RidaKLiamsi
Yang Aku Ingat, Yang Mereka Catat
i
ii
DAFTAR ISI
Bab XII YANG AKU INGAT, YANG MEREKA CATAT __________ 1. Rusli Zainal-Gubernur Riau (2003 – 2013) Realitas, Idealis dan Pejuang ______________________ 2. Saleh Djazit-Gubernur Riau (1998 -2003) Sangat Peduli dan Mencintai Daerahnya ____________ 3. Dr. Chaidir-Mantan Ketua DPRD Riau Membaca Rida K Liamsi, Membaca Kesadaran Melayu _ 4. Ismeth Abdullah-Gubernur Kepulauan Riau (2004-2009) Siapa Bilang Anak Pulau Tak Bisa Menjadi Executive Professional? __________________________ 5. Muhammad Sani-Gubernur Kepulauan Riau 2009–2014 Tak Banyak Anak Pulau Seperti Rida _______________ 6. Soeripto (Almarhum)-Gubernur Riau (1988-1998) Guru, Seniman, Wartawan _______________________ 7. Tabrani Rab-Intelektual/Budayawan Rida antara Realita dan Obsesi ____________________ 8. Rivaie Rahman-Mantan Wakil Gubernur Riau
iii
331 333 337 341
347 352 356 359
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Budak Melayu, Tidaklah Bodoh ___________________ 369 Sofyan Lubis-Mantan Ketua PWI Pusat Bung Rida yang Saya Kenal _______________________ 373 Asparaini Rasyad-Praktisi Humas Rida K Liamsi Manusia Serba Bisa _________________ 377 Nyat Kadir-Mantan Walikota Batam Penyambung Tradisi Lama _______________________ 391 Firman Eddy-Mantan Bupati Kepulauan Riau Wartawan Kreatif dan Inovatif ____________________ 395 Murwanto-Mantan Bupati Kepulauan Riau Dia Orang yang Terpandang ______________________ 399 Hoezrin Hood-Mantan Bupati Kepri/Tokoh Pendiri Kepri Mengingat Rida, Sudah Biasa _____________________ 402 Yusmar Yusuf-Budayawan/Intelektual Rida, Sri Bakong _______________________________ 404
16. Azlaini Agus-Tokoh Wanita, Wakil Ketua Ombudman RI Rida K Liamsi, Membujur Lalu, Melintang Patah ______ 17. Tenas Effendy-Tokoh Budaya, Ketua Umum LAM Riau Rida Patut Ditiru _______________________________ 18. Djauzak Ahmad-Ketua Majelis Pendidikan Riau, Mantan Dirjen Pendidikan Dasar Depdikbud Sebuah Nama yang Bermakna ____________________ 19. Muchtar Ahmad-Intelektual Tangan Dingin Seorang Sahabat ___________________ 20. Dorothea Samola-Komisaris PT Jawa Pos dan PT Riau Pos Intermedia Mereka Tahu Tak Siapapun Tahu ... ________________ 21. Zainal Muttaqin-Chaiman Kaltim Post Group dan Wadirut PT JPNN
iv
409 412
414 417
434
22. 23. 24.
25. 26. 27.
28. 29. 30. 31. 32.
33. 34.
Mengantar buku Bang Rida‌ _____________________ 436 Mulyadi-Wartawan Senior Rida K Liamsi, Le Roi de Presse dari Riau ____________ 442 JR Susanto-Mantan Kordinator Liputan Suara Karya Rida K Liamsi si Ismail Kadir _____________________ 446 Renville Almatsir-Mantan wartawan Tempo, Pensiunan Humas PT Caltex Rida, Revolusi Belum Selesai ______________________ 450 Hikmat Ishak-Penulis/Wartawan Senior Rida K Liamsi, Bukan Lagi Sebuah nama ____________ 456 Moeslim Kawi-Mantan Ketua PWI Riau/ Wartawan Senior Obsesinya Tak Pernah Padam, dan Bertangan Dingin __ 460 Fakhrunnas Ma Jabbar-Seniman/wartawan Rida K Liamsi: Penunggang Ombak yang Terus Bergelora ____________________________ 471 Imam Sudrajad-Pengusaha Dia Pandai Mengorek Berita ______________________ 481 Mustafa Yasin-Pengusaha Tiga Menguak Takdir ala Tanjungpinang ____________ 488 Alhajj Sudirman Bachry-Seniman Selain Penulis, juga Pelukis Hebat __________________ 493 Hasan Junus-Budayawan Dari Tempuling Sampai Bulang Cahaya _____________ 498 Soetardji Calzoum Bachri-Presiden Penyair Indonesia Iskandar Leo, Sang Fenomenal Kenangan tentang Rida K Liamsi __________________ 505 Armawi KH-Seniman/Majalah Budaya Sagang Mari Kita Pupuk Bersama ________________________ 510 Taufik Ikram Jamil-Sastrawan
v
Semoga Masih Ada Rida yang Lain-Pemecah Mitos ____ 513 35. Mafirion-Pengusaha/Tokoh Sepak Bola Nasional Saya Bangga Bos ! ______________________________ 521 36. Abdullah Said-Mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Riau ____________________ 530
Penutup: Maman S Mahayana Dosen Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Membaca Tempuling Memahami Rida ______________ 535 Lampiran Keterangan Foto __________________________ 555
***
vi
YANG AKU INGAT, YANG MEREKA CATAT
“
Apalah artinya aku tanpa para sahabat� itulah bahagian hidup yang aku temukan dan rasakan kekuatannya dalam mengembangkan diri dan karir. Semua orang juga akan merasakan hal yang sama, karena itu kita memang harus berterima kasih kepada hubungan antar kita yang bernama persahabatan itu. Dengan segala suka, duka, dan pernik-perniknya. Memang, kata pepatah lama : Teman di saat suka, banyak sekali, tapi teman di saat duka, sulit dicari. Tapi, sebuah persahabatan, tetap memberi sisi baiknya yang pantas dikenang. Karena itu kita selalu berhutang budi pada persahabatan, betapapun singkat, dan pernah menyisakan luka. Itulah sebabnya, untuk melengkapi memoar ini aku meminta sejumlah sahabat untuk membuat catatan, apa yang mereka ingat tentang aku, apa sisi persahabatan yang menyisakan kenangan. Memang tak semua teman sempat membuat catatan, tak semua sahabat sempat disurati. Tapi, aku tetap mengenang hubungan baik itu, aku tetap mencatatnya dalam hati. Sebuah ikhtiar untuk melengkapi tentang perjalanan panjang aku sebagai seorang wartawan, seniman, entrepreneur, dan juga orang yang punya berbagai kelemahan dan kekurangan. Semua teman yang disurati, telah mengirimkan catatan. Tak terbayangkan betapa mereka harus menyisihkan waktu untuk itu. Namun karena
331
Rusli Zainal (kanan), Herman Abdullah (kiri) dan Saleh Djasit (pakai peci di tengah) dalam acara peluncuran buku novelku “Bulang Cahaya�.
memoar ini tidak siap untuk diterbitkan saat hari ulang tahun aku ke-60, 17 Juli 2003, dan tertunda nyaris 10 tahun kemudian, maka untuk dihidangkan saat ini, materinya memerlukan polesan, editing, dan cara saji yang lebih update, dan karena itu memang ada sejumlah catatan yang terpaksa harus diubah suai, dipangkas, atau ditafsirkan dengan semangat yang lain. Semoga ini tidak akan mengurangi makna, dan mencederai semangat persahabatan yang sudah ada. Selain itu, dalam rentang 10 tahun itu, keadaan sudah banyak berubah. Beberapa teman yang sudah mengirim catatannya, ada yang sudah terlebih dahulu dipanggil ke haribaan Sang Khalik, mendahuluiku. Namun, aku tetap memuat catatan itu, karena aku sangat menghargai apa yang dia tulis,
332
dan apa yang sudah dia kenang tentang diriku. Kecuali catatan dari Pak Dahlan Iskan yang sengaja aku pindahkan menjadi penutup Bab X (Untung Ketemu Dahlan). Inilah catatan di antara para sahabat dan rekanku yang sempat terhimpun : 1.
RUSLI ZAINAL (Gubernur Riau 2003-2013) Saat ini Pak Rusli Zainal, adalah Gubernur Riau, sedang menjalani masa jabatannya yang kedua (2008-2013). Aku memang agak dekat dengan Pak Rusli, baik dalam kapasitas aku sebagai pimpinan di Riau Pos Group, maupun dalam hubungan kerja sebagai Direktur BUMD, dan juga dalam organisasi politik, seperti Golkar, di mana aku pernah menjadi salah seorang wakil ketua, bidang UMKM dan Wiraswasta, ketika DPD Golkar Riau dinakhodainya ( 2004-2009). Aku memanggilnya “Pak Gub”, karena menghormati jabatannya, tapi dia memanggil aku “Bang Rida“, karena aku memang lebih tua, dan kami sudah berkenalan sejak dia masih jadi anggota DPRD Riau dan jadi pengurus Golkar di bawah pimpinan Pak Rivaie Rahman. Kemudian berlanjut ketika dia jadi Bupati Kabupaten Indragiri Hilir. “Bang, kalau tidak kita yang membangkitkan semangat dan martabat orang-orang Melayu ini, siapa lagi. Inilah saatnya, ketika kita punya kesempatan” begitu Pak Rusli memberi dukungan dan semangat ketika aku menyampaikan gagasan untuk mewujudkan “Gerakan Sejuta Melayu“, sebuah organisasi berbasis ekonomi, untuk membantu membangkitkan masa depan masarakat Melayu. Ini catatannya :
“
KETIKA saya diminta memberikan sebuah catatan dan komentar tentang sosok Bang Rida ini, saya tahu sangatlah sulit bagi saya untuk menolaknya”
333
begitu Pak Rusli memulai catatannya. “Rasa hormat dan salut terhadap apa yang ada di dalam dirinya, yang telah mengantarkannya ke jenjang kesuksesan tak bisa diukur dengan kalimat-kalimat. Rasa sungkan dan takzim membeku dalam diri, khawatir kalimat-kalimat mengurangi apa yang telah diperbuat Rida K Liamsi untuk sebuah negeri ini. Terlalu mudah untuk mengukurnya dengan kalimat-kalimat dibandingkan dengan apa yang telah diperbuatnya. Dia yang saya kenal, begitu gencarnya orang berbicara tentang sosok Rida K Liamsi. Rasa ingin tahu, apa sih yang berada dalam dirinya, sehingga memacu diri ingin dekat dengan sosok satu ini. Alhamdulillah, keinginan itu akhirnya terwujud dan mulai tahu apa yang berada dalam benaknya, saat saya bergabung di DPD Golkar Provinsi Riau masa kepemimpinan Pak Rivaie Rachman. Di sanalah kami bersama-sama, menyelami tentang idealisme, militansi dan misi kerakyatan yang ingin dicapai, yang menjadi harapan bagi sebuah negeri sangat melekat pada dirinya. Kehadiran Riau Pos sebagai media lokal pertama yang membuat jaringan antara pusat dengan daerah dua puluh dua tahun yang lalu telah memecahkan sebuah mitos yang selama ini merasuk dalam pikiran anak negeri. Betapa tidak. Tak disangka-sangka, sebuah negeri yang selalu menjadi ‘suku cadang’ bisa memberikan warna sendiri bagi pendidikan informal masyarakat terhadap realitas, politik, sosiocultural, mengingatkan jati diri, budaya dan kemasyarakatan yang dikemas melalui media yang digawanginya.
334
Riau Pos sebagai sumber motorik bagi pengembangan itu, tidak bisa terlepas dari kebrilianan-nya seorang Rida K Liamsi. Melewati satu dekade begitu cemerlang, telah memperkokoh pondasi bagi setiap anak negeri bahwa inilah salah satu sosok yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan, tidak bisa dihilangkan dari pentas sebuah negeri yang bernama Riau. Peran-peran penting selalu berada di pundaknya. Banyak agenda yang tak bisa lepas dari pembicaraan, ‘bagaimana Rida?’ Sadar atau tidak sadar, keberadaannya sebagai orang media tak terlepas dalam wilayah-wilayah politik. Termasuk wajah sistem politik yang menjadi landasan bagi terciptanya demokrasi politik sesungguhnya di negeri ‘minyak’. Walau di tengah gencarnya pengekangan kebebasan menulis hingga terjadi perubahan agenda dari tabu pemberitaan ke kebebasan pers, Rida mampu lepas dari jeratan dan lubang jarum yang sewaktu-waktu bisa menyulitkannya. Saya teringat adanya pepatah, “Kubangun kampung halamanku untuk membangun bangsa dan negeriku” layak disandingkan dengan sosok Rida sebagai pengusaha pers nasional yang berada di tingkat lokal. Duduk bersanding dengan berbagai prestasi lokal dan nasional. Dia selalu hadir dalam setiap kesempatan, di tengah kesibukanya sebagai pengusaha pers dengan sejumlah perusahaan yang berada di bawah bendera Riau Pos Group. Ini sebuah prestasi besar anak negeri yang dimiliki oleh Riau. Banyak pemikiran yang dilahirkan untuk kepentingan Riau serta keseluruhan sehingga Riau menjadi pusat perhatian. Pemikiran yang dikembangkan melalui media
335
telah mengantarkannya menjadi salah seorang pebisnis media yang disegani. Pemikiran yang diwujudkan melalui action dan teoritas menjadi cambuk bagi anak negeri. Khusus di bisnis media, betapa briliannya seorang Rida K Liamsi dibuktikannya, ketika terjadi perubahan minat media dewasa ini, dia ternyata telah terlebih dahulu menangkapnya. Dengan mendirikan Riau Televisi dan Batam Televisi yang digandengkan dengan semangatnya untuk dipersembahkan kepada negeri ini. “Bukan hanya pusat yang mampu, tapi daerah juga mampu’’, saya kira itu yang berada dalam benaknya. Dia yang saya kenal, bukan hanya sebagai pengusaha pers cemerlang, tapi juga seorang seniman. Di dunia seni, dibuktikannya dengan lahirnya Tempuling, sebuah kumpulan sajak. Kumpulan yang terlahir setelah pengembaraan-pengembaraan panjangnya dalam lautan syair dan bahtera tinta kepenyairannya. Itu pun dilanjutkannya dengan penghargaan dari teman-teman penyair nasional di Taman Ismail Marzuki, April 2003 lalu. Di tengah-tengah intrik-intrik perpolitikan yang berkecamuk, dengan cerdas dan cemerlang dia bisa berada dalam posisi yang sangat disenangi oleh semua orang. Saya melihat ini tidak terlepas dari kemampuannya mengatasi apa yang sebenarnya dalam pikiran. Ide-ide tentang negeri ini, tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh negeri ini, masa depan negeri ini serta bagaimana yang lainnya ada dalam benaknya. Hanya Seorang Rida yang mampu berbuat demikian.� demikian Pak Rusli menutup tulisan.
336
Dalam banyak kesempatan kami selalu bertemu dan berdiskusi. Dan dia tahu bagaimana aku sangat mencintai negeri Melayu, dengan seluruh kemelayuannya. Karena itu, dia selalu mendukung gagasan dan aktivitas yang aku lakukan, dengan dukungan yang penuh dan tanpa henti. *** 2.
SALEH DJASIT (Gubernur Riau 1998-2003) Pak Saleh, begitu aku selalu memanggilnya, adalah mantan Gubernur Riau. Dia menjabat untuk masa jabatan (19982003). Kami sudah bersahabat sejak dia masih menjadi Bupati Kampar. Kami selalu berdiskusi tentang banyak hal tentang upaya memajukan Riau, dan yang aku sangat hargai dari dirinya adalah gagasannya yang melahirkan VISI Riau 2020. Dan karena resfek itu, Riau Pos secara khusus memberikannya penghargaan “Riau Pos Award”, tahun 2000. Dia menerima dengan bangga, namun menyerahkan kembali uang hadiah Rp 25 juta kepada Riau Pos, untuk digunakan bagi peningkatan kwalitas SDM di Riau Pos. “ Piagam dan plakat saya ambil ya, tapi uangnya saya sumbangkan kembali untuk pendidikan para rekan-rekan di Riau Pos “ katanya yang aku ingat benar. Inilah catatan Pak Saleh :
“
SAYA mengagumi Pak Rida K Liamsi sebagai putra Melayu yang sukses luar biasa. Apalagi bidang yang ditekuninya merupakan profesi yang sulit. Tidak semua dan tidak banyak orang bisa sukses di bidang yang digeluti Pak Rida ini. Media bukanlah ladang bisnis yang menggiurkan. Tetapi di tangan Pak Rida usaha ini tumbuh dengan suburnya, bahkan berkembang dengan pesatnya
337
melampaui batas wilayah Riau. Dia bisa sukses di bidang yang sejak lama sangat sulit tumbuh di Riau. Sekarang, Riau Pos menjadi tuan rumah di negerinya sendiri�. Begitu bahagian awal catatannya. Selanjutnya, Pak Saleh mencatat : Oleh karena itu saya nilai Riau Pos di tangan Pak Rida menjadi pioneer. Rida K Liamsi merupakan putra Melayu yang patut diteladani. Tentu saja kita semua merasa bangga memiliki seorang Rida K Liamsi yang mendedikasikan dirinya bagi kemajuan Riau. Saya mengenal Rida K Liamsi sejak saya menjadi Bupati Kampar. Bahkan, ketika beliau memegang Riau Pos awal-awal tahun 1990-an hubungan kami semakin dekat. Hubungan tersebut semakin erat tatkala Riau Pos berulang tahun yang kedua pada tahun 1993. Semua karyawan Riau Pos secara bersama-sama berlibur ke Stanum, Bangkinang. Sebagaimana dirinya yang memiliki beragam predikat-mulai dari seniman, wartawan, sampai businessman, sosok Rida ini juga merupakan seorang yang kaya de-ngan gagasan serta selalu dapat mewujudkannya dengan hasil selalu gemilang pula. Ini dapat dilihat, bagaimana Pak Rida mulai mewujudkan adanya sebuah surat kabar harian di Riau. Semula, seperti yang kita maklumi, pada masa lalu hanya koran nasional yang bisa survive dan bertahan, dan tak terpikirkan juga Riau Pos yang dibuat Rida ini akan tumbuh dan bertahan, apalagi untuk berkembang begitu pesat. Dalam sejarah perkembangan media, di daerah ini belum pernah ada media yang bertahan lama. Tak terke-
338
cuali itu sebuah media bulanan atau mingguan, apatah lagi untuk sebuah harian. Sebagaimana kadang-kadang didengungkan orang, SDM di Riau awal 1990-an untuk media dan etos kerja orang Melayu sangat rendah untuk mengelola media harian yang memerlukan sangat kerja yang tinggi, sungguh-sungguh, dan telaten, di samping minat baca dan daya beli yang juga sangat rendah serta belum adanya budaya media di daerah ini. Sehingga, tak heran, selama berpuluh-puluh tahun Riau dikuasai media-media dari daerah lain, seperti Sumatera Barat dan Sumatera Utara, selain dari Jakarta. Harian Riau Pos yang semula diragukan tidak berkembang di daerahnya sendiri, justru kemudian tumbuh dengan baik, dan diterima oleh masyarakat Riau secara luas. Bahkan, lebih menakjubkan lagi, ternyata kemudian media ini beranak-pinak dan melakukan invansi ke daerah lainnya, yang dulu-selama bertahun-tahun, menguasai media di Riau. Ini dapat kita lihat, setelah berhasil mengembangkan Harian Riau Pos sebagai media harian pertama yang terbit di Pekanbaru atau Riau, harian ini melahirkan anak-anak media lainnya, baik itu di Pekanbaru sendiri, sampai kemudian di Batam, Tanjungpinang, Dumai, bahkan ke Padang, Sumatera Barat, dan Medan, Sumatera Utara. Hebatnya lagi, di daerah lain, mediamedia kelompok Riau Pos ini selalu menjadi media utama mengalahkan media-media yang lebih tua di daerah-daerah invasinya tersebut, seperti Padang Ekspres di Padang, Sumatera Barat, dan Posmetro Medan di Medan, Sumatra Utara. Tak cukup dengan media cetak, Rida K Liamsi mem-
339
buat terobosan baru lainnya, dengan membuat media televisi lokal, Riau Televisi (RTv) di Pekanbaru, yang kemudian berkembang pula dengan Batam Televisi di Batam. Betapa Rida K Liamsi sangat peduli dengan daerahnya dan sangat mencintai budaya Melayu. Rida telah ikut mencerdaskan rakyatnya, serta telah pula ikut memberikan dan memperjelas identitas pada daerah ini sebagai wilayah kebudayaan Melayu yang menjunjung tinggi adat resam dan nilai-nilai norma kesantunan tunjuk ajar Melayu, serta sangat menghargai kerja seni budaya. Hal ini, misalnya, ditunjukkan oleh Rida K Liamsi bagaimana dia membuat Yayasan Sagang yang merupakan wadah untuk menggali, mengembangkan, dan menyalurkan kreativitas dan ekspresi seni budaya di negeri ini, yang sekaligus juga sebagai wahana untuk memberikan penghargaan kepada orang-orang yang hidup dengan berkesenian, baik orang Riau sendiri maupun orang-orang di luar Riau yang punya kepedulian kepada seni budaya Melayu Riau. Sehubungan dengan itu pula, lewat bantuan sentuhan tangan Rida K Liamsi, kita juga berharap Visi Riau 2020 — ‘’Riau sebagai pusat ekonomi dan kebudayaan Melayu di Asia Tenggara’’ — tersosialisasi dan terwujud sebagaimana yang kita citacitakan dan kita harapkan bersama. Kita bangga memiliki seorang Rida K Liamsi yang telah memberikan sumbangsih yang begitu besar bagi daerahnya. Kita juga mengetahui, melalui Yayasan Sagang, Rida memberikan penghargaan kepada mereka yang terlibat secara intern di bidang seni dan budaya. Namun ironis Rida sendiri tidak pernah mendapat penghargaan atas
340
jasa-jasanya yang begitu besar. Oleh karena itu, saya pernah menganjurkan kepada Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) untuk memberi gelar kepada Rida K Liamsi. Keberadaan Rida di tengah-tengah kita sangat penting, sebab dia termasuk salah seorang yang bisa menjawab keragu-raguan orang lain terhadap kemampuan orang Melayu dalam soal semangat dan etos kerja, dan dalam mengembangkan dunia usaha sebagai seorang businesman sejati yang sukses.” katanya menutup catatan. Sekarang Pak Saleh pun, setelah melalui suka duka dan berbagai percobaan dalam hidupnya, tampak semakin arif dan tegar. Dia mulai mengembangkan dirinya sebagai seorang pebisnis, seorang entrepreneur. Bersama keluarganya dan mitra usahanya , tampaknya dia sedang membangun sebuah group bisnis. Sebuah Jazid Group ! *** 3.
Dr CHAIDIR (Mantan Ketua DPRD Riau) Politikus, mantan Ketua DPRD Riau untuk dua priode ini, adalah salah seorang intelektual yang aku hormati. Aku memanggil nya “Demang”, ini karena pikiran-pikirannya yang cerdas dan sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya. Aku melihat dia seperti sosok Demang Lebar Daun, dalam legenda kerajaan Melayu Bukit Siguntang yang memahat sebuah pesan sejarah yang besar : “Kalau salah orang Melayu, hukumlah dia, tapi jangan dia diberi malu”. Dan Bung Chaidir adalah sosok yang sangat menjaga rasa hormat dan harga diri pada orang Melayu, sebagai kekuatan besar kaum ini. Dia seorang tokoh politik yang tangguh, yang siap jatuh bangun untuk membangun karir
341
dan cita-cita politiknya. Ketika dia mencalonkan diri menjadi Calon Gubernur Riau, dia secara jantan mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPRD Riau dan juga dari anggota DPRD. Dan ketika dia kalah bertarung menuju kursi R-1 itu, dia tidak runtuh dan putus asa. Dia tetap tegak, dan terus berjuang. Pikiranpikiran intelektualnya terus mengalir dalam kolom “Sigai� yang aku berikan untuknya di Riau Pos. Sekarang dia menjadi salah seorang ketua di DPD Partai Demokrat Riau. Cerdas dan konsekuen. Dia memberi judul catatannya ini: “Membaca Rida K Liamsi, Membaca Kesadaran Melayu� Dan dia memulai catatannya dengan mengutip dua tokoh dunia, Robert Mackenzie dan Francis Fukuyama :
S
EJARAH manusia, kata Robert Mackenzie, sebagaimana yang disitir dalam Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal-nya Francis Fukuyama, adalah sebuah catatan tentang kemajuan, sebuah rekaman tentang akumulasi pengetahuan dan kearifan yang meningkat, sebuah kemajuan secara terus menerus yang tumbuh dari intelejensi. SAYA percaya, Mackenzie tidak mengenal Rida K Liamsi, dan kata-kata itu juga jelas tidak dia buat untuk Rida, tapi sebagai ungkapan apresiasi yang mendalam terhadap kemanusiaan secara keseluruhan. Namun demikian, saya melihat ada Rida sebagai sebuah pribadi dalam kata-kata itu, seseorang yang terus-menerus membuat catatan kemajuan, setelah pada tahap-tahap tertentu, melakukan modifikasi ilmu yang diperdapat dengan pengalaman yang dimiliki, dan kemudian menjadi besar dengan hasil usaha yang telah dicapai sendiri pula.
342
Saya mencoba membayangkan Rida K Liamsi yang saya dengar pada tahun 1970-an. Berambut gondrong, berbaju kumal, dan hidup dengan sajak-sajak. Bersama teman-teman seangkatannya, semisal Hasan Junus dan Soetardji Calzoum Bachri, bertungkus-lumus dengan kata, dan membacakan karyanya di serata tempat. Dalam dunia sastra dan kebudayaan, Rida K Liamsi kemudian memang berhasil dan tergolong pula pada kelompok yang terbilang. Setahu saya, dengan nama pena Iskandar Leo, pada tahun 1970-an, karya kreatifnya, khususnya puisi sudah merambah ke mana-mana dan diterbitkan oleh sejumlah media, termasuk Horison. Kedudukan itu semakin diperkuatnya beberapa puluh tahun kemudian dengan menerbitkan buku kumpulan sajak Tempuling. Sulit untuk saya percaya bahwa Rida yang saya kenal kemudian, adalah juga Rida yang tahun 70-an itu juga. Tiga puluh tahun sesudahnya, ia masih tetap membaca sajak, tapi ada yang berubah, sekarang ia tidak hanya penyair, tapi juga seorang pebisnis yang andal, seorang “raja� media yang cukup disegani di kawasan Sumatera. Apakah yang menarik dari sosok yang bernama Rida K Liamsi ini? Apakah karena mantan wartawan, penyair, tokoh pers, atau pelaku bisnis media yang handal? Saya kira bukan itu. Yang menarik adalah kemampuannya menggabungkan secara baik beberapa hal, yang menurut sifat atau bahkan “takdirnya�, berlawanan: puisi dan bisnis. Pada Rida, keduanya berjalan mulus, dan kedua yang berlawanan itu sekaligus eksis dan menjadi besar di tangan Rida. Setahu saya, pada umumnya para penyair atau pelaku kebudayaan adalah pribadi yang sangat eng-
343
gan mendekati dunia dagang. Saya dengan Rida K Liamsi pernah satu angkatan ketika menimba ilmu pada disiplin bisnis (Bussiness Administration) di salah satu hotel di Pekanbaru. Kami sungguh-sungguh kuliah sebagai wujud dari kemauan yang keras untuk menimba ilmu pengetahuan, tak soal institusi mana penyelenggaranya. Pada waktu itu saya sama sekali tidak berpikir bahwa Rida akan dapat mengembangkan ilmu dan kemampuannya secara cepat, tapi ketika kian hari menyaksikan Rida semakin melangkah maju, saya kemudian memberikan aspresiasi yang dalam. Rida agaknya menghayati betul petuah tetua kita, Setitik air jadikan laut, sekepal tanah jadikan gunung. Ilmu dasar bisnis yang boleh dikata tak seberapa, boleh disebut hanya setitik, telah berhasil dijadikannya laut, ibarat hanya segumpal tanah telah berhasil dijadikannya gunung. Ilmu yang kalau digulung hanya selebar kuku, mampu dibentangkannya selebar alam. Itulah Rida yang saya kenal. Tidak banyak orang yang mempunyai kemampuan semacam ini. Di Indonesia, Rida mungkin dapat kita sandingkan dengan mengenal Setiawan Djodi. Setiawan Djodi sukses sebagai seniman (maecenas), dan dengan bendera Sedtco, berkibar pula dalam lapangan bisnis, yang kemudian membuatnya menjadi salah seorang konglomerat terkemuka di Indonesia. Rida K Liamsi atau Djodi memang bukan yang pertama mampu menggabung dunia yang saling menganggap yang lain aneh itu. Nun pada sebuah kawasan yang jauh dari tanah Rida dan Djodi, yaitu Perancis, seorang Francois Marie Arouet (1694-1778) juga pernah berbuat
344
yang sama. Voltaire secara mengagumkan menghasilkan sejumlah karya seperti Henriade yang berisi sajak-sajak kepahlawanan, Candide, naskah drama Oedipe, serta karya filsafat Letter on the English dan Essay on the Manners and Spirit of Nations, serta sejumlah karya lain, pada satu sisi, dan pada sisi yang lain Voltaire terkenal pula sebagai sosok yang lincah dalam hal mencari dan mengatur keuangan, sehingga pada masa itu orang Perancis selalu menyebutnya sebagai “manusia yang paling berbahagia�. Memandang dari semua sudut Rida K Liamsi hari ini, baik dalam kemampuannya berbisnis, ketinggian serta kedalamannya berkarya, kekukuhannya dalam bersikap, kegigihannya dalam berbuat, serta kesantunan Melayunya yang terpatri dalam kehidupan sehari-hari, membuat ingatan saya melayang ke abad 16, yaitu sejarah kejayaan Melaka. Dalam ingatan saya, mungkin salah satu penyebab jayanya Melaka, sehingga menjadi pusat perdagangan internasional, adalah karena orang-orang Melayu pada masa itu telah berbuat sebagaimana Rida K Liamsi berbuat pada hari ini, menggabungkan agenda kesejahteraan dengan kesusastraan dalam satu simfoni yang indah. Ini pulalah yang menjadi impian William Butler Yeats, seorang sastrawan pemenang Nobel Sastra dari Irlandia, kesejahteraan masyarakat yang tinggi akan lebih indah bila diperkaya dengan puisi. Rida K Liamsi sekarang bukan lagi Rida K Liamsi pada tahun 1970-an. Sekarang, Rida adalah seorang tokoh masyarakat yang disegani dan pebisnis yang berhasil. Hal yang membuatnya tetap seorang Rida, adalah kepeduliannya yang tetap besar terhadap kesu-sastraan dan kebu-
345
dayaan. Melalui Yayasan Sagang yang dikelolanya bersama kawan-kawan, Rida K Liamsi secara terus menerus melakukan sesuatu yang berharga bagi pengembangan kebudayaan di Riau, kebudayaan Me-layu khususnya. Ketetapan hatinya untuk terus bergelut dalam dunia kebudayaan, yang melingkupi segala buah akal budi yang ada di dalamnya, meskipun secara material tidak menguntungkan, pada hemat saya, tumbuh dari sebuah kesadaran tentang diri, yang disebut Edward W Said sebagai sebuah upaya menamai dan merebut kembali hakikat diri dan tanah alas tempat ia tumbuh. Negeri ini memerlukan orang-orang seperti Rida yang mampu mengemas ambisi bisnisnya dengan dedikasi yang tak terpadamkan terhadap kebudayaan dan kesustraan, sesuatu yang pernah membuat negeri ini terbilang. Seorang anak jati Melayu, yang tumbuh dan meneguhkan dirinya dengan kesadaran sejarah yang kuat. Kesadaran sejarah itu, pada penilaian saya, membuat dirinya mengerti bahwa bahwa sebagai orang Melayu, ia harus melakukan sesuatu, karena ia tahu persis bahwa di pelaminan sejarah Melayu zaman berzaman, yang bersanding sebagai pengantin adalah kemenangan dan kejayaan yang muncul dari sebuah kerja keras yang dibingkai oleh intelektualitas. Rida tahu sejak lama bahwa ia akan dan harus berbuat, bahwa ia tidak akan pernah menyerah, seperti yang ternukil dalam sebuah sajaknya: Seperti sediakala akupun berdiri di tebingmu dengan sebatang tempuling
346
Tikam! Maka kutikam jejak riakmu yang kutahu tak siapapun tahu di mana tubirmu Sentak! Maka kusentak tancap harapku yang kutahu tak siapapun tahu di mana palungmu Seperti mereka sediakala akupun tak pernah menyerah pada keluasan pada kebiruan pada untung nasib. yang hanyut dari teluk ke teluk Yang terombang ambing di pundak ombakmu. *** 4.
ISMETH ABDULLAH (Gubernur Kepulauan Riau 2004-2009) Pak Ismeth Abdullah, adalah mantan Gubernur Propinsi Kepulauan Riau. Catatan ini, adalah catatan yang dibuatnya ketika masih sebagai Kepala Otorita Batam dan menjabat sebagai Pjs Gubernur Kepulauan Riau yang baru dibentuk. Aku sangat mengagumi visi bisnisnya sebagai seorang pemimpin. Termasuk ketika dia, menjadi Gubernur Kepulauan Riau. Dialah yang meletakkan pondasi kemaritiman sebagai kekuatan dan kompetensi inti propinsi Kepulauan Riau. Bersama isterinya, Aidha Ismet, yang seorang senator itu, mereka merupakan sosok yang telah memberi alur dan warna bagi pembangunan Kepulauan Riau se-
347
bagai sebuah pusat pertumbuhan ekonomi di Laut Cina Selatan, kawasan yang sangat menentukan hari depan rumpun Melayu. “Siapa Bilang Anak Pulau Tak Mampu Menjadi Profesional Executive?” itulah judul catatannya. Kami berteman cukup dekat, baik semasa Pak Ismeth sebagai Ketua Otorita Batam, maupun saat menjadi Gubernur. Saat dilantik sebagai Gubernur Kepri yang pertama, aku sengaja datang dan mengucapkan selamat. Riau Pos Group berhutang budi padanya, karena telah memberi jalan Riau Pos Pos Group mempunyai gedung megah di Batam, Graha Pena Batam, dan dialah yang meresmikannya. “Pak Rida, kapan lagi gedungnya dibangun?” begitu suatu hari di kelas excutive pesawat Garuda dia mengingatkan aku tentang rencana membangun gedung itu. Aku malu, karena Pak Ismeth sudah menyediakan lahannya. Karena itu aku nekat mewujudkannya. Memang, di penghujung masa jabatannya, aku merasakan ada luka yang menggores persahabatan kami. Ini lebih karena luka politik. Dia Gubernur, dan aku punya media. Dan dalam kebijakan editorial koranku, khususnya Batam Pos, tidak selalu membuat Pak Ismeth dan Bu Aidha nyaman. Aku mohon maaf :
“
H RIDA K LIAMSI telah mampu membuktikannya. Untuk menjadi professional executive yang andal, tidaklah dilihat dari apakah dia anak kota atau anak pulau, juga tidak dilihat dari keturunannya. Saat ini dia sudah menjadi salah satu tokoh Riau yang mampu duduk sejajar dengan para profesional executive yang lain di Indonesia, yang mampu mengendalikan jalannya berbagai perusahaan secara betul dan memberikan manfaat pada semua stakeholdernya.” Dilahirkan di Dabo Singkep, 17 Juli 1943, Rida merupakan anak pulau yang dibesarkan
348
oleh gelombang dan badai lautan, namun semangatnya yang tinggi yang dibuktikan dengan jenjang kariernya sebagai wartawan selama kurang lebih 20 tahun di beberapa surat kabar dan majalah nasional, yang kemudian berlanjut dengan mengelola Riau Pos dan Rida akhirnya berhasil menjadi pengusaha dan pengelola media dan usaha lainnya yang tergolong besar di Riau bahkan di Sumatera. Awal perjumpaan saya dengan Rida terjadi di pertengahan tahun 1998 di sekitar bulan Agustus di Hotel Aryaduta, Pekanbaru. Saat itu saya baru bertugas beberapa bulan selaku Ketua Otorita Batam dan sedang dalam upaya untuk menghimpun pandangan tokoh-tokoh masyarakat Riau. Dalam pertemuan malam hari tersebut yang dihadiri lebih kurang 50 tokoh masyarakat Riau, Rida hadir dan diperkenalkan sebagai jurnalis putra daerah yang terkemuka. Pandangan-pandangan yang Rida sampaikan dalam pertemuan tersebut sungguh sangat memukau dan bagi kami sendiri sungguh merupakan masukan yang sangat berarti. Rida mengemukakan perlunya dipersiapkan langkah-langkah yang terpadu untuk membangun Riau secara profesional dengan sasaran yang terukur dalam kurun waktu tertentu dan melibatkan semua potensi daerah, yang dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Pendapatan per kapita penduduk haruslah meningkat, kesejahteraan rakyat termasuk kesehatan. Rida mengungkapkan agar Otorita Batam perlu instrospeksi apalagi memasuki era reformasi, serta perlu menyatu dengan seluruh masyarakat di Batam dan di
349
Riau. Namun diharapkan juga agar Otorita Batam terus berkiprah membangun tidak saja Batam tetapi juga kawasan-kawasan di sekitarnya, berperan sebagai salah satu motor penggerak pembangunan di Riau. Libatkan sebanyak mungkin berbagai potensi yang ada di masyarakat, ikut sertakan perguruan tinggi di Riau dan bangun berbagai sarana kesejahteraan masyarakat. Kesan saya saat itu tidak lain Saudara Rida ini seorang visioner yang penuh intuisi dan berkarakter. Dia sangat peduli pada masyarakatnya dan sangat mendambakan terwujudnya warga Riau yang sejahtera dan makmur, mendambakan munculnya banyak sarjana-sarjana asal Riau yang berperan dalam seluruh aspek kehidupan baik di Riau maupun di Bumi Nusantara ini. Namun dia tidak hanya berangan-angan dan hal itu dia buktikan pada dirinya sendiri. Sekitar separuh dari perjalanan hidupnya berada dalam koridor jurnalistik. Suatu bidang yang penuh tantangan sekaligus peluang, karena jurnalistik menguak seluruh aspek kehidupan di muka bumi ini. Banyak tokoh-tokoh pimpinan di Indonesia dan dunia yang memiliki latar belakang jurnalistik. Perjalanan waktu yang dianugerahkan Allah Sang Pencipta kepada dirinya ternyata tidak disia-siakan, melainkan dijalaninya dengan tekun, penuh fokus, peduli pada lingkungannya, mantap akan kepercayaan dirinya, santun dan bijak pada sesamanya. Tulisan-tulisan Rida mencerminkan seorang sosok yang sangat peduli dengan masyarakatnya, dan tajam analisisnya. Tulisannya kadang menyentak dan menghujam ke dalam sanubari, mampu memanaskan kuping, namun
350
juga menyentuh hati, membuat kita merenung bahwa memang perbaikan atau koreksi adalah bagian dari proses kehidupan yang setiap orang mesti lalui. Sajak-sajak yang ditulisnya dapat dilihat dari buku kumpulan sajaknya Tempuling yang diterbitkan beberapa tahun lalu dan dibacakan oleh sejumlah penyair di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Kemahiran menulis dan membaca sajak mencerminkan kepekaannya dan kepeduliannya terhadap berbagai persoalan kemanusiaan. Hal inilah yang menjadikan bekal semakin bijaknya Rida dalam menjalankan tugas-tugasnya. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, Rida memimpin selaku Direktur Utama pada sekitar sepuluh perusahan, sebagian besar di bidang pers. Yang menarik adalah Rida dipercaya sebagai Direktur Utama dari PT. Pengembangan Investasi Riau oleh Gubernur Riau, mengingat Pemerintah Daerah Riau pemegang saham utamanya. Perusahaan ini adalah bergerak dalam bidang investment funds guna pembiayaan berbagai proyek pembangunan di Riau. Peristiwa ini tidak lain adalah suatu bukti bahwa kepemimpinan Rida memang andal, diperlukan dan diakui oleh masyarakat luas. Kepemimpinan itu memang berkembang setiap hari bukan hanya dalam satu hari. Rahasia sukses dalam hidup adalah kita siap ketika kesempatannya tiba (Benyamin Disraeli). Seorang pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang melihat lebih banyak daripada yang dilihat orang lain dan yang melihat lebih jauh dari pada yang dilihat orang lain, serta yang melihat sebelum orang lain melihatnya (Leroy Eims).
351
Success is a journey, not a destination (Ben Sweetland), kesuksesan itu di bentuk dari hari ke hari dan berjalan terus-sepanjang masa. Kita sukses karena orang-orang dan masyarakat menyatakannya, mengakuinya. Karenanya kesuksesan itu erat dan sangat berkaitan dengan karakter seseorang, kemauan yang keras serta secara tekun dan terus menerus menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, sebagaimana yang diharapkan oleh para stakeholder, dan tanpa memikirkan untuk berhenti. Hal ini juga diutarakan oleh Dale Carnegie yakni “Flaming euthusiasm, backed by horse sense and persistence, is the quality that most frequently makes for success”. Pemimpin yang dipercaya adalah sosok yang diakui kemampuannya dan memiliki karakter yang dikagumi serta penuh kesederhanaannya. Dan itu semua ada pada Rida. Sosok Rida memang patut menjadi teladan bagi generasi muda Riau. Semoga lahir ratusan manajer-manajer yang andal yang akan mampu mengubah wajah Riau menjadi suatu kawasan yang makmur dan sejahtera. Suatu kawasan yang unggul dalam pendidikan, kesehatan, ekonomi, teknologi, perikanan dan pertanian. Kepuasan yang paling tinggi bagi profesional executive adalah melihat hasil karyanya bermanfaat dan diminati oleh berbagai pihak. “Perjalanan masih panjang.” begitu Pak Ismeth menutup catatannya. *** 5.
MUHAMMAD SANI Gubernur Kepulauan Riau 2010-2015. “My Best Friend” begitu dia selalu memperkenal aku ke-
352
pada berbagai pihak, kalau kami bertemu dalam berbagai acara. Ini bukan panggilan sewaktu-waktu, tapi sudah sejak dia jadi Walikota Administratif Tanjungpinang, dan aku jadi wartawan Suara Karya. Dan aku pun kalau menelpon dia, ya pakai “Friend” juga. Kami sama-sama suka menemukan gagasan-gagasan menarik untuk disumbangkan di daerah kami, Kepulauan Riau. Bersama Pak Sani ini, kami menemukan Hari Jadi Kota Tanjungpinang, kami mencipta jargon Tanjungpinang Kota Bestari (walaupun sekarang sudah diganti jadi Kota Gurindam). Kami sama-sama menjadi panitia pelaksana MTQ Wartawan Asean di Pekanbaru (dia Ketua Pelaksana-nya), dan banyak event lain. Dia memang selalu tak lupa mengajak aku kongko-kongko kalau dia punya gagasan menarik. “ Friend, awak ni gimana, asyik membangun daerah orang aja, daerah sendiri tak diperhatikan...”, begitu dia selalu berkelakar, kalau lagi memerlukan sumbang saran aku untuk Kepri. Suatu kali setelah dia dilantik jadi Gubernur Kepulauan Riau, dia bilang padaku “Nanti bantu saya soal ekonomilah ya. Ikut anggota Tim Ekonomi saya...”, katanya. Saya hanya mengangguk, karena sebagai orang swasta, saya tahu sulit bagi saya untuk masuk ke ring pemerintah. Aku beruntung karena waktu Pak Sani meluncurkan buku otobiografinya “Untung Sabut”, dia minta aku sebagai salah seorang yang memberi pengantar bukunya, dan pada malam peluncuran di Hotel Harmoni One, Batam, aku juga sempat menyampaikan semacam pesan dan kesan atas buku itu. Meskipun aku tidak sempat membantu dia menulis buku itu, sekalipun sudah mengerahkan beberapa teman kepercayaanku untuk membantu menulis, seperti Hasan Aspahani, Ramon Damora, Chandra Ibrahim dan Rizal Saputra. Akhirnya, ya, Rizal Saputralah yang membantu menyelesaikan penulisan buku itu. “Tak Banyak Anak Pulau seperti
353
Rida” begitu judul catatannya tentang aku yang dia buat ketika masih sebagai Wakil Gubernur Kepulauan Riau :
S
AYA mengenal Rida sebagai seorang yang mempunyai pribadi yang baik. Dia seorang yang punya potensi sangat besar. Punya visi yang jelas dan seorang pekerja keras. Kita tahu, dia mulai mengembangkan dirinya sebagai orang susah. Lalu berangkat dengan kondisi bersusah-susah pula dia mengembangkan karir dan usaha bisnis korannya, sehingga kemudian berhasil mencapai kemajuan yang sangat pesat. Semua itu dilakukan dengan upaya kemampuannya sendiri dan dengan keyakinannya sendiri. Tak banyak anak Kepulauan Riau punya kemampuan seperti Rida. Ada satu kenangan menarik saya bersama Rida. Dulu, pada masanya, kota-kota di negeri ini mendapat julukan “nama lain’’ selain nama asli kota bersangkutan sebagai identitas budaya atau kepribadian daerah setempat. Masa itu, saya menjadi Wali Administratif Tanjungpinang, Rida berprofesi sebagai seorang wartawan dan seorang seniman. Saya berdiskusi dengan Rida, apa nama yang tepat untuk Kota Tanjungpinang. Lama kami mencari untuk menemukan nama yang tepat tersebut, tak dapat-dapat. Satu saat, hari Jumat, sehabis salat, sehabis dari kedai kopinya, Rida singgah ke kantor saya. “Saya sudah dapat nama itu, kata Rida. Bagaimana kalau Tanjungpinang ini kita beri nama Kota Bahari?’’ Saya merenung sejenak. Nama “Bahari’’ ini banyak orang sudah maklum, maknanya “laut’’. Dan, banyak kota
354
serta negeri yang posisinya di kawasan laut. Sesaat kemudian, tiba-tiba saja keluar dari mulut saya, “Bagaimana kalau Kota Bestari?’’ Rida lalu bergumam, “Bagus juga itu, ya.’’ “Sekarang tugas engkau buka kamus Poerwadarminta, cari arti Bestari tersebut. Lalu buat makna kepanjangannya’’, kata saya kepada Rida. Sebagaimana “bahari’’ yang memberi nuansa makna alam laut, “bestari’’ saya rasakan nuansanya bisa lebih dari itu. Bisa memberikan nuansa alam budaya Melayu, bisa juga memberikan makna: orang yang mendahulukan budaya kesantunan. Kata-kata bestari ini sering kita dengar ungkapan syair-syair lagu Melayu, ungkapan ”bijak bestari’’, misalnya. Rida kemudian menyusun juga sebuah buku untuk mensosialisasikan “bestari’’ ini dengan buku “Tanjungpinang Kota Bestari’’. Sejak itulah, kemudian Tanjungpinang dikenal juga dengan sebutan “Kota Bestari’’- sebagaimana Pekanbaru dengan “Kota Bertuah’’ atau Kampar dengan “Kota Beriman’’- walaupun kemudian, sekarang ini Tanjungpinang disebut orang juga dengan “Kota Gurindam’’. Rida menjadi motivator bagi anak-anak Melayu, sebagai pengusaha yang berjaya. Karena memang tak banyak anak-anak pulau yang bisa seperti Rida. Saya tahu saya sibuk, Rida pun sibuk. Tetapi, dalam berbagai kesempatan saya memang selalu mengingatkan Rida agar “My Best Friend“ ini ingat Kepulauan Riau, dan sebisa mungkin melakukan sesuatu agar negeri kami ini tetap maju dan setara dengan Provinsi yang lain. ***
355
6.
SOERIPTO (Almarhum) (Gubernur Riau 1988-1998) Bersama dengan Pak Mambang Mit, Pak Asparaini Rasyad, kami terbang dengan pesawat Garuda terakhir dari Pekanbaru-Jakarta, begitu mendengar kabar Pak Soeripto, mantan Gubernur Riau (1988-1998) meninggal. Pak Mambang Mit dalam kapasitasnya mewakili Pemda Riau, Pak Asparani sebagai sekretaris Yayasan Penerbit Riau Makmur, salah satu pemegang saham Harian Riau Pos, dan aku sebagai CEO Riau Pos Group. Bagi aku dan Pak Asparaini, Pak Ripto adalah sosok yang sangat berjasa dalam mewujudkan mimpi Riau punya surat kabar harian, yang terbit tiap hari, dan jadi kebanggaan daerah. “Kalau tak ada Pak Ripto yang back up Riau Pos, mungkin Riau Pos tidak ada”, begitu aku selalu mengenang sosok yang satu ini. Sebab, “Terbit harian, tanpa SIUPP, di era orde baru, kan sama dengan bunuh diri. Mau ditangkap apa?”, begitu aku ingat selalu masa-masa awal penerbitan Riau Pos sebagai harian. Tapi karena Pak Ripto yang gubernur waktu itu, mau back up dan siap menghadap Menteri Penerangan Harmoko, ya kami berani terbit, sambil mengurus izin yang diperlukan. Kenekatan inilah kemudian membuat akhirnya harian Riau Pos bisa exsist, tumbuh dan berkembang. Meskipun bukan tak jarang, isi Riau Pos membuat Pak Ripto sebagai gubernur Riau waktu itu berang, dan aku beberapa kali dipanggil ke kediamannya. “Aduh beritamu…”, katanya sambil menepuknepuk punggungku. Tapi Pak Ripto sangat mengayomi, dan pada malam duka di kediamannya di Cibubur itu, Bu Ripto terisakisak. “Maafin Bapak ya. Dia masih sangat sehat pagi tadi, tapi tiba-tiba dia terjatuh di kamar mandi...”, kata Bu Ripto. Catatan Pak Ripto ini dibuat semasa beliau masih sehat, dan bila datang ke Pekanbaru waktu diundang hari ulang tahun Provinsi Riau dia
356
selalu bertanya: “Mana bukumu itu?” Pak Ripto memberi judul catatannnya: Guru,Seniman, Wartawan.
