LAYANG PRB Eling lan waspada ngadhepi bebaya
Edisi Desember 2012 - Januari 2013
Urun Rembug
Info Forum PRB
Opini
Gatot Saptadi : Pemulihan Ekonomi Menjadi Fokus 2013
Forum PRB DIY Gelar Kongres II
Pembelajaran Tematik bagi Anak-anak di Wilayah Bencana
Halaman 2
Halaman 3
Halaman 6
Bersiasat demi Air Sriyono merasa beruntung, meski terkadang juga merasa heran. Lelaki 40 tahun itu mengaku beruntung karena lokasi rumah baru atau hunian tetap (huntap) miliknya cukup strategis. Ia juga merupakan satu dari sedikit warga yang sudah bisa merasakan aliran air bersih di dalam rumah barunya. Di Huntap Pagerjurang, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, tempat Sriyono kini tinggal, rumahnya berdiri persis di depan rumah produksi yang berada di barisan depan kompleks. Rumah itu berada di deretan rumah bagi warga dari Dusun Manggong, Pagerjurang, dan Kepuharjo. Dari segi spesifikasi, rumah itu sebenarnya sama saja dengan rumah lain di sekitarnya. Akan tetapi, rumah Sriyono saat ini terlihat paling mencolok dibanding rumah lainnya. Dinding depan rumahnya sudah dipoles cantik dengan warna hijau muda. Lantai ruang tamunya berselimut keramik cokelat. Di dalam ruang tamunya, dipajang sejumlah poster pembangunan huntap dan sertifikat huntap yang berbingkai kaca. Rumah itu kerap dipakai sebagai lokasi kunjungan. Bagi Sriyono dan keluarganya, kunjungan berbagai pihak itu kadang terasa merepotkan. Akan tetapi, kunjungan demi kunjungan itu pulalah yang membuat rumahnya kerap mendapat prioritas IOM/Intan dalam realisasi prasarana huntap. Sebuah poster tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pascaerupsi Merapi tampak ditempel di Pada Oktober 2012 lalu, misalnya, Sriyono sudah dapat salah satu tembok bangunan di Hunian Tetap Pagerjurang, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. merasakan segarnya air bersih. Pipa dan meteran air yang ada di rumahnya sudah bisa berfungsi dengan baik. Akan tetapi, ia mengaku heran karena aliran air tidak selalu sudah menempati hunian tetap (huntap). YOGYAKARTA-Partisipasi warga dinilai menjadi Dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi, lanjut dia, lancar. Padahal air sangat diperlukan untuk keperluan sehari-hari kunci guna menjamin keberhasilan program-program data menunjukkan bahwa sumberdaya yang tersedia seperti memasak dan mencuci. Namun setiap kali rencana ada pemulihan pascaerupsi Merapi. Menginjak tahun ketiga sebagian besar digunakan untuk memperbaiki fasilitas kunjungan, aliran air ke rumahnya kembali lancar. “Menjelang pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascaerupsi hunian, infrastruktur, dan ekonomi masyarakat. kunjungan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pekan Merapi, ruang-ruang yang menampung partisipasi Pemerintah telah membelanjakan 89 persen sumber lalu, saluran air lancar,� ujarnya, Rabu (16/1). warga perlu diperluas. Meski air di rumahnya tak selalu lancar mengalir, Sriyono dayanya untuk penanganan darurat di wilayah Eko Teguh Paripurno, Direktur Pusat Studi terdampak langsung dan terdampak lahar, sementara termasuk lebih beruntung dibanding warga yang menempati Manajemen Bencana (PSMB) UPN Veteran Yogyakarta organisasi non-pemerintah telah membelanjakan 97 bagian belakang Huntap Pagerjurang. Sekitar 140 kepala menilai, secara umum pelaksanaan rehabilitasi dan keluarga dari Dusun Kaliadem dan 90 kepala keluarga dari Dusun persen untuk wilayah yang sama. rekonstruksi pascaerupsi Merapi selama dua tahun Petung di Huntap Pagerjurang, misalnya, sampai kini belum Selama ini, program pemerintah dalam pemulihan terakhir sudah berjalan baik. “Membangun hunian pascaerupsi Merapi didasarkan pada Rencana Aksi merasakan fasilitas air bersih. Menurut warga, pipa dan meteran sementara (huntara) adalah salah satu bagian relung Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana air untuk kawasan tersebut baru dipasang pada awal 2013 lalu. rehabilitasi dan rekonstruksi kita. Kita telah berhasil Suminah (45), salah seorang warga pindahan dari Dusun membangun huntara tersebut sesuai kebutuhan,� Erupsi Gunung Merapi di Wilayah Daerah Istimewa Kaliadem, mengandalkan dua tangki berkapasitas 500 liter air Yogyakarta dan Jawa Tengah 2011 2013. katanya, Jumat (4/1). Dokumen Renaksi RR Merapi disusun sebagai untuk menampung air hujan di belakang rumahnya. Air Para penyintas telah menempati huntara yang rencana program dan kegiatan guna membangun tampungan itu ia gunakan untuk keperluan mencuci pakaian disediakan dan telah menyelesaikan masa tinggal di kesepahaman dan komitmen (bersambung ke hlm. 7) maupun peralatan rumah tangga. (bersambung ke hlm. 7) huntara itu. Hingga akhir 2012, sebagian besar penyintas
Ruang Partisipasi Warga Perlu Diperluas
LAYANG PRB
URUN REMBUG TAJUK Catatan Renaksi RR Merapi 2011 - 2012 Tahun 2012 telah berakhir. Tak terasa kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pemulihan pascaerupsi Merapi 2011 - 2013 sudah berjalan selama lebih dari dua tahun. Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menyusun rencana aksi (Renaksi) rehabilitasi dan rekonstruksi sebagai upaya pemulihan pascaerupsi Merapi 2010. Ada lima sektor yang menjadi prioritas Renaksi RR Merapi, yakni sektor perumahan, pembangunan infrastruktur, pemulihan ekonomi produktif, sektor sosial termasuk di dalamnya kesehatan, dan lintas sektor. Harus diakui pemulihan sektor perumahan merupakan program yang begitu rumit dan kompleks. Pemulihan perumahan tidak hanya menyangkut pembangunan fisik rumah, tetapi juga relokasi warga yang berada di zona merah rawan bencana erupsi ke daerah yang dianggap aman. Upaya relokasi membutuhkan waktu panjang karena terkait dengan negosiasi dengan warga yang akan direlokasi. Warga harus diajak bermusyawarah agar proses relokasi tidak berjalan sepihak. Selain itu, pemerintah juga harus mencari lahan yang dapat digunakan sebagai lokasi perumahan bagi warga yang bersedia direlolaksi. Setelah mendapatkan lahan, lokasi tersebut juga harus disiapkan dengan baik agar kontur tanahnya sesuai untuk dibangun perumahan. Hingga akhir 2012, sebagian besar rumah bagi warga yang direlokasi sudah dibangun. Akan tetapi masih ada warga yang belum bersedia direlokasi dengan berbagai alasan. Pemerintah pun tidak memaksa mereka untuk mengikuti relokasi, sambil tetap memberikan kesempatan apabila di kemudian hari mereka bersedia direlokasi. Selain itu pendidikan kesiapsiagaan, sistem peringatan dini serta pembangunan fasilitas jalur evakuasi telah disiapkan. Ketika suatu saat terjadi erupsi, warga yang tidak bersedia direlokasi dapat segera mengungsi melalui jalur-jalur evakuasi yang telah ditetapkan. Semua pihak harus bersikap terbuka dengan kebijakan yang diterapkan. Bagaimanapun kita sesungguhnya menghendaki agar ketika terjadi erupsi di kemudian hari tidak akan ada korban jiwa lagi. Semua pihak juga harus menyadari bahwa ancaman erupsi Gunung Merapi akan terjadi secara rutin sebagaimana yang disampaikan oleh Badan Penelitian dan Penyelidikan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta. Di tahun 2013, kita sangat berharap hal-hal detail yang berkaitan dengan hak-hak warga bisa dipenuhi. Semua pihak diharapkan berperan aktif mendukung upaya pemulihan yang dilakukan pemerintah sehingga hasilnya bisa sesuai harapan. Keberhasilan pemulihan pascaerupsi Merapi akan menjadi keberhasilan semua pihak. Upaya pemulihan itu akan dicatat sehingga bisa menjadi pembelajaran berharga baik bagi warga di lereng Merapi, maupun masyarakat luas.
Edisi Desember 2012 - Januari 2013
2
Gatot Saptadi Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi DIY
Pemulihan Ekonomi Menjadi Fokus 2013
IOM/Idha
Pelaksanaan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi (Renaksi RR) Wilayah Pascabencana Erupsi Gunung Merapi di Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah 2011 – 2013 telah berjalan selama dua tahun. Menginjak tahun terakhir pelaksanaan Renaksi RR Merapi, Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta akan fokus pada upaya pemulihan kehidupan warga terdampak, terutama dengan mendorong pemulihan ekonomi warga. Kepala Pelaksana Harian BPBD DIY Gatot Saptadi saat ditemui Jumat (4/1) menuturkan, setelah pembangunan rumah dilaksanakan pada 2012, fokus pada 2013 bergeser ke pemulihan ekonomi. “Relokasi itu bukan sekadar memindahkan orang, tapi juga kehidupannya. Intinya adalah build back better, jadi tujuan dari upaya ini adalah agar kehidupan warga bisa kembali pulih, dan bahkan lebih baik dari sebelumnya,” tuturnya. Menurut Gatot, secara umum pelaksanaan Renaksi 2011 – 2012 sudah berjalan dengan baik. Fokus pemerintah pada kurun waktu tersebut terutama adalah penyediaan rumah tinggal bagi warga yang direlokasi serta perbaikan infrastruktur. Meski begitu, ia mengakui ada sejumlah kendala yang membuat pembangunan rumah tidak sesuai target. Dari target 2.170 rumah, misalnya, hingga akhir 2013 rumah yang dibangun mencapai 2.083 unit. Itu belum termasuk penyediaan sekitar 500 unit rumah bagi warga yang belum bersedia direlokasi. Oleh karena itu, pada 2013, Pemprov DIY juga masih tetap berupaya menyelesaikan program-program yang belum selesai pada 2012. “Hal-hal yang belum selesai di 2012 tetap akan diselesaikan, sambil fokus ke sektor lain terutama ekonomi, juga sosial, penyediaan infrastruktur lingkungan, maupun lintas sektor,” terangnya. Dari dana pemulihan sebesar Rp 770 miliar yang dialokasikan selama 2011 – 2013, DIY baru menggunakan dana sekitar Rp 300 miliar. Dengan begitu, masih ada sisa
dana sekitar Rp 470 miliar pada 2013. Partisipasi warga Guna menyukseskan pelaksanaan Renaksi Merapi 2013, lanjut Gatot, koordinasi dan kerjasama seluruh instansi terkait baik di tingkat provinsi maupun kabupaten perlu ditingkatkan. Ini karena pemulihan ekonomi, sosial, maupun lintas sektor tidak bisa dikerjakan oleh satu lembaga saja. Ia juga menegaskan bahwa BPBD tidak memiliki kompetensi teknis untuk memulihkan ekonomi, sosial, ataupun membangun infrastruktur. BPBD akan lebih berperan untuk mengkoordinasikan upaya pemulihan dengan instansi terkait yang memang memiliki kompetensi di bidang-bidang tersebut. Untuk pemulihan ekonomi, misalnya, peran Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi maupaun Dinas Pertanian sangat dibutuhkan. Di bidang sosial, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, maupun Dinas Kebudayaan juga perlu berperan aktif. Ia menambahkan, selama 2012, upaya pemulihan ekonomi dan sektor-sektor lainnya sebenarnya sudah mulai dirintis. Salah satu contohnya berupa bantuan ternak sapi dan penyediaan kandang, bekerjasama dengan salah satu perusahaan produsen susu. Kegiatan semacam itulah yang jangkauannya akan diperluas pada 2013. Menurut Gatot, selain koordinasi antarinstansi terkait, salah satu modal utama bagi keberhasilan program pemulihan pascaerupsi Merapi adalah partisipasi warga. Ia menilai, kultur masyarakat di wilayah DIY selama ini sangat mendukung pelaksanaan berbagai program pemulihan. “Warga perlu dilibatkan dalam pelaksanaan program pemulihan. Selama ini warga sudah terlibat aktif sehingga program-program pemerintah bisa berjalan dengan baik,” jelasnya. Selain itu, ia juga menekankan bahwa upaya pemulihan juga harus bisa memberikan manfaat bagi warga yang tinggal di sekitar kawasan hunian tetap. Hal itu penting guna menghindari munculnya gesekan sosial yang justru akan menimbulkan persoalan baru. “Jadi program pemulihan juga harus dialok asik an bagi warga di luar huntap,”
