LAYANG PRB Eling lan waspada ngadepi bebaya Urun Rembug Ir. Budi Antono, M.Si: PEMULIHAN PEREKONOMIAN JADI PRIORITAS Halaman 2
Info Jogja WARGA MULAI BONGKAR HUNTARA
Halaman 3
MENINGKATKAN KETAHANAN
EKONOMI DI MERAPI YOGYAKARTA - Merapi tidak hanya dikenal sebagai gunung yang aktif dan unik, melainkan juga memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Apabila dapat dimanfaatkan dengan baik, maka potensi-potensi itu diyakini mampu mendukung kehidupan masyarakat di sekitarnya secara berkesinambungan. Tim peneliti Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, dalam penelitian berjudul “Potensi Sumber Daya Alam Gunungapi Merapi dan Pengelolaannya untuk Mendukung Kehidupan Masyarakat Sekitar” mendeskripsikan Merapi kaya akan potensi sumber daya air, mineral, dan lahan (pertanian, perkebunan, hutan, peternakan, perikanan, dan pariwisata). Secara kasar, pendapatan potensial yang dihasilkan dari pengelolaan sumber daya alam ini mampu mencapai ratusan miliar rupiah per tahun. Salah satu potensi yang tumbuh pesat akibat dinamika kegunungapian Merapi adalah pariwisata. Perubahan bentang alam yang terjadi pascaerupsi 2010 lalu, misalnya,
Eling lan waspada ngadepi bebaya
telah menarik minat banyak wisatawan dari dalam dan luar negeri untuk datang dan menyaksikan langsung bukti kedahsyatan alam. Selama musim liburan sekolah, Juni-Juli 2012, kunjungan wisatawan domestik dan asing ke area “Volcano Tour” amat ramai. Menurut warga Umbulharjo, jumlah kunjungan mencapai lebih dari 1.000 orang per hari dengan retribusi Rp3.000 per orang. Selain pendapatan itu, masih ada pemasukan dari parkir kendaraan, paket wisata, sewa jasa, dan transaksi perdagangan. Potensi kontribusi ekonomi yang cukup besar ini, apabila dikelola secara serius, diyakini mampu memulihkan kerusakan dan kerugian ekonomi akibat erupsi 2010 dalam tempo singkat. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dalam Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi, merilis besar nilai kerusakan ekonomi pascaerupsi Merapi mencapai Rp179,8 miliar dengan nilai kerugian lebih dari Rp623,7 miliar. (bersambung ke hlm. 8)
Edisi Juli-Agustus 2012 Profil MENANTANG ADRENALIN BERSAMA “VOLCANO TOUR”
Halaman 7
(Kiri) Turis domestik terlihat mengunjungi kawasan wisata “Volcano Tour” di Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, beberapa waktu lalu. (Kanan Atas) Pentas kesenian Jatilan menjadi bagian dari “Volcano Tour”. (Kanan Bawah) Penjual makanan khas Jadah Tempe melengkapi kawasan wisata dari sisi kuliner.
MENGHADAPI DAN MENGATASI
TANTANGAN USAHA Ekspresi wajah Ny. Suratin (35) tampak datar tatkala ia menjelaskan usaha pembuatan abon lele di hadapan warga Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, akhir Mei lalu. Kendati penjualan abon semakin laris, Ny. Suratin mengaku usahanya bersama kelompok warga “Sedya Rukun” ini masih jauh dari sukses. Bahan baku abon lele memang mudah karena didapat dari usaha perikanan warga. Pemasarannya juga lancar. Tetapi, usaha sulit maju karena modal tidak pernah bertambah. Menurut Ny. Suratin omzet usaha mencapai Rp600 ribu per bulan, tapi jumlah itu selalu habis dibagikan kepada seluruh anggota kelompok. Manisnya hasil usaha juga belum dirasakan Ny. Eka (30), seorang pemandu wisata di kawasan pariwisata “Volcano Tour” di Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman. K e m a m p u a n b e r b a h a s a (bersambung ke hlm. 8)
LAYANG PRB
URUN REMBUG TAJUK
MERAPI
YANG KAYA POTENSI Erupsi Merapi 2010 memang telah menghancurkan dan merugikan kehidupan di sekitarnya. Namun ternyata di balik itu, terdapat banyak berkah yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk bertahan hidup pascatertimpa bencana. Dalam jangka pendek, material vulkanik Merapi berupa batu, kerikil, dan pasir yang telah mengisi alur-alur sungai merupakan komoditas tambang bernilai jual tinggi sebagai bahan baku pembuatan bangunan. Penambangan pasir marak dijumpai di bantaran Sungai Gendol dan Sungai Opak (Sleman, DI Yogyakarta), Sungai Woro (Klaten, Jawa Tengah), dan Sungai Putih (Magelang, Jawa Tengah). Sisa-sisa lintasan awan panas dan lahar dingin menghasilkan pemandangan bentang alam baru. Hamparan pasir kelabu di lereng Merapi yang nyaris tidak terhalang vegetasi menarik minat ribuan orang untuk menyaksikan keindahan panorama alam itu. Tingginya jumlah kunjungan telah membuka kesempatan bagi warga Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, untuk memulai usaha pariwisata terpadu “Volcano Tour�. Potensi pariwisata ini mendatangkan efek domino berupa meningkatnya permintaan akan suvenir dan oleh-oleh. Peluang inilah yang ditangkap oleh sebagian masyarakat lain, utamanya perempuan, untuk merintis usaha skala rumah tangga, seperti produksi makanan olahan dan kerajinan batik bermotif khas lereng Merapi. Lahan-lahan pertanian dan perkebunan yang musnah pascaerupsi M erapi juga telah menginspirasi sejumlah pihak untuk mengupayakan pertanian lahan sempit bagi masyarakat, seperti budidaya jamur. Hal ini sudah mulai dikembangkan warga Desa Kepuharjo dan Wukirsari di Sleman dengan potensi pasar luas. Untuk jangka panjang, endapan letusan yang kaya beragam unsur hara akan meningkatkan kesuburan tanah di sekitar lereng Merapi. Ini merupakan masa depan cerah bagi sektor pertanian, perkebunan, dan pertanian. Terlebih, pemerintah masih memperbolehkan area terdampak langsung erupsi Merapi dan lahar dingin untuk dijadikan kawasan pertanian. Beragam potensi tersebut seolah menyadarkan kita bahwa erupsi Merapi 2010 sesungguhnya bukanlah sebuah akhir, melainkan awal baru yang menjanjikan kesejahteraan. Kini, tantangannya adalah bagaimana cara mengolah potensi-potensi tersebut sebagai mata pencaharian baru yang menghidupi sekaligus membangun ketangguhan masyarakat terhadap bencana. (*)