“
PERANAN media massa di suatu daerah sangat penting termasuk di Provinsi Riau. Pada awal masa kepemimpinan saya sebagai Gubernur Riau, kondisi dan perkembangan media massa di daerah ini belum menggembirakan. Padahal, media massa termasuk media cetak sangat besar peranannya dalam memberikan informasi terutama di bidang pembangunan sebagai salah satu alat komunikasi dengan masyarakat. Waktu itu, di Riau hanya ada surat kabar Warta Karya yang terbit seminggu sekali yang berisi informasi tentang pembangunan yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Riau. Keperluan akan surat kabar tentu sangat dirasakan agar dapat menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat. “catatan pembukaannya”. Lalu selanjutnya, dia mengatakan “Pada masa itu, saya merasakan keberadaan surat kabar Warta Karya ini kurang tepat. Sebab nama medianya saja memakai istilah Karya yang tentu sudah dikonotasikan dengan suatu golongan saja. Jadi tepatnya kurang bersifat independen. Saya punya pengalaman sebelumnya pada waktu bertugas di ABRI/TNI. Saya pernah mengasuh Mingguan Sapta Marga milik Angkatan Darat. Karena bersifat internal di lingkungan Angkatan Darat, tentu hal ini masih bisa dimengerti. Pada waktu itu di lingkungan ABRI juga terbit surat kabar Harian Angkatan Bersenjata. Karena namanya cukup menyolok maka kemudian diganti menjadi Harian AB saja. Jadi kesannya tak terlalu eksklusif. Apalagi, masyarakat pada waktu itu sudah kritis dengan
357
berkembangnya kehidupan demokrasi di negara kita. Jadi, surat kabar seperti Harian AB yang berciri khas jelas tidak dapat begitu saja diterima oleh masyarakat. Selain itu, faktor yang menentukan dalam membina media apakah media cetak atau elektronik memerlukan persyaratan modal, alat atau teknologi dan sumber daya manusia pengelolanya. Untuk itu, guna mengembangkan media cetak seperti surat kabar yang akan diterbitkan di Riau, waktu itu, saya mencari dulu siapa yang dapat bekerja sama memajukan daerah ini. Akhirnya, muncullah seorang yang memberanikan dirinya untuk berjuang mengembangkan media cetak di Provinsi Riau. Sosok tersebut tiada lain adalah seorang putra Riau yang bernama Rida K Liamsi. Dia berangkat dari seorang guru. Seorang guru, apa pun tingkatnya, tentu akan mengenal kejiwaan anak didiknya satu per satu. Ia mengenali watak anak-anak manusia dari berbagai lingkungan kehidupan. Tahap berikutnya, Rida menapak memasuki dunia jurnalistik dengan prinsip kemerdekaan menyampaikan pendapat. Ia memasuki lingkungan kejiwaan atau psikologi masyarakat yang mendambakan keadilan di dalam kehidupan masyarakat. Dengan ujung penanya, ibarat ujung peluru bagi seorang prajurit untuk membela kebenaran dan keadilan. Sebelumnya, Rida memasuki dunia seni budaya dengan menciptakan puisi-puisi selama lebih 30 tahun. Seniman juga mendambakan kemerdekaan kreativitas dan hal ini diwujudkan dalam bentuk puisi-puisi yang mengajak manusia memilik baik-buruk dalam kehidupan baik
358
secara pribadi, bermasyarakat maupun pada Tuhannya. Ada orang bertanya, apakah ingin menjadi orang baik atau orang bernasib baik. Jawabannya, mungkin keduanya. Dalam kehidupan kita menjadi orang baik atau bernasib baik, semuanya tergantung pada diri sendiri. Manusia hidup dan berharap selalu dekat dengan Tuhan dan mendapat ridho dari Allah swt. Seseorang dapat menjadi pejabat atau pengusaha yang sukses atau apa lagi yang menurut pendapat orang lain hidupnya berhasil menurut pendapat yang berangkat dari kehidupan sejak masa kecil hingga berumur.” “Untuk itu”, tutupnya, “menurut falsafah Jawa, kita perlu ingat kehidupan ini melalui Purwa-Madya-Wasana (dulu-hari ini-nanti). Dari kehidupan madya inilah kita mengisi hidup ini. Dan saya melihat dalam diri Rida K Liamsi, dia mengabdi pada masyarakat, pada madya kehidupannya. Dia selalu berpikir untuk masyarakat didasari atas pendiriannya dan bekalnya sejak kecil. **** 7.
TABRANI RAB Dokter dan Budayawan Dokter ahli paru-paru ini, budayawan, dan pengamat politik ini, memberi judul catatannya : “Rida, antara Realitas dan Obsesi”. Dia, termasuk orang yang sangat tahu bagaimana aku memulai karir kewartawanan, membangun surat kabar, dan bergulat dengan hidup. Ketika sebelah paru-paruku berdarah (dampak karena banyak merokok), ketika masih menangani SKM Genta itu, dialah yang berjuang bersama beberapa teman untuk, menyelamatkan aku. Persahabatan kami, adalah persahabatan yang
359
sudah sangat sulit untuk dipisah-pisah, dan Tabrani adalah bahagian dari perjalanan hidup aku. Dia bukan hanya jadi penyelamat nyawa aku dalam pengertian fisik, tapi dia menyelamatkan nyawa Riau Pos yang aku bangun, melalui utangan uang untuk bayar gaji karyawan, beli kertas, dan meminjamkan genset listrik. “Suntik, Da….” katanya. Dan suntik itu artinya bisa suntik obat benaran karena aku sakit, atau suntik dana agar Riau Pos tetap hidup. Tapi sebagai budayawan, sebagai pengamat sosial politik, dia memang sangat konsen dan berani. Bahkan nekad. Dialah salah satu tokoh penggagas “Riau Merdeka” yang fenomenal itu. Waktu mau menemui Hasan Ditiro di Skandinavia, dia menelpon aku “Da, saya mau ke Skandinavia-lah mau ketemu Hasan Ditiro. Awak ada baju dingin tak, saya pinjam, belum sempat beli,” katanya. Hemm..., mantel tebal yang aku beli di Turki waktu mampir di negeri itu dalam perjalanan pulang Umroh, aku kasikan padanya. “Untung mantel awak ada, Da, bukan main sejuk…”, cerita dia setelah pulang. Dia orang kedua yang pernah menerima Riau Pos Award, anugerah prestisius yang diberikan Riau Pos atas pengabdian seorang tokoh di Riau terhadap negeri ini. Aku menulis sajak khusus untuknya : KELEKATU………… Ada ketika kita menjadi seperti kelekatu Terbang dari lampu ke lampu Dari pintu ke pintu Tapi tak ada yang menyapa, tak ada yang bertanya Kesepian seperti degub maut yang berdetak di ujung stateskop Hanya kita yang merasa
360
Aduhai, Aduhai, Aduhai Hanya kita yang tahu, apa yang tak pernah sampai Ada ketika kita menjadi seperti kelekatu Memandang kilap air dan terhunjam ke batu Tak ada yang menyapa, tak ada yang bertanya Keterasingan seperti sebuah lemari masa lalu tercuguk di balik pintu Hanya kita yang merasa kepedihan mengalir dalam kabel lampu-lampu Hanya senyap, senyap, senyap Hanya kita yang tahu, apa yang tak sempat terucap Ada ketika kita menjadi seperti kelekatu Menunggu resa angin, menjadi isyarat musim Memburu cahaya, dan gugur saat gelap tiba Tapi kita tak tahu bila, Bila, BILA. ***
D
ari mana saya hendak memulai untuk menulis kesan saya mengenai Rida, saya pun bingung. Di antara generasi BM Syamsudin agaknya sayalah yang lama mengikuti fenomena Rida K Liamsi. Makin diikuti fenomena ini makin membingungkan. Sebuah kesimpulan mungkin dapat diambil bahwa Rida dapat dibedah
361
dari empirical dan dia bukan seorang politis dan jauh dari seorang filosofis. Rida yang saya temukan lebih kurang 20 tahun yang lalu, ketika itu saya di dalam “penjara� rumah sakit saya dan Rida menolak untuk menjadi biro TEMPO Bandung, saya akan bertemu Rida pada ujung jalan yang berliku-liku dalam ketelanjangan (memakai istilah Satre) dan Akulah Rida memakai istilah Zarastura Nietsche. Ter-nyata garis tangan kami berbeda jauh. Ketika puncak-nya saya meninggalkan karir saya sebagai dokter-karir yang paling saya cintai, Rida datang menyalami saya dan memberikan sambutan seadanya. Saya telah keluar dari kungkungan penjara rumah sakit, melanglang buana dalam kebebasan tanpa batas sementara Rida terperangkap di kamarnya di Riau Pos dengan segunung prestasi yang dicapainya bukan dari nol tapi dari minus. Saya sadari betul Rida bukanlah tipe manusia yang mau dipenjara oleh keberhasilannya. Tapi dia pun gamang melihat teman-teman sekitar ketika mengambil suatu kesimpulan bahwa kebebasan itu adalah absurditas. Apa yang menimpa diri teman-temannya yang bergulat dengan kebebasan BM Syamsudin, Ibrahim Sattah, Noerbachrij Yoesoef, Idrus Tintin yang sekarang sudah almarhum juga, dan yang tersisa Hasan Junus yang sudah menunaikan ibadah haji adalah manusia yang beronani dengan kebebasannya dan menerawang dalam obsesi surgawi yang tak kalah dengan penjara kemiskinan yang terburuk. Tak sedikit di antara mereka harus memperlebar obsesi dengan alkoholik halusinasi. Kemiskinan memang penjara yang terburuk yang menyebabkan angan-angan
362
lebih berperanan dari kenyataan. Di antara inilah Rida berada. Rutinitas kantor dengan layar monitor, terbang dari satu titik ke titik yang lain memang membuat sukses entah beberapa koran yang dihasilkan dan puncaknya RTv mengudara. Namun Rida mudah dibaca ketika Tempuling dibawakannya di Hotel Sahid dan puncaknya tentulah membawakan sajak di Taman Ismail Marzuki dengan sepenuhnya dicover oleh Metro Tv. Keberhasilan Rida dalam mengawang obsesi tetapi sekaligus bahwa ia ingin menggapai absur-ditas sebagaimana digapai oleh teman-teman yang lain. Apa kata Rida dalam bukunya Tempuling? Ternyata kerja sebagai wartawan tidak memberi cukup waktu kepada saya untuk melakukan kontemplasi dan menulis sajak-sajak baru yang lebih baik. Ada beberapa sajak baru yang sempat ditulis di tengah rasa sepi, rasa jenuh terhadap kerja dan berbagai masalah hidup, tetapi kebanyakan masih dalam bentuk konsep, masih dalam coretan dan sketsa-sketsa. Sebuah kegamangan selalu saja terjadi pada siapa pun. Ketika saya akan melangkah ke Fakultas Sastra Perancis di Universitas Pajajaran pengaruh Satre yang begitu kuat pada diri saya menyebabkan saya berkesimpulan sastra Perancis inilah jalannya. Tapi ketika sebuah pengumuman di atas papan tulis kecil diletakkan di muka Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo: “Telah meninggal penyair Chairil Anwar...�, lalu tak ada lagi apa-apanya kecuali berdialog dengan putrinya, saya pun menjadi gamang, saya putuskan untuk meninggalkan fakultas sastra dan melangkah ke fakultas kedokteran. Ketika saya yakin profesi kedokteran dapat menjamin hidup dan sisanya sebuah bayang-
363
bayang obsesi sastra yang kadang-kadang melintas, saya pun memaksakan kepada keempat orang anak saya untuk menjadi dokter dan tidak menjadi sastrawan. Walau pun sastrawan bidang yang seharus-nya digeluti, lebih-lebih bila berakar pada filsafat. Satre berkali-kali menekankan bila ingin besar dalam ketelanjangan (tanpa jabatan) dan bukan itu saja dia pulalah yang menyatakan dalam sastranya The Fly (Lalat-lalat) Anda bebas singgah di mana Anda mau. Namun Kahlil Gibran membatasi lalat Satre dengan Sayap Patah. Fenomena inilah yang ada pada Rida. Dia lebih memegang kepada kenyataan hidup. Lalu dari tempatnya bertengger dia tak dapat melepaskan obsesi sastra. Untunglah dia tidak didorong oleh filsafat yang menyebabkan sayap-sayapnya patah dan terpuruk. *** Ketika dia menulis di TEMPO belasan tahun yang lalu mengenai saya dan rumah sakit saya, saya menyadari tulisan tersebut berlirik sastra. Tapi ketika itu pula dia menampilkan sebuah kemiskinan yang amat sangat. Saya merasa berdosa sampai saat ini, ketika instrumen yang paling diperlukannya harus dititipkannya kepada saya. Tidak terasa perjalanan yang sudah begitu panjang mengantarkan Rida melalui Riau Pos sampai ke usianya kini ke-70 dan Riau Pos itu sendiri berusia 22 tahun. Artinya sampai di usianya yang ke 48 jabatan yang tertinggi sebagai wartawan TEMPO dan dicalonkan menjadi Kepala Biro di Bandung, dia menampilkan sosok Keakuannya dengan percaya diri yang penuh harus mengais-ngais di
364
antara penderitaan yang begitu dahsyat. Kenangan saya pun kembali ke-50 tahun yang lalu ketika dalam kegelapan malam tukang jaja koran di Pekanbaru menjeritkan Chaaaaang guriiiiiiang biasanya disertai dengan surat kabar yang lain dalam sumpit jualan ini yakni koran Haluan dan koran Nyata dari Sumatera Barat. Sampai dengan pemberontakan PRRI gambaran ini tidak banyak berubah. Saya tahu betul ketika Rida memulai karirnya di Genta pada prinsipnya: “dia memulai langkah pertama, dari beribu mil jalan yang harus ditempuh,� mengambil kata-kata Gibran. Hampir setiap saya datang maka yang diberikan kepada saya adalah grafik Genta. Di samping itu teman saya Hasan Junus selalu saja saya temui di luar kamar Rida yang sempit dan berdebu. Tahulah saya dia menunggu tulisannya dimuat oleh Genta. Tapi perasaan gamang saya tidak dapat saya sembunyikan karena Rida pernah berkibar menjadi wartawan senior di TEMPO dan tidak ada jaminan sosial apa pun di Genta. Lebih-lebih ketika Rida harus saya rawat di rumah sakit saya dan tidak dapat pungkiri bahwa saya sangat khawatir akan keadaannya walaupun Rida terlihat tenang-tenang saja. Saya selalu bertengkar dengan Mulyadi karena saya memerlukan Rida harus beristirahat dan tidak boleh menerima tamu sementara rekan-rekan wartawan yang datang bejibun. Sisi saya sebagai dokter dan juga sebagai penulis terjepit sementara Rida lebih memerlukan teman-teman wartawan dibandingkan obat. Untunglah Rida dapat selamat. Nasehat saya supaya ia beristirahat ternyata tidak mempan karena etos kerja Rida yang tinggi.
365
Ketika perseteruan saya dengan Imam Munandar memuncak dan koran ini (Genta) harus menjadi koran masuk desa tiba-tiba saja nama saya hilang dari pimpinan umum dan saya pun menyadari idealis Rida tidak dibatasi hanya karena prospek Genta menjadi lebih baik. Dalam acara yang digelar di Ruang Kuning kantor gubernur oleh Gubernur Imam Munandar dan Dirjen Pers dan Grafika itulah kali terakhir saya melihat Genta lepas dari tangan saya dan diikuti oleh pengunduran Rida K Liamsi. Kemudian terbit lagi menggantikan koran Gema, yakni koran milik pemerintahan daerah Warta Karya yang dipimpin oleh Asparaini Rasyad. Saya mendengar pula koran ini diganti dengan nama lain Riau Pos dengan dipimpin oleh Zuhdi, SH sebagai Biro Umum pada Pemda Tingkat I Riau. Koran ini sekali pun didukung oleh pemerintah daerah berhenti setelah setahun terbit. Saya hanya mendengar kabar bahwa Rida K Liamsi akan muncul kembali menyelamatkan Riau Pos sesudah mengadakan lobi dengan Pemda Riau yang ketika itu telah berganti Gubernur Soeripto. Terbitnya SIUPP Riau Pos saya dengar langsung dari Rida. Sebagai ungkapan kebahagiaan yang merindukan adanya harian di Riau ini, menyebabkan saya dan beberapa teman siang dan malam berbincang di Jalan Kuantan Raya 101 komplek percetakan Pemda Riau yang dikepalai oleh Soemantri. Kami makin ramai duduk di kantor Riau Pos ketika surat kabar ini melangkah karir dan kadang berkumpul di kamar Pak Zuhdi. Ketika Riau Pos dipindahkan kemudian ke Jalan Imam Bonjol dan kemudian lagi ke Jalan Cempaka 7B Rida me-
366
minta saya untuk menulis kolom internasional setiap hari. Pekerjaan ini menyita banyak sekali waktu, akan tetapi apa pun harus dilakukan agar Riau Pos terbit terus. Kemudian Amril meminta saya menulis yang juga tiap hari kolom aneh yang saya lupa rubriknya. Pada Januari 1993 saya mendapat telepon dari Kazzaini, “Pak, Bapak mendapat kolom baru di Riau Pos namanya Tempias.� Maka legalah saya karena tidak lagi menulis tinjauan luar negeri setiap hari, tapi Tempias seminggu sekali. Jilid perdana dari Tempias ini diterbitkan oleh Unri Press setebal 408 halaman dan jilid keduanya yang diterbitkan oleh PT Alumni Bandung setebal 503 halaman. Kata Rida, “Saya tidak bisa berhenti berfikir dan menulis...� Itulah ungkapan Tabrani Rab dalam pertemuan dengan jajaran redaksi Riau Pos pada masa-masa awal terbitnya beberapa tahun yang lalu. Ungkapan itu senantiasa diingat, kerena sejak itu berjujailah tulisannya yang masuk. Maka, jika ada penilaian, mungkin Tabrani akan terpilih sebagai penulis yang paling produktif sejak harian ini lahir. Maka dalam Tempias Tabrani dapat menulis dengan gayanya yang khas ditambah dengan jurus cina mabuk yang mampu menyenggol sana, sikut sini, tonjok sana, colek sini. Maka terbahak-bahaklah kita membaca tulisan-tulisannya, atau mungkin tersenyum-senyum masam, atau.... Sehingga, sebagai mana banyak dikatakan orang, Riau Pos Minggu belum lengkap tanpa Tempias. Di waktu-waktu mendatang Riau Pos akan tetap mempertahankan Tempias ini, selagi Tabrani Rab masih bersedia menyumbang percikan-percikan pikirannya dan selagi pembaca tetap menunggu.
367
“Entah apa kesan saya mengenai Rida. Yang jelas dia telah menembus cakrawala dan mitos Tak ada koran yang mampu bertahan di Riau. Kenangan saya pun kembali ke-50 tahun yang lalu ketika dalam kegelapan malam tukang jaja koran di Pekanbaru menjeritkan Chaaaaang guriiiiiiang biasanya disertai dengan surat kabar yang lain dalam sumpit jualan ini yakni koran Haluan dan koran Nyata dari Sumatera Barat. Kini Rida membalikkan mitos ini. Katakanlah di Pekanbaru, ke mana pun kita pergi kita tak dapat melepaskan diri Riau Pos, Pekanbaru Pos, Sagang, RTv, Percetakan Graindo, Patria Travel, Riau Global di Internet. Di Dumai kita bertemu dengan Dumai Pos sebagai sarapan pagi. Di Batam kita bertemu dengan Batam Pos, Pos Metro Batam dan Batam Tv, di Tanjungpinang dengan Tanjung Pinang Pos . Di Sumatera Utara Rida telah membalikkan mitos di mana Riau menjadi konsumen kini menjadi pensuplai dengan Sumut Pos dan Pos Metro Medan. Bahkan di Sumatera Barat dulu Nyata dan Haluan bersama “chaaaaang guriiiiiiang� kini telah menjadi Pos Metro Padang dan Padang Ekspres. Rida dengan dosa saya yang terbesar menerima titipan alat fotografi ini, menjadikan dia sebagai prajurit tanpa senjata tidaklah sepantasnya saya lakukan. Dan tak akan tertebus dengan usaha saya memikul genset dari rumah sakit ke Riau Pos karena tekad saya sejak semula biarlah Riau Pos terus hidup, tak pula tertebus dengan pinjaman duit ke Gubernur Soeripto karena Haluan memang tak mau menghutangkan kertas sehingga Yanto dan Rida bolak-balik Padang-Pekanbaru dalam kondis-
368
inya yang tidak pernah menyerah, atau apa yang dapat saya sumbangkan selama saya Pimpinan Umum Genta. Saya harus angkat tangan setinggi-tingginya: You are the winner!. Mengambil kata-kata Revd Martin Luther King (1929-68): Rusuhan sebenarnya bahasa rakyat yang tidak didengar suaranya, kini Riau Pos-lah muara keresahan dan kerusuhan yang didengar oleh penguasa. Selamat bekerja Rida!. Saya tutup dengan kata-kata Napoleon: Istirahat adalah pekerjaan terburuk, dan kerja adalah istirahat yang paling baik. Bagi manusia yang besar soal besar menjadi kecil, dan bagi manusia kecil soal kecil menjadi besar. *** 8.
RIVAIE RAHMAN Mantan Wakil Gubernur Riau/Ekonom Riau. JIKA di Indonesia dulu ada istilah Habibienomic, maka di Riau ada istilah Rivaienomic. Itulah penandaan yang tepat buat Pak Rivaie Rahman, yang lama jadi Ketua Bapeda Riau, dan juga sebagai Wakil Gubernur. Dialah peletak konsep ekonomi dengan mengembangkan wilayah pembangunan ekonomi dan yang memberi ruang bagi perkebunan dan industri sawit berkembang. Lugas, cerdas, dengan wawasan yang tak terbatas, membuat Pak Rivaie, menjadi sahabat yang pantas diingat, dan dia telah mencatat tentang diriku seperti apa yang dia cermati. Pandangan seorang ekonom dan juga seorang pamong. �Budak Melayu, Tidaklah Bodoh� begitu judul catatannya. Dengan catatan ini sebenarnya Pak Rivaie ingin menguburkan kesan buruk orang terhadap orang Melayu, yang tercermin melalui lagu Tudung Periuk. “Tudung periuk, pandai lah menari. Ditarikan oleh Putera Mahkota. Kain
369
buruk tinggalkan kami. Untuk menghapus si air mata‌�
S
OSOK Melayu Riau dari seorang guru sekolah dasar di desa secara tegar berjuang menjadi insan pers sekaligus seniman dan berhasil.... RIDA K LIAMSI mulai saya kenal saat ia menjadi insan pers di SKM Genta di Pekanbaru. Pada saat itu saya melihatnya sering muncul, termasuk ke kantor gubernur, di mana saya bertugas, saat itu sudah sebagai ketua Bappeda Provinsi Riau. Saya mendengar sebelumnya ia berprofesi sebagai guru sekolah dasar di sebuah desa di daerah kampung halamannya di Dabo Singkep, juga istrinya. Tampaknya profesi guru ini dikalahkan oleh minatnya untuk berkarya sebagai insan pers sekaligus dapat menyalurkan bakatnya sebagai seniman. Pengalihan profesi ini pasti mengandung risiko yang cukup besar dan karena itulah pada masa-masa pahit itu ia harus siap ke mana-mana turun naik oplet dan kadang-kadang sepeda, seperti juga halnya Idrus Tintin (almarhum), penyair kondang Riau, sahabat saya sejak kecil dan seniman-seniman lain, seperti Ibrahim Sattah (almarhum) dan BM Syamsuddin (almarhum), yang juga kenal baik dengan saya. Ketabahannya cukup teruji dan masa-masa sulit tersebut cukup lama dialaminya. Kami saling mengenal lebih dekat pada saat saya menjadi Sekwilda Riau dan Ketua DPD Golkar Riau, Saudara Rida kami tugaskan di bidang media massa bersama Saudara Asparaini Rasyad. Melalui rapat-rapat organisasi saya mulai melihat dan menilai
370
kemampuannya dan bobot pemikirannya. Pada saat penyusunan daftar calon anggota DPRD Provinsi Riau dari Golkar saya menetapkan Rida sebagai calon jadi mewakili Kabupaten Kepulauan Riau. Namun tiba-tiba Saudara Paris Ginting yang pada saat itu memegang jabatan Kepala Direktorat Sosial Politik Riau atas perintah Gubernur Soeripto yang saat itu adalah atasan dan Ketua Dewan Pembina Golkar dengan alasan tertentu meminta pencalonan Rida dibatalkan. Entah dari mana sebenarnya isu tersebut datang. Namun Saudara Paris Ginting mengatakan bahwa Rida K Liamsi ini waktu jadi guru SD bernama Ismail Kadir dan dicurigai mengubah nama karena waktu jadi guru masuk organi-sasi terlarang. Begitulah gaya masa Orde Baru bila ingin menjegal seseorang dan sangat banyak dipakai oleh pihak-pihak tertentu, termasuk menjatuhkan seseorang, padahal bukan mustahil fitnah belaka. Hal yang sama telah dialami oleh Saudara Arsyad Rahim (sekarang Sekwilda Provinsi Riau) saat diusulkan sebagai Sekwilda Kabupaten Kepulauan Riau dan nasib dokter Zainal Abidin (Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau) waktu diusulkan jadi Kepala Dinas Kesehatan Kotamadia Pekanbaru dengan alasan beliau lulusan dari universitas di Moskow Rusia, lalu dicap komunis PKI. Karena kuatnya arogansi kekuasaan, saya memanggil Rida dan tampaknya, beliau sangat arif dan memahami penjelasan saya dan siap mundur. Tanpa disengaja saya memilih Drs Daud Kadir, yang rupanya sama-sama orang Dabo. Daud Kadir berasal dari Daik Lingga. Saya juga
371
menjelaskan pada Rida bahwa saya pun tidak luput dari pada permainan fitnah ini dengan istilah KKN dan RRI (Raja-Raja Indragiri). Saya hanya mengatakan pada Rida, terimalah cobaan ini dengan tabah, pasti ada hikmahnya dan sebagai orang yang teraniaya pasti selalu dibekali dan ditolong Tuhan. Buktinya kita lihat sendiri nasib orang-orang yang difitnah tersebut sekarang. Berkat kesabaran dan ketekunannya dan mau belajar terus, melalui bendera Riau Pos Group, akhirnya Rida berhasil. Termasuk berhasil membuktikan bahwa budak Melayu tidaklah bodoh, seperti dulu banyak dialami sebagai penghinaan dan memojokkan budak-budak Me-layu. Melayu jelas punya kemampuan, punya otak yang mampu bersaing dengan etnis lain asal diberikan ke-sempatan dan sekali kesempatan tersebut datang jangan disia-siakan, apalagi dihadapi dengan kegamangan. Peluang itu kalau perlu harus direbut atau diperjuangkan. Memang, Melayu kadang-kadang melemah karena kurang kompak, kurang bersatu, dan mudah dihinggapi sikap dengki dan iri hati yang akhirnya mudah dihasut dan diadu-domba. Saya menyambut baik lahirnya otobiografi ini. Biografi saya lahir beberapa tahun lalu juga karena desakan yang tiada hentinya dari Rida K Liamsi, Taufik Ikram Jamil, Sofyan Samsir, dan Mosthamir Thalib. Bahkan pada saat peluncurannya dilakukan bersamaan dengan HUT Riau Pos. Saya kemudian baru tahu, Ridalah yang membuat kolom komentar di SKM Genta, saat lahirnya tulisan Hikmat Ishak di Kompas hasil wawancara saya tentang Melayu Riau yang cukup mendapat sorotan, baik yang men-
372
erimanya maupun yang menolaknya. Bravo, Bung Rida, ever onward never retreat. Melayu, bersatulah membangun negeri ini secara adil dan bertanggung jawab! *** 9.
SOFYAN LUBIS Mantan Ketua PWI. Bang Sofyan Lubis, adalah mantan Ketua Umum PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Dia memang dekat dengan Harmoko, mantan Menteri Penerangan Indonesia yang fenomenal itu. Mungkin karena Bang Sofyan, waktu itu adalah Pemimpin Redaksi Harian Pos Kota, dan Pak Harmoko adalah salah seorang pendiri dan pemegang saham Pos Kota. Bang Sofyan, begitu saya memanggilnya, adalah pekerja keras, orang yang sangat percaya diri, penuh inisiatif, dan tidak gampang menyerah. Dengan ketekunan dan kegigihan inilah dia berhasil masuk ke ring satu elit kekuasaan era Pak Harto. Bang Sofyan, kalau mengirim ucapan selamat lebaran dengan sms-nya, selalu memakai pantun. Dan pantunnya sangat bagus, baik sampiran, maupun isinya. Bang Sofyan sangat Melayu :
K
etika saya menjabat sebagai ketua Umum PWI, Bung Rida K Liamsi menjadi ketua PWI Cabang Riau. Saya lebih senang memanggilnya ‘’Bung’’ daripada saudara, meski usia kami berbeda dua tahun. Bung Rida memanggil saya “Abang’’ bukan karena saya lebih tua,
373
tapi itulah panggilan intim bagi kami orang Melayu. Biar saya bermarga Lubis tetapi saya dilahirkan di Kota Tanjung Morowa, 15 km dari Kota Medan ke arah Siantar dan dibesarkan di Kota Lubukpakam, ibukota Kabupaten Deli Serdang, 15 km dari Tanjung Morowa. Dan, saya menamatkan SMA di Kota Medan. Karena itulah saya lebih kental sebagai orang Medan dan banyak yang memanggil saya Abang, termasuk Bung Rida. Kalau melihat postur tubuhnya, Bung Rida cocoklah dengan pembawaannya yang selalu gesit dan lincah. Ia termasuk pekerja yang tekun. Saya masih ingat kami di PWI Pusat menugaskan PWI Cabang Riau menjadi penyelenggara MTQ Wartawan ASEAN-I pada bulan Agustus 1995. Beberapa kawan di PWI Pusat meragukan apakah PWI Cabang Riau mampu menyelenggarakan peristiwa besar, apalagi berskala internasional? Hati kecil saya mengatakan, mereka mampu. Karena saya tahu persis bagaimana kerja Bung Rida, termasuk kedekatannya dengan semua pihak. Ia bisa diterima di mana-mana karena orangnya luwes, tidak ngotot dan tidak mau menang sendiri. Dengan penuh keyakinan saya didampingi oleh Bung Rida dan pengurus PWI Cabang Riau lainnya bertemu dengan Gubernur Riau Soeripto waktu itu. Semuanya berjalan lancar. Pak Ripto setuju dan mendukung penuh MTQ Wartawan ASEAN itu diadakan di Stadion Bencah Luas, Pekanbaru, arah ke bandar udara Sultan Syarif Qasim II, tempat MTQ tingkat nasional dilaksanakan. Saya beruntung karena Wali Kota Pekanbaru, H Oesman Effendi Apan SH waktu itu adalah kawan lama saya. Saya mengenalnya sejak ia menjadi Camat Tamansari di Ja-
374
karta Barat ketika saya masih menjadi wartawan di Pos Kota. Jadi tidak ada masalah. Saya percaya sepenuhnya kepada Bung Rida untuk menyelenggarakan MTQ tersebut. Urusan di Jakarta urusan saya, yaitu mendatangkan Menteri Agama Dr Tarmizi Taher untuk pembukaan dan Menteri Penerangan Harmoko untuk penutupan. Dewan hakim disiapkan dari Jakarta. Sebagai ketua dewan hakim adalah H Sayid Agil Husin Al Munawar MA yang menjadi Menteri Agama di dalam Kabinet Gotong Royong. Ia adalah qori. Maka tidaklah mengherankan jika suranya enak didengar jika membaca Alquran. Dari Jakarta kami juga mendatangkan Kiai Kondang KH Zainuddin MZ. Ia datang sendiri ke Pekanbaru. Saya tidak bisa bersamanya karena saat itu sudah harus berada di Pekanbaru. Kiai sejuta umat itu dijadwalkan tampil di depan masyarkat Riau sehari sebelum pembukaan MTQ Wartawan ASEAN. Keyakinan saya benar. MTQ Wartawan ASEAN-I berlangsung dengan meriah dan sukses. Masyarakat Riau puas. Dan, itu tidak lepas dari tangan dingin Bung Rida. Sedingin tangannya mengelola surat kabar Riau Pos. Karena tidak mudah mengelola surat kabar, apalagi surat kabar di daerah seperti Riau. Keuletan, ketekunan, dan kerja keras serta tangan dinginnya membuat Riau Pos besar seperti sekarang. Saya tahu ada surat kabar lainnya yang terbit di kota itu tapi keadaannya tidaklah seperti Riau Pos. Mulanya memang Bung Rida sempat mengeluh kepada saya mengenai perkembangan Riau Pos. Mungkin kehadiran saya pada satu hari di kantor surat kabar itu
375
melecutnya untuk tidak menyerah. Ia merasa malu kalau tidak berhasil sebagai seorang putra daerah Riau membesarkan surat kabar di daerahnya. Dari tahun ke tahun ia membanting tulang mengelola sutat kabar itu. Segala pengorbanannya ternyata tidak sia-sia. Pohon yang sudah lama ditanamnya sudah mulai membuahkan hasil dan berguna bagi masyarakat. Riau Pos sudah menyatu dengan masyarakat Riau dan kini sudah beranak-pinak dengan melahirkan penerbitan lainnya. Belakangan saya mendengar ia juga memunculkan stasiun televisi daerah itu. Setelah Kongres PWI di Semarang November 1998, lama saya tidak bertemu dengan Bung Rida. Ia memang sempat memberikan nomor telepon genggamnya tapi begitu saya hubungi tidak pernah berhasil. Mungkin ia mempunyai banyak telepon genggam. Ketika menghadiri peringatan Hari Pers Nasional 2003 di Bali saya sempat kaget ketika ditepuk seseorang, saya pikir siapa. Rupanya Bung Rida, pembawaannya tidak berubah, seperti Bung Rida yang dulu. Hanya saja saya lihat ia tidak kurus lagi, tubuhnya mulai berisi dan mukanya mulai tembem. Saya tidak tahu apakah ini pertanda seseorang yang sudah mapan? Tapi apa pun, Bung Rida tidak berubah. Ia tetap ulet, tekun, dan orang yang luwes. Saya dan Bung Rida mempunyai kenangan tersendiri yang sama dan susah dilupakan, yaitu kami telah dapat ikut mengukir sejarah, setidaknya untuk ukuran nasional. Kami telah berhasil dengan baik menyelenggarakan MTQ Wartawan ASEAN-I di Pekanbaru, Riau, tanggal 2-4 Agustus 1995. Dan, itu adalah MTQ Wartawan ASEAN
376
pertama kali dan satu-satunya karena setelah itu tidak pernah diselenggarakan lagi MTQ Wartawan ASEAN. Para peserta di Pekanbaru, Riau sudah bersepakat MTQ Wartawan ASEAN-II diselenggarakan dua tahun kemudian di Brunei Darussalam tetapi tidak dapat dilaksanakan oleh pengurus wartawan di negara tersebut. Inilah kenang-kenangan indah bagi kami berdua. *** 10. ASPARAINI RASYAD Praktisi Humas & Entrepreneur. Sulit mencari Kepala Biro Humas Pemda sekelas Pak Asparaini Rasyad ini. Membangun karir dari seorang camat, sampai menjabat Asisten I bidang pemerintah di kantor Gubenur Propinsi Riau. Secara nasional, dia ini sekelas dengan Faisal Tamin, mantan Kepala Biro Humas Kementerian Dalam Negeri dahulunya. Luwes, cerdas, kreatif, dan jago memanfaatkan momentum. Dan bagi saya, dia adalah salah satu pionir bagi wujudnya Riau Pos sebagai surat kabar harian. Dan karena itu, dalam perjalanan panjang saya membangun karir memimpin Riau Pos, kami tak berpisah jauh. Dia menjadi salah seorang angota dewan komisaris PT Riau Pos Intermedia penerbit Harian Riau Pos, mewakili pemegang saham dari yayasan Penerbit dan Percetakan Riau Makmur yang diketuai oleh Pak Soeripto, mantan Gubernur Riau. Dan kemudian setelah dia pensiun kami masih terus bermitra saat dia menjadi Direktur PT Permodalan Ekonomi Rakyat (PER) dan Komisaris PT RAL (Riau Air Line), dua BUMD milik Pemda Riau, dan di dua BUMD ini dialah salah satu arsiteknya. Dia bilang, aku ini orang serba bisa, seperti judul catatannya. Dan catatan ini nyaris jadi sejarah berdiri dan berkembanganya Har-
377
ian Riau Pos yang ikut dia bidani :
R
ida K Liamsi (saya selalu memanggilnya dengan “Rid” saja dan kadang-kadang “Pak Rida”), tidak dapat dipisahkan dengan proses perkembangan Riau Pos, meskipun sebenarnya saya sudah mengenal dia sejak 25 tahun lalu, sebelum Riau Pos lahir. Pada awalnya saya mengenal Pak Rida hanya sebatas sebagai seorang wartawan (wartawan Suara Karya), sama seperti Moeslim Kawi (Genta), H Mulyadi (Suara Pembaruan), Bismark Tampubolon (Merdeka), Yaunusar Bakar (Antara), Akmal Famajra (Haluan), Edy Mawuntu (Suara Pembaruan), Zaili Asril (Kompas) dan lain-lain, sedangkan saya pada waktu itu adalah Kepala Biro Humas Pemda Riau. Ia (Pak Rida) memang sangat beruntung, berbeda dengan teman-temannya yang saya sebutkan itu, yang hanya “berjalan di tempat”. Namun, jika kita ingin meneropong “kebolehan” Pak Rida, tidak dapat dipisahkan dengan suasana yang menyertai kelahiran Riau Pos, karena yang membesarkan Pak Rida sampai akhirnya menjadi CEO Riau Pos Group yang di dalamnya tergabung sekitar 20 perusahaan yang bergerak di bidang media dan nonmedia adalah Riau Pos. Sampai sekitar tahun 1986, terasa sekali bahwa pemberitaan pers mengenai Riau didominasi surat kabar pusat seperti Kompas, Suara Pembaruan (dulu: Sinar Harapan), Merdeka, dan lain-lain serta surat kabar yang terbit di Padang dan di Medan. Pada waktu itu, berita-berita tentang Riau kurang berimbang. Gubernur Riau (waktu itu H Imam Munandar) selalu merasa dirugikan oleh
378
pemberitaan pers, dan tidak ada media yang terbit di Riau untuk mengimbangi pemberitaan pers yang terbit di luar Riau. Pada suatu hari, pada tahun 1986 saya dipanggil Gubernur Riau Pak H Imam Munandar (almarhum) ke ruang kerjanya. Waktu itu, di ruang kerja gubernur sudah ada Saudara Drs Ruskin Har (sekarang Kepala Balitbang) dan Djufri Hasan Basri (pengusaha). Pak Gubernur bertanya kepada saya, “As, bisa kita menerbitkan surat kabar dan bagaimana caranya?� Saya jawab, “Bisa Pak. Caranya dengan membentuk yayasan atau perseroan terbatas dan atau koperasi karena berdasarkan Peraturan Menteri Penerangan, surat kabar dapat diterbitkan oleh yayasan atau perseroan terbatas dan atau koperasi.� Kemudian gubernur langsung memerintahkan saya untuk mempersiapkan yayasan saja. Langkah pertama yang saya lakukan waktu itu adalah mempersiapkan rancangan pembentukan yayasan yang kemudian diberi nama Yayasan Penerbit dan Percetakan Pers Riau Makmur. Yayasan itu langsung diketuai oleh Pak H Imam Munandar (bukan selaku gubernur) dan saya ditunjuk sebagai sekretaris yayasan. Akta pendirian yayasan dikukuhkan oleh Notaris Syawal Sutan Diatas tanggal 11 April 1986 Nomor 35. Mengingat pada waktu itu agak sulit memperoleh izin baru usaha penerbitan pers, disepakati untuk mengubah status SKM Gema Riau sebuah penerbitan yang bersifat khusus yang dikelola oleh Biro Humas Pemda Riau menjadi penerbitan yang bersifat umum/independen dan seka-
379
ligus mengubah namanya menjadi SKM Warta Karya. Setelah melalui perjalanan yang cukup lama dan rasanya cukup melelahkan juga, yaitu hampir satu setengah tahun sejak yayasan mengajukan permohonan memperoleh SIUPP kepada Menpen RI pada 15 April 1986, akhirnya yayasan berhasil memperoleh SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) SKM Warta Karya dari Menteri Penerangan yaitu Keputusan Menteri Penerangan RI Nomor 251/SK/MENPEN/SIUPP/B.1/1987 tanggal 22 September 1987. Pengasuh SKM Warta Karya adalah Drs Asparaini Rasyad sebagai Pemimpin Umum, Zoechry Lilith sebagai Pemimpin Redaksi dan Drs Ruskin Har sebagai Pemimpin Perusahaan. Tempat cetaknya di CV Sukabina dan alamat redaksi pada waktu itu di Kompleks Pasar Sukaramai No.12,13 dan 14 Jalan Imam Bonjol Pekanbaru. Pada tahun 1988, sehubungan dengan pergantian jabatan Gubernur Riau dari Pak Imam Munandar kepada Pak Soeripto setelah sebelumnya dijabat sementara oleh Pak Atar Sibero (almarhum), dilakukan pula perubahan kepengurusan yayasan, yaitu Pak Soeripto sebagai ketua, Pak Zuhdi SH sebagai sekretaris, sedangkan saya (Asparaini Rasyad) sebagai anggota yayasan. Perubahan tersebut kemudian dikukuhkan dengan Akta Notaris Syawal Sutan Diatas Nomor 49 tanggal 12 Juli 1989. Karena kesibukan saya sebagai Kepala Biro Humas, Pak Soeripto menyarankan agar pengelola SKM Warta Karya disempurnakan pula. Sehubungan dengan rencana mengubah susunan pengelola SKM Warta Karya, saya menyarankan kepada Pak Soeripto agar nama SKM Warta Karya diubah menjadi SKM Riau Pos. Pengelola baru
380
SKM Riau Pos tersebut adalah Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Zuhdi SH, Pemimpin Perusahaan K Aris JP, sedangkan tempat cetak diubah dari CV Sukabina ke PT Kembang Kasih. Perubahan nama SKM Warta Karya menjadi SKM Riau Pos, perubahan pengasuh dan perubahan tempat cetak itu kemudian mendapatkan persetujuan Menteri Penerangan, dengan suratnya Nomor: 207/Ditjen PPG/K/1989 tanggal 28 Agustus 1989 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari keputusan Menteri Penerangan Nomor 251/SK/MENPEN/SIUPP/B.1/87 tanggal 22 September 1987 tentang Pemberian SIUPP kepada SKM Warta Karya. Setelah berjalan lebih kurang satu tahun dan meskipun telah memperoleh dukungan Pak Soeripto, perkembangan SKM Riau Pos tidak memperlihatkan kemajuan, seperti “Kerakap tumbuh di batu, hidup enggan, mati tidak mau”. Saya kembali mendapat tugas dari Pak Soeripto untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi SKM Riau Pos. Kepada saya, Pak Soeripto mengatakan, “Pokok-e kamu atur, As. Bagaimana caranya SKM Riau Pos itu jalan.” Menurut pendapat saya, permasalahan yang dihadapi Riau Pos pada waktu itu adalah kekurangan modal, tidak punya mesin cetak dan tidak punya tenaga pengelola yang profesional. Saya pikir dan juga atas saran beberapa orang teman wartawan, untuk memajukan Riau Pos, perlu bekerja sama dengan perusahaan penerbitan pers yang sudah maju dan kuat seperti yang dilakukan pada saat itu oleh sejumlah surat kabar daerah dengan perusahaan penerbitan pers yang ada di Jakarta. Pada acara pertemuan Biro Penbitmassmed DPD
381
Golkar Provinsi se-Indonesia di Hotel Kartika Chandra Jakarta bulan Juni 1990, saya bertemu Saudara Dahlan Iskan, Pemred SKH Jawa Pos Surabaya. Pada pertemuan itu juga hadir Pak Rida dan Pak Markum Singodimejo (waktu itu Kakanwil Deppen Riau dan sekarang Bupati Ponorogo, Jawa Timur). Saya dan Pak Rida adalah pengurus DPD Golkar Riau. Kami sama-sama duduk sebagai Biro Penbitmassmed (Penerangan, Penerbitan dan Mass Media) DPD Golkar Provinsi Riau, sama seperti Saudara Dahlan Iskan adalah Biro Penbitmassmed DPD Golkar Provinsi Jawa Timur. Kepada Saudara Dahlan Iskan, saya menawarkan keinginan saya untuk membina kerja sama dengan Jawa Pos dalam mengembangkan Riau Pos. Saudara Dahlan Iskan setuju dengan tawaran saya itu, dengan syarat Pak Rida K Liamsi harus ditempatkan sebagai Pemimpin Redaksi di Riau Pos. Ternyata, Pak Dahlan Iskan dan Pak Rida sudah lama saling mengenal. Mereka dulunya, sama-sama wartawan Majalah TEMPO. Saya setuju dengan syarat yang dimajukan Saudara Dahlan Iskan. Selanjutnya saya mengharapkan kepada Saudara Dahlan Iskan agar dalam tempo 15 hari, sudah menugaskan pejabat yang mewakili Jawa Pos ke Pekanbaru untuk membuat Perjanjian Kerja Sama antara Jawa Pos dengan Riau Pos. Selanjutnya, saya menghadap Pak Soeripto, ketua umum yayasan yang kebetulan sedang berada di Jakarta dan menginap di Perwakilan Riau (sekarang: Kantor Penghubung Provinsi Riau) Jalan Otista Raya No.107 Jakarta. Saya melaporkan kepada Pak Soeripto, bahwa saya telah bertemu dengan Saudara Dahlan Iskan, Pemred
382
SKH Jawa Pos Surabaya dan telah disepakati untuk membina kerja sama dalam mengembangkan Riau Pos. Saya laporkan juga, bahwa Saudara Dahlan Iskan mengajukan syarat antara lain, menempatkan Pak Rida K Liamsi sebagai pemimpin redaksi di Riau Pos. Pada waktu itu, Pak Soeripto menanyakan kepada saya, “Siapa Pak Rida K Liamsi?� Setelah saya jelaskan bahwa Pak Rida adalah teman akrab saya, seorang wartawan senior di Suara Karya dan sama-sama Biro Penbitmassmed DPD Golkar Provinsi Riau, Pak Soeripto akhirnya setuju dan mengharapkan agar rencana kerja sama itu segera ditindaklanjuti. Sambil menunggu kedatangan pejabat Jawa Pos, yayasan melaksanakan rapat. Rapat yang dipimpin Pak Soeripto itu, memutuskan bahwa yayasan menyetujui: (1) peningkatan SKM Riau Pos menjadi surat kabar harian; (2) kerja sama yayasan dengan Jawa Pos; (3) perubahan susunan pengasuh yaitu Zuhdi SH sebagai Pemimpin Umum, Rida K Liamsi sebagai Pemimpin Redaksi dan Saudara Rasnizal Syukur sebagai pemimpin perusahaan. Pada tanggal 23 Juli 1990, Saudara Indra Slamet Santoso, mewakili Jawa Pos tiba di Pekanbaru untuk menyelesaikan perjanjian kerja sama dengan yayasan dalam mengelola SKM Riau Pos. Pertemuan yayasan dengan Indra Slamet Santoso dilaksanakan tanggal 23 Juli 1990 malam, menumpang di Kantor DPD Golkar Riau, Jalan Diponegoro Pekanbaru, dihadiri oleh Zuhdi SH, KH Abdul Kadir MZ (almarhum) dan saya sendiri (Asparaini Rasyad) mewakili yayasan serta Rida K Liamsi dan Indra Slamet Santoso mewakili Jawa Pos. Dalam pertemuan tersebut disepakati pembentukan
383
PT Riau Pos dengan komposisi modal adalah Yayasan 65 persen dan PT Jawa Pos 35 persen. Modal yayasan pada PT Riau Pos hanya berupa SIUPP Riau Pos yang dimiliki yayasan yang dikeluarkan Menteri Penerangan RI. Pada saat itu, SIUPP suatu surat kabar benar-benar benda berharga karena untuk memperolehnya cukup sulit dan rumit; tidak seperti pada era reformasi ini, kapan dan di mana saja boleh menerbitkan surat kabar, tabloid atau majalah meskipun hanya satu kali terbit, kemudian hilang dari peredaran. Penandatanganan pembentukan PT Riau Pos sesuai kesepakatan pada pertemuan tanggal 23 Juli 1990, baru dapat dilaksanakan keesokan harinya (tanggal 24 Juli 1990) pukul 22.00 WIB di Kantor Notaris Syawal Sutan Diatas, Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru. Tertundanya penandatanganan kerja sama tersebut karena saya harus melapor terlebih dahulu kepada Pak Soeripto selaku ketua yayasan mengenai orang-orang yang akan didudukkan di PT Riau Pos yang akan dibentuk. Saya baru dapat bertemu dengan Pak Soeripto di rumah kediamannya di Jalan SisingaÂŹmangaraja No.69 Pekanbaru sekitar pukul 21.00 WIB, sedangkan Pak Indra Slamet Santoso, H.Zuhdi SH, Rida K Liamsi dan H.Abd. Kadir MZ menunggu di Hotel Tasia dan Notaris Syawal Sutan Diatas menunggu di kantornya di Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru. Kepada Pak Soeripto saya jelaskan bahwa jabatanjabatan yang tersedia untuk yayasan di PT Riau Pos yang akan dibentuk adalah dua orang komisaris, satu orang direktur, satu orang pemimpin umum dan satu orang
384
pemimpin perusahaan. Pak Soeripto menanyakan kepada saya, “Kamu mau duduk di mana?” Saya jawab, ”Karena saya sibuk, tidak mungkin saya menjadi direktur. Karena itu, kalau Bapak ingin mendudukkan saya di PT Riau Pos, cukup sebagai komisaris saja.” Pak Soeripto setuju dan selanjutnya Pak Soeripto bertanya, “Yang lainnya siapa dan apa jabatannya?” Saya jawab, menurut saya, komisaris yang satu lagi adalah Pak KH Abd. Kadir MZ (almarhum) dan direktur Pak Umar Umaiyah.” Pak Soeripto setuju dengan nama-nama yang saya usulkan dan kemudian membubuhkan persetujuannya (asese atau acc) di atas kertas laporan yang saya ajukan. Selanjutnya saya berangkat menuju Hotel Tasia untuk menemui Indra Slamet Santoso dan pengurus yayasan lainnya serta Pak Rida K Liamsi dan kemudian bersamasama berangkat menuju Kantor Notaris Syawal Sutan Diatas. Saat itu, sudah sekitar pukul 21.45 WIB. Syawal Sutan Diatas sudah lama menunggu. Selanjutnya mulailah penandatanganan Akta Notaris Nomor 76 tanggal 24 Juli 1990 tentang Pendirian PT Riau Pos yang dibentuk oleh yayasan bersama Jawa Pos. Yayasan diwakili KH Abd. Kadir MZ, sedangkan Jawa Pos diwakili oleh Indra Slamet Santoso, disaksikan oleh Rida K Liamsi, H.Zuhdi SH, Busra Algerie dan saya sendiri (Asparaini Rasyad). Busra Algerie waktu itu bertugas sebagai juru foto untuk mengabadikan perisitiwa itu yang menurut pendapat saya, paling bersejarah dalam perkembangan pers di Riau.
