LAYANG PRB Eling lan waspada ngadhepi bebaya
Edisi Oktober-November 2012
Urun Rembug
Info Jogja & Jateng
Opini
Urip Bahagia : Relokasi Beriringan dengan Pemulihan Ekonomi dan PRB
Musim Hujan, Waspadai Banjir Lahar Dingin
Dua Tahun Pascaerupsi : Pelajaran dari Merapi
Halaman 2
Halaman 5
Halaman 6
Huntap Diharapkan Selesai Akhir 2012
IOM/Intan
Warga terdampak erupsi Merapi yang sudah mendapat rumah di Huntap Batur, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, bergotong royong membangun jalan awal Oktober lalu.
Mengungsi (Lagi) Demi Rumah Baru Sudah beberapa minggu terakhir Purwaningsih (49) dan keluarganya kembali ke rumah lamanya di Dusun Kliwang, Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY. Rumah itu sebenarnya sudah ia tinggalkan karena terkena banjir lahar dingin pada awal 2011 silam. Namun ia memutuskan kembali ke rumah itu karena tempat tinggalnya di hunian sementara (Huntara) dibongkar untuk dijadikan lokasi hunian tetap (Huntap). “Waktu ada banjir lahar, rumah saya hanya diputari pasir, jadi masih berdiri dan bisa ditempati. Sebelum pindah ke sini lagi, rumah tinggal dibersihkan saja,” ujarnya, Selasa (6/11). Saat lahar dingin membanjiri Dusun Kliwang awal 2011 silam, Purwaningsih mengungsi di Huntara Kuwang, Desa
Argomulyo. Awal tahun 2012, lokasi Huntara Kuwang ditetapkan menjadi lokasi Huntap. Oleh karena itu, beberapa bulan lalu Huntara Kuwang dibongkar sehingga ia dan penghuni lainnya harus kembali mengungsi sampai rumah baru mereka selesai dibangun. “Para tetangga yang rumahnya masih bisa dipakai juga kembali ke Kliwang. Tapi kan ada juga tetangga yang separuh rumahnya terendam pasir, jadi ya mereka harus cari tempat lain untuk tinggal sementara,” ujarnya. Purwaningsih menyadari betul bahwa rumahnya di Kliwang masuk dalam area yang tidak layak huni. Banjir lahar dingin bisa kembali sewaktu-waktu, terutama pada musim penghujan. Oleh karena itu, ia tidak sabar untuk segera pindah ke rumah barunya (bersambung ke hlm. 7)
YOGYAKARTA – Mendekati akhir 2012, pembangunan hunian tetap (Huntap) bagi sebagian warga yang terkena dampak erupsi Gunung Merapi 2010 baru dimulai. Melihat perkembangan tersebut, penyelesaian pembangunan seluruh Huntap yang ditargetkan selesai pada akhir 2012 terancam meleset dari target. Wijang Wijanarko, Urban Design Expert National Management Consultant Rekompak (Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas) selaku lembaga yang mendapat wewenang untuk membangun Huntap, mengak ui proses pembangunan Huntap berjalan agak lamban. Hingga awal November, dari total target pembangunan 2.170 rumah, baru 1.305 rumah yang selesai dibangun (lihat tabel). “Selebihnya masih berstatus penyelesaian fisik, dan 378 rumah baru menginjak persiapan pembangunan. Jika akhir 2012 tidak selesai, penyelesaian diusahakan awal 2013,” jelasnya saat ditemui, Selasa (6/11). Menurut dia, lambannya pembangunan Huntap dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya adalah alur kerja yang panjang karena harus mengedepankan keterlibatan warga calon penghuni Huntap. Mereka terlibat mulai dari tahap persiapan, pengorganisasian relawan, peninjauan rencana desa, hingga penyusunan rencana penataan permukiman dan penentuan wilayah aman huni. Warga juga menyusun rancangan teknis penataan lingkungan dan permukiman, mengajukan pencairan Bantuan Dana Lingkungan (BDL) maupun Bantuan Dana Rumah (BDR), serta membentuk Kelompok Pemukim (KP). “Jadi sebenarnya yang lebih penting dari semua proses itu bukanlah pembangunan rumahnya. Rumah hanya sarana untuk meningkatkan kapasitas warga dalam pengurangan risiko bencana. Ada penyadaran di situ. Ini bukan hanya p ro s e s m e m i n d a h k a n r u m a h , m e l a i n k a n j u g a memindahkan kehidupan warga,” terang Wijang. Faktor lainnya adalah proses pelepasan lahan lokasi Huntap di sejumlah wilayah yang berjalan alot. Hal ini berdampak pada mundurnya proses penyiapan lahan untuk pembangunan Huntap. Selain itu, sejumlah warga yang tinggal di kawasan rawan bencana (KRB) III menolak direlokasi ke Huntap. Mereka adalah warga di Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul, dan Srunen di Desa Glagaharjo, serta Dusun Pangukrejo di Desa Umbulharjo. (bersambung ke hlm. 7)
LAYANG PRB
URUN REMBUG TAJUK
Edisi Oktober-November 2012
2
Urip Bahagia (Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman )
Negara Wajib Penuhi Hak Korban Bencana Alinea empat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan, salah tujuan dibentuknya Pemerintahan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa. Pernyataan tersebut menunjukan komitmen negara untuk melindungi warganya dari ancaman, termasuk ancaman bencana yang dalam satu dekade terakhir ini begitu sering terjadi di Indonesia. Dalam konteks tersebut, pemerintah telah menetapkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai pedoman utama dalam menghadapi ancaman bencana. Dengan aturan itu, melindungi segenap bangsa dari ancaman bencana menjadi tugas wajib bagi pemerintah. Oleh karena itu, ketika ada bencana di wilayah NKRI, p e m e r i nt a h h a r u s s e g e ra b e r t i n d a k u nt u k meringankan beban masyarakat yang terkena dampak bencana. Hak-hak warga yang terkena bencana telah diatur dengan jelas dalam UU No.24 