Baginya profesi yang ia jalani adalah mulia dan sudah mesti sewajarnya untuk menyampaikan sesuatu apakah kebenaran-kebenaran

80


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

maupun ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di mana saja. Baginya itu adalah proses dan bentuk kinerja yang baik meski ia tak mengerti mengapa—meskipun—ia yakin tak bersalah tetap “diciduk” oleh aparat bahkan disiksa untuk diinterogasi, seperti dialah yang memiliki andil dalam menentang dan mempengaruhi masyarkat dengan beritaberitanya yang bernada berani kepada pemerintah. “Aku sebutkan bagaimana karena rasa malu itu, negara dapat mengenyampingkan penderitaan rakyat. Oleh karena rasa malu tersebut, rakyat harus menyerahkan tanah mereka. Pada beberapa tempat memang konon disediakan ganti rugi. Tapi memanglah ganti rugi namanya karena harga tanah semeter lebih murah dibandingkan sebatang rokok. Rakyatlah yang berada pada pihak yang rugi itu. Seharusnya negara memikirkan bagaimana hak-hak rakyat tidak diambil, tetapi sebaliknya mengembangkannya menjadi sesuatu yang lebih bernilai.” (GS,hlm:57) Persoalan ketidakadilan dan tidak bijaksananya pemerintah dalam menetapkan suatu proyek di tanah-tanah masyarakat lambat laun dapat berujung pada ketidakseimbangan dan ketimpangan dalam masyarakat itu. Hal tersebut dapat dinilai wajar karena itu semua hak rakyat yang seharusnya diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah. Novel Gelombang Sunyi ini sangat kuat menyuarakan hati nurani rakyat yang tertindas, terguras, terhimpit, dan dikesampingkan oleh oknum-oknum pemerintahan yang semena-mena dalam mengadakan kebijakan. Pemerintah sebagai penguasa hanya menjalankan dengan “kuku tajam”nya tanpa berpikir panjang terhadap hak-hak rakyat yang telah dipakainya. Bukankah banyak dewasa ini kita menyaksikan peristiwa-peristiwa serupa? Ketimpangan-

81


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat yang mendorong elemen masyarakat untuk bersuara lantang menuntut haknya karena memang sebagai bentuk protes dari kesalahan pemerintah itu sendiri. *** Telukbelitung, 28 Februari 2013 Riki Utomi Peminat dan penikmat sastra. Pernah berproses di FLP Riau. Menulis sajak, cerpen, esai, juga sesekali naskah drama. Sejumlah tulisan dimuat dalam Suara Merdeka, Lampung Post, Padang Ekspres, Sabili, Haluan Kepri, Jawa Pos, Batam Pos, Riau Pos, Sagang, dan terangkum dalam sejumlah antologi bersama. Diundang dalam helat baca sajak Penyair Jemputan Serumpun 2012 oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Bergiat di Rumahsunyi. Tinggal dan berkarya di Selatpanjang.

82


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN XIII

Keberpihakan Pulang kepada Eksil Oleh Budi Hatees ADA banyak kisah yang memicu lahirnya karya-karya besar. Ada banyak kisah yang lahir setelah karya-karya besar diciptakan. Barangkali, inilah sastra, dunia yang tak bisa diduga-duga. Apa yang diniatkan penulisnya, kadang tak terpenuhi. Sebaliknya, sesuatu yang tak diniatkan, sering terwujud. Perihal-perihal besar, semacam sejarah kekakacauan umat manusia, belum tentu akan menghasilkan karya besar. Begitu juga sebaliknya, perihal-perihal sepele, serupa sesuatu yang kita pikir tak akan menarik dijadikan tema untuk sebuah novel, ternyata melahirkan ketakterhinggaan yang membuat penciptanya tersentak. Esai ini akan bicara tentang perihal besar, sejarah kekacauan, yang melatarbelakangi Pulang, novel Laila S Chudori. Muncul akhir 2012 lalu, karya jurnalis cum sastrawan ini menjadi pembicaraan banyak kalangan. Puja-puji dilimpahkan, salah satunya sebagai karya sastra terbaik yang berkisah tentang sejarah politik kekacauan atau kekelaman 1965, yang konon mengorbankan 300 ribu-2,5 juta jiwa manusia Indonesia.

83


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

“Saya mendapatkan apa yang selayaknya diperoleh dari cerita,” kata Bagus Takwin dalam makalahnya, “Mencermati Naratif Novel Pulang” yang disampaikan saat acara Musyawarah Buku di Serambi Salihara, 29 Januari 2013, “naratif Pulang membantu saya memaknai sebuah bagian hidup bernama Indonesia dan memeriksa kembali keyakinan dan konstruk saya tentang Indonesia.” Dalam resensi yang ditulis Bagus di majalah Tempo edisi 18 Desember 2012, pujian yang sama juga diberikan. Intinya, keunggulan Pulang ada pada narasinya, dan Bagus mengapresiasinya begitu luar biasa. Seperti juga Bagus, Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir berjudul “Pulang” — terbit di majalah Tempo seminggu setelah peluncuran novel di Gothe Haus Institute pada 12 Desember 2012— adalah novel dengan gaya bahasa yang transparan dan lurus tanpa ambiguitas dan kegelapan yang membuat kita merenung. Laila S Chudori sendiri, saat peluncuran, mengatakan bahasa dalam novelnya menolak anasir-anasir puisi. Tak seperti bahasa dalam prosa terkini di negeri ini, anasir puisi seakan-akan menjadi tren. Tapi, tentu, perkara anasir puisi dalam novel ini hanya tidak terlalu penting. Yang penting, gagasan yang ditawarkan penulis tentang eksil. Novel ini berkisah tentang orang-orang eksil. Mereka, bagian dari kekacauan 1965, yang berada di luar negeri pada saat kekacauan terjadi dan tidak bisa pulang. Mereka hidup di luar negeri sambil memendam rindu dendam yang hampir bersamaan kepada negeri asalnya. Ari Junaedi dalam disertasinya, “Transformasi Identitas dan Pola Komunikasi Para Pelarian Politik di Mancanegara”, mencatat sekitar 1.500 orang Indonesia masih berada di luar negeri dan tidak bisa kembali ke tanah air akibat dicap komunis oleh rezim Soeharto. Mereka disebut orang-orang

84


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

yang terusir dari Indonesia (eksil) tragedi 1965. Mereka pelarian politik tragedi 1965, berasal dari beberapa golongan. Ada diplomat dan keluarganya, mahasiswa ikatan dinas, serta utusan delegasi resmi yang tengah berada di luar negeri. Pada umumnya “sesuai angin politik saat itu� mereka dikirim ke sejumlah negara blok komunis seperti Uni Soviet, Cekoslowakia, Polandia, Rumania, Jerman Timur, Hungaria, Bulgaria, serta Kuba, termasuk ke Republik Rakyat Tjina (RRT). Ketika tragedi 1965 terjadi, mereka terkena pencabutan paspor sehingga tidak bisa pulang ke tanah air. Padahal, tidak sedikit pelarian politik tragedi 1965 tersebut yang sama sekali tidak terkait dengan PKI. Tentu, Laila S Chudori kenal Ari Junaedi sebagai orang yang sama-sama bekerja di majalah Tempo. Sebab itu, menjadi beralasan untuk menyimpulkan bahwa Pulang merupakan sisi fiksi dari disertasi Ari Junaedi. Kisah-kisah para tokoh dalam novel, sama persis seperti kisah yang dialami para eksil dalam disertasi Ari Junaedi. Jadi, jika ingin memahami apa yang hendak disampaikan Laila S Chudori dalam novelnya, akan lebih semakin jelas bila sudah membaca disertasi Ari Junaedi. Gagasan Pulang tak murni punya Laila S Chudori. Ia hanya perpanjangan tangan dari apa yang hendak disampaikan Ari Junaedi. Dan, sesungguhnya, Ari Junaedi sendiri pun baru mulai memikirkan soal eksil setelah reformasi bergulir di negeri ini. Setelah hagemoni Orde Baru runtuh, perlahan-lahan tema tentang eksil muncul dalam dunia wacana kita. Diawali dari penerbitan ulang (atau pementasan) atas karya-karya sastra dan drama Utuy Tatang Sontani. Sebut saja memoar Utut Tatan Sontani, Langit Tak Berbintang. Sekali pun jejak memoir itu tidak kita temukan dalam

85


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Pulang, tapi kisah hidupnya Utuy sebagai sastrawan yang eksil, punya bias pada tokoh-tokoh Laila. Setidak, karena tokoh-tokoh novel bukan orang yang asing dengan sastra dan sastrawan. Mereka tahu Chairil Anwar, James Joyce, Subagio Sastrowardoyo, Lord Byron, Goenawan Mohamad, John Keats, Pramoedya Ananta Toer, TS Eliot, Rivai Apin, William Shakespeare, WS Rendra, dan Walt Whitman. Dan, sudah umum diketahui, sebagian dari para eksil itu hidup sebagai sastrawan. Saut Situmorang dalam esainya, “Sastra Eksil, Sastra Rantau” mengatakan eksistensi ”sastra eksil” menjadi lebih luas diketahui para pembaca sastra modern Indonesia terutama di Indonesia dengan diterbitkannya sebuah kumpulan puisi bernama Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil oleh Yayasan Lontar. Kumpulan puisi itu memuat 15 penyair yang oleh Ketua Dewan Redaksi buku, Asahan Alham, yang juga merupakan salah seorang penyair yang puisinya ikut dalam buku, diklaim sebagai “sastrawan eksil” Indonesia. Bagi para pembaca sastra modern Indonesia dua nama dari kelimabelas penyair yang muncul karya mereka dalam buku ini adalah nama-nama yang memang sudah tidak asing lagi, yaitu Agam Wispi dan Sobron Aidit. Riwayat para eksil, terutama sastrawan eksil, sepertinya membias dalam diri tokoh-tokoh Pulang. Ada tujuh orang juru kisah di dalam novel ini: Hananto Prawiro, Dimas Suryo, Lintang Utara, Vivienne Deveraux, Segara Alam, Bimo Nugroho, dan orang ketiga di luar cerita. Kecuali narator terakhir yang hanya digunakan Leila pada subbab Keluarga Aji Suryo (hlm. 329—363), enam narator lain berbicara mengenai diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitarnya secara personal. Namun, tentu saja porsinya tak sama banyak. Bisa dikatakan, yang paling dominan suaranya dalam

86


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

novel ini adalah Dimas dan Lintang. Dimas sebagai perwakilan generasi pertama—generasi yang berhubungan secara langsung dengan prahara 1965—dan Lintang sebagai juru bicara generasi kedua, generasi yang terkena imbas masa silam dan diharuskan ikut menanggung beban sejarah. Sebab itu, apabila Bagus merasa bahwa novel ini kemudian membuatnya “memeriksa kembali keyakinan dan konstruk saya tentang Indonesia”, sudah bisa dipastikan bahwa ia sudah sampai pada apa yang dihasratkan Laila S Chudori. Tapi, betulkah kisah para eksil ini membuat pembaca goyah terhadap konstruksi Indonesia dalam kepalanya? Kita tak harus bersepakat dengan simpul itu. Terutama bila konstruksi Indonesia dalam diri setiap warga bangsa memiliki fondasi yang kuat, atau tidak serapuh konstruksi Indonesia yang dimiliki Bagus. Sebab, tokoh-tokoh dalam Pulang beserta segenap pikirannya, sesungguhnya karakteristik warga bangsa yang tak sepenuhnya merasa bagian dari Indonesia. Mereka, merasa dirinya bagian dari sebuah tanah kelahiran, dan bukan dari sebuah bangsa. Padahal, sebagai sastrawan yang eksil, mereka lebih menarik dibicarakan bukan dalam bingkai romantisme, yang lebih menjurus pada kecengengan. Mungkin, cara Sitor Situmorang membicarakan orang-orang eksil, seperti dalam sajak “Si Anak Hilang”, pantas menjadi pembanding. Dalam sajak itu, Sitor Situmorang menceritakan tentang seorang anak yang kembali dari eksil, kembali dari rantau, ke kampung halaman tapi tidak menemukan kampung halaman itu kembali. *** Budi Hatees Lahir dengan nama Budi Hutasuhut, 3 Juni 1972 di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Menulis, mengajar, dan

87


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

menjadi konsultan bidang komunikasi. Esai, cerpen, sajak, dan hasil penelitian sudah dipublikasikan di berbagai media massa dan jurnal ilmiah. Mantan Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Saburai, dan dosen mata kuliah komunikasi di Universitas Bandar Lampung serta Universitas Lampung, ini kini bekerja di PT Matakata Mediacitra, perusahaan konsultan dan penerbitan.

88


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN XIV

Membaca Pesan Religiusitas dalam Kumpulan Puisi Munajat Sesayat Doa Oleh Nafi’ah Al-Ma’rab Penanam Tasbih * Amaturrasyidah Seperdelapan hari, Siluet masih senang melukis bayang para penanam di tiap gigir usia. Tuhan belum lelah memagari rumah-rumah Maka segeralah berkemas menaburi tanah Mengulang jarak tiap mili sedekat nadi. Panen saja paru-paruku esok,Tuhan hembus yang tak pernah lelah menuruni dan menaiki angin lirih; Mengulang-ulang namaMu. DI DALAM teori IA Richrad dikatakan bahwa bentuk batin sebuah puisi meliputi beberapa aspek di antaranya adalah perasaan (feeling), tema (sense), dan amanat (Intention). Sedangkan bentuk fisik puisi terdiri atas bagian diksi (dic-

89


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

tion), kata konkret (the concrete word), majas atau bahasa figuratif (figurative language) dan bunyi yang menghasilkan rima dan ritma (rhyme and rhytm). Berbagai aspek-aspek yang terkandung di dalam karya puisi tersebut mampu dimainkan secara cantik dan menarik, sesuai dengan kehendak hati para penyair, mau ke mana sebuah karya puisi diarahkan. “Munajat Sesayat Doa� merupakan kumpulan puisi karya para penyair muda Indonesia masa kini yang dikemas dalam bentuk puisi-puisi mini berkekuatan religuisitas yang tinggi. Di dalam masing-masing karya yang tersaji, kita akan menjumpai sebuah perenungan yang mendalam tentang hubungan antara manusia (penyair) dengan Tuhan. Masingmasing kekuatan sufi yang dibangun dihidangkan secara khas dari berbagai aspek unsur puisi sehingga tercipta suatu kumpulan puisi yang syarat dengan nilai-nilai religius. Menyelami bait demi bait puisi yang tersaji dalam Munajat Sesayat Doa, maka setidaknya kita akan dapat menemukan beberapa hal menarik yang bisa mengendap di hati pembaca, di antaranya adalah sebagai berikut: Mengingatkan Pembaca pada Konsep Seni Rumi Rumi berpendapat bahwasanya karya sastra atau seni merupakan bentuk simbolisasi, yakni representasi simbolik dari ide dan pengalaman kerohanian seseorang. Pengalaman kerohanian yang paling tinggi adalah tafakur kepada Tuhan, semacam bentuk kontemplasi yang dilakukan manusia untuk mencapai kesatuan mistik dengan Tuhan. Karena sebagai simbol, karya seni seolah sebagai jalan naik atau kendaraan naik dari pengalaman empiris ke pengalaman kerohanian yang akan dicapai seseorang. Senada dengan Rumi tersebut, Attar (penyair Persia) yang karyanya disadur

90


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

ke dalam bahasa Melayu menjadi, Hikayat Burung Pingai, yang selanjutnya dipopulerkan lagi oleh Hamzah Fansuri melalui sajak-sajaknya tentang burung. Di dalam karya-karya tersebut burung menjadi satu bentuk simbol jiwa manusia yang merindukan Tuhan. Konsep inilah yang akan kita temukan saat membaca puisi-puisi dalam Munajat Sesayat Doa. Lihatlah karya puisi yang begitu membuai jiwa karya Abu Ma’mur MF berjudul Qasidah* Mawar berikut: makhluk berjubah hitam meniupkan kabut mencoba pecahkan sepotong rembulan dalam denyutku dan menabur serpihan-serpihan debu saat itu nyaris kesetiaanku teriris tapi kerinduanku pada yang mahacahaya masih begitu menggebu aku bergegas melepas pakaian melakukan tarian mawar berputar serupa gelombang angin memusar sampai mabuk: allah, allah, allah Keunikan aspek fisik Secara fisik puisi-puisi dalam Munajat Sesayat Doa tersebut memiliki keunikan tersendiri, yakni setiap puisi ditulis secara ringkas, tidak lebih dari lima puluh kata saja. Tidak semata-mata menentang prinsip bahwasannya puisi adalah kolam kebebasan, namun justru sebaliknya,

91


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

kebebasan yang diterapkan justru telah melahirkan bentuk fisik karya puisi yang cantik dan menarik. Kekuatan unsur-unsur yang dibangun, terutama diksi yang ditampilkan telah mampu menutupi ketidakpuasan pembaca terhadap jumlah lirik yang diharapkan, terutama bagi mereka yang menggilai puisi-puisi dengan jumlah lirik yang panjang. Sebab diksi, sedikit banyaknya memegang peranan sangat penting dalam memunculkan kekuatankekuatan sebuah karya puisi, baik secara fisik semisal unsur bunyi (musikalitas), keunikan dari komposisi, maupun secara nonfisik seperti picuan dari asosiasi makna yang terbangkit dalam benak dan hati pembaca, getar emosi tertentu atau bahkan debar spiritual yang tak terjelaskan yang mampu dirasakan oleh seseorang seusai membaca sebuah karya. Pesan yang Berimbang dengan Imajinasi Banyak orang berpikir bahwasannya puisi hanyalah persoalan imajinasi. Persoalan puisi merupakan hidangan estetika hati yang terkadang mengabaikan kebutuhan rasionalitas pesan yang disampaikan melalui hidangan karya. Munajat Sesayat Doa mencoba hadir dengan memenuhi kedua aspek kebutuhan utama para penyaji dan penikmat puisi. Karya-karya garis tengah yang ingin coba mempertemukan kekuatan pesan dan imajinasi (estetika karya sastra) dapat kita temukan secara kental dalam beberapa puisi yang termaktub dalam kumpulan puisi Munajat Sesayat Doa tersebut.*** Nafi’ah Al-Ma’rab Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Riau

92


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN XV

Sultan Mahmud Bapak Tamadun Melayu Oleh Drs H Abdul Kadir Ibrahim MT Pembuka Kalam TELAH menjadi sejarah besar, Kerajaan Riau-LinggaJohor dan Pahang, yang pusat pemerintahannya antara lain di Pulau Galang Besar, Ulu Sungai Carang, Bintan (dalam wilayah Kota Tanjungpinang sekarang). Di antara Sultan (Raja) yang terbilang adalah Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Sultan ini, telah ditabalkan menjadi Yang Dipertuan Besar (Sultan) sejak berusia sekitar dua tahun. Baginda memerintah dalam masa 1761-1812. Adalah tentang pengabdian, kejuangan, kepahlawanan dan jasa luar biasa Baginda kepada bangsa dan negara telah ditulis khusus dalam sebuah buku yang berjudul Sejarah Kejuangan dan Kepahlawanan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah Yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau-LinggaJohor dan Pahang (1761-1812), yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Lingga, tahun 2012. Buku itu disusun dalam rangka pengusulan Baginda menjadi Pahlawan

93


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Nasional dari Kepulauan Riau. Sebuah kerja besar oleh Bupati Lingga, H Daria beserta jajarannya, yang didukung oleh semua pihak, sehingga berkas berkaitan dengan Baginda dapat diusulkan Kepada Gubernur Kepulauan Riau. Tentu, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau di bawah kepemimpinan Gubernur HM Sani dan Wakil Gubernur HM Suryarespationo, tampaknya dengan sepenuh pikiran dan hati atas nama rakyat Kepulauan Riau hendak mengusulkan dan memperjuangkan Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah menjadi Pahlawan Nasional. Dalam rangka itu pulalah sehingga Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau melaksanakan “Seminar Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Ri’ayat Syah” di Aula Kantor Gubernur, Tanjungpinang, Rabu, 27 Februari 2013. Suatu yang pasti, bahwa seminar tersebut merupakan serangkaian beberapa seminar yang sudah dilaksanakan menyangkut jasa yang luar biasa Baginda kepada bangsa dan negara. Dalam tulisan ini, saya mengaitkan Sultan Mahmud dengan buku yang ditulis oleh Haji Abdul Malik, yang berjudul Menjemput Tuah Menjunjung Marwah, Komodo Books, 2012 (xix + 614 hlm). Tulisan dalam buku ini, sebelumnya sudah kita baca di Harian Pagi Batam Pos, terbitan setiap Ahad. Dapat kita pahamkan sebagai latar alur tulisannya boleh dikatakan seluruhnya berlatar tanah negeri yang semasa dahulu dinamakan Kerajaan Riau-LinggaJohor dan Pahang (yang kini di Indonesia antara lain bernama Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat dan Jambi. Di Malaysia terdiri dari beberapa negeri bagian, yang antara lain Johor. Dan, satu negara lagi, yakni TemasikSingapura). Eloknya adalah Malik tak sekadar melihat kepada perkara-perkara atau hal-ihwal besar untuk menjadi “tumpahan tinta” tulisannya, melainkan juga yang kecil,

