Layang PRB #4 low

Page 1

LAYANG PRB Eling lan waspada ngadhepi bebaya

Edisi September-Oktober 2012

Urun Rembug

Info Jogja & Jateng

Opini

Eko Triyono : Komunitas Menjadi Basis Pengurangan Risiko Bencana

Warga Menunggu Huntap

Penanggulangan Bencana Gunung Merapi Berdasarkan Sistim Nasional Penanggulangan Bencana

Halaman 2

Halaman 4

Halaman 6

Bersiaga Mengelilingi Merapi SLEMAN – Pengalaman terkena dampak erupsi Gunung Merapi berulang kali membuat sejumlah warga yang tinggal di sekeliling gunung menjadi lebih siaga bencana. Mereka pun memberdayakan diri dengan membangun kesadaran dan kesiapsiagaan terhadap ancaman bencana. Salah satu letusan Merapi yang menyentak kesadaran warga adalah letusan pada 1994. Waktu itu, 67 warga Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Sleman, tewas. Ribuan warga lain mengungsi. “Di pengungsian, warga merasa ada sesuatu yang tidak beres. Warga diwedhuske (diperlakukan seperti kambing), karena makanan saja harus dimasakkan,” ujar Gendon, panggilan akrab Sigit Widdiyanto (40), pegiat Komunitas Pecinta Alam Pemerhati Lingkungan (Kappala), saat ditemui di Pertemuan Perumusan Rencana Strategis dan Pergantian Pengurus Pasag Merapi, Minggu (23/9) di Kaliurang, Sleman, DIY. Letusan itu menyisakan kenangan pahit sekaligus memberikan pelajaran berharga. Setelah melewati masa tanggap darurat, pada 1995 warga mulai membentuk wadah bersama untuk menyikapi ancaman bencana. Keanggotaannya terus meluas hingga menjangkau desadesa di empat kabupaten yang mengelilingi Merapi. Pada pertemuan di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, 5 April 2001, mereka resmi menamakan diri “Paguyuban Sabuk Gunung Merapi” atau Pasag Merapi. Nama ini mengacu pada keberadaan anggota yang mengelilingi Gunung Merapi. “Lantaran melibatkan warga dari empat kabupaten, mulai dari Boyolali, Klaten, Sleman, dan Magelang, kami pun dianggap melingkarkan sabuk pada Gunung Merapi,” jelas Gendon yang selama ini ikut aktif membangun jaringan Pasag Merapi. Beragam pelatihan diadakan guna membangun kesadaran dan kesiagsiagaan warga terhadap ancaman bencana Gunung Merapi. Mereka berupaya semaksimal mungkin mengelola pengetahuan maupun peralatan yang ada untuk tujuan tersebut. Pada erupsi Merapi 2006, semakin banyak anggota Pasag Merapi yang memanfaatkan handy talkie (HT) untuk berkomunikasi. Radio komunitas pun mulai didirikan di empat kabupaten. Pada erupsi 2010, anggota Pasag Merapi aktif mendampingi warga di lingkungannya masing-masing. Mereka adalah korban sekaligus (bersambung ke hlm. 7)

Doc. Pasag Merapi

Sejumlah relawan Pasag Merapi menanam pohon dalam gerakan penghijauan di Kecamatan Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, pada awal 2011 silam. Komunitas yang memiliki anggota di empat kabupaten di sekeliling Gunung Merapi ini aktif membangun gerakan penyadaran dan kesiapsiagaan bencana serta pelestarian lingkungan.

Menabung supaya Siaga Bencana Sartoyono (56) gemetar mengingat hari itu. Suatu hari di bulan Oktober 2010, yakni pada hari ketika Gunung Merapi meletus, sama seperti warga lain dari Dusun Kalitengah Kidul, Desa Glagaharjo, Sleman, dia segera berlari menuruni lereng gunung. Tanpa pikir panjang ia segera menyambar sepeda motor yang terparkir di halaman lalu buru-buru menarik seorang cucunya, Siti Nur Khofifah (9), ke atas motor. Lelaki paruh baya itu beruntung. Ketika dia harus secepat-cepatnya memacu sepeda motor, bahan bakar di

tangki motor masih penuh. Ia pun bisa sampai di lokasi pengungsian dengan selamat. Ia mengaku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi seandainya sepeda motor itu kehabisan bensin. “Waktu itu uang di kantong saya tinggal Rp 500. Saya juga tidak sempat memilih barang-barang berharga untuk dijual di bawah,” kenangnya, Minggu (23/9). Hidup di kawasan yang hanya terpaut enam kilometer dari puncak Gunung Merapi jelas membutuhkan kesiapsiagaan ekstra tinggi. Setahun setelah erupsi, ketika Sartoyono dan warga lain sudah kembali ke dusunnya, peristiwa menegangkan pada akhir 2010 itu menjadi cambuk yang mendorong mereka mengantisipasi terjadinya letusan Merapi di (bersambung ke hlm. 7)