Tahun 2007 pasal 26. Dengan aturan tersebut, warga yang terkena bencana berhak menuntut pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti tempat tinggal, pendidikan, layanan kesehatan, sumber penghidupan maupun dukungan psikososial. Dalam konteks erupsi Merapi, salah satu kebutuhan mendasar bagi warga terdampak adalah tempat tinggal. Erupsi maupun lahar dingin telah membuat sekitar 2.500 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal sekaligus batas lahan. Pascaerupsi, warga yang kehilangan rumah sempat hidup di pengungsian sebelum dipindahkan ke hunian sementara (Huntara). Mereka tinggal di Huntara sembari menunggu pembangunan hunian tetap (Huntap) yang ditargetkan selesai pada akhir 2012. Namun hingga dua bulan menjelang akhir 2012, belum semua Huntap selesai dibangun. Ratusan Huntap bahkan baru mulai dibangun. Padahal pembangunan Huntap membutuhkan waktu sedikitnya tiga bulan. Selain itu, sejumlah Huntap dibangun di lahan yang lokasi Huntara sehingga warga penghuni Huntara harus kembali mengungsi. Mereka harus mencari lokasi pengungsian sendiri. Mereka juga menanggung sendiri biaya pengungsian, mesk ipun mata pencaharian mereka belum sepenuhnya pulih pascaerupsi Merapi 2010. Kondisi semacam itu perlu menjadi bahan refleksi bersama dan perlu segera dicari jalan keluarnya. Jangan sampai kondisi semacam itu terulang. Jangan sampai berkali-kali terkena bencana, namun kita masih kerap terlambat menangani dampaknya. (*)
Relokasi Beriringan dengan Pemulihan Ekonomi dan PRB bencana, dan terbentuknya tim PRB desa. “Untuk evakuasi itu, saya membayangkan nantinya ada sistim encon, artinya desa yang rawan bencana dipasangkan dengan desa tujuan pengungsian sementara. Jadi warga di desa terdampak bencana dengan desa tujuan pengungsian sementara itu sudah menjalin komunikasi dan persaudaraan sebelum bencana terjadi. Ini akan memudahkan proses evakuasi,” tuturnya.
IOM / Idha
Relokasi warga dari hunian sementara (Huntara) ke hunian tetap (Huntap) bukan sekadar memindahkan manusia, namun juga kehidupannya. Oleh karena itu, proses relokasi harus dilakukan beriringan dengan upaya pemulihan mata pencaharian dan peningkatan kapasitas warga dalam upaya pengurangan risiko bencana (PRB). Kepala BPBD Kabupaten Sleman Urip Bahagia menuturkan, saat ini pembangunan Huntap sebagai bagian dari proses relokasi masih berjalan. Pembangunan Huntap ditujukan bagi warga di daerah yang rawan terkena erupsi Merapi maupun banjir lahar dingin. Menurut dia, proses relokasi itu dilakukan beriringan dengan upaya pemulihan ekonomi dan PRB. Saat ini, pemulihan ekonomi tengah dilakukan bekerjasama dengan berbagai instansi dan lembaga terkait. Adapun untuk PRB, upaya yang sudah dilakukan adalah membangun kembali sistem peringatan dini dan jalur evakuasi, serta meningkatkan kapasitas warga dengan merancang rencana kontinjensi mulai dari tingkat kabupaten hingga dusun. Rencana kontijensi itu disusun bagi 22 dusun yang rawan bencana erupsi dan banjir lahar dingin di wilayah Sleman. Rencana kontinjensi itu mencakup empat hal, yaitu penyusunan prosedur standard (SOP) untuk evakuasi manusia, evakuasi ternak, sistim komunikasi tanggap
LAYANG PRB
Penolakan warga Meski begitu, ia mengakui proses relokasi di Kabupaten Sleman tidak berjalan sesuai rencana karena ada warga yang menolak. Berdasarkan data BPBD Sleman, saat ini masih ada 592 kepala keluarga yang belum bersedia mengikuti relokasi. Warga yang menolak relokasi itu tersebar di Dusun Kalitengah lor, Kalitengah Kidul dan Srunen (Desa Glagaharjo) dan Dusun Pangukrejo (Desa Umbulharjo). Empat dusun itu termasuk dalam daftar sembilan dusun yang tidak direkomendasikan menjadi wilayah hunian. Menurut dia, warga tidak mau direlokasi karena dalam erupsi lalu lahan mereka tidak terkena dampak erupsi secara langsung, melainkan terkena ses atau debu dari material erupsi. Rumah mereka memang hancur, namun batas lahan mereka masih jelas sehingga mereka memilih kembali menempati lahan tersebut. Berdasarkan pemantauannya di lapangan, sejumlah warga yang mampu telah membangun rumah di kawasan tersebut. Terkait dengan kondisi itu, pihaknya masih menunggu perkembangan. “Sementara ini kami tidak melakukan intervensi di dusundusun tersebut, termasuk untuk program pemulihan ekonomi. Namun kami tetap membangun jalur evakuasi, sistem peringatan dini, dan memberikan pelatihan peningkatan kapasitas warga dalam hal pengurangan risiko bencana (PRB),” jelasnya. (RAS)
... proses relokasi harus dilakukan beriringan dengan upaya pemulihan mata pencaharian dan peningkatan kapasitas warga dalam upaya pengurangan risiko bencana (PRB). - Urip Bahagia-
PENANGGUNG JAWAB PRODUKSI : Diana Setiawati (IOM), Danang Samsurizal (Koordinator Forum PRB DIY) PENYUNTING : Diana Setiawati, Idha Saraswati (IOM ), Aris Sustiyono (Forum PRB DIY), Mariana Pardede (Forum PRB DIY) REPORTER : Idha Saraswati, Lubabun Ni’am LAYOUT : Sampur Ariyanto (IOM) KONTRIBUTOR : Aris Sustiyono, Mariana Pardede. Alamat Redaksi : Gedung KESBANGLINMAS DIY Lt 2, Jl Sudirman No 5, Yogyakarta email : layang_prb@yahoo.com Redaksi Layang PRB menerima tulisan opini sepanjang 5000 karakter (termasuk spasi) dilengkapi biodata singkat penulis. Bagi tulisan yang dimuat, redaksi akan memberikan honor sepantasnya.