94


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

ringan, sederhana dan di sekeliling kita. Misalnya, tentang bakau, terbitnya buku ataupun diskusi. Tapi ketika kita bersua dalam tulisannya, maka semuanya menjadi atau sebagai karya besar untuk bangsa tercinta, Indonesia dan sesiapa saja di dunia. Abdul Malik, dalam satu di antara tulisannya dalam buku ini, menjelaskan bagaimana Penghormatan dan Penghargaan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah kepada perempuan atau sang isteri di dalam hidup dan kehidupan. Pahamilah dalam tulisannya yang berjudul Karya Elok di Negeri Molek (hlm. 318-328), Dilema Membawa Bencana (hlm.185-188), Sumpah Setia dan Marwah (hlm.173-176), dan Menjunjung Marwah Memegang Amanah (5-8). Menjadi jelaslah ketika disebutkan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, antara lain dapat kita kait-eratkan dengan Sultan Besar dan Berjasa Luar Biasa bagi bangsa dan negeri (negara) Indonesia-Malaysia-Singapura, yakni Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Niscayalah sebagai Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) sejak kanak-kanak—dilantik menjadi Sultan ketika berusia dua tahun pada tahun 1761— sudah tertanam jati-diri Melayu, yakni budaya, adat-istiadat Melayu dan agama Islam. Dia dibimbing dan dibina oleh Yang Dipertuan Muda Riau III Daing Kamboja, kemudian Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji—yang keduanya sebenarnya ayah saudaranya sendiri—juga oleh ibu-ibu saudaranya dan rajara-rama Melayu sebagai penguasa seleretan di bawah Sultan. Dalam dirinya mengalir darah Melayu-Bugis. Dengan jati-diri semacam itulah sehingga ia berhasil tegar melalui masa kanak-kanaknya yang yatim-piatu dan berperan dalam mengemban jabatan Yang Dipertuan Besar

95


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Sultan Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang beserta daerah-daerah takluknya. Adat-istadat, budaya Melayu dan agama Islam, telah merasuki darah-nadinya sehingga ia dapat melalui berbagai tantangan dan rintangan yang datang untuk merempuh dan memporak-porandakan kerajaan. Sehingga pada akhirnya dalam jiwa-raganya tumbuh dan berkembang begitu kukuh dan gigih keinginan, kemauan, semangat dan daya juang bagi membangun dan memajukan kerajaan dalam upaya mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Keimanan, marwah dan kedaulatan di atas segala-galanya, meski jiwa-raga jadi taruhannya tiadalah mengapa! Dia sadar betul kedudukannya sebagai Sultan, yang bermakna sebagai “wakil Tuhan di muka bumi� yang mesti menegakkan agama Islam yang bagaimanapun ancaman dari bangsa penjajah. Kesemuanya sebagai berjuang di jalan Allah. Tersebab itulah semangat dan jiwa patriotnya pun ditunjukkan kepada penjajah Belanda, sehingga ia dengan pasukan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang beserta sekutunya berhasil memukul kalah Belanda. Dengan kata lain Belanda tiada pernah berhasil membinasakannya dan juga menaklukkan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang sebagai kenyataan sebagaimana lazimnya negeri jajahan. Semangat dan daya juang fi sabilillah sejatinyalah melekat pada jiwa raga sang sultan kita ini. Dia habiskan seluruh usianya untuk perjuangan bagi bangsa, baik dalam memajukan pembangunan dan kejayaan maupun berhadapan dengan penjajah Belanda dan selanjutnya ada pula Inggris. Jika Sultan Mahmud melakoni dirinya dan pasukan kerajaan sebagai pejuang fi sabilillah, sungguh dapat dipahamkan. Karena gelar Sultan merupakan gelar kepala negara, kepala pemerintahan, pemimpin tertinggi dalam

96


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

perkembangan dunia Islam. Semangat Islam. Karena itu, pengabdian kepada negeri dan masyarakat dalam rangka mencapai ridha Allah, menjadi perkara mustahak dan tiada dapat ditawar-tawar sebagai harga mati. Tersebab itulah Sultan Mahmud pun membangun pusat kerajaan yang memberi peluang sedemikian luas untuk tumbuh dan berkembangnya kehidupan beragama, berbudaya dan menghasilkan peradaban, yang dikenal dengan tamadun Melayu. Ulu Riau dibangun, kemudian hijrah ke Lingga, dan semakin diperluas di Pulau Penyengat, yang bermula ketika pulau itu dijadikan sebagai maskawin pernikahannya dengan Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji. Cinta Malik kepada Bahasa Nyatalah sejak Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III), pembinaan bahasa di pusat pemerintahan kerajaan, yakni di Lingga sudah dimulai sebegitu rupa. Pembinaan itu semakin menampakkan ujudnya, ketika Pulau Penyengat dijadikan sebagai Pulau Maskawinnya dengan Engku Puteri Raja Hamidah dan membangun pulau itu sehingga menjadi kota. Lingga pada akhirnya dikenal sebagai Bunda Tanah Melayu dan Penyengat sebagai Indera Sakti. Adalah orang-orang Melayu selepas Sultan Mahmud itu, muncul sebagai penjaga, pengawal dan Pembina bahasa Melayu sehingga ianya bermartabat sebagai bahasa ucap (lisan) dan aksara (tulisan). Kita sangat mengenal Raja Ali Haji, Haji Ibrahim Orang Kaya Riau, dan Aisyah Sulaiman Riau. Selepas itu ada sedikit leret nama antara lain Raja Hamzah Yunus, Hasan Junus sehingga anaknya Raja Malik Hafrizal. Ada Rida K Liamsi, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, BM Syamsuddin dan Abdul Malik. Dari 121 judul tulisan dalam buku sebagaimana dise-

97


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

butkan di muka, kita dapat menangkap dan memahami bahwa Haji Abdul Malik adalah seorang intelektual Melayu, yang tidak bisa tinggal diam dengan dunia kata-kata, tulismenulis, karang-mengarang. Sebelum ini pun dia sudah menerbitkan tulisan kolomnya yang telah disiarkan terlebih dahulu oleh beberapa harian, berjudul Memelihara Warisan yang Agung, Akar Indonesia, 2009 (xviii + 268 hlm, yang merangkum 57 judul tulisan). Dari judulnya, sejak semula kita sudah dapat menangkap dan memahami serta memaknainya, bahwa ianya sebagai “keagungan budaya Melayu� yang berfaedah dan bermanfaat bagi anak bangsa dan negara. Cinta Abdul Malik kebada budaya, bahasa dan bangsa, amat jelas dapat dilihat, dirasakan dan dimaknakan dari seluruh tulisannya dalam buku ini. Ini menjadi mustahak, karena semua orang sudah tahu—tapi apakah sudah mengamalkannya, kita tiada tahu—bahwa bahasa menunjukkan bangsa, mencitrakan budi pekerti, akhlak dan ketauladanan dalam beragama dan bermasyarakat, sehingga orang dapat dikatakan memberi manfaat dan faedah kepada sesiapa saja, rahmata al lil alamin. Tentang bahasa, budi pekerti diteroka oleh Abdul Malik di dalam beberapa judul tulisannya. Sebagian besar disandarkan kepada karya Raja Ali Haji baik Bustan al-Katibin, Kitab Pengetahuan Bahasa ataupun Gurindam Dua Belas. Mengapa bahasa? Karena, satu di antara yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, terutama dengan binatang, adalah karena manusia mempunyai bahasa. Dengan bahasalah manusia bisa berhubungan sosial, berinteraksi, berkomunikasi dan bergaul secara baik dalam berbagai-bagai bidang di seluruh penjuru dunia. Bahasalah yang menjadikan manusia dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, berkebudayaan dan berperadaban. Dengan bahasalah manusia dapat memaknai dirinya

98


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

sebagai makhluk dan sekaligus sebagai pengabdi kepada Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Bahasa Melayu, sudah dikenal sejak berabad lampau. Hampir seluruh kawasan Nusantara dan sekitarnya menjadikan bahasa itu sebagai bahasa percakapan di dalam suatu kelompok (suku) atau dengan kelompok (suku-bangsa) lainnya. Tetapi, pada akhirnya bahasa itu mendapat tempat, laman, dan laluan yang luas dan luar biasa, yakni di Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang beserta daerah-daerah takluknya. Adalah Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah dengan dibantu oleh beberapa pembesar kerajaan yakni Yang Dipertuan Muda, Raja-raja, Bendahara, Punggawa dan sebagainya, sebagai penguasa Kerajaan Melayu yang memberi perhatian dan membuat kebijakan dalam pentadbiran pemerintahan untuk melakukan pemuliaan dan pembinaan terhadap bahasa dan sastra Melayu. Maka tak mengherankan bila, Sultan Mahmud Syah III pada gilirannya mengangkat Raja Ja’afar bin Raja Haji sebagai salah seorang “juru tulis” Wakil Sekretaris di dalam istana Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang. Di samping itu, seorang lagi saudara sepupunya, yakni juga anak Raja Haji yang bernama Raja Ahmad. Dialah yang memulai menulis Tuhfat al-Nafis, yang selanjutnya diselesaikan oleh anaknya, Raja Ali Haji. Sehingga dengan begitu kita pada bagian ini, tidak menguraikan tentang perjalanan asal-muasal bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa percakapan di dalam suatu masyarakat, sehingga bahasa Melayu menjadi bahasa lingua franca Nusantara. Saya hendak mendedahkan sepintas-kilas secara pantas dan patut adanya bahasa Melayu sebagai bahasa yang tumbuh, berkembang, dan mendapat pembinaan sebegitu rupa di dalam kawasan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan

99


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Pahang (Johor-Riau-Pahang dan Lingga) dan kawasankawasan takluknya. Masa yang kita khususkan di sini, adalah sejak tahun 1787-1812 tatkala pusat kerajaan dimaksud berada di Lingga, dibuka dan dijadikannya Pulau Penyengat sebagai sebuah kota yang lengkap dengan sarana dan prasarananya oleh Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Buah dari perjuangan selama 1787-1812 tersebut, pada akhirnya menjadikan Lingga dan Pulau Penyengat sebagai pusat tamadun Melayu, khasnya dalam bidang bahasa dan sastra Melayu. Terkait uraian di atas, dapat kita pahamkan pula bahwa, bahasa dan sastra merupakan bagian penting dalam kebudayaan Melayu. Dengan demikian dapat kita maknai juga bahwa kebudayaan tersebut pada semula-jadinya sebagai pula jati diri di dalam kawasan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang serta daerah-daerah takluknya. Kerajaan Melayu ini, berkait erat pula dengan kerajaan-kerajaan Melayu di Pulau Sumatera, sejak abad ke-7 dan sehingga abad ke-11. Pada akhirnya, Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang sudah dikenal luas sejak Kerajaan Bintan yang berpusat di Pulau Bintan (1150-1158) dan di Temasik/Singapura (11591384). Selanjutnya berpusat di Malaka (1384-1511), berlanjut lagi ke Bintan, ke Kampar dan ke Johor (1511-1673). Sejak tahun 1673, berpusat di Ulu Sungai Carang, Pulau Bintan— yang kawasannya sangat luas, meliputi kawasan beberapa tempat di Sungai Siak dan Sungai Kampar sampai ke Pulau Tujuh atau Natuna, mulai dari Trengganu sampai ke Bangka. (Lihat Hasan Junus: Raja Haji Fisabilillah Hannibal dari Riau, 2000). Sungai Carang itu, kemudian dikenal sebagai Ulu Riau. (Lihat Haji Buyong Adil: Sejarah Johor, 1971). Kerajaan Melayu yang besar dan luas itu, akhirnya mengukuhkan pusat pemerintahannya di Ulu Sungai Carang

100


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

atau Sungai Riau, sejak Tengku Sulaiman dilantik menjadi Sultan Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang (4 Oktober 1722 M), yang bergelar Sultan/ Yang Dipertuan Besar Sulaiman Badrul Alam Syah. Menyusul wafatnya Sultan Sulaiman (1760), maka dilanjutkan oleh anaknya Sultan Abdul Jalil Muazam Syah (1760-1761), yang tidak berumur panjang, wafat, sehingga digantikan oleh anaknya yang masih usia kanak-anak sekitar sembilan tahun yakni Raja Ahmad dengan gelar Sultan Ahmad Ri’ayat Syah (1761), tetapi usianya tidak panjang, mangkat dalam tahun itu juga. Maka digantikan oleh adiknya yang bernama Raja Mahmud yang bergelar Sultan/Yang Dipertuan Besar Mahmud Ri’ayat Syah (selalu disebut juga sebagai Sultan Mahmud Syah III). (Haji Buyong Adil, 1971). Syahdan, ketika Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang serta daerah-daerah takluknya, di bawah Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah, kerajaan ini mencapai puncak kejayaan, baik dalam ketahanan (kedaulatan), kebudayaan, agama, ilmu pengetahuan, sosial dan ekonomi (kemakmuran dan kesejahteraan). Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah adalah Raja atau Sultan Melayu yang kawasannya sangat luas, yang telah meletakkan dasar di Lingga sebagai pusat pengembangan agama dan tamadun Melayu, khususnya dalam bidang bahasa dan sastra. Dari Lingga, beliau kemudian membuka dan menetapkan Pulau Penyengat sebagai bagian pusat Pemerintahan Kerajaan Melayu, dan sebagai pusat pengembangan kebudayaan Melayu, khasnya bahasa dan sastra. Tersebab jasanyalah, Kerajaan Riau dikenal sebagai tempat asal-muasal bahasa Indonesia yang tanah airnya adalah Pulau Penyengat. Di Pulau itulah, lahir Bapak/ Pahlawan Nasional Bahasa Melayu-Bahasa Indonesia, Raja

101


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Ali Haji dengan karyanya di bidang bahasa: Bustanun Katibin (1857) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858) serta Gurindam Dua Belas (1847). Sultan Mahmud semasa menjadi Yang Dipertuan Besar, dibantu oleh Yang Dipertuan Muda Riau III Daing Kamboja (1745-1777), Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji (1777-1784), Yang Dipertuan Muda Riau V Raja Ali (1784-1806), dan Yang Dipertuan Muda Riau VI Raja Jaafar (meninggal dunia tahun 1831). Kejayaan dan kebesaran Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang semasa dipimpin oleh Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) sejak tahun 1671— beliau wafat di Lingga pada 12 Januari 1812 (dibaca satu dua satu satu delapan satu dua: mistik!)—sehingga era sekarang, baik di Indonesia, maupun Malaysia dan kawasan ASEAN lainnya—menurut pengamatan saya—masih lagi dicari tokoh Melayu sehebat beliau. Meski demikian, di lain pihak, kita patut merasa bangga dan bersyukur, karena sekitar 1 (satu) abad kemudian, di belahan lain di Nusantara, lahir “Putra Fajar”, ianya bernama Soekarno (lahir 6 Juni 1901)—yang dikenal dengan nama Bung Karno. Ia adalah pahlawan Proklamator bersama Bung Hatta, dan sekaligus sebagai pahlawan nasional. Ini bermakna, bahwa beliau sebagai Bapak Pejuang dan Pendiri bangsa dan negara Indonesia dan bahkan memberi andil besar bagi berdiri dan merdekanya beberapa negara di Asia-Afrika! Seneraian di atas, pada intinya sebagai menjelaskan bepata banyak dan luasnya apa-apa yang sudah menjadi pangkal-tolak, lantai pijak bagi Haji Abdul Malik di dalam merayau-rayau wawasan intelektualnya, estetiknya sehingga mewujudkan tulisan yang begitu beragam, tersergam dan sanggam! Kemampuannya mengungkai dan menguraikan yang kecil-kecil menjadi manfaat dan faedah yang besar,

102


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

menempatkan karya tulisanya perlu dicari, dimiliki dan dibaca. Kesemuanya bernas! Hal tak kalah penting, Abdul Malik telah memberi tahu secara tidak langsung kepada kita bahwa sebenarnya ia telah menjadi penugung-sambung tiada terputus dengan jasa-budi Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah, sehingga lahirlah penulis Raja Ahmad, Engku Puteri Raja Hamidah, Raja Ali Haji, Haji Ibrahim Orang Kaya Riau dan lain-lain sehingga sampai kepada nama-nama termuda dewasa ini, Tiara Ayu Karmita (lahir 26 September 1999). Dan, kiranya saya tak salah mengatakan bahwa di rantau Melayu ini Abdul Malik adalah termasuk yang produktif melahirkan karya tulis. Dari Sultan Mahmud bagi Bangsa Kembali kepada pengabdian Sultan Mahmud bagi bangsa. Di atas sudah dijelaskan. Tentang wujudnya Pulau Penyengat di samping Lingga sebagai sebuah kota dan tamadun Melayu, nyatalah sudah sebagai yang takkan terbantahkan, adalah jerih-payah, jasa-jasa yang dibuat oleh Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Hasan Junus dalam bukunya Engku Puteri Raja Hamidah Pemegang Regalia Kerajaan Riau, menjelaskan panjang lebar tentang dimulai dan dijadikannya Pulau Penyengat sebagai sebuah kota Melayu, sebagaimana sumber tertulis yang dipandang paling tua, yakni Tuhfat alNafis (Raja Ahmad & Raja Ali Haji, 1865) dan Elisa Nettscher dalam bukunya De Nederlanders in Djohor en Siak 1602 tot 1865 Historische Beschrijving (Bruining & Wijt, Batavia, 1870). Pulau Penyengat, menurut Hasan Junus, dinamakan Pulau Penyengat Indera Sakti, yang dalam cerita-pusaka sebagai pulau emas-kawin atau mahar yang diberikan oleh Sultan Mahmud - Marhum Besar - Marhum Masjid kepada

103


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah. Pulau ini, menurut Tuhfat al-Nafis, pada mulanya ialah sebuah pulau yang berfungsi sebagai kubu atau benteng yang dipakai dalam Perang Riau (oleh Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah dan Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji) melawan VOC/Belanda. Baru pada awal abad ke-19 pulau itu menjadi tempat tinggal, yaitu setelah kepemilikannya diserahkan kepada Engku Puteri dan kemudian menjadi tempat kedudukan resmi atau pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda. Hasan Junus mengutip Tuhfat al-Nafis, yang mencatat tentang pembukaan Pulau Penyengat, sehingga menjadi sebuah kota dan bagian dari pusat Pemerintahan Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang, yang jelas sekali dilakukan oleh Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Ri’ayat Syah. “Syahdan adapun Baginda Sultan Mahmud apabila sudah paduka anakda baginda itu keduanya balik masing-masing ke negerinya, maka baginda pun menyuruh Punggawa Bakak menebas Pulau Penyengat Indera Sakti itu cucikan karena Punggawa Bakak itu dia memang duduk di Penyengat itu ada empat lima buah rumah. Maka dikerjakan oleh Punggawa Bakak itu seperti titah baginda itu. Maka telah cuci Pulau Penyengat itu ditebas, maka baginda pun berbuatlah istana dan kota-paritnya dengan masjid balairungnya. Adalah yang memerintahkan segala pekerjaan itu ialah Encik Kaluk bin Encik Suluh peranakan Bugis. Maka tiada berapa antaranya selesailah pekerjaajn itu. Maka apabila selesai Pulau Penyengat itu jadi negeri tempat kerajaan maka baginda pun memindahkan paduka adinda Engku Puteri Raja Hamidah isterinya, ke istana Pulau Penyengat dengan orang baik-baiknya dan anak raja-raja serta ianya. Syahdan kata sahibul hikayat sekali peristiwa pada suatu

104


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

masa maka bertitahlah baginda Sultan Mahmud kepada paduka adinda Engku Puteri di hadapan beberapa anak rajaraja seperti Raja Mahmud putera Tengku Panglima Besar putera baginda Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, demikianlah bunyi titahnya, “Sekarang Raja Hamidah, adalah sahaya membuat Pulau Penyengat ini dijadikan negeri sudah cukup dengan istananya serta dengan kota-paritnya. Maka Raja Hamidahlah yang sahaya buatkan jadi miliklah kepada Raja Hamidah. Syahdan lagi daripada pasal negeri Riau ini daripada hasil-hasil dan lainnya, yaitu jadi milik makanan Raja Hamidah adik-beradik, yaitu segala anak-anak Raja Haji al-Marhum Fisabilillah. Maka tiadalah saya campur lagi barang suatunya. Adapun negeri Lingga maka yaitu bahagian Si Komeng yaitu Putera (Raja Jumaat) Tengku Abdul alRahman, dan janganlah Raja Hamidah adik-beradik campur lagi daripada pihak hasil-hasilnya dan kharajatnya.” Syahdan kata ahli al-rawi inilah—sebermula jatuh pekerjaan ini di dalam tahun Hijrat sanat 1218 pada tahun Jim yaitu pada dua hari bulan Zulkaedah hari Sabtu, sudah lepas membuat istana adanya”. (2002:10-12). Dengan demikian, menjadi pahamlah kita, bahwa Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III), telah membangun Lingga dan Pulau Penyengat Indera Sakti sebagai sebuah pusat penting dalam Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang, sehingga kedua kawasan itu, utamanya Pulau Penyengat menjadi pusat tamadun Melayu dengan ciri khasnya adalah dalam bidang bahasa dan sastra Melayu. Maka tak usah heran, bila dunia tulis-menulis, pemartabatan bahasa Melayu sehingga menjadi bahasa bagi pergaulan suku-bangsa di Nusantara dan juga kelak dipilih oleh Belanda menjadi bahasa di sekolah-sekolah pribumi. Juga amatlah logis, dan nyatalah