Eling lan waspada ngadepi bebaya
Edisi Juli-Agustus 2012
2
Ir. Budi Antono, M.Si :
PEMULIHAN PEREKONOMIAN
JADI PRIORITAS
Satu setengah tahun sudah erupsi Merapi dan banjir lahar dingin berlalu. Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, dengan berpedoman pada Rencana Aksi (Renaksi) Rehabilitasi dan Rekonstruksi, kini tengah giat memulihkan kondisi fisik wilayah dan sosial warga pascabencana melalui optimalisasi lima sektor di dalam dokumen Renaksi, antara lain perumahan, infrastruktur, ekonomi produktif, sosial, dan lintas sektor. Demikian disampaikan Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi DI Yogyakarta, Ir. Budi Antono, M.Si, Senin (2/7). Menurut Pak Anton demikian beliau disapa, pada dasarnya semua sektor sama-sama penting, namun ada yang menjadi prioritas bagi pemerintah daerah untuk segera dikerjakan. Prioritas utama adalah perumahan. Pemerintah harus menuntaskan relokasi warga terdampak erupsi Merapi dari hunian sementara (huntara) menuju hunian tetap (huntap) secepatnya. Dikatakan Pak Anton, Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta akan membangun 3.023 huntap. Sebanyak 736 huntap sudah berdiri dan dihuni, sementara sisanya akan terus dibangun hingga akhir 2013. Untuk prioritas selanjutnya, lanjut mantan Kepala Bagian Pengairan Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Provinsi DIY ini, telah terjadi perubahan dari pemulihan infrastruktur wilayah menjadi ekonomi produktif. “Ekonomi produktif diprioritaskan karena pemindahan dari huntara ke huntap tidak hanya memindahkan barang mati, melainkan juga memindahkan manusia yang mempunyai rasa dan jiwa, dan mempunyai mata pencaharian. Kegiatan ekonomi produktif itu secara tidak langsung harus mengikuti relokasi masyarakat dari huntara ke huntap,� papar Pak Anton. Ia pun memahami kesulitan warga terdampak erupsi Merapi untuk beradaptasi dengan kehidupan baru. Sebagian besar dari mereka tidak bisa lagi kembali menekuni mata pencaharian asli, seperti bertani dan beternak, karena aset lahan dan hewan ternak rusak. Untuk bertahan hidup, mereka
memerlukan mata pancaharian baru yang bisa dijadikan sumber pendapatan tetap. Solusi yang dibutuhkan, lanjutnya, ialah mengusahakan mata pencaharian baru dan alternatif bagi warga. Namun, upaya ini juga menghadapi sejumlah tantangan. Diperlukan kajian menyeluruh mengenai penentuan jenis mata pencaharian yang cocok terhadap kemampuan warga dan potensi lingkungan. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat, institusi pendidikan, dan perusahaan swasta, melalui program pengabdian masyarak at maupun Corporate Social Responsibility (CSR) hadir di Merapi untuk memulihkan ekonomi warga sejak masa tanggap darurat. Mereka mengembangkan sektor pengolahan makanan, kerajinan, hingga pertanian budidaya. Walau begitu, tidak semua kegiatan ini bertahan lama karena umumnya dilaksanakan tanpa perencanaan matang dan menyeluruh. Pemerintah juga sudah memulai upaya pemulihan ekonomi secara bertahap. Langkah ini menjadi bagian dalam fasilitasi pembuatan huntap. Pemerintah memberikan kaveling tanah seluas lebih kurang 100 meter persegi dengan luas bangunan huntap sekitar 36 meter persegi. Artinya, ada sisa lahan yang cukup luas bagi warga untuk memulai kegiatan ekonomi dari rumah.
Ekonomi produktif diprioritaskan karena pemindahan dari huntara ke huntap tidak hanya memindahkan barang mati, melainkan juga memindahkan manusia yang mempunyai rasa dan jiwa, dan mempunyai mata pencaharian. Kegiatan ekonomi produktif itu secara tidak langsung harus mengikuti relokasi masyarakat dari huntara ke huntap Ter lepas dar i belum sempur nanya pemulihan perekonomian dari pemerintah dan swasta, Pak Anton bersyukur bahwa masyarakat tidak berpangku tangan dan hidup mengandalkan bantuan semata. Di sejumlah wilayah, masyarakat yang menghuni huntara sudah aktif mencari penghidupan baru, seperti menambang pasir, membuat batako, dan membuat makanan olahan. Demi memudahkan langkah ini, ia mengimbau pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat yang bekerja pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi untuk membantu menjembatani komunikasi antara masyarakat terdampak dengan pemerintah. Dengan demikian, ekonomi warga dapat terus membaik sehingga pada akhirnya nanti dapat benarbenar pulih seperti sedia kala. (YOG)
LAYANG PRB
INFO JOGJA
Edisi Juli-Agustus 2012
3
WARGA MULAI BONGKAR HUNTARA SLEMAN – Ratusan warga terdampak erupsi Merapi yang tinggal di hunian sementara Dongkelsari, Kuwang, dan Gondang II, Kecamatan Cangkringan, Sleman membongkar rumah mereka secara swadaya. Upaya itu dilakukan untuk mempercepat proses relokasi dan pembangunan hunian tetap. Seperti diungkapkan oleh Rubiso, Kepala Dusun Ngepringan, Wukirsari, yang mendiami hunian sementara (huntara) Gondang II, pembongkaran berlangsung sejak akhir Juni secara bertahap. Jumlah warga yang membongkar huntara mencapai 200 kepala keluarga (KK). Menurut rencana, sebagian dari mereka akan pindah ke hunian tetap (huntap) Pagerjurang. “Saat ini kami tinggal di sebagian rumah huntara di Gondang II yang sudah kosong. Penghuni lama huntara itu sudah pindah ke huntap Batur. Menurut rencana, lokasi huntara
Kondisi Hunian Sementara di Gondang II yang sudah dibongkar secara mandiri oleh warga, di Kecamatan Cangkringan, Sleman, Kamis 12/7.