LAYANG PRB
INFO FORUM PRB
Edisi Oktober-November 2012
Negara Asia – Pasifik Berkomitmen Laksanakan Deklarasi Yogyakarta YOGYAKARTA – Sebanyak 50 negara peserta konferensi tingkat menteri bidang pengurangan risiko bencana atau Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR) ke-5, 22 – 25 Oktober 2012, menghasilkan komitmen bersama yang disebut “Yogyakarta Declaration on Disaster Risk Reduction in Asia and the Pacific 2012”. Deklarasi Yogyakarta tersebut berisi rekomendasi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam agenda pembangunan pasca-2015. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif membacakan Deklarasi Yogyakarta itu dalam penutupan AMCDRR di Jogja Expo Center, Yogyakarta, Kamis (25/10). Deklarasi itu berisi tujuh butir rekomendasi. Rekomendasi pertama menyebut pentingnya mengintegrasikan upaya pengurangan risiko bencana di tingkat lokal dan adaptasi perubahan iklim dalam perencanaan pembangunan nasional. Rekomendasi kedua menyatakan pentingnya kajian terhadap risiko finansial akibat bencana. Rekomendasi ketiga menyebut pentingnya penguatan tata kelola dan kemitraan dalam menghadapi risiko bencana di tingkat lokal.
Informasi Pengurangan Risiko Bencana di “Kampoeng PRB” YOGYAKARTA – Bersamaan dengan agenda Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction atau AMCDRR ke-5, 22 – 25 Oktober di Jogja Expo Center, Yogyakarta, Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB DIY) menyelenggarakan pameran bertajuk “Kampoeng PRB” di halaman Hotel Royal Ambarukmo Yogyakarta. Pameran ini d i i k u t i l e m b a g a y a n g b e rg e r a k d a l a m u p ay a penanggulangan bencana di tingkat lokal hingga internasional. Selain menyemarakkan kegiatan AMCDRR, “Kampoeng PRB” digelar guna menyebarluaskan informasi dan pengetahuan mengenai upaya meningkatkan
Rekomendasi keempat adalah membangun daya lenting masyarakat di tingkat lokal. Praktik-praktik penguatan daya lenting komunitas yang baik perlu diinformasikan agar menjadi inspirasi bagi komunitas lain. Rekomendasi kelima berisi ajakan bagi negara-negara peserta untuk mengidentifikasi hal-hal yang akan dicapai pasca-2015. Kemampuan pemerintah, komitmen politik, keterlibatan publik, dan pengetahuan masyarakat tentang bencana harus dievaluasi. Rekomendasi kelima ini disampaikan terkait dengan akan berakhirnya Hyogo Framework of Action (HFA) pada 2015 mendatang. HFA merupakan rencana kerja pengurangan risiko bencana alam periode 2005–2015. HFA dirumuskan pada 2005 lalu dalam World Disaster Reduction Conference di Kobe, Hyogo, Jepang. Hingga 2012, HFA sudah diadopsi oleh 168 negara. Rekomendasi keenam menyatak an perlunya mengurangi faktor-faktor risiko bencana. Sedangkan rekomendasi ketujuh menyatak an pentingnya memasukkan isu-isu lintas sektoral dalam HFA. Ini bisa dilakukan dengan melakukan upaya pengurangan risiko bencana yang inklusif, memperhatikan gender, disabilitas, kesiapsigaan maupun pengurangan risiko bencana di tingkat lokal. Total ada 17 lembaga anggota FPRB yang menyemarakkan pameran ini. Mereka antara lain IMDFFDR, T-Nol, MercyCorps, LPTP Surakarta, Hijau GPL, Combine, Yakkum Emergency Unit (YEU), IDEA dan Koperasi Kaliadem Sejahtera, YP2SU, KYPA, Perkumpulan Lingkar, Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA), Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) DIY, PALUMA, Yayasan Lestari Indonesia (YLI), Jogja Cepat Tanggap (JTC), dan PKPU. Masing-masing peserta menampilkan informasi mengenai proses maupun hasil kegiatan pendampingan masyarak at yang per nah dilak uk an, ter masuk menampilkan produk-produk kar ya masyarakat dampingan. Informasi tersebut dituangkan dalam leaflet, poster, sticker, PIN, maupun buku yang dibagikan secara gratis kepada pengunjung pameran. Dengan membagikan informasi tersebut, masyarakat yang mengunjungi “Kampoeng PRB” diharapkan bisa
3
latar belakang kultural, dan sebagainya. Tujuh butir rekomendasi Deklarasi Yogyakarta juga dilengkapi dengan pernyataan sikap dari perwakilan anak dan remaja, masyarakat sipil, organisasi dan individu yang bergerak di isu disabilitas, organisasi dan individu yang bergerak di isu gender, pemerintah lokal, palang merah dan bulan sabit merah, parlemen, sektor swasta, peneliti dan akademisi, serta media yang berkomitmen mendukung upaya pengurangan risiko bencana. Hasil dari AMCDRR ini akan dibawa ke tingkat global, yakni dalam Global Platform for Disaster Reduction pada Mei 2013 di Genewa, Swiss. Margareta Wahlstrom, Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana, dalam siaran persnya menekankan bahwa isi Deklarasi Yogyakarta sudah beranjak dari kesepakatan sebelumnya yang lebih fokus pada upaya penanganan darurat pascabencana ke perencanaan strategi menghadapi bencana. Deklarasi Yogyakarta juga memberi pemahaman bahwa upaya PRB harus diprioritaskan pada komunitas lokal. “Kita harus mengukur keberhasilan penerapan HFA lebih ke depan. Dalam dua atau empat tahun awal pelaksanaan HFA memang belum kelihatan hasilnya. Sepuluh tahun barulah waktu yang cukup,” ujar Margareta. Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB Sugeng Triutomo mengatakan, Deklarasi Yogyakarta merupakan komitmen pemerintah untuk penanggulangan bencana. Komitmen tersebut diturunkan pada ranah perundang-undangan, kelembagaan, termasuk pendanaan. Pada ranah kelembagaan, Sugeng menganggap, PRB dalam kerangka nasional sudah terpenuhi dengan adanya BNPB. Penerapan PRB di tingkat lokal, terutama soal kelengkapan kelembagaan, adalah prioritas awal yang akan dilakukan setelah AMCDRR. “Sekarang kita lihat di daerah. Apakah sudah punya peraturan daerah tentang penanggulangan bencana? Apakah sudah punya BPBD? Apakah sudah punya juga anggarannya? Itulah mengapa PRB perlu diterapkan sampai di tingkat lokal,” urainya. (LBB, RAS)
PSB / Sigit
Suasana "Kampoeng PRB" yang digelar dalam rangka AMCDRR ke-5 di halaman Hotel Royal Ambarukmo, akhir Oktober silam
mendapatkan informasi tentang bencana dan upaya untuk mengurangi risikonya, sehingga bisa membangun kesiapsiagaan di tempat tinggalnya masing-masing. Selain dikunjungi masyarakat Yogyakarta, “Kampoeng PRB” juga dikunjungi peserta AMCDRR yang berasal dari berbagai negara. (MD)
LAYANG PRB
INFO JOGJA & JATENG
Edisi Oktober-November 2012
4
Produk Warga Merapi Ditampilkan dalam Side Event AMCDRR YOGYAKARTA – Aneka produk para pelaku usaha terdampak erupsi Gunung Merapi di Sleman, Provinsi DI Yogyakarta ditampilkan secara atraktif lewat pertunjukan seni dalam Side Event “The 5th Asian Ministerial Conference in Disaster Risk Reduction (AMCDRR)”, Senin (22/10) di Jogja Expo Center, Yogyakar ta. Per tunjukan tersebut menggambarkan ketangguhan warga Lereng Merapi untuk bangkit dari bencana, sekaligus memperkenalkan sektor potensial yang mendapat dukungan dari “The Indonesia Multi Donor Fund Facility (IMDFF-DR)”. Side Event itu diselenggarakan lembaga pelaksana program Merapi dan Mentawai Livelihood Recovery (JointProgramme) IMDFF-DR, yaitu IOM, UNDP, FAO dan ILO untuk memperkenalkan program pendampingan yang sudah dilakukan, sekaligus mempromosikan produk pelaku usaha yang didampingi. Acara diawali dengan talkshow untuk memperkenalkan program IMDFF-DR. Ketua Tim Teknis
IMDFF-DR Kuswiyanto menjelaskan, mekanisme IMDFF-DR dibentuk untuk memobilisasi dana internasional guna mendukung upaya Pemerintah Indonesia dalam menangani bencana di berbagai wilayah. Saat ini, IMDFFDR mendapat dukungan dari Pemerintah Selandia Baru. Acara dilanjutkan dengan pertunjukan seni. Para penari laki-laki dan perempuan yang mengenakan pakaian tradisional dan rias wajah atraktif membuat komposisi gerak untuk menceritakan kisah warga Lereng Merapi. Pertunjukan seni itu dibagi dalam tiga babak yang menggambarkan kondisi warga sebelum bencana, saat terjadi bencana, dan kondisi ketika mereka berupaya untuk bangkit dari bencana dengan dukungan dari pemerintah dan lembaga internasional. Di akhir pertunjukan, para penari membagikan produk seperti bakpia ubi ungu, keripik jamur, stik sayuran dan salak kepada penonton yang berasal dari berbagai negara. Acara dilanjutkan dengan peragaan busana yang
menampilkan kreasi perancang busana Lulu Lutfi Labibi dan Lia Popperca. Lulu menampilkan kreasi busana bertema “Local Modernity” yang diolah dari kain batik karya kelompok Batik Lereng Merapi di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY. Sedangkan Lia Popperca menampilkan kreasi dompet dan tas yang diolah dari karya sulam bermotif flora dan fauna dari Kelompok Merapi Crafts di Dusun Kuwang, Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY. Diana Setiawati, National Project Manager IOM selaku koordinator Side Events menjelaskan, produk-produk yang ditampilkan merupakan karya kelompok usaha terdampak erupsi Gunung Merapi yang sedang mendapat pendampingan dari Joint-Programme IMDFF-DR. Selain pendampingan teknis seperti pelatihan sesuai sektor dan komoditas mereka, mereka juga diperkenalkan dengan upaya peningkatan kualitas dan nilai tambah produk. (RAS)
IOM/Intan
IOM/Sampur
Ketua Tim Teknis IMDFF-DR Kuswiyanto menyampaikan kata sambutan dalam side events AMCDRR, Senin (22/10) di Jogja Expo Center.
