RIDA AWARD 2013

Page 1


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Duanu yang Terancam Punah Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Rida Award 2013

1


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Duanu yang Terancam Punah (Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013) Editor: MUHAMMAD AMIN Perancang Sampul: DESRIMAN ZAHMI Perancang Isi: SUPRI ISMADI DITERBITKAN PERTAMA KALI OLEH: Yayasan Sagang Pekanbaru Gedung Riau Pos, Jl. Soebrantas KM 10,5 Panam, Pekanbaru, Riau Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip sebagian atau keseluruhan isi atau memperbanyak sebagian atau keseluruhan tanpa izin dari penulis. KEPUSTAKAAN N ASIONAL: Katalog Daam Terbitan (KTD) Duanu yang Terancam Punah, Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013 Pekanbaru, Yayasan Sagang, 2013 ISBN.... Cetakan Pertama, Oktober 2013

2


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Semangat Jurnalisme Sastrawi dan Ruh Media Cetak DUNIA kepenulisan selalu diwarnai dua hal, karya instan atau tergesa-gesa dan karya yang penuh keseriusan. Dalam hal fiksi, misalnya, ada yang disebut dengan karya berbentuk novel tidak serius semacam teenlit, chicklit atau metropop. Novel-novel tak serius ini biasanya habis dibaca dalam sekali duduk dan tidak menimbulkan kesan apa-apa bagi pembaca. Cukup untuk menguras emosi sesaat berupa tawa, senyum, geram, atau tangis, tapi segera dilupakan setelahnya. Novel serius punya dimensi yang berbeda. Inilah yang disebut novel sastra. Novel-novel legendaris semacam Siti Nurbaya, Ronggeng Dukuh Paruk, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, atau Bumi Manusia adalah beberapa contoh novel yang terus dikenang karena memang dikerjakan dengan serius, mendalam dan tidak untuk jangka pendek. Dalam jurnalistik, terdapat juga karya-karya yang dikerjakan tergesa-gesa bahkan instan. Namun demikian, tak sedikit juga karya yang lahir dengan sentuhan sastrawi dan penuh keseriusan. Ada wartawan yang hanya pernah menulis straight news, berita yang tuntas dibaca sekali duduk, dan tidak pernah mengembangkan ide-ide yang tersembunyi di balik peristiwa itu. Bahkan tak sedikit wartawan yang hanya menyodorkan tape recorder, tanpa tahu isu penting di balik hasil wawancaranya. Yang lebih parah adalah wartawan yang hobi melakukan copy-paste, dan membawa hasil kerja instannya itu ke meja redaksinya. Kondisi ini tentu saja berbeda dengan wartawan yang mengembangkan tulisan reportasenya dengan liputan yang mendalam. Jurnalis

i


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

seperti ini tak akan puas dengan hanya wawancara sekilas dengan narasumber. Dia akan mencari sumber lain untuk dijadikan perbandingan menuju fakta-fakta yang lebih akurat. Liputannya juga bukan liputan yang sekilas, tapi mendalam, panjang, dan penuh makna. Ada nuansa baru bagi pembaca ketika usai membaca beritanya. Nilai-nilai inspiratif, perubahan cara pandang tentang suatu objek, bahkan perubahan paradigma tentang manusia, alam, bahkan hukum menjadi hal yang lazim disarikan dari liputan mendalam ini. Liputan yang sangat fenomenal misalnya sempat dilakukan wartawan lepas, Bondan Winarno soal skandal emas Busang. Bondan sampai menjelajah ke Calgary dan Toronto di Kanada, Manila di Filipina serta hutan rimba Busang di Kalimantan untuk menelusuri jejak liputannya. Karyanya yang panjang akhirnya dimuat dalam bentuk sebuah buku, tak lagi sekadar Koran atau majalah. Selain mencari narasumber, dia juga menelusuri berbagai dokumen tentang pertambangan mineral. Dia pun mencari tahu bagaimana penipuan tentang emas di Busang tengah berlangsung. Bondan berasumsi Michael de Guzman, geolog senior Bre-X, telah merekayasa sampel hasil pemboran emasnya. Bahkan, dia tak percaya dengan asumsi banyak orang dan berita yang beredar luas, bahwa de Gusman telah tewas karena bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari heli kopter. Dia memiliki bukti dan mewawancarai dua dokter yang melakukan autopsi terhadap jenazah dan menemukan mayat itu tak memiliki gigi palsu di rahang atasnya seperti halnya de Guzman. Dia pun mewawancarai satu dari empat istri de Guzman untuk mengetahui persis ciri-ciri khusus de Guzman. Karya Bondan Winarno ini menjadi salah satu contoh bahwa liputan mendalam tenyata dapat membuka mata

ii


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

publik tentang apa yang tersembunyi. Apa yang dilakukan Bondan tentu saja bukan sekadar liputan mendalam, tapi sudah mengarah pada liputan investigatif. Banyak sekali liputan investigatif yang ternyata mengungkap hal-hal yang tersembunyi menjadi nyata. Harian Indonesia Raya, misalnya, pernah menguak kasus korupsi di Pertamina dan Badan Logistik antara 1969 dan 1972. Harian itu melaporkan dugaan korupsi besar-besaran di Pertamina dengan memanfaatkan sumber-sumber anonim dari dalam perusahaan negara tersebut. Kendati dibantah, beberapa tahun kemudian liputan ini terbukti benar. Dalam skala internasional, Washington Post berhasil menguak kasus water gate yang melibatkan Presiden AS Richard Nixon. Skandal Gedung Putih yang terjadi pada Juni 1972 ini akhirnya menjatuhkan Nixon dari kekuasaannya. Tulisan-tulisan yang hadir ke hadapan pembaca seperti yang ditampilkan Bondan, Indonesia Raya atau Washington Post itu tentu saja dilakukan dengan serius, bahkan sangat serius. Tak sekadar liputan berkedalaman, melainkan mencapai tingkatan investigatif, yang dilakukan dengan verifikasi berkali-kali, untuk mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi, bahkan tak tersirat sekali pun di benak mayoritas publik. Perlukah wartawan menulis liputan investigatif? Jawabannya perlu. Begitu pentingnya liputan investigatif ini dilakukan, atau diketahui wartawan, bahkan dalam uji kompetensi wartawan (UKW) yang dilaksanakan Dewan Pers, pemahaman tentang liputan investigatif menjadi satu bagian penting yang tak terpisahkan dari rangkaian ujian. Satu bagian saja dari rangkaian ujian ini tak lulus, maka semuanya dinyatakan tak lulus. Artinya, setiap wartawan Indonesia, paling tidak memahami, atau mampu melakukan liputan investigatif.

iii


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Liputan-liputan mendalam (in depth reporting) tak hanya dikaiteratkan dengan liputan investigatif yang berada dalam strata tertingginya. Liputan mendalam juga dikaitkan dengan liputan atau jurnalisme sastrawi. Jurnalisme sastrawi merupakan satu dari setidaknya tiga nama buat genre tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat. Dalam konteks ini, reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolfe, wartawan-cumnovelis, pada 1960-an memerkenalkan genre ini dengan nama “new journalism” (jurnalisme baru). Pada 1973 Wolfe dan EW Johnson menyebutkan bahwa genre ini (jurnalisme baru) berbeda dari reportase sehari-hari, karena dalam bertutur ia menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person poin of view), serta penuh dengan detail. Dalam jurnalisme ini, wawancara bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan lebih sering ratusan, narasumber. Risetnya tidak main-main. Waktu bekerjanya juga tidak sepekan dua pekan, tapi memungkinkan dan bisa berbulan-bulan. Ceritanya juga kebanyakan tentang orang biasa. Bukan orang terkenal. Dengan demikian, nuansanya pun lebih dekat dengan masyarakat banyak. Tak hanya satu istilah yang digunakan dalam konsep ini. Ada yang menggunakan istilah “narrarive reporting”, “passionate journalism”, explorative journalism” atau istilah lain. Soal nama, bisa digunakan apa saja. Tapi yang jelas, genre penulisan ini menggunakan penekanan pada liputan yang menukik sangat dalam, lazim juga disebut in-depth reporting. Reporter tak cukup menyampaikan kepada pembaca bahwa seseorang (who) sedang melakukan apa (what), mengapa dia lakukan itu (why), di mana (where), kapan

iv


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

(when) dan bagaimana (how) dia melakukan itu. Penulis indepth news harus masuk ke dalam psikologi narasumber, untuk mencari jawaban, mengapa dia melakukan beberapa tindakan yang tidak seharusnya, irrasional, bahkan mustahil dilakukan orang kebanyakan. Seorang penulis jurnalisme sastrawi tak sekadar harus mampu mengidentifikasi who sebagai siapa, tapi juga menerangkan karakter tokoh-tokoh narasumbernya dengan akurat, rinci dan kuat. What tidak saja disampaikan tentang apa yang dilakukan narasumber itu, tapi menukik jadi sebuah alur atau plot dalam sebuah cerita yang runtut. Where tak hanya dijadikan sebagai lokasi atau tempat wawancara, atau tempat kejadian perkara, tapi merupakan sebuah setting, lengkap dengan semua back ground, bak panggung teater yang penuh narasi. When tak hanya menjadi waktu yang menunjukkan hari, tanggal atau jam, melainkan sebuah kronologi yang bisa digambarkan sangat runut. Why tak cukup hanya sekadar mengapa dalam arti singkat, namun harus menjadi motif yang bisa liar dan tidak sederhana. Begitu juga how tak hanya sekadar bagaimana secara sederhana, tapi dikembangkan menjadi sebuah narasi yang lengkap. Tentu saja di sana ada emosi, hasrat, harapan, dan berbagai karakter dari narasumber yang diungkap secara jelas, rinci, naratif dan argumentatif. Ada drama yang diciptakan, ada adegan, konflik, dengan laporan yang utuh, ibarat karya sastra, sebuah novel. Tapi ini adalah novel yang nyata, novelisasi kehidupan narasumber. Inilah semangat jurnalisme sastrawi. Inilah salah satu semangat yang diusung dalam liputan mendalam. Mengapa liputan mendalam perlu? Liputan mendalam perlu dikembangkan karena inilah yang saat ini menjadi ruh media cetak. Berulang kali, pencetus Rida Award, yang juga Chairman Riau Pos Group Rida K Liamsi mengungkapkan pentingnya mempertahankan ruh media cetak ini dengan

v


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

liputan-liputan serius dan mendalam. Rida Award yang menjadi pemacu dalam liputan-liputan mendalam ini merupakan pengejewantahan dari niat untuk terus mempertahankan ruh media cetak itu. Sebab tanpa ruh, media cetak perlahan-lahan akan ditinggalkan pembaca. Untuk saat ini, pembaca masih suka membaca tulisan yang memiliki nilai dan kedalaman dari pada straight news. Jika ruh media cetak itu sudah tak ada, tentu media itu akan ditinggalkan. Media cetak akan jauh tertinggal dari media online yang memaparkan fakta dan data hanya beberapa menit setelah peristiwa terjadi. Televisi bahkan menyuguhkan langsung semua peristiwa, lengkap dengan gambarnya di saat itu juga. Jika ruh media cetak sudah tak ada, dan kenikmatan membaca karya-karya berkualitas tak lagi bisa didapat, maka masyarakat tentu tak akan lagi melirik media cetak. Inilah pentingnya mempertahankan ruh media cetak itu. Karya-karya jurnalistik Rida Award 2013 ini tentunya berasal dari liputan mendalam, dengan kerja keras dan segenap potensi para penulisnya. Chairman RPG Rida K Liamsi selalu menyebutnya sebagai liputan yang “berpeluh�, yang dilakukan tidak dengan mudah. Beberapa karya merupakan feature dengan nuansa sastrawi yang sangat memikat. Karya lainnya memiliki kedalaman, dan ada juga yang memiliki nilai investigasi dengan mengungkap berbagai modus yang mencengangkan. Ada tiga kategori dalam karya jurnalistik Rida Award 2013 ini, yakni karya tulis jurnalistik jenis feature, karya tulis jurnalistik in-depth reporting/ investigasi dan karya foto jurnalistik. Dua kategori pertama sudah dimulai sejak tahun lalu dan terus dipertahankan hingga tahun ini. Pada tahun-tahun sebelumnya, Rida Award untuk kategori karya tulis jurnalistik hanya ada satu kategori saja.

vi


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Kumpulan tulisan Rida Award 2013 ini dibukukan, tentu saja untuk terus mendokumentasikan berbagai karya terbaik jurnalistik di kalangan Riau Pos Group, sebagai tempat berkaca, penimbang dan pemberi gambaran tentang karya jurnalistik bermutu. Sebab, tanpa melahirkan karyakarya yang bermutu, pelan-pelan media cetak akan kehilangan ruhnya. Inilah yang terus menjadi momok bagi media cetak di mana pun dan kapan pun. Rida Award diadakan untuk terus menumbuhkan ruh media cetak itu, dan semangat jurnalisme sastrawi adalah bagian penting di dalamnya.*** Editor

vii


viii


DAFTAR ISI - Semangat Jurnalisme Sastrawi dan Ruh Media Cetak ______ i - Invasi Kerajaan Kek Pisang ________________________ 1 - Laskar Penantang Maut dari Sekusut ________________ 19 Rajo Lelo, Pewaris Terakhir Tuah Penakluk Harimau (1) - 7 Tahun Sucikan Diri di Pesantren Syech Burhanuddin ____ 33 Rajo Lelo, Pewaris Terakhir Tuah Penakluk Harimau (2) - “Saya Menikmati Sensasi Sorot Mata Raja Hutan” _______ 39 Rajo Lelo, Pewaris Terakhir Tuah Penakhluk Harimau (3-Habis) - Mengabdi di Jalan Tuhan… ______________________ 43 - Demi Rupiah, Racun pun Diajak Kompromi ___________ 47 Daliaman Purba, Tuna Netra Penyadap Tuak (Bag-1) - Mampu Sekolahkan Anak Hingga Sarjana _____________ 59 Daliaman Purba, Tuna Netra Penyadap Tuak (Bagian-2) - Putus Asa, Nyaris Tembak Kepala dengan Senapan ______ 63 Daliaman Purba, Tuna Netra Penyadap Tuak (Bagian-3) - Dua Kali Sehari, Biasa Lalui 15 Persimpangan __________ 69 Daliaman Purba, Tuna Netra Penyadap Tuak (Bagian-4/habis) - “Dikira Jagung, Ayam Patok Mataku yang Buta” ________ 75

ix


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

- Impian Dokter dari Bocah Tanpa Sepasang Tangan ______ 79 - Duanu yang Terancam Punah _____________________ 97 - Pahit Nasib Tertumpang Kuda Beban _______________ 119 - Dolar dalam Sebongkah Bauksit __________________ 127 - Sekampung Buta Huruf ________________________ 145 - Modus Ampuh Curi BBM _______________________ 153 - Ketika Penjarah Merusak Zona Merah ______________ 161

x


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Invasi Kerajaan Kek Pisang Pernah gagal membangun delapan usaha. Ditolak bank, diseret satpam hotel. Denni Delyandri kini punya kerajaan bisnis makanan di sejumlah daerah. Pada 2015 targetnya punya outlet di 40 kota Indonesia. LAPORAN YERMIA RIEZKY DAN MUHAMMAD NUR, BATAM

HINGGA pertengahan 2000-an masyarakat luar Batam hanya mengenal barang elektronik murah sebagai bingkisan dari daerah ini. Kalaupun ada dalam bentuk makanan, hanya kacang campur atau panganan lain yang diimpor dari Malaysia dan Singapura. Belum ada yang asli produksi Batam. Pandangan itu berubah pada tahun 2007 ketika Denni Delyandri, seorang sarjana elektro membuka satu usaha kue berbahan dasar pisang. Bersama istrinya, Selvi Nurlia, ia membuat kue yang diberi nama Banana Cake. Sebagai buatan tangan asli dari Batam, Denni berani mencantumkan jargon ‘Asli Batam’ di kotak kue buatannya itu. Pelan tapi pasti, Denni membangun bisnis kulinernya. Mulai dari dari kompor dan oven sederhana hadiah pernikahan, ia mengetuk pintu berbagai instansi di Batam menawarkan Banana Cake buatannya. Dua kali bisnis kuenya nyaris tumbang. Tapi ia memilih bangun lagi. Masih di tahun 2007, nama Banana Cake kemudian bertransformasi menjadi Kek Pisang Villa. Perubahan juga

1


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

terjadi pada slogan: ‘Oleh-oleh Khas Batam’. Begitu bunyi slogan terbarunya. Enam tahun berselang sejak ia merintis Kek Pisang Villa, Denni sudah memiliki 22 outlet. Masing-masing 13 outlet di Batam, dua di Tanjungpinang, empat di Pekanbaru, dan masing-masing satu di Padang, Balikpapan, dan Banjarmasin. “‘Kerajaan” kuliner Denni tak cuma Kek Pisang Villa. Ia memiliki sejumlah merek lain yakni Bolu Gulung Mutiara Rasa, Vizcake di Pekanbaru, Roti Randang Ninur di Padang, Gulung Jenebora di Balikpapan, dan Wadai Banjar di Banjarmasin. Dari usaha kuliner itu ia mampu menghidupi lebih dari 300 pegawai, berkembang dari hanya dua orang pada 2007. Buat mereka yang teliti, akan bertanya: tidak ada kebun pisang yang luas di Batam. Jadi mengapa kek pisang dikatakan asli Batam? Jawaban yang berulang diberikan Denni: “brownis juga bukan dari Bandung tapi dikatakan asli Bandung. Bika Ambon malah dibuat di Medan.” Jawaban itu yang juga ia ungkapkan kepada Majalah Batampos saat menjumpai Denni di pabrik sekaligus kantor pusat Kek Pisang Villa di Kawasan Industri Citra Buana Park III, Lot 28, Batam Centre, Senin (28/1). Dia mengenakan kemeja putih lengan panjang bermotif kotak-kotak kecil yang dipadukan dengan celana jins. Hidungnya menyangga kacamata bermerek New Balance. Pabrik yang mulai beroperasi pada Desember 2012 itu memproduksi seluruh produk Kek Pisang Villa. Di pabrik inilah Denni menyatukan dapur produksi yang sebelumnya berada di cabang Nagoya dan Batam Centre. Kek Pisang Villa pun kini berada dalam bendera PT Indonesia Villa Maju (Villa Corp). Tak cuma kek pisang, pabrik itu turut memproduksi bolu gulung khas Mutiara Rasa. Yang terakhir merupakan salah satu merek milik Kek Pisang Villa yang memiliki dua

2


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

outlet di Batam. Bangunan dua lantai itu berdiri di atas tanah seluas 1.500 meter persegi di Kawasan Industri Citra Buana III. Cat oranye melapisi gedung itu. Jika dua lantainya digabung, total luas gedung sekitar 2 ribu meter persegi. Bangunan besar itu tak hanya sebuah pabrik dan toko penjualan produk. Denni menciptakan museum Kek Pisang Villa. Ia menghadirkan satu demi satu barang-barang bersejarah saat ia merintis Kek Pisang Villa, termasuk kompor pernikahan dan oven pertama. Berada satu lemari dengan kompor itu, tiga kotak pertama Banana Cake berwarna coklat yang sudah mulai pudar. Dari lemari, Denni lalu mengajak melihat dapur Kek Pisang Villa. Untuk menjaga higienitas, pengunjung harus mengenakan penutup rambut, masker, dan membungkus sepatu. Pengunjung kemudian berjalan di sebuah lorong memandang proses produksi produk-produk Kek Pisang Villa. Mulai dari cara mencampur, mengaduk, memanggang, tampak jelas dalam perjalanan singkat yang disebutnya tour of factory itu. “Tak ada yang yang kami tutupi,” kata Denni. “Semua dari bahan dan proses produksi kami tunjukkan pada pengunjung.” Tur di museum Kek Pisang Villa menurut Denni sebagai salah satu bentuk pendidikan pada pasar. Ia mengenalkan seperti apa itu oleh-oleh dan bagaimana prosesnya. Perjalanan singkat itu diyakininya menarik minat pengunjung untuk peduli pada oleh-oleh. Hal itu akan dibuktikan dari belanja pengunjung di bagian akhir tur, di toko oleh-oleh. “Kami harap setelah tur singkat dan cerita dari pemandu, yang awalnya tidak ingin membeli akhirnya membeli. Yang awalnya ingin beli dua malah maunya beli tiga,” kata Denni disertai tawa.

3


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Kini Kek Pisang Villa masuk dalam daftar oleh-oleh pelancong maupun warga Batam yang akan mengunjungi handai taulan. Rahman Usman, Ketua Kepri Tourism Board, mengaku bangga saat melihat kotak oranye Kek Pisang Villa ditenteng penumpang turun pesawat. “Di bandara Jakarta atau Makassar, kalau ada yang turun dengan kotak Kek Pisang Villa, secara tidak langsung sudah mempromosikan Batam. Sebagai warga Batam, saya bangga,” kata Rahman. *** Denni Delyandri tak lahir dari keluarga saudagar. Ayahnya pensiunan Telkom, tamatan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Di perusahaan BUMN itu, ayahnya berposisi sebagai teknisi. Sementara, ibunya berprofesi sebagai guru. Mungkin, pengaruh profesi sang ayah yang mendorongnya masuk ke jurusan elektro Universitas Andalas, tahun 1998. Lima tahun kemudian, Denni akhirnya memperoleh gelar sarjana teknik. Gelar itu mengantarnya bekerja di Batam. Tepatnya di PT Asahi, tahun 2003. Gajinya ketika itu Rp2,5 juta hingga Rp3 juta dalam sebulan. “Itu sudah termasuk lembur,” kenang Denni. Jumlah itu terbilang besar untuk fresh graduate, saat itu. Untuk mendapat upah sebesar itu, dia harus mengorbankan waktunya habis dimakan lembur. “Seven to seven,” katanya mengistilahkan jam kerjanya dari jam tujuh pagi sampai pukul tujuh malam. “Saya tidak sempat melihat matahari. Bahkan hari Minggu pun saya sering harus masuk.” Saat masih bujang, pengorbanan itu tak masalah baginya. Saldo di rekening tabungannya terus bertambah karena ia tinggal di mess milik perusahaan. Tak lama menghuni mess, Denni memutuskan membeli rumah di Villa Mukakuning. Uang muka rumah ia cicil selama 10 bulan. Buat Denni, sebelum membangun keluarga, properti adalah

4


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

satu hal yang wajib dimiliki. “Bahkan untuk rumah harus dipaksakan,” terang dia. Tak lama setelah akad kredit rumah yang dibelinya, Denny meminang Selvi Nurlia di tahun 2004. Dua bulan menikah, Selvi hamil dan memutuskan berhenti bekerja. Tak lagi bujang membuat pengeluaran Denni membengkak. Gaji Rp2,5 juta dirasa tak cukup lagi untuk membiayai kebutuhan keluarganya. Ia dan Selvi sepakat, keluarga butuh uang tambahan. Mereka pun mulai merintis usaha kerupuk. Setiap hari mereka membeli kerupuk merek Aloha di Pasar Aviari, Batuaji. Sampai di rumah, pasangan itu menggoreng kerupuk sebelum diantar ke rumah-rumah makan di daerah Batuaji. Karena bekerja shift, Denni kerap mendapat jatah menggoreng saat ia masuk malam. Kalau masuk pagi, Denni menggoreng usai tiba di rumah. Jualan kerupuk sebenarnya menguntungkan, lebih besar dari gaji bulanannya. “Tapi sangat melelahkan karena saya masih bekerja di perusahaan,” terang Denni. Di samping itu, kondisi istrinya yang hamil besar membuatnya berpikir untuk menghentikan usahanya. Setelah kelahiran anak pertama, Denni kembali bersemangat melanjutkan usaha sampingan. Selain mencari tambahan, ia termotivasi sukses orang lain. “Saya termotivasi dari kisah sukses yang saya baca di buku,” tuturnya. Berbeda dengan usaha yang pertama, kali ini Denni berdagang klepon dan onde-onde. Diproduksi malam hingga subuh, kue ini lalu dibawa Denni ke kantin perusahaan di Mukakuning setiap berangkat kerja pada pagi hari. Sorenya ia mengambil hasilnya. Usaha ini berhenti karena alasan yang sama dengan usaha kerupuknya. “Lelah sekali karena hanya dikerjakan sendiri,” keluh Denni. Layu satu, usaha lain muncul. Denni kemudian merintis usaha rumah makan Padang. Kali ini ia menggunakan

5


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

karyawan. “Satu orang koki dan tiga pelayan,” sebut dia. Sebagai modal ia meminjam uang koperasi perusahaan sebesar Rp10 juta. Hari-hari pertama rumah makan, pemasukan lancar. Tengah bulan, seret. Di akhir bulan, rumah makan itu tutup. “Sudah tidak ada modal untuk melanjutkan usaha itu,” ujar dia. Denni mengaku, ia tak berhasil membaca pasar saat membuka rumah makan di wilayah Genta III itu. “Kami pikir karena kompleks, rumah makan kami akan laku. Nyatanya, karena penghuni kompleks golongan ekonomi menengah ke bawah, di atas tanggal 15 mereka memilih makan indomie ketimbang beli nasi,” kata Denni. Ia akhirnya menjual aset miliknya untuk mengembalikan utang koperasi. Pengembalian sisanya dari potong gaji. Beres membayar utang koperasi, Denni memutuskan berhenti total bekerja di tahun 2006. Ia ingin fokus usaha. Ia pun mendirikan usaha event organizer (EO) bersama Selvi dengan nama Media Kreasi Bangsa (MKB). Mereka mengadakan sejumlah acara di Mega Mall Batam Centre, dimulai sejak perayaan Hari Anak Nasional. Selain perayaan, MKB juga mengelola stan pada acaraacara khusus seperti saat Ramadan, yang menjadi kerja terakhir mereka. Dari pekerjaan itu, Denni mendapat keuntungan sebesar Rp12 juta. Uang itu jadi modal Denni untuk mudik sekeluarga ke Padang. Jumlah itu nyatanya tak terlalu besar saat mudik. “Uangnya habis dibagi-bagi,” kata Denni. Kembali ke Batam, uang mereka habis. Terlintas dalam pikiran pasangan muda itu untuk menjalankan usaha yang pemasukannya harian. Lagipula, usaha EO cukup menyiksa pasangan itu. Mereka harus berada di lokasi sejak mal buka sampai tutup, sekitar jam sembilan malam. Belum lagi, mereka melewatkan pertumbuhan anak sulung mereka

6


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Faza Mutiara Denni. Denni ketika itu harus rela menitipkan anaknya di sebuah Tempat Penitipan Anak (TPA) di Marcelia, Batam Centre selama bekerja. Namun, satu hal yang mengganjal mereka melanjutkan cita-cita itu, modal. “Modal kami nol waktu itu,” kata Denni seraya menyatukan ujung telunjuk dan jempol tangan kanannya. Meminjam dari bank jelas tak mungkin karena tidak ada usaha yang bisa ditunjukkannya. Ia ke bank untuk membuat kartu kredit dengan batas Rp3 juta, ditolak. “Saya pernah meminta temannya membuatkan slip gaji bodong untuk kredit, itu juga ditolak,” ujar dia. Di tengah kesulitan itu, Selvi melepaskan kalung pemberian orang tuanya. Ia pun meminta Denni menggadaikan kalung itu. Awalnya, Denni menolak. Ia beralasan, kalung itu pemberian mertuanya. Namun, semangat Selvi untuk melanjutkan usaha membuat Denni menerima permintaan Selvi. Ia kemudian menggadaikan kalung itu dengan harga Rp2,4 juta. Tindakan itu membuat Denni enggan berkunjung ke rumah mertuanya di Tanjunguban. “Saya tidak mau saat sampai di sana mertua tanya ke istri, ‘lho, kalungnya ke mana?’” ungkap Denni, tersenyum. Dari hasil gadai kalung, Rp400 ribu ia gunakan untuk makan sekeluarga. Sementara yang Rp2 juta dipakai untuk melanjutkan usaha. Berbekal keterampilan istrinya membuat kek, mereka memutuskan membuat kek pisang dengan merek Banana Cake pada Februari 2007. Pada awal usaha, Denni memproduksi 40 loyang setiap harinya. Untuk memenuhi jumlah itu ia membutuhkan 20 kilogram pisang. Produksi berlangsung di rumah tipe 36 miliknya. Berangkat dari pengalaman mereka menjalani sembilan usaha sebelumnya, keduanya memulai penjualan dengan sistem kemitraan di kawasan industri Mukakuning. Mereka

7


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

mencari orang yang mau menjual Banana Cake dengan komisi Rp3 ribu setiap produk terjual. Ketika itu harga Banana Cake masih Rp15 ribu. Sistem kemitraan tak berjalan lama karena penjualannya menurun. Ia kemudian mengubah strategi penjualan menjadi door to door. Bukan ke rumahrumah, melainkan ke instansi-instansi. Ia masuk ke kantorkantor pemerintahan dari wilayah Batuaji, Batam Centre, sampai Sekupang. Pemasaran dari kantor ke kantor ia lakukan bersama dua karyawan. Untuk usaha kecil menengah (UKM) omset hariannya terbilang besar, rata-rata Rp2 juta . Dia mengaku tak punya rasa malu saat harus keluar masuk kantor menawarkan kue buatan istrinya. “Tidak ada sama sekali perasaan gengsi,” katanya. “Kalau gengsi nggak bakal bisa makan.” Tujuh bulan bisnisnya berjalan, Denni akhirnya mendapat pinjaman tanpa agunan sebesar Rp40 juta di bank. Modal tersebut digunakannya untuk menyewa ruko dua lantai di ruko Mukakuning. Beberapa peralatan ia beli untuk meningkatkan kapasitas produksi menjadi sekitar 100 loyang sehari. Saat memindahkan lokasi produksi itu, Denni melihat peluang baru. Ia tahu, wisatawan mancanegara yang masuk melalui Batam merupakan ketiga terbesar di Indonesia. Belum lagi pelancong domestik yang datang ke Batam untuk urusan bisnis, meeting atau sekedar jalan-jalan. Fakta itu mendorong dia untuk mengubah nama Banana Cake menjadi Kek Pisang Villa. Ia pun memasang slogan baru Oleh-Oleh Khas Batam. “Ada sebuah ruang,” tutur Denni soal celah bisnis oleholeh di Batam di akhir 2007 itu. “Tidak ada oleh-oleh khas Batam sementara jumlah wisatawan yang datang banyak. Jadi, kenapa tidak kita jadikan saja kek pisang ini sebagai oleh-oleh khas Batam?” Benar saja, keputusan itu membuat produknya makin

8


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

diburu. Melalui stan dan brosur yang dibagikan, Kek Pisang Villa mulai dicari orang-orang yang ingin meninggalkan Batam. Pesanan pun mulai berdatangan. Pernah, Denni membawa pesanan seorang wanita peserta pelatihan di Hotel Nagoya Plaza, Nagoya. Ia datang membawa satu kotak besar Kek Pisang Villa di lobi hotel. Saat pemesan itu ingin membayar, teman-temannya melihat. “Apa itu?” tanya peserta lain, penasaran. Denni lalu menjelaskan, yang dibawanya adalah oleholeh khas Batam. Mendengar penjelasan Denni, ibu-ibu peserta berebut memesan Kek Pisang Villa. “Jumlah mereka sekitar 40 orang,” sebut Denni, coba mengingat jumlahnya. Keriuhan di lobi itu menarik perhatian petugas keamanan. “Ada apa ini?” kata petugas itu. Ia pun segera tahu kalau ibu-ibu itu ingin membeli dagangan Denni. “Di dalam hotel tidak boleh berdagang,” sahut petugas. “Bukan, Pak. Saya hanya melayani pesanan. Nanti malam pesanan mereka saya bawa ke kamar masingmasing,” balas Denni, meminta belas kasihan. Petugas keamanan tak terpengaruh. Ia menyeret Denni meninggalkan lobi. Bahkan di depan peserta pelatihan Denni terjengkang akibat petugas itu. Kejadian itu tak hanya sekali. Ia juga pernah “disidang” petugas keamanan Hotel Goodway karena alasan yang sama. Saat itu, hotel memang bukan tempat berjualan, selain toko suvenir yang sudah ada di dalamnya. Saat ada pelatihan atau seminar, belum ada stan yang menawarkan produk-produk kreasi warga Batam. Apalagi, belum banyak yang mengenal Kek Pisang Villa. Kondisi itu tak akan terjadi saat ini. Sekarang, pada setiap pelatihan atau seminar, Kek Pisang Villa malah diundang mengisi stan. Tak hanya mereka, produk oleh-oleh lain atau UKM banyak muncul memperkenalkan produk di setiap acara seperti itu. Setahun menjalankan usahanya, Kek

9


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Pisang Villa mulai memberikan keuntungan bagi Denni. Dari keuntungan Rp50 juta yang di dapatnya, ia menyewa sebuah ruko dan membawa produknya ke pusat perkantoran di Batam Centre. Ia sempat kebingungan karena kehabisan dana untuk mengisi interior outlet baru itu. Syukurlah, sebuah perusahaan kontraktor mau mengerjakannya dengan pembayaran lima kali angsuran. Nama Kek Pisang Villa pun semakin akrab dengan masyarakat Batam. Seorang pegawai negeri pun kaget saat Denni meresmikan outlet itu. “Bapak yang waktu itu suka ngantar-ngantar kue ke kantor ya?� kata pegawai itu, penasaran. “Iya, itu saya Pak,� jawab Denni. Dengan dua outlet beroperasi, penjualan Kek Pisang Villa terus menanjak. Pencapaian itu menarik lembaga perbankan menawarkan pinjaman. Ketertarikan itu disambut Denni yang juga ingin membangun outlet ketiga. Juni 2008, Denni mendapatkan pinjaman sebesar Rp500 juta dari sebuah bank swasta. Uang setengah miliar rupiah itu dipakainya untuk membuka cabang di Nagoya dan melunasi utang-utangnya di Ruko Mukakuning dan di outlet Batam Centre. Produksi dan penjualan Kek Pisang Villa pun melesat. Pada 2011, Denni sudah memiliki enam outlet. Ternyata, Denni tak puas sampai di situ. Ia punya visi yang lebih besar. Dan ia perlu bantuan orang-orang khusus untuk mewujudkan visi itu. *** Peristiwa Bom Bali pada Oktober 2002 berpengaruh besar pada karir I Kadek Witarsa. Kontrak kerjanya di Hard Rock Bali diputus saat baru berusia tiga bulan. Padahal, ia dijadwalkan bekerja di sana selama satu tahun. Witarsa belum menamatkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Ilmu

10


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Ekonomi (STIE) Triatma Mulya, Denpasar. Ia dikontrak Hard Rock karena termasuk salah satu yang berprestasi di sekolahnya. Kontrak itu datang satu tahun sebelum ia wisuda. Meski menimbulkan ketakutan bagi para ekspatriat dan turis mancanegara, tidak semua bule-bule itu meninggalkan Bali. Banyak yang memiliki rumah di Pulau Dewata itu. Mereka enggan meninggalkan hartanya, dan pulau indah itu. Karena banyaknya ekspatriat, banyak pula bermunculan toko-toko yang menjual makanan impor masih tetap bertahan. Salah satunya adalah Gourmet Store. Sebuah perusahaan ritel yang menjual barang-barang impor itu. Di ritel tersebut Witarsa meniti karir usai lulus di Triatma Mulya pada 2003. Setahun belajar, Witarsa menunjukkan kemampuannya soal pengetahuan produk. Setiap ada orang yang menanyakan tentang produk apapun di swalayan itu, Witarsa mampu menjelaskan. Suatu hari di tahun 2004 seorang pelanggan bertanya pada pria kelahiran 21 Desember 1980 itu. Sebagai rutinitasnya, Witarsa menjelaskan. Ternyata, bukan hanya info yang diterima sang pelanggan. Ia terpesona dengan keahlian Witarsa menjelaskan produk itu. Witarsa tak tahu, bahwa pelanggan yang dihadapannya adalah kepala cabang salah satu perusahaan ritel yang beroperasi 24 jam, di Bali. Tak lama setelah pertemuan itu, sang pelanggan mengajak Witarsa mengelola salah satu outlet di Bali. Tahun 2005, Witarsa dipercaya perusahaan itu membangun jaringan perusahaan di Batam. Tak lama di Batam, Witarsa kembali ke Bali. Namun sejak 2008, ia ditunjuk sebagai kepala cabang jaringan toko itu di Batam. Tiga tahun ia menjabat kepala cabang, sebelum seorang pengusaha mengajaknya bertemu untuk makan siang. Pengusaha itu memperkenalkan dirinya. Namanya Denni Delyandra, pemilik Kek Pisang Villa. “Pertemuan itu hanya

11


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

pertemuan biasa. Pak Denni mengatakan ia ingin belajar tentang manajemen,” kata Witarsa. Pertemuan kedua berlangsung hampir sama dengan pertemuan pertama. Baru di pertemuan ketiga Denni mengajak Witarsa bergabung di manajemen Kek Pisang Villa. Jabatannya, General Manager (GM). “Saya tidak tertarik saat itu,” ungkap Witarsa. Denni tak menyerah. Ia memaparkan visinya pada Witarsa. Denni juga mengaku membutuhkan orang untuk membangun fondasi awal mewujudkan visi itu. Berhasil. Witarsa tertarik ikut tes untuk posisi GM Kek Pisang Villa. “Saya tertarik dengan visi Pak Denni,” terang Witarsa. “Beliau memaparkan target yang ingin dicapai dalam beberapa tahun ke depan. Satu yang ia senangi dari pemaparan Denni adalah kerjaan di Kek Pisang Villa yang tidak monoton. “Saya tidak suka kalau monoton. Pak Denni mengungkapkan bahwa ia ingin membuka cabang di daerah lain. Jadi pasti akan banyak perubahan-perubahan,” terang Witarsa. “Secara pribadi visi beliau nyambung dengan saya,” kata Witarsa. Tak hanya Witarsa yang diajak oleh Denni. “Ada lima GM atau Kepala Cabang yang saya ajak selain Pak Witarsa,” kata Denni. Mereka berasal dari ritel dan restoran cepat saji. “Cukup lama waktu yang saya butuhkan untuk mengenal dan meyakinkan mereka, tiga bulan,” terang Denni. Pendekatannya pun sama, mengajak makan dan ngobrol, masing-masing di hari yang berlainan. “Saya tempel terus (mereka).” Seperti pada Witarsa, lima orang lainnya bersedia ikut tes psikologi. Hasilnya, Witarsa berjodoh dengan Kek Pisang Villa. Jadilah dia GM pertama Kek Pisang Villa di bulan Maret 2011. Denni mengaku, ia ingin membuat UKM miliknya

