Timang timang nak ditimang sayang

Page 1

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

i


ii

Jefri Al Malay


Timang-timang Nak Ditimang Sayang

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

i


Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002, Tentang Hak Cipta PASAL 2 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku PASAL 27 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat satu (1) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000.00 (Satu Juta Rupiah), atau paling lama tujuh (7) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.00 (Lima Miliar Rupiah) 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima (5) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000.00 (Lima Ratus Juta Rupiah)

ii

Jefri Al Malay


Jefri al Malay

Kumpulan Puisi Timang-timang Nak Ditimang Sayang

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

iii


Timang-timang Nak Ditimang Sayang (Kumpulan Puisi) Jefri al Malay - jefrialmalay@yahoo.co.id

Perwajahan/Cover : Abak/Nanda Tata Letak : Rudi Yulisman

Diterbitkan pertama kali oleh: SELIGI PRESS Perum. Gading Marpoyan, Pandau Jaya, Pekanbaru, Riau E-mail: selegipress@yahoo.co.id Cetakan Pertama , 2014

Hak cipta dilindungi undang-undang. Diperbolehkan mengutip sebagian tetapi dilarang mengutip keseluruhan atau memperbanyak isi tanpa izin penerbit dan penulis. Kepustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Jefry Al Malay, Timang-timang Nak Ditimang Sayang, Pekanbaru Seligi Press , 120 hlm, 14 x 21 cm

ISBN: 978-6029-5683-8-8

iv

Jefri Al Malay


Daftar Isi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.

Ataukah Hanya Doa? .................................................. 1 Perempuan yang Melepaskan Kain Berenang Telanjang ..................................................... 3 Kamuflase Cinta........................................................... 7 Sajak Pencarian .......................................................... 13 Rembulan Kematian.................................................. 17 Ketika Hujan Belum Reda ........................................ 21 Seri ............................................................................... 25 Tujuh Angin Singgah di Hati yang Berkampung .. 29 Terpampang di Daun Tingkap, Air Mukamu ........ 37 Halau Hantu di Hakulah* ......................................... 41 Tikar Mak Anyam Malam ........................................ 51 Dan Cinta, Biarkan Ia Lewat Sambil Memberikan Salam ........ 55 Tunggu Percumbuanku ............................................ 59 Mata Bersayap Kuasa ................................................ 63 Pesan Cinta Berkabut Rindu .................................... 65 Rindu Aku Rupanya‌! ............................................ 67 Ledakkan Geram Menyantak Pagi .......................... 71 Jangan Biarkan Malam Terlalu Panjang ! ............... 77

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

v


19. Putikmu Betina, Kupetik Jua ................................... 81 20. Pesan Cinta di Hari Tua (perjalanan mengejar takdir) ................................... 83 21. Kau Titip Langkah Pada Lembar Sejarah Alm. M.Yazid ............................................................. 87 22. Jika Tak Kau Kayuh Sampan Ini (Matlamat Pelayaran) ................................................ 91 23. Puuuaahhhh! .............................................................. 95 24. Timang-timang Nak Ditimang Sayang ................... 97

vi

Jefri Al Malay


... Teruntuk Istriku Syofinas Fitria Buah Hatiku, Salsabila Shofi al Mahya

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

vii


viii

Jefri Al Malay


Ataukah Hanya Doa?

Ucapkan sebelum termakhtum Atau cakap sebelum pecah di perut Tak ada rahasia Selain engkau dan dia Yang telah berjanji di alam sana Inilah sebenarnya ruh yang ditiupkan kemudian menjelma sebongkah kesombongan. Atau kealfaan dalam menyebut nama-namaNya. Keseimbangan yang tertata menjadi lintang pukang, keindahan yang bermekaran menyusut seiring surutnya gelombang iman lalu bencana dan bencana‌ siapa sebenarnya sutradara? Lihat ke dalam malam Apakah gelap mencengkam Sementara di bilik keberadaan Melambai-lambai, apakah tangan Atau hanya bayang Terbit dari impian yang hilang

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

1


Lantas kita lupa mematikan kemelut nafsu barang sejenak. Padahal kita tak pernah tahu di dermaga manakah berhenti. Seolah layar yang terkembang akan melambai gagah di setiap celah angin yang menerpa. Seakan-akan gelombang yang datang akan kita taksir dengan pandangan yang sebenarnya, olenglah nantinya jika hanya menyumpah di genangan darah yang ternyata masih basah Kemelut yang tak surut Apakah langkah menuju tenang Serupa mereka yang meregang Kembalikah ia dalam pelukan yang tenang Mencium kedamaian dalam pelukan kasih Inilah jalan menuju keridhoan katamu. Setelah lama menterjemahkan kesengsaraan. Diri yang dipagari nestapa berulam sesat yang pepat. Entah ke mana selama ini membawa seonggok dosa yang beranak pinak. Hati yang mencengkam memeram dendam. Dilabuhkan ke mana sampai. Lalu yang berdentum dentam Adalah maut Adalah perang Adakah kita di sana? Ataukah hanya doa? Pekanbaru, Awal tahun 2009

2

Jefri Al Malay


Perempuan yang Melepaskan Kain Berenang Telanjang

Selepas subuh Aku datang berbekal azimat Menaburi sungai kami Meliukkan jari jemari Membaca kata-kata keramat Menundukan penunggu yang termangu di pucuk kayu Setenang-tenang arusmu Tak dapat kulukiskan lidah kelu Tentang esok dan tepianmu Dan kutukan yang terlanjur membujur Serupa mayat tua dikerubungi berlaksa dengung Di sungai ini kita memang bertarung untung Kalau pernah bersampan engkau di alunan riaknya Tak kan ada lagi cerita sumbang yang datang Memang kayuh di hulu sana itu dulunya Adalah peperangan merebut mahkota Riuh yang terangkai menyimpan berbelit kekuasaan

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

3


Tapi kita jangan lagi sesak Sebak membawa nyawa yang tinggal sekerat dikerip ulat Hei‌! Di jambat manakah akan kutadahkan sekebat doa Untuk mendodoikan desah daun, gemericik air Atau setimbun sampah yang memuat lekat di kepala Mata siapakah yang terlecit olehnya? Yang tertidur di sepanjang sungai itu Adalah mata-mata tak kuasa yang layu di hisap senja Tak ada perempuan lagi yang menjahit mimpi Sedang jarum kasih sayangnya tenggelam Itu di hilir telah menunggu selembar kain buruk Koyak moyak melambaikan sisa-sisa kisah

4

Jefri Al Malay


Tapi dulu di sini tempat perempuan Yang melepaskan kain berenang telanjang Dari manakah ia datang? Lihatlah tubuhnya yang basah Dan rambut terurai ke bawah Seperti mengisahkan luka-luka yang tak mau pergi Menjadi butir-butir perih Yang menyetubuhi hari-hari Lalu perempuan telanjang Dengan tangan mengempang Ia menggelinjang‌

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

5


Sejak saat itu budak-budak yang lahir dari rahimnya Lebih banyak diam ketimbang bimbang Mengeja deras arus Menafsir riaknya Sementara senandung yang pernah menghijau di tiap tangkai zaman Menjadi senyap Kerap kali menghantui Seperti langkah-langkah yang bergegas Di tepian dinding kumuh Tempat bisik-bisik menyemai tumbuh Menyembunyikan rusuh Serupa mantra-mantra Dan gumam yang tak selesai Pekanbaru, 2009

6

Jefri Al Malay


Kamuflase Cinta

Sebelum musim-musim sekarat izinkan aku berniat; semoga sempat kupesembahkan shukhi di hadapanmu serupa ksatria menyarungkan selendang di leher kekasihnya yang jenjang. Telah kuterjemahkan rasa ini menjadi pulau-pulau yang terkepung kabut hingga tak satu pelautpun yang berani singgah. Juga seperti awan yang berarak telah kumatlamatkan tujuan, dan hujan itu akan jatuh dipangkuanmu Basah ! Kiranya dikemudian hari bunga kembang semerbak di hatimu yang lapang; umpama kesaksian yang pernah kuucapkan ketika malam menyelubungi tubuh-tubuh menggeliat di dalam kamar Dan kesaksian itu adalah sumpah yang tak lekang dimakan sejarah Percayalah !

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

7


Wahai kau ! Umpama surga yang tak terselubung Tunggu aku di ujung tanjung keabadian Kita merajut kesan terkahir yang tumbuh dari kebaikan sekejap seperti angin, bukankah ia selalu singgah; di mana ranting-ranting bergoyang memaknai kasih sayang, berbisik dan mendesis lalu melahirkan nada-nada melankolia, membujuk hasrat kelakian tuk mendekap sepanjang zaman Pejamkan matamu lalu hitunglah rindu yang menetas di tabir malam Hulurkan lengan dan sambut aku dalam kelam Kita bentangkan tikar kesetiaan tuk layarkan sampai ke kerajaan Indra-Loka Pada hari yang telah disiapkan aku ditasbihkan menjadi pujangga; bergegas membacakan katakata purba di hadapan wajah-wajah murka dan dengan lantang kau kupanggil Padmani oh‌ Padmani.