Relokasi itu bukan sekadar memindahkan orang, tapi juga kehidupannya. Intinya adalah build back better, jadi tujuan dari upaya ini adalah agar kehidupan warga bisa kembali pulih, dan bahkan lebih baik dari sebelumnya. - Gatot Saptadi-
LAYANG PRB
INFO FORUM PRB
Edisi Desember 2012 - Januari 2013
3
Forum PRB DIY Gelar Kongres II YOGYAKARTA - Forum Pengurangan Risiko Bencana DI Yogyakarta (F-PRB DIY) menggelar Kongres II pada akhir Januari 2013. Kongres tersebut diadakan guna memilih pengurus baru setelah berakhirnya masa bhakti kepengurusan periode 2009 – 2012. Selain memilih pengurus baru, Kongres II juga bertujuan meningkatkan kapasitas anggota serta organisasi F-PRB DIY dalam mengadvokasi upaya pengurangan risiko bencana (PRB) di semua level pembuatan kebijakan. Terkait dengan itu, Kongres F-PRB II mengambil tema “Memperkokoh Penguatan Kapasitas Lokal dalam Pengurangan Risiko Bencana di DIY”. Tema tersebut dipilih guna menindaklanjuti pertemuan Asian Ministerial Conference on Disaster Risk
Reduction (AMCDRR) ke-5 yang diselenggarakan di Yogyakarta, Oktober 2012 lalu. AMCDRR melahirkan Deklarasi Yogyakarta yang memuat tujuh poin penting terkait dengan upaya pengurangan risiko bencana. Mengawali rangkaian Kongres II, sejak November 2012 FPRB DIY telah menyelenggarakan Workshop Pra-kongres bekerja sama dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY. Workshop tersebut diadakan guna mengkaji secara mendalam topik-topik penting di bidang PRB, seperti UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Perda Penanggulangan Bencana DIY, Rencana Aksi Daerah PRB DIY, Rencana Penanggulangan Bencana DIY, Hasil Longitudinal Study Pemulihan Merapi, maupun poin-poin
Doc. FPRB DIY
Suasana Workshop Pengkajian Statuta dan Rencana Strategis Forum PRB DIY dalam rangka menyambut Kongres Forum PRB DIY II, Kamis (12/12).
Forum Pengurangan Risiko Bencana DI Yogyakarta
Deklarasi Yogyakarta hasil AMCDRR ke-5. Selain itu, FPRB DIY juga menggelar workshop kajian internal terkait dengan rencana strategi (renstra) dan Statuta Forum PRB. Hasil workshop Pra-kongres tersebut akan dibahas kembali dalam Kongres, lalu ditetapkan menjadi pedoman pengurus dan anggota untuk jangka waktu tiga tahun mendatang. Pertama Forum PRB DIY merupakan Forum PRB pertama di Indonesia. Forum PRB DIY mengadakan Kongres I pada Oktober 2009. Kongres tersebut menghasilkan kepengurusan periode pertama (2009-2012). FPRB DIY adalah wadah yang menyatukan berbagai pemangku kepentingan di Provinsi DI Yogyakarta dalam mendukung pengarusutamaan PRB. Sesuai amanat Undang-Undang Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2007 dan Perda DIY No.8 tahun 2010 tentang Penanggulangan Bencana, dalam aktivitasnya selama ini FPRB DIY telah melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintahan, perguruan tinggi, lembaga non pemerintah, INGO, organisasi masyarakat, media, dan pihak swasta. Keberadaan Forum PRB DIY sejauh ini cukup efektif dalam memfasilitasi berbagai kepentingan dalam melaksanakan upaya PRB dan mengadvokasi kebijakan PRB di tingkat daerah dan pusat. FPRB DIY aktif terlibat dalam Penyusunan Peraturan Daerah Penanggulangan Bencana DIY, Penyusunan Rencana Aksi Daerah PRB DIY, Koordinasi Tanggap Darurat Merapi, kampanye PRB, advokasi, pameran-pameran PRB dan lain-lain. Upaya penanggulangan bencana membutuhkan kerjasama dari semua pihak. Keberadaan FPRB DIY perlu dipertahankan agar dapat membantu pemerintah DIY dalam mengkoordinasikan seluruh upaya pengurangan risiko bencana. Oleh karena itu, Kongres II FPRB DIY yang akan mengundang semua anggota terdaftar, maupun yang baru mendaftar, diharapkan bisa berjalan dengan baik. Kongres II juga diharapkan bisa menghasilkan rumusan strategi dan kebijakan yang dapat berkontribusi bagi upaya PRB di DIY maupun Indonesia. (AS)
Selamat & Sukses
KONGRES II Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) DI Yogyakarta
Memperkokoh Penguatan Kapasitas Lokal Dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana di DI Yogyakarta
ka Yogya
rta
1 3 0 3
013 2 i r a u Jan UGM G UC
GEDUN
INFO BUKU
LAYANG PRB Edisi Desember 2012 - Januari 2013
4
Kelompok Rentan Berperan dalam Pemulihan Pascabencana
YOGYAKARTA – Kelompok yang dianggap rentan ternyata bisa berkontribusi signifikan dalam upaya pemulihan pascabencana. Kelompok rentan, khususnya perempuan, bisa dilihat sebagai penyintas yang memiliki kapasitas dan ketangguhan menghadapi situasi krisis atau bencana. Hal itu terungkap dalam bedah buku berjudul “Menolak Pasrah : Gender, Keagenan, dan Kelompok Rentan dalam Bencana�, Jumat (7/12), di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK) UGM. Bedah buku karya Dati Fatimah ini diselenggarakan berkat kerjasama PSKK UGM, AKSARA, Gender Working Froup (GWG) dan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) DIY. Dati Fatimah, pegiat isu gender dan pekerja kemanusian yang aktif di lembaga Perkumpulan AKSARA Yogyakarta, menulis buku tersebut dari hasil kajian empiris terhadap tiga peristiwa bencana di Indonesia. Bencana itu adalah gempa bumi di DIY dan Jateng tahun 2006, gempa bumi di Padang 2009, dan erupsi Gunung Merapi 2010. Penulis melihat bahwa kelompok yang dianggap rentan, khususnya perempuan, ternyata bisa melakukan tindakan yang berkontribusi signifikan terhadap upaya pemulihan pascabencana. Buku setebal 61 halaman itu dibagi menjadi 5 Bab berdasarkan topik bahasannya. Pada Bab I, penulis memaparkan tentang bencana, kerentanan, dan keagenan. Ketiga sub tema tersebut dielaborasi berdasarkan pengalaman empiris penulis dalam kegiatan respons bencana. Sering kali bencana diartikan sebagai gangguan serius terhadap berfungsinya peran komunitas atau masyarakat.