12


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

menjadi perusahaan profesional. Untuk itu, ia harus berani menyerahkan kendali perusahaan itu pada orang lain yang mampu dipercaya dan mampu melaksanakan mengembangkan perusahaan. Ketika Witarsa pertama kali masuk, Kek Pisang baru memiliki enam outlet dan sekitar 80 pekerja. Dengan kepercayaan Denni, ia membangun fondasi baru di Kek Pisang Villa. Ia membuat aturan baru dan struktur organisasi. “Saat itu belum ada struktur dan job desk yang jelas,” kata Witarsa. Ia juga mengatur adanya penghargaan dan sanksi terhadap prestasi dan kesalahan yang dilakukan para pegawainya. Dampak aturan baru dirasakan seluruh pegawai. Sejumlah pegawai menganggap aturan itu lebih ketat. “Sebelumnya lebih santai,” kata Witarsa mengulangi keluhan pegawai waktu itu. Akibatnya, perusahaan tak melanjutkan kontrak sejumlah pegawai. Sebagian memilih tak melanjutkan kontrak. Tapi, budaya profesional yang ditanamkan Denni tetap berlandaskan kekeluargaan. Manajemen Kek Pisang Villa memberikan hadiah ulang tahun. Mereka juga beramairamai mengunjungi karyawan yang sakit. Di sisi organisasi, jenjang karir pegawai pun lebih jelas. Denni mengatakan penting bagi karyawan yang diterima di Kek Pisang Villa untuk tahu jenjang karirnya. Menurut dia, itu yang kurang dari UKM di Indonesia. “Banyak UKM yang tidak memikirkan karir pegawainya. Yang ada hanya menerima pegawai, dan menggaji. Padahal itu tak cukup,” kata Denni. Salah satu pengembangan karir karyawan adalah dengan menawarkan sejumlah posisi di cabang-cabang yang akan dibuka. Mereka membuka kesempatan bagi pegawai yang merasa sanggup untuk mengisi posisi di cabang yang baru. “Kami mengutamakan pegawai internal. Kalau di dalam Kek

13


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Pisang Villa tidak ada yang memenuhi syarat, baru kami cari dari luar,” tambah Witarsa. Soal gaji, Denni tak mau tanggung-tanggung. Upah paling rendah di Kek Pisang Villa berada di atas Upah Minimum Kota (UMK) Batam. Bahkan, setelah UMK 2013 naik hampir Rp600 ribu dari tahun sebelumnya. Hal yang sama ia berlakukan pada golongan manajer ke atas. Denni bahkan berani mengadu besaran gaji pegawai manajemen Kek Pisang Villa dengan perusahaan BUMN yang menjabat posisi yang sama. Perubahan di manajemen Kek Pisang Villa berdampak positif pada perusahaan itu. Sejak 2011, sebanyak 19 outlet baru dibuka. Tiga outlet, masing-masing satu, di Padang, Balikpapan, dan Banjarmasin dibuka dalam waktu yang berdekatan dalam bulan Desember 2012, bersamaan dengan penggunaan kantor dan pabrik baru di Citra Buana III. *** Terhitung sejak kedatangan Witarsa, Denni pelan-pelan melepaskan perannya dalam operasional harian Kek Pisang Villa. Bahkan saat ini, ia tak lagi mengurusi hal-hal tersebut. “Kalau Anda tanya berapa harga tepung, pisang, atau telor, saya sudah tidak tahu,” ujar Denni. Denni saat ini berperan mengatur strategi perusahaan. “Jika mendapat ide baru, Pak Denni atau Bu Selvi sering mendorong kami untuk mencoba,” kata Witarsa. Tour of factory termasuk salah satu ide Denni untuk mendekatkan Kek Pisang Villa pada konsumen. Denni memang tidak main-main dengan visinya. Ia ingin agar visinya itu merasuki jiwa setiap pegawainya. “Kami ingin semua tahu perusahaan ini mau dibawa ke mana,” kata Denni soal visinya. Untuk mengingatkan, manajemen menempel poster

14


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

berisi visi, misi, nilai budaya, dan nilai perilaku. Latar belakang poster ukuran A3 itu berwarna oranye, warna khas Kek Pisang Villa. “Menjadi perusahaan retail oleh-oleh nusantara yang terbesar dan menguntungkan.” Begitulah pernyataan visi Kek Pisang Villa. Visi itu diikuti oleh dua misi. Pertama, membuka cabang di 40 daerah di Indonesia hingga akhir 2015. Kedua, menciptakan sistem kerja yang akurat, sumber daya yang profesional dan akurat. Sementara untuk nilai budaya kerja, ada empat yang ditanamkan Denni. Keempat nilai itu adalah profesional, integritas perbaikan tiada henti, dan peduli kepada konsumen. Sepuluh perilaku ia tetapkan sebagai nilai budaya perilaku, yakni jujur, tanggung jawab disiplin, bersih, kerja sama, kreatif dan inovatif, religius, visioner, konsisten, dan fun. Untuk mewujudkan visi itu, tahun ini Kek Pisang Villa berencana membuka enam sampai delapan outlet baru di berbagai daerah. Uniknya, di setiap daerah, bukan merek Kek Pisang Villa yang mereka jual. Malahan, mereka menjual produk-produk baru yang diproduksi di daerah itu. Di Pekanbaru, Vizc Cake dibuat dari bahan durian. Di Padang, ada Roti Randang Ninur— roti yang diisi dengan rendang. Di Balikpapan, mereka menjual kue gulung Jenebora, yang namanya diambil dari sebuah bukit di sana. Sedangkan di Banjarmasin, ada Wadai Banjar, panganan serupa bingka di Melayu dan bolu gulung sasirangan kasturi. Denni menegaskan, sudah banyak yang meminta dirinya membuka cabang Kek Pisang Villa, bahkan sampai ke Johor. Tapi ia menolak. Ia ingin Kek Pisang Villa tetap di Batam dan Tanjungpinang. “Kalau kita buka di Bogor misalnya, orang sana yang datang ke Batam akan bertanya ‘ngapain beli Kek Pisang di Batam, di Bogor kan ada’,” Denni menjelaskan. Ia ingin Kek Pisang Villa melekat dengan Batam seperti Joger di Bali dan Bakpia di Yogyakarta.

15


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

*** Kek Pisang Villa saat ini bukan pemain tunggal dalam bisnis oleh-oleh di Batam. Denni menghitung, paling tidak ada 15 merek yang berkompetisi dalam bisnis ini di Batam. “Pada tahun 2007 sampai 2009, kami pemain tunggal,” kata Denni. Bertambahnya pesaing tak membuatnya gentar. Malahan ini menguntungkan bagi Batam karena promosi dilakukan bersama sehingga edukasi pasarnya lebih cepat. Promosi yang tidak terpikirkan oleh Kek Pisang Villa bisa dilakukan oleh merek lain. “Dulu, saya edukasi pasar menggunakan anggaran sendiri. Itu juga melelahkan dan mahal. Ketika ramai, bisa mengajar pasar yang lebih besar karena bersama-sama,” ujar Denni. Keuntungan bagi Kek Pisang Villa, sebagai yang pertama, orang banyak mencari dia. Belum lagi strategi promosi yang dilakukan Kek Pisang Villa. Ketua Association of the Indonesia Tours and Travel Agencies (ASITA) Batam, Kadek Sutraini mengatakan strategi promosi Kek Pisang Villa membuat merek itu yang paling dicari wisatawan yang menggunakan jasa agen perjalanan. “Wisatawan berpatok pada merek yang paling banyak mereka lihat selama perjalanan. Walaupun ada merek lain yang dibilang lebih enak, mereka memilih yang iklannya banyak mereka lihat. Itu yang dilakukan Kek Pisang Villa lewat promosinya,” kata Kadek saat dihubungi pertengahan pekan lalu. Dengan kemampuan yang dimiliki Kek Pisang Villa menjangkau pasar, pelaku ekonomi dan pariwisata Batam sebenarnya ingin melihat merek itu go internasional. “Minimal di tingkat regional, Singapura dan Malaysia,” kata Ketua Kepri Tourism Board, Rahman Usman. Rahman yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif

16


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Kadin Kepri menjelaskan, pentingnya menyasar pasar Singapura. Pasalnya, negeri itu jadi tempat berkumpulnya manusia dari segala bangsa. Salah satu ide yang ia tawarkan adalah agar Kek Pisang Villa membuat promosi dalam bahasa Inggris. Ia juga mengusulkan usaha Denni itu mencantumkan nilai gizi dan berpromosi tentang kandungan pisang dalam kek buatannya. “Lihat saja apa yang dimakan petenis dunia saat bertanding. Banyak yang makan pisang di sela-sela istirahat. Bisa saja Kek Pisang Villa mempromosikan keknya sebagai penambah tenaga. Seperti itulah contohnya,” jelas Rahman. Witarsa menegaskan, Kek Pisang belum punya rencana serius berpomosi di negara tetangga meski setahun yang lalu mereka sempat mengikuti pameran kuliner di negara tersebut. “Pasar Indonesia belum tergarap semua,” kata Witarsa menyebutkan alasannya. Bisa dibilang, kekuatan visi dan ide yang membuat Kek Pisang Villa bertahan selama enam tahun. Keberadaan kompetitor ternyata tak membuat produk ini tenggelam. Sebaliknya, berbagai gempuran pesaing mendorong Denni dan pegawainya untuk melakukan perubahan untuk menyiasati pasar. Sebagai pemimpin, Denni menggagas banyak perubahan di perusahaan miliknya. Menurutnya, hanya dengan berubah perusahaan tetap hidup. Witarsa selalu mengingat pesan Denni, “Kalau nggak mau berubah, kita mati.” *** YERMIA RIEZKY dan MUHAMMAD NUR adalah wartawan Batam Pos. Tulisan ini terbit di majalahbatampos.co.id edisi Februari 2013. Tulisan ini memenangkan Rida Award 2013 kategori feature.

17


18


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Laskar Penantang Maut dari Sekusut Perjalanan ke sekolah bagi anak-anak kampung Sekusut, tak ubahnya perjuangan menantang maut. Setiap hari, pergi dan pulang, mereka harus mengarungi Sungai Rokan yang lebar dan dalam. Kadang harus menerjang ganasnya gelombang bono, bahkan tak jarang pula berjumpa buaya. LAPORAN SAMSUL BAHRI, SEKUSUT

TAK mudah menuju Sekusut. Jalan tercepat adalah lewat sungai. Dengan pompong kecil, pekan lalu kami berkunjung ke kampung tersebut. Subuh itu, rumah warga di Jumrah masih banyak yang tutup. Baru beberapa saja yang buka. Dari rumah Datuk Penghulu Jumrah, Sukardi, saya bersama Camat Rimba Melintang, H Syamzani SH, bergegas menuju dermaga di pinggir Sungai Rokan. Langkah kami percepat. Sebab, melalui telepon, Kepala SDN 002 Jumrah Solihin mengaku sudah menunggu di dermaga. Begitu kami terlihat, Solihin langsung berteriak di keremangan pagi. ‘’Ayo kito berangkat. Nanti talambek, bono akan tibo pada pukul lapan!’’ Kami turun ke sungai, melangkah ke pompong yang

19


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

tengah sandar di tepi. Lantai dermaga kayu sudah banyak yang lapuk dan licin. ‘’Hati-hati Pak Camat!’’ Datuk Penghulu Sukardi memegang tangan Syamzani. Mengiringinya melangkah turun untuk naik ke perahu. Saat kami naiki, perahu kayu berbobot sekitar setengah ton itu terasa bergoyang. Jarak bibir perahu dengan air hanya sekitar dua jengkal saja. Solihin memerintahkan anaknya Juanda menghidupkan mesin. Dengan sigap pemuda 21 tahun itu menarik tali starter. Sekali tarik, bruummm... langsung diam. Juanda menarik sekali lagi, bruuummm... lagi, lagi dan lagi. Mesin tak kunjung hidup. Satu jam lebih Juanda dan Solihin bergantian mencoba menghidupkan mesin pompong, tetap tak bisa. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.16 WIB, mesin merek robin itu tetap diam membisu. ‘’Apo salahnyo lai ko? Sobolumnyo lah elok, kok mengulah lai mesinnyo. Baru semalam aku bolo Apa salahnya lagi? Sebelumnya sudah bagus, kok berulah lagi mesinnya. Baru kemarin diperbaiki.’’ Solihin menggerutu kesal dengan logat Melayu Rokan. Gerutuan Solihin membuat kening Pak Camat berkerut. Ia berbisik pada Datuk Penghulu Sukardi. ‘’Kenapo tak pakai perahu lain Pak Penghulu? Apo bisa kito sampai ke tujuan. Perahunya kecil, mesinnya mengulah pula.’’ ‘’Cuma ini yang ado Pak. Mungkin mesin Pak Solihin ko masuk angin karburator-nyo. Sabarlah Pak, iduik ko nyo.’’ Sukardi menangkan Syamzani sambil tersenyum kecut. Juanda terus berusaha. Tubuhnya mulai dibasahi keringat. Pukul 07.20 WIB usaha anak kepala sekolah itu berhasil. Mesin akhirnya menderu. Suaranya agak merepet. Perjalanan pun dimulai. Kondisi mesin yang tidak stabil membuat laju perahu kurang maksimal. Camat Syamzani

20


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

tampak duduk terpaku. Tangannya memegang bibir perahu. Sesekali ia melihat suasana pagi penuh embun menyelimuti Sungai Rokan. Bibir pantai dipenuhi tumbuhan rumput alam. Pak Camat itu belum juga tenang. Wajahnya mulai terlihat pucat, khawatir perahu yang ditumpangi tidak akan sampai ke tujuan. Maklum, lajunya hanya sekitar lima kilometer perjam. Dalam galau spontan ia melontarkan kalimat bernada kesal. ‘’Kenapalah pakai pompong ini pula!? Sudahlah kecil, lambat lagi.’’ Pandangan matanya melihat ke buih-buih air sungai yang bergelombang. Jarum jam kini menunjukkan pukul 07.35 WIB. Kami masih terombang-ambing di tengah Sungai Rokan. Sungai ini kedalamannya lebih dari lima meter, lebarnya kira-kira lebih dari setengah kilometer. Airnya coklat bergelombang. Tiba-tiba saja mesin pompong mati mendadak. Pak Camat terperangah. ‘’Aduh... bagaimana ni Pak Penghulu? Bilo kito sampai kalau kayak iko?’’ Datuk Penghulu Sukardi termenung. Solihin dan anaknya Juanda kembali mengutak-atik mesin pompong. ‘’Pak Penghulu, jam bapo bono tibo ko, apo kito tak kono ko?’’ Camat Syamzani makin gelisah. Ia kemudian mengalihkan pandangan ke arloji di tangan kirinya. Melihat kegelisahan di wajah Pak Camat, Sukardi berusaha meyakinkan bahwa mereka akan terhindar dari gelombang bono. ‘’Masih lama lagi Pak Camat. Bono tibo sekitar pukul lapan. Iko baru pukul 07.35 WIB. Sabar Pak, tadi saya sudah minta warga dari Sekusut joput kito ke maei,’’ katanya. Benar saja, beberapa menit kemudian terlihat sebuah perahu melaju dari arah Sekusut, membawa sebuah alat dorong sawit angkon. Sukardi memanggil warga tersebut. ‘’Pak, tolong antarkan kami ke kampung Sekusut.

21


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Pompong ini rusak entah kenapa,’’ ujarnya. Permintaan datuk penghulu langsung dipenuhi. Linsun Ritonga (38), warga yang baru datang itu, langsung mendekatkan perahunya. Kami pun pindah ke perahu Linsun. Perpindahan ini membuat gembira sang camat. ‘’Nah... ini baru mantap, perahunya besar.’’ Syamzani tampak girang. Perahu Solihin kemudian ditarik dengan perahu baru milik Linsun Ritonga. Hanya saja, kegembiraan Camat Syamzani tak berlangsung lama. Mendadak saja, entah apa sebabnya, mesin perahu milik Linsum ini mati pula. Syamzani kembali gelisah. Lagi-lagi ia melihat arloji di tangannya. ‘’Bagaimana Pak Penghulu, kalau saya lihat jam sudah pukul 07.50, kalau begini habislah kito dihantam bono,’’ ucapnya lemas. ‘’Sabar Pak Camat, kito sudah dokat dah. Lihat di sana, sudah ado perahu lagi yang menyusul kito. Paling-paling sekitar 10 menit lagi sampai ke kampung Sekusut.’’ Sukardi berusaha untuk tetap tenang. Tak berselang lama, perahu ketiga datang mendekat. Paronan Nasution (40), juru mudi perahu itu, langsung berteriak. ‘’Ayo Pak... cepat naik ke sini! Lihat sana, bono sudah tibo. Kalau kito terlambat, habislah karam kito.’’ Tanpa menunggu-nunggu, kami langsung bergegas naik ke perahu yang dikemudikan Paronan Nasution. Mesin langsung menderu. Paronan tancap gas, beradu cepat dengan gelombang bono yang sudah mulai terlihat. ‘’Saya heran, kenapa ini bisa terjadi. Dua-duanya perahu kito mati mesin. Padahal perahu kedua tadi lebih besar dan...’’ Belum selesai ucapan Syamzani, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. ‘’Apo itu?’’ tanya pak camat. ‘’Ya, itulah suara bono, Pak! Memang masih jauh, tapi

22


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

suaranya bergemuruh.’’ ‘’Wah seram juga ya...’’ Paronan semakin lincah mengendalikan perahu. Ia berusaha keras agar kami sampai di tepi sebelum bono datang menerjang. Jarak kami dengan bono, barangkali sekitar 100 meter di belakang. Sedangkan bibir dermaga Sekusut masih sekitar 50 meter lagi. Beruntung, sebelum gelombang bono menerjang, perahu merapat ke dermaga. Kami langsung berloncatan. ‘’Pak Camat, copek naik. Lihat bono lah dokek,’’ teriak Solihin. Saya, Pak Camat dan Pak Penghulu bergegas naik ke dermaga dan berlari ke daratan. ‘’Hati-hati Pak Camat!’’ ternyata warga Sekusut sudah ramai menunggu di atas sana. Paronan tetap berada di perahunya. Ia memutar arah perahu langsung menghadang luruh ke arah datangnya gelombang. Ini adalah cara paling aman, dari pada perahu ditambatkan di dermaga. Cara ini sudah biasa dia lakukan. Jika perahu disandarkan di tepian, justru akan hancur dihempas gelombang. Setelah bono berlalu dan air sungai kembali agak tenang, barulah dia sandar ke dermaga dan naik ke darat. *** Kampung kecil itu, lengkapnya bernama Sungai Sekusut. Tapi warga di sana biasanya menyebutnya Sekusut saja. Kampung ini merupakan bagian dari RT 15 Dusun Suka Makmur, Kepenghuluan Jumrah, Kecamatan Rimba Melintang, Kabupaten Rokan Hilir. Secara geografis, sebenarnya posisi kampung ini tak terlalu jauh. Tapi kondisi alamlah yang membuat ia terpencil. Karena harus ditempuh lewat sungai berkelok-kelok yang dalam dan lebar. Dari Jumrah ke Sekusut melalui jalur

23


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Sungai Rokan lebih kurang sekitar lima kilometer. Dari pusat Kecamatan Rimbang Melintang, sekitar tujuh kilometer. Sedangkan dari Bagansiapiapi, ibu kota Rokan Hilir, kirakira 53 kilometer. Di kampung ini bermukim 80 kepala keluarga. Mata pencarian penduduk di sini umumnya adalah nelayan dan petani kebun sawit serta karet. Kerisauan warga Sekusut adalah sekolah anak-anak mereka. Di sini, terdapat sebuah sekolah dasar. Tapi sebenarnya belum layak disebut sebagai satu sekolah. Karena sekolah ini hanya memiliki dua kelas, kelas satu dan kelas dua. Sebenarnya sekolah ini adalah filial, kelas jauh dari SD Negeri 002 Jumrah. Kelas jauh ini pun belum lama berdiri, baru beberapa tahun belakangan. Dulunya, anak-anak dari Sekusut harus bersekolah ke SD Negeri 002 Jumrah. Pergi dan pulang ditempuh naik perahu. Anak-anak yang baru masuk SD dianggap masih terlalu terkecil untuk menempuh perjalanan yang berbahaya. Warga memohon agar di kampung itu didirikan sekolah. Akhirnya dibuatlah kelas jauh. Tapi hanya sampai kelas dua. Murid-murid kelas tiga ke atas, tetap harus ke SD Negeri 002 Jumrah. Saat kami berloncatan dari perahu ke daratan, ternyata murid-murid asal Sekusut itu sudah ramai di pinggir sungai. Begitu juga para orangtua mereka. Merekalah yang berteriak-teriak agar Pak Camat dan rombongan segera naik ke darat karena bono sudah dekat. Begitu kami sampai di atas, mereka berebutan bersalaman. ‘’Terima kasih Pak Camat sudah datang ke kampung kami.’’ Ini adalah kedua kalinya Camat Syamzani datang ke Sekusut. Ramadan lalu ia melakukan Safari Ramadan ke kampung tersebut. Ketika anak-anak dan warga berebut bersalaman itu, gelombang bono pun datang. Gemuruhnya sangat keras. Tinggi gelombangnya mencapai tiga meter, sejajar melintang

24


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

lebar Sungai Rokan yang lebih dari setengah kilometer. Menyapu semua yang ada dalam sungai. Semua terdiam. Percikan air terbang ke atas tebing, tempat kami berdiri. Sebagian bahkan mundur selangkah, karena kuatnya hempasan gelombang. ‘’Lihat Pak Camat! Begitulah deras dan tingginya gelombang bono Sungai Rokan ini. Seperti inilah yang harus ditempuh anak-anak kami berangkat ke sekolah. Bagaimana kami orang tua tidak risau. Kalaulah sempat bono datang secara tiba-tiba saat mereka di pertengahan sungai... habislah semua,’’ kata Tiyer Lina, seorang ibu rumah tangga. ‘’Ibu punya anak yang sudah sekolah? Berapa orang?’’ ‘’Iya, Pak! Anak saya Nur Atika, umurnya sembilan tahun, kelas tiga SD 002 Jumrah. Adiknya kelas satu, sekolah di sini, di pelial dari SD 002 Jumrah.’’ Setelah bono berlalu, warga mengajak Camat Syamzani ke lapangan di tengah perkampungan. Di tempat itu, camat menyampaikan keperhatinan melihat anak-anak Sekusut yang harus menantang maut untuk bersekolah. ‘’Saya sangat prihatin. Tadi saya merasakan sendiri bagaimana berbahayanya naik perahu ke sini, di tengah perasaan waswas akan datangnya gelombang bono. Kami sebagai pemerintah merasa bersalah atas kurangnya perhatiannya kami kepada anak-anak ini. Untuk menuntut ilmu mereka harus berjuang menantang maut. Kenapa selama ini tidak terpikir oleh pemerintah kalau kampung Sekusut ini perlu jalan darat yang layak, atau disediakan kapal yang lebih besar.’’ Sembari tersenyum, camat menyalami satu persatu murid-murid yang berkumpul di depan rumah seorang warga. ‘’Bapak ingin bertanya, apakah ada anak-anak Bapak tercinta yang juara di sekolah? Kalau ada, tunjuk tangan!” Seorang murid perempuan, Rina (9), langsung

25


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

mengacungkan tangan. ‘’Bagus!’’ ‘’Apakah anak-anak Bapak pernah kono bono?’’ Secara serentak murid-murid itu menjawab, ‘’Pernah, Pak Camat!’’ Waktu itu, cerita Nur Atika, mereka naik perahu ke sekolah. Tiba-tiba bono datang dengan gelombang sekitar tiga meter. Ketika bono sudah semakin dekat, juru mudi pompong dengan cepat minggir ke tepi sungai. Anak-anak yang sudah besar, kelas lima dan enam, berloncatan ke darat. Sedangkan anak-anak yang masih kecil, kelas tiga dan empat dilemparkan oleh juru mudi perahu. ‘’Kami dilempar ke daratan satu persatu. Ada yang meloncat ke semak-semak. Kalau tidak, perahu kami karam. Untung kami semua selamat. Kalau tidak cepat dilemparkan, tak tahulah bagaimana jadinya,’’ cerita Nur Atika. Camat Syamzani tampak serius mendengarkan pengalaman bocah-bocah itu. Wajahnya tampak iba bercampur takjub. ‘’Siapa di antara anak-anak Bapak ini yang anak yatim?’’ Syamzani kembali bertanya. Semua diam, saling pandang. Solihin, Kepala SD Negeri 002 Jumlah, maju ke depan. Menurut data sekolah yang ia miliki, dari 40 murid dari Sekusut ada tiga orang anak yatim. Ketiga anak itu dipanggil ke depan. Mereka Arwin, Darwi dan Rotma. Camat merogoh kantong, mengeluarkan tiga lembar uang Rp100 ribu dan menyerahkan kepada tiga anak tersebut. ‘’Terima kasih, Pak,’’ anak-anak yatim itu gembira. Kami kemudian menuju SD Negeri 002 Jumrah, filial Sekusut. Sekolah ini hanya memiliki tiga ruangan: dua ruang belajar, satu ruang guru. Di sini hanya ada kelas satu dan dua. Tiap ruang kelas luasnya 15 x 5 meter. Berlantai tanah. Dinding papan kayu meranti. Musim kemarau berdebu, bila hujan becek, karena air masuk ke dalam kelas. Di dalam kelas

26


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

hanya terdapat tiga bangku panjang dan meja. Bangku sepanjang empat meter itu diduduki lima orang murid. Di depan kelas, terdapat papan tulis dari triplek biasa. Di kelas filial ini, kata Solihin, terdapat 32 orang murid. 15 orang kelas satu dan 17 orang kelas dua. Mereka dibimbing tiga orang guru, satu orang guru PNS dan dua honorer. ‘’Kita di sini masih kekurangan buku pelajaran,’’ kata Solihin. Dua lokal ini sengaja didirikan di Sekusut. Sebab, orangtua riskan melepas anak-anaknya yang masih kecil untuk naik perahu menuju sekolah. Atas kesepakatan, dibangunlah sekolah ini khusus untuk murid kelas satu dan dua. ‘’Kami berharap ada perhatian dari pemerintah. Agar anak-anak Sekusut ini dapat menikmati fasilitas yang sama dengan sekolah lain,’’ kata Ketua RT 15 Maryadi berharap. *** Nur Atika murid kelas tiga SD Negeri 002 Jumrah. Bocah sembilan tahun ini harus bangun pagi sekali, agar bisa berangkat ke sekolah. Selain takut terlambat, dia juga takut ketinggalan perahu yang ditumpangi setiap hari. Tika, begitu panggilannya, adalah anak pasangan Farni Ngotan Nasution dan Tiyer Lina. Tika anak ketiga dari lima bersaudara. Pagi itu, sekitar pukul 08.00 WIB, dia bersama temantemannya berlari menuju dermaga untuk naik perahu. Kali ini mereka memang agak lambat dari biasanya. Di hari lain, mereka berangkat pukul 07.00 WIB. Tiga atau empat hari dalam sebulan, biasanya di pertengahan bulan hijriah, perahu ke sekolah berangkat lebih lambat. Atau bisa juga lebih cepat. Karena di hari-hari itulah gelombang bono datang. Agar di perjalanan ke sekolah tak terjebak bono, jadwal perahu sengaja dilambatkan. Mereka berangkat setelah bono lewat. Atau bisa juga dibuat lebih cepat, satu jam sebelum bono

27


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

datang. Tapi ini riskan, jika ada kerusakan mesin di jalan, bisa terjebak di tengah gelombang. Perjalanan ke sekolahnya, jika mesin pompong tak bermasalah biasanya hanya sekitar setengah jam. Itu kalau air pasang surut dan tidak melawan arus. Bila air pasang, bergelombang dan melawan arus deras, bisa memakan waktu sekitar satu setengah jam. Tika murid cerdas. Rambutnya panjang setengah bahu. Meski masih kelas tiga, ia komando di antara teman-teman seperjalanan yang berjumlah 40 orang, dari kelas tiga hingga kelas enam. ‘’Ayo teman-teman, kita berangkat. Nanti terlambat,’’ katanya sambil berlari ke perahu. Anak-anak itu bergegas naik ke perahu. Ada yang membuka sepatu dan menentengnya di tangan. Tika tampaknya agak kesulitan. Maklum ia pakai rok. ‘’Sup, tarik tanganku, aku tak bisa naik,’’ katanya sambil mengulurkan kedua tangannya pada temannya Supian yang sudah berada di atas perahu. Perahu itu dipenuhi 40 orang murid, berseragam putih merah. Juru mudi belum tiba. Supian berinisiatif mengumpulkan ongkos perahu. Masing-masing Rp1.000. ‘’Ongkos... ongkos... uang minyak,’’ Supian mengulurkan tangan ke teman-teman seperti kernet oplet meminta ongkos penumpang. Anak-anak itu mengeluarkan uang dari kantong masingmasing, menyerahkan pada Supian. ‘’Ayo bayar... bayar... untuk beli minyak. Siapa tak bayar, tak boleh berangkat,’’ Tika tertawa. Murid-murid lain ikut tertawa. Tingkah laku anak-anak ini membuat perahu oleng ke kanan. Bahkan, seorang anak nyaris terjatuh. Parni Otan, juru mudi perahu, tiba. Tangan kanannya menjinjing jerigen ukuran lima liter, berisi bensin. ‘’Sudah naik semua?’’ tanya Parni. ‘’Sudah, Pak!’’ jawab mereka serentak.

28


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Parni menarik tali starter mesin perahu, sambil mengingatkan anak-anak agar duduk dengan rapi. Sekali sentak, mesin langsung menderu. ‘’Jangan ada yang ke sana ke mari. Nanti perahunya oleng. Baca bismillah...’’ katanya dan perahu pun mulai melaju meninggalkan dermaga Sekusut. Anak-anak itu terdiam sejenak, lalu melambai ke dermaga. Memberi salam perpisahan pada para orangtua yang mengantar hingga pinggir sungai. Perahu bergerak makin cepat. Dermaga semakin jauh di belakang. Anak-anak diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Hening, hanya deru mesin dan suara pompong membelah air. ‘’Lihat... cantik ya kampung kita dilihat dari sungai,’’ suara Tika memecah keheningan. ‘’Ya, betul tu,’’ Nur Laila Fitri yang duduk di depannya menimpalinya. Perahu yang tak seberapa besar itu penuh sesak oleh 40 anak, murid kelas tiga sampai kelas enam. Tapi mereka tampak santai, menikmati perjalanan. Apakah mereka tak takut setiap harus mengarungi Sungai Rokan yang dalam, lebar dan bergelombang? ‘’Tidak... kami sudah terbiasa. Gelombang itu asyik. Perahu kami naik turun berayun-ayun. Seru, Bang,’’ ucap Tika polos. Nyali Tika baru ciut ketika bono datang. Sebab gelombang yang ditimbulkan bono jauh lebih besar. ‘’Kalau gelombang biasa tak apa-apa, sudah biasa,’’ katanya. Tika dan teman-temannya pernah dua kali merasakan dihantam gelombang bono. Beruntung saat itu mereka berhasil diselamatkan oleh juru mudi perahu. Mereka dilemparkan ke daratan! ‘’Untung waktu itu hanya luka lecet sedikit. Perahu yang kami tumpangi tidak sampai terbalik,’’ kenangnya. Kejadian pertama, saat itu perahu agak terlambat

29


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

berangkat. Untung juru mudi segera menepikan perahu dan anak-anak tersebut dilemparkan ke daratan. Peristiwa keduanya lebih menegangkan. Bono datang saat mereka baru saja hendak merapat ke dermaga dekat sekolah. Seorang murid, Nur Laila Fitri sempat terjatuh ke sungai. ‘’Untung waktu itu Supian cepat menolong dia untuk naik ke atas. Fitri luka lecet. Kami semua basah kuyup karena semburan air gelombang bono. Di sekolah tak bisa belajar karena bukubuku kami semua basah,’’ kata Tika. Sebenarnya bono bukanlah ancaman satu-satu yang mesti dihadapi Tika dan teman-temannya. Binatang buas, buaya Sungai Rokan yang terkenal ganas, juga menjadi tantangan tersendiri. Belum jika turun hujan, baju dan buku mereka basah karena perahu ini tak beratap. Tapi bagi anakanak ini semua itu sudah biasa karena setiap hari dijalani. Mereka tetap tekun ke sekolah demi mengejar cita-cita. ‘’Saya ingin jadi dokter,’’ jawab Tika ketika saya bertanya apa cita-citanya. ‘’Kalau saya mau jadi Polwan,’’ Nur Laila Fitri menimpali. Perjalanan 30 menit terasa singkat. Sepanjang perjalanan asyik bercerita. Teman-temannya ada yang bernyanyi sambil main tepuk-tepuk tangan. Ada yang bergelut sambil lemparlemparan kertas. Bahkan ada pula yang tertidur pulas sampai perahu merapat ke dermaga. Dari dermaga, gedung SD Negeri 002 Jumrah berjarak sekitar 200 meter. Setelah berlompatan dari perahu, anak-anak itu berjalan kaki, bahkan ada pula yang berlari-lari kecil menuju sekolah. Tapi pagi itu, satu jam pelajaran terlewat sudah. PPKn, mata pelajaran pertama pagi itu, tak bisa diikuti lagi. Namun pak guru maklum, hari-hari ini adalah musim gelombang bono. ***

30


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Parni Otan sudah beberapa tahun ini bolak balik dengan perahu mengantar dan menjemput anak-anak sekolah dari Sekusut ke Jumrah. Setiap anak dikenai ongkos seribu rupiah untuk pergi dan pulang. ‘’Cuma untuk beli bensin saja,’’ katanya. Sebenarnya, kata Parni, memilih pergi ke sekolah melalui jalur sungai lebih jauh daripada menempuh jalan darat. Jika lewat sungai hampir enam kilometer, lewat jalan darat hanya sekitar tiga atau empat kilometer saja. ‘’Tapi semua warga sepakat anak-anaknya lewat jalur sungai saja, meskipun setiap bulan kami harus menyiasati gelombong bono,’’ katanya. Parni bercerita, dari Sekusut ke Jumrah sebenarnya sudah ada jalan. Masih jalan tanah. Kondisinya memang lumayan parah. Hanya bisa dilewati kendaraan roda dua. Kalau musim hujan, sama sekali tak bisa dilalui. Dulu anakanak Sekusut pergi sekolah ke Jumrah dengan berjalan kaki melalui jalan tanah tersebut. Sebuah bencana membuat merinding para orangtua dan berpikir untuk melepas anakanak mereka lewat jalan itu. Suatu hari sepulang sekolah, seorang murid perempuan dicegat orang tak dikenal. Awalnya orang itu berpura-pura baik dan menawarkan mengantar anak tersebut pulang dengan sepeda motor. Namun di tengah jalan, orang itu membelokkan motornya ke semak-semak dan nyaris terjadi perkosaan. Untunglah anak ini berhasil kabur dan berlari sampai ke perkampungan. Kabar itu cepat tersebar di kampung Sekusut. Warga heboh. Mereka melakukan pertemuan. Akhirnya diputuskan, demi keselamatan mereka sepakat anak-anak ke sekolah melalui jalur Sungai Rokan. Agaknya, warga merasa lebih “aman” menghadapi ancaman dari alam —sungai yang lebar dan dalam, gelombang bono dan buaya, daripada menjadi korban kejahatan manusia. Sejak itulah Parni Otan bertugas

31


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

mengantar anak-anak itu dengan perahu setiap pagi dan menjemput siang hari. ‘’Tiap anak dikenai biaya bensin seribu rupiah,’’ katanya. Parni berharap, Pemkab Rokan Hilir sekali-sekali datang ke Sekusut melihat betapa beratnya perjuangan anak-anak mereka untuk bersekolah. Solusi satu-satunya, katanya, jalan tersebut diperbaiki sehingga bisa dilalui kendaraan dan anak tak perlu lewat sungai lagi. ‘’Kalau kami bisa mengantar dengan sepeda motor, itu jauh lebih aman. Sekarang ini, motor saja tak bisa lewat. Kalau dibiarkan jalan kaki, kami takut tindak kriminal terjadi pada anak-anak kami,’’ papar Parni. Ekonomi masyarakat Sekusut, sebenarnya lumayan memadai. Mereka rata-rata memiliki kebun yang hasilnya bisa mencukupi. Bahkan mereka bisa secara swadaya membangun jalan darat, tapi hanya sepanjang tiga kilometer. ‘’Sisanya kami tidak mampu. Jalan yang kami bangun hanya bisa untuk roda dua saja. Tapi kalau hujan tak bisa dilewati,’’ katanya. Kondisi jalan itu memang memprihatinkan. Di kiri kanannya kebun sawit. Sepi. Tiga jembatan yang dibangun secara swadaya, hanya satu yang bagus. ‘’Kalau ini diperbaiki, mungkin kami bisa mengantar anak dengan motor. Jelas lebih aman dan keselamatan anakanak lebih terjamin, tanpa harus setiap hari pulang pergi naik perahu.’’*** SAMSUL BAHRI adalah wartawan Pos Metro Rohil. Tulisan ini terbit di Pos Metro Rohil edisi 13 Oktober 2012.

32


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Rajo Lelo, Pewaris Terakhir Tuah Penakluk Harimau (1)

7 Tahun Sucikan Diri di Pesantren Syech Burhanuddin “Kok tidak landang jo landi, Di mano kiambang diam. Kok indak utang dibayia, Di mano dagang ka diam� LAPORAN BENNY OKVA, PADANG

TIBA-tiba bulu kuduk berdiri, saat Syamsir Rajo Lelo, yang duduk di depan penulis melafazkan dua kalimat mantra tersebut, Senin (20/5) sore. Darah berdesir, hati terkesiap, mendengar suara berat kakek bercucu 26 orang tersebut. Jelas bukan kalimat biasa. Ada nuansa balas dendam dari untaian kata itu. Jika dipahami, kalimat tersebut sarat makna. Di mana, seseorang yang berutang, bagaimana pun caranya mesti membayar setimpal. Tidak ada cerita menunda, apalagi melupakan. Namun, lelaki tua berjenggot putih, dengan usia lebih dari 80 tahun itu, tidak menujukan kalimat pemanggil tersebut kepada manusia. Tapi, terhadap sesuatu yang menakutkan. Binatang buas bernama harimau (panthera tigris sumatrae). Penguasa rimba Sumatera, yang oleh tetua Minangkabau dipanggil inyiak. “Itu lafaz pemanggil inyiak yang masuk perkampungan.