8

Jefri Al Malay


Wahai kau ! Yang ditakdirkan jatuh dalam pelukan alam Suaramu adalah nandung-nandung syahdu yang terbit dari puncak mahligai lalu menggemakannya sampai ke ceruk kampung mimpi Ketika lenganmu meliukkan tarian telah kusadari yang terbungkus dalam selubung persembunyian itu adalah puisi mati di mana alamat penyairnya telah dikebumikan di dasar jiwamu Seperti telaga mata air tak henti menyemburatkan maya Engkaulah permata ! Chitrani oh‌ Chitrani kutangkis jua berlaksa badai yang kau kirim dari sekilas pandang Tapi aku memeramkannya menjadi badi; siksa panjang yang terlentang di bawah terkam siang mengangkang Hingga kelak kau datang membakar diri Hangus dalam kemasyukan lalu di sepanjang sungai roh-roh kita bercerita tentang hikayat yang tak bersisa selain dari rindu yang membias

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

9


Wahai kau! Yang terbuang bertanah Masih tersimpankah kesetiaan yang pecah Sisanya itu kubutuhkan menjahit kabut sebelum hujan membanjiri kota dan kita tenggelam bersamanya Nafsu yang menjadi tugu di hatimu memang pernah kurengkuh hingga bersayap ia menjadi pungguk yang nekat menerkam bulan; mungkin jengah disebut penunggu Lalu matamu yang sayu dan bias muka itu telah dipahat oleh tamu-tamu yang tak diundang, engkau memang tak pernah menyimpan lakilaki dalam setiap pelayaran tapi luka parutan itu adalah saksi atas seluruh perselingkuhan yang berubah menjadi batu, seperti serapah yang terlontarkan ketika senyap dini hari sementara ketukan pintu bertalu-talu; siapakah yang datang menjelang ajal di pangkal lehermu Sejurus tak membentangkan isyarat hanya sunyi panjang serupa jalan lurus tak bersimpang Kita baru saja mengenal makna lengang. Tapi jari-jari bersigau menulis kata-kata di atas kertas, aku hanya mendengar suara memanggilmanggil Shangkani… oh shangkani… Lalu sayup… Jauh… Senyap… ?

10

Jefri Al Malay


Wahai kau! Yang tamak memetik bintang sendiri Malam kehilangan seri Merajuk bulan di perbatasan Tak ada lagi lelaki duduk di ujung jembatan Baginya laut tak sempurna jika hanya debur ombak dan gigil angin tanpa ditemani kelip cahaya Lalu ia melemparkan segelas kopi dingin untuk mengaduk asin laut menjadi hitam seperti legam hatinya yang pernah dibawa lari Di kemudian hari ada yang mengabarkan terjadi penangkapan di hutan-hutan Tapi seperti hatif; hanya suara pengakuan yang bersujud di hadapannya sementara tak ada seorang pun, tak ada setubuh pun “siapa kau ini?� “akulah hastani�

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

11


Si pencuri hati yang berpedangkan kepuasan Selalu mengirimkan gulungan rindu yang kemudian kusut sebelum sampai di pantai penantian Jika hendakkan kembali hatimu intailah embun yang berdesis di subuh hari kalungkan padanya sisa malam dan beri ia selendang siang Walau aku telah berulam nestapa tapi ingat jua sedekap yang kuperuntukan padamu sewaktu seribu hari yang tak terbit mentari Bukankah kita sama-sama bersanding;duduk berdua menyingkap rahasia tuhan ! Maka berilah senyuman pada penkhianatan Shukhi

: Suatu karakter tertentu dalam syair Persia yang diperuntukan pada wanita yang dikasihi Indra-Loka : Kerajaan orang Hindu Padmani : Tipe wanita dari pemikiran Hindu yang diidealkan semua pujangga,menyenangkan, lembut, anggun dalam bersikap, tercipta untuk dicintai, dan dirinya penuh akan cinta Chitrani : Tipe wanita dari pemikiran Hindu yang cantik dan brilian, berbudi halus, bersikap cekatan, sangat menggembirakan Shangkani : Tipe wanita dari pemikiran Hindu yang kuat, kasar dan tekun hatinya suatu saat terengkuh jika nafsunya tersentuh, progresif dan emosional Hastani : Tipe wanita dari pemikiran Hindu yang tamak dan terlalu menurutkan kata hati.

Pekanbaru, 2009

12

Jefri Al Malay


Sajak Pencarian

Setelah selesai bersenggama kita berjanji suatu saat nanti akan merangkai daun-daun di hutan menjadi bunga api. Badai telah kau kurung di kamar Hujan kau sembunyikan di bawah tikar Suku asli kau sulap jadi tikus liar Mulut kau sumbat di trotoar Kau memang tak pernah ingkar di hutan itu dulu berikrar dirimu ingin sekali kau bakar Tapi di pagi hari Aku menyaksikan akrobat api Koran menelanku sewaktu berdiri Di bibir tersangkut antah kopi Abu rokok jatuh di busa kursi Di dapur kompor meledak lagi Mungkinkah kita tetap sembunyi jika sirinei itu adalah bukti ada asa yang hangus sebelum dikebumi

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

13


Saatnya kita diayun kenikmatan kau pancutkan segenggam bara kemudian di dahan-dahan aku menyaksikan hutan menjadi orang tua yang memikul berkarung beban Dahulu pernah kau membunuh di hutan Dengan kobar api di tangan Jejak dendam yang menganak di tepian Tumpah ruah di dalam tempayan Mengalir di tengah laman Mengabarkan kepada si fulan Hutan‌! Hutan‌! Setan‌!

14

Jefri Al Malay


Di ujung kesunyian engkau berdiri sendirian meramal nasib di cermin keberuntungan apakah kelak akan datang seorang kelana yang mengemas awan menjadi taman Dalam gemuruh kampung Kau dikepung untung Sampai jua niatmu menyembunyikan kepala di karung Kaki yang tegak lurus menyerupai gunung Menamatkan hari-hari berkabung Setelah lelah masihkah bersabung Mencatuk-catuk wajah kemayu ditutup kerudung

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

15


Siapa dia menyimpan senandung Memaksakan birahiku buntung Dan asmara yang mendera terkatung-katung Tak tahu kemana juntrung Mungkin mati seperti mata cekung yang lemas di celah lambung itulah akhir dari maut yang membelatung. Pekanbaru, 2009

16

Jefri Al Malay


Rembulan Kematian

Ia berkata “Bunuhlah nyawa di ranting waktu” Tak perlu ragu Sudah saatnya Tamat cerita Ubun-ubun yang kau cium Jangan disangka Ada cinta di bibirku Kematian lebih penting Lebih dekat Sedekat malaikat Catat segala cacat Berita apakah akhirnya “selain hasrat yang menunam ke surga” Kau sebut kulari Dari jarum waktu Sedang kaki Mencipta jejak

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

17


Biar anak cucu Mengeja kisah Di ambang pintu Dan nostalgia dosa Jangan disingkap Kain kafan itu Telah membelitku Mengantarkan ke makam-makam pengasingan Kukecup putriku Di atas sajadah rindu Mantara-mantra perawan Jangan lupa disimpan Kupersembahkan padanya Matahari senja Biar cemburu Terkelupas luncas Jangan kau sebut aku pergi Tapi hidup Dalam ucap Sebab cap cinta Telah kurekat Tepat di ciuman terkahir

18

Jefri Al Malay


Di sana telah kusandar Cita-cita purba Agar di kota Orang menyebutnya “Surga” “Surga dunia” Sedang di kampung Tempat sunyi Di hulu dan hilir Mereka sepakat Memekakkan telinga “Untung” “Untung dunia”

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

19


Tapi biarlah Rembulan kematian Yang kusangkut Di dinding sumur Bukan langkah kalah Hanya sengak di dada Yang kubunuh Di dini hari Dan keris yang menghujam Telah kusarung Di pinggang laksemana Engkau mungkin ingat Dendam yang kita taburi Di ranjang ujung malam Sayup setelahnya Hanya desah Ya desah‌! Persetubuhan usai sudah Pekanbaru 2009

20

Jefri Al Malay


Ketika Hujan Belum Reda

Ini kisah cinta yang liar Tatkala paku-paku dari langit menghujam loteng kamar Tak kubiar pintu terbuka lebar sebab ada yang kuredam dari hujan malam Tak jua kudedahkan tingkap sebab telinga yang sering merayap di dinding telah kutindas seperti kutu di kepalamu Dan sepasang kelamin yang berkelahi di kamar sebelah Itulah yang kelak kujadikan hadiah untuk mengusir tamu-tamu yang memuat sunyi di kedalaman matanya Lalu kesunyian itu datang dari gelitik jemarimu meremas putingku birahi yang kemudian tumpah menjelma tangisan berabad Tak kau pujuk lagi sepi Seperti kau menyumbat mulut-mulut mereka yang lantang hendak mendurhaka

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

21


Sudah lelahkah dengan hanya sekali orgasme padahal lenguh-lengak yang meledak seperti rintik tajam menikam tak henti-henti melentingkan bunyi Bagaimana mungkin kupercaya pada bualmu tentang khasiat mantra penjinak syahwat Yang kau pamerkan di hadapan khalawat Bukankah itu tepatnya hari jum’at Jadi, siapakah yang lebih bejat jikalau sekiranya kita sama-sama melarikan cupang yang melekat di leher jenjang milik seseorang Tahukah engkau siapa gerangan? Yang menyerahkan gairah tatkala subuh, apakah suaranya? Yang menjulurkan lidah mencium kemaluanmu di dini hari, apakah mulutnya? Dan kelengkang yang terlanjur basah Menyirami kesendirian yang memanjang Akhirnya kau serahkan jua tubuhmu dalam gigil bertahun Bertahan untuk tidak mendekap ketelanjangan yang terbujur di pembaringan, kau anggap seperti itulah menafsirkan kesetiaan yang kini mengampai di setiap simpang Bukankah harganya sama persis dengan wanita jalang seperti diriku

