Ombak sekanak bag1

Page 1

Rida K Liamsi Pembuka

Goenawan Mohamad Penutup

Maman S Mahayana

i


ii


O M B A K S E K A N A K

iii


Sanksi pelanggaran pasal 44 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta. 1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyebarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelaggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipi dana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

iv


ombak sekanak

R ida K L iamsi PEMBUKA

GOENAWAN MOHAMAD PENUTUP

MAMAN S MAHAYANA

Yayasan Sagang Pekanbaru

v


OMBAK SEKANAK Oleh : Rida K Liamsi @ Penerbit : Yayasan Sagang Komplek Riau Pos Group Jalan HR. Soebrantas, KM 10,5 Pekanbaru, Riau

Pelaksana Penerbitan : Armawi KH Desain : Furqon LW Layout : Rudi Yulisman Foto-foto : Said Mufti, Widiarso, dan foto-foto koleksi keluarga

Diterbitkan Pertama Kali oleh Yayasan Sagang, Pekanbaru, 2013

ISBN : ...........................................

vi


vii


viii


CATATAN PENULIS

A

lhamdulillah, setelah mengendap cukup lama, buku Ombak Sekanak akhirnya selesai juga ditulis. Buku ini seyogyanya terbit 17 Juli 2003, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun saya yang ke-60. Sebagai kado hari ulang tahun yang kata orang adalah usia yang seseorang dianggap matang, dan sudah berada di puncak karirnya. Tapi ternyata niat itu tidak begitu mudah untuk diujudkan. Banyak halang-rintangnya, dan banyak karena kealpaan diri saya sendiri, dan akhirnya baru terujud ketika usia saya sudah mendekati 70 tahun, usia yang hanya karena

ix


limpah karunia Allah yang Maha Besar-lah yang telah memberikannya sebagai nikmat dan barokah kepada saya. Subhanallah! Pada mulanya buku ini memang ingin ditulis sebagai sebuah autobiografi, seperti niat yang muncul di tengah kesunyian di kamar kost di asrama Universitas Nasional Northridge, Los Angeles,California. Ditulis sendiri dari awal sampai akhir. Untuk itu saya sudah menulis beberapa bab awal dan menyiapkan kerangka autobiografi ini. Tetapi setelah kembali ke tanah air, di penghujung tahun 1999 itu, ternyata waktu untuk menulis dan menyelesaikan buku ini, begitu berat. Begitu kembali ke rutinitas kerja, buku ini, sudah mulai tak tersentuh. Rasanya begitu repot dan berat untuk mengumpulkan lagi arsip-arsip lama, foto dan lainnya, meskipun sudah pakai asisten. Maka saya memutuskan, buku ini menjadi biografi sajalah. Artinya, ditulis oleh orang lain. Dan tulisan yang sudah saya mulai beberapa waktu lalu itu, bisa menjadi dasar dan kerangka yang dapat diteruskan. Tinggal mempertajam dan menambah bahagian-bahagian lain melalui wawancara dan pengumpulan bahannya oleh penulis yang baru. Lagi pula, sebuah biografi dapat mengurangi kelemahan-kelemahan sebuah otobiografi yang cendrung sangat subjektif. Sebuah biografi jika ditulis dengan cara-cara yang baik, dapat menjadi sebuah karya yang menarik, berimbang, dan mempunyai tempat tersendiri dalam khazanah karya-karya penulisan untuk menjadi referensi. Tingkat keshahihannya jauh lebih tinggi. Karena itu kemudian saya meminta rekan saya sdr. Fakhrunnas MA Jabbar untuk menulisnya, karena saya menilai dia seorang penulis yang sangat baik dalam mengerjakan buku-buku biografi, seperti misalnya buku biografi almarhum Suman Hs, yang merupakan salah satu karyanya yang sangat saya sukai. Ternyata Fakhrunnas yang waktu itu masih jadi dosen di Universitas Islam Riau

x


(UIR) dan jadi wartawan Media Indonesia (MI), bersedia. Syukurlah. Untuk itu dia bersama Tonny Hidayat, koresponden TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) yang bertugas di Riau (sekarang sudah pindah menjadi koresponden Media Indonesia), segera melakukan berbagai persiapan. Mereka segera pergi ke kampung halaman saya di Pulau Singkep, ke Tanjungpinang dan beberapa tempat lainnya. Bertemu dan mewawancarai banyak sumber yang dekat dan tahu tentang kehidupan saya. Lebih tiga bulan dia melakukan pengumpulan bahan dan lainnya dan sudah mulai menulis. Tetapi, tiba-tiba saudara Fakhrunnas diterima bekerja sebagai Manajer Public Relation di PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), sebuah perusahaan besar yang bergerak dalam bidang industri kertas dan bubur kertas. Dengan posisi dan jabatan yang baru itu, maka waktunya untuk menulis dan menyiapkan buku ini akhirnya menjadi sangat terbatas. Apalagi kemudian karirnya begitu cepat menanjak di RAPP sampai pada posisi Deputy Direktur bidang Humas dan Public Affair. Sehingga dia juga menjadi sangat sibuk, meskipun dia tetap mencoba untuk menyelesaikannya. Beberapa bab misalnya sudah selesai dikerjakan. Dia juga sudah mengajak saudara Musthamir Thalib, wartawan harian Riau Pos (sekarang sudah mengundurkan diri) yang juga spesialis penulisan biografi sebagai anggota tim penulisan, namun tetap saja buku itu sulit diselesaikan. Bukan hanya karena keterbatasan waktu Fakhrunnas dkk, tetapi juga karena kesalahan dan kelalaian saya sebagai sumber utama. Keterbatasan waktu saya, karena selalu tidak berada di tempat untuk melakukan wawancara lanjutan, atau menambah bahan-bahan yang baru, menyebabkan proses penulisan menjadi tertunda-tunda, dan mereka kehilangan mood dan momentum. Maka akhirnya, setelah momentum 60 tahun usia saya itu lewat, dan saya merasa buku ini tetap harus ditulis dan disele-

xi


saikan (apalagi sejak saya kembali dari perjalanan ibadah haji yang kedua kalinya, 2003) saya memutuskan, kembali menulis sendiri buku ini, tak perduli tahun berapa dan pada usia berapapun baru siap, sepanjang Allah memberikan kekuatan dan kesempatan. Saya kembali memulai kerja menulis bagian-bagian baru buku itu, memperluas dan menyempurnakan bahan-bahan awal yang saya kerjakan di Los Angeles beberapa tahun lalu, di sela-sela kesibukan dan membawa laptop saya ke mana-mana jika bepergian agak lama. Namun, lagi-lagi kesibukan dan keterbatasaan waktu, membuat draft buku ini menjadi lama sekali keluar masuk file, mengalami berbagai revisi lagi, termasuk yang hilang dari file. Maka menjelang usia saya yang ke 70 inilah baru rampung, itupun dengan berbagai kekurangan dan tetap terasa aspek ketergesaan yang memang sulit dihindari. Namun, sekali lagi saya bersyukur, akhirnya penulisan itu bisa juga diselesaikan dan buku ini dapat diterbitkan. Saya menyadari, keterlambatan penerbitan buku ini, memang telah membuat beberapa bahan yang dahulu telah tersedia, seperti catatan, kesan dan komentar para rekan, sahabat, dan kerabat saya yang telah mereka kirim hampir 10 tahun lalu, terkesan kurang up to date. Apalagi keberadaan dan posisi mereka juga sudah banyak yang berubah. Ada yang dulunya waktu menulis catatan sedang menjadi Gubernur, seperti Pak Saleh Djasit, tetapi ketika buku ini dilanjutkan penulisannya, sudah menjadi anggota DPRRI dan kemudian sudah pensiun dari jabatan legislatif itu, dan kini menjadi tokoh masyarakat dan pengusaha. Ada yang dulunya adalah Bupati, seperti Pak Rusli Zainal, tetapi sekarang sudah jadi Gubernur Riau dan sudah masuk masa jabatan yang kedua kalinya. Ada yang dulu masih seorang CEO group bisnis, seperti Pak Dahlan Iskan, sudah sempat menjadi CEO PLN, dan kini sudah jadi Menteri. Ada yang dulu masih jadi pejabat, sekarang sudah

xii


pensiun, dan lain-lain peristiwa, termasuk banyak di antaranya yang sudah meninggal dunia, seperti Pak Firman Eddy SH, rekan Hasan Junus, dan bahkan dari kerabat pribadi saya sendiri. Seperti ipar saya Masjidi, ibu tiri saya Zainah, dan rekan-rekan sesama wartawan, seperti Akmal Atatrick dan lainnya. Namun, karena saya melihat banyak catatan-catatan, kesan dan komentar mereka itu ditulis dengan pandangan jauh ke depan, dan menyangkut hal-hal yang sangat prinsip dan mendasar yang tak akan lekang oleh waktu, dan masih sangat relevan dan utuh, maka waktu sepuluh tahun berlalu itu tetap tidak banyak pengaruhnya. Catatan-catatan dan komentar mereka itu, tetap layak untuk dimuat, dan dihidangkan sebagai bahagian yang sangat memperkaya buku ini. Tidak banyak yang harus diedit. Kecuali hanya sedikit editing bahasa, penyelarasan waktu, dan memberi catatan, tentang perubahan yang terjadi. Termasuk memberi judul tersendiri Bab ini sebagai Bab: Yang Aku Ingat, Yang Mereka Catat. Karena pada setiap awal catatan mereka (ada 25 orang) saya memulai dengan beberapa catatan ringan tentang para sahabat saya itu, berdasarkan apa yang saya ingat dan terkesan, sebelum masuk apa yang mereka catat dan terkesan tentang saya. Seakan ingin mempertegas tentang beberapa hal yang menjadi inti tali persahabatan kami, yang mungkin sudah ada di dalam bab-bab yang lain. *** Saya memberi nama buku saya ini, “Ombak Sekanak�. Nama Ombak Sekanak itu, saya ambil dari salah satu judul puisi saya yang terhimpun dalam kumpulan “Tempuling�. Judul ini saya pilih untuk menandai geliat dan percikan perjalanan hidup saya yang bagaikan ombak mengalun dari tanah Sekanak, tempat saya la-

xiii


hir dan dibesarkan, menuju ke samudera dan gelora kehidupan di rantau orang. Tumbuh, berkembang, jatuh bangun, sakit senang dan berjuang untuk memberi arti bagi tiap hela napas, tiap sayatan musim usia yang diberikan Allah. Sebisanya, seridha-Nya. Saya selalu membayangkan diri saya bagaikan sepotong sabut yang hanyut dari teluk ke teluk, yang terombang ambing, yang tersadai, yang terdampar, dan yang tersuruk di antara butir-butir pasir, yang terkadang berkilau di bawah pendar matahari. Yang bersama angin memberi kesejukan, memberi rasa dan suasana kedamaian bagi sekitarnya. Hidup memang begitu indah, tetapi juga begitu penuh tantangan, yang membuat kita jatuh bangun bersamanya. Saya juga sangat menyadari, buku ini terkesan agak sombong, egois, karena saya telah menggunakan kata “Aku� dalam pola penulisan untuk diri saya dan tidak menggunakan kata “Saya�. Dalam kebiasaan sehari-hari cara seperti ini memang terkesan angkuh, apalagi dalam tradisi dan budaya Melayu. Tetapi, sejak awal saya memang ingin buku ini, tidak ditulis lurus berdasar kronologi perjalanan hidup saya. Saya ingin buku ini menjadi sebuah memoar, catatan-catatan perjalanan hidup. Saya ingin lebih bertumpu pada upaya membaurkan semua peristiwa-peristiwa penting yang mewarnai hidup saya, menjadi bagian-bagian ruh dan napas cerita, menjadi bab-bab utama dalam buku ini. Kesannya memang seperti sebuah novel dan bukan seperti otobiografi atau biografi konvensional. Pilihan ini menyebabkan gaya berceritanya menjadi saling berebut, saling mengisi dan kadang-kadang saling tumpang tindih dan berulang-ulang. Sebuah peristiwa atau catatan yang ada di satu bab, tiba-tiba muncul di bab yang lain. Saya menyadari kelemahan ini, tetapi saya juga melihat pada beberapa buku otobiografi atau biografi yang ditulis beberapa tokoh terkenal belakangan ini, memang sudah terjadi pergeseran.

xiv


Kesan buku otobiografi atau biografi sebagai sebuah buku sejarah hidup, sebuah catatan riwayat hidup, sudah mulai ditinggalkan. Kini sebuah otobiografi atau biografi lebih dekat kepada sebuah buku novel, dengan bab-bab yang kadang tak berurutan peristiwanya dan kadang-kadang muncul sebagai interval peristiwa-peristiwa yang memberi tekanan pada aspek-aspek penting dalam perjalanan hidup dan karir seseorang serta menyisihkan bahagian-bahagian lain yang mungkin penting tetap tidak sangat berpengaruh. “My History�, buku otobiografi Khatarine Graham, penerbit dan pemilik The Washington Post, misalnya, adalah salah satu buku biografi dan memoar yang sangat bagus, yang sudah meninggalkan kaidah-kaidah buku biografi atau memoar konvensional dan buku itu mendapat hadiah Pullitzer. Demikianlah adanya, sehingga buku ini, yang isinya dimulai ketika saya terhimpit rasa sunyi di penghujung tahun 1999 di sebuah kamar sempit di asrama mahasiswa di Los Angeles, California, AS, saya akhiri dengan perjalanan spiritual saya naik haji dan bersujud di hadapan Baitullah dan di tengahnya muncul bab-bab perjalanan hidup dan karir saya sebagai guru, seniman, wartawan, pengusaha dan anggota masyarakat. Berbaur, bercampur aduk, tapi saling melengkapi. Saya kemudian memang tetap memilih meletakkan bab kesan, komentar dan catatan para rekan, sahabat dan kerabat saya di bahagian akhir. Selain karena mereka ikut mewarnai kisah perjalanan hidup saya yang tak seberapa itu, juga agar bila dalam penceritaan saya dari bab ke bab, ada yang tertinggal, terlupa atau terlepas, maka catatan, kesan serta komentar mereka, akan menjadi pelengkapnya, menjadi rujukan, menjadi mata rantai. Karena itulah saya sangat berterima kasih kepada para rekan, sahabat dan kerabat yang sudah meluangkan waktu untuk membuat catatan-catatan itu dan itu

xv


sungguh merupakan kehormatan bagi saya dan budi baik yang tak terbalaskan oleh saya. Dan saya mohon maaf karena telah membiarkan semua catatan penting itu “terlantar� hampir 10 tahun, dan menyebabkan saya dengan malu hati selalu risih ketika beberapa sahabat bertanya, bila buku perjalanan hidup saya ini akan terbit. Syukurlah, akhirnya saya dapat menebus kelalaian itu dengan sebuah karja yang insyaallah akan berguna bagi kehidupan ini. Sebuah sumbangan yang belum tentu sangat berarti. *** Sebagai penutup pengantar ini, saya ingin berterima kasih yang tak terhingga kepada Fakhrunnas, Tony Hidayat dan Musthamir Thalib yang telah membantu mengumpulkan sebahagian bahan buku ini. Meskipun saya sadari betapa tak bahagianya mereka bekerjasama dengan saya yang sangat tak disiplin dalam waktu, tak selalu lengkap dalam penyediaan bahan-bahan tulisan, foto, yang mereka perlukan, sehingga mengganggu jadwal penulisan dan kerja mereka. Apalagi dokumentasi dan arsip saya termasuk sangat centang perenang. Namun mereka sangat sungguh-sungguh mendorong saya untuk menyelesaikan buku ini. Meskipun buku ini berteraskan tulisan saya, tetapi beberapa bagian adalah hasil kerja mereka, antara lain, berupa catatan dan kesan para kerabat, saudara dan teman-teman masa kecil, masa muda saya, yang merupakan hasil wawancara Fakhrunnas dan Tony, yang kemudian dipoles oleh Mosthamir Thalib. Juga terimakasih kepada kepada Armawi KH dan timnya di Majalah Sagang yang menata wajah dan disain buku ini, melanjutkan kerja yang sebelumnya dilakukan oleh Furqon LW (salah satu Wakil Pemimpin Redaksi bidang perwajahan harian Riau

xvi


Pos). Juga kepada berbagai pihak lainnya yang tanpa kenal lelah telah membantu agar buku ini dapat selesai dan diterbitkan. Kemudian tentu saja terima kasih yang tak terhingga kepada Mas Gun (Goenawan Mohamad), sastrawan dan budayawan Indonesia yang terkenal dan sangat saya kagumi itu, guru jurnalistik saya, dan sahabat intelektual saya, karena telah berkenan membuat catatan Pembuka untuk buku ini. Mas Gun adalah Pemimpin Redaksi MBM Tempo ketika saya bekerja di majalah berita itu, dan kini adalah Presiden Komisaris PT Jawa Pos, holding company tempat di mana PT Riau Pos Intermedia Pers, penerbit Harian Riau Pos, bernaung. Dan juga kepada rekan saya Maman S Mahayana, esais dan kritikus sastra Indonesia yang terbilang, yang telah menulis kata penutup dengan mengambil puisi “Tempuling� saya sebagai bahan penulisannya. Seterusnya, saya ingin secara khusus menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang tulus kepada sahabat saya, guru bisnis saya, Dahlan Iskan, yang telah menjadi motivator, yang telah mengajak saya terjun ke dunia bisnis media, serta memberi laluan kepada saya untuk tumbuh dan berkembang. Dialah yang telah menularkan semangat, mimpi, obsesi, dan kegigihannya kepada saya, sehingga saya berhasil menjadi seorang entrepreneur itu. Saya juga meminta maaf yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak, mungkin yang disebut dalam buku ini, atau mungkin yang tak tersebut dalam buku ini, yang tersinggung, yang terluka, atau yang terganggu dengan tulisan dan catatan saya dalam buku ini. Itulah kelemahan saya, namun semua itu tak pernah saya lakukan dengan iktikad buruk. Akhirnya, buku ini saya dedikasikan sepenuhnya kepada isteri saya tercinta Asmini Syukur, kepada anak-anak dan cucu-cucu, serta kerabat saya lainnya yang selama ini tel-

xvii


ah ikut menjadi bahagian dan mewarnai hidup saya, serta menjadi semangat dan inspirasi, baik dalam menulis, maupun dalam bekerja. Lalu kepada Allah saya serahkan segalanya, dan kepada-Nya saya mohon ampun. Allahu Akbar!

Pekanbaru, 2012

xviii


PEMBUKA

M

enulis biografi sendiri mengandung risiko besar. Pertama, tidak ada biografi, juga otobiografi, yang bisa menampung semua data pengalaman seseorang. “Biografi seorang penulis -- atau bahkan otobiografinya - akan selalu mengandung ketidak-lengkapan�, kata V.S. Naipaul, pengarang asal Trinidad dan pemenang Hadiah Nobel itu. Masa lalu itu mengandung 1001 detail yang pelik, dan selalu ada mekanisme dalam kesadaran kita untuk melupakan sebagian, dan memasukkannya ke bagian bawah-sadar, yang kadang-kadang muncul di dalam mimpi. Mengenang itu juga bukan hanya merekonstruksi, tapi juga mengkonstruksi: membentuk sesuatu dari bahan masa lalu menurut kondisi kita hari ini dan kecenderungan kita ke masa depan. Kedua, sebuah otobiografi adalah sebuah tafsir tentang diri sendiri yang dikemukakan ke khalayak ramai. Tafsir selalu mengundang tafsir baru -- dan terkadang ada benturan. Maka seorang penulis otobiografi, seperti Rida K. Liamsi, adalah seorang yang berani mengantisipasi respons itu, juga bila perlu, benturan itu. Rida layak untuk berani. Dia seorang penulis yang bagus -- tak semua penyair menulis prosa yang bagus -- dan dia punya pengalaman yang tebal dalam dunia bisnis pers, di mana keberanian adalah modal paling dasar. Dan kelebihan lain, seperti ditunjuk-

xix


kan dalam buku ini: Rida tidak berangkat dari hidup yang mapan. Juga jalan hidup yang tidak seperti seruas jalan tol. Ia mendapatkan metafora perjalanan hidupnya dalam ombak. Ia tidak mengada-ada -- sebagaimana laiknya seorang yang lahir di Pulau Singkep, di kampung Bakong, yang “jika musim sakal tiba, akan selalu dikurung ombak. Bergulung-gulung, bagaikan enggan memberi kesempatan penghuninya untuk keluar menerabas hempangannya.” Demikianlah “kembara” hidupnya “bagaikan ombak laut, bergerak dari waktu ke waktu dari teluk ke teluk, dari pantai ke pantai, dari angin ke angin.” Ombak itu disebutnya sebagai “ombak sekanak”, ombak yang telah membesarkan dirinya, membakar semangatnya. Ombak itu juga yang mendorongnya “meretas semua mimpi-mimpiku di masa kecil, mimpi-mimpi yang kureguk dari buku-buku, mimpi-mimpi yang kesambar dari lintas hidup dan sejarah mereka yang bergerak maju ke depan bagaikan meteor kehidupan.” Kita lihat, dalam perjalanan hidup Rida, ombak yang dahulu seakan-akan tak mau memberi kesempatan kepada penghuni pulau seperti dia “untuk keluar menerabas hempangannya”, pada akhirnya menjadi sesuatu yang mendorongnya “meretas mimpi”. Transformasi kiasan “ombak” ini juga yang menggambarkan perubahan seorang Rida, si anak pulau, menjadi seorang Rida, si penjelajah. Saya tak akan mengambil alih peran si penulis di sini. Pengantar ini sekedar cara saya untuk mengundang pembaca mengikuti otobiografi ini sampai habis. Goenawan Mohamad

xx


DAFTAR ISI

Catatan Penulis ____________________________________ xi Pembuka _________________________________________ xxi Daftar Isi________________________________________ xxiii Bab I SUATU PAGI DI PENGHUJUNG MILENIUM _________ 1 Bab II SEKANAK, NEGERI YANG TAK BISA DIKALAHKAN _ 9 1. Sebuah Nama Warisan Sejarah ___________________ 9 2. Sisa-Sisa Laskar Sriwijaya ? _____________________ 15 3. Permata Pulau Singkep ________________________ 17 4. Kampung Penuh Legenda ______________________ 19 Bab III DI ANTARA KARANG DAN SAMUDERA __________ 1. Anak Seorang Da’i ____________________________ 2. Tegar Seperti Batu Karang ______________________ 3. Nyaris Tak Pernah Sakit ________________________

xxi

27 27 31 34


4. Seorang Ibu yang Laksana Samudera______________ 37 5. Jadilah Seperti Bung Karno _____________________ 43 6. Mengasah Tekad dalam Kesendirian ______________ 47 Bab IV MENITIP MIMPI DI PUNCAK-PUNCAK OMBAK ___ 1. Terserah Cik Gu-lah___________________________ 2. Setelah Bahu Lecet Memanggul Karung ___________ 3. Kegelisahan Anak Muda _______________________ 4. Ternyata Shakespeare Keliru ____________________

55 55 59 63 69

Bab V TAK ADA KATA NOMOR DUA ___________________ 1. O, Itu Ratu Belanda ? __________________________ 2. Terpaksa Masuk Sekolah Guru __________________ 3. Jadi Pemuncak Kelas __________________________ 4. Belajar sampai Tua ____________________________

77 77 84 87 91

Bab VI SEBUAH BENTENG AIR MATA ___________________ 95 1. Pasangan Guru yang Miskin ____________________ 95 2. Mahalnya Sebuah Ambisi _____________________ 102 3. Memahami Arti Harapan______________________ 109 4. Air Mata Seorang Ayah________________________ 113 Bab VII DALAM GESEKAN BIOLA PAK YOSE RIZAL _______ 1. Tergila-gila pada Chairil Anwar_________________ 2. Dengan Puisi Menembus Media ________________ 3. Tempuling, Sebuah Tonggak ___________________ 4. Anugerah Sagang, Sebuah Komitmen ____________

xxii

121 121 125 131 145


Bab VIII PERJALANAN MENEMBUS MITOS ______________ 1. Hidup Harus Memilih ________________________ 2. Menembus TEMPO __________________________ 3. Memulai Obsesi Jadi Penerbit __________________ 4. Membangun Mimpi Baru _____________________ 5. Mengembangkan Obsesi ______________________ 6. Akhirnya Menjadi Sebuah Group _______________

151 151 157 165 174 177 179

Bab IX BERPOLITIK? HARUS SIAP DISAKITI ____________ 1. Bung Karno sebagai Idola _____________________ 2. Mengurus Organisasi Profesi __________________ 3. Kecemplung ke Golkar________________________ 4. Menegakkan Pancang Melayu __________________ 5 Komitmen pada Kampung Halaman ____________ 6. Politik Itu Memang Menyakitkan _______________

193 193 203 205 209 217 235

Bab X UNTUNG BERTEMU DAHLAN __________________ 1. Dahlan Iskan Way ___________________________ 2. Fokus! Fokus! Fokus! _________________________ 3. Care! Care! Care! ____________________________ 4. Kreatif dan Jangan Menyerah ! _________________ 5. Berpikirlah Jauh ke Depan. Visioner ! ____________ 6. Seven Samurai ______________________________ 7. Menembus Kepungan Birokrasi_________________

239 239 249 256 261 266 275 291

Bab XI TUHAN, ALANGKAH KECILNYA AKU ___________ 307 1. Umroh di Bulan Ramadhan ____________________ 307

xxiii


2. 3. 4. 5.

Pergi Haji Sendiri ____________________________ Cerita Sepasang Sendal _______________________ Ultah Perkawinan di Madinah __________________ Setelah Doa di Makam Ibrahim _________________

Bab XII YANG AKU INGAT, YANG MEREKA CATAT __________ 1. Rusli Zainal-Gubernur Riau (2003 – 2013) Realitas, Idealis dan Pejuang ______________________ 2. Saleh Djazit-Gubernur Riau (1998 -2003) Sangat Peduli dan Mencintai Daerahnya ____________ 3. Dr. Chaidir-Mantan Ketua DPRD Riau Membaca Rida K Liamsi, Membaca Kesadaran Melayu _ 4. Ismeth Abdullah-Gubernur Kepulauan Riau (2004-2009) Siapa Bilang Anak Pulau Tak Bisa Menjadi Executive Professional? __________________________ 5. Muhammad Sani-Gubernur Kepulauan Riau 2009–2014 Tak Banyak Anak Pulau Seperti Rida _______________ 6. Soeripto (Almarhum)-Gubernur Riau (1988-1998) Guru, Seniman, Wartawan _______________________ 7. Tabrani Rab-Intelektual/Budayawan Rida antara Realita dan Obsesi ____________________ 8. Rivaie Rahman-Mantan Wakil Gubernur Riau Budak Melayu, Tidaklah Bodoh ___________________ 9. Sofyan Lubis-Mantan Ketua PWI Pusat Bung Rida yang Saya Kenal _______________________ 10. Asparaini Rasyad-Praktisi Humas Rida K Liamsi Manusia Serba Bisa _________________ 11. Nyat Kadir-Mantan Walikota Batam Penyambung Tradisi Lama _______________________

xxiv

309 318 323 327

331 333 337 341

347 352 356 359 369 373 377 391


12. Firman Eddy-Mantan Bupati Kepulauan Riau Wartawan Kreatif dan Inovatif ____________________ 395 13. Murwanto-Mantan Bupati Kepulauan Riau Dia Orang yang Terpandang ______________________ 399 14. Hoezrin Hood-Mantan Bupati Kepri/Tokoh Pendiri Kepri Mengingat Rida, Sudah Biasa _____________________ 402 15. Yusmar Yusuf-Budayawan/Intelektual Rida, Sri Bakong _______________________________ 404 16. Azlaini Agus-Tokoh Wanita, Wakil Ketua Ombudman RI Rida K Liamsi, Membujur Lalu, Melintang Patah ______ 409 17. Tenas Effendy-Tokoh Budaya, Ketua Umum LAM Riau Rida Patut Ditiru _______________________________ 412 18. Djauzak Ahmad-Ketua Majelis Pendidikan Riau, Mantan Dirjen Pendidikan Dasar Depdikbud Sebuah Nama yang Bermakna ____________________ 414 19. Muchtar Ahmad-Intelektual Tangan Dingin Seorang Sahabat ___________________ 417 20. Dorothea Samola-Komisaris PT Jawa Pos dan PT Riau Pos Intermedia Mereka Tahu Tak Siapapun Tahu ... ________________ 434 21. Zainal Muttaqin-Chaiman Kaltim Post Group dan Wadirut PT JPNN Mengantar buku Bang Rida‌ _____________________ 436 22. Mulyadi-Wartawan Senior Rida K Liamsi, Le Roi de Presse dari Riau ____________ 442 23. JR Susanto-Mantan Kordinator Liputan Suara Karya Rida K Liamsi si Ismail Kadir _____________________ 446 24. Renville Almatsir-Mantan wartawan Tempo, Pensiunan Humas PT Caltex

xxv


25. 26. 27.

28. 29. 30. 31. 32.

33. 34. 35. 36.

Rida, Revolusi Belum Selesai ______________________ 450 Hikmat Ishak-Penulis/Wartawan Senior Rida K Liamsi, Bukan Lagi Sebuah nama ____________ 456 Moeslim Kawi-Mantan Ketua PWI Riau/ Wartawan Senior Obsesinya Tak Pernah Padam, dan Bertangan Dingin __ 460 Fakhrunnas Ma Jabbar-Seniman/wartawan Rida K Liamsi: Penunggang Ombak yang Terus Bergelora ____________________________ 471 Imam Sudrajad-Pengusaha Dia Pandai Mengorek Berita ______________________ 481 Mustafa Yasin-Pengusaha Tiga Menguak Takdir ala Tanjungpinang ____________ 488 Alhajj Sudirman Bachry-Seniman Selain Penulis, juga Pelukis Hebat __________________ 493 Hasan Junus-Budayawan Dari Tempuling Sampai Bulang Cahaya _____________ 498 Soetardji Calzoum Bachri-Presiden Penyair Indonesia Iskandar Leo, Sang Fenomenal Kenangan tentang Rida K Liamsi __________________ 505 Armawi KH-Seniman/Majalah Budaya Sagang Mari Kita Pupuk Bersama ________________________ 510 Taufik Ikram Jamil-Sastrawan Semoga Masih Ada Rida yang Lain-Pemecah Mitos ____ 513 Mafirion-Pengusaha/Tokoh Sepak Bola Nasional Saya Bangga Bos ! ______________________________ 521 Abdullah Said-Mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Riau ____________________ 530

xxvi


Penutup: Maman S Mahayana Dosen Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Membaca Tempuling Memahami Rida ______________ 535 Lampiran Keterangan Foto __________________________ 555

***

xxvii


xxviii


xxix


Aku, isteri, anak-menantu, dan para cucu.

xxx


SUATU HARI

DI

BAB I PENGUJUNG MILENIUM

L

os Angeles, Minggu 7 November 1999. Bangunan tembok yang bagai kotak-kotak korek api itu, tampak senyap dan bisu di pengujung musim gugur, di Norhtridge, sebuah kota di pinggiran Los Angeles, California, Amerika Serikat. Jalan Zelzah yang lebar dan bisa dilalui enam kendaraan dari dua arah, juga lengang. Sesekali beberapa mobil melintas, namun nyaris tak ada orang yang berjalan. Di hari Minggu itu tampaknya memang hampir semua komplek perguruan tinggi University State Union Northrigde (USUN), Los Angeles, yang luasnya sekitar 60 hektar tampak sepi. Penghuninya mungkin berlibur atau mungkin mengurung diri di kamar, sekalipun suhu di luar tidak begitu dingin, cuma sekitar 160 C. Aku berdiri memandang jalan, menikmati tusukan udara setengah dingin dengan angin yang mendesir, sembari berpeluk tangan. “Tinggal 53 hari lagi, akan masuk ke millenium ke-3,� ka-

1


taku dalam hati, sambil berdiri seorang diri di muka pintu pagar bangunan nomor 12, tempat di mana aku ditempatkan. Aku ke sini dalam rangka studi banding tentang perkembangan surat kabar daerah (community news paper) di Amerika, memperdalam Bahasa Inggris dan sambil jalan-jalan. Dan, tempatku selama tiga minggu tidur, makan dan belajar itu, adalah sebuah asrama mahasiswa yang biasa mereka sebut dormitori. Gedung nomor 12 itu dikenal dengan sebutan Saguapa Hall. Karena itu sebuah kampus, kelihatan banyak sekali gedung dan kompleks mahasiswa semacam Saguapa Hall tersebut. Namanya macam-macam, namun tipenya sama. Praktis, tetapi selesa. Aku memang sendiri di luar bangunan induk itu dan sudah hampir 15 menit berpikir, harus ke arah mana akan berjalan. Aku ingin mencari toko yang mungkin menjual kartu telepon. Aku ingin benar menelepon ke rumah, ke Pekanbaru, karena sejak tiba di LA, begitu mereka menyebut Los Angeles, Sabtu malam, masih belum dapat menelepon. Soalnya, telepon genggamku ternyata tak bisa koneks di Amerika ini. Padahal, 15 jam sebelumnya ketika transit di Taipei, Taiwan, telepon itu masih punya jaringan dan dapat dipakai. “Luar biasa Amerika ini. Tak mau sama sekali ada komunikasi ke luar negerinya, kecuali menggunakan teknologi telekomunikasi model mereka, yang mungkin bisa mereka kontrol atau mereka nikmati langsung pembayarannya,� pikirku sambil menyumpah di dalam hati. Kedongkolan itu, memang membuat aku makin kesepian. Karena itu, seperti tiba-tiba saja muncul perasaan di senja itu yang membuat aku menjadi begitu rindu akan rumah. Rindu anakanak. Padahal aku sudah sangat sering berpergian, termasuk ke luar negeri. Aku sudah pernah ke Eropa beberapa tahun lalu, ke Jerman, Prancis, Swiss, Belanda, dan Inggris. Ke Amerika

2


Bagian Barat ini, sudah kali kedua dengan kedatangan ini. Aku sudah sampai ke Las Vegas dan San Francisco. Tapi rasa rindu yang menggelitik-gelitik justru baru kali ini. “Barangkali memang sedang kesepian, tak ada teman bicara. Barangkali memang sudah semakin tua, sudah sering merasa terasing dengan kawasan sekitarnya. Atau aku memang sedang terpengaruh dengan millenium bug. Kegamangan menghadapi tahun 2000, menghadapi millenium baru itu,“ kataku dalam hati. Agaknya, ya. Sebab ingatan tentang tinggal beberapa hari lagi akan masuk ke tahun 2000 membuat aku tiba-tiba kembali sadar, aku semakin tua. “Sudah berapa usiaku kini?” tanyaku pada diriku sendiri. Sudah lebih dari 56 tahun dan sebentar lagi segera akan menjadi 57 tahun. Sudah cukup tua. Mungkin melakukan perjalanan yang jauh dan melelahkan seperti ke Amerika yang harus kutempuh lebih dari 20 jam dengan penerbangan itu, suatu waktu nanti akan makin sulit dilakukan. Aku sudah harus lebih hati-hati dengan makanan, harus hati-hati dengan berat badan, harus menghitung apakah tidurku cukup, apakah kadar gulaku baik, dan banyak lagi, termasuk kadar colesterol, tentunya. Tibatiba memasuki tahun 2000 ini aku merasa memang semakin tua, semakin gamang. Makin memerlukan saat-saat merenung, memahami kembali arti hidup dan apa yang sudah aku lakukan dan menanyai lagi diriku lebih dalam, apa lagi yang harus aku lakukan. Perasaan seorang tua, seorang kakek, perasaan yang tibatiba membuat aku menjadi asing, menjadi sendiri. Perasaan itu, makin lama makin tajam. “Ya, ya, engkau memang makin perasa, makin peka. Dan, itu karena pengaruh usia. Makin tua, makin sering merasa sendiri,” kataku, menghibur diri. Tapi, bagaimanapun, dengan rasa syukur yang tak habis-habis kepada yang maha memberi Kasih dan Sayang-Nya, aku makin sering melihat lintasan perjalanan hidupku bergerak bagaikan

3


Bersama Executive JP Group Eddy Nugroho (sekarang Direktur JP Koran), Ramadan Pohan (sekarang Ketua Partai Demokrat), dan Imawan Mashuri (Dirut PT JPMC) setelah menyelesaikan program pelatihan di USA, penghujung tahun 1999.

film dokumenter. Melintas, hilang dan muncul lagi. Siluet-siluet hidup dan masa lampau serta mimpi-mimpi yang belum terwujud. Bila percikan-percikan masa lampau itu melintas dan aku merenungnya, maka aku kerap merasa tak percaya terhadap apa yang sudah aku jalani dalam hidup ini, apa yang aku capai, apa yang sudah aku nikmati. Sebab jika kubayangkan diriku puluhan tahun lalu, sebagai seorang anak lelaki yang tumbuh dan dibesarkan di sebuah kampung nun jauh terpencil dari segala kemajuan, hidup pas-pas dalam satu keluarga yang terbilang bukan keluarga mampu, sungguh, apa yang aku capai sekarang, merupakan rahmat Ilahi Rabbi yang tiada terperikan. Perasaan demikian itulah kemudian, di bawah sentuhan tajam udara Los Angeles, membuat aku tiba-tiba makin peka, makin emosional. Ingat kampung halamanku, tanah kelahiranku, masa kecilku, perjalanan hidup dan

4


semua orang yang menjadi tempat kasih sayang dan rasa hormatku bertumpah ruah. Tiba-tiba saja aku berpikir, tiga minggu di California ini, merupakan waktu yang cukup bagiku untuk menulis dan mencatat kembali kembara hidupku. Kembara yang bagaikan ombak laut, bergerak dari waktu ke waktu dari teluk ke teluk, dari pantai ke pantai, dari angin ke angin. Kembara Ombak Sekanak, ombak yang telah membesarkan aku, membakar semangatku untuk meretas semua mimpi-mimpiku di masa kecil, mimpi-mimpi yang kureguk dari buku-buku, mimpi-mimpi yang kusambar dari lintas hidup dan sejarah mereka yang bergerak maju ke depan bagaikan meteor kehidupan. Dan, sebagian mimpi-mimpi itu, meski ada yang sudah dapat kuwujudkan, tetapi masih banyak yang mengawang jauh, indah dan terus-menerus menggodaku, menggoda semangat hidupku untuk meraihnya. Atau paling tidak ingin aku catat dan kelak suatu saat akan kubolak-balik dan kubaca dalam relung sisa-sisa hidupku. Sebuah otobiografi, pikirku. Atau suatu catatan lepas dan singkat tentang kehidupan, karir, mimpi atau obsesi, sebuah memoar. Walaupun aku paham bahwa sebuah otobiografi atau catatancatatan pribadi itu adalah sebuah karya subjektif. Artinya, yang tampak mungkin hanya sisi-sisi baik saja, sisa keberhasilan. Sementara sisi suram dan gelap, sulit terdedah. Tetapi, sisi-sisi yang baik, yang diceritakan dengan hati yang ikhlas, dengan sikap yang jujur, dengan niat agar dia bisa menjadi sesuatu yang dapat direnung, aku pikir bukanlah kerja yang sia-sia. Di dalam lumpur yang bagaimana kelam pun, sebutir mutiara akan tetap dapat memancarkan cahayanya. Ambillah yang baik dan sisihkan sesuatu yang diragukan dan sebuah otobiografi atau catatan-catatan pribadi itu akan tetap ada manfaatnya. Paling tidak ada jejak dan kilasan dari perjalanan sebuah cita-cita, sebuah obsesi, sebuah mimpi, yang

5


dapat dicatat dan direnungkan maknanya. Sebuah otobiografi atau catatan-catatan pribadi itu, juga sebuah pendedahan rasa syukur, rasa terima kasih dan penghargaan, atas sesuatu yang telah dicapai, sesuatu yang disadari, bahwa betapapun kecilnya yang telah kita terima, tetapi itu telah ikut memberi makna dan warna bagi lintasan sejarah kehidupan dan masyarakat di mana sebuah mimpi dan cita-cita diwujudkan dan diberi tempat. Mungkin benar, bahwa hidup adalah panggung sandiwara, di mana kita semua jadi pemainnya. Di mana kita semua mencatat dan membuat sejarah kehidupan sendiri-sendiri. Dan kelak, entah bila, entah di mana dan entah oleh siapa sejarah kehidupan yang kita tulis itu, memberi ilham bagi mereka yang melihat bahwa di situ ada sesuatu yang memberi makna, memberi arti atas sebuah masa lampau. Bukankah kita sepakat, tak ada hari ini, tanpa masa lampau? Dari kamar dormitori inilah kemudian aku memang memulai menulis memoar ini. Aku memulainya pada Hari Thanksgiving, hari besar dan hari libur yang hanya ada di Amerika Serikat, yaitu hari dimana mereka berterima kasih kepada para tokoh dan pemimpin mereka yang membangun Amerika. Orang-orang yang pertama mendarat di Foundland dan memulai sebuah jejak sejarah baru di sebuah kawasan di dunia ini. Pada hari ini, mereka warga Amerika akan merayakannya dengan sukacita sambil memanggang kalkun (turkey), dan pesta-pesta meriah lain. Dan bagi yang bukan Amerika, ya, silakan nikmati liburan itu, dan berterimakasih kepada apa yang sudah dicapai Amerika dalam membangun sebuah dunia baru, dan peradabannya. Tuhan, terima kasih segala limpah karunia-Mu. Amin. Sambil membayangkan daging kalkun yang terbujur, bugil di atas meja, aku mulai menulis memoar ini. Dan aku memulainya dengan sebuah puisi, untuk mencatat abad baru yang segera akan melintas

6


di ujung tahun, di mana aku menyaksikan Amerika bersiap memasuki abad baru dengan harapan dan keinginan besar mereka sebagai kekuatan terbesar dunia... Suatu siang, penghujung abad Bahang melinia menyentuh gerbang Terbangkan beratus gagak, Derukan beribu dingin Tuhan, aku saksikan zelzah gemetar menatap angin Dan aku gemetar menangkap ingin Berapa sampaikah desah harapku Berapa sudahkah derap langkah ku Sementara hari ku menderu di busur waktu Di Northridge, penghujung abad Tonil kekanak menyambar rindu Tarikan derai pantai Nyanyikan keletah ombak Senandungkan derita tebing Tuhan, aku bayangkan Bakong gemetar menatap angin Dan aku gemetar menangkap ingin Berapa sampaikah benang mimpi ku Berapa sudahkah jahit jubah jiwa ku Sementara hari ku menderu di busur waktu Di Northrigde, penghujung abad Gemuruh concorde menyibak ingin Dan kalender terlepas menuju malam Tuhan, aku saksikan zelzah gemetar menahan musim Dan aku gamang menantang angin Los Angeles, penghujung 1999

7


8


NEGERI

BAB II SEKANAK, YANG TAK BISA DIKALAHKAN

1

. Sebuah Nama Warisan Sejarah Sosok kampung kecil itu tiba-tiba berkelebat di pelupuk mataku, bagai sebuah lukisan senja. Berdenyar di bawah matahari petang, dengan rumah-rumah kayu, beratap rumbia. Sebagian tiang-tiangnya tertancap di pantai dan dijilat pasang. Asap tipis membubung dari dapur-dapur, sementara kotek ayam menyambut Maghrib, bagaikan musik mistik yang menikam-nikam hati. Bakong, kampung di bibir pantai. Kampung yang jika musim sakal tiba, akan selalu dikurung ombak. Bergulung-gulung, bagaikan enggan memberi kesempatan penghuninya untuk keluar menerabas hempangannya. Seakan-akan tak mau ditinggal jauh, seakan-akan ingin segalanya tidak berubah. Seakan-akan ingin abadi disebut Bakong, Tanah Sekanak. Bakong, di sinilah aku dilahirkan. Sebuah kampung yang memang tidak banyak yang istimewa untuk diceritakan, .... Bahkan di dalam peta pun akan sulit dicari, kecuali peta itu adalah peta yang dipilah-pilah untuk kepentingan penelitian atau sensus penduduk. Tetapi, dalam lingkungan masyarakat di sekitarnya, kampung ini akan diingat, bahkan disebut dengan nada hormat dan juga rasa gerun. “Hati-hati dengan orang Bakong, nanti terjun dari tingkap,� begitu dulu kelakar orang-orang muda, kalau ada anak gadis dari kampung lain yang berani coba-coba menolak cinta para remaja Bakong dengan cara kasar, apalagi sampai

9


menghina. Walaupun dengan nada bercanda, tapi sampai kini pun, kegerunan begitu itu masih selalu melekat dan seakan menjadi kekuatan yang tak boleh dilecehkan. “Jangan main-main dengan orang Bakong“ kata mereka dengan nada temberang. Aku sendiri sejak lama bangga dengan perasaan gerun orang luar kampungku. Aku merasa memang ada latar belakang sejarah yang membuat rasa gerun itu bisa tumbuh. Ada kekuatan alam lain yang membuat kampung itu disebut dengan jantung yang berdegup. Kampungku juga dinamakan Tanah Sekanak. Aku rasa sebutan Tanah Sekanak itu, bukan sebutan sembarangan. Bukan sekadar nama. Sekanak sering dirasakan sebagai sebuah nama yang membangkitkan semangat, membangkitkan dorongan ke depan. Dorongan untuk selalu didahulukan, selalu menjadi yang didengar dan dihormati. Ada semacam mitos yang mengelilinginya. Ada semacam latar yang penuh dengan warna dan kesan, meski penuh dengan ketidakpastian jejak . Nama Bakong memang punya berbagai versi menyangkut asalusulnya. Aku sendiri, begitu mulai memahami ilmu kesejarahan dan dapat mengumpulkan berbagai keterangan tentang latar belakangnya, merasa yakin nama itu punya beberapa sisi menarik dan mungkin juga makna tertentu. Bakong, mungkin memang berasal dari nama bakung (Crinium Amarillidaceae). Bunga putih, bersih, yang tumbuh di dataran rendah, yang berpasir khas daerah tropis. Dari jenis tanaman umbi-umbian, yang daunnya berhelai panjang dan ramping, seperti pedang. Sering juga disebut Crinium asiaticum. Tanaman ini, memang dapat ditemukan hampir di semua pantai kampung itu. Kononnya, orang-orang Belanda yang sampai ke sana suatu masa lalu, memberi nama kampung itu Bakung, begitu mereka menemukan begitu banyak jenis tanaman tersebut di sepanjang pantai. Dalam percakapan sehari-hari, kampung itu disebut Bakung, tetapi dalam administrasi pemerintahan

10


desa dan kecamatan dan surat menyurat resmi ditulis Bakong. Tetapi, dalam bahasa masyarakat setempat, yang kami sebut Bahasa Sekanak, mereka tidak menyebutnya Bakung atau Bakong, tetapi Ekung. Biasanya dalam percakapan sehari-hari misalnya, saat mereka saling menyapa dan bertanya, dalam bahasa Sekanak: Mo nak kana ? (Kau mau ke mana ?), maka yang ditanya akan menjawab, “Nak ke Ekung� (Hendak ke Bakong) Nama kampung Ekung itu, sudah lama ada, sama lamanya dengan sejarah keberadaan Bahasa Sekanak itu sendiri. Artinya, sebutan Ekung itu sudah ada jauh sebelum Belanda menapakkan kaki penjajahannya ke kampung itu. Belanda pernah sampai ke sini dan paling tidak meletakkan jaringan kekuasaannya secara nyata, dan dibuktikan dengan adanya sebuah “Rumah Candu�, yaitu bangunan milik Belanda yang dijadikan pos pengawasan perdagangan candu, yang di masa penjajahan dulu merupakan hak monopoli Belanda. Kepala posnya, disebut Mantri Candu. Kedudukannya sama pentingnya dengan Mantri Garam, yang mengawasi monopoli perdagangan garam, dan Mantri Kayu yang mengawasi perdagangan hasil hutan. Di Bakong, ketika itu, hanya ada Mantri Candu. Rumah Candunya bagus sekali dan itulah bangunan terbagus yang ada di kampung itu. Tiangnya terbuat dari beton semen. Dindingnya kayu kapur (dryobalanops) dan jeruji jendelanya terbuat dari besi-besi bulat yang besarnya lebih kurang sebesar jari kelingking. Setelah Belanda pergi, rumah itu jadi tempat kediaman kepala sekolah. Tetapi, mungkin juga asal nama Bakong itu dari kata Ma Kong, begitu orang tua-tua di kampung itu pernah bercerita padaku. Ma Kong itu Bahasa Cina dialeg Taichu. Orang-orang Cina memang sudah sejak lama menjejakkan kaki ke kampung itu, jauh sebelum Belanda. Mereka menanam gambir dan membuka dapur arang di sekitar kampung ini. Salah seorang Cina yang tua yang dapat dite-

11


mukan, ketika masa kecilku, adalah seorang dukun yang punya kemampuan supranatural, yang dipanggil Nenek Langkap, karena tinggal dan berumah jauh di hulu sungai Langkap, salah satu anak sungai yang ada di desa itu. Ketika aku berusia 18 tahun, si nenek sudah berusia 88 tahun. Berarti dia dilahirkan tahun 1873 dan mengaku lahir dan dibesarkan di hulu sungai itu, sungai yang nyaris tanpa penghuni lain, selain si nenek sekeluarga. Mereka membuka kebun karet, gambir, sayur, dan beternak babi, di sana. Dalam Bahasa Cina, Ma Kong itu berarti ibu sihir. Ma dalam Bahasa Cina berarti ibu, mbah, nenek atau induk. Kong adalah sihir, ilmu hitam atau magic. Jadi Bakong itu berarti pusatnya ilmu hitam atau pusatnya sihir atau tempat sakti, tempat keramat dan tempat yang membuat hati orang gerun, takut dan ngeri. Anggapan demikian itulah yang kemudian memang melekat. Sudah lama dikenal bahwa dari kampung ini ilmu hitamnya sangat disegani. Kekuatan magic-nya, bukan saja dalam urusan perdukunan, baik untuk menyembuhkan penyakit maupun mendatangkan penyakit untuk orang lain, seperti mengirim “tuju� (sihir yang bisa membunuh dengan mengirim telur berekor dan bercahaya di langit ke tempat sasaran), juga ilmu hitam dan magic lainnya, seperti ilmu pengasih (sihir untuk menaklukkan hati orang yang dicintai) dan ilmu sakti. Seperti kebal tubuh, tak luka oleh senjata, tulang tubuh yang keras bagai besi jika disepak atau ditabrak, seperti ketika bermain bola. Atau ilmu penunduk, yang membuat lawan bicara atau lawan berselisih, tak berani menatap dan berkata kasar. Serta ilmu pendinding, untuk menjaga diri dari niat jahat dan hasad dengki orang lain. Juga bahkan sampai ilmu mendatangkan hujan atau petir untuk menghalangi suatu pihak pergi, sebelum urusannya benar-benar selesai . Pada masa remajaku misalnya, aku pernah menggunakan sihir mendatangkan angin ribut beserta hujan ini, gara-gara tak ingin

12


rombongan joget yang datang ke Bakong pergi ke tempat lain. Mereka merasa telah bosan dan terlalu lama di kampung kami, sementara kami masih tergila-gila dengan mereka . Karena itu, bersama beberapa teman, aku turun ke pantai dan mencari teripang hitam. Dengan sedikit “serapah� atau jampi (aku lupa secara lengkap serapahnya. Tapi sangat puitis : O..langit hitam, awan dendam ....turunlah ......dst), kami lalu membanting-banting teripang hitam itu ke batu dan berteriak-teriak minta diturunkan hujan ribut, agar perahu joget itu jangan berlayar. Boleh percaya boleh tidak, hujan disertai ribut kencang memang turun dan sehingga perahu joget itu terpaksa menunda kepergiannya beberapa hari lagi. Tetapi, ilmu yang paling dikenal adalah ilmu pelindung atau pendinding. Ini misalnya diceritakan oleh seorang nenek tua kepadaku, bahwa suatu ketika ada serombongan perompak laut (lanun) dari Kalimantan datang ingin menjarah kampungku. Karena saat mereka tiba di kampungku hari masih siang, mereka berlindung dahulu di bawah pohon-pohon bakau, menunggu malam. Tetapi, ketika mereka sedang berbaring dan asyik bercerita serta mengumbar rencana untuk merompak kampung itu, tiba-tiba buah-buah bakau jatuh, dan ujungnya yang runcing, menancap di ulu hati pemimpin lanun dan dia mati seketika. Melihat itu, rombongan lanun itu semuanya kabur, dan bersumpah untuk seterusnya tak akan datang ke Kampung Bakong itu lagi untuk merompak, termasuk sampai ke anak cucunya. Pada lain kali, kata nenek yang kami sebut Cuk Alek itu, satu rombongan perompak yang berniat mau menyerang dan merompak kampung itu, saat akan memasuki perairan Kampung Bakong itu, tiba-tiba kehilangan arah dan melihat ada sebuah pulau besar terdepang di hadapan dan menghalangi pelayaran mereka. Kampung itu seolah-olah gelap. Alur laut yang semula tampak, tiba-

13


Satu sudut desa Bakong, tempat lahirku (foto tahun 2002), sekarang desa itu telah banyak berubah. Fakhrunnas MA Jabbar (kedua dari kanan) berfoto bersama keluargakudi Desa Bakong antara lain: Alm. Masjidi (tengah), Alm. Abd Kadir (paling kanan), dan Sudir (paling kiri)

14


tiba hilang, sehingga rombongan itu terpaksa berputar-putar saja di situ, yang akhirnya terbawa arus dan haluannya kembali ke laut lepas. “Itu namanya ilmu penggelap dan pendinding,” cerita Cuk Alek, yang sampai akhir hayatnya tidak pernah menikah, padahal kononnya dia juga rajanya ilmu pengasih dan penunduk para jejaka di kampung itu. 2. Sisa-Sisa Laskar Sriwijaya ? “Itulah kodrat Tanah Sekanak,” begitu Cuk Alek terus bercerita. Kodrat itu artinya kekuatan gaib. Tuah dan kesaktian alami. Sebab itu pula, Bakong itu disebut Tanah Sekanak, negeri yang tak bisa dikalahkan, cerita wanita pencari kijing (sejenis kerang air tawar) itu, yang banyak mengajarkan kepada kami remaja di kampung itu, termasuk aku, berbagai ilmu pelet atau ilmu pengasih, seperti untuk menundukkan wanita, dll. Sekali lagi, boleh percaya, boleh tidak. Sebutan Sekanak itu sendiri, menurut cerita para tetua di sana, seperti Pak Itam Butek dan Pak Anjang Angang, dua warga paling tua di sana, yang ketika masa remajaku, keduanya berusia lebih dari 80 tahun, juga punya latar sejarah. Menurut mereka, kampung itu disebut “Tanah Sekanak” karena mengambil nama sebuah tempat di sekitar Palembang, yang juga bernama Sekanak. Nama ini dilekatkan di Kampung Bakong karena kampung itu didirikan oleh orang-orang Sekanak dari Palembang itu. Orangorang ini adalah sisa-sisa prajurit dan panglima Sriwijaya. Mereka itu menyingkir dari Sekanak, Palembang, karena kerajaan itu digempur habis-habisan oleh tentara Kerajaan Majapahit. Mereka tak mau menyerah. Mereka membangun pusat pertahanan baru, di Singkep, dan membawa semua adat dan tradisi mereka. Karena itu, bahasa paling tua yang dapat dilacak di sini adalah Bahasa Melayu Tua, yang katanya, berasal dan hampir sama tuanya

15


dengan Bahasa Melayu Talang Tuo, Palembang. Pakar linguistik Indonesia Dr Harimurti Kridalaksana, pernah datang ke daerah ini dalam upayanya menyusuri dan meneliti jejak-jejak Bahasa Melayu Tua itu. Di kampung ini, terutama ke arah Sungai Langkap, memang terdapat Bahasa Melayu Tua yang hanya sedikit diketahui orang, bahkan oleh penduduk kampung yang muda-muda. Aku sendiri, merasa sangat sulit bertutur dalam Bahasa Melayu Sekanak itu. Misalnya nama-nama penghuninya. Aneh dan tidak berakar dari tradisi Islam, yang biasa menggunakan nama-nama dari Bahasa Arab, seperti Ibrahim, Amir, Hasan dan lainnya. Beberapa orang tua di sana punya nama yang pendek tapi menggetarkan. Seperti Bacak, Angang, Lingoi, Butek, Dering dan lain-lain. Baru pada generasi ketiga atau keempat dari keturunan mereka, ada yang namanya berbau Islam. Seperti kepala kampungnya yang bernama Hassan. Tetapi, ayahnya masih memakai nama Melayu tua, yaitu Anggul. Teman sekolahku, lebih tua 6 tahun, lebih suka memakai nama purbanya, Dering. Padahal dia punya nama lain yang islami, Abdul Samad. Dialek sehari-hari juga agak jauh berbeda dari Bahasa Melayu pasar. Misalnya kalimat, ”Engkau hendak ke mana?”, dalam dialek Melayu Sekanak ini, menjadi, “Mo nak kana?” Kalau kita menjawab, “Aku mau ke sana“, maka dalam Bahasa Sekanak ini, menjadi, “Ako nak kiyun”. Artinya, kalau mereka kemudian mengklaim sebagai keturunan orang-orang Sriwijaya, orangorang yang membawa tradisi Melayu lama, dan kemudian memberi nama tanah baru mereka dengan nama Sekanak, tampaknya ada latar sejarah yang cukup masuk akal, meskipun belum pernah diteliti oleh para pakar sejarah karena mungkin belum begitu relevan. Sekanak, kata mereka maknanya adalah : negeri yang tak bisa dikalahkan !

16


Akumulasi legenda, mitos dan tradisi tua di kampung inilah yang kemudian membuat kampungku ini menjadi sebuah kampung yang punya posisi sendiri di lingkungan sekitarnya. Eksklusif dan nyaris primitif ! 3. Permata Pulau Singkep Dalam administrasi pemerintah, Kampung Bakong ini, saat ini anno domini 2012, masuk dalam wilayah Kecamatan Singkep Barat, Kabupaten Lingga, Propinsi Kepulauan Riau. Dulu di zaman pemerintahan penjajahan Belanda, wilayah Kepulauan Singkep, Lingga dan Senayang, masuk dalam satu kawasan administrasi pemerintahan yang disebut kewedanaan, yaitu Kewedanaan Lingga dan berada di bawah Keresidenan Riau. Kewedanaan Lingga dikepalai seorang wedana dan berkedudukan di Dabo, di Pulau Singkep. Belanda menyebutnya Controleur. Setelah kemerdekaan, ketika model wilayah keresidenan masih dipertahankan, administrasi pemerintahan demikian itu tetap berlaku. Pulau Singkep sendiri di zaman Belanda, disebut daerah keamiran, kepala pemerintahannya disebut Amir. Lalu setelah kemerdekaan diubah menjadi kecamatan, dan jabatan Amir berubah menjadi Asisten Wedana, dan kemudian baru berubah menjadi Camat. Di kecamatan ini, dulunya hanya ada sepuluh kampung yang masing-masing dikepalai seorang Kepala Kampung, dan pada beberapa tempat disebut Batin, seperti kepala kaum atau suku. Selain Bakong, kampung lainnya adalah Kualaraya, Sungai Buluh, Lanjut, Berindat, Kota, Dabo (juga ibukota kecamatan), Marok Tua, Marok Kecil dan Posek. Belakangan, dengan berlakunya UU tentang Pemerintahan Daerah tahun 1974, istilah kampung ini diubah menjadi desa (disesuaikan dengan tata administrasi pemerintahan di Jawa). Sekarang di Singkep sudah ada dua kecamatan

17


yaitu Kecamatan Singkep dengan ibukotanya Dabo dan kecamatan Singkep Barat dengan ibukotanya Raya. Dan Bakong sekarang masuk kecamatan Singkep Barat. Jabatan Batin atau Kepala Kampung itu, sebelum berlaku Undang-undang Pemerintahan di Daerah yang menentukan jabatan Kepala Desa itu lamanya delapan tahun, adalah jabatan turun-temurun. Jika keturunannya tak ada, dialah yang menunjuk siapa yang akan menggantikannya nanti, dengan cara mengangkat wakilnya. Jabatan Batin ini, tak ada batasnya. Sepanjang penduduk setempat masih suka, ya, tetaplah jadi Batin. Dia ketua kampung, dia tokoh tempat mengadu, dia tokoh tempat meminta tolong. Tidak kaya benar, tetapi tak pernah berhenti membantu warganya. Dia baru diganti, setelah meninggal atau tak berdaya upaya lagi. Salah satu Batin atau Kepala Kampung yang terkenal dan aku kenal baik adalah Hassan bin Anggul itu tadi, generasi kedua batin di sana. Aku memanggilnya Pak Unggal Hasan, karena dia anak tunggal. Lebih dari 40 tahun Pak Unggal Hasan menjadi pemimpin. Sejak kampung itu kabarnya hanya berpenduduk sekitar 15 kepala keluarga, sampai akhirnya menjadi sebuah desa dengan lebih kurang 1200 kepala keluarga. Dari sebuah kampung yang dulunya hanya menghasilkan sedikit karet, kopra, arang bakau dan ikan teri, sampai menjadi salah satu pusat industri pembuatan kapal-kapal kayu. Bakong terletak di bagian utara Pulau Singkep dan Singkep sendiri memiliki topografi peta yang unik dan artistik. Bagai sebuah poci antik, yang corongnya mencuat tinggi. Sebagai kaki pocinya, ada dua tanjung di bagian selatan. Sebagai corongnya, sebuah tanjung lain di bagian utaranya. Tanjung yang di utara inilah yang paling terkenal. Namanya Tanjung Sembilang. Mungkin diambil dari nama salah satu ikan laut, ikan sembilang. Bersungut

18


seperti ikan lele, tapi di punggungnya ada sirip yang durinya sangat berbisa. Tanjung ini sangat ditakuti karena ombaknya bukan main ganas. Bagi yang percaya tahayul, tanjung ini saban tahun selalu minta korban. Kalau tidak kapal yang karam atau pecah menabrak karang, ada saja perahu yang tenggelam atau nelayan yang hilang, direnggut arus. Karena itu, kapal-kapal motor milik pengusaha Cina, misalnya, jika akan melewati tanjung itu akan melakukan sembahyang khusus, dengan membakar kertas-kertas sembahyangnya dan menaburkannya ke laut. Kampung Bakong, terletak pada bagian ceruk utara Pulau Singkep. Tersuruk dan terlindung oleh anjungan Tanjung Sembilang dan di hadapannya ada dua pulau yang bagai gerbang bagi kampung ini. Yaitu Pulau Bunta dan Pulau Berlas. Dari kejauhan, Kampung Bakong ini tak akan mudah terlihat, karena alurnya seakan tertutup oleh kedua pulau itu. Baru setelah dekat sekali, akan tampak celah alur masuk perairan kampung itu. Kapalkapal motor yang masuk ke alur kampung ini, bila melalui celah yang merupakan selat antara Pulau Bunta dan Tanjungbaru, akan senantiasa waspada, karena pada musim utara atau selatan, ombaknya bukan main ganasnya. Dengan sekali ayun atau dua kali lempar, kapal-kapal motor itu bisa tersandar di batu karang pulau atau tanjung itu. Dan, jadi monumen laut. Tapi di dasar selat dan pulau sekitarnya terdapat karang-karang yang kaya dengan biota laut yang indah. Cantik nyaris seperti pulau Bunaken dengan karang-karangnya. Sayang belum dikenal oleh dunia wisata, karena letak Singkep yang jauh terpencil di selatan Singapura dan Batam, dan juga jauh di utara dari Jakarta. 4. Kampung Penuh Legenda Bakong, terletak di bibir pantai yang sebagian berpasir putih, sebagian hutan bakau yang berlumpur dan sebagian lagi kumpul-

19


Nyiur melambai l b d di pantai Desa Bakong, k negeri tempat lahir, l h di d dekat dk pelabuhan inilah rumah tempat kami tinggal bersama orang tua.

an batu-batu cadas berwarna coklat tua. Sebetulnya, Bakong terletak di bibir sebuah muara dari tiga buah sungai air asin, yaitu Sungai Langkap, Sungai Tinjul, dan Sungai Timun. Di sepanjang tebing sungai ini terdapat hutan-hutan bakau, yang menjadi bahan baku pembuat arang. Tak heran kampung ini menjadi penghasil arang terbaik di Riau Kepulauan dan sangat disukai oleh orang-orang Singapura. Tahan lama dan tidak berasap banyak. Itu dulu, sebelum dapur-dapur penduduk Singapura menggunakan minyak tanah dan gas. Ketiga sungai kecil ini pun, penuh legenda. Boleh percaya, boleh tidak, di salah satu anak Sungai Tinjul, yang disebut Sungai Duyung, kononnya, adalah tempat kelahiran Hang Tuah lima sahabat, para pahlawan Melayu yang legendaris itu. Di hulu sungai

20


itu, kononnya ada sumur Hang Tuah, tujuh sumurnya, yang airnya tidak pernah kering. Ada kampung, tempat Hang Tuah dibesarkan dan belajar silat. Setelah dewasa, Hang Tuah dan kawankawannya berlayar menuju Bentan, sebuah kerajaan Melayu tua, yang ibukotanya terletak di hulu sungai Bentan, di pulau Bintan, salah satu pulau terbesar di Kepulauan Riau. Di Bintan ini sudah ada sebuah kerajaan Melayu tua yang berdasarkan catatan sejarah sudah ada sejak abad 13. Salah seorang maharajanya yang terkenal, adalah Ratu (Permaisuri) Iskandarsyah. Ketika Sriwijaya diserang kerajaan Majapahit, maka Raja Sriwijaya dan pasukannya yang terdesak menyingkir ke utara, dan sampai ke Bintan. Oleh Ratu Bintan, Ratu Iskandarsyah, Raja Sriwijaya yang bergelar Sang Sapurba, diterima dengan baik, dan putera Sang Sapurba yang bergelar Sang Nila Utama, dinikahnya dengan anaknya Wan Sri Beni. Sang Nila Utama kemudian meneruskan perjalanannya ke semenanjung Malaka, dan membangun kerajaan di Temasik (Singapura sekarang) dan keturunannya Parameswara menyeberang ke Malaka, dan membangun kerajaan di sana, kerajaan Malaka. Setidaknya begitulah seperti diceritakan dalam buku Sejarah Melayu, karya klasik Tun Sri Lanang yang terkenal itu. Kononnya, Hang Tuah dan teman-temannya, setelah mengabdi di Bintan dan terkenal karena keberanian dan loyalitasnya, diambil oleh Raja Malaka, dan menjadi panglima di sana. Keberadaan Hang Tuah dan teman-temannya di Malaka, adalah pada masa Malaka dibawah Sultan Mansyur Syah ( 1456-1477 ), era di mana Malaka mencapai puncak kecemerlangannya di abad ke-15. Tak ada bukti tertulis tentang sumur dan kampung tempat Hang Tuah dilahir di Sungai Duyung itu. Dan nama Sungai Duyung itu ada di beberapa tempat, seperti di Bintan dan di Malaka. Di Bintan, ada yang mengatakan Hang Tuah lahir di sebuah kampung bernama

21


Desa Bakong, di Pulau Singkep D Pantai berbatu di Pulau Singkep (foto bawah dan atas) yang berbatu cadas, menjadi objek wisata. Foto pojok kiri atas peta Pulau Singkep, di Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, dan letak Bakong yang tersuruk.

22


sungai Nuyung. Tapi ada yang mengatakan di Malaka, di sebuah tempat yang bernama Sungai Duyung, dan tempat itu kini jadi salah satu tujuan wisata kuliner di Malaka. Tetapi, sumur yang dikatakan sumur Hang Tuah di sungai Duyung di Langkap itu, yang dianggap keramat itu, tetap ada. Kini sudah ditumbuhi semak dan sulit dicari. Yang tersisa, itupun dalam bentuk cerita dari mulut ke mulut, di sini memang ada ilmu silat yang berakar pada silat Melayu lama, yang kembangannya agak berbeda dari kembangan silat yang dikenal umum, terutama di Indonesia. Namanya Silat Lima. Konon katanya, silat dari kampung ini, mirip kembangan silat di Bintan, dan Malaysia. Gendang silatnya juga agak lebih lamban, namun gerak kakinya keras dan kukuh. Silat ini biasanya dipakai untuk upacara mengarak pengantin, atau upacara membuka tanah. Silat dan Bahasa Melayu tua itulah, antara lain warisan sejarah, yang tetap masih dalam selimut misteri. Saking penasarannya untuk membuktikan apakah Hang Tuah benar-benar ada dan lahir di sini, maka Taufik Ikram Jamil, salah seorang sastrawan Riau, ketika masih bekerja sebagai wartawan harian Kompas, datang ke sungai Langkap ini, mencari lokasi sungai Duyung dan bertemu dengan banyak penduduk yang dikatakan mengetahui legenda tersebut. Penduduk asli Kampung Bakong ini, kini makin lama makin sedikit. Meskipun kampung itu kemudian menjadi ramai, umumnya penduduk baru itu adalah para pendatang. Selain orang Cina, ternyata banyak juga suku bangsa lain yang merantau kemari. Yang pertama datang, adalah orang-orang Bangka. Kabarnya, mereka ini adalah sebagian dari penduduk Bangka yang dibawa oleh Sultan Riau Mahmud III (1784-1812) ke Lingga, untuk membangun Daik, sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Riau yang baru, setelah Tanjungpinang dan Ulu Riau dikuasai Belanda.

23


Orang Bangka ini, kemudian menyebar ke Pulau Singkep membuka pendulangan timah dan juga ada yang ke Bakong dan membuka kebun-kebun lada hitam (sahang) di sini. Mereka tinggal di sebuah dusun yang mereka sebut Setawar. Kemudian orang-orang Bugis, yang datang dengan perahuperahu layar yang dinamakan lambok dan pinisi. Sebuah pinisi Bugis dengan lebih 100 orang penumpang, pernah terdampar di desa ini. Para penumpangnya, semuanya lelaki, kemudian sebahagian menetap disini, menikah, dan beranak pinak. Sebagian pulang kembali atau merantau ke daerah lain. Juga orang Buton, Flores, bahkan dari Kupang. Yang juga banyak adalah orang Bawean, yang datang untuk menjadi buruh penakik getah atau karet di Tinjul, sebuah kawasan perkebunan karet di hulu Sungai Tinjul. Itu sebabnya, pada akhirnya Bakong menjadi sebuah komunitas terbuka untuk semua suku. Aku sendiri, termasuk kelompok perantau yang keluargaku datang kemari, dari daerah Natuna atau Pulau Tujuh. Orang Melayu, tetapi sudah berbaur dengan berbagai darah suku bangsa lain. Kedatangan para perantau ini, akhirnya membuat Bahasa Sekanak, Bahasa Melayu Tua itu, pelan-pelan surut dan menjadi bagian dari sejarah budaya di kawasan ini. Masih dipakai dalam percakapan sehari-hari, bagi generasi tuanya. Yang muda, udah deh, sangat betawi gitu! Letak kampung yang bertengger di bibir muara sungai itu, membuat susunan pemukimannya pun terkonsentrasi. Ketika masa mudaku, aku bahkan hapal rumah per rumah yang ada. Misalnya, rumahku sendiri adalah rumah yang paling ujung di bibir pantai, dekat dengan pelabuhan. Pelabuhan ini yang di sana disebut pelantar dibuat sekitar 40-an meter ke arah laut, karena alur sungainya agak dangkal. Kapal-kapal motor, baru bisa masuk dan bersandar di pelantar-pelantar toko atau kantor kepala desa, kalau air pasang besar. Kalau air surut, apalagi surut habis (surut

24


tempas atau tuntas), maka alur itu menjadi hampir kering. Tinggal air setinggi lutut dan di situ banyak udang dan anak-anak ikan. Di situlah, aku sering menjala udang, untuk lauk menjelang makan malam. Sepanjang musim-musim timur dan selatan, lautnya sangat teduh. Tetapi memasuki musim barat dan utara, ombaknya termasuk ganas. Putih bergulung dan gemuruh. Aku dan teman-teman, selalu menatapnya dengan hati yang bergelora dan sesekali bergulat di puncaknya dengan jongkong (terbuat dari batang pohon yang dilubangi dan ditarah menjadi perahu kecil. Tahan ombak dan tahan bantingan karang), mengejar camar, memburu tenggiri dan menumpukkan mimpi-mimpi remaja kami. Kami menyebutnya dengan bangga, “Ombak Sekanak�. Manis dan magis! ***

25


26


BAB III DI ANTARA KARANG

DAN

SAMUDERA

1

Anak Seorang Da’i Di Tanah Sekanak itulah aku dibesarkan, dari sebuah keluarga perantau. Ayahku, Abdulkadir bin Samad. Tak begitu jelas kapan dia dilahirkan. Tetapi ketika aku dilahirkan, kata ibuku, umur ayahku sudah 50 tahun. Berarti dia dilahirkan sekitar tahun 1898. Ayahku seorang lelaki pendiam, tetapi kritis. Seorang lelaki keras hati dan tak mau bergeser dari prinsip, bak sebuah batu karang. Kadang-kadang sangat pemberang dan selalu memberontak jika ada pendapat yang menurutnya tidak harus diturut. Dia jarang bercerita tentang dirinya padaku dan komunikasi kami hanya terjadi sekali-sekali. Jika misalnya, kenakalanku sudah melampaui batas, dia baru akan bicara. Dia akan berdiri di pintu dengan tangan di pinggang. “Mail, naik!”, katanya. Cuma itu, dan aku bagai kucing dibawa lidi melompat dari jalanan tempat bermain dan masuk ke rumah. Gerun dan tak berani bicara lagi, kecuali kalau sudah dibujuk ibuku. “Itulah, sudah Maghrib, masih bermain. Kau kan tahu, ayah kau tak suka kalau sudah sabolimo, masih berkeliaran di luar. Pantang, dimarah Tuhan...”, ceramah ibuku. Sabolimo, adalah senja hari, saat-saat Maghrib akan tiba. Ayahku memang pemeluk Islam yang taat, tapi bukan penga-

27


nut fanatik yang membabi-buta. Tidak terlalu kolot. Dia punya pandangan yang cukup maju. Aku pikir, mungkin dia pengikut Muhammadiyah. Sebab setelah dewasa ketika bisa memahami perkembangan sejarah dan kehidupan masyarakat di Riau, khususnya di Kepulauan Riau, aku tahu kalau tempat ayahku dibesarkan, yaitu Pulau Midai, di gugusan Pulau Tujuh itu, memang menjadi salah satu pusat organisasi Muhammadiyah di Riau Kepulauan. Banyak perantau dari Minangkabau dan dari Kampar (Riau Daratan) datang ke sana. Mereka berdagang, mengajarkan agama Islam dan mendirikan perguruan Islam, termasuk perguruan Muhammadiyah. Aku ingat, bagaimana pandangannya tentang ajaran Islam, yang selalu tampak pragmatis, sederhana dan mudah serta tidak begitu berbelit-belit. ”Beragama itu tak harus membuat orang susah”, katanya suatu kali di depan banyak jemaah mesjid. Soal khutbah Jumat, soal salat tak pakai kopiah, soal salat pakai celana, soal kenduri di rumah orang meninggal dan lainnya. Kalau ada pihak-pihak lain yang agak berbeda pandang dengannya dan menganggap pandangan agamanya kurang utuh, dia langsung mengomentari. “Biar saja. Itu ‘kan paham lama. Dia tak membaca kitab-kitab yang baru”, katanya mengeritik. Yang banyak mendapat sanggahan dari pihak lain, terutama pemuka agama Islam di kampungku dan kampung sekitarnya, seperti Sungaibuluh dan Kualaraya, adalah soal khutbah Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha dalam Bahasa Melayu. Memang, ayahku inilah yang memulainya di Bakong dan di beberapa tempat lain di sekitarnya. Diajaknya mereka berdebat, bila bertemu dan dia pastilah tak akan pernah mau mengalah. Akhirnya, para pengikut paham majunya itu, makin banyak. Ayahku seorang guru agama. Dia seorang da’i. Dia imam, dia guru mengaji. Dia membangun surausurau di tempat yang belum ada surau untuk salat berjamaah. Menurut cerita ibuku, ketika masih muda di Midai, ayahku jago

28


mengaji, jago membaca Alquran. Dia seorang Qori handal. Suara dan lagu mengajinya, tak ada tandingan. Ketika ayahku bekerja sebagai petugas mercusuar di Pulau Subi, di puncak Laut Cina Selatan, tempat ibuku lahir dan dibesarkan, suara dan lagu mengajinya itulah yang membuat ibuku jatuh cinta. “Suaranya membuat bulu roma berdiri dan lagunya membuat kami anak dara tak bisa tidur�, cerita ibuku. Di usia muda, ayahku memang memilih bekerja sebagai petugas mercusuar. Dia masuk bekerja, masih di zaman Belanda. Usia muda, tubuh yang sehat, tinggi dan ramping, dengan rahang yang tegas, membuat ayahku menjadi pemuda yang masuk hitungan. Keras hati dan kritis. Suka berdebat dan nyaris tak mau mengalah. Sebagai pegawai bagian navigasi, dia pindah dari satu mercusuar ke mercusuar lainnya di seluruh perairan Kepulauan Riau. Mulai dari Midai, Subi, Temiang, Muci, Gentar, Telunjuk, sampai ke Alang Tiga. Karena latar belakang pengetahuan agama yang baik dan kecerdasan otaknya, maka di semua tempat dia mengabdi sebagai petugas navigasi itu, dia mengajarkan agama Islam di sana. Mengajar orang sembahyang dan mengaji, begitu kata ibu. Banyak orang berguru padanya. Dia juga menjadi imam dan menikahkan orang yang ingin menikah karena itu dia dipanggil “Bang Kadi�. Dalam kapasitasnya sebagai pemuka agama itulah, dia sering memasukkan pikiran-pikiran kritisnya kepada anggota masyarakat. Selain mengajarkan agama sebagai ibadah, dia juga mengingatkan orang sekitarnya tentang hak-hak hidup sebagai seorang Islam dalam melawan semua kebatilan. Pikiranpikiran kritisnya yang selalu melihat kekuasan yang ada di luar masyarakat, ketika itu adalah pemerintahan penjajahan Belanda, sebagai kebatilan, sesuatu kaidah yang tidak selalu harus diturut dan diiyakan. Maka lama-lama dia dicurigai, dituduh menghasut masyarakat untuk membenci Belanda. Karena itu, suatu hari, di

29


Pulau Alang Tiga, di pulau tempat terakhir dia bertugas sebagai petugas navigasi, ada surat panggilan datang ke Tanjungpinang, kantor pusat navigasi, Keresidenan Riau. Tanpa rasa takut dia datang ke Tanjungpinang, dan menghadap atasannya. Oleh atasannya, dia diminta untuk mengundurkan diri, dengan alasan matanya sudah mulai afkir, kurang terang dan kalau bertugas di mercusuar bisa membahayakan kapal-kapal yang lewat, karena tidak dapat menangkap cahaya lampu kapal yang masih jauh. Bukan main marahnya ayahku ketika hal itu disampaikan padanya. “Itu kan akal Belanda saja�, katanya. Sebab, matanya tak pernah terganggu. Bahkan sampai akhir hayatnya, dia tidak pernah berkacamata dan dapat mengaji dan membaca buku-buku bertulisan huruf Arab Melayu (tulisan Jawi) pada usia di atas 60 tahun. Karena itu, dia tahu, Belanda tak suka padanya, karena dia kritis dan tak suka diperlakukan semaunya oleh pegawai-pegawai Keresiden Belanda di Riau. “Berhenti, ya berhentilah. Mana besluitnya�, katanya menantang. Dan, berakhirlah karirnya sebagai petugas navigasi pada usia yang masih sangat muda, sekitar 40 tahun. Tetapi namanya sebagai tokoh agama dan yang pandai mengajarkan orang mengaji dan berpengetahuan agama itu, sudah terlanjur tersiar ke sekitar kawasan tempatnya bekerja. Salah seorang yang ikut belajar adalah Hasan bin Anggul, Kepala Kampung Bakong. Batin Hasan, begitu orang memanggilnya, ketika itu, selain jadi kepala kampung atau batin, dia juga suka berlayar dan meraih (menjadi pedagang pengumpul) ikan salai dan ikan kering, sampai ke Pulau Alang Tiga, tempat ayahku bekerja, Pulau Posek dan lainnya, yang jaraknya dari Kampung Bakong lebih kurang sembilan jam pelayaran perahu layar. Begitu dia mendengar ayahku diberhentikan Belanda, Batin Hassan langsung datang ke Alang Tiga, dan mengajak ayahku pindah ke Bakong.