33


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Jika tak datang, akan tewas dengan sendirinya atau dibunuh oleh inyiak lain. Itu sudah perjanjian lama, tak bisa ditawar,” tutut Syamsir Rajo Lelo. Ungkapannya seperti memerkuat aroma ketakutan dari apa yang dibacanya, kala siang telah usai di beranda rumahnya, daerah Taruko Rodi, Kelurahan Limau Manih Selatan, Kecamatan Pauh, Kota Padang, Sumatera Barat. Daerah pinggiran yang belum sepenuhnya tersentuh roda pembangunan. Lahir 11 Januari 1933, Syamsir Rajo Lelo, adalah satusatunya pawang harimau yang hidup di Kota Padang. Pria tua yang hanya mengecap pendidikan formal sampai jenjang kelas II Sekolah Rakyat (SR) itu, juga merupakan pewaris terakhir ilmu pikek harimau yang dimiliki secara turuntemurun oleh keluarganya. Meski telah uzur, jangan bayangkan Rajo Lelo, seorang lelaki renta yang berjalan dengan bantuan tongkat atau hanya bisa duduk di kursi roda untuk menghabiskan hari tua. Rajo Lelo adalah lelaki kuat. Jalannya mantap, bicaranya cakap. Telinganya pun masih bisa menangkap pembicaraan dengan jelas. Pola “hidup berkeringat” yang dijalankannya, betul-betul membuatnya selalu bugar. Di tangannya, tak kurang sudah 30 harimau takluk. Bukan dijerat mati, tapi ditangkap hidup-hidup. Cukup pelik awalnya meminta Rajo Lelo mengingat memori hidupnya. Memaparkan lagi kepada penulis, bagaimana akhirnya dia mamutuih kaji lalu memilih hidup jadi pamikek harimau. Namun, akhirnya, setelah hampir setengah jam membujuk, Rajo Lelo membuka kisah untuk dirawikan kembali. “Saya hanya berharap, semuanya bisa jadi amalan,” ungkapnya memulai cerita. Bakat langka Syamsir Rajo Lelo, bukan didapatnya dengan mudah. Tidak datang dengan sendirinya. Butuh perjuangan, hingga kemudian dia bisa mengamalkan ilmu

34


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

itu. “Saya mendapatkannya dari mamak (paman-red). Dia penangkap harimau ulung. Tak terhitung harimau yang bertekuk di hadapannya. Saya pertama kali ikut menangkap harimau dengan mamak pada 1952 di daerah Batu Busuak. Ada dua ekor yang berhasil ditangkap waktu itu,” tutur Rajo Lelo, yang terpaksa berhenti sekolah karena Sekolah Rakyat (SR) tempatnya menuntut ilmu di tengah Kota Padang, ditutup paksa tentara Belanda pada 1941. Yakin dengan pilihannya, Rajo Lelo yang kala itu masih berumur delapan tahun, akhirnya diantarkan sang mamak ke Ulakan, Padangpariaman tepatnya di pusat pengajian Syech Burhanuddin. “Saya disuruh dulu memperdalam ilmu agama, menyucikan diri dan membuang segala amarah berlebihan di diri oleh mamak. Kalau tak begitu, katanya tidak bisa menjadi pamikek harimau. Saya diantarkan ke Pesantren Syech Burhanuddin. Dulu santri di sana ramai,” kenang Rajo Lelo. Di Pesantren Syech Burhanuddin, Rajo Lelo ditempa ilmu tarekat selama tujuh tahun. Selama itu pula dia giat belajar. “Lewat tujuh tahun, barulah saya naik tingkat dan diajarkan secara khusus cara mamikek harimau. Ada pula selama tujuh tahun saya belajar ilmunya,” beber pemilik dua mushalla tersebut. Boleh dikatakan, Rajo Lelo adalah orang pilihan. Dari 37 orang yang mengaji ilmu pikek harimau di masa itu, hanya dua orang yang lulus. Dia dan satu temannya dari Aceh. Yang terpatri di hati Rajo Lelo, saat dia mamutuih kaji (ujian akhir, red), oleh sang guru, seluruh santri diberi pisau yang sangat tajam. “Jangankan dipegang, melihat mata pisau itu saja, bergidik kita,” cerita Rajo Lelo. Berbeda dengan teman-temannya yang langsung menggunakan pisau, untuk pekerjaan, Rajo Lelo malah menyimpannya. Menurut hematnya, belum saatnya pisau

35


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

pemberian guru digunakan. “Ternyata benar, yang lulus pengajian adalah santri yang pisaunya masih tajam. Saya lulus dan akhirnya boleh mamikek harimau,” sebut Rajo Lelo semringah. Sejak saat itu, Syamsir Rajo Lelo melanglang buana jadi penangkap harimau. Sudah berpuluh rimba yang dia masuki untuk menangkap hewan pemangsa itu. Namun, jangan sangka Rajo Lelo menangkap harimau untuk diperjualbelikan. Dia hanya menangkap harimau yang mengganggu warga, mengusik ketenangan kampung. “Harimau yang ditangkap itu, yang masuk perkampungan. Harimau yang memakan ternak warga. Kalau tidak masuk perkampungan, tak akan diganggu apalagi diperangkap. Tidak ada yang tidak datang kalau saya sudah memanggil mereka,” sebut Rajo Lelo jemawa. Untuk menangkap harimau, Rajo Lelo tetap memakai pinjaro kayu maransi (kayu yang kuat khas daerah Sumbar). Lalu, sebagai umpan, dimasukkan kambing yang sebelumnya sudah dilimau dan dihembuskan asap kemenyan. “Istilahnya, sudah kita beri rajah. Pemanggil harimau. Ada bacaan yang mesti dilafazkan. Yang tadi saya sebutkan bagian dari potongan lafaz itu,” tutur Rajo Lelo. Dalam hitungan semalam, harimau akan masuk kandang secara sukarela. “Tidak akan mungkin salah tangkap, inyiak yang masuk pinjaro (penjara/kurungan, red) adalah yang mengganggu perkampungan. Tidak jarang diantarkan oleh harimau-harimau lainnya. Itu tandanya, mereka sudah mengakui kesalahan dan bersedia menebusnya,” ucap pria yang empat orang keluarganya tewas dihantam galodo, akhir 2012 lalu di Kampuang Ubi, Batubusuak, Padang. Hingga akhir 1995, tak kurang sudah 30 harimau yang ditangkap Rajo Lelo hidup-hidup. Harimau yang

36


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

ditangkapnya diserahkan ke Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar untuk dikembangkan di habitat lain. Rajo Lelo, sendiri hanya meminta uang siliah jariah dan pengganti beli umpan ke petugas BKSDA.(bersambung)

37


38


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Rajo Lelo, Pewaris Terakhir Tuah Penakluk Harimau (2)

“Saya Menikmati Sensasi Sorot Mata Raja Hutan” KISAH heroik Rajo Lelo menangkap harimau berhenti di 1995. Saat itu, pemerintah sudah melakukan pelarangan menangkap harimau dan menetapkan status langka kepada hewan berbulu belang itu. Namun, nama Rajo Lelo tetap harum. Bahkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar memberikan penghargaan atas dedikasinya menangkap harimau hidup-hidup dan menyerahkannya ke pemerintah. Dia juga masih memiliki tiga ekor harimau, yang saban hari tidur di dangau-nya. “Tahun 1995, saya akhirnya pensiun sebagai penangkap harimau. Berhenti dalam artian, tidak lagi masuk rimba ke luar rimba. Tapi, jika ada yang minta bantuan, tetap saya tolong. Tersebab saya menangkap harimau bukan dengan kekerasan, sehingga saya diberi penghargaan oleh BKSDA. Saya dianggap peduli terhadap kelangsungan hidup harimau dengan tidak membunuhnya,” sebut Rajo Lelo melanjutkan cerita. Tapi, pengalaman menangkap harimau tidak pernah dilupakan Rajo Lelo. Baginya, itu merupakan bagian hidup yang tidak akan pernah dilupakan dan termasuk langka. “Bagaimana ketakutan bercampur dengan keberanian,

39


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

sewaktu menatap mata si raja hutan itu. Saya menikmati,” tutur Rajo Lelo. Pensiun sebagai pamikek harimau, bukan berarti Rajo Lelo jauh dari binatang buas tersebut. Percaya atau tidak, sekarang ini Rajo Lelo mengaku memiliki tiga ekor harimau, yang saban hari tidur di dangau-nya (rumah dari papan susun sirih), di sebuah ladang, tak jauh dari Rajo Lelo bermukim. “Tepatnya bukan peliharaan, tapi sahabat. Setiap hari mereka tidur di kandang di bawah dangau. Masyarakat sini juga sering melihat. Harimau itu tidak mengganggu lagi. Sahabat saya. Biasanya, harimau-harimau itu mencari makan sendiri ke hutan. Sesekali saya beri mereka makan telur ayam kampung. Tapi, seringnya cari makan sendiri,” ungkap Rajo Lelo. Sekarang, yang disesali sang penakluk harimau dari Taruko Rodi itu adalah tingkah manusia. Dia miris menyaksikan ulah manusia yang tidak lagi menaati aturan alam. Berbuat sekehendaknya, bahkan melanggar pantangan yang membuat amuk harimau tak mereda sampai sekarang. “Jiko tuan ka rimbo gadang, tak usah sesakali mambaok pariuak karaia, pun baitu mangapiang puntuang, karaia tagak jo mangalatiakan aia cucian. Indak usah pulo manggadangan badan. Kok lupo jo nan dijanjian, sudahlah badan ka sangsaro.” Pepatah di atas merupakan perjanjian secara lisan antara manusia dan inyiak (harimau, red). Bermakna larangan bagi manusia yang akan masuk ke rimba. Meski didengungkan turun-temurun, namun perjanjian ini acap kali terlupakan. Seakan-akan, generasi sekarang sudah tidak lagi menghargai alam. Menaati perjanjian leluhurnya. “Percaya atau tidak, kita sebenarnya memiliki perjanjian dengan inyiak, dengan segala ciptaan-Nya. Perjanjian lama yang dibuat untuk ditaati. Akan tetapi, itu sekarang dilupakan. Bukan mereka (harimau, red), tapi manusia lah

40


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

yang tidak menaatinya,” sebut Rajo Lelo. Disebutkan Rajo Lelo, layaknya manusia, harimau juga memiliki karakter. Prinsipnya, tidak akan mengganggu kalau tak diusik. Baik secara langsung atau tidak. “Nah, tinggal kita lagi, bagaimana menghargai keberadaannya. Kalau ada harimau masuk ke kampung, berarti ada yang melanggar aturan itu,” tutur Rajo Lelo. Sepanjang tidak diganggu, harimau akan menjadi penyelamat manusia jika berada di hutan. Rajo Lelo punya cerita tersendiri tentang pertolongan harimau. “Suatu waktu, di pertengahan tahun 50-an, saya nyaris saja tewas saat dangau yang dibangun di tengah rimba Kampuang Ubi, Batubusuak, Kecamatan Pauh, Kota Padang, ambruk ditimpa pohon yang diameternya dua dekapan orang dewasa. Kalau lah tak harimau yang mengaum dan memaksanya keluar dari dangau, tak mungkin Rajo Lelo hidup sampai sekarang,” ujarnya mengenang. Rokok daun nipah yang digulung dengan tembakau dihisapnya dalam. Tugas Rajo Lelo bukan sekadar menangkap harimau, tapi dia juga memiliki kewajiban menyampaikan segala larangan itu kepada masyarakat. Dia tidak ingin, konflik antara manusia dan harimau kembali terjadi, hanya karena pelanggaran perjanjian lama tersebut. Di pundak Rajo Lelo, kewajiban itu terbeban. Menjadi pamikek harimau, tidaklah perkara gampang. Bukan hanya tentang cara memasang perangkap, mantra atau senjata. Lebih dari itu, harus ada pegangan, membaca pola serangan dan tentu saja memahami perjanjian antara manusia dan inyiak. Rajo Lelo paham dengan semua itu. (bersambung)

41


42


Rajo Lelo, Pewaris Terakhir Tuah Penakhluk Harimau (3-Habis)

Mengabdi di Jalan Tuhan‌ SUATU waktu di periode 1990-an, warga di kaki Karang Putiah, Indaruang, buncah. Auman harimau hampir setiap malam menggelegar. Masyarakat bergidik. Harimau turun bukit. Tak seekor, tapi tiga. Sang raja melabrak kandang, menyeret ternak dan meninggalkan bangkai di tengah pemukiman, lalu pergi untuk kembali lagi esok hari. Saat rasa takut menyelimuti perkampungan, Rajo Lelo dipanggil untuk menuntaskan rasa takut itu. Dengan segala kecakapan yang dimiliki, dipanggilnya sang raja hutan. Hanya sebaris dua baris doa, si pengusik datang. Panjangnya lebih dua meter. Dengan tatapan, dua ekor raja hutan itu tunduk. “Kami ketakutan saat itu. Harimau mengusik. Satusatunya cara, ya memanggil Rajo Lelo,â€? tutur Atin (71), yang duduk di balai-balai rumah Rajo Lelo. Dia menunggu waktu untuk diurut. Saat Rajo Lelo datang, dia menyuruh warga kampung menyiapkan kambing dan kayu maransih, untuk dibuatkan jadi pinjaro. Setelah diruwat, umpan berupa kambing dimasukkan ke dalam pinjaro. Rajo Lelo lantas mengitari lokasi kandang dengan memercikkan air. “Saya menunggu sembari merapalkan doa-doa. Pertama itu, banyak nyamuk yang datang ke lokasi. Awalnya tidak ada. Setelah itu, barulah dia datang. Harimau. Besar, dengan mata yang sudah sayu,

43


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

masuk kandang, setelah itu terkulai,” sebut Rajo Lelo. Sekali pun Rajo Lelo tidak melukai, dia memanggil dengan untaian doa. Memaparkan perjanjian antara manusia dan inyiak itu. Dia tenang-tenang saja. Mendekati pinjaro dan seperti bicara dengan harimau itu. Tapi, bagi warga itu sebuah ketakutan bukan kepalang. Bayangkan saja, harimau sebesar itu berjalan ke arah kita. Lain lagi cerita Kamaruddin, warga Taruko, Kecamatan Pauh. Dia nyaris tak sadarkan diri, saat menyaksikan tiga harimau berjalan menuju ladang. “Baru sebulan. Hari mulai gelap kala itu. Saya hendak pulang. Dari jarak sekitar 25 meter, saya melihat harimau. Tiga ekor, berjalan beriringan di pematang. Tubuh saya seketika seperti tak bertulang. Dengan menahan nafas, saya biarkan lewat. Nyatanya harimau itu masuk ke kandang, dangau Rajo Lelo. Baru saya tenang, ternyata itu harimau Rajo. Tidak mengganggu,” papar Kamaruddin. Kisah Lelo Diangkat ke Film Cerita kehebatan Rajo Lelo memang tak pernah habis. Hampir saban hari dia diceritakan. Bahkan, dua pembuat film dokumenter asal Jepang dan Prancis, sengaja datang ke Kota Padang hanya sekadar bertemu Rajo Lelo. Meminta Rajo Lelo kembali menceritakan kisahnya selama menjadi pamikek harimau. “Indonesia menjadi contoh keakraban manusia dan harimau. Kalau di negara sana, harimau yang masuk ke pemukiman dibunuh,” sebut Gaspard Kuents, sutradara film dokumenter itu. Rajo Lelo sendiri menyambut baik keinginan orang asing itu untuk membuatkan film tentang dirinya. Tentang jalan hidup langka yang telah ditinggalkannya berbelas tahun lalu. “Saya berkisah apa yang saya lakoni, bukan dibuat-buat,” tutur Rajo Lelo.

44


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Mengabdi di Jalan Tuhan Selepas pensiun sebagai pamikek harimau, bukan berarti Rajo Lelo hanya menghabiskan umurnya untuk bermain dengan anak cucu. Dia tetap mengabdi di tengah masyarakat. Selain kepandaian menangkap harimau, Rajo Lelo juga santiang memijit. Mulai dari urut pegal, hingga patah tulang, bisa dia sembuhkan. Tidak terhitung sudah berapa orang yang sembuh di tangannya. “Mereka datang dari berbagai pelosok. Ada yang dari luar negeri juga. Entah dari siapa mereka tahu, yang pasti saya tidak mengiklankan di media, kalau saya pandai mengobati patah tulang,” tutur Rajo Lelo sembari tersenyum. Sehari, ada sekitar 50 orang yang mengantre untuk diurut Rajo Lelo. “Tidak mungkin saya tolak. Mereka membutuhkan pertolongan. Sebisanya saya bantu. Alhamdulillah, banyak yang disembuhkan Allah lewat perantara saya,” lanjut Rajo Lelo. Sudah barang tentu, orang yang disembuhkan Rajo Lelo meninggalkan uang siliah jariah atas pekerjaannya. Tapi, jangan sangka Rajo Lelo menghabiskan uang tersebut untuk dirinya sendiri. Dia menyumbang untuk yatim piatu, kegiatan amal bahkan mendirikan dua musala. “Satu di belakang rumah, satunya lagi di kampung saya, Butubusuak,” cerita Rajo Lelo. Musala yang dibangunnya di Batubusuak, sempat rusak berat dihantam galodo yang mendera pada 17 September 2012 lalu. Tidak hanya musala yang diseret, empat anggota keluarga Rajo Lelo juga tiada, akibat bencana tersebut. “Tapi sekarang sudah dibangun lagi. Musala yang di sana, saya peruntukkan untuk keponakan, kalau di rumah, untuk anak. Itulah yang saya tinggalkan jika kelak saya tiada,” ucap Rajo Lelo. Semangat Rajo Lelo untuk berbagi dan membangun

45


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

negerinya memang tidak pernah padam. Sudah berpuluh tahun dia mengabdi ke tengah masyarakat. Selama itu pula, Rajo Lelo merasa bangga, bisa membantu. “Jika nanti saya tiada, entah siapa yang akan mewarisi. Terutama tuah penakluk harimau ini. Tidak ada lagi yang mau belajar. Saya yang terakhir mengamalkannya. Entah mungkin jadi yang terakhir,” kata Rajo Lelo sembari memandang jauh ke halaman rumahnya yang dilapisi batu kerikil. Sekian lama diam, dia akhirnya berdiri. “Saya mau adzan dulu. Memanggil orang untuk salat. Lain waktu dilanjutkan,” tuturnya sembari melangkah. Ada semangat dan ajakan kebajikan dari setiap kata yang terucap dari pak tua luar biasa itu.(habis) BENNY OKVA DELLA adalah wartawn Posmetro Padang. Tulisan ini terbit di Pos Metro Padang, 22 Mei 2013

46


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Demi Rupiah, Racun pun Diajak Kompromi Rona matahari senja mulai memerah di kaki langit. Tapi, puluhan warga, tua-muda, pria-wanita dan anak-belia tak terpengaruh, tetap saja lalu lalang dekat sebuah gudang di tepi Jalan Lintas Dumai-Duri, Kelurahan Bagan Besar, Kecamatan Bukit Kapur, Dumai. Bahkan gerimis yang turun pun tidak menyurutkan langkah mereka untuk mengais rezeki. LAPORAN YON RIZAL SOLIHIN, DUMAI

TANAH masih basah, sisa-sisa hujan yang menyirami bumi menjadikannya berlumpur dan licin, Senin (17/3) malam. Tangan Butet (52) begitu lincah mengais bawang yang bercampur lumpur. Tak jauh darinya, salah seorang dari dua gadis manis menghidupkan lampu kecil yang bersumber dari telepon seluler yang digenggam di tangan kanan. Di keremangan cahaya rembulan yang dibalut awan hitam itu sesekali tangan kanan ibu tujuh anak ini memasukkan bawang merah dan putih yang dikaisnya dengan jalan meraba-raba antara tanah dengan tumpukan komoditas pertanian yang dalam dua bulan terakhir ini melambung tinggi dan terbilang langka di pasaran itu. Kalau pun ada, konsumen harus merogoh kocek dalam-dalam,

47


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

harganya antara Rp45 ribu hingga Rp50 ribu per kilogram. Tak begitu jelas mengapa bumbu dapur itu tiba-tiba menghilang dari pasaran. Tidak hanya rakyat kebanyakan yang menjerit dibuatnya. Seorang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) keningnya sempat mengkerut. Alih-alih, pejabat berkompeten pun kena damprat lantaran dinilainya lamban mengatasi persoalan hajat orang banyak itu. Sebelumnya, tudingan serupa dari pengamat, politisi, kalangan akademisi pun dialamatkan kepadanya. Ah, lupakan SBY dengan pejabatnya. Yang terang beberapa butir bawang yang diperoleh Butet dari mengais tanah basah itu dimasukkan ke dalam karung lusuh yang tidak jauh dari Vivi (19), putri keempatnya. Sementara Via (23), kakak Vivi berada dua meter di belakang sang adik. Sebelum dimasukkan ke dalam karung, sesaat tangan perempuan paruh baya itu menggosokkan bawang itu dengan tangannya sehingga berapa cupil tanah merah kecoklat-coklatan berjatuhan. Sesekali, Butet -dengan posisi jongkok- menggerakkan kaki yang sedikit menghunjam ke bumi. Kendati hanya diterangi cahaya lampu telepon seluler serta remang sinar rembulan, kecantikan dua dara itu tetap terlihat. Hidung bangir Vivi dengan kulit putih remaja itu sangat pas dengan kaos lurik perpaduan antara kuning dan putih yang mereka kenakannya di malam itu. “Prak...prak....� terdengar bunyi tatkala kaki-kaki Butet berpindah dari posisi satu ke posisi lainnya. “Ya, beginilah kalau jadi orang susah Pak,� sahut Vivi ketika Bengkalis Ekspres menyodorkan pertanyaan menggoda apa yang mereka lakukan di hamparan tanah landai dan sedikit menurun dengan kemiringan sekitar 45 derajat. “Rencananya bawang ini dijual. Ya, meringankan

48


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

kebutuhan sehari-hari. Maklum suami cuma petani. Hasilnya untuk keperluan sehari-hari,� timpal Butet dengan kedua tangan asyik mencari bawang yang bercampur lumpur. Malam itu, tak hanya Butet. Puluhan, bahkan -mungkinratusan warga menyerbu gudang sementara milik Husin itu. Tanpa menghiraukan waktu mereka berbondong-bondong mendatangi gudang yang sedikit menjorok ke dalam dari jalan itu. Kendaraan roda dua lalu lalang membawa orang atau bawang. Meski hanya ditemani bulan, namun areal pergudangan itu berubah lazimnya pasar malam. Suara cekikan dan canda tawa dari remaja tanggung terdengar jelas di ujung gudang. Tak jelas apa yang mereka bicarakan sehingga tawa renyah ke luar dari bibir mereka. Tak jauh dari mereka, Etek (55) juga mengais sisa-sisa bawang. Kedua tangannya lincah memisahkan antara bumbu dapur itu dengan lumpur. Hanya berjarak sekitar sekitar 10 meter, Yadi (16) putra perempuan paruh baya ini juga asyik membantu sang ibunda. Kata Etek, uang hasil mengumpulkan bawang itu dijual dan uangnya untuk membayar SPP anak ke-10 dari 14 bersaudara yang masih duduk di kelas X, SMP 5 Dumai. Untuk membantu suami, perempuan itu mengaku menjadi buruh mencuci baju dan kerja lainnya. “Rumah masih kontrak. Ya, saya sengaja ke sini untuk memungut bawang. Hasilnya lumayan untuk membantu biaya sehari-hari. Maklum, anak saya banyak. Apalagi semua harga barang-barang naik, bawang ini menjadi berkah tersendiri,� celoteh Etek yang mata elangnya memperhatikan dengan seksama ke arah tumpukan lumpur bercampur tanah. Abaikan Kesehatan Sebelumnya, Kamis (14/3) pagi menjelang siang satu alat berat menggali tanah sedalam 3 meter dengan garis tengah sekitar satu meter di dataran landai areal pergudangan milik

49


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Husin. Sekitar pukul 15.00 WIB 64 ton bawang ditumpuk di lubang itu. Selanjutnya di atas tumpukan bawang itu ditaruh tumpukan kayu kering yang berguna sebagai umpan api. Sebelumnya, disiram bahan bakar minyak (BBM). Informasi di lapangan menyebutkan bahwa bawang itu telah terkontaminasi racun agar tidak diambil warga dan menimbulkan rasa takut maka komoditas itu disiram zat kimia (sumber Bengkalis Ekspres menyebutkan jenis roundup, sejenis racun pembasmi rumput ilalang). Selain instansi terkait, ratusan warga juga menyaksikan pemusnahan bawang merah dan bawang putih selundupan yang dibungkus ribuan karung berwarna merah dengan ukuran berat masing-masing 20 kilogram. Sebelum dilakukan pembakaran, Kepala Dinas Kesehatan Karantina Riau, Drh Dwi Agus Sudaryanto mengimbau warga tidak mengambil bawang itu lantaran sudah mengandung racun yang berbahaya bagi kesehatan manusia. “Pemusnahan itu untuk menghindari dan mencegah penyebaran organisme tumbuhan. Dan saya mengimbau agar masyarakat tidak mengambil bawang itu, karena efeknya baru terlihat lima tahun setelahnya. Selain, bawang merah itu sudah tidak layak untuk dikonsumsi dan sebagian busuk,� imbau Agus mewanti-wanti. Tapi siapa yang mau peduli dengan warning Agus tadi. Hanya sekian jam pascapemusnahan plus peringatan Badan Karantina Provinsi Riau agar warga tidak memungut komoditas yang setakat ini harganya meroket, lantaran berbahaya karena diduga mengandung zat beracun, ratusan orang berkelompok atau sendiri-sendiri mendatangi areal pemusnahan bawang. Mereka tidak peduli dengan peringatan itu. Malah nekat menyerbu tempat kejadian peristiwa (TKP). Belakangan hingga Ahad (17/3) sekitar pukul 24.00 WIB mereka masih berkumpul untuk mencari

50


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

sisa-sisa pemusnahan bawang. Sejumlah orang dewasa turun ke dalam lubang sedalam tiga meter. Mereka bahu membahu mengangkat bawang itu ke atas layaknya lomba panjat pinang di acara 17 Agustusan. Namun sebelumnya, mereka harus rela bermandikan lumpur lantaran areal pemusnahan bawang ini diguyur hujan. Sebagian bawang berserak, tak ayal aksi saling berebutan dan dorong-mendorong sesama warga tak bisa dielakkan terlebih antara ibu-ibu. Kendati sempat terjadi tarik-menarik, namun suasana ceria tetap menghiasi wajah mereka. Bahkan tidak jarang mereka saling melempar tawa lantaran aksi itu terbilang lucu. Memang, komoditas pertanian itu disiram beberapa jerigen solar dan minyak tanah, serta zat kimia. Selanjutnya ditimbun kembali menggunakan alat berat. Namun proses dibakarnya bawang yang ditimbuni tu tidak merata. Karenanya, warga beranggapan banyak bawang yang masih utuh. Meski dinilai berbahaya bagi kesehatan, namun sebagian warga tidak ambil pusing, Rahmadiilah alias Dedel, misalnya, tetap nekat mengambil bawang itu di areal pemusnahan. “Hidup sekarang susah bang. Apa-apa naik. Katanya lima tahun baru tahu efeknya, apa kita masih hidup atau tidak. Yang sekarang-sekaranglah, nanti ya nanti, mumpung harganya mahal dan ada yang menampung,� ujar pria itu, sambil memasukkan bawang ke dalam karung. Lebih jauh Dedel mengatakan, untuk saat ini menjadi pedagang tidaklah mudah, kalau pun ada fasilitas kredit lunak, namun kalau tidak punya agunan dia menilai sulit untuk memperoleh modal. Kalau pun ada meminjam ke rentenir. Jangankan untuk modal, lanjut dia, buat makan setiap hari sulit. Dengan mengais bawang ilegal pascapemusnahan merupakan salah satu peluang yang ada bagi warga untuk mengais rezeki, setidaknya agar bertahan untuk

51


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

hari ini. “Kerjaan banyak, tetapi yang bayar tidak ada,” kata Dedel, tersenyum simpul. Namun tidak semua warga berpikiran seperti Dedel. Rahmad misalnya, mengatakan bahwa orang yang datang mengambil bawang itu mayoritas kediamannya jauh dari TKP. “Jadi mereka tidak hadir di awal pemusnahan. Kalau yang tahu, ya takut. Isteri saya pernah diajak sama tetangga untuk mengambil bawang itu, namun saya larang karena mengandung racun,” kilah Rahmad di TKP pemusnahan. Kendati areal pemusnahan bawang seludupan dijaga aparat sesuai permintaan Badan Karantina Provinsi Riau, namun mereka tidak bisa berbuat banyak ketika beberapa jam pascapemusnahan ratusan warga mendatangi areal pemusnahan bawang itu. Mereka beramai-ramai menggali lubang yang berisi puluhan ton bawang itu dengan peralatan seadanya. Terkait ini, tokoh masyarakat Bagan Besar Muzakir menyayangkan langkah pemusnahan bawang di tengah pemukiman warga yang pembakarannya tidak sempurna. “Karena tidak sempurna, banyak bawang yang tidak terbakar. Lalu mereka beramai-ramai melakukan penggalian untuk mengambil bawang yang masing tertimbun itu,” kata Muzakir, Ahad (17/3). Salah seorang warga, Syaiful bersama rekannya melakukan penggalian di lokasi timbunan bawang. Dalam menggali, mereka pun berkelompok. Setelah dilakukan penggalian ternyata bawang tersebut masih utuh dan bisa dijual. Informasi yang menyebutkan bahwa bawang masih banyak yang utuh membuat ratusan warga berbondong bondong mendatangi lokasi. Tanpa memikirkan resiko mereka pun nekad terjun ke lokasi melakukan penggalian. Tak hanya itu, informasi di lapangan menyebutkan bahwa bawang yang telah digali ini masih laku dijual dengan harga Rp20.000

52


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

perkilogram. Menurut penuturan seorang warga, Basiran, ada sekelompok warga yang berhasil mendapatkan 1 ton lalu menjual kepada penampung bawang yang stand by di lokasi. Komoditas itu pun dinilai dengan harga fantastis, Rp20 juta. Terjual Habis Fenomena pemusnahan bawang ilegal menjadi sebuah paradoks. Paling tidak, di satu sisi “dijarahnya� komoditas itu membahayakan mereka lantaran bumbu masak itu terkontaminasi racun. Namun di sisi lain, menjadi rezeki atau pemasukan tambahan bagi masyarakat di saat melonjaknya harga bawang. Kendati harus menantang risiko, akan tetapi tidak menyurutkan semangat mereka untuk menggali bawang tersebut. Nurbaya, misalnya, salah seorang warga RT 02, Kelurahan Bagan Besar, Kecamatan Bukit Kapur, Kota Dumai, terbilang pandai memanfaatkan momen. Ia pun membeli bawang hasil galian warga di TKP pemusnahan. Harga bervariasi dan ditentukan warga, namun rata-rata kisaran Rp10 ribu hingga Rp15 ribu perkilo. Kondisi ini tak pelak memicu warga lainnya untuk menggali bawang pascapemusnahan. Jiwa bisnis Nurbaya patut diacungkan jempol. Karena harga bawang yang terus melonjak, tanpa diketahui kapan turun, ia pun mengecer ke kedai yang ada di Kota Dumai termasuk pasar tradisional bahkan sampai ke Kecamatan Medangkampai yang berjarak sekitar 20 kilo meter dari areal pemusnahan bawang ilegal. Dari hasil penjualan bawang tersebut, keuntungan yang diraih Nurbaya terbilang lumayan. Bawang yang semula yang ia beli sekitar Rp10 ribu hingga Rp15 ribu perkilo lalu dijualnya dengan harga Rp25 ribu hingga Rp35 ribu perkilo. Nurbaya yang ditemui di Buangan Sampah mengaku seluruh bawang yang dia beli

53


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

ludes terjual. Pascamembeli dari warga di areal pemusnahan, tanpa membuang waktu dia langsung menjualnya mengingat kondisi bawang mulai membusuk dan takut tidak tahan lama. Ini disebabkan sebahagian sudah terkena air akibat terendam di lokasi penggalian. Kejar-kejaran Bawang merah itu tak hanya menjadi berkah bagi sebagian warga Bagan Besar sekitarnya. Juga, bagi mereka yang sengaja datang dari Dumai yang berjarak sekitar 10 kilometer dari lokasi itu. Bawang yang diperebutkan itu sendiri merupakan hasil tangkapan petugas Kantor Bea dan Cukai Dumai. Memang, peristiwa ini bukan kali pertama terjadi. Bawang merah dan bawang putih itu dibawa masuk melalui “jalur tikus” Sungai Kemeli dari negeri jiran, Malaysia. Peristiwa itu terjadi, Senin (4/3) sekitar pukul 00.30 WIB dini hari. Menariknya, penangkapan bawang impor asal Malaysia ini diwarnai aksi kejar-kejaran antara petugas dan supir truk layaknya film laga di layar kaca, sebelum akhirnya berhasil dihentikan di Simpang Pelintung, Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai. Dari aksi pengejaran ini petugas mengamankan 4 truk yang bermuatan 27 ton atau sebanyak 1.326 karung bawang merah. Bersamaan itu juga diamankan 4 orang tersangka yakni para supir. Mereka dimintai keterangan. ‘’Dari aksi penyeludupan ini kita berhasil mengamankan sebanyak 4 truk colt diesel bermuatan bawang merah impor asal Malaysia, pencegahan dilakukan di darat setelah aksi kejar-kejaran dan berhasil dihentikan di simpang Pelintung. Bersamaan dengan itu kita juga menahan 4 orang supir guna dimintai keterangan lebih lanjut,’’ kata Kasubsi P2, Sarmento saat dikonfirmasi Bengkalis Ekspres, Senin (4/3).

54


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Barang bukti berkarung-karung bawang merah seludupan itu diamankan di Gudang Singa Sia milik Bea Cukai Dumai yang terletak di Kelurahan Bagan Besar. ‘’Belum diketahui berapa jumlah pasti keseluruhannya karena masih akan dilakukan pencacahan sekaligus pelimpahan ke Balai Karantina Tumbuhan,’’ ungkapnya. Pejabat ini menjelaskan bahwa aksi penyeludupan bawang impor melanggar Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 60/M-DAG/PER/9/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Holtikultura. Serta Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 43/PERMEN-TAN/ OT.140/6/2012 tentang Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan Hasil Tumbuhan Hidup berupa Sayuran Umbi Lapis Segar ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). ‘’Impor produk pertanian dan komoditas buah-buahan diatur oleh Permentan hanya boleh masuk di empat pelabuhan. Di Sumatera hanya dibenarkan melalui Pelabuhan Belawan, Medan,’’ tukasnya. Kasus penyeludupan bawang ini menambah daftar panjang aksi penyeludupan yang dilakukan pihak tidak bertanggungjawab yang mencoba masuk melalui perairan Dumai. Belum genap sepekan sebelumnya (28/2) petugas BC Dumai juga berhasil menggagalkan sebanyak 3,7 ton bawang merah dan bawang putih dari atas Kapal KM Sampurna GT 22 yang juga terjadi di jalur tikus Sungai Kemeli, Kelurahan Pelintung, Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai. Untuk kasus 3,7 ton bawang ilegal ini telah dilimpahkan ke Balai Karantina Pertanian Klas I Pekanbaru Wilayah Kerja Dumai, yang kelanjutannya masih menunggu instruksi pemusnahan terhadap seluruh barang bukti tangkapan. Di bagian lain, Kepala Dinas Kesehatan Karantina Riau, Dwi Agus Sudaryanto, mengatakan, berton-ton bawang putih

55


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

dan merah hasil tangkapan itu dimusnahkan karena sudah membusuk dan dikhawatirkan beredar di pasaran. “Diduga, ribuan ton bumbu dapur yang kini banyak diburu warga itu sengaja diselundupkan ke Indonesia, karena harganya terus melejit sejak sepekan terakhir,” kata Agus, Jumat (15/3). Agus menambahkan, Dumai merupakan salah satu pintu masuk bawang putih dan merah ilegal yang sering diselundupkan dari Malaysia. Penyelundupan marak terjadi karena kurangnya pengawasan dari pihak terkait. Tergiur Murahnya, Takut Racunnya Fenomena mengais bawang ilegal pascapemusnahan sesaat menjadi pembicaraan hangat di tengah masyarakat, terlebih kalangan ibu rumah tangga (IRT). Bagi mereka, harganya yang lebih murah dari bawang asal Jawa menjadi magnet tersendiri. Namun begitu, mereka sedikit khawatir menyusul dugaan bahwa bumbu masak itu mengandung racun. “Ingin juga membeli karena lebih murah, tapi kita takut lantaran katanya mengandung racun. Sementara harga bawang Jawa mahal sekali, tidak sanggup membelinya, kita jadi bingung,” tutur Rina salah seorang IRT saat diminta tanggapannya. Seiring waktu, Senin (18/3) di lokasi pemusnahan bawang yang biasanya didatangi warga yang berkerumun menggunakan kendaraan roda dua sudah tidak seramai pekan lalu. Hanya saja, masih terlihat satu-dua warga yang masih berupaya mengggali untuk mendapatkan bawang yang besar kemungkinan masih tertimbun. Ahmadi yang seharihari beraktivitas di gudang milik Husin tempat pemusnahan bawang ilegal mengaku, dari pagi warga tidak banyak lagi berdatangan. “Namun sebagian kecil warga yang mencari bawang yang masih tersisa,” terangnya.

56


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Lain Ahmadi, lain pula Iskandar warga RT 14 Bagan Besar. Dia mengatakan, sebagian besar bawang sudah berhasil diangkut warga. Selain itu, Ahad (17/3) dengan menggunakan alat berat ekskavator, sebagian warga berinisiatif mengakhiri penggalian bawang yang selalu ramai dalam empat hari terakhir itu. Menyinggung fenomena penggalian bawang pascapemusnahan, pemerhati ekonomi pembangunan Kota Dumai Arsan Annora SE menilai bahwa pemandangan itu merupakan salah satu bukti kegagalan pemerintah menjamin sandang-pangan rakyat pada harga yang murah, terjangkau dan kontinyu. “Kemarin garam diimpor, kini bawang, besok entah apalagi. Jelas ini ada yang salah, tentu ini menjadi ‘PR’ pengambil kebi-jakan” pungkasnya serius. Waktu bagai terlempar dari busur, malam terus merambat, Butet, Etek dan sejumlah besar warga yang mendatangi lokasi pemusnahan bawang mulai meninggalkan tempat itu. Pohon akasia yang kokoh tertancap di bumi yang tak jauh dari mereka menjadi saksi bisu bahwa fenomena mengais bawang ilegal pasca pemusnahan adalah gambaran kemiskinan yang menyelimuti bangsa ini. Duh…..*** YON RIZAL SHOLIHIN adalah wartawan Bengkalis Ekspres. Tulisan ini terbit di Bengkalis Ekspres edisi 31 Mei 2013.