105


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

adanya, kenapa bahasa Melayu yang dibina di Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang dengan pusat pemerintahan di Lingga dan Pulau Penyengat itu, kemudian menjadi bahasa Indonesia. Suatu yang pasti, dunia tulismenulis yang sudah dibuka lamannya oleh Sultan Mahmud Syah III dan wujud di atas kertas sudah dirintis antara lain oleh tokohnya, Raja Ahmad bin Raja Haji semasa di Ulu Riau dan Lingga. Puncak kejayaan kepenulisan itu yang dikenal dengan tamadun Melayu pun wujud di Pulau Penyengat. Tokohnya antara lain, Raja Ali Haji, dan Orang Kaya Riau Haji Ibrahim dan di tanah yang lain dalam kerajaan ini JohorSingapura ada nama Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Maka menjadi jelaslah, bahwa jasa Sultan Mahmud terhadap pertumbuhkembangan dan pembinaan bahasasastra Melayu tiada terbilang. Berkat perjuangannyalah sehingga di kawasan kerajaan ini lahir penulis-penulis besar yang antara lain Raja Ali Haji dengan karya agung dan monumental di bidang bahasa-sastra yakni Gurindam Dua Belas, Bustanul Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa. Pada akhirnya bahasa Melayu yang mulai dibina di Lingga dan puncak pembinaannya di Pulau Penyengat oleh Raja Ali Haji, sehingga bahasa Melayu Riau—Kepulauan Riau, dan Riau sekarang sekarang beberapa provinsi lainnya—dipilih dan ditetapkan menjadi bahasa pengantar, lingua franca di Nusantara. Pada akhirnya, tanggal 28 Oktober 1928 bahasa Melayu itupun ditetapkan atau berubah nama, dengan nama baru, yakni bahasa Indonesia! Maka, jadilah bangsa Indonesia mengenal bahasa persatuan dan kebangsaannya bernama bahasa Indonesia. Dan, pada tahun 2004, setelah menerima usulan Pemerintah Kota Tanjungpinang melalui Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau yang diteruskan oleh Menteri Sosial RI dan melalui penilaian oleh tim pahlawan

106


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

nasional, maka Presiden Republik Indonesia mengangkat Raja Ali Haji menjadi Pahlawan Nasional dalam bidang bahasa, atas jasa dan perjuangannya melakukan pemurnian bahasa Melayu Riau menjadi bahasa Indonesia. Tentang bahasa Melayu dalam Kerajaan Riau-LinggaJohor dan Pahang, yang semula mendapat pembinaan di Lingga, dan berlanjut dan berpusat di Pulau Penyengat, ada baiknya kita pertegas. Dalam kaitan ini kita sebatikan dengan satu pendapat saja, di antara banyaknya pendapat yang boleh dibaca dan dipahami. Pendapat yang dimaksudkan di sini, adalah pendapat Prof Dr Abdul Hadi WM. Dalam tulisannya, Raja Ali Haji: Ulil Albab di Persimpangan Zaman, antara lain menjelaskan tentang bagaimana upaya-upaya nyata yang dilakukan oleh Sultan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, Sultan Mahmud Ri’ayat Syah, dalam memulai dan mentradisikan pembinaan bahasa Melayu. Sehingga, Raja Ali Haji hadir dalam tradisi itu. Dalam perkembangan bahasa dan sastra Indonesia modern, jelas sekali pengaruh Raja Ali Haji. Beliau telah berupaya dalam memelihara dan mengembangkan kembali bahasa dan sastra Melayu yang mulai merosot pada akhir abad ke-18, mempunyai dampak yang tidak sedikit bagi perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia. Bahasa Melayu yang digunakan penulis-penulis Betawi abad ke-19 seperti Mohammad Bakir dan Ahmad Beramka, adalah lanjutan bahasa Melayu yang dikembangkan Raja Ali Haji dan pengarang-pengarang Riau abad ke-19. Lebih lanjut ditegaskan Abdul Hadi, bahasa Indonesia/ Melayu yang dipergunakan pengarang-pengarang 19201930-an seperti Merari Siregar (Azab dan Sengsara), Marah Rusli (Siti Nurbaya), Abdul Muis (Salah Asuhan), Muhammad Yamin, Muhammad Hatta, Sanusi Pane, Amir Hamzah dan Hamka adalah bahasa Indonesia lanjutan

107


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

bahasa Melayu yang digunakan Raja Ali Haji dan Hamzah Fansuri, bukan lanjutan bahasa Melayu Pasar seperti digembar-gemborkan oleh Pramudya Ananta Toer. Raja Ali Haji bukan sekedar produk dari zamannya, tetapi adalah hati nurani dan suri tauladan utama bagi bangsanya. Di samping Raja Ali Haji—sebelumnya—dalam tahun 1997, Raja Haji yang menjadi Yang Dipertuan Muda Riau IV, yang ditugas oleh Sultan Mahmud Riayat Syah untuk menjadi pimpinan perang melawan Belanda di laut Tanjungpinang dan Teluk Ketapang Malaka, dalam tahun 1784, yang diangkat oleh Presiden RI menjadi Pahlawan Nasional. Namun perlu dipahami dan dimaknai benar, bahwa Belanda dengan tegas dan terang-terangan mengatakan, sesungguhnya tokoh di sebalik perperangan antara Kerajaan RiauLingga-Johor dan Pahang di lapangan, sebagai pelaku utama yang bertanggungjawab sepenuhnya, adalah Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Dan pahamlah kita, bagaimana kedudukannya dalam perang itu dan di mata Belanda. Sehingga dengan segala perjuangan dan jasa-jasanya yang besar, luar biasa dan monumental serta menjadi tauladan dan spirit bagi anak bangsa dari masa ke masa, maka patutlah adanya beliau diangkat oleh Presiden Republik Indonesia menjadi pahlawan nasional dari Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, yang sejak Indonesia merdeka sebagian wilayahnya menjadi Provinsi Riau dan dalam tahun 2004 dimekarkan lagi menjadi Provinsi Kepulauan Riau, sehingga kawasan Melayu RiauLingga itu, kini sebagai Riau dan Kepulauan Riau! Simpai Kalam Sultan Mahmud Ri’ayat Syah sudah mewariskan kebudayaan, peradaban, tamadun Melayu yang nyatalah

108


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

manfaat dan faedahnya bagi bangsa Indonesia, dan Malaysia, yang mungkin juga Singapura. Baginda adalah Bapak Tamadun Melayu, Pahlawan Nasional dari Kepulauan Riau. Nama besarnya patut diabadikan untuk nama pusat Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau, yakni “Kawasan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah, Pulau Dompak, Tanjungpinang�. Dalam dunia aksara telah diwarisi dan diwariskan oleh Raja Ali Haji dan pengarang-pengarang selepasnya. Sehingga kini pewaris itu, ianya bernama Haji Abdul Malik. Karyanya sudah beberapa diterbitkan, hadir di tengah khalayak ramai utamanya pembicara sehingga pengabdiannya sebagai pengarang sudahlah menjulang dan bolehlah dibilangkan nama. Kalam adalah alat sejati manusia bagi menerajui bahtera dunia mewujudkan kebudayaan dan peradaban. Sekaligus sebagai alat mengambil bekal untuk kematian dan kekal abadi dalam kebahagiaan dan kemuliaan di sisi Tuhan, Allah SWT. Tahniah! Maka, ketika sesiapa tiada menulis, syahdan habislah ia!*** Drs H Abdul Kadir Ibrahim MT Sastrawan Melayu, tinggal di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau.

109


110


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN XVI

Kita Rindu Kicau Burung Tiung Seri Gading Itu (Mengenang Setahun Kepergian Budayawan Hasan Junus) Oleh Fakhrunnas MA Jabbar TAK terasa, setahun sudah budayawan Hasan Junus berpulang kerahmatullah. Tepatnya 30 Maret 2012 sekitar pukul 23.00 WIB, tokoh yang identik dengan ‘Burung Tiung Seri Gading’ –judul naskah roman dan drama yang dikarang semasa hidupnya- itu menghembuskan napas terakhirnya. Hasan dilepas istri dan seorang putri kesayangan dan semua orang yang pernah menjalin kisah silaturahim dengannya. Seseorang hadir di bumi kala disambut suara jerit tangis sang bayi namun ditingkahi senyum dan tawa manis kedua orangtua dan para kerabat di sekitarnya. Hasan pun mengalami metamorfosis yang sama. Galibnya sebuah perjalanan, ada saat datang dan ada pula saat pergi. Kepergian Hasan itulah yang selalu saja menyisakan rasa kehilangan dan sesegukan duka yang tak tahu kapan keringnya. Terus terang, tak banyak orang yang kebetulan mengingat pasti tanggal setahun kepergian Hasan Junus ini.

111


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Seingat saya, salah seorang yang ikut gelisah karena merasa hampir kehilangan momennya adalah sastrawan dan penggiat teater, Fedli Azis. Kami pun sempat berbincang lewat dunia maya. Dan perbincangan itu pun berhasil mewujudkan sebuah acara bincang-bincang di DKR yang nyaris tanpa gendang dan palu yang berdentam-dentam. Hasan yang semasa hidupnya tunak menggeluti dunia sastra di sejumlah kota memang sampai detik-detik terakhir berlabuh juga di tanah Melayu Riau. Memang bumi Riau ditengarai sejak dulu menjadi pusat bahasa dan kebudayaan Melayu serumpun yang sudah tahbiskan secara nyata di dalam Visi Riau 2020. Tak ada hari tanpa sastra bagi Hasan. Pengabdiannya dalam dunia sastra berkelindan dengan jurnalistik sastra melalui keberadaannya selaku Pimpinan Redaksi majalah sastra Sagang bersama sejumlah seniman dan sastrawan lain di antaranya Armawi KH, Dantje S Moeis dan Zuarman Ahmad. Melalui tangan ketulusannya, majalah itu mampu bertahan selama puluhan tahun dalam menggelorakan semangat Melayu lewat karya-karya puisi, cerpen, roman dan esai. Hasan tak hanya sekadar memberikan laluan bagi para sastrawan lain dalam melabuhkan karyanya. Namun, Hasan sendiri sudah dikenal luas sebagai sastrawan Indonesia yang kreatif dengan melahirkan karya-karya sastranya yang bernilai tinggi. Sejumlah puisi, cerpen, esai dan karya terjemahannya sudah dipublikasikan sejak tahun 1960-an di tanah kelahirannya, Penyengat. Pada masa itu, Hasan bersama teman-teman sastrawan lain di antaranya Rida K Liamsi (nama pena Iskandar Leo), Eddy Mawuntu, Ibrahim Sattah, Sudirman Backry (abang Sutardji Calzoum Bachri) menerbitkan majalah sastra Jelaga, Solarium dan beberapa nama lagi. Sejumlah cerpen Hasan juga sudah dimuat di majalah

112


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

sastra Horison yang sangat bergengsi masa itu sebagai barometer sastra Indonesia. Saya sempat menemukan majalah Horison yang memuat karya Hasan di Perpustakaan Nasional satu dasawarsa silam. Waktu itu, saya mencari dokumen lama atau kliping tulisan yang berkaitan dengan pujangga Soeman Hs yang saya tulis ulang biografinya. Salah satu cerpen Hasan yang berhasil saya temukan –dan dulu sangat dibanggakan Hasan sewaktu saya bercerita dalam pertemanan yang akrab- ada Perang Biawak. Ada juga sejumlah puisi Hasan yang memang tidak terlalu produktif dilahirkannya. Begitu pula sejumlah hasil terjemahan Hasan terhadap puisi dan cerpen yang ditulis oleh sastrawan dunia. Hasan begitu bergembira ketika saya menyerahkan fotokopi kliping tulisannya itu. Kebiasaan Hasan untuk menjalani hari-hari kreatifnya memang tak pernah berhenti. Ada saja yang ditulis Hasan sesuai kelebihan ilmu dan wawasan yang dimilikinya. Salah satu yang membuat Hasan memiliki keunggulan karena penguasaan beberapa bahasa seperti Spanyol, Prancis dan Inggris tentu saja. Saat saya hampir sehari-hari menemani Hasan –sebelum menikah- di kediaman sewaannya, paling sering Hasan melapalkan ucapan bahasa Prancis dan Spanyol yang begitu fasih. Belum lagi, Hasan secara spontan menerjemahkan karya-karya kreatif sastrawan dunia termasuk esai-esai pemenang Hadih Nobel Sastra. Melalui hubungan baik dan korespondensinya para peneliti sastra di berbagai belahan dunia, Hasan selalu mendapatkan kiriman buku-buku terbaru atau suratkabar yang memuat cerita tentang perkembangan sastra dunia itu. Seingat saya, Hasan waktu itu berhubungan baik dengan Henry Chambert Loir di Prancis Jan Van Der Puten (Belanda) dan sejumlah peneliti sastra di negeri jiran Singapura

113


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

dan Malaysia. Saya jadi teringat ketika menghadiri Hari Sastra di Kuala Lumpur, Malaysia sekitar tahun 2000-an. Saya kebetulan bertemu dan berbincang dengan Henry Chammbert Loir yang menjadi salah seorang pembicara dalam acara itu. Saya menyampaikan ihwal Hasan Junus pada peneliti Prancis itu. Cerita kami pun menjadi intens saat membahas soal Hasan Junus. Memang pertemanan Hasan dan Henry sudah berlangsung sangat lama. Begitulah Hasan selalu menulis perkembangan sastra di tanah air dan dunia yang dipublikasikannya melalui rubrik sastra Cakap Rampai-rampai atau Rampai di Riau Pos Minggu. Hasan pun sudah menerbitkan kumpulan Rampai itu dalam sejumlah buku yang diprakarsai oleh Riau Pos atau Yayasan Sagang. Saya masih ingat, setiap diumumkan pemenang Nobel Sastra, Hasan menulis tentang pemenang dan karya-karyanya. Apalagi sejak era internet, Hasan tentu lebih mudah lagi melakukan searching data yang begitu banyak. Kicau Hasan melalui rubrik Rampai itulah laksana kicau burung tiung seri gading yang kini memasuki masa istirahat. Setiap terbit, kicauan Hasan melalui esainya yang anggun dan berbunga-bunga karena ditulis dengan keindahan katakata yang mempesona. Banyak orang terkesima. Ketika Hasan sudah tiada, terasalah betapa sesungguhnya kita semua merindukan kicauan itu. Apalagi di saat belum tiada seorang pun dari generasi sastra kini yang mampu menggantikan keberadaannya. Ketunakan Hasan memang tak sebatas bergelut dengan sastra modern. Penguasaan Hasan tentang naskah-naskah Melayu lama atau naskah kuno Melayu justru sudah ditekuninya sejak di kampung halamannya dulu. Bisa dimafhumi bila di rumah Hasan terjajar ratusan buku dan naskah kuno yang tersimpan di lemari ruangan

114


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

kerjanya. Saya tak tahu persis bagaimana nasib koleksi buku Hasan itu kini. Pasalnya, banyak pihak yang berminat untuk menyelamatkan koleksi dan dokumen sastra Hasan. Hasan tentu saja kini sudah menjadi salah satu tonggak perjalanan sastra di Tanah Melayu serumpun. Tentulah tak bakal ada lagi karya baru Hasan. Atau kicauan merdu si burung tiung. Namun karya-karya Hasan yang tersebar di berbagai majalah, suratkabar dan buku yang berhasil ditulis dan diterbitkan akan selalu menjadi kicauan berharga dalam perkembangan sastra di tanah air. Tak begitu pasti, apa yang dilakukan pihak pemerintah Provinsi Riau melalui instansi terkait seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata atau Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dalam memberikan perhatian terhadap karya-karya para sastrawan Riau termasuk Hasan Junus yang telah menempatkan Riau pada posisi yang ranggi dalam peta kesusastraan Indonesia. Pernah salah satu dinas itu mencetak ulang karya roman dan esai sejumlah sastrawan Riau. Namun, tak banyak yang tahu, bagaimana proses seleksi dan pertimbangannya sehingga tak semua karya sastrawan Riau yang berbilang generasi yang sempat tersentuh. Belum lagi, ke mana saja distribusi buku-buku itu dan bagaimana orang awam bisa mendapatkan atau mengaksesnya. Bila perhatian terhadap karya-karya sastrawan Riau hanya sekadar melegetimasi proyek penerbitan buku, tentulah amat disayangkan bila negeri yang berjulukan Negeri Sahibul Kitab ini lama-kelamaan tenggelam dalam hingar-bingar dinamika kesusastraan di kota lain termasuk provinsi tetangga.*** Fakhrunnas MA Jabbar Sastrawan yang aktif dan produktif menghasilkan karya-

115


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

karya berupa puisi, cerpen, esai dan banyak lagi. Karya-karyanya, selain dimuat dalam berbagai media massa juga sudah banyak yang dibukukan. Kini bermastautin di Kota Bertuah Pekanbaru.

116


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN XVII

Membincangkan Kritik Puisi Apresiatif Oleh Desi Sommalia Gustina TAK sedikit kalangan beranggapan bahwa memahami puisi merupakan suatu hal yang sulit, terlebih lagi jika harus bertindak sebagai “kritikus”. Namun, Maman S Mahayana bilang, setiap pembaca karya sastra, pada dasarnya dapat bertindak sebagai “kritikus” jika ia menuliskan tanggapan terhadapnya. Setidaknya seperti yang dilakukan oleh Soni Farid Maulana dalam buku kumpulan esainya yang berjudul Apresiasi dan Proses Kreatif Menulis Puisi. Buku ini berisi 14 esai sastra. Sebagaimana judul buku, esai-esai dalam buku ini sangat kental dengan semangat mengapresiasi atas karya sastra bernama puisi. Di samping itu, buku yang diterbitkan oleh penerbit Nuansa (Bandung, 2012) ini juga menawarkan sudut pandang lain yang mungkin dapat dilakukan pembaca dalam memberikan apresiasi. Misalnya menulis tentang proses kreatif penyair dalam mencipta puisi. Seperti salah satu esai dalam buku ini, di mana Soni Farid Maulana (selanjutnya

117


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

saya singkat SFM) menulis tentang pengetahuannya seputar proses kreatif penyair WS Rendra dalam menulis puisi (Rendra, “Puisi Lahir dari Pengalaman yang Dihayati”), di samping juga mengulas pandangan Rendra terhadap puisi. Yang mana dalam esai itu disebutkan, bahwa puisi tidak lahir begitu saja dari tangan penyair yang dijuluki “Burung Merak” itu, sebab puisi bagi Rendra adalah penghayatan dari pengalaman dan tidak ditulis berdasarkan khayalan sematamata, seakan-akan penyair mengalami peristiwa tersebut. Melalui esai tersebut tampak betapa SFM mampu memberikan apresiasi dari sudut pandang lain, di samping juga membuka semacam ruang dialog kepada pembaca, tetapi tentu saja tanpa melupakan membuat penafsiran terhadap materi puisi. Tetapi yang perlu diingat, meskipun buku ini merupakan buku kritik sastra, SFM tampaknya tidak bermaksud membuat pembaca mengerutkan kening demi memahami penafsiran yang ia lakukan. Sebab buku ini ditulis dengan bahasa yang cair dan renyah sehingga mudah dipahami, tetapi tetap dengan kualitas penafsiran yang terjaga. Dengan demikian, buku ini dapat dikatakan menjadi jembatan dalam hal mendekatkan pembaca dengan karya sastra, terutama puisi. Di samping juga memangkas anggapan bahwa puisi merupakan kumpulan teks sastra yang rumit. Karena, membaca buku ini imajinasi pembaca dibiarkan liar saat memaknai puisi, namun tetap dipandu agar tidak tersesat, ditunjukkan jalan untuk memahami puisi secara mudah, dan dibimbing agar menemukan kedalaman dari puisi yang ia baca. Itulah sebabnya buku ini menjadi penting untuk dibaca, karena dengan analisis yang dilakukan oleh SFM setidaknya telah membantu siapa saja yang ingin menggeluti puisi, dan mengakrabi teks dalam puisi—di samping juga mengakrabi

118


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

keunikan proses kreatif penyairnya, dengan pendekatan yang tidak rumit. Dan yang terpenting lagi, buku ini memberikan contoh puisi lalu mengulasnya. Salah satu ulasan terhadap puisi yang dilakukan SFM dalam buku ini dapat dilihat pada halaman 150, di mana dalam esai tersebut SFM mengulas puisi Oka Rusmini (“Warna Lokal Bali dalam Puisi Oka Rusmini”). Dalam esai tersebut, SFM memperbincangkan tentang kultur dan kekhasan Bali sebagai salah satu kekuatan puisi-puisi Oka Rusmini. Salah satu puisi Oka Rusmini yang diulas oleh SFM dalam esai tersebut berjudul “BajangBajang”. Berikut teks puisi tersebut saya tampilkan kembali: BAJANG-BAJANG (II) Kau tersenyum Ada yang berubah pada tubuh dan bau perawan milikmu Sang Dewi mulai mengisi bilik hati Beratus petuah kutelan Kubiarkan masuk tenggorokan dan mencoba merasa berarti Canang, tipat dampul, dan beratus juta banten menisik kemahiran milikmu dan kau harus mengingat ragam itu Metanding dengan bau aneh, wangi aneh Kau bicara dengan alat itu untuk mengintip diriNya Betara Surya, Betara Bayu, Betara … Kau hafal semua itu Khusyuk kau serahkan diri untuk bumi, untuk Griya, untuk Tuniang untuk Aji untuk Biang…. Semuanya

119


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Untuk membuat penafsiran terhadap puisi sejatinya sangat bergantung pada tingkat wawasan dan pengalaman pembacanya. Begitupun untuk menafsirkan puisi Oka Rusmini tersebut di atas. Dalam puisi “Bajang-Bajang� tersebut, tampak banyak kata yang dicetak miring. Dalam kaitan ini, untuk memahami kata yang dicetak miring tersebut, maka wawasan pembaca sangat diperlukan. Sebab hakikat dari puisi adalah metafora. Maka untuk memahami metafora yang terdapat dalam puisi, sangat diperlukan penafsiran yang logis dan masuk akal. Penafsiran yang demikian tentu harus didukung oleh wawasan dan pengalaman pembacanya. Menilik analisis yang dilakukan SFM terhadap puisi karya Oka Rusmini tersebut, setidaknya telah menunjukkan kemampuan penyair kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, tersebut dalam menafsirkan puisi. Hal ini terlihat dari ulasan yang dipaparkan SFM dalam esainya, mampu memberi pengetahuan baru terhadap pembaca dengan membongkar makna dari kata-kata yang dicetak miring dalam puisi “Bajang-Bajang� tersebut. Kata yang dicetak miring dalam larik pertama bait kedua dalam puisi tersebut menjelaskan mengenai benda-benda yang dipakai untuk upacara tradisional di Bali. Selain itu, dalam larik selanjutnya, tepatnya larik kesembilan dan kesepuluh dalam bait kedua puisi tersebut, ada sejumlah kata lainnya yang juga dicetak miring. Griya adalah rumah tempat tinggal kasta Brahmana, dan tuniang adalah nenek. Sedangkan Aji adalah ayah, dan biang adalah panggilan untuk perempuan-perempuan Griya. Melalui analisis yang dilakukan SFM dapatlah diketahui bahwa bahasa Bali dan simbol-simbol budaya yang disisipkan Oka Rusmini dalam puisinya tak saja sekadar permaian rima, tetapi mampu menambah wawasan dan memberikan pengetahuan baru kepada pembaca di luar orang Bali.