MERAPI MASUKI MUSIM KEMARAU YOGYAKARTA - Mulai penghujung Juni 2012, curah hujan di kawasan Gunung Merapi dan sekitarnya terus berkurang. Musim kemarau ditengarai sedang berlangsung. Warga di sekitar Merapi diimbau siaga dan mengantisipasi potensi kekeringan yang mungkin terjadi. Penurunan curah hujan di Kabupaten Sleman bagian utara atau di sekitar puncak Merapi, hasil pantauan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta, adalah dari 125 mm (Juni) menjadi 63 mm (Juli). Hasil pantauan ini diperkuat oleh hasil pengukuran curah hujan di berbagai pos pengamatan Merapi, yakni di Pos Kaliurang, Ngepos, Babadan, Jrakah, dan Selo selama Juli 2012, yang nyaris nihil atau tanpa hujan. Menilik pola musim kemarau tahun lalu, BMKG memperkirakan musim kemarau kali ini akan berlangsung selama 4-6 bulan. Pada tahun 2011, hujan mulai berhenti turun bulan Juli dan berakhir sekitar pertengahan November. Kemarau yang berimbas pada kekeringan akan menyebabkan warga yang tinggal di lereng Merapi
Eling lan waspada ngadepi bebaya
yang kami bongkar juga akan dijadikan lokasi huntap,” kata Rubiso, Selasa (17/7). Warga juga mengambil sebagian besar material huntara seperti kayu, bambu, dan batako, untuk digunakan sebagai tambahan bagi pembangunan huntap mereka. Terlihat pula beberapa mobil bak terbuka mondar-mandir mengangkut material tersebut dari lokasi huntara menuju huntap. Sementara itu, sekitar 147 KK dari Dusun Gungan, Desa Wukirsari yang ada di huntara Dongkelsari juga membongkar rumah mereka. Pembongkaran huntara secara mandiri juga dilakukan oleh masyarakat yang berada di Kuwang, Desa Argomulyo. Proses tersebut dilakukan secara nyaris bersamaan. Pembangunan huntap nantinya juga akan berlangsung di atas lahan yang sama. Dalam keterangan resmi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Ketua Tim Pendukung Teknis Rehabilitasi dan Rekonstruksi (TPT RR) Pascabencana Erupsi Gunung Merapi, Soetrisno, memastikan bahwa pembongkaran tersebut murni atas inisiatif dari masyarakat sendiri. “Tidak ada paksaan dari pemerintah atau pelaksana lapangan yang bertugas untuk membangun huntap,” demikian tegas Soetrisno. Pernyataan ini juga didukung oleh warga Wukirsari, Subadi, yang bekerja sebagai petani. Menurutnya, warga tidak mau sekadar berdiam diri menunggu proses pembongkaran dilakukan oleh pemerintah. Karena itu, mereka sepakat bersama-sama membongkar sendiri huntara dan pindah ke lokasi huntara lain yang sudah kosong. Saat ini, masyarakat Wukirsari bertempat tinggal sementara di barak yang bertempat di Balai Desa Wukirsari, huntara Gondang II, dan Gondang III. Selain di tiga lokasi tersebut, ada juga masyarakat yang memilih untuk tinggal di rumah keluarganya yang lain. Dihubungi terpisah, Sriyono, Koordinator Bidang Relokasi dan Pertanahan TPT RR Merapi mengatakan bahwa pembangunan huntap Dongkelsari menggunakan tanah kas desa. Menurut Sriyono, proes selanjutnya dari pembongkaran itu adalah pembersihan lahan yang rencananya berlangsung pada minggu keempat Juli hingga Agustus 2012. Huntap Kuwang juga direncanakan akan dibangun di atas tanah kas desa untuk 332 KK korban erupsi dan banjir lahar dingin dari Dusun Teplok, Cangkringan Bakalan, Suruh, Gadingan, Guling, Banaran, Jetis, Jaranan, Panggung, Kliwang, dan Karanglo. Pemerintah menargetkan pada awal 2013, seluruh huntap akan selesai dibangun. (YOG)
kesulitan mendapat air. Sumur-sumur resapan dangkal akan mengering lebih cepat, sehingga sumber air hanya mengandalkan sumur bor dalam. Mata air di sekitar Merapi juga belum seluruhnya pulih akibat pergeseran struktur geologis tanah dan batuan pascaerupsi 2010. Kekeringan juga memicu kerapuhan dan guguran material-material lepas di tebing-tebing lereng Merapi. Warga yang bekerja sebagai penambang pasir diimbau untuk berhati-hati dan menghindari longsoran material. Debu yang muncul juga membahayakan kesehatan, terutama memicu gangguan pernapasan, sehingga masker wajib dikenakan. Meskipun belum parah, warga Sleman, Klaten, dan Magelang yang tinggal di lereng Gunung Merapi sudah merasakan dampak kekeringan. Apabila masalah itu tidak diantisipasi segera, dikhawatirkan terjadi krisis air. Selain dipakai untuk konsumsi dan rumah tangga, air juga
LAYANG PRB
digunakan untuk proses pendirian hunian tetap (huntap). M enurut Tulus, S ek retaris Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, kesulitan air dirasakan warga yang mendiami huntap Dusun Batur. Sebelumnya, warga memperoleh air dari sumber mata air Kali Kuning, namun beberapa hari ini mulai terasa berkurang. “Sebenarnya saat ini belum terlalu berdampak, karena warga masih bisa kembali ke hunian sementara mereka di Gondang I untuk mengambil air. Namun, jika sampai beberapa minggu tidak ada suplai air, warga kami terpaksa harus membelinya,” ujar Tulus, Kamis (12/7). Selain itu, kekeringan juga membuat sejumlah peternak sapi di Boyolali mulai kesulitan memperoleh rumput. Menurut sejumlah peternak di Cepogo, Boyolali, banyak ternak kini susut bobotnya akibat kurang makan. Ini membuat petani mengurungkan niat menjual sapi karena harganya turun. (YOG)
PENANGGUNG JAWAB PRODUKSI : Diana Setiawati (IOM), Danang Samsurizal (Koordinator Forum PRB DIY) PENYUNTING : Diana Setiawati, Yoga Putra (IOM ), Aris Sustiyono (Forum PRB DIY), Mariana Pardede (Forum PRB DIY) REPORTER : Yoga Putra LAYOUT : Sampur Ariyanto (IOM) FOTOGRAFER : Sampur Ariyanto, Yoga Putra, Al Akbar Abubakar (IOM) KONTRIBUTOR : Jerri Irgo Saputra, Aris Sustiyono Alamat Redaksi : Gedung KESBANGLINMAS DIY Lt 2, Jl Sudirman No 5, Yogyakarta Redaksi Layang PRB menerima tulisan opini sepanjang 5000 karakter (termasuk spasi) dilengkapi biodata singkat penulis. Bagi tulisan yang dimuat, redaksi akan memberikan honor sepantasnya
LAYANG PRB
INFO JATENG
Edisi Juli-Agustus 2012
4
Info Magelang