22

Jefri Al Malay


Yang kau sebut-sebut ketika menyaksikan lelaki bersayap duri berlutut mencium kedua pahaku adalah kegilaan untuk bercinta Menelan nestapa meski hanya ciuman yang bisa disinggahkan di belahan dadaku yang mulai layu Pun di kejauhan kau tetap mengintai, menghitung sudah berapa kalikah aku ke kamar mandi untuk menggantikan celana dalam dengan sepasang kain goni yang kau jahit sendiri serta melambahkan sperma di tiap benangnya agar kelak anak-anak yang lahir dari rahim ini adalah malaikat-malaikat kecil yang tidak jenuh menghitung jumlah bapaknya Maka terkutuklah seperti persetubuhan kita yang terlarang Di atas ranjang, setelah letih menggelinjang kita sama-sama melenggang pulang Menguburkan benih dosa, berserak ditutupi oleh selimut yang koyak moyak Sedang engkau dan aku mencari peluh yang melekat Tempat dimana kita singgah Menumpahkan lelah Aku di musim yang ramai pengunjung Engkau tak menjelma Setiap segala yang bersisa

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

23


Adalah hanya tujahmu itu yang membuat aku berkelana Mencari seseorang yang pernah membenamkan hidungnya Serupa dirimu tak tinggalkan kecup pada penghujung persetubuhan itu Dan dadamu yang berbulu bertelagah pula lidah-lidah api Di batas paling akhir aku tercampakkan Luput dari pelukan Siraman hati yang diharapkan menjelma rupa-rupa Nama yang paling aku ingat adalah setelah kau katakan sebelum hujan reda Waktu itulah puncak kau menjambak rambutku Serta memuntahkan kelelahan di atas perutku Dan terpatri jua nama-nama anakmu Berlendir sambil ia berteriak lantang Tentang kita sama-sama yang tak pernah ingat akan dosa Lupa mengintip semalam yang lembab Pun tangis yang merayap di lantai kamar Serupa rias mereka Itulah saat tiba engkau mengenal makna jauh Erangan yang kau kirim ternyata tak memberi cahaya pada malam ketika hujan belum reda. Taluk-Pekanbaru, 19-22 Agustus 2008

24

Jefri Al Malay


Seri

Seri Bukankah kita nak tampukkan seri ! Sekian lama benarkah Untuk kau hapus kembali noktah Menyisakan perih Di dada bersarang menyemakkan pandang Hanya butuh sapuan belai Atau matamu yang menikam itu Teteskanlah setitik kelopak mawar Biar luka menggenang bersamanya Rindu yang dicincang betahlah sudah Apalagi yang perlu kita tunggu Kota impian yang telah menjelma istana kesepian Mungkinkah ada secarik kertas tuk melukis kata nan elok Melenggangkan hasrat sesat

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

25


Mengantar ke pelukan empunya tuan Lalu yang mengempang di simpang hati Adalah jalan panjang sesayup-sayup memandang Terlalu banyak kisah-kisah beranak pinak Hanya wujud dari geram Sekian abad terperam Semata-mata diam hadir ‘tuk diterjemah Kalau ada pun bising mungkin hanya runsing berpusing-pusing Selebihnya lengang selapang-lapang Percakapan merunut sunyi ini Seakan-akan memang ada yang menengkahi bunyi Tapi sangkut di daun-daun tua Gugur akhirnya tersapu sekebat asa

26

Jefri Al Malay


Seri Bukankah kita nak tampukkan seri ! Cahaya perjalanan tuk sampai ke persembunyian Semarak riak serta tepuk gemuruh yang terpacak di tepi-tepi jalan Mungkin saja selesai bersembang ada yang didulang, apakah kemulian? Aku kan datang katanya Dari kemanjaan senja yang menyapu Atau lingkup gelap yang melekat hari Pun desas-desus yang diarak Ditolehkan pada diri yang kepercayaannya luluhlantak dihisap zaman Kita tidak lagi menangis untuk di sini rupanya (kampung) Tapi menderaikan air mata ke kota-kota Dan kelebat cahaya direnjis-renjis Dipuncak mercu maha tinggi Tinggallah sebidang tanah tersedu-sedu Laman basah menetaskan marwah Birahi usang itu (nyatanya gemilang) jua akhirnya menggesah Jangan sampai bingkas lepas Lidah yang pelat menyebut bulan Akan menjelma bunda suri

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

27


Meneduhkan jalan pulang Ketika bersanding bersama bintang Jangan kau keletokkan bahasa jiwa Di ujung dunia sana ternyata masih merindukan dodoi Pengantar tidur serupa jengkit perempuan malam Seperti itulah bibirmu mengulum cahaya kelak Seri Bukankah kita nak tampukan seri! Pekanbaru,2009

28

Jefri Al Malay


Tujuh Angin Singgah di Hati yang Berkampung

1) Inilah dia belaian angin itu Angin si carik kafan Mengibas tak kenal musim; kami tiba-tiba terjaga di ranting-ranting. Adakalanya terbangun di celah tingkap rumah atau suara jerih itu dari pelarian lelah. Mungkin memang lebih sering pasrah ketimbang lari tak tau arah, mengalah; sejarah yang sudah-sudah. Tapi di sinilah mulanya kami membuat layang. Menerbangkan bayang-bayang, kadang memang tak pulang, hingga tali yang terlilit di batang putus tak terurus. Kami juga bermain di tanah lapang sambil mengira-ngira sejauh mana sudah berjuang di kancah perang yang tak pernah usai, terjajah; di batas waktu yang terdedah.

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

29


2) Ini dia sapuan angin itu Angin si tajam tembilang Menyengat seisi kampung. Pekik lolong itu menyuruk di celah-celah dinding. Tak pahamkah kita menangkap makna; di hati ini beraja ketakutan yang sama. Senenek, secucu, semoyang. Bilakah saatnya pulang dan pulang‌ Membagi cerita dan hikayat memang tak pernah sempat. Apalagi nestapa yang terujung di lidah tak kunjung ada saat yang tepat tuk dimuntah. Terlanjur dilenakan, hanyut tak sampai ke tepian; tempat istirahat menyembangkan lelah. Tetap saja membangun bangsal-bangsal berselembayungkan kegagahan, tidak muakkah kita berpura-pura atau lantangkan saja pengakuan kekalahan diantara tajam angin yang menikam wajah, sebelum terulang lagi dan lagi; pengkhianatan yang disebabkan hal serupa.

30

Jefri Al Malay


3) Ini dia pusaran angin itu Angin si puting beliung Datang padanya berpusing-pusing. Kadang tersadai kami di pucuk kayu, atau terjaga di laman luas seraya memandang mata-mata tak kuasa menahan perih yang teriris-iris. Tapi tak jua jera, memang asin lidah orang tua dahulu hanya legenda; kisah-kisah malas yang tak hinggap di daun telinga. Mengutip papan sejarah yang bersepai serupa mengumpulkan sejumlah igau yang tak selesai kemudian memahatkannya menjadi tugu luka, patung sengsara. Akhirnya kenduri di ujung kampung terlaksana tanpa upacara tanpa doa. Hanya senandung teduh-teduhan; memujuk rindu tuk pulang di pangkuan Melayu; sebuah label kegemilangan yang kandas di ceruk kemiskinan. Tak percaya! Lihat pucuk niur melambai di pantai jika sempat berlayar di genang darah berlinyang. Atau dengar ilalang-ilalang mengaji tika petang sepanjang jalan aspal yang terlentang bersebelahan dengan tubuhtubuh kami yang menjelma kebun-kebun tak bertebas.

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

31


4) Ini dia tebasan angin itu Angin si bedil berjanggut Menembakkan harapan, memaut jadi mayat hidup. Berpawai keliling kampung, menggumamkan dengung risau dan mencapakannya di tanah-tanah basah, berharap tumbuh ia menjadi pucuk ubi meski hanya secangkul pilu ditemukan di belakang rumah. Hutan kampung mungkin saja tidak punya kita. Tapi puaka jembalang telah bersarang, tak mungkin dapat di hadang. Meski racun busuk berpucuk di laut, takkan lengah mulut-mulut menyumpah mantra penunduk. Hanya itu yang bisa; saling menyilang sindir serupa tengkar. Hei‌! Ada yang terbunuh di rumah pengulu. Keris itu keris cintamani yang sengaja dipinjam tuk melindapkan sorak kompak. Telah menusuk hati yang berkampung, pecah menjadi butiran bintang, selebihnya terbang datang saat malam; serupa kunangkunang. Mari terbang sama, genggam lesut jari. Angin yang membantai, berbegas kita mengeja rupa-rupa semah, buang ke muara sungai. Semoga air pasang menghanyutkan sesal atau menjadi sesai; tertumpuk, terasing di pantai.

32

Jefri Al Malay


5) Inilah serbuan angin itu Angin si payung Ali Mengokah tangan yang sedang bertengadah. Sedari dulu hanya mencari wajah sendiri. Telah dicurikah? Atau terpelanting ia hingga sampai pada keaiban menyamudera. Lemas ditelan arus, tenggelam; mungkin kelak menjadi situs-situs sejarah. Barangkali kutukan. Atau niat tak pernah menyelinap. Tembok-tembok itu jua yang dipanjat, sekedar mengintai bentuk tubuh yang tak lagi dibungkus baju kurung. Lalu tumpahkan saja birahi di tumpukan nafas, dan sama-sama kita berkabung. Jika lena diperpanjang, mungkin kita tak lagi saling mengenal. Tujah sesama tujah di selat kemarau yang digenggam menjadi takdir. Begitu saja kita menerima; tanpa mengoyakkan tabir silam, adalah sebetul-betul kabar menyiarkan silau menyilau puak. Tapi semak yang merindang tak mempan dilibas. Hai angin‌si angin payung Ali kirimkan hempasan sekali sentap selepasnya lenyap‌!

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

33


6) Inilah terjangan angin itu Angin si laut tulang Mengalun-alun serupa gelombang ia datang. Kampung pun menjadi tebing-tebing rapuh runtuh hingga di seberang pulau terjengah; tabiat dikerubung kelu lidah dan kematian masal telah ditaja genap sepurnama. Kita menjadi bangga dengan pentas laut. Berbasahbasah dengan simbah darah atau terhujam dalam makian panjang. Memang untuk menang harus saling menjengkang. Sejak saat itulah tubuhku dan tubuhmu terbelah menjadi cinta yang berbagi. Ke hulu membawa tuah, ke hilir menjulang khianat.