30


“Abang Kadi ke Bakong sajalah. Biar mengajar kami dan budakbudak di kampung mengaji dan sembahyang”, katanya membujuk ayahku, karena dia mendengar ayah dan ibu ingin kembali ke Pulau Tujuh saja. Ibuku sebenarnya ingin mereka kembali ke Tanjungpinang saja”. Paling tidak di Tanjungpinang, masih ada famili kita,” cerita ibuku. Tapi ayahku tergoda dengan bujuk rayu Batin Hasan, apalagi ke Bakong itu ada mimpi ideal yang memenuhi hatinya. Dakwah! Kononnya, ketika itu di Bakong memang agama Islam belum tersebar secara baik. “Tak usah ‘kan sembahyang, surau saja belum ada di situ”, lanjut ibuku. Ajakan pindah ke Bakong itu, akhirnya diterima ayah. Apalagi, ayahku kemudian dijanjikan akan diberi kebun karet, dan dapat menakik getah (karet) dari kebun itu. “Sambil mengajar budakbudak mengaji, biar Bang Kadi menakik getah,” kata Batin Hassan. Begitulah. Setiba di Bakong, ayahku langsung mulai mengajarkan anakanak di sana mengaji dan sembahyang. Beberapa waktu kemudian mendirikan surau. Dia menjadi imam di sana. Dia menjadi amil zakat. Dia kemudian diberi kepercayaan menikahkan orang oleh kantor agama kecamatan. Namanya lebih dikenal sebagai Imam Kadi. Dengan dialah aku setelah besar, belajar mengaji dan sembahyang bersama-sama teman sebaya. Cara mengajar mengajinya sangat keras. Tak ada pengecualian. Kalau salah dan terlambat datang mengaji, rotan belah tiga hinggap di paha dan harus mengangkut air sampai enam gandar (satu gandar, dua kaleng ukuran kaleng minyak tanah. Gandar itu istilah lain pikulan). 2. Tegar Seperti Batu Karang Benar-benar lelaki keras, tak ada kompromi. Itu yang membuat

31


aku, makin lama makin kagum padanya. Meski kami jarang bicara, tetapi setiap sepak terjangnya di tengah masyarakat, aku lihat dengan rasa bangga. Satu kali misalnya, aku melihat bagaimana dia melawan petugas pemungut pajak kecamatan yang datang dari Dabosingkep, ibukota kecamatan. Ketika itu pajak perorangan dan penghasilan masih disebut Blasting. Begitu orang-orang kampung dipanggil dan berkumpul di kantor kepala kampung, lalu dibagikan nomor kohir pajaknya, yaitu blanko penetapan besar pajak yang harus dibayar. Pembayarannya dilakukan hari itu juga kepada para petugas pemungut pajak. Ayahku langsung berdiri dan melawan. “Cakap dengan Amir (maksudnya Pak Camat), jangan pungut blasting di sini. Kami semua miskin. Makan saja susah. Harga getah murah. Blasting ini dibayar, kalau orang kampung mampu. Zakat fitrah dalam islam juga begitu. Jadi, bebaskan saja,� teriaknya dan lalu mengajak orang kampung bubar. Untung Kepala Kampung Batin Hasan, berhasil menyabarkannya. “Yalah, Bang Kadi. Mana yang mampu, ya bayar, yang tidak ya tak usah,� kata Batin Hasan sambil mengangguk kepada petugas blasting. Ayahku pun cabut dari sana dan tak pernah membayar blasting itu sampai kapan pun. Ayahku juga tidak terlalu mempedulikan soal politik. Tahun 1955, ketika pemilu pertama diadakan, dia tidak terlalu sibuk. Kepada beberapa teman dekatnya, dia hanya mengatakan, dia akan mendukung partai Islam. Setelah melihat nama-nama calon pada daftar yang ditempel di balai desa, dia mengatakan akan memilih Bulan Bintang. Dia memilih Masyumi. Rupanya dia sangat mengagumi Mohammad Natsir dan pernah membaca tentang tokoh Islam itu. Tetapi setelah itu, siapa yang menang, siapa yang kalah, dia tidak begitu menghirau lagi. Dia tetap bepergian dari kampung ke kampung menjadi guru agama dan menjadi pedagang

32


keliling. Menjaja kain baju, buah-buahan, dan lainnya. Berjaja keliling kampung itu tampaknya menjadi spesialisasinya. Sekali-sekali, turun ke sungai, mengajakku menjala udang atau menunda (memancing ikan dengan umpan bulu ayam) ikan tenggiri, dengan jongkong. Menunda ini sangat aku sukai, karena aku bisa merasakan sentakan ikan tenggiri yang menangkap mata pancing yang tali pancingnya aku seret, sementara ayahku mendayung jongkong kami dengan kencang. Rasanya sangat menyenangkan dapat mengalahkan ikan tenggiri yang beratnya kadang lebih dari 3 kg. Tabiat lain yang ikut menarah helai-helai sikapku kemudian hari, adalah sikap tak suka diatur dan juga mengatur. Kepada anak-anaknya, dia hanya memberitahu beberapa hal, sudah itu lakukanlah. Juga kepada masyarakat sekitarnya. Kalau kurang puas, perdebatkan, buka buku rujukan dan kalau dia benar, ya ikutlah dia. Termasuk dalam hal ibadah. Kalau tidak setuju, pilih guru yang lain dan dia tidak merasa kecil hati. Misalnya, ketika aku masih sekitar 13 tahun, datang seorang guru agama dari Palembang, namanya Ustaz Syafii. Dia mengajar mengaji di surau dan banyak anak-anak sebayaku ikut belajar di sana. Termasuk aku. Dan ayahku tak keberatan, karena Batin Hasan menyarankan kami meluaskan pengetahuan agama. “ Makin banyak guru, makin baik “ kata Batin Hasan. Tetapi ketika tiga bulan kemudian Ustaz Syafii pergi dan tak kembali lagi, ayahku cuma mengatakan, “Ke mana guru Syafii ? Tak tahan dia di sini?” Cuma itu komentarnya. Dia tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk belajar agama. Kalau aku kelihatan tidak sembahyang misalnya, dia hanya berkata, “Sudah Maghrib... !” Itu saja. Bahkan, kapan aku mulai mendirikan sembahyang pun dia tidak terlalu mendesak. Satu hari dia hanya mengatakan begini, “Il, kau sudah sembahyang?

33


Kan sudah belajar mengaji, sudah belajar sembahyang. Ya, sembahyanglah. Kalau belum sembahyang, belum Islam namanya. Percuma saja kau bersunat,� katanya, agak keras. Bersunat itu ya berkhitan, menandakan sudah akil baliq Aku mengangguk. Besok aku sembahyang sendiri, diam-diam dan tidak pernah melapor lagi bahwa aku sudah mulai mendirikan sembahyang. Dia hanya tahu, aku kemudian sudah selalu ke surau, ikut sembahyang Jumat, ikut sembahyang Maghrib berjemaah. Sudah ikut tadarus bulan puasa. Aku pikir inilah Tutwuri Handayani itu, tidak terlalu memaksa dan membiarkan semua tumbuh dari kesadaran diri, dari dalam nurani dan akal sehat kita. Sekali-sekali, kalau dia lagi di rumah, dia membagi ilmu agamanya. “Takbiratul Ikhram itu harus begini...,“ katanya. Lugas ! 3. Nyaris Tak Pernah Sakit Karena jarang bicara, jarang berkomunikasi, hubungan aku dengan ayahku memang tidak sangat dekat. Tak ada kelakar, tak ada senda gurau. Aku selalu melihat ayahku jauh, berdiri bagai seorang resi di atas gunung, dan aku menengadah melihatnya. Mengaguminya. Tetapi tak pernah menjadi tempat aku mengadu. Tak pernah menjadi tempat aku berdiskusi untuk memecah masalah. Kalau tak ada ibuku, aku benar-benar seperti sendiri, tercampak ke dunia ini. Tetapi, meskipun hubungan kami tidak sangat dekat, aku menjadi sangat terpukul, ketika ia meninggal dunia dalam usia sekitar 72 tahun. Apalagi, saat dia pergi, aku tidak ada di sisinya. Aku sedang berlayar di laut lepas, dalam perjalanan pulang dari Jambi ke Bakong. Saat itu, setelah berhenti menjadi guru SD di Rejai, di kecamatan Senayang, aku bekerja sebagai kelasi kapal barang yang melayari trayek Singkep, Tanjungpinang, Jambi, Palembang,

34


dan Bangka. Aku benar-benar terperanjat dan luluh, ketika saat kapalku melego jangkar, dari arah kampungku datang temanku dengan perahu dan memberi tahu, ayahku meninggal. Aku tibatiba merasa lemas. “Ayah meninggal ...?” aku terjerembab di dek kapalku. Limbung dan kehilangan. Apalagi aku tahu persis, lelaki keras yang tegar itu nyaris tak pernah sakit. Batuk pun jarang aku lihat. Dia begitu cergas, sehat, karena itu aku terkejut atas kepergiannya. “Sakit apa ayah ?“ tanyaku kepada ibuku begitu aku tiba di rumah dan melihat ibuku sedih dan kehilangan. Ibuku memelukku dan bahuku basah oleh airmata. Ibuku sengguguk, dan seakan merasa kehilangan yang panjang . ”Tak ada sakit apa-apa. Tapi kemarin dia makan sayur kucai, masak lemak,” lanjut ibuku. Selesai makan, dia mengeluh sakit perut. Dia memaksa diri pulang ke Pengambil, meski sakit. Begitu cerita ibuku. Tak lama di Pengambil, ayahku rupanya terusmenerus menderita sakit perut. Lalu napasnya sesak, malam hari, menjelang subuh, dia pergi untuk selama-lamanya. Karena itu, sampai saat ini, aku tak mau makan sayur kucai masak lemak. Tiba-tiba aku merasa bersalah karena tidak dapat memberi kasih-sayang yang cukup untuknya. Ketika aku kemudian pergi ke Pengambil, tempat dia dikebumikan, aku berlutut di pusaranya, menumpahkan rasa sesal dan kecewaku. Juga rasa terima kasihku padanya yang telah membesarku dengan segala kasih-sayang dan kemampuannya. Aku merasakan rasa sunyi yang panjang, rasa kehilangan yang jauh. Seakan desah kehidupan lelaki berwajah keras, dengan rahang yang tegap, mata coklat yang senantiasa tegas, mengaliri diriku, menarah ceruk-ceruk hatiku, memahatmahat semangat hidupku. “Orang hidup ini, jangan setengah-setengah. Kau kelak, kalau mau sekolah, ya sekolah. Jangan setengah-setengah. Hidup ini

35


tak boleh takut. Kalau ada apa-apa, ya berserahlah kepada Tuhan. Pasti dia akan menolong kita,� petuah yang dihunjamnya saat aku akan berangkat meninggalkan Bakong untuk melanjutkan sekolah itu, kembali terngiang. “Orang hidup itu tak boleh setengah-setengah,� gumamku. Ayahku selalu mengajarkan sikap, mengajarkan tentang prinsip. Kasih-sayang, tak selalu harus wujud dalam kata-kata, tak selalu tercermin dalam sikap, tetapi batin kita masing-masinglah yang bicara. Aku mengenang keteguhan sikap, dan kekerasan hatinya, dalam puisiku yang aku tulis beberapa puluh tahun kemudian untuknya: Bah, Mereka bilang kau adalah karang, maka alangkah : Alangkah keras, alangkah tegar, alangkah kukuh Dan aku berdiri di pundak mu menatap musim Mendengar ombak, mengeram badai, meluruh sauh Dengarlah gemuruh gelombang, katamu Karena gelombang mengjarkan arti bimbang Bimbang akan mimpi, bimbang akan sampai Bimbang akan jejak, bimbang akan cari, bimbang akan dapat Rasakan getaran badai, karena dia mengajarkan arti andai Andai mimpi kau berketai, andai jejak kau tak sampai Andai kau teluk, andai kau ceruk Andai kau pasir, andai kau desir Andaikan segalanya adalah pantai, hanya badai Hanya sansai Dengarlah keletah laut Kadang laut sunyi dan ombak berdesir Kadang malam gelap, dan laut mengigil

36


Kadang kau bilang karang adalah mercu yang menjulang Suar kapal mengatur arah, mengemudi tuju, mengira sampai Kadang malam kelam, dan maut datang tanpa memberi salam Tapi laut, tak pernah selesai disebut, dengan rasa takut ... 4. Seorang Ibu yang Laksana Samudera Lain dengan ibuku, Zainab binti Usman: Mak, Kau adalah samudera, maka alangkah : Alangkah luas, alangkah dalam, alangkah biru, alangkah teduh Dan aku berenang di dalamnya bagai seekor lumba-lumba Berenang memburu pelangi, mengibas ekor mengejar angin, Dan kau menggelitik punggungku: Teruslah ! Kejar angin, Kejar ingin ! Jadilah paus biru, karena bisa menjelajah lautan Melawan badai, menenggelamkan perahu Ketika aku menyalip haluan, kau bilang : Tiang dan layar, tanda mereka akan sampai KE MANA Tapi harus ada angin, harus ada ingin, Dan angin bisa mempermainkan ingin, mengirim dingin, mengubah musim Jangkar melingkar, tanda mereka sudah sampai DI MANA Tapi harus ada karang, harus ada pancang Dan karang bisa mengubah pancang, menggendang arus, mengirim badai Aku lumba-lumba manja. Terus bermain, mengejar angin, Memburu ingin Dan kau samudera alangkah, membasah punggung ku, menatang inginku Ibuku ditempa oleh tanah kelahirannya, Pulau Subi, sebuah

37


pulau kecil nun jauh di pucuk Laut Cina Selatan, hampir berbatasan dengan Vietnam. Dia dipengaruhi oleh ayahnya seorang tokoh masyarakat, yang di sana disebut Datuk Kaya, jabatan yang sama seperti Kepala Kampung. Datuk kaya adalah tangan kanan Sultan Riau-Lingga yang berkuasa di pulau-pulau terpencil. Jadi pemimpin masyarakat, dan pemungut pajak serta upeti untuk kerajaan. Hidup Datuk Kaya, lumayan makmur, dan orang terkaya di pulau itu. Karena itu, hidup ibuku juga lumayan baik dan terdidik dalam tradisi keluarga yang sangat disiplin dan terjaga martabatnya. Meskipun dia tidak sempat mengecap pendidikan sekolah formal, tetapi dia sangat cerdas dan cepat memahami setiap persoalan. Dia pandai mengaji dan membaca huruf Arab. Karena itu, ketika ia memilih menikah dengan ayahku dan itu adalah pilihan hatinya sendiri dan bukan kawin paksa, maka dia mengabdi sepenuhnya untuk sang suami dan keluarga. Dia ikut berpindah dari satu mercusuar ke mercusuar lainnya. Dia ikut menyepi dan terpencil di pulau yang sunyi di laut lepas. Dia bahagia dengan kenyataan yang ada. Selama perkawinan dengan ayahku, dia melahirkan tujuh orang anak. Namun, Tuhan lebih banyak mengambil kembali titipannya itu. Saat dia meninggal, hanya tinggal dua putranya yang masih diberkahi umur oleh yang Mahabesar. Yaitu abangku yang tertua, Abu Samah, yang ditinggalnya di kampung, di Pulau Subi, saat ayah dan ibuku pergi merantau (dia tinggal bersama nenekku, istri Datuk Kaya) dan aku sendiri yang paling bungsu. Saudara-saudaraku yang lain, ada yang meninggal masih sangat kecil (masih dalam hari), ada yang meninggal pada usia yang masih sangat muda. Ibuku, menjadi wanita yang sangat lembut dan toleran. Dia ternyata seorang yang ditakdirkan tempat tumpahan segala kasihsayang anak-anaknya. Tempat berlindung dan bermanja. Dia, dalam segala kelembutan, juga ternyata berpikir sangat maju dan

38


sangat terbuka dalam menangkap perkembangan zaman. Aku ingat, ketika Bung Karno dan Bung Hatta tampil sebagai pemimpin bangsa, serta dikenal di mana-mana dan menjadi idola bangsa, ibuku menjadi sangat terpesona dengan kedua tokoh itu. Sebagai wujud kekagumannya kepada dua tokoh itu, dia lalu membuatkan aku baju safari, seperti punyanya Bung Karno dan Bung Hatta. Baju putih, berkantung empat. Dua di atas, dan bertutup, dan dua di bahagian bawah, juga bertutup. Diberi kancing (butang) besar, dan mengkilap. Dia jahit sendiri, dia rancang sendiri dan di kampungku itu, saat itu, hanya aku yang berpakaian begitu. “Biar kelak kau seperti Bung Karno, biar jadi presiden juga,” kelakarnya, sambil memadankan baju putih safari dari kain linen itu ke tubuhku . Ibuku wanita lembut, terbuka dan dapat menerima berbagai perubahan. Misalnya, ketika dia dan ayahku berbeda pendapat terhadap pilihan abangku Abubakar yang jatuh cinta seorang gadis Tionghoa, yang bukan Islam. Ayahku agak keberatan karena perbedaan agama. “Memang itu hukumnya mubah,” kata ayahku . “Tapi, kelak setelah beranak-pinak, masalah agama jadi persoalan juga,” lanjut ayahku. Tapi, ibuku, seperti sediakala, adalah laut kesabaran dan pengertian. “Biar sajalah. Kalau dia sudah suka, ya, biarlah dia menikah. Anak-anaknya kan nanti akan memilih sendiri. Perempuan itu kan tulus dan mau masuk Islam. Orang yang sudah bersedia masuk Islam, mengapa ditolak ? ” katanya. Meskipun, akhirnya mereka tidak jadi menikah, karena abangku keburu meninggal dunia, sebelum pernikahan itu terjadi. Ibuku memeluk Tikut, begitu nama gadis Tionghoa anak majikan tempat abangku bekerja, dan menyabarkannya. “Tak apalah, ‘kan jodoh di tangan Tuhan. Kita tak tahu apa maunya yang di atas.

39


Tapi pasti ada hikmahnya,“ katanya membujuk. Ibuku juga sangat sabar. Dia seakan-akan lautan dalam yang menyimpan segala kebesaran hati dan kedalaman sifat. Betapapun kami miskin, betapapun cobaan datang padanya, aku tak pernah melihat ia menangis. “Itulah kehendak Tuhan. Kita terima,” katanya. Itulah yang terjadi ketika abangku Abubakar, yang menjadi tiang utama keluarga karena sudah mempunyai pekerjaan di kapal dengan penghasilan lumayan, tiba-tiba dipanggil kehadirat Ilahi, di usia masih sangat muda, 26 tahun, dan masih bujangan. Juga ketika kakakku, Halimah, meninggal pada usia muda, 25 tahun, dengan empat orang anak. Juga, pada hari-hari berat, ketika ayahku membuat keputusan untuk menikah lagi, ibuku harus dimadu. “Sudahlah wai, kita sama-sama tua. Kalau itu yang baik, ya kawinlah. Bawa Zainah itu kemari,” kata ibuku ketika ayah menyampaikan hal itu kepadanya. Wai itu adalah panggilan sayangnya pada ayahku dan ayahku kalau memanggil ibuku, Oi. Apalagi ibuku memang tahu, penikahan itu bukan karena masalah nafsu semata, karena ayahku ketika itu sudah hampir 60 tahun. Tetapi lebih sebagai ibadah, karena wanita yang dikawininya itu adalah murid mengajinya. Ayahku mengaku, dan ibuku percaya, terpaksa mengawini muridnya itu karena ayah sang wanita, ketika menjelang ajalnya meninggalkan amanah (pesan). “Anak saya, si Zainah itu, kelak kita kawinkan saja dengan anak Bang Kadi, Abubakar. Biar kita berkeluarga, bersaudara dunia akhirat,” kata bapak si gadis, ketika sudah sakit-sakit. Tetapi ketika hal itu disampaikan kepada abangku Abubakar, dia langsung menolak, karena dia sudah punya pilihan sendiri, dan tak mau dijodohkan. ” Kuno...” kata abangku yang memang sudah pernah merantau jauh sampai ke Tanjungpinang. Ketika kabar itu disampaikan kepada orang tua yang menderita sakit amat berat itu, dia memang sangat

40


kecewa. Tapi dia tidak putus asa. Di tengah naza’nya itu dia berkata : “Kalau Bakar tak mau, ya, Bang Kadi sajalah yang menikah dengan Zainah. Biar tetap berkumpul juga keluarga kita,” lanjut lelaki yang terbaring dan menjelang ajal itu, kemudian. ”Ya nantilah saya berunding dengan orang rumah saya” kata ayahku. Lelaki tua itu mengangguk. Dan ketika ayahku kembali dan mengatakan ibuku setuju ayahku menikahi anaknya, lelaki tua itu tersenyum. Dan pergi dengan damai ... Jadi itulah prosesnya. Pernikahan amanah itu adalah bagian dari perjalanan dakwah ayahku ke Kampung Pengambil, yang ketika itu belum memahami agama Islam secara mendalam. “Ayahkaulah yang mengislam orang di sini,” cerita ibu mudaku kemudian. Ternyata ibu mudaku, bukanlah ibu tiri yang mengerikan. Kasih-sayangnya, melimpah-ruah untukku. ”Mail itu sudah seperti anak sendiri” begitu katanya kepada orang-orang kampungnya, kalau ada yang bertanya soal hubungan kami. Bersama ayahku dia memperoleh anak dua orang, seorang lelaki yang dia beri nama kecil Bujang dan seorang perempuan yang dia beri nama Zairan. Setelah ayahku lama meninggal, dia tetap menganggapku sebagai anak kandungnya. Ketika dia akan menikah lagi setelah lebih dari 15 tahun menjanda, dia memberitahu dan minta izin dariku. Ibu tiriku ini meninggal akibat serangan jantung, schock, ketika mendengar kabar menantu yang sangat disayangi, isteri dari adikku Bujang, meninggal dalam perjalanan dari Singkep ke Tanjungpinang. Ketika itu, isteri adikku itu sedang sakit keras dan harus dibawa dengan kapal laut ke Tanjungpinang untuk dioperasi. Namun, ajal menjemputnya sebelum kapalnya sampai di Tanjungpinang. Mendapat kabar menantunya meninggal, ibu tiriku schok, rubuh, dan pingsan, kemudian ikut pergi ke

41


Ibu tiri Zainah (tengah) dengan kedua anaknya: Bujang (kiri) dan Zairan (kanan)

hadirat Illahi bersama menantu tercintanya. Rupanya hipertensi dan jantung yang sudah lama diidapnya, mengalahkannya. Tetapi dia adalah ibu tiri yang sangat baik, dan karena sifatnya yang lembut dan sangat penyayang itulah, maka ibuku juga dapat menerimanya sebagai “madunya�. “Mamak tak pernah merasa disakiti ayah kau. Mamak ‘kan ikhlas dia menikah lagi,� kata ibuku kemudian, ketika kami mencoba menggugat perkawinan itu. Terutama kakakku, Halimah. Itulah ibuku. Laut dalam dan samudera cinta yang tak pernah kering itu. Dia yang mendampingiku pergi merantau ke Tanjungpinang, melanjutkan sekolah. Dia yang menemani aku saat tidur di atas goni ikan teri dalam perjalanan dengan kapal penuh muatan menuju cita-citaku menjadi pelukis itu. Dialah yang kemudian pergi dari satu rumah ke rumah lain mengambil upahan cuci, untuk biaya aku sekolah, untuk makan kami sehari-hari, untuk

42


sewa rumah dan keperluan lain. 5. Jadilah Seperti Bung Karno Dia sudah memutuskan, bagaimanapun sulitnya, aku harus jadi orang. Harus terus sekolah. Karena itu, meskipun waktu aku sekolah di Tanjungpinang ayahku masih ada, tapi ibuku rela meninggalkan kampung, dan terus bersamaku di Tanjungpinang. Hanya sekali-sekali dia kembali ke Bakong. Apalagi setelah ayahku lebih banyak di Pengambil, tempat ibu mudaku, ibuku merasa tak ada lagi yang akan membebani pikirannya. Terlebih setelah ayahku meninggal, dia sama sekali tidak lagi ingin tinggal di Bakong. Dia jual rumah kami di sana dan dia hidup bersamaku di Tanjungpinang, ketika aku sudah menjadi guru. Kami merantau ke Tanjungpinang, hidup dari satu rumah sewa ke rumah sewa yang lain. Hidup dengan gaji guruku yang kecil (tahun 1968, hanya sekitar Rp 3.500,- saja), dan dari upah ibuku mengambil cucian orang. Para tetangga yang menjadi majikan tempat ia mencuci pakaian, memanggilnya Mak Putih. Karena kulitnya memang putih, bersih, lembut. Dia terkesan sangat cantik di masa mudanya. Sering aku berpikir, mungkin ibu memendam rasa kecewa dan pedih yang dalam karena keputusan ayahku menikah lagi. Aku pikir dia merasa dikhianati karena sudah membangun kesetiaan bertahun-tahun, rela hidup sulit dan dalam kondisi yang bagaimanapun, di kampung-kampung kecil, di pulau terpencil, di laut lepas. Namun ayahku meninggalkannya di saat-saat hari tua, saat-saat mestinya sebuah pasangan memerlukan teman berbicara, memerlukan sahabat untuk bertukar pikiran dan sahabat dalam menghadapi hari-hari sepi sebagai keluarga lanjut usia. Tetapi, aku tak pernah melihat dia bersedih. Aku tak pernah mendengar mereka bertengkar bila ada kesempatan berbicara berdua. Aku tak pernah melihat jejak luka yang tergurat dari

43


wajahnya, dari setiap kata, setiap langkah dan kilatan matanya. Teduh, lapang dan seakan segalanya, sudah seharusnya begitu. Pasrah? Nrimo seperti kata orang Jawa? Entahlah! Dia orang Melayu, dan dalam cerita atau film, wanita Melayu bukan main benci dimadu. Juga dalam realitas kehidupan seharihari. Bisa cerai berai, dan bermusuhan seumur hidup. Tapi ibuku tidak. Karena itu, aku selalu merasa berada dalam teluk yang tenang, betapapun hari-hari mudaku, berlalu dengan segala keterbatasan. Masa muda yang berjalan dengan lambat, tetapi terjaga dan dipagari dengan rasa tawakkal yang kukuh. Aku ingat, satu ketika, aku mengalami masa-masa yang sangat pedih, sebagai seorang anak muda. Aku jatuh cinta pada seorang gadis Tionghoa, muridku, ketika aku mengajar di Bakong. Cintaku padanya,

MASJIDI - Abang Ipar Rida. Di antara puluhan pelaut Bugis yang pinisinya terdampar di desa Bakong, salah satunya adalah Masjidi ini. Ketika beberapa temannya kembali ke Makassar, dia tinggal, dan kemudian menikah dengan kakak perempuanku, Halimah. Dan dia inilah yang kemudian membiayai aku sekolah di Tanjungpinang. Sampai kakakku meninggal dunia, Bang Masjidi ini tetap tinggal di rumah kami bersama anak-anaknya. Baru beberapa tahun kemudian dia menikah lagi. Tapi hubungan kekeluargaan kami terus berlanjut, sampai dia meninggal dunia. Dia adalah pelaut sejati, dan sampai akhir hayat masih tetap menjadi nakhoda kapal :

S

EJAK kecil Mail memang sering ditinggal oleh ayahnya, Abdul Kadir. Ayah-

44


rasanya waktu itu, sangat mendalam. Dan, ini bagian dari cinta pertamaku. Tetapi, agama dan asal etnis, membuat kami sulit melanjutkan hubungan. Aku kecewa berat dan nyaris bersumpah untuk tidak lagi pulang ke Bakong dan mengasingkan diri di Tanjungpinang. Tetapi, ibuku yang tahu semua yang terjadi, berhasil berbicara dengan gadis itu dan akhirnya gadis itu menulis surat untukku. Aku luluh dan meskipun hatiku berkeping-keping, aku pulang juga ke Bakong. Bertemu dengannya dan membuat keputusan untuk menerima realitas kami. “Seperti abangku, aku tak bisa menikah dengan gadis Tionghoa,� kataku kemudian, menelan rasa pahit hidup remajaku. Tapi cinta pertamaku itu bagai sebuah kerinduan panjang yang tak pernah padam. Kami tetap saling mengingat, saling tertawa

nya saat itu menjadi imam di Bakong dan sering pergi berdagang ke daerah-daerah. Bila pergi berdagang ke daerah-daerah, ayahnya bisa meninggalkan rumah berminggu-minggu. Sebagai imam, ayahnya juga seorang amil zakat. Abubakar, abang Mail saat itu tidak berada di Bakong. Dia bekerja di Dabo sebagai supir oto atau supir taksi. Rute perjalanan taksi Abubakar Dabo-Kuala Raya. Abubakar juga seorang pemain bola yang andal. Setelah berhenti membawa taksi, Abubakar, pulang ke Bakong. Bersama temannya, dia pergi berlayar antarpulau. Mereka membawa barang-barang antar pulau seperti kopra, karet, dll. Akibat sering bermain panco, tangan kanan Abubakar mengalami pembengkakan, seperti bisul. Bengkak di tangan kanannya semakin besar dan lalu menjadi borok. Kondisi Abubakar semakin buruk, boroknya mengalami infeksi sehingga tulang tangannya pun tampak. Karena ketiadaan biaya perobatan, Abubakar hanya dirawat di rumah saja. Kalau dibawa berobat sudah pasti tangan kanan Abubakar dipotong dan biayanya pastilah mahal. Akhirnya dia meninggal dunia di Bakong.***

45


jika mengenang saat-saat indah dan lucu memendam rindu. Aku terisak ketika menerima kabar dia lebih dahulu pergi, dan membawa rahasia hidup kami. Padahal sebulan sebelum dia meninggal, kami bertemu dan bersenda gurau di rumahnya, setelah lebih 20 tahun tak bertemu. Seakan firasat. “Siapa ya yang duluan pergi. Sama-sama sudah tua, 60 tahun� kelakarnya. Aku memasang iklan seperempat halaman untuk meluapkan dukacitaku, karena pada saat dia pergi aku jauh di luar negeri. Setelah aku makin dewasa, aku makin memahami bahwa Ibuku, wanita yang memang tidak banyak menuntut itu, adalah ibu yang terus-menerus memberi apa yang dia miliki untuk anakanaknya. Dia ibu yang tak pernah berharap apa pun kelak jika anak-anaknya ditakdir meraih sesuatu yang lebih, sesuatu yang dia sendiri tak sempat meraihnya. Itulah dia, ibuku. Seorang ibu,

“Dari Dahulu Hubungan Kami Baik� Z A I N A H - ibu tiri Rida yang sudah dianggap Rida sebagai ibu kandung, di Sungaibuluh:

A

YAH Ismail (nama asli Rida) dulunya suka berdagang kain dari pulau ke pulau, termasuk sampai ke Sungaibuluh. Biasanya kain didagangkan dari rumah ke rumah sambil berdakwah. Waktu ayahnya berada di Sungai Buluh, jumlah masyarakat belum ramai. Tapi ayahnya mendirikan sebuah surau kecil. Waktu itulah kami kenal dan kemudian menikah. Hubungan saya dengan Ismail sejak dulu baik-baik saja. Dia menghormati saya meski saya ini ibu tirinya.

46


yang di saat-saat panggilan Ilahi menghampirinya, hanya meninggalkan satu pesan saja buatku. “Il, sembahyanglah.” Cuma itu, wujud dari laut segala cintanya padaku. Dia tidak ingin berkata lagi, “Il, jadilah seperti Bung Karno, Il jadilah Presiden.” Tetapi, rupanya dia hanya ingin aku menjadi umat yang baik, agar kemudian, dia dapat beristirahat dengan damai di makamnya yang sederhana di Teluk Keriting, Tanjungpinang. Karena itu, ketika dia pergi untuk selamanya pada usianya memasuki 62 tahun, aku tak bisa lagi menangis. Aku berdiri tercegat, memandang sosok segala pusat kasih-sayang itu, terbujur dan mengakhiri tugasnya membawa aku memasuki kehidupan dunia yang keras dan penuh tantangan. Dari dia aku belajar tentang kesabaran, ketabahan dan rasa ikhlas. Yakin, apa pun yang kita cita-citakan, harus dicapai dengan kerja keras. Tak kenal lelah, tak kenal putus asa. Kemudian, jika sudah mencapai, meskipun hanya sebagian kecil, bersyukurlah. “Sujudlah, karena segalanya itu datang dari rahmat Ilahi Rabbi. Jangan takabur, jangan sombong dan belajarlah menerima segala sesuatu dengan hati yang lapang, dan pikiran jernih,” katanya suatu hari ketika aku sering termenung memikirkan kehidupan yang begitu sulit. Miskin. Bagi dia kesabaran adalah sebuah laut, sebuah samudera. 6. Mengasah Tekad dalam Kesendirian Setelah ibuku meninggal, aku hampir-hampir tak punya sesiapa lagi. Abangku yang sulung, Abu Samah, tinggal nun jauh di Natuna. Sampai usiaku 24 tahun, kami baru bertemu satu kali dan dia ketika itu berusia sekitar 45 tahun. Tapi hanya beberapa hari. Dia datang ke Tanjungpinang karena ingin bertemu dengan ibuku. Mereka tak pernah bertemu sejak ibuku pergi merantau

47


dan ketika itu abangku berusia sekitar enam tahun. Tetapi, ketika dia tiba di Tanjungpinang dan telah berlayar menumpang kapal 3 hari tiga malam, ibuku sedang pulang ke Bakong dan dia tak sabar menunggu. Akhirnya dia pulang ke Pulau Tujuh dan sampai ibu meninggal, mereka tidak lagi pernah bertemu. Hanya sesekali, saat-saat ada keluarga jauh datang dari Subi atau Serasan, mereka bercerita tentang abangku. “Dia itu pintar main biola. Dia membawa rombongan joget berkeliling kawasan Natuna. Dia cerdik dan karena itu digelari Samah Kancil,” begitu cerita keluarga jauhku. Dia juga digelar “Samah Hanyut”, karena waktu kecil di Pulau Subi, dia pernah hanyut ke laut lepas dalam sebuah perahu kolek. Sudah berhari-hari tak ditemukan. Tapi dengan kehendak Tuhan, ada perahu layar yang melintas di laut lepas itu, dan menemukannya. Dia dibawa ke Pulau Subi, ke rumah nenek. “Selama di laut Samah tak rasa lapar. Bau laut itu harum saja“ ceritanya setelah selamat. Mungkin itu berkat doa nenek dan ibuku yang selama dia hanyut terus berdoa dan berkenduri, meminta pertolongan Tuhan. Kemudian aku mendengar dia merantau ke Kuching, Serawak, Malaysia Timur. Setelah itu, tiada kabar berita lagi. Celakanya aku, meskipun sebenarnya punya kemampuan untuk bepergian ke mana pun, tapi aku tak berusaha mencarinya. Di Tanjungpinang, suatu ketika aku hanya bertemu dengan anak perempuannya, yang menikah dengan seorang guru. Entah di mana dia, entah hidup atau sudah mendahului aku. Kini kalaupun dia masih hidup, usianya sudah di atas 80 tahun ... Dua saudara kandungku yang lain, Abubakar dan Halimah, pergi dalam usia muda. Abangku Abubakar yang pernah lama tinggal di Tanjungpinang, adalah seseorang yang kepadanya aku menumpangkan cita-citaku. Dialah yang berjanji akan membiayai sekolahku, ke mana pun aku mau.

48


“Kalau mau ke Jogjakarta, sekolah melukis, ya, pergilah...,� katanya, bangga. Karena dia merasa, aku harus lebih darinya. Harus sekolah lebih tinggi karena dia hanya sempat mengecap pendidikan kelas tiga SR (Sekolah Rakyat). Tetapi, sebelum aku tamat SD, dia telah pergi, ke pangkuan Illahi, karena sakit. Kakakku Halimah, yang dalam usia 17 tahun menikah dengan seorang perantau Bugis, Indal Masjidi adalah teman bermain masa kecilku, karena kami berbeda usia hanya sekitar tiga tahun. Ketika aku masih kelas lima SD, dia menikah. Dialah yang kemudian ikut membiayai sekolahku, di samping ibuku, ketika aku melanjutkan sekolah ke Tanjungpinang. Tetapi, menjelang aku tamat SGB (Sekolah Guru B), dia meninggal saat melahirkan anaknya yang keempat. Masih sangat muda. Ketika aku menerima telegram kakakku meninggal, tubuhku kembali lemas. Satu lagi harapan tempatku menggantungkan cita-citaku pergi. Padahal, aku merencanakan, begitu tamat SGB, tidak akan langsung pulang ke Bakong atau jadi guru. Tetapi akan masuk SGA (Sekolah Guru A) dan setelah itu ke Jogja, masuk perguruan tinggi. ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia), nyaris tak lepas-lepas dari anganku, ketika itu. Tetapi, karena tempat menggantungkan harapanku, pergi, akhirnya aku harus memendam harapan itu dan harus memutuskan: Pulang setelah tamat dan jadi guru dan melupakan cita-cita jadi pelukis! Seperti aku ceritakan sebelumnya, aku punya dua saudara kandung, lain ibu. Bujang dan Zairan. Mereka tinggal bersama ibunya di Pengambil, sebuah dusun kecil, yang masuk Desa Sungaibuluh. Tempat hari-hari akhir ayahku. Karena hidup terpencil di dusun yang jauh terbelakang, adikku Bujang hanya tamat kelas tiga SD, bahkan adiknya, Zairan, tidak sempat mengecap sekolah sama sekali. Karena tak mau sekolah, dan menurut ibu tiriku, perempuan tak perlulah sekolah. Toh akan di dapur juga. Ibu tiriku

49


Guru SD 001 Tanjungpinang yang pernah jadi rekan kerja. Zainal Anang (paling kanan), guru pertamaku ketika masuk SD di Bakong dan kemudian jadi ayah angkat ketika di Tanjungpinang SD Negeri 001 Tanjungpinang, sekolah tempatku mengajar di Tanjungpinang. Eks Gedung AMS, dan sekarang sudah menjadi gedung Museum Sultan Sulaiman Badrulalamsyah

50


itu memang agak kolot. Tetapi, tampaknya mereka berdua dengan apa yang ada, sangat bahagia. Itulah pilihan dan perjalanan hidup mereka. Bujang, menjadi pedagang hasil laut keliling, seperti ayahku. Zairan, menjadi ibu rumah-tangga dan bersuamikan seorang tukang kayu. Itulah jalan hidup mereka. Setelah aku mampu secara finansial, sesekali aku datang ke kampung mereka, dan aku bantu mereka untuk mengatasi hidup dan kemiskinan mereka. Ketika anak perempuan Zairan, satu-satunya, ingin kuliah setelah tamat SMA di Dabo, dan kuliah di Batam. Aku bantu sepenuhnya, agar dia bisa mengubah nasibnya dan tidak seperti ibunya. Tapi, malang, Herda, anaknya ini, tak bisa menyelesaikan kuliahnya. Dia memilih kawin. Aku sedih melihat nasib adikadikku ini, tapi ternyata mengubah mindset mereka bukan main sulit. Bagi kita orang kota, kesulitan hidup mereka, rumah papan beratap rumbia, hanya punya sepeda motor, adalah kemiskinan. Tapi bagi mereka, itulah hidup yang mereka pilih, dan mereka bahagia untuk itu. Aku tak tahan melihatnya. Karena itu, satu ketika aku sempat melihat mereka di Pengambil dan melihat gubuk buruk mereka, aku suruh agar bangun rumah yang agak lebih baik. Dinding semen dan beratap seng. Lumayanlah untuk di desa itu. Lalu, anak tertua adikku yang lelaki, aku janjikan agar nanti kuliah juga. “ kalau Herda gagal, ya sudah, jangan kau tiru. Takkan berubah nasib kalian kalau tak sekolah, tak jadi sarjana� kataku setengah membentak pada keponakanku yang bernama Sarah itu. Dia mengangguk, tapi aku tak tahu, apa arti anggukan itu. Aku sedih, karena nasib mereka sulit berubah. Tapi, aku tak mau memberi mereka umpan, karena mereka akan jadi generasi pemalas dan tak mandiri. Aku ingin memberi mereka kail, dengan sekolah dan pendidikan, agar mereka kelak mandiri. Tapi, mereka masih dikurung kebiasaan hidup desa. Cukup umur, kawin, dan beranak

51


banyak. Astaga ... Sebenarnya, aku masih mempunyai seorang saudara sepupu. Ridwan namanya. Dia anak adik ayahku, Usman. Menurut cerita ibuku, ayahku dan adiknya, Usman, pergi merantau ke Midai. Tak dijelaskan ibu, dari mana mereka. Aku memperkirakan, kalau melihat latar kehidupan agama mereka, latar tradisi menjadi pedagang, khususnya pedagang kain, mungkin ayahku dari daerah Kampar, di Riau Daratan. Mungkin dari Airtiris, karena setelah dewasa, aku mendengar di Midai, banyak sekali perantau dari Airtiris dan jadi pedagang atau membuka toko kain baju di sana. Tapi aku dan sepupuku, Ridwan, juga menjadi sangat jauh. Ternyata dia menjadi anak angkat, seorang wanita asal Jawa, bernama Mak Itam. Ketika aku kelas empat SGB, menjelang tamat, aku memang akhirnya terdampar dan tinggal di rumah Mak Itam, ibu angkat sepupuku ini, di Kampung Jawa, Tanjungpinang. Serumah dengan Ridwan, yang biasa kupanggil Bang Ridwan. Dia memang lebih tua dariku, sekitar sepuluh tahun. Ketika aku kelas empat SGB, dia sudah tamat SMA, bahkan sudah bekerja sebagai pegawai sipil di kantor Polres (Polisi Resort) Tanjungpinang. Meski kami jarang bicara, aku kadang-kadang merasa dekat dengannya. Bahkan, ketika dia lagi jatuh cinta berat dengan seorang gadis, murid SMP kelas tiga, yang sekolahnya sama dengan gedung tempatku belajar di SGB, akulah yang jadi kurir dan pembawa surat cintanya. Tetapi, setelah aku tamat dan kembali ke Bakong, kami berpisah lagi. Terakhir dia pindah ke Pekanbaru, bekerja di Polda Riau, sampai akhirnya pensiun. Ketika sama-sama menetap di Pekanbaru, kami pun hampir-hampir sama sekali tak sempat bertemu satu sama lainnya. Aneh, memang. Alangkah jauhnya rasa tali hubungan darah kami. “Mengapa aku selalu merasa seorang diri di dunia ini?� Begitu aku kadang-kadang sering merasa. Sendiri dalam pertarun-

52


gan hidup ini. Sendiri dalam menatap masa depan. Apakah ini yang mengakibatkan aku kadang-kadang sangat menyukai kesendirian itu? Apakah itu penyebabnya, mengapa aku selalu berpikir, aku memang dibesarkan dan ditempa dalam kesendirian dan dengan kesendirian itu, selain aku selalu dapat memahami lebih dalam inti kehidupanku, juga aku selalu menemukan gerakan hati, ke mana aku akan melangkah. Ke mana aku harus pergi . ***

53


54


DI

BAB IV MENITIP MIMPI PUNCAK-PUNCAK OMBAK

1

Terserah Cik Gu-lah Dilahirkan di sebuah kampung, yang terpencil, yang jauh dari tradisi pencatatan semua peristiwa hidup yang penting, memang kemudian hari membuat perjalanan hidupku bagaikan gelombang. Aku misalnya, sampai sekarang ini memang tak tahu pasti, hari apa, tanggal berapa bulan apa dan tahun berapa, aku dilahirkan. Kami dari tradisi keluarga yang tidak begitu peduli terhadap hal-hal formalitas, seperti tanggal bulan dan tahun kelahiran. Selain tidak ada kebiasaan untuk mencatatnya, juga belum ada kewajiban ketika itu untuk melaporkan kepada kepala kampung tentang peristiwa kelahiran, kematian, pindah dan lain. Cukup memberitahu, ketika kelak akan ada kenduri untuk doa selamat, setelah 40 hari kelahiran. Ketika itulah, kalau akan ada peristiwa pemberian nama atau lainnya. Paling-paling yang diingat, adalah hari kelahiran dan saat-saat peristiwa alam yang menyertai kehadirannya. Tetapi ibuku, wanita lembut yang penyayang itu, mencatat beberapa peristiwa penting yang terjadi bersamaan dengan kelahiranku. “Waktu engkau dilahirkan, itu malam Jumat, agak tengah malam. Waktu itu Jepang sedang menyerang Dabo Singkep. Pesawat terbangnya menderu-deru terbang di atas kampung ini,� begitu cerita ibuku ketika aku sudah agak besar. Itu berarti di pertengahan perang dunia II atau awal dari yang namanya perang Asia

55


Timur Raya. Peristiwa penyerangan Jepang ke Singkep itu, hampir bersamaan dengan waktu penaklukan Singapura dan serangan Jepang ke Pulau Jawa. Dari catatan-catatan sejarah yang kemudian kupelajari, peristiwa itu terjadi di penghujung tahun 1942, sekitar bulan Oktober, November atau Desember. Namun, karena sekolah tempatku belajar di Bakong, memerlukan formalitas catatan tanggal dan bulan serta tahun kelahiran, untuk buku stambuuk (buku catatan murid) dan juga untuk rapor dan ijazah, maka ibuku sepenuhnya menyerahkan urusan tanggal lahir itu kepada guruku, Mohammad Zahid Yunus. Ketika itu aku kelas empat Sekolah Rakyat (SR) dan ketika itulah baru mulai dikenal buku rapor dan buku stambuuk (buku catatan murid). Oleh Pak Zahid, begitu aku memanggil sang guru, setelah dia mendengar cerita ibuku, maka dalam buku stambuuk, dia menulis bahwa aku lahir tanggal 13 Oktober 1942. “Kak, tanggal lahir Mail ini, tanggal 13 Oktober sajalah, ya,“ kata Pak Zahid Yunus, kepada ibuku. Dan, ibuku mengangguk. �Terserah Cik Gu sajalah,� lanjut ibuku. Itulah tanggal yang kemudian tercatat pada buku rapor dan ijazah tamat sekolah dasarku. Tanggal ini terus dipakai sampai aku tamat sekolah Kursus Pendidikan Guru (KPG) di Tanjungpinang, tahun 1961. Tanggal ini pulalah yang dipakai sebagai tanggal lahir dalam Surat Keputusan (SK) pengangkatan aku sebagai guru SD negeri di Rejai, Kecamatan Senayang, tahun 1963. Tetapi, aku punya tanggal lahir yang lain, yaitu 17 Juli 1943. Ini gara-gara aku berhenti jadi guru SD, setelah lebih kurang satu setengah tahun bertugas di Rejai. Karena sakit yang parah, aku kembali ke Bakong dan setelah sembuh memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Rejai. Tanpa mengajukan permohonan berhenti, tanpa niat untuk menjadi guru lagi. Aku merasa sangat sulit hidup dengan gaji sebagai guru. Ini karena pengaruh ekonomi waktu itu,

56


di saat-saat terjadinya konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia. Kehidupan amat sulit. Tiap hari kami di Rejai makan sagu. Harga beras sangat mahal dan sering tak ada di pasaran. Karena sebelumnya, barang-barang ini dibawa masuk dari Singapura. Gajiku sebagai guru, ketika itu hanya sekitar KR 1500 (KR adalah singkatan dari Rupiah Kepulauan Riau), mata uang khusus di Riau Kepulauan saat-saat konfrontasi, pengganti uang dollar Singapura, yang sebelumnya dipakai. Akhirnya aku memutuskan menjadi kelasi kapal dan berlayar mengarungi laut ke berbagai pelabuhan laut di sekitar Singkep, seperti Tanjungpinang, Jambi, Palembang, Bangka dan sekitarnya. Aku memulai benar-benar sebagai kelasi kapal. Belajar menaikkan dan membongkar barang. Aku belajar memikul goni (karung) berisi arang bakau, yang beratnya rata-rata 30 kg. Harihari pertama aku melakukannya, bahuku menjadi mengelupas, lecet dan merah. Memar. Berminggu-minggu pedih rasanya. Juga telapak tanganku. Baru setelah mengeras dan selalu memikul karung, punggungku menjadi kebal terhadap rasa sakit. Beberapa bulan kemudian, aku sudah terbiasa memikul karung berisi beras, arang bakau, ikan teri, gula dan lainnya. Semua kerja berat sebagai buruh dan kelasi kapal aku jalani, penuh semangat. Tak pernah mengeluh. Dalam waktu relatif pendek, aku sudah menjadi pelaut yang berani. Tidak takut gelombang besar, berani menantang hujan dan angin ribut, sambil berpegang di sisi-sisi tenda kapal. Berlayar tanpa angin, rasanya tidak menggetarkan. Aku ingat, diriku (dan juga para pelaut lain) akan sangat bangga kalau kelihatan bertarung dengan ombak, angin dan bahaya, disaksikan gadis-gadis manis yang menjadi penumpang kapal. “Lelaki berani, dengan tubuh gempal dan wajah tampan,� kataku selalu, jika mengenang saat-saat aku memilih hidup sebagai pelaut. Lebih dari setahun aku bergulat dengan ombak dan sing-

57


Habib Al Idrus (peci putih) di toko bukunya, di Dabo Singkep, di tempat ini aku pernah bekerja.

“Suka Baca Buku dan Koran� SAYID HAMZAH AL AYDRUS - Guru/Orang Tua Angkat di Dabo SMAIL (nama asli Rida) dulunya pernah jadi guru di Rejai pada masa peralihan dolar ke KR. Gaji guru sangat kecil pada masa itu. Oleh sebab itu saya buka kedai buku dan hingga kini sudah pindah tiga kali. Kedai buku di saat Ismail membantu saya sudah terbakar. Letaknya di Pasar No. F-2 Dabo, Ismail waktu itu sedang tak ada kerja. Ismail berhenti jadi guru karena gaji merosot akibat nilai tukar dolar ke KR. Dia suka datang ke kedai saya dan duduk-duduk sambil membaca buku atau koran. Sebab, dia sangat suka membaca. Lama-lama kami menjadi akrab dan dia kadang-kadang makan di rumah. Ismail juga mau jaga kedai berganti-ganti dengan saya. Dia memanggil saya Habib. Dia bilang waktu itu, saya bersedia bantubantu Habib, waktu itu sekitar tahun 1964. Dia tinggal di rumah temannya bila malam hari. Setahu saya, Ismail suka berorganisasi. Pada masa aksi, dia bersama teman-temannya seperti Khalil membentuk KAPPI dan melakukan aksi protes di Dabo. Aksi itu mereka lakukan di Lapangan Merdeka.***

I

58


gah bagai burung camar dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain, sebelum akhirnya kembali ke daratan. Aku berhenti karena kesedihan yang dalam, karena semasa menjadi pelaut, aku kehilangan ayahku. Seperti aku ceritakan di bab terdahulu, aku tak sempat mendampinginya ketika dia sakit dan bertarung dengan maut. Aku merasa menjadi anak yang sangat tidak berbakti. Akhirnya aku memilih menjadi orang daratan lagi, berusaha mencari pekerjaan lain yang cocok. 2. Setelah Bahu Lecet Memanggul Karung Kehilangan ayah, membuat aku khawatir pada ibuku. Janganjangan nanti saat aku berlayar, ibuku pula yang pergi ke pangkuan Illahi. Karena itu, aku berniat melamar menjadi karyawan penambangan timah di Dabo Singkep, karena beberapa teman sekampungku seperti Mazari, Amran, Zainuddin, dapat bekerja di sana dan hidup dengan gaji yang cukup. Waktu itu PN (Perusahaan Negara) Pertis (Pertambangan Timah Singkep), adalah perusahaan yang sangat makmur,dan karyawannya hidup layak, bak karyawan Pertamina dan Caltex. Kalau di Pekanbaru ada Caltex, maka di Dabo ada Pertis. Tetapi, ketika aku melamar, sedang tidak ada lowongan di sana. Akhirnya aku masuk bekerja sebagai karyawan toko buku milik Habib Al Idrus, orang Malaysia keturunan Arab. Nama tokonya adalah Toko Buku Al Idrus. Dia menjual bermacam-macam buku di sebuah toko kecil di Jalan Merdeka, Dabo Singkep. “ Tapi gaji kecil. Kalau mau, ayo bersusah-susah kita “ kata habib Al Idrus dengan bahasa Melayu. Aku tak ingat berapa gajiku waktu, tetapi aku bisa bertahan dan bisa membayar biaya indekosku. Kebetulan kami menyewa rumah kontrakan bersama beberapa teman. Ketika itulah, sambil tetap bekerja di toko buku itu, aku bersama teman-teman dan beberapa di antaranya teman semasa SGB

59


di Tanjungpinang dulu, turun ke jalan dan berjuang menegakkan Orde Baru, ikut dalam gerakan Angkatan 66 dalam melawan PKI dan para pendukungnya. Demonstrasi dan menuntut berbagai perbaikan hidup. Minta turunkan harga, minta PKI dibubarkan, dan lain. “Pokoknya apa yang menyusahkan rakyat, kita perjuangkan“ begitu kata Khalil, salah seorang teman yang jadi Ketua KAPPI disana. Di pengujung tahun 1966, ketika aku pergi ke Tanjungpinang untuk tugas konsultasi dengan beberapa pemimpin Angkatan 66 di Tanjungpinang, aku bertemu dengan Encik Raja Khatijah, Kepala Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Riau. Encik, begitu aku memanggilnya dan ketika dulu aku bersekolah di SGB di Tanjungpinang sudah amat mengenalnya, marah ketika tahu aku berhenti jadi guru di Rejai. “Sekarang ini sedang kurang guru, mau jadi guru lagi tidak?” katanya, dengan nada marah. Tapi aku merasakan nada marah itu, lebih sebagai ibu, dibanding pejabat pemerintah. Enchik Raja Khatijah itu, keturunan Raja-raja di Daik, Lingga. Sedang-

“M “Mungkin Guru Bukan Jalan Hidupnya” Hj ENCIK RAJA KHATIJAH - Kepala Inprasalub Kepri (1965-1975) Ke AYA tahu Kadir itu wartawan. Saya pernah membuat nota untuk Kadis P dan da K agar Kadir dapat mengajar lagi. Karena saat sa itu yang diutamakan jadi guru anak Melayu. Saya lupa bila waktunya. Tapi saya berla jumpa Kadir itu di Tanjungpinang. Jadi Kadir ju itu dulunya guru, berhenti, kemudian jadi guru lagi, berhenti, baru menjadi wartawan. la

S

60


kan panggilan Enchik itu dia peroleh ketika dia menjadi guru di Padang, Sumatera Tengah (Sumatera Barat sekarang). “Di sana, guru itu dipanggil Enchik ” katanya suatu ketika. “Mau,” kataku tanpa pikir panjang menjawab tawaran jadi guru lagi, “tetapi saya mau sekolah lagi di SGA,” kataku melihat peluang kembali ke Tanjungpinang. Dapat kerja, dan bisa bersekolah lagi. “Boleh saja, tapi ikut KPG, sama derajatnya dengan SGA. Itu untuk guru-guru yang sudah mengajar,” katanya lagi. “Kalau kau bersedia, besok datang ke kantor dan Enchik akan memberi nota dinas dan menempatkan kau di salah satu SD yang ada di Tanjungpinang “ katanya lagi. Akhirnya, aku memilih jadi guru lagi. Aku datang ke kantornya, di Jalan Teratai dan melapor siap jadi guru lagi. Hari itu juga dia membuat nota dinas dan menempatkan aku di SD Negeri No.1 Tanjungpinang, salah satu SD terkenal dan tertua di kota kabupaten itu, eks sekolah AMS zaman Belanda . “Besok bertemu Pak Djohan dan langsung mengajar,” katanya

Mertua Kadir, Syukur, pemain biola. Saya ingat Syukur itu terkenal Tukang Petik, panggilannya saat itu. Namun biolanya diambil oleh Daud Kadir. Saya kurang tahu apa sebabnya. Saya ini dipanggil ‘’Encik’’ saat itu, karena saya ini seorang guru. Tapi saya ini bukan Encik Melayu. Saya ini keturunan raja. Encik itu saya dapat saat saya mengajar di Sumatera Barat, di Padang. Orang-orang itu memanggil saya Encik, artinya guru. (Ketika dilakukan wawancara Fakhrunnas MA Jabbar tahun 1998, kondisi fisik Encik terlihat masih bugar. Namun ingatannya mulai jauh berkurang. Apalagi syaraf otak Encik juga sempat di-scan. Mulai jatuh sakit pada Januari lalu. Encik sempat koma dan otaknya dioperasi).

61


lagi. Aku mengangguk, berterima kasih dan memulai kembali karirku sebagai pendidik. Lebih kurang enam bulan kemudian, Surat Keputusan resmi sebagai guru SD, aku terima. Ketika itulah tanggal lahirku jadi berubah lagi menjadi tanggal 17 Juli 1943. Tidak tahu bagaimana asal mulanya, karena SK itu keluar tanpa lebih dahulu dilampirkan ijazahku dan keterangan lainnya. Pokoknya, Encik Raja Khatijah langsung mengusulkan ke Kantor Bupati Kepulauan Riau dan karena dia tahu siapa aku, tempat aku sekolah dulunya, maka data-data diriku untuk bahan usulan dibuat di kantor Encik saja. Begitu SK pengangkatan diteken oleh Bupati Firman Eddy, SH, waktu itu, maka SK itu memuat tanggal dan tempat lahir yang berbeda dengan ijazah-ijazah SD dan SGB-ku. “Tak apalah, yang penting ‘kan SK sudah ada. SK lebih penting,” kata seorang temanku sesama guru di SD 1 sebagaimana dikomentari dengan nada yang sama oleh teman-teman lainnya, ketika aku mempersoalkan SK yang aku terima. Begitulah, karena

“Suka Seni dan Sepak Bola” SADRI - Teman masa belia, Dabo AYA mengenal Ismail — begitu nama yang sering kami panggil jauh sebelum Rida jadi wartawan. Namun pada itu, dia sudah menyenangi kegiatan seni dan juga olah raga. Dalam tim sepak bola di Sungai Buluh yang kami beri nama Klub Persatuan Sepakbola Sungai Buluh (PSSB) pada masa itu, Ismail terpilih sebagai kiper. Seingat saya, teman satu tim lainnya adalah Rachman yang berada di posisi bek. Apabila ada pertandingan sepakbola di Sungai Buluh, biasanya Ismail menginap di rumah teman satu tim, Mahmud MY. Kami biasanya bermain di Lapangan Merdeka.***

S

62


berbagai dokumen lainnya selalu berkaitan dengan SK pengangkatanku ini, tempat dan tanggal lahir yang baru inilah yang banyak dipakai. 17 Juli 1943, lebih muda setahun . Aku selalu terkenang dengan Enchik Raja Khatijah ini. Ketika dia meninggal dalam usia lanjut, maka aku ikut merasa kehilangan. Seorang tokoh wanita, seorang tokoh pendidikan, seorang pejabat yang sangat low profil dan mudah memberi pertolongan. Apalagi aku termasuk dekat dengan keluarganya. Sofyar, anaknya yang jadi dokter gigi, adalah teman sekolahku. Bahkan dengan suaminya Safaat Sangari, yang kami panggil Cik Gu Safaat, yang juga guru bahasa Jepang di berbagai SMA di Tanjungpinang, dan pernah jadi anggota DPRD Kepulauan Riau, dari partai Parmusi. Enchik Raja Khatijah pun pernah menjadi anggota DPRD, bahkan merupakan wanita pertama di Kepulauan Riau yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan wanita pertama dari Kepri yang masuk sekolah guru. 3. Kegelisahan Anak Muda Kekacauan identitas ini, terus berlanjut dengan masalah nama. Dalam surat-surat keputusan sebagai guru, namaku tetaplah Ismail Kadir, KTP dan juga surat nikah, ketika aku menikah. Tetapi, karena sejak masa sekolah aku sudah mencintai dunia sastra dan memilih mengarang sebagai bagian dari kegemaran yang meledak-ledakkan batinku, maka dalam proses kreatif dan mencari tempat serta nama di pentas ke pengarangan di daerah, khususnya di Tanjungpinang, aku juga menggunakan berbagai nama pena. Ketika masih menjadi siswa SGB dan membuat sajak-sajak awal dan mengirimkannya ke berbagai penerbitan sekolah, aku menggunakan nama Iskandar Leo. Ini nama gagahku dalam kehidupan sastra lokal yang kupadu dari kependekan namaku Ismail dan adaptasi nama ayahku Kadir menjadi Iskandar. Sementara Leo,

63


adalah bintang horoskopku, yang walaupun tak cocok dengan tanggal lahir, tetapi aku selalu merasa ramalan-ramalan untuk bintang Leo inilah yang paling dekat denganku. Apalagi ketika itu, aku lagi terkagum-kagum dengan buku novel “Kembalinya si Anak Hilang�, karangan Aleks Leo, yang sangat digemari siswasiswa ketika itu. Maka nama Iskandar Leo itu terasa pas dan gagah bagi semangat seniman mudaku. Nama itulah yang kemudian berkibar sebagai penyair, pemain drama, penulis esai. Beberapa sajak-sajakku yang kukirim dan kemudian dimuat di Majalah Horison misalnya, menggunakan nama Iskandar Leo. Juga dalam awal-awal terjunnya aku menjadi wartawan di beberapa penerbitan lokal, seperti Harian AB edisi Kepulauan Riau, Pelita Buana, Majalah Sempena dan beberapa penerbitan lain di Jakarta. Sebagai pemain drama, bersama Ibrahim Sattah (almarhum) dan Juliana Helmi, penyiar RRI Tanjun“Selalu Memberi Jalan Keluar� Khalib - Teman Masa Belia di Dabo AYA berjuang bersama Ismail (nama asli Rida) dalam pergerakan aksi KAPPI dan Ampera di Dabo. Waktu itu sekitar tahun 1965. Kami sama-sama menjadi pengurus komisariat. Waktu itu, Ismail datang dari Tanjungpinang yang membawa mandat untuk mendirikan organisasi KAPPI. Sementara yang jadi pengurus PII (Pelajar Islam Indonesia) adalah Syofyan BA. Kami secara beramai-ramai menyampaikan aspirasi ke pihak pemerintah. Banyak masalah daerah yang kami himpun dan ajukan agar diadakan perbaikan. Kami bersama-sama tokoh pemuda yang lain ikut menggerakan kegiatan olah raga, khususnya sepakbola, aktivitas seni dan keagamaan. Pada masa itu, di Dabo belum punya band. Oleh karena itu kami pernah mendatangkan grup band dari Bandung. Seingat saya, untuk kegiatan dakwah Islam kami pernah pula mendatangkan seorang muballigh dari Jakarta, Syech Kamil.

S

64


gpinang, nama itu juga yang dipakai, ketika kami mementaskan “Sumur Tanpa Dasar�-nya Arifin C Noor, atau “Tuan Kondektur� (adaptasi dari karya Anton Chekov) dan lainnya. Bahkan nama Iskandar Leo juga aku pakai sebagai nama untuk kegiatan organisasi kepemudaan, seperti KNPI (Komita Nasional Pemuda Indonesia) dan lainnya. Tetapi tahun 1975, ketika aku mencoba menerobos berbagai penerbitan besar di Jakarta, terutama MBM (Majalah Berita Mingguan) TEMPO, maka aku kembali mencari nama pena yang baru, untuk mencari tempat dan posisi. Terlebih agar identitasku sebagai guru SD, tidak sampai membuat pekerjaan sambilan sebagai wartawan, akan membuat aku diberhentikan. Ketika itulah, untuk tulisan-tulisan awal yang kukirim ke majalah TEMPO, aku menggunakan nama Rida K Liamsi, yaitu nama asliku Ismail Kadir yang kubalikkan. Maksudnya, kalaupun ada tulisan yang Pada saat melakukan aksi demonstrasi tahun 1968, kami menyorot berbagai masalah yang berkembang di kampung kami. Termasuk soal timah. Seingat saya, kami juga mengungkit kasus korupsi seorang pejabat tentara di Dabo masa itu. Namun, beberapa isu yang paling menonjol kami suarakan menyangkut penambangan pasir, penebangan hutan secara besar-besaran, makin banyaknya perusahaan buka pabrik dan masalah tanah. Sejak dulu saya kenal Ismail ini termasuk orang yang pintar. Dia suka memberi pendapat dalam persoalan apa saja di antara kami. Hebatnya, dia selalu memberi jalan keluar dari persoalan itu. Dia tak suka bertindak sendiri. Meski tubuhnya terbilang kecil tapi Ismail cukup berwibawa. Sesudah masa aksi dulu, kami sama-sama punya keinginan untuk keluar dari Dabo. Terbukti kemudian, banyak di antara temanteman kami yang merantau ke berbagai daerah. Misalnya, seingat saya, teman kami, Kamil berada di Jakarta, Syahrir di Tanjungpinang, Anwar Bey juga di Jakarta, Rabazir Syah di Medan.***

65


sampai menyerang atasanku, kepala dinas atau bupati dan lainnya, orang tak langsung menudingku sebagai penulisnya dan tidak serta merta memecatku. Paling tidak, dalam pikiranku waktu itu, secara hukum, aku masih bisa berkelit. Di samping, nama Rida K Liamsi itu juga enak didengar, dan puitis. Apalagi ketika itu aku masih terhitung muda, sekitar usia 27-an itu. Jadi, menggunakan nama pena atau nama samaran untuk karya sastra dan lainnya, suatu mode, satu bagian dari tradisi berkesenian itu pula. Walaupun dalam batinku, sebenarnya ada pergulatan atas nasib atas keberuntungan sebuah nama. Ismail Kadir, betapapun ayah dan ibuku telah memilih nama itu untuk buah hatinya dan berharap dengan nama itu aku akan menjadi orang yang berguna, tetapi bagiku seakan dia berhenti pada satu titik, yaitu menjadi guru. Juga dengan Iskandar Leo, sebuah nama pilihanku yang aku anggap gagah dan puitis, akhirnya juga berhenti pada satu titik, yaitu menjadi seniman yang tenggelam dalam bayang-bayang waktu dan keterbatasan kreativitas. Kemudian Rida K Liamsi, sebuah nama yang aku coba seret ke dalam pergulatan nasib di dunia jurnalistik. Akan sampai ke manakah aku? Tapi, aku bangga dengan nama Rida K Liamsi itu, karena satu-satunya orang punya nama begitu. Berbeda dan gagah. “Tuhan, kepada-Mu-lah selalu aku serahkan seluruh derak dan gelegak semangat hidupku. Bawalah dia ke mana yang Kau anggap adalah tempat yang tepat bagi umat-Mu ini,� begitu di saat-saat aku gugup, aku bimbang dan aku menyerahkan diriku ke haribaan-Nya. Ternyata menjadi wartawan di penerbitan Jakarta, lumayan baik. Apalagi sejak tahun 1977, aku diundang TEMPO ke Jakarta dan diberi latihan jurnalistik untuk menjadi koresponden mereka di Riau. Aku bertemu Goenawan Mohammad, aku bertemu Fikri Jufri, bahkan Mas Gun memperkenalkan aku pada Pak Haryoko

66


Trisnadi, yang waktu itu jadi pemimpin perusahaan. Aku jadi bangga dan merasa inilah peluangku untuk meraih ambisiku. Akhirnya, aku memutuskan berhenti lagi untuk kedua kalinya menjadi guru SD dan terjun seratus persen menjadi wartawan, setelah Mas Gun, begitu panggilan Goenawan Mohamad, Pemimpin Redaksi TEMPO memberi isyarat, bahwa aku akan diangkat jadi karyawan TEMPO, bila mau berhenti jadi guru dan sepenuhnya jadi wartawan. Maka tahun 1978, aku pun cabut dari guru. Mengirimkan permohonan berhenti dengan hormat dan tak menunggu lagi, apakah disetujui atau tidak. Juga setelah itu, tak pernah mengurus lagi, apakah ada surat keputusan berhenti atau tidak. Pokoknya sejak mengajukan permohonan berhenti itu, aku merasa sudah bukan guru lagi dan tidak lagi kembali ke sekolah tempatku mengajar. Aku sudah memaklumkan untuk seterusnya jadi wartawan, jadi jurnalis. Memilih menjadi wartawan di TEMPO itu, bukan saja menyebabkan aku mengucapkan sayonara dengan dunia pendidikan, juga membuat aku hampir-hampir meninggalkan nama Ismail Kadir, karena lebih banyak memakai nama baru, yaitu Rida K Liamsi. Itulah nama di kartu persku yang dikeluarkan TEMPO, itulah nama di SK pengangkatan sebagai koresponden, itulah nama ketika disahkan menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan itulah nama yang kemudian melekat dalam KTP yang baru, ijazah-ijazah pendidikan dan kursus yang baru, serta dokumen-dokumen yang lain. Akhirnya nama Ismail Kadir itu hanya dikenal di lingkungan yang terbatas dan khususnya di keluargaku saja. Sanak-saudaraku, masih memanggilku Pak Mail. Atau sekali tiga bulan, nama itu muncul, saat aku menandatangani rapor anak-anak ku yang bersekolah, yang buku induknya, ayahnya masih bernama Ismail Kadir.

67


Bersama kawan-kawan wartawan di Tanjungpinang: Aku (kiri), Amirudin, koresponden Singgalang (kedua kiri), Eddy Mawuntu, koresponden Suara Pembaruan (tengah, almarhum), Bahtiar Danau, koresponden Singgalang (kedua kanan) dan Rohana Soma (free lance).