57


58


Daliaman Purba, Tuna Netra Penyadap Tuak (Bag-1)

Mampu Sekolahkan Anak Hingga Sarjana Cacat fisik tidak menjadi alasan untuk menyerah pada kehidupan. Daliaman Purba (63), warga Dusun Saribu Raya, Nagori Simbolon Tengkoh, Kecamatan Panombeian Panei, yang mengalami kebutaan sejak berumur 2 tahun, tetap tegak sebagai kepala keluarga. Ia mampu menafkahi istri dan anak-anak dengan profesi tradisional: menyadap tuak (nira). LAPORAN RANO HUTASIOT, SARIBU RAYA

KEBERADAAN Daliaman Purba awalnya diketahui METRO dari pendeta GKPS Parjalangan Pdt Naek Hamonangan Damanik. Dia mengatakan, di Dusun Saribu Raya tinggal seorang ayah dengan kondisi buta, namun dapat berangkat ke ladang tanpa dipandu siapapun bahkan dapat memanjat pohon aren hingga menghasilkan tuak. Menyadap tuak jadi jalan hidup ayah tegar ini untuk menyekolahkan anaknya hingga kuliah. “Jika melihat orangtua yang buta itu dengan kegigihan dan semangat kerja, kita bisa tersadar kalau Tuhan itu memang adil,� ujar Pdt Naek Hamonangan Damanik. Saat METRO menyambangi tempat mangkal para agen

59


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

tuak dari parjalangan tepatnya di depan rumah makan khas Karo di Jalan SM Raja, Minggu (28/4) sekitar pukul 11.00 WIB, Bejo Saragih (32) membenarkan kehidupan seorang ayah yang dapat menghidupi bahkan menamatkan anaknya dari perkuliahan walau dengan kondisi tak bisa melihat. “Tongon do adong sada bapa lang mapanonggor tapi boi maragat tuak. Juppahi ma anak ni margoran Sendi. (Benar ada seorang ayah yang buta tapi dapat menyadap tuak. Temuilah anaknya bernama Sendi),� ujarnya. Perjalanan menuju Dusun Saribu Raya yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari Kota Siantar, sekitar satu jam. Dengan melewati Simpang Sibatu-batu, perjalanan harus melalui jalan berbatu. Setelah melalui Desa Simbolon Tengkoh, jalan yang dilalui hanya jalan tanah. Saat melintas menuju Saribu Raja karena kondisi saat itu hujan, kedalaman kubangan jalan mencapai 10-15 cm. Selain itu, tanjakan jalan yang mencapai kemiringan hingga 45 derajat membuat METRO harus ekstra hati-hati. Setibanya di Dusun Saribu Raja, beberapa jerigen tuak terlihat berbaris di rumah salah satu warga. Hal itu menandakan daerah Saribu Raya sebagai penghasil tuak. Saat ditanya keberadaan rumah Daliaman Purba, salah seorang warga bermarga Purba menyarankan untuk menemui Sendi Purba yang merupakan anak Daliaman Purba. “Pitung be ibana, pitungan pe au. Halani anggo marbabo poyon bani juma parlansinaan rado tarcabut lassina. Tapi anggo ibana ibotohna do idia poyon, idia bona ni lansina. (Walau dia buta, namun masih lebih buta aku. Karena kalau mencabut rumbut sering yang tercabut malah pohon cabe. Tapi kalau bapak itu bisa tahu mana rumput dan mana pohon cabe,� ujarnya. Selanjutnya pria bermarga Purba itu menyuruh anaknya menemani METRO menemui Sendi Purba. Begitu sampai di rumah Sendi Purba, METRO pun perkenalkan diri dan

60


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

disambut hangat dengan menanyakan tujuan kedatangan METRO. Begitu diceritakan tujuan METRO untuk mengetahui keberadaan ayahnya, Sendi yang merupakan anak Daliaman Purba menceritakan, ayahnya mengalami cacat mata sejak berumur 2 tahun. Daliaman Purba dikarunia 6 anak dari pernikahan dengan Masta br Damanik. Keseharian Masta br Damanik sebagai petani dan mempunyai fisik yang sempurna. Anak pertama Daliaman Purba adalah Hotnida Purba (35) wiraswasta, Sendi Purba (31) bertani, Desliani Purba (28) lulusan Unimed dan guru PNS, Danner Purba (25) sedang kuliah di Unimed, Rufi Purba (24) bertani, Ayu Purba (13) SMP swasta Kota Siantar. “Bapak tidak pernah menyerah dengan kondisi kebutaannya. Buktinya, kami semua sekolah dan bahkan ada yang sampai sudah tamat sarjana. Inilah mujizat Tuhan bagi keluarga kami,” ujarnya. Hal yang sama juga diungkapkan R br Damanik istri Sendi Purba. Kata dia, mertuanya sangat tegar dan menjadi pemicu semangat bagi anaknya. Walau buta namun mertuanya itu tidak mau minder dengan warga lainnya bahkan tetap bermasyarakat. Setiap hari berangkat menyadap tuak tanpa harus didampingi siapapun. Selain itu, kebaikan Daliaman membuat warga sekitar juga selalu mau menolong apabila dia salah arah jalan. “Mertuaku pernah pulang dari ladang hingga pukul 21.00 WIB. Namun saat ditanya, mertuaku hanya menjawab lagi banyak kerja. Siang malam kan sama saja,” ujar R br Damanik menirukan perkataan mertuanya Daliaman Purba saat itu. Setelah lama berbincang dengan Sendi dan istrinya tentang kisah ayahnya, METRO diajaknya ke rumah orangtuanya yang hanya berjarak tiga rumah dari tempat tinggal Sendi. “Agar lebih yakin kalau Bapak dapat memanjat pohon

61


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

aren bahkan bertani walau dengan kondisi buta, lebih baik langsung saja bercerita kepadanya (Daliaman, red),� ujarnya. METRO dan Sendi Purba pun beranjak ke rumah rumah sederhana berdinding papan berwarna putih. Terpampang sebuah foto wisuda dan pernikahan anak Daliaman Purba. Begitu mendengar suara langkah, Daliaman langsung terbangun dari tidurnya. “Ise do ho ambia. (Siapakah engkau, red),� tanya Daliaman kepada METRO. Dendi Purba kemudian mengenalkan METRO kepada Daliaman Purba dan menyampaikan tujuan kedatangan METRO. Usai berkenalan, sambil duduk di rumah tamu Daliaman memulai cerita kehidupannya sejak dia kecil hingga saat ini dia dikarunia 6 anak dan 4 cucu. Bagaimana cerita Daliaman Purba awal penyakit yang membuatnya kehilangan penglihatan? ***

62


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Daliaman Purba, Tuna Netra Penyadap Tuak (Bagian-2)

Putus Asa, Nyaris Tembak Kepala dengan Senapan DALIAMAN Purba yang menyambut baik kedatangan METRO, mulai bercerita. Saat berumur dua tahun, ia mengalami sakit mata. Sulitnya mendapatkan sarana pengobatan membuat ia tak bisa langsung berobat medis. Lama kelamaan, sakit mata yang dialami kian parah. Dia mengira hanya sakit mata biasa dan hanya diberi obat tetes. Obat tetes mata yang diberikan tidak membuat kondisi penglihatan Daliaman Purba membaik, malah tambah parah. Kondisi penglihatan yang semakin memburuk membuat ia akhirnya dibawa ke mantri. Pengobatan yang diberikan mantri itu juga tidak bisa menolong penglihatan Daliaman Purba. Merasa tidak yakin dengan pengobatan medis, Daliaman akhirnya dibawa ke dukun. Karena tidak juga kunjung membaik, membuat sang dukun ditinggalkan dan akhirnya mengalami kebutaan permanen. “Awalnya saya terkena penyakit sejenis cacar hingga mengenai mata saya. Karena tidak langsung ditangani secara serius, saya mengalami kebutaan. Setelah berumur lima tahun saat cek ke dokter spesialis mata, dokter memvonis tidak tertolong lagi, karena sarafnya sudah putus,� kisahnya. Daliaman menambahkan, awalnya ia sempat putus asa

63


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

melihat teman sepermainan bebas berkunjung menemui pacarnya dan bisa pergi ke mana saja. Niat bunuh diri dengan menggunakan senapan bedil tiba-tiba muncul dibenaknya. Saat memegang pelatuk senapan bedil, kepala serasa besar dan seolah ada suara memanggil. Akhirnya niat bunuh diri pun dibatalkan. “Setelah kejadian itu, saya meniatkan dalam diri kalau saya harus punya istri dan dapat sekolahkan anak hingga sarjana. Walau saya buta, anak saya tidak boleh buta warna. Untuk itu saya harus terus bekerja keras dan jangan pernah menyerah,” ujarnya. Akan tetapi, kebutaan ia alami menjadi kelebihan saat dia dapat beraktivitas layaknya orang yang fisiknya sempurna. Dia berangkat ke ladang hanya ditemani tongkat kayu. Memanjat pohon aren, menanam tanaman, memetik hasil bahkan ia juga bisa mengerjakan pekerjaan rumah, seperti memasak dan lainnya. “Ganup do boi huhorjahon tapi lang be songon hasoman namarpangidah boi podas. Sapuluh i suan hasoman bona ni lanssina, au paling boi sada. (Semua aktivitas bisa kukerjakan namun tidak lagi secepat orang yang dapat melihat dengan normal. Jika orang dapat menanam sepuluh pohon cabai, aku hanya bisa menanam satu, red),” ujarnya, Minggu (28/4). Saat ditanya keberadaan istri, Daliaman Purba mengatakan, kalau istrinya sedang berkunjung ke rumah keluarga di Kota Siantar. “Jika istri saya berangkat ke rumah keluarga, saya harus memasak dan memenuhi semua kebutuhan sendiri,” katanya. Tak lama kemudian, Ayu Purba (13) anak paling bungsu datang ke rumah usai bermain. “On ma anakhu na paling etek. Sonari SMP dope i Siantar. (Inilah anakku yang paling kecil. Sekarang masih SMP di Siantar),” ujarnya. Anak bungsunya itu kos di Siantar dan sekali seminggu

64


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

pulang ke kampung. Anaknya sekolah di Siantar karena di kampung mereka tidak ada SMP. Ayu Purba yang diajak METRO ngobrol menceritakan, mereka semua bisa sekolah dengan kerja keras orangtuanya. “Walau Ibu dapat melihat dengan sempurna, namun Bapak yang lebih banyak bekerja di ladang termasuk untuk menyadap tuak. Bapakku ini hebat Bang,” katanya dengan bangga. Daliaman kembali bercerita tentang masa mudanya sebelum bertemu istrinya. Ternyata Daliaman tidak hanya ahli dalam masalah menyadap tuak dan bertani, bernyanyi juga bisa diandalkan. “Boi do au margitar pakon mandoding. Anggo i kode tuak pe sering do au mendoding. (Aku bisa memainkan gitar sambil bernyanyi. Kalau di warung tuak, aku sering diminta untuk bernyanyi),” ujar Daliaman dengan sedikit senyum. Karena bakat di bidang seni ini, Daliaman pernah diajak temannya untuk mengamen. Daliaman sempat mengamen bersama temannya sekitar setengah tahun. Daliaman berangkat mengamen ke pesta-pesta atau ke pekan di beberapa desa. Daerah yang biasa tempat mengamen, ke Siantar, Pekan Raya dan Pekan Saribu Dolok. Namun, penghasilan dari mengamen tidak seberapa. “Sekarang diberi seribu, besok tidak dikasi lagi dan hanya mengharapkan balas kasihan orang lain,” katanya. Melihat tidak menetapnya pendapatan dari mengamen membuat Daliaman meninggalkan pekerjaan mengamen dan memilih kembali kampung dan bertani. Ketekunan Daliaman dalam bertani membuahkan hasil. Awalnya ia menanam jahe dan mendapat hasil panen memuaskan. Hasil yang didapat dijadikan modal untuk menanam jahe kembali. Berkat ketekunan dan semangat yang dimiliki, Daliaman pun akhirnya memanen 5 ton jahe yang saat itu harganya Rp100 ribu atau setara dengan sekitar 60 mayam emas London.

65


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Teman-temannya kemudian menyarankan Daliaman membelikan mobil dari hasil penjualan jahenya. Selain bertani, Daliaman juga sudah mulai menekuni penyadapan tuak untuk menambah penghasilannya. “Setelah sukses bertani, seorang wanita cantik jatuh hati kepada saya,” ujarnya dengan senyum. Berselang beberapa saat, seorang wanita paruh baya menghampiri kami. “Ini ibuku,” ujar Ayu sambari mendekati wanita paruh baya itu. “Ise do ho. (siapa kamu),” tanya wanita paruh baya itu kepada awak METRO. Usai berkenalan panjang lebar dan menjelaskan kedatangan METRO untuk mengabadikan perjalanan hidup Daliaman, wanita yang merupakan istri Daliaman itu pun menyambut baik. “Anggo sonai dear ma ai. Ulang pala segan-segan be anggap ma rumah mu sandiri. (Baiklah kalau begitu. Jangan lagi segan-segan dan anggaplah ini rumah sendiri),” ujar Masta br Damanik istri Daliaman Purba sambil megeluarkan sebungkus roti ketawa yang baru dibawanya dari Siantar untuk disantap bersama. Dia kemudian menyuguhkan secangkir teh putih. Sambil menyantap roti ketawa, Masta br Damanik menceritakan bagaimana pertemuannya dengan Daliaman. “Huidah bahat duitna. Hape bois do duit age sadia. (Kulihat banyak uangnya. Ternyata uang itu bisa habis walau pun berapa),” ujarnya. Masta br Damanik menceritakan, selama masa pacaran, Daliaman memberikan perhatian yang lebih, sehingga ia jatuh hati. “Setiap saya datang menemuinya, Daliaman selalu memberikan ongkos pulang kepada saya. Selain itu, walau masih muda namun sudah mempunyai mobil dan orangnya giat bekerja,” ujar Masta br Damanik, mengisahkan awal pertemuannya dengan suaminya. Saat ditanya bagimana kesehariannya dalam bertani,

66


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Daliaman mengatakan kalau dia sering tidak cocok dengan istrinya dalam hal bertani. “Bagi saya kalau bercocok tanam harus rapi dan bersih. Saat mau bertanam cabe atau jahe, harus tarik tali sehingga lurus dan memudahkan saat perawatannya,” ujarnya. “Anggo ibana boi do borsih ganup ibaen rumput na adong di dohor ni suan-suan ai. Borsih songon alaman do ibahen juma ai. Jadi anggo dong hirik I juma, mate ma hirik ai alani lang adong panganon ni. (Kalau dia bisa semua rumput di dekat tanaman itu dibersihkan. Bersih kayak halaman rumah lah ladang itu dibuatnya. Sehingga apabila ada jangrik di ladang itu akan mati karena tidak ada lagi makanannya),” ujar Masta br Damanik. “Walau dengan keterbatasan hidupku ini, namun Tuhan menambahkan seluruhnya dalam kehidupanku. Anak-anak diberi bakat kuat untuk terus maju dan saat ini perjuanganku tinggal menyekolahkan dua anak lagi. Semoga saja masih diberikan Tuhan kekuatan untuk tetap bekerja,” ujar Daliaman Purba sambil merebahkan badannya karena capek duduk. Bagaimana Deliaman sehari-hari melintasi jalan dari rumah ke ladang? (bersambung)

67


68


Daliaman Purba, Tuna Netra Penyadap Tuak (Bagian-3)

Dua Kali Sehari, Biasa Lalui 15 Persimpangan KEBUTAAN yang dialami Daliaman Purba membuat banyak orang tidak yakin dengan kemampuannya berjalan sendiri ke ladangnya yang jaraknya sekitar 2 hingga 3 kilometer dari rumahnya. Sebelum melihat langsung, sulit memang memercayai kemampuan Daliaman yang dapat memanjat pohon aren yang tingginya 4-5 meter untuk menyadap tuak. Mendengar kisah yang disampaikan Daliaman dengan panjang lebar, belum juga meyakinkan METRO terhadap kemampuannya. Masih terlintas di pikiran bahwa mungkin saja Daliaman masih dapat melihat walau sedikit. Namun dari kondisi bola mata Daliaman yang semua bagian sudah putih, membuktikan bahwa memang dia tidak bisa melihat lagi. “Bagaimana kita berangkat menyadap tuak, sementara hujan masih deras. Jika aku memang wajib berangkat, bisa saja, namun agak sedikit malam. Padahal jika terlalu malam maka Engkau akan kesulitan pulang, apalagi dengan kondisi jalan tanah berlumpur dan tanjakan yang suram,� ujar Daliaman seperti sudah pernah melintasi jalan menuju Siantar. Jika hujan belum juga reda sampai pukul 17.00 WIB,

69


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Daliaman menyarankan lebih baik METRO datang besok atau pekan depan. Namun keinginan untuk dapat melihat langsung kemampuan Daliaman menyadap tuak dapat terwujud karena tak berapa lama hujan reda. “Sudah pukul berapa ini?” tanya Daliaman yang hendak mengajak awak koran ini melihat ladangnya. “Domma boi hita lao. Domma siang udan ai (sudah bisa kita berangkat. Hujannya sudah reda) ,” ujar Daliaman setelah mendengar tidak ada lagi suara hujan. Saat akan berangkat ke ladang, tiba-tiba saja hujan kembali turun dan kami harus mengurungkan niat. Melihat sisa waktu sekitar 1 jam lagi, METRO tetap berharap mendapat kesempatan berangkat bersama dengan Daliaman untuk melihat cara kerja penyadap tuak ini. Sekitar pukul 16.00 WIB, cuaca mulai bersahabat karena hujan mulai reda. “Eta ma ambia, kan domma soh udan ai (ayolah, hujan sudah reda, red),” ujar Daliaman. Semangat METRO kembali datang saat bisa melihat langsung bagaimana seorang penyadap tuak dapat memanjat tanpa harus melihat. Usai berganti pakaian ke dalam kamar, Daliaman beranjak mencari tongkat kayunya yang terletak di dekat pintu ruang tamu. Tangannya terlihat meraba-raba dinding untuk mencari tongkatnya. Merasa penasaran, METRO tidak memberitahu keberadaan tongkat itu. Namun tidak lama mencari, tongkat itu berhasil didapatnya. Setelah mendapatkan tongkat, Daliaman kembali mencari sepatu botnya yang diletakkan di teras rumah. Untuk urusan ini, dia tidak lama mencarinya. “Oh sebentar. Masih ada yang terlupa. Plastik antihujanku. Aku selalu membawanya mana tau tiba-tiba hujan lagi. Sebelum berangkat bekerja, kita tidak boleh lupa peralatan,” pesan Daliaman. Sempat bertanya karena melihat Daliaman tidak

70


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

membawa peralatan berupa tempat tuak, pisau pemotong dan peralatan menyadap tuak, Daliaman langsung menjawab bahwa tunggom (wadah tempat menurunkan tuak), gubak (pisau pemotong tuak) pakon rura (bahan untuk membuat tuak tidak manis), semuanya sudah disiapkan di gubuk ladang. Saat keluar rumah dengan kondisi halaman berlumpur usai hujan deras membuat METRO lebih khawatir terhadap Daliaman. Langkah kaki Daliaman yang tumitnya selalu berdekatan dengan ujung jari kakinya terus meraba jalan. Karena sempat agak sedikit menyimpang, METRO kembali tidak tega walau sebenarnya masih berada di halaman rumahnya. Usai melewati beberapa rumah warga, METRO mulai yakin dengan ucapan Daliaman. Setiba di persimpangan jalan saat keluar dari perkampungan, sikap Daliaman sempat membuat METRO keheranan. “On ma simpang laho hu juma ambia (inilah simpang menuju ke ladang nak, red),” ujarnya seolah dapat melihat jalan. Ucapan itu sempat membuatku tersentak. Simpang demi simpang di jalan ladang yang hanya setapak itu dapat kami lalui. Dihitung secara diam-diam, ternyata ada lima belas simpang jalan yang harus dilalui menuju ladang terdekat Daliaman. “On juma ni Jawalen, na marisi coklat on juma ni Sahat, adong tolu simpang nari ase das hita hu sopo ai (Ini adalah ladang Jawalen, yang berisi tanaman coklat itu ladangnya Sahat, ada tiga simpang lagi yang harus dilalui sehingga sampai di gubuk itu, red),” ujar Daliaman seolah sudah mengingat seluruh kondisi perladangan itu. Begitu sampai di dekat gubuk, Daliaman mengangkat tongkatnya untuk memastikan bahwa kami sudah sampai di gubuk. “On sopo na hubehen ambia (Inilah gubuk yang kubuat nak, red),” ujar Daliaman sambil duduk sebentar di dalam gubuk itu. “On ma paragat, age pe udan haba-haba,

71


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

dalan malandit, roh longgur maningon do itaron. Halani anggo lang iagati tiap ari maseda do tuak ai (Inilah pekerjaan penyadap tuak, walau hujan deras, jalan licin, datang petir namun harus ditahankan. Karena jika tidak dilakukan penyadapan setiap hari, maka akan rusak tempat keluarnya nira tersebut, red),� ujarnya. Untuk mengetahui apakah pohon aren itu sudah dapat disadap atau belum, biasanya Daliaman meraba buah aren yang berjatuhan. Kemudian membuat tangga yang terbuat dari sebatang pohon bambu. Setelah itu, membersihkan pelepah ijuk di bagian tangkai aren hingga nantinya dapat menghasilkan banyak tuak. Setelah berhenti sejenak, dengan membawa jerigen tempat tuak dan pisau, kami menghampiri pohon tuak itu. “Saat ini usiaku sudah mulai tua sehingga tenaga pun sudah berkurang. Kalau dulu bisa menyadap tuak hingga 10 pohon, namun sekarang paling hanya tinggal 3 pohon,� ujarnya. Saat bisa menyadap tuak hingga 10 pohon aren, maka Daliaman dapat menghasilkan 5 kaleng tuak. Untuk harga sekarang, 1 kaleng sekitar Rp30 ribu, maka dalam sehari dapat berpenghasilan Rp150 ribu per hari. Untuk sekarang Daliaman hanya bisa menghasilkan 2 kaleng tuak sehingga dapat berpenghasilan Rp60 ribu per hari. Harga ini adalah harga setelah tuak itu sampai di kampung Parjalangan. “Sebelum anak saya besar, tuak yang saya bawa ke kampung itu dijual ke agen. Namun setelah anak saya ada yang mengikuti jejak saya menyadap tuak, maka dialah yang menjualnya ke Siantar. Untuk harga di Siantar biasanya 1 kaleng sekitar Rp45 ribu-Rp 50 ribu,� ujarnya. Jempol jari kaki Daliaman selanjutnya dimasukkan ke dalam lubang tangga bamboo. Ia menapaki satu per satu lubang itu, memenjat pohon aren dengan perlahan. Setelah berhasil memanjat kedua pohon aren itu, dalam hati ada rasa

72


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

kekaguman yang luar biasa melihat kemampuan Daliaman. Usai turun dari pohon itu dengan membawa tuak, Daliaman kembali becerita. Katanya, saat ini dia tidak bisa lagi mengenali nilai mata uang. Hal itu karena lebar uang sekarang sudah hampir sama. Saat dicoba diberikan uang kertas Rp50 ribu dan Rp 2 ribu, Daliaman masih mengetahuinya setelah merabanya. “Tapi kalau uang sekarang lebarnya hampir sama, maka saya tidak bisa lagi membedakannya. Namun demikian tidak ada pernah warga yang mau menipu,� ujarnya. Sedangkan untuk mengetahui jam, jika di rumah, Daliaman biasanya menghidupkan radio dan jika berada di ladang maka dengan mendengar suara pukulan pohon aren oleh penyadap tuak. “Setelah berumur lebih dari lima puluh tahun maka tenagaku juga berkurang. Namun saya sangat bersyukur akan apa yang diberikan Tuhan kepada saya. Inilah kehidupan paragat (penyadap tuak, red),� ujarnya sambil menuju jalan pulang.(bersambung)

73


74


Daliaman Purba, Tuna Netra Penyadap Tuak (Bagian-4/habis)

“Dikira Jagung, Ayam Patok Mataku yang Buta” B ANYAK kisah sedih dialami Daliaman Purba selama mengarungi hidup dalam keadaan buta. Namum semua cobaan itu tidak membuat semangatnya surut. Sebaliknya, ia kian semangat dan terus berkarya demi harapan dan masa depan keluarga yang lebih baik. Sembari berjalan pulang dari ladang, Daliaman Purba masih asyik bercerita, seakan ada kerinduan untuk mengatakan, kalau cacat fifik bukanlah alasan untuk menyerah mengarungi hidup. Di perjalanan, ia lebih banyak bercerita tentang beberapa pengalaman pahitnya. Sekitar lima tahun yang lalu, selain bertani dan menyadap tuak, Daliaman Purba juga beternak ayam sebagai penghasilan tambahan. Namun naas, Daliaman Purba dapat pengalaman pahit. Bagimana tidak, saat memberi makan beberapa ekor ayam peliharaannya dia dipatok ayam. “Biji mata saya yang buta dipatok ayam,” katanya. “Anggo tikki ai saja tumang huahap. Pas mambere mangan dayok, tor iturbingkon na mataku sabolah kiri. Iagan do jagung mata kai halani agak marmerah pakon lopak. Saja.. saja tumang huahap. (Waktu itu sakit sekali kurasa. Saat memberi makan ayam, tiba-tiba saja seekor

75


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

ayam mematok mata sebelah kiri. Mengira bola mata ku yang agak memerah dan putih adalah biji jagung. Sakit, sakit sekali kurasa, red),” ujarnya. Selain itu, sebelum memakai sepatu boat kaki Daliaman Purba sering digigit lipan. Hal ini diakibatkan karena ia sering berjalan di tepi jalan yang banyak semaknya. Jalan Daliaman Purba yang tidak terus tepat berada di tengah, membuat banyak serangga mengancam. “Karena itulah setiap berangkat ke ladang setiap hari, saya menggunakan sepatu boat,” ujarnya. Sementara itu, sekitar setahun lalu Daliaman Purba juga pernah sakit hingga berbulan-bulan akibat sesak nafas. “Hampir tiga bulan saya tidak bisa berbuat apa-apa karena sesak nafas. Mungkin juga akibat kecapekan saat muda dulu yang tidak pernah kenal lelah. Bagaimana tidak, sering pulang malam dengan membawa dua kaleng tuak dari ladang menuju ke kampung,” ujarnya. Namun beberapa hari lalu, saat Daliaman Purba duduk sendiri di gubuknya, ia pernah merenung. Tiba-tiba ada suara burung perkutut yang bersahut-sahutan. “Anggo boi nian au songon anduhur ai, boi habang huatas mengidah bolak ni dunia on. Anggo boi sonai age jadi anduhhur nian au. (Andaikan saja aku bisa seperti burung perkutut itu, bisa terbang tinggi melihat lebarnya dunia. Andai kan bisa, maka akupun mau jadi burung perkutut, red),” ujar Daliaman Purba menyatakan khayalannya beberapa hari lalu. “Sebenarnya aku sudah harus pensiun, namun karena tidak ada dipensiunkan, terpaksalah harus tetap menyadap tuak,” ujarnya. Di samping itu, semangat anak-anaknya juga terus membangkitkan kegigihannya untuk terus berjuang dalam menafkahi keluarganya. “Keberhasilan anak-anakku bukan saja hanya karena kegigihanku bekerja, namun juga karena

76


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

kuatnya bakat anak-anak itu. Sudah jadikan prinsip, sampai di mana saya sanggup, saya akan terus berjuang sekolahkan anak saya,� katanya. “Sadihari lang sanggup, izin ma soh. (Kapan tidak sanggup, di situlah harus berhenti, red),� ujarnya. Namun hingga saat ini jika anaknya masih berkeinginan untuk tetap melanjutkan sekolah, dia yakin Tuhan akan selalu memberikan jalan kepada umatnya.*** RANO HUTASOIT adalah wartawan Metro Siantar. Tulisan ini terbit di Metro Siantar edisi 7 Mei 2013

77


78


Impian Dokter dari Bocah Tanpa Sepasang Tangan Sebuah pesan singkat dari pembaca Harian Tanjungpinang Pos tiba-tiba masuk di handphone yang sudah ketinggalan mode, Jumat (17/5). Isinya: ada pelajar tanpa tangan bersemangat sekolah karena citacitanya mulia. Rumahnya di Sebong Pereh, Bintan. LAPORAN YUSFREYENDI – SLAMET, BINTAN

SEJAK pagi, Kota Tanjungpinang seperti terbakar akibat terik matahari yang berlebihan dibandingkan sehari sebelumnya. Namun, beberapa gumpalan awan terlihat berarak disertai kilat dan guruh di belahan utara ibu kota Provinsi Kepri ini. Tak salah lagi, sore itu beberapa desa Kabupaten Bintan menuju Desa Sebong Pereh Kecamatan Teluk Sebong diguyur hujan. Kondisi cuaca yang tidak menguntungkan itu sempat meragukan langkah kaki untuk menemui si penyandang cacat yang tertera di dalam pesan handphone beberapa jam sebelumnya. Menjelang magrib, tugas menyetorkan berita ke redaktur selesai. Dari Bintan Center, cuaca menuju Kabupaten Bintan mulai terlihat bersahabat. Sepeda motor dan mobil mewah masih hilir-mudik di kawasan Bintan Center Batu Sembilan. Beberapa kendaraan sudah menyalakan

79


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

lampu utama. Begitu juga dengan listrik penerangan jalan kota, menyala terang melawan kegelapan menjelang malam. Kumandang azan dari beberapa penjuru berkumandang mengingatkan agar kaum muslimin menunaikan kewajiban salat magrib. Bukan waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan jauh menuju Sebong Pereh saat itu. Usai menunaikan salat magrib, sebuah sepeda motor Yamaha Jupiter New seperti sudah siap tancap gas ke Desa Sebong Pereh. Perjalanan menempuh jarak melebihi 80 kilometer dari Kota Tanjungpinang harus diarahkan ke SPBU Batu Sembilan terlebih dahulu. Perlu 15 menit antre untuk mengisi bahan bakar. Maklum, menjelang pukul 19.00 WIB, antrean di SPBU cukup panjang. Suasana jalan raya Kota Tanjungpinang menuju perbatasan wilayah Kabupaten Bintan masih ramai. Di bawah penerangan lampu jalan, beberapa kendaraan masih terlihat hilir-mudik. Sekali-sekali terdengar suara klakson mobil yang sedang ngebut. Rasa panas dari uap aspal jalan raya secara perlahan berubah ketika sepeda motor melintas di tugu Keris sebagai tanda perbatasan antara Kota Tanjungpinang dengan Kabupaten Bintan. Udara terasa semakin dingin ketika melintasi Jalan Lintas Barat Kecamatan Toapaya yang belum dilengkapi lampu penerangan tersebut. Waktu terus berlalu. Tidak sadar, perjalanan sudah menempuh 25 kilometer ketika tiba di simpang empat Jalan Lintas Barat. Tak kuasa menahan dingin, jaket parasut yang sudah disiapkan di dalam tas ransel dipakai guna membalut tubuh. Perjalanan kembali dilanjutkan ke arah kanan menuju jalan lama Tanjunguban. Soalnya, jembatan Kangboi penghubung Lintas Barat sampai saat ini belum tersambung. Rasa dingin malam semakin menusuk tulang ketika menyusuri jalan tanpa rumah penduduk. Terlebih lagi disaat

80


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

berada di antara kebun karet dan lembah, butiran embun bekas guyuran hujan terasa sejuk saat menerpa wajah di balik kaca helm. Gas sepeda motor sekali-sekali terpaksa diturunkan ketika memasuki tikungan. Soalnya, aspal di beberapa ruas jalan di daerah tikungan masih basah. Semakin jauh meninggalkan Kota Tanjungpinang, rumah penduduk dan suasana jalan raya semakin sepi. Tidak bisa dipastikan berapa tikungan dan jalan berbukit yang sudah terlewati. Jika sebelumnya masih mendengarkan suara knalpot kendaraan, menjelang tiba di Vihara Cikolek suasana berubah. Suara jangkrik dan binatang malam lainnya lebih jelas mengusik pendengaran telinga. Jarak pandang semakin dekat karena gelap malam di areal perkebunan cukup sulit ditembus cahaya lampu sepeda motor. Rasa dingin secara perlahan semakin kuat. Tak disadari, telapak tangan di setang sepeda motor terasa kaku. Bukan angin malam saja seperti masuk menyusup dari ujung kuku. Rahang dan bibir ikut menggigil menahan dingin. Ketebalan jaket parasut seolah tidak mampu menahan terpaan angin dan udara lembab. Hampir satu jam perjalanan, kecepatan sepeda motor kembali ditambah. Hampir lima pemakaman tua yang konon angker di beberapa kampung sudah hilang dari pandangan. Jalan yang semula sempit dan basah sudah berubah lurus dan sedikit lebar. Suasana hutan tidak lagi terlihat, yang tampak hanya rumah penduduk dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Hampir semua teras rumah di tepi jalan sudah disediakan lampu listrik. Kondisi jalan mulus tersebut sebagai tanda bakal tiba di Gedung Serbaguna Tribuana Kecamatan Teluk Sebong. Sekitar 5 menit perjalanan dari Simpang Kampung Ekang dengan kecepatan rata-rata 80 km per jam akan sampai di Simpang Lagoi. Meski Gedung Serbaguna Tribuana sunyi, sekitar 50 meter di depan gedung terlihat 7 pedagang

81


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

kaki lima yang masih membuka warung. Tanpa pikir panjang, sepeda motor yang sudah sedikit berlumpur diarahkan ke satu warung yang cukup ramai. Di kursi kayu, beberapa orang pemuda kampung setempat menikmati kopi panas. Di antara mereka adalah Zai Liadi (38), tokoh masyarakat di daerah Kecamatan Teluk Sebong yang cukup terkenal. Pria berkumis cukup tebal itu langsung menawarkan makan malam. Sepertinya dia mengetahui, perjalanan 64 kilometer dari Kota Tanjungpinang mencapai Simpang Lagoi cukup melelahkan. Tidak lebih dari 10 menit, pesanan nasi goreng dengan potongan daging cumi-cumi (sotong) dan segelas teh manis panas yang biasa disebut Teh O di Pulau Bintan itu, sudah terhidang di depan mata. Kami pun menikmati menu sederhana yang terasa nikmat itu. Lantas informasi tentang bocah tanpa tangan bergulir di warung itu. Rupanya kami harus menempuh 20 kilometer lagi untuk sampai ke rumah bocah tersebut. Rumahnya berada di dalam kebun kelapa, beberapa ratus meter dari jalan aspal Pantai Sebong Pereh. “Kalau mau jumpa, nantilah kita cari bersama warga Sebong Pereh. Tapi harus cepat kita berangkat. Maklum, kalau masyarakat di perkampungan cepat tidur,� Zai Liadi mengingatkan sambil melihat arloji di pergelangan tangan kirinya. Belum sempat menghabiskan sebatang rokok putih, waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 WIB. Perjalanan harus dilanjutkan. Lima kilometer dari Simpang Lagoi Zai Liadi tiba-tiba mengarahkan perjalanan ke kanan menuju Desa Sungai Kecil. Jalan kecil aspal kembali menjadi rute yang harus ditempuh. Beberapa menit setelah melewati simpang tiga Desa Sungai Kecil, suasana berubah seketika. Tiupan angin laut terasa menusuk wajah . Rasa dingin kembali menyelimuti

82


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

seluruh tubuh. Bahkan rasa dingin sudah masuk dari kaki. Berjalan di tepi pantai Sebong Pereh menjadi sesuatu yang menyenangkan saat itu. Dari jalan terdengar desiran ombak menghempas pantai berpasir memecah kesunyian malam yang semakin larut. Sementara, tiupan angin laut meliukkan batang kelapa. Sedangkan di langit, bulan sabit di kelilingi bintang seolah tersenyum sambil mendoakan nelayan yang sedang menangkap ikan di tengah laut Cina Selatan. Kerlipan lampu petromak di atas perahu nelayan, dari kejauhan terlihat indah dan damai. Zai Liadi menghentikan kendaraannya. Ia menemui seorang pemuda yang sudah berdiri di tepi jalan. Pemuda kampung bernama Dani (40) itu langsung membawa kami ke arah perbatasan Kecamatan Teluk Sebong dengan Bintan Utara. Sebelum tiba di jembatan kecil, Dani membawa sepeda motornya ke arah kiri jalan. Turun dari aspal, sepeda motor hanya berada di jalan tanah setapak. Bukan saja beberapa pohon kelapa yang ada di pinggir jalan tanah setapak tersebut. Beberapa pohon karet berumur puluhan tahun dan tanaman hutan berdiameter lebih dari 1,5 meter juga masih berdiri kokoh. Suasana jalan tanah tidak seindah dengan suasana pantai. Tidak menghabiskan waktu 3 menit, dari kegelapan terlihat sebuah rumah dengan cahaya remang-remang. Di depan rumah tersebut masih tertumpuk beberapa batako dan pasir bangunan. Sebuah kerangka sepeda motor butut tergantung tanpa ban. Dari karat besi yang ada, sepeda motor itu sudah bisa dipastikan hanya barang rongsokan yang sudah berkarat. Seluruh atap rumah berukuran 6x8 meter tersebut juga berkarat. Bahkan hampir di setiap sudut atap sudah berlubang dan terdapat beberapa tempelan terpal. Dari luar terlihat dua orang anak perempuan sedang bergurau. Di lantai semen terbentang sebuah selimut tipis

83


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

yang dijadikan alas tidur seorang bocah perempuan berumur 5 tahun. Tidak jauh dari kepala sang bocah, terbentang sebuah tas hitam robek dan buku tulis. Di atas buku terlihat sebuah pensil pendek tanpa karet penghapus. Di samping mesin jahit rusak, seorang ibu terlihat bersandar di dinding papan rapuh sambil melihat tingkah kedua putrinya. Suasana di dalam rumah hening ketika mesin sepeda motor dimatikan. Dari beberapa kaca nako yang pecah, sebuah wajah polos melihat ke luar rumah. Gadis kecil berbaju kuning itu langsung meminta sang ibu membuka pintu. Gadis yang menggunakan celana setinggi lutut itu sadar, sejak dilahirkan 16 tahun lalu sudah tidak memiliki sepasang tangan. Melihat kedatangan tamu, Andi Nurmadiah (40) langsung membuka pintu. Di depan pintu, ibu dari empat orang anak di dalam rumah terlihat bingung. Mendengar maksud dan tujuan kedatangan Tanjungpinang Pos, Nurmadiah hanya menyambut dengan senyuman. “Aduh cukup jauh ya perjalanannya, mari masuk dulu,� sebut Nurmadiah sambil mengarahkan tangan kanannya ke lantai semen. Itulah satu-satunya tempat duduk dan beristirahat di rumahnya. Tak ada kursi di sana, hanya ada mesin jahit yang sudah tidak berfungsi. Di samping pintu menuju dapur terlihat lemari kayu dengan warga yang sudah memudar dimakan usia. Sedangkan di pojok kanan hanya berdiri lemari kayu kecil setinggi dada. Di atas lemari itu masih terbuka lebar papan pengapit sebuah kitab suci Alquran. Di ruang ukuran 3x4 meter itu masih terasa terpaan angin. Soalnya, setiap jendela terdapat beberapa celah besar tempat kedudukan kaca nako yang sudah pecah. Namun sampai saat ini, Nurmadiah tidak sanggup menggantinya. Jangankan untuk mengganti kaca nako yang pecah, atap