385
Sesuai dengan Akta Notaris Nomor 76 tanggal 24 Juli 1990, maka susunan Pengurus PT Riau Pos selengkapnya adalah: Komisaris Utama Eric Samola SH (Jawa Pos), Komisaris Tarianto SE (Jawa Pos), KH Abdul Kadir MZ (yayasan) dan Drs Asparaini Rasyad (yayasan). Direktur Utama Dahlan Iskan (Jawa Pos), Direktur Rida K Liamsi (Jawa Pos) dan direktur Umar Umaiyah (yayasan). Inilah lembaran baru dari sejarah perkembangan pers di Riau, membuka kembali lembaran lama yang sudah gelap, setelah sejumlah surat kabar yang pernah muncul di Bumi Lancang Kuning ini “Layu sebelum berkembang�. Dari beberapa dokumen yang dapat saya temukan, sejarah pertumbuhan penerbitan pers di Riau memperlihatkan perjalanan yang cukup panjang, penuh liku, tanjakan, turunan dan penuh tantangan. Konon, sejak tahun 1956 sudah ada surat kabar yang terbit di Riau yaitu Kumandang (1956), Sinar Masa (1960), Gotong Royong (1961), Obor (1962), Teladan Minggu (1963), Demokrasi (1964), Angkatan Bersenjata Edisi Pekanbaru (1965), Gema Riau (1966), Taruna Baru (1968), Sempena (1973) dan Genta (1979), tetapi karena surat kabar itu tidak dikelola secara profesional, dana yang dimiliki terbatas dan mesin cetak untuk koran tidak ada, maka surat kabar tersebut tidak ada yang mampu bertahan lama. Sepanjang ingatan saya, sampai tahun 1985 di Riau, hanya ada satu surat kabar yang bersifat umum yaitu Genta yang terbit sekali seminggu dan satu surat kabar yang bersifat khusus yaitu Gema Riau yang dikelola Biro Humas Pemda Riau yang juga terbit sekali seminggu. Sejak itu, lahirlah model baru dalam perkembangan
386
bisnis persurat kabaran di Riau yaitu kerja sama SKH Riau Pos dengan Jawa Pos. Langkah selanjutnya adalah mengajukan perubahan SIUPP Riau Pos kepada Menteri Penerangan, yaitu dengan surat yayasan tanggal 26 Juli 1990 Nomor 85/YPRM.7/1990 yang isinya adalah: (1) Perubahan penerbit Riau Pos dari yayasan menjadi PT Riau Pos, (2) perubahan periode terbit dari mingguan menjadi harian dengan tujuh kali terbit seminggu dan (3) perubahan susunan pengasuh Riau Pos yaitu H.Zuhdi SH sebagai Pemimpin Umum Rida K Liamsi sebagai pemimpin redaksi dan Raznizal Syukur sebagai pemimpin perusahaan. Menteri penerangan memberikan persetujuan perubahan SIUPP Riau Pos dari mingguan menjadi harian berdasarkan Surat Dirjen PPG Nomor 454/Dirjen PPG/K/1991 tanggal 20 November 1991. Susunan pengasuh Riau Pos berdasarkan surat Dirjen PPG tersebut adalah Zuhdi SH sebagai pemimpin umum/pemimpin redaksi dan Raznizal Syukur sebagai pemimpin perusahaan. Pak Rida kemudian diangkat oleh Dirut PT Riau Pos sebagai penanggung jawab redaksi sehari-hari dan penanggung jawab keuangan. Jadwal terbit untuk tahap awal hanya empat kali seminggu. Sejak itu, mulailah Pak Rida mengelola SKH Riau Pos. Seingat saya Riau Pos memulai kegiatan dari kantornya yaitu satu bangunan ruko yang terletak di Jalan Cempaka No. 34 B Pekanbaru dengan oplah jual sekitar 3.500 eks/ hari. Anehnya, meskipun izin yang dikeluarkan Menpen RI hanya untuk terbit empat kali seminggu, SKH Riau Pos dalam kenyataannya mampu terbit enam kali seminggu.
387
Kasus SKH Riau Pos ini, pernah dijadikan bahan pembicaraan dalam rapat jajaran pers di Palembang. Tetapi Dirjen PPG Deppen RI menganggap hal itu sebagai hal yang luar biasa, karena menurut Dirjen PPG, di beberapa daerah, ada surat kabar yang diberi izin terbit enam kali seminggu, ternyata hanya terbit empat kali seminggu, tetapi di Riau, SKH Riau Pos diberi izin terbit empat kali seminggu, ternyata mampu terbit enam kali seminggu. Di sinilah, Pak Rida mulai menunjukkan “kebolehannya�. Dalam perkembangan selanjutnya, SKH Riau Pos melaju dengan cepat. Tahun berikutnya, yaitu tahun 1992 oplah jual surat kabar ini telah mencapai 12.000 eks/terbit, tahun 1993 meningkat lagi menjadi 18.000 eks/terbit dan Oktober 1994 menjadi 20.000 eks/terbit sedangkan pada awal tahun 2003 sekitar 26.000 eks/terbit. Di samping oplah, Surat Kabar Riau Pos yang saat ini terbit tujuh kali seminggu, halamannya meningkat dari delapan halaman pada awal terbitnya menjadi 32 halaman pada saat ini. Pada saat ini, Pak Rida selain menjabat sebagai Presiden Direktur PT Riau Pos, juga menjabat sebagai penanggung jawab, sedangkan Pak Zuhdi SH menjabat direktur dan saya tetap menjadi komisaris mewakili yayasan. Komposisi modal PT Riau Pos juga sudah mengalami perubahan. Saat ini yayasan memiliki modal 25 persen, Jawa Pos 55 persen, Yayasan Karyawan PT Riau Pos 14 persen dan Ny Dorothea Samola 6 persen. Pada bulan September 1994, SKH Riau Pos mulai memasuki abad teknologi informasi dengan melaksanakan Cetak Jarak Jauh (CJJ) di Tanjungpinang. Tetapi sistem CJJ itu sekarang sudah ditinggalkan, digantikan oleh la-
388
hirnya anak perusahaan PT Riau Pos seperti Batam Pos dan Batam Ekspress di Batam, Pekanbaru Pos di Pekanbaru, Dumai Pos di Dumai, Harian Padang Ekspress dan Harian PosMetro Padang di Padang, Harian Sumut Pos dan Harian Pos Metro Medan di Medan. Selain media cetak Pak Rida juga mengembangkan perusahaan percetakan seperti PT Riau Graindo di Pekanbaru, PT Ripos Bintana Press di Batam, PT Padang Graindo Mediatama di Padang dan PT Medan Graindo Press di Medan serta perusahaan multimedia yaitu PT Riau Media Televisi atau lebih dikenal dengan RTv. Selain itu juga terdapat sejumlah perusahaan nonmedia yang bergerak dalam bidang internet, travel biro, perdagangan umum, promosi dan marketing, dan money changer. Riau Pos tidak saja “beranak” tetapi sudah punya cucu, seluruhnya tercatat sekitar 20 perusahaan, baik media maupun nonmedia. Sungguh menakjubkan. Sekali lagi kita harus acungkan jempol pada Pak Rida dengan keberhasilannya membangun persuratkabaran di Riau. Ia (Pak Rida) berhasil “membangkik batang terandam”. Daerah Riau yang memiliki sumber daya alam yang kaya-raya, yang semula tidak punya penerbitan surat kabar daerah yang terbit setiap hari, sejak tahun 1991 memiliki surat kabar kebanggaan rakyat Riau, yaitu Riau Pos. Ia (Pak Rida) yang pada awalnya seorang guru; kemudian jadi wartawan, berpindah-pindah dari media satu ke media lain; sekaligus menjadi seniman; sekarang sudah jadi pengusaha pers yang mengelola sekitar 20 perusahaan, baik media maupun nonmedia, semuanya adalah anak-anak atau cucu-cucu Riau Pos; dan akhir-akhir ini
389
Pak Rida dipercaya Gubernur Riau, Pak Saleh Djasit SH sebagai Direktur PT Pengembangan Investasi Riau (PT PIR), sebuah Badan Usaha Milik Daerah Riau yang diharapkan mampu menjembatani para investor dengan keperluhan pembangunan Provinsi Riau dalam mewujudkan Visi Riau 2020. Pada tanggal 19 Juni 2003, ia (Pak Rida) mewakili PT Pengembangan Investasi Riau (PT PIR), bersama-sama dengan Pak Saleh Djasit SH, Gubernur Riau, mewakili Pemda Riau, dihadapn Notaris Tito Utoyo SH, mendirikan PT Permodalan Ekonomi Rakyat (PT PER) sebuah BUMD Riau yang ditugaskan Gubernur Riau mengembangkan ekonomi rakyat. Karena itu, tidak salah jika Ia (Pak Rida) manusia serba bisa. Ia (Pak Rida) memang tipe orang bekerja keras, disiplin dan hemat, tetapi punya perhitungan dan nalar bisnisnya cukup tinggi. Saya merasa terkagum-kagum juga, ketika saya membaca komentar Dr Alfitra Salamm (peneliti LIPI) di Riau Pos, Sabtu 7 Juni 2003 yang menyatakan, “Rida K Liamsi Layak jadi Gubernur Kepri�, karena semua kriteria yang diinginkan, dimiliki oleh Rida, kata pengamat politik nasional Dr Alfitra Salamm kepada Riau Pos. Tetapi, kembali ke pangkal kaji, betapa pun juga, suatu kenyataan yang tidak dapat dimungkiri oleh Pak Rida, bahwa ia benar-benar dibesarkan oleh Riau Pos. Bapak/ Ibu yang melahirkan Riau Pos itu adalah SKM Warta Karya dan bidan yang membantu kelahirannya adalah yayasan dan selanjutnya dibesarkan oleh PT Riau Pos yang dibentuk atas kerjasama Yayasan dengan Jawa Pos, sedangkan nenek Riau Pos adalah Gema Riau. Ini memang
390
suatu kesinambungan. Pak Rida telah berhasil membesarkan Riau Pos, tetapi Riau Pos pulalah yang membuat Pak Rida menjadi besar. Antara Riau Pos dengan Pak Rida, ibarat “dua sisi mata uang, pada hakekatnya satu”. Namun, kita juga tidak boleh lupa kepada jasa para pendahulu kita. *** 11. NYAT KADIR Mantan Walikota Batam. Kami datang dari satu daerah yang sama, Lingga. Hanya saja Pak Nyat Kadir dibesarkan di kecamatan Lingga, dan aku di kecamatan Singkep. Kini kedua kecamatan itu masuk Kabupaten Lingga, dan kami berdua berjuang bersama mewujudkan impian menjadikan Lingga sebagai kabupaten. Catatan Pak Nyat ini dibuat ketika dia masih menjadi Wali Kota Batam. Dialah yang melekatkan visi Batam Bandar Madani. Dia mundur sebagai walikota karena bertarung untuk menjadi Gubernur Kepulauan Riau. Kalah, tapi tak pernah menyerah. Secara berkelakar, aku selalu menyebut dia “Megat”, karena mengingatkan saya pada perjuangan Megat Sri Rama, Laksamana Kerajaan Johor yang memberontak dan membunuh Sultan Mahmudsyah ( 1699 ), karena ingin mengubah sejarah :
S
AYA tidak tahu dari mana harus memulai, ketika saya mendapat surat yang isinya diminta untuk ikut menyumbangkan tulisan tentang sosok H Rida K Liamsi, yang sangat cukup dikenal di seluruh masyarakat Riau ini. Saya bimbang, karena bagi saya, H Rida K Liamsi bukanlah orang asing, sehingga ketika diminta untuk
391
menulis tentang beliau, maka ada kekhawatiran, kalimat yang tersusun ini tidak sesuai dengan apa yang saya maksud. Sebab, menurut saya penyampaian melalui ucapan lebih detail dari pada ditulis. Rida K Liamsi memang seorang fenomenal. Dia tidak saja dikenal sebagai pengusaha koran terbesar di Riau, tetapi juga seorang wartawan, tokoh pers, seniman penyair dan tak kalah pentingnya, beliau adalah salah seorang tokoh masyarakat yang disegani. Saya tidak akan melihat Rida K Liamsi sebagaimana layaknya, seorang kawan menilai kawan yang lain. Tapi di sini, saya ingin menyebutkan, apa yang dilakukan Rida K Liamsi, merupakan sebuah pekerjaan besar, yang berorientasi untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakatnya. Media massa yang dimilikinya, telah menjadi medium dalam mencerahkan dan mencerdaskan anak watan yang ada di Rantau Melayu khususnya. Dia tidak saja pemberi informasi, tetapi juga teman untuk bertukar pikiran. Dalam penelusuran sejarah, apa yang dilakukan Rida K Liamsi merupakan sebuah manifestasi dari apa yang sudah ada sebelumnya. Rida, dengan penerbitan dan percetakan yang dimiliknya, membuat formula baru dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, sehingga alat yang digunakan lebih profesional dari yang sudah ada sebelumnya. Saya melihat ada beban sejarah yang disandang Rida K Liamsi dalam menjalankan usahanya. Paling tidak hal itu bisa dilihat dari semangat untuk mendirikan perusahaan penerbitan di Riau. Budayawan UU Hamidy mencatat, paling tidak ada
392
empat penertiban atau percetakan yang hidup pada masa kerajaan Riau-Lingga. Semasa kerajaan RiauLingga berpusat di Daik Lingga ada sebuah percetakan disana yang diberi nama Rumah Cap Kerajaan. Pada tahun 1805 Masehi, pusat kerajaan berpindah ke Penyengat, maka muncul pula sebuah percetakan bernama Bathabatul Riauwiyah, yang didirikan pada tahun 1894. Di dalam Bathabatul Riauwiyah ini memiliki dua redaksi penerbitan. Jika yang diterbitkan itu berhubungan dengan kerajaan maka dipakai redaksi Mathabul Ahmadiyah. Sementara di dalam Kerajaan Siak Sri Indrapura, juga pernah ada percetakan. Ini bisa dilihat dari hasil percetakannya antara lain Babul Kawaid, yakni undang-undang kerajaan tersebut. Dalam massa kerajaan Riau-Lingga juga, yakni sekitar tahun 1906, terbentuklah Syarikat Dagang Ahmadi. Karena semakin pesatnya kemajuan yang dicapai, maka serikat dagang ini membuat cabang di Singapura. Karena di dalam diri para pendiri Syarikat Dagang ini tertanam jiwa intelektual yang tinggi, maka di Singapura ini, mereka mendirikan sebuah percetakan yang diberi nama Mathabatul Ahmadiyah. Namun dalam perkembangannya, percetakan ini lebih populer dengan nama Al Ahmadiyah Press. Menurut catatan UU Hamidy, Percetakan Al Ahmadiyah Press ini mengalami masa kejayaan sampai tahun 1950-an. Selama hampir 50 tahun itu, percetakan ini sudah memainkan peran yang cukup besar, menunjang Kesusastraan Melayu di Riau khususnya, dan rantau Selat Melaka umumnya. Zakat percetakan ini hampir setiap tahun dibagi-bagikan kepada kaum kerabat dan puak Mel-
393
ayu di Pulau Penyengat dan sekitarnya. Apa yang bisa disauk dari sejarah ini, di mana Rida K Liamsi dalam masa umur sampai 60 tahun ini telah memainkan perannya yang sangat gemilang di Rantau Melayu ini. Dia tidak saja melanjutkan tradisi cetak yang sudah ada di Riau, tetapi Rida K Liamsi juga, dengan perkembangan teknologi saat ini sudah membuat formulasi dalam dunia penerbitan itu sendiri. Rida K Liamsi tidak saja menjadi pelaku dan pencipta sejarah, tapi juga menjadi aktor dalam sejarah itu sendiri. Sejarah yang sudah terciptakan tidak akan bisa terulang lagi. Kalau ada peristiwa yang baru, dia telah mencatat sejarah sendiri pula. Rida K Liamsi telah membuka mata kita semua, dan telah memutuskan mitos dan penilaian yang negatif yang selama ini berkembang, bahwa anak Melayu itu dikenal dengan pemalas, dan tidak memiliki etos kerja yang tinggi dan tidak mau bekerja berat. Namun anggapan itu rupanya sudah ditebas Rida K Liamsi dengan menghadirkan berbagai karya dalam hidupnya. Rida menjadi satu cerminan, dan motivasi bagi anak Melayu dalam melihat dan menatap masa depan. Rida K Liamsi boleh dikatakan setidaknya menurut kaca mata saya, telah berhasil membungkus rasa nasionalisme dalam bingkai budaya lokal. Terakhir, saya beserta keluarga mengucapkan selamat ulang tahun ke-60, kepada Rida K Liamsi, yang tidak lain merupakan, salah seorang sabahat karib saya. Semoga dalam usia saat ini lebih bisa memberikan arti dalam kehidupan masyarakat. Amin. Dan Insya Allah tulisan biografi H Rida K Liamsi dapat memberikan contoh dan
394
teladan untuk memotivasi generasi muda yang akan datang agar dapat menciptakan sejarah bagi dirinya sendiri. *** 12. FIRMAN EDDY Mantan Bupati Kepulauan Riau. Pak Firman Eddy adalah Bupati Kepulauan Riau, ketika aku memulai karir jurnalistik ku. Dia telah menjadi sumber berita yang paling produktif, kritis, dan inspiratif. Sikap nya yang terbuka, kadar inteltualitas yang tinggi, serta disiplin sikap yang dibawa dari karir meliter, membuat Pak Firman benar-benar menjadi sahabat yang luar biasa penting bagiku. Ketika dia pensiun setelah menjalani masa jabatan dua kali sebagai bupati Kepulauan Riau (1977-1988), kami sering bertemu dan berdiskusi, saat jalan pagi, atau ketemu pada acara-acara resmi di Gubernuran. Aku terenyuh ketika satu hari tahu dia koma di rumah sakit Awal Bross karena ditabrak sepeda motor, menjelang masuk ke pekarangan rumahnya di Jalan Cemara, Gobah, dan penabraknya lari. Ibu Ul, istrinya yang setia menunggu, sesunggukan menahan tangis. “Bapak pulang jalan pagi, tiba-tiba ditabrak sepeda motor di depan rumah. Pingsan, dan tak sadar sampai sekarang ...�, ratapnya. Seminggu kemudian, Pak Firman pergi selamanya. Tak ada lagi teman jalan pagi, dan teman diskusi yang kritis ini “Leo, awak ini luar biasa. Tak kenal menyerah, kreatif dan inovatif �, itulah kata-kata Pak Firman Eddy yang selalu aku ingat. Dia telah memotivasi aku untuk menjadi wartawan yang tangguh dan terpercaya. Dialah, ketika menjabat sebagai Bupati Kepulauan Riau, telah memberi aku ruang dan peluang untuk menjadi wartawan yang diperhitungkan. Kami biasa berdiskusi berjamjam tentang berbagai soal, di salah satu ruangan stafnya di kantor
395
Bupati. Dia yang mengajak aku masuk hutan dan pulau mencari lokasi untuk menampung para pengungsi Vietnam, dan dia membuat liputan aku tentang pengungsi Vietnam di majalah TEMPO, unggul, dan jadi laporan utama. Sekarang, saat kami ketemu waktu jogging atau acara-acara resmi di Pekanbaru, dia selalu menepuk bahu saya, dan memberi tahu teman di sebelah: “Dia ini memang hebat ‌â€?, katanya, dan aku malu karena pujiannya. Dan aku akan tetap mengenang Pak Firman Eddy ini, karena dialah yang menandatangani SK pengangkatan aku sebagai guru SD di Tanjungpinang, di mana dalam SK itu tanggal lahirku menjadi 17 Juli 1943. Angka yang sangat persuasif : 17 7 17 . Terima kasih Pak Fir, semoga mendapat tempat yang layak di sisi Nya.... Inilah catatannya yang dibuatnya jauh sebelum musibah menimpanya :
D
alam sejarah hidup saya, Tuhan telah menakdirkan saya cukup lama di Bumi Lancang Kuning bersama-sama mengabdi dengan Saudara Rida K Liamsi. Hanya saja Adinda Rida K Liamsi bergumul di bidang informasi, bahkan kini aktif bergelut sebagai seorang pengusaha persuratkabaran. Secara kebetulan sekitar tahun tujuh puluhan, pada waktu itu saya dipercaya sebagai karya-wan ABRI dan ditugaskaryakan sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kepulauan Riau selama sebelas tahun tiga bulan. Adinda Rida K Liamsi ini, yang secara kebetulan pula adalah salah seorang putra daerah kelahiran Dabo Singkep-salah satu pulau di kawasan perairan Kepulauan Riau. Adinda Rida K Liamsi ini sebenarnya telah mengawali profesinya bukan pada bidang kewartawanan. Dia telah dipersiapkan untuk mengabdi di bidang pendidikan
396
dasar, tetapi apa mau dikata, dia telah merebut bidang informasi komunikasi dan ini merupakan salah satu kesempatan. Entah disadari entah tidak, rupanya Dinda Rida K Liamsi ini telah melihat peluang sesuai dengan bakat dan perkembangan globalisasi dunia di mana informasi, terutama media massa, mempunyai peran sangat penting dalam masyarakat yang sedang berada pada proses perubahan yang sedang dihadapi dunia, tidak terkecuali Riau yang secara geografis dan geopolitis termasuk salah satu kawasan Indonesia yang cukup signifikan. Kemampuan melihat-yang orang lain belum tentu mampu, tidak mungkin diperoleh kalau Adinda Rida K Liamsi tidak berada pada forum informasi dan komunikasi, yang teknologinya semakin canggih seperti yang kita alami sekarang ini. Saya beranggapan, sebagai salah seorang masyarakat awam yang mengikuti proses perkembangan media cetak Riau Pos, di bawah pengelolaan Rida K Liamsi dan kawan-kawan, termasuk salah satu media yang berhasil merebut pangsa pasar seperti yang kita saksikan sekarang ini. Bukan itu saja, Dinda Rida K Liamsi juga seorang seniman Melayu yang aspiratif. Entah disengaja entah tidak, produk medianya saya temukan pula lembaran-lembaran yang di dalamnya termuat informasi-informasi yang berkaitan dengan sastra budaya Melayu. Bahkan saya agak terkejut ketika menyaksikan Dinda Rida K Liamsi tampil pada forum nasional membacakan sajaknya dan mendapat sambutan yang hangat. Salah satu yang menjadi pertanyaan saya, mengapa Dinda Rida K Liamsi ini kok pindah profesi ke bidang informasi-komunikasi? Entah
397
sengaja atau tidak, mungkin Rida K Liamsi sudah melihat sektor pendidikan ini masa depannya masih suram. Pada waktu itu sekitar tahun tujuh puluhan program pendidikan memang belum didukung oleh program dan dana yang memadai. Ini memang terbukti bila kita bandingkan dengan negara-negara tetangga kita, Si-ngapura dan Malaysia. Baru setelah pada era reformasi, dengan telah berlakunya undang-undang otonomi daerah yang didampingi oleh undang-undang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, dengan ucapan Syu-kur Alhamdulillah, pemerintah daerah meresponnya dengan Visi 2002, pembangunan sumber daya manusia langsung mendapat perhatian sungguh-sungguh, yang kemudian ditunjang secara normatif oleh undang-undang tentang sistem pendidikan nasional. Sekali lagi, saya sebagai anggota masyarakat awam merasa bersyukur Anda telah berhasil sebagai seorang jurnalis, serta berhasil merebut peluang mengembangkan usaha media cetak, yang bukan saja meliputi Provinsi Riau, tetapi juga telah merambah ke Provinsi-Provinsi tetangga, amin. Dari sisi pendidikan nonformal usaha yang sudah Anda kembangkan bersama rekan-rekan Anda sudah berhasil memancing minat baca dari semua kalangan masyarakat, sejak dari akar rumput sampai atas. Sekaligus last but not least, Anda telah buktikan bahwa bisnis informasi ini mempunyai sifat multipurpose di samping bisa mendatangkan untung bila dikelola dengan management yang signifikan, dia mempunyai efek samping yang positif mengangkat minat baca masyarakat sekaligus mendidik masyarakat agar tidak buta informasi.
398
Orang yang mengatakan, siapa yang menguasai informasi dialah yang paling beruntung. *** ADINDA Rida K Liamsi adalah seorang seniman penyair, sebagai seorang tokoh pers, yang mampu melihat peluang jauh ke depan. Terbukti, pada era globalisasi peran informasi dan komunikasi dengan tepat guna dan hasil guna. Adinda Rida K Liamsi adalah seorang komunikan dan sekaligus sebagai komunikator yang dilatarbelakangi oleh sosil budaya yang sejuk berwawasan lingkungan. Adinda Rida K Liamsi telah berhasil mengembangkan informasi menjadi pusat bisnis yang didukung oleh sistem manajerial dan sumber daya manusia pers yang makin berkualitas *** 13. MURWANTO Mantan Bupati Kepulauan Riau. Pak Murwanto, adalah Bupati Kepulauan Riau, pengganti Pak Firman Eddy. Kalau Pak Firman dari Angkatan Laut, Pak Murwanto dari Angkatan Darat. Kononnya, karena Kepulauan Riau itu daerah strategis dan berbatasan dengan Singapura dan Malaysia, maka Kepala Daerahnya dulu selalu berasal dari ABRI. Sebelum Pak Firman, ada Pak Adnan Kasim, ini dari Kepolisian. Hanya Angkatan Udara saja yang belum sempat jadi Bupati di sana. Karena begitu Pak Murwanto habis masa jabatannya yang kedua, penggantinya A Manan Saiman, dari Angkatan darat juga. Setelah itu, era sipil, karena pengganti Pak Manan, adalah Huzrin Hood, politikus Golkar. Pak Murwanto ini, teman bicara yang masih terasa ABRI nya, dan masih medok Jawa, tapi dia
399
sangat Melayu. Setelah habis masa jabatannya, dan dia menetap di Jakarta, dia tak putus hubungan dengan teman-teman di Kepulauan Riau. Bahkan waktu ada Musyawarah Besar Masyarakat Kepulauan Riau untuk berjuang memekarkan wilayah dan minta jadi Provinsi, Pak Murwanto datang ikut Mubes, dan di Jakarta pun dia ikut berjuang agar Kepulauan Riau segera jadi Provinsi. Meskipun sebagai wartawan, waktu masa Pak Murwanto aku udah gabung dengan Suara Karya, beritaku sering membuat dia uring-uringan, dia tidak pernah naik pitam, apalagi main panggil. Paling-paling “Dik... Beritanya kok gitu…” dan itu dikatakannya di lapangan tenis, sambil tersenyum khas Pak Mur, dan aku hanya angkat tangan, tanda ngerti dan minta maaf. “Dia Orang yang Terpandang“ begitu judul catatannya :
S
aya mengenal Rida sudah sejak lama. Diawali saat saya bertugas di Korem 031 Wirabima tahun 1978. Waktu itu, banyak wartawan yang berhubungan dengan saya. Oleh sebab itu, banyak wartawan yang saya kenal dekat termasuk Rida yang waktu itu menjadi wartawan Majalah TEMPO. Saya melihat Rida benar-benar menjadi wartawan profesional karena melaksanakan tugasnya secara sungguh-sungguh. Saya juga tahu, Rida selain jadi wartawan sudah dikenal pula sebagai seniman dengan kegiatan bersastra, terutama waktu masih berada di Tanjungpinang. Sewaktu saya menjadi Bupati Kepulauan Riau, saya berusaha memasyarakatkan pakaian Melayu bagi seluruh lapisan masyarakat di Tanjungpinang. Rida sebagai wartawan yang juga salah satu tokoh Melayu juga sangat mendukung upaya ini. Apalagi, upaya ini juga mendapat
400
dukungan formal dari Gubernur Riau H Imam Munandar masa itu. Sejak itu, orang-orang memang tak sungkan lagi memakai baju Melayu untuk segala keperluan sehari-hari, termasuk kantor dan tempat kerja. Rida banyak mendukung program-program saya selama bertugas di Kepulauan Riau. Saya masih ingat ketika kami menyelenggarakan Seminar Kepahlawanan Raja Haji Fisabilillah. Seingat saya, Rida juga ikut memprakarsai kegiatan ini. Termasuk juga mencari data-data dasar tentang Raja Haji ke mana-mana. Begitu pula, Seminar Budaya Melayu di Tanjungpinang beberapa tahun silam, Rida juga ikut terlibat budayawan Raja Hamzah Junus terutama dalam mengusulkan Tanjungpinang sebagai pusat kebudayaan Melayu. Sebagai tokoh Kepulauan Riau yang berasal dari Dabo, setahu saya, Rida termasuk tokoh yang terpandang bagi masyarakat setempat. Ketika Dabo-Singkep telah kehilangan masa jayanya sebagai penghasil timah terkemuka, Rida selaku wartawan TEMPO banyak mengangkat masalah ini sehingga diketahui luas oleh masyarakat. Saya tahu, sekarang, Rida sudah menjadi pengusaha surat kabar yang cukup maju dan berkembang. Tentu dia sangat sibuk mengelola bisnis-bisnisnya yang cukup banyak. Oleh karenanya, saya termasuk jarang berjumpa dengannya. Tapi saya merasa senang kalau Rida berhasil membangun kerajaan bisnisnya. ***
401
14. HOEZRIN HOOD Mantan Bupati Kepulauan Riau. Kami sama-sama guru dulunya. Dia guru Agama di Karimun, aku guru SD di Tanjungpinang. Tapi kami berteman lebih akrab, waktu sama-sama mengurus partai Golkar. Dia masuk Tanjupinang dan jadi politikus, ketika sahabatku Sutarman, SH, jadi Ketua DPD Golkar Kepulauan Riau. Setelah itu, kami makin sering bertemu dan berdiskusi. Terlebih setelah dia jadi Bupati Kepulauan Riau, menggantikan A Manan Saiman. Ketika dia jadi salah satu penggerak perjuangan membentuk Propinsi Kepulauan Riau, kami banyak berkomunikasi dan saling memberi informasi. “Bang Rida, saya mau ke Pekanbaru…” Begitulah dia selalu menelpon aku, kalau dia mau datang ke Pekanbaru. Aku kagum cara dia memanfaatkan momentum dalam karir politiknya, dan tak pernah menyerah. Suaranya juga bagus, saat menyanyi, terlebih lagu “Pulau Tembelan “…….. Ini catatan pendeknya tentang aku : Mengingat Rida, Sudah Biasa…
M
engenal Rida K Liamsi bagi saya adalah mengenal sosok yang utuh seorang pekerja keras yang tangguh, entah tahun berapa saya lupa ketika sebuah terbitan di Tanjungpinang andai tak salah adalah bertajuk ‘Sempena ’ tulisan-tulisannya mulai saya kenal, juga seorang sahabatnya dan Rida pasti ingat; Dukin Simon (Solikin Simon) orang sekampung saya, yang sekarang menjadi Lurah di Tembeling Kecamatan Teluk Bintan. Ketika ia berkutat di Suara Karya mungkin sekitar tahun 1979, waktu itu saya di Karimun banyaklah kami berbagi suka-duka, banyaklah kami bertemu sua, den-
402
gan segala macam susah-payah dan kerenah dan keletah ketika itu, tapi jelas kala itu sosok Rida yang saya kenal memang telah menyimpan “dendam� untuk menjadi lebih baik dan yang terbaik. Ketika ia hijrah ke Pekanbaru dan bendera Riau Pos mulai berkibar ada banyak juga kesempatan kami bertemu, ia sudah menjadi seorang pengusaha sukses sementara saya masih berjuang tapi kami saling bertukar pikiran dan saling memotivasi tetaplah berjalan. Karakternya yang masih bersahaja masih ada, senyumnya yang khas masih jelas, setelah itu kesibukan dan jarak membuat saya hanya berkesempatan membaca essainya dan juga pernah membaca sajak-sajaknya. Tapi bagi saya yang dipercayakan menerajui perjuangan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau ada satu yang tak dapat dihapuskan dalam sejarah perjuangan yang kami lakukan dan opini yang diciptakan di media massa adalah Rida corong utama dan pertama yang memunculkan wacana itu di Riau khususnya di Pekanbaru dan Tanjungpinang meskipun banyak juga yang mengecamnya tapi Riau Pos dan Tabloid Watan tak berganjak, saya pikir jati dirinya tak pernah berubah, tapi mungkin ada yang bertanya apakah benar memang Rida? Jawabnya, itulah sosok seorang Rida, dan ia berjuang lagi membentuk sebuah kabupaten di tanah kelahirannya. Ketika dinamika politik di Kabupaten Kepulauan Riau pada suksesi bupati menghangat dan berbagai gelombang politik menerpa saya pada puncaknya ketika pelantikan kami “digagalkan�, dan gelombang massa memanas, seseorang pernah dihubungi Rida dan orang itu mengatakan
403
kepada saya, “...Kalian tenang sajalah, jangan berbuat apa-apa Huzrin sudah terbiasa menghadapi itu, dia selalu kuat menghadapinya...” Kadang-kadang ketika saya harus berdepan-depan lagi dengan beragam problema itu. Saya selalu berpikir lagi tentang apa yang dikatakan Rida. *** 15. YUSMAR YUSUF Budayawan. Yusmar, satu dari sedikit Melayu yang kalau dia sudah bicara, terlebih soal kemelayuan dan kebudayaan, sulit ditandingi. Cergas, argumentatif, dan penuh wawasan. Maklum dia memang seorang sosiolog yang handal. Aku suka jalan pikirannya, dan aku suka cara dia mengemukakan pendapat dan mempertahannya. “Melayu handal…” begitu aku selalu bilang pada teman-teman. Karena itu dalam kegiatan apapun yang menyangkut budaya, terlebih budaya Melayu, aku jarang meninggalkan dia dan selalu menjadi tempat rujukan. Dia, kalau sedikit saja melihat Riau Pos salah, atau tidak arif dalam pemberitaan, dalam penulisan, langsung mengirim sms. Kritis dan keras. “Budak-budak Melayu kite tu bang, melampau. Masak yang begitu aje tak tahu ...” begitu sms-nya menyerbu aku. Aku kemudian mem-forward sms itu ke teman-teman yang mengurus halaman Riau Pos, dengan catatan awal : Ini sms dari Yusmar, dia marah … “. Ini catatannya tentang aku. “Rida Sri Bakong”. Dia memuji aku, dan aku juga memuji dia, sebagai sedikit anak Melayu yang handal, berani berdepan, dan sulit dikalahkan…”
404
“
KOMPOSISI berita yang baik itu, mestilah berbentuk piramida terbalik.” Kemudian, “orang dikejar anjing, tidak akan jadi berita besar. Tapi, jika orang mengejar dan menggonggong anjing, ini akan menjadi berita utama”. Inilah dua kalimat pertama dan yang mengesan diri saya ketika berkenalan dengan Rida [Ismail Kadir] pada awal 1980-an lampau. Ketika mahasiswa, saya dah bergaul dengan rekan-rekan penulis dan wartawan Riau. Satu di antaranya Rida K Liamsi. Sekilas penampilan orangnya sombong, tapi saya diyakinkan oleh Hasan Junus, bahwa Iskandar [Rida] ‘tu baik hati. Yang membuat saya kian mau mendekatinya, ketika saya ketahui dia adalah wartawan TEMPO yang berwibawa itu. Dia seorang Melayu. Selepas pindah dari Tanjungpinang, Rida dipercaya mengelola surat kabar Genta di Pekanbaru. Saya pun rajin mengirim tulisan di sudut Cemara Gobah, kadang hingga bermalam-malam bercengkerama dengan Hasan Junus dan kawan-kawan. Pada masa itu, saya mengenal Rida, berkat rawian Hasan Junus saja. Suatu kali, pernah menjenguk Rida dirawat di Rumah Sakit Tabrani Rab, pada pengujung 1980-an. Di situ kami terlibat pembicaraan banyak. Selepas mengelola Genta, Rida balik lagi ke Tanjungpinang, dan pada masa saya menikah di Tanjungpinang, bersua Rida kembali di PWI dekat Pelabuhan Tanjungpinang. Saya katakan, bahwa saya menyunting gadis kepulauan. Dia tersenyum, berkomentar sederhana. Yang selalu saya katakan kepada Rida, dia ini sosok yang paling setia berteman. Jika dia sudah terbit hati ber-
405
teman dengan seseorang, ini akan menjadi kekal. Yang paling kekal dengan dia ialah Tabrani Rab. Tahun 2000 kami satu kendaraan merentas Langkawi (Malaysia) bersama Tabrani, Rida dan saya. Saya katakan kepadanya, “Abang sejak dulu tak dapat dilerai betul persahabatan dengan Tabrani ni, apa pasal?”. “Entahlah, Mar,” jawab Rida. “Kalau dah Tabrani yang memegang dan meletakkan stateskop di dada aku, aku langsung sembuh dan percaya diri.” Tabrani terkekeh-kekeh mendengar celoteh saya sepanjang jalan. Bagi saya, Rida seorang yang supel dalam temperamen berdiam. Orangnya tak banyak cakap, jika tak tepat kawan bualnya. Tapi jika kena topik, tema dan dia tahu kualitas orang yang diajak berbual, banyak ide-ide kecil, sederhana tapi memukau yang dilontar Rida. Ketika kami sama-sama duduk sebagai panelis untuk menetapkan penerima anugerah “Seniman Perdana” dan “Seniman Pemangku Negeri”, saat perbincangan mengarah pada kriteria orang yang layak dan sejauh mana jangkauan geografis? Rida menawarkan konsep “jejak Riau di mana-mana”. Ini menjadi kata kunci. Bisa saja orang yang berjasa kepada Riau dan berhak kita anugerahi berada di Swedia, Rusia, Cina dan seterusnya. Sebagai pengusaha, Rida tak diragukan lagi. Dia adalah anak Melayu yang tak mementing jumlah demografis Melayu yang banyak. Biar jumlah kecil, tapi berkualitas. Orang Yahudi itu, sedikit jumlahnya, tapi karena mereka berkualitas, akhirnya mereka menjulang ke menara du-
406
nia, hingga saat ini. Menjadi mahkota dari emporium ekonomi, politik dan strategi. Melayu juga harus demikian menurut Rida. Ini dibuktikan Rida dengan cara menyerak dan menaburkan perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan dan penyiaran (broadcasting). Ada di Medan, pernah di Jambi, Padang, dan yang paling bergemuruh, tentulah Riau. Ada di Pekanbaru, Dumai, Batam dan Tanjungpinang. Khusus di Pekanbaru, Rida membangun pusat penyiaran (Riau Tv) dan di Batam dengan Batam Tv. Untuk Batam Tv, saya termasuk banyak dan terlibat sejak awal pendirian TV ini. Bersama Mafirion yang menjadi tangan kanan Rida, saya menggesa dan ikut memberi warna kepenyiaran Batam Tv yang tak boleh sama dengan Riau Tv. Dia layak dijuluki Raja Media Melayu. Rida membuka celah dialog yang luas, sejak dari perizinan yang saya urus bersama Mafirion, hingga segmensegmen Melayu, pewarnaan, busana perempuan penyiar (terutama ketika membaca berita). Rida pula yang menjadi penggesa utama melalui Yayasan Sagang dalam pemberian anugerah bagi mereka yang dianggap kemuncak dalam pencapaian seni, gerakan Melayu baik yang ada di Riau maupun kawasan serantau dengan Anugerah Sagang itu. Dengan Yayasan ini juga bersiteguh menerbitkan secara reguler majalah sastra bulanan yang amat berwibawa itu. Sudut kemilau yang diukir Rida melalui mesin duit Riau Pos Group ini, meletakkan ide dan gagasan ini kian cemerlang sebagai titik rindu dan pembasuh (penawar) rindu bagi orang Melayu di Riau termasuk Melayu serantau. Saya pula di mata Rida, adalah seorang penyasah.
407
“Bagi aku, tentang kolom yang telah disediakan untuk engkau tu, bantailah ape-ape yang nak awak tulis, tulislah. Nak marah, nak melupuh bantai, aku tak kesah, begitu juga dengan dokter Tab”, katanya ketika saya bertanya tentang kolom ‘Perisa’ saya di Riau Pos. Pernah beberapa kali, kolom saya diganggu oleh pengurus-pengurus baru, Rida tetap berpendirian seperti itu. “Biar Yusmar tu menulis dengan cara Melayu, memapah dan membelasah dengan cara Melayu, kita perlu uap dan cogan seperti itu. Jangan diganggu.” Inilah bukti Rida seorang yang memanggul nilai kekal dan kekalan dalam berteman. Terakhir bersama Nyat Kadir (Wali Kota Batam) kami berunding di Aryaduta Pekanbaru, tentang masa depan Batam Tv. Rida tetap bersiteguh dengan ‘Melayu baru’, Melayu yang sedikit tapi berkualitas. Rida juga seorang penyair dengan idiom-idom lokal (laut, pulau dan arus) yang tipikal dan kuat. Terakhir, Rida dira’ikan dalam sebuah majelis besar di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Helat ini menjadi mercu Riau di Tanah Jawa, ketika gilang-gemilang tradisi Jawa kian malap. Ketika bersama ke Daik, Sutardji mengatakan kepada saya, “Yus, dulu ketika Is tengah sedap ngajar di klas, kalau aku lewat depan sekolahnya, aku langsung menjerit dan memekik, Iiiiss… dah tinggalkan sekolah tu, yuk kita bersyair…!” Sekilas kemudian, Rida bergegas menyiapkan tugastugas sebagai guru bagi murid-muridnya… dan dia langsung meloncat dan bergabung di kedai kopi, berbincang tentang dunia kreatif. Arti dari semua ini, meski sibuk dengan kewajiban sebagai guru, Iskandar (Rida) tetap
408
bersetia dengan teman dan dunia kepenyairannya, tapi tetap tidak meninggalkan amanah besar bernama ‘mengajar’. Hari ini Rida dah menyerakkan nilai dan moral persahabatan yang kekal, tapi berusaha, berniaga juga kekal. Saya, sebagai orang yang terbabit dengan nilai dan moral kekekalan dalam persahabatan itu, juga mesti memberi daya ingat pada sumber ingatan kampung Rida di Pulau Singkep. Sebab, kampung bagi saya adalah sumber ingatan (locus solus) yang paling molek dan indah untuk dijadikan ani-ani penuai tipe seorang anak manusia pada tingkat julangan paling tinggi sekali pun. Untuk itulah, tajuk tulisan ini juga bersempena mengambil nama kampung Bakong. Rida ialah Sri Bakong itu. Artinya, Ismail Kadir yang kita kenal Rida hari ini, adalah titisan cahaya ke atas kuntum bunga bakong dari pulau-pulau Riau. *** 16. AZLAINI AGUS Pakar Hukum/Politikus/Wk Ketua Ombudsman RI. Ibuk Hajjah, begitu aku memanggilnya, adalah seorang sahabat intelektual saya, tempat saya bertanya banyak hal tentang hukum dan juga politik. Pengalamannya sebagai dosen ilmu hukum di Universitas Riau, pengalamannya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) di Komisi III (Bidang Hukum), adalah sumber informasi yang tak kering-kering. Orang yang kritis, tegas, dan konsekuen. Dia menjadi sumber berita utama Riau Pos, terutama untuk masalah hukum dan kebijakan publik. Dan, rasa hormatnya dia pada aku dan Riau Pos, membuat dia nyaris tak pernah absen dalam memenuhi undang Riau Pos untuk acara apa
409
saja, termasuk acara budaya, seperi “Anugerah Sagang”. Dari Jakarta pun dia pulang, kalau tahu aku atau Riau Pos mengundang. Dia memang seorang reformis “Rida K Liamsi, Membujur Lalu, Melintang Patah” judul catatannya :
S
aya kenal dengan H Rida K Liamsi baru sekitar dua puluh tahun dan saya lebih banyak mengenal dari karya dan aktivitasnya. Tetapi saya tahu H Rida K Liamsi atau Ismail Kadir sudah relatif lama, tahu perjalanannya dari seorang guru SD di Singkep. Kemudian menjadi wartawan yang tak berkantor, menjadi Pemred Riau Pos lalu menjadi “Bos” dari sebuah koorporasi MassMedia yang belum ada duanya di rantau ini, yaitu Riau Pos Intermedia Group. Saya masih ingat pada awal tujuh puluhan, setiap pagi seorang laki-laki muda tampan berambut ikal menyandang kamera dengan pakaian sederhana dan rapi, berjalan kaki menuruni jalan Taman Bahagia, turun ke Jalan Bukit Sunaryo, menurun tangga terus ke pusat Kota Tanjungpinang. Pada petang atau malam hari laki-laki muda menyandang kamera itu kembali menapaki jalan yang sama kembali ke rumah. Dialah kemudian orang yang saya kenal sebagai sahabat, H Rida K Liamsi, orang Melayu yang manapak hidup dengan penuh keyakinan, semangat, dan penuh perhitungan. Saya pikir itulah kunci keberhasilan laki-laki dengan penampilan yang selalu menyenangkan itu. Ada beberapa hal pada diri Pak Rida yang memberi kesan tersendiri bagi saya, di antaranya adalah beliau memiliki keyakinan dan percaya diri yang besar yang tidak
410
dimiliki oleh semua orang. Dengan keyakinan dan percaya diri itu, beliau tak pernah ragu melakukan terobosan-terobosan penting dalam hidupnya. Yaa‌ dapat dibayangkan bagaimana beliau memutuskan berganti profesi dari seorang guru menjadi seorang wartawan, meninggalkan sebuah kemapanan mengambil sesuatu yang baru dan serta tidak pasti, tetapi penuh harapan. Hanya orang yang memiliki keyakinan dan percaya diri yang besar yang dapat melakukan itu. Selanjutnya adalah kemampuan meramalkan atau memprediksi jauh ke depan. Ini dapat dilihat dari cara beliau mengembangkan usaha-usaha persuratkabaran yang pada akhirnya menjadi sebuah group usaha yang besar dan terus berkembang. Begitu pula ketika beliau merambah ke usaha perhotelan dan travel, setelah terlebih dahulu memprediksi pangsa pasar dan kondisi yang akan mendukung usahanya itu. Selain itu Rida juga mempunyai kemampuan melakukan kaderisasi dengan baik. Begitu banyak wartawan yang dibesarkan oleh tangan dinginnya. Hampir semua anak perusahaan dalam grupnya ditangani oleh para juniornya, dan mereka adalah para profesional yang dilahirkan oleh seorang profesional pula. Rida tidak saja berhasil membesarkan dirinya dan usahanya, tetapi dia juga berhasil membesarkan orang lain. Jarang kita menemukan orang seperti itu. Yang tak kurang berkesan, adalah bahwa Rida adalah sosok seorang yang selalu bersahaja, dapat menerima dan diterima oleh semua kalangan. Setelah menjadi bos sekarang ini, saya sering melihat dia naik ojek di Tanjungpinang, atau makan di food centre kaki lima di Batam.