34

Jefri Al Malay


7) Inilah hantaman angin itu Angin si hampar rebah Saatnya tenang-tenang. Sehamparan teduh menyepuh kepala. Tunggu saja, sebab pokok hari di utara telah meniupkan tanda. Ternyata sekejap saja, kemudian mati rebah di puing-puing cerita. Kau tahu ulah siapa? Sampan dan dayung terapung di tengah laut. Bangkai siapa tersepit bakau. Ikan membusuk tertimbun sesai. Burung raja udang merajuk. Daun nipah layu sebelah barat. Ketam menyuruk ke ceruk tanah terdalam. Daun tematu malu-malu jatuh di tanah busut. Jambat terjengkang. Sungai menyingai‌ Kau tahu tingkah siapa? Surau tumbang. Rumah bersemepai. Tiang ampai terjungkal. Pohon senget-menget. Pasar senyap. Sampah terhumban. Pekik sayup. Parit tumpah. Tiang listrik kayu runtuh. Geban ayam tunggang langgang. Kebun sawah lintang pukang. Dan hutan tertawa‌

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

35


Lantas kita hanya tersenyum. Bangga atau cemas dengan senja. Remang yang seragam dikisahkan dari bibir keriput Mereka memungut semangat basi Dari sedulang sajian istana Entah siapa yang menghantarkannya di teras rumah Sedang hati berkampung telah luncas disinggahi ke tujuh angin bermusim. Pekanbaru, 2009

36

Jefri Al Malay


Terpampang di Daun Tingkap, Air Mukamu

Kado yang kau kirim telah kutunaikan seperti pintamu Meski berabad lamanya kusimpan, kupampangkan jua di daun tingkap Sejelas-jelasnya ia jadi tontonan riuh seperti tepuk tangan orang kampung menyaksikan pentas bangsawan Tak ada kemenyan, tak ada jong yang dihanyutkan Hanya pesan cinta terbakar menjadi bingkai Disaksikan mata-mata yang mengisyaratkan kegembiraan semu (tafsir atas keinginan sendiri) Membelinya di kedai-kedai reot yang menjual harga diri per kiloan Sedang penjualnya mengulurkan sisa Rupiah dengan mata terpejam Takut menatap pembeli yang rakus Gemar mengarungkan anak haram yang ditemukan di dalam laci uang

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

37


Lalu sebulan kemudian kuberanikan diri memajang wajahmu Wajah lelah itu dengan menyembunyikan air muka di tiap keriput kulit Jauh di garis waktu terbelakang memang sudah ditakdirkan Engkau kembali dengan nyanyian sebatang kara Begitu sesak kesendirian itu Hingga muntah yang ikut serta dalam bungkusannya juga ikut berdendang Lagu tentang resah yang menyemak hati Tapi sewaktu gerimis jatuh di atap rumah Justru daun tingkap itu menyimpan air mukamu Hingga aku mencarinya bermusim-musim

38

Jefri Al Malay


Lalu kutemukan di saat kemarau tiba Itupun dibantu daun-daun kering di laman rumahku yang berguguran saat hendak kubakar, kusirami minyak tanah yang kucuri sendiri dari tangki Seiring itu azan maghrib meluluh-lantakkan perasaan Ketika itulah kabar tersiar bahwa engkau tenggelam dan hanyut di sungai-sungai Setiap rumah penduduk di tepiannya Tiap malam mendengar tangisan pilu yang menyayat-nyayat Seperti sayatan asmara yang kau torehkan di keping hatiku

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

39


Dan kini jalan memang tak lagi pernah sepi Mungkin seri air mukamu itu adalah bulan bagi orang-orang yang rindu untuk pulang Remang yang kau tawarkan menjadi impian tuk dipeluk sepasang kekasih Di ilalang-ilalang kampung itu mereka membuat cinta Aku memang pernah menyaksikan rambut yang tersibak dari balik semak Lalu dikirimkannya nafsu yang tersungkur lewat tatapan Aku pun menjadi yakin setiap pandangan ada dosa yang tersimpan Mungkin saja suatu saat ia merekah Menjelma menjadi hadiah Seperti yang pernah berkali-kali kau titipkan padaku Dan aku menganggukkan kepala Mengiyakan sekaligus menidakannya Tapi sekarang lihatlah di daun tingkap itu Janji ! Telah aku tepati Pekanbaru, 2009

40

Jefri Al Malay


Halau Hantu di Hakulah*

Aku tak mau mati kau ! Aku tahu asal jadi kau ! Mati kau tahu aku! Asal aku tak kau tahu! 1 Tanahku Jangan kau tetak Tak kan retak Secuil pun Tak kuizin Kami duri Ujungnya racun Jangan diasah Akan berpadah Kelak Menyesal tak dielak

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

41


Hapak niatmu Tercium dulu Hajat besarmu Petakaku Nak langkah kau Maut! Cobalah beringsut Jangan kata mataku buta Hinggap kau harapkan iba Humban kami jika dah senak Lena! sececah pun tak jua kujinak Hadir kau seperti angin Kuhancur kau serupa air Simbah bismilah tawarku Jauhkan kau dari jejak tapakku

42

Jefri Al Malay


2 Boleh kau berlalu lalang Tapi ingat batasku Itu tanah tak bertuan Tidak untuk meretas jalan Hutan kusut biarkan Parit sumbat tak hiraukan Paya kerontang tak risaukan Tinggi lalang saksikan Katanya kami puak terpelanting Jangan sesekali dijinjing Jika pulasku terusik Bising hulu Riuh hilir

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

43


Kiblat kau tak berhala Sujud kami menohak langit Perlu kah aku tancapkan keramat Sangkutkan bengis di pinggangmu Lalu diam Jangan sangka padam Jelmalah ia jadilah sindai Tak pulangkan engkau ke alamatku Tasik pauh janggi rumah kau Alam terbentang rumahku Temu kita di laman luas Kibas ! Yakinku kau tak membalas Lupa kau tuk berhias Hari-hari gelak dan tawa Sedang aku bersilat duka

44

Jefri Al Malay


Inilah kami sebaris doa Halaukan kau di batas-batas Hendakkan kau tibalah masa Kami terlanjur memeram jera Engkau hantu engkau jembalang Engkau berupa jasadnya orang Kami menyuruk di semak-semak Sedikitpun tak tinggal jejak Engkau tahu lenguk dan lengak Sampai paham makna tersedak Sentak ! Nyanyi kami serapah laut Nandung kami jejampi darat Jerat kau joran terkulai Jebak kami kait jerambai Kau nak kan jantung nak kan darah Kutadahkan pawang si halau-halau Berdarah kau jantung kutadah Nak halau kau kupawang-pawang

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

45


3 Pintu langit Talakku bergantung Sanggakan alam Alas bumi Tanah ini belum dibuka Jangan mulai Kalau tak sepai Mimpiku berjemput maut Lintang lenganmu tak kutakut Hujam ke hutan Tikam ke tanah Lari tersurut Surut kah engkau

46

Jefri Al Malay


Putri bunyian teman berkencan Mencipta dunia kami berasmara Anak kami anak jin Anak kau anak setan Manusia! Tunggu saja celaka Berpeluh-peluh tubuhku rukuk Balut luka kainku buruk Pesan datang dari nenek moyang Jaga hutan jaga tanah Kampung kami milik siapakah? Lantang kau baca sejarah Kuberikan kitab yang salah Tuduh menuduh telunjuk seru Aku puah kau hilang tujuh penjuru

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

47


Wahai ! Jemputlah aku di anjung-anjung Sangkut rohku di ranting-ranting Intaikan hantu jembalang orang Nak tikamkan raga tepat di jiwa Ulamnya beretih dan ampas kelapa Humbankan di perigi berlubang buta Lailah ha’ilallah‌

48

Jefri Al Malay


4 Niatku Luluhkan diri Sepikan hati Insyafkanlah Wujudku Wujudmu Kembali Jadi kau jadi Asal muasal kembali ke asal Basuh dosa di telaga kubur Basuh nista di samudera syurga

Kalam Inginku tenggelam Sedalam-dalam Menyemah kelam Di pusara Adam Asalku disulam Campakku ke alam Suaku di ujung malam Kelam Kembalilah kelam

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

49


Ada hantu halau-halaukan Jauh-jauh undurkan Taman kami tempat berkampung Duduk sembang terjemahkan rembang Petang-petang jika kau datang Saksilah! Tangis kami Menghala ke muara Hanyutkan senyap bersampan-sampan Tak kah kau kasian Tanah itu memang tak bertuan Tanah itu memang tak dibuka Sebab tahu kami akan celaka Jangan kau mendurhaka!

Hakulah: tanah tak bertuan, tanah belum dibuka

Pekanbaru, 2009

50

Jefri Al Malay


Tikar Mak Anyam Malam

Tak usahlah kita bertikai di atasnya Sungguh, dari dulu mak menganyamnya dengan setali persaudaran Yang dirajut menjadi sehamparan malam; menyimpan deretan mimpi di kesenyapannya. Cemas yang bergelayut di pucuk air mata kampung Turut mewarnai hari-hari setelah kematian bersama Lalu kita terbangun kembali menjadi asing dari sekian banyak noktah Yang telah menjarah; hilang kita dari ingatan masa lalu Kemudian mencari sepai-sepai kenangan di bilik rindu Atau di muka pintu yang tertutup waktu Dan tingkap yang berjuntai daunnya Roboh tak pernah terdedah setelah sekian lama kita memanjat kesumat Jatuh berdebam jua, sebelum sempat mencapai puncak khianat

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

51


Di hari itu, tepat di anyam terakhir mak berpesan Kalau malam datang jangan kau mengangkang di depan pintu: Jika sempat menjengahnya Setitik keringat jatuh di tikar malam Bercampur asinnya hidup dengan sehelai pandan Mak tak larang keluar menyantak pagi Tapi jika mengangkang kau Dari pintu akan berjelaga sungutlah yang muntah Jangan mengurung diri, selubung di kain pelekat itu: Di tahun terakhir sebelum mematri niat Duduk mak berselendang kain pelekat Katanya itu yang tersisa Dari janji ayah yang hilang di lingkung waktu Maka hendaklah engkau menyimpannya di lemari Yang telah terpajang di kamar tua Bukankah di dalamnya ada juga baju kebaya Sudah semestinya sepasang pakaian itu kita sarungkan Di usia mak yang rempuh menanggung beban Kenapa pula kau yang berselubung mengurung untung?