PENAMBANGAN PASIR ANCAM USIA TANGGUL MAGELANG - Penambangan pasir secara intensif di tepi Sungai Putih dan Sungai Pabelan telah mengancam keberadaan tanggul penahan aliran lahar dingin. Selain menimbulkan kerugian, penambangan juga akan membahayakan keselamatan warga sekitar apabila banjir lahar dingin terjadi lagi. Kerusakan tanggul dapat terlihat di berbagai lokasi, antara lain di Dusun Candi, Desa Sirahan, Kecamatan Salam, dan di dekat SMK Negeri I Salam. Tanggul tersebut dibangun oleh Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana untuk mencegah erosi lanjutan di tepi sungai pascaterjangan banjir lahar dingin tahun 2011. Fungsi vital ini agaknya tidak diperhatikan oleh para penambang pasir. Lebih dari setahun terakhir para penambang bebas berkeliaran di sepanjang tepi Sungai Putih dan Pabelan. Harga pasir Merapi yang tinggi, minimal Rp150.000 per truk, disertai permintaan yang tidak putus, membuat penambangan sulit untuk dikendalikan. Warga yang berdomisili di sekitar tanggul sungai sebenarnya khawatir akan akibat aktivitas penambangan ini. Hanya saja, mereka tidak mampu berbuat banyak. “Kami hanya bisa melihat dan merasa risau. Kami sudah melaporkan hal ini kepada pemerintah desa dan kecamatan,� ujar Eko, warga Sirahan. Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, juga sudah mengetahui ancaman ini. Ia meminta agar Pemerintah Kabupaten Magelang untuk menyikapinya serius dan menghentikan praktik penambangan. Jika diteruskan, kegiatan penambangan akan merusak tanggul yang dibangun dengan biaya ratusan miliar tersebut. Tindak lanjut dari instruksi gubernur ini pun sudah terlihat. Sejak akhir Juni lalu, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) tampak aktif menghalau para penambang pasir. Penertiban dilakukan terhadap penambang tradisional maupun penambang modern dengan alat berat. Namun, belum ada informasi mengenai upaya pembenahan bagi tanggul-tanggul yang sudah telanjur rusak. Warga ber harap per baik an tanggul segera dilaksanakan pada musim kemarau, ketika banjir lahar dingin tidak mengancam. Apabila terlambat, maka tidak dapat dibayangkan dampak yang akan terjadi apabila tanggul sampai jebol lagi akibat terjangan banjir lahar dingin dengan materi batu dan pasir. Terlebih, beberapa warga terdampak banjir lahar dingin 2010 kini sudah kembali ke rumahnya masingmasing yang berada dekat dari bibir sungai. Belum adanya kepastian relokasi warga terdampak dari hunian sementara menuju hunian tetap membuat mereka memilih pulang ke rumah asal. (YOG)
Eling lan waspada ngadepi bebaya
C I P
Para penambang sedang menggali pasir di sekitar tanggul di Sungai Putih, tepatnya di belakang SMK Negeri 1 Salam, Magelang, Aktivitas ini mengakibatkan tanggul menjadi rawan longsor atau rusak , Kamis (31/7).
MERAPI KELUARKAN ASAP DAN HUJAN ABU MAGELANG - Gempa vulkanik dangkal yang terjadi di Gunung Merapi, Minggu (15/7) sore, memicu terjadinya guguran material di bagian puncak selama beberapa menit. Material halus berupa pasir dan abu yang terbawa hembusan angin terlihat bagaikan asap dari kejauhan. Angin juga membawa abu halus hingga ke lereng sehingga jatuh di pemukiman warga. Menurut penuturan warga lereng Merapi yang tinggal di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, suara gemuruh akibat guguran material itu terdengar sekitar pukul 18.00 WIB. Sesaat kemudian, hujan abu tipis turun selama beberapa jam. Suara gemuruh juga terdengar oleh warga Kabupaten Boyolali, terutama di Kecamatan Selo, serta di Kabupaten Klaten. Kepala Desa Jrakah, Kecamatan Selo, Tumar, saat dihubungi mengakui bahwa bunyi gemuruh itu cukup keras dan diikuti dengan asap yang membumbung tinggi. Warga sempat panik, namun pihaknya meyakinkan warga bahwa tidak terjadi sesuatu yang buruk. “Sirine tanda bahaya belum berbunyi. Itu menjadi salah satu pedoman kami untuk menyelamatkan diri,� ujarnya. Data Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta menunjukkan gempa vulkanik dangkal yang menyebabkan material di puncak Merapi luruh terjadi sekitar pukul 17.42 WIB. Guguran material baru terjadi sekitar pukul 18.00 WIB dan suaranya menggema selama kira-kira lima menit kemudian. Material halus langsung terbawa angin dan membumbung hingga ketinggian sekitar 1.000 meter. Ketika itu, kondisi angin memang cukup kencang dari segala arah, namun dominan menuju barat dan barat daya. Kepulan asap yang mengarah ke barat tersebut dapat
terlihat, meskipun tidak terlalu jelas, dari seluruh pos pengamatan yang ada, yakni di Pos Babadan, Selo, Ngepos, dan Jrakah. Namun demikian, BPPTK tidak menaikkan status kewaspadaan Gunung Merapi, sehingga sampai saat ini Merapi tetap berada pada level normal. BPPTK juga menyatakan bahwa gunung ini tidak mengalami letusan apa pun. Hujan abu yang terjadi pada Minggu malam tersebut tidaklah sama dengan hujan abu sebelum erupsi 2010. Selain itu, dinamika kegempaan yang terjadi juga masih dalam taraf normal. Imbauan kepada warga agar tidak panik juga terus disampaikan oleh petugas dan perangkat pemerintah lokal di lapangan. Kendati sempat membuat kaget, tidak ada pergerakan massa yang berarti dari desa-desa di sekitar Merapi menuju lokasi pengungsian. Setelah hujan abu reda, masyarakat pun kembali ke huniannya masingmasing untuk beristirahat. Hingga keesokan harinya, Merapi tetap tenang dan tampak cerah. Kenyataan ini membuat situasi sosial kehidupan masyarakat kondusif dan berjalan seperti biasa. Walaupun demikian, sejumlah relawan bencana tetap diminta untuk siaga dan tanggap memberikan laporan terakhir dari perkembangan situasi di puncak Merapi melalui jaringan radio dan handy talky (HT). BPPTK juga mengimbau masyarakat untuk sementara waktu tidak naik Gunung Merapi. Kondisi bebatuan di bagian lereng atas dan puncak dikhawatirkan masih labil sehingga longsor maupun guguran material sewaktuwaktu dapat terjadi dengan mudah. Peringatan ini juga diberikan kepada para penambang pasir yang bekerja di lereng Merapi. (YOG)
LAYANG PRB
INFO FORUM PRB
Edisi Juli-Agustus 2012
5
LONGITUDINAL STUDY UNTUK PEMBANGUNAN YANG LEBIH BAIK YOGYAKARTA - Forum Pengurangan Risiko Bencana Provinsi DI Yogyakarta, didukung United Nation Development Program (UNDP) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), melaksanakan Baseline Survey di sejumlah komunitas terdampak erupsi Merapi 2010. Survei ini merupakan bagian dari kegiatan Longitudinal Study (LS) guna memantau dan mengevaluasi proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascaerupsi secara berkala. Seperti disampaikan Team Leader LS, Juli E. Nugroho, dalam laporan awal tim beberapa waktu lalu, LS merupakan instrumen untuk mengukur tingkat pemulihan kehidupan dan ketahanan terhadap bencana pada masyarakat yang terdampak bencana. LS sekaligus juga merupakan implementasi dari amanat Peraturan Kepala BNPB No. 17 Tahun 2010 tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi mengenai prinsip pembangunan yang lebih baik, prinsip pengurangan resiko bencana, dan prinsip keberlanjutan dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.