Para model menampilkan karya perancang busana Lulu Luthfi Labibi. Rancangan tersebut dibuat dari kain batik karya kelompok “Batik Lereng Merapi” dari Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DIY.
IMDFF-DR, IOM dan LPTP mempersembahkan
Narasumber - Warga terdampak erupsi Merapi - Perwakilan Pemerintah - Lembaga Swadaya Masyarakat
Waktu Tayang TVRI Yogyakarta
Didukung oleh :
Upaya Pemulihan Mata Pencaharian Dan Pengurangan Risiko Bencana Pascaerupsi Gunung Merapi
Obrolan Angkringan Minggu 11 November & 9 Desember 2012 Radio Sonora 97,4 FM
Talkshow Interaktif Setiap Kamis & Selasa Mulai 6 November s/d 11 Desember 2012 Jam 18.00 - 19.00 wib.
IOM • OIM
INFO JOGJA & JATENG
LAYANG PRB Edisi Oktober-November 2012
5
Musim Hujan, Waspadai Banjir Lahar Dingin YOGYAKARTA – Memasuki musim hujan, masyarakat yang tinggal di sekitar sungai yang berhulu di Gunung Merapi diminta waspada. Kemungkinan terjadinya banjir lahar dingin masih besar karena saat ini sisa material erupsi di Gunung Merapi diperkirakan mencapai 77 juta meter kubik. Hal itu disampaikan Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Badan Geologi Yogyakarta Subandriyo, saat berbicara dalam pengambilan gambar program “Obrolan Angkringan” di Stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) Yogyakarta, Jumat (2/11). Program bertema “Merapi Menyambut Musim Hujan” yang diselenggarakan IOM, LPTP, bersama TVRI Yogyakarta tersebut disiarkan pada Minggu (11/11). Dalam acara itu, Subandriyo menjelaskan bahwa setiap tahun sisa material erupsi berkurang sekitar 20 persen. Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya lahar dingin pada musim hujan masih akan terus ada hingga beberapa tahun mendatang. Adapun besar kecilnya ancaman banjir lahar dingin tergantung pada tingginya curah hujan. Saat ini, 40 persen volume lahar dingin berada di bagian selatan atau mengarah ke wilayah Yogyakarta. Sedangkan sekitar 30 persen volume lahar dingin lainnya berada di wilayah barat atau mengarah ke Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Meskipun sisa material di wilayah selatan lebih banyak, kemungkinan terjadinya banjir lahar dingin lebih besar di bagian barat karena jenis material sisa erupsi di wilayah barat lebih halus dan sangat mudah terbawa air hujan. Oleh karena itu, warga di Kabupaten Magelang harus meningkatkan kewaspadaan. Adapun untuk wilayah Yogyakarta, kemungkinan terjadinya banjir lahar dingin lebih kecil karena jenis materialnya merupakan endapan awan panas yang lebih padat dan tidak mudah terbawa aliran air hujan. Namun
warga di yang tinggal di sekitar aliran sungai Boyong dan Code di Kota Yogyakarta harus waspada. “Di sungai tersebut material lahar dingin yang sebenarnya tidak mudah turun menjadi banjir. Namun warga harus tetap waspada, karena kalau sampai terjadi banjir, Sungai Boyong yang berlanjut ke Sungai Code itu melewati kawasan padat penduduk,” jelasnya. Sriyanto, warga Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman yang juga mengisi program Obrolan Angkringan menuturkan, sebagai warga
yang tinggal di wilayah hulu, pihaknya tidak terkena dampak langsung banjir lahar dingin. Meski begitu, ia dan warga desa lain yang terkena dampak erupsi Merapi merasa ikut bertanggungjawab untuk memantau banjir lahar dingin dan menyampaikan informasinya kepada warga di bawah. Dengan begitu, warga bisa menyiapkan diri menghadapi banjir lahar dingin. “Kami juga selalu berusaha ngabari sedulur (memberi kabar kepada saudarasaudara) di bawah,” ujarnya. (RAS)
IOM / Sampur
Suasana pengambilan gambar program “Obrolan Angkringan” di Stasiun TVRI Yogyakarta, Jum’at (2/11).
Warga Jumoyo Bersiaga Sambut Hujan MAGELANG – Warga Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah meningkatkan kesiapsiagannya dalam menyambut musim penghujan. Hal itu dilakukan guna menghindari banjir lahar dingin di desa mereka. Sungkono, Kepala Desa Jumoyo, menuturkan masyarakat di Jumoyo telah mendapat informasi mengenai endapan material sisa erupsi yang siap meluncur ke bawah dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta. “Ini yang membuat pemerintah desa beserta relawan bersiap-siap menghadapi musim hujan 2012–2013,” ujarnya, saat ditemui akhir Oktober silam.