LAYANG PRB

URUN REMBUG TAJUK

Pengetahuan dan Organisasi untuk PRB Indonesia terletak di wilayah yang rawan bencana. Berbagai jenis bencana mulai dari gempa bumi, tsunami, banjir, longsor, hingga erupsi gunung berapi pernah melanda negeri ini. Sejumlah kalangan meyakini, bencana adalah siklus alam yang tidak bisa dihindari. Pengalaman adalah pelajaran yang berharga. Itulah nasihat bijak yang sering kali kita dengar. Maka jika bencana diyakini sebagai siklus alam, tanda-tanda akan terjadinya bencana mestinya bisa dikenali. Tanda-tanda itu, misalnya, bisa dilihat dari perilaku binatang yang menunjukkan rasa tidak nyaman ketika akan terjadi bencana. Contoh peristiwa di Thailand, serombongan Turis di pantai Phuket berhasil selamat dari Tsunami tahun 2004 karena mengikuti gajah-gajah yang tiba-tiba lari menjauhi pantai. Pada peristiwa menjelang erupsi Gunung Merapi, binatang-binatang liar yang ada di hutan lereng Gunung Merapi tiba-tiba turun ke bawah. Menarik untuk menyimak filosofi Jawa, yakni Hamemayu Hayuning Bawana. Filosofi itu bisa diartikan bahwa dalam hidup ini manusia perlu menjalin hubungan yang harmonis dengan Tuhan, dengan sesama manusia, maupun dengan alam sekitar. Kita juga mengenai istilah “firasat” atau pesan tersamar tentang sesuatu yang akan terjadi sekalipun belum pasti. Dari situ, bisa disimpulkan bahwa sesungguhnya alam pun memberi “kabar” jika akan terjadi bencana. Pengetahuan semacam itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang masih menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, maupun alam, sebagaimana tertuang dalam konsep Hamemayu Hayuning Bawana. Oleh karenanya, manusia memiliki peran yang sangat vital untuk menciptakan keharmonisan dalam kehidupan semua makhluk di muka bumi ini. Pesan bijak lainnya adalah “eling lan waspada”. Eling artinya ingat, dalam hal ini dikorelasikan dengan ingat pada Sang Pencipta. Sedangkan waspada merupakan sikap kesiapsiagaan melihat segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitar. Nilai-nilai luhur semacam itu tidak akan pernah uzur meskipun zaman terus bergerak. Mengelola pengetahuan lokal secara bijak merupakan salah satu upaya meningkatkan kesiapsiagaan. Hal ini disadari oleh komunitaskomunitas warga yang bergerak secara mandiri untuk menanggulangi dampak erupsi Gunung Merapi. Mereka membekali diri dengan pengetahuan moderen tentang pengurangan risiko bencana (PRB), sembari tetap menerapkan pengetahuan lokal yang relevan dengan upaya PRB. Semua itu bermuara pada satu tujuan, yakni meminimalkan dampak bencana.

Edisi September-Oktober 2012

2

Eko Triyono (Kepala BPBD Kabupaten Magelang)

Komunitas Menjadi Basis Pengurangan Risiko Bencana

IOM / Idha

Keterlibatan masyarakat menjadi kunci keberhasilan upaya pengurangan risiko bencana (PRB). Oleh karena itu, terkait dengan penanggulangan bencana di kawasan Gunung Merapi, Pemerintah Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah melalui BPBD Magelang ingin mewujudkan PRB berbasis komunitas. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang Eko Triyono mengatakan, saat ini setidaknya ada 21 komunitas relawan bencana yang aktif di Kawasan Merapi sisi Magelang. Komunitas tersebut beranggotakan warga terdampak erupsi Merapi maupun relawan yang tinggal di luar kawasan terdampak. Pihaknya mendukung penuh komunitas masyarakat yang punya inisiatif melakukan aktivitas PRB di lingkungannya masing-masing. Pihaknya juga telah menjalin komunikasi yang baik dengan komunitaskomunitas tersebut. “Mereka selalu siap dimintai bantuan soal penanggulangan bencana,” katanya, saat ditemui Jumat (28/9) di kantornya. Menurut dia, embrio gerakan semacam itu sudah mulai muncul pada erupsi Merapi tahun 2006 silam. Mula-mula, gerakan relawan itu sebatas menyediakan bantuan komunikasi bagi warga terdampak erupsi dan aliran lahar dingin. Dalam perkembangannya mereka meningkatkan kapasitas sehingga bisa berbuat lebih banyak. Mereka ikut melakukan aktvitas tanggap darurat dan menyosialisasikan upaya-upaya PRB. BPBD Magelang juga merasa ikut bertanggungjawab untuk meningkatkan kapasitas komunitas-komunitas itu dengan mengadakan latihan gabungan kesiapsiagaan. “Selain itu mereka juga meningkatkan kapasitasnya secara kelompok bekerjasama dengan lembaga swadaya

masyarakat (LSM),” jelasnya. Menurut dia, ke depan upaya PRB memang harus melibatkan masyarakat. Oleh karena itu, pihaknya kini juga sedang mempersiapkan sister village atau jaringan persaudaraan antara desa di wilayah Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi dengan desa lain yang akan menjadi tujuan mengungsi saat terjadi bencana. Masyarakat di desa terdampak maupun desa tujuan pengungsian harus disiapkan, sehingga ketika bencana kembali terulang warga di kedua desa tersebut bisa lebih siap menghadapi bencana. Para relawan desa yang tergabung dalam Forum PRB desa menjadi koordinator dalam pelaksanaan sister village. Pelatihan kesiapsiagaan perlu terus dilakukan guna meningkatkan kapasitas mereka, sehingga warga pun bisa percaya kepada para relawan. “Kalau warga percaya, sistem akan bisa berjalan dengan lebih baik,” tandasnya. Untuk mewujudkan hal itu, lanjut dia, Pemkab Magelang pun harus konsekuen dengan memperbaiki jalur evakuasi, pelatihan penguatan kapasitas relawan PRB, dan shelter multifungsi guna mendukung konsep sister village. (RAS)