52

Jefri Al Malay


Sesekali rebahkan dirimu di pangkin pilu: Setelah jengah kau membeliakkan nafsu Di anjung malam dengan tawa yang bergelegar Sebaiknya menabung benih kau di pangkin pilu Belajar merayu rajuk yang ternganga dari buah dada istrimu Berhentilah bertengkar! Ciumlah kening sambil ucapkan sahadat Menjelang jatuhnya talak yang terlanjur berkarat Tidakkah kau lihat ! Sedulang kasih itu dijamu-jamukan dalam pesta pilu berabad yang lalu Apa lagi yang tersisa, kalau tak rengek budak-budak Tidak ! Aku tak hendak menetaskan marwah yang karam diterjang gelombang sengak Membusungkan mercusuar sedang pelita yang menyala Sudah mengawinkan malam dan kepiluan

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

53


Dan ketuklah pintu sebelum memulai cumbumu pada sekujur tubuh yang teduh: Kiut lantai dari langkah kaki menuju pintu Ketuklah dulu ! Di dalam kelambu telah terbujur tubuh subuh yang teduh Sedulah olehmu Sepuas-puas hingga melengkingkan gaduh Pancutkan sampai melekat di atap rumah Jadi lukisan Jadi harapan yang bisa ditafsirkan oleh mak Sebab tak ada lagi senandung yang patut Selain simpuh anak mencium kaki Demikianlah, mak yang telah berjanji Di atas hampar tikar Sedang malam kembali digelar. Pekanbaru, 2009

54

Jefri Al Malay


Dan Cinta, Biarkan Ia Lewat Sambil Memberikan Salam

Cinta yang membuncah di dada ini tak perlulah aku letupkan di telinga mu Bagaimana pun jua engkau sudah memercikkan rindu yang berapi-api Bulan kusam di mata anak-anak kita menjadi terang karenanya Lalu sedemikian berat juang untuk melarikannya ke bukit malam Tertatih-tatih sampai pula kita di lembah-lembah gamang Tempat di mana tak ada alasan untuk memekakkan gema Hanya pantulan bunyi yang lesap seketika Sementara letih yang bergelayut di pundak ini Menjadi antah-antah dan semangat itu menjadi mentah lagi dan lagi‌ Sedang maut serasa semakin mendekat Dan cinta, biarkan ia lewat sambil memberikan salam

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

55


Wahai masa lalu yang pergi menjadi tugu Aku datang menjelma pengantin Hendak mengantarkan tanda percintaan terakhir Dan berlarilah aku mencarimu Meraih-raih kehampaan ini ternyata pedih Kadang kukutip berhelai daun jatuh di sepanjang jalan sunyi Mengumpul debu yang melekat di kaki Dan peluh yang berkelopak telah kupetik serupa mawar yang hilang seri Demikian air mata menjadi telaga Adalah tempat aku menggenangkan duka menganga Aduhai, percakapan mesra bagai di lamunan Batu harap tak terpecah jua walau lengan menghayunkan waktu ke depan Bibir ucap-mengucap sesama tapi hanya suara risau yang berderap Melangkah kita tak menghiraukan hala, sementara hujan tumpah jua di laman Derasnya hilangkan jejak, lenyapkan peta Keraguan memajang, mendekap ke wajah-wajah kita yang lugu

56

Jefri Al Malay


Di antara kelenaan menemuimu dan cinta berkarung yang setia kutating ini Aku berubah manjadi pokok kayu meninggi Mengintip di atas angin, menjengah di celah-celah awan Barulah kusadari sudah berapa jarak yang kau ciptakan Hingga sesayup-sayup memandang hanya keasingan yang terlalu akrab Dan tapak yang tertancap di belakang adalah sebuah kekalahan Malu nak menolehnya, apalagi sekedar menjelingkan mata Lantas nak salahkan siapa lagi sedang sudah kita tiduri seluruh musim Sudah dijamah tubuh sejarah yang tergeletak di sudut pintu Bagai foto usang ianya tersenyum tak membilang kenangan Tak menghitung telah berapa banyak tujah yang dihujamkan ke liang hatinya “Hidupku bagai air sungai sedangkan sampah-sampah memenuhi arus� Tepian dangkal itulah tempat budak-budak keletah menerkam kisah

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

57


Jangan disalah apalagi dikutuk Kain buruk itu memang setiap saat hanyut Dan lengan-lengan yang menggapai tak pernah sampai itu Yang selalu mengeja telunjuk semu Berebut jambat nak merapat Atau sekedar melemparkan kail biar tersangkut jua Sekarang telah belajar mengayuhkan bahtera di lautan Hingga ribut petir menerkamnya Hilang ditelan angin musim barat,tenggelam sewaktu air naik pasang Yang tersisa adalah gelombang kesunyian yang menghantam tebing Sedang maut serasa semakin mendekat Dan cinta, biarkan ia lewat sambil memberikan salam

Pekanbaru, 2009

58

Jefri Al Malay


Tunggu Percumbuanku

Alifya, aku sedang tidak bergurau dengan cinta, oleh karenanya sesudah malam menebas lampu-lampu kota, akhirnya di keningmu itu mendarat ciuman terhangat. Jadi percuma saja engkau bersungut. Klakson kendaraan akan bertubi-tubi menikam suaramu. Plang dan baleho yang terpampang di sepanjang jalan ternyata tak lagi mampu menunjukkan arah pulang, ketika itulah aku terlupa alamat rumahmu yang terbalut kabut asap. Begitulah akhirnya, tiada pilihan. Segeralah kau bergegas mengepit beban cinta dan kenakan baju kurung itu. Jelmalah dirimu sebagai perempuan ayuhai, anak dara berdelau, melenting, kacak, lawa dan bergetah. Jangan lagi bercerita kepadaku tentang bulan yang tenggelam di malam kelam, tentang iklaniklan yang tak tersiarkan lagi di televisi. Apa pun itu, jangan berharap matahari pagi yang kuhadiahkan padamu akan berubah menjadi matahari yang lain, menjadi sesuatu yang sia-sia.

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

59


Tetapi andaikata, di sebuah negeri nun jauh; “negeri bersolek�. Tidak tersimpan kemanjaan yang gaduh. Tidak mengirimkan senandung peradaban. Pun aku yakin seyakinnya, kita tetap beranjak tua dan bersandar pada tiang-tiang kesepian. Berhari-hari kita hanya akan menorehkan sajak-sajak di pucuk kayu di depan rumah, tapi jangan kau katakan kita tidak punya sejarah. Tentu saja kau tidak bisa lagi berharap aku memelukmu dalam kelambu. Sebab kutahu motifmu sebagai perempuan yang terlanjur mengucurkan bedak di wajahmu, membungkuskan tubuh dalam lenggok gemulai, senantiasa rindukan sentuhan dari telapak kelakian. Pelita yang sepi di tiang pintu itu boleh padam Alifya. Tapi kota kita yang dulu tak lantas jadi hutan, mesin-mesin terus menyibukan dirinya dan dunia tak cuma berhenti sebatas usia cinta kita.

60

Jefri Al Malay


Jadi kutegaskan, kita tak mungkin lena bercinta sampai jengah di kampung yang kurang beruntung. Leka menghirup asin laut sambil menjaring dan bersetubuh. Musim akan berganti kekasihku, kita akan menjadi sesai dan tenggelam bersama sesai yang lainnya. Tetapi ada baiknya kau tetap bersolek. Tidak membunuh diri sebagai perempuan yang bersuara syahdu, berucap lembut dan merayu. Di semenanjung nun tersudut engkau Alifya, kekasihku masih disebutsebut; berbaju kurung, kepala bertudung, sepatu tinggi bergelang kaki, berkulit mulus, bertutur lunak nan melengkok. Walhasil, tersiarlah kabar karya baktimu menumpuk di sebuah pulau, serasa molek dan menggolek.