411
Di atas itu semua, Rida adalah orang yang keras hati dalam menjalani hidup. Semua yang ia katakan pastilah dilaksanakan betapapun berat dan besarnya halangan dan rintangan yang dihadapi dan itu sudah dibuktikan sejak dia bertekat harus ada koran daerah yang berskala nasional di Riau, dan keinginan itu diwujudkan dengan kemauan dan kerja keras, sehingga sekarang tidak hanya satu koran daerah yang berskala nasional tetapi sudah tersebar di setiap kabupaten/kota. Sungguh ibarat membujur lalu, melintang patah. Sekarang tinggal lagi bagaimana Rida mewariskan apa yang telah diperoleh dan dibangun dengan kerja keras itu kepada putra putrinya, sehingga kebesaran yang ada sekarang tetap terpelihara dengan baik. *** 17. TENAS EFFENDY Seniman, Budayawan, Tokoh Adat Pak Tenas, ibarat pancang bagi kebudayaan Melayu. Dia tegak, kukuh, jadi tempat beratus camar hinggap. Kami pertama bertemu di sebuah kantor kecil di jalan Durian, tempat penyair Ibrahim Sattah (Alm) membuka usaha penerbitan. Pak Tenas dan Hasan Junus, berkerja di sana sebagai editor. Setelah pertemuan itu, kami kerap berkomunikasi, terutama soal-soal kebudayaan dan adat istiadat Melayu, karena dia memang pakarnya. Kami sama—sama menciintai Melayu secara total, dan berjuang bersama agar Pancang Melayu tetap tegak di tengah arus perubahan zaman ini. Inilah catatannya tentang persahabatan kami, yang dia beri judul : RIDA PATUT DITIRU
B
anyak nilai-nilai positif yang bisa ditimba dari seorang Rida K Liamsi. Dia adalah seorang to-
412
koh yang patut ditiru, terutama soal jiwa kemanusiaan yang terus melekat dalam dirinya. Selain sebagai seorang sastrawan, Rida tidak hanya berpikir soal karya yang dihasilkannya untuk kepentingan sendiri tapi lebih dari itu, Dia justru menginginkan sesuatu yang lebih besar lagi yakni upaya memotivasi dengan memberi ruang khusus bagi seniman dan budayawan seperti memberi anugerah setiap tahunnya. Dia juga memberi ruang pada para penulis-penulis untuk menghasilkan karya budaya di media massa miliknya. Ia mengembangkan diri menjadi seorang pengusaha yang berhasil dan dia mampu menghimpun berbagai kelompok melalui usahanya itu dari berbagai peringkat. Itu dia buktikan itu dengan pendirian Yayasan Sagang dengan Anugerah Sagang, serta belasan media massa. Dia memiliki wawasan yang luas dan tidak banyak orang yang memiliki kemampuan seperti itu. Keberhasilannya tidak hanya di Riau, nasional bahkan internasional. Rida tidak pernah mementingkan diri sendiri. Dia berbuat untuk orang banyak. Dalam buku ini kita akan bisa membaca pengalamannya, pahit dan manis yang dapat kita jadikan contoh bersama, terutama untuk generasi muda. Walaupun Dia sudah berhasil namun tetap rendah hati dan bertutur kata santun yang tinggi. Saya mengenal Rida sudah cukup lama, bahkan berpuluh tahun lamanya. Saya bersahabat dengannya seperti juga dengan almarhum Hasan Junus, Ibrahim Sattah dan lainnya. Menurut Saya, Rida itu memiliki pemikiran yang bernas, baik dalam bidang sastra melalui karya-karyanya seperti puisi dan roman/novel, juga bidang usaha media
413
massa dengan mempekerjakan banyak orang. Membaca karya-karyanya kita juga akan bisa melihat dan merasakan semangat dan gelora jiwanya yang tak pernah padam untuk mengangkat kebudayaan Melayu. Kami satu angkatan dan hanya terpaut usia beberapa tahun saja. Kami memiliki visi yang sama untuk mengangkat budaya Melayu ke permukaan namun tentulah dengan cara masing-masing. Dia bangga menjadi orang Melayu dan itulah tanggung jawab moral yang tidak akan pernah selesai dari dirinya. Rida juga tidak pernah jenuh untuk membantu dan memotivasi generasi muda di tanah Melayu ini, bahkan orang yang sezaman dengan dirinya sendiri. Saya berharap kepada Rida K Liamsi untuk maju terus pantang mundur dan saya yakin dia mampu menghadapi semua cobaan dan godaan zaman. “Semakin tinggi pohon maka semakin kuat angin mendera� dan saya tidak sangsikan Rida mampu menghadapi semua aral yang melintang. *** 18. DJAUZAK AHMAD Guru/Mantan Dirjen Dikdas Dikdikbud/Ketua Majlis Pendidikan Riau Aku memanggilnya Pak Jeck. Guru dan tokoh pendidikan Riau yang berhasil menembus level nasional, yang pikirannya tetap didengar dunia pendidikan. Sampai pensiun pun dia tak berhenti berpikir bagaimana memajukan dunia pendidikan. Terus menulis opini-opini dunia pendidikan, dan tak pernah menolak untuk diwawancarai wartawan, asal soal pendidikan. Dia
414
ditugaskan Gubernur Riau Rusli Zainal untuk menjadi Ketua Majlis Pendidikan Riau, dan saku salah satu anggotanya. Dalam usia yang sudah melewati 70 tahun pun dia tetap gigih. ”Il, gimana jadinya negeri kita ini, kalau pendidikannya macam begini ini...? Semakin tak jelas” katanya dengan suara serak lewat HP-nya. Tetap kritis, dan tetap peduli. Ini catatannya sebagai orang yang pernah menjadi guruku, dan sebagai teman diskusi berbagai hal. Judulnya ”Rida, Sebuah Nama yang Bermakna” :
P
ujangga Inggris William Shakespeare dalam buku roman percintaan “Romeo and Juliet’’ dalam salah satu dialog antara Romeo dan Juliet, Juliet berkata: “What is a name, Romeo?’’(?) atau dalam Bahasa Indonesia ‘’Apalah arti sebuah nama?’’. Nama bagi seseorang merupakan hal sangat bermakna, bahkan bagi bangsa atau suku bangsa juga demikian. Ada orang tua untuk memberi nama pada putra atau putrinya yang baru dilahirkan diadakan upacara adat yang sifatnya kadang-kadang kelihatannya sakral. Ini membuktikan, bahwa nama yang menentukan masa depan seorang anak. Ada pun orang tua yang mengubah nama anaknya disebabkan anak tersebut sering terganggu kesehatannya atau sering sakit. Saya mulai mengenal saudara Rida K Liamsi pada pertengahan tahun 1960-an dengan nama Ismail Kadir. Pada suatu waktu saya meneleponnya dan mendapat jawaban “Hallo Pak Jek?’’ lalu saya menyambung pembicaraan dengan menyebutnya Rida. Dari seberang telepon dia menjawab, ‘’Mail-lah Pak Jek!’’. Hingga sekarang pun saya tetap memanggilnya Mail dan kadang-kadang cukup
415
dengan ‘il saja. Membicarakan sosok Rida K Liamsi atau Ismail Kadir sungguh mengasyikkan. Beliau pada pertengahan tahun 1960-an merupakan murid saya di kursus Pendidikan Guru Negeri di Tanjungpinang, bahkan istri saya pun adalah gurunya pada waktu itu. Sejak mengenalnya saya melihat ada sesuatu yang aneh pada sosok ini. Karena perilakunya tidak seperti seorang guru tapi lebih banyak mengarah kepada seorang seniman. Sosok ini lebih tepat disebut seniman guru artinya guru yang banyak menggeluti dunia seni. Tidak heran perilakunya yang kritis terhadap guru, terhadap lingkungan merupakan titik permulaan dari kesuksesannya di masa depan. Sebagai murid lulusan SGB Tanjungpinang pada akhir tahun 1950-an dan menjadi guru di kampung halamannya dan pindah ke Tanjungpinang untuk diberi kesempatan melanjutkan pelajaran merupakan sifat ingin maju dari seorang Rida K Liamsi. Untuk diterima menjadi pelajar sekolah guru yaitu Sekolah Guru B (4 tahun setelah SD) bukanlah sesuatu hal yang mudah pada waktu itu, karena hanya murid SD yang mempunyai ranking I sampai 10 dapat yang boleh diterima di SGB. Di sini kita melihat, bahwa intelegensi seorang Rida K Liamsi tidak diragukan lagi. Sebagai seorang ‘’seniman guru’’ seorang Ismail Kadir akhirnya mengubah namanya sendiri dengan Rida K Liamsi atau Ismail Kadir yang dibaca dari kanan. Nama inilah menyebabkan seniman guru Rida K Liamsi meningglkan profesinya dan terjun ke dunia seni dan pers. Di dunia inilah seorang Rida K Liamsi berkiprah dengan
416
sepenuh hati dan penuh komitmen dan dedikasi. Rida K Liamsi mengabdikan dirinya sepenuh hati pada dunia barunya. Keberhasilannya dalam dunia barunya disebabkan ia mencintai profesi barunya. Profesi itu merupakan bagian dari hidupnya. Profesi itu ada di dalam dirinya. Dia bekerja tanpa beban dan untuk itu ia sangat berhasil. Seorang guru SD yang mulai bertugas di desa terpencil di Kecamatan Lingga akhirnya menjadi besar dan terhormat di dunia persuratkabaran dan bisnis lainnya. Ia seorang otodidak yang mampu menyerap ilmu dan membentuk dirinya sendiri karena kemampuan dan intelegensinya yang tinggi. Otobiografinya pantas untuk dibaca karena mengandung banyak pelajaran bagi yang ingin maju dan kebanggaan bagi profesi guru, karena profesi guru akan dapat cepat berhasil, bila beralih profesi. Saya dan istri yang pernah menjadi gurunya sangat bangga atas keberhasilan mantan murid kami yang telah sukses dalam perjalanan hidupnya. *** 19. MUCHTAR AHMAD Intelektual Pak Mukhtar, begitu aku selalu memanggilnya, adalah salah satu intelektual Riau yang aku kagumi dan segani. Berpikiran jernih, jauh ke depan, dan kritis. Yang juga aku kagumi adalah kedisiplinannya. Jika terima undangan suatu acara, dan dia datang, maka dia datang tepat waktu. Dan dia akan sangat tersinggung jika acaranya molor dan menunggu tamu yang lain.
417
�Tak menghargai yang sudah datang� katanya. Ketika dia jadi Rektor UNRI, dia minta aku jadi anggota Dewan Penyantun. Dia jugalah yang merekomendasikan aku jadi Dirut PT Pengembangan Investasi Riau (PIR), ketika Pak Saleh Djasit, yang waktu itu Gubernur Riau, mencari sosok yang akan jadi Dirut BUMD itu. Kami mulai berkenalan di Tanjungpinang, ketika aku masih jadi wartawan TEMPO. Banyak gagasan aku yang dia support, meski belakangan aku tahu dia kecewa, karena akhirnya apa yang aku bisa lakukan tak seperti yang dia harapkan. Karena itu, ketika minta dia membuat catatan untuk memoar ini , aku kirim email sambil bercanda : Pak Mukhtar marah pada saya ... ? Hemm... inilah catatan pak Mukhtar untuk persahabatan kami, yang panjang, dan penuh warna: Tangan Dingin Seorang Sahabat...
S
etiap orang tentulah punya sahabat. Sahabat sebenarnya suatu bentuk hubungan khas dua orang dan jarang lebih. Walaupun seseorang punya banyak sahabat, tetapi itu lebih berupa hubungan individu yang satu dengan individu lainnya; di luar persahabatan dua orang semula. Sehingga seorang sahabat mungkin saja punya banyak sahabat. Namun amat jarang sahabat itu sekumpulan banyak orang atau belum tentu sahabat seseorang juga sudah pasti sahabat yang lain. Sahabat terjadi bila yang berkenaan mempunyai hubungan atas dasar pengetahuan dan pemahaman yang sama tentang sesuatu. Sahabat tumbuh bermula dari sudut pandang seseorang tentang baiknya orang yang bersahabat itu. Sahabat saya Rida K Liamsi – lazim kami panggil Bung
418
Rida - misalnya belum tentulah beliau juga sahabat saya yang bernama Fauzi. Walaupun kedua orang itu mungkin saling mengenal atau berteman, tapi belum tentu dalam bentuk persahabatan. Pada hal keduanya adalah sahabat saya atau bersahabat dengan saya. Bahkan amat mungkin terjadi antara banyak sahabat saya tidak mengenal bahkan tidak bersahabat dengan banyak sahabat pak Rida. Andaipun ada di antara mereka yang saling mengenal atau berteman. Tetapi persahabatan yang tumbuh justru boleh jadi berbeda. Karena persahabatan berkaitan erat dengan watak dan kepribadian seseorang atau dua orang yang bersahabat. Persahabatan lahir dari kesamaan ideologi dan ada kandungan lebih pada suka dari pada tak suka di dalamnya. Suka pada gagasan dan fikiran, tindakan dan cita-cita, atau suka kepada watak dan kepribadian. Dari situlah lahirnya suatu kalimat hikmah yang menarik tentang persahabatan. Bila hendak bertanya tentang kebajikan seseorang tanyakanlah kepada sahabatnya; dan kalau hendak tahu tentang keburukan seseorang tanyakan kepada musuhnya. Memang lawan sahabat ialah musuh. Karena itu bila hendak mendapatkan keterangan yang adil dan netral atau lebih mendekati kebe-naran, maka tanyakan sajalah kepada kawan, kenalan atau temannya. Teman justru mungkin lebih adil atau netral pertimbangannya terhadap seseorang yang bukan sahabatnya. Setahu saya bung Rida tiadalah punya musuh, melainkan mungkin lebih banyak sahabat dan tentu banyak per-sahabatan dalam bentuk pertemanan. Saya konon termasuk sahabat Bung Rida. Itu suatu
419
hal yang membanggakan hati, sekaligus membuat saya mengekang diri supaya berada dalam rambu melihat dan memandang kebajikan (virtue) pada dirinya yang menyenangkan bila dikenang. Bila ingin merasa senang pada sedang lagi berang misalnya, kenanglah masa-masa ketika menyenangkan. Suatu kesedihan dan kerisauan akan sirna begitu seseorang berhasil mengenang kembali masamasa bahagia, masa-masa menyenangkan. Lupakan saja hal yang menyebabkan kita tidak suka atau tidak senang. Dengan pembukaan pengertian kata persahabatan seperti itulah tulisan ini seyogyanya dipandang. Suatu ingatan dan pandangan seorang sahabat tentang sahabatnya yang bernama Rida K Liamsi. Oleh sebab itu jangan curiga bila yang ditulis lebih pada dan dari sudut baiknya. Tapi mungkin saja yang diungkapkan disini ada secara kritis. Agar tidak terlalu mendekati suatu pro-mosi yang bukan di sini tempatnya. Agar terasa wajar dan alamiah. Saya tahu bung Rida, ketika beliau menjadi wartawan majalah Tempo yang ditempatkan di Tanjung Pinang. Ingat saya waktu itu namanya Iskandar Leo, belakangan berubah jadi Rida K. Liamsi. Nama itulah yang semula menimbulkan ‘curiga’ saya bahwa beliau bukan ‘orang kita’ Melayu. Kemudian hal itu tidak saya kembangkan. Tetapi tulisannya atau lebih tepat berita yang ditulisnya di Tempo pada waktu itu amat menarik dan perlu saya baca. Maka sedapat mungkin bila ada peluang selalu saya membaca majalah mingguan Tempo itu sampai saat ini. Saya tidak tahu betul, alasan saya menyenangi berita yang ditulisnya di mass media apapun atau dalam bentuk puisi dan buku selalu saya baca. Setelah saya renungkan,
420
mungkin saja alasannya ada tiga, setelah saya cari-cari lagi. Pertama, karena beliau orang Melayu dari Riau. Waktu itu jaranglah orang Riau jadi wartawan penerbitan Jakarta atau pusat. Penerbitan pusat punya ‘gezag’ sendiri bila dihadapkan dengan penerbitan daerah atau lokal. Jadi saya senanglah ada orang Riau muncul di pusat yang pada waktu itu ingin memusatkan (sentralisasi) segala-galanya di Jakarta. Kedua, karena alasan bahwa berita yang ditulisnya tentang Riau. Tiau adalah suatu hal yang menarik bagi saya, karena dekat dengan diri sendiri, seperti tentang diri sendiri saja rasanya. Ketiga, dan ini lebih penting tapi belakangan ini baru saya fahami. Karena berita dan tulisannya mengandung kejelian, kepatutan, dan berisi kecendekiawanan budaya. Saya punya perhatian sendiri bahkan pada tingkat tertentu, dengan kagum kepada orang yang kompeten menulis mengenai budaya dan peradaban. Kompeten dalam arti dia tahu apa yang ditulisnya, terampil dan mahir mengungkapkannya dalam bahasa yang bagus serta ada terkesan ada kandungan suatu ‘aptitude’ khas dan tekad berkaitan dengan gagasan ideal tertentu. Saya menganggap tulisan seperti itulah yang bermakna, yang ada gunanya dan meninggalkan kesan sesuatu tersendiri bila membacanya. Agaknya alasan yang terakhir inilah yang menguatkan rasa persahabatan di antara kami. Entahlah bagi beliau mungkin ada alas an lain dalam hubungan persahabatannya dengan saya. Bermula dari sekitar tahun 1976, saya bertugas di BUMN PT Karya Mina, Tanjungpinang sebagai Asisten Direksi. Khususnya bertugas mengendalikan kegiatan pen-
421
angkapan udang dengan kapal pukat harimau di perairan Jambi. Kemudian ditambah menjajagi (eksplorasi) perairan penangkapan dan sumber perikanan di Kepulauan Natuna dan Anambas. Maka ketika hari-hari istirahat dari laut pada akhir pekan; atau di kala sore hari kerja biasa pulang kerja, saya pernah bergaul bersama-sama dengan penyair Sutardji Calzoum Bahri yang menghasilkan pertemuan tatap muka dengan Bung Rida. Karena saya lebih sering bertemu Bung Rida dalam tulisan dan berita yang diterbitkan Tempo atau mass media lain selepas dia pindah dari majalah itu. Pada masa itu membeli dan membaca Tempo hampir merupakan keniscayaan bagi saya. Sebab pada waktu itu belum banyak lagi kegiatan intelektual yang dilakukan di kota kecil itu. Bergaul dengan penulis, penyair, guru, budayawan dan cendekiawan adalah pilihan yang dekat dengan ke-butuhan ‘jiwa’ saya. Sering keprihatinan, kegalauan dan kegelisahannya sama dengan mereka. Lagi pula lebih sering nyambung pembicaraan bersama mereka. Orang-orang yang kaya dengan gagasan dan fikiran; dan persoalan yang sedang dihadapi lalu diperbincangkan dengan seenaknya saja. Kadang merupakan nihilisme. Karena tak bertujuan membuat orang marah atau tersinggung, tetapi hanya sekedar latihan intelektual yang penuh asa. Hal yang saya alami dan lakukan berkaitan dengan bung Rida di Tanjungpinang berterusan sampai ketika saya kembali ke Pekanbaru. Jadi bahkan sampai sekarang ada selalu keterpautan kegiatan dan pikiran dengan beliau. Saya mengikuti kegiatan jurnalistiknya sebagai wartawan Suara Karya pada suatu ketika. Kemudian pernah merasa
422
kehilangan sebentar, tapi muncul lagi sewaktu beliau menjadi pemimpin redaksi Genta, yang terlihat akrab dengan Bung Hasan Yunus. Rasanya di masa itulah, beliau punya gagasan dan meransang saya agar menulis tentang cendekiawan. Rangsangan itulah yang merupakan bagian dari buku saya bersama bung UU Hamidy yang berjudul: Orang Patut. Kononnya buku itu mendapat kritikan khusus bersamaan dengan pujian dari berbagai fihak. Tulisan saya itu lahir mulai karena rangsangan Bung Rida dan dibahas pada suatu pertemuan di Universitas Islam Riau, waktu itu masih di Jalan Mohamad Yamin. Sejak itu saya tak jarang menerima dan memenuhi pelawaan bung Rida agar menulis untuk Riau Pos yang dibesarkannya dan merupakan penerbitan koran yang paling panjang umurnya di Riau sampai sekarang. Sewaktu saya akan berangkat mendapat tawaran beasiswa DAAD Jerman untuk melakukan penelitian di Universtas Bremen dan Universitas Kiel, Bung Rida mempelawa saya agar menuliskan pengalaman di sana untuk Riau Pos. Sebagian besar dari tulisan bersambung di Riau Pos yang saya tulis dari Jerman itu, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku saku berjudul: Renungan dari Rantau, yang berulangkali dicetak di antaranya oleh UNRI Press. Tapi saya tidak pernah dapat duit dari diterbitkannya buku dan tulisan itu. Tak apalah, bukankah hal itu telah membuat hal yang menyenangkan diri sendiri dan banyak orang yang membacanya dan mengomentarinya ketika bersua. Sebenarnya saya pernah agak tersinggung ketika suatu kali beliau menyatakan hanya dua orang saja yang menulis di Riau Pos, yang Bung Rida harus baca sebelum diter-
423
bitkan. Tulisan saya satu di antaranya. Alasannya, tulisan dua orang itu kritisinya tajam dan membuat para pejabat tertentu bisa tersinggung. Artinya tulisan saya termasuk yang ‘berbahaya’ dan ‘beracun’ oleh badan atau penguasa tertentu. Hal itu dijelaskannya bahwa Bung Rida sendiri berprinsip sejauh mungkin tidak ada persoalan dengan para pejabat, apalagi karena tulisan yang dimuat di koran yang dipimpinnya. Sebab tidak mudah mempertahankan keberlanjutan suatu penerbitan dari kekuasaan ‘kotor’ para pejabat otoriter pada masa itu. Saya tersinggung karena merasa tulisan saya disensor, fikiran saya hendak dipasung. Karena itu saya merajuk dan tidak mengirim tulisan lagi ke Riau Pos beberapa lama. Namun beberapa waktu kemudian ketika dipelawa beliau dan segelintir wartawannya yang kompeten dan profesional, maka saya menulis lagi untuk Riau Pos. Maklum saya sudah terlanjur meyenangi Riau Pos mulai dari awal dikelola Bung Rida. Tulisan pertama saya yang diterbitkan di awal Riau Pos dipimpinnya adalah tentang ekonomi pembangunan Riau. Tulisan itu adalah suatu makalah pesanan yang saya sampaikan di depan Musyawarah Daerah Golkar Riau. Tiada berapa masa setelah itu, saya dikesan oleh seorang wartawan Riau Pos, mungkin redaktur ekonomibisnisnya, yang coba mengejar saya agar mengemukakan pendapat tentang ekonomi dan pembangunan Riau. Saya berhasil menghindari kejaran itu dengan cara mengarahkan rekan itu kepada dosen ekonomi pada perguruan tinggi di Riau; bahkan juga menyebutkan beberapa nama kepadanya.
424
Selain pada Bung Rida, saya cenderung menghindarkan diri dari berbicara, berkomentar atau mengeluarkan pendapat di surat kabar. Soalnya saya tahu ada wartawan di Riau Pos atau mungkin saja di media lainnya, tidak suka pada saya. Dan sebagai seorang wartawan, segelintir kecil wartawan sejenis itu sama sekali tidak professional. Mereka yang segelintir itu bila pegang kekuasaan, menggunakan ketidaksukaan pribadinya kepada saya atau siapa saja. Kekuasaan yang ada di tangannya menghilangkan profesionalismenya. Berita yang bertentangan dengan apa saja yang ditulis tentang saya disembunyikan. Sebaliknya amat gairah sekali menulis berita yang dapat menyalurkan ketidak-sukaannya. Kalau ada dusta dan fitnah tentang saya, dengan serta merta diterbitkannya tanpa memeriksa kepada saya atau memberi peluang kepada saya untuk menjelaskan. Lebih jauh lagi bahkan tulisan pembaca yang menjelaskan dan simpati kepada saya disembunyikan; dan tidak akan pernah muncul di Riau Pos bila redaksi menerbitkan itu dalam wewenangnya. Saya sering menerima keheranan dari beberapa kawan, pembaca media-massa termasuk Riau Pos, tentang keadaan yang tidak professional itu. Kenyataan yang saya temukan itu membuat saya bersikap. Saya membuat jarak dengan koran apalagi wartawan yang tak professional itu. Apalagi yang menganut jurnalistik “kuning� dan menyimpang jauh dari kecendekiaan dan profesiolisme. Ketika suatu pengalaman saya tentang hal seperti itu saya beritahukan kepada Bung Rida, beliau menyesalkan kenapa saya tidak menelepon dan memberitahukan hal itu. Tidak semua tulisan dan berita
425
yang di Riau Pos dibacanya tentu. Termasuk tulisan tentang saya atau menyangkut diri saya tentulah tidak terbaca semuanya. Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa yang diberitahukannya adalah bahwa tulisan yang saya kirimkan harus dibacanya dulu sebelum diterbitkan. Hanya satu kali saja saya ‘complaint’ tentang penerbitan tulisan dusta dan fitnah oleh seorang pendusta yang mengomentari tulisan bung UU Hamidi menyangkut diri saya di Riau Pos. Beliau dengan rendah hati menyatakan maaf dan langsung melakukan tindakan, yang tindakan meniadakan ruang komentar itu mi-salnya, tidak sepenuhnya saya setujui. Cukup memadai kalau komentar dan tulisan pembaca tentang pribadi seseorang dikendalikan atau disensor. Sensor yang paling elok ialah oleh pembaca atau pemberi komentar itu sendiri. Tetapi kendali seperti itu memerlukan tingkat intelektualitas tertentu; yang tak dimiliki oleh seorang pendusta dan tukang fitnah. Menurut hemat saya bagai-manapun, memang di ruang umum seperti mass-media, perlu ada etika menulis dan memberi komentar tentang pribadi seseorang; termasuk juga di internet, seperti yang lazim diumumkan oleh penerbitan ternama dan profesional di Indonesia bahkan di dunia pada pengantar ruang pembaca atau komentar yang dibuka untuk umum. Sesungguhnya saya juga senang boleh menuliskan banyak hal berkenaan gagasan, fikiran, pendapat dan keperdulian di mass-media, khususnya untuk Riau Pos; yang dulu saya pernah menyatakannya sebagai barometer kecendekiawanan di Riau. Dari segi isinya pada masa itu memang bermutulah. Apalagi diikuti oleh bukti keber-
426
hasilan koran Riau Pos dari segi manajemen-bisnisnya. Betapa tidak, sekarang sudah koran itu beranak pinak menjadi suatu kelompok mass media yang terkemuka di Sumatra, dengan produk pelbagai jenis koran, majalah, tivi, dan tentu saja muncul di banyak kota di Sumatra, berkat tangan dingin bung Rida. Mungkin Riau Pos adalah mahkotanya. Sehingga tak salah bila banyak orang menyatakan bahwa Bung Rida adalah Riau Pos dan Riau Pos adalah bung Rida. Suatu ‘cap’ yang tak mudah menciptakannya. Amat jaranglah anak Melayu yang begitu dingin tangannya. Saya suka mengagumi orang yang berhasil jaya dalam profesinya. Setara dengan keprihatinan saya pada orang yang gagal oleh karena ulah dirinya yang tak jujur, kebodohan dan apapun yang disintuhnya berujung dengan kegagalan dan menuju kehancuran. Kekaguman kepada Bung Rida, di antaranya karena keberha-silannya dalam jurnalistik dan mengelola kelompok mass-media yang berasal dari koran yang semula tak dibaca banyak orang. Di samping itu banyak karya intelektual dan budaya, serta keperduliannya yang tinggi terhadap memajukan budaya, intelektualisme dan orang Melayu khususnya merupakan warna yang ada pada dirinya. Hal itu dibuktikannya di antaranya melalui Riau Pos, yang baru ketika di tangan dinginnya koran itu berkembang-biak merambah ke mana-mana. Atas dasar pandangan itulah, ketika Bapak Saleh Jasid yang waktu itu menjadi Gubernur Riau, mengemukakan keinginnya mendirikan perusahaan daerah yang handal melayani penanaman modal dan dapat bermitra dengan
427
perusahaan asing. Beliau mulanya menyebut nama seseorang, tetapi agak terkejut mendengar reaksi saya atas orang yang disebutnya itu. Pada hal orang yang diusulkan itu sedang bekerjasama dengan saya. Saya tahu kepribadian dan wataknya lagipula kinerjanya tidak ada. Malah ia cerdik betul menggunakan peluang kedekatannya dengan pemegang kekuasaan dan jabatan tertentu. Lantas beliau menantang siapakah usulkan saya. Saya tidak menjawab langsung, melainkan diam sebentar mencari cara menyampaikannya yang elok. Lalu saya katakan: ”Bagaimana kalau pak Rida. Beliau itu bertangan dingin.” “Apakah pak Rida mau?” jawab Pak Saleh, yang mungkin meragukan usulan saya itu akan bisa jadi kenyataan dan memahami kesibukan bung Rida. “Baguslah Bapak tawarkan langsung kepada beliau” jawab saya. Belakangan hal itu ditindak-lanjuti Pak Saleh. Tetapi agaknya Bung Rida perlu mempertimbangkan dengan seksama. Termasuk berkonsultasi atau bertanya pendapat dengan mitranya Bapak Dahlan Iskan, pemimpin kelompok Jawa Pos yang juga pemilik saham di Riau Pos. Sekitar dua bulan lebih barulah ada kata putus. Bung Rida memutuskan menerima tawaran Bapak Saleh Jasit memimpin perusahaan “holding” investasi RIC (Riau Investment Corporation). RIC ternyata telah menyumbangkan keuntungan yang bermakna kepada Provinsi Riau. Bahkan juga berkembang dengan beberapa anak perusahaan termasuk belakangan ini perusahaan “real-estate” yang menawarkan jual-beli tanah dan rumah.
428
Saya gembira dengan kejayaannya itu. Usulan saya ternyata betul dan keputusan Pak Saleh Jasit mempelawa Bung Rida sesuai dengan harapannya. Ternyata Bung Rida memang bertangan dingin. Keberhasilannya sekali gus memperkokoh baiknya usulan saya dan keputusan pak Saleh maupun Bung Rida. Saya mengharapkan dan berdoa agar kedinginan tangannya itu diberkahi Allah dan berkelanjutan kiranya. Saya tertarik kepada keusahawanan (entrepreneurship) dan pengelolaan (management) Melayu sejak awal 1970-an ketika belajar di Jepang. Saya kumpulkan buku yang berkaitan dengan kejayaan pembangunan ekonomi Jepang dan peran usahawannya. Karena itu pulalah saya mengikuti kuliah manajemen sewaktu selesai belajar S2. Juga terus memperhatikan bagai-mana perangai mengelola orang Melayu. Bersamaan dengan itu, mulai pula saya banyak belajar tentang keusahawanan orang-orang yang berjaya lainnya dalam niaga. Perangai para pengelola puncaknya yang berhasil amat menarik perhatian saya dan saya amati dengan seksama. Kunci rahasia tangan diingin Bung Rida seperti juga yang lainnya saya coba kaji. Saya sering berhayal tentang model atau pola manajemen orang Melayu atau perangai pengelolaan ala Melayu, yang asyik saya kumpulkan bahannya sejak waktu yang lumayan lama. Mungkin tidak berjauhan waktunya dengan Dr. Muchtar Naim bersama Bung Zaili Asril pada awal 1990-an menulis dan menerbitkan buku tentang: �Manajemen Rumah Makan Minang�. Seperti Semen Padang juga, mereka coba lakukan kajian tentang manajemen Minang; apa yang sedang saya
429
kumpulkan bahannya tentang manajemen Melayu. Pengelolaan dan keusahawanan adalah perangai, yang bersumber dari sikap diri sebagai cerminan nilai dan etika yang dipegang. Karena itulah manajemen dan keusahawanan sebagaimana ekonomi termasuk ke dalam wilayah kajian perangai, prilaku atau tingkah laku, baik tentang keputusan maupun tindakan. Tentu saja di antara orang yang merangsang saya mengamati dan mengaji perangainya sebagai pimpinan pelaksana usaha (Chief Executive Officer: CEO) – yang saya kagumi keusahawanan dan kejayaannya – adalah Bung Rida. Manajemen, sebagaimana halnya ilmu ekonomi, adalah kajian yang berkaitan dengan perangai atau tingkah laku mengambil keputusan dalam mendayagunakan dan mengelola sumber-sumber yang terbatas untuk menghasilkan keluaran atau kebutuhan dan kepuasan yang tak terbatas. Strategi yang dilakukan biasanya menyelenggarakan suatu niaga yang dipimpin dengan sangkil (efisien) karena keputusan dan kebijakan yang mangkus. Sampai saat ini saya belum berhasil mendapatkan kunci atau membuka rahasia keberhasilannya dalam mengelola pelbagai usaha itu. Walaupun sudah ada titik terang dan benang merah yang dijumpai, tapi saya cenderung memandangnya justru ‘negatif ’. Dalam arti kaitannya dengan niaga yang hasilnya tidak seperti yang diharapkan, atau yang direncanakan semula tak tercapai. Bahkan ada yang tidak kembali samasekali modal yang ditanamkan. Oleh karena itu, mungkin akan lebih baik bila Bung Rida sendiri yang menulisnya. Suatu refleksi atau cerminan dirinya sendiri sebagai seorang usahawan, pengelola
430
dan pengurus pelbagai niaga, organisasi, yayasan, dll. yang berhasil maupun yang gagal. Alangkah eloknya bilamana beliau mau mendedahkan prinsip usaha yang diyakini, dirasakan dan yang dijalankannya dalam bentuk tulisan dalam suatu buku. Semuanya itu agak mustahil akan tercakup, betul dan baik, jikalau ditulis oleh orang yang memiliki kinerja dan telah berprestasi seperti Bung Rida sendiri. Sebaliknya akan menjadi serba tanggung kalau ditulis oleh orang lain, seperti saya misalnya, dalam arti tentang objektivitasnya akan diragukan maupun juga subjektivitasnya tak meyakinkan tuntas. Apalagi saya tidak merasa banyak kegagalan dalam manajemen niaga maupun badan sosial yang saya kelola. Jadi keadaan itu dapat dihindari bila beliau menulis otobiografi khusus dalam niaga. Alasan lain sebenarya adalah saya khawatir akan ‘bias’ berdasarkan kemitraan saya dengan beliau dalam berniaga. Pengalaman dari kemitraan yang kami lakukan beberapa waktu lalu, saya nilai tidak akan menyumbangkan kesan memperkokoh kejayaan beliau. Atau bahkan di dalam banyak teori pengelolaan sejagad, tidak dapat dimasukkan ke dalam suatu pola pengelolaan yang benar, betul, baik dan bagus. Baik dari segi proses maupun dari tampilan kerja yang dihasilkannya (performance). Di alam dunia ini memang tidak ada jaminan bahwa semua gagasan dan yang dipegang seseorang yang bertangan dingin akan berujung dengan keberhasilan. Akan tetapi di dunia ini rupanya tidaklah semua keberhasilan akan selalu berbuah keberhasilan pula. Ada yang berhasil dan ada pula kemungkinan gagal. Tetapi dengan berhasil ser-
431
ing menutupi gagal. Dari dua kegiatan kemitraan saya dengan Bung Rida, tak satupun yang telah berbuah keberhasilan, setidaknya tidak seperti yang saya harapkan dan hayalkan. Bahkan tidak pula mendekati kejayaannya dalam niaga lain. Teristimewa bila saya tidak terlibat di dalam suatu niaganya justru beliau berhasil. Bila saya ada bersamanya atas keputusan bersama ataupun keputusannya yang saya setujui sekali pun, malang keberhasilan entah pergi kemana. Sampai seorang teman mengingatkan saya, bahwa bukankah saya telah pernah gagal bermitra dengan beliau, kenapa tak jera juga? Saya jawab sambil menghibur diri bahwa sebagai orang yang optimis, bak pepatah Jepang: ‘Kegagalan adalah ibunya keberhasilan’ (Shippai wa seiko no moto). Ini berlawanan dengan pepatah Arab yang menyatakan bahwa ‘keledai saja tidak terantuk pada batu yang sama dua kali.’ Artinya kesalahan atau kegagalan dianggap sebagai kebodohan. Kita dapat memahami sikap optimisme sikap Jepang dan ‘kekerasan’ atau mungkin ketegasan sikap orang Arab. Akan tetapi saya baru melakukan satu kesalahan. Yaitu ketika akan memasuki pensiun normalnya empatlima tahun yang lalu, lalu saya mempersiapkan diri dan dana untuk ‘menikmati’ hidup dengan menjalani masa tua itu melalui belajar ekonomi, filsafat, budaya dan sejarah. Saya hendak menulis sebagai suatu hobi apalah namanya. Namun takdir Tuhan menyatakan lain! Saya dilibatkan pada niaga yang menarik, tetapi menurut saya tanpa rencana yang matang dan tiada kendali yang jelas. Lalu pengelolaannya diserahkan kepada orang yang tak
432
amanah, atas keputusan beliau sendiri. Sementara Bung Rida yang menjadi kepercayaan banyak pemegang saham, terlalu sibuk dengan banyak urusan, niaga dan memimpin banyak kegiatan lainnya. Maka tentu sajalah penglibatan saya itu telah menimbulkan berantakan pada rencana saya, serta semua persiapan pensiun maupun harapan yang dikhayalkan semula. Sebagaimana lazimnya orang Melayu, saya juga menyalahkan diri sendiri: kenapa tidak memegang kuat prinsip sendiri atau istiqomah pada rancangan diri saja. Maka sayapun memendam rasa kegagalan dengan menghibur diri bahwa saya tidaklah termasuk beruntung kalau bermitra dengan Bung Rida. Lalu saya gunakan pepatah: ‘Sesat di ujung jalan, kembali ke pangkal jalan’. Tanpa kemarahan apalagi dendam sedikitpun. Melainkan seperti sikap orang Melayu umumnya, saya pun pasrah saja menerima keadaan. Bukankah dalam hidup ini ada yang namanya takdir yang amat saya yakini. Maka sejak tahun 2011 saya jalani kembali hasrat yang telah dibangun ketika akan memasuki pensiun semula; tanpa menyesali, tanpa dendam, tetapi ‘enjoy’ dan pasrah saja menghadapi keadaan, dan menyalurkan kemarahan yang terkeluarkan melalui pengunduran diri atau menghindari terlibat lagi. Ketika ‘e-mail’ Bung Rida muncul di layar kaca ‘laptop’ saya akhir Agustus 2012 silam; beliau menuliskan:”KALAU PAK MUCHTAR TIDAK SIBUK, TIDAK MARAH, SAYA HARAP PAK MUCHTAR, MAU MEMBUAT CATATAN, KESAN, PESAN ATAU APALAH NAMANYA TENTANG PERSAHABATAN KITA. MUNGKIN ADA YANG TERKESAN ATAU TERINGAT, DAN BERGUNA UN-
433
TUK JADI INGATAN SAYA DAN ANAK CUCU SAYA NANTI�. E-mail itu saya jawab bahwa kalaupun saya marah, itu manusiawi. Tapi takkanlah sampai memutuskan persahabatan dan silaturrahim. Apalagi ingatan paling berkesan dalam benak saya seputar persahabatan kami itu, yang paling mencekam justru adalah tentang tangan dinginnya Bung Rida K. Liamsi. Pintu Angin, 9 September 2012 *** 20. DOROTHEA SAMOLA ( Isteri Bapak Eric Samola ) Komisaris PT Jawa Pos dan PT Riau Pos Intermedia Pak Eric Samola, adalah perintis dan pendiri Jawa Pos Group. Bersama Pak Dahlan Iskan dia mulai membangun Jawa Pos Group, setelah harian Jawa Pos cukup baik perkembangannya di Surabaya. Mereka mulai dari Manado (Sulut), kampung halamannya, dengan kerjasama mitra setempat menerbitkan harian Cahaya Siang, tapi tak berlangsung lama. Lalu bekerjasama lagi dengan partner lain menerbitkan harian Manado Pos. Sukses dan sekarang terus berkembang dan sudah punya anak-anak perusahaan dan jadi salah satu group andalan Jawa Pos Group. Lalu mereka melanjutkan ke Kalimantan Timur dan bekerjasama dengan mitra lokal menerbitkan Harian Manuntung yang kemudian berubah nama jadi Kaltim Pos. Harian ini berkembang pesat dan Kaltim Pos Group kini juga jadi salah satu group media Jawa Pos yang sangat diandalkan. Seterusnya ke Makasar melahirkan Fajar Group, ke Riau melahirkan Riau Pos Group, ke Pontianak melahirkan Pontianak Pos Group, dan lainnya. Ketika Pak Eric Samola yang energik dan visioner itu meninggal dunia, kerjanya mem-
434
bangun Jawa Pos Group diteruskan oleh isterinya Ibu Dorothea Samola. Bu Eric, begitu kami memanggilnya juga pekerja keras, dan bersedia menempuh perjalanan yang jauh, termasuk ke Aceh dan Papua, untuk melihat pekembangan anak-anak perusahaannya. Tentang aku, dia menulis catatan dalam bentuk puisi yang diambil dan diramu dari kumpulan puisiku Tempuling. Bu Eric adalah Notaris yang senang seni: “Mereka Tahu Tak Siapapun Tahu ...� MEREKA TAHU TAK SIAPAPUN TAHU. kepada Rida K Liamsi Ketika sebuah rembang datang, 1) Haruskah kita menyapanya dengan tergegau ? Padahal sauh menunggu labuh, dan pelabuhan menunggu turun ? Sudah sejauh ini kita berlayar, Menyimak cuaca, menghitung angin, Jangankah kita menoleh kebelakang, sebab di belakang ada laut ? 2) Sedangkan laut adalah gelora, Sebab gelora adalah asa, yang menyimpan mimpi, yang membunuh dendam. Jangankah kita menoleh ke belakang, Sedangkan di belakang berbinar mereka,
435
menatap Tempuling, yang mereka tahu tak siapapun tahu, gelora semangat adalah Tempuling, Akankah ditikam tapak riaknya ? Mereka tahu tak siapapun tahu 3) Tempuling tak pernah menyerah, pada keluasan pada kebiruan pada untung nasib. Tempuling bagaikan pohon, TUHAN, Tertanam di tepi aliran air, yang telah KAU - selalu - berbuahkan pada musimnya. Tempuling masih, TUHAN, di rembang pun masih berbuah, menjadi manfaat cita negeri, karena Tempuling malu pada TUHAN. (20 September 2012) 1). Liamsi, Rida K. “Tempuling. Sebuah Kumpulan Sajak”. Cet. I. (Pekanbaru, Yayasan Sagang), 2002. h. 63 2). Ibid h. 83 3). Ibid h. 29
*** 21. ZAINAL MUTTAQIN Chaiman Kaltim Post Group/Wadirut PT JPNN Zainal Muttaqin, adalah salah seorang dari “Seven Samu-
436
rai”-nya Jawa Pos Media Group. Kalau ditanya siapa di antara para seven samurai ini yang paling dekat dengan Pak Dahlan Iskan, sebagai Bos-nya Jawa Pos Group, ya Zainal-lah orangnya. Bukan hanya karena dia begitu dekat secara kekeluargaan dengan Pak Dahlan (dengan Pak Dahlan kalau dia bicara informal, pakai Bahasa Jawa, kalau dengan Bu Dahlan, dia pakai bahasa Banjar), tapi sebagai salah seorang executive JP Group, dialah yang berani sekali-sekala “ngledek” Pak Dahlan, meski dalam nada canda. Dan bila Pak Dahlan dalam mood yang buruk, hanya Zainal yang bisa membuat Pak Dahlan reda dari badainya. “Ya udah, tapi kamu Nal tanggung jawab ya” begitu selalu Pak Dahlan menutup badainya. Dan Zainal, sembari ketawa lebar menjawab: “Beres Bos, kita urus …” Karena itu Mas Zainal, begitu aku selalu memanggilnya, selalu jadi duta besar untuk menyelesaikan masalah group, kalau sudah cukup gawat. Ini catatannya tentang aku, mewakili teman-teman JP Group. Judulnya: “Mengantar buku Bang Rida …”
S
uatu hari di awal tahun 1991 saya diperkenalkan oleh Chairman Jawa Pos Grup, Dahlan Iskan dengan seorang tamu yang sedang bertandang ke markas besar Jawa Pos di kawasan Karah Agung Surabaya. “Nal, kenalin ini Bang Rida, yang kita minta untuk bikin koran di Riau,” kata Pak Dahlan hari itu, yang saya lupa hari dan tanggal tepatnya. Sejak itu saya jadi selalu bertemu dengan Bang Rida, setiap kali ada evaluasi kinerja surat kabar-surat kabar di bawah payung Jawa Pos Grup. Bang Rida, yang saya tahu nama lengkapnya adalah Rida K Liamsi, mewakili Riau Pos dengan pusat produksi di Pekanbaru. Sedangkan saya
437
mewakili Kaltim Post, yang lebih dulu terbit, dengan pusat produksinya di Balikpapan. Setiap kali pertemuan grup itu, Bang Rida selalu mengambil inisiatif menyampaikan gagasan-gagasannya. Gaya bicaranya melengking, penuh semangat. Sungguh sangat berbeda dengan penampilannya di luar ruang pertemuan, yang sedikit bicara, hanya suka mengumbar senyum. Meski usianya 10 tahun lebih di atas saya, penampilan bang Rida selalu trendi. Dalam tempo sekejap, Riau Pos yang dipimpin Bang Rida tumbuh pesat di Tanah Melayu. Ketika saya masih berkutat dengan menumbuhkan hasil usaha Kaltim Post, Bang Rida sudah berani membuat koran di tempat-tempat lain. Bang Rida menerbitkan koran di Pulau Bintan, dengan nama Sijori Pos. Mencermati indikator-indikator pertumbuhan ekono_ mi di Pulau Batam bakal maju lebih pesat dibandingkan Pulau Bintan, maka Bang Rida tanpa keraguan langsung memindahkan pusat produksi Sijori Pos dari Pulau Bintan ke Pulau Batam. Juga mengubah nama korannya menjadi Batam Pos. Gerak cepat itu membuahkan hasil yang lebih baik. Terbukti Batam Pos tumbuh lebih pesat dibandingkan Sijori Pos ketika masih di Pulau Bintan. Setelah itu Bang Rida dengan berani masuk ke Sumatera Barat, menerbitkan surat kabar harian pagi Padang Ekspres. Padahal di Tanah Minang itu, sudah ada dua surat kabar lokal yang sudah sangat kuat berpuluh tahun lamanya, yakni surat kabar harian “Singgalang” dan surat kabar harian “Haluan”. Toh, Padang Ekspres tetap mampu merebut pasar Tanah Minang. Itu terbukti Padang Ek-
438
spres mampu terus tumbuh dengan baik. Tidak cukup sampai disitu. Bang Rida setelah itu menerbitkan koran kedua di Padang, yang diberi nama Post Metro Padang. Koran kedua inipun tumbuh pesat di segmen menengah bawah. Keberanian Bang Rida ini menginspirasi kawan-kawan penanggung jawab operasi (PO), sebutan untuk kordinator wilayah di grup Jawa Pos, untuk ikut mengembangkan koran-koran di daerahnya. Saya jadi lebih berani menerbitkan koran baru di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Bahkan di Kalimantan Timur sendiri, kami sekarang punya enam surat kabar harian pagi, di enam kabupaten dan kota. Kami berdua sering diajak pak Dahlan Iskan dalam perjalanan ke luar negeri. Bahkan kami sering kali sekamar berdua. Pada kesempatan itulah kami sering berdiskusi. Bang Rida memang punya nafsu yang besar dalam mengembangkan usaha. Sampai sekarang pun kami berdua masih sering dapat tugas bersama-sama dari Jawa Pos. Di antaranya adalah menangani Jawa Pos National Network (JPNN), yang menjadi pusat pemberitaan Jawa Pos Grup maupun pengembangan usaha-usaha baru. Di JPNN itu Bang Rida sebagai Direktur Utama, saya sebagai wakil Direktur Utama. Kemampuan berbisnis Bang Rida sudah teruji sampai ke Ibukota Jakarta, yang dikenal sebagai “kuburan� surat kabar karena sudah ada beberapa puluh surat kabar gulung tikar sekalipun dimiliki oleh konglomerat. Lima tahun lalu kami mendapat tugas menangani surat kabar ha-
439
rian milik Jawa Pos. Indopos namanya, yang sebelumnya sudah delapan tahun berturut-turut merugi. Di Indopos itu Bang Rida sebagai Direktur Utama, saya sebagai komisarisnya. Alhamdulillah, tahun pertama di bawah kendali Bang Rida, Indopos langsung berlaba. Tahun-tahun berikutnya pun terus berlaba. Meski usia Bang Rida sudah kepala enam, namun sampai buku ini diterbitkan, semangat Bang Rida untuk mengembangkan usaha tidak pernah surut. Dalam setiap pertemuan pengelola JPNN, selalu ada saja gagasan-gagasan baru yang dilontarkan Bang Rida, untuk mengembangkan dan membesarkan perusahaan. Targetnya yang akhir-akhir ini selalu dilontarkan di dalam pertemuan tiga bulanan Jawa Pos Grup, adalah “memperbanyak yang besar, membesarkan yang kecil�. Untuk mencapai targetnya itu, Bang Rida intens memonitor perkembangan perusahaan-perusahaan di dalam jaringan JPNN. Untuk itu Bang Rida jadi sering terbang mengunjungi perusahaan-perusahaan di berbagai kota. Mengajak Bang Rida rapat, membicarakan perkembangan perusahaan, tidaklah sulit sekalipun sedang berada di tempat yang jauh dari lokasi rapat. Saya yakin keseharian Bang Rida merupakan keseharian yang penuh dengan pemikiran dan penuntasan pekerjaan, baik untuk Riau Pos grup sendiri, maupun untuk Jawa Pos. Meskipun kesehariannya padat dengan jadwal pekerjaan, harus sering terbang ke berbagai kota, saya lihat Bang Rida selalu bugar. Bahkan setiap memimpin rapat, selalu bersemangat dari awal hingga akhir. Saya yakin itu karena gaya hidupnya yang terkontrol baik. Saya melihat
440
cara makan Bang Rida sangat terjaga dalam hal menu yang menyehatkan. Setiap pertemuan grup Jawa Pos, yang rutin sekali setiap tiga bulan, setiap usai salat subuh, Bang Rida mengajak saya dan rekan-rekan lainnya untuk berolahraga pagi. Biasanya berjalan kaki agak cepat di sekitar hotel tempat kami menginap. Kesempatan itu juga digunakan untuk berdiskusi tentang banyak hal, mulai dari pemberitaan, sampai pengelolaan perusahaan. Dengan kesibukan mengurus perusahaan yang seperti itu, Bang Rida masih cukup punya waktu untuk berkesenian. Yang saya tahu Bang Rida menjadi pelopor Yayasan Sagang, yang berhikmat dalam kesenian dan kesusasteraan melayu. Bila ada waktu rapat kami yang harus dilakukan rela saya tunda, bila Bang Rida sudah bilang begini, “Aku ‘kan juga perlu mengembangkan hobi aku yang cuma satu, baca puisi.� Dari situ saya jadi tahu bahwa Bang Rida sering mendapatkan undangan membacakan puisi-puisi karyanya, di pertemuan budaya mancanegara. Terakhir, yang saya tahu, di tahun 2012 bang Rida diundang membacakan puisi-puisi karyanya di Vietnam. Sepulang dari Vietnam itu, Bang Rida membawa oleh-oleh puisi yang diciptakan dengan latar kehidupan Vietnam. Betapa sempurnanya hidup Bang Rida. Menjalani kehidupan keseharian mengurus perusahaan seperti anakanak yang sedang bermain, sambil terus menyalurkan hobi berpuisi. Panjang umur lah Bang, agar semakin panjang pula pengabdian di masyarakat, semakin panjang pula waktu
441
hidup untuk bermanfaat bagi banyak orang. Salam takzim dari Balikpapan, *** 22. MULYADI Wartawan Senior Menguasai dua bahasa asing, Inggeris dan Prancis, itulah kelebihan Mulyadi sebagai wartawan, dan kelebihan itu membuat dia menjadi wartawan yang andal. Aku begitu bangga bisa berteman dengannya, dan cukup lama saya, dia dan Hikmat Ishak menjadi trio wartawan Riau yang ikut meramaikan pers nasional. Berlomba mendapatkan berita ekslusif, dan membangun solidaritas sesama wartawan.Karena itu, dia banyak tahu tentang jatuh bangun, jungkir baliknya kami ketika menegakkan kerja professional kami sebagai wartawan. Inilah catatan Mulyadi yang sudah Haji itu, yang sampai saat ini tidak pernah pensiun sebagai wartawan. Judul catatannya : Rida K Liamsi, Le Roy de Presse, dari Riau:
S
aya mengenal dan bergaul dengan Rida K Liamsi selama hampir 35 tahun. Ia pernah menekuni dunia sastra sebagai seorang penyair. Jangan heran jika di Tanjungpinang, namanya bermacam-macam. Kawankawan dekatnya memanggil Ismail atau Mail. Karena nama Rida K Liamsi adalah nama Ismail Kadir bila dieja dari belakang. Kalangan seniman ada pula yang memanggilnya dengan Iskandar. Sebab ia sering menulis puisi dengan nama pena Iskandar Leo. Handjojo Putro SH (almarhum), mantan anggota DPR RI menyebutnya, “Pak Leo�. Mantan guru yang dulunya berperawakan kecil, kurus, dan per-
442
okok berat itu memang cukup terkenal sebagai penyair. Ketika menjadi utusan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kepulauan Riau dalam suatu penataran di Pekanbaru, ia pernah membaca puisi di Balai Dang Merdu. Saat itu, seniman Idrus Tintin yang menjadi pembawa acara memanggil agar Iskandar Leo tampil ke pentas. Sebagai penyair, sekaligus sebagai wartawan Majalah TEMPO, ia tidak menolak. Puisi yang dibacakannya berjudul Ode X. Dengan suara melengking, ia tampil di pentas. Hadirin bertepuk tangan. Suasana Balai Dang Merdu cukup penuh pengunjung. Meski bukan satu-satunya penyair yang tampil, namun namanya tetap saya kenang. Dalam kapasitas sebagai wartawan, ia galak. Tidak kenal kompromi jika menulis. Bahkan untuk ‘membantai’ narasumber, sikapnya sangat tegar. Maklum TEMPO adalah Majalah Berita Mingguan yang berpengaruh di tanah air. Selain tetap menjaga keseimbangan, buat halhal yang bobrok dan merugikan masyarakat, tidak ada kata kompromi. Dengan memakai topi pet , Rida acap nongkrong di kedai kopi A Thong. Di situ ada pula teman-teman pers Tanjungpinang seperti Eddy Mawuntu (almarhum), Akmal Attatrick, Martono dan lain-lain. Biasanya ia mendiskusikan berita yang akan ditulisnya. Bahkan acap pula tukarmenukar informasi guna melengkapi ‘news’ yang menjadi garapannya. Namun suatu hal meskipun TEMPO merupakan majalah mingguan, masalah aktualitas, akurasi dan objektivitas tetap dijaganya. Dan Rida selalu berpedoman pada
443
parameter tersebut. Pernah suatu kali ketika sejumlah wartawan berada di Polda Riau, Rida nyeletuk, “Kalau kumpul saja, tidak ada berita yang bisa ditulis, lebih baik kembali ke tempat masing-masing.� Nadanya geram. Maklum ia selalu diburu waktu, jadi jangan sampai ada pemborosan dalam menunggu untuk urusan yang belum jelas. Sikapnya yang keras sebagai Wartawan TEMPO agak melunak setelah ia menjadi wartawan Suara Karya. Maklum pola penulisan TEMPO berbeda dengan Suara Karya yang menjadi corong Golkar. Tetapi ketekunannya memburu berita tetap merupakan fokus kerjanya. Tidak heran kalau ia mendapat tugas berpindah-pindah tempat. Mulai dari Jakarta sampai Surabaya. Sebelumnya, pos tetapnya di Tanjungpinang. Saya mengenal Rida juga ketika ia menjadi Pemimpin Redaksi Tabloid Genta yang terbit di Pekanbaru. Sikapnya yang keras tetap diperlihatkannya. Bahkan meski Genta mempunyai tiras tidak besar, kinerjanya tetap prima. Di koran itu, ada Hasan Junus, Fakhrunnas, Suryanto, Dheni Kurnia dan lain-lain. Selama bergaul dengan Rida, saya acapkali terlibat �pertengkaran�. Terutama dalam membahas berita. Karena sama-sama keras, tidak ada yang mau mengalah. Namun setelah bubar, esok harinya berkawan seperti biasa lagi. Tidak ada dendam. Apalagi saling menjelekkan. Karena kita sadar masing-masing punya profesi yang sama. Soal perbedaan, itu bukan menjadi halangan berteman. Begitu pula sewaktu Rida memimpin Harian Riau Pos dan masih berkantor di Jalan Cempaka, Pekanbaru. Saya
444
tetap berkunjung di kantornya. Sebagaimana biasa kami terlibat perdebatan dalam membahas berita yang sedang hangat. Saya ketika itu masih menjadi wartawan Suara Pembaruan, Jakarta. Ada satu hal yang patut saya angkat jempol pada Rida. Ketekunannya memimpin surat kabar Riau Pos dan tidak main-main. Bahkan sebagai pemimpin redaksi, tidak segan-segan ia membonceng pada Suryanto, seorang wartawannya, dengan naik Vespa ke mana-mana. Maklum saat itu, alat transportasi Riau Pos belum punya mobil yang biasa beroperasi. Kecuali untuk mengangkut koran. Selebihnya para wartawan atau pekerja tata usaha naik sepeda motor saja. Beberapa tahun kemudian, Riau Pos menampakkan kemajuan. Tirasnya melonjak drastis dan menjadi koran terkemuka di Provinsi Riau. Daerah penyebarannya juga meluas. Apalagi didukung mesin cetak yang memadai, sehingga lengkaplah keperluan sebagai sebuah koran yang menjadi bacaan publik. Suatu kali ketika mengikuti kunjungan kerja Gubernur Riau Soeripto (waktu itu), saya dan Rida ngomong-ngomong di Batam. Ia sudah merasa tidak melulu memikirkan berita. “Aku harus mengikuti perkembangan bisnis koran, gaji karyawan dan distribusinya,� tuturnya. Pola kehidupan wartawan bergeser karena posisi pemimpin redaksi menghendaki demikian. Tetapi meski sukses yang dicapai Rida dan kini sebagai pimpinan Riau Pos Media Group, kehangatan Rida terhadap kawan-kawan lamanya tidak hilang. Dalam keadaan sulit ia sering menjadi harapan bagi teman-temannya.