Dalam perkembangannya mereka meningkatkan kapasitas sehingga bisa berbuat lebih banyak. Mereka ikut melakukan aktvitas tanggap darurat dan menyosialisasikan upaya-upaya PRB. - Eko Triyono-


LAYANG PRB

INFO FORUM PRB

Edisi September-Oktober 2012

3

Forum PRB DIY Gelar Pameran “Kampoeng PRB” YOGYAKARTA – Memperingati bulan peringatan Pengurangan Risiko Bencana pada Oktober 2012, Forum Pengurangan Risiko Bencana (Forum PRB) DIY mengadakan pameran edukasi di Hotel Royal Ambarukmo Yogyakarta, 22-25 Oktober 2012. Pameran tersebut sekaligus menyemarakkan pertemuan The 5th Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR) yang pada saat bersamaan diselenggarakan di Gedung Jogja Expo Center (JEC) Yogyakarta. Pameran yang bertajuk “Kampung PPB” tersebut akan diikuti puluhan anggota Forum PRB DIY, khususnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam kegiatan penanggulangan bencana di Indonesia. Pameran tersebut ditujukan untuk memberikan

informasi kepada masyarakat mengenai upaya-upaya preventif maupun kesiapsiagaan menghadapi ancaman bencana. Indonesia, termasuk DI Yogyakarta, merupakan negara yang rawan bencana. Oleh karena itu, dengan adanya pameran ini masyarakat dapat memperoleh informasi yang cukup memadai untuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan terhadap risiko bencana yang ada. Dalam pameran tersebut setiap anggota Forum PRB DIY akan membagikan secara gratis materi-materi pengetahuan menghadapi bencana seperti leaflet, poster, stiker, booklet, serta kegiatan interaktif lainnya. Materimateri tersebut akan berguna untuk mengurangi risiko bencana, minimal di level keluarga. (AS)

Konsep design dari “Kampoeng PRB” yang akan di baut dalam rangka AMCDRR 23-25 Oktober 2012

Info AMCDRR

Praktik Penanggulangan Bencana Ditampilkan di Ajang AMCDRR YOGYAKARTA – Berbagai kisah dan praktik penanggulangan bencana di kawasan Merapi akan dipamerkan dalam ajang konferensi tentang pengurangan risiko bencana The 5th Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR), 22 – 25 Oktober, di Yogyakarta. Pameran itu menunjukkan contoh nyata keuletan warga untuk bangkit dari bencana, serta kesiapan pemerintah dan pemangku kepentingan terkait dalam menghadapi bencana. Pameran bertema “Pengurangan Risiko dan Pemulihan Pascabencana 2010” itu berlangsung di dua lokasi, yakni di

Gedung Jogja Expo Center (JEC) dan halaman Hotel Royal Ambarukmo. Pameran akan diikuti instansi pemerintah, pelaku usaha, serta organisasi non-pemerintah bersama komunitas dampingannya. Setiap komunitas akan menampilkan usaha terbaiknya dalam mengurangi risiko dan memulihkan diri dari bencana, antara lain berupa aneka produk olahan makanan dan kerajinan. Mereka juga akan menampilkan contoh praktik pengurangan risiko bencana (PRB) di lingkungannya masing-masing, misalnya yang dilakukan lewat dongeng berisi pesan PRB hingga psikoterapi.

AMCDRR merupakan konferensi dua tahunan pengurangan risiko bencana di kawasan Asia Pasifik. Indonesia, dalam hal ini Kota Yogyakarta, terpilih menjadi lokasi konferensi AMCDRR yang ke lima. Peserta AMCDRR berasal dari 60 negara di kawasan Asia Pasifik, yang terdiri dari jajaran petinggi negara Asia Pasifik, kalangan akademisi, penggiat pengurangan resiko bencana di tataran regional, media, dunia swasta dan pemangku kepentingan lainnya. (RAS)


INFO JOGJA & JATENG

LAYANG PRB Edisi September-Oktober 2012

4

Sleman Bangun Posko Terpadu YOGYAKARTA - Pemerintah Kabupaten Sleman membangun posko terpadu penanggulangan bencana di Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Sleman. Posko terpadu ini dibangun guna mempercepat koordinasi antarlembaga dalam upaya pengurangan risiko bencana Gunung Merapi. Posko yang terletak di sudut timur pertigaan Jalan Kaliurang kilometer 17 ini sebelumnya dipakai sebagai kompleks kantor sejumlah organisasi, antara lain Search and Rescue (SAR) Sleman, Palang Merah Indonesia (PMI) Kecamatan Pakem, Satuan Penanganan Bencana (Satgana), posko polisi, Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), dan BPBD Kabupaten Sleman. Selain itu, peralatan untuk pemantauan terkini Gunung Merapi, termasuk perangkat pemantau curah hujan, juga berada di kompleks tersebut. Salah satu aktivitas yang sudah dimulai adalah