Ia menjelaskan, di tingkat desa ada organisasi pengurangan risiko bencana. Organisasi tersebut beranggota lebih dari 100 orang. Mereka dilengkapi fasilitas seperti alat komunikasi berupa handy talkie, motor trail, dan ambulans. Desa Jumoyo juga memiliki radio komunitas bernama Lahara 101,7 FM. Ketika situasi sedang tenang, radio ini lebih banyak memutar lagu. Namun di saat mulai terjadi banjir, radio komunitas ini menjadi media utama bagi warga yang ingin mendapatkan informasi tentang Gunung Merapi. “Kami pun bekerja sama dengan BMKG (Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika), BPPTK Yogyakarta, dan Universitas Gadjah Mada terkait
perkembangan terkini di puncak Merapi,” terangnya. Pemerintah Desa Jumoyo juga memetakan daerah rawan banjir lahar dingin berkoordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang. Menurut Sungkono, hampir seluruh wilayah di pinggir Kali Putih rawan terkena banjir lahar dingin, mulai dari Dusun Dowakan (125 rumah), Kenduran (225 rumah), Seloiring (215 rumah), dan Gempol (seluruh rumah). “Kami menyiapkan leaflet supaya informasi tentang banjir ini dapat dikomunikasikan. Kami akan selalu mengingatkan kepada masyarakat akan bahaya banjir. Kami selalu mengadakan pertemuan rutin dan penyuluhan kepada masyarakat,” tambahnya. (LBB)
LAYANG PRB
OPINI
Edisi Oktober-November 2012
6
Dua Tahun Pascaerupsi : Pelajaran dari Merapi Oleh :
Sukiman Mochtar Pratomo Koordinator Radio Komunitas Lintas Merapi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah
Bagi warga, dahsyatnya letusan Merapi bukan menjadi hal yang perlu ditakutkan, tetapi justru menjadi pembelajaran. Yakni bahwa kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana tidak bergantung seratus persen pada program pemerintah, melainkan menjadi menjadi tanggungjawab pribadi, keluarga, dan kelompok masyarakat yang hidup di kawasan rawan bencana. Masyarakat yang enggan meninggalkan bekas kampung halaman bukan berarti tidak tahu sewaktuwaktu Merapi mengancam jiwanya. Tetapi mereka merasa bisa hidup nyaman menghadapi ancaman yang bisa datang kapan saja tersebut. Kenyamanan bagi warga Merapi tentu saja berbeda dengan makna “nyaman” bagi warga di luar Merapi. Kenyamanan warga Merapi muncul karena mereka mempunyai cara sendiri untuk mengantisipasi terjadinya erupsi di kemudian hari. Warga mempunyai modal berupa kebersamaan, gotong-royong serta saling berbagi tugas baik sebelum maupun sesudah bencana. Sedangkan bagi sebagian warga yang bukan dari Merapi, yang dimaksud “nyaman” mungkin adalah meninggalkan kampung halaman untuk menjauhi Merapi. Akan tetapi jika mau mengikuti pendapat itu, beberapa faktor terkait program relokasi untuk pengurangan risiko bencana justru menimbulkan ketidaknyamanan bagi sebagian warga. Tidak semua program relokasi itu baik, demikian pula sebaliknya, tergantung bagaimana pelaksanakan program tersebut. Contohnya terjadi pada warga Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Klaten, Jawa Tengah yang terkena dampak erupsi Merapi. Dari 165 Kepala Keluarga (KK) yang dianjurkan untuk ikut relokasi, hingga artikel ini ditulis baru 31 KK yang menyetujui. Keengganan warga untuk menyetujui program relokasi itu muncul karena mereka melihat pengalaman warga yang telah mengikuti program relokasi. Warga Balerante yang menyetujui relokasi telah ditempatkan di dekat Balai Desa. Lokasi tersebut masih berada di kawasan rawan bencana karena berada di dekat Sungai Woro. Mengutip Radio Lintas Merapi yang menerangkan bahwa awan panas mengalir mengikuti sungai yang berhulu di kawah gunung Merapi, warga pun
mengusulkan untuk direlokasi ke tempat lain yang dinilai lebih aman. Namun sampai sekarang mereka belum mendapat kejelasan mengenai kelanjutan program relokasi tersebut. Kemandirian warga Lain cerita dengan warga di sebelah timur Sungai Woro, yakni di Desa Sidorejo dan Tegalmulyo Kecamatan Kemalang, Klaten. Erupsi Merapi 2010 mendorong warga membangun kesiapsiagaan secara bergotong royong. Meraka mendirikan Tim Siaga Desa (TSD) secara mandiri. Warga juga secara mandiri dan sadar mewujudkan makna hidup ‘nyaman’ di sekitar Merapi dengan mengantisipasi dampak bencana di berbagai aspek. Sektor ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan, semuanya berorientasi pada kesiapsiagaan mengadapi ancaman erupsi Merapi. Bahkan salah satu Rukun Warga (RW) sudah mempunyai prosedur tetap (Protap) RW. Untuk meningkatkan kesiapsiagaan, masing-masing warga diajak menabung lewat program Tabungan Siaga Bencana yang dikelola oleh masing-masing Rukun Tetangga (RT). Tabungan itu disimpan di bank secara kolektif. Dana Tabungan Siaga Bencana itu berguna bagi warga yang harus tinggal di pengungsian ketika Merapi kembali meletus. Bagi dua RW di Desa Sidorejo yang berjarak empat kilometer dari puncak Merapi, tidak mengikuti relokasi bukan berarti tidak melakukan upaya menghindari risiko bencana erupsi Merapi. Jika Merapi kembali meletus, mereka sudah merencanakan untuk pindah sementara waktu ke lokasi yang aman dengan membawa ternak serta harta bendanya. Kepindahan sementara itu akan ditopang dana Tabungan Siaga Bencana. Mereka sudah menghitung perkiraan jumlah uang minimal yang dibutuhkan selama mengungsi. Setiap hari, masingmasing individu akan membutuhkan uang makan sekitar Rp 25.000 –
Isi dari artikel yang berupa opini dalam Layang PRB ini adalah tanggung jawab penulis dan tidak mewakili opini lembaga. Doc. Pribadi
Rp 30.000. Jika mereka harus mengungsi selama 45 hari, maka mereka membutuhkan Rp 1,2 juta. Jika Merapi meletus setiap empat tahun sekali, maka mereka perlu menyisihkan dana Rp 300.000 per tahun, atau Rp 25.000 per bulan. Jika pemerintah menyediakan makan selama pengungsian, dana yang ditabung itu akan digunakan untuk membiayai evakuasi ternak. Menarik untuk menyimak obrolan warga saat cangkrukan (berkumpul). Menurut mereka, saat Merapi kembali meletus, pemerintah perlu mempertimbangkan pilihan-pilihan berikut : 1. Menyediakan pakan ternak saat Merapi Waspada, atau mengganti ternak yang mati. 2. Melayani pengungsi, atau melibatkan masyarakat sehingga tidak perlu melayani melainkan hanya menyediakan bahan makanan. 3. Menyediakan fasilitas mandi cuci kakus (MCK) dan air, atau membangun barak Pengungsian. 4. Membangun kebersamaan dengan masyarakat, atau memilih terjadinya konflik berkepanjangan di lokasi pengungsian.