68


4. Ternyata Shakespeare Keliru Apalah arti sebuah nama, begitu kata Shakespeare. Kalau mawar ya mawar, meskipun diberi nama melur. Tapi Shakespeare keliru. Di Indonesia, soal nama itu begitu jadi masalah. Menggunakan nama samaran seperti ini, meskipun karena sudah dikenal luas akan dengan gampang dikenal, tetapi kadang-kadang sering menimbulkan berbagai pengalaman. Menyenangkan, dan juga menggelikan, bahkan pahit. Yang lucu-lucu misalnya, Rida, sering menjadi konotasi nama wanita, maka dalam berbagai kesempatan undangan seminar atau lokakarya, aku selalu dianggap peserta wanita dan kamar yang disediakan, selalu bersama peserta wanita lain. Agar tidak menimbulkan salah paham yang fatal, maka begitu tiba di hotel tempat seminar, kerja pertama adalah meluruskan urusan nama. Juga dalam surat menyurat dengan mitra kerja asing. Beberapa surat dari luar negeri, sering memposisiku sebagai Miss Rida. Suatu kali, ketika melakukan ibadah haji tahun 1998, nama berbau wanita itu, sempat membuat aku kelabakan. Dalam perjalanan dari Madinah ke Mekkah, saat semua paspor dilaporkan ke petugas haji Arab Saudi di perbatasan masuk ke Kota Mekkah, maka tiba-tiba aku dipanggil oleh petugas Arab Saudi supaya menghadap mereka. Astaghfirrullah, kataku dalam hati. Apa salahku? Yang lain, satu bus, tak ada seorangpun yang dipanggil. Hampir nyaris jatuh tertelungkup, karena menyenggol lengan kursi bus, akupun tergopoh-gopoh menemui petugas haji itu. “Apakah Allah belum mengizinkan aku menunaikan ibadah hajiku, walaupun hanya tinggal beberapa kilometer lagi dari Masjidil Haram? Belum ada panggilan? � kataku dalam hati, risau dan gugup, serta tak henti-hentinya berdoa. Setelah sampai, pemandu hajiku memberi tahu, akulah Rida

69


K Liamsi dan petugas haji itu kemudian melihat ke arahku, lalu mengangguk dan melambai tangan, menyuruh pergi. “Allahhu Akbar...” sambutku. Rupanya, dia curiga. Namanya kok seperti nama wanita, tapi gambar paspor hajinya lelaki. Apa tak keliru? Di counter imigrasi Arab Saudi di Jeddah, ketika melakukan perjalanan umrah tahun sebelumnya, aku sempat juga kelabakan, karena petugas imigrasi di sana tiba-tiba memanggil nama Ismail Kadir, sambil mengangkat sebuah paspor. Aku yang tak menyangka itu namaku, ya, diam-diam saja. Tetapi, ketika dia menunjuk ke arahku dan bertanya, apakah itu pasporku, baru aku sadar, bahwa memang aku yang dipanggil. Sambil gelagapan aku men-

“Dia Murid yang Cerdas” SLAMAT MA’ARUS - Teman di Bakong:

R

IDA terbilang murid yang cerdas. Di sekolah SR (Sekolah Rakyat - SD sekarang) masa itu, hampir tak ada yang menandingi. Salah seorang guru kami adalah Darwis Bey asal Sumbar. Waktu itu, ujian akhir SR dilaksanakan di Penuba. Dari sebelas orang murid yang ikut ujian ternyata hanya dua orang yang lulus. Salah satunya adalah Rida. Ebtanas di masa itu benar-benar ketat. Waktu ujian tidak hanya dijaga oleh Penilik Sekolah (PS) tapi juga polisi. Masa kecilnya, sebagaimana anak-anak di Kampung Bakong masa itu, suka mandi dan berenang di laut — juga sekali-sekali memancing ikan. Permainan yang banyak digemari adalah main gasing dan layang-layang. Rida punya watak yang keras sejak kecil. Saya menyebutnya watak ABRI. Sepulang sekolah, hampir tak ada waktu mainmain. Setamat SD dia pernah ikut Hansip dan menjadi Komandan Kompi. Waktu itu namanya DPS (Dewan Pertahanan Sipil). DPS ini dipersiapkan untuk menjaga wilayah saat konfrontasi dengan Malaysia. Ayah Rida memang orang alim dan imam masjid. Banyak murid yang diajarnya mengaji, termasuk Rida. Jumlah mencapai 20 orang.***

70


gangguk dan dia memberi paspor itu setelah memberi stempel. Yang mengherankan, bagaimana dia tahu namaku Ismail Kadir, padahal pasporku memakai nama Rida K Liamsi? Belakangan baru aku tahu, ternyata si petugas membaca namaku dari belakang, karena namaku dalam visa kunjungan, diberi tulisan huruf Arab dan kalau membacanya memang dari belakang. Itu yang lucu. Tetapi yang pahit dan membuat perasaan luka, juga pernah terjadi, karena aku dituduh mempunyai maksudmaksud jahat dengan mengubah-ubah namaku. Aku tahu, latar belakang tuduhan begitu itu, hanya dicari-cari dan lebih karena posisiku sebagai wartawan yang tidak mudah ditundukkan dan sebagai penanggung jawab penerbitan yang tidak mau distir oleh kekuasaan dan maksud-maksud politik tertentu. Tetapi, ya, itulah bagian dari romantika hidupku dan romantika sebuah nama. Semuanya bermula dari wujud kegelisahan seorang anak kampung yang nun jauh dan tak dikenal, dalam bergulat merebut nasibnya, membangun identitas diri dan mencari peran di tengah-tengah “Sang Kiper dan Loncat Harimau� H HAMZAH KASIM - Kades Kuala Raya/Teman Kuala Raya:

S

AYA dan Rida sama-sama bersekolah di Tanjungpinang. Setelah tamat SGB, Rida sudah mulai mengajar di SD sambil menunggu besluit (SK). Saya kenal Rida memang termasuk orang yang pintar dan suka humor. Kalau bicara suka ceplas-ceplos saja. Tapi dia mudah bergaul. Rida memang suka sepak bola. Waktu itu, di Dabo sudah ada Persedas (Persatuan Sepakbola Dabo-Singkep), Rida waktu itu sudah jadi pemain hebat. Istilah kami di sini pada masa itu pemain bond atau pemain bayaran. Kalau Rida dipanggil dari Bakong, berarti dia akan disediakan makan dan minum serta tempat tinggal di rumah temanteman. Kehebatan Rida sebagai kiper dikenal masyarakat dengan loncat harimaunya.***

71


bara kehidupan ini. Terutama ketika dia memutuskan untuk sepenuhnya menjadi wartawan, sepenuhnya membangun ambisi dan obsesinya di dunia jurnalistik. Identitas diri, karir yang jatuh bangun, adalah sejumlah proses kehidupan pribadiku dan kegelisahan kreativitasku dalam menjalin lembar-lembar benang kehidupanku. Kegelisahan bak ombakombak musim barat yang menggelora di pantai-pantai Tanah Sekanak. Kegelisahan, yang bukan hanya terhadap nama dan obsesi mencari tempat untuk melintas di arus sejarah. Juga kegelisahan untuk keluar dari kubangan tradisi dan keterpencilan hubungan. Kegelisahan yang sudah muncul sejak aku masih di bangku kelas 4 SR, yang berangan-angan untuk ke luar dari Bakong, pergi merantau dan bersekolah ke negeri orang. Setiap kali Penilik Sekolah (Pengawas-pen) Pak Saleh AR, orang Tembelan yang disiplin namun pemberi semangat yang tak kenal lelah itu bertanya, mau jadi apa aku nanti setelah besar, maka jawabanku adalah, “Mau sekolah ke Jogjakarta, masuk Akedemi Seni Rupa Indonesia, dan jadi pelukis.� Bahwa kemudian aku menjadi guru dan kemudian menjadi wartawan, maka Tuhan Yang Mahabesar itulah yang mengatur perjalanan nasib, hati dan nuraniku menuju apa yang

“Semula Tak Mau Jadi Guru� M HATTA - Sepupu di Tanjungpinang

K

ELUARGA Rida dulunya tinggal di rumah panggung dekat Masjid Arrahim. Rida tinggal bersama emak dan saudara-saudaranya. Sewaktu Rida sudah duduk di SGB, saya masih di bangku SD. Setelah menamatkan SGB, Rida sebenarnya tak mau jadi guru. Hubungannya dengan emak cukup baik. Tapi pandangan emaknya boleh dikatakan maju pada masa itu dan punya pandangan jauh ke depan.***

72


Ia tentukan. Dulu, baik sebelum maupun setelah menamatkan sekolah guru, di saat-saat sore hari, aku selalu memandang ombak yang bergulung di laut lepas, dari jendela rumahku yang menghadap ke arah laut. Aku melihat puncak-puncak gelombang musim barat yang putih berbuih. Aku menyaksikan kepingan-kepingan kayu, sabut dan lainnya hanyut dibawa gelombang. Turun naik dan pergi entah ke mana. Dan, di situlah, di puncak ombak, di helai-helai bulu (serat) sabut yang terapung-apung, aku menitip mimpi-mimpiku, cita-cita dan harapan-harapanku. Mimpi-mimpi yang bergelora, setelah membaca “Di Bawah Bendera Revolusi”-nya Bung Karno, setelah membaca “Indonesia Menggugat”-nya Bung Karno, setelah membaca buku-buku petualangan “Winnetou” karangan Karl May. Membaca “Di Bawah Lindungan Kaabah”-nya Hamka dan buku-buku sastra lainnya. Aku ingin sampai ke suatu tempat, aku ingin melakukan sesuatu yang dikenang orang, aku ingin berbuat sesuatu sebagai terima kasihku kepada ayah dan ibu, atas kasih sayang yang tak ada taranya itu. Aku selalu berkata, dalam hati, kita hidup ini harus membuat sejarah. Seperti Bung Karno, Bung Hatta dan pemimpin-pemimpin lain, yang menulis sejarah di atas buku bangsanya. O, ombak sekanak Angin barat, gelombang barat, Laut Sekanak, ombak sekanak Ke mana kita akan pergi Pergi seperti sekeping sabut Terombang-ambing Terkapung-kapung

73


Di puncak ombak, di pucuk buih Di pucuk angin, di rasa ingin di rasa dingin Di rasa sansai, di rasa lepai Di mana kita akan sampai Sampai seperti sepotong sabut Yang hanyut, yang tersangkut Yang terlempar, yang terdampar Di bibir pantai, di celah karang Di tiang jermal, di kaki tebing, di peluk teluk Kita seperti sebuah perahu Berlayar, Berlayar kertas, berlayar kain, berlayar mimpi Berlayar di angin barat, di gelombang barat Di laut sekanak, di ombak sekanak

74


Kita seperti sebuah laut Laut yang tak semua surut Ombak yang tak semua reda Badai yang tak semua dedai Kita seperti sebuah gapai Yang harus sampai Sampai ke pantai melepas sansai Melabuh sauh, menambat sungguh O, ombak Sekanak

***

75


76


TAK ADA

BAB V KATA NOMOR DUA

1

O, Itu Ratu Belanda? “Anak-anak, kenal gambar siapa ini?� kata guruku Zainal Anang, ketika hari pertama aku masuk sekolah, di usia belum tujuh tahun. Dialah satu-satunya guru di situ. Sekolah hanya satu lokal, berdinding papan dan berlantai tanah, beratap rumbia. Semua kami, sekitar 25 orang, berpakaian putih-putih. Ketika itu, kalau betul aku dilahirkan tahun 1942, berarti pertengahan tahun 1949, di awal-awal masa kemerdekaan. Pertanyaan Cik Gu Zainal itu, tak seorang pun yang dapat menjawab. Aku, masih samar-samar ingat, yang ditunjukkannya adalah gambar seorang wanita, pakai selempang dan di kepalanya ada mahkota dan permata. Duduk tegak, menyamping. Buku itu, berwarna kebiru-biruan. “Ya, inilah gambar Ratu Wilhelmina,� kata Cik Gu Zainal. Aku tak ingat, apakah dia mengatakan itulah raja kita atau ratu kita, atau sekadar menunjukkan gambar di halaman pertama buku itu, karena seterusnya pada halaman lain, sudah ada huruf-huruf untuk belajar membaca. Setelah aku besar, aku tertawa sendiri. Di tahun 1949, ternyata di kampungku, yang diajarkan adalah tentang Ratu Belanda. Mungkin Cik Gu Zainal dan Batin Hasan, tak tahu Indonesia sudah merdeka. Atau, mereka tahu, tetapi buku-buku pelajaran waktu itu yang ada hanya buku pelajaran yang sisa-sisa pemer-

77


intahan Belanda, termasuk buku bacaan yang bergambar Ratu Welhelmina. Tapi, waktu itu, aku luar biasa sukanya melihat buku itu. Kami boleh membawa pulang dan sejak hari itu, aku mulai bersekolah. Aku kelas satu, kakakku Halimah kelas dua dan abangku Abubakar sudah tamat kelas tiga dan tidak melanjutkan lagi sekolah ke mana-mana pada usianya yang 12 tahun. Sekolah di kampungku memang hanya sampai kelas tiga. Setelah tamat kelas tiga, nasibku hampir sama dengan abangku dan kakakku. Selesai dan tidak sekolah lagi. Karena tidak sekolah lagi, lalu ayahku mengajak kami sekeluarga pindah ke Cukas, sebuah kampung kecil, lebih kecil dari Bakong, untuk mencari kehidupan lebih baik. Kebetulan waktu itu, Cukas menjadi pusat penyeludupan kopra dari Indragiri Hilir (Riau Daratan) dan Jambi, untuk kemudian setelah dikeringkan, dibawa ke Singapura. Berpuluh-puluh perahu layar mengangkut kelapa kering (isi kelapa yang sudah dilepas dari tempurungnya). Karena masih setengah kering, isi kelapa yang sudah disalai itu, diangkut dalam bentuk curahan dan dimasukkan ke dalam lambung perahu. Diangkut dari Tembilahan, di Indragiri Hilir dan dari Jambi, lalu dibawa ke Cukas. Di sini, seorang toke menampungnya. Dibongkar dan kemudian dikeringkan kembali. Ada yang disalai lagi di atas parapara atau di Indragiri Hilir disebut langkau (semacam bangunan dari kayu-kayu bulat dan di bawahnya dihidupkan api dari tempurung kelapa) dan ada yang dijemur di bawah terik matahari. Setelah kering, dimasukkan ke dalam goni, kemudian diangkut dengan kapal ke Singapura. Kerja itu, kerja seludupan dan di tahun 1950-an itu, polisi nyaris tak berdaya, karena jumlah sedikit dan kebanyakan bekas polisi Belanda. Bea Cukai pun belum ada. Ayahku tidak ikut kerja kopra. Tetapi dia berdagang kain dan baju. Dia beli dari Dabo dan dari Tanjungpinang dalam bentuk kain meteran, lalu dijual ke penduduk sekitarnya. Karena boom

78


seludupan kopra, masyarakat Cukas dan sekitarnya, menjadi mampu dan punya banyak uang. Dagangan ayahku laku dan dia memperoleh hasil yang lumayan. Aku, ikut dengannya dengan sampan dayung, menyusuri sungai dan singgah dari satu rumah ke satu rumah lainnya, menjajakan kain dagangan. Sore hari, sepulang ikut ayah, aku berenang di sekitar pantai dekat rumahku, memungut sisa-sisa kopra yang terbuang ke laut setelah dibongkar dari perahu. Kopra yang hanyut itu dikumpulkan, lalu dijemur dan setelah cukup satu goni (karung) sekitar 30-an kg, dijual kepada toke Tionghoa, yang aku masih ingat namanya Tan Hwa Long. Kami menyebutnya Taulo Cukas. Sementara di Bakong, ada juga toke Tionghoa yang jadi pemimpin mereka, yang kami sebut Taulo Bakong. Tapi tak lama kami di Cukas. Boom kopra seludupan itu segera berakhir begitu pemerintah mulai menangkap perahu layar milik orang Bugis di Tembilahan dan sekitarnya dan memenjarakan mereka di Dabo. Kami kembali ke Bakong, karena ayah diberitahu oleh Cik Gu Zainal, sekolah di Bakong ternyata oleh pemerintah ditingkatkan sampai kelas 6. Jadi aku harus kembali dan sekolah lagi. Setelah terkatung-katung setahun, akhirnya aku bersekolah kembali dan masuk kelas 4. Bersamaan dengan itu, Cik Gu Zainal dipindahkan ke Pulau Kasu, sebuah pulau di Kecamatan Belakang Padang, di perbatasan dengan Singapura dan menjadi kepala sekolah di sana. Sebagai gantinya di Bakong, adalah Cik Gu Muhammad Zahid Yunus, orang Daik, yang sebelumnya menjadi kepala sekolah di Senayang. Pak Zahid, begitu aku memanggilnya, guru yang sangat penuh warna hidupnya. Orangnya gemuk, tingginya sedang dan gemar musik, serta sangat pandai main biola. Dengan tangan kidal, dia menggesek biolanya dan mengajarkan kami bermacam-macam lagu, tentunya, lagu-lagu setelah Indonesia merdeka. Aku ingat

79


ada lagu Sepuluh Tahun Lalu, ada lagu Pahlawan Merdeka dan lainnya. Orangnya rapi, tulisannya bagus, cerewet dan disiplin. ”Nyel....,“ Begitu dia memanggilku. Di hari-hari pertama dia mengajar kami, dia memperkenal apa yang namanya ketua kelas. Dia menunjukku jadi ketua kelas dan memasangkan semacam ban di lenganku. Warna ban itu merah, sementara di tengah-tengah terdapat kain putih berjalur tiga. Artinya akulah ketua tertinggi. Ketua kelas lain ada yang satu garis, ada yang dua garis. Pak Zahid-lah yang mengajarkan aku arti tanggung jawab sebagai pemimpin. “Jangan salahkan orang lain kalau terjadi sesuatu. Kau ‘kan ketua kelas,” katanya, selalu. Kalau terjadi sesuatu yang tak beres, maka akulah yang pertama harus bertanggung jawab. Kalau Pak Penilik Sekolah (PS) datang memeriksa, akulah yang harus maju memberi hormat dan menyiapkan kelas. Begitu juga dengan Pak Camat. “Jemput Pak Camat dan bawa ke sekolah kita,” katanya. Pak Zahid-lah yang pertama mengajarkan aku sebagai pemimpin dan bagaimana seorang pemimpin harus bertanggungjawab. Pak Zahid meninggal setelah pensiun. Dalam masa sekolahku itu, selain Pak Zahid, masih ada tiga orang guru lainnya, yang tidak datang sekaligus. Mula-mula datang yang namanya Pak Darwis, orang Maninjau, tamat SGB Kayutanam. Karena waktu itu Riau masih masuk dalam Provinsi Sumatera Tengah, maka banyak guru dari Sumatera Barat yang ditempatkan di sini. Necis dan jago berhitung. Merokok seperti kereta api dan tulisan tangannya bukan main bagusnya. Tak lama kemudian, datang Pak Syamsuddin Syarif. Orang Midai, tamatan SGB Tanjungpinang. Orangnya agak kurus dan pintar melukis. Lalu kemudian datang lagi satu guru baru, namanya Mohd. Chalid. Orang dari Kerinci, yang dulu juga masuk Sumatera Tengah. Orangnya berkulit agak kekuning-kuningan,

80


mirip orang Tionghoa (belakangan setelah pernah mengunjungi Kerinci, aku tahu memang orang di sana berkulit kuning, bersih, akibat pengaruh udara pengunungan Kerinci). Dia jago soal-soal agama. Pak Darwis mengajar di kelas lima dan enam, Pak Syamsuddin di kelas satu dan dua, dan Pak Chalid di kelas tiga dan empat. Pak Zahid sendiri jadi kepala sekolah dan mengurus administrasi sekolah. Aku sendiri, karena sudah naik kelas tiap tahun, jadi terus ikut Pak Darwis, sampai tamat SD tahun 1955 dan menjadi kelas enam pertama yang dihasilkan sekolah itu. Kami siswa kelas 6 waktu itu, semuanya ada 14 orang murid dan dikirim ke Penuba (masuk kecamatan Lingga) mengikuti ujian penghabisan SD. Desa Penuba ini untuk menampung siswa SD yang akan ujian dari Bakong, Kualaraya, Sungaibuluh dan Kota. Semacam rayon ujian. Yang lainnya di Dabo, ibukota kecamatan Singkep. Dan dari kami yang 14 orang itu, yang lulus hanya dua orang, aku dan Selamat Maarus, yang beberapa tahun kemudian menjadi jurutulis di kantor kepala kampung. Kemudian setelah Pak Unggal Hassan, sang kepala kampung meninggal, dialah yang menggantikannya. Aku menjadi orang pertama dari kampung itu, yang keluar kampung dan menyambung sekolah ke tempat lain. Yang lainnya, seperti nasib pemuda dan gadis kampung, tamat kelas enam, tinggal di rumah. Bagi yang wanita, menunggu kapan saatnya kawin. Hanya Maimun, anak wanita kepala kampung, yang mau mengulang di kelas enam setelah tidak lulus ujian penghabisan dan maju lagi ikut ujian tahun berikutnya. Begitu lulus, dia dikirim ayahnya ke Palembang masuk sekolah hakim dan jaksa, meskipun tidak selesai dan kembali ke kampung. Di antara para guruku itu, dengan keluarga Pak Syamsuddin Syarif-lah (meninggal dunia tahun 2001) aku paling dekat, karena memang masih merasa satu daerah asal, yaitu Pulau Tujuh. Apalagi Pak Syam dan istrinya Hasyimah, adalah teman masa muda

81


abangku Abubakar ketika dia dulu merantau ke Tanjungpinang. Dekat dan hampir seperti keluarga sendiri. Keluarga inilah yang kemudian banyak sekali membantu aku di saat-saat sulit waktu sekolah di Tanjungpinang. Pak Darwis kemudian pindah ke Dabo Singkep, lalu ke Tanjungpinang dan akhirnya waktu aku masuk KPG tahun 1967 di Tanjungpinang, kami bertemu dan belajar dalam satu kelas yang sama. “Siapa yang menyangka, murid dan guru bertemu di sini. Kalau aku tak dapat menjawab, kau bantulah aku. Aku sudah tua,” kelakarnya. Kini Pak Darwis sudah almarhum, setelah pensiun. Sebelum meninggal, kami selalu bertemu di kantorku di Riau Pos, dan bercerita tentang masa lalu. Sementara Pak Chalid, memutuskan berhenti jadi guru di saat terjadi masa konfrontasi Indonesia-Malaysia dan memilih kembali ke Kerinci. Kabarnya dia masuk menjadi pegawai Bea dan Cukai. Sedangkan Pak Syamsuddin kemudian pindah ke Tanjungpinang jadi guru di sini dan kami bertemu lagi sesama menjadi guru. Masih ada beberapa orang lagi, yang pada masa-masa aku masih di sekolah dasar, merupakan mesin penggerak semangat dan cita-citaku untuk menjadi “seseorang” dan mendorong aku untuk setelah tamat SD keluar dari kampung itu, pergi merantau dan sekolah. Yang pertama, adalah Pak Saleh AR (nama aslinya adalah Mohd Saleh AR). Orang Tembelan, yang jadi Penilik Sekolah. Orangnya sangat disiplin, keras dan kalau marah suka mencubit kulit perut. “Rajin-rajin belajar, ya. Kalau tidak rajin, tidak bisa jadi orang besar,” katanya dengan suara yang lembut tapi mengerikan. Dia yang mendorongku agar kalau tamat SD nanti menyambung sekolah ke Tanjungpinang atau ke mana saja.

82


“Anak-anak Bapak semuanya menyambung sekolah,� katanya. Salah satu anaknya yang maju adalah Wan Yakob Saleh, yang pernah menjadi Jaksa Tinggi di Riau dan kemudian pernah menjadi Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan. Dan setelah pensiun pernah mencoba jadi calon Gubernur Riau, tapi gagal. Lalu seorang lagi, yang berpengaruh padaku, bernama Frans Honomoun Hutasoit. Orang Batak, dengan rambut keriting ikal. Dagunya agak persegi, tetapi wajahnya sangat ramah. Dia selalu datang dengan pakaian seragam khas pejabat waktu itu. Seragam drill warna kuning. Celananya sebatas lutut dan bajunya, potongan safari, dengan dua kantong di bawah. Pakai topi, seperti mandor kebun. Ya, dia Asisten Wedana. Sekarang adalah camat. Karena waktu itu masih banyak pengaruh administrasi zaman Belanda, maka jabatannya disebut Asisten Wedana, pengganti jabatan Amir. Pak Hutasoit ini, bukan cuma memeriksa kampung, tapi juga memeriksa sekolah. Melihat gedung dan duduk berbicara dengan murid. Satu hari dia bercerita di depan kelas, tentang seorang anak bernama Ahmad. Dia hidup di zaman Belanda dan karena keluarganya miskin, dia tidak dapat bersekolah. Tetapi semangat belajarnya tinggi sekali. Tiap hari dia datang ke sekitar sekolah dan mengintip orang belajar dari jendela. Dia ikut belajar dan mendengar guru mengajar murid-murid lain. Akhirnya, countrolir Belanda tahu ihwal itu dan Ahmad dimasukkan sekolah. Ternyata dia sangat pandai dan menjadi murid nomor satu dan seterusnya oleh pemerintah Belanda disekolahkan sampai ke Den Haag. Entah benar-benar ada tokoh itu, atau tidak, yang pasti sehabis bercerita dia memerintahkan kami untuk bercerita kembali di depan kelas. Aku ingat, karena tak ada satu pun anak yang berani maju, akhirnya akulah sang ketua kelas yang harus ber-

83


tanggungjawab. Sambil sedikit gemetar dan takut salah, aku bercerita di depan kelas. Pak Hotasoit mengangguk-angguk dan kemudian memerintahkan kami mengarang. Hasil karangan itu, besoknya dibawa ke Dabo Singkep. Dua bulan kemudian dia datang kembali dan memberi hadiah kepada karangan terbaik. Akulah yang jadi pemenang pertama dan menerima hadiah yang tak pernah terbayangkan olehku di sebuah kampung kecil itu. Selusin buku gambar, sekotak cat air, sekotak pinsil gambar berwarna, beberapa karet penghapus, sebuah album (diary) dan beberapa alat tulis lainnya. “Teruslah belajar mengarang, nanti kalau sudah besar, bisa menjadi pengarang buku yang hebat. Jadi wartawan,� katanya menyalamiku. Sejak itulah, bak air bah, dalam diriku bangkit semangat dan keinginan untuk mengarang. Menulis. Entah apa saja dan dari mana saja ceritanya, aku menulis, dan menulis. Dialah, yang kucatat dengan hati yang dalam dan penuh terima kasih, orang yang pertama membangkitkan bakatku untuk menulis. Setelah kemudian aku jadi wartawan dan sebagai tanda ungkapan rasa terima kasih itu, aku menulis sebuah artikel tentang dia dalam rubrik “Pribadi yang Mengesankan“, di majalah Mutiara. Aku tak tahu dia membaca atau tidak, tetapi ketika itu, sekitar tahun 1980, dia menjabat sebagai salah satu Wakil Gubernur DKI Jaya dan sedang hebat-hebatnya menjadi manajer Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). 2. Terpaksa Masuk Sekolah Guru Tahun 1955, aku tamat SD dan bersama ibuku berangkat dengan kapal laut menuju Tanjungpinang. Tak tahu mau masuk sekolah apa. Yang pasti, menurut ibuku, di Tanjungpinang ada adik tiri ibuku bernama Salamah, yang kemudian aku panggil Maksu

84


Lamah. Kami akan menumpang di sana dulu, sambil minta nasehatnya, mau masuk sekolah apa. Di Tanjungpinang, ternyata Maksu Lamah itu bersama suaminya bekerja di SD No. 1 Tanjungpinang. Suaminya yang aku panggil Ami (Paman-pen), jadi pesuruh, sementara Maksu Lamah memegang koperasi sekolah dan menjual berbagai makanan kecil di sana, seperti kue-kue dan es. Ami Muhammad dan Maksu Lamah, menyarankan aku masuk SGB (Sekolah Guru B) saja. “Kelak gampang kerja. Jadi guru sajalah. Lagi pula ada Tunjangan Ikatan Dinasnya, kan bisa menghemat ongkos,� katanya membujuk. Ibuku setuju, walaupun aku ingin masuk SMP saja, supaya bisa ke SMA dan ke Jogja masuk Akedemi Seni Rupa (ASRI). Tapi, ya, sudah, kebetulan beberapa teman dari Singkep, yang sama-sama ujian SD denganku di Penuba, juga masuk ke SGB, seperti Abbas, M Sahar, Maksum, Bustami dari Sungaibuluh dan Mustafa Yasin, dari Kota. Malangnya, ternyata SGB yang kumasuki itu, adalah SGB tahun terakhir dan setelah nanti kami tamat, sekolah itu akan ditutup dan dihapus. Semua calon guru nantinya masuk SGA saja. Pada tahun terakhir itu pula pemerintah menghapus Tunjangan Ikatan Dinas (TID) untuk siswa SGB. Yang menerima TID hanya SGA. Ibuku mengurut dada. Berarti kami harus berjuang keras untuk hidup di sana. Untunglah uang sekolahnya murah. Hanya Sin$ 5 per bulan. Makan sementara menumpang di rumah Maksu Lamah. Tetapi, yang namanya merantau, tetaplah penuh sukaduka. Dan bahkan masa sekolah empat tahun itu, adalah masa penuh kepedihan dan rasa duka. Sulit sekali, karena semua keperluan sekolah tak semua bisa terpenuhi. Hanya teman-teman yang

85


murah hati sajalah yang terus membantu. Terutama Fauziah Acty, kakak kelasku, yang dengan lapang hati meminjamiku buku-buku pelajaran, bila dia sudah naik kelas. Sekali-sekali membagi sisasisa uang TID-nya. Selama empat tahun itu, aku beberapa kali harus pindah rumah dan mencari induk semang, untuk menumpang. Karena sudah terlalu lama tinggal di rumah Maksu Lamah, aku pindah ke rumah Makcik Jibah. Dia punya menantu, Bang Jaafar, seorang polisi lalu-lintas. Makcik Jibah kebetulan orang Singkep dan dulu ketika dia dalam perjalanan pulang ke kampungnya di Posek, dia pernah mampir ke rumah kami di Bakong, dia mempelawa (mengajak) aku, jika nanti mau sekolah di Tanjungpinang, tinggal saja di rumahnya. Kebetulan pula, semasa abangku Abubakar tinggal di Tanjungpinang, dia berteman baik dengan keluarga Makcik Jibah ini. Lama aku menumpang di keluarga ini, lebih dari dua tahun, dan sudah sangat dekat dan serap (menyatu) dalam kehidupan mereka. Anak-anak Bang Djaafar, seperti Chairil Anwar dan Yuliana, dekat denganku, karena aku menjadi pengasuh mereka semasa kecil. Tapi menjelang aku tamat sekolah, aku pindah lagi dari rumah Makcik Jibah itu ke rumah Bang Ridwan, sepupuku, di Kampung Jawa. Dia menjadi anak angkat seorang wanita Jawa yang kami panggil Mak Itam. Sampai selesai SGB aku tinggal di sini dan setelah tamat, aku kembali ke Bakong. Jika ingat deraan kemiskinan yang kurasa, aku sering tertawa sendiri. Misalnya soal sepatu sekolah. Pernah sudah sampai robek di sisi kanannya dan bagian kaki kelihatan. Sering di kelas, sepatu buatan Cina itu menimbulkan bau sengit, karena karet di dalamnya basah ditimpa keringat kakiku. “Oi, sepatu siapa busuk ‘ni?�, Teman-teman kelas protes, tetapi aku tak perduli.

86


Tetapi, akhirnya salah satu guruku, Pak Gultom yang mengajar Aljabar, turun tangan. “Ismail...�, katanya dengan dialek Tapanulinya yang kental, sambil memainkan jenggot tipisnya. “Sepatu kau itu sudah robek. Kenapa tak diganti. Tak ada duit, ya? Ini, pergi beli, ganti yang baru.� Aku menerima pemberian Pak Gultom dengan rasa pedih.Besok aku pun bersepatu baru, dan tak ada lagi teriakan sepatu bau itu. Bagi Pak Gultom, untuk sepasang sepatu begitu, tidak sangat menguras kantong. Mereka digaji dalam mata uang dolar Singapura. Mereka yang jadi guru di Kepulauan Riau ketika itu, sangat makmur dibanding daerah-daerah lain di Indonesia. Namun begitu, walaupun hanya Sin$ 2,50 harga sepatu itu, aku merasa perhatian Pak Gultom padaku luar biasa. Aku selalu mengenang peristiwa itu dengan hati yang luruh. Karena itu, ketika beberapa tahun kemudian setelah aku bekerja sebagai wartawan dan mendengar kabar Pak Gultom tewas karena dirampok, aku benarbenar sedih, menangis sesunggukan di kedai kopi di Tanjungpinang. 3. Jadi Pemuncak Kelas Tetapi di SGB itu, aku belajar sesuatu yang sampai sekarang aku pegang kukuh. Jangan menyerah, dan jangan pernah mau jadi nomor dua. Ini tentang prestasi belajar. Di SGB itu, ada tradisi memberi penghargaan kepada siswa berprestasi dengan istilah Pemuncak Kelas. Siapa yang punya nilai rapor paling baik, dia akan menerima piala bergilir sebagai pemuncak kelas. Kalau angka rata-ratanya lebih tinggi daripada kelas-kelas yang lain, dia akan menerima penghargaan piala Pemuncak Umum. Sejak kelas satu, aku bertarung habis-habisan untuk merebut piala pemuncak itu. Aku ingat di kelasku hanya ada dua lawan ter-

87


Bersama teman-teman sekelas k l di d SGB Negeri Tanjungpinang, ketika k k kami menamatkan studi di sekolah itu, tahun 1961. Aku di baris paling depan, paling kanan, jongkok. Di barisan kedua, di tengah baju putih lengan pendek, Pak Gultom, guru Aljabar yang membelikan sepatu, karena sepatuku sudah koyak.

88


berat. Satu namanya Abdulkadir, anak Letung, Pulau Tujuh. Dia ini adalah siswa penerima hadiah Sin$ 4.000 karena keluar sebagai siswa yang memiliki nilai ujian penghabisan SD paling tinggi se-Kepulauan Riau, itu. Nilainya 33 untuk empat mata pelajaran (Berhitung, Ilmu Bumi, Sejarah dan Ilmu Alam). Sedangkan aku, ketika itu hanya meraih nilai 30. Lawan kedua, namanya Jumadi B, anak mandor perkebunan karet dari Kepala Jeri, di sekitar Pulau Batam. Dia jago ilmu pasti dan nilai hasil ujian akhirnya waktu SD, 32, dan nilai Berhitungnya di hasil ujian itu, sepuluh. Semangat harus merebut juara, tak akan jadi nomor dua, membakar aku habis-habisan. Karena sering ceroboh dalam ilmu pasti, baik Geometri (waktu itu ilmu ukur), Aljabar dan Berhitung, maka aku habis-habisan di pelajaran pengetahuan umum, seperti Sejarah, Ilmu Bumi dan Ilmu Alam. Aku ingat, dari 12 kali anugerah pemuncak selama empat tahun (satu tahun tiga kali, karena tahun ajaran dibagi dalam tiga kwartal atau per empat bulan), maka aku merebutnya sepuluh kali dan hanya Jumadi yang merebut dua kali. Sementara Abdulkadir, telah kami sisihkan. Aku ingat betapa aku bangga mengangkat piala sebagai pemuncak di tengah-tengah lapangan di antara ratusan siswa SGB dan SMP II Tanjungpinang. Sayang memang, karena ibuku tak sempat hadir, karena waktu itu memang tak ada tradisi orang tua harus hadir. Apalagi, piala pemuncak itu piala bergilir. Sehabis diberi kepada pemenang, diambil kembali, hanya nama kita yang diukir di plate tembaga yang seterusnya menempel di piala itu. “Ismail Kadir, pemuncak umum kwartal I tahun ajaran 1956/1957“, begitu tulisan itu terbaca, dan aku selalu dengan nada berkelakar memberitahu teman-teman sekelas. �Aku mau namaku 12 kali ditempel di piala-piala itu,“ kataku dengan nada temberang.

89


Semangat untuk tidak akan menjadi nomor dua, yang sebetulnya sudah ditanamkan oleh Pak Zahid Yunus ketika aku masih di SD, terus terbawa sampai ke Tanjungpinang, bahwa kalau dalam pertarungan merebut suatu tujuan kita ternyata kalah, itu bukanlah suatu melapetaka. Yang harus tetap dikibarkan adalah semangat untuk terus berjuang, terus menjadi yang terbaik dan terus menjadi yang terdepan. “Membuat sejarah�, begitu selalu aku membakar semangat anak-anakku atau teman-teman kerjaku kemudian. Di KPG (Kursus Pendidikan Guru), yang setara dengan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) pengganti SGA, aku juga tetap ingin jadi yang terbaik. Sampai-sampai guru Psikologiku, Ibu Dra Tien Kartinah (almarhumah), istrinya Pak Djauzak Ahmad, Kepala SPG, harus menempatkan aku di kursi khusus dalam kelas kalau lagi ujian, karena teman-teman, akan berusaha keras bagaimana mendapatkan kertas ujianku. Memang aku diberkahi otak yang IQ-nya lumayan. Tetapi aku tak pernah menempatkan IQ sebagai segala-galanya dan tidak mempedulikan proses belajar. Aku tetap kerja keras dalam belajar dan melakukannya secara cerdik. Selalu membawa buku ke mana pun pergi, membaca beberapa jam sehari, membuat catatan dan resume pelajaran dan belajar dari kesalahan. Itulah yang membuat aku tetap dapat meraih filosofi hidupku. Ketika menjadi guru SD pun aku bekerja keras untuk menjadikan sekolah tempat aku mengajar, sebagai sekolah unggul. Dalam ujian penghabisan SD misalnya, aku habis-habisan mengajar murid-muridku, agar yang lulus ujian itu 100 persen. Karena itu, bertahun-tahun aku ditempatkan di kelas enam dan menjadi pemukul gong bagi prestasi sekolah kami. Lulus 100 persen dan keluar sebagai peraih nilai Ebtanas tertinggi. Itulah targetnya.

90


4. Belajar Sampai Tua Meski begitu bukan tak pernah gagal. Misalnya, aku gagal menyelesaikan S1-ku di Fakultas Ilmu Pendidikan Unri (Universitas Riau) sebagai mahasiswa tugas belajar. Panggilan untuk menjadi wartawan dan seniman lebih besar dibandingkan jadi guru. Akhirnya aku lebih banyak bolos daripada masuk kuliah dan akhirnya aku kembali ke Tanjungpinang. Untuk tetap memiliki wawasan intelektual yang sejalan dengan perkembangan waktu, maka aku memilih belajar sendiri, dengan membaca dan membaca. Ini ternyata memberi aku lebih banyak andil dalam mengembang visi dan wawasan intelektualku. Setelah jadi penerbit koran Riau Pos, aku punya kesempatan ikut pendidikan dan latihan bisnis, melalui pelbagai program. Bagi aku, mengikuti program itu memang lebih kepada kepentingan kerjaku memimpin perusahaan, bukan karena ijazahnya, apalagi gelar akademis. Bagiku, paling tidak melalui pendidikan dan pelatihan itu, aku dapat memahami beberapa bagian penting dari manajemen. Seperti masalah organisasi, akuntasi dan marketing. Ini aku perlukan, seperti yang selalu aku candakan dengan teman-teman sesama penerbit, “agar tidak dibohongi bawahan.� Aku beruntung ketika mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan itu aku memperoleh pemahaman yang lebih mendalam dan luas tentang berbagai aspek management karena beberapa instrukturnya kuanggap sangat kuslifait dalam bidangnya seperti Doktor Djazuli Imam Suroso dari Universitas Airlangga, Surabaya, Doktor Ir.AM Syaifuddin dari IPB, pakar marketing pertanian dan politikus PPP dari Bandung, dan sejumlah pakar ekonomi, akounting dan SDM dari Airlangga, Unpad dan UI. Bagi aku yang berlatar belakang seorang jurnalis, pemahaman tentang aspek bisnis dengan seluk-beluknya, adalah penting, terutama untuk bekal dalam mengambil suatu keputusan. Tetapi, aku sa-

91


92


dar, sekolah yang paling banyak memberi kita pelajaran berharga, adalah pengalaman itu sendiri. Makin kaya kita dengan pengalaman, maka makin arif kita dalam mengambil suatu keputusan. Kemudian menjelang akhir tahun 1999, aku berkesempatan bersama beberapa pimpinan anak perusahaan Jawa Pos Group, berangkat ke Amerika Serikat untuk memperdalam Bahasa Inggris. Aku belajar di Lembaga Pendidikan EF (English First) di Los Angeles, California selama lebih satu bulan. Sedangkan teman lain sepeti Zainal Muttaqin (Kaltim Pos) di Boston, Suparno (Sumatera Ekspress) di Pasadena, Ibu Ratna Dewi (Direktur Jawa Pos) di San Diego, Margiono (Rakyat Merdeka) di Boston, dan beberapa teman lain seperti Himawan Mashuri (Manado Pos) dan Eddy Nugroho (Manager Iklan Jawa Pos), di New York. Lucu juga belajar bersama anak-anak muda dari berbagai bangsa pada usia kita sudah di atas 50 tahun. Untung ada teman dari Brazil yang juga sudah berkepala lima dan satu dari wanita dari Turki. Tapi, masa belajar kan tak terbatas. �Belajarlah sampai tua,“ kata orang bijak. ***

93


94


BAB VI SEBUAH BENTENG AIR MATA

1

Pasangan Guru yang Miskin Pohon rambutan itu kelihatan ranggas. Matahari tembus menerobos daun-daunnya yang tipis, menghunjam ke tanah. Tetapi di sekitar tempat itu, hanya pohon itulah yang dapat dijadikan tempat berteduh, di sore hari. Ada sisi-sisi teduhnya, yang jika tahan duduk di sana menjelang sore, akan menjadi tempat istirahat yang lumayan. Jauh dari kegaduhan, tetapi dekat, jika perlu segera pergi atau pulang. Di situlah dia duduk, hampir tiap hari, setelah pukul 2 siang. Itulah saat-saat dia pulang dari tugas mengajar dan kembali ke rumah. Langsung menyambar anaknya yang berusia sekitar sebelas bulan lebih, menggendongnya dan duduk di bawah pohon rambutan itu tiap sore, sampai tiba waktunya memandikan si kecil, kemudian masak untuk makan malam. Kadang-kadang saat duduk di situ, ada tetangga datang dan mengajak berbual-bual. Kadang-kadang ada adik-adiknya yang perempuan muncul dan membawa si kecil sebentar untuk berjalan-jalan ke tempat lain dan dia tetap di situ, sampai si kecil kembali. Begitulah hampir tiap hari, lebih dari lima bulan. Itulah kali pertama aku meninggalkan istriku, Asmini Syukur, saat aku mendapat kesempatan tugas belajar di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Universitas Riau (Unri), di Pekanbaru. Kami menikah, 28 Februari 1970 dan 28 Agustus tahun 1971, lahir anak

95


kami yang pertama dan kami beri nama Mohammad Nur Hakim. Aku memberinya nama itu karena terpengaruh dengan kasus penyidangan tokoh pers Indonesia Mohd TD Haffas, Pemimpin Redaksi Harian Nusantara yang dituduh melakukan hatzaai artikelen (menista dengan menggunakan tulisan), oleh pemerintahan Soeharto. Aku kagum kepada Haffas yang berjuang untuk kebenaraan, maka anakku yang lahir di saat-saat Haffas sedang diadili, kuberi nama Mohd Nur Hakim, yang artinya Cahaya Kebenaran. Sebuah nama yang amat berat dipikul oleh anakku itu. Istriku lahir tahun 1949, di Kijang, ketika ayahnya Syukur Ismail, bekerja di perusahan penambangan bouksit itu. Ayahnya, di Tanjungpinang dikenal sebagai pemusik dan pemain biola yang andal dan sampai menjelang akhir hayatnya, dia bekerja sebagai karyawan di kantor Dinas Pekerjaan Umum, Kepulauan Riau. Aku dan istriku berkenalan saat dia menjadi siswa di SPG Negeri Tanjungpinang, di mana aku juga bersekolah di sana, di KPG. Walaupun sebenarnya, ketika aku sekolah di SGB, kami sudah satu gedung. Sebab dia sekolah di sana sebagai siswa SMP Negeri 2. Namun karena masih sangat muda, kami tak sempat berkenalan. Kami baru tahu satu sekolah, setelah kami menikah. Proses perkenalan kami dan kemudian saling jatuh cinta memang tidak terlalu lama. Sekitar enam atau tujuh bulan dan kemudian kami sepakat untuk menikah. Waktu kami menikah, dia sudah diangkat menjadi guru SD. Sementara aku memang sudah agak lama menjadi guru. Proses jatuh cinta itu pun khas anak muda waktu itu. Penyebabnya adalah ploncoan. Waktu itu, kami yang sebelumnya sudah mulai saling kenal, sama-sama melanjutkan sekolah ke PGSLP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama), sekolah yang mendidik calon guru untuk SLTP, setelah aku tamat KPG dan dia tamat SPG. Kami memilih jurusan berbeda. Dia memilih

96


jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), dan aku, ya, karena berdarah seniman, memilih jurusan senirupa. Nah, dalam suka duka jadi siswa yang di pelonco itulah, kami berkenalan lebih dekat. Sering jalan bersama, makan bersama, dan tolong-menolong tugas, bikin topi plonco, bikin tugas, dan cari tanda tangan. Meskipun tak sesadis mampram sekarang. Pacarannya juga tidak sangat istimewa. Kalau pulang sekolah, dan makan di pinggir jalan, seperti makan mie siam, atau rujak, kebanyakan dia yang bayar karena dia yang punya banyak uang. Sementara aku, kalau sudah kepepet, ya ngutang dengan mbok penjual mie Siam. Sampai sekarang, kalau aku lewat di jalan pinggir laut, Tanjungpinang, melintas di taman bunga (begitu tempat itu dinamakan waktu itu), aku ingat kisah cinta kami, dan ingat si mbok yang baik hati karena bisa diutangin. Kami sama-sama tak selesai belajar di PGSLP itu. Keluar di tengah jalan, karena sering bolos. “Ah, tak bisa jadi pelukis, kalau sekolahnya di sini,� dalihku waktu itu. Kami menikah memang tak begitu mudah. Pekerjaan seorang guru SD ketika itu memang tak begitu menjanjikan untuk menjadi seorang menantu. Gaji kecil, tak punya apa-apa, dan ya miskin. Apalagi aku benar-benar yatim piatu. Tak ada yang bisa diandalkan. Aku tahu calon mertuaku, meskipun sangat baik dan ramah, tetapi agak ragu untuk menerima aku sebagai calon menantunya. Khawatir anaknya terlantar. Berkali-kali, waktu aku mampir ke rumah calon mertuaku menjemput anaknya untuk diajak pergi, sang calon mertua mengatakan, “Apa Nak Mail ini sunguh-sungguh? Apa memang sudah siap?“ Tapi karena kami berdua sudah cinta berat, ya, tentu aku katakan siap. Untuk membujuk hatinya, pulang pacaran aku bawa sang Calon Mertua itu goreng pisang atau sate. Maka akhirnya kami berhasil meyakinkan calon mertuaku. Beberapa bulan sebelum kami menikah, calon mertua lelaki-

97


ku bertemu dengan saudaranya yang sudah puluhan tahun tak bertemu. Saudara lain ayah, tapi satu ibu, yang sudah lama mencari abang tertuanya itu. Dia rupanya menetap di Jakarta. Ketika mereka mendapat kabar, calon mertuaku yang merupakan saudara mereka yang tertua ada di Tanjungpinang, maka datanglah Yasid, salah seorang dari saudaranya itu ke Tanjungpinang untuk mengecek benar tidaknya. Setelah pasti, diajaklah calon mertuaku itu ke Jakarta bertemu dengan ibunya yang ternyata masih hidup dan menetap di Tanjungpriok. “Mamak di Jakarta, benar-benar rindu,” begitu cerita Paman Yazid, begitu saudara calon mertuaku itu dipanggil. “Ke Jakarta lah, biar Abang Syukur melepas rindu dan sekalian berobat di Ja-

“Menganggap Orang Tua Sendiri” A S M A H - Ibu mertua, Tanjungpinang

L

EWAKTU Rida jadi guru SD 1, anak saya, Asmini menjadi guru di SD 5 di Tanjungpinang. Sebagai g guru SD tentu biasalah mereka berkenalan. la Ada guru lain yang menghubungkan keduanya. Waktu saya diberitahu, saya mek nanggapinya biasa saja. Sebagai ibu, saya n tanya siapa nama dan di mana kerjanya. t Saya diberitahu oleh guru teman Asmini, S namanya calonnya Ismail Kadir dan kerjanya juga guru SD. Saya hanya katakan, ‘’Kalau betul-betul mau sama anak saya, apa salahnya. Tapi saya belum kenal orangnya.’’ Dalam waktu tiga bulan, perundingan pun dilakukan. Waktu itu tak ada pakai tanda tunangan. Utusan keluarga Rida yang datang adalah Salamah (almarhumah). Acara pernikahan dilakukan di rumah lama (kami menyebutnya rumah bawah karena letaknya

98


karta,� katanya membujuk . Kebetulan waktu itu, calon mertuaku itu memang sedang sakit dan sudah agak menahun. Tawaran dari saudaranya itu merupakan kesempatan baginya untuk berobat dan sekalian bertemu saudara-saudaranya itu. Maka seluruh keluarga calon mertuaku lalu pergi ke Jakarta, termasuk calon istriku. Mereka menumpang kapal Tampomas. Aku waktu itu sempat cemas juga, karena menduga jangan-jangan mereka tak kembali lagi ke Tanjungpinang. Apalagi dari cerita sang paman yang datang dari Jakarta itu, calon istriku akan disuruh sekolah lagi di Jakarta, dan lain-lain rencananya. � Jangan-jangan, mereka ingin memisahkan kami,“ dugaanku waktu itu. Apalagi perginya juga lama, hampir dua bu-

agak rendah dari rumah sekarang). Asmini sebenarnya bersaudara sebelas orang. Ayahnya, Syukur Ismail, pegawai Kantor PU Bagian Gudang di Tanjungpinang. Beliau meninggal dunia akibat sakit semput. Di antara sebelas orang saudara Asmini yang masih hidup sampai kini delapan orang. Kedelapan anak kami adalah Sukarman, kerja di Syahbandar; Asmini, istri Rida; Asmida, guru SD; Subarna, karyawan Batam Pos; Sukri Permana, kerja tukang di Malaysia; Asmaida, karyawati di Tanjungbalai Karimun; Asnida, karyawati Riau Pos dan Sudarma. Ayah Asmini setelah berhenti jadi pegawai PU, mengajar musik khususnya main biola. Nama orkesnya Pancaran Sukma. Kelompok orkesnya ini sering tampil di RRI Tanjungpinang. Bahkan kelompok ini main musik sampai ke Pekanbaru dan Dabo. Setelah menikah, Rida tinggal bersama kami sampai lahir anaknya yang keempat. Sewaktu lahir anak pertama, Rida sudah mulai menjadi wartawan. Saya tahu karena di malam hari dia selalu mengetik berita. Jadi guru masa itu, gajinya kecil. Kadang-kadang kami juga ikut bantu. Seingat saya, Rida itu sangat hormat pada orang tua. Sikapnya tidak kasar. Saya ini sudah dianggapnya sebagai orang tuanya sendiri.***

99


Keluarga besar Syukur Ismail (mertua) foto bersama pada hari pernikahan. 100


lan. Tetapi rupanya mereka pulang. Ketika proses lamaran disampaikan, calon mertuaku menjawab, “Ya, segera sajalah menikah.” Dalam tempo dua bulan, kami pun menikah. Istriku itu, adalah anak yang pertama di keluarganya yang menikah, maka tak heran banyak saudaranya yang datang. Termasuk neneknya yang di Jakarta, datang cukup ramai ke Tanjungpinang. Hanya aku sajalah, yang, tak ada sesiapa yang datang karena memang tak punya siapa-siapa lagi. Kecuali teman-teman dekat, sesama guru, seperti M Saleh Dju, tempat aku meminjam jas untuk kawin; Salikin, teman sesama guru yang paling akrab, dan Burhan, karyawan apotik Kimia Farma Tanjungpinang, tempat aku selalu pinjam uang, termasuk untuk kawin. Sesuatu yang tetap aku ingat sampai akhir hayat, ketika kami akan menikah, cincin emas kawin yang aku berikan pada calon istriku adalah cincin emas pinjaman. Aku meminjamnya dari Pak Zainal Anang, yang dulu pernah jadi guruku di SR Bakong ketika aku mulai masuk sekolah. Pak Zainal yang dalam perjalanan karir gurunya, akhirnya pindah ke Tanjungpinang, dan kebetulan mengajar di SD Negeri 1 Tanjungpinang, tempat aku juga menjadi guru di situ. Kami bertemu lagi dan dia menjadi ayah bagiku saat itu. Dialah yang meminang ke rumah calon istriku. Kepada dialah aku mengadu bahwa aku tak punya apa-apa untuk emas kawinku. “Tak apa, pinjam saja cincin kawin Mak Cik-kau, nanti sudah kawin, kembalikan,“ katanya enteng sambil terkekeh-kekeh. Dia memang penggurau sejak dulu. “Itu namanya sulih mata”, katanya lagi. Hal itu aku ceritakan kepada calon istriku. Ya, yang namanya cinta, dia setuju saja. “Nanti kalau sudah kawin, kalau cincin kawinnya sudah dikembalikan, dan kalau ada yang tanya ke mana cincin kawin-

101


nya, bilang aja dijual, tak ada duit,“ kataku berkelakar. Begitulah. Tapi setelah aku mampu, aku tak melupakan kejahilan yang aku lakukan itu. Aku ganti cincin kawin itu dengan yang lebih baik, meski aku lupa entah berapa tahun kemudian. 2. Mahalnya Sebuah Ambisi Setelah menikah, memang tak mudah kami mendayung bahtera hidup kami. Kadang-kadang saat-saat kami tegang dan tak mau saling mengalah, aku sering bertanya, “Apakah kami kawin terlalu cepat? Apakah kami belum puas dengan masa remaja kami? Apakah memang kami belum siap seperti yang dicemaskan mertua lelakiku?� Rasanya tidak. Usiaku waktu kawin sudah 26, walaupun memang termasuk muda. Masa remajaku juga tidak terlalu terasing. Setelah aku melanjutkan sekolah ke Tanjungpinang, praktis masa remajaku bergerak dalam tradisi masyarakat perkotaan. Jatuh cinta di masa remaja, berpacaran, putus, berpacaran lagi dan seterusnya. Meskipun tidak mengenal tradisi pesta dan kelab malam, tetapi aku biasa ke bioskop, bebas pulang malam dan perangai anak muda lainnya. Saat-saat santai, aku selalu bercerita pada istriku tentang masa-masa cinta monyetku. Siapa yang dulu pernah kukejar-kejar untuk dipacari, di mana dia kini, jadi apa dia dan lainnya. Istriku, memang relatif lebih muda, yaitu 20 tahun. Mungkin masa remajanya agak pendek. Tetapi dia bukan gadis kampung. Dia hidup di kota, berteman dengan banyak remaja sebaya, yang juga menjalani masa remaja mereka dengan ceria. Jadi, rasanya, kami memang sudah-sama siap untuk menikah dan merasa sudah dewasa. Tetapi, bak kata orang, hidup berumah tangga itu, seperti sendok dan piring, pasti akan selalu terantuk. Cemburu, muak, geram, jengkel adalah bagian dari romantika cinta sebuah rumah tangga. Kami bertempur melawan berbagai

102


ancaman itu, dan jatuh bangun di tengah romantika hidup rumah tangga kami. Banyak kejadian dan hal yang membuat kami berdua, jika mengingatnya lagi, terpingkal-pingkal, atau bahkan, berlinang air mata. “Tak menyangka ya, bisa terus begini,” katanya, satu hari, ketika kami merayakan berdua hari ulang tahun perkawinan kami yang ke-25, di sebuah sudut taman terpencil, di kota Mersing, Malaysia. Ambisi itu, memang sering harus dibayar mahal. Itulah yang selalu aku rasakan, dalam peta hidupku. Misalnya, tahun 1972, ketika si kecil Muhammad Nur Hakim berusia sebelas bulan. Atas permintaanku sendiri aku memperoleh kesempatan tugas belajar ke Unri, di Pekanbaru. Dengan biaya sendiri dan semata-mata karena aku ingin belajar lagi dan jadi sarjana. Kebetulan ketika itu, ada kesempatan bagi guru SD yang mau dan dianggap mampu secara intelektual, untuk tugas belajar. Paling sedikit empat tahun. Aku mendapat kesempatan itu bersama teman guru lainnya, seperti Wan Izhar (sudah almarhum, dan pernah jadi Wakil Wali Kota Tanjungpinang). Dua teman lain sudah berangkat tahun sebelumnya yaitu Hamidun dan Wagiman. Keputusan nekat dan karena ambisi yang meluap-luap membuat aku tak terlalu memperhatikan pertimbangan keluarga. Aku dan istriku, sama-sama guru SD. Dia mengajar di SD Negeri 5 di Tanjungpinang dan aku di SD 1. Kalau dilihat penghasilan kami berdua ketika itu, sebetulnya memang belum waktunya aku sekolah lagi di tempat lain. Meninggalkan rumah, anak, dan harus punya dapur dua. Istriku keberatan, karena selain memang berat secara ekonomi (toh kami pun ketika itu masih tinggal di rumah mertua), juga baru dua tahun lebih kawin. Tetapi, karena semua itu dengan janji memperbaiki masa depan, ya, dia mengalah. “Kelak, kalau keadaan sudah baik, kita kumpul di Pekanbaru”, kataku membujuk. ”Kan temanteman yang lain juga begitu”, kataku lagi.

103


Foto keluarga pada suatu hari raya, berdiri dari kiri ke kanan anakku Shanti Novita, Indra Rukmana, Teddy Jun Askara, Oktavio Bintana, Shinta Dewi, dan Muhammad Nur Hakim.

Tetapi, ternyata memang tidak mudah. Yang terberat adalah masalah anak yang masih kecil dan kerap pula kurang sehat. Untuk pulang menjenguk ketika itu, adalah perjalanan yang jauh, hampir 36 jam berlayar dengan kapal dari Pekanbaru ke Tanjungpinang, melalui laut dan Sungai Siak. Belum ada pesawat terbang Pekanbaru-Tanjungpinang. Kalaupun ada, dengan gaji Rp3.500.per bulan, pastilah semuanya itu omong kosong. Sementara aku, memang belum pula benar-benar siap untuk belajar. Kehidupan menyeniman, terus menggangguku. Lebih banyak berkumpul dengan beberapa seniman muda di Pekanbaru dibandingkan ke bangku kuliah. Lalu hidup mengembara dari satu rumah ke rumah lain dari kamar teman satu ke kamar yang lain, membuat semua jadi berantakan. Akhirnya aku juga tak tahan dan mungkin

104


lebih karena kerinduan kepada anakku yang masih kecil, maka lima bulan kemudian aku kembali. Menyerah dan minta kembali menjadi guru dan mengajar lagi. Aku akhirnya ditempatkan di SD Negeri 9, dengan kepala sekolah Rusli Bono (kini almarhum), kembali bergulat dengan kapur tulis, dengan murid-murid yang berbagai perangai, dan kembali membangun mimpi-mimpi baru. Tahun-tahun setelah gagal kuliah itu, aku mulai lagi ambisiku jadi wartawan, dan mulai menulis di mana-mana. Tahun 1976, setelah aku resmi diterima majalah TEMPO sebagai koresponden, aku kembali memutuskan berhenti jadi guru. Pekerjaan sebagai wartawan itu, kembali membuat aku sering berpergian lagi, dan pergi meninggalkan rumah untuk beberapa lama, akhirnya jadi menu lagi bagi rumah-tangga kami. Kadang-kadang aku ada penugasan ke Pekanbaru, meliput berita yang usulannya diterima TEMPO, lebih seminggu baru pulang. Lalu ada penugasan ke daerah-daerah lain, termasuk ke luar negeri dan lainnya. Belum lagi perjalanan mengikuti beberapa kunjungan gubernur, bupati atau pejabat lain, seperti Panglima Kodamar II (pejabat TNI AL yang bermarkas di Tanjungpinang semasa itu) dan lainnya. Pada mulanya memang terjadi konflik yang cukup melelahkan untuk diselesaikan. Masih sama-sama muda dan keras hati. Dia dari keluarga yang terbiasa selalu ramai dan jarang sendiri, karena punya saudara kandung delapan orang. Masih komplet ayah-ibunya, ketika kami menikah. Hanya aku yang sebatang kara, tidak lagi punya ibu atau ayah. Karena itu, bagiku, keluarga istriku, terutama ibu mertuaku dalam hal-hal tertentu sudah menjadi ibu kandungku. Apalagi ibu mertuaku Asmah, sangat baik, dan persis seperti ibuku. Tak banyak bicara. Kalau kami bertengkar, ibu mertuaku selalu memihakku. Ayah mertuaku pun begitu. Kalau kami lagi berantam, pagi-pagi ayah mertuaku mengajak aku pergi

105


ke pasar, dan kami duduk minum kopi di kedai kopi A Tong. Di situ, sambil menghirup kopi, sang mertua memberi aku sarapan pagi, berupa nasehat. �Sabarlah, Nak Mail. Biasalah, masih samasama muda. Bapak juga dulu begitu,“ katanya. Aku mengangguk. Siangnya, sehabis menguber dan mengirim berita, aku mengalah, dan minta maaf. Ya, begitulah selalu. Mengalah, karena sadar memang perlu waktu untuk meyakinkan, betapa jadi istri wartawan itu, memang repot. Bepergian sampai berminggu-minggu, akhirnya jadi menu, jadi bumbu dan kadang-kadang aku harus menelannya dengan pedas. Bukan hanya ketika menjadi wartawan majalah berita mingguan TEMPO. Setelah itu pun, problem sering berpisah dengan keluarga menjadi bagian dari mata rantai karir jurnalistikku. Ketika aku menerbitkan SKM Genta di Pekanbaru, misalnya, lebih dari setahun hidup terpisah. Kadang-kadang aku pulang dua minggu sekali, kadang-kadang sebulan sekali. Lalu, waktu menjadi wartawan Suara Karya, aku juga meninggalkan rumah sampai dua bulan, seperti ketika ditempatkan di Lampung, di Jakarta atau di Surabaya. Dalam kapasitas sebagai pengelola beberapa perusahaan dari kelompok Riau Pos Group pun , aku selalu berpergian, meskipun relatif lebih singkat waktunya dan sering terjadwal pada hari-hari tertentu dan kadang-kadang dia ikut serta, apalagi setelah dia pensiun. Kadang-kadang hanya empat hari di rumah. Sabtu sampai Selasa. Kemudian Rabu sampai Jumat pergi. Entah ke Batam, Medan, Padang, atau ke Surabaya atau Jakarta. Begitulah terus menerus selama bertahun-tahun kemudian. “Rumahnya di pesawat,“ begitu istriku selalu meledek jika ada teman-temannya menanyakan gaya hidupku. Pada mulanya, pemberontakan sang istri sangat keras. Setiap akan berangkat, langkahku diiringi dengan wajah keruh dan air matanya. Entah pedih, entah kecewa, entah ikhlas, entah den-

106


dam. Tetapi, sang jurnalis, terus berjalan. Terus membujuk untuk bersabar, terus bermimpi satu hari nanti, akan ada kesepahaman, saling pengertian, bahwa dalam karir jurnalistik, apalagi masih sebagai seorang reporter atau koresponden, pergi bertugas, adalah menu dan kenyataan yang harus diterima. Sebab, bagiku, ketika itu, bukan realitas harus meninggalkan anak dan istri saja yang harus dihadapi, tetapi juga realitas hidup sebenarnya. Di satu saat, aku berdampingan dengan para pejabat, dengan gubernur, makan yang enak, ketawa dan tidur di hotel yang nyaman. Besok atau lusa, begitu kembali ke rumah, harus menghadapi realitas, kembali kepada komunitas seorang wartawan di daerah. Di rumah yang sempit, perabot yang sederhana, keperluan yang harus ditakar dan pendapatan yang harus diirit. Ambiguitas! Tetapi akhirnya, perjalanan waktu bertahun-tahun, pengalaman untuk saling mengerti bertahun-tahun, membuat kami berubah. Lebih saling memahami, lebih saling mengerti dan lebih saling bertenggang rasa. Dia perlahan-lahan berubah dan kemudian menjadi sebuah benteng. Tangguh dan keras. Berkali-kali dia dihadapkan pada pilihan yang sulit dan merambangkan masa depan kami, tetapi dia dapat menerima dengan lapang dan optimis. Optimis seorang istri yang memendam banyak harapan dan keinginan, optimis seorang ibu yang begitu memandang mata anak-anaknya, senantiasa berharap bahwa suatu hari, pengorbanan dan saling pengertian itu, akan memberi makna bagi kehidupan mereka. “Kita ini bekerja, kan untuk anak-anak,� begitu dia selalu berkata dan aku selalu setuju untuk itu. Kami beruntung, karena saudara-saudaranya, terutama yang perempuan, selalu menjadi bagian dari hidupnya. Sehingga, meskipun dia kesepian dan repot mengurus anak, namun beban itu menjadi ringan karena saudara perempuannya ikut membantu. Asmana, misalnya, adiknya yang

107


Aku dan istriku, di Kuala Lumpur, Malaysia.

nomor empat, lama tinggal bersama kami. Menjaga anak-anak kami, membantu memasak, mencuci, sampai akhirnya dia menikah, baru berpisah. Selama ikut kami, dia kami bantu bersekolah, sampai SLTA. Bahkan, dalam kesibukan aku berkesenian, dia ikut ketularan, karena aku latih menjadi pembaca sajak yang baik. Beberapa kali memenangkan lomba baca sajak di Tanjungpinang. Adik istriku yang paling lama menjadi bagian dari keluarga kami adalah adik perempuan istriku yang paling kecil, Asnida. Dia sudah bersama kami sejak umur lima tahun, sedikit lebih tua dari anakku yang paling sulung, Mohd Nur Hakim. Masuk sekolah SD, ikut pindah ke Pekanbaru dan masuk SMP di sini. Pindah lagi ke Tanjungpinang, dan pindah sekolah sampai akhirnya tamat SMA. Begitu aku pindah lagi ke Pekanbaru dan memimpin

108


Riau Pos, dia ikut juga bersama kami. Aku membawanya bergabung ke dalam harian Riau Pos. Mulai sebagai tenaga administrasi, lalu jadi sekretaris redaksi, pindah menjadi kepala bagian iklan. Akhirnya sampai menjadi salah seorang manejer, dan kini salah seorang Direktur di PT Riau Pos Intermedia, yang menerbitkan harian Riau Pos. Kemudian, aku percayakan juga menjadi komisaris dan direktur di beberapa anak perusahaan Riau Pos Group. Dia menjadi teman kakaknya dalam menghadapi berbagai kesulitan, dan dia menjadi bagian dari hidup dan inspirasi kami, jatuh bangun. 3. Memahami Artinya Harapan Aku tahu, kadang-kadang istriku limbung. Setelah menikah denganku, misalnya, dia harus menerima kenyataan bahwa aku memutuskan berhenti jadi guru. Betapapun kecil gaji guru, sebenarnya, pekerjaan jadi guru adalah kerja yang, jika dilakukan dengan baik, akan selesai pada waktunya dan dapat pensiun. Sesuatu yang dapat menjadi bekal di hari tua. Sementara yang aku kejar adalah menjadi wartawan. Perusahaan swasta, yang dia juga tahu, waktu itu, setiap waktu terancam tutup jika pemerintah marah. Kami berdua pernah menangis, ketika tahu bahwa majalah TEMPO dibredel, dilarang terbit. Kami merasa kami bakal mengalami masa-masa yang sulit, karena aku akan memerlukan waktu lama, baru bisa mencari media baru. Meskipun dengan kemampuan jurnalistik aku, mungkin tak sulit bergabung dengan media lain. Untunglah kemudian TEMPO diizinkan terbit kembali. Tapi dia sudah sempat shock. “Itulah, berhenti lagi jadi guru,“ katanya seakan menyesal. Meskipun aku tahu itu, hanya kekecewaan sesaat, pada titik sebuah harapan tiba-tiba menghilang. Namun kemudian, dia kukuh lagi. Sebab, ternyata, tiga kali berhenti dari suatu jabatan di peru-

109


sahan pers, seperti di TEMPO, di Genta, di Suara Karya, padahal pada ketiganya, sumber penghidupan cukup memadai, dia cukup kuat untuk menerima itu. Dia sanggup memahami tentang kegelisahan dan ambisi seorang wartawan yang membawa mimpimimpi ke suatu tempat, yang dia pun tak tahu, apakah memang akan sampai. Dia tahu harga sebuah optimisme, sebuah harapan. Sebuah doa. Itulah yang aku tahu persis, apa yang dia lakukan. �Kok lama benar berdoanya?“ kataku berkelakar, bila dia selesai salat, doanya panjang, lebih panjang dari salatnya. “Ya, itulah yang dapat dilakukan. Mudah-mudahan Tuhan mengabulkannya,“ katanya. Doanya, tak pernah kedengaran, dan aku tak pernah tahu isinya. Itu milik dia sendiri. Kami memang pernah mengalami masa-masa sulit. Bahkan rasanya sangat sulit, terutama karena tingkat penghasilan yang kecil. Aku ingat di suatu siang, ketika kami sama-sama pulang dari mengajar, mendapati di rumah tak ada apa pun kecuali nasi putih, yang baru selesai dimasak. Kami berdua, masuk ke dalam kamar, membawa piring nasi sambil membawa piring berisi minyak bekas menggoreng (minyak jelantah) yang oleh istriku sudah diberi tambahan bawang dan sedikit cabai. Kami makan, sambil menyuapkan nasi dengan pelupuk mata masing-masing basah. Sangat terasa ketika itu, kami sangat miskin. Untunglah dua anakku yang ada waktu itu, Mohd Nur Hakim dan Shinta Dewi, makan di rumah neneknya, yang tak jauh dari rumah kami. Ketika itu kami memang sudah punya rumah sendiri, kecil dan hanya berukuran 5x6 meter, beratap daun rumbia. Memang terasa bebas dan bahagia tinggal di rumah sendiri. Tetapi, hidup tidak hanya perlu rumah. Menjelang lebaran, misalnya, aku terpaksa meminjam kursi dari sekolah untuk dipakai di rumah, mana tahu tamu-tamu mampir berhari raya. Ketika mampu membeli satu set kursi tamu bekas, aku memikulnya jalan kaki hampir 5 km, dari

110


rumah yang menjualnya di Kampung Skip, ke rumahku di kampung Bukit. Rasanya, meskipun bekas, sangat bahagia. Tetapi kemiskinan dan merasa sulit dari masa muda, banyak hikmahnya juga. Itu pelajaran tentang hidup yang sangat berharga. Agar kelak kalau Tuhan memberi rezeki yang lebih, kita tidak menjadi takabur, sombong dan tidak pandai bersyukur. “Jangan kencang-kencang membawa mobil. Hargai orang yang jalan kaki. Kita dulu kan pernah susah,” kataku mengingatkan anak-anakku setelah kami bisa naik mobil milik sendiri beberapa puluh tahun kemudian. Itu sebabnya kepada beberapa teman dekat, rasanya aku tak tega kalau melihat dia sulit dalam hidup. Sepanjang bisa dibantu ya dibantulah. Sering istriku tak paham kalau tiba-tiba aku minta dia menyisihkan sedikit rezeki kami untuk membantu seorang teman. ”Siapa itu?“ katanya. Aku cuma menyebutkan bahwa dulu, waktu aku masih susah, dia banyak membantu. Kalau aku tak bisa membantu dia secara langsung, aku bantu anak, atau istri mereka. ”Aku sangat berhutang budi pada mereka “ kataku. Kesabaran istriku untuk menerima segala kekurangan dan kesulitan hidup bersamaku, juga membuat aku sangat menghargai karirnya sebagai guru dan tidak mau dia mengorbankan karir itu semata-mata karena tidak ingin hidup berpisah-pisah. “Mamak tak usah berhenti jadi guru. Betapapun sulitnya,” kataku. Aku memang memanggilnya mamak sejak kami menikah dan dia waktu mula menikah memanggil aku Pak, tetapi setelah anak pertama kami lahir, dia memanggil aku ayah, ikut anak kami Mohd Nur Hakim yang memanggil aku ayah. “Sebab, kalau terjadi apa-apa dengan pekerjaan ayah sebagai wartawan, kan masih ada gaji mamak yang bisa diharap. Masih ada pensiun,” begitulah aku selalu membujuk dan minta pengertian, ketika dia kadangkadang ingin berhenti saja jadi guru dan ikut denganku pindah ke

111


mana saja, sebagai wartawan. Akhirnya, dia mengalah, tetap bertahan menjadi guru, walaupun harus mengorbankan karir dan pangkat, gara-gara berkalikali bulak-balik, pindah. Bayangkan saja, teman-teman seangkatannya sudah jadi kepala sekolah, tetapi dia tetap guru biasa. Pangkatnya juga selalu terlambat naik. Baru setelah menetap di Pekanbaru, ketika aku sudah mapan memimpin Riau Pos Group, dia bisa menjadi Kepala Sekolah di salah satu SD di Pekanbaru. Itu pun kadang-kadang aku sedih. Mula-mula dia pindah ke Pekanbaru, dia ditempatkan di sebuah SD swasta di Tanjung Datuk, SD Dharma Utama. Sekolahnya sangat sederhana, muridnya sedikit. Ada satu kelas yang muridnya hanya 10 orang. Kelasnya berantakan, dan dindingnya keropos. Sekolah itu kemudian memang ditutup. Padahal, waktu itu, aku memimpin koran yang menjadi pemimpin pasar di Pekanbaru. Opininya berpengaruh. Masak aku tak bisa menolong dia, minta kepada kepala dinas agar dia mengajar di sekolah agak baik? Tapi, aku memang tak sanggup untuk menghadap kepala dinas dan minta dispensasi. Aku pikir, diterima pindah ke Pekanbaru, pun sudah syukur. Istriku pun tak terlalu ngotot. �Di situ bisa membolos lama, bisa ikut perjalanan ayah ke berbagai daerah, termasuk ke luar negeri,“ katanya berkelakar. Bertahun-tahun dia di SD itu, baru pindah ke SD sedikit baik di Kecamatan Sail. Di situ, karena dorongan kepala sekolah yang jadi teman baiknya, Syarifah Hafizah, akhirnya dia berambisi juga jadi kepala sekolah. Lalu ikut pendidikan jadi calon kepala sekolah, dan kemudian diangkat jadi Kepala SD 026 di daerah perumahan Purwodadi. Kemudian dia benar-benar menikmati jabatan kepala sekolah itu, dan bekerja keras agar sekolahnya itu tetap menjadi sekolah terbaik di sekitarnya. Dalam waktu hanya satu tahun, sekolah

112


yang dipimpinnya ditetapkan menjadi sekolah inti, dari sekolah yang dulunya hampir tak dikenal. Tahun berikutnya, sekolahnya sudah menjadi sekolah peringkat satu di lingkungan kelompok SD intinya, karena prestasi siswa yang baik. ”Bisa juga mamak jadi kepala sekolah, ya,“ katanya berkelakar. Dia bekerja keras untuk memajukan sekolahnya, dan dia sangat mencintai pekerjaan sebagai Kepala Sekolah. Sampai-sampai ketika ditawarkan jadi Pengawas Sekolah (PS) dia menolak, dan tetap memilih jadi Kepala SD sampai pensiun. 4. Air Mata Seorang Ayah. Ternyata yang jadi korban dan merasa pedihnya luka hidup dalam komunitas dan ambisi seorang wartawan, seperti aku, bukan cuma istriku, tetapi juga anak-anakku. Sepanjang masa perkawinan kami, kami dianugerahi enam orang anak. Muhammad Nur Hakim, yang lahir tahun 1971, Shinta Dewi (1974), Oktavio Bintana (1975), Teddy Jn Askara (1977), Indra Rukmana (1981) dan Shanti Novita (1982). “ Enam anak dalam waktu 12 tahun? Gila!“ begitu kami selalu bercanda jika capai berurusan dengan masalah anak-anak. Beranak banyak ini, bukan soal tak kenal Keluarga Berencana (KB), tapi karena kerap kebobolan. Ini juga mungkin keturunan. Aku memang dari keluarga besar, punya sebelas saudara kandung dan dua saudara tiri. Meskipun yang sampai dewasa hanya tiga seibu-seayah dan dua seayah. Sementara istriku, juga punya banyak saudara, meskipun yang sampai dewasa ada tujuh orang. Makanya, membayangkan rumpun berketurunan banyak ini, membuat kami geli membayangkan nanti kehadiran para para cucu dan mungkin juga cicit. Ada berapa puluh, ya?“ “Ya, udah, ikut aja ajaran lama. Banyak anak banyak rezeki. Banyak cucu, banyak yang mengurus saat pikun”, kata istriku.

113


Benar saja, saat ini, memang belum bercicit. Tapi yang namanya cucu, alhamdulillah, sudah 9 orang, dari ke enam-enam anak kami yang semua sudah menikah. Enam lelaki dan 3 perempuan, dan yang tertua sudah duduk di bangku SLTA. Aku menyadari, waktu yang tidak selalu cukup dan tidak selalu digunakan dengan baik untuk membesarkan dan mendidik anakanak, membuat mereka, kerap merasa tidak mendapat perhatian sepenuhnya. Aku sadari itu, hari demi hari, jam demi jam. Banyak protes yang dihadapkan padaku, secara terang-terangan, maupun melalui tindakan-tindakan penolakan dan juga cara mereka menyalurkan ekspresi yang kemudian sering membuat aku nyaris putus asa. Semua itu mulai aku rasakan setelah mereka memasuki usia-usia yang rentan terhadap berbagai masalah keremajaan mereka. Aku harus menyediakan banyak waktu untuk memahami mereka, untuk bertukar pikiran dan bahkan bertengkar dengan mereka, untuk mempertahankan satu keutuhan keluarga, satu otoritas sebagai seorang kepala keluarga, sebagai seorang ayah. Yang paling banyak menderita adalah Hakim dan Shinta, karena keduanya dibesarkan ketika aku masih sangat sulit. Aku ingat, tiap habis mengirim berita ke Jakarta, aku mencium tangan anakku Hakim. “Doakan, ya Nak. Tulisan ayah dimuat. Nanti kita beli baju,� kataku. Selalu dan seakan dari tangan anak yang polos itu, Tuhan menitipkan rezeki dan nikmatnya. Begitu juga ketika aku menerima surat keputusan diangkat menjadi koresponden majalah TEMPO, aku berlari pulang ke rumah dan mencium kedua anakku, Hakim dan Shinta, karena aku merasa dengan menjadi koresponden tetap TEMPO, aku akan dapat memberi lebih kepada anak-anakku. Anak-anakku yang lain memang dibesarkan ketika aku relatif lebih baik dari segi penghasilan. Penghasilan per bulan cukup dan sering dapat disisihkan untuk berbagai keperluan lain. Aku

114


misalnya, termasuk wartawan di daerah yang bisa punya sepeda motor, di saat teman lain, harus tetap jalan kaki. Istriku sering bercerita dengan bangga, ketika dia datang ke sebuah bank di Tanjungpinang, dan menerima kiriman uang gajiku, ratusan ribu rupiah. Teman-temannya sesama guru SD, heran melihat uang sebesar itu, ketika itu. ”Besar juga ya, gaji wartawan. Lebih besar dari gaji guru. Pantasan pak Mail berhenti jadi guru, dan jadi wartawan,“ kata teman istriku. Tahun 1980-an, gaji Rp750 ribu sudah sangat besar. Tetapi, aku juga menyadari memang waktu dan kedekatan dengan anak-anak jauh lebih penting daripada memberi mereka kelebihan belanja, oleh-oleh dan keperluan material lainnya. Aku, seakan selalu merasa bersalah, karena selalu memanjakan mereka dan selalu mengatakan, “Sudahlah, biarkan saja, kan aku ini bekerja untuk anak-anak,” kalau istriku protes karena aku terlalu memanjakan anak-anakku. Ternyata isteriku benar. Setelah aku bertemu dengan temanteman yang tampak berhasil secara material dalam hidup mereka, ternyata itulah umumnya kesalahan fatal yang dilakukan para ayah yang sibuk dan memperoleh sukses. Memanjakan anakanak, tanpa mempertimbangkan bahwa itu adalah racun yang justru merusak masa depan mereka. Istriku selalu mengingatkan aku pada film Malaysia lama, “Anakku Sazali” yang dibintangi oleh P Ramlee. Di film itu, si anak bandel, Sazali yang diperankan P Ramlee, sempat berkata pada ayahnya, “Kalau bapak tampar saya 20 tahun lalu, mungkin saya jadi anak yang baik. Tapi kalau tampar sekarang terlambat. Tak ada gunanya”. Artinya, kalau aku keras pada anak-anakku sejak kecil, mungkin kepedihan hati seorang ayah, seperti yang pernah kurasakan, tak akan terjadi. Tapi, aku memang tak bisa. Aku tahu itu, dan tahu itu memang salah.