84


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

rumah yang bocor saja hanya ditempel terpal plastik. Sebagai penghambat air agar tidak langsung jatuh ke lantai, empat kain bekas spanduk partai politik dibentang sebagai media pengganti plafon rumah. Meski kondisi rumah jauh dari kemewahan, Andi Rina Wati (16) anak dari pasangan Nurmadiah dan Amir itu duduk di lantai semen dengan nyaman. Kepada kami, Rina menggerakkan jari kaki kanannya memindahkan buku tulis dan pensil dari tas sandang usang ke lantai. Usai membuka lembaran kertas yang masih kosong, jari telunjuk yang dibalut cincin perak dan jempol kaki kanan gadis itu menjepit pensil. Pensil yang sudah menempel di kaki seperti menari di atas buku tulis. Dari oretan pensil yang berdiri kokoh di antara jari telunjuk dan jempol itu, Rina menulis sebuah ungkapan kata hati tentang makna kehidupan di dunia. Tak puas menulis dengan cara duduk di lantai, jari kaki kembali menjepit pensil bersama buku serta meletakkan di atas meja mesin jahit. Ternyata, mesin jahit yang telah rusak itu merupakan meja belajar Rina. Ketika duduk di kursi kayu, Rina tidak kesulitan mengangkat kaki kanannya ke atas meja mesin jahit. Kaki kanan kembali menggoyangkan pensil di atas kertas guna melanjutkan ungkapan hati yang belum tuntas. Di saat kaki kanan menulis, sekali-sekali kepala Rina menggerakkan kepalanya ke arah kanan. Dengan gerakan tersebut, rambut pendek Rina yang semula menutup matanya berubah ke arah samping. Sehingga tatapan mata kembali normal saat menatap ke arah tulisan kaki. Ibarat pepatah, tak ada rotan akar pun jadi. Namun bagi Rina, tak ada tangan kaki pun jadi. Baik menulis, mandi, memasang baju, menyapu rumah, mencuci piring dan semua aktivitas kehidupannya dilakukan dengan kaki. “Pokoknya semuanya dilakukan dengan kaki, dan itu

85


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

bisa kerjakan. Karena sejak lahir Rina memang tidak punya tangan. Tapi bagaimana pun, Rina tetap bersyukur,� ujar Rina, murid Sekolah Dasar (SD) Negeri 002 Teluk Sebong tersebut sambil menutup bukunya. Tanpa bantuan ibu maupun adiknya, Andi Mawar Merah (15) yang biasa dipanggil Bunga, Rina kembali menyusun buku dan pensil ke dalam tas sandang hitam les biru yang masih berada di lantai. Setelah memastikan semuanya tersimpan rapi, Rina kembali menggunakan kaki kanannya untuk meletakkan tas tersebut ke atas lemari kayu. Waktu hampir mendekati pukul 23.00 WIB, Nurmadiah mengambil kain tipis dan menyerahkan kepada Rina dan Bunga. Tanpa pikir panjang, Rina dan Bunga langsung membaringkan tubuhnya di atas kain tipis putih yang sudah terbentang di depan televisi kecil. Kebiasaan tidur beralas kain tipis tersebut sudah dijalani Rina sejak menginjak usia 6 tahun. Karena, kedua orang tua Rina tidak mampu membeli kasur lebih dari satu. Rina hanya menerima kemiskinan yang dihadapi keluarganya. Jangankan untuk membeli tempat tidur yang berkualitas atau kasur kapuk biasa, mengganti atap rumah yang bocor saja belum terwujud. Setiap hujan turun pada malam hari, Rina bersama Bunga dan Andi Madhani yang masih berusia 5 tahun harus pindah ke kamar sang ibu. Bahkan Andi Bedu (14) yang merupakan satu-satunya laki-laki di rumah tersebut harus mengungsi dari kamar belakang ke kamar sang ibu. Di dalam kamar Nurmadiah, juga tidak dilengkapi kasur yang bisa menampung lima orang anaknya. “Beruntung malam ini tidak hujan. Kalau hujan, semua atap bocor dan terpaksa ngumpul di kamar mamak (ibu, red). Sering kami tidur kedinginan karena atap rumah bocor,� kata Rina tertawa kecil sambil menoleh ke arah Bunga dan ibunya. Mendengar cerita anaknya, Nurmadiah hanya

86


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

tersenyum seperti menghibur diri. Namun kesedihan Nurmadiah tidak bisa ditutupi tatkala jari tangannya mengusap air matanya. Nurmadiah menyadari, banyak yang harus dipenuhi untuk kebutuhan hidup maupun pendidikan anak-anaknya. Tapi apa daya, penghasilan suaminya tidak mencukupi untuk biaya rumah tangga. Apalagi sejak setahun lalu, Amir (60) ayah Rina jarang mengirim uang dari Johor Bahru Malaysia. Karena, Amir di negara jiran bersama Jufri (19) anaknya yang ke-6 tidak memiliki pekerjaan tetap. Nurmadiah hanya berharap bantuan dari 6 anaknya yang telah berumah tangga untuk kelangsungan hidup sehari-hari dan biaya sekolah Rina, Bunga dan Bedu. Sebelum tidur, Nurmadiah mengaku bangga dengan kemauan keras Rina masuk sekolah seperti anak normal lainnya. Padahal, Rina tidak memiliki tangan untuk menulis. Keterbatasan itu pula yang menjadikan Amir maupun Nurmadiah bimbang untuk memasukkan Rina ke Sekolah Dasar ketika usianya menginjak 7 tahun. Jangankan menulis, berjalan saja Rina tidak memiliki keseimbangan tubuh yang baik. Sehingga pada saat Rina berusia 7 tahun sampai 9 tahun hanya bermain di rumah. Justru Amir dan Nurmadiah memasukkan Bunga ke SD Negeri 002 di saat Rina sudah berumur 9 tahun. Ketika usia 10 tahun, Rina meminta agar dimasukkan ke SD Negeri 002 Teluk Sebong. Rina merasa lebih kuat dan bisa dipantau Bunga. Saat duduk di kelas I, sang ayah membuat kursi dan meja khusus untuk belajar Rina di sekolah. Di sekolah, guru kelas tidak terlalu sulit mengajar Rina menulis maupun membaca serta berhitung. Hanya saja, keseimbangan Rina saat berjalan dan bermain tidak stabil karena tidak memiliki tangan. Justru itu, Rina sering digendong Bunga saat pergi ke sekolah. Walaupun berangkat ke sekolah harus ditempuh jalan kaki dengan jarak 3 kilo-

87


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

meter. Suatu hari Rina pernah jatuh karena keseimbangannya hilang. Bahkan sampai saat ini bekas luka jatuh di sekolah itu masih ada di dagunya. Meski tidak masuk kelompok 10 besar murid berprestasi di kelasnya, Rina naik kelas II. Saat duduk di kelas II, Rina tidak lagi menggunakan kursi dan meja khusus yang dibuat ayahnya. Tapi, sudah menggunakan kursi dan meja belajar yang ada di sekolah. Saat berada di lingkungan sekolah, Rina lebih banyak istirahat di dalam ruangan kelas belajar. Baginya, duduk di dalam kelas saat jam istirahat itu lebih menguntungkan. Karena Rina dan adiknya tidak pernah diberi uang jajan akibat keterbatasan ekonomi orang tuanya. Di sekolah, Rina maupun Bunga hanya bermodalkan air putih yang dibawa dalam botol dari rumahnya. Beruntung jika sempat sarapan nasi putih dan sayur sebelum berangkat sekolah. Di saat bangun pagi melewati pukul 05.30 WIB, Rina harus rela berangkat ke sekolah dengan perut kosong. Untuk menahan lapar menjelang kembali ke rumah, Rina hanya mengganjal perut dengan air putih. Amir dan Nurmadiah selaku orang tua tidak bisa berbuat banyak menghadapi pahitnya hidup di era sekarang. Awalnya Amir hidup sebagai nelayan. Tapi pendapatan dari melaut tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan rumah tangga dengan 12 orang anak itu. Guna menambah pendapatan rumah tangga, Nurmadiah mencari upah dengan cara menjahit pakaian orang lain. Beberapa warga kampung sempat membeli pakaian hasil usaha jahitan Nurmadiah. Sayang, usaha yang dijalankan Nurmadiah tidak berjalan lama. Sekitar 5 tahun lalu, Nurmadiah menderita stroke. Penyakit tersebut berhasil disembuhkan dokter di Puskesmas Kecamatan Teluk Sebong. Hanya saja, sejak menderita stroke itu Nurmadiah tidak bisa membanting tulang guna menambahkan biaya kehidupan

88


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

keluarganya. Dalam kondisi sulit, Amir terpaksa meninggalkan keluarganya di Kampung Rambutan RT01/ RW01 Desa Sebong Pereh ketika Rina duduk di kelas III. Saat pergi ke Johor Bahru negara Malaysia, Amir mendapatkan pekerjaan buruh bangunan. Dari hasil keringatnya, Amir rata-rata mengirim uang sebesar Rp1 juta kepada Nurmadiah. Uang tersebut digunakan secukupnya untuk membeli beras dan kebutuhan hidup sebulan. Sedangkan untuk biaya sekolah Rina, Bunga dan Bedu harus dicicil dalam jangka satu tahun. Sedangkan untuk kebutuhan buku cetak pelajaran, Rina dan kedua adiknya tidak bisa memiliki seperti murid lain. Jika ada tugas sekolah atau pekerjaan rumah (PR), Rina harus meminjam buku teman dan mengerjakan di sekolah sebelum pulang ke rumah. Dengan segala keterbatasan dan tanpa tangan, Rina bisa menulis dan mengerjakan apapun dengan kakinya. Bagi Nurmadiah, semua itu anugerah dari Allah SWT. “Meski mengandalkan tulisan dari kaki kanan, Rina selalu menyampaikan cita-cita ingin menjadi dokter. Saat ini Rina sudah kelas VI, sedang menunggu pengumuman hasil ujian nasional (UN). Semoga lulus, karena Rina ingin melanjutkan ke MTS Negeri. Apakah mimpi Rina menjadi seorang dokter terwujud atau tidak, itu rahasia ilahi,� sebut Nurmadiah dengan lirih. Malam semakin larut. Suara nyamuk di setiap sudut rumah semakin jelas terdengar. Kedua mata Rina sudah tertutup rapat saat terbaring di samping Bunga. Satu kain panjang lusuh menjadi penutup kedua saudara kandung tersebut. Perjuangan seorang ibu membela anaknya kembali dilakukan Nurmadiah. Satu lingkar obat nyamuk bakar diletakkan tidak jauh dari samping kiri Rina. Setelah ditinggalkan Nurmadiah ke dalam kamarnya, secara perlahan obat nyamuk terbakar dengan mengeluarkan asap

89


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

tipis meliuk-liuk dan bau menyengat guna mengusir nyamuk. Namun, sekali-sekali kaki Rina bergerak ke kaki lain untuk menghalau nyamuk yang berani mengisap darahnya. Rumah di tengah 10 batang kelapa yang menjulang itu sunyi. Semua penghuni tertidur lelap. Tas ransel berisi kamera merk Nikon seri D3100 dan laptop serta alat tulis diletakkan di samping kepala. Jaket parasut dijadikan selimut agar tubuh terlindung dari ganasnya nyamuk malam. Namun, dengungan dan sengatan beberapa ekor nyamuk tidak bisa dihindari. Tidak bisa dihitung berapa kali tangan berusaha mengusir nyamuk yang menempel di wajah dan kaki. Perang dengan nyamuk baru terhenti ketika Nurmadiah keluar kamar. Dari jendela tanpa ditutup kaca nako tampak cahaya pagi mulai menembus rapatnya kebun kelapa dan karet perkampungan. Nurmadiah langsung menuju dapur dan membuka pintu belakang. Suara air ditimba Nurmadiah ternyata mengusik telinga Rina dan Bunga. Kakak beradik tersebut berupaya bangkit dari kain tipis yang dijadikan kasur. Meski mata belum terbuka lebar, Rina menyusul sang ibu ke belakang rumah. Di pinggir sumur, Rina sudah menemukan ember yang berisi air. Kaki kanan Rina mengambil sebuah timba kecil dan menumpuhkan air ke mukanya sebanyak tiga kali secara perlahan. Waktu subuh belum berlalu untuk menunaikan salat bagi Rina pagi itu. Tanpa takbir kedua tangan, Rina selesai menunaikan kewajiban salat lima waktu. Gadis kecil tersebut hanya duduk dan menatap ke arah layar televisi menonton sebuah chanel siaran swasta nasional. Sementara, di luar rumah Bedu sudah beberapa kali mencoba menghidupkan sepeda motor merk Yamaha F1R Sporty bututnya. Namun, sampai Bunga berada di luar rumah, sepeda motor belum kunjung hidup. Dari dalam rumah, Rina hanya tertawa kecil ketika melihat Bedu yang

90


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

sedang menggosok dan meniup busi mesin. Setelah busi terpasang, raungan sepeda motor butut terdengar. “Begitu lah kalau motor tua, susah hidupnya. O iya, Bunga sekarang sudah kelas I dan mau naik kelas II di MTS Negeri Teluk Sebong ini. Meski Bunga itu adik, dia malah di atas Rina sekolahnya. Karena Bunga lebih duluan masuk SD,� sebut Rina sambil melihat Bedu membonceng Bunga. Sabtu (18/5) pagi itu, Rina ternyata tidak masuk sekolah. Sementara, seluruh murid kelas VI SDN 002 Teluk Sebong lainnya berkumpul di sekolah. Menjelang pukul 08.00 wib, lebih dari 20 orang teman Rina dan beberapa orang guru pengajar menunggu kedatangan bus. Pagi itu, teman sekelas Rina pergi tamasya ke Kota Tanjungpinang. Menjelang kelulusan, dari pihak sekolah mengadakan piknik bersama. Supermarket Ramayana berlantai II menjadi tujuan bermain. Karena dikhususkan untuk kelas VI, murid kelas I sampai kelas V sengaja diliburkan. “Tapi Rina tak bisa ikut jalan-jalan bersama teman sekelas, karena tak diizinkan guru. Mungkin khawatir kalau terjadi apa-apa saat Rina bermain di Ramayana,� kata Rina sambil menundukan kepalanya. Meski sudah menginjak usia 16 tahun, Rina sampai saat ini belum pernah melihat laju pembangunan Kota Tanjungpinang yang merupakan ibu kota Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Rina sangat gembira ketika mendengar Wakil Kepala Sekolah SDN 002 Sebong Pereh, Endang Sri mengumumkan akan mengadakan piknik ke Tanjungpinang, beberapa bulan lalu. Saat itu Endang mengizinkan Rina ikut berkunjung ke Ramayana bersama teman-temannya. Untuk biaya berkunjung ke Tanjungpinang, Rina mengumpulkan uang receh sisa belanja sang ibu ke pasar. Lebih dari satu bulan, Rina berhasil mengumpulkan uang sebesar Rp60 ribu, cukup untuk biaya yang dipungut sekolah.

91


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Setelah ujian nasional dan mendekati hari ‘H’ piknik ke Tanjungpinang, Endang dikabarkan jatuh dari sepeda motor. Sehingga satu kakinya terkilir dan tidak bisa berjalan normal. Untuk keberangkatan piknik dan jalan-jalan ke Ramayana Tanjungpinang diambil alih oleh guru lain. Rina hanya mampu menangis sendiri ketika guru tersebut tidak mengizinkan Rina berangkat ke Tanjungpinang. Rina mengakui jika lelah, selalu hilang keseimbangan dan mudah jatuh. Menurut Rina, siapapun yang menyandang cacat tanpa tangan, akan sulit mengimbangi tubuh saat berjalan. “Rina tidak berangkat ke sekolah pagi ini, karena tak diizinkan ikut ke Tanjungpinang. Padahal ingin sekali jalanjalan ke Tanjungpinang dan melihat bagaimana bentuk Ramayana berlantai dua di Tanjungpinang itu. Selama ini Rina hanya bisa mendengar cerita, tapi belum pernah melihatnya,” ujarnya. Di luar rumah, matahari mulai tinggi dan semakin menerangi bumi. Tapi, Rina tidak beranjak dari depan televisi. Kepala Rina menoleh cepat saat mendengar tim Tanjungpinang Pos ingin meninggalkan rumahnya. Saat mengantar di depan pintu rumah, Rina berharap sebuah doa agar namanya muncul di saat pengumuman UN tahun 2013 ini. Meski tidak yakin mendapatkan nilai tinggi, Rina tetap bertekad melanjutkan pendidikan ke sekolah MTS Negeri. Meskipun harus menulis dan membaca buku dengan kaki kanan sampai kapan pun. Mengenai keterbatasan biaya, Rina berkeyakinan akan ada jalan keluarnya. “Di mana ada niat mulia, pasti ada jalan dari Allah SWT. Walaupun tanpa tangan, cita-cita menjadi dokter tetap Rina kejar,” demikian penuturan Rina setelah mencium tangan tim Tanjungpinang Pos tanpa sebuah jabatan tangan. Kepala Sekolah SDN 002 Teluk Sebong, Zainal, mengaku bangga dengan perjuangan Rina dalam mengejar cita-citanya

92


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

sebagai dokter. Rina merupakan murid yang rajin dan pantang menyerah, meskipun harus melakukan semuanya dengan kaki karena tidak memiliki tangan. Rina anak ke-8 dari 12 bersaudara itu memiliki semangat besar. Bisa dibayangkan saat ia berangkat ke sekolah, harus jalan kaki dari rumah sejauh 4 km. Jika lelah, Rina digendong oleh saudaranya. “Kami dari sekolah berharap agar Rina mendapat perhatian lebih setelah lulus dari SDN 002 nanti. Rina jangan sampai putus sekolah dan terus kejar cita-cita. Semoga saja Rina lulus saat pengumuman UN di awal Juni ini,� sebut Zainal seraya mendoakan kelulusan Rina. Pada kesempatan lain, Bupati Bintan, Ansar Ahmad, kaget setelah mengetahui ada anak penyandang cacat tanpa tangan menunggu kelulusan UN tingkat SD di Sebong Pereh. Sampai saat ini, Ansar mengaku, belum menerima laporan tentang perjuangan Rina dalam menyelesaikan pendidikan serta kehidupan serba keterbatasan tersebut. Apalagi Rina hanya mendapat bantuan pendidikan tidak mencapai Rp200 ribu selama 6 tahun. Pemerintah Kabupaten Bintan berjanji akan menjamin biaya untuk Rina, selama menjalani pendidikan. Ansar berharap agar Pemerintah Kecamatan mengecek keluarga Rina, apakah sudah terdata sebagai penerima Kartu Bintan Sejahtera (KBS) yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin dan kurang mampu se-Kabupaten Bintan. Dari KBS, warga Bintan bisa mengajukan permohonan biaya pendidikan maupun pelayanan kesehatan gratis. Tidak terkecuali untuk Rina dan adik-adiknya. Jika belum memiliki KBS, Rina bisa menggunakan surat keterangan tidak mampu (SKTM) sebagai syarat untuk mendapatkan biaya pendidikan gratis. “Saya akan jamin biaya pendidikan Rina demi mencapai

93


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

cita-citanya. Untuk perbaikan rumah Rina yang banyak bocor, akan segera dicek. Selanjutnya, bakal diberikan bantuan program rehabilitasi rumah tidak layak huni (RTLH),� tegas Ansar Ahmad usai membuka iven Internasional Bintan Triathlon di kawasan Lagoi, baru-baru ini. Camat Teluk Sebong Kabupaten Bintan, Suwarsono, mengakui, keluarga Rina si penyandang cacat, saat ini belum menerima KBS. Karena pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi keluarga miskin dan kurang mampu Pemkab Bintan melalui KBS itu awalnya menggunakan Badan Pusat Statistik (BPS). Namun demikian, Pemkab Bintan sedang mendata ulang penerima KBS itu. Berdasarkan laporan pemerintah Desa Sebong Pereh, keluarga Rina sudah diusulkan sebagai penerima KBS. Begitu juga dengan program bantuan rehabilitasi rumah tidak layak huni (RTLH), rumah Rina belum mendapat bantuan. “Pemerintah desa akan mengusulkan dan ditindaklanjuti Pemerintah Kecamatan Teluk Sebong agar rumah Rina mendapat bantuan RTLH,� harap Suwarsono. Berdasarkan pendataan Forum Komunikasi Keluarga Anak Penyandang Cacat, hingga akhir 2012 lalu ada sekitar 458 orang anak penyandang cacat di wilayah Bintan. Dari jumlah itu, sekitar 121 anak termasuk kelompok yang menghadapi kesulitan dalam menjalani kehidupan sosial. Namun demikian, secara bertahap pengelola penyandang anak cacat bersama Koordinator Kegiatan Kesejahteran Sosial (K3S) Kabupaten Bintan berupaya memberikan keterampilan agar para penyandang cacat bisa menjalani kehidupannya. Dari 458 orang anak cacat, hanya sekitar 16 orang yang diberikan santunan seumur hidup oleh pemerintah. Sedangkan yang sudah diberikan pendidikan pelatihan ke

94


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Jawa masih 4 orang. Tahun 2014, Pemkab Bintan menjanjikan akan memberikan jaminan seumur hidup bagi 20 orang penyandang cacat. Sisanya, anak penyandang cacat masih membutuh perhatian pemerintah. Kepala Dinas Sosial Kabupaten Bintan, Husin Ahmad, mengungkapkan, berdasarkan pendataan tahun 2013, anak penyandang cacat khusus dari tingkat SD sebanyak 15 orang, pelajar SMP sebanyak 3 orang, 1 dari tingkat SMA. Sedangkan anak penyandang cacat yang masih duduk di lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) sebanyak 4 orang dan 6 anak yang dididik melalui Sekolah Luar Biasa (SLB). “Untuk beasiswa bagi anak penyandang cacat seperti Rina di Teluk Sebong, memang belum diberikan. Karena pemerintah masih mendata tahun 2013 ini. Pemerintah akan memberikan beasiswa bagi anak cacat pada tahun anggaran 2014 nanti. Beasiswa itu khusus bagi pelajar yang mampu bersekolah. Sedangkan anak penyandang cacat yang tidak sekolah, diberikan pelatihan keterampilan,� jelas Husin Ahmad. Sekretaris Dewan Pendidikan Provinsi Kepri, Zulkifli, berpendapat, lika-liku dan perjuangan Rina merupakan potret dunia pendidikan anak penyandang cacat di Provinsi Kepri. Selain Rina, kemungkinan masih ada anak di Kepri yang mengalami keterbatasan ekonomi dan fisik yang terancam tidak memiliki masa depan. Pasalnya, hampir semua instansi dan perusahaan swasta selalu menerima orang yang sempurna guna mengedepankan produktivitas kerja. Masalah sosial bagi anak penyandang cacat harus ada solusi. Zulkifli meminta agar Pemerintah Provinsi Kepri membangun sekolah khusus untuk anak penyandang cacat. Sehingga anak penyandang cacat di Kepri mendapat tempat

95


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

untuk mengembangkan potensi dirinya. Sehingga anak penyandang cacat mempunyai peluang serta perhatian yang adil dalam mencapai masa depan yang sejahtera. “Dalam hal ini, Gubernur Kepri yang bertanggungjawab. Jangan hanya anak berprestasi saja yang diberikan beasiswa. Anak penyandang cacat juga harus dijamin pendidikannya. “ saran Zulkifli. *** YUSFREYENDI dan SLAMET NOFASUSANTO adalah wartawan Tanjungpinang Pos. Tulisan ini terbit di Tanjung Pinang Pos edisi 27 Mei 2013

96


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Duanu yang Terancam Punah Sebagai salah satu suku yang masuk dalam komunitas adat terpencil (KAT), Duanu ternyata tetap terpinggirkan. Perkampungan mereka digerus abrasi, sementara budaya dan bahasa mereka pun tergerus zaman. Boleh jadi, tak lama lagi, nama Duanu tak akan disebut orang dan hanya tinggal dalam catatan sejarah. LAPORAN MUHAMMAD AMIN, KUALA SELAT

MATO Lani berdiri di bibir pelantar setinggi 3 meter dari permukaan air di pelabuhan kecil Desa Kuala Selat. Ketua Adat Suku Duanu Kuala Selat itu mengisyaratkan speedboat yang membawa Riau Pos menepi. Dia sudah sangat lama menunggu. Saat dikontak lewat handphone, dia memperkirakan dua setengah jam lalu Riau Pos telah tiba. Tapi rencana meleset. Pelabuhan kecil tempat Mato berdiri dengan bertelanjang kaki itu berada di Selat Pedada yang memiliki lebar hanya sekitar 8 hingga 10 meter. Kecil, sempit, lebih mirip sungai. Tapi asinnya air menandakannya tetaplah laut, sebuah selat kecil yang panjang. Jalan melewati Selat Pedada ini sebenarnya bukan rencana awal saat Riau Pos menuju Desa Kuala Selat, Kecamatan Kateman, Kabupa-ten Indragirihilir ini. Saat bergerak dari Tembilahan, Senin (16/ 7) pukul 10.00 WIB, rencana awal Riau Pos adalah lewat jalur

97


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

luar, yakni melewati lautan lepas di perairan Indragirihilir, tidak lewat selat-selat kecil yang berada di antara puluhan pulau di negeri ini, yang biasa disebut jalur dalam. Tapi sebuah insi-den mengubah semua rencana. Desa Kuala Selat sebenarnya dapat ditempuh dengan speedboat kekuatan 200 pk yang ditumpangi Riau Pos dengan waktu tempuh 3,5 jam dari Tembilahan, ibu kota Kabupaten Inhil. Tembilahan sendiri berjarak 213 km jalan darat dari Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau. Akan tetapi perubahan jalan menjadikan waktu tempuh itu berubah menjadi tujuh jam. Saat speedboat mulai bergerak, penge-mudi Yudi dan keneknya Doni menyebutkan dua alternatif, yakni jalur luar atau jalur dalam. Alternatif itu nanti akan ditempuh sesuai kondisi lapangan dan air yang naik atau surut. Perjalanan dimulai dengan menyusuri muara Sungai Indragiri menuju Batang Tuaka, selanjutnya menuju laut lepas di perairan Tanjung Datuk menuju Guntung, yang sudah berbatasan dengan Kari-mun dan Lingga di Provinsi Kepulauan Riau. Sepanjang perjalanan, banyak desa yang dilalui, mulai Desa Sungai Perak, Sungai Jepun, Terusan Emas, Sungai Piring, Kuala Gaung, Sembuang, Belaras, Mandah, Tanjung Jaya, Teluk Bunian, dan Pelangiran. Saat itu, speedboat sudah mencapai perairan Tanjung Datuk dengan ombak yang cukup tinggi, karena sudah berada di laut lepas dan air mulai pasang. Perairan itu tak jauh lagi dari Selat Melaka. Ketika itulah, pukul 12.30 WIB, tanpa diduga sebelumnya, speedboat kandas dan nyaris tak bergerak. Ombak dan air pasang sempat mempermainkan boat yang harus memacu mesin di atas lumpur dan air keruh sepanjang perjalanan. Padahal ketika itu, jarak speedboat dengan pantai sangat jauh, mencapai lebih dari 2 km. Sesuatu yang tak diduga Yudi, pengemudi speedboat, yang sepertinya

98


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

tak terbia-sa dengan jalur luar ini. Setelah berjuang cukup lama, akhirnya speedboat dapat juga lepas dari perairan dangkal yang diperkira-kan hanya berkedalaman 1 meter itu. Speedboat pun kembali bergerak. Belum lama, pengemudi speedboat, Yudi bertanya kepada nelayan di perahu yang kebetulan lewat di perairan itu. Dia bertanya arah ke Sembuang, dan ternyata tempat itu sudah terlewat jauh. Speedboat pun berbalik arah menuju ke Sembuang. “Padahal jika diteruskan saja jalan di perairan Tanjung Datuk ini, satu hingga satu setengah jam lagi sampai ke Kuala Selat,� ujar Mato Lani ketika disampaikan kepadanya alasan keterlambatan Riau Pos. Jalur ke Sembuang berarti merupakan jalur dalam, melalui selat-selat kecil. Sebuah jalur memutar, dan membuang waktu. Kondisi ini beda dengan jalur luar di perairan Tanjung Datuk yang berombak cukup besar, bahkan dikenal angker. Banyak kapal yang tenggelam di sana karena ombaknya yang tak terduga, terutama di musim utara dan tenggara. Padahal di sisi lain, jika tak hati-hati justru yang ditemui perairan yang dangkal dan landai, yang sering juga disebut beting. Kawasan beting ini kerap membuat kapalkapal kandas. Beberapa di antaranya merupakan daerah yang bisa digunakan untuk menongkah, atau berselancar mencari kerang saat air surut dengan hamparan lumpur mencapai puluhan hektare. Memasuki kawasan perairan Desa Sembuang kembali, Yudi harus ekstra hati-hati meniti perairan karena banyak sekali kawasan dangkal. Pucuk-pucuk mangrove jenis pohon api-api tampak menyem-bul di permukaan air. Beberapa kali speedboat harus memutar dan mencari jalan aman yang berair dalam. Saat mencapai Sembuang, selanjutnya ke Sungai Laut, air tak lagi keruh, melainkan mulai jernih kehitaman,

99


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

pertanda memasuki air tawar. Banyak nelayan dengan sampan yang sedang menjaring. Tanda pelampung nelayan bertebaran di perairan, hanya menyisakan sedikit celah untuk jalan speedboat. Sampan-sampan kecil mereka juga harus dihormati dengan mengurangi kecepatan boat. Perairan jalur dalam ini ternyata jauh lebih rumit. Setiap beberapa menit ditemukan perairan yang bercabang, dan harus ditanyakan dulu ke nelayan lainnya tentang arah tujuan. Memasuki Desa Bente, perairan kembali keruh. Di kirikanan perairan yang sepanjang perjalanan banyak terdapat mangrove jenis api-api dan nipah, kini telah berganti perkebunan kelapa yang luas. Banyak juga sisa kelapa yang bertebaran di perairan, yang membuat Yudi harus ekstra hatihati mengemudikan speedboat-nya. Berkali-kali speedboat harus dihentikan karena ada sampah sisa pelepah atau buah kelapa yang menyangkut di mesin Yamaha 200 pk itu. Cabang-cabang perairan yang banyak membuat Yudi harus terus bertanya kepada nelayan setempat, bahkan hingga empat kali. Perjalanan itu ternyata memang menjadi lebih panjang, karena harus melewati perairan yang sempit dan panjang melewati Desa Teluk Lanjut, Desa Teluk Bunian, hingga Desa Penjuru. Saat mema-suki Desa Penjuru, sampah kelapa, kayu, berbagai sisa pohon bertebaran lebih banyak dari pada di desa-desa lainnya. Perairan ini juga lebih keruh dan menjadi sangat sempit untuk dapat dila-lui. Lebarnya sekitar tujuh hingga delapan meter, dengan jebakan sampah yang sangat banyak. Mesin boat pun makin sering diangkat. Riau Pos baru sampai ke tujuan di Desa Kuala Selat pukul 16.00 WIB, setelah melewati tujuh jam perjalanan. Mato Lani langsung menyambut hangat saat Riau Pos tiba di Desa Kuala Selat. Dia mengajak ke darat menuju kediaman Wali Desa Kuala Selat, Masnur. Di rumah Wali Desa, Riau Pos sempat bermalam dan mendapatkan banyak

100


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

informasi soal orang Duanu di tempat ini. Menurut Masnur, terdapat sekitar 80 kepala keluarga (KK) dengan 55 rumah khusus KAT orang Duanu dari 700 KK warga desanya. Orang Duanu sendiri kini tak lagi mayoritas di Kuala Selat, hanya sekitar 12 persen, karena sudah berbaur dengan orang Melayu, Bugis, Banjar, Jawa, Tionghoa dan suku-suku lainnya. Beberapa kampung atau dusun pemekaran baru bahkan sudah mulai bermunculan dari awalnya hanya Kuala Selat. Tak sedikit yang menjadi komuni-tas suku tertentu. Saat ini, selain Dusun Kuala Selat, ada juga Dusun Baru, Cahaya Alam, dan Dendan yang semuanya berada dalam wilayah Desa Kuala Selat. Ada 8 RW, dan 38 RT di desa ini. Ancaman Abrasi Desa Kuala Selat kini perlahan-lahan mulai digerus air laut. Abrasi yang sangat parah menjadikan wilayah asli orang Duanu perlahan-lahan habis, utamanya di Dusun Kuala Selat. Mereka terpaksa naik ke darat dan meninggalkan kebiasaan lama mereka tinggal di laut. Di masa lalu, orang Duanu tinggal di rumah-rumah yang berada dekat dari garis kedalaman laut, dengan tonggak-tonggak yang mencapai 6 meter dari permukaan laut. Mereka juga biasa hidup di sampan kajang. Kini, garis laut dalam itu sudah berada sekitar 3 hingga 4 kilometer dari rumah terdekat. Penye-babnya adalah abrasi yang terjadi sangat parah. Dari batas terakhir pelantaran di desa itu, dapat terlihat bekas tiang-tiang rumah orang Duanu yang terus tergerus abrasi. Tiang-tiang lapuk itu tampak menjulang dari kejauhan. Hamparan tiang yang sangat luas tak bermaya. “Makin lama, Desa Kuala Selat ini makin mengecil karena abra-si. Batas desa juga terus berubah dan desa makin mengecil,� ujar Masnur.