120


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, baik menafsir maupun menulis puisi seseorang harus memiliki pengetahuan dan wawasan. Karena dalam puisi kerap terdapat simbol-simbol serta pemakaian bahasa yang ambigu sehingga bisa menciptakan multi penafsiran. Selain memahami puisi, buku ini juga memberi pegetahuan kepada pembaca terkait mencipta puisi yang tidak gelap. Juga tentang bagaimana memungut metafora yang sederhana tapi menyisakan banyak jejak penafsiran. Sehingga ketika seseorang membaca puisi yang diciptakan oleh penyair, pembaca bisa meraih terang. Untuk menciptakan puisi yang demikian, sangat berkaitan dengan dorongan hati. Namun, dorongan hati dalam menulis puisi menurut SFM tidak muncul begitu saja dari dunia yang tidak dikenal, akan tetapi datang dari sebuah pengalaman yang dihayati secara total. Pengalaman yang dimaksud ada kalanya disebut sebagai pengalaman puitik, yang sumbernya bisa berasal dari pengalaman fisik maupun dari pengalaman metafisik dalam pengertian yang seluas-luasnya yang kemudian diekspresikan ke dalam bentuk tulisan. Dengan berbagai pengetahuan yang ditawarkan SFM dalam buku ini, tidaklah berlebih jika Senny Suzan Alwasilah, dosen penulisan kreatif Jurusan Sastra Inggris Universitas Pasundan, Bandung, dalam endorsementnya di belakang buku ini mengatakan bahwa buku setebal 197 halaman ini merupakan “buku wajib� dalam pembelajaran apresiasi puisi. Terlebih lagi buku ini telah menambah semaraknya kehidupan kritik sastra di Indonesia.*** Desi Sommalia Gustina Alumnus Pascasarjana Universitas Andalas, Padang.

121


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

122


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN XVIII

Meraup Bijak dari Sajak Oleh Riza Multazam Luthfy SEPENGGAL sajak Taufik Ikram Jamil (TIJ) bertajuk Pujangga Hasan Junus yang terbit pada 1 April 2012 dipetik menjadi judul buku ini, Sekeping Ubi Goreng. Selain karena memang patut diapresiasi, sajak tersebut dipersembahkan kepada Hasan Junus sebagai sastrawan Riau yang disepuhkan. Bila merunut asbabun nuzul-nya, sajak berisi enam bait tersebut direkacipta selepas keberangkatan Hasan Junus menghadap Sang Maha Perancang tepat sehari sebelum karya TIJ ini lahir, yaitu 30 Maret 2012. Guna menuang secuil memoar Hasan Junus, TIJ menulis: engkau telah membaca/ saat huruf-huruf baru menyusun makna. Dari potongan sajak di atas, terlihat keseriusan TIJ dalam menggambarkan sosok Hasan Junus, baik dalam mengekalkan imajinasi dan intuisi maupun ketika menghayati ritme kehidupan. Proses kreatif Hasan Junus dalam berkarya ataupun saat berkontemplasi, menghayati alur hidup, divisualkan dengan kata ‘membaca’. Barang tentu kata kerja ‘membaca’ tidak terbatas pada telaah buku, catatan, coretan, surat, serat,

123


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

dan lain sebagainya, namun lebih luas dan menjangkau hingga tataran mikrokosmos dan makrokosmos: seluruh rangkaian peristiwa di jagat raya. Bukan asal-asalan jika TIJ memilih kata satu ini. Sebab dengan membaca, kita bisa mengerti apa makna kehidupan sesungguhnya. Dengan membaca, kita mampu memahami esensi di balik segala fakta-realita. Meskipun demikian, kegiatan “membaca” oleh Hasan Junus sebenarnya barulah berada pada tahap permulaan. Hal ini ditunjukkan dengan frase: saat huruf-huruf baru menyusun makna. Mengingat, bagaimana pun juga manusia, siapa pun dia, berapa pun usianya, akan terus mengalami proses pembelajaran. Jadi, seorang pembelajar dituntut untuk senantiasa mengikuti garis-garis dalam memungut remah-remah pengetahuan, hingga ia bersua dengan batas besar yang menjadi penghalang (baca: ajal). Bagi TIJ, kepergian Hasan Junus menyebabkan keintiman dan keakraban dengannya selama ini harus dikorbankan. Inilah yang menyebabkan TIJ ‘kurang terima’ dengan kematian yang datangnya begitu tiba-tiba. Dengan penuh rasa menyesal, maka ia mempertanyakan kepada ‘yang diratapi’ ihwal kepergian yang terkesan amat tergesa-gesa: maka bagaimana engkau bisa pergi/ sementara semuanya masih di sini, di pucuk sajaknya. Sebanyak 84 karya dari 23 penyair yang terikat dalam buku terbitan Yayasan Sagang, Riau, akhir tahun 2012 ini merupakan sajak-sajak yang terbit di Riau Pos (rubrik Pujangga) setiap hari Minggu sepanjang tahun 2012. Sejumlah penyair terbilang produktif mengirimkan sajaknya, semisal Taufik Ikram Jamil, Syaukani al Karim, Jefri al Malay, M Badri, Musa Ismail, Riki Utomi, Marhalim Zaini, Isbedi Setiawan, dan Alvi Puspita, yang merupakan deretan nama dalam kancah sastra Indonesia. Akhir-akhir ini,

124


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

muncul pula beberapa nama baru, seperti Monda Gianes, Ekky Gurin Andika dan Deni Afriadi. (halaman vi). Tema-tema yang menjadi pilihan para penyair kini jauh lebih beragam. Namun demikian, persoalan Melayu dengan “rasa” tempatan yang sangat lokal senantiasa menarik untuk ditulis, baik dengan rasa lama maupun kontemporer (halaman viii). Ihwal Melayu yang dimaksud misalnya bisa ditengok dalam sajak Terkenang Melayu. Penyairnya, Sukardi, menyentak pembaca dengan racikan kata memesona: senandung Melayu/ kecintaanku memukat/ seperti hitam kopi yang mengendap/ tentang Melayu/ resam adat kutampi dari zaman ke zaman/ hingga kini masih terjunjung. Dengan sajak ini, kecintaan membabibuta pada akar sejarah Melayu dilukiskan begitu merdu dan mendayu-dayu. Kopi hitam sebagai visualisasi atas hati yang sedang dimabuk cinta menunjukkan bahwa meskipun bermodal tamsil sederhana, akan tetapi penyair tetap sanggup menghidangkan “rasa” sajak yang istimewa. Lain halnya dengan Marhalim Zaini yang menyajikan keindahan dan keberlimpahan makna dalam sajak Birahi Gunung: dari debu,/ kau menulis di daun-daun/ tentang duka tanah/ di malam ketigabelas/ yang gemetar// ada gigil,/ bukan oleh gugur hujan, dan/ dingin musim, tapi anak-anak api/ yang mendidih/ dalam tubuhmu// aku birahi, bisikmu. Pemikiran yang mendalam tentang hakikat kehidupan didapatkan penyair dari “sosok” gunung. Menghasilkan sajak yang memikat dengan memberdayakan kata-kata ‘lama’ untuk diolah menjadi metafora baru tentu bukan pekerjaan mudah. Tetapi, penyair sanggup melakukannya dengan lembut dan bernas. Adapun refleksi atas penciptaan alam dan isinya menjadi

125


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

daya kekuatan sajak Segumpal Tanah oleh Musa Ismail: segumpal tanah di tangan-Mu/ menjadi manusia dan pucuk-pucuk cemara/ menjadi hati dan buih-buih lautan/ juga daun-daun kering berguguran/ di hamparan bumi luas membentang. Dari cuilan sajak di atas belum nampak kegenitan penyair dalam “mencampuriâ€? urusan Tuhan. Kecerewetan penyair baru ditemu-rasakan dalam cuilan lainnya: rerumputan hijau, sejuk di telapak hati/ alirkan air ke nadinadi kehidupan, kebijaksanaan/ dari tanah-tanah yang merekah di musim kemarau/ langkah-langkah yang menjejaki tanah-Mu/ adalah segumpal tanah dari tanganMu/ menjadi putih, menjadi hitam/ lalu, kembali dalam kekosongan/ diam. Yang patut dinikmati tentu bukan hanya beberapa sajak yang telah disebut. Masih banyak sajak lain, semisal: Semburat Titis Hijau (Sujud Arismana), Adik Tak Berbaju (Muhammad Hanif MA), Bulan Berkalam (Kuni Masrohanti), Tentang Kepulangan (Hajral Sofi), Secangkir Kopi Sore Hari (Dwi S. Wibowo), Dialog sepasang Hawa (Nuraini), dan Kita Masih Saja Berbicara Lewat Peka Hujan‌ (Refila Yusra). Buku ini kian menarik, sebab di samping dipadati dengan sajak-sajak yang lembut, juga diselingi sejumlah lukisan. Di antaranya yaitu Meraih Prestasi (Dantje S. Moes), Wajah, Tangan dan Kaki (Furqon Elwe), Pertemuan (Masteven Romus), Jelatik (Adi Bagong), serta Bunga Lilin (M. Rafi).*** Yogyakarta, 2013 Riza Multazam Luthfy Menulis puisi, cerpen dan esai. Karya-karyanya bertebaran

126


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

di beberapa media, seperti Kompas, Jawa Pos, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Lampung Post, Koran Jakarta, Jurnal Nasional, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Bali Post, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Riau Pos, Sriwijaya Post, Surabaya Post, Radar Surabaya, Malang Post, Radar Malang, Radar Bojonegoro, Sumut Pos, Padang Ekspres, Haluan, Sumatera Ekspres, Jurnal Medan, Analisa, Waspada, Serambi Indonesia, Satelit Post, Kendari Pos, Majalah Basis, Majalah Sagang, Majalah Sabili, Majalah Annida, Majalah Cahaya Nabawiy, Okezone.com, dan Kompas.com. Cerpennya juga tergabung dalam antologi Negeri Sejuta Fantasi (2012). Ia adalah ahlul ma’had Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang. Sedang melanjutkan studi di program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

127


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

128


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN XIX

Perselingkuhan Berdarah di Kampung Petalangan Oleh Ahmad Ijazi H SEBUAH cerita pendek (cerpen) akan tampak berpenampilan lebih feminin dan melankolis ketika seorang sastrawan mampu menyuarakan suasana yang romantik dan puitis dalam karya sastra yang digagasnya. Hal tersebut dapat dicermati dari pilihan diksi yang unik serta aneh (yang di luar dari kebiasaan), selain karena kepiawaian penulisnya yang mampu mengakrobatik kata-kata sehingga kalimatkalimat yang ia tuangkan menjadi kemasan yang menakjubkan. Kiranya, seperti itulah kesan pertama yang membekas saat membaca paragraf awal sebuah cerpen apik karya M Raudah Jambak (MRJ) bertajuk Cerita dari Kampung Petalangan (CDKP), yang terangkum dalam Dari Seberang Perbatasan, kumpulan cerpen pilihan Riau Pos tahun 2012. Membaca paragraf-paragraf selanjutnya, diksi-diksi yang dilemparkan MRJ dalam cerpen tersebut semakin terasa tajam dan meruncing. Simak saja penggalan cerpen berikut: Hatinya gulana. Semacam beliung yang tak henti-

129


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

henti menderes batang padi. Mengoyak bilah-bilah dada. Lalu simak pula: sehingga ia tak lagi sanggup mengunyah defenisi-defenisi setia. Tak sanggup meneguk tuak-tuak nisbi, Mardiah, istrinya. Dilihat sekilas, kalimat-kalimat tersebut lebih mirip dengan penggalan-penggalan sajak yang berserakan, yang sengaja disisipkan penulisnya dalam tubuh cerpen, sehingga fragmen-fragmen yang terangkum di dalamanya menjadi tampak tidak biasa (berbeda) dari cerpen-cerpen kebanyakan. Tema yang digagas MRJ dalam cerpen ini cukup menarik. Berbicara tentang perselingkuhan. Sebuah tema yang sejatinya sangat rentan terjadi dalam wilayah internal keluarga. Banyak hal yang melatarbelakangi terjadinya perselingkuhan, diantaranya; tidak adanya kecocokan satu sama lain hingga hubungan yang terjalin menjadi terasa membeku dan hambar, pertengkaran yang kerap terjadi yang bersumber dari keegoisan masing-masing, masalah finansial yang tidak stabil dalam keluarga, atau hal-hal intim lainnya seperti penyakit yang diderita (mandul, impotensi, cacat fisik, dll). Hal itu pula yang agaknya mematik konflik dalam cerpen CDKP ini. Akibat perselingkuhan, tragedi berdarah pun terjadi di sebuah kampung petalangan. Dikisahkan (sejak pada bagian awal cerita), aroma perselingkuhan itu tercium amat kental di hidung “Abangda� (panggilan sayang sang istri, Mardiah, kepada si lelaki, suaminya). Usai Mardiah berpamitan untuk berjualan jamu, Abangda menguntit kepergian sang istri dari belakang. Sudah menjadi kebiasan, Mardiah akan pulang ketika hari beranjak maghrib. Pulang dengan senyuman yang paling hangat, kendati otak-otak yang ia jajakan hari itu hanya sedikit yang terjual. Namun kemesraan di antara keduanya seperti tak

130


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

pernah memudar. Satu sama lain saling memperlihatkan rasa cintanya yang begitu besar. Kecupan sayang tak pernah terlupakan, selalu seperti pengantin baru, kendati usia pernikahan mereka telah terbilang cukup lama. Tetapi, pada suatu ketika, Abangda tak mampu menahan untuk tidak melontarkan sebuah pertanyaan yang begitu menohok jantung Mardiah, bahwa: ia kerap menyaksikan istri yang teramat ia cintai itu dipeluk seorang bujang dari belakang—di sebuah pelabuhan. Tanpa bisa menyembunyikan rasa keterkejutannya, Mardiah berusaha berkilah. “Lelaki itu hanya pelanggan,” begitu Mardiah menjawab. Tetapi Abangda terus mengejarnya dengan rentetan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. Hingga pertengkaran sengit pun tak dapat dihindari. Keduanya sama-sama keras mempertahankan argumen mereka masing-masing. Mardiah yang kian tersudut akhirnya mengeluarkan senjata pamungkasnya: “Abangda, dengar, seburuk apa pun aku di pikiranmu, aku tidak akan menodai mahligai perkawinan kita.” Begitulah cara Mardiah mengeksekusi keadaan. Telak. Mendengar perkataan Mardiah itu, letupan amarah di jantung Abangda pun seketika meleleh. Mereka kemudian larut dalam irama desah, lumatan, pagutan, serta gairah yang semakin memuncak. Sementara hujan bermain dengan suasana beku yang kian intim mewarnai malammalam keduanya yang semakin panjang. Tetapi Abangda tetap tak mampu menepis rasa gamang yang sejak lama telah merasuk dalam lingkar kepalanya. Sebagai seorang pengangguran, Abangda sering merasa rendah diri di hadapan istrinya. Ia begitu mengimpikan memperoleh pekerjaan tetap serta menjalani kehidupan dengan penghasilan yang cukup, tetapi semua harapannya itu seperti enggan menghampirinya. Abangda sungguh

131


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

merasa amat sedih dan kecewa. Ia terlampau jemu menyaksikan sang istri bekerja menjajakan otak-otak kepada setiap pelanggannya setiap hari, sementara ia hanya meringkuk dalam peraduan tanpa bisa melakukan apa-apa. Terlebih saat kenyaatan pelik tentang buah hati yang tak kunjung datang. “Kita belum punya anak,� begitu Abangda melontarkan risau yang berkecamuk di hatinya. Tetapi Mardiah hanya menanggapinya dingin. Ia tak ingin kesedihan itu kembali menggerayangi rongga dadanya. Ia tak ingin hari-harinya kembali diwarnai dengan pertengkaranpertengkaran yang tak kunjung terselesaikan. “Abangda, dengarkan aku. Tidak ada setitik pun dalam pikiranku untuk merendahkanmu. Kau adalah pahlawanku. Sebagai seorang pahlawan, aku ingin berbuat sesuatu untukmu. Dan aku hanya bisa melakukan itu. Aku hanya bisa sebagai penjual otak-otak. Aku tidak bisa lebih dari itu. Percayalah.� Kembali Mardiah mampu mendinginkan suasana dengan kata-katanya yang meluluhkan. Bila dicermati, kata-kata tersebut seperti terkesan berlebihan. Tetapi itulah senjata yang digunakan Mardiah agar suaminya tetap mempercayainya. Sejatinya, setiap orang yang merasa terancam, (karena telah ketahuan selingkuh) akan berperilaku sedikit tak wajar, di luar dari kebiasaan. Seperti halnya Mardiah yang memperlihatkan perhatian lebih dari biasanya. Tujuannya tidak lain adalah agar ia tak dipandang tercela di mata sang suami, kendati perbuatan hina (selingkuh) itu benar-benar telah ia lakukan. Kata maaf terkadang terlalu murah untuk diucapkan. Apalagi jika kesalahan yang sama kembali dilakukan, bahkan sampai berulang-ulang. Dan situasi itulah yang agaknya dihadapi Abangda. Hari itu, Mardiah tak bisa bekerja seperti biasanya lantaran sakit. Abangda tak menaruh curiga sedikit

132


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

pun. Ia percaya saja jika istrinya itu memang benar-benar sedang sakit. Abangda pun pergi, bekerja menyusuri kampung Petalangan, menggantikan sang istri. Seperti yang dilakukan Mardiah, Abangda pulang sebelum maghrib menjelang. Langkahnya yang jenjang menapaki jalan pulang dengan penuh kerinduan. Ia ingin memberi kebahagian pada Mardiah yang sedang tebaring lemah dalam peraduan. Namun harapan itu kemudian lebur menjadi malapetaka yang begitu mengerikan. Tepat saat Abangda telah menjejak pintu rumahnya, ia dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang sangat menjijikkan. Ranjang di rumahnya kini dipenuhi desah, peluh, serta birahi, tetapi bukan desah, peluh, serta birahi miliknya, melainkan milik laki-laki lain. Sesak di jantung Abangda sungguh tak dapat tertahankan lagi. Perbuatan hina yang dilakukan Mardiah dengan laki-laki selingkuhannya itu membuat amarahnya meledak. Seperti kerasukan iblis, Abangda menikamkan belati di tangannya, hingga ranjang itu seketika memerah dibanjiri darah. Begitulah kisah diakhiri, tanpa ada penjelasan bagaimana nasib para tokoh selanjutnya. Belati yang ditikamkan pun masih terkesan samar, tak jelas siapa yang tertikam belati; apakah Mardiah, laki-laki selingkuhannya, atau Abangda justru menikamkan belati di tangannya itu ke tubuhnya sendiri. Tetapi jika dicermati dari paparan di ending cerita, tikaman belati itu merujuk pada tubuh Mardiah atau laki-laki yang menjadi selingkuhannya. Gambaran itulah kiranya yang paling logis setelah merunut konflik, serta sebab-akibat yang terjadi dalam cerpen ini. Melalui cerpen CDKP ini, MRJ mencoba membidik ranah sensitif keluarga miskin yang tidak harmonis. Perselingkuhan adalah kebiasaan buruk yang menjadi faktor terbesar pemicu kehancuran dalam rumah tangga. Ikatan

133


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

suci pernikahan yang direkatkan dengan ijab kabul yang sakral seketika akan menjadi tak bernilai lagi bila kesetiaan telah dinodai oleh sebuah pengkhianatan. Kendati rentetanrentetan masalah kerap mewarnai dalam kehidupan berumah tangga, tidak lantas melunturkan perasaan cinta kita terhadap pasangan, tetapi justru menjadikannya semakin kokoh dan kuat.*** Ahmad Ijazi H Menulis esai, puisi, cerpen dan novel. Bergiat di FLP Riau, serta mengajar di Ponpes Al-Uswah Pekanbaru.