pembangunan gedung dua lantai. Lantai pertama gedung itu dirancang sebagai kantor berbagai instansi, sedangkan lantai kedua sebagai ruang pertemuan utama. Mengingat kegiatan utamanya bukan di bidang penanggulangan bencana, BUKP kemungkinan tidak akan lagi berkantor di dalam kompleks seluas 2.500 meter persegi itu. “Setelah instansi-instansi yang berkepentingan terhadap proses penanggulangan bencana berkumpul, diharapkan koordinasi dan intensitas kerjasama antarlembaga, terutama saat terjadi bencana bisa lebih cepat,” ujar Ketua PMI Kecamatan Pakem Suranto (51), Senin (24/9). Dalam salah satu rencanaan tata ruangnya, sisi selatan kompleks ini akan dikosongkan. Sisi tersebut akan dipagari dengan gerbang geser, yang akan sangat berfungsi sebagai akses keluar-masuk ketika terjadi arus besar pada masa tanggap darurat bencana. “Meskipun dilakukan

perombakan tata letak, keberadaan pendapa dan bangunan utama di sisi timurnya tetap dipertahankan karena merupakan bangunan cagar budaya dan kekhasan bagi warga Pakem,” Suranto mengimbuhkan. Terkait ancaman letusan Gunung Merapi, Kabupaten Sleman termasuk kabupaten yang setiap tahun harus terus mewaspadai ancaman tersebut. Pembangunan posko kewaspadaan itu disentralkan di Pakembinangun karena selama ini lokasi tersebut sudah menjadi tujuan kunjungan dan kegiatan para pemangku kepentingan yang terkait dengan perkembangan aktivitas Gunung Merapi. PMI Kecamatan Pakem, misalnya, rutin memantau kondisi Gunung Merapi. Dalam masa tenang seperti saat ini, pengamatan dilakukan secara langsung maupun dengan memanfaatkan teknologi mutakhir. (LBB)

Warga Menunggu Huntap YOGYAKARTA – Pembangunan Hunian Tetap atau Huntap bagi keluarga yang terkena dampak erupsi Gunung Merapi 2010 terus berlanjut. Warga pun bersiapsiap pindah dari hunian sementara ke rumah yang baru. Jumar (36), warga yang tinggal di hunian sementara (Huntara) Gondang I di Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Sleman, menuturkan, ia dan warga lain akan menempati rumah baru di Huntap Pagerjurang. “Kami juga belum tahu kapan, tapi sewaktu-waktu kami akan segera pindah,” ujarnya, saat ditemui Rabu (12/9). Huntap Pagerjurang, Desa Kepuharjo, yang memiliki sekitar 300 unit rumah, hingga pertengahan September lalu sudah dihuni oleh sedikitnya 45 keluarga. Keluarga lain yang juga akan menempati rumah di Huntap Pagerjurang mulai memoles rumah barunya agar lebih nyaman dihuni. Juminah (49) warga yang saat ini masih tinggal di Huntara Gondang I mengaku sudah mulai memperbaiki rumah barunya di Huntap Pagerjurang. Sambil menunggu perbaikan rumah barunya, ia membuka warung di Huntap Pagerjurang. “Saya sudah dua bulan jualan di sini, sambil menunggu pembangunan rumah baru. Rumahnya sekarang sudah selesai dibangun, tapi masih perlu ditambahi macam-macamnya jadi sekarang belum pindah,” jelasnya. Sebelum menempati rumah barunya, Juminah dan sejumlah warga lain yang akan pindah ke Huntap Pagerjurang berharap aliran air ke rumah-rumah bisa diperlancar. Dengan begitu, mereka tidak akan kesulitan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Jika warga di Huntara Gondang I sudah hampir menempati rumah barunya di Huntap Pagerjurang,

pertengahan September lalu warga yang akan menempati Huntap Gondang 2 dan Gondang 3 baru mulai membangun rumah. Huntap Gondang 2 berkapasitas 89 unit rumah, sedangkan Huntap Gondang 3 berkapasitas 36 unit rumah. Lokasi Huntap Gondang 2 dan 3 sama dengan lokasi Huntara Gondang 2 dan 3. Warga bersama pekerja yang akan membangun rumah

tampak mulai menggali tanah untuk membangun pondasi. Truk pengangkut batu dan pasir hilir mudik memasuki lokasi Huntap. Adapun di lokasi Huntap Dongkelsari, hingga pertengahan September lalu proses penyiapan lahan menggunakan alat berat masih berlangsung. (RAS)

IOM / Idha

Seorang warga tengah menyiapkan lahan yang akan menjadi lokasi rumah barunya di Hunian Tetap (Huntap)Gondang 2, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY, Rabu (12/9). Di lokasi tersebut akan dibangun 89 unit rumah bagi warga terdampak erupsi Gunung Merapi 2010.