115


Merayakan ulang tahun ke-59, sambil meluncurkan buku puisi “Tempuling� Memotong kue ulang tahun ke-66, 17 Juli 2009 yang dirayakan di Bukittinggi, disaksikan isteriku Asmini Syukur dan adiknya Asnida Syukur

116


“Tuhan tahu, doa yang paling banyak dan paling panjang yang aku mohonkan, adalah untuk anak-anak�, begitu selalu aku katakan pada istriku, kalau akibat kelakuan dan ulah anak-anak aku sering sujud bermenit-menit di sajadahku. Tetapi syukurlah, ternyata waktu juga bisa mengubah segala kecemasan sedikit demi sedikit, meskipun aku tak tahu berapa banyak air mataku yang sudah tumpah dan membasahi sajadahku untuk menumpah kesedihanku pada Tuhan, mohon agar anakanakku diselamatkan dari malapetaka, dan kehancuran hidup. Akhirnya, pergaulan dan pengalaman pribadi yang dialami mereka, bisa menjadi pelajaran berharga untuk membuat mereka menjadi lebih dewasa. Menjadi berubah, menjadi sadar. Perubahan melalui pengalaman hidup mereka itu, menjadi jauh lebih baik dari hembatan tali pinggang, dan tempeleng tanganku. Meski lama dan membuat hidup cemas. Meskipun tidak sangat luar biasa, anak-anakku mulai menemukan jati diri mereka. Untuk urusan sekolah, misalnya, mereka semuanya bisa menyelesaikan perguruan tingginya, meskipun ada yang dengan susah-payah dan memakan waktu lama. Cuma tak semua yang mengikuti jejakku mau jadi wartawan, atau jadi penyair. Tak apalah, biarkan mereka menjadi diri mereka sendiri. Itulah pilihan mereka. Mau jadi pengusaha, silakan. Mau jadi wartawan ya ayo. Mau jadi politikus juga ok. Dan ternyata tak satupun anak-anakku berminat jadi pegawai negeri. Begitupun, di usia yang makin bertambah, kadang-kadang aku selalu luluh dan menangis saat-saat sujud ke hadapan Tuhanku Yang Maha Mengetahui dan mengakui bahwa aku harus membayar sangat mahal untuk keluargaku ini karena proses perjalanan karirku yang bagai gelombang laut ini. Aku tak tahu sejauh mana anak-anakku kemudian memahami arti apa yang aku lakukan itu. Aku yakin suatu hari, mereka akan paham, mereka akan menya-

117


dari bahwa setiap karir, setiap upaya, betapapun kecil, selalu harus punya konsekuensi. Harus ada korban, harus ada yang mengalah, harus ada toleransi dan juga harus ada yang benar-benar sadar dan menanyai dirinya, “Apakah semua yang terjadi dan dilakukan itu, adalah yang terbaik untuk kita?” Untuk anak, istri, keluarga dan mereka yang menjadi bagian dari perjalanan hidup kita ini. Harus ada dan harus mau. Karena akhirnya mereka punya anak. Dan anak-anak itu juga akan segera berhadapan dengan badai kehidupan. Dan mereka itu, cucu-cucuku, yang aku berdoa tidak lagi akan menguras airmataku, tidak akan membanjiri sajjadahku. Subhanallah ! Kegamangan menatap masa depan, ternyata memang bukan terhadap diri kita. Tetapi lebih kepada mereka yang kelak akan mewarisi apa yang telah kita lakukan. Anak-anak dan cucu-cucu. Saat pulang kerja, melihat para cucu berteriak, bergurau,dan bertingkah lucu, aku selalu bertanya, “Jadi apa mereka ini kelak? Apakah aku sudah memberikan jalan yang lempang untuk mereka ke depan? Apakah, seperti kata Khalil Gibran, anak-anak dan cucu-cucu, adalah anak panah yang melesat ke masa depan, yang kita tak tahu di mana dia akan menancap, dan pada apa dia akan tertancap!” Sekarang aku tetap gamang. Kesalahan aku dalam mendidik anak-anakku dengan terlalu memanjakan mereka, juga tampaknya terjadi juga pada cucuku. Tak bisa menghindar, tak bisa hitam putih, tak bisa berkata tidak, saat aku menatap bola mata mereka yang bening, penuh harap, penuh kekaguman pada Opa nya. “Tuhan, jangan biarkan mereka hancur karena kealpaan dan ketidakberdayaan aku ...”. Si Benteng Air-mata, kini sudah pensiun, dan menyelesaikan pengabdiannya sebagai guru, sebagai pegawai negeri, dengan status terakhir Kepala SD Negeri oo6, Tampan. Apa yang dia ingin

118


ketika memasuki masa-masa tua sebagai pensiunan dan seorang Oma? Ternyata dia ingin sebuah keluarga yang utuh, kumpul di sebuah rumah, pada hari-hari tertentu. Bisa bersenda-gurau dan mengenang masa lalunya. Sangat konvensional sekali. Tapi tak apalah. Karena itu aku sejak lama berjanji, jika sudah mampu secara finansial, akan memberinya sebuah rumah yang cukup untuk dia nanti berkumpul dengan anak dengan cucu, sambil mengenang masa lalunya, sambil terus bersyukur bahwa kami telah melewati masa-masa yang sangat bergelombang, dari rumah mertua, rumah kontrakan, rumah sendiri yang diejek tetangga sebagai pondok penjaga durian, sampai sebuah rumah tempat anak cucu bisa berkumpul. Tuhan, terima kasih atas rahmat-Mu! ***

119


120


BAB VII DALAM GESEKAN BIOLA PAK YOSE RIZAL

1

Tergila-gila pada Chairil Anwar SGB Negeri Tanjungpinang, tahun 1957. Ketika itu, aku duduk di kelas satu dan sudah berada pada kwartal terakhir, tahun ajaran 1956/1957, sekitar bulan Maret. Hujan rintik terdengar meratap di atas genteng ruang belajar kami. Sebuah ruang belajar yang dindingnya dari papan dan dibangun di bagian belakang teras gedung SGB, yang merupakan salah satu bangunan peninggalan Belanda di Tanjungpinang. Kononnya, dulu itu gedung MULO (Sekolah Guru zaman Belanda). Karena kelas satu dan tahun-tahun terakhir penerimaan siswa SGB, maka kami kebagian kelas yang paling jelek itu. Sedangkan dua kelas lainnya, untuk kelas II yang masih ada dua kelas paralel dan kelas III untuk dua kelas paralel, menempati gedung bagian atas, yang masih bagus. Sisa dua ruangan lagi diambil untuk siswa kelas I SMP Negeri II, inilah sekolah yang nanti akan terus menempati gedung ini, begitu SGB dihapus. Kami hanya 25 orang siswa sekelas dan hanya ada enam siswi. Hari itu, kami belajar Bahasa Indonesia, dengan topik sastra. Gurunya Pak Jose Rizal. Lelaki tampan, tegap, putih, dengan tutur bahasa yang lembut. Katanya, dia orang Sumatera Barat, tetapi lama merantau ke Jawa. “Ismail, kaupilih sajak apa untuk dideklamasikan?” tanyanya dan memandang ke arahku. “Aku. Sajak Chairil Anwar”, jawabku. Memang, sajak itulah yang aku pelajari sejak beberapa hari ini,

121


karena itu memang termasuk PR. Beberapa teman lain, seperti Mustafa Yasin dan Abbas MD, dua teman sekelasku yang juga paling akrab dan suka sastra memilih sajak penyair lain. Abbas memilih Asrul Sani dan Mustafa memilih Rifai Apin. Pak Yose Rizal langsung berdiri, meletakkan punggung biolanya di antara dagu dan mulai menggesek biolanya. Mula-mula lembut dan agak mendayu, tapi kemudian keras dan menghentak-hentak, yang sayang aku lupa apa nama lagunya. Yang kuingat, aku berdiri di sampingnya dan bagai terbakar, segera mendeklamasikan sajak Chairil itu dengan penuh ekspresi. Tanganku bergerak ke kiri ke kanan, mengepal dan sebagainya. Maklum, begitulah dulu cara berdeklamasi, yang diajarkan Pak Yose. Ketika itu belum dikenal apa yang kini disebut poetry reading itu. Aku merasa sajak Chairil Anwar itu bagai ada bara api yang berkobar-kobar di dalam dada. Sajaksajaknya memang membuat aku begitu suka, bahkan tergila-gila. Sajak Cinta Ku Jauh di Pulau, hampir menjadi roh dari surat-surat cinta remajaku yang kukirim ke teman-teman wanita di sekolah. Itulah, dan di kelas itulah, dan dengan guru itulah, aku mulai mengenal sastra. Menyukai sastra, dan tergila-gila dengan sastra. Tiap bulan dalam pelajaran sastra, Pak Yose mengiringi kami dengan biolanya untuk pembacaan sajak. Pada bulan lainnya, kami membacakan cerita pendek hasil karangan kami di muka kelas. Begitu rutin, intens, tiap bulan dan sampai kami naik ke kelas tiga, sampai akhirnya Pak Yose Rizal pindah ke daerah lain. Dorongannya, caranya menyajikan pelajaran sastra dan pemahamannya yang cukup banyak tentang sastra Indonesia ketika itu, membuat kami menjadi kelas yang hidup dan pelajaran sastra menjadi sangat menarik. Akhirnya, dari beberapa teman sekelas, aku, Mustafa dan Abbas, memilih menekuni sastra lebih dalam. Bergantian kami saling meminjamkan buku kumpulan sajak, kumpulan cerpen atau roman yang kami miliki. Tiap ada

122


pertandingan mengarang sajak atau deklamasi sajak dan paling sering pada saat menyambut HUT Kemerdekaan RI, kami bertiga ikut bertanding. Kalah menang tak soal. SGB, ketika itu memang terkenal banyak pembaca sajak yang tangguh. Seperti Udin Tepok, Zainah, dan beberapa nama lagi. Sentuhan tangan Pak Yose Rizal memang terasa benar. Semasa di SGB itulah aku mulai menulis sajak-sajak dan mengirimkannya pada beberapa penerbitan lokal. Yang kuingat betul, adalah majalah sekolah yang diterbitkan di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama), Tanjungpinang. Pengelolanya adalah Said Agil Alattas, temannya Soetardji Calzoum Bachri. Tiap bulan dengan penuh harap kami bertiga menunggu, apakah sajak-sajak kami dimuat atau tidak. Sajak-sajak cengeng, memang. Sajak cinta yang patah hati, sajak kekecewaan atas hidup. Aku dikenal temanteman dengan sajak cintaku, yang menurut mereka sangat bagus, yaitu “Pecah Ombak dari Seberang”, (ya, apalagi kalau bukan cinta monyet yang gagal). Mustafa Yasin dengan sajak “Surat Angka Merah”, tentang rapornya yang penuh angka merah dan Abbas MD dengan cerpennya tentang hidup seorang anak kost. Selain menulis sajak, aku juga belajar teater dan kami, siswa SGB sempat beberapa kali mementaskan drama. Guru drama kami adalah Pak Effendie Kassim, yang sangat jago dalam melukis. Aku, Mustafa dan Abbas MD selalu terobsesi dengan Tiga Menguak Takdir (Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin). Maka di sekolah dan komunitas para senian muda di Tanjungpinang kami selalu memperkenalkan diri kami dengan “Tiga Menguak Takdir”. Setelah tamat SGB, dorongan menulis yang awalnya dibangkitkan oleh Pak Hutasoit, lalu dipoles oleh Pak Jose Rizal, terus menjentik-jentik hatiku. Sastra mulai mengaliri darahku. Makin lama makin kental. Tiba-tiba hidup menyeniman mulai mer-

123


ayapiku. Kalau ada sedikit uang, akan habis membeli buku sastra. Atau sesekali dibelikan cat minyak, untuk melukis. Ketika itulah, aku mulai menggunakan nama pena Iskandar Leo. Baik untuk menulis sajak, cerpen, maupun main drama atau ikut pertandingan baca puisi. Novel tebal Dr Zivago, karya Borris Pasternak misalnya, sudah kubaca, jauh sebelum filmnya dibuat. Kalau sudah membaca, aku bisa lupa segala tugas lain, termasuk mencuci piring di rumah tempat aku menumpang. Kacau memang. Kebiasaan membaca buku-buku sastra dan juga buku-buku lainnya, terus kulakukan setelah aku tamat SGB dan kembali kampungku di Bakong. Berhari-hari demikian. Ayahku pernah berang, karena banyak kerja di rumah yang tak kupedulikan, padahal akulah satu-satunya anak lelaki di rumah. Tugas mengambil air, mencari kayu api atau ikut memancing. Bahkan, yang namanya sembahyang, waktunya habis ditelan buku. Tetapi, ibuku selalu bilang, “Biar sajalah Oi, dia lagi suka membaca.” Ketika menjadi guru di Rejai, hampir sepanjang hari, sehabis mengajar, aku membaca majalah “Waktu”, sebuah majalah bagus terbitan Medan. Banyak sajak-sajak dan cerita pendek di sana. Kebetulan, kepala sekolahku, Pak Usman Siam, ternyata seorang yang juga senang membaca. Dia berlangganan majalah “Waktu” itu, tiap bulan datang kiriman majalah itu dari Medan dengan pos. Aku melahap, nomor demi nomor majalah itu, meski tanggal terbitan sudah nyaris setahun sebelumnya. Setelah berhenti jadi guru dan jadi kelasi kapal, aku juga menyisihkan waktu untuk mencari buku-buku sastra ketika tiba di Jambi atau Palembang. Membacanya di kapal, saat angin dan laut tenang atau saat-saat kapal berlabuh, menunggu muatan dibongkar. Tetapi, yang paling memberi kesempatan aku puas melahap

124


hampir berbagai buku sastra yang bagus, adalah ketika aku sudah berhenti jadi kelasi kapal dan kemudian bekerja sebagai penjaga toko buku Al Idrus, milik Said Idrus Alattas, di Dabo Singkep. Said Idrus yang katanya berasal dari Malaysia (dulu Malaya) itu membuka toko buku di sana dan aku sempat bekerja beberapa bulan. Ketika itulah, sambil menunggu pembeli, aku membaca banyak buku sastra dan buku-buku lainnya. 2. Dengan Puisi Menembus Media Pindah dari Dabo ke Tanjungpinang dan menjadi guru di sini, proses menulis dan mencintai sastra makin menjadi-jadi. Apalagi waktu itu ada media yang menjadi tempat menyalurkan hasil karyaku. Antara lain, Bulletin HMI, yang dikelola Rusli Ahmad, salah satu tokoh pers Riau, yang waktu itu masih jadi mahasiswa sambilan di Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah, Tanjungpinang. Buletin stensilan itu terbit tiap minggu dan ke sanalah sajak-sajakku ku kirim dan kemudian banyak dimuat. Tiap minggu, aku menunggu buletin itu terbit, dan membelinya di kedai kopi “Anda�, sebuah kedai kopi kecil, tempat Rusli Cs sering nongkrong dan persis di seberang gedung fakultas hukum itu (sekarang gedung universitas itu sudah menjadi gedung olah raga Kaca Puri). Hampir bersaman dengan itu ada Mingguan Angkatan Bersenjata (AB) edisi Kepulauan Riau terbit di sana. Pengelolanya Eddy Mawuntu (kini almarhum), dkk, seperti Sudirman Bakry (abangnya Soetardji Calzoum Bachry) dan lainnya. Eddy selain seorang wartawan kawakan di Riau, juga penulis esai budaya yang kuat. Ke situlah aku mengirim sajak-sajakku, bersaing dengan BM Syamsudin (kini almarhum) dan beberapa nama lain. Masih ada satu lagi media yang juga sangat penting bagi perjalanan karir kepenyairanku, yaitu Majalah Budaya Sempena, yang dikelola oleh Sudirman Bakry (kini sudah almarhum). Sudirman

125


biasanya menggunakan nama pena S Bacharov. Majalah yang terbit tiap bulan sekali itu, dengan sistem stensilan, banyak memuat sajak-sajakku. Di sini aku berkenalan dengan redaktur budaya Rona Syuib, orang Daik, yang menjadi penyair dan pembaca sajak jago di Tanjungpinang dan juga R Hamzah Junus (kini almarhum, abang Hasan Junus), pegawai Depdikbud yang juga seorang budayawan. Dengan Mukhsin Khalidi, pemikir dan budayawan islam (kini sudah almarhum). Berhasil menerobos majalah Sempena itu, membuat aku memiliki komunitas dalam menjalani hidup berkesusastraan di kota itu. Karena ketika itu pula, muncul tokoh baru yaitu Ibrahim Sattah (almarhum), anggota polisi kelahiran Tarempa, yang menjadi penyair dan budayawan. Dia baru pindah dari Pekanbaru. Begitu pindah di Tanjungpinang, langsung membentuk satu grup diskusi budaya yang dia beri nama Sempena Study Group (SSG). Di situ bergabung Sudirman Bakry, Eddy Mawuntu, Ibrahim Sattah, aku (dengan nama Iskandar Leo), Yuddhi Efendie (wartawan RRI Tanjungpinang), Raja Hamzah Yunus dan Drs. Roffie M Syafei (kini almarhum), guru Bahasa Indonesia SMEA Negeri Tanjungpinang yang baru pindah dari Malang. Komunitas ini makin ramai setelah munculnya Hasan Junus (almarhum), seorang esais yang cemerlang, kaya pemahaman tentang sastra dan menjadi semacam motivator bagi kelompok kami dalam melahirkan karya-karya kreatif. Ketika inilah, selain menulis sajak-sajak dan cerpen, aku juga mendalami teater bersama Ibrahim Sattah dan Sudirman Bakry. Sebagai maesenas (penyandang dananya) adalah Sutarman K (yang jadi pegawai kantor Bupati), Abbas Bagan (Karyawan PU) dan Amhar Hamzah (juga Karyawan Pemda Kepulauan Riau). Tiap tiga bulan sekali kami mementaskan repertoir-repertoir bagus yang kebanyakan karya terjemahan.

126


Polemik sastra melalui media seperti Sempena terus berkembang, terutama antara aku, Rofiie dan Eddy Mawuntu. Sementara Hasan tampil dengan esai-esai sastra dan karya terjemahan. Ibrahim muncul dengan sajak-sajak bagusnya yang nyaris sebagus sajak Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Ibrahim ketika itu sangat tergila-gila pada sajak-sajak sublim yang disajikannya dalam bentuk kwatrin-kwatrin. Saat-saat itulah, aku mulai menerobos media Jakarta untuk karya-karya sastraku. Aku mengirimkan sejumlah sajak ke Horison. Beberapa di antaranya kemudian dimuat. Juga ke beberapa majalah dan surat kabar, seperti Tribun, Zaman, Aktuil dan Harian Indonesia Raya, yang waktu itu sangat kuat dalam lembaran sastra dan budayanya. Kami (aku, Eddy Mawuntu dan Hassan Junus) menerbitkan antologi puisi, cerpen dan esai, yang kami beri nama “Jelaga�, yang modalnya kami pinjam dari Machzumi Daud, seorang penyair muda yang baru muncul. Machzumi yang begitu setia berkarya sampai akhir hayatnya, adalah orang pertama yang memberi kami laluan untuk menerbitkan antologi, meski dia harus menguras tabungannya. Di tengah-tengah gelegak kehidupan sastra begitu itulah datang Soetardji Calzoum Bachri ke Tanjungpinang, dari Jakarta. Dia baru saja mendobrak peta perpuisian Indonesia dengan sajaksajak mantranya. Kehadiran Soetardji lalu memberi warna baru dalam gairah kehidupan sastra kami di Tanjungpinang. Ibrahim yang nyaris siang malam bersama Tardji, langsung meninggalkan kwatrin-kwatrinnya dan mulai mengambil sajak-sajak Soetardji, baik dalam model struktur penulisan sajaknya, maupun napas puisi-puisinya. Sajak Batu Belah, sajak Tu Bulan Tu Bintang (lebih dikenal dengan Cuk Cuk Klupit ...) dan sejumlah sajak lain, adalah sajak-

127


Menandatangani poster buku kumpulan puisi “Tempuling”, 17 Juli 2001 bertepatan dengan ulang tahun yang ke 58 Sutardji Calzoum Bachri menandatangani poster buku kumpulan puisiku “Tempuling”, yang diluncurkan 17 Juli 2001

128


sajak yang dia tulis setelah perkenalan dengan Soetardji dan telah membawa Ibrahim ke peta baru perpuisian Indonesia. Dia mulai menerobos Horison dan segera menoreh nama besar di Indonesia. Bersama Soetardji, dia menjadi para pembaca puisi yang andal di Indonesia. Soetardji juga memperkenalkan kepada kami tentang teater mininya Rendra, Teater Biip-nya Tardji. Hampir tiap minggu ada acara baca puisi dan diskusi sastra di sana. Hidup dan kerja guruku, mulai tidak keruan, walaupun kemudian aku bisa membangun kelas sastra yang baik di sekolahku dan melahirkan banyak pembaca sajak yang bagus-bagus, terutama dari siswasiswa kelas enam SD yang kupimpin. Sastra memang tidak memberi banyak uang buatku (dan bahkan membuat sebagian gaji guruku tersayat-sayat oleh kegiatan membeli buku, kertas dan lainnya) dan memang nyaris membuat hidup dan karir guruku berantakan. Bahkan juga rumah tanggaku. Aku ingat, ketika terjadi pertengkaranku dengan ayah mertuaku yang protes karena anaknya nyaris ditelantarkan, aku memutuskan pindah rumah dari rumah mertuaku ke rumah pesuruh sekolah. Dari rumah mertuaku, aku hanya membawa sedikit barang berharga, dan satu goni (karung) yang isinya adalah kliping koran, majalah sastra dan mesin ketik tua. “Alangkah miskinnya kita..,“ kataku kepada Asmini, istriku, setelah beberapa tahun kemudian, ketika mengenang masa-masa yang sulit namun sangat berwarna itu. Kehidupan yang bersastra-sastra dan hampir menelantarkan anak (waktu itu aku sudah punya seorang anak lelaki, Mohd. Nur Hakim) dan istri. Kalau saja, ketika itu istriku tidak banyak mengalah dan tak dapat menerima apa adanya, kami memang sudah berada di tepi tebing kehancuran rumah tangga. Sangat sulit dan sangat tak menjanjikan apa-apa bagi hari depan kami.

129


Ciuman ulang tahun ke-58 dari istriku disaksikan adik ipar Asnida Syukur(kiri), pada acara peluncuran buku “Tempuling“ Cornelia Agatha, artist dan Pemain Teater nasional, membaca puisipuisiku dari kumpulan Tempuling, ketika dia diundang pada acara pembacaan puisi “Membaca Rida K Liamsi”, di Batam, 2002

130


3. Tempuling, Sebuah Tonggak Tetapi, masa-masa yang sulit itu juga merupakan masa-masa kreatif yang sangat menggairahkan.Aku pernah tunggang-langgang seorang diri ketika merealisasi lomba baca puisi memperingati Hari Lahir Chairil Anwar. Dengan sedikit bantuan dana dari Bapak Asmar Ras (kini sudah almarhum.), anggota DPRD Kepulauan Riau yang cinta budaya, aku maju seorang diri menyelenggarakan acara itu. Mulai dari menyelenggarakan lomba untuk para peminat sastra, sampai malam peringatan hari Chairil Anwar. Tak ada uang untuk hadiahnya, aku mengambil bekas-bekas piala lama dari tembaga milikku, milik sekolah dan milik Pak Asmar Ras. Dibantu Abbas Mahmud yang membuat kotak kacanya, piala-piala bekas itu digosok dengan brasso sampai mengkilat, lalu dimasukkan dalam kotak kaca. Sedangkan sebagai piala bergilirnya, Ariyus Syarbaini (sekarang sudah almarhum.), seorang pelukis, membuatnya dari lumatan kertas koran bekas. Patung setengah dada dari kertas koran itu, lalu dicat dengan cat warna keemasan, sehingga patung itu seolah-olah terbuat dari tembaga dan kemudian dipajang di depan pentas terbuka, di lapangan basketball Tanjungpinang, untuk diserahkan kepada grup pemenang lomba, bak patung Oscar. Dan, setelah itu, aku harus mohon maaf berkali-kali kepada Bupati Letkol (L) Firman Eddy, SH, (kini almarhum), karena sempat membuat beliau terperanjat. Pak Firman mengira, patung Chairil Anwar itu benar-benar terbuat dari logam dan berat, karena cukup besar dan tinggi dan beliau mengangkatnya dengan hati-hati. Tetapi, begitu yang diangkat sesuatu yang ringan, patung itu hampir saja terpelanting dan Pak Firman kaget. “Sorry Pak..,� kataku ingin menjelaskan. Tapi Pak Firman, yang di kalangan kami para seniman sudah dikenal amat dekat dan

131


suka akan kegiatan budaya itu, sudah langsung tersenyum ramah. “Tak apa Leo, itu kerja yang kreatif. Tahun depan kita bikin yang benar-benar dari tembaga�, katanya, walaupun tahun depan tak pernah lagi ada kerja seperti itu. Sekali berarti, sudah itu, cari kreativitas lain, begitu istilahku. Tapi hidup ini memang berat. Hidup ini penuh tantangan. Ternyata, menjadi seniman dan jadi penyair, walaupun sangat membahagiakanku, tidak cukup kuat untuk memahat kakiku di sana. Aku, akhirnya harus membuat berbagai pilihan karir, agar tetap bisa hidup dan menyelamatkan rumah tanggaku yang makin memburuk kondisinya. Akhirnya aku memutuskan untuk menjadi wartawan dan menjadikan kerja menulis sajak dan karya sastra lainnya sebagai bahagian dari ekspresi diri dan tidak menempatkannya untuk hidup dan matiku di sana. Karena itulah, setelah aku membuat pilihan itu, setiap kali aku diundang membaca sajak oleh teman-teman dalam berbagai kesempatan, aku selalu memulai perkenalanku dengan terus-terang mengaku bahwa aku bukanlah seniman yang berhasil, aku penyair yang gagal. Yang gagal menghasilkan karya-karya bagus, yang gagal untuk sungguh-sungguh berkesenian. Namun begitu, menulis puisi bagiku adalah bagian dari ritual hidupku. Di saat-saat aku kembali ke ruang pribadi hidupku, aku menemukan saat-saat untuk menulis. Menulis puisi-puisi. Meskipun tak semua aku publikasikan, tapi selalu sempat menyimpannya di dalam arsip. Mencoret-coret ulang sajak-sajak yang belum selesai, membaca kembali yang sudah rampung. Dan, membaca lagi karya-karya orang lain untuk membangkitkan mood dan inspirasiku. Ketika masih di Tanjungpinang, aku sempat menulis lebih dari 100 sajak, tapi sayang, karena berpindah-pindah tempat tinggal dan tempat kerja, banyak yang hilang. Untung ada beberapa teman yang masih menyimpannya. Tahun 1980 ketika aku diun-

132


dang untuk membaca sajak di Pekanbaru oleh teman-teman dari Yayasan Puisi Nusantara, yang diketuai oleh Ibrahim Sattah , aku sempat mengumpulkan sejumlah puisi yang akan aku baca dalam buku kecil yang distensil oleh teman-teman, dan buku itu diberi judul “Ode X”. Tapi itu bukan sebuah kumpulan puisi benaran. Selesai acara baca puisi tunggal yang dihadiri lumayan banyak hadirin, terutama mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Universitas Riau di bawah bimbingan ibu Dra Saidat Dahlan, maka buku kecil itu berserakan ke mana-mana, sampai aku sendiri pun tak menyimpan arsipnya. Sebelum itu, aku bersama beberapa teman di Tanjungpinang, seperti Hasan Junus dan Eddy Mawuntu (almarhum) pernah juga menerbitkan sebuah kumpulan bersama. Hasan mengumpulkan sejumlah esai-esai budayanya, Eddy juga begitu, sementara aku dengan sejumlah puisi-puisi, termasuk puisi terjemahan. Kumpulan itu kami namakan “Jelaga”. Terbit stensilan sekitar 1.000 eks, dengan dukungan biaya dari penyair muda Mahzumi Daud. Itu pun sampai kini aku tak menyimpan arsipnya lagi. Tahun 2002, sebagai tanda hari jadiku yang ke-58, aku menerbitkan kumpulan puisiku yang pertama, yang aku beri nama “Tempuling”, berisi 29 sajak-sajak pilihan selama hampir setengah usiaku. Buku yang dirancang grafisnya oleh Armawi KH, teman dan juga karyawanku di Riau Pos Group ini, menjadi tonggak karya sastraku yang kukerjakan dengan lebih serius. Selain dicetak lebih luks dan cukup banyak, sekitar 5000 eks, maka hampir semua disebarluaskan secara gratis. Ada juga yang dijual di tokotoko buku, tapi lebih banyak yang aku berikan sebagai hadiah dan kenang-kenangan pada teman-teman dan mitra kerjaku (pernah aku hadiahkan untuk Menteri Besar Selangor Datuk Seri Kir Bin Tojo, sebagai hadiah ultah-nya ke-45, setelah aku bacakan salah

133


Mendampingi Rusli Zainal, Gubenur Riau,membuka selubung poster gambar sampul novel, Bulang Cahaya, disaksikan sahabatku Hasan Junus (dua dari kiri) dan Zainal Muttaqin (Chairman Kaltim Post Group, paling kiri) yang diluncurkan 17 Juli 2007 di Pekanbaru Membaca sajak tunggal di TIM (Taman Ismail Marzuki), Jakarta (bawah)

134


satu sajakku ). Sajak-sajak yang terkumpul dalam Tempuling ada yang di antaranya sajak yang direvisi dari sajak yang pernah diterbitkan, tapi sebagian sajak baru yang aku tulis di saat-saat aku merasa ada tekanan batin yang kuat. Saat aku sepi dalam penerbangan ke luar negeri, atau saat-saat aku terpesona oleh berbagai sentakan karya budaya di berbagai negeri, di Stockholm, di Jepang, dan beberapa kota di Eropa lainnya. Kehadiran Tempuling ini juga cukup berkesan, paling tidak dalam perjalanan hidupku. Sebab setelah buku itu terbit, kemudian atas inisiatif teman-teman di Yayasan Kesenian Riau di Jakarta, yang dikoordinir oleh penyair dan dramawan Asrizal Nur, maka bulan April 2003, aku sempat membacakan sajak-sajak tersebut di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta di hadapan sekitar 400 undangan, terutama warga Riau di Jakarta, dan sejumlah seniman seperti Soetardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono,Tommy F Awuy, Sitok S., dll. Dengan didampingi Sanggar Mentari yang memusikalisasi beberapa puisiku (Laut, Tempuling dan Tangan) acara malam itu cukup berkesan. Apalagi sejumlah teman penyair di Jakarta, seperti Djamal D Rahman ikut membacakan puisi-puisiku. Bahkan Mas Sapardi Djoko Darmono salah seorang penyair utama Indonesia tampil menjadi pembahas puisi yang kuhimpun dalam kumpulan puisi Tempuling. �Setelah menunggu hampir 25 tahun, akhirnya obsesi saya untuk membaca sajak di TIM kesampaian juga. Terima kasih Jakarta,� kataku kepada publik TIM malam itu. Kemudian ketika aku merayakan hari ulang tahunku yang ke60, aku mengisinya dengan membaca sajak-sajak dari kumpulan ini, seperti di Bukittingi bersama beberapa teman penyair di sana, seperti Gus Tf Sakai, Ode Berta Ananda (kini almarhum), Haris Efendie Thahar, Iyut Fitra, dan lain-lain. Bahkan di Batam

135


Trophi Anugerah Seni Seniman Perdana yang diberikan oleh Dewan Kesenian Riau atas penilaian prestasi dan dedikasiku dalam bidang kesenian dan kebudayaan. Foto bawah, Drs Mambang Mit, Wakil Gubernur Riau menyerahkan trophi Anugerah Seni Seniman Perdana dan piagam penghargaan (2010)

136


aku membacanya secara duet dengan artis Cornelia Agatha yang kami undang untuk memeriahkan acara itu, yang oleh temanteman di Batam (seperti Samson Rambah Pasir, Ramon Damora, dan lain-lain) diberi judul “Membaca Rida K Liamsi”. Acara ini juga didukung sanggar seni Sanggam, pimpinan seniman Hoesnizar Hood. Ikut membaca puisi-puisi Tempuling-ku itu, Mohd Sani, waktu itu masih sebagai Bupati di Karimun (sekarang Gubernur Kepulauan Riau) yang kami saling memanggil sebagai the best friend, juga Nyat Kadir (waktu itu Walikota Batam), dan Pak Dedy Kamarudin, waktu itu adalah Kapolda Riau. Tahun 2004 seorang penyair yang hidup terasing di Eropa, A Kohar Ibrahim membuat telaah tentang kumpulan puisi Tempuling tersebut dan kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul “Telaah Sekitar Puisi Tempuling”. Dan buku itu diluncurkan pada acara Anugerah Sagang 2004, Desember 2004, di Hotel Ibis, Pekanbaru. Aku makin sering membaca sajak-sajak dalam berbagai pertemuan. Baik yang benar-benar pertemuan budaya, maupun acaraacara sempalan seperti resepsi kemerdekaan, peluncuran buku dan lain-lain. Terbitnya buku “Tempuling” memang telah melontarkanku kembali ke dunia sastra yang lama aku tinggalkan. “Tempuling” memang telah membangkitkan kembali semangat menulisku. Karena itu, aku membongkar kembali file-file lamaku yang menyimpan naskah-naskah puisi, novel, cerpen. Akhirnya aku memutuskan menyelesaikan novelku “Bulang Cahaya” yang tahun 1995 pernah dimuat secara bersambung di Harian Riau Pos. Aku benahi dan aku tulis ulang disela-sela kesibukan. Tak jarang sambil menemani isteriku berbelanja, aku mojok di café-café untuk menyelesaikan novel itu. Alhamdulillah, akhirnya selesai juga. Sungguh sebuah kebanggaan karena Dahlan Iskan, Bossku di Jawa Pos bersedia menjadi editor novel itu. Dia membaca

137


dan mengedit novel itu dari ranjang tempat dia menunggu kesempatan operasi hatinya di Rumah Sakit Tianjin, China. Novel pertamaku akhirnya terbit tahun 2007, dan diluncurkan saat aku merayakan hari ulang tahunku ke 64. Semangat menulisku terus bangkit dan kadang-kadang memang menyita waktuku. Tahun 2008, aku menyelesaikan buku puisi keduaku “PERJALANAN KELEKATU� (sebenarnya yang ketiga, karena dulu aku pernah punya kumpulan puisi “ODE X�, meskipun hanya stensilan dan diedarkan terbatas, tahun 1981) yang diluncurkan 28 Oktober 2008, bersamaan dengan malam puncak Anugerah Sagang 2008. Di dalam file dan dadaku masih tersisa banyak naskah novel dan buku lain yang menunggu waktu untuk menyelesaikannya. Aku memang selalu berharap aku dapat menyelesaikannya. Dan aku memang sangat berterima kasih kepada sahabat baikku Armawi KH, yang selalu menjadi penasihat karya, perancang kulit dan isi, dan bahkan mencari percetakan yang dapat mencetak buku, sehingga cukup bagus sebagai sebuah buku sastra. Semangat kembali ke sastra, kembali menulis ini, akhirnya membuat komunitas seni dan budaya di Riau, melalui Dewan Kesenian Riau (DKR) memberi aku penghargaan dengan memberi aku gelar Seniman Perdana (SP) sebuah penghargaan 2 tahunan kepada para seniman dan budayawan Riau yang dinilai tunak dan berprestasi. Aku menjadi orang keempat yang menerima penghargaan itu setelah Soetardji Calzoum Bachry, Hasan Junus, dan Taufik Ikram Jamil. Dan untuk itu aku berhak memakai sebutan SP di depan namaku. Saat menerima penghargaan itu, awal Tahun 2008, dalam orasi budayaku, aku menekankan tentang perlu setiap orang terus menulis. Karena menulis itu adalah juga ibadah. Dengan menulis kita mengingatkan para pembaca kita tentang sebuah harapan, tentang sebuah ikhtiar untuk men-

138


jadi seseorang, menjadi sesuatu. Dan aku ingat, ketika tahu bahwa aku juga menerima sejumlah uang melalui pengharaan itu, maka aku katakan, inilah honor pertama dari kerja budaya yang aku terima dan sepenuhnya diberikan kepada isteriku, yang dia sudah menjadi kekuatan pendorong dengan memberi aku waktu untuk terus menulis. TEMPULING memang adalah tonggak karir sastraku. Karena setelah itu, bukan saja aku lebih sering melakukan pembacaan puisi, tampil jadi pembicara dalam berbagai pertemuan sastra dan workshop budaya, tetapi eksistensiku dalam dunia sastra menjadi lebih kukuh. Di Jakarta misalnya, Maman S Mahayana, salah seorang pengamat dan kritikus sastra Indonesia, dan juga dosen sastra di Fakultas Ilmu-Ilmu Budaya di Universitas Indonesia, telah menjadikan novel Bulang Cahaya sebagai salah satu bahan diskusi di perguruan itu.Teman-teman di Jakarta, melalui yayasan Panggung Melayu dimotori Asrizal Nur misalnya, menyelenggarakan kegiatan Lomba Baca Puisi tingkat nasional memperebutkan piala Rida K Liamsi di Jakarta, 2008. Lomba tingkat nasional dengan mengambil nama sastrawan Riau sebagai nama penghargaan menjadi agenda tetap Yayasan ini. Aku menjadi tokoh ketiga yang namanya dipakai. Sebelumnya adalah Ibrahim Sattah (almarhum) dan Soetardji Calzoum Bachri. TEMPULING dan BULANG CAHAYA juga telah menjadi dua karya yang menginspirasi beberapa teman utuk menjadikannya sebagai bahan telaah dan ulasan. UU Hamidy, seorang budayawan di Riau misalnya, menulis sebuah telaah sastra “Dunia Melayu dalam Novel Bulang Cahaya dan Kumpulan Sajak Tempuling�. Beberapa mahasiswa jurusan sastra telah datang dan minta izin kedua karya itu untuk bahan skripsi mereka. Bahkan sebuah organisasi masyarakat Bugis Indonesia, “Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) , pernah menyampaikan niat dan minta

139


Menerima penghargaan dari Organisasi Internasional Dunia Melayu Dunia Islam, yang berpusat di Malaka, penghargaan sebagai Tokoh Penggerak Sosio Budaya. Penghargaan diserahkan oleh Perdana Menteri Malaysia Datuk Najib Tun Razak.

izin untuk memilimkan Novel Bulang Cahaya. Bagi aku, sebuah karya yang sudah selesai dipublikasi, sudah menjadi milik publik, dan mereka bisa saja melakukan berbagai upaya untuk menafsirkan dan memanfaatkan karya itu bagi kepentingan publiknya. Sang pengarang sudah tidak lagi berhak melarangnya. Kecuali, berharap hak ciptanya tetap dihormati. Bahkan rekan penyair dan sastrawan Riau Marhalim Zaini, SPN, menulis sebuah reportoir yang bagus berdasarkan novel Bulang Cahaya itu untuk opera. Sayang sampai buku ini selesai ditulis,rencana pementasan opera itu, belum sempat terujud. Aku selalu membayangkan, betapa bahagianya, kalau opera Bulang Cahaya itu bisa berminggu-minggu dipentaskan dan ditonton sebagai karya teater dan sastra, seperti ketika aku menonton opera Les Mesrables di Gotenberg atau di

140


New York. Tahun 2008, organisasi internasional Dunia Melayu Dunia Islam, yang berpusat di Malaka, memberi aku penghargaan sebagai Tokoh Penggerak Sosio Budaya. Lalu tahun 2010, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Riau, memberi aku penghargaan: Tokoh Penggerak Kesenian Tradisional. Semua penghargaan itu, bagiku adalah ujud pengakuan atas kreatifitas berkesenian aku, khususnya di bidang sastra. Bahkan jauh sebelumnya, Bank Permata, salah satu bank swasta nasional Indonesia yang cukup besar, memberi aku penghargaan sebagai tokoh budaya, dan hanya dua orang di Indonesia yang mereka berikan. Ketika aku diundang untuk menghadiri pertemuan KoreaAsean Poets Literature Festival, (KAPLF) awal Desember 2010 di Korea Selatan, maka aku mengirimkan sebuah essay yang aku beri nama “When the Eagle Shrieked and Roar of the Coral…(Ketika Pekik Elang dan Gemuruh Karang…), aku coba mengatakan bahwa kreatifitas kesusteraanku dibangkitkan, dibesarkan, oleh laut, karang, elang, camar, dan gemuruh ombak. Ombak laut Bakong, ombak laut Sekanak. Karena itu perjalanan ke Korea Selatan, meskipun suasana di sana waktu itu sangat tegang karena konflik politik antara Korea Selatan dan Korea Utara, ditambah musim dingin yang suhunya sampai 3 derajat di bawah 0, tapi suasana keseniannya amat menyenangkan. Aku membaca beberapa puisiku, seperti “Kelekatu” dan “Elegi”, dan memilih instrumentalia “Atas Nama Cinta” sebagai muzik mengiringi pembacaan puisiku. Acara yang diselenggaarakaan The Poet Society of Asia (TPSA) yang berpusat di Seoul, memang sangat mengesankan. Aku jadi mengenal Korea Selatan lebih dekat dan menulis pusi panjangku untuk mengenang keberadaan aku di sana: Stories from Korea, dan juga punya banyak teman-teman penyair Asia yang sangat mengesankan, seperti Marslino N.O dan Rahimidin Zahari dari

141


Menandatangani Deklarasi Hari Puisi Indonesia yang dicetuskan di Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru, Riau. Para penyair Indonesia yang hadir pada Deklarasi Hari Puisi Indonesia menyaksikan dan juga mendampingi Soetardji Calzoum Bachri (Presiden Penyair Indonesia) membacakan Deklarasi Hari Puisi Indonesia.

142


Malaysia, Zefri Ariff dari Brunei, Khin Aung Ahye (Burma), Mai Phan Van dan Nguyen Quang Thieu (Vietnam), Chia Hwee Peng (Singapura), Saksiri Meesomseub dan Montri Sriyong (Thailand), Ricardo de Ungria (Philipina), dan tentu sejumlah penyair Korea Selatan sendiri seperti Kho Hyeong Ryeol sebagai President TPSA, dan lainnya. Sementara dari Indonesia, aku dan penyair Nirwan Dewanto yang ikut festival itu. Setelah acara Festival Penyair KoreaAsean di Seoul itu, kemudian aku mendapat tantangan untuk menyelenggarakan acara yang sama di Riau, KAPLF II tahun 2011. Yayasan Sagang yang aku pimpin dan Riau ditunjuk sebagai tuan rumah. Suatu kehormatan untuk menyelenggarakan pertemuan penyair Korea Selatan dan Asean, sebuah pertemuan internasional, di sebuah kota provinsi di daerah yang sudah menobatkan Budaya Melayu sebagai visi besarnya. Syukurlah akhirnya KAPLF II itu (25 sampai 29 Oktober 2011) terselenggara dengan baik, dan oleh para peserta diapresiasi sebagai salah satu festival penyair yang sangat mengesankan dan prestisius. Aku dan teman-teman pe-nyair di Riau bekerja keras untuk menyukseskan acara itu, dengan segala daya dan upaya. Untuk menunjukkan bahwa Riau sebagai salah satu jantung kebudayaan Melayu itu benar-benar sebuah negeri yang memiliki tradisi dan warisan kebudayaan yang besar dan berpengaruh. Karena itu pula tema fesvifal ini kami beri nama: Sound of Asia: Malay as World Haritage. Lebih 70 penyair ikut serta, dari Korea Selatan, Burma, Vietnam, Thailand, Malaysia, Brunai, Singapura, dan tentu saja dari Indonesia dengan sekitar 20 penyair. Undangan membaca puisi pada festival penyair internasional tahun berikutnya kemudian datang dari rekan-rekan penyair Vietnam yang pernah bersama ikut di KAPLF I di Seoul, seperti May Van Phan dan Nguyen Quang Thieu. Mereka menyelenggarakan acara Festival Internasional Penyair Asia (International Festival

143


of Asian Poetry) tanggal 2 sampai 7 Februari 2012 yang disatukan dengan Hari Puisi Vietnam yang sudah jadi agenda tetap di negeri itu. Aku datang bersama penyair Agus R Sarjono atas nama Indonesia. Kami membaca sebuah essay dan sejumlah puisi di sana. Aku menghimpun 6 puisi dan satu essayku dalam buku kecil “To Vietnam with Poetry� untuk acara tersebut. Dari even sastra internasional ini, aku juga banyak mendapat teman-teman penyair baru dari Jepang, Canada, India, Rusia, dan lainnya. Aku berterima kasih pada Ali Mamiya dan Murparsaulian yang telah menerjemah dengan bagus puisi-puisiku itu ke bahasa Inggeris, baik untuk acara di KAPLF I Korea, KAPLF II Riau, maupun Festival Penyair Asia di Hanoi itu. Bulan Juli 2012, aku juga diundang ke Sri Lanka untuk acara Festival Penyair Sri Lanka, karena salah seorang penyair Sri Lanka yang ikut festival penyair Vietnam itu mengenal dan menyukai puisi-puisiku, dan dia menjadi panitia pelaksana festival itu dan mengundangku. Sayang, meski sudah bersiap-siap dan sudah mengirimkan essay dan puisi-puisi yang akan aku bacakan disana, tapi gara-gara terlambat mengurus visa, karena sebelumnya pasport aku pakai ke Eropa antara lain mengikuti Drupa Expo sebuah pameran media dan percetakan terbesar di dunia yang diadakan kota Duseldorf, Jerman, sehingga aku kehabisan waktu untuk mengurus visa ke Sri Lanka, aku tidak jadi ke Sri Lanka. Even-even sastra internasional itu, terutama pembacaan puisi, mendorong aku dan teman-teman penyair di Riau, khususnya penyair rumpun Melayu, ingin kebersamaan dalam berkarya dan mengekspresikan diri sebagai penyair itu, juga tumbuh dan berkembang di Indonesia, khususnya di kawasan para pendukung kebudayaan Melayu. Karena itulah kemudian muncul gagasan untuk mengadakan Hari Puisi Indonesia, sebuah upaya untuk memberi kehormatan pada puisi sebagai jantung sastra dan budaya.

144


Bersama sejumlah penyair Indonesia seperi AR Sarjono, Jamal D Rahman, Ahmadun, Asrizal Nur, dll dilakukan pembicaraan serius untuk merumuskan konsep serta argumen tentang perlunya hari puisi indonresia tersebut. Akhirnya, Hari Puisi Indonesia itu di deklarasikan di Pekanbaru, 22 November 2012, setelah sebuah musyawarah penyair Indonesia yang diwakili sekitar 30 penyair yang datang dari hampir semua wilayah Indonesia, sepakat dan menetapkan Hari Puisi Indonesia itu ditetapkan jatuh tiap tanggal 26 Juli, bertepatan dengan hari lahirnya penyair Indonesia, Chairil Anwar. Deklarasi Hari Puisi Indonesia yang diselenggarakan dalam satu acara khusus di Gedung Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru itu, dibacakan oleh Soetardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia. Dan malam deklarasi itu, yang diselenggarakan oleh Yayasan Sagang diberi nama: Dari Riau untuk Indonesia. 4. Anugerah Sagang, Sebuah Komitmen Deklarasi Hari Puisi Indonesia dan beberapa kegiatan sastra dan budaya yang diselenggarakan itu, memang merupakan komitmenku terhadap kehidupan budaya dan terlebih sastra. Dalam posisiku sekarang, sebagai penerbit surat kabar yang sudah berkembang cukup baik, maka aku berikan perhatian kepada sisi budaya ini. Sejak awal Riau Pos terbit, aku sengaja memberi halaman khusus untuk sastra dan budaya di koranku itu. Halaman budaya itu diberi nama khusus, Sagang, sebagai simbol dari benteng dan topang bagi kehidupan budaya. Lalu, nama itu kuabadikan menjadi nama sebuah yayasan budaya, yaitu Yayasan Sagang, yang kudirikan dengan beberapa teman karyawan Riau Pos yang juga penyair dan budayawan, seperti Armawi KH, Kazzaini Ks, Mosthamir Thalib, dan lain-lain. Yayasan ini kemudian membuat sejumlah kegiatan budaya, antaranya memberi penghargaan berupa Anugerah Sagang, setiap

145


ae

Mendampingi Gubernur Riau Ruli Zainal memperhatikan poster rentang para pene rima Sagang Kencana dalam suatu helat budaya Malam Anugerah Sagang yang diselenggarakan di Pekanbaru, Riau. Kiri bawah: bersama penyair Korea dalam helat KAPLF di Pekanbaru, Riau, yang merupakan kegiatan budaya internasional yang melibatkan para seniman penyair Korea, dan ASEAN. Kanan : Penerima Anugerah Sagang berfoto bersama Gubernur Riau Rusli Zainal.

146


tahun sekali dan sudah dimulai sejak tahun 1996, dalam bentuk sebuah tropi budaya, sejumlah uang, bagi mereka para seniman dan budayawan yang telah menunjukkan keterlibatan sungguhsungguh pada kehidupan sastra dan budaya, kepada karya-karya (baik buku, senirupa, tari atau karya kreatif lainnya) yang dianggap baik selama satu tahun dan juga kepada institusi budaya, seperti yayasan, sanggar, lembaga penelitian dan lainnya, yang dinilai berjasa dalam mengembangkan kehidupan sastra dan budaya. Kategorinya terus bertambah. Sekarang ini sudah ada 7 kategori, setelah ditambah dengan katagori Karya Jurnalistik Budaya dan Karya Telaah dan Penelitian Budaya. Penghargaan ini sudah mendapat apresiasi yang sangat baik dan dianggap sebagai salah satu penghargaan bidang sastra dan budaya yang prestisius di Indonesia. Dari segi material, barangkali penghargaan ini, terutama untuk jumlah uang, memang tidak terlalu besar, namun ini adalah keikhlasan dan bukti komitmenku, janjiku kepada kehidupan sastra dan budaya yang pernah memberikan padaku ruang dan saatsaat sangat bahagia dalam perjalanan hidupku. Juga satu wujud, bahwa kecintaanku pada sastra dan budaya itu akan terus ada, di mana pun dan kapan pun. Yayasan Sagang ini juga setiap tahun menerbitkan buku-buku sastra dan budaya pilihan untuk disebarluaskan ke tengah-tengah masyarakat. Dengan yayasan Sagang ini juga aku kemudian merealisasi mimpi-mimpiku saat masih bertungkus-lumus menjadi pekerja kreatif di usia-usia mudaku, yaitu menerbitkan sebuah majalah sastra dan budaya, yang juga diberi nama Sagang. Majalah ini menjadi semacam penawar lara, karena dulu tahun 70an, aku, Eddy Mawuntu dan Hassan Junus pernah menerbitkan sebuah buletin antarkami, yang kami namakan “Hopla!�. Hanya beberapa halaman ketikan, berisi sejumlah sajak, esai dan cerita

147


pendek. Satu edisi tapi sudah itu mati. Dengan Yayasan Sagang ini, aku juga berharap, kelak akan lebih banyak dapat berbuat untuk memberi warna bagi kehidupan sastra dan budaya, paling tidak di daerah ini, di salah satu teras budaya Melayu, yang aku tahu telah melahirkan, membangun dan membesarkanku. “Chairil Anwar itu miskin dan hampir tak punya apa-apa. Tapi dia melakukan sesuatu, menulis sajak yang bagus dan karyanya itu kemudian dikenang orang. Jadi, kalau kita ingin dikenang orang, berbuatlah!” Begitu antara lain kata guru sastraku Yose Rizal, ketika membahas sajak “Aku”-nya Chairil, setelah selesai menggesekkan biolanya, mengiring aku meneriakkan api dan semangat Chairil, melalui sajaknya yang meledak-ledak itu. “Aku ingin hidup seribu tahun lagi...”, kata Chairil. Ya, dia ingin berbuat, dan dia ingin apa yang dia lakukan, tetap dikenang. Dia ingin membuat sejarah dan itulah yang selalu membuat aku tersengat, bangkit, betapa pun di depanku terdedah tebing yang terjal, tantangan hidup yang dapat membuat hati menjadi gerun. Terima kasih Melayu, karena memberi aku ruang untuk menyusupkan rindu dan mimpi-mimpiku. Dan sekarang Anugerah Sagang terus berlanjut dan kontribusinya terhadap pengembangan dan pelestarian budaya Melayu, makin eksis dan terasa. Setelah 15 tahun Anugerah Sagang diberikan secara kontinyu, maka Yayasan Sagang memberikan lagi satu katagori khusus yang diberi nama Anugerah Sagang Kencana, yaitu penghargaan atas pengabdian dan prestasi sejumlah sosok budayawan dan seniman yang sangat luar biasa, tak kenal lelah, dan membanggakan secara nasional. Anugerah ini diberikan kepada sosok seperti Soetardji Calzoum Bachry, sang Presiden Penyair Indonesia, Suman Hasibuan, peletak tradisi penulisan cerita pendek dan roman komedi, Amrun Salmon pelopor senirupa batik dan pelestari senirupa tradisional Melayu, OK Nizami Jamil pelestari tradisi dan

148


istidat Melayu, termasuk yang mengabadikan tari makan sirih sebagai tari persembahan yang wajib tampil dalam acara-acara besar budaya Melayu, Bujang Mat Samsudin, pelopor novel berbahasa Melayu, dan Mohd Yazid, maestro tari zapin Melayu. Begitulah Yayasan Sagang menyagang kebudayaan Melayu, sebisa-bisanya, sedaya-dayanya. Meskipun sedikit, kata sahabat ku Amarzan Lubis, wartawan dan juga seniman, itu adalah tindakan kebudayaan. Dan sekarang ini, sebagai tindakan kebudayaan dan sebagai ujud perjuangan menjadikan Riau sebagai salah satu pusat kebudayaan Melayu terpenting di kawasan Asean, Yayasan Sagang juga telah mengambil alih pengelolaan Akedemi Kesenian Melayu Riau (AKMR) yang sebelumnya didirikan dan dikelola oleh Yayasan Pusaka Riau yang dipimpin oleh seniman Taufik Ikram Jamil, agar lembaga pendidikan kesenian Melayu satu-satunya di Indonesia itu dapat terus berkembang. Sekarang statusnya ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR), dan aku menunjuk seniman Kazaini Ks dan Armawi KH yang sehari-hari adalah para manager dan direksi di Riau Pos Group dan beberapa rekan seniman lain untuk menjadi pelaksana operasional. Mudah mudahan lembaga pendidikan kesenian ini tetap hidup dan terus berkembang. Aku yakin akan terus berkembang karena Gubernur Riau Rusli Zainal yang sangat komit pada kebudayaan Melayu itu, telah memberi laluan dan dukungan yang sangat kuat. Dengan aktivitas budaya itu, Yayasan Sagang memang ingin menjadi salah satu tiang topang untuk menyagang tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Melayu. Untuk menangkap spirit “Esa Hilang Dua Terbilang, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Takkan Melayu Hilang di Bumi� yang diwariskan oleh Laksamana Hang Tuah yang terbilang itu.... ***

149


150


BAB VIII PERJALANAN MENEMBUS MITOS

1

Hidup Harus Memilih Presiden Soeharto dan Ibu Tien, keluar dari mobil sedan hitam. Di sisi kiri kanan mereka para pengawal ABRI bersenjata. Lalu keduanya berjalan lambat, melambai-lambaikan tangannya ke arah ratusan orang, lelaki dan wanita, dewasa dan anak-anak, beraneka ragam pakaian dan sebagian pakaian seragam sekolah putih-putih dan sejumlah bendera merah putih dari kertas. “Pak...! Pak Presiden...! Ibu Tien.....!� teriak mereka bergantian, bersahutan. Sang presiden dengan senyum, terus melambai dan sesekali menyalami tangan tangan yang terulur, persis di samping tubuhnya dan hanya dipisahkan oleh pagar besi yang rendah. Itu terjadi, pada tahun 1971. Di Tanjungpinang, ketika Presiden Soeharto yang baru dikukuhkan sebagai Presiden RI pada Sidang Umum MPR tahun 1968, datang ke kota kabupaten ini. Dia masih sangat muda. Masih kekar dan ramping dan senyumnya, tampak ramah dan tersebar ke mana-mana. Pak Harto datang ke Tanjungpinang dalam rangka peresmian waduk dan proyek air minum Sungai Pulai, Tanjungpinang, yang dibangun dengan menggunakan biaya royalti penambangan bouksit di Kijang. Itulah proyek pembangunan termahal di Riau ketika itu, sebelum Jembatan Siak I dibangun oleh PT Caltex. Aku berada di tengah-tengah kerumunan masyarakat yang histeris menyambut kedatangan presidennya. Aku membawa buku

151


catatan dan menulis berbagai catatan seputar suasana kunjungan itu. Itulah hari-hari pertamaku menjadi wartawan, yang ketika itu bekerja untuk Surat Kabar Mingguan Pelita Buana. Aku belum punya kesempatan untuk meliput di pusat kejadian penting itu. Itu haknya pemimpin redaksiku Sinano Sitamena dan seorang wartawan senior lain. Bagianku adalah tugas merekam suasana di luar “istana“, begitu istilah yang dipakai untuk menyebut Gedung Daerah, Tanjungpinang, semasa kunjungan presiden. Selesai acara, aku pulang ke kantor surat kabarku, di sebuah kantor kecil di lantai dua sebuah ruko di Jalan Merdeka, di atas kedai kopi Damai, bersebelahan dengan Kantor Dinas Perindustrian Tingkat II Kepulauan Riau. Aku menulis laporanku dengan sebuah mesin ketik tua, yang setelah tulisan itu selesai dan diperiksa Bang Nano, begitu aku memanggil Pimredku dan disetujui, lalu diketik lagi di atas lembaran sheet untuk di stensil. Surat kabarku, tidak dicetak, karena di sana memang tak ada mesin cetak koran yang layak. Mesin cetak milik Departemen Penerangan RI yang disebut Percetakan Negara, sudah lama rusak dan tak pernah diperbaiki lagi. Maka itu penerbitan kami, yang dalam bentuk majalah ukuran kwarto itu, distensil. Jika ingin dicetak harus dibawa ke Jakarta atau ke Singapura. Laporanku, kuberi judul “Suara-suara dari Luar Pagar�, sebuah reportase tentang suasana di luar Gedung Daerah, saat kunjungan presiden. Aku menulis bagaimana antusiasnya rakyat melihat kedatangan presidennya. Aku mewawancarai sejumlah siswa. Aku tanya kesan seorang tukang bakso, aku tanya yang jual es krim, aku tanya yang jual sate, aku tanya ibu-ibu yang terjepit di tengah kerumunan, sementara anaknya menjerit-jerit ketakutan dan berbagai kalangan bawah lainnya. Itulah yang aku rangkum, aku tulis. Aku coba mendiskripsikan bagaimana Pak Harto merespon sambutan rakyatnya, termasuk apa warna kebaya yang dipakai

152


Ibu Tien, ketika datang dan menyalami rakyatnya itu. Aku tak begitu berharap banyak dari laporan pemulaku. Asalkan Bang Nano setuju dimuat, ya sudah. Kecewa memang, karena tak bisa langsung ikut presiden ke mana-mana, tetapi toh, karena sadar diri sebagai orang baru, aku lakukan tugas sebisa mungkin dan kutulis sebaik mungkin. Eee, ternyata besoknya, aku dipuji oleh Drs. Rofii M Syafei, guru Bahasa Indonesia SMEA, salah satu penulis kritis yang ada di Tanjungpinang. “Laporan Anda bagus. Menyentuh sekali. Tak ada wartawan yang terlalu memperhatikan bagaimana suasana hati rakyat kecil terhadap presidennya...�, katanya, berkomentar. Beberapa teman lain, juga bersikap sama, ketika besok, laporan itu diperbincangkan di kedai kopi A Tong (kedai kopi Suka Ria), tempat kami sering berkumpul dan berdebat. Itulah awal karier jurnalistikku. Sebelumnya, kalaupun aku menulis di majalah atau surat kabar, lebih merupakan tulisan budaya, berupa esai kebudayaan atau kritik sastra. Tetapi liputan jurnalistik, memang baru pada Mingguan Pelita Buana itulah. Terjunnya aku ke dunia jurnalistik ini, pun karena dorongan Bang Nano. “Ndar, aku ini perlu teman-teman yang mau jadi wartawan. Repot aku, kalau sendiri terus. You mau nggak gabung?�, katanya dengan logat Jawa Tengahnya yang masih kental, suatu hari, saat ngobrol di kedai kopi A Tong. Bang Nano ini memang seorang wartawan yang gigih. Otodidak. Dia memulai karir jurnalistiknya dari tugas-tugasnya sebagai karyawan bagian penerangan TNI AL di Tanjungpinang. Antaranya dalam bentuk membuat relis-relis kegiatan TNI-AL, yang kemudian disuplai untuk RRI, Mingguan AB edisi Kepulauan Riau dan Harian AB di Jakarta. Bakat alamnya, ditambah

153


kegigihannya, membuat dia muncul sebagai salah seorang wartawan yang andal di Tanjungpinang, bersama-sama dengan Eddy Mawuntu, Sudirman Backry, M Zen, Yudhie Effendie dan lainnya. Bahkan, karena merasa sulit berkembang di dinas penerangan TNI-AL, dia nekat keluar dari sana, dan membuat koran sendiri. Itulah dia koran Pelita Buana itu. Mulanya harian, tetapi sejak mesin cetak milik Percetakan Negara itu rusak, maka korannya jadi majalah mingguan dan distensil. Dia memang nyaris single fighter dalam urusan itu. Yang membantunya, hanya adiknya John S Kristianto (kini almarhum), yang menangani segi keuangan dan sirkulasi. Dia jatuh bangun. Gagal dengan Pelita Buana, dia terbitkan mingguan Sempadan, lalu lelah menerbitkan sendiri, dia jadi koresponden penerbitan Jakarta. Antara lain pernah jadi koresponden majalah berita Ekspress, dan setelah Ekspress mati, dia pindah ke Topik. Dia sangat gigih dan disegani. Sayang, dia meninggal dalam usia masih muda, karena lever. Dialah yang mengajarku jadi wartawan. Mendorong, dan membangkitkan gairahku menjadi seorang jurnalis. “Jadi wartawan itu, bisa membuat kita berjalan dengan kepala tegak�, katanya suatu hari. Artinya, bisa setara dan sama levelnya dengan para petinggi negara, siapa pun mereka. Disegani, dihormati, walaupun kadang-kadang dibenci. “Tak apa dibenci. Itu kan bagian dari romantikanya jadi wartawan�, katanya lagi. Keputusanku untuk terjun ke jurnalistik, juga karena tekanan keadaan. Gaji guruku yang kecil, membuat aku harus menemukan jalan lain, untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Dengan menulis sajak, cerpen, artikel budaya, betapapun itu menggairahkan, tapi ternyata sulit untuk mendapat penghasilan yang memadai. Bahkan, lebih banyak yang harus rela kusisihkan dari gaji guruku, agar aku tetap bisa menulis. Membeli kertas tik, membeli pita mesin, membeli amplop dan membeli prangko.

154


Aku ingat, di suatu siang yang agak gerah, aku dan istriku duduk bersandar di dinding sekolah, SD Negeri No. 1 Tanjungpinang, tempat aku mengajar. Aku ketika itu memang sudah pindah dari rumah mertua, ke salah satu ruangan rumah untuk guru di bagian belakang sekolah. Karena gerah, kami duduk-duduk di depan, sambil melihat mobil dan lalu-lintas lainnya yang lewat di seberang pagar sekolah. Di bagian belakangan kedengaran riuh suara orang main judi Cap Ji Kie. Judi itu memang sedang ramai, dan tempatnya di belakang tembok sekolah tempatku mengajar. Siang-siang, sambil iseng, kami mencari-cari angka untuk dipasang sore. Kalau bernasib baik, besok ada pasangan yang kena, hasilnya dibayar sepuluh kali pasangan. Kadang-kadang, bahkan kami main jailangkung, dengan menggunakan tutup botol tinta parker. Di atas tutup botol itu, ada merek Parker, yang bentuknya seperti panah. Nah, arah panah itulah yang jadi pedoman. “Jailangkung jailangsek, tolong tunjukkan nomor berapa yang ke luar besok...”, Maka, boleh percaya boleh tidak, seakan tutup botol itu bergerak, mencari angka-angka yang sudah dibuat di atas kertas. Tiba-tiba misalnya tutup yang ditekan pelan dengan jari telunjuk di atasnya itu, seperti berhenti di angka delapan, sembilan atau lainnya. Itulah nanti angka yang dipasang. Terkadang cocok, terkadang tidak. Dan, yang kuingat, lebih banyak tidak cocoknya daripada cocok. Tapi, karena sekadar iseng, ya, begitulah. Siang itu, setelah capai mencari nomor buntut Cap Jie Kie itu, secara iseng juga, aku berkata pada istriku. “Biar kita tanya jailangkung ini, apakah aku ini baik jadi seniman terus, atau jadi wartawan. Soalnya Bang Nano mengajak aku jadi wartawan”, kataku. Istriku tak menanggapi serius. “Ah, percaya benar pada jailangkung. Syirik”, katanya. Tapi, aku terus saja, membuat huruf A sampai Z di kertas be-

155


kas tempat menuliskan angka-angka buntut itu. Akhirnya, istriku terpaksa ikut dan kami kemudian mengganti kertas tebakan itu. “Jailangkung, jailangsek, tolong tunjukkan apakah aku ini lebih baik jadi seniman atau jadi wartawan..?“ kataku sambil terkekehkekeh. Tutup tinta itu ternyata tak bergerak-gerak. “Jailangkungnya sudah pergi..,” kelakar istriku. Tapi aku tetap terus berusaha dan mengulangi perintahku untuk jailangkung. Eee..., ternyata tutup botol itu mulai bergerak sedikit demi sedikit. Mulai memilih huruf mulai dari W dan seterusnya sampai tercatat istilah wartawan. “Ha, kalau begitu besok aku kerja dengan Bang Nano...,“ kataku ketawa ke arah istriku. Dia hanya tersenyum. Sebab bagi istriku, jadi seniman atau jadi wartawan, sama saja tak berduitnya. Yang paling penting tak boleh berhenti jadi guru. Meskipun gaji kecil, ada yang ditunggu, tiap bulan. Tapi, kalau jadi wartawan, apalagi kerja dengan Bang Nano, ya sama saja. “Dia saja hidup susah. Pulang malam-malam, kadang-kadang sampai subuh,“ komentar istriku. Tapi, bukan karena jailangkung, karena aku tahu itu syirik, bukan juga karena lelah hidup miskin, karena aku tahu semua rezeki itu Tuhanlah yang mengaturnya, ketika aku memutuskan untuk benar-benar jadi wartawan, dan melupakan kesenimananku. Ada satu kekuatan dari dalam diriku membisikkan. Mendorong dan memaksa aku berkehendak luar biasa ingin, menjadi wartawan. Itulah panggilan agaknya. Itulah jalan hidup mungkin. Dan itulah tekad yang bangkit waktu itu. Tuhan, Kau telah memberi jalan, dan kemudian, aku seperti air yang mengalir, dan terus mengalir melewati batu, tebing, sungai, menuju samudera, berkelit dari berbagai rintangan. Menghindar dan bertahan. Itulah jalan hidup ini. Hidup memang harus memilih ...

156


2. Menembus TEMPO Pada mulanya ya, memang sulit, terutama dalam hal pendapatan. Gajiku sebagai reporter mingguan Pelita Buana kecil sekali. Tapi aku tak peduli. Kerja dan terus belajar jadi wartawan yang baik. Tak begitu sulit memang, karena latar belakang sastra telah memberi aku modal kerja yang baik. Apalagi waktu itu, sedang berkembang era jurnalistik sastra yang dikembangkan mingguan berita Ekspress. Tak heran kalau dalam waktu enam bulan sudah langsung jadi redaktur kota. Bang Nano tak bilang apa sebab aku begitu cepat jadi redaktur. Apa aku memang hebat, atau karena memang tak ada yang mau jadi wartawan. Tapi meskipun kecil gaji, tetap melegakan. Paling tidak lebih pasti, dibanding berjudi dengan nasib menunggu honor sajak atau cerpen yang dimuat. Ditambah gaji jadi guru, ya agak lumayanlah. Ada perubahan juga. Toh jadi wartawan itu sambilan juga dan menulis sajak dan cerpen, tetap saja dapat dilakukan, kapan pun. Cuma hidup urakan dan nyeniman saja yang harus dikurangi. Keadaan pelan-pelan memang mulai berubah. Terutama, ketika satu hari aku berhasil menerobos majalah TEMPO, karena majalah Pelita Buana tempat aku memulai karir terpaksa tutup kehabisan modal dan di Tanjungpinang tak ada media yang dapat kuandalkan. Aku menerobos Jakarta, berbekal pengalaman menulis di beberapa media lokal, antara lain menulis ke majalah TEMPO, yang menurutku, waktu itu, memang sebuah majalah yang sangat menarik dan menjanjikan. Aku mengirim dua laporan. Satu tentang Pulau Singkep yang babak-belur akibat penambangan timah dan satu lagi tentang nasib kapal perintis yang menunggu saat-saat tenggelam, tidak terurus. Eee, ternyata keduanya dimuat, selang satu minggu. Aku berjoget di rumah, di depan istriku, ketika laporan itu dimuat. Apalagi kemudian, ketika aku

157


menerima honorariumnya, yang datang akhir bulan, Rp10 ribu untuk satu artikel. Rp20 ribu sebulan, ketika itu, luar biasa, berarti empat kali gajiku! Teman-teman yang kumpul di kedai A Tong, terheran-heran karena ada nama Rida K Liamsi mengirim laporan dan dimuat TEMPO, tentang Kepulauan Riau. Tapi, aku diam-diam saja, karena mereka belum tahu siapa Rida K Liamsi itu dan aku pun tak pernah memberitahu mereka. Mereka pasti tak mengira aku, karena nama penaku ketika jadi wartawan Pelita Buana adalah Iskandar Leo. Satu-satunya yang tahu siapa Rida K Liamsi itu adalah Sutarman, SH, teman di kantor Bupati Kepulauan Riau, karena sebagian besar data tulisan itu dari dia dan aku sudah berjanji tak akan menyebut sumbernya dan aku akan menggunakan nama samaran Rida K Liamsi yaitu kebalikan namaku. Untuk laporan, aku membuat catatan untuk redaktur TEMPO, tentang siapa sumberku. Teman-teman di kedai kopi baru kaget, ketika akhir bulan aku menunjukkan potongan wessel pos yang aku terima dari TEMPO. “Aku yang bayar hari ini�, kataku berlagak kaya. “Aku baru dapat honor�, lanjutku sambil menunjukkan potongan wesselpos itu pada Eddy Mawuntu, yang biasanya jadi juru bayar kami. Begitulah, mulai hari itu nama Rida K Liamsi mulai masuk dalam peta dunia jurnalistik di Riau, khususnya sebagai wartawan majalah TEMPO. TEMPO ternyata mencermati laporan-laporan yang aku kirim dan selain menilai kualitasnya, juga aktivitasku. Aku nyaris jadi mesin berita waktu itu. Tiap minggu aku berjuang keras mencari laporan-laporan bagus dan berharap dimuat. Akhirnya, setelah sekitar enam bulan menulis, Yusril Jalinus, waktu itu Koordinator Liputan TEMPO, menyuratiku dan minta aku ke Jakarta untuk mengikuti job training sekitar dua minggu di Jakarta. Aku kelaba-

158


kan juga. Soalnya selain soal biaya ke Jakarta, juga karena aku belum pernah sama sekali ke ibukota itu. Bagaimana nantinya dan ke mana aku harus mencari kantor TEMPO, pikirku. Tapi, karena itulah peluang, maka aku berangkat ke Jakarta dengan bantuan tiket dari Imam Sudrajad (temanku seorang pengusaha), naik pesawat F-27 Merpati yang pakai baling-baling dan meskipun sempat agak linglung karena pertama kali ke Jakarta, aku akhirnya sampai juga ke TIM (Taman Ismail Marzuki) dan ditempatkan di wisma (semacam home stay) untuk para seniman, sambil menunggu besoknya, melapor ke kantor TEMPO di Senen Raya, 83. Sorenya aku sudah dikunjungi Mbak Ety Asa, istrinya Sukbah Asa yang menjadi sekretaris redaksi untuk memberi penjelasan program job training itu. Ternyata aku berdua, seorang lagi, agak lebih tua dariku, adalah Matesse Mulyono, dari Semarang. Hampir sebulan aku di Jakarta, mengikuti latihan jurnalistik ala TEMPO. Yang ternyata lebih banyak diterjunkan di belantara Jakarta yang aku tak tak pernah tahu, dibanding praktek menulis atau teori-teori jurnalistik di kantor. Aku ditugaskan melakukan wawancara, meliput peristiwa dan tugas-tugas jurnalistik lainnya. Yang namanya belajar di ruangan, itu hanya dengan Ed Zulverdi (kini almarhum), soal foto. Yang lainnya, belajar sambil jalan dan sambil kerja. Pembimbingnya adalah Bastari Asnin (kini almarhum) dan Budiman S Hartojo. Yusril Jalinus (kini almarhum) lebih sebagai komandan penugasan. Sesekali, setelah selesai tugas, Mas Gun, Pemimpin Redaksi TEMPO menyampiri dan berbualbual atau mentraktir bubur ayam khas Senen. Ruang lantai tiga gedung tua itu, memang sebuah sekolah jurnalistik yang memberikan aku kenyataan dan kejutan semangat yang luar biasa. Seakan-akan, dengan sampai di sana dan belajar bekerja di sana, aku mendapat dorongan angin keras untuk maju ke depan. Apalagi ketika Mas Gun menanyakan bagaimana aku

159


bisa membagi waktu antara mengajar dan jadi wartawan. Dia, sambil bercanda, meragukan hasilnya jika aku setengah-setengah. Maka, malam-malam sambil bergolek di tempat tidur bertingkat dua di Wisma TIM dan mendengar lagu Grace Simon, aku membuat keputusan untuk berhenti saja jadi guru dan seterusnya jadi wartawan. Istriku pasti dapat memahaminya, kan dia sudah dapat melihat bahwa dengan menjadi wartawan TEMPO ini, hidup kami bergerak lebih baik. Tahun 1976, akhirnya setelah berunding dengan istriku, aku memutuskan berhenti jadi guru. Aku antarkan langsung surat permohonan berhentiku kepada Pak Abdullah Said (kini almarhum), kepala Dinas P dan K Kepulauan Riau. Dia tercengang. “Kan sambil jadi guru, dapat juga jadi wartawan”, katanya membujuk dan sudah tahu kalau Rida K Liamsi itu adalah aku, bawahannya. “Sulit, Pak. Saya tak mau mengecewakan murid dan orang tua. Payah, bekerja setengah hati”, kataku memberi alasan. Ya, akhirnya Pak Dollah paham dan aku pamit dan sejak itu tidak lagi masuk kelas. Tak ada perpisahan dengan siswa, tak ada perpisahan dengan rekan-rekan sesama guru. “Betul ni, sudah berhenti jadi guru? Kan sayang sudah golongan II-d”, kata seorang teman guru ketika bertemu di jalan, sebagaimana banyak dipertanyakan teman-teman guru lainnya. “Apa memang bisa hidup jadi wartawan itu?”, tanya mereka lagi, sangsi. Aku cuma tersenyum, mengangguk dan tetap terus dengan keputusanku. Lebih delapan tahun aku bekerja di majalah TEMPO. Selama masa itu, aku benar-benar ditempa untuk menjadi seorang reporter yang gigih, kreatif dan cerdik. TEMPO ternyata memberi kesempatan yang sangat luas buatku untuk berkembang sebagai seorang reporter. Pernah beberapa kali aku mendapat kesem-

160


patan menulis laporan utama, seperti masalah penyeludupan di Riau, masalah pengungsi Vietnam. Setelah kucocokkan dengan naskah yang kukirim, hampir 90 persen laporan yang kubuat utuh diturunkan. “Memang tak begitu banyak yang harus ditulis ulang”, komentar Mas Susanto Pujomartono, penjab rubrik nasional, satu ketika di kantor TEMPO Jakarta, membincangkan laporan-laporan koresponden daerah (Mas Susanto kemudian pernah menjadi pemred Jakarta Post, dan pernah menjadi Dubes RI di Rusia). Ketika itu, aku memang bersaing ketat dengan Dahlan Iskan, koresponden TEMPO untuk Jawa Timur. Dia berhasil mendapat liputan bagus ketika terjadi musibah tenggelamnya kapal Tampomas II. Satu kali, dalam kesempatan para koresponden daerah berkumpul di Jakarta, Dahlan langsung bertanya. “Yang mana Rida K Liamsi?”, tanyanya mengarah ke rekanrekan koresponden. Ketika Yusril memperkenal aku, dia langsung menyalami. “Oh, Anda ya...”, gumamnya. Dalam hatiku, aku berkata, “Ini orangnya yang jadi saingan berat itu...”. Dahlan saat itu sangat bersahaja. Pakai T Shirt, sepatu kets, dan bicara kritis, penuh ide. TEMPO juga memberi kesempatan kepada aku untuk meliput beberapa event internasional. Aku pernah ditugaskan meliput masalah penyeludupan di Singapura dan itu merupakan perjalanan pertama kali aku ke luar negeri, masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) gelap di Malaysia. Aku pernah ke Thailand Selatan dan setelah itu beberapa kali lagi ke Malaysia, terutama meliput peristiwa budaya, seperti Pertemuan Dunia Melayu I di Malaka. Agar aku tidak mati kejenuhan di kota kabupaten, TEMPO setuju kalau aku pindah ke Pekanbaru. Toh, Pekanbaru adalah kota Provinsi, sementara Tanjungpinang hanya ibukota kabu-

161


paten, meskipun kalau dilihat kualitas event-nya, Tanjungpinang hampir seperti ladang yang tak pernah kering dengan peristiwaperistiwa berskala nasional dan bahkan internasional. Tahun 1980, aku pindah ke Pekanbaru, boyong bersama keluarga. Istriku yang jadi guru juga pindah. Aku merasa tahun-tahun itu, adalah tahun puncak karirku sebagai koresponden daerah di TEMPO. Setahun kemudian, TEMPO menawarkan aku untuk mencoba menjadi Kepala Biro TEMPO di Bandung, karena untuk kantor biro, Riau belum dianggap perlu. Aku begitu bergairah menangkap peluang itu dan langsung terbang ke Jakarta untuk mengikuti training persiapan sebagai kepala biro dan sekalian orientasi ke Bandung. Waktu itu, ikut juga training adalah Amran Nasution dari Medan, yang sedang dicarikan tempat untuk dipromosi jadi kepala biro. “Menjunjung Idealisme Wartawan� AKMAL ATATTRICK - Teman Seperjuangan Tanjungpinang

P

ADA tahun 1967, di Tanjungpinang terbit koran Pelita Buana. Pengasuhnya, Nano Sitamena dan Iskandar Leo. Saya waktu itu belum kenal dengan Iskandar Leo tersebut. Ternyata kemudian saya baru tahu, bahwa Iskandar Leo itu adalah Ismail Kadir. Kami pun saling kenal dan sama-sama mendirikan koran Api Pancasila. Kami sering bertemu di kantor dan sering bertukar pikiran tentang banyak hal. Setelah koran Pelita Buana tak terbit lagi, Rida menjadi wartawan Majalah Express. Selanjutnya, tahun 1970 menjadi koresponden TEMPO. Waktu itulah, kami, saya, Rida, Eddy Mawuntu-berteman akrab. Akhir 1970, kami mendirikan Era Press yang berkantor di Kacapuri sekarang. Sejak saat itu, kami terus bekerja sama dalam kegiatan kewartawanan. Kami sering sama-sama mewawancarai narasumber. Waktu itu saya sudah melihat idealisme

162


Sekitar dua minggu di sana dan Mas Gun sudah sempat memperkenalkan aku pada Pak Haryoko Trisnadi sebagai calon Kepala Biro TEMPO di Bandung, namun tiba-tiba menjelang harus membuat keputusan, aku menolak. Soalnya setelah bicara dengan istriku via telepon, ternyata kami punya problem dalam memindahkan dia yang jadi guru SD ke Bandung. Waktu itu, selain proses pindah antarwilayah, bukan main susahnya, juga dia baru setahun pindah dari Tanjungpinang ke Pekanbaru. Dia merasa sangat sulit untuk meyakinkan atasannya, untuk pindah lagi ke tempat lain. “Jangan-jangan bisa diberhentikan”, katanya was-was. Kalau tidak pindah, maka problem pisah keluarga, akan menjadi hambatan dalam bekerja. Tugas sebagai kepala biro paling tidak dua atau tiga tahun.

wartawannya. Karena idealisme itu pula, Rida akhirnya meninggalkan Majalah TEMPO. Saya waktu melihat Rida berada di antara dua pilihan. Satu sisi, mempertahankan idealisme ingin menjadi wartawan profesional. Di sisi lain, jaminan hidup untuk anak-istri perlu diperhitungkan. Lalu Rida melanjutkan penerbitan surat kabar tertua di Riau yakni Genta. Tak lama di Genta, karena campur tangan pemimpin umum yang terlalu besar, Rida pun mundur. Saya masih ingat pesan Rida. ‘’Kautetapkan satu media saja,’’ katanya. Sebab, waktu itu, saya menulis berita ke banyak media. Kemudian Rida sempat pula jadi koresponden surat kabar Suara Karya. Sewaktu bertugas di Surabaya, dia bertemu kembali dengan Dahlan Iskan yang sudah mengelola Jawa Pos Group. Rida diajak bergabung dan mendirikan Riau Pos Group. Sewaktu Riau Pos menjadi pioner dalam sistem cetak jarak jauh (SCJJ) yang ditempatkan di Tanjungpinang, Rida mengajak saya bergabung.***

163


“Sulit, kalau harus hidup berpisah begitu lama”, kata istriku, terisak-isak. Akhirnya hati batuku luluh. Bukan hanya merasakan kesedihan hati istriku, tetapi juga nasib empat anakku yang sudah ada waktu itu, M Nur Hakim, Shinta Dewi, Oktavio Bintana dan Teddy Jun Askara. Aku akhirnya, melepas peluang itu dan Amran Nasution yang mengambil alih. Aku kembali ke Pekanbaru, dengan hati yang lunglai. Kecewa dan pahit mengingat peluang yang telah terbang itu. “Ya, demi anak-anak”, kataku menghibur diri. “Mungkin ada hikmahnya”, bujuk istriku. Ya, aku terima. Sebagai pengobat luka dan agar aku memperoleh kembali semangat juangku sebagai wartawan daerah, lalu aku mengusulkan kembali pindah Tanjungpinang, sebab setelah lebih setahun di Pekanbaru, ternyata ibukota Provinsi Riau dan daratan Riau, tidak sangat potensial untuk liputan yang layak TEMPO. Awal 1982, aku kembali ke Tanjungpinang. Tahun 1983, sekitar Maret aku punya kesempatan melakukan studi tur ke Surabaya bersama sejumlah wartawan anggota PWI Riau. Kami mengunjungi Surabaya Post dan juga Jawa Pos, dua koran Surabaya yang ada waktu itu. Surabaya Post, sudah sangat maju. Aku terkagum-kagum dengan koran itu. Karyawannya pakai dasi. Gedungnya bertingkat, seluruhnya pakai AC. “Ternyata, bisa juga koran yang terbit di daerah sehebat dan semaju ini”, batinku berkata dan kemudian kucetuskan pada temanteman lain. Lalu kenapa di Riau tak bisa. Kenapa koran Genta yang ada di sana itu, hampir-hampir mati dan sudah hampir setahun tidak terbit lagi? Ini membangkitkan kembali obsesiku untuk jadi pemimpin koran di Riau, obsesi yang sudah lama terpendam. Obsesiku itu, makin berkobar-kobar, ketika kemudian aku berkunjung ke Jawa Pos. Koran itu, rupanya baru setahun diambil alih oleh TEMPO dan yang jadi pemimpin redaksi dan penang-

164


gung jawab manajemennya, adalah Dahlan Iskan, Kepala Biro TEMPO di Jawa Timur dan saingan beratku sesama koresponden TEMPO. Masih kecil, waktu itu, tapi Dahlan bekerja begitu antusias, seakan-akan dia menangkap peluang besar di depannya. Dari ruang-ruang sempit di Kembang Jepun itu, seakan tercium aroma masa depan koran itu. Aku iri betul. 3. Memulai Obsesi Jadi Penerbit Pulang dari Surabaya, aku membuat putusan, yang menurut istriku, putusan gila. Ketika tiba di Pekanbaru, aku langsung bertemu Tabrani Rab, yang waktu itu adalah Pemimpin Umum Genta. Aku katakan padanya, aku mau menerbitkan Genta, asal jabatanku paling tidak redaktur pelaksana, agar bisa mempunyai wewenang lebih besar. Lalu aku minta gaji sebesar gaji yang diberi TEMPO. Tabrani ternyata setuju dan dia berjanji akan memberi aku dukungan dana paling tidak enam bulan, sambil menggaji aku sebesar gaji yang diberi TEMPO. Maka, saat itu juga Tabrani membuat SK pengangkatanku sebagai redaktur pelaksana Genta. Pemimpin redaksinya tetap Pak Zuhdi (kini almarhum), namun tidak aktif. Pemimpin perusahaannya adalah Pak Suwardi MS, yang juga merangkap wakil pemimpin umum, namun dia juga tidak aktif dan sehari-hari ditangani oleh Drs Harlen. Tanpa pulang dulu ke Tanjungpinang, aku langsung kerja dan menerbitkan Genta. Koran ini dulunya harian, tetapi karena kesulitan dana, akhirnya terbit mingguan. Seminggu sebelum batas waktu SIUPP-nya akan dicabut, karena terlalu lama tidak terbit, akhirnya Genta terbit kembali, Maret 1983. Edisi pertama di bawah komandoku, dalam bentuk tabloid, hitam putih, 12 halaman dan foto cover-nya adalah candi Muara Takus. Yang turun tangan membantu waktu itu adalah Hikmat Ishak (waktu itu masih sebagai wartawan Kompas) dan Fakhrunnas MA Jab-