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

61


Dan kau masih boleh berharap, ada hari satu hari kota yang pernah kita huni akan runtuh. Kita bisa kembali ke taman asmara yang dulu menyimpan kesepian. Gundah gulana yang kerap hinggap ternyata tak abadi seabadi waktu yang menguntit kita setiap hari. Kita tak perlu cemas bukan? Karena itulah, sesudah malam menebas lampu-lampu kota, akhirnya di keningmu itu mendarat ciuman terhangat. Maka tutuplah pintu di benteng peradaban yang menjadi hunian kita, menjadi rumah panggung tua yang reot di perbatasan kota. Tunggu saja pesan pendekku dari handphonemu yang tergeletak di ruang tamu. Pekanbaru, 2009

62

Jefri Al Malay


Mata Bersayap Kuasa

Jangan menoleh senja, Alifya Buta‌! Selami mataku Terdalam sedalam engkau menyelam Serupa puisi Sempatkan olehmu menjelajahi Kata demi kata terpilih jadi takdirnya sendiri Di ceruknya Engkau bersua jua dengan sayap kuasa Tidak berlebihan pula Jika kita sepakat memaknainya sebagai cinta Cinta, Alifya ! Aku paham‌! Di pangkalan harap engkau terus bergumam Decak kagum kemolekan sinar mata itu Tak perlu dilukiskan Dihatimu saja tetap kau semai Sedang mekar hatiku tatkala kau jeritkan namaku

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

63


Juga adalah sayap Terbang aku menjemput bulan Menyemat janji itu wajib, Alifya Biar tegar ! Dan kesetian yang terangkum Tumbuh mekar Maka izinkanlah kupajangkan wajah pagi Di tiap inci tubuhmu itu Aku tidak mengemis desah suaramu, Alifya Hanya rela ! Kelak ada malam satu malam Engkau datang menyerahkan selimut pasrah Serta merapalkan serapah di sekujur batang janjiku Padahal waktu telah berseteru menjelmakannya jadi tugu “selamat tinggal, Alifya‌â€? Kuucapkan kata perpisahan Dari ketermanguan yang menyumpahi dirimu . Pekanbaru, 2009

64

Jefri Al Malay


Pesan Cinta Berkabut Rindu

Menatapmu di hujung malam Serasa menyaksikan rintik gerimis di tanah lecah Ada rindu yang melecit seiringnya Dan hati yang tersuruk Terkena tempias musim, tersibak kenang seperti lalang yang ditebang Terang wajahmu kuseduh bertalu Mungkin pesan ini tak sampai di pangkuan Seiring kasih yang terpampang dalam undangan Tak mungkin kita tak datang Karena jemputan telah diterima di telapak tangan Enggan tuk kulepaskan, serupa pagut erat di pertemuan setelah lama tak bersua

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

65


Di atas pelaminan jiwa, kita berfoto bersama Cukuplah sekali menyalami perih di hari yang letih Tak mungkin lagi aku menukiki lautan gaduh Sedalam-dalamnya luka aku tak pernah mengikhlaskan setetes darah Sebab tiang yang terpancang di hati ini tak goyah walau dihantam badai Tapi jika di ujung usia aku tertidur di kursi rotan Sambil merapal azimat, engkau akan tetap kudekap Sebab kutahu senja akan jatuh di sini Di secarik pesan yang ternoda hanya setetes air mata Jangan lupa dibuka amplopnya Jika tak ada tangisan di sana, mungkin ia telah pergi di sebuah negeri Bersama seikat janji untuk tidak kembali Kecuali saat dimana kita bisa merangkai rajuk Menjadi sulaman cinta yang dibungkus kabut rindu. Pekanbaru, 21 April 2009

66

Jefri Al Malay


Rindu Aku Rupanya‌!

Sedang bias rupamu tak hilang di ruang malam, inikan pula genggaman tangan kita di sepanjang jalan kota. Selalu saja isyarat manja membungkusku di kelenaan hingga tinggalkan serak kenangan jauh ke belakang dan pabila malam hujan, aku menolehnya serupa melihat kembali sesuatu yang dirindu sekaligus menyayat pilu. Begitulah tatapku pada gedung-gedung yang menerkam wajah asmaraku, lalu itulah alasan kenapa tubuhmu kurenjiskan dengan air kembang setaman. Kita sudah pun bertarung setia antara jarak yang memisahkan, betulkah? Namun aku mulai mengumandangkan keterpukawan di gelinjang bulan. Menari hingga pagi, pun cahaya tak mampu sadarkan aku, padahal telah berhenti tepuk riuh mesra dari tangan-tangan yang mengamas cinta. Rindu aku rupanya‌!

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

67


Pada biru kecupku yang sangkut di lehermu jenjang, serupa lukisan bencana yang disambut dengan senyuman dan kerelaan yang merekah. Kadang kepasrahan adalah pengobat lara yang tak tertandingi oleh berpaling-paling mantra. Sehingga dalam gigilku menancapkan sebuah nisan di halaman rindu, aku tak terbelenggu kecuali setelah matamu menikam kelam di jantungku, perih. Ternyata janji yang dulu menyemai di tepi sungai, ketika engkau mengutip kata-kata yang menyembur deras dari bibirku menjadi tugu yang terpampang. Menjadi tiang yang memanjang. Menjadi kusut tak terungkai, menjadi sesal yang tak selesai disangkal. Padahal suaraku dulu adalah ucapan sekali tebas setelah itu luncas, mungkin saja tak berbekas.

68

Jefri Al Malay


Lantas kau menelan malam, menyimpannya di bilik penantian yang tersembunyi dalam lemari kasih. Di situlah kerap kali ada desah yang mengecam untuk tidak menjadi tolol hanya bersemadi dengan janji yang belum pasti berarti seperti mengidam subuh di siang mengangkang. Tapi ketika teduh datang, aku pula menghilang. Mungkin benar, aku selalu berada di titik yang tak kan sempurna serupa bayang, nyata tak terpegang. Sudah sepantasnyalah aku gagap dengan gelap. Sementara engkau bernafsu telanjang ketika berada di penghujung malam. Entahlah‌!

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

69


Pertemuan kita bagaikan lambaian yang setelah sayupsayup hilang ditelan kabut. Dan akhirnya kita samasama mengemas diri menjadi waktu yang terburuburu, menghabiskan sisa usia dengan hanya mengutip remah perdaban, merindukan keagungan masa silam. Ada saja helahmu ketika ku ajak menjemput mimpi yang berlari berlawanan arah, di mana tapak kaki kita masih membekas‌cepatlah‌sebelum angin kencang datang!

Pekanbaru, 23 April 2009

70

Jefri Al Malay


Ledakkan Geram Menyantak Pagi

Ledakkanlah‌? Tapi jangan pinjam Kami punya satu meriam Cuma itu yang dapat diperam Pun tersuruk di bawah kolong rumah Kami takut basah ! Bila malam, kami rela senyap ini pecah Ketimbang lambah wajah tersimbah marwah yang kalah Relakanlah‌! (Meriam kami buluh betung, tuan Dentum malam menyergam kelam Siang datang, geram berlari kencang Nak disorong pun moncong tunduk malu Tak sudah-sudah ! Lantas elokkah menyungut menyantak pagi?)

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

71


Ledakkanlah‌? Kami tak suka buat bising Apatah lagi memekak berkampung-kampung Cuma ada yang bersidai Lidah kami asyik nak berjujai Menyembur ludah sejarah yang tak patah Itulah alamat ! Tujuan tempat menyimpan niat (Jika bunyi memunggah igau Jangan sergah kami tak hirau Ketimbang bual menyumbat zaman Lebih baik berdentum-dentamkan seisi kampung Untung-untung turun langkah ikut bertarung)

72

Jefri Al Malay


Ledakkanlah‌? Bukankah tambah meriah Sekali kala membujuk sayup di daun telinga Ini kami hidangkan aneka bunyi Pilihlah ! Yang seciap atau nak kan bergemuruh Mungkin saja ada yang terbunuh Jangan kau takut ! Malam ini bukan malam menyongsong maut Tapi menanti mati Kita semua mati di sini, bukan? (Kami malu mengendap-ngendap Sebab itu fiil pengintai Kami takut disambar petir Kilat menyilang pokok pun tumbang Untung sajalah ! Lebih baik jalan bersegak Memikul buluh di atas pundak Hei..kami tak lagi budak-budak Tengoklah ! Dah pun pandai mengepung kampung Walau maki hamun berantah-antah Beranak pinak di tanah Pedulilah‌!)

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

73


Ledakkanlah‌? Di semak-semak kami menyulam gelak Di malam-malam kami membuat kemak Tapi tak pandai buat lagak Apatah lagi sengak Buat penambak!

74

Jefri Al Malay


Ledakkanlah‌? Sepanjang kayu cukup sejengkal Tak kesal? Sekali cecah bunyi membuncah Tak gundah? Sedikit sambar api menjalar Tak gentar? (kami mulai meniup-niup Jangan ditegah dah pun cukup Dengarkan gelegar menjulang malam Merangkai geram jadikan tak cuma lesap Kalau pun ada asap Itu sekejap!)

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

75


Di hari menyantak pagi Mari sesekali membakar mimpi Moh jadi budak jantan Berjalan maju bertelanjang badan Tak berpadan lagi mengetup gigi Tapi membungkus geram Memeram dan mendedahkan di kemudian Menjadi bunyi yang bergegas Sekali gaung banyak yang tercenung Ledakkanlah‌! Pekanbaru, 23 April 2009

76

Jefri Al Malay


Jangan Biarkan Malam Terlalu Panjang !

Serupa tubuhku yang terlempar Di sepanjang malam itu Terkibas jua Akhirnya debu dosa Dan gelap sengaja membisikan kutukan: Ke sanalah tumpahnya Ke lembah laknat ! Menunggu mu mengepit bayang Di sepanjang malam itu Bergegas liar matamu Membelah kesangsian Ada nestapa yang dijampi-jampi: Hai si nanti-nanti Berlumurlah gelinjang jantan si tari-tari

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

77


Tanah di mana pijak basah hai si hati basah Muram rumput itu terinjak telapak zaman Kau basuhlah rambutmu tergerai Biarkan rintik setitik membanjiri sekolam cumbu Mungkin saatnya merayu sepi Mengusap pundaknya Membelai puncaknya Menyeduh Pucuknya: Ini jemari si lentik sukma Nak mengusap lelapmu Antarkan impian di ujung fana Engkau jemput igau dalam-dalam Sambil meracau dalam galau bertelau-telau

78

Jefri Al Malay


Bukit si dendam dah pun memacak di ujung kepala Kita pernah bercumbu di akar-akarnya Hingga musim hujan tiba Tak ada badai yang selesai kita urai Maka tumpahkanlah wajah-wajah yang membusuk di kalender usang Sebab di sepanjang malam itu kau berkeliar Serupa musang! Siang jagamu terlentang menghala ke petang Hutang pada diri Bayarkan dengan lembar bayang Hutang pada tuhan Kenapa tak lekas-lekas mengemas Jangan sampai terlambat pulang Kita terlalu banyak mengeram hutang Rupanya‌!