101


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Masnur sendiri bukanlah orang Duanu. Wali Desa ini adalah orang Melayu yang termasuk pertama datang ke tempat komunitas Duanu ini. Masnur menyebutkan, keluarganya awalnya juga berada jauh ke arah laut dari tempatnya bermukim sekarang. Namun abrasi yang makin parah membuatnya harus berpindah berkali-kali ke darat. “Saya sudah empat kali pindah karena abrasi,� ujar Masnur. Senada dengan itu, penduduk Kuala Selat lainnya, Amir (35), mengaku sudah tiga kali pindah akibat abrasi. Jika melihat kondi-si saat ini dengan masa lalu, keadaannya jauh berubah. Kalau begini terus, ujarnya, Kampung Kuala Selat bisa hilang dari permukaan bumi. “Sekarang ini saja sudah sampai 3 km dari tengah laut kami pindah. Puluhan tahun ke depan Kuala Selat bisa habis, karena setelah batas ini, sudah ada desa lain yakni Desa Sendan dan Teritip. Yang jelas, wilayah desa kami makin kecil akibat abrasi,� ujar Amir. Akibat abrasi selama puluhan tahun, beberapa bangunan besar di atas tonggak kayu telah musnah. Di antaranya adalah satu masjid, dua klenteng, satu bangunan SD, satu kantin, satu lapangan sepak- bola, dan puluhan rumah. Kini, di Kuala Selat sendiri sudah dibangun beberapa bangunan berupa sekolah, masjid, hingga lapan-gan olahraga. Jaraknya cukup jauh dari laut. Bahkan pelantar dan tiang-tiang bangunan di sana hanya dibuat setengah meter di atas tanah. Sekolah yang dibangun bahkan relatif lengkap, yakni SD 010, SMPN Satu Atap, MTs, bahkan SMK An-Nur. Ketua Adat Duanu Kuala Selat, Mato Lani sendiri sudah dua kali pindah. Mato tidak banyak pindah karena sejak awal sudah pindah jauh dari habitat aslinya di laut. Dia pindah ke darat bersama rombongan 55 KK orang Duanu yang menjadi

102


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

komunitas KAT tahun 2007 lalu. Ketika itu, awalnya di tahun 2005, terjadi bencana pasang keling pada musim utara, semacam tsunami kecil yang menghancurkan rumah-rumah orang Duanu. “Sejak itu kami dibuatkan rumah yang jauh dari garis pantai,� ujar Mato. Akulturasi dan Perubahan Budaya Orang Duanu sebenarnya lebih suka disebut orang Kuala. Sebab mereka awalnya tinggal di kuala atau muara sungai yang berdekatan dengan laut. Tapi kini abrasi dan naiknya air laut membuat kebia-saan orang Duanu berubah. Mato sendiri termasuk yang berubah, karena kondisi alam yang tak memungkinkan lagi tinggal di kuala. Rumahnya termasuk satu dari 55 unit yang dibuat pemerintah dan terbilang sangat sempit, ukuran 5x7 meter. Awalnya proyek ini 22 rumah, kemudian dikembangkan lagi menjadi 55 rumah. Dinding rumah-rumah ini dibuat dari kayu bercat putih yang sudah mulai pudar. Kendati bercorak sederhana, rumah Mato sudah mengikuti perkembangan zaman. Saat Riau Pos berkunjung ke kediamannya, malam itu, terlihat sudah ada parabola, lampu listrik 30 watt yang terang, televisi 29 inci, lantai kayu dengan karpet dan beberapa hiasan dinding. Mato juga menjadikan sebagian ruang tamunya sebagai toko jualan barang harian. Mulai dari beras, sarden, minuman mineral, kecap, berbagai bumbu ada di kedainya. “Kita ambil barang dari tauke. Hanya untuk jualan sekitar sini saja,� ujar Mato. Sentuhan modernitas memang sudah dirasakan orang Duanu Kuala Selat, termasuk Mato. Di batas desa itu telah berdiri satu menara BTS sebuah telepon seluler. Menjuang tinggi, menjadi penanda dari kejauhan. Parabola televisi

103


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

berjejer di banyak rumah penduduk. Listrik tidak lagi menjadi kendala serius di Kuala Selat sejak tiga tahun lalu. Sejak pukul 18.00 WIB, hingga pukul 6.00 WIB, listrik menyala. Ada satu mesin genset berkekuatan 100 kva yang dikelola Perusahaan Listrik Desa (PLD) Kuala Selat. Genset berba-han solar itu cukup untuk menerangi Dusun Kuala Selat dan Kampung Baru. Sedangkan dua dusun lagi, yakni Cahaya Alam dan Dendan belum dapat tercover. Kawasan orang suku Duanu ternyata lebih diproteksi di tempat ini. Sebelum kondisi sekarang dialami orang Duanu, di tempat itu hanya ada beberapa orang saja. Mato bercerita, awalnya hanya ada 4 KK orang Kuala di tempat ini. Mato termasuk yang pertama itu bersama orangtuanya. Mereka tinggal jauh di laut dengan pelantar mencapai 6 meter, bahkan tinggal di sampan-sampan. Mereka biasa menangkap ikan dengan jaring, belat, rawai atau yang sederhana dengan kelong, yang digunakan sebagai perangkap ikan ketika air surut. “Perairan Tanjung Datuk di depan kami ini banyak ikannya,� ujar Mato. Orang Kuala sendiri menurut Mato berasal dari Malaysia. Mereka adalah pelarian saat gencarnya masuk komunisme tahun 1960-an, terpencar ke tujuh penjuru dan kemudian tinggal di kuala-kuala atau muara sungai di Indragiri. Tak hanya di Kuala Selat, mereka tersebar ke banyak kawasan di Indragiri. Satu versi lain, menurut Mato, mereka berasal dari Arab. Selain orang Kuala, mereka juga sering disebut orang Nelayan. “Tapi kami bukan orang Laut atau orang Mantang, karena berbe-da dalam hal kepercayaan. Kalau kami seratus persen muslim. Kami lebih dekat dengan orang Bajau di Sulawesi,� ujar Mato. Suku Duanu di Malaysia sendiri menurut Mato

104


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

berkembang cukup pesat. Mereka diproteksi penuh oleh pemerintah Malaysia, berbeda kondisinya dengan mereka yang akhirnya memutuskan pindah ke kuala di Indragiri. Orang Duanu di Malaysia, sebut Mato, digaji oleh pemerintah, anak-anak digratiskan sekolah dan berbagai fasilitas diberikan dengan cuma-cuma. Kebun-kebun juga diberikan kepada komunitas itu. Mereka menetap di kampung Benut, Pontian, Rengit. “Semiskin-miskinnya orang Duanu di Malaysia, mereka punya satu motor di rumahnya,� ujar Mato. Kondisi ini tentu berbeda jauh dengan orang Duanu Indragiri, khususnya di Kuala Selat. Rata-rata mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Kendati di Selat Pedada banyak sekali tertambat motor boat berukuran besar, ternyata tak satu pun yang dimiliki orang Duanu. Kebanyakan pemiliknya adalah orang Melayu, atau Tionghoa. Orang Duanu sendiri hanya menjadi buruh harian pada tauke orang Tionghoa pemilik motor boat. Selain bekerja sebagai buruh ne-layan, mereka juga banyak yang bekerja sebagai buruh kebun kela-pa. “Kalau kerja pada tauke dapat gaji Rp800 ribu sebulan. Dengan uang segitu, manalah cukup untuk kebutuhan seharihari. Banyak di antara kami sudah terbelit utang,� ujarnya. Keahlian melaut orang Duanu memang terkenal. Keahlian itu tak pernah hilang kendati mereka tak memiliki kapal motor. Perairan Tanjung Datuk yang tergenal ganas dan angker adalah areal permainan mereka sejak puluhan tahun lalu. Bahkan di zaman dulu, dengan perahu-perahu kecil saja, mereka dapat menyongsong musim utara dan tenggara yang ganas dan banyak ikan itu, saat nelayan lain justru tak mau melaut. Sebenarnya ada satu dua orang Duanu yang memilki perahu motor. Hanya saja kapasitasnya sangat kecil, sehingga tidak cukup besar untuk menampung rawai

105


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

yang besar. Mato sendiri memiliki perahu motor, namun tak lagi melaut. Usianya yang 56 tahun menahan niatnya. Dia mempercayakan kepada kerabatnya. Masalah lainnya yang menghadang nelayan kecil seperti orang-orang Duanu adalah ketersediaan BBM. Harga BBM tak seimbang dengan penghasilan masyarakat untuk melaut, juga dengan harga kebutuhan pokok yang makin melejit. Di Desa Kuala Selat ini, satu pekan hanya dijatah 1 ton hingga 1,5 ton solar. Kadang stok BBM itu habis, seperti dalam sepekan ini yang tak ada lagi jatah solar. Harganya di tingkat pengecer mencapai Rp7 ribu perliter, jauh dari harga asalnya di SPBU yang hanya Rp4.500 perliter. Jika putus minyak seperti ini, mayoritas nelayan tak melaut, termasuk buruhburuh orang Duanu. Menurut Mato, tidak ada orang Duanu yang memiliki pompong atau perahu besar yang bisa digunakan untuk merawai ke laut lepas. Maka pihaknya sangat berharap pemerintah membantu pompong kapasitas besar yang bisa digunakan orang Duanu untuk kembali ke laut, keahlian asli mereka. “Agho imang bentuat dengan pemerintah supayu deput pompong jaghek (Kami minta bantu pada pemerintah supaya dapat pompong jaring, red),� ujar Mato mengungkapkan keinginannya dengan bahasa Duanu. Keahlian orang Duanu sebagai nelayan dan pelaut memang tak akan hilang begitu saja. Mereka hanya kekurangan sarana. Di sisi lain, kini keahlian mereka justru dimanfaatkan sebagai buruh nelayan. Sebagiannya menjadi buruh kebun. Pergeseran kehidupan orang Duanu ini tak lepas dari kondisi alam dan akulturasi budaya di kawasan Kuala Selat. Mato menceritakan, pada tahun 1970-an akhir hingga tahun 1980, orang-orang dari Tembilahan, Teluk Pinang, dan Rengat mulai berdatangan ke Kuala Selat. Tahun 1980, mulai

106


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

terjadi perkawinan campuran antara orang Duanu dan suku lainnya terutama Melayu. Perkawinan campuran ini mulai mengubah perilaku orang Duanu yang biasanya terus tinggal di laut menjadi makin naik ke darat. “Selain faktor alam, yakni karena abrasi, ada juga faktor budaya dan perubahan zaman yang membuat kami naik ke darat,� ujar Mato. Mato sendiri termasuk yang pertama naik ke darat sebelum terjadinya musibah pasang keling tahun 2005 yang menghancurkan hampir seluruh rumah orang Duanu di laut. Dia pindah bersama orang Duanu lainnya bernama Nakom. Mato pindah karena orangtuanya memiliki tanah di darat dan mulai mengolahnya. Sejak itu, mulai pula sebagian orang Duanu pindah ke darat, sampai musibah pasang keling itu menimpa mereka. Sejak pindah ke darat itu pula, maka budaya dan kebiasaan masyarakat pun mulai berubah. “Sebagian sudah mulai berkebun mengikuti kebiasaan orang Melayu,� ujar Mato. Kini, setelah melaut makin sulit karena berbagai faktor, terutama ketiadaan pompong dan kesulitan bahan bakar, sebagian masyarakat Duanu mulai berkebun. Tidak banyak yang mulai berke-bun. Menurut Mato, hanya empat orang yang memiliki kebun sendiri. Mereka adalah Salim (35), Fajaruddin (37), Baharuddin atau Utoh (36) dan User (34). Nama terakhir ini tak mengolah sendiri ke-bunnya sebanyak enam bidang, karena sekarang sedang bekerja di Batam. Dia mempercayakan kebun kepada adik iparnya. Baharuddin sendiri bukan lagi sepenuhnya orang Duanu, karena ibunya keturunan Banjar. Budaya berkebun dibawa dari keluarga ibunya. Saat ini, dia memiliki kebun kelapa seluas tiga bidang. Satu bidang dalam hitungan masyarakat setempat sama dengan 2,5 hektare. Baharuddin memiliki istri yang PNS sehingga bisa lebih leluasa bekerja

107


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

lainnya, termasuk membuka kebun. “Kerja belat, gumbang, sondong sudah dicoba semua dan tidak ada yang berhasil baik sekarang. Gaji istri sebagai PNS juga tak cukup. Makanya sekarang coba berkebun. Hasilnya lebih lumayan dengan berkebun,� ujar Baharuddin. Dia juga menyarankan kepada sesama orang Duanu untuk mengubah nasib. Sebab kerja di laut saat ini menjadi makin tak pasti. Kerja gumbang saat ini sudah mulai berat, sakit dan ini tak perlu diwariskan ke anak cucu. Salim yang memiliki kebun seluas 2,5 hektare atau satu bidang pun demikian. Dia bukan asli Duanu. Hanya ibunya yang orang Duanu, sedangkan ayahnya orang Melayu. Perubahan cara hidup dengan berkebun berasal dari ayahnya. Menurut Wali Desa Kuala Selat, Masnur, sebenarnya orang Duanu mulai ingin berkebun sejak beberapa tahun terakhir. Hanya saja, saat ini harga lahan dan kebun kelapa sudah melejit tinggi, mencapai Rp21 juta perbidang. Banyak juga orang Duanu tak mau berkebun, karena tak percaya pada yang memelihara kebun, jika tidak memelihara atau mengawasi sendiri. “Semua orang Duanu ingin berkebun, tapi sekarang harganya mahal,� ujar Masnur. Kehilangan Bahasa Perkawinan campuran yang terjadi antara orang Duanu dan suku lainnya menyebabkan kawasan Kuala Selat berkembang cukup pesat. Mereka sudah mulai memahami cara hidup orang darat, terutama bertani dan berkebun. Akulturasi ini sebenarnya tidak terlalu rumit karena orang Duanu sendiri sebenarnya juga termasuk orang Malayu. Bedanya, orang Duanu termasuk Melayu Tua atau Proto Malay. Sisi lain dampak akulturasi dan perkawinan campuran

108


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

ini ternyata menyebabkan salah satu budaya mereka mulai tergerus. Kini, kebanyakan anak muda Duanu tidak mengenal lagi bahasa asli mereka. Kondisi ini diakui Ketua Adat Suku Duanu Kuala Selat, Mato Lani sebagai sesuatu yang sangat mencemaskan. “Bahasa Duanu dah mulai lap. Hilang!” ujarnya menyebut salah satu kosa kata asli Duanu. Ekspresinya tampak menyesalkan. Penyebabnya antara lain karena bahasa pergaulan anak muda saat ini mayoritas menggunakan bahasa Melayu. Sebagai bahasa pergaulan sehari-hari, bahasa Malayu terlalu dominan digunakan sehingga ada rasa kurang percaya diri ketika orang Duanu mulai menggunakan bahasa mereka. Hanya generasi tua yang menuturkan dan bercakap-cakap dengan bahasa Duanu. Bahkan menurut Mato, banyak orangtua Duanu yang tak lagi bercakap bahasa Duanu di rumahnya. Kebanyakan penyebabnya, karena salah satu orangtua bukan lagi orang Duanu, melainkan orang Melayu. “Bahkan ada juga yang keduanya orang Duanu tak lagi suka menggunakan bahasa Duanu di rumah. Jadi anak-anak tak mendengar bahasa Duanu dipakai di rumahnya sendiri,” ujar Mato. Pembuatan 55 unit rumah sederhana bagi komunitas Duanu mungkin dimaksudkan pemerintah untuk menjaga komunitas Duanu ini di suatu kawasan, termasuk menjaga bahasanya. Akan tetapi, menurutnya ini tidak diikuti dengan pembinaan. Saat ini diakui Mato, dirinya kesulitan mengajak orang Duanu menggunakan bahasanya sendiri. Rata-rata, remaja di bawah umur 18 tahun di Kuala Selat ini tidak lagi dapat berbahasa Duanu. Bahasa Duanu menjadi milik orang-orang tua seperti dirinya yang tentu tak selamanya bertahan. “Saya sering sampaikan ke orang-orang kita. Pakailah

109


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

bahasa Duanu dalam pergaulan sehari-hari. Tapi sulit mengajak mereka,” ujar Mato. Dia kemudian mengutip ungkapan Ketua Suku Duanu se-Riau, Ir Sarpan, bahwa bahasa Duanu merupakan satusatunya ciri khas bahwa mereka adalah orang-orang KAT (komunitas adat terpencil). Jika bahasa ini mulai hilang, maka satu peradaban akan hilang dari Bumi. Di sisi lainnya, Duanu tidak bisa lagi disebut sebagai orang KAT, karena akan sama dengan komunitas Melayu lainnya. “Jika tidak termasuk lagi dalam KAT, maka pemerintah tak mau lagi membantu. Saya sering menyampaikan ini kepada warga saya,” ujar Mato. Menurut Mato, di Kuala Selat saat ini hanya terdapat sekitar 70 orang yang mampu berbahasa Duanu. Kebanyakan mereka adalah orang-orang tua. Sisanya ada yang hanya mendengar sesekali, mengerti tapi tak dapat berbicara hingga tak pernah mendengar sama sekali walaupun keturunan orang Duanu. Generasi baru Duanu menurutnya mayoritas tak mampu berbahasa Duanu. Sesuatu yang membuatnya miris. “Kami terus berusaha, tapi benar-benar sulit mengajak mereka,” ujar Duanu dengan nada putus asa. Hilangnya bahasa suku ini juga menjadi fenomena nyata di komunitas Duanu di Desa Belaras, Kecamatan Mandah. Dari Kuala Selat, Belaras sebenarnya tak terlalu jauh. Akan tetapi karena Riau Pos bergerak ke Guntung terlebih dahulu, maka perjalanan ke Belaras mencapai waktu dua setengah jam juga jika dihitung dari Kuala Selat. Di Belaras, terdapat dua komunitas Duanu, yakni di Kampung Baru 50 rumah dan Kampung Vietnam 25 rumah. “Dulu kami tinggal di Kuala Peria, tapi sudah hancur terkena ombak dan dibangunkan pemerintah di dua tempat ini,” sebut Kepala Suku Duanu Belaras, Syarifuddin. Soal bahasa ini juga menjadi kendala serius di Belaras,

110


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

sama halnya dengan Kuala Selat. Awalnya, Syarifuddin mengakui kalau bahasa Duanu diwariskan ke anak cucu. Apalagi PNS penjaga SD 05 Belaras ini menyebut, bahasa Duanu Belaras lebih spesifik, unik, agak berbeda cara ucapnya dengan Duanu lainnya, sebutlah di Concong Luar. Tamatan SMP Pulau Kijang, dan Kejar Paket C ini mencontohkan sebutan ikan yang di Concong dan tempat lainnya disebut ikin, tapi di Belaras diucapkan ikit. Syarifudin yakin warga dan anak-anak Duanu Belaras mewarisi kemampuan uniknya berbahasa Duanu. Akan tetapi saat Riau Pos menguji beberapa anak muda Duanu, Syarifuddin akhirnya mengakui mereka tak terbiasa menggunakannya dalam keseharian. Mulyadi (10), misalnya, yang biasa dipanggil Rampang, mengaku tak mampu berbahasa Duanu karena jarang menden-gar anak seusianya berbahasa ibunya itu. Dandy (12), yang kedua orangtuanya asli Duanu, juga mengaku tak mampu berkomunikasi bahasa Duanu. “Sesekali terdengar juga orangtua berbahasa Duanu. Tapi tak tiap hari,” ujar Dandy. Beberapa kosa kata Duanu dikuasai drop out kelas II SD yang belum dapat membaca ini. Misalnya tiangan yang berarti kerang, dan cilat yang berarti centeng atau canting (wadah piringan atau cawan). Jika mendengar orang Duanu berbicara, kadang dia dapat mengerti, kadang tidak. Hanya sedikit ungkapan Duanu yang dikua-sainya. Rudi (6) yang belum bersekolah mengaku tak pernah mendengar percakapan Duanu. Sama halnya dengan Sandy (14), yang kedua orangtuanya asli Duanu. Kendati dua orangtuanya asli Duanu, Sandy mengaku tak pernah mendengar keduanya berbahasa Duanu. “Di rumah orangtua sehari-hari berbahasa Melayu,” sebut Sandy.

111


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Saat ditanyakan tentang akan hilangnya bahasa Duanu dari Belaras, Syarifuddin mengaku tak pernah memikirkannya. Dia merasa sering menggunakan bahasa Duanu dan menganggap orang Duanu lain juga menggunakannya di rumah masing-masing. Dia juga tak tahu dampaknya jika bahasa Duanu hilang dari penutur aslinya. Tapi akhirnya diakuinya bahwa anak-anak Duanu kini tak lagi mampu berdialog dengan bahasa aslinya. Mereka tergagap saat diajak berbahasa Duanu. “Dene piak pandi lup cakup Duanu. Tapi mendengar nyu tau. (Anak-anak tak bisa lagi bercakap Duanu. Tapi mendengar dia tahu, red),� ujar Syarifuddin masih berkilah, sambil menggunakan bahasa Duanunya. Sama seperti di Kuala Selat, orang-orang Duanu di Belaras ini juga ditempatkan jauh ke darat. Namun kendati sudah dikumpulkan dalam suatu komunitas, di kompleks perumahan yang berdekatan, bahasa mereka sebagai orang Duanu tak terpelihara. Bahkan sebagai orang KAT, mereka merasa terabaikan. Banyak anak-anak Duanu yang putus sekolah, baik karena alasan tak punya dana hingga tak diperhatikan orangtua yang sibuk bekerja memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar, bahkan nyaris seluruh orang Duanu di Belaras berprofesi sebagai penongkah kerang. Mereka sudah mulai pergi ke lokasi menongkah kerang mulai pukul 24.00 WIB, tengah malam. Kadang mereka pulang ketika hari sudah mulai siang. Kondi-si ini disesuaikan dengan saat air laut mulai surut, sehingga kerang bisa didapat dengan cara menongkah atau berselancar meng-gunakan papan khusus di atas hamparan lumpur laut. Akibat pekerjaan orangtua seperti ini, banyak anak-anak yang kurang terperhatikan pendidikannya. Sebagian anakanak ini hanya bermain-main, atau ikut membantu bekerja.

112


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Komunikasi orangtua dan anak pun kian sulit. Syarifuddin menyebut, dia sudah berulang kali mengajak anak-anak Duanu untuk bersekolah. Dia juga meminta pemerintah untuk lebih memerhatikan orang Duanu. Tidak hanya membuatkan rumah, lalu ditinggalkan begitu saja. Dicontohkannya soal jerambah atau pelantar di perumahan orang Duanu yang sudah rusak berat. Jika dibandingkan dengan rumah-rumah di Kuala Selat, kondisi di Belaras memang lebih memprihatinkan. Rumah-rumahnya lebih kusam dan tidak terawat. Perabotannya juga hampir tak ada. Hanya lantai kayu. Rumah-rumah yang terbiar seperti awal dibuat. Seorang warga, Ali Nopiah menyebutkan, sejak dibangun tahun 2005 lalu, hingga kini tak pernah ada sentuhan pembangunan lagi. Apalagi kondisi jerambah atau pelantar kini banyak yang rusak. Beberapa warga sudah terperosok ke lubang-lubang yang menganga di sepanjang jerambah yang menghubungkan antar rumah. “Pemerintah bentune pelante nakeboi. (Pemerintah bantulah pelantar sudah lapuk, red),� ujar Syarifuddin, kembali menggunakan bahasa Duanu. Fenomena tak jauh beda juga terjadi pada orang Duanu di Desa Patah Parang, Kecamatan Sungai Batang. Penempatan khusus mereka sebagai orang KAT di suatu tempat karena abrasi ternyata tak membuat bahasa mereka berkembang. Sebagian yang masih menggan-tungkan hidup dari hasil laut juga memiliki ekonomi yang pas-pasan. Menurut Wali Desa Patah Parang, Azhari, rumah orang Duanu dibuat pemerintah tahun 2004 sebanyak 50 unit. Kondisinya masih baik, hanya jerambahnya yang mulai rusak. Secara umum, tidak banyak di antara mereka yang berekonomi berkecukupan. Hanya ada beberapa orang yang hidup lebih baik. Sebagian besar karena sudah tak lagi

113


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

menggantungkan kehidupan pada hasil laut. Mereka mulai berkebun. “Sebab bagaimana pun kayanya mereka dari hasil laut, ketika meninggal tetap saja tak ada yang ditinggalkan. Jadi, anak-anakn-ya kembali akan miskin. Ini beda jika mereka punya kebun. Sedikit banyak anak-anak mereka punya warisan kebun,� ujar Azhari. Sejarah dan Masa Depan Duanu Seperti ungkapan beberapa Ketua Adat Suku Duanu di ceruk Indragiri, yakni Kuala Selat, Kateman dan Belaras, Mandah, orang Duanu memang berasal dari Malaysia. Hal itu dikuatkan oleh Ketua Kerukunan Keluarga Besar Masyarakat Duanu Riau, Sarpan Firman-syah. Akan tetapi Sarpan menampik spekulasi bahwa orang Duanu berasal dari Arab. Di awal-awal kedatangan ke Indonesia tahun 1960-an, orang Duanu memang dikenal sebagai orang Kuala, kadang Suku Laut atau Suku Nelayan. Cukup menjadi problem ketika Suku Laut ini ternyata ada juga di Kepri dengan penamaan sama, namun komunitas dan cara hidup yang berbeda. Untuk membedakannya, maka orang-orang di Indragiri lebih sering menyebut komunitas ini dengan orang Kuala. Beda lainnya, orang Kuala sepenuhnya muslim. Ini beda dengan Suku Laut di Kepri. Istilah Duanu sendiri, menurut Sarpan, muncul belakangan. Istilah ini merupakan bahasa Belanda, dari kata duane yang berar-ti upeti, pajak, atau cukai. Di masa Kerajaan Lingga, orang-orang ini kerap disuruh Raja Lingga untuk memungut pajak (duane) kepada setiap pemilik kapal yang datang berlabuh. “Jadi kepada setiap kapten kapal yang datang, orangorang di kuala ini selalu mengatakan. Hei, duane (Hei, bayar

114


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

pajak, red). Istilah ini akhirnya menjadi ejekan dan melekat terus,” ujar Sarpan. Sarpan menyebutkan, istilah duane dan kemudian menjadi duanu, yang pengucapannya kerap menjadi duano, dipopulerkan dalam semi-nar peningkatan SDM Suku Laut pada 14 Mei 1993 di Pekanbaru. Istilah ini akhirnya dikukuhkan pada pertemuan akbar masyarakat Duanu seRiau, 9-10 Juli 2003, hingga nama Duanu kini lebih dikenal dari pada istilah Suku Kuala, Suku Nelayan atau Suku Laut. “Ini juga untuk membedakan kami dengan Suku Laut di Kepri,” ujar Sarpan. Dari data yang dimilikinya, saat ini terdapat sekitar 10 ribu jiwa orang Duanu yang tersebar di Riau. Mayoritas mereka berada di Inhil dengan sebaran di tujuh kecamatan dan 13 desa. Desa-desa tempat penyebaran orang Duanu Inhil adalah Concong Luar, Sungai Belah, Tanjung Kusir, Sungai Laut, Bekawan, Belaras, Tanah Merah, Patah Parang, Taga Raja, Kuala Selat, Pulau Ruku, Perigi Raja dan Panglima Raja. “Di Kepri banyak juga, terutama di Tanjung Batu dan Tanjung Balai. Tapi mereka tak termasuk dalam hitungan 10 ribu yang kami maksud,” ujar Sarpan. Adapun soal ancaman hilangnya bahasa Duanu dan terleburnya Duanu menjadi Melayu, Sarpan mengakui ini sebagai persoalan yang sangat serius. Dia menyebut Duanu bisa jadi akan menjadi Duanu “dia-spora”, yakni masih mengaku orang Duanu, tapi tak lagi mampu berbicara bahasa Duanu. Sebab bahasa menunjukkan bangsa dan tanpa bahasa, Duanu tak bisa diakui sebagai etnik yang spesifik. “Terus terang kami khawatir sekali bahasa Duanu hilang dari peredaran karena tak ada lagi yang menuturkannya,” ujar Sarpan. Adapun penyebab utama orang Duanu malas berbicara

115


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

dan menga-jarkan bahasa Duanu ke anak cucunya adalah karena merasa minder dan rendah diri. Bahasa Duanu dinilai tidak populer dan aneh bagi kalangan mayoritas masyarakat yang berbahasa Melayu. Padahal bahasa Duanu merupakan bahasa yang unik dan spesifik. Kata-kata Duanu sendiri ada yang sekadar beda pelafalan dengan bahasa Melayu, namun ada juga yang berdiri sendiri. Kata meja, misalnya, diungkapkan orang Duanu sebagai meju, hanya beda pengucapan. Sedangkan makan, dalam bahasa Duanu adalah engkan, sebuah kata baru. “Beberapa ungkapan bahasa memang dekat dengan bahasa Melayu, sebab kami ini termasuk Melayu Tua atau Proto Malay. Tapi, jika akhirnya bahasa kami punah karena tak ada lagi penuturnya, tentu sangat disayangkan. Ini musibah bagi peradaban,” ujar Sarpan prihatin. Dia menyebutkan, berbagai pertemuan kerap dilakukan untuk terus melakukan sosialisasi penggunaan bahasa Duanu dan menga-jarkan kepada anak cucu. Kendati demikian, ajakan itu tetap tera-baikan. Kenyataannya, banyak anakanak muda yang enggan berbahasa Duanu dan merasa lebih gaul dengan bahasa Melayu. Sebagai antisi-pasi lainnya, Sarpan mengaku sudah menulis Kamus Mini Duanu-Indonesia dan menyebarkannya. “Kita terus upayakan agar bahasa Duanu tak hilang dari muka Bumi. Setidaknya agar bertahan lebih lama,” ujar Sarpan. Di pihak lain, Kasi Pemberdayaan Fakir Miskin dan Komunitas Adat Terpencil Dinas Sosial Provinsi Riau, Drs Deli Darmawan yang ditemui Riau Pos secara terpisah, justru mengklaim bahasa Duanu masih digunakan dalam keseharian masyarakat adatnya. Bahkan dia berkeyakinan anak-anak Duanu pun masih menggunakan bahasa Duanu, kecuali masyarakat Duanu yang sudah berbaur dengan

116


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

masyarakat lain di perkotaan. “Tentu tidak begitu dengan masyarakat suku Duanu asli yang masih tinggal di perkampungan aslinya. Mereka masih menggunakan bahasa asli Duanu sebagai bahasa kesehariannya,” klaim Deli yakin. Dia juga membantah, kalau masalah bahasa itu akan menyebabkan mereka kurang mendapatkan perhatian atau bantuan pemerintah. Mereka yang sudah berasimilasi dengan masyarakat sekitar, memang dikeluarkan dari pendataan dan tidak lagi berhak mendapatkan bantuan. Sebab, mereka dinilai tidak lagi sebagai komunitas adat terpencil, tapi sudah menjadi masyarakat pada umumnya. “Salah satu tujuan akhir program pemberdayaan yang dilakukan pemerintah ini adalah untuk mendekatkan mereka dengan masyarakat sekitarnya,” ujar Deli. Perlu Solusi Bersama Menurut Direktur Pemberdayaan KAT Kemensos RI, Hartati Sole-hah, akar permasalahan KAT adalah keterisoliran, ketertinggalan, pendidikan, dan kesehatan. Untuk menuntaskan urusan ini, tak hanya Kemensos dan jajarannya yang harus berbuat, tapi semua pihak. Kemensos mengharapkan pihak provinsi dan kabupaten/kota juga turut menuntaskan persoalan KAT. Kemensos sendiri hanya melakukan pembinaan hingga tiga tahun. “Di atas tahun ketiga yang disebut purnabina, kita harapkan instansi lain juga bergerak karena anggaran kita terbatas. Perlu lintas instansi seperti dari Kementerian PU, Pendidikan, Keseha-tan dan lainnya. Juga tentu dari provinsi dan kabupaten/kota,” ujar Hartati. Sementara itu Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemban-gunan Desa (BPMPD) Kabupaten Inhil, H Edy Syafwannur menyebutkan, dalam hal pemberdayaan

117


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

masyarakat KAT di Inhil, pihaknya memberi-kan bantuan yang sifatnya hanya pendampingan. Program utamanya tetap di Kemensos RI dan Dinas Sosial provinsi. Program yang diterapkan bernama program usaha perekonomian desa (PUPD), yakni berupa pinjaman usaha produktif. “Hanya kewenangan pendampingan yang ada pada kami karena memang begitu aturannya. Kita harapkan masyarakat adat dapat memaksimalkan bantuan pendampingan ini,� ujar Edy. Pemerintah mungkin memang memiliki keterbatasan, terutama dalam mengurus fisik berupa infrastruktur dan kebutuhan dasar orang-orang KAT termasuk suku Duanu. Pemerintah juga mungkin memiliki urusan yang lebih penting dari pada sekadar urusan suara unik milik puak-puak di ceruk antah berantah. Mungkin itu urusan mereka sendiri, urusan kepala suku atau lembaga adat. Maka masa-lah bahasa ini pun makin terabaikan. Jika orang-orang seperti Sarpan, Mato atau Syafruddin tak ada lagi, boleh jadi penutur bahasa Duanu pun hilang, dan Duanu akan masuk dalam daftar bahasa yang hilang, seperti peradaban kuno lainnya di dunia. Majalah National Geographic edisi Juli 2012 mencatat, tiap 14 hari, terdapat satu bahasa dunia yang hilang. Sebelum abad ini berganti, hampir separuh dari 7.000 bahasa dunia diprediksi akan punah. Boleh jadi, dalam beberapa tahun ke depan, lebih cepat dari perkiraan, bahasa Duanu akan termasuk di antaranya. Punah ranah. Tapi, masih adakah yang pedu-li?*** MUHAMMAD AMIN adalah wartawan Riau Pos. Tulisan ini terbit di Riau Pos edisi 29 Juli 2012. Tulisan ini memenangkan Rida Award 2013 kategori indepth news/ liputan investigasi.

118


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Pahit Nasib Tertumpang Kuda Beban Sejak Indonesia merdeka ta-hun 1945, Nagari Garabakdata, Kecamatan Tigolurah belum tersen-tuh derap pembangunan. Berjuta derita terpendam di daerah paling terisolir di Kabupaten Solok ini. Bagi warga setempat, aspal dan mobil menjadi barang langka. Akses ke kampung ini hanya jalan tanah. Naik turun bukit. Keluar masuk hutan. Jatuh bangun kubangan. LAPORAN SANNY ARDHY, SOLOK

DERITA tak sampai di situ. Untuk sampai ke lokasi yang jaraknya 32 km melewati rimba raya itu, Ahad (26/5), Padang Ekspres juga harus menyusuri perbukitan terjal, penuh batu. Perjalanan dimulai pukul 08.00 WIB, naik dari Nagari Talang Babungo, Kecamatan Hilirangumanti. Butuh delapan jam perjalanan, berjalan kaki untuk tiba di nagari yang berpenduduk 1.198 jiwa ini. Jika naik sepeda motor, empat jam. Tak sembarang ojek yang bisa dinaiki. Ojeknya harus ojek khusus, menggunakan ragi ban motor cross (trail). Begitupun pengendaranya, harus khusus. Untuk sampai ke

119


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Gara-bak-data, tarif ojek dipatok Rp400 ribu (pulang pergi). Mahalnya tarif ojek ini, dikarenakan tingginya tingkat risiko yang akan ditempuh pengendara ojek. Slip sedikit saja, nyawa menjadi taruhan. Meski telah menggunakan jasa ojek, tetap saja dalam perjalanannya harus berjalan kaki. Maklum, kondisi jalannya bak kubangan kerbau. Jika roda motor penuh lumpur, otomatis motor tak bisa berjalan. Lain dari itu, pengendara ojek tak ingin mengambil risiko menaiki tanjakan terjal atau menuruni jalan bebatuan yang curam. “Mambana awak, Da. Turun uda dulu, jatuah awak beko (menyerah saya, Bang. Turunlah dulu. Jatuh kita nanti, red),” ujar Hendri (36), pengendara ojek kepada Padang Ekspres. Selama menumpangi ojek ini, adrenalin benarbenar terpacu. Detak jantung berdegup kencang. Harus memeluk erat pinggang pengendara, jika tak ingin jatuh dari motor saat menuruni tanjakan. Belum lagi ancaman babi hutan. Selama empat jam perjalanan, sekitar pukul 12.00 WIB, barulah Padang Ekspres sampai di Nagari Garabakdata. Masyarakat setempat menyambut dengan raut muka bahagia. “Jam bara barangkek dari bawah tadi, Da (Jam berapa berangkat dari bawah tadi, Da),” tanya Novria Effendi, yang akrab disapa Tora (29), pemuda Garabakdata. “Jam delapan,” jawab Padang Ekspres. “Lai sampai juo di nagari kami ko, akhirnyo. Istirahatlah lu, Da (Sampai juga di negeri kami ini akhirnya, istirahatlah dulu, Bang, red),” timpal guru honor SDN 02 Garabak itu. Padang Ekspres pun istirahat di kursi panjang, depan rumah Tora. Kabupaten Solok memiliki luas wilayah 373.800 ha (373.800 km persegi), terdiri 14 kecamatan dengan 74 nagari. Kabupaten yang dikenal sebagai sentra produksi padi di Sumbar ini, termasuk salah satu kabupaten tertinggal. Dari

120


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

74 nagari terdapat 24 nagari tertinggal. Dari 24 nagari tertinggal tersebut, kini tinggal 12 nagari lagi yang masih terkebelakang. Salah satunya, Nagari Garabakdata. Salah satu faktor ketertinggalan nagari di Solok, lantaran miskin sarana dan prasarana jalan. Kepada Padang Ekspres, Tora bersama Mardalius, Ketua Pemuda Garabak menjelaskan, jalan tanah yang kini menjadi urat nadi transportasi warga Garabakdata, dibuka sejak 1998 oleh Bupati Solok Gamawan Fauzi. Jalan tak bisa diaspal karena membelah hutan lindung. Tak jarang, ibu-ibu melahirkan dalam perjalanan menuju RSUD Solok. “Anak pertama saya, lahir di hutan. Saat itu, (5 Juli 2009), saya berangkat jam setengah empat dari Garabak. Tepat di KM 13, sekitar pukul 23.00, istri saya tak tahan lagi, dan akhirnya melahirkan di hutan. Terpaksa saya tandu istri dan anak saya ke bawah. Beruntung saat itu saya membawa bidan. Bidan itulah yang menolong istri saya melahirkan,” tutur Mardalius, Ketua Pemuda Garabak. Kehidupan masyarakat Garabakdata sangat tradisional. “Pinta kami hanya satu kepada pemerintah, segera perbaiki jalan. Apalagi sekarang mulai masuk musim hujan, medan jalan sulit dilewati akibat tertimbun lumpur. Sebagai alternatif, terpaksa dimanfaatkan jasa kuda beban untuk transportasi,” kata ayah dua anak itu. Jika saja tidak ada kuda beban, jelas Reneldi, masyarakat Garabakdata tak akan bisa mengakses daerah lain. Terutama untuk mengangkut kebutuhan pangan, sandang dan papan dari luar kampung. “Mahal pula ongkos angkut dibanding harga barang yang akan dibeli,” imbuhnya. Umumnya, harga barang yang dijual di Pasar Nagari Garabakdata, lebih mahal dua kali lipat dibanding harga biasa. Seperti bensin, harganya Rp10 ribu seliter. Semen satu sak Rp120 ribu. “Makanya, rumah warga di sini, banyak rumah kayu. Harga satu sak semen saja Rp120 ribu. Belum

121


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

lagi ongkos angkut material lainnya, seperti besi. Jasa kuda beban Rp2.000 per kg. Tinggal kalikan saja,” tambah Reneldi. Banyak Anak Putus Sekolah Karena minimnya perhatian pemerintah setempat, SDM warga Garabakdata hingga kini juga masih terbelakang. Anak-anak harus jauh berjalan kaki ke sekolah, melewati kubangan lumpur. “Yang sedih itu, saat anak-anak harus pergi ke bawah (Nagari Batubajanjang, red) untuk mengikuti ujian nasional. Butuh delapan jam perjalanan dari Garabak ke sana. H-1, anak-anak sudah berangkat. Selama tiga hari UN, anak-anak menginap di bawah. Usai UN, barulah anakanak kembali. Jalan kaki ke bawah karena ongkos ojek mahal. Tapi beruntung, sejak 2012 lalu, kami sudah bisa mengikuti UN di sini,” kata Kepala SMPN 2 Tigolurah, Aswandri. Nagari Batubajanjang, termasuk wilayah Kecamatan Tigolurah. Nagari yang baru bebas dari terisolir ini, adalah akses utama warga Garabakdata untuk berbelanja, sekolah dan berobat. Jalan di sana, sudah lebih baik dibanding Garabakdata. Untuk sampai ke sana, butuh waktu tiga jam naik ojek atau delapan jam berjalan kaki dari Jorong Garabak. Meski dihadapkan dengan sejumlah keterbatasan, namun siswa SD di Garabakdata harus bersaing dengan sekolah lain di perkotaan dengan standar ujian nasional yang sama. Setamat SMP, mereka harus bersekolah ke nagari lain karena belum ada SMA di kampungnya. Umumnya, anak-anak Garabakdata melanjutkan pendidikan ke SMA Hilirangumanti. “Umumnya anak-anak tinggal di Hilirangumanti. Saya terpaksa kos di bawah. Uang kos Rp50 ribu sebulan. Saya pulang jika libur panjang. Kalau libur cuma sehari, saya tidak pulang,” kata Jenedi Putra (18) tamatan SMPN 2 Tigo Lurah yang kini bersekolah di SMAN 1 Hilirangumanti.

122


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Karena sulitnya akses jalan, banyak anak-anak Garabakdata putus sekolah setamat SMP. “Umumnya temanteman bantu orangtua ke ladang. Yang perempuan, ada juga yang menikah muda,” ulas anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Muznir (60) dan Suwai (45) itu. Kehidupan penduduk Garabakdata masih jauh dari sejahtera. Mereka menggantungkan hidup pada hasil pertanian. Ya, hanya cukup untuk makan. Tak Ada Listrik Setelah 68 tahun Indonesia merdeka, Jorong Garabakdata belum tersentuh listrik. Untuk membuat laporan ke Dinas Pendidikan, para guru harus ke Nagari Batu Bajanjang untuk memakai komputer. “Biaya menggunakan listrik sangat mahal. Kami harus pakai genset. Paling sedikit, kami harus mengeluarkan uang Rp30 ribu per hari untuk membeli minyak genset, sebanyak tiga liter. Itu pun hanya bertahan sekitar tiga jam. Listrik genset sering tak stabil. Pernah empat printer hangus terbakar karena daya listrik tak stabil,” tutur Aswandri. Di rumah, anak-anak belajar pada siang hari. “Kalau sudah magrib, gelap. Setelah salat Isya dan mengaji, anakanak tidur. Hanya sedikit warga yang bi-sa pakai genset. Bayangkan saja, sekali pakai listrik Rp30 ribu. Dikali 30 hari, dalam sebulan setiap KK harus membayar Rp900 ribu,” timpal Aswandri. HP untuk Dengar Musik Sudahlah tak ada listrik, warga Garabakdata tak bisa menikmati handphone untuk sarana komunikasi. “Sinyal HP ndak ado. Kalau menelepon, kami harus ke Batubajanjang dan Talangbabungo. HP hanya untuk dengar lagu di rumah dan pengantar tidur,” ulas Aswandri.