165


bar yang waktu itu membantu Panji Masyarakat dan Suryanto, petugas Sekretariat Kantor PWI Cabang Riau. Sebuah koran yang masih centang-perenang dan sebagian menggunakan bahan rugos untuk iklan, dan lain-lain. Dicetak 1.500 eks di percetakan Budi Indah, Pekanbaru. Aku mengatur kerja penerbitan itu, dari kamarku nomor 17, di hotel kecil, Dharma Utama, di Jalan Sisingamangaraja, Pekanbaru. Sampai tiga nomor, baru aku pulang ke Tanjungpinang dan memberitahu istriku bahwa aku sudah nekat ingin menerbitkan terus Genta dan berhenti dari TEMPO. Istriku kecewa berat dan menuduhku membuat keputusan tanpa memikirkan hari depan dan anak-anak. Tapi kataku, jadi koresponden di daerah itu ada batasnya. Satu hari orang harus meningkat, entah jadi redaktur atau mungkin seorang pemimpin redaksi. Keinginan seperti ini pernah kami diskusikan dengan Husni Alattas (kini almarhum), koresponden TEMPO di Palu

“Saling Pinjam Duit� M MAARUF - Teman/Agen Koran di Tanjungpinang

S

EMASA jadi guru di Tanjungpinang, Rida sudah suka sastra. Kami sama-sama membentuk sanggar sandiwara. Saya kenal Rida sekitar tahun 1967. Waktu itu, dia bersama Eddy Mawuntu, Nano Sitamena, Sudirman Bachri mendirikan majalah Sempena. Kemudian mengasuh surat kabar AB Edisi Kepri. Sejak saat itu, Rida pun aktif pula jadi wartawan. Pernah jadi koresponden Pelita Buana, Majalah TEMPO dan Suara Karya. Kami biasanya kumpul-kumpul di kedai kopi. Membincangkan soal seni dan wartawan. Istrinya, Asmini sejak dulu selalu dukung Rida dalam tugas-tugas kewartawanan itu. Kerja wartawan masa itu, kadang-kadang dapat duit, kadang tidak. Jadi, kami sudah biasa dulunya saling pinjam duit kalau sedang tak punya.***

166


(Sulawesi Tengah), ketika dia datang ke Jakarta dan bertemu aku di kantor TEMPO, saat aku job training di sana. “Kita-kita ini kelak, setelah jadi koresponden di daerah, bisa jadi apa lagi?”, katanya mempertanyakan. Tak ada jawaban, baik dari dia maupun dari aku. Karena aku saat itu lagi menikmati bahagianya bisa menjadi koresponden TEMPO. Dia sendiri juga begitu, walaupun, seminggu kemudian dia tewas dalam penerbangan dari Palu ke Manado, dengan pesawat Twin Otter, ketika melakukan penugasan meliput masalah cengkeh. Aku pikir, pertanyaan Husni itu, jawabannya adalah, “seseorang yang sudah memutuskan jadi wartawan, suatu hari, harus punya ambisi menjadi seorang pemimpin redaksi. Kalau mungkin, ya, jadi penerbit dan pengusaha surat kabar.” Ambisi itu juga yang dikatakan Dahlan Iskan waktu kami bertemu di Surabaya, sebagai jawab mengapa dia mau melepas jabatan Kepala Biro TEMPO di Surabaya dan menjadi pengelola koran kecil itu. Artinya, betapa sulit dan penuh tantangan pun, obsesi seperti itu adalah sah bagi seorang jurnalis. Maka, aku pikir, betapapun beratnya putusan yang aku buat, maka aku harus lakukan itu, kalau aku memang ingin menggapai obsesi itu dan tak ingin seumur hidup sebagai koresponden daerah. Aku kirimkan surat pengunduran diri ke TEMPO dan kukatakan bahwa aku ingin menjadi pemimpin surat kabar di daerah. Mulanya Yusril agak kaget. “Putusan Anda tidak emosional, kan?”, katanya via telepon, karena dia tahu aku sangat kecewa karena gagal menjadi Kepala Biro TEMPO di Bandung. “Aku bilang tidak. Sudah dipertimbangkan, baik-baik”, lanjutku. “Oke, kalau itu memang lebih baik untuk Anda”, katanya. Beberapa waktu kemudian, keputusan keluarku dari TEMPO tiba

167


dan aku kemudian sepenuhnya memberi waktu untuk Genta. Karena terlalu riskan untuk memboyong lagi keluarga ke Pekanbaru, maka aku bolak-balik saja tiap satu atau dua minggu sekali ke Tanjungpinang. Istriku dan anak-anak tetap di Tanjungpinang. Beberapa teman bergabung denganku. Selain Fakhrunnas dan Suryanto, juga ikut Hasan Junus, Syafrifuddin Saleh Sei Gergaji, Taufik Ikram Jamil, Deni Kurnia dan Syafrial Syamsuddin. Sesekali Hikmat Ishak ikut membantu. Tetapi, memang ternyata tidak mudah, mengelola sebuah surat kabar. Ternyata tidak cukup hanya dengan sebuah semangat, sebuah obsesi, apalagi dengan pengalaman ala kadarnya dalam dunia jurnalistik. Tidak juga cukup hanya punya uang. Ternyata menjadi penerbit, tidak sama dengan menjadi wartawan. Ternyata, membuat surat kabar itu, agak lebih mudah, apalagi kalau dengan mutu, ala kadarnya. Tetapi menjual surat kabar, jauh lebih susah, meskipun untuk hanya selembar surat kabar. Ternyata menerbitkan dan mengelola sebuah surat kabar, sebuah penerbitan itu, memerlukan kemampuan manajemen. Memerlukan visi, memerlukan strategi, memerlukan sejumlah kemampuan mendasar dalam dunia bisnis. Itulah pengalaman yang belum pernah kuperoleh sebelumnya, sesuatu yang belum pernah kupelajari sebelumnya. Dalam perkembangannya, oplah cetak Genta per minggu naik dari hanya 1.500 eks, menjadi 2.500 dan seterusnya dan bahkan pernah sampai 12.500 eks per minggu. Tetapi, manajemennya berantakan. Uang entah ke mana, piutang entah berapa. Sementara koranku itu segera menjadi koran oposisi. Aku terus mengeritik pemerintah daerah. Menyerang berbagai kebijakan Gubernur Imam Munandar (kini sudah almarhum). Sehingga pernah satu kali, Gubernur Imam berteriak pada Zuhdi, SH, Kepala Biro Umum Kantor Gubernur yang kebetulan juga tercatat sebagai

168


Pemimpin Redaksi Genta (sekalipun tidak pernah aktif), agar aku dipecat. Karena Zuhdi tak mau memecatku secara langsung, maka Pak Zuhdi membuat surat kecil, berupa nota dan dikirimkan padaku, yang isinya: “Terhitung hari ini, saya mengundurkan diri dari jabatan Pemimpin Redaksi SKM Genta�, tulis Zuhdi. Artinya, dia tidak mau bertanggung jawab terhadap semua isi koran yang aku buat. Dia mengkopi nota itu dan dikirim ke Pak Imam. Itu jalan keluarnya. Artinya, Pak Imam silakan marah langsung padaku. Oke, aku kemudian minta Tabrani mengangkatku sebagai Wakil Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab Sehari-hari Genta. Tabrani setuju dan SK ditekennya, walaupun Pak Suwardi Ms agak terkejut, karena tak pernah diberitahu Tabrani. Mungkin kerja terlalu keras, mungkin makan tak teratur, mungkin kondisi tempat tinggal, yang juga merangkap Kantor Genta di Jalan Ronggowarsito 71, itu tidak sehat, akhirnya aku jatuh sakit. Cukup berat. Paru-paruku berdarah dan aku harus ditranfusi darah, padahal aku waktu itu sudah berhenti merokok. Teman-temanku jadi agak kalang-kabut juga, karena kondisiku menurut mereka cukup mengkhawatirkan. Tabrani Rab, dokter yang merawatku (juga Pemimpin Umum Genta), bekerja keras menyelamatkan nyawaku. Ristje, teman wartawan RRI dan Nurbahrij Yoesoef (kini almarhum), wartawan tua yang sangat solider dengan teman-teman, lintang-pukang mencari donor darah yang cocok dengan darahku. Karena sulit diperoleh, Pak Nurbahrij sendiri yang memberikan darahnya untukku, padahal tubuhnya, alangkah kurusnya, ketika itu. Istriku datang dari Tanjungpinang, menangis dan menyesali, semua yang terjadi, termasuk keputusan aku berhenti dari TEMPO. Tuhan Maha besar, aku lolos dari krisis dan seminggu kemudian mulai pulih. Setelah dirawat intensif selama hampir dua

169


minggu, akhirnya aku bisa keluar. Dengan tiket dari Tabrani (baik sebagai teman maupun sebagai Pemimpin Umum Genta), aku kembali ke Tanjungpinang bersama istriku, untuk pemulihan. Koran kutitipkan kepada teman-teman di kantor, pada Hasan Junus dan Syafruddin, sebagai pelaksana. Tetapi, pulangnya aku ke Tanjungpinang, juga merupakan kepulangan yang seterusnya tidak lagi kembali ke Genta. Ini garagara keputusan Pak Suwardi Ms, waktu itu jabatannya pemimpin perusahan dan juga Wakil Pemimpin Umum dan Ketua Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Riau yang menjadi badan penerbit SKM Genta, mencopot satu berita tentang Balai Kajian Sejarah Melayu dan Melayunologi, dari halaman I SKM Genta dan membiarkan bagian yang dicopot itu dihitamkan. Aku marah besar dan menganggap itu sebagai campur tangan yang tak bisa dimaafkan. Akhirnya aku memutuskan keluar dari Genta dan mengembalikannya kepada Pak Suwardi. Teman-teman yang mau terus silakan. Lama Pak Suwardi membujukku untuk kembali mengelola Genta, dan mengirim Drs. Harlen menemui aku di Tanjungpinang, tetapi aku sudah patah arang. Akhirnya, bersamaan dengan waktu pembaruan SIUPP di Indonesia, Pak Moeslim Kawi, yang sehari-hari adalah koresponden Antara di Pekanbaru, ditunjuk menggantikan aku jadi pemimpin redaksi. Oke, aku sudah memutuskan bahwa Genta sudah menjadi bagian dari masa laluku. Sebagai wartawan, aku takkan pernah berhenti. Itu sudah menjelang akhir tahun 1984 atau lebih dari 1,5 tahun aku mengelola Genta dengan segala tantangannya. Keluar dari Genta, aku kembali berusaha untuk jadi koresponden lagi. Aku mengirim lamaran ke dua penerbit. Satu ke Kompas dan satu ke Suara Karya. Kepada keduanya kusertakan laporan yang kutulis tentang beberapa isu di Kepulauan Riau, untuk referensi mereka. Tampaknya, Suara Karya merespon aku

170


secara positif. Salah satu tulisanku langsung dimuat. Sementara Kompas, menyuratiku minta dikirimkan curriculum vitae-ku. Sambil curriculum vitae-ku tetap kukirim ke Kompas, tulisan ke Suara Karya jalan terus. Jalan ke Suara Karya ternyata terbentang lebar. Mereka memang sedang memerlukan seseorang untuk korespondennya di Riau. Bagai mesin perang maka tiap hari aku mengirim 2-3 berita dan features ke redaksi. Meskipun honornya tidak tergolong besar, aku bersemangat sangat. Aku membangun jaringan hubungan dengan redaktur daerah, khususnya dengan Mas Susanto, orang Jogya yang Bahasa Jawanya bukan main medok, tetapi sangat cerdik dalam membina korespondennya. Dengan semangat yang berkobar-kobar, aku serbu Suara Karya dengan berbagai tulisan. Paling tidak seminggu sekali aku dapat merebut boks artikel halaman I untuk tulisan khas. Belum lagi laporan daerah dan berita-berita hangat. Pokoknya, aku berusaha keras agar semua isu di Riau, Suara Karya tak akan kebobolan dengan koran lain, terutama dengan Kompas dan Suara Pembaruan yang punya koresponden tangguh di Riau. Kompas punya Zaili Asril dan Suara Pembaruan punya Mulyadi dan Eddy Mawuntu. Itu sebabnya ketika meledak kasus pencurian harta karun di laut Riau oleh Michael Heatcher dkk. misalnya, Suara Karya tak ketinggalan dan bahkan boleh dibilang unggul. Juga ketika ada kasus kembar siam Yuliana dan Yuliani yang kemudian menjadi kasus medis paling menarik di Indonesia, juga Suara Karya yang paling duluan. Akhirnya, seperti di TEMPO dulu, aku diberi kesempatan oleh Suara Karya untuk maju dan keluar dari sarangku di Riau. Aku dikirim ke Aceh, aku ditugas ke Lampung meliput kasus Warsidi. Selama hampir tiga bulan, menjelang aku dijadikan karyawan tetap, aku magang sebagai asisten redaktur di Jakarta, di desk daerah membantu Syahlan Baitansyar dan

171


Soeripto, Gubernur Riau saat itu, meresmikan gedung percetakan PT Riau Graindo, tempat harian Riau Pos dicetak, tahun 1997 (atas)

Bupati Kepulauan Riau A Manan Sahiman (tengah) sedang menyaksikan koran Riau Pos hasil cetak jarak jauh di Tanjungpinang, tahun 1997. Sebelah kanan Akmal Atatrik (alm) Kepala Perwakilan Riau Pos di Tanjungpinang, dan Andi Rivai (Walikotamadya Tanjungpinang waktu itu).

172


Wahyu Dwiatmoko. Bahkan, bersama Soul de Ornay, aku dikirim ke Surabaya untuk mengelola halaman khusus Suara Karya untuk Surabaya yang diberi nama Rek Ayo Rek. Lebih sebulan aku di sini dan sudah sempat belajar Bahasa Madura, yang jadi teras halaman Rek Ayo Rek itu. Ketika itu juga aku mendapat promosi menjadi karyawan Suara Karya, dan ditawar pindah ke Jakarta dan dijanjikan oleh Mas Susanto untuk dibantu memindahkan istriku ke Jakarta. Tetapi, garis perjalanan karir jurnalistikku, ternyata tak memberikan aku waktu terlalu lama di Suara Karya. Tahun 1990, awal, ketika masih di Surabaya dan menangani halaman Rek Ayo Rek itu, aku ditugaskan mewawancarai Dahlan Iskan. Ini gara-gara kesebelasan Persebaya yang kalah lawan Persib Bandung dalam kempetisi Ligina, menghancur-lebur beberapa stasiun kereta api sepanjang jalan Jakarta-Surabaya. Aku diminta agar mewawancarai Dahlan, dalam kapasitasnya sebagai manajer tim Persebaya, agar mau menjelaskan mengapa sampai terjadi begitu dan apa yang akan dilakukannya setelah itu. Aku menelepon ke Jawa Pos, memberitahu Dahlan bahwa aku adalah bekas temannya dulu di TEMPO dan sekarang jadi wartawan Suara Karya. Dia meresponku secara cepat dan menyuruh aku datang ke kantor Jawa Pos di Karah Agung. Di sini, sebelum bertemu Dahlan, aku sudah dibuat terheranheran melihat kemajuan Jawa Pos. Dari kantor kecil di Kembang Jepun, tahun 1983, dalam masa hanya tujuh tahun, sudah punya percetakan sebesar itu di Karah Agung. Belum lagi kantor barunya di sebelah percetakan yang sudah siap dibangun dan akan segera ditempati. Kembali, obsesi lamaku yang terpendam dalam itu, bangkit kembali. Keinginan punya koran sendiri, memimpin sendiri, dan lagi-lagi berkata, “Ternyata kalau diurus benar-benar, di daerah

173


pun bisa ada koran besar dan hebat, seperti Jawa Pos. Mengapa di Riau kok tak bisa, mengapa tetap tak ada satu harian pun yang bisa bertahan di sana lebih dari enam bulan?“ kata hatiku lagi. Dan, Dahlan membuyarkan semua keraguan itu. Dia justru tidak bicara tentang sepak bola. “Alah sudahlah itu, Rid! Untuk apa. Ayo kita bikin koran di Riau. Anda berani?” katanya. Aku terperanjat, terperangah dan tiba-tiba bagai mendapat roh baru, semangat baru, langsung menjawab. “Mau, asal Anda mau memberi saya mesin cetak. Sebab, di Riau tak ada mesin cetak yang bisa cetak koran.” Dia langsung tersenyum. “O, itu soal kecil. Saya bisa kirim sekarang juga. Cari koran yang mau kerja sama”, lanjutnya. Wawancara itu pun selesai. Dia menepuk bahuku dan pergi entah ke mana. Membiarkan aku pulang dengan gagasannya, yang bagai kereta api melanyak-lanyak rel hati, perasaan dan semangat hidupku. 4. Membangun Mimpi Baru Awal 1990, karena tugas Rek Ayo Rek selesai dan diteruskan oleh Saul, maka aku kembali ke Jakarta. Kebetulan musim liburan dan istri dan dua anakku yang paling kecil, Indra Rukmana dan Shanti Novita, bersama ibu mertuaku, datang ke Jakarta, berlibur. Di rumah kostku di Mampang Prapatan VII, aku bicara kembali dengan istriku tentang tawaran Dahlan Iskan itu. Itu berarti aku kembali menawarkan padanya kemungkinan berhenti lagi dari Suara Karya, berhenti dari pekerjaan yang punya penghasilan tetap sekitar Rp700 ribu, waktu itu. Penghasilan yang termasuk sangat besar buatku dan keluargaku di tahun 1990, di Tanjungpinang. Di mana setiap bulan, ketika aku mengirimkan gaji itu via bank ke Tanjungpinang, istriku mengambilnya dengan rasa

174


bangga. Selain naik tangga di sebuah bank besar (Bank BDN), juga teman-temannya kagum bahwa ternyata gaji wartawan itu cukup besar, hampir tiga kali gaji istriku sebagai guru SD golongan III-a waktu itu. Tetapi aneh, meskipun dia kelihatan berat menerima dan air matanya mengalir, dia tidak menentang. Memang, aku menghiburnya dan mengatakan, Dahlan menjanjikan, bila sudah terbit, gajiku bisa lebih besar dari yang kuterima dari Suara Karya. “Ya, terserahlah, kalau itu memang baik�, katanya. “Tapi Istikharah-lah...�, katanya lagi, seakan mengingatkan aku agar tidak membuat keputusan tanpa pertimbangan matang dan yang terlebih penting, menyerahkan segala sesuatu, baik atau buruk, kepada Tuhan dan minta petunjuk dari-Nya. Ya, aku memang salat sunat istikharah untuk membuat putusan itu, minta diberikan petunjuk. Setelah salat istikharah itu, aku merasa hatiku mantap dan aku seakan mendapat kekuatan untuk meraih lagi ambisi dan obsesiku. Selesai libur, aku pulang ke Tanjungpinang. Kuberitahu Mas Susanto bahwa aku mengantar istri dan anakku pulang. Setiba di Tanjungpinang, aku langsung mengontak Pak Asparaini Rasyad, Kepala Biro Humas Pemda Riau dan memberitahu, kalau aku ada tawaran kerja sama menerbitkan harian di Riau oleh kelompok Jawa Pos (waktu itu mereka baru punya dua koran di luar Jawa, yaitu Manuntung di Balik Papan dan Fajar di Ujungpandang, sementara Cahaya Siang di Manado, putus di tengah jalan) dan apakah Riau Pos mau? Ternyata respon Pak Aspar (begitu aku memanggilnya), cukup baik dan cepat. Dia minta aku ke Pekanbaru dan langsung berunding. Aku berangkat dan terus berkerja keras merealiasi kerja sama itu. Menjelang kesepakatan final dicapai, Pak Indra Slamet Santoso, SH, dari Jawa Pos, datang ke Pekanbaru. Kami berun-

175


ding lagi. Riau Pos diwakili Pak Aspar dan Pak Kiai A Kadir Mz (kini almarhum) dan dari Jawa Pos, aku dan Pak Indra. Juni, 1990, terjadi kesepakatan dan sekitar pukul 23.00 malam, kami menandatangani perjanjian kerja sama itu di kantor notaris Syawal Sutan Diatas, di deretan toko di Jalan Sudirman. Aku ingat, saking tegang dan lelahnya aku menyiapkan kerja sama itu, besok, setelah mengantar Pak Indra ke Bandara Simpang Tiga, kembali ke kamarku di kamar No.17, Hotel Dharma Utama, aku jatuh sakit. Demam dan mungkin oleh ledakan stres yang tertahan-tahan selama proses menyusun kerjasama itu. Begitulah. Begitu MoU itu diteken, besoknya aku menyurati Suara Karya, menyatakan mohon mengundurkan diri dan terus terang memberitahu bahwa aku mendapat tawaran menjadi pengelola surat kabar di daerah dengan kerja sama Jawa Pos. Mas Susanto meneleponku dan mengaku agak kaget dan kecewa juga. Soalnya, memang dialah yang sudah berusaha keras untuk mempercepat aku memperoleh status karyawan. Biasanya untuk koresponden daerah, jarang yang dalam masa empat-lima tahun bisa langsung jadi karyawan. Ada yang sudah sepuluh tahun masih berstatus koresponden tetap non karyawan. Tetapi itulah putusanku, kataku padanya, aku ingin mewujudkan mimpiku, menjadi pengelola surat kabar, sekalipun kecil, sekalipun kelak aku akan gagal kataku. “Kita kan harus mencoba, Mas. Kan tak mungkin saya terus jadi koresponden sampai tua�, ujarku lagi berkelakar, via telepon. Dia mengerti, dan titip salam untuk anak-anak. Pertarungan itu kembali lagi dimulai, di Pekanbaru, di Riau, tempat yang enam tahun lalu aku gagal ketika mengelola Genta. Ketika itu, Genta masih tetap ada dan masih sebuah surat kabar mingguan, masih satu-satunya koran daerah yang masih terbit. Sementara Riau Pos,

176


sudah berhenti terbit lebih dari enam bulan. Dengan modal MoU itu aku kemudian mulai bekerja, membuat persiapan. Terutama menyiap sumber daya manusianya dan tempat mesin cetak. Dengan pengalamaan mengelola Genta dulunya, lalu belajar menangani redaksi di Suara Karya dan melihat bagaiman manajemen Suara Karya mengelola koran itu, meskipun bukan koran yang terbesar di Indonesia, maka banyak sekali model manajemennya yang mengilhami aku di tahap-tahap awal kerjaku menerbitkan Riau Pos. Meskipun koran ini diterbitkan dengan kerja sama Jawa Pos, tetapi aku hampir-hampir tidak mengenal model dan manajemennya. Yang aku kenal dan aku tangguk adalah semangat Dahlan dan dukungannya terhadap gagasan ini. Alhamdulillah, hari demi hari persiapan dibuat dan akhirnya, setelah menyiapkan kantor baru di Jalan Cempaka, 17, di sebuah ruko berlantai tiga, akhirnya Riau Pos terbit, 18 Januari 1991, sehari setelah Perang Teluk I meletus. Tanggal itu dipilih, karena itulah momentum pasarnya, meskipun dalam catatan semangat dan kenangan kami atas hari pertama koran itu terbit, tetaplah tanggal 17 Januari, karena hari itulah sesungguhnya sebuah kerja besar kami dimulai. 5. Mengembangkan Obsesi Riau Pos baru, sebuah surat kabar harian, terbit delapan halaman, hitam putih, sembilan kolom (broach-sheet) dan dicetak 1.500 eks saja dan diedarkan secara cuma-cuma, di tengah hirukpikuk Perang Teluk I. Dan itu benar-benar kerja nekat. Soalnya itu ‘kan zaman Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) begitu ketat, begitu keramat. Tapi Riau Pos terbit harian, padahal izin yang dikantongi masih mingguan. Memang sudah diajukan izin perubahan periode terbit, perubahan manajemen, perubahan pengasuh, tetapi belum ada jawaban dari Deppen. Tapi aku terus

177


nekat. Aku ingat, yang aku lakukan waktu itu adalah, melaporkan kenekatan itu kepada Gubernur Riau Soeripto dan kepada Kakanwil Deppen Markum Singodimejo. “Ora opo-opo, Rida. Jalan terus aja. Nanti aku ngomong Pak Harmoko”, kata Pak Ripto (begitu aku memanggil Gubernur Riau Soeripto yang memang cukup lama aku kenal). Juga Pak Markum. ”Ya, kita tutup mata dululah. Tapi jangan macam-macam, susah saya,“ katanya. Begitulah. Setelah hari itu, tanpa menghiraukan apa korannya akan laku atau tidak, aku dan teman-teman yang memulai kerja keras kami, bertekad untuk memecah mitos, bahwa dengan terbitnya Riau Pos ini, maka dia akan jadi koran pertama di Riau yang mampu melewati waktu-waktu beratnya. Akan jadi koran yang Insya-Allah akan tetap terbit rutin tiap hari menembus waktu dan halang rintang. Sekali lagi, Alhamdulillah, kami semua dapat melewati titiktitik perjalanan sejarah kami. Satu tahun, dua tahun dan seterusnya. Pada tahun kelima, begitu kami sukses melewatinya, bukan hanya karena bisa terbit tiap hari, tetapi juga sudah menyaksikan apa yang namanya laba, maka kami menamakan tahun 1996 itu sebagai tahun menembus mitos. Kami membuat sebuah kampanye dengan memasang beberapa billboard yang menggambarkan tokoh karikatur Riau Pos “Wak Atan”, yang berkain sarung dan berkopiah, membidik target dengan sebuah pesawat mainan kertas koran Riau Pos. Target itu adalah mitos dan Riau Pos melesat ke depan menembusnya. Akhirnya Riau punya koran yang bisa terbit tiap hari, hidup, dan berkembang. Memang ada sejumlah makna lain, baik dalam visi manajemen maupun historis, yang terkandung dalam kampanye menembus mitos itu. Bagiku pribadi, inilah wujud dari perjalanan-perjalanan mimpiku sebagai seorang wartawan. Seorang anak kampung yang

178


berangkat dengan angan-angan dan obsesinya untuk menjadi “seseorang“ dan melintas di atas track sejarah bangsanya. Semua itu mulai terwujud tentunya dengan ridho dan lindungan Allah Yang Mahabesar, Rabbil Alamin. Di samping dukungan berbagai pihak. Dahlan Iskan, terutama sekali dengan jaringan manajemen Jawa Pos groupnya. Aku rasa ini inti keunggulan itu. Berkat jaringan manajemen redaksional, jaringan manajemen organisasi administrasi dan keuangan, jaringan pasar dan iklan dan jaringan sumber daya manusianya. Perjalanan Riau Pos menembus batas waktu dan tumbuh menjadi sebuah surat kabar yang sehat dan berkembang menjadi lebih mudah, terencana dan terarah berkat kekuatan network dan etos kerja Jawa Pos itu . Dahlan membiarkan aku mengembangkan visi dan obsesiku itu menjadikan Riau Pos tidak hanya sebuah surat kabar yang terbit dan diperjualbelikan di pasar. Tetapi sebuah institusi budaya, sosial, ekonomi dan politik, yang diupayakan semaksimal mungkin memberikan kontribusi terhadap negeri di mana dia tumbuh dan dibesarkan. Dalam bahasa Dahlan yang dia tulis dalam puisinya menyambut lima tahun Riau Pos, dia mengatakan: “Riau Pos akan menjadi pembela Riau. Pembela segala-galanya“. 6. Akhirnya Menjadi Sebuah Group Tahun 1997, Riau Pos berhasil membangun sebuah gedung untuk jadi kantor dan percetakan, dalam satu komplek di Jalan Raya Pekanbaru-Bangkinang, kemudian diberi nama Jalan Soebrantas. Kantor berlantai dua yang tergolong megah di kawasanya di jalan padat lalu-lintas itu, bukan saja mengakhiri era kontrakmengontrak kantor bagi Riau Pos, tetapi juga menandai era baru di mana sebuah koran yang memulai misinya dengan hanya 2.500 eks per hari, sudah menjadi sebuah koran dengan tiras mendekati

179


30 ribu eks per hari. Sudah menjadi sebuah kapal induk, karena bersamaan dengan itu Riau Pos sudah memilki anak perusahaan percetakan di dua tempat, yaitu di Pekanbaru dan Tanjungpinang. Sudah punya koran cetak jarak jauh di Batam. Punya satu koran mingguan Koran Masuk Desa (KMD) yang namanya Utusan. Peristiwa peresmian kantor baru yang dilakukan oleh Gubernur Riau Soeripto yang juga dihadiri Dahlan Iskan sebagai Direktur Utama, Pak Eric Samola sebagai Presiden Komisaris, dan sejumlah tokoh lain itu, menandai satu era baru, era Riau Pos menjadi sebuah lokomotif pembangunan pers di Riau dan sekitarnya. Karena setelah itu, Riau Pos sudah tidak sendiri lagi. Dia sudah menjadi sebuah grup usaha dan mempunyai beberapa anak perusahaan penerbitan pers. Tahun 1998, karena rahmat reformasi, Riau Pos segera punya Sijori Pos di Batam, dia punya Utusan di Pekanbaru, dia punya Padang Ekspres di Padang dan dia punya Radar Medan di Medan, di samping beberapa anak perusahaan lain nonmedia. Riau Pos berubah menjadi sebuah kekuatan pasar, menjadi sebuah sumber ilham dan motivasi bagi perkembangan kehidupan pers dan budaya yang ada di Riau dan sekitarnya. Aku sendiri, sehari setelah peresmian gedung itu, 5 Maret 1997, berjanji dalam hati, akan pergi mensyukuri semua nikmat itu dan bersujud di kaki Ka’bah, baik dalam bentuk pergi menunai ibadah haji, maupun umrah. Kebetulan beberapa bulan kemudian, bersama satu rombongan para ulama Daerah Riau, aku berkesempatan ikut serta melakukan perjalanan umrah dan sekalian berkunjung ke beberapa negara Islam di Timur Tengah, seperti Turki, Mesir, Jordan dan Palestina. Aku sujud di kaki Ka’bah begitu tiba di Mekkah dan berterima kasih kepada Allah yang telah melimpah semua karunia-Nya. Lalu, tahun berikutnya, aku tunaikan kewajibanku sebagai umat-Nya, dengan melakukan ibadah haji.

180


Allahu Akbar. Dua tahun kemudian, aku kembali ke Baitullah bersama istriku dan mertuaku. Terima kasih Tuhan, Engkau telah lapangkan jalanku, Engkau telah berikan kepadaku rezeki dan kesempatan. Sesungguhnya, tiada apalah yang dapat terlaksana, kecuali atas kehendak-Mu.Amin. Tahun 2004, mimpi menembus mitos itu telah berubah menjadi mimpi menjadi sebuah grup multimedia terkemuka di Indonesia, paling tidak di Sumatera. Karena itulah dengan memposisikan diri sebagai subholding dari Jawa Pos Group, maka Riau Pos Group yang diberi kapling wilayah pengembangan usaha di Sumatera Bagian Utara itu, segera melakukan pengembangan usaha dan investasi. Akhirnya grup yang aku pimpin ini, mempunyai sejumlah penerbitan surat kabar harian (Riau Pos, Pekanbaru Pos, Pekanbaru MX, Dumai Pos, Batam Pos, Pos Metro Batam, Tanjungpinang Pos, Padang Ekspres, Pos Metro Padang, Sumut Pos, Pos Metro Medan dan Metro Siantar, Rakyat Aceh). Punya lima unit percetakan, masing-masing di Pekanbaru, Dumai,Batam, Padang , Medan, dan Pematang Siantar. Punya beberapa televisi lokal, Riau TV di Pekanbaru , Dumai TV di Dumai, Rohul TV di Pasir pangaraian, Batam TV di Batam , Karimun TV di Karimun, Tanjupinang TV di Tanjungpinang, Padang TV di Padang dan Tri Arga TV di Bukittinggi. Setelah kantor Riau Pos yang dibangun 1997 itu, Riau Pos Group membangun kantor cukup bagus untuk anak-anak perusahaan di Medan yang diberi nama Graha Pena Medan. Tiga lantai. Lalu di Batam sebuah gedung sepuluh lantai, yang diberi nama Graha Pena Batam. Pengabadian nama Graha Pena ini untuk menandai jaringan gedung penerbitan milik Jawa Pos yang dimulai dari Graha Pena Surabaya, 21 lantai, dan seterusnya pada beberapa kota Provinsi lain yang menjadi markas anak-anak pe-

181


182


rusahaan Jawa Pos Group, seperti Graha Pena Balikpapan, Graha Pena Palembang, Graha Pena Jakarta, dan seterusnya. Dan Graha Pena Pekanbaru itu kini sedang menunggu selesainya gedung baru 11 lantai yang sedang dibangun. Sekarang aku dan teman-teman sedang mengembangkan jaringan toko buku, yang kami beri nama Toko Buku 171, mengambil sempena hari lahir Riau Pos 17 Januari, dan sekarang toko buku itu sudah ada di Pekanbaru, Dumai, Batam, Tanjungpinang , Bukit Tinggi dan Medan. “Kerja Keras, Tumbuh Bersama dalam Kebersamaan“, itulah motto Jawa Pos Group. Itulah semangat yang mendorong aku melesatkan obsesi dan mimpiku untuk membangun bisnis media terkemuka di kawasan ini. Pada ulang tahun Riau Pos ke-10 aku dan teman-teman telah menerbitkan sebuah buku kecil yang menceritakan bagaimana semua obsesi kami itu bermula, berkembang dan menemukan wujudnya, yang kami beri nama: Obsesi Kami, Mimpi Kami, Bagimu Riau. Dari mimpi dan obsesi itulah kami bangkit dan bergerak, menuju sebuah industri media yang tangguh dan besar minimal di kawasan Sumatera.

Walikota Batam, Drs Nyat Kadir, meletakkan batu pertama pembangunan Graha Pena Batam (kanan) Graha Pena Batam, 10 lantai, telah digunakan sebagai gedung perkantoran grup Riau Pos di Batam, Kepulauan Riau (foto kiri)

183


Terima kasih Riau, karena dari sini aku memulainya. Dan sekarang, ketika memoar ini dirampungkan, usia Riau Pos Group ini sudah memasuki tahun ke-23. Sebuah perjalanan panjang. Tahun ke-23 ini membanggakan, karena tahun ini bukan saja grup ini sudah tumbuh dan berkembang pesat, dan menjadi group media terkemuka di Sumatera, tapi masyarakat bisnis, terutama Pemerintah Daerah Riau melihat kontribusi aku dan grup bisnisku telah memberi makna lain pada pengembangan investasi di Riau. Dan mereka memberi aku anugerah, yaitu “Riau Investment Award� untuk katagori Pengusaha Lokal yang sukses. Dan lagi-lagi saat menatap pigura-pigura penghargaan dan rekam jejak perjalanan Riau Pos Group itu, aku kembali geleng-geleng kepala. Sudah lebih 27 perusahaan media yang kini jadi anggota group bisnis ini. Artinya nyaris tiap tahun, sebuah perusahaan berdiri dan ekssis. Ya koran, ya percetakan, ya televisi, ya toko buku, ya gedung operasional, ya bisnis lainnya yang roh dan jantung bisnisnya bermula dari Harian Riau Pos, Percetakan Riau Graindo di Pekanbaru dan Percetakan Ripos Bintana Pers di Batam. Dan aku terus bertekad, tiap tanggal 17 Januari, Tiap tanggal 20 Mei, tiap tanggal 17 Juli, tiap tanggal 28 Oktober harus ada satu jejak sejarah dan bisnis yang harus lahir, selagi Tuhan memberiku kekuatan dan jalan lapang untuk mewujudkannya. Subhanallah... Tapi aku sadar, tak ada sebuah group bisnis, apalagi media, bisa bertahan lama, kalau tidak ada kaderisasi. Pewarisan dan penerusan mata rantai semangat, cita-cita, dan sistem manajemen. Itulah yang aku lakukan demi hari depan Riau Pos Group. Aku mengkader sejumlah teman-teman yang muda-muda yang sudah bertahun-tahun aku percayakan menjadi manajer di berbagai departemen kerja, dan berhasil melewati berbagai cabaran pekerjaan, untuk mulai memimpin sendiri jaringan bisnis di Riau Pos Group. Seperti yang dilakukan Pak Dahlan Iskan kepada aku

184


dalam membesarkan Riau Pos Group, maka akupun memberi kepercayaan penuh pada para manajer Riau Pos Group untuk menjadi Direktur, Komisaris, dan entrepreneur. Membangun dan mengembangkan Riau Pos Group agar menjadi sebuah group bisnis media yang besar dan tangguh, paling tidak di kawasan Sumatera dan di lingkungan Jawa Pos Group. Obsesi ini secara bertahap terujud. Kini dari 15 group bisnis media di Jawa Pos Group, maka Riau Pos Group menjadi yang terbesar. Baik dalam peraihan hasil usaha, maupun kinerja keuangannya, dan tentu saja kinerja jurnalistiknya. Dua kali meraih penghargaan Karya Jurnalistik Adinegoro, dan beberapa kali meraih penghargaan karya Jurnalistik Muchtar Lubis, dan beberapa kali meraih Penghargaan Adiwarta Sampurna, sehingga mampu menjadi salah satu group yang mengharumkan nama Jawa Pos Group. Dengan memposisikan diri hanya sebagai Chairman saja, kini aku memberi laluan pada teman-teman yang sudah menunjukkan prestasi, untuk menjalankan manajemen group. Secara berkala kinerja mereka aku kontrol melalui jaringan bisnis dan evaluasi. Ternyata mereka bisa. Beberapa koran baru yang lahir seperti Metro Inderagiri, Metro Rohil, Metro Mandau, Meranti Ekspres, Bengkalis Ekspres, Tanjungpinang Pos, Metro Asahan, tokotoko buku dan lainnya praktis hasil kerja mereka-mereka para kader Riau Pos Group dan aku hampir tak banyak lagi campur tangan. Kini perusaahaan-perusahaan baru itu menjadi jaringan baru group. Demi kepentingan strategis, kini semua media cetak di Riau Pos Group berinduk ke Harian Riau Pos. Sementara di bisnis TV, yang kemudian muncul seperti Dumai TV, Tri Arga TV, Karimun TV, Tg.Pinang TV, Rohul TV, Rohil TV, dan lainnya ,jaringan tv berinduk ke Riau TV. Sedangkan sejumlah percetakan baru di Tg.Pinang, Dumai, Siantar, berasal dari pengembangan dua perusahaan percetakan, yaitu percetakan Riau Graindo di Pe-

185


Berkunjung ke Vancouver Television, foto atas, Dahan Iskan sedang diwawancarai salah seorang reporter VTV. Aku di sisi kiri di antara Suparno dan Wenny. Di depan VTV, Vancouver, Canada, dari sinilah kemudian gagasan mengembangkan pertelevisian di group Jawa Pos bermula (kiri)

186


kanbaru dan Bintana Pers di batam. Aku sendiri akhirnya, memang lebih banyak memberi waktu dan dukungan pada upaya ikut serta membesarkan dan menjaga kesinambungan Jawa Pos Media Group. Terutama sejak Pak Dahlan Iskan sibuk mendidikasikan dirinya untuk Indonesia tercinta ini, baik ketika menjadi CEO PLN, maupun sebagai menteri negara BUMN. Ketika JP Group mendirikan PT Jawa Pos National Network ( JPNN ) sebagai perusahaan supporting group baik untuk jaringan berita, keuangan, logistik, pemasaran, manajemen dll, dan menjadi kordinator dalam pengembangan dan pengendalian bisnis group, maka aku ditugaskan Pak Dahlan sebagai Direktur Utama. Perusahaan yang berkantor pusat di Gedung Graha Pena di Jakarta ini kini berkembang dan menjadi salah perusahaan induk (holding) untuk bisnis media dan lainnya membawahi sejumlah anak-anak perusahaan, antara lain Harian Indo Pos, salah satu media yang makin eksis dan berpengaruh di Jakarta. JPNN juga berfungsi sebagai lembaga kordinasi semua anak-anak perusahaan media di JP Group yang kini jumlahnya sudah mendekati 200 perusahaan (termasuk TV tentunya) dengan melakukan kordinasi evaluasi dan perencanaan bisnis secara berkala, menyiapkan strategi ke depan, membenahi manajemen anak-anak perusahaan yang sedang mengalami masalah, membantu dukungan investasi bagi yang akan berkembang dan mengembangkan kemampuan jaringan IT dan bisnis media online Jawa Pos Group, serta peningkatan kwalitas SDM. JPNN menjadi salah satu kapal induk baru dalam pengembangan bisnis media JP Group bersama PT Jawa Pos Jaringan Media Nusantara (JJMN) dan PT Jawa Pos Multi Media Corporation (JPMC) yang mengkordinir perusahaan televisi. JPNN juga berperan menjadi kekuatan JP Group untuk tetap mendorong lahirnya wartawan-wartawan handal serta karya-

187


Memperoleh sertifikat bidang pers sebagai Wartawan Utama, yang diberikan Dewan Pers Indonesia (2011), foto atas dan foto bawah: Kartu Pers Nomor One dari PWI Pusat (2010)

188


karya jurnalistik yang bermutu. “Dahlan Iskan Award”, misalnya, adalah bentuk penghargaan dan apresiasi tahunan yang dikelola dan dikordinir oleh JPNN yang diberikan kepada para wartawan yang berprestasi untuk tujuan menjaga semangat kerja jurnalistik yang berkwalitas. Sementara “JPMG Award”, adalah penghargaan untuk Perusahaan-perusahaan media di lingkungan JP Group yang berhasil menerapkan prinsip-prinsip manajemen yang baik, sehat, dan berkembang. Melalui kordinasi JPNN juga lahir Forum Pemimpin Redaksi Jawa Pos Group (FPR-JPG), sebuah lembaga kordinasi para pemimpin redaksi media Jawa Pos Group. Secara berkala mereka bertemu, berdiskusi, dan secara kritis bertukar pikiran dengan berbagai elite pemerintahan dan politik nasional tentang berbagai masalah aktual dan mendasar. Nara sumbernya antara lain para Menteri, politikus, dan kalangan eksekutif puncak berbagai perusahaan nasional. Dengan forum ini, JPG Group membangun eksistensinya, dan menunjukkan kualitas kepemimpinan dan pengaruh yang kini sedang dibangunnya di tengah perkembangan negara dan bangsa ini. Ini sebagai ujud dari Visi besar Jawa Pos Group yaitu : Menjadi group bisnis media terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia. Itulah cita-cita besar JP Group ke depan dengan seluruh jaringan bisnis medianya. Bagi aku pribadi, itulah bahagian dari kontribusi dan kesertaan aku untuk terus membesarkan Jawa Pos Group yang telah membesarkan aku juga, baik sebagai wartawan, maupun sebagai seorang pebisnis. Di sini aku belajar, di sini aku tumbuh, dan di sini aku berkembang. Sebagai wartawan misalnya, aku sudah berada pada posisi yang selevel dengan wartawan-wartawan terkemuka Indonesia. Aku termasuk 100 orang wartawan Indonesia yang diberi kartu pers ”Nomor One” oleh PWI Pusat bersama wartawan senior lainnya seperti Jakob utama, Rosihan Anwar

189


Berdiri, ketiga dari kiri, aku bersama Suparno paling kiri, Zainal kedua dari kiri, Dahlan Iskan paling kanan, dan Azrul Ananda kedua dari kanan dalam suatu perjalanan ke luar negeri.

(kini almarhum), Dahlan Iskan, dll. Oleh Dewan Pers Indonesia, aku juga menjadi salah satu dari 100 wartawan yang secara otomatis menerima sertifikat kompentensi kewartawanan Indonesia sebagai Wartawan Utama. Sebagai pebisnis dan pengelola media, aku telah memberi Jawa Pos Group sebuah “kerajaan media� yang mulanya dibangun dengan modal hanya Rp 400 juta (berupa kertas dan mesin cetak) menjadi sebuah group bisnis media yang total assetnya sudah mendekati Rp 1 T, dalam waktu 20 tahun. Dari seorang wartawan yang pada mulanya hanya bercita-cita menjadi Pemimpin Redaksi, akhirnya dengan rahmat Allah yang Mahabesar dan dukungan teman-teman lainnya, bisa juga menjadi seorang entrepreneur yang kini ikut menciptakan lapangan kerja lebih 1000 karyawan yang bersama-sama tumbuh dan berkembang membangun se-

190


buah group media. Dari sebuah koran yang hanya beroplah 2.500 eks, menjadi sebuah group media yang oplahnya tiap hari lebih 200.000 eks. Sekali lagi, aku selalu bersyukur bahwa dengan budaya perusahaan: Kerja Keras, Tumbuh Bersama dalam Kebersamaan itu, semua mimpi itu terujud. Sebuah phenomena yang nyaris sama dengan PT Jawa Pos yang dahulunya memulai bisnisnya dari sebuah koran kecil Harian Jawa Pos, beroplah 4.500 eks di Kembang Jepun, Surabaya. Kini, PT Jawa Pos telah berkembang pesat dan menjadi salah satu group bisnis, yang bisnisnya tidak lagi sekedar bisnis media. PT Jawa Pos sudah menjadi sebuah superholding, di mana di bawahnya terdapat 8 holding company lainnya yang bergerak di bidang industri seperti pabrik kertas, energi seperti pembangkit listrik, penambangan minyak dan batu bara, perkebunan nenas dan sawit, properti, Telekomunikasi dan Percetakan komersial. Harian Jawa Pos sendiri sudah dipisah menjadi sebuah badan usaha sendiri, yaitu PT Jawa Pos Koran, di mana Azrul Ananda, putra Dahlan Iskan. Di tangan Azrul, Harian Jawa Pos sudah menjadi salah satu surat kabar terbesar dan terkemuka di Indonesia, dan beberapa tahun terakhir ini oleh WAN IFRA (Organisasi Ke-wartawanan dan Perusahaan Pers Dunia) dinobatkan sebagai Koran Terbaik Dunia untuk katagori pembina pembaca muda. Dan Azrul Ananda menjadi salah seorang direktur WAN IFRA mewakili Asia. PT Jawa Pos Koran bersama PT JJMN, PT JPNN dan PT JPMC menjadi jantung devisi media Jawa Pos Group. Sebuah data dari lembaga survey media reading index menunjukkan tahun 2011 lalu, Jawa Pos Group dibaca lebih dari 20 juta orang. Sebuah kekuatan dan pengaruh yang tidak kecil telah muncul dalam rentang hanya 20 tahun ini. Dan aku ada di dalamnya, seperti sebuah skrup yang ikut berputar dan memutar mesin kemajuannya. Alhamdulillah... *** 191


192


Bab Ix Berpolitik? Harus Siap Disakiti

1

Bung Karno Sebagai Idola “Jadilah seperti Bung Karno�, kata ibuku, sambil memakaikan aku baju safari putih berkantong 4, ketika aku berusia 11 tahun, untuk jadi pakaian ku sekolah. Dan sejak itu nama Bung Karno pun melekat di benak ku terus sepanjang hidupku sampai kini. Bung Karnolah idola ku. Bung Karnolah guru politik pertamaku, meskipun kemudian aku menyadari betapa politik itu tidak selalu membahagiakan kita. Berpolitik itu menyakitkan. Telunjuk lurus, kelingking berkait, kata orang-orang bijak. Tetapi gara-gara Bung Karno itulah sejak muda aku justru menyukai politik. Paling tidak, sejak aku banyak mendengar pidato-pidato Bung Karno. Membaca buku-bukunya, dan melihat penampilannya yang demikian hebat sebagai seorang pemimpin bangsa. Dalam bayangan masa mudaku, Bung Karno, adalah tokoh dan pemimpin yang ideal, yang menjadi idolaku. Ketika dia datang berkunjung ke Tanjungpinang tahun 1957 dan hanya singgah beberapa jam di bandar udara Kijang, aku berjalan kaki dengan teman-teman sejauh 15 km, hanya untuk menyaksikan dia berpidato. Menyaksikan dia tegak bagai tonggak raksasa, membakar semangat dan membangun rasa persatuan bangsa, untuk menjadi satu bangsa yang besar dan terhormat. “Gantungkan Cita-citamu Setinggi Langit,� begitu kata-kata mutiaranya yang paling dikenal luas oleh kami para siswa muda ketika itu. Aku juga menggan-

193


tungkan kata-kata mutiara itu di dalam kamar tidurku. Guru sejarahku di SGB, salah satunya adalah Ibu Tien Effendie (Effendie ini nama suaminya) dan dia ternyata seorang guru sejarah yang aku nilai jago. Dia mampu membangkitkan minat kami mempelajari bagian-bagian penting dari sejarah perjuangan kemerdekaan, sehingga rasa nasionalisme kami sekelas jadi berkobar-kobar. Melalui pelajarannya ketika itu kami dengan mudah dapat menangkap sosok para pejuang kemerdekaan, khususnya Bung Karno dan Bung Hatta, sebagai sosok yang mempunyai peran sangat besar dalam menjadikan Indonesia ini bangsa yang merdeka. Dari dia kami belajar arti nasionalisme. Dari dia kami belajar arti loyalitas dan kesetiaan pada negara. Pelajaran sejarah Ibu Tien itu, makin melapangkan jalan ku untuk menyukai politik. Kekaguman pada Bung Karno, misalnya, bagiku bukan sosok yang tiba-tiba muncul. Jauh sebelum masuk ke SGB ini, aku sudah menanam namanya dalam hatiku melalui ibuku. “Jadilah seperti Bung Karno”, katanya. Dia membuatkan aku baju safari linen, seperti setelan pakaian Bung Karno. Di mataku Bung Karno memang gagah! Setelah tamat SGB tahun 1961, aku makin banyak membaca buku Bung Karno. Terutama buku tebal yang bersampul indah seperti “Di Bawah Bendera Revolusi” dan “Indonesia Menggugat”. Aku membelinya di sebuah pasar buku-buku bekas di depan bioskop Gembira, Tanjungpinang. Aku membacanya berkali-kali dan mencoba memahami arti dan tujuan perjuangannya sejak zaman penjajahan Belanda, sampai Indonesia merdeka. Aku kagum dengan kegigihannya melawan penjajahan, keberaniannya membuat keputusan dan pikiran-pikirannya yang cerdas dalam menyampaikan pendapatnya. Dalam usia yang masih muda dia sudah menggoncangkan sendi-sendi kekuasaan politik Belanda. Mestinya, begitulah pemuda Indonesia. Berani, gigih dan berjuang tak

194


kunjung surut untuk mewujudkan sebuah Indonesia yang makmur, sejahtera dan terhormat. Dan yang paling memberikan inspirasi dalam masa mudaku, bahwa Bung Karno itu pada awalnya berjuang melalui tulisan-tulisannya yang dimuat di berbagai surat kabar. Bukan dengan senjata, bukan dengan fisiknya. Sayangnya buku-buku berharga itu, ketika aku, sangat sulit dalam hidup aku jual kembali kepada Sayid Idrus, pemilik toko buku Al Idrus di Dabo Singkep. Untuk beli rokok dan makan, ketika jadi penganggur di sana. Meskipun belakangan, ketika aku sudah mampu secara finansial, beberapa bukunya aku beli kembali. Tetapi setting sejarah, setting waktu dan setting tempat aku tumbuh dan berkembang sebagai pemuda, tak selalu memberi ruang bagiku untuk ikut berpolitik. Di Tanjungpinang pada masa sekolah (1957–1961), karena sibuk belajar, sibuk jadi penyair, aku tak sempat ikut apa pun organisasi pemuda dan pelajar. Kecuali organisasi pelajar yang berasal dari Kecamatan Singkep, yang kami namakan Ikatan Keluarga dan Pelajar Singkep (IKPS), di mana kami sesekali mementaskan drama atau panggung kesenian. Olah raga, terutama main bola, ternyata menjadi kegemaranku juga agak luar biasa menyita waktu. Cita-cita ingin menjadi penjaga gawang yang andal, membuatku rajin latihan dan ikut masuk klub, seperti kesebelasan tempat tinggalku Teluk Keriting, yang punya klub bernama Persatuan Sepakbola Teluk Keriting dan sekitarnya (PSTK). Karena itu di sekolah dan di kampung, aku termasuk penjaga gawang yang diperhitungkan dan kerap dibawa bertanding ke mana-mana. Seni dan olah raga, membuatku tak terlalu peduli dengan kegiatan pemuda yang berbau politik. Setelah tamat SGB, juga begitu. Apalagi aku kembali ke kampungku yang terpencil dan jauh dari hiruk-pikuk politik. Dalam usia sekitar 22 tahun, memang tak banyak pemahaman berarti bagiku tentang politik.

195


Ketika pengujung tahun 1961 menjadi guru honor di Bakong dan mengajar di kelas lima dan enam, aku memang berusaha keras menjadi guru yang baik. Saat mengajar sejarah dan bila sudah menyangkut masalah nasionalisme, aku begitu semangat mengajarkan murid-muridku tentang sejarah perjuangan Indonesia dalam melawaan penjajahan Belanda. Bahkan aku pernah membuat gebrakan, dengan mengharuskan semua muridku membuat tiang bendera di muka rumah mereka, yang di cat merah putih dan kemudian begitu 17 Agustus tiba, semua rumah murid-muridku mengibarkan bendera di tiang bendera yang baik dan sempurna, yang sebelumnya tidak pernah ada. Begitu juga tahun 1963 saat jadi guru di Rejai, kampung yang jauh lebih kecil dari Bakong. Aku lebih banyak menanam semangat nasionalisme, kecintaan pada Indonesia, melalui pelajaran sejarah. Kehidupan politik praktis yang berdenyut ketika itu, ada di ibukota kecamatan, yaitu Dabo Singkep. Di sana banyak partai yang berdiri, seperti Masyumi, PNI, PKI dan beberapa partai lain, dan kegiatan politik itu hampir tak berpengaruh ke Bakong, karena jarak yang harus ditempuh dua jam pakai mobil dan nanti menyeberang lagi pakai kapal motor satu setengah jam. Hubungan antara ibukota kecamatan itu dengan desaku sangat sulit dan jarang sekali. Apalagi penduduknya sedikit, maka tak ada partai yang memperhitungkan Bakong sebagai daerah yang harus diurus. Semua tugas dan aktivitas yang berbau politik, datang dari kantor kepala kampung. Seperti harus belajar baris-berbaris, jadi hansip, harus ronda menjaga kampung dan lainnya. Karena itu juga, misalnya ketika pecah peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965, aku juga tak tahu. Saat peristiwa itu terjadi, ternyata aku di tengah laut, sedang berlayar dari Jambi kembali ke Bakong membawa beras dan gula. Saat itu ekonomi memang lagi sulit, terutama akibat pengaruh Konfrontasi Indonesia-Malaysia yang

196


sudah mulai berlangsung sejak 1963. Harga barang mahal dan sulit dicari. Untuk beras dan gula harus dibawa dari Jambi, Palembang atau Tanjungpinang. Itu harus ditukar dengan hasil bumi dari Singkep, seperti karet, ikan bilis (teri) dan arang bakau. Itulah muatan yang kami angkut ke Jambi dan Palembang dan sekalisekali ke Bangka. Padahal dulu barang-barang itu begitu mudah didapat dan murah, karena didatangkan dari Singapura. Di Kepulauan Riau itu masih berlaku mata uang dollar Singapura. Tapi awal 1966, ketika aku memutuskan berhenti jadi kelasi, dan mencoba mencari pekerjaan di Dabo Singkep, aku mulai bersenggolan dengan politik. Di sini aku bertemu dengan temanteman sekolahku dulu. Mereka sedang berjuang melawan orangorang PKI dan pendukungnya. Seperti di daerah lain, mereka tampil sebagai pejuang Angkatan 66, berjuang untuk menegakkan Orde Baru. Mereka mulai melakukan demonstrasi, meskipun belum dalam bentuk organisasi yang jelas. Belum ada yang namanya KAPPI atau KAMI atau organisasi pendukung Angkatan 66 lainnya. Masih berupa perjuangan sporadis. Aku bergabung dengan mereka dan mulai ikut mengorganisir berbagai rencana demo, terutama untuk merebut bangunan-bangunan yang dikuasai Baperki dan PKI. Dalam satu rapat di SD Negeri No 1 Dabo, diputuskan kami harus punya organisasi penggerak, seperti KAPPI atau KAMI. Untuk itu, perlu mandat dari KAPPI Kepulauan Riau yang sudah berdiri di Tanjungpinang, dan sedang berjuang. Karena para pemimpin KAPPI di Tanjungpinang kebanyakan bekas siswa SGB dulunya, seperti M Surtan CH, teman sekelasku; Darwansyah, eks siswa SMEA; Zahari, eks siswa SGA, dan lainnya, aku akhirnya diutus untuk berangkat ke Tanjungpinang dan bertemu dengan teman-teman di sana, serta minta diberikan mandat membentuk KAPPI di Dabo Singkep. Aku berangkat dengan menumpang kapal bekas tempatku

197


bekerja dulu, yang kebetulan nakhodanya adalah abang iparku, Masjidi (kini almarhum). Di Tanjungpinang, aku bertemu M Surtan CH, yang jadi ketua KAPPI dan Darwansyah, yang jadi sekretaris. Sambil mengurus mandat, aku ikut juga demontrasi di Tanjungpinang bersama teman-teman dari KAPPI dan KAMI, merebut berbagai bangunan fisik yang dikuasai oleh organ partai komunis dan para pendukungnya, seperti Baperki. Yang direbut adalah sekolah-sekolah Cina seperti Toan Pon, dan lain-lain. Sejumlah tokoh pemuda ketika itu sangat gigih berjuang. Selain dari M Surtan CH, Darwansyah, Zachari dari KAPPI , ada A Kahar Has dan Usman Djamil dari KAMI . Dari Ekponen 66 ada Djauzak Ahmad, dan lain sebagainya. Setelah mendapat mandat, yang diteken oleh M Surtan Ch dan Darwansyah, aku kembali ke Dabo Singkep. Bersama teman-teman, seperti Mahmud, Januari, Bulat, Chalid, Khalil, Ramadhan, dan lainnya, kami membentuk KAPPI rayon Singkep. Setelah itu, kami mulai melakukan berbagai aksi demontrasi, dengan fokus utama adalah Tri Tura: bubarkan PKI, turunkan harga barang dan tegakkan Orde Baru. Sebagai salah satu ketua, aku ikut memimpin demo dan membawa ratusan pemuda pelajar. Misalnya mendatangi kantor Camat Singkep. Waktu itu camatnya adalah M Djaafar Uda (kini sudah almarhum). Kami menuntut agar harga barang diturunkan, PKI dibubarkan dan macam-macam tuntutan anak muda lainnya. Termasuk minta diturunkan harga sayur, telur dan lainnya. Di antara yang ikut demo itu, adalah anak Pak Camat Djaafar sendiri, yaitu Fakhruddin yang masih duduk di SMP Dabo (kini karyawan Pemda Kepulauan Riau). Aku baru tahu, bahwa dalam demo itu ada anak Pak camat, setelah beberapa tahun kemudian bertemu dengan Pak Djaafar Uda di Tanjungpinang dan dia sudah jadi Kepala Kantor Sensus dan Statistik di sana. “Nah, ini orangnya yang dulu mendemo aku, minta turunkan harga ba-

198


rang. Anak aku sendiri ikut dibawanya mendemo aku,� katanya sambil terkekeh-kekeh kepada beberapa pemuda temanku, ketika kami bertemu dalam satu acara di Tanjungpinang. Aksi-aksi awal-awal Orde Baru itu, di Dabo, memang tidak sekeras daerah lain yang sampai menimbulkan korban. Di sini, aksi aksi itu didukung oleh aparat pemerintah, sehingga tidak terjadi bentrok. Bangunan-bangunan sekolah Cina yang dibina Baperki di sini dengan mudah diambil alih. Pemerintah pun bergerak cepat. Sejumlah tokoh PKI di Dabo diamankan. Cukup banyak yang ditangkap, karena Dabo termasuk salah satu basis PKI, karena di sini ada tambang timah yang buruhnya banyak juga yang menjadi anggota SBTI (Serikat Buruh Tambang Indonesia) onderbownya PKI. Tahun 1967, ketika aku pergi lagi ke Tanjungpinang, untuk berkonsultasi dengan teman-teman Angkatan 66, keadaan sudah mulai tenang karena sebagian besar perjuangan para pemuda, pelajar, mahasiswa dan Eksponen 66 itu sudah tercapai. Pemerintah waktu itu mulai membenahi berbagai permasalahan, termasuk mengamankan semua yang diduga terlibat peristiwa G 30 S/PKI. Karena perjuangan sudah hampir selesai, aku memutuskan tidak kembali lagi ke Dabo, untuk melanjutkan perjuanganku dengan teman-teman Angkatan 66. Aku kirim kabar, bahwa perjuangan sudah hampir selesai dan teman-teman diminta untuk konsolidasi saja, sebagaimana dipesankan rekan-rekan di Tanjungpinang. Saat itu pulalah, aku memutuskan untuk kembali menjadi guru, setelah aku bertemu dengan Encik Raja Khatijah, Kepala Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Riau. Encik “Bagaimana kalau kau jadi guru lagi?�, itulah kata-katanya yang selalu kuingat. Aku setuju karena dijanjikan akan bisa bersekolah lagi, melanjutkan pendidikanku di Kursus Pendidikan Guru

199


(KPG) yang setara dengan Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Aku pikir inilah kesempatan yang aku tunggu peroleh untuk meningkatkan pendidikan, seperti beberapa teman sekelas dahulunya di SGB yang banyak sudah meneruskan ke SGA atau ke KPG lagi. Inilah kesempatan aku untuk kembali mengejar mimpi-mimpi masa kecil ku untuk keluar dari kampung ku, pergi merantau, dan menjadi “seseorang” yang berguna. Meskipun cita-cita menjadi seorang pelukis, harus dikuburkan. Dengan kembali menjadi guru maka kembali aku tidak lagi banyak terlibat aktivitas organisasi, kecuali organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRIn), yang waktu itu diketuai oleh Bapak Drs Djauzak Ahmad, Kepala SPG dan KPG Tanjungpinang, salah satu pentolan Angkatan 66 yang dulu aku kenal waktu sama-sama berjuang menumbangkan Orde Lama. Tapi aku hanya sebagai anggota biasa yang aktif dan membantu berbagai kegiatan sosaial PGRI, seperti malam amal dan lainnya. Tapi, saat mulai belajar di KPG itu pulalah aku kembali bersentuhan dengan masalah politik. Ini gara-gara Pak Djauzak Ahmad yang jadi Kepala Sekolah KPG/SGA waktu itu, yang juga mengajar di kelasku. Dia mengajar Ilmu Mendidik. Tetapi, setiap kali dia masuk kelas, maka dia mulai mengajak kami berdiskusi masalahmasalah politik dan kenegaraan. “Ilmu mendidik itu nanti baca sajalah bukunya, ya...”, katanya sambil ketawa, dan setelah itu dia mulai mengajak kami membahas berbagai permasalahan pemerintahan. “Sebagai warga negara, kita ini harus berperan aktif ikut serta membangun negara kita ini. Ikut mengawasi dan memberi usul dan saran yang positif pada pemerintah daerah, DPRD, dan lain-lain termasuk partai politik. Ini kan negara demokrasi. Dari rakyat untuk rakyat. Negara kita negara Republik, dan kepala pemerintahannya, seorang presiden yang dipilih rakyat”, begitu antara lain kata-katanya yang masih aku ingat. Dia terus mem-

200


berikan kami pikiran-pikiran kritis tentang demokrasi, tentang ketatanegaraan, tentang tugas dan tanggungjawab seorang warga negara, dan lainnya. Aku suka dengan caranya mengajarkan masalah politik itu. Lugas, cerdas, dan masuk akal. Aku pikir, setelah Bung Karno dan Ibu Tien guru sejarah aku di SGB, Pak Djauzak inilah yang jadi guru politik aku. Dengan dia, 2 jam pelajaran ilmu mendidik, tak terasa lama. Sering kalau bel berbunyi, kami sekelas minta dia terus berdiskusi. Pak Djauzak, salah satu tokoh putera daerah Kepulauan Riau di bidang pendidikan ketika itu yang sangat dihormati, selain Enchik Raja Khatijah yang jadi Kepala Kantor Pendidikan Kabupaten. Djauzak dianggap satu dari sedikit putera daerah yang sukses dan berhasil menjadi Kepala Sekolah Lanjutan Atas (itulah jenjang pendidikan umum tertinggi di sana ketika itu). Sebelumnya semua kepala SLA datang dari luar Kepulauan Riau, termasuk dari Jawa Barat, dll. Karir Pak Djauzak di bidang pendidikan kemudian memang terus bersinar. Dari Tanjungpinang dia dipindahkan ke Pekanbaru dan jadi Kepala Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Riau. Kemudian dipindahkan ke Jakarta dan jadi Direktur Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Djauzak terkenal dengan sebutan Direktur Jendral Pendidikan “Sandal Jepit� karena konsep pendidikan dasarnya yang mengutamakan kesempatan belajar bagi siswa, tanpa harus terhalang dengan soal pakaian seragam, dll. “Dengan sandal jepit pun siswa boleh datang ke sekolah�, katanya. Setelah berguru politik dengan Pak Djauzak itu, aku agak aktif berorganisasi lagi. Tahun 1978, mulai berdiri organisasi KNPI (Komite Pemuda Nasional Indonesia), aku termasuk salah satu yang menandatangani deklarasi berdirinya KNPI di Kepulauan Riau dan kemudian duduk dalam kepengurusannya dan menjadi ketua bidang organisasi. Sedangkan sebagai ketua umumnya

201


Menghadiri pertemuan Konferedasi Wartawan ASEAN di Kualalumpur tahun 1996. Paling kiri: Ridwan AS dari Pontianak, Alwi Hamu (tengah) dari Ujung pandang (foto atas), Bersama-sama Pengurus PWI Riau dan para Pimpinan PT CPI dalam suatu acara Buku Puasa Bersama di Pekanbaru (foto bawah).

202


waktu itu adalah Ir Ben Burhanuddin Abd Malik, Kepala Dinas Perikanan Kepulauan Riau (sekarang sudah pensiun, dan terakhir sebagai pejabat di Departemen Perikanan dan Kelautan). Ikut dalam organisasi KNPI Tingkat II Kepulauan Riau waktu itu antara lain Amhar Hamzah (mantan Kepala PDAM Pekanbaru dan kini pensiun), Imam Sudrajad (pengusaha), Hanjojo Putro SH (kini almarhum, sebelum meninggal dunia dia adalah anggota DPR-RI dari Fraksi PDI-P), A Kahar Has (kini tokoh politik di Kepulauan Riau), Usman Djamil, dan sejumlah pemuda lain. Aku sempat menjadi utusan KNPI Kepulauan mengikuti Musyawarah Daerah KNPI Tingkat I Riau yang pertama. dan kemudian memilih Syed Abdullah Gazali sebagai ketua KNPI Tingkat I Riau. Aku juga menjadi peserta pelatihan kader pemuda se-Riau yang diselenggarakan oleh KNPI Riau bersama sejumlah pemuda dari daerah Riau lainnya. Di KNPI, karena aku masuk melalui jalur seni dan budaya dan bukan dari guru, maka nama yang dipakai adalah Iskandar Leo. Bupati Kepulauan Riau ketika itu, Firman Edy SH, memanggil aku, “Leo”. Dan dia sangat terkesan ketika aku membacakan naskah Pembukaan ( Mukaddimah ) UU Dasar 1945, dalam satu acara. “Sangat mengesankan dan membangkitkan bulu roma. Itulah kalau seniman yang membacakannya”, katanya memuji. 2. Mengurus Organisasi Profesi. Tahun 1980, ketika dipindahkan oleh majalah TEMPO ke Pekanbaru, aku tidak lagi terlalu aktif di KNPI dan nyaris melupakannya. Sebagai gantinya, aku mulai terlibat mengurus organoisasi profesi kewartawananku, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ketika itu PWI Cabang Riau sedang melempem dan kurang aktif. Lalu aku diminta menjadi sekretaris. Sementara sebagai ketuanya Moeslim Kawi, wartawan LKBN Antara. Banyak

203


Ketika menjadi Ketua Serikat Perusahaan Pers

kegiatan mulai dilakukan, terutama membenahi organisasi dan keanggotaan. Tapi hanya dua tahun, aku kembali ke Tanjungpinang. Di sini, akhirnya aku dan teman-teman wartawan Kepulauan Riau berhasil mendirikan PWI Perwakilan Kepulauan Riau. Aku kembali jadi sekretaris, dan ketuanya Eddy Mawuntu, wartawan Sinar Harapan (kini almarhum). Tahun 1983, ketika aku kembali lagi ke Pekanbaru, dan menerbitkan SKM Genta, aku kembali mengurus PWI. Kembali jadi sekretaris. Kemudian, ketika aku mulai menerbitkan Harian Riau Pos, dan berkembang, maka keterlibatan aku di PWI Cabang Riau makin intens. Tahun 1991, aku dipilih jadi ketua PWI Cabang

204


Riau menggantikan Muslim Kawi, untuk masa jabatan (19911995). Kemudian terpilih lagi untuk masa jabatan kedua kalinya (1995-1999). Selesai masa jabatan kedua itu, aku, merintis pendirian SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar) Cabang Riau, karena sebelumnya, Riau hanya jadi Perwakilan SPS di bawah Cabang SPS Sumatera Barat. Dan karena keberadaaan SPS Cabang Riau sudah disahkan, maka aku dipilih jadi ketuanya, untuk dua kali masa jabatan (1999 -2003) dan (2003-2007). Bersamaan dengan berakhir masa jabatan sebagai ketua SPS Cabang Riau kedua kalinya, maka aku dipilih jadi anggota Badan Pertimbangan Daerah SPS Pusat, dan sampai sekarang, ketika ketua SPS Pusat dijabat oleh Dahlan Iskan, dan kepanjangan nama SPS berubah dari Serikat Penerbit Surat Kabar menjadi Serikat Perusahaan Pers . Semasa jadi Ketua PWI, aku juga coba melakukan hal-hal penting yang menandai jejak keberadaan organisasi profesi itu. Misalnya menerbitkan buku sejarah pers Riau yang diberi nama “Kata Pena”. Membuat tradisi lomba karya tulis jurnalistik dan foto dengan nama “Anugerah Raja Ali Kelana”, dan lain-lain kegiatan. Salah satu yang sangat terkesan adalah ketika PWI Cabang Riau ditugaskan menjadi tuan rumah “Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Wartawan tingkat ASEAN”, dan sukses. MTQ wartawan ASEAN itu menjadi satu-satunya yang sempat dilakukan di Indonesia, karena setelah itu, tak pernah ada lagi. 3. Kecemplung ke Golkar Setelah aktivitas politik kepemudaan di KNPI Kep Riau selesai, dan aku pindah ke Pekanbaru mengurus media, maka aktivitas politik kembali menghampiri aku. Tapi aku tahu, pada mulanya itu bukan karena aku politikus benaran, tetapi lebih karena aku adalah pengelola media. Penerbit dan Pemimpin Redaksi, di mana partai-partai politik memerlukan akses publikasi dan

205


Bersalaman dengan Presiden RI Prof Dr Ing BJ Habibie di Istana Negara (foto atas) Menghadiri Musda Golkar tahun 1998, dari kiri: Rivaie Rachman, Ketua DPD Golkar Riau waktu itu; Aku, dan Andi Juliandi Arsyad (dua dari kanan). Rida aktif mengikuti kegiatan seminar/lokakarya yang diselenggarakan oleh DPP Golkar (foto kanan) 206


strategi medianya. Makanya, aku akhirnya diajak bergabung. Tanpa aku tahu, misalnya, tahun 1983, ketika aku menerbitkan SKM Genta, ternyata dalam satu Musyawarah Daerah (Musda) Golongan Karya (Golkar) Tingkat I Riau aku dipilih menjadi Ketua Biro Penbidmasmed (Penerangan, Penerbitan dan Mas Media) untuk masa bakti (1983-1988). Ketua Golkar Tingkat I Riau waktu itu terpilih Bapak Drs Baharuddin Yusuf, Sekwilda Tingkat I Riau (kini almarhum). Waktu pelantikan aku tak ada, karena di Tanjungpinang. Tahun berikutnya, ketika aku keluar dari SKM Genta, praktis aku tidak aktif di Golkar, apalagi sebagai wartawan aku lebih banyak di Tanjungpinang. Tapi jabatan kepengurusan aku di DPD Golkar Riau itu tetap dianggap penting oleh dewan pengurusnya, karena waktu itu aku menjadi wartawan harian di Suara Karya, korannya Golkar, untuk wilayah Riau. Jadi melalui media inilah kemudian aku membantu dan menjalankan fungsi aku sebagai pengurus. Selesai masa bhakti 1983-1988 itu, aku dipilih lagi untuk masa jabatan ( 1988-1993 ), yang ketuanya adalah Ir Firdaus Malik, Sekwilda Tingkat I Riau (kini pensiun sebagai pegawai tinggi Departemen Kimpraswil RI). Kembali dipilih sebagai Ketua Biro Penbidmassmed, bersama Drs Asparaini Rasyad, yang waktu itu jadi Kepala Biro Humas Pemda Riau (sekarang sudah pensiun dan jabatan terakhir Asisten I Sekwilda Riau). Kali ini, karena sering ke Pekanbaru dalam kapasitas sebagai wartawan Harian Suara Karya, aku agak aktif dan membantu Pak Asparaini, dalam berbagai kegiatan Golkar. Waktu inilah kemudian kami berhasil menerbitkan satu media untuk Golkar yang kami beri nama Konsolidasi, terbit sebulan sekali, dalam bentuk tabloid. Yang mengelola sehari-hari adalah A. Aris Abeba, yang waktu itu adalah penyiar RRI Pekanbaru. Periode ini, sebenarnya aku tidak juga terlalu aktif dan tetap saja sebatas membantu-bantu.