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

79


Kecuali sanggup memapah mimpi Lewati hari yang kian tipis Setipis dompetmu di celana pilu Siapakah yang menyayat luka di senja-senja Aduhmak‌ Terlupa lagi menghitung untung Sudah keberapa kalikah menyusun kalah Dan pagar berbaris itu adalah jumlah malam yang ke sekian malam Patah ! Jangan biarkan malam terlalu panjang ! Pekanbaru, 2009

80

Jefri Al Malay


Putikmu Betina, Kupetik Jua

Aku membawakanmu sebuah taman hati Untuk kau merendam mimpi Mencucinya menjadi batas di ambang nyata Selepas itu Hanya doa Dari nyanyian bunga Serta sayap kupu-kupu itu Silakan kau baca Ia tertulis garis takdir Yang tak mungkin kau hapus Walau pun oleh kenangan Tapi di lain waktu Aku menyembunyikan tangan Sambil terus kudendangkan Sebuah lagu tentang mawar

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

81


Dan rinduku yang kian tawar Jangan pernah ditabalkan Di saat gerimis Di saat menangis Atau sedu sedan itu Tak menghalangiku untuk memetik Putikmu Memeramnya Sampai kutahu kau adalah betinaku.

Pekanbaru, 11 Mei 2009

82

Jefri Al Malay


Pesan Cinta di Hari Tua (perjalanan mengejar takdir)

Mengadu kepada siapa Sedangkan hanya aku yang sanggup Mengecup malam dikeningmu hinggap Memberikan sekuntum kenikmatan Untuk kau seruput Serupa sedutan terakhir Setelah lelah dalam perjalanan mengejar takdir Seluas-luasnya terbentang Terdengar gelinjang Yang menyembunyikan gairah Dari gelak dan canda sepasang mata Sempat jua akhirnya kita membelai daun waktu Mengemasnya menjadi pesan cinta di hari tua “Jangan terlambat menggenggam jemari cahaya Karena kita ternyata tak berkutik di tikungan zaman�

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

83


Sesudah perayaan ulang tahun Memperingati hari kecai berainya tubuh-tubuh kita Di kolam yang airnya beriakan kenangan Kau kusunting jelmakan kisah Hingga sepanjang usia Tak pernah lupa matlamat cerita kita Untuk disuguhkan kembali Pada pesta pernikahan Di musim penghujan “Mari mengepit hari sebab setelah esok kau akan melihat dirimu hanya di depan cermin�

84

Jefri Al Malay


Yang beranak pinak Kemudian menjadi nafas satu persatu Adalah jiwamu yang hidup Di sini Di kota Di kampung Di selisih musim yang kerap kali Menjadi misteri: Kenapa hujan di sini Tak pernah basahkan tanah Selain hanya menggenangi harapan Kemudian hanyut di selokan Dan parit-parit tersumbat Tersangkut ia membasikan hasrat “Tujuan ke mana tujuan Hendaknya tentukan sebelum terlambat Menuntaskan hajat�

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

85


Dan jika hanya riuh Setelah itu tepuk tangan gemuruh Tak usah dahulu kau labuhkan langkah Sebab perjalanan tak berhenti Hanya gara-gara ketemu mimpi Di simpang Tempat nafsu berlalu lalang Bisikan saja kata tabik Sebagai tanda kau telah lewat Tak ganggu anak cucu Apatah lagi nak mencuri Dan mengintai esok yang menjelma “Tidak usah memeram sia-sia di bawah ranjang alam Kelak menyesal tak kunjung berfaedah� Kita akan lelah Namun tak berhak mengacungkan kalah Pekanbaru, 11 Mei 2009

86

Jefri Al Malay


Kau Titip Langkah Pada Lembar Sejarah Alm. M.Yazid

Bermula dari tingkap usiamu yang terdedah Hingga sampailah senja mengusik lamunan Engkau masih saja mengatur rentak Merapal gerak Apakah sekedar menghalau muak? Tidak ! Ikhlasmu mencumbui tengkah Tanpa harus berhelah Maka biarkan jari jemari Meliuk lentukan gerak rindu Rentak kaki yang memperhitungkan langkah Dan tubuh-tubuh yang menari itu Adalah simpul makna Yang tersembunyi dalam gemulainya.

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

87


“Berzapinlah di pantai meski landai� agakku. Hamparan sesai jangan dijadikan alasan Untuk tidak kau haturkan barisan Sebab gambus yang mendentingkan hasrat Dan tengkah meruas dengan bunyi memepat Adalah awal ritual untuk saling mengenal Manakah rindu manakah celaru “Berkinjaklah di lemah lepai yang hinggap� ingatku. Tikar semangat membentang sudah Memanjang di alur tubuhmu yang tak kenal lelah Takkan tergulung oleh waktu Dan huyung tubuhmu itu Jadi tikaman dalam ingatan Betapa dapat kubaca kitab jejak Yang menghujamkan alfa pada diri Sejauh manakah kulayari Helah ini yang memang tak bertepi

88

Jefri Al Malay


Wahai... Semalam masih kusaksikan langkah serentak Demikian ianya berarak Mengusung kebersamaan dan kepedulian Kudengar serunya Lewat serangkaian tarian Sesuaikan hentakan dan pukulan “Inilah tari si tari zapin Nukilan tradisi hiaskan negeri� Di kampung ini tak bisa kuhitung saksi Nyiur menjulang tinggi mengintaimu dalam gerak seri Tanah lecah pun jadi alas peluhmu yang tumpas Dedaun dan batang kayu getah itulah Selalu mengantarkan angin ketika layu kau kunyah Dan panggung mana yang tak dirapah? Yang tertinggal kini hanyalah kenang yang menyenak “Jangan tangisi dan usah ratapi� Kepergian itu adalah pesan Langkah telah dititipkan Jangan biarkan sejarah itu menjadi kalah Sebab di sekian lembar hari Adalah jejakmu yang menujah kisah

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

89


Kini Sebaris lagu yang masih sangkut di hati Adalah ragam azimat Senantiasa ‘tuk himpunkan restu Kami pun mengirim talqin rindu Dan mengantar kepergianmu Dengan sedulang harap dan doa Kelak bersemayamlah disana Dalam keharibaanNYA.

Sajak ini untuk mengenang Alm. M. Yazid yang dikenal sebagai seniman senior tari zapin tradisi di Bengkalis yang kembali menghadap Yang Maha Kuasa pada 23 September 2010.

Pulau Rindu, 24-26 Septemberr 2010

90

Jefri Al Malay


Jika Tak Kau Kayuh Sampan Ini (Matlamat Pelayaran)

Inginku terkembang serupa layar menghala ke pulaupulau khayal yang tak terjangkau ingatan. Disanalah kubangun istana-istana kecil, menetaskan keagungan sejarah yang kian lelah di mata-mata pemburu waktu; apakah mereka kalah? Jika tak kau kayuh perahu ini, embun nasib yang kita seduh dari subuh ke subuh tentu tak menyelimuti rebahan ini lagi tapi menjelma racun, diam-diam membunuh dengan sesentil ujung kuku. Matlamat tuk sampai ke seberang pun turut terbakar dipanggang siang; impianlah itu! Padahal dari malam ke malam sebelumnya telah kita selamatkan beberapa nafas yang tercungap lemas. Meski ada yang mendekat setelah hampir tenggelam, apakah malaikat kematian? Menyapa kita dengan uban di kepala atau keriput muka juga sebuah pertanda usia akan berangkat senja.

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

91


Akhhh‌.! Olengnya perahu ini seperti kelelahan membayangkan kedua kakiku berpacak di tanah yang bermusim hujan berkepanjangan sebab tak hendak basah tubuh ini kujilati sendiri, mencecap bacin diri yang tersungkur di hadapan waktu seraya merenungi tangan-tanganmu dengan kelesuan kayuh bertahun; kiut dayung yang menyentuh tepian hidup; bila nak sampai Puan? Memang perahu itu bukan milik kita. Jangan kau labuhkan di dermaga Kelak tumbuh ia menjadi dusta yang berpancang lamun di penghujung ombak. Lebih baik dengarkan cericau burung mencumbui pantai bukankah serupa pelayaran kita yang barangkail saja masih tertunda; entah sampai bila?

92

Jefri Al Malay


Mengarungi lautan khayal kerap kali menumpahkan air mata yang kemudian menghempas ia ke tebingtebing cemas. Meski tak sempat kita menyaksikan pasang; menyantakkan pilu sampai ke hulu luka atas penantiannya. Itulah sebabnya pernah kau layarkan perahu rumpang yang menumpang beragam musim. Hingga terpelanting kita diamuk badai rindu. Tapi katamu “bukankah setelahnya ada tenang yang menghanyutkan ciut menjadi bayang-bayang bulan yang tumpah di dini hari yang sepi. Kita tetap berkayuh dibawahnya serupa lukisan tua yang mengisyaratkan perjuangan tanpa batas kekalahan�. Jika awan yang menggumpal di atas perahu ini, tumpah lagi dengan selaksa tikaman akan kupanggilkan pawang agar bisa membacakan serapah laut; mulut berkomat-kamit menyumpahi musim, apa tak berdosa (sesungguhnya?)

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

93


Matlamat pelayaran akan dirunut jua Dirangkai anak cucu kita jadi cerita Mungkin engkau dan aku surut dalam pasang yang menelentangkan gemuruh. Jemari yang berdoa serupa pelepah tematu yang pucuk daunnya menggigil diterjang angin barat. Dan terangkut kita sampai ke darat. Menjuntai di rantingranting sajak, menyimpan mimpi berkarat sambil mencuri cerita dari kitab sejarah yang tertumpuk sial di meja berdebu rindu. Tersesat sebelum sempat pelayaran ini tamat. Pekanbaru, 6 Juli 2009

94

Jefri Al Malay


Puuuaahhhh!