“Longitudinal Study mengukur kondisi populasi secara periodik terhadap indikator-indikator kesejahteraan tertentu seperti pendapatan, belanja, kepemilikan aset, akses terhadap layanan dasar, nutrisi, kesehatan, pendidikan, termasuk ketahanan komunitas terhadap bencana,” jelasnya. Survei LS dilakukan dengan mewawancarai rumah tangga dan komunitas dari bulan Mei hingga November 2012, dan mengadakan diskusi kelompok terarah. Teknik pengambilan sampel yang relevan digunakan dalam LS adalah judgement sampling dengan jenis purposive sampling. Pada akhirnya, dapat diketahui proses pemulihan keadaan sosial ekonomi yang diukur dari seberapa besar tingkat ketahanan mereka terhadap bencana dan seberapa jauh program bantuan telah mencapai sasaran. Pertanyaan yang digunakan dalam wawancara adalah pertanyaan ke belakang, antara lain mengenai keadaan rumah tangga dan komunitas sesaat sebelum erupsi Merapi. Pelaksanaan LS berlangsung di tiga wilayah, yakni Area
Terdampak Langsung Letusan (ATLL) yang diterjang awan panas pada erupsi Merapi 2010 dan menimbulkan korban jiwa, kerusakan permukiman, infrastruktur, serta vegetasi, kemudian Area Terdampak Letusan (ATL) yang terlanda awan panas pada erupsi Merapi 2010, baik karena aliran/jatuhan materi piroklastik, efek panas, dan kimia gas tetapi tidak menimbulkan korban jiwa, kerusakan pemukiman, infrastruktur dan vegetasi, kemudian terakhir adalah Area Terdampak Lahar Hujan (ATLH) yang terlanda lahar hujan yang menimbulkan korban kerusakan pemukiman, infrastruktur, dan vegetasi. Diharapkan LS juga dapat melihat strategi individu bertahan hidup setelah bencana, termasuk perubahan sosial ekonomi rumah tangga dan komunitas, serta sejauh mana pencapaian program-program bantuan. Untuk selanjutnya, perubahan itu dapat dimonitor dari waktu ke waktu melalui survei tahunan, sehingga LS kali ini dapat dijadikan acuan dasar bagi pemantauan kondisi daerah pascabencana di provinsi-provinsi lain di Indonesia. (Tim Survei Longitudinal Merapi)
Info AMCDRR
KEARIFAN LOKAL DALAM INTEGRASI API DAN PRB YOGYAKARTA - Perubahan iklim merupakan fenomena global yang dirasakan oleh masyarakat di hampir seluruh belahan dunia. Pergeseran pola cuaca dunia telah berdampak langsung terhadap meningkatnya peluang terjadinya bencana alam dan menuntut masyarakat untuk dapat melakukan dua antisipasi sekaligus: beradaptasi terhadap perubahan iklim dan mengurangi risiko bencana di lingkungan mereka. Adaptasi ini telah berkembang di kalangan masyarakat dalam wujud kearifan lokal. Demikian mengemuka dari hasil beberapa diskusi kelompok terarah, penelitian, dan wawancara mendalam terhadap kelompok-kelompok masyarakat di Provinsi DI Yogyakarta. Masyarakat ternyata telah lama beradaptasi terhadap perubahan iklim sekaligus mengantisipasi kebencanaan berdasarkan naluri dan kebiasaan setempat. Temuan ini dibahas dalam Lokakarya Hasil Penelitian Integrasi Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana dalam Rencana Pembangunan di Provinsi DI Yogyakarta, di Rumah Tembi, Bantul, Rabu (5/7). Lokakarya ini merupakan tindak lanjut dari pembentukan Kelompok Kerja I the 5th Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR) yang akan berlangsung di Yogyakarta, 22-25 Oktober 2012 mendatang. Di kawasan Gunung Merapi, misalnya, masyarakat belum mampu menjelaskan perubahan iklim, namun dapat mengidentifikasinya melalui tanda-tanda salah “mongso” (musim). Selama beberapa tahun terakhir memang telah terjadi ketidakwajaran musim di sekitar wilayah tersebut.
Eling lan waspada ngadepi bebaya
Pemaparan hasil penelitian kelompok kerja I the 5th AMCDRR mengenai integrasi Adaptasi Perubahan Iklim (API) dan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Bantul, Rabu (4/7).