207


Lima tahun kemudian dalam Musda Golkkar Tingkat I Riau, lagi-lagi aku dipilih masuk pengurus di Biro Penbidmasmed bersama Asparaini Rasyad, untuk masa bakti (1993-1998). Kini tambah seorang teman lagi di Biro itu, yaitu A. Aris Abeba. Kali ini ketuanya adalah Drs A Rivai Rahman, Sekwilda Tingkat I Riau waktu itu (kini pensiun, pernah menjadi anggota MPR utusan daerah Riau, dan terakhir sebagai Wakil Gubernur Riau). Dan, kali ini aku agak aktif karena sudah menetap di Pekanbaru dan sudah mengelola Harian Riau Pos. Pada Musda Golkar untuk memilih pengurus masa jabatan (1998-2003), yang ketua terpilihnya adalah Darwis Ridha Zainuddin, aku lagi-lagi dipilih menjadi anggota pengurus dan duduk lagi-lagi di Biro Penerbitan dan masmedia itu. Tetapi, sehabis Kongres PWI di Semarang, tahun 1998, yang memutuskan mengubah PD dan PRT PWI dengan mengambil semangat reformasi dan kemurnian profesi, maka kepada pengurus PWI diminta memilih. Tetap jadi pengurus PWI dan tidak merangkap jadi pengurus Parpol atau organisasi politik atau sebaliknya. Aku akhirnya memutuskan mengundurkan diri dari pengurus Golkar, untuk tetap sebagai ketua PWI Cabang Riau. Tapi tahun 2004 aku akhirnya ke Golkar Tingkat I Riau lagi sebagai wakil ketua karena Ketuanya Rusli Zainal yang juga Gubernur Riau waktu itu mendesak aku untuk ikut serta kembali bergabung sebagai pengurus. Aku membawahi bidang Koperasi dan Wiraswasta dan juga ditugaskan menjadi koordinator daerah (Korda) Siak. Aku ingat, malam-malam aku ditelpon Yose Rizal, staf Humas Pemda Riau, dan memberitahu aku dipilih jadi pengurus. Waktu itu aku lagi berleha-leha di depan TV. � Sekarang bang datang ke Hotel Aryaduta, mau pelantikan � kata Yose. Aku ragu, pergi atau tidak, tapi akhirnya mengenakan baju batik, dan bukan baju batik Golkar, khawatir Yose salah informasi, dan pergi ke Aryaduta. Sampai di sana, pelantikan sudah selesai,

208


dan aku hanya tersenyum lebar, ketika teman-teman menyalami aku. “Kan sudah bukan Ketua PWI, bisalah aktif lagi di Golkar�, kata teman-teman. Aku angkat bahu, karena tak begitu yakin, apakah pekerjaan aku mengurus Riau Pos yang sudah jadi group bisnis media itu, bisa memberi aku waktu. Ternyata begitulah, karena kesibukan usahaku aku tetap tidak begitu aktif. Membantu pikiran dan saran, dan berupaya melakukan yang terbaik. Selesai masa jabatan bersama Pak Rusli di DPD Golkar, kononnya aku masih diajak lagi bergabung di pengurus baru, sebagai anggota Dewan Pertimbangan DPD Golkar Riau. Begitulah, aku ini kader Golkar dengan kartu KTA No 004 untuk wilayah Riau, dan ditandatangani oleh Sudharmono, salah satu Ketua Umum DPP Golkar, yang paling sukses kepengurusannya dulu. 4. Menegakkan Pancang Melayu Kecuali aktifitas politik, aku juga pernah aktif cukup lama mengurus organisasi sosial seperti Lions Club, Pekanbaru. Bersama teman-teman pengusaha dan tokoh masyarakat seperti Sawal Sutan Diatas (notaris), Harry Bastian (banker), Lawer Soegiyo (pengusaha), Erwan Yuris (banker), dan lain-lain. Bahkan sempat jadi presidennya, lalu beberapa kali menghadiri Konvensi Nasional Lion Club Indonesia. Kemudian diajak jadi pengurus GNOTA (Gerakan Nasional Orang Tua Asuh) Riau, ketika itu ketuanya Rustam S Abrus (Wagub Riau ketika itu, dan kini sudah almarhum). Jadi pengurus ICMI di bawah komandan Tengku Dahril (ketika itu Rektor Universitas Islam Riau, kini salah satu Kepala Dinas di jajaran Pemda Riau) dan sempat jadi anggota penasehat Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR). Pernah juga jagi anggota dewan penasehat Bakom PKB (Pembinaan Kesatuan bangsa), organisasi kesatuan masyarakat Tionghoa, yang waktu itu ketuanya Marthias (seorang konglomerat

209


asal Riau), dan beberapa organisasi sosial lainnya. Kini, dalam undangan-undangan resmi dari Pemda Riau misalnya, aku digolongkan sebagai Tokoh Masyarakat. Kegiatan begini aku lakukan untuk mencoba membagi waktu dan menyisihkan perhatian untuk hal-hal yang bersifat kemasyarakatan, di celah berbagai kesibukan bisnis surat kabarku. Memang tak bisa intens benar, karena keterbatasan waktu. Tapi berbagai organisasi sosial ini telah memberi aku jaringan persahabatan, jaringan kebersamaan memikirkan berbagai problem sosial. Bahkan aku sempat terkaget-kaget ketika diajak Pak Djauzak Ahmad, menjadi anggota Majelis Pendidikan bersama beberapa tokoh lain seperti Mukhtar Ahmad, Hasan Basri Jumin, Is Joni, Al azhar, dan beberapa lainnya pada awal-awal Rusli Zainal jadi Gubernur Riau menggantikan Saleh Djasit. Meskipun, tanpa begitu aktif, aku juga pernah menjadi anggota Dewan Penyantun Unri atas pemintaan Rektor Unri Muchtar Ahmad, bahkan untuk dua periode. Di era Aslaluddin Jalil jadi Rektor UNRI, aku juga diminta jadi anggota Dewan Penyantun. Bahkan kini diminta jadi anggota Dewan Penyantun di Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, bersama Taufik Ismail, dll. Ya, aku bilang, gak masalah. Tapi jangan terlalu berharap aku bisa selalu datang rapat, dll. Tapi, sepanjang diminta, aku akan dengan senang hati memberikan masukan, ide-ide, dan juga kontribusi lainnya. Tapi komitmen aku pada organisasi yang bertujuan memberdayakan masyarakat Melayu, terutama menggerakkan kembali semangat dan ethos Melayu dalam berbagai bidang, khususnya ekonomi dan sosial, dan pemberdayaan SDM, adalah komitmen yang aku rasa sangat mempengaruhi gerak dan jalan hidupku. Nyaris total, dan sekuat mungkin. “Menegakkan Pancang Melayu�, begitu aku selalu sampaikan ke teman-teman para tokoh masyarakat Melayu, seperti Pak Tenas Effendy, Al Azhar, Yus-

210


mar Yusuf, Taufik Ikram Jamil, dll. Baik dalam bentuk organisasi, maupun upaya-upaya strategis lainnya. Beberapa gagasan pernah aku sampaikan kepada para tokoh Melayu di Riau tersebut. Seperti Genta Melayu (Gerakan Sejuta Melayu), satu gerakan pemberdayaan ekonomi dengan gagasan menghimpun dana dari sejuta orang Melayu untuk diinvestasikan kembali pada sektor ekonomi demi memberdayakan para pengusaha dan masyarakat Melayu Riau yang terpencil dan kesulitan memperoleh kesempatan berusaha, gagasan ini berhasil diujudkan, meski pun hasilnya masih belum maksimal. Aku dan temanteman seperti Mukhtar Ahmad, Ediyanus Herman Halim, dll, sudah berhasil mendirikan PT Genta Melayu Serumpun (GSM), sebuah badan usaha. Di antara produk yang dihasilkan lembaga ini adalah Air Mineral dalam Kemasan (AMDK) Sejuta Melayu. Dari ide ini sebenarnya diharapkan akan ada sumber dana bagi pengumpulan dana bea siswa untuk anak-anak masyarakat Melayu. Namun karena bisnis AMDK Genta Melayu itu belum menemuikan skala bisnis yang ideal, maka belum bisa banyak berbuat. PT GSM kemudian mengakusisi sebahagian saham perusahaan yang menerbitkan Harian Koran Riau, dan beberapa bisnis lain, sehingga PT GSM saat ini menjadi sebuah holding. Aku sangat yakin, akan tiba satu hari, perusahaan ini akan jadi salah satu Pancang Melayu di Riau dalam bidang bisnis. Hanya masih perlu waktu, kesabaran, dan momentum bisnis, dan dukungan dari kalangan pemuka Melayu yang sukses dan memiliki power untuk menggerakkannya. Mencintai Melayu bagiku juga berarti mencintai segala apa yang dimilikinya. Kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangannya. Hanya jika kita sanggup menghadapinya, memberi waktu dan kekuatan lainnya, maka Pancang Melayu itu akan tetap tegak, sebagaimana perjuangan para tokoh Melayu Riau dalam meneg-

211


akkan harkat dan martabat Lembaga Adat Melayu Riau, dan berbagai lembaga kemelayuan lainnya, dan menghindari dan bahkan membenamkan sedalam mungkin semua benih konflik dan sengketa. Tahun 2002, misalnya, ketika konflik antar pemuka tokoh Melayu agak melebar karena munculnya era otonomi daerah, khususnya antara gubernur dan para bupati di Riau, aku diminta Pak Tenas Effendy, Ketua Umum Lembaga Adat Melayu Riau waktu itu, untuk mengorganisir satu pertemuan para tokoh dan pemuka masyarakat Riau, di Pekanbaru. Pertemuan yang cukup strategis itu berlangsung di Balai Adat Pekanbaru, dan dihadiri cukup banyak tokoh. Pada saat itulah ada teman yang menyeletuk bahwa pertemuan itu, selain merukunkan para tokoh Melayu, juga forum memperkenalkan para calon Gubernur Riau yang akan bertarung, begitu masa jabatan periode pertama Saleh Djasit berakhir. Karena, kebetulan, ketika itu yang jadi pembicara, selain aku sebagai ketua panitia penyelenggara pertemuan Ketua Lembaga Adat Riau Tenas Effendy, dan tokoh budaya Melayu Al azhar, tapi juga Pak Saleh Djasit, atas nama gubernur, Chaidir, Ketua DPRD Provinsi Riau, serta Rusli Zainal, atas nama para bupati yang ada di Riau waktu itu. Tiga tokoh terakhir itu merupakan kandidat calon Gubernur Riau yang sedang dielus-elus waktu itu, dan memang sudah mencuatkan diri sebagai kandidat Gubernur Riau 2003-2008. Dalam forum itulah aku mengemukakan betapa sebenarnya orang-orang Melayu Riau mempunyai posisi yang sangat kuat untuk membangun Riau ke depan. Ketika itu, kenyataannya, hampir semua para kepada daerah adalah putra daerah, bahkan juga beberapa ketua DPRD-nya. Kemudian, sumber pendapatan daerah yang begitu besar, karena otonomi, telah memberi peluang bagi daerah untuk menghimpun sumber dana. Lebih dari Rp20

212


triliun dana yang tersedia. Lantas, Riau bertetangga dengan Malaysia negara yang sangat komit dan bangga dengan kemajuan orang-orang Melayu. Artinya dengan kondisi dan potensi yang ada, sepanjang para pemimpin Melayu Riau bersatu, dan sadar akan kekuatan mereka, tak ada alasan Riau akan menjadi daerah yang tertinggal. Potensi dan komitmen total itulah yang memang sangat diperlukan dan harus tetus menerus ditegakkan. Aku juga bersama beberapa teman, seperti Bu Azlaini Agus, Lukman Eddy, Norham Wahab, Zulfan Heri, pernah menggagas berdirinya Syarwan Hamid Center, sebuah lembaga yang kami cita-cita untuk menjadi think-tank-nya Riau dengan mengambil roh dari kekuatan masyarakat Melayu, khususnya di Riau. Semacam Centre of Excelent. Tapi, sayang gagasan yang sudah hampir rampung itu, akhirnya tak terwujud. Padahal tinggal membentuk yayasannya saja lagi. �Ya, pertimbangan politislah,“ kataku kepada teman-teman yang bersama menggagas, kenapa akhirnya gagasan itu harus disimpan lagi. Namun gagasaan itu tetap hidup. Tidak wujud di Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau, aku wujudkan di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Namanya Megat Centre. Gagasan dan konsepnya hampir sama, untuk menjadi Center of Excelent-nya para tokoh dan intelektual Melayu, dalam membangun dan menegakkan harkat dan martabat negeri-negeri Melayu ini. Aku, Hasan Aspahani, Candra Ibrahim, Rizal Saputra, Ramon Damora, Hendri Anak Abdurrahman, Andra S Kelana, Yusmar Yusuf, Abdul Malik, dll menjadi penggagas dan pengembang gagasan itu. Aku ingin komitmen untuk tetap menegakkan Pancang Melayu itu terus hidup, terpelihara, dan meninggalkan jejaknya, betapapun kecil. Tak ada air bah, jika tak ada setetes air. Posisi aku sebagai pemimpin grup media yang cukup eksis di Riau juga mengakibatkan berbagai pihak selalu ingin membawa

213


aku masuk dalam organisasi-organisasi sosial lainnya. Paling tidak sebagai penasehat, sebagai sesepuh. Di bidang olah raga misalnya, teman-teman mendaulat aku menjadi Ketua Umum Pengurus Daerah Taek woon Do (Tekwondo) Riau, sebuah organisasi olah raga bela diri asal Korea. Aku sama sekali tak tahu olah raga ini. Yang pernah aku geluti hanya sepak bola, tenis, bulutangkis dan olah raga ringan lainnya. Yang keras seperti yudo, karate, atau silat, sama sekali belum. “ Sudah Bang, kami yang kerja. Abang jadi semangat dan pembina kami aja,“ kata Yaunusar Bakar, Kepala Biro LKBN ANTARA Pekanbaru waktu itu, yang mula mengajak aku berkenalan dengan Taek Woon Do itu. Akhirnya aku terima dan memimpin sebisanya. Habis masa bakti yang I, mereka minta masa bakti yang kedua meskipun aku sudah meminta benar di depan rapat anggota agar aku bisa mundur. �Aku sibuk, nanti organisasi terlantar,“ kataku berkali-kali. Tapi mereka tak bergeming, tetap mendesak aku ikut. Ya, akhirnya, aku terima. Taek Woon Do ini memang baru di Riau dan belum populer. Tapi akhirnya dengan kerja teman-teman pengurus seperti Yaunusar Bakar, Mafirion, Horison Ginting, Ahmad Thambi, Yunaldi , dan lain-lain pelan-pelan maju. Taek Woon Do masuk cabang yang diandalkan Riau untuk meraih medali di PON, seperti PON Surabaya, Palembang, dan Riau, meski hanya perak dan perunggu. Juga berbagai Kejurnas dan Open Tournamen lainnya di Indonesia. Olahraga lain yang menyeret aku jadi penasehat dan pembina adalah Tarung Drajat. Ini pun olah raga keras. Tapi, dengan sepak bola rasanya aku sulit berpisah karena itu di grup media yang aku pimpin, aku tetap membina olah raga ini. Riau Pos Media Group mempunyai satu kesebelasan, yang kami namakan Persatuan Sepakbola (PS) Riau Pos Media Group. Perkembangannya lumayan. Selain dapat dipakai sebagai sarana untuk promosi koran

214


Riau Pos ke daerah-daerah melalui pertandingan antar kampung, juga masuk dalam laga di divisi Persatuan Sepakbola Pekanbaru dan Sekitarnya (PSPS). Kini kesebelasan yang mulai kiprahnya di Divisi II PSPS akhirnya nongkrong di Divisi Utama PSPS. Bahkan dua beberapa pemainnya seperti Ambrizal, Mulyadi, dan beberapa lainnya, menjadi pemain inti kesebelasan PSPS yang berlaga di divisi utama PSSI. Aku juga membina sepak bola generasi muda, dengan ikut mendirikan Yayasan Pembinaan Olah Raga (Yapora) bersama Herman, Saleh As, Akmal Famajra, Kun Santo, dan lain-lain, yang kemudian mendirikan Sekolah Sepak Bola (SSB) Yapora, yang sampai saat ini masih hidup, dan berkembang, meskipun aku tidak lagi ikut terlibat di sana. Namun, membina para pesepakbola muda itu, terus memberi aku semangat untuk mempertahankannya. Itulah sebab kemudian aku dan teman-teman di Riau Pos Group mendirikan SSB Erdeka Muda. Di mulai di Batam, lalu di Lingga, di Pekanbaru, dan berbagai kota lainnya yang masuk jaringan bisnis Riau Pos Group. Kami memberinya nama yang gagah: Erdeka Muda Foot Ball Academy. Keterlibatan ini adalah bahagian dari Corporate Social Responsibelity (CSR) nya Riau Pos Group. Satu saja nanti dari Erdeka Muda ini jadi pemain nasional dan mengharumkan Indonesia, akan jadi sumbangan yang tidak kepalang besar artinya. �Berbuat dari pada terus bersungut menyalahkan keadaan� kataku memberi semangat teman-teman yang ikut risau dengan kondisi persepakbolaan Indonesia, khususnya PSSI. Aku pernah ditawari jadi Ketua Harian PSPS, tapi aku menolak. Tapi ketika anak-anak pengurus Askar Theking, suporternya PSPS minta aku jadi penasehat dan pembinanya, aku oke saja. Aku memang kepingin, suatu hari, sepak bola ini menjadi salah satu bisnisnya Riau Pos Media Group. Aku memang terobsesi

215


sekali dengan Manchester United. Sejak dulu, dan ketika satu kesebelasan Manchester United tewas dalam satu kecelakaan pesawat udara, aku menangis. Sekarang ini, aku nonton Liga Inggris kalau Manchester United main. Kalau setengah jalan kalah, aku langsung mematikan televisi. “Aku takut mati jantungan”, kataku memberi alasan ketika istriku bertanya tiba-tiba televisi dimatikan. Kekagumanku pada MU, begitu Manchester United disebut, begitu kukuh hingga kehebatan sepakbola Italia yang merajai media televisi dan koran Indonesia tak bisa menggeser hatiku. Seperti AC Milan misalnya, padahal aku pernah sampai ke stadion mereka di San Siro, Milan, dan nonton AC Milan main di sana, sekitar tahun 2003, bersama teman-teman Jawa Pos Group PON XVIII 2012 di Riau, tetap mengakomodasikan posisi aku sebagai orang media dan jaringan medianya. Karena itu dalam pengurus PB PON XVIII itu, aku ditunjuk sebagai wakil ketua bidang Media dan Teknologi Informasi, untuk menyukseskan PON tersebut. Tapi aku berkali-kali menolak karena memang hampir tidak cukup waktu untuk ikut terlibat secara aktif. Sempat mengajukan permohonan mundur, tapi Pak Gubernur Riau, Rusli Zainal mencegahnya dan minta aku tetap saja di dalam kepengurusan. “Kalau Abang sempat, ya datang. Kalau tidak gak apa-apa, kan ada yang muda-muda yang kerja”, katanya. Alangkah risihnya aku pakai seragam PR PON, tapi tak aktif. Secara internal, di Riau Pos Group aku tetap terus mendorong semangat olah raga itu. Di Riau Pos Group, antara lain aku terus hidupkan tradisi perebutan “Rida Cup”, sebuah kompetisi sepakbola antar divisi area di lingkungan Riau Pos Group. Tiap tahun sejak tahun 2007, bersamaan dengan tradisi Rida Award dalam bidang jurnalistik. “Biar jadi kado Ulang Tahun”, kata teman-teman di RPG, karena acaranya bertepatan dengan tanggal 17 Juli,

216


hari yang jadi ulang tahunku. Tempatnya bisa di mana-mana yang jadi tempat bisnis media RPG berkembang. Bisa di Pekanbaru, Padang, Batam, Medan atau lainnya. 5. Komitmen pada Kampung Halaman Dari seluruh rentang pengalaman berorganisasi itu, aku menyadari bahwa politik memang bukanlah bidang yang terlalu menggerakkan dan menggairahkan minatku. Kekagumanku pada Bung Karno misalnya, ternyata bukanlah kekaguman kepada sikap politik atau ajaran politiknya, tetapi lebih berupa kekaguman seorang muda terhadap semangat nasionalismenya, terhadap sosok kepemimpinannya yang tumbuh dan muncul merebut suatu momentum dan kemudian berhasil membuat sejarah. Dan, sejarah itu, menurut pengalamanku, tidak hanya dapat dicatat melalui alur politik, tetapi juga dapat melalui alur lain, di antaranya melalui jurnalistik, budaya, dan bahkan melalui komitmen moral atas nasib kampung halaman. Menerbitkan surat kabar yang baik, adalah juga membuat sejarah. Apalagi kalau itu mampu membangun rentang sejarah pers di mana surat kabar itu didirikan. Karena itu, kemudian komitmenku terhadap kegiatan politik, tidaklah sebesar komitmenku terhadap jurnalistik. Aku merasa, meskipun aku memiliki wawasan politik yang memadai, terutama karena pengaruh profesi kewartawanku, namun aku tidak akan bisa berbuat banyak. Banyak sisi-sisi tradisi politik, yang tidak sebangun dengan tradisi profesi jurnalistikku. Di jalur jurnalistik, aku merasa bisa berbuat banyak, bisa berbuat jelas dan bisa lebih memahami apa yang aku kerjakan, apa yang aku inginkan, apa yang orang lain harapkan dari diriku. Tetapi di jalur politik, aku seakan berjalan dalam bayang-bayang waktu yang buram, kabur dan penuh dengan trik, intrik dan spekulasi. “Politik itu adalah apa yang tidak dikomunikasikan�, begitu

217


Dengan sepak bola rasanya aku sulit berpisah karena itu di grup media yang aku pimpin, aku tetap membina olah raga ini. Foto samping kiri: Dalam kunjungan ke Italia mampir di Stadio Giuseppe Meazza (Stadion Sansiro), Roma, Atas: di depan Stadion Feyenoord, Rotterdam, Belanda. Selalu ada kesempatan bagiku untuk menyaksikan event olahraga. Foto bawah: Club Erdeka Muda merupakan sekolah sepakbola untuk anak-anak dan remaja yang didirikannya di beberapa tempat, a.l. Batam dan di Pekanbaru 218


tesis ilmu politik yang pernah aku pelajari. Artinya, kalau ingin sukses berpolitik itu, kita harus sukses memahami dan menebak apa yang tersimpan di dalam hati seorang politikus. Kenyataan begini, di era mana saja. Baik di era Orde Baru maupun di era reformasi. Politik menjadi sebuah gelanggang yang sangat membuat aku gerah dan sulit membuat keputusan untuk memihak atau tidak. Dalam berbagai peristiwa politik di Riau yang terjadi, seperti heboh September Kelabu 1985 misalnya, aku memang berada di pusar peristiwa itu. Waktu itu aku adalah pengurus Golkar, dan tahu bahwa DPD Golkar Tingkat I Riau yang waktu itu ketuanya adalah Pak Baharuddin Yusuf (kini almarhum) tidak setuju Imam Munandar menjadi Gubernur Riau untuk masa jabatannya yang kedua, tetapi aku lebih menempatkan diri sebagai wartawan. Aku menulis untuk harian Suara Karya, tempat aku bekerja waktu itu, liputan tentang masa kepemimpinan Imam Munandar selama lima tahun di Riau. Dalam tulisan panjang, tiga kali bersambung, aku coba menganalisa apa yang dilakukan Imam di Riau. Aku misalnya memuji dia karena sukses dengan Operasi Riau Makmur, yang mencanangkan Riau berswasemabada beras. Ini aku nilai sisi sukses Imam di Riau. Tetapi, posisi Riau yang terpelanting ke urutan di bawah sepuluh untuk penilaian Prasamya Purna Karya Nugraha, aku kritik dia, karena abai pada aspek pembangunan sosial budaya. Ketika Imam Munanadar kalah dalam pemilihan masa jabatan kedua dari Ismail Suko, aku memilih mewawancarai Pak Baharuddin di Tanjungpinang, pada hari pemilihan itu terjadi. Tak ada teman-teman yang tahu bahwa aku sudah lama tahu penolakan itu. Naluri kewaratawanku lebih mendominasi opiniku, dibanding naluri politik. Demikian juga pada zaman Gubernur Riau dipegang oleh Soeripto, dan aku masih jadi pengurus Golkar Riau. Harian Riau

219


Pos yang aku pimpin tetap memberi peluang pada aspirasi politik partai lainnya untuk mendapat tempat. Seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) misalnya waktu itu. Berita-berita yang banyak memberi angin pada Megawati Soekarno Puteri, Ketua Umum PDI-P kala itu, membuat aku beberapa kali diminta Pak Ripto menemuinya, dan minta pengertianku agar bisa mengendalikan berita-berita yang diturunkan agar tidak menyulitkan Golkar dan Orde Baru ketika itu. Tetapi, Riau Pos sebagai surat kabar, tetaplah menjadi media yang mencoba adil dan seimbang. Sebisanya!. Keengganan larut dalam politik praktis juga berimbas dalam langkah hidup sosialku. Aku misalnya merasa bisa melakukan hal-hal yang kadar politiknya lebih rendah, misalnya dengan ikut menjadi inspirator, penggagas atau donatur dalam perjuangan pemekaran wilayah pemerintah. Ini aku buktikan dengan keterlibatanku dalam proses pemekaran wilayah Kepulauan Riau menjadi beberapa kabupaten baru, dan perjuangan menjadikan eks Kewedanaan Lingga menjadi Kabupaten Lingga. “Aku lakukan itu, karena aku merasa berhutang budi pada daerah yang pernah memberi tempat dan kesempatan aku tumbuh dan berkembang. Di saat aku menikmati keberhasilan hidup, aku ingin berbuat sesuatu bagi kampung halamanku itu. Sebisanya, semampunya!�, begitu selalu aku sampaikan kepada teman-teman. Artinya, semua dimulai dengan niat baik, sebagai tanggung jawab moralku sebagai putra daerah tersebut. Kan aku ini orang Kepulauan Riau? Kan aku ini lahir di Singkep, Kepulauan Lingga?. Dalam proses pembentukan beberapa kabupaten di Kepulauan Riau misalnya, beberapa teman tahu bahwa gagasan pemekaran wilayah Kepulauan Riau menjadi beberapa kabupaten dan kemudian bermuara pada tuntutan menjadi Provinsi sendiri itu, diawali dari gagasan aku juga. Meskipun memang, pada mulan-

220


ya, gagasan itu hanya untuk pemekaran wilayah Kepulauan Riau menjadi beberapa kabupaten dan kota saja. Gagasan itu aku anggap sangat tepat memanfaatkan momentum UU Otonomi Daerah yang memberi kekuatan utama pada kabupaten-kabupaten untuk menjadi kekuatan otonomi. Ini kesempatan bagi Kepulauan Riau yang wilayahnya begitu luas, paling tidak untuk bertambah menjadi empat kabupaten yang baru di samping kabupaten Kepulauan Riau dan Kota Batam yang sudah ada. Kabupaten baru yang diharapkan muncul itu, terutama bekas wilayah kewedanaan dulunya, seperti Karimun, Natuna (Pulau Tujuh), Lingga, ditambah satu kota, yaitu Tanjungpinang. Dan, Tanjungpinang itu harus diperjuangkan, karena status awalnya adalah Kota Administratif. Sementara, dalam UU No.22/1999 tidak ada lagi status Kota Administratif. Jadi, kalau Tanjungpinang tidak menjadi pemerintah kota, maka statusnya akan menjadi kecamatan, dan hanya berperan sebagai ibukota Kabupaten Kepulauan Riau. Karena itulah, dalam satu kesempatan membaca doa selamat di rumahku yang selesai direhabilitasi di Tanjungpinang, pengujung tahun 1998 itu, aku sampaikan gagasan itu kepada Akmal Attatrik (kini alm), yang waktu itu Kepala Perwakilan Harian Sijori Pos (koran milik Jawa Pos Group di Batam,yang kemudian berganti nama jadi Batam Pos), dan Imam Sudrajad, seorang pengusaha, politikus tempatan, yang menjadi sahabat baikku. “Bentuklah panitia dan bikin musyawarah masyarakat Kepulauan Riau untuk minta pemekaran wilayah. Soal biaya, nanti aku bantulah, melalui Sijori Pos�, kataku lagi. Bagiku, perjuangan pemekaran itu, adalah bagian dari tugas sosial Sijori Pos yang tumbuh dan berkembang di kawasan itu. Ternyata Imam dan Akmal setuju dan mendukungnya. Mereka lalu menghubungi Arif Rasahan, temanku yang lain, yang terkenal sebagai pejuang dan politikus, salah satu tokoh PDI-P di Tan-

221


jungpinang. Arif lalu bertemu dengan beberapa teman, yang akhirnya terbentuklah Panitia Musyawarah Besar Rakyat Kepulauan Riau. Arif menjadi ketua dan dibantu dengan sejumlah teman. Seperti aku janjikan, begitu Arif, Akmal dan Imam memberitahu mereka sudah membentuk panitia untuk menyelenggarakan Mubes, aku pun mulai mendrop dana untuk memulai kerja tersebut. Karena idenya adalah pemekaran menjadi beberapa kabupaten, maka pemerintah Provinsi Riau pun ikut mendukung dan membantu dana pelaksanaannya. Bahkan Gubernur Riau Saleh Djasit waktu itu, mengutus Wakil Gubernur Rivaie Rahman untuk membuka Mubes tersebut. Tetapi, dalam Mubes yang diadakan di Hotel Royal Place, Tanjungpinang, 15 Mei 1999 itu, keadaan menjadi berubah. Keputusan Mubes bukan hanya menuntut adanya pemekaran Kepulauan Riau menjadi empat kabupaten (Kepulauan Riau, Karimun, Natuna, dan Lingga) dan satu kota, Tanjungpinang, tetapi juga menuntut Kepulauan Riau menjadi provinsi sendiri terpisah dari Riau. Inilah yang kemudian menjadi konflik yang berkepanjangan, antara Riau Kepulauan dan Riau Daratan, meskipun akhirnya melalui Usul Inisitif dari DPR-RI, usul pembentukan Provinsi Kepulauan Riau disetujui juga, namun terdapat luka sejarah yang entah kapan baru akan pulih dan terobati. Sebagai orang yang menjadi penggagas awal pemekaran wilayah, dan menjadi penyandang dana, meskipun tidaklah banyak, aku ikut sedih. Secara pribadi, aku setuju Kepulauan Riau jadi provinsi, lepas dari Provinsi Riau, karena itu aku bersedia ikut jadi anggota tim perumus persiapan pembentukan Provinsi dan pemekaran wilayah Kepulauan Riau, ketika malam-malam Pak Azman Junus menelepon aku dari Tanjungpinang, beberapa hari setelah Mubes selesai. Karena aku sadar realitas luas wilayah dan rentang kendali pengawasan kepemerintahan di daerah itu me-

222


mang sulit dilakukan. Artinya, cepat atau lambat, Provinsi akan lahir juga. Cuma, cara perjuangan yang dilakukan teman-teman yang dikomandoi Huzrin Hood (Mantan Ketua DPRD Kepulauan Riau yang kemudian menjadi Bupati Kepulauan Riau) di Badan Persiapan Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (BPPPKR) dinilai Pemda Provinsi Riau kurang etis, karena kurang menghargai fungsi dan wewenang Pemda dan DPRD Tingkat I Riau. Kebijakan melalui jalan tol langsung ke Jakarta dan ke DPRRI membuat institusi di tingkat Provinsi Riau merasa dilangkahi dan tidak dihormati. “Padahal, saya ini setuju Kepri jadi Provinsi, Pak Rida, bukan tak setuju”, kata Gubernur Riau Saleh Djasit SH kepada aku satu kali di tengah hiruk-pikuk konflik itu. “Cuma caranya tak begini. Saya sudah siapkan timnya. Sudah membuat jadwal pemrosesannya. Dan, tahun 2003, kita usulkan Kepri jadi Provinsi, setelah semua prasarana awalnya siap”, lanjutnya. Tapi, nasi sudah jadi bubur. Meskipun Gubernur Saleh Djasit, secara hukum menerima keberadaan Provinsi Kepulauan Riau, karena undang-undang telah disahkan, namun berbagai ganjalan tetap tampak, dan kadang menjadi kerikil. Tapi, aku pikir, itulah bagian dari romantika politik itu. Bisa menyakitkan, bisa menimbulkan luka, bisa menimbulkan dendam. Jika ada keberhasilan ke depan, orang yang memulai dan memberi andil, jarang yang diingat lagi. Itulah politik. Beberapa teman kemudian memang bertanya padaku, bagaimana awalnya, sampai di Mubes itu muncul ide Provinsi Kepulauan Riau, padahal pada mulanya, hanya ide pemekaran. “Kalau awal-awal mau jadi provinsi, masak Pak Gubernur mau membantu, dan mengirim Pak Rivaie (Wagub Riau) yang membuka Mubes?“ tanya orang Kepulauan Riau. Sekali lagi aku katakan, itulah politik. Sebab sampai pukul 23.30 WIB ketika panitia pelaksana Mubes melakukan rapat pengecekan terakhir persiapan

223


Mubes di kantor MLM milik Imam Sudrajad di Jalan Yos Soedarso, Tanjungpinang, semua draft dan konsep, tetap pada tuntutan untuk melakukan pemekaran kabupaten Kepulauan Riau menjadi empat kabupaten dan satu kota. Tapi, kabarnya subuh 15 Mei, di sebuah hotel tempat menginap beberapa peserta Mubes, terutama yang dari Pekanbaru dan Jakarta, ide Provinsi Kepulauan Riau itu muncul dan berkembang. Besoknya, selesai acara pembukaan, ketika sesi pandangan umum para peserta dimulai, gagasan Provinsi itu muncul dari peserta Tanjungpinang Timur yang diwakili Rusli Silin. Dan seterusnya, ide itu, bagai bola salju terus bergulir, dan membesar. Apalagi beberapa tokoh seperti mantan Bupati Kepulauan Riau Murwanto ikut mendorong dan beberapa tokoh muda dari Jakarta dan Pekanbaru. Akhirnya gagasan menjadi Provinsi itu, menjadi keputusan Mubes, di samping putusan tentang pemekaran kabupaten. Namun, meski menjadi salah satu putusan Mubes, Badan Persiapan Pemekaran Kepulauan Riau (BPPKR) yang menunjuk Arief Rasahan bersama beberapa anggota untuk merumuskan dan memperjuangkan putusan itu, masih menempuh cara-cara yang lazim. Artinya, tuntutan itu diajukan melalui kabupaten induk, yaitu Kabupaten Kepulauan Riau, dan seterusnya diteruskan ke Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau, disampaikan kepada Gubernur Riau dan ke DPRD Riau. Sehingga tuntutan itu, khususnya untuk pemekaran Kabupaten Kepulauan Riau menjadi empat kabupaten dan satu kota diproses bersama dengan beberapa usulan kabupaten baru di Riau, seperti Siak, Pelalawan, Rokan Hulu, Rokan Hilir, dan lainnya. Hasilnya kemudian, Karimun dan Natuna disetujui jadi kabupaten baru, sementara Lingga rupanya tidak diusulkan. Kota Tanjungpinang, meski diusulkan, namun tertunda pengesahannya. Sementara usulan Provinsi Kepulauan Riau, dimasukkan dalam proses lain, dengan membentuk tim tersendiri.

224


�Memang tim persiapan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau itu sudah dibentuk. Ini draftnya, dan sebagian yang dilibatkan sudah tandatangan,� kata RA Aziz, Wakil Gubernur Riau, orang asal Kepulauan Riau, kala itu kepada aku di kantornya. Rupanya informasi baru tahun 2003 diusul membuat sebagian teman-teman di Tanjungpinang tak sabar, karena itu berarti harus menunggu tiga tahun lagi. Perasaan tidak sabar ini pun bisa dimengerti, karena keinginan untuk menjadi Provinsi sendiri dan terpisah dari Riau daratan, sudah lama ada. Jauh sebelum UU tentang Otonomi Daerah lahir. “Kan dulu ibukota Provinsi Riau itu di Tanjungpinang, baru kemudian pindah ke Pekanbaru,“ kata sebagian teman. Apalagi dalam alokasi pembangunan daerah, meski kontribusi pendapatan daerah dari Riau Kepulauan cukup besar, namun yang kembali tidak sebanding, sehingga banyak daerah di Kepulauan Riau yang tetap tertinggal dan sulit berkembang karena keterbatasan anggaran pembangunan. Karena perkembangan politik setempat di Kepulauan Riau dan bahang reformasi demikian menggelegak, maka tuntutan menjadi Provinsi itu makin berkobar-kobar. Maka muncullah beberapa terobosan politik, bahkan agak di luar dugaan, seperti mendesak agar DPR-RI melakukan usul inisiatif. Desakan ini dilakukan karena di tingkat Provinsi Riau, ternyata keinginan masyarakat Kepulauan Riau itu telah ditolak oleh DPRD Riau, meskipun sebelumnya sebuah pansus yang ditunjuk DPRD Riau untuk meneliti usulan itu telah dibentuk dan dikirim ke Kepulauan Riau. Hasilnya, mereka menyatakan bahwa aspirasi itu wajar, Kepulauan Riau siap jadi Provinsi, dan tim menyatakan mereka setuju. Namun di paripurna DPRD Riau yang beranggotakan 45 orang itu, ternayata hasil kerja pansus itu ditolak melalui voting. Realitas itulah, kemudian memunculkan gaya perjuangan yang

225


lebih keras, dan terpaksa melalui jalan pintas. Gaya perjuangan demikian ini dilakukan sebuah badan baru, yaitu Badan Persiapan Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau ( BPPPKR) dibentuk dengan ketuanya Huzrin Hood (waktu itu Huzrin Hood adalah Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Riau. Huzrin yang ketika itu adalah juga Ketua DPD Golkar Kepulauan Riau, ketika Bupati A Manan Saiman selesai masa jabatannya sebagai Bupati Kepulauan Riau, ikut bertarung dan memenangkan jabatan itu, walaupun kemudian penuh kontroversi, sampai akhirnya diberhentikan lagi). Sehingga ketika itu ada dua badan perjuangan. Yang satu dipimpin Arief Rasahan yang namanya Badan Pekerja Pemekaran Kepulauan Riau (BPPKR) dan BPPPKR pimpinan Huzrin Hood. Namun, meski ada dua badan, ternyata perjuangan menuntut terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau, tetap berjalan beriringan. Yang dipimpin oleh Huzrin melakukan gerakan cepat, dan menerobos halang rintang sampai ke DPR-RI, termasuk mengorganizir berbagai unjuk rasa, sementara yang dipimpin Arief tetap melalui jalur yang lebih kalem, dan mencoba melalui tahapan yang dimungkinkan. Akhirnya Provinsi Kepulauan Riau lahir melalui Undang-undang hasil inisiatif dari DPR-RI. Peran Handjojo Putro SH (kini almarhum), tokoh PDI-P asal daerah pemilihan Kepulauan Riau, sangat besar. Dialah yang jadi ketua Pansusnya di DPR-RI. Namun realiasi undang-undang itu menjadi sangat lama, terutama karena belum terbitnya Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden tentang realiasi kabupaten ini. Akibatnya sudah lebih satu tahun UU itu disahkan, namun Pejabat Sementara Gubernur Kepulauan Riau itu belum ditunjuk. Memang ada tawaran dari pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri Hari Soebarno agar ditunjuk dulu pejabat Sekretaris Daerah (Sekda) untuk mempersiapkan dan mengatur pemerintahan daerah sehari-hari, namun karena

226


tuntutan yang tetap menginginkan agar segera ditunjuk pejabat gubernurnya, tawaran itu belum terealisasi. Terus-menerus terjadi ulur-tarik terhadap berbagai kepentingan. �Biasalah, ini kan politik,“ kata pengamat. Baru setelah Pemilu 2004 yang menetapkan daerah Kepulauan Riau sebagai daerah pemilihan sendiri dan untuk ikut dipilih secara langsung DPRD Provinsinya, maka itu menjadi solusi, karena dengan cara ini berarti selanjutnya, Gubernur Kepulauan Riau dan sekretariat pemerintahan Provinsi harus dibentuk. Akhirnya pejabat sementara Sekda ditunjuk, Said Djaafar (salah seorang pejabat di lingkungan Pemda Kepulauan Riau), dan Pelaksana Tugas Gubernur ditetapkan Ismeth Abdullah (Ketua Otorita Batam). Dalam Pilkada bulan Juni 2005 akhirnya pasangan Ismeth dan M Sani terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur definitif Provinsi Kepri. Ketika Ismeth mengundurkan diri sebagai pelaksana tugas Gubernur Kepri, karena ikut menjadi calon Gubernur, ia diganti oleh Drs Darjo, pejabat Depdagri, sebagai pjs Gubernur Kepulauan Riau. Begitulah akhirnya Provinsi Kepri ini terus tumbuh dan berkembang dengan segala dinamika politiknya. Aku terharu juga, ketika pada satu acara HUT Provinsi Kepulauan Riau, aku diundang dan diberi penghargaan sebuah cincin emas berlogo lambang daerah Kepri, sebagai perintis berdirinya Provinsi Kepri. Demikian juga dengan perjuangan membentuk Kabupaten Lingga. Sebenarnya, setelah gagal menjadi kabupaten melalui hasil Mubes Masyarakat Kepulauan Riau 15 Mei 1999, karena tidak termasuk daerah yang kemudian diproses di Provinsi Riau untuk diusulkan ke pusat, maka aku nyaris melupakan kampung halamanku itu. Namun suatu hari, sehabis lebaran tahun 2001, aku ditelepon oleh Drs M Daud Kadir, tokoh dari Lingga, anggota DPRD Provinsi Riau yang juga ketua Ikatan Warga Kepulauan Riau (IWKR) di Pekanbaru datang ke rumahnya, di Jalan Tham-

227


rin, Gobah. Ketika aku tiba, malam hari, sudah ada beberapa tokoh Kepulauan Riau dan Lingga yang kumpul di sana. Antara lain Musfar Ahmad (waktu itu Kepala Dinas Dikpora Kota Pekanbaru, dan kini sudah meninggal ketika menunaikan ibadah haji 2003), Azam Awang, dan lainnya. Rupanya mereka minta aku jadi ketua panitia halal bi halal warga Kepulauan Riau di Pekanbaru, dan sekalian minta aku untuk memimpin perjuangan untuk mengusulkan kembali Kepulauan Lingga sebagai kabupaten. Merasa sebagai orang Kepulauan Riau, dan merasa sebagai orang Lingga, akhirnya aku sanggupi, meskipun sadar bahwa aku benar-benar tidak cukup punya waktu untuk mengurusnya. Halal bi halal berlangsung di Hotel Sahid Pekanbaru, seterusnya diadakanlah dialog antartokoh masyarakat Kepulauan Riau dan Lingga, antaranya ada Mohd Saad, ada Djauzak Ahmad, dan aku sendiri tampil dengan kertas kerja tentang pembentukan Kabupaten Lingga. Akhirnya forum diskusi membuat kesimpulan, setuju agar perjuangan membentuk Kabupaten Kepulauan Lingga itu diteruskan, dengan menyelenggarakan sebuah musyawarah masayarakat Kepulauan Lingga lagi di Dabosingkep untuk mendapat legalitas aspirasi masarakat eks Kepulauan Lingga yang terdiri dari Kecamatan Singkep, Lingga dan Senayang. Dan tentu saja ikut mendukung agar perjuangan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau terus dilanjutkan. Lalu dibentuklah panitia pelaksana Mubes itu, yang pengurus intinya beberapa teman di Pekanbaru, seperti Musfar Ahmad, Azam Awang, M Thahir, Abd Razak, Said Baragbah, Ismujoni, dll, dengan penasehat antara lain M Daud Kadir, Ismail Husen, Fatah Lingga, dan dibantu teman-teman di Dabo Singkep sebagai panitia lokal yang dikoordinir oleh Pak Saleh Hassan, mantan anggota DPRD Kepulauan Riau. Mubes masyarakat eks Kewedanaan Lingga itu berlangsung tanggal 20 Juni 2002 di gedung eks sanggar karyawan PT Timah,

228


Dabo Singkep. Dihadiri sekitar 600 peserta wakil dari Kecamatan Singkep, Lingga, dan Senayang. Yang membukanya, Bupati Kepulauan Riau (kabupaten induk) Huzrin Hood. Ikut hadir Nyat Kadir (Wali Kota Batam yang berasal dari Daik), dan tokoh lainnya. Mubes menghasilkan beberapa keputusan. Antaranya yang terpenting, Mubes setuju perjuangan pembentukan Kabupaten Kepulauan Lingga diteruskan. Ini menghapus desas-desus tentang ada sementara pihak yang tidak setuju. Menurut mereka, kalau Kepulauan Lingga jadi kabupaten, daerah ini akan jadi kabupaten miskin, karena sumber dan potensi daerah yang kecil. Keputusan lainnya, memang terjadi ulur-tarik yang cukup lama, seperti soal nama kabupaten, soal di mana ibukotanya, meskipun akhir dalam sidang kebetulan aku adalah pimpinan sidangnya, diperoleh kesepakatan. Tentang nama kabupaten misalnya. Dalam hasil adalah Mubes Masyarakat Kepulauan Riau 15 Mei 1999 di Tanjungpinang, nama kabupaten yang diusulkan adalah Kabupaten Selingsing (singkatan dari Senayang, Lingga dan Singkep). Tapi dalam Mubes di Dabo Singkep itu, akhirnya muncul kembali nama Kepulauan Lingga. Sehingga nama yang diusulkan adalah Kabupaten Selingsing atau Kabupaten Kepulauan Lingga. Terserah proses akhirnya di DPOD. Tentang ibukota, pada usulan sebelumnya ibukotanya di Dabo Singkep, karena kota bekas pusat tambang timah ini dinilai paling siap sarana dan prasarananya. Tetapi dalam Mubes berkembang usulan agar di Daik Lingga, karena masyarakat dari Senayang, merasa jauh kalau ke Dabo. Mereka merasa lebih dekat ke Tanjungpinang, ibukota kabupaten induk, dibanding ke Dabo Singkep. Sementara Daik lebih di tengah-tengah. Akhirnya disepakati, ibukota di Daik, Lingga. Tetapi kalau nanti dalam penilaian pihak Departemen dalam negeri DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah) menyatakan di Dabo,

229


maka semua pihak harus menerimanya. Lalu untuk memperjuangkan keputusan ini, dibentuklah satu badan pekerja yaitu Badan Persiapan Pembentukan Kabupaten Lingga (BPPKL), yang ketuanya adalah aku, ditambah beberapa wakil ketua, antara lain Musfar Ahmad, Maslikul Akhyar (anggota DPRD Kepulauan Riau) dan sekretarisnya Azam Awang (Ketua KNPI Riau dan dosen di Universitas Islam Riau), wakil sekretaris Abdul Razak (meninggal dunia tahun 2003), dan bendaharanya Saidul Khudri (anggota DPRD Kota Batam). Ditambah dengan sejumlah anggota pengurus lainnya yang mencerminkan representasi dari tiga kecamatan yang ada: Singkep, Lingga ,dan Senayang. BPPKL mulai bekerja, dan aku dan teman-teman memutuskan melakukannya dengan cara-cara yang proporsional. Ikut aturan, dan tidak ada jalan pintas yang akan membuat aturan yang ada dilanggar. Memang terasa lamban, dan melelahkan. Mulai dari proses di Kabupaten induk, minta persetujuan dari DPRD Kepulauan Riau, dukungan dari Bupati Kepulauan Riau. Dari sini usulannya diteruskan ke Gubernur Riau, dan ke DPRD Provinsi Riau. Di Pekanbaru, BPPKL melakukan presentasi atas usulan tersebut di depan para pejabat Provinsi, untuk mendapat rekomendasi dari Gubernur. Setelah Gubernur setuju lalu diteruskan ke DPRD provinsi. Di sini kembali BPPKL harus mempresentasi usulan itu, baru kemudian DPRD membentuk pansusnya dan membahasnya. Setelah disetujui di tingkat Provinsi maka diteruskan ke Departemen Dalam Negeri. BPPKL hilir mudik Pekanbaru-Tanjungpinang-Batam-Jakarta. Bertemu, melengkapi bahan-bahan usulan, lobi, dan lainnya. Dalam perjuangan di Jakarta ini besar jasa Prof Tabrani Rab dan Alfitra Salam, dua anggota DPOD (Dewan Petimbangan Otonomi Daerah) asal Riau yang ikut membantu melicinkan jalan usulan tersebut. Untunglah pola kerja yang dipilih BPPKL ini

230


fleksibel. Terlebih karena kesibukan aku mengurus perusahaan maka teman-teman anggota BPPKL lainlah yang bekerja keras. Aku lebih berposisi sebagai pengarah dan pengatur strategi, serta pencari sumber dana untuk memperlancar tugas-tugas BPPKL. Teman-teman, seperti Musfar Ahmad, Maslikul Akhyar, Azam Awang, Razak, Djaya, dan lain-lain, berperan sebagai motor. Terutama Azam Awang, Razak, Masliku Akhyar, Djaya dan Anna. Untuk memudahkan koordinasi kami menunjuk semacam penanggung jawab daerah kerja. Semua urusan di Pekanbaru diurus oleh Azam Awang cs. Yang di Tanjungpinang diurus oleh Maslikul Akhyar. Yang di Jakarta diurus oleh Djaya cs. Sementara yang di Singkep dikoordinir oleh Pak Saleh Hasan. Akhirnya Kabupaten Lingga itu terwujud juga, setelah diperjuangkan lebih kurang dua tahun. Dimulai dari Mubes di Dabo, Juni 2002, dan disahkan oleh DPR-RI November 2003. Aku ingat, selama proses perjuangan yang lama itu, aku hanya sekali ke Jakarta untuk urusan kabupaten itu, yaitu saat Undang-undang Kabupaten Lingga bersama 24 kabupaten lainnya yang disahkan oleh DPR-RI dalam sidang paripurnanya di Gedung DPR-RI, Senayan. Selebihnya teman-teman anggota BPPKL yang banyak hilir-mudik ke sana. Memang, yang namanya kerja, bila sudah ada bau politiknya, ya pastilah tak semuanya selesai secara baik. Selalu ada saja yang benjol dan merasa tak puas. Selalu ada saja yang dipolitisir. Begitulah dengan Kabupaten Lingga ini. Begitu Kabupatennya resmi disahkan, bermunculanlah ketidakpuasan. Dimulai dari soal nama. Mengapa bukan Selinsing? Mengapa bukan Kepulauan Lingga? Mengapa akhirnya namanya Kabupaten Lingga? Lalu muncul soal ibukota. Kan dulu Dabo, mengapa Daik? Mulailah ada berbagai unjuk rasa ketidakpuasan. Aku akhirnya memilih untuk diam menahan diri, mengiritkan bicara, dan coba mey-

231


Aku turut serta mengantar terbentuknya Kabupaten Lingga, karenanya merasa bertanggungjawab atas keberhasilan kabupaten baru ini dalam mengejar ketertinggalannya. (Atas) Bersama masyarakat Lingga, (bawah) bersama DR. H.Azam Awang MSi, tokoh muda masyarakat Lingga, dalam suatu kunjungan ke Lingga.

232


akinkan secara perlahan-lahan, bahwa esensi dari perjuangan itu adalah menjadikan eks Kewedanaan Lingga itu jadi kabupaten. Karena dalam sistem pemerintahan di daerah di Indonesia yang berbasis otonomi itu, di Kabupatenlah kunci pelaksanaan otonomi itu. Dengan status Kabupatenlah sebuah daerah dapat membangun kawasannya lebih baik, lebih mudah, lebih terencana, lebih aspiratif, lebih bertanggung jawab. Soal nama Kabupaten, apa pun namanya, bukan hal sangat perlu menimbulkan friksi, kecuali memang dipolitisir. Nama Lingga itu, menurut para pembahas UU itu di DPR-RI memang lebih pas karena mencermin alur sejarah wilayah. Daerah asal Kabupaten ini adalah wilayah eks Kewedanaan Lingga. Sama seperti Kabupaten Karimun yang mengambil daerah pemerintahan eks Kewedanaan Karimun. Soal ibukota, tim dari DPOD sudah melihat ke Dabo dan Daik dalam kunjungan kerja mereka. Juga tim dari Komisi II DPR-RI. Mereka setuju Daik sebagai ibukota, dengan melihat prosfek ke depan menyangkut strategi wilayah pembangunan, ketersediaan lahan dan ruang untuk pembangunan, jarak antarwilayah yang menjadi wilayah pemerintahan, dan tentu saja secara historis Daik dulunya adalah pusat Kerajaan Riau Lingga. Dabo sendiri, meskipun tidak disebut dalam undang-undang, tentu akan menjadi pusat pelayanan pemerintah sementara, menunggu Daik siap sebagai sebuah ibukota yang terencana, teratur, dan representatif. Oleh karena itu, dengan pikiran dingin, kepada beberapa teman, terutama tokoh-tokoh muda di Pekanbaru asal Lingga yang aku anggap masih mau berpikiran jauh, aku selalu mengatakan, “Ya, sudahlah. Sudah jadi Kabupaten, mulailah bekerja, dan jangan bertengkar lagi. Karimun, Siak, Pelalawan, dan lainnya yang dulu diusulkan tahun 1999, sekarang sudah hebat, dan maju sekali. Kalau Lingga berkelahi, seratus tahun lagi tetap jadi daerah

233


miskin, terbelakang, dan pinggiran.“ Kata orang tua-tua, modal sudah di tangan, ya mulailah bekerja. Kalau bertengkar, arang habis besi binasa. Tak ada yang untung. Yang terpenting, bagaimana setelah jadi Kabupaten, segera disiapkan kerangka pikir untuk mengarahkan bagimana seharusnya Kabupaten Lingga dibangun. Dalam berbagai kesempatan dan kertas kerja yang aku sampaikan, aku mengusulkan agar ke depan kawasan Singkep dan sekitarnya dengan pusat pertumbuhan di Dabo, dibangun sebagai daerah industri, dengan basis industri pertanian dan maritim. Sementara Lingga menjadi pusat pemerintahan, budaya dan pariwisata. Sedangkan Senayang dan sekitarnya menjadi kawasan perikanan modern. Itulah karakter dan potensi yang sudah sedia ada di sana sejak dulu kala. Tinggal bagaimana mengembangkannya. “Terserah kalianlah yang mudamuda mau diapakan Kabupaten Lingga itu. Aku sudah mengantarkannya jadi kabupaten,“ kataku kepada Agus Sutikno, Julita Saidi, Firdaus, dan lainnya para intelektual muda asal Lingga. Gubernur Riau H Rusli Zainal juga berpikiran sama. “Esensi dari perjuangan menjadi Kabupaten itu sudah selesai. Kini eranya membangun Lingga dengan segala daya,” katanya, ketika berkunjung ke Lingga, pengujung Juni 2004, yang juga tempat kelahiran ibunya. Karena itu, aku lebih suka jika ada peluang, untuk membantu Lingga bangkit dari sektor ekonominya. Misalnya, bersama dengan beberapa teman yang eksis di rantau, seperti Echsan Fansuroi, Asmin Patros, dll, kami mendirikan BPR (Bank Perkreditan Rakyat) di Dabo untuk membantu kalangan dunia usaha. Aku ikut membuat konsep dan strategi bisnisnya untuk mendirikan BUMD di Lingga. Di Kepulauan Riau pun, aku mencoba memberi kontribusi pemikiran dan gagasan untuk memajukan daerah ini, terutama

234


di bidang ekonomi. Aku ikut menyusun konsep Perda (Peraturan Daerah) untuk mendirikan BUMD di Provinsi ini. Kemudian, aku juga bersedia dilibatkan sebagai wakil ketua tim asistensi Gubernur Kepri di bidang ekonomi, bersama sejumlah teman para pengusaha Kepri lainnya. Ketuanya sendiri adalah Kris Wuilan, seorang pengusaha yang sukses di Jakarta dan Batam. Dua kali masa jabatan aku jadi wakil ketua tim asistensi ini. Tapi, aku memang sejak awal mengatakan ke Gubernur Kepri Mohd Sani, best friend aku itu, bahwa aku tak bisa aktif sepenuh waktu. Tak selalu bisa ikut rapat. Maka banyak usul dan saran aku kirim melalui email. Aku sedih karena tak bisa berbuat banyak untuk Provinsi Kepri ini. 5. Politik itu Memang Menyakitkan Dari pengalaman berorganisasi, baik sosial, maupun yang penuh warna politik yang aku alami, yang meskipun belum seberapa dibanding orang lain, yang paling aku rasakan dan kuanggap pelajaran yang amat berharga adalah: berpolitik itu, memerlukan hati keras, memahami makna manajemen dendam dan strategi membalas, serta siap untuk disakiti dan dijahili. Aku melihat betapa sakitnya Huzrin Hood menerima realitas bagaimana secara politik dia disakiti. Semua perjuangannya mewujudkan Provinsi Kepulauan Riau, tiba-tiba menjadi malapetaka, dan dia harus merasakan betapa pedihnya penjara. Demikian juga beberapa politikus senior Riau, seperti Thamrin Nasution (kini alm) dan kawan-kawan, yang tersisih dari gelanggang politik di Riau, ketika mereka kalah dalam perlawanan 2 September 1985 itu, karena meski kalah toh Imam Munandar tetap dilantik, dan di bawah tekanan, Ismail Suko (kini alm) terpaksa mundur. Kelompok 2 September semuanya disingkirkan. Lama Thamrin menghilang dari arena politik, meski tetap setia

235


pada Golkar, sampai akhir kembali lagi, setelah Pemilu 1999 di era Saleh Djasit jadi Gubernur Riau. Aku sendiri, memang sudah pernah merasakan betapa sakit dan pedih dijahili di jalur politik ini ketika masih menjadi pengurus Golkar Riau. Nurani seorang wartawan telah melatih aku untuk selalu melihat dari berbagai sisi, untuk memahami makna suatu peristiwa. Cover both side, kadang-kadang mengajarkan kita untuk menggunakan sisi pertimbangan: Jangan-jangan dia lagi khilaf waktu itu, jangan-jangan dia pun berada pada posisi yang sulit dan tak punya banyak pilihan. Jangan-jangan dia berada di bawah tekanan, dan lain sebagainya. Padahal, menurut tradisi politik, menurut nurani politik, sikap memberi peluang pada keragu-raguan itu, adalah pantang. Sekarang atau tidak sama sekali, kita atau dia.... Itulah yang selalu aku sampaikan kepada teman-teman di grup surat kabarku. Kearifan melihat politik, dan tidak larut. Aku pernah membuat sebuah kata pengantar untuk buku politik karya Drs Azam Awang MSi, Ketua KNPI Riau waktu itu, anak muda dari Lingga. Aku tulis antaranya, “Politik itu, adalah apa yang tidak dikomunikasikan. Yang dikomunikasikan, meskipun tampak begitu bersih, jernih, tetap menyimpan rahasia, rahasia politik. Tak bisa dipercayai seratus peratus, tetapi tetap harus diakomodasi sebagai bahasa politik, bahasa untuk berkomunikasi dalam bingkai saling menyimpan rahasia. Karena itu, dalam kesehariannya, politik itu penuh dengan berbagai tafsiran, berbagai analisa, berbagai pengandaian, sebagai upaya untuk menerjemahkan secara pas antara apa yang dikomunikasikan dan apa yang tidak dikomunikasikan. Siapa yang paling tepat dan cerdas menerjemahkan dan menganalisa kedua kondisi itu, dialah yang akan memenangkan pertarungan politik itu. Karena itu pula, politik senantiasa memerlukan sisi dialog, sisi negosiasi, tolak angsur

236


dan kesepahaman. Politik adalah proses yang tidak semuanya mudah, dan sebuah jalan yang kadang penuh duri. Kita yang mau berjalan di sana harus siap untuk tertusuk dan berdarah. Tak pernah boleh ada kata penyesalan, dan tak boleh ada kata menyerah bagi seorang politikus. Pantas orang-orang tua kita berkata bahwa politik itu seperti kata pepatah: �Telunjuk lurus, kelingking berkait�. Kalau tak siap begitu, ya jangan berpolitik! Pesan moral seperti inilah juga yang terus menerus aku sampaikan kepada anak-anakku yang mulai terjun ke politik. Oktavio, Teddy Jun Askara, Indra Rukmana, dan Shinta Dewi. Mereka sedang belajar untuk memahami arti berpolitik, arti dikecewakan, arti disakiti, arti semangat idealisme yang bertembung dengan hakekat politik dan realitas hidup: Dalam politik, tak ada persahabatan yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi. �Jadi jangan sedih dan putus asa kalau dikhianati � kataku pada Teddy, Indra dan Vio, anak-anakku yang pada Pemilu 2009, merasakan betapa getir karena disakiti dan dikhianati... ***

237


238


UNTUNG

BAB X BERTEMU DAHLAN

1

Dahlan Iskan Way “Bagaimana rahasianya maka Jawa Pos Group bisa berkembang pesat sebagai perusahaan media. Dari sebuah perusahaan, bisa menjadi group hampir 200 perusahaan”, begitu suatu pagi, di bulan Desember 2012, di restoran Hotel Ciputra Jakarta, saat sarapan pagi, Ary Ginanjar Agustian, Tokoh pendiri dan CEO ESQ 165 mengajukan pertanyaannya kepada aku. Pertanyaan yang hampir sama, beberapa hari sebelumnya, diajukan juga oleh Pak Ligisan, salah satu Trainer terbaik ESQ kepadaku. Mereka memang sedang mengumpulkan informasi tentang keberadaan JP Group untuk jadi bahan pembicaraan dalam program training ESQ untuk para manager dan pimpinan anak perusahaan JP Group di Jakarta. Pertanyaan yang hampir sama juga diajukan oleh para peserta seminar atau workshop yang meminta aku jadi pembicara, dalam berbagai kesempatan, meskipun lebih fokus ke perkembangan Riau Pos Group. “Apa kiat dan prinsip manajemen yang diterapkan sehingga bisa berkembang seperti sekarang ini ?”, tanya mereka. Aku memang selalu sulit menjawab pertanyaan tersebut secara cepat, tepat, dan mengena. Karena aku sadar benar bahwa, apa kiatnya, bagaimana kiatnya, apa prinsip manajemennya, dll, sebenarnya pada kami di JP Group, adalah sebuah jawaban atas

239


240


241


sebuah proses pembelajaran bisnis yang digeluti dari hari ke hari, dari waktu ke waktu. Dari satu sukses ke sukses yang lain, dari satu kegagalan ke kegagalan yang lain. Jatuh bangun! Tak ada teori manajemennya, tak ada sistim yang baku. Yang ada, seperti orang belajar naik sepeda. Ya, mulai, coba, jatuh, coba lagi, dan terus. Pelan-pelan, dan kalau sudah jalan, ya lebih cepat, kencang..., terus, dan tak boleh mundur! Tapi kepada Pak Ari Ginanjar dan Ligisan, aku katakan, bahwa semuanya itu berhasil kami raih karena kami di JP Group itu mempunyai seorang Pak Dahlan Iskan, sebagai leader. Dialah yang mengajarkan kepada kami bagaimana membangun bisnis media ini. Meskipun tidak diformulasi, dia telah meletakkan paling tidak 4 prinsip manajemen, yang kemudian menjadi dasar dan landasan yang kami jalankan dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab. Empat prinsip itu adalah : Focus, Care, Creative, dan Visioner. Formulasi ini, memang aku yang menyimpulkannya, merumuskannya, berdasarkan praktek bisnis yang kami jalankan selama ini. Keempat prinsip inilah yang selalu kami bahas dan evaluasi dalam setiap pertemuan kami di Jawa Pos Group. Dan prinsip manajemen ini kami jalankan dalam bentuk sebuah tim manajemen, yang selalu kami sebut sebagai “Seven Samurai�, yaitu orang-orang yang ditugaskan dan diberi kepercayaan penuh oleh Pak Dahlan untuk membangun dan mengembangkan bisnis media di Jawa Pos Group. Dari mesin buruk, dari modal kertas cetak, sampai bisa terbit, tumbuh dan berkembang. Dari satu perusahaan, jadi dua, tiga, dan seterusnya. Dan kami juga punya satu corporate culture: Kerja Keras, Tumbuh Bersama dalam Kebersamaan. Corporate culture ini Pak Alwi Hamu yang pertama mencetuskannya. Itulah rahasia suksesnya, itulah kiat berkembangnya. Dan aku ada di dalam sistem ini, sebagai salah satu bagian, saksi, dari seluruh pengalaman dan perjalanan bisnis

242


itu. Prinsip manajemen yang diletakkan Pak Dahlan Iskan itulah yang kemudian sering kami namakan sebagai Dahlan Iskan Way. Aku sendiri, sebenarnya, ketika mulai ikut serta dalam perjalanan bisnis JP Group ini, hanya punya cita-cita ingin jadi salah seorang eksekutif di group itu, karena aku terkagum-kagum melihat bagaimana Pak Dahlan membangun kerajaan bisnis Jawa Pos itu. Tak berpikir untuk jadi kaya. Bisa menjadi seseorang yang dapat melakukan sesuatu, apalagi bisa bermanfaat bagi tempat di mana aku tumbuh dan dibesarkan, rasanya, bukan kepalang bahagianya. Tak terbayangkan, kalau ingat betapa aku dulu, seorang bocah lelaki, yang berenang di lumpur, di sungai, di kampung kecil, yang tak pula tertera di peta. Cita-citanya amat sederhana, “Bagaimana keluar dari kampung tersuruk itu, pergi ke negeri lain, dan bertemu dengan orang-orang lain yang ditakdirkan membuat sejarah�. Seperti ombak Sekanak. Tak terbayangkan kalau kemudian bisa memimpin sebuah group bisnis media yang ada di semua Provinsi di Sumatera bagian Utara ini. Tentang menjadi pengusaha surat kabar, misalnya. Dalam angan dan cita-citaku untuk menerbitkan surat kabar atau majalah sendiri, sebagai puncak karirku sebagai wartawan di daerah, aku sekali lagi sebenarnya hanya ingin menjadi pemimpin redaksi dan sama sekali tidak mempunyai bayangan tentang menjadi seorang penerbit surat kabar. Karena itu, ketika tahun 1983, aku ditawarkan Tabrani Rab untuk memimpin surat kabar Mingguan Genta, aku minta agar bisa menjadi redaktur pelaksana saja, dan bukan pemimpin umum. Juga ketika Dahlan Iskan mengajak aku untuk menerbitkan surat kabar di Riau, aku menerima dalam persepsi sebagai pemimpin redaksi. Meskipun aku meminta dia juga memberikan sebuah mesin cetak koran, itu lebih kepada pengertian, bahwa aku memberi tahu bahwa akan sulit menerbitkan koran di Riau, jika tidak ada mesin cetak. Itulah realitas yang

243


Di Jepang, Aku paling kanan, kedua dari kiri adalah Dahlan Iskan (foto atas). Bersama seorang geisha, wanita Jepang dalam pakaian tradisional (foto atas kiri), bersama rombongan JP Group saat ke Pameran Percetakan Drupa singgah di Paris (kanan atas, bawah:) foto bersama Penanggungjawab Operasional Group Fajar Bapak Syamsunur.

244


aku amati sebelumnya, tentang mengapa di Riau tak ada koran yang mampu bertahan lebih dari enam bulan atau terbit kontinyu. Dalam bayanganku, kelak kalau memang jadi, pihak Jawa Pos akan mengirim seseorang yang akan menangani segi bisnisnya. Aku yang menangani redaksionalnya. Apalagi, dalam percakapan yang singkat dengan Dahlan di Karah Agung, Surabaya, awal 1990, yang melahirkan gagasan menerbitkan koran di Riau, kami tidak sempat membicarakan detail dari penerbitan itu. Memang aku tahu ada banyak wartawan yang sukses jadi pengusaha surat kabar. Yakob Utama di harian Kompas, Dahlan Iskan di Jawa Pos, dan juga Ruppert Murdock yang membangun kerajaan bisnis medianya, adalah juga seorang wartawan. Tapi aku punya pengalaman buruk ketika memimpin surat kabar Mingguan Genta, yang meskipun tetap terbit, namun gagal sebagai bisnis. Tak tentu laba ruginya. Dulu pun waktu menerbitkan majalah stensilan Utusan, juga sekali terbit lalu tutup. Meskipun produknya baik, namun secara bisnis aku belum menemukan hasil yang memuaskan. Waktu diminta bikin koran di Riau, aku memang ingin sukses dulu sebagai pemimpin redaksi, nanti baru pelan-pelan belajar bisnisnya. Oleh karena itu aku berharap Dahlan mengirim orang manajemennya ke Riau. Tetapi ternyata tidak demikian. Yang dikirim Dahlan adalah Pak Indra Slamet Santoso. Dia ketika itu memang tercatat sebagai pemimpin perusahaan Harian Jawa Pos. Tugasnya ke Riau bukan untuk memimpin koran, hanya menyangkut masalah legal dan kerja sama dengan pihak Yayasan Penerbit Riau Makmur. Selesai menandatangani kerja sama, Pak Indra pun pulang ke Surabaya. Seterusnya, urusan terbit tidak terbit, urusan laku tidak laku, sepenuhnya urusan aku. Karena itu, pada awalnya, aku memang sempat agak gelagapan juga. Sebab, waktu itu, aku tidak mempunyai planning yang jelas dalam hal manajemen sirkulasi dan

245


keuangannya. Yang baru kurancang, adalah aspek redaksional. Tapi mau apa lagi? Tantangan sudah di depan mata. “Tak boleh ada kegagalan lagi,� kataku meneguhkan semangat dan mengingat beberapa kegagalanku yang lalu. Begitulah, begitu MoU ditandatangani, aku harus segara mulai. Melakukan apa saja yang patut dan bisa dimulai. Karena latar belakangku sebagai wartawan, maka kerja awal adalah menangani redaksionalnya. Menyiapkan produknya. Nanti, dalam hatiku, begitu produk sudah jadi, baru urusan marketingnya dibenahi. Meskipun aku tahu itulah putusan yang sangat riskan, dan keliru, seperti yang biasa dilakukan teman-teman lain yang bikin koran. Terlalu fokus pada produknya, dan melupakan aspek pasarnya. Bisa bikin koran, tetapi tak bisa jual koran. Tapi itulah keputusannya, dan itulah prioritas kerja. Aku memang memulai membangun Riau Pos dari aspek redaksi, dari aspek produknya. Aku membenahinya, karena koran ini dulunya sebuah mingguan yang sudah tidak terbit. Sekarang akan terbit, dan jadi surat kabar harian. Untuk itu harus dilakukan perubahan mendasar dan persiapan yang lebih baik. Selain mempertahankan tenaga redaksi yang sudah ada, aku segera merekrut sejumlah calon wartawan, kebanyakan adalah wartawan SKM Genta yang menyeberang, setelah berhenti baik-baik, antara lain Suryanto, Mosthamir Thalib, M Husni Ch dan belakangan bergabung Sutrianto. Dari wartawan yang sudah sejak awal bergabung dengan Riau Pos, ketika masih terbit mingguan, tetap bergabung seperti Busra Algerie (yang kupanggil Pak Haji dan wartawan senior di Riau, kini sudah almarhum. Pernah jadi salah seorang komisaris di PT Riau Pos Intermedia, penerbit Harian Riau Pos), Amril Noor (sekarang sudah pensiun, dan jadi salah seorang komisaris di Riau Pos), Sofyan Syamsir (sekarang anggota DPRD Kepri), Mai Irianta (almarhum), dan Yose Rizal Zen (kini PNS

246


Pemprov Riau). Yang baru bergabung dan hampir belum punya pengalaman sebagai wartawan adalah Kazzaini Ks, Helmi Burman (sekarang sudah keluar dari Riau Pos , dan pernah anggota DPRD Riau), Abdul Rasyid (kemudian berhenti) dan Taufik Munthasir (kemudian memimpin grup penerbit Lantang di Batam). Mereka aku beri sejumlah latihan menurut kemampuan yang aku miliki dan disiapkan untuk menjadi wartawan teras, begitu terbit. Namun di departemen sirkulasi, keuangan dan iklan, bahkan pracetak dan perwajahan, aku harus menggunakan semuanya tenaga yang sudah ada sejak Riau Pos terbit mingguan. Untung beberapa tenaga nonredaksi yang sudah ada bisa diandalkan. Untuk pracetak dan perwajahan misalnya ada Armawi KH (pegawai Depdikbud yang jadi pelukis dan penyair dan sudah lama aku kenal), Furqon LW (yang baru tamat SMEA) dan Tumin. Di keuangan, administrasi, sirkulasi dan iklan, ada Erda Yulfi, Sulastri, Ari Purnama, Sumedi, Indrayanto (kemudian berhenti), Sri Herliani, Heriyanti, Anajmi, Sri Wahyuni (kemudian berhenti), Dewi Murniati dan belakangan bergabung Asnida Syukur. Itulah SDM yang ada, ketika aku memulainya tahun 1990. Tidak satu pun yang benar-benar punya latar belakang pendidikan ekonomi, marketing atau akunting. Satu-satunya sarjana yang ada di divisi usaha hanya Erda Yulfi, itu pun dari sosial politik. Lebih memadai di devisi redaksi, karena ada beberapa wartawan yang berpendidikan sarjana, meskipun bukan sarjana komunikasi dan jurnalistik. Tapi kerja sudah dimulai dan harus terus melangkah. Apa pun yang ada, apa pun kesulitan di depan, kami tak boleh mundur. “Kita ini harus membuat sejarah dan menjadi pionir pertama yang mampu membuktikan bahwa kita bisa bikin koran, bisa menjual koran dan bisa mempertahankannya sebagai usaha,� kataku membakar semangat karyawan yang ada.

247


Sebahagian dari penghargaan yang kudapatkan dari grupku. Foto atas: Penghargaan sebagai Penanggung Jawab Operasional Terbaik untuk penjualan koran; (kanan) Penghargaan Penanggung Jawab Operasional Terbaik untuk Iklan, (paling kanan:) Terbaik untuk Koran Umum dan Metro.

248


Aku tak tahu, siapa yang saat itu benar-benar yakin dengan apa yang aku katakan. Tetapi melihat mereka terus bertahan dan bertarung bersamaku dalam tahun-tahun awal yang sulit dan hanya tiga orang yang keluar (itu pun karena kesalahan yang fatal sebagai karyawan), maka itu aku tahu mereka ini yakin dengan apa yang aku katakan. Mereka adalah karyawan-karyawan yang memiliki jejak historis bersamaku dan merupakan pionir. Jika mereka kemudian berhasil menjadi “seseorang yang mempunyai peran dan mempunyai andil dalam membesarkan Riau Pos”, maka mereka adalah orang-orang yang menjadi “seseorang” karena gigih belajar dan belajar untuk melakukan tanggung jawab mereka. Tak heran, kalau kemudian, memang ada karyawan yang benar-benar jadi pilar, dan berkembang secara baik. Yang selalu aku jadikan contoh adalah Mispan misalnya, karyawanku bagian cleaning service, yang hanya tamat SLTA. Berkat tekun dan terus belajar, dia kini jadi salah satu teras utama Riau Pos di Departemen EDP (Electronik Data Processing), yang selalu kami panggil “professor”. 2. Focus ! Focus ! Focus ! Begitulah manajemen Riau Pos itu dulunya ketika mulai dan dibangun. Dari sebuah koran yang hanya punya oplah 2.500 eks dan sekarang punya sebuah grup penerbit dengan total oplah lebih 200 ribu eks/hari. Dari hanya sebuah koran dan sebuah percetakan kecil, menjadi sebuah group dengan 17 surat kabar, 7 percetakan, 5 stasiun televisi lokal, sebuah gedung 10 lantai, dan beberapa unit bisnis lainnya. Sebuah grup usaha yang tahun 2012 ini, sudah menjadi salah satu group bisnis media terbesar di JP Group dari 16 Group yang ada. Dari karyawan yang hanya berjumlah 25 orang, menjadi sebuah grup yang berjumlah lebih 800 orang karyawan. Dan mereka, para pionir itu, yang dulunya

249


baik yang memulai dari reporter atau redaktur di jajaran redaksi atau sebagai staf bagian atau kepala bagian di jajaran divisi usaha, kini ada yang sudah jadi manajer, baik di divisi produksi maupun usaha. Bahkan beberapa di antaranya kupercayakan memimpin koran baru kami di daerah-daerah sekitarnya, seperti Batam, Medan, dan Padang. Karena focus mengelola semua aspek produksi dan bisnis, maka kami berhasil melewati masa-masa sulit. Kami bisa berkembang, tumbuh dan sehat sebagai sebuah usaha. Dalam kelompok anak-anak perusahaan Jawa Pos Group, Riau Pos Group termasuk anak perusahaan yang cukup baik posisinya dan diandalkan. Tak heran, Dahlan Iskan, kerap menjadikan Riau Pos sebagai model tentang sebuah usaha yang bisa berkembang pesat, jika dimotori dengan semangat dan kerja keras. “Kan, ternyata bisa juga wartawan jadi pengusaha,” begitu Dahlan Iskan memberi dorongan kepada para penanggung jawab anak perusahaan dalam kelompok Jawa Pos Group, dengan mengambil contoh Riau Pos. ”Karena mereka fokus dan mau belajar terus”, tambah Dahlan lagi. Walaupun menurutku, sebenarnya contoh yang diambilnya itu, adalah dirinya sendiri, yang juga bermula dari seorang wartawan dan melesat sebagai seorang entrepreneur yang cemerlang di Indonesia. Etos dan kiat bisnisnya menjadi inspirasi kami, para ”Seven Samurai”, di daerah, seperti aku (Riau Pos Group), Zainal Muttaqin (Kaltim Pos Group), Suparno Wonokromo (Sumatera Ekspress Group), Himawan Mashuri (Manado Post Group), Margiono (Rakyat Merdeka Group), Alwi Hamu (Fajar Group) , dan tentu saja Ibu Ratna Dewi (Dirut Jawa Pos), dan lainnya untuk membangun imprerium bisnis media Jawa Pos Group. Tetapi, tentu keberhasilan menjadi salah seorang eksekutif Jawa Pos Group yang berhasil itu, bukan sesuatu yang diraih begitu saja. Bukan sebuah kebetulan, dan bukan hanya retak tangan atau

250


nasib baik. Tapi adalah sebuah kerja keras, sebuah proses manajemen yang menyita pikiran, waktu, dan juga perasaan. Sebuah kerja yang digeluti sepenuh hati. ” Focus ! Focus ! Focus ! ” begitu selalu kata Pak Dahlan. Dan dia menyebutkannya memang selalu tiga kali. Artinya, bagi aku, menerbitkan sebuah surat kabar, memang bukan hanya soal membuat berita, bukan hanya membuat reportase perjalanan, bukan hanya soal semangat menggebu-gebu. Tetapi juga soal manajemen, soal mengelola usaha dan bagi kami para penerbit surat kabar dalam kelompok JP, begitu kami menyebut kelompok usaha kami, adalah soal “bisnis koran”. Kalau sudah jadi sebuah kerja bisnis, maka dia harus juga menyangkut soal mengubah budaya kerja, budaya pemahaman tentang usaha, budaya mendisiplin diri sendiri, budaya memahami apa maknanya efisiensi, budaya belajar membuat keputusan secara tegas, budaya memahami apa itu laba rugi, apa itu pemegang saham dan berbagai tetek bengek akutansi lainnya. Semua soal-soal manajemen demikian itu, bagi seorang yang berlatar belakang wartawan, adalah kerja berat. Perlu kemauan keras, perlu kesadaran mendalam dan perlu belajar terus-menerus dari setiap kesalahan yang pernah dibuat. Sekali lagi, perlu focus, untuk untuk mewujudkan mimpi dan obsesi itu. Aku sangat merasakan proses pembelajaran itu. Setelah berhasil bikin koran, misalnya, tahun ketiga, pada oplah rata-rata 12 ribu eks perhari, maka aku memutuskan mulai focus belajar tentang bisnis, dari semua aspek, terutama pemasaran dan keuangan. Tahun ketiga itu, aku baru tahu perusahaan berlaba Rp40 juta. “Berlaba? O, ya, kalau begitu bisa dong kita jadi besar. Bisa berlaba Rp100 juta,” kataku berkelakar di bagian keuangan dan sirkulasi. Ketika itu, nilai Rp100 juta itu bukan main besarnya. Bayangkan, gaji aku sebagai pimpinan perusahaan itu, hanya Rp 500.000.Modal setor Riau Pos ketika didirikan juga Rp 100 juta.