Pucat malam yang kau kirimkan semalam Tak sedikitpun menghadirkan gelap di sini Dengan sisa lantera yang menyala Aku membangun singgasana Menyuluh langkah gontai di sepanjang jalan “Langkah-langkah kekalahan� katamu Tapi siapakah yang benar-benar inginkan layu Sedang hujan bermusim mengemas rindang daun Mungkin saja kita telah alpa Menyeduh harum juang yang terpatri dalam hikayat Marilah... Genggam zaman yang melaju di antara derit waktu Jangan lagi tertidur di pangkuan mimpi Masa lalu itu adalah tikaman yang menyantak ke jantung Takutkah kita meraut untung Dengan keris di tangan lepaskan sarung

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

95


Mungkin saja kita terburu-buru Menanggalkan niat dipembuluh semangat Jejak nestapa yang tersidai di laman lama Jangan jadikan nandung untuk bermurung Dan disini Di tanah yang menjadi saksi sejarah Mari kita papah mayat-mayat lelah Menjadi secebis senyum merekah Untuk didaulat menjelma mahkota Ada dan tidaknya cahaya Adalah kita yang akan menyulutnya Agar menyala menerangi jagat Puuuaahhhh! Pulau Rindu, 13 Agustus 2010

96

Jefri Al Malay


Timang-timang Nak Ditimang Sayang

Timang-timang Nak Ditimang Sayang Belum jua selesai rupanya Kau mengusung cucumu Dijunjung-junjung Diayun-ayun Dilonjak-lonjak Diangkat-angkat Padahal diluar sudah menelungkup kabut Perlukah kita takut? Aduhai dondang! Nak di dondang sayang Kemarilah...! Perlu juga sesekali kau dengar bisik Jengah ke luar tingkap Sudah berapa banyak Teriak budak-budak Tak lagi dengar kicau bicau

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

97


Selain gumam Berkepanjang mengungkai risau Sungguh aku menabung hirau Kutakut kacau balau Sejambangan bunga dicuri orang Padahal adzan senja baru saja berkumandang Dong dong kak Pekasam labi-labi Anak siapa yang tebekah gelak Mak bapak siapa yang lupa mengaji Jangan sampai jadi induk ayam kau Kebulur, santap telur sendiri! Yang terkiap-kiap nantinya adalah nyawa Tak sempat terpana pandang dunia Berkokok, siapa sebenarnya yang berkokok Pagi-pagi buta memekak telinga Di sempadan rumah Atau di depan mata Entah-entahlah Mari sama-sama menimang makna Berganti-ganti kita memangku rengek Selama tak diam jangan pernah redam

98

Jefri Al Malay


Hay...hay... Diam-diamlah Nanti datang musang mengendap Tutup pintu rumah jangan biar terdedah Timang-timang Nak Ditimang Sayang Jangan pula jadi sebutir labu Membiar diri dicerabut hingga ke akar Yang tekilan tentu saja seredup harap Dari pengikat hajat yang belum juga dikebat Sadarkah ada yang sedang berkucah Kebun kita di belakang rumah semakin lecah Bakul tersangkut di dinding Tak guna lagi nak memetik buah Labu hai si buah labu Telah punah ranah diangkut entah kemana Sampai ke akar dah rata di tanah Busuk! Tinggallah yang busuk Tergeletak diparit sempit Semak belukar pandai pula menghimpit Sedikit-sedikit macam ada niat Nak memanjat kesumat Terintai-intai Kejap kemudian tersadai

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

99


Tercekat tekak nak teriak Tak ada bukti dah dirompak Kan, ada juga yang berdekah terbahak Lalu pelan-pelan nak mengelak Wahai Anak cucu Moh tepuk amai-amai Belalang kupu-kupu Tepuk tangan ramai-ramai Tahun depan disumpah waktu Sayup-sayup di dapur Lantai papan yang dilap bekas perah santan Kurindu bekinyau nandung Sudahkah terselubung mendung Tapi sesekali dengar juga rentak Titah ada yang bertitah Racau mak tuo kah? Atau sisa anak yang baru pandai berkeletah?

100

Jefri Al Malay


Timang-timang nak ditimang Timang si buah hati Sayang-sayang nak disayang Sayang si jantung hati Mimpi bertampi-tampi Harap jangan sampai tengkurap Asa hendaklah menjulang dunia Doa panjatkan kepada yang Esa Sebelum jadi ampas jelantah Di dalam botol tersumbat koran basah Mari menutup rambut tergerai Pakai kopiah tutup sulah Berkemban anak beranak di depan teras Berpimpin sepakat tak pernah memelas

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

101


Timang-timang nak ditimang Jangan pula membayang Tengok lesot jemari yang masih mengepit bayi Tak jemu merapal azimat Dan senandung itu Adalah pesan keramat meyambut masa depan.

Pulau Rindu, 22-23 November 2011

102

Jefri Al Malay


Biodata Penulis

Jefrizal, Amd.Sn dengan nama penanya Jefri al Malay.

Lahir di sebuah sudut dunia yang bernama Desa Sejangat, kelurahan Sungai Pakning, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis-Riau, pada 16 Oktober 1979. Menamatkan kuliah di Akademi Kesenian Melayu Riau Jurusan Teater. Selain menulis juga aktif di teater sebagai penulis naskah, pemain dan beberapa kali menjadi sutradara. Pernah juga bergabung di grup band Sagu sebagai vokalis, terlibat hanya sampai album ke dua. Saat ini bekerja sebagai reporter di Koran Riau Pos dan sedang menyelesaikan S1 di Univesitas Lancang Kuning jurusan sastra Melayu. Beberapa tulisannya berupa puisi dan cerpen telah tersiar di surat kabar Riau Pos, Riau Mandiri dan majalah budaya Sagang, Sejori (Batam). Sejumlah tulisannya juga telah dimuat dalam beberapa buku antologi, diantaranya : Tafsir Luka (Yayasan Sagang 2005), Jalan Pulang (Yayasan Sagang, 2006), Komposisi Sunyi (Yayasan Sagang 2007), Tamsil Syair Api (Yayasan Sagang, 2007), Antologi Sastra SeSumatera, Laut Berkabar (Badan Pengkajian dan Pelatihan Dinas Kesenian dan Pariwisata Propinsi Riau, 2007), Suara Dari Kesunyian (Dinas Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata Provinsi Riau, 2008), dan lain-lain. Sedangkan buku kumpulan puisinya yang pertama berjudul Ke Mana

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

103


Nak Melenggang, diterbitkan tahun 2013. Puisi yang berjudul “Kabar” meraih juara tiga dalam Sayembara Laman Cipta Sastra Dewan Kesenian Riau 2004. Puisi “Hentian Ini” di tahun 2006 mendapat juara harapan dalam event yang sama. Puisi yang berjudul” Diulit Sungut, Dibelit Rungut, Ada yang Dikucah, Apakah Sejarah” meraih juara harapan dalam event yang sama. Puisi “Episode Renta” meraih juara dua dalam event yang sama tahun 2009. Naskah drama berjudul “Pekung” meraih juara tiga dalam event yang sama tahun 2009. Puisi “Sumpah Tanah” meraih juara 1 dalam lomba tulis puisi yang ditaja oleh BAHANA UNRI tahun 2008. Puisi berjudul “Tengkah Kaki di Tanah Kami, Tak kan Dikebumi” meraih juara pertama dalam sayembara puisi DKR 2014. Disamping menulis, juga sebagai pembaca puisi. Pernah meraih juara 2 dalam lomba baca puisi yang ditaja UIR (Universitas Islam Riau) tahun 2002. Tahun 2003 meraih juara 2 dalam lomba baca puisi yang ditaja Balai Bahasa Riau. Mendapat juara harapan tahun 2006 dalam lomba baca puisi yang ditaja UIN (Universitas Islam Negeri). Meraih juara 1 dalam lomba baca puisi se-Riau (Bulan Bahasa Bulan) yang ditaja Dewan Kesenian Riau tahun 2007. Tahun 2004 menghadiri Pertemuan Seniman dan Budayawan Serumpun di Melaka (Malaysia) dalam kolaborasi baca puisi bersama Taufik Ikram Jamil (Tokoh Sastrawan Riau). Menghadiri pertemuan sastrawan se_Sumatera di Batam (Komunitas Rumah Hitam) tahun 2007 - 2008. Membacakan karyanya dalam event Julang seni (Dewan Kesenian Riau) tahun 2006. Membacakan karyanya berjudul “Ke mana nak Melenggang” dalam

104

Jefri Al Malay


Anugerah Sagang 2007. Membacakan karyanya yang berjudul “Kayuh Sampan di Sungai Tak Bertuan” di Kabupaten Kuantan Singingi dalam acara Panggung Seni Rakyat (Taman Budaya Riau) tahun 2008. Membacakan karya yang sama dalam event Helat Seni di Kabupaten Bengkalis tahun 2008. Membacakan karya puisi dalam event “Menjulang Sastrawan Riau (Dewan Kesenian Riau) tahun 2008. Membacakan beberapa karyanya di event Pameran, Pertunjukan Seni se Sumatera 2008di Riau, tahun 2009 di Bengkulu. Pada 2011, dinobatkan sebagai Johan Penyair Panggung Se-Asia Tenggara dalam helat Tarung Penyair Panggung Se-Asia Tenggara di Tanjung Pinang.

Timang-timang Nak Ditimang Sayang

105


106

Jefri Al Malay


Timang-timang Nak Ditimang Sayang

107


108

Jefri Al Malay


Timang-timang Nak Ditimang Sayang

109


110

Jefri Al Malay


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.