“Sejak 2007, warga sudah bisa merasakan perubahan suhu lingkungan yang semakin panas. Apabila dulu di lereng kaki sudah merasa dingin, akhir-akhir ini mereka tidak lagi merasakan demikian,” demikian papar Sumino
dari Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan. Temuan serupa juga terlihat pada hasil penelitian di masyarakat pesisir di Desa Jangkaran, Temon, Kulon Progo, dan perbukitan karst di Desa Purwodadi, Tepus, Gunung Kidul. Pada umumnya masyarakat sudah tahu apa yang harus mereka lakukan, antara lain penanaman pohon dan mengadakan tabungan bencana di beberapa desa. Namun upaya-upaya ini belum terintegrasi dalam satu kesatuan konsep karena masyarakat masih belum dapat membedakan praktik PRB dan API. Untuk itu, perlu dukungan berupa peningkatan pengetahuan dan pemahaman kepada kelompokkelompok yang ada di masing-masing komunitas, serta peran pemerintah daerah dalam menyusun kerangka rencana pembangunan daerah yang terpadu dengan turut serta melibatkan unsur adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana di dalamnya. (YOG)
LAYANG PRB
OPINI
Edisi Juli-Agustus 2012
PENDEKATAN RANTAI NILAI:
STRATEGI DINAMIS DALAM MEMETAKAN DAN MENDESAIN PROGRAM PEMULIHAN UMKM PASCABENCANA MERAPI 2010 Oleh :
Jerri Irgo Saputra Value Chain Analysis Specialist Premis pendekatan yang digunakan pada upaya pemulihan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang terkena dampak bencana erupsi Merapi 2010 adalah bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mendorong terwujudnya masyarakat desa/kelurahan tangguh dalam menghadapi bencana yang lebih terarah, terencana, terpadu, dan terkoordinasi, serta mendorong sinergi untuk saling melengkapi dengan seluruh program yang ada di desa/kelurahan yang dilaksanakan oleh kementerian/ lembaga atau organisasiorganisasi nonpemerintah lainnya, termasuk sektor swasta, melalui Program Pengembangan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Pendekatan yang digunakan Indonesian Multi Donor Fund Facility for Disaster Recovery (IMDFF-DR) untuk mencapai tujuan itu, dalam memetakan dan mendesain program pemulihan UMKM Pascabencana Merapi 2010, menggunakan Pendekatan Rantai Nilai (Value Chains Approach/VCA). Pengembangan konsep VCA bukanlah hal baru. Meskipun demikian, ada beberapa karakteristik VCA yang membedakannya dari pengalaman satu dengan pengalaman lainnya, tetapi tetap relevan dalam menentukan kualitas dan dampaknya pada pertumbuhan ekonomi di wilayah yang telah ditentukan. VCA adalah suatu kompilasi sistematis dari metode-metode yang berorientasi kepada action-oriented methods untuk memajukan pembangunan ekonomi dengan perspektif rantai nilai. VCA menyediakan pengetahuan praktis yang esensial mengenai bagaimana mengembangkan lapangan kerja dan pendapatan bisnis perusahaan berskala mikro dan kecil, dengan cara memajukan rantai nilai tempat UMKM melakukan usahanya.
Eling lan waspada ngadepi bebaya
VCA dapat didefinisikan secara sempit maupun luas. Pada definisi dalam arti sempit, suatu rantai nilai mencakup serangkaian kegiatan yang dilakukan di dalam suatu perusahaan untuk menghasilkan keluaran tertentu. Kegiatan ini mencakup tahap pembuatan konsep dan perancangan, proses diperolehnya input/sarana produksi, proses produksi, kegiatan pemasaran dan distribusi, serta kinerja layanan purna jual. Seluruh kegiatan tersebut membentuk keseluruhan 'rantai' yang menghubungkan produsen dan konsumen, dan tiap kegiatan menambahkan 'nilai' pada produk akhir. Misalnya, adanya layanan dan perbaikan purna jual, hal tersebut dapat meningkatkan nilai produk secara keseluruhan karena konsumen mungkin akan bersedia membayar lebih mahal untuk mendapatkan produk atau jasa yang menawarkan layanan purna jual yang baik. Hal serupa juga berlaku bagi produk hasil rancangan inovatif atau hasil dari produksi yang dikontrol secara ketat. Misalnya, pada usaha makanan olahan, sistem yang tepat untuk menyimpan bahan baku segar (contoh: buah-buahan) akan secara positif berdampak pada kualitas produk akhir, dan dengan demikian akan meningkatkan nilai produk tersebut. Definisi Pendekatan Rantai Nilai berdasarkan pendekatan yang luas melihat berbagai kegiatan kompleks yang dilakukan oleh berbagai pelaku (produsen utama, pengolah, pedagang dan penyedia jasa) untuk membawa bahan baku melalui suatu rantai hingga menjadi produk akhir yang dijual. Rantai nilai yang 'luas' ini dimulai dari sistem produksi bahan baku yang akan terus terk ait dengan kegiatan usaha lainnya dalam perdagangan, perakitan, pengolahan, dan lain-lain. Pendekatan luas ini tidak hanya melihat pada kegiatan yang dilakukan oleh satu usaha. Pendekatan ini justru mencakup semua hubungan baik yang bergerak maju ataupun mundur, sampai ketika bahan baku produksi tersebut akhirnya terhubung dengan konsumen akhir. Definisi lain VCA adalah suatu kompilasi sistematis dari metodemetode yang beror ientasi kepada action-oriented methods untuk memajukan pembangunan ekonomi dengan perspektif rantai
Foto : Doc. Pribadi (Jeri Irgo)
6
nilai. VCA menyediakan pengetahuan praktis yang esensial mengenai bagaimana mengembangkan lapangan kerja dan pendapatan bisnis perusahaan berskala mikro dan kecil, dengan cara memajukan rantai nilai tempat mereka beroperasi. VCA dimaksudkan untuk digunakan oleh development projects atau lembaga publik yang mengembangkan bisnis tertentu, misal home industry atau sub-sektor ekonomi industri, jadi bukan berfokus pada satu sektor secara spesifik. Selain itu, rantai nilai berfokus pada product markets yang menawarkan kesempatan berkembang bagi kelompok masyarakat marjinal. Pengembangan VCA adalah suatu pendekatan sistemis dalam pembangunan ekonomi. Sebuah VCA adalah sebuah sistem ekonomi yang terdiri dari operator rantai, penyedia jasa operasional, dan business linkages mereka di level mikro, dan penyedia jasa pendukung di level meso. Semua operator yang menambah nilai pada produk akhir yang dipasarkan (mulai dari bahan mentah sampai ke konsumen final) dianggap sebagai bagian dari rantai nilai. VCA yang dilakukan dalam program pemulihan mata pencaharian Merapi yang didukung IMDFF-DR, khususnya untuk industri rumah tangga dan sektor pariwisata sedikit berbeda yaitu mengkombinasikan pada orientasi market based solution dan action-oriented serta membuat kompilasi pengetahuannya melalui analisis pengalaman terkini di lokasi yang telah ditentukan. Adapun lokasi tersebut terletak di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, meliputi Desa Umbulharjo, Desa Kepuharjo, Desa Wukirsari dan Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, di Desa Jumoyo. Tahapan yang dilakukan, dimulai dari menyeleksi rantai nilai, selanjutnya menganalisis rantai nilai, mengidentifikasi dan menyusun kelayakan market based solution termasuk melakukan penilaian market based solution. Tahapan selanjutnya melakukan identifikasi dan pemilihan kegiatan melalui fasilitasi lembaga penyedia jasa layanan pendukung. Metode yang digunakan untuk menilai market based solution diidentifikasi dalam penilaian meliputi: identifikasi penyedia yang ada/potensi pasar yang ditargetkan berbasis solusi, tantangan terhadap kelangsungan hidup komersial dari solusi yang ditargetkan, kepuasan dan kesadaran berbasis pasar solusi saat ini disediakan serta jumlah UMKM yang dapat manfaat dari solusi berbasis pasar. Tahap terakhir, adalah mengembangkan sistem pengukuran kinerja berdasarkan intervensi yang telah diidentifikasi. Sistem ini mencakup indikator untuk UMKM melakukan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dalam sistem pengukuran kinerja ini juga termasuk indikator untuk mengukur keberlanjutan dampak. Catatan penting bahwa pada semua tahapan tersebut, tetap memperhatikan empat aspek manajemen, yaitu aspek pasar, aspek produk, aspek sumber daya manusia, dan aspek keuangan. Melalui pemetaan tersebut, bagi UMKM yang terlibat akan mendapatkan nilai tambah (value added), selain keterlibatan aktif dalam mendesain program juga akan mengetahui tantangan serta peluang yang ada.