INFO JOGJA & JATENG

LAYANG PRB Edisi September-Oktober 2012

5

Pemerintah dan Lembaga Internasional Kunjungi Wilayah Terdampak YOGYAKARTA – Perwakilan pemerintah bersama lembaga internasional mengadakan kunjungan bersama ke wilayah terdampak erupsi Gunung Merapi di Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, 13 – 14 September lalu. Kunjungan ini dilakukan untuk mengkoordinasikan pemanfaatan dana internasional IMDFF-DR di wilayah terdampak bencana. Lembaga yang ikut serta dalam kunjungan bersama itu adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Rekompak, Sekretariat IMDFF-DR, PBB, World Bank, dan New Zealand Aid. Kunjungan bersama itu dilakukan di k awasan Hunian Tetap (Huntap) Pagerjurang, Karangkendal dan Dongkelsari yang berada di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY. Di lokasi kunjungan, mereka melihat rumah produksi milik warga terdampak. Rumah-rumah produksi tersebut muncul sebagai bentuk upaya warga untuk membangkitkan perekonomian pascabencana. Selain untuk mengkordinasikan pemanfaatan dana internasional di wilayah terdampak bencana, kunjungan itu juga bertujuan menyelaraskan program Merapi PBB dengan rencana kegiatan Rekompak, serta mengidentifikasi tindak lanjut program IMDFF-DR di kawasan pascaerupsi Merapi. Ketiga hal tersebut menjadi bahan masukan dalam penyusunan program IMDFF-DR yang akan disalurkan melalui Rekompak. IMDFF-DR atau The Indonesia Multi Donor Fund Facility for Disaster Recovery adalah mekanisme tetap untuk memobilisasi dana internasional guna mendukung upaya Pemerintah Indonesia dalam menangani bencana di berbagai wilayah. Terkait dukungan pemulihan pascaerupsi Merapi, Joint Programme Document Merapi Volcanic Eruption Livelihoods Recovery Programme telah

ditandatangani pada 31 Januari 2011, dengan alokasi anggaran sebesar 1 juta dolar Amerika Srikat yang akan dilaksanakan oleh lembaga internasional, yaitu UNDP, FAO, dan IOM. Program tersebut bertujuan mendukung pemulihan dan peningkatan mata pencaharian masyarakat yang berkelanjutan, penguatan kapasitas pemerintah daerah

dalam pelaksanaan pemulihan berbasis pengurangan risiko bencana (PRB), dan peningkatan ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana. Pelaksanaan program tersebut diselaraskan dengan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascaerupsi Merapi, berkoordinasi dengan BNPB, BPBD maupun instansi terkait lainnya. (*)

IOM / Yohan

Perwakilan pemerintah dan lembaga internasional mengunjungi Hunian Tetap Pagerjurang, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY, Rabu (12/9).

Warga Gelar Simulasi Bencana KLATEN – Ratusan warga dari Desa Kepurun, Kecamatan Manisrenggo dan Desa Bawukan, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, melakukan simulasi bencana, Rabu (27/9). Pelatihan ini dilakukan agar warga semakin sigap menghadapi bencana, terutama dampak erupsi Gunung Merapi. Simulasi yang berlangsung pukul 09.00 – 11.00 itu diikuti tak kurang dari 250 peserta, termasuk di dalamnya relawan Kelompok Siaga Bencana (KSB) dari Desa Kepurun dan Bawukan. Pelatihan itu didukung oleh petugas dari Search and Rescue (SAR) Kabupaten Klaten, Palang Merah Indonesia (PMI), Rescue Turahan Awu Balerante, dan Palem Rescue Kepurun.

Warga terlihat antusias mengikuti acara tersebut. Mereka melakukan simulasi bencana Gunung Merapi mulai dari tahap status Merapi “aktif normal” sampai “awas”. Pada tahap “waspada”, relawan KSB sudah mulai berkoordinasi dan bersiap-siap menyambut kemungkinan naiknya status Merapi. Para relawan KSB segera menginformasikan perkembangan status Merapi kepada warganya melalui kordinator di setiap dusun. Setelah status Merapi berubah menjadi “siaga” kelompok rentan seperti orang jompo, balita, ibu hamil, dan orang-orang berkebutuhan khusus mulai dievakuasi ke lokasi yang aman. Ketika status berubah menjadi “awas”, semua warga sudah harus meninggalkan rumah menuju

ke titik-titik kumpul terdekat untuk kemudian dibawa ke pos pengungsian. Setelah acara simulasi berakhir, acara dilanjutkan dengan pengukuhan KSB Desa Kepurun dan Bawukan oleh Camat Manisrenggo Wahyudi Martono. Wahyudi mengaku bangga pada warga yang bersedia menjadi relawan. “Kami atas nama pemerintah kecamatan merasa bangga, dan penuh hormat kepada saudara saudara kelompok siaga bencana Desa Kepurun maupun Bawukan yang telah bersedia menjadi relawan bencana,” ungkapnya. (Tim Lajur Merapi)


LAYANG PRB

OPINI

Edisi September-Oktober 2012

6

Penanggulangan Bencana Gunung Merapi Berdasarkan Sistem Nasional Penanggulangan Bencana Oleh :