bertahan hidup maupun memulihkan kehidupan pascabencana (Enarson, 2000). Hanya saja sekalipun kelompok rentan kerap menjadi korban dalam jumlah banyak, bukan berarti mereka dilihat sebagai korban yang menjadi objek penderita semata. DETAIL BUKU Mereka justru bisa dilihat sebagai penyintas dengan kapasitas dan ketangguhan menghadapi situasi krisis atau Judul Menolak Pasrah : Gender, Keagenan, dan bencana. Kelompok Rentan dalam Pada Bab II, penulis memaparkan konteks bencana Bencana yang terjadi baik dalam skala global dengan menyuguhkan Penulis Dati Fatimah banyak data kualitatif sebagai referensi historis. Profil Penerbit AKSARA Yogyakarta, kerentanan di Indonesia, serta perkembangan manajemen dengan dukungan dari risiko bencana termasuk dalam menjawab isu gender Oxfam dan The Sasakawa Peace Foundation. dalam bencana juga dipaparkan di bab ini. 61 halaman Bab III berisi penjelasan tentang kaitan antara gender Tebal dengan kerentanan dalam peristiwa bencana. Ada tiga Tahun Terbit 2012 analisis yang dipakai untuk mengelaborasikan persoalan kerentanan yang dihadapi, yaitu kerentanan fisik dan Ini mencakup gangguan terhadap kehidupan, ekonomi, kerentanan sosial dan politik, serta kerentanan sumberdaya material, kehancuran ekonomi ataupun motivasi dan pelaku. lingkungan yang melebihi kapasitas komunitas yang bersangkutan untuk mengatasi dampak bencana dengan Punya kapasitas sumberdaya yang mereka miliki (UN-ISDR). Pada Bab IV, penulis memaparkan dengan jelas Pengertian tersebut menandaskan bahwa semua temuan-temuannya tentang kelompok rentan yang ancaman bencana tidak akan secara otomatis berujung memiliki kapasitas menjadi penyelamat komunitasnya menjadi bencana karena akan ditentukan oleh beberapa dalam bencana. Bagian ini mengupas kapasitas kelompok hal, mulai dari cakupan ancamannya, kerentanan dan rentan, baik untuk peran reproduktif, produktif, maupun kapasitas, serta ketangguhan yang dimiliki suatu komunitas, serta upaya mengelola risiko dan mengatasi komunitas. tekanan dalam bencana. Akses rendah Bab tersebut juga disertai dengan testimoni dari Pada aspek kerentanan, penulis memaparkan beberapa penyintas dari kelompok rentan yang beberapa peristiwa di berbagai negara yang menunjukkan menunjukkan ketangguhannya dalam situasi bencana. dampak bencana terhadap kelompok rentan seperti Mereka memiliki peran signifikan dalam pengelolaan perempuan, anak-anak, lanjut usia (lansia) dan difabel. dapur umum, menjaga dan merawat yang sakit ketika Berdasarkan pengalaman di berbagai negara, kelompok bencana, dan sebagainya. perempuan, anak-anak, lanjut usia dan difabel umumnya Peranan informal semacam itu kerap dilupakan oleh lebih rentan menjadi korban bencana. banyak kalangan. Padahal dengan peran-peran tersebut, Ketika badai topan melanda Bangladesh pada 1991, kelompok rentan memiliki fungsi yang sangat signifikan misalnya, 90 persen dari jumlah korban adalah perempuan dalam situasi darurat pascabencana, terutama ketika (Ikeda, 1995). Saat tsunami Samudra Hindia menerjang bantuan dari lembaga-lembaga formal terlambat datang. sejumlah wilayah pada 2004, 77 persen korban meninggal Berdasarkan temuannya tersebut, pada Bab V penulis adalah perempuan(Oxfam, 2005). menyarankan agar semua pihak yang bergerak di bidang Data tersebut mengindikasikan bahwa kelompok penanggulangan bencana lebih memperhatikan kapasitas rentan berada dalam keterpaparan bencana yang lebih dan ketangguhan kelompok rentan. Dengan keterbatasan tinggi karena sebelum bencanapun mereka telah yang dimiliki, mereka ternyata menolak untuk pasrah diposisikan dalam situasi yang timpang. Dengan kata lain, dalam menghadapi bencana. Mereka justru melakukan dalam berbagai bencana, kelompok rentan dihadapkan sesuatu yang bermanfaat, meskipun peran mereka kerap pada dampak bencana yang lebih berat karena mereka tidak tampak di permukaan. (AS) memiliki akses dan kontrol yang lebih rendah, baik untuk
LAYANG PRB
INFO JOGJA & JATENG
Edisi Desember 2012 - Januari 2013
5
Tim Promosi Desa Dihubungkan dengan Mitra Usaha Potensial YOGYAKARTA – IOM (International Organization for Migration) menyelenggarakan Forum Sharing Pencapaian dan Peningkatan Jejaring (SHAPE Forum), Kamis (20/12) di Phoenix Hotel, Yogyakarta. Forum ini diadakan guna menyediakan ruang jejaring, promosi, sekaligus untuk memperkaya wawasan Tim Promosi Desa di empat desa dampingan IOM di Lereng Merapi, yakni Desa Umbulharjo, Kepuharjo, Wukirsari dan Argomulyo, di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY. SHAPE Forum diselenggarakan dalam rangka Program Pemulihan Mata Pencaharian Pascaerupsi Merapi, di bawah naungan The Indonesia Multi Donor Fund Facility for Disaster Recovery (IMDFF-DR). Acara ini sekaligus menjadi media promosi untuk semua produk industri rumahan yang dalam beberapa bulan terakhir mendapatkan dukungan teknis dari IOM. Peserta forum ini adalah Tim Promosi Desa atau Tim Prodes yang anggotanya merupakan perwakilan