LAYANG PRB
PROFIL
Edisi Juli-Agustus 2012
MENANTANG ADRENALIN BERSAMA “VOLCANO TOUR” Gunung Merapi pascaerupsi 2010 seolah tampil dengan “wajah” baru yang ekstrem. Lereng dan tebingnya yang dulu rimbun pepohonan, kini berganti hamparan batu dan pasir hasil lungsuran awan panas. Jeram-jeram sungai pun kering akibat dasarnya menebal tertutup lahar dingin. Sajian alam itu dapat dinikmati dengan cara yang tidak kalah “ekstrem”. Lupakan berjalan kaki atau hiking, sekarang waktunya naik motor trail dan mobil jip. Pilihan sarana otomotif inilah yang sesuai untuk menjelajah keindahan Merapi melalui paket wisata “Volcano Tour” di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Provinsi DI Yogyakarta. Wisatawan bebas menentukan kendaraan, rute, dan durasi tur sesuai keinginan. Mulai dari Rp 250.000 untuk paket perjalanan dua jam menggunakan mobil jip atau Rp 50.000 jika menyewa motor trail. Rute yang ditempuh mencapai 20 kilometer, dimulai dari kawasan Kinahrejo, makam Mbah Maridjan (mantan juru kunci Gunung Merapi), menyusuri Kali Gendol, Kali Opak, dan Kali Adem dan kembali ke Kinahrejo. Sepanjang perjalanan, pengunjung dapat berhenti di tempat-tempat berpanorama indah untuk sekadar melepas lelah dan berfoto-foto. Menurut penuturan Sriyono, Pengelola “Volcano Tour”, Kamis (5/7), paket wisata ini sebenarnya sudah ditekuni warga Umbulharjo sejak 2006. Ketika itu namanya “Lava Tour” karena tujuan wisata utama adalah menyaksikan letupan dan lelehan lava pijar di kawah puncak Merapi dari
Eling lan waspada ngadepi bebaya
jarak jauh. Seiring waktu berjalan, komunitas pariwisata minat khusus itu terus berkembang. Perlahan-lahan, Umbulharjo tumbuh sebagai kawasan turis dengan munculnya penginapan, warung makan, dan pusat kegiatan luar ruangan. Jika dirata-rata per hari, jumlah kunjungan kala itu mencapai ratusan orang. Setelah Merapi kembali meletus pada Oktober 2010, “Lava Tour” terpaksa berhenti total. Letusan yang lebih dahsyat menghancurkan lokasi wisata Kaliadem dan Kinahrejo, serta menghilangkan jalur wisata yang terbentuk. Nyaris tidak ada yang tersisa kecuali puing hunian dan arang. Pemerintah menyatakan masa tanggap darurat dan menutup Merapi dari segala kegiatan. Barulah pada 2011, area terdampak langsung awan panas di Umbulharjo dapat didatangi warga. Jumlah kunjungan pun membludak karena banyak warga yang penasaran dengan kondisi terkini pascaerupsi Merapi. “Warga Umbulharjo dan warga Kepuharjo, desa lain yang terdampak erupsi, menangkap fenomena ini sebagai peluang melanjutkan usaha pariwisata,” lanjut Sriyono. Warga lalu menyepakati beberapa hal, seperti mengganti nama usaha menjadi “Volcano Tour” karena kali ini tujuan utama adalah menikmati keindahan Gunung Merapi, dan memberlakukan satu pintu masuk bagi pengunjung. Pemerintah pun membebaskan warga dari kewajiban setoran. Pemasukan yang diperoleh murni dipergunakan untuk pembangunan desa dan pemulihan
7
perekonomian warga terdampak erupsi yang masih tinggal di hunian-hunian sementara. Berbagai jenis usaha kini dapat dijumpai kawasan wisata “Volcano Tour”, seperti warung makanan, penjaja suvenir, jasa pemandu wisata, bahkan ojek motor untuk sekadar mengantar wisatawan yang terlalu lelah untuk berjalan kaki pun tersedia. Jumlah anggota komunitas ini terus bertambah hingga ratusan orang karena banyak pula warga dari luar Umbulharjo yang mengadu peruntungan dengan berusaha di Kinahrejo. Kendati terlihat senantiasa ramai, sesungguhnya pelaku usaha “Volcano Tour” belum mengoptimalkan potensi yang mereka miliki. Seperti dikatakan Bambang Sugeng, pelaku usaha “Volcano Tour”, bahwa kelompoknya belum memiliki sistem manajemen usaha yang baik. Selain itu, sarana promosi pun masih sangat terbatas. “Pariwisata Merapi itu amat kompleks, kami membutuhkan bantuan pihak lain untuk bisa membenahi situasi yang sudah berjalan baik ini menjadi lebih baik lagi dan mendatangkan manfaat lebih bagi kesejahteraan kami bersama di masa depan,” ungkap Bambang. Dukungan penting lainnya, ditambahkan Sriyono, adalah infrastruktur yang memadai. Saat ini belum ada bangunan di lokasi “Volcano Tour” yang bisa dijadikan basecamp maupun tempat beristirahat bagi wisatawan. Jaringan jalan pun masih rusak sehingga menyulitkan kendaraan yang hendak masuk ke lokasi wisata. Walaupun masih menemui sejumlah kendala untuk berkembang, kelompok wisata “Volcano Tour” tetap yakin bahwa usaha bersama ini dapat berdampak baik bagi kehidupan mereka. Semangat, senyum, dan sapaan selalu dilontarkan kepada setiap pengunjung. “Volcano Tour” kini telah bangkit kembali. (YOG)
LAYANG PRB
INFO PETA
Edisi Juli-Agustus 2012
8