Sarwidi Anggota pengarah BNPB dan Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) UII, serta warga/aktivis/relawan Lereng Merapi, Yogyakarta. Gunung Merapi memberikan manfaat bagi alam dan makhluk yang ada di sekitarnya. Namun demikian, Gunung Merapi juga memberikan ancaman bencana. Untuk mempertahankan dampak positif dan menekan dampak negatif Gunung Merapi, penanggulangan bencana dengan pendekatan pengurangan risiko bencana harus dilakukan secara sistematis agar tercapai hasil yang maksimal. Sesuai dengan Undang-undang nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana di Indonesia, tujuan penanggulangan bencana (PB) di Indonesia adalah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana. UU tersebut menjadi landasan bagi pembentukan sistem penanggulangan bencana di Indonesia. Sistem penanggulangan bencana tersebut terdiri atas beberapa subsistem, yaitu legislasi, k e l e m b a g a a n , p e n d a n a a n , p e re n c a n a a n , i l m u pengetahuan dan teknologi, dan penyelenggaraan. Subsistem pertama, legislasi berupa serangkaian perundangan dan peraturan sangat diperlukan dalam upaya mewujudkan penanggulangan bencana yang optimal, baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah. Di tingkat nasional, setelah UU RI No 24/2007 diterbitkan, serangkaian peraturan turunannya harus dibentuk mulai dari Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan gubernur ( p e r g u b ) , h i n g g a Pe r a t u r a n B u p a t i / Wa l i k o t a (perbub/perwal). Kedua, kelembagaan diperlukan agar penyelenggaraan penanggulangan bencana bisa lebih fokus dan maksimal. Di tingkat nasional, pemerintah telah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Pemerintah daerah wajib membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). BPBD Jawa Tengah dan DIY serta BPBD di empat kabupaten yang melingkari Gunung Merapi menjadi ujung tombak dalam penanggulangan bencana Gunung Merapi, berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan terkait. Pengalaman para pemangku kepentingan di Gunung Merapi akan banyak memberikan kontribusi pada masyarakat baik secara lokal, nasional, maupun internasional. Jika daerah tidak mampu menghadapi dampak bencana, maka BNPB menjadi pusat komando penanggulangan bencana. Ketiga, pendanaan diperlukan untuk mendukung kegiatan rutin Badan Penanggulangan Bencana baik nasional maupun daerah. Biaya tersebut berasal dari

Anggaran Pendapatan dan Biaya Nasional (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Biaya Daerah (APBD). Dalam keadaan kritis bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat menggunakan Dana Siap Pakai (nasionap), Dekon (provinsi), maupun Dana Alokasi Khusus (kabupaten/kota). Selain itu, penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat menggunakan dana yang bersumber dari masyarakat baik individu maupun lembaga, di tingkat lokal, nasional, maupun internasional asalkan tidak ber tentangan dengan peraturan yang berlaku. Penggunaan sumber dana harus efektif, transparan, dan akuntabel. Keempat, agar upaya penanggulangan bencana dapat berjalan maksimal, perencanaan penanggulangan bencana yang terpadu sangat diperlukan, yaitu dengan memadukan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dalam perencanaan kegiatan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, baik yang berupa Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RJP), Rencana Jangka Menengah (RJM), maupun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan. Perencanaan penanggulangan bencana Gunung Merapi harus lebih terarah dan terpadu, mulai dari tingkat daerah hingga ke level nasional. Kelima, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) harus dimanfaatkan secara optimal agar proses penanggulangan bencana, baik pada tahap prabencana, pada saat terjadi bencana, maupun pada tahap pascabencana dapat dipermudah dan dipercepat. Dalam praktiknya, unsur seni ataupun budaya juga menentukan kelancaran dan keberhasilan penanggulangan bencana, misalnya, dengan memasukkan secara tepat unsur kearifan lokal dan budaya atau karakteristik masyarakat lokal. Dengan demikian, Iptek dalam penanggulangan bencana dimodifikasi menjadi Ipteks, karena memasukkan unsur S (seni atau kebudayaan). Keenam, penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang b e r i s i k o t i m b u l nya b e n c a n a , k e gi at a n pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Penyelenggaraan penanggulangan bencana harus sesuai dengan siklus bencana yang secara garis besar terdiri atas tiga tahap, Doc Pri

yaitu prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana. BNPB/BPBD bertindak selaku koordinator dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap prabencana dan pascabencana. UU RI No. 24/2007 adalah landasan bagi pembentukan sistem (system building) penanggulangan bencana di Indonesia. Penanggulangan bencana Gunung Merapi harus berpedoman pada Sistem Nasional Penanggulangan Bencana agar tercapai hasil yang maksimal. Perbaikan secara terus menerus dalam penanggulangan bencana di segala aspek harus dilakukan sesuai dengan perubahan acaman, dinamika masyarakat, perubahan jaman, serta perubahan situasi dan kondisi riil di lapangan melalui pendekatan PRB yang diintegrasikan dengan proses pembangunan.


LAYANG PRB Edisi September-Oktober 2012

7

Menabung... (sambungan hlm. 1) kemudian hari. “Kami harus punya tabungan yang bisa dimanfaatkan di pengungsian,” ungkap Sujamin (38), Kepala Dusun Kalitengah Kidul. Dusun Kalitengah Kidul saat ini dihuni 110 Kepala Keluarga (KK), dengan sekitar 300 jiwa. Terbagi dalam empat Rukun Tetangga (RT ), masing-masing RT menggalang inisiatif menabung sebagai bekal ketika bencana menghampiri mereka kembali. “Warga sadar suatu ketika akan dan harus menuruni kawasan lereng Gunung untuk mengungsi sementara,” tandas lelaki empat anak itu. Inisiatif mengawali tabungan siaga bencana itu rata-rata sudah dimulai sejak setengah tahun terakhir. Pengelolaannya diserahkan pada pengurus RT. Setiap RT bebas menerapkan sistim tabungan siaga itu. Di RT 04, tempat Sujamin tinggal, misalnya, warga mengumpulkan uang Rp 5.000 per-lapan (setiap 35 hari) bersamaan dengan arisan rutin. Pertemuan lapanan di RT 04 itu digelar warga secara bergilir pada malam Kamis Pahing. Di RT 01, uang tabungan itu disetorkan melalui kaleng jimpitan yang dipasang di