123


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Nagari Garabakdata ada tiga jorong. Yakni, Jorong Garabak, Jorong Data dan Jorong Lubuk Tareh. Ketiganya terisolir. Untuk menembus Jorong Lubuk Tareh yang berjarak sekitar 22 km dari Garabakdata, warga harus berjalan kaki selama delapan jam di jalan setapak. Jalan ini sungguh rawan, melewati lereng-lereng bukit yang terjal. Bila hujan, kedalaman lumpur bisa sepinggang orang dewasa. Indra (45) warga Lubuk Tareh menyebut, kebanyakan anak-anak di kampungnya tidak bersekolah. Saking terisolir, penduduk setempat nyaris tidak begitu tahu perkembangan dunia luar sekarang. “Kami keluar kampung ketika menjual hasil ladang. Uangnya untuk membeli kebutuhan sehari-hari di Pasar Alahanpanjang atau di Pasar Solok. Itulah masalahnya, jalan ke kampung kami buruk sekali,� ujar ayah tiga anak ini. Fasilitas Kesehatan Minim Jangan ditanya soal kesehatan. Tingkat kematian ibu melahirkan relatif tinggi. Untuk melahirkan, warga mengandalkan jasa dukun. Di sini hanya ada Puskesmas Kesehatan Nagari (Puskesri). Puskesmas hanya ada di ibu kecamatan, persisnya di Batubajanjang. Butuh waktu delapan jam berjalan kaki. Beruntung kini, Garabakdata telah punya dua orang bidan desa. Namanya Vinny Riamona Mahardika (22) dan Dewi Indriani (24). Keduanya tamatan Akademi Kebidanan Graha Husada Cirebon. Akademi ini bekerja sama dengan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) untuk mengirim lulusannya ke daerah tertinggal. Setelah lulus tahun 2012, Vinny Riamona Mahardika asal Indramayu bersama seniornya, Dewi Indriani asal Brebes langsung dikontrak selama dua tahun oleh Kementerian PDT. Awalnya, Dewi dan Vinny tidak menyangka Nagari Garabakdata terisolir seperti yang

124


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

dibayangkannya. Tak terasa, keduanya sudah mengabdi selama 11 bulan di daerah terpencil tanpa listrik itu. Dewi belum pernah pulang kampung. Sedangkan Vinny, baru saja pulang karena orangtuanya meninggal. Keduanya harus berkubang lumpur sebelum berkubang darah setiap kali menolong persalinan warga. “Cokelat dulu, baru merah,” canda Dewi mengisahkan perjuangannya. Peralatan kesehatan dan obat-obatan di Pusat Kesehatan Nagari (Puskesri), pun belum tersedia. “Kami order obat ke Puskesmas Batubajanjang. Itu pun sekali seminggu. Order obat dikirim pakai jasa kuda beban,” kata Vinny. Tahun 2015, Tuntas Bupati Solok Syamsu Rahim yang ditemui Padang Ekspres di ruang kerjanya, Senin (27/5), membenarkan pembangunan akses jalan ke Garabakdata terhalang izin Kementerian Kehutanan RI karena sebagian kawasan termasuk hutan lindung. Syukur, pemerintah memberikan kelonggaran lewat keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang surat izin pinjam pakai kawasan hutan lindung. “Saat ini, kita tinggal menunggu kelengkapan teknis Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) jalan. Amdal tersebut, pemprov yang buat. Jika Amdal telah selesai, tahun ini juga, jalan ke Garabakdata sudah bisa dibangun,” kata Syamsu Rahim. Pembebasan 12 nagari tertinggal di Kabupaten Solok saat ini, ditargetkan tuntas tahun 2015. “Ini menjadi salah satu dari 8 agenda pembangunan tahun 2011-2015 yang saya usung. Bila jalan telah dibuka, berbagai pembangunan dapat segera diarahkan, seperti pembangunan sekolah, puskesmas dan lain-lain. Masyarakat juga lebih mudah membawa hasil pertanian ke luar daerah,” ulas mantan Walikota Solok ini. Kepala Bappeda Solok, Taufik Effendi yang ditemui

125


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Padang Ekspres di ruang kerjanya, Senin (27/5), me-ngatakan, untuk pengentasan nagari terisolir, Pemkab Solok telah menyiasati pembangunan jalur jalan di beberapa nagari terisolir. Jalur tersebut di antaranya TalangbabungoGarabakdata sepanjang 31 km. Sepanjang 13,8 km di antaranya melewati kawasan hutan lindung; jalur jalan Garabakdata-Batubajanjang sepanjang 15 km, 4,995 km di antara-nya melewati kawasan hutan lindung; jalur jalan Garabakdata-Lubuk Tareh sepanjang 22,3 km, 9,9 km di anta-ranya melewati kawasan hutan lindung. Anggota DPRD Kabupaten Solok, Rusli Intan Sati menambahkan, potret Garabakdata adalah bentuk diskriminasi dan penzaliman sebuah kebijakan hutan lindung. “Kasarnya, demi hutan lindung, biar rakyat terisolir dan miskin. Padahal, jauh sebelum adanya hutan lindung, Nagari Garabakdata sudah ada. Apa perlu Garabakdata berteriak sampai ke tingkat internasional. Saya sebagai putra daerah Sariak Alahan Tigo, yang juga nagari tertinggal di Solok, sungguh merasakan penderitaan itu,� pungkasnya. Pembukaan jalan Garabakdata mempunyai multiefek. Selain dekat dengan Solok dan Dharmasraya, juga memperpendek jarak menuju jalan lintas Sumatera. Imbasnya, perekonomian warga Alahanpanjang bakal me-ningkat karena semakin mudah memasarkan produk sayur-sayuran ke daerah lain.*** SANNY ARDHY adalah wartawan Padang Ekspres. Tulisan ini terbit di Padang Ekspres edisi 31 Mei 2013

126


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Dolar dalam Sebongkah Bauksit Pulau Bintan (Kabupaten Bintan dan Kota Tanjungpinang) kaya potensi bauksit. Harga tinggi dan permintaan yang tak terbatas dari China dituding sebagai pemicu maraknya penambangan liar. Para pelaku diduga berkolusi dengan pemegang izin usaha pertam-bangan, pejabat pemerintah dan politisi. LAPORAN MUHAMMAD NUR DAN YERMIA RIEZKY, BATAM

LIMA pria itu berjalan cepat dari atas bukit menuju dermaga kecil di Pulau Koyang, Desa Mantang Lama, Kecamatan Mantang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Rabu, 18 April 2013 lalu. Bunyi mesin kapal nelayan yang ditumpangi Batam Pos mengusik mereka. Tak kurang dari tiga menit, mereka tiba di bibir pulau dan lang-sung mengambil posisi setengah melingkar. Tatapan mata mereka tajam. Ada yang bertelanjang kaki, sebagian lagi mengenakan sepatu boot. Kulit mereka mengkilat terbakar matahari siang itu. “Dari mana, Pak?” tanya salah seorang dari mereka. Ia bercelana pendek dan bertelanjang kaki. “Dari Batam,” jawab Batam Pos. “Mau apa ke sini?” tanyanya lagi, penuh selidik. Setelah dijelaskan maksud kedatangan Batam Pos ke pulau itu untuk melihat kerusakan Pulau Koyang akibat penambangan bauksit, pria yang mengaku bernama Yono itu,

127


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

terus bertanya. “Sudah punya izin masuk ke pulau ini?” Mendengar pertanyaan itu, Batam Pos menjawab sudah berkoordinasi dengan pihak kelurahan di Mantang. “Maaf, harus ada surat izin dari ketua kami, kalau tidak ada, tidak boleh masuk,” tegasnya. Yono dan kawan-kawannya siang itu mengaku sebagai anggota ormas kepemudaan. Ia mengklaim Pulau Koyang adalah milik ketuanya yang bernama Dwi. “Kalau masuk ke pulau ini harus ada surat izin dari ketua kami, Pak Dwi,” katanya. Batam Pos kemudian meminta nomor kontak Dwi ke Yono, namun pria yang mengaku peranakan Jawa-Batak itu enggan memberikan. “Saya tak punya nomornya.” “Kami ditugaskan menjaga tanah ketua kami ini (Dwi), jadi harus ada izin tertulis dari dia,” katanya. Meski melarang masuk, namun Yono dan rekannya bersedia diajak bicara. Nada bicara yang semula tinggi, perlahan datar. Yono mengaku anak purnawirawan TNI. Ia sudah empat bulan di pulau itu. “Kami ada 16 orang di sini,” sebutnya. Ia lantas merinci asal daerah teman-temannya. Ratarata dari Indonesia timur. Yono mengungkapkan, sebelum mereka masuk ke Koyang, pulau itu dikuasai oleh penambang ilegal yang mereka sebut OKB alias Orang Kaya Baru. Sebutan pada seorang pengusaha penambang bauksit di pulau itu yang mendadak kaya. Si OKB berkolaborasi dengan pengu-saha bauksit lainnya. “Mereka sudah kami tendang, mereka itu pencuri (bauksit, red),” kata Yono. “Mereka sudah delapan kali loading, tapi ngaku-nya baru empat kali. Dasar maling mereka itu,” ujarnya lagi.

128


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Loading adalah proses pemuatan bauksit ke tongkang untuk dijual ke pembeli yang memiliki izin ekspor. “Di sini mereka loading,” ujar Yono, menunjuk tempat dia dan Batam Pos berdiri. Saat ditanya aktivitas mereka selama empat bulan di pulau itu dan apakah sudah pernah loading, Yono menjawab belum pernah. “Tidak ada aktivitas (tambang, red). Stop,” katanya. Dengan cepat ia menam-bahkan, mereka tidak melakukan aktivitas menambang bauksit. “Kami hanya menjaga pulau ini, agar tidak ada pencuri lagi masuk.” Ia menyebut ada 25 pos jaga milik mereka di sekeliling pulau seluas 304,9 hektare itu. Di tengah perbincangan itu, dari tengah pulau yang bukitnya mulai landai itu, muncul seorang pria bersepeda motor. Ia sempat bolak balik lalu menghilang ke arah tengah pulau. Meski mengaku tidak ada aktivitas tambang bauksit, namun tepat di belakang Yono dan teman-temannya berdiri, terlihat jejak alat berat ekskavator yang belum mengering. Arahnya menuju ke tengah Pulau Koyang. “Kami di sini malah mau mereklamasi bekas tambang OKB itu,” kata Yono. Yono mengklaim keberadaan mereka di pulau itu membuat warga Mantang tenang. “Warga bilang: kami sudah bisa tidur tenang,” katanya. Namun Idris, warga Mantang yang juga pemilik kapal yang dicarter Batam Pos mengaku tak mengenal Yono Cs. “Mereka bukan orang sini,” katanya. Sekretaris Lurah Mantang, Anton, juga membenarkan orang-orang yang berada di Pulau Koyang yang mengaku anggota ormas bukan warga Mantang. “Mereka orang Bintan, tapi bukan warga sini,” katanya, Rabu pekan lalu di Kijang, Bintan. Meski perbincangan mencair, Yono Cs tetap tak

129


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

mengizinkan masuk lebih jauh ke pulau itu. “Maaf ya Mas, nggak iso (tidak bisa, red) masuk. Ini perintah ketua kami. Kalau tak ada izin dari dia tak bisa masuk,” ujarnya saat mengantar ke pelantar kayu bakau, tempat pompong ditambat. Meski tidak bisa masuk ke tengah pulau, namun kerusakan Pulau Koyang bisa dilihat kasat mata saat mengelilinginya menggunakan kapal nelayan. Apalagi ketika air pasang, pulau ini hampir rata dengan permukaan laut. Saat laut sedang surut, kerusakan pulau tertutupi oleh bakau. Di sebuah sudut pulau tampak tiga ekskavator dan satu loader (alat pemuat bauksit ke tongkang) sedang parkir. Tak jauh dari situ, terdapat tumpukan bauksit yang masih basah. Total ada tiga lokasi loading di Pulau Koyang. Salah satunya kondisinya sangat parah, sudah menyatu dengan air laut. “Dulu bukitnya tinggi, sekarang sudah rata,” kata seorang staf kelura-han yang menemani Batam Pos ke pulau itu. *** Pulau Koyang adalah satu dari ratusan pulau di Kabupaten Bintan. Luasnya 304,9 hektare. Dari perkampungan nelayan di Mantang, hanya butuh 15-20 menit untuk sampai ke pulau itu menggunakan kapal. Pulau ini pernah masuk dalam wilayah eksplorasi PT Aneka Tambang (Antam). Namun tidak semua potensi bauksitnya dikeruk. Antam hanya menambang bauksit golongan A yang kadar aluminanya 50 persen ke atas. “Itu sesuai dengan permintaan pembeli dari Jepang yang memang hanya mau membeli bauksit dengan kadar Al 50 persen ke atas, kadar besi (Fe) di bawah 11 persen, dan kadar silica (Si) di bawah enam persen,” ujar mantan Humas PT Antam, unit Kijang, M Saleh Nursalin, Rabu pekan lalu di Kijang.

130


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Secara umum bauksit mengandung Al2O3 sebanyak 4565 persen, SiO2 1-12 persen, Fe2O3 2-25 persen, TiO2 lebih dari 3 persen, dan H2O 14-36 persen. Setelah berhenti beroperasi, kata Nursalin, PT Antam melakukan reklamasi dan penghijauan kembali. Ia terlibat langsung dalam operasi pascatambang, khususnya penghijauan. Namun Nursalin heran, kini pemerintah membiarkan pulau itu ditambang lagi oleh pengusaha maupun penambang liar. “Pohon yang sudah ditanam Antam sekarang dibongkar lagi oleh penambang liar. Ini tak boleh dibiarkan,” ujarnya. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Bintan Supriyono yang dihubungi Kamis pekan lalu mengatakan, setelah Antam melakukan reklamasi dan penghijauan, pihaknya tidak pernah lagi mengeluarkan izin tambang di pulau itu. Apalagi tim paduserasi rencana tata Ruang dan wilayah (RTRW) Provinsi Kepulauan Riau yang telah bekerja kurang lebih empat tahun, telah menetapkan Pulau Koyang sebagai hutan produksi. “Saat ini tinggal menunggu pengesahan dan penetapan dari Menteri Kehutanan,” ujarnya. Soal masih adanya aktivitas penambangan dan pulau itu kini dikua-sai ormas, Supriyono mengatakan, hal itu sudah masuk ranah pihak berwajib (kepolisian) karena ada unsur pelanggaran hukum. “Tidak semua ranah Distamben, kami hanya mengawasi perusahaan yang kami keluarkan izinnya,” katanya. “Kalau soal lingkungannya itu ranah Badan Lingkungan Hidup.” Supriyono menambahkan, Pemkab Bintan sudah berkoordinasi dengan keolisian. Bahkan sudah ada tim dibentuk untuk menangani persoa-lan tambang di Pulau Koyang. “Yang jelas semua tambang di Bintan untuk sementara distop agar bisa ditertibkan,” katanya. Anggota Komisi I DPRD Bintan Daeng Muhammad Yatir

131


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

mengaku priha-tin dengan kondisi di Pulau Koyang. Termasuk adanya ormas yang menguasai pulau itu. “Itu hutan produksi, bukan milik perseorangan,” ujarnya. *** Kondisi di Pulau Koyang hanya potret kecil dari gambar raksasa kerusakan lingkugan akibat penambangan bauksit di Pulau Bintan. Nyaris sekujur pulau seluas 2.185 km persegi itu rusak dikoyak oleh aktivitas penambangan bauksit. Pulau Bintan terdiri dari Kabupaten Bintan dan Kota Tanjungpinang. Pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Koyang kondisinya juga menge-naskan. Hutannya gundul, tak ada lagi pepohonan. Di antaranya adalah Pulau Siolong, Pulau Pengalih, Pulau Mantang, Pulau Angkut, dan Pulau Klong. Pantauan Batam Pos, Rabu pekan lalu, kondisi Pulau Angkut hampir sama dengan Pulau Koyang, nyaris tenggelam saat air laut naik. Di Pulau Klong (ada yang menyebut Kelong, red) terlihat tumpukan bauksit siap diangkut. Ada dua tongkang sedang sandar di sana. “Informasi yang kami dapat, mau ditanami karet, tapi itu modus saja. Ujung-ujungnya bauksitnya ditambang,” kata seorang pegawai kelurahan. Sedangkan Pulau Siolong, selain gundul bukitnya sudah mulai rata akibat penambangan. Di pulau ini, aktivitas penambangan dikuasai oleh PT Gunung Sion. Ia memiliki izin usaha penambangan (IUP) nomor 173/III/2010 tertanggal 23 Mei 2010. Wilayah penambangannya di Kecamatan Bintan Pesisir, dan Kecamatan Batang. Luasnya menca-pai 577,9 hektare. Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, ada larangan menambang pulau-pulau yang luasnya di bawah 2.000 kilometer persegi -jika secara teknis dan atau ekologis,

132


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

sosial budaya, menimbulkan kerusakan lingkungan dan atau merugikan masyarakat (pasal 35). Padahal, hampir semua pulau-pulau kecil di Bintan yang saat ini banyak ditambang, rata-rata luasannya jauh di bawah 2.000 kilome-ter persegi, termasuk Pulau Koyang yang hanya 3 kilometer perse-gi. Jika penambangan bauksit terus berlangsung, pulau-pulau itu bakal tenggelam. Kerusakan lingkungan kian luas, jika dihitung dampak yang ditanggung ekosistem laut di sekitarnya, apabila tailing atau air pencucian bauksit masuk ke laut. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Bintan, Supriyono, menyebut, di pasal 35 UU tersebut terbuka celah yang membolehkan pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 kilometer persegi ditambang. “Kalau secara teknis, lingkungan, dan masyarakat tidak merusak, boleh ditambang,” katanya. Namun, kata dia, Pemkab hanya bisa mengawasi area tambang yang dikelola oleh perusahaan yang telah memiliki IUP, mulai dari tahap eksplorasi hingga produksi. “Kalau ada yang ilegal atau merusak lingkungan, tapi pelakunya penambang yang tidak memiliki IUP, maka itu sudah masuk ranah hukum. Penegak hukum (polisi) bisa menindaknya,” ujarnya. Saat ini ada sembilan perusahaan tambang bauksit yang memiliki IUP di Kabupaten Bintan. Yakni PT Gunung Sion, PT Gunung Kijang Jaya Lestari, PT Danpac Resources, PT Wahana Karya Suksesindo, PT Bina Riau Jaya, PT Bintang Cahaya Terang, PT Gunung Bintan Abadi, PT Lobindo Nusa Persada, dan PT Tunggul Ulung Makmur. “Tapi saya lupa luas dan dimana saja wilayah tambang masing-masing,” katanya. Namun data yang diperoleh Batam Pos menyebutkan, PT Gung Sion memiliki wilayah tambang seluas 577,9 hektare

133


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

yang tersebar di Kecamatan Bintan Pesisir dan Kecamatan Batang. Perusahaan dengan nomor IUP 173/III/2010 memperoleh izin sejak 23 Mei 2010. Kemudian PT Gunung Kijang Jaya Lestari. Perusahaan tambang dengan IUP Nomor 174/III/2010 ini memiliki wilayah tambang di Desa Gunung Kijang dan Kecamatan Gunung Kijang seluas 19 hektare. IUP perusahaan ini keluar sejak 29 Maret 2010. Perusahaan tambang lainnya, yakni PT Danpac Resources. Wilayah tambangnya cukup luas di Pulau Mantang Baru, yakni 186,5 hektare. Perusahaan ini memiliki UIP nomor 17/IV/2009 sejak 26 April 2010. Luas wilayah tambang (kuasa pertambangan/KP) PT Wahana Karya Suksesindo lebih laus dibanding PT Danpac, yakni 195,8 hektare yang tersebar di Bintan Timur. Perusahaan ini mengantongi IUP nomor 352/VIII/2008 sejak 13 Agustus 2008. Sementara PT Bina Riau Jaya dengan IUP Nomor 488/ XII/2009, telah beroperasi sejak 30 Desember 2009 di Kecamatan Teluk Sebaong. Wilayah tambangnya saat itu 26,2 hektare. Kemudian PT Bintang Cahaya Terang dengan IUP Nomor 385/IX/2010 tertanggal 7 September 2010 memiliki wilayah tambang 148,2 di Kecamatan Teluk Bintan. Lalu PT Gunung Bintan Abadi dengan IUP 219/IV/2010 beroperasi 26 April 2010 di Kecamatan Teluk Bintan dan Kecamatan Bintan Pesi-sir. Perusahaan tambang dengan luas wilayahnya mencapai 372,7 hektare di Bintan Timur adalah PT Lobindo Nusa Persada. IUP-nya bernomor 127/III/2010 keluar pada 12 Maret 2010. Terakhir PT Tunggul Ulung Makmur dengan nomor IUP 49/I/2010 tertanggal 28 Januari 2010 beroperasi di Kecamatan Bintan Pesisir dengan luas wilayah 62,4 hektare. Total luas wilayah eksplorasi sembilan perusahaan terse-but 2.050 hektare. Namun fakta saat ini, wilayah Bintan yang ditambang jauh di luar total luas yang ada. Penambang

134


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

liar bermunculan di berbagai wilayah di Bintan. Bahkan cenderung sporadis. Seperti yang terja-di di kawasan Wacopek, tak jauh dari Gunung Lengkuas. Kemudian di Busung, Toapaya, Ekang Anculai, dan pulau-pulau di wilayah Keca-matan Bintan Timur. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam suatu lawatannya ke Bintan pernah menyinggung soal kondisi Bintan. “Saya lihat dari pesawat banyak lahan yang gundul, menguning, itu apa?� tanya SBY di sela-sela sambutannya di Lagoi. Belakangan Presiden baru mengetahui kalau warna kuning yang ia lihat dari udara adalah hutan yang rusak akibat aktivitas penam-bangan bauksit yang terus meluas. *** Aktivitas penambangan bauksit dua tahun terakhir memang menggila. Peningkatannya mencapai 500 persen dari tahun-tahun sebelumnya. Peningkatan yang luar biasa itu menimbulkan kesan Pemkab Bintan tak punya peta lokasi penambangan, termasuk soal kawasan-kawasan yang tak boleh ditambang dengan pertimbangan kelestarian lingkungan dan sosial kemasyarakatan. Kadistamben Bintan Supriyono tak menyangkal maraknya penambangan ilegal di Bintan. Namun ia membantah penambangan bauksit di Bintan tanpa pemetaan yang jelas. Menurutnya, semua izin yang dikeluarkan telah ditetapkan lokasi penambangannya, termasuk luasannya. Supriyono menyebut penyebab utama maraknya penambangan bauksit ilegal karena permintaan dari Cina yang cukup tinggi. Dengan teknologi terkini yang dimiliki Cina, mereka bisa mengolah bauk-sit yang kadar aluminanya kurang dari 50 persen. Harga jual bauksit ke Cina saat ini sebesar 20 dolar AS per metrik ton.

135


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Selain itu, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral, yang kemudian direvisi menjadi Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2012 -setelah gugatan asosiasi pengusaha tambang ke MA, khususnya pasal 21, dikabulkan- juga mendorong penambangan besar-besaran. Karena setelah 2013, pemilik IUP wajib membangun industri pengolahan dan pemurnian (smelter). Tidak ada lagi ekspor bijih bauksit mulai 2014. “Itulah sebabnya sejak awal April kita stop sementara seluruh penambangan. Tujuannya untuk penertiban. Pemilik IUP dievaluasi kembali,” ujarnya. Soal berapa potensi bauksit di Bintan, kadar aluminanya, dan titik-titik yang boleh ditambang dan tidak boleh ditambang, Supriyono mengatakan, yang lebih tahu soal itu adalah pemegang IUP eksplorasi dan IUP produksi. “Mereka yang melakukan eksplorasi sebelum melakukan produksi, jadi merekalah yang lebih tahu,” katanya. *** Penambangan bauksit juga menggila di Tanjungpinang. Bahkan wajah Tanjungpinang saat ini jika dilihat dari udara lebih banyak yang kuning daripada yang hijau. Begitupun saat melihat menggunakan Google Earth, jelas terlihat ibukota Provinsi Kepri itu makin gersang. Pengamatan Batam Pos di beberapa titik, antara lain, di kawasan Sungai Carang, tepatnya di belakang Rumah Sakit Umum Provinsi (RSUP) Kepri. Sepanjang mata memandang terlihat bekas galian penambagan bauksit. Penambangan ilegal di kawasan Sungai Carang bahkan nyaris mengorbankan makam Panglima Hitam Lancang Kuning, seorang tokoh Melayu Kepulauan Riau. Tidak sekadar makam, lokasi ini juga diyakini sebagai pusat pentadbiran Kerajaan Johor

136


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

di masa pemerintahan Sultan Ibrahim Shah. Bauksit di sekeliling makam Panglima Hitam ini telah dikeruk habis. Agar kerusakan tak menggerus makam, di sisi kanan telah dibangun batu miring, tapi di sisi lainnya belum. Tak jauh dari makam Panglima Hitam, tepatnya di seberang Jembatan Daeng Celak, juga ada makam Daeng Celak dan istrinya serta ketur-unan dan saudara-saudaranya. Hanya kawasan ini yang terlihat hijau. Kondisi serupa juga tampak di belakang Kantor Kejati Kepri di Senggarang. Jika masuk lebih dalam ke kawasan ini, akan ditemui bekas tambang bauksit yang telah direklamasi namun kembali di-bongkar tanaman penghijauannya untuk ditambang lagi. Juga bisa ditemui tumpukan bauksit yang siap dijual. Tailing atau tanah hasil pencucian bauksit di sana masih menggu-nung, belum diratakan. Beberapa resapan air yang awalnya ditumbu-hi bakau telah tertutupi tailing. Daerah resapan air sudah tidak berfungsi lagi. “Sejak di kiri kanan rumah kami ditambang, bukan hanya debu, tapi kami juga kesulitan mendapat air bersih. Air kolam menjadi dan-gkal dan kuning,” kata Fauzi, warga RT 03 Sungai Carang. Pegawai Bappedas Departemen Kehutanan ini sering melancarkan protes bersama sejumlah warga saat penambangan bauksit berlang-sung. Namun protes mereka jarang digubris. Bahkan istrinya Erwina Yeni beberapa kali menghentikan alat berat karena sangat meng-ganggu, namun tetap saja berlanjut. “Saya sudah berkali-kali lapor ke polisi di Polres Tanjungpinang, tapi responnya lambat,” katanya. “Kalaupun turun, lalu di-police line kawasan tambang, besoknya sudah dibuka. Jadi kami ini tak tahu lagi harus mengadu ke mana.” Tak hanya itu, dana kepedulian terhadap masyarakat

137


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

(DKTM) yang dijanjikan, realisasinya tidak sesuai. Beberapa penambang memilih kabur setelah berhasil menjual bauksit yang mereka tambang di sekitar rumah warga. “Tahap kedua janji para penambang itu mau kasih dana DKTM Rp400 juta ke warga, tapi setelah mereka jual bauksit bersih, eh tak pernah muncul lagi,” kata Fauzi dan Nina, Kamis pekan lalu di rumahnya di Sungai Carang, Kelurahan Air Raja, Kota Tanjungpi-nang. Sebenarnya, kata pasangan suami istri ini, warga tak keberatan di sekitar tempat tinggal mereka ditambang bauksitnya, asalkan jalan masuk ke perkampungan mereka dibangun dan dialiri listrik. Juga dilakukan reklamasi dan penghijauan kembali. “Tapi tidak ada juga. Bahkan saat Pak Lis Darmansyah mencalonkan jadi wali Kota, kita bantu dan menang telak di kampung ini, tapi janjinya akses jalan dan listrik hanya tinggal janji,” kata Nina. Baik Nina maupun Fauzi mengakui, maraknya penambangan di Tanjungpinang, tidak terlalu berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Yang ada malah dampak lingkungan yang terus berkelan-jutan. “Karena semua ditambang, menjadi panas. Lahan hijau habis dan tak diikuti penghijauan pascatambang,” kata Fauzi. Bukan hanya di kawasan Sungai Carang, penambangan liar juga marak di Senggarang dan pusat Pemerintahan baru Provinsi Kepri di Dompak. Begitupun di Madong. Di kawasan tersebut, aktivitas penambangan memang sementara berhenti, namun alat-alat berat masih siaga. Begitu larangan sementara penambangan dicabut Pemer-intah Kota Tanjungpinang, mereka beraktivitas kembali. Di kawasan ini ada perusahaan penambang yang memiliki IUP, ada juga yang subkon perusahaan IUP, dan penambang liar.

138


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Maraknya penambangan liar dan subkon ini diduga karena di bela-kangnya ada oknum-oknum partai politik, oknum aparat, oknum pegawai pemerintahan baik di Kota Tanjungpinang maupun di Jakar-ta. Penambang-penambang liar ini ada yang berlindung di balik bendera partai mereka, sehingga pemerintah juga tidak berani menindaknya. Kondisi sama juga terjadi di Bintan, warna benderan-ya beragam. Penambangan juga terkesan tak terencana, sehingga tidak jelas mana kawasan yang bisa ditambang mana yang tidak. Tidak ada pemetaan potensi dan kajian mendalam dari aspek lingkungan dan masyarakat. Kepala Bidang Pertambangan, Dinas KP2KE Kota Tanjungpinang, Zulhidayat, mengakui maraknya aktivitas penambangan ilegal di Tanjungpinang. Namun ia meyakinkan tidak semua tambang yang beroperasi di Tanjungpinang liar. Banyak juga yang memiliki izin. Perusahaan tambang yang memikiki Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kota Tanjungpinang ada lima, yakni PT Antam Resourcindo, PT Kereta Kencana Bangun Perkasa, PT Lobindo Nusa Persada, PT Telaga Bintan Jaya, dan PT Alam Indah Purnama Panjang. Luas lahan tambang PT Antam Resourcindo mencapai 721,9 hektare. Tersebar di Kelurahan Dompak -Bukit Lestari dan Batu IX -Tanjung-pinang Timur. Kuota ekspor anak perusahaan PT Antam ini masih dalam pengurusan. “Dokumen C & C (clean & clear)-nya masih dalam pengurusan di pusat,� kata Hidayat. Sementara luas lahan tambang PT Kereta Kencana Bangun Perkasa relatif kecil. Hanya 179 hektare yang terpusat di Kelurahan Dompak dan Kelurahan Air Raja. Perusahaan tambang ini juga sudah memiliki C & C dengan kuota ekspor 300 ribu metrik ton per tiga bulan. Berbeda dengan PT Kereta Kecana, PT Lobindo memiliki area tambang yang cukup luas,

139


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

mencapai 600 hektare. Lokasinya di Kelurahan Dompak dan Batu IX. Lobindo memiliki kuota ekspor dari Dirjen ESDM sebesar 300 ribu metrik ton per tiga bulan. Namun hingga 31 Desember 2013 ini diberi kuota 2 juta metrik ton. Sedangkan PT Telaga Bintan Jaya hanya memiliki luas wilayah tambang 41,2 hektar di Kelurahan Air Raja, Tanjungpinang Timur. Lalu PT Alam Indah Purnama Panjang dengan luas wilayah tambang 189,67 hektare di Dompak dan Sei Timun. Perusahaan ini hanya memproduksi, hasilnya dijual ke PT Bintan Cahaya Alam. “Perusahaan yang kami keluarkan IUP-nya inilah yang kami awasi. Jika mereka melanggar, kami tidak akan segansegan memberi sanksi tegas,” kata Dayat. Lalu bagaimana dengan penambang ilegal? Dayat mengatakan hal itu ranah penegak hukum yang lain (kepolisian). “Kami hanya bisa berkoordinasi dengan penegak hukum lain, kami tak memiliki kewe-nangan menindak yang tak kami beri izin,” katanya. Seperti halnya di Kabupaten Bintan, Dayat menilai pemicu maraknya penambang bauksit ilegal di Tanjungpinang antara lain karena permintaan yang tinggi dari Cina. “Bahkan bauksit tidak dicuci pun mau dibeli,” katanya, Selasa malam, Pekan lalu. Apalagi saat ini pemerintah pusat menaikkan target ekspor sehing-ga berlaku prinsip ekonomi. Sejumlah pelaku usaha mengambil peluang itu. Soal dugaan pemilik IUP berkongsi dengan penambang liar agar kuota yang diberikan pusat bisa terpenuhi, Dayat tidak berani menjawabnya. Namun menurutnya, bukan tidak mungkin hasil tambang liar itu dijual ke perusahaan di tetangga sebelah (Bintan) atau sebalikn-ya. “Tapi kami sudah wanti-wanti pada pemegang IUP dan izin ekspor untuk tidak membeli dari penambang liar,” katanya.

140


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Khusus untuk subkon yang menambang di area perusahaan yang memil-iki IUP, menurut Dayat, hal itu masih diperbolehkan. Namun jika keluar dari wilayah IUP, maka itu melanggar. Namun informasi yang diperoleh di lapangan, beberapa pemilik IUP diduga melakukan praktik pembelian bauksit yang ditambang pemain yang tak memiliki izin. Indikasi ini bisa dilihat dari tidak adanya kewenangan pemain ilegal mengekspor ke Cina. Hanya yang memiliki IUP dan kuota yang bisa mengekspor ke Cina. Dayat juga tidak bisa memastikan berapa luasan area yang ditam-bang secara ilegal di Tanjungpinang. Ia lagi-lagi mengatakan menindak yang ilegal bukan wewenang pihaknya karena Dinas KP2KE tidak pernah memberikan izin. Maraknya penambangan bauksit tak berizin juga diakui Wali Kota Tanjungpinang, Lis Darmasyah. “Bukan hanya sporadis, tapi sudah seperti rock & roll,� ujarnya, Selasa malam pekan lalu. Lis mengakui, salah satu pemicu maraknya penambangan liar karena ada celah yang diberikan pemerintah pusat. Beberapa perusahaan pemilik IUP dan kuota ekspor diberi kuota besar, sementara kemampuannya terbatas. Kondisi ini menggiurkan pemain liar untuk menambang lalu menjual ke perusahaan yang kuotanya besar. Tak hanya itu, kondisi tersebut juga memberi celah pemilik IUP bermain dengan subkon-subkon untuk menambang di luar wilayah IUP. Ia menilai beberapa perusahaan tidak memiliki komitmen. “Makanya saya akhirnya memutuskan untuk menghentikan sementara aktivitas tambang di Tanjungpinang, sampai ada pembenahan,� katanya. Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini mengaku tidak antipengusaha, tidak antiusaha pertambangan, namun semua pihak harus berkomitmen menjalankan usahanya secara benar. Termasuk transparansi pembayaran

141


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

pajak, royalti, DKTM, sumber bahan bakar yang digunakan harus jelas, dan keseriusan melaksanakan tugas pascatambang: mulai dari reklamasi hingga penghijauan kembali. Aktivitas pertambangan diakui Lis memang merusak lingkungan, di manapun itu. Namun harus ada komitmen meminimalisir dampak lingkungan ini. “Jangan rock & roll terus. Kita tinggal di kota kecil ini bukan satu dua hari, tapi jangka panjangnya harus dipikirkan,� katanya. Soal cadangan bauksit di Tanjungpinang, Lis mengaku tidak tahu persis. Namun ia memperkirakan tidak banyak lagi yang tersisa. Bisa jadi dalam satu atau dua tahun ke depan akan habis. *** Mantan Humas PT Antam unit Kijang, M Saleh Nursalin, menilai potensi bauksit untuk kadar alumina di bawah 50 persen ada di seluruh Pulau Bintan. Ia memperkirakan tidak akan habis selama 60 tahun jika dikelola dengan benar dan sesuai dengan kuota yang diberikan. Ia mencontohkan kawasan Desa Gunung Lengkuas, Busung, Toapaya, dan Ekang Anculai, serta pulau-pulau sekitar Bintan Timur, berda-sarkan hasil penelitian dan kajian mendalam oleh PT Antam dengan melibatkan ahli tambang dari Jerman dan Jepang, setiap sebaran luas 10.450 hektare, terkandung bauksit sebesar 209 juta metrik ton. Di setiap wilayah tambang bekas PT Antam yang tersebar di seluruh Pulau Bintan, masih tersisa bauksit setebal 40 sentimeter sampai 50 sentimeter. Sedangkan yang belum ditambang ketebalannya bisa mencapai 1 meter sampai 5 meter. Kadar aluminanya rata-rata 50 persen ke bawah. Nursalin meyakini, data eksplorasi yang dilakukan Antam selama tiga tahun tentang potensi dan cadangan bauksit di

142


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Pulau Bintan dengan melibatkan ahli tambang dari Jepang dan Jerman pada tahun 1960-an itu, masih ada di PT Antam. Data itu sangat penting dan bisa menjadi rujukan dalam pemetaan pengalokasian wilayah tambang pada pengusaha. Namun Nursalin melihat, saat ini pengalokasikan lahan tambang bauksit cenderung sporadis. Parahnya lagi, tidak ada pengawasan yang ketat atas pelaksanaan di lapangan. “Kalau kami di PT Antam dulu, setiap dua tahun turun tim pengawas mengecek apakah sesuai dengan atauran atau tidak. Pokoknya pengawasannya sangat ketat,” katanya. Tak hanya itu, saat bauksit dikelola dan dikuasai oleh Belanda dan Jepang, pengawasannya juga sangat ketat. Bauksit yang kadar aluminanya di bawah yang diinginkan pembeli tidak boleh ditam-bang. Begitupun dengan pengawasan pencucian bauksit, air bekas cucian tidak boleh merembes ke laut. “Sekarang, saat otonomi daerah, pengawasan malah makin longgar. Siapa saja bebas menambang, tidak ada ketegasan, sepertinya semua menutup mata,” ujarnya, prihatin. *** MUHAMMAD NUR dan YERMIA RIEZKY adalah wartawan Batam Pos. Tulisan ini terbit di majalahbatampos.co.id edisi April 2013

143


144


Sekampung Buta Huruf Regenerasi, terasa indah ketika bergerak positif. Juga soal waris-mewarisi. Tapi, yang terjadi di Dusun Mungkal Kabupaten Siak, justru kebalikannya. Berganti generasi, yang diwariskan adalah keterbelakangan. Nyaris satu kampung itu, warganya buta huruf! LAPORAN GEMA SETARA, MUNGKAL

’’USAHKAN anak-anak, orangtua mereka pun banyak yang tak tahu membaca, menulis dan berhitung.’’ Kalimat yang diucapkan sang kepala desa, Abet, tentu membuat kaget. Masa iya? Di negeri yang begini kaya? Kampung itu, Dusun Mungkal, Desa Penyengat, Kecamatan Sungai Apit di Kabupaten Siak, memang dikepung sumber daya alam yang melimpah. Sejumlah perusahaan besar yang bergerak di bidang kehutanan, perkebunan dan eksplorasi minyak bumi, saban hari mengeruk kekayaan alam mereka. Bagi mereka, khususnya anak-anak Suku Akit yang menghuni Dusun Mungkal, hingar-bingar berburu rupiah dan dolar di sekitar kampung mereka, hanya milik orangorang pintar dari luar sana. Sama sekali itu tak bersinggungan, apalagi menjamin mereka bisa mengenyam pendidikan dengan layak dan wajar. Setiap hari, anak-anak itu hanya bermain menghabiskan

145


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

hari atau membantu ayah ibunya bekerja. Senasib dengan orangtuanya, tak seorang pun anak di dusun itu yang tuntas bersekolah. Bukannya tak ingin, mereka bahkan sangat merindukan dapat bersekolah. Seperti siang itu, kehadiran jurnalis ke sana disambut gembira. Karena mereka mengira yang datang itu adalah Pak Guru yang akan mengajar anakanak mereka. Apalagi, yang menemani bersampan adalah Kades Abet SH dan tokoh masyarakat setempat, Ajis SP. ‘’Pak Kades, itu guru yang nak mengajar anak-anak di sini?’’ tanya Kaget, perempuan paruh baya yang siang itu sedang mengail di atas sampannya. Dia menunjuk ke arah sang pewarta yang siap dengan kameranya. Buru-buru dia menolak saat akan difoto. ‘’Aku jangan difoto, aku tak cantik. Abet aje yang difoto, die ganteng sikit,’’ katanya dengan logat Suku Akit. Pak Kades pun tersenyum dengan ulah warganya. Sambil tertawa Kades menjawab tidak. ‘’Guru bulan depan baru bisa datang. Sekarang masih ade beberapa urusan yang harus diselesaikannya. Ini wartawan dari Riau Pos,’’ lanjutnya. ‘’Cepat suruh guru tu datang, sian (kasihan, red) anakanak, sudah lame betul tidak sekolah. Budak-budak (anakanak, red) satu pun tak pandai membace (membaca), menghitung dan menulis. Nanti jadi bodoh budak-budak tu, mudah ditipu orang. Sekolah tu penting,’’ ujarnya, setengah berteriak. Ada kegelisahan di ucapan Bu Kaget. Tak cakap tulis-baca, tak membuat anak-anak tempatan mati gaya. Lihat saja tampilan luar mereka. Ada headset di telinga yang terhubung ke ponsel di genggaman. ‘’Anak-anak di sini tak mau ketinggalan dengan anakanak di kota. Mereka punya telepon genggam. Tapi hanya untuk mendengar lagu. Sinyal di sini susah, bahkan hilang sama sekali,’’ tutur Ketua RW setempat, Mail. Di beberapa rumah warga, juga terlihat antena parabola dan panel surya.