Menghadapi... (sambungan hlm. 1) Inggris yang rendah menjadi kendala baginya dan juga para pemandu wisata lain untuk dapat meningkatkan penghasilan. Padahal, kunjungan wisatawan asing ke lokasi “Volcano Tour” nyaris tidak pernah sepi. Banyak turis asing yang memang membawa pemandu sendiri, tapi banyak pula yang pergi tanpa diantar siapa pun. Tidak heran kemudian jika wisatawan asing yang sendirian ini kerap terlihat berjalan tidak tentu arah. “Kami tidak memandu turis-turis asing karena terkendala bahasa. Kami hanya memantau dan mengingatkan mereka agar jangan tersasar,” keluhnya. Tantangan pelik dalam upaya perbaikan mata pencaharian pun dirasakan warga Desa Jumoyo, Magelang, Jawa Tengah. Warga terdampak banjir lahar dingin tersebut sesungguhnya sudah mulai memperbaiki penghasilan mereka dengan membuat makanan olahan dari ubi, singkong, dan pisang. Namun, usaha yang sudah dilakukan dengan semangat dan kemampuan yang memadai itu tetap terkesan jalan di tempat. Kendala usaha ini adalah minimnya pasokan bahan
baku karena harus dibeli dari pedagang di pasar-pasar Muntilan dan Kulon Progo. Diakui Hartatik (30), Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Lahara Jumoyo, kendala ini pun berdampak pada penentuan harga jual yang tidak menentu. Produksi juga tidak dapat konsisten, sementara permintaan pasar cenderung terus naik. Potensi VS Tantangan Upaya yang dilakukan warga Kepuharjo, Umbulharjo, dan juga Jumoyo adalah bentuk mata pencaharian baru akibat adaptasi situasi pascabencana. Erupsi Merapi 2010, diikuti banjir lahar dingin, memang telah menghancurkan mata pencaharian asli warga seperti bertani dan beternak. Setelah bencana berlalu, secara naluriah mereka kemudian belajar memanfaatkan potensi-potensi yang ada di sekitar lingkungan untuk diubah menjadi rupiah demi menjaga kelangsungan hidup. Namun, menjalankan usaha dan mengembangkannya tidaklah sederhana seperti yang dibayangkan. Untuk menghasilk an produk yang baik, warga harus menyediakan modal dan bahan baku yang baik pula.
Keterbatasan ekonomi menjadi tantangan utama. Widya Ayu Winarni dari Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Magelang menegaskan bahwa mengalihkan mata pencaharian bagi warga butuh waktu, upaya, latihan, dampingan, dan dukungan sampai usaha itu kokoh. “Setelah itu, barulah mata pencaharian ini menjadi sandaran hidup,” ungkapnya. Pemberian bantuan bagi warga dapat berjalan efektif asalkan melibatkan peran aktif mereka dalam mengenali potensi dan tantangan yang dihadapi. Inilah yang kemudian dilakukan oleh tiga lembaga internasional, yakni UNDP, FAO, dan IOM, dalam Merapi Volcanic Eruption Livelihoods Recovery Programme, mulai Februari 2012 hingga satu tahun ke depan. Pendekatan baru yang digunakan adalah analisis mata rantai. Warga diajak terlibat dalam menentukan sendiri masa depan usaha mereka dan dibimbing untuk mengetahui keunggulan usaha dan produk. Warga juga dapat mengenali kelemahan dan tantangan yang mungkin akan mereka hadapi. Dengan usaha dan keyakinan, pemulihan ekonomi pasti dapat dilakukan. (YOG)
Meningkatkan ... (sambungan hlm. 1) Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman, Urip Bahagia, saat berkunjung ke Desa Umbulharjo, Cangkringan, mengatakan warga saat ini sudah mengetahui potensi itu tapi belum mampu mengoptimalkannya. Adalah kondisi transisi warga untuk berpindah dari hunian sementara ke hunian tetap yang menyebabkan penggarapan potensi sumber daya alam menjadi kurang optimal. Pemerintah pusat dan daerah telah menggulirkan beragam program percepatan pemulihan ekonomi, antara lain pembukaan lahan pertanian, perkebunan, dan
kehutanan melalui mekanisme cash for work (pemberian upah). Warga juga difasilitasi untuk melunasi kredit perbankan dan diberikan stimulus keuangan, serta pelatihan keterampilan bagi pembangkitan sektor mata pencaharian baru. Saat ini memang tidak banyak masyarakat terdampak erupsi Merapi yang kembali menekuni mata pencaharian aslinya di bidang agraris. Melalui bantuan pemerintah dan swasta, warga terdampak kini menggeluti usaha baru seperti budidaya jamur, produksi makanan olahan dan kerajinan, serta pengelolaan pariwisata. Namun disadari
bersama bahwa bantuan tidak boleh bersifat “hit and run”, atau semu, melainkan harus mencakup semua bagian dari hulu ke hilir. Untuk memantau kemajuan penguatan ketahanan perekonomian warga Merapi, Forum Pengurangan Risiko Bencana DIY bersama United Nations Development Programme (UNDP) sedang melaksanakan Longitudinal Study. Hasil studi diharapkan mampu memotret kondisi dan dinamika ketahanan bencana yang dialami warga secara berkala guna perumusan kebijakan yang lebih baik, terlebih setelah warga pindah ke hunian tetap. (YOG)
Produksi Layang PRB ini didukung oleh :
MERAPI VOLCANIC ERUPTION LIVELIHOODS RECOVERY PROGRAMME Funded by Indonesia Multi-Donor Fund Facility for Disaster Recovery (IMDFF-DR)
IOM • OIM
NZ
NEW ZEALAND MINISTRY OF FOREIGN AFFAIRS & TRADE
Aid Programme Isi dari artikel yang berupa opini dalam Layang PRB ini adalah tanggung jawab penulis dan tidak mewakili opini lembaga. Eling lan waspada ngadepi bebaya