depan rumah warga. Masing-masing keluarga menaruh uang minimal Rp 1.000 dalam kaleng tersebut. Uang itu akan dikumpulkan oleh petugas ronda. Selanjutnya, pengurus RT akan menyimpan uang jimpitan yang telah terkumpul selama satu bulan ke bank. Beberapa keluarga memanfaatkan sistim tersebut sebagai sebagai tabungan keluarga. Tak heran jika beberapa keluarga menaruh Rp 5.000, bahkan Rp 10.000 ke dalam kaleng jimpitan. “Tapi khusus untuk tabungan siaga bencana, uangnya tidak boleh diambil kecuali saat terjadi bencana,” ujar Wakidi (34), Ketua RT 01. Menurut Sujamin, bagi warga Dusun Kalitengah Kidul tabungan siaga bencana itu menjadi langkah kecil warga dalam menghadapi ancaman bencana. Dalam jangka panjang, kalau uang tabungan itu sudah terkumpul banyak, warga punya angan-angan untuk membeli sebidang tanah di daerah yang aman dari bahaya letusan Gunung Merapi. “Minim ada jujugan (tujuan) untuk mengungsi. Tidak segalanya harus menunggu pengaturan pemerintah,” tuturnya. (LBB)

Ni’am

Wakidi (34), warga RT 1 Dusun Kalitengah Kidul, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, menaruh uang jimpitan di depan rumahnya, Minggu (23/9) . Uang tersebut dikumpulkan dan disimpan di bank pada setiap akhir bulan sebagai tabungan siaga bencana.

Bersiaga ... (sambungan hlm. 1) relawan. Mereka ikut menyalurkan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan warga, serta berupaya agar warga dan anak-anak di lokasi pengungsian bisa tetap beraktivitas. Desa terdampak Pa s a g M e r a p i k i n i m e r u p a k a n organisasi sosial kemasyarakatan yang mempunyai anggota dari 60 desa di sekeliling Gunung Merapi. Seluruh desa yang masuk di Kawasan Rawan Bencana (KRB) termasuk di dalamnya. K e a n g g o t a a n n y a b e r s i f a t c a i r. Siapapun bisa bergabung selama memiliki kemauan. Koordinasi dengan anggota dilakukan oleh seorang koordinator yang ada di setiap kabupaten.“Kami sebenarnya lebih membangun paseduluran (persaudaraan). Tujuan kami sama, yakni supaya terhindar dari ancaman bahaya Gunung Merapi, serta melestarikan lingkungan gunung tersebut,” kata Purwo Widodo (42), Ketua Umum Pasag Merapi. Anggota Pasag Merapi mayoritas bekerja sebagai petani dan peternak. Merekalah yang mendukung Pasag Merapi sehingga bisa bergerak secara mandiri. “Bahkan untuk menghidupi pertemuan

rutin Pasag Merapi setiap dua bulan sekali, kami bergantung pada iuran masingmasing individu,” ungkap lelaki asal Dusun Kemiren, Desa Jumoyo, Magelang ini. Saat ini, Pasag Merapi aktif menjalankan sejumlah kegiatan seperti pembangunan gardu pantau di sejumlah desa, pemberdayaan ekonomi anggota dengan fokus di sektor peternakan, serta memfasilitasi lokakarya pengurangan risiko bencana di berbagai komunitas. Selain aktivitas tersebut, hal pokok yang menjadi perhatian Pasag Merapi adalah membangun gerakan k e s i a p s i a g a a n te r h a d a p b e n c a n a , khususnya erupsi Merapi. “Makanya kami berupaya membangun kesadaran soal itu di berbagai komunitas,” tambah Gogon. Kini Pasag Merapi tidak hanya dikenal karena kapasitas anggotanya dalam membangun kesiapsiagaan, tapi juga pengaruhnya dalam penanganan risiko bencana berbasis komunitas di wilayah lain. Komunitas lain seperti Lingkar Menoreh di Kabupaten Kulonprogo, serta komunitas di sekitar kawasan Gunung Kelud, Gunung Bromo, dan Gunung Semeru di Provinsi Jawa Timur juga belajar pada Pasag Merapi. (LBB)

LPTP/Ni’am

Di tengah pertemuan perumusan rencana strategis dan pergantian pengurus Pasag Merapi, Minggu (23/9) di Kaliurang, seorang anggota Pasag Merapi tampak mengenakan kaos bertuliskan slogan paguyuban tersebut: nyawiji mrih lestari rinengkuh Merapi. Kalimat dari bahasa Jawa itu mengandung visi terwujudnya masyarakat yang bersatu, peduli, sadar, dan mandiri dalam menjaga kelestarian kawasan Gunung Merapi.