146


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Dusun Mungkal sendiri bagian dari Desa Penyengat, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak. Dihuni 43 kepala keluarga Suku Akit dan suku lainnya, rata-rata rumahnya berdinding papan dan beratap rumbia. Mukimnya di pinggir laut. Dengan kapal motor, perlu waktu empat jam untuk sampai ke sini dari Desa Penyengat. Tak ada jalan darat yang terhubung ke dusun itu. Keseharian, mereka menggunakan sampan dan kapal pompong. Jangankan Huruf, Umur pun Tak Tahu Apa yang diucapkan Bu Kaget tadi, soal hampir semua anak di sana buta huruf, tak bisa menulis dan berhitung, sama sekali tak membuat Kades Abet kaget. Apalagi membantahnya. Anak-anak di sana pun tak canggung mengakuinya. ‘’Dulu kami sekolah, sedap sekolah tu. Tapi dah lame dah kami tak sekolah, guru tak ade,’’ tutur seorang anak yang biasa disapa Unyil. Ditanya usianya, singkat jawabannya. ‘’Tak tahu.’’ Di sebelahnya, Jaka, juga tak tahu berapa umurnya. ‘’Kalau umur mungkin bapak aku yang tahu. Dulu kami memang sekolah, tapi sejak pak guru pegi (pergi, red) tak ade yang sekolah lagi,’’ ujarnya. Ditanya apakah bisa membaca, keduanya kompak menggeleng. ‘’Dulu bisa siket-siket (sedikit-sedikit, red) tapi sejak tak ade sekolah, dah lupe (sudah lupa, red),’’ katanya, sambil tertawa. Kepala Dusun Mungkal, Yudi, Ketua RT Hengki dan Ketua RW Mail juga mengamini bahwa anak-anak di dusun itu tak banyak yang bisa membaca. ‘’Tak dapat nak berbuat apa lagi. Segala upaya sudah dilakukan. Kami berharap ada guru yang datang dan mengajar anak-anak,’’ harap Yudi. Itulah salah satu masalahnya. Dulu memang ada aktivitas belajar-mengajar di sekolah. Namun, entah

147


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

mengapa guru yang mengajar pulang dan tak pernah datang lagi. Sejak itu, anak-anak terpaksa putus sekolah. Hari-hari mereka banyak dihabiskan dengan bermain. Juga membantu orangtua mencari ikan, lokan, berburu dan sebagainya. Padahal, keinginan untuk bersekolah tak pernah surut. Yudi memberi contoh, ketika Pak Kades mengumpulkan para orangtua untuk menjelaskan rencana akan adanya dua guru datang dan mengajar anak-anak, hari itu juga anak-anak sudah merengek ke orangtuanya, minta dibelikan buku baru. ‘’Sebagian orangtua bahkan sudah membelikannya. Ini kan bukti bagaimana sebenarnya keinginan anak dan orangtua,’’ ujarnya. Yudi meyakinkan, warganya tetap peduli dengan pendidikan kendati mereka tinggal jauh di pelosok negeri. ‘’Kami yang tua-tua ini, sudahlah, mungkin ditakdirkan begini. Tapi anak-anak kami jangan sampai begitu. Bagi mereka pendidikan itu penting sekali,’’ tuturnya. Dalam hitungan Kades Abet, jumlah anak usia sekolah di dusun itu diperkirakan 45 orang dengan tingkat umur yang berbeda-beda. Ia pun membuka informasi, ada dusun tetangga yang senasib, Mata Rimba. Sama-sama memiliki anak usia sekolah yang tak mengenyam pendidikan sama sekali. Hanya saja, saat disinggahi, tak seorang warga atau anak-anak Mata Rimba pun yang dijumpai. Rumah yang dilewati, banyak yang tertutup. ‘’ Mungkin orang ni lagi kerje,’’ kata Abet. Soal guru yang tiba-tiba ciut nyalinya, Abet tak punya prasangka. Justru pihaknya terus berikhtiar, agar ada guru yang mau mengajar di daerah itu. ‘’Saya tak tahu pasti kenapa guru kemarin tu pergi. Padahal rumah untuk guru sudah ada,’’ kata Abet. Boleh jadi kendalanya di transportasi. Sebab, untuk ke

148


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

sana dari Penyengat, perlu waktu empat sampai lima jam menggunakan kapal motor pompong. Sulitnya lagi, tak ada kapal motor yang berlayar ke dusun itu setiap hari. Jika ingin ke sana, harus siap-siap merogoh saku dalam-dalam. Untuk sewa kapal motor sendiri, harga yang dibanderol sekitar Rp400.000 sampai Rp500.000. ‘’Itu untuk sewa kapal motor saja, belum makan, minum dan sebagainya,’’ ujarnya. Demi si buah hati, masyarakat pernah punya azam menyewa kapal motor. Selain antar-jemput guru ke Penyengat, sekaligus bisa menjemput anak-anak di Dusun Mata Rimba. Namun, mereka terpaksa angkat tangan karena tak sanggup menutupi biayanya. Alternatif lain, mereka berencana menempatkan guru tinggal di perusahaan yang ada di daerah itu. Antusiasme warga untuk peduli pendidikan anaknya, kata Ketua RT Hengki, mendorong mereka bergotong-royong membangun jalan ke perusahaan. ‘’Sekarang memang sudah bisa dilalui, namun baru jalan setapak,’’ ungkapnya. Kelas Jauh nan Megah Di luar masalah ketiadaan guru, faktanya kondisi sekolah di daerah itu, sebagai kelas jauh dari Sekolah Dasar Negeri 18 Desa Penyengat, cukup bagus. Ada tiga ruang kelas, punya ruang kantor dan satu unit rumah untuk tempat tinggal guru. Meja-kursi untuk murid dan guru juga sudah tersedia. Kondisinya layak. Kendala sedikit ada di pekarangan sekolah yang dibangun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Siak tahun 2002 ini, yakni kerap digenangi air saat pasang naik. Tapi sejauh ini genangan air belum pernah menyentuh ruang kelas. ‘’Memang masih layak. Semuanya tersedia, hanya guru persoalannya. Jika guru ada, aktivitas belajar mengajar dapat dilakukan,’’ tutur Yudi. Semula, dengan adanya sekolah yang mereka dambakan

149


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

ini, penduduk sangat gembira karena sudah terbayang anakanak mereka akan terlepas dari belenggu kebohan. ‘’Tapi sejak ditinggal guru kemarin, sepertinya harapan kami itu mulai redup. Entahlah kalau memang ada guru yang mau mengajar di sekolah ini. Kami berharap guru itu bisa betah mengajar anak-anak kami,’’ ungkap Yudi. Cikgu dan Tentara Jadi Idola Walau belum bisa membaca, anak-anak di Mungkal tak kehilangan cita-cita. ‘’Ingin jadi tentara,’’ ucap Super, polos, lantas tertawa. Bocah tujuh tahun ini malah sedikit ‘’menantang.’’ ‘’Kalau ada guru tentu aku mau sekolah. Kalau besok aku sekolah, bapak antar buku, baju dan pena, ya,’’ ucapnya lugu. Bocah lainnya, Ame, Ratna, Senah dan Umi juga punya cita-cita mulia. Anak-anak Suku Akit ini spontan menyatakan keinginannya untuk menjadi guru. ‘’Karena di kampung kami tak ada guru,’’ ucap Senah, 10 tahun. Senah kini tak sekolah. Jika tetap ingin bersekolah, dia harus berpisah dengan orangtuanya. Sebab sekolah harus ke Desa Penyengat. Makanya Senah dan teman-temannya mengaku sangat senang jika benar bahwa Januari ini sekolah di dusunnya akan diaktifkan kembali. Dia berharap cikgu yang akan mengajar anak-anak Suku Akit bisa betah di dusun itu meski sangat jauh dari pusat Desa Penyengat. ‘’Kami juga ingin pandai membaca dan menulis,’’ ucap Ratna, teman Senah. Jumlah Siswa Tinggal Tiga Sebenarnya bukan hanya faktor guru yang jadi kendala. Ada faktor lain yang ikut jadi penyebab terhentinya proses belajar mengajar di sekolah kelas jauh SDN 18 Penyengat. Yang paling utama karena jumlah siswa setiap hari terus

150


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

berkurang, sebab anak-anak banyak dibawa orangtua mereka bekerja, mencari kayu teki, berkebun maupun kegiatan lainnya. ‘’Berbagai usaha sudah dilakukan untuk lancarnya proses belajar mengajar. Terakhir jumlah siswa yang betulbetul ingin belajar itu hanya tiga orang dan akhirnya mereka pindah ke desa untuk mendapat pendidikan yang lebih layak,’’ ujar kepala sekolah SDN 18 Penyengat, Nurainun SPd. Diakuinya, letak dusun tersebut memang sangat jauh dari desa induknya. Juga tak mudah mendidik anak-anak seperti itu, karena sebelumnya hal yang sama pernah dialami sekolah induk. ‘’Awal-awal proses belajar mengajar sangat ramai dan mereka semangat sekali, namun di tengah jalan mulai berkurang,’’ ungkapnya. Nurainun menilai, peran guru sangat besar. Cikgu harus rajin jemput-bola, mendatangi orangtua untuk memberi pemahaman tentang pentingnya pendidikan. ‘’Itu yang kami lakukan dulu. Alhamdulillah sekarang di sekolah kami semuanya sudah berjalan baik. Sebelumnya kami terpaksa menjemput anak-anak supaya bersekolah,’’ ujarnya. Menurutnya, sejak 2009 terdapat 27 siswa yang belajar. Pada 2010 tinggal 10 orang dan 2011 tinggal tiga orang. Dan tiga orang ini dipindahkan ke SD di Desa Sungai Rawa dan sejak itu SD kelas jauh di Mungkal tersebut kosong. Beda dengan pandangan warga Dusun Mungkal, Kepala Sekolah punya pengamatan lain soal kenapa anak-anak tersebut tak sekolah. Ia menyebut, itu adalah faktor orangtua. Karena jika anak-anak diajak bekerja ke kebun, waktunya bisa berbulanbulan. ‘’Akibatnya anak-anak tak sekolah dan bagaimana guru bisa mengajar jika murid tak ada di tempat.’’ Dia optimis, Januari 2013 ini sekolah tersebut sudah diaktifkan kembali karena pihaknya sudah dapat dua orang guru yakni suami istri yang siap mengajar di sana. Bahkan

151


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

keduanya sudah membuat surat perjanjian takkan pindah dan berharap kesungguhan itu akan dipegang dengan baik. ‘’Dua guru yang kita rekrut ini merupakan warga Desa Sungai Rawa. Semoga keduanya mampu mengajar dengan baik dan betah di sana,’’ harapnya. Soal diaktifkannya kembali sekolah kelas jauh ini, juga dibenarkan Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kabupaten Siak Drs H Kadri Yafis MPd. Didampingi Kabid Ketenagaan, Syofyan MPd, ia menjelaskan, pihaknya sudah berusaha mendidik anak-anak Suku Akit di kampung tersebut. Namun kondisi daerah yang terisolir menjadi kendala bagi guru untuk mengajar di sana. Ia mengajak semua pihak peduli dan menganggap persoalan pendidikan di Kabupaten Siak tak bisa dipandang ringan dan semuanya harus jadi perhatian pemerintah. Jika masih ada anak-anak yang belum mendapat pendidikan, tentu ini jadi tanggung jawab bersama. Persoalan pendidikan di Dusun Mungkal bukan semata-mata masalah guru yang tak mau mengajar. Tapi juga persoalan transportasi. Jika ini sudah bisa diatasi, masalah itu dapat dipecahkan. Makanya, kata Kadri, dua orang guru honorer yang dibiayai dari komite sekolah ini akan jadi perhatian serius Disdik Siak. Agar mereka betah, akan diberi gaji dan insentif yang lumayan besar. ‘’Kita akan beri honor yang besar karena daerah itu sangat terisolir. Kalau dia seorang diri mengajar, tentu gaji akan habis untuk ongkos transportasi ke sekolah induk. Makanya kita cari guru suami istri, sehingga bisa betah mengajar di sana,’’ harapnya.*** GEMA SETARA adalah wartawan Riau Pos. Tulisan ini terbit di majalahriaupos.co edisi 24 Januari 2013

152


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Modus Ampuh Curi BBM Banyak jalan ke Roma. Kalimat klasik ini tampaknya dimaknai dengan benar oleh beberapa kalangan yang ingin mencari keuntungan pribadi. Misalnya, pencuri bahan bakar minyak (BBM). Ketika cara “tangki kencing” mulai sulit bergerak, mereka pun melakukan hal yang lebih ekstrem lagi: mengebor pipa saluran BBM milik PLN, baik di darat maupun di laut. LAPORAN FAKHRUL ROZI ULHAQ DAN LAILA AZIZAH, MEDAN

DARI penelusuran Sumut Pos, aksi pengeboran “si tambang hitam” secara ilegal di jalur pipa distribusi yang terpasang dari kawasan Pelabuhan Jetty Belawan menuju depot Pertamina Belawan dan depot IMG (Instalasi Medan Group) Jalan KL Yos Sudarso Km 20 Medan Labuhan serta pipa distribusi milik PLN, telah lama terjadi. Berton-ton pasokan minyak milik negara dikelola perusahaan plat merah inipun diangkut secara gelap. Adalah mafia BBM yang menjadi penyebab dari segala kekacauan ini. Mereka merupakan faktor terjadinya pencurian minyak perusahaan berlambang halilintar tersebut. Cara kerja komplotan ini cukup sistematis dan terukur. Bahkan, disinyalir tak jarang melibatkan oknum aparat di dalamnya. “Semua ini terjadi karena adanya andil dari para mafia,

153


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

bos-bos mafia BBM selaku penadah dan menampung hasil dari minyak curian tadi,� sebut ZL pria yang dulunya pernah ikut dalam jaringan mafia minyak di Medan bagian utara. Dalam melakukan pengeboran pipa distribusi BBM, sambung dia, biasanya para pelaku yang bekerja di lapangan tidak terlalu banyak. Paling cukup empat orang saja. Bor, kran pipa, terpal plastik, selang, mesin penghisap (daf), dan jeriken adalah peralatan yang mesti dipersiapkan sebelum menuju ke lokasi pipa yang menjadi target pencurian. “Kalau pipanya berada di darat alat pengangkutnya menggunakan mobil pick up, tapi kalau melakukan pencurian di pipa yang berada di perairan seperti di Belawan, alat angkutnya menggunakan perahu bermesin (boat),� katanya. Waktu untuk melakukan pencurian pun telah diatur guna menghindari perhatian orang lain. Pelaku biasanya menjalankan aksi menjelang malam atau dini hari sekira pukul 02.00 WIB. Setiba di lokasi mereka lalu mencari keberadaan pipa. Setelah pipa ditemukan dengan jalan melakukan penggalian tanah, seorang pelaku mulai mengebor jaringan pipa dengan dibantu seorang rekannya. Usai melubangi pipa, kran yang telah dipersiapkan dipasang. Kran ini berfungsi sebagai alat bantu supaya minyak yang berada di dalam pipa dapat mengalir ke wadah penampungan seperti jeriken atau drum. “Begitu sampai di lokasi, semua menjalankan tugas masing-masing. Ada yang berkerja mengorek (menggali, red) tanah sedalam satu meter untuk mencari pipa yang ditanam. Dan ada pula yang memperhatikan situasi, kalau-kalau ada petugas keamanan yang datang,� ungkap dia. Minyak-minyak hasil penjarahan yang disedot dan dipindahkan ke jeriken itu kemudian dilansir menggunakan mobil pick up. Setelah selesai, tanah bekas pengorekan tadi kembali ditimbun. Alasan kran yang dipasang tidak dibuka

154


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

lagi agar beberapa waktu ke depan mereka masih bisa beraksi di tempat itu. “Jadi lubang kran yang masih terpasang dan ditinggalkan itulah yang menimbulkan rembesan minyak mengalir ke dalam parit. Dan akhirnya diketahui warga atau petugas pengamanan pipa,” ujarnya. Berbeda dengan permain di darat, kalau pencurian BBM lewat jalur pipa di laut seperti di Perairan Paluh Puntung, Belawan pelaku harus menggunakan transportasi perahu bermotor. Bahkan untuk melubangi pipa milik pertamina ini, mereka harus menyelam secara bergantian guna melakukan pengeboran pipa yang berada di dalam air. “Kalau di perairan ada dua orang bertugas mengebor pipa dengan jalan menyelam secara bergantian. Setelah berhasil membuat lubang kran pun dipasang, slang sepanjang sekitar 10 meter dipasang dan biasanya waktu pencurian dilakukan di atas jam 1 dini hari,” ucapnya. Setelah semua terpasang, BBM yang disedot menggunakan mesin penghisap (daf) lalu ditampung menggunakan terpal plastik berukuran lebar. Minyak yang memenuhi terpal plastik kemudian dipindahkan ke dalam jeriken atau drum. Pencurian ini umumnya dilakukan pada saat kapal tanker milik pertamina tengah melakukan pembongkaran muatan dari Pelabuhan Jetty Belawan. “Untuk mengetahui ada atau tidaknya kapal BBM yang bongkar muatan, biasanya kami sudah mengetahuinya dari oknum Pertamina itu sendiri,” ungkapnya. Hasil dari BBM curian itu, kemudian dibawa menuju ke lokasi gudang penampungan milik mafia minyak. Bayaran Rp4000 atau Rp4500 per liter dari toke minyak pun diperoleh, minyak-minyak yang terkumpul oleh pelaku bisnis tak resmi ini selanjutnya dijual ke industri dengan harga relatif lebih mahal. “Kalau pengelola gudang biasanya

155


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

menjual dengan harga nonsubsidi, selain industri ada juga kapal- kapal ikan milik pengusaha yang memesan solar tersebut. Para mafia juga melibatkan oknum aparat sebagai pembekingnya, supaya aman dan tetap berjalan lancar,” lanjut dia. Saat ditanya apakah pelaku pencurian pernah ditangkap, sumber menyebutkan, meski sempat ditangkap dan ditahan biasanya ada pihak tertentu yang mengurus agar kasusnya tidak sampai bergulir ke pengadilan.”Makanya jarang kasus seperti ini sampai ke pengadilan karena ada pihak yang mengurus,” katanya. Terpisah, Menajer Humas PLN Sumut, Raidir Sigalingging ketika dihubungi mangaku, soal pengamanan jaringan pipa distribusi solar pihaknya telah melakukan koordinasi dengan TNI AL maupun aparat kepolisian. Namun, pencurian melalui jalur pipa distribusi BBM di wilayah Medan Utara tetap saja terjadi. “Saya belum bisa merincikan berapa banyak pipa minyak PLN yang dibor pencuri, karena datanya ada di setiap sektor. Soal pengamanan jalur pipa distribusi PLN juga sudah ada kerja sama dan berkoordinasi dengan pihak keamanan baik TNI maupun kepolisian,” ujar, Raidir. Berdasarkan catatan Sumut Pos, sepanjang tahun 2012 pengeboran pipa BBM baik milik PLN maupun Pertamina terjadi sebanyak lebih kurang 7 kasus. Sedangkan untuk awal tahun 2013 tepatnya pada bulan Januari telah terjadi sebanyak 1 kali aksi pencurian dengan jalan mengebor pipa distribusi BBM. Dari aksi pencurian pada 2013 saja, PLN kehilangan 200 liter solar dengan total kerugian Rp1,6 juta. Hitungannya, tiap satu liter harga solar Rp8.000. Hal ini dikatakan Manager SDM dan Umum PT PLN (Persero) Pembangkitan Sumbagut (Kitsu) Hargo, ST, didampingi Staf Humasnya,

156


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Jamil. Pihaknya mengetahui jumlah kehilangan solar karena semuanya berdasarkan teknis penyaluran. Sebelum BBM solar disalurkan, pihak PLN terlebih dahulu menginformasikan melalui handytalky kepada Pertamina penyalur. “Sebelum disalurkan, kami kontak dulu pihak Pertamina untuk membuka kran pipa serta jumlah permintaan solar yang akan disalurkan. Begitu kran pipa dibuka, maka barulah solar terdistribusi. Jadi kami tahu setiap kehilangan jumlah solar akibat pencurian,” ujarnya. Diakuinya, selama ini pihak PLN dan polisi telah melakukan MoU atau kerja sama dalam pengamanan obyek vital, dalam hal ini obyek penyaluran BBM solar. “Semua obyek vital telah kita kordinasikan dengan aparat hukum, bahkan melalui MoU,” jelasnya. Namun, Kapolres Pelabuhan Belawan, AKBP Endro Kiswanto melalui Kasat Reskrim, AKP Yudi Friyanto mengatakan PLN belum ada melakukan koordinasi dengan pihaknya. “Ke kita tidak ada PLN berkoordinasi soal pengamanan jalur pipa. Begitupun tanpa diminta polisi tetap akan menindak tegas pelakunya. Yang jelas kalau ada pengaduan dari PLN kita proses. Selama saya menjabat Kasat Reskrim ada dua kasus yang ditangani dan sudah diproses hukum,” ungkap Yudi. Atas Nama Kebutuhan Sulitnya memutus mata rantai dan memberantas mafia BBM bahkan sampai kepada tingkat melakukan perusakan jalur pipa distribusi ini, menjadi cerminan dari lemahnya sistem pengawasan dan ketegasan aparat hukum dan pemerintah. Rendahnya tingkat perekonomian, biasanya kerap menjadi penyebab masyarakat mengambil jalan pintas dengan melakukan pencurian untuk memenuhi kebutuhan.

157


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

“Kalau bicara tentang kejahatan seperti ini, memang pengamanan di lapangan kurang berjalan maksimal. Dan kejahatan ini terjadi dikarenakan kebutuhan masyarakat akibat dari rendahnya perekonomian atau penghasilan mereka,” kata Nursariani Simatupang, kriminolog Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Namun, ada juga sekelompok masyarakat justru ingin mencari kebutuhan hidup eksklusif (berpenghasilan lebih) akibat merasa ketidakpuasan. Orang-orang seperti ini biasa mendorong orang lain untuk melakukan pencurian, padahal semestinya BBM milik Negara itu harus sama-sama kita jaga. “Dan bukan justru melakukan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian negara,” ucapnya. Tapi yang terpenting adalah bagaimana kita mampu melawan dorongan dari pihak-pihak tertentu, yang berusaha mengajak untuk berniat melakukan pencurian. “Umumnya masyarakat justru tidak mampu melawan dorongan tidak baik dengan alasan yang tadi, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Jadi semua dorongan untuk melakukan perbuatan tidak baik itu tergantung kita, mampu atau tidang melawannya,” imbuhnya. Dewan: Polisi Harus Lebih Berani DPRD Medan memberi apresiasi atas kinerja kepolisian dalam penyidikan dugaan kasus kejahatan pencurian BBM di jalur pipa distribusi. Tapi mereka meminta korps Bhayangkara ini untuk lebih berani mengusut bos penimbun BBM sehingga penyidikan tidak sampai hanya sebatas ke pekerjanya saja, tapi harus diproses sampai kepada bos penadah dan penimbunnya. “Jadi penyidikan jangan berhenti sebatas sampai di situ saja, bila perlu penyelidikan dilakukan sampai ke penadah,” ujar A Hie Ketua Komisi C DPRD Medan menanggapi masih

158


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

berlangsungnya aksi pencurian BBM melalui jalur pipa. Selain itu, polisi harus mengungkap apakah dalam aksi pencurian dimaksud ada keterlibatan oknum pengamanan PLN atau tidak. Karena pencurian yang biasanya rutin terjadi secara berulang diduga bukan tidak mungkin melibatkan oknum orang dalam perusahaan. Dengan demikian, substansi kasus tidak akan berhenti karena yang diberi efek jera hanya seorang pekerja, pelaku lainnya berkeliaran bahkan kembali melakukan hal serupa dengan modus yang sama. “Dan kalau memang ada keterlibatan oknum PLN, maka kejahatan ini bisa saja dikategorikan sebagai tindakan korupsi. Karena ada kerugian negara akibat dari perbuatan oknum aparatur negara itu sendiri,� tegas anggota dewan berasal dari Dapil (DaerahPemilihan) V ini.*** FACHRUR ROZI dan LAILA AZIZAH adalah wartawan Sumut Pos. Tulisan ini terbit di Sumut Pos edisi 15 Januari 2013

159


160


Ketika Penjarah Merusak Zona Merah Tim dari polisi kehutanan terperangah menyaksikan belasan ribu hektare kawasan konservasi Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Penjarah sudah merusak zona merah paru-paru dunia. LAPORAN RIAWAN SAPUTRA, BUKIT BATU

JUMAT 8 Maret 2013 malam, di sebuah rumah pondok hijau di tepian perairan tasik sekitar Pulai Pungguk, Dusun Bagan Benio, Desa Tasik Serai, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Fachrudin Syarif, lelaki disapa pemangku ini mengumpulkan semua tokoh masyarakat: tetua kampung juga tim dari Polisi Kehutanan Bengkalis yang dipimpin oleh Kasat Polisi Kehutanan Bengkalis, Sarwandi K SP. Mereka duduk membentuk bundaran, membahas langkah awal penyelamatan hutan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil yang kini dijarah oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka sudah sangat khawatir dengan perambahan hutan yang kini sering terjadi. Mereka takut pemerintah justru menyalahkan mereka dan warga lainnya atas kerusakan hutan yang terjadi. Dusun Bagan Benio, dusun berpenghuni 260 jiwa atau 87 kepala keluarga itu berada di dalam zona inti Cagar Alam

161


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Biospher Giam Siak Kecil. Ada tiga kampung di dalamnya – Bagan Benio, Pulai Pungguk dan Bagan Belado – yang dikelilingi tasik seluas 30 km persegi. “Kalau tidak cepat, Cagar Biospher Giam Siak Kecil akan tinggal kenangan,” ujar Fachrudin sembari mengunyah gulai ikan tapah segar yang ditangkap sore tadi. Suasana seketika hening. Ungkapan ‘’tinggal kenangan’’ dari mulut seorang panutan kampung tersebut menyentak pikiran mereka yang hadir. Atas alasan itulah Fachrudin sengaja mengundang petugas polisi kehutanan. Perambahan hutan semakin menjadi-jadi. Ia meminta tim polisi kehutanan supaya turun ke lapangan untuk melihat langsung kondisi yang sebenarnya terjadi. Bahasan di antara bau gulai ikan tapah itu berlangsung panjang. Malam mulai larut. Satu per satu tokoh masyarakat pergi meninggalkan Fachrudin dan tim Polhut yang mematangkan rencana untuk esok. Lewat tengah malam, mereka tidur dengan celana penuh bercak lumpur. Suasana begitu hening seolah tak berpenghuni. Pagi di Bagan Benio. Cahaya keemasan menyeruak di antara pohon menjulang, menyapu rumput dan atap-atap rumah warga. Suasana yang begitu asri. Batang pohon meranti, pulai, kulim, balam dan geronggang menjulang tinggi perkasa. Dari kejauhan, terlihat para nelayan sigap membentang jaring sembari sesekali mengayuh sampan cadik memburu ikan untuk keluarga. Di teras rumah kayu hijau kediaman Fachrudin, Sarwandi (48), Komandan Polhut yang larut dalam rapat tadi malam baru saja menyapu kumis tebalnya ketika terdengar anggotanya, Sarwandi (48) melaporkan siap berangkat. Mereka bergegas pergi. Ekspedisi penyelamatan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dimulai. Melewati Jalan Berliku untuk sampai ke cagar Biosfer Giam Siak Kecil, jalan yang dilalui berliku. Tim harus melintasi lintasan becek Jalan Gajah

162


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Mada berjarak 33 km dengan kedalaman 1 meter, yang sering membuat mobil terjerembab. Seperti yang nampak ketika tim Polhut ini melalui jalan itu, terlihat sekelompok orang tengah berupaya mendorong pick up berisi dagangannya. ‘’Kapan jalan ini dibuat bagus pemerintah. Seperti ini terus tersiksalah kami. Apa pemerintah tak pernah lewat sini,’’ kata Imran, pengguna jalan lain yang melintas. Celana shot yang ia kenakan ketika itu penuh lumpur. Demikian pula halnya tim Polhut tersebut. Untuk melewati jalan itu, mereka berenam terpaksa turun, mendorong mobil yang terjebak dalam kubangan. Tapi tak semudah digambarkan. Mereka tidak hanya mendorong, tetapi harus mengantre. Ada cukup banyak mobil yang terjebak berada di depan. Ini belum lagi mereka harus membuang masa lebih lama lantaran mobil yang ditumpangi mengalami kerusakan karena mesinnya terpaksa bekerja ekstra. Singkat kata, hari telah sore saat mereka baru melanjutkan perjalanan ke Pintu Padang – sebuah daerah yang masuk dalam wilayah Desa Tasik Serai. Dari situ, mereka harus menempuh jarak sekitar 17 km lagi. Itu adalah batas akhir kendaraan. Mobil yang ditumpangi rombongan diparkirkan di depan sebuah pondok milik warga dikenal bernama jasmin. Di pondok itu mereka beristirahat sebelum kembali melanjutkan perjalanan yang cukup melelahkan. Dari Pintu Padang menuju Pulai Punguk, tim harus berjalan kaki 300 meter, menaiki sampan cadik sejauh 50 meter dan kemudian menaiki pompong (sampan bermesin) selama 1 jam. *** Selama 15 menit mengarungi sungai, Sarwandi, dengan kompas di tangan, menuntun anggota menyusuri jalan setapak memasuki hutan. Tangannya juga menggenggam parang, menyeruak belukar berduri. Di sini terlihat jika

163


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

mereka sudah terbiasa melakukan itu. Dalam jarak tertntu, tim ini menyilangkan cat di batang pohon sebagai penanda saat kembali. Lebih seperempat hari, mereka yang telah berjalan sekitar 10 km bersamaan menghentikan langkah. Sebuah auman Macan Sumatera terdengar jelas menutup suara jangkrik. Tak satupun saat itu bersuara, kecuali suara gerak menyiapkan senjata untuk berjaga-jaga kalau-kalau macan itu menghampiri mereka. Setelah sekian lama hening dalam ketegangan, suara auman macan itu terdengar menjauh, hingga akhirnya betul-betul tak terdengar lagi. Yakin aman, Sarwandi mengomandoi anak buahnya kembali bergerak. Namun belum jauh melangkah, ia kembali memerintahkan untuk berhenti. Kelebat cahaya dinampaki menyeruak di antara batang-batang pohon berukuran raksasa. Bagi mereka, hal itu tidak lazim: “Kenapa ada di dalam hutan ada cahaya yang begitu terang?� Menjawab pertanyaan itu, mereka lantas bergegas menuju asal cahaya. Setengah jam perjalanan, Sarwandi dan anggota lainnya terperangah. Sebuah pemandangan yang membuat mereka geram; pemandangan di mana ratusan bahkan ribuan hektare bagian tengah hutan itu gundul. Hutan yang tadinya rimbun menjadi landai, membentuk lingkaran. Berbagai jenis pohon berharga bahkan langka – seperti meranti, kempas, bintangur, kapur, kulim, balam – nyaris rata dengan tanah. Sarwandi dan beberapa anggotanya tertegun, lalu berjalan pelan masuk ke dalam bagian hutan yang telah gundul. Dari kejauhan, mereka menampaki sebuah pondok. Sarwandi dan tim segera menyiapkan senjata lalu berjalan cepat menuju pondok tersebut. Sesampainya di sana, penyergapan yang dilakukan sia-sia. Pondok kosong, kecuali mesin chainsaw, beberapa jirigen bekas solar dan penanak nasi.

164


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

Sarwandi cukup lama ia memandangi alat GPS yang ada di genggamannya. Menurutnya, lokasi yang dikenal dengan Kayu Kapur itu tidak jauh dari Dusun Bagan Benio. Jaraknya hanya sekitar 9 km atau berada pada titik koordinat utaraN.01 derajat 17" menit 51,4" dan E- 101 derajat 32" menit 49,4" detik. Belasan Ribu Hektare Telah Dijarah Di pondok itu Tim Polhut yang menjalankan perintah atasannya ini memilih beristirahat. Sarwandi bercerita, dari 175.000 hektare cagar Giam Siak Kecil-Bukit Batu, belasan ribu hektare telah dijarah: diambil pohonnya dan lahannya diduga akan ditanami kelapa sawit. Cagar biosfer yang telah gundul di antaranya berada di Bukit Kerikil, Kecamatan Bukit Batu dan hutan tak jauh dari Dusun Bagan Benio yang dijarah hampir sembilan ribu hektare. “Ini sudah darurat, Cagar Biospher Giam Siak Kecil ini sudah sekarat,� kata Sarwandi. Kekhawatirannya itu sangat beralasan. Kawasan hutan Giam Siak Kecil-Bukit Batu ditetapkan sebagai cagar biosphere ketujuh di Indonesia. Penetapan itu tertuang dalam keputusan sidang yang diselenggarakan Dewan Koordinasi Internasional Program Manusia dan Biosfer Unesco di Jeju, Korea Selatan, 26 Mei 2009 lalu. Dengan kondisi itu, Sarwandi berharap permasalahan ini sesegera mungkin diatasi. Pemerintah, baik pusat, provinsi maupun kabupaten diharapnya segera membentuk tim terpadu untuk memberantas pembalakan liar yang telah terjadi. Setelah cukup lama beristirahat, tim yang telah kehabisan perbekalan itu keluar hutan untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Bengkalis. Air dari sumur dekat pondok dan kerak nasi sisa pembalak liar yang sebelumnya mereka makan dirasa cukup untuk melanjutkan perjalanan

165


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

mereka siang itu. Bupati Langsung Bentuk Tim Terpadu Terpisah, Bupati Bengkalis, Herliyan Saleh terkejut ketika dikonfirmasi perihal kerusakan hutan Cagar Biospher. Raut wajahnya berubah geram saat disodori beberapa foto kerusakan hutan itu. Saat itu, ia tegas menyebut akan segera melaporkan hal itu ke Kapolres. “Ini sudah gawat. Secepatnya akan bentuk tim terpadu untuk upaya penyelamatan hutan ini. Malu kita kalau sudah seperti ini keadaannya,’’ ujar Herliyan. Tim terpadu dimaksud Herliyan adalah tim gabungan dari pihak terkait, seperti dinas kehutanan, kepolisian, TNI dan tim BBKSDA Riau yang akan diturunkan ke hutan. Bupati juga berjanji akan menempatkan personel dari tim terpadu tersebut di pos-pos jaga yang akan ditempatkan di pintu masuk hutan. ‘’ Kalau begini pos penjaga di pintu masuk hutan ini harus dibuat. Dirutinkan patroli ke areal ini,’’ katanya lagi. Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau (BBKSDA Riau), Ahmad Sahrozi juga menegaskan soal kerusakan yang terjadi di kawasan inti Cagar Biospher Giam Siak Kecil – cagar biosphere yang menjadi paru-paru dunia itu. Baik di Bukit Kerilkil, Bagan Benio Perambahan liar dan kerusahan cagar biosfer ini katanya terbukti dengan telah ditangkapnya 5 pelaku perambah hutan saat beraksi pada Februari lalu. Kini berkas perkara ke lima pelaku telah pada tahap P21 atau sudah siap digelar di meja persidangan. Syahimin, Kepala Teknis BBKSDA Riau yang ketika itu mendampingi Ahmad Sahrozi tak kalah terkejut seperti apa yang ditunjukkan Bupati Bengkalis. Ia juga mengaku baru mengetahui pembabatan bahkan telah terjadi hingga wilayah inti cagar biosfer di Kayu Kapur.

166


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

“Kalau dilihat dari titik koordinatnya, ini memang iya di kawasan inti. Ini berarti sudah di zona merah cagar biosphere,� tegasnya.*** RIAWAN SAPUTRA adalah wartawan Pekanbaru MX. Tulisan ini terbit di Pekanbaru MX edisi 26 Mei 2013

167


168


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

169


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

170


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

171


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

172


Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2013

173



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.