LAYANG PRB Edisi Oktober-November 2012
7
Mengungsi ... (sambungan hlm. 1) yang saat ini sedang dibangun. “Saya belum tahu rumah itu jadinya kapan,” tambahnya. Jika Purwaningsih memilih kembali ke rumah, Ahmad Kardan (37) kini mengungsi di bangunan berdinding anyaman bambu dan tripleks. Ahmad sekeluarga tinggal di bangunan semi permanen itu bersama sekitar 30 warga lainnya. Ia tak punya pilihan tempat mengungsi lain karena rumahnya di Dusun Srodokan, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, sudah hancur terkena erupsi Merapi. Bangunan semi permanen yang bersekat-sekat itu disediakan pemerintah bagi eks penghuni Huntara Dongkelsari. Huntara di Desa Wukirsari ini juga dibongkar karena dijadikan lokasi pembangunan Huntap. Ahmad yang pandai merancang rumah adalah salah satu Ketua Kelompok Pemukim (KP) di Huntap Dongkelsari. Sebagai Ketua KP, ia bertugas memastikan pembangunan sekitar 70 rumah dari total 146 rumah yang sedang dibangun di lokasi tersebut.
Ia menuturkan, pembangunan Huntap Dongkelsari direncanakan selesai pada Desember 2012. Selama masa pembangunan, warga yang dulu menghuni Huntara itu harus pindah. Keputusan untuk pindah sementara waktu itu sudah disepakati warga. Mereka pun pindah dari Huntara tanpa bantuan biaya dari pihak manapun. Jika Ahmad dan 30 warga memilih tinggal di bangunan semipermanen, ada warga lain yang memilih mengontrak rumah, ada pula yang pindah di huntara lain yang tidak berpenghuni. Separuh lebih penghuni huntara mengungsi di rumah famili di lokasi yang terpencar-pencar. Menurut Ahmad, pembangunan Huntap Dongkelsari terbilang lamban. “Padahal kepastian tempat pembangunan huntap di sini sudah lama, dari sekitar Maret,” paparnya. Meski demikian, ia dan warga yang lain sudah merasa nyaman untuk tinggal di lokasi tersebut. “Di sini air melimpah, akses jalan juga mudah. Warga senang di sini,” ujarnya datar. (LBB, RAS)
IOM / Idha
Sejumlah warga masih menghuni dan beraktivitas di Huntara Gondang 3 yang sudah dibongkar untuk dijadikan lokasi Huntap.
Huntap ... (sambungan hlm. 1) Kawasan rawan bencana Pembangunan 2.170 unit rumah bagi warga terdampak erupsi Merapi dilakukan di sembilan desa di wilayah Kabupaten Sleman, Provinsi DI Yogyakarta, dan empat desa di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Pembangunan Huntap M erapi ini dilaksanakan di luar Kawasan Rawan Bencana (KRB) III. KRB III telah ditetapkan sebagai kawasan tidak layak huni. Oleh karena itu warga yang sebelumnya tinggal di KRB III direlokasi ke kawasan lain, baik secara mandiri (membangun Huntap di tanah sendiri) maupun kolektif (Huntap dibangun di lahan yang disediakan pemerintah daerah). Untuk pembangunan Huntap itu, pemerintah memberikan stimulus senilai Rp 30 juta per unit rumah. Satu unit rumah diberikan kepada satu kepala keluarga. Rumah yang dibangun adalah rumah tipe 36 yang konstruksinya dirancang tahan gempa. Luas lahan untuk setiap rumah 100 meter persegi, ditambah fasilitas umum seluas 50 meter persegi per rumah. Wijang menjelaskan, konsep uluran pemerintah kepada korban Merapi adalah bantuan. “Jadi itu bukan ganti rugi. Makanya ketika jumlah bantuan pemerintah tidak bisa mengganti keseluruhan harta benda korban yang lenyap karena bencana erupsi, maka itulah batas kemampuan pemerintah,” tandasnya. Secara terpisah, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman Urip Bahagia menuturkan, pembangunan perumahan bagi warga terdampak erupsi dan banjir lahar dingin Merapi di Kabupaten Sleman ditargetkan selesai pada akhir 2012. Rumah dikatakan selesai jika sudah memenuhi unsur RM2, yakni rapet (dinding, atap, jendela dan pintu sudah terpasang), murup (listrik menyala) dan mancur (air mengalir). “Semuanya sekarang sedang dalam proses pembangunan,” katanya. (LBB, RAS)
Perkembangan Pembangunan Hunian Tetap Merapi Lokasi
Kategori
Desa Umbulharjo Tersebar Mandiri Huntap Karangkendal Mandiri & TKD Huntap Plosokerep TKD Desa Kepuharjo Tersebar Mandiri Huntap Batur TKD Huntap Pagerjurang TKD Desa Wukirsari Tersebar Mandiri Huntap Gondang 3 TKD Huntap Gondang 2 TKD Huntap Dongkelsari TKD Desa Glagaharjo Tersebar Mandiri Huntap Gading TKD Huntap Jetis Sumur TKD Huntap Banjarsari TKD Desa Argomulyo Tersebar Mandiri Huntap Kuwang TKD Huntap Randusari TKD Desa Sindumartani Tersebar Mandiri Huntap Kuripan TKD Mandiri Desa Bimomartani Mandiri Desa Selomartani Mandiri Desa Sendang Agung Jumlah di DI Yogyakarta 4 Desa di Magelang, Jawa Tengah Jumlah DI Yogyakarta dan Jawa Tengah
Jumlah
Selesai
Status Proses Fisik
Persiapan