PENANGGUNG JAWAB PRODUKSI : Diana Setiawati (IOM), Danang Samsurizal (Koordinator Forum PRB DIY) PENYUNTING : Diana Setiawati, Idha Saraswati (IOM ), Aris Sustiyono (Forum PRB DIY), Mariana Pardede

LAYANG PRB

Alamat Redaksi : Gedung KESBANGLINMAS DIY Lt 2, Jl Sudirman No 5, Redaksi Layang PRB menerima tulisan opini sepanjang 5000 karakter


LAYANG PRB

PROFIL

Aneka Keripik Renyah dari Merapi

Edisi September-Oktober 2012

Berbagai jenis umbi yang dihasilkan lahan pertanian di kawasan Merapi dihargai murah di pasaran. Melihat hal itu, sekelompok warga berinisiatif meningkatkan nilai jual aneka umbi itu dengan mengolahnya menjadi aneka jenis keripik. Salah satu kelompok yang mengolah umbi menjadi keripik adalah kelompok wanita tani di Dusun Manggong, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Maryati (41), salah seorang pengurus kelompok wanita tani Dusun Manggong menuturkan, upaya mengolah umbi menjadi aneka macam keripik itu sudah dimulai sejak 2005 silam. “Waktu itu ada mahasiswa KKN (kuliah kerja nyata) di kampung kami, mereka mendatangkan narasumber yang bisa mengajari kami untuk mengolah potensi yang ada menjadi aneka makanan,” katanya, saat ditemui pertengahan September silam. Dari pelatihan itu, Maryati bersama anggota kelompok lainnya mulai giat membuat keripik. Mereka mengolah keripik dari berbagai jenis umbi yang tersedia di lingkungan sekitarnya, seperti ganyong, kimpul, uwi, gembili, gadung dan suweg. Mereka juga mengikuti sejumlah pelatihan lainnya untuk menambah pengetahuan. Dari pelatihan-pelatihan itu, mereka kemudian juga membuat keripik dari pisang dan jamur, stik dari talas, serta aneka jenis tepung dari umbi-umbian. Keripik maupun stik buatan mereka diolah dengan cara sederhana di rumah masing-masing anggota. Mereka mengiris bahan secara manual, lalu mengolahnya tanpa menggunakan penyedap rasa maupun bahan pengawet. Produk-produk tersebut dijual ke tetangga yang memesan, maupun dititipkan di warung. Dari usaha kecil-kecilan itu, mereka mulai bisa menambah penghasilan keluarga. Namun usaha itu terhenti ketika mereka harus mengungsi akibat erupsi Gunung Merapi pada 2010. Anggota kelompok tercerai berai di lokasi pengungsian masing-masing. Pada akhir 2011, dengan dukungan dari Dinas Pertanian Kabupaten Sleman, Maryati mulai mengumpulkan lagi anggota kelompoknya. “Dari sekitar sepuluh anggota, hanya beberapa saja yang

8

bisa kumpul lagi. Akhirnya sekarang anggotanya tujuh orang, itu pun beberapa adalah anggota baru,” tuturnya. Mereka pun mulai kembali memproduksi aneka jenis keripik. Untuk memperluas pasar, mereka aktif mengikuti pameran produk. Mereka juga bergabung dengan Koperasi Syariah Serba Usaha Sami Raharjo di Desa Kepuharjo. Dengan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan kelompok serta penguatan kelompok agar dapat bertahan dimasa yang akan datang, IOM akan mendampingi usaha ini dengan memberikan fasilitasi dalam pelatihan pengembangan usaha, pelatihan teknis sesuai sektor beserta pendampingan kelompok intensif dalam pelaksanaan keseharian usaha mereka. IOM juga memberikan dukungan perluasan akses pasar melalui beberapa program tepat guna seperti Free Tour dan pasar bersama di lokasi Volcano Tour yang akan menampilkan produk-produk unggulan dari kelompok dampingan IOM dibawah nauangan program Merapi Livelihood Recovery - IMDFFDR. Jika ada pesanan dalam jumlah besar, mereka mengerjakan pesanan itu bersama-sama. Namun mereka juga memproduksi keripik secara individu untuk dipasarkan sendiri. Menurut Maryati, jumlah pesanan bertambah banyak menjelang hari raya Idul Fitri Agustus silam. Pesanan tidak hanya datang dari wilayah DI Yogyakarta. “Kemarin juga ada pesanan keripik 5 kilogram dari Kalimantan. Biasanya yang pesan itu memang sudah kenal lebih dulu,” ujarnya. Produk yang dipasarkan sendiri saat ini dikemas sekadarnya menggunakan kantung plastik bening yang ditempeli kertas kecil berisi informasi produk. Kondisi semacam itu membuat mereka belum percaya diri untuk memajang produknya di pasar. Maryati berharap usaha pembuatan keripik, stik maupun tepung umbi itu bisa terus berkembang. Agar pemasaran semakin luas, ia berharap bisa mendapat bantuan untuk membuat kemasan produk yang lebih baik, sehingga keripik buatannya bisa layak dipajang seperti produk keluaran pabrik. (RAS)

Produksi Layang PRB ini didukung oleh : NZ

NEW ZEALAND MINISTRY OF FOREIGN AFFAIRS & TRADE

Aid Programme

Isi dari artikel yang berupa opini dalam Layang PRB ini adalah tanggung jawab penulis dan tidak mewakili opini lembaga.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.