dari sejumlah kelompok usaha terdampak erupsi Merapi penerima manfaat program IMDFF-DR, serta perwakilan Tim Siaga Desa di keempat desa tersebut. Tim Prodes dibentuk untuk mempromosikan produk kelompok usaha di desa masingmasing, serta menjalin komunikasi dengan mitra usaha potensial, pemerintah, maupun pemangku kepentingan terkait. Keberadaan Tim Prodes ini sangat penting guna memperluas wilayah pemasaran produk, sehingga usaha masing-masing kelompok bisa semakin berkembang. Dalam SHAPE Forum, produk kelompok usaha dari empat desa ditampilkan dalam rangkaian product show yang dikemas melalui pertunjukkan seni maupun display produk. Produk tersebut antara lain bakpia telo ungu, Batik Lereng Merapi, kerajinan sulam, aneka minuman dari bahan herbal, aneka makanan olahan dari ikan lele, serta aneka makanan olahan dari jamur, umbi, buah-buahan dan sayuran. Dalam forum ini, Tim Prodes dipertemukan dengan mitra usaha potensial, antara lain Asosiasi Pengusaha Tour dan Travel (Asita), Paguyuban Malioboro, Paguyuban Angkringan
Malioboro, Bakpiapia Djogja, Mirota Batik, Pedagang Souvenir Rotowijayan, Via-via Café, Phia Deva, Jejamuran, serta Paguyuban Pedagang Warung Kuningan (PPWK). Selain itu, forum ini juga mempertemukan mereka dengan instansi pemerintah, antara lain Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY, REKOMPAK, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sleman, serta Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Sleman. Salah satu anggota Tim Prodes dari Desa Kepuharjo, Saraswati, mengaku sangat senang bisa mendapat kesempatan untuk bertemu dengan berbagai pihak dalam forum ini. Ia berharap dari forum ini kelompok usaha terdampak erupsi Merapi di Kecamatan Cangkringan bisa membangun jejaring untuk memasarkan produk dan memajukan usahanya. (RAS)
IOM/Intan
Tim Promosi Desa sedang berdiskusi dengan mitra usaha potensial dalam acara Forum Sharing Pencapaian dan Peningkatan Jejaring (SHAPE), Kamis (20/12) lalu.
Warga Lereng Merapi dan Kelud Berbagi Pengalaman KEDIRI – Warga lereng Gunung Merapi di Sleman, DI Yogyakarta berbagi pengalaman dengan warga lereng Gunung Kelud, di Kediri, Jawa Timur, Rabu (19/12). Dalam acara tersebut, warga yang sama-sama tinggal di lereng gunung berapi mendiskusikan berbagai hal terkait upaya pengurangan risiko serta penanggulangan bencana erupsi gunung berapi. Penyebaran informasi tentang bencana menjadi salah satu bahasan dalam pertemuan yang diadakan International Organization for Migration (IOM) dan Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) tersebut. Supriyadi, pegiat Saluran Komunikasi Sosial Bersama (SKSB) Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, misalnya, membagik an pengalamannya terk ait penggunaan handy talky (HT) dalam menyebarkan informasi. Berdasarkan pengalaman erupsi Merapi pada 2006, Supriyadi mengatakan bahwa keterbatasan HT justru mampu dikelola secara maksimal sehingga warga yang mengungsi tetap bisa berkomunikasi dengan warga yang melakukan ronda di desanya masing-masing. Akan tetapi, situasi semacam itu berubah total pada erupsi Merapi 2010. “Frekuensi terlalu ramai sehingga alur informasinya tidak bermutu. Kami kesulitan mengendalikan kekacauan itu,” papar Supriyadi. Khoirul Huda, petugas pengamat Gunung Kelud sekaligus pegiat pengurangan risiko bencana Gunung
Kelud, membenarkan kekacauan dalam sistem informasi tanggap bencana di Merapi. Pada 2011 lalu, dirinya sempat menyalurkan bantuan satu set pemancar pengulang (repeater) ke DIY. Akan tetapi, wilayah Merapi ternyata sudah memiliki terlalu banyak repeater sehingga pengamat gunung berapi agak terkendala dalam menyebarluaskan informasi bencana. Kondisi tersebut berbeda dengan pengelolaan informasi di Gunung Kelud. “Kami menerapkan sistem satu pintu informasi untuk memantau aktivitas Gunung Kelud, yakni di kanal 222. Semua relawan di kanal tersebut sudah mendapatkan surat izin dan pelatihan mengenai informasi kebencanaan,” jelas Khoirul Huda. Selain berbagi pengalaman tentang penyebaran informasi tanggap bencana di Merapi dan Kelud, pertemuan itu juga menjadi ajang memahami ancaman bencana dari aktivitas masing-masing gunung. Untuk itu, warga Merapi menyempatkan diri berkunjung ke Pos Pemantauan Gunung Kelud. Kunjungan ke radio komunitas Sempu Raya 107,7 Mhz juga tak dilewatkan u nt u k b e r t u k a r p e n g a l a m a n te nt a n g s t rate gi menghidupkan radio komunitas. Kunjungan warga Lereng Merapi ke Lereng Kelud itu diharapkan bisa menambah pengetahuan warga mengenai upaya penanggulangan bencana gunung berapi. Kunjungan itu juga diharapkan bisa mempererat hubungan antarwarga, sehingga ke depan mereka bisa
saling mendukung satu sama lain dalam rangka mengurangi risiko bencana di daerahnya masing-masing. (LBB)
LPTP/Niam
Sejumlah warga dari Lereng Merapi, Kabupaten Sleman, DIY berkunjung ke Pos Pengamatan Gunung Api Kelud di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Rabu (19/12).