251


Dengan tekad untuk mulai memahami manajemen keuangan dan pemasaran, ketika aku dapat kesempatan belajar tentang urusan keuangan itu, dengan mengikuti pelatihan manajemen keuangan untuk manajer non keuangan (FINON) -- begitulah istilah pelatihan yang diadakan oleh Jawa Pos Group, di gedung Bappindo Surabaya, yang instrukturnya diundang dari LPEM (Lembaga Pengembangan Ekonomi dan Manajemen), aku berusaha maksimal untuk memahaminya. Di situlah pertama aku belajar apa itu neraca, apa itu laba rugi, apa itu cash flow, cash basis, utang piutang, pinjam meminjam, dan tetek-bengek keuangan lain. Dalam bahasa Dahlan Iskan, itulah ilmu-ilmu yang perlu diketahui para manajer, agar kelak tak dibohongi oleh bawahan. Paling tidak aku tahu, apakah Riau Pos itu berlaba, atau sedang menuju bangkrut. Aku ingat, begitu pulang dari belajar manajemen keuangan itu, memasuki tahun keempat (1995), kami mengkampanye sebagai tahun “Go to 1 M�, yaitu kampanye meningkatkan hasil usaha sampai Rp 1 miliar. Ketika itu perolehan pendapatan sebesar itu, bagi koran daerah, sungguh luar biasa. Apalagi di mana pendapatan iklan nyaris tak berarti. �Ayo, harus bisa. Kalau sukses, kita potong kambing �, kataku memberi temanteman semangat. Pelajaran bisnis lain yang sangat berharga, adalah tradisi rapat evaluasi di grup Jawa Pos, sebagai mekanisme kontrol, dan salah satu dari aspek manajemen yang sangat penting. Dilakukan lima kali dalam satu tahun, yaitu rapat evaluasi tiap triwulan (empat kali) dan rapat akhir tahun/Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Rapat-rapat evaluasi rutin ini, menjadi ajang pembelajaran bisnis yang paling efektif. Karena di sana kami bisa belajar bagaimana kiat teman segrup yang sukses menjual koran, mengendalikan hari piutang, melakukan efisiensi, melakukan promosi, dan lain-lain strategi bisnis koran. Di rapat evaluasi itu

252


kami bisa menakar, perusahaan yang kami pimpin itu semaju apa. Apakah ratio-ratio bisnis yang dicapai, memang baik. Ratio laba operasi, ratio ROE (Return on Equity), ratio indeks efektivitas karyawan, dan lain-lain. Pelajaran rapat evaluasi ini, meskipun bukan dengan melakukan gaya manajemen yang begitu moderen, telah memberi arah manajemen yang lebih baik. Diplototi teman-teman segrup, dipersoalkan biaya terlalu besar, diledekin takut menaikkan harga, dan lainnya, membuat gaya manajemen di grup ini menjadi hidup dan berkembang. Tiap tahun ada hal-hal baru yang menarik dan menambah wawasan para pemimpin grup. Tiap tahun, pada pertemuan akhir tahun, ada pemberian penghargaan atas prestasi perusahaan. Sebagai perusahaan yang berpendapatan koran terbesar, iklan terbesar, laba terbesar, paling efisien, dan lainnya, sampai perusahaan yang bisa merawat mesinnya secara baik. Sebuah motivasi untuk terus maju dan berkompetisi. Kemudian, ketika punya kesempatan belajar pada program MBA (Master of Bussines Administrations) kelas tutorial di Pekanbaru selama dua tahun, 1993/1994, ilmu manajemenku makin baik. Artinya dengan melihat berbagai studi kasus bisnis dunia yang dipelajari, makin banyak model dan contoh keberhasilan bisnis yang dapat dipelajari dan menambah wawasanku. Aku makin paham, bahwa teras bisnis yang sudah dipelajari dan dipraktekkan ratusan tahun itu memang cuma ada 4 pilar. Pertama, semuanya bermula dari planning. Makin baik planning makin besar kemungkinan bisnis yang dikelola akan sukses. Planning yang baik, sama dengan setengah dari sukses, kata para pakar manajemen. Lalu organisasi pelaksana planning itu yang memang harus cocok, mampu, dan consen terhadap target yang telah ditetapkan. Mau kerja keras, dan bertanggungjawab. Kemudian pelaksanaan dari planning itu (actions plan-nya), bagaimana target kerja itu di-

253


laksanakan dengan sungguh-sungguh. Kerja keras dan tak kenal menyerah. Terakhir tentulah evaluasi dan kontrol atas apa yang sudah dilakukan. Dalam bahasa sederhana, sukses atau tidak sebuah bisnis, bisa di lihat dari bagaimana planning yang diajukan, dan di tutup dengan neraca yang menggambar hasil yang dicapai. POAC (Planning,Organitation,Action, Controlling) itulah yang diajarkan pakar-pakar marketing kami di program MBA itu. Tetapi tentulah, proses yang berangkat dari planning yang baik ke neraca yang baik itu, adalah kerja yang paling sulit. Itulah inti bisnisnya. Karena dalam rentang proses manajemen itu, terdapat sejumlah tindakan yang berupa keputusan-keputusan bisnis yang harus dibuat agar planning dapat berjalan, dan neraca akhirnya benar-benar baik. Dan, yang namanya keputusan , itulah bahagian yang tersulit dari sebuah manajemen dan kepemimpinan. Banyak manajemen yang ambruk karena kesalahan keputusan yang dibuat. Banyak pemimpin yang tumbang karena kesalahan dalam membuat keputusan. Tetapi, tak ada satu bisnis yang dapat berjalan baik, tanpa ada keputusan yang dibuat. Tak ada satu manajemen yang sukses, tanpa ada keputusan yang tepat. Karena itu, dalam keadaan yang bagaimanapun, sebuah keputusan memang harus dibuat, meskipun akhir dari keputusan itu salah, dan kita gagal. Aku sadar benar, tak akan pernah seseorang menjadi sukses, kalau dia merasa tak pernah mengalami kegagalan. Yang penting bagaimana dia menyadari kegagalan itu dan mengubahnya. Istilah Pak Dahlan, �Insyaf �. Itulah inti keberhasilan itu. Kalau tak insyaf-insyaf juga, ya, itu sudah jadi takdir untuk gagal sepanjang hayat. Itulah inti proses manajemen yang aku baca dari bukubuku tentang keberhasilan para entrepreneur dunia, seperti Harold Ginnen yang pernah lama menjadi CEO (Chief Executive Officer) General Elelectric. Atau Mathsusitha, pebisnis tersohor

254


Jepang yang membangun kerajaan bisnis dari Asia. Atau dari seorang William E Heinecke, wiraswasta warga Amerika yang besar dan sukses di Thailand. Atau dari kisah sukses seorang Ciputra, misalnya. Aku rasakan itu tesis, dan filosofinya bisnis itu sendiri. Artinya, suatu kegagalan yang diakibatkan dari sebuah keputusan yang salah baru akan diketahui artinya, jika kita pernah membuat keputusan. Orang yang tidak pernah membuat keputusan, apalagi sangat takut membuat keputusan, selamanya tak akan pernah mencapai sukses. “Sukses itu adalah keputusan yang tepat. Dan, keputusan yang tepat itu, adalah keputusan yang dibuat dengan mempelajari dan memperbaiki kesalahan keputusan sebelumnya”. Inilah yang muncul dari pengalaman sehari-hari, setelah bertahun-tahun. Ternyata dialami banyak orang-orang yang sukses. Dalam beberapa ceramah bisnis yang aku berikan, ketika ada yang minta aku memberikan kiat-kiat bisnisku, dan bertanya, ”Apa keputusan yang paling sulit aku lakukan dalam menjalankan bisnisku?“ maka aku jawab, “Yang pertama, keputusan menaikkan harga koran”. Ini keputusan yang selalu membuat aku bisa mondar-mandir di dalam ruangan kerjaku berhari-hari. Bukan takut, tetapi sulit. Yang lainnya, ya, “keputusan harus memberhentikan karyawan yang sudah sangat lama mengabdi di perusahaan. Ikut susah, ikut jungkir-balik, dan kemudian karena kesalahannya harus diberhentikan”. Artinya, keputusan yang sulit itu, adalah keputusan yang hasil akhirnya, perusahaan yang kita pimpin akan memperoleh hasil dan faedah yang lebih besar, sementara akibatnya ada pada orang lain, termasuk pelanggan kita yang setia yang harus dikorbankan. Kita untung, orang lain susah, begitulah kasarnya. Artinya seperti dalam kasus memberhentikan karyawan, betapa beratnya kita harus menyatakan, betapapun budi baik yang sudah kita terima, tetapi pada satu saat, kebaikan itu harus dilupakan, untuk kebaikan yang lainnya. Kasarnya, tak

255


ada hutang budi dalam bisnis. Bisnis ya, bisnis. Keputusan yang demikian, akan memberi kita rasa sesal yang lama, tetapi, akan disadari makna kebaikannya, bertahun-tahun kemudian. Berpikir jauh, untuk kepentingan perusahaan. Sukses yang dicapai Riau Pos Group, dan juga group bisnis media JP Group yang lain, tak lain karena sejak awal kami fokus untuk menjadi surat kabar sebagai perusahaan, sebagai bisnis, dan bukan sebagai sarana politik dan idealisme. Menjadikan bisnis media ini bisnis utama. Hidup mati di sini. Kalau pun kemudian bisnis ini menjadi group, dia tetaplah dalam core bisnisnya. Ada percetakan, ada pabrik kertas, ada TV, ada radio, dan lainnya yang tumbuh dan berkembang sebagai jantungnya bisnis surat kabar. Focus sebagai prinsip manajemen versi Pak Dahlan, juga berarti focus dalam mengurus perusahaan. Pak Dahlan tampaknya tahu bagaimana kebiasaan sementara pemimpin media, apakah itu GM nya atau Pimred. Baru sebentar berusaha dan agak sukses, sudah mulai tidak focus. Ada yang asyik mengurus organisasi professi, jadi politikus, mau jadi kepala daerah, dll. Karena itu, di JP Group, kalau mau jadi pimred, ya, jangan jadi pimpinan organisasi professi dan apalagi politik. Kalau mau juga, ya, silakan pilih. Focus juga berarti mencermati dan menyiapkan secara baik semua sistim managemen, agar organisasi bisa berjalan. Focus pada target bisnis, focus pada kualitas produksi, kualitas SDM. Focus pada titik, koma. �Yang kita jual kan koran. Produk. Kalau jelek, apa yang mau dijual “ katanya. Semua bahagian koran harus berguna dan menghasilkan. Bahkan, halaman opini atau editorial page itu, kalau perlu tak usah ada, kalau memang tak banyak gunannya, atau ada iklan yang memerlukannya. 3. CARE ! CARE ! CARE ! Sisi lain dari keberhasilan Riau Pos Group, dan juga Jawa Pos

256


Group untuk tumbuh dan berkembang, karena prinsip menghargai apa yang kami miliki sebagai kekuatan. Sekecil apapun. Tak ada satupun anak perusahaan di Jawa Pos Group dimulai dengan investasi yang besar dan fasilitas berlimpah. Semua dimulai dari kecil, dan yang sederhana. Yang penting berfungsi. Mesin cetak bekas, komputer bekas, kantor kecil, dan fasilitas yang terbatas. Yang harus besar itu semangat dan keyakinan, kata Pak Dahlan. Karena keperdulian terhadap asset yang dimiliki, menjaga apa yang dimiliki, betapapun itu sederhana, membuat kami bisa tumbuh dan berkembang. �Mesin ini masih bagus, asal dirawat dengan baik�, begitu Pak Dahlan selalu memberi komentar, saat melihat kami memulai penerbitan koran baru, di daerah yang baru. Keperdulian terhadap asset yang dimiliki, yang diperoleh dengan susah payah itu, menjadi prinsip manajemen yang tak boleh diabaikan. Mulai dari urusan WC tersumbat, lantai kantor yang kotor, mesin cetak yang kumuh, komputer yang tak terurus, sampai ke berita yang centang perenang, menjadi hal yang sangat dinomor satukan. Karena itu, Pak Dahlan akan marah besar, kalau mesin cetak yang sudah dikirim jauh-jauh, yang diharapkan bisa menjadi mesin uang, ternyata ditelantarkan. “Kalian zalim, membiarkan mesin cetak kotor begini, padahal dia sudah kasih kalian rezeki�, katanya marah. Kami semua memang diajarkan sadar benar, bagi surat kabar yang mau sukses, kalau tak punya mesin cetak, ya sama saja dengan membuang air ke laut. Seberapa dapat, ya sebanyak itu keluar, karena harus membayar ongkos cetak ke pihak ketiga. Sikap perduli itu, dalam konteks sebuah manajemen, apalagi bisnis surat kabar yang sangat rentan terhadap pasar karena menganut sistim transaksi kredit, sikap keperdulian itu harus lebih besar. Soal piutang koran dan iklan yang tertunggak, sampai berpuluh hari, misalnya. Kami sudah sejak awal menerapkan rationya.

257


Jika lebih dari ratio, maka di forum rapat evaluasi, semua pimpinan penerbitan harus mempertanggungjawabkannya. Kenapa tidak ditagih ? Kenapa hari piutang lebih dari 50 hari ? Begitu juga dengan piutang iklan. Bahkan, meski tak sesuai dengan ilmu akutansi, maka di JP Group tidak diperkenankan ada cadangan piutang. �Harus ditagih, gak boleh gak bayar. Enak saja, memangnya kertas gratis�, begitu Pak Dahlan selalu mengkritisi. Maka dalam sistim evaluasi, dan dalam menilai kinerja anak-anak perusahaan, soal outstanding piutang koran dan iklan ini jadi salah satu yang diharuskan. Meski total omset, laba, dll, baik, kalau hari piutangnya buruk, maka raport perusahaan dan managernya tetap akan merah. Keperdulian pada asset, pada sistim manajemen, pada ratio bisnis, pada target, SDM, karir, dll, itulah kunci JP Group berkembang. Tak ada formulasinya. Semua kontrol terhadap keperdulian itu, muncul, spontan, dan jadi sikap. Habbit. Makanya, jangan heran kalau ketika jadi Meneg BUMN, dan melihat lantai bandara kotor, Pak Dahlan langsung turun tangan, jongkok di lantai dan mengikis kotoran. Bukan pencitraan. Karena di percetakan JP Group pun kalau ada tinta yang berlepotan, atau kertas yang berserakan, retur koran yang berantakan, Pak Dahlan sudah langsung berteriak, dan turun tangan membenahinya. Bagi aku, sikap perduli, itu memang bahagian dari pelajaran yang sangat berharga yang didapat dari kebersamaan ku dengan JP Group. Perduli pada yang kita miliki, perduli pada apa yang kita janjikan, dan perduli atas keputusan yang kita buat. Paling tidak itulah yang juga diajarkan oleh ayahku ketika, di masa kecil aku berpergian dengannya ke mana-mana untuk belajar berdagang. Berani membuat keputusan, dan perduli dengan hal-hal yang kecil bagiku, keberanian membuat keputusan itu sangat penting. Karena selain aku punya latar belakang seorang wartawan, aku

258


juga bukan dari keluarga yang punya warisan bisnis yang sukses. Di masa kecilku, aku memang kerap berpergian dengan ayahku berdagang kain, dagang buah-buahan sebagai pedagang keliling, tetapi ayahku bukanlah pedagang yang sukses. Dia lebih mencintai pekerjaannya sebagai guru agama, sebagai da’i, dibandingkan berdagang, dan pekerjaan berdagang itu hanya dijadikannya sambilan. Dari garis ibuku pun tidak ada yang benar-benar menjadi pengusaha sukses. Mereka lebih banyak yang jadi birokrtat, jadi pamong. Memang, di masa mudaku, di usia sekitar 22-23 tahun, aku pernah mencoba meniru jejak ayahku menjadi pedagang keliling. Dalam perjalanan ke Jambi atau Palembang atau Tanjungpinang sebagai kelasi kapal, aku membeli barang-barang kelontong, seperti kain-kain bahan baju, celana jadi dan lainnya. Termasuk keranjang rotan, dan sebagainya. Kembali ke Bakong, tempat kapalku berpusat, barang-barang itu aku jual kepada tetangga atau orangorang sekampung lainnya. Atau di titipkan pada beberapa teman untuk dijajakan ke kampung lain. Menjelang berangkat lagi, aku pergi untuk menagih, karena semua barang-barang itu, pada mulanya aku kreditkan. �Tak mampu membayar cash, boleh utang. Trip depan, baru bayar,� kataku. Aku berdagang sampai ke Marok Tua, Kualaraya dan lainnya. Tetapi, bak kata pepatah, arang habis besi binasa. Tak tentu rimba, baik modal, apalagi untungnya. Banyak yang mengambil barangku, tetapi tak mau membayar, atau berdalih untuk tidak mengangsur hutangnya. Aku juga pernah jadi padagang komisioner (istilah halus dari tukang catut), mengambil fee dari jasa menjual barang milik orang lain, seperti benda-benda berharga (perak, emas, kebun, rumah, tanah, dan lain-lain), tetapi juga tidak berkembang. Kata ayahku, aku dan dia sama saja kalau berdagang. “Selalu tak sampai hati. Terlampau perasa. Kalau ada yang berhutang, tak bayar, tak dit-

259


agih lagi�, katanya, ketika aku ceritakan bagaimana bisnisku bangkrut. Dia juga begitu, ketika berdagang kain dan buah-buahan. Banyak yang berhutang, tidak membayar, dan ayahku lillahi ta’ ala saja. Hanya saja, melalui bisnis kecil-kecilan itu, naluriku sebagai bisnisman selalu bangkit dan selalu mengasah kepekaanku untuk menilai situasi dengan tepat, pada saat suatu transaksi sedang dijalankan. Betapapun kecilnya. Naluri itu walaupun belum mampu menghasilkan sesuatu yang benar-benar membuat aku mujur dan terus berkembang, tapi sering mengajarkan sesuatu: Kerugian pun sebenarnya sebuah keuntungan. Karena dari sanalah kita belajar tentang keberhasilan sebenarnya. Rugi secara material, tetapi beruntung secara marketing, karena sejak itu kita mempunyai relasi. Dalam konteks proses pembangkitan naluri bisnisku itu, satu hal yang kemudian aku ingat dan aku pikir memberi andil yang cukup besar dalam membentuk sikap hidupku, terutama dalam pandangan bisnis, bahwa aku tak pernah takut membuat keputusan. Termasuk memberi utang kepada pihak lain. “Berdagang itu, dengan orang yang dipercaya,“ kata ayahku. Artinya, begitu percaya pada rekan bisnis, dalam kepercayaan itu, kita sudah menyiapkan sikap untuk menghadapi sikap yang berkhianat dan cedera janji. Bagiku, jika keputusan itu sudah dibuat, aku jarang sekali akan mundur atau mengubah. Aku lebih suka menerima risiko dan kemudian kelak belajar dari kesalahan itu. Termasuk misalnya dalam menetapkan harga jual barang-barang daganganku dengan laba yang kadang-kadang hampir tak masuk akal atau membuat keputusan mengkreditkan barang pada orang, menanggung risiko rugi dan habis modal usaha. Tetapi, kelak bangkit lagi, mencoba lagi, lebih baik. Sikap tidak takut membuat keputusan ini, bukan hanya dalam

260


aspek bisnis. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, dalam aspek sosial dan keluarga pun, aku demikian. Setelah membuat keputusan, jarang aku akan menarik kembali. “Setepat apa pun sebuah keputusan, pasti ada risiko. Tak ada keputusan yang sempurna. Yang sempurna itu milik Ilahi,� begitu aku selalu mengatakan kepada anak-anak, keluarga atau karyawan-karyawanku. “Care ! Care ! Care !� begitu Pak Dahlan selalu berteriak, kalau melihat ada gejala sebuah anak perusahaan menurun kinerja. Karena dia tahu, kinerja yang menurun, karena top manajemen mulai kurang perduli. Mulai asyik dengan hal-hal baru yang membuat perusahaan terabaikan. Mulai jenuh, mulai kehilangan gairah . Mulai jadi Bos! 4. Kreatif dan Jangan Menyerah ! Dalam mengembangkan bisnis grup media seperti di RPG misalnya, tidak semuanya success story. Tabloid Watan misalnya, adalah proyek gagal, rugi yang lumayan besar, dan harus diakuisisi dan menjadi suplement di Harian Riau Pos. Kerja sama dengan SKM Semangat di Padang juga gagal. Cukup besar kerugian yang akan peroleh. Demikian dengan Sumut Pos di Medan, sampai bertahun-tahun termasuk proyek rugi, yang selalu aku juluki monster. Koran bisnis Batam Ekspres di Batam, juga ditutup. Juga beberapa usaha nonmedia. Tetapi dari kegagalan itu, ada banyak hikmahnya. Kegagalan dengan SKM Semangat memberi pelajaran berharga, bagaimana berdagang di negeri para pedagang lihai dan tangguh yang namanya Sumatera Barat, pusat para entrepreneur Indonesia yang terkenal itu. Juga kerugian di Medan, memberi banyak ilham, untuk mempertahankan keberadaan bisnis di sana. Kegagalan itu, ada yang disebabkan keputusan yang kurang cermat, ada karena keputusan

261


yang terburu-buru, ada yang karena kurang tegas, dan ada yang karena terlalu bertenggang rasa, dan ada juga yang karena terlalu ambisius. “Uang sekolahnya memang mahal�, kata Dahlan Iskan ketika mengomentari kegagalan atau kerugian usaha yang terjadi akibat keputusan-keputusan bisnis yang sudah dibuat. “Kesalahan membuat keputusan itu, tidak masalah. Yang penting itu dilakukan tidak dengan sengaja, dan kemudian kegagalan yang ditimbulkan oleh kesalahan itu, dipertanggungjawabkan,“ tambah Dahlan lagi. Dari Dahlan-lah aku belajar untuk berani membuat keputusan, dan memikul konsekuensi dari kesalahan dalam mengambil keputusan, karena dia pun, untuk sampai ke tingkat sukses yang diraihnya, uang sekolahnya juga sangat mahal. Memang, berani membuat keputusan dan belajar dari kesalahan, kadang-kadang membuat tak semua orang setuju, karena kadang-kadang keputusan yang salah selalu menimbulkan risiko yang mahal. Menyesal dulu pendapatan, menyesal kemudian tak berguna, kata pepatah dan ini paham yang kuat dalam tradisi masyarakat. Bahkan menjadi semacam dogma dalam hidup. Tetapi, kapan kita akan menyesali satu keputusan yang dibuat, kalau keputusan itu sendiri tidak pernah kita lakukan? Aku pernah berkali-kali menyesali keputusan yang aku buat, tetapi juga aku belajar dari sana. Aku misalnya pernah menangis, ketika suatu pagi terpaksa menempelkan kertas pengumuman di depan kantor, menyatakan koranku hari itu tidak bisa terbit. Itu terjadi pada tahun-tahun pertama Riau Pos terbit, tahun 1991. Alasan, di kertas yang kutempelkan, adalah kerusakan teknis pada mesin. Tetapi yang sebenarnya adalah: aku kehabisan kertas, karena tidak mempunyai cukup cash flow untuk membeli dan melakukan stock kertas. Cash flow yang ada, aku bayarkan

262


dulu untuk gaji karyawan, karena aku tak tega melihat karyawan yang sudah bekerja keras, ternyata tidak bisa menerima gaji begitu akhir bulan tiba. Ternyata keputusanku itu salah dan ternyata aku harus membayarnya dengan kesedihan hati seorang penerbit surat kabar. �Tak ada kesedihan yang lebih besar dari seorang penerbit surat kabar, kecuali pada hari itu, korannya tidak bisa terbit. Alasan apa pun, termasuk izinnya dicabut,� begitu Dahlan Iskan, suatu hari mengatakan pada kami para penanggung jawab anak perusahan. Oleh karena itu dalam prioritas pembelanjaan, kertas nomor satu. Baru kalau sudah aman, bayar gaji. Kalau gaji sudah beres, baru perbaiki fasilitas kerja dan terakhir, baru bicara soal untung, termasuk deviden untuk pemegang saham. Aku juga pernah membuat keputusan nekat, menerima order iklan berwarna dari sebuah biro iklan di Jakarta, padahal mesin cetakku belum mampu mencetak warna. Aku bawa materi iklan itu ke Padang, dan mencetaknya di sebuah percetakan offset di sana. Siap cetak malam hari, dibawa pulang ke Pekanbaru. Namun malangnya, terjadi banjir besar di daerah Pangkalan Kotabaru, perbatasan Riau-Sumbar, dan sekitarnya, sehingga kendaraan tak bisa terus ke Pekanbaru. Lalu aku pikul bundelan cetakan itu menyeberang banjir dengan perahu, sampai ke jalan yang bebas banjir dan menyewa kendaraan terus ke Pekanbaru. Sore tiba, dan baru sore koran Riau Pos beredar dengan iklan berwarna. Getir dan nekat! Aku juga pernah menangis lagi enam tahun kemudian, ketika aku pindah ke kantor Riau Pos yang baru di jalan raya PekanbaruBangkinang. Ketika itu, hari ketiga koran dicetak di percetakan yang baru pindah. Ternyata, listrik mati total di jalur itu, sejak pukul 23.00. Terus mati sampai pukul 14.00 siang. Koran Riau Pos baru siap dicetak pada pukul 16.00. Itulah terbit yang paling ke-

263


dodoran setelah koran itu berumur tujuh tahun. Itu juga karena aku terlalu percaya pada teknologi. Karena waktu itu jaringan listrik yang dialirkan ke percetakanku adalah jaringan besar dari PLTA Kotopanjang, yang kononnya tak habis-habis dan tak akan mati-mati, berbeda dengan jaringan mesin diesel milik PLN yang lama. Ternyata itulah kesalahan dan aku membayarnya dengan rasa sakit hati dan pedih. Bagi penerbit surat kabar, tak usahkan terlambat hampir sehari penuh, dua jam saja sudah menjadi malapetaka, karena seluruh jaringan kerja, mulai dari distribusi, sampai ke proses transportasi, pelayanan pelanggan dan akhirnya proses penyelesaian piutang menjadi terganggu. Dengan rasa marah pada diri sendiri yang meledak-ledak, hari itu juga, di sebuah kedai kopi, aku teken perjanjian membeli genset dan aku minta pasang hari itu juga, walaupun setelah itu genset itu nyaris tak pernah dipakai, karena aliran listriknya, sudah pulih. Artinya, sebuah perencanaan yang kurang matang dan lengkap, bisa menimbulkan akibat fatal karena mengabaikan hal-hal kecil yang seharusnya diantisipasi. Dari kejadian ini, apa pun alasannya, dalam bisnis, jangan terlalu percaya dan hampir tanpa reserve terhadap satu sistem atau keunggulan yang ada, termasuk teknologi, sistem manajemen atau sumber daya yang dimiliki, termasuk terhadap sumber daya yang bernama manusia. Tak ada yang bersifat abadi, sesuatu selalu berjalan dalam proses dan setiap proses akan selalu menemukan titik-titik kelengahan, kealfaan, ketidakberdayaan, titik-titik yang bersifat manusiawi. Artinya, belajar memahami tentang arti kealfaan. Sejauh mana sebuah kealfaan itu dapat dimaafkan dan kapan harus diputus sebagai suatu kesalahan. Itu juga adalah bagian dari manajemen yang sangat penting, terutama menyangkut manajemen sumber daya manusia. Mengelola sumber daya yang bernama manusia, adalah prob-

264


lem manjemen yang paling pelik, paling menyita banyak pikiran dan tenaga serta masalah yang selalu aktual dan tidak dapat dipecahkan secara tuntas oleh ilmu manajemen apa pun. Artinya, mengelola sumber daya manusia secara tepat dan berdaya guna, memerlukan kearifan dan kearifan tak bisa selesai ditulis dalam beribu-ribu buku. Karena itu, siapa yang mampu mengelola SDM-nya secara arif, dia akan mencapai sukses yang paling berarti dalam sistem manjemennya. Di titik ini pulalah sebenarnya dapat disadari, dari mana sebuah kerawanan bisnis bermula dan dapat menjadi malapetaka. Dari pengalaman, para manajer dengan latar belakang yang terlalu dekat dengan persahabatan, solidaritas, keberpihakan, emosional dan irrasionalitas, seperti wartawan, misalnya, akan memiliki kelemahan mendasar dalam mengelola manajemen SDM ini. Karena faktor tingkat solidaritas, tolerensi dan interaksi antarpribadi, sangat dominan dan membuat suatu keputusan sangat sulit untuk dibuat. Berbeda dengan mereka yang berlatar belakang manajemen, seperti akuntan, marketing, dan lainnya. Mereka sudah terbiasa berpikir lugas dan ekonomis. “Dasar ceti,� begitu orang tua-tua selalu memberi istilah kalau melihat para pedagang sangat sulit memberi utang, atau terlalu ngotot dalam menagih piutang. Ceti itu istilah pengusaha yang nyaris mendekati lintah darat. Meskipun, tidak juga berarti, mereka yang berlatar belakang nonwartawan, misalnya atau dengan sikap egoistis dan invidualisme yang dominan, akan lebih gampang membuat keputusan. Namun satu hal pasti, dalam manajemen sumber daya manusia, yang paling sulit dikelola adalah soal kealfaan. Sangat manusiawi, tetapi sangat membahayakan. Tetapi, sekali lagi, Pak Dahlan mewariskan prinsip manajemen. Jangan menyerah. Terus kreatif. Cari akal. Mana ada yang tidak bisa. Meskipun uang sekolahnya mahal, tapi dari kegaga-

265


lan itu, kita belajar, dan berjuang mencari jalan keluar. Sebuah kerugian pun, sebenarnya bukan kegagalan, tapi keberhasilan yang tertunda, kata para pakar manajemen. Kreatifitas itulah yang membuat seorang entrepreneur itu berbeda dengan pengusaha biasa. Kata Pak Ciputra, entrepreneur itu adalah sikap. Atitude. Sikap terpenting itu adalah kreatif. Entrepreneur itu adalah orang yang bisa mengubah sampah menjadi emas dengan kreatifitas. Aku dan teman-teman di JP Group sudah membuktikan betapa kreatifitas itu menjadi jantung bisnis kami. Kami telah mengubah fungsi mesin-mesin tua dan buruk itu menjadi penghasil laba. Bermilyar-milyar. Mengubah sebuah group bisnis yang baru dua-tiga perusahaan., menjadi group dengan jaringan lebih 200 perusahaan. Dan mesin buruk itu, sekarang masih ada di sudut pulau, berderu menghasilkan uang, sementara di tempat-tempat yang dulu dia memulai, kini mesin cetaknya telah berganti dengan mesin-mesin yang baru. Modern. 5. Berpikirlah Jauh ke Depan. Visioner ! Tersebab awal-awalnya tidak menguasai masalah manajemen secara cukup, dalam memimpin perusahaan ini, aku pun tidak terlalu mempersoalkan soal jabatanku. Apakah itu direktur, apakah itu pemimpin umum, pemimpin redaksi, dan lain sebagainya. Yang paling penting, bagaimana koran Riau Pos bisa terbit kontinyu, berkembang dan kemudian menjadi usaha yang sehat. Oleh karena itu pula, ketika awal-awal kerja sama itu, antara aku dan Pak Zuhdi terdapat sedikit konflik soal jabatan pemimpin redaksi. Tapi aku tak begitu ngotot. Dengan jabatan wakil pemimpin redaksi pun, ternyata sudah cukup. Toh, Riau Pos akhirnya berkembang dengan baik. Yang paling penting, apakah dengan jabatan yang ada kita bisa bekerja efektif, kita bisa menunjukkan tanggung jawab pas dengan apa yang diharapkan manajemen. Ke-

266


pada rekan-rekan kerja atau karyawan Riau Pos Group, aku selalu mengatakan bahwa jabatan itu bukan hadiah dari atasan. Sebab pada hakekatnya sebuah jabatan itu adalah sebuah tanggung jawab. Jangan hanya mengejar jabatan, tetapi tidak bisa bertanggung jawab. Karir seseorang, bukan berdasarkan apa jabatan yang disandangnya, tetapi tanggung jawab apa yang pernah diberikan padanya, dan bagaimana dia menjalankan tanggung jawab itu. Sekarang, memang Riau Pos sudah berkembang menjadi sebuah grup. Ada sejumlah surat kabar baru di bawah kendali manajemennya. Ada sejumlah usaha lain yang ikut mendukung aspek-aspek usaha yang kemudian muncul dari kehadiran suratsurat kabar itu, terutama percetakan. Tetapi semua itu, belumlah sesuatu yang sangat berarti, karena masih dalam proses tumbuh dan berkembang. Bagi aku, dan teman-teman, perusahan-perusahan ini menjadi medan yang sangat diandalkan untuk belajar dan memahami arti sebuah bisnis, apa arti mengendalikan serta mengelola sebuah perusahaan. Apa arti menerima sebuah kepercayaan. Dalam kamus bisnis, seseorang tidak akan ada nilainya, jika dia tidak dipercaya. Kredibilitas, itulah kuncinya. Dan bagaimana memandang jauh ke depan, agar Riau Pos Group ini bisa berusia panjang, dan makin besar sebagai sebuah Group. Visioner, menurut prinsip manajemen Pak Dahlan. Jangan hanya bangga punya satu koran. Tapi bagaimana bangga kalau Jawa Pos ini sudah bisa menjadi sebuah group bisnis media yang paling besar dan paling berpengaruh di Indonesia. Ikut mengatur dan mengarahkan kemana masa depan negeri ini. Makin besar dan berkembang sebuah usaha, makin sangat disadari, bahwa ada mata rantai tanggung jawab yang saling berkaitan dan membangun suatu jaringan kebersamaan dalam satu wujud yang bernama manajemen. Mata rantai itu, bersumber dari eksistensi dari sumber daya yang ada, khususnya sum-

267


Paris, menyaksikan lukisan terkenal “Monalisa�, di Museum Lourve Paris, Perancis

268


ber daya manusia. Mata rantai itu berwujud pengalaman, kualitas, kebersamaan dan semangat (solidaritas, loyalitas, integritas, dan antusiasme). Mata rantai itulah yang kemudian membangun sistem kehidupan mereka sehari-hari. Sebuah komunitas usaha, sebuah komunitas bisnis. Inti komunitas itu, sekali lagi adalah kepercayaan. Sebuah manajemen tidak akan menghasilkan apa-apa, jika tidak dilandasi oleh kepercayaan. Itulah yang dilakukan oleh Dahlan kepada semua para penanggung jawab anak perusahaan di Jawa Pos. Kepercayaan penuh dan tanggung jawab. Kepercayaan untuk menerima dan kepercayaan untuk memberi. Dengan kepercayaan penuh itulah kami masuk dalam proses untuk membuat keputusan, dan kemudian mempertanggungjawabkan keputusan itu. Artinya, kepercayaan, adalah proses awal dari sebuah keputusan dan sebuah keputusan bisa saja kemudian salah. Dan kesalahan, adalah sebuah pelajaran bisnis yang paling penting. Jadi, sekali lagi, jangan menyesali kesalahan, tetapi belajarlah darinya, dan bertanggung jawablah terhadap keputusan yang sudah dibuat. Itulah juga yang kemudian aku anggap sebagai filosofi bisnisku dan itulah misalnya yang kukatakan kepada semua orang kalau ada kesempatan bicara dan aku ditanya, apa filosofi bisnisku. Seperti pernah ketika aku menjadi narasumber dari acara pakar manajemen dari Universitas Indonesia (UI) Dr Renald Kasali, dalam acaranya “Who Want to be a Entrepreneur�, di Hotel Aryaduta, Pekanbaru. Aku katakan, filosofi bisnisku tidak ada yang luar biasa. Hanya ada empat komitmen teguh yang aku pegang. Pertama, kerja keras. Dengan sikap ini, kita akan selalu kukuh atas semua kerja, disiplin, teguh dalam bersikap dan bertanggung jawab. Ini menyangkut etos kerja, dan inilah yang selalu disalahkan oleh berbagai pihak terhadap sikap orang Melayu. “Sikap itu dibentuk oleh kultur dan kumunitas di mana kita tumbuh dan

269


Aku, paling kiri, bersama Suparno, Dahlan Iskan, Zainal, Alwi Almu, di depan sebuah biro iklan di Swedia (foto atas) Bawah, aku di lapangan Tien An Men, Beijing, China.

270


berkembang. Bukan darah dan bukan harga mati. Sekarang lingkungan sudah mengubah semuanya, dan orang Melayu terus maju ke depan”, begitu aku berprinsip. Kedua, selalu berpikir positif (positif thinking). Dengan sikap ini hidup akan selalu mengalir ke depan. Setiap waktu, selalu melihat sesuatu secara optimis. “Setiap matahari pagi terbit, kita melihat peluang, kesempatan untuk maju”, begitu selalu aku utarakan kepada tim manajemen Riau Pos Group. Sikap ini adalah sikap yang terbuka dan siap menerima perubahan apa pun. Ketiga, adalah berani membuat keputusan dan tidak takut salah. Sebab, siapa pun yang tak berani membuat keputusan, tidak akan pernah tahu apakah dia telah berbuat benar atau salah. Yang tak pernah membuat kesalahan, takkan pernah punya pengalaman apa pun. Keempat, yang aku anggap kunci dari semua prinsip itu, adalah pelajaran bisnis paling berharga yang diajarkan oleh Dahlan, yaitu kepedulian terhadap tanggung jawab yang sudah diberikan. “Care! Care!” begitu Dahlan selalu menegaskan. Artinya tak ada orang bisa sukses kalau tidak punya sikap peduli. Peduli itu tak ada dalam lokakarya, tak ada dalam seminar, dan tak dapat diperoleh di bangku sekolah. Karena sikap peduli itu, adalah sikap yang hinggap pada diri kita di tengah-tengah tugas dan tanggung jawab sehari-hari. Bagaimana kita peduli dengan titik koma di dalam tulisan yang di terbitkan di koran. Bagaimana kita peduli pada tinta yang berlepotan di mesin cetak. Bagaimana kita peduli, bau WC yang tersumbat, atau bau ruangan yang ada AC nya tapi apak. Masalah-masalah begini, kata Dahlan lagi, harus ditongkorongi, diplototi, disimak dan dikuliti tiap saat, dan sebagai pimpinan, harus dibuat keputusan saat itu juga. “Kalau perlu memecat, pecat waktu itu. Kalau mau diskors, skors saat itu. Kalau mau mempromosi pun, lakukan saat itu!“ Itu yang kerap terjadi dan

271


aku lakukan. Prinsip manajemen seperti itulah yang juga aku kemukakan ketika Rhenald Kasali sekali lagi mengundang aku untuk jadi narasumbernya dalam program televisi “Bedah Bisnis Rheinald Kasali” di TPI (Televisi Pendidikan Indonesia). Prinsip yang umum, mudah di temukan, dan mudah diimplementasikan. Tinggal, ada yang sukses, dan ada yang gagal. Yang menentukannya, adalah kadar kepemimpinan yang dimiliki. Kepemimpinan itu, mungkin anugerah sejak lahir, tetapi bisa juga diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan, dan bisa juga dengan keteguhan hati dan semangat. Prinsip-prinsip manajemen dan filosophi bisnis yang aku utarakan itu, itulah yang kuanggap sebagai prinsip manajemen visionernya Dahlan Iskan. Memandang jauh ke depan, dan tak pernah berhenti membangun mimpi. Ketika mengganti nama Harian Sijori Pos menjadi Batam Pos misalnya, adalah sebuah pikiran yang jauh ke depan. Banyak pakar marketing tempatan membincangkannya dan menganggap keputusan itu keliru. Masalahnya, nama Batam Pos itu sudah terlanjur melekat pada salah satu koran milik JP Group di Batam, tapi korannya adalah koran metropolis yang cenderung mengutamakan berita-berita crime, sex, dan kejahatan lainnya. “Koran berdarah-darah”, begitu istilah kami. Sementara Sijori Pos adalah koran umum. Jika diganti, maka Sijori Pos yang sudah bagus perkembangannya, dan sudah jadi market leader, akan kehilangan pasar karena akan dianggap sebagai koran crime. “Sijori Pos itu nama yang gak ada jejaknya. Seperti siluman, dan Sijori (Singapura, Johor, Riau) konsep segitiga ekonomi yang sudah jadi masa lampau. Tidak berkembang”, kata Dahlan. Maka kami ganti. Sijori Pos diganti jadi Batam Pos, dan Batam Pos yang lama, kami ganti dengan Pos Metro Batam. Dengan bantuan sosialiasi yang gencar, akhirnya Batam Pos yang baru, tetap berkembang baik,

272


dan Batam Pos yang lama yang ganti nama jadi Pos Metro Batam pun, juga terus berkembang. Menerbitkan surat kabar di Aceh, juga sebuah keputusan jauh ke depan. Aku ingat, seminggu setelah bencana tsunami, akhir 2004, kami ke sana. Kami berkeliling di negeri yang luluh lantak itu. Masih tercium bau jenazah, masih menyaksikan timbunan sampah dan rumah-rumah yang digulung ombak, dan badan jalan yang hilang dan menjadi laut seperti di Ulele dan Meulaboh. “Rida, bikin koran di sinilah. Kita ‘kan belum punya. Namanya terserah. Aceh ini nanti akan berkembang luar biasa. Ini negeri yang bukan main indahnya ...�, katanya padaku ketika kami masih dikurung hawa dingin di pegunungan di kawasan Takengon. Aku mengangguk. Tak sampai sebulan, terbit. Namanya Rakyat Aceh. Cetak di percetakan Medan Graindo (salah satu perusahaan percetakan milik Riau Pos Group) di Medan. Korannya diangkut menempuh perjalanan jauh, hampir 10 jam, masuk hutan, keluar hutan, dan rawan, karena masih ada konflik bersenjata di sana. Tapi, ya, Rakyat Aceh terus eksis, meskipun belum besar benar. Pak Dahlan minta kami beli tanah di sana dan membangun kantor dan percetakan. Begitulah, kini Rakyat Aceh sudah punya kantor sendiri, meski sederhana. Keputusan-keputusan cepat, visioner, itulah ciri khas manajemen Dahlan Iskan itu (Dahlan Iskan Way). Dan itu dilakukan di mana-mana dalam perjalanannya bersama kami membangun group Jawa Pos ini. Tempat-tempat yang menurut para pengusaha media lain, nyaris tak menarik sama sekali untuk diterbitkan koran, kami membuat koran di sana. Dengan cara kami, dengan semangat kebersamaan, akhirnya koran-koran itu tumbuh dan berkembang. Radar Timika, Radar Sorong, di Papua misalnya, sampai sekarang hidup dan berkembang. Beberapa pengusaha media lain juga mencoba, tapi banyak yang akhirnya menyerah.

273


“Saya gak tahu, di mana itu Totubuan”, kata Pak Dahlan nyeletuk, ketika melihat ada koran Radar Totubuan milik JP Group. Atau Radar Lahat, dan lainnya... Gaya manajemen yang demikian ini, memang memerlukan The Dream Team yang kuat, tangguh, dan tidak gampang menyerah. Penuh inisiatif, dan penuh antusiasme. Ketika dia mampir sebentar melihat kami melakukan rapat evaluasi triwulan I JPG tahun 2013, dan aku memberitahu bahwa kini total perusahaan media milik JPG itu sudah mendekati 200 perusahaan dengan total asset hampir Rp 5 T, dia geleng-geleng kepala. “Ternyata bisa juga ya ...”, katanya sambil tersenyum. Dan masih sempat mengkritisi ketika melihat masih ada satu surat kabar yang sudah lama terbit, tapi masih rugi. “Dimatikan aja Rida... gak maju-maju”, ujarnya. Tapi aku tahu bukan itu maksudnya. “Ya kita lihat akhir tahun inilah,

Aku (ketiga dari kiri) berfoto dengan wartawan Harian Baltimore Sun, penerima penghargaan Pulitzer (keempat dari kiri), bersama eksekutif Jawa Pos Grup yang lainnya.

274


Mas...�, janjiku. Tentu dalam kapasitas sebagai kordinator evaluasi group, ikut bantu teman-teman menemukan cara untuk menyelamat koran yang sudah bersusah payah diterbitkan itu. 5. Seven Samurai Belajar bisnis di Jawa Pos Group bukan hanya dari ruang rapat evaluasi triwulanan atau diskusi-diskusi saja. Tapi juga dari perjalanan bisnis ke luar negeri yang kami lakukan nyaris tiap tahun. Selama bergabung dengan Jawa Pos Group aku sudah sempat pergi ke banyak negara. Eropa misalnya, sudah hampir semua, kecuali Rusia. Ke Amerika, juga hampir ke semua negara bagian. Ke Eropa misalnya, tiap empat tahun sekali kami ke Jerman, untuk melihat pameran grafika terbesar dunia.... “Drupa Expo� yang diselenggarakan di kota Dusseldorf. Di pameran ini kami menyaksikan kemajuan dunia percetakan, dunia komputer dan teknologi grafika lainnya. Di sini mesin-mesin cetak baru dipamerkan dan teknologi percetakan baru diperkenalkan. Sekembali dari sini, kami biasanya akan merencanakan apakah ada perkembangan teknologi yang dapat diserap untuk pembaharuan percetakan dan produk media yag kami kelola. Setelah dari Drupa biasanya, kami akan keliling keberapa negara di Eropa Barat, seperti Inggris, Belanda, Prancis dan Italia. Sambil jalan-jalan dan memperluas wasasan. Dalam beberapa kesempatan kami bisa berkunjung ke beberapa penerbitan maju disana. Seperti di Jerman, Belanda dan Italia. Aku memang punya mimpi satu hari sampai ke Paris. Bukan hanya karena inilah kota yang katanya paling indah di dunia, bukan hanya karena di sini ada Menara Eifel, menara tertinggi dan bersejarah yang aku pelajari di bangku sekolah menegah atas. Tapi, kononnya, di kota inilah lukisan asli Monalisa itu ada, di museum Lourve. Aku kepingin benar melihat lukisan asli, untuk

275


Menunggu jam pertunjukan di salah satu teater Broadway, New York . Dari kiri Dahlan Iskan, Zainal Muttaqin, Rida, Heidy Lourent, Ratna Dewi dan Joko (foto atas). Di depan gedung Teater, di kota Gothenburg, di Swedia, sebelum menyaksikan opera “Les Miserables� (foto bawah)

276


tahu bagaimana benar senyum Monalisa yang menakjubkan itu. Aku ingat, satu hari dulu, waktu masih di Tanjungpinang, teman baikku Hanjoyo Putro, SH (kini sudah almarhum dan terakhir sebagai anggota DPR-RI) pernah memberikan aku sebuah poster lukisan Monalisa, karya Leonardo da Vinci yang dia beli di Singapura. “Leo, ini lukisan paling masyhur. Anda kan seniman dan pelukis perlu melihat dan menyimpan ini”, katanya, saat memberi aku oleh-oleh itu. Hanjoyo tahu, aku memang suka melukis dan ada beberapa karyaku yang pernah dipamerkan. Dan aku sendiri memang kepingin menyimpan lukisan termashur itu. Aku gantung di dinding ruang tamu setelah diberi bingkai, meskipun oleh para tetanggaku aku dikatakan pindah agama. ”Kan ada gambar Bunda Maria,” kata mereka yang memang tak bisa membedakan antara Monalisa dan Bunda Maria. Dulu, selesai SGB, waktu kembali ke Bakong, aku terobsesi jadi pelukis. Hampir tiap hari aku pergi ke tepi pantai, membawa kanvas lukisan dari kain belacu dan cat minyak, melukis di sana. Melihat camar terbang, melihat geliat ombak dan menuangkannya ke atas kanvas. Aku, melukis, bak seorang Vincent van Gogh, pelukis Belanda yang aku kagumi itu, yang aku tonton filmnya saat masih sekolah. Aku berdiri di tepi pantai dengan topi jerami dan baju penuh ceceran cat. Melukis dan melukis, meskipun hasilnya tentulah tidak sehebat van Gogh, meskipun jari-jariku hampir aus karena menggores kanvas, meniru cara van Gogh. Itu sebab ketika sampai ke Paris, aku bukan kepalang riang, “Oh, ini dia Monalisa itu”, kataku, saat sampai ke museum Louvre di Paris, sebuah museum yang sangat luas dan artistik. Lebih dari 10 menit aku tercuguk di depan lukisan itu dan hampir ditinggal rombongan tourku. Aku memotret lukisan itu berkali-kali untuk kenang-kenangan. Beberapa teman heran melihat aku lebih tergila-gila untuk segera sampai ke museum, ketimbang ke menara

277


Eifel. Bahkan di menara Eifel aku hanya sekejap di atasnya, lalu turun lagi dan mendesak rombongan agar melanjutkan perjalanan ke museum. “Ke Paris Look nanti aja” kataku berkelakar. Paris Look, adalah pusat penjualan farfum utama di kota Paris yang hampir semua orang Indonesia yang pernah ke Paris mengenalnya. Dalam perjalanan-perjalanan ke luar negeri itu, sering kami menggunakannya untuk forum diskusi dan merancang keputusan baru. Biasanya, di sebuah taman, Pak Dahlan akan mengajak kami duduk, sambil makan es krim, lalu diskusi. Apa yang akan dilakukan seterusnya. Bisnis apa yang akan dikembangkan. Apa kebijakan mendesak yang harus dilakukan. Jika ada hal yang memang perlu diubah segera, hari itu juga Pak Dahlan telpon ke Indonesia dan minta segera di follow-up. “OK, kalau begitu kita cari TV lokal untuk bahan study banding”, katanya begitu dalam diskusi itu kami sepakat untuk mengembangkan TV lokal sebagai bisnis baru. Diskusi-diskusi di lapangan terbuka itu, memberikan susana lain bagi kami. Meskipun forum begini ini, biasanya memang hanya melibatkan beberapa orang saja. Biasanya yang ikut selain aku, adalah Zainal Muttaqin (CEO Kaltim Post Group), Suparno (CEO Sumatera Ekspres Group), Ibu Wenny (Direktur Keuangan Jawa Pos yang kemudian jadi Dirut PT Jawa Pos), Margiono (Rakyat Merdeka Group), Himawan Mashuri (JPMC), Pak Alwi Hamu (Fajar Group) dan beberapa lainnya. Dan secara berkelakar kami selalu menamakan diri kami-kami para pembantu Pak Dahlan itu sebagai seven samurai. Tujuh pendekar yang menjadi tulang punggung jatuh bangunnya Jawa Pos Media Group ini. Belajar bisnis sambil jalan juga selalu diperoleh dari proses transaksi bisnis yang kadang-kadang dilakukan dengan njelimet dan kadang-kadang nyaris nekad. Satu kali di Verona, Italia, aku

278


menyaksikan bagaimana Pak Dahlan membuat keputusan bisnis yang luar biasa cepat. Dalam waktu hanya 20 menit, Jawa Pos Group sudah meneken kontrak pembelian mesin pembuat kertas bernilai lebih dari Rp 100 miliar. “Wis, Winny, aku udah teken. Tinggal cari uangnya”, kata Pak Dahlan, begitu kami keluar dari ruang rapat perusahaan pembuat mesin pabrik kertas di Verona itu. Lalu kami naik mobil perusahaan itu, yang mengantarkan kami ke stasiun kereta metro, karena kami akan kembali ke hotel. Di stasiun kereta metro itu, kami duduk nongkrong di emperan stasiun, sambil, lagi-lagi makan es krim. Seperti orang barusan di PHK, kehilangan pekerjaan, tak punya uang. Padahal baru saja teken kontrak bisnis Rp 100 miliar. “Melihat tampang kita ini, nggak ada yang percaya kita baru teken kontrak miliaran”, kelakar Zainal Muttaqin. Pak Dahlan hanya tersenyum dan Parno terkekeh-kekeh. Kecuali Ibu Wenny yang cemberut. Bukan karena harus cari uang Rp 100 miliar, tetapi karena kelaparan. Sudah jam 4 sore belum makan. Dan dia memang pelapar berat. Dan kejadian makan terlambat itu selalu terjadi. “Di sana ada restoran enak“, kata Pak Dahlan. Dan kami jalan kaki berkilo-kilo meter, sampai kaki lecet. Capek, sepatu dijinjing, dan akhirnya makannya di hotel. “Ya, sudah diduga,” kata Pak Alwi Hamu, dengan logat Bugisnya. Dan kami semua nyengir dan sudah terbiasa menjalani lapar imajinatif itu. Meskipun begitu, saat ketemu restoran enak, ya, makan habis habisan. Balas dendam dan sakit hati karena lapar yang tidak menemukan solusinya yang terbaik. Pengalaman ke luar negeri yang paling sulit dilupakan antara lain ke Amerika, tahun 2001. Waktu itu bulan Mei, kami baru dari Canada dan mampir di Amerika, sebelum ke Finlandia. Di New York, setelah tidur beberapa jam saja, meski hotelnya bagus, kami

279


pagi-pagi sekali pergi World Trade Centre (WTC) gedung dan pusat perdagangan termegah di Amerika. Kami beli karcis dan merupakan rombongan pertama yang naik ke lantai atas gedung itu. Di lantai paling atas, setelah selama 3 menit menderu dengan lift melalui 110 lantai, maka kami dapat menyaksikan Manhattan yang diliputi kabut pagi dan patung Liberty. Setelah berkeliling dan berfoto-foto, kami membeli beberapa souvenir, antara lain piringan perak yang diukir gambar gedung WTC. Sambil bergurau ada yang nyeletuk. ”Simpan baik-baik oleh-oleh ini. Nanti kalau satu hari gedung ini runtuh, kita punya kenang-kenangannya“. Kami tertawa, meskipun cerita soal WTC runtuh itu sudah muncul, karena paginya, waktu berkeliling mencari sarapan pagi di lantai bawahnya, ada yang menunjukkan bekas tempat bom meledak, yang kabarnya diledakkan oleh seorang veteran perang Vietnam. Ada bekas kerusakan di sana, tetapi tak sampai membuat gedung itu ambruk.” Mana tahu ada lagi yang nekad dan gila, memasang bom“ kata teman lainnya. Dan itu, terjadi beberapa bulan kemudian, ketika bulan September tragedi WTC terjadi. Ketika aku melihat kejadian itu di acara TV, sambil beristighfar, aku langsung teringat souvenir yang aku beli di lantai atas WTC. Aku bilang pada anak bungsuku Shanti Novita. “Ini, piring WTC yang ayah beli beberapa bulan lalu di Amerika. Sekarang gedungnya runtuh. Bagaimana ya kalau waktu ayah di sana itu, gedungnya runtuh”, kataku setengah berkelakar, setengah bersyukur. Ribuan orang mati dan terkubur di sana, hari itu. Memang banyak pengalaman, tetapi juga inspirasi bisnis yang diperoleh dari perjalanan keluar negeri itu. Misalnya, soal pengembangan koran lokal dengan konsep nasional yang sudah sejak lama dilakukan oleh Jawa Pos Group dengan mendirikan koran-koran lokal hampir di semua ibukota Provinsi di Indonesia.

280


Kami menjadi lebih yakin bahwa era koran nasional yang terbit di Jakarta segera akan berakhir, dan koran-koran lokallah yang akan jadi koran nasional, setelah kami melihat perkembangan korankoran lokal di Amerika Serikat. Di Los Angeles misalnya, Los Angeles Times adalah koran utama di California. Koran Washington Post dan New York Times, hampir tak berperan di sana. Yang jadi koran nasional tinggal USA Today. Begitu juga di Boston, Philadelphia, Baltimore dan lainnya. Kami menjadi yakin bahwa yang akan jadi market leader di daerah adalah koran daerah, bukan koran koran Jakarta. Koran Jakarta segera akan menjadi koran lokal di Jakarta. Bahkan kini JP Group sudah mengembangkan koran lokalnya nyaris di tiap kabupaten. “Otonomi daerah itu kan di kabupaten, dan di sanalah kekuatan ekonomi lokal itu berputar� Pak Dahlan selalu menekan kesimpulannya itu. Inspirasi lain, adalah tentang TV lokal. Group Jawa Pos akhirnya memutuskan mengembangkan TV Lokal sebagai bahagian dari semangat otonomi daerah, juga setelah melihat beberapa TV Lokal di Amerika Serikat, Canada, Finlandia dan terutama di Italia. Kami berkunjung kebeberapa TV lokal di sana dan melihat konsep mereka mengembangkan TV lokal. Berbekal pengalaman itu kemudian kami mencoba mewujudkannya di daerah. Aku sendiri memulainya dengan Riau TV dan Batam TV. Secara teknologi mungkin beda dalam pengembangan perangkat studionya, karena di sana teknologinya sudah sangat maju. Tetapi dalam aspek transmisinya yang menggunakan frekwensi dan bukan satelit, ternyata sama dan dapat dipakai sebagai konsep TV lokal yang murah, tapi berkualitas dalam produk, untuk jangkauan satu wilayah tertentu. Dengan semangat itulah misalnya, RTv mengudara dan mencoba menjadi roh dan semangat Riau dalam membangun daerahnya. Jawa Pos kemudian hadir dengan J-Tv. Seterusnya muncul Fajar TV dan lainnya. Sekarang dengan

281


konsep dan semangat itu, Jawa Pos Group sudah punya 20 tv lokalnya yang dihimpun di bawah Jawa Pos Multimedia Corporation (JPMC). Tetapi, selama perjalanan ke luar negeri itu, tak hanya bisnis yang merajai pikiran kami. Keindahan dan keunikan kota-kota penting di dunia juga jadi sarapan kepala kami. Bahkan wisata unik seperti berjemur bugil di pantai Nice pun, kami pelototi. “Agar tak kuno menghadapi perkembangan pariwisata dunia”, kilah kami. Juga nonton balap mobil Formula-1 di Monte Carlo sambil melihat dari dekat kerajaan casino dunia itu. “Gini-gini sudah pernah nginap di hotel tempat film James Bond dibuat, lo” kelakar Suparno. Dan yang sangat berkesan adalah dorongan Pak Dahlan agar kami juga menikmati pentas budaya dan kesenian dunia. Itu sebab misalnya kami masih sempat nonton drama musik “Les Miserables” di Gothenburg, di pantai selatan Swedia dan menyaksikan betapa santunnya orang di sana menonton. Pakai jas, tidak berisik dan hanya bertepuk tangan pada akhir pertunjukan. Atau kami nonton drama musik di Broadway, pusat teater tersohor di New York, meski kami harus antri sampai berjam-jam, dengan tiket yang mahal dan kalau dikurs ke Rupiah hampir Rp 2 juta. Kami menyaksikan lakon-lakon terkenal yang meraih Tony Award, penghargaan khusus untuk teater di Amerika, sambil membayangkan kehidupan teater di Indonesia, yang entah kapan baru bisa begitu hebatnya meracuni kehidupan metropolis. Selesai menonton di Broadway, kami menyusuri New York dan akhirnya sampai ke sebuah gedung yang sangat obsesif, News Corp, kerajaan bisnis medianya Ruppert Murdock. “Aku mau foto di sana, untuk mengambil semangatnya”, kataku pada Suparno, yang segera meraih kameraku dan memetik tombolnya.

282


“Jadi orang koran, kalau belum sampai ke gedung Ruppert Murdock dan bertemu atau berfoto dengan pemenang hadiah Pulitzer, belum lengkap“, kataku menggoda. Dan Alhamdulillah, aku sudah melakukannya. Menjadi entrepreneur unggul itu, memang tak hanya cukup berbekal semangat dan tuah badan. Tetapi juga pengalamanpengalaman baru dan wawasan-wawasan baru. Dan itu baru bisa terjadi jika kita keluar dari sarang dan melihat apa yang terjadi di luar. Setelah pergi ke mana-mana ternyata kita menjadi lebih terbuka, lebih akomodatif dan lebih responsif terhadap berbagai gagasan dan wacana baru. Tidak lagi seperti katak di bawah tempurung. ”Jauh berjalan banyak dilihat, lama merantau banyak yang dirasakan“, kata pepatah Melayu, atau “Alam terkembang jadi guru“, kata sebuah pepatah Minang. Ternyata sudah sejak dulu kita diajarkan untuk membuka diri dan meluaskan wawasan. Itu sebab di lingkungan Riau Pos Group pun, kalau perkembangan perusahaan memang baik, aku memberi kesempatan kepada para manajer dan karyawan yang berprestasi untuk berkunjung ke luar negeri. Belum bisa semua ke Eropa, Amerika atau Cina, ya ke Malaysia, Singapura dan Thailand pun cukup. Beruntung aku bergabung dengan Jawa Pos Group dan memperoleh kesempatan untuk itu, dan beruntung aku kenal Dahlan Iskan, karena dengan dia aku bisa mengembangkan potensi dan semangat entrepreneur yang ada padaku. Gaya bisnis dan strategi Dahlan membangun bisnisnya di Jawa Pos bagi kami adalah sebuah pelajaran bisnis yang sangat penting. ”Dahlan Iskan Way” begitulah istilah kerennya dengan prinsip manajemen : Focus, Care, Creative, Visioner. Sekarang ini, dengan posisi Pak Dahlan sebagai Menteri, tentu kami tak lagi selalu menikmati pelajaran bisnis sambil berjalan itu. Tapi pak Dahlan tetap perduli, dan terus memanfaatkan saat-

283


saat luangnya untuk bertemu dengan kami. Bahkan, kami selalu merancang pertemuan yang disesuaikan dengan di mana pak Dahlan sedang berada waktu itu. Makanya berbagai pertemuan evaluasi itu, bisa saja di Pekanbaru, Palembang, Pontianak, Balikpapan, atau Manado. Yang tetap di satu tempat, hanya pertemuan tahunan atau annual meeting, yang tetap dilakukan di markas besar JP Group, yaitu Surabaya. Karena betapa pun sibuknya, tiap hari Sabtu, Pak Dahlan selalu pulang kampung, dan kami menggunakan saat itu untuk bertemu. Dan kami para Seven Samurai itu sampai kini tetap terus bekerja keras untuk menjaga roh dan semangat group itu untuk terus berkobar dan mempertahankan Budaya Perusahaan kami: Kerja Keras, Tumbuh Bersama dalam kebersamaan. Sementara pelajaran bisnis dari Pak Dahlan kini lebih banyak mengalir melalui tulisan-tulisannya yang muncul secara tetap di koran-koran milik JP Group: Manufacturing of Hope (memproduksi harapan). Memelihara optimisme untuk Indonesia yang lebih maju. Tesisnya cuma satu : Kerja! Kerja! Kerja!. Demi Indonesia! Terima kasih Mas ! Tentang bagaimana aku menyerap ilmu, membangun karir dan semangat entrepreneurship itu, Pak Dahlan Iskan membuat sebuah catatan yang sangat menarik. Catatan ini dibuatnya waktu aku mau menerbitkan memoar ini, 10 tahun lalu. Setelah disunting untuk menyesuaikan dengan penerbitan memoar ini, inilah catatannya :

S

EMANGAT untuk terus bersaing, dan tidak kunjung padam, mungkin justru itulah yang membuat saudara Rida awet muda! Semua itu sebenarnya juga bisa dibaca dari puisi-puisinya seperti yang tecermin dalam buku kumpulan puisinya: Tempuling. Di situ pergulatan

284


demi pergulatan, tantangan demi tantangan terus mengarus deras. Saudara Rida memang seorang seniman. Tapi dia juga seorang manajer yang andal. Kemampuannya berkesenian dan kemampuannya di bidang manajemen bisa tidak saling meniadakan. Ini tergolong langka. Tidak banyak seniman yang sekaligus punya kemampuan manajerial yang andal. Untuk yang begini, saya selalu mengambil contoh Goenawan Mohamad. Dia seorang seniman besar. Tapi kemampuan manajerialnya juga sangat tangguh. *** KETIKA sama-sama jadi koresponden TEMPO di pertengahan tahun 1970-an saya tidak mengenal saudara Rida secara baik. Pos kami saling berjauhan. Saudara Rida koresponden TEMPO di kota sekecil dan sejauh Tanjungpinang. Saya koresponden TEMPO di kota sekecil dan sejauh Samarinda. Meski sama-sama bertugas di kota yang amat kecil nama saudara Rida dan nama saya sering muncul di TEMPO. Ini karena kami berdua termasuk yang paling aktif menulis berita. Secara teoritis, untuk kota sekecil Tanjungpinang atau Samarinda tidak mungkin bisa menghasilkan berita yang banyak untuk kelas TEMPO. Bukankah tidak sembarang berita bisa memenuhi syarat untuk ditulis di TEMPO? Maka kalau dari kota sekecil Tanjungpinang atau Samarinda bisa sering masuk TEMPO, tentu karena aktivitas korespondennya yang tak terbendungkan. Dari situlah saya pernah menghasilkan sebuah renungan tentang ketidakobyektifan media. Persoalan di suatu kota bisa muncul di media Jakarta dan bisa membuat citra tertentu kota itu bukan karena di kota lain tidak terjadi masalah yang sama — atau bahkan lebih besar —namun hanya sekadar karena di kota lain wartawannya tidak aktif. Pernah ada kesan se-

285


Di depan Gedung News Corporation, kerajaan medianya Rupert Murdock di New York, Amerika Serikat.

buah kota di Jatim sangat menonjol kejadian perkosaannya. Seolah-olah kota tersebut memang bejat. Bahkan sempat dihubungkan dengan kepercayaan masyarakat setempat yang berdampak pada maraknya perkosaan. Benarkah begitu? Sebenarnya tidak. Ternyata, sangat kebetulan, koresponden media di kota tersebut senangnya memang hanya menulis mengenai perkosaan! Sambil memuji diri sendiri, saya juga sering memuji saudara Rida dari jauh. Hebat banget rekan ini! Kadang, setiap majalah TEMPO terbit, saya hitung dan saya bandingkan: berapa berita saudara Rida yang masuk TEMPO minggu itu dan berapa berita saya. Rata-rata seimbang. Karena itu, meski belum bertemu orangnya, nama Rida sangat akrab di pikiran saya. Sesekali para koresponden TEMPO memang berkesempatan ke kantor pusat TEMPO di Jakarta, namun waktunya belum tentu

286


bersamaan. Suatu kali, saya bertanya ke sekretaris redaksi TEMPO Etty Asa, istri seniman Syu’bah Asa, dua hal tentang saudara Rida. Mengapa begitu produktif dan mengapa namanya begitu aneh. Saat itulah saya baru tahu bahwa nama Rida K Liamsi adalah nama yang sudah diubah. Nama aslinya harus dibaca dari belakang. Namun saya tidak pernah bertanya apa latar belakangnya. Dalam hal ini saya mengaku kalah. Saya sebenarnya juga berusaha menyembunyikan nama asli saya, namun tidak seberani saudara Rida. Nama asli saya adalah Mohamad Dahlan saja. Lalu saya ganti Dahlan Iskan, hingga sekarang. Latar belakangnya sederhana. Dengan kata depan Mohamad, selalu saja saya dapat giliran belakangan karena huruf depannya ‘M’. Dengan menjadi Dahlan Iskan maka secara alfabet, daftar nama saya maju beberapa point ke abjad ‘D’. Sekalian menjunjung nama ayah saya: Mohamad Iskan. *** NASIB kami selanjutnya berubah. Yakni ketika samasama ingin meninggalkan kota kecil ke kota besar. Saudara Rida kelihatannya memilih ke Jakarta, meskipun harus meninggalkan TEMPO untuk bergabung ke media lain. Saya memilih ke Surabaya, namun tetap di TEMPO. Ini karena secara kebetulan wartawan TEMPO di Surabaya pindah ke media lain sehingga saya punya peluang menggantikannya. Pada suatu saat saudara Rida juga pernah bertugas di Surabaya, ketika medianya, sebuah harian di Jakarta, menunjuknya untuk membangun biro di Surabaya. Saya sendiri lantas juga pindah ke koran ketika PT Grafiti Pers, penerbit TEMPO waktu itu (kini TEMPO diterbitkan oleh PT Tempo Inti Media), membeli harian Jawa Pos yang sudah hampir mati. Saya ditunjuk untuk memimpin Jawa Pos. Jawa Pos

287


sendiri kemudian berkembang menjadi surat kabar yang besar. Lalu mulai memikirkan untuk menerbitkan koran-koran di berbagai Provinsi. Dimulai dari Sulut, Kaltim dan Sulsel. Lalu saya, saudara Rida, yang ‘hilang’ dari kelompok TEMPO. Saya ingat padanya dengan banyak hal: saudara Rida saya kenal sangat gigih dan produktif, saudara Rida sudah sempat punya pengalaman menangani koran, saudara Rida pernah sekian waktu di Surabaya, saudara Rida bukan orang yang takut tantangan. Yang terakhir itu terbukti dengan keberaniannya meninggalkan kampung halaman menuju Tanjungpinang, lalu ke Pekanbaru, lalu ke Jakarta dan lalu ke Surabaya. Maka suatu saat saya bertanya padanya: mau nggak kita bikin koran di Riau! *** SAUDARA Rida yang masih belum mapan (baik secara ekonomi maupun karir) membuat saya yakin bahwa dia masih mau diajak miskin, hidup susah dan berjuang mulai dari bawah. Dan memang, itulah kenyataannya. Kami, dari Surabaya hanya menjanjikan satu buah mesin kecil merk Harris yang kecepatannya hanya 6.000/jam. Kalau koran mau terbit delapan halaman harus dicetak dua kali. Untuk modal awalnya, kami sama-sama mencari kredit bank. Di Pekanbaru tidak ada bank yang mau memberi kredit. Waktu itu, tahun 1991, juga belum ada bank swasta di Pekanbaru. Yang ada di Batam. Yakni Bank International Indonesia (BII). Kalau tidak salah, kami minta kredit Rp150 juta. Yakni untuk beli komputer, peralatan kantor, dan modal kerja. Sayangnya, waktu itu lagi TMP alias uang ketat. Suku bunga sangat tinggi. Kami ingat betul bahwa BII mengenakan bunga 31 persen! Itulah kenyataannya. Riau Pos yang sekarang itu dibangun dengan modal mesin bekas yang amat sederha-

288


na, modal pinjaman yang amat kecil tapi dengan bunga amat tinggi dan gedung pinjaman dari percetakan milik Pemda Riau yang sudah tidak dipakai. Di sinilah kemampuan Saudara Rida melahirkan sesuatu diuji. Pelan-pelan Riau Pos menjadi hidup. Lalu berkembang. Lalu beranak-pinak. Bukan saja di Riau tapi sudah menjamah Sumbar dan Sumut! Dari perjalanan Riau Pos itu, saudara Rida sudah bukan lagi berada di wilayah manajerial, tapi sudah memasuki kawasan enterpreneurship. Maka saudara Rida adalah seorang seniman, manajer dan enterpreneur! *** SAYA delapan tahun lebih muda. Tapi perbedaan umur tidak pernah jadi persoalan. Saudara Rida memanggil saya “mas”. Saya bangga sekali ada seorang Rida di Riau. Dan itulah yang membuat grup Jawa Pos amat dinamis. Di tiap kawasan Indonesia ini ada orang seperti saudara Rida yang berkembang bersama grup Jawa Pos. Saya juga tidak pernah mendengar saudara Rida sakit. Entah sudah berapa puluh kali kami berada dalam satu kelompok bersama-sama berangkat ke berbagai belahan dunia ini, saudara Rida tidak pernah kelihatan kelelahan apalagi sakit. *** DALAM hal mengembangkan kelompok Jawa Pos, kami memang ‘liberal’. Masing-masing ‘Rida’ bisa mengembangkan diri secara tak terbatas, asal mampu mengendalikannya. Dalam hal pengembangan usaha ini, kadang saudara Rida ketinggalan dari induk namun lantas mengejarnya. Tapi kadang juga meninggalkan induk sehingga induk harus belajar darinya. Membuka stasiun televisi lokal, misalnya. Saudara Rida adalah pelopor di dalam kelompok Jawa Pos. Saya sendiri tidak tahu kalau saudara Rida lagi mempersiapkan

289


diri bikin Riau Tv. Tahu-tahu sudah jadi. Maka saya pun bertanya mengapa berani dan alasan-alasannya. Dari situ saya baru memutuskan bahwa di Surabaya juga harus punya televisi lokal. Maka berdirilah J-Tv, dengan skala yang tentu saja lebih besar. *** Sebagai bentuk kekaguman dan terima kasihku padanya, aku menulis puisi ini yang aku dedikasikan padanya, dan aku muat sebagai salah satu puisi andalanku dalam kumpulan “Tempuling �: Di Stockholm Kepada : DI Dari sebuah taman di Stockholm, suatu petang Kita menyaksikan menumen sebuah jangkar Di antara pelabuhan dan tiang-tiang perahu Dan kau berkata : Seberapa jauh kita berlayar, Kita harus sampai, harus melabuh sauh Dan turun ke pelabuhan Tapi jangan menoleh ke belakang Sebab di belakang adalah laut, sebab laut adalah misteri Yang menyimpan rindu, yang mengeram takut Yang menulis cinta, yang memendam benci Dari sebuah taman di Stockholm, suatu petang Kita memandang cuaca dan gemersik angin Dan kau berkata : Seberapa jauh kita berlayar, Kita harus menyimak cuaca, kita harus menghitung angin

290


Tapi jangan menoleh ke belakang Sebab di belakang adalah sepi Sebab sepi adalah misteri Yang menyimpan dendam Yang membunuh mimpi

6. Menembus Kepungan Birokrasi Satu hari di bulan September 2002, aku ditelepon oleh ajudan Pak Saleh Djasit, Gubernur Riau waktu itu. Aku lupa ajudan yang mana. Mungkin Zul, yang memang sangat aku kenal dan sering berhubungan dengan aku. Katanya, Pak Saleh mengundang aku makan malam di rumah kediamannya di kompleks Gedung Daerah. “Jam berapa Zul�, begitu aku ingat aku bertanya. Menurut Zul sehabis Maghrib. Aku mengiyakan, sambil bertanya siapa lagi yang diajak makan malam ? “Kayaknya abang saja dan mungkin Pak Sawir Hamid�, kata Zul lagi. Makan malam di kediaman Pak Gubernur, memang sudah beberapa kali sebelumnya terjadi. Tapi biasanya ada beberapa orang yang diajak dan sambil makan, kami juga bicara macammacam hal, terutama situasi daerah, di mana biasanya, Pak Saleh minta agar ada dukungan publik, khususnya dari kalangan pers agar suasana tetap kondusif. Sedangkan acara makan siang pernah juga beberapa kali, tapi biasanya di ruang kerjanya di kantor Gubernur. Itu terjadi, kalau aku kepingin bertemu Pak Saleh dan waktunya pas makan siang. Biasanya dia memberitahu ajudan, agar aku masuk dan kami makan siang bersama sambil bicara. Lauknya sederhana, kebanyakan ikan. Ada ikan patin, selais, ada yang digulai, digoreng dan dibakar. Ada sayur-sayuran dan tak ada daging sapi, kecuali daging ayam. Tahu dan tempe tak pernah

291


ketinggalan. Biasanya kami makan sambil ngobrol, sampai lebih satu jam dan aku minta diri setelah tujuan bertemu Pak Saleh sudah disampaikan dan dia sudah meresponnya. Ketika Pak Rusli Zainal jadi gubernur, menggantikan Pak Saleh, aku juga pernah makan siang bersamanya di ruang kerjanya. Tampaknya, selera mereka berdua hampir sama, kebanyakan ikan, sayur dan ayam. Aku tak pernah bertanya, apa makanan ini sengaja dimasak di rumah, atau dipesan. Mungkin saja masakan ini dipesan di luar, jadi menunya hampir sama. Baik menu untuk Pak Saleh, maupun Pak Rusli. Waktu makan di kediaman resmi Pak Saleh, di Gedung Daerah, lauknya agak lebih banyak dan macam-macam. Kami makan di ruang makan bahagian belakang. Di situ ada taman kecil, ada kolam ikan dan air mancur, yang membuat suasananya seperti di sebuah restoran. Teduh dan nyaman. Ketika aku tiba, memang sudah ada Pak Sawir Hamid. Waktu itu Pak Sawir, baru pindah dari Kampar ke Pekanbaru dan memang belum ada posisi. Sebelumnya di Kampar, Pak Sawir adalah Sekwilda Kampar. Lalu ikut bertanding dalam pemilihan Bupati Kampar. Tapi saat-saat terakhir kalah dari Jefri Nor. Kami makan bertiga dan bicara macam-macam hal. Kebetulan aku dan Pak Sawir sudah lama kenal dan bahkan kami sama-sama mendirikan PT Era Riau Bangkit, sebuah perusahaan serba usaha, bersama Pak Mukhtar Ahmad (Rektor UNRI), Rusdi Hanif (Pengusaha Travel, sekarang sudah almarhum ), Tengku Amir Sulaiman (Pensiunan Wakil Presiden PT Caltex, sekarang sudah almarhum), AR Sujono (Dosen Ekonomi UNRI, sekarang sudah almarhum) dan Noviandri (Wiraswasta dan mantan karyawan Bank, sekarang sudah almarhum). Di antara usaha yang kami kembangkan adalah Car Washing Zamrud dan usaha otomotif lainnya. Setelah bicara berbagai hal, akhirnya Pak Saleh memberitahu,

292


kalau dia ingin aku memimpin perusahaan daerah yang baru didirikan Pemda Riau yaitu PT Pengembangan Investasi Riau (PIR) yang dengan gagah disebut Riau Investment Corporation (RIC). Perusahaan itu didirikan dengan tujuan utama untuk menggerakkan investasi di Riau dan menjadi mitra lokal bagi para investor luar Riau yang ingin berinvestasi di Riau. Perusahaan ini didirikan sebagai jalan keluar untuk memudahkan kerjasama investasi dari luar dengan Pemda Riau, agar terjadi hubungan antara Swasta dengan Swasta dan Pemda Riau akan bertindak sebagai fasilitor saja. “Saya kagum dengan kegigihan Pak Rida membangun Riau Pos Group“, kata Pak Saleh memberi latar belakang mengapa dia minta aku yang menangani PT PIR. “Pak Rida pun sangat komit dengan kemajuan Riau ke depan“, lanjutnya, sambil membandingkan aku dengan Dahlan Iskan, bos-nya Jawa Pos Group tempat Riau Pos Group bernaung, di mana Dahlan juga memimpin perusahaan daerah di Jawa Timur, dan sukses. Pak Saleh menceritakan bahwa dia baru saja pulang dari Cina ikut dalam rombongan Presiden Megawati dan dalam rombongan itu, ada Dahlan Iskan. Di sana mereka banyak bicara dan tukar pikiran. “Saya ingin Pak Rida seperti Pak Dahlan lah, bisa membantu Pemda membangun perusahaan daerahnya“, lanjut Pak Saleh. Dia berjanji akan mendukung dan men-support aku, karena dia tahu, bagaimana pun memang sulit dan berat dalam membangun perusahaan daerah. Selain karena keterbatasan dana, juga hambatan dan birokrasi dan aturan–aturan yang ada . “Ya, pelan-pelanlah. Saya yakin pasti bisa“, katanya lagi. Lama aku termenung dan memandang mata Pak Saleh, sambil berpikir : Apa iya Pak Saleh memang ingin aku terlibat dalam Perusahaan Daerah, sementara dia tahu aku tak begitu biasa dengan sistim dan model kerja pemerintah. Aku ini orang swasta yang

293


Aku (kelima dari kiri) bersama para Bupati se-Riau saat grand lounching Riau Rice, dari padi yang dihasilkan Riau menjadi beras dengan merk Riau Rice(foto atas). Peresmian 1x20 MW PLTG Teluklembu oleh Gubernur Riau Rusli Zainal dan juga disaksikan oleh Pak Saleh Djasit mantan Gubri (foto bawah).

294


terbiasa bekerja cepat, memutus cepat dan sulit kalau harus menunggu berbagai persetujuan birokrasi. Mungkin tahu aku agak ragu, dia melanjutkan. “Pak Rida saya beri kebebasan untuk membuat keputusankeputusan cepat, termasuk merekrut orang. Saya tak akan intervensi. Yang penting perusahaan jalan dan kalangan investor tahu, kita serius dan mendukung mereka“. Karena aku lihat ketulusan wajahnya, akhirnya aku bilang, aku minta waktu berpikir. “Saya minta izin dululah dengan Pak Dahlan. Dia ‘kan boss saya. Saya tak mau nanti kerjanya setengah hati dan hasilnya buruk. Nanti PIR terbengkalai dan Riau Pos Group juga terlantar, karena saya tak bisa membagi waktu dengan baik. Kalau Pak Dahlan setuju, ya saya coba. Kalau tidak, ya saya minta maaf, tak bisa membantu”, kataku. Maklum, Riau Pos Group saat itu punya 7 surat kabar, 4 percetakan, 2 televisi lokal, dan beberapa perusahaan kecil lainya. Ada yang di Pekanbaru, di Batam, Padang dan Medan, yang memerlukan kontrol secara ketat dan rutin. Pak Saleh setuju. “Ya lah, silakan Pak Rida berpikir dulu”, katanya. Aku memang tak langsung bicara dengan Pak Dahlan. Lebih seminggu aku tukar pikiran dengan teman-teman, termasuk yang dekat dengan Pak Saleh. Dari mereka aku tahu bahwa selain Pak Saleh yang memang ingin aku masuk ke manajemen perusahaan daerah itu, dia juga mendapat rekomendasi antara lain dari Pak Mukhtar Ahmad, Rektor UNRI, karena Pak Mukhtar melihat aku berhasil membangun bisnis surat kabar dan usaha lain. Ketika itu, Pemda Riau baru saja mendirikan dua perusahaan daerah lainnya yaitu PT Riau Airlines (usaha penerbangan) dan PT Riau Petrolium (minyak dan gas). PT Riau Airlines (RAL) didirikan untuk menjembatani kota-kota kabupaten-kabupaten yang ada di Riau yang belum terjamah hubungan udara, agar kota-kota tersebut,

295


seperti Rengat, Bengkalis, Dumai, Tanjungpinang dan lainnya, segera terbuka dan memudahkan investor untuk masuk ke sana. Sementara PT Riau Petrolium, adalah untuk menangani ladangladang minyak yang segera akan dilepas PT Caltex, seperti CPP Blok, kawasan penambangan minyak yang baru saja diserahkan Caltex kepada Pemerintah dan oleh Pemerintah akan diserahkan pengelolaannya kepada Daerah dengan melakukan operasi bersama Pertamina. PT RAL dipimpin oleh Capt. Yunus Bachari, seorang mantan pilot, sedangkan Riau Petrolium dipimpin T. Amir Sulaiman, sebagai Direktur. Sebelumnya sudah ada PD. Sarana Pembangunan Riau, perusahaan daerah yang menangani beberapa aset daerah seperti Hotel Aryaduta, pompa bensin dan lainnya, yang dipimpin oleh Ir Andi Yuliandi Arsyad, pengusaha Riau dan ketika itu juga Ketua Kadinda Riau. Sebuah perusahaan daerah lain yang sedang dibahas DPRD Riau waktu itu adalah PT Permodalan Ekonomi Rakyat (PER) yang bergerak dalam modal ventura (lembaga keuangan non bank), untuk membantu mengembangkan usaha kecil dan menengah. PT PIR sendiri disahkankan oleh DPRD Riau melalui sebuah Peraturan daerah, sekitar bulan Juli 2002. Lebih seminggu kemudian baru aku menyurati Pak Dahlan via e-mail dan memberitahu ajakan Pak Saleh. Aku tak tahu, apakah Pak Dahlan membaca e-mail itu, apakah dia setuju atau tidak setuju. Yang jelas, dia tak membalas e-mail itu. Padahal biasanya dia sangat respon dengan e-mail dari para eksekutifnya. Kebetulan waktu itu dia memang sedang ke Cina. Dan aku pun tak mendesak, aku tunggu saja reaksinya. Sepulang dari Cina, dalam satu kesempatan Pak Dahlan menelpon aku dan menanyakan kabar perusahaan-perusahaan yang aku pimpin, tapi tak sama sekali menyinggung soal e-mail yang minta pendapatannya atas tawaran Pak Saleh.