445
Dengan tidak berwajah masam, Rida segera mengulurkan bantuan. Obsesinya untuk memiliki koran sendiri sudah terwujud. Tetapi yang mendorong kemajuannya adalah kerja kerasnya dan tetap konsisten dengan dunia pers. Soal kini harus memikirkan aspek bisnis tentu wajar saja. Sebab, Rida berprofesi juga sebagai pengusaha. Dan sesuatu yang berubah drastis, ia tidak merokok lagi. Sosok Rida K Liamsi boleh jadi bisa fenomenal buat dunia pers. Memulai dengan susah payah sampai akhirnya mencapai ambisinya. Saya ingin memberi gelar kepadanya dalam Bahasa Prancis sebagai ‘le roi de presse’ yang artinya ‘Raja Pers’. Karena ia merupakan sosok tokoh pers yang berhasil, di samping beberapa nama lain di daerah ini. *** 23.
JR SUSANTO Mantan Kordinator Liputan Harian Suara Karya. ORANG Jogja yang lembut, yang meskipun dalam posisi sebagai Kordinator Liputan (komandannya para wartawan dalam tugas peliputan), tidak pernah memberi perintah dengan suara keras. Nyaris seperti teman yang minta tolong cari kan sesuatu. “Bang Rida, kan di Riau itu ada ... “ begitulah dia selalu memulai penugasannya untuk aku. Tapi dari dialah aku belajar bagaimana menjadi reporter daerah yang handal. Diperhitungkan. Menjadi redaktur, bagaimana melakukan re-writing hasil liputan temanteman ke dalam satu laporan khusus. Bagaimana memahami arti dan kekuasaan yang namanya “dead-line” itu bagi sebuah surat kabar. Sebagai Kordinator Liputan atau Redaktur Pelaksana Dae-
446
rah, dia benar-benar menjadi pelindung, pemotivasi, dan pemerhati nasib para watawan yang berada di bawah kordinasinya. Honor tulisan, spj penugasan, kenaikan pangkat, tempat penugasan, keluarga di daerah, dll. Jadi dia bukan hanya atasan, tapi teman, untuk macam-macam urusan. “Ini yang namanya Cawang interchange itu” katanya suatu hari, saat membawa aku keliling Jakarta dengan mobil Suzuki Carry-nya melewati jalan layang Cawang itu. Maklum ke Jakarta bagiku ketika itu, sebagai koresponden daerah, termasuk langka. Tapi dia begitu menghargai kami para koresponden daerah, karena kamilah para wartawan yang diminta menjadi penulis liputan kaki (box tulisan di halaman I Suara Karya), spesial liputan feuture Suara Karya. Berkat dialah, aku berhasil menjadi penghuni tulisan box, dengan liputan-liputan yang terkadang sangat exklusif dibanding koran lain. Sampai kini, meski dia sudah pensiun dan menetap di Depok, kami masih sering berhubungan. Tiap lebaran dia kirim sms, dan sesekali dia bertanya kabar. Sebuah persahabatan yang tak pernah putus . “Rida K Liamsi si Ismail Kadir “, judul catatannya dan dia tulis sebelum dia pensiun dari Suara Karya :
S
ebenarnya tidak banyak yang saya ketahui tentang diri orang Tanjungpinang yang populer dengan nama Rida K Liamsi ini. Memang umur persahabatan saya dengannya sudah belasan tahun, sejak dia masih tinggal di Tanjungpinang pada tahun 1970-an sampai sekarang. Sejak dia menjadi koresponden Harian Umum Suara Karya sampai sekarang menjadi “orang’’ di Pekanbaru. Namun dalam kurun waktu yang lama itu bertatap muka dengannya amatlah jarang. Saya baru bertemu
447
muka dengan dia awal Mei lalu setelah lebih dari tujuh tahun tidak pernah bertemu muka. Jadi susah juga untuk mengungkap seluruh isi sosok orang yang nama aslinya Ismail Kadir melalui telepon. Awet berteman dengan dia. Dan, barangkali itulah salah satu kelebihan Rida, sulit melupakan sahabat lama. Kekhasan lain yang menonjol dari sosok Rida ini sepanjang pengamatan saya sejak mengenalnya adalah: taat beribadah, berbakat dan tekun dalam pekerjaan. Menjalankan salat lima waktu buat dia sudah sama halnya dengan bernapas. Taat menjalankan agama dan tekun dalam bekerja rasanya merupakan kunci keberhasilannya. Beriman dengan tulus, bukan beriman purapura akan membawa kesejukan jiwa dan menjadikannya bertangan dingin. Apa saja yang ditangani, apa saja yang dikerjakan sepertinya selalu jadi. Rida lebih saya kenal pada sosok kewartawanannya. Dari awal saya mengenalnya ketika dia bergabung dengan Harian Suara Karya sebagai koresponden di Tanjungpinang, saya sudah ‘’mencium’’ potensinya yang besar dalam profesi kewartawanan yang dia tekuni. Ini terlihat dari tulisan-tulisan yang dihasilkan dan dikirim ke redaksi Harian Suara Karya, baik yang berupa berita langsung maupun features. Tidak ada ceritanya bahwa berita/features produksi Rida K Liamsi masuk keranjang sampah. Kalau kepada kebanyakan koresponden saya sering bilang agar jangan ngambek kalau saya keras supaya setiap koresponden dapat meningkat profesionalismenya, supaya nantinya lebih pandai dari saya, maka terhadap Rida saya berkata dalam hati, ‘’Orang ini sudah lebih pandai dari
448
saya’’. Masalahnya bukan lagi bagaimana harus membina kemampuan kewartawanannya, tetapi bagaimana mengelolanya dan bagaimana membuka kesempatan buat dia agar kemampuannya teraktualisasikan. Kemampuan mengungkap berbagai kasus sangat baik. Banyak kasus daerah yang oleh kebanyakan orang wartawan dipandang sebelah mata setelah digarap Rida K Liamsi menjadi produk berita yang menghebohkan. Kasus pencurian harta karun di perairan R44iau oleh kapal asing pada tahun 1970-an misalnya digarap Rida secara mendalam benar-benar menghebohkan secara nasional. Kasus ini dikunyah-kunyah oleh Rida dan selalu menjadi perhatian pembaca. Dia adalah seseorang yang punya pandangan jauh ke depan. Ketika diberi kesempatan pindah ke Jakarta untuk diangkat menjadi reporter di Harian Suara Karya, dengan pertimbangannya yang matang dia terima tawaran tersebut meskipun harus berkorban berat, jauh dari anak istri. Padahal penghasilannya sebagai koresponden tidak jauh berbeda dari gaji reporter. Dia tahu, demi karir dia harus pergi ke Jakarta. Tidak lama menjadi reporter di Jakarta, Rida kemudian dipercaya untuk merintis pembuatan rubrik khusus Harian Suara Karya, rubrik “Rek Ayo Rek’’, yang isinya mengungkapkan permasalahan khusus daerah Surabaya dan sekitarnya secara luas dan mendalam. Dia harus pindah ke Surabaya dengan lingkungan dan budaya yang belum dikenalnya. Dia mampu cepat beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Rubrik garapannya pun bersama rubrik serupa yang digarap di Semarang dan Bandung
449
mampu mendongkrak oplah Harian Suara Karya di kotakota tersebut. Banyak pihak tampaknya mulai melihat bahwa local newpaper sebenarnya diminati masyarakat kalau digarap secara baik. Ketika kemudian Rida meninggalkan Harian Suara Karya untuk menerbitkan koran daerah, Riau Pos, saya yakin di tangannya koran lokal ini akan berkembang. Benar, berkat kemampuan, kegigihan, keuletan, ketekunan dan ketaqwaannya kepada Allah Yang Mahakuasa, dia berhasil. Dalam keberhasilannya itu dia tetap rendah hati, low profile. Membaca tetap menjadi kegemarannya dan dalam usia yang tergolong manula sekarang ini dia tampak masih inergik dan tekun berupaya di berbagai bidang untuk memajukan daerahnya. *** 24. RENVILLE ALMATSIR Mantan wartawan Tempo/Pensiunan Humas PT Caltex. PT Caltex Pacific Indonesia ( CPI ), perusahaan minyak asing terbesar di dunia itu, bermarkas di Rumbai , Pekanbaru, Riau. Tak heran kalau perusahaan ini menjadi sumber informasi penting bagi para wartawan di Riau, khususnya masalah ekonomi dan perminyakan, untuk media tempat mereka bekerja. Dan Humas nya adalah sumber informasi pertama, dan PT CPI memang memberi peran yang sangat penting bagi departemen Humas dan Public Affair nya untuk jadi juru bicara mereka. Di sinilah aku berkenalan dengan mereka. Pimpinannya adalah Pak Moeslim Rusli, mantan wartawan yang sangat arif dan supel. Sementara Renvile Almatsir, adalah salah satu stafnya yang sangat akrab
450
dengan para wartawan. Aku mengenalnya sejak dia masih jadi wartawan majalah Tempo, tempat aku juga pernah jadi wartawan di sana. Teman yang ramah, idealis,kritis dalam diskusi, dan selalu berbagi ide-ide yang menarik. Dia membuat catatan tentang aku yang dia beri judul : Rida, ”Revolusi” Belum Selesai ... :
R
asanya, sekarang hampir tidak ada orang di Riau yang tidak mengenal Rida. Wartawan yang “orang biasa” itu, kini sudah menjadi public figure. Kepopulerannya nyaris sama dengan para politisi yang sering muncul di layar televisi. Bahkan boleh dibilang ia lebih ngetop dari Pak Gubernur. Dan, sejalan dengan itu, penampilannya pun makin oke. Rida memang pantas memperoleh predikat itu. Betapa tidak, Riau Pos yang dipimpinnya telah tumbuh dari sebuah koran lokal Riau menjadi raksasa bisnis media yang merambah luas ke seantero pelosok, terutama di Sumatera. Itu adalah hasil dari apa yang telah lama diimpikan dan dirintisnya, dan direalisasikannya melalui kerja kerasnya selama ini. Ibarat menyebar benih, Rida kini memang pantas menuai hasilnya. Saya mula mengenal Rida, long time ago, ketika kami sama-sama bekerja pada Majalah TEMPO di awal tahun 1970-an. Saya menjadi reporter di Jakarta, ia bekerja sebagai koresponden di Tanjungpinang. Kami para reporter biasanya berkenalan dengan rekan-rekan dari daerah ketika mereka sekali-sekali datang, dipanggil atau magang di “kantor pusat”. Bila datang, mereka akan dikeroyok, didaulat untuk bercerita tentang pengalaman atau masalah yang mereka hadapi di daerah. Maklum mereka datang
451
dari berbagai kota seperti Jogja, Jember, Palembang, Tanjungpinang atau Samarinda. Salah seorang lainnya adalah Dahlan Iskan, tokoh lain yang pasti sudah dikenal pula. Tempat ngobrol itu sebenarnya hanyalah ruang kerja sederhana tanpa AC. Di kiri kanan berjejer meja tulis kecil dan mesin tik. Saya kebetulan duduk di meja paling ujung menghadap ke tangga yang terbuat dari kayu. Di antara kami ada Sjahrir Wahab, Yusril Jalinus, Herry Komar, Ahmad Wahib (almarhum), Harun Musawa, Zulkifly Lubis, Martin Aleida, Eddy Herwanto, Mochtar Amin, Farchan Bulkin (almarhum), Slamet Jabarudi (almarhum) dan lain-lain. Bunyi langkah setiap tamu yang menjejakkan kaki di anak tangga kayu itu pasti menarik perhatian. Dan biasanya sayalah yang paling dulu berteriak menyapa dan memberitahu rekan-rekan lain yang sedang tekun mengetik reportase. Waktu berbincang yang paling asyik adalah sesudah lewat waktu deadline, ketika semua sudah lebih santai. Kadang-kadang meja kami penuh dengan piring sisa ketoprak, soto mie atau sekadar gorengan tahu tempe. Sering kali pula para redaktur dari ruangan lain ikut terlibat. Di antaranya Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, Fikri Jufri, Putu Wijaya, George Aditjondro, Budiman S. Hartoyo, Bastari Asnin (almarhum), Isma Sawitri, Toeti Kakiailatu, Zen Oemar Poerba dan lain-lain. Rida mudah dikenal dari perawakannya yang kurus, hitam agak lusuh, suka bersandal dan dari logat bicaranya. Dialek Melayunya yang kental itu semakin asyik terdengar di telinga bila menyebut lawan bicaranya dengan
452
“engkau”. Suatu panggilan yang rada aneh kedengarannya di Jakarta waktu itu tapi sekaligus menjelaskan bahwa pembicara adalah “orang daerah”. Walau tak sempat bergaul terlalu dekat, idealisme sesama reporter muda agaknya merupakan perekat hubungan kami. Semangat membangun sangat terasa sehingga diskusi sering kami juluki seolah mau merencanakan “revolusi”. Begitu pula pada Rida yang selalu banyak bercerita tentang Riau. Tentang kendala yang ia hadapi dan tentang perlunya media untuk ikut membangun daerah. Saya masih ingat bagaimana Rida yang waktu itu berprofesi rangkap sebagai guru dan wartawan, menghadapi dilema ketika mendapat tawaran untuk pindah ke Jakarta atau Bandung. Karena alasan istri yang tak bisa pindah, Rida akhirnya memilih tetap tinggal di Tanjungpinang dengan daerah liputan yang semakin luas sampai ke Riau daratan. Waktu berjalan, kemudian saya ketahui ia menjadi reporter Harian Suara Karya yang waktu itu dikenal sebagai koran Golkar. Saya yang sangat bangga terhadap “independensi” TEMPO, mengira Rida adalah aktivis organisasi berlambang beringin itu. Sesudah itu waktu dan jarak memisahkan kita. Sampai kemudian saya pindah dan menjadi karyawan Caltex di Rumbai. Berada di rantau, saya segera berupaya membangun jejaring di antara wartawan-wartawan di Pekanbaru. Alhamdulilah, di situlah saya bertemu Rida, teman lama sesama eks TEMPO, dan pertemanan kami pun bertaut kembali. Setiap hari Sabtu saya biasanya menyempatkan diri untuk singgah di markas PWI di Jalan
453
Sumatera, Pekanbaru. Di situ kami kongkow, mengobrol dengan wartawan-wartawan lain dan membahas segala macam hal. Kadang-kadang kami berjumpa di ruang Humas Kantor Gubernur atau di kantor Mingguan Genta di lantai II bangunan Pasar Pusat Pekanbaru. Ketika itulah saya melihat kegigihan Rida. Ia berusaha membangun koran yang sejak lama didambakan masyarakat Riau. Rasanya tak habis-habis kami bersama-sama rekan lain berdiskusi bagaimana caranya agar Riau memiliki sebuah koran yang bisa dibanggakan. Beberapa rekan lain itu adalah wartawan-wartawan senior seperti Moeslim Kawi, Boesjra Algerie, Mulyadi, Zaili Asril dan Kahumas Asparaini Rasjad. Berkat kerja keras mereka lahirlah Warta Karya, yang sayang tak berumur panjang. Upaya semakin berat ketika masyarakat sudah pesimistis. Kendala utama waktu itu selain modal adalah manajemen serta fasilitas percetakan yang sangat langka di Pekanbaru. Mingguan Genta yang waktu itu paling lumayan bahkan dicetak di Padang. Media perusahaan, Warta Caltex, yang waktu itu saya pimpin harus dicetak di Jakarta sementara pembuatan separasi-warnanya dikerjakan di Medan. Sementara berbagai upaya dilakukan, antara lain dengan dukungan Gubernur Soeripto, Rida rupanya sudah giat bergerilya mencari modal ke sana, ke mari. Terakhir, sebelum saya pindah kembali Jakarta, saya kunjungi Rida yang waktu itu sudah memimpin Riau Pos. Sempat pula saya kemukakan agar berhati-hati dengan pemodal kakap, namun Rida tampak sangat optimistis. Beberapa kali, melalui Rida saya menyumbangkan artikel untuk
454
dimuat dalam koran itu. Rida ternyata beruntung mendapatkan mitra yang cocok pada waktu yang tepat. Dari jauh saya kemudian melihat Riau Pos semakin maju. Diam-diam saya salut pada keuletan dan tangan dinginnya. Jumlah halaman Riau Pos terus bertambah, jenis kegiatan pun terus merambah. Ini menjadi petunjuk bahwa bisnisnya sukses. Teman saya, sang wartawan yang dulu lusuh sekarang berkembang menjadi pengusaha. Bila sesekali berkunjung ke Pekanbaru saya upayakan mencarinya namun ia sudah sangat sulit dijumpai. Saya paham ia tentu sangat sibuk. Begitulah, rekan saya Rida sudah bergelut dengan kesibukan sebagai pemimpin perusahaan yang seperti katanya selalu “harus ditekuni sepenuh hati�. Rida telah menjadi pemimpin kelompok bisnis yang terus berkembang. Dengan dukungan manajemen yang kuat serta ditambah dengan latar belakang sebagai wartawan yang luas pergaulannya, tak pelak lagi ia sukses. Menurut penelitian The Stanford Research Institute, kunci faktor sukses kepemimpinan itu 88 persen terletak pada bagaimana kita berhubungan dengan baik dengan orang lain (karakter), sedangkan sisanya (12 persen) adalah pada pengetahuan profesional yang terdiri dari self knowledge, knowledge of the job dan ability to deal with people. Saya kira semua itu ada pada Rida. Kiprah Rida selanjutnya hanya dapat saya ikuti melalui media dan teman-teman yang datang dan pergi dari Riau. Melalui Riau Pos ia telah ikut membangun Riau. Korannya ikut mendidik masyarakat sampai ke pelosok. Sementara itu Rida telah menjadi tokoh masyarakat.
455
Saya hanya berharap walaupun telah sukses ia tak akan larut dalam kemapanan -- yang sebetulnya sah-sah saja -- seperti yang kita lihat terjadi pada banyak tokoh di sekitar kita. Saya berharap ia tetap ingat cita-citanya ketika masih bermimpi akan mengangkat Riau melalui media massa. Saya ingat pada Rida dan pada diskusi kita puluhan tahun yang lalu.. Setelah sukses dengan bisnisnya, saya tak tahu apa tujuan Rida selanjutnya. What’s next? Rida bukan lagi anak Kampung Bakong di Pulau Singkep yang sederhana. Mungkin saja ia akan menjadi gubernur atau politikus, suatu hal yang bukan tak mungkin tidak ada di kepalanya. Lingkungan kadang-kadang membuat kita lupa… Popularitas bisa membuai kita terlena…. Saya harap Rida tidak! Kita akan melihat langkah Rida berikutnya. Masih banyak yang dapat ia lakukan sebab, “revolusi” kita belum selesai *** 25. HIKMAT ISHAK Penulis/wartawan Senior Hikmat Ishak, setahuku, adalah salah satu wartawan terbaik yang pernah ada di Riau. Punya kemampuan menulis yang bagus, khususnya untuk liputan mendalam dan feutures, kuat dalam penggunaan referensi dan dokumentasi, jeli melihat peristiwa, dan tangguh dalam menembus sumber. Tak heran kalau dia pernah menjadi salah satu wartawan harian Kompas yang dihandalkan di daerah. Aku berteman dengannya, sejak aku menjadi wartawan majalah Tempo, memulai menerbitkan Skm Genta,
456
sampai membangun Riau Pos Group. Kami sering bertemu dan berdiskusi. Kami pernah jadi empat serangkai (Hikmat, aku, Mulyadi dan Ramli Lubis) yang kelayapan ke mana-mana mencari berita. Tidur di lokasi transmigrasi, di rumah penduduk, dan tentunya juga di hotel mewah. Sekarang dia menjadi salah seorang penulis biografi yang hebat, dan banyak kepala daerah di Riau dan Kepulauan Riau yang minta dia sebagai penulis biografi mereka.Dia membuat catatan tentang aku dengan judul : Rida K Liamsi Bukan Lagi Sebuah Nama :
R
IDA K LIAMSI benar-benar pemimpi, nekat, tapi pekerja keras yang penuh perhitungan. Dia memimpikan apa saja: bait-bait syair yang berjiwa, gagasan budaya, esai-esai yang bernas, editorial yang menggetarkan, bisnis yang beruntung dan karya sastra. Dengan imajinasinya itu, bersama tekat membaja dan bekerja keras Rida ternyata berhasil mewujudkan impiannya menjadi kenyataan. Mimpinya yang paling spektakuler dan berbahaya itu adalah ketika ia terobsesi ingin memiliki surat kabar sendiri. Dia lalu membungkus mimpinya, terbangun dan berdiri. Dia menjadi nekat, dan kawan-kawannya nyaris tertawa melihat kenekatannya. Ya, Rida ingin memiliki koran sendiri. Di tengah kondisi Riau yang - kata orang dan sudah menjadi mitos - tidak mungkin dapat menerbitkan koran. Menerbitkan koran bagi Riau pada tahun 1960 hingga 1970-an ibarat mencari oase di padang pasir, dan selalu terkecoh fatamorgana. Kenekatannya membuat Rida mundur sebagai warta-
457
wan TEMPO di Riau. Lalu meninggalkan Kepulauan Riau, sengaja bertarung apa saja di Riau daratan. Langkahnya terlihat ketika dia berani menegakkan peran dan fungsi pers di Riau. Dia menerobos sumbersumber berita dan mewawancarainya hanya untuk sebuah konfirmasi, cover both side, dan check and recheck suatu berita yang akan diturunkannya. Rida terkesan menjadi pionir dalam menegakkan eksistensi, kualitas dan cara kerja wartawan yang benar. Dia tak segan berbantah-bantah dengan suatu sumber berita dan siap untuk tidak dipedulikan si narasumber. Rida juga geram ketika hingga 1977 keadaan PWI Riau antara ada dan tiada, bagai milik segelintir orang. Jangan coba-coba mendekat atau memasukinya. Tapi Rida justru menerobosnya. Dia berani mengingatkan para pengurus pada waktu itu. Di sini dia bukan hanya nekat, tapi mulai menembus mitos. Ketika dia benar-benar mulai menerbitkan koran sendiri, inilah yang membuat saya sangsi. Dengan sebuah ruang empat kali lima meter di Gobah, jauh dari ber-AC, tak bertelepon atau komputer, Rida melangkah dengan yakin. Beberapa teman malah menertawainya, di tengah kuatnya dominasi koran-koran pusat yang bagai tak terlawankan. Atau setidaknya koran-koran Padang, semisal Haluan, Singgalang, atau dari Medan seperti Analisa, Sinar Indonesia Baru dan lain lain. Saya terus terang, sebenarnya sedih melihat kenekatan Rida saat itu. Saya juga bermimpi seperti dia, tapi tak bernyali untuk memulainya.
458
Ketika saya memutuskan kembali ke Jakarta, Rida hanya membekali saya sebuah kartu pers koran Genta yang dia tanda tangani dan sampai kini masih saya simpan sebagai kenang-kenangan. Saya bertugas menulis dan mengirimkan berita-berita dari Jakarta. *** SETELAH berpisah hampir sewindu, saya mendengar kabar bahwa Rida sedang mengejar mimpinya. Dia mendirikan Riau Pos. Dengan ketajaman analisa, kedekatannya dengan teman-teman di Jawa Pos dan Pemda Riau, kerja kerasnya itu berhasil. Ketika dia bangun dari mimpinya, dia berada di tengah kenyataan yang menakjubkan. Dia berada di tengah suatu kerajaan surat kabar yang lengkap dengan peralatan cetak, jaringan bisnis dan pemasaran yang begitu solid dan cenderung menggurita. Kalau kemudian Rida berhasil, saya tak terlalu heran kerena dia pemimpi, bahkan lebih dari sekadar pekerja keras. Rida juga serius dan kurang suka dengan orangorang yang tak serius. Dia bisa tiba-tiba meledak kalau lawan bicaranya sinis, tanpa kehilangan humornya. Rida telah menjadikan Riau itu bukan tak mungkin dihadiri mesin cetak. Dia kini bahkan mencetak beberapa koran mingguan dan majalah. Sang pemimpi ini kini bahkan memiliki Stasiun Televisi RTv-nya yang selama ini hanya mitos dan legenda dari mulut ke mulut saja. Bahkan kabarnya selain bisnis massmedia, baik cetak dan elektronika, kerajaan bisnisnya sudah memasuki bisnis-bisnis lain . ***
459
TAPI Rida tak pernah meninggalkan habitatnya. Kini dia jadi pengusaha tapi tetap wartawan, penyair, budayawan dan penulis yang selalu jadi perhitungan siapa saja. Sebagai budayawan, Rida yang punya nama pena Iskandar Leo itu bahkan memberikan penghargaan dan peduli dengan dunia ini dengn mendirikan Yayasan Sagang dan memberikan penghargaan setiap tahun kepada karya-karya seni dan budaya di Riau dan serantau negeri Melayu. Setelah lama bangun dari mimpinya, dan berhasil memecahkan mitos, saya juga kurang tahu sang penekat ini mau menjadi apa. Dia bisa menembus mitos-mitos lain dengan kenekatan dan modalnya yang kini dia punya. Ketajaman analisanya, lobbynya, modalnya dan keteguhan hatinya, kini membuat Rida nyaris sukar diduga entah ingin ke mana lagi dalam kesuksesannya. *** 26. MOESLIM KAWI Mantan Ketua PWI Riau/ Wartawan Senior. Bahagian terpenting dari perjalanan hidup seorang wartawan itu adalah integritas. Itulah rohnya, itulah spiritnya. Dan itulah yang ada pada Pak Muslim Kawi ini. Wartawan senior yang tetap memelihara semangat independensi, professional, dan arif sebagai wartawan. Keteladanan dan kesetiaannya terhadap profesinya yang kemudian mendorong aku untuk memintanya menjadi salah seorang anggota tim ombudsman di Harian Riau Pos yang aku pimpin. Sebuah lembaga yang dimaksudkan untuk menjadi katalisator dan penjaga nilai-nilai kemurnian jurnalistik, lembaga pengingat dan penegur, terhadap sepak terjang Riau Pos
460
sebagai media. Apakah Riau Pos menjadi manfaat bagi pembacanya, atau sebaliknya. Apakah Riau Pos tetap setia menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik, atau sebaliknya. Bahkan beberapa tahun awal lembaga ini dipekerkenalkan oleh Riau Pos, Pak Muslim Kawi, begitu aku memanggilnya, sempat menjadi Ketua tim ombudman ini. Dan dia bekerja sepenuh hati, dan sangat bertanggungjawab. Catatannya tentang persahabatan kami, dia beri judul “Obsesi yang tak Pernah Padam, Orang yang Bertangan Dingin” :
S
aya mengenal Rida sekitar akhir tahun 1978/awal tahun 1979 di Tanjungpinang. Waktu itu, saya dan rekan Mulyadi (koresponden Sinar Harapan untuk Pekanbaru) dan Ramli Lubis (ketika itu koresponden Harian Analisa, Medan), melakukan tugas jurnalistik kedaerah Kepulauan Riau, Tanjungpinang. Memang saat itu lagi membludaknya pengungsi Vietnam ke daerah ini, lari dari negaranya karena takut dikejar-kejar komunis. Pengungsi Vietnam banyak sekali terdampar di sini (Tanjung Unggat dan sekitarnya), sebelum mereka ditempatkan khusus di daerah Pulau Galang yang terkenal itu. Sampai di Tanjugpinang bertemu rekan-rekan lama, seperti Eddy Mawuntu (almarhum), Kepala Stasiun (Kepsta) RRI Tanjungpinang Zainal Abbas (sebelumnya pernah bertugas di Pekanbaru) serta Arisun Agus (kini pensiun), yang waktu itu juga baru pindah ke RRI Tanjungpinang. Saya pun diperkenalkan dengan Akmal Attatrick dan Rida K Liamsi. Saya ingat betul, tempat perkumpulan rekan-rekan wartawan itu di kawasan dikedai kopi ‘’Suka Ria ’’ Tanjungpinang. Ya, katakanlah tempat “kongkow-kongkow’’.
461
Nah, di situlah saya tahu, bahwa Rida (dari majalah TEMPO), orangnya sederhana dan tak banyak ngomong. Kalau bicara seperlunya saja, tetapi cepat akrab. Saya lebih mengenal Rida setelah diberitahu rekan di sini, bahwa tiga serangkai satu profesi kendati berbeda tempat kerja tapi kompak. Eddy Mawuntu memang saya sudah mengenalnya sejak 1970 (pernah di LKBN Antara kemudian hijrah ke surat kabar Sinar Harapan untuk Tanjungpinang), sementara Akmal Attatrick dari majalah Detik. ’’ERA’’, menurut rekan-rekan di sana (Tanjungpinang) adalah singkatan dari Eddy Mawuntu (E), Rida (R) dan Akmal (A), yang konon dulunya ingin bergerak di bidang percetakan. Sekitar Mei 1979, saya dan Mulyadi diundang Gubernur Soebrantas waktu itu kekawasan Pulau Tujuh (Natuna), karena dari 68 kecamatan di Provinsi Riau (saat itu), Pulau Tujuh dan Natuna merupakan kecamatan yang terakhir dikunjungi Gubernur Soebrantas setelah ia menjabat hampir satu tahun. Di sini saya bertemu kembali dengan Rida dan bersama-sama berangkat dengan rombongan Gubernur Soebrantas ke Natuna. Kami dari Tanjungpinang menggunakan kapal cepat milik Bea Cukai (BC) 904, yang konon pernah digunakan untuk memburu penyeludup di perairan Kepulauan Riau itu. Rombongan kami dari Pekanbaru tujuh orang berikut istri Soebrantas, termasuk Razak Effendi (almarhum), kameramen Humas Pemda Riau. Di Tanjungpinang rombongan bertambah dengan Bupati Kepri (waktu itu) dijabat Kolonel (P) Firman Eddy SH serta beberapa orang pejabat lainnya, termasuk dua wartawan, Rida K Liamsi dan seorang dari
462
reporter RRI Tanjungpinang. Tujuh kecamatan di Kepulauan Anambas itu dikunjungi gubernur mulai dari Letung (Kecamatan Jemaja), Tarempa (Kecamatan Siantar), Serasan, Bunguruan Barat, Bunguruan Timur (Natuna), Midai dan Kecamatan Tambelan. Kendati sekian hari bergaul dalam perjalanan ke Pulau Tujuh, memang tak banyak pembicaraan kami. Yang didiskusikan hanya seputar profesi, karena kami sering ‘’diancam’’ gelombang yang demikian dahsyat. Cukup lama saya tak bertemu Rida setelah bersama ke Natuna itu, namun sekitar 1980 (awal), ketika Zuhdi mengundurkan diri sebagai ketua PWI,ditunjuklah Busra Algerie (mewakili), tapi tak lama, karena ia dipindahkan oleh instansinya ke Dumai. Kevakuman ini, teman-teman melalui rapat menunjuk saya sebagai Pjs Ketua PWI menjelang habis masa jabatan Zuhdi tahun 1982. Saya ingat betul, selain Rida dan kawan-kawan lainnya, termasuk Mulyadi, akhirnya tak sampai 1982 malah tahun 1981 saya laksanakan Konpercab dan terpilihlah saya sebagai ketua PWI Cabang Riau, dan Rida sebagai sekretaris. Sekitar tahun 1983, PWI Riau melakukan studi banding ke Surabaya (Jawa Timur). Rida termasuk dari sepuluh orang rombongan yang saya pimpin itu. Kendatipun Rida baru saja dipindahkan oleh majalahnya dari Tanjungpinang ke ibukota provinsi, Pekanbaru, kegiatannya malah tambah banyak. Mantan guru ini bertemu “konco’’ lamanya di TEMPO sewaktu rombongan kami diterima Dahlan Iskan yang ketika itu menjabat wakil sekretaris PWI Jatim dan sekaligus tentunya Pemred “Jawa Pos’’,
463
yang konon korannya banyak beredar di Indonesia bagian timur. Sekembali dari “studi banding’’ itu, ada semacam “blessing indisguise’’ menurut saya, karena Rida tak kembali lagi ke Tanjungpinang. Sebelumnya, memang Rida kabarnya akan ditempatkan sebagai perwakilan TEMPO di Bandung, tetapi ada hal-hal tertentu yang menyebabkan dia yang sudah boyong ke Pekanbaru (istrinya guru, kini kepala di salah satu SD di kota ini) harus dibalik kanan gerak ke Tanjungpinang. Namun “sejarah’’ menentukan lain. Peranan Mulyadi, cukup besar waktu itu sehingga Rida tetap di Pekanbaru untuk mencoba mengasuh SKM Genta yang saat itu lebih setahun berhenti terbit. Tawaran untuk mengelola SKM “Genta’’ yang terbit mingguan itu diterimanya, kendati ia harus korbankan karirnya di TEMPO. Jadi kalau dulunya dia pernah jadi guru, nekat dan berhenti seka¬lipun “posisi’’ guru cukup baik kala itu. Terus-terang saya senang sekali mendengar Rida akan memimpin SKM Genta yang hidup-hidup mati sejak 1979. Saya dukung dan malah sebagai ketua PWI Riau ketika itu saya segera siapkan rekomendasinya ke PWI pusat untuk Saudara Rida menjabat pemimpin redaksi. Rida merekrut tenaga-tenaga muda di antaranya Taufik Ikram Jamil, Dheni Kurnia termasuk juga Fakhrunnas MA Jabbar dan lain-lain. Genta mulai jalan, malah di tangan dialah ada ‘’bonus’’ dari pemerintah karena Genta termasuk salah satu yang diprogramkan sebagai Koran Masuk Desa (KMD) di Riau. Menurut saya, dia termasuk “nekat’’ juga, harus kem-
464
bali ke Tanjungpinang meninggalkan Genta. Tapi saya mengerti dia tak betah diintervensi terlalu jauh oleh pimpinan yayasan terutama dalam hal pemberitaan. Memang ia tak mau menyebutkan latar belakang harus balik ke Tanjungpinang, tapi saya dimintanya untuk “mengelola’’ Genta selanjutnya (November 1984 Rida mengundurkan diri). Agar tak berhenti terbit, saya tak mungkin merangkap jabatan di Genta. Dengan sedih sebagai rekan saya lepas Rida balik ke Tanjungpinang. Genta tak punya nahkoda, kendati dengan personil yang ada, tetap jalan. Saya pun dua kali ditawari untuk bergabung di Genta oleh Prof Suwardi MS. Karena tak mungkin merangkap (waktu itu saya di LKBN Antara lebih 18 tahun), akhirnya saya terima setelah saya melakukan salat istikharah (untuk menentukan pilihan). Sementara proses berlangsung saya tetap di “Antara’’ sampai keluarnya surat keputusan saya diangkat menjadi Pimpinan Redaksi Genta menggantikan Rida. Saya pun tetap menjabat sebagai Ketua PWI Cabang Riau, dan mundur dari LKBN “Antara’’. Menurut saya, Rida juga “nekat’’ menjadi koresponden lagi di Harian Suara Karya. Tetapi begitulah perjalanan hidup itu sementara yang ia tinggalkan adalah pemimpin redaksi. Kenekatan ini pulalah yang mengantar dia akhirnya mendapat penugasan ke Surabaya oleh “Suara Karya’’, setelah sukses ditempatkan di Lampung (meliputi peristiwa Lampung waktu itu). Saya melihatnya ini prestasi bagi Rida karena penugasan ke Surabaya ada semacam missi khusus terutama setelah ‘’Bonek’’ (bondo nekad) mengamuk di beberapa stasiun kereta api waktu mau pulang ke Surabaya. Dahl-
465
an waktu itu jadi manager Persebaya dan kalah melawan Persib, Bandung. Missi yang dibawa Rida tak terlaksana karena mereka terlibat serius membicarakan penerbitan koran di Riau dalam upaya Jawa Pos mengembangkan sayapnya ke Sumatera. Dalam kaitan ini, ada cerita lain. Sebelum Dahlan “nego’’ dengan Rida, datang utusan dari Akcaya (Kalbar) Bey Acob (Pemred Akcaya Pontianak) yang juga digandeng “Jawa Pos’’, menemui saya (1990) di Genta Pasar Pusat Pekanbaru. Menurut Bey Acub (almarhum), Dahlan ingin menerbitkan harian di Jambi atau Riau. Tampaknya, Dahlan lebih cenderung ke Riau, kata Bey Acub waktu itu pada saya. Sebenarnya langkah-langkah itu saya sambut baik, namun setelah dibicarakan dengan pimpinan umum, tampaknya terbentur, karena pemimpin umum lebih mau ‘’berdiri sendiri’’. ‘’Sulit kerja sama dengan pemodal kuat seperti Jawa Pos,’’ katanya. Saya memang kecewa, karena menurut ketentuan Deppen (kini telah dilikwidasi), bolehboleh saja menggandeng perusahaan pers yang dianggap kuat. Ketika itu saya diberi waktu hanya seminggu oleh Bey Acub. Akhirnya lepaslah ‘’modal’’ yang akan ditanam Dahlan dengan grupnya itu di Pekanbaru. Waktu itulah, Dahlan kontan menawarkan Rida, dan tampaknya ‘’pucuk dicinta ulam pun tiba’’, baginya. Memang sebelumnya, Rida pernah juga memberi tahu saya agar diambillah peluang itu oleh Genta agar bisa lebih berkembang. Kendati Rida harus memulai lagi dari awal karena tak lagi di TEMPO, Genta dan “Suara Karya’’, dia pun “nekat’’ untuk melanjutkan keinginannya menggeluti pers ini. Dia
466
terima ‘’penugasan’’ kawan lamanya Dahlan Iskan untuk kembali ke Riau menerbitkan koran “Riau Pos’’ yang hampir setahun terbit mingguan (1989). Dimulainyalah memproses melalui kerja sama antara Yayasan Riau Makmur dan “Jawa Pos Group’’. Ini pun berkat bantuan Gubernur Soeripto yang memang prosesnya, menurut saya, termasuk cepat, sebab selain dukungan Pemda dan masyarakat, yang pasti Dahlan dari “Jawa Pos Group’’ benar-benar punya kesungguhan melakukan kerja sama ini. Keuntungan besar yang tak pernah terjadi di daerah ini adalah didropnya sebuah unit percetakan lengkap eks TEMPO oleh Dahlan dan saat itu (1991) dimulailah penerbitan perdana menjadi harian ‘’Riau Pos’’ yang berkebetulan waktu itu sedang berkecamuk ‘’Perang Teluk’’. Obsesi Rida terwujud berkat kerja kerasnya dan malah pada awal-awal penerbitan harian karena kesulitan kertas, dia pun tak segan-segan memikul kertas dan barang cetakan dari Padang (pernah dicetak warna di Padang). Saya yakin dan memang mengikuti kerja keras Rida dan teman-temannya mulai dari oplag 2.500 eksemplar di awal terbit harian (17 Januari 1991), sampai menjadi 20 ribu eks lebih sewaktu Perang Teluk dan terus meningkat tiap waktu. Halamannya pun bertambah, malah sebagian berwarna, sementara harga korannya masih sangat terjangkau oleh pembaca. ‘’Mimpi’’ anak-jati Dabo (Singkep) ini untuk menjadi pelopor sistim koran cetak jarak jauh ( SCJJ ) akhirnya menjadi kenyataan ketika harian Riau Pos bisa dicetak di Tanjungpinang. Memang ketika itu, 1992, Menpen Harmoko menyatakan akan ada perusahaan pers yang
467
akan melakukan cetak jarak jauh, dan yang disebutnya adalah harian Singgalang, Padang. Tapi ternyata tidak jadi, karena Singgalang merasa proyek itu kurang feasible karena konon harganya jauh lebih tinggi karena harus punya percetakan lagi di Jakarta untuk mensuply pembaca di ibukota. Karena itu, suatu kebanggaan tersendiri bagi saya ketika itu, karena malah Riau yang mendahului untuk cetak jarak jauh tersebut, kendati “Riau Pos’’ harus menambah percetakan satu lagi di Tanjungpinang. Memang, dari perkembangan yang kemudian terjadi, mengingat biaya operasi yang diperlukan yang tinggi , akhirnya percetakan yang di Tanjungpinang dipindahkan ke Batam. Waktu itulah (era reformasi 1998), dengan dibukanya “kran’’ keterbukaan dan kebebasan pers, maka Riau Pos memilih menerbitkan koran baru di Batam, yaitu Sijori Pos (harian) dan diikuti pula dengan penerbitan koran kriminalitas (juga harian) Batam Pos. Benar juga, obsesi Rida tak pernah padam menerbitkan koran. Malah saya melihat dia “bertangan dingin’’ seperti halnya “Bos’’ Jawa Pos Group. Di tangannyalah (tentu juga didukung penuh oleh induknya Jawa Pos) berkembang dan makin melebarkan sayapnya. Sejak Januari 2003, selain sudah ada Harian Riau Pos, Pekanbaru Pos, Sijori Pos dan Batam Pos di Batam, maka di Pekanbaru juga muncul mingguan olah raga “Pinalti’’, majalah bulanan “Sagang’’ (sastra dan budaya). Lalu terbit lagi koran “Nonstop’’ (harian) yang sebagian dari edisinya khusus berita-berita Riau, pengembangan dari Harian Non Stop, milik Jawa Pos Group di Jakarta. Di bawah bendera Riau Pos Group, Rida kemudian ek-
468
spansi juga ke Sumatera Barat menerbitkan Harian Padang Ekspres, dan ditambah pula dengan Pos Metro Padang (kriminal) sementara ke Sumatera Utara, Rida juga mengepakkan sayapnya dengan beberapa surat kabar harian pula. Makanya, tak meleset dengan ide dan gagasan yang cemerlang, saya menyebut Riau Pos sudah beranakpinak dan tidak terbatas hanya dalam upaya mengembangkan “minat baca’’ di Provinsi Lancang Kuning’’ ini. Yang pasti, dia benar-benar sudah menembus mitos. Saya tak pernah membayangkan kemajuan pers di Riau sepesat ini, sejak 1956 dimulai dengan surat kabar Kumandang diikuti penerbitan lain yang hidup-hidup mati bak kerakap tumbuh di batu sampai 1983, dengan munculnya Riau Pos Group ini. Sejak tahun 1956, menurut catatan saya, cukup banyak penerbitan pers pernah terbit di daerah ini di samping tak sedikit pula yang “gulung gitar’’. Bukan tak ada perjuangan untuk itu, namun kendala utamanya adalah percetakan yang dapat menerbitkan koran (ukuran besar), sehingga banyak surat kabar yang terbit di Pekanbaru, terpaksa dicetak di luar daerah ini seperti di Padang, Jakarta, dan Medan. Sekarang ini, keadaan sudah jauh berbeda. Selain bermunculan surat-surat kabar baru, mingguan dan majalah, juha media televisi, seperti Riau TV, Batam TV, dan lainnya. Memang dari segi tiras memang belum besar. Idealnya di Riau ini oplahnya harus 400 ribu eks, karena jumlah penduduknya sudah lebih dari 4 juta orang. Karena menurut UNESCO, tiap eks koran idealnya dibaca 10 orang. Tapi apa yang dicapai oleh Riau Pos Group sudah
469
cukup memadai dibanding bertahun-tahun lalu, saat tak satupun surat kabar harian yang mampu bertahan. Dua periode Rida memimpin PWI Riau ( 1990 sampai 1999) dan sukses. Saya melihat, Rida sanggup dan kesanggupan itu sudah dia tunjukkan. Kesanggupan lain, get things done, bertindak, melangkah cepat dan cekatan, seperti pernah diungkapkan seorang tokoh pers nasional Yakob Utama pada saya (1983) tentang kemampuan seseorang. ”Anda sanggup menembus mitos, meneruskan gagasan dan ide yang ada, masuki pasar global dengan segala kepiawaian yang Anda miliki”. Jadi, motto “pokoknya tetap terdepan’’ barangkali perlu dimantapkan. Harus diiringi kerja keras agar berbagai ide tadi dapat diujudkan dan dikembangan. Dan tak kalah pentingnya memajukan koran dan media (multimedia) terkait erat dengan peningkatan SDM. Jangan lupa memperhatikan “nasib’’ mereka yang ikut memutar roda penerbitan yang Anda kelola, khususnya wartawan dan karyawan lainnya. Sebagai orang yang nomor satu di jajarkan Riau Pos Group, saya yakin Anda dapat melakukannya, apalagi latar belakang Anda sebagai ‘’orang pers’’ yang merangkak dari bawah, tentulah memahami likuliku mengelola penerbitan sebagai suatu industri pers. Saya sadari pers dengan perkembangannya yang makin pesat dan canggih, merupakan ‘’tonggak peradaban’’ memahami informasi dan komunikasi sekaligus menjadi keperluan apalagi di abad-abad ini. Harapan lainnya sebagai “top leader’’ dari group multimedia di kawasan Lancang Kuning ini, pastilah masih banyak yang bisa dilakukan untuk lebih mendorong
470
pemerintah dan swasta lainnya untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat di daerah ini. Syukurilah itu dan nikmatilah mana tahu provinsi ini kelak menjadi ‘’tumpuan perhatian’’, setidak-tidaknya untuk wilayah Sumatera dengan berbagai hasil yang dikandungnya (tidak saja minyak bumi, sawit, hutan, dan kandungan lautnya), tetapi termasuk masalah informasi dan komunikasi serta media massa dan tak ketinggalan “kebebasan pers”-nya. Kekuatan dan peranan pers perlu lebih dioptimalkan, memberantas kebodohan, kemiskinan, apalagi KKN, yang kini sedang menjadi sorotan publik. At last but not least, berharap sangat Anda tetap ‘’terdepan’’ memimpin pers multimedia di kawasan ini. *** 27. FAKHRUNNAS MA JABBAR Seniman/wartawan Ketika aku menerbitkan Surat Kabar Mingguan (SKM) Genta di Pekanbaru, tahun 1983, Fakhrunnas adalah salah seorang anak muda yang bergabung denganku untuk menjadi wartawan. Bersama beberapa teman lainnya seperti Taufik Ikram Jamil, Dheni Kurnia, Syafrial Syamsudin, Syafruddin Saleh Sei Gergaji, Suryanto, dll kami memulai mimpi kami untuk punya koran di Pekanbaru. Sayang memang tak cukup lama, tetapi kami sudah memulai. Dan terus mencintai pekerjaan ini. Sampai sekarang Fakhrunnas masih terus menjadi wartawan dan sastrawan. Dia salah seorang wartawan yang memiliki kemampuan menulis panjang berbagai reportase. Juga seorang sastrawan yang handal. Pada dialah mulanya aku minta biografi aku ini ditulis, meski akhirnya karena kesibukan kami, tak terus berlanjut. Dia mem-
471
buat catatan panjang tentang aku, yang dia beri judul : Rida K Liamsi : Penunggang Ombak yang Terus Bergelora : ***
N
ama Rida K. Liamsi sudah memenuhi ruang imaji saya sejak lama. Sebagai pemula yang menggeluti sastra dan jurnalistik, saya sudah mengenal akrab sejumlah karya Rida. Di bidang sastra, nama Rida berada dalam senarai sastrawan Riau yang memancangkan karya dalam belantara sastra Indonesia pada tahun 1970-an. Rida bersama sejumlah sastrawan di Tanjungpinang antara lain Hasan Junus, Ibrahim Sattah, Soetardji Calzoum Bachri, Sudirman Backry menggerakkan kegiatan sastra baik pementasan baca puisi maupun menerbitkan bulletin sastra di antaranya Jelaga (yang dikelola Rida bersama Hasan Junus dan Eddy Mawuntu). Sejumlah puisi Rida pun pada masa itu sudah terpublikasi di majalah sastra Horison yang menjadi barometer sastra Indonesia. Waktu itu Rida menggunakan nama pena Iskandar Leo. Bersamaan dengan penulisan karya sastra, Rida juga mulai mengembangkan sayap di dunia jurnalistik. Pada masa itu, sebagian besar sastrawan bekerja sebagai wartawan. Tapi Rida yang masih bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar sekaligus merangkap sebagai wartawan Majalah Tempo untuk Riau terutama Tanjungpinang dan Pekanbaru. Oleh sebab itu, Rida sering melakukan perjalanan dan tugas-tugas jurnalistik di ibukota Provinsi Riau ini. Momentum kedatangannya di Pekanbaru mulai mempertemukan saya dan sejumlah teman-
472
teman sastrawan dan wartawan muda dengan Rida. Ketika Rida menjadi Ketua PWI Perwakilan Tanjungpinang, saya sebagai wartawan muda yang bekerja sebagai koresponden majalah Panji Masyarakat untuk wilayah Riau pernah ikut dalam Lomba Karya Tulis Jurnalistik (LKTJ). Alhamdulillah, saya pun berhasil keluar sebagai juara pertama. Waktu itu, Rida mulai mengenal karyakarya dan kemampuan saya di dunia jurnalistik selain karya sastra yang terus saya geluti. Pada tahun 1981, sewaktu saya dan Husnu Abadi dipercaya penyair Ibrahim Sattah mengelola Program Sastra Yayasan Puisi Nusantara (YPN), kami pun mengundang Rida untuk pergelaran baca puisi tunggal bertajuk Ode X. Acara diadakan di aula Universitas Islam Riau (UIR) Jalan Muhammad Yamin. Puisi—puisi yang dibacakan Rida kami himpun dalam terbitan stensil berjudul sama, Ode X. Saya kebetulan yang melukis cover buku stensilan apa adanya itu. Tampaknya Rida sangat bangga dengan buku puisi perdana tersebut karena selalu tercantum di dalam biodata yang ditulisnya. Selanjutnya Rida pun menerbitkan antologi puisi berturut-turut dalam selang beberapa tahun berbeda yaitu Tempuling dan Perjalanan Kelekatu. Itulah pertama kali saya mendengar Rida baca puisi. Suaranya melengking tinggi yang selalu menjadi kekhasan daya ucapnya hingga saat ini. Pergelaran baca puisi itu sedikit banyaknya menumbuhkan kegairahan kembali bagi Rida untuk bersastra. Meskipun kemudian, Rida lebih mengutamakan dunia jurnalistik sebagai garis hidupnya. Bahkan Rida rela meninggalkan profesi guru dan pegawai
473
negeri sipil karena lebih memilih kerja kewartawanan itu. Beberapa kali Rida dipromosi menjadi Kepala Perwakilan Majalah Tempo di luar Riau, namun selalu ditolaknya. Pasalnya, Rida lebih memilih bertugas di tanah kelahirannya. Apalagi isterinya memang berprofesi sebagai guru yang tak mudah berpindah-tugas ke daerah lain. Akibatnya Rida secara sukarela meninggalkan majalah Tempo. Apalagi di tahun 1982-an, Rida mendapat tantangan baru untuk mengelola Mingguan Genta yang terancam dicabut Surat Izin Terbit (SIT) karena sudah bertahun-tahun tidak terbit lagi. Saat mengelola Mingguan Genta inilah, saya bersama Hasan Junus dan Suryanto bertemu dengan Rida. Pertemuan-pertemuan saya dengan Rida semakin sering sehingga saya banyak belajar bagaimana etos kerja Rida yang workaholic (gila kerja) dan punya ambisi besar untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Rida yang harus menetap di Pekanbaru untuk mengelola mingguan tertua di Riau itu harus rela bersusah-payah dalam segala hal. Meskipun Rida punya kamar langganan di Hotel Dharma Utama yang sangat bersejarah baginya, tak jarang kami begadang di kantor PWI Riau atau di percetakan Budi Indah pada saat menjelang jadwal terbit koran. Rida pun sudah dipercaya pula sebagai Ketua PWI Cabang Riau di mana saya ikut dalam jajaran pengurus untuk Bidang Pendidikan. Rida pun benar-benar menjadi guru jurnalistik saya yang mengakrabkan saya dengan gaya jurnalistik sastrawi. Saya merasa tidak terlalu susah memahami konsep jurnalistik sastrawi itu karena dunia kepenulisan saya ham-
474
pir sepola dengan Rida. Diawali dengan mengenal dunia tulis-menulis di bidang sastra kemudian berkembang di dunia jurnalistik. Saya merasakan perhatian Rida begitu besar untuk menjadikan saya sebagai wartawan yang sebenarnya. Banyak hal saya belajar langsung dari Rida yang menyampaikan kritik secara blak-blakan. Tak bertahan lama mengelola Mingguan Genta yang memunculkan sejumlah nama wartawan muda lainnya antara lain Taufik Ikram Jamil, Dheni Kurnia, Syafruddin Sei Gergaji, Syafrial Syamsuddin dan masih banyak lagi, Rida ditawari menjadi Kepala Perwakilan Suara Karya di Surabaya. Di kota buaya itulah Rida bertemu dengan Dahlan Iskan yang sukses membangun suratkabar Jawa Pos dan group medianya. Dahlan Iskan adalah sahabat Rida sesama koresponden majalah Tempo dulu ketika Dahlan menjadi koresponden di Kalimantan. Pertemuan Rida dengan Dahlan di Surabaya itulah yang menggiringnya untuk mewujudkan mimpi lama dan memecahkan mitos di tanah kelahirannya, Riau. Rida pernah punya obsesi bagaimana menerbitkan suratkabar harian untuk menaklukkan keperkasaan suratkabar harian yang terbit di Jakarta terutama, harian Kompas. Tahun 1992, Rida berhasil menerbitkan harian Riau Pos dengan ‘menghidupkan’ SIT mingguan Warta Karya milik pemerintah Provinsi Riau di era Gubernur Riau, Soeripto. Oleh sebab itu bisa dimaklumi bila sejumlah nama birokrat –pada masa itu- ikut dalam kepengurusan harian Riau Pos yang berada di bawah payung Jawa Pos Group. Di antara nama-nama itu adalah H. Zuhdi dan Asparaini Rasyad yang menjadi Kepala Biro Humas Pemprov Riau.