134


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN XX

“Plastik Dicintai Sekaligus Dibenci” (Analisa Pesan dalam “Penggambaran Kembali” Pengalaman dari Teater “Segera” Karya Rahman Sabur) Oleh Jefri al Malay PESAN dalam sebuah pementasan teater atau drama menjadi sesuatu yang dapat digambarkan kembali tatkala ia mengusik minda kita. Pesan yang didapat itu bisa saja menjadi beragam tafsir, tergantung latar belakang (perspektif) dari mana hal itu dipandang. Kelompok Teater Payung Hitam dengan pementasannya berjudul “Segera” karya Rahman Sabur yang telah dipentaskan di Anjung Seni Idrus Tintin (18/6), saya kira akan menjadi sesuatu yang menyimpan misteri di kepala kita, dalam arti kata akan bermunculan beragam tafsir setelah kita menyaksikannya. Dan saya dari sekian banyak penonton akan mencoba menafsir pesan yang tersembunyi di antara “teror” gerak dan set properti yang telah dieksplorasi sedemikan rupa oleh sutradara Rahman Sabur. Tentu saja dalam hal ini, saya sudah memiliki “konsep” saya sendiri dengan berusaha melihat adanya pola-pola hubungan di balik pengalaman

135


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

pentas tersebut. Dengan demikian “Segera” karya Rahman Sabur dapat dilihat dari dua macam jenis aspek yakni teater sebagai pengalaman wujud pandangan mata (apa yang tampak) dan teater sebagai rasa yakni tatkala bentuk-bentuk gerak, bunyi, cahaya, seni rupa, musik dan pesan yang terbaca mengalami proses “pencernaan”. Teater Sebagai Apa yang Tampak Sebagai pengalaman wujud pandangan mata, teater “Segera” yang apabila dilihat secara kasat mata adalah sebuah panggung teater yang menghadirkan penggal atau sketsasketsa hidup gambaran dari nilai-nilai “kebaikan” yang bertembung dengan “keburukan”. Ia menjadi semacam ironis dalam kehidupan. Betapa tidak, setiap aktor dan set properti yang telah dieksplorasi oleh sutradara, menggambarkan kesan kekerasan, kemuakan, kengerian, ketakutan, kecemasan, kecintaan dan juga kemirisan yang pada akhirnya harus ditertawakan. Hal itu dapat kita temui di beberapa penggal dalam pementasan tersebut. Perempuan yang duduk di kursi plastik, mengarahkan senter dimukanya kemudian menjatuhkan diri atau terjatuh berkali-kali dengan gerakan serupa itu juga. Tidakkah ini mengisyaratkan apa yang saya maksudkan di atas. Laki-laki yang kakinya terikat tali plastik dan jirigen kecil, merasa risih dengan hal itu ia pun berusaha melepaskannya. Dalam kecemasan dan kemuakannya itu, pada akhirnya menghancurkan setting yang telah tertata di atas panggung. Tentu saja hal itu sudah diatur sedemikian rupa oleh penata artistiknya. Dan hal itu pula yang jadi menarik, kejelian sutradara dalam menempatkan detil-detil set properti menjadi hal yang akrobatik. Dalam sekejap mata, seting hancur dan menjadi tumpukan sampah plastik di atas

136


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

panggung. Saya kira di sinilah semuanya bermula. Di sinilah bermula ketakutan itu, kecemasan, kemuakan, kemirisan, kelucuan terhadap kebodohan. Karena memang yang terhidang di depan mata adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri dari hal yang tersebut di atas. Tetapi ia-nya tentu saja tidak dalam bentuk verbal. Ia hadir dalam bentuk simbol dan bisa saja hadirnya bahkan tidak kita kenal. Tetapi bukankah simbol merupakan dunia batas antara yang dikenal dan “yang lain� yang tak dikenal itu. Rahman Sabur sebagai sutradara saya kira dalam pementasannya itu tidak pula menempatkan simbol yang tidak berlandaskan budaya kita. Artinya kita akan menemukan dari apa yang ternampak berbagai kemungkinan-kemungkinan pesan dari simbol yang dihadirkan. Namun perlu saya paparkan bahwa kesan yang muncul tersebut tidaklah menyamai ketika kita menyaksikan langsung dengan peristiwa-peristiwa pembunuhan atau tindak kekerasan lainnya seperti perut tebusai, kepala terpenggal, dan lainnya. Kesan yang kita tangkap sudah terkemas ke dalam wilayah estetika seni. Nah, ke semua itu bila dikaitkan dengan pesan yang hendak disampaikan Pentas “Segera� ini menurut hemat saya adalah persoalan keberaadan plastik. Sebagaimana yang tertera di ulasan pada booklet yang diberikan bahwa dampak negatif sampah plastik tidak sebesar fungsinya. Butuh waktu 1000 tahun agar plastik dapat terurai oleh tanah. Saat terurai, partikel-partikel plastik akan mencemari tanah dan air. Jika dibakar akan menghasilkan asap beracun yang berbahaya bagi kesehatan yaitu jika proses pembakarannya tidak sempurna, plastik akan mengurai di udara sebagai dioksin. Senyawa ini sangat berbahaya bila terhirup manusia. Dampaknya antara lain, dapat memicu penyakit kanker,

137


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

hepatitis, pembengkakan hati, gangguan sistem syaraf, dan memicu depresi. Tahukah kita selama ini bahaya plastik sedemikian mengerikan? Sementara itu, dalam keseharian kita hampir keseluruhan kebutuhan membutuhkan dan menggunakan plastik yang telah di daur ulang. Bahkan sampai kepada permainan anak-anak. Inilah yang barangkali disebut dengan ironis oleh sutradara. Sesuatu yang kita cintai karena efesien, ekonomis dan sekaligus pula harus kita benci. Teater Sebagai Rasa Mari pula kita kaitkan pesan dengan simbol gerak, set properti dari pengalaman pementasan ke dalam sebutan saya tadi yaitu teater sebagai rasa. Teater Payung Hitam dengan sadar sebenarnya menghadirkan pesan dalam bentuk eksplorasi bahasa tubuh dan set properti untuk kemudian kita rasakan dengan penuh kesadaran. “Rasa” yang saya maksudkan di sini adalah hasil tangkapan indrawi terhadap suatu objek yang kemudian dikaitkan pula dengan tema yang disuguhkan sebuah pementasan atau karya. Tentu saja di sini perlu proses pencernaan. Kita atau katakanlah saya, begitu terasa mengasyikkan tatkala mengapresiasi pentas “Segera” meskipun sebenarnya diteror dengan berbagai simbol, emosi yang terbangun, ketegangan, tensi meninggi, keterkejutan, kelucuan tetapi kemudian begitu pementasan selesai, ada semacam rasa yang hinggap bahwa sketsa-sketsa yang telah dikemas oleh sutradara adalah sebuah peristiwa ironis yang merasuk ke dalam diri. Awalnya kita terpana dengan gerak atau pilihan komposisi bloking namun kemudian sutradara “mematahkannya” dengan kejutan atau bahkan sentakan yang tak disangka-sangka. Awalnya kita merasa nyaman dengan set properti tapi sekejap kemudian hancur menjadi sampah-

138


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

sampah plastik yang menyelerak di atas panggung. Dan banyak lagi sketsa yang hadirnya serupa demikian. “Rasa� ini yang kemudian saya kira dialihkan dalam proses pementasan ini. Kita begitu dekat dengan yang namanya plastik tapi kemudian ternyata plastik itu berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan. Kita begitu membutuhkan, begitu merasa dimudahkan oleh fungsi plastik tetapi kita justru akan tersiksa olehnya. Begitu riang anak-anak bermain dengan permainan yang terbuat dari plastik namun diantara keriangan mereka ternyata ada bencana di kemudian harinya. Nah, demikian yang saya maksudkan teater sebagai rasa. Di balik teror yang terhidang di atas panggung, terselip rasa ironis tersebut. Teater Payung Hitam dengan ciri khasnya adalah menghilangkan kata-kata verbal dari pentas. Para pemain menjadi aktor sekaligus benda-benda yang “berbahasa�. Imaji kita terbangun dari tawaran bentuk tubuh dan gerak manusia, bunyi-bunyi yang biasa dan tak biasa, tata cahaya dan ke semua teknik yang terus digali kemungkinannya. Tetapi itu pula yang kemudian menurut saya menjadi menarik untuk diapresiasi. Karena meskipun kesempurnaan komunikasi itu adalah bahasa ternyata sesuatu yang bukan kata-kata verbal mampu juga mengantarkan sepaket pesan di pangkuan kita. Syabas Teater Payung Hitam yang sudah pentas di Negeri Lancang Kuning.*** Jefri al Malay Dikenal sebagai sastrawan muda Riau yang telah menghasilkan banyak karya sastra seperti sajak, cerpen dan esai. Buku kumpulan puisinya yang baru terbit berjudul Ke mana Nak Melenggang. Selain itu, alumni Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) dan saat ini sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unilak. Jefri tergabung di Sanggar Teater Matan. Bermastautin di Kota Bertuah Pekanbaru.

139


140


BAGIAN XXI

Membaca “Buku Berat� Oleh Masduri SEKITAR dua bulan yang lalu saya berkesempatan berkunjung pada salah satu penerbit di Yogyakarta. Karyawan penerbit itu banyak mengeluhkan problem pemasaran karena buku-buku terbitannya kurang banyak diminati pembeli. Minimnya minat pembeli bukan karena buku terbitannya tidak berkualitas, namun karena buku-buku terbitannya membuat dahi berkerut saat membacanya. Bukubuku tersebut biasanya sering disebut “buku berat�. Berat bukan karena jumlah halamannya banyak. Tetapi karena saat membacanya kita perlu konsentrasi penuh. Kadang untuk memahaminya dengan baik, butuh waktu lama dalam membacanya. Bahkan perlu dibaca berulang-ulang. Buku jenis ini sering disebut buku ilmiah. Karyawan penerbit buku itu juga secara terbuka menyampaikan bahwa minimnya minat pembeli terhadap bukubuku terbitannya, karena sekarang ini banyak penerbit yang menerbitkan buku-buku panduan (how to), seperti buku tips cepat sukses, kiat memperoleh beasiswa, motivasi hidup, atau pula buku-buku novel, catatan harian, dan sejenisnya. Buku

141


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

jenis ini sering disebut “buku ringan”. Lagi-lagi ringan bukan karena jumlah halamannya sedikit, tetapi untuk memahami buku jenis ini kita tidak perlu mengerutkan dahi. Membaca buku jenis ini bisa dijadikan sebagai hiburan diri. Bisa pula dibacanya saat sambil melakukan aktivitas lain. Singkatnya, buku ini sangat ringan sekali cara kita membacanya. Karena pembahasannya tidak jelimet. Sederhana, mudah, dan praktis. Kerisauan yang disampaikan salah satu karyawan penerbit buku itu, bukan sekadar persoalan buku-buku terbitannya tidak laku di pasaran. Namun, lebih dari itu ia juga sempat menjelaskan tentang nasib generasi masa depan Indonesia. Kekhawatiran itu lantaran sekarang sangat minim sekali pelajar atau mahasiswa, termasuk juga guru dan dosen, yang suka membaca “buku berat” itu. Hampir semuanya sekarang lebih suka membaca buku-buku haw to dan novel. Sebab buku-buku jenis ringan ini lebih mudah dibacanya. Untuk menamatkan satu buku tidak butuh berhari-hari, dalam hitungan jam pun bisa selesai. Tetapi kandungan pengetahuan dalam “buku-buku ringan” ini sangat minim sekali. Berbeda dengan buku-buku ilmiah, kandungan pengetahuannya sangat banyak sekali. Bahkan dalam semua paragraf sarat dengan kandungan pengetahuan. Jika bangsa kita jarang membaca buku-buku yang sarat dengan pengetahuan, tentu ancaman kemajuan bangsa Indonesia semakin nyata. Bacaaan-bacaan yang sarat dengan pengetahuan itu akan mengantarkan pembacanya menjadi intelektual mapan dengan daya kritis yang tinggi. Sehingga mampu membaca beragam problem kebangsaan secara baik dan benar sesuai dengan spesifkasi keilmuan yang dimlikinya. Kita butuh pakar dalam segala bidang keilmuan, agar mampu memajukan semua aspek kehidupan bangsa

142


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Indonesia. Menjadi negara maju dan berkeadaban butuh banyak intelektual mapan yang mampu menggerakkan bangsanya agar selalu bekerja untuk kemaslahatan bersama. Untuk mencapai itu, tentu butuh anak-anak bangsa yang merelakan dirinya membaca buku-buku sarat pengetahuan berjam-jam. Selama ini bangsa kita masih termasuk negara dengan minat baca yang sangat minim. Masyarakat Indonesia lebih suka mencari informasi lewat televisi dan radio ketimbang buku atau media baca lainnya. Laporan bank Dunia no.16369-IND (Education in Indonesi from Crisis to Recovery) menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1) dan Singapura (74,0). Data Badan Pusat Statistik tahun 2006 menunjukan bahwa penduduk Indonesia yang menjadikan baca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5%. Sedangkan yang menonton televisi 85,9% dan mendengarkan radio 40,3%. Yang lebih menyedihkan, dari penelitian yang dilakukan Center for Social Marketing (CSM) tahun 2006, perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara, Indonesia mendapat poin nol. Perbandingannya, di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku. Pada Tahun 2011 berdasarkan survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) rendahnya minat baca di Indonesia sangat buruk, yakni 0,001 (dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi). Pun di tahun 2012, Indonesia berada pada posisi 124 dari 187 Negara dunia dalam penilaian Indeks Pembangunan

143


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Manusia (IPM), khususnya terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk, termasuk di dalamnya kebutuhan pendidikan, kesehatan dan melek huruf. Indonesia sebagai negara berpenduduk 165,7 juta jiwa lebih, hanya memiliki jumlah terbitan buku sebanyak 50 juta per tahun. Itu artinya, ratarata satu buku di Indonesia dibaca oleh lima orang. Minimnya minat baca ini menjadi keperihatinan mendalam, ditambah lagi buku bacaan mereka tidak sarat dengan pengetahuan. Artinya, dari jumlah hasil penelitian terhadap minat baca masyarakat Indonesia yang sangat minim itu, buku-buku yang dibaca itu pun tidak sarat dengan pengetahuan. Masyarakat Indonesia sangat jarang membaca buku-buku ilmiah. Kesukaran dalam memahami buku-buku itu menjadi kendala utama, sehingga bangsa kita banyak beralih bacaan pada buku-buku ringan yang tidak memiliki banyak ilmu pengetahuan. Akibatnya, banyak sekarang penerbit yang mencoba menyesuaikan dengan minat pembeli. Penerbit yang biasanya menerbitkan “buku berat” sekarang mulai sedikit menyesuaikan dengan selera pasar, dengan menyederhanakan bahasa buku itu agar tidak terlalu sulit pembeli untuk memahaminya, atau bahkan ada pula yang sudah berubah bidikan, jika dulu terbitannya “buku-buku berat”, namun karena selera pasar sekarang berubah, mereka juga ikut-ikutan menerbitkan “buku ringan”, seperti buku-buku how to dan novel. Sehingga sekarang jarang “buku-buku berat” beredar di pasaran. Hampir semuanya “buku-buku ringan”. Saya di sini, tidak mengatakan bahwa buku-buku how to atau novel tidak berkualitas, namun buku-buku jenis ini tidak sarat dengan pengetahuan. Kita bisa banyak mendapatkan tips dan hikmah hidup dari membaca bukubuku itu. Tetapi kiranya tidak cukup jika bangsa kita ingin maju hanya dengan membaca buku-buku how to dan novel,

144


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

kita perlu lagi memperbanyak bacaan buku-buku ilmiah dan hasil penelitan yang sarat ilmu pengetahuan, agar daya kritis dan kemampuan menganalisa persoalan semakin tajam. Bangsa-bangsa maju di dunia, memiliki banyak hasil penelitian ilmiah. Sedangkan di Indonesia berdasar data Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI), hingga saat ini jumlah jurnal ilmiah (cetak) di Indonesia hanya sekitar 7.000 buah. Dari jumlah itu hanya 4.000 jurnal yang masih terbit secara rutin. Bukti lain dari hasil penelitian Journal and Country Rank pada 2011, selama kurun waktu 1996-2010 Indonesia memiliki 13.047 jurnal ilmiah. Dari 236 negara Indonesia berada di posisi ke-64, jauh di bawah negara tetangga Malaysia dan Thailand yang masing-masing telah memiliki 55.211 jurnal ilmiah dan 58.931 jurnal ilmiah. Penelitian itu hanya menyangkut jurnal-jurnal yang ada di Indonesia. Belum lagi jika kita melakukan penelitian terkait jumlah buku-buku ilmiah, tentu juga sangat minim. Oleh karena itu, sebagai genarasi masa depan bangsa, kita mestinya tidak hanya rajin membaca buku-buku how to dan novel, tetapi juga harus memperbanyak membaca buku-buku ilmiah yang sarat pengetahuan. Bagaimanapun, membaca buku-buku ilmiah itu menjadi prasyarat penting untuk menjadi negara maju. Negara-negara maju di dunia memiliki minat baca yang tinggi, bukan hanya membaca “buku-buku ringan”, tetapi juga “buku-buku berat”. “Buku-buku berat” membuka cakrawala berpikir kita menjadi semakin kritis dan maju.*** Masduri Aktivis Gerakan IAIN Sunan Ampel Menulis (GISAM) Fakultas Ushuluddin dan Pustakawan Pesantren Mahasiswa (PesMa) IAIN Sunan Ampel Surabaya.