LAYANG PRB
OPINI
Edisi Desember 2012 - Januari 2013
6
Pembelajaran Tematik bagi Anak-anak di Wilayah Bencana Oleh :
Budi S Koordinator Lingkar Muda Yogyakarta Pendampingan anak-anak di wilayah bencana selalu menjadi program kegiatan relawan. Beberapa bentuk pendampingan berupa pendampingan belajar anak, trauma healing, dan lain-lain, biasanya berorientasi pada tujuan jangka pendek, yaitu menjaga keberlanjutan kegiatan belajar anak dan pemulihan trauma anak akibat bencana yang terjadi di wilayahnya. Selain program jangka pendek tersebut, sebenarnya terdapat alternatif program pendampingan anak lanjutan yang berorientasi pada tujuan jangka panjang, yaitu: - memberikan pemahaman tentang kebencanaan dan cara merespons situasi darurat bencana - pembekalan tentang cara pengurangan risiko bencana di masa depan di wilayah tempat tinggal mereka - penyadaran akan keselarasan hidup manusia dan alam - memupuk rasa solidaritas dan kepedulian antarsesama manusia Pendidikan anak usia dini dengan tema-tema praktis berdasarkan pengalaman peristiwa nyata lebih mudah melekat dalam ingatan. Dari program yang bertujuan jangka panjang tersebut, saat beranjak dewasa mereka diharapkan bisa memiliki referensi dan kemampuan untuk menangani situasi darurat bencana dan pengurangan risiko bencana di tempat tinggalnya masing-masing dengan didasari nilai-nilai keselarasan, solidaritas, dan kepedulian. Dengan begitu, mereka mampu menjadi penggerak masyarakat yang hidup di
wilayah rawan bencana. Salah satu alternatif program pendampingan anak di wilayah pascabencana adalah pembelajaran tematik. Konsepnya adalah memfasilitasi anak-anak untuk mempelajari hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya akibat bencana. Anak tidak diajak untuk melupakan pengalamannya, tetapi diajak untuk mengenal, memahami, dan memaknai pengalamannya tersebut. Metode pembelajaran dilakukan dengan mengajak anak mengamati, ber tanya, meneliti, menganalisis, dan menyimpulkan. Tentunya metode tersebut perlu disesuaikan dengan tingkat kemampuan belajar anak, serta disampaikan dengan menggunakan media bermain dan belajar yang menyenangkan bagi anak. Media tersebut bisa berupa gambar, foto, audio visual, dan lain-lain. Secara umum metode kegiatan yang terdiri dari dari tiga tahapan proses: - Pertama, mengumpulkan data di sekitar wilayah bencana dan pengalaman anak dalam peristiwa kebencanaan. - Kedua, mengembangkan keingintahuan anak dengan mengeksplorasi pertanyaan terkait dengan tema, misalnya bencana erupsi Merapi. - Ketiga, mendampingi anak mencari sumber belajar yang bisa dijadikan acuan jawaban, dan memotivasi anak untuk melakukan penelitian sederhana. - Keempat, mendampingi anak untuk menyusun jawaban dari pertanyaan-pertanyaan mereka sendiri. - Kelima, mempresentasikan hasil penelitian anak. Pada tahap pertama, pengumpulan data bisa dilakukan dengan menggunakan media sederhana berupa kamera pocket maupun kamera telepon genggam. Anak diajak berkeliling mendokumentasikan hal dan peristiwa menarik di sekitar wilayah bencana atau lokasi evakuasi dan pengungsian. Keunggulan dari media ini adalah peralatan foto dan video relatif telah dikenal oleh anak, mudah dioperasionalkan, dan menarik bagi anak. Selain itu, anak juga diajak untuk belajar bermedia sejak dini. Pada tahap kedua, mereka diajak untuk mengeksplorasi rasa ingin tahunya dengan mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan terkait hal maupun peristiwa yang terekam di foto atau video tersebut. Sebagai ilustrasi, pertanyaan yang muncul dari anak misalnya: Apakah hujan abu vulkanik itu? Apakah yang dimaksud dengan gempa vulkanik? Apa yang harus dilakukan saat terjadi letusan Gunung Merapi? Apa wedhus gembel itu? Mengapa saat mengungsi harus berpindah berkali-kali? Mengapa harus mengungsi? Apakah banjir lahar itu? Siapakah relawan itu? Apa arti distribusi logistik? Pertanyaan tersebut kemudian dikelompokkan menjadi topik-topik yang berdekatan, misalnya: topik gunung merapi (hujan abu vulkanik, wedhus gembel, gempa vulkanik), topik
Doc. Pribadi
bencana sekunder (banjir lahar dingin), topik pengungsian (alasan mengungsi, kawasan aman untuk mengungsi). Pada tahap ketiga, anak-anak dibagi ke dalam kelompok untuk merencanakan riset sederhana. Langkah pertama adalah mengumpulkan sumber belajar yang mungkin dijadikan referensi sumber jawaban, misalnya tokoh masyarakat, ahli vulkanologi, internet, buku, guru, orang tua, survei lokasi dan lain-lain. Langkah kedua, kelompok-kelompok tersebut melakukan riset sederhana dengan mewawancarai tokoh masyarakat, ahli vulkanologi, orang tua, guru, relawan, mencari informasi di internet, buku referensi, maupun survei langsung ke lokasi bencana. Untuk melancarkan proses pada tahap kedua ini, pendamping perlu memfasilitasi pengadaan sumber-sumber belajar. Misalnya mengantar anak-anak ke warung internet, ke lembaga vulkanologi untuk bertemu ahli, ke museum terkait, ke lembaga pemerintahan terkait, menemui tokoh desa, menyediakan buku-buku sumber referensi, dan lain sebagainya. Pada tahap keempat, anak didampingi untuk menyusun jawaban secara sistematis dan menuangkannya ke dalam media presentasi kreatif. Media presentasi itu bisa menggunakan koran dinding, bermain peran, cerita bergambar, foto cerita, video proses belajar, dan lain-lain. Pada tahap kelima, anak mempresentasikan hasil belajar tematiknya kepada teman-temannya maupun orang lain. Beberapa hal yang sekaligus dapat dicapai dalam program kegiatan tersebut adalah pengalaman belajar anak secara mandiri, yaitu mengamati, mengungkapkan keingintahuan dengan mengumpulkan pertanyaan, menemukan dan memanfaatkan sumber belajar dan mencari jawaban pada sumber belajar, merumuskan jawaban, dan mempresentasikan jawaban kepada teman-teman sebaya. Selain itu, melalui program semacam ini anak juga bisa mengalami proses trauma healing karena metode yang digunakan bersifat menyenangkan dan aktif melibatkan anak. Selain itu, program ini melibatkan banyak pihak yang memiliki peran penting dalam menyadarkan masyarakat agar siap menghadapi bencana, seperti pemerintah, tokoh masyarakat, para ahli, orang tua, guru, relawan, dan lain-lain. Dari kegiatan semacam ini, anak diharapkan memiliki bekal untuk belajar secara mandiri dan memiliki referensi tentang apa yang perlu dilakukan dalam situasi tanggap darurat bencana, maupun kesadaran tentang pengurangan resiko bencana di manapun mereka berada.