475
Rida memang dikenal sangat setia-kawan dengan sahabat-sahabat lama yang pernah berjuang dalam berbagai bidang terutama dunia jurnalistik. Bisa dimaklumi bila sahabat lama Rida baik senior maupun yunior seperti Hasan Junus, Sutrianto ikut mengelola harian pertama di Riau itu. Saya pun termasuk yang diajak Rida bergabung di harian tersebut. Namun, Rida memberikan batasan tegas, saya harus bekerja penuh di suratkabar tersebut dan meninggalkan profesi dosen di Universitas Islam Riau (UIR) yang sudah saya geluti sejak tahun 1986. Saya waktu itu lebih memilih mengajar di kampus sambil menjalankan dunia jurnalistik sebagai koresponden beberapa media yang terbit di Jakarta seperti Panjimas, Media Indonesia (kelanjutan dari harian Prioritas) dan Televisi Pendidikan Indonedia (TPI) – koresponden TV swasta pertama di Riau. Saya rasakan Rida agak kecewa terhadap sikap saya sehingga Rida pernah mengatakan kalau saya ini tidak punya ketegasan sikap dalam menentukan pilihan. Namun, perhatian Rida terhadap saya tak berkurang sedikit pun sehingga saya masih diberi kepercayaan sebagai trainer untuk pelatihan jurnalistik dua tahun berturut-turut bagi wartawan-wartawan muda Riau Pos di antaranya Syofyan Syamsir, Sutrianto, Helmi Burman dan lain-lain. Melalui harian Riau Pos ini, Rida berhasil mewujudkan mimpi dalam memecahkan mitos ‘mengalahkan’ harian Kompas karena Riau Pos benar-benar menjadi suratkabar harian pertama yang dibaca masyarakat Riau khususnya kota Pekanbaru. Pasalnya, Riau Pos sudah bisa terbit dan beredar di waktu subuh hari, sementara
476
Kompas dan sejumlah harian yang terbit di Jakarta baru masuk ke Pekanbaru melalui penerbangan pertama yang mendarat di Pekanbaru paling cepat pukul 11.00 siang. Pertemuan kreatifitas dan profesi saya dengan Rida hampir tak pernah terputus. Kadangkala pertemuan dijembatani oleh dunia jurnalistik namun tak jarang pula di dunia kesastraan. Hebatnya Rida, meskipun dunia jurnalistik melalui Riau Pos Media Group yang kini menerbitkan puluhan suratkabar dan media televisi di berbagai kota di Sumatera seperti Batam, Tanjungpinang, Medan, Padang, hingga Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), namun kecintaan Rida pada dunia seni-budaya tak berkurang sedikit pun. Lebih satu dasawarsa silam, Rida pun menerbitkan majalah budaya Sagang yang menghimpun karya-karya seni budaya para seniman di tanah air terutama Riau. Tekad Rida menjadikan Riau sebagai kiblat seni-budaya khususnya budaya Melayu benar-benar tak terbendung. Rida yang lahir dan dibesarkan di tanah Melayu Riau dan Kepulauan Riau (Kepri) telah menyemangati diri dan kecintaan yang luar biasa pada kultur Melayu itu sendiri. Itu pula sebabnya Rida mendirikan Yayasan Sagang dengan ikon Anugerah Sagang yang sangat bergengsi untuk penghargaan di bidang kebudayaan Melayu di kawasan serumpun. Setiap tahun, penghargaan budaya Melayu ini selalu memperkaya katagori mulai dari Seniman-Budayawan Pilihan, Karya Sastra Pilihan, Karya Non-Sastra Pilihan, Karya Jurnalistik Pilihan hingga Seniman-Budayawan Serantau Pilihan. Katagori penghargaan Seniman-Budayawan Serantau
477
Pilihan itu merupakan perluasan ruang-lingkup penghargaan bagi para tokoh yang berjasa dalam pengembangan kebudayaan Melayu di kawasan Rumpun Melayu meliputi Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan kawasan yang bersentuhan dengan budaya Melayu lainnya. Sejumlah tokoh luar Riau pernah dianugerahi penghargaan ini seperti kritikus sastra Maman S. Mahayana (UI), Datuk Kemala (Malaysia) dan sejumlah nama tersohor lainnya. Sukses mengembangkan media-media pers baik media cetak, media online maupun media broadcasting, ternyata tak pernah menyurutkan semangat Rida dalam bersenibudaya khususnya sastra. Diam-diam, Rida pun terus melahirkan puisi, esai dan novel di sela-sela kesibukannya mengurus bisnis yang luar biasa. Bisa dibayangkan mobilitas Rida pun jadi tak karuan. Rida harus membagi waktu. Belum lagi perjalanan bisnis dan jurnalistiknya ke luar negeri. “Paling-paling saya punya waktu satu-dua hari di Pekanbaru,� katanya setengah bersenda. Waktu perjalanan di dalam pesawat yang banyak dihabiskan Rida ternyata memberikan hikmah tersendiri baginya. Dasar penulis dan wartawan, Rida tak menyianyiakan kesempatan di atas pesawat itu untuk terus menulis, menulis dan menulis. Banyak karya-karya kreatifnya lahir selama dalam perjalanan itu. Secara tiba-tiba beberapa tahun silam, Rida pun meluncurkan novel Bulang Cahaya yang mengisahkan romantisme percintaan di kalangan kaum bangsawan yang mempertautkan petinggi kerajaan Melayu-Riau dan Bugis. Novel itu benar-benar sebuah kejutan karena ditulis dengan telaah dan napas
478
sejarah yang mendalam. Kegairahan Rida bersastra benar-benar mengapung kembali di sela-sela ombak kreatifitasnya yang tak pernah diam. Di tahun 2010, Rida menjadi utusan Indonesia dalam acara Korea-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF I) di Seoul. Guna melanjutkan tradisi acara pertemuan dan baca puisi tersebut, persis di bulan Oktober 2011, Rida pun menggelar perhelatan KAPLF II di tanah Melayu Riau. “Saya ingin orang-orang luar bisa menoleh dan memperhatikan karya-karya sastra dari Tanah Melayu Riau,� ujar Rida atas penyelenggaraan event sastra akbar itu. Meski pertemuan saya dengan Rida secara fisik semakin berkurang karena kesibukan masing-masing, tapi komunikasi kami terus berjalan meski berada di ruang dan waktu yang sudah berbeda. Saya masih terus merasakan tumpahan perhatian Rida atas kreatifitas saya baik di bidang jurnalistik maupun sastra. Betapa tidak. Ketika salah satu cerpen saya berjudul Rumah Besar Tanpa Jendela diangkat menjadi film TV oleh Rumah Produksi Chaerul Umam yang disutradari Syaeful G. Wathon tahun 2002 silam yang ditayangkan di stasiun Lativi, Rida pun bersemangat sekali memutar ulang film TV tersebut di Riau Televisi (RTV). Begitu pula, pada hari raya Idul Fitri lebih dari satu dasawarsa silam, Rida pun meminta saya mengisi acara pembacaan puisi tunggal yang ditayangkan persis di hari pertama lebaran. Tahun 1999, ketika autobiografi pujangga Soeman Hs yang saya tulis berjudul Bukan Pencuri Anak Perawan memenangkan Buku Terbaik Pilihan Sagang, Rida mem-
479
berikan pujian luar biasa kepada saya. Pada waktu itu juga, Rida pun meminta saya menulis autobiografinya yang pada waktu itu sudah ditimang-timang berjudul O, Ombak Sekanak. Saya benar-benar merasa tersanjung untuk mewujudkan karya bersejarah itu. Saya memulainya dengan melakukan serangkaian wawancara langsung dengan Rida dan para karib-kerabatnya semasa sekolah di kampung kelahirannya di Dabo-Singkep dan Tanjungpinang hingga teman-temannya sesama wartawan dan sastrawan di Pekanbaru dan di sejumlah kota. Bahkan, saya pun sempat beberapa hari berada di kampung halaman Rida di Dabo. Memotret langsung sisa-sisa tiang rumah kediaman masa kecil Rida bersama kedua orangtuanya yang kini sudah rubuh. Saya bisa menyaksikan dan merasakan debur ombak Sekanak yang menjadi memorabilia yang luar biasa di dalam pikiran Rida. Terus terang, waktu itu saya bisa membayangkan seorang Rida bak penunggang ombak yang bersemangat menaklukkan pucuk-pucuk buih yang bergelora melalui karya. Penulisan autobiografi itu terhenti di tengah jalan karena kesibukan dan mobilitas Rida yang luar biasa bagaikan burung yang terbang dan hinggap di dahan-dahan kota dunia. Saya pun menyerah. Dan Rida juga memahami dilema waktu yang sulit mempertemukan kami. Jadilah autobiografi itu berwujud sekumpulan aksara di atas lembaran kertas puluhan halaman yang tak pernah dapat saya selesaikan. Suatu ketika – 6 tahun silam- Rida pun mengabari saya kalau dia mencoba menulis langsung autobiografi itu. Waktu dalam perjalanan terbang yang panjang men-
480
uju Amerika Serikat dan kawasan Eropa benar-benar memberikan inspirasi luar biasa baginya sehingga bagaikan seorang penyulam, Rida pun terus merangkai kata dan frasa. Dalam beberapa tahun setelah itu, Rida selalu mengabari saya saat ditanyakan soal perkembangan buku autobiografi itu. Bahkan Rida menyebutkan buku itu tinggal satu bab terakhir yang dipandang sebagai puncak yang menjadi bagian penting dalam autobiografi tersebut. Tapi, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, musibah kreatifitas pun dialami Rida yang membuat diri saya pun ikut tercenung. Sebagian besar naskah autobiografi yang hampir rampung itu hilang begitu saja di dalam laptop yang belum sempat di-copy dalam file lain. Rida benar-benar terhenyak dan lemah semangat. Saya pun terbawa-bawa sedih. Sebab, tidak mudah untuk membangkitkan kegairahan menulis kembali ketika ‘tsunami’ teknologi meluluh-lantakkan kumpulan milyaran kata yang sudah dipersiapkan bertahun-tahun. Rida pun bergelut dengan kesibukan bisnisnya. Saya pun merasa tak enak hati menanyakan lagi ihwal penulisan kembali buku autobiografi itu. Andai saya tanyakan berulang-ulang tentu bak mengguratkan luka baru di atas luka lama yang belum sembuh. Tapi kejutan pun terjadi ketika di penghujung tahun ini, Rida tiba-tiba mengabari bahwa buku O, Ombak Sekanak segera terbit bersamaan perayaan ulangtahun ke-70. Alhamdulillah, kesedihan saya pun sirna tiba-tiba sambil membayangkan kebahagiaan Rida setelah berhasil merampungkan mahakarya yang amat bermakna di dalam kehidupannya . ***
481
28. IMAM SUDRAJAD Pengusaha Mas Imam, begitu aku memanggilnya sampai sekarang, adalah salah seorang sahabat yang kepadanya aku paling banyak berhutang budi. Moril dan materiel. Aku ingat ketika lagi susahsusahnya aku memulai karir sebagai wartawan, dialah yang membelikan aku mesin ketik portable �Olevetti�. Kalau tidak mesin ketik yang aku pakai, adalah pinjaman dari sahabat mudaku Machzumi Daud, mesin tik Royal yang huruf-hurufnya bukan main bagus. Kemudian, dia juga yang membelikan aku tustel. Aku sudah lupa mereknya. Tustel itu ketika aku kepepet memerlukan biaya perjalanan meliput berita, aku jual pada salah seorang temanku, seorang Hakim di PN Tanjungpinang. Waktu masih susah, sambil tetap menjadi wartawan, aku membantu dia mengurus surat-surat izin pelayaran kapal-kapalnya di kantor wilayah pelayaran di Dumai, ketika aku tugas meliput di Dumai. Dia memang pengusaha sukses waktu itu, dan tidak pernah pelit dengan bantuan bagi teman-temannya.Karena itu pertemanan kami tak pernah putus. Terkadang, waktu aku ke Tanjungpinang dan sholat Zuhur di Mesjid Raya Tanjungpinang, kami ketemu di sana, dan ngobrol kisah-kisah lama. Atau waktu ketemu jalan pagi di Tanjung Buntung, di pinggir laut. Aku, dia, Arif Rasahan dan Akmal Atatrik (almarhum) adalah penggagas awal dari lahirnya Propinsi Kepulauan Riau, meskipun waktu itu gagasan kami lebih pada upaya pemekaran kabupaten Kepulauan Riau menjadi beberapa kabupaten lagi. Inilah kenangannya terhadap saya, yang dipetik dari wawancara Fachrunnas MA Jabbar, sepuluh tahun lalu, waktu mamoar ini mula-mula direncanakan untuk diterbitkan. �Dia itu pandai Mengorek Berita� itulah tanggapannya terhadap kewartawanan aku :
482
S
aya mengenali Rida itu waktu dia jadi koresponden TEMPO untuk Riau. Wakti itu dia menetap di Tanjungpinang dan kebetulan pula dia sering ngumpul dengan teman-teman di kantor saya di PT Ayodhia, Jalan Pelantar 1 No.562, Tanjungpinang. Entah siapa yang mengajak Rida ngumpul di situ, tahu-tahu dia telah ikut di sana. Pertama saya melihatnya, dia orangnya agak kaku, tetapi lama-lama supel dalam bergaul. PT Ayodhia adalah perusahaan pelayaran pertama di Tanjungpinang. Entah kenapa saya suka tempat saya ini dijadikan tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai kalangan. Ada birokrat muda (Tarman, saat itu bekerja di kantor Bupati Kepri), seniman dan wartawan (Sudirman Bachkry, Eddy Mawuntu, Sinano Situmena, Ackmal Attatrik dan Ismail Kadir) dan orang yang belum bekerja tapi punya pergaulan luas, seperti Arief Rasahan, Andojo Putro dan lainnya. Hingga kini kami menyebut orang-orang tersebut dengan ‘’alumni pelantar satu’’. Jika salah seorang dari kami lupa, maka kami mengingatkan, ‘’Ingat tak dengan alumni Pelantar 1, maka pasti mereka tersebut akan ingat”. Waktu itu kan belum ada balai wartawan, sehingga Rida setiap harinya pasti selalu ada di situ. Masalah yang dibicarakan di situ berbagai hal, termasuk masalah politik, masalah sosial masyarakat dan berbagai masalah yang sedang berkembang saat itu. Saya senang mereka berkumpul di tempat saya. Padahal, kalau boleh dibilang, mereka bisa saja mengganggu pekerjaan saya, tetapi bagi saya tidak masalah, karena pekerjaan saya ada anak buah yang membantu.
483
Alasan lain yang menyebabkan orang-orang tersebut senang berkumpul di Ayodhia, mungkin karena saya ini vokal dalam menyoroti berbagai hal. Saya ini kan swasta. Jadi berani bicara apa saja. Rida senang dengan saya karena bisa dijadikan narasumber bagi beritanya. Rida itu juga vokal. Bila mau buat suatu berita, kan perlu cantelan. Nah, saat itu yang berani angkat bicara adalah saya. Dan, Rida akan mewawancarai saya bila akan membuat sebuah berita. Saya senang, Rida pun suka. Jadi kami saat itu ada take and give. Saat pertama mengenali Rida, dia telah berkeluarga. Pernah dia disuruh TEMPO agar pindah ke Bandung, dan itu dia cerita pada saya. Tapi Rida menolak tawaran TEMPO tersebut. Alasannya, adalah keluarga. Rida itu militan, otodidak dan selalu mempertahan idenya dengan nada tinggi, meledak-ledak, bahkan intonasinya melengking. Terbalik dengan Eddy Mawuntu, orangnya kalem dan selalu bersikap hati-hati. Pemberitaan Rida saat itu cukup keras dan boleh dikatakan idealisnya tinggi. Paling banyak yang diberitakannya adalah masalah permainan uang di pelabuhan. Jadi karena saya tahu banyak tentang hal itu, kloplah — saya dijadikan sebagai narasumbernya. Tak jarang Rida mendapat bahan berita, tanpa mengkonfirmasi kepada saya dulu, dia kirim ke TEMPO atau Suara Karya. Tapi dia tetap pakai nama saya sebagai narasumber. Kalau sudah naik baru dilaporkannya. ‘’Mas Imam, saya pakai nama awak untuk berita ini, tak apa-apa kan?’’ kata Rida melapor. ‘’Ah, bantailah situ, asal jangan menjelekkan saya,’’
484
jawab saya. Kejadian seperti itu sering dilakukannya. Pokoknya jika dia melihat ada ketimpangan, ada kesenjangan maka selalu ditulisnya dan nama saya sebagai narasumbernya. Apalagi kasus-kasus di pelabuhan, Rida itu pintar mengorek bahan dari saya. Jika dia bertanya, ‘’Mas, ini kok begini, kok begitu?’’ Dengan caranya begitu, akhirnya saya kan jadi bicara. Nah, di situlah dia akan memperoleh bahan untuk berita. Memang, saya akui kasus di pelabuhan banyak, sementara Rida itu orangnya pintar mengorek agar saya mau bicara. Kami itu sepertinya sudah ada kerja sama. Gara-gara pemberitaan miring itu saya pernah dipanggil ke Jakarta untuk diintrograsi. Berita yang ditulis Rida ketika itu adanya dugaan korupsi yang dilakukan kepala pelabuhan saat itu. Saya ada bahannya, Rida mau menulisnya. Maka klop, berita itu naik, malah kalau tak salah, menjadi laporan utama. Saya dipanggil ke Jakarta, bahkan diperiksa pihak kepolisian. Tapi semuanya saya pertahankan, apalagi sudah dimuat di media. Kepala pelabuhan itu pun diperiksa — namanya tak perlu disebutkan. Orang yang tidak menyukai saya. Dia mengatakan, saya hanya memfitnah dan merekayasa. Tapi saya bertahan, dan siap diperiksa ke mana pun juga. Tak lama setelah pemeriksaan tersebut, kepala pelabuhan itu jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Saya dan Rida waktu itu terpukul juga. Apa karena pemberitaan itu dia sakit. Kami menjadi terbebani. Sampai saat kini masih teringat oleh saya, kalau saya cerita tentang hal itu kepada Rida dia juga terdiam. Mungkin juga merasa ber-
485
Di kedai kopi Suka Ria Tanjungpinang bersama Soetardji Calzoum Bachri (dua dari kiri), Machzumi Dawood (paling kiri) dan Sofyan Tanjung (paling kanan) Kanan : Perusahaan Pelayaran “Ayodiya� Bawah: Pelantar 1 Tanjungpinang.
486
salah. Kalau saya menilai, Rida itu yang menonjol soal solidaritasnya yang tinggi terhadap sesama teman. Pernah suatu kali Rida memohon kepada saya agar menolong Eddy yang saat itu masuk tahanan. Entah karena apa, saya lupa. Berkat usaha saya dan Rida, Eddy dapat kami keluarkan dari tahanan. Satu lagi, saat Eddy meninggal dunia.Rida juga yang meminta agar saya yang mewakili dari keluarga Eddy. Rida mendesak agar Eddy dapat dikuburkan secara Islam. Contoh yang lain lagi, Rida itu sekarang sudah sukses. Tetapi dia selalu mengenang jasa temannya. Seperti ada temannya yang lagi susah pasti Rida siap menolong. Saya tidak mau menyebutkan siapa orang-orang yang telah ditolong Rida. Sebagian orang kalau telah berhasil tidak mau dekat dengan temannya yang belum berhasil. Takut penilaian orang kita yang telah kaya disamakan dengan teman kita yang belum berhasil itu. Rida itu tidak, siapa saja temannya pasti dia yang menyapa duluan. Dulu tak pernah terlintas di pikiran saya bahwa Rida itu akan sesukses sekarang. Bahkan saya pernah punya penilaian Rida itu paling-paling menjadi wartawan di daerah. Untuk menjadi usahawan yang berhasil itu kan bisa kita lihat dari karakternya. Apakah dia bisa memimpin. Rida itu tampaknya seperti tidak bisa memimpin. Jadi Rida itu bisa memimpin suatu di luar dugaan saya. Boleh dikatakan Rida itu “good blessing’’. ***
487
29. MUSTAFA YASIN Pengusaha. Dia adalah salah seorang teman sekolah aku di SGB Tanjungpinang. Teman sekelas, dan teman sepiring makan. Ketika kami sesama muda, dia adalah sahabat seperjuangan yang sulit dilupakan. Sama-sama ingin jadi penyair dan jadi wartawan. Pernah bersama-sama mencintai seorang wanita ketika memulai cinta remaja di sekolah. Sama-sama ditinggalkan pergi. Aku pernah mendorong dia jadi wartawan, dan dia sempat mengantongi kartu pers sebagai wartawan SKM Genta yang aku pimpin. Tapi dia lebih betah main musik, dan jadi kontraktor. Kini anak-anak kami yang meneruskan persaudaraan ini. Dia meninggal dunia karena menderita stroke di awal 2012, aku sedih karena tak dapat mengantarnya. Ini catatan dia berdasarkan wawancara dengan Fakhrunnas MA Jabbar, waktu Fakhrunnas mampir di Dabosingkep, tempat Mustafa menetap :
R
ida itu saya kenal sejak tahun 1957. Waktu itu kami ujian SR di Penuba. Rida dari Bakong, saya dari Dabo. Di Penuba itulah pertemuan kami dan kebetulan kami sama-sama melanjutkan sekolah di Tanjungpinang. Saya dan Rida melanjutkan ke SGB Tanjungpinang. Dari sinilah awalnya kami selalu bersama. Sejak awal sudah tampak tekat Rida untuk maju. Dia punya IQ tinggi. Itu terlihat kala saya pergi belajar ke rumahnya (semasa itu Rida tinggal dengan ibunya di Teluk Kriting). Dia tampaknya tidak pernah belajar. Saya belajar, dia tidur. Tapi dia selalu dapat menerima pelajaran, bahkan di sekolah dia dipercayakan guru untuk memimpin kelompok belajar.
488
Dia mudah dikenal dan mudah mengenal. Dia punya ciri-ciri tersendiri dan kawan mudah mengingatnya karena dia mudah bergaul. Kami sama melanjutkan sekolah ke SGB hanya kebetulan. Selama kelas satu, dua dan tiga itu, kami bersama. Tapi naik kelas empat saya pindah ke Pekanbaru. Dalam sekolah itu, Rida termasuk orang yang dikenal, karena luwes dalam bergaul. Begitu juga sebaliknya, Rida juga mudah dekat terutama dengan temanteman wanita di sekolah kami. Seorang adik kelas kami sangat menyukai Rida, walaupun kemudian mereka putus, karena ayahnya yang residen Riau itu pindah tugas ke Pekanbaru. Kami berdua merasa dekat karena sama-sama suka menulis puisi, cerpen dan bergabung dengan temannya, Abbas Mahmud. Dalam membangun jejak kesenimanan, kami terobsesi dengan sosok �Tiga Menguak Takdir� (Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin). Maka di sekolah (SGB) dan di lingkungan para seniman muda, Rida, Abbas dan saya menamakan diri kami Tiga Menguak Takdir. Kami menulis puisi dan berlomba untuk membacanya di depan kelas saat pelajaran sastra . Kami bertiga juga sering belajar di Teluk Kriting, di rumah Rida, dengan memakai pelita. Bahkan kedekatan antara saya dan Rida itu sudah seperti abang-adik. Tukar pakai baju bukan masalah bagi kami. Saya akui, Rida paling banyak memakai baju saya. Itu saya maklum, karena Rida saat itu memang dalam kondisi susah. Tidak ada tempat bergantung, hanya emaknya yang diharapkannya. Sedangkan saya kedua orang tua masih ada dan masih bekerja di PT Timah.
489
Di sekolah, Rida menyukai hampir semua mata pelajaran, tetapi yang disukainya adalah Ilmu Ukur, Aljabar, Bahasa Indonesia dan mengarang. Dalam semua bidang pelajaran itu, Rida memang tampak menonjol. Sekali-sekali kami bertiga juga bertengkar tapi sekejab saja, setelah itu damai, karena memang, kami bertiga ini selalu menyukai dalam bidang yang sama. Rida kecenderungannya lebih suka puisi. Saya musik, dan Abbas cerita pendek dan seni rupa. Dalam masa SGB itu Rida banyak melahirkan karya puisi yang disalurkan ke RRI setempat. Waktu itu, jika puisi hasil karya kami didengarkan orang ada rasa kepuasan tersendiri. Di RRI ada acara pembacaan puisi. Jadi kami mendengarkannya langsung melalui corong RRI di bundaran samping Kantor Bupati di jalan Merdeka. Di situlah pada setiap petang Selasa kami bertiga berkumpul sambil menunggu acara pembacaan puisi. Saya di SGB hanya sampai kelas tiga. Setelah itu saya melanjutkan ke SGB Pekanbaru hingga tamat kelas empat. Saya tamat pertama SGB Pekanbaru. Lalu melanjutkan ke SGA Pekanbaru, namun hanya sampai kelas dua. Naik kelas tiga saya melanjutkan ke SGA di Padangpanjang hingga tamat. Setelah selesai di di Padangpanjang, saya melanjutkan kuliah Bahasa Inggris IKIP di Bukittinggi. Saat itu Konfrontasi Indonesia-Malaysia lagi tengah hebatnya, IKIP dipindahkan ke Padang. Saat itu, Rida masih di Dabo. Saya ada juga sekalisekali pulang ke Dabo dan kami berkumpul lagi. Saya merasa sudah jauh meninggalkan Rida. Apalagi saya sudah kuliah dan bertemu dengan orang-orang hebat. Tapi
490
jika saya sesekali pulang, kami tetap akrab. Ke manamana kami selalu bersama. Satu saat, waktu saya pulang , Rida telah pindah dan mengajar di SD di Rejai. Tapi kemudian dia berhenti. Dia pindah ke Dabo dan bekerja menjaga toko buku Alaydrus di Dabo. Saat itu aksi KAPPI, KAMMI sedang hebatnya. Di Dabo saat itu, kami juga bikin kegiatan pembacaan puisi dengan Abbas Mahmud, saat dia menjadi guru. Selain pembacaan puisi kami juga menggelar drama yang dikarang oleh Abbas Mahmud dan Rida ikut dalam acara-acara tersebut. Saya sendiri lebih banyak di dalam acara band. Setelah berhenti kuliah pada tahun 1971 saya kembali ke Tanjungpinang, kembali main band, dan bertemu dengan Rida yang menjadi guru di SD 09 Tanjungpinang. Di samping menjadi guru dia juga melanjutkan sekolahnya ke KPG. Sedang saya main band, pergi ke pulau-pulau. Seperti Selatpanjang, Tanjungpinang. Jika saya di Tanjungpinang kami kembali gabung bermain bersama. Setelah selesai KPG, Rida melanjutkan ke PGSLP di Tanjungpinang Saat itu Rida juga sibuk dengan aktivitas sastranya dan menulis puisi di media-media bersama Hasan Junus, Eddy Mawuntu. Bersama Eddy Mawuntu, Rida juga menerbitkan majalah. Masih ketika menjadi guru, Rida juga jadi wartawan, dan banyak menyoroti kebobrokan P dan K. Di antara tulisannya yang menyengat pihak P dan K adalah masalah keterlambatan gaji guru dan nasib guru di pulau. Saat itu hubungan kami agak renggang. Mungkin karena kesibukan masing-masing. Apalagi Rida, saya keta-
491
hui, telah berkeluarga. Kesibukan saya lebih banyak dengan acara band, apalagi hiburan band waktu itu menjadi idola masyarakat. Jadi saya lebih sering manggung ke luar pulau. Kalau saya dapat rezeki, makanlah kami, begitu juga sebaliknya. Saya tahu ketika Rida sudah menjadi wartawan, dia dekat dengan Eddy Mawuntu, dan Dirman Backry. Rida sering mengarahkan saya untuk menulis juga. Bahkan dia juga membimbing saya dalam menulis. Rida dalam hal kegiatan tulis-menulis tidak pernah putus-putus — bahkan profesinya sebagai guru tidak menghalangi dirinya untuk tetap menulis. Sedangkan saya setelah sering membuat puisi lebih banyak kegiatan di band. Waktu Rida telah menjadi wartawan TEMPO sekitar tahun 1977, dia datang ke Dabo, menulis tentang PT Timah. Rida datang tidak hanya mengunjungi perusahaan tersebut, tapi juga masyarakat. Dan kami bertemu lagi. Saya saat itu bekerja sebagai kontraktor, yang sesekali mendapat proyek. Saat itu Rida tinggal di rumah mertua di Kampungbukit. Saya kecewa dengan Rida, saat emaknya meninggal saya tidak tahu. Malah yang memberitahukan kepada saya orang lain. Emak Rida termasuk sayang kepada saya. Mungkin karena saya sering belajar bersamanya ke rumah Rida. Emak itu orangnya penyabar dan sangat sayang dengan Rida. Karena semua saudara Rida tidak ada lagi, emaknya takut jika Rida kecil hati. Jadi jika ada suatu hal yang tidak disukai, emaknya lebih memilih diam. Setelah mempertimbangkan di TEMPO sudah ada kekuatan, Rida memutuskan berhenti dari guru. Saya
492
tidak lagi dekat dengan Rida. Saya tahu dia setelah itu berhenti dari TEMPO dan memimpin Genta, itu sekitar tahun 1982. Setelah itu Rida saya ketahui menjadi wartawan Suara Karya. Setelah itu dia mendapat kepercayaan dari Dahlan Iskan untuk memimpin Riau Pos hingga kini terus berkembang dan maju. *** 30. ALHAJJ SUDIRMAN BACHRY Seniman. Panglima Hitam, begitu teman-teman menyebutnya. Ini gara-gara dia tiap hari pakai baju hitam, celana hitam. Mengisap pipa tembakau yang baunya sangat harum. Dia seniman dan pernah punya majalah budaya “Sempena” yang terbit di Tanjungpinang. Dia abangnya Soetardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia. Bersama Dirman ini dan beberapa seniman lain seperti Eddy Mawuntu, Ibrahim Sattah, aku malang melintang jadi seniman di Tanjungpinang, dan sering ikut mabuk. Main teater, dan nulis puisi. Dia tahu aku pelukis, dan salah satu lukisan awalku ”Orgasmus” yang aku buat sebulan setelah aku menikah, aku berikan padanya bersama beberapa lukisanku yang lain, sehabis kami pameran lukisan di Gedung Hang Tuah. Entah di mana lukisan itu sekarang, setelah dia meninggal akibat sakit jantungnya. Ini catatannya, hasil wawancara Fakhrunnas MA Jabbar : Dia Penulis dan Pelukis Hebat ...
S
aya tak ingat betul, tahun berapa mengenal Rida. Yang saya ingat ketika itu dia adalah seorang guru SD di Tanjungpinang. Saat-saat menjadi guru itulah dia sering mengirim sajak-sajaknya ke Sempena. Sempena
493
adalah majalah sastra yang saya pimpin dan terbit sekali sebulan. Rida dan istrinya saat itu tinggal di halaman SD 1, tempat dia mengajar. Dia orangnya keras dan otodidak. Karena itu dia tidak mau tinggal dengan mertua, seorang pemain biola di Tanjungpinang. Yang paling saya ingat dengan Rida itu adalah dia sering memakai sepatu boot karet. Kami sering mengejeknya. Pokoknya, saat itu jika dia memakai sepatu itu, tampak lucu, mungkin karena sepatu karet saat itu kami anggap sudah ketinggalan zaman. Rida, biasanya saya memanggilnya dengan Is. Dia sering mengirimkan sajak-sajaknya ke Sempena dengan nama Iskandar Leo. Kami sering ngumpul di kedai kopi Popular, Jalan Temiang. Di sana juga ikut ngumpul seniman lainnya, seperti Ibrahim Sattah yang biasanya saya panggil dengan provost, karena dia memang seorang provost polisi. Selain itu ada juga Hasan Junus, Sinano Situmena, Eddy Mawuntu dan rekan lain yang bukan dari seniman. Suatu saat, saya mendirikan Teater Grota, saya ajak Iskandar ikut gabung, karena dia saya anggap juga salah seorang seniman. Selain itu juga ikut gabung Ibrahim Sattah dan Hasan Junus. Namun Iskandar menolak karena dia belum menganggap dirinya seorang seniman. Waktu itu dia masih sebagai guru, tetapi setiap saat lebih banyak waktunya dihabiskan dengan kami. Saya heran, mengapa saat itu Iskandar tidak memilih saja, apakah dia tetap sebagai seorang guru atau nekat hidup seperti kami ini. Karena ajakan saya, akhirnya
494
Iskandar nekat untuk meninggalkan profesinya sebagai guru. Saya lupa tahunnya. Selain seniman, Iskandar juga pelukis yang hebat. Pernah suatu kali kami (saya, Ibrahim Sattah dan Hasan Junus serta Handojo Putro) menggelar pameran lukisan di Universitas Hang Tuah (Unhat), sekarang Gedung Olah Raga Kaca Puri, Iskandar ikut dalam pameran tersebut. Lukisannya berbau abstrak tetapi sungguh bagus. Setelah pameran usai, semua lukisannya, sekitar delapan lukisan, diberikan kepada saya. Mungkin karena dia menganggap dekat dengan saya. Saat itu, semua lukisannya itu saya simpan. Tapi, sekarang semua hilang. Entah ke mana. Saya menyesal, kenapa tidak saya simpan dengan baik. Padahal, lukisan itu bisa jadi sejarah bagi dia, karena dia pernah menjadi seorang pelukis yang hebat saat itu. Majalah Sempena saat itu hanya hidup sebentar. Saya sering menulis di majalah TEMPO. Jadi boleh dikatakan saya adalah wartawan TEMPO pertama di Riau. Sementara Iskandar lebih banyak membuat karya sajak dan menulis di buletin HMI. Setelah saya tidak lagi menulis di TEMPO, ternyata Iskandar masuk dan sering membuat laporan untuk TEMPO. Lalu jadilah dia koresponden TEMPO setelah saya. Iskandar Leo juga seorang yang keras dan penuh dengan kritikan. Yang membuat saya kagum adalah sikap optimis dan mau maju. Bayangkan saja, dia hanya seorang tamatan SGB, tetapi bisa sukses di bidang lain. Bukan di profesi guru. Dia ulet, tekun, pantang menyerah, otodidak dan selalu bersikap kritis. Itulah sifat-sifat yang harus dicontoh generasi sekarang. Saya paling tidak suka memuji
495
orang dan mengagumi orang, tapi terhadap Iskandar Leo, saya puji dan saya kagumi. Kalau di bidang jurnalistik, seharusnya yang sukses itu adalah Akmal Attatrik. Karena dia terlebih dahulu bergelut dengan koran. Sebelum Ismail menjadi wartawan, Akmal adalah seorang loper Api Pancasila. Setelah itu dia menjadi wartawan, Api Pancasila, Detik. Tetapi sekarang bekerja untuk Iskandar Leo. Perbedaan yang nyata di antara keduanya adalah, Akmal itu orangnya nekat, tidak mau menambah ilmu. Jadi posisinya tidak berkembang. Sementara Iskandar Leo, orangnya tidak hanya modal nekat, tapi mau menambah ilmu, seperti MBA, dan yang terpenting Iskandar itu pantang menyerah dan kritis. Contohnya Iskandar itu seorang kritis karena kami sering berpolemik. Di antaranya adalah saya, Hasan Junus dan Iskandar Leo — yang dulu sering disebut orang dengan tiga serangkai. Tetapi kami berpolemik dengan bahasa sastra. Jadi kami hanya panas di tulisan. Iskandar itu, dekat juga dengan Eddy Mawuntu, sementara saya dengan Hasan Junus. Waktu itu aktivitas kami hebat, seperti Hasan Junus dan Ibrahim Sattah, selalu melahirkan karya-karya seni, karena itu, Kepulauan Riau melahirkan seniman-seniman yang hebat. Iskandar Leo, jika orang tidak mengetahuinya secara dekat akan menilainya orang dengan tempramen tinggi. Padahal, kebiasaannya saja jika berbicara dengan nada tinggi, hingga melengking. Jika orang tidak tahu bisa mati dibuatnya, tetapi itulah ciri khas dia. Saya pernah berkata dengan Iskandar Leo, ‘’Is, jika kamu ingin membuat ru-
496
mah besar, ubahlah pondasinya dengan yang tahan lama’’. Maksudnya, jika dia ingin maju, cobalah dimulai dengan mengubah cara berpikir sehingga apa yang diinginkan akan tercapai. Kami juga selalu kumpul bersama di Pelantar Satu, tempat Mas Imam Sudrajat. Waktu itu juga ada Tarman (yang kemudian menjadi pejabat Pemda Riau), Andojo Putro, Arief Rasahan, Eddy, Sinano dan saya sendiri. Selain itu, para preman saat itu juga ikut ngumpul dengan kami. Jadi saat itu tidak saja dari seniman, tapi birokrat, pengusaha, dan preman. Yang selalu kami bicarakan adalah hal-hal yang berbau intelek. Maksudnya, kami selalu membahas masalah politik, kondisi sosial masyarakat, dan hal yang menarik dan terkini. Bahkan kami juga menamakan arena berkumpul itu dengan ‘’Akademi Kaki Lima’’. Kalau Iskandar Leo sering kumpul di situ, selain dia mendapat narasumber yang berani (Mas Imam Sudrajat), juga mendapat informasi untuk laporannya di TEMPO. Saya sendiri lupa, siapa yang mengajak Iskandar berkumpul di Pelantar Satu. Setiap hari, kami bercerita tentang apa saja. Sementara Mas Imam Sudrajat sendiri tidak merasa terganggu dengan bualan-bualan kami. Penilaian saya terhadap Iskandar saat pertama saya bertemu hingga kami rapat bergaul tidak pernah terlintas di benak saya dia akan berhasil seperti sekarang ini. Ini luar biasa. Hanya dengan latar belakang pendidikan SGB bisa sesukses sekarang, mengelola perusahaan media. Apalagi dia saya lihat saat itu tidak ada apa-apanya, kecuali semangat dan keinginannya untuk maju sangat kuat.