296


“Mungkin dia belum baca”, kataku dalam hati. Dan aku tetap tak mencoba untuk mencari tahu. “Pak Dahlan ini kan orang Jawa. Kalau dia diam, itu artinya dia tak setuju”, begitu aku berkesimpulan, karena aku sudah menjadi bahagian dari manajemennya waktu itu lebih dari 15 tahun. Sudah sering pergi bersama kemana-mana dan tahu bagaimana cara dia memberi reaksi atas segala usul dan tawaran dari tim manajemennya. Tetapi aku pikir, aku ini harus juga bertanggungjawab terhadap perkembangan daerah Riau ini ke depan. Dan aku tak mau dianggap hanya bisa mengeritik, tapi tak bisa berbuat. Dan sebagai putera daerah, mestinya aku mencoba melakukan sesuatu, meskipun hasilnya kelak tidak seperti diharapkan. Akhirnya, ketika sudah sebulan dan Pak Saleh kembali menelepon menanyakan keputusanku, karena akte perusahaan itu segera akan dibuatkan, maka aku akhirnya menerima tawaran Pak Saleh: “Ya lah Pak, tapi bapak benar-benar harus mem-backup saya. Soalnya saya benar-benar tak bisa full time mengurus PIR dan juga tak terbiasa bekerja dengan birokrasi pemerintah. Jadi kalau nanti saya main tabrak, Bapak harus bantu meluruskannya, agar jangan sampai teman-teman sesama pejabat marah“, kataku. Pak Saleh, lagi-lagi, memberikan dukungan dan berjanji untuk men-support aku. Dan, “Saya minta dua tahun sajalah memimpin PT PIR. Mungkin saya membangun kerangka bisnisnya dan nanti kalau saya sibuk benar, saya sewaktu-waktu bisa mundur dan yang menggantikan saya bisa meneruskan konsep bisnisnya“, kataku lagi. Pak Saleh setuju dan ketawa ketika aku bilang, bahwa untuk sementara, aku tak usah digaji dululah oleh PIR, karena Pak Dahlan pun begitu di Jawa Timur. “Ya terserah Pak Rida-lah”, lanjut Pak Saleh. Seminggu kemudian, Pak Herlian Saleh, yang waktu itu adalah Kepala Badan Promosi dan Investasi (BPI) Riau dan merupakan Dinas yang membidani kelahiran PT PIR itu, datang ke Riau Pos.

297


Dia tukar pikiran dan membawa beberapa dokumen untuk aku tanda tangani dalam kaitan pembuatan akte pendirian PT PIR tersebut. Akhirnya, beberapa waktu kemudian, di ruang kerja Pak Saleh ditandatanganilah akte pendirian PT PIR, di hadapan notaris Tito Utoyo, SH. Aku jadi Direktur, sementara Komisaris Utamanya Pak Arsyad Rahim (Sekwilda Riau waktu itu, dan kemudian ketika dia pensiun, dia menyatakan mundur), Pak Herliyan Saleh, dan Pak O.K. Nizami Jamil (Tokoh masyarakat Riau dan mantan Kanwil Depdikbud Riau dan mantan anggota DPRD Riau). Begitulah akhirnya aku harus menyisihkan waktu untuk menangani PT PIR ini. Bahkan belakangan ternyata cukup banyak waktuku yang habis di sini, karena harus men-set-up perusahaan, mulai dari awal. Mulai organisasinya, sampai ke bisnis plan-nya. PT PIR sengaja memilih berkantor di Gedung Surya Dumai, salah satu pusat perkantoran yang baik di Pekanbaru, untuk membangun citra sebagai perusahaan yang baik dan layak untuk bergandengan dengan investor luar, karena gedung itu memiliki akses dan ruang-ruang yang bagus untuk berbagai pertemuan dan diskusi bisnis. Aku memang mencoba mengembangkan PIR menjadi sebuah perusahaan daerah yang sangat swasta dan dapat menjadi model mitra lokal yang terpercaya dan sanggup menangani berbagai proyek-proyek strategis berskala besar. Aku tahu memang sangat berat, bahkan semuanya masih berupa mimpi-mimpi. Bayangkan, tugasnya adalah membangun proyek-proyek infrastruktur dasar yang strategis, seperti jalan tol Pekanbaru-Dumai, pembangkit listrik, proyek air bersih di Rokan, jaringan telepon dan lainnya. Bukan hanya modal yang dimilikinya kecil, baru sekitar Rp 10 miliar, tetapi juga hampir semua proyek-proyek yang direncanakan itu belum mempunyai studi kelayakan yang cukup, sehingga sangat sulit dijadikan kekuatan untuk ditawar-

298


kan kepada rekan investor lain. Sementara menyiapkan studi awal itu memerlukan biaya besar dan waktu yang lama. Tapi, aku sudah memutuskan untuk membangun perusahaan ini, meletakkan kerangka dasar perusahaan, membangun beberapa komitmen dengan mitra, membentuk sistim organisasi yang lincah dan mudah diubah suai, dengan mengandalkan beberapa anak muda yang energik dan bekerja tak kenal lelah. Aku dan team manajemen PIR bertekad untuk mulai dengan hanya 10 orang dan semuanya mengerjakan apa saja, dengan organisasi yang bisa berubah sewaktu-waktu. Pak Dahlan sendiri, ketika tahu aku akhirnya menerima tawaran Pak Saleh, cuma ketawa ketika kami bertemu. “Ya, beratlah mengurus perusahaan daerah itu. Anda harus kerja keras!”, katanya, sambil mengingatkan bahwa aku bisa-bisa mempertaruhkan kredibilitas aku yang sudah dibangun dengan susah payah selama bertahun-tahun. Dan dalam pertemuan waktu yang lain, dia juga mengutarakan bahwa dia sebetulnya, kepingin aku mundur saja dari PIR dan konsentrasi memimpin Riau Pos Group, karena kebetulan kami sedang mengembangkan bisnis TV lokal, di mana Riau selain sudah punya Riau TV dan Batam TV, juga sedang menyiapkan TV lokal di Medan. Sementara dalam bisnis koran, sedang muncul saingan baru, terutama dari kelompok Kompas Gramedia. “Yalah, nanti kalau sudah waktunya saya mundur, saya mundur. Sekarang lagi menyiapkan kerangka bisnisnya”, kataku, dan “Sekalian belajar juga di perusahaan daerah ini, bagaimana mengurus bisnis non media dan memahami rimba birokrasi”, kataku lagi. Untuk itu aku memang sudah menyiapkan bisnis plan PT PIR untuk lima tahun ke depan. Memang terasa beratnya tantangan, meskipun sejumlah rencana dan proyek akhirnya ujud juga. Misalnya pembangkit lis-

299


trik tenaga gas (PLTG). Meskipun hanya 1x20 MW dan memanfaatkan turbin eks CPI (Caltex Pasific Indonesia yang kemudian berubah menjadi Chevron Pasific Indonesia) namun proyek ini sangat berkesan dan memberi pelajaran yang mahal buatku. Bukan hanya PLTG ini mampu memberi bantuan suplay listrik di Riau dan ikut membantu mengatasi krisis listrik, tapi juga membuat aku hampir-hampir menyerah. Proyek ini membuat aku nyaris tiap malam sholat tahajjud mohon diberi kemudahan untuk menyelesaikan dan mengatasi masalah yang menghadangnya. Diam-diam, aku selalu menangis di atas sajjadahku dan isteriku sempat cemas. “Ayah kurus belakangan ini sejak mengurus PIR� komplainnya. Aku hanya diam, dan mencoba meneguhkan semangat. Alhamdulilah, setelah lebih 3 tahun berusaha, PLTG itu diresmikan oleh Gubernur Riau Rusli Zainal dan juga disaksikan oleh Pak Saleh Djasit mantan Gubri, dan sekarang tiap hari, per empat jam akan ada sms masuk dari manajer operasi PLTG itu melaporkan kondisi turbin dan berapa power yang dihasilkannya. Sekarang setelah hampir 5 tahun beroperasi, turbin eks CPI itu akhirnya bisa dikembangkan dengan menambah satu unit Combine Cycle 1x10 MW di sampingnya dengan memanfaatkan gas buangan turbin 1X20 MW. Proyek ini menelan investasi sekitar Rp 155 M, lebih mahal dari induknya Simple Sycle 1x20 MW, karena semuanya baru dengan teknologi Cina. Tanggal 8 Agustus 2012 diresmikan sebagai kado ulang tahun propinsi Riau ke 55. Ada sebuah proyek yang sebenarnya sangat membanggakan, tapi akhirnya harus aku relakan dilepas demi keputusan bisnis. Yaitu pembangunan jaringan telpon berbasis CDMA (Code Devision Multiple Acsess) di Bengkalis dan Selatpanjang berupa 8.800 sst (satuan sambungan) masing-masing 4.400 sst di Bengkalis dan 4.400 sst di Selatpanjang yang bekerja sama dengan PT Telkom, dalam bentuk BOT (Built Operation and Transfer). Proyek ini

300


merupakan proyek pertama PT PIR dan sangat strategis dalam kaitan pengembangan infrastruktur daerah. Aku ingat tesis para pengusaha telekomunikasi : “Tiap pertambahan 1 % sambungan telpon, maka ekonomi akan tumbuh 3 %. Proyek ini akhirnya siap dan diresmikan operasionalnya oleh Bupati Bengkalis saat itu, Drs Samsurizal. Tapi proyek ini akhirnya harus dilepas, selain karena PT Telkom mengubah strategi bisnis dengan mengambil alih kembali semua proyek kerjasamanya dengan pihak ketiga, termasuk yang berbentuk BOT, juga karena untuk jangka panjang proyek ini akan merugikan PT PIR karena kurang siap dalam menangani aspek teknologi komunikasinya. Satu-satunya yang menghibur adalah, kini di Riau ada 8.800 sst CDMA yang dioperasikan dan menjadi salah satu sarana komunikasi dan PT PIR dahulu pernah melahirkannya. Proyek lain yang sangat strategis dan historis, adalah saat PT PIR melalui anak perusahannya PT Riau Multi Trade (RMT) memproduksi beras dengan merek “Riau Rice”. Proyek ini sangat bersejarah, karena merupakan komitmen PT PIR untuk membangkitkan local pride, kebangkaan lokal Riau. Berpuluh tahun produksi gabah Riau yang lebih dari 300 ribu ton/tahun itu diangkut ke luar Riau, dan kemudian masuk kembali sebagai beras, dengan berbagai merek, seperti beras “Ramos “ dll, dari Medan atau Sumbar. Tapi tak ada merk asli Riau. Lembu punya susu, tapi sapi punya nama. Dengan spirit seperti itulah, dan bertepatan dengan ulang tahun ke-100 kebangkitan nasional, maka aku dan Pak Gubernur Rusli Zainal, meluncur beras produk Riau dengan nama “Riau Rice“ (Beras Riau) itu. Karena waktu itu lagi sedang demam Pilkada untuk pemilihan Gubernur Riau (2008-2013), dan Rusli Zainal sebagai incumbent maju lagi, maka ada yang berkelakar bahwa merek beras “RR“ itu kepanjangannya bukan Riau Rice, tapi Rusli-Rida. Ketika ada seorang wartawan bercanda

301


dengan Pak Rusli, apakah gagasan memproduksi beras “RR” bukannya kampanye untuk mengusung calon Guberrnur dan Wagub Riau Rusli-Rida ? Pak Rusli tersenyum, dan menjawab ringan “Why Not ?” sambil menoleh ke arah aku. Waktu itu, memang Pak Rusli belum memutuskan siapa yang akan diajaknya jadi balon Wagub. Wartawan juga menoleh kepadaku dan bertanya : Gimana Pak Rida? Aku mengikik ketawa : “Ketuaan” kataku. Dan guyon itupun berakhir. Namun beras “RR” itu akhirnya sudah memecah mitos, tentang “Lembu punya susu, sapi punya nama” atau “Gabah punya Riau, Sumut punya beras”. Tinggal orang di Riaulah lagi, apa mau makan beras “RR” dengan local pride nya, atau tidak. Dan tahun 2012, bertepatan dengan HUT Propinsi Riau ke 55, misalnya,aku dan teman-teman di RIC melalui anak perusahaannya RMT mengembangkan RR ini dengan 10 varian merek baru yang mengabadikan semangat lokal (lokal pride) dengan nama-nama yang khas kabupaten yang ada di Riau. Misalnya untuk Siak, ada nama RR Bunga Raya, untuk Bengkalis ada RR Terubuk, untuk Rokan Hilir ada RR Bagan, untuk Rokan Hulu ada RR Rokan, untuk Inderagiri Hilir ada RR Pulau Kijang, untuk Inderagiri Hulu ada RR Patin, untuk Pelalawan RR Mendul, untuk Kuansing RR Arai Pinang, untuk Kampar RR Kampar, dan untuk Meranti RR Merbau. Ke semua merek akan menjadi ikon beras lokal ke depan dalam perjuangan untuk membangkitkan semangat kebanggaan akan produksi sendiri, membangkitkan tekad swasembada beras, dan tekad untuk menjadikan beras RR sebagai perekat dan mewujudkan semangat Riaunisasi. Sejumlah Bupati atau Wakil Bupati yang diundang membubuhkan tandatangannya di karung-karung beras yang akan diproduksi itu, penanda dimulainya Jihad Riau melalui beras itu. Dalam strategi bisnisnya, karena sadar bermodal kecil, PT PIR atau RIC, memang memilih menjadi sebuah perusahaan induk

302


operasional, dengan berperan sebagai holding. Artinya untuk mengembangkan usaha dan membangun proyek berinvestasi besar, maka PIR memilih bermitra dengan pihak investor lain dengan mendirikan anak-anak perusahaan baru sesuai bidang bisnis yang akan dikembangkan. Keterlibatan PIR di anak perusahaan itu, bisa sebagai pemegang saham mayoritas, maupun pemegang saham penggerak (minoritas). Karena itu kemudian lahirlah beberapa anak perusahaan. Untuk bisnis listrik, didirikan PT RP (Riau Power), bahkan belakangan telah menjadi beberapa perusahaan baru seperti PT Riau Power II, Riau Energi III, dimana PT PIR menguasai 51% saham. Lalu untuk perdagangan komuditas strategis, ada PT Riau Multi Trading (RMT). Lalu untuk memudahkan investasi masuk ke Riau, ada PT Riau Consult Global dan belakangan kepanjangan namanya diubah menjadi Riau Cipta Gemilang (RCG) . Dan beberapa anak perusahaan lain, dimana RIC berperan sebagai investor pendukung, seperti PT Sarana Penjaminan Kredit Riau (SPKR) untuk asuransi penjaminan kredit daerah, PT Pekanbaru Cyber City (PCC) untuk bidang IT, dll. Meskipun Pak Saleh sebagai penggagas BUMD strategis ini tidak jadi Gubernur Riau lagi, namun Pak Rusli Zainal yang menggantikannya, yang punya latar belakang pengusaha itu dan lama jadi Bupati di Indragiri Hilir, ternyata memberi dukungan penuh, agar PT PIR bisa bergerak dan merealisasi berbagai rencana bisnisnya. Kini berkat dukungan itu, RIC sudah menjadi holding company yang cukup besar, dengan total asset Rp 500 M lebih, dan modal setor hampr Rp 300 M. Dalam beberapa tahun ke depan BUMD ini akan jadi salah satu lokomotif pembangunan di Riau sebagaimana visi dan misinya, dan sudah menjadi salah satu satu sumber pendapatan daerah. Bahkan, Pak Rusli ternyata juga sudah berpikir lebih jauh, dengan rencana mendirikan sebuah holding company, untuk menjadi

303


induk perusahaan-perusahaan daerah yang ada. Dengan holding tersebut, diharapkan perusahaan daerah Riau ini akan menjadi perusahaan yang benar-benar tangguh, kuat secara equitas dan asset, serta terencana dalam bisnisnya. Mempunyai sumber investasi yang kuat dan dikelola secara bisnis dan profesional. “Biar kita punya kekuatan, baik dalam merencanakan bisnis, maupun dalam pengawasan dan membangun kekuatan modalnya,� kata Pak Rusli. Aku pikir ini sebuah pikiran yang maju dan kalau sungguh-sungguh dikelola dan dibina, maka perusahaan daerah di Riau bisa menjadi andalan sebagai kekuatan ekonomi daerah. Paling tidak dengan sebuah holding itu, sumber investasi dari pasar modal akan lebih mudah diraih dan agar apapun alasannya, pembangunan proyek di daerah yang mempunyai peluang return yang baik, tidak mengganggu APBD yang ada. Ini bisa dibiayai dari sumber obligasi, reksadana dan lainnya. Gagasan dan visi pembangunan BUMD seperti ini, dapat menjadi cikal bakal bangkitnya spirit Riaunisasi dan Riau Incorporation, yaitu semangat untuk membangun kemandirian daerah di bidang ekonomi, dan menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Riau ke depan sesuai dengan VISI Riau 2020, yang antara lain ingin menjadikan Riau sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN. Sebuah gagasan yang ideal, walaupun tidak mudah untuk diwujudkan,dan memerlukan waktu yang panjang dan kesadaran bersama elit pemerintah daerah dan elit politik di Riau. Sampai saat ini aku masih tetap yakin, bahwa sistem ekonomi kerakyatan itu hanya bisa eksis dan memberi kekuatan, jika negara dan daerah mengendalikan kekuatan ekonomi yang menentukan arah ke mana negara atau daerah akan dibawa dan sejauh mana nanti masyarakat banyak akan menikmati manfaatnya. Maka, peran dan tanggungjawab BUMN dan BUMD haruslah menjadi kekuatan utama, minimal memberi kontribusi 50 % pada

304


PDB nasional maupun daerah. Ini sistim ekonomi jalan tengah antara sistim ekonomi sentralistik atau Keynesianisme dengan sistim ekonomi pasar atau Neoliberalisme. Ekonomi jalan tengah ini bersumber dari Sila ke-5 Panca Sila (Kemakmuran bagi seluruh bangsa Indonesia), dan pasal 33 UUD-1945 yang menegaskan bahwa seluruh kekayaan negera, udara, darat, dan laut harus dimanfaatkan secara maksimal bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Dan, semua kemampuan manajemen yang aku sumbangkan ke BUMD ini, adalah bahagian dari pelajaran bisnis aku di JP Group. Aku ingin, sukses di JP Group ini, bisa juga aku bawa dan sumbangkan untuk Riau yang ku cintai ini. Meskipun belum terlalu besar kontribusinya. Setidaknya, aku ikut meletakkan kerangka dasar strategisnya. ***

305


306


BAB XI TUHAN, ALANGKAH KECILNYA AKU

1

Umrah di Bulan Ramadan Allahu Akbar...! Allahu Akbar..!” Ka’abah serasa menjulang di depanku ketika aku sujud, menyentuhkan jidatku ke pualam yang sejuk, di cuaca awal musim dingin di bulan Ramadhan, tahun 1997, ketika aku melakukan sholat sunat di sisi makam Ibrahim mengarah ke pintu Ka’abah. Aku bersyukur karena akhirnya aku sampai ke sana dan bersujud di sana. Aku tiba-tiba merasa betapa kecilnya aku, betapa daifnya aku. Aku merasa air mataku meleleh, aku tak kuat menahan tangis. “Tuhan, betapa Maha besarnya Engkau...” Aku memang berkesempatan tahun itu melakukan umrah, ikut rombongan sejumlah ulama dan pejabat Pemda Riau yang dipimpin oleh Ir H Usman Draman (ketika itu Ketua Bapeda Riau), yang sedang melakukan kunjungan studi banding ke beberapa negara Islam, seperti Saudi Arabia, Turki, Mesir, Jordan, dan Palestina. Cukup banyak yang pergi antara lain Dr. M Nazir, Dr. Sudirman, Drs. Muchtar Samad (Kanwil Depag waktu itu), Ir. Tengku Dahril (Rektor UIR waktu itu), Ir. Usman Draman (Kepala Itwilprov Riau), Drs. Arsyad Yatim (anggota MUI waktu itu) dll. Selesai melakukan tawaf, aku bermohon agar aku diberikan kesehatan, rezeki dan dapat kembali ke Mekkah lagi untuk menunaikan ibadah haji, tahun depan. Umrah dan studi banding itu

307


memang perjalanan yang menyenangkan, walaupun dilakukan dalam suasana Ramadan. Terasa betapa nikmat ibadah puasa di negeri yang mempunyai tradisi Ramadan yang berbeda-beda. Bagaimana rasanya berbuka puasa di Masjidil Haram di atas hamparan kain putih, menyantap hidangan sedekah kaum Muslim. Bagaimana berbuka puasa di Ankara (Turki), dengan buah zaitun, bagaimana berbuka puasa di Cairo, Mesir, tanpa disuguhkan kopi dan teh, yang membuat Ir Usman Draman uring-uringan karena dia memang pengopi dan perokok berat . Tetapi yang paling mengesankan adalah sholat zuhur di Masjidil Aqsa, di Palestina. Tidak semua umat mendapat rahmat demikian. Untuk sampai ke sana, selain memerlukan perjalanan yang sulit, juga menyangkut aspek politik, karena kawasan itu masih dalam kekuasaan Israel. Masuk ke Jarussalem itu saja sudah merupakan pengalaman yang unik, karena tidak menggunakan paspor Indonesia, kecuali secarik kertas kecil, yang setelah keluar Jarussalem, ya, catatan kedatangan ke sana pun tak ada lagi. Selama umrah itu, kami memang melakukan berbagai kunjungan. Di Mekkah misalnya bertemu dengan beberapa mufti dan imam Masjidil Haram, ada di antaranya keturunan Indonesia, yang sudah lama bermukim di sana. Di Jeddah kami berkunjung ke Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank). Melihat pusat pencetakan Alquran, dan kunjungan kehormatan lainnya, termasuk ke Universitas Al Azhar di Mesir. Juga bertemu dengan sejumlah mahasiswa Riau yang sedang belajar di Timur Tengah, bahkan di antara rombongan kami ada yang alumni dari perguruan tinggi Islam, baik di Madinah maupun Mesir, seperti Dr Nazir. Tapi sekali lagi, sempat sampai ke Palestina dan Jarussalem, adalah sebuah kesempatan yang sangat langka. Bisa melihat tempat di mana bermula peristiwa Mi’rajnya Nabi Muhammad SAW.

308


“Di sinilah tempat Bouraq itu berdiri dan berangkat ke langit ,“ kata seorang anggota rombongan yang rupanya banyak tahu tentang sejarah Islam . Perjalanan umrah itu, memang makin membangkitkan keinginanku untuk menyempurnakan ibadahku dengan melakukan haji tahun berikut. Karena perjalanan itu telah melengkapi pengetahuanku tentang sejarah kebesaran Islam, yang dulu aku pelajari dan aku pahami dari buku-buku sejarah Islam yang aku baca. Sekarang aku bisa melihat keindahan masjid-masjid yang dibangun di Turki, di Palestina, di Mesir. Bisa melihat tempat pertempuran-pertempuran penting dalam perjalanan sejarah pengembangan Islam. Baik di Mekkah dan sekitarnya, seperti tempat perang Badr, perang Uhud, perang Handaq, Gua Hira’ dan tempat bersejarah lainnya. Maupun jejak Islam di Turki, Mesir, dan Palestina. Benar juga kata beberapa teman, sebaiknya sebelum melakukan ibadah haji, sebaiknya pergi umrah dulu. Persiapan untuk melakukan haji dengan lebih khusuk, lebih tertib, lebih terarah, dan tentu lebih sadar akan apa yang harus dilakukan, dan mengapa. Karena sesungguhnya ibadah itu, adalah ritual yang dilakukan dengan penuh kesadaran, yang membuat sikap percaya kita kepada Yang Mahakuasa itu, menjadi utuh dan tak tergoyahkan. Alhamdulillah, perjalanan umrahku bersama para ulama dan ahli agama itu, membuat aku dapat menyerap ajaran Islam yang lebih banyak. Terutama berkat bimbingan dan informasi yang diberikan Pak Kiai Haji Abd Kadir MZ, tokoh Islam Riau yang kaya pengalaman dan pengetahuan Islamnya. 2. Pergi Haji Sendiri Akhirnya, aku diperkenankan berangkat oleh Allah Subhanahuwataala, untuk menunaikan ibadah haji, setahun setelah umrah. Tapi, jauh sebelum umrah, sebenarnya, aku sudah punya

309


Bersama para pejabat Riau semasa Gubernur Soeripto, antara lain Kakanwil Depag KH Muchtar Samad dan dosen senior UIN Dr Nazir, melakukan kunjungan ke Arab Saudi. Di depan Pyramid, di Mesir, dalam perjalanan tour ke Timur Tengah setelah menjalankan Umrah

310


kesempatan pergi haji. Cuma waktu itu, yang menawarkan pergi haji itu adalah Pemerintah Daerah Riau, melalui Panitia Pelaksana Perjalanan Haji Riau. Gubernur Riau masih Pak Soeripto. Aku diberitahu Biro Kesejahteraan (Kesra), Pimpinan Riau Pos diberi kesempatan untuk menjadi salah seorang peserta haji. Tapi, waktu itu, aku pikir, secara keuangan aku sanggup. Cuma secara batin aku belum. Maka aku putuskan, kalau Pemda setuju, aku digantikan oleh salah satu wartawan Riau Pos saja. Rupanya mereka tak keberatan, aku tunjuk Sofyan Samsir, salah seorang wartawan senior Riau Pos untuk berangkat. Sementara aku, kelak kapan ada ridho Allah, insyaallah aku berangkat. Alhamdullilah niat itu terkabul, tahun 1998, walaupun aku hanya berangkat sendiri, sementara istriku belum ikut. ”Ayah dululah, mamak belum siap,“ katanya. “Ya, belum sampai serunya. Belum dapat panggilan Nabi Ibrahim,“ kelakarku. Aku pergi dengan mengunakan program ONH Plus, melalui perusahaan penyeleggara perjalanan haji PT Kota Piring Kencana, yang bekerja sama dengan PT Diyosiba. Ada sekitar 22 orang rombongan kami, kebanyakan adalah teman-teman dari Bogor, Tanggerang, Jogja, Bengkulu dan Ujungpandang. Pergi menunai ibadah haji, kata orang, pergi dengan hati dan jiwa yang harus bersih agar dapat menunaikan ibadah dengan sungguh-sungguh. Itu harus dipersiapkan dan bahkan jauh-jauh hari. Bagaimana persiapanku? Memang untuk sholat, rasanya aku sudah mencoba dengan segala daya, sejak kembali dari umrah, untuk tidak sampai melalaikan sekalipun waktu sholat. Betapapun sulitnya. Tetapi upaya lain, aku masih terus-menerus menemukannya. Tiba-tiba muncul saja satu keinginan dan itu mengusik hatiku sebulan sebelum keberangkatanku. Yaitu, aku ingin sholat di tujuh masjid yang berbeda, di beberapa tempat. Akhir-

311


Rombongan jemaah haji plus Al Kaustsar di depan Bukit Gua Hira’, di Mekah (atas) Sedang berdiri di tangga pintu gerbang menuju Mesjid Al Aqsa di kota Jerusalem, Palestina.

312


nya aku menemukan saatnya, ketika aku memutuskan untuk pulang ke kampung halaman masa kecilku, di Bakong. Selain untuk melakukan ziarah ke pusara ayah, ibu, saudara-saudaraku yang telah mendahuluiku, serta pamit memberitahu beberapa kerabat dekatku yang masih ada, seperti ibu tiriku, kedua adikku, temanteman lama dan tempat aku banyak berhutang budi, juga kebetulan aku sudah sangat lama tidak menjenguk kampung itu, sudah lebih dari 20 tahun. Begitulah, aku memulainya dari Tanjungpinang, dengan lebih dahulu menziarahi pusara ibuku, sekalian pamit dari kerabat istri dan sahabat-sahabatku dulu. Aku sholat zhuhur di masjid raya Tanjungpinang. Masjid ini memang sangat akrab denganku karena ketika tinggal di Tanjungpinang, di masjid inilah aku sholat Zuhur, Asyar, kalau sedang kerja. Masjid yang meski tak begitu besar, tapi rasanya lapang dan tenang. Siangnya, sholat Asyar di masjid kecil, di kompleks asrama polisi Tanjungpinang, namanya Masjid Haburijal, konon masjid ini dibangun ketika Kepala Polisi Resort (Kapolres)-nya Letkol (Pol) Rizal Zen, makanya ada nama Rizalnya di masjid itu. Bagus, dan masjid itu dibangun di lapangan yang dulu bekas tempat main anak-anak asrama polisi di sana. Besoknya, aku berangkat ke Dabo Singkep dengan kapal laut. Zuhur dan Asyar aku sholat jamak qoshor di kapal dan baru Maghrib aku sholat di sebuah masjid kecil di Pengambil, kampung ibu muda dan adik-adikku. Konon, masjid itu dulu dibangun oleh ayahku dan orang-orang kampung di sana. Sudah sangat lama sekali. Sambil besoknya aku ziarahi pusara ayahku yang dimakamkan di sini. Selesai ziarah di pusara ayahku, aku menuju Bakong dengan naik kapal motor kecil, di tengah gelombang laut Bakong yang menakutkan (mungkin karena sudah lama sekali aku tak ke sana dan melakukan perjalanan laut dengan kapal motor yang kecil.

313


Terakhir aku ke Bakong, sebulan setelah aku menikah dan kami kemari sambil berbulan madu). Aku sempat sangat cemas melihat gelombang laut, dan berpikir, inilah cobaan bagiku. Alhamdullilah, berkat lindungan Tuhan, aku selamat sampai di Bakong. Sudah menjelang Zuhur. Aku sholat di masjid kampung itu, sebuah masjid yang kecil, namun tampak baru dibangun. Sayang, padahal sebelum sampai kemari, aku berkhayal dapat sholat lagi di surau yang dulu tempat aku sholat dan tadarus di masa mudaku. Ternyata surau itu sudah roboh dan diganti dengan sebuah masjid kecil, yang cukup baik. Hanya tiga jam aku di sini, selesai ziarah di pusara abang dan kakakku, aku menuju Kuala Raya, tempat mantan abang iparku tinggal. Tiba-tiba perasaanku jadi pedih melihat tempat masa kecilku, melihat bekas rumahku dulu yang kini sudah roboh dan menjadi gudang. Melihat bekas tempat bermain, melihat teman-teman lama, yang ternyata sebagian sudah menjadi lebih tua dari umur mereka. “Keadaan telah membuat mereka cepat menjadi tua,� kataku dalam hati. Di Kuala Raya, aku sowan sebentar pada Abang iparku dan keluarganya dan selesai sholat Asyar di masjid yang tak jauh dari rumah abang iparku, lalu berangkat naik mobil menuju Desa Raya, kampung kecil, sebelum Dabo. Aku menjenguk keponakanku Mardiana, yang tinggal di sini bersama suami dan anak-anaknya. Aku sholat Maghrib dan Isya di masjid yang tidak jauh dari rumah keponakanku dan ternyata masih sangat bagus. Desa ini dulu di masa mudaku, kerapku datangi, karena di sini ada sahabat baikku Awang bin Idau (kini sudah almarhum), tempat aku berlibur. Desa ini pernah menjadi salah satu pusat penambangan timah di Pulau Singkep. Banyak bangunan peninggalan Belanda di sini. Salah satu, kemudian menjadi tempat tinggal temanku Hamzah Kasim, kini politikus di Kabupaten Lingga. Besoknya aku menuju Dabo, ibukota Kecamatan Singkep. Kota

314


yang dulu menjadi tempat aku bersama teman-teman Angkatan 66 berjuang melawan sisa-sisa kekuatan PKI dan Baperki. Di sini aku dulu juga sering datang untuk main bola, ketika aku menjadi semacam pemain bayaran yang dibayar oleh kesebelasan Desa Sungaibuluh tiap ada pertandingan besar 17 Agustus. Juga aku pernah jadi pemain “bond� atau pinjaman kesebelasan PSTS (Persatuan Sepak Bola Timah Singkep), saat mereka menerima kunjungan kesebelasan dari luar Dabo, misalnya Bea Cukai Karimun. Di Dabo, aku sholat Jumat di Masjid Raya Dabo, sebuah masjid tua dan masih indah. Dibangun oleh pihak PT Timah di zaman kejayaan mereka. Itulah dulu masjid terbagus di Kepulauan Riau, sebelum Masjid Raya Tanjungpinang selesai dibangun dan direhabilitasi seperti sekarang. Kemudian Mahgribnya, aku sholat di Masjid Muhammadiyah Dabo tak jauh dari hotel tempat aku menginap. Begitulah. Besoknya aku kembali ke Tanjungpinang. Aku telah menunaikan niatku untuk sholat di tujuh masjid, di tujuh tempat berbeda. Ada perasaan lapang dalam diriku ketika aku selesai melaksanakan niatku itu. Kadang-kadang, meskipun sholat di masjid manapun, akan kita rasakan nikmatnya karena dapat mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi kita memang sering merasa memperoleh satu perasaan yang berbeda, seakan-akan selalu lebih tenang dan damai, kalau kita dapat menemukan tempat sholat yang dapat membuat kita luluh dan total. Aku misalnya, selalu merasa perasaan demikian kalau aku sholat di Masjid Raya Tanjungpinang. Rasanya, selalu lapang. Entah, barangkali, karena di sinilah dulu aku selalu sujud dan menumpahkan segala kesedihan hati, kekecewaan, rasa syukur dan kepedihan lain, di saat-saat aku dalam kesulitan, terutama pada masa-masa sulit aku dulunya ketika masih di Tanjungpinang. Aku

315


pernah punya perasaan yang sama, yang demikian total ketika sempat sholat di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, di Kota Serambi Mekkah itu. Tenang, sejuk dan damai. Aku merasakan perasaan yang sama, ketika sempat sembahyang Jumat di Masjid Raya Kuala Lumpur, di dekat kolamnya yang sejuk, meskipun aku tak menemukan perasaan yang demikian ketika sholat di mesjid megah di kompleks Puterajaya, kawasan ibukota baru Malaysia, Aku merasakan perasaan yang tenteram ketika sholat di Masjid Agung Istiqlal, di Jakarta, tapi entah mengapa aku tak menemukan perasaan itu ketika sholat di Masjid Raya Batam. Tetapi tentu puncak dan keluluhan diriku menjadi berlebih-lebih ketika aku diberi rahmat dapat sholat dan sujud di Masjidil Haram di Mekkah Mukarramah, di Masjid Nabawi, Madinah dan di Masjidil Aqsa, di Jarussalem. Memang, selalu akan ada perasaan tersendiri ketika kita sempat sholat di masjid-masjid di negeri-negeri asing. Aku misalnya, pernah melakukan itu, dalam perjalananku menyusuri Malaysia bagian timur. Aku mulai dari Johor, Mersing, Terengganu, Pahang, sampai ke Kelantan. Sepanjang jalan, jika tiba waktu sholat, aku minta supir taksi yang aku carter untuk mencari masjid yang terkenal di situ dan aku turun untuk sholat. Sebuah pengalaman spiritual, sebuah kepuasan sipiritual. Itulah yang aku rasakan. Menunaikan ibadah haji dengan lebih dahulu pernah umrah, membuat kita memang lebih siap dan lebih memahami makna dan ritual ibadah haji itu. Aku merasa memang sangat beruntung karena sudah pernah umrah lebih dahulu dan juga sangat berhutang budi pada Pak Kiai Haji A Kadir MZ (kini almarhum), yang dalam perjalanan umrah, memberi aku banyak sekali petunjuk tentang inti ibadah umrah dan haji. Tentang sembahyang-sembahyang sunat yang dilakukan, tentang doa-doa, tentang sejarah dan jejak perjalanan Islam di sepanjang rute perjalanan umrah

316


dan tour kami ke Timur Tengah itu. Karena itu, ketika melakukan haji, meskipun dalam rombongan kami ada pembimbing haji kami dan beberapa orang anggota rombongan ada yang pernah juga pergi haji pada waktu sebelumnya, tapi aku lebih mudah menentukan pilihan ibadah yang harus aku lakukan. Misalnya, bagaimana cara memenej waktu agar sunnah arbain di Masjid Nabawi, di Medinah itu, bisa selesai dengan baik. Bagaimana memilih waktu yang tepat untuk sholat sunnah di “taman”, istilah yang dipakai untuk kawasan sekitar makam rasulullah, agar sholat sunnah itu mendapat banyak fidayah. Bagaimana memilih waktu tawaf agar dapat disesuaikan dengan kemampuan fisik, karena bagaimana pun untuk tawaf dengan sempurna, terlebih di musim haji, perlu persiapan yang cukup, karena jumlah umat yang melakukan tawaf beberapa kali lipat dari hari-hari umrah biasa. Aku misalnya selama hampir tiga bulan menjadikan jalan pagi dan lari-lari kecil, sebagai cara untuk mempersiapkan diri. Tiap hari aku berjalan sekitar lima atau enam kilometer untuk mempertahankan stamina. “Kadang-kadang, kita dapat lingkaran paling luar dan itu bisa lebih dari tujuh kilometer,” Pak Kiai mengingatkanku. Aku kagum pada beliau, karena sekalipun pernah dioperasi jantungnya karena penyempitan pembuluh darah, tapi dia masih sangat kuat untuk tawaf sampai dua kali sehari. Bagaimana misalnya, mencari waktu dan tempat yang tepat saat sholat Subuh berjemaah agar dapat menghadap ke arah pintu Ka’abah dan tentu bagaimana kiat untuk saling berbagi tempat dengan jemaah lainnya, yang juga menginginkan hal yang sama. “Ya, Allah, lapangkan tempat bagi kami, umatmu, sesungguhnya kami semua ingin memperoleh sebesar-besar ampunan darimu,” doaku selalu, ketika tempat untuk sholat itu sudah semakin sempit dan lelaki dan wanita sudah saling berebut. Alham-

317


dullillah, tempat itu, senantiasa terasa lapang. Melakukan ibadah haji memanglah kewajiban sebagai umat Islam, karena itu adalah Rukun Islam. Tetapi, seperti yang sudah banyak diperkatakan orang, pergi menunaikan ibadah haji, juga pergi belajar untuk menjadi manusia yang utuh, memahami kepribadiannya, memahami tentang kelebihan dan kekurangan seorang manusia. Memahami arti keberadaan kita sebagai umat, memahami arti betapa besar dan Mahakuasanya Ilahi Rabbi itu. “Ya, Allah, betapa kecilku aku ini. Betapa dhoifnya aku...,� begitu selalu muncul dari dalam diriku bila aku sujud bersama-sama jutaan umat di hadapan Ka’abah. Ketika aku tawaf bersama jutaan umat dalam pakaian ihram, bersama jutaan umat, membaca tashbih dan takbir di Padang Arafah. Aku ingat, ketika di dalam tenda di Padang Arafah, menjelang saat-saat wukuf, di saat-saat kami melakukan zikir dan membaca tashbih, seorang lelaki, bertubuh sedang, berkulit putih, berzikir di sisiku dengan air mata yang tumpah dan suara kesedihan yang dalam. Aku tak tahu siapa, kecuali aku tahu dia datang dari Indonesia. Tapi siapa dia? Aku tak pernah bertanya dan aku tidak ingin bertanya. Kami hanya saling tersenyum atau bersalaman selesai sholat berjemaah dan esoknya selesai wukuf, kembali bersalaman. Aku baru tahu siapa dia, ketika kami samasama mendarat di bandara Sukarno Hatta di Jakarta, ketika sejumlah orang datang menjemputnya. Ternyata dia seorang ABRI, seorang TNI-AL, seorang Laksamana Madya. Seseorang yang di tangannya ada kekuasaan. 3. Cerita Sepasang Sandal Setelah pulang haji, beberapa teman bertanya, apa pengalamanku paling pribadi selama melakukan ibadah haji? Ada sementara teman bercerita, dalam masa haji yang sama, tetapi dalam

318


kelompok ONH biasa, ada teman yang sampai bertinju karena soal-soal sepele. Artinya, tidak dapat menahan diri, tidak dapat berlaku sabar. Aku katakan, aku juga sempat mengalami saat-saat yang sama, saat-saat watak dasarku sejak dari muda, yang pemarah, tidak sabar, cepat membuat keputusan, yang sudah kubawa dari sono-nya. “Kok soal serial dua rial saja sampai bertengkar dan menunda perjalanan,� kataku marah dan langsung berdiri dari tempat dudukku, keluar bus dan langsung mengambil alih masalah. Agak emosional dan tidak sabar. Segera membuat keputusan dan melakukan apa saja, yang aku anggap itulah cara menyelesaikannya. Ceritanya begini : Selesai kami melakukan sholat Isya berjemaah di Masjid Nabawi dan itu adalah sholat terakhir untuk sunnat arbain, kami segera akan meninggalkan Madinah menuju Mekkah. Kami diberitahu, kami akan diangkut pakai bus dalam satu rombongan, 22 orang, ditambah beberapa orang lainnya dari rombongan lain, tetapi masih diurus oleh syekh yang sama. Sekitar pukul 09.00 malam waktu Madinah, kami semua sudah siap dan naik ke bus. Barang-barang kami sudah dinaikkan ke atas tempat barang-barang di atap bus. Tetapi, setelah lebih satu jam menunggu, bus itu tidak juga berangkat? “Ada apa?� tanyaku. Teman-teman menceritakan, rombongan yang akan ikut dalam bus bersama kami belum selesai menaikkan barang mereka. Mereka masih berdebat dengan para buruh, yang kebanyakan orang Pakistan dan Bangladesh, tentang upah menaikkan barang. Sudah hampir satu jam lebih, tak ada yang mengalah, soal satu dua dinar. Saat itulah watak pemanasku muncul. Aku turun dari bus, dengan tetap mengenakan pakaian ihram (karena masih wajib) dan segera menyambar kopor yang diperdebatkan itu. Aku ikat dengan tali dan kulemparkan kepada supir bus yang menunggu di

319


atas atap. Aku angkat kopor orang-orang yang bertengkar itu satu per satu, tanpa minta bantuan teman-teman lain. “Sabar, Pak Rida. Sabar. Jangan marah,” kata teman-temanku dari dalam mobil. “Biar mereka sendiri menyelesaikannya, ‘kan dia punya ketua rombongan,” kata teman serombonganku lagi. Tapi aku terus mengangkat kopor, tanpa peduli bahwa aku berpakaian ihram dan kalau sampai lepas, wah, alangkah repotnya aku, dan itu haram. Tapi begitulah. Akhirnya beberapa anggota rombongan ikut turun tangan menaikkan barang-barang mereka. Selesai dan bus berangkat. Mereka tak keluar sereal pun. Beberapa orang mengucapkan terima kasih padaku, bahkan ketika sudah sampai di Mekkah. Tetapi tidak ketua rombongannya, yang ternyata seorang wanita, yang sepanjang jalan terus mengomel dan menyalahkan orang lain. Artinya, kalau tidak aku buat keputusan yang emosional, mungkin sampai pukul 12 malam, rombongan itu tak berangkat-berangkat juga, garagara bertahan dengan ongkos angkat barang. Bagi buruh Bangladesh dan Pakistan, rombongan jemaah haji adalah kesempatan mereka untuk memperoleh uang dan karena itu bisa saja ongkos angkut mereka naikkan beberapa rial. Bagi rombongan haji, harus berhemat. “Tetapi, ‘kan tidak harus mengorbankan perjalanan yang sudah jauh-jauh ditempuh,“ kataku memberi alasan. Tapi setelah itu, aku beristigfar, dan mohon ampun kepada Allah, agar aku mampu mengendalikan diri, dan lebih arif. Pengalaman batin lain, yang sangat tertanam dalam hatiku, adalah perkara sepasang sandal, berwana hijau. Sandal ini aku bawa pulang ke Indonesia dari Mekkah waktu aku umrah tahun sebelumnya. Tetapi, aku selalu merasa ragu, apakah sandal yang aku bawa itu, sandal yang aku beli, atau sandal milik orang lain. Walaupun warnanya sama, tetapi aku merasa waktu mengambilnya, walaupun di tempat yang sama, tetapi bukan di tempat aku

320


meletakkan sandalku. Agak lebih kecil rasanya, ketika aku pakai. Tetapi karena sudah terlanjur dipakai untuk kembali ke tempatku menginap di sebuah hotel yang tak jauh dari Masjidil Haram, akhirnya kupakai terus dan sampai kubawa pulang ke Indonesia. Tetapi, batinku selalu merasa bersalah, mengambil sesuatu yang aku rasa bukan milikku dan aku berjanji akan mngembalikannya bila kelak Tuhan mengizinkan aku pergi lagi berhaji. Sandal itu tetap kusimpan dan kurawat dengan baik. Begitu aku berkesempatan pergi haji, aku bawa sandal itu dan begitu aku menunaikan sholat berjemaah di Masjidil Haram, aku kembalikan sandal itu ke tempat meletakkan sandal. Pastilah bukan ke tempatnya yang dulu ketika aku mengambilnya, walaupun rasanya arah pintunya sama. Sandalku sendiri, aku letak di sebelahnya. Ketika selesai sholat dan selesai tawaf dan aku kembali ke tempat sandalku, ternyata keduanya sudah tak ada. Aku terus mencari-cari, mengingat-ingat kalau aku salah lagi meletakkannya. Tetapi rasanya, aku tidak salah. Lalu bagaimana? “Tidak, aku tak akan mengambil lagi sandal lain yang aku rasa bukan milikku,” jeritku dalam hati, agar rasa bersalahku tidak terus menghantuiku. Akhirnya aku pulang dengan tanpa sandal alias “kaki ayam” keluar dari pekarangan Masjidil Haram dan menyeberang ke Hotel Mekkah, tempat aku tinggal. Ee, ternyata, sebelum aku mencecahkan kakiku ke jalan aspal yang memisahkan pekarangan masjid dan hotelku, seorang wanita berkulit hitam, aku pikir orang Sudan atau orang Afrika hitam lainnya, memberiku sebuah sandal. Tidak berwarna hijau seperti sandalku, tapi cukup bagus. Aku terima, sambil kemudian mengulur lima rial kepadanya. Dia menolak dan menyuruhku membawa saja sandal itu. “Halal...halal...” katanya. “Alhamdulillah. Syukron... Syukron...,” kataku padanya dan dia tersenyum. Sandal itu aku pakai terus selama masa ibadah haji di

321


Mekkah, saat melakukan tawaf dan sa’i dan ibadah lain menjelang pulang ke Indonesia lagi. Pada hari terakhir, setelah aku melakukan tawaf wadha (tawaf selamat tinggal), sandal sedekah orang Afrika itu ternyata hilang lagi. Cukup lama aku mencarinya, mengingat-ingat di mana aku meletakkannya dan ternyata tetap tidak bertemu. Karena aku sudah tawaf wadha, akhirnya aku putuskan kembali ke hotel dengan tanpa sandal dan tidak sama sekali berniat akan mengambil sandal lain yang ada di sana. Hari sangat panas, jam sudah sekitar pukul 12.00. Aspal jalan yang membelah lebar jalan cukup untuk lima mobil, di antara Masjidil Haram dan Hotel Mekkah. Warna aspal itu tampak seperti berkilat di bawah sinar matahari. Aku keluar dari pekarangan masjid dan berlari menyeberang jalan yang hangat dan menggigit itu. Sambil terus mengucapkan tasbih, aku berlari kembali ke hotel. Telapak kakiku agak merah kepanasan, tetapi hatiku menjadi sangat lapang. “Sudah kukembalikan apa yang bukan milikku dan aku ikhlas apa yang menjadi milikku, diambil oleh orang lain, sekiranya itu benar-benar telah menolongnya dari kesulitan...� kataku, sambil menangkup kedua telapak tanganku ke mukaku, mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan atas keridhaan-Nya membuka pintu hatiku yang jernih dan ikhlas. Ikhlas dan sabar, itulah pelajaran yang sangat-sangat berharga yang aku peroleh selama melakukan ibadah haji. Tanpa rasa ikhlas dan sabar, kita tak pernah merasa apa yang kita lakukan itu, sesuatu yang berharga dan ada nilainya. Di Mekkah, Madinah, Mina, dan beberapa tempat lain dalam siklus ibadah haji itu, sikap sabar dan ikhlas itulah, yang sangat terasa. Sesama rombongan ibadah haji, sesama jemaah lain, sesama umat yang lain. Kedua perasaan itu harus dimulai dari hati yang bersih, jiwa yang bersih. Dan, itu muncul melalui proses perenungan yang panjang dan jika itu dilaksanakan, kita memerlukan kesungguhan untuk mel-

322


aksanakan, karena pada saat-saat tertentu, akan terasa berbagai pertarungan kepentingan diri yang muncul dan mencoba menyeret kita keluar dari pilihan sikap yang mulia itu. Aku merasa, kedua sikap itu, sangat berguna bila kita, suatu ketika harus membuat keputusan, apalagi itu keputusan seorang pemimpin, di mana akibat dari keputusan itu, akan diterima oleh orang lain, yang berharap dari keputusan itu, ada sesuatu yang dinilai adil bagi dirinya. Keputusan yang adil bagi orang lain, adalah sebuah keputusan yang ikhlas dari yang membuat keputusan, betapapun kelak, keputusan itu justru akan menimbulkan kerugian bagi dirinya. Keputusan yang tidak ikhklas, tidak akan pernah bersifat adil. Tidak pernah diri kita yang dapat mengatakan keputusan itu adil dan hanya orang lainlah yang akan berkata begitu. Karena keadilan itu bersifat sangat subjektif! 4. Ultah Perkawinan di Madinah Niatku untuk berhaji dengan membawa istriku, akhirnya diperkenankan Allah juga, dua tahun setelah aku pergi haji sendiri. Bahkan kali ini aku bisa membawa serta ibu mertuaku Asmah Syukur. Istriku mengatakan bahwa dia memang sudah siap untuk berhaji, dan secara fisik sehat. Dia kelihatan sangat ikhlas dan sehat. Sementara ibu mertuaku, meski sudah berusia hampir 65 tahun tapi tetap sehat dan mau berangkat haji. “Nanti kalau sudah naik haji, kalau mau meninggal, ya meninggallah,� katanya seakan bernazar. Kami berangkat dengan fasilitas haji ONH Plus melalui perusahaan perjalanan haji Al Kautsar. Cukup besar rombongan, lebih dari 100 orang. Aku sudah pernah haji dan umrah, maka memang tak begitu sulit kami melakukan ibadah. Aku menjadi pemimpin ibadah keluarga kami, dan menyelesaikan semua ritual dengan baik. Ini dapat mengurangi beban pemimpin perjalanan haji. Pal-

323


ing-paling yang berat dan memerlukan bantuan, adalah waktu melempar jumrah, yang memang padat. Alhamdulillah, karena tempat kami menginap di tenda yang berhadapan dengan jumrah, kami pun bisa memilih waktu untuk turun melempar. Selamat dan selesai dengan baik, meskipun hari itu jatuh korban puluhan orang saat melempar jumrah. Ada yang korban saat terhimpit di sisi jumrah, dan ada yang jatuh dari jembatan di atasnya, karena waktu itu kawasan melempar jumrah sudah berlapis dua. Aku sempat berdoa mohon keselamatan ketika sejumlah rombongan haji dari Turki, bergerak bagai air bah, dengan teriakan Allahu Akbar menyerbu jumrah, dan melemparnya dengan rasa marah yang hebat. Melempar syaitan, dan banyak jamaah haji lain yang sedang melempar, tunggang langgang disenggol mereka. Alhamdulillah, kami selesai dengan selamat. Soal melempar jumrah ini, memang aku sejak ibadah haji yang pertama, selalu memilih sikap rasional, dan tak mau memikul risiko, meskipun dalam ibadah ini segalanya ada di tangan Allah. Setiap musim haji selalu saja ada peristiwa korban yang tewas pada waktu melempar jumrah. Waktu kepergian aku yang pertama juga terjadi, dan aku bahkan masih sempat melihat sisa-sisa darahnya. Yang keduanya juga begitu. Tapi, menunggu waktu sepi, itu memang hampir niscaya, karena sepanjang hari-hari pelemparan jumrah itu, jemaah begitu banyak dan berduyun-duyun. Susul-menyusul. Jadi, kita memang wajib berikhtiar, tetapi setelah itu berserah dirilah kepada Allah. Yang membahagiakan aku melaksanakan ibadah haji sekali ini, karena saat kami sedang arbain di Madinah, kami merayakan hari ulang tahun perkawinan yang ke-29. Terasa benar harunya, karena isteriku bisa menikmati perjalanan hidupnya, dan pergi haji benar-benar dalam niat ibadah. Betapapun ada kesempatan berjalan-jalan di berbagai pasar di Madinah dan Mekkah, dia tak

324


membeli satu pun. Satu-satunya yang dibeli, adalah sepasang gelang. Itu pun hadiah dariku, pada hari kami ulang tahun perkawinan kami, 28 Februari. Pada perjalanan haji kali ini, aku menjadi lebih sabar, lebih arif. Banyak hambatan yang muncul, maklum karena rombongan yang begitu besar. Bus yang terlambat, jadwal kegiatan yang berubah-ubah, dan hal-hal lain yang bisa terjadi dalam perjalanan berombongan. Tapi Alhamdulillah, Allah melapangkan semuanya sampai kami kembali ke tanah air. Isteriku memang sangat bahagia, karena dapat menyelesaikan perjalanan hajinya. “Heran, terbang 9 jam dari Jakarta ke Jeddah itu, kok gak ada rasa takut”, katanya setelah kembali. Padahal naik pesawat lebih dari 2 jam saja, membuat ia diserang rasa cemas. Aku, meski sudah kedua kali berhaji, tapi rasanya ingin pergi lagi. Rindu akan keteduhan Ka’bah, rindu pada hamparan ampunan yang dijanjikan-Nya! Tahun 2007, setelah PLTG 1x20 MW yang membuat aku selalu tahajjud siap dan beroperasi, maka memutuskan umroh, menyampaikan rasa syukurku bisa mengatasi masalah yang aku hadapi. Aku bawa Suryanto, salah satu manajer aku di Padang Ekspress, yang adalah salah satu sahabat baikku. Aku menyaksikan Mekah sedang berubah. Menara Zamzam menjulang jauh di atas Ka’bah, dan bayang-bayang menara itu di senja hari begitu mengganggu perasaanku. Aku cemas, Ka’abah yang sakral itu, akan kehilangan mukjizatnya, karena moderenisasi Mekah. Labaika allahuma labbaik. Di suatu penghujung musim panas, aku kembali ke sini. Baitullah. Bulan terapung di langit isya. Alangkah panjangnya siang. Alangkah teduhnya hamparan pualam dan seluruh sujudku luruh Tapi dari celah dua menara di mana Ka’abah bagaikan sebuah benteng zaman, tertancap di altarnya, aku melihat Zam Zam men-

325


Aku (ke delapan dari kanan) dalam suatu perjalanan di Timur Tengah bersama-sama ulama dan pejabat pemerintahan Riau.

326


julang, melintas langit dan bayang-bayangnya seakan menelan suluruh hamparan pualam. Aku tiba-tiba cemas membayangkan sekiranya kelak Rumah Kerinduan ini akan jadi hanya sebuah hamparan sejarah di sebuah lembah, dan para jamaah akan lebih banyak memandangnya dari bilik-bilik Zam Zam yang gemerlap, dengan suara berdesah. Aku cemas akan kebesaranmu. Aku cemas akan keajaibanmu. Masih adakah o…negeri kerinduan, rasa teduh dan keluluhan sujudku… Elang gurun masih mengepak. Masih terbang berkawan, meski suaranya serak dikepung zaman. Masih bagaikan kuas melukis langit malam dan menyilang bulan dengan kerinduan. Tapi masihkah kelak elang terbang menanda petang? Masih adakah bayangbayang di bias bulan dan kami menatapnya menari menyongsong musim ? Getaran azan masih terasa. Masih bersembilu menunggu waktu. Hitam Ka’abah menyongsong malam, masih mencekam dan menekuk lututku terus bersujud dan berseru, Subhanallah… Tapi masih adakah kelak bendang langit musim semi memanjang di antara hamparan pualam yang suam, dan tenggelamkan sujud resahku. Masih sampaikan denyar bulan yang jatuh bagaikan lukisan kerinduan di bentangan pualam yang sejuk dan membujuk aku mengubur dendam. Di penghujung musim panas, ketika sisa siang masih panjang, aku menyimpan cemas: adakah kelak perjalanan bathin ini masih tetap menggetarkan, dan masih akan luluhkan sujudku di pangkuan Mu. Labaikka ... allahumma ...

5. Setelah Doa di Depan Makam Ibrahim Banyak teman yang bertanya apa doaku ketika sujud di depan Makam Ibrahim, di sisi Ka’abah itu. Aku tak pernah memberitahu mereka. Tentu saja banyak, karena Allah telah memberi kesem-

327


patan kepadaku untuk berdoa sebanyak-banyaknya di tempat yang mujarrab itu. Tapi doa terpanjang aku panjatkan adalah rasa syukur dan terimakasihku atas semua limpahan karunia-Nya kepadaku selama ini. Aku sadar bahwa rahmat dan nikmat yang diberikan Allah itu tak terhingga banyaknya, dan untuk itu rasa syukur adalah satu-satunya yang mampu kita lakukan. Maka itu aku selalu menyemai niat untuk bersyukur sebisanya atas segala yang aku peroleh. Termasuk perusahaan yang aku pimpin yang dapat tumbuh sehat dan berkembang baik. Niat itu, antaranya, aku panjatkan saat aku melakukan ibadah haji yang pertama dulu, di mana jika diizinkan aku akan menghajikan karyawanku yang aku nilai patut aku berikan kesempatan dan diperkenankan Allah. Saudara-saudaraku, atau orang-orang yang menjadi bahagian dalam perjalanan hidupku. Setelah aku kembali ke tanah air, beberapa karyawan telah aku beri kesempatan melakukan ibadah haji dengan biaya dari perusahaan. Aku pilih mereka yang sudah berusia 40 tahun ke atas dan mempunyai jabatan minimal seorang manajer. Sebagai penghargaan atas kerja keras mereka membesarkan perusahaan, dan agar mereka bisa menjadi teladan dan memimpin dengan arif. Beberapa orang sudah berangkatkan. Dari Pekanbaru misalnya ada Armawi KH, Amril Noor, Erda Yulfi, Baharuddin, Hasan Hanafi, Yurmalis Khatib, Yasril, dll. Dari Batam ada Akmal Attatrik (sudah mengundurkan diri dari Riau Pos Group), Subarma (juga sudah keluar). Dari Padang ada Suryanto, Zaili Asril. Insyaallah setiap tahun akan selalu ada yang dihajikan. Semoga Allah menerima semua niat baik ini, dan memberikan limpah karunia. Meskipun di lingkungan Riau Pos Group banyak juga karyawan yang berangkat haji dengan biaya sendiri, karena rezeki yang mereka peroleh. Alhamdulillah. Kemudian musim haji 2010, aku membantu menghajikan se-

328


orang sahabat masa kecilku Hasyim bin Ahmad. Teman bermain di kampungku di Bakong, seorang yang setelah dewasa amat taat beribadah. Menjadi imam di mesjid di kampungku. Mengajar anak-anak mengaji, dan ilmu agama lainnya. Dan, subhannallah, ternyata di kampung itu, belum ada seorangpun yang diberi kesempatan berhaji. Karena itu, begitu Hasyim selesai menjalankan ibadah hajinya, dan kembali ke kampung halamannya di Bakong, dialah haji yang pertama di sana. Bersamaan dengan kembalinya dia ke kampungku dari haji, dia ditemani oleh seorang anak muda, Didi, cucu dari Batin Hasan, orang yang dahulunya membawa ayahku ke Bakong, ketika ayahku berhenti menjadi pegawai mercusuar di Alang Tiga. Ternyata, Didi, adalah sarjana pertama yang berasal dari kampungku itu. Lima puluh tujuh tahun setelah aku nekad keluar dari kurungan ombak Sekanak itu, pergi merantau meneruskan sekolah, baru Didilah yang berhasil menjadi sarjana. Alangkah malangnya Bakong-ku, Tanah Sekanak-ku. Tuhan, tambahkan lagi rezeki kami, agar lebih banyak umatmu yang pergi berhaji, dan menjadi sarjana. Agar mereka dapat berbuat lebih banyak bagi negeri ini, dan kampung halamannya.... ***

329


330


LAMPIRAN KETERANGAN FOTO

331


Keterangan Foto: .......................................................................... Halaman

1. Orasi budaya pada penganugerahan gelar Seniman Perdana oleh Dewan Kesenian Riau. ................................................. foto kulit 2. Aku, dan istriku ...................................................................... ix 3. Aku, istri, anak-menantu, dan para cucu ....................... xxx-xxi 4.

Bersama Executive JP Group Edy Nugroho (Direktur JP Koran), Ramadhan Pohan (sekarang Ketua Partai Demokrat), dan Imawan Mashuri (Dirut PT JPMC) setelah menyelesaikan program pelatihan di USA, penghujung 1999. .................................................4

5. Di depan Capitol Hall, Washington, Amerika Serikat ............... 8 6.

Satu sudut desa Bakong, tempat kelahiran, (foto tahun 2002), sekarang desa itu telah banyak berubah. ........................................................14

7.

Fakhrunnas MA Jabbar (kedua dari kanan) berfoto bersama keluargaku di Desa Bakong antara lain: Alm. Masjidi (tengah), Alm. Abd Kadir (paling kanan), dan Sudir (paling kiri) .........................14

8.

Nyiur melambai di pantai Desa Bakong, negeri tempat lahir, di dekat pelabuhan inilah rumah tempat kami tinggal bersama orang tua.. .........................................................................................20

9.

Pantai berbatu di Pulau Singkep (foto bawah dan atas) yang berbatu cadas, menjadi objek wisata. Foto pojok kiri atas peta Pulau Singkep, di Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, dan letak Bakong yang tersuruk ...................................................................................22

10. Di Selat Bosphorus, Turki, perjalanan ke Timur Tengah. ........ 26 11. Ibu tiri Zainah (tengah) dengan kedua anaknya: Bujang (kiri) dan Zairan (kanan) ..........................................................................42 12. Guru SD 001 Tanjungpinang yang pernah jadi rekan kerja. Zainal Anang (paling kanan), guru pertamaku ketika masuk SD di Bakong dan kemudian jadi ayah angkat ketika di Tanjung pinang. ...............................................................................................50

332


13. SD Negeri 001 Tanjungpinang, sekolah tempat mengajar di Tanjung pinang. Eks Gedung AMS, dan sekarang sudah jadi gedung Museum Sultan Sulaiman Badrulalamsyah ...................................................50 14. Duduk sejenak bersama isteri di pelataran depan karya instalasi seni rupa di sebuah taman, di tengah kota Bangkok, Thailand. ............................................................................... 54 15. Habib Al Idrus (peci putih) di toko bukunya, di Dabo Singkep, di tempat ini aku pernah bekerja.. ......................................................58 16. Bersama kawan-kawan wartawan di Tanjungpinang: Aku sebelah kiri; Amirudin, koresponden Singgalang (kedua kiri), Eddy Mawuntu, koresponden Suara Pembaruan (tengah, almarhum), Bahtiar Danau, koresponden Singgalang (kedua kanan) dan Rohana Soma (free lance), ketika menjadi wartawan TEMPO di Tanjungpinang. ..................68 17. Lukisan potret diri .................................................................. 76 18. Foto bersama teman-teman sekelas di SGB Negeri Tanjungpinang, ketika kami menamatkan studi di sekolah itu, tahun 1961. Aku di baris paling depan, paling kanan, jongkok. Di barisan kedua, di tengah baju putih lengan pendek, Pak Gultom, guru Aljabar yang membelikan sepatu, karena sepatuku sudah koyak. ..............88 19. Sejenak di kaki Monumen George Washington di halaman sebuah universitas di Amerika Serikat................................................ 92 20. Di pelaminan. Melepas masa lajang, 28 Februari 1970 dengan menyunting Asmini Syukur, di Tanjungpinang. ...................... 94 21. Keluarga besar Syukur Ismail (mertua) foto bersama pada hari pernikahan. .....................................................................................100 22. Foto keluarga pada satu hari raya, berdiri dari kiri ke kanan anakku Shanti Novita, Indra Rukmana, Teddy Jun Askara, Oktavio Bintana, Shinta Dewi, dan Muhammad Nur Hakim. ................................104 23. Aku dan istriku, di Kuala Lumpur, Malaysia................................108 24. Merayakan ulang tahun ke-59, sambil meluncurkan buku puisi “Tempuling� (foto atas, dan bawah:) Memotong kue ulang tahun ke-66, 17 Juli 2009, dirayakan di Bukittinggi, disaksikan isteriku Asmini Syukur dan adiknya Asnida Syukur. .................................116

333


26. Membaca sajak pada sebuah acara budaya .......................... 120 27. Menandatangani poster buku kumpulan puisi “Tempuling”, 17 Juli 2001 bertepatan dengan ulang tahun yang ke 58 ........................128 28. Sutardji Calzoum Bachri menandatangani poster buku kumpulan puisiku ”Tempuling”, yang diluncurkan 17 Juli 2001 ...................128 29. Ciuman ulang tahun ke-58 dari istriku disaksikan Asnida Syukur (kiri), pada acara peluncuran buku “Tempuling“ .........................130 30. Cornelia Agatha, artist dan pemain teater nasional, membaca puisi-puisi Rida K Liamsi dalam kumpulan Tempuling, ketika diundang pada acara pembacaan Puisi “Membaca Rida K Liamsi”, di Batam, 2002 ....................................................................................130 31. Mendampingi Rusli Zainal, Gubernur Riau, membuka selubung poster sampul buku novel, Bulang Cahaya, disaksikan sahabatku Hasan Junus (dua dari kiri) dan Zainal Muttaqin (Chairman Kaltim Post Group, paling kiri) yang diluncurkan 17 Juli 2007 di Pekanbaru ...................................................................................134 32. Membaca sajak tunggal di TIM (Taman Ismail Marzuki), Jakarta (bawah) ...........................................................................................134 33. Trophi Anugerah Seni Seniman Perdana, diberikan oleh Dewan Kesenian Riau penghargaan prestasi dan dedikasi dalam bidang kesenian kebudayaan. Foto bawah, Drs Mambang Mit, Wakil Gubernur Riau menyerahkan trophi dan piagam penghargaan (2010) ..............................................................................................136 34. Menerima penghargaan dari Organisasi Internasional Dunia Melayu Dunia Islam, yang berpusat di Malaka, penghargaan sebagai Tokoh Penggerak Sosio Budaya. Penghargaan diserahkan oleh Perdana Menteri Malaysia Datuk Najib Tun Razak. .................................140 35. Menandatangani Deklarasi Hari Puisi Indonesia yang diadakan di Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru, Riau. ................................142 36. Para penyair Indonesia yang hadir pada Deklarasi Hari Puisi Indonesia menyaksikan dan mendampingi Soetardji Calzoum Bachri (Presiden Penyair Indonesia) membacakan Deklarasi Hari Puisi In donesia.............................................................................................142

334


37. Mendampingi Gubernur Riau, Rusli Zainal, memperhatikan poster rentang para penerima Sagang Kencana dalam helat budaya Malam Anugerah Sagang yang diselenggarakan di Pekanbaru, Riau. Kiri bawah: Bersama penyair Korea dalam helat KAPLF di Pekanbaru, Riau, merupakan kegiatan budaya internasional yang melibatkan para seniman penyair Korea, dan ASEAN. Kanan : penerima Anugerah Sagang foto bersama Gubernur ....146 38. Aku mendeklarasikan komitmenku untuk mewujudkan Riau Pos sebagai pemecah mitos dunia penerbitan media dan bisnis surat kabar .................................................................................... 150 39. Soeripto, Gubernur Riau saat itu, meresmikan gedung percetakan PT Riau Graindo, tempat harian Riau Pos dicetak, tahun 1997 (atas). Foto bawah: Bupati Kepulauan Riau A Manan Saiman (tengah) sedang memperhatikan koran Riau Pos hasil cetak jarak jauh di Tanjungpinang, tahun 1997. Sebelah kanan Akmal Atattrik (alm) Kepala Perwakilan Riau Pos di Tanjungpinang, dan Andi Rivai (Walikotamadya Tanjungpinang waktu itu) . ........................................................................................................172 40. Graha Pena Batam, tinggi, 52 meter, telah digunakan sebagai gedung perkantoran grup Riau Pos di Batam, Kepulauan Riau (foto kiri) ......................................................................182 41. Walikota Batam, Drs Nyat Kadir, meletakkan batu pertama pembangunan Graha Pena Batam (kanan) ...............................................183 42. Berkunjung ke Vancouver Television (VTV), foto atas, Dahlan Iskan sedang diwawancarai salah seorang pimpinan VTV. Aku di sisi kiri di antara Pak Suparno dan Bu Wenny. Di depan VTV, Vancouver, Canada, di sinilah kemudian gagasan mengembangkan pertelevisian di group JP bermula (kiri) ...........186 43. Memperoleh sertifikat bidang pers sebagai Wartawan Utama, yang diberikan Dewan Pers Indonesia (2011), foto atas dan foto bawah: Kartu Pers Nomor One dari PWI Pusat (2010) ............................188 44. Berdiri, ketiga dari kiri, bersama Suparno paling kiri, Zainal kedua dari kiri, Dahlan Iskan paling kanan, dan Asrul Ananda kedua dari kanan saat dalam perjalanan di luar negeri .................................190 45. Di depan Poster Raja Haji Fisabilillah, Pahlawan Nasional dari

335


Kepulauan Riau ................................................................... 192 46. Menghadiri pertemuan Konferensi Wartawan ASEAN di Kualalumpur tahun 1996. Paling kiri: Ridwan AS dari Pontianak, Alwi Hamu (tengah) dari Ujungpandang (foto atas), Bersama-sama pengurus PWI Riau dan para Pimpinan PT CPI dalam suatu acara Buku Puasa Bersama di Pekanbaru (foto bawah). ............................................................................................202 47. Ketika menjadi Ketua Serikat Perusahaan Pers ...........................204 48. Bersalaman dengan Presiden RI Prof Dr Ing BJ Habibie di Istana Negara (foto atas) Menghadiri Musda Golkar tahun 1998, dari kiri: Rivaie Rachman, Ketua DPD Golkar Riau waktu itu, Rida, dan Andi Juliandi Arsyad (dua dari kanan). Rida aktif mengikuti kegiatan seminar/lokakarya yang diselenggarakan oleh DPP Golkar (foto kanan) ...................206 49. Dengan sepak bola rasanya aku sulit berpisah karena itu di grup me dia yang aku pimpin, aku tetap membina olah raga ini. Foto atas dan samping kiri: Dalam kunjungannya ke Italia mampir di Stadio Giuseppe Meazza (Stadion Sansiro), Roma, dan di depan Stadion Feyenoord, Rotterdam, Belanda, selalu ada kesempatan baginya untuk menyaksikan event olahraga. Foto bawah: Club Erdeka Muda merupakan sekolah sepakbola untuk anak-anak dan remaja yang didirikannya di beberapa tempat, a.l. Batam dan di Pekanbaru.. .............................................................218 50. Aku turut serta mengantar terbentuknya Kabupaten Lingga, karenanya merasa bertanggungjawab atas keberhasilan kabupaten baru ini dalam mengejar ketertinggalannya. (Atas) Bersama masyarakat Lingga, (bawah) bersama DR. H.Azam Awang MSi, dalam suatu kunjungan ke Lingga. .......................... 232 51. Di belakangku menara Eiffel, Paris, Perancis . ...................... 238 52. Lompatan Besar Riau Pos. Foto bersama-sama karyawan Harian Riau Pos di depan kantor Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10.5, Pekanbaru ........... 240-241 53. Di Jepang, Aku paling kanan, kedua dari kiri adalah Dahlan Iskan (foto atas). Bersama seorang geisha, wanita Jepang dalam pakaian tradisional (foto atas kiri), bersama rombongan JP Group saat ke Pameran Percetakan Drupa singgah di Paris (kanan atas, bawah:) foto

336


bersama Penanggungjawab Operasional Group Fajar Bapak Syamsunur. ...............................................................................................244 54. Sebagian dari penghargaan yang kudapatkan dari grupku. Foto atas: Penghargaan sebagai Penanggung Jawab Operasional Terbaik untuk penjualan koran; (kanan) Penghargaan Penanggung Jawab Operasional Terbaik untuk Iklan, (paling kanan:) Terbaik untuk Koran Umum dan Metro. ........................................................248 55. Paris, menyaksikan lukisan terkenal “Monalisa”, di Museum Lourve, Paris, Perancis .................................................................................268 56. Aku, paling kiri bersama Suparno, Dahlan Iskan, Zainal, Alwi Almu, di depan sebuah biro iklan di Swedia (foto atas). Bawah, aku di lapangan Tien An Men, Beijing, China. .............270 57. Aku (ketiga dari kiri) berfoto dengan wartawan Harian Baltimore Sun, penerima penghargaan Pulitzer (keempat dari kiri), bersama eksekutif Jawa Pos Grup yang lainnya. ..........................................274 58. Menunggu jam pertunjukan di salah satu teater Broadway, New York. Dari kiri Dahlan Iskan, Zainal Muttaqin, Aku, Heidy Lourent, Ratna Dewi dan Joko (foto atas). Di depan gedung Teater, di kota Gothenburg, di Swedia, sebelum menyaksikan opera “Les Miserables” (foto bawah) ............................276 59 Di depan Gedung News Corporation, kerajaan medianya Rupert Murdock di New York, Amerika Serikat. .......................................286 60. Aku (kelima dari kiri) bersama para Bupati se-Riau saat grand lounching Riau Rice, dari padi yang dihasilkan Riau menjadi beras dengan merk Riau Rice (foto atas). Foto bawah: Peresmian 1x20 MW PLTG Teluklembu diresmikan oleh Gubernur Riau Rusli Zainal dan juga disaksikan oleh Pak Saleh Djasit mantan Gubri.............................................................................294 61. Kami Berdua. Jabbal Rahmah di latar belakang, Tanah Suci, Makkah...............306 62. Bersama para pejabat Riau semasa Gubernur Soeripto antara lain Kakanwil Depag KH Muchtar Samad dan dosen senior UIN Dr Na zir, melakukan kunjungan ke Arab Saudi .....................................310 63. Di depan Piramid, di Mesir, dalam perjalanan tour ke Timur Tengah setelah Umrah .................................................................................310

337


64. Rombongan jamaah haji plus Al Kautsar di depan Bukit Gua Hira’, di Mekah..........................................................................................312 65. Sedang berdiri di tangga pintu gerbang menuju Mesjid Al Aqsa di kota Yerusalem, Palestina...............................................................312 66. Aku (ke delapan dari kanan) dalam suatu perjalanan di Timur Tengah bersama-sama ulama dan pejabat pemerintahan Riau. .....326 67. Lukisan Wajahku. Hadiah dari management Hotel Nagoya Plasa Batam, saat hotel itu pernah kupimpin. .............................................................330 68. Rusli Zainal (kanan), Herman Abdullah (kiri) dan Saleh Djasit (pakai peci di tengah) dalam acara peluncuran buku novelku “Bulang Cahaya”. ............................................................................332 69. Di kedai kopi Suka Ria Tanjungpinang bersama Soetardji Calzoum Bachri (dua dari kiri), Machzumi Dawood (paling kiri) dan Sofyan Tanjung (paling kanan). Kanan : Perusahaan Pelayaran “Ayodiya” Bawah: Pelantar 1 Tanjungpinang.................................................486 70. Dalam balutan pakaian tradisional bangsawan China ......... 534 71. Bersama Maman S Mahayana dalam acara Konvensi Mewujudkan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Resmi Perserikatan Bangsa-bangsa, di Arya Duta Hotel Pekanbaru, 05 Desember 2007, ....................536 72. Aku (pakai topi vet) dalam Korea-ASEAN Poetry Festival di Seoul, Korea Selatan, 2010, .......................................................................536

***

338


339


SEBUAH otobiografi adalah sebuah tafsir tentang diri sendiri yang dikemukakan ke khalayak ramai. Tafsir selalu mengundang tafsir baru -- dan terkadang ada benturan. Maka seorang penulis otobiografi, seperti Rida K. Liamsi, adalah seorang yang berani mengantisipasi respons itu, juga bila perlu, benturan itu. Rida layak untuk berani. Dia seorang penulis yang bagus -tak semua penyair menulis prosa yang bagus -- dan dia punya pengalaman yang tebal dalam dunia bisnis pers, di mana keberanian adalah modal paling dasar. Dan kelebihan lain, seperti ditunjukkan dalam buku ini: Rida tidak berangkat dari hidup yang mapan. Juga jalan hidup yang tidak seperti seruas jalan tol. GOENAWAN MOHAMAD SEMANGAT untuk terus bersaing, dan tidak kunjung pa dam, mungkin justru itulah yang membuat saudara Rida awet muda! Semua itu sebenarnya juga bisa dibaca dari puisi-puisinya seperti yang tecermin dalam buku kumpulan puisinya: Tempuling. Di situ pergulatan demi pergulatan, tantangan demi tantangan terus mengarus deras. Saudara Rida memang seorang seniman. Tapi dia juga seorang manajer yang andal. Kemampuannya berkesenian dan kemampuannya di bidang manajemen bisa tidak saling meniadakan. Ini tergolong langka. Tidak banyak seniman yang sekaligus punya kemampuan manajerial yang andal. Untuk yang begini, saya selalu mengambil contoh Goenawan Mohamad. Dia seorang seniman besar. Tapi kemampuan manajerialnya juga sangat tangguh. DAHLAN ISKAN DIA bangga menjadi orang Melayu, dan itulah tanggung jawab moral yang tidak akan pernah selesai dari dirinya. Rida juga tidak pernah jenuh untuk membantu dan memotivasi generasi muda di tanah Melayu ini, bahkan orang yang sezaman dengan dirinya sendiri. DR H TENAS EFFENDY

Sagang Komplek Gedung Riau Pos Jln HR Soebrantas, KM 10.5 Panam, Pekanbaru, Riau

340


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.