31 81 70
31 81
226 204 301
226 184 301
82 36 89 147
82
38 62 81 178
38 59 77 169
36 138 122
31
5 138 122
49 38 3 1 22 2035 135 2170
26
23 38 3 1 22 378 0 378
35
10
10
36 89 147
1305 0 1305
3 4 9
317 135 452
Sumber: Buletin REKOMPAK edisi Oktober 2012 dan pemutakhiran data hasil wawancara dengan Wijang Wijanarko pada Selasa, 8 November 2012. *TKD adalah Tanah Kas Desa
LAYANG PRB
PROFIL
Edisi Oktober-November 2012
8
MERAPI CRAFTS
IOM/Intan
www.merapi-kuwang.com
Sulam Cantik dari
IOM/Intan
Merapi Crafts
Dompet berbahan kain denim yang dihias dengan pola sulam cantik menarik minat para pengunjung pameran dalam rangka The 5th Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR), 22 -25 Oktober silam, di halaman Hotel Royal Ambarukmo, Yogyakarta. Dompet-dompet cantik itu adalah buah tangan para perempuan dari Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarya, dalam usahanya untuk bangkit pascaerupsi Gunung Merapi 2010. Para perempuan pembuat dompet sulam itu tergabung dalam kelompok “Merapi Crafts”. Mereka membuat dompet secara manual. Dompet tersebut dilapisi dengan bahan yang empuk sehingga bisa dipakai sebagai wadah telepon genggam maupun hardisc eksternal. Permukaan dompet itu dihiasi dengan guntingan kain perca batik warna alam yang membentuk pola tertentu, seperti Gunung Merapi, rumah, awan, burung-burung, bunga, maupun pepohonan. Polapola itu dipercantik dengan sentuhan benang sulam. Purwaningsih (49), Ketua Kelompok “Merapi Crafts” menuturkan, usaha pembuatan dompet sulam itu dimulai akhir 2011 silam. “Waktu itu ada program pendampingan dari Universitas Gadjah Mada, saya dan para perempuan di shelter Kuwang diajari membuat dompet yang dihias dengan sulam,” tuturnya. Dalam pelatihan itu, mereka diajari jenis-jenis tusuk dalam menyulam. Jenis-jenis tusuk itulah yang diterapkan dalam menghias dompet. Usai pelatihan, mereka mendapat pasokan kain untuk melayani pesanan dompet dari UGM. Masing-masing anggota “Merapi Crafts” membuat sendiri dompet-dompet itu dari bahan baku hingga menjadi barang jadi. Mereka memotong kain, menjahit, memasang resleting lalu menghiasinya dengan benang sulam. Untuk setiap dompet yang sudah jadi, mereka mendapat upah Rp 5.000. Seiring waktu, mereka memperbanyak jenis produk yang dibuat. Selain dompet, mereka juga membuat wadah komputer jinjing, tas selempang, maupun tas dari kain blacu dengan hiasan sulam. Mereka juga membuat aneka assesoris dari manik-manik, seperti gelang, kalung, dan bros. Menurut Purwaningsih, usaha membuat dompet itu bisa mengisi waktu luang para anggotanya. Meski demikian, hasilnya masih terlalu kecil sehingga belum bisa diharapkan
untuk membantu perekonomian keluarga. Hal itu terjadi karena dalam satu hari, mereka maksimal hanya bisa membuat tiga buah dompet Selama ini, selain menunggu pesanan dari UGM, warga juga mengandalkan pemasaran produknya melalui pameran serta menitipkannya ke Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Sleman. Oleh karena itu, mereka bercita-cita bisa membuat dompet dan memasarkannya sendiri tanpa tergantung pihak lain. Melalui program pendampingan pemulihan mata pencaharian dan pengurangan risiko bencana yang difasilitasi The Indonesia Multi Donor Fund for Disaster Recovery (IMDFF-DR), International Organization for Migration (IOM) berupaya meningkatkan kapasitas anggota “Merapi Crafts” untuk bisa mengembangkan usahanya. Tujuannya agar mereka bisa mengembangkan berbagai variasi produk serta meningkatkan kualitasnya. Salah satu upaya mengembangkan produk dilakukan dengan menggandeng perancang busana Lia Popperca untuk berkolaborasi dengan anggota “Merapi Crafts”. Kolaborasi itu menghasilkan aneka jenis tas dan dompet bernuansa modern, dengan tetap mempertahankan ciri khas produk “Merapi Crafts”. Hasil kolaborasi itu antara lain ditampilkan dalam Side Event AMCDRR akhir Oktober lalu di Gedung Jogja Expo Center. Di sisi pemasaran, selain mempromosikan produk “Merapi Crafts” melalui pameran, IOM juga berupaya menghubungkan kelompok ini dengan pelaku pasar khususnya di wilayah DI Yogyakarta.
Purwaningsih mengatakan, anggota “Merapi Crafts” yang aktif membuat karya sulam dan assesoris saat ini berjumlah sekitar 29 orang. Mereka berharap bisa mengembangkan usahanya. “Kami ingin usaha ini berkembang sehingga hasilnya bisa diandalkan,” tuturnya. (RAS)
IOM/Intan
Salahsatu hasil perpaduan karya dari perajin Merapi Crafts dan designer Lia Popperca.
Produksi Layang PRB ini didukung oleh : NZ
NEW ZEALAND MINISTRY OF FOREIGN AFFAIRS & TRADE
Aid Programme