497
Sifat terpujinya yang lain adalah, dia tidak pernah melupakan jasa teman, termasuk teman lamanya. Memang saya belum pernah mengunjungi dia (ke kantornya), tapi dari teman-teman saya dengar dia itu selalu ingat dengan teman. Sebenarnya saya saja yang tidak ingin mendekatinya. Mungkin itu sudah merupakan sifat saya. Pokoknya, walau dia telah sukses dalam karir, tapi saya melihatnya sama seperti Iskandar Leo yang dulu. *** 31. HASAN JUNUS Budayawan. Hasan Junus, sahabatku yang baru saja di awal tahun 2012 berpulang ke rahmatullah, dalam usia 71 tahun, adalah salah satu sahabat terbaikku. Kepadanya aku banyak berhutang budi, terutama dalam kerja-kerja kesenian. Dia selalu jadi sumber inspirasi aku. Diskusi-diskusi kami di kedai-kedai kopi di Tanjungpinang, atau di kantor buruk majalah Sagang di Pekanbaru, selalu kemudian memberi aku sumber inspirasi untuk melahirkan karya-karya sastra. Bulang Cahaya, novel pertama aku misalnya, juga lahir dari letupan-letupan pemikirannya. Dan persahabatan ini begitu lama. Mulai dari Tanjungpinang, ketika dia masih tinggal di Pulau Penyengat dan pagi-pagi sudah nongol di rumahku di Kampungbukit, Tanjungpinang. Sampai ke Pekanbaru. Mulai dari samasama makan indomie rebus dan kopi pahit di kedai kopi A Tong di Tanjungpinang, sampai ke asam pedas ikan patin di Pekanbaru. Karena itu, ketika dia meninggal, aku sangat kehilangan, meski aku sudah dengan segala daya mencoba membantu dia melawan penyakit jantung dan hypertensinya. Inilah catatan yang dia buat, 10 tahun lalu, ketika aku ingin menerbitkan memoar ini. Masih
498
sangat relevan, dan aku tidak mengedit sebaris pun. “Dari Tempuling Sampai Bulang Cahaya�
S
ATU Pada dekade 1970-an Tanjungpinang berada dalam periode yang sangat hiruk-pikuk dengan kegiatan berkesusastraan, tepatnya berpuisi. Di antara mereka yang mengisi iklim sastra yang bersemarak itu di antaranya yang sangat menonjol ialah nama-nama Ibrahim Sattah dan Iskandar Leo. Karya-karya puisi kedua orang itu bersama teman-temannya dimuat di berbagai media di Jakarta dan daerah lainnya sampai munculnya media lokal yang dicetak secara sederhana. Iskandar Leo yang nama batang tubuhnya Ismail Kadir juga bergerak di lapangan jurnalistik. Di antara kegiatan berkesusastraan yang melibatkan saya ialah munculnya surat-surat budaya antarindividu. Surat-surat budaya itu berisi pandangan tentang kesusastraan yang orisinal. Kami seperti mengulangi kembali peredaran surat-surat tokoh-tokoh kebudayaan Riau di masa lalu antara Raja Ali Haji, Haji Ibrahim dan Hermann von de Wall. Sebagaimana tokoh-tokoh masa lampau itu juga menulis surat dari kedai kopi, kami menjadi kedai kopi sebagai sentrum kegiatan estetika. Apakah itu berarti sejarah berulang kembali atau l’histoire se repete atau tidak, tidaklah terlalu penting. Namun peristiwa di kedai-kedai kopi itu seperti menegaskan bahwa apa-apa yang ada dalam sejarah sangatlah sah untuk diulang dengan semangat, realitas dan aktualitas yang sejalan dengan semangat zaman.
499
Pada waktu itulah tokoh yang paling cemerlang dalam gelanggang sastra Indonesia - Soetardji Calzoum Bachri kembali dari Iowa Writing Program di Amerika Serikat. Dari Singapura ia tak terus pulang ke Jakarta tapi memendap dulu di Tanjungpinang. Itulah masanya Sutardji menebarkan dan menyebarkan virus N-ACH @ need of achievement virus perpuisian dengan berbicara seperti tanpa jemu tentang penemuannya yang genial pada waktu itu yaitu Puisi Mantra. Sementara mantra itu sendiri sudah cukup dikenal dalam masyarakat. Seperti bayang-bayang, Ibrahim Sattah menempel terus di sosok Sutardji, sedangkan Iskandar Leo tetap kelihatan menjaga jarak barangkali dikarenakan kesibukannya sebagai guru dan keinginannya tak terlalu dalam terpengaruh sementara ia mempunyai konsep sendiri yang terus minta dikembangkan. Saya agak lebih jauh dari situ karena pilihan saya lebih pada prosa daripada puisi. Penyair Iskandar Leo sudah memperlihatkan perhatiannya pada kebudayaan tempuling. Ia berbicara tentang tradisi di suatu kawasan yang sangat dikenalnya bagaimana para nelayan memburu hiu mejan. Di tempat hiu itu pertama kali mendapat luka di situlah hidupnya berakhir dengan kematian sejauh mana pun si hiu berenang. Sebagai pembaca karya-karya sastra dunia, saya menyanding si hiu merjan dengan Moby Dick novel karya Herman Melville. Iskandar Leo tercenung panjang sewaktu aku menceritakan tentang ikan paus yang berperan seperti puaka di tujuh lautan dunia itu. Meja kedai kopi yang seperti istimewa untuk kami bertiga - dengan tokoh wartawan almarhum Eddy Mawuntu - menjadi tempat
500
pertemuan yang istimewa. Dalam riwayat para sastrawan memang kedai kopi mendapat tempat yang sentral seperti halnya terjadi di Mesir dengan tokoh-tokoh Taufiq AlHakim, Mahmoud Thaimur, dan Najib Mahfouz. Iskandar Leo, Eddy Mawuntu dan saya suatu kali membuat kumpulan karya-karya bersama yang diberi nama Jelaga. Karya dalam bentuk stensilan ini kami kerjakan secara agak primitif. Yaitu pemotongan kumpulan itu kami buat dengan memakai pisau silet yang dilakukan sembunyi-sembunyi demi surprise di salah-satu ruangan kecil kantor Pekerjaan Umum. DUA Kegiatan Iskandar Leo sebagai wartawan lebih memperlihatkan gerak di sisi luar dibandingkan kegiatannya sebagai guru dan penyair. Hal ini mungkin disebabkan melahirkan karya sastra memerlukan perenungan yang intensif sedangkan jurnalisme lebih memperlihatkan gerak luaran. Sebagai wartawan ia memilih nama Rida K Liamsi. Nama-nama pena dan nama-nama samaran @ pseydoname dan nom-de-plume biasa dipakai oleh orang yang bergerak di lapangan tulis-menulis. Siapa yang tahu nama Adinegoro yang sebenarnya? Orang yang rajin membuka eksiklopedia baru dapat tahu bahwa nama kelahirannya ialah Djamaloeddin. Dan juga nama Baron Maturaipek ialah Parada Harahap. Bahkan Georges Simenon mempunyai sekitar dua puluh nama samaran dan/atau nama pena. Barangkali situasi di masa itu orang berupaya tidak dikenal dengan memakai nama-nama lain, yang pada
501
gilirannya kelak menjadi sangat dikenal. Ketika menjadi kontributor pada majalah berita TEMPO Rida K Liamsi mengajak saya pergi ke Rempang untuk menghidangkan tentang Suku Hutan yang ada di sana. Tulisan yang dimuat majalah itu memperlihatkan kemampuan jurnalistik Rida K Liamsi yang piawai. Pujian pada tulisannya dalam majalah berita terkemuka itu tidaklah berlebih-lebihan. Kesempatan lain yang saya alami bersama Rida K Liamsi ialah di Maktab Keguruan Perempuan Durian Daun Melaka. Ia masih bekerja di TEMPO untuk memberitakan tentang pertemuan sastra di Malaysia yang pada masa itu berlangsung setiap tahun. Rida datang dari Tanjungpinang dan saya dari Pekanbaru. Barangkali karena melihat saya akan menginap berlampar seperti ikan sardin dan seperti rombongan sandiwara keliling, ia mengajak saya menginap bersamanya di Melacca Hotel. Melihat saya pindah ke hotel, dua orang teman saya yaitu UU Hamidy dan almarhum Anwar Syair ikut pindah. Kami dapat lebih selesa dan leluasa daripada menjadi seperti rombongan joget dangkung. Pada pertemuan sastra itu Iskandar Leo memberitahu saya tentang orang di sebelahnya yang mencatat tentang Sarahan Tun Seri Lanang yang dilaksanakan oleh almarhum Omar Kayam dengan memakai huruf ArabMelayu. Saya berupaya mencari tahu siapa orang itu? Rupanya itulah pengarang terkenal Shahnon Ahmad yang bukunya baru saja kami beli di toko buku. Kesan lain dari Omar Kayam ialah ketika ia kehabisan rokok dan BM Sy-
502
amsuddin yang memberinya sebungkus ‘’Gudang Garam’’ yang diterimanya dengan sangat gembira. Rida berbisik, ‘’Kalau mengepul asap rokok, di situlah kumpulan orang Indonesia.’’ Ketika itu Rida masih merokok secara diabolis. Di Pekanbaru saya bekerja pada penerbitan Bumi Pustaka yang dipimpin Ibrahim Sattah. Setelah itu saya diajak Tabrani Rab dan Suwardi MS bekerja di koran mingguan Genta bersama Fakhrunnas MA Jabbar dan Syafruddin Sei Gergaji. Media itu dipimpin oleh Rida K Liamsi. Di sinilah Rida memahami benar bahwa di antara kami bertiga, sayalah yang paling rendah kadar jurnalismenya. Berita-berita budaya yang saya tulis tanpa konfirmasi dan banyak cacatnya secara jurnalisme. Kalau tak ada berita masuk saya baca buletin Antara dan saya salin mentah-mentah. Bahkan berita utama pernah buku pelajaran Bahasa Jerman yang menggantikan buku lama. Namun di koran mingguan ini saya menandai sosok Rida K Liamsi yang sangat seniman. Kegelisahan yang menjadi ciri universal seorang penyair melekat pada dirinya. Suatu kali saya saksikan Rida sangat menderita seperti seorang ibu yang akan melahirkan anak ketika membuat sebuah editorial tentang seorang nahkoda kapal motor yang teraniaya. Rida benar-benar menulis bertintakan air mata. Mengapa? Karena sebagai penulis editorial pun simpatinya terhadap tokoh yang dizalimi telah memasuki kawasan kesusastraan, sehingga ia harus memeras dan memilih setiap kata yang pas untuk dipadankan dalam editorial tersebut. Maka jadilah editorial itu sebuah jurnalisme sastra yang meninggalkan kesan yang lama pada diri pembaca. Tambahan pula setahu saya Ismail Kadir @
503
Rida K LIamsi @ Iskandar Leo juga seorang yang bergerak di bidang seni lukis, tentulah bakat ini memberikan tambahan pada kerjanya di bidang apa pun. TIGA Karena saya bukan wartawan yang baik, sama sekali tidak berarti saya seorang penulis yang tidak baik. Agaknya dengan pertimbangan inilah saya diajaknya oleh Rida K Liamsi menyelenggarakan majalah budaya Sagang yang diterbitkan oleh Riau Pos Group tempat Rida menjadi CEO sejak tahun 1998. Majalah budaya Sagang diterbitkan dengan matlamat nirlaba atau non profitable. Panduannya antara lain mencari dan memberikan istilah yang membumi untuk mengimbangi pemakaian kata atau istilah yang mondial dan global. Sekuat dapat saya berupaya memenuhi panduan ini. Namun pembacalah yang paling berhak menilai kerja kami di keredaksian bersama Zuarman Ahmad dan Dantje S Moeis. Setiap kali pergi ke mancanegara Rida K Liamsi senantiasa ingat membawakan saya buku-buku tentang sastra dunia. Pada gilirannya setiap karya yang dihadiahkan Rida (dan teman-teman seperti Zairin Satiar dan Murparsaulian) saya bicarakan dalam tulisan pada rubrik ‘’Rampai’’ dalam surat-kabar harian Riau Pos setiap Ahad yang sudah berlangsung dari tahun 1999. Bagi saya tokoh Rida K Liamsi sebagai penyair yang melahirkan kumpulan sajak Tempuling dan cerita bersambung “Bulang Cahaya’’ mendapat perhatian yang lebih dari saya. Mengapa? Karena jurnalisme seperti kata Rosihan Anwar ibarat menulis di atas air sedangkan mel-
504
ahirkan puisi dan prosa di mata saya seperti ialah mengukir di atas batu. Bagi wartawan yang baik pandangan ini tentu saja tidak seperti itu.***
32. SOETARDJI CALZOUM BACHRI Penyair Indonesia Tarji, sang Presiden Penyair Indonesia. Kami bertemu di Tanjungpinang, ketika aku memulai masa-masa kepenyairanku bersama Ibrahim Sattah, dll. Dia sudah jadi penyair besar dan baru saja menggemparkan Indonesia dengan puisi-puisi manteranya. Aku belajar teater dengannya. Dia mengkritisi puisi-puisiku. Kami bersahabat, tiap ada acara budaya, khususnya baca puisi di Pekanbaru, aku undang dia datang. Aku sangat suka gaya baca pusinya dengan lagu blues dan harmonikanya. Hampir sebaya usia kami, dan masih ngobrol sampai larut. Ada gagasan kami menerbitkan majalah puisi cyber yang kami beri nama �Amok�, tapi belum terlaksana, karena kami begitu sibuk. Ini catatannya tentang persahabatan kami : Iskandar Leo, Sang Fenomenal Kenangan tentang Rida K Liamsi
S
aya mengenal Rida K Liamsi, sekitar tahun 1960an. Kami sama-sama berasal dari kota Gurindam, Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Saat itu Tanjungpinang masih bergabung dengan Provinsi Riau. Tanjungpinang, masa itu adalah sebuah kota kecil. Masih sunyi namun tentram. Dikarenakan kecilnya kota ini, keramahan penduduknya demikian terasa. Bila melihat, saling mengenal. Bila bersua, saling menyapa.
505
Tanjungpinang bukan hanya dikenal sebagai Ibukota Kabupaten, tapi juga masyur sebagai negeri muasal para seniman nusantara. Seingat saya, sejak tahun 1950-an, suasana berkesenian di kota Tanjungpinang sudah demikian terasa. Kalangan seniman telah menghidupkan berbagai kegiatan, seperti pementasan teater, baca puisi, sandiwara radio dan aktivitas tari. Bahkan di kota Tanjungpinang pula pertama kali diterbitkan majalah kebudayaan bernama ‘Sempena’, sekitar tahun 1975. Hingga tidaklah berlebihan, bila dikatakan bahwa para seniman adalah cermin masyarakat Kota Tanjungpinang. Berkat seni pula, saya akhirnya dipertemukan dengan Rida K Liamsi. Bagi kalangan seniman yang ada di Tanjungpinang, nama Rida lebih dikenal melalui nama penanya atau nom de plume, Iskandar Leo. Di antara seniman-seniman Tanjungpinang, Rida K Liamsi, memiliki ciri khas tersendiri. Ia menyemat titel seniman, dengan tampilan tidak berlebihan. Ia tidak urakan dan tidak gondrong. Sosoknya tidak nyentrik dan tidak pula berpakaian layaknya seniman kebanyakan. Ia layaknya orang biasa. Dunia seniman yang akrab dengan ‘sakat menyakat’ (saling bercanda), tidak berlaku untuk Rida. Ia tidak suka bergurau dan lebih dikenal sebagai pribadi yang serius. Namun bukan berarti keseriusan menghilangkan sisi humornya. Sesekali, selera humornya juga sangat bagus. Selain sebagai seniman, saya mengenal Rida K Liamsi, sebagai sosok yang penuh dedikasi, berkarakter kuat dan penuh disiplin. Hal ini terlihat saat Rida menjadi guru di sebuah Sekolah Dasar (SD) kampung kami. Dia begitu
506
tekun mengajar murid-muridnya, namun tidak pula melupakan dunia seni yang digelutinya sedari awal. Soal dedikasi dan disiplinnya, saya punya cerita sendiri. Waktu itu para seniman Tanjungpinang, punya kebiasaan duduk-duduk di warung kopi Cina bernama ‘Suka Ria’. Letaknya di Jalan Merdeka, antara perempatan Jalan Bintan, Kota Tanjungpinang. Suatu ketika, saya bersama seorang rekan seniman bernama Ibrahim Sattah, hendak menuju ke kedai kopi. Kami sengaja lewati jalan pintas melalui SD tempat Rida mengajar murid-muridnya. Belum lagi kami sampai, suara keras dan melengking Rida mengajar sudah terdengar. Suara seorang guru yang penuh semangat. Lewat jendela kelas, kami pun sempat menggoda Rida, untuk kumpul-kumpul di kedai kopi dan meninggalkan sebentar saja murid-muridnya. Bila seniman lainnya langsung mengikut bila diajak kumpul, lain halnya dengan Rida. Dia memilih untuk bertahan bersama murid-muridnya, dan baru menyusul ke kedai kopi setelah tugasnya mengajar selesai. Kami sering menggodanya seperti itu, namun Rida tak pernah bergeming. Dari sikapnya ini, saya memahami, Rida ini sosok penuh disiplin dan berdedikasi. Ada pula cerita, tentang wujud disiplin Rida yang lain. Kami pernah bersepakat latihan teater di rumah saya. Judul teaternya, ‘Hai yang di luar itu’ karya Manuel van Loggem. Demi latihan teater, Rida tiap hari rela berjalan kaki ke rumah saya di Gudang Minyak Batu Dua, yang letaknya sekitar 3 Km dari rumahnya. Jarak yang cukup jauh dengan kondisi Kota Tanjungpinang masa itu.
507
Namun jarak 3 Km bukanlah penghalang buat Rida. Justru wujud disiplinnya terlihat, ketika Rida selalu menjadi anggota teater pertama yang sampai di rumah saya. Dia tak pernah terlambat datang ataupun bermain-main saat latihan. Meski pada akhirnya teater itu tak jadi dipentaskan, saya jadi lebih mengenal kepribadian Rida yang penuh kedisplinan. Sebagai seorang seniman, Rida pernah menggemparkan kami para seniman di Tanjungpinang. Ketika puisinya berjudul ‘Ode X’ terbit di majalah ternama kebudayaan Horison. Kala itu nama Iskandar Leo, yang menjadi nama pena Rida, seketika menjadi buah bibir. Majalah Horison, saat itu bisa dikatakan kiblatnya para seniman. Majalah bergengsi yang diisi senimanseniman nusantara seperti Hasan Yunus, Muchtar Lubis. H.B Yasin, Arif Budiman, Taufiq Ismail, Gunawan Muhammad dan banyak nama besar seniman lainnya. Siapa saja karyanya pernah terbit di Horison, ibaratnya baru sah disebut sebagai seniman. Bila dibandingkan dengan dunia pendidikan zaman sekarang, dengan masuknya karya seni di Horison, seorang seniman sudah dapat gelar Strata III (S3). Begitulah, Iskandar Leo tak lagi diragukan kiprahnya sebagai seniman sejati. Meski sudah terkenal sebagai seniman yang karyanya diakui nasional, Rida tetap menjadi sosok yang rendah hati. Ianya tetap sederhana dan tidak terlalu menunjukan ‘kesenimannya’. Rida tak serta merta menekuni kiprahnya di kesenian, namun tetap memilih menjadi guru SD. Bahkan tak lama kemudian, kami mengenalnya juga menjadi koresponden Tempo di Kepulauan Riau tahun
508
1977. Ini semakin menambah kekaguman saya pada tingkat kedisplinan yang dimiliki Rida. Karena tak mudah, mendisiplinkan diri pada satu profesi kemudian berani mengambil kedisplinan pada profesi yang lain. Apalagi dari guru SD biasa menjadi seorang wartawan untuk media sekelas Tempo. Kemudian kami sempat lama tak berjumpa. Hingga suatu ketika, kami bertemu di wisma seni di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Saya tak menyangka bakal berjumpa kembali dengan Rida. Masih sama seperti dulu, dia tekun dengan profesi barunya sebagai wartawan. Buktinya, dia ada di Jakarta dalam rangka up grading atau pelatihan sebagai koresponden majalah Tempo. Begitulah Rida yang saya kenal. Dari seniman, seorang guru, kemudian menjadi wartawan. Rida menunjukan kemampuan terbaik dalam tahap-tahap kehidupannya tersebut. Menurut saya, dia layak disebut sang fenomenal. Fenomenal karena sikapnya, kedisplinannya, ketekunannya dan rendah hatinya. Karena meski sudah sukses di bidang media dengan memiki gurita bisnis koran di mana-mana, Ia tetap tak menanggalkan statusnya sebagai seorang seniman. Bahkan akhir-akhir ini, Rida juga lebih dikenal sebagai budayawan serta seniman, selain juga sebagai pemimpin media massa terkemuka di Riau dan Jakarta. Tentunya bagi saya yang telah mengenalnya sejak lama, hal ini tidaklah mengejutkan. Karena sosoknya memang sederhana, sangat rendah hati dan teguh pendirian meraih kesuksesan.
509
Dengan apa yang telah diraihnya hari ini, bagi saya sosok Rida tak banyak berubah. Ia tidak menunjukan kesombongan ataupun ketamakan. Pada kawan lama, Ia juga ramah bahkan saling membantu sedapat yang ia mampu. Kehidupannya seperti terencanakan dengan baik dan dijalankannya dengan penuh konsistensi. Sikap seperti ini tentunya tak banyak dimiliki orang lain. Rida K Liamsi, adalah keajaiban yang tak bisa dijelaskan. Hanya bisa menyebutnya, sebagai Iskandar Leo Sang Fenomenal. *** 33. ARMAWI KH - salah seorang karyawan/sahabat/seniman Mawi, begitu aku memanggilnya, adalah salah seorang ”tangan kanan” aku dalam jatuh bangunnya Riau Pos Group, selain Marah Suryanto (Sekarang GM) Padang Ekspress. Bukan Cuma kerja keras dia membangun Riau Pos Group, tapi juga ide dan kreatifitasnya dalam meujudkan media di bawah naungan Riau Pos Group memiliki ciri dan karakter yang khas. Dia seniman, penyair, dan perupa yang selalu bekerja dalam senyap. Yang selalu muncul, adalah karya yang sudah selesai, dan dia menyodorkan kepadaku. ”Yang ini gimana?” katanya. Sangat Melayu, dan selama bertahun-tahun kami bekerjasama, dia seakan sudah tahu, apa mauku jika minta tolong.” Wi... aku mau nerbitkan kumpulan puisi aku. Tolong ya ...” begitu selalu cara aku minta dia melakukan. Dan dia akan siap dengan berbagai konsep dan ide. Aku tak pernah menolak. Sama juga dia tak pernah menolak aku tugaskan apa saja. Menerbitkan koran di Jambi (Independent), bikin koran di Medan, bikin koran di Padang, Bikin percetakan di Batam,
510
Medan, Tanjungpinang. Jadi apa saja, bahkan pemimpin redaksi sekalipun. Bahkan karir dan hidupan rumah tangganya pun jadi korban. Sekarang dialah Jenderal di Majalah Budaya ”Sagang” dan “penasehat ahli” di Sekolah Tinggi Seni Riau ( STSR ) . Ini catatan pendeknya tentang persahabatan kami : “Mari Kita Pupuk Bersama...”
K
ata-kata yang membimbing ini diucapkannya kepadaku saat-saat awal bersama Bang Rida di Riau Pos di tahun 1990-an, dan kata-kata itulah yang kemudian kuketuktularkan ke anggota-anggotaku di unitunit kerja yang sempat dipercayakannya ke aku. Pupuk itu adalah kerja keras, fokus, jujur, dan di saat awal kerja ini juga berarti pengorbanan pribadi - keluarga, atau apa sajalah... untuk Riau Pos! Kata lainnya yang sering melengking di malam-malam kerja keras kami (khususnya di unit percetakan) adalah “Ayo... ayo... ayo!” Panjang ceritanya, begini; Pagi-pagi unit kerja wartawan rapat, menetapkan garis-garis kerja untuk isi koran besok. Yang mimpin rapat Rida. Selanjutnya orang-orang crew Rida ini pun bertempiarlah ke segala pelosok, muncul lagi ke kantor siang sampai sore, tulis berita kemudian diperiksa Rida lagi kerjaan mereka itu dengan delete sana-sini tukuk sana-sini oleh si Dia ini. Maklum, kerjaan menulis bagi orang-orang Melayu kami ini itu mah bukan kerjaan, bual-bual kami aje! Ini bahasa kami, makin mendekati ke gaya bahasa tutur makin lemaklah gaya narasinya. Dalam pada itu unit kerja yang lain minta iniitu, ya Rida mikir lagi dan putuskan ini-itu lagi, sebab ini
511
urusan Dia ‘kan? Prof (karyawan juga, urusan umum dan komputer) lapor perlu sabun untuk bersihin kamar mandi. Rida menjerit dikit, urusan kamar mandi juga harus ke Dia? Ya, iyalah, harus ke Dia memang. Sebab katanya; “Wie (panggilannya untuk saya, harus disengaukan sedikit mulai huruf ‘i’nya) awal-awal usaha ini semua harus dari satu pintu!” Ya, aku tahu, karena kita tak punya duit! Tapi itu cakap bathinku saja. Ya, aku tahulah berapa modal kerja Riau Pos awal. Satu folder, dua unit printer untuk mencetak 1/1 merk ‘Harris’ yang menurut kata Pak Dahlan, Boss kami waktu itu: “Mas, ini mesin pembawa berkah. Ini eks Tempo - Tempo hebat, kemudian dikirim ke Jawa Pos - Jawa Pos hebat. Mudah-mudahan sampeyan mendapat berkah juga” Aku mengangguk, inggih Pak Mas. Mugi-mugi Gusti Allah memberkahi, Amin - aku membathin. Dan, modal lainnya adalah kertas koran 70 roll. Segunung! mataku nanap mengaguminya. Karena gudang eks Pemda ini bocor, segunung kertas koran roll-rollan ini kututup dua lembaran plastik. Lagi-lagi; “Wie, ini harta kita amankan ya!?” kata Dia. Unit cetak kerja produksinya setelah kerja redaksi sebagian selesai, mulai pukul 3 petang, 90-an awal, teks diprint, prinan digunting, dilem, dibaris-bariskan, dihalaman-halamankan, dan Dia? Ya gunting-gunting, ya lemlem, ya check ke kamar gelap, ya check ke ‘tukang plate’, ya kasi paraf setuju naik cetak. Kalau hari-hari pertama 16 Juli 1991 itu kerja mulai pukul 08.00 pagi selesai besok pukul 10.00, 17 Juli 1991
512
dan molor dan molor lagi bukanlah karena kami terlambat masuk (sebab kami tak pulang-pulang...) tapi selah untuk cepatnya belum ketemu! Dan jerit khas si-Dia ini pun keluarlah: Ayo... ayo... ayo! Ayo, ayo, ayo... ini akan terus terdengar tiap sebentar sejak pagi sampai menjelang fajar. Siang malam sampai bertahun-tahun kemudian... *** Selamat ulang tahun, Bang. Panjang umur, dan murah rezeki. Masa-masa sulit itu telah lalu, kini kami melihat kebahagiaan dari kerja keras, fokus, dan jujur itu berbuah ranum... *** 34. TAUFIK IKRAM JAMIL - Seniman/Wartawan Taufik Ikram Jamil, salah seorang penyair Riau yang terbilang, bahkan di Indonesia saat ini. Aku mengenal dia dari tulisannya yang di muat di harian Merdeka. Ketika aku sibuk mencari wartawan untuk SKM Genta, aku ingat dia dan minta sahabat saya Rofii M Safei yang jadi Kepala Kantor Penerangan di Bengkalis menghubungi Taufik. Dia setuju, dan bergabung di Pekanbaru. Kebetulan dia juga mau kuliah di UNRI. Kemudian dia jadi salah satu wartawan Harian Kompas yang handal, meski kemudian berhenti dan lebih suka jadi sastrawan, dan wiraswasta. Ini catatan Taufik, yang selalu mempunyai sahabat imajinernya bernama Wahab. Gaya menulis yang belakangan banyak ditiru ... Semoga Masih Ada Rida yang Lain - Pemecah Mitos
513
H
ari-hari terakhir di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Bengkalis tahun 1983. Ia dikejutkan dengan kedatangan Kepala Kantor Departemen Penerangan Kabupaten Bengkalis, A.Rivai, yang ternyata sudah berhari-hari mencarinya. Remaja tersebut, diam saja ketika petinggi di kabupaten itu mengatakan bahwa Rida K.Liamsi, wakil pemimpin redaksi Mingguan Genta, mengirim surat kepadanya, agar ia bersedia menjadi wartawan satu-satunya koran di Riau tersebut di Bengkalis. “Saya baru balik dari Tanjungpinang, sempat juga bertemu dengan Rida,� demikian kira-kira kata pejabat tersebut waktu itu. Dikatakannya juga bahwa Rida memang sempat membaca beberapa tulisannya yang diterbitkan pada sejumlah media di Jakarta. Begitu banyak pikiran yang melayap di benak remaja itu kemudian. Belum lagi keterkejutannya ditemui pejabat sambil duduk di bangku selasar sekolah bersurai, ia sudah pula diminta menjadi wartawan. Di sisi lain, hatinya sedang galau karena niat untuk melanjutkan pendidikan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tampak begitu susah diraih, sedangkan untuk kuliah di Universitas Riau (UR, dulu UNRI)), masih di awang-awang. Dari kampung, ia sudah diarahkan untuk menjadi guru SD selepas menempuh pendidikan SPG, punya kebun, menikah, dan beranak-pinak. Jalan tengah diambilnya--berangkat ke Pekanbaru, mendaftar di UR. Setelah lulus dan memasuki Ospek dengan uang yang begitu cekak—begitu janjinya kepada orang tua—ia baru teringat kepada Genta. Alhamdulillah, kantor koran tersebut rupanya juga berada di Gobah,
514
di Jalan Ronggowarsito yang ditempuhnya dengan jalan kaki dari Tanjung Rhu. “Kalau begitu, kau jadi wartawan di Pekanbaru saja,” kata Rida setelah ia menjelaskan keinginannya. Ia bahkan diperbolehkan tinggal di kantor— bangunan dua lantai milik R.Hamzah, kemudian memperoleh rantangan dua kali sehari. Hari itu juga, mahasiswa baru tersebut langsung bertugas. Bukan ke lapangan atau mencari berita itu dan ini, tetapi hanya menyobek berita bulletin Antara yang berasal dari Pekanbaru. Tak sedikit pun ia protes katika Rida mengatakan, ini saja kerjamu selama tiga bulan. Menyobek berita Antara, kemudian meletakkannya di atas meja Rida. Akhir pekan, ia menemani Rida ke percetakan, begadang sampai pagi untuk melihat orang mengetik ulang berita dan menyusunnya menjadi halaman koran dengan tangan. Cuma tak lama kemudian, Rida balik ke Tanjungpinang. Begitulah “aturannya”, ia kemudian tahu bahwa setiap dua pekan sekali Rida berkumpul dengan keluarganya. Posisi Rida kemudian dijalankan oleh Syafrudin Saleh. Otomatis, ia tahu, mereka bertiga yang tinggal di kantor itu. Rupanya Hasan Junus dan Fakhrunas MA Jabbar telah mengundurkan diri dari Genta belum lama berselang. Suatu awal yang menyenangkan memang. Tetapi budak Teluk belitung yang waktu itu masih berada di Kabupaten Bengkalis melihat, kapan sesungguhnya Rida K. Liamsi ini tidur kalau ia berada di Pekanbaru. Bangun pagi, ia melihat katil usang yang ditempati Rida telah kosong dan ia telah melihat Rida terpoguk di depan meja kerja yang temaram dengan kopi dan rokok mengepul.
515
Pukul 24.00, Rida masih akrab dengan mesin tik tua, sedangkan mahasiswa tadi telah hendak berlayar ke alam mimpi. Katil mereka memang bersebelahan, beradu kaki. Belum sebulan, akhirnya ia tahu, inilah orang yang menulis sajak “Ode X� di dalam majalah Horison yang dibacanya di rumah gurunya ketika di SPG yakni almarhumah Zamharirah,B.A, dengan nama Iskandar Leo. Ia juga tahu, inilah satu-satunya koresponden Tempo yang ditempatkan di kabupaten yakni Kepulauan Riau karena melihat strategisnya kabupaten tersebut dalam pergaulan internasional serantau. Ia meninggalkan Tempo, yang bergengsi baik secara nama maupun pendapatan, terutama untuk menyelamatkan Surat Izin Terbit (SIT) Riau yang digenggam Genta dan ternyata sebelumnya memang jatuh bangun. Riau bakal tak memperoleh SIT lagi jika SIT tersebut tidak diselamatkan. *** Alkisah, mungkin karena berdarah mahasiswa sebagaimana layaknya mahasiswa secara umum, ia suka mendengar kata-kata Rida ketika memimpin rapat sebelum pulang ke Tanjungpinang. Yang ditanya Rida adalah, apa permasalahan yang dihadapi Riau saat ini. Sederhananya, cari persoalan yang harus ditangani. Ungkapan ini di luar rapat selalu disebut, “Siapa yang hendak kita bantai minggu depan.� Tak heran apabila Genta muncul sebagai koran oposisi. Akibatnya tentu banyak. Pernah misalnya, kantor Genta dilempari dengan gulungan ratusan koran Genta dari suatu instansi. Tetapi yang paling menyedihkan, bagaimana pimpinan umum Genta, Suwardi MS, harus mencabut
516
lembaran utama Genta karena ada berita mengeritisi helat budaya Melayu. Suwardi yang senantiasa lemah lembut, sekali itu tidak menghiraukan, keterangan mahasiswa tadi yang menyebutkan bahwa penaikan berita tersebut atas izin Rida yang seharusnya dikonfirmasikan dulu dengan Rida. Tak terbayangkan sebelumnya, bagaimana kemudian Rida mengundurkan diri dari Genta akibat perkara yang sempat menjadi sorotan media di Jakarta tersebut. Si mahasiswa tadi tetap bertahan di Genta, bersama Suryanto, Dheni Kurnia, Said Suhil Ahmad, dan Syafrudin Saleh. Pada gilirannya, Rida K.Liamsi menjadi koresponden Suara Karya di Tanjungpinang. Ketika bertemu dengan mahasiswa tadi di PWI Riau, Rida langsung berujar, “Baguslah, engkau juga menulis untuk Suara Karya. Berita dari Pekanbaru kan engkau yang nulis,” kata Rida, yang disambut sang mahasiswa terkekeh-kekeh. Baru setelah 1988, ketika mahasiswa itu tidak lagi berstatus sebagai mahasiswa, mereka pisah media. “Kata Redaktur Suara Karya, engkau memang tidak cocok di Suara Karya. Kata mereka, baguslah kalau engkau di Kompas tu.” Entah karena pengalaman sejak awal di Genta itu, wartawan Kompas tersebut kemudian terpinga ketika Rida membuat koran harian Riau Pos (RP) tahun 1991. Pasalnya ketika di Pekanbaru, ia juga selalu mendampingi Rida selain pendamping utamanya Suryanto. Tapi tak sepatah pun Rida menceritakan RP, apalagi membuang pelawa agar ia ikut RP. Sempat juga ia berkecil hati dengan sikap Rida itu. Maklumlah, Rida baginya bukan lagi
517
seorang abang tua, tetapi guru yang mewarnai hidupnya sampai kini. Di dalam sastra, baginya posisi serupa berada di tangan Hasan Junus. *** Orang yang tidak lagi menjadi wartawan Kompas itu, setidak-tidaknya merasakan dari Rida K.Liamsi bagaimana memperjuangkan kemanusiaan dari daerah. Ia telah memecahkan mitos bagaimana Provinsi Riau yang dalam semua hal serba terbatas, termasuk geografisnya yang terdiri atas ribuan pulau waktu itu, memiliki sebuah harian. Ketidakmungkinan Riau memiliki harian, hampir-hampir menjadi mitos. Tetapi tidak sampai 15 tahun, RP menggurita yang kini mampu “memimpin� puluhan perusahaan baik media maupun nonmedia setelah berusia 21 tahun pada 2012—menguasai Sumbagut. Ya, Rida telah memecahkan mitos tersebut. Di sebalik itulah, tersimpan kerja kerasnya. Seperti yang disaksikan mahasiswa pada awal tulisan ini, bagaimana Rida bekerja tidak memandang waktu, sampai-sampai si mahasiawa jadi ragu apakah hari-hari Rida hanya diisi dengan kerja? Tak sekali dua, ketika RP masih menumpang sebuah gedung, ditemuinya Rida berkutat dengan mesin cetak sampai larut malam. Ia dengar, Rida sampai sanggup tidur di sebelah mesin cetak yang sedang menyalak—sesuatu yang juga acapkali ditemui mahasiswa tadi ketika mereka sama-sama di Genta. Kenyataan tersebut senantiasa menginspirasi ketika orang tahu kampung yang membesarkan Rida. Pernah ketika mahasiswa tersebut sudah menjadi wartawan Kompas, harus ke kampung Rida, Bakung, awal 90-an, untuk
518
melihat apa yang disebut orang sumur Hang Tuah dan saudara-saudaranya. Dari Dabo harus naik pompong carteran, kemudian merapah pantai dengan air setinggi lutut. Masuk Sungai Sekanak, wah sungguh menyeramkan. “Hati-hati saja engkau di sana, nama kampung itu saja berasal dari kata mak kong yang dalam bahasa Cina berarti induk racun,� kata Rida lewat telepon. Rupanya, itulah baru pertama kali wartawan sampai ke kampungnya. Memperjuangkan kemanusiaan dari daerah, pada gilirannya bermakna sebagai pemartaban manusia dan karena itulah Rida bukan saja pahlawan bagi Riau, tetapi bagi kemamanusiaan itu sendiri. Riau menjadi sebagai penanda suatu aktivitas saja. Hal ini dilakukan Rida pada kondisi yang tidak biasa. Ketika, sampai kini tentunya, keberaksaraan bukanlah pilihan utama, Rida telah menyuguhkannya sebagai santapan hari-hari. Dengan demikian, berbagai akses terbuka, sekurang-kurangnya informasi menjadi jauh lebih mudah diperoleh. Bukankah informasi akan menyebabkan begitu banyak yang dapat dipegang. Memang, barang siapa menguasai informasi, orang tersebut menggenggam sebagian besar dunia. Justeru informsi itulah yang ditebar Rida. Tak salah, kalau hal itu sekaligus menunjukkan keteguhan Rida dalam suatu idealisme. Rida harus mempertaruhkan semuanya dengan resiko tinggi. Justeru setelah berumur 46 tahun, Rida harus rela berpisah dengan keluarga, menjadi wartawan di Jakarta. Dari sini, ia harus pindah lagi ke Surabaya, meskipun kemudian membuka babak baru dalam hidupnya bahkan bagi kemanusiaan—
519
khususnya Riau. Di kota tersebut, ia bertemu Dahlan Iskan yang telah berhasil membina koran di daerah yakni Jawa Pos. Tentu saja, Surabaya atau Jawa Timur berbeda dengan Pekanbaru serta Riau. Jumlah penduduk Surabaya misalnya jauh di atas Pekanbaru dengan tipografi Jawa Timur yang sebagian besar daratan, dilengkapi pemadaan transportasi maupun komunikasi. Belum lagi memandang sifat kependudukan kedua daerah.Tapi disokong Dahlan dengan mesin cetak bekas, Rida membuat suatu keputusan radikal, merintis harian di bumi Melayu. Pada usia 48 tahun, ia boleh dikatakan mengawali sesuatu lagi dari nol –suatu keputusan yang tidak mudah—pada saat orang secara umum mempersiapkan masa yang tidak produktif. Pada usia 48 tahun, sesuatu yang tak pernah dilakukan sebelumnya yakni terjun ke dunia bisnis, ia rambah. Sebelumnya, sosok yang belasan tahun menjadi guru SD ini kan hanya jempolan dalam memeroduksi berita seperti di Tempo, Genta, dan Suara Karya, bukan bagaimana menjual koran. Di RP, ia merangkap jadi semuanya, bahkan termasuk menjaja koran. Bahasa kesehariannya sejak dulu yakni kerja—bukan asyik terbius dalam teori—seperti menemui tempat yang sepadan. Adalah bukan perkara minat, ketika beberapa tahun setelah mendirikan RP, Rida mendirikan Yayasan Sagang. Sebab, dari awal lagi, sebagai wartawan, Rida juga dikenal sebagai seorang guru dan seniman yang berpikir bagi kemajuan kebudayaan sejak tahun 1972. Ia terbitkan kembali sajak-sajaknya di bawah tajuk “Tempuling”
520
(2003), menyusul novel “Bulang Cahaya” (2007), yang mampu memperlihatkan perjalanan kreatifnya dan citacita seorang Melayu Riau. Dengan programnya, Yayasan Sagang amat fenomenal karena bertahan dengan programnya yakni menaburkan anugerah budaya dalam berbagai segi yang kini memasuki usia 18 tahun. Apalagi menampung pengelolaan Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) yang kini sudah menjadi Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR). Dengan wawasan tersendiri, majalah Sagang merupakan majalah sastra budaya yang bertahan keberadaannya, tergolong langka di Indonesia. “Dalam hidup saya, baru pada Rida saya melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana sebuah kesuksesan dibangun dari awal. Tentu kita memerlukan kesuksesankesuksesan lain, dan semoga masih ada Rida yang lain. Amin!” kata mantan remaja, mantan mahasiswa, dan mantan wartawan Kompas itu. Oh ya, mau tahu juga siapa orang serba mantan di atas? Tanyalah pada Rida. Kalau tidak kepada Rida, tanya kepada Abdul Wahab, he he he…. *** 35. MAFIRION Entrepreneur/Sahabat/ Pencinta Sepakbola. Mafirion, adalah tipe manajer pendobrak. Tak ada kata tak bisa. Tak ada kata tak jadi. Harus bisa, dan harus sukses. Itulah yang dia lakukan saat bergabung dengan Riau Pos Group, dan karena itu group ini banyak berhutang budi padanya karena kerja
521
kerasnya mendobrak berbagai rintangan, membuat banyak rencana bisnis aku dan RPG bisa diujudkan. Salah satu proyek di mana keterlibatan Mafirion sangat total adalah Riau TV. Kalau dia tak ada, belum tentu aku bisa segera mewujudkan ambisiku itu. Juga Batam TV, Padang Ekspres, Sumut Pos, dan banyak koran lainnya, adalah bahagian dari kehandalannya sebagai manager pelaksana. Aku beruntung punya manager seperti dia. Dia juga pencinta Bola. Dan karena dia juga Riau Pos punya kesebelasan sepakbola yang lumayan baik di lingkungan PSPS Pekanbaru, Riau Pos FC, yang kini bertengger di divisi utama PSPS. Cuma dia mobiltasnya sangat tinggi, dan selalu ingin segera menjadi pengendali bisnisnya sendiri. Entrepreneurshipnya sangat kuat, dan itu yang membuat akhirnya dia keluar dari Riau Pos Group dan membangun kerajaan bisnisnya sendiri. Inilah catatannya : “Saya Bangga Bos ! ***
M
embincangkan perkembangan Riau Pos Media Group, tak bisa lepas dari sosok Rida K Liamsi—saya memanggilnya dengan sebutan Bang atau Bos. Nafas Riau Pos Media Group, kemarin dan hari ini, menurut saya sama tarikannya dengan hirupan udara yang masuk ke tubuh Bang Rida. Setiap hari, Bang Rida membangun masa depan baru bagi group ini. Apa yang dia fikirkan, selalu diwujudkan. Dan, saya merasa bersyukur dan mendapatkan banyak pengalaman selama delapan tahun (1996-2004) menjadi bahagian dari keluarga besar Riau Pos Media Group. Saya sendiri, berkenalan dengan Bang Rida, di tahun 80-an. Diakhir tahun 1980, saya selalu bertemu dengan Bang Rida, baik di Pekanbaru maupun di Tanjungpi-
522
nang, saat di mana saya terjun ke dunia jurnalistik. Pertemuan antara saya dan Bang Rida, bukan pertemuan biasa. Sebab, setiap kali bertemu, saya selalu diberi banyak pelajaran tentang dunia jurnalistik. Tidak hanya itu, Bang Rida juga mengajarkan kepada saya kerja keras dan semangat sebagai “anak� Melayu untuk terus maju. Bang Rida, adalah guru bagi saya. Pada awal tahun 1990, saya lupa bulannya, kira-kira di awal tahun, saya dipanggil Bang Rida ke Darma Utama kamar 17. Di penginapan yang berada di ujung Jalan Sisingamangaraja Pekanbaru yang merupakan tempat favorit Bang Rida, kalau sedang menjalankan tugas jurnalistik di kota ini. Seperti biasa, kalau Bang Rida di Pekanbaru, saya selalu mampir ke penginapan tersebut. Tapi, panggilan kali ini terasa istimewa, karena kepada saya Bang Rida menyampaikan rencananya membangunan surat kabar harian. Pilihannya adalah mingguan Warta Karya milik Yayasan Riau Makmur. Pada pertemuan kali ini, Bang Rida, mengajak saya ikut bergabung di surat kabar yang akan dia pimpin. Pada waktu itu, saya masih menjadi koresponden Harian Pelita Jakarta. Kepada Bang Rida, saya minta waktu untuk memberi jawaban iya atau tidak. Pasalnya, beberapa hari sebelum bertemu Bang Rida, saya menerima panggilan dari Harian Kompas, untuk mengikuti tes sebagai wartawan di Jakarta. Kepada saya, Bang Rida berkata: Pergilah ke Jakarta. Mudah-mudahan kau diterima. Dan, saya benar diterima menjadi wartawan Kompas. Tapi, pada waktu pertemuan itu di dalam hati saya berjanji suatu hari nanti saya akan membantunya untuk mewujudkan
523
cita-cita Bang Rida, membangun sebuah usaha surat kabar yang hebat di Riau dan kawasan sekitarnya. Di akhir tahun 1995, sepulangnya saya bertugas di Jakarta, saya bertemu Bang Rida. Kepadanya, saya sampaikan keinginan saya untuk bergabung dengan Harian Riau Pos. Pertanyaan Bang Rida kepada saya adalah, kenapa kau berhenti dari Kompas. Saya katakan, istri saya tak mau pindah ke Jakarta. Sementara saya, berkeinginan pindah ke Jakarta, untuk mencari tantangan baru. Selain itu, di dalam hati saya berkata: pilihan ke Riau Pos, tentu karena saya memenuhi janji yang tak pernah saya sampaikan ke Bang Rida, bahwa suatu hari saya akan membantunya sebagai ganti atas semangat dan dorongan yang dia berikan kepada saya selama persahabatan kami terjalin. Dan, Januari 1996, saya memenuhi janji itu dan memulai berkerja di Riau Pos. Janji pada diri saya sendiri untuk membantu Bang Rida, tak pernah saya utarakan kepada Bang Rida, sampai saya meninggalkan Riau Pos Media Group di akhir tahun 2004. Saya memulai perkerjaan di Riau Pos, sebagai Koordinator Liputan. Sebagai Bos, setiap hari saya menghadap beliau, berdiskusi tentang liputan-liputan yang diingininya. Setiap hari saya pulang dini hari karena, hampir setiap hari Bang Rida, juga pulang dini hari. Pagi-pagi sekali, antara jam 04-05, Bang Rida, yang digonceng vespa sprint Suryanto, sampai lagi di kantor, untuk melihat proses cetak dan distribusi. Begitu terus-menerus yang dilakukan Bang Rida, dan mungkin juga sampai hari ini. Pada waktu itu, tak jarang Bang Rida pulang pagi. Mungkin satu atau dua bulan setelah saya berkerja di Riau Pos, Bang Rida
524
katakan kepada saya: hanya semangat dan kerja keraslah yang dapat mewujudkan cita-cita kita menjadikan Riau Pos, sebagai koran hebat. Makanya, tiada hari tanpa sesuatu yang harus dibenahi. Tiada hari tanpa rapat. Mulai dari membahas berita, perwajahan, sampai dengan distribusi. Malahan, Bang Rida, turun langsung untuk menangani sirkulasi, berbicara dengan agen, anak asongan, dan iklan. Evaluasi menjadi hal penting yang dilakukan Bang Rida, di Riau Pos Media Group dan itu menjadi kunci sukses group ini. Saya mendengar, sampai hari ini Bang Rida masih melakukan hal itu. Bang Rida, tiada henti berjalan dari satu kota ke kota lainnya di mana surat kabar milik Riau Pos Media Group itu berada. Dan, hebatnya, Bang Rida, kenal hampir semua agen yang menjadi ujung tombak peredaran surat kabar di lapangan. Ketika, Harian Riau Pos pindah dari Jalan Kuantan ke gedung baru yang cukup megah di Panam tahun 1997, saya melihat ada cahaya baru bagi koran harian satusatunya di Riau ini. Bukan hanya laba yang diraihnya cukup menggembirakan. Tapi sebagai koran lokal, informasi yang disajikannya sudah sangat bervariasi dan sudah mampu memenuhi kebutuhan pembacanya. Riau Pos bukan lagi hanya sekedar koran daerah, tapi sudah berubah wujud menjadi koran nasional yang terbit di daerah. Keinginan Bang Rida, agar masyarakat Riau, merasa menjadi ‘pemilik’ koran yang mengusung konsep Jurnalistik Akomodatif ini, akhirnya tercapai. Selain itu, Riau Pos juga mewujudkan komitmennya menjadi “pembela� masyarakat dan gerbang kemajuan ekonomi bagi
525
kalangan bisnis lokal. Peningkatan oplah yang luar biasa adalah balasan yang diberikan para pembaca. Ketika reformasi meletus. Riau Pos mencapai tiras di atas 90.000 eksemplar/hari. Tapi, yang namanya Bang Rida, angka-angka tak akan membuat dia berhenti berfikir guna melahirkan sesuatu yang baru. Setelah Riau Pos benar-benar berkibar, memiliki pasar yang kuat di Riau daratan dan kepulauan, dia kemudian melahirkan Harian Pekanbaru Pos di Pekanbaru, yang merupakan harian kedua Riau Pos Media Group. Kami menyebutnya koran lampu merah. Selain pasarnya berada di persimpangan jalan ‘lampu merah’ koran ini mengutamakan peristiwa kriminal. Kata Bang Rida, ini Koran Berdarah-darah. Kerja keras dan keinginan Bang Rida—mungkin sejak awal tahun 80-an, ketika dia sempat menangani Mingguan Genta, untuk menjadikan Riau sebagai wajah baru persuratkabaran di Sumatera, menemukan jodohnya seusai reformasi. Dimana, untuk membuat suratkabar tidak lagi diperlukan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Sehingga, Riau Pos tidak hanya menjadi pemimpin pasar di Riau, tapi juga memiliki surat kabar di beberapa kota di Sumatera, terutama Sumatera bahagian utara. Pada tahun 1998, Kepada saya, Bang Rida meminta menangani surat kabar di Padang—yang kemudian diberi nama Padang Ekspres. Saya sempat tinggal beberapa bulan di Padang. Pengembangan yang dilakukan Bang Rida terus berlanjut, pada tahun yang sama, lahirlah Harian di Batam dengan nama Sijori Pos (saat ini bernama Batam Pos).