Isi dari artikel yang berupa opini dalam Layang PRB ini adalah tanggung jawab penulis dan tidak mewakili opini lembaga.
LAYANG PRB Edisi Desember 2012 - Januari 2013
7
Bersiasat ... (sambungan hlm. 1)
IOM/Intan
Warga produsen abon lele di Huntap Pagerjurang, Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, sedang mencuci bahan abon lele di belakang rumah mereka, Rabu (9/1). Mereka tetap beraktivitas di tengah pasokan air yang terbatas.
Selain itu, dengan memanfaatkan selang dan pipa seadanya, air dari dalam dua tangki penampungan itu ia salurkan ke dalam bak mandi di samping rumahnya. Ia dan keluarganya mulai terbiasa menggunakan air hujan tampungan itu untuk keperluan mandi dan kakus. Untuk kebutuhan memasak, Suminah punya tangki khusus yang disimpan di dapur. Tangki khusus itu menampung air bersih yang ia ambil dari rumah warga di desa tetangga. Ia biasa mengambil air bersih setiap lima hari sekali. Namun terkadang ia merasa sungkan untuk terus meminta air bersih sehingga terpaksa memasak menggunakan air hujan yang tersisa di tangki besar. Akhir-akhir ini hujan terus turun sehingga persediaan air di dua tangki besarnya tidak pernah surut. Meski begitu, ia tetap mengharapkan adanya aliran air yang bersih dan layak konsumsi di rumah barunya. Ketersediaan air bersih dinilai sangat penting untuk menjaga kesehatan seluruh anggota keluarga. Ia mengaku masih terus mengingat janji pemerintah tentang kesiapan prasarana di Huntap yang disampaikan akhir tahun lalu. Tetapi sampai kini, untuk sekadar penyediaan tangki air pun ia harus bersiasat sendiri. “Seluruh alat untuk menampung air bersih ini dibawa dari shelter,” ungkapnya. (LBB)
Ruang Partisipasi ... (sambungan hlm. 1) para pemangku kepentingan terkait dalam perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascaerupsi Gunung Merapi. Renaksi RR Merapi fokus ke lima sektor, yakni perumahan, infrastruktur, ekonomi, sosial, dan lintas sektor. Dalam dokumen yang diterbitkan pada 2011 itu, diperkirakan total kebutuhan pendanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah mencapai Rp. 1,3 Triliun. Rinciannya, pendanaan untuk DIY sebesar Rp.770,90 Miliar dan Jateng Rp.548,31 Miliar. Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY Gatot Saptadi menuturkan, dari dana pemulihan sebesar Rp 770 miliar yang dialokasikan, selama 2011 – 2012 DIY telah menggunakan dana sekitar Rp 300 miliar. Sisa dana yang ada akan dimaksimalkan untuk pelaksanaan Renaksi RR Merapi selama 2013. Perlu lebih baik Eko menjelaskan, ada bukti - bukti yang menunjukkan bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi selama dua tahun terakhir telah berjalan dengan baik. Meski begitu, ada juga banyak bukti yang menunjukkan bahwa ke depan semua pihak perlu bekerja lebih baik lagi. Ia menilai, program rehabilitasi dan rekonstruksi selama ini belum diberlakukan secara adil antara masyarakat yang terdampak langsung, dengan masyarakat yang tidak terdampak langsung. Tanpa sadar, ketidakadilan itu mendorong munculnya rasa iri di masyarakat. “Oleh karena itu, bukan hanya prinsip build back better (membangun kembali menjadi lebih baik) yang harus dipegang, tetapi juga prinsip do no harm (tidak menyakiti),” katanya. Kajian partisipatif terhadap praktik membangun huntara juga menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat belum mendapat ruang memadai. Di sisi lain, masyarakat menilai ruang partisipasi tersebut penting. Menurut dia, partisipasi dalam program secara langsung maupun tidak langsung dapat mengurangi penyimpangan program. “Mari kita buka ruang peran masyarakat untuk ikut mempersiapkan, merencanakan,
melaksanakan, mengevaluasi,” tambahnya. Selain itu, ia menegaskan bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi bukanlah tahap kegiatan yang terpisah dari tahap kesiapsiagaan. Oleh karena itu, ruang partisipasi ini dapat dimulai sebelum masa darurat terjadi, yakni ketika menyusun rencana penanggulangan bencana, rencana penanganan darurat, dan rencana kontijensi. Audit sosial Terkait pelaksanaan Renaksi RR Merapi, Koordinator Divisi Advokasi Kebijakan Sensitif Pengurangan Risiko Bencana IDEA Sunarja mengungkapkan perlunya aspek pengelolaan anggaran yang melibatkan masyarakat. Untuk itu, masyarakat juga perlu dilibatkan dalam mengaudit bantuan yang disalurkan pemerintah. Menurut dia, alokasi anggaran untuk bantuan pemulihan pascaerupsi Merapi selama ini harus melalui tender sehingga penyaluran bantuan memakan waktu yang panjang. Dikhawatirkan, ujung proses tersebut adalah masyarakat tidak tahu persis bantuan yang seharusnya diterima, baik dari segi jumlah maupun spesifikasinya. Melihat hal itu, audit sosial bagi bantuan dari pemerintah perlu didorong. Audit sosial merupakan bentuk pemantauan secara partisipatif karena dilakukan oleh masyarakat sendiri. “Selama ini, tidak ada audit penerimaan bantuan yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Kalau toh ada evaluasi, pemerintah lebih banyak melihat sisi serapan dana bantuan,” kata Sunarja. Audit sosial dapat diterapkan pada semua sektor
LAYANG PRB
bantuan, mulai dari sektor pertanian sampai perumahan, serta kepada semua penerima bantuan pada setiap sektor. Hasil dari audit sosial ini nantinya bisa dijadikan sebagai bahan diskusi publik dengan pihak pemerintah. (LBB/RAS)
IOM/Intan
Warga sedang membuat selokan di Huntap Pagerjurang, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Rabu (9/1).
PENANGGUNG JAWAB PRODUKSI : Diana Setiawati (IOM), Danang Samsurizal (Koordinator Forum PRB DIY) PENYUNTING : Diana Setiawati, Idha Saraswati (IOM ), Aris Sustiyono (Forum PRB DIY), Mariana Pardede (Forum PRB DIY) REPORTER : Idha Saraswati, Lubabun Ni’am LAYOUT : Sampur Ariyanto (IOM) KONTRIBUTOR : Aris Sustiyono. Alamat Redaksi : Gedung KESBANGLINMAS DIY Lt 2, Jl Sudirman No 5, Yogyakarta email : layang_prb@yahoo.com Redaksi Layang PRB menerima tulisan opini sepanjang 5000 karakter (termasuk spasi) dilengkapi biodata singkat penulis. Bagi tulisan yang dimuat, redaksi akan memberikan honor sepantasnya.