145


146


BAGIAN XXII

Semangat Kerja: Sebuah Nukilan Tenas Efendy dalam Menjaga Jati Diri Melayu Oleh Alam Terkembang NAMA Tenas Efendy terdengar akrab di sebagian besar kalangan terpelajar Riau. Perhatiannya terhadap dunia Melayu yang tidak diragukan lagi, menempatkan sosok ini sebagai tokoh yang paling dituakan dan menjadi panutan berbagai kalangan. Dari setiap kata-kata yang diucapkannya mencerminkan kepribadian Melayu yang mengakar kuat. Sebuah nukilan berharga dari tinta emas Tenas Efendy yakni buku “Semangat Melayu” menjadi perpanjangan lidah untuk berbagai generasi dalam menjaga jati diri Melayu. Bagi orang Melayu, “semangat” menjadi kunci dalam kehidupan. Karena tanpa semangat, sebarang pekerjaan, gagasan, rancangan, gagasan akan sulit direalisasikan. Semangat menjadi pemicu orang Melayu dalam melakukan segala pekerjaan, mencapai cita-cita, bahkan menjadi “jati diri” kemelayuan yang mandiri, berani, bertanggung jawab dan percaya diri. Semangat pula yang mendorong suatu bangsa

147


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

mampu mewujudkan kehidupan yang sejahtera lahir dan batin. Orangtua-tua Melayu senantiasa mengingatkan, bahwa “Orang Melayu ternama bukan karena duitnya yang berpeti, tapi karena semangat yang membesi” atau dikatakan: “Orang Melayu yang berjaya bukan karena emas dan peraknya, namun karena semangatnya yang membara”. Itulah sebabnya harkat dan martabat seseorang sangat tergantung dari “semangat” yang dimiliki. Tenas Efendi dalam buku “Semangat Kerja” menyebutkan, sejarah Melayu telah mencatat, bahwa Sang Nila Utama dengan semangat kemelayuannya berpandangan jauh ke depan membangun Bintan dan Tumasik (Singapura) menjadi bandar niaga yang besar di Selat Melaka. Dengan tujuan membangkitkan tuah dan marwah Melayu. Prameswara pula dengan semangatnya membangun kerajaan Melayu di Melaka, sehingga Melaka menjadi sebuah peradana Melayu pada masanya selama berabad-abad. Demikian pula Sultan Mahmud Syah I bersama Laksamana Hang Nadim, Nara Singa, Mangkubumi Kampar, dan lain-lain berperang puluhan tahun melawan serangan Portugis dari daratan Tanah Semenanjung, perairan Selat Melaka sampai ke Pekantua Kampar. Dan masih banyak lagi ksatriaksatria dari tanah Melayu dalam mengobarkan semangat anti penjajahan. Seperti Raja Kecil, Sultan Syarif Kasim, Tuanku Tambusasi, Raja Haji Syahid fi Sabilillah, dan ratusan bahkan ribuan pahlawan Melayu di semerata negeri berjuang melawan penjajahan dari zaman ke zaman. Di dalam kepercayaan lama, semangat dianggap sebagai “roh” yang memberikan kekuatan pada benda-benda tertentu dan dapat pula berpengaruh dalam kemanfaatan orang lain. Misalnya kalau berladang padi, mereka menjaga jangan

148


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

sampai “semangat padi” hilang. Kalau semangatnya hilang, maka dipercaya padi tidak berbuah atau buahnya hampa. Apabila anak sakit-sakitan ditinggal ayahnya, dikatakan bahwa “semangat anak” itu ikut bersama ayahnya. Apabila seseorang sakit yang berlama-lamaan, dikatakan “semangatnya dibawa atau dikuasai oleh makhluk lain”, dan harus dikembalikan supaya pulih. Demikianlah seterusnya, sehingga pemahaman “semangat” masa silam selalu dikaitkan dengan benda-benda, makhluk-makhluk tertentu, dan hal-hal mistik yang dianggap memiliki semangat dan mampu memberikan kekuatan pada seseorang. Maka setelah masuknya Islam, dan menjadi agama orang Melayu, maka Islam pun meluruskan semua kepercayaan yang dianggap menyimpang dari akidah Islam tersebut, bahkan menghilangkannya sama sekali. Namun kepercayaan kekuatan benda-benda atau makhluk tersebut masih saja dipakai oleh orang-orang yang berprofesi sebagai dukun atau bomo beserta pengikutnya sampai hari ini, dan tetap saja dipercayai oleh sebagian kalangan. Datangnya Islam dengan cara yang damai telah mendapat sambutan yang luas oleh masyarakat Melayu. Bahkan ia telah menjadikan kebudayaan Melayu menjadi kebudayaan yang Islami, yang membawa perubahan yang luar biasa terhadap kepercayaan dan keyakinan, tradisi dan seni yang berkembang masyarakat Melayu. Kearifan para ulama dan pemimpin Melayu dalam menyebarkan Islam memberikan ruang kepada nilai-nilai budaya untuk berkembang, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan kuatnya Islam yang mengakar, bila saja orang Tionghoa masuk Islam, orang-orang menyebutnya dengan istilah masuk Melayu bukan (disebut) masuk Islam. Sejarah mencatat, bahwa kebudayaan Melayu dengan

149


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

pengaruh Islam bukan saja mampu meningkatkan harkat, martabat, tuah marwah umatnya, tetapi juga menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Hal ini bisa dilihat dari kerajaan Melayu di zaman Melaka menjadi pusat imperium Melayu, dan juga kecemerlangan dan kegemilangan kerajaan-kerjaan yang berafilisasi dengannnya. Sementara itu perkembangan saint dan teknologi yang bergerak demikian pesat, arahnya jelas membawa umat kepada kehidupan kebendaan semata. Sehingga mengabaikan kehidupan Melayu Islam yang hakiki. Keberhasilan zaman yang senantiasa diukur lewat kebendaan inilah perlahan tapi pasti mengikis nilai-nilai kebudayaan Melayu yang bersifat penyeimbang itu. Sehingga umat terjebak ke dalam kehidupan duniawi tanpa kawalan, dengan perilaku yang mementingkan diri dan kelompok. Termasuk semangat tanpa esensi, yang hanya cenderung mengedepankan simbolsimbol kemelayuan, warna dan tradisi saja. Namun tidak dibarengi dengan semangat pengokohan keimanan dan pemantapan akidah yang bersih. Sehingga semangat yang muncul bukan dari semangat yang diharapkan sebenarnya. “Apabila semangat tidak terkawal, banyak kerja salah dan janggal. Apabila kerja membabi-buta, banyak kerja keji dan nista�. Semangat yang demikian itu perlu diluruskan. Sebagaimana diajarkan orangtua-tua Melayu, bahwa yang dimaksud dengan “semangat� dalam budaya Melayu Islam, ialah kekuatan jiwa, keteguhan pendirian, keteguhan Iman, dan percaya diri sebagai Melayu Islam yang kokoh. Dari sinilah berpuncanya kejayaan Melayu, karena mereka memilik semangat pantang menyerah yang menumbuhkan keberanian dan rasa percaya diri serta kesadaran rasa kebersamaan dan perpaduan umat.

150


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Bila kita amati dengan seksama tunjuk ajar Melayu yang mengatakan; “Apabila semangat kuat dan kokoh, sebarang kerja takkan bertangguh. Apabila semangat sudah berkobar, menghadapi musuh tiadakan gentar”. Jelaslah, bahwa semangat menjadi mesin menjadikan seseorang menjadi tangguh dan berani. Dan sebaliknya diingatkan pula melalui ungkapan; “Apabila semangat sudah patah, sebarang kerja tidak menyudah. Apabila semangat sudah layu, masuk gelanggang beroleh malu”. Pelajaran dari ungkapan ini pula berperan sebagai nasihat bila semangat tidak tersemat di kalangan orang Melayu, sebuah akibat yang tidak menguntungkan sama sekali. Namun bagian yang terpenting adalah mengikut sertakan iman dalam semangat yang ditanamkan. Di dalam tunjuk ajar Melayu diingatkan, bahwa semangat betapapun hebatnya, harus menyatu dengan iman. Sehingga terkawal dan tidak membawa ke arah keburukan, tidak semena-mena, serakah, dan merugikan orang lain. “Apabila semangat bersendi iman, dunia akhirat beroleh kebaikan. Apabila semangat berlandaskan iman, sebarang kerja dirahmati Tuhan”. Apa yang terjadi sekarang, di mana sebagian orang Melayu sudah terkelupas dari “jati diri” kemelayuannya, bahkan sebagian besar sudah tercabut dari akar budayanya. Karenanya, walaupun secara lahiriyah “Orang Melayu” masah ada, namun “jiwa, semangat, dan kepribadian Melayunya” sudah nyaris terkikis dan tidak lagi dicerna, dihayati dan diamalkan sebagai jati diri kemelayuannya. Tenas Efendi menyebutnya ini sebagai “malapetaka” bagi orang Melayu, karena kehilangan “jati diri, semangat, kepribadian, dan prilaku kemelayuan”. Hal ini menyebabkan kerugian besar bagi hidup dan kehidupan orang Melayu masa kini dan masa yang akan datang, sebab Melayu tanpa

151


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

mencerminkan nilai asasnya, tentulah tidak lagi memiliki tuah dan marwah, dan tidak pula memiliki harkat dan martabat di mata dunia. Bila demikian sia-sia sajalah amanah Hang Tuah perkasa, “tak Melayu hilang di bumi” atau “takkan Melayu hilang di bumi” itu. Bila hal ini terjadi jangan berharap Melayu mampu menjadi negeri yang bertamadun; terbilang, cemerlang dan gemilang. Dan jangan terlalu berharap Melayu bisa menjadi tuan di negerinya sendiri. Bila kemungkinan-kemungkinan buruk di atas tidak ingin terjadi, maka sudah seharusnya diperlukan kesadaran semua pihak untuk turut serta bahu-membahu menyematkan kembali “semangat” pada berbagai kalangan. Tentulah dengan nilai asas yang berlandaskan ajaran Islam. Bila hal tersebut dilaksanakan penuh kesadaran dan upaya terusmenerus tentulah akan mampu melahirkan generasi Melayu yang tangguh, dan diharapkan mampu mewujudkan kehidupan bangsa dan negeri Melayu sejahtera lahir dan batin.*** Alam Terkembang Ketua FLP Cabang Pekanbaru. Bersama penulis muda FLP Riau tengah mengkaji sejarah dan budaya Melayu. Karyakaryanya menjelma sebagai karangan fiksi dan ilmiah, bertebaran di berbagai media.

152


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN XXIII

Genggong yang Terlupakan Oleh Taufiq Yendra Pratama DI DAERAH Riau, terdapat berbagai bentuk Alat musik tradisi, seperti alat musik gambus, marwas, bebano. Alatalat musik tersebut biasanya difungsikan untuk acara keramaian rakyat sebagai alat musik hiburan hingga pengiring pertunjukan. Selain alat-alat musik tersebut, dijumpai pula berbagai alat musik tradisional lainnya, seperti gendang panjang, rebab, rebana,kompang, gondang katobung, gendang gedombak, nafiri,sunai, tetawak (gong), dan Genggong. Dari sekian banyak alat musik yang dijumpai di Riau, terdapat salah satu alat musik yang nyaris langka baik dari sisi jumlahnya hingga jumlah orang atau seniman yang mampu memainkannya bahkan banyak diantara masyarakat pada umumnya hingga generasi muda khususnya tidak mengenal instrumen ini. Alat musik tersebut bernama genggong. Genggong merupakan sebuah alat musik tradisional berbentuk tipis dan kecil, memililki beberapa jenis dan dimainkan dengan beragam cara, ada yang dipetik, ditarik dan dipukul. Genggong terbuat dari pelepah pohon enau yang

153


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

di ambil kulit luarnya yang keras. Ada juga yang terbuat dari tembaga dan besi. Genggong diklarifikasikan sebagai golongan idiofon karena sumber bunyi berasal dari batang tubuh alat musik itu sendiri. Genggong menggunakan rongga mulut sebagai resonator (rongga suara) untuk dapat menghasilkan suara berupa dengungan yang khas. Genggong juga sudah dikenal di penjuru dunia dengan nama yang bermacam, seperti di luar negeri, alat musik ini lebih dikenal dengan nama jews harp, di Jawa dan Sunda alat musik ini dikenal dengan nama karinding, di Bali dan Jambi juga mempunyai alat musik ini dan menggunakan nama yang sama dengan yang ada di riau yaitu genggong. Genggong sudah ada di Riau sejak ratusan tahun yang lalu tepatnya di daerah Kampar sekitarnya, saking larisnya, dulu genggong diperjual belikan dipasar-pasar tradisional Kampar hingga kedai kumango (kedai serba ada) di daerah tersebut. Jika ditanya dari mana asal mula genggong berada, orang tua-tua menjawab bahwa genggong ini sudah ada di Kampar dari zaman datuk dari datuk mereka, “karena barang ini lahir, bukanlah barang datang�. Pernyataan ini merupakan defenisi kuat bahwa genggong sudah berada sangat lama di riau yang khususnya terletak di Kabupaten Kampar. Nama Genggong berasal dari kata gweng-gwong yang merupakan bunyi khas yang dihasilkan oleh alat musik itu sendiri. Genggong dulunya difungsikan oleh masyarakat sebagai alat permainan yang rata-rata dimainkan oleh kaum muda-mudi, karena konon dulunya jika hendak menyampaikan perasaan atau menggoda lawan jenis dapat disampaikan dengan alat musik ini. Dimainkan dibawah rumah atau di samping jendela kamar sang pujaan hati sambil melontarkan syair dan pantun yang merdu dan menggoda,

154


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

sehingga Semakin mahir memainkannya semakin kuatlah daya tarik atau pesona dari orang yang memainkannya. Tren genggong pada zaman dahulu berbeda jauh dengan sekarang, karena hanya sedikit dari muda-mudi yang mengenal alat musik ini, ada juga sebagian orang yang mengenal, akan tetapi mereka cendrung menyangka bahwa genggong berasal bukanlah dari Riau melainkan dari luar daerah seperti jawa dan bali. Mereka bisa saja berkata demikian Karena seniman di jawa maupun bali sudah mampu memulai menghidupkan kembali trend genggong di masyarakat seperti yang berada di daerah bandung sekitarnya. Mereka sudah memproduksi bahkan membuat komunitas atau kelompok musik genggong ini dan mereka sudah menampilkan karya-karya mereka di tengah masyarakat dan ada juga sebagian dari komunitas mereka telah muncul di siaran televisi swasta. Ada juga sebagian seniman musik atau musisi muda di Riau yang telah membuat karya dengan menggunakan instrument ini Seperti Zalfandri Zainal alias Matrock misalnya, beliau mengapresiasikan alat musik ini dalam bentuk sebuah garapan musik pengiring tari Seligi Tajam Bertimbal karya SPN Iwan Irawan Permadi yang dipentaskan di gedung Idrus Tintin pada tahun 2009 lalu. Dan ada juga seorang musisi muda bernama Anggara Satrya, dia juga telah mengapresiasikan alat musik ini kedalam karyanya ketika menggarap musik tari masal di kabupaten Siak tahun 2008 silam. Akan tetapi itu hanya sebagian, diperlukan banyak lagi musisi-musisi yang tahu akan genggong guna menghidupkan kembali kesenian tradisi yang hampir punah ini. Untung saja masih ada orang-orang yang peduli dengan keberadaan alat musik ini, seperti Salman Aziz misalnya, Beliau adalah Tokoh seniman Kampar yang sampai sekarang

155


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

memproduksi alat musik ini. Beliau membuat alat musik ini bersama salah seorang gurunya yang bernama Datuk Senaro, Guru beliau adalah seorang kepala suku atau ninik mamak di Kabupaten Kampar. Beliau tinggal di desa tanjung Kecamatan Bangkinang seberang. Dengan masih adanya pengrajin dan seniman yang mampu memproduksi alat musik ini, masih ada sedikit harapan untuk mempertahankan agar alat musik ini tidak punah dalam waktu mendatang. Kenyataan nya sekarang ini genggong sudah hampir tidak dimainkan lagi oleh kaum muda-mudi, karena fakor zaman yang sudah maju dan mereka cendrung mengesampingkan hal-hal yang berbau tradisi, kebanyakan muda-mudi sekarang cendrung terpesona dengan zaman serba canggih sehingga hampir melupakan tradisi yang ada di tanah mereka sendiri, dan ada juga faktor lain yang membuat genggong ini jarang dimainkan oleh kaum muda-mudi, mungkin bisa saja fungsi dari genggong itu sendiri yang dianggap tabu oleh masyarakat, dikarenakan genggong dulunya digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan percintaan, merayu , dan sebagainya. Akan tetapi hal-hal seperti ini bisa saja di alihkan ke suatu yang lebih positif, contohnya dengan dengan mengalihfungsikan genggong sebagai suatu media seni pertunjukan. Akan tetapi hal ini tidak terlepas dari dukungan Pemerintah dan para seniman Riau khususnya. Jika kita tidak menyadari kenyataan ini, dimungkinkan suatu ketika kesenian tradisi genggong khususnya akan luput dari pandangan masyarakat bahkan bisa hilang sama sekali.*** Taufiq Yendra Pratama Musisi muda berbakat. Kelahiran Bangkinang, 5 November 1990 dan saat ini tercatat sebagai mahasiswa FKIP Sendratasik, Universitas Islam Riau

156


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN XXIV

Pesan Moral Cerpen “Perahu Baganduang� Oleh M Aditya TENTU kita sudah tidak asing dengan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karangan Hamka. Hampir semua kalangan mengenal dan pernah membacanya baik dari kalangan remaja hingga dewasa. Novel terbitan Balai Pustaka pada tahun 1939 ini mengangkat latar dan setting adat budaya Minangkabau. Novel fenomenal yang rencana akan diangkat ke layar lebar ini mengangkat kisah percintaan antara Zainuddin dan Hayati yang gagal karena adat budaya yang berlaku pada saat itu. Hayati akhirnya harus menikah dengan Azis, yang berasal dari keluarga terpandang sebab dijodohkan orang tuanya. Zainuddin yang sederhana dan tidak memiliki harta yang cukup untuk meminang akhirnya harus ikhlas melepas Hayati dan pergi meninggalkan ranah Minang. Walaupun takdir mempertemukan mereka kembali setelah Hayati berpisah dengan Azis dan Zainuddin telah menjadi seorang penulis terkenal namun semuanya terasa sia-sia karena Zainuddin menolak cinta Hayati hingga

157


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

akhirnya Hayati tenggelam bersama kapal Van Der Wijck dan Zainuddin meninggal dalam rasa penyesalan telah menolak cinta Hayati. Pada masa itu hingga masa kini peristiwa serupa masih sering terjadi. Adat budaya seperti menjadi momok menakutn bagi sepasang kekasih untuk melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan. Apalagi bila kekayaan menjadi aspek utama pertimbangan hingga untuk meminang dibutuhkan biaya yang mahal dan syarat yang berbagai macam dengan membawa adat budaya sebagai kamuflase. Tema inilah yang diangkat dalam cerpen “Perahu Baganduang” karangan Ahmad Ijazi H. Mengangkat latar dan setting daerah Kuantan Mudik, Lubuk Jambi penulis sepertinya ingin kembali memberikan gambaran kondisi yang serupa. Sebuah cerita tentang Arantona dan Rukhayah yang gagal dalam percintaan karena Rukhayah akhirnya dilamar oleh Tuan Anthonius, anak dari Monti Dirajo Thamrin Penghulu Kuantan Mudik hingga Arantona dan ibunya harus berpasrah diri tidak sanggup memenuhi keinginan ibunya Rukhayah. “Emak memang keterlaluan. Mematok limau terlalu tinggi. Mana ada kain tenun lejo tabir yang dijual di Kuantan Mudik. Kalau pun ada, mencarinya pasti sulit sekali dan harganya bisa berkali-kali lipat dari harga aslinya. Mana lagi perahu baganduang lima, itu permintaan yang sungguh tak masuk akal. Selama ini belum pernah aku melihat perahu beganduang lima. Kebiasaannya kan perahu hantaran hanya baganduang tiga?” Dalam cerpen “Perahu Baganduang” yang dimuat pada tanggal 16 Juni 2013 itu terlihat bahwa seolah-olah kekayaan menjadi aspek kebahagiaan seorang anak. Memang semua orang tua ingin anaknya bahagia, salah satunya dengan memilihkan jodoh yang kaya raya agar kehidupan anaknya

158


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

terjamin namun harusnya orang tua juga paham kebahagiaan tidak bisa hanya dilihat dari kacamata materi belaka. Walaupun dalam cerpen ini tidak menunjukkan secara gamblang akhir dari pernikahan Rukhayah dan Tuan Anthonius namun kebanyakan dari pernikahan yang dipaksakan dapat berujung pada perpisahan seperti dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, bahkan bisa berakhir tragis seperti dalam novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli di mana kisah percintaan Siti Nurbaya dan Samsul Bahri yang gagal menuju jenjang pernikahan karena Siti Nurbaya dipaksa menikah dengan Datuk Maringgih, seorang saudagar tua yang kaya raya hingga akhirnya dia bunuh diri. “Rukhayah terhenyak bukan kepalang. Seluruh belulangnya seakan telah remuk kini. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sementara di kejauhan, perahu baganduang lima yang ditumpangi rombongan Monti Dirajo Thamrin telah berjalan perlahan menuju anjung-nya disertai bunyi kumpang yang ditabuh ramai.� Dalam aspek ini sering kali orang tua malah menuduh anaknya bersifat tidak patuh atau terkadang durhaka padahal orang tua harusnya juga paham bahwa cinta tidak bisa dipaksakan apalagi bila cinta telah menemukan pasangannya. Yang akan menjalani kehidupan berumah tangga adalah seorang anak jadi sudah sewajarnya orang tua paham keinginan anaknya. Yang menjadi tugas orang tua adalah merestui keinginan anak yang ingin menikah atau mencarikan jodoh yang terbaik untuk anaknya tidak hanya dilihat dari kekayaan tetapi dari akhlak dan sopan santun dalam bersikap. “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk

159


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

wanita-wanita yang baik (pula)”. (Q.S.An Nuur : 26) Dari segi hukum Islam tidak ada yang memberatkan sebuah pernikahan. Rasulullah bersabda: Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturuannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang baik agamanya, niscaya engkau akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466(. Penulis menutup cerita dengan apik di mana pendapat penulis dijadikan sebagai penutup. Jadi sebenarnya bukan adat budaya yang memberatkan seseorang untuk menjalani pernikahan melainkan sifat keserakahan dan ketamakan dari seorang manusia. Di muka pintu, emak memandang nanar. Bola matanya bergerak-gerak penuh iba. ‘’Sesungguhnya adat di kampung ini tak pernah mempersulit kita, Putraku. Tetapi jika adat telah diselimuti oleh keserakahan dan ketamakkan, maka semuanya akan menjadi begitu sulit dan mahal. Seluruh pengorbanan dan cinta yang tulus sekalipun tak kan mampu membelinya. Tetapi kau juga harus tahu Putraku, harga diri kita jauh lebih mahal dari itu’’ tubuh emak hampir limbung, namun tangannya masih sempat menyambar daun pintu sebagai pegangan untuk menyangga tubuhnya agar tidak jatuh. Tetapi air mata emak tetap jatuh. Rinai hujan pun jatuh. Langit benar-benar diselimuti mendung yang teramat tebal kini.*** M.Aditya Lahir di Medan 23 Desember 1989. Penikmat sastra, biasa menulis esai, cerpen dan puisi, aktif di FLP Pekanbaru, bermastautin di Pekanbaru.