526
Tahun 1999, Bang Rida, menyampaikan keinginan untuk membuat koran di Medan. Menurut Bang Rida, Medan merupakan tempat pertarungan bisnis surat kabar yang sebenarnya. Tidak memiliki arti apa-apa bagi Riau Pos Media Group, jika tidak memiliki surat kabar di Medan. Beberapa kali saya dan Bang Rida ke Medan, untuk mempersiapkan lahirnya koran. Akhirnya, di tahun 1999 lahirlah koran harian kelima milik Riau Pos Group dengan nama Medan Ekspres. Medan Ekspres tidak lama, kemudian berganti nama menjadi Sumut Pos. Pada tahun 2000, bertambah satu koran lagi di Medan yakni Pos Metro Medan. Di tahun 2000, Riau Pos Group, sudah menjadi salah satu surat kabar yang tak ada tandingannya di Sumatera bahagian utara. Kusuksesan itu tercipta karena Bang Rida, sekali lagi tetap mempertahankan konsep jurnalistik akomodatif. Tidak membangun permusuhan tapi persahabatan, tetap menjadi bahagian dan pembela masyarakat pembacanya. Sehingga dalam waktu tiga tahun (1998-2001), Riau Pos Media Group melahirkan enam harian dan dua mingguan (Pekanbaru Pos, Padang Ekspres, Sumut Pos, Pos Metro Medan, Batam Ekspres, Pos Metro Batam, Mingguan Politik Watan dan Mingguan Olahraga Pinalti). Tapi, bisnis media tidak hanya koran. Menurut Bang Rida, kalau hanya memiliki surat kabar saja tidak cukup. Di masa depan, sumber informasi masyarakat tidak hanya dari surat kabar, tapi juga media eletronik. Karena itu, kata Bang Rida, Riau Pos Media Group harus memiliki jaringan televisi. Saya dan kawan-kawan di Riau Pos Group sangat
527
terkejut atas keinginan Bang Rida tersebut. Bagi Bang Rida, tak ada yang tak mungkin. Yang penting, kita harus bersemangat untuk tetap bekerja keras. Tahun 2000, berdirilah Riau Televisi. Awalnya, sangat sederhana. Semuanya dibangun dengan konsep fungsi. Sederhana, tapi bermakna. Tahun 2001, bertambah satu televisi lagi di Batam dengan nama Batam TV. Batam TV, merupakan proyek terakhir yang saya pimpin. Saat ini, saya tidak tahu kota mana lagi yang telah memiliki televisi lokal milik Riau Pos Group. Sampai saya “berpisah� dengan Riau Pos Group di tahun 2004, masih ada beberapa keinginan Bang Rida, yang memang disampaikan kepada saya yang mungkin belum terwujud, satu di antaranya: Bang Rida ingin Riau Pos Group memiliki perusahaan penerbangan. Untuk menjadi lebih maju, media harus bersanding dengan transportasi khususnya udara. Pada waktu keinginan itu disampaikan Bang Rida, dunia penerbangan nasional belum semeriah saat ini. Hanya ada empat atau lima operator. Keinginan itu tak lain agar hubungan dari satu kota ke kota lain di Riau dan Riau Kepulauan menjadi lancar, sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami pergerakan yang lebih cepat. Pada masa itu, Riau dan Riau Kepulauan menghadapi permasalahan transportasi. Di sisi lain, penyebaran informasi terutama media cetak akan lebih cepat sampai kepada pembacanya. Bagi Riau, Bang Rida, tentu menjadi sosok penting yang telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi media baik media cetak maupun elektronik. Hal itu, telah memberi dampat positif bagi wajah Riau hari
528
ini. Cita-citanya agar Riau menjadi wilayah baru “penguasa” media di Sumatera bahagian Utara, benar-benar terwujud. Riau Pos Group, sudah menjadi penguasa baru dengan jaringan surat kabar dan televisi yang tersebar di Sumatera Barat, Riau, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, dan terahir Nangroe Aceh Darusslam. Disela-sela kesibukannya sebagai CEO Riau Pos Group, Bang Rida masih menyumbangkan waktunya untuk kegiatan kebudayaan melalui Yayasan Sagang, yang digagas tahun 1996. Yayasan Sagang dengan Anugrah Sagangnya, adalah bentuk dari kecintaan Bang Rida terhadap Kebudayaan Melayu. “Kalau tak kite, siape lagi”, begitu kata Bang Rida, kalau sudah berbicara tentang Melayu. Selain itu, dia juga dipercaya memimpin Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yaitu Riau Investment Corp (RIC) yang salah satu anak perusahannya adalah PT Riau Power yang bergerak di bidang kelistrikan. Bukan karena jabatan yang membuat Bang Rida bersedia ditunjuk sebagai Presiden Direktur RIC, tapi kerisauanlah yang membuat amanat itu dia terima. Bagaimana tidak, Provinsi Riau, yang kaya sumber daya alam misalnya, adalah daerah yang mengalami kekurangan tenaga listrik sepanjang tahun dalam 25 tahun terakhir. Saya merasa sangat bangga telah berkenalan dan sempat menjadi sedikit bahagian dalam perjalanan hidup Bang Rida. Saya, menimba banyak pengalaman baik ketika masih menjadi wartawan, manager maupun sebagai pemimpin surat kabar dan televisi di lingkungan Riau Pos Media Group. Bang Rida bukan hanya pekerja keras tapi dia juga pemikir, pemimpin, dan pebisnis yang handal. Se-
529
bagai orang Melayu, saya bangga Bos! Sehingga, tetaplah menjadi abang dan bapak yang baik bagi semua karyawan Riau Pos Media Group, hari ini dan di masa depan. *** 36. ABDULLAH SAID Mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Riau. PAK Dullah, begitu aku selalu memanggilnya, adalah seorang yang sangat sabar, tapi sangat berani mengambil resiko, dan membuat dirinya harus menanggung beban yang berat atas keputusannya. Terkadang aku selalu merasa bersalah karena telah membuat beliau gusar, kecewa, dan merasa aku seperti tak pandai berterima kasih. Karena itu, ketika mendengar kabar dia meninggal dunia, aku benar-benar sedih, dan kecewa tak sempat minta maaf padanya dengan sebenar-benar maaf. Aku selalu terkenang dan terngiang kata-katanya “Kadir, Kadir, kenapa aku juga yang selalu kau tulis…” katanya ketika kecewa berita yang aku tulis tentang masalah pendidikan di Riau. Dan dia memanggil aku Kadir, walaupun itu nama ayahku. Ini catatannya tentang aku yang ditulis ulang oleh Fakhrunnas dari hasil wawancara mereka, sebelum Pak Dullah meninggal. Tuhan, ampunkan aku yang telah melukai hatinya, meskipun aku tahu, Tuhan tak akan mengampunkan aku jika kesalahan yang aku buat itu terhadap sesama manusia, kecuali oleh yang bersangkutan… Pak Dullah bilang aku orang yang gigih … :
I
smail Kadir pernah jadi guru SD 1 di Jalan Ketapang, Tanjungpinang, sementara saya saat itu
530
Kadis P dan K. Sekitar tahun 1972, dia minta kepada saya agar dapat melanjutkan sekolah ke Pekanbaru. Melalui seleksi yang ketat di antara sebelas guru, akhirnya Ismail Kadir bersama Wan Izhar (mantan Wakil Walikota Tanjungpinang/kini sudah almarhum) terpilih untuk melanjutkan sekolah guru ke Universitas Riau (Unri). Memang, di antara guru-guru, Ismail Kadir yang paling gigih mendesak saya agar dia direkomendasikan untuk ke Pekanbaru. Apalagi saya lihat dia memang gigih dan memiliki minat yang paling tinggi. Namun sekitar enam bulan berada di Pekanbaru, Kadir balik ke Tanjungpinang. Kata dia, dia tak sanggup. Sedangkan Wan Izhar masih terus melanjutkan studinya. Saat saya tanyakan, kenapa kamu tak sanggup? Kadir menjawab, pikirannya tidak bisa konsentrasi, apalagi istri dan keluarganya ditinggalkan di Tanjungpinang. Kendati saya kecewa, Kadir saya suruh untuk mengajar di SD 09, seperti biasa. Sekitar tahun 1973, yang saya ketahui Kadir telah menjadi wartawan. Entah wartawan apa saat itu. Tapi dia banyak menyorot tentang kebobrokan Dinas P dan K dan dunia pendidikan. Kembali saya kecewa dengan Kadir. Pernah dia saya panggil dan saya peringati, ‘’Dir! Kamu mau tetap jadi guru atau pilih saja wartawan.’’ Kadir saat itu tidak menjawab, hanya berkata, ‘’Lihatlihat dulu, Pak.’’ Setelah kejadian itu, Kadir makin suka menulis. Saya tahu Kadir orangnya keras dan kritis. Saya pun sebenarnya tak tersinggung jika dia membantai P dan K. Tapi yang saya kecewa, jika dia menulis atau memberitakan Dinas
531
P dan K tak pernah memberitahukan dulu kepada saya. Kalau dia memberitahukan dulu, saya pasti bisa menjawab apa yang menjadi sorotan Kadir. Pernah suatu kali, akibat pemberitaan itu, saya dipanggil oleh Sekda, Johan Syarifuddin. Beritanya saat itu menyorot adanya pungutan uang dalam pengangkatan guru baru. Akibatnya saya pun dipanggil dan diusut. Pak Johan menanyakan kepada saya kebenaran berita tersebut. Saya jawab, “Itu memang benar, Pak. Saya memang memungut biaya. Tapi gunanya untuk administrasi dan pembelian blanko bagi guru baru. Kalau tidak dari mana saya mendapatkan dana untuk itu. Apalagi pemungutan biaya dilakukan setelah adanya pengangkatan. Apa saya salah, Pak?’’ Akhirnya Pak Sekda berujar, ‘’Pak Dullah tak salah, saya sendiri untuk kenaikan pangkat harus pakai uang.’’ Kadir saya panggil lagi dan saya jelaskan mengenai pemberitaan yang telah dibuatnya. Saya tidak memarahinya, saya ingin Kadir pun mengerti. Sebenarnya saya suka dengan gaya Kadir. Karena ada juga gunanya. Di antaranya sebagai salah satu alat kontrol bagi saya. Apalagi bila anak buah yang berbuat, nanti saya yang kena getahnya. Karena kesibukannya di dunia seniman, saya mendapat laporan bahwa Kadir kurang disiplin. Kadang dia masuk mengajar, terkadang dia tidak masuk. Kadir pun kembali saya panggil. Dia saya hadapkan kepada dua pilihan. Apakah dia masih mau menjadi guru dan disiplin dalam mengajar atau keluar dan memilih untuk menjadi wartawan saja. Ternyata Kadir telah menyiapkan jawa-
532
bannya. Dia memilih keluar dari guru. Saya sedih dan kecewa. Saya mengharapkan dia untuk menjadi guru yang baik. Dia mengajar kelas enam dan dalam mengajar dia termasuk guru yang baik. Kalau tidak, mana mungkin dia yang saya prioritaskan untuk melanjutkan sekolah guru ke Pekanbaru. Tapi biarlah dia sudah memilih. Mungkin guru bukan jalan hidupnya. Setelah berhenti dari guru, sekitar tahun 1977, dia tidak pernah lagi menulis atau memberitakan tentang Dinas P dan K. Yang saya ketahui dia telah menjadi wartawan TEMPO. Mungkin berita Dinas P dan K tidak lagi menarik baginya. Tidak ada terlintas dalam pikiran saya bahwa Kadir itu akan berhasil seperti sekarang ini. Maklum saja pendidikan dia hanya tamatan KPG. Tidak pula di bidang guru, dan nekat pula pindah jadi wartawan. Sekarang baru saya tahu, ternyata pilihan Kadir saat itu sangat tepat karena dunianya adalah dunia wartawan. Terakhir saya bertemu dengan Kadir, pertengahan 1999, di kedai kopi Tanjungpinang. Saya hanya kebetulan lewat di depan kedai kopi tersebut, Kadir berlari mengejar saya. ‘’Pak, apa kabar? Datanglah ke Pekanbaru,’’ Kadir pun menyelipkan uang ke saku saya, sambil berkata, ‘’Untuk beli rokok, Pak.’’ Saya tidak bisa berkata apa-apa. Apalagi Kadir kembali memberikan kartu nama kepada saya, sambil berkata lagi, ‘’Kalau perlu sesuatu, Bapak hubungi saya ke nomor ini ya.” Setelah itu kami tidak pernah lagi bertemu. ***
533
534
PENUTUP
Membaca Tempuling Memahami Rida Maman S Mahayana Dosen Tamu Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea
P
uisi ibarat sebentuk makhluk ajaib yang bisa melar dan mengkerut, ketika ia memasuki medan tafsir. Begitu elastis dan kenyal.Ketika melar, teks puisi yang ringkas padat, bisa dicantelkan ke mana-mana; asosiasi pembaca diajak merayap dan menjalar menelusuri kata lain dengan pemaknaannya yang selalu diperbaharui. Tafsir baru bisa menghasilkan makna baru. Begitu seterusnya. Di pihak lain, teks puisi bisa mengkerut menjadi sesuatu yang kenyal-padat, bahkan juga mengkristal ketika kata tertentu laksana mewakili makna tertentu yang di belakangnya ada serangkaian peristiwa yang disembunyikan. Tidak jarang pula, puisi membuat pembacanya pusing tujuh keliling manakala ia gagal memahami teks puisi. Puisi-puisi yang memamerkan logika jumpalitan adalah satu contoh.Ada pula penyair yang sengaja menyelimuti pesannya dalam lemari besi, sehingga maknanya hanya dapat diketahui oleh Tuhan dan diri
535
Bersama Maman S Mahayana dalam acara Konvensi Mewujudkan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Resmi Perserikatan Bangsa-bangsa Sempena Festival Budaya Melayu Dunia, di Arya Duta Hotel Pekanbaru, 05 Desember 2007, Aku (pakai topi Vet) dalam Korea-ASEAN Poetry Festival di Seoul, Korea Selatan, 2010
536
penyairnya sendiri. Meski begitu, pembaca toh tetap saja seolaholah merasa memperoleh kenikmatan ketika rasa estetik tersentuh (aesthetic contact). Di belahan yang lain, puisi menjadi sesuatu yang seolah-olah mewakili perasaan banyak orang, ketika ada deretan kata atau larik-larik dalam puisi dianggap dapat menyalurkan suara hati atau ekspresi yang pas-tepat. Beberapa larik dalam puisi Chairil Anwar, seperti aku mau hidup seribu tahun lagi, sekali berarti setelah itu mati, atau cintaku jauh di pulau, misalnya, kini menjadi begitu popular di kalangan masyarakat. Belakangan ini juga, kalangan remaja dan anak-anak muda, tak ragu-ragu lagi melontarkan ungkapan: aku ingin mencintaimu dengan sederhana ‌ yang dikutip dari puisi Sapardi Djoko Damono. Tentu saja kita masih dapat menderetkan ungkapan lain dari puisi lain karya para penyair kita yang lain. Hakikatnya sama: selalu ada misteri di balik deretan kata dalam puisi. *** Entah kapan saya pertama kali membacai puisi “Tempulingâ€? karya Rida K Liamsi. Tetapi, seperti yang hampir selalu terjadi pada puisi yang sebenar-benarnya puisi, kerap kali ada semacam panggilan untuk membaca dan membacanya kembali. Dan selalu lagi, ada sesuatu yang entah, sebuah misteri yang aneh, muncul dan memanggil asosiasi kita untuk masuk dan menukik lebih dalam. Selepas itu, realitas sosial selalu menjadi pengganggu dan panggilan itu pun melayang-layang saja; bergentayangan atau terkadang menclok tiba-tiba, lalu terbang lagi lantaran perkara-perkara lain memaksa menyimpannya dahulu dalam folder memori. Lalu, makhluk puisi yang berjudul “Tempulingâ€? itu pun, seperti lesap begitu saja lantaran tangan mengklik file lain dari
537
folder yang lain. Sebagaimana yang sering kali terjadi dalam perkenalan dengan para penulis, di dalamnya tentu saja termasuk penyair, karya itu, puisi itu yang mengantarkan saya mengenal penyairnya. Begitulah perkenalan saya dengan penyair Rida K Liamsi. Dalam deretan penyair Indonesia, kemunculan Rida K Liamsi beriringan dengan terjadinya kemeriahan kesusastraan Indonesia ketika itu. Karya sulungnya, Ode X (1971) adalah kiprah awalnya sebagai penyair di antara nama-nama penting seperti –sekedar menyebut beberapa—Idrus Tintin, Ibrahim Sattah, Ediruslan Pe Amanriza atau Soetardji Calzoum Bachri. Lalu, ketika peta kepenyairan di Pekanbaru makin semarak lewat pelibatan Taufik Ikram Jamil, Kazzaini KS, Fakhrunnas MA Jabbar, Machzumi Dawood atau Dasri al Mubary, kiprah kepenyairan Rida K Liamsi seperti surut ke belakang lantaran kesibukannya sebagai wartawan. Lalu, cukup lama namanya senyap. Tiba-tiba, tahun 2006, Rida K Liamsi tampil di Taman Ismail Marzuki dalam pentas tunggal sejumlah puisinya. Beberapa puisi yang dibacakannya, terhimpun pula dalam antologi puisi Tempuling (2002). Itulah kali pertama saya mendengar kata tempuling, sebuah kata yang terkesan kampungan, yang mengingatkan pada makanan tradisional, dadar guling. Tempuling, makhluk apakah gerangan? Meski terlalu banyak kosakata Melayu yang tak tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, untunglah kata tempuling tak diluputkan. Disebutkan di sana, tempuling adalah tombak pendek untuk menangkap ikan besar; menempulingi bermakna menangkap ikan dengan tempuling (hlm. 1169). Keterangan itu pula yang saya sampaikan ketika cerpenis gaek Hamsad Rangkuti—yang menjadi juri lomba baca puisi karya Rida K Liamsi di Taman Mini
538
Indonesia Indah, 28 Agustus 2008—bertanya tentang makna kata tempuling. Secara harafiah, ada pemahaman tentang kata itu.Tetapi secara filosofi, maknanya masih kerap bergentayangan, mengganggu pikiran, menggelisahkan batin. Penelusuran pada makna filosofis itu laksana memanggil-manggil, menjadi semacam gugatan alam bawah sadar. Persahabatan dengan sejumlah sastrawan dan budayawan Melayu, membuka jalan bagi pemahaman yang lebih luas dan menukik tentang makna kata itu. Tetapi, kembali, makhluk puisi yang bertajuk “Tempuling� itu laksana melekat tak hendak lepas, meski pandangan tentang dunia Melayu, bagi saya seolah-olah begitu dekat, dan sekaligus terasa berada nun jauh di sana; di sebuah dunia yang begitu akrab dan entah mengapa, senantiasa asing. Tarik-menarik antara perasaan akrab dan seolah-olah begitu dekat dengan dunia Melayu seketika itu juga memberi penyadaran, bahwa sesungguhnya saya masih mualaf tentang dunia Melayu. Ada banyak kisah yang tetap berada nun jauh di sana. Lalu, situasi itu seperti memperoleh pembenaran ketika saya menikmati novel Rida K Liamsi, yang berjudul Bulang Cahaya (2007), sebuah yang novel dramatik yang memberi kisah lain lagi tentang dunia Melayu. Sebuah kisah cinta yang unik, memukau, dan sangat Melayu. Percintaan Raja Djaafar dan Tengku Buntat dalam Bulang Cahaya, tidak diselesaikan dengan kematian, melainkan berakhir pada peristiwa sejarah yang menandai terbelahnya kerajaan Melayu sebagai dampak Traktat London, 1824. Di sana, dalam novel itu, kekuasaan yang direpresentasikan atas nama Raja dan Penguasa, reputasi dan keagungan puak, kekayaan dan martabat keluarga, ternyata tidak dapat begitu saja berhasil membenamkan perasaan cinta ketika cinta itu sendiri menyatu dengan ruh dan
539
hanya kematian yang dapat memisahkannya. Kembali, makhluk ajaib yang bernama puisi bertajuk “Tempuling� itu seperti dicancel lantaran tangan mengklik file lain. *** Pada akhir Agustus 2009, saya mendapat tugas mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Saya menyadari, di sana, sumber kesusastraan Indonesia amat sangat terlalu sedikit. Maka, sebagian besar barang yang saya bawa ke Seoul, tidak lain adalah setumpuk buku. Sebuah (antologi) puisi berjudul Tempuling, terselip di dalamnya. Lalu, selepas berulang kali berjumpa dengan penyairnya dan saya berkesempatan membongkarbongkar file lama tentang puisi ajaib yang misterius itu, kinilah saatnya saya merasa tak terganggu lagi untuk coba memeriksanya lebih lanjut. Mari kita mulai! *** TEMPULING Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai sehabis badai Seorang bocah menemukannya sehabis sekolah Tuhan Siapa lagi yang kini telah menyerah? Tak terlihat tanda-tanda Tak tercium anyir nasib Tak tercatat luka musim Kecuali tangis ombak Pekik elang Yang jauh dan ngilu Diantara cuaca
540
Dan gemuruh karang Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai sehabis badai Seorang bocah menatapnya penuh gelisah : Tuhan Diakah kini yang telah menyerah? telah kalah? : Tuhan Dia memang telah berbisik Pindahkan pancang sebelum pasang Hatiku memang telah terusik ketika sehelai waru gugur lesap lewat tingkap tersuruk di antara tungku menunggu gelap Sebatang tempuling tersadai digigi pantai sehabis badai Seorang bocah merasakan pelupuk raya telah basah : Tuhan Bawalah seorang menemukannya menguburkannya diantara pantai memberikannya satu tanda dan jangan biarkan arus
541
membawanya jauh ke lubuk dalam yang akupun tak tahu di mana akan kutuliskan rinduku. Dari persajakannya, puisi ini dimulai dengan permainan rima dalam larik: Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/sehabis badai// Di sini, kita menemukan persamaan bunyi yang mengesankan sesuatu telah sampai dan terkulai: tersadai/pantai/badai. Ada metafora kekalahan dan keberakhiran. Tetapi, ada pertanyaan lain yang segera muncul: mengapa tempuling itu tersadai dan tidak terkulai atau tergeletak tak berdaya, mengapa pula penyair memakai kata gigi, dan tidak gigir atau pinggir atau pasir yang secara semantik lebih tepat mewakili makna referensialnya. Mengapa pula tidak memakai bibir pantai yang sudah sangat lazim bertebaran dalam banyak puisi para penyair kita? Tergeletak mengisyaratkan sesuatu yang tercampakkan dalam kondisi pasif, seperti tanpa perlawanan; dan terkulai mengisyaratkan pudarnya semangat, kalah, dan pasrah menunggu akhir, menanti segalanya selesai sudah. Ini berbeda dengan sesuatu yang tersadai. Ia tidak dalam keadaan terbaring atau terlentang. Tersadai menunjukkan sesuatu itu tidak tergeletak, tidak tercampakkan begitu saja, juga tidak dalam keadaan terbaring atau terlentang sempurna. Ia tidak pasif, lantaran ada kesan hendak berdiri lagi, atau setidak-tidaknya, ada bagian lain yang (sedikit) berdiri. Di sini, ada nuansa makna (sedikit) tegak. Jadi, tempuling yang tersadai itu seperti masih menyimpan spirit, semangat perlawanan, kalah sesaat untuk tegak berdiri, menentang sampai menang. Dengan begitu, tempuling –tombak pendek—itu masih mungkin digunakan lagi (untuk menangkap ikan besar).
542
Tempuling, bagi nelayan (Melayu) dalam konteks menangkap ikan adalah simbol heroisme, setara badik (Bugis), clurit (Madura), rencong (Aceh), atau mandau (Dayak). Heroisme bagi nelayan adalah perjuangannya menangkap ikan. Seorang nelayan bisa saja memakai jala atau pancing, tetapi kedua benda penangkap ikan itu tidak mengisyaratkan sebuah perlawanan dari sang ikan. Pancing, masih mungkin. Tetapi, perlawanan ikan hanya sebatas perjuangan melepaskan diri dari sangkutan kail. Si pemancing tetap berada jauh dengan ikan. Tempuling, tidak hanya memaksa si nelayan menancapkan tombaknya pada ikan, baik dalam jarak dekat, maupun jauh, tetapi juga sebuah perjuangan mengikutilaju ikan berenang, kegesitan ikan menghindar, bahkan juga melakukan perlawanan langsung dengan si nelayan. Menancapkan tempuling pada ikan, juga memerlukan keahlian, keterampilan, dan ketepatan. Si nelayan harus memahami gerak dan kualitas ombak, juga harus mengetahui karakteristik ikan ketika sedang berselancar di permukaan atau arus bawah laut. Jadi, tempuling bukan sekadar tombak penangkap ikan. Di belakangnya ada kisah tentang kepiawaian si nelayan. Dengan demikian, tempuling laksana simbol bagi para nelayan yang sudah sangat berpengalaman. Senjata itu akan mengantarkannya jadi nelayan sejati:jawara! Ingat saja, bagaimana nelayan tua—dalam novel Lelaki Tua dan Laut—Ernst Hemingway, coba menunjukkan jati dirinya sebagai nelayan sejati dengan perjuangannya menangkap hiu raksasa. Bagi nelayan tua itu, usia dan kerapuhan boleh saja menggerogoti fisiknya. Tetapi, semangat pantang menyerah sebagai nelayan sejati, tidak dapat menguap begitu saja. Maka, dengan segala upaya, siang-malam dia coba menundukkan hiu raksasa, dan berhasil. Nelayan tua itu lalu membawanya pulang.Ia telah menunjukkan kualitasnya sebagai nelayan sejati, sebagai jawara. Meski hiu rak-
543
sasa yang dibawanya itu sudah tidak utuh lagi, masyarakat tetap menempatkan si nelayan tua itu sebagai pahlawan. Jadi, profesi nelayan pada hakikatnya tidak berbeda dengan profesi lain. Apresiasi masyarakat akandatang dengan sendirinya ketika seseorang menunjukkan prestasi atas profesinya itu. Begitulah, prestasi bagi nelayan adalah keberhasilannya membawa pulang ikan. Di balik itu, dalam proses menangkap ikan itu, ada kisah besar tentang penguasaan laut, keterampilan berenang dan menyelam, dan pengetahuannya tentang gerakan ombak dan badai. Dengan begitu, dua larik awal: sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/sehabisbadai// mengisyaratkan sebuah kisah besar tentang seorang nelayan yang kalah bukan oleh ikan, melainkan oleh kedahsyatan alam (badai). Tempuling menjadi isyarat, menjadi sebuah pewartaan tentang kesyahidan seorang nelayan. Ia mati syahid. Alam telah mengalahkannya. Tetapi, tempuling, simbol heroismenya, yang tersadai di gigi pantai bertindak menjadi pewarta kesyahidannya. Oleh karena itu, tempuling yang tersadai itu boleh jadi kelak akan digunakan lagi oleh generasi nelayan berikutnya. Jika pun tidak, tempuling itu tetap saja sebagai benda bersejarah bagi si nelayan. Maka, keluarga si nelayan dan masyarakatnyaakan menempatkan tempuling yang tersadai itu sebagai benda peninggalan yang di belakangnya ada kisah perjuangan, ada heroisme, dan ada cerita tentang seseorang yang mati syahid! Mengapa penyair menggunakan kata gigi dan bukan gigir atau pinggir atau pasir, atau bahkan bibir? Tentu pilihan kata gigi, sudah diperhitungkan betul. Di sinilah tugas pembaca menemukan makna di balik segala pilihan diksi yang digunakan penyair. Kata gigir, pinggir, apalagi pasir dan bibir adalah kata yang terlalu biasa, klise. Periksa saja sejumlah besar puisi penyair kita yang ber-
544
cerita tentang pantai dan laut, kata-kata itu, terutama pasir dan bibir (pantai), seperti sudah menjadi metafora yang basi. Maka, Rida K Liamsi, boleh jadi sengaja memakai kata gigi untuk mencampakkan metafora yang basi itu. Selain itu, perkaranya bukan cuma berhenti di situ. Pilihan kata gigi, punya pesan lain yang lebih filosofis. Secara tekstual, ada makna metaforis di dalamnya. Meski secara semantik, pemakaian kata gigi untuk pantai, tak lazim, penyair diizinkan memanfaatkan hak licentia poetica. Pilihan kata gigi dengan analogi mulut, secara metaforis mengisyaratkan sebuah mulut mahaluas yang bernama laut. Jadi, laut adalah mulut alam yang mahaluas, dan pinggiran pantai sebagai gigi yang bisa tak menyisakan apa-apa, atau bisa juga menyelipkan sisa makanan di antara deretan gigi. Tempuling yang tersadai adalah “serpihâ€? yang tersisa di antara deretan gigi itu.Dengan begitu, tempuling yang tersadai di gigi pantai mengesankan semacamsisa atau serpih muntahan mulut alam yang bernama laut. Dalam dua larik awal itu, penyair tampak sengaja menggunakan tipografi seperti di bawah ini.Tentu itu juga bukan tanpa alasan. Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai sehabis badai Pola tipografi yang tidak rata kiri itu, seperti hendak menunjukkan, bahwa sebelum keterangan‌. sehabis badai, ada kisah lain yang dahsyat, yaitu tentang seorang nelayan yang berjuang menyelamatkan diri dari keganasan ombak-badai –mulut alam— yang bernama laut. *** Mari kita coba menelusuri larik berikutnya: seorang bocah
545
menemukannya/sehabis sekolah. Kini, kita berjumpa dengan semacam paradoks: tempuling—tombak pendek yang (hanya) digunakan oleh nelayan sejati, nelayan yang sudah sangat berpengalaman dengan berbagai keterampilannya hidup di tengah laut, dihadapkan dengan seorang bocah—dan tidak anak-anak atau anak kecil—sehabis sekolah. Kembali, pola tipografi yang tidak rata kiri pada dua larik itu menunjukkan, bahwa sebelum sekolah, ada kisah lain yang menyertai si bocah. Bukankah para pelajar— anak-anak sekolah— pada umumnya biasa langsung pulang (ke rumah) selepas bubar sekolah. Mengapa si bocah ke pantai dan menemukan tempuling? Ada dua tafsir yang dapat kita terjemahkan atas dua larik itu. Pertama, sehabis sekolah, anak-anak nelayan terbiasa bermain di pantai atau laut, sebelum pulang ke rumah. Ini mengisyaratkan, bahwa laut, pantai dengan segala ombaknya, sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan mereka sejak masih bocah. Laut adalah sumber penghidupan, sekaligus juga sebagai lapangan tempat bermain mereka. Lihatlah anak-anak nelayan atau mereka yang menjadikan laut sebagai tempat bermain dan menghabiskan waktu luang.Lihatlah para bocah yang menjadikan dermaga Merak—Bakauheni atau Gilimanuk—Ketapang—Banyuwangi, sekadar menyebut beberapa pelabuhan, sebagai lapangan permainan mereka. Bagaimana mereka dengan mata telanjang bisa begitu piawai menangkap keping-keping uang logam yang dilemparkan para (calon) penumpang kapal. Keterampilan yang diperlihatkan para bocah itu tidaklah datang seketika, melainkan lewat proses panjang pengalaman mereka dalam bermain-main dengan laut. Laut adalah lapangan permainan mereka. Dengan demikian, pengetahuan mereka tentang laut tidak diperoleh berdasarkan teks buku di se-
546
kolah, melainkan berdasarkan pengalaman hidup. Mereka adalah anak-anak laut. Jika kelak mereka menjadi nelayan, mereka sudah mengenal dengan sangat baik karakteristik laut dengan segala macam keganasannya. Maka, jangan tanya mereka rasa air laut, sebab jawabnya tak akan berhenti pada satu kata: asin, melainkan berbagai jenis rasa asin dan air laut wilayah mana yang dicecap. Nah, si bocah,boleh jadimenemukan tempuling itu, sehabis bermain-main di laut. Sekolah sebagai tempat menuntut ilmu adalah dunia masa depan si bocah, tetapi laut juga sekolah alam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya. Jadi, frasa sehabis sekolahmengisyaratkan dua makna: dalam pengertian referensial dan sekaligus juga dalam pengertian metaforis. Kedua, larik-larik: Seorang bocah menemukannya/sehabis sekolah// dimaksudkan sebagai paradoks situasional. Dua larik awal:sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/ sehabisbadai// adalah realitas kehidupan (nelayan) yang menempatkan laut dengan segala keindahan dan keganasannya sebagai sekolah alam; dunia real yang sesungguhnya selalu menyimpan misteri tentang kehidupan dan kematian ketika seseorang pergi mengarunginya. Dua larik berikutnya, Seorang bocah menemukannya/sehabis sekolah// mewartakan dunia ideal kehidupan masa depan generasi baru. Sekolah adalah wadah segala idealisme tumbuh dan berkembang. (Seharusnya) tidak ada keganasan di sana. Sekolah adalah kehidupan yang tak menyimpan misteri kematian, karena segalanya berjalan tertib dan baik-baik saja. Begitulah, sehabis badai dan sehabis sekolah adalah repetisi yang hendak memberi tekanan pada sebuah paradoks tentang dunia real(badai) yang ganas—penuh misteri dan dunia ideal (sekolah) yang tertib dan baik-baik saja. Meskipun begitu, si bocah yang hidup dalam dunia ideal itu, juga tidak dapat menghindar
547
dari tarikan sekolah alam—laut—yang sudah menjadi bagian dari lapangan permainannya.Oleh karena itu, penemuannya tentang tempuling diyakini sebagai isyarat terjadinya tragedi bagi nelayan. Tempuling menjadi berita duka. Tuhan/Siapa lagi yang kini telah menyerah?tidak lain adalah kabar kematian. Maka, yang segera muncul adalah pertanyaan: siapa yang menjadi berita dan berita itu untuk siapa? Pertanyaan—siapa—sesungguhnya lebih merupakan gebalau kerisauan si bocah atau sesiapa pun. Sebab, bisa saja jawabannya: orang kampung seberang, si anu yang tinggal di situ, tetangga kita, paman, atau bahkan ayah! Jawaban terakhir itulah boleh jadi yang mengguncangkan si bocah, sebab ia sama sekali tidak menangkap isyarat apa pun yang bakal mengantarkan (sang ayah) pergi selamanya, sebagaimana dikatakan: Tak terlihat tanda-tanda/tak tercium anyirnasib/ tak tercatat luka musim// Jadi, pada mulanya, segala berjalan baik-baik saja, meski laut tetap saja menyimpan begitu banyak misteri. Ketiga larik itu, dapat pula kita tafsirkan sebagai pesan penyair hendak menegaskan, betapa dahsyat berita duka itu. Betapa terguncangnya perasaan si bocah—yang dalam peribahasa klise dikatakan: seperti petir di siang bolong. Dan tiba-tiba saja, tempuling ditemukan tersadai—sebuah berita kematian! Penyair menggambarkannya dengan metafora yang seolah-olah, alam pun tidak menghendaki peristiwa tragisitu terjadi: Kecuali tangis ombak/ Pekik elang/ Yang jauh dan ngilu/di antara cuaca/dan gemuruh karang//. Kembali kita menemukan adanya paradoks situasional pada kedua bait tadi. Jika bait sebelumnya mewartakan semuanya baik-baik saja, lantaran takada tanda-tanda atau isyarat apa pun: Tak terlihat tanda-tanda/tak tercium anyirnasib/ tak tercatat luka
548
musim// maka bait berikutnya:Kecuali tangis ombak/ Pekik elang/ Yang jauh dan ngilu/di antara cuaca/dan gemuruh karang// justru sesungguhnya menyampaikan isyarat-isyarat. Ombak, elang, cuaca, dan karang adalah warga laut yang sering kali dijadikan panduan bagi nelayan ketika (akan berangkat) berlayar. Lalu, mengapa pula tragedi itu masih terjadi juga?Itulah misteri laut. Maka penyebutan Tuhan di sana sebagai representasi dari rahasia Tuhan. Bukankah pengetahuan manusia tentang Tuhan bagai setitis air di samudera? Oleh karena itu, si bocah (atau penyair?) mengembalikan misteri laut itu pada Tuhan, sebagaimana dinyatakan pada bait berikutnya: Tuhan/Diakah kini yang telah menyerah?/telah kalah?/ Pada bagian ini, segera muncul pertanyaan: mengapa dia “menyerah”“kalah”? Meski bagi saya kata “menyerah” dan “kalah” kontradiksi dengan simbolisasi tempuling yang tersadai, pengulangan adverbia (kata keterangan) telah yang mengantarkan menyerah dan kalah (telah menyerah/telah kalah), punya makna lain yang berkaitan dengan pesan yang hendak disampaikan penyair. Bukankah penyair bisa saja menghilangkan adverbia (kata keterangan) itu, sehingga bunyinya lebih tegas dan padat: Diakah kini yang menyerah?/kalah?// Mengapa harus ada adverbia yang maknanya secara sintaksis tidak berbeda? Di sinilah uniknya puisi! Selalu, setiap kata perlu dicurigai menyimpan pesan. Maka penghadiran adverbia–telah— yang mengantarkan menyerah dan kalah itu, boleh jadi dimaksudkan sebagai penegas, sebagai tanda seru, sebagai eksplisitasi, bahwa dia sudah benar-benar tumbang, menyerah pada keganasan alam, kalah oleh takdir yang sudah digariskan Tuhan. Perhatikan lagi pilihan penyair pada kata gigi, dan tidak memakai kata gigir, pinggir, atau bibir. Tentu pilihan pada kata itu bukan perkara –
549
meminjam pernyataan Soetardji Calzoum Bachri—salah ketik. Dengan begitu, penghadiran adverbia itu pun dilakukan dengan kesengajaan untuk menegaskan, bahwa dia telah sempurna pergi selama-lamanya. Dia tidak akan kembali lagi sebagai pahlawan yang membawa pulang ikan dengan tempuling masih dalam genggamannya. Kini tempuling telah tersadai dan dia sempurna tidak bakal kembali lagi.Dia pulang ditelan alam. Oh, rupanya tanda-tanda tidak akan kembali itu sudah pula diisyaratkan sebelumnya. Ada semacam pesan terakhir atau wasiat. Pindahkan pancang/sebelum pasang//Apa pula maknanya pesan itu? Bagi saya, larik dengan persajakan yang indah itu, bukan sekadar permainan bunyi, tetapi juga menyimpan pesan filosofis yang seperti merepresentasikan karakteristik dunia Melayu. Seperti cogan: “Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang,� dua larik itu, Pindahkan pancang/sebelum pasang// juga dapat diperlakukan sebagai cogan, bahwa menghadapi segala apa pun dalam kehidupan ini, diperlukan antisipasi, perencanaan, persiapan, kalkulasi, dan perhitungan matang, sebelum segalanya terlambat, sebelum datang penyesalan. Lalu, apa pula maknanya dalam konteks pesan puisi itu? Dia lirik (: para nelayan) rupanya punya kesadaran, bahwa laut, sumber penghidupan dan lapangan perjuangannya, bukanlah tempat yang ramah. Bahwa setiap keberangkatan pelayaran—menangkap ikan— selalu di belakangnya, tertinggal pertanyaan: akankah dia pulang membawa kemenangan atau seperti ditegaskan dua larik sebelumnya: menyerah/kalah! Dengan kesadaran itulah, setiap anggota keluarga nelayan, harus selalu siap menerima berita duka, melihat tempuling tersadai di gigi pantai. ***
550
Hatiku memang telah terusik ketika sehelai waru gugur lesap lewat tingkap tersuruk di antara tungku menunggu gelap Bait ini—dengan kemunculan aku lirik—seperti memberi jarak waktu antara peristiwa yang dihadapi si bocah ketika awal menerima berita kematian dan ketika teringat pada seseorang yang ditelan alam. Adanya keberjarakan antara aku lirik dan si bocah menunjukkan, bahwa penyair coba mempermainkan posisi pencerita.Si bocah berada pada posisi yang –terpaksa—harus menerima begitu saja pada sang nasib: kehilangan seseorang yang (mungkin) menjadi kebanggaan atau tonggak keluarga. Pilihan kata bocah dan tidak anak (kecil) atau anak-anak menunjukkan seseorang yang berada pada usia yang tidak perlu memikirkan apa pun, kecuali bermain. Dan tiba-tiba, ia melihat tempuling, sebuah berita kematian! Maka, segalanya bagi si bocah seperti kiamat untuk sebagian hidupnya, kiamat pula bagi masa depannya. Kini: Hatiku memang telah terusik// bagai kenangan masa itu yang datang lagi. Ia merasakannya seperti: daun waru yang jatuh, tersangkut di tingkap, lalu mengering dan jatuh lagi menunggu kembali menjadi tanah. Bait ini sungguh kuat menghadirkan citraan alam (daun) sebagai analogi sosok manusia yang tumbang, menunggu segalanya tumpas sempurna. Perhatikan juga pola persajakannya yang cantik dengan perhatian pada persamaan bunyi: waru—gugur, lesap—lewat—tingkap, tersuruk—tungku— menunggu, di antara—gelap.Penyair tampaknya sadar betul pada
551
kekuatan persajakan, sebagaimana yang terdapat pada pantun atau syair. Tetapi, kekuatan persajakan tanpa metafora, tak cukup kuat mendukung pesan tematik. Di situlah kesadaran penyair membangun citraan alam berhasil menghidupkan saklar asosiasi kita untuk membayangkan daun jatuh sebagai analogi kematian seseorang. *** Berbeda dengan kisah bocah yang terdapat pada bait-bait awal, kini si bocah (masa lalu) itu, berada dalam ingatan aku lirik. Ada semacam garis kenangan yang menghubungkan peristiwa dulu yang dialami si bocah dengan aku lirik yang masih menyimpan peristiwa itu sebagai catatan perjalanan hidupnya yang tidak mudah punah. Maka, yang diingatnya dulu, bukan hanya si bocah yang menangis, melainkan juga alam raya yang ikut merasakan kedukaan itu. Sebuah tragedi individual yang sebenarnya berlaku bagi masyarakat nelayan, bahkan juga universal. Bukankah siapa pun akan mengalami kedukaan yang dahsyat ketika seseorang yang menjadi tonggak keluarga, tiba-tiba harus pergi selamanya. Dan lebih tragis lagi ketika jasadnya tidak diketahui entah berada di mana. Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai sehabis badai Seorang bocah merasakan pelupuk raya telah basah Kini segalanya sudah terjadi. Biarlah peristiwa itu tetap sebagai kenangan masa lalu, meski selalu dan selalu ia hadir kembali. Jadi, tidak perlu pula memelihara penyesalan. Jika pun masih tersisa harapan, cukup satu saja: jasadnya ditemukan, sehingga sang mendiang dapat dikuburkan sebagai tanda, telah berpulang
552
nelayan sejati! Dan tempuling akan menjadi saksi bicara tentang totalitas hidup di tengah laut, tentang kepahlawanan seorang nelayan! Perhatikan larik-larik di bawah ini : Tuhan Bawalah seorang menemukannya menguburkannya di antara pantai memberikannya satu tanda dan jangan biarkan arus membawanya jauh ke lubuk dalam yang akupun tak tahu di mana akan kutuliskan rinduku. Bait akhir ini makin memperjelas hubungan si bocah dengan aku lirik. Di situ, melalui siasat penyair mempermainkan posisi pencerita, kita (: pembaca) dibawa pada sebuah pesan, bahwa si bocah masa lalu, kini menjelma menjadi aku lirik. Meski tak selalu identik aku lirik dengan penyair, setidak-tidaknya, penyair Rida K Liamsi ini, punya sejarah masa lalu yang berkaitan dengan tempuling: simbol kepahlawanan seorang nelayan. Jika pada tiga larik terakhir tertulis: yang aku pun tak tahu/di mana akan kutuliskan/rinduku//boleh jadi, puisi ini merupakan representasi gebalau perasaannya yang tak mudah luput dari rindu pada masa lalu. Dan puisi “Tempuling� telah memancarkan mukjizatnya! *** Tafsir puisi “Tempuling� ini, boleh jadi di sana-sini terjadi semacam intentional fallacy. Meski begitu, hal tersebut tetap sah sejauh ada argumen yang melandasinya. Di situlah sesungguhnya mukjizat puisi yang sebaik-baik dan sebenar-benarnya puisi. Ia
553
menyimpan begitu banyak misteri yang selalu membawa pembaca pada kisah besar di luar teks. Puisi “Tempuling” adalah kisah kepahlawanan nelayan, dan Rida K Liamsi telah merefleksikannya dalam larik-larik pendek, kemas, padat, dengan permainan persajakan dan metafora yang cerdas, dengan kualitas diksi yang tak basi. “Tempuling” sebagai pengalaman individual penyair, telah menjelma menjadi kisah besar tentang kepahlawanan nelayan sejati. Maka, puisi “Tempuling” makin meneguhkan keyakinan saya, bahwa penyair (: sastrawan) adalah juru bicara kebudayaan yang melahirkan dan membesarkannya. Semoga begitu! Seoul, 17 September 2012
***
554
LAMPIRAN KETERANGAN FOTO
555
Keterangan Foto: .......................................................................... Halaman 68. Rusli Zainal (kanan), Herman Abdullah (kiri) dan Saleh Djasit (pakai peci di tengah) dalam acara peluncuran buku novelku “Bulang Cahaya”. ............................................................................332 69. Di kedai kopi Suka Ria Tanjungpinang bersama Soetardji Calzoum Bachri (dua dari kiri), Machzumi Dawood (paling kiri) dan Sofyan Tanjung (paling kanan). Kanan : Perusahaan Pelayaran “Ayodiya” Bawah: Pelantar 1 Tanjungpinang.................................................486 70. Dalam balutan pakaian tradisional bangsawan China ......... 534 71. Bersama Maman S Mahayana dalam acara Konvensi Mewujudkan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Resmi Perserikatan Bangsa-bangsa, di Arya Duta Hotel Pekanbaru, 05 Desember 2007, ....................536 72. Aku (pakai topi vet) dalam Korea-ASEAN Poetry Festival di Seoul, Korea Selatan, 2010, .......................................................................536
***
556
557
SEBUAH otobiografi adalah sebuah tafsir tentang diri sendiri yang dikemukakan ke khalayak ramai. Tafsir selalu mengundang tafsir baru -- dan terkadang ada benturan. Maka seorang penulis otobiografi, seperti Rida K. Liamsi, adalah seorang yang berani mengantisipasi respons itu, juga bila perlu, benturan itu. Rida layak untuk berani. Dia seorang penulis yang bagus -tak semua penyair menulis prosa yang bagus -- dan dia punya pengalaman yang tebal dalam dunia bisnis pers, di mana keberanian adalah modal paling dasar. Dan kelebihan lain, seperti ditunjukkan dalam buku ini: Rida tidak berangkat dari hidup yang mapan. Juga jalan hidup yang tidak seperti seruas jalan tol. GOENAWAN MOHAMAD SEMANGAT untuk terus bersaing, dan tidak kunjung pa dam, mungkin justru itulah yang membuat saudara Rida awet muda! Semua itu sebenarnya juga bisa dibaca dari puisi-puisinya seperti yang tecermin dalam buku kumpulan puisinya: Tempuling. Di situ pergulatan demi pergulatan, tantangan demi tantangan terus mengarus deras. Saudara Rida memang seorang seniman. Tapi dia juga seorang manajer yang andal. Kemampuannya berkesenian dan kemampuannya di bidang manajemen bisa tidak saling meniadakan. Ini tergolong langka. Tidak banyak seniman yang sekaligus punya kemampuan manajerial yang andal. Untuk yang begini, saya selalu mengambil contoh Goenawan Mohamad. Dia seorang seniman besar. Tapi kemampuan manajerialnya juga sangat tangguh. DAHLAN ISKAN DIA bangga menjadi orang Melayu, dan itulah tanggung jawab moral yang tidak akan pernah selesai dari dirinya. Rida juga tidak pernah jenuh untuk membantu dan memotivasi generasi muda di tanah Melayu ini, bahkan orang yang sezaman dengan dirinya sendiri. DR H TENAS EFFENDY
Sagang Komplek Gedung Riau Pos Jln HR Soebrantas, KM 10.5 Panam, Pekanbaru, Riau
558