LAYANG PRB
PROFIL
Edisi Desember 2012 - Januari 2013
8
Sensasi Hangat dalam SecangkirWedang Vulkanik Memanfaatkan berbagai rempah-rempah yang tersedia di lingkungan sekitar, warga Lereng Merapi meracik wedang vulkanik instan siap seduh. Bagi wisatawan yang berkunjung untuk menikmati segarnya udara Lereng Merapi, secangkir wedang vulkanik cocok dinikmati untuk menghangatkan tenggorokan dan badan. Produksi wedang vulkanik dimulai ketika sejumlah warga terdampak erupsi Merapi di Desa Kepuharjo, Kecamatan, Cangkringan, Sleman mendapat pendampingan dari program Segoro Amarta di Merapi atau SAMI yang dilaksanakan Yayasan Pengembangan dan Peningkatan Sumber Daya Ummat (YP2SU) bekerjasama dengan Merapi Recovery Response (MRR) UNDP. Di bawah program pendampingan tersebut, pada awal 2012 sejumlah anggota Koperasi Syariah Serba Usaha (KSSU) Sami Raharjo mendapat pelatihan untuk membuat wedang uwuh. Mereka juga mendapat bantuan berupa bahan mentah dan peralatan untuk membuat wedang uwuh. Lanjar, salah satu anggota KSSU Sami Raharjo menuturkan, wedang uwuh dipilih karena mereka ingin membuat minuman unik yang nantinya bisa menjadi ikon Merapi. “Waktu itu kami tahunya wedang uwuh itu ya wedang uwuh dari Imogiri (Bantul) yang menggunakan rempah-rempah. Nah agar berbeda muncul ide membuat wedang uwuh instan,” jelasnya, Jumat (4/1). Di sesi pelatihan, anggota KSSU Sami Raharjo langsung dilatih membuat wedang uwuh instan. Mereka juga mendapat pelatihan serta bantuan alat untuk mengemas wedang uwuh instan yang sudah jadi secara modern. Belakangan, untuk memberi ciri khas pada produknya, mereka mulai menggunakan nama “wedang vulkanik” untuk minuman instan yang pembuatannya dilakukan secara sederhana tersebut. Nama vulkanik merujuk warna minuman yang kemerahan, serta sifatnya yang menghangatkan tenggorokan dan badan, layaknya lava vulkanik yang panas. Menurut Lanjar, sebagian besar bahan wedang vulkanik sebenarnya tersedia di kawasan Lereng Merapi. Namun selama ini warga tidak mengetahui cara mengolah bahan-bahan tersebut.
Koperasi Syariah Serba Usaha Sami Raharjo Contact Person : Saraswati +62 813 265 898 33 Huntap Pagerjurang, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman
Rumah produksi Usai pelatihan, mereka mulai membuat wedang instan tersebut dengan peralatan sederhana yang tersedia di dapur. Secara kelompok, kini mereka memiliki rumah produksi bersama di Hunian Tetap Pagerjurang. Namun mengingat kesibukan anggota, anggota kelompok juga kerap membuat wedang tersebut di rumah masingmasing lalu disetorkan ke kelompok untuk dikemas dan dipasarkan. Saat ditemui pertengahan Desember 2012 lalu, anggota kelompok wedang vulkanik KSSU Sami Raharjo sedang membuat wedang vulkanik di rumah produksi. Proses pembuatan wedang vulkanik instan memerlukan waktu setidaknya satu jam. Prosesnya dimulai dengan merebus bahan seperti jahe, kayu secang, daun pala, kayu manis, daun cengkih, serai, serta pandan hingga mendidih. Setelah mendidih, air hasil rebusan rempah-rempah diambil dimasukkan ke dalam wajan. Air itu ditambah dengan gula dan sedikit garam, kemudian dimasak dan diaduk secara terus menerus hingga mengkristal. Bahan yang sudah mengkristal itu kemudian dihaluskan dan disaring dengan saringan kecil, sehingga menghasilkan bubuk wedang vulkanik siap saji. Bubuk itulah yang kemudian dikemas dalam plastik kemasan sachet, untuk kemudian dipasarkan. Setiap sachet berisi minuman siap seduh untuk menghasilkan satu gelas wedang vulkanik yang menghangatkan tenggorokan dan badan. Sekali produksi dengan bahan 50 kilogram, mereka biasanya menghasilkan sekitar 2.000 sachet wedang vulkanik instan. Setiap sachet wedang vulkanik instan dijual dengan harga Rp 1.500. Pemasaran Salah satu pengurus KSSU Sami Raharjo Saraswati menuturkan, mulai Maret 2012, produk wedang vulkanik yang dikemas sachet dipasarkan ke warung-warung di sekitar Desa Kepuharjo dan kawasan wisata Merapi. Mereka berani memasarkan produk tersebut karena sudah mendapat sertifikat Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Meski begitu, pemasaran wedang vulkanik instan baru menjangkau wilayah yang terbatas. Melalui program pendampingan pemulihan mata pencaharian dan pengurangan risiko bencana yang difasilitasi The Indonesia Multi Donor Fund for Disaster Recovery (IMDFF-DR), IOM berupaya meningkatkan kapasitas anggota “KSSU Sami Raharjo” untuk mengembangkan usahanya. Hal itu antara lain dilakukan dengan menghubungkan kelompok ini dengan mitra bisnis potensial maupun pemerintah guna memperluas akses mereka ke pasar. Menurut Saraswati, produksi wedang vulkanik selama ini masih kecil karena menyesuaikan dengan permintaan pasar. Oleh karena itu, kelompoknya berharap agar promosi wedang vulkanik bisa semakin gencar guna membuka peluang pasar yang lebih luas. Jika pemasaran meluas, mereka bisa menggenjot produksi dan penjualan sehingga hasilnya bisa digunakan untuk meningkatkan perekonomian anggota. (RAS) Produksi Layang PRB ini didukung oleh : NZ
NEW ZEALAND MINISTRY OF FOREIGN AFFAIRS & TRADE
IOM/Intan
Aid Programme