160


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

BAGIAN XXV

Dari hingga ke Kritik Sebagai … (Obat Sekaligus Racun) Oleh Dantje S Moeis DISADARI ataupun tidak, beban yang dipikul seniman (dalam kaitan dengan tulisan ini adalah seniman perupa) kian hari terasa kian berat. Betapa banyak persoalan yang kemudian terus-menerus bermunculan jauh di luar sudut pandang standard estetika yang tampil dari suatu karya, yang semula menjadi ukuran umum bagi penilaian kualitas dan kepiawaian seniman pengkarya. Mungkin karena persoalan itulah, seorang teman saya yang semula hanya berprediket sebagai pelukis “sahaja” dengan hasil karya-karyanya yang cukup mumpuni. Kemudian buat menambah wawasan katanya, ia “nyambi?” kuliah dan berhasil meraih gelar sarjana (S1). Walhasil, bukanlah sebuah usaha yang sia-sia. Setelah menyandang gelar Sarjana Seni (SSn), karya-karya yang dihasilkan tampak banyak berubah. Tidak lagi menampakkan karya dengan hasil sederhana, yang muncul kemudian adalah karya senirupa sarat muatan, sarat pencarian, sarat pesan dan yang paling

161


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

menonjol adalah munculnya sebuah identitas baru dalam perkembangan senirupa di negeri ini. Namun persoalannya tak tamat hingga di situ. Di tengah booming dan hiruk-pikuk orang-orang yang membicarakan kemunculan karya-karyanya, baik yang jujur, dengan argumentasi berukuran maupun yang asal bicara dan berpretensi meruntuhkan. Hal ini cukup menjadi ganjalan kemulusan hubungannya dengan kolektor maupun pebisnis seni (art dealer) yang menjadi mitra utama sekaligus pelecut semangat berkreativitas. Persoalan yang membuat ia menjadi gagap, gugup dan gentar melakukan hujjah tangkisan ataupun counter attack. Sigap dengan latar belakang mencintai seni ini, plus kemapanan ekonomi yang diraih dari keteguhannya dalam membuat pilihan profesi, serta keinginan untuk melanggengkan eksistensinya di dunia senirupa, teman saya ini berkeputusan melanjutkan pendidikannya untuk meraih gelar Magister Seni (MSn). Langkah ini tampaknya pun berhasil dan sambil mengucapkan selamat, sekedar untuk mengingatkan, via telepon saya sampaikan bahwa, “semua itu ada batasnya dan yang pasti seperti yang disampaikan dalam ungkapan Melayu, ‘makhluk hidup tak-kanlah dapat menongkat langit’. Itu saja,” kata saya mengakhiri percakapan. Penyelesaian yang bertolak belakang dari yang dibuat oleh teman saya. Ketika membaca sebuah cerita pendek yang dimuat di Koran Tempo, karya Patrick Suskind seorang penulis Jerman dan diterjemahkan oleh Anton Kurnia dari teks berbahasa Inggris oleh: Peter Howarth, berjudul “Racun Kritikus”. Baris-baris pembukanya saya kutipkan seperti ini: Pada pembentangan karya seni rupa perdananya, seorang perempuan muda dari Stuttgart yang membuat

162


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

sketsa dengan sempurna indah, mendapat komentar dari seorang kritikus yang sesungguhnya tak bermaksud negatif, bahkan dengan jujur berniat untuk menyemangati si perupa perempuan muda itu. Sang kritikus berkata, “Yang Anda lakukan pada karya sketsa anda cukup menarik dan Anda memang berbakat, tapi karya Anda belum menunjukkan kedalaman.” Selanjutnya dalam cerita Patrick Suskind: Perempuan muda itu tampak sama sekali tak paham apa yang dimaksud oleh sang kritikus dan perkataannya itu sebagai angin lalu. Namun, selang dua hari kemudian tulisan tentang pameran itu muncul di koran, ditulis oleh kritikus tersebut. Pada tulisannya kritikus itu menyatakan, “Seniman muda itu berbakat dan pada sekali pandang karyanya tampak menyenangkan. Namun, sayangnya dia tak memiliki kedalaman.” Si perempuan muda itu mulai menggangap komentar sang kritikus tak lagi seperti angin lalu, kini ia mulai memikirkan soal itu. Selanjutnya pada suatu malam, ia diundang menghadiri sebuah acara. Orang-orang di acara itu seakan-akan telah membaca tulisan di koran tentang karyanya dan berulangulang mengatakan bahwa sketsanya mampu membangkitkan rasa senang dalam sekali pandang, juga bahwa dia memang berbakat. Namun, dari gumaman di belakang dan dari mereka yang memunggunginya, perempuan muda itu dapat mendengar bisik-bisik, “Tak ada kedalaman. Itulah. Dia tidak jelek, tapi sayangnya dia tak memiliki kedalaman.” Sepanjang minggu itu sang seniman muda tak

163


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

menggambar apa pun. Dia duduk diam di flatnya, merenung, dengan hanya satu pertanyaan di benaknya yang merengkuhnya seperti gurita dan melahap segala sisa isi kepalanya, “Mengapa aku tak memiliki kedalaman?� Segala upaya ia lakukan, segala buku tentang senirupa ia lahap dan tak cukup hingga di situ, semua galery senirupa bergengsi ia sambangi, namun tetap ia tak mampu memahami makna kedalaman seperti yang dikatakan si kritikus terhadap karyanya. Dia hanya berkurung di studionya dan tak juga mampu berkarya. Mulai ketagihan obat anti depressant. Ketika terasa lelah, dia tertidur di kursi, seakan ia takut tidur terlalu pulas jika pindah ke ranjang. Dia mulai kecanduan alkohol, terus merokok sepanjang malam dan tak lagi menggambar. Ketika seorang pebisnis barang seni dari Berlin meneleponnya untuk meminta beberapa sketsanya, dia berteriak ke gagang telepon, “Jangan ganggu aku! Atau tak punya kedalaman!� Akhirnya, karena lama tak muncul, saat flatnya diperiksa, kondisinya amat kacau. Ribuan botol kosong berserakan; tanda-tanda keruntuhan tampak di mana-mana; sketsasketsa terkoyak; gumpalan lilin mainan menodai dinding; bahkan ada bekas tinja menumpuk di sudut-sudut ruangan! Koran-koran bukan hanya meliputnya di berita utama halaman satu, tapi juga menjadi kepala berita halaman dua dan tambahan reportase di halaman tiga! Di rubrik ulasan sebuah koran, sang kritikus yang tadi sempat kita sebut menulis satu paragraf singkat yang merenungkan mengapa perempuan muda itu mengalami akhir yang menyedihkan. Dia menulis, “Sekali lagi kita menyaksikan setelah terjadinya sebuah sebuah peristiwa mengejutkan seorang muda yang berbakat tak mampu

164


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

memiliki kekuatan untuk menyesuaikan diri di panggung kehidupan. Tidak cukup bila seorang seniman memiliki dukungan publik dan inisiatif pribadi, tapi hanya sedikit pemahaman atas atmosfer seni. Pastilah benih dari akhir yang tragis ini telah ditanam sejak lama. Tidakkah itu bisa dicerna dari karya-karya awalnya yang naif? Itu mencerminkan agresi monomaniak (pen.: penderita gangguan jiwa) yang melanda diri sendiri dan dorongan introspektif (mawas diri) yang berkubang menjemukan serupa spiral di dalam batin dua-duanya sungguh emosional dan tak berguna, sekaligus mencerminkan pemberontakan terhadap takdir. Saya menyebutnya kehendak memiliki kedalaman yang berakhir secara fatal.� Dua tokoh di atas adalah dampak dari sebuah gambaran yang berlatar sama, namun dengan pemaknaan yang berbeda. Dua cerita kejadian tersebut dapat saja terus berlanjut dan salah satu dari kedua pilihan berbeda yang diambil dua tokoh di atas saya yakini akan tetap berlanjut, sadar atau tak sadar. Namun seni rupa terus berkembang melepaskan diri dari yang pernah ada, terbang tanpa batas, dengan komentar, tanggapan dan pemaknaan yang juga terus berkembang. Dan Danto, kritikus yang setia menulis itu mengkaji perkembangan itu dalam bukunya After the End of Art (1997). Ia menduga bahwa diperlukan cara pandang berbeda pada dunia seni rupa dengan segala prasarananya ketika senirupa bukan lagi terutama diapresiasi lewat melihat, namun juga dirasakan selanjutnya dimaknai. Sanento Yuliman (1941-1992) seorang kritikus senirupa, menulis dalam katalogus pameran Seni Rupa Baru Indonesia, bahwa tak mungkin lagi kita hanya menikmati kaya-karya yang disajikan lewat ritme garis, nuansa warna, dan beragam bentuk ketika karya seni rupa bukan lagi susunan liris unsur

165


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

kesenirupaan saja. Dengan kata lain, karya seni rupa pada perkembangan setelah seni rupa modern sesungguhnya seperti hendak menggeser sang rupa ke samping dan di tempat itu ditaruhlah mungkin itu tema, cerita, wacana, dan lain sebagainya, dan itulah bahagian-bahagian dari “kedalaman”. Di Riau, beberapa upaya yang dilakukan untuk pemuatan makna dan kedalaman pada hasil karya senirupa pernah dilakukan Dewan Kesenian Riau kala itu, seperti kegiatan yang diberi tajuk “Eksplorasi Dunia Raja Suran”. Sebuah maha-karya sejarah (legenda Melayu) yang menjadi “inspiring” sekaligus sumber gagasan penciptan dengan tentu saja, membuahkan pemaknaan yang berbeda dengan kadar pendalaman yang berbeda pula pada setiap individu perupa. Selanjutnya, kegiatan berhasrat sama dan diberi tajuk “Bedah Idiom Alam”. Entah siapa yang duluan memulai, Riau atau pusat, bukanlah menjadi persoalan. Di pusat sana, Agung Hujatnikajennong dan kemudian Wahyuddin menyodorkan gagasan, mengapa para senirupawan tak berkarya bertolak dari seni yang lain, dan yang dimaksudkanya adalah seni sastra. Sebelumnya, adalah penyair Sitok Srengenge menggagas pameran karya seni rupa yang diciptakan berdasarkan puisipuisi yang dipilih, yang kemudian diwujudkan bersama Wahyuddin sebagai kurator. Tiga pameran yang lahir dari gagasan Jennong (“Magainin”, Jakarta Art Distric, akhir Februari 2010), Wahyuddin (“Tansfiguration”, Jakarta Art Distric, April 2010), dan Sitok (“Perang, Kata, dan Rupa”, Galeri Salihara, Juli 2009) menggoda kita ketika beranjak dari karya ke karya di ruang pameran (kalau berminat atau dianggap perlu) untuk mencocokkan yang kita lihat dengan karya sastra yang menjadi sumber diciptakannya karya

166


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

tersebut. Sebagai baris-baris penutup tulisan ini, usul-saran saya sampaikan tertuju kepada organisasi atau institusi formal yang mengurusi seni jenis ini, agar tak mengabaikan perihal asah-mengasah agar lebih “tajam” dalam hal konsep dan hasil akhir tentu-saja. Agar dapat sekedar tak berprediket “udik” dari daerah yang tak memiliki sebuahpun sekolah senirupa dan tentu saja agar tak menjadi tokoh cerita pendeknya Patrick Suskind yang drug addicted lalu mati tragis. Karena tumbuh kembangnya senirupa atau seni apa-saja, tak hanya selesai dengan berpamer-pameran, dengan kadar seremonial yang lebih diutamakan, setelah itu selesailah tugas dan menunggu lagi di tahun depan dan seterusnya dan seterusnya.*** SPN Dantje S Moeis Kelahiran Rengat Indragiri Hulu Riau. Dantje adalah seniman perupa, bersama Furqon LW mendirikan Sindikat Kartunis Riau (SiKaRi) dan sekarang pembina, penulis kreatif, redaktur majalah budaya “Sagang”, anggota pengurus harian Lembaga Adat Melayu Riau (LAM Riau), penerima beberapa anugerah kebudayaan, pengajar Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) Pekanbaru, illustrator cerpen Riau Pos (Ahad).

167


168


BAGIAN XXVI

Karya-karya UU Hamidy: Menyimpai Nilainilai ke-Islam-an (Teks) Bahasa, Sastra, dan Budaya (Penggalan Catatan Awal) Oleh Tuan Guru Haji Syafruddin Saleh Sei Gergaji Warkah Muqaddimah NILAI kebenaran Diin al-Islaam nilai yang tak terpermanai, Kebenarannya benar-benar mutlak – karena berasal dan bersumber dari Allah al-Haq al-Mubiin – yang tak bertolok banding. Nilai kebenarannya yang tak bertolok banding itu tak boleh bersaing dengan hasil pemikiran akal yang terbatas dan dangkal. Bahkan dia haruslah terus tulus bersanding dengan akal sebagai penimbang serta penyeimbang kebebalan dan kebimbangan arus alur aliran pemikiran. Hal ini supaya nilai kebenaranya tidak lindap pada sikap, dan tidak tergerus akibat akal terjerumus kejumudan. Tak lagi ada dalih memilih yang lain atau mengalih anjaknya dengan alasan kebijakan apapun jua. Kebenarannya tak perlu diragukan lagi: al-haqqu mirRabbi kum, fa la takunanna minal mumtarin (“Kebenaran mutlak itu dari Rabb Anda, maka jangan Anda meragukannya lagi”, Q.S. 2, al-Baqoroh:

169


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

147; Q.S. 3, Ali ‘Imron: 60). Gerak garit aktivitas hidup dan kehidupan tiap insan (yang mengaku) beriman, kait kelindannya mestilah menampakkan refleksi kebenaran sejati dari Diin al-Islaam itu. Kebenarannya - yang diyakini dapat membahagiakan dan menyelamatkan hidup di du-nia dan di akhirat – mesti menjadi teraju hidup dan kehidupan yang padu pada sikap dan tiap perilaku. Dia tak boleh tenggelam di kolam dalam kesesatan faham pemikiran. Dia meski dengan teguh menjadi pedoman pegangan keseharian mukmin siang dan malam: siang dijadikan tongkat malam dijadikan suluh penerang kelam panas dijadikan tudung alas pelindung hujan dijadikan payung Universalitas nilainya yang bernas itu mestilah pula dinyatakan dengan jelas, tegas, dan tuntas menyertai sikap tingkah perbuatan dan sikap ucap lisan atau pun tulis. Kearifan selektif mengutipnya pun harus tekun dilakukan bersungguh-sungguh agar nilai kebenaran Diin alIslaam itu tetap tersuguh utuh dan menyeluruh. Nilai kebenarannya supaya diungkapkan lengkap dengan keinsafan dan sikap bijak. Jika tidak, maka kemutlakan kebenarannya tidak akan terkuak dan terbuka sebagai kebenaran haq yang mustahak, bahkan justru menjadi kebenaran semu dan abu-abu yang menjebak. Puak Melayu yang menyatakan dengan tegas bahwa: adat resam dan budayanya ber-sebati dengan Islam, tidak semestinya menjadi sebagai pernyataan yang congkak. Seyogyanya pernyataan itu haruslah kita pahami sebagai azam jati diri muslim sejati. Dari tekad yang kuat ini (diharapkan) dapat mencuatkan keyakinan yang dianut itu

170


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

pada semua aspek sikap hidup dan kehidupan adat (mereka) yang bersendi syara’. Adat resam tak boleh menenggelamkan kebenaran Islam. Bahkan berbagai tradisi budaya mesti bersebati pada tiap sisi dan lininya dulu dan kini, serta harus terbentang dan terbendang terus menerus hingga ke masa panjang yang akan datang. Dia berjenang zaman berzaman sebagai azam, tidak sekedar rencah atau ulam penyedap dan sulam penghias. Cagak budaya (orang Melayu) tegak teguh pada landasan syarak yang menjadi sen-dinya yang hakiki. Pualam resam bahasa, sastra, dan budayanya menyulam benang Is-lam itu. Kehidupan sosialnya kental dengan akhlaq al-kariimah dan tingkah semenggah yang berpintal pada pergaulan yang terbuka dan rela menerima pada tatarannya. Sementang begitu, mesti pula diakui masih ada sisa-sisa dari kebiasaan lama yang tak bersesuaian dengan nilai keIslam-an. Taklah mengherankan andai senatai pengaruh animis dan ke-Hindu-an renjisannya masih ada terdapat bersisa pada resa resam adat budayanya. Dakwah menarahnya oleh para ulama (tuan guru dan lebai) pada masa dahulu belum lagi selesai. Tugas para pendahulu belum lagi tuntas. Tugas kita yang sekaranglah, bagaimana dengan bijaksana menyisihkan atah dan membersihkan jelantahnya. Kita mesti menampi dan mengayaknya lagi, dan menyaringjernihkannya Tidak semua tradisi yang mesti dilestarikan. Ada yang harus dikemas ulang supaya tidak terje-bak pada lopak lecah bid’ah. Karya Upaya UU Hamidy Buku-buku karangan UU Hamidy dapat dikelompokkan menjadi tiga klasifikasi, yaitu: 1) yang tegas menyatakan keIslaman; 2) yang membayangkan ke-Islam-an; dan 3) yang

171


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

tak menampakkan ke-Islam-an. Pada kelompok pertama antara lain Agama dan Kehidupan dalam Cerita Rakyat (Pekanbaru, Bumi Pustaka, 1982), Kesusastraan Islam di Rantau Kuantan (Pekanbaru: Pustaka Payung Sekaki, 1988), Sikap dan Pandangan Hidup Ulama di Riau (Pekanbaru: UIR Press, 1988). Kebudayaan Sebagai Amanah Tuhan (Pekanbaru: UIR Press, 1989, Ketaqwaan Orang Melayu (Pekanbaru: UIR Press, 1989), Estetika Melayu di Tengah Hamparan Estetika Islam – Suatu Kajian Awal (Pekanbaru: Zamrad, 1991), Pengislaman Masyarakat Sakai (Pekanbaru: UIR Press, 1992), Kerukunan Hidup Beragama di Daerah Riau (Pekanbaru, UIR Press, 1993), Potensi Lembaga Pendidikan Islam di Riau (UIR Press 1994), Islam dan Masyarakat Melayu di Riau (Pekanbaru: UIR Press, 1999), dan Rahasia Penciptaan (Pekanbaru: Bilik Kreatif Press, 2005). Buku-buku karangan UU Hamidy pada kelompok kedua, yang membayangkan ke-Islaman) antara lain Sikap Orang Melayu terhadap Tradisinya di Riau (Pekanbaru: Bumi Pustaka, 1981), Pengarang Melayu dalam Kerajaan Riau, dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dalam Sastra Melayu bersama Raja Hamzah Yunus dan Tengku Bun Abubakar (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Dwpdikbud RI, 1981), Kedudukan Kebudayaan Melayu di Riau (Pekanbaru, Bumi Pustaka, 1981), Orang Patut bersama Muchtar Ahmad (Pekanbaru: Bumi Pustaka, 1984), Membaca Kehidupan Orang Melayu (Pekanbaru, Bumi Pustaka, l986), Tema Keadilan dan Kebenaran dalam Karya Sastra Indonesia (Pekanbaru: Bumi Pustaka, 1987), Nilai Suatu Kajian Awal (Pekanbaru: UIR Press, 1993), Orang Melayu di Riau (Pekanbaru UIR Press, 1996), Cakap Rampai-rampai Budaya Melayu di Riau (Pekanbaru Unilak Press, 1997), Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji (Medan:

172


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Penerbit Sastra Leo, 1997), Masyarakat Adat Kuantan Singingi (Pekanbaru: UIR Press, 2000), Kearifan Orang Melayu di Riau Memelihara Lingkungan Hidup (Pekanbaru: UIR Press, 2001), Jagad Melayu dalam Lintasan Budaya di Riau (Pekanbaru: Bilik Kreatif Press, 2004), dan Dunia Melayu dalam Novel Bulang Cahaya dan Kumpulan Sajak Tempuling karya Rida K Liamsi (Pekanbaru: Yayasan Sagang, 2008). Karya-karya UU Hamidy pada klasifikasi ketiga yang tak menampakkan ke-Islam-an: Bahasa Melayu Riau (Pekanbaru, Badan Pembina Kesenian Daerah –BPKD- Provinsi Riau, 1973, dan Pustaka As, 1975), Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu (Pekanbaru: Bumi Pustaka, 198l), Sistem Nilai Masyarakat Pedesaan di Riau (Pekanbaru: Bumi Pustaka, 1982, Pembahasan Karya Fiksi dan Puisi (Pekanbaru: Bumi Pustaka, 1983), Tradisi kepenyairan di Indonesia (Pekanbaru: Bumi Pustaka 1984), Pengantar Kajian Drama (Pekanbaru: Bumi Pustaka, 1984), Kesenian Jalur di Rantau Kuantan (Pekanbaru: Bumi Pustaka, 1986), Dukun Melayu Rantau Kuantan Riau (Pekanbaru: Melayulogi, 1986, dan Unilak Press, 1999), Rimba Kepungan Sialang (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), Kasin Niro Penyadap Enau (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), Perjuangan Yayasan Lembaga Pendidikan Islam di Riau – Riwayat 38 Tahun YLPI Daerah Riau dan 26 Tahun Universitas Islam Riau, bersama Hasbullah Zaini ( Pekanbaru: UIR Press, 1989), Indonesia, Malaysia, dan Singapura (Pekanbaru: Yayasan Zamrud, 1990), Perantau Jawa di Daerah Riau (Pekanbaru: UIR Press, 1992), Kamus Antropologi Dialek Melayu Rantau Kuantan (Pekanbaru: UNRI Press, 1995), Riau Doeloe, Kini, dan Bayangan Masa Depan (Pekanbaru: UIR Press, 2002), Metodologi Penelitian:

173


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Disiplin Ilmu Sosial dan Budaya (Pekanbaru: Bilik Kreatif Press, 2003), dan Demokrasi Direbut Pemimpin Belalang (Pekanbaru: Bilik Kreatif Press, 1433H-2012M). Simpaian Nilai-nilai Ke-Islam-an Karangan UU Hamidy Keyakinan terhadap kebenaran Diin al-Islaam yang terpateri di sanubari tiap pribadi, akan terefleksi bijak pada tindak hidup dan kehidupan keseharian. Implementasi dari keyakinan yang melekat mantap pada batin tiap pribadi itu akan terlihat pula mencuat kuat pada perbuatan kerja dan karya sosial, politik, dan budayanya. Jika suatu keyakinan terhadap sesuatu (ajaran, isme, faham, sistem nilai, ideologi = Diin) telah terbentuk dan merasuk merata pada masyarakat, dia akan menjadi ciri jati budaya bahkan peradabannya. Tingkah polah, dan olah karya, serta gerak hidup (budayanya) senantiasa dijiwai pula oleh keyakinan yang bersemi kuat di batinnya itu. Pancaran sinar kebenaran Diin al-Islam sejak diproklamirkan bersebati dengan Melayu, mengalir dan padu pula pada zahir karya resam, adat, bahasa, sastra, dan budayanya. (Animistis yang menitis sebelumnya pelan-pelan ditapis, bahkan dikikis, meski belum dapat dikuis habis. Begitu pula nafas ke-Hinduan tidak lagi dihidu dan disudu lagi – walau hingga sekarang masih ada juga sisa baunya). U(mar) U(sman) Hamidy telah mampu dengan mumpuni menghimpun, menyusun, dan menuliskan berbagai karangan tentang empedu Diin al-Islam yang padu pada budaya Melayu itu. Hingga Shafar 1433 H (Januari 2012) telah lebih lima puluh bukunya yang diterbitkan, meski di antaranya ada pada kumpulan bersama pengarang lain dan karangan bersama. Buku-buku karangannya yang meliputi pendidikan, bahasa, sastra, seni, sosial budaya, dan sosial

174


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

politik tak luput merajut dari pancaran kebenaran Islam. Sulit kita menemukan karangannya yang tak diramu dengan nafas nuansa ke-Islam-an. Keinginan menjadikan tulisannya sebagai upaya dakwah, supaya memasyarakat dikirimkan ke berbagai suratkabar agar dapat dibaca oleh khalayak luas. Suratkabar ingin pula dijadikannya sebagai media dakwah. Maka, pada diskusi tentang “Problematika Mass Media Islam” yang ditaja Ikatan Masjid Indonesia (IKMI) Koordinator Wilayah (Korwil) Riau pada 17 Muharam 1407 H (21 September 1986), makalahnya yang berjudul “Beberapa Masalah Media Islam”, dia mempertanyakan tiga hal; 1) mengapa masyarakat Indonesia (yang sebagian besar ummat Islam) kurang tertarik membaca media Islam, 2) apa sebabnya media Islam kurang menarik bagi ummat Islam, 3) persoalan apa yang ada pada ummat Islam sehingga mereka kurang tertarik membaca media Islam. Meski telah berlalu 27 tahun, pertanyaannya masih relevan. Relevansi pertanyaan itu karena hingga sekarang mass media Islam tak kunjung dapat maju, bahkan yang sudah ada dan pernah sempat jaya tak pula lagi terbit, misalnya SKH Terbit (Jakarta), majalah Panji Masyarakat, Nasihat Perkawinan, dan Harmonis yang ketiga-tiganya terbit di Jakarta. Jika pun mass media Islam itu terbit, jumlah oplahnya tak dapat menyaingi terbitan umum. Namun beberapa novel bernuansa Islam ada yang best seller books. Keyakinan yang terpatri mapan di hatinya benar-benar dihayatinya dengan ketaatan yang kuat kepada Allah Rabb al-’Izzati. Buku yang judulnya tak menyiratkan Islam, Bahasa Melayu dan Kreatifitas Sastra di Daerah Riau (1994) gambar sampul kulitnya “Muhammad Bertangkup” lambing Kerajaan Siak. Firman Allah pada Q.S. 68, al-Qolam: 1-7 dipahaminya dengan penghayatan dan pengamalan yang

175


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

dalam dan total kental. Nun, Demi qolam (pena penaka) dan apa-apa yang di tuliskan mereka Dengan karunia dari Rabb, Anda bukanlah orang ( berkata-kata secara kalap, dek) gila Dan, sesunguhnya Anda pasti memperoleh ganjaran besar terus berterusan Dan sesungguhnyalah sungguh Anda sungguh berakhlaq agung teguh Dan, (kelak Anda) Anda kelak akan melihat sebagaimana pula mereka menampak Siapakah nian di antara Anda (yang) gila (bertindak) Sungguh Rabb Anda sungguh Dialah yang mengetahui dengan sesungguhnya Yang tersesat dari jalan lebuhNya Dan Dialah pula yang mengetahui (pasti) Siapa saja yang menantang hidayah haqiqi UU Hamidy dengan piawai telah menyimpai bias tempias nilai-nilai ke-Islam-an (teks) bahasa, sastra, dan budaya (Melayu) pada senarai rangkaian tulisan dan puluhan buku karya karangannya yang telah diterbitkan bebagai penerbit. Cecah basah kalam dan dawat ma’rifat para pengarang Melayu, dan resam adat budaya Melayu dengan cermat dan petah telah berhasil pula dengan sangkil dinukilkan UU Hamidy pada berbagai karangannya. Penerokaannya dari (teks) bahasa-sastra-budaya itu ada yang dibendangkannya tersirat, terselip-selit implisit sebagai percikan dari renjisan nilai-nilai ke Islam-an. Ada kalanya pula nilai-nilai ke-Islaman itu dibentangkannya dengan jelas dan gamblang

176


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

(eksplisit). Secara keseluruhan dapatlah ditegaskan, bahwa semua karya karangan UU Hamidy tak lepas dari nafas keIslam-an. Sebagai catatan awal, tulisan ini hanya setakat mencatatnya sekuat dapat hanya sebagai ulasan sekilas saja. (Mudah-mudahan dikaruniakan Allah kekuatan dengan qudrah dan irodahNya untuk mengung-kapkan lebih lengkap lagi dari berpuluh-puluh buku karangannya kelak). Tampaknya UU Hamidy memang rela berenang dan bergelimang dengan beraneka kajian yang diterokanya. Tapi dia tak mau hanyut dibawa arus kencang pemikiran yang pincang. Lebih-lebih lagi dia tak hendak tenggelam direntak ‘hantu laut’ pemikiran. Dia tulus bertungkus lumus terus menerus mengguratkan rumusan hasil kaji-annya berupa tulisan lepas dan berbentuk buku. Dia tak pernah gamang menuangkan cahaya terang kebenaran Diin al-Islam. Keislamannya diperlihatkannya pula dengan menyertakan titimangsa penerbitanannya dengan bulan dan tahun hijroh. Beberapa bukunya juga mengutipkan bebebagai ayat Alquran, dan penggalan kisah-kisah hikmah. Pernyataan yang amat baik dari UU Hamidy, tentang penegasannya bahwa pertum-buhan dan perkembangan Bahasa Melayu yang kemudian satu di antara cabangnya disebut Bahasa Indonesia (selain Bahasa Melayu Malaysia, Bahasa Melayu Singapura, Bahasa Melayu Brunei, dan Bahasa Melayu Pattani serta yang lainnya, hssg). Dinyatakannya pula, bahwa bahasa yang meningkat peran dan kedudukannya menjadi lingua franka dan bahasa bangsa: akan mampu menimbulkan semangat persaudaraan budaya di lingkungan pengguna bahasa (Dari Bahasa Melayu Sampai Bahasa Indonesia, Unilak Press, Pekanbaru, l1416/ 1995: viii – ix). Hal ini secara tersirat menyatakan bagaimana Allah Yang Mahabijaksana telah menjadikan bahasa berbagai puak suku

177


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

bangsa yang puncanya menjadikan Bahasa Arab (yang dinobatkan sebagai bahasa Alquran dan bahasa yang diucapkan ketika ibadah salat) sebagai pengikat ‘semangat persaudaraan’ ummat. (Simak dan baca: Q.S. 49, al-Hujurat: 9, dan 13). Inilah bahasa yang membina semangat persaudaraan budaya dan ‘aqidah (ukhuwwah) seummat yang memintas dan mengatasi bahasa persaudaraan budaya sepuak sesuku saja. Pada buku jolongnya yang bertajuk Bahasa Melayu Riau (1973) – belum secara intrinsik menukik menilik dan memperlihatkan realitas nafas Islam dengan jelas dan tegas. Kadarnya baru hanya seke-dar menakar kecintaan kepada budaya puaknya yang telah berjaya menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franka, yang kemudian telah berjasa pula menyumbangkan Ba-hasa Melayu menjadi dasar bahasa negara yang disebut dan dinamakan sebagai Bahasa Indonesia. (Negara boleh saja bernama Indonesia, tapi sepantas dan setepatnya bahasa ini mesti dinyatakan dan disebut sebagai “Bahasa Melayu Indonesia”. Bandingkan dengan Amerika dan Australia yang menyebut bahasa mereka bahasa Inggris, tidak dengan nama negaranya. Negara lain yang berba-hasa Arab tidak pula menyebut bahasa persatuan mereka dengan nama negaranya!). Tulisan UU Hamidy tentang “Peranan Cerita Rakyat dalam Masyarakat Aceh” menyingkapkan torehan sikap keIslam-an dari cerita rakyat (puak Melayu) Aceh yang disebut hikayat atau pada ucapan tempatan disebut haba jameun (kabar zaman). Karangan ini bersama enam karangan (hasil dari Program Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, JanuariDesember 1974 di Banda Aceh, sekarang Nangroe Aceh Darussalam) disertai pendahuluan dan tulisan Alfian sebagai editor termuat pada Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh (Alfian, ed., Jakarta: LP3ES, 1977, khususnya hal. 23-

178


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

50). Dari penerlitiannya terhadap tiga hikayat – cerita rakyat Aceh – utama dan beberapa hi-kayat lainnya yang menjadi bahan kajian penelitian itu UU Hamidy menyimpulkan, bahwa paling tidak ada enam nilai yang diusung dan terkandung pada hikayat (hal. 44-45) yaitu: moral dan agama, adat, cara (pola, hssg) berfikir, seni dan hiburan, sejarah, dan pengendalian sosial sebagai konsekuensi logis oleh pengaruh nilai-nilai tersebut, terutama pada bidang moral (akhlaq), adat (resam budaya, hssg) dan agama (Diin al-Islaam). Jangkauan luas nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi sendi kehidupan sosial budaya yang terpintal secara personal-komunal-universal. Amat cermat pula bagaimana UU Hamidy mengungkap dua sayap makna kata dukun pada budaya dan sikap pandang Melayu. Buku Dukun Melayu Rantau Kuantan Riau (1999) menyatakan bahwa, pedukunan pada prinsip selektif orang Melayu hanya suatu cara menafsirkan alam yang telah Islam menjadi kumulatif totalitas sikap pertalian hubungan alam dan Allah Pencipta Alam (hal.112). Lebih tegas lagi dijelaskannya dengan gambaran skematis (hal 113). Pedukunan menjadi semacam ragam tarikat (cara) merealisasikan nilai-nilai ajaran Islam. Ada upaya islamisasi cara pedukunan yang animistis dan hinduistis. Makanya, jika seseorang tidak dapat menduduki jabatan di lembaga pemerintahan, pada zaman dahulu di Rantau Kuantan, memilih posisi menjadi ulama’ atau menjadi dukun (hal. 114). Pada masanya ulama dan dukun sama-sama memiliki peranan besar pada kehidupan masyarakat yang diperlukan para penguasa pada sistem adat dahulu (hal. 116). Pada kitab sebelum ini (Estetika Melayu di Tengah Hamparan Estetika Islam, 1991, 35) dinyatakannya mantera Melayu yang pada tradisi terdahulu diubah dengan doa dan tawar sehingga dunia pedukunan

179


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

Melayu menjadi semakin condong kepada (cerbong) nafas dan semangat Islam. Jika pada praktiknya kemudian menitik kesyirikan, itu terjadi disebabkan takaran ilmu pengetahuan dan keimanannya. Bukankah hinggga setakat ini hal itu masih dapat bersua juga, yang upaya meluruskannya harus pula terus menerus diupayakan sekuat daya dan usaha terutama oleh ulama, tuan guru, dan lebai (ustaz: muballigh dan da’i) yang tulus. Tangkas pula UU Hamidy mengupas dan mengulas nafas nilai-nilai ke-Islam-an novel Bulang Cahaya (Pekanbaru: Yayasan Sagang, 2007), dan kumpulan sajak Tempuling (Pekanbaru: Yayasan Sagang. 2002) dua karya Rida K Liamsi, yang dikatakannya dibahas dalam rangka membaca kebesaran Allah SWT (hal. 15). Novel Bulang Cahaya yang menjadi novel istimewa di belantara budaya Melayu di Riau, mengesankan bagaimana adat bersendi syara’ yang belum kokoh dengan mudah menimbulkan kerusuhan atau persengketaan. Ketika nilai Islam mulai bersemi, baik Melayu maupun Bugis berpantang ingkar janji. Pertarungan dengan Belanda hanyalah menang atau (mati) syahid ( husn –alkhotimah) dengan indah (hal. 21). Saat mendacing kumpulan sajak Tempuling, UU Hamidy memahami amsal tempu-ling sebagai semangat hati yang arif, tekad pada sukma yang tawaddu’, sikap pada lengan (keuletan kekuatan) dan pikiran yang jernih Dia harus tahu bila menikam dan kapan pula menyentak, serta tidak kehilangan semangat ketika tikaman tempuling-nya tidak mengena. Bukunya Demokrasi Direbut Pemimpin Belalang (1433H/ 2012) walau judulnya tak menampakkan ke-Islaman, muatan isinya kaya dengan nilai-nilai ke-Islam-an. Pada ‘Pembukaan’ Rangkuman dari 43 tulisan yang pernah dimuat

180


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

pada SKH Riau Pos Pekanbaru, Serambi dan Harian Aceh (Banda Aceh) disajikan dengan niat beribadah kepada Allah SWT, yang ditulis oleh hamba yang hina dan dhoif. Bagian II buku ini bahkan bersub titel “Orang Melayu dan Islam” yang di antaranya memuat tulisan berjudul “Mitos dan Syari’ah Islam” kajian Sejarah Melayu Tun Sri Lanang, dan “Adat Bersendi Syara’” ditambah 13 tulisan lainnya. Diakui oleh UU Hamidy dari seluruh kajiannya yang telah diterbit lebih dari 50 bu-ku, tiga di antaranya merupakan sari kajian, yaitu Kebudayaan Sebagai Amanah Tuhan (1989), Estetika Melayu di Tengah Hamparan Estetika Islam (199l), dan Nilai Suatu Kajian Awwal (1993). Kalaulah boleh ditambahkan, juga Rahasia Penciptaan (2005). Keempa-empat buku ini dapat dilihat sebagai makrifatullah tekad yang menjadi sikap pandang dan prinsip hidupnya yang tak hendak kerjanya terkatup dan tersungkup dari barokah Allah. Diyakininya tanpa taufiq, rohmat, dan hidayah Allah SWT, dia tak berdaya berbuat apa-apa. “UU Hamidy hanya siapa” yang ditulisnya tanpa tanda baca tanya (yang selalu menyertai bukunya yang diterbitkan), tegas menyatakan: kita tak perlu lagi bertanya siapa kita, karena kita hanyalah hamba yang wajib hanya menghamba kepada Pencipta dan Penganugerah hidup dan kehidupan hingga maut menjemput: hingga nyawa tiba masanya, hingga ajal menjegal, hingga waktu sampai waktunya. Tulisnya: manusia yang mampu menghayati pesan kebenaran Ilahi akan memper-gunakan potensi budayanya sebagai cara mengabdi kepada Tuhan (Allah)… sehingga tampak tindakan budaya itu sebagai kebaikan atau ‘amal sholih. Perjalanan hidup manusia dengan kreativitas budayanya tanpa mengindahkan wahyu, hanya akan menyebabkan manusia semakin terikat (kuat dan erat) kepada benda-benda

181


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

(sehingga menjerembabkan harapannya menjadi lindap). Wahyu (Allah-lah) yang dapat (meretas sikap materialitas), membebaskan diri manusia dari belenggu kebendaan (Kebudayaan Sebagai Amanah Tuhan, 1989: 12, 28). Dituliskan dengan tegas oleh UU Hamidy pada buku Estetika Melayu di Tengah Hamparan Estetika Islam, 1991: seni maupun ilmu dalam Islam telah berawal (dan di-kawal, hssg) sepenuhnya pada penyerahan diri kepada Allah (hal.35). Tiap keyakinan atau pandangan hidup niscaya membekas dalam tiap karya budaya (hal. 85). Muatan estetika orang Melayu meliput tujuh unsur, yaitu 1) pesan, pedoman, dan teladan tentang jalan yang benar; 2) sindiran halus pergaulan sosial; 3) jalan nasib hamba pada suka dan dukanya; 4) cinta sebagai sentuhan batin; 5) alam sebagai lambang dan kiasan hidup; 6) perulangan pola dan bingkai (hal. 54). Pada kitab ini disertakan pula oleh UU Hamidy tiga lampiran. Lampiran l berupa 17 kutipan beberapa kesenian Melayu di Riau yang ada kilau ke-Islam-annya dan proses peralihannnya menuju Islam. Lampiran 2 berisi 17 kutipan pilihan beberapa puisi dan kisah ke-Islam-an. Lampiran 3 mengutip 13 perumpaan dari ayat-ayat Alquran. Tentang Nilai, 1413H/1993M, disebutkan UU Hamidy paling kurang ada sepuluh macam yang menarik diperhatikan. Kesepuluh-puluhnya itu l) nilai sebagai arti sesuatu; 2) nilai sebagai makna sesuatu; 3) nilai sebagai peranan sesuatu; 4) nilai sebagai guna sesuatu; 5) nilai sebagai kemampuan atau kepandaian; 6) nilai sebagai sudut pandang; 7) nilai sebagai mutu atau kualitas; 8) nilai sebagai bobot sesuatu; 9) nilai sebagai harga sesuatu, dan 10) nilai sebagai hakikat sesuatu (hal. 2-12). Kemudian disajikannya pula lima belas perbandingan antara sistem nilai budaya dengan sistem nilai Islam (hal 97-98). Ditambahkannya pula sebagai contoh

182


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

ilustrasi nilai dari cerita, budaya, dan pandangan ulama, serta ayat al Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW. Rahasia Penciptaan, 1425H/2005M, menghimpun karangannya yang pernah dimuat Riau Pos yang dituliskannya dari hasil upayanya menghayati dan memahami Alquran dan hadis Rasulullah SAW. Bagian akhir buku ini (hal.5589) menyertakan pancaran hikmah ajaran Islam yang di antaranya kisah, puisi Rabi’ah al-Adawiyah, doa puitis Imam Khomeini (meskipun dia syi’ah), dan pantun tarikat Rantau Kuantan. Upaya bersungguh-sungguh dari lelaki kelahiran Rimbo Guloan, Kuantan Singingi, 17 November 1943 ini, yang dengan teguh hingga usia menjelang tujuh puluh tahun, patut salut disyukuri. Sarjana Alumnus Fakultas Sastra dan Seni IKIP Malang (1970) dan MA Fakultas Sastra dan Sains Sosial Universiti Malaya, yang berpuluh tahun pula menjadi pensyarah (dosen) di berbagai Perguruan Tinggi di Riau – selain di FKIP UNRI – tempat tugasnya sebagai pegawai negeri, benar-benar teruji dan terpuji. Dia telah berupaya dengan sikap sigap menyingkap nilai-nilai ke-Islam-an yang melekap mantap pada (teks) bahasa, sastra dan seni, serta sosial budaya khususnya Melayu (Riau) de-ngan berdelau. Dia membuktikan bagaimana persebatian Islam itu pada keMelayu-an. Penghargaan (sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan yang telah disunnahkan Rasulullah SAW), oleh pemerintah atau pihak-pihak lain. Dari kegigihannya, wajar saja dia dipilih memperoleh dua kali Anugerah Sagang pada katagori yang berbeda, Buku pilihan terbaik Sagang 1998 (anugerah kali ke-3) bukunya Cakap Rampai-rampai Budaya Melayu di Riau. Dan Seniman/Budayawan Pilihan Sagang 2007 (anugerah kali ke-12). Dia layak sebanding duduk bersanding

183


KUMPULAN ESAI RIAU POS 2013

dengan Tenas Effendy (yang telah pula memperoleh Anugerah Sagang, dan doktor kehormatan –HC- dari Malaysia), walau di antara orang berdua ini pada upaya yang sama dengan nuansa yang berbeda.*** Rumah Kediaman,Gang Haji, 9 Zulqa’dah 1434 (15 September 2013) H Syafruddin Sai Gergaji Kelahiran Indragiri, 16 April 1959 adalah dai dan sastrawan Riau. Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa lokal maupun nasional. Selain itu juga dalam berbagai antologi baik puisi, cerpen maupun esai.